Download - KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

Transcript
Page 1: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

Volume 2 (1), 2020

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

17

KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN

TRADISIONAL TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER

BANGSA

Nur Hidayat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email : [email protected]

Abstract

Pondok Pesantren is one of the oldest education in Indonesia, because

before the era of independence this educational model already existed,

between the 7th century to the 13th century and has contributed a lot to

the nation and state. In general, the style of Islamic education in

Indonesia consists of three types; first, traditional, second, modern, and

third, a combination of the two. In practice, pesantren education uses

all three models of education to adapt to the development and needs of

pesantren alumni. One of the characteristics of pesantren education is

the study of the yellow book or old books written by scholars around

the 7th-13th century AD. Another prominent feature of pesantren

education is that there are no classics and classifications, not limited

by time, special certificate, not work oriented, school and school of

thought are the same, teacher becomes a source of knowledge, there is

no standard curriculum. Different from other education, pendidikan

pesantren has its own methods starting from bandongan, sorogan, Imla

' (dictation), taqror (repetition), tahfidz or muraja'ah (memorization),

halaqoh (small circle), munadzarah or mujadalah (argumentation to

mind) and khithabah (public speaking). No less important, pesantren

also hold principles such as heocentricity, voluntary service, wisdom,

simplicity, collectivity and much more. With all the uniqueness of

pesantren education and the application of learning methods and

holding certain educational principles, pesantren have contributed in

shaping the nation's character, including the value of independence, the

value of simplicity and sincerity, the value of learning enthusiasm

(Tafaqquh fi al-Diin), the value of orientation life, flexibility and

openness and brotherhood values.

Keyword: pesantren education, traditional, salafiyah, modern,

characteristic, yellow book, learning methods, values, principles,

contributions, national character, simplicity, openness, brotherhood.

Page 2: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

Kontribusi Pendidikan Pondok Pesantren……|

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

18

A. Pendahuluan

Sejarah perkembangan pemikiran yang merupakan cikal bakal

munculnya peradaban mengalami pasang surut mengikuti dinamika

perkembangan sejarah umat Islam. Pendidikan yang diartikan sebagai

sesuatu yang mampu merubah kondisi yang lebih baik juga mengalami

perkembangan dan perubahan baik dari segi tujuan, metode, sistem

serta alat untuk mengukur keberhasilan dari proses pendidikan tersebut.

Untuk mengetahui perkembangan pendidikan haruslah diruntut

menurut sejarah pemikiran yang dikembangkan oleh para pemikir,

penggagas, penggerak dan pelaku pendidikan dari masa ke masa. Mulai

dari pendidikan yang paling awal hingga paling modern saat ini.

Undang-undang No. 20 Th 2003 Bab I, ayat 1, tentang Sistim

Pendidikan Nasional menyebutkan, bahwa: “Pendidikan adalah usaha

sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian

diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 1

Sedangkan pengertian Pendidikan Islam menurut hasil rumusan

Kongres se-Dunia Ke II tentang Pendidikan Islam melalui seminar

tentang Konsepsi dan Kurikulum Pendidikan Islam Tahun 1980

dinyatakan bahwa:

"Pendidikan Islam ditujukan untuk mencapai

keseimbangan pertumbuhan dari pribadi manusia secara

menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran,

kecerdasan, perasaan dan pancaindera". Oleh karena itu.

pendidikan Islam harus mengembangkan seluruh aspek

kehidupan manusia, spiritual, intelektual, imajinasi (fantasi),

jasmaniah, keilmiahan, bahasanya, baik secara individual maupun

kelompok serta mendorong aspek-aspek itu ke arah kebaikan dan

ke arah pencapaian kesempurnaan hidup. 2

Dalam prakteknya pendidikan Islam mengalami perkembangan-

perkembangan yang sedemikian maju mengikuti perkembangan

zamannya, mulai dari bentuk privat, halaqoh, madrasah, pesantren,

sekolah formal, yayasan-yayasan, universitas dan lain sebagainya.

Perkembangan selanjutnya dari pendidikan Islam ini mengalami pasang

1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,

Jakarta: Visimedia , 2007, Cet. Ke-1, hal. 2 2Second World Conference on Moslem Education, Internasional Seminar on

Islamic Education Consep and Curricula, recommendation, 15th – 20th March, 1980,

Islamabad. Dalam Prof. HM. Arifin, M.Ed., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarata:

Bumi Aksara, 1996, Cet. Ke-5, hal. 16

Page 3: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

|Nur Hidayat

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah 19

surut, ada yang sudah mati, ada yang mati suri, ada yang masih tetap

bertahan, ada yang ganti kulit, dan ada juga yang berkembang cukup

maju, hal ini sangat tergantung dari managemen dan kapabilitas para

pengampunya. Namun ada lembaga pendidikan Islam yang cukup tua

namun masih tetap eksis, dengan model pendidikan lama yang bercorak

tradisional atau salafiyah, di tengah-tengah perubahan zaman dan

kehidupan yang serba cepat ini yaitu Pendidikan Pondok Pesantren.

Dalam artikel ini, penulis hanya akan menguraikan pengertian

pendidikan dalam kontek pendidikan Islam tradisional di pesantren,

berikut segala aspek yang melingkupinya, kemudian apa kontribusinya

bagi pendidikan nasional secara umum dan juga bagi pembentukan

karakter bangsa ( nation character building).

B. Corak Pemikiran Dalam Pendidikan Islam

Secara umum corak pendidikan di duinia Islam, khususnya yang

berkembang di Indonesia terdiri dari tiga macam; pertama, tardisional,

kedua, modern, dan ketiga, gabungan dari keduanya.

