Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
1
DAMPAK PENATAAN PARKIR BADAN JALAN TERHADAP ESTETIKA
KOTA DI KAWASAN NIAGA KOTA SURABAYA
Shanzah Isminingtias Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga
Abstract
The increasing vehicle ownership in urban city like Surabaya has increased the need of parking, however this is not
followed by expansion of parking area.To fullfill the need of the community, government makes use of the street as parking area.The parking on the street has caused the traffic movement to become obstructed and narrowing the width of the road that leads to
congestion, especially in the streets that became the center of commerce such as in Kranggan street, Kedungdoro street, Pucang
Anom street and Kembang Jepun street. The arising problem has affected the aesthetic sence of the community.However, many
policies overlooked the aesthetic side in the decision making because it still considered a less important aspect.In fact, the aesthetic value of a space affects the comfort and security of the community.
Based on this background, this research specifically seeks to descripe of what is the impact of parking arrangement at the
traffic lanes on the aesthetic of the city in the commercial area of Surabaya city. In aesthetics there are four aspects of urban
planning that include the nuances, design, layout and description of a city. From these four aspects, to illustrate the impact of road parking arrangement on aesthetics by looking at the effects and positive and negative influences that are generated for the beauty of
the city.
This research uses the qualitative descriptive method. The data collection technique uses observation, in-depth interview
and document study methods. The determination of the informants in this research is using purposive sampling technique with total of 30 informants consisting of relevant agencies, parking attendants and pedestrians.The result of the research shows that the
parking arrengements on the street is disturbing the aesthetic of the city since the placement of parking area on the street is still
considered inappropriate because it makes the roadsnarrower and disarray. The road that is meant to be used for vehicular traffic
has to be shared with the parking at the traffic lane resulting in congestion. Therefore the parking arrangement on the street gives a bad impact to the aesthetic of the city.
Keywords: impact, spatial planning, on the street parking, urban aesthetic
PENDAHULUAN
Pembangunan di Indonesia lebih mengarah
pada sentralisasi dimana pembangunan hanya berfokus
pada wilayah-wilayah tertentu terutama pada kota-kota
besar saja. Oleh karena itu, kota-kota besar memiliki
daya tarik tersendiri bagi masyarakat daerah. Maka,
muncullah urbanisasi dimana masyarakat daerah
terutama desa yang hidup di bawah garis kemiskinan
berbondong-bondong untuk pindah ke kota demi
menjaga keberlangsungan hidup atau meningkatkan
kualitas hidup mereka.
Bertambahnya penduduk yang mengarah ke
kota menimbulkan dampak atau efek pada pekerjaan,
belajar, maupun sosialisasi atau interaksi sosial antar
masyarakat karena keterbatasan ruang kota. Dampak
dapat dirasakan secara langsung maupun tidak
langsung oleh masyarakat. Dampak itulah yang
dihasilkan dapat menimbulkan kondisi yang tidak
nyaman bagi masyarakat jika terus menerus dibiarkan
begitu saja. Pembangunan kota yang berdampak
negatif bagi masyarakat menjadi hambatan utama di
dalam pembangunan.
Dalam kondisi masyarakat yang seperti itu
dibutuhkan penataan ruang kota yang terencana untuk
memanfaatkan ruang yang ada. Dengan keterbatasan
dan jumlah penduduk yang terus meningkat maka,
pemerintah harus dengan maksimal dalam
merencanakan suatu pemanfaatan ruang sehingga
ruang yang terbatas dapat dimanfaatkan semaksimal
mungkin. Banyaknya pembangunan fisik kota berupa
pengembangan kawasan permukiman, perdagangan,
industri, fasilitas transportasi maupun lainnya yang
mengakibatkan pengalihan lahan dari yang semula
ruang terbuka menjadi ruang terbangun. Oleh karena
itu, dibutuhkan penataan ruang yang memadai dalam
mengatur ruang yang ada di daerah perkotaan.
Sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang bahwa
penataan ruang diselenggarakan berdasarkan 9 asas
yang salah satu di dalamnya membahas mengenai
keserasian, keselarasan dan keseimbangan. Di dalam
asas tersebut dijelaskan bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara
struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara
kehidupan manusia dengan lingkungannya,
keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antar
daerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan
perdesaan. Maka, penataan ruang harus dilakukan
secara komplementer dimana ruang harus saling
melengkapi dan saling bersinergi antara ruang satu
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
2
dengan ruang yang lain sehingga tidak ada tumpang
tindih antar kawasan.
Pembangunan fisik wilayah mempunyai
peranan yang sangat penting dalam membentuk
struktur jaringan jalan dan area publik. Bangunan dapat
berubah setiap saat bisa lebih besar maupun lebih kecil
sesuai dengan pemilik bangunan itu sendiri. Terutama
pada bangunan yang langsung berbatasan dengan jalan
yang biasanya merupakan bangunan yang berfungsi
untuk perdagangan dan komersil yang biasa disebut
sebagai bangunan niaga yang perubahannya dimulai
dari bagian depan yang mengarah ke jalan. Oleh karena
itu, setiap pembangunan tidak akan lepas dengan
infrastruktur dalam menunjang keberlangsungan
interaksi masyarakat.
Keberadaan infrastruktur yang memadai
sangat diperlukan dalam keberlangsungan kehidupan
masyarakat. Sarana dan prasarana fisik pada suatu
wilayah menjadi bagian yang sangat penting guna
meningkatkan sistem pelayanan masyarakat. Berbagai
fasilitas fisik akan mendukung semua kegiatan yang
ada di suatu negara baik itu pemerintahan,
perekonomian, industri dan kegiatan sosial lainnya
yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat.
Pembangunan infrastruktur yang sangat
berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan
perkembangan wilayah adalah transportasi.
Trasnportasi yang diartikan sebagai kegiatan
memindahkan atau mengangkut muatan baik barang
maupun orang dari suatu tempat ke tempat lainnya
(Adisasmita 2012:120). Dengan adanya infrastruktur
transportasi akan menghasilkan pertumbuhan dan
perkembangan pada kegiatan-kegiatan sektor ekonomi
dan akan mempengaruhi sektor lainnya.
Tujuan dengan adanya pembangunan
infrastruktur transportasi ini diharapkan akan terjadi
pembangunan wilayah terutama pada daerah-daerah
terpencil yang kegiatan ekonomi masih rendah. Oleh
karena itu, dibutuhkan infrastruktur jalan sebagai
prasarana transportasi dalam menopang sarana
transportasi (kendaraan) dari satu daerah ke daerah
lainnya dengan membuat pembangunan jalan baru
yang menghubungkan antar daerah tersebut. Dengan
adanya prasarana transportasi jalan maka akan
menggerakkan perekonomian baik di daerah kota besar
sampai ke daerah yang terpencil.
Dalam pembangunan infrastruktur
permasalahan yang banyak terjadi pada kota-kota besar
di Indonesia mengenai sarana dan prasarana
transportasi perkotaan, dimana sarana dan prasarana
tersebut harus memenuhi kebutuhan masyarakat
setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi
prasarana jalan yang relatif rendah sehingga
berpengaruh pada pelayanannya semakin menurun.
Pelayanan prasarana jalan yang menurun ini berupa
optimasi kapasitas jalan yang masih rendah terutama,
masih banyaknya daerah yang rawan kemacetan yang
diakibatkan dari penggunaan badan dan daerah milik
jalan untuk kegiatan sosial ekonomi, pasar, parkir, dan
lain sebagainya serta manajemen lalu lintas yang
belum memadai.
Fenomena tersebut dipengaruhi oleh
kepadatan penduduk yang meningkat setiap tahunnya.
Kepadatan penduduk Indonesia sangat beragam dan
tidak merata karena hanya terpusat pada pulau-pulau
tertentu saja. Pulau yang memiliki tingkat kepadatan
penduduk paling tinggi diantara pulau lainnya adalah
Pulau Jawa. Kepadatan penduduk ini terjadi karena
Pulau Jawa dianggap menjadi pusatnya Indonesia.
Semua kegiatan vital berpusat seperti pemerintahan
negara, pusat ekonomi, pusat pendidikan, pusat
kesehatan berada di Pulau Jawa. Ketimpangan ini
membuat fasilitas kehidupan di Jawa lebih maju dan
paling lengkap. Oleh karena itu, memicu adanya
imigrasi masyarakat yang menganggap kehidupan di
kota Jawa meningkatkan kesejahteraan dan
menjanjikan kehidupan yang layak. Hingga tahun
2015, berdasarkan data dari sensus penduduk BPS,
kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan Bali sebagai
berikut :
Tabel 1.1 Kepadatan Penduduk di Pulau Jawa dan Bali
Provinsi Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
2008 2009 2010 2013 2014
DKI Jakarta 12355 12459 14518 15015 15173
Jawa Tengah 995 1002 989 1014 1022
Jawa Timur 794 798 786 803 808
Bali 645 652 676 702 710
Sumber: Badan Pusat Statistik 2015
Pertambahan penduduk yang hampir di setiap
tahunnya selalu meningkat. Hal ini dapat dilihat dari
tabel 1.1 yang menyatakan bahwa sekitar 5 sampai
2000 jiwa bertambah setiap tahunnya. Penduduk Pulau
Jawa yang perlahan-lahan semakin mengarah pada
masyarakat urban, dan kota-kota besar serta kawasan
industri menjadi pusat-pusat kepadatan. Diantara enam
provinsi di Pulau Jawa berdasarkan data registrasi
Kepolisian RI hingga akhir 2010, terdapat empat
wilayah yang memiliki populasi kendaraan bermotor
terutama sepeda motor paling tinggi. Berikut data dari
Kepolisian RI mengenai populasi motor :
Tabel Populasi Motor di Pulau Jawa yang Tertinggi
Tahun 2010
No. Provinsi Populasi Motor
1. Jawa Timur 9,10 juta
2. DKI Jakarta 8,76 juta
3. Jawa Tengah 8.29 juta
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
3
4. Jawa Barat 3,82 juta
Sumber : Kepolisian RI, 2010 (dalam
edorusyanto.wordpress.com)
Berdasarkan tabel 1.2, diketahui bahwa
populasi motor di Pulau Jawa yang tertinggi adalah
Provinsi Jawa Timur dengan jumlah 9,10 juta unit
sepeda motor. Di Jawa Timur, selaku wilayah paling
banyak populasi motor, komposisi antara motor dengan
mobil bak bumi dengan langit. Jumlah motor mencapai
sekitar 87,40%, sedangkan mobil hanya sekitar
12,60%. Kategori mobil tersebut merupakan gabungan
dari seluruh jenis, seperti mobil penumpang dan mobil
barang, serta bus. Total populasi kendaraan di Jawa
Timur berdasarkan data Korps Lalu Lintas (Lantas)
Polri mencapai sekitar 10,41 juta unit. Dinas
Pendapatan Provinsi Jawa Timur juga mendata
banyaknya kendaraan bermotor yang dikenakan pajak
baik yang berada maupun yang terdaftar di daerah
tertentu. Jumlah kendaraan bermotor Provinsi Jawa
Timur selama periode 2005-2012 sebagai berikut :
Tabel Jumlah Kendaraan Bermotor Provinsi Jawa
Timur Periode 2005 - 2012
Tahun Triwulan
Total I II III IV
2005 1.155.633 1.357.173 1.570.826 1.892.836 5.976.468
2006 1.452.673 1.556.243 1.652.436 1.895.894 6.557.246
2007 1.263.547 1.432.638 1.872.536 2.535.064 7.103.785
2008 1.162.436 1.652.997 2.374.532 2.642.614 7.832.579
2009 1.936.059 2.149.971 2.312.271 2.362.916 8.761.217
2010 2.405.778 2.413.034 2.424.797 2.437.546 9.681.155
2011 2.459.631 2.522.330 2.603.975 2.715.012 10.300.94
8
2012 2.780.242 2.826.822 2.870.768 3.051.609 11.529.441
Sumber : Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Timur, 2014
(dalam Giovani & Podman 2014)
Berdasarkan tebal 1.3, terlihat bahwa jumlah
kendaraan bermotor Provinsi Jawa Timur selalu
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Oleh karena
itu, pemerintah harus dengan sigap untuk memenuhi
sarana dan prasarana transportasi di wilayah tersebut.
