1
Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia
Lelly Andriasanti
Abstract
In recent years, Indonesia's foreign policy seemed to be portraying moderate
Islamic identity in international relations. This is in contrast to practices foreign
policy of Indonesia, which has historically avoided the reflection factor of Islam
while the majority of the population is Muslim. This condition encourages
question, why Indonesia's foreign policy promoting moderate Islamic identity. The
used methodology in this study is a qualitative in discourse analysis. The results
of this study are moderate Islam Indonesia wants to identify its self to distinguish
from other Muslim countries, especially the Middle East region; there are
expectations of the international community, especially Western countries, to
understand and get closer to the Muslim world; Indonesia government wants to
accommodate the voice of domestic Muslim community that had been hoping for a
better relations with the Muslim world; the motivation of Indonesia to take part in
international relations in accordance with the consistency of its worldview.
Keywords: identity, Moderate Islam, Indonesia’s Foreign Policy, and Role
Pendahuluan
Islam merupakan agama mayoritas yang dianut penduduk Indonesia. Pada
tahun 2010, penduduk muslim di Indonesia berjumlah 205,1 juta jiwa atau 88,2
persen dari 232,5 juta jiwa total penduduknya.1 Meski penduduk Muslim adalah
mayoritas di Indonesia, negeri ini bukanlah negara teokrasi. Indonesia bukanlah
negara yang dibangun oleh kesamaan agama, tapi oleh kemajemukan bangsa dan
pluralisme agama yang terikat oleh ideologi Pancasila sebagai dasar negara.
Pengakuan pluralisme nyatanya turut mempengaruhi pola kebijakan luar negeri
Indonesia. Pada pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebijakan luar negeri
diawasi secara ketat agar tidak didikte oleh pertimbangan-pertimbangan ideologi
Islam.2 Hal ini ditujukan untuk menjaga perasaan komunal keagamaan agar tidak
merusak persatuan bangsa.
Sejak tahun 2004, Indonesia mulai mempromosikan identitas Islam
moderat. Melalui berbagai forum dan konferensi internasional, Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) berusaha membuktikan bahwa Islam, modernitas, dan
demokrasi dapat bergandengan satu sama lain. Ekspresi kemoderatan Islam
Indonesia ini setidaknya dapat ditemukan pada beberapa kesempatan seperti Bali
2
Democracy Forum (BDF), World Movement for Democracy, Parliamentary
Union Of OIC Member States (PUIC), dan International Conference on Global
Movement of Moderates. Hal ini menegaskan bahwa kebijakan luar negeri
Indonesia tidak lagi alergi terhadap unsur Islam dalam mencitrakan identitas
nasional Indonesia ke panggung internasional.3 Perbedaan pola tersebut
menimbulkan pertanyaan, mengapa kebijakan luar negeri Indonesia
mempromosikan identitas Islam moderat dalam beberapa tahun terakhir ini?
Identitas dalam Kebijakan Luar Negeri
Identitas merupakan bentuk dari eksistensi diri. Menurut Viotti dan Kaupi,
identitas muncul dari pertanyaan dasar akan eksistensi diri, seperti siapa saya;
siapa kamu; atau apa yang membedakan kita.4 Semua pertanyaan tersebut tidak
mungkin terjawab tanpa interaksi sosial yang nantinya membentuk pemahaman
akan diri dan pihak lain.
Dalam melihat karakter dari interaksi ini, Alexander Wendt
menjelaskannya dalam empat jenis identitas. Pertama, corporate identity
merupakan identitas yang dikonstitusikan oleh pengorganisasian diri, struktur
homeostatik yang membuat aktor sebagai entitas yang berbeda. Kedua, type
identity mengacu pada kategori sosial atau penggunaan label pada aktor yang
membagi sejumlah karakteristik dalam penampilan, tingkah laku, sifat, sikap,
nilai-nilai, keterampilan, pengetahuan, opini, pengalaman, kesamaan sejarah, dan
lainnya. Ketiga, collective identity mengambil hubungan antara diri dan pihak lain
ke dalam logika konklusi atau identifikasi. Keempat, role identity bergantung pada
diri dan respon lanjutan dari pihak lain. Aktor tidak dapat menetapkan sendiri
identitas perannya karena identitas ini hanya ada dalam hubungan yang
melibatkan pihak lain.5
Untuk memahami proyeksi identitas suatu negara di tingkat internasional,
pengkajian dilakukan dengan memanfaatkan teori peran dalam kebijakan luar
negeri. Peran sendiri merupakan salah satu karakter dari identitas yang menuntut
pembedaan dalam dinamika sistem sosial internasional. Karenanya, pengambilan
peran yang hendak dicapai oleh kebijakan luar negeri sangat dipengaruhi situasi
internasional yang diimbangi perhatian pada situasi dan kebutuhan nasional.
3
Terkait hal ini, proses pembuatan peran umumnya konfliktual sehingga
pengkajian peran dalam kebijakan luar negeri perlu memperhitungkan berbagai
mode pembuatan peran yang mengacu pada sikap dan tindakan pihak-pihak dalam
mengambil dan menentukan peranan.
Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang mendefinisikan peran nasional.
Pada ranah domestik, pembuatan peranan dianalisa dari para pembuat keputusan
kunci, yakni pemerintah. Hal lain yang perlu diingat adalah pembentukan peran
bukanlah tanpa tujuan. Dengan menyediakan tujuan yang pasti dari bernegara di
tengah komunitas internasional, konsepsi peran nasional telah memberkahi negara
dengan kepribadian atau identitas.6
Dari beberapa metode penelitian identitas — survei (survey analysis),
analisis isi (content analysis), analisis wacana (discourse analysis), dan analisis
etnografi—, studi ini akan menggunakan analisis wacana. Analisis wacana
merupakan pembaruan dari metode kualitatif dan penafsiran makna atas bahasa
yang digunakan aktor untuk menggambarkan dan memahami fenomena sosial.7
Studi mengenai identitas dalam kebijakan luar negeri bukanlah hal baru. Tidak
sedikit akademisi yang mengkaji studi ini. Beberapa akademisi yang telah
melakukan studi tersebut antara lain Hüsamettin İnaç dan Ahmad Sadeghi.