Corak pendidikan Islam tradisional, biasanya cenderung

mempertahankan sesuatu yang lama yaitu pikiran-pikiran para "ulama"

ahli fikih, hadits, tafsir, tauhid, dan tasawuf yang hidup antara abad ke-

7 sampai dengan abad ke-133. Model pendidikan ini telah dianut oleh

sebagian besar orang dengan pemikiran dan madzhab yang sama, yang

diajarkan secara terus-menerus dari generasi ke generasi tanpa banyak

mengalamai perubahan, baik materinya maupun polanya. Dalam istilah

pendidikan di pesantren, pola ini disebut pendidikan salafiyah artinya

"yang terdahulu". Karena, kitab-kitab kajian yang dipakai adalah kitab-

kitab yang dikarang oleh para ulama sekitar abad ke 7-13 M (salaf).

Corak pendidikan salafiyah di pesantren inilah yang masih dianggap

"genuine", asli, pendidikan pesantren.

Corak pendidikan moderen, biasanya lebih menyesuaikan

dengan kebutuhan pada masanya. Maka dalam corak pendidikan Islam

modern ini pendidikan Islam mengalami dinamika yang sangat

fluktuatif sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zamannya.

Dinamika ini tidak saja berkembang dalam hal materi pelajarannya saja,

tetapi juga pola, cara, dan orientasinya. Pendidikan modern dewasa ini

mengambil bentuk klasikal dalam lembaga-lembaga sekolah formal dan

atau kampus-kampus Islam, dengan spesifikasi dan jurusan-jurusan

yang disesuaikan dengan kebutuhan zamannya.

Sementara corak pendidikan yang ketiga adalah gabungan dari

corak tradisional dan modern. Corak ini berusaha mempertahankan

3 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup

Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994, Cet. Ke-6, hal. 1

Page 4: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

Kontribusi Pendidikan Pondok Pesantren……|

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

20

sesuatu yang lama dan telah mapan di masyarakat, sambil terus mencari

penyesuaian dengan realitas zamannya. Meminjam istilah Imam Syafi'I

yaitu berusaha ”المحافطة على القديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلح"

menjaga/mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil

tradisi yang baru, yang lebih baik. Dalam sebagian lembaga pendidikan

Islam dewasa ini corak yang ketiga ini lebih banyak digunakan, karena

dianggap lebih sesuai dengan kebutuhan jaman. Artinya pesantren

berusaha mempertahannya ciri khasnya yaitu kajian nilai-nilai

keagamaan secara tradisional/salafiyah, sambil merespon

perkembangan zaman/kemodernan, sehingga tidak ketinggalan zaman.

Pendidikan pesantren yang menggunakan corak ketiga ini,

disebut pesantren terpadu/gabungan. Dalam praktek pesantren terpadu

ini juga sudah menggabungkan pendidikan formal dengan pendidikan

tradisonal/salafiyah, yang dalam perkembangannya seringkali terjadi

tarik menarik antara keduanya. Dan dalam banyak kasus pendidikan

salafiyah "terkalahkan" oleh pendidikan formal, sehingga pada

gilirannya kesan pesantrennya seringkali menjadi bias.

Menurut data dari Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan

tahun 2003-2004, jumlah pesantren di Indonesia pada tahun 2003-2004

terdapat 14.656 pesantren. Sebanyak 4.692 (32%) merupakan

pesantren salafiah, 3.368 (23%) merupakan pesantren moderen, dan

6.596 (45%) sebagai pesantren kombinasi. Jumlah santri saat itu sekitar

3.369.193 baik santri yang menetap (mukim) maupun yang tidak

menetap (kalong).4

Dalam kajian artikel ini, apa yang penulis maksud dengan

pendidikan pesantren, adalah pesantren tradisional/salafiyah, dengan

maksud agar keaslian pola pendidikan pesantren yang lebih genuine

dapat digali untuk dikaji sebagai sumbangan dalam pemikiran

pendidikan Islam.

C. Kajian Teoritis Tentang Pesentren

1. Pengertian dan Asal Usul Pesantren

Dalam kajian tentang lembaga pendidikan Islam di Indonesia

kita kenal ada istilah pondok pesantren5, di samping sekolah, madrasah,

4Lihat, Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2003-2004,

(Jakarta:Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Tahun

2004), dalam Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca

Kemerdekaan, Jakarta: Rajawali Press, 2009, hal. 19 5 Kehadiran pesantren sendiri di tengah-tengah masyarakat, diduga

pertamakali dibawa oleh Wali Songo sebagai penyebar Islam pertama di Jawa, yaitu

di daerah Gresik yang didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim Gresik atau Syaikh

Maulana Maghribi, sebagai sesepuh wali Songo. Namun Tokoh Wali yang dianggap

berhasil mendirikan Pondok Pesantren dalam arti sesungguhnya adalah Raden

Page 5: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

|Nur Hidayat

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah 21

yayasan, kampus, dll.. Pondok Pesantren sendiri berasal dari dua suku

kata yaitu pondok dan pesantren. Pondok artinya tempat menginap,

sementara pesantren adalah para santri. Jadi pondok pesantren adalah

tempat menginap para santri.6 Namun secara lazimnya sebuah tempat

di namakan pesantren apabila tempat itu memiliki ciri-ciri sebagai

berikut;

1. Ada tempat pemondokan/tempat meninap atau tidur santri

2. Ada masjid sebagai tempat belajar dan megajar, serta tempat

kegiatan peribadatan

3. Ada guru/kyai, yaitu seorang yang dianggap sebagai sumber

ilmu dan teladan

4. Ada santri, yaitu murid-murid yang belajar dan menginap

5. Ada pengajian/belajar kitab kuning7

pada sejumlah pesantren, biasanya klasifikasi belajar santri tidak

didasarkan pada batasan umur/usia murid, tetapi kepada kemampuan

murid dalam menguasai seperangkat ilmu tertentu.