Sarana dan prasarana harus dipenuhi oleh pemerintah
adalah lahan parkir. Lahan parkir sudah menjadi
kebutuhan bagi masyarakat karena jika dilihat dari
kendaraan bermotor yang meningkat setiap tahunnya
dan aktivitas masyarakat yang terus berpindah dari satu
ruang ke ruang lainnya. Oleh karena itu, berdasarkan
catatan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah
Kementerian Dalam Negeri jumlah lokasi perparkiran
baik yang dikelola oleh pemerintah daerah maupun
pihak swasta di Jawa Timur dapat dilihat dalam tabel
1.4 sebagai berikut :
Tabel Jumlah Lokasi Perparkiran yang Dikelola
Pemda maupun Pihak Swasta Jawa Timur (unit)
No. Kabupaten / Kota Titik Parkir
Kabupaten
1. Kabupaten Bangkalan 265
2. Kabupaten banyuwangi 296
3. Kabupaten Blitar 63
4. Kabupaten Bojonegoro 175
5. Kabupaten Bondowoso 64
6. Kabupaten Gresik 197
7. Kabupaten Jember 247
8. Kabupaten Jombang 33
9. Kabupaten Kediri 240
10. Kabupaten Lamongan 122
11. Kabupaten Lumajang 123
12. Kabupaten Madiun 64
13. Kabupaten Magetan 118
14. Kabupaten Malang 899
15. Kabupaten Mojokerto 124
16. Kabupaten Nganjuk 206
17. Kabupaten Ngawi 4
18. Kabupaten Pacitan 125
19. Kabupaten Pamekasan 90
20. Kabupaten Pasuruan 216
21. Kabupaten Ponorogo 237
22. Kabupaten Probolinggo 155
23. Kabupaten Sampang 89
24. Kabupaten Sidoarjo 249
25. Kabupaten Situbondo 123
26. Kabupaten Sumenep 137
27. Kabupaten Trenggalek 122
28. Kabupaten Tuban 180
29. Kabupaten Tulungagung 205
Kota
30. Kota Batu 142
31. Kota Blitar 63
32. Kota Kediri 240
33. Kota Madiun 64
34. Kota Malang 899
35. Kota Mojokerto 124
36. Kota Pasuruan 216
37. Kota Probolinggo 209
38. Kota Surabaya 1787
Jumlah 8912
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Pembangunan
Daerah Kementerian Dalam Negeri, 2015
Dengan perbandingan jumlah kendaraan
bermotor dan titik parkir yang dapat dilihat dari tabel
1.3 dan 1.4 maka sarana dan prasarana transportasi
belum memadai dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat akan berdampak langsung pada lalu lintas.
Identifikasi permasalahan yang terjadi di bidang sarana
dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, meliputi
penggunaan ruang jalan; kapasitas jalan; tata guna
lahan pinggir jalan; perlengkapan jalan yang berkaitan
langsung dengan pengguna jalan; pengaturan lalu
lintas; kinerja lalu lintas; serta lokasi potensi
kecelakaan dan kemacetan lalu lintas (Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2011).
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
4
Berdasarkan tabel 1.4 mengenai jumlah lokasi
perparkiran di Jawa Timur yang paling banyak adalah
Kota Surabaya sebanyak 1787 dan merupakan salah
satu pusat kawasan niaga atau bisnis dan perdagangan
di Jawa Timur yang diikuti oleh Malang, Gresik dan
Sidoarjo. Oleh karena itu, penelitian ini memilih Kota
Surabaya sebagai fokus penelitian.
Kota Surabaya yang merupakan Ibu Kota
Jawa Timur berfokus sebagai kota Jasa Perdagangan
yang terus mengembangkan pusat-pusat bisnis baru.
Dalam memenuhi kebutuhan masyarakat mengenai
sarana dan prasarana transportasi sudah cukup baik.
Pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah
Kota Surabaya seperti penambahan dan pelebaran jalan
dengan menggunakan berbagai strategi misalnya
dengan beberapa sungai diberi box culvert untuk
dijadikan jalan. Seharusnya dengan penambahan dan
pelebaran jalan tersebut membuat jalan Kota Surabaya
menjadi lebih luas dan longgar namun, pada
kenyataannya semakin hari justru jalan kian sesak dan
macet. Hal ini dipicu oleh jumlah penduduk yang
setiap tahun bertambah pesat.
Berdasarkan tribunnews.com, pertumbuhan
kendaraan Kota Surabaya sangat tinggi. Dinas
Perhubungan Kota Surabaya, memperkirakan setiap
tahunnya penambahan motor baru mencapai 15 persen.
Sedangkan, pertumbuhan mobil mencapai enam
persen. Maka, total seluruhnya sebanyak 21 persen
pertumbuhan kendaraan meningkat setiap tahunnya.
Menurut artikel Jawa Pos pada tahun 2014, setiap
bulan pertambahan kendaraan di Kota Surabaya selalu
diatas 17 ribu, dengan rata-rata setiap bulannya
pertambahan untuk sepeda motor sebanyak 13.441,
sedangkan untuk kendaraan roda empat atau lebih
setiap bulannya rata-rata bertambah 4.042. Maka, jika
di total keseluruhan setiap bulannya rata-rata
kendaraan di Kota Surabaya bertambah 17.438.
Sedangkan berdasarkan data kepolisian dalam
artikel Jawa Pos, menyebutkan bahwa jumlah
kendaraan di Kota Surabaya telah mencapai angka
4.521.629. Dari jumlah tersebut, sepeda motor yang
paling dominan. Jumlah kendaraan roda dua mencapai
3.625.999 dan sisanya merupakan kendaraan roda
empat atau lebih sebanyak 915.630 kendaraan. Jumlah
tersebut melebihi jumlah penduduk Kota Surabaya
yang hanya sebesar 3.016.653 jiwa. Artinya, hampir di
semua rumah penduduk Surabaya terdapat satu hingga
dua kendaraan yang dimiliki.
Dengan rata-rata pertambahan seperti itu,
terbuka kemungkinan dalam lima tahun ke depan akan
menjadi dua kali lipat lebih banyak daripada jumlah
penduduk Kota Surabaya. Padahal, setiap bulan atau
tahunnya belum tentu Pemerintah Kota Surabaya
melakukan penambahan maupun pelebaran jalan. Oleh
karena itu, kemacetan di Kota Surabaya sudah menjadi
fenomena yang wajar.
Peningkatan penggunaan kendaraan pribadi
lebih banyak dipilih oleh masyarakat daripada
menggunakan transportasi umum inilah yang semakin
memperparah lalu lintas di perkotaan. Transportasi
umum banyak mendapat keluhan dari beberapa pihak
seperti ketidaktepatan waktu, kotor atau ada bau-bau
yang tercium sehingga mengakibatkan masyarakat
enggan untuk menaikinya, dan alasan yang paling
mendasar bagi masyarakat adalah tingginya
kriminalitas dalam transportasi atau angkutan umum.
Itulah yang biasanya menjadi alasan bagi masyarakat
untuk tidak menggunakan transportasi umum.
Dengan adanya fenomena ini akan membuat
budaya baru di kalangan masyarakat. Hal ini akan
mempengaruhi tingkat kedisiplinan masyarakat.
Rendahnya tingkat kedisiplinan masyarakat dan juga
sistem lalu lintas yang masih belum sempurna
mengakibatkan kemacetan yang sering terjadi dan
meningkat dari waktu ke waktu. Hal tersebut
berdampak langsung pada lingkungan. Banyaknya
polusi atau kebisingan yang disebabkan oleh kendaraan
bermotor sangat dirasakan oleh masyarakat. Dampak
lingkungan yang paling terlihat adalah dampak lalu
lintas.
Tidak hanya itu, perilaku pengendara juga
menjadi faktor pemicu semakin memperparah
kemacetan. Penataan parkir atau tempat penyimpanan
kendaraan yang semakin sempit dan kebutuhan akan
lahan parkir semakin bertambah karena kendaraan
pribadi semakin banyak. Ketidakseimbangan antara
kendaraan dengan lahan parkir akan menyebabkan
terjadinya beberapa pelanggaran seperti penggunaan
badan jalan atau pedestrian untuk lahan parkir,
munculnya parkir liar hingga kemacetan yang
disebabkan karena melebarnya areal parkir. Itulah yang
menjadi faktor kemacetan di Surabaya tidak lain
karena dampak dari parkir liar yang ada di bahu jalan.
Masalah parkir liar tetap menjadi penyebab utama
karena banyaknya kendaraan pribadi membuat badan
jalan jadi area parkir.
Kemacetan dipicu oleh minimnya lahan
parkir. Banyaknya tempat parkir yang menggunakan
badan jalan menimbulkan keruwetan di jalan.
Keruwetan yang terjadi di jalan terlihat dari jalur yang
seharusnya digunakan untuk arus kendaraan namun
malah digunakan untuk parkir. Apalagi jika ada mobil
atau kendaraan besar yang mau parkir itu akan
memperlambat laju kendaraan yang akan melintas.
Padahal, sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bahwa hak
utama dari pengguna jalan adalah kelancaran.
Kemacetan yang terjadi akan terus meningkat
seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pemekaran
kota. Kemacetan tidak akan pernah selesai dengan
hanya meminimalisir simpul-simpul kemacetan secara
parsial. Terlebih jika yang diatasi hanyalah
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
5
permasalahan yang terlihat di permukaan, dan tidak
menyentuh akar masalah. Jika ini terjadi maka apapun
yang dilakukan pemerintah tidak akan memberi
dampak dan solusi kemacetan secara berkelanjutan.
Penyebab lain dari kemacetan adalah banyaknya
peruntukan bangunan atau Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) yang tidak sesuai, menimbulkan kemacetan baru
di Surabaya. Itu dikarenakan bangunan yang berdiri
tidak memiliki lahan parkir, sehingga menempatkan
kendaraan di badan jalan atau parkir liar.
Berdasarkan detiknews.com banyak
peruntukan bangunan atau Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) yang masih belum sesuai. Terdapat penemuan
pelanggaran yang semula IMB untuk tempat tinggal
berubah menjadi tempat usaha. Hal ini lah yang
menyebabkan masalah baru yakni kemacetan karena
pemilik atau penyewa bangunan tidak memiliki lahan
parkir sehingga memanfaatkan badan jalan sebagai
tempat parkir. Di Surabaya, DCKTR sudah ditemukan
sebanyak 55 pelanggaran yang peruntukan bangunan
dan IMB-nya tidak sesuai. Sementara itu, Dinas
Perhubungan juga mengakui bahwa terdapat banyak
usaha restoran yang tidak memiliki izin pengelolaan
parkir. Dalam bidang usaha restoran dan hotel maupun
home stay di Surabaya paling banyak melakukan
pelanggaran karena peruntukan bangunan yang tidak
sesuai.
Berdasarkan ketentuan umum peraturan
zonasi kawasan perdagangan dan jasa didalam RTRW
Kota Surabaya, adanya penyediaan sarana dan
prasarana pelengkap yang mendukung berjalannya
kegiatan perdagangan salah satunya yakni, tempat
parkir. Tempat parkir sangat dibutuhkan di kawasan
perdagangan dan jasa karena masyarakat akan
menitipkan kendaraannya untuk sementara sampai
keinginannya terlaksana atau terpenuhi.
Banyak kawasan perdagangan atau kawasan
niaga yang tidak memperhatikan tempat parkirnya
misalnya restoran yang hampir semuanya tidak
memiliki tempat parkir yang cukup luas. Dalam
pembangunan bangunan niaga masih banyak yang
tidak disertai dengan pembangunan ruang parkir.
Pemilik bangunan niaga tersebut hanya memanfaatkan
media jalan sebagai lahan parkir. Hal tersebut
menyebabkan beberapa pelanggaran yang terjadi
seperti penggunaan trotoar sebagai lahan parkir,
banyaknya parkir liar di tepi jalan umum hingga
meluasnya area parkir yang menimbulkan kemacetan
sehingga menghambat kelancaran lalu lintas.
Dinas Perhubungan Kota Surabaya tahun
2016 mencatat sekitar 1565 titik parkir di tepi jalan
umum dengan jumlah juru parkir sebanyak 1661 orang.
Namun, masih banyak parkir-parkir liar yang
bertebaran tanpa memiliki izin dari Pemerintah Kota.
Tidak ada perbedaan antara yang memang parkir tepi
jalan untuk umum dengan parkir liar sehingga jika
terjadi permasalahan seperti kehilangan kendaraan
tidak ada dasar hukum yang melandasinya.
Area parkir yang menggunakan badan jalan
biasanya ada di kawasan perdagangan seperti,
pertokoan, restaurant, toko 24 jam, apotek, ataupun
kegiatan lainnya terutama yang ada di pusat kota.
