Traumatic Wound
description
Transcript of Traumatic Wound
PERAWATAN LUKA DALAM KONTEKS
TRAUMA MUSKULOSKLETAL &
CEDERA SISTEM SARAF PUSAT
Saldy Yusuf., MHS.,ETN
Chronic Wound Division, Kanazawa University-Japan
Griya Afiat Makassar, Wound Care and Home Care
Seminar Nasional Keperawatan
“Kegawatdaruratan dan penanganan luka pada
system muskuloskletal dan system saraf pusat
dengan pendekatan emergency nursing”
Graha Pena, Makassar
Ahad 2 Juni 2013
A. PENDAHULUAN
Bencana Tsunami tahun 2004 di kawasan Asia Tenggara menewaskan
setidaknya 225.000 juta jiwa (Maegele et al., 2006)1. Di Iran, insiden Traumatic
Spinal Fraktur (TSF) dilaporkan sebesar 16.35 % per 100.000 penduduk,
dimana pria lebih beresiko dua kali lipat disbanding perempuan(Moradi-Lakeh
et al., 2011). Di Jepang, pasca tsunami 2011 di Fukushima, ada tiga jenis
penyakit; infeksi saluran pernapasan, luka infeksi dan infeksi lain (keracunan,
measles dll)(Takahashi, Goto, Yoshida, Sumino, & Matsui, 2012)
Lebih lanjut luka trauma adalah alasan kedua terbanyak kenapa pasien
masuk ke UGD. Di Amerika Serikat setidaknya ada 11 juta kasus luka trauma di
UGD dan masalah utama pada luka trauma adalah memburuknya luka hingga
infeksi. (Weiss, Oldham, Lin, Foster, & Quinn, 2013) yang kemudian berujung
pada resiko amputasi ekstrimitas bawah yakni sebesar 60 % (Omoke & Nwigwe,
2012) dimana salah satu penyebab utamanya adalah ischemia jaringan (Moller,
Solund, & Hansen, 1985). Oleh karena itu penanganan luka secara tepat saat
terjadi injury menentukan keberhasilan proses penyembuhan.
B. PROSES PENYEMBUHAN LUKA
Kulit merupakan organ terbesar dari tubuh dan memiliki fungsi yang sangat
kompleks. Luka adalah peristiwa kehilangan jaringan sebagian atau total yang
dapat terjadi secara tiba-tiba (akut) atau perlahan-lahan (kronis).
Adapun proses penyembuhan luka merupakan proses yang dinamis dan
melibatkan kerjasama seluler melalui proses perbaikan (repair) dan regeneresi
jaringan (Reinke & Sorg, 2012).
1. Tahapan pertama proses penyembuhan adalah homestatis yang bertujuan
untuk menghentikan perdarahan local serta melokalisir daerah yang
1
cedera. Proses ini berlangsung sesaat setelah trauma hingga beberapa
jam.
2. Proses kedua adalah inflamasi, dimana neutrofil bergerak menuju
jaringan luka yang bertujuan untuk melakukan proses fagositosis.
3. Tahapan ketiga adalah proliferasi untuk menutup defek luka melalui
pembentukan jaringan baru (granulasi) dan jalinan pembuluh darah abru
(angiogenesis).
4. Proses ke empat, re-epitelisasi, dimana fibroblast mulai menyebrang
melintasi jalinan fibrin untuk membentuk epitelisasi baru dari kedua tepi
luka.
Fase Inflamasi
Fase Proliferasi
Fase Re-epitelisasi
Perlu dipahami bahwa proses penyembuhan luka berlangsung secara simultan,
artinya proses kedua dimulai sebelum proses pertama berakhir (Franz, 2001)
C. TRAUMA MUSKULOSKLETAL
Persoalan trauma telah menjadi masalah pandemic baik di Negara maju
maupun di Negara berkembang (Noordin, Wright, & Howard, 2008) dan
memberikan kontribusi pada tingginya angka kecacatan (Mock & Cherian,
2008) padahal resiko trauma dapat dicegah melalui program edukasi.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab trauma muskuloskletal terbesar,
selain bencana alam, keracunan, perang, terjatuh dll (Rossi, Pozzobon, & De
Coppi, 2010). Sifat trauma yang terjadi secara tiba-tiba menimbulkan luka
akut yang bisa berkembang menjadi luka kronis apabila tidak tertangani
dengan baik.
