The story of ours

21
Title : The Story of Ours… Cast : Shin Dongho (U-Kiss) Lee Hayeon (OC) Rating : PG-13 Genre : Friendship, Angst , Fantasy, a bit Romance Length : Oneshot Note : Dedicated for someone whose birthday on March 16th & for my Bahasa‟s teacher (actually i did it for my Bahasa‟s exam /duarrr) ._. Got some inspirations from BEAST‟s Fiction, U-KISS‟s 0330, & IU‟s The Story I Only Didn‟t Know MV~ But honestly, I made this fic while listening to White Shoes & The Couples Company „Bersandar‟ lol. Enjoy! Sorry for typo(s) ._. and… hope you‟ll like it, saengie~ {} Good Reader: buat kalian Silent Reader: (-ƪ ) ( -)-σ • spesial buat kalian ********* “Kenapa?” “Kenapa apanya?” gadis berambut pendek itu langsung menolehkan kepalanya ke arahku begitu aku selesai melontarkan pertanyaan singkat tersebut.

Transcript of The story of ours

Title : The Story of Ours…

Cast :

Shin Dongho (U-Kiss) Lee Hayeon (OC)

Rating : PG-13

Genre : Friendship, Angst , Fantasy, a bit Romance

Length : Oneshot

Note : Dedicated for someone whose birthday on March 16th & for my Bahasa‟s teacher (actually i did it for my Bahasa‟s exam /duarrr) ._. Got some inspirations from BEAST‟s Fiction, U-KISS‟s 0330, & IU‟s The Story I Only Didn‟t Know MV~ But honestly, I made this fic while listening to White Shoes & The Couples Company „Bersandar‟ lol. Enjoy! Sorry for typo(s) ._. and… hope you‟ll like it, saengie~ {}

Good Reader: ❤ buat kalian

Silent Reader: (‾-ƪ ‾) ( ‾-‾)-σ • spesial buat kalian

*********

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?” gadis berambut pendek itu langsung menolehkan kepalanya ke arahku begitu aku selesai melontarkan pertanyaan singkat tersebut.

Aku tak langsung menjawab pertanyaan berbalik itu. Kualihkan pandanganku ke depan, menatap hamparan danau yang terkena kerlingan cahaya langit senja di sore hari.

“Kau tidak takut?” aku berujar pelan.

Dia, Hayeon, gadis yang hampir selama satu bulan ini tak pernah absen untuk menemani waktu sore hariku di sini, di padang rumput yang berada tepat di balik gedung sekolah, hanya tertawa kecil begitu mendengar pertanyaanku itu.

“Kenapa aku mesti takut?”

“Bagaimana kalau teman-temanmu yang lain melihat kau… maksudku, kita. Di sini. Berdua. Kau tidak takut kalau semua teman-temanmu itu akan menjauh setelah tahu kalau kau… mau berteman denganku?” Jelasku masih dengan suara pelan.

“Bukannya itu hak aku untuk berteman dengan siapa saja? Termasuk denganmu,” Hayeon tersenyum, sambil kemudian pandangannya kembali beralih pada sebuah buku yang sedari tadi asyik ia tulisi semenjak kami duduk berdua di sini sekitar satu jam yang lalu.

Aku tersenyum memandangnya. Jujur, aku harus jujur. Kuakui bahwa aku menyukai…

…gadis ini.

Di saat semua orang mengabaikan keberadaanku, hanya gadis ini, yang berani mengajakku untuk berinteraksi. Ia seolah tak peduli jika orang-orang yang ada di sekitarnya akan memandangnya dengan aneh bila ia terlihat mengajakku jalan bersama.

“Hey, dari tadi kau kelihatan asyik sekali. Apa yang sedang kau tulis? Sebuah diary?” tanyaku ingin tahu.

Senyuman Hayeon langsung sirna. Ia cepat-cepat menutup buku yang berada dalam genggamannya tersebut lalu memasukkannya kembali ke dalam ranselnya. “Aniya! Kau tidak boleh tahu!” tukasnya cepat.

Aku mengernyitkan dahi begitu melihat raut wajah Hayeon yang tiba-tiba terlihat sangat gugup. Apa ada yang salah dengan ucapanku tadi?

“Kenapa aku tidak boleh tahu?”

“Karena belum waktunya!” Hayeon cepat-cepat bangkit dari posisi duduknya sambil mengangkat tas ranselnya, bersiap untuk meninggalkan tempat ini. “Yuk, kita pulang.” Ajaknya sambil mengulurkan sebelah tangannya ke arahku.