Namun, kawasan-kawasan tersebut biasanya tidak
merencanakan dikunjungi maupun dilewati oleh
kendaraan dalam jumlah yang besar sehingga parkir
pengunjung kebanyakan berada di badan jalan. Maka
dari itu, parkir yang menggunakan fasilitas badan jalan
sebagai area parkir kerap menimbulkan masalah baru
yang erat kaitannya dengan arus lalu lintas dan
lingkungan sekitar yang mempengaruhi tingkat
kenyamanan dan keamanan masyarakat menurun
dikarenakan nilai estetis masyarakat terganggu. Oleh
karena itu, estetika perlu dibahas dalam setiap
perencanaan kebijakan.
Penataan parkir badan jalan membuat
masyarakat mengganggu kepekaan estetisnya karena di
saat masyarakat ingin menggunakan atau melewati
jalan, merasa terganggu dan kurang senang atas adanya
parkir di badan jalan. Faktor yang mempengaruhi
adalah kemacetan, polusi, dan tidak ada batas waktu
parkir badan jalan. Namun, banyak pemilik kendaraan
yang lebih memilih untuk menggunakan fasilitas parkir
badan jalan sebagai tempat parkir mereka karena lebih
dekat dengan tempat yang ingin dituju.
Hingga saat ini banyak kebijakan yang tidak
melihat dari segi estetika. Nilai estetika masih
dianggap sebagai aspek yang kurang penting dalam
setiap pengambilan keputusan pemerintah
dibandingkan dengan nilai ekonomi, sosial, lingkungan
dan budaya. Oleh karena itu, dalam penelitian kali ini
lebih berfokus pada penataan parkir dari segi estetika.
Berdasarkan dengan latar belakang masalah,
maka penulis dapat merumuskan permasalahan yaitu
bagaimana dampak penataan parkir badan jalan
terhadap estetika Kota Surabaya. Tujuan dari penelitian
ini adalah mendeskripsikan tentang bagaimana dampak
penataan parkir badan jalan terhadap estetika Kota
Surabaya.
Manfaat dari penelitian ini adalah secara
akademis penelitian ini dapat digunakan sebagai dapat
digunakan sebagai informasi tambahan terkait
penerapan ilmu administrasi negara khususnya pada
mata kuliah penataan ruang terkait ruang parkir badan
jalan. Penelitian ini fokus meneliti tentang bagaimana
bagaimana dampak penataan parkir badan jalan
terhadap estetika Kota Surabaya. Secara praktis
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
informasi, pertimbangan dalam melaksanakan kegiatan
serta kontribusi secara menyeluruh dan bermanfaat
bagi instansi-instansi yang termasuk dalam penataan
ruang parkir badan jalan. Penelitian ini diharapkan
dapat menjadi bahan masukan kepada Dinas
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
6
Perhubungan Kota Surabaya dalam menata parkir
badan jalan di kawasan niaga Kota.
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif
dengan tipe penelitian deskriptif. Lokasi penelitian
ditetapkan secara puposive di kawasan niaga Kota
Surabaya yaitu di Jalan Kranggan, Jalan Pucang Anom,
Jalan Kembang Jepun dan Jalan Kedungdoro. Teknik
penentuan informan menggunakan teknik purposive
sampling bertujuan memperluas deskripsi informasi
dan melacak variasi informasi yang dimungkinkan ada,
juga untuk mengetahui dan mengulas lebih dalam
penataan parkir badan jalan serta menunjukkan dampak
yang ditimbulkan dalam estetika kota. Teknik
pengumpulan data menggunakan data primer dan data
sekunder. Teknik analisis data terdiri dari reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Penataan Parkir Badan Jalan
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009
mengenai lalu lintas dan angkutan jalan, parkir adalah
keadaan dimana kendaraan berhenti atau tidak bergerak
dalam waktu tertentu dan ditinggalkan pengemudinya.
Dalam penataan parkir perlu adanya perencanaan
terlebih dahulu yakni mengenai lahan yang akan
dimanfaatkan sebagai ruang parkir. Lahan parkir
tersebut harus dioptimalkan secara baik agar dapat
menampung dan melayani kebutuhan pengguna jasa
parkir tersebut. Terdapat beberapa aspek yang harus
diperhatikan dalam penataan parkir ini, yakni satuan
ruang parkir, karakteristik parkir, bangkitan parkir dan
larangan parkir. Berikut penjelasan mengenai aspek-
aspek tersebut :
Satuan Ruang Parkir
Satuan ruang parkir (SRP) merupakan satuan
ukuran guna meletakkan kendaraan meliputi mobil
penumpang, bus/truk, atau sepeda motor yang parkir
paralel di badan jalan, pelataran parkir maupun gedung
parkir (Abubakar 2011:35). Dalam merancang suatu
fasilitas parkir diharuskan mengetahui informasi yang
ada mengenai dimensi kendaraan dan perilaku dari
pengemudi itu sendiri.
Dalam menentukan satuan ruang parkir harus
mempertimbangkan mengenai ruang bebas kiri, kanan,
depan dan belakang sehingga baik pengendara maupun
penumpang dapat dengan nyaman keluar dari
kendaraan. Terdapat ruang parkir tertentu untuk
penyandang cacat guna meningkatkan aksesibilitas
yang menggunakan kendaraan pribadi. Tempat parkir
untuk penyandang cacat harus diletakkan sedekat
mungkin dengan akses tempat kegiatan agar
penyandang cacat juga bisa leluasa untuk masuk dan
keluar dari ruang parkir kendaraan.
Berdasarkan petunjuk yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, dimana
terdapat sebuah dimensi satuan ruang parkir yang
menjadi acuan dalam melakukan SRP. Dalam
menentukan dimensi SRP dipengaruhi oleh beberapa
faktor salah satunya adalah besaran bukaan pintu dan
jenis kendaraan yang akan parkir. Dalam
meningkatkan kenyamanan pengendara dan
penumpang atas keluar masuknya kendaraan maka
harus ditentukan lebar bukaan pintu serta ruang bebas
untuk penyandang cacat agar tetap nyaman dalam
melakukan parkir.
Tabel Dimensi Ruang Parkir
Jenis Bukaan Pintu Pengguna dan/atau
peruntukan Gol.
Pintu depan/belakang
terbuka tahap awal
55cm
Kantor,
Perdagangan,
Universitas
I
Pintu depan/belakang
terbuka penuh 75cm
Pusat Olahraga,
Hotel, Rekreasi,
Rumah Sakit,
Bioskop, Belanja
II
Pintu depan/belakang
terbuka penuh
ditambah pergerakan
kursi roda
Penyandang cacat III
Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Darat 1998
Dalam tabel tersebut dijelaskan bahwa,
terdapat dimensi ruang parkir berdasarkan jenis bukaan
pintu kendaraan terutama pada kendaraan mobil
penumpang. Ruang parkir yang berada atau digunakan
untuk keperluan kantor, perdagangan maupun
universitas termasuk dalam jenis bukaan pintu baik
pintu depan maupun belakang yang terbuka pada tahap
awal hanya mencapai 55 cm. Dimensi ruang parkir
yang termasuk golongan kedua adalah pada saat
bukaan pintu terbuka penuh mencapai 75 cm yang
biasanya diperuntukkan pada pusat olahraga, hotel,
rekreasi, rumah sakit, bioskop, belanja. Terakhir,
dimensi ruang parkir golongan tiga yang digunakan
untuk penyandang cacat dimana memerlukan bukaan
pintu secara penuh dan ditambah dengan pergerakan
kursi roda. Dengan dibedakannya golongan dalam
dimensi ruang parkir tersebut dapat meningkatkan
kenyamanan bagi pengendara keluar masuk kendaraan.
Dengan berorientasi pada kenyamanan
maupun keamanan pengendara maka perlu adanya
perlengkapan dalam penunjang satuan ruang parkir.
Perlengkapan tersebut berupa marka, rambu dan
stopper parkir (Abubakar 2011:40). Marka di sini
digunakan sebagai pembatas parkir yang berupa garis
utuh yang mengelilingi bidang parkir. Dengan adanya
marka parkir ini akan mempengaruhi tingkat
keteraturan dalam parkir dan terlihat lebih rapi. Rambu
yang digunakan sebagai petunjuk tempat parkir yang
biasanya dilengkapi dengan papan yang berisi tentang
informasi ketentuan tarif parkir, waktu parkir, batasan
waktu parkir hingga penggunaan tempat khusus bagi
para penyandang cacat. Sedangkan, stopper parkir
digunakan untuk memudahkan kendaraan untuk keluar
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
7
masuk ruang parkir yang biasanya dengan diberikan
penahan roda. Hal tersebut dilakukan agar kendaraan
tidak melebihi batasan parkir yang sudah ditentukan.
Karakteristik Parkir
Persoalan parkir jika tidak ditangani dengan
baik maka akan berdampak pada kemacetan lalu lintas
dijalan. Dengan banyaknya ruas jalan yang
diperuntukkan untuk parkir badan jalan (parking on the
street) sehingga perlu adanya penataan parkir yang
baik. Apalagi ditambah dengan fenomena jumlah
kendaraan yang terus menerus bertambah sedangkan
ruang parkir terbatas. Oleh karena itu, dibutuhkannya
pemahaman karakteristik parkir dalam mengurangi
persoalan tersebut.
Karakteristik parkir merupakan suatu ukuran
atau besaran yang dapat digunakan untuk
merencanakan kebutuhan fasilitas ruang yang dapat
digunakan serta digunakan dalam mengendalikan
kebutuhan parkir (Abubakar 2011:75). Dengan
memahami dan mengetahui karakteristik parkir itu
sendiri maka dapat mengambil keputusan mengenai
penataan parkir yang baik dan sesuai dengan
peruntukannya.
Dalam menggunakan fasilitas parkir terdapat
kriteria dalam peletakannya yakni, tempat parkir
diusahakan berada di permukaan yang datar agar
kendaraan tidak menggelinding dan jika tanah yang
digunakan miring maka harus dilakukan grading
dengan sistem cut and fill. Tidak hanya itu, tempat
parkir harus tidak jauh dari tempat kegiatan dan jika
harus menempuh jarak yang jauh maka dibuat sirkulasi
yang jelas dan terarah menuju area parkir.
Bangkitan Parkir
Dengan mengetahui bangkitan parkir dapat
memberikan informasi yang lebih akurat mengenai
penggunaan ruang parkir sepanjang hari, lama parkir
dan informasi lainnya yang berhubungan dengan jenis
kendaraan yang parkir. Dalam bangkitan parkir ini
harus melakukan survey agar informasi yang didapat
lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
bangkitan parkir diantaranya meliputi (Abubakar
2011:102) :
1. Besarnya kawasan terbangun yang biasanya
terkait erat dengan tingkat kepemilikan kendaraan
pribadi;
2. Banyaknya dan kepadatan kegiatan yang berada
di kawasan tersebut;
3. Besarnya daya tarik masyarakat untuk menuju
kawasan tersebut;
4. Jumlah karyawan tetap maupun tidak tetap yang
bekerja di kantor atau kegiatan di kawasan
tersebut;
5. Tingkat kepemilikan kendaraan pribadi ataupun
milik perusahaan/dinas masyarakat metropolitan
atau kota yang bersangkutan;
6. Jenis kegiatan yang berada di kawasan tersebut
misalnya perkantoran, sekolah, ataupun pusat
perdagangan;
7. Kebijakan perparkiran yang diberlakukan oleh
pemerintah setempat.
Larangan Parkir
1. Sepanjang 6 meter sebelum dan sesudah tempat
penyeberangan pejalan kaki atau tempat
penyeberangan sepeda yang telah ditentukan.
2. Sepanjang 25 meter sebelum dan sesudah
tikungan tajam dengan radius kurang dari 500
meter.
3. Sepanjang 50 meter sebelum dan sesudah
jembatan.
4. Sepanjang 100 meter sebelum dan sesudah
perlintasan sebidang
5. Sepanjang 6 meter sebelum dan sesudah akses
bangunan gedung
6. Sepanjang 6 meter sebelum dan sesudah hydrant
atau keran pemadam kebakaran atau sumber air
sejenis
7. Sepanjang tidak menimbulkan kemacetan dan
bahaya.
Estetika Kota
Estetika merupakan kepekaan terhadap seni
dan keindahan. Berdasarkan teori yang dikemukakan
oleh Herbert Read, keindahan dibagi menjadi dua
yakni, teori objektif dan teori subjektif. Dalam teori
objektif di sini mengartikan bahwa keindahan atau ciri-
ciri yang menciptakan nilai estetik adalah sifat
(kualitas) yang memang telah melekat pada bentuk
indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang
mengamatinya. Pada teori subjektif menyatakan bahwa
ciri – ciri yang menciptakan keindahan suatu benda itu
tidak ada, yang ada hanya perasaan dalam diri
seseorang yang mengamati sesuatu benda.
