VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020
Transcript of VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020
ISSN 2599-2449 (Print)
ISSN 2599-1280 (Online)
EDITORIAL TEAM
Editor in Chief : Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD (KHOM)
Managing Editor : dr. I Made Dharmadi, MPH., PKK
Associate Editor : Nyoman Trisna Aryanata, S.Psi., M.A.
Editorial Boards : Prof. dr. I Dewa Putu Sutjana, PFK., M.Erg.
dr. I Gusti Ngurah Mayun, Sp.Hk
dr. I Gusti Lanang Rudiartha, MHA
Assistant Editors : I Putu Prisa Jaya, S.Pd., M.Fis.
dr. IB Amertha
Layout Editor : Agus Dedi Santosa S.Kom.
Marketing Manager : I Wayan Karyawan, S.Si, M.Si.
Reviewers : Prof. Dr. Ir. IB Putra Manuaba (Udayana University)
Prof Dr. dr. Mulyanto, Sp.PD (Udayana University)
Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD (KHOM) (Udayana
University)
Prof. dr. Putu Sutisna, DTM&H., Sp.ParK
(Warmadewa University)
Prof. Dr. dr. Ngurah Mahardika (Udayana University)
Prof. Dr. I Made Sutajaya, M.Kes (Ganesha
University of Education)
Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, Sp.BS(K) (Udayana
University)
Publisher : Department of Research and Community Services, Bali
International University (Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Bali
Internasional).
Publisher’s Address : Jl. Seroja Gang Jeruk No. 9A, Kel. Tonja, Kec.
Denpasar Utara, Denpasar – Bali, Indonesia 80239
Phone: +62 (0361) 474 7770.
Email: [email protected]
Web: http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ
Bali Health Journal (BHJ) is an
official journal published by
Department of Research and Community Services of Bali
International University (Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Universitas Bali Internasional). BHJ aims to provide
an information space for
researchers, educators, students,
health practitioners, and the general public who have an interest in health
sciences. We accept research papers
and literature reviews of various
topics in Health Sciences. The fields in health sciences covered by BHJ
are biochemistry, biotechnology,
biomedics, engineering,
epidemiology, genetics, nursing, pharmacology, pharmacy, public
health, health management,
psychology, physical therapy, and
medicine.
All accepted manuscripts will be
reviewed by independent reviewers
from various universities with relevant expertise, followed by an
editor's endorsement before being
published.
Bali Health Journal is published
twice a year, in May and November.
i
ISSN 2599-2449 (Print)
ISSN 2599-1280 (Online)
TABLE OF CONTENT
VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020
Efektivitas Penggunaan Infuse Pump Terhadap Keselamatan Pasien
di Rumah Sakit Prima Medika
I Made Aditya Nugraha, Putu Aries Ridhana Arimbawa .................................................................... 1
Upaya Pencegahan Penularan Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Sidorejo Lor Kota Salatiga
Kristiawan P.A. Nugroho, Fiane De Fretes, Midy Riana Puspitawati ................................................. 6
Peningkatan Keseimbangan Dinamis Pada Anak Down Syndrome Melalui Pemberian
Dynamic Neuromuscular Stabilization (DNS)
Ni Luh Putu Gita Karunia Saraswati, Merinda Ulfa ............................................................................ 19
Kemampuan Mahasiswa Dalam Berpikir Kritis Pada Pembelajaran Keperawatan
Gawat Darurat Yang Dilihat Dari Faktor Metakognisi dan Motivasi Intrinsik
I Nyoman Asdiwinata, A.A. Istri Dalem Hana Yundari, Ni Luh Putu Dewi Puspawati ..................... 25
Analisis Sistem Manajemen Program Pemberian Asi Eksklusif
di Puskesmas Kediri I Kabupaten Tabanan
Dewi Wahyuni Gangga, Ni luh Gede Ari Natalia Yudha, Ni Ketut Martini ....................................... 33
Pengaruh Work Family Conflict Terhadap Stres Kerja Pada Pegawai Administrasi
I Gusti Ngurah Made Yudhi, I Gusti Lanang Made Rudiartha ............................................................ 39
Pengaruh Pelayanan Prima dan Customer Relationship Management (CRM) Terhadap
Loyalitas Pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar
I Gede Suasnawa .................................................................................................................................. 45
Manuscript Guidelines ......................................................................................................................... 48
Pedoman Penulisan Naskah ................................................................................................................. 54
Subscription Guidelines (Petunjuk Berlangganan) .............................................................................. 60
LP2M UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
BHJ 4(1) Mei 2020
BALI HEALTH JOURNAL ISSN 2599-1280 (Online); ISSN 2599-2449 (Print)
http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN INFUSE PUMP TERHADAP
KESELAMATAN PASIEN
DI RUMAH SAKIT PRIMA MEDIKA DENPASAR
I Made Aditya Nugraha1, Putu Aries Ridhana Arimbawa2
1Mekanisasi Perikanan, Politeknik Kelautan dan Perikanan Kupang 2Program Studi Teknologi Rekayasa Elektromedis, Universitas Bali Internasional
ABSTRAK
Latar Belakang: Pada Rumah Sakit Prima Medika pasien rawat inap mendapatkan terapi intravena. Pemberian cairan
intravena dimaksudkan untuk memasukkan cairan atau obat langsung ke dalam pembuluh darah vena dalam jumlah dan waktu tertentu dengan menggunakan infuse set. Penggunaan alat ini bertujuan untuk pengontrolan cairan yang masuk pada pasien
dan memastikan ketepatan dosis sehingga tidak terjadi overdosis. Penggunaan dan kondisi alat infuse pump yang sesuai akan
memberikan dampak terhadap keselamatan pasien itu sendiri. Hal ini disebabkan karena keselamatan pasien di rumah sakit
merupakan sistem rumah sakit dalam memberikan rasa aman kepada pasien. Tujuan: Penelitian ini dibahas mengenai efektivitas penggunaan infuse pump terhadap keselamatan pasien selama perawatan. Metode: Responden dipilih sebanyak 30
orang dengan cara purposive sampling, yaitu pasien yang menerima perawatan dengan penggunaan infuse pump. Responden
diberikan pertanyaan meliputi bunyi dari alarm ketika infuse pump mengalami macet, terdapat gelembung udara, botol infuse
telah kosong, dan baterai infuse pump telah habis. Hasil: Berdasarkan hasil analisis nilai rerata untuk alarm saat infuse pump mengalami kemacetan sebesar 2,8. Nilai rerata untuk alarm ketika terdapat gelembung pada infuse pump sebesar 2,7. Nilai
rerata untuk alarm ketika botol infuse pump telah kosong sebesar 2,8. Nilai rerata untuk alarm ketika baterai infuse pump telah
habis sebesar 2,8. Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, untuk keselamatan pasien di Rumah Sakit
Prima Medika berjalan dengan efektif, disebabkan karena indikator pada infuse pump berfungsi dengan baik dengan ketepatan dosis yang harus dimasukan dalam tubuh pasien. Hasil nilai rerata untuk efektivitas penggunaan infuse pump terhadap
keselamatan pasien sebesar 2,73.
Kata kunci: Infuse pump, efektivitas, patient safety
ABSTRACT
Background: Patients in Prima Medika Hospital receive intravenous therapy. Intravenous fluids is intended to insert fluids or drugs directly into the veins in certain amounts and times by using an infusion set. This tool aims to control the entry fluid in
to the patient and ensure the accuracy of the dose. The appropriate use and condition of the infusion pump device will have an
impact on the patient's own safety. This is because patient safety in the hospital is a hospital system in providing a sense of
security to patients. Purpose: This study discussed about effectiveness of infuse pump usage to patient safety during treatment. Method: Respondents were selected as many as 30 people by purposive sampling, ie patients receiving treatment with the use
of infuse pump. Respondents were asked questions include the sound of an alarm when the infuse pump was jammed, air
bubbles, infuse bottles were empty, and the infuse pump battery had run out. Result: Based on the average value analysis for the alarm when the infuse pump has congestion is 2.8. The mean value for the alarm when there is a bubble on the infusw
pump is 2.7. The average value for alarm when the infuse pump bottle is empty is 2.8. The average value for alarm when the
infuse pump battery has been exhausted is 2.8. Conclusion: Based on the results of research that has been done, for patient's
safety in Prima Medika Hospital runs effectively, because the indicator on the infuse pump works well with the accuracy of dose. The result of mean value for effectivity of infuse pump usage on patient safety is 2,73.
Keywords: Infuse pump, effectiveness,patient Safety
Korespondensi:
I Made Aditya Nugraha
Email: [email protected]
Riwayat Artikel:
Diterima 18 September 2019
Disetujui 31 Januari 2020
Dipublikasikan 20 Mei 2020
Efektivitas Penggunaan Infuse Pump
2
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
PENDAHULUAN
Rumah sakit merupakan suatu organisasi
pelayanan sosial kemanusiaan. Secara aktual
pelayanan rumah sakit telah berkembang menjadi
suatu industri yang berbasis pada prinsip–prinsip
ekonomi. Di era globalisasi yang penuh dengan
persaingan ini, manajemen rumah sakit harus
mampu untuk mengakomodasikan setiap perubahan
serta menciptakan pelayanan yang aman dan
nyaman bagi setiap pasien maupun pengguna jasa
kesehatan lainnya[1, 2, 3].
Rumah Sakit Prima Medika merupakan rumah
sakit swasta yang sedang berkembang di Bali.
Rumah sakit ini didirikan pada tahun 2002 dan
terletak di Jalan Pulau Serangan No. 9X, Desa Dauh
Puri Klod, Kota Denpasar, Bali dengan 115 tempat
tidur. Rumah Sakit Prima Medika memiliki visi dan
moto yaitu untuk menjadi rumah sakit terbaik yang
berdaya saing global dan Care With Quality and
Hospitality. Dalam menunjang hasil pemeriksaan
yang lebih akurat dan diakui standar kedokteran
dunia, rumah sakit ini dilengkapi dengan X-Ray,
USG, CT Scan, peralatan anastesi, Ambulance 118,
Laboratorium, Fisioterapi dan peralatan lainnya[4].
Pada Rumah Sakit Prima Medika pasien rawat
inap mendapatkan terapi intravena. Pemberian
cairan intravena dimaksudkan untuk memasukkan
cairan atau obat langsung ke dalam pembuluh darah
vena dalam jumlah dan waktu tertentu dengan
menggunakan infuse set[1]. Untuk pengontrolan
cairan yang masuk pada pasien dan memastikan
ketepatan dosis sehingga tidak terjadi overdosis
pada pasien maka digunakan infuse pump. Infuse
pump merupakan salah satu alat penunjang medis
yang biasa digunakan di dalam ruang gawat darurat,
ruang rawat inap, ruang rawat intensif dan ruang
khusus lainnya. Infuse pump merupakan salah satu
alat kesehatan yang berfungsi untuk memasukan
cairan infus ke dalam tubuh pasien secara otomatis.
Infuse pump digunakan untuk memastikan
ketepatan dosis sehingga tidak terjadi overdosis
pada pasien. Alat ini memiliki fungsi yang penting
dalam pelayanan medis khususnya dalam perawatan
pasien yang kritis, karena cairan yang dimasukkan
dengan menggunakan alat ini langsung melalui
pembuluh darah dan memastikan ketepatan dosis
sehingga tidak terjadi overdosis pada pasien[5].
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan,
didapatkan penggunaan infuse pump di Rumah
Sakit Prima Medika terhadap kenyaman pasien
tidak efektif. Hasil analisis dari penelitian yang
telah dilakukan disimpulkan penggunaan infuse
pump di Rumah Sakit Prima Medika terhadap
kenyaman pasien tidak efektif. Hal tersebut
dibuktikan dengan nilai rerata deskipsi jawaban
responden sebesar 2,43 yang dikatagorikan tidak
nyaman[6]. Selain pengaruh kenyamanan
penggunaan infuse pump, keselamatan pasien dalam
penggunaan infuse pump juga merupakan hal yang
penting.
Gambar 1. Infuse Pump di Rumah Sakit Prima
Medika (Sumber: dokumentasi pribadi)
Keselamatan pasien di rumah sakit adalah suatu
sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien
lebih aman yang meliputi assesment risiko,
identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden. Kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjut serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya risiko dan pencegahan
terjadiya cidera yang disebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil juga
termasuk dalam bagian keselamatan pasien di
rumah sakit[7, 8]. Penggunaan infuse pump sebagai
peralatan life support di rumah sakit juga
merupakan bagian dari keselamatan pasien. Alat ini
digunakan untuk mengatur ketepatan dosis cairan
yang masuk ke dalam tubuh manusia yaitu pasien.
Untuk mengetahui adanya gangguan pada sistem
kerja infuse pump, alat ini dilengkapai dengan
alarm. Alarm pada infuse pump akan berbunyi jika
terdapat udara pada selang infus, botol infus telah
kosong, aliran infus tersumbat, terjadi kesenjangan
antara pengaturan titrasi pada infuse pump dengan
aliran infus yang masuk ke pasien, dan baterai infuse
pump hampir habis[5].
Berdasarkan permasalahan di atas maka dalam
penelitian ini akan dilakukan analisis mengenai
efektivitas penggunaan infuse pump terhadap
keselamatan pasien rawat inap di rumah sakit Prima
Medika Denpasar.
METODE
Penelitian ini dilakukan selama satu bulan,
yaitu dari tanggal 16 Desember 2017 – 16 Januari
2018 di Rumah Sakit Prima Medika, Jalan Pulau
Serangan No. 9X, Desa Dauh Puri Klod, Kota
Denpasar, Bali. Pemilihan lokasi ini dengan
pertimbangan belum adanya penelitian dan
informasi mengenai penggunaan infuse pump di
rumah sakit daerah Bali.
Nugraha & Arimbawa
3
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
Pengambilan sampel dalam penelitian ini
dilakukan dengan dengan teknik Non Probability
Sampling, yaitu purposive sampling. Sampel
diambil adalah para pasien yang menjalani rawat
inap di Rumah Sakit Prima Medika dengan
perawatan menggunakan infuse pump sebanyak 30
responden.
Berdasarkan pokok permasalahan yang
diajukan, variabel-variabel dalam penelitian ini
dapat diidentifikasikan secara garis besar menjadi
beberapa faktor. Penjabaran dari faktor-faktor
tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Indikator Patien Safety Pengunaan Infuse
Pump
Indikator Keterangan
Alarm Infuse pump macet
Terdapat gelembung udara pada
infuse pump
botol infuse telah kosong
baterai infuse pump telah habis
Penelitian ini menggunakan skala rating scale,
dari 1-4. Hal ini dilakukan berdasarkan kesesuaian
dengan penelitan yang dilakukan. Penggunaan skala
ini akan memperbesar variasi jawaban responden,
dibandingkan dua atau tiga tingkatan. Sehingga
terlihat kecenderungan pemilihan jawaban
responden terhadap variabel yang ada, dan
mengurangi kecenderungan responden memberikan
jawaban pada kategori tengah, yang menyebabkan
informasi yang diperoleh menjadi tidak pasti. Skala
rating scale yang digunakan dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Skala Pengukuran Penelitan
Skor Jawaban Kenyamanan Pasien
4 Sangat Nyaman
3 Nyaman
2 Tidak Nyaman
1 Sangat Tidak Nyaman
Hasil scoring data kemudian dihitung dan
dianalisis berdasarkan variabel-varibalenya dan
dimasukan sebagai input pada program SPSS dan
Exel.
Untuk penentuan kategori pada tingkat
kenyamanan digunakan rumus di bawah ini.
𝑃 =𝑅𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔
𝐵𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝐾𝑒𝑙𝑎𝑠 ...................... 1
HASIL
Hasil Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Uji validitas dilakukan secara kuantitatif
dengan perhitungan statistik. Perhitungan bertujuan
untuk mendapatkan intem-item yang fungsi
ukurnya sesuai dengan fungsi ukur test. Hasil uji
validitas yang didapat sesuai dengan Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian
No Indikator r hit r tabel Keputusan
1 Q1 0.569 0.361 valid
2 Q2 0.589 0.361 valid
3 Q3 0.732 0.361 valid
4 Q4 0.569 0.361 valid
Nilai hasil uji reliabilitas instrumen penelitian
dengan menggunakan Cronbach’s Alpha yang
didapat adalah sebesar 0,825. Nilai yang didapat ini
lebih besar dari 0,6 sehingga hasil uji reliabilitas
instrumen penelitian ini reliabel [8].
Statistika Deskriptif Distribusi Frekuensi Jawaban
Responden
Perhitungan statistika deskriptif distribusi
freskuensi jawaban dari responden bertujuan untuk
mendapatkan nilai mean atau nilai rerata dari
masing-masing indikator. Untuk penentuan
kefektivitasan penggunaan infuse pump terhadap
keselamatan pasien digunakan rumus 1.
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut didapatkan
untuk nilai P = 1,00 – 1,75 jawaban responden
dikatagorikan Sangat Tidak Efektif, untuk nilai P =
1,76 – 2,50 jawaban responden dikatagorikan Tidak
Efektif, untuk nilai P = 2,51 – 3,25 jawaban
responden dikatagorikan Efektif dan untuk nilai P =
3,26 – 4,00 jawaban responden dikatagorikan
Sangat Efektif. Dari hasil perhitungan nilai P
tersebut dapat kita deskripsikan nilai dari jawaban
responden. Hasil perhitungan statistika deskriptif
distribusi freskuensi jawaban responden yang
didapat sesuai dengan Tabel 4.
Berdasarkan tabel statistika deskriptif distribusi
freskuensi jawaban responden di atas didapatkan
beberapa nilai untuk semua indikator. Nilai mean
untuk alarm saat infuse pump mengalami
kemacetan (Q1) sebesar 2,8. Nilai mean untuk alarm
ketika terdapat gelembung pada infuse pump (Q2)
sebesar 2,7. Nilai mean untuk alarm ketika botol
infuse pump telah kosong (Q3) sebesar 2,8. Nilai
mean untuk alarm ketika baterai infuse pump telah
habis (Q4) sebesar 2,8.
Tabel 4. Statistika Deskriptif Distribusi Freskuensi
Jawaban Responden
Indikator Jawaban
Rerata Katagori 1 2 3 4
Alarm
Q1 - 5 25 - 2,8 Efektif
Q2 5 24 1 2,7 Efektif
Q3 - 7 23 - 2,8 Efektif
Q4 - 5 25 - 2,8 Efektif
Total 2,8 Efektif
Efektivitas Penggunaan Infuse Pump
4
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
PEMBAHASAN
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1691 tahun 2011,
keselamatan pasien di rumah sakit adalah suatu
sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien
lebih aman yang meliputi assesment risiko,
identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan risiko pasien pelaporan dan analisis insiden.
Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjut
serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko dan pencegahan terjadiya cidera
yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil[6].
Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya
disebut insiden merupakan setiap kejadian yang
tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan
atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat
dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian tidak
diharapkan, kejadian nyaris cedera, kejadian tidak
cedera dan kejadian potensial cedera.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1691 tahun 2011,
sasaran keselamatan pasien mendorong perbaikan
spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran
menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam
pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta
solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian
atas permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem
yang baik secara intrinsik adalah untuk memberikan
pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi.
Sasaran ini secara umum difokuskan pada solusi-
solusi yang menyeluruh. Penyusunan sasaran ini
mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety
Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang
digunakan juga oleh komite Keselamatan Pasien
Rumah Sakit PERSI (KKPRSI), dan Joint
Commission International (JCI). Adapun enam
sasaran keselamatan pasien yaitu[6]:
1) Ketepatan identifikasi pasien
Rumah sakit mengembangkan pendekatan
untuk memperbaiki atau meningkatkan
ketelitian identifikasi pasien.
2) Peningkatan komunikasi yang efektif.
Rumah sakit mengembangkan pendekatan
untuk meningkatkan efektivitas komunikasi
antar para pemberi layanan.
3) Peningkatan keamanan obat yang perlu
diwaspadai.
Rumah sakit mengembangkan suatu
pendekatan untuk memperbaiki keamanan
obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert)
4) Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-
pasien operasi.
Rumah sakit mengembangkan suatu
pendekatan untuk memastikan tepat lokasi,
tepat prosedur, dan tepat pasien.
5) Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan
kesehatan.
Rumah sakit mengembangkan suatu
pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi
yang terkait pelayanan kesehatan.
6) Pengurangan risiko pasien jatuh.
Rumah sakit mengembangkan suatu
pendekatan untuk mengurangi risiko pasien
dari cedera karena jatuh.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, untuk keselamatan pasien di Rumah
Sakit Prima Medika dapat terjaga karena indikator
pada infuse pump berfungsi dengan baik dilihat dari
efektivitas penggunaan infuse pump pada pasien
sangat efektif dengan ketepatan dosis yang harus
dimasukan dalam tubuh pasien. Hasil ini diperoleh
dari ada Tabel 4, dimana nilai rerata untuk
efektivitas penggunaan infuse pump terhadap
keselamatan pasien sebesar 2,73.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1691 Tahun 2011, sasaran
keselamatan pasien sudah dapat dipenuhi. Point
yang dipenuhi yaitu pada poin ketiga, peningkatan
keamanan obat yang perlu diwaspadai. Dalam hal
ini rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan
untuk memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu
diwaspadai dan ketepatan dosis yang masuk dalam
tubuh pasien.
KESIMPULAN
Pada Rumah Sakit Prima Medika untuk
keselamatan pasien dapat terjaga karena indikator
pada infuse pump berfungsi dengan baik. Hal ini
dapat dilihat dari efektivitas penggunaan infuse
pump pada pasien sangat efektif dengan ketepatan
dosis yang harus dimasukan dalam tubuh pasien.
SARAN
Seiring dengan perkembangan teknologi
peralatan-peralatan kesehatan maka diperlukan
adanya pelatihan dan SOP dalam penggunaan
peralatan tersebut, tidak terkecuali infuse pump.
Pengunaan infuse pump yang baik sesuai dengan
manual book dan SOP akan lebih berdaya guna dan
umur penggunaan alat yang lebih lama.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih untuk semua pihak yang telah
membantu dalam penelitian ini, antara lain para
sahabat di Rumah Sakit Prima Medika. Semoga
para sahabat dalam keadaan baik. Dumogi Rahayu
Nugraha & Arimbawa
5
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
DAFTAR RUJUKAN
1. Departemen Kesehatan RI. Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 129/Menkes/SK/II/2008, tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2008.
2. Departemen Kesehatan RI. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009,
tentang Rumah Sakit, Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. 2009.
3. Departemen Kesehatan RI. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 340/MENKES/PER/III/2010,
tentang Klasifikasi Rumah Sakit. Jakarta:
Departemen Kesehatan R. 2010.
4. Primamedika.com. [Homepage in Internet].
Indonesia: Rumah Sakit Prima Medika
[update 2017; cited 27 Juni 2019] avaible
from
http://www.primamedika.com/aboutus.htm
5. Wadianto dan Zhafira Fihayah. Simulasi
Sensor Tetesan Cairan, Pada Infus
Konvensional. Jurnal Kesehatan, Volume
VII, Nomor 3, November 2016,hlm 394-
401. 2016.
6. Arimbawa PAR, Nugraha IMA. Efektivitas
Penggunaan Infuse Pump Terhadap
Kenyamanan Pasien di Rumah Sakit Prima
Medika Denpasar. Bali Health Journal,
Volume 2, No 2, November 2018, Halaman
62-69. 2018
7. Departemen Kesehatan RI. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011,
tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit,
Jakarta: Departemen Kesehatan RI ; 2011.
8. Kolcaba, Katherine. Comfort Theory And
Practice: A Vision For Holistic Health Care
And Research. New York: Spinger
Publishing Company; 2003.
9. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D. Bandung: Afabeta;
2011.
BHJ 4(1) Mei 2020
BALI HEALTH JOURNAL ISSN 2599-1280 (Online); ISSN 2599-2449 (Print)
http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ
UPAYA PENCEGAHAN PENULARAN TUBERKULOSIS PARU
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIDOREJO LOR
KOTA SALATIGA
Kristiawan P.A. Nugroho1, Fiane De Fretes2, Midy Riana Puspitasari3
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRAK
Latar belakang: Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang dapat menyerang paru – paru sebagai tempat infeksi
primer. Penularan bakteri Tb berlangsung dengan cepat melalui droplet nuklei. Pengobatan Tb paru dilakukan dengan
mengkonsumsi obat secara teratur selama sekitar 6 – 8 bulan dan rutin melakukan pemeriksaan medis ke layanan kesehatan
terdekat untuk memastikan proses kesembuhan penyakit. Upaya pencegahan Tb paru berkaitan erat dengan perilaku penderita,
serta lingkup keluarga dan masyarakat terhadap pencegahan Tb Paru. Tujuan: Mengetahui gambaran upaya pencegahan dan
penularan Tb paru dalam lingkup masyarakat. Metode: Menggunakan metode kuantitatif deskriptif dengan pendekatan studi
kasus. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah responden yang sudah dinyatakan sembuh secara medis lebih dari enam bulan,
keluarga dan masyarakat yang tinggal berdekatan dengan penderita Tb Paru, berumur di atas 17 tahun dan bertempat tinggal
di wilayah Kota Salatiga. Data diperoleh melalui kuesioner dan wawancara untuk mendapatkan data pendukung dari
responden, keluarga, dan masyarakat terdekat. Hasil: Responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik dalam melakukan
upaya pencegahan penularan Tb Paru. Kesimpulan: Pengetahuan yang dimiliki masyarakat dan keluarga di Wilayah Kerja
Puskesmas Sidorejo Lor, Kota Salatiga dapat dikategorikan baik dalam pencegahan Tb Paru. Lingkup keluarga dan masyarakat
turut berperan terhadap upaya pencegahan penularan penyakit Tb paru.
Kata Kunci: Tuberkulosis Paru, upaya pencegahan, penularan Tb paru
ABSTRACT
Background: Mycobacterium tuberculosis is a bacterium that can infected the lungs as a place of primary infection. Transmission of TB bacteria takes place rapidly through droplet nuclei. Treatment of pulmonary TB is done by taking
medication regularly for about 6-8 months and routinely conducting medical examinations to the nearest health service to
ensure the process of healing the disease. The efforts to prevent pulmonary TB are related closely with behavior of patients,
families and the community to prevent transmission of Pulmonary Tuberculosis. Purpose: this study purposed to understand the action to prevent transmission of pulmonary TB in community with tubercular patients. Method: This research uses
descriptive quantitative method with a case study approach. Inclusion criteria in this study were respondents who had been
declared medically cured for more than six months, families and communities who lived close to patients with Tb Lung, aged
over 17 years and residing in the Salatiga City area, using questionnaires and interviews to get supporting data from respondents, family, and the nearest community. Results: the results of interviews and questionnaires given, that respondents
have a good level of knowledge in conducting prevention efforts. Conclusion: that the knowledge possessed by the community
and family in the Work Area of the Sidorejo Lor Health Center in Salatiga City can be categorized as good in the prevention
of Tb Lung. The role of the family and community against patients with pulmonary tuberculosis are able to prevent the transmission of pulmonary TB disease.