D. TRAUMA SARAF PUSAT
Stroke, traumatic brain injury (TBI), dan spinal cord injury (SCI) adalah
contoh kerusakan irreversible system saraf (Wootla, Denic, Warrington, &
Rodriguez, 2013). Meskipun onsetnya terjadi di saraf, namun tanda dan
gejala bisa saja ditemukan didaerah perifer tubuh. Trauma mekanis atau
ischemic yang memanjang pada otak atau saraf spinal akan mengakibatkan
kerusakan irreversible pada neuron, glia dan endotel yang mengakibatkan
perdarahan, demyelination dan nektorik seluler.
E. KLASIFIKASI INJURY
Ada beberapa system klasifikasi injury, diantaranya(Skaga, Eken, Hestnes,
Jones, & Steen, 2007):
1. Abbreviated injury Scalse (AIS).
2. Injury Severity Score (ISS).
3. The New Injury Severity Score (NISS).
F. MASALAH PADA LUKA TRAUMA
1. INFEKSI
Seeprti dijelaskan sebelumnya bahwa infeksi merupakan komplikasi
umum pada luka trauma. Oleh karena itu tujuan perawatan adalah
bagaimana mencegah perluasan infeksi dari kontaminasi hingga ke
infeksi sistemik. Gambar berikut memperlihatkan tahapan proses infeksi
(Ayello & Cuddigan, 2004)
Namun yang jadi pertanyaan di klinis adalah bagaimana mendiagnosa
status infeksi pada luka. Oleh karena itu, tahun 2006 diusulkan NERDS
dan STONES sebagai alat pengkajian untuk mendiagnosa status infeksi
pada luka (Sibbald, Woo, & Queen, 2007):
2. BIOFILM
Salah satu keistimewaan mikroorganisme adalah kemampuannya untuk
bekerjasama satu sama lain meskipun diantara spesies yang berbeda
untuk meningkatkan virulensinya. Kondisi luka kronis yang bersifat
polymikrobial berdampak pada resiko tinggi pembentukan biofilm,
diperkirakan 60 -80 % luka kronis mengandung biofilm.
Biofilm terbentuk dari hasil komunikasi diantara bakteri dan membentuk
matriks polisakarida yang menyerupai “mantel” pelindung yang
membuat mikroorganisme tahan 1000 kali lipat dibandingkan tanpa
adanya mantel pelindung.
Untuk kasus trauma muskuloskletal, pembentukan biofilm salah satunya
akibat penggunaan implant seperti artificial joint (sendi buatan), plates
(plat besi), dan screw (baut) yang berujung pada prosthetic implant
infection (PII)(Brady, H., Leid, & Shirtliff, 2008)
3. NYERI
Untuk pasien dewasa kita dapat menggunakan skala nyeri numeric,
namun pada anak mungkin agak sulit. Blake Bulloch, et al (2009)
menawarkan Colour Analog Scale (CAS) untuk mengevaluasi nyeri pada
anak baik trauma maupun non trauma dengan nilai repeatability (r=
0.97)(Bulloch, GArcia-Filion, Notricia, Bryson, & Mcconahay, 2009)
G. WOUND BED PREPARATION
Wound bed preparation atau persiapan dasar luka adalah paradigma
universal dan sistematis dalam perawatan luka (Schultz et al., 2003) yang
juga sesuai untuk luka yang sulit sembuh (Ligresti & Bo, 2007). Tahun 2003
wound bed preparation direvisi dalam akronim TIME (Schultz, Barillo,
Mozingo, & Chin, 2004):
Elemen Intervensi
T Tissue Management Debridement
I Inflamation/Infection Topikal/Systemik Antimikrobial
M Moisture Balance Moisture retentive dressing
E Edge of Wound Reasses cause
Tahun 2007, diusulkan penambahan “keseimbangan oksigen” sebagai
elemen wound bed preparation (Sibbald et al., 2007), sehingga algoritma
wound bed preparation menjadi:
H. PEMILIHAN BALUTAN
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan balutan.
