tetanus otogenik.docx

download tetanus otogenik.docx

of 26

Transcript of tetanus otogenik.docx

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 TELINGAA. Anatomi Telinga1Secara umum telinga terbagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar sendiri terbagi atas daun telinga, liang telinga dan bagian lateral dari membran timpani.Daun telinga di bentuk oleh tulang rawan dan otot serta ditutupi oleh kulit. Ke arah liang telinga lapisan tulang rawan berbentuk corong menutupi hampir sepertiga lateral, dua pertiga lainnya liang telinga dibentuk oleh tulang yang ditutupi kulit yang melekat erat dan berhubungan dengan membran timpani. Bentuk daun telinga dengan berbagai tonjolan dan cekungan serta bentuk liang telinga yang lurus dengan panjang sekitar 2,5 cm, akan menyebabkan terjadinya resonansi bunyi sebesar 3500 Hz .

Telinga tengah berbentuk seperti kubah dengan enam sisi. Telinga tengah terbagi atas tiga bagian dari atas ke bawah, yaitu epitimpanum terletak di atas dari batas atas membran timpani, mesotimpanum disebut juga kavum timpani terletak medial dari membran timpani dan hipotimpanum terletak kaudal dari membran timpani.

Organ konduksi di dalam telinga tengah ialah membran timpani, rangkaian tulang pendengaran, ligamentum penunjang, tingkap lonjong dan tingkap bundar.Kontraksi otot tensor timpani akan menarik manubrium maleus ke arah anteromedial, mengakibatkan membran timpani bergerak ke arah dalam, sehingga besar energy suara yang masuk dibatasi .Fungsi dari telinga tengah akan meneruskan energi akustik yang berasal dari telinga luar kedalam koklea yang berisi cairan. Sebelum memasuki koklea bunyi akan diamplifikasi melalui perbedaan ukuran membran timpani dan tingkap lonjong, daya ungkit tulang pendengaran dan bentuk spesifik dari membran timpani. Meskipun bunyi yang diteruskan ke dalam koklea mengalami amplifikasi yang cukup besar, namun efisiensi energi dan kemurnian bunyi tidak mengalami distorsi walaupun intensitas bunyi yang diterima sampai 130 Db.

Aktifitas dari otot stapedius disebut juga reflek stapedius pada manusia akan muncul pada intensitas bunyi diatas 80 dB (SPL) dalam bentuk reflek bilateral dengan sisi homolateral lebih kuat. Reflek otot ini berfungsi melindungi koklea, efektif pada frekuensi kurang dari 2 khz dengan masa latensi 10 mdet dengan daya redam 5-10 dB. Dengan demikian dapat dikatakan telinga mempunyai filter terhadap bunyi tertentu, baik terhadap intensitas maupun frekuensi.

Gambar 1. Anatomi TelingaTelinga dalam terdiri dari organ kesimbangan dan organ pendengaran. Telinga dalam terletak di pars petrosus os temporalis dan disebut labirin karena bentuknya yang kompleks. Telinga dalam pada waktu lahir bentuknya sudah sempurna dan hanya mengalami pembesaran seiring dengan pertumbuhan tulang temporal. Telinga dalam terdiri dari dua bagian yaitu labirin tulang dan labirin membranosa. Labirin tulang merupakan susunan ruangan yang terdapat dalam pars petrosa os temporalis ( ruang perilimfatik) dan merupakan salah satu tulang terkeras. Labirin tulang terdiri dari vestibulum, kanalis semisirkularis dan kohlea.Vestibulum merupakan bagian yang membesar dari labirin tulang dengan ukuran panjang 5 mm, tinggi 5 mm dan dalam 3 mm. Dinding medial menghadap ke meatus akustikus internus dan ditembus oleh saraf. Pada dinding medial terdapat dua cekungan yaitu spherical recess untuk sakulus dan eliptical recess untuk utrikulus. Di bawah eliptical recess terdapat lubang kecil akuaduktus vestibularis yang menyalurkan duktus endolimfatikus ke fossa kranii posterior diluar duramater.Di belakang spherical recess terdapat alur yang disebut vestibular crest. Pada ujung bawah alur ini terpisah untuk mencakup recessus kohlearis yang membawa serabut saraf kohlea kebasis kohlea. Serabut saraf untuk utrikulus, kanalis semisirkularis superior dan lateral menembus dinding tulang pada daerah yang berhubungan dengan N. Vestibularis pada fundus meatus akustikus internus. Di dinding posterior vestibulum mengandung 5 lubang ke kanalis semisirkularis dan dinding anterior ada lubang berbentuk elips ke skala vestibuli kohlea.

