See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/344187548
Aeginetia indica L., TUMBUHAN PARASIT PADA AKAR DI KEBUN RAYA
KUNINGAN, JAWA BARAT
Article · November 2015
CITATIONS
0READS
210
1 author:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Brownlowia peltata germination View project
Plant Care, Plant Health Monitoring and Arborist View project
Prima Wahyu Kusuma Hutabarat
Indonesian Institute of Sciences
12 PUBLICATIONS 7 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Prima Wahyu Kusuma Hutabarat on 10 September 2020.
The user has requested enhancement of the downloaded file.
Foto: Wisnu H.A.
27
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Tumbuhan parasit dianggap sebagai tumbuhan
pengganggu pada tanaman budidaya. Benalu
atau pasilan dari marga Dendrophthoe,
Macroso len dan Scurru la dar i suku
Loranthaceae, tali putri (Cassytha filiformis L.)
dari suku Lauraceae serta Santalum album L.
(Santalaceae) atau cendana yang telah dikenal
luas sebagai penghasil kayu aromatik adalah
contoh tumbuhan parasit yang umum dikenal di
lingkungan sekitar. Marga Rafflesia (termasuk
puspa langka, Rafflesia arnoldii R.Br.) juga
merupakan tumbuhan parasit langka di
Aeginetia indica L. (Orobanchaceae) is an unique holoparasitic plant that occurs as a root parasite mainly
on monocotyledonous plants, such as Imperata cylindrica (L.) P. Beauv., Oryza sativa L., and Saccharum.
This native plant that was found in Kuningan Botanic Garden, West Java apparently is used as medicinal
plants in China, Thailand and Phillipines. Therefore, more studies are needed to reveal its potential and
horticultural requirements.
Indonesia yang dikenal memiliki bunga unik
berukuran raksasa.
Istilah “tumbuhan parasit” digunakan pada
tumbuhan-tumbuhan yang membentuk akar
termodifikasi yang disebut haustoria yang
membentuk hubungan morfologi dan fisiologi
terhadap tumbuhan lain, khususnya dalam
upaya memperoleh sumber nutrisi untuk
kelangsungan hidupnya. Tidak seperti tumbuhan
autotrof pada umumnya yang berfotosintesis
dan menghasilkan makanannya sendiri,
tumbuhan parasit digolongkan sebagai
heterotrof, yaitu golongan tumbuhan yang
Prima W. K. HutabaratPusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya – LIPI
email: [email protected]
Aeginetia indica L., TUMBUHAN PARASIT PADA AKAR DI KEBUN RAYA KUNINGAN, JAWA BARAT
Kuncup Bunga Aeginetia indica
Warta Kebun Raya 13(2), November 2015
Warta Kebun Raya 13(2), November 2015
28
memperoleh sebagian atau seluruh makanannya
dari organisme lain. Tumbuhan parasit secara
garis besar dibagi menjadi dua tipe berdasarkan
sifat parasitiknya, yaitu hemiparasit dan
holoparasit. Hemiparasit adalah jenis parasit
yang memi l i k i k lo ro f i l dan mampu
berfotosintesis, namun memperoleh air dan
nutrisi melalui haustoria, sedangkan holoparasit
hampir tidak atau tidak berklorofil, tidak
berfotosintesis dan sangat tergantung pada
inangnya dalam memperoleh air dan nutrisi
(Nickrent, 2002).
Orobanchaceae (broomrapes family) adalah
suku tumbuhan parasit herba atau semak dalam
ordo Lamiales yang memiliki tipe hemiparasit
dan holoparasit. Saat ini, Orobanchaceae terdiri
dari 89 marga dan 1.613 spesies telah
berpredikat “accepted” dari 5.411 nama spesies
yang ada (theplantlist.org). Suku ini adalah suku
tumbuhan yang memiliki distribusi kosmopolitan
yang artinya tersebar hampir di seluruh dunia,
dari daerah temperate sampai tropis (Wu &
Raven, 1998). Pada umunya, suku ini menjadi
masalah bagi tanaman budidaya pada suku
Apiaceae, Asteraceae, Brass icaceae,
Cucurbitaceae, Fabaceae, dan Solanaceae
(Nickrent, 2002).
Aeginetia termasuk dalam suku Orobanchaceae
yang tumbuh di Asia, terdistribusi dari Jepang,
China, Asia Tenggara sampai India (Wu & Raven,
1998). Marga kecil hanya terdiri dari empat
spesies (Wu & Raven, 1998), lima dan
kemungkinan enam spesies (Parnell, 2012). The
Plant List menyebutkan 6 spesies Aeginetia yaitu
A. indica L., A. mirabilis (Blume) Bakh., A.
pedunculata Wall., A. selebica Bakh., A. sessilis
Shivam. & Rajanna, dan A. sinensis Beck. A.
indica memiliki bunga berwarna merah, ungu
atau putih atau kombinasinya yang cukup
mencolok membuat spesies ini mudah
ditemukan saat musim berbunga. Berdasarkan
observasi pada masyarakat lokal di sekitar
Kebun Raya Kuningan, jenis tumbuhan ini belum
banyak dikenal masyarakat sekitar, baik nama,
karakter, habitat dan potensinya.
SEJARAH
Aeginetia indica L. pertama dideskripsikan oleh
Linnaeus pada tahun 1753. Nama “Aeginetia”
diberikan untuk menghormati Paulus Aeginette
atau Paul of Aegina, seorang ahli pengobatan
dari Yunani pada abad ke-7 yang terkenal dengan
tulisan tentang eksiklopedia pengobatan,
Medical Compendium in Seven Books, sedangkan
kata “indica” merujuk pada India dimana
spesies ini ditemukan. Linneus sendiri tidak
benar-benar melihat spesies ini secara langsung,
tetapi hanya melalui gambar di dalam “Hortus
Malabaricus” oleh Henricus Adrianus van
Rheede, gubernur Malabar, India tahun 1669-
1676.
Awalnya, penyebaran A. indica diketahui hanya
terdapat di India, Filipina, Cina dan Jepang.
Tahun 1856, Fred. Ant. Guilielmi Miquel
menyebutkan dalam buku Flora Indiae Batavae
Vol. 2 mengenai keberadaan tumbuhan ini di
Pulau Jawa. Reinier Cornelis Bakhuizen van den
Brink (1921) seorang botanis Belanda
melaporkan tentang keberadaan spesies ini di
Pulau Jawa (saat itu dikenal sebagai Hindia-
Belanda) yang ditemukan tahun 1916 di puncak
bukit di area Gunung Beser dan area kebun teh di
Cidadap, Sukabumi, Jawa Barat. Spesies
tersebut ditemukan di area semak belukar
dengan pohon-pohon kecil, atau hutan-hutan
sekunder di dataran tinggi. Van den Brink juga
melaporkan penemuan spesies ini pada area
persawahan. Ia mengungkapkan hubungan
parasitisme A. indica dengan akar padi (Oryza
sativa L.) dan alang-alang (Imperata cylindrica
(L.) P. Beauv.) serta dugaan asosiasi spesies ini
dengan semut sehubungan dengan penyebaran
bijinya yang sangat halus.