Dalam dunia pesantren, masalah kurikulum pendidikan juga

tidak ada aturan yang baku, karena setiap pesantren mempunyai

kurikulumnya masing-masing, yang didasarkan pada kebijakan sang

kyai. Tetapi yang hampir pasti adalah, materi/kitab-kitab kajian yang

diajarkan di pesantren mempunyai ciri-ciri yang sama, baik secara fisik,

substansi, maupun kalasifikasinya.

Secara fisik, kitab kajian yang diajarkan di kalangan pesantren

adalah kitab-kitab lama yang ditulis oleh ulama pada sekitar abad ke 7-

13 M,8 dengan huruf arab dan dalam bahasa Arab, dalam lembaran-

lembaran kertas yang berwarna kuning. Walaupun dalam

perkembangan selanjutnya mengenai warna kitab ini mengalami

perubahan karena berkaitan dengan masalah percetakan, yaitu dengan

Rahmat (Sunan Ampel) yang mendirikan pesantren di Kembang Kuning. Lihat, dalam

Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren:Pendidikan Alternatif Masa Depan,

Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hal. 70-71 6 Istilah pondok sendiri sulit ditelusuri asal-usulnya, apakah berasal dari

bahasa Arab Funduq yang artinya hotel atau asarama, atau dari bahasa sunda, yaitu

tempat tinggal yang terbuat dari bambu. Bahkan belakangan juga nama pondok

menjadi nama tempat penginapan, rumah makan, tempat istirahat, dan lain

sebagainya. Sedangkan kata pesantren, berasal dari kata santri yang mendapat awalan

pe- dan ahiran –an. Yang berarti tempat tinggal santri. Kata santri sendiri dalam

pengamatan Prof. Johns berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji,

sedangkan C.C. Berg berpendapat kata santri bersal dari kata shastri yang dalam

bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang

sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Lihat dalam Zamakhsyari Dhofier, Tradisi

Pesantren, hal. 18 7 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal. 44 8 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal. 1

Page 6: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

Kontribusi Pendidikan Pondok Pesantren……|

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

22

kertas warna putih, tetapi tidak mempengaruhi substansinya. Kitab-

kitab ini kemudian dikenal di kalangan pesantren dengan kitab kuning.9

Dalam penelitian Martin Van Bruinessen, kitab-kitab kuning

yang diajarkan pesantren-pesantren Indonesia, tidak banyak mengalami

perbedaan satu sama lain, karena berada dalam satu koridor kajian yang

sama yaitu; dalam kajian Aqidah mengikuti paham Asy'ariyah yang

dikembangkan oleh Imam Al-Asy'ari, dalam bidang fiqih mengikuti

madzhab Imama Syafi'I, dalam bidang tasawuf mengikuti Imam Al

Ghazali dan Ibnu 'Athoillah as-Sakandari.10 Dalam bidang gramatika

(Tata Bahasa Arab) yang paling terkenal adalah Karya Ibnu Malik,

yaitu kitab Al Fiyah Ibnu Malik.

2. Ciri Pendidikan Islam Tradisional di Pesantren

Berbeda dengan sistem pendidikan yang berkembang selama

ini, pendidikan pesantren mempunyai kekhasan pada dirinya. Di antara

ciri khas pola pendidikan pesantren adalah;

Tidak ada klasikal dan penjenjangan

Dalam pesantren biasanya para santri belajar secara bersama

dalam suatu ruangan atau dalam aula masjid untuk menyimak,

mendengarkan, dan mencatat pelajaran yang dibacakan oleh

sang guru/kyai. Setiap santri yang merasa sudah mampu

mengikuti, tanpa dibatasi usianya, boleh mengikuti kajian ini,

karena memang terbuka untuk umum. Metode pengajian seperti

ini disebut sistem bandongan.

Selanjutnya, bagi para santri yang ingin mengaji kitab tertentu

sesuai dengan keinginan dan kemampuannya, dapat belajar

secara pribadi kepada seorang guru/kyai yang dianggap mampu.

Metode seperti ini di kalangan pesantren dikenal dengan metode

sorogan.

Tidak dibatasi oleh waktu Tidak seperti pada lembaga pendidikan formal atau pendidikan

moderen yang di batasi dengan waktu, misalnya SMP 3 tahun,

SMA 3 tahun, dalam pendidikan pesantren selesainya belajar

bisa sangat panjang atau sangat pendek, ditentukan oleh kondisi

masing-masing santri. Misalnya karena tidak betah, karena

9Istilah kitab kuning diduga berkaitan dengan warna kertas yang dipakai

untuk cetakannya yang berwarna kekuning-kuningan dan terkesan sedikit agak

kusam. Biasanya dicetak dalam ukuran kuarto, tidak dijilid secara utuh, melainkan

dipilah-pilah ke dalam beberapa lembaran (korasan). Korasan adalah bagian kitab

kuning yang berjumlah sekitar 20 halaman yang bisa dilipat guna memudahkan para

santri untuk membawa bagian kitab yang akan dipelajarinya dalam bentuk halaqoh

dengan kyai. Lihat, Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan, hal. 36 10 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, Bandung:

Mizan, 1995, hal. 19

Page 7: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

|Nur Hidayat

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah 23

pindah, karena disuruh pulang oleh orang tua, menikah, dll.

Tetapi umumnya pendidikan di suatu pesantren dianggap

selesai, sesudah santri dianggap telah cukup menguasai

berbagai jenis ilmu yang dikaji di pesantren tersebut, sehingga

menurut penilaian sang kyai telah cukup mumpuni untuk

mengembangan keilmuannya di masyarakat. Maka tidak

mengherankan jika ada yang tinggal di suatu pesantren hingga

10, 15, bahkan 20 tahun.

Tidak ada ijazah/sertifikat khusus

Lulusan pesantren tradisional biasanya tidak ada ijazah atau

sertifikat khusus yang diberikan oleh suatu pesantren. Tanda

kelulusan hanyalah berdasarkan penilaian secara faktual oleh

sang guru/kyai, kemudian memberikan do'a restu untuk

mengembangan ilmunya di tengah-tengah masyarakat. Dalam

falsafah pesantren ujian sesungguhnya bagi lulus atau tidaknya

seorang santri adalah masyarakat. Masyarakatlah yang akan

menilai kemampuan dan sekaligus memberi penghargaan

kepada kepada santri.

