Warta herpetofauna edisi november 2011
-
Upload
perhimpunan-herpetologi-indonesia -
Category
Documents
-
view
224 -
download
7
description
Transcript of Warta herpetofauna edisi november 2011
WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Warta Herpetofauna (edisi dua bahasa/bilingual)
Warta Herpetofauna Media informasi dan publikasi dunia amfibi dan
reptil
Penerbit :
Perhimpunan Herpetologi Indonesia
Pimpinan redaksi :
Mirza Dikari Kusrini
Redaktur:
Noor Aenni
Tata Letak & Artistik :
Noor Aenni
Arief Tajalli
Sirkulasi
KPH “Python” HIMAKOVA
Alamat Redaksi
Kelompok Kerja
Konservasi Amfibi dan Reptil Indonesia
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata
Fakultas Kehutanan – IPB
Telpon : 0251-8627394
Fax : 0251-8621947
Foto cover luar: Ahaetulla prasina di Sungai
Lesan, Kalimantan Barat oleh Arief Tajalli
Daftar Isi: Rumah Cicak Hutan (Cyrtodactylus spp) di Kabu-
paten Dairi 4
Keberadaan kodok Ingerophrynus biporcatus di
Kalimantan yang terlewatkan 6
Mengenal Keanekaragaman Herpetofauna
di Batang Merangin, Taman Nasional Kerinci Seblat
Dalam Kebersamaan Surili 2011 8
GALERI FOTO Ekspedisi di TN Kerinci Seblat
Surili KPH-Himakova, Fakultas Kehutanan IPB 10
Mengunjungi Penangkaran Kura-Kura di
Karawang 12
Penangkaran: Upaya Menuju Keberlanjutan Populasi
Kura-Kura 15
Penangkaran Kura-Kura Brazil 16
The Pig-nosed Turtle repatriation project 18
Mencintai Katak Mencintai Kehidupan 20
Si Cantik Ular Sanca Hijau (Morelia viridis) dari Surga
Eksotis Kepulauan Aru, Indonesia 22
Pustaka Perilaku Ular 1997-2005 24
Komodo, Evolusi dan Tim Jessop 26
Leptophryne cruentata 28
3 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Volume V No 1, November 2011
Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus
bagi konservasi amfibi dan reptil. Pada bulan Ok-
tober lalu dilakukan pelepasan kura-kura mon-
cong babi hasil sitaan dari Hong Kong ke Papua.
Kegiatan yang merupakan kerjasama antar pe-
merintah Hong Kong, Indonesia dan LSM ini
menunjukkan itikad kuat para penggiat konser-
vasi satwa liar untuk melindungi kura-kura dari
ancaman penurunan populasi. Dilain sisi,
penetapan katak api Leptophryne cruentata se-
bagai ikon satwa nasional 2011 walaupun sepi
dari kegiatan namun menunjukkan paling tidak
adanya perhatian akan keberadaan katak ini
sehingga lebih dikenal. Katanya, tak kenal maka
tak sayang.
Selamat membaca.
REDAKSI MENERIMA SEGALA BENTUK TULISAN, FOTO, GAMBAR, KARIKATUR, PUISI ATAU INFO
LAINNYA SEPUTAR DUNIA AMFIBI DAN REPTIL.
BAGI YANG BERMINAT DAPAT MENGIRIMKAN LANGSUNG KE ALAMAT REDAKSI ATAU VIA
EMAIL KE :mirza_kusrini(at)yahoo.com
4 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Ketika mengunjungi hutan bagi pen-
gamat herpetofauna tentu berharap besar
ketemu beragam jenis amfibi maupun reptil
khususnya di malam hari. Tidak lebih dari
dua minggu (21 Juni - 3 Juli 2011) penulis
mengunjungi sebagian kecil hutan Lindung
Batu Ardan mencatat 44 jenis amfibi dan
reptil. Hutan Lindung tersebut secara ad-
ministrasi termasuk Kabupaten Dairi dan
Pakpak Bharat, Propinsi Sumatera Utara. Te-
patnya daerah yang dikunjungi yaitu;
Bongkaras dan Sungai Semungun, kedua
lokasi terletak pada ketinggian antara 600-
1150 meter dari permukaan laut, kondisi hu-
tan sudah terganggu oleh kegiatan ekplo-
rasi tambang, dan perambahan, ber-
topografi terjal, tutupan tajuk masih baik
antara 70-80 %.
Pada saat survey berlangsung, dite-
mukan sebuah rumah yang menjadi
“rumah cicak hutan”.
RUMAH CICAK HUTAN (Cyrtodactylus
spp) DI KABUPATEN DAIRI
Tulisan dan Foto oleh Mistar/Yayasan Ekosistem Lestari
5 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Rumah kayu dibangun diatas batu beru-
kuran sekitar 5 x 8 meter, berjarak sekitar
300 meter dari hutan, antara hutan dengan
rumah terdapat kebun kopi dan semak-
semak sehingga habitat alami ini masih
bersinggungan .
Pada suatu malam dimana cuaca
yang awalnya cerah, seketika hujan deras
sehingga membatalkan pengamatan stan-
dar VES-night stream. Kandisi yang basah
kuyub meski sudah pakai jas hujan, mem-
buat penulis membatalkan niat langsung
masuk pondok tersebut. Secara tidak sen-
gaja penulis mengarahkan headlamp ke
tiang-tiang rumah dan segera terlihat
sedikitnya tiga inidvidu cicak berdekatan.
Akhirnya penulis memutuskan untuk
mengelilingi pondok, dan meriksa batu pe-
nopang rumah. Ternyata ditemukan lima
jenis cicak dari dari 3 marga yaitu yang
diidentifikasi sebagai Cyrtodactylus later-
alis, C. quadrivirgatus, Cyrodactylus sp, Ci-
cak rumah Gehyra mutilata, dan Hemidac-
tylus frenatus.
Cicak hutan (Cyrtodactylus spp) me-
rupakan satu marga dari 11 marga Suku
Gekkonidae di Kawasan Sunda Besar. Su-
matera menurut (Manthey & Grossmann,
1997) tercatat lima jenis yaitu; Cyr-
todactylus consobrinus, C. lateralis,
C. malayanus, C. marmoratus, dan
C. quadrivirgatus). Perkembangan
terakhir banyak jenis belum dike-
nal, sehingga besar kemungkinan
akan terjadi penambahan jenis
baru dalam beberapa tahun
kedepan.
Dugaan rumah diatas yang
penulis sebut “Pelabuhan Cicak”
disebabkan banyaknya tumpukan papan
dibawah rumah dan hutan sekitarnya,
sehingga menjadi tempat ideal berburu
mangsa bagi cicak seperti yang diburon
tersebut. Oleh karena itu, kalau lain kali
masuk hutan dan melihat rumah kayu,
jangan segan-segan untuk memeriksanya!
Cyrtodactylus quadrivirtus
Cyrtodactylus lateralis
Cyrtodatylus sp, dijumpai Bongkaras dan Sungai Semungun
6 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Jenis kodok Ingerophrynus biporcatus (Gb.1)
atau lebih dikenal dengan nama lamanya Bufo biporca-
tus, adalah jenis kodok endemik di Indonesia. Menurut
IUCN (2011), Iskandar (1998) dan Iskandar & Colijn
(2000), penyebaran jenis ini meliputi Sumatra bagian se-
latan, Jawa, Madura, Bali, Lombok dan introduksi ke Su-
lawesi (Gambar 2). Melihat pola penyebarannya, yaitu
dari Sumatra dan Jawa kemudian introduksi ke Sulawesi
dengan melompati Kalimantan terlihat cukup janggal,
karena perpindahan manusia keluar dan masuk antara
Kalimantan dan Sulawesi cukup ramai.
Informasi keberadaan jenis kodok I. biporcatus di
Kalimantan tidak dijumpai pada publikasi Furlong dkk
(2005), Inger (2005), Inger & Voris (2001), Inger & Stue-
bing (2005), Inger dkk (2005), Inger & Tan (1996), Iskan-
dar (1998), Iskandar (2004), Iskandar & Colijn (2000),
Meijaard dkk (2005) dan Veith dkk (2004). Informasi ke-
beradaan kodok ini hanya dijumpai pada publikasi Kirono
& Santoso (2007: halaman 43); jenis ini dijumpai di
daerah Hulu Belantikan, Kalimantan Tengah (Gambar 2).
Pada bulan Maret 2010, penulis menjumpai
kodok I. biporcatus di areal perkebunan sawit PT. Men-
taya Sawit Mas (PT. MSM) yang terletak di dekat kota
Sampit, Kalimantan Tengah (Gb. 2). Keberadaan jenis I.
biporcatus di Kalimantan masih merupakan tanda tanya,
apakah jenis ini asli Kalimantan atau merupakan jenis
introduksi dari Sumatra atau Jawa. Untuk membuktikan
itu semua perlu dilakukan studi DNA populasi untuk meli-
hat keterkaitan populasi jenis ini yang berada di Kaliman-
tan, Sumatra dan Jawa.
Menurut Kirono & Santoso (2007), habitat kodok I. bipor-
catus adalah hutan sekunder dan kolam-kolam dangkal
dan terbuka di sekitar perbatasan hutan dengan perkebu-
nan; kodok ini cukup jarang dijumpai dan sering dijumpai
berasosiasi dengan kodok Duttaphrynus melanostictus
atau B. melanostictus. Kondisi kelimpahan I. biporcatus
di areal kebun sawit PT. MSM sangat jauh berbeda den-
gan apa yang diinformasikan Kirono & Santoso (2007);
jenis ini dijumpai sangat berlimpah di kebun sawit;
mereka dijumpai pada habitat pemukiman manusia, parit
irigasi dan rawa gambut, tidak dijumpai berasosiasi den-
gan jenis D. melanostictus. Sepertinya kodok I. biporca-
tus sangat toleran dengan perairan gambut yang asam
yang tidak disukai jenis D. melanostictus, karena pada
areal perkebunan sawit ini tidak satupun dijumpai individu
D. melanostictus.
KEBERADAAN KODOK Ingerophrynus biporcatus
DI KALIMANTAN YANG TERLEWATKAN
Hellen Kurniati/ Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI
Gb. 1. Kodok I. biporcatus yang dijumpai di daerah kebun sawit PT. MSM,
Kalimantan Tengah (Foto: H. Kurniati).
