PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG DILAKUKAN OLEH PASANGAN KAWIN CAMPUR TANPA ADANYA
PERJANJIAN KAWIN
Yanti IndrawatiSarjana Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Narotama Surabaya
Email : [email protected]
ABSTRACT - This study discusses the transfer of rights over land by mixed marriage couples marry without their agreement. This is because many intermarried couples who do not enter into agreements segregation of assets and does not know about the arrangement buying and selling land and buildings in Indonesia that is allowed for a couple of intermarrying according to national law of the land. The research discussed in this study of how land ownership by foreign nationals in the absence of agreement to marry in a mixed marriage and how the validity of the sale and purchase of land and buildings in Indonesia by a pair of interbreeding with joint property related rights arrangements on certain lands in the UUPA , This research used normative juridical research. The results of the study by UUPA, a right that can be owned by foreigners (WNA) included in this case they are married to a citizen without a mate is the Right of Use agreement. And if the land and buildings to be sold as Hak then a woman who is an Indonesian citizen can act alone without the consent of a male foreign nationals because foreigners can not have land rights in the form of property rights in accordance with Article 21 of the UUPA.
Keywords : Transfer of rights to land, Buy and sell, Intermarriage
PENDAHULUAN
Dengan era globalisasi yang
lebih terbuka untuk lintas batas
antara negara yang satu dan negara
lain menjadikan interaksi yang tidak
bisa dihindari antara orang dari satu
negara dengan warga negara lainnya,
dimana tidak jarang dari interaksi
tersebut sampai dengan dilakukannya
proses perkawinan dengan beda
kewarganegaraan. Perkawinan ini di
Indonesia di kenal dengan istilah
perkawinan campuran.1 Dalam
perundang-undangan di Indonesia,
perkawinan diatur dalam Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. (selanjutnya akan
disebut dengan UUP). Hukum
perkawinan di Indonesia dibagi
menjadi dua yaitu, yang pertama
adalah yang bertalian dengan
hubungan antara pria dan wanita
1Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Indonesia dan Malaysia, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1996, h. 3
1
2
untuk menciptakan keluarga dan
yang kedua adalah hukum kekayaan
dalam perkawinan yang mengatur
tentang harta suami isteri yang
timbul dalam hubungan perkawinan.
Salah satu hubungan yang terjadi
akibat perkawinan adalah hubungan
suami isteri dengan harta benda
dalam perkawinan. Menurut
KUHPerdata, dengan adanya
perkawinan maka sejak pada hari
terjadinya perkawinan dengan
sendirinya menurut hukum terjadi
percampuran harta kekayaan.
Percampuran itu berlaku secara bulat
tanpa mempersoalkan bawaan
masing-masing atau dengan kata lain
bersifat kolektif. Sedangkan dalam
UUP, pengertian harta perkawinan
pada dasarnya sama dengan menurut
KUHPerdata hanya saja terdapat
perbedaan, yang dikarenakan sifat
kedudukan hubungan hukum antara
suami lain yaitu bersifat kolektif,
sedangkan UUP bersifat individual.
Hal ini disebabkan kedudukan isteri
dengan suami adalah seimbang,
dimana perempuan meskipun sudah
nikah adalah tetap cakap, secara
individu masing-masing dapat
dipertanggungjawabkan. Sehingga
harta perkawinan menurut UUP
adalah harta yang timbul selama
perkawinan tidak termasuk harta
yang dibawa masing-masing sebelum
perkawinan berlangsung.2 Mengenai
hubungan hukum antara suami isteri
terhadap harta. Dalam UUP diatur
dalam pasal 35, 36, dan 37.
Mengenai harta benda perkawinan
dalam pasal 35 dibedakan menjadi:
1. Harta yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta
bersama.
2. Harta bawaan masing-masing
suami isteri dan harta
yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan
adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain.
Seperti yang disebutkan dalam
pasal 35 UUP, maka harta yang
diperoleh selama perkawinan akan
menjadi harta bersama. Pengertian
dari harta bersama secara lebih luas
adalah barang-barang yang diperoleh
selama perkawinan, dimana suami
isteri hidup berusaha untuk
memenuhi kepentingan kebutuhan
kehidupan keluarga. Oleh karena
harta bersama merupakan harta yang
dimiliki bersama-sama oleh suami
2Ibid., h. 97
3
dan istri, maka untuk melakukan
tindakan terhadap harta tersebut
memerlukan persetujuan dari kedua
belah pihak. Hal ini seperti yang
diatur dalam pasal 36 ayat (1) UUP,
disebutkan bahwa mengenai harta
bersama, suami isteri dapat bertindak
atas persetujuan kedua belah pihak :
1. Suami dapat bertindak atas harta
bersama setelah ada persetujuan
isteri.