Keywords: Pulmonary tuberculosis, prevention efforts, transmission of pulmonary Tb
Korespondensi:
Midy Riana Puspitasari Email: [email protected]
Riwayat Artikel:
Diterima 23 Agustus 2019
Disetujui 31 Januari 2020 Dipublikasikan 20 Mei 2020
Nugroho, Fretes & Puspitasari
7
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
PENDAHULUAN
Robert Koch menemukan
Mycobacterium tuberculosis sebagai
penyebab infeksi paru pada tahun 1882.
Bakteri yang berbentuk basil ini bersifat
tahan asam sehingga dikenal juga sebagai
Basil Tahan Asam (BTA)[1]. proses
penularan bakteri Tuberkulosis (Tb)
berlangsung dengan cepat melalui droplet
nuklei yang dibatukkan oleh penderita Tb
Paru[2]. Penularan yang cepat menyebabkan
penyebaran dan prevalensi Tb paru
meningkat di masyakarat.
Angka kejadian Tb Paru di Indonesia
dalam 4 tahun terakhir mengalami
fluktuasi. Sejak tahun 2014 – 2017,
kejadian TB Paru mengalami peningkatan
secara berkala, namun terjadi penurunan
drastis pada tahun 2018. Berikut ini adalah
data kejadian Tb di Jawa Tengah sebagai
salah satu provinsi dengan kasus Tb
terbanyak di Indonesia. Data ini
dibandingkan dengan prevalensi Tb Secara
Nasional.
Gambar 1. Angkat kejadian Tb Paru di
Indonesia dan Provinsi Jawa Tengah pada
tahun 2014 – 2018
Menurut Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia[2,3], Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah 2016 – 2018[3-6],
data di atas menunjukan bahwa kasus Tb
Paru di Jawa Tengah dari tahun 2015 –
2017 mengalami peningkatan. Pada tahun
2018[6], penemuan penderita Tb Paru dari
perkiraan kasus sebanyak 103.840
penderita, yang terlaporkan baru 44,33%
atau 48.751 penderita (Gambar 2).
55
240254 252
266
226
194
36
166155
210 218
174 165
0
50
100
150
200
250
300
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Diobati Sembuh
Gambar 2. Jumlah Penderita Tb diobati dan Jumlah Penderita Tb yang Sembuh Kota Salatiga Tahun 2011 –
2017
Kasus Tb Paru, juga merupakan hal
yang serius bagi Kota Salatiga yang
merupakan bagian dari wilayah Jawa
Tengah. Permasalahan kesehatan yang
terjadi, khususnya penyakit menular seperti
Tb Paru menjadi masalah yang sangat
serius untuk segera ditangani lebih lanjut.
Menurut Dinas Kesehatan Kota Salatiga,
jumlah penderita Tb Paru BTA (+) yang
diobati dan sembuh dari tahun 2011 – 2015
secara berturut – turut adalah 63,64%,
69,17%, 76,73%, 71,42%, dan 81,95%.[7]
Pada tahun 2015, Cure Rate atau angka
kesembuhan ditargetkan mencapai 90%.
Upaya Pencegahan Tuberkulosis Paru
8
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
Pencegahan Tb Paru tidak hanya
dilakukan oleh pasien tetapi juga oleh
keluarga dan masyarakat. Peran keluarga
dan masyarakat berawal dari pengetahuan
ataupun pemahaman yang baik mengenai
upaya pencegahan Tb Paru dalam rangka
membentuk karakter perilaku masyarakat
yang sehat, bersih, dan terhindar dari
penyakit termasuk Tb Paru[8] Kemampuan
keluarga dan masyarakat untuk menangani
pasien dengan Tb Paru secara dini dan tepat
akan membawa dampak jangka pendek dan
jangka panjang terhadap kualitas
kehidupan pasien Tb Paru. Kualitas
kehidupan meliputi kesehatan fisik,
pertumbuhan dan perkembangan, aktivitas
sosia, serta kepercayaan diri diduga
berpeluang menurunkan risiko komplikasi
primer atau komplikasi penyebaran
hematogen dan limfogen.[8]
Dalam penanganan penyakit seperti Tb
Paru, keluarga mempunyai peranan yang
sangat penting. Anggota keluarga dapat
memberikan informasi mengenai penyakit,
memberi dukungan moril, dan mencegah
penularan penyakit tersebut. Lingkup
keluarga memiliki risiko penularan Tb Paru
melalui droplet nuklei yang mudah dihirup
oleh orang terdekat terutama pada balita
dan lansia yang memiliki daya tahan tubuh
lebih rendah dan tidak menggunakan alat
pelindung diri seperti masker. Aspek
kebersihan lingkungan di dalam rumah
juga harus diperhatikan agar
perkembangan bakteri Tb Paru tidak
semakin bertambah.[9] Dalam lingkup
masyarakat, perlu adanya pemberian
komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
tentang upaya pencegahan Tb Paru pada
masyarakat agar terjadi peningkatan
pengetahuan dan keterampilan dalam upaya pencegahan penyakit Tb.[10]
Berdasarkan fenomena tersebut,
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
bagaimana upaya pencegahan Tb Paru oleh
keluarga dan masyarakat yang tinggal
berdekatan dengan pasien Tb Paru.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode
kuantitatif deskriptif. Teknik analisa data
menggunakan deskriptif univariat dengan
tabel frekuensi. Dalam pengambilan
sampel, digunakan teknik purposive
sampling dengan kriteria inklusi adalah
responden post Tb Paru yang dinyatakan
sembuh secara medis minimal lebih dari
enam bulan, dan responden keluarga dan
masyarakat yang tinggal di sekitar pasien
post Tb Paru, dan seluruh responden yang
bersedia berusia di atas 17 tahun dan
bertempat tinggal di wilayah Kota Salatiga.
Kriteria ekslusi adalah calon responden
atau orang terdekatnya yang tidak bersedia
untuk terlibat dalam penelitian. Penelitian
ini dilakukan di Puskesmas Sidorejo Lor
dan tempat tinggal responden, dari bulan
Januari – April 2019 dengan studi
observasi pada bulan November –
Desember 2018.
Instrumen pengambilan data berupa
kuesioner dan wawancara tidak terstruktur.
Kuesioner berisi pertanyaan – pertanyaan
seputar pengetahuan responden yang
diberikan kepada keluarga dan masyarakat
yang dekat dengan pasien post Tb Paru,
mengenai Tb Paru. Wawanara tidak
tersrtuktur diberikan kepada responden
post Tb Paru. Kategori dari hasil penelitian
kuesioner berdasarkan pengetahuan
responden dibagi menjadi tiga kategori
yaitu baik, cukup, dan kurang. Wawancara
semi terstruktur dilakukan kepada pasien
post Tb Paru sebagai informasi penunjang
hasil kuesioner.
HASIL
Karakteristik Responden Keluarga /
Masyarakat Sekitar
Berdasarkan hasil pengumpulan
data terhadap 20 responden keluarga /
masyarakat sekitar pasien post Tb,
diperoleh data karakteristik responden
(Tabel 1) berdasarkan umur < 30 tahun
sebanyak 5 (25%) dan > 30 tahun sebanyak
15 (75%), jenis kelamin pria sebanyak 8
Nugroho, Fretes & Puspitasari
9
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
(40%) dan wanita sebanyak 12 (60%),
pendidikan terakhir SD sebanyak 7 (35%),
SMP sebanyak 6 (30%), SMA sebanyak 6
(30%) dan S1 hanya 1 (5%), lama
mengenal responden Tb Paru < 6 bulan
sebanyak 9 (45%) dan > 6 bulan sebanyak
11 (55%).
Tabel 1. Karakteristik Responden Keluarga /
Masyarakat Sekitar
Variabel Jumlah Presentase
(%)
Umur :
< 30
Tahun
> 30
Tahun
5
15
25
75
Jenis
Kelamin :
Pria
Wanita
8
12
40
60
Pendidikan
Terakhir :
SD
SMP
SMA
S1
7
6
6
1
35
30
30
5
Lama
mengenal
responden
Tb Paru :
< 6 bulan
> 6 bulan
9
11
45
55
Pengetahuan Keluarga Dan Masyarakat
Tentang Penyakit Tb Paru
Pengetahuan responden mengenai
Tb Paru, didasarkan pada beberapa aspek
yakni penularan penyakit, isolasi sosial
terhadap pasien Tb Paru, kesembuhan
penyakit, serta gejala penyakit (contohnya
batuk).
1. Penyakit Tb Paru merupakan penyakit
yang bersifat menular
TB adalah penyakit menular
langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium Tuberculosis),
kuman ini menyerang beberapa organ
termasuk paru – paru.
Gambar 3. Penyakit Tb paru merupakan
penyakit yang bersifat menular
Gambar 3 menyatakan bahwa
sebanyak 70% responden menjawab
setuju bahwa penyakit Tb Paru yang
bersifat menular, sedangkan 30%
responden menjawab tidak setuju.
2. Isolasi Sosial pada Pasien Tb Paru.
Menjauhi pasien Tb Paru adalah
salah salah satu stigma yang biasanya
ditunjukan oleh masyarakat terhadap
pasien. Hasil pada Grafik4 menunjukan
bahwa hanya 10% menjawab setuju
bahwa pasien Tb Paru perlu dijauhi
karena berpotensi untuk menularkan
penyakitnya, sedangkan 90% responden
menjawab tidak setuju.
Gambar 4. Isolasi Sosial pada Pasien Tb
Paru.
70
30
Setuju Tidak setuju
10
90
Setuju Tidak setuju
Upaya Pencegahan Tuberkulosis Paru
10
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
3. Pasien Tb Paru dapat disembuhkan
Penyakit Tb Paru dapat
disembuhkan jika pasien mampu
memenuhi peraturan pengobatan
penyakit Tb Paru. Sebanyak 95%
responden menjawab setuju bahwa pasien
Tb paru dapat disembuhkan, 5%
responden menjawab tidak setuju.
Gambar 5. pasien Tb paru dapat disembuhkan
4. Rujukan untuk melakukan
pemeriksaan medis.
Rujukan untuk melakukan
pemeriksaan, merupakan salah satu
langkah awal untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut dan penanganan
kasus sedini mungkin. Sebanyak 95%
responden menjawab setuju bila
seseorang yang menderita batuk selama
lebih dari tiga minggu berturut – turut
perlu dirujuk untuk melakukan
pemeriksaan medis, dan hanya 5%
responden menjawab tidak setuju.
Gambar 6. Rujukan untuk pemeriksaan
Upaya Keluarga dan Masyarakat dalam
Pencegahan Tb Paru
Berikut ini adalah upaya keluarga
dan masyarkat tentang pencegahan
penularan TB Paru. Beberapa upaya yang
dilakukan adalah edukasi kepada pasien Tb
Paru untuk tidak membuang dahak
sembarangan serta cara batuk yang baik
dan benar.
1. Tidak Membuang Dahak Sembarangan
Walaupun bakteri Mycobacterium
Tuberculosis memang akan mati dalam
beberapa detik saat terpapar udara, namun
membuang dahak sembarangan terutama di
depan publik, tentu memiliki resiko
penularan. Berdasarkan Gambar 7, Semua
responden atau 100 % responden
menjawab setuju bahwa pasien Tb paru
tidak diperbolehkan membuang dahak
sembarangan.
Gambar 7. Pasien Tb Paru tidak diperbolehkan
membuang dahak sembarangan.
2. Menutup mulut dengan tisu / sarung
tangan saat batuk
Menutup mulut saat batuk
merupakan metode penegahan penularan
yang selalu diinformasikan oleh petugas
kesehatan kepada pasien Tb Paru.
Berdasarkan Gambar 8, semua atau 100%
responden keluarga dan masyarakat
menjawab setuju bahwa penderita Tb Paru
perlu menutup mulut dengan tisu / sarung
tangan saat batuk.
Gambar 8. Pasien Tb Paru harus menutup mulut
dengan tisu / sarung tangan saat batuk
3. Penggunaan masker saat Pasien
berinteraksi
Penggunaan masker dinilai sebagai
barrier yang efektif untuk mencegah
penularan. Hasil penelitian pada Gambar 9
menunjukan bahwa 70% responden
95
5
Setuju Tidak setuju
95
5
Setuju Tidak setuju
100
-
Setuju Tidak setuju
100
-
Setuju Tidak setuju
Nugroho, Fretes & Puspitasari
11
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
menjawab setuju bahwa pasien Tb Paru
perlu menggunakan masker saat
berinteraksi (berkomunikasi) dengan orang
lain, 30% responden menjawab tidak
setuju.
Gambar 9. Penggunaan masker saat berinteraksi
4. Pemisahan alat makan dengan orang
lain yang sehat
Pemisahan alat makan dengan
orang lain dianggap sebagai cara lain yang
dilakukan oleh keluarga ataupun
masyarakat untuk mencegah penularan.
Sebanyak 80% responden menjawab setuju
bahwa pasien Tb Paru perlu memiliki alat
makan tersendiri, 20% responden
menjawab tidak setuju.
Gambar 10. Pemisahan alat makan
5. Isolasi lingkungan selama proses
perawatan dan pemulihan di rumah.
Isolasi merupakan pembatasan
terhadap ruang gerak pasien Tb Paru pasca
hospitalisasi. Sebanyak 55% responden
menjawab setuju bahwa pasien Tb Paru
perlu diisolasi di ruangan terpisah saat
melakukan perawatan dan pemulihan di
rumah, 45% responden menjawab tidak
setuju.
Gambar 11. Isolasi lingkungan selama proses
perawatan dan pemulihan.
6. Pembatasan interaksi sosial antara anak
– anak dan Pasien Tb Paru
Anak – anak terutama balita,
memiliki tingkat kerentanan yang tinggi
untuk mengalami penularan. Dari hasil
yang didapatkan 85% responden menjawab
setuju bahwa interaksi antara anak – anak
dengan pasien Tb Paru perlu dibatasi, 15%
responden menjawab tidak setuju.
Gambar 12. Pembatasan interaksi antara anak –
anak dan Pasien Tb Paru
7. Pengaturan Lingkungan
Memodifikasi lingkungan rumah
merupakan suatu cara untuk mencegah
terjadinya penularan Tb Paru. Salah satu
upaya yang dilakukan adalah membuka
jendela rumah dan membiarkan matahari
masuk kedalam rumah dan serta
memberikan ventilasi udara.
Gambar 13. Pengaturan Lingkungan melalui jendela
dan ventilasi udara
Hasil penelitian menunjukan bahwa
95% responden menjawab setuju bahwa
membuka jendela rumah merupakan salah
satu upaya yang dapat dilakukan untuk
mencegah penularan Tb Paru, 5%
responden menjawab tidak setuju.
8. Konsumsi makanan bergizi
Mengkonsumsi makanan bergizi
seperti sayur – sayuran, buah – buahan dan
makanan tinggi protein, sangat penting
bagi kesehatan tubuh, sehingga mampu
untuk menjaga sistem imun dan kekebalan
penyakit. Semua responden menjawab
70
30
Setuju Tidak setuju
80
20
Setuju Tidak setuju
55 45
Setuju Tidak setuju
85
15
Setuju Tidak setuju
95
5
Setuju Tidak setuju
Upaya Pencegahan Tuberkulosis Paru
12
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
setuju bahwa konsumsi makanan bergizi
merupakan salah satu cara untuk menjaga
kesehatan tubuh dan mencegah penularan
penyakit Tb Paru.
Gambar 14. Konsumsi makanan bergizi
9. Imunisasi BCG (Bacillus Calmette
Guerin)
Memberikan Imunisasi BCG
(Bacillus Calmette Guerin) wajib diberikan
karena dapat meningkatkan kekebalan
tubuh dari penyakit dan diberikan kepada
bayi yang baru lahir hingga berusia dua
bulan. Orang dewasa juga diperbolehkan
menerima vaksin BCG jika belum
diberikan semasa anak-anak. Semua
responden menjawab setuju bahwa
imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerin)
merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kekebalan
tubuh dari penyakit, salah satunya Tb Paru.
Gambar 15. Imunisasi BCG (Bacillus Calmette
Guerin)
Respon Keluarga Dan Masyarakat
Terhadap Penderita Tb Paru
Dari hasil kuesioner yang diberikan
peran dan respon keluarga akan
menentukan cara keluarga ataupun
masyarakat untuk mencegah terjadinya
penularan Tb Paru terhadap anggota
keluarga dan masyarakat terdekat. Respon
pasien saat berhadapan dengan pasien Tb
Paru ditunjukan pada Gambar 16.
Sebagian atau 50% responden menjawab
memiliki rasa takut / khawatir terhadap
penularan penyakit saat berhadapan
ataupun berkomunikasi dengan pasien Tb
Paru, sedangkan 50% responden
menjawab tidak takut ataupun kuatir.
Gambar 16. Perasaan takut dan kuatir
Kesimpulan Tingkat Pengetahuan
keluarga terhadap pencegahan Tb Paru
Berikut ini adalah kesimpulan
untuk upaya keluarga dan masyarakat
tentang pencegahan penularan TB Paru.
Beberapa upaya yang dilakukan adalah
Gambar 17. Tingkat pengetahuan responden
keluarga / masyarakat terhadap upaya pencegahan
penularan TB Paru
Berdasarkan data di atas, tingkat
pengetahuan responden berada dalam
kategori “baik” sebanyak 95% responden
sedangkan hanya 5% responden yang
memiliki tingkat pengetahuan “cukup”.
Pengetahuan tentang Tb Paru yang baik
didasarkan pada pemahaman mengenai
penyakit tersebut yaitu, bagaimana cara
pasien dalam mencegah penularan Tb
Paru, konsumsi makanan bergizi, serta
pemberian Imunisasi BCG (Bacillus
Calmette Guerin). Responden dengan
kategori “cukup” memiliki pengetahuan
tentang Tb Paru yang terbatas misalnya
penyakit Tb tidak dapat menular juga tidak
dapat disembuhkan dan tidak perlu
menutup mulut saat penderita berinteraksi
dengan orang lain.
100
-
Setuju Tidak setuju
100
-
Setuju Tidak setuju
50 50
Setuju Tidak setuju
18
2Baik
Cukup
Nugroho, Fretes & Puspitasari
13
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
PEMBAHASAN
Pengetahuan Keluarga dan Masyarakat
Tentang Penyakit Tb Paru
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukan bahwa tidak semua
masyarakat paham mengenai cara
penularan Tb Paru. Sebanyak 70%
responden menyatakan bahwa Tb Paru
menular dan hanya 30% yang menyatakan
bahwa penyakit ini tidak menular.
Pemahaman terhadap penularan dapat
membantu responden untuk melakukan
berbagai upaya pencegahan terhadap
penularan penyakit ini. Sebaliknya,
beberapa pasien Tb Paru juga menyatakan
bahwa responden tidak membatasi
interaksi dengan para pasien selama proses
pengobatan. Menurut Suharyo[11], saat
pasien Tb Paru berbicara ataupun batuk
saat berhadapan dengan orang lain, bakteri
dapat ditularkan dengan cepat. Namun,
kebanyakan masyarakat memiliki
pengetahuan yang kurang tentang
informasi mengenai penyakit Tb Paru serta
penularannya, sehingga mereka
menganggap penyakit Tb Paru merupakan
penyakit yang tidak menular[12].
Pengetahuan responden mengenai
penyakit juga didasarkan pada pemahaman
mereka mengenai gejala penyakit. Hampir
seluruh responden 95% responden paham
dengan gejala penyakit Tb Paru.
Pemahaman yang baik akan meningkatkan
sensitifitas masyarakat untuk melakukan
deteksi awal dan rujukan sedini mungkin
untuk mengatasi penyebaran bakteri.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa masih
ada sebagian kecil responden yang tidak
setuju untuk melakukan pemeriksaan
ataupun rujukan saat muncul gejala. Padahal, beberapa pasien Tb Paru
menyatakan bahwa gejala awal yang
timbul bukan hanya batuk berdahak namun
hingga berdarah.
Pada saat muncul gejala Tb Paru,
langkah awal yang harus dilakukan oleh
keluarga dan masyarakat adalah melakukan
rujukan ke pusat pelayanan kesehatan
terdekat. Pemeriksaan awal Tb Paru adalah
dengan tes sputum dan dilanjutkan dengan
pemeriksaan rontgen thorax. Kurangnya
inisiatif keluarga ataupun masyarakat
untuk mengambil keputusan awal untuk
pemeriksaan disebabkan ada keluarga yang
merasa malu dan takut dengan kenyataan
bahwa ada anggota keluarga mereka yang
mengalami penyakit Tb Paru. Selain itu,
persepsi sebagian keluarga serta
masyarakat yang tidak peka terhadap gejala
penyakit Tb Paru disebabkan kurangnya
kepedulian dari keluarga dan masyarakat
terhadap risiko penularan yang dapat
ditimbulkan oleh penyakit tersebut.[13]
Sikap isolasi sosial terhadap pasien
dengan Tb juga dipengaruhi oleh
pengetahuan responden terhadap penyakit.
Sebanyak 95% punya pengetahuan yang
baik tentang penyakit Tb Paru. Oleh karena
itu, hanya 10% responden bersetuju untuk
menjauhi pasien dengan Tb Paru karena
berisiko menularkan penyakit. Penularan
yang cepat, namun proses penyembuhan
yang lama hingga risiko relaps
menyebabkan banyak orang dengan minim
informasi lantas mengambil sikap untuk
menjauhi pasien dengan Tb Paru. Sebanyak
90% responden yang tidak setuju untuk
menjauhi pasien berpendapat bahwa sikap
menjauhi dapat menimbulkan perasaan
tersingkir dari lingkungan sosial.
Responden Tb Paru juga membutuhkan
dukungan sosial untuk meningkatkan rasa
percaya diri dan perasaan aman selama
menjalani pengobatan.
Dukungan sosial, dapat
meningkatkan kepercayaan diri pasien
untuk patuh dalam pengobatan dengan
jangka waktu yang lama. Menurut
Nitari[14], penelitian ini menunjukan bahwa
pasien dengan kasus kronis memiliki risiko mengalami depresi apabila tidak
mendapatkan motivasi dari keluarga. Pada
pasien Tb Paru, risiko ini dapat
menyebabkan pasien tidak mau minum
obat, sehingga terjadi relaps penyakit Tb
Paru di kemudian hari. Kejadian tersebut
dapat menyebabkan pasien mengalami
resistensi terhadap obat anti Tuberkulosis
Upaya Pencegahan Tuberkulosis Paru
14
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
(OAT) dengan tipe obat tertentu atau
dikenal dengan penyakit TB-MDR
(Tuberculosis multidrugs resistant). Oleh
karena itu, penting bagi pasien untuk
mengonsumsi obat secara teratur sebagai
bagian utama dalam proses kesembuhan.
Proses kesembuhan penyakit
merupakan aspek lain yang berkaitan
dengan pengetahuan responden. Sebanyak
95% responden menjawab setuju bahwa
penderita Tb Paru dapat disembuhkan.
Pengetahuan yang dimiliki oleh keluarga
dan masyarakat terkait penyembuhan
penyakit Tb paru adalah bahwa
penderitanya dapat disembuhkan dengan
minum obat secara teratur sesuai dengan
indikasi yang diberikan oleh dokter kepada
pasien Tb Paru.
Menurut I Dewa Ayu[15],
menyimpulkan bahwa prinsip pengobatan
Tb Paru diberikan melalui dua tahapan,
yaitu fase intensif (tahapan awal) dan fase
lanjutan. Pada fase intensif (tahapan awal)
penderita mendapatkan obat selama dua
bulan dan diminum setiap hari dan diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya
resisten obat. Fase lanjutan pasien Tb Paru
mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lama. Fase ini
sangat penting untuk membunuh kuman
persister sehingga dapat mencegah
terjadinya kekambuhan pada pasein Tb
Paru. Hal ini didukung pernyataan verbal
dari lima orang pasien post Tb Paru yang
menyatakan bahwa prinsip pengobatan
penyakit Tb Paru yang benar dan tepat
yaitu minum obat secara teratur dan rutin
selama enam bulan. Namun, Sebanyak 5%
responden menyatakan bahwa penderita Tb
paru tidak dapat disembuhkan. Hal tersebut
dipengaruhi oleh masa pengobatan yang
sangat lama, sehingga pasien seringkali putus obat hingga terjadi kasus resitensi
obat (TB-MDR) yang diberikan selama
enam bulan. Dampak dari putus obat
adalah pasien harus melakukan
pemeriksaan ulang dan mendapatkan
pengobatan yang lebih spesifik karena
bakteri Tb yang resisten pada golongan dan
dosis antibiotik tertentu. Pasien TB-MDR
menularkan bakteri yang resisten pada
antibiotik golongan tertentu dengan masa
inkubasi yang lebih cepat.
Upaya Pencegahan Tb Paru oleh Keluarga
dan Masyarakat
Upaya pencegahan Tb Paru oleh
responden terbagi atas beberapa aspek
yakni:
1. Pencegahan Penularan dengan cara
membuang dahak yang benar dan
menutup mulut saat batuk
Sebanyak 100% responden
menjawab setuju bahwa pasien Tb
Paru tidak diperbolehkan membuang
dahak sembarangan. Informasi
mengenai hal tersebut diperoleh
responden dari dokter maupun perawat
yang menyampaikan informasi
mengenai cara pembuangan dahak
yang benar. Sependapat dengan
Suharyo[11], dalam penelitiannya
tentang sumber penularan penyakit Tb
Paru adalah penderita tuberkulosis
BTA positif. Penderita menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Hal yang menjadi
kebiasan buruk pasien Tb Paru yaitu
membuang dahak sembarangan.
Meskipun terdapat sebanyak 30%
responden yang menyatakan Tb Paru
tidak menular, namun upaya yang
dilakukan dengan membuang dahak di
kamar mandi (kloset) atau tidak
dibuang secara sembarangan
merupakan upaya yang dapat
dilakukan dalam mencegah rantai
penularan Tb Paru. Sebanyak 70%
responden menjawab setuju bahwa
pasien Tb Paru perlu menggunakan
masker saat berinteraksi
(berkomunikasi) dengan orang lain, pendapat keluarga dan masyarakat
selalu waspada saat berinteraksi
dengan pasien Tb Paru.
Hasil wawancara tidak
terstruktur dengan pasien post Tb Paru
juga menyatakan bahwa Tb Paru
merupakan penyakit yang menular
dengan cara jika penderita membuang
Nugroho, Fretes & Puspitasari
15
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
dahak sembarangan, tempat makan
dan minum yang sama dengan pasien
Tb Paru, dan bila tidak menutup mulut
saat batuk. Pasien Tb Paru menyatakan
bahwa edukasi kesehatan bahkan
dilakukan oleh petugas Balai
Pengobatan Paru – Paru (BP4) melalui
kunjungan rumah dan edukasi saat
awal pengobatan di puskemas.