Gb. 2. Penyebaran kodok I. biporcatus di Indonesia. Daerah
warna merah adalah penyebaran asli; daerah warna merah
muda adalah introduksi (Sulawesi); bulatan biru tempat Ingero-
phrynus biporcatus dijumpai di Kalimantan: (1) Hulu Belantikan; (2)
Perkebuna sawit PT. MSM (sumber peta: IUCN, 2011).
7 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Furlong dkk (2005), tidak mendapatkan jenis I. bi-
porcatus di Taman Nasional Tanjung Puting yang letaknya
relatif dekat dengan lokasi kebun sawit PT. MSM dan juga
merupakan daerah hutan gambut. Habitat di mana kodok
I. biporcatus kerap dijumpai berlimpah di areal kebun sawit
adalah kolam terbuka dengan air berwarna coklat kehita-
man (Gambar 3); habitat ini menandakan bahwa air kolam
itu bersifat asam yang berasal dari rawa gambut.
DAFTAR PUSTAKA
Furlong, R., C. Gibbons, K. Kennedy, I. Mackenzie, S. Shonleben & A. Stott. 2005. Project Kodok. A research pro-ject aimed at investigating and monitoring Anuran popula-tions in Tanjung Puting National Park, Central Kalimantan, Indonesia, South East Asia. Main Report, University of Ed-inburgh. 21 pp.
Inger, R.F. 2005. The systematics and Zoogeography of the amphibia of Borneo. Natural History Publication (Borneo). Kota Kinabalu.
Inger, R.F & H.K. Voris. 2001. The biogeographical rela-tions of the frogs and snakes of Sundaland. Journal of Bio-geography 28: 863-891.
Inger, R.F & R.B. Stuebing. 2005. A field guide to the frogs of Borneo. Natural History Publication (Borneo). Kota Kina-balu.
Inger, R.F, R.B. Stuebing & R. Zainudin. 2005. Peat swamp frogs of Borneo. In: Wallace in Sarawak–150 Years Later. An International Conference on Biogeography and Biodi-versity. A. A. Tuen and I. Das (Eds). pp: 178–181. Institute
of Biodiversity and Environmental Conservation, Universiti Malaysia Sarawak, Kota Samarahan.
Inger, R.F & F.L. Tan. 1996. Checklist of the frogs of Bor-neo. Raffles Bulletin of Zoology 44: 551-574.
Iskandar D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor.
Iskandar, D.T. 2004. The Amphibians and Reptiles of Mali-nau Region, Bulungan Research Forest, East Kalimantan. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
Iskandar, D. & E. Colijn. 2000. Preliminary checklist of Southeast Asian and New Guinean herpetofauna, I. Am-phibians. Treubia 313: 1-133.
IUCN. 2011. IUCN Red List of Threatened Species. Ver-sion 2011.1. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 13 July 2011.
Kirono, S & E. Santoso. 2007. Panduan lapangan amfibi Hulu Belantikan. Yayasan Orangutan Indonesia. Pustaka Yayorin.
Meijaard, E., D. Sheil, R. Nasi, D. Augeri, B. Rosenbaum, D. Iskandar, T. Setyawati, M. Lammertink, I. Rachmatika, A. Wong, T. Soehartono, S. Stanley & T. O’Brien. 2005. Life after logging. Reconciling wildlife conservation and pro-duction forestry in Indonesian Borneo. CIFOR, Bogor, Indo-nesia.
Veith, M, S. Wulffraat, J. Kosuch, G. Hallmann, H.W. Hen-kel, P. Sound, Samsu, L. Rudhimanto & D. Iskandar. 2004. Amphibians of the Kayan Mentarang National Park (East Kalimantan, Indonesia): estimating overall and local spe-cies richness. Tropical Zoology 17: 1-13.
Gambar 3. Habitat kodok I. biporcatus di areal kebun sawit PT. MSM (Foto: H. Kurniati).
8 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Mengenal Keanekaragaman Herpetofauna di Batang Merangin,
Taman Nasional Kerinci Seblat Dalam Kebersamaan Surili 2011
Rika Sri Wahyuni
Kelompok Pemerhati Herpetofauta “Phyton”
Himakova—Fakultas Kehutanan IPB
Kegiatan ini merupakan salah satu program kerja
unggulan dari HIMAKOVA yang disebut Studi Konservasi
Lingkungan atau biasa disebut SURILI. SURILI 2011 di-
laksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS)
Jambi. Delapan Kelompok Pemerhati (KP) yang terdapat
di Himpunan Mahsiswa Konservasi Sumberdaya Hutan &
Ekowisata (Himakova) menyebar di 4 Resort TNKS yaitu
resort Gunung tujuh, Batang Merangin, Gunung Kerinci
dan Bukit Tapan. Kelompok Herpetofauna ‘PYTHON’
sendiri ditempatkan di Resort Batang Merangin Muara
Hemat.
Kegiatan surili sendiri dimulai pada tanggal 26
Juli 2011 yang diawali dengan perjalann dari Bogor
menuju Kota Sungai Penuh. Lima hari pertama diguna-
kan dalam perjalanan, persentasi rencana kegiatan pada
pihak Taman Nasional serta persiapan segala macam
kebutuhan dilapang.
Kegiatan eksplorasi keanekaragaman herpeto-
fauna dibatang merangin berlangsung dari tanggal 31 Juli
hingga 9 Agustus 2011. Tim KPH berjumlah 10 orang
dengan komposisi 7 orang laki-laki dan 3 orang perem-
puan serta Bapak Polhut (Pak Gio dan Babeh) dan Pak
Ndin yang selalu menemani dan menjaga kami selama
kegiatan dilapang. Bulan Puasa tidak menghalangi kami
dalam melakukan kegiatan ini, malahan meningkatkan
kebersamaan dalam proses belajar mengenal keane-
karagaman herpetofauna di salah satu kawasan yang
telah ditetapkan sebagai Warisan Alam Dunia.
Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan habi-
tat asli dari Harimau Sumatra dan satwa liar lainnya. Babi
hutan, simpai dan biawak merupakan pemandangan bi-
asa setiap harinya disekitar resort. Selama kurang lebih
10 hari dilapang kami melakukan pengamatan di 6 lokasi
dengan 3 type habitat. Pada habitat akuatik pengamatan
dilakukan di Sungai Batu asah, Pulau Ular dan Sungai
Batang Merangin, sedangkan habitat semi akuatik di Hu-
tan Sapurak, Pulau Ular dan Hutan Alam semi akuatik,
dan habitat terrestrial dilakukan pengamatan di Jalan Lu-
rus muara hemat dan Hutan alam terrestrial. Dari lokasi-
lokasi tersebut hanya hutan alam yang termasuk kedalam
wilayah TNKS sedangkan sungai batang merangin meru-
pakan sungai perbatasan kawasan dan lokasi lainnya
Tim Surili 2011 dari KPH Himakova (kiri atas), Kondisi sungai di lokasi pengamatan di Sungai Batang Merangin (kanan atas). Foto:
KPH “Phyton” Himakova IPB
9 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Mernyeberang sungai menggunakan tali (kiri). Foto KPH “Phyton” Himakova
Untuk mencapai kawasan Hutan alam dan hutan
Sapurak kami harus menyebrang sungai Batang Mer-
angin yang lebarnya mencapai 30 meter dengan arus
yang cukup deras. Disinilah uji tantangan bagi tim KPH,
Untuk menuju Hutan Sapurak tim harus menyebrangi
sungai dengan menggunakan tali dan katrol. Sedangkan
untuk mencapai hutan alam kami harus mnyebrangi sun-
gai secara langsung dengan bergandeng tangan agar
tidak terbawa arus. Berkat bantuan dari warga sekitar dan
Bapak Polhut kami dapat melaksanakan pengamatan
dengan selamat.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di tiga
tipe habitat yang ada di dalam dan sekitar kawasan Ta-
man Nasional Kerinci Sebelat, ditemukan 30 jenis herpe-
tofauna dari sepuluh famili. Dengan Komposisi amfibi 15
jenis dari 3 family, dan reptil 15 jenis dari 7 family (Tabel
1.).
Dari 30 jenis herpetofauna yang ditemukan jenis
amfibi yang paling melimpah adalah Bufo asper dan
Rana chalconata, jenis tersebut hampir ditemukan
disetiap type habitat. Sedangkan jenis reptil yang paling
melimpah adalah Bronchocella cristatella dan Cyrtodacty-
lus marmoratus
Dua ekor Python reticulatus ditemukan di pulau ular
dan di jalan lurus, namum python yang ditemukan di
pinggir jalan raya jalan lurus ditemukan dalam kondisi
mati karena luka di bagian ventral. Setelah pengamatan
dilapang, kegiatan dilanjutkan dengan pengolahan data
dan persentasi hasil sementara kepada pihak Taman Na-
sional di Sungai Penuh. Pada tanggal 14 Agustus tim
Himakova kembali menuju Bogor.
Kegiatan SURILI 2011 di Taman Nasional Kerinci
Seblat merupakan pengamalam berharga yang tak akan
terlupakan.