Dalam suatu kebijakan, estetik membantu
dalam pemahaman yang baik atas lingkungan sekitar.
Nilai estetik dapat menjadi salah satu alat ukur suatu
lingkungan, hal ini dikarenakan bahwa indera manusia
mampu membedakan kondisi lingkungan di sekitar
mereka melalui indera penglihatan, pendengaran atau
penciuman (Foster, 1982 :10 ).
Pemenuhan terhadap nilai estetis merupakan
suatu puncak kebutuhan manusia, dikarenakan manusia
tidak hanya menghendaki kepuasan secara fisik namun
juga kepuasan secara mental dan jiwa. Oleh karena itu,
keindahan lingkungan perlu untuk dipelajari dan perlu
dibuat metode dalam penilaiannya, sehingga
lingkungan dapat dikelola dengan baik agar kualitas
estetikanya dapat terlindungi dan terjaga (Foster, 1982
: 15). Terdapat berbagai indikator atau unsur-unsur di
dalam aspek estetis yakni berupa kepekaan,
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
8
keterampilan, pengalaman, proses kreatif, penciptaan,
apresiasi, kritik mengenai karya estetis yang
ditampilkan dalam bentuk karya baik itu tematik
maupun bebas (Sachari 2002:1).
Dengan demikian, estetika kota merupakan
suatu nilai keindahan yang terdapat di dalam kota.
Keindahan kota di sini adalah suatu tatanan ruang kota
yang menyinergikan ruang kota secara serasi dan
seimbang antara lingkungan dan infrastruktur yang
terdapat di dalam kota tersebut. Sehingga, kota tampak
serasi, seimbang, bersahabat dan memiliki nilai
keindahan tersendiri, tentunya kota yang baik dapat
dipastikan memiliki citra kota yang khas (Nizarmaula
2013:60).
Jika dilihat estetika memiliki berbagai dimensi
yang mempengaruhi bagaimana seorang manusia
mengapresiasi keindahan, estetika di sini hanyalah
sebuah media untuk mencoba menjelaskan apa yang
disebut indah, namun tidak akan bisa menjelaskan apa
yang sebenarnya terjadi dalam benak seseorang
berkaitan dengan sensasi keindahan karena setiap
manusia memiliki pemikiran yang berbeda-beda.
Maka, keindahan lebih bersifat subjektif dalam diri
setiap orang sehingga pendapat tentang nilai estetika
sebuah bangunan atau benda. Oleh karena itu, dengan
perkembangan zaman estetika akan dapat lebih
dimengerti dan dikembangkan melalui pemahaman
berbagai hal menyangkut teori estetika.
Suatu kota dikatakan memiliki estetika jika
mampu menyeimbangkan antara lingkungan dengan
infrastruktur yang ada di dalam kota tersebut. Hal ini
bertujuan untuk mewujudkan kota yang ideal dimana
keberadaan lingkungan di dalam kota harus tetap
dijaga kelestariannya. Berdasarkan pendapat
Ashleysayas dalam artikel yang berjudul City Planning
and Aesthetic, estetika dalam perencanaan kota
mencakup nuansa, desain, tata letak, dan deskripsi dari
sebuah kota.
Nuansa Estetika
Nilai di suatu kota akan berkembang luas
terutama pada pembangunan kota, hal itu mendorong
bentuk perkotaan kompak, yang mempromosikan
alternatif pilihan dan sehat transportasi (yaitu berjalan,
bersepeda dan transit), lebih baik menggunakan
infrastruktur kota dan mempertahankan kelangsungan
hidup bisnis lingkungan. Dalam jangka panjang, gaya
ini pembangunan menumbuhkan karakter masyarakat
yang berbeda yang membangun merek dan kebanggaan
warga untuk Kota dan lingkungannya.
Dalam menilai sebuah ruang yang memiliki
nilai estetika, masyarakat dapat memandang ruang
tersebut. Memandang merupakan suatu kegiatan
melihat dan mengamati suatu tempat yang dianggap
menarik dan memiliki nilai estetika. Pemandangan
pada suatu kota memiliki keseimbangan antara
lingkungan dan infrastruktur seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya. Dengan demikian,
pemandangan di dalam suatu kota memiliki keterkaitan
yang sangat kuat dengan nilai-nilai estetika, sehingga
kota yang memiliki keseimbangan yang baik dalam hal
ini estetika kota juga merupakan pemandangan yang
baik bagi kotanya tersebut (Nizarmaulana 2013:62).
Faktor-faktor yang membuat pemandangan
terlihat baik di dalam sebuah kota adalah
keseimbangan lingkungan di dalam kota, keindahan
bangunan dan keserasian bangunan dengan lingkungan
sekitar kota. Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut
sangat berkaitan dengan nilai estetika sebuah kota.
Pemandangan pada sebuah kota yang tetap terjaga
keberadaan lingkungannya, baik keseimbangan
lingkungan, keindahan bangunan dan keserasian
bangunan dengan lingkungan sekitarnya termasuk di
dalamnya mengenai tempat yang baik untuk parkir.
Pada dasarnya sebuah tempat parkir merupakan bagian
dari bentuk yang membangun sebuah kota menjadi
lebih menarik. Namun demikian, penempatan parkir
perlu untuk diperhatikan agar tetap memiliki nilai
keindahan pada suatu kawasan atau kota, bukan
sebaliknya.
Desain Estetika
Desain yang baik adalah desain yang
mengutamakan proses penyelesaian terhadap
permasalahan yang terjadi dalam sebuah ruangan.
Masalah yang biasanya terjadi misalnya disebabkan
karena ruangan sempit dan terbatas, ruangan digunakan
untuk berbagai aktivitas, kapasitas ruangan tidak cukup
karena digunakan oleh lebih dari satu pengguna, dan
lain-lain (Wicaksono dan Tisnawati 2014 : 72).
Dalam menentukan lokasi merupakan
tindakan strategis untuk merencanakan suatu ruangan
agar berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Perlu adanya pertimbangan yang matang dalam
menentukan titik-titik lokasi dengan
mempertimbangkan beberapa aspek yang memiliki
dampak langsung dengan ruangan tersebut
(Nizarmaula 2013:48). Ruang dapat dikatakan benar
jika pesan yang terkandung dalam sebuah ruangan
dapat tersampaikan dengan baik dan mudah dipahami
oleh khalayak umum. Keberadaan suatu ruangan tidak
akan mengganggu fasilitas umum lainnya jika hal-hal
tersebut dapat diterapkan dengan baik dan benar.
Desain yang diperuntukkan pada perkotaan
menjadi alat ampuh dalam membantu keberhasilan
untuk mencapai aspirasi. Desain perkotaan merupakan
proses membentuk pengaturan dalam ranah publik
seperti jalan, taman, ruang terbuka, dan lain-lain untuk
menjalani hidup baik di perkotaan, kota dan desa.
Desain perkotaan menjadi kunci untuk membuat
tempat dimana orang-orang berbakat ingin hidup dan
akan mempengaruhi kesuksesan ekonomi sehingga
menciptakan lingkungan hidup yang lebih dinamis.
Tata Letak Estetika
Desain perkotaan yang baik akan membantu
memberikan layout yang sangat efisien, yang dapat
memberikan lebih banyak unit. Terdapat skema dalam
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
9
merencanakan kualitas desain untuk mengakomodasi
kepadatan lebih tinggi. Namun, kualitas desain lebih
baik tidak secara otomatis mengikuti dari kepadatan
yang lebih tinggi.
Pada suatu ruangan di dalam sebuah kota
biasanya mempunyai hubungan dengan ruang-ruang di
sekitarnya. Hubungan tersebut diatur dengan konsep
yang digunakan pada saat menentukan zonasi tata letak
pada perancangan interior. Berikut prinsip-prinsip
hubungan ruang tersebut (Wicaksono dan Tisnawati
2014 : 65)
1. Sebuah ruang yang luas dapat mencakup dan
memuat sebuah ruang lain yang lebih kecil di
dalamnya.
2. Ruang yang lebih kecil sangat bergantung
pada ruang yang besar dalam hubungannya
dengan lingkungan eksterior.
3. Jika ruang yang berada di dalam berkembang
ukurannya, ruang yang lebih besar akan mulai
kehilangan artinya sebagai bentuk ruang
penutup.
Deskripsi dari Sebuah Kota
Pada umumnya manusia memerlukan tempat
yang stabil dan ideal untuk mengembangkan
kehidupannya. Kebutuhan itu timbul atas dasar adanya
kesadaran orang-orang terhadap suatu tempat. Maka
dari itu, tempat yang merupakan sebuah jarak yang
memiliki suatu ciri khas tersendiri dan berarti bagi
lingkungan, termasuk di dalamnya citra kota (Zahnd
1999 : 137).
Citra kota merupakan identitas khas yang
hanya dimiliki pada suatu kota dimana setiap kota
memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Jika dilihat dari
aspek estetika sebuah kota dapat dikatakan sebagai
tempat yang layak apabila memenuhi beberapa prinsip
(Zahnd 1999 : 137), yaitu:
1. Kekosongan pusat. Sebuah tempat yang berfungsi
sebagai ruang statis seharusnya memilki pusat
yang kosong. Artinya, pohon-pohon, tugu,
monumen, dan lain sebagainya ditempatkan diluar
pusat ruang, atau ditempatkan secara khusus
tanpa ada gangguan dari elemen yang lainnya.
2. Elemen tempat. Sebuah tempat biasanya diisi oleh
elemen perkotaan yang mendukung. Seperti
lampu, penghijauan, tempat menempel media
iklan, pengumuman, tiang-tiang, tempat duduk,
dan lain-lain. Seharusnya elemen tersebut tidak
merusak tempat, melainkan memberikan
dukungan pada infrastruktur dan lingkungannya.
3. Gambaran visual. Sebuah tempat seharusnya
memiliki citra yang menarik. Maksudnya, sebuah
tempat idealnya mempunyai ciri khas yang
berasal dari interaksi antara ruang dan bentuk,
serta antara yang buatan dan yang alami.
Dengan demikian, makna sebuah tempat dari
segi citra kota serta estetikanya dapat melibatkan
banyak faktor yang masing-masing mampu
mempengaruhi makna pada suatu tempat tersebut.
Dibutuhkan adanya penekanan mengenai pengamalan
estetika, baik individu maupun kolektif, mencerminkan
bentuk keterlibatan dalam lingkungan yang mengarah
ke pemahaman sedemikian rupa dalam menolak
perintah normative mengenai perilaku kita sehari-hari.
Dalam hal mengubah lingkungan maka melakukan hal
yang sama untuk diri kita sendiri.
Estetika bertujuan untuk menciptakan tempat
yang fungsional dan produktif bersamaan dengan
menjadi menarik, santai dan mencerminkan sejarah dan
budaya dari kota tersebut. Dalam perencanaan kota ini
melibatkan perencanaan taman, ruang terbuka dan
tempat umum lainnya bersama dengan posisi bangunan
di kota dan jalan. Perencanaan dibuat sedemikian rupa
yang secara visual menyenangkan, mudah digunakan
dan mempromosikan hidup sehat sehingga
memberikan kesan indah dan menarik.
Penataan Parkir Badan Jalan Kawasan Niaga Kota
Surabaya
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, dalam
penataan parkir badan jalan perlu adanya perencanaan
terlebih dahulu mengenai lahan yang akan
dimanfaatkan sebagai ruang parkir. Lahan parkir
tersebut harus dioptimalkan secara baik agar dapat
menampung dan melayani kebutuhan pengguna jasa
parkir. Dalam perencanaan parkir badan jalan harus
memperhatikan tiga aspek sebagaimana yang telah
dijelaskan pada bab II yakni mengenai satuan ruang
parkir, karakteristik parkir dan bangkitan parkir.
Satuan Ruang Parkir Badan Jalan Kota Surabaya
Satuan ruang parkir (SRP) merupakan satuan
ukuran guna meletakkan kendaraan yang meliputi
mobil penumpang, bus/truk, atau sepeda motor yang
parkir paralel di badan jalan, pelataran parkir maupun
gedung parkir (Abubakar 2011). Dalam petunjuk yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan
Darat, dimana terdapat sebuah dimensi satuan ruang
parkir yang menjadi acuan dalam melakukan SRP.