Van den Brink banyak membahas keberadaan
tumbuhan ini di Indonesia dalam tulisan
Gambar 1. Aeginetia indica A. Habitus; B. Bunga, i. Kelopak; ii. Mahkota; iii. Kepala putik; iv. Benang sari atas; v. Benang sari bawah; C. Buah (capsule); D. Biji. (Sumber: Sharma & Uniyal, 2009)
Tengger, Jawa Timur. Nama populer parasit ini
adalah Forest Ghost Flower, sedangkan
masyarakat di Pulau Jawa, menyebutnya
sebagai Kembang Bumi, Kembang Pare,
Peupeucangan, Ramo puyuh (Sunda), Pacing
Dawa dan Pacingan (Jawa) (Lemmens &
Bunyapraphatsara, 2003).
DESKRIPSI
Aeginetia indica L. bersinonim dengan
Aeginetia aeginetia Huth.; Aeginetia
boninensis Nakai; Aeginetia indica var. gracilis
“Orobanchaceae in India Batavia Orientali
crescentes” tahun 1933. Dia menyebutkan
penemuan A. indica di daerah Jawa Barat
(Sukabumi dan Majalengka), Jawa Tengah
(Magelang), Jatim (Madiun, Ponorogo, Pasuruan,
Kediri, dan Malang), Kalimantan Barat dan
Kalimantan Timur, sedangkan penemuan spesies
ini di Nusa Tenggara Timur ditulis oleh J. A. J.
Verheijen tahun 1970 (orowiki.org).
Van Steenis (1972) menyebutkan A. indica
ditemukan mulai dari dataran rendah Indramayu
dan Cianjur, Jawa Barat sampai Pegunungan
29
Warta Kebun Raya 13(2), November 2015
Warta Kebun Raya 13(2), November 2015
28
memperoleh sebagian atau seluruh makanannya
dari organisme lain. Tumbuhan parasit secara
garis besar dibagi menjadi dua tipe berdasarkan
sifat parasitiknya, yaitu hemiparasit dan
holoparasit. Hemiparasit adalah jenis parasit
yang memi l i k i k lo ro f i l dan mampu
berfotosintesis, namun memperoleh air dan
nutrisi melalui haustoria, sedangkan holoparasit
hampir tidak atau tidak berklorofil, tidak
berfotosintesis dan sangat tergantung pada
inangnya dalam memperoleh air dan nutrisi
(Nickrent, 2002).
Orobanchaceae (broomrapes family) adalah
suku tumbuhan parasit herba atau semak dalam
ordo Lamiales yang memiliki tipe hemiparasit
dan holoparasit. Saat ini, Orobanchaceae terdiri
dari 89 marga dan 1.613 spesies telah
berpredikat “accepted” dari 5.411 nama spesies
yang ada (theplantlist.org). Suku ini adalah suku
tumbuhan yang memiliki distribusi kosmopolitan
yang artinya tersebar hampir di seluruh dunia,
dari daerah temperate sampai tropis (Wu &
Raven, 1998). Pada umunya, suku ini menjadi
masalah bagi tanaman budidaya pada suku
Apiaceae, Asteraceae, Brass icaceae,
Cucurbitaceae, Fabaceae, dan Solanaceae
(Nickrent, 2002).
Aeginetia termasuk dalam suku Orobanchaceae
yang tumbuh di Asia, terdistribusi dari Jepang,
China, Asia Tenggara sampai India (Wu & Raven,
1998). Marga kecil hanya terdiri dari empat
spesies (Wu & Raven, 1998), lima dan
kemungkinan enam spesies (Parnell, 2012). The
Plant List menyebutkan 6 spesies Aeginetia yaitu
A. indica L., A. mirabilis (Blume) Bakh., A.
pedunculata Wall., A. selebica Bakh., A. sessilis
Shivam. & Rajanna, dan A. sinensis Beck. A.
indica memiliki bunga berwarna merah, ungu
atau putih atau kombinasinya yang cukup
mencolok membuat spesies ini mudah
ditemukan saat musim berbunga. Berdasarkan
observasi pada masyarakat lokal di sekitar
Kebun Raya Kuningan, jenis tumbuhan ini belum
banyak dikenal masyarakat sekitar, baik nama,
karakter, habitat dan potensinya.
SEJARAH
Aeginetia indica L. pertama dideskripsikan oleh
Linnaeus pada tahun 1753. Nama “Aeginetia”
diberikan untuk menghormati Paulus Aeginette
atau Paul of Aegina, seorang ahli pengobatan
dari Yunani pada abad ke-7 yang terkenal dengan
tulisan tentang eksiklopedia pengobatan,
Medical Compendium in Seven Books, sedangkan
kata “indica” merujuk pada India dimana
spesies ini ditemukan. Linneus sendiri tidak
benar-benar melihat spesies ini secara langsung,
tetapi hanya melalui gambar di dalam “Hortus
Malabaricus” oleh Henricus Adrianus van
Rheede, gubernur Malabar, India tahun 1669-
1676.
Awalnya, penyebaran A. indica diketahui hanya
terdapat di India, Filipina, Cina dan Jepang.
Tahun 1856, Fred. Ant. Guilielmi Miquel
menyebutkan dalam buku Flora Indiae Batavae
Vol. 2 mengenai keberadaan tumbuhan ini di
Pulau Jawa. Reinier Cornelis Bakhuizen van den
Brink (1921) seorang botanis Belanda
melaporkan tentang keberadaan spesies ini di
Pulau Jawa (saat itu dikenal sebagai Hindia-
Belanda) yang ditemukan tahun 1916 di puncak
bukit di area Gunung Beser dan area kebun teh di
Cidadap, Sukabumi, Jawa Barat. Spesies
tersebut ditemukan di area semak belukar
dengan pohon-pohon kecil, atau hutan-hutan
sekunder di dataran tinggi. Van den Brink juga
melaporkan penemuan spesies ini pada area
persawahan. Ia mengungkapkan hubungan
parasitisme A. indica dengan akar padi (Oryza
sativa L.) dan alang-alang (Imperata cylindrica
(L.) P. Beauv.) serta dugaan asosiasi spesies ini
dengan semut sehubungan dengan penyebaran
bijinya yang sangat halus.
Van den Brink banyak membahas keberadaan
tumbuhan ini di Indonesia dalam tulisan
Gambar 1. Aeginetia indica A. Habitus; B. Bunga, i. Kelopak; ii. Mahkota; iii. Kepala putik; iv. Benang sari atas; v. Benang sari bawah; C. Buah (capsule); D. Biji. (Sumber: Sharma & Uniyal, 2009)
Tengger, Jawa Timur. Nama populer parasit ini
adalah Forest Ghost Flower, sedangkan
masyarakat di Pulau Jawa, menyebutnya
sebagai Kembang Bumi, Kembang Pare,
Peupeucangan, Ramo puyuh (Sunda), Pacing
Dawa dan Pacingan (Jawa) (Lemmens &
Bunyapraphatsara, 2003).