Famili Jenis Amfibi n Famili Jenis Reptil n
Bufonidae Bufo asper 21 Boidae Python reticulatus 2
Ansonia leptopus 1 Typhlopidae Typhlopidae sp 1
Ranide Rana chalconota 22
Colubridae Xenodermus javanicus 1
Rana hosii 7 Ptyas korros 1
Rana nicobariensis 3 Boiga dendrophila 1 Huia sumatrana 2 Agamidae Draco volans 2 Limnonectes crybetus 4 Draco sp 1 Limnonectes macrodon 1 Bronchocela cristatella 7
Limnonectes kuhlii 1 Gonocephalus chamaeleontinus 1
Fejervarya cancrivora 1 Gekkonidae Aeluroscalabotes felinus 1
Fejervarya limnocharis 3 Hemidactylus frenatus 1
Leptobrachium hasseltii 1 Cyrtordactylus marmoratus 7 Rhacophoridae
Polypedates leucomystax 1 Scincidae
Scincidae sp. 1 Polypedates macrotis 1 Eutrophis rudis 3
Rhacophorus nigropalmatus 1 Varanidae Varanus salvator 1
Tabel 1. Komposisi Herpetofauna di Batang Merangin TNKS selama pengamatan 31 Juli—9 Agustu 2011
10 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
GALERI FOTO Ekspedisi di TN Kerinci Seblat
Surili KPH-Himakova, Fakultas Kehutanan IPB;
Pada bulan Juli - Agustus 2011, Kelompok Pemerhati Herpetofauna Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas
Kehutanan IPB melaksanakan ekspedisi tahunan ke Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera. Laporan perjalanan kegiatan ini
telah disajikan di halaman sebelumnya. Berikut disajikan beberapa foto yang tersimpan dari kegiatan ekpedisi ini yang dilakukan di
resor Merangin.
Atas kiri: Aeluroscalabotes felines; Atas kanan: Xenoder-mus javanicus; Tengah kiri: Python reticulatus; Tengah kanan: Bronchocela cristatella; Habitat sungai di Pulau Ular ( bawah kiri)
FOKA & (KPH PYTHON HIMAKOVA)
11 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Rana chalconota
Polypedates macrotis
Bufo asper
Huia sumatrana
Rana nicobariensis
12 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
MENGUNJUNGI PENANGKARAN
KURA-KURA DI KARAWANG
13 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Indukan kura-kura brazil (Trichemys scripta)
berjemur di tengah kolam penangkaran di Kara-
wang Timur. Sementara itu ratusan lainnya
berada di dalam air dan menjulurkan lehernya
untuk mengambil udara. Foto: Mirza D. Kusrini
Pernahkah Anda melihat kura-kura
brazil (Trichemys scripta) kecil di-
jual di pasar atau di depan sekolah-
sekolah dan berpikir darimana asal-
nya? Walaupun disebut sebagai kura
-kura brazil, sebenarnya jenis ini bu-
kan berasal Brazil (lihat boks).
Populer sebagai hewan peliharaan,
hewan ini dulu memang diimpor,
namun kini kura-kura brazil yang
dijual di berbagai daerah di Indone-
sia kebanyakan berasal dari penang-
karan dari dalam negeri.
Praktek penangkaran kura-
kura maupun labi-labi secara komer-
sial baik untuk konsumsi makanan
maupun obat atau sebagai hewan
peliharaan kini banyak dikembang-
kan di beberapa negara. Pada be-
berapa tempat, praktek penangkaran
ini merupakan industri besar se-
hingga dalam bahasa Inggris diisti-
lahkan sebagai “farm” atau peterna-
kan. Jenis-jenis kura-kura yang ban-
yak ditangkarkan adalah Labi-labi
Cina Pelodicus sinensis untuk kon-
sumsi dan kura-kura Brazil
(Trachemys scripta elegans dan T. s.
scripta) untuk hewan peliharaan.
Produk yang dijual bisa berupa telur,
anakan maupun indukan. Cina meru-
pakan negara dengan jumlah
penangkaran kura-kura yang sangat
besar. Pada tahun 2008 saja ada
1499 penangkaran kura-kura yang
tercatat resmi pada otoritas terkait.
Diperkirakan jumlahnya sebenarnya
Foto dan tulisan: Mirza D. Kusrini
14 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Di Indonesia, paling tidak tercatat dua peru-
sahaan yang menangkarkan kura-kura dalam jum-
lah besar yaitu PT Agrisatwa Alam Nusa yang me-
nagkarkan kura-kura brazil T. s. elegans dan yaitu
PT. Tarumfajar Pratama yang menangkarkan labi-
labi Cina P. sinensis.
Pada hari Jum’at tanggal 21 Oktober 2011
yang lalu Warta Herpetofauna mendapat undangan
dari APEKLI (Asosiasi Pengusaha Kura-kura dan
labi-labi Konsumsi Indonesia) untuk mengunjungi
kedua penangkaran yang terletak di Karawang.
Kunjungan dilakukan oleh Mirza D. Kusrini (MDK)
dan Arief Tajalli didampingi oleh Bpk. Maraden
Purba dari APEKLI, Pak. Herianto (CV Bali Foul-
try anggota APEKLI ) dan bapak Li Xiao Ming,
penasehat teknis dari PT Tarumfajar Pratama dan
PT Agrisatwa Alam Nusa.
Kunjungan berawal dari penangkaran kura-
kura Brazil di Karawang Timur. Pada areal seluas
18 hektar, hampir 80% ditutup oleh kolam-kolam
beraneka ukuran yang terpisah mulai dari kolam
indukan sampai kolam tukik. Kolam induk dileng-
kapi dengan tempat berjemur di tengah kolam dan
area bertelur. Setiap sore, telur-telur akan diambil
oleh pekerja dan dipindahkan ke ruang khusus sam-
pai menetas. Setelah menetas, tukik akan dipin-
dahkan ke kolam khusus, dimana tukik yang sakit
akan dipisahkan untuk perawatan. Diawali dengan
uji coba sejak tahun 2008 dengan beberapa indukan
yang diimpor, produksi T. scripta saat ini adalah
200.000/ tahun dengan proyeksi ke depan mencapai
1 juta ekor/tahun. Bisa dikatakan, saat ini peredaran
kura-kura Brazil di dalam negeri berasal dari
penangkaran ini.
Kunjungan dilanjutkan untuk melihat penang-
karan P. sinensis. Labi-labi cina merupakan jenis yang
paling umum diternakkan untuk keperluan konsumsi.
Sejarah penangkaran P. sinensis dimulai dari Jepang
pada awal abad 20. Di Cina sendiri sekitar 97% perda-
gangan kura-kura dari penangkaran yang dilaporkan
adalah jenis P sinensis. Penangkaran P. sinensis oleh
PT Tarumfajar Pratama sudah berlangsung sekitar 15
tahun. Saat ini produksi utamanya adalah telur yang
diekspor terutama ke Korea Selatan, dengan jumlah
sekitar 3 kuintal telur/minggu.
Gambar dari kiri atas searah jarum jam: Telur labi-labi Cina yang siap untuk dikemas; lab-labi Cina bertelur di rumah pasir yang sudah
disediakan; Mr. Li Xiao Ming menjelaskan pengembangan penangkaran dengan antusias; kolam kura-kura brazil. Foto: Mirza D. Kusrini
15 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Saat ini Indonesia mendapat sorotan cukup
tajam atas perdagangan kura-kura terutama jenis-
jenis yang diperdagangkan dalam jumlah besar
seperti misalnya labi-labi Amyda cartilagenea dan
kura-kura Ambon Coura amboinensis. Berbagai
keraguan atas populasi kura-kura Indonesia harus-
nya dapat dijawab melalui monitoring populasi di
alam. Selain itu, perlu dilakukan juga upaya
penangkaran, baik untuk mengurangi tekanan pema-
nenan dari alam maupun untuk kepentingan konser-
vasi jenis.
Saat ini upaya penangkaran jenis-jenis Indo-
nesia telah dilakukan oleh beberapa pengusaha
eksportir reptil. Adalah PT Alam Nusantara
Jayatama (PT Alnusa) yang dikenal sebagai salah
satu perusahaan eksporter hewan peliharaan yang
aktif melakukan usaha budidaya berbagai kura-kura
asli Indonesia untuk kepentingan hewan peliharaan.
Sementara itu, upaya penangkaran untuk jenis-jenis
yang dikonsumsi baru pada tahap ujicoba seperti
yang dilakukan oleh pengusaha yang tergabung
pada APEKLI.
Sebagai contoh pada areal penangkaran PT
Tarumfajar Pratama kini telah disiapkan 4 areal ko-
lam untuk Penangkaran labi-labi Amyda cartilage-
nea yang dilakukan oleh CV Bali Foultry. Selain
itu, juga dilakukan ujicoba Penangkaran C. amboin-
ensis pada satu kolam yang rencananya akan
dikembangkan oleh PT Agrisatwa Alam Nusa. Sam-
pai saat ini keberhasilan ujicoba telah menunjukkan
hasil memuaskan untuk A. cartilagenea dan C. am-
boinensis yang ditandai dengan adanya telur dan
anakan. Oleh karena itu, mulai tahun 2012 direnca-
nakan pengembangan penangkaran lebih lanjut. Se-
lain dua jenis ini, ujicoba penangkaran juga dilaku-
kan untuk jenis lain baik dari luar negeri maupun
dalam negeri. Namun demikian keberhasilan jenis
lainnya belum menunjukkan hasil memuaskan.
Menurut Pak Purba, selama ini perhatian
kepada kura-kura di Indonesia sangat kurang. Oleh
karena itu upaya penangkaran yang dilakukan meru-
pakan salah satu program yang diusung oleh
APEKLI agar dapat membantu konservasi kura-
kura di Indonesia terutama untuk jenis-jenis yang
endemik maupun banyak dipanen untuk berbagai
kepentingan. Selain itu, upaya penangkaran bisa
menjadi salah satu wadah untuk penelitian dan pen-
didikan mengenai kura-kura. Dukungan para pen-
gusaha ini antara lain telah ditunjukkan oleh PT Al-
nusa melalui program pelepasliaran Chelonida
mccordii dari hasil penangkaran ke habitat asalnya
di Pulau Rote pada tahun 2009.