Dalam Identity Problems of Turkey during the European Union
Integration Process, Hüsamettin İnaç menguraikan perubahan identitas Turki
dalam proses modernisasi berkepanjangan. Modernisasi yang dipahami sebagai
Westernisasi ini terjadi dalam tiga tahapan, yaitu Ottoman, Kemal, dan integrasi
Uni Eropa (UE). Pada tahapan terakhir, identitas Turki dihadapkan pada tantangan
dalam melawan culture shock dan culture gap. Sosio kultural Turki yang kental
dengan nilai-nilai Islam dan anti Barat pada masa Otoman tiba-tiba diharuskan
untuk menyerap rasa memiliki Eropa dalam kerangka integrasi UE. Akan tetapi,
identitas yang dibangun melalui proses modernisasi Turki berbuah pada
penolakan halus UE yang melihat bahwa Turki belum siap menerima nilai
kebijakan dan kultur Barat. Kondisi ini mengindikasikan kegagalan Turki dalam
menerjemahkan identitasnya dalam proses integrasi UE.8
Dalam Genealogy of Iranian Foreign Policy, Ahmad Sadeghi mengkaji
faktor-faktor pembentuk kebijakan luar negeri Iran yang diawali Revolusi Islam
4
melalui pendekatan genealogi. Internalisasi Islam yang terjadi dalam tiap sendi
kehidupan negara menjadikan Islam sebagai identitas yang melekat pada Iran. Hal
ini kemudian dimanfaatkan Iran untuk mencapai konfigurasi kepentingan nasional
dan merubah peta geopolitik di Timur Tengah melalui revivalisme Islam.
Revivalisme yang cenderung konfrontatif ini tidak hanya ditujukan kepada
negara-negara di kawasan Timur Tengah dan negara-negara bekas US, tapi juga
dunia Barat. Identitas Islam Iran yang tercipta akhirnya bersifat konfliktual,
karena redefinisi diri yang dilakukan Iran telah mendikotomikan antara diri
dengan pihak oposisi yang harus diperangi, khususnya Amerika Serikat (AS).9
Beberapa studi tersebut memperlihatkan bagaimana identitas
menyebabkan problematika, baik di ranah domestik maupun internasional. Dalam
ruang domestik, problematika ini berkutat pada pencarian dan pengakuan jati diri
sehingga menimbulkan dilema dan krisis, seperti pada kasus Turki. Sedangkan
dalam dinamika sistem internasional identitas memperlihatkan bagaimana anarki
dapat terjadi. Seperti pada kasus Iran, identitas yang dimunculkannya cenderung
menyulut konflik dengan negara-negara Barat khususnya AS. Pada dasarnya,
identitas merupakan pemahaman kolektif yang mengkonstitusikan struktur
sehingga mengorganisasi tingkah laku negara untuk dapat menentukan antara
kawan atau lawan.10
Dalam sistem internasional yang anarki, persepsi identitas
yang membedakan lawan dan kawan ini penting untuk menjadi referensi aktor
dalam berinteraksi.
Berangkat dari asumsi bahwa wajah identitas tidak selalu problematis dan
konfliktual, studi ini akan menaruh perhatian pada kapasitas identitas dalam
memediasi konflik. Untuk itu, studi ini menyoroti identitas Islam moderat dalam
kebijakan luar negeri Indonesia yang dianggap mampu menjembatani konflik
antara dunia Barat dan Islam. Studi ini menjadi penting karena berkaitan dengan
wajah Islam yang mendapat stigma teroris sepanjang satu dekade terakhir.
Stigma demikian tentu tidak bisa digeneralisir. Untuk itu, studi ini hendak
menampilkan wajah Islam yang lain sehingga dapat memberikan perspektif baru
tentang Islam yang lebih toleran. Signifikansi lain dari studi ini berkaitan dengan
urgensitas posisi Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Menurut
IJESD 2010, jumlah penduduk muslim Indonesai merupakan terbesar di dunia,
5
yakni 12,9 persen dari presentasi populasi muslim dunia. Besarnya kuantitas
tersebut diharapkan dapat mewakili dunia Islam.
Presentasi Islam Moderat Sebagai Respon atas Jaringan Teroris di Kawasan
Serangan WTC pada 11 September 2001 merupakan salah satu katalisator
isu global di awal abad 21. Peristiwa ini merubah kesadaran Barat bahwa
Komunisme tidak lagi menjadi bahaya laten, melainkan Islam yang dianggap
mampu mengancam kedigdayaan Barat. Perubahan yang dimotori AS ini tidak
hanya dilatari posisinya sebagai objek serangan, tapi juga motivasi untuk
menaikan kembali perannya di ranah internasional yang mulai menurun pasca
Perang Dingin. Dalam menampilkan gaya kepemimpinan, AS mengampanyekan
perang terhadap terorisme (war on terrorism).
Pada perkembangannya, perang tersebut menjadikan Islam dan
pengikutnya sebagai ancaman sekaligus musuh bersama. Hal ini tidak lepas dari
beberapa stereotyping yang dilakukan AS,11
seperti Al Qaidah sebagai organisasi
teroris yang mempraktikan Islam garis keras dan Osama Bin Laden, Muslim yang
bersembunyi di Afghanistan, sebagai dalang dari aksi teror. Dengan alasan
tersebut AS dan Dunia Barat melegalkan operasi militer di Afghanistan dan Irak.
Akan tetapi, masifikasi kekhawatiran terhadap Islam (Islamophobia) cenderung
terjadi setelah Bush mengobarkan semangat Perang Salib dalam Perang terhadap
Terorisme. Tendensi ini kemudian dinterpretasikan publik dan media sebagai
perang terhadap Islam.
Bagi kawasan Asia Tenggara, perang global terhadap terorisme justru
lebih membawa pengaruh besar, dibandingkan operasi militer di Irak ataupun
Afghanistan. Dari sudut pandang kawasan, perubahan isu keamanan regional
bukan disebabkan serangan 11 September, tapi lebih dikarenakan kepemimpinan
AS dalam perang melawan terorisme yang kemudian direspon pemerintah, aktor-
aktor politik dan agama di kawasan sebagai urgensi.
Akibat dari persepsi tersebut, perang global terhadap terorisme membawa
dua konsekuensi umum di Asia Tenggara.12
Pertama, fokus perhatian dialamatkan
pada hubungan antara Al-Qaeda dan kelompok-kelompok radikal lokal. Hal ini
mendorong terciptanya peluang kerjasama yang belum pernah terjadi sebelumnya
6
antara Barat dan negara-negara di Asia Tenggara, khususnya dalam bidalng
militer dan intelijen. Kedua, Asia Tenggara diperhitungkan sebagai daerah transit
bagi jaringan terorisme sehingga berpotensi sebagai front kedua dalam perang
melawan terorisme. Istilah front kedua mencerminkan tingginya tingkat ancaman
teroris di Asia Tenggara yang bersumber dari faksi Islam radikal dan milisi
bersenjata, serta kemudahan akses bagi operasi kelompok teroris di daerah
perbatasan yang kurang mendapat pengawasan dari pemerintah setempat.