Tidak berorientasi kerja

Lulusan pesantren dipersiapkan semata-mata untuk berdakwah mengembangkan ilmu agama dan ber-amar ma'ruf nahyi

munkar di tengah-tengah masyarakat. Masalah pekerjaan santri

yang telah lulus dari pesantren, tergantung dari usaha, keuletan,

dan peluang dari masing-masing santri. Bisa jadi pedagang,

petani, buruh, atau pekerjaan apapun yang halal. Yang pasti

pesantren tidak pernah menjanjikan pekerjaan apapun kepada

para santrinya. Tetapi dengan ilmu agama yang dimiliki,

semangat hidup yang tinggi, dan ridha kyai/guru, menjadi modal

utama santri untuk dapat menjalani kehidupannya di tengah-

tengah masyarakat.

Kajian utama ilmu-ilmu agama/kitab kuning

Dalam dunia pesantren, materi yang dikaji adalah

mengkhususkan diri dalam kajian ilmu-ilmu agama seperti, al-

qur'an, tafsir, hadist, fiqh, ushul fiqh, tauhid, ilmu alat, sejarah,

ahklah, dan tasawuf. Hal ini sesuai dengan tujuan utama

pesantren yaitu untuk tafaqquh fi al-diin (mendalami ilmu-ilmu

agama), ilmu-ilmu yang lain hanyalah sekedar sampingan atau

bahkan tidak dipelajari sama sekali. Bukannya tidak perlu,

tetatpi bukan dipesantrenlah tempatnya.

Madzhab dan aliran pemikiran yang sama

Meskipun kitab-kitab yang dikaji di kalangan pesantren tidak

semua sama, tetapi ada benang merah yang dapat ditarik dari

materi kajian di pesantren yaitu dalam hal madzhab pemikiran.

Dalam bidang teologi kalangan pesantren mengikuti teologi

Asy'ari, dalam bidang fiqh mengikuti madzhab Imam Syafi'I,

Page 8: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

Kontribusi Pendidikan Pondok Pesantren……|

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

24

dalam bidang tasawuf mengikuti aliran tasawuf sunniy atau

tasawuf amaly, terutama tasawuf Imam Ghazali dan Ibnu

'Atoillah al-Sakandari.11

Guru/kyai menjadi sumber ilmu

Karena masyarakat pesantren berada di lingkungan yang khusus

yang terpisah dari masyarakat sekitarnya, maka guru/kyai

menjadi pusat ilmu dan teladan. Di sinilah kepekaaan orang tua

atau santri sendiri untuk memilih pesantren dan guru/kyai yang

sesuai dengan harapanyya kelak. Ada yang berharap menjadi

ahli nahwu, ahli tafsir, ahli fiqh, ahli ilmu falaq dan lain-lain.

Tidak ada kuriklulum yang baku

Tidak ada kesepakatan khusus di pesantren tentang materi

kajian yang akan diajarkannya sebagaimana kurikulum di

sekolah. Bahkan hampir semua pesantren tidak ada yang sama

persis dalam hal kurikulum kajian serta kitab-kitab yang

dipelajarinya. Hal ini sangat tergantung kepada kebijakan sang

guru/kyai yang mengasuhnya. Kalaupun ada hanyalah

kecenderungan masing-masing pesantren untuk

mengkhususkan dalam mempelajari kajian-kajian tertentu,

misalnya tafsir, nahwu-sharaf, Al Qur'an dan sebagainya. Sehingga menjadi trade mark bagi pesantren tertentu. Misalnya

pesantren Tremas terkenal dengan kyai yang ahli tata bahasa

Arab (ilmu alat), pesantren Tebu Ireng terkenal dengan ilmu

Haditsnya, pesantren, Jampes Kediri terkenal dengan ilmu

Tasawufnya, pesantren Daruttafsir Bogor terkenal dengan Ilmu

Tafsirnya, dan lain-lain.12

Menggunakan kitab-kitab berhuruf Arab baik dalam

bahasa Arab, maupun dalam bahasa lokal atau disebut juga

dengan "kitab Kuning".

Hampir seluruh kitab-kitab yang dipelajari di lingkungan

pesantren adalah dalam bahasa arab asli dan tanpa harakat (kitab

gundul). Oleh karenanya penguasaan ilmu nahwu-sharaf atau

ilmu alat (gramatika) mutlak diperlukan untuk dipelajari. Ilmu

alat (gramatika) adalah pintu masuk untuk mempelajari dan

menguasai kitab kuning. Disinilah sesungguhnya, nilai

keunggulan pesantren dibanding lembaga pendidikan agama

lainnya.

3. Metode Pembelajaran di Pesantren Tradisional

1) Bandongan atau sering disebut juga weton, dalam sitim

ini sekelompok murid biasanya antara 5-500 orang

mendengarkan seorang guru yang membaca,

11 Ibid. 12 Lihat dalam Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, h. 22

Page 9: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

|Nur Hidayat

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah 25

menerjemahkan, dan menerangkan serta mengulas

buku-buku Islam dalam bahasa arab. Setiap murid

memperhatikan bukunya sendiri-sendiri dan membuat

catatan-catatan kecil (nyoret) mengenai hal yang belum

diketahuinya. 13 Biasanya catatan itu ditulis di bawah

teks bahasa arabnya.