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu
keraguan mengenai usaha penangkaran kura-kura
adalah biaya operasional yang relatif tinggi diban-
dingkan dengan penangkapan dari alam. Inilah yang
membuat APEKLI mencoba mengembangkan
penangkaran kura-kura Indonesia dengan cara
bekerja sama dengan pengusaha penangkar yang
sudah berhasil sehingga terdapat subsidi silang di-
mana biaya ditekan karena menggunakan fasilitas
yang sama. Sebagai contoh, dari perbincangan
diketahui bahwa biaya operasional labi-labi Cina
lebih dari Rp 100 juta/bulan. Oleh karena itu
pengembangan labi-labi A. cartilagenea oleh peru-
sahaan yang telah berusaha di bidang penangkaran
labi-labi Cina diharapkan tidak akan menambah
biaya lebih banyak karena menggunakan fasilitas
maupun tenaga kerja yang telah ada.
Sumber:
Mitsukuri K. 1906. "The cultivation of marine and
fresh-water animals in Japan", in Rogers, Howard
Jason, Congress of arts and science: Universal ex-
position, St. Louis, 1904, Houghton, Mifflin and
company, pp. 694–732.
Timor Express. 2009. Pelepasan Kura-kura Rote
oleh Menhut. Chelodina Mccordi Pulang Kampung.
Berita 17 Juli 2009. Diakses pada tanggal 24 Okto-
ber 2011 dari http://timorexpress.com/index.php/
index.php?act=news&nid=34205
Shi H, Parham JF, Fan Z, Hong M, Yin F. 2008.
Evidence for the massive scale of turtle farming in
China. Oryx 42: 147–150.
Shi H, Parham JF. 2000. "Preliminary Observations
of a Large Turtle Farm in Hainan Province, People's
Republic of China", Turtle and Tortoise Newsletter
3: 4–6.
PENANGKARAN: UPAYA MENUJU KEBERLANJUTAN POPULASI KURA-KURA INDONESIA
Mirza D. Kusrini
16 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
1
2 3
4 5
6 7
PENANGKARAN KURA-KURA BRAZIL
17 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Kura-kura kolam Trachemys scripta merupakan kura-kura semi akuatik berukuran menengah (dewasa panjang 12.5 to 28.9 cm) yang sangat umum. Jenis ini memiliki tiga subspecies dengan jenis paling populer adalah T. s. elegans atau kura-kura telinga merah (red-eared slider). Tukik kura-kura ini memiliki karapas berwarna hijau dan kulit kuning kehijauan dan garis hijau. Tanda-tanda dan warna hijau ini akan hilang saat dewasa menjadi abu kehijauan, beberapa bahkan menjadi kehitaman dengan sedikit bercak. Karapas oval dan datar, bagian bawah berwarna kuning dengan bercak gelap. Jantan memiliki cakar yang lebih panjang yang berfungsi untuk memegang betina saat kawin. Dikenal dengan nama kura-kura Brazil di Indonesia, sebenarnya kura-kura ini bukan berasal dari Brazil. Kura-kura ini aslinya berasal dari Amerika Serikat bagian timur dan tengah. Penyebaran asli ke-3 subspesies adalah sebagai berikut:
T.s. scripta: Dari Virginia Selatan ke Florida Utara T.s. elegans: Alabama sampai Meksiko timur laut sampai ke Cuatro Cienegas. T.s. troostii: Virginia barat daya sampai Alabama timur laut (bagian barat dari pegunungan Appalachian).
Kura-kura ini sangat populer sebagai hewan peliharaan sehingga diimpor ke berbagai negara di belahan dunia mulai dari Eropa (Perancis, Jerman, Yunani, Italia, Belanda, Spanyol, Swiss), Asia (Kamboja, Jepang, Cina, Indonesia, Taiwan, Thailand), Amerika Utara ( Kanada) bahkan sampai ke Israel dan Afika Selatan. Popularitas kura-kura ini sebagai hewan peliharaan sayangnya tidak dibarengi dengan kesadaran dan tanggungjawab pemilik hewan untuk mencegah hewan ini masuk ke habitat alam. Dibanyak tempat, populasi lepasan kura-kura ini menjadi ancaman bagi kura-kura asli melalui kompetisi maupun predasi. Tak heran
Trachemys scripta elegans lalu masuk kedalam 100 Daftar Hewan Invasif Terburuk pada IUCN/SSC Invasive Species Specialist Group. Di beberapa negara, populasi kura-kura brazil di alam dimusnahkan. Uni Eropa, sebagai contoh telah melarang impor kura-kura T. s. elegans karena hewan ini dianggap menjadi jenis invasif, namun demkian subspecies lainnya masih diperbolehkan. Mengingat jenis ini telah masuk ke Indonesia dan ditangkarkan dalam jumlah besar, perlu ada pendidikan bagi konsumen mengenai penanganan kura-kura bila pemilik bosan dengan hewan peliharaan. Pelepasan ke alam harus dihindarkan untuk mencegah jenis ini menjadi pesaing bagi jenis asli ataupun mengganggu kesimbangan ekologi ekosistem perairan. Diperlukan adanya monitoring dan penelitian mengenai penyebaran dan dampak ekologi dari populasi feral. Sebagai contoh, di Telaga Biru. TN Gunung Gede pangrango, Jawa Barat penulis beberapa kali melihat jenis ini berjemur. Disarankan agar keberadaan jenis ini di kawasan konservasi dipantau, dan bila perlu dihilangkan sebelum mengganggu keseimbangan ekosistem.
Sumber: Dewey T, Kuhrt T. 2002. "Trachemys scripta" (On-line), Animal Diversity Web. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2011 pada http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Trachemys_scripta.html. Rhodin AGJ, van Dijk PP, Inverson JB, Shaffer HB. 2010. Turtles of the World 2010 Update: Annotated Checklist of Taxonomy, Synonymy, Distribution and Conservation Status). Chelonian research Monographs 5: 85-163. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2011 pada http://w w w . e v e . u c d a v i s . e d u / s h a f f e r l a b / p u b s /TTWGChelResMono2010.pdf. van Dijk PP, Harding J, Hammerson GA. 2010. Trachemys scripta. In: IUCN 2011. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2011.1. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2011 pada http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/22028/0
Kura-kura Brazil
Trachemys scripta
Gambar 1: Kura-kura brazil dewasa betina yang telah kawin akan naik ke sisi kolam untuk bertelur
(biasanya malam). Gambar 2: Telur yang terkubur di tanah akan digali oleh pekerja setiap siang
Gambar 3 dan 4: Telur-telur dari tanah yang telah digali akan diambil dan jumlah telur yang
diperoleh dicatat. Telur lalu dibawa dalam ember. Gambar 5: Telur dipindahkan ke dalam kotak
penetasan di dalam ruangan khusus. Gambar 6: Begitu telur menetas, kotak dipindahkan ke ruan-
gan lain dan disatukan dengan telur-telur yang siap menetas sehingga mudah dipantau. Gambar 7.
Tukik kura-kura Brazil kemudian dipindahkan ke kolam anakan dan siap untuk dijual. Foto: MDK
18 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
609 Pig-nosed turtles (Carettochelys insculpta) were successfully released into the Maro River in Indone-sian Papua on 7
th October. The release involved full partici-
pation by the local villagers from the nearby village of Bupul which is on the border of Papua New Guinea. The village head and most of the school children released a turtle into the river after a sermon was provided by the village pastor. The theme of the sermon related to protection and under-standing of the environment and sustainable use of re-
sources. The village head who was familiar with the local fauna, last saw a wild pig-nosed turtle in the river 30 years previously and there was a hope that this release of juve-nile turtles would see the return of this species to the area. The people of Bupul and two other villages down river have vowed to protect the turtles and also provide the local Forestry Officers updates if they come across pig-nosed turtles in the river. The whole repatriation operation has been considered a success in many ways and not least through the partner-ships and collaborations that have developed between the Hong Kong and Indonesian Governments, Conserva-tion NGOs, commercial airlines and the village of Bupul, all with a joint desire to correct some of the damage which over-exploitation of our natural resources has caused and see a once common turtle species return to this stretch of the Maro river. The repatriation project has been successfully con-ducted by generous assistance of various organizations and individuals, in particular HKSAR Government’s AFCD, the KKH and BKSDA of the Indonesian Government, WCS Indonesia, Cathay Pacific Airways and the villagers of Bupul.
The Pig-nosed Turtle re-
patriation project
Gary Ades (Kadoorie Farm– Hong Kong)
Pictures Top: arrival of pig-nosed turtles from Hong Kong; Left: Turtles are carried to the river; Right: The Head of the Forestry Office in Merauke releases the first turtle into a holding net
Gambar Atas: Kedatangan kura-kura moncong babi; Kiri: Kura-kura dibawa ke sungai; Kanan: Kepala Dinas Kehutanan Merauke melepaskan kura-kura pertama ke jarring sementara
19 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Sebanyak 609 kura-kura moncong babi (Carettochelys insculpta) telah sukses dilepas di Sungai Maro di Provinsi Papua pada tanggal 7 Oktober yang lalu. Pelepasan ini mengikutsertakan partisipasi penuh dari pen-duduk lokal dari desa di dekatnya yaitu Bupul, yang meru-pakan perbatasan dengan Papua Nugini. Kepala desa dan hampir semua anak-anak sekolah melepaskan kura-kura ke sungai setelah pembacaan khotbah oleh pastor desa. Tema khotbah berhubungan dengan perlindungan dan pe-mahaman akan lingkungan serta pemanfaatan berkelanju-tan dari sumberdaya. Kepala desa yang sangat mengeali fauna lokal mengatakan bahwa kura-kura moncong babi terakhir di sungai ini dilihatnya 30 tahun yang lalu dan ada harapan pelepasan tukik kura-kura akan mengembalikan jenis ini ke daerahnya. Masyarakat Bupul dan dua desa lainnya telah ber-sumpah untuk melindungi kura-kura dan juga akan mem-
berikan laporan kemajuan kepada petugas Dinas Kehu-tanan jika mereka melihat kura-kura ini di sungai. Secara keseluruhan operasi pengembalian diang-gap sukses dalam berbagai hal, antara lain melalui ker-jasama dan kolaborasi yang telah terbentuk antara pemer-intah Hong Kong dan Indonesian Governments, LSM Kon-servasi, perusahaan penerbangan internasional dan desa Bupul, dimana semuanya memiliki keinginan sama untuk memperbaikan kerusakan akibat eksploitasi berlebih dari sumberdaya alam kita dan melihat kembali keberadaan jeni sini yang dulunya umum, pada daerah aliran sungai Maro. Keberhasilan proyek pengembalian didukung oleh bantuan dari berbagai organisasi dan individu, antara lain AFCD Pemerintah HKSAR, KKH dan BKSDA (Pemerintah RI), WCS Indonesia, Cathay Pacific Airways dan masyara-kat Bupul.