2. Isteri dapat bertindak atas harta
bersama setelah mendapat
persetujuan dari suami.
Dari pasal tersebut bahwa suami
maupun isteri tidak dapat secara
sendiri-sendiri melakukan tindakan
terhadap harta bersamanya seperti
menjual atau menjaminkan harta
tersebut, karena keduanya memiliki
hak dan kewajiban yang sama
terhadap harta tersebut. Jadi, apabila
si suami atau si isteri ingin
mengalihkan hak atas tanah yang
menggunakan harta bersama maka si
suami atau isteri tersebut harus
mendapatkan persetujuan dari
pasangannya. Persetujuan ini
harus didapat bukan hanya karena
telah diatur dalam UUP, namun
hal ini juga penting dalam hal
pemilikan hak atas tanah atau rumah
tersebut. Ketentuan Hak-Hak Atas
Tanah dalam pasal 4 ayat (1) UUPA
dijabarkan lebih lanjut dalam
pasal 16 ayat (1) dan pasal 53
UUPA.
Dalam kaitannya dengan subyek
yang dapat diberikan dan mempunyai
hak atas tanah, maka sesuai dengan
asas nasionalitas yang menjadi
landasan UUPA, ditentukan
bahwa hanya WNI yang dapat
mempunyai hubungan sepenuhnya
dengan bumi, air, dan ruang angkasa
(Pasal 9 ayat 1 UUPA). Apabila hal
itu dihubungkan dengan pasal
16 UUPA, maka hanya warga
negara Indonesia yang dapat
mempunyai Hak Milik sebagaimana
ditegaskan dalam pasal 21 ayat (1).
Peralihan Hak Milik atas
tanah baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada orang
asing, kepada seseorang yang
mempunyai dua kewarganegaraan,
karena percampuran harta
atau kepada badan hukum yang
tidak ditunjuk oleh pemerintah
adalah batal karena hukum
dan tanahnya jatuh kepada
negara, artinya tanah tersebut
kembali menjadi tanah yang dikuasai
4
langsung oleh negara3.
Dua hal yang penting dalam
peralihan hak atas tanah dan
bangunan adalah mengenai subjek
dan objek. Dalam jual beli subjek
yang terkait adalah penjual dan
pembeli. Hal yang perlu diperhatikan
dari penjual adalah apakah penjual
berhak menjual, yaitu apakah ia
merupakan pemegang yang sah dari
hak atas tanah yang dijualnya. Selain
berhak menjual, penjual juga harus
berwenang menjual tanah tersebut
karena mungkin saja ia berhak atas
suatu tanah namun ia tidak
berwenang menjualnya. Hal ketiga
yang perlu diperhatikan dari pihak
penjual adalah apakah ia boleh
menjual, karena penjual mungkin
berhak menjual sebidang tanah, ia
juga berwenang, namun ia tidak atau
belum boleh menjual tanah tersebut4.
Misalnya dikarenakan larangan oleh
suatu undang-undang atau karena
tanah tersebut sedang disita
pengadilan. Untuk pembeli, hal yang
perlu diperhatikan adalah apakah
pembeli boleh membeli. Hal ini
3Maria Sumardjono, Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan badan Hukum Asing, Kompas, Jakarta, 2007, h. 38
4Effendi Perangin, Praktek Jual Beli Tanah : Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, h. 5
dikarenakan setelah jual beli
terlaksana, tentu saja tanah itu akan
menjadi hak pembeli, yang menjadi
persoalan adalah apakah pembeli
boleh menjadi subjek atau pemegang
dari hak atas tanah yang dibeli itu5.
Seperti yang kita ketahui dalam
UUPA diatur mengenai jenis-jenis
hak atas tanah, diantaranya adalah
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai, dan
lain-lain.