Kemampuan praktisi untuk membaca dan memahami masalah yang ada
pada luka menentukan keberhasilan perawatan selanjutnya. Status
eksudat merupakan hal yang krusial dalam pemilihan balutan, berikut
contoh panduan dalam pemilihan balutan (Ayello & Cuddigan, 2004):
Tidak ada Sedikit Sedang Banyak
Film
Hydrogels
Hydrocolloid
Alginate
Foam
I. TERAPI
Perkembangan ilmu dan pengetahuan telah mengantarkan penemuan
modalitas baru dalam pemanfaatan teknologi untuk perawatan luka.
Tissue engineering merupakan bidang interdisipliner yang memanfaatkan
penerapan prinsip-prinsip biology dan engineering untuk pengembangan
material pengganti jaringan atau organ.(Nicoli Aldini, Fini, & Giardino,
2008). Ada tiga strategi dalam pengembangan produk tissue-
engineering(Nicoli Aldini et al., 2008):
a. Penggunaan sel yang ditransplantasikan untuk mengganti fungsi
organ yang injuri.
b. Pengembangan polymer sintesis atau biomaterial lain dengan atau
tanpa penambahan protein, seperti growth factor dan cytokines.
c. Penggunaan sel dalam matriks tiga dimensi, seperti; bilayered skin
substitutes (mengandung keratinocytes dan fibroblast).
1. BIOLOGICAL DRESSING
Biological dressing dapat menjadi pilihan karena sifatnya yang non
kimiawi dan non toksik serta tidak menimbulkan resistensi. Salah
satu yang bisa menjadi pilhan adalah penggunaan maggot
debridement terapi. Husain melaporkan sebuah kasus dengan
traumatic degloving injury pada kaki dengan menggunaakan
maggot(Husain & Fallat, 2003)
2. ADVANCE DRESSING
Cultured Ephitelial Autografts (CEA) dapat digunakan pada luka
bakar post traumatic hingga > 60 % TBSA (Total Body Surface
Area) (Carsin et al., 2000) atau penggunaan dermal substitute.
Sayangnya beberapa balutan berbahan dasar collagen berasal dari
bovine (babi) (Wisser & Steffes, 2003)
3. HYDROTERAPI
Penggunaan hydroterapi dalam perawatan luka juga telah dikenal
sejak lama. Saat ini hydroterapi dengan menggunakan air
bertekanan tinggi dapat digunakan untuk debridement. Versajet
salah satu produk debridement yang efektif untuk jaringan
lunak.(Gurunluoglu, 2007)
Close up view versajet Container penampung
eksudat dan debris
Gurunluoglu, Raffi (2007) melaporkan bahwa penggunaan Versajet
efisien, aman dan cepat untuk debridement secara tepat dan akurat
pada jaringan nekrotik. Berikut beberapa laporan kasus penggunaan
Versajet(Gurunluoglu, 2007)
Dasar luka setelah dilakukan
debridement dengan
menggunakan Versajet
Debridement pada luka bakar
dengan menggunakan
Versajet
4. VACUUM TERAPI
Penggunaan vacuum atau juga dikenal sebagai Negative Pressure
Wound Therapy telah banyak direkomendasikan. Keuntungan
Vacum adalah mempercepat evakuasi eksudat, membantu
pertumbuhan jaringan granulasi dan kontraksi luka. Kanakaris, NK.,
et al menyimpulkan bahwa penggunaan teknologi vacuum sangat
efektif pada pasien trauma ekstrimitas bawah dan luka bakar bila
dibandingkan dengan balutan standar (Kanakaris et al., 2007). Untuk
korban tsunami 2004, teknologi ini telah digunakan.(Maegele et al.,
2006)
Kerusakan jaringan
luas pada panggul dan
ekstrimitas bawah
Aplikasi Vacuum Penyembuhan
setelah skin
grafting.
5. TERAPI ELEKTRIK
Manfaat terapi elektrik telah dilaporkan sejak 50 tahun yang lalu.