Isu utama AS dalam perang global terhadap terorisme bukan hanya
memberantas kelompok teroris semata. Hal ini lebih pada bagaimana
menyesuaikan antara pemberantasan gerakan Islam militan, penguatan
pemerintahan yang bersehabat dan kelompok moderat di dunia Islam.13
Bagi
Barat, Muslim moderat merupakan aliansi potensial yang paling efektif karena
merangkul tradisi yang berbasis pada nilai-nilai masyarakat modern seperti
demokrasi dan pluralisme.14
Dalam melawan terorisme, strategi yang digunakan dunia Barat tidak lepas
dari promosi demokrasi seperti pengalamannya selama Perang Dingin. Komitmen
terhadap demokrasi dan legitimasi politik yang berasal dari kehendak rakyat
melalui pemilu demokratis merupakan isu kunci dalam mengidentifikasi Muslim
moderat. Rabasa kemudian merinci Muslim moderat ke dalam empat
karakteristik, yakni demokrasi; penerimaan sumber hukum yang non-sektarian;
penghormatan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas; serta beroposisi
terhadap terorisme dan aksi-aski kekerasan.15
Negara-negara Barat menyadari, jaringan Islam moderat kurang memiliki
sumber daya finansial dan organisasional dalam membangun jaringan mereka
sendiri. Kondisi ini bertolak belakang dengan kelompok Islam radikal yang
terbilang sedikit tapi memiliki sumber pendanaan yang kuat dan jaringan yang
luas. Kelompok radikal kebanyakan memperoleh dana dari Saudi selama tiga
dekade terakhir. Dana ini merupakan kepanjangan dari ekspor Wahabisme Islam
versi Saudi yang disengaja atau tidak berdampak pada pertumbuhan ekstremisme
agama di seluruh dunia Muslim.16
Yayasan Saudi Al-Haramain salah satunya,
telah ditutup karena terbukti mendanai sejumlah organisasi teroris dari Bosnia ke
Asia Tenggara.17
7
Perhatian Barat di Asia Tenggara pada dasarnya terletak pada upaya
membangun jaringan Islam moderat untuk menangkal jaringan terorisme di
kawasan. Pada skala regional, perhatian AS dan Barat tertuju pada Indonesia yang
dianggap sebagai pilar keamanan di Asia Tenggara.18
Dalam pandangan Barat,
Indonesia memiliki peran yang signifikan baik di kawasan maupun di luar
kawasan. Hal ini didasarkan pada rekam jejak peranannya di dunia internasional
—sebagai pendiri Association of Southeast Asia Nations (ASEAN), pelopor
Gerakan Non-Blok (GNB), dan anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Mengingat ukuran, posisi, dan peran di kawasan, apa yang terjadi di Indonesia
otomatis akan berdampak di seluruh Asia Tenggara. Dengan demikian, Indonesia
yang stabil menjadi kunci stabilitas kawasan.
Identitas Islam Moderat Sebagai Mediator antara Barat dan Islam
Terkait upaya pembangunan jaringan Islam moderat oleh Barat, Indonesia
nampaknya menanggapi ekspektasi tersebut secara positif. Dalam paparan
tahunan Departemen Luar Negeri (Deplu) pada Januari 2004, Menteri Luar
Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda mengungkapkan, sebagai negara dengan
penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memikul kewajiban untuk
memproyeksikan wajah Islam yang sebenarnya, yaitu Islam yang moderat.19
Melalui pencitraan Islam moderat inilah Indonesia sepertinya mencoba
untuk membedakan diri dari kesan radikal yang dilabelkan pada Islam pasca
serangan WTC 2001. Pencitraan ini juga merupakan upaya Indonesia untuk
mengklarifikasi kesalahpahaman pandangan Barat yang mengklaim bahwa
kegagalan konsolidasi demokrasi cenderung terjadi pada negara-negara
berpenduduk Muslim (Lewis, 1958; Kedourie, 1992; Huntington, 1993).
Meski berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia bukanlah negera
berlandaskan sistem Islam. Bahkan, tumbuh pesatnya partai politik yang
berlandaskan Islam pasca kemerdekaan dan pasca reformasi tidak menunjukkan
indikasi pembentukan Indonesia sebagai negara Islam.20
Implikasinya, kebijakan
luar negeri Indonesia tidak berkarakter Islam atau non-Islam. Menurut Rizal
Sukma, alasan pemerintah untuk terus menghindari ekspresi formal faktor Islam
dalam kebijakan luar negeri dikarenakan sifat identitas negara yang
8
mempertahankan identitas non-teokratik sehingga menolak faktor keagamaan
eksklusif.21
Dengan demikian, kemoderatan Islam hanyalah komplemen dari identitas
formal Indonesia. Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) I
2005-2009, salah satu sasarannya difokuskan untuk memperkuat dan memperluas
identitas nasional sebagai negara demokratis dalam tatanan masyarakat
internasional. Hal ini ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam
Indonesian Council on World Affairs (ICWA) pada 19 Mei 2005. Ia menyatakan,
"We are fourth most populous nation in the world. We are home to the world's
largest Muslim polulation. We are the world's third largest democracy. We are
also a country where democracy, Islam and modernity go hand in hand."