Informasi yang diterima adalah
kepatuhan minum obat dan pelayanan
Komunikasi Infromasi Edukasi (KIE)
tentang upaya pencegahan Tb Paru.
Pernyataan keluarga dan
masyarakat bahwa responden
menjawab setuju bahwa pasien Tb
Paru perlu menutup mulut dengan tisu
/ sarung tangan saat batuk. Upaya
tersebut dapat mengurangi proses
penularan melalui udara. Terkait hal
tersebut, menurut Kementerian
Indonesia,[16] pencegahan penyakit Tb
Paru dapat dilakukan dengan cara
penerapan etika batuk dengan cara
menutup mulut / hidung dengan tisu,
jika tidak memiliki tisu maka mulut
dan hidung ditutup dengan tangan atau
pangkal lengan. Sesudah batuk, tangan
dibersikan dan tisu dibuang pada
tempat sampah yang dikhususkan
untuk pasien Tb Paru.
2. Konsumsi makanan bergizi
Seluruh responden 100%,
menyatakan bahwa konsumsi
makanan bergizi merupakan salah satu
cara untuk menjaga kesehatan tubuh
dan mencegah penularan penyakit Tb
Paru. Para responden berpendapat
bahwa dengan menjaga pola hidup
sehat dengan makan – makanan
bergizi hal ini mampu meningkatkan sistem imun, sehingga sangat minim
untuk terjadi penularan terhadap
anggota keluarga dengan pasien TB
paru. Hal ini didukung oleh hasil
wawancara tidak terstruktur dengan
lima pasien post Tb Paru yang
mengatakan bahwa peningkatan
imunitas tubuh sangat penting untuk
mencegah penularan. Kekebalan tubuh
yang baik adalah kunci dalam
mencegah Tb Paru dengan cara
mengonsumsi banyak makanan yang
mengandung antioksidan serta dengan
mengkonsumsi makanan yang bergizi
dan tinggi protein seperti ikan,
sayuran, dan buah.
3. Penggunaan Alat makan yang terpisah
Sebanyak 80% responden
menjawab setuju bahwa pasien Tb
Paru perlu memiliki alat makan
tersendiri. Kebiasaan memiliki alat
makan sendiri, akan mengurangi risiko
penularan tehadap keluarga yang
tinggal bersama pasien Tb Paru.
Pernyataan ini didukung oleh hasil
wawancara empat pasien post Tb Paru
menyatakan bahwa tidak
menggunakan alat makan seperti gelas
dan piring secara bergantian dengan
anggota keluarga dalam rumah.
Menurut Mujahidin,[17] mencuci
peralatan makan dan minum yang
telah pasien Tb Paru dengan sabun
cuci saja tidak cukup untuk membunuh
bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Upaya lain yang dapat dilakukan
adalah dengan merebus peralatan
makan. Sebanyak 20% responden
tidak setuju untuk memisahkan
peralatan makan pasien dengan
keluarga karena menganggap bahwa
proses penularan tidak terjadi melalui
penggunaan alat makan secara
bergantian, melainkan apabila
keluarga terkena percikan dahak saat
pasien Tb Paru batuk.
4. Isolasi ruangan terpisah antara
keluarga dan penderita Tb paru Sebanyak 55% responden
menjawab setuju bahwa penderita Tb
Paru perlu diisolasi di ruangan terpisah
saat melakukan perawatan dan
pemulihan di rumah. Keluarga
berpendapat bahwa dengan cara
dilakukan isolasi di ruangan terpisah
dapat mencegah terjadinya proses
Upaya Pencegahan Tuberkulosis Paru
16
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
penularan dalam masa pemulihan dari
penyakit Tb Paru. Pernyataan ini
sependapat dengan Rahayu[18] yang
menyimpulkan bahwa cara pemisahan
ruangan atau isolasi ruangan untuk
pasien Tb Paru dengan anggota
keluarga dilakukan jika ruangan
tersebut kurang dari 10 m2/ orang.
Apabila lebih dari ukuran tersbeut,
maka ruangan hanya bisa dihuni oleh
dua orang saja dan tidak lebih, selain
itu pelru menjaga jarak saat berada di
dalam satu ruangan dengan pasien.
Akan tetapi, 45% responden
menjawab tidak setuju karena keluarga
berpendapat jika dilakukan isolasi
ruangan, maka pasien Tb Paru akan
merasa tersingkirkan oleh keluarga,
dan keluarga berpendapat bahwa
keuarga akan menerima pasien Tb
Paru jika pasien Tb Paru juga ikut
dalam satu ruangan dengan anggota
keluarga lainnya.
5. Jarak antara Keluarga dan Penderita
Tb paru
Sebanyak 85% responden
menjawab setuju bahwa interaksi
antara anak – anak dengan pasien Tb
Paru perlu dibatasi, keluarga dan
masyarakat terdekat pasien Tb Paru
berpendapat bahwa pasien Tb Paru
perlu dibatasi dalam berinteraksi
dengan anak – anak karena sistem
imun yang dimiliki anak – anak cukup
lemah sehingga sangat rentan untuk
tertular penyakit Tb Paru. Keluarga
harus membiasakan anak untuk selalu
berperilaku hidup bersih dan sehat
dengan cara menjaga kebersihan tubuh
dan mengkonsumsi makanan yaang
bergizi, sehingga daya tahan tubuh anak dapat terjaga dengan baik dan
tidak mudah terpapar penyakit.[19]
Seluruh responden keluarga
dan masyarakat menjawab setuju
bahwa pemberian imunisasi BCG
sebagai upaya pencegahan penyakit Tb
Paru. Pemberian imunisasi sangat
diperlukan untuk memberikan
perlindungan, pencegahan, sekaligus
membangun kekebalan tubuh terhadap
berbagai penyakit menular. Vaksin
BCG ini diutamakan untuk anak –
anak kecil yang diberikan sebelum
usia tiga bulan (0 – 3 bulan) dan
optimalnya usia dua bulan. Sebanyak
15 % responden menjawab tidak setuju
karena pihak keluarga tidak mau
membatasi anak – anak untuk
berinteraksi dengan pasien Tb Paru,
karena keluarga berpendapat bahwa
penderita Tb paru juga membutuhkan
interaksi pada anak – anak, sehingga
tidak ada batasan dalam berinteraksi.
6. Modifikasi lingkungan rumah
Sebanyak 95% responden
menjawab setuju bahwa membuka
jendela rumah merupakan salah satu
upaya yang dilakukan oleh keluarga
untuk mencegah terjadinya penularan
dengan cara memodifikasi rumah.
Ketika anggota keluarga menemani
pasien Tb Paru berobat di layanan
kesehatan, keluarga mengaku bahwa
dengan membuka jendela dan pintu
rumah pada pagi hari bersamaan
dengan masuknya sinar matahari pagi
dapat membunuh bakteri Tb yang
berada di dalam rumah. Informasi
tersebut disampaikan oleh dokter saat
berobat ke Puskesmas. Kondisi
lembab akibat kurangnya pencahayaan
sinar matahari dan kurang optimalnya
pergantian udara di dalam lingkungan
rumah menunjukkan bahwa keadaan
rumah tersebut belum memenuhi
syarat, sehingga berisiko terjadinya
proses penularan Tb Paru. Upaya-
upaya tersebut dapat membantu
mengurangi perkembangbiakan bakteri Tb di dalam rumah.[11]
Sebanyak 5 % responden menjawab
tidak setuju karena dengan berjemur di
bawah sinar matahari pagi dianggap
sudah cukup bagi pasien Tb Paru
dalam proses pemulihannya tanpa
perlu membuka jendela dan pintu di
pagi hari.
Nugroho, Fretes & Puspitasari
17
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
Respon Keluarga Dan Masyarakat
Terhadap Penderita Tb Paru
Sebagian responden (50%)
menyatakan setuju bahwa keluarga dan
masyarakat terdekat pasien memiliki rasa
takut atau kekhawatiran akan tertular saat
berhadapan dengan pasien Tb Paru.
Penelitian ini serupa dengan penelitian
Yosephina yang menyatakan bahwa
perasaan yang dialami oleh keluarga dan
masyarakat adalah adanya perasaan takut
atau khawatir karena takut tertular saat
melakukan tindakan pencegahan Tb Paru
dan perasaan malu saat melakukan
pencegahan penularan Tb Paru.[12] Namun,
sebanyak 50% responden menjawab tidak
setuju karena keluarga dan masyarakat
berpendapat bahwa berhadapan langsung
dengan pasien Tb paru tidak akan langsung
tertular.
Terkait peran keluarga / masyarakat
untuk pencegahan Tb paru, seluruh
responden menyatakan setuju bahwa
keluarga / masyarakat memiliki peran /
andil untuk mencegah penularan Tb Paru.
Kesadaran serta kepedulian keluarga dan
masyarakat tentang penularan dan
pencegahan Tb Paru perlu ditingkatkan
karena pasien Tb Paru berada disekitar
anggota keluarga. Nur Lailatul M yang
menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa
keluarga merupakan salah satu cara yang
dapat mencegah terjadinya penularan
penyakit Tb Paru agar tidak terjadi
penularan ke anggota keluarga lainnya /
masyarakat terdekat, karena keluarga
mampu memberikan perhatian lebih
kepada pasien Tb Paru dalam hal
pengobatan maupun pencegahan.[9]
Terkait pencegahan Tb Paru yang
dilakukan oleh keluarga dan masyarakat, seluruh responden menjawab setuju bahwa
keluarga / masyarakat perlu mengingatkan
pasien Tb Paru harus menutup mulut saat
batuk. Kepedulian yang dimiliki keluarga
dan masyarakat kepada pasien Tb Paru
merupakan hal yang sangat penting karena
dengan cara mengingatkan pasien Tb Paru
dapat mengurangi rIsiko penularan Tb Paru
pada anggota keluarga atau masyarakat
terdekat.
SIMPULAN
Pengetahuan tentang pencegahan
penularan penyakit Tb Paru yang dimiliki
keluarga dan masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Sidorejo Lor kota Salatiga
dapat dikategorikan baik dalam upaya
pencegahan Tb Paru. Peran keluarga dan
masyarakat dalam usaha pencegahan
penularan penyakit Tb Paru terhadap
pasien Tb Paru dengan cara mengingatkan
pasien Tb Paru untuk minum obat secara
teratur, menjaga pola hidup sehat, serta
cara pencegahan penularan Tb Paru. Jadi,
peran keluarga sangat berpengaruh bagi
pasien Tb Paru dalam fase pengobatan
maupun fase kesembuhan dengan cara
pencegahan Tb paru agar mencegah
kekambuhan penyakit Tb Paru.
SARAN
Perlu ditingkatkan lagi kerjasama
antara pasien Tb Paru yang pernah sakit,
keluarga serta masyarakat terdekat pasien
Tb Paru dengan tenaga kesehatan melalui
pendekatan, motivasi serta peningkatan
pengetahuan dan motivasi dari tenaga
layanan kesehatan maupun masyarakat
terhadap tindakan upaya pencegahan
penularan penyakit Tb Paru di Puskesmas
Sidorejo Lor, kota Salatiga.
DAFTAR RUJUKAN
1. Darliana D, Keilmuan B, Medikal K.
Manajemen Pasien Tuberculosis Paru.
2011;II:27–31.
2. Izzati S, Basyar M, Nazar J. Faktor
Risiko yang Berhubungan dengan
Kejadian Tuberkulosis Paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Andalas
Tahun 2013. 2015;4(1):262–8.
Upaya Pencegahan Tuberkulosis Paru
18
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
3. Kementrian Kesehatan Republik
Indoneisa. Profil Kesehatan Indoneisa.
2015.
4. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia.
2016.
5. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah. Profil Kesehatan Jawa
Tengah. Vol. 3511351. Semarang;
2016. 16–18 p.
6. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah. Profil Kesehatan Jawa
Tengah. 2018.
7. Dinas Kesehatan. Profil Kesehatan
Kota Salatiga. 2015. 15 p.
8. Enok Nurliawati D. IBM Pencegahan
Penularan Tuberkulosis. 2016;2:65–
71.
9. Nur Lailatul M, Rohmah S AY. Upaya
keluarga untuk mencegah penularan
dalam perawatan anggota keluarga
dengan tb paru. 2015;108–16.
10. Rahman, dkk F. Pengetahuan Dan
Sikap Masyarakat Tentang Upaya
Pencegahan Tuberkulosis.
2017;13(2):183–9.
11. Suharyo. 2834-6205-1-Sm. Determ
Penyakit Tuberkulosis Di Drh
Pedesaan. 2013;9(5):85–91.
12. Yosephina E. Pencegahan Penularan
Tb Di Kelurahan Kabupaten Sumba
Timur. 2016;
13. Rizana N, Tahlil T. Pengetahuan ,
Sikap Dan Perilaku Keluarga Dalam
Pencegahan Penularan Tuberkulosis
Paru. J Ilmu Keperawatan.
2016;4(2):57–69.
14. Nitari R, Irvan M, Ifdelia S. Hubungan
Tingkat Kepatuhan Penderita
Tuberkulosis Paru dengan Perilaku
Kesehatan, Efek Samping OAT dan
Peran PMO pada Pengobatan Fase Intensif di Puskesmas Seberang
Padang September 2012 - Januari
2013. J Kesehat Andalas.
2017;6(2):345–50.
15. Ayu I dewa. Resiko Fase Pengobatan
Tb dan Pengetahuan tentang MDR Tb
dengan Kepatuhan Pengobatan
PPasien Tb. 2015;(January 2017):338–
48.
16. Kementerian Kesehatan. Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Tuberkulosis Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan. 2012. 1–62 p.
17. Mujahidin D, N HA, Ernawati.
Gambaran Praktik Pencegahan
Penularan TB Paru di Keluarga di
Wilayah Kerja Puskesmas
Kedungwuni I Kabupaten Pekalongan.
Keperawatan Fikkes UNIMUS,
Semarang. 2013;1–10.
18. Rahayu S, Sodik MA. Pengaruh
Lingkungan Fisik Terhadap Kejadian
Tb Paru. 2014;
19. Noviyani E. Upaya Pencegahan
Penularan TB dari Dewasa terhadap
Anak. J Keperawatan Padjadjaran.
2017;v3(n2):97–103.
BHJ 4(1) Mei 2020
BALI HEALTH JOURNAL ISSN 2599-1280 (Online); ISSN 2599-2449 (Print)
http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ
PENINGKATKAN KESEIMBANGAN DINAMIS PADA ANAK DOWN
SYNDROME MELALUI PEMBERIAN
DYNAMIC NEUROMUSCULAR STABILIZATION (DNS)
Ni Luh Putu Gita Karunia Saraswati1, Merinda Ulfa2
1Program Studi Sarjana Fisioterapi dan Profesi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana 2Program Studi Fisioterapi, STIKES Telogorejo Semarang
ABSTRAK
Latar belakang: Anak down syndrome mengalami berbagai problematika fisik motorik secara konginetal terkait dengan
keadaan tubuhnya seperti hipotonus, hypermobile sendi, dan keterlambatan neurodevelopmental. Problematika ini jika kurang diperhatikan dengan stimulasi yang tepat, maka akan menimbulkan problematika perkembangan fisik motorik seperti
gangguan keseimbangan dinamis dimana anak down syndrome kesulitan dalam mempertahankan postur tubuh saat
melakukan berbagai aktifitas fungsional. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak latihan dynamic
neuromuscular stabilization terhadap peningkatkan keseimbangan dinamis pada anak down syndrome usia 7-15 tahun. Metode: Metode penelitian ini adalah eksperimental dengan rancangan one group pre-test dan post-test design. Latihan
dilakukan 3 kali seminggu selama 6 minggu. Sample penelitian berjumlah 12 orang. Alat ukur keseimbangan dinamis dengan
sixteen balance test. Analisis data diperoleh dengan analisis deskriptif dan uji normalitas dengan shapiro wilk test, kelompok
perlakuan sebelum dan sesudah perlakuan diuji dengan paired sample t-test. Hasil: Hasil analisis menunjukkan bahwa latihan dynamic neuromuscular stabilization meningkatkan keseimbangan dinamis sebesar 33,33% dari rerata sebelum
48,5±5,428 menjadi 72,75±4,413 (p<0,05). Simpulan: Simpulan penelitian adalah dynamic neuromuscular stabilization
dapat meningkatkan keseimbangan dinamis pada anak down syndrome usia 7-15 tahun.
Kata kunci: Dynamic neuromuscular stabilization, keseimbangan dinamis, down syndrome.
ABSTRACT
Background: Children with Down syndrome experience various physical motor problems related to conditions such as hypotonus, joint hypermobile, and neurodevelopmental delays. This problem if not considering proper stimulation, it will
cause motor physical development problems such as dynamic balance disorders while children with Down Syndrome have
difficulty maintaining posture when performing various functional activities. Purpose: This study aims to look at the effects
of dynamic neuromuscular stabilization exercises on improving dynamic balance in children with Down syndrome aged 7-15 years. Method: This research method is experimental with one group pre-test and post-test design. The exercise is done 3
times a week for 6 weeks. The research sample consisted of 12 people. Dynamic balance measuring instrument with a
sixteen balance test. Data analysis was obtained by descriptive analysis and normality test with Shapiro Wilk test, treatment
groups before and after treatment were tested with paired sample t-test. Result: The analysis showed that dynamic
neuromuscular stabilization exercises improved dynamic balance by 33.33% from the mean before 48.5 ± 5.428 to 72.75 ±
4.413 (p <0.05). Conclusion: The analysis showed that dynamic neuromuscular stabilization exercises improved dynamic
balance by 33.33% from the mean before 48.5 ± 5.428 to 72.75 ± 4.413 (p <0.05)
Keyword: Dynamic neuromuscular stabilization(DNS), dinamic balance, down syndrome.
Korespondensi: Ni Luh Putu Gita Karunia Saraswati
Email: [email protected]
Riwayat Artikel:
Diterima 25 September 2019 Disetujui 4 Februari 2020
Dipublikasikan 20 Mei 2020
Saraswati & Ulfa
20
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
PENDAHULUAN
Proses tumbuh kembang
merupakan fase yang pasti dilalui oleh
setiap anak, proses tumbuh kembang
dimulai sejak dari dalam kandungan,
bayi, dan balita. Setiap tahapan proses
tumbuh kembang anak mempunyai ciri
khas tersendiri disetiap fasenya, sehingga
jika terjadi masalah pada salah satu
tahapan tumbuh kembang tersebut, maka
akan berdampak pada tahapan
pertumbuhan dan perkembangan
selanjutnya. Tidak semua anak
mengalami proses tumbuh kembang
secara normal, pada beberapa kondisi
misalnya anak berkebutuhan khusus
proses tumbuh kembang anak mengalami
gangguan sehingga diperlukan
penanganan secara khusus. Problematika
kesehatan pada anak berkebutuhan
khusus ada yang dibawa sejak lahir atau
kongenital contohnya pada kasus down
syndrome.
Anak down syndrome mengalami
berbagai problematika fisik motorik
secara konginetal terkait dengan keadaan
tubuhnya seperti hipotonus, hypermobile
sendi, dan keterlambatan
neurodevelopmental. Problematika ini
jika kurang diperhatikan dengan stimulasi
yang tepat, maka akan menimbulkan
permasalahan perkembangan motorik
selanjutnya misalnya keseimbangan
tubuh. Down syndrome merupakan
bentuk genetik dan gangguan
perkembangan intelektual yang paling
sering diidentifikasi dengan kelainan
kromosom 21. Kromosom tersebut
terbentuk akibat kegagalan sepasang
kromosom ketika saling memisahkan diri
pada saat terjadi pembelahan. Sebagian
besar anak dengan down syndrome telah
mengalami penurunan kekuatan dan
tonus otot (hypotone), mobilitas sendi
berlebihan atau hypermobile pada
persendian dan kekurangan
neurodevelopmental, motorik, dan
kognitif. Permasalahan yang terjadi pada
anak down syndrome salah satunya
gangguan keseimbangan yang
menghambat perkembangan kognitif,
persepsi gerakan dan proprioseptif.
Dalam hal ini sangat membatasi dan
mempengaruhi kualitas hidup down
syndrome yang menyebabkan
terhambatnya banyak aktivitas hidup
sehari-hari, memberikan keterbatasan
dalam melakukan pekerjaan fisik dan
peningkatan ketergantungan pada orang
lain.[1]
Prevalensi angka kejadian down
syndrome di seluruh dunia diperkirakan
mencapai 8 juta jiwa dengan frekuensi
tinggi terjadi pada anak down syndrome
yang lahir dari ibu usia tua.[2]
Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan
Dasar (RIKESDAS) tahun 2013
menyatakan bahwa penderita down
syndrome di Indonesia mengalami
peningkatan sebanyak 1%, dari semula
berjumlah 0,12% pada tahun 2010
menjadi 0,13% pada tahun 2013.
Sedangkan di Amerika berdasarkan data
dari pusat pencegahan dan kontrol
penyakit menaksir 1 dari 700 kelahiran
hidup di Amerika menderita down
syndrome.[3]
Pada penelitian Miftah[4]
mengatakan bahwa 73% dari anak-anak
down syndrome baru mampu berdiri pada
usia 24 bulan, dan 40% bisa berjalan
pada usia 24 bulan. Pada penelitian
Ulrich et al.[5] mengemukakan bayi
dengan down syndrome mulai berdiri
rata-rata sekitar 1 tahun dibandingkan
bayi yang normal. Permasalahan yang
terjadi pada anak down syndrome salah
satunya gangguan keseimbangan yang
menghambat perkembangan kognitif,
persepsi gerakan dan propioseptif. Pada
anak yang berusia 7-15 tahun cenderung
memiliki proses tingkat kematangan
dalam kemampuan motorik yang
melibatkan keseimbangan, koordinasi
dan kelincahan yang baik. Oleh karena
itu, keseimbangan dinamis sangat
dibutuhkan pada usia 7-15 tahun untuk
menunjang kematangan pada otak
melalui proses perkembangan aktivitas
Peningkatan Keseimbangan Dinamis
21
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
gerak dalam mempertahankan gerakan
yang dinamis.[6]
Keseimbangan diperlukan
manusia untuk melakukan tindakan yang
dibutuhkan pada saat bergerak.
Berdasarkan penelitian terdahulu hampir
semua anak down syndrome yang
mengalami gangguan keseimbangan
dikarenakan kelainan konginetal yang
mereka miliki. Keseimbangan yang tidak
baik yang terjadi pada awal
perkembangan akan mengakibatkan
keterlambatan dalam perkembangan
kemampuan motorik. Permasalahan
perkembangan motorik selanjutnya akan
timbul jika dibiarkan.[6]
Peran fisioterapi sedini mungkin
dan fokus pada keseimbangan, kontrol
gerakan dan koordinasi untuk mencapai
tahap perkembangan. Untuk
memaksimalkan gerak yang ada guna
meningkatkan kualitas hidup dan
mengurangi permasalahan yang terjadi
pada down syndrome dengan tingkat
stabilisasi yang baik maka pemberian
penanganan fisioterapis bisa dilakukan
dalam bentuk latihan dynamic
neuromuscular stabilization (DNS). DNS
bertujuan untuk mengaktifkan integrated
spinal stabilizing system dan
mengembalikan regulasi intraabdominal
pressure (IAP) yang ideal untuk
mengoptimalkan efisiensi gerakan dan
untuk mencegah beban sendi yang
berlebihan. Latihan yang digunakan
adalah posisi perkembangan bayi usia 3-
12 bulan pada tingkatan kontrol motorik
subkortikal pada central nervous system,
di mana pada tingkat ini terjadi proses
kematangan stabilitas postural.[7]
Latihan DNS yang digunakan
adalah posisi perkembangan bayi usia 3-
12 bulan pada tingkatan kontrol motorik
subkortikal pada central nervous system,
dimana pada tingkat ini terjadi proses
kematangan stabilitas postural.[8] Pada
penelitian terdahulu, pemberian latiha
stabilitas postural dengan core
stabilitization training selama 6 minggu
dapat meningkatkan keseimbangan
dinamis pada siswa dengan retardasi
mental.[9]
METODE
Rancangan penelitian yang
dilakukan pada penelitian ini adalah
penelitian eksperimental dengan
rancangan penelitian pre dan post test
control group design, dengan terdapat 1
kelompok perlakuan, yaitu kelompok
perlakuan dengan dynamic
neuromuscular stabilization (DNS).
Keseimbangan dinamis pada penelitian
ini diukur dengan sixteen balance test.
Penelitian dilaksanakan di
Yayasan Pradnyagama Denpasar.
Pelaksanaan waktu penelitian di bulan
Januari-Februari 2018. Intervensi
diberikan tiga kali seminggu selama
enam minggu. Populasi penelitian yaitu
semua anak down syndrome di Yayasan
Pradnyagama Denpasar yang berusia 7-
15 tahun yang telah memenuhi kriteria
inklusi dan ekslusi Jumlah sampel yang
masuk kriteria inklusi sebanyak 12
sampel dengan teknik simple random
sampling.
Sampel pada penelitian dilakukan
dengan menggunakan teknik
pengambilan sampel simple random
sampling. Sampel yang dipilih adalah
sample yang telah memenuhi kriteria
inklusi dan ekslusi. Kriteria inklusi
sampel pada penelitian in adalah anak
down syndrome berusia 7-15 tahun, anak
memiliki IMT normal, mampu mengikuti
instruksi dari peneliti dan orang tua
secara sukarela mengijinkan anaknya
menjadi subjek penelitian dengan
menandatangani informed consent
Alat-alat yang digunakan untuk
pengambilan data dalam penelitian ini
adalah timbangan dengan merk ozon dan
saturmeter untuk memperoleh data
Indeks Massa Tubuh (IMT), Efamatch
ukuran besar, stopwatch,Lembar
pemeriksaan sample, kamera untuk
mendokumentasikan hasil penelitian, dan
Saraswati & Ulfa
22
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
perangkat lunak komputer untuk
menyimpan dan mengolah data.
Tahapan yang dilakukan dalam
menganalisa data yaitu Statistik
Deskriptif Statistik deskriptif untuk
menganalisis umur, jenis kelamin, Uji
normalitas dengan Saphiro Wilk test, Uji
Homogenitas dengan Levene’s test, dan
Uji Hipotesis menggunakan Paired t-test.
Kedua uji ini adalah test parametric
karena data berdistribusi normal.
HASIL
Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah anak
down syndrome yang terbagi menjadi dua
kelompok yang terdiri dari 12 anak pada
masing-masing kelompok. Deskripsi
data berupa karakteristik subjek
penelitian yaitu jenis kelamin, umur dan
nilai IMT.