Dalam menentukan dimensi SRP dipengaruhi oleh
beberapa faktor salah satunya adalah besaran bukaan
pintu dan jenis kendaraan yang akan parkir. Dalam
meningkatkan kenyamanan pengendara dan
penumpang atas keluar masuknya kendaraan maka
harus ditentukan lebar bukaan pintu serta ruang bebas
untuk penyandang cacat agar tetap nyaman dalam
melakukan parkir.
Berdasarkan hasil pemaparan dalam penyajian
data, diketahui bahwa sesuai dengan teori yang
disampaikan oleh Abubakar, dalam menentukan SRP
sebagai ukuran guna meletakkan kendaraan
dipengaruhi oleh dua faktor yakni luas bangunan dan
lebar bukaan. Penentuan SRP tersebut telah sesuai
dengan petunjuk yang dikeluarkan oleh Direktorat
Jenderal Perhubungan Darat, yakni mengenai dimensi
ruang parkir badan jalan dipengaruhi atas lebar besaran
pintu. Luas bangunan dan peruntukan bangunan juga
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
10
sangat mempengaruhi jumlah satuan ruang parkir yang
dimiliki. Penentuan satuan ruang parkir juga harus
mempertimbangkan ruang bebas kiri, kanan, depan dan
belakang sehingga baik pengendara maupun
penumpang dapat dengan nyaman keluar dari
kendaraan.
Dengan berorientasi pada kenyamanan
maupun keamanan pengendara maka perlu adanya
perlengkapan dalam penunjang satuan ruang parkir.
Perlengkapan tersebut berupa marka, rambu dan
stopper parkir (Abubakar 2011). Marka digunakan
sebagai pembatas parkir yang berupa garis utuh yang
mengelilingi bidang parkir. Dengan adanya marka
parkir akan mempengaruhi tingkat keteraturan dalam
parkir dan terlihat lebih rapi. Rambu digunakan sebagai
petunjuk tempat parkir yang biasanya dilengkapi
dengan papan yang berisi tentang informasi ketentuan
tarif parkir, waktu parkir, batasan waktu parkir hingga
penggunaan tempat khusus bagi para penyandang
cacat. Sedangkan, stopper parkir digunakan untuk
memudahkan kendaraan untuk keluar masuk ruang
parkir yang biasanya dengan diberikan penahan roda.
Hal tersebut dilakukan agar kendaraan tidak melebihi
batasan parkir yang sudah ditentukan.
Berdasarkan penjelasan yang sudah
disampaikan dalam penyajian data sesuai dengan teori
yang dikemukakan oleh Abubakar, untuk perlengkapan
penunjang satuan ruang parkir masih belum lengkap.
Hal ini ditunjukkan dengan fenomena di lapangan
bahwa tidak semua ruang parkir badan jalan di Kota
Surabaya memiliki marka parkir sehingga penataan
parkir terlihat tidak rapi. Inilah yang menjadi kendala
bagi Dinas Perhubungan Kota Surabaya dalam
penyediaan marka parkir. Kendala yang dialami oleh
Dinas Perhubungan yakni perawatan yang kurang balik
maupun kualitas cat yang jelek sehingga menyebabkan
marka parkir tersebut cepat hilang.
Tidak adanya marka parkir berakibat pada
penataan parkir badan jalannya, Juru parkir hanya
memepetkan kendaraan tanpa tahu batas parkir
seharusnya karena tidak ada batasan yang pasti.
Namun, masih ada ruang parkir yang memiliki marka
parkir seperti yang ada di jalan Kranggan. Keterawatan
yang sering dilakukan membuat marka parkir tetap ada.
Perawatan yang dilakukan dengan cara setiap satu
tahun sekali atau dua tahun sekali marka parkir selalu
diperbarui sehingga tetap terjaga.
Karakteristik Parkir Badan Jalan Kota Surabaya
Karakteristik parkir merupakan suatu ukuran
atau besaran yang dapat digunakan untuk
merencanakan kebutuhan fasilitas ruang serta
mengendalikan kebutuhan parkir (Abubakar 2011).
Dalam menentukan penataan parkir yang baik tentu
saja harus ditentukan terlebih dahulu kebutuhan ruang
parkir di daerah tersebut. Dengan perencanaan
kebutuhan parkir yang baik dengan memperhatikan
kondisi lalu lintas di sekitar lokasi parkir akan
implementasi dalam perparkiran akan baik pula.
Berdasarkan temuan di lapangan, sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Abubakar
diketahui bahwa Kota Surabaya sudah memiliki ukuran
atau besaran yang harus diperhatikan dalam
merencanakan kebutuhan fasilitas ruang parkir serta
untuk mengendalikan kebutuhan parkir. Ukuran yang
ditentukan oleh Dinas Perhubungan Kota Surabaya
dalam penataan parkir badan jalan :
1) Tingkat kepadatan di jalan tersebut.
2) Volume dan kapasitas tepi jalan umum
yang ditetapkan memiliki V/C Ratio.
3) Lokasi parkir yang merupakan pusat
kegiatan masyarakat.
4) Memperhatikan kesediaan lahan untuk
parkir.
Ukuran tersebut harus diperhatikan karena
dengan memahami dan mengetahui karakteristik parkir
itu sendiri maka dapat mengambil keputusan mengenai
penataan parkir yang baik dan sesuai dengan
peruntukannya. Dinas Perhubungan Kota Surabaya
dalam memberikan persetujuan untuk jalan yang dapat
digunakan untuk fasilitas parkir dengan
mempertimbangkan kriteria parkir tersebut.
Dalam menggunakan fasilitas parkir terdapat
kriteria dalam peletakannya yakni, tempat parkir
diusahakan berada di permukaan yang datar agar
kendaraan tidak menggelinding dan jika tanah yang
digunakan miring maka harus dilakukan grading
dengan sistem cut and fill. Tidak hanya itu, tempat
parkir harus berada tidak jauh dari tempat kegiatan dan
jika harus menempuh jarak yang jauh maka dibuat
sirkulasi yang jelas dan terarah menuju area parkir.
Berdasarkan penyajian data, dalam peletakan
parkir badan jalan berada di permukaan yang datar.
Letak tempat parkir juga tidak jauh dengan tempat
kegiatan sehingga masyarakat tidak perlu untuk
menempuh jarak yang jauh untuk menuju tempat
kegiatan yang diinginkan. Dalam pola parkir yang
digunakan pada empat jalan tersebut diketahui bahwa
tiga diantaranya yakni jalan Kranggan, jalan Kembang
Jepun dan jalan Pucang Anom menggunakan pola
parkir dengan membentuk sudut 90 derajat. Pola parkir
mempunyai daya tamping lebih banyak dibandingkan
dengan pola parkir pararel. Tetapi, dalam kemudahan
dan kenyamanan pengendara untuk masuk dan keluar
ke ruang parkir sedikit dibandingkan dengan sudut
yang lebih kecil dari 90 derajat. Sedangkan, untuk pola
parkir yang menggunakan sudut 60 derajat seperti jalan
Kedungdoro, daya tampung yang dimiliki lebih banyak
dari pola parkir pararel dan kemudahan pada masuk
dan keluarnya pengendara mobil lebih besar
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
11
dibandingkan dengan pola parkir dengan sudut 90
derajat.
Bangkitan Parkir Badan Jalan Kota Surabaya
Kelancaran dan kenyamanan lalu lintas
menjadi dasar dalam suatu manajemen lalu lintas.
Maka, diperlukan manajemen dan sistem yang baru
dan modern dalam menangani persoalan-persoalan
parkir sehingga perlu adanya bangkitan parkir yang
terjadi di suatu kawasan perkantoran, perbelanjaan,
sekolah, daerah wisata, maupun kegiatan yang lainnya.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
bangkitan parkir diantaranya meliputi (Abubakar 2011)
:
1. Besarnya kawasan terbangun yang biasanya
terkait erat dengan tingkat kepemilikan
kendaraan pribadi;
2. Banyaknya dan kepadatan kegiatan yang
berada di kawasan tersebut;
3. Besarnya daya tarik masyarakat untuk menuju
kawasan tersebut;
4. Jumlah karyawan tetap maupun tidak tetap
yang bekerja di kantor atau kegiatan di
kawasan tersebut;
5. Tingkat kepemilikan kendaraan pribadi
ataupun milik perusahaan/dinas masyarakat
metropolitan atau kota yang bersangkutan;
6. Jenis kegiatan yang berada di kawasan
tersebut misalnya perkantoran, sekolah,
ataupun pusat perdagangan;
7. Kebijakan perparkiran yang diberlakukan oleh
pemerintah setempat.
Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan
dalam penyajian data, diketahui bahwa faktor yang
mempengaruhi bangkitan parkir di empat jalan ialah,
daya tarik masyarakat dalam memilih tempat parkir di
badan jalan adalah lebih dekat dengan tujuan mereka.
Parkir badan jalan yang berada didepan toko atau
kantor lebih memudahkan masyarakat. Terlebih lagi,
kawasan tersebut merupakan pusat perdagangan dan
perkantoran.
Tingkat kepemilikan kendaraan pribadi yang
semakin meningkat menyebabkan volume kendaraan
semakin bertambah sedangkan kapasitas jalan yang
tidak terlalu lebar, bangunan niaga yang terus
bertambah dan penggunaan ruang parkir sepanjang hari
bertambah pula, sehingga mempengaruhi kepadatan di
sekitar wilayah perpakiran. Area parkir badan jalan
yang hampir seluruhnya berada di kawasan niaga yang
notabenenya merupakan area yang padat pengunjung
juga menyebabkan kepadatan. Maka dari itu,
pemerintah Kota Surabaya memberikan peraturan yang
baru yang diharapkan dapat mengurangi kemacetan di
kawasan yang padat.
Faktor lain menurut Abubakar mengenai
kebijakan perparkiran pemerintah setempat. Kebijakan
yang baru diberlakukan oleh pemerintah Kota
Surabaya adalah kebijakan parkir zona pada Maret
2017. Parkir zona adalah kawasan parkir dengan tarif
yang berbeda dengan tarif-tarif seperti biasa contohnya
sepeda motor tarif biasa seribu rupiah untuk zona dua
ribu. Tujuan dari penerapan parkir zona adalah
mengurangi kegiatan perparkiran di daerah yang padat
lalu lintasnya perdagangan akan berkurang. Dengan
adanya kebijakan diharapkan dapat mengurangi
kemacetan yang ada terutama di kawasan niaga yang
memiliki tingkat kepadatan yang cukup tinggi.
Estetika Kota di Kawasan Niaga Kota Surabaya
Berdasarkan hasil temuan di lapangan,
penataan parkir badan jalan memiliki pengaruh
terhadap estetika kota. Sebagaimana telah dijelaskan
pada bab I, keindahan kota dalam perencanaan kota
mencakup nuansa, desain, tata letak, dan deskripsi
sebuah kota.
Nuansa Estetika Kota Surabaya
Nilai di suatu kota akan berkembang luas.
Pembangunan kota, yang lebih mendorong bentuk
perkotaan kompak, yang mempromosikan alternatif
pilihan dan sehat transportasi (yaitu berjalan, bersepeda
dan transit), lebih baik menggunakan infrastruktur kota
dan mempertahankan kelangsungan hidup bisnis
lingkungan. Dalam jangka panjang, gaya pembangunan
menumbuhkan karakter masyarakat yang berbeda yang
membangun merek dan kebanggaan warga untuk Kota
dan lingkungannya.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan
ditemukan bahwa pembangunan Kota Surabaya dapat
dilihat dari banyaknya bangunan khususnya untuk
bangunan niaga. Kawasan yang sebelumnya berupa
kawasan perkampungan, sekarang menjadi kawasan
perniagaan. Pergeseran kawasan dapat menunjukkan
bahwa Kota Surabaya yang semakin berkembang
dengan lebih berfokus pada perdagangan dan jasa.
Semakin berkembangnya suatu kota akan
mempengaruhi masyarakatnya. Pandangan masyarakat
juga akan berbeda atau bergeser dalam melihat kota
yang ditinggalinya.
Dalam menilai sebuah ruang yang memiliki
nilai estetika dapat dilakukan dengan cara memandang
ruang tersebut. Memandang merupakan suatu kegiatan
melihat dan mengamati suatu tempat yang dianggap
menarik dan memiliki nilai estetika. Suatu kota harus
memiliki keseimbangan antara lingkungan dan
infrastruktur yang akan mempengaruhi pemandangan
kota sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab I.