Tendensi demokrasi dan Islam moderat sepertinya merupakan upaya
Indonesia dalam mendekatkan diri dengan negara demokrasi maju, khususnya
Barat. Dalam studi mengenai bagaimana negara-negara demokrasi baru
menggunakan kebijakan luar negerinya, Alison Stanger menemukan bahwa proses
demokrasi bisa dipertahankan arahnya ketika negara-negara demokrasi baru
membawa dirinya lebih dekat kepada negara-negara demokrasi yang lebih
mapan.22
Untuk menjelaskan fenomena ini, Philips J. Vermonte mengemukakan dua
alasan. Pertama, kebijakan luar negeri bisa digunakan sebagai alat untuk menjaga
jarak atau membedakan diri dari rezim autoritarian yang digantikan. Kedua,
sebagai konsekuensi dari alasan yang pertama, prospek bagi kerjasama
internasional, terutama dengan negara-negara yang mapan demokrasinya akan
semakin baik dan pada akhirnya memberi kontribusi positif bagi proses
konsolidasi internal.23
Perlu diingat, perekonomian Indonesia menerima banyak tekanan pasca
rangkaian peristiwa bom teror di tanah air sejak Oktober 2002. Ekspor Indonesia
mengalami penurunan sekaligus peningkatan credit risk yang tidak menyisakan
sedikit pun kemungkinan bagi munculnya investasi, baik dari pihak asing maupun
domestik.24
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah travel warning yang
dikeluarkan sejumlah kedutaan besar seperti AS, Australia, dan beberapa negara
9
Eropa Barat bagi warganya yang hendak berpergian ke Indonesia. Akibatnya,
pariwisata menjadi sektor yang mendapat imbas cukup besar dari isu teror bom.
Besarnya kerugian ekonomi politik akibat teror bom yang dimotori
gerakan-gerakan Islam radikal menjadi salah satu alasan Indonesia mencitrakan
kemoderatan Islamnya. Khususnya dengan negara-negara Barat, pencitraan ini
ditujukan untuk menjalin kerjasama berkesinambungan sehingga prosesnya
dilakukan secara dialogis melalui jalur diplomasi. Direktur Informasi dan Media
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, P. L. E. Priatna mengungkapkan,
Islam moderat hanyalah bagian dari pencitraan dalam mempromosikan demokrasi
yang digerakan melalui diplomasi.25
Perlu diketahui sebelumnya bahwa kebijakan luar negeri memiliki
pengertian berbeda dengan diplomasi. Jika kebijakan luar negeri mempunyai
perhatian pada substansi dan kandungan dari hubungan luar negeri, diplomasi
lebih dipusatkan pada metodologi untuk melaksanakan kebijakan luar negeri.26
Jalur diplomasi yang dimanfaatkan Indonesia dalam mencitrakan Islam moderat
umumnya berupa dialog intensif seperti dialog antar kepercayaan (inter-faith),
antar budaya (inter-cultural), dan antar peradaban (inter-civilization). Hal ini
dimaksudkan untuk membangun saling pengertian dan pemahaman antar agama
dan kepercayaan, budaya, dan peradaban yang berbeda.
Eksplorasi dari proses ini berlangsung secara bilateral, regional, maupun
multilateral. Proses dialogis yang terwujud melalui hubungan bilateral dapat
dilihat dari diselenggarakannya konferensi unity in diversity: the culture of
coexistence in Indonesia antara Indonesia dan Italia.27
Sepanjang tahun 2008,
Indonesia telah melakukan interfaith dialog dengan Inggris, Austria, New
Zealand, Belanda, Kanada, Lebanon, dan Australia. Sedangkan dalam kerangka
regional dan multilateral, dialog-dialog serupa dapat ditemukan dalam ASEM
sejak tahun 2005. Khusus kawasan Asia Pasifik, konferensi Asia Pasific tentang
interfaith dialogue and cooperation juga telah dimulai pada 2004 dengan
mengambil tempat di Yogyakarta.
Inisiatif lain yang diambil Indonesia dalam merepresentasikan demokrasi
dan Islam moderat adalah dengan menyelenggarakan Bali Democracy Forum
(BDF). Forum yang berlangsung pada tataran inter-pemerintahan ini
10
menempatkan Indonesia sebagai pihak yang mempelopori forum khusus yang
membahas tentang demokrasi di kawasan Asia. Sejak diselenggarakan kali
pertama pada 2008, antusiasme negara-negara di dunia yang berpartisipasi pada
acara BDF memperlihatkan pola yang meningkat, dari 40 peserta menjadi 82
peserta pada 2012.
Antusiasme tersebut pada gilirannya melahirkan interaksi yang lebih
intensif antara Indonesia dengan negara-negara yang menghadiri acara tersebut.
negara-negara demokrasi Barat umumnya memberikan pengakuan atas
kredibilitas Islam Indonesia yang mampu berdampingan dengan demokrasi.
Mereka juga mengharapkan Indonesia dapat memainkan peran sebagai suara
Islam dunia untuk memediasi antara dunia Barat dan Islam. Selain itu, sebagai
negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia dapat menjadi model alternatif bagi
peradaban Islam dalam transisi ke abad ke-21 karena menunjukkan kemitraan
yang layak dan kompatibel antara Islam dan demokrasi.28
Sejumlah harapan dunia internasional tersebut dibaca Indonesia sebagai
peluang untuk mengambil peranan yang lebih besar sehingga Indonesia memiliki
alasan yang lebih kuat dalam mencitrakan kemoderatan Islam yang ada pada
dirinya. Terkait hal ini, cara pandang Indonesia dalam melihat dunia juga
memiliki proporsi yang krusial dalam membangun pencitraan tersebut. Cara
pandang nasional terhadap dunia (worldview) merupakan persepsi dominan dari
watak sistem dunia dan sekaligus mengambil tempat dalam sistem itu sendiri.
Menurut Paige Johnson Tan, meskipun mengalami perubahan kepemimpinan
yang drastis, konsistensi cara pandang Indonesia melihat sistem global tampak
dari sejarah kontemporer negaranya.29
Mulai dari awal kemerdekaan Indonesia hingga kini, cara pandang tersebut
selalu dipenuhi oleh keinginan agar negaranya memiliki peranan di dunia
internasional. Cara pandang ini termuat dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun
2007 mengenai Rencana Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 di mana
salah satu sasarannya adalah terwujudnya peranan Indonesia yang meningkat
dalam pergaulan dunia internasional.
11
Identitas Islam Moderat Sebagai Model Alternatif bagi Dunia Islam
Peranan yang hendak dicapai Indonesia melalui pencitraan identitas Islam
moderat agaknya mengalami metamorfosis ketika dihadapkan pada pergolakan
politik di Timur Tengah dan Afrika Utara yang notabene berpenduduk mayoritas
Muslim. Tuntutan akan perubahan politik di kawasan tersebut telah menginspirasi
Indonesia untuk memainkan peran model Islam moderat.