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik Kategori Frekuensi Presentase
(%)
Jenis
Kelamin
Laki-Laki 3 25% Perempuan 9 75%
Total 12 100%
Umur (Th)
7-10 8 67%
11-15 4 33%
Total 12 100%
IMT (Kg/M2) Normal 12 100%
Total 12 100%
Pada Tabel 1 diatas menunjukkan
bahwa pada Kelompok 1 memiliki
jumlah laki-laki 3 anak (25%) dan
perempuan 9 anak (75%). Distribusi
umur menunjukkan jumlah sampel yang
memiliki rentang usia 7-10 tahun
berjumlah 8 anak (67%) dan rentang usia
11-15 tahun terdiri dari 4 anak (33%).
Populasi penelitian ini adalah anak down
syndrome di Yayasan Pradnyagama
Denpasar yang berusia 7-15 tahun.
Penelitian dilakukan di ruang kelas terapi
pada bulan Januari 2018 sampai bulan
Februari 2018. Hasil penelitian
didapatkan 12 responden yang memenuhi
persyaratan dan bersedia sebagai subjek
penelitian.
Uji Beda Keseimbangan Dinamis
Skor rerata peningkatan
keseimbangan dinamis antara sebelum
perlakuan 19,3±3,49 dan sesudah
perlakuan 32,9±2,90 dan nilai p pada
kedua kelompok adalah 0,001 (p<0,05).
Tabel 2. Hasil Uji Beda Keseimbangan Dinamis
Kelompok
Data
Rerata
Sebelum
Pelatihan
Rerata
Sesudah
Pelatihan
Nilai p
Rerata±SB Nilai P Rerata±SB
DNS 19,3±3,49 0,636 32,9±2,90
PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan pada anak
down syndrome yang memiliki umur 7-
15 tahun, karena usia tersebut pada anak-
anak down syndrome angka kejadian
terjadinya defisit respon postural
mengakibatkan kontrol keseimbangan
yang lambat paling banyak terjadi pada
usia 7-15 tahun. Masalah keseimbangan
ini terjadi bukan karena hipotonia tetapi
dari gangguan dalam mekanisme postural
tingkat yang lebih tinggi. Pada penelitian
lain yang dilakukan pada anak down
syndrome menyatakan bahwa
kemampuan motorik berada pada
kategori sedang, dengan kemampuan
yang diteliti meliputi kelincahan,
koordinasi mata dan tangan,
keseimbangan dan kecepatan.[10]
Pemberian latihan dengan pendekatan
DNS dapat meningkatkan keseimbangan
dinamis pada anak-anak. Latihan ini
bertujuan untuk mengajarkan anak-anak
dalam mengintegrasikan pola pernapasan
dan stabilitas yang optimal pada aktivitas
sehari-hari dan kegiatan olahraga.
Stabilitas yang optimal memungkinkan
antisipasi penyesuain postural untuk
mempertahankan center of gravity (COG
) tetap berada pada base of support
(BOS) selama melakukan tugas dinamis.
Program pelatihan stabilitas inti
mengarahkan untuk sikuensis aktivitas
Peningkatan Keseimbangan Dinamis
23
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
antisipasi penyesuaian postural dan
mengurangi gangguan awal dari COG.
Kontraksi dari core stability muscle
sebelum permulaan gerakan adalah reaksi
postural awal dari sistem neuromuskuler.
Gerakan yang disengaja pada
ektremitas atas didahului oleh terjadinya
gerakan postural di ekstremitas bawah
(pelvic, hip dan trunk) yang berkontribusi
untuk keseluruhan pengaturan dinamis
dari keseimbangan dan menghambat
terjadinya gangguan postural.[9] Aktivasi
yang proporsional pada otot-otot
stabilisator sendi selama melakukan
gerakan sangatlah penting karena aktivasi
yang tidak proporsional dapat
mengakibatkan gangguan dalam tubuh
yang bisa mempengaruhi postur dan
gerakan yang dihasilkan oleh
ektremitas.[7] Jika hal ini terjadi secara
terus menerus, dapat mengakibatkan
gerakan motorik menjadi tidak optimal
dan menetap pada susunan saraf pusat
sehingga respon motorik yang dihasilkan
untuk mempertahankan keseimbangan
dinamis menjadi terganggu. Pada
penelitian Ahmadi et al.[9] bahwa
pemberian latihan stabilitas postural
dengan core stability exercise selama 6
minggu pada pelajar yang mengalami
retardasi mental telah terbukti dapat
meningkatkan keseimbangan dinamis
sebesar 11,88%.
Efek latihan DNS untuk
mengaktifkan Integrated Spinal
Stabilizing System (ISSS) dan
mengembalikan regulasi Intra Abdominal
Pressure (IAP) yang ideal untuk
mengoptimalkan efisiensi gerakan dan
untuk mencegah overloading sendi.
Selain itu teraktivasinya otot core yang
berfungsi sebagai otot stabilisator akan
membuat global muscle menjadi rileks,
dengan demikian didapatkan pula
stabilitas dan posisi yang baik dalam
keadaan netral). Target utama dari
metode DNS ini adalah otak yang mana
harus diberikan stimulasi yang tepat dan
dikondisikan agar dapat secara otomatis
mengaktifkan pola gerak optimal yang
dibutuhkan untuk koaktivasi stabilisator.
Latihan DNS mengacu pada
kemampuan untuk melibatkan pola gerak
yang ideal atau mendekati ideal dari
nervous system yang berdasarkan pada
kode genetik. Tujuan untuk mencapai
koordinasi otot yang optimal dengan
menempatkan anak pada beberapa posisi
perkembangan dengan menyediakan
dukungan pada sendi dan segmen dalam
posisi terpusat. Dengan demikian dapat
meningkatkan fungsi stabilitas dan
respirasi dengan mengajarkan bagaimana
cara mengintegrasikan pola pernapasan
dan stabilitas yang optimal dalam
meningkatkan keseimbangan pada
aktivitas sehari-hari.
SIMPULAN
Problematika fisik yang dibawa
anak down syndrome secara konginetal
mengakibatkan anak down syndrome
mengalami beberapa keterlambatan
tumbuh kembang salah satunya adalah
keseimbangan dinamis tubuh. Gangguan
keseimbangan dinamis harus ditangani
sedini mungkin karena keseimbangan
dinamis sangat diperlukan dalam
melakukan berbagai aktifitas fungsional
sehari-hari. Salah satu pendekatan
intervensi fisioterapi yang dapat
diterapkan adalah dynamic
neuromuscular stabilization (DNS).
Latihan ini bertujuan untuk mengajarkan
anak-anak dalam mengintegrasikan pola
pernapasan dan stabilitas yang optimal
pada aktivitas sehari-hari dan kegiatan
olahraga. Stabilitas yang optimal
memungkinkan antisipasi penyesuain
postural untuk mempertahankan COG
tetap berada pada BOS selama
melakukan tugas dinamis. Dengan
penelitian yang dilakukan sebanyak 3 kali
seminggu selama 6 minggu ini
didapatkan hasil yang dapat
membuktikan bahwa latihan DNS dapat
meningkatkan keseimbangan dinamis
pada anak down syndrome. SARAN
Saraswati & Ulfa
24
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
Dynamic neuromuscular
stabilization (DNS) dapat dijadikan
alternative latihan pada anak-anak down
syndrome karena mudah dilakukan
dengan peralatan yang minim. Tidak
hanya pada anak down syndrome, latihan
DNS juga dapat diterapkan pada
masyarakat umum. Jenis-jenis
getakannya dapat disesuikan dengan
kondisi masing-masing. Selain
pemeriksaan yang telah dilakukan,
sebaiknya peneliti yang akan datang juga
melakukan pemeriksaan yang spesifik
pada kondisi kualitas stabilitas sampel
penelitian dan menghindari bias pada
penelitian.
DAFTAR RUJUKAN
1. Masgutova, S., Sadowska, L.,
Kowalewska, J., Masgutov, D.,
Akhmatova, N., Filipowski, H. 2015. Use of a Neurosensorimotor Reflex
Integration Program to Improve
Reflex Patterns of Children with
Down Syndrome. Journal of
Neurology and Neuroscience. 6 (4) :
59
2. Wang, S., Qiao, F., Feng, L. 2008.
Polymorphisms in genes involved in
folate metabolism as maternal risk
factors for Down syndrome in China.
Journal China: Zhejiang University
Science.
3. Sherman S.L., Allen E.G., Bean
L.H., Freeman S.B., 2007.
Epidemiology of Down Syndrome.
Mental retardation and
developmental disabilities research
reviews. 13 (3).
4. Miftah. 2013. Hasil Observasi
Kondisi dan Perkembangan Anak
Down Syndrome. Templete Awesome
Inc. Available from:
URL:http://mismif28.blogspot.com/
2013/02/hasil-observasikondisi-
dan.html
5. Ulrich, A.D., Ulrich, B.D., Angulo,
K. M.R., Yun, J. 2001. Treadmill
Training of
Infants With Down Syndrome:
Evidence-Based Developmental
Outcomes. Journal American
Academy of Pediatrics.
6. Cronin, G.W., Rine, R.M. 2010.
Pediatric Vestibular Disorders
Recognition, Evaluation and
Treatment. Vestibular Disorders
Association. Available from:
www.vestibular.org
7. Frank, C., Kobesova, A. and Kolar, P. 2013. Dynamic Neuromuscular
Stabilization & Sports
Rehabilization. The International
Journal of Sports Physical Therapy,
8.
8. Huston, M. and Ward, A. 2015.
Oxford Textbook of Musculoskeletal
Medicine. Second Edition. United
State: Oxford University Press.
9. Ahmadi, R., Hasan, D., dan Hosin,
B.A. 2012. The effect of 6 weeks
core stabilization training program
on the balance in mentally retarded
students. International Journal of
Sport Studies. 2 (10), 496-501.
10. Christianthi, P.R.M. 2017. Latihan
Berjalan Di Atas Papan Titian
Meningkatkan Keseimbangan
Berdiri Pada Anak Down Syndrome
Di Yayasan Mentari Fajar Jimbaran
Badung. Universitas Dhyana Pura
11. Kisner, C., Colby, L. A. 2011.
Therapeutic Exercise 6th
Foundations and Techniques. Ohio :
School of Allied Medical Professions
Ohio State University.
12. Faigenbum, A.D., Bagley, J., Boise,
S., Farrel, A., Bates, N. and Myer,
G.D.
2015. Dynamic Balance in Children:
Performance Comparison Between
Two Testing Devices. Athletic
Training & Sport Health Care, 7 (4).
BHJ 4(1) Mei 2020
BALI HEALTH JOURNAL ISSN 2599-1280 (Online); ISSN 2599-2449 (Print)
http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ
KEMAMPUAN MAHASISWA DALAM BERIKIR KRITIS
PADA PEMBELAJARAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
YANG DILIHAT DARI FAKTOR METAKOGNISI
DAN MOTIVASI INTRINSIK
I Nyoman Asdiwinata1, A.A. Istri Dalem Hana Yundari2, Ni Luh Putu Dewi
Puspawati3
1,2,3 STIKes Wira Medika Bali
Abstrak
Latar belakang: Memiliki pemikiran kritis bagi siswa akan memberikan kesadaran untuk mengatasi setiap masalah pada
perkuliahan dengan meninjau semua aspek terkait dan individu berusaha agar selalu berpikir di luar kotak yang dapat mendukung setiap perkuliahan tersebut, terutama dalam mata kuliah keperawatan gawat darurat. Fenomenanya, banyak
mahasiswa yang mengabaikan tugasnya dan tidak fokus dengan materi yang telah diberikan oleh dosen. Siswa yang mampu
menerapkan metode pembelajaran metakognitif akan sangat membantu mereka untuk menjadi pembelajar mandiri. Tujuan:
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi hubungan antara kemampuan metakognisi dan motivasi intrinsik siswa dengan keterampilan berpikir kritis dalam proses pembelajaran perawatan darurat. Metode: Penelitian ini menggunakan Cross
Sectional Design dengan teknik pengumpulan data total sampling. Semua kuesioner telah diuji menggunakan Model Rasch
untuk melihat reliabilitas dan validitas dan hasil logit adalah 0,81. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas
responden adalah perempuan (84%). Berdasarkan skor logit dari metakognisi hanya dua responden yang mencapai skor tertinggi. Di sisi lain, skor motivasi intrinsik responden, hanya satu responden yang memiliki skor tertinggi. Berdasarkan
analisis rank spearman, hanya motivasi intrinsik yang berhubungan dan memiliki hubungan kuat dengan keterampilan berpikir
kritis siswa dalam pembelajaran keperawatan darurat dengan nilai koefisien korelasi adalah 0,009 <0,05. Kesimpulan:
metakognisi dan motivasi intrinsik telah diyakini dapat meningkatkan kualitas keterampilan berpikir kritis siswa untuk tugas dan perkuliahan yang kompleks, tetapi penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda, hanya motivasi intrinsik yang
berkorelasi dengan keterampilan berpikir kritis.
Kata kunci: Metakognisi, Motivasi Instrinsik, Keterampilan Berpikir Kritis
Abstract
Background: Critical thinking for students will provide awareness to overcome every lecture problem by reviewing all related aspects and striving for individuals to always think out of the box that can support each lecture, especially in emergency
nursing. Somehow, lot of students ignoring their task and not focus by the material that has been given by the lecturer. Students
who are able to apply learning methods that are metacognitive will greatly help them to become self-regulated learners.
Objective: The purpose of this study is to explore the relationship between metacognition abilities and students' intrinsic motivation with critical thinking skills in the learning process of emergency care. Methods: This study uses Cross Sectional
Design with total sampling data collection techniques. All questionnaire has been tested using Rasch Model for seeing
reliability and validity and result of logits were 0,81. Result: The results of this study show that the majority of respondents were female (84%). Based on logit score of metacognitions only two respondents achieve the highest score. On the other hand,
score of intrinsic motivation of respondent, only one respondent has highest score. Based on spearman rank analysis, only
intrinsic motivation has strong relationship to critical thinking skills of students in learning emergency nursing with coefficient
correlation score is 0,009 < 0,05. Conclusion: metacognition and intrinsic motivation has been believed to improve quality of critical thinking skills of student for complex task and lecture, but this research shows different result, only intrinsic motivation
has correlation with critical thinking skills.
Keywords: Metacognition, Instrinsic Motivation, Critical Thinking Skills
Korespondensi:
I Nyoman Asdiwinata Email: [email protected]
Riwayat Artikel:
Diterima 5 Desember 2019
Disetujui 24 Februari 2020 Dipublikasikan 20 Mei 2020
Kemampuan Mahasiswa Dalam Berpikir Kritis
26
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
PENDAHULUAN
Proses pembelajaran yang
ditempuh mahasiwa Ners merupakan
proses berkesinambungan dari tahap
akademik dan Profesi. Dalam tahapan
Profesi mahasiswa diharapkan mampu
mencapai target kompetensi di sembilan
departemen, yaitu keperawatan dasar,
keperawatan medikal bedah, anak,
maternitas, jiwa, manajemen
keperawatan, keperawatan komunitas
dan keluarga, keperawatan gerontik dan
keperawatan gawat darurat dan kritis[1].
Kondisi kritis dan mengancam kehidupan
ini memerlukan penanganan cepat tepat
dan akurat karena time saving berarti life
saving.
Upaya pencapaian kompetensi
tersebut memerlukan kemampuan
berpikir kritis dan strategi pembelajaran
yang tepat. Berpikir kritis bagi
mahasiswa akan memberikan kesadaran
untuk mengatasi setiap masalah
perkuliahan dengan meninjau seluruh
aspek terkait dan mengupayakan
individu untuk selalu berpikir out of the
box yang dapat menunjang setiap
perkuliahan dan memahami setiap esensi
perkuliahan khususnya keperawatan
gawat darurat. Pada dasarnya berpikir
kritis merupakan sebuah kemampuan
yang dimiliki setiap orang untuk
menganalisis ide atau gagasan ke arah
yang lebih spesifik untuk mengejar
pengetahuan yang relevan tentang dunia
yang berdasarkan bukti[2].
Hunt dan Ellis memaparkan
bahwa mahasiswa akan dapat menyerap
pelajaran dengan baik apabila mereka
menggunakan metode pembelajaran yang
mereka atur sendiri[3]. Pembelajaran yang mereka atur sendiri mencakup
strategi pembelajaran yang bersifat
metakognisi. Mahasiswa yang mampu
menerapkan metode belajar bersifat
metakognisi akan sangat membantu
mereka untuk menjadi self-regulated
learner. Seseorang akan lebih memahami
proses belajar jika mengikutsertakan
proses kognitif di dalamnya[4].
Metakognisi mencakup
pemahaman dan keyakinan seseorang
yang menjalani proses belajar yang
berkaitan erat dengan proses kognitifnya
sendiri, serta usaha sadarnya untuk
terlibat dalam proses berprilaku dan
berpikir sehingga meningkatkan proses
belajar dan memori. Setiap mahasiswa
diharapkan menempatkan keterampilan
metakognisi yang tinggi, apabila
mahasiswa memiliki keterampilan
metakognisi yang tinggi, maka proses
meregulasi kegiatan belajarnya dan hasil
yang didapatkan akan semakin optimal[5].
Hasil penelitian Khairani tahun 2016
menunjukkan bahwa secara umum siswa
yang proses pembelajarannya
menggunakan pendekatan metakognitif
memiliki kemampuan komunikasi
matematis yang lebih baik daripada siswa
yang proses pembelajarannya secara
konvensional[6].
Selain kemampuan metakognisi
yang dimiliki mahasiswa, motivasi
intrinsik juga memiliki peranan yang
baik bagi mahasiswa. Penggunaan
motivasi intrinsik bagi mahasiswa juga
memerlukan stimulus dari luar, karena
pada dasarnya setiap mahasiswa sudah
memiliki keinginan untuk melakukan
sesuatu7. Berdasarkan hasil evaluasi hasil
pembelajaran terdahulu, banyak
mahasiswa yang menyatakan tidak
pernah ada persiapan belajar sebelum
perkuliahan dimulai, banyak dari
mahasiswa juga yang pada saat sebelum
ujian baru sempat membaca. Hal ini
menunjukkan bahwa manajemen dari
proses belajar yang baik dan kemauan
untuk memahami sesuatu dari proses pembelajaran masih sangat kurang.
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengeksplorasi keterkaitan antara
kemampuan metakognisi dan motivasi
intrinsik mahasiswa dengan kemampuan
berpikir kritis dalam proses pembelajaran
keperawatan gawat darurat pada
mahasiswa tingkat akhir di STIKes Wira
Asdiwinata, Yundari & Puspawati
27
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
Medika Bali. Keberhasilan suatu proses
pembelajaran diukur dari hasil capaian
sesuai dengan standar kompetensi yang
ditetapkan. Alat ukur yang digunakan
sebagai parameter nasional untuk
kompetensi Ners adalah Uji Kompetensi
Ners Indonesia. Hasil ini menjadi bahan
evaluasi pelaksanaan proses
pembelajaran khususnya saat praktik
profesi dan perkuliahan Keperawatan
Gawat Darurat.
Hipotesis dalam penelitian ini
adalah adanya hubungan kemampuan
metakognisi dan motivasi intrinsik
mahasiswa dengan kemampuan berpikir
kritis dalam proses pembelajaran
keperawatan gawat darurat pada
mahasiswa tingkat akhir di STIKes Wira
Medika Bali.
METODE
Penelitian ini menggunakan Cross
Sectional Design dengan tehnik
pengambilan data secara total sampling
dengan sampel yaitu mahasiswa tingkat
akhir di STIKes Wira Medika Bali
dengan kriteria inklusi mahasiswa tingkat
akhir yang telah mengikuti dan lulus mata
kuliah gawat darurat dan kritis penelitian
ini dilakukan di STIKes Wira Medika Bali
pada bulan Mei – Agustus 2019 dengan
variabel independen adalah metakognisi
dan motivasi intrinsik mahasiswa
sedangkan variabel dependen adalah
kemampuan berpikir kritis dalam proses
pembelajaran keperawatan gawat darurat
pada mahasiswa.
Pengumpulan data dilakukan
dengan mengumpulkan data primer yang
diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh responden yang merupakan mahasiswa
tingkat akhir STIKes Wira Medika.
Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis deskriptif
dengan menyajikan data kedalam tabel
distribusi frekuensi dan kemudian
diberikan interpretasi data untuk
mengetahui gambaran kemampuan
metakognisi dan motivasi intrinsik
mahasiswa dengan kemampuan berpikir
kritis.
HASIL
Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat
bahwa responden yang terbanyak adalah
perempuan. Penelitian ini tidak
memberikan gambaran terkait dengan
karakteristik responden seperti usia karena
seluruh responden memiliki rentang usia
yang sama.
Tabel 1. Demografi Responden
Frequency Percent
Laki-laki 24 16,0
Perempuan 126 84,0
Total 150 100,0
Kedua variabel bebas dianalisis
menggunakan Rasch Model untuk
memperjelas rentang nilai yang dimiliki
oleh masing-masing responden.
Berdasarkan hasil distribusi frekuensi dari
ketiga variabel yaitu metakognisi, motivasi
intrinsik dan nilai keperawatan gawat
darurat pada mahasiswa keperawatan dapat
dilihat pada tabel 2 dan 3 yang tersajikan di
halaman berikutnya.
Tabel 2 memperlihatkan nilai logit
metakognisi dari mahasiswa yang
menempuh perkuliahan keperawatan
terbanyak berada pada nilai 0.76 yaitu 17
orang (11,3%). Dua orang memiliki nilai
logit metakognisi tertinggi dengan nilai
3.11 sedangkan yang terendah dimiliki oleh
satu orang dengan nilai logit metakognisi -
1.26.
Tabel 3 dapat dilihat nilai logit
motivasi intrinsik mahasiswa yang
mengikuti perkuliahan keperawatan gawat
darurat terbanyak berada pada nilai 2.99
yaitu sebanyak sembilan orang (6%). Nilai
logit motivasi intrinsic tertinggi dimiliki
oleh satu orang dengan nilai 5.21
sedangkan yang terendah dimiliki oleh dua
orang dengan nilai -2.32.
Kemampuan Mahasiswa Dalam Berpikir Kritis
28
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
Tabel 2. Nilai Logit Metakognisi Mahasiswa
Tabel 3. Nilai Logit Motivasi Intrinsik Mahasiswa
Nilai Frequency Percent
-2.32 2 1,3
-1.51 1 0,7
-1.30 1 0,7
-1.09 4 2,7
-1.07 1 0,7
-.98 2 1,3
-.87 3 2,0
-.75 2 1,3
-.64 1 0,7
-.60 1 0,7
-.52 4 2,7
-.40 3 2,0
-.30 1 0,7
-.29 1 0,7
-.27 5 3,3
-.14 4 2,7
.00 2 1,3
.14 1 0,7
.15 3 2,0
.27 2 1,3
.30 2 1,3
.32 1 0,7
.35 1 0,7
.38 1 0,7
.40 1 0,7
.41 3 2,0
.42 1 0,7
.43 1 0,7
.46 7 4,7
.52 1 0,7
.63 4 2,7
.80 3 2,0
.87 1 0,7
.99 4 2,7
1.19 4 2,7
1.39 3 2,0
1.60 24 16,0
1.81 8 5,3
2.02 4 2,7
2.23 4 2,7
2.43 6 4,0
2.81 4 2,7
2.99 9 6,0
Nilai Frequency Percent
-1.26 1 0,7
-.89 4 2,7
-.77 2 1,3
-.64 3 2,0
-.51 9 6,0
-.38 3 2,0
-.35 1 0,7
-.25 8 5,3
-.11 8 5,3
.03 6 4,0
.17 11 7,3
.31 5 3,3
.46 4 2,7
.55 1 0,7
.61 6 4,0
.76 17 11,3
.92 4 2,7
1.02 1 0,7
1.08 14 9,3
1.24 10 6,7
1.40 10 6,7
1.57 3 2,0
1.73 3 2,0
1.90 1 0,7
2.24 7 4,7
2.41 3 2,0
2.58 1 0,7
2.93 2 1,3
3.11 2 1,3
Total 150 100,0
Asdiwinata, Yundari & Puspawati
29
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
3.16 1 0,7
3.33 1 0,7
3.66 3 2,0
3.98 1 0,7
4.47 1 0,7
4.64 1 0,7
5.21 1 0,7
Total 150 100,0
Berdasarkan table 3 dapat dilihat
nilai logit motivasi intrinsic mahasiswa
yang mengikuti perkuliahan keperawatan
gawat darurat terbanyak berada pada nilai
2.99 yaitu sebanyak sembilan orang (6%).
Nilai logit motivasi intrinsic tertinggi
dimiliki oleh satu orang dengan nilai 5.21
sedangkan yang terendah dimiliki oleh dua
orang dengan nilai -2.32.
Berdasarkan tabel 4 dapat
disebutkan bahwa sebaran nilai dari
keperawatan gawat darurat yang ditempuh
oleh mahasiswa sebagai cerminan
kemampuan berpikir kritisnya yang
terbanyak berada pada nilai 69 dan 71 yaitu
sebanyak 22 orang (14.8%).
Tabel 4. Nilai Gadar
Nilai Frequency Percent
45 1 0,7
66 8 5,4
67 9 5,9
68 12 7,9
69 22 14,8
70 16 10,8
71 22 14,8
72 8 5,4
73 8 5,4
74 5 3,3
75 7 4,8
76 2 1,2
77 16 10,6
78 9 5,9
79 4 2,5
80 1 0,7
Total 150 100,0
Tabel 5. Uji Normalitas
Kolmogorov-Smirnova
Statistic df Sig.
Metakognisi 0,079 150 0,022
Motivasi
intrinsik
0,100 150 0,001
Nilai Gawat
darurat
0,110 150 0,000
Hasil uji normalitas data pada tabel
5 diatas menunjukkan bahwa data tidak
berdistribusi normal. Nilai signifikansi
pada kedua variabel bebas < 0.05. maka
dari itu Uji statistik yang digunakan berupa
non parametrik tes yaitu uji Spearman
Rank.
Tabel 6. Uji Korelasi Metakognisi
Nilai Gawat Darurat
Metakognisi r = 0,014
p = 0,867
n = 150
Hasil uji korelasi antara metakognisi
dan nilai keperawatan gawat darurat
didapatkan nilai siginifikansi sebesar 0.867
yang berarti bahwa nilai tersebut > 0,05.
Hal ini bermakna bahwa tidak terdapat
hubungan antara metakognisi dengan nilai
keperawatan gawat darurat.
Tabel 7. Uji Korelasi Motivasi Instrinsik
Nilai Gawat Darurat
Motivasi Intrinsik r = 0,213
p = 0,009
n = 150
Hasil uji korelasi antara motivasi
intrinsic pada tabel 7 dengan nilai
keperawatan gawat darurat didapatkan nilai
signifikansi sebesar 0.009 yang berarti
bahwa nilai tersebut <0,05. Hal ini
bermakna bahwa terdapat hubungan antara
motivasi intrinsic dengan nilai keperawatan
gawat darurat.
