suwatno.staf.upi.edusuwatno.staf.upi.edu/files/2020/09/Makalah-Strategi... · Web viewBerdasarkan...

30
Strategi Peningkatan Mutu Manajemen Satuan Pendidikan Di Era Pandemi Covid-19 Oleh: Prof. Dr. H. Suwatno, M.Si. A. Latar Belakang "Crises and deadlocks when they occur have at least this advantage, that they force us to think” (Krisis dan kebuntuan ketika terjadi setidaknya memiliki keuntungan, yakni memaksa kita untuk berpikir). (Jawaharlal Nehru) “Saatnya kita bajak momentum krisis untuk melakukan lompatan-lompatan besar” (Joko Widodo) Tahun 2020 merupakan tahun yang paling istimewa bagi dunia pendidikan khususnya bagi satuan pendidikan. Hal ini akibat pandemi Covid-19 yang telah mendekonstruksi kemapanan tata kelola satuan pendidikan yang ada. Berbagai aktivitas satuan pendidikan dari mulai perencanaan sekolah (RKS/RKAS), kurikulum darurat, pola dan strategi pembelajaran, hingga pembiayaan, saat ini mengalami hembatan dalam implementasinya. Situasi ini tentu akan sangat berdampak besar terhadap kualitas keluaran (output) dari setiap satuan pendidikan. Padahal, kualitas lulusan tersebut merupakan refleksi dari masukan (input) maupun proses pendidikan.

Transcript of suwatno.staf.upi.edusuwatno.staf.upi.edu/files/2020/09/Makalah-Strategi... · Web viewBerdasarkan...

Strategi Peningkatan Mutu Manajemen Satuan Pendidikan

Di Era Pandemi Covid-19

Oleh: Prof. Dr. H. Suwatno, M.Si.

A. Latar Belakang

"Crises and deadlocks when they occur have at least this advantage, that they force us to think” (Krisis dan kebuntuan ketika terjadi setidaknya memiliki keuntungan, yakni memaksa kita untuk berpikir).

(Jawaharlal Nehru)

“Saatnya kita bajak momentum krisis untuk melakukan lompatan-lompatan besar”

(Joko Widodo)

Tahun 2020 merupakan tahun yang paling istimewa bagi dunia pendidikan khususnya bagi satuan pendidikan. Hal ini akibat pandemi Covid-19 yang telah mendekonstruksi kemapanan tata kelola satuan pendidikan yang ada. Berbagai aktivitas satuan pendidikan dari mulai perencanaan sekolah (RKS/RKAS), kurikulum darurat, pola dan strategi pembelajaran, hingga pembiayaan, saat ini mengalami hembatan dalam implementasinya. Situasi ini tentu akan sangat berdampak besar terhadap kualitas keluaran (output) dari setiap satuan pendidikan. Padahal, kualitas lulusan tersebut merupakan refleksi dari masukan (input) maupun proses pendidikan.

Belum ada kepastian kapan pandemi ini akan berahir. Sehingga jika kita hanya berdiam diri dan menyalahkan situasi, maka kita tidak akan mampu menjadikan situasi ini sebagai momentum untuk melakukan perbaikan. Krisis akibat pandemi ini sejatinya memiliki keuntungan, yakni memaksa kita untuk berfikir: kreatif mencari solusi. Bahkan sedapat mungkin menjadikan momentum ini untuk melakukan lompatan-lompatan inovatif dengan memanfaatkan sumber daya (resouces) yang dimiliki oleh masing-masing satuan pendidikan, baik yang bersifat tangible maupun intangible.

Oleh karena itu, segenap warga sekolah dari mulai pimpinan sekolah, para guru, peserta didik dan tenaga kependidikan yang ada harus dapat berkolaborasi dengan orang tua, pemerintah dan masyarakat untuk menghadapi tantangan situasi ini. Salah satu variabel kunci sebagai solusi atas persoalan ini adalah penguatan tata kelola satuan pendidikan yang ada, yakni dengan mengaktualisasikan prinsip-prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) secara konsisten. Sejatinya, konsep MBS bukanlah hal baru, karena telah menjadi sebuah kebijakan pendidikan di Indonesia sejak lama. Meski demikian, proses implementasinya masih mengalami pasang surut, karena terkendala oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor birokrasi pendidikan dan pola pikir masyarakat dalam pengembangan satuan pendidikan.

Selain itu, setiap satuan pendidikan juga perlu mempersiapkan hal-hal dasar yang dibutuhkan untuk memenuhi syarat penyelenggaraan pendidikan yang (tetap) berkualitas di masa pandemi. Salah satu yang menjadi isu paling sentral hingga saat ini adalah tentang fasilitas dan efektivitas pembelajaran daring (dalam jaringan).

Isu ini meliputi beberapa sub-isu yang cukup menjadi kendala dalam pelaksanaan pembelajaran daring, diantaranya: Pertama, kepemilikan smartphone dan dukungan kuota internet diantara para siswa yang tidak merata. Kedua, pemerataan jaringan internet yang belum optimal. Ketiga, proses pembelajaran daring yang masih mengalami banyak kekurangan, terutama dalam hal efektivitas delivery materi dan keterbatasan interaksi.