DESKRIPSI
Aeginetia indica L. bersinonim dengan
Aeginetia aeginetia Huth.; Aeginetia
boninensis Nakai; Aeginetia indica var. gracilis
“Orobanchaceae in India Batavia Orientali
crescentes” tahun 1933. Dia menyebutkan
penemuan A. indica di daerah Jawa Barat
(Sukabumi dan Majalengka), Jawa Tengah
(Magelang), Jatim (Madiun, Ponorogo, Pasuruan,
Kediri, dan Malang), Kalimantan Barat dan
Kalimantan Timur, sedangkan penemuan spesies
ini di Nusa Tenggara Timur ditulis oleh J. A. J.
Verheijen tahun 1970 (orowiki.org).
Van Steenis (1972) menyebutkan A. indica
ditemukan mulai dari dataran rendah Indramayu
dan Cianjur, Jawa Barat sampai Pegunungan
29
Warta Kebun Raya 13(2), November 2015
31
Warta Kebun Raya 13(2), November 2015
Steenis, 1972). Menurut Wu & Raven (1998),
pada umumnya A. indica ditemukan di lantai
hutan, pada serasah daun, tempat lembab dan
ternaungi pada ketinggian 200–1800 m dpl.
Tumbuhan yang tergolong holoparasit ini adalah
parasit pada akar tumbuhan monokotil,
meskipun beberapa laporan menyebutkan juga
ditemukan pada tumbuhan dikotil. Di India
tumbuhan ini berasosiasi dengan Poaceae
(Bambusa dan Dendrocalamus), sedangkan di
Cina, tumbuhan ini adalah parasit pada
Miscanthus dan Saccharum. Di Indonesia,
khususnya di Jawa, A. indica ditemukan sebagai
parasit pada rumput-rumputan, seperti alang-
alang (Imperata cylindrica (L.) P. Beauv.),
Pogonatherum paniceum (Lam.) Hack., gelagah
(Saccharum spontaneum L.) dan juga pada suku
Zingiberaceae. Sifat parasit ini dinilai dapat
menjadi sangat merusak jika menyerang padi
dan tumbuhan budidaya lain, seperti tebu dan
tanaman serealia pada kasus di Filipina (Van
Steenis, 1972; globinmed.com).
SPESIMEN DI KEBUN RAYA KUNINGAN
Aeginetia indica tumbuh secara alami di area
Kebun Raya Kuningan di Desa Padabeunghar,
Kecamatan Pasawahan, Kuningan, Jawa Barat.
Penduduk lokal di sekitar Kebun Raya Kuningan
awalnya mengira tumbuhan tersebut adalah
jenis anggrek. Berdasarkan pengamatan visual,
tinggi herba tersebut mencapai 30 cm. Tangkai
bunga dan kelopak berwarna merah keunguan,
berdaging, mengkilap, dengan sedikit garis
semburat kuning keputihan pada kelopak.
Warna mahkota bunga merah keunguan,
terdapat kombinasi dengan merah muda
keputihan pada mahkota bagian bawah atau
dalam (Gambar 3). Warna tangkai dan bunga A.
indica sangat kontras dengan kondisi habitatnya
yang didominasi warna daun atau rumput
kering.
Terdapat tiga titik lokasi penemuan A. indica di
dalam area kebun (Gambar 4). Lokasi pertama
adalah area di bagian barat Situ Lurah, yang saat
Warta Kebun Raya 13(2), November 2015
30
Nakai; Aeginetia japonica Sielbold & Zucc.;
Aeginetia mairei H.Lév.; Orobanche aeginetia
L., Phelipaea indica (L.) A. Spreng. Ex Steud.
(theplantlist.org; Wu & Raven, 1998).
Tumbuhan ini tumbuh setinggi 15-50 cm; akar
membentuk rimpang berdaging; satu atau
beberapa tangkai tanpa cabang atau bercabang
dekat pangkal muncul dari rimpang. Tumbuhan
tanpa daun ini memiliki bunga yang umumnya
soliter, terminal; tangkai bunga panjang, tegak
ramping, mengkilap kecuali pada bagian pangkal
yang bersisik seperti daun; ujung kelopak
runcing atau meruncing, 1,5-5 cm, tertutup saat
kuncup, mengkilap, berwarna kuning pucat atau
kemerahmudaan; mahkota bunga 2,5-5 cm,
berdiameter 2-2,5 cm, berwarna merah-
keunguan, tabung seperti lonceng, sedikit
melengkung, 5 lekukan hampir rata, tepian
bergerigi halus seperti rambut (fimbriate);
benang sari 4, tangkai sari ungu, 7-9 mm,
mengkilat; kepala sari berwarna kuning,
berlokus 2, kepala sari fertil bagian bawah
memiliki spur yang tumpul dan tebal; kepala
putik berwarna kuning pucat. Tipe buahnya
adalah buah kotak sejati (capsule), 1,5-3 cm,
panjang bulat telur, terlindungi oleh kelopak.
Biji kuning pucat atau kuning keputihan,
banyak, ellipsoid, ± 0,04 mm (Wu & Raven, 1998;
Sharma & Uniyal, 2009; Ekanayake et al., 2015).
Biji A. indica umumnya memiliki dormasi
sehingga lambat berkecambah (Lemmens &
Bunyapraphatsara, 2003).
Di dataran Cina, musim berbunga tumbuhan ini
adalah sekitar April–Agustus, dan berbuah
pada Agustus–Oktober (Wu & Raven, 1998). Di
Thailand berbunga pada saat musim hujan,
yaitu September–Oktober (Auttachoat, 2003)
sedangkan di India utara, waktu berbunga dan
berbuah jatuh pada Agustus–Oktober (Sharma
& Uniyal, 2009).
HABITAT DAN DISTRIBUSI
Penyebaran Aeginetia indica sangat luas
meliputi India, Nepal, Bangladesh, Bhutan,
Srilangka, Asia Tenggara, Cina, Jepang (Van
Steenis, 1972; Wu & Raven, 1998; Lemmens &
Bunyapraphatsara, 2003; Sharma & Uniyal,
2009; Ekanayake et al., 2015; ). Van Steenis
(1972) menambahkan bahwa spesies ini juga
ditemukan di Indonesia bagian timur seperti
Flores dan New Guinea.
Di Jawa, Van den Brink (1921) dan Van Steenis
(1972) melaporkan A. indica ditemukan di area
bukit dan pegunungan, sawah, semak belukar,
hutan sekunder, padang rumput, serta hutan
jati yang rusak pada rentang ketinggian (10)
800-1800 m dpl. Sementara itu, di luar Jawa,
A. indica ditemukan di dataran rendah (Van
Gambar 2. Gambaran Habitat Aeginetia indica di Area "Batu Kuda" Kebun Raya Kuningan
Gambar 3. Bunga Aeginetia indica A. saat mekar, B. saat masih kuncup.
31
Warta Kebun Raya 13(2), November 2015
Steenis, 1972). Menurut Wu & Raven (1998),
pada umumnya A. indica ditemukan di lantai
hutan, pada serasah daun, tempat lembab dan
ternaungi pada ketinggian 200–1800 m dpl.