PEMBAHASAN
Hasil uji Spearman Rank pada hasil
nilai variabel metakognisi dan kemampuan
Kemampuan Mahasiswa Dalam Berpikir Kritis
30
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
berpikir kritis yang dilihat dari nilai
keperawatan gawat darurat mahasiswa
didapatkan bahwa nilai signifikansi sebesar
0.867 dan nilai tersebut lebih besar dari
0.05. Hal ini bermakna bahwa metakognisi
tidak memiliki hubungan bermakna
terhadap kemampuan berpikir kritis yang
dilihat dari nilai keperawatan gawat
darurat.
Metakognisi pada mahasiswa
tingkat akhir yang menjalani proses
pembelajaran keperawatan gawat darurat
mayoritas berada pada tingkat yang sedang.
Hal ini bermakna kemampuan untuk
mengelola diri dalam proses pembelajaran
masih belum mencapai batas yang optimal.
Seseorang yang memiliki kemampuan
metakognisi yang baik akan mampu
mencapai kemampuan mengorganisir
belajar dan mendapatkan keterampilan
untuk memecahkan masalah[21].
Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa seseorang yang
memiliki kemampuan metakognisi yang
baik akan mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan lingkungan, mampu
mengelola tehnik pembelajaran pribadi dan
mampu menerapkan cara-cara belajar
praktis agar mampu memahami konteks
pelajaran yang optimal[10,15,20]. Namun, hal
berbeda yang ditemukan pada penelitian
ini, metakognisi yang dimiliki oleh
mahasiswa tidak mampu mencerminkan
kemampuan berpikir kritis yang dilihat
berdasarkan nilai keperawatan gawat
darurat.
Perbedaan ini wajar ditemukan,
karena metakgonisi merupakan sebuah
kemampuan yang didapat berdasarkan
banyak faktor. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhinya adalah kemampuan
psikologis, dukungan lingkungan sekitar, ketersediaan fasilitas pendukung dan peran
serta orang tua didalamnya[15]. Dalam
penelitian ini, faktor tersebut tidak dikaji
untuk melihat seberapa besar dampak yang
ditimbulkan terhadap kemampuan
metakognisi yang dimiliki oleh mahasiswa.
Kemampuan berpikir kritis yang
dimiliki seseorang tidak hanya juga
dipengaruhi oleh satu factor saja seperti
metakognisi. Apabila seseorang memiliki
kemampuan berpikir kritis yang baik,
mereka mampu untuk menyesuaikan
situasi dan juga mampu mengambil
keputusan yang tepat dalam setiap kegiatan
yang dilakukannya. Dalam hal ini,
mahasiswa diharapkan mampu memiliki
kemampuan belajar dan mengorganisir
proses belajar sehingga nantinya
kemampuan berpikir kritis akan muncul[16].
Hasil uji Spearman Rank pada hasil
nilai untuk variabel motivasi intrinsik dan
kemampuan berpikiri kritis yang dilihat
dari nilai keperawatan gawat darurat
didapatkan bahwa nilai signifikansi sebesar
0.009 dan nilai tersebut lebih kecil daripada
0.05. Hal ini bermakna bahwa motivasi
intrinsik memiliki hubungan bermakna
terhadap kemampuan berpikir kritis yang
dilihat dari nilai keperawatan gawat
darurat.
Nilai koefisiensi pada hasil uji
Spearman Rank menunjukkan nilai yang
positif yaitu 0.213 yang artinya hubungan
antara motivasi intrinsik dan kemampuan
berpikir kritis yang dilihat dari nilai
keperawatan gawat darurat searah dengan
kekuatan cukup. Apabila nilai dari motivasi
intrinsik mengalami penurunan maka
kemampuan berpikir kritis mahasiswa akan
mengalami penurunan juga. Kekuatan
hubungan motivasi intrinsik dengan
kemampuan berpikir kritis menunjukkan
bahwa motivasi intrinsik tidak menjadi
satu-satunya faktor yang berhubungan
dengan kemampuan berpikir kritis
mahasiswa dalam mengikuti pembelajaran
keperawatan gawat darurat.
Motivasi intrinsik yang dimiliki
oleh mahasiswa tingkat akhir yang
menjalani proses pembelajaran keperawatan gawat darurat berada pada
tingkat sedang. Hal ini bermakna bahwa
kemauan untuk melakukan proses
pembelajaran keperawatan gawat darurat
tidak terlalu besar. Hal ini berdampak pada
keinginan dari dalam diri untuk mencapai
sesuatu yang dalam hal ini memperoleh
Asdiwinata, Yundari & Puspawati
31
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
nilai baik pada pembelajaran keperawatan
gawat darurat.
Motivasi intrinsik merupakan
sebuah dorongan yang hadir dari dalam diri
sendiri. Motivasi intrinsik yang tinggi akan
membantu seseorang menyelesaikan tugas-
tugas yang berat tanpa pengaruh dari luar17.
Seseorang dengan motivasi intrinsik yang
tinggi juga memiliki kepercayaan terhadap
setiap kegiatan yang dilakukannya. Hal
tersebut akan mendorong mereka untuk
selalu berupaya memperbaiki diri sendiri.
Motivasi yang tinggi dari dalam diri juga
akan memberikan kemampuan bagi
seseorang berupaya untuk menyelesaikan
masalahnya dengan cara yang lebih
efektif[18].
Ketika kemampuan dalam diri
berada dalam tingkat yang maksimal maka
kepercayaan diri dalam menyelesaikan
masalah, mengambil keputusan akan
semakin mudah. Beberapa penelitian
terkait menyebutkan bahwa motivasi
intrinsik yang tinggi pada seseorang akan
memberikan dampak pada kemampuan
mengelola masalah dan berpikir secara
lebih tenang[19].
KESIMPULAN
1. Tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara metakognisi dengan
kemampuan berpikir kritis yang dilihat
pada nilai keperawatan gawat darurat.
2. Terdapat hubungan yang bermakna
antara motivasi intrinsik dengan
kemampuan berpikir kritis yang dilihat
pada nilai keperawatan gawat darurat.
SARAN
1. Untuk peneliti selanjutya agar
mengkaji faktor-faktor yang
mempengaruhi metakognisi dalam
peningkatan kemampuan berpikir
kritis mahasiswa tingkat akhir
2. Untuk mahasiswa diharapkan mampu
mengetahui kemampuan mengelola
proses pembelajaran yang baik guna
meningkatkan kemampuan berpikir
kritis, tidak hanya dalam aspek
perkuliahan atau pembelajaran namun
juga aspek lainnya.
DAFTAR RUJUKAN
1. AIPNI. 2016. Kurikulum Inti
Pendidikan Ners 2016. Jakarta: AIPNI
2. Filsaime, D. K.2008. Menguak Rahasia
Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta :
Prestasi Pustaka
3. Hunt, R R,. & Ellis, C.H. 2003.
Fundamentals of Cognitive Psychology.
NewYork : Mc Graw Hill
4. Ormrod, Jeane Ellis. 2009. Psikologi
Pendidikan. Jakarta : Erlangga
5. Maulana. 2008. Pendekatan
Metakognitif Sebagai Alternatif
Pembelajaran Matematika Untuk
MeningkatkanKemampuan Berpikir
Kritis Mahasiswa PGSD. Jurnal
Pendidikan Dasar. Vol 1. No 10.
6. Khairani,M. 2016. Pendekatan
Metakognitif Untuk Meningkatkan
Kemampuan Komunikasi Matematis
Siswa Kelas X Sman 3 Payakumbuh.
Jurnal Ipteks Terapan, Research of
Applied Science and Education V9.i4
(253-260).
http://dx.doi.org/10.22216/jit.2015.v9i4
.391
7. Sardiman. 2011. Interaksi & Motivasi
belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
8. DeLaune, S.C. & Ladner, P.K. 2011.
Fundamentals of Nursing: Standard &
Practice, 4th ed. New York: Delmar
Cengage Learning.
9. Topan, M., Abdurrahman, & Viyanti
2013. Pengaruh Metakognisi Terhadap Motivasi dan Penguasaan Konsep
Melalui Model PBL. Jurnal
Pembelajaran Fisika. Vol 1. No.7
10. Vrugt, A. & Oort, F.J. 2008.
Metacognition, achievement goals,
study strategies and academic
achievement: pathways to achievement.
Metacognition Learning Vol. 3, Issue 2,
Kemampuan Mahasiswa Dalam Berpikir Kritis
32
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
123–146.
https://doi.org/10.1007/s11409-008-
9022-4.
11. Guay, F., Chanal, J., Ratelle, C. F.,
Marsh, H. W., Larose, S., & Boivin, M.
2010. Intrinsic, identified, and
controlled types of motivation for
school subjects in young elementary
school children. British Journal of
Educational Psychology, 80(4), 711–
735. doi: 10.1348/000709910X499084.
12. Jamaris, Martini. 2013. Orientasi Baru
dalam Psikologi Pendidikan.Bogor:
Ghalia Indonesia
13. Wood, G.L. & Haber, J. 2014. Nursing
research; methods and critical appraisal
for evidence-based practice, 8th ed. St.
Louis: Elsevier Mosby
14. Dahlan, S. 2014. Langkah-langkah
membuat proposal penelitian di bidang
kedokteran dan kesehatan (edisi 2).
Jakarta: CV Sagung Seto
15. Alias, M., & Sulaiman, N. L. 2017.
Development of metacognition in
higher education: Concepts and
strategies. Metacognition and
Successful Learning Strategies in
Higher Education.
https://doi.org/10.4018/978-1-5225-
2218- 8.ch002
16. Aizikovitsh-udi, E., & Cheng, D. 2015.
Developing Critical Thinking Skills
from Dispositions to Abilities:
Mathematics Education from Early
Childhood to High. Creative Education.
https://doi.org/10.4236/ce.2015.64045
17. Alves, P. F. 2014. Vygotsky and Piaget:
Scientific concepts. Psychology in
Russia: State of the Art.
https://doi.org/10.11621/pir.2014.0303
18. Anderson, J. R., & Fincham, J. M. 2014.
Extending problem-solving procedures through reflection. Cognitive
Psychology.
https://doi.org/10.1016/j.cogpsych.2014
.06.002
19. Beaumont, J. 2010. A Sequence of
Critical Thinking Tasks. TESOL
Journal, 1(4), 427–448.
https://doi.org/10.5054/tj.2010.234763
20. Brick, N. E., MacIntyre, T. E., &
Campbell, M. J. 2016. Thinking and
action: A cognitive perspective on self-
regulation during endurance
performance. Frontiers in Physiology.
https://doi.org/10.3389/fphys.2016.001
59
21. Zhao, N., Wardeska, J. G., McGuire, S.
Y., & Cook, E. 2014. Metacognition: An
Effective Tool to Promote Success in
College Science Learning. Journal of
College Science Teaching, 43(4), 48–
54. Retrieved from
http://login.ezproxy.library.ualberta.ca/l
ogin?url=http://search.ebscohost.com/l
o
gin.aspx?direct=true&db=ehh&AN=94
637291&site=ehost-live&scope=site
BHJ 4(1) Mei 2020
BALI HEALTH JOURNAL ISSN 2599-1280 (Online); ISSN 2599-2449 (Print)
http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ
ANALISIS SISTEM MANAJEMEN PROGRAM PEMBERIAN
ASI EKSKLUSIF DI PUSKESMAS KEDIRI I
KABUPATEN TABANAN
Dewi Wahyuni Gangga1, Ni Luh Gede Ari Natalia Yudha2, Ni Ketut Martini3
1,2,3Fakultas Ilmu Kesehatan dan Teknologi, Universitas Dhyana Pura
Abstrak
Latar Belakang: Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan terbaik untuk bayi yang mengandung protein dan zat kekebalan
yang cocok untuk bayi. Puskesmas Kediri I merupakan salah satu puskesmas yang cakupan ASI eksklusifnya masih rendah yaitu 44,73%. Manajemen sangat dibutuhkan dalam mencapai tujuan suatu organisasi. Pelaksanaan program dengan
menerapkan fungsi manajemen yang baik diharapkan dapat meningkatkan cakupan pemberian ASI eksklusif di Puskesmas
Kediri I. Tujuan: penelitian untuk mengetahui bagaimana penerapan sistem manajemen program pemberian ASI eksklusif di
Puskesmas Kediri I Kabupaten Tabanan. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi. informan penelitian ini berjumlah sembilan orang yang terdiri dari kepala puskesmas, pemegang
program ASI, tenaga promkes, bidan dan kader yang dipilih melalui metode purposive sampling. Analisis data yang digunakan
yaitu content analysis. Hasil: rencana pelaksanaan kegiatan ASI eksklusif setiap tahunnya sama tanpa adanya perubahan dan
program ASI eksklusif tidak memiliki anggaran dana khusus. Pengorganisasian program ASI eksklusif di Puskesmas Kediri I menunjukkan bahwa belum adanya pembentukkan tim khusus berupa surat keputusan dari kepala puskesmas dalam
melaksanakan program. Penggerakan program ASI eksklusif di Puskesmas Kediri I menunjukkan bahwa belum rutin
dilaksanakannya pelatihan khusus yang berkaitan dengan ASI eksklusif untuk meningkatkan kompetensi petugas dan terbatas
hanya kepada petugas gizi. Pengawasan program ASI eksklusif di Puskesmas Kediri I dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan melalui kontrol pelaporan saja, tidak ada reward atau sanksi khusus terhadap pencapaian program ASI
eksklusif. Simpulan: Manajemen program pemberian ASI eksklusif di Puskesmas Kediri I belum berjalan dengan baik
Kata kunci: Manajemen, ASI Eksklusif, Puskesmas
Abstract
Background: Exclusive breastfeeding is the best food for babies that contains protein and immune substances that are suitable
for babies. Kediri I Health Center is one of the health centers whose exclusive breastfeeding coverage is still low at 44.73%.
Management is needed in achieving the goals of an organization. The implementation of the program by implementing a good
management function is expected to increase the coverage of exclusive breastfeeding at Kediri I health centers. Purpose: The purpose of the study was to find out how the exclusive breastfeeding program management system was implemented in Kediri
I Health Center Tabanan Regency. Method: This is qualitative research. Data collection is carried out through interview and
observation guidelines. The research informants were nine people consisting of the head of the health center, breastfeeding
program holders, health workers, midwives and cadres selected through the purposive sampling method. Analysis of the data used is content analysis. Result: the plan to implement exclusive breastfeeding activities every year without changes and the
exclusive breastfeeding program does not have a special funding budget. The organization of exclusive breastfeeding programs
at the Kediri I Health Center shows that there has been no formation of a special team in the form of a decree from the head of the Health Center in implementing the program. The promotion of exclusive breastfeeding programs at the Kediri I Health
Center shows that special training related to exclusive breastfeeding has not been routinely held to improve staff competency
and is limited to nutrition workers. Supervision of exclusive breastfeeding programs at the Kediri I Health Center is carried
out by the Tabanan District Health Office through reporting controls only, there is no reward or special sanctions on achieving exclusive breastfeeding programs. Conclusion: The management of exclusive breastfeeding programs at the Kediri I Health
Center has not gone well.
Keywords: Management, Exclusive ASI, Health Center
Korespondensi:
Ni Luh Gede Ari Natalia Yudha Email: [email protected]
Riwayat Artikel:
Diterima 27 Agustus 2019
Disetujui 23 Februari 2019 Dipublikasikan 20 Mei 2020
Analisis Sistem Manajemen Program Pemberian ASI
34
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
PENDAHULUAN
Pemberian ASI eksklusif dapat
mencegah 30.000 kematian bayi di
Indonesia dan 10 juta kematian balita di
dunia setiap tahunnya. Bayi yang lahir
diseluruh dunia sebanyak 136,7 juta,
namun hanya 32,6% yang mendapatkan
ASI secara eksklusif selama 6 bulan
pertama. Angka kematian bayi yang tidak
mendapatkan ASI eksklusif di negara
industri lebih banyak dibandingkan dengan
bayi yang mendapatkan ASI eksklusif,
sementara bayi yang diberikan ASI
eksklusif di negara berkembang hanya
39%[1].
Menyusui tidak memerlukan biaya
dibandingkan dengan makanan tambahan
lain sehingga tidak menambah pengeluaran
keluarga. Menyusui bertujuan untuk
mengurangi angka kematian anak.
Pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi
13% angka kematian anak. Kematian anak
dibawah usia 5 tahun sekitar 50-60%
disebabkan oleh malnutrisi dan menyusui
yang kurang optimal. Pencapaian ASI
eksklusif di Indonesia belum mencapai
angka yang diharapkan yaitu sebesar
35,73% [2].
Berdasarkan Profil Kesehatan
Dinkes Provinsi Bali tahun 2018
menunjukkan AKB di provinsi Bali dari
tahun 2013 sampai tahun 2018
menunjukkan trend yang tidak stabil dan
sudah lebih rendah dari angka kematian
bayi secara nasional, namun perlu
mendapatkan perhatian. Tahun 2018 terjadi
penurunan angka kematian bayi sebesar 4,8
per 1.000 kelahiran hidup dari target
Renstra Dinkes Provinsi Bali yaitu 10 per
1.000 kelahiran hidup dan target SDG’s
berusaha menurunkan Angka Kematian
Neonatal setidaknya hingga 12 per 1.000
kelahiran hidup [3].
Berdasarkan laporan rekapitulasi
pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6
bulan Dinas Kesehatan Kabupaten
Tabanan tahun 2018 menunjukkan
Puskesmas Kediri I di wilayah kerja Dinas
Kesehatan Kabupaten Tabanan dengan
cakupan pemberian ASI eksklusif tahun
2018 masih dibawah target (44,73%) dari
target kabupaten yang telah ditetapkan
yaitu (68,5%)[4].
Penelitian yang dilakukan oleh Fitriani
(2017) di Puskesmas Jeuram Kabupaten
Nagan Raya menyatakan bahwa
pelaksanaan program ASI Eksklusif belum
berjalan maksimal, belum ada rencana
yang jelas, belum maksimalnya
pengorganisasian baik berupa penanggung
maupun kerjasama lintas sektor, dari segi
penggerakan atasan belum mendukung
sepenuhnya, serta kurangnya pengawasan
dalam pelaksanaan program ASI
eksklusif[5].
Berdasarkan wawancara
pendahuluan yang peneliti lakukan
terhadap pemegang program ASI di
puskesmas Kediri I menyatakan bahwa
informasi penyuluhan tentang program ASI
eksklusif dilakukan di beberapa tempat
yaitu posyandu, ketika ibu mengikuti
senam hamil dan saat kunjungan nifas.
Selama ini tidak ada reward atau sanksi
khusus terhadap pencapaian cakupan ASI
eksklusif, yang penting rutin melaporkan
data cakupan ASI eksklusif, hal tersebut
sangat mempengaruhi angka keberhasilan
program ASI eksklusif. Selain itu, kurang
optimalnya suatu proses pelaksanaan
program ASI Eksklusif yang dilakukan
karena terbatasnya anggaran dana untuk
program khusus ASI Eksklusif, kurangnya
SDM yang dibutuhkan, serta kurangnya
pengawasan dalam pelaksanaan program
ASI eksklusif.
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui bagaimana penerapan
sistem manajemen program pemberian ASI
eksklusif di Puskesmas Kediri I Kabupaten
Tabanan. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
upaya perencanaan program pemberian
ASI eksklusif, mengetahui upaya
pengorganisasian program pemberian ASI
eksklusif, mengetahui upaya penggerakan
program pemberian ASI eksklusif,
mengetahui upaya pengawasan program
pemberian ASI eksklusif.
Gangga, Yudha & Martini
35
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan teknik wawancara
mendalam (indepth interview)[6]. Penelitian
dilakukan pada bulan April 2019 di
Puskesmas Kediri I. Obyek yang diteliti
dalam penelitian ini adalah sistem
manajemen program pemberian ASI
eksklusif yang dihat dari perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan dan
pengawasan program pemberian ASI
eksklusif di Puskesmas Kediri I. Informan
dalam penelitian ini yaitu satu orang kepala
puskesmas, satu orang pemegang program
ASI, dua orang tenaga promkes, dua orang
bidan, dan tiga orang kader.
Penentuan informan dalam
penelitian ini dengan menggunakan metode
purposive sampling, yaitu teknik
pengambilan sumber data dengan
pertimbangan tertentu. Teknik analisa data
dalam penelitian ini yaitu content analysis,
dengan membandingkan seluruh hasil
wawancara mendalam dengan hasil
observasi, telaah dokumen dan teori yang
ada. Uji validitas data dalam penelitian
kualitatif ini disebut triangulasi.
Triangulasi dalam penelitian ini yaitu
triangulasi sumber dan triangulasi teknik[7].
HASIL
Aspek Perencanaan
Proses perencanaan yang dilakukan
di Puskesmas Kediri I selama ini belum
berjalan dengan baik. Puskesmas Kediri I
belum memiliki tim khusus sebagai tim
penyusun rencana program ASI eksklusif.
Puskesmas Kediri I tidak memiliki dana khusus untuk melaksanakan program ASI
eksklusif dan sumber dana kegiatan berasal
dari anggaran APBD serta dana Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK). Sarana
prasarana untuk program ASI eksklusif di
Puskesmas Kediri I sudah lengkap dan
sudah memenuhi kebutuhan, seperti sudah
tersedianya KIT untuk menyusui, satu set
pompa elektrik dan pojok laktasi.
Aspek Pengorganisasian
Puskesmas Kediri I belum melakukan
pembentukan tim sebagai unsur pelaksana
program. Selama ini dalam melaksanakan
program dilakukan secara bersama-sama
antara petugas gizi, KIA, tenaga promkes
dan kader. Pengorganisasian yang
dilakukan yaitu kerjasama lintas sektoral
antara bagian gizi, KIA dan promkes.
Aspek Penggerakan
Jumlah SDM yang terlibat dalam
program ASI eksklusif di Puskesmas
Kediri I belum memenuhi kebutuhan,
namun harus dicukupkan karena program
harus berjalan. Kompetensi yang dimiliki
oleh tenaga kesehatan di Puskesmas Kediri
I sudah sesuai dalam melaksanakan
program ASI eksklusif. Pelatihan khusus
yang didapatkan hanya kepada pemegang
programnya dan pelatihan yang pernah
didapatkan hanya satu kali. Pelatihan yang
dilaksanakan untuk meningkatkan
kemampuan dan keterampilan kader masih
jarang dilakukan dan pelatihannya bukan
khusus untuk ASI saja, selain itu tidak
semua kader hadir untuk mengikuti
pelatihan tersebut.
Penyuluhan yang dilaksanakan di
puskesmas Kediri I tidak rutin
dilaksanakan dan belum memiliki konselor
ASI, namun sudah ada pembentukan KP-
ASI. Puskesmas Kediri I sudah
melaksanakan koordinasi/kerjasama
dengan bidan swasta di wilayah kerja
puskesmas, namun belum melakukan
koordinasi/ kerjasama dengan klinik
swasta. Hal ini dianggap kurang efektif
karena sekarang banyak bidan yang bekerjasama dengan produsen susu
formula.
Aspek Pengawasan
Proses pengawasan terhadap
program ASI eksklusif di Puskesmas
Kediri I dilakukan melalui pelaporan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten
Analisis Sistem Manajemen Program Pemberian ASI
36
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
Tabanan setiap bulannya. Pengawasan
pemberian ASI eksklusif di Puskesmas
Kediri I oleh kader didapatkan hasil bahwa
kader rutin melakukan pencatatan dan
pelaporan dan laporannya diserahkan
kepada bidan desa, namun belum ada
pengawasan yang dilakukan oleh kader
terhadap ibu-ibu yang memiliki bayi usia
kurang dari 6 bulan dalam memberikan
ASI.
PEMBAHASAN
Perencanaan program ASI
eksklusif di Puskesmas Kediri I
menunjukkan bahwa perencanaan kegiatan
selama ini belum diterapkan sesuai dengan
pelaksanaan manajemen tingkat
puskesmas, dimana perencanaan ini berasal
dari Dinas Kesehatan dan perencanaan
setiap tahunnya sama tanpa adanya
perubahan. Penyusunan perencanaan
seharusnya melibatkan pemegang program
ASI eksklusif, karena pemegang program
yang mengetahui hambatan pelaksanaan
program di tahun-tahun sebelumnya
sehingga perencanaan yang dibuat untuk
tahun ini sesuai dan cakupan ASI eksklusif
di Puskesmas Kediri I dapat meningkat.
Pembentukkan tim khusus untuk
perencanaan program ASI eksklusif juga
tidak ada, sehingga tidak ada yang
bertanggung jawab dalam membuat
perencanaan program.
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Alifah pada
2012[8], mengemukakan bahwa
perencanaan manajemen program ASI
eksklusif sebaiknya selalu diawali dengan
pembentukkan tim khusus, termasuk
penerapannya di Puskesmas Candilama
Semarang, serta tidak dibuatnya rencana usulan kegiatan program ASI eksklusif di
puskesmas ini [8].
Puskesmas Kediri I memiliki
sumber dana dari anggaran APBD dan
BOK (Bantuan Operasional Kesehatan),
namun dana ini tidak sepenuhnya
digunakan khusus untuk program ASI
eksklusif, melainkan untuk seluruh
program kesehatan yang ada di Puskesmas.
Sarana prasarana untuk program ASI
eksklusif ini sudah lengkap. Tidak terdapat
kendala yang dihadapi terkait dengan
sarana prasarana untuk program ASI
eksklusif di Puskesmas Kediri I.
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Paramita[9]
mengatakan bahwa tidak ada dana khusus
untuk kegiatan promosi kesehatan ASI
eksklusif dan sumber biayanya diperoleh
dari anggaran APBD serta Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK) [9].
Pengorganisasian program ASI
eksklusif di Puskesmas Kediri I
menunjukkan bahwa belum adanya tim
khusus untuk program ASI eksklusif ini.
Selama ini dalam melaksanakan program
pemberian ASI eksklusif dilakukan secara
bersama-sama berdasarkan fungsi dari
masing-masing petugas antara petugas gizi,
KIA, tenaga promkes dan kader, namun
kader dalam menjalankan tugasnya masih
kurang bertanggung jawab, sehingga akan
timbul saling tuduh dalam melaksanakan
pekerjaan tersebut.
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian Alifah yang menyatakan bahwa
di dalam fungsi organisasi program
pemberian ASI eksklusif tidak dilakukan
pembentukkan tim sebagai unsur pelaksana
program, tidak ada pembagian tugas yang
jelas dalam pelaksanaannya, namun
apabila ada permasalahan maka hal
tersebut diselesaikan secara bersama-
sama[8].