Terkait dengan isu ini, menarik kita tilik survey yang pernah dilaksanakan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat di bulan Mei-Juni 2020 yang memotret secara langsung permasalahan yang dihadapi orang tua dan anak-anak selama Belajar Dari Rumah (BDR). Berdasarkan survey tersebut, selama BDR teknologi informasi yang anak-anak gunakan untuk belajar adalah media komunikasi whatsapp 90,9%, telepon 13,3%, SMS 4%, dan sisanya menggunakan aplikasi pembelajaran beragam. Selain itu masih ada pula yang melakukan pembelajaran luring sebanyak 3,7%.

Hasil survey tersebut menyebutkan beberapa kendala yang dialami oleh siswa selama BDR, yaitu antara lain pada saat berlaku BDR orang tua rata-rata mengalami kesulitan untuk mendampingi anaknya belajar di rumah. Kesulitan yang dialami oleh para orang tua tersebut antara lain disebabkan oleh pelajaran yang terlalu sulit dan tidak mudah untuk dipahami, kesulitan mengatur waktu membimbing belajar anak karena orang tua memiliki aktivitas atau pekerjaan, anak susah diatur, dan mereka juga susah diajak belajar karena mengalami kebosanan. Selain itu, kesulitan yang juga cukup signifikan adalah masalah kuota atau koneksi Internet.

Meski demikian, mayoritas orang tua siswa hampir 100 persen berharap anak-anaknya bisa belajar mandiri tanpa tergantung pada guru dan komunikasi yang baik antara guru dan orang tua harus tetap terjalin. Hal-hal baik lainnya yang juga perlu tetap dikembangkan adalah tentang kebiasaan hidup sehat sesuai protokoler kesehatan (22%), kedisiplinan anak dalam membagi waktu belajar dan bermain (19%), penggunaan teknologi untuk pembelajaran (14%), kemandirian dan tanggungjawab anak (6%).

Isu pembelajaran daring ini juga harus direspon secara cepat dan kreatif oleh segenap pemangku kepentingan yang ada agar transformasi ke arah pendidikan 4.0 semakin cepat terjadi. Meskipun masih didapati berbagai kendala dan hambatan, seiring dengan berjalannya waktu habit (pembiasaan) pembelajaran daring tersebut diharapkan akan terbentuk lebih stabil/konsisten.

Kendala-kendala teknis dalam penyelenggaraan pendidikan (terutama pembelajaran daring) tersebut seyogyanya tidak menjadikan sekolah melupakan atau mengenyampingkan mutu proses dan keluaran pendidikan. Untuk itu, efektivitas manajemen sekolah menjadi kunci agar setiap sekolah tetap bertahan (survive), bahkan sebisa mungkin tetap dapat melakukan perbaikan terutama dalam konteks pengembangan fasilitas teknologi pendidikan yang selama dimiliki oleh masing-masing sekolah.

Strategi yang diharapkan dapat menjadi solusi adalah dengan mengaktualisasikan tiga pilar Manajemen Berbasis Sekolah, yaitu perencanaan sekolah atau program sekolah di saat pandemi melalui RKS/RKAS (Rencana Kerja Sekolah/Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah). Rencana tersebut harus benar-benar menjadi perhatian utama bagi satuan pendidikan dengan melibatkan partisipasi masyarakat, terutama yang berkaitan dengan BDR baik secara daring ataupun luring.

Untuk itu, segenap satuan pendidikan harus menyadari bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan usaha yang harus diupayakan secara terus-menerus agar harapan untuk pendidikan yang berkualitas dan relevan dapat tercapai, sekalipun dalam masa pandemic seperti hari ini. Hal ini mengingat pendidikan yang berkualitas merupakan harapan dan tuntutan seluruh stakeholder pendidikan.

Terkait dengan latar belakang masalah di atas, makalah ini diorientasikan untuk menjawab 4 (empat) pertanyaan pokok di bawah ini:

1. Bagaimana strategi penguatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) melalui kepemimpinan dan tugas kewirausahaan kepala sekolah pada masa pandemi?

2. Bagaimana agar implementasi Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagai sistem penjaminan mutu pada satuan pendidikan di masa pendemi ini tetap terpenuhi bahkan terlampaui?

3. Bagaimana manajemen implementasi kurikulum dan pembelajaran pada satuan pendidikan pada masa pandemi?

4. Bagaimana strategi kepala sekolah dalam melaksanakan tugas supervisi pembelajaran baik secara daring maupun luring, untuk memastikan bahwa pembelajaran secara daring maupun luring berjalan secara efektif?

