7/23/2019 parangtritis riset
1/33
1 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
PENGEMBANGAN INDUSTRI PARAWISATA
PARANGTRITIS :
Studi Dampak Sosial, Ekonomi, Dan Budaya
Aryan Torrido
Abstract
Development of tourism in an area is sectoral abroad activity because
related to many aspects of human life, so it will impact to the local
community. The case of the study focus on 3 things, they are (1) what the
shape of the community participation, (2) social, economy and culture effect
especially on occupation and tradition on cooperate alteration, and (3) the
policy of the government on tourism programs.
Participation of Parangtitiss community are on economically activity
and participate on support to governments tourism policy directly or not.
On the other hand, development of tourism was impact to social and
economy especially alteration on occupation that lead changing on economy
structure from agriculture to trade and service structure. It is specially
happened in orchard of Mancingan as the center of tourism activity, involve
all the orchards in village of Parangtitis yet. The impact on the other
orchards became smaller if the location is far from orchard of Mancingan In
social and culture, the alteration is on cooperate that is on the
implementation model and difference articulation in orchard ofMancingans community especially Depok. The other impact is the
appearance of culture innovation in orchard of Mancingan that could be
viewed as awareness of the community about how important of tourism in
their life. In the bad side, development of tourism was also increase the
prostitute that had negative effect on children and teenagers of the villages
moral. The tourism policy of the government was support the community on
trade, service and implementation on Sapta Pesona Programs. However,
policy of the government on using and preservation the tourism object in
Parangtitis is normatively, it means the implementation is not really real.
Key Words: development, occupation and participation
A. Pengembangan Pariwisata
Sampai tahun 1980-an Parangtritis sebagai suatu objek wisata belum
berkembang maju, sehingga pengunjung yang datang pun masih terbatas. Hal ini
antara lain karena kendala sarana transportasi, keterbatasan fasilitas penunjang di
Parangtritis, serta publikasi yang masih terbatas. Untuk mencapai Desa
Parangtritis, pengunjung harus menyeberangi Sungai Opak dengan menggunakan
7/23/2019 parangtritis riset
2/33
2 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
getek atau sampan yang dibuat secara sederhana dengan teknologi masyarakat
setempat. Getekini dipergunakan saat-saat musim hujan sehingga permukaan air
Sungai Opak naik yang menyebabkan sulit diseberangi tanpa sarana getek
tersebut. Pada saat musim kemarau sungai ini dapat diseberangi tanpa
menggunakan getek, sekalipun pengunjung harus membuka sepatu dan
menyingsingkan celana sebelumnya. Jalan alternatif ke Parangtritis memang ada
tetapi dengan jarak tempuh yang lebih lama, yaitu melalui Imogiri dan Desa Siluk
dari arah timur Parangtritis. Sementara itu Desa Parangtritis masih merupakan
desa yang belum diolah sebagai daerah tujuan wisata, sehingga belum memiliki
fasilitas penunjang yang memadai seperti losmen dan warung makan atau
restoran.
Pada tahun 1989, sejalan dengan meningkatnya pembangunan di
berbagai sektor oleh pemerintahan orde baru, pembangunan jalan raya dari
Yogyakarta langsung ke Parangtritis telah diselesaikan sekaligus dengan
pembangunan jembatan yang melintasi Sungai Opak di Desa Kretek. Dengan
demikian hambatan dari aspek sarana transportasi telah hilang, karena Parangtritis
sudah dapat dicapai dengan mudah dan dalam waktu yang tidak lama. Sejak itu
Desa Parangtritis mulai berkembang sebagai daerah tujuan wisata, yang
berdampak pada semakin banyaknya pengunjung ke daerah wisata tersebut.
Di samping pembangunan infrastruktur berupa pembangunan jalan dan
jembatan, pemerintah juga membangun sarana-fasilitas penunjang di sekitar
obyek wisata Parangtritis untuk meningkatkan daya tariknya sebagai obyek wisata
disamping untuk maksud merangsang investor lebih banyak terlibat dalam
pengembangan daerah wisata Parangtritis tersebut. Berbagai sarana fasilitas yang
diwujudkan pemerintah dalam rangka menunjang program Visit Indonesia Year
1991 adalah : (1) Gardu pandang 2 buah, yang terbuat dari konstruksi beton 7 x
7 m, terletak di sisi jalan trap-trapan tangga menuju Goa Jepang. (2) Pendapa
joglo 2 buah, yaitu Pendapa Joglo Parangtritis dan Pendapa Joglo Parangkusuma,
yang disewakan sebagai tempat kegiatan-kegiatan tertentu oleh warga masyarakat
pengunjung. (3) Parkir bus atau disebut juga parkir trayek, yang berfungsi sebagai
tempat parkir kendaraan-kendaraan trayek umum yang mengangkut penumpang
7/23/2019 parangtritis riset
3/33
3 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
umum. (4) Monumen Panglima Besar Sudirman sebagai monumen peringatan atas
peristiwa gerilya yang dilakukan oleh Jendral Sudirman pada masa-masa perang
kemerdekaan tahun 1945-1949, dimana pada tempat tersebut Jendral Sudirman
dan pasukannya pernah menetap. Monumen ini mengisi plasa yang berada di
pinggiran jalan raya menuju pantai Parangtritis, dan pelataran monumen kadang-
kadang dipergunakan sebagai tempat panggung hiburan. (5) Arena pacuan kuda
yang masih bersifat sederhana. (6) Pengembangan obyek-obyek wisata ziarah
yang berupa perbaikan jalan tangga menuju makam Syekh Bela-Belu dan Syekh
Maghribi, dan pengadaan pagar serta bangunan untuk para peziarah ke komplek
Petilasan Cepuri Watu Gilang Parangkusumo. (7) Gapura sebagai pintu gerbang
masuk ke kawasan wisata Parangtritis yang sekaligus berfungsi sebagai Tempat
Pemungutan Retribusi (TPR) oleh petugas pemerintah.
Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah ini tidak hanya
memperkuat daya tarik Parangtritis sebagai tempat tujuan wisata, tetapi sejalan
dengan bertambah besarnya jumlah wisatawan yang datang telah mendorong para
investor atau pemilik modal untuk ikut terlibat mengembangkan kegiatan
pariwisata di Parangtritis. Jika sebelumnya hanya terdapat beberapa losmen dan
warung makan sederhana di Parangtritis, maka secara perlahan telah muncul
berbagai losmen atau hotel dan warung makan dengan kualitas yang lebih baik di
sekitar obyek wisata tersebut. Data terakhir dari Monografi Desa Parangtritis
tahun 2010, terdapat 8 hotel, 181 losmen, dan 178 rumah makan atau restoran di
Desa Parangtritis. Di samping itu telah muncul kesempatan-kesempatan kerja
yang baru yang mengundang keterlibatan masyarakat dalam berbagai bentuk
kegiatan ekonomi, sehingga menumbuhkan bangunan-bangunan baru sebagai
tempat usaha yang berupa kios atau warung souvenir, tempat mandi dan WC, dan
area parkir.
Di Depok, salah satu dusun yang terdapat di Desa Parangtritis, sejak lama
dikenal sebagai Tempat Pelelangan Ikan (TPI) atau tempat transaksi antara para
nelayan dengan pembeli yang umumnya adalah pedagang-pedagang atau bakul
ikan. Sejak tahun 2000 TPI ini berkembang menjadi lebih ramai seiring dengan
dibangunnya jalan raya menuju pantai tempat TPI tersebut. Para wisatawan
7/23/2019 parangtritis riset
4/33
4 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
tertarik mendatangi TPI tersebut karena di samping untuk melihat keindahan laut
dan pantai, mereka juga bisa menyaksikan kegiatan para nelayan saat turun dari
laut, serta bisa membeli dan memasak untuk makan di sana. Perkembangan wisata
di Dusun Depok telah mengundang munculnya beberapa warung makan di sekitar
TPI tersebut, di mana para wisatawan setelah membeli dengan memilih sendiri
ikan yang disukai dapat memanfaatkan jasa dari warung makan untuk memasak
dan menghidangkannya.
Pengembangan kawasan pariwisata Parangtritis ini telah berhasil menarik
wisatawan yang lebih besar sehingga pada tahun 1995 tercatat 1.477.044
wisatawan yang datang ke Parangtritis. Jumlah wisatawan yang datang ini selalu
berubah dari tahun ke tahun, karena arus wisatawan yang masuk sangat
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor keamanan, sosial politik dan
ekonomi. Krisis moneter tahun 1997 dan krisis politik nasional tahun 1998 telah
menurunkan jumlah wisatawan masuk ke Parangtritis menjadi 1.282.700 dan
1.024.017 wisatawan. Data terakhir tahun 2009, wisatawan yang masuk ke
Parangtritis naik lagi menjadi 1.436.984 wisatawan. Apabila dilihat dari arus
wisatawan masuk ke Daerah Istimewa Yogyakarta, maka Desa Parangtritis dapat
disebut sebagai primadona tujuan wisata ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 1 berikut yang menggambarkan jumlah wisatawan ke
berbagai obyek wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2010.
Tabel 1
Sepuluh Obyek Wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta
Berdasarkan Jumlah Wisatawan yang Datang, Tahun 2010
Obyek Wisata Jumlah Wisatawan
Pantai Parangtritis
Taman Wisata Candi Prambanan
Wana Wisata Kaliurang
KRKB Gembira Loka
Kraton Yogyakarta
Pantai Baron, Kukup dan sekitarnya
1.367.882
1.071.885
911.624
355.515
299.966
239.900
7/23/2019 parangtritis riset
5/33
5 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
Purawisata
Pantai Glagah
Candi Sambisari
Kaliadem
174.790
117.671
92.652
68.105
Jumlah 4.699.990
Sumber : Data Statistik Pariwisata DIY Tahun 2010.