Pictures Left: Karmele from international animal Rescue tells local children about the story ; Right: The Release
Kiri: Karmele dari IAR menjelaskan kepada anak-anak cerita tentang kura-kura moncong babi; Kalan: pelepasan ura-kura
Sekilas latar Belakang pelepasan Kura-kura Moncong Babi dari Hong Kong Pada tanggal 13 Januari 2011, 786 kura-kura moncong babi berukuran 7-9 cm disita oleh Pemerintah Hong Kong sebagai barang selundupan dari Jakarta menuju Cina Selatan. Kura-kura ini berada dalam 35 buah boks stryfoam yang bertulisan sebagai ikan tropis. Pemerintah Hong Kong bekerjasama dengan Kadoorie Farm memutuskan untuk mengembalikan kura-kura ini. Serang-kaian pembicaran dilakukan dengan pemerintah Republik Indonesia, dibantu oleh International Animal Rescue Indonesia. Bila sam-pai Oktober rencana pemulangan tidak berjalan, maka kura-kura akan dibunuh. Hal ini disebabkan kondisi cuaca yang mulai dingin sehingga kura-kura menjadi sakit, selain itu dibutuhkan ruang lebih banyak akibat pertumbuhan kura-kura. Pemerintah RI menyambut baik rencana pemulangan ini, persiapan dilakukan melalui rapat-rapat di KKH maupun komuni-kasi melalui email. Masalah yang menjadi diskusi adalah rencana awal dari pihak Kadorrie Farm untuk melepaskan hewan ini di TN Wasur. Serangkaian disuksi (termasuk melalui milis [email protected]) tidak menyarankan pe-lepasan hewan ini di TN Wasur mengingat habitatnya yang kurang sesuai. Akhirnya, kura-kura dilepaskan di Sungai Maro. Pelepasan kura-kura moncong babi sebenarnya sudah pernah dilaksanakan oleh pemerintah RI beberapa kali dari hasil
sitaan sebelum diekspor. Laporan dari Balai Besar KSDA Papua menunjukkan bahwa ribuan kura-kura moncong babi dilepas sejak
tahun 2009. (MDK)
Tahun Jumlah (ekor) Lokasi Status Tindakan Mitra
2009 12.247 Merauke DPO Lepas liar Freeport
2010 464 Merauke DPO Lepas liar
2010 10.980 Timika Vonis 1,5 than di Mimika Lepas liar Freeport
2011 (sktr Maret) 744 Merauke Dalam proses Lepas liar
Tabel Jumlah kura-kura moncong babi yang telah dilepaskan oleh BBKSDA Papua. Sumber: presentasi Kepala
Balai Besar KSDA Papua Drs. IGNN Sutedja, MM pada rapat tanggal 23 September 2011
20 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Katak sebenarnya bukan hewan yang cukup
dicintai di Indonesia. Jangankan dicintai, dikenalpun ham-
pir tidak. Dengan banyaknya satwaliar, katak jarang ma-
suk ke dalam prioritas para peneliti dan konservasi satwa
liar Indonesia. Rupanya yang kecil, hidupnya yang keban-
yakan aktif malam serta cenderung bersembunyi – belum
lagi kulitnya yang licin berlendir serta beberapa kasar
membuat katak bukan hewan yang mudah untuk dicintai.
Berbeda dengan satwa besar lainnya yang kharismatis
seperti Badak, Gajah, Orangutan maupun Harimau, atau-
pun atraktif dan akrab dalam budaya seperti berbagai
jenis burung. Tak heran, untuk Indonesia yang kini ter-
catat memiliki lebih dari 350 spesies amfibi, tidak ada
satupun lembaga penggiat konservasi satwaliar di Indo-
nesia yang mengurusi katak. Bandingkan dengan orang-
utan yang hanya dua spesies namun jumlah LSM yang
menangani bisa sampai puluhan!
Dalam pendidikan katak dikenal cukup baik. Con-
toh yang digunakan dalam pelajaran metamorfosis di SD
pastilah katak dan kupu-kupu. Ini membuat seakan-akan
semua katak pasti bermetamorfosis, bermula dari berudu
yang serupa ikan berinsang hidup di air lalu berubah
menjadi katak dewasa berkaki empat dengan paru-paru
untuk bernafas dan hidup di darat. Padahal katak pohon
mungil Philautus sp saat menetas dari telur sudah ber-
bentuk persis seperti dewasa, alias tidak melalui tahapan
metamorfosis. Ada juga katak yang tidak punya paru-
paru, bernafas lewat kulit, yaitu Barbourula kalimantanen-
sis yang membuat katak ini tidak tahan lama hidup diluar
air.
Beberapa tahun terakhir, penelitian menunjukkan
bahwa pada tahap telur dan berudu amfibi sangat sensitif
terhadap kerusakan lingkungan, terutama pencemaran
air. Oleh karena itu, amfibi menjadi indikator biologis yang
penting, dimana adanya perubahan pada morfologi mau-
pun populasi menjadi ukuran kesehatan lingkungan di
sekitarnya.
Dalam jejaring makan, katak termasuk karnivora
dengan makanan utama berbagai jenis serangga dan
invertebrata lainnya (labah-labah, siput). Tak heran,
fungsi katak sebagai predator hama serangga kerap
didengungkan para pecinta lingkungan untuk menyadar-
kan masyarakat akan pentingnya katak di alam.
Dalam jajaran kuliner manusia, katak sebenarnya
cukup akrab. Swikee, olahan kaki katak bisa ditemui den-
gan mudah di rumah makan tertentu, atau bahkan di wa-
rung-warung pinggir jalan di Purwodadi. Tak banyak yang
tahu bahwa Indonesia adalah pengekspor paling besar di
dunia untuk kaki katak beku yang sebagian besar dikirim
ke Eropa. Menurut perhitungan sekitar 5,5 juta ton
dikirim per tahun atau setara dengan 400 juta katak. Jum-
lah yang banyak ini tak pelak membuat Indonesia men-
jadi sorotan pemerhati konservasi satwa di luar negeri
yang menganggap katak Indonesia akan punah bila jum-
lah yang dipanen tidak berkurang. Walaupun demikian,
hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ka-
tak yang dipanen berasal dari sawah dan merupakan
jenis-jenis yang diuntungkan dari keberadaan sawah. Sa-
wah bukan habitat yang menyenangkan dan katak sawah
memanfaatkan sedikitnya saingan untuk hidup nyaman
dengan anakan yang sangat banyak serta kawin setiap
waktu. Jadi, hitungan panenan yang fantastis ini masih
relatif aman untuk populasi katak sawah di Indonesia.
Fungsi katak bagi manusia juga terkait ke-
hidupan. Katak merupakan salah satu hewan percobaan
yang banyak digunakan dalam penelitian maupun prakti-
kum di laboratorium untuk kepentingan medis. Tahun
1939 Hogben memperkenalkan uji kehamilan meng-
gunakan katak Xenopus laevis dari Afrika Selatan. Den-
gan ditemukannya metode yang lebih maju dan mudah,
tes ini kemudian ditinggalkan mulai tahun 1960-an.
Sayangnya penggunaan katak ini yang diekspor ke ber-
bagai laboratorium di seluruh dunia dianggap sebagai
salah satu sumber menyebarnya jamur Batrachochytrium
dendrobatis (Bd). Gelombang kepunahan katak di seluruh
dunia dalam satu dekade terakhir disinyalir diakibatkan
oleh jamur ini. Beberapa jenis yang berhasil selamat
diketahui memiliki senyawa aktif biologi pada kulit yang
dapat melawan Bd dan ternyata dapat dikembangkan
sebagai obat-obatan bagi manusia.
MENCINTAI KATAK, MENCINTAI
KEHIDUPAN Mirza D. Kusrini
21 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Katak api Leptophryne cruentata merupakan katak
endemik di Indonesia. Katak kecil yang memiliki bercak
merah dan kuning pada kulitnya (alasan disebut katak api)
hidup di sekitar air terjun di dataran tinggi. Di habitat uta-
manya di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, jenis
ini melimpah di tahun 1960an namun dianggap hilang akhir
tahun 1990an. Penelitian intensif oleh tim peneliti dari Insti-
tut Pertanian Bogor menemukan kembali katak ini tahun
2003 dan populasinya walaupun masih rendah dibanding
tahun 1960an dianggap stabil. Salah satu dugaan turunnya
populasi katak api adalah keberadaan penyakit chytridio-
mycosis. Alih-alih punah, katak ini berhasil pulih. Oleh
karena itu, patut diapreasiasi keputusan pemerintah RI
menjadikan katak api menjadi satwa nasional 2011 karena
dengan mencintai katak berarti mencintai kehidupan.
Sumber tulisan:
Bickford, D., D. Iskandar and A. Barlian. 2008. A lungless
frog discovered on borneo. Current Biology 18(9):
R374–R375. DOI: 10.1016/j.cub.2008.03.010.
Callery, E. M., H. Fang and R. P. Elinson. 2001. Frogs
without polliwogs: Evolution of anuran direct develop-
ment. BioEssays 23: 233-241.
Gurdon, J. B. and N. Hopwood. 2000. The introduction of
xenopus laevis into developmental biology: Of empire,
pregnancy testing and ribosomal genes. Int. J. Dev.
Biol. 44: 43-50.
Iskandar, D. T. 1998. Amfibi jawa dan bali. 1. Puslitbang
Biologi-LIPI. Bogor132. pp.