Penggerakan program ASI
eksklusif di Puskesmas Kediri I
menunjukkan bahwa SDM yang terlibat
dalam program ASI belum memenuhi
kebutuhan, namun harus dicukupkan
karena program harus berjalan. Tenaga kesehatan yang terkait dalam program ASI
Eksklusif harus dibekali dengan
keterampilan dan kompetensi yang baik
agar tujuan dapat tercapai. Kompetensi
yang dimiliki oleh tenaga kesehatan sudah
memadai untuk melaksanakan program
ASI eksklusif. Pelatihan khusus terkait
dengan ASI eksklusif hanya diberikan
Gangga, Yudha & Martini
37
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
kepada pemegang program yaitu petugas
gizi dan pelaksanaan pelatihan tidak
dilaksanakan dengan rutin. Pelatihan untuk
meningkatkan kemampuan dan
keterampilan kader juga masih jarang
dilaksanakan. Pelatihan yang diterima oleh
kader berupa pelatihan kader posyandu.
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Utami dkk,
bahwa ketersediaan tenaga gizi belum
mencukupi dan belum seluruhnya
mendapatkan pelatihan khusus konseling
ASI, tetapi telah mendapatkan sosialisasi
dari tenaga gizi dan KIA yang sebelumnya
telah mengikuti pelatihan konseling ASI
eksklusif. Pelatihan konseling ASI untuk
kader juga belum ada[10].
Penyuluhan ASI eksklusif yang
dilaksanakan di Puskesmas Kediri I belum
rutin dilaksanakan, selain itu belum adanya
konselor ASI di puskesmas Kediri I, namun
sudah ada pembentukkan Kelompok
Pendukung ASI (KP-ASI). Puskesmas
Kediri I sudah melakukan koordinasi/
kerjasama dengan bidan swasta di wilayah
kerja puskesmas, namun koordinasi dengan
klinik swasta belum dilakukan karena
keterbatasan waktu dan tenaga.
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Putri
Apelinda di tahun 2018, bahwa koordinasi
yang dilakukan dengan bidan dan klinik
swasta yang ada di wilayah puskesmas desa
Binjai sudah ada tetapi koordinasi yang
dilaksanakan belum maksimal karena baru
berupa pertemuan yang dilaksanakan di
kantor lurah dan belum ada peraturan yang
tegas yang bisa diberikan untuk membuat
bidan dan klinik swasta bisa mematuhi
peraturan yang sudah puskesmas
sosialisasikan kepada mereka[11].
Pengawasan program ASI eksklusif di Puskesmas Kediri I menunjukkan bahwa
proses pengawasan dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten Tabanan melalui
pengumpulan laporan ASI eksklusif setiap
bulannya. Kader rutin melakukan
pencatatan pelaporan dan laporannya
diserahkan kepada bidan desa, namun
belum ada pengawasan yang dilakukan
oleh kader terhadap ibu-ibu yang memiliki
bayi < 6 bulan dalam memberikan ASI.
Pengawasan yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan masih kurang, hanya melalui
kontrol pelaporan saja, tidak ada reward
atau sanksi khusus terhadap pencapaian
program ASI eksklusif, hanya laporan
cakupan ASI eksklusif yang diberikan
tanpa tahu kendala yang terjadi di
lapangan, sehingga pengawasan yang
dilakukan belum maksimal.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah diuraikan dapat disimpulkan sebagai
berikut: Perencanaan program ASI
eksklusif di Puskesmas Kediri I
menunjukkan bahwa rencana pelaksanaan
kegiatan ASI eksklusif setiap tahunnya
sama tanpa adanya perubahan dan program
ASI eksklusif ini tidak memiliki anggaran
dana khusus.
Pengorganisasian program ASI
eksklusif di Puskesmas Kediri I
menunjukkan bahwa belum adanya
pembentukkan tim khusus berupa SK
(surat keputusan) dari kepala puskesmas
dalam melaksanakan program.
Penggerakan program ASI
eksklusif di Puskesmas Kediri I
menunjukkan bahwa belum rutin
dilaksanakannya pelatihan khusus yang
berkaitan dengan ASI eksklusif untuk
meningkatkan kompetensi petugas dan
terbatas hanya kepada petugas gizi.
Pengawasan program ASI eksklusif
di Puskesmas Kediri I dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten Tabanan melalui
kontrol pelaporan saja, tidak ada reward
atau sanksi khusus terhadap pencapaian program ASI eksklusif.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan penelitian
dapat disampaikan saran-saran sebagai
berikut: Puskesmas Kediri I agar membuat
Analisis Sistem Manajemen Program Pemberian ASI
38
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
perubahan atau inovasi terhadap rencana
pelaksanaan kegiatan ASI eksklusif dan
menyusun anggaran dana khusus untuk
kegiatan ASI eksklusif agar program
tersebut dapat berjalan dengan baik.
Untuk Kepala Puskesmas Kediri I
agar membuat SK (surat keputusan) kepada
pegawainya tentang penanggung jawab
pelayanan dan program di Puskesmas
Kediri I.
Untuk Petugas gizi agar
memberikan pelatihan tentang ASI
eksklusif lebih rutin untuk tenaga
kesehatan dan kader lainnya sebagai bekal
dalam melaksanakan peningkatan cakupan
ASI eksklusif di Puskesmas Kediri I, lebih
memberdayakan pembentukan KP-ASI di
wilayah kerja Puskesmas Kediri I dan
mengusulkan kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten Tabanan agar dibentuk konselor
ASI di Puskesmas Kediri I.
Untuk Dinas kesehatan Kabupaten
Tabanan, petugas kesehatan Puskemas
Kediri I serta kader agar rutin memantau
pelaksanaan kegiatan program ASI
eksklusif di Puskesmas Kediri I.
DAFTAR RUJUKAN
1. UNICEF. 2012. Indonesia Laporan
Tahunan. Geneva : UNICEF
2. Kemenkes RI. 2017. Profil Kesehatan
Indonesia 2016. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
3. Dinas Kesehatan Provinsi Bali. 2018.
Profil Kesehatan Provinsi Bali Tahun
2017. Bali : Badan Penerbit Dinas
Kesehatan Provinsi Bali
4. Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan.
2018. Profil Kesehatan Kabupaten
Tabanan Tahun 2017. Bali : Badan Penerbit Dinas Kesehatan Kabupaten
Tabana
5. Fitriani. 2017. Fungsi Manajemen
dalam Pelaksanaan Program ASI
Eksklusif di Puskesmas Jeuram
Kabupaten Nagan Raya. [online].
http://eprints.uad.ac.id/5422.pdf
[diakses 9 November 2018]
6. Ariani, A.P. 2014. Aplikasi Metodologi
Penelitian Kebidanan dan Kesehatan
Reproduksi, Yogyakarta : NuhaMedika
7. Sugiyono. 2017. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung : Alfabeta CV
8. Alifah, Nur. 2012. Analisis Sistem
Manajemen Program Pemberian ASI
Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas
Candilama Kota Semarang. [online].
http://ejournals1.undip.ac.id/handle.pdf
[diakses 12 Juni 2019]
9. Paramita, dkk. 2015. Pelaksanaan
Program Promosi ASI Eksklusif Tahun
2013 di Puskesmas Kota Probolinggo.
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan.
18(03) : 267-276
10. Utami, dkk. 2013. Analisis Faktor
Internal dan Eksternal Program
Peningkatan Pemberian ASI Eksklusif
Puskesmas Pariaman Kota Padang.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. 07 (02) :
67-74
11. Putri, Apelinda. 2018. Analisis
Manajemen Program ASI Eksklusif di
Wilayah Kerja Puskesmas Desa Binjai.
[online].
http://repositori.usu.ac.id/handle.pdf
[diakses 12 Juni 2019]
BHJ 4(1) Mei 2020
BALI HEALTH JOURNAL ISSN 2599-1280 (Online); ISSN 2599-2449 (Print)
http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ
PENGARUH WORK FAMILY CONFICT TERHADAP STRES
KERJA PADA PEGAWAI ADMINISTRASI
I Gusti Ngurah Made Yudhi Saputra1, I Gusti Lanang Made Rudiartha2
1Program Studi Administrasi Rumah Sakit, Universitas Bali Internasional
Abstrak
Latar Belakang: Work family conflict menjadi salah satu indicator tingginya stress kerja. Tujuan: Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh work family conflict terhadap stres kerja pegawai administrasi BRSU Tabanan. Metode:
Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian eksplanatory research. Subyek penelitian adalah seluruh pegawai administrasi BRSU Tabanan yang merupakan pegawai tetap (PNS) dan kontrak. Teknik pengambilan sampel yang digunakan
adalah sampel jenuh dimana seluruh anggota populasi digunakan sebagai sampel. Penelitian ini menggunakan instrumen yang
terlebih dahulu divalidasi. Teknik analisis data menggunakan teknik analisa kuantitatif dengan menggunakan teknik regresi.
Hasil: terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara work family conflict terhadap stres kerja pegawai administrasi BRSU Tabanan. Simpulan: pihak manajemen selayaknya mengoptimalkan penggunaan SDM dengan memperhatikan rencana
kerja yang tepat serta job description dan SOP yang jelas Pihak manajemen dapat memberikan pengarahan secara periodic
dalam menjelaskan rencana kerja baik jangka pendek, menengah, maupun panjang, sehingga pemberian beban kerja terhadap
paegawai bisa sesuai dengan kapasitas serta waktu kerja yang telah ditentukan. Pimpinan juga dapat mewajibkan pegawai untuk bekerja secara optimal tanpa menunda-nunda pekerjaan di kantor yang dapat menyebabkan pegawai lembur atau
membawanya pulang kerumah sehingga mengganggu tanggung jawabnya dirumah.
Kata kunci : work family conflict, stres kerja.
Abstract
Background: Work family conflict can be an indicator of job stress. Purpose: This study aims to determine the effect of work
family conflict on job stress of administrative staff of BRSU Tabanan. Method: The research design used is eksplanatory
research. The subjects were all administrative staff of BRSU Tabanan who were permanent employees (PNS) and contracts.
The sampling technique used is a saturated sample in which all members of the population are used as samples. This study
uses the instrument that was first validated. Data analysis technique using quantitative analysis technique by using regression
technique. Result: The result of this research is positive and significant influence between work family conflict to work stress
of administrative staff of BRSU Tabanan. Conclusion: the management should optimize the use of human resources by taking
into account the right work plan and clear job description and SOP The management can provide periodic briefing in explaining the short, medium and long term work plan so that the workload to the employee can be in accordance with the capacity and
work time that has been determined. Leaders may also require employees to work optimally without delaying work in the
office that may cause employees to work overtime or bring home home so as to disrupt their responsibilities at home
Keywords: work family conflict, job stress.
Korespondensi:
I Gusti Ngurah Made Yudhi Saputra Email: [email protected]
Riwayat Artikel:
Diterima 12 Agustus 2019 Disetujui 24 Maret 2020
Dipublikasikan 20 Mei 2020
Pengaruh Work Family Conflict Terhadap Stres Kerja
40
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
PENDAHULUAN
Layanan bidang kesehatan
merupakan salah satu urusan otonomi yang
memiliki banyak ruang inovasi karena
tantangan layanan kesehatan bersifat
sangat kompleks. Kompleksitas itulah yang
selalu menghasilkan berbagai ide selain
mengedepankan skala prioritas. Dalam
bidang kesehatan, hampir semua masalah
yang dihadapi merupakan prioritas yang
sulit ditunda penyelesaiannya. Masalah-
masalah tersebut mulai dari ketidak
tercukupan SDM, sarana prasarana,
aksesibilitas layanan, sampai manajemen
layanan dan perlindungan kesehatan
masyarakat. Kondisi di berbagai daerah
ternyata semua isu strategis itu merupakan
prioritas masalah kesehatan yang harus
segera ditangani tanpa mengabaikan salah
satu di antara yang lainnya.Masalah di
bidang kesehatan inilah yang bila
diabaikan selalu memunculkan masalah
baru dimana dalam indikator evaluasinya,
senantiasa memunculkan beberapa isu
strategis yang bersifat klasik, seperti
pengadaan SDM baru dan pengembangan
sarana-prasarana yang tentu saja
menghabiskan banyak anggaran[1].
Sebagai salah satu instansi
pelayanan publik BRSU Tabanan bertugas
sebagai pemberi pelayanan dibidang
kesehatan bagi masyarakat Tabanan yang
memerlukan pelayanan kesehatan di daerah
tersebut. Dalam melayani masyarakat dan
instansi lain, tentunya berbagai keluhan
pasti sangat banyak karena menyangkut
kepentingan orang banyak. Oleh karena itu
diperlukan manajemen sumber daya
manusia yang baik, sehingga pelayanan
menjadi lebih cepat, efisien dan transparan.
Dari beberapa hal yang telah diuraikan diatas, maka muncul sebuah
pertanyaan: Bagaimana pegawai
Adminitrasi BRSU Tabanan tidak dapat
merasa stres dengan pekerjaannya jika
mereka merasakan beberapa konflit dalam
keluarganya?, mengingat dari pengkajian
awal di temukan data bahwa sebagian besar
tenaga administrasi di BRSU Tabanan
berstatus kawin dan di dominasi oleh jenis
kelamin perempuan yang sudah tentu
memiliki tanggung jawab berat dalam
mengurus rumah tangga. Integrasi diantara
beberapa hal tersebut merupakan landasan
mengapa penelitian ini dilakukan.
Sehingga diharapkan nantinya penelitian
akan mampu menjawab mengapa pegawai
Administrasi BRSU Tabanan merasa stres
atau tidak dalam pekerjaannya dikaitkan
dengan work family conflict.
Berdasarkan uraian di atas,
fenomena yang telah diuraikan mengenai
Pegawai Administrasi Rumah Sakit di
BRSU Tabanan mendorong untuk perlunya
dilakukan penelitian terhadap variabel
yang berpengaruh terhadap stres kerja
pegawai. Untuk itu perlu dilakukan
penelitian tentang pengaruh work family
conflict terhadap stres kerja pegawai
Administrasi Rumah Sakit di BRSU
Tabanan Berdasarkan uraian pendahuluan
tersebut diatas, maka penelitian ini
mengambil judul tentang Pengaruh Work
Family Confict Terhadap Stres Kerja Pada
Pegawai Administrasi Rumah Sakit BRSU
Tabanan.
Berdasarkan beberapa teori dan
penelitian terdahulu maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah:
H1: Work family conflict mempunyai
hubungan yang positif dan signifikan
terhadap Stres Kerja Pegawai.
METODE
Penelitian yang akan dilakukan
merupakan penelitian eksplanatori
(explanatory research) yang bertujuan
untuk menjelaskan hubungan kausal antar
variabel dengan pendekatan cross sectional. Analisa data dilakukan dengan
mempergunakan teknik analisa kuantitatif
dengan menggunakan teknik regresi. Hasil
analisa selanjutnya disajikan serta
diinterpretasikan dan kemudian langkah
terakhir diberikan kesimpulan dan saran.
Populasi target dalam penelitian ini
adalah seluruh pegawai administrasi rumah
Saputra & Rudiartha
41
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
sakit BRSU Tabanan yang merupakan
pegawai tetap (PNS) dan kontrak. Populasi
terjangkau dalam penelitian ini adalah
pegawai administrasi rumah sakit BRSU
Tabanan yang merupakan pegawai tetap
(PNS) dan kontrak dan bersedia menjadi
responden. Teknik pengambilan sampel
yang digunakan adalah sampel jenuh (total
sampling) dimana seluruh anggota populasi
yang bersedia menjadi responden
digunakan sebagai sampel.
Dalam penelitian ini variabel-
variabel dalam model konseptual
didefinisikan sebagai berikut.
1. Variabel Work Family Conflict (X)
Definisi operasional work family
conflict (WFC) adalah tekanan atau
ketidakseimbangan peran antara peran
dipekerjaan dengan peran didalam
keluarga. Penelitian ini dalam mengukur
variabel work family conflict menggunakan
skala pengukuran[4]. Kuesioner ini
menggunakan skala lima point dan diukur
dengan indikator-indikator sebagai berikut:
a. Sesuai dengan tugas dan tanggung
jawab yang dijalankan pada
pekerjaan yang diemban, saya
harus mengubah rencana saya
dalam melakukan aktivitas
dengan keluarga.
b. Karena banyaknya waktu yang
tersita dalam menjalankan tugas
dan tanggung jawab pada
pekerjaan yang diemban membuat
saya sulit untuk memenuhi
tanggungjawab keluarga.
c. Kebutuhan di dunia pekerjaan
membuat saya mengabaikan
kehidupan rumah tangga saya.
2. Stres kerja (Y)
Stres kerja adalah sesuatu kondisi
ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang
mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan
kondisi seorang karyawan[2]. Indikator
stres kerja yaitu sebagai berikut:
a. Pekerjaan saya cenderung
mempengaruhi kesehatan saya
b. Setiap akhir hari, pekerjaan saya
membuat saya merasa stress
c. Masalah yang berhubungan dengan
pekerjaan membuat saya terjaga
tengah malam
d. Saya merasa kawatir / cemas karena
pekerjaan saya
Pengujian asumsi klasik dilakukan
sebelum menggunakan model regresi linier
berganda dalam menguji hipotesis.
Pengujian asumsi klasik dimaksudkan agar
regresi yang diperoleh dari metode kuadrat
terkecil nantinya menghasilkan penaksiran
bias linear terbaik sehingga hasil
perhitungan dapat diinterpretasikan dengan
efisiensi dan akurat.
HASIL
Data karakteristik responden
merupakan data responden yang
dikumpulkan untuk mengetahui profil
responden. Responden dalam penelitian ini
adalah pegawai administrasi BRSU
Tabanan, dengan jumlah 97 orang.
Karakteristik responden yang dibahas pada
penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, dan masa kerja yang
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik Responden
Karakteristik Frekuensi Persen-
tase
Umur
20-30 tahun 16 16.49
31-40 tahun 65 67.01
41-50 tahun 15 15.46
> 50 thn. 1 1.03
Total 97 100,0
Jenis
Kela-
min
Laki-laki 12 12.37
Perempu-an 85 87.63
Total 97 100,0
Pendi-
dikan
SMA 7 7.22
Diploma 22 22.68
S1 68 70.10
Total 97 100,0
Masa
Kerja
1-5 thn. 44 45.36
6-10 tahun 20 20.62
11-15 tahun 12 12.37
> 15 tahun 21 21.65
Total 97 100,0
Sumber: Data diolah
Bagian pertama menjelaskan
karakteristik responden berdasarkan umur.
Responden dalam penelitian ini sebagian
Pengaruh Work Family Conflict Terhadap Stres Kerja
42
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
besar memiliki umur berkisar antara 31-40
tahun yaitu sebesar 67,01 persen dan hanya
1,03 persen yang berumur di atas 50 tahun.
Bagian kedua, menunjukkan jumlah
responden perempuan lebih banyak
dibandingkan responden laki-laki. Hal ini
ditunjukan dari jumlah responden laki-laki
sebesar 12,37 persen, sedangkan jumlah
responden perempuan sebesar 87,63
persen.
Bagian kelima mengenai
pendidikan terakhir. Sebagian besar
responden mengenyam pendidikan
responden di tingkat sarjana sebesar 70,10
persen dan hanya 7,22 persen yang masih
SMA. Bagian yang terakhir dibahas masa
kerja responden. Responden dalam
penelitian ini hampir merata di setiap
golongan masa kerja, namun masa kerja 1-
5 tahun memiliki persentase terbesar
sebesar 45,36 persen.
Hasil Penelitian Analisis Regresi
Sederhana
Dalam penelitian ini, untuk
menganalisis data digunakan metode
analisis regresi sederhana. Analisis regresi
sederhana digunakan untuk mengetahui
dan menunjukkan arah serta besarnya
pengaruh work family conflict terhadap
stres kerja Pegawai administrasi rumah
sakit BRSU Tabanan
Dalam model analisis pada penelitian
ini, yang digunakan sebagai variabel bebas
adalah adalah work family conflict.
Sedangkan yang digunakan sebagai
variabel terikat pada penelitian ini adalah
stres kerja (Y). Analisis ini menggunakan
bantuan SPSS Statistics 21.0 dalam
pengolahan.
Tabel 2 Hasil Analisis Regresi Linear Berganda
Model Unstandardiz
ed
Coefficients
Standardi
zed
Coefficien
ts
t Si
g.
B Std.
Erro
r
Beta
1
(Consta
nt)
84.559 1.89
7
44.58
1
.00
0
WFC 2.135 .169 .791 12.61
5
.00
0
F hitung
:
159,13
Signifikansi F : 0,000
R Square : 0,626
Adjusted R Square :
0,622
Sumber: Data diolah
Berdasarkan hasil analisis yang
disajikan pada Tabel 2, maka dapat disusun
persamaan regresi sebagai berikut:
Ŷ = 84,66 + 2,135X1 + e
Berdasarkan model yang telah
dianalisis, dilakukan pengujian secara
bersama-sama dengan uji F (F-test),
berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui Fhitung
sebesar 159,13, signifikansi (p-value)
sebesar 0,000 dan Adjusted R Square
sebesar 0,622 atau 62,2 persen.
Berdasarkan nilai toleransi yang diberikan
yaitu α = 5 persen dengan nilai signifikansi
0,000 < α (0,05) maka Ho ditolak dan Hi
diterima. Ini berarti bahwa variabel WFC
berpengaruh signifikan terhadap Stres
Kerja Pegawai administrasi rumah sakit
BRSU Tabanan. Secara bersama-sama,
WFC berpengaruh sebesar 0,622 atau
62,2%, sedangkan sisanya sebesar 37,8%
dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak
masuk dalam model.
Untuk membuktikan pengaruh
variabel tersebut nilai ttabel dibandingkan
dengan thitung, atau dengan cara melihat
besarnya nilai koefisien beta pada variabel
bebas, maka secara pengaruh variabel
bebas tersebut terhadap Stres kerja dapat
diketahui. Berdasarkan Tabel 2 koefisien
WFC (b1) sebesar 2,135 dengan nilai
signifikansi 0,000 lebih kecil dari α
Saputra & Rudiartha
43
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
(0,000<0,05). Hasil ini menunjukkan
bahwa WFC secara berpengaruh positif
dan sisgnifikan terhadap Stres kerja pada
Pegawai administrasi rumah sakit BRSUD
Kabupaten Tabanan. Hal ini juga dapat
dibuktikan dari thitung sebesar -12,615 lebih
besar dari ttabel sebesar t(0,05;96) = 2,02 (thitung
= 12,615 > ttabel = 2,02). Nilai yang
diperoleh menandakan arah hubungan yang
positif, dengan demikian dapat dijelaskan
bahwa semakin rendah WFC maka Stres
kerja akan semakin baik, dan sebaliknya
semakin tinggi WFC maka akan
berdampak pada penurunan Stres kerja.
PEMBAHASAN
Hasil uji yang ditunjukkan oleh tabel
2 menunjukkan WFC berpengaruh secara
positif dan signifikan terhadap stres kerja
yang berarti hipotesis diterima. Hasil ini
ditunjukkan dengan WFC (b1) sebesar
2,135 dengan nilai signifikansi 0,000 lebih
kecil dari α (0,000<0,05). Hasil ini
menunjukkan bahwa WFC secara
berpengaruh positif dan sisgnifikan
terhadap Stres kerja pada Pegawai
administrasi rumah sakit BRSUD
Kabupaten Tabanan. Hal ini juga dapat
dibuktikan dari thitung sebesar 12,615 lebih
besar dari ttabel sebesar t(0,05;96) = 2,02 (thitung
= 12,615 > ttabel = 2,02). Ini berarti bila
WFC dari pegawai meningkat maka akan
terjadi peningkatan stres kerja pada
pegawai BRSUD Kabupaten Tabanan.
Kontribusi pengaruh dari WFC
terhadap stres kerja adalah sebesar 79,1
persen. Hasil ini diperkuat oleh teori dari
Greenhaus dan Beutell (1985) adalah salah
satu dari bentuk interrole conflict yaitu
tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran dipekerjaan dengan peran
didalam keluarga. Jam kerja yang panjang
dan beban kerja yang berat merupakan
pertanda langsung akan terjadinya konflik
pekerjaan-keluarga (WFC), dikarenakan
waktu dan upaya yang berlebihan dipakai
untuk bekerja mengakibatkan kurangnya
waktu dan energi yang bisa digunakan
untuk melakukan aktivitas-aktivitas
keluarga[4]. Menurut teori peran, WFC
berkepanjangan dapat mendorong
terjadinya ketidakpuasan kerja, mengikis
rasa percaya diri, dan menghambat kinerja
pekerjaan. Hasil ini juga didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Yu et al
tahun 2016 bahwa WFC berpengaruh
signifkan terhadap stres kerja pekerja dan
supervisor[5]. Semakin tinggi WFC
semakin rendah stres kerja pekerja.
KESIMPULAN
Simpulan yang dapat diberikan
berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan pada Pegawai BRSU Kabupaten
Tabanan adalah WFC berpengaruh positif
dan signifikan terhadap stres kerja Pegawai
BRSU Kabupaten Tabanan.
SARAN
1. Pernyataan “Sesuai dengan tugas dan
tanggung jawab yang dijalankan pada
pekerjaan yang diemban, saya harus
mengubah rencana saya dalam
melakukan aktivitas dengan keluarga”,
merupakan item dengan nilai rata-rata
paling kecil, sedangkan pernyataan
“Karena banyaknya waktu yang tersita
dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawab pada pekerjaan yang diemban
membuat saya sulit untuk memenuhi
tanggungjawab keluarga” merupakan
item dengan nilai rata-rata paling besar.
2. Pernyataan “Setiap akhir hari, pekerjaan
saya saya merasa stress”, merupakan
item dengan nilai rata-rata paling besar,
sedangkan pernyataan “Pekerjaan saya cenderung mempengaruhi kesehatan
saya” merupakan item dengan nilai rata-
rata paling kecil.
3. Dari pernyataan di atas maka kami
sarankan pimpinan dan pihak
manajemen dapat mengoptimalkan
penggunaan SDM dengan
memperhatikan rencana kerja yang tepat
Pengaruh Work Family Conflict Terhadap Stres Kerja
44
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
serta job description dan SOP yang jelas
Pihak manajemen dapat memberikan
pengarahan secara periodic dalam
menjelaskan rencana kerja baik jangka
pendek, menengah, maupun panjang,
sehingga pemberian beban kerja
terhadap paegawai bisa sesuai dengan
kapasitas serta waktu kerja yang telah
ditentukan. Pimpinan juga dapat
mewajibkan pegawai untuk bekerja
secara optimal tanpa menunda-nunda
pekerjaan di kantor yang dapat
menyebabkan pegawai lembur atau
membawa kerjaannya pulang kerumah
sehingga mengganggu tanggung
jawabnya dirumah
DAFTAR RUJUKAN
1. Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan
Nasional. Jakarta.