Apabila dalam hal ini subjek
dari jual beli ini, baik penjual
maupun pembeli merupakan
pasangan suami istri dan objek dari
jual beli itu yaitu tanah dan bangunan
tersebut merupakan harta bersama,
maka sesuai dengan penjelasan yang
telah disebutkan, harus mendapatkan
persetujuan dari kedua belah pihak.
Hal ini penting untuk mengetahui
apakah mereka berhak atau tidak
dalam menjual atau membeli tanah.
Untuk pasangan suami istri yang
keduanya berasal dari Indonesia, hal
ini tentunya tidak menjadi masalah,
yang menjadi masalah adalah ketika
pembeli atau penjual merupakan
pasangan kawin campur.
5Ibid., h. 7
5
Hal mengenai peralihan hak atas
tanah dan bangunan yang dilakukan
oleh pasangan kawin campur ini
yang belakangan menjadi perhatian
para pihak. Hal ini juga banyak
terjadi diantara WNI yang menikah
dengan WNA. Banyak diantara
pasangan tersebut yang tinggal dan
menetap di Indonesia sehingga
mengharuskan mereka untuk
memiliki tempat tinggal di Indonesia.
Untuk mengadakan jual beli tanah
menggunakan harta bersama dalam
perkawinan campur akan menjadi
masalah terkait dengan hak atas
tanah yang dapat dimiliki oleh WNA
terkait aturan dalam UUPA, yaitu
khususnya mengenai jual beli tanah
dengan Hak Milik atau Hak Guna
Bangunan (HGB) yang diatur dalam
pasal 26 dan pasal 36 UUPA. Pasal
tersebut melarang peralihan tanah
Hak Milik atau HGB terhadap WNA.
Sehingga hal ini akan menyulitkan
apabila pasangannya yang
berkewarganegaraan Indonesia ingin
melakukan jual beli tanah dan
bangunan, jika harta yang digunakan
merupakan harta bersama.
Berdasarkan dari latar belakang
tersebut diatas maka terdapat
beberapa pokok permasalahan yang
akan dibahas yaitu :
Berdasarkan uraian dan latar
belakang masalah yang telah
dijelaskan diatas, maka rumusan
masalahnya adalah :
1. Bagaimana kepemilikan hak atas
tanah oleh warga negara asing
tanpa adanya perjanjian kawin
dalam perkawinan campuran?
2. Bagaimana keabsahan jual beli
hak atas tanah dan bangunan di
Indonesia oleh pasangan kawin
campur dengan harta bersama
terkait pengaturan hak atas tanah
tertentu dalam UUPA?
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan
tipe penelitian yuridis normatif,
artinya penelitian ini didasarkan pada
penelusuran studi pustaka atas
seperangkat norma yang telah ada,
khususnya Peraturan perundang-
undangan yang digunakan yaitu
Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Undang-
undang No 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria dan peraturan lainnya yang
berhubungan dengan materi yang
dibahas.
6
Pendekatan masalah yang
digunakan dalam skripsi ini adalah
pendekatan Peraturan Perundang-
undangan (Statute Approach) dan
pendekatan konseptual (Conceptual
Approach).
PEMBAHASAN
Kepemilikan Hak Atas Tanah
Oleh Warga Negara Asing Tanpa
Adanya Perjanjian Kawin Dalam
Perkawinan Campuran
Hak atas tanah merupakan suatu
hak untuk menguasai tanah oleh
negara yang diberikan kepada
seseorang, sekelompok orang,
maupun kepada badan hukum baik
warga negara Indonesia maupun
warga negara asing. Pemegang hak
milik atas suatu tanah mempunyai
wewenang untuk menggunakan serta
memanfaatkan tanah hak miliknya
untuk kepentingan hidupnya dengan
mematuhi peraturan yang diatur
dalam UUPA serta Peraturan
Perundangan-Undangan lain yang
terkait. Warga negara asing dan
badan-badan hukum asing diberikan
hak sesuai yang ditetapkan dalam
Pasal 41, 42, 45, dan pasal 55
UUPA. UUPA pasal 42 mengatur
bahwa yang dapat mempunyai hak
pakai adalah :
1. Warga Negara Indonesia
2. Orang asing yang berkedudukan
di Indonesia.
3. Badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
4. Badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan di
Indonesia.