Kusrini, M. D. 2005. Edible frog harvesting in indonesia:
Evaluating its impact and ecological context. PhD the-
sis. School of Tropical Biology, James Cook University,
Towsnville. 239 pp.
Kusrini, M. D. and R. A. Alford. 2006. Indonesia’s exports
of frogs’ legs. Traffic Bull. 21(1): 13-24.
Kusrini, M. D., M. Yazid and A. U. Ul-Hasanah. 2008.
Population of the bleeding toad leptophryne cruentata:
Decline and conservation threats. Joint meeting of the
3rd International Meeting on Asian Zoo/Wildlife Medi-
cine and Conservation (AZWMC 2008) & 10th National
Veterinary Scientific Conference of Indonesian Veteri-
nary Medical Association (KIVNAS X PDHI 2008), Bo-
gor. Halaman 119-121
Kusrini, M. D., L. Skerratt, L. Berger, S. Garland and W.
Endarwin. 2008. Chytridiomycosis in frogs of mount
gede-pangrango, indonesia. Diseases of Aquatic Or-
ganisms 82: 187–194.
Liem, D. S. S. 1971. The frogs and toads of tjibodas na-
tional park mt. Gede, java, indonesia. The Philippine
Journal of Science 100(2): 131-161.
Linder, G., S. K. Krest and D. W. Sparling. 2003. Amphib-
ian decline: An integrated analysis of multiple stressor
effects. Society of Environmental Toxicology and
Chemistry (SETAC). Pensacola, FL, USA368. pp.
Skerratt, L. F., L. Berger, R. Speare, S. Cashins, K. R.
McDonald, A. D. Phillott, H. B. Hines and N. Kenyon.
2007. Spread of chytridiomycosis has caused the rapid
global decline and extinction of frogs. EcoHealth 4: 125
–134.
Warkentin, I. G., D. Bickford, N. S. Sodhi and C. J. A. Brad-
shaw. 2009. Eating frogs to extinction. Conservation
Biology 23(4): 1056-1059.
Woodhams, D. C., K. Ardipradja, R. A. Alford, G. Maran-
telli, L. K. Reinert and L. A. Rollins-Smith. 2007. Resis-
tance to chytridiomycosis varies among amphibian spe-
cies and is correlated with skin peptide defenses. Ani-
mal Conservation 10(2007): 409–417.
Murid SMA mengamati katak serasah saat kegiatan Frog
Camp tahun 2006 di Jawa Barat
22 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
SI CANTIK ULAR SANCA HIJAU (Morelia viridis)
DARI SURGA EKSOTIS KEPULAUAN ARU, INDONESIA
Fatwa Nirza Susanti
(Anggota Kelompok Pemerhati Herpetofauna HIMAKOVA IPB)
Kepulauan Aru adalah salah satu ka-
bupaten baru hasil pemekaran Kabu-
paten Maluku Tenggara. Kabupaten baru
yang menjadi salah satu kabupaten ke-
banggaan Maluku ini, memiliki luas sekitar
54.395 Km² dan terdiri atas 187 pulau (89
berpenghuni dan 98 pulau tak berpen-
ghuni). Kabupaten Kepulauan Aru ini juga
sering kali disebut sebagai “wilayah laut
pulau” karena berbatasan langsung den-
gan Papua Barat, Laut Arafura, Laut Aus-
tralia dan pulau Kei Besar. Kepulauan Aru
ini secara astronomi juga dinobatkan
menjadi “Beranda Depan Negara”
karena terletak di perbatasan atas NKRI
(Badan Penanaman Modal Daerah
Provinsi Maluku 2006).
Ular sanca hijau (Morelia viridis)
adalah salah satu spesies reptile yang
hidup di kepulauan ini, dan tentunya
menjadi salah satu lambang
“keeksotisan” bagi kepulauan ini.
Ular ini memiliki morfologi yang san-
gat menarik dan berbeda dari jenis ular
lainnya. Warna tubuhnya yang umumnya
berwarna hijau terang dan dihiasi oleh
beberapa bintik putih yang dimiliki oleh
individu dewasa menimbulkan kesan unik
yang tajam. Keunikan yang dimiliki ular ini
tidak sampai disitu saja, ular ini memiliki
warna yang berbeda ketika masih dalam
fase anakan (juvenile). Fase anakan ular
ini ada dua tipe yaitu, berwarna kuning
lemon cerah dengan garis kecoklatan
serta bintik gelap dan berwarna merah
darah dengan bintik putih yang menghi-
asi seluruh bagian tubuhnya. Warna
kuning atau merah ini akan memudar
dengan sendirinya saat ular memasuki
fase remaja, kemudian digantikan den-
gan warna hijau cerah yang menawan.
Keunikan yang dimiliki oleh ular
sanca hijau ini begitu memikat para pe-
cinta reptil, khususnya pecinta jenis ular
eksotik. Tak jarang banyak pemburu yang
mengambil jenis ini langsung dari alam
kemudian dijual untuk memenuhi permin-
taan para pecintanya yang tak sabar un-
tuk segera menikmati keeksotisan dan ke-
cantikannya. Tindakan ini tentu sangat
23 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
membahayakan populasi ular sanca hi-
jau di Kepulauan Aru. Ular sanca hijau
sekarang tergolong dalam golongan spe-
sies Appendix II dalam daftar CITES.
Si cantik ini punah ? Tentunya tidak
ada yang ingin hal itu terjadi. Oleh
karena itu ular sanca hijau yang berada
di alam tidak boleh ditangkap dengan
tujuan komersil. Kegiatan penangkaran
adalah usaha yang tepat untuk me-
lestarikan satwa ini dan menjadi jawa-
ban untuk menjawab keinginan para pe-
cinta ular untuk memiliki jenis ini. Si ular
cantik ini harus tetap terjaga eksistens-
inya di Kepulauan Aru untuk tetap men-
jaga “label” eksotis yang melekat pada
wilayah ini. Tak ada si cantik, maka tiada
pula si eksotis Kepulauan Aru.
Referensi :
Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Maluku. 2006.
Kab. Kepulauan Aru. http//:http://www.bkpmd-
maluku.com/indonesia/index.php?
option=com_content&task=section&id=17&Itemid=68
[diakses tanggal 12 Mei 2011 pukul 23.35]
24 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
PUSTAKA PERILAKU ULAR
TAHUN 1997 - 2005 Tidak banyak peneliti yang mengkhususkan diri pada ular, atau minimal fokus utama penelitian pada ular.
Dibawah ini disajikan daftar publikasi yang berhubungan dengan prerilaku ular. Sekitar 70% dari publikasi
yang tercatat pada database milik MDK ditulis oleh Rick Shine, professor Evolutionary Biology pada University
of Sydney, Australia. Publikasi Rick Shine dari tahun 2003—2011 bisa dilihat pada http://sydney.edu.au/
science/biology/shine/publications/. Banyak dari publikasi yang ada pada webistenya bisa didownload se-
cara utuh.
Aubret, F., X. Bonnet, R. Shine and S. P. Maumelat. 2005.
Energy expenditure for parental care may be trivial for
brooding pythons, Python regius. Animal Behaviour 69:
1043-1053.
Aubret, F., X. Bonnet, D. Pearson and R. Shine. 2005. How
can blind tiger snakes (Notechis scutatus) forage suc-
cessfully? Australian Journal of Zoology 53: 283-288.
Bertona, M. and M. Chiaraviglio. 2003. Reproductive biol-
ogy, mating aggregations, and sexual dimorphism of
the argentine boa constrictor (boa constrictor occiden-
talis). Journal of Herpetology 37(3): 510-516.
Bonnet, X., D. Bradshaw, R. Shine and D. Pearson. 1999.
Why do snakes have eyes? The (non-)effect of blind-
ness in island tiger snakes (Notechis scutatus). Behav
Ecol Sociobiol 46: 267-272.
Isaac, L. A. and P. T. Gregory. 2004. Thermoregulatory
behaviour of gravid and non-gravid female grass
snakes (Natrix natrix) in a thermally limiting high-
latitude environment. J. Zool., Lond. 264: 403–409.
Kardong, K. V., T. L. Kienne and E. K. Johnson. 1997.
Proximate factors affecting the predatory behaviour of
the red spitting cobra, Naja mossambica pallida. Jour-
nal of Herpetology 31(1): 66-71.
Kustiarto, H. A., A. Priyono and L. N. Ginoga. 2003. Per-
tumbuhan dan perilaku makan ular sanca hijau
(Chondropython viridis) di kandang penangkaran.In: M.
D. Kusrini, A. Mardiastuti and T. Harvey (eds) Konser-
vasi amfibi dan reptil di indonesia. Prosiding seminar
hasil penelitian departemen konservasi sumberdaya
hutan. Bogor 8 mei 2003. Bogor, Institut Pertanian Bo-
gor: 172-178 pp.
Llewelyn, J., R. Shine and J. K. Webb. 2006. Time of test-
ing affects locomotor performance in nocturnal versus
diurnal snakes. Journal of Thermal Biology 31(2006):
268-273.
Lourdais, O., R. Shine, X. Bonnet and F. Brischoux. 2006.
Sex differences in body composition, performance and
behaviour in the colombian rainbow boa (Epicrates
cenchria maurus, boidae). Journal of Zoology 269
(2006): 175-182.
Moore, I. T., M. P. Lemaster and R. T. Mason. 2000. Be-
havioural and hormonal responses to capture stress in
the male red-sided garter snake, Thamnophis sirtalis
parietalis. Animal Behaviour 59: 529–534.
Nilson, G., C. Andrén, Y. Ioannidis and M. Dimaki. 1999.
Ecology and conservation of the milos viper,
Macrovipera schweizeri (werner, 1935). Amphibia-
Reptilia 20: 355-375.
O’Donnell, R. P., N. B. Ford, R. Shine and R. T. Mason.
2004. Male red-sided garter snakes, Thamnophis sir-
talis parietalis, determine female mating status from
pheromone trails. Animal Behaviour 68: 677-683.