2) Sorogan, yaitu murid mendatangai guru secara pribadi

untuk mengkaji suatu kitab tertentu. Biasanya guru

membacakan kitabnya, kemudian setelah selesai murid

disuruh mengulanginya persis seperti apa yang diajarkan

guru. Atau sang murid membacakannya sendiri kitab

yang dikajinya, dan guru hanya mendengarkan dan

mengoreksinya. Setelah dianggap lancar, baru sang

murid baru boleh pindah halaman atau temanya. Sistem

sorogan dalam pengajian ini dianggap bagian yang

paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan Islam

tradisional. Sebab sistem ini menuntut kesabaran,

kerajinan, ketaatan dan kedisiplinan pribadi dari murid.

3) Imla'/dikte, yaitu guru hanya membacakan pelajaran

dalam bahasa arab tanpa mencatat, sedangkan murid

disuruh mencatat persis seperti apa yang dibacakan oleh

guru. Metode ini hanya mungkin dilakukan bagi murid

yang telah mengenal huruf arab, bisa membaca, dan

memahami struktur kalimatnya.

4) Taqror/pengulangan. 1-2 kali dalam seminggu, biasanya

santri dikumpulkan dalam satu ruangan atau tempat

untuk mengulang-ulang pelajaran yang telah

diberikannya. Sang guru kemudian memberikan

pertanyaan-pertanyaan mengenai materi yang telah

diajarkan untuk kemudian dijawabnya. Mula-mula

melalui penunjukkan, tetapi kemudian memberikan

kesempatan kepada siapa yang bisa menjawabnya. Sama

seperti cerdas cermat. Dari sini potensi santri dapat

dipantau dan dikatahui.

5) Tahfidz/muraja’ah/hapalan. Sebagian kitab-kitab

pelajaran dalam pesantren harus dihafal di luar kepala,

terutama kitab-kitab) ilmu alat (nahwu-sharaf), dan

kitab nadzam (yang berisi bait-bait syair) dalam

berbagai disiplin ilmu.

6) Halaqoh/lingkaran kecil, santri antara 2-15 orang santri

berkumpul untuk mengkaji kitab tertentu dari seorang

guru.

7) Munadzarah/mujadalah/ adu argumentasi. Metode ini

diikuti oleh santri-santri senior yang sudah menguasai

seperangkat ilmu tertentu. Di sini para santri dilatih

untuk menguasai masalah, memberikan argumentasi,

13 Lihat Ibid., hal. 28

Page 10: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

Kontribusi Pendidikan Pondok Pesantren……|

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

26

dan memecahkan topik masalah yang diajukan. Tetapi

sayangnya metode ini sekarang sudah mulai

ditinggalkan oleh kalangan pesantren.

8) Mudzakarah/ bahtsul masa'il. Berkumpul untuk

membicarakan masalah tertentu, tetapi lebih bersifat

musyawarah untuk mencari solusi atas problematika

yang dihadapi umat. Dalam mudzakarah biasanya

dibimbing atau dipandu oleh kyai atau guru.

9) Muhadlarah/retorika/pidato. Latihan ini daterapkan

dalam rangka melatih para santri untuk belajar

berdakwah dan berani tampil di tengah-tengah

masyarakat. Karena bagaimanapun seorang santri

nantinya akan senantiasa diminta tausiyahnya oleh

masyarakat dan mengisi kegiatan-kegiatan keagamaan

ditengah masyarakat.

4. Prinsip-prinsip Sistem Pendidikan Pesantren

Dalam penelitian disertasinya di Institut Pertanian Bogor

(IPB), Mastuhu menyimpulkan tentang prinsip-prinsip pendidikan

Pesantren sebagai berikut;

1. Theosentrik, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa semua

kejadian berasal, berproses, dan kembali kepada kebenaran

Tuhan. Oleh karenanya semua aktifitas pendidikan di pesantren

dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan. Belajar di pesantren

tidak dipandang sebagai alat, tetapi dipandang sebagai tujuan.

2. Sukarela dan mengabdi, karena semua orientasinya untuk

beribadah kepada Tuhan, maka penyelenggaraan pesantren

dilaksanakan secara suka rela dan mengabdi kepada sesama

dalam rangka mengabdi kepada Tuhan.

3. Kearifan, kearifan yang dimaksud disini adalah bersikap dan

berperilaku sabar, rendah hati, patuh kepada aturan hukum

agama, mampu mencapai tujuan tanpa merugikan orang lain,

dan mendatangkan manfa'at bagi kepentingan bersama.

4. Kesederhanaan. Sederhana yang dimaksud di sini bukan

kemiskinan, tetapi identik dengan kemampuan bersikap dan

berfikir wajar, proporsional, dan tidak tinggi hati.

5. Kolektifitas. Dalam dunia pesantren berlaku pendapat bahwa

"dalam urusan yang menyangkut hak, orang mendahulukan

kepentingan orang lain". Tetapi dalam hal kewajiban orang

harus mendahulukan kewajiban diri sendiri sebelum orang lain.

6. Mengatur kegiatan bersama. Hampir semua kegiatan dalam

pesantren di atur oleh santri. Mulai dari pembentukan

organisasi, mengatur waktu belajar, kegiatan keamanan dan

lain-lain.

7. Kebebasan terpimpin. Artinya walaupun Santri diberi

kebebasan untuk mengatur urusannya sendiri, tetapi tetap harus

Page 11: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

|Nur Hidayat

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah 27

taat kepada aturan umum pesantren yang telah digariskan oleh

kyai (tata tertib), artinya tidak bebas secara liar.

8. Kemandirian. Dalam pesantren tradisional, para santri

mengurus seluruh keperluannya sendiri, seperti masak, mencuci

pakaian, merencanakan belajar, dan mengatur keuangannya,

dan bahkan tidak sedikit para santri yang mencari uang sendiri

dengan bekerja apa saja, untuk membiayai keperluan hidupnya

selama di pesantren.

9. Tempat mencari ilmu dan mengabdi, di pesantren para santri

memfokuskan dirinya untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya

setiap saat selagi ada kesempatan, dan mengabdikan dirinya

untuk kepentingan pesantren. Mereka yakin ilmu kyai adalah

benar sehingga tidak perlu diperdebatkan, apalagi

dipertentangkan. Ilmu kyai haruslah diamalkan.