Tumbuhan yang tergolong holoparasit ini adalah
parasit pada akar tumbuhan monokotil,
meskipun beberapa laporan menyebutkan juga
ditemukan pada tumbuhan dikotil. Di India
tumbuhan ini berasosiasi dengan Poaceae
(Bambusa dan Dendrocalamus), sedangkan di
Cina, tumbuhan ini adalah parasit pada
Miscanthus dan Saccharum. Di Indonesia,
khususnya di Jawa, A. indica ditemukan sebagai
parasit pada rumput-rumputan, seperti alang-
alang (Imperata cylindrica (L.) P. Beauv.),
Pogonatherum paniceum (Lam.) Hack., gelagah
(Saccharum spontaneum L.) dan juga pada suku
Zingiberaceae. Sifat parasit ini dinilai dapat
menjadi sangat merusak jika menyerang padi
dan tumbuhan budidaya lain, seperti tebu dan
tanaman serealia pada kasus di Filipina (Van
Steenis, 1972; globinmed.com).
SPESIMEN DI KEBUN RAYA KUNINGAN
Aeginetia indica tumbuh secara alami di area
Kebun Raya Kuningan di Desa Padabeunghar,
Kecamatan Pasawahan, Kuningan, Jawa Barat.
Penduduk lokal di sekitar Kebun Raya Kuningan
awalnya mengira tumbuhan tersebut adalah
jenis anggrek. Berdasarkan pengamatan visual,
tinggi herba tersebut mencapai 30 cm. Tangkai
bunga dan kelopak berwarna merah keunguan,
berdaging, mengkilap, dengan sedikit garis
semburat kuning keputihan pada kelopak.
Warna mahkota bunga merah keunguan,
terdapat kombinasi dengan merah muda
keputihan pada mahkota bagian bawah atau
dalam (Gambar 3). Warna tangkai dan bunga A.
indica sangat kontras dengan kondisi habitatnya
yang didominasi warna daun atau rumput
kering.
Terdapat tiga titik lokasi penemuan A. indica di
dalam area kebun (Gambar 4). Lokasi pertama
adalah area di bagian barat Situ Lurah, yang saat
Warta Kebun Raya 13(2), November 2015
30
Nakai; Aeginetia japonica Sielbold & Zucc.;
Aeginetia mairei H.Lév.; Orobanche aeginetia
L., Phelipaea indica (L.) A. Spreng. Ex Steud.
(theplantlist.org; Wu & Raven, 1998).
Tumbuhan ini tumbuh setinggi 15-50 cm; akar
membentuk rimpang berdaging; satu atau
beberapa tangkai tanpa cabang atau bercabang
dekat pangkal muncul dari rimpang. Tumbuhan
tanpa daun ini memiliki bunga yang umumnya
soliter, terminal; tangkai bunga panjang, tegak
ramping, mengkilap kecuali pada bagian pangkal
yang bersisik seperti daun; ujung kelopak
runcing atau meruncing, 1,5-5 cm, tertutup saat
kuncup, mengkilap, berwarna kuning pucat atau
kemerahmudaan; mahkota bunga 2,5-5 cm,
berdiameter 2-2,5 cm, berwarna merah-
keunguan, tabung seperti lonceng, sedikit
melengkung, 5 lekukan hampir rata, tepian
bergerigi halus seperti rambut (fimbriate);
benang sari 4, tangkai sari ungu, 7-9 mm,
mengkilat; kepala sari berwarna kuning,
berlokus 2, kepala sari fertil bagian bawah
memiliki spur yang tumpul dan tebal; kepala
putik berwarna kuning pucat. Tipe buahnya
adalah buah kotak sejati (capsule), 1,5-3 cm,
panjang bulat telur, terlindungi oleh kelopak.
Biji kuning pucat atau kuning keputihan,
banyak, ellipsoid, ± 0,04 mm (Wu & Raven, 1998;
Sharma & Uniyal, 2009; Ekanayake et al., 2015).
Biji A. indica umumnya memiliki dormasi
sehingga lambat berkecambah (Lemmens &
Bunyapraphatsara, 2003).
Di dataran Cina, musim berbunga tumbuhan ini
adalah sekitar April–Agustus, dan berbuah
pada Agustus–Oktober (Wu & Raven, 1998). Di
Thailand berbunga pada saat musim hujan,
yaitu September–Oktober (Auttachoat, 2003)
sedangkan di India utara, waktu berbunga dan
berbuah jatuh pada Agustus–Oktober (Sharma
& Uniyal, 2009).
HABITAT DAN DISTRIBUSI
Penyebaran Aeginetia indica sangat luas
meliputi India, Nepal, Bangladesh, Bhutan,
Srilangka, Asia Tenggara, Cina, Jepang (Van
Steenis, 1972; Wu & Raven, 1998; Lemmens &
Bunyapraphatsara, 2003; Sharma & Uniyal,
2009; Ekanayake et al., 2015; ). Van Steenis
(1972) menambahkan bahwa spesies ini juga
ditemukan di Indonesia bagian timur seperti
Flores dan New Guinea.
Di Jawa, Van den Brink (1921) dan Van Steenis
(1972) melaporkan A. indica ditemukan di area
bukit dan pegunungan, sawah, semak belukar,
hutan sekunder, padang rumput, serta hutan
jati yang rusak pada rentang ketinggian (10)
800-1800 m dpl. Sementara itu, di luar Jawa,
A. indica ditemukan di dataran rendah (Van
Gambar 2. Gambaran Habitat Aeginetia indica di Area "Batu Kuda" Kebun Raya Kuningan
Gambar 3. Bunga Aeginetia indica A. saat mekar, B. saat masih kuncup.
33
Warta Kebun Raya 13(2), November 2015
Aeginetia indica ditemukan sedang berbunga di
Kebun Raya Kuningan pada bulan April dan Juni
yang merupakan awal musim kemarau. Musim
kemarau di utara Gunung Ciremai, khususnya
Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan
terjadi pada bulan Mei sampai Oktober. Pada
saat musim kemarau, rentang suhu menjadi ocukup besar antara siang dan malam (21–35 C),
dan kelembaban relatif bisa turun sampai 36%.
Ada dugaan selain dari keberadaan tumbuhan
inang, perubahan curah hujan (dari musim
hujan ke musim kemarau), suhu dan
kelembaban menjadi faktor lingkungan yang
menginduksi pertumbuhan dan pembungaan
tumbuhan ini. Van den Brink (1921) menyatakan
jika A. indica menjadi parasit pada tumbuhan
annual (tahunan), maka pada saat inangnya
telah mati, rimpang akan mengalami dormansi,
namun jika menjadi parasit tumbuhan
perennial (seperti alang-alang), maka siklus
hidup A. indica akan seperti perennial.