B. Pembahasan

B. 1. Strategi penguatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) melalui kepemimpinan dan tugas kewirausahaan kepala sekolah pada masa pandemi?

a. Implementasi MBS Saat Pandemi Covid-19

Prinsip-prinsip MBS saat pandemi sebenarnya tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya oleh satuan pendidikan, mengingat covid-19 ini masuk ke dalam kategori Bencana Nasional. Kebijakan pemerintah ini berdampak langsung terhadap kegiatan yang bersifat komunal atau yang menghimpun orang banyak dalam suatu tempat. Konsekuensinya, sekolah menjadi salah satu institusi yang diliburkan sehingga peserta didik melakukan proses pembelajaran dari rumah.

Meskipun demikian, kualitas sebuah satuan pendidikan mau tidak mau harus tetap menjadi isu yang harus diperhatikan. Dalam hal ini, Sallis (2005: 1) mengungkapkan “quality is at the top of most agendas and improving quality is probably the most important task facing any institution. Kualitas adalah bagian penting dari seluruh agenda dalam organisasi dan meningkatkan kualitas adalah tugas yang paling penting yang dihadapi institusi manapun.

Untuk itu, meskipun secara faktual cukup berat, setiap satuan pendidikan harus tetap merespon dan menemukan solusi kreatif untuk menjalankan MBS sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditentukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Merujuk kepada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 72 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus dan sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), dalam situasi darurat, pendidikan harus tetap berlangsung dengan akses dan layanan pendidikan yang sesuai dengan kondisi dan berpusat pada pemenuhan hak pendidikan peserta didik. Untuk itu, sejatinya MBS memiliki peluang untuk diterapkan oleh masing-masing sekolah dengan beberapa penyesuaian (adjustment).

Dari sisi konsep, manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar terhadap sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan terhadap sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya).

Kunci utama dari konsep MBS adalah otonomi dan partisipasi. Dalam konteks pembelajaran di masa pandemi melalui BDR, siswa didorong untuk lebih independen dan fleksibel dalam belajar. Mereka dapat memanfaatkan berbagai sumber-sumber informasi dan pengetahuan untuk proses belajar. Mereka juga bisa mengeksplorasi lingkungan di sekitar tempat tinggalnya untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru. Dalam hal ini, para guru berperan untuk membantu setiap siswa selama BDR untuk mengaktualkan potensi yang dimilikinya. Mereka lebih banyak berfungsi sebagai tutor, fasilitator, resource linkers, dan sejenisnya.

Hal-hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau stakeholder yang ada.

De Grauwe dalam laporan kajiannya “The Quality Imperative School-based management (SBM): does it improve quality? (2005) memberikan definisi MBS sebagai transfer kewenangan dalam pembuatan keputusan pengelolaan sekolah ke tingkat sekolah. Konsep MBS tersebut harus dapat menjawab kewenangan mana saja yang sebelumnya menjadi kewenangan pengelola pendidikan tingkat nasional ditransfer menjadi kewenangan sekolah, dan kepada siapa saja kewenangan-kewenangan di tingkat sekolah tersebut diberikan.

Di Indonesia rambu-rambu pelaksanaan MBS tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 49, Ayat (1) yang berbunyi; “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”. Di beberapa belahan dunia, MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, antara lain “tata kelola berbasis sekolah” (school-based governance), “manajemen mandiri sekolah” (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan “school site management” atau “manajemen yang bermarkas di sekolah”.

MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi peningkatan kualitas, efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan. Dengan MBS, sekolah diharapkan makin berdaya dalam mengurus dan mengatur sekolahnya dengan tetap berpegang pada koridor-koridor kebijakan pendidikan nasional. Hal ini dapat dilakukan apabila MBS dikelola dan dipimpin oleh kepala sekolah yang memiliki kompetensi kepemimpinan pembelajaran dan kompetensi kewirausahaan.

Tita Lestari (2017) merumuskan 6 (target) pencapaian MBS yaitu: (a) perencanaan program; (b) pelaksanaan rencana kerja; (c) pengawasan dan evaluasi; (d) kepemimpinan sekolah/madrasah; (e) sistem informasi manajemen; dan (f) penilaian khusus. Masing-masing target tersebut diuraikan lebih lanjut menjadi butir-butir target, misalnya komponen perencanaan program dibagi menjadi 4 butir yaitu visi, misi, tujuan dan rencana kerja sekolah. Secara ringkas target MBS digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1: Peta Konsep Target MBS

(Sumber: Lestari, 2017)

b. Kepemimpinan Kepala sekolah

Kepemimpinan merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah. Banyak model kepemimpinan yang dapat dianut dan diterapkan dalam bebagai organisasi/institusi, baik profit maupun nonprofit. Namun, model kepemimpinan yang paling cocok untuk diterapkan di sekolah saat pandemi ini adalah kepemimpinan pembelajaran.

Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa kepala sekolah yang memfokuskan kepemimpinan pembelajaran menghasilkan prestasi belajar siswa yang lebih baik dari pada kepala sekolah yang kurang memfokuskan pada kepemimpinan pembelajaran. Ironisnya, kebanyakan kepala sekolah tidak menerapkan model kepemimpinan pembelajaran.