Dengan demikian, pemandangan dalam suatu kota
memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan nilai-
nilai estetika, sehingga kota yang memiliki
keseimbangan yang baik dalam hal ini estetika kota
juga merupakan pemandangan yang baik bagi kotanya
tersebut (Nizarmaulana 2013).
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
12
Faktor-faktor yang membuat pemandangan
terlihat baik di dalam sebuah kota adalah
keseimbangan lingkungan di dalam kota, keindahan
bangunan dan keserasian bangunan dengan lingkungan
sekitar kota. Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 mengenai asas penataan ruang
yakni, keseimbangan dan keserasian yang merupakan
salah satu bagian dari asas yang telah dipaparkan pada
bab I. Keseimbangan, keindahan dan keserasian antar
ruang akan mempengaruhi pandangan dari masyarakat
dalam melihat suatu kota. Oleh karena itu, faktor-
faktor tersebut sangat berkaitan dengan nilai estetika
sebuah kota.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, suatu
ruang dikatakan indah jika lingkungan sekitar bersih,
ruangan rapi dan terawat. Menurut masyarakat
lingkungan yang ada di sekitar tempat parkir badan
jalan masih dipandang kotor dikarenakan masih
banyaknya karcis dan plastik bekas makanan yang
berserakan di area perparkiran. Namun, ada juga
masyarakat yang memandang parkir badan jalan itu
bisa dikatakan terjaga kebersihannya.
Tidak hanya dari segi kebersihannya saja,
namun juga dari segi kerapian juga akan
mempengaruhi pandangan masyarakat. Kerapian yang
ada pada parkir badan jalan menurut pandangan
masyarakat bahwa penataan parkir badan jalan dirasa
masih belum tertata dengan rapi. Dengan penataan
parkir yang kurang rapi menimbulkan kemacetan dan
mengurangi jarak pandang para pengguna jalan. Oleh
karena itu, banyak masyarakat yang merasa masih
menjadi berantakan dalam hal penataan parkir badan
jalan.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan,
diketahui bahwa untuk menilai keserasian dan
keseimbangan ruang dan lingkungan sekitar, parkir
badan jalan masih belum seimbang dengan bangunan
dan lingkungan sekitar. Parkir badan jalan dengan
bangunan masih belum seimbang dikarenakan luas
parkir belum mencukupi kebutuhan parkir bagi para
pengunjung. Sedangkan, parkir badan jalan belum
seimbang dengan lingkungan dikarenakan lingkungan
di sekitar ruang parkir masyarakat masih merasa bahwa
itu kotor.
Pemandangan pada sebuah kota akan tetap
terjaga keberadaan lingkungannya, baik keseimbangan
lingkungan, keindahan bangunan dan keserasian
bangunan dengan lingkungan sekitar termasuk di
dalamnya mengenai tempat yang baik untuk parkir.
Pada dasarnya sebuah tempat parkir merupakan bagian
dari bentuk membangun sebuah kota menjadi lebih
menarik. Namun demikian, penempatan parkir perlu
untuk diperhatikan agar tetap memiliki nilai keindahan
pada suatu kawasan atau kota, bukan sebaliknya.
Desain Estetika Kota Surabaya
Desain yang baik adalah desain yang
mengutamakan proses penyelesaian terhadap
permasalahan yang terjadi dalam sebuah ruangan.
Masalah yang biasanya terjadi misalnya disebabkan
karena ruangan sempit dan terbatas, ruangan digunakan
untuk berbagai aktivitas, kapasitas ruangan tidak cukup
karena digunakan oleh lebih dari satu pengguna, dan
lain-lain (Wicaksono dan Tisnawati 2014).
Berdasarkan hasil temuan di lapangan
diketahui bahwa, keberadaan penataan parkir badan
jalan masih menimbulkan permasalahan. Permasalahan
yang timbul adalah berkurangnya ruang bagi pejalan
kaki, luas parkir yang tidak bertambah sedangkan
kebutuhan parkir bertambah, dan kecepatan lalu lintas
yang menjadi lamban akibat adanya parkir badan jalan.
Permasalahan yang ada akan mempengaruhi desain
perkotaan. Desain perkotaan yang menjadi kunci untuk
membuat tempat dimana orang-orang berbakat ingin
hidup dan akan mempengaruhi kesuksesan ekonomi
sehingga menciptakan lingkungan hidup yang lebih
dinamis.
Berdasarkan hasil temuan data yang ada di
lapangan, Dinas Perhubungan Kota Surabaya memiliki
desain baru dalam mengatasi permasalahan yang ada
berkaitan dengan parkir badan jalan. Desain yang
dibuat berupa masterplan perparkiran Kota Surabaya di
dalamnya terdapat root map perparkiran mulai dari
sistem manajemen hingga kajian mengenai parkir zona
yang saat ini sudah mulai diterapkan.
Berdasarkan temuan di lapangan, desain dan
tarif perparkiran badan jalan harus mengikuti peraturan
yang dibuat oleh Dinas Perhubungan Kota Surabaya.
Desain perparkiran berbeda-beda sesuai karakteristik
jalan masing-masing. Tidak hanya itu, tarif parkir yang
digunakan juga berbeda. Jalan yang memiliki tingkat
kepadatan yang tinggi seperti kawasan perdagangan
diberi tarif yang berbeda dengan kawasan yang
memiliki tingkat kepadatan yang rendah. Hal
diberlakukan untuk mengurangi kepadatan yang ada di
jalan seperti pemberlakuan tarif parkir zona.
Dalam menentukan lokasi yang merupakan
tindakan strategis untuk merencanakan suatu ruangan
agar berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Perlu adanya pertimbangan yang matang dalam
menentukan titik-titik lokasi dengan
mempertimbangkan beberapa aspek yang memiliki
dampak langsung dengan ruangan tersebut
(Nizarmaula 2013). Ruang dapat dikatakan benar jika
pesan yang terkandung dalam sebuah ruangan dapat
tersampaikan dengan baik dan mudah dipahami oleh
khalayak umum. Keberadaan suatu ruangan tidak akan
mengganggu fasilitas umum lainnya jika hal-hal
tersebut dapat diterapkan dengan baik dan benar.
Sebagaimana hasil yang telah didapatkan di
lapangan, dalam menentukan titik-titik lokasi parkir
dengan mempertimbangkan pejalan kaki, jangkauan,
kecepatan arus lalu lintas, persepsi orang terhadap
lokasi dan keserasian bangunan sekitar yang memiliki
dampak langsung dengan ruang parkir. Keberadaan
ruang parkir masih mengganggu fasilitas umum
lainnya seperti fasilitas untuk pejalan kaki digunakan
untuk lahan parkir, sehingga membuat pejalan kaki
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
13
susah untuk melewatinya karena terhalang oleh
kendaraan parkir. Jadi, ruang parkir belum bisa
dikatakan benar karena masih mengganggu fasilitas
umum lainnya.
Tata Letak Estetika Kota Surabaya
Desain perkotaan yang baik akan membantu
memberikan layout yang sangat efisien, yang dapat
memberikan lebih banyak unit. Terdapat skema dalam
merencanakan skema kualitas desain untuk
mengakomodasi kepadatan lebih tinggi. Namun,
kualitas desain yang lebih baik tidak secara otomatis
mengikuti dari kepadatan yang lebih tinggi.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan
diketahui bahwa, Dinas Perhubungan Kota Surabaya
memiliki skema dalam menata parkir badan jalan.
Skema yang diberikan oleh Dinas Perhubungan Kota
Surabaya dengan cara menghitung rasio V/C.
Perbandingan rasio dengan membandingkan kapasitas
jalan dengan volume kendaraan yang melewati jalan
tersebut. Jika hasil survei yang didapat oleh Dinas
Perhubungan mencapai rasio yang tinggi, maka akan
diputuskan bahwa lahan tersebut tidak boleh atau
menjadi larangan untuk membangun lahan parkir di
badan jalan.
Jika jalan yang akan dibangun lahan parkir
memiliki volume kendaraan yang padat, maka Dinas
Perhubungan akan melarang dibangunnya lahan parkir
badan jalan tersebut. Namun, jika lahan yang akan
digunakan untuk perparkiran yang memiliki volume
kendaraan yang tidak terlalu padat sesuai dengan
perhitungan Dinas Perhubungan maka Dinas
Perhubungan akan mengizinkan pembangunan parkir
tersebut.
Tidak hanya mempertimbangkan dari segi
kepadatan jalan, Dinas Perhubungan Kota Surabaya
juga melihat lahan parkir yang ada di jalan tersebut
memadai atau tidak. Bapak Hendra memberikan
contoh pada jalan Manyar Kertoarjo dan jalan Raya
Gubeng. Pada jalan Manyar Kertoarjo dan jalan Raya
Gubeng tersebut memang terdapat area yang tidak
diizinkan dan ada juga area yang diizinkan oleh Dinas
Perhubungan untuk membangun parkir badan jalan.
Pada kedua jalan tersebut, Dinas Perhubungan merasa
bahwa di samping memang jalannya yang memiliki
volume kendaraan yang padat, namun juga lahan parkir
yang terdapat di jalan tersebut dianggap belum
memadai. Maka dari itu, Dinas Perhubungan
memberikan larangan untuk membangun parkir badan
jalan di daerah tersebut.
Pada suatu ruangan di dalam sebuah kota
biasanya mempunyai hubungan dengan ruang-ruang di
sekitarnya. Hubungan tersebut diatur dengan konsep
yang digunakan pada saat menentukan zonasi tata letak
pada perancangan interior. Berikut prinsip-prinsip
hubungan ruang tersebut (Wicaksono dan Tisnawati
2014):
1. Sebuah ruang yang luas dapat
mencakup dan memuat sebuah ruang
lain yang lebih kecil di dalamnya.
2. Ruang yang lebih kecil sangat
bergantung pada ruang yang besar
dalam hubungannya dengan
lingkungan eksterior.
3. Jika ruang yang berada di dalam
berkembang ukurannya, ruang yang
lebih besar akan mulai kehilangan
artinya sebagai bentuk ruang
penutup.
Berdasarkan hasil temuan data di lapangan
diketahui bahwa parkir badan jalan yang merupakan
ruang kecil dimana ruang tersebut berada di dalam
ruang yang lebih luas atau besar yakni jalan raya. Jadi,
jalan juga mencakup parkir tepi jalan dalam
memfasilitasi masyarakat untuk menempatkan atau
menitipkan kendaraannya ke tempat yang memang
sudah resmi diberikan oleh pemerintah.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Wicaksono
dan Tisnawati (2014) diketahui bahwa ruang yang
kecil akan bergantung pada ruang yang besar.
Berdasarkan hasil di lapangan, ruang kecil yang
merupakan parkir itu bergantung pada jalan yang ada.
Sesuai dengan perhitungan atau perkiraan yang dibuat
oleh Dinas Perhubungan dalam menentukan parkir
dengan cara melihat volume kendaraan dengan
kapasitas jalan menandakan bahwa kapasitas jalan
sangat mempengaruhi parkir terutama parkir badan
jalan.
Ketersediaan ruang parkir tidak terlepas dari
pengaturan tata letak ruang parkir yang efektif dan
kapasitas ruang parkir serta pelayanan parkir yang baik
sehingga dapat mengoptimalkan fasilitas parkir
kendaraan, bidang atau areal parkir tentunya
mempunyai angka maksimal dalam menampung
jumlah kendaraan. Penggunaan fasilitas parkir
merupakan suatu keperluan yang penting sebagai
tempat untuk menitipkan kendaraan bila kita ingin
berkunjung ke suatu tempat, namun kendala yang
sering dialami dalam penggunaan fasilitas parkir
tersebut adalah tempat parkir sering sekali penuh
namun tidak ada petunjuk parkir penuh, sehingga
waktu terbuang dalam mencari ruang parkir, dan tata
letak kendaraan yang parkir sering sekali tidak
beraturan, sehingga pengunjung merasa kurang
nyaman dan tidak bisa memarkirkan kendaraan mereka
dengan baik.
Deskripsi dari Sebuah Kota Surabaya
Pada umumnya manusia memerlukan tempat
yang stabil dan ideal untuk mengembangkan
kehidupannya. Kebutuhan itu timbul atas dasar adanya
kesadaran orang-orang terhadap suatu tempat. Maka
dari itu, tempat yang merupakan sebuah jarak yang
memiliki suatu ciri khas tersendiri dan berarti bagi
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
14
lingkungan, termasuk di dalamnya citra kota (Zahnd
1999 : 137).