STATUS KONSERVASI
Belum terdapat informasi mengenai status
konservasi Aeginetia indica. Sampai saat ini
belum dilakukan assessment oleh IUCN Red List
tanahnya cenderung berpasir, coklat kehitaman
dan tidak padat. Saat ditemukan, tumbuhan
berada di bawah semak belukar dengan naungan
ringan (relatif terbuka) sampai naungan sedang/
sebagian (Gambar 5).
Pada lokasi penemuan, Aeginetia indica tumbuh
di dalam komunitas tumbuhan berpembuluh,
diantaranya adalah Imperata cylindrica (L.) P.
Beauv. (alang-alang), Melinis minutiflora P.
Beauv., Lantana camara L., Melastoma
malabathricum L., Tithonia diversifolia
(Hemsl.) A. Gray, Mikania cordata (Burm.f.)
B.L.Rob., Cymbopogon citratus (DC.) Stapf,
Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl,
Crotalaria sp., Wendlandia sp., beberapa herba
kecil dari suku Asteraceae dan semak besar atau
pohon kecil dari suku Leguminosae. Van den
Brink (1921) dan Ekanayake et al. (2015)
menyebutkan beberapa spesies yang sama pada
habitat penemuan A. indica, diantaranya yaitu I.
cylindrica, L. camara, M. malabrathricum, dan
M. cordata. Observasi khusus mengenai asosiasi
dengan tumbuhan-tumbuhan tersebut tidak
dilakukan di Kebun Raya Kuningan, namun
diduga spesies tersebut menjadi parasit pada
akar alang-alang (I. cylindrica).
Gambar 5. Habitus Aeginetia indica di Kebun Raya Kuningan pada (A) area ternaungi dan (B) area relatif terbuka dan berbatu.
curam (8%-25%) pada ketinggian 600-700 m
dpl. Jenis tanah pada lokasi penemuan
pertama adalah podsolik, disebut “tanah
merah” yang dianggap kurang subur, dengan
tekstur liat dan padat. Pada lokasi lain di
“Batu Kuda” dan Zona Penerima, jenis
tanahnya adalah tanah andosol atau disebut
sebagai tanah hitam, yang dianggap
masyarakat lokal sebagai tanah subur. Tekstur
saat ini dikembangkan menjadi area Taman
Kuning. Pengembangan fisik secara intensif
sedang dilakukan di Taman Kuning atau Zona
Penerima sejak tahun 2015.
Berdasarkan observasi, habitat umum A. indica
di Kebun Raya Kuningan adalah padang rumput
berbatu dan semak belukar setinggi 1.5-2 m
dengan kontur lereng yang sedang sampai
Warta Kebun Raya 13(2), November 2015
32
ini menjadi area Taman Bambu, berada di Zona
Rekreasi Aktif. Lokasi saat ini telah ditanam
beberapa koleksi bambu dan beberapa pohon,
namun sebagian area masih ditumbuhi alang-
alang dan semak belukar. Lokasi penemuan
kedua dikenal sebagai “Batu Kuda” yaitu bagian
dari Zona Penelitian dan Perkantoran, terletak
di area kebun bagian timur yang berbatasan
langsung dengan Taman Nasional Gunung
Ciremai (TNGC). Area “Batu Kuda” belum
dikelola secara intensif, di beberapa titik telah
ditanam tumbuhan koleksi, namun kondisi
koleksi masih berupa pohon-pohon kecil.
Lokasi terakhir adalah di Zona Penerima yang
Gambar 4. Tiga Titik Penemuan Aeginetia indica di Kebun Raya Kuningan, (A) di Batu Kuda, (B) Zona Rekreasi Aktif, (C) Zona Penerima/ Taman Kuning.
33
Warta Kebun Raya 13(2), November 2015
Aeginetia indica ditemukan sedang berbunga di
Kebun Raya Kuningan pada bulan April dan Juni
yang merupakan awal musim kemarau. Musim
kemarau di utara Gunung Ciremai, khususnya
Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan
terjadi pada bulan Mei sampai Oktober. Pada
saat musim kemarau, rentang suhu menjadi ocukup besar antara siang dan malam (21–35 C),
dan kelembaban relatif bisa turun sampai 36%.
Ada dugaan selain dari keberadaan tumbuhan
inang, perubahan curah hujan (dari musim
hujan ke musim kemarau), suhu dan
kelembaban menjadi faktor lingkungan yang
menginduksi pertumbuhan dan pembungaan
tumbuhan ini. Van den Brink (1921) menyatakan
jika A. indica menjadi parasit pada tumbuhan
annual (tahunan), maka pada saat inangnya
telah mati, rimpang akan mengalami dormansi,
namun jika menjadi parasit tumbuhan
perennial (seperti alang-alang), maka siklus
hidup A. indica akan seperti perennial.
STATUS KONSERVASI
Belum terdapat informasi mengenai status
konservasi Aeginetia indica. Sampai saat ini
belum dilakukan assessment oleh IUCN Red List
tanahnya cenderung berpasir, coklat kehitaman
dan tidak padat. Saat ditemukan, tumbuhan
berada di bawah semak belukar dengan naungan
ringan (relatif terbuka) sampai naungan sedang/
sebagian (Gambar 5).
Pada lokasi penemuan, Aeginetia indica tumbuh
di dalam komunitas tumbuhan berpembuluh,
diantaranya adalah Imperata cylindrica (L.) P.
Beauv. (alang-alang), Melinis minutiflora P.
Beauv., Lantana camara L., Melastoma
malabathricum L., Tithonia diversifolia
(Hemsl.) A. Gray, Mikania cordata (Burm.f.)
B.L.Rob., Cymbopogon citratus (DC.) Stapf,
Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl,
Crotalaria sp., Wendlandia sp., beberapa herba
kecil dari suku Asteraceae dan semak besar atau
pohon kecil dari suku Leguminosae. Van den
Brink (1921) dan Ekanayake et al. (2015)
menyebutkan beberapa spesies yang sama pada
habitat penemuan A. indica, diantaranya yaitu I.
cylindrica, L. camara, M. malabrathricum, dan
M. cordata. Observasi khusus mengenai asosiasi
dengan tumbuhan-tumbuhan tersebut tidak
dilakukan di Kebun Raya Kuningan, namun
diduga spesies tersebut menjadi parasit pada
akar alang-alang (I. cylindrica).
Gambar 5. Habitus Aeginetia indica di Kebun Raya Kuningan pada (A) area ternaungi dan (B) area relatif terbuka dan berbatu.
curam (8%-25%) pada ketinggian 600-700 m
dpl. Jenis tanah pada lokasi penemuan
pertama adalah podsolik, disebut “tanah
merah” yang dianggap kurang subur, dengan
tekstur liat dan padat. Pada lokasi lain di
“Batu Kuda” dan Zona Penerima, jenis
tanahnya adalah tanah andosol atau disebut
sebagai tanah hitam, yang dianggap
masyarakat lokal sebagai tanah subur. Tekstur
saat ini dikembangkan menjadi area Taman
Kuning. Pengembangan fisik secara intensif
sedang dilakukan di Taman Kuning atau Zona
Penerima sejak tahun 2015.