Aku membalas uluran tangannya dengan sebuah senyuman. Tak kuhiraukan tangan Hayeon yang sedari tadi terus terulur ke arahku. Aku tak mau menyambutnya. Karena aku… tidak bisa.

“Kenapa diam terus?” gadis itu mengerucutkan bibirnya lalu melepas uluran tangannya. Terlihat kesal.

“Kau duluan saja.”

“Ih, selalu begitu!” gumamnya dengan nada sebal. Ia lalu berbalik dan mulai berjalan pergi.

Tak mau tertinggal, aku buru-buru beranjak, lantas berjalan mengekor di belakangnya.

“Yang tadi itu diary, kan?” tanyaku lagi.

Hayeon tak lantas menjawab. Posisi berjalannya masih tetap mendahuluiku.

“Tuh kan… pasti diary, deh!” aku tersenyum lebar menangkap adanya sinyal-sinyal yang menunjukkan bahwa tebakanku tadi memang benar.

“Apaan, sih?! Sok tahu!” jawab Hayeon ketus. Ia bahkan tak mau menoleh ke belakang sama sekali.

“Iya deh, maaf.” Ujarku akhirnya.

Kami berdua berjalan beriringan melewati koridor sekolah. Sesekali Hayeon mengajakku mengobrol atau bahkan melontarkan beberapa lelucon yang selalu berhasil membuatku tergelak. Ia tak peduli bahwa sedari tadi sudah ada beberapa pasang mata milik para penghuni sekolah yang terus saja menatapnya aneh. Kebanyakan dari mereka adalah siswa-siswi yang masih betah untuk berlama-lama di lingkungan sekolah. Ya Tuhan… aku jadi merasa bersalah. Jangan sampai mereka menjauhi Hayeon hanya karena kehadiranku di dekatnya.

“Cukup. Sampai di sini saja.” Ucapku sesaat setelah kami berdua sampai di depan gerbang sekolah.

Kedua alis Hayeon langsung bertaut begitu mendengar ucapanku ini.

“Kenapa? Biasanya kau selalu mau mengantarkanku sampai ke depan rumah,” ujar gadis itu. Terselip kesedihan pada nada ucapannya.

Bagus. Rasa bersalahku yang kedua datang. Maaf Hayeon, bukan maksudku untuk membuatmu bersedih.

“Aku ada urusan.” Aku menyengir, berusaha menutupi rasa bersalahku. Oh tidak, ini yang ketiga. Maaf Hayeon, aku berbohong.

“Oh…,” Hayeon menggumam pelan.

Tak mau membiarkannya larut dalam kesedihan aku buru-buru menyengir kembali ke arahnya. “Besok kita bertemu lagi!” ujarku dengan nada riang.

Hayeon tersenyum lalu mengangguk. Ia lantas berjalan meninggalkanku seraya melambaikan sebelah tangannya. “Sampai jumpa besok,” ucapnya sebelum sosoknya benar-benar pergi menjauh.

Aku balas melambaikan tanganku ke arahnya sambil melemparkan senyuman hambar. Sebenarnya… aku juga masih ingin menghabiskan banyak waktuku bersamanya…

Aku lantas berbalik, bersiap untuk kembali memasuki gedung sekolah. Tetapi tiba-tiba percakapan dua orang siswi yang kebetulan melintas menyita perhatianku. Mereka berdua terlihat asyik berbisik-bisik sambil tak henti menatap ke arah Hayeon yang telah berjalan semakin jauh.

“Itu Lee Hayeon anak kelas 3C, kan?” tanya salah satu siswi berambut panjang.

“Iya, itu Hayeon. Aku tidak menyangka, ternyata gosip yang beredar tentang gadis itu memang benar.” Balas lawan bicaranya yang berambut pendek.

“Iya…, yeoja itu… aneh.”

Aku menundukkan kepala. Lagi-lagi ini gara-gara aku. Maaf Hayeon, dari awal aku sama sekali tak berniat membuatmu menjadi seperti ini. Aku berjanji, suatu saat aku akan menebusnya. Semua rasa bersalah ini. Aku tak tahu kapan, tapi yang jelas, menghilang dari pandanganmu mungkin itu adalah jalan paling terbaik. Ya, suatu saat nanti aku akan merealisasikannya. Aku berjanji.

**~***~**

Ini jam pelajaran matematika, tetapi Hayeon malah terus terlihat asyik mencorat-coret di atas lembaran halaman buku tebal yang kemarin kuanggap sebagai buku catatan hariannya. Aku tahu ini bukan perbuatan yang terpuji. Bukankah di saat ada guru yang sedang menerangkan pelajaran maka sudah menjadi tugas seorang murid untuk menyimaknya dengan baik? Maka, kuputuskan akhirnya untuk menegur gadis itu.