Citra kota merupakan identitas khas yang
hanya dimiliki pada suatu kota dimana setiap kota
memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Jika dilihat dari
aspek estetika sebuah kota dapat dikatakan sebagai
tempat yang layak apabila memenuhi beberapa prinsip
(Zahnd 1999), yaitu:
1. Kekosongan pusat. Sebuah tempat yang
berfungsi sebagai ruang statis seharusnya
memiliki pusat yang kosong. Artinya, pohon-
pohon, tugu, monumen, dan lain sebagainya
ditempatkan diluar pusat ruang, atau
ditempatkan secara khusus tanpa ada
gangguan dari elemen yang lainnya.
2. Elemen tempat. Sebuah tempat biasanya diisi
oleh elemen perkotaan yang mendukung.
Seperti lampu, penghijauan, tempat menempel
media iklan, pengumuman, tiang-tiang, tempat
duduk, dan lain-lain. Seharusnya elemen
tersebut tidak merusak tempat, melainkan
memberikan dukungan pada infrastruktur dan
lingkungannya.
3. Gambaran visual. Sebuah tempat seharusnya
memiliki citra yang menarik. Maksudnya,
sebuah tempat idealnya mempunyai ciri khas
yang berasal dari interaksi antara ruang dan
bentuk, serta antara yang buatan dan yang
alami.
Berdasarkan hasil temuan peneliti di lapangan,
untuk memenuhi kekosongan pusat, parkir badan jalan
memiliki ruang kosong yang dimanfaatkan sebagai
penempatan pohon atau vegetasi untuk mengurangi
polusi kendaraan yang berada di sekitar ruang parkir.
Namun, penempatan pohon terkadang terhalang oleh
rambu parkir yang berada di dekat pohon itu ditanam.
Dalam memenuhi elemen tempat, elemen
yang mendukung area parkir adalah marka parkir dan
rambu parkir yang menandakan bahwa tempat tersebut
merupakan parkir badan jalan yang resmi yang dikelola
oleh pemerintah. Elemen tersebut sebenarnya
mendukung adanya parkir badan jalan namun, tidak
semua parkir badan jalan memiliki keduanya terutama
dalam kepemilikan marka parkir. Jadi, marka dan
rambu parkir merupakan elemen pendukung parkir
badan jalan tetapi penyebarannya masih belum
menyeluruh.
Tata letak parkir badan jalan yang diikuti
dengan rambu parkir, marka parkir dan vegetasi
sebagai sarana prasarana parkir badan jalan. Dari
keseluruhan jalan yang diteliti oleh peneliti, sudah
memenuhi sarana dan prasarana tersebut. Namun,
memang masih terdapat kendala yang ada terutama
mengenai pemenuhan marka parkir yang seharusnya
ada di setiap titik parkir. Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, bahwa marka parkir seharusnya ada pada
setiap tempat namun dikarenakan kendala yang
dihadapi maka tidak seluruh titik parkir memiliki
marka parkir sendiri-sendiri.
Berdasarkan temuan di lapangan, dari segi
gambaran visual, penataan parkir badan jalan dinilai
masih belum menarik perhatian disebabkan karena
dari segi kerapian parkir badan jalan masih semrawut
tidak tertata rapi. Terkadang juru parkir memasukkan
kendaraan dengan melebihi anjuran sesuai yang
diperintahkan oleh Dinas Perhubungan terlebih lagi
kadang ada juru parkir yang tidak mau mengatur parkir
dengan baik.
Dengan demikian, makna sebuah tempat dari
segi citra kota serta estetikanya melibatkan beberapa
faktor tersebut yang akan mampu mempengaruhi
makna pada suatu tempat. Dibutuhkan adanya
penekanan mengenai pengamalan estetika, baik
individu maupun kolektif, mencerminkan bentuk
keterlibatan dalam lingkungan yang mengarah ke
pemahaman sedemikian rupa dalam menolak perintah
normative mengenai perilaku kita sehari-hari. Dalam
hal mengubah lingkungan maka melakukan hal yang
sama untuk diri kita sendiri.
Berdasarkan hasil temuan yang ada di lapangan,
penataan parkir badan jalan juga akan mempengaruhi
sudut pandang kota. Perparkiran yang ada di Surabaya
juga akan mempengaruhi sudut pandang masyarakat
terhadap kota yang akan mempengaruhi citra kota itu
sendiri. Oleh karena itu, tempat parkir seharusnya
memiliki citra yang menarik sehingga dapat
menciptakan sebuah tempat yang ideal.
Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa
adanya parkir badan jalan menimbulkan kemacetan.
Oleh karena itu, citra kota menjadi terganggu karena
lalu lintas yang seharusnya berjalan dengan lancar
harus terhambat dengan adanya parkir badan jalan
yang mengambil sebagian ruang jalan.
Terdapat perbedaan antara kebijakan yang ada
Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman,
Cipta Karya dan Tata ruang Kota Surabaya sebenarnya
tidak memperbolehkan bangunan niaga menggunakan
badan jalan sebagai tempat parkir bagi para
pengunjungnya. Parkir yang dibolehkan oleh pihak
DCKTR adalah parkir yang masuk di dalam persil atau
pada bidang tanah bangunan tersebut.
Sedangkan, bagi Dinas Perhubungan Kota
Surabaya parkir yang berada di badan jalan itu resmi
selama lokasi parkir ada di jalan-jalan yang menjadi
kewenangan pemerintah Kota Surabaya. Selain jalan
kewenangan pemerintah seperti jalan provinsi, arteri,
dan nasional tidak diperbolehkan untuk menggunakan
jalan sebagai fasilitas parkir. Perbedaan tersebut
menimbulkan ketimpangan mengenai parkir badan
jalan bagi masyarakat.
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
15
Dampak Penataan Parkir Badan Jalan terhadap
Estetika Kota di Kawasan Niaga Kota Surabaya
Sebagaimana penjelasan di sub bab kerangka
teori, menurut Stren (2015:5) evaluasi dampak
memiliki beberapa aspek, yakni :
1. Menekankan pada pencarian efek apapun
yang dirasakan tidak hanya pada sasaran atau
orang yang dimaksudkan.
2. Mengakui bahwa adanya pengaruh positif dan
negatif
3. Mengakui bahwa efek dari program itu
disebabkan oleh intervensi
4. Menunjukkan kemungkinan berbagai jenis
hubungan antara semua jenis intervensi
pembangunan (proyek, program atau
kebijakan) dan efek
5. Berfokus pada efek jangka panjang dari
intervensi pembangunan
Berdasarkan penjelasan Stren, dari temuan
yang ada di lapangan sudah mencakup dua aspek dari
aspek evaluasi dampak, yakni menekankan pada
pencarian efek yang dirasakan tidak hanya pada
sasaran dan mengakui adanya dampak positif dan
negatif. Efek yang dihasilkan dari penataan parkir
badan jalan adalah ruas jalan sempit dan arus lalu lintas
padat.
Jika dilihat, estetika memiliki berbagai
dimensi yang mempengaruhi bagaimana seorang
manusia mengapresiasi keindahan, estetika di sini
hanyalah sebuah media untuk mencoba menjelaskan
apa yang disebut indah, namun tidak akan bisa
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dalam benak
seseorang berkaitan dengan sensasi keindahan karena
setiap manusia memiliki pemikiran yang berbeda-beda.
Maka, keindahan lebih bersifat subjektif dalam diri
setiap orang sehingga pendapat tentang nilai estetika
sebuah bangunan atau benda. Oleh karena itu, dengan
perkembangan zaman estetika akan dapat lebih
dimengerti dan dikembangkan melalui pemahaman
berbagai hal menyangkut teori estetika.
Suatu kota dikatakan memiliki nilai estetika
jika mampu menyeimbangkan antara lingkungan
dengan infrastruktur yang ada di dalam kota tersebut
yang bertujuan untuk mewujudkan kota yang ideal
dimana keberadaan lingkungan di dalam kota harus
tetap dijaga kelestariannya. Sehingga, kota tampak
serasi, seimbang, bersahabat dan memiliki nilai
keindahan tersendiri, tentunya kota yang baik dapat
dipastikan memiliki citra kota yang khas (Nizarmaula
2013).
Penataan parkir badan jalan masih belum
mampu menyeimbangkan dengan lingkungan. Dengan
adanya parkir ini belum bisa mewujudkan kota yang
ideal yang tetap menjaga kelestariannya. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, penataan parkir badan
jalan dari segi serasi dan seimbang masih belum
memenuhi, sedangkan untuk nilai keindahan, dengan
adanya parkir badan jalan dianggap kurang indah.
Selain itu, master plan yang dibuat oleh Dinas
Perhubungan Kota Surabaya masih belum maksimal
sehingga menyebabkan estetika suatu kota menjadi
berkurang atau belum efektif. Oleh karena itu, jika
penataan parkir tidak sesuai dari segi penggunaan dan
penempatannya akan berdampak buruk bagi estetika
kota.
Juru parkir badan jalan juga mempengaruhi
dampak yang ditimbulkan dari adanya parkir badan
jalan tersebut. Juru parkir ikut ambil bagian dari
pembentukan nilai keindahan dari parkir badan jalan
kepada masyarakat. Cara juru parkir dalam menata
parkir dari segi kerapian parkir hingga kebersihan
parkir itu yang akan mempengaruhi pandangan dari
masyarakat dalam melihat bagaimana penataan parkir
yang ada di Kota Surabaya. Dengan penataan parkir
badan jalan yang ditata secara tidak rapi dan tidak
bersih akan mempengaruhi nilai masyarakat sehingga,
parkir badan jalan terlihat jelek.
Dalam penataan parkir pasti ada unsur-unsur
lain yang mempengaruhi seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa benda estetis tidak akan bisa berdiri
sendiri. Unsur-unsur yang terkait seperti halnya
transportasi, lalu lintas, lingkungan dan masyarakat.
Unsur-unsur yang ada dengan penataan parkir harus
tersusun dengan baik sehingga antara unsur dan
penataan parkir dapat menjadi suatu kesatuan yang
sempurna. Namun, menyeimbangkan semua unsur
menjadi satu tidak mudah seperti yang sudah dibahas
dalam latar belakang bahwa pesatnya perkembangan
kota Surabaya dan pertambahan kendaraan bermotor
yang semakin meningkat, maka kebutuhan parkir
meningkat dan juga berpengaruh dalam pengelolaan
perparkiran.
Oleh karena itu, dari segi estetika kota, dengan
adanya penataan parkir badan jalan kota menjadi
kumuh. Dilihat dari segi penataan parkir terkadang
para pengendara kendaraan juga masih belum mau
untuk menata kendaraannya yang akan parkir dengan
rapi. Masyarakat merasa tata kota mengenai parkir
badan jalan harus segera dibenahi. Perlu adanya
penghapusan parkir badan jalan demi kelancaran lalu
lintas dan keindahan kota itu sendiri.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan,
penataan parkir badan jalan juga memberikan efek
kepada masyarakat sebagai pengguna, namun juga
berpengaruh kepada arus lalu lintas di sekitar wilayah
perparkiran. Efek yang dirasakan oleh masyarakat yang
berpengaruh terhadap arus lalu lintas adalah arus lalu
lintas menjadi padat dikarenakan adanya parkir badan
jalan membuat ruas jalan menjadi sempit. Jalan yang
seharusnya dimanfaatkan sepenuhnya untuk arus lalu
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
16
lintas harus dibagi dengan adanya parkir badan jalan
sehingga, arus lalu lintas menjadi terhambat.
Dalam temuan di lapangan, diketahui bahwa
penataan parkir badan jalan memiliki dampak positif
dan negatif bagi masyarakat. Dampak positif yang
diberikan dari parkir badan jalan yang dirasakan oleh
masyarakat ialah kemudahan untuk menuju tempat
kegiatan yang diinginkan. Sedangkan untuk dampak
negatif adanya penataan parkir badan jalan adalah
kemacetan, ruas jalan menjadi sempit, mengganggu
kelancaran lalu lintas, mengganggu pengguna jalan
lainnya, tidak aman, dan mengambil hak pejalan kaki.
KESIMPULAN
Analisis mengenai penataan parkir badan jalan
jika ditinjau dari aspek estetika kota yang meliputi
nuansa, desain, tata letak dan deskripsi sebuah kota.
Berikut kesimpulan penataan parkir badan jalan jika
dilihat dari aspek estetika, yaitu :
1. Dari segi nuansa estetika, penataan parkir
badan jalan menurut pandangan masyarakat
masih kotor, kurang rapi dan antara bangunan
dan fasilitas parkir yang diberikan masih
belum seimbang. Namun, terdapat beberapa
masyarakat yang memiliki pandangan yang
berbeda mengenai penataan parkir badan jalan
sudah rapi dan bersih. Dengan demikian,
penempatan parkir perlu diperhatikan agar
tetap memiliki nilai keindahan kota, bukan
sebaliknya.