Berdasarkan observasi, habitat umum A. indica
di Kebun Raya Kuningan adalah padang rumput
berbatu dan semak belukar setinggi 1.5-2 m
dengan kontur lereng yang sedang sampai
Warta Kebun Raya 13(2), November 2015
32
ini menjadi area Taman Bambu, berada di Zona
Rekreasi Aktif. Lokasi saat ini telah ditanam
beberapa koleksi bambu dan beberapa pohon,
namun sebagian area masih ditumbuhi alang-
alang dan semak belukar. Lokasi penemuan
kedua dikenal sebagai “Batu Kuda” yaitu bagian
dari Zona Penelitian dan Perkantoran, terletak
di area kebun bagian timur yang berbatasan
langsung dengan Taman Nasional Gunung
Ciremai (TNGC). Area “Batu Kuda” belum
dikelola secara intensif, di beberapa titik telah
ditanam tumbuhan koleksi, namun kondisi
koleksi masih berupa pohon-pohon kecil.
Lokasi terakhir adalah di Zona Penerima yang
Gambar 4. Tiga Titik Penemuan Aeginetia indica di Kebun Raya Kuningan, (A) di Batu Kuda, (B) Zona Rekreasi Aktif, (C) Zona Penerima/ Taman Kuning.
Indonesia. Di luar Indonesia, potensi dan
manfaatnya yang dikenal untuk menjaga
ketahanan tubuh, anti tumor dan anti kanker
menjadikannya sebagai salah satu tumbuhan
parasit berpotensi obat.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih saya sampaikan kepada UPTD
Kebun Raya Kuningan atas dukungannya dalam
observasi spontan yang dilakukan di area kebun.
Terimakasih kepada Ibu Dina Safarinanugraha
(Kebun Raya Bogor) dan Bapak Samsudi (Kebun
Raya Kuningan) atas kesediannya berbagi foto
untuk tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
A u t t a c h o a t , W. 2 0 0 3 . S t u d y o f
Immunotoxicologycal Effect of Dok Din
Daeng (Aeginetia indica Roxb.) (Doctor
of Philosophy's Thesis). Suranaree
University of Technology. Thailand.
Chai, JG., T. Bando, S. Kobashi, M. Oka, H.
Nagasawa, S. Nakai, K. Maeda, K.
Himeno, M. Sato, and S. Ohkubo. 1992.
An extract of seeds from Aeginetia
indica L., a parasitic plant, induces
potent antigen-specific antitumor
immunity in Meth A-bearing BALB/c
mice. Cancer Immunol Immunother.
35(3):181-5.
Ekanayake, S. P., S. Jayarathne, S.
Harischandra, S. Karunarathne, B.
Weerakoon, K. Mahagedara, A.
Thudugala and K. B. Ranawana. 2015.
Rediscovery of Aeginetia indica L.
(Orobanchaceae) from Meegahakiula,
S r i Langka a f te r 125 yea r s .
Taprobanica. Vol.07, No.02: pp.101-
102.
menyebutkan masyarakat Cina memanfaat-
kannya sebagai obat liver, batuk, dan artritis,
sedangkan di Filipina tumbuhan ini dikenal
sebagai obat diabetes. Rebusan tanaman juga
digunakan untuk pengobatan anasarka karena
nefritis akut (stuartxchange.com).
Di Thailand, Aeginetia indica yang tumbuh pada
akar bambu digunakan sebagai obat tradisional
untuk ketahanan tubuh. Pengujian lebih lanjut
dilakukan oleh Auttachoat (2003) yang
melaporkan bahwa ekstrak A. indica dan bijinya
memiliki potensi untuk menstimulasi respon
ketahanan tubuh dengan meningkatkan fungsi T
cell.
Aeginetia indica memiliki kandungan asam
aeginetik, monoterpenoid lakton aeginetolide,
tiga senyawa poliena, dan β sitosterol dari hasil
ekstraksi etanol batang dan bunga (tumbuhan
bagian atas) (Lemmens & Bunyapraphatsara,
2003). Penelitian Cai et al. (1992) menguji
ekstrak biji A. indica sebagai anti tumor yang
hasilnya merekomendasikan protein 55kDa
sebagai Th1 inducer kuat dan dapat menjadi
agen immunotherapeutic berguna untuk pasien
tumor. Penelitian lain menunjukkan ekstrak A.
indica memiliki efek sinergis pada apoptosis
yang disebabkan oleh agen kemoterapi dan efek
penghambatan pada adhesi sel, migrasi, dan
invasi. Hal ini membuktikan bahwa ekstrak A.
indica berpotensi sebagai alternatif dalam
pengobatan kanker ginjal (Liu et al., 2012).
PENUTUP
Aeginetia indica L. adalah tumbuhan holoparasit
pada akar tumbuhan monokotil, khususnya dari
suku Poaceae. Keberadaanya mudah ditemui
hanya saat rimpangnya sedang berbunga dengan
warna merah keunguan yang mencolok tanpa
daun dan bentuk mahkota bunga yang cantik.
Tumbuhan asli Jawa yang tumbuh alami di Kebun
Raya Kuningan, Jawa Barat ini belum banyak
diteliti dan diketahui informasi budidayanya di
35
Warta Kebun Raya 13(2), November 2015Warta Kebun Raya 13(2), November 2015
34
maupun CITES mengenai status konservasinya.
Di Amerika Serikat, tumbuhan parasit ini masuk
ke dalam daftar Federal and States Noxious
Weeds, yang berarti dianggap sebagai gulma
perusak tanaman pertanian (plants.usda.gov),
sedangkan di Srilangka spesies ini dianggap
langka dan penyebarannya menurun, sehingga
masuk ke dalam Critically Endengered dalam
The National Red List 2012 of Srilangka (MOE,
2012) yang artinya tumbuhan ini memiliki resiko
akan punah di alam liar. Di Indonesia tumbuhan
ini belum terdengar menjadi gulma yang
meresahkan masyarakat seperti di Amerika
Serikat dan Filipina.
Di Indonesia tidak banyak tulisan baru yang
melaporkan keberadaan dan kelimpahan spesies
ini. Berdasarkan informasi dari berbagai pustaka
lama yang telah disebutkan, A. indica tersebar
di Pulau Jawa, Kalimantan dan Nusa Tenggara
Timur, sedangkan distribusi di pulau-pulau lain
sampai sekarang belum diketahui. Berdasarkan
hasil observasi di Herbarium Bogoriense,
tumbuhan ini ditemukan di Cidadap-Cibeber,
Jawa Barat, namun t idak diketahui
kelimpahannya di daerah tersebut.
Spesimen A. indica yang ditemukan di area
Kebun Raya Kuningan bisa terbilang sedikit yaitu
1 sampai 3 rumpun pada titik yang berdekatan.
Habitatnya yang relatif spesifik di dataran tinggi
(di atas 600 m dpl.) dan terbuka atau sedikit
naungan serta menuntut keberadaan tumbuhan
inang (dalam hal ini alang-alang), maka
kelangkaan tumbuhan ini tergolong sebagai
spesies tumbuhan yang jarang ditemukan dan
hanya dijumpai pada habitat-habitat tertentu,
namun tersebar di area geografis yang luas.