Ada beberapa bentuk terapi elektrik yang dapat digunakan,
diantaranya; infra red, ultraviolet, low-energy laser irradiation.
Instrumen terapi listrik secara umum terdiri atas; sumber energy,
osilator dan output amplifier. Dosis stimulasi listrik yang diberikan
kepada pasien dinyatakan dalam satuan ‘current density”. EPUAP
telah merekomendasikan penggunaan terapi elektrik untuk
manajemen pressure ulcers.
J. PERAWATAN LUKA
1. Irigasi
Strategi perawatan luka yang pertama adalah irigasi. Tujuan dari
irigasi adalah untuk melepaskan debris, bakteri dan jaringan mati
lainnya dari dasar luka. Oleh karena itu agar tujuan ini dapat dicapai
secara efektif maka tekanan mekanis harus lebih besar dari daya
rekat material patologis pada permukaan luka namun jangan sampai
tekanan yang diberikan terlalu tinggi hingga merusak jaringan.
Jumlah tekanan yang diberikan saat irigasi sebaiknya 5-8 psi yang
bisa didapat dengan menggunakan spoit 35-60 ml dengan jarum 19 G
(Dulecki & Pieper, 2005), namun tekanan yang efektif saat irigasi
adalah 8 psi yang bisa dihasilkan dengan menggunakan spoit 35 ml
dan jarum 19 G (Dulecki & Pieper, 2005)
Perbandingan tekhnik irigasi dengan besaran tekanan yang dihasilkan
2. Larutan Pencuci Luka
Ada beberapa sayarat yang harus diperhatikan dalam pemilihan
larutan pencuci luka, yaitu (Dulecki & Pieper, 2005):
a. Cost effective.
b. Tersedia luas.
c. Isotonic.
d. Tidak toksis terhadap jaringan.
Penggunaan NaCl 0.9 % sebagai cairan pencuci luka dapat diterima
luas karena sifatnya yang isotonis. Namun perlu dipahami jangan
menggunakan NaCl sisa atau yang segelnya sudah terbuka karena
telah terkontaminasi.
Selain itu, penggunaan air ledeng telah lama dikenal efektif sebagai
larutan pengganti NaCl di Amerika, Australia, Eropa dan Jepang.
Beberapa riset telah mengkonfirmasikan efektifitas air ledeng
sebagai larutan pencuci luka (Weiss et al., 2013)
Untuk penerapan di Indonesia mungkin agak sulit mengingat kualitas
air ledeng kita yang tidak siap minum seperti di Negara-negara maju.
Oleh karena itu penggunaan air mineral kemasan dapat menjadi
alternatif pengganti.
Perbandingan efektifitas air ledeng dan NaCl 0.9 % terhadap infeksi
3. Debridement
Debridement atau nekrotomi ditujukan untuk melepaskan jaringan
mati (nekrotik) dari dasar luka termasuk pelepasan biofilm dari dasar
luka. Debridement secara berkala merupakan pendekatan
fundamental dalam perawatan luka (Kim & Steinberg, 2012)
Secara umum ada beberapa jenis debridement:
a. Surgical Debridement.
b. Sharp Debridement.
c. Autolytic Debridement.
d. Mechanical Debridement.
e. Maggot Debridement.
Setiap jenis debridement memiliki keuntungan tersendiri(Schultz et
al., 2003)
Penggunaan Maggot Debridement Terapi juga dilaporkan efektif
untuk luka kaki diabetic (Marineau, Herrington, Swenor, & Eron,
2011). Selain itu beberapa tekhnik debridement juga dikembangkan,
salah satunya adalah dengan menggunakan plasma (Nusbaum et al.,
2012)
K. KOMPLIKASI
Trauma Muskuloskeletal dan cerebral dapat berakhir dengan komplikasi
hingga kematian. Beberapa komplikasi terkait trauma medulla spinalis
(Waters et al., 1999):