Perubahan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara diawali dengan
keberhasilan para demonstran di Tunisia yang menjatuhkan rezim Zine El Abidin
Ben Ali. Hal ini disusul dengan mundurnya Housni Mubarak setelah 30 tahun
memimpin Mesir — yang memegang posisi kunci di jazirah Arab. Efek domino
dari aksi-aski di Tunisia dan Mesir segera menjangkiti warga Libyia, Aljazair,
Suriah, Yordania, Yaman, dan Libanon.30
Revolusi ini menjadikan internet sebagai kunci penggerak revolusi. Media
sosial khususnya, merupakan instrumen penggerak emosi massa untuk berkumpul
dan melakukan aksi protes yang menuntut kemunduran terhadap pemerintahan
otoriter dan penyelenggaran pemilu yang demokratis. Salah satu pemicu aksi-aksi
protes di negara-negara tersebut adalah besarnya kesenjangan ekonomi-sosial.
Berdasarkan laporan dari Arab Human Development Report 2009, peningkatan
jumlah populasi manusia yang tajam di negara-negara jazirah Arab berimplikasi
pada kesimbangan distribusi air dan makanan, serta keterbatasan ketersediaan
lapangan pekerjaan.31
Pada tahun 2020, negara-negara di kawasan ini diprediksi akan
membutuhkan pekerjaan bagi 51 juta warganya. Pihak yang paling rentan
terhadap ancaman ini adalah kalangan muda Arab, khususnya perempuan.
Keadaan ini diperburuk oleh struktur kebijakan dan ekonomi di negara-negara
jazirah Arab seperti Aljazair, Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman yang rata-rata
didominasi oleh rezim yang borjuis, represif, dan otoriter.
Dari diskripsi di atas, berbagai aspek yang terjadi di Timur Tengah dan
Afrika Utara memiliki banyak persamaan dengan Indonesia pada massa reformasi
1998. Dilihat dari aspek sosio kultural, Indonesia adalah rumah bagi Muslim
terbesar di dunia. Begitu pula Timur Tengah-Afrika Utara yang berpenduduk
mayoritas Muslim karena alasan historis yang menjadikannya sebagai tempat
12
turunnya agama Islam. Sedangkan pada aspek sistem kebijakan, kedua kawasan
tersebut sama-sama pernah dinaungi pemimpin otoriter yang didukung kalangan
militer melalui jaringan politis yang luas dan patronase finansial. Sistem
kebijakan yang dijalankan selama pemerintahan otoriter adalah nasionalis sekuler
dengan memonopoli kekuasaan negara. Keduanya meminggirkan kekuatan Islam
dan sama-sama mengekang gerak media serta pihak oposisi.
Dilihat dari aspek fenomenologis, aksi demonstrasi di Indonesia dan
Timur Tengah-Afrika Utara juga tidak jauh berbeda. Pemicunya adalah faktor
eksogenus, yaitu krisis yang menimbulkan efek domino. Sedangkan pelaku protes
ialah pemuda yang merasa kecewa akan besarnya jurang pemisah antara
pembangunan kebijakan dengan pertumbuhan ekonomi. Instrumen persuasif
dalam melakukan aksi demonstrasi juga sama-sama mengandalkan jaringan
internet. Respon dari pemerintahan yang diprotes juga tidak jauh dari aksi
kekerasan hingga pembunuhan para demonstran.
Dari diskripsi di atas, terdapat pengalaman paralel antara kawasan Timur
Tengah-Afrika Utara dan Indonesia. Indonesia yang merasa pernah merasakan
pengalaman tersebut menunjukan keinginan untuk melakukan sharing experience
dalam rangka menjadi model bagi dunia Islam, khususnya jazirah Arab. Dalam
wawancara di CNN yang ditayangkan 15 Juni 2011, SBY menyatakan, Indonesia
dapat menjadi model di mana Islam dan demokrasi dapat bergandengan dan tidak
ada kontradiksi di antara keduanya. Lebih lanjut SBY menjelaskan, jika Indonesia
dapat memegang demokrasi sekaligus menghormati nilai-nilai Islam secara
bersamaan, maka negara-negara Timur Tengah juga dapat melakukan hal yang
sama.
Untuk mengambil peran model alternatif di Timur Tengah-Afrika Utara,
kebijakan luar negeri Indonesia tampak diaplikasikan secara hati-hati sebagai
bentuk konsistensi Indonesia atas prinsip non intervensi. Indonesia berpandangan,
pencapain aspirasi masyarakat harus tumbuh secara internal (home grown),
memperhatikan faktor kekhasan kultural (indigenous uniqueness) dari kawasan
tersebut, dan tidak dipaksakan oleh aktor-aktor eksternal.32
Hal ini diharapkan
dapat berguna dalam menyelesaikan gejolak sosial politik yang terjadi di Timur
Tengah-Afrika Utara. Proses sharing experience yang dilakukan Indonesia dapat
13
ditemukan dalam BDF IV yang dihadiri Yordania, Qatar, Saudi Arabia, Uni
Emirat Arab (UEA), Yaman; Institute for Peace and Democracy (IPD) melalui
program Workshop on Egypt-Indonesia Dialogue on Democratic Transition pada
Mei 2011.33
Bagi komunitas Muslim dalam negeri, perubahan politik di Timur Tengah
dan Afrika Utara dapat dianggap sebagai peluang bagi Indonesia untuk menjalin
hubungan yang lebih harmonis dengan dunia Islam. Komunitas Muslim
memandang, isu utama dalam kebijakan luar negeri Indonesia dalam
hubungannya dengan Islam bukanlah bagaimana memformulasikan dan
mengimplementasikan kebijakan luar negeri secara Islami. Akan tetapi, lebih
pada kebutuhan untuk memperbaiki hubungan dengan negara-negara Muslim dan
menaruh perhatian terhadap isu-isu di dunia Islam sekaligus melakukan inisiatif
yang berarti terhadap isu tersebut. Mereka umumnya berpandangan, adalah absurd
jika Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar hanya menduduki posisi
pinggiran dan memainkan peran marginal di dunia Islam.34
Seiring dengan ekspektasi akan keharmonisan hubungan Indonesia dan
Timur Tengah, bermunculan pula harapan agar hubungan tersebut dapat
memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Harapan ini disandarkan pada
kenyataan bahwa meski perdagangan kedua kawasan tidak mengindikasikan
penurunan, hubungan ekonomi Indonesia-Timur Tengah masih belum mencapai
tahap yang diharapkan. Nilai dagang Indonesia-Timur Tengah masih jauh di
bawah nilai perdagangan Indonesia-AS atau Indonesia-Eropa. Padahal, Timur
Tengah memiliki rata-rata pertumbuhan sekitar 11 persen per tahun.
Sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, investasi Timur Tengah-
Afrika Utara relatif minim. Dibandingkan dengan investasi Jepang dan Korea,
Selatan, Indonesia masih belum menjadi salah satu tempat tujuan investasi utama
negara-negara Timur Tengah. Padahal, potensi investasi dari Timur Tengah
dianggap sangat signifikan, khususnya dari Qatar dan UEA yang masuk menjadi
bagian dari tiga besar negara dengan nilai PDB tertinggi di dunia versi World
Bank.35
Selain itu, Timur Tengah dan Afrika Utara juga telah menjadi tujuan
utama sektor jasa Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sektor ini merupakan
14
penyumbang devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas. Dari sektor ini,
Indonesia memperoleh devisa sebesar US$ 6,617 miliar pada tahun 2009.36
Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (BPN2TKI), dari sekitar 3,8 juta TKI yang ditempatkan di luar negeri,
lebih dari 50% bekerja di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.37
Besarnya
jumlah tersebut sudah seharusnya diiringi dengan upaya pengawasan dan
perlindungan dari pemerintah agar kasus kekerasan terhadap TKI tidak terus
berulang. Sejumlah moratorium38
yang disepakati antara Indonesia secara
bilateral dengan Saudi Arabia, Kuwait, Yordania, dan Syiria untuk melindungi
TKI tetap tidak mengurangi tindak kekerasan.
Faktor kesamaan agama ternyata tidak membuat bangsa-bangsa Arab
menaruh simpati dan hormat pada Indonesia. Dunia Arab kurang menunjukan
minat pada Asia secara umum, apalagi bentuk sosio-kultural Islam di Indonesia.39
Terkait hal ini, Nurcholish Madjid memberikan penjelasan secara komprehensif.
Secara geografis, Indonesia merupakan negeri Muslim yang paling jauh dari
pusat-pusat Islam di Timur Tengah. Pada kondisi demikan, Islam di Indonesia pun
berkembang dalam tradisi berbeda. Indonesia merupakan negeri Muslim yang
paling sedikit mengalami Arabisasi. Sebagai penduduk Muslim terbesar di dunia,
bangsa Indonesia tidak menggunakan huruf Arab untuk bahasa nasionalnya.
Banyaknya kompromi antara ajaran-ajaran Islam dengan unsur budaya lokal
membuat Islam di Indonesia sering kali dianggap pinggiran oleh dunia Arab.
Karena keadaannya yang mengesankan sebagai bersifat pinggiran itu, Islam di
Indonesia sering dipandang tidak atau sekurangnya belum bersifat Islam secara
sebenarnya.40
Akibatnya, banyak negara-negara Arab cenderung memandang
rendah muatan Islam di Indonesia.
Kesimpulan
Sebagai hasil dari pengamatan diusungnya identitas Islam moderat dalam
praktik kebijakan luar negeri Indonesia, studi ini memperoleh beberapa temuan
sebagai berikut:
Pertama, adanya keinginan negara-negara Barat untuk mengembangkan
jaringan Islam moderat sebagai rekan potensial untuk mengimbangi jaringan
15
terorisme di sejumlah negara Muslim. Pertimbangan tersebut juga tidak lepas dari
persamaan prinsip antara dunia Barat dan Muslim moderat yang memuat
demokrasi dan penghormatan terhadap HAM. Pada gilirannya, kehadiran Muslim
moderat tampak dibutuhkan dunia Barat untuk memediasi hubungan antara dunia
Barat dan dunia Islam yang selama ini terkesan konfliktual.
Kedua, keinginan Indonesia untuk memperoleh peranan di ranah
internasional merupakan bentuk konsistensi dan kontinuitas cara pandangnya
terhadap dunia. Meski di bawah kepemimpinan yang berbeda, Indonesia selalu
menjaga eksistensinya di dunia internasional dengan mengambil sejumlah
peranan.
Ketiga, identitas Islam moderat bukanlah menjadi bagian dari identitas
resmi Indonesia. Berdasarkan RPJMN I 2005-2009, identitas nasional Indonesia
adalah negara demokrasi. Hal ini mengindikasikan, Islam moderat hanyalah
identitas komplementer dari demokrasi itu sendiri.
Berdasarkan temuan tersebut, alasan Indonesia untuk mempromosikan
identitas Islam moderat dalam kebijakan luar negerinya dapat ditarik menjadi
empat argumen utama. Alasan pertama, Indonesia ingin mengidentifikasi dirinya
dengan membedakan dari negera-negara Muslim lain, khususnya kawasan Timur
Tengah. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi stigma berkelanjutan tentang
Muslim yang dipersepsikan media dan akademisi Barat sebagai intoleran,
ekstrimis, dan anti-Barat. Identifikasi juga dimaksudkan untuk menjaga hubungan
antara Indonesia dengan negara-negara Barat.
Alasan kedua, adanya ekspektasi dunia internasional, khususnya negara-
negara Barat, untuk memahami dan mendekatkan diri dengan dunia Muslim.
Karena itu, negara-negara Barat membutuhkan negara-negara Muslim yang
memiliki kesamaan prinsip dengan Barat dalam rangka mediasi dengan dunia
Islam.
Alasan ketiga, pemerintah Indonesia ingin mengakomodasi suara
komunitas Muslim dalam negeri yang selama ini mengharapkan adanya perbaikan
hubungan dengan dunia Islam. Bagaimanapun juga, komunitas Muslim
merupakan konstituen terbesar di Indonesia yang aspirasinya tidak dapat
diabaikan dalam pertumbuhan demokrasi di tanah air.
16
Alasan keempat, adanya motivasi Indonesia untuk mengambil peran dalam
hubungan internasional sesuai dengan konsistensi cara pandangnya terhadap dunia
(worldview). Indonesia mencoba mengambil peranan sebagai mediator antara
dunia Barat dan Islam melalui dialog-dialog antar peradaban, budaya, dan agama.
Indonesia kembali menemukan momentum untuk mengambil peran lain ketika
terjadi pergolakan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Daftar Pustaka
Buku
Abdelal, Rawi; Yoshiko M. Herrera; Alastair Iain Johnston; dan Rose Mcdermott.
(2009). Measuring Identity: a Guide for Social Scientist. UK: Cambridge
University Press.