Pearson, D., R. Shine and A. Williams. 2003. Thermal biol-
ogy of large snakes in cool climates: A radio-telemetric
study of carpet pythons (Morelia spilota imbricata) in
south-western Australia. Journal of Thermal Biology 28
(2003): 117-131.
Pfrender, M., R. T. Mason, J. T. Wilmslow and R. SHINE.
2001. Thamnophis sirtalis parietalis (red-sided gar-
tersnake) male-male copulation. Herpetological Review
32(1): 52.
Phillips, B. L. and R. Shine. 2006. An invasive species in-
duces rapid adaptive change in a native predator: Cane
toads and black snakes in Australia. Proc. R. Soc. B
273: 1545-1550.
Shetty, S. and R. Shine. 2002. Activity patterns of yellow-
lipped sea kraits (Laticauda colubrina) on a Fijian is-
land. Copeia 2002(1): 77-85.
Shetty, S. and R. Shine. 2002. The mating system of yellow
-lipped sea kraits (Laticauda colubrina: Laticaudidae).
25 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Herpetologica 58(2): 170-180.
Shine, R., M. M. Olsson, I. T. Moore, M. P. LeMaster and
R. T. Mason. 1999. Why do male snakes have longer
tails than females? Proc. R. Soc. Lond. B 266: 2147-
2151.
Shine, R., M. M. Olsson, M. P. Lemaster, I. T. Moore and
R. T. Mason. 2000. Effects of sex, body size, tempera-
ture and location on the antipredator tactics free-
ranging gartersnake (Thamnophis sirtalis, colubriade).
Behavioral Ecology 11(3): 239-245.
Shine, R., D. O'Connor and R. T. Mason. 2000. Female
mimicry in garter snakes: Behavioral tactics of "she-
male" and the males that court them. Can. J. Zool 78:
1391-1396.
Shine, R., M. M. Olsson, i. T. Moore, m. P. Lemaster, m.
Greene and r. T. Mason. 2000. Body size enhances
mating success in male garter snakes. Animal Behav-
iour 59: F4-F11.
Shine, R., M. M. Olsson and R. T. Mason. 2000. Chastity
belts in gartersnakes: The functional significance of
mating plugs. Biological Journal of the Linnean Society
70: 377–390.
Shine, R., D. O'Connor and R. T. Mason. 2000. The prob-
lem with courting a cylindrical object: How does an
amorous male snake determine which end is which?
Behaviour 137: 727-739.
Shine, R, P. Harlow, M. P. Lemaster, i. T. Moore and R. T.
Mason. 2000. The transvestite serpent: Why do male
garter snakes court (some) other males? Animal Be-
haviour 59: 349–359.
Shine, R., D. O’Connor, M. P. Lemaster and r. T. Mason.
2001. Pick on someone your own size: Ontogenetic
shifts in mate choice by male garter snakes result in
size-assortative mating. Animal Behaviour 61: 1133-
1141.
Shine, R. and S. Shetty. 2001. The influence of natural se-
lection and sexual selection on the tails of sea-snakes
(Laticauda colubrina). Biological Journal of the Linnean
Society 74: 121-129.
Shine, R., L.-X. Sun, M. Kearney and M. Fitzgerald. 2002.
Thermal correlates of foraging-site selection by chinese
pit-vipers (Gloydius shedaoensis, viperidae). Journal of
Thermal Biology 27: 405-412.
Shine, R., L.-X. Sun, m. Fitzgerald and M. Kearney. 2002.
Antipredator responses of free-ranging pit vipers
(Gloydius shedaoensis, viperidae). Copeia 2002(3):
843-850.
Shine, R. and S. Li-xin. 2002. Arboreal ambush site selec-
tion by pit-vipers Gloydius shedaoensis. Animal Behav-
iour 63(565-576).
Shine, R., L.-x. Sun, m. Fitzgerald and M. Kearney. 2002.
Accidental altruism in insular pit-vipers (Gloydius
shedaoensis, viperidae). Evolutionary Ecology 16: 541-
548.
Shine, R., B. Phillips, H. Waye, M. L. � and R. T. Mason.
2003. The lexicon of love: What cues cause size-
assortative courtship by male garter snakes? Behav
Ecol Sociobiol 53: 234-237.
Shine, R. 2003. Reproductive strategies in snakes. Proc. R.
Soc. Lond. B 270: 995-1004.
Shine, R., m. J. Elphick and E. G. Barrott. 2003. Sunny
side up: Lethally high, not low, nest temperatures may
prevent oviparous reptiles from reproducing at high
elevations. Biological Journal of the Linnean Society
78: 325-334.
Shine, R. and L.-X. Sun. 2003. Attack strategy of an am-
bush predator: Which attributes of the prey trigger a pit-
viper’s strike? Functional Ecology 17: 340–348.
Shine, R., t. Langkilde and R. T. Mason. 2003. Confusion
within ‘mating balls’ of garter snakes: Does misdirected
courtship impose selection on male tactics? Animal
Behaviour 66: 1011-1017.
Shine, R., T. Langkilde and R. T. Mason. 2003. The oppor-
tunistic serpent:Male garter snakes adjust courtship
tactics to mating opportunities. Behaviour 140: 1509-
1526.
Shine, R., T. Langkilde and R. T. Mason. 2004. Courtship
tactics in garter snakes: How do a male's morphology
and behavior influence his mating success? Animal
Behaviour 67: 477-483.
Shine, R., G. P. Brown and M. J. Elphick. 2004. Field ex-
periments on foraging in free-ranging water snakes
Enhydris polylepis (homalopsinae). Animal Behaviour
68: 1313-1324.
Shine, R., R. P. O’donnell, T. Langkilde, M. D. Wall and R.
T. Mason. 2005. Snakes in search of sex: The relation
between mate-locating ability and mating success in
male garter snakes. Animal Behaviour 69: 1251-1258.
Shine, R., T. Langkilde, M. WALL and R. T. MASON. 2005.
Alternative male mating tactics in garter snakes, Tham-
nophis sirtalis parietalis. Animal Behaviour 70: 387-
396.
26 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Komodo, Evolusi, dan Tim Jessop
Shine, R., M. Wall, T. Langkilde and R. T. Mason. 2005.
Battle of the sexes: Forcibly inseminating male garter
snakes target courtship to more vulnerable females.
Animal Behaviour 70: 1133-1140.
Shine, R., J. K. Webb, A. Lane and R. T. Mason. 2005.
Mate location tactics in garter snakes: Effects of rival
males, interrupted trails and non-pheromonal cues.
Functional Ecology 19: 1017-1024.
Shine, R., T. Langkilde, M. Wall and R. T. Mason. 2006.
Temporal dynamics of emergence and dispersal of
garter snakes from a communal den in Manitoba.
Wildlife Research 33: 103-111.
Shine, R., J. K. Webb, A. Lane and R. T. Mason. 2006.
Flexible mate choice: A male snake’s preference for
larger females is modified by the sizes of females
encountered. Animal Behaviour 71: 203-209.
Sues, L. and R. Shine. 1999. Morelia amethistina
(Australian scrub python). Male-male combat. Herpe-
tological Review 30(102).
Vincent, S. E., R. Shine and G. P. Brown. 2006. Does
foraging mode influence sensory modalities for prey
detection in male and female filesnakes, Acrochordus
arafurae? Animal Behaviour 70: 715-721.
Webb, J. K., G. P. Brown and R. Shine. 2001. Body size,
locomotor speed and antipredator behaviour in a
tropical snake (Tropidonophis mairii, colubridae): The
influence of incubation environments and genetic fac-
tors. Functional Ecology 15: 561-568.
Whitaker, P. B. and R. Shine. 1999. Responses of free-
ranging brownsnakes (Pseudonaja textilis : Elapidae)
to encounters with humans. Wildlife Research 26:
689-704.
Whitaker R, P. B., K. Ellis and R. Shine. 2000. The defen-
sive strike of the eastern brownsnake, Pseudonaja
textilis (elapidae). Functional Ecology 14: 25-31.
Zuffi, M. A. L. 1999. Activity patterns in a viviparous
snake, Vipera aspis (l.), from Mediterranean central
italy. Amphibia-Reptilia 20: 313-318.
Sekilas beliau lebih terlihat seperti turis.
Rambutnya urak-urakan, gayanya yang santai dan suka
guyon, dengan mengenakan celana surfer dan kemeja
lapang membuatnya terlihat seperti sedang wisata. Tetapi
setelah mendengarkan ceritanya mengenai penelitian
komodo, jelas bahwa beliau bukanlah turis biasa.
Dr. Tim Jessop dari University of Melbourne,
Australia sudah lama berkecimpung di bidang
herpetofauna, antara lain bekerja dengan kadal, penyu,
dan komodo sejak tahun 2002 untuk penelitian post-
docnya. Beberapa waktu yang lalu Adininggar Ul-
Hasanah (AU) dari Warta Herpetofauna sempat bertemu
Dr. Jessop di Lambusango, Buton. Berikut adalah sedikit
cerita beliau (TJ) mengenai pengalamannya mempelajari
komodo.
AU: Bagaimana mulai bekerja dengan herpetofauna?
TJ: Pada awalnya tidak sengaja. Saya lebih tertarik pada
pertanyaan, seperti pertanyaan mengenai fisiologi dan
mencari satwa yang tepat (untuk dipelajari).
AU: Bagaimana reptil membantu Anda menjawab
pertanyaan tersebut?
TJ: Reptil dapat diaplikasikan untuk menjawab banyak
pertanyaan ekologi dan evolusi. Kelimpahannya tinggi
dan relatif mudah ditangkap.Reptil juga polyphyletic,
artinya berasal dari berbagai garis
dari nenek moyangnya. Sehingga
dapat dibilang memiliki
keanekaragaman yang tinggi
dalam cara hidupnya, seperti
reproduksi, bahkan system sosialnya. Mereka adalah
model yang baik untuk melihat dasar dari pertanyaan
rumit tersebut yang kita coba jawab dengan burung dan
mamalia tetapi juga sudah berevolusi di reptil. Mereka
(reptil) adalah awal yang baik untuk mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
AU: Mengapa memilih komodo?