1. Infeksi luka operasi.
Penggunaan external pin dapat menjadi sumber infeksi. Berikut
system klasifikasi yang dapat digunakan terkait dengan infeksi
penggunaan pin(Santy & Lecturer, 2010):
Grade Penampakan
0 Normal Perawatan pin
mingguan
1 Inflamasi Perawatan pin
harian
2 Serous Antibiotik
3 Purulent Antibiotik
4 Osteolysis Lepaskan pin
5 Ring
sequestrum
Debridement
Staphylococus aureus merupakan jenis bakteri yang paling
bertanggung jawab pada infeksi operasi orthopedic, dimana 40 %
diantaranya berasal dari praktisi (dokter, anastesi, perawat)(Barbos,
Mognetti, & Veglio, 2010)
2. Pressure ulcers.
3. Deep vein thrombophlebitis.
Venous thromboembolism terjadi pada 5 %- 78 % pasien trauma.
Tingginya angka komplikasi ini tentunya memberikan gambaran
kualitas perawatan yang diberikan.(Huseynova, Xiong, Ray,
Ahmed, & Nathens, 2009)
4. Emboli pulmonal.
5. Pneumonia.
6. Atelektasis.
Komplikasi pressure ulcer sebagai akibat dari trauma medulla
spinalis berimplikasi pada lama rawat sektiar 73 hari, dengan
distribusi lokasi sacrum (69 %), trochanter (18 %), scalp (5 %),
tumit (1.5 %) dan 5 % pada lokasi lain(Iyun, Malomo, Oluwatosin,
Ademola, & Shokunbi, 2011). Selain itu terdapat hubungan antara
paraplegia dengan insidens pressure ulcers dimana 74 % pressure
ulcer terjadi pada tetraplegia, 18 % pada tetrapelgia incomplete dan
7 % pada complete paraplegia. Luas dan kedalaman luka juga
berkaitan dengan (Iyun et al., 2011)
Selain itu ada juga komplikasi yang berkaitan dengan tindakan.
Salah satunya adalah penggunaan VAC therapy pada pasien
dengan necrotizing fascitis(Citak, Backhaus, Meindl, Muhr, &
Fehmer, 2010), rehospitalisasi akibat komplikasi penyakit, seperti
infeksi saluran perkemihan, infeksi saluran pernapasan (pada
pasien tetra plegia 1-C8), pressure ulcer (pada pasien paraplegia
T1-S5).(Cardenas, Hoffman, Kirshblum, & Mckinley, 2004)
REFERENSI
Ayello, E. a, & Cuddigan, J. E. (2004). Conquer chronic wounds with wound bed preparation. The Nurse practitioner, 29(3), 8–25; quiz 26–7. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15021498
Barbos, M. P., Mognetti, B., & Veglio, S. P. W. P. V. (2010). Decolonization of orthopedic surgical team S . aureus carriers : impact on surgical-site infections, 47–49. doi:10.1007/s10195-010-0081-3
Brady, R. A., H., J., Leid, J. G., & Shirtliff, M. E. (2008). Infections of Orthopaedic Implants and Devices. In M. Shirtliff & J. Leid (Eds.), The
Role of Biofilms in Device-Related Infections (pp. 15–56). Springer.
Bulloch, B., GArcia-Filion, P., Notricia, D., Bryson, M., & Mcconahay, T. (2009). Reliability of the Color Analog Scale : Repeatability of Scores in Traumatic and. Acad Emerg Med, 16(5), 465–469. doi:10.1111/j.1553-2712.2009.00404.x
Cardenas, D. D., Hoffman, J. M., Kirshblum, S., & Mckinley, W. (2004). Etiology and Incidence of Rehospitalization After Traumatic Spinal Cord Injury : A Multicenter Analysis. doi:10.1016/j.apmr.2004.03.016
Carsin, Â., Ainaud, P., Bever, Â. Le, Rives, J., Lakhel, A., Lambert, Â., Perrot, J., et al. (2000). Cultured epithelial autografts in extensive burn coverage of severely traumatized patients : a ® ve year single-center experience with 30 patients, 26.
Citak, M., Backhaus, M., Meindl, R., Muhr, G., & Fehmer, T. (2010). Rare complication after VAC-therapy in the treatment of deep sore ulcers in a paraplegic patient, 1511–1514. doi:10.1007/s00402-010-1091-6
Dulecki, M., & Pieper, B. (2005). Irrigating Simple Acute Traumatic Wounds: A Review of the Current Literature. Journal of Emergency Nursing, 31(2), 156–160. doi:10.1016/j.jen.2005.01.005
Franz, M. G. (2001). Current Problems in Surgery, 38(2).