Menurut Lemmens & Bunyapraphatsara (2003)
Aeginetia indica terdistribusi sangat luas di
seluruh dunia dan hidup di sekitar habitat
manusia (habitat anthropogeni) sehingga tidak
terancam oleh erosi genetika. Secara umum
hampir seluruh lahan Kebun Raya Kuningan
sudah pernah dikelola oleh manusia. Lokasi
“Batu Kuda” dan Zona Penerima adalah salah
satu lokasi yang pernah menjadi tanah garapan
atau ladang penduduk dan sekaligus menjadi
langganan area kebakaran hutan setiap dua
tahun atau beberapa tahun di Kebun Raya
Kuningan dan Taman Nasional Gunung Ciremai.
Gangguan lain yang terjadi di habitat
Aeginetia indica di Kebun Raya Kuningan selain
kebakaran adalah pengembangan fisik area
yang sangat intensif yang meliputi
pembe r s i h an l ahan , pembangunan
infrastuktur dan perubahan fungsi lahan yang
menyebabkan hilangnya habitat alaminya.
G a n g g u a n i n i d i p e r k i r a k a n d a p a t
mempengaruhi populasi dan menjadi ancaman
kepunahan spesies ini di lokasi tersebut,
meskipun pada kenyataannya keberadaan
tumbuhan inangnya (alang-alang) masih
sangat melimpah dan invasif.
Aeginetia indica belum dikoleksi di Kebun Raya
Kuningan dikarenakan keterbatasan informasi
pemeliharaan, perbanyakan serta karakternya
yang mudah sekali layu dan kurang adaptif
sehingga mati pasca pemindahan. Meskipun
keberadaanya secara global tidak terancam
punah, Kebun Raya Kuningan diharapkan
menjadi salah satu area konservasi ex situ
sekaligus in situ dari A. indica mengingat
tumbuhan herba kecil ini tumbuh secara alami
di dalam kebun. Pelestarian spesies di dalam
kebun ini kelak akan mempermudah studi-
studi lebih lanjut di kemudian hari.
POTENSI
Aeginetia indica telah banyak dikenal secara
turun temurun sebagai tumbuhan obat di Cina,
Filipina dan Thailand. Di Cina, A. indica yang
digerus atau direbus digunakan untuk
mengobati pembengkakan, menurunkan panas
dan mengobati keracunan (Wu & Raven, 1998;
Hong et al., 2015). Informasi lainnya
Indonesia. Di luar Indonesia, potensi dan
manfaatnya yang dikenal untuk menjaga
ketahanan tubuh, anti tumor dan anti kanker
menjadikannya sebagai salah satu tumbuhan
parasit berpotensi obat.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih saya sampaikan kepada UPTD
Kebun Raya Kuningan atas dukungannya dalam
observasi spontan yang dilakukan di area kebun.
Terimakasih kepada Ibu Dina Safarinanugraha
(Kebun Raya Bogor) dan Bapak Samsudi (Kebun
Raya Kuningan) atas kesediannya berbagi foto
untuk tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
A u t t a c h o a t , W. 2 0 0 3 . S t u d y o f
Immunotoxicologycal Effect of Dok Din
Daeng (Aeginetia indica Roxb.) (Doctor
of Philosophy's Thesis). Suranaree
University of Technology. Thailand.
Chai, JG., T. Bando, S. Kobashi, M. Oka, H.
Nagasawa, S. Nakai, K. Maeda, K.
Himeno, M. Sato, and S. Ohkubo. 1992.
An extract of seeds from Aeginetia
indica L., a parasitic plant, induces
potent antigen-specific antitumor
immunity in Meth A-bearing BALB/c
mice. Cancer Immunol Immunother.
35(3):181-5.
Ekanayake, S. P., S. Jayarathne, S.
Harischandra, S. Karunarathne, B.
Weerakoon, K. Mahagedara, A.
Thudugala and K. B. Ranawana. 2015.
Rediscovery of Aeginetia indica L.
(Orobanchaceae) from Meegahakiula,
S r i Langka a f te r 125 yea r s .
Taprobanica. Vol.07, No.02: pp.101-
102.
menyebutkan masyarakat Cina memanfaat-
kannya sebagai obat liver, batuk, dan artritis,
sedangkan di Filipina tumbuhan ini dikenal
sebagai obat diabetes. Rebusan tanaman juga
digunakan untuk pengobatan anasarka karena
nefritis akut (stuartxchange.com).
Di Thailand, Aeginetia indica yang tumbuh pada
akar bambu digunakan sebagai obat tradisional
untuk ketahanan tubuh. Pengujian lebih lanjut
dilakukan oleh Auttachoat (2003) yang
melaporkan bahwa ekstrak A. indica dan bijinya
memiliki potensi untuk menstimulasi respon
ketahanan tubuh dengan meningkatkan fungsi T
cell.
Aeginetia indica memiliki kandungan asam
aeginetik, monoterpenoid lakton aeginetolide,
tiga senyawa poliena, dan β sitosterol dari hasil
ekstraksi etanol batang dan bunga (tumbuhan
bagian atas) (Lemmens & Bunyapraphatsara,
2003). Penelitian Cai et al. (1992) menguji
ekstrak biji A. indica sebagai anti tumor yang
hasilnya merekomendasikan protein 55kDa
sebagai Th1 inducer kuat dan dapat menjadi
agen immunotherapeutic berguna untuk pasien
tumor. Penelitian lain menunjukkan ekstrak A.
indica memiliki efek sinergis pada apoptosis
yang disebabkan oleh agen kemoterapi dan efek
penghambatan pada adhesi sel, migrasi, dan
invasi. Hal ini membuktikan bahwa ekstrak A.
indica berpotensi sebagai alternatif dalam
pengobatan kanker ginjal (Liu et al., 2012).
PENUTUP
Aeginetia indica L. adalah tumbuhan holoparasit
pada akar tumbuhan monokotil, khususnya dari
suku Poaceae. Keberadaanya mudah ditemui
hanya saat rimpangnya sedang berbunga dengan
warna merah keunguan yang mencolok tanpa
daun dan bentuk mahkota bunga yang cantik.
Tumbuhan asli Jawa yang tumbuh alami di Kebun
Raya Kuningan, Jawa Barat ini belum banyak
diteliti dan diketahui informasi budidayanya di
35
Warta Kebun Raya 13(2), November 2015Warta Kebun Raya 13(2), November 2015
34
maupun CITES mengenai status konservasinya.
Di Amerika Serikat, tumbuhan parasit ini masuk
ke dalam daftar Federal and States Noxious
Weeds, yang berarti dianggap sebagai gulma
perusak tanaman pertanian (plants.usda.gov),
sedangkan di Srilangka spesies ini dianggap
langka dan penyebarannya menurun, sehingga
masuk ke dalam Critically Endengered dalam
The National Red List 2012 of Srilangka (MOE,
2012) yang artinya tumbuhan ini memiliki resiko
akan punah di alam liar. Di Indonesia tumbuhan
ini belum terdengar menjadi gulma yang
meresahkan masyarakat seperti di Amerika
Serikat dan Filipina.