“Sedang apa?” tanyaku padanya.

“Kau tidak perlu tahu!” jawab Hayeon acuh.

“Kalau ketahuan guru bahaya, lho! Bisa-bisa buku diary-mu ini diambil oleh guru itu!” aku mencoba memperingatkannya.

“Berisik! Ini bukan buku diary, kok! Ini buku tentang—”

“Lee Hayeon,” suara berat yang datang dari arah depan itu sontak mengejutkan kami berdua. Belum lagi tatapan seluruh penghuni kelas yang juga langsung diarahkan kepada kami.

Aku menelan ludah. Ini yang sedari tadi kutakutkan. Setelah ini Hayeon pasti akan dihukum guru matematikanya karena ketahuan tidak memerhatikan materi pelajaran.

“Kalau tidak ingin belajar, silakan keluar. Pintu keluarnya ada di sebelah sana,” guru wanita itu berujar dengan nada suara yang teramat dingin sambil lengan kirinya menunjuk ke arah pintu kelas.

Hayeon mendengus lalu bergegas membereskan peralatan tulisnya dan memasukkannya ke dalam ransel. Ia lalu beranjak meninggalkan kursinya tanpa mengacuhkan kehadiran guru matematikanya tersebut. Reaksi yang tidak aneh menurutku, mengingat Hayeon juga sangat membenci mata pelajaran ini di samping rasa ketidaksukaannya terhadap sang pendidik karena cara mengajarnya yang dinilai Hayeon terlalu kurang komunikatif kepada para murid.

Hayeon berjalan santai ke arah pintu kelas sambil kemudian mengucapkan salam perpisahannya kepada seluruh penghuni kelas dengan suara riang. “Semuanya, aku pulang duluan, ya! Annyeong!”

Prilaku Hayeon yang terkesan sangat santai itu jelas membuat sang guru menjadi geram. Setelah sosok Hayeon menghilang dari balik pintu, wanita paruh baya itu langsung mengumpat dengan nada suara penuh amarah. “Saya juga tidak butuh murid yang kerjanya hanya mengobrol sendirian seperti orang yang tidak waras!”

Aku hanya bisa tertegun usai mendengar ucapan guru tersebut.

“Maaf Hayeon, lagi-lagi ini gara-gara aku…”

**~***~**

“Aku benci Eomma,” ujar Hayeon, ketika gadis itu sampai di danau belakang sekolah, tempat kami biasa meghabiskan waktu bersama.

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Eomma terus-menerus menyuruhku untuk memeriksakan diri ke psikiater. Beliau pikir aku gila apa?!” ujarnya gusar.

“Kau? Gila? Well, tidak aneh sih kalau Eomma-mu saja sampai berpikiran seperti itu,” ucapku datar.

“Ih!” Hayeon menggembungkan pipinya, kesal.

Okay, aku bercanda. Jangan sampai ucapanku tadi ia masukkan ke dalam hati.

“Just kidding,” aku menyengir lebar.

“Hmm…,” Hayeon berdehem pelan sambil kemudian pandangannya ia alihkan ke arah danau. Menatap sekumpulan angsa yang tengah asyik berenang ria di sana. “Kau tahu alasan mengapa aku menolak untuk pergi ke psikiater?” tanya gadis itu tanpa mau menatap ke arahku.

“Kenapa memangnya?” tanyaku penasaran.

Hayeon menghela nafas dalam-dalam. Tatapan matanya kosong. Aneh, selama aku mengenalnya belum pernah aku melihat Hayeon dengan raut wajah sedih seperti ini.

“Uhm… itu karena…, karena aku tidak mau kehilanganmu,” jawabnya yang langsung sukses membuatku terhenyak.

Tuhan… rasa ini muncul lagi. Ini bukan yang pertama kalinya aku merasa gugup bila aku sedang berada di dekat gadis ini. Memang aku akan mengakuinya, bahwa aku menyukai Hayeon. Tapi normalkah perasaan ini? Tidakkah ini melawan hukum alam yang telah lama diberlakukan sejak lama oleh Sang Pencipta? Tanpa perlu kujelaskan secara panjang lebar pun, semua orang akan mengatakan dengan

gamblang bahwa kami berdua tak akan pernah bisa ditakdirkan untuk bersatu.

Dan itulah… kenyataan pahit yang harus kuterima…

“Eomma jahat. Eomma pasti akan melakukan segala cara untuk memisahkan kita berdua. Dan aku tidak ingin itu terjadi,” jelas Hayeon dengan tatapan menerawang.