Gurunluoglu, R. (2007). Experiences with waterjet hydrosurgery system in wound debridement. World journal of emergency surgery : WJES, 2, 10. doi:10.1186/1749-7922-2-10
Husain, Z. S., & Fallat, L. M. (2003). Maggot Therapy for Wound Debridement in a Traumatic Foot-Degloving Injury : A Case Report, 42(6), 6–11. doi:10.1053/j.jfas.2003.09.005
Huseynova, K., Xiong, W., Ray, J. G., Ahmed, N., & Nathens, A. B. (2009). Venous Thromboembolism as a Marker of Quality of Care in Trauma. ACS, 208(4), 547–552.e1. doi:10.1016/j.jamcollsurg.2009.01.002
Iyun, A. O., Malomo, A. O., Oluwatosin, O. M., Ademola, A., & Shokunbi, M. T. (2011). Pattern of presentation of pressure ulcers in traumatic spinal cord injured patients in University College Hospital , Ibadan. International
wound journal, 1–8. doi:10.1111/j.1742-481X.2011.00877.x
Kanakaris, N. K., Thanasas, C., Keramaris, N., Kontakis, G., Granick, M. S., & Giannoudis, P. V. (2007). The efficacy of negative pressure wound therapy in the management of lower extremity trauma: review of clinical evidence. Injury, 38 Suppl 5, S9–18. doi:10.1016/j.injury.2007.10.029
Keller, B. P. J. A., Lubbert, P. H. W., Keller, E., & Leenen, L. P. H. (2005). Tissue-interface pressures on three different support-surfaces for trauma patients, 946–948. doi:10.1016/j.injury.2004.09.017
Kim, P. J., & Steinberg, J. S. (2012). Wound care: biofilm and its impact on the latest treatment modalities for ulcerations of the diabetic foot. Seminars in
vascular surgery, 25(2), 70–4. doi:10.1053/j.semvascsurg.2012.04.008
Ligresti, C., & Bo, F. (2007). Wound bed preparation of difficult wounds: an evolution of the principles of TIME. International wound journal, 4(1), 21–9. doi:10.1111/j.1742-481X.2006.00280.x
Maegele, M., Gregor, S., Yuecel, N., Simanski, C., Paffrath, T., Rixen, D., Heiss, M. M., et al. (2006). One year ago not business as usual: wound management, infection and psychoemotional control during tertiary medical care following the 2004 Tsunami disaster in southeast Asia. Critical care
(London, England), 10(2), R50. doi:10.1186/cc4868
Marineau, M. L., Herrington, M. T., Swenor, K. M., & Eron, L. J. (2011). Maggot debridement therapy in the treatment of complex diabetic wounds. Hawaii medical journal, 70(6), 121–4. Retrieved from http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3233395&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
Mock, C., & Cherian, M. N. (2008). The global burden of musculoskeletal injuries: challenges and solutions. Clinical orthopaedics and related
research, 466(10), 2306–16. doi:10.1007/s11999-008-0416-z
Moller, B. N., Solund, K., & Hansen, S. L. (1985). Clinical and Experimental Forum Wound Infection After Lower Extremity Amputation Because of Ischemia, 262–264.