2. Rivai, Veithzal dan Basri M.F.A 2005,
Perfomance Appraisal, Sistem
Penilaian Kinerja Karyawan dan
Meningkatkan Daya Saing Perusahaan,
Penerbit: Raja Grafindo Persada
Jakarta.
3. Robbins, Stephen. 2008.
Organizational Behavior, Teth Edition
(Perilaku Organisasi edisi ke Sepuluh).
Salemba Empat. Jakarta.
4. Greenhaus, J., & Beutell, N. (1985).
Sources of conflict between work and
family roles. Academy of Management
Review, 10, 76-88. 5. Yu, Xiaobo et al. 2015. The Effect of Work
Stress on Job Burnout Among Teachers:
The Mediating Role of Self-efficacy.
Social Indicators Research. July
2015, Volume 122, Issue 3, pp 701–708
BHJ 4(1) Mei 2020
BALI HEALTH JOURNAL ISSN 2599-1280 (Online); ISSN 2599-2449 (Print)
http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ
PENGARUH PELAYANAN PRIMA DAN CUSTOMER RELATIONSHIP
MANAGEMENT (CRM) TERHADAP LOYALITAS PASIEN
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA DENPASAR
I Gede Suasnawa
Program Studi Administrasi Rumah Sakit, Universitas Bali Internasional
Abstrak
Latar Belakang: Loyalitas pasien merupakan komitmen dan kesetian yang dipegang secara mendalam untuk
memakai kembali jasa pelayanan kesehatan rumah sakit. Keuntungan loyalitas bersifat jangka panjang dan
kumulatif, yaitu meningkatkan sumber pendapatan atau keuntungan, retensi pegawai yang lebih tinggi, dan basis
keuangan yang lebih stabil. Peningkatan loyalitas pasien bisa dipengaruhi oleh pelayanan prima dan customer
relationship managemen (CRM). Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pelayanan prima dan
CRM terhadap loyalitas pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar. Metode: Penelitian ini
termasuk jenis penelitian kausal karena penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan sebab akibat antara variabel
pelayanan prima, CRM dan loyalitas pasien. Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling dengan
kriteria pasien berkunjung ke rumah sakit lebih dari dua kali dengan usia 17 - 65 tahun dan jumlah sampel yang
diambil sebesar 100 responden. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi
linier berganda. Hasil: pelayanan prima berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas pasein (p < 0,05).
Variabel CRM berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas pasien (p < 0,05). Kesimpulan: Variabel
pelayanan prima merupakan faktor yang dominan mempengaruhi loyalitas pasien yaitu dengan koefisien regresi
sebesar 0,537 dan koefisien regresi CRM adalah 0,478.
Kata kunci : Pelayanan prima, CRM, Loyalitas
Abstract
Background: Patient loyalty is a commitment and loyalty that is held deeply to reuse hospital health services.
The benefits of loyalty are long-term and cumulative, namely increasing sources of income or profits, higher
employee retention, and a more stable financial base. Increased patient loyalty can be influenced by excellent
service and customer relationship management (CRM). Objective: This study aims to examine the effect of
excellent service and CRM on patient loyalty in the Wangaya District General Hospital, Denpasar. Method: This
study is a causal study because this study aims to determine the causal relationship between excellent service
variables, CRM and patient loyalty. The sampling technique used was incidental sampling with the criteria of
patients visiting the hospital more than twice with ages 17 - 65 years and the number of samples taken was 100
respondents. The data analysis technique used in this study is multiple linear regression analysis. Results:
excellent service has a positive and significant effect on patient loyalty (p <0.05). CRM variable has a positive
and significant effect on patient loyalty (p <0.05). Conclusion: Excellent service variable is a dominant factor
affecting patient loyalty with a regression coefficient of 0.537 and a CRM regression coefficient of 0.478.
Keywords: Excellent service, CRM, Loyalty
Korespondensi:
I Gede Suasnawa
Email: [email protected]
Riwayat Artikel: Diterima 12 Agustus 2019
Disetujui 25 Februari 2020
Dipublikasikan 20 Mei 2020
Pengaruh Pelayanan Prima dan Customer Relationship
46
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
PENDAHULUAN
Rumah sakit adalah bagian integral
dari suatu organisasi sosial dan kesehatan
dengan fungsi menyediakan pelayanan
paripurna (komprehensif), penyembuhan
penyakit (kuratif) dan pencegahan
penyakit (preventif) kepada masyarakat.
Rumah sakit juga merupakan pusat
pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat
penelitian medik. [1] Rumah sakit adalah
institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalan, dan gawat darurat.[2] Tolak ukur
keberhasilan suatu rumah sakit adalah
salah satunya bergantung pada tingkat
kunjungan kembali untuk menggunakan
jasa pelayanan rumah sakit. Rumah sakit
dalam meningkatkan tingkat kunjungan
kembali harus mampu membuat setrategi
agar mampu meningkatkan loyalitas pasien
terhadap rumah sakit.
Loyalitas adalah komitmen yang
dipegang secara mendalam untuk membeli
atau mendukung kembali produk atau jasa
yang disukai dimasa depan meski pengaruh
situasi dan usaha pemasaran berpotensi
menyebabkan pelanggan beralih. [3] Ciri
khas dari sikap dan sifat loyalitas pasien di
rumah sakit didasarkan pada keterikatan
pasien atas jasa yang disediakan rumah
sakit yang dihubungkan secara silang
menyilang dengan pola penggunaan jasa
secara berulang. Pasien yang mempunyai
sikap dan sifat loyal adalah mereka yang
tidak hanya bersedia menggunakan jasa
ketika pasien tersebut sakit, tetapi juga
kesediaannya untuk menyarankan produk
atau jasa tersebut kepada orang lain, teman,
saudara, dan anggota keluarga serta kolega
mereka. Keuntungan loyalitas bersifat
jangka panjang dan kumulatif, yaitu
meningkatnya loyalitas pasien dapat
menyebabkan sumber pendapatan atau
keuntungan yang lebih meningkat, retensi
pegawai yang lebih tinggi, dan basis
keuangan yang lebih stabil.
Pasien yang loyal timbul dari rasa
puas dengan mutu pelayanan yang
diberikan. Mutu pelayanan merupakan
bentuk penilaian konsumen terhadap
tingkat pelayanan yang diterima (perceived
services) dengan tingkat pelayanan yang
diharapkan (expected services).[4]
Pelayanan yang mampu meningkatkan
keunggulan bersaing dan mutu pelayanan
rumah sakit adalah salah satunya dengan
memberikan sebuah pelayan prima.
Pelayanan prima adalah pelayanan dengan
standar kualitas yang tinggi dan selalu
mengikuti perkembangan kebutuhan
pelanggan setiap saat, secara konsisten dan
akurat, sehingga mampu bertahan dalam
iklim persaingan yang ketat.[5] Pelayanan
yang memenuhi standar kualitas adalah
suatu pelayanan yang sesuai dengan
harapan dan kepuasan pelanggan/pasien.[6]
Penelitian terkait dengan pelayanan prima
terhadap loyalitas menunjukkan bahwa
peningkatan layanan prima mampu
meningkatkan loyalitas pelanggan Internet
Service Provider (ISP).[7] Beberapa
peneliti lain juga menyatakan bahwa
pelayanan prima berpengaruh positif dan
signifikan terhadap loyalitas.[8][9][10]
Rumah sakit dalam meningkatkan
loyalitas pasien diperlukan manajemen
menjaga hubungan manajemen hubungan
pelanggan (customer relationship
management) atau CRM . CRM Menurut
adalah strategi inti dalam bisnis yang
mengintegrasikan proses - proses dan
fungsi - fungsi internal dengan semua
jaringan eksternal untuk menciptakan serta
mewujudkan nilai bagi para konsumen
sasaran secara menguntungkan.[11] Hasil
penelitian terkait dengan CRM terhadap
loyalitas didapatkan bahwa CRM berpengaruh positif dan signifikan
terhadap loyalitas pasien di Rumah Sakit
Bali Royal.[10] penelitian dengan judul
“Pengaruh CRM Terhadap Loyalitas
Pelanggan Tivoli Club House Sidoarjo
dengan Kepuasan Pelanggan Sebagai
Variabel Perantara” juga menunjukan
bahwa variabel loyalitas pelanggan
Suasnawa
47
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
dipengaruhi CRM dan loyalitas pelanggan
sebesar 67,8%. Berbeda dengan kedua
penelitian tersebut yang menyatakan
bahwa pengaruh variabel CRM terhadap
loyalitas pasien RS tingkat II Tentara
Nasional Indonesia adalah tidak
signifikan.[13] Hal ini menunjukkan bahwa
variabel CRM secara statistik memiliki
pengaruh yang tidak signifikan terhadap
Loyalitas pasien RS tingkat II Tentara
Nasional Indonesia. Berdasarkan uraian
latar belakang di atas, peneliti tertarik
untuk meneliti Pengaruh Pelayanan Prima
dan Customer Relationship Management
(CRM) Terhadap Loyalitas Pasien di
Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya
Denpasar.
Penelitian diharapkan memiliki
manfaat secara teoritis dan praktis.
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah
memberi tambahan bukti empiris tentang
hubungan antara pelayanan prima, CRM,
dan loyalitas pasien yang dapat
diaplikasikan di rumah sakit, yang
diharapkan dapat menjadi dasar penelitian
lebih lanjut. Manfaat praktis yang
diinginkan adalah 1) memberi tambahan
informasi bagi pihak manajemen Rumah
Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar
mengenai hubungan antara pelayanan
prima, CRM, dan loyalitas pasien di rumah
sakit ; 2) menjadi pertimbangan dan
masukan bagi pihak manajemen Rumah
Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar
untuk memperbaiki dan meningkatkan
pelayanan prima, CRM serta menentukan
kebijakan yang berkaitan dengan
pelayanan prima dan CRM demi
terciptanya loyalitas pasien; 3)
memberikan gambaran bagi peneliti
selanjutnya untuk mengembangkan
penelitian ini dengan menghubungkan
variabel - variabel baru yang berperan
dalam meningkatkan loyalitas pasien di
Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya
Denpasar.
METODE
Penelitian ini termasuk jenis
penelitian kausal karena penelitian ini
bertujuan mengetahui hubungan sebab
akibat antara variabel pelayanan prima dan
CRM terhadap loyalitas pasien Variabel
dalam penelitian ini adalah loyalitas pasien
sebagai variabel terikat atau dependent
variable dan variabel bebas atau
independent variable adalah pelayanan
prima dan CRM. Subjek penelitiannya
adalah pasien rawat jalan RSUD Wangaya
Denpasar yang berkunjung lebih dari dua
kali sejumlah 100 orang. Instrumen
penelitian yang dipakai untuk
pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan kuesioner.
Kuesioner tersebut berupa daftar
pernyataan yang secara langsung diberikan
kepada para responden. Pernyataan -
pernyataan dalam kuesioner dibuat dengan
menggunakan skala likert 1 – 5. Jawaban
setiap item instrument yang menggunakan
skala Likert mempunyai gradasi dari sangat
negatif sampai positif yang dapat berupa
kata-kata antara lain: sangat tidak setuju
(skor 1); tidak setuju (skor 2); netral (skor
3); setuju (skor 4) dan sangat setuju (skor
5). Analisis yang digunakan adalah analisis
regresi linier berganda dimana data diolah
dengan bantuan program computer yaitu
SPSS (software statistics product for the
social science).
HASIL
Hasil penelitian didapatkan dengan
melakukan pengujian hipotesis yang
menggunakan uji t. Uji t digunakan untuk
mengetahui pengaruh variabel bebas, yaitu
pelayanan prima (X1) dan CRM (X2
terhadap loyalitas pasien (Y1) di RSUD
Wangaya Denpasar. Uji t dilakukan dengan
membandingkan nilai thitung dengan ttabel
pada taraf signifikansi 0,05 dengan
pengujian α = 0,05; df = n-k = 100-3 = 97,
sehingga ttabel (0,05:31) adalah sebesar
1,984723. Hasil analisis uji t dapat dilihat
pada tabel 1.
Pengaruh Pelayanan Prima dan Customer Relationship
48
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
Tabel 1. Hasil analisis uji t Pengaruh Pelayanan Prima Dan CRM Terhadap Loyalitas
Pasien
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig.
Collinearity Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) .295 .142 2.072 .041 x1 .537 .072 .567 7.428 .000 .149 6.711
x2 .478 .089 .409 5.362 .000 .149 6.711
Sumber: Olah data tahun 2017
Berdasarkan tabel 1. hasil uji t pada
penelitian ini menujukan hasil sebagai
berikut:
1. Pengujian t hitung pada pelayanan
prima (X1)
Hipotesis 1 menyatakan bahwa
pelayanan prima berpengaruh positif
terhadap loyalitas pasien RSUD
Wangaya Denpasar. Tabel 1.
menunjukkan nilai dengan tingkat
signifikansi 95% (α =0,05) memiliki
angka signifikansi (P Value) pada
variabel pelayanan prima 0,000<0,05,
maka H0 ditolak dan pada tabel 1. nilai
thitung=7,428 lebih besar dari
ttabel=1,984723 maka H0 ditolak, ini
berarti pelayanan prima berpengaruh
positif dan signifikan terhadap loyalitas
pasien di RSUD Wangaya Denpasar.
Hal ini berarti hipotesis yang diajukan
oleh peneliti diterima.
2. Pengujian t hitung pada Customer
Relationship Management (X2)
Customer Relationship
Management berpengaruh positif
terhadap loyalitas pasien RSUD
Wangaya Denpasar. Tabel 1.
menunjukkan nilai dengan tingkat
signifikansi 95% (α =0,05) memiliki
angka signifikansi (P Value) pada variabel CRM 0,000<0,05, maka H0
ditolak dan pada tabel 1. nilai
thitung=5.362 lebih besar dari
ttabel=1,984723 maka H0 ditolak, ini
berarti CRM berpengaruh positif dan
signifikan terhadap loyalitas pasien
RSUD Wangaya Denpasar. Hal ini
berarti hipotesis yang diajukan oleh
peneliti diterima.
PEMBAHASAN
Penelitian ini difokuskan untuk
menguji pengaruh pelayanan prima dan
customer relationship management
terhadap loyalitas pasien RSUD Wangaya
Denpasar. Pembahasan tentang hasil
penelitian sesui dengan hasil analisis
diuraikan berikut ini:
1. Pengaruh Pelayanan Prima Terhadap
Loyalitas Pasien
Hasil penelitian diperoleh bahwa
ada pengaruh positif pelayanan prima
terhadap loyalitas pasien RSUD
Wangaya Denpasar. Koefisien regresi
X1 sebesar 0,537 menyatakan bahwa
setiap kenaikan pelayanan prima
sebesar satu satuan akan meningkatkan
loyalitas pasien sebesar 0,537 satuan.
Nilai probabilitas dengan tingkat
signifikansi 95% (α =0,05) memiliki
angka signifikansi (P Value) pada
variabel pelayanan prima 0,000<0,05,
maka H0 ditolak dan nilai thitung=7,428
lebih besar dari ttabel=1,984723 maka
H0 ditolak, ini berarti pelayanan prima
berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas pasien. Hal ini berarti
hipotesis yang diajukan oleh peneliti
diterima.
Hasil penelitian lain menunjukan
bahwa peningkatan layanan prima
mampu meningkatkan loyalitas
pelanggan Internet Service Provider
Suasnawa
49
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
(ISP).[7] Pelayanan prima juga
berpengaruh signifikan terhadap
loyalitas pada industri perawatan
rambut.[8] Pelayanan prima merupakan
sebuah kepedulian oleh perusahaan
terhadap para pelanggan dengan
berusaha memberikan pelayanan sebaik
mungkin dalam memenuhi harapan dan
kebutuhan pelanggan, berdasarkan
standard dan prosedur pelayanan untuk
mewujudkan kepercayaan pelanggan
agar mereka selalu puas, sehingga
mewujudkan pelanggan yang memiliki
loyalitas tinggi.[14] Beberapa peneliti
lain mengungkapkan bahwa pelayanan
prima juga berpengaruh positif dan
signifikan terhadap loyalitas.[10][15]
2. Pengaruh CRM Terhadap Loyalitas
Pasien
Penenlitian ini menunjukan hasil
bahwa ada pengaruh positif CRM
terhadap loyalitas pasien. Koefisien
regresi X2 sebesar 0,478 menyatakan
bahwa setiap kenaikan CRM sebesar
satu satuan akan meningkatkan loyalitas
pasien sebesar 0,478 satuan. Nilai
probabilitas dengan tingkat signifikansi
95% (α =0,05) memiliki angka
signifikansi (P Value) pada variabel
CRM 0,000<0,05, maka H0 ditolak dan
nilai thitung=5,362 lebih besar dari
ttabel=1,984723 maka H0 ditolak, ini
berarti CRM berpengaruh positif dan
signifikan terhadap loyalitas pasien
RSUD Wangaya Denpasar. Hal ini
berarti hipotesis yang diajukan oleh
peneliti diterima.
Penelitian terkait dengan CRM
terhadap loyalitas yang diungkapkan
oleh peneliti lain menyatakan bahwa
CRM berpengaruh terhadap kepuasan dan Loyalitas pelanggan.[16] Sejalan
dengan penelitian beberapa peneliti
lainnya yang menunjukan bahwa
adanya pengaruh yang signifikan antara
CRM dengan loyalitas melalui kepuasan
dan kpercayaan pelanggan.[17]
Penelitian dengan judul “Pengaruh
CRM Terhadap Loyalitas Pelanggan
Tivoli Club House Sidoarjo dengan
Kepuasan Pelanggan Sebagai Variabel
Perantara” menunjukan bahwa variabel
loyalitas pelanggan dipengaruhi CRM
dan loyalitas pelanggan sebesar
67,8%.[12] Penelitian dengan judul
Analysis of Customer Loyalty through
Total Quality Service, Customer
Relationship Management and
Customer Satisfaction menunjukan
bahwa CRM berpengaruh signifikan
terhadap loyalitas.[18] Beberapa peneliti
lain juga mengungkapkan hal yang sama
dimana CRM berpengaruh positif dan
signifikan terhadap loyalitas.[10][19][20][21]
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis serta hasil
pembahasan yang telah dilalakukan
sebelumnya maka dari penelitian ini dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Variabel pelayanan prima berpengaruh
positif dan signifikan terhadap loyalitas
pasien RSUD Wangaya Denpasar
dengan koefisien regresi sebesar 0,537
maka menyatakan bahwa setiap
kenaikan pelayanan prima satu satuan
akan meningkatkan loyalitas sebesar
0,537 satuan.
2. Variabel CRM berpengaruh positif dan
signifikan terhadap loyalitas pasien
RSUD Wangaya Denpasar dengan
koefisien sebesar 0,478 maka
menyatakan bahwa setiap kenaikan
CRM sebesar satu satuan akan
meningkatkan Loyalitas sebesar 0,478
satuan.
SARAN
Berdasarkan hasil analisis penelitian
yang telah dilakukan, maka untuk
kepentingan manajemen rumah sakit,
maupun ilmu pengetahuan, selanjutnya
disampaikan beberapa saran sebagai
berikut:
1. Kepada Manajemen Rumah Sakit
Pengaruh Pelayanan Prima dan Customer Relationship
50
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
Manajemen Rumah sakit harus
lebih mengoptimalkan peran dari
manajemen dalam hal pengawasan
operasional rumah sakit untuk
membantu mengawasi setiap karyawan
agar selalu memberikan pelayanan
prima untuk menciptakan loyalitas
pasien. Program CRM juga harus
diperhatikan, karena untuk membuat
pasien loyal perlu hubungan yang baik
antara Rumah sakit dengan pasien.
2. Kepada Peneliti Selanjutnya
Hasil temuan penelitian ini dapat
memberikan masukan dan menjadi
bahan pertimbangan untuk
mengembangkan penelitian selanjutnya,
sehingga pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya ilmu perilaku
konsumen rumah sakit dan strategi
pemasaran jasa rumah sakit berkembang
sesuai dengan perkembangan waktu dan
zaman. Kepada peneliti lain disarankan
untuk meneliti lebih jauh faktor - faktor
yang mempengaruhi loyalitas pasien
dengan variabel dan indikator -
indikator yang berbeda yang tidak
terdapat didalam penelitian ini.
DAFTAR RUJUKAN
1. World Health Organization (WHO)
2. Undang - Undang Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit.
3. Kotler dan Keller. Manajemen
Pemasaran. Jilid I. Edisi ke 13. Jakarta:
Erlangga ;2009.
4. Kotler, Philip dan Gery Armstrong.
Dasar-dasar Pemasaran. Edisi
kesembilan Jilid satu. Jakarta : PT.
Indeks kelompok Gramedia; 2003.
5. Rahmayanty. N. Manajemen
Pelayanan Prima. Yogyakarta: Graha
Ilmu; 2013.
6. Maddy, Khairul. Hakikat dan
Pengertian Pelayanan Prima. Jakarta:
Chama Digit; 2009.
7. Paramaporn Thaichon , Antonio Lobo
, Ann Mitsis. Achieving customer
loyalty through service excellence in
internet industry. International Journal
of Quality and Service Sciences.
[serial on the internet]. 2014[cited
2017 january].6(4), pp.274 – 289.
http://www.emeraldinsight.com/doi/a
bs/10.1108/IJQSS-03-2014-0024
8. Myria Ioannou and Yioula
Melanthiou. The Effect of Interaction
Quality on Trust, Loyalty and Cross-
Selling. International Economics
Letters .2015; 4(1), 1–14.
9. Erna Wahyuningsih, Chatarina Endah
Winarti, Dita Prihandini. Analisis
Pengaruh Pelayanan Prima,
Kepercayaan, Dan Kepuasan
Terhadap Loyalitas Nasabah
Tabungan Pt. Bank Mandiri (Persero)
Tbk. Di Jakarta Pusat.[serial on the
internet] 2013 [Cited 2016 desember].
https://repository.perbanas.id/xmlui/bi
tstream/handle/123456789/1351/(208
207832)%20Proceeding%20Seminar
%20FMI%20Pontianak(1).pdf?sequen
ce=1
10. Suasnawa, I Gede dan Gorda dan
A.A.N. Eddy Supriyadinata. Pengaruh
Pelayanan Prima dan Customer
Relationship Management terhadap
Loyalitas Pasien yang dimediasi oleh
Kepuasan dan Kepercayaan. Jurnal
Manajemen dan Bisnis.2017;14(1):56-
74.
11. Buttle, Francis. Custumer Relationship
Management (Manajemen Hububgan
Pelanggan). Jakarta: Bayumedia;
2007.
12. Ryan Felix, dkk. Pengaruh Customer
Relationship Management Terhadap
Loyalitas Pelanggan Tivoli Club
House Sidoarjo Dengan Kepuasan
Pelanggan Sebagai Variabel Perantara.Surabaya: Manajemen
Perhotelan, Universitas Kristen Petra,
Indonesia; 2016.
13. Sutrisno. The Influence of Service
Quality, and Customer Relationship
Management (CRM) Of Patient
Satisfaction, Brand Image, Trust, and
Patient Loyalty on Indonesian
Suasnawa
51
Bali Health Journal
4(1) Mei 2020
National Army Level II Hospitals.
International Journal of Business and
Management Invention. 2016; 5(5):
30-44.
14. Atep Adya Barata. Dasar- Dasar
Pelayanan Prima. Jakarta: Elex Media
Kompetindo; 2003.
15. Erna Wahyuningsih, Chatarina Endah
Winarti, Dita Prihandini. Analisis
Pengaruh Pelayanan Prima,
Kepercayaan, Dan Kepuasan
Terhadap Loyalitas Nasabah
Tabungan Pt. Bank Mandiri (Persero)
Tbk. Di Jakarta Pusat[serial on the
internet]. 2013)[citet 2016 desember].
https://repository.perbanas.id/xmlui/bi
tstream/handle/123456789/1351/(208
207832)%20Proceeding%20Seminar
%20FMI%20Pontianak(1).pdf?sequen
ce=1
16. Imasari Kartika, Muzahid Akbar M.
dan Parvez Noorjahan. Service
Quality, Trust, And Customer
Satisfaction Engender Customer
Loyalty. ABAC Journal.
2009;29(1):24-38.
17. Hesti Kartika Sari. Efektifitas Loyalty
Program Dalam Customer
Relationship Management Terhadap
Kepuasan Dan Loyalitas Pelanggan
(Studi Kegiatan Divisi Retensi Dalam
Pelaksanaan Loyalty Program
“Im3@School Community” Pada PT
Indosat Tbk. Kantor Cabang
Malang.Jurnal Ilmu
Komunikasi.2009;6(2):117-206.
18. Feliks Anggia B.K.P, Hotman
Panjaitan. Analysis of Customer
Loyalty through Total Quality Service,
Customer Relationship Management
and Customer Satisfaction.
International Journal of Evaluation and Research in Education
(IJERE).2014;3(3):2252-8822.
19. Mornay Roberts-Lombard and Leon
du Plessis. Customer relationship
management (CRM) in a South African
service environment: An exploratory
study. African Journal of Marketing
Management.2012;4(4):152-165.
20. Siddig Balal Ibrahim, Abdelsalam
Adam Hamid, Badreldien Babiker, Ali
Yassin Sheikh Ali. Customer
Relationship Management Quality and
Customer Loyalty: Evidence from
Sudanese Bank Customers. Academic
Research International.2015;6(1):259-
269.
21. KOÇOĞLU, Prof. Dr. Duygu.
Customer Relationship Management
And Customer Loyalty; A Survey In
The Sector Of Bankin. International
Journal of Business and Social Science
[serial on the internet.2012[cited
September 2016];3(3).
http://search.proquest.com/openview/
1637efe14de59164431a2285795165f
b/1?pq-
origsite=gscholar&cbl=646295
52
MANUSCRIPT GUIDELINES
ABSTRACT FORMAT
1. File & Font Format
The authors must use Microsoft Word version 2003 or higher (file format is .doc or
.docx) for abstract preparation. For fonts, please use Times New Roman with font size of
12 point, for title please us Times New Roman with font size of 14 point.
2. Typing Area
The authors must use A4 size with top, bottom, and right margins of 2.5 cm and left
margin of 3 cm.
3. Organization of Abstract
a. Title
Please type title and bold letters, capitalize only the first letter of the first word, and
center on the width of the typing area and single-spaced if more than one line is
required. The title should be brief, descriptive and have all words spelled out.
b. Authors
Please list the author(s) name(s), single-spaced if more than one line is required.
Underline for the name of the presenter. Put asterisk sign “*” after the name of
corresponding author.
c. Author’s Affiliation
Please indicate institutional affiliation followed by city and country. In case that
authors are from different institutions, please use number typed in superscript for each
institution and author accordingly.
d. Abstract body
Objective: the purpose of the study
Methods: how the study was performed and statistical tests used
Results: the main findings
Conclusions: brief summary and potential implications
e. Keywords
Please list up to 5 keywords that best match the core content of the abstract.