10. Tanpa ijazah. Keberhasilan santri bukanlah pada ijazah dan

angka-angka. Tetapi sejauhmana ia dapat meraih ilmu

sebanyak-banyaknya dan kemudian diakui oleh masyarakatnya,

serta direstui oleh kyainya.

11. Restu kyai, hal terpenting yang lain dalam dunia pesantren

adalah restu kyai. Karena bagaimanapun pinternya santri

dianggap tidak akan bermanfa'at ilmunya jika ia tidak direstui

Kyai. Oleh karenanya masarakat pesantren sangat hormat dan

ta'at kepada kyai serta berusaha semaksimal mungkin agar tidak

melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hati kyai.14

12. Keteladanan dan kaderisasi/pencangkokan, kyai/guru dalam

pesantren merupakan faktor terpenting dalam transmisi

keilmuan Islam. Apa yang dilakukan dan diajarkan kyai

dianggap sebagai sumber kebenaran bagi santri. Perilaku kyai

inilah yang kelak akan ditiru oleh para santri saat mereka telah

menjadi alumni sebuah pesantren/ atau saat mereka menjadi

kyai baru.

5. Keunikan dalam Tradisi Pesantren Tradisional

1. Konsep waktu

Konsep waktu dalam pesantren tidak menggunakan

ukuran waktu sebagaimana lazimnya masyarakat yaitu

detik, menit, dan jam, tetapi dengan ukuran waktu shalat

lima waktu; ba'da subuh, ba'da dzuhur, ba'da ashar, ba'da

magrib, ba'da Isya dan lain-lain. Konsep waktu seperti ini

digunakan untuk melakukan perjanjian, pengajian, dan

pertemuan-pertemuan antar masyarakat pesantren.15

14 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994,

h.62-66 15 Ibid. hal. 36

Page 12: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

Kontribusi Pendidikan Pondok Pesantren……|

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

28

2. Konsep Barakah

Ada keyakinan dalam masyarakat pesantren bahwa

barokah lebih tinggi nilainya dari sekedar restu kyai.

Konsep barokah muncul karena adanya keyakinan bahwa

kyai adalah segala-galanya, orang suci (karena ilmu dan

ibadahnya), sumber kebenaran, teladan hidup, dan

panutannya. Sehingga apapun yang berkaitan dengan

kyai sering dianggap dapat membawa kebaikan

hidupnya. Misalnya, sisa air minumnya, air cuci

tangannya, bersalaman dengannya, menyentuh

tangannya dan lain sebagainya. Tetapi konsep barokah ini

tidak sampai kepada taraf kultus individu. Sikap hormat,

takzim, dan kepatuhan mutlak kepada kyai adalah salah

satu nilai pertama yang ditanamkan kepada setiap santri,

termasuk juga kepatuhan kepada ulama-ulama

sebelumnya dan pengarang kitab-kitab yang

dipelajarinya. Bahkan menurut pengamat dari luar,

kepatuhan kepada kyai dianggap lebih penting daripada

usaha menguasai ilmu itu sendiri.16

3. Konsep kesehatan

Konsep kesehatan di pesantren tidak dikaitkan dengan

bersih dan sehat secara medis, tetapi dikaitkan dengan

pengertian agama (fiqih), yaitu suci atau tidak suci, dan

halal-haram. Maka tidaklah mengherankan jika sebagian

santri dipesantren terkesan kumuh, kudisan atau

"Gudigan" dalam Bahasa Jawa dan apa adanya. Bahkan

ada istilah di pesantren yaitu "santri undig", artinya santri

belum dinamakan santri kalau tidak gudigan/kudisan.

Tetapi bukan berarti mengabaikan kesucian. Karena bisa

jadi yang bersih belum tentu suci, dan yang suci juga

belum tentu bersih.

4. Konsep Thariqah/tirakat

Salah satu keyakinan yang di anggap dapat menunjang

keberhasilan belajar santri selain tekun belajar, adalah

konsep "tirakat", yaitu melakukan laku batin tertentu

seperti puasa, wirid, baca do'a-do'a tertentu, menghindari

makan-makanan tertentu, dan sebagainya. Bahkan sering

diyakini pula bahwa santri yang rajin tirakat, dapat

memperoleh ilmu laduni yaitu ilmu yang di dapat tanpa

belajar. Hal ini karena tradisi pesantren bernafaskan

sufistik ubudiyah. Banyak kyai yang berafiliasi kepada

16 Lihat, Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, hal. 18

Page 13: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

|Nur Hidayat

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah 29

tarekat tertentu dan diajarkan kepada pengikutnya berupa

ajaran ibadah dan amalan sufistik yang khas.17

D. Kontribusi Nilai-nilai Pendidikan Pesantren terhadap

Pembentukan Karakter Masyarakat (Social Character

Building)

1. Nilai Kemandirian

Nilai kemandirian saat ini sangat diperlukan ditengah-

tengah situasi sosial-politik dan ekonomi bangsa yang

belum stabil. Bangsa yang mandiri, adalah bangsa yang

mampu menciptakan lapangan kerjanya sendiri tanpa

menggantungkan hidupnya kepada Negara atau orang

lain, bahkan akan mempunyai nilai lebih lagi jika mampu

memberikan manfa'at bagi orang lain. Kontribusi nilai

kemandirian pesantren ini telah mampu menciptakan

petani-petani tangguh, wiraswasta yang unggul, dan

entrepreneur sejati yang lahir dari pola pendidikan

pesantren..

2. Nilai Kesederhanaan dan Keikhlasan

Nilai-nilai ini akan menjadikan bangsa ini apapun

jabatannya, menjadi manusia-manusia yang tidak gila

jabatan dan gila dunia. Sebab orientasi hidupnya adalah

pengabdian kepada Negara, dan beribadah kepada Allah.