Aku terdiam. Dalam hati, aku sangat mendukung semua ucapannya. Tapi apa daya, yang namanya takdir dari Tuhan memang tak akan pernah bisa untuk dilanggar bukan? Apalagi oleh makhluk ciptaan-Nya seperti kami berdua. Tentu saja, karena kami memang tak mempunyai kuasa apapun untuk mengendalikan sesuatu yang dinamakan takdir.

“Aku… menyusahkanmu, ya? Maaf.” Ucapku lirih.

Hayeon langsung beralih menatapku lalu buru-buru menggeleng. “Tidak, kok! Tidak sama sekali!”

Aku memberanikan diri menatap wajahnya. Kulihat bola mata Hayeon yang juga sedang menatap ke arahku. Ada ketegaran dan kesungguhan yang kulihat terpancar dari dalam sana.

“Aku malah senang setelah aku bertemu denganmu. Kau tahu? Kau itu teman terbaikku. Selama ini tak ada yang mau berteman denganku kecuali kau. Dengan adanya kau, aku selalu merasa menjadi lebih kuat. Aku tidak pernah merasa kesepian lagi. Maka dari itu, aku ingin kau tetap ada. Di dekat aku. Tolong, aku mohon jangan pergi.” Suara Hayeon terdengar gemetar. Kentara sekali bahwa ia terlihat sedang berupaya menahan tangisnya agar tidak keluar.

Aku memandangnya prihatin. Bukan, aku bukan sedang mengasihani dirinya. Melainkan diriku sendiri. Betapa aku ingin menghiburnya. Mengelus puncak kepalanya atau mungkin menyandarkan kepalanya di bahuku, sekedar memberikan gadis itu sedikit ketenangan. Tapi sekarang… apa yang bisa kulakukan? Bahkan hanya untuk menyentuhnya saja aku… tidak bisa.

“Kau mau berjanji satu hal?” tanya dari Hayeon itu tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

“Janji apa?”

“Janji untuk tidak pergi. Selamanya. Kau mau untuk tetap tinggal di dekatku selama-lamanya, kan?”

Aku tertegun. Tentu saja, aku sangat ingin memenuhi janji itu. Bukan hal yang sulit bagiku untuk menjalankannya. Tapi bagaimana denganmu, Hayeon? Bukan tidak mungkin bahwa kau sendirilah yang nantinya akan melanggar janji itu. Kau yang akan pergi meninggalkanku, lalu… melupakanku.

“Aku janji.” Aku tersenyum, mengiyakan permintaannya. Walau tak dapat dipungkiri batinku kini sudah menangis. Mengingat kenanganku bersama Hayeon yang mungkin bisa terhapus kapan saja membuat dadaku terasa sesak.

“Kalau begini aku bisa tenang,” Hayeon membalas senyumanku dengan senyuman lembutnya. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku tebal dari dalam ranselnya. Buku itu yang sering kulihat Hayeon bawa ke mana-mana.

Gadis itu lalu asyik mencorat-coret lembaran halaman buku tersebut. Terlihat seperti sedang menuliskan sesuatu.

“Ah, buku diary itu lagi…,” komentarku sembari menunjuk buku tersebut.

“Bukan, kok. Ini bukan buku diary,” jawab Hayeon disertai dengan sebuah gelengan.

Dahiku mengerut begitu mendengar jawaban darinya. “Bukan diary? Lalu apa?”

Hayeon tersenyum. Aktivitas menulisnya ia hentikan sejenak seraya kemudian memperlihatkan halaman dari buku tersebut ke arahku. Di sana ada gambar menyerupai seorang gadis dengan seorang pria yang berdiri di sampingnya. Potret gadis itu tersenyum, begitu pula dengan sang pria. Di bawahnya tertera jelas sebuah tulisan yang sengaja ditebalkan oleh Hayeon.

„The Story of Ours‟, bunyi tulisan tersebut.

“Ini buku cerita kita. Cerita tentang aku…,” jelas Hayeon sambil menunjuk potret gambar sang gadis. “…dan kau.” Lanjutnya kali ini sambil menunjuk potret gambar pria yang berada tepat di samping potret gambar sang gadis.

Aku tersenyum. Harus kuakui kalau aku cukup tersentuh. Aku memandangi buku tersebut cukup lama. Tuhan… bolehkah aku meminta sebuah permintaan? Yang kuinginkan sekarang hanyalah agar waktu berhenti berputar. Kumohon hanya untuk kali ini. Aku ingin bersama dengannya lebih lama lagi. Bersama… Hayeon.