Moradi-Lakeh, M., Rasouli, M. R., Vaccaro, A. R., Saadat, S., Zarei, M. R., & Rahimi-Movaghar, V. (2011). Burden of traumatic spine fractures in Tehran, Iran. BMC public health, 11, 789. doi:10.1186/1471-2458-11-789
Nicoli Aldini, N., Fini, M., & Giardino, R. (2008). From Hippocrates to tissue engineering: surgical strategies in wound treatment. World journal of
surgery, 32(9), 2114–21. doi:10.1007/s00268-008-9662-1
Noordin, S., Wright, J. G., & Howard, A. W. (2008). Global relevance of literature on trauma. Clinical orthopaedics and related research, 466(10), 2422–7. doi:10.1007/s11999-008-0397-y
Nusbaum, A. G., Gil, J., Rippy, M. K., Warne, B., Valdes, J., Claro, A., & Davis, S. C. (2012). Effective method to remove wound bacteria: comparison of various debridement modalities in an in vivo porcine model. The Journal of surgical research, 176(2), 701–7. doi:10.1016/j.jss.2011.11.1040
Omoke, N. I., & Nwigwe, C. G. (2012). An analysis of risk factors associated with traumatic extremity amputation stump wound infection in a Nigerian setting. International orthopaedics, 36(11), 2327–32. doi:10.1007/s00264-012-1641-3
Reinke, J. M., & Sorg, H. (2012). Wound repair and regeneration. European
surgical research. Europäische chirurgische Forschung. Recherches
chirurgicales européennes, 49(1), 35–43. doi:10.1159/000339613
Rossi, C. A., Pozzobon, M., & De Coppi, P. (2010). Advances in musculoskeletal tissue engineering: moving towards therapy. Organogenesis, 6(3), 167–72. Retrieved from http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2946049&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
Santy, J., & Lecturer, E. N. B. S. (2010). A review of pin site wound infection assessment criteria. International Journal of Orthopaedic and Trauma
Nursing, 14(3), 125–131. doi:10.1016/j.ijotn.2009.11.002
Schultz, G. S., Barillo, D. J., Mozingo, D. W., & Chin, G. A. (2004). Wound bed preparation and a brief history of TIME, 1(1), 19–32.
Schultz, G. S., Sibbald, R. G., Falanga, V., Ayello, E. a, Dowsett, C., Harding, K., Romanelli, M., et al. (2003). Wound bed preparation: a systematic approach to wound management. Wound repair and regeneration : official
publication of the Wound Healing Society [and] the European Tissue
Repair Society, 11 Suppl 1(Figure 1), S1–28. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12654015
Sibbald, R. G., Woo, K. Y., & Queen, D. (2007). Wound bed preparation and oxygen balance--a new component? International wound journal, 4 Suppl
3(3), 9–17. doi:10.1111/j.1742-481X.2007.00388.x
Skaga, N. O., Eken, T., Hestnes, M., Jones, J. M., & Steen, P. A. (2007). Scoring of anatomic injury after trauma : AIS 98 versus AIS 90 –— do the changes affect overall severity assessment ?, 997, 84–90. doi:10.1016/j.injury.2006.04.123
Suhonen, R., Berg, A., Idvall, E., Kalafati, M., Katajisto, J., Land, L., & Lemonidou, C. (2008). Individualised care from the orthopaedic and trauma patients ’ perspective : An international comparative survey. International
journal of nursing studies, 45, 1586–1597. doi:10.1016/j.ijnurstu.2007.12.005
Takahashi, T., Goto, M., Yoshida, H., Sumino, H., & Matsui, H. (2012). Infectious Diseases after the 2011 Great East Japan Earthquake. Journal of
Experimental & Clinical Medicine, 4(1), 20–23. doi:10.1016/j.jecm.2011.11.013
Waters, R. L., Meyer, P. R., Adkins, R. H., Felton, D., Rl, A. W., Jr, M. P. R., Rh, A., et al. (1999). Emergency , Acute , and Surgical Management of Spine Trauma.
Weiss, E. A., Oldham, G., Lin, M., Foster, T., & Quinn, J. V. (2013). Water is a safe and effective alternative to sterile normal saline for wound irrigation prior to suturing: a prospective, double-blind, randomised, controlled clinical trial. BMJ open, 3(1). doi:10.1136/bmjopen-2012-001504
Wisser, D., & Steffes, J. (2003). Skin replacement with a collagen based dermal substitute , autologous keratinocytes and fibroblasts in burn trauma, 29, 375–380. doi:10.1016/S0305-4179(03)00013-5
Wootla, B., Denic, A., Warrington, A. E., & Rodriguez, M. (2013). Need for paradigm shift in therapeutic approaches to CNS injury. Expert Rev
Neurother, 12(4), 409–420. doi:10.1586/ern.12.24.Need