Di Indonesia tidak banyak tulisan baru yang
melaporkan keberadaan dan kelimpahan spesies
ini. Berdasarkan informasi dari berbagai pustaka
lama yang telah disebutkan, A. indica tersebar
di Pulau Jawa, Kalimantan dan Nusa Tenggara
Timur, sedangkan distribusi di pulau-pulau lain
sampai sekarang belum diketahui. Berdasarkan
hasil observasi di Herbarium Bogoriense,
tumbuhan ini ditemukan di Cidadap-Cibeber,
Jawa Barat, namun t idak diketahui
kelimpahannya di daerah tersebut.
Spesimen A. indica yang ditemukan di area
Kebun Raya Kuningan bisa terbilang sedikit yaitu
1 sampai 3 rumpun pada titik yang berdekatan.
Habitatnya yang relatif spesifik di dataran tinggi
(di atas 600 m dpl.) dan terbuka atau sedikit
naungan serta menuntut keberadaan tumbuhan
inang (dalam hal ini alang-alang), maka
kelangkaan tumbuhan ini tergolong sebagai
spesies tumbuhan yang jarang ditemukan dan
hanya dijumpai pada habitat-habitat tertentu,
namun tersebar di area geografis yang luas.
Menurut Lemmens & Bunyapraphatsara (2003)
Aeginetia indica terdistribusi sangat luas di
seluruh dunia dan hidup di sekitar habitat
manusia (habitat anthropogeni) sehingga tidak
terancam oleh erosi genetika. Secara umum
hampir seluruh lahan Kebun Raya Kuningan
sudah pernah dikelola oleh manusia. Lokasi
“Batu Kuda” dan Zona Penerima adalah salah
satu lokasi yang pernah menjadi tanah garapan
atau ladang penduduk dan sekaligus menjadi
langganan area kebakaran hutan setiap dua
tahun atau beberapa tahun di Kebun Raya
Kuningan dan Taman Nasional Gunung Ciremai.
Gangguan lain yang terjadi di habitat
Aeginetia indica di Kebun Raya Kuningan selain
kebakaran adalah pengembangan fisik area
yang sangat intensif yang meliputi
pembe r s i h an l ahan , pembangunan
infrastuktur dan perubahan fungsi lahan yang
menyebabkan hilangnya habitat alaminya.
G a n g g u a n i n i d i p e r k i r a k a n d a p a t
mempengaruhi populasi dan menjadi ancaman
kepunahan spesies ini di lokasi tersebut,
meskipun pada kenyataannya keberadaan
tumbuhan inangnya (alang-alang) masih
sangat melimpah dan invasif.
Aeginetia indica belum dikoleksi di Kebun Raya
Kuningan dikarenakan keterbatasan informasi
pemeliharaan, perbanyakan serta karakternya
yang mudah sekali layu dan kurang adaptif
sehingga mati pasca pemindahan. Meskipun
keberadaanya secara global tidak terancam
punah, Kebun Raya Kuningan diharapkan
menjadi salah satu area konservasi ex situ
sekaligus in situ dari A. indica mengingat
tumbuhan herba kecil ini tumbuh secara alami
di dalam kebun. Pelestarian spesies di dalam
kebun ini kelak akan mempermudah studi-
studi lebih lanjut di kemudian hari.
POTENSI
Aeginetia indica telah banyak dikenal secara
turun temurun sebagai tumbuhan obat di Cina,
Filipina dan Thailand. Di Cina, A. indica yang
digerus atau direbus digunakan untuk
mengobati pembengkakan, menurunkan panas
dan mengobati keracunan (Wu & Raven, 1998;
Hong et al., 2015). Informasi lainnya
Warta Kebun Raya 13(2), November 2015
36
Hong, Liya, Z. Guo, K. Huang, S. Wei, B. Liu, S.
Meng and C. Long. 2015. Ethnobotanical
Study on Medicinal Plants Used by
Moanan People in China. Journal of
Ethnobiology and Ethnomedicine (2015)
11:32
http://orowiki.org/wiki/Aeginetia_indica.
Diakses 16 Agustus 2015.
http://plants.usda.gov/java/noxious . Diakses
16 Agustus 2015.
http://www.globinmed.com/index.php?option
=com_content&view=article&id=62803
:aeginetia-indica-l&catid=365:a .
Diakses 16 Agustus 2015.
http://www.stuartxchange.com/Dapong-
tubo.html . Diakses 16 Agustus 2015.
http://www.theplantlist.org/1.1/browse/A/Or
obanchaceae/. Diakses 19 Oktober
2015.
http://www.theplantlist.org/tpl1.1/record/ke
w-2623431. Diakses 16 Agustus 2015.
Lemmens, R.H.M.J and N. Bunyapraphatsara
(Editors). 2003. Plant Resources of
South East Asian No.12 (3): Medicinal
and Poisonous Plants 3. Pp.40-41.
Liu, Y.H., M.L. Li, M.Y. Hsu, Y.Y. Pang, I.L. Chen,
C.K. Chen, S.W. Tang, H.Y. Lin, and J.Y.
Lin. 2012. Effect of Chinese Herbal
Medicine, Guan-Jen-Huang (Aeginetia
indica Linn.), on Renal Cancer Cell
Growth and Metastasis. Evidence-Based
Complementary and Alternative
Medicine. Vol. 2012. Article ID 935860.
MOE. 2015. The National Red List 2012 of
Srilangka; Conservation Status of the
Fauna and Flora. Ministry of
Environment. Colombo, Srilangka.
p.476.
Nickrent, D. L. 2002. Parasitic Plants of the
World. Chapter 2, pp. 7-22 in J. A.
López-Sáez, P. Catalán and L. Sáez
[eds.], Parasitic Plants of the Iberian
Peninsula and Balearic Islands.
Parnell, J. 2012. Aeginetia flava: a new and
remarkable species of Aeginetia:
Orobanchaceae from South-Eastern
Thailand. Kew Bulletin Vol.67: 81-84.
Sharma, Varun and S. Kr. Uniyal. 2009.
Aeginetia indica L. – A New Record to
The Flora of Himachal Pradesh. Indian
Journal of Forestry. Vol. 32 (1): 127 –
130.
Van den Brink, R.C. Bakhuizen. 1921. Aeginetia
indica L. (vervolg). De Tropische
Natuur, Vol 10 (1921) nr. 11 p. 164-173.
Van den Brink, R.C. Bakhuizen. 1921. Aeginetia
indica L. De Tropische Natuur, Vol 10
(1921) nr. 10 p. 154-158.
Van Steenis, S. G. G. J. 1972. The Mountain
Flora of Java. E. J. Brill, Leiden,
Netherlands.
Wu, Z. Y. & P. H. Raven, eds. 1998. Flora of
China. Vol. 18 (Scrophulariaceae
through Gesneriaceae). Science Press,
Beijing, and Missouri Botanical Garden
Press, St. Louis.
View publication statsView publication stats