**~***~**

Sudah tiga hari ini Hayeon absen di sekolahnya. Ke mana perginya gadis itu? Sudah aku cari ke rumahnya tapi bangunan bertingkat dua

itu malah terlihat sepi bagaikan tak berpenghuni. Aneh. Apa mungkin gadis itu sedang sakit?

„BRAK!‟

Suara pintu gerbang rumah Hayeon yang tiba-tiba terbuka itu kontan membuatku mendongakkan kepala. Ya, sebenarnya aku sudah menunggu di depan rumah Hayeon selama berhari-hari hanya untuk mencari petunjuk di mana sebenarnya gadis itu berada. Terdengar cukup gila, ya? Memang. Tapi ini semua kulakukan karena aku tak ingin Hayeon mengkhianati janjinya, janji yang sudah kami buat sewaktu di danau.

Seorang pria paruh baya kemudian terlihat masuk ke dalam rumah dengan sedikit tergesa. Oh, aku mengenalnya. Kalau aku tak salah, dia Appa-nya Hayeon. Aku sering melihatnya ketika beberapa kali bertandang ke sini. Pria itu lalu keluar rumah dengan membawa sebuah koper lantas kembali masuk ke dalam mobilnya. Aneh. Mau pergi ke mana pria itu? Padahal baru saja ia kembali ke rumah setelah berhari-hari meninggalkan rumahnya itu dalam keadaan kosong. Tapi kenapa sekarang ia mau pergi lagi? Pergi ke mana ya kira-kira? Betapa ingin aku bertanya padanya tapi… ah! Bodohnya aku. Dia tak akan mungkin bisa mendengarku.

Akhirnya aku berinisiatif untuk membuntutinya dengan menumpang pada bagian jok belakang mobilnya. Persetan dengan izin dan sopan santun, toh Appa Hayeon juga tidak akan bisa melihatku.

Appa Hayeon mengemudikan mobilnya dengan sedikit terburu-buru. Tak berapa lama kemudian, kami berdua pun sampai ke sebuah gedung besar dengan cat berwarna putih yang hampir mendominasi seluruh bagian bangunannya.

Hey, tunggu dulu! Kenapa juga Appa-nya Hayeon harus pergi ke tempat ini? Ini kan… rumah sakit jiwa.

Sebenarnya apa yang terjadi? Tuhan… tolong jangan beri aku firasat buruk.

“Bagaimana keadaan Hayeon?” tanya Appa Hayeon begitu sampai di depan pintu masuk sebuah kamar perawatan. Di sana terlihat seorang wanita paruh baya yang sedang duduk menunggu sendirian dengan wajah keruh.

“Belum ada perkembangan apapun. Dokter Park juga masih di dalam. Oh ya, kau membawa baju-baju Hayeon, kan?” wanita yang berdialog dengan Appa Hayeon tadi balas bertanya.

Hey, aku tahu betul siapa wanita ini. Dia Eomma-nya Hayeon!

“Ya, aku membawanya.” Appa Hayeon lantas menunjuk sebuah koper yang dari tadi dibawanya.

Tunggu dulu… aku masih belum mengerti situasi ini. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa telah terjadi sesuatu yang buruk dengan Hayeon?

“Aku takut, aku takut terjadi sesuatu yang buruk menimpa Hayeon. Sudah hampir sebulan ini aku selalu melihatnya berbicara sendiri. Setiap kali aku tanya, Hayeon pasti selalu mejawab bahwa ia sedang mengobrol bersama temannya,” Eomma Hayeon berbicara dengan suara serak, jelas sekali bahwa beliau kelihatan sedang menangis.

“Jangan bicara seperti itu, yeobo. Percayalah, Hayeon pasti baik-baik saja.” Appa Hayeon berusaha menenangkan istrinya itu.

“Baik-baik apanya?! Apa kau tahu perasaanku tiap kali mendengar laporan dari semua teman bahkan semua guru yang ada di sekolah

Hayeon yang bilang kalau Hayeon mulai kehilangan akal sehatnya?! Mereka semua mengatakan bahwa anak kita gila! Mereka bilang Hayeon selalu terlihat menyendiri, tidak mau berbaur dengan orang lain, dan hanya asyik dengan dunianya sendiri! Bahkan tak jarang mereka memergoki Hayeon sedang mengobrol sendirian di taman belakang sekolah! Kau mengerti perasaanku kan, yeobo?! Aku hanya takut apa yang dikatakan oleh mereka semua itu memang benar kalau Hayeon itu… Hayeon…”

Eomma Hayeon tak kuasa melanjutkan perkataannya. Tangisnya kemudian langsung pecah di pelukan suaminya. Tuhan… betapa melihat pemandangan ini rasanya benar-benar telah menohok hatiku. Apa yang aku takutkan kini sepertinya telah menjadi kenyataan. Aku yang menyebabkan Hayeon begini… aku yang telah menyebabkannya menjadi terlihat seperti orang yang tidak waras! Ini semua salahku, Tuhan! Bukan keluarga Hayeon! Biarkan aku yang menanggung ini semua, jangan mereka…

Tiba-tiba pintu kamar perawatan terbuka. Keluarlah seorang wanita dengan balutan jas berwana putih. Ia menghampiri kedua orang tua Hayeon dengan wajah lesu.