Warga negara asing yang
berkedudukan di Indonesia dapat
menguasai tanah dengan Hak Pakai
atau Hak Sewa Untuk Bangunan dan
memiliki bangunan yang didirikan
di atasnya. Orang asing tidak
diperbolehkan menguasai tanah
dengan hak milik, seperti yang diatur
pada Pasal 26 ayat (2) UUPA dimana
apabila orang asing mendapat hak
milik maka tanah tersebut dikuasai
oleh negara. Hal ini untuk
mengurangi adanya kepemilikan atas
tanah oleh orang asing. Karena selain
menjaga agar tanah hak milik WNI
tidak menjadi tanah milik orang
asing, kepemilikan atas hak milik
juga membantu WNI agar dapat
memanfaatkan tanah hak miliknya
untuk menunjang kehidupannya.
7
Bagi orang asing berlaku
larangan kepemilikan atas tanah hak
milik sesuai dengan Pasal 21 UUPA,
serta bagi badan-badan hukum yang
ingin berkedudukan di Indonesia
harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh Pemerintah. Namun
apabila orang asing mendapatkan hak
milik karena waris atau adanya
pencampuran harta pada saat
melakukan perkawinan dengan
warga negara Indonesia setelah
berlakunya UUPA harus melepaskan
hak miliknya dalam jangka waktu
satu tahun saat hak tersebut diperoleh
atau pada saat orang tersebut
kehilangan kewarganegaraannya
seperti yang diatur pada Pasal 21
ayat (3) UUPA. Dan jika dalam
jangka waktu tersebut seseorang itu
tidak melepaskan hak miliknya,
maka hak tersebut hapus karena
hukum dan tanah yang menjadi hak
milik orang asing tersebut dikuasai
oleh negara.
Bagi orang asing yang bertempat
tinggal di Indonesia dapat
menggunakan hak pakai untuk
mendirikan sebuah bangunan, seperti
yang diatur pada Pasal 42 UUPA.
Untuk pemberian hak pakai oleh
pemilik hak atas tanah dalam jangka
waktu tertentu kepada orang asing
ataupun warga negara Indonesia
tidak boleh memberikan syarat-
syarat yang dapat merugikan salah
satu pihak. Dimana pemberi hak
pakai sebagai pemilik atas tanah hak
pakai, serta penerima hak pakai harus
mematuhi hak dan kewajiban yang
telah disepakati dalam perjanjian.
Peralihan Hak Atas Tanah Melalui
Jual Beli Dalam Perkawinan
Campuran
Jual beli tanah menurut UUPA
merupakan perbuatan hukum
pemindahan hak yang sifatnya terdiri
dari 3 unsur, yaitu:6
1) Tunai artinya penyerahan hak dan
pembayaran harganya dilakukan
pada saat yang sama.
2) Riil artinya dengan mengucapkan
kata-kata dengan mulut saja
belumlah terjadi jual beli, hal ini
dikuatkan dalam Putusan MA
No. 271/K/Sip/ 1956 dan
No.840/K/Sip/1971. Jual beli
dianggap telah terjadi dengan
penulisan kontrak jual beli
di muka Kepala Kampung serta
penerimaan harga oleh
penjual, meskipun tanah yang
6 ?Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, 2006, h. 77
8
bersangkutan masih berada dalam
penguasaan penjual.
3) Terang artinya dipenuhi pada
umumnya pada saat dilakukannya
jual beli itu disaksikan oleh
Kepala Desa, karena Kepala Desa
dianggap orang yang mengetahui
tentang hukum dan kehadiran
Kepala Desa mewakili warga
masyarakat desa tersebut. Sejak
berlakunya Peraturan pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah, jual beli
dilakukan oleh para pihak di
hadapan PPAT yang bertugas
membuat aktanya. Dengan
dilakukannya jual beli di hadapan
PPAT, dipenuhi syarat terang
(bukan perbuatan hukum yang
gelap, yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi)7 Akta jual
beli yang ditandatangani para
pihak membuktikan telah terjadi
pemindahan hak dari penjual
kepada pembelinya dengan
disertai pembayaran harganya,
telah memenuhi syarat tunai dan
menunjukan bahwa secara nyata
atau riil perbuatan hukum jual beli
yang bersangkutan telah
dilaksanakan. Akta tersebut
7Ibid., h. 77
membuktikan bahwa benar telah
dilakukannya perbuatan hukum
yang dilakukan merupakan
perbuatan hukum pemindahan
hak, maka akta tersebut
membuktikan bahwa penerima
hak (Pembeli) sudah menjadi
pemegang haknya yang baru.