Kepemimpinan merupakan faktor penentu dalam keberhasilan suatu organisasi. Sebagaiman diungkapkan Fred, Robbins dan Lussier (dalam Mesiono, 2012: 66) pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai, dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Artinya, pemimpin harus dapat menciptakan suasana yang penuh dengan kekeluargaan dengan bawahan.

Senada dengan padangan tersebut, Adair (2004: 119) memberikan pendapat bahwa pemimpin harus memilki: (1) give direction, (2) provide inspiration, (3) build teams, (4) set an example, (5) be accepted. Artinya, pemimpin harus memliki kelima aspek tersebut yaitu: memberikan pengarahan, memberikan inspirasi, membangun tim, memberikan contoh, dan dapat diterima.

Dalam hal ini, kepemimpinan pembelajaran sangat cocok diterapkan di sekolah karena misi utama sekolah adalah mendidik semua siswa dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk menjadi orang dewasa yang sukses dalam menghadapi masa depan yang belum diketahui dan yang sarat dengan tantangan-tantangan yang sangat turbulen. Misi inilah yang kemudian menuntut sekolah sebagai organisasi harus memfokuskan pada pembelajaran, yang meliputi kurikulum, proses belajar mengajar, dan penilaian hasil belajar.

c. Kompetensi Kewirausahaan Kepala Sekolah

Selain jiwa kepemimpinan, jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) juga perlu dimiliki oleh setiap kepala satuan pendidikan. Terlebih dalam menghadapi isu pandemi seperti hari ini, karakter dan kompetensi kewirausahaan dari seorang kepala sekolah menjadi variabel yang sangat menentukan kebertahanan dan kemajuan sekolah yang dipimpinnya.

Menurut Joseph A Schumpeter (dalam Havinal, 2009), karakter distinctive yang paling membedakan antara orang yang memiliki jiwa kewirausahaan dengan yang tidak memiliki adalah karakter inovatif. Karakter ini adalah karakter pokok yang seharusnya dimiliki oleh setiap kepala sekolah. Dengan karakter ini, seorang kepala sekolah diharapkan mampu menemukan solusi kreatif atas semua permasalahan yang muncul akibat pandemi covid-19. Namun, tidak hanya di tingkat gagasan, melaikan di level eksekusi. Kepala sekolah harus memiliki keberanian mengambil resiko untuk mewujudkan gagasan-gagasan inovatif yang dihasilkan baik oleh dirinya maupun oleh anak buahnya.

Selain itu, jiwa kewirausahaan juga ditandai dengan kecerdasannya memanfaatkan peluang. Peter F. Drucker (dalam Havinal, 2009) mengatakan bahwa wirausaha adalah orang yang selalu mencari perubahan, meresponsnya, dan memanfaatkannya sebagai peluang. Untuk itu, seorang kepala sekolah seharusnya dapat membaca peluang-peluang yang muncul pada saat pandemi, dan menjadikan peluang tersebut sebagai alternatif solusi.

Selain itu, karakter-karakter kewirausahaan yang juga krusial dimiliki oleh seorang kepala sekolah antara lain:

1. Motivasi untuk berprestasi (menghadirkan layanan pendidikan yang bermutu).

2. Memiliki lokus kontrol yang kuat

3. Memiliki keterbukaan pikiran

4. Berani memulai hal-hal baru (menciptakan new practice dan future practice).

B.2. Strategi agar implementasi Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagai sistem penjaminan mutu pada satuan pendidikan di masa pendemi tetap terpenuhi.

Peningkatan mutu pendidikan ini merupakan tanggung jawab dari setiap komponen di satuan pendidikan. Peningkatan mutu di satuan pendidikan tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya budaya mutu pada seluruh komponen sekolah.

Seperti yang disebutkan dalam Undang-undang Sisdiknas Tahun 2003, Pasal 35 ayat (1-3) bahwa Standar Nasional Pendidikan (SNP) terdiri atas standar isi, proses, kompetensi kelulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala, standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolahan, dan pembiayaan. Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standarisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.

Sementara, menurut PP 19 Tahun 2005, Pasal 91 ayat (1, 2, dan 3) disebutkan bahwa Setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan. Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memenuhi atau melampaui standar nasional pendidikan. Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.

Penjaminan mutu pendidikan adalah suatu mekanisme yang sistematis, terintegrasi dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa seluruh proses pendidikan sesuai dengan standar mutu dan aturan yang ditetapkan. Penjaminan mutu (quality assurance) pendidikan merupakan upaya sistematik untuk memenuhi standar mutu atau melampauhinya sehingga segenap stakeholder pendidikan mendapatkan kepuasan. Satuan pendidikan bermutu, dapat dimaknai sebagai kapasitas program dan satuan pendidikan dalam memanfaatkan sebaik mungkin berbagai sumber daya yang dimiliki untuk menciptakan proses pembelajaran yang baik, menyenangkan, dan optimal berikut menghasilkan output dan outcomes sesuai atau melalui standar yang ditetapkan.