“Bagaimana, dok? Bagaimana keadaan putri saya?” tanya Appa Hayeon.

“Belum ada perkembangan yang berarti,” dokter itu menghela nafas berat. “…semua perkataannya masih sama dengan hari kemarin. Ia bilang selama ini ia mempunyai teman baik bernama „Dongho‟. Ia dan Dongho seringkali menghabiskan waktu bersama melihat pemandangan senja di belakang sekolah. Ia bahkan bercerita kalau ia pernah beberapa kali membawa „Dongho‟-nya itu ke rumah. Sepertinya anak Anda memang mengalami gangguan mental yang

cukup serius. Ini harus ditindaklanjuti. Kalau tetap dibiarkan, bukan tidak mungkin kalau Hayeon akan terjebak dalam „dunia‟-nya sendiri sampai gadis itu tumbuh dewasa. Kemungkinan terburuk yang dapat kita ambil, mungkin putri Anda akan benar-benar… kehilangan akal sehatnya.”

Kulihat raut wajah Appa Hayeon langsung menegang. Begitu pula dengan Eomma Hayeon, tangisnya makin menjadi. Setelah dokter itu pamit pergi, aku buru-buru masuk ke dalam kamar tempat Hayeon dirawat tanpa memutar knop pintu terlebih dahulu. Oh, lupakan knop pintu! Seorang arwah sepertiku sama sekali tidak membutuhkannya! Kalian tahu? Dongho yang dimaksudkan sang dokter tadi adalah aku! Ya! Akulah selama ini yang menjadi sahabat baik Hayeon, juga sosok yang telah membuatnya dicap gila oleh orang-orang di sekitarnya! Maafkan aku Tuhan… yang kuinginkan waktu itu hanyalah mempunyai seorang teman, tidaklah lebih. Kalian tahu rasanya menjadi arwah gentayangan sepertiku? Kesepian. Hal pahit itulah yang kurasakan semenjak tiga tahun yang lalu. Saat aku mendapati jasadku sendiri terbaring tak berdaya di gudang sekolah. Aku dianiaya oleh sekelompok murid yang waktu itu tak begitu menyukai keberadaanku dan gemar menganggapku sebagai obyek dari aktivitas bully mereka. Hanya karena penampilanku yang jauh dari kata „bergaya‟ juga karena tak ada yang mau berteman denganku saat itu.

Dan hingga akhirnya, aku pun terbunuh. Ya, terkunci selama berhari-hari di dalam gudang sekolah tanpa makanan ataupun minuman benar-benar membuat tubuhku tersiksa. Tak ada yang menolongku waktu itu hingga akhirnya aku benar-benar menghembuskan nafas terakhirku di sana.

Aku pun resmi mejadi sosok penunggu di sekolah. Sampai akhirnya aku bertemu dengannya, Hayeon. Gadis itu memang istimewa karena

dia bisa melihatku dalam wujud arwah. Lama-kelamaan kami pun dekat sampai kemudian bersahabat baik. Namun siapa yang menyangka jika semuanya akan menjadi rumit seperti ini? Sungguh, aku sama sekali tak bermaksud untuk membuat Hayeon menjadi terlihat tidak „normal‟ di hadapan teman-teman ataupun keluarganya. Tapi mungkin, ini memang salahku juga. Lagipula siapa yang tidak akan mengganggap „gila‟ terhadap orang yang terlihat senang berbicara sendirian?

“Hey, Dongho! Akhirnya kau datang!” Hayeon menyambut sosokku yang tahu-tahu sudah berada di sampingnya dengan senyuman berseri-seri.

Melihatnya semakin membuat rasa bersalahku memuncak. Ini tidak adil… Kenapa mereka harus mengurung Hayeon di tempat terkutuk ini? Hayeon tidak gila! Gadis itu normal! Hanya karena keberadaanku inilah yang akhirnya membuat kesalahpahaman terjadi antara Hayeon dengan lingkungan sekitarnya.