TJ: Saya mendaftar untuk dua fellowship penelitian post-
doc yang sangat berbeda. Salah satunya tentang ikan
dengan fenomena polimorfisme, lainnya adalah untuk
penelitian komodo. Awalnya saya memilih yang pertama
tetapi tidak menyukainya. Posisi di Komodo ditawarkan
kembali dan saya berkesempatan mengambilnya. Saya
pindah ke Bali tahun 2002. Saya sangat beruntung
bekerja dengan orang-orang yang sangat
berpengalaman, Jeri (Imansyah) dan Deni (Purwandana)
yang pernah bekerja dengan Pak Putra Sastrawan dari
Universitas Udayana tentang komodo, dan kami memulai
project ini yang sampai saat ini masih mereka jalankan.
27 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
AU: Komodo adalah satwa dilindungi dan hidup di
kawasan yang juga dilindungi. Kenapa masih perlu
perhatian banyak?
TJ: Saya pikir kekhawatiran awal tentang komodo adalah
walau mereka hidup di kawasan dilindungi, setidaknya
beberapa populasi, pemahaman kita mengenai kondisi
populasi tersebut masih terbatas. Jika melihat peta
Taman Nasional Komodo (TNK) jelas terlihat ada dua
pulau besar dan dua pulau kecil. Pulau kecil sangat
rawan kepunahan. Selain itu, walau pulau-pulau tersebut
adalah kawasan TN, belum tentu komodo 100% aman.
Masih ada dampak dari manusia yang dapat menurunkan
populasi komodo. Contohnya perburuan liar satwa
mangsa komodo seperti rusa, pembabatan hutan,
kebakaran, hal-hal ini juga berdampak terhadap komodo.
Dengan minimnya penelitian tentang pulau-pulau kecil ini
kita tidak tahu kondisi populasi komodo disitu. Mereka
bisa menjadi punah. Contohnya di Padar di TNK yang
punah walau berada di dalam kawasan TN. Xmungkin
karena perburuan liar rusa di pulau. Jadi masih mungkin
ada dampak dari manusia terhadap jenis ini (komodo).
Selain itu meraka adalah flagship species untuk
Indonesia, dan belum banyak informasi mengenai
mereka. Penting untuk mencoba memahami apa yang
sedang terjadi. Juga, ini adalah komodo, kadal terbesar di
dunia dan mereka adalah jenis yang menarik dan
mengagumkan.
AU: Apa kesalahpahaman terbesar tentang komodo?
TJ: Menurut saya seperti halnya dengan reptil lain. Reptil
mendapat reputasi jelek dari banyak orang. XYang
selalu mengejutkan saya adalah komodo sebenarnya
sangat sensitif terhadap manusia, mereka akan lari dari
Anda dan tidak mau ditangkap. Menurut saya jangan
melihat komodo sebagai predator galak dan jahat, tetapi
melihatnya sebagai kadal besar yang menarik yang
hanya terdapat di lima pulau terpencil di Indonesia.
AU: Kita sering mendengar tentang nominasi komodo
sebagai New 7 Wonders of the World. Apa konsekuensi
jika TNK benar-benar terpilih?
TJ: Tidak dapat dipungkiri bila TNK terpilih maka akan
ada dampak positif dan negative. Salah satu yang positif
adalah lebih banyaknya perhatian dan fokus sebagai
kawasan konservasi flagship. Perlu diingat bahwa saat ini
TNK sudah menjadi suatu kawasan konservasi penting
dengan status Warisan Dunia. Jadi, di atas kertas, TNK
seharusnya adalah salah satu kawasan paling dilindungi
dengan sumberdaya terlengkap di Indonesia. Mungkin
kasusnya tidak demikian, tapi saya pikir kalau memang
terpilih maka secara tidak langsung lebih banyak
perhatian tertuang untuk menjaga pulau-pulau ini. Suatu
sisi negatif mungkin semakin banyak turis. Semakin
banyak orang yang masuk dalam habitat komodo,
semakin tinggi lalu lintas kapal di daerah terumbu karang
sekitar pulau, dan mungkin semakin banyak polusi untuk
taman nasional. Tetapi jika dapat dikelola dengan sejalan
maka (pemilihan 7 Wonders) bisa menjadi sesuatu yang
positif bagi komodo.
AU: Anda bekerjasama peneliti Indonesia. Apakah Anda
merasa sudah menurunkan kegiatan ini kepada mereka?
TJ: Karena mereka sudah lama bekerja dengan komodo,
jelas bahwa mereka sangat mampu, memiliki keahlian
tinggi, dan dapat melakukan (penelitian ini) dengan baik.
Saya lihat project komodo dijalankan oleh ahli dari
Indonesia. Saya pikir ada tantangan bagi staf Indonesia.
Sebagai seseorang yang hidup di negara berkembang,
saya merasa telah mendapat banyak kesempatan dan
saya harap akan lebih banyak peneliti Indonesia,
khususnya peneliti muda, yang memperoleh beasiswa
untuk belajar di luar dan kembali ke Indonesia dengan
pengetahuan yang mereka peroleh. Saya melihat
pentingnya pembangunan kapasitas. Saya pikir tidak
perlu adanya ekspatriat yang menjalankan project-project
di Indonesia. Ekspat saya pikir penting untuk memberi
masukan. Tetapi pada akhirnya ini adalah negara Anda
dan Anda harus memiliki tanggung jawab dan
akuntabilitas terhadapnya. Tetapi Anda juga butuh
kesempatan yang mungkin tidak ditawarkan (disini) dan
itu yang kami coba lakukan di project komodo ini untuk
menawarkan pendidikan masters di Malaysia atau
Australia dan ini adalah suatu permulaan untuk
meningkatkan kualitas pekerjaan ini. Menurut saya masih
ada celah dalam pengetahuan menjalankan proyek
serupa dengan baik. Seperti yang tadi disebutkan, pulau
adalah suatu sistem kompleks. Ini membutuhkan banyak
informasi dan pengetahuan, karena Anda tidak hanya
berurusan dengan ekologi, tetapi juga dengan evolusi,
sehingga Anda harus memiliki pemahaman kedua aspek
ini untuk dapat mengelola populasi pulau dengan baik
juga keanekaragaman di negara ini. Saya berharap
herpetologis Indonesia tidak hanya mengkhawatirkan
dirinya dengan ekologi saja tapi mereka juga belajar
mengenai evolusi untuk dapat mencoba memahami
gambaran luas dan bagaimana setiap komponennya
masuk dalam gambar besar tersebut.
Adininggar U. Ul-Hasanah
Dept. Konservasi Biodiversitas Tropika
Fakultas Kehutanan IPB
28 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
Dalam rangka menyambut hari puspa dan
satwa nasional tanggal 5 November 2011, pemerin-
tah RI mengumumkan penetapan puspa dan satwa
nasional yaitu Bunga Tetepok (Nymphoides indica)
dan Katak Api (Leptophryne cruentata). Untuk
satwa, inilah kali pertama katak diangkat menjadi
ikon satwa nasional. Katak api atau juga dikenal
dengan nama kodok merah ini merupakan endemik
Jawa, ditemukan di dekat sungai beraliran deras di
dataran tinggi. Oleh karena habitatnya spesifik, ti-
dak heran jenis ini hanya ditemukan pada daerah
alami yang terjaga.
Penyebaran katak api ini berada di Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP)Jawa
Barat. Namun demikian sebuah laporan Kurniati dari
LIPI pada tahun 2003 menyatakan bahwa
Leptophryne cruentata juga dapat ditemukan di
Cikeris, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
Sayangnya sampai saat ini tidak ada laporan lebih
lanjut mengenai keberadaaannya di Gunung Salak.
Sementara monitoring berkala yang dilakukan oleh
TNGP dan Fakultas Kehutanan IPB menunjukkan
bahwa sampai saat ini ada dua populasi yang
masih bertahan di TNGP. Populasinya yang rendah
membuat katak ini masuk dalam Daftar Merah IUCN
sebagai kritis (Critically endangered).
Katak api merupakan jenis yang semi
akuatik. Jenis ini umumnya ditemukan tidak jauh dari
sungai. Katak api memiliki bentuk jari yang
unik, ujung jarinya kecil dengan bantalan
(pad) sedikit membengkok ke bawah.
Diduga bentuk kaki seperti ini
memudahkan Katak api untuk memanjat
diding batu ataupun tanah di tepi sungai,
karena kebanyakan individu ditemukan
pada lubang yang berada di sisi kanan
dan kiri sungai yang jauh dari permukaan
air.
Katak api berukuran kecil sampai
sedang dengan ukuran jantan antara 22,0-
27,8 mm dan betina 31,0-46,0 mm .
Memiliki warna dasar hitam dengan
bercak merah dan kuning. Warna merah
lebih dominan sampai ke bagian ventral
tubuh dan kaki belakang. Terkadang
corak pada bagian punggung berbentuk
jam pasir. Namun demikian ada juga
individu yang berwarna hitam tanpa corak
merah atau kuning dan ada juga yang berwarna
hitam dengan corak merah dan kuning.
Katak api merupakan jenis yang aktif pada
malam hari. Pada siang hari hampir semua individu
yang ditemukan sedang beristirahat dan diam di
dalam lubang ditepi sungai, atau bersembunyi
pada bebatuan dan kayu lapuk di tengah sungai.
Katak jantan yang bersuara umumnya bersembunyi
diantara dedaunan
dan tumbuhan yang
berada di badan air,
namun ada juga
individu yang
bersuara diatas
batu.
Sumber tulisan:
Kurniati, H. 2003. Kodok
merah Leptopryne cruen-
tata ditemukan di taman
nasional gunung halimun
jawa barat. Fauna Indo-
nesia 5(2): 71-74.
Hasil penelitian tim Fakul-
tas Kehutanan IPB dari
tahun 2003-2011
Ikon Satwa Nasional 2011
Leptophryne cruentata (Tschudi, 1838)
Leptophryne cruentata. Dokumentasi Tim KSHE-Fahutan IPB