Sistem penjaminan mutu internal (SPMI) adalah sistem penjaminan mutu yang dijalankan oleh satuan pendidikan sebagai upaya sadar untuk melakukan peningkatan mutu secara teratur dan menyeluruh – baik pada dimensi akademik maupun non akademik. Sedangkan sistem penjaminan mutu eksternal (SPME) adalah suatu kesatuan unsur yang terdiri atas organisasi, kebijakan, dan proses yang terkait untuk melakukan fasilitasi dan penilaian melalui akreditasi untuk menentukan kelayakan dan tingkat pencapaian mutu satuan dan/atau program keahlian. Sistem penjaminan mutu eksternal merupakan sistem yang dijalankan oleh lembaga di luar satuan pendidikan seperti badan standardisasi, akreditasi, dan penjaminan mutu serta badan-badan lain, termasuk pemerintah untuk mengawasi, mengendalikan, dan memfasilitasi satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.

Siklus penjaminan mutu pendidikan, digambarkan seperti pada gambar 2 berikut:

Gambar 2: Siklus Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan

(Sumber: Kemdikbud, 2016)

Pencapaian mutu merupakan proses berkelanjutan dan terus-menerus yang dapat dicapai dengan hadirnya kesadaran bersama serta bekerjanya secara optimal para pelaku dalam program dan satuan pendidikan Dalam penerapan MBS/M diharapkan satuan pendidikan dapat merancang strategi untuk mencapai tujuan pendidikan dan mewujudkannya melalui peningkatan kolaborasi dan partisipasi seluruh pemangku kepentingan dalam ekosistem satuan pendidikan, atas prakarsa bersama dalam membuat keputusan dan penerapannya. MBS/M harus berimbas pada peningkatan suasana dan proses pembelajaran yang berpengaruh terhadap terwujudnya pencapaian kompetensi lulusan peserta didik.

Adapun alur pengelolaan sumber daya di sekolah dalam pemenuhan SNP digambarkan pada gambar berikut ini:

Gambar 3: Alur Pengelolaan Sumber Daya di Sekolah Dalam Pemenuhan SNP

(Sumber: Tita Lestari, 2017)

Pada gambar 3 diatas, dapat dijelaskan bahwa pemetaan mutu sekolah berdasarkan data evaluasi diri sekolah yang mencakup semua elemen 8 Standar Nasional Pendidikan harus dilakukan oleh sekolah stiap tahun. Pemetaan mutu sekolah ini merupakan dasar untuk menyusun rencana peningkatan mutu sekolah, sebagai dasar penyusunan rencana peningkatan mutu pengelolaan, mutu pembelajaran dan mutu sarana prasarana untuk mencapai mutu hasil belajar sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.

Kemdikbud (2016) menjelaskan bahwa Penjaminan mutu internal adalah review terhadap mutu pendidikan secara keseluruhan boleh satuan pendidikan itu sendiri. Misal:

1. Apakah guru kelas atau mapel telah melakukan proses pembelajaran sesuai dengan standar mutu?

2. Apakah praktikum yang djalankan telah sesuai dengan standar mutu yang seharusnya?

3. Apakah metode pembelajaran yang dijalankan oleh guru dijamin dapat membuat siswa paham, terampil dan telah membentuk sikap siswa (berani mengemukakan pendapat, menghargai pendapat orang lain dsb)?

4. Apakah sarana-prasarana yang dimiliki telah terkelola dengan baik, misalnya apakah kantin cukup sehat, ruang kelas, ruang guru, dan fasilitas umum cukup bersih dan nyaman, sarana sanitasi bersih, taman dan ruang terbuka hijau terkelola, sampah sudah terkelola dengan baik dsb?

5. Bagaimana perilaku siswa, apakah masih terjadi perkelahian antar siswa, bullying, tidak disiplin, kurang hormat atau sopan, tidak bisa bekerjasama, tidak menghormati hak orang lain dsb?

Tujuan akhir dari sistem penjaminan mutu ialah terwujudnya budaya mutu (quality culture) dalam dunia pendidikan. Budaya mutu, terutama mutu akademik, mencitrakan dunia pendidikan sebagai arena yang memiliki nilai tinggi baik moral maupun sosial. Suatu dunia yang bergerak dalam proses pencarian dan penemuan kebenaran yang tiada henti berikut penciptaan sumberdaya manusia yang memiliki life skill yang membuatnya mampu membangun kehidupan yang lebih baik, maju, dan dinamik. Dengan demikian, dunia pendidikan, khususnya satuan pendidikan seharusnya tampil sebagai institusi yang berwibawa dan menjadi simbol kebenaran sekaligus kemajuan.

Lalu, bagaimana peran Kepala Sekolah dalam manajemen mutu lulusan?

Dalam konteks MBS, kepala sekolah adalah orang yang melaksanakan tugas manajerial, yang idealnya saat pandemi covid 19 ini bertindak melaksanakan kepemimpinan pembelajaran. Kepemimpinan pembelajaran adalah kepemimpinan yang memfokuskan/menekankan pada pembelajaran. Komponen-komponen kepemimpinan pembelajaran tersebut meliputi kurikulum, proses belajar mengajar, asesmen, penilaian, pengembangan guru, layanan prima dalam pembelajaran, dan pembangunan komunitas belajar di sekolah.