Akan tetapi, hal itu baru diketahui
oleh para pihak dan ahli warisnya,
karenanya juga baru mengikat
para pihak karena administrasi
PPAT sifatnya tertutup.8
Syarat Jual Beli ada dua yaitu :
1) Syarat Materil
Syarat materil sangat menentukan
akan sahnya jual beli tanah
tersebut, antara lain sebagai
berikut:
a) Pembeli berhak membeli
tanah yang bersangkutan
maksudnya adalah pembeli
sebagai penerima hak harus
memenuhi syarat untuk
memiliki tanah yang akan
dibelinya. Untuk menentukan
berhak atau tidaknya si
pembeli memperoleh hak atas
tanah yang dibelinya
tergantung pada hak apa yang
ada pada tanah tersebut,
8Ibid., h. 79
9
apakah hak milik atas tanah
hanya warga negara
indonesia tunggal dan badan-
badan hukum yang ditetapkan
oleh pemerintah (Pasal 21
UUPA).
b) Penjual berhak menjual tanah
yang bersangkutan.
2) Syarat Formal, setelah semua
persyaratan materiil dipenuhi
maka PPAT (Pejabat Pembuat
Akta Tanah) akan membuat akta
jual belinya. Akta jual beli
menurut Pasal 37 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 harus dibuat oleh PPAT.
Adapun prosedur jual beli tanah
menurut Undang-Undang Pokok
Agraria, yaitu Jual beli tanah itu
diawali kata sepakat antara calon
penjual dengan calon pembeli
mengenai objek jual belinya yaitu
tanah hak milik yang akan dijual
dan harganya. Hal ini dilakukan
melalui musyawarah di antara
mereka sendiri, setelah mereka
sepakat akan harga dari tanah itu,
biasanya sebagai tanda jadi,
diikuti dengan pemberian panjer.
Pemberian panjer tidak diartikan
sebagai harus dilaksanakan jual
beli itu. Panjer disini memiliki
fungsi hanya sebagai tanda jadi
akan dilaksanakannnya jual beli.
Dengan adanya panjer, para pihak
akan merasa mempunyai ikatan
moral untuk melaksanakan jual
beli tersebut. Apabila telah
ada panjer, maka dapatlah
diselenggarakan pelaksanaan jual
beli tanahnya dengan calon
pembeli dan calon penjual
dihadapan Kepala Desa (Adat)
untuk menyatakan maksud
mereka itu. Kemudian oleh
penjual dibuat suatu akta
bermaterai yang menyatakan
bahwa benar penjual telah
menyerahkan tanah miliknya
untuk selama-lamanya kepada
pembeli dan bahwa benar penjual
telah menerima harga secara
penuh. Akta tersebut
ditandatangani oleh pembeli dan
Kepala Desa (Adat). Dengan telah
ditandatanganinya akta tersebut,
maka perbuatan jual beli itu
selesai. Pembeli kini menjadi
pemegang hak atas tanahnya yang
baru dan sebagai tanda buktinya
adalah surat jual beli tersebut 9.
Perkawinan campuran yang
dimaksud dalam UUP adalah
9Ibid., h. 80
10
perkawinan antara perkawinan yang
di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.
Dari pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa dalam
perkawinan campuran salah satu
pihak merupakan pihak asing.
Apabila hal ini dikaitkan dengan
pengaturan harta dalam perkawinan,
khususnya mengenai harta bersama,
maka akibat dari perkawinan campur
tersebut akan menyebabkan setengah
bagian dari harta bersama antara
suami dan istri tersebut menjadi
milik dari pasangan yang berstatus
WNA tersebut. Namun untuk melihat
apakah UUP berlaku bagi pasangan
kawin campur maka hal ini dapat
dilihat menurut prinsip-prinsip
hukum perkawinan di Indonesia.