Gambar 2 Anatomi Telinga DalamAda tiga buah semisirkularis yaitu kanalis semisirkularis superior, posterior dan lateral yang terletak di atas dan di belakang vestibulum. Bentuknya seperti dua pertiga lingkaran dengan panjang yang tidak sama tetapi dengan diameter yang hampir sama sekitar 0,8 mm. Pada salah satu ujungnya masing-masing kanalis ini melebar disebut ampulla yang berisi epitel sensoris vestibular dan terbuka ke vestibulum.Ampulla kanalis superior dan lateral letaknya bersebelahan pada masing-masing ujung anterolateralnya, sedangkan ampulla kanalis posterior terletak dibawah dekat lantai vestibulum. Ujung kanalis superior dan inferior yang tidak mempunyai ampulla bertemu dan bersatu membentuk crus communis yang masuk vestibulum pada dinding posterior bagian tengah. Ujung kanalis lateralis yang tidak memiliki ampulla masuk vestibulum sedikit dibawah cruss communis.Kanalis lateralis kedua telinga terletak pada bidang yang hampir sama yaitu bidang miring ke bawah dan belakang dengan sudut 30 derajat terhadap bidang horizontal bila orang berdiri. Kanalis lainnya letaknya tegak lurus terhadap kanal ini sehingga kanalis superior sisi telinga kiri letaknya hampir sejajar dengan posterior telinga kanan demikian pula dengan kanalis posterior telinga kiri sejajar dengan kanalis superior teling kanan.Koklea membentuk tabung ulir yang dilindungi oleh tulang dengan panjang sekitar35 mm dan terbagi atas skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala timpani dan skala vestibuli berisi cairan perilimfa dengan konsentrasi K+ 4 mEq/l dan Na+ 139 mEq/l. Skala media berada dibagian tengah, dibatasi oleh membran reissner, membran basilaris, lamina spiralis dan dinding lateral, berisi cairan endolimfa dengan konsentrasi K+ 144 mEq/l dan Na+ 13 mEq/l. Skala media mempunyai potensial positif (+ 80 mv) pada saat istirahat dan berkurang secara perlahan dari basal ke apeks.4

Gambar 3 Kohklea Organ corti terletak di membran basilaris yang lebarnya 0.12 mm di bagian basal dan melebar sampai 0.5 mm di bagian apeks, berbentuk seperti spiral. Beberapa komponen penting pada organ corti adalah sel rambut dalam, sel rambut luar, sel penunjang Deiters,Hensens, Claudius, membran tektoria dan lamina retikularis .Sel-sel rambut tersusun dalam 4 baris, yang terdiri dari 3 baris sel rambut luar yang terletak lateral terhadap terowongan yang terbentuk oleh pilar-pilar Corti, dan sebaris sel rambut dalam yang terletak di medial terhadap terowongan. Sel rambut dalam yang berjumlah sekitar 3500 dan sel rambut luar dengan jumlah 12000 berperan dalam merubah hantaran bunyi dalam bentuk energi mekanik menjadi energi listrik.

Gambar 4 Organ Corti

Vaskularisasi telinga dalamVaskularisasi telinga dalam berasal dari A. Labirintin cabang A. Cerebelaris anteroinferior atau cabang dari A. Basilaris atau A. Verteberalis. Arteri ini masuk ke meatus akustikus internus dan terpisah menjadi A. Vestibularis anterior dan A. Kohlearis communis yang bercabang pula menjadi A. Kohlearis dan A. Vestibulokohlearis. A. Vestibularis anterior memperdarahi N. Vestibularis, urtikulus dan sebagian duktus semisirkularis. A.Vestibulokohlearis sampai di mediolus daerah putaran basal kohlea terpisah menjadi cabang terminal vestibularis dan cabang kohlear. Cabang vestibular memperdarahi sakulus, sebagian besar kanalis semisirkularis dan ujung basal kohlea. Cabang kohlear memperdarahi ganglion spiralis, lamina spiralis ossea, limbus dan ligamen spiralis. A. Kohlearis berjalan mengitari N. Akustikus di kanalis akustikus internus dan didalam kohlea mengitari modiolus.Vena dialirkan ke V.Labirintin yang diteruskan ke sinus petrosus inferior atau sinus sigmoideus. Vena-vena kecil melewati akuaduktus vestibularis dan kohlearis ke sinus petrosus superior dan inferior.Persarafan telinga dalamN.Vestibulokohlearis (N.akustikus) yang dibentuk oleh bagian kohlear dan vestibular, didalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar N.Fasialis dan masuk batang otak antara pons dan medula. Sel-sel sensoris vestibularis dipersarafi oleh N.Kohlearis dengan ganglion vestibularis (scarpa) terletak didasar dari meatus akustikus internus.Sel-sel sensoris pendengaran dipersarafi N.Kohlearis dengan ganglion spiralis corti terletak di modiolus .

2.2 TETANUS OTOGENIKA. DEFINISITetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani. Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat. Dalam tubuh kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan, spasme dari otot bergaris.2

B. ETIOLOGI3Tetanus otogenik disebabkan oleh kuman Clostridium tetani yang dapat berkembang biak pada secret purulen di liang telinga dan dapat masuk ke telinga tengah pada penderita OMSK. Kuman tersebut juga dapat berasal dari oropharing yang masuk ke telinga melalui tuba eustachius.

Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk batang yang langsing dengan ukuran panjang 25 um dan lebar 0,30,5 um, termasuk gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium Tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella antigen.Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum stick) Sifat spora ini tahan dalam air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama 1520 menit pada suhu 121C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat hidup di tanah berbulanbulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat merupakan flora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob dan kemudian berkembang biak.Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik Kuman