Kepemimpinan pembelajaran sangat penting untuk diterapkan di sekolah karena mampu: (1) meningkatkan prestasi belajar siswa secara signifikan; (2) mendorong dan mengarahkan warga sekolah untuk meningkatkan prestasi belajar siswa; (3) memfokuskan kegiatan-kegiatan warga sekolah untuk menuju pencapaian visi, misi, dan tujuan sekolah; dan (4) membangun komunitas belajar warga dan bahkan mampu menjadikan sekolahnya sebagai sekolah belajar (learning school) untuk memenuhi bahkan melampaui standar setiap standar nasional yang bermuara pada mutu lulusan yang kompeten, meskipun pembelajaran peserta didik melalui daring maupun luring.

Kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran, dalam menyusun program sekolah saat pandemi ini, harus lengkap dengan visi, misi, tujuan, dan program berikut tujuan-tujuan khususnya haruslah memiliki tanggung jawab publik (public accountability). Segala input yang diterima, proses yang berlangsung, dan output yang dihasilkan (juga outcomes yang ditimbulkan) harus bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat terutama stakeholders pendidikan. Program dan atau satuan pendidikan dituntut untuk bisa memberikan kepuasan kepada stakeholders-nya.

Kepemimpinan dimaksudkan untuk menumbuhkan kemampuan kepala Sekolah dalam mengembangkan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah secara efektif. Implementasi kepemimpinan perlu mempertimbangkan serta menyesuaikan dengan jenjang dan satuan pendidikan, kondisi sosial, budaya dan letak geografis yang semuanya bermuara pada mutu lulusan satuan pendidikan tersebut.

Adapun peran kepala sekolah dalam manajemen mutu lulusan peserta didik digambarkan seperti pada gambar berikut ini:

Gambar 4: Peran Kepala Sekolah Dalam Manajemen Mutu Lulusan

B.3. Manajemen implementasi kurikulum dan pembelajaran pada satuan pendidikan pada masa pandemi.

Manajemen kurikulum dan pembelajaran pada masa pandemi ini harus mengacu pada Kepmendikbud Nomor 719 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Pada Satuan Pendidikan Dalam Kondisi Khusus. Dalam aturan tersebut, dijelaskan bahwa satuan pendidikan pada kondisi khusus dalam pelaksanaan pembelajaran dapat:

1. Tetap mengacu pada kurikulum nasional yang selama ini dilaksanakan oleh Satuan Pendidikan.

2. Mengacu pada: a) kurikulum nasional untuk PAUD, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang berbentuk sekolah menengah atas dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar yang disederhanakan untuk Kondisi Khusus yang ditetapkan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan; atau b) kurikulum nasional untuk pendidikan menengah yang berbentuk sekolah menengah kejuruan dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar yang disederhanakan untuk kondisi khusus yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi.

3. Melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri.

Meskipun demikian, disebutkan pula bahwa satuan pendidikan dalam kondisi khusus tidak diwajibkan untuk menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas atau kelulusan.

Selain manajemen kurikulum, manajamen pembelajaran juga harus menjadi perhatian setiap satuan pendidikan, terutama bagi para guru yang secara langsung berurusan dengan proses pembelajaran dengan peserta didik. Menurut Kepmendikbud Nomor 719 Tahun 2020, dalam kondisi khusus proses pembelajaran tetap dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Aktif

2. Memiliki relasi yang sehat antar pihak yang terlibat

3. Inklusif

4. Mencerminkan keragaman budaya

5. Berorientasi pada masa depan

6. Sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didik

7. Menyenangkan

Manajemen pembelajaran ini harus benar-benar diperhatikan terutama oleh para kepala sekolah karena merupakan salah satu pilar yang menentukan kualitas sebuah sekolah. Salah satu dari standar kualitas tersebut adalah kultur pembelajarannya. Dalam hal ini, seorang kepala sekolah harus dapat menciptakan kultur pembelajaran yang progresif/kondusif agar hasil belajar siswa dapat ditingkatkan setinggi-tingginya.

Indikator-indikator dari kultur pembelajaran yang berkualitas menurut Komisi Redesain Kepemimpinan Pembelajaran Kepala Sekolah di Tennesee USA (2007) antara lain:

1. Mengembangkan kultur sekolah secara berkelanjutan berdasarkan pada etika, perbedaan, persamaan, dan nilai solidaritas.

2. Mendampingi, melatih, dan memimpin dalam pengembangan kultur sekolah agar kondusif untuk belajar siswa.

3. Mengembangkan dan memelihara lingkungan yang disiplin belajar dengan aman, tertib, tenteram, dan nyaman.

4. Memimpin seluruh staf (guru dan karyawan) dan siswa dalam mengembangkan disiplin diri dan setia dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

5. Memimpin dan memelihara kultur sekolah yang dapat memaksimalkan waktu untuk belajar

6. Mengembangkan kepemimpinan kelompok, yang dirancang untuk tanggung jawab dan kepemilikan bersama untuk mencapai misi sekolah.