Bukan sekedar "aji mumpung", menikmati jabatan, harta

kekayaan, popularitas, dan lain sebaginya, sebagimana

yang kita saksikan selama ini.

3. Nilai Semangat Belajar (Tafaqquh fi al-Diin)

Nilai semangat belajar merupakan salah satu elemen

penting pembangunan karakter bangsa (nation building).

Karena bangsa yang maju dan beradab sangat ditentukan

oleh tingkat kependidikan warga bangsanya, apalagi

pendidikan yang berbasis moral-spiritual akan

mengantarkan bangsanya menjadi bangsa yang unggul,

bermoral, dan mampu berdiri sejajar di tengah-tengah

bangsa lain.

4. Nilai Orientasi Hidup

Orientasi hidup yang diajarkan di pesantren, yaitu

orientasi hidup "fiddunya hasanah wa fil akhirati

17 Ibid. hal.20

Page 14: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

Kontribusi Pendidikan Pondok Pesantren……|

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

30

hasanah", menjadikan seluruh aktifitasnya di dunia

berorientasi ibadah. Implikasinya ia tidak mau mengotori

aktifitasnya dengan sesuatu yang dilarang dalam agama.

Nilai ini akan mengantarkan manusia menjadi manusia

yang jujur, bertanggungjawab, amanah dan semangat

pengabdian. Dunia hanyalah ladang untuk menuju

kehidupan akherat.

5. Fleksibilitas dan Keterbukaan

Masyarakat pesantren adalah masyarakat yang sangat

terbuka dan toleran. Mereka mudah bergaul dengan

kalangan manapun dan dan dari etnis manapun. Karena

mereka memandang semua manusia sama dihadapan

Tuhan, hanya taqwalah yang membedakannya. Karena

faktor fleksibilitas inilah seringkali, santri bergaul

melampuai batasnya, sehingga santri/kyai seringkali

mendapatkan banyak kritikan dari kalangan muslim yang

lain.

6. Nilai Persaudaraan

Nilai-nilai persaudaraan di pesantren senantiasa dilandasi

oleh nilai-nilai yang suci yaitu persaudaraan karena

Allah. Mereka meyakini bahwa bertemuanya mereka,

tidur bersama, makan bersama, mengaji bersama, dan

mengurus segala urusan hidup bersama dan jauh dari

orang tua adalah karena Allah, yaitu mencari ilmu.

Sehingga kalaupun mereka harus berpisah juga karena

Allah, yaitu berdakwah dan mengajarkan ilmu. Inilah,

salah satu ajaran dari Hadits Nabi bahwa di antara 7

golongan yang akan masuk surga adalah “Dua orang

yang bertemu karena Allah dan berpisah karena Allah”

E. Kritik terhadap Budaya Pesantren

1. Kurang memperhatikan kedisiplinan

Karena konsep waktu dalam dunia pesantren mengikuti

waktu shalat fardlu, maka ketepatan waktu sulit

dipegang. sehingga tidak heran jika kita lihat kalangan

santri kalau shalat lima waktu tidak tepat pada awal

waktu, perjanjian sering molor, dan kalau rapat sering

terlambat. Yang penting masih dalam koridor waktu

shalat. Sementara dalam prinsip agama islam

memperhatikan waktu adalah sesuatu yang sangat

penting.

Page 15: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

|Nur Hidayat

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah 31

2. Kurang memperhatikan kebersihan

Kebersihan yang merupakan sebagian dari iman, juga

kurang mendapat perhatian secara khusus dalam budaya

pesantren. Konsep "kebersihan sebagian dari Iman"

hanyalah sekedar slogan dan spanduk saja. Maka jangan

kaget bila kamar mandi, toilet, dan tempat wudlu di

pesantren-pesantren tradisional sangat kotor bahkan tidak

terawat sama sekali. Kumuh lecek, kotor, rambut

panjang, kudisan, adalah bagian dari budaya umum

masyarakat santri di pesantren, tetapi tentu saja sangat

memperhatikan masalah kesucian.

3. Kurang Menghargai Ilmu-ilmu Dunia

Masyarakat pesantren sangat bangga dengan ilmu-ilmu

agama yang mereka dapatkan dari pesantren. Karena

mereka menganggap ilmu agamalah yang akan menuntun

hidup manusia di dunia dan akherat. Hal ini mungkin

terpengaruh oleh kajian-kajian kitab kuning yang

membagi-bagi ada ilmu wajib dan ilmu yang tidak wajib,

bahkan ada ilmu yang tidak boleh di pelajari.18 Padahal

semua jenis ilmu adalah dari Allah dan boleh kita

pelajari, tinggal bagaimana kita dapat memiilih dan

memilahnya.

4. Kurang Menerima budaya Kritik

Keterbukaan masyarakat pesantren, ternyata hanya dalam

hal pergaualan sosial saja, tetapi dalam hal intelektual

ternyata masyarakat pesantren tidak mudah menerima

kritik. Hal ini mungkin karena budaya pesantren yang

menganggap bahwa figur kyai adalah segalanya,

pendapatnya selalu benar, dan tidak perlu

dipertentangkan. Sehingga tidak terbiasa menerima kritik

dari orang lain, lebih-lebih jika yang mengkritiknya

dianggap lebih rendah status dan derajat keilmuannya.