Harta benda perkawinan adalah
termasuk status personal. Maka
untuk pengaturan mengenai harta
benda perkawinan yang banyak
dipakai dalam jurisprudensi di
Indonesia adalah menggunakan
prinsip nasionalitas, sehingga hukum
yang digunakan adalah hukum
nasional para pihak. Hal ini hanya
dapat diterapkan apabila kedua pihak
memiliki kewarganegaraan yang
sama, baik yang disebabkan oleh
pilihan para pihak maupun yang
didapatkan sebagai akibat dari
perkawinan itu sendiri. Lain haknya
apabila pasangan suami isteri ini
memiliki kewarganegaraan yang
berbeda. Dengan adanya perbedaan
tersebut, maka penggunaan prinsip
status personal (kewarganegaraan
para pihak) akan sulit diterapkan
untuk pasangan yang memiliki
kewarganegaraan berbeda, hukum
yang digunakan adalah menurut
hukum domisili pasangan setelah
menikah. Oleh karena itu, untuk
pasangan kawin campur yang
berdomisili di Indonesia maka
berlakulah UUP untuk pengaturan
harta benda perkawinan.
Selanjutnya, hukum yang
berlaku bagi benda yang tidak
bergerak adalah hukum dimana
benda tersebut terletak (prinsip lex
rei sitae). Oleh karena itu, jika tanah
yang dibeli terletak di Indonesia,
maka hukum tanah yang digunakan
adalah hukum tanah nasional yang
diatur dalam UUPA.
Hal ini kemudian yang menjadi
permasalahan, yaitu ketika pasangan
11
kawin campur melakukan jual beli
tanah dan bangunan dengan
menggunakan harta bersama di
Indonesia karena yang berlaku
adalah hukum tanah nasional
Indonesia. Dalam hukum tanah
nasional, hak-hak yang dapat
dimiliki oleh asing tidaklah tak
terbatas. Hal ini disebabkan
karena adanya larangan-larangan
kepemilikan hak atas tanah tertentu
oleh orang asing. Larangan itu
disebutkan antara lain, untuk hak
milik dalam pasal 21 ayat (2) UUPA.
Untuk menjawab permasalahan
tersebut maka hal pertama adalah
hukum yang berlaku untuk status
harta perkawinan dan hukum dari
hartanya sendiri, dalam hal ini tanah
dan rumah dengan hak berupa hak
milik. Dari penjelasan sebelumnya,
maka ketentuan mengenai harta
benda perkawinan dalam UUP bagi
pasangan perkawinan campur karena
tidak membuat perjanjian kawin
mengenai pemisahan harta, maka
harta yang diperoleh selama
perkawinan akan masuk dalam harta
bersama, kemudian untuk tanah dan
bangunan yang dibeli oleh pasangan
kawin campur dalam hal ini berada
di Indonesia, maka berlakulah
pengaturan hukum tanah nasional
dalam jual beli tanah tersebut. Yang
perlu diperhatikan lebih lanjut
mengenai para pihak adalah apakah
penjual dan pembeli berhak dan
berwenang untuk membeli atau
menjual tanah yang dijual atau dibeli
olehnya. Untuk melihat penjual atau
pembeli berhak atau tidak atas tanah
tersebut, maka hal ini dapat dilihat
dari pengaturan dalam UUPA
mengenai subjek-subjek hak atas
tanah. Untuk subjek atas hak milik
diatur dalam pasal 21 UUPA, untuk
hak pakai diatur dalam pasal 42
UUPA. Apabila penjual atau pembeli
merupakan pihak yang tidak berhak
atas tanah tersebut, maka jual beli
tersebut adalah batal demi hukum.
Untuk jual beli hak milik, hal ini
diatur secara jelas dalam pasal 26
ayat (2) UUPA, bahwa jual beli
tersebut akan batal demi hukum dan
tanah tersebut akan menjadi milik
negara. Begitu juga dengan
pengalihan hak milik, apabila
dilakukan oleh dan untuk subjek-
subjek yang tidak memenuhi syarat
sebagai penerima hak tersebut maka
hak tersebut akan hapus demi
hukum. Selanjutnya adalah mengenai
kewenangan, dari penjual atau
12
pembeli tanah. Bagi penjual dan
pembeli yang sudah menikah, maka
perlu dilihat adalah apakah pihak
tersebut menjual atau membeli
tanahnya yang merupakan harta
bersama atau merupakan harta
bawaan. Untuk suami atau istri yang
ingin menjual tanah yang merupakan
harta bawaan, maka berwenang
secara penuh atas tanah tersebut
tanpa memerlukan izin dari
pasangannya, untuk suami atau isteri
yang ingin menjual tanah yang
merupakan harta bersama, maka
dalam hal ini suami atau isteri
tersebut tidak berwenang menjual
sendiri tanah itu. Ia harus bertindak
sebagai penjual bersama-sama suami
atau isterinya, atau pasangannya
memberikan persetujuan tertulis
untuk menjual tanah itu, hal ini
didasarkan pada pasal 36 UUP.