Bruinessen, Martin van. "Indonesia Muslims and Their Place in the Larger World
of Islam". (2012). Indonesia Rising: The Repositioning Of Asia's Third
Giant. Singapore: ISEAS Publishing.
Leifer, Michael. (1989). Kebijakan Luar Negeri Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Madjid, Nurcholish. (2008). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung:
Mizan.
Rabasa, Angel M., Cheryl Benard, Peter Chalk, C. Christine Fair, et. al. (2004).
the Muslim World after 9/11.Santa Monica: Rand Corporation.
Rabasa, Angel; Cheril Benard; Lowell H. Schwartz; et.all. (2007).Building
Moderate Network. RAND Corporation: Santa Monica.
Sheikh, Naved S. (2003). the New Politic of Islam: Pan-Islamic Foreign Policy in
a World of States. London & New York: RoutledgeCurzon.
Sjahrir. (2004). Transisi menuju Indonesia Baru. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Stanger, Alison. “Democratization and the International System: the Foreign
Policy: the Foreign Policies of Interim Governments”. Eds, Juan dan Linz
Yossi. (1955). Between States: Interim Governments and Democratic
Transitions. Cambridge: Cambridge University Press.
Sukma, Rizal. (2003). Islam in Indonesian Foreign Policy. London:
RoutledgeCurzon.
17
Suryokusumo, Sumaryo. (2004). Praktik Diplomasi. Jakarta: STIH IBLAM.
Vermonte, Philips J. “Demokratisasi dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia:
Membangun Citra Diri”. Ed, Bantarto Bandoro. (2005). Mencari Desain
Baru Kebijakan Luar Negeri Indonesia. Jakarta: Centre for Strategic and
Internatonal Studies (CSIS).
Viotti, Paul R. dan Mark V. Kaupi. (2007). International Relations and World
Politics: Security, Economy, Identity. United States: Pearson Prentice Hall.
Wendt, Alexander. (1999). Social Theory of International Relations. New York:
Cambridge University Press.
Jurnal
Anwar, Dewi Fortuna. (2010). Foreign Policy, Islam, and Democracy in
Indonesia. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, Vol. 3,
hlm. 37-54.
İnaç, Hüsamettin. (2004)Identity Problems of Turkey during the European Union
Integration Process. Journal of Economic and Social Research,Vol. 6 No.
2, hlm. 33-62.
Kay, Lena. (2005). Indonesian Public Perceptions of the US and Their
Implications for US Foreign Policy. Issue & Insight, Vol. V No. 4 Agustus
2005, hlm. 1-43.
Sadeghi, Ahmad. (2008). Genealogy of Iranian Foreign Policy: Identity, Culture,
and History. the Iranian Journal of International Affairs, Vol. XX No. 4,
Fall 2008, hlm. 1-40.
Sukma, Rizal. (2010). Mengelola Paradoks: Identitas, Citra, dan Posisi
Internasional Indonesia. Analisis CSIS, Vol. 39 No. 4, Desember 2010,
hlm. 432-445.
Tan, Paige Johnson. (2007). Navigating a Turbulent Ocean: Indonesia’s
Worldview and Foreign Policy. Asian Perspective, Vol. 31 No. 3, hlm.
147-181.
Thaib, Fachry. (2011). Implikasi Gejolak Politik Timur Tengah Terhadap
Kepentingan Ekonomi Indonesia. Jurnal Diplomasi, Vol. 3 No. 2, hlm. 35-
42.
18
Wendt, Alexander. Anarchy is What States Make of it: the Social Construction of
Power Politics. International Organization, Vol. 46 No. 2, Spring 1992,
hlm. 391-425.
Yuliantoro, Ronny Prasetyo. (2011). Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap
Gejolak di Kawasan Timur Tengah: Pendekatan Adaptif dalam Bingkai
Konsistensi Historis. Jurnal Diplomasi, Vol. 3 No. 2 (Juni 2011), hlm. 1-
16.
Dokumentasi Lainnya
Chair's Statement of the Fourth Bali Democracy Forum disampaikan di Nusa Dua,
Bali, 8-9 December 2011.
"Diperpanjang Moratorium TKI ke Timur Tengah", diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/05/lxbset-
diperpanjang-moratorium-tki-ke-timur-tengah pada tanggal 10 Desember
2012, pukul 16.50 wib.
Diplomasi, No. 6 Thn II (15 Mar-14 April 2009), hal. 10.
Gatra, No, 14, Th. XVII,(10-16 Februari 2011)
Hassan Wirajuda, “Refleksi Tahun 2003 dan Proyeksi Tahun 2004” dalam
paparan lisan yang disampaikan di Departemen Luar Negeri RI, Jakarta, 6
Januari 2004.
Marzuki Alie, "TKI, Permasalahan, antara Beban dan Kewajiban?" diakses dari
http://migrantinstitute.net/tki-permasalahan-antara-beban-dan-kewajiban
pada tanggal 10 Desember 2012, pukul 14.22 wib.
"Penempatan Per Tahun Per Negara (2006-2012)", diakses dari
http://www.bnp2tki.go.id/statistik-mainmenu-86/penempatan/6756-
penempatan-per-tahun-per-negara-2006-2012.html pada tanggal 11
Desember 2012, pukul 13.00 wib.
UNDP Regional Bereau for Arab States (RBAS), Challenges to Human Security
in the Arab Countries”, Arab Human Development Report 2009, New
York, hal. 10.
Vit Beneš, “Role Theory: a Conceptual Framework for the Constructivist Foreign
Policy Analysis?” disampaikan dalam the Third Global International
19
Studies Conference “World Crisis: Revolution or Evolution in the
International Community?” University of Porto, Portugal, 17-20 Agustus
2011.
Wawancara dengan P. L. E. Priatna, Direktur Informasi dan Media Departemen
Luar Negeri Republik Indonesia, pada 12 Juni 2012.
1 Houssain Kettani, “World Muslim Population: 1950-2020”, International Journal of
Environmental Science and Development (IJESD), Vol. 1/2 (June 2010), hal. 7.
2 Michael Leifer, Kebijakan Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1989), hal xvi.
3 Rizal Sukma, “Mengelola Paradoks: Identitas, Citra, dan Posisi Internasional Indonesia”,
Analisis CSIS , Vol. 39/4, (Desember 2010), hal. 439.
4 Paul R. Viotti dan Mark V. Kaupi, International Relations and World Politics: Security,
Economy, Identity, (United States: Pearson Prentice Hall, 2007).