5. Lebih Dominan Ajaran Kitab Kuningnya dari pada

mendahulukan Al-Qur’an dan Sunnah

18 Dalam kajian Zamakhsyari, ada delapan jenis cabang ilmu yang biasa

dipelajari di pesantren; Nahwu (syntax), Saraf (morfologi), fiqh, ushul fiqh, tafsir,

hadis, tauhid, tasawuf, dan etika, serta cabang-cabang lain, seperti balaghoh, dan

tarikh Islam. Namun dari semua cabang ilmu yang lazim dipelajari di pesantren semua

fokus pada ilmu-ilmu agama, tanpa ada satupun yang mempelajari ilmu-ulmu umum

secara khusus. Lihat dalam Zamakhsyari Dzofier, Tradisi Pesantren, hal. 50

Page 16: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

Kontribusi Pendidikan Pondok Pesantren……|

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

32

Kedisiplinan (konsep waktu), kesehatan (konsep

Thaharah), perhatian kepada urusan dunia (konsep

keseimbangan hidup), saling mengingatkan kesalahan

(tawasaw bil haq wa tawasaw bi al-Shabr), adalah

konsep Syari’at Islam (al-Qur’an dan As-Sunnah). Tetapi

seringkali diabaikan atau kurang diperhatikan dalam

tradisi pesantren, hal ini dikarenakan budaya dan tradisi

pesantren yang terbentuk oleh doktrin kitab kuning yang

berorientasi kepada paham sufistik-ubudiyah, lebih

dominan. Dan tentu saja mengabaikan doktrin pokok (al-

Qur’an dan Sunnah), dengan lebih berorientasi kepada

doktrin kitab kuning, menurut hemat penulis, hal ini

kurang bijaksana. Oleh karena itu, tradisi dan budaya

pesantren yang sudah tidak relevan lagi perlu dibuang

jauh-jauh dan lebih disesuaikan dengan tradisi Al Qur’an

dan Hadis.

F. Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapatlah penulis ambil kesimpulan dalam

artikel ini berkaitan dengan pendidikan Islam dalam pemahaman

masyarakat tradisional pesantren yaitu sebagai berikut :

1. Pendidikan Pesantren dengan segala dinamikanya adalah

merupakan sub kultur pendidikan Islam dan pendidikan

nasional, artinya pendidikan di pesantren mempunyai

metodologi dan kurikulumnya sendiri yang terus dipertahankan

dan tetap eksis hingga saat ini, dan terbukti telah melahirkan

banyak orang cerdik pandai dan tokoh -tokoh nasional

2. Pesantren sebagai sub kultur bangsa Indonesia juga mempunyai

tradisi dan budayanya sendiri, yang juga telah memberikan

kontribusi yang positif terhadap pembentukan budaya bangsa;

kemandirian, kesederhanaan, kejujuran, keikhlasan,

kebersamaan, dan tanggungjawab

3. Eksistensi pesantren dengan segala budaya keilmuannya yang

positif perlu dipertahankan. Tetapi tentu saja dengan terus

melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik dan

lebih memberdayakan masyarakat

4. Kontinuitas dan perubahan dalam pesantren dalam merespon

perkembangan seharusnya tidak sampai mencerabut akar

idiologis dan budayanya, tetapi dalam rangka perbaikan dan

penyempurnaan

5. Meski eksistensi pesantren telah diakui dan mampu bertahan

menghadapi tantangan zaman selama ratusan tahun, tetapi

bukan berarti telah sempurna. Perlu adanya aspek-aspek budaya

pendidkan pesantren yang harus mendapat perhatian khusus

demi perbaikan citra pendidikan Islam, terutama konsep

kedisiplinan, kebersihan/kesehatan, keras kepala/tidak mudah

Page 17: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

|Nur Hidayat

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah 33

menerima kritik, dan orientasi kehidupannya di dunia, yang

lebih sesuai dengan semangat Al-Qur’an dan as-Sunnah.

Demikianlah, artikel kontribusi pendidikan pondok pesantren

tradisional terhadap pembentukan karakter bangsa. Mudah-mudahan

dapat memberikan gambaran, walau tidak utuh, mengenai pola

kehidupan pesantren tradisional. Kritik dan saran bagi perbaikan artikel

ini sangat penulis harapkan.

Page 18: KONTRIBUSI PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL ...

Kontribusi Pendidikan Pondok Pesantren……|

|Medikom | Jurnal Ilmu Pendidikan dan Dakwah

34

Daftar Pustaka

A.Susanto, Drs., M.Pd., Pemikiran Pendidikan Islam,. Jakarta:

AMZAH, 2009, Cet. Ke-1

Azra, Azyumardi, Prof. Dr, MA, Pendidikan Islam,: Tradisi dan

Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos Wacana

Ilmu, 1999, Cet. Ke-1

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan

Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994, Cet. Ke-6

Djamas, Nurhayati, DR., MA., Dinamika Pendidikan Islam di

Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2009

Indra, Hasbi, DR. M.Ag, Pesantren dan Transformasi Sosial; Studi

Atas Pemikiran KH. Abdullah Syafi'ie dalam Bidang

Pendidikan Islam, Jakarta: Penamadani, 2003, cet. Ke-1

Kartanegara, Mulyadhi, Tradisi Ilmiah Islam, Jakarta: Serambi, 2005

Madjid, Nurcholis, DR. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret

Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997, Cet. Ke-1

Mas'ud, Abdurrahman MA, Ph.D, Intelektual Pesantren: Perhelatan

Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2004Cet. Ke-1

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994

Muhtarom, H.M, Dr., Reproduksi Ulama di Era Globalisasi:

Resistensi Tradisional Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005

Sukarta, Mad Rodja Menjaga Visi dan Tradisi Pesantren, Bogor: DM

Grafika, 2009, Cet. Ke-1

Van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat,

Bandung: Mizan, 1995, Cet. Ke-1

Wahjoetomo, Dr. dr., Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan

Alternatif Masa Depan, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, cet.

Ke-1

Wahid, Marzuki, dkk. (ed.), Pesantren Masa Depan: Wacana

Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka

Hidayah, 1999, Cet. Ke-1

Yunus, H. Mahmud, Prof. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,

Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1962, Cet. Ke-4

Zaini, A. Wahid, KH. Drs. SH, Dunia Pemikiran Kaum Santri,

Yogyakarta: LKPSM NU DIY, 1994, Cet. Ke-1