7. Memimpin warga sekolah dalam membangun hubungan erat antar warganya agar menghasilkan lingkungan belajar yang produktif.

8. Mendorong dan memimpin perubahan yang menantang berdasarkan hasil penelitian.

9. Membangun dan memelihara hubungan kekeluargaan yang kuat dan mendukung.

10. Mengenali dan merayakan keberhasilan sekolah dan mencegah kegagalan.

11. Menjalin tali komunikasi yang kuat dengan guru, orangtua, siswa dan pemangku kepentingan.

B.4. Strategi kepala sekolah melaksanakan tugas supervisi pembelajaran baik secara daring maupun luring untuk memastikan bahwa pembelajaran secara daring maupun luring berjalan secara efektif.

Dalam masa pandemi ini, sebelum melaksanakan supervisi pembelajaran, kepala sekolah perlu mengidentifikasi masalah-masalah faktual seperti berikut:

1. Para pendidik yang gagap dengan teknologi.

2. Para orang tua yang stres mendampingi anak-anak mereka belajar di rumah.

3. Para siswa yang kebingungan menghadapi tumpukan tugas yang aneh-aneh.

Untuk mengatasi persoalan-persoalan pembelajaran tersebut, seorang kepala sekolah harus bisa memainkan peran dalam memberikan supervisi akademik. Dalam hal ini, supervisi akademik adalah serangkaian kegiatan dalam rangka membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran demi pencapaian tujuan akademik. Supervisi ini termasuk peningkatan komitmen (commitmen) atau kemauan (willingness) atau motivasi (motivation) guru. Selain itu, seorang kepala sekolah juga ditugaskan untuk membangun budaya supervisi yang mendorong guru belajar dan bekerjasama.

Peran Kepala Sekolah dalam melaksanakan supervisi meliputi 3 dimensi, yakni:

1. Modeling

a. Kepala sekolah tetap terus diamati.

b. Apa saja yang dilakukannya dapat ditindaklanjuti dengan cepat dan benar.

2. Monitoring

a. Apa saja yang dapat mempengaruhi monitoring?

b. Bagaimana pemimpin instruksional menciptakan budaya supervisi?

3. Dialogis

a. Pemimpin instruksional menciptakan kondisi di dalam sekolah yang memungknkan terjadinya dialog diantara pendidik tentang pembelajaran.

b. Nilai dialog membantu guru-guru untuk membangun dan menunjang pengetahuan professional.

Untuk menciptakan budaya supervisi yang mengakar, seorang kepala sekolah dapat melaksanakan strategi supervisi sebagai berikut:

1. Secara langsung dan tidak langsung

2. Berpusat pada kurikulum dan kadang-kadang di luar kurikulum

3. Berfokus pada isu-isu penting tentang guru, kadang-kadang berfokus pada isu- isu penting lainnya

4. Bertujuan membantu pemahaman guru dan perbaikan PBM serta pada kesempatan lain bertujuan untuk mengatur efektivitas PBM

5. Kadang-kadang secara individu kadang-kadang secara kolaboratif

Adapun dalam konteks supervisi pembelajaran BDR (Belajar Dari Rumah), kepala sekolah dapat melakukan hal-hal berikut ini:

1. Memastikan pembelajaran yang dilakukan guru sesuai tujuan pembelajaran

2. Memastikan pembelajaran bukan hanya berjalan, namun juga bermakna disesuaikan dengan kemampuan guru dan peserta didik

3. Memastikan guru merancang pembelajaran tidak tergantung pada cara/teknologi yang sama secara terus-menerus.

4. Memastikan kegiatan pembelajaran yang diberikan guru memiliki variasi

5. Memastikan materi pembelajaran bisa diakses baik online maupun offline sesuai dengan kondisi peserta didik

6. Memastikan guru tidak hanya memberi tugas, tetapi juga memberikan umpan balik terhadap hasil belajar peserta didik, sehingga bisa belajar dari apa yang telah dikerjakannya.

Dalam konteks manajemen kelas, yang harus diperhatikan oleh kepala sekolah dalam melaksanakan supervisi pembelajaran pada masa pandemi covid-19 antara lain:

1. Perencanaan

a. Identifikasi kemampuan IT guru dan siswa

b. Mendata ketersediaan sarana dan prasarana

c. Guru menentukan strategi pembelajaran daring

d. Guru menyusun bahan ajar yang digunakan

e. Berkordinasi berkaitan penugasan

f. Membentuk forum komunikasi daring

g. Menentukan evaluasi dan penilaian

h. Kepala Sekolah menyusun instrumen supervisi.

2. Pelaksanaan

a. Guru mengunggah materi pembelajaran dan penugasan

b. Peserta mengerjakan tugas secara mandiri sesuai waktu yang ditentukan

c. Guru dan peserta didik berinteraksi secara daring

d. Peserta didik mengunggah hasil pekerjaan

e. Guru melakukan umpan balik dan penilaian.