“Maafkan aku, Hayeon, maaf…”

Aku tak kuasa menahan tangisku. Kulihat Hayeon menggelengkan kepalanya pelan sambil kemudian mengambil buku kesayangannya yang ia taruh di atas meja di samping ranjangnya. Buku itu… The Story of Ours…

“Aku tahu kalau saat itu pasti akan datang. Walaupun jujur, aku belum siap.” Hayeon tersenyum seraya menimang-nimang buku yang ada dalam genggamannya. “Eomma terus-terusan memaksa aku untuk memeriksakan diri ke psikiater. Sepertinya beliau benar-benar menganggap kalau putri semata wayangnya ini benar-benar gila, deh.” Hayeon terkekeh.

Sementara aku diam seribu bahasa. Masih berusaha menahan air mataku agar tak kembali jatuh.

“Bukan Eomma saja, bahkan Dokter Park, dokter yang menanganiku juga menganggap aku tidak waras. Dia bilang, aku sudah beranjak dewasa. Dia juga bilang kalau kau hanya sebatas teman khayalanku. Katanya orang dewasa itu tidak boleh punya teman khayalan. Aku sudah tekankan berkali-kali kalau kau itu nyata, bukan hanya sekedar khayalan. Tapi Dokter Park tidak mau dengar. Dia bilang dia akan berusaha menyembuhkan aku lewat terapi. Secara tidak langsung dia ingin membuatku tidak bisa mengingatmu lagi, Dongho. Menyebalkan, bukan? Tapi kau tenang saja, dengan adanya buku ini, aku tidak akan mungkin melupakanmu, kok. Kau tahu? Dalam buku ini sudah banyak kutulisi tentang kenangan kita berdua. Itu kenapa aku menyebutnya „The Story of Ours‟. Aku tidak janji setelah ikut terapi menyebalkannya Dokter Park itu aku akan mengingatmumu seratus persen. Tapi mungkin dengan adanya buku ini, akan ada kenangan-kenangan kita berdua yang masih bisa aku ingat. Walaupun mungkin, hanya sedikit. Hahaha…, agak terdengar konyol, ya? Padahal aku sendiri yang berjanji tapi malah aku sendiri yang sepertinya akan melanggarnya. Maaf Dongho, aku tidak bermaksud untuk melupakanmu, juga… janji kita.”

Sederet kalimat terakhir yang diucapkan Hayeon tadi terdengar sangat lirih. Tidak, tolong jangan bersikap seperti ini,Hayeon. Jangan bersikap seolah-olah tak lama lagi kita akan berpisah.

“Hayeon, aku—”

Baru saja aku hendak berucap, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Masuklah kedua orang tua Hayeon dengan raut wajah cemas.

“Hayeon-ah, kamu tadi mengobrol dengan siapa?” tanya Eomma Hayeon khawatir.

“Dengan Dongho,” jawab Hayeon enteng sambil menunjuk ke arahku.

Kedua orang tua Hayeon langsung mengalihkan pandangannya ke arah yang dimaksud. Percuma, mereka tidak akan bisa melihat apa-apa karena aku adalah seorang arwah. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihat dan merasakan keberadaanku.

“Yeobo…,” air mata Eomma Hayeon mulai kembali turun, menatap putri semata wayangnya itu dengan tatapan prihatin.

“Hayeon cukup! Berhenti bersikap seperti ini! Kembalilah ke kehidupan normalmu! Dongho itu tidak ada! Dia tidak nyata!” seru Appa Hayeon dengan nada frustasi.

“Anio. Dongho itu nyata. Dia itu benar-benar ada. Dia sekarang bahkan sedang berdiri di samping Appa. Kalau Appa tidak percaya, Appa boleh lihat buku ini. Di sini ada kenangan-kenangan yang aku tulis ketika masih bersamanya,” ujar Hayeon sembari menyerahkan buku miliknya kepada Appa-nya itu.

Appa Hayeon menerima buku itu dengan tatapan aneh. Dibukanya halaman buku tersebut satu-persatu. Dahi pria itu langsut mengernyit begitu mendapati setengah dari isi buku tersebut hampir seluruhnya didominasi oleh kata-kata „Dongho & Hayeon‟.

“Hayeon, Appa bilang cukup!” Appa Hayeon menutup buku tersebut dengan kasar dan tanpa disangka-sangka membawanya keluar kamar. Kontan Hayeon yang melihatnya pun menjadi panik.

“Appa! Mau di bawa ke mana buku itu?!”

“Akan Appa bakar!”

“Jangan! Appa!” Hayeon berusaha bangkit dari tempat tidurnya namun ditahan oleh Eomma-nya.

“Hayeon-ah!”