53
54
ABSTRACT EXAMPLE
THE COMPARATION EFFECTIVENESS OF AMITRIPTYLINE
VERSUS GABAPENTIN AND EVALUATION THEIR SIDE EFFECT AS
NEUROPHATIC PAIN THERAPY IN ELDERLY WITH TYPE II
DIABETES MELLITUS
Made Krisna Adi Jaya1, Tuty Kuswardhani2, Fauna Herawati1, I.B.N Maharjana3
1Department of Clinical Pharmacy, Institute Health Science Medika Persada Bali, Bali-
Indonesia. 2Geriatric Department, Sanglah General Hospital, Bali-Indonesia. 3Department of Clinical Pharmacy, Udayana University Hospital, Bali-Indonesia.
Background: Neuropathy in diabetes mellitus is a disorder that occurs in the peripheral
nervous system. The incidence of diabetic neuropathy was found more prevalent in elderly
(44%) compared to adult (24%). Amitriptyline and Gabapentin are widely used on treatment
of neuropathic pain. There were variations in the results of the studies that have been done
related to effectiveness and safety between both drugs, causes the need further research,
especially on geriatrics. Objective: The aim of this study was to compare the effectiveness of
Amitriptyline versus Gabapentin and evaluation there side effects to treat diabetic
neuropathic pain in geriatric. Methods: A prospective cohort study involving 70 elderly were
observed during 4 weeks. The outcome targets were neuropathy pain reduction (≥ 2 unit) and
incidence of side effect. Non-parametric Wilcoxon, Mann Whitney, and Chi-Square test were
used to analyze the outcome. Result: The whole subjects who got Amitriptyline or
Gabapentin decreased pain scale ≥ 2 units compared to baseline. Comparison head to head at
low doses, Amitriptyline showed reduce pain intensity greater than Gabapentin (p < 0.05),
while on therapeutic doses show there was no difference in efficacy between two drugs (p >
0.05). The adverse events on low doses showed Amitriptyline has significantly greater (p <
0.05) compared into Gabapentin, but there was no statisticaly difference on therapeutic doses
in both groups (p > 0.05). Conclusion: Amitriptyline was found better in reducing diabetic
neuropathic pain intensity compared to Gabapentin, but the side effect was higer than
Gabapentin.
Keywords: Diabetes Neuropatic Pain, Effectiveness, Side Effect, Amitrptyline, Gabapentin.
55
FULL PAPER FORMAT
The text of articles amounting to up to 3000 words (excluding Abstract, references and
Tables) should be divided into sections with the headings Abstract (structured), Keywords,
Introduction, Methods, Results, Discussion, Conclusion, References, Tables and Figure
legends.
1. Abstract
Abstract preparation can be seen in the abstract preparation manual.
2. Introduction
State the purpose and summarize the rationale for the study or observation.
3. Methods
It should include ethics approval (for human being and animal used as subjects) and study
design and setting of the study, the characteristics of participants or description of
materials a clear description of all processes, interventions and comparisons. Generic
drug names should generally be used. When proprietary brands are used in research,
include the brand names in parentheses the type of statistical analysis used, including a
power calculation if appropriate.
4. Results
Present your results in a logical sequence in the text, tables, and illustrations, giving the
main or most important findings first. Do not repeat in the text all the data in the tables or
illustrations; emphasize or summarize only important observations. Restrict tables and
figures to those needed to explain the argument of the paper and to assess its support. Use
graphs as an alternative to tables with many entries; do not duplicate data in graphs and
tables.
5. Discussion
Include summary of key findings (primary outcome measures, secondary outcome
measures, results as they relate to a prior hypothesis); Strengths and limitations of the
study. Interpretation and implications in the context of the totality of evidence (what this
study adds to the available evidence, any new possible mechanisms etc); Controversies
raised by this study; and Future research directions (for this particular research
collaboration, underlying mechanisms, clinical research etc). Do not repeat in detail data
or other material given in the Introduction or the Results section. In particular,
contributors should avoid making statements on economic benefits and costs unless their
manuscript includes economic data and analyses. Avoid claiming priority and alluding to
work that has not been completed. New hypotheses may be stated if needed, however
they should be clearly labeled as such. About 30 references can be included.
6. Conclusion:
This should state clearly the main conclusions and provide an explanation of the
importance and relevance of the study reported.
7. References:
References should be numbered consecutively in the order in which they are first
mentioned in the text (not in alphabetic order). Identify references in text, tables, and
legends by Arabic numerals in square bracket after the punctuation marks.
56
a. Articles in Journals
• Standard journal article (for up to six authors):
Gupta H, Aqil M, Khar RK, Ali A, Sharma A, Chander P. Development and
Validation of Stability Indicating RP-UPLC method for the Quantitative analysis
of Sparfloxacin. J Chromatogr Sci. 2010; 48 (1): 1-6.
• Standard journal article (for more than six authors):
List the first six contributors followed by et al. Nozari Y, Hashemlu A, Hatmi ZN,
Sheikhvatan M, Iravani A, Bazdar A, et al. Outcome of coronary artery bypass
grafting in patients without major risk factors and patients with at least one major
risk factor for coronary artery disease. Indian J Med Sci 2007;61:547-54
• Volume with supplement:
Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational
lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82.
• Issue with supplement:
Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women's psychological reactions to breast
cancer. Semin Oncol 1996; 23(1, Suppl 2):89-97.
b. Books and Other Monographs
• Personal author(s):
Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed.
Albany (NY): Delmar Publishers; 1996.
• Editor(s), compiler(s) as author:
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people. New York:
Churchill Livingstone; 1996.
• Chapter in a book:
Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM,
editors. Hypertension: pathophysiology, diagnosis, and management. 2nd ed. New
York: Raven Press; 1995. pp. 465-78.
c. Electronic Sources as reference
• Journal article on the Internet
Abood S. Quality improvement initiative in nursing homes: the ANA acts in an
advisory role. Am J Nurs [serial on the Internet]. 2002 Jun [cited 2002 Aug
12];102(6):[about 3 p.]. Available from: http://www.nursingworld.org/AJN/
2002/june/ Wawatch.htm
• Monograph on the Internet
Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative care for cancer [monograph
on the Internet]. Washington: National Academy Press; 2001 [cited 2002 Jul 9].
Available from: http://www.nap.edu/books/0309074029/html/.
• Homepage/Web site
Cancer-Pain.org [homepage on the Internet]. New York: Association of Cancer
Online Resources, Inc.; c2000-01 [updated 2002 May 16; cited 2002 Jul 9].
Available from: http://www.cancer-pain.org/.
• Part of a homepage/Web site
American Medical Association [homepage on the Internet]. Chicago: The
Association; c1995-2002 [updated 2001 Aug 23; cited 2002 Aug 12]. AMA
Office of Group Practice Liaison; [about 2 screens]. Available from:
http://www.amaassn.org/ama/pub/category/1736.htm
57
8. Illustrations And Figures (If Any)
a. Figures should be numbered consecutively according to the order in which they have
been first cited in the text.
b. Labels, numbers, and symbols should be clear and of uniform size. The lettering for
figures should be large enough to be legible after reduction to fit the width of a
printed column.
c. Symbols, arrows, or letters used in photomicrographs should contrast with the
background and should be marked neatly with transfer type or by tissue overlay and
not by pen.
d. Titles and detailed explanations belong in the legends for illustrations not on the
illustrations themselves.
e. When graphs, scatter-grams or histograms are submitted the numerical data on which
they are based should also be supplied.
f. The photographs and figures should be trimmed to remove all the unwanted areas.
g. If photographs of individuals are used, their pictures must be accompanied by written
permission to use the photograph.
h. If a figure has been published elsewhere, acknowledge the original source and submit
written permission from the copyright holder to reproduce the material. A credit line
should appear in the legend for such figures.
i. Legends for illustrations: Type or print out legends (maximum 40 words, excluding
the credit line) for illustrations using double spacing, with Arabic numerals
corresponding to the illustrations. When symbols, arrows, numbers, or letters are used
to identify parts of the illustrations, identify and explain each one in the legend.
Explain the internal scale (magnification) and identify the method of staining in
photomicrographs.
j. Final figures for print production: If the images uploaded are not printable quality, the
publisher office may request for higher resolution images which can be sent at the
time of aceptance of the manuscript. Send sharp, glossy, un-mounted, color
photographic prints, with height of 4 inches and width of 6 inches at the time of
submitting the revised manuscript. Print outs of digital photographs are not
acceptable. If digital images are the only source of images, ensure that the image has
minimum resolution of 300 dpi or 1800 x 1600 pixels in TIFF format. Send the
images on a CD. Each figure should have a label pasted (avoid use of liquid gum for
pasting) on its back indicating the number of the figure, the running title, top of the
figure and the legends of the figure. Do not write the contributor/s' name/s. Do not
write on the back of figures, scratch, or mark them by using paper clips.
9. Tables And Captions
a. Tables should be self-explanatory and should not duplicate textual material.
b. Tables with more than 10 columns and 25 rows should be avoided.
c. Number tables, in Arabic numerals, consecutively in the order of their first citation in
the text and supply a brief title for each.
d. Place explanatory matter in footnotes, not in the heading.
e. Explain in footnotes all non-standard abbreviations that are used in each table.
f. Obtain permission for all fully borrowed, adapted, and modified tables and provide a
credit line in the footnote.
g. For footnotes use the following symbols, in this sequence: *, †, ‡, §, ||,¶ , **, ††, ‡‡
h. Tables with their legends should be provided at the end of the text after the references.
i. The tables along with their number should be cited at the relevant place in the text
58
10. Declaration
a. List of abbreviations
If abbreviations are used in the text they should be defined in the text at first use, and
a list of abbreviations should be provided.
b. Ethics approval and consent to participate
Manuscripts reporting studies involving human participants, human data or human
tissue must:
1. include a statement on ethics approval and consent (even where the need for
approval was waived)
2. include the name of the ethics committee that approved the study and the
committee’s reference number if appropriate
c. Funding
All sources of funding for the research reported should be declared. The role of the
funding body in the design of the study and collection, analysis, and interpretation of
data and in writing the manuscript should be declared.
d. Acknowledgements
Please acknowledge anyone who contributed towards the article who does not meet
the criteria for authorship including anyone who provided professional writing
services or materials.
59
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
FORMAT ABSTRAK
1. Format Berkas (File) dan Font
Dalam penyusunan abstrak, penulis diwajibkan menggunakan format file Microsoft Word
Versi 2003 atau lebih tinggi (format file .doc atau .docx). Untuk font style penulis
diharapkan menggunakan tipe “Times New Roman” dengan ukuran 12 pt, dan gunakan
ukuran 14 pt untuk judul abstrak.
2. Format Margin Penulisan
Penulis diwajibkan untuk menggunakan ukuran kertas A4 (8,3 x 11,7 inch) dengan batas
tepi atas, kanan, dan bawah sebesar 2,5 cm, sedangkan batas tepi kiri sebesar 3 cm.
3. Konten Yang Wajib Terdapat Dalam Abstrak
b. Judul Abstrak
Judul Abstrak disusun dengan huruf bercetak tebal (bold), kapital, dan diatur berada
di tengah-tengah (center), dengan spasi 1 pt (single space). Judul abstrak disusun
dengan singkat, padat, dan jelas.
c. Nama Penulis utama dan penulis lainnya (first and co-author)
Nama penulis ditulis lengkap dan disertakan dengan nomor di blakang penulis.
Diawali dari penulis utama dan dilanjutkan dengan penulis tambahan. Tambahkan
tanda “*” pada nama penulis yang akan menjadi penulis koresponding.
d. Afiliasi penulis
Afiliasi penilis disusun berdasarkan asal institusi yang dilengkapi dengan informasi
kota dan negara institusi. Gunakan nomor yang terdapat pada nama author untuk
menunjukkan afiliasi penulis tersebut.
e. Konten di dalam abstrak
Penulisan abstrak direkomendasikan mengandung Latar Belakang (Objective),
Metode (Method), Hasil (Result), dan Kesimpulan (Conclusion). Abstrak ditulis
dengan satu spasi, tidak diperkenankan mengandung tabel atau gambar, dan tidak
diperkenankan mengandung lebih dari 250 kata.
• Objective : Mengandung masalah dan tujuan studi.
• Methods : Mengandung bagaimana studi dilakukan lengkap dengan
metode analisisnya.
• Result : Paparan hasil penelitian dan temuan-temuan yang didapatkan
dalam studi yang telah dilakukan
• Conclusions : Rangkuman singkat dari hasil studi dan implikasi
potensialnya yang dapat dimanfaatkan oleh kehidupan manusia.
f. Kata Kunci (keywords)
Kata kunci harus memiliki 3-5 kata. Pilih kata kunci yang berkaitan dengan konten
studi yang dilakukan.
60
CONTOH ABSTRAK
PENDEKATAN ANALISIS FAKTOR KONFIRMATORI
PADA MOTIVASI PEGAWAI ADMINISTRASI RUMAH SAKIT
Gde Palguna Reganata1, Anak Ayu Sri Sarawati2
1,2Program Studi Administrasi Rumah Sakit, Institut Ilmu Kesehatan Medika Persada Bali
Latar Belakang: Statistika merupakan suatu ilmu yang mempelajari karakteristik data.
Sebagai salah satu alat analisis, penggunaan analisis faktor baik konfirmatori maupun
eksploratori di bidang manajemen banyak dilakukan. Salah satu indikator dalam manajemen
adalah motivasi kerja. Penelitian ini akan dilakukan di RS Bros Kota Denpasar. Tujuan:
Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah dimensi-dimensi yang membentuk motivasi
seseorang. Metode: Pengambilan sampel ini menggunakan teknik total sampling. Teknik
analisis data yang digunakan adalah analisis faktor. Hasil: Hasil penelitian dengan
menggunakan metode Principal Component Analysis (PCA) diperoleh 52 indikator yang
tersebar pada lima faktor yang dipertimbangkan pegawai ARS dalam motivasi bekerja pada
BROS. Kelima faktor ini mampu menjelaskan semua varian yang ada dalam data. Faktor
yang paling berpengaruh adalah faktor Physiological Needs, faktor ini memiliki eigen value
sebesar 8,755 dan memiliki variance sebesar 62,535 persen. Kesimpulan: Harga diri atau
kebutuhan atas status merupakan faktor dominan yang mempengaruhi motivasi. Saran kepada
pihak rumah sakit perusahaan dapat memberikan apresiasi dalam bentuk langsung
menyatakan keberhasilan ditempat pekerjaannya, lebih baik dilakukan sewaktu ada orang
lain, memberikan surat penghargaan, memberi hadiah berupa uang tunai, memberikan
medali, memberikan kenaikan gaji dan promosi, dan pekerjaan itu sendiri (the job itself).
Kata Kunci: motivasi, administrasi rumah sakit, analisis faktor
61
FORMAT PENULISAN JURNAL (FULL TEXT)
Artikel yang akan dipublikasi diharapkan mengandung tidak lebih dari 3000 kata, tidak
termasuk abstrak, daftar rujukan, dan tabel. Artikel harus mengandung konten berupa
abatrak, kata kunci, pendahuluan, metode, hasil, pembahasan, kesimpulan, daftar rujukan,
tabel, gambar, dan deklarasi penulis. Konten-konten tersbut akan dijelaskan lebih rinci
sebagai berikut:
1. Abstrak
Penyusunan abstrak dapat dilihat pada petunjuk penyusunan abstrak.
2. Pendahuluan
Pada bagian ini, penulis diharapkan memaparkan latar belakang dan tujuan studi yang
relevan sesuai dengan permasalahan yang ditemukan.
3. Metode
Pada bagian metode, diharapkan menjelaskan dengan singkat dan jelas terkait desain
studi, rancangan penelitian, karakteristik subjek penelitian atau deskripsi bahan-bahan
dan material yang digunakan dalam penelitian beserta seluruh langkah-langkah kerja
yang dilakukan, jika penelitian klinis harus jelas klasifikasi kelompok penelitian
(kelompok intervensi/kontrol). Jika terdapat nama bahan berupa brand, diharapkan
menyebutkan nama generik setiap bahan atau obat yang digunakan. Setiap penelitian
yang melibatkan subjek manusia atau hewan, harus melampirkan persetujuan etik.
4. Hasil
Susun hasil penelitian secara sistematis, baik dalam bentuk tabel, gambar, maupun
ilustrasi. Paparkan temuan yang paling penting atau dominan terlebih dahulu. Jangan
membahasakan kembali data yang telah terpapar pada tabel, gambar, maupun
ilustrasi. Penekanan hasil dan rangkuman singkat diperbolehkan jika hasil tersebut
sangat penting dan diperlukan. Gunakan grafik / kurva untuk menghindari data dalam
tabel yang terlalu banyak. Jangan mengulang kembali data yang telah terpapar pada
tabel dan grafik/kurva.
5. Pembahasan
Bahas hasil penting yang telah dipaparkan dalam hasil seperti outcome primer,
sekunder, paparan hasil-hasil penelitian serupa dengan hipotesis yang sama, kekuatan
dan kelemahan penelitian. Jabarkan Implikasi dan interpretasi dari hasil penelitian
yang dikaitkan dengan evidence-evidence yang kuat. Jika diperlukan paparkan
kontroversi yang terjadi antara hasil penelitian dengan teori, dan rekomendasi untuk
arah penelitian selanjutnya. Jangan mengulangi kembali langkah kerja, bahan/material
penelitian, dan hasil yang telah terjabarkan dalam metode dan hasil penelitian secara
detail. Penulis disarankan untuk tidak memberikan pembahasan terkait keuntungan
ekonomis, kecuali konten dari studi mencakup penelitian analisis ekonomi. Hindari
penyampaian keterbatasan penelitian berupa kerjaan yang belum tuntas diselesaikan
oleh peneliti. Penyataan hipotesis baru dapat dilakukan, dengan catatan hipotesis baru
tersebut harus didukung minimal oleh 30 sumber terpercaya yang valid dan kredibel. 6. Kesimpulan
Pada bagian kesimpulan, harus menyatakan dengan jelas kesimpulan utama dan
penjelasan akan pentingnya penelitian yang dilaporkan serta relevansinya di lapangan.
62
7. Daftar Rujukan
a. Catatan Kaki
Catatan kaki dicantumkan dengen memberi nomor refrensi rujukan secara
berurutan sesuai dengan urutan yang pertama kali disebutkan di dalam teks (tidak
dalam susunan alfabetis). Identifikasi refrensi dilakukan dengan penomoran arab
dengan tanda kurung bracket format superscript setelah tanda baca.
Contoh catatan kaki:
low irritation, adequate bioavailability, and compatibility with ocular tissues,
should be sought for every suspended drug.[13, 14]
b. Daftar Rujukan:
Daftar rujukan disusun dengan format vancouver style dengan contoh
penyuntungan refrensi yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Menyunting Artikel dalam Jurnal
• Artikel jurnal umum (tulis nama autor hingga penulis ke enam, jika lebih
dari 6 author, setelah penulis ke enam dilanjutkan dengan et al). Contoh:
a. Gupta H, Aqil M, Khar RK, Ali A, Sharma A, Chander P.
Development and Validation of Stability Indicating RP-UPLC method
for the Quantitative analysis of Sparfloxacin. J Chromatogr Sci. 2010;
48 (1): 1-6.
b. Nozari Y, Hashemlu A, Hatmi ZN, Sheikhvatan M, Iravani A, Bazdar
A, et al. Outcome of coronary artery bypass grafting in patients
without major risk factors and patients with at least one major risk
factor for coronary artery disease. Indian J Med Sci 2007;61:547-54
• Volume jurnal dengan data tambahan “supplement data”:
Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and
occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl
1:275-82.
• Issue jurnal dengan data tambahan “supplement data”:
Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women's psychological reactions to
breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1, Suppl 2):89-97.
2. Menyunting Buku dan Daftar Monografi
• Penulis perorangan (contoh) :
Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd
ed. Albany (NY): Delmar Publishers; 1996.
• Editor, penyusun sebagai penulis (contoh) :
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people.
New York: Churchill Livingstone; 1996.
• Bab dalam sebuah buku (contoh):
Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH,
Brenner BM, editors. Hypertension: pathophysiology, diagnosis, and
management. 2nd ed. New York: Raven Press; 1995. pp. 465-78.
3. Menyunting informasi dari media elektronik
• Artikel jurnal di internet (contoh) :
Abood S. Quality improvement initiative in nursing homes: the ANA acts
in an advisory role. Am J Nurs [serial on the Internet]. 2002 Jun [cited
2002 Aug 12];102(6):[about 3p.]. Available from:
http://www.nursingworld.org/ AJN/2002/june/Wawatch.htm
• Data Monografi di Internet (contoh) :
63
Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative care for cancer
[monograph on the Internet]. Washington: National Academy Press; 2001
[cited 2002 Jul 9]. Available from:
http://www.nap.edu/books/0309074029/ html/.
• Suatu beranda dalam website / Homepage-Web site (contoh) :
Cancer-Pain.org [homepage on the Internet]. New York: Association of
Cancer Online Resources, Inc.; c2000-01 [updated 2002 May 16; cited
2002 Jul 9]. Available from: http://www.cancer-pain.org/
• Sub bagian dari suatu beranda website / Part of a homepage-Web site
(contoh) :
American Medical Association [homepage on the Internet]. Chicago: The
Association; c1995-2002 [updated 2001 Aug 23; cited 2002 Aug 12].
AMA Office of Group Practice Liaison; [about 2 screens]. Available
from: http://www.amaassn.org/ama/pub/category/1736.htm
8. Format Ilustrasi Dan Gambar
a. Gambar harus diberi nomor sesuai dengan kemunculannya di dalam jurnal.
b. Judul, nomor, dan simbol dalam gambar harus jelas, seragam, dan konsisten.
Tulisan dalan gambar harus proporsional untuk dapat dilihat dengan nyaman.
c. Simbol, tanda panagh, atau huruf dalam sebuah gambar harus memiliki latar
belakang yang kontras, menghindari tidak jelas terbacanya gambar tersebut.
d. Judul dan penjelasan detail gambar, tidak dimuat di dalam gambar, tetapi
disusun diluar gambar.
e. Jika terdapat grafik, diagram, atau histogram yang penting untuk dimasukkan
ke dalam jurnal, maka data tersebut harus dilampirkan secara terpisah dengan
file data tambahan / supplementary data
f. Foto dan gambar disusun rapi, dengan membuang bagian – bagian pada area
yang tidak diperlukan.
g. Jika foto yang disertakan dalam jurnal, bukan merupakan milik penulis, maka
diwajibkan untuk menyertakan kepemilikan / nyunting pemilik gambar pada
jurnal.
h. Jika gambar yang akan dilampirkan telah terpublikasi sebelumnya,
penggunaan gambar tersebut harus mendapatkan persetujuan penulis dalam
jurnal yang terpublish tersebut.
i. Keterangan gambar: Ketik keterangan (maksimal 40 kata) menggunakan spasi
ganda, dengan angka Arab. Bila simbol, panah, angka, atau huruf digunakan
untuk mengidentifikasi bagian ilustrasi, identifikasi dan jelaskan masing-
masing gambar dengan jelas.
j. Gambar akhir untuk pencetakan: Jika gambar yang diupload tidak tercetak
kualitasnya, kantor penerbit dapat meminta gambar beresolusi lebih tinggi
yang dapat dikirim pada saat pengambilan manuskrip. Kirimkan cetakan foto
berwarna tajam, glossy, un-mounted, dengan tinggi 4 inci dan lebar 6 inci
pada saat mengirimkan manuskrip yang telah direvisi. Jika gambar digital
adalah satu-satunya sumber gambar, pastikan gambar memiliki resolusi
minimal 300 dpi atau 1800 x 1600 piksel dalam format TIFF.
9. Format Tabel Dan Tanda
a. Tabel harus cukup jelas dan tidak boleh menduplikat materi teks.
b. Tabel dengan lebih dari 10 kolom dan 25 baris harus dihindari.
64
c. Nomor tabel, dalam angka Arab, berturut-turut sesuai urutan kutipan pertama
mereka dalam teks dan berikan judul singkat untuk masing-masing.
d. Tempatkan materi penjelasan dalam catatan kaki, bukan di judul.
e. Jelaskan dalam catatan kaki semua singkatan non-standar yang digunakan di
setiap tabel.
f. Untuk catatan kaki gunakan simbol berikut, dalam urutan ini: *, †, ‡, §, ||, ¶,
**, ††, ‡‡
g. Tabel bersama dengan nomor mereka harus dikutip di tempat yang relevan
dalam teks
10. Deklarasi Penulis
a. Daftar Singkatan
Jika singkatan digunakan dalam teks mereka harus didefinisikan dalam teks pada
penggunaan pertama, dan daftar singkatan harus disediakan.
b. Persetujuan Etik
Manuskrip yang melibatkan peserta manusia, data manusia atau jaringan
manusia harus:
1. Menyertakan sebuah pernyataan mengenai persetujuan dan persetujuan
etika
2. Sertakan nama komite etika yang menyetujui studi dan nomor referensi
panitia.
c. Pendanaan
Semua sumber pendanaan untuk penelitian yang dilaporkan harus diumumkan.
Peran lembaga pendanaan dalam perancangan studi dan pengumpulan, analisis,
dan interpretasi data dan penulisan manuskrip harus dideklarasikan.
d. Ucapan Terima Kasih
Sebutkan siapa saja yang berkontribusi terhadap artikel yang tidak memenuhi
kriteria kepengarangan termasuk siapa saja yang memberikan jasa menulis
profesional atau
65
SUBSCRIPTION GUIDE
(PETUNJUK BERLANGGANAN)
English
Bali Health Journal (BHJ) is published through printed (ISSN 2599-2449) and online media
(ISSN 2599-1280). All BHJ issues are available online on our website:
http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ
If you are interested in subscribing to our printed media, please email us to
[email protected] with information of your name or your institution’s name,
mailing address, and telephone number. We will contact you soon thereafter with payment
instruction and other additional information.
-----------------------------------------------------------------------
Bahasa Indonesia
Bali Health Journal (BHJ) terpublikasikan melalui media cetak (ISSN 2599-2449) dan media
online (ISSN 2599-1280). Anda dapat mengakses setiap edisi Bali Health Journal secara
online melalui tautan:
http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ
Bila Anda berminat untuk berlangganan media cetak Bali Health Journal, Anda dapat
mengirimkan surel kepada kami ([email protected]) dengan memberikan
informasi nama penerima (sertakan nama organisasi / institusi bila diperlukan), alamat
lengkap, dan nomor telepon. Kami akan menghubungi Anda setelahnya dengan
menginformasikan mekanisme pembayaran maupun informasi tambahan lainnya.