B. Dampak Pariwisata
Dampak Sosial Ekonomi
Perkembangan industri di Parangtritis bukan saja memperbesar arus
wisatawan yang masuk ke sana, tetapi juga telah mengundang migran dari luar
desa. Munculnya para pendatang ini karena terbukanya banyak kesempatan kerja
baru sehubungan dengan berkembangnya industri pariwisata di kawasan
Parangtritis. Berdasarkan data dokumentasi yang ada terdapat 130 KK pendatang
di Desa Parangtritis, yang semuanya berada di Dusun Mancingan dan Depok,
seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2
Jumlah Pendatang di Desa Parangtritis, 2010
Lokasi Jumlah (KK)
Dusun Mancingan
Dusun Depok
115
15
Jumlah 130
Sumber : Monografi Dusun Mancingan dan Depok, 2010
Mayoritas pendatang tersebut bersifat liar, dalam arti mereka tidak
berstatus atau tidak terdaftar sebagai penduduk desa dan status kepemilikan
bangunan serta tanah yang mereka tempati bersifat ilegal. Hanya 15 KK
pendatang yang berstatus tidak liar, dalam arti bangunan dan tanah yang mereka
miliki merupakan hak milik yang legal dan sebagian besar mereka telah terdaftar
sebagai penduduk Desa Parangtritis. Mereka ini pendatang dari daerah
Yogyakarta sendiri, khususnya dari daerah Bantul, yang berusaha di bidang jasa
losmen atau rumah makan.
7/23/2019 parangtritis riset
6/33
6 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
1. Komoditas tanah
Dominannya proporsi pendatang liar di Parangtritis berkaitan dengan
luasnya tanah milik kraton (Sultan Ground) di Desa Parangtritis. Daerah
Kabupaten Bantul memang menyimpan banyak tanah kraton di berbagai wilayah
kecamatan, bahkan seluruh kawasan pantai dari Kabupaten ini, yang terdapat di
wilayah kecamatan Kretek, Sanden, dan Srandakan berstatus tanah kraton (lihat
Gambar 4), khususnya di Dusun Mancingan sebagai pusat kegiatan wisata
Parangtritis. Dari 967,2 Ha luas wilayah Desa Parangtritis, sebanyak 33,5%
merupakan tanah milik kraton yang umumnya adalah pasir di sepanjang pantai.
Sejak lama tanah keraton ini tidak menimbulkan masalah karena nilai ekonominya
yang rendah. Berbeda setelah berkembangnya industri wisata yang menyebabkan
tanah keraton di kawasan wisata tersebut bernilai ekonomi tinggi.
Ketika arus wisata yang masuk ke kawasan Parangtritis bergerak naik di
tahun 1990, pendatang pun mulai muncul memanfaatkan peluang dan sebagian
tinggal menetap di sana. Mereka memanfaatkan tanah kraton dengan membayar
sewa pada penduduk desa yang mengaku diri sebagai penjaga tanah keraton
tersebut. Ketika nilai tanah tersebut semakin tinggi, sejalan dengan bertambah
majunya kegiatan pariwisata, jumlah pendatang yang masuk pun semakin banyak
dengan memanfaatkan tanah-tanah keraton dengan sistem sewa maupun dengan
memberi ganti rugi pada penduduk desa. Praktek jual beli tanah keraton
berlangsung tanpa diketahui oleh pemerintahan desa. Fenomena seperti ini mudah
terjadi karena nilai ekonomi tanah kraton yang pada saat itu masih rendah, di
samping karena lemahnya pengawasan terhadap pemakaian tanah-tanah keraton
yang luas itu
Jadi dapat disimpulkan bahwa salah satu dampak pengembangan
pariwisata di Parangtritis adalah semakin tingginya nilai tanah, khususnya di
tempat-tempat strategis yang berada di sekitar pusat kegiatan wisata. Tanah milik
penduduk desa yang relatif jauh dari pusat kegiatan wisata juga semakin tinggi
nilainya karena banyaknya orang yang mencari tanah untuk investasi masa depan.
Tanah di atas bukit yang dulu belum dipertimbangkan, sekarang mulai diincar
7/23/2019 parangtritis riset
7/33
7 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
berbagai pihak. jual beli tanah milik warga desa di daerah perbukitan sudah terjadi
pada 10 tahun belakangan ini.
2.
Pergeseran okupasi
Dari data tersebut dapat pula disimpulkan bahwa naiknya nilai jual tanah
dan terbukanya peluang-peluang kerja yang baru telah menyebabkan terjadinya
pergeseran okupasi, yaitu dari sektor pertanian ke sektor jasa. Apabila dilihat
struktur angkatan kerja pada tingkat Desa Parangtritis, pergeseran okupasi itu
relatif kecil sebagaimana terlihat pada Tabel 3 berikut. Data tebel ini
memperlihatkan adanya penurunan proporsi penduduk yang bekerja sebagai
petani dari 60,8 persen di tahun 2000 menjadi 57,7 persen di tahun 2010,
sementara proporsi penduduk yang bekerja sebagai pedagang atau wiraswasta
naik dari 16,8 persen menjadi 18,6 persen pada 4 tahun berikutnya di tahun 2010.
Tabel 3.
Penduduk Angkatan Kerja Desa Parangtritis
Menurut Mata Pencaharian, Tahun 2006 dan 2010
Mata Pencaharian
Tahun 2006 Tahun 2010
% %
PNS
TNI / POLRI
Karyawan Swasta
Pedagang/Wiraswasta
Pertukangan
Jasa
Tani
Buruh Tani
Nelayan
Pensiunan
270
56
216
800
61
132
2.886
233
60
33
5.7
1.2
4.5
16.8
1.3
2.8
60.8
4.9
1.3
0.7
291
67
277
969
61
145
2.998
251
93
44
5.6
1.3
5.3
18.6
1.2
2.8
57.7
4.8
1.8
0.9
Jumlah 4.747 100 5.196 100
Sumber: Monografi Desa Parangtritis, Tahun 2006 dan 2010
Angka pergeseran okupasi angkatan kerja seperti yang diperlihatkan data
tabel 3 relatif kecil karena beberapa faktor. Pertama karena pergeseran okupasi
7/23/2019 parangtritis riset
8/33
8 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
angkatan kerja yang diamati terbatas pada kurun waktu yang singkat, hanya 4
tahun. Kedua karena masa puncak dari terjadinya pergeseran okupasi angkatan
kerja itu telah lewat, yaitu terjadi pada tahun-tahun 1995-1997. Ketiga karena
pergeseran okupasi angkatan kerja tersebut dominan terjadi di satu pedusunan
saja, yaitu Dusun Mancingan, hal mana menunjukkan bahwa pergeseran okupasi
yang terjadi memang karena faktor berkembangnya kegiatan pariwisata yang
terfokus di Dusun Mancingan. Sepuluh dusun lainnya tidak memperlihatkan
pergeseran okupasi angkatan kerja pendudukyang berarti, kecuali di Dusun Depok
yang kawasan pantainya berbatasan langsung dengan kawasan pantai Dusun
Mancingan. Sejak tahun 2000 kegiatan wisata yang terpusat di Dusun Mancingan
mulai mengimbas ke Dusun Depok dengan mendayagunakan tempat pelelangan
ikan yang ada di Pantai Depok sebagai media kegiatan wisata yang baru. Oleh
karena itu pergeseran okupasi angkatan kerja mulai terasa di Dusun Depok,
sekalipun pada tingkat yang masih jauh di bawah pergeseran okupasi yang terjadi
di Dusun Mancingan.
Data Tabel 4 menunjukkan lebih jelas bahwa pergeseran okupasi yang
terjadi memang dari sektor pertanian ke sektor jasa, hal mana menunjukkan
bahwa pergeseran okupasi itu betul-betul karena perkembangan pariwisata. Jika
pada tahun 1995 mayoritas (79,1%) angkatan kerja penduduk Dusun Mancingan
bekerja sebagai petani, maka pada tahun 2010 proporsi petani itu tinggal 1,5
persen. Angkatan kerja pada kegiatan ekonomi buruh tani dan nelayan juga
menunjukkan penurunan. Tetapi pada kegiatan ekonomi wiraswasta atau
pedagang terjadi sebaliknya, yaitu naik dari 15,5 persen di tahun 1995 menjadi
89,0 persen di tahun 2010. Dengan memperhatikan data tabel tersebut dapat
disimpulkan terjadinya pergeseran okupasi angkatan kerja yang sangat signifikan
sehingga merubah struktur perekonomian masyarakat Dusun Mancingan dari
struktur perekonomian agraris ke perekonomian yang didominasi sektor jasa.
Kegiatan-kegiatan ekonomi sektor jasa yang menonjol adalah penginapan, warung
makan atau restoran, tempat mandi dan WC, warung grobogan, toko kelontong,
bendi, perparkiran, seperti telah dipaparkan sebelumnya.
Tabel 4.
7/23/2019 parangtritis riset
9/33
9 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
Penduduk Angkatan Kerja Dusun Mancingan, Parangtritis
Menurut Mata Pencaharian, Tahun 1995 dan 2010
Mata PencaharianTahun 1995 Tahun 2010
% %
PNS
TNI / POLRI
Petani
Pedagang/Wiraswasta
Buruh Tani
Nelayan
Pensiunan
Karyawan Swasta
8
2
683
134
24
12
-
-
0.9
0.2
79.1
15.5
2.8
1.4
-
-
34
16
15
905
7
-
4
36
3.3
1.6
1.5
89.0
0.7
0.4
3.5
Jumlah 863 100 1.017 100
Sumber: Monografi Dusun Mancingan, Tahun 1995 dan 2010
Pergeseran okupasi angkatan kerja ini terjadi dalam suatu proses, yang
melewati tahap-tahap transisi, di mana warga desa yang memasuki kegiatan-
kegiatan sektor jasa tidak sekaligus meninggalkan kegiatan ekonominya di sektor
pertanian. Kehadiran mereka di sektor jasa mula-mula bersifat kegiatan
sampingan, tetapi sejalan dengan semakin besarnya arus wisatawan yang datang
maka kegiatan ekonomi sektor jasa itu menjadi pekerjaan utama sementara
kegiatan sektor pertanian berubah menjadi pekerjaan sampingan. Secara perlahan
kegiatan-kegiatan sektor pertanian ini mulai banyak ditinggalkan, sekalipun masih
ada yang tetap mempertahankan usaha pertanian tersebut sebagai kegiatan
sampingan. Sekitar 30 persen dari angkatan kerja yang bergerak di sektor jasa itu
tetap mempertahankan usaha pertanian sebagai usaha sampingan.