“Lepaskan Hayeon, Eomma! Lepas! Itu buku kenang-kenangan Hayeon dengan Dongho! Kalau buku itu tak ada, Hayeon tidak bisa mengingat Dongho lagi setelah Hayeon selesai di-terapi!” seru Hayeon sambil menangis.

“Hayeon sayang, Eomma mohon kamu sadar, nak. Yang namanya Dongho itu tidak ada…, dia tidak pernah ada!” ujar Eomma Hayeon sembari memeluk putrinya itu.

“Anio! Dongho itu ada! Dia ada di sini! Dongho, kau masih di situ, kan?!” seru Hayeon sambil melirik ke arahku, seolah mencari pertolongan.

Aku hanya bisa terdiam menyaksikan pemandangan tersebut. Hatiku sakit. Rasanya bagaikan jantungku diterpa ribuan pisau belati dalam sekali tikaman. Benar-benar sakit. Aku benci melihat Hayeon seperti ini. Gadis itu harus menanggung derita karena aku. Aku memang benar-benar bukan sahabat yang baik!

Kulihat Appa Hayeon mulai mengeluarkan korek api dari dalam saku celananya dan mulai meyalakannya. Pertama-tama percikan api itu menjalar bagian belakang buku, kemudian ke tengah, hingga hampir seluruh bagiannya nyaris terbakar habis. Pemandangan itu benar-benar membuat Hayeon menjerit histeris.

“Andwae!!! Dongho!!!”

Ia kembali menoleh ke arahku. Aku tersenyum getir menatapnya. Entahlah, tiba-tiba ada hal aneh yang kurasakan. Rasanya entah kenapa badanku menjadi lebih ringan dari biasanya. Hayeon menatapku cemas lalu mulai meneriakiku. “Dongho-ya! Kajima!!”

Entah bagaimana mengungkapkannya tapi aku merasa tubuhku menjadi semakin ringan. Kedua kakiku perlahan berubah menjadi abu. Ya, kedua kakiku tiba-tiba saja menghilang. Akhirnya aku mulai menyadari suatu hal. Keberadaanku akan ikut musnah dengan sendirinya ketika buku Hayeon itu hangus terbakar seluruhnya.

“Jangan! Kubilang jangan dibakar!!” teriakan Hayeon semakin menjadi. Para suster dan seorang dokter tiba-tiba menghampiri kamarnya dengan tergopoh-gopoh. Kulihat salah satu di antaranya ada yang menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuh Hayeon hingga membuat gadis itu menjadi lemas tak bertenaga.

“Tolong jangan bakar…,” ucapnya di sela-sela batas kesadarannya.

Percikan api itu sudah menjalar sampai ke bagian depan, hampir menghabisi tiga per empat bagian dari buku tersebut. Kini yang aku punya juga hanya tinggal kepala. Perlahan seluruh tubuhku telah berubah menjadi abu seiring dengan terbakarnya buku tersebut.

Aku menatap Hayeon yang nyaris tak sadarkan diri dari kejauhan. Gadis itu terus berujar dengan suara lemah, memintaku untuk tetap tinggal. Maaf Hayeon, kurasa akulah yang tak bisa menepati janjiku kemarin. Aku tak bisa berada di dekatmu untuk selama-lamanya. Apa kau mau memaafkan aku?

Percikan api itu semakin lama semakin merajarela. Hanya tinggal beberapa inchi lagi hingga api itu dapat menghabisi seluruh bagian buku tersebut. Aku menatap Hayeon yang kini sudah tergolek lemah tak berdaya di atas ranjangnya. Gadis itu menyerah dengan obat biusnya. Sayang, kedua matanya telah terpejam rapat sebelum aku dapat mengucapkan salam perpisahan kepadanya. Ah, tunggu. Kurasa tidak. Bahkan bagian mulutku juga sudah berubah menjadi abu. Kepalaku hanya tinggal tersisa setengah. Ah, tungggu apa lagi? Ini harus kuucapkan sebelum semuanya benar-benar terlambat.

“Selamat tinggal, Hayeon. Terima kasih, kehadiranmu telah banyak membuat kehidupan keduaku menjadi lebih berarti. Mungkin suatu saat nanti kita bisa berjumpa kembali, di alam sana tentunya. Tak masalah kamu bisa mengingatku atau tidak karena rasa ini akan tetap ada dan akan selalu kusimpan untukmu…”

Percikan api terakhir, dan buku milik Hayeon itu telah berubah seluruhnya menjadi serpihan abu. Tak ubahnya seperti aku, perlahan-lahan aku pun mulai menghilang. Abuku menyatu terbawa hembusan angin dengan serpihan buku milik Hayeon tersebut. Ah iya, buku itu… The Story of Ours…