Apabila para pihak telah terbukti
berwenang dan memenuhi seluruh
syarat dan dokumen yang diperlukan,
maka tahap selanjutnya dalam proses
jual beli tanah adalah pemeriksaan
terhadap tanah atau bangunan (objek)
yang dilakukan melaui pemeriksaan
sertifikat tanah oleh PPAT ke kantor
pertanahan guna mengetahui keaslian
sertifikat, kemudian apakah sertifikat
tersebut sedang dijaminkan atau
tidak. Serta apakah tanah tersebut
sedang dalam sengketa atau tidak.
Setelah sertifikat tersebut terbukti
asli dan tidak dalam sengketa atau
tidak dijaminkan, maka para pihak
kemudian diwajibkan untuk
membayar pajak-pajak. Bagi pembeli
membayar BPHTB (Bea Perolehan
Hak Tanah dan Bangunan) dan bagi
penjual membayar Pph (Pajak
Penghasilan). Setelah pajak tersebut
lunas, barulah para pihak membuat
Akta Jual Beli (AJB) tanah
dihadapan Notaris/PPAT. Dalam
proses pembuatan AJB tersebut,
harus dihadiri oleh calon penjual dan
calon pembeli atau orang yang diberi
kuasa tertulis, saksi sekurang-
kurangnya 2 orang saksi. Hal
selanjutnya adalah PPAT yang
membacakan akta dan menjelaskan
mengenai isi dan maksud pembuatan
akta. Setelah akta tersebut disetujui
oleh semua pihak, maka barulah AJB
tersebut ditandatangani oleh penjual,
calon pembeli, saksi-saksi, dan
PPAT. Akta tersebut dibuat 4
rangkap 2 lembar asli dengan
perincian 1 lembar disimpan dikantor
PPAT dan 1 lembar untuk
disampaikan di Kantor Pertanahan
13
yang digunakan untuk pendaftaran
(balik nama) dan 2 lembar salinan
untuk penjual dan pembeli.
Penyerahan AJB ke kantor
pertanahan tersebut dilaksanakan
selambat-lambatnya 7 hari kerja
sejak ditandatanganinya akta. Pada
proses pendaftaran tanah, nama dari
pemilik lama dicoret untuk kemudian
dituliskan nama pemilik baru dalam
sertifikat tanah tersebut.10
Keabsahan Jual Beli Hak Atas
Tanah dan Bangunan di Indonesia
Oleh Pasangan Kawin Campur
Dengan Harta Bersama
Secara umum dalam jual beli
hak atas tanah dan bangunan seperti
yang telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, jual beli
hak atas tanah dan bangunan
harus dilakukan dihadapan yang
berwenang. Sama halnya dengan jual
beli hak atas tanah dan bangunan
di Indonesia yang dilakukan oleh
pasangan kawin campur dengan harta
bersama harus dilakukan dihadapan
yang berwenang. Dalam hal ini yang
berwenang adalah Pejabat Pembuat
Akta Tanah. Dan yang perlu
diperhatikan lebih lanjut mengenai
10Ibid., h. 83
para pihak apakah penjual dan
pembeli berhak dan berwenang untuk
menjual atau membeli tanah yang
dijual atau dibeli olehnya sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam
UUPA. Hak Milik atas tanah hanya
dapat dimiliki oleh warga negara
Indonesia. Hak Guna Usaha dan Hak
Guna Bangunan dapat diberikan
kepada warga negara Indonesia dan
badan hukum Indonesia. Sedangkan
Hak Pakai dapat diberikan kepada
warga negara Indonesia, warga
negara asing, badan hukum
Indonesia dan badan hukum asing.
Untuk pasangan kawin
campur dalam hal ini adalah
seorang perempuan yang
berkewarganegaraan Indonesia
menikah dengan seorang laki-laki
yang berkewarganegaraan asing yang
membeli rumah dengan hak berupa
hak milik dengan harta bersama yang
tertulis atas nama seorang perempuan
yang berkewarganegaraan Indonesia.