3. Pengawasan sumber daya organisasi

a. Guru mengevaluasi efektefitas dan efisiensi pembelajaran daring

b. Pemetaan kesulitan dan kemudahan pembelajaran daring

c. Kepala Sekolah melakukan supervisi

d. Evaluasi untuk perbaikan pembelajaran dan menentukan tindak lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Alig-Mielcarek, J. M. (2003). A Model of School Success: Instructional Leadership. Academic Press, And Student Achievement. Ohio State University.

Bush, T. (2007). Educational leadership and management: theory, policy, and practice. South African Journal of Education, Vol 27(3), 391–406.

Coleman, J., Campbell, E., & Hobson, C., (1966). Equality of Educational Opportunity. Washington: Government Printing.

Daresh, J. C., Playko, M. A. (1995). Supervision as a Proactive Process. Waveland press.

Deal, T.E. & Peterson, K.D. (1998). Shaping School Culture: The Heart of Leadership. San Fransisco, CA. Jossey Bass Publishers.

Department of Education. Tennessee Instructional Leadership Standards and Administrator Evaluation. (https://www.tn.gov/content/dam/tn/education/licensure/lic_bal_conversion.pdf)

Edmonds, R. (1979). Effective School for Urban Poor. Educational Leadership. 37, 15-27.

Fink, E. & Resnicl, L. B. (2003). Developing Principals as Instructional Leaders.

Guston, S. L. 2002. The Instructional Leadership toolbox: A Handbook for Improving Practice. California: Sage Publication.

Glatthorn, A. A. (1993). OBE Reform and the Curriculum Process. Journal of Curriculum and Supervision, 8, 4, pp. 354-363

Hammond, L. D. et al. (2010). Preparing Principals for A Changing World. San Francisco. Jossey-Bass.

Havinal, V. (2009). Management and Entrepreneurship. ND: New Age International.

Lestari, T. & Rahmat. (2014). Manajemen dan Kepemimpinan Sekolah. Bahan Ajar Implementasi Kurikulum 2013 bagi Kepala sekolah. Pusbangtendik BPSDM dan PMP, Kemendikbud, Jakarta.

Lestari, T. (2017). Naskah Standar Pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.

Robbins, S. (2002). Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi. Edisi Lima. Jakarta: Erlangga.

Sallis, E. (2005). Total Quality Management in Education. London: Kogan Page Limited.

Dokumen-dokumen:

Bahan Ajar Diklat Kemampuan Kepala Sekolah: Supervisi Akademik. 2012. Pusbangtendik BPSDM dan PMP, Kemendikbud. Jakarta.

Bahan Ajar Diklat Kemampuan Kepala Sekolah: Kepemimpinan Pembelajaran. 2012. Pusbangtendik BPSDM dan PMP, Kemendikbud. Jakarta.

Bahan Ajar Diklat Kemampuan Kepala Sekolah: Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). 2012. Pusbangtendik BPSDM dan PMP, Kemendikbud. Jakarta.

Bahan Ajar Diklat Kemampuan Kepala Sekolah: Kewirausahaan. 2012. Pusbangtendik BPSDM dan PMP, Kemendikbud. Jakarta.

Pedoman Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah (2016). Dirjen Dikdasmen Kemendikbud. Jakarta.

Pedoman Belajar Dari Rumah (BDR) Jenjang SMA, SMK dan SLB dan Protokol Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) Sekolah di Provinsi Jawa barat Tahun Ajaran 2020/2021. Bandung.

Panduan Kerja Kepala Sekolah Di Masa Pandemi Covid-19. (2020) LPPKSPS Kemendikbud.

Panduan Belajar Jarak Jauh Bagi GURU selama Sekolah Tutup dan Pandemi Covid-19 dengan semangat Merdeka Belajar.(2020) Direktorat Jenderal Guru dan tenaga Kependidikan, Kemendikbud.

Peraturan-Peraturan:

UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

PP 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan

Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007, Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah

Permendikbud Nomor 34 Tahun 2018, Lampiran 7 Tentang Standar Pengelolaan Untuk SMK

Keputusan Bersama Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia NOMOR 03/KB/2020, NOMOR 612 TAHUN 2020, NOMOR HK.01.08/Menkes/502/2020, NOMOR 119/4536/SJ Tentang Perubahan Atas Keputusan Bersama Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 01/KB/2020, NOMOR 516 TAHUN 2020, NOMOR HK.03.01/Menkes/363/2020, Nomor 440-882 Tahun 2020 Tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Pada Tahun Pelajaran 2020/2021 Dan Tahun Akademik 2020/2021 Di Masa Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19).

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 719/ P/2O2O Tentang PEDOMAN PELAKSANAAN KURIKULUM PADA SATUAN PENDIDIKAN DALAM KONDISI KHUSUS. Kemendikbud.

Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemendikbud Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah Dalam Masa darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19). Kemendikbud.

Pemetaan Mutu

Penyusunan Rencana Pemenuhan

Pelaksanaan Rencana Pemenuhan

Evaluasi/Audit Pelaksanaan Rencana

Penetapan Standar Mutu