Sifat transitif dari pergeseran okupasi angkatan kerja tersebut dapat
disebut sebagai perwujudan dari respon penduduk desa yang hati-hati dalam
mengambil kesempatan-kesempatan baru yang mereka belum begitu tahu. Oleh
karena itu keterlibatan mereka pada sektor-sektor jasa yang muncul pun bersifat
perlahan, setelah melakukan evaluasi dengan mempertimbangkan banyak faktor.
Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan adalah perkembangan arus
7/23/2019 parangtritis riset
10/33
10 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
wisatawan yang datang, hari-hari kunjungan wisatawan yang terbatas, dan
kemampuan mereka dalam mengelola kegiatan sektor jasa tersebut.
Pengalaman dari Bagiyo Giyanto, warga Dusun Mancingan yang memiliki
Losmen Hanoman sebagai salah satu losmen yang termasuk besar di Parangtritis,
dapat menggambarkan respon kehati-hatian warga desa ketika beralih dari
kegiatan ekonomi sektor pertaniann yang secara tradisional mereka kuasai ke
sektor jasa yang baru mereka kenal. Pada awalnya ia adalah petani pemilik yang
terpandang di desanya, kemudian mencoba memasuki sektor jasa dengan
mendirikan penginapan sebanyak 6 kamar dengan memanfaatkan lahan kosong
miliknya. Ketika arus wisatawan semakin besar sehingga persewaan kamarnya
memberi keuntungan lebih besar, pengalaman managerial penginapan pun
semakin dikuasai, maka kepercayaan diri untuk menekuni kegiatan ekonomi jasa
penginapan itupun semakin besar sehingga pada tahun 1995 ia berani menjual
sebagian besar lahan sawahnya untuk mengembangkan usaha penginapannya
menjadi sebuah losmen dengan bangunan yang lebih bagus. Menurut dia
keputusan untuk menjual tanah sawah itu diambil setelah cukup yakin bahwa
usaha penginapan dapat lebih menjamin masa depan keluarga.
3. Ketidakseimbangan ekonomi pedesaan
Kegiatan pariwisata yang berkembang telah menimbulkan pergeseran
okupasi angkatan kerja penduduk Desa Parangtritis. Karena faktor penyebab
terjadinya pergeseran okupasi adalah kegiatan pariwisata, maka pergeseran
okupasi angkatan kerja yang paling mencolok adalah di Dusun Mancingan
sebagai pusat kegiatan wisata di kawasan wisata Parangtritis. Dusun lain yang
jauh dari pusat kegiatan wisata itu tidak memperlihatkan pergeseran okupasi yang
signifikan, sebagaimana yang terjadi di Dusun Sono yang merupakan dusun
terjauh dari pusat kegiatan wisata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Dusun Mancingan telah mempunyai struktur dan kekuatan ekonomi yang berbeda
dengan dusun-dusun lainnya.
Tabel 5.
Penduduk Angkatan Kerja Menurut Mata Mata Pencaharian
Dusun Depok, Grogol VII, Sono, Tahun 2010
7/23/2019 parangtritis riset
11/33
11 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
Mata Pencaharian
Dusun Depok Dusun Grogol VIIDusun
Sono
% % %
Tani
Buruh Tani
Nelayan
PeternakAyam & Bebek
Wiraswasta, Pedagang
Tukang Kayu, Batu
PNS
TNI, Polri
Pensiunan
105
-
5
-
34
-
10
4
-
66.5
-
3.2
-
21.5
-
6.3
2.5
-
183
11
-
-
32
25
10
2
1
69.3
4.2
-
-
12.1
9.5
3.8
0.8
0.3
326
-
2
4
25
-
38
4
-
81.7
-
0.5
1.0
6.3
-
9.5
1.0
-
Jumlah 158 100 264 100 399 100
Sumber: Monografi Dusun Depok, Grogol VII dan Sono, 2010
Tabel 5 memperlihatkan perbandingan struktur penduduk menurut mata
pencaharian di Dusun Depok, Grogol VII dan Sono. Ketiga dusun ini merupakan
sampel untuk dibandingkan antara Depok sebagai dusun yang berbatasan
langsung dengan Mancingan (pusat kegiatan wisata) dengan Grogol VII sebagai
dusun yang tidak berbatasan langsung tapi tidak terlalu jauh dari Mancingan, dan
dengan Sono sebagai dusun yang terjauh dari Mancingan. Data tabel ini secara
jelas menunjukkan bahwa semakin jauh dari pusat kegiatan wisata yang berada di
Mancingan maka struktur perekonomian penduduk semakin dominan agraris, di
mana proporsi angkatan kerja yang berada di sektor pertanian semakin besar.
Proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian masih sangat dominan
(83,2%) di Dusun Sono, sementara di Dusun Grogol VII dominasi sektor
pertanian itu turun menjadi 71,5 persen, dan di Dusun Depok lebih kecil lagi
menjadi 69,7 persen. Sebaliknya dengan mengamati proporsi penduduk yang
bekerja di sektor jasa perdagangan atau wiraswasta, di Dusun Sono proporsinya
sangat kecil (6,3%) dan semakin besar di Dusun Grogol VII (12,1%) dan Dusun
Depok (21,5%). Jadi dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan sektor wiraswasta
atau pedagang di Dusun Depok jauh lebih besar dibandingkan dengan Dusun
7/23/2019 parangtritis riset
12/33
12 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
Grogol VII dan Dusun Sono. Ini berkaitan dengan adanya Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) di Depok yang semakin ramai dikunjungi oleh wisatawan, dan juga
posisi Dusun Depok yang lebih dekat dengan Dusun Mancingan sebagai pusat
kegiatan pariwisata.
Karena pengembangan TPI di Depok relatif masih baru (8 tahun), maka
struktur perekonomian yang ada di Dusun Depok masih dalam masa transisi,
sehingga 80 persen penduduk Dusun Depok sekarang ini mempunyai pekerjaan
sampingan di sektor pariwisata yang ada di TPI tersebut, dengan semakin
ramainya TPI Depok sebagai salah satu tujuan wisatawan datang ke Parangtritis,
mendorong penduduk Depok untuk melakukan kegiatan-kegiatan usaha di luar
dari sektor pertanian yang biasa mereka lakukan. Kegiatan-kegiatan ini muncul
sebagai dampak dari perkembangan TPI tersebut, walaupun sebagian besar
penduduk masih melakukan kegiatan di TPI Depok hanya sebatas merupakan
pekerjaan sampingan saja. Proses ini merupakan transisi yang sama dengan yang
terjadi di Dusun Mancingan pada awal perkembangan pariwisata di pantai
Parangtritis.
Dampak Sosial Budaya
Kegiatan pariwisata yang semakin berkembang, di samping mengundang
masuknya wisatawan dan pencari kerja, telah mengundang masuknya norma dan
nilai sosial yang tidak sama dengan nilai masyarakat setempat. Perubahan struktur
perekonomian masyarakat dari yang semula bersifat agraris ke masyarakat yang
lebih didominasi sektor jasa, seperti di Dusun Mancingan, telah menimbulkan
terjadinya perubahan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Masyarakat
agraris yang biasanya mempunyai kesetiakawanan yang kuat memperlihatkan
pergeseran ketika berubah menjadi masyarakat jasa atau industri, karena pola
hubungan antar-warga telah bergeser dari pola yang bersifat paguyuban ke pola
hubungan yang bersifat patembayan. Dalam masyarakat agraris kesetiakawanan
antar-warga itu kuat karena belum didominiasi pamrih-pamrih tertentu
(paguyuban), sementara dalam masyarakat jasa/industri kesetiakawanan itu
cenderung bersifat fungsional karena diliputi pamrih-pamrih tertentu
7/23/2019 parangtritis riset
13/33
13 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
(patembayan). Hal ini juga terlihat di kawasan wisata Parangtritis, khususnya di
pusat kegiatan wisata yang berada di Dusun Mancingan.
Tradisi gotong royong
Sejalan dengan pergeseran okupasi angkatan kerja yang berlangsung
evolutif seperti yang dikemukakan sebelumnya, maka dampak kegiatan pariwisata
pada kehidupan sosial budaya juga berlangsung dalam suatu proses yang bergerak
secara pasti. Tradisi gotong royong misalnya, sekalipun tradisi ini tetap kelihatan
ada namun telah mengalami perubahan dalam pola serta artikulasinya. Gotong
royong untuk bersih lingkungan misalnya, kalau dulu bisa dilakukan sembarang
hari sesuai dengan kebutuhan, sekarang tidak lagi karena di Dusun Mancingan
mereka sangat mempertimbangkan hari-hari kesibukan yang dipengaruhi oleh
kunjungan wisatawan. Di dusun-dusun lain tradisi gotong royong untuk bersih
lingkungan itu masih berlangsung seperti di desa-desa Jawa umumnya, tetapi di
Dusun Mancingan tradisi itu sudah jarang sekali dilakukan. Hal ini disebabkan
kebersihan lingkungan di Dusun Mancingan telah terpelihara secara mekanis,
digerakkan dengan suatu sistem yang didukung berbagai sarana dan manusia.
Pemeliharaan kebersihan tersebut masuk dalam program Sapta Pesona,
melibatkan beberapa petugas kebersihan yang dibayar untuk itu.
Pesta-pesta perkawinan, kelahiran, atau sunatan yang secara tradisi
mengundang partisipasi warga lain tetap saja berlangsung normal, dalam arti
warga desa masih mewajibkan dirinya untuk datang dengan memberi sumbangan
berupa uang. Menurut Suryanta, Kepala dusun Grogol VII, besarnya sumbangan
sesuai dengan kerelaan masing-masing, sekalipun kalau sekarang umumnya
sekitar Rp. 30.000. Di samping itu, gotong royong dalam bentuk sumbangan
tenaga juga masih ada, di mana kaum ibu dari tetangga yang punya hajat turut
membantu (ewang) mempersiapkan berbagai hal yang berkaitan dengan hajat atau
pesta tersebut. Jadi sumbangan uang tersebut, menurut Suryanta, dimaksudkan
agar kehadiran warga ke pesta itu tidak membebani orang yang punya hajat.
Di Dusun Mancingan tradisi ini tetap ada, hanya saja waktu
pelaksanaannya yang berbeda dengan dusun-dusun lainnya. Pesta-pesta
perkawinan, kelahiran atau sunatan di Dusun Mancingan dilaksanakan pada hari -
7/23/2019 parangtritis riset
14/33
14 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
hari di mana kunjungan wisatawan sedikit supaya kegiatan pesta itu tidak
mengganggu kegiatan ekonomi warga dusun. Apabila hari pelaksanaan terjadi
pada saat wisatawan banyak yang datang, maka warga dusun yang datang
cenderung berkurang. Hal ini yang menyebabkan mereka lebih selektif dalam
memilih hari, yaitu pada hari-hari sepinya pengunjung wisatawan.
Warga Dusun Mancingan tidak jarang mendapat undangan untuk satu
hajat tertentu dari warga dusun lain, maka mereka pun biasanya tetap hadir.
Hanya saja kalau undangan itu pada saat ramai wisatawan, maka kedatangan
mereka hanya sekedar menyampaikan sumbangan uang. Secara umum, menurut
Tri Waldiyana, warga Dusun Mancingan sudah mempunyai perilaku yang berbeda
dalam menghadiri pesta atau hajatan di desa. Mereka biasanya sudah tidak turut
wirunggan, yaitu kebiasaan ngobrol berlama-lama dengan warga lain yang
ketemu bareng menghadiri hajatan tersebut. Hal ini dapat dilihat sebagai dampak
dari pola kerja di sektor jasa yang menuntut pemanfaatan waktu lebih intensif dan
lebih disiplin.
Gotong royong untuk mertidusunyang secara tradisional dilakukan sekali
setahun di desa-desa masyarakat Jawa, juga tetap dilaksanakan di Desa
Parangtritis. Pelaksanaannya dilakukan di masing-masing dusun dengan waktu
yang tidak sama. Kegiatan merti dusun ini dilakukan warga dusun secara total,
dalam arti seluruh warga (bahkan warga yang bekerja dan tinggal di tempat lain
menyempatkan diri untuk hadir) terlibat gotong royong membersihkan dusun, dan
pekerjaan yang dilakukan betul-betul membuat dusun tampil baru-bersih.
Kegiatan ini juga menjadi media untuk pertemuan seluruh warga dusun,
silaturahmi dengan memperbaharui kesetiakawanan antar-warga, yang biasanya
diisi dengan beberapa kegiatan pendukung serta makan bersama. Tetapi di Dusun
Mancingan motif pelaksanaan merti dusun tempil lebih atraktif dan komersial,
dilakukan untuk mendukung kegiatan pariwisata dengan cara memadukannya
dengan tradisi kegiatan labuhan sedekah laut. Penggabungan ini terjadi ketika
esensi kegiatan merti dusun sudah kurang relevan, karena program Sapta Pesona
telah membuat Dusun Mancingan selalu bersih sehingga merti dusun kehilangan
7/23/2019 parangtritis riset
15/33
15 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
makna fungsionalnya, sementara tuntutannya sebagai suatu tradisi tetap kuat maka
masyarakat tetap mengadakannya.
Komoditas lembaga-lembaga budaya
Penggabungan antara kegiatan merti dusun dan labuhan sedekah laut
disebut menjadiPisungsum JaladriBhekti Pertiwi yang dimulai sejak tahun 1995.
Kegiatan penggabungan itu berlangsung selama 4 hari pada sekitar Bulan Mei,
dimulai dari hari Minggu sampai Selasa Wage sebagai kegiatan merti dusun dan
hari Rabu Kliwon untuk acara labuhan sedekah laut (pisungsun jaladri). Pada
malam Rabunya, setelah acara merti dusun, diadakan pertunjukan wayang
semalaman di pendopo joglo Dusun Mancingan. Pertunjukan kesenian wayang ini
mampu menyedot pengunjung yang banyak dari daerah-daerah Kabupaten Bantul
dan Gunung Kidul. Pengunjung yang datang ini umumnya warga Yogyakarta
yang tertarik dengan kesenian wayang, bukan wisatawan dari luar Yogyakarta.
Namun dengan banyaknya pengunjung yang datang telah mampu meningkatkan
kegiatan ekonomi di Dusun Mancingan, di mana-mana pedagang asongan,
warung grobogan dan jasa perparkiran mendapat kesempatan untuk mengambil
keuntungan pada malam kesenian wayang tersebut.
Pertunjukan wayang kulit pada malam Rabu Kliwon biasanya dengan
menampilkan dalang terkenal dari luar, sehingga mampu mengundang
pengunjung yang lebih banyak. Kehadiran dalang yang terkenal itu bisa
merangsang kelompok kesenian wayang kulit yang ada di Parangtritis. Menurut
Mirat, Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat Desa Parangtritis, terdapat dua
perkumpulan wayang kulit di Desa Parangtritis yang biasa latihan di Pendopo
Joglo di Parangkusumo. Perkumpulan wayang kulit ini selalu terlibat pada
kegiatan pertunjukan wayang kulit semalaman suntuk menjelang acara labuhan
sedekah laut tersebut, sehingga penampilan dalang terkenal yang diundang telah
mendinamisasi kegiatan perkumpulan wayang kulit tersebut. Apresiasi
masyarakat terhadap kesenian tradisional wayang kulit tetap hidup, yang antara
lain dapat dilihat dari frekuensi latihan perkumpulan wayang kulit yang ada
semakin naik dengan jumlah penonton rata-rata sekitar 25 orang.
7/23/2019 parangtritis riset
16/33
16 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
Kegiatan labuhansedekah laut atau disebut juga dengan pisungsun jaladri
adalah suatu upacara tradisional yang dimaksudkan sebagai pengungkapan rasa
syukur penduduk desa atas keberhasilan panen mereka. Oleh karena itu kegiatan
labuhanini selalu diadakan setelah penduduk memanen hasil pertaniannya, yang
biasanya pada sekitar bulan Mei. Ungkapan rasa syukur itu diwujudkan dengan
memberikan sebagian dari rejeki yang mereka dapatkan dalam bentuk-bentuk
jadah, wajik, pisang raja, bunga rosulan, jajan pasar, jenang merah-putih, dan
tumpeng mancanegara. Pemberian atau sesajen ini diwadahi ancak,1 kemudian
disajikan dengan cara dilabuh ke laut dengan maksud agar makhluk-makhluk
halus yang ada di sana tidak mengganggu penduduk. Tujuan upacara labuhan
sekarang telah mengalami pergeseran makna, karena penduduk yang umumnya
beragama Islam lebih melihatnya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa, disamping sebagai suatu atraksi budaya. Pergeseran makna ini
dengan jelas terlihat pada acara kenduri yang dilakukan setelah Labuhan
Pisungsun Jaladri di Pendopo Joglo Pariwisata Parangkusumo. Acara kenduri ini
dihadiri pejabat-pejabat pemerintah dari tingkat desa sampai tingkat kabupaten.
Inti acara adalah ikrar tentang sesaji kenduri sebagai ungkapan rasa syukur
terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta doa secara Islam.yang disampaikan oleh
tokoh masyarakat Dusun Mancingan.
Kegiatan Pisungsun Jaladri Bhekti Pertiwi beberapa tahun terakhir ini
dilakukan lebih besar sebagai upaya mendukung kegiatan pariwisata di kawasan
Parangtritis. Upaya ini dilakukan dengan swadaya masyarakat Dusun Mancingan,
yaitu dengan mengambil sebagian dari kas dusun, sumbangan warga/pelaku bisnis
di Mancingan, serta urunan dari semua warga di Dusun Mancingan. Keterlibatan
warga RT secara langsung terlihat dalam pengadaan materi untuk persembahan
(sesaji) dan kenduripada upacara labuhan dan kenduridi hari Rabu Kliwon, di
mana masing-masing warga RT memberikan satu jandhang2 untuk kegiatan
kenduritersebut.
1Ancak: wadah yang terbuat dari batang pisang berbentuk segi empat dengan diberi alas
belahan bambu digunakan sebagai tempat sesaji labuhan.2
Jandhang: terbuat dari kayu dengan ukuran 1,5 m x 1 m dan tingginya kira-kira 15 cmdan digunakan sebagai tempat untuk sesaji kenduri.
7/23/2019 parangtritis riset
17/33
17 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
Dana yang besar diperlukan untuk acara labuhan, kesenian wayang kulit
semalam suntuk, serta rangkaian kegiatan merdi dusun selama tiga hari, yaitu
sejak hari Minggu sampai Selasa Wage. Keterbatasan dana dari swadaya
masyarakat dusun menyebabkan kegiatanPisungsun Jaladri Bhekti Pertiwibelum
mampu menarik kunjungan wisatawan dalam jumlah yang signifikan.
Keterbatasan dana itu antara lain berdampak pada terbatasnya publikasi yang
dilakukan, yaitu hanya dengan memasang spanduk-spanduk pada berbagai
tempat-tempat strategis di wilayah Bantul serta membayar jasa iklan lewat
beberapa radio amatir di Bantul.
Namun bagaimanapun, kegiatan Pisungsun Jaladri Bhekti Pertiwi
merupakan satu inovasi kultural yang dapat dilihat sebagai kreasi masyarakat
Dusun Mancingan untuk menunjang industri wisata yang terkonsentrasi di dusun
mereka. Hal ini timbul dari satu kesadaran kolektif bahwa kehidupan mereka
sudah tergantung pada kunjungan wisatawan ke dusun mereka, di mana mayoritas
penduduk Dusun Mancingan tidak lagi hidup dari sektor pertanian tetapi pada
sektor-sektor jasa yang berkaitan dengan kehadiran wisatawan. Oleh karena itu
timbul upaya-upaya inovatif untuk mendayagunakan potensi kultural yang mereka
miliki sehingga menjadi suatu komoditi yang lebih menarik untuk dijual pada
wisatawan.
Di samping kendala dana dan kurang pengalaman karena relatif masih
baru, kegiatan Pisungsun Jaladri Bhekti Pertiwi belum mampu menarik
datangnya wisatawan dalam jumlah besar karena kalah pamor dengan upacara
tradisional labuhan yang diadakan oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tiap
tahun pada tanggal satu Suro. Upacara ini dilakukan di kawasan pantai di Dusun
Mancingan juga, dan secara tradisional labuhan inilah yang dikenal masyarakat
secara luas. Disamping upacara tradisional labuhan, menurut H. Prayikno yang
dikenal sebagai sesepuh desa, upacara Peh Cun3merupakan dua kegiatan budaya
tradisional yang sejak lama menarik perhatian masyarakat banyak untuk datang ke
3 Peh Cun: upacara tradisional dari masyarakat Cina yang jatuh pada tanggal 5 bulan
tahun kalender Cina. Upacara ini disebut dengan hari raya Wan Yang, yang dilakukan pada saat
teriknya matahari sekitar pukul 11.00-13.00, yang konon pada saat itu gravitasi bumi dan bulan
sangat kuat. Sehingga telor dapat didirikan tegak di permukaan bumi. Di Parangtritis, pesta inidimeriahkan dengan festival Barongsai dan Liong.
7/23/2019 parangtritis riset
18/33
18 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
Pantai Parangtritis. Jadi sampai sekarang upacara tradisional yang paling banyak
mengundang wisatawan ke Parangtritis adalah upacara labuhan yang
diselenggarakan oleh Keraton pada 1 Suro, dan upacara Peh Cun yang mampu
mengundang wisatawan dari etnik Cina khususnya dari berbagai kota.
Komoditas seks
Arus wisatawan masuk yang semakin besar bukan hanya sebagai potensi
pasar yang menggembirakan pelaku bisnis di Mancingan, tetapi juga memiliki
potensi destruktif dari segi moral kemasyarakatan. Karakter wisatawan yang
heterogen menyebabkan kehadiran mereka secara langsung atau tidak langsung
telah mendemonstrasikan perilaku yang beraneka ragam dan sudah tentu banyak
yang tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat setempat. Perilaku mereka
dalam berpakaian, berkomunikasi dengan orang lain, hubungan antara laki-laki
dan perempuan dengan sendirinya telah mempengaruhi perilaku masyarakat
setempat. Pengaruh itu bisa dalam bentuk menerima adanya perbedaan norma
dalam berpakaian atau berperilaku, tetapi ada juga dalam masyarakat Dusun
Mancingan sudah terbiasa melihat pola berpakaian yang beraneka ragam tanpa
mempersoalkannya, sementara dalam berkomunikasi mereka tidak canggung
mempergunakan Bahasa Indonesia karena telah terbiasa berinteraksi dengan
wisatawan yang bersifat heterogen. Pola hubungan laki-laki dan perempuan juga
mengalami perubahan menjadi lebih longgar, dalam arti norma hubungan antara
laki-laki dengan perempuan tidak lagi jauh berbeda dengan norma hubungan antar
warga secara umum. Dalam hal ini kehadiran kalangan perempuan Pekerja Seks
Komersial (PSK) memberikan dampak yang menjadi keprihatinan beberapa
pemuka masyarakat desa.
Sejalan dengan perkembangan industri wisata di Parangtritis, semakin
besarnya jumlah pengunjung yang datang untuk bersenang-senang ternyata juga
memperbesar potensi pasar dari para PSK. Data dari Dinas Kesehatan
menunjukkan adanya 110 perempuan PSK yang tinggal di Parangtritis, di
samping ratusan PSK kalong yang datang hanya pada malam Selasa Kliwon
dan Jumat Kliwon. Para PSK yang menetap di Dusun Mancingan tinggal di
rumah-rumah penduduk, yaitu 70 orang di Parangkusumo dan 40 orang di
7/23/2019 parangtritis riset
19/33
19 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
Parangbolong.4Warga dusun yang menampung PSK sekaligus berperan sebagai
mucikari, yang melindungi dan menjamin makanan mereka setiap hari. Imbalan
atas jasa yang diberikan para mucikari adalah uang sekitar Rp. 15.000 (jumlah ini
tergantung kesepakatan) untuk setiap tamu yang datang memanfaatkan jasa PSK
tersebut.
Ratusan PSK yang tinggal menetap di Dusun Mancingan sudah tentu
punya dampak moral terhadap masyarakat setempat. Keterlibatan mereka secara
penuh dalam interaksi sosial masyarakat dusun, di samping citra yang dibawa
dengan status perempuan PSK, akan mempengaruhi perkembangan kejiwaan
anak-anak dan remaja Dusun Mancingan. Hal ini menjadi keprihatinan para orang
tua karena para PSK itu membaur dengan masyarakat, setiap hari perilaku mereka
semua dilihat anak-anak.
Dampak lain dari kehadiran banyak perempuan PSK yang menetap di
dusun adalah timbulnya hubungan personal yang akrab antara mereka dengan
kalangan remaja Dusun Mancingan. Sekalipun mereka membawa citra yang tidak
baik, tetapi interaksi sosial yang terus berlangsung tidak menutup terjadinya
hubungan-hubungan personal dengan warga Dusun Mancingan. Menurut Bagiyo
Giyanto, pemilik Losmen Hanoman, tidak sedikit pemuda dusun yang menjalin
hubungan cinta dengan perempuan PSK tersebut. Dia sendiri punya anak yang
pernah terlibat affair dengan PSK itu, dan hal itu menjadi persoalan besar dalam
keluarga yang sempat mengganggu kepekatan hubungan dalam keluarganya.
Kehadiran perempuan PSK kalong pada malam Selasa Kliwon dan
Jumat Kliwon telah mengurangi sakralitas tempat-tempat ziarah di Mancingan,
Parangtritis. Tiga tempat ziarah di Mancingan yang dipercayai oleh masyarakat
Jawa khususnya sebagai tempat yang bisa memberi berkahjika diziarahi dan atau
tirakat di sana pada malam-malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon adalah
Makam Syekh Maghribi, Makam Syekh Bela-Belu, dan petilasan Watu Gilang di
Parangkusumo. Kehadiran para PSK kalong dalam jumlah yang besar pada
malam-malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, menyebabkan kesakralan
tempat-tempat ziarah itu berkurang karena sementara beberapa peziarah bertirakat
4Dokumentasi Dinas Kesehatan Kab. Bantul, 2005.
7/23/2019 parangtritis riset
20/33
20 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
di petilasan Parangkusumo mereka berkeliaran menawarkan diri di sekitar
petilasan tersebut. Jumlah peziarah yang datang memang cenderung meningkat,
tetapi motivasi peziarah mengalami pergeseran karena semakin kuatnya daya tarik
perempuan PSK tersebut. Pergeseran motivasi itu paling tidak dapat dilihat dari
dua indikator. Pertama, semakin kecilnya proporsi peziarah yang bertirakat di
Parangkusumo, hanya sekitar 10 persen dari total pengunjung yang ada. Kedua,
semakin dominannya peran petilasan Parangkusumo dibandingkan dengan
Makam Syekh Maghribi dan Syekh Bela-Belu. Pada masa lalu, proporsi peziarah
terbesar adalah ke Makam Syekh Bela-Belu dan minoritas ke petilasan
Parangkusumo. Sekarang mayoritas peziarah berada di Petilasan Parangkusumo,
minoritas ke Makam Syekh Bela-Belu. Perubahan angka-angka proporsi ini bisa
dilihat sebagai akibat dari adanya pergeseran motivasi, sebab mereka yang datang
ke Makam Syekh Maghribi dan Syekh Bela-Belu hampir dipastikan berniat untuk
ziarah sementara mereka yang datang ke Petilasan Parangkusumo belum tentu
berniat berziarah karena semakin besarnya perempuan PSK di sana.
C. Kebijakan Pariwisata di Parangtritis
Pola pengembangan obyek wisata di Parangtritis dikendalikan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul, yang dalam hal ini dilakukan Dinas
Pariwisata Kabupaten Bantul. Sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) No.42
Tahun 2000, Dinas Pariwisata merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah di
bidang kepariwisataan. Pada pasal 5 dari Perda tersebut disebutkan bahwa Dinas
Pariwisata berfungsi untuk menyusun rencana dan program kebijakan bidang
kepariwisataan, melakukan pembinaan umum dan pembinaan operasional bidang
pariwisata, memberikan bimbingan tekhnis dan memberikan perijinan bidang
kepariwisataan, serta melakukan pengawasan dan pengendalian tekhnis bidang
kepariwisataan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Bupati. Untuk dapat
menjalankan fungsi-fungsi tersebut telah dibangun organisasi Dinas Pariwisata
yang penjabaran lebih rinci tentang tugas-tugas pokoknya diatur dalam Keputusan
Bupati Bantul No.149 Tahun 2001.
Dinas Pariwisata Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Bantul telah
menyusun rencana strategis pengembangan pariwisata di daerah Kabupaten
7/23/2019 parangtritis riset
21/33
21 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
Bantul untuk tahun 2001-2-005, dimana visi yang dikembangkan adalah untuk
menjadikan pariwisata sebagai sektor andalan yang mampu menggerakkan roda
perekonomian daerah Bantul. Untuk itu telah dirumuskan 5 misi pembangunan
pariwisata, yaitu: (1) Mengembangkan wisata alam dan budaya serta seluruh
potensi yang dimiliki dengan berorientasi pada wisata kerakyatan. (2)
Mengembangkan pariwisata melalui pendekatan multisektoral dan lintas wilayah.
(3) Bekerja secara sistematis, berkesinambungan, ramah lingkungan dengan tetap
memperhatikan aspek kelestarian potensi yang dimiliki. (4) Meningkatkan
profesionalisme kualitas pelayanan pariwisata melalui peningkatan kualitas
kelembagaan, manajemen, sumber daya manusia. (5) Mengenalkan produk daerah
secara luas.
Dengan 5 misi pengembangan pariwisata tersebut, maka pemerintah
menggerakkan lebih kongkrit tentang kebijakan pengembangan pariwisata
tersebut untuk: Melibatkan peran serta masyarakat, mengembangkan obyek dan
daya tarik wisata dengan memperhatikan kelestarian serta kekhasan potensi
wisata, menggunakan asas manfaat dan efisiensi, mendorong peran serta sektor
swasta, dan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup.5 Jadi dapat
disimpulkan bahwa kebijakan pengembangan pariwisata di kawasan Parangtritis
juga mendorong keterlibatan masyarakat setempat atau keterlibatan sektor swasta,
serta mengembangkan obyek wisata yang ada berdasarkan kekhasan yang
dimiliki.
Landasan kebijakan diatas semakin kuat dengan dikeluarkannya Peraturan
Daerah Kabupaten Bantul No.3 Tahun 2004 tentang Rencana Induk
Pengembangan Pariwisata Daerah Kabupaten Bantul. Rencana induk ini
memberikan rumusan pokok-pokok kebijakan dalam perencanaan dan
pemanfaatan pembangunan pariwisata, termasuk didalamnya aspek ketataruangan
usaha pariwisata, faktor penunjang dan pengembangan kepariwisataan yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
5
Dokumen Dinas Pariwisata Pemkab Bantul, Rencana Strategis Dinas PariwisataKabupaten Bantul, 2001-2005.
7/23/2019 parangtritis riset
22/33
22 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
Keterlibatan Masyarakat
Pengembangan pariwisata di kawasan Parangtritis, sebagaimana sudah
dikemukakan sebelumnya, berhasil menarik keterlibatan warga masyarakat desa
untuk turut mengambil peluang yang terbuka di berbagai jenis kegiatan ekonomi
suhubungan dengan semakin besarnya jumlah wisatawan yang datang. Dari
berbagai jenis kegiatan ekonomi yang muncul sebagai akibat pengembangan
pariwisata, mayoritas dilakukan oleh warga desa khususnya dari Dusun
Mancingan. Pada kegiatan jasa penginapan, dari 189 hotel, losmen dan
penginapan yang ada di Parangtritis sekitar 65 persen merupakan milik penduduk
setempat. Sisanya (35%) dimiliki warga luar Desa Parangtritis, baik penginapan
atau losmen yang status tanahnya legal maupun yang ilegal. Losmen atau hotel
dengan kepemilikan tanah legal (12,5%) umumnya memiliki bangunan dan
kualitas yang relatif bagus, dimiliki oleh warga luar desa tetapi mereka berasal
dari daerah Kabupaten Bantul juga. Sementara losmen atau penginapan yang
memakai tanah keraton secara ilegal (22,5%) umumnya dengan bangunan dan
kualitas seadanya dimiliki pendatang dari berbagai daerah Propinsi DIY dan Jawa
Tengah.
Keterlibatan penduduk desa pada kegiatan-kegiatan ekonomi, restoran,
rumah makan, tempat mandi dan WC, perdagangan kecil dan perparkiran tetap
didominasi oleh warga desa khususnya dari Dusun Mancingan. Kegiatan ekonomi
yang melibatkan modal kecil cenderung semakin didominasi warga desa,
sementara kegiatan ekonomi yang membutuhkan modal besar seperti hotel dan
restoran cenderung menghambat keterlibatan warga desa. Sudah tentu
kecenderungan ini disebabkan keterbatasan modal yang dimiliki oleh warga desa
Parangtritis.
Di samping keterlibatan masyarakat desa pada sektor swasta, dan sebagian
mereka juga terlibat pada berbagai kegiatan yang dilakukan pemerintah. Dalam
hal ini keterlibatan masyarakat desa terbatas pada kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan program Sapta Pesona serta pemungutan retribusi masuk ke
kawasan Parangtritis. Program Sapta Pesona yang digerakkan pemerintah cukup
berhasil dalam hal membangun kesadaran warga desa tentang arti penting dunia
7/23/2019 parangtritis riset
23/33
23 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
wisata terhadap kesejahteraan hidup mereka. Kesadaran tersebut kelihatan lebih
kuat di Dusun Mancingan, di tempat mana kegiatan wisata terpusat, sebagai hasil
dari kegiatan-kegiatan yang diorganisir Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis).
Pemeliharaan ketentraman dan ketertiban (Trantib) desa, sebagai salah satu
bagian dari program Sapta Pesona yang digerakkan pemerintah, telah melibatkan
6 orang warga Dusun Mancingan sebagai tenaga yang sepenuhnya bekerja untuk
itu. Rekruitmen keenam tenaga tersebut oleh pemerintah diserahkan sepenuhnya
pada Pokdarwis yang ada. Mereka diangkat sebagai pegawai honorer yang
dibayar pemerintah, yang bekerja pada siang hari di kawasan pariwisata tersebut.
Untuk pemeliharaan kebersihan, bagian lain dari program Sapta Pesona
pemerintah juga melibatkan 30 orang warga desa sebagai pegawai honorer
pemerintah. Rekruitmen ke 30 orang ini diserahkan sepenuhnya oleh Pemerintah
(Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul) kepada Pemerintahan Desa Parangtitis.
Kegiatan untuk pemungutan retribusi masuk ke kawasan Parangtritis pada
awalnya dilakukan Pemerintahan Desa, dengan tenaga-tenaga sepenuhnya dari
warga Desa Parangtritis. Hasil pemungutan retribusi masuk tersebut oleh
Pemerintah Desa diberikan ke Pemerintahan Daerah Kabupaten Bantul, sebagian
dana retribusi itu dipergunakan untuk membayar tenaga warga desa yang
dilibatkan serta untuk biaya operasional lainnya. Setelah tahun 1990, ketika
jumlah wisatawan yang datang semakin banyak pasca pembangunan infrastruktur
ke kawasan Parangtritis, pemungutan retribusi masuk itu diambil alih Perusahaan
Daerah Anindya sekalipun tenaga-tenaga yang dipergunakan di lapangan tetap
warga desa Parangtritis. Pada tahun 2001, sebagai implementasi dariPerdaNo.42
tahun 2000, kegiatan pemungutan retribusi masuk tersebut diambil alih oleh Dinas
Pariwisata Kabupaten Bantul. Dinas Pariwisata dalam hal ini melibatkan 9
pegawainya di 2 Tempat Pemungutan Retribusi (TPR) dengan dibantu 29 orang
tenaga honorer yang kebanyakan diambil dari warga desa. Pada tahun 2004,
setelah pelaksanaan uji petik kegiatan pemungutan retribusi masuk tersebut
pada tanggal 1 November31 Desember 2003, pelaksanaan pemungutan retribusi
dilakukan lebih profesional sehingga menuntut tenaga-tenaga yang juga lebih
7/23/2019 parangtritis riset
24/33
24 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
profesional. Oleh karena, sejak tahun 2004 keterlibatan warga desa pada kegiatan
pemungutan retribusi masuk tersebut menjadi sangat berkurang.
Hilangnya keterlibatan warga desa pada kegiatan pemungutan retribusi di
sisi lain telah menimbulkan permasalahan yang memperlebar jarak antara
pemerintah dengan warga desa dalam pengembangan pariwisata di kawasan
Parangtritis. Warga dan pemerintah desa yang mempunyai pengetahuan tentang
besarnya jumlah uang retribusi menganggap hak-hak desa kurang
dipertimbangkan pemerintah dalam pemanfaatan uang retribusi tersebut. Mereka
menginginkan kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat dalam penentuan
redistribusi uang hasil pemungutan retribusi tersebut. Keinginan warga seperti ini
terasa semakin kuat dalam era reformasi, sehingga secara perlahan menjadi
semacam tuntutan yang apabila diabaikan bisa mengganggu keterlibatan
masyarakat terhadap pengembangan pariwisata di Parangtritis.
Pemanfaatan dan Pelestarian Obyek Wisata
Salah satu dasar kebijakan dalam pengembangan pariwisata di daerah
Bantul, sebagaimana yang tercantum pada pasal 2 Perda Kabupaten Bantul No.3
Tahun 2004, adalah asas pemanfaatan dan pelestarian obyek-obyek wisata.
Dengan demikian pengembangan obyek wisata Parangtritis dilakukan dengan
memanfaatkan potensi-potensi yang ada untuk kegiatan pariwisata secara optimal
tetapi dengan mempertimbangkan kelestarian dari berbagai obyek wisata tersebut.
Namun bagaimana asas pemanfaatan dan pelestarian obyek-obyek wisata ini
dilakukan, ternyata belum ada aturan teknisnya. Oleh karena itu kebijakan dalam
pengembangan pariwisata di Parangtritis masih bersifat normatif, dalam arti
implementasinya belum kelihatan nyata karena tidak didukung aturan-aturan yang
lebih teknis.
Keberadaan Gumuk Pasir di kawasan Pantai Parangtritis sesungguhnya
merupakan obyek wisata yang potensial, karena ia merupakan fenomena alam
yang hanya terdapat di Asia Tenggara. Bahkan Gumuk Pasir dalam bentuk
barchan hanya terdapat di Pantai Parangtritis. Oleh karena itu pelestarian Gumuk
Pasir merupakan suatu upaya untuk mempertahankan atau mempertinggi daya
7/23/2019 parangtritis riset
25/33
25 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
tarik pantai Parangtritis dengan menjadikannya sebagai suatu laboratorium alam
atau cagar alam ilmiah. Gagasan semacam ini telah mulai dirintis dengan
dibangunnya laboratorium alam di kawasan pantai Parangtritis oleh Fakultas
Geografi Universitas Gadjah Mada, tetapi kelanjutanya belum tampak kuat
sehingga sinergitas dengan kegiatan wisata pun belum kelihatan.
Pemanfaatan Gumuk Pasir masih sangat terbatas, yaitu pemanfaatan yang
bersifat insidental seperti beberapa perguruan tinggi yang kadang-kadang
melakukan observasi atau riset terhadap Gumuk Pasir tersebut dengan
melibatkann para mahasiswa. Beberapa komunitas profesi melakukan kemah,
umat Islam kadang-kadang melakukan manasik haji dan sholat ied di kawasan
Gumuk Pasir tersebut.
Aspek pelestarian Gumuk Pasir belum tampak mendapat perhatian,
sehingga kawasan Gumuk Pasir dibiarkan tanpa adanya konservasi atau
perlindungan. Maka terjadi penggunaan Gumuk Pasir yang beralih fungsi menjadi
pemukiman, warung atau bentuk penggunaan bangunan lainnya. Bahkan yang
palingmendasar, masyarakat setempat belum mendapat pemahaman yang
semestinya tentang arti penting dari Gumuk Pasir bagi lingkungan mereka. Hal ini
menyebabkan munculnya sikap tidak peduli, sehingga memperbesar peluang
terjadinya pencurian terhadap Gumuk Pasir yang dimanfaatkan untuk bahan
bangunan. Maka dari perspektif kebijakan diperlukan adanya aturan-aturan yang
melarang penduduk untuk menggunakan lahan Gumuk Pasir sebagai tempat
usaha, rumah atau pun bahan bangunan.
Obyek wisata kultural di Parangtritis merupakan daya tarik yang lebih
spesifik karena telah melahirkan kegiatan-kegiatan sakral yang khas Parangtritis.
Terdapat tiga obyek wisata kultural yang karena spesifikasi itu disebut sebagai
roh Parangtritis, yaitu Makam Syekh Bela-Belu, Petilasan Parangkusumo, dan
Makam Syekh Maulana Maghribi. Ketiga obyek wisata ini dianggap keramat oleh
masyarakat Jawa umumnya sehingga berpotensi tinggi untuk diziarahi oleh
mereka sebagai wisatawan potensial. Ketiga obyek tersebut dengan sendirinya
menjadi tempat ziarah yang dilindungi oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat,
7/23/2019 parangtritis riset
26/33
26 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
dan untuk itu pihak keraton mengangkat 19 orang warga desa Parangtritis menjadi
abdi keraton yang bertugas untuk memelihara ketiga tempat ziarah tersebut.
Pencemaran terhadap kesakralan ketiga obyek tersebut timbul sebagai
akibat dari pengembangan industri wisata yang syarat dengan dimensi
ekonominya. Kawasan dari tiga tempat ziarah tersebut mulai dimasuki para
pedagang sekalipun masih terbatas di bagian pinggiran. Di kawasan Petilasan
Parangkusumo, keberadaan warung makan, penginapan, dan kehadiran
perempuan PSK di sekitarnya telah menimbulkan pergeseran citra spiritual dari
obyek ziarah itu menjadi citra ekonomi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa aspek
pelestarian dari obyek-obyek ziarah tersebut belum mendapat perhatian yang
memadai. Dari perspektif kebijakan diperlukan aturan yang kongkrit untuk
penataan ruang di kawasan sekitar tempat-tempat ziarah tersebut, yang mengatur
sampai di ruang mana kegiatan-kegiatan ekonomi tidak diperbolehkan demi
memelihara citra spiritual dan kesakralan dari tiga obyek budaya tersebut.
Lembaga kultural yang berupa kegiatan-kegiatan tradisional juga
merupakan daya tarik Parangtritis sebagai obyek daerah tujuan wisata. Terdapat
tiga lembaga kultural yang mempunyai daya tarik kuat di daerah Parangtritis,
yaitu kegiatan tradisioinal Labuhan, Peh Cun, dan Pisungsun Jaladri Bhekti
Pertiwi yang dilakukan sekali setahun di kawasan pantai Parangtritis. Labuhan
dan Peh Cun merupakan kegiatan tradisional yang sudah berlangsung puluhan
tahun di kawasan Parangtritis sehingga sudah dikenal luas dalam masyarakat Jawa
dan masyarakat etnik Cina khususnya. Tetapi dalam pemanfaatan lembaga
kultural ini tidak memperlihatkan pola pemanfaatan yang lebih maju. Dari
perspektif kebijakan, Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul sebenarnya sudah
merumuskan dan mempersiapkan pengembangan pemanfaatan lembaga-lembaga
kultural yang ada sebagai obyek wisata. Pada Keputusan Bupati Bantul no. 149
Tahun 2001 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul,
sangat jelas dirumuskan bahwa Dinas Pariwisata mempunyai tugas pokok untuk
melaksanakan pembinaan, pengembangan, perijinan, dan menyiapkan bahan
kerjasama bidang pariwisata. Tetapi implementasi dari kebijakan ini belum
kelihatan nyata pada pelaksanaan acara Labuhan dan Peh Cun.
7/23/2019 parangtritis riset
27/33
27 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
Baik kegiatan Labuhan yang diselenggarakan Keraton maupun kegiatan
Peh Cun yang diselenggarakan oleh masyarakat Cina, masih berlangsung seperti
dulu yang diselenggarakan dalam satu hari. Pola pemanfaatan sebenarnya bisa
dilakukan dengan menghadirkan sub-sub kegiatan penunjang seperti pameran
hasil kerajinan rakyat Yogyakarta, festival kesenian rakyat, lomba layang-layang
atau bendi. Sehingga masa penyelenggaraan kegiatan tradisional itu bisa
berkembang menjadi dua atau tiga hari. Dengan pengembangan durasi
penyelenggaraan serta bertambahnya sub-sub kegiatan yang ditawarkan, maka
daya tarik kegiatan tradisional tersebut semakin kuat mengundang banyak
pengunjung.
Tetapi pengembangan pola pemanfaatan ini belum muncul karena menurut
pihak Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul terbentur pada keterbatasan dana.
Namun sebenarnya keterbatasan dana bukanlah hambatan absolut, karena
hambatan dana itu bisa diatasi dengan membangun kerjasama dengan pihak-pihak
lain yang terkait. Sebab membangun kerjasama dengan pihak lain sebenarnya
merupakan salah satu tugas pokok pemerintah (Dinas Pariwisata), sebagaimana
dapat dilihat pada Keputusan Bupati Bantul No. 149 Tahun 2001.
Kegiatan Pisungsun Jaladri Bhekti Pertiwi sesungguhnya merupakan
inovasi dari masyarakat Dusun Mancingan untuk melakukan serangkaian kegiatan
tradisional dalam satu paket waktu yang lebih panjang. Seperti telah dipaparkan
sebelumnya, kegiatan ini merupakan rangkaian dari kegiatan-kegiatan tradisional
merti dusun, pertunjukan wayang kulit semalam suntuk, labuhan sedekah laut,
dan kenduren yang diselenggarakan selama 4 hari berturut-turut dengan tujuan
memperbesar daya tariknya mengundang wisatawan. Tetapi inovasi dari
masyarakat dusun ini belum berhasil optimal karena keterbatasan dana swadaya
mereka, sementara pemerintah kurang responsif terhadap kreasi inovatif dari
masyarakat dusun tersebut.
Ancaman terhadap kelestarian nilai dari kegiatan-kegiatan tradisional
tersebut, seperti yang terjadi pada tempat-tempat ziarah di Parangtritis, selalu
muncul dari semakin merebaknya kehadiran perempuan PSK di kawasan
Parangtritis. Keberadaan 110 PSK yang menetap di Dusun Mancingan, ditambah
7/23/2019 parangtritis riset
28/33
28 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
ratusan PSK kalong yang datang pada malam hari Selasa Kliwon dan Jumat
Kliwon, telah mencemari nilai kultural yang sesungguhnya dari kegiatan-kegiatan
tradisional tersebut. Kehadiran kalangan PSK ini telah menimbulkan pergeseran
citra serta pergeseran daya tarik kegiatan-kegiatan tradisional tersebut dari yang
semula bersifat kultural menjadi bersifat lebih sek-komersial. Para pengunjung
yang datang ke petilasan di Parangkusumo sebagian besar sudah lebih tertarik
pada kalangan PSK tersebut daripada maksud ziarah yang sesungguhnya.
Kebijakan pemerintah terhadap ancaman pencemaran dari kehadiran PSK
tersebut bukan tidak ada, tetapi kebijakan yang muncul sekalipun sudah dalam
bentu aturan-aturan yang bersifat teknis operasional tetap tidak berhasil karena
berbagai faktor. Kebijakan pemerintah itu terlihat pada Keputusan Bupati Bantul
No.407 Tahun 2002, tentang Tim Penanggulangan Penyakit Masyarakat di
Kabupaten Bantul, di mana tim yang dibentuk pemerintah bertugas untuk
mencegah meluasnya penyakit masyarakat seperti pelacuran, perjudian, minuman
keras, dan penyalahgunaan narkoba. Keputusan Bupati ini kemudian dibuat lebih
operasional dengan munculnya Instruksi Bupati Bantul No.05 Tahun 2002 tentang
Larangan Penyakit Masyarakat di Kabupaten Bantul, yang ditujukan ke seluruh
camat, lurah, pimpinan organisasi sosial kemasyarakatan, dan lembaga swadaya
masyarakat di Kabupaten Bantul. Namun instruksi tersebut tampak tidak efektif di
Parangtritis, terbukti dengan tetap hadirnya ratusan PSK di Dusun Mancingan
khususnya, karena berbagai faktor seperti kemiskinan yang melilit masyarakat,
terbatasnya peluang kerja serta besarnya permintaan dari pengunjung terhadap
jasa perempuan PSK tersebut. Kenyataan seperti ini menyebabkan Tri Waldiyana,
Kepala Dusun Mancingan, cenderung untuk berpendapat bahwa kehadiran PSK
itu sebaiknya dilokalisasi oleh pemerintah agar dampak negatif kehadiran mereka
lebih terkendali.