2. Dari segi desain estetika, Dinas Perhubungan
Kota Surabaya telah memiliki desain baru
dalam mengatasi permasalahan yang ada
berkaitan dengan parkir badan jalan. Desain
yang dibuat berupa masterplan perparkiran
Kota Surabaya tahun 2016. Namun,
keberadaan penataan parkir badan jalan masih
menimbulkan permasalahan. Efek yang timbul
adalah berkurangnya ruang bagi pejalan kaki,
luas parkir yang tidak bertambah sedangkan
kebutuhan parkir bertambah, dan kecepatan
lalu lintas yang menjadi lamban akibat adanya
parkir badan jalan. Jadi, ruang parkir belum
bisa dikatakan benar karena masih
mengganggu fasilitas umum lainnya.
3. Dari segi tata letak estetika, Dinas
Perhubungan Kota Surabaya memiliki skema
dalam menata parkir badan jalan. Skema yang
diberikan oleh Dinas Perhubungan Kota
Surabaya dengan cara menghitung rasio V/C.
Perbandingan rasio dengan membandingkan
kapasitas jalan dengan volume kendaraan
yang melewati jalan tersebut. Tata letak
kendaraan yang parkir tidak beraturan,
sehingga berpengaruh pada kenyamanan
pengunjung yang merasa kurang nyaman dan
tidak bisa memarkirkan kendaraan mereka
dengan aman.
4. Dari segi deskripsi sebuah kota, Penataan
parkir badan jalan dinilai masih belum
menarik perhatian karena dari segi kerapian
parkir badan jalan masih semrawut tidak
tertata rapi. Sehingga, citra kota menjadi
terganggu karena lalu lintas yang seharusnya
berjalan dengan lancar harus terhambat
dengan adanya parkir badan jalan yang
mengambil sebagian ruang jalan.
Secara keseluruhan, dampak yang ditimbulkan
dari parkir badan jalan di kawasan niaga Kota
Surabaya terhadap estetika kota yakni dari segi dampak
positif yang dirasakan adalah parkir badan jalan lebih
dekat dengan tempat tujuan. Sedangkan dampak
negatif adanya penataan parkir badan jalan adalah
kemacetan, ruas jalan menjadi sempit, mengganggu
kelancaran lalu lintas, mengganggu pengguna jalan
lainnya, tidak aman, dan mengambil hak pejalan kaki.
Terlebih lagi, keempat jalan tersebut yang memiliki
tingkat volume kendaraan yang tinggi sedangkan
kapasitas jalan sempit. Sehingga, menyebabkan arus
lalu lintas menjadi ramai dan padat. Oleh karena itu,
penataan parkir badan jalan dianggap berdampak buruk
terhadap estetika kota karena kota terlihat kumuh.
Maka dari itu, sebuah ruang parkir terutama
badan jalan tidak hanya sebagai pemenuhan pelayanan
pemerintah kepada masyarakat namun juga dituntut
untuk benar secara fungsi dan penggunaannya serta
memberikan dampak positif terutama bagi lingkungan
dan berbagai aspek di dalamnya. Jika semuanya
terpenuhi maka kegiatan penataan parkir badan jalan
dapat berjalan dengan baik tanpa membatasi kegiatan
aspek lainnya seperti lalu lintas dan ruang untuk
pejalan kaki, dan tentunya dengan tidak mengabaikan
peraturan yang ada dan dari segi estetika kota akan
menjadi lebih indah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal :
Abubakar, Iskandar. 2011. Parkir: Pengantar
Perencanaan dan Penyelenggaraan
Fasilitas Parkir. Jakarta: Transindo Gastama
Media
Adisasmita, Rahardjo. 2012. Analisis Tata Ruang
Pembangunan. Yogyakarta:Graha Ilmu
Alamsyah, Alik Ansyori. 2008. Rekayasa Lalu Lintas.
Malang: UMM Press
Beardsley, Monroe C. 1981. Aesthetics, Problems in
the Philosophy of Criticsm. Indianapolis:
Hackett Publishing Company
Dale, Reidar 2001. Evaluation Framework for
Development Program and Project. Sage
Publication. New Delhi.
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
17
Djajoesman, HS. 1976. Grafik Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Jakarta: Balai Pustaka
Eaton, Marcia Muelder. 2010. Persoalan-Persoalan
Dasar Estetika. Jakarta: Salemba Humanika
Foster, HD. 1982. Environmental Aesthetics. Canada:
Victoria Univ Pr
Gertler, Paul J, Sebastian Martinez, Patrick Premand,
Laura B. Rawlings, and Christel M. J.
Vermeersch. 2011. Impact Evaluation in
Practice. Washington: The World Bank
Gie, The Liang dan Sutarto.1977. Pengertian,
Kedudukan dan Perincian Ilmu Administrasi.
Yogyakarta: Karya Kencana
Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta :
Gramedia Widiasarana Indonesia
Hasan, M. Iqbal, 2002. Pokok-pokok Materi
Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Bogor:
Ghalia Indonesia
Hein, Carola, Kalala Ngalamulume and Kevin J.
Robinson. 2010. Chapter Twenty-Two: Urban
Plannig and Aesthetics. United State of
America: Jossey-Bass
Hobbs, F.D . 1995. Perencanaan dan Teknik Lalu
Lintas. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press
Jackson, John Brinckerhoff. 1984. Discovering the
Vernacular Landscape. United State: Yale
University Press
Kunarto, Drs. 1999. Masalah Lalu Lintas, Buku ke 5.
Jakarta: Cipta Manunggal
Makmur. 2011. Efektifitas Kebijakan Kelembagaan
Pengawasan. Bandung: Refika Aditama
Mardiasmo. 2009. Akutansi Sektor Publik. Yogyakarta:
Andi
Miles, Mathew B. dan Michael Huberman. 1984.
Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of
New Methods. London : Sage Publication, Inc
Mirsa, Rinaldi. 2012. Elemen Tata Ruang. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Moloeng, Lexy J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif
(edisi revisi). Bandung: PT. remaja Rosdakarya
Offset.
Mulyadi, Deddy. 2015. Studi Kebijakan Publik dan
Pelayanan Publik. Bandung: Alfabeta
Nurcholis, Hanif, Hardi Warsono dan Tijan. 2009.
Perencanaan Partisipatif Pemerintah Daerah.
Jakarta: Grasindo
Parsons, Wayne. 2004. Public Policy Pengantar Teori
dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Rogers, Patricia J., RMIT University and Better
Evaluation. 2012. Impact Evaluation Notes:
Introduction to Impact Evaluation. Journal No.
1 March 2012. Inter Action and The Rockefeller
Foudation
Rossman, Gretchen B. and Sharon F. Rallis. 2012.
Learning in the Field: An Introduction to
Qualitative Research. London: SAGE
Publications, Inc
Sachari, Agus. 2002. Estetika: Makna, Simbol,dan
Daya. Bandung: ITB
Schalock, Robert L (auth). 2002. Outcome-Based
Evaluation: Second Edition. United State of
America: Kluwer Academic Publisher
Sita, Raid an Ivanaovich Agusta. 2011. Evaluasi
Efektivitas, Relevansi, dan Keberlanjutan
Dampak Proyek Second Water Sanitation for
Low Income Communities (WSLIC-2)/
Evaluation of Efectivity, Relevancy, And
Sustainability on Project Second Water
Sanitation For Low Income Communities
(WSLIC-2). Sodality: Jurnal Transdisiplin
Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia
Soenarko, SD Drs. H. MPA. 2000. Public Policy:
Pengertian Pokok untuk Memahami dan
Analisa Kebijaksanaan Pemerintah. Surabaya:
Airlangga University Press
Stern, Elliot. May 2015. Impact Evaluation: A Guide
for Commisioners and Managers. Journal. Bond
for International Development
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta
Surakhman, Winarno. 1994. Pengantar Penelitian
Ilmiah : Dasar, Metode dan Teknik. Bandung:
Tarsito.
Susanto, Bambang. 2009. Strategi dalam Penataan
Ruang dan Pengembangan Wilayah. Jakarta:
Kata Hasta Pustaka
Suyanto, Bagong dan Sutinah (ed). 2005. Metode
Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan. Jakarta : Prenada Media
Tarigan, Robinson. 2005. Perencanaan Pembangunan
Wilayah. Graha Ilmu. Yogyakarta
Todaro, Michael P. 2000. Economic Development,
Seventh Edition. New York Universit: Addison
Wesley
Tohirin, Dr. 2012. Metode Penelitian Kualitatif Dalam
Pendidikan dan Bimbingan Konseling. Jakarta:
PT. Grafindo Persada
Ulfiatin, Nurul. 2014. Metode Penelitian Kualitatif
Dibidang Pendidikan. Malang: Banyumedia
Publishing
Wicaksono, Andie. A dan Endah Tisnawati. 2014.
Teori Interior. Jakarta: Griya Kreasi (Penebar
Swadaya Group)
Internet :
Ashleysays. 2009. City Planning and Aesthetic.
HubPages. http://hubpages.com/education/The-
Inclusion-of-Aesthetics-in-City-Planning.
Diakses 18 Januari 2017
Habib, Muhammad Alhada Fuadillah. 2012.
Pengertian Kota (online) http://alhada-
fisip11.web.unair.ac.id/ diakses pada 22 Juni
2016
No Name. May 2010. Illustrated Urban Design
Principles. Journal. London Canada.
https://www.london.ca/business/Planning-
Development/urban-
Kebijakan dan Manajemen Publik ISSN 2303-341X
Volume 5, Nomor 3, September – Desember 2017
18
design/Documents/Illustrated-Urban-Design-
Principles.pdf. dilihat tanggal 11 Februari 2017
pukul 9.00
http://surabaya.tribunnews.com/2016/09/02/banyak-
toko-tanpa-lahan-parkir-picu-macet-di-surabaya
http://www2.jawapos.com/baca/artikel/9796/kendaraan
-di-surabaya-tambah-17ribu-lebih-sebulan
http://surabaya.tribunnews.com/2017/04/21/duh-lajur-
sepeda-kok-jadi-tempat-parkir
http://surabaya.tribunnews.com/2015/02/06/kemacetan
-surabaya-masuk-empat-besar-dunia
http://jatim.metrotvnews.com/peristiwa/VNnxEMEk-
urai-kemacetan-pemkot-surabaya-siapkan-parkir-
dalam-gedung
https://news.detik.com/jawatimur/3325168/ini-salah-
satu-penyebab-kemacetan-di-surabaya
https://www.pressreader.com/indonesia/jawa-
pos/20160116/282780650506038
http://dikti.go.id/iptek-solusi-komprehensif-atasi-
kemacetan-lalu-lintas/
Peraturan :
Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat
Nomor: 272/HK.105/DRJD/96 tentang Pedoman
Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir
Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penyelenggaraan Perparkiran dan Retribusi
Parkir
Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2009
tentang Bangunan
Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 8 Tahun 2012
tentang Retribusi Pelayanan Parkir Tepi Jalan Umum
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun
2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan
Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang
Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak serta
Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas
Peraturan Walikota Surabaya Nomor 2 Tahun 2015
tentang Tata Cara Honorarium Petugas Parkir
Peratuan Walikota Surabaya Nomor 36 Tahun 2015
tentang Perubahan Tarif Retribusi Pelayanan Parkir di
Tepi Jalan Umum
Peraturan Walikota Surabaya Nomor 52 Tahun 2015
tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi
Pelanggaran Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 1
Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Perparkiran dan
Retribusi Parkir
Peraturan Walikota Surabaya Nomor 58 Tahun 2015
tentang Pedoman Teknis Pelayanan Izin Mendirikan
Bangunan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang
Skripsi :
Maula, Nizar. 2013. Tinjauan penggunaan elemen
visual media luar ruang dan penempatan serta
kaitannya pada estetika Kota Bandung : (studi kasus :
spanduk kampanye partai politik Rido). Skripsi. Desain
Komunikasi Visual Universitas Komputer Indonesia
Prasetya, Wisnu. 2010. Kajian Penataan Parkir Jalan
Jawa Kabupaten Jember. Skripsi. Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Jember.
Yulianto, Didik. 2006. Persepsi Kualitas Estetika dan
Ekologi pada Jalur Wisata Alam Taman
Nasional Gede Pangrango. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor
Top Related