Seorang perempuan yang
berkewarganegaraan Indonesia
tersebut tidak mengikuti
kewarganegaraan suaminya sehingga
mereka tetap pada kewarganegaraan
masing-masing.
14
Dalam hal mengalihkan hak atas
tanah dan bangunan berupa hak milik
tersebut, maka pihak yang berhak
menandatangani Akta Jual Beli yaitu
Istri yang berkewarganegaraan
Indonesia tersebut. Istri yang
berkewarganegaraan Indonesia dapat
bertindak sendiri dalam hal
mengalihkan hak atas tanah dan
bangunan tersebut karena suami yang
berkewarganegaraan asing tidak
dapat memiliki hak atas tanah berupa
hak milik sesuai dengan Pasal 21
UUPA. Dengan proses ini, maka jual
beli hak atas tanah dan bangunan sah
dimata hukum.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Kepemilikan Hak Atas Tanah
yang boleh dimiliki oleh warga
negara asing tanpa adanya
perjanjian kawin dalam
perkawinan campuran yaitu
Hak Pakai. Sehingga dalam
perkawinan campuran yang
dilangsungkan tanpa membuat
perjanjian kawin, Hak Pakai bisa
menjadi harta bersama dalam
perkawinan campuran tersebut.
Selain Hak Pakai, misalnya Hak
Milik, Hak Guna Bangunan dan
Hak Guna Usaha dalam
perkawinan campuran tanpa
adanya perjanjian kawin tidak
bisa menjadi harta bersama.
2. Keabsahan jual beli hak atas
dan bangunan di Indonesia
oleh pasangan perkawinan
campuran tanpa adanya
perjanjian kawin harus
dilakukan dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Dan
untuk pasangan kawin campur
dalam hal mengalihkan hak
atas tanah dan bangunan
berupa hak milik yang tertulis
atas nama Istri yang
berkewarganegaraan Indonesia,
maka pihak yang berhak
menandatangani Akta Jual
Beli yaitu Istri yang
berkewarganegaraan Indonesia.
Istri yang berkewarganegaraan
Indonesia dapat bertindak
sendiri dalam hal mengalihkan
hak atas tanah dan bangunan
tersebut karena suami
yang berkewarganegaraan
asing tidak dapat memiliki hak
atas tanah berupa hak milik
sesuai dengan Pasal 21 UUPA.
Dengan demikian, maka jual
beli hak atas tanah dan
bangunan sah dimata hukum.
15
Saran
1. Dalam hal kepemilikan hak
atas tanah yang boleh dimiliki
oleh warga negara asing
adalah hak pakai. Dan apabila
hak milik sudah terlanjur
diperoleh karena waris atau
adanya pencampuran harta
pada saat melakukan
perkawinan dengan warga
negara Indonesia maka dalam
jangka waktu satu tahun
harus melepas hak miliknya
tersebut. Jika sesudah jangka
waktu tersebut lampau hak
milik itu tidak dilepaskan,
maka hak tersebut hapus
karena hukum dan tanahnya
jatuh pada negara.Oleh
karena itu penulis
menyarankan untuk segera
melepaskan hak milik apabila
subyek dari hak atas tanah
tersebut adalah warga negara
asing agar tanahnya tidak
jatuh pada negara.
2. Bagi WNI yang berencana
menikah dengan WNA
penulis menyarankan calon
suami dan isteri untuk
membuat perjanjian
perkawinan yang mengatur
mengenai harta benda
perkawinan sebelum
perkawinan dilangsungkan
yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan. Hal ini
untuk menghindari kesulitan-
kesulitan yang mungkin
terjadi, misalnya dalam hal
mengenai jual beli tanah dan
bangunan, dengan adanya
perjanjian kawin, apabila para
pihak bersepakat untuk
mengadakan pemisahan harta
maka calon suami atau isteri
memiliki kewenangan penuh
terhadap hartanya masing-
masing.
DAFTAR PUSTAKA
Rasjidi, Lili, 1996, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Indonesia dan Malaysia, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Sumardjono, Maria, 2007, Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan badan Hukum Asing, Kompas, Jakarta.
Perangin, Effendi, 1994, Praktek Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sutedi, Adrian, 2006, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika.
Top Related