Implikasi Kebijakan
Berangkat dari analisis di atas dapat diberikan beberapa saran yang
diharapkan berguna bagi pembuat kebijakan dalam pengembangan pariwisata di
kawasan wisata Parangtitis. Sampai sekarang kegiatan pariwisata di kawasan
7/23/2019 parangtritis riset
29/33
29 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
Parangtitis terkonsentrasi di Dusun Mancingan, yang menyebabkan terjadinya
ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat Desa Parangtitis.
Ketimpangan dalam prespektif ekonomi ini berakibat pada ketimpangan di bidang
sosial demografi. Untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan yang berdampak
lebih luas, perlu dilakukan relokasi kegiatan pariwisata dengan membangun
kegiatan wisata yang beraneka di beberapa dusun di luar Mancingan. Kegiatan
wisata laut dan nelayan, misalnya, dapat dilakukan dengan mengembangkan apa
yang sudah ada di Dusun Depok yang memiliki Tempat Pelelangan Ikan. Pada
perbukitan di sebelah timur, dari atas tebing yang terjal dapat disaksikan
keindahan laut dan kawasan pantai Parangtitis. Di sini bisa dikembangkan atraksi
wisata modern sekaligus sebagai sarana pengembangan hobi terbang layang,
karena perbukitan tersebut sangat cocok untuk tempat peluncuran terbang,
melayang menikmati keindahan-keindahan alam sepanjang kawasan pantai
Parangtitis.
Wisata ritual yang mengandalkan trilogi roh yaitu makam Syekh Maulana
Maghribi, makam Syekh Bela-Belu, dan petilasan Parangkusumo, sampai
sekarang masih merupakan kekuatan utama yang menarik kedatangan wisatawan.
Maka kelestarian makna sakralitas ketiga obyek wista spiritual tersebut sangat
perlu dilestarikan dengan cara mengeliminasasi dampak negatif yang timbul dari
kehadiran perempuan PSK serta pedagang pengasong yang berseliweran di sekitar
ketiga tempat sakral tersebut. Upaya ke arah ini antara lain dapat dilakukan
dengan cara zonaisasi area seputar tempat-tempat sakral tersebut, sehingga ruang
di seputar ketiga tempat sakral itu dapat steril dari kegiatan-kegiatan yang
mengurangi nilai spiritualitasnya.
Institusi budaya yang juga berdaya tarik kuat terhadap kehadiran
wisatawan adalah upacara labuhanpada hari satu suro serta Peh cunyang secara
tradisional dilangsungkan oleh masyarakat cina. Dua kegiatan ini berlangsung
secara tradisional, belum tersentuh inovasi, sehingga pelaksanaannya masih
terkesan sederhana dan selesai dalam sehari. Melihat daya tariknya yang kuat,
inovasi kultural dapat dilakukan dengan menciptakan kegiatan atau atraksi
penunjang sehingga durasi kegiatan Labuhandan Peh cun tersebut menjadi dua
7/23/2019 parangtritis riset
30/33
30 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
atau tiga hari. Kegiatan atau atraksi penunjang itu bisa berupa bazaar, festival,
atau pameran di bidang kesenian, ekonomi dan perdagangan.
Inovasi kultural yang telah dilakukan masyarakat Dusun Mancingan dalam
kegiatan Pisungsun Jaladri Bhekti Pertiwi bisa dijadikan sebuah model, dan
inovasi yang muncul dari ide masyarakat ini seharusnya disambut positif oleh
pemerintah dengan bantuan dana serta pengorganisasian. Sebuah inovasi dapat
berhasil ketika diterima oleh masyarakat, sehingga inovasi yang muncul dari
kreasi masyarakat merupakan modal kultural yang sangat strategis untuk
dikembangkan. Melihat perkembangan Pisungsun Jaladri Bhekti Pertiwi yang
kurang berkembang karena keterbatasan swadaya masyarakat, maka pemerintah
perlu mengambil kebijakan untuk mendukung kegiatan kultural tersebut.
Kebijakan ini bukan saja untuk mensukseskan munculnya suatu kegiatan kultural
yang berdurasi 4 hari, sehingga kehadiran wisatawan di Parangtitis bisa lebih
lama, tetapi juga sebagai reward terhadap masyarakat yang telah melakukan
inovasi cemerlang tersebut. Dengan demikian ide-ide masyarakat dihargai,
sehingga penghargaan tersebut dapat mendorong mereka untuk berkreasi lanjut
dalam pengembangan industri wisata.
Kebijakan pemerintah di bidang pariwisata secara normatif cukup
memadai, tetapi tidak kuat dalam implementasinya. Permasalahan yang
menghambat adalah pada keterbatasan dana serta organisasi yang kurang efektif.
Keterbatasan dana bisa diatasi dengan membangun jaringan kerjasama pada
kalangan investor atau perusahaan-perusahaan besar dengan asas saling
menguntungkan. Di samping itu pemerintah bisa membuka ruang lebih lebar pada
masyarakat setempat untuk melakukan inisiatif swakelola dari beberapa potensi
ekonomi di kawasan wisata tersebut. Hal mana sejalan dengan semangat
desentralisasi sistem pemerintah sekarang. Beberapa jenis pungutan retribusi
kegiatan ekonomi yang selama ini semuanya dimonopoli pemerintah (Kabupaten),
diserahkan pada pemerintahan desa untuk mereka manfaatkan bagi
pengembangan ekonomi wisata di desanya.
Kebijakan dalam bentuk program Sapta Pesona, khususnya untuk
membangun rasa nyaman, aman dan melahirkan kenangan yang baik, peraturan
7/23/2019 parangtritis riset
31/33
31 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
pemerintah yang melarang adanya praktek prostitusi ternyata tidak sejalan dengan
hadirnya ratusan perempuan PSK di kawasan wisata Parangtitis. Hambatan utama
adalah kemiskinan yang menyebabkan praktek prostitusi tersebut sulit
dihilangkan. Sementara di sisi lain masyarakat desa mengeluhkan dampak negatif
terhadap kehadiran PSK tersebut terhadap pembentukan moral anak-anak mereka.
Oleh karena itu pemerintah sebaiknya mengambil langkah kebijakan yang lebih
realistis dengan melakukan lokalisasi perempuan PSK tersebut, di samping untuk
mengurangi dampak negatif terhadap masyarakat desa juga dapat dikelola sebagai
sumber pendapatan desa.
Fenomena pendatang liar yang menimbulkan kesemrawutan tata ruang dan
bangunan di kawasan pantai Parangtitis berkaitan dengtan status tanah keraton
(Sultan Ground) yang kurang jelas status pemanfaatan dan pengawasannya. Maka
pemerintah perlu segera mendata status pemanfaatan tanah-tanah keraton serta
memastikan sistem pengawasan dalam pemanfaatan tanah-tanah keraton tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I Gede, 2001, Zamrud Khatulistiwa Yang Kurang Di Promosikan,
Majalah Angkasa No IX, Juni Tahun XI.
BPS Kabupaten Bantul, 2006, Kabupaten Bantul Dalam Angka 2006, BPS
Kabupaten Bantul.
BPS Propinsi DIY, 2006, Data Statistik Pariwisata DIY Tahun 2006, BPS
Yogyakata.
BPS Kabupaten Bantul, 2010, Kecamatan Kretek Dalam Angka 2010, BPS
Kabupaten Bantul.Cristianto E, 2001, Masa Depan Pariwisata Makin Menjanjikan, Pikiran Rakyat,
13 Mei
Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul, 2001, Rencana Strategis Dinas Pariwisata
Kabupaten Bantul 2001-2005, Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul.
Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul, 2003, Peta Potensi Pariwisata Kabupaten
Bantul, CV. Karya Sejati, Bantul.
7/23/2019 parangtritis riset
32/33
32 | Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
Effendi, Tadjuddin N, 1995, Pengembangan Dan Dampak Sosial Budaya
Pariwisata,Tourisma, edisi perdana: April Hlm 1-9.
Effendi, Tadjuddin N, 1985, Pembangunan dan Transformasi Tenaga Kerja,
Pusat Penelitian Kependudukan UGM, Yogyakarta.
Erawan, N, 1987, Efek Pengganda Pengeluaran Wisatawan Di Bali, Disertasi
S3, Fakultas Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta.
Garis-Garis Besar Haluan Negara, 2005, Arah Dan Kebijakan Pembangunan
Nasional, GBHN.
Hadi, Koentjoro, 1979,Mengenal Kepariwisataan, Masa Baru, Bandung.
Manning, Chris, 1992, Kegiatan Ekonomi Angkatan Kerja Di Indonesia, Pusat
Penelitian dan Studi Kependudukan UGM, Yogyakarta.
Mantra, Ida Bagoes, 1992, Dampak Struktural Dan Kultural Industri Pariwisata
Di DIY Dan Propinsi Bali, Sustainable Development UGM, Yogyakarta.
Moleong, Lexy J, 1985, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Permata, Tirta Dwijati et.all, 1991,Dampak Pariwisata Terhadap Peluang Usaha
Dan Kerja Luar Pertanian, Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian
IPB, Series no : A-13.
Prajogo MJ, 1976, Pengantar Pariwisata Indonesia, Direktorat Jendral
Pariwisata, Jakarta.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata UGM, 1999, Penelitian Dampak
Sosial Budaya Pembangunan Pariwisata, Puspar UGM.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata UGM, 2000, Penyusunan
Rencana Induk Pengembangan Obyek Wisata Parangtitis, Puspar UGM.
Reading, Hugo F, 1986,Kamus Ilmu-ilmu Sosial, Rajawali, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta.
Spillane, J James, 1987, Ekonomi Pariwisata, Sejarah, Dan Prospeknya,
Kanisius, Yogyakarta.
Suartha, Nyoman, 1994, Pengaruh Pariwisata Terhadap Lingkungan Sosial
Ekonomi Masyarakat : Desa Batubulan Daerah Tk II Gianyar, Tesis,
Fakultas Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
7/23/2019 parangtritis riset
33/33
Subdin PP, 2005, Himpunan Data Pelayanan Informasi, Dinas Pariwisata
Kabupaten Bantul.
Taneko, Soleman B, 1993, Struktur dan Proses Sosial, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.