5 Alexander Wendt, Social Theory of International Relations, (New York: Cambridge University
Press, 1999), hal. 224-352.
6 Vit Beneš, “Role Theory: a Conceptual Framework for the Constructivist Foreign Policy
Analysis?” disampaikan dalam the Third Global International Studies Conference “World Crisis: Revolution or Evolution in the International Community?” University of Porto, Portugal, 17-20
Agustus 2011.
7 Rawi Abdelal, Yoshiko M. Herrera, Alastair Iain Johnston, dan Rose Mcdermott, Measuring
Identity: a Guide for Social Scientist, (UK: Cambridge University Press, 2009), hal. 4.
8 Hüsamettin İnaç, “Identity Problems of Turkey during the European Union Integration Process”,
Journal of Economic and Social Research, Vol. 6/2 (2004), hal. 33.
9 Ahmad Sadeghi, “Genealogy of Iranian Foreign Policy: Identity, Culture, and History”, the
Iranian Journal of International Affairs, Vol. XX/4 (Fall, 2008), hal. 22.
10 Alexander Wendt, Anarchy is What States Make of it: the Social Construction of Power
Politics,” International Organization Vol. 46/2 (Spring 1992), hal. 397.
11 Debra Merskin, “The Construction of Arabs as Enemies: Post-September 11 Discourse of
George W. Bush”, Mass Communication & Society, Vol. 7/2 (2004), hal. 158.
12 Angel M. Rabasa, Cheryl Benard, Peter Chalk, C. Christine Fair, et. all, the Muslim World after
9/11, (Santa Monica: Rand Corporation, 2004), hal. 391-392.
13 Ibid., hal. 52.
14Angel Rabasa, Cheryl Benard, Lowell H. Schwartz, et.al., Building Moderate Network, (RAND
Corporation: Santa Monica, 2007), hal. 3.
15 Ibid., hal 67-68.
16 Naved S. Sheikh, the New Politic of Islam: Pan-Islamic Foreign Policy in a World of States,
(London & New York: RoutledgeCurzon, 2003), hal. 45.
17 Building Moderate Network, op. cit., hal. 3.
18 Lena Kay, “Indonesian Public Perceptions of the US and Their Implications for US Foreign
Policy”, Issue & Insight, Vol. V/4 (Agustus 2005), hal. 8.
20
19 Hassan Wirajuda, “Refleksi tahun 2003 dan Proyeksi tahun 2004” dipaparkan di Jakarta, 6
Januari 2004.
20 Dewi Fortuna Anwar, “Foreign Policy, Islam, and Democracy in Indonesia”, Journal of
Indonesian Social Sciences and Humanities Vol. 3,( 2010), hal. 43.
21 Rizal Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy¸ (London: RoutledgeCurzon, 2003), hal. 140.
22 Alison Stanger, “Democratization and the International System: the Foreign Policy: the Foreign
Policies of Interim Governments”, Yossi dan Juan Linz (eds), Between States: Interim
Governments and Democratic Transitions, (Cambridge: Cambridge University Press, 1955), hal.
274-276.
23 Philips J. Vermonte, “Demokratisasi dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Membangun Citra
Diri”, Bantarto Bandoro ed., Mencari Desain Baru Kebijakan Luar Negeri Indonesia, Jakarta:
Centre for Strategic and Internatonal Studies (CSIS) , 2005, hal. 29.
24 Sjahrir, “Bali, Bangsa, dan Masa Depan” dalam Transisi menuju Indonesia Baru, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2004, h. 130.
25 Wawancara dengan P. L. E. Priatna, Direktur Informasi dan Media Departemen Luar Negeri
Republik Indonesia, pada 12 Juni 2012.
26 Sumaryo Suryokusumo, Praktik Diplomasi, (Jakarta: STIH IBLAM, 2004), hal. 8.
27“Italia Mengapresiasi Islam Moderat di Indonesia”, Diplomasi, No. 6 Thn II (15 Mar-14 April
2009), hal. 10.
28 Lena Kay, op. cit., hal. 3.
29 Paige Johnson Tan, “Navigating a Turbulent Ocean: Indonesia’s Worldview and Foreign
Policy”, Asian Perspective, Vol. 31/3 (2007), hal. 148.
30 “Dampak Tunisia dan Mesir ke Seluruh Arab”, Gatra, No, 14, Th. XVII,(10-16 Februari 2011),
hal. 93.
31 UNDP Regional Bereau for Arab States (RBAS), Challenges to Human Security in the Arab
Countries”, Arab Human Development Report 2009, New York, hal. 10.
32 Ronny Prasetyo Yuliantoro, “Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Gejolak di Kawasan
Timur Tengah: Pendekatan Adaptif dalam Bingkai Konsistensi Historis”, Jurnal Diplomasi, Vol.
3/ 2, (Juni 2011), hal. 12.
33 Chair's Statement of the Fourth Bali Democracy Forum disampaikan di Nusa Dua, Bali, 8-9
December 2011.
34 Rizal Sukma, “Mengelola Paradoks: Identitas, Citra, dan Posisi Internasional Indonesia” dalam
Analisis CSIS , Vol. 39/4, (Desember 2010), hal. 437.
35 Fachry Thaib, “Implikasi Gejolak Politik Timur Tengah Terhadap Kepentingan Ekonomi
Indonesia”, Jurnal Diplomasi, Vol. 3/2 (2011), hal. 35-42.
36 Marzuki Alie, "TKI, Permasalahan, antara Beban dan Kewajiban?" diakses dari
http://migrantinstitute.net/tki-permasalahan-antara-beban-dan-kewajiban pada tanggal 10
Desember 2012, pukul 14.22 wib.
37 "Penempatan Per Tahun Per Negara (2006-2012)", diakses dari
http://www.bnp2tki.go.id/statistik-mainmenu-86/penempatan/6756-penempatan-per-tahun-per-negara-2006-2012.html pada tanggal 11 Desember 2012, pukul 13.00 wib.
38 "Diperpanjang Moratorium TKI ke Timur Tengah", diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/05/lxbset-diperpanjang-moratorium-tki-
ke-timur-tengah pada tanggal 10 Desember 2012, pukul 16.50 wib.
21
39 Martin van Bruinessen, "Indonesia Muslims and Their Place in the Larger World of Islam",
Indonesia Rising: The Repositioning Of Asia's Third Giant, (Singapore: ISEAS Publishing, 2012),
hal. 121-122.
40 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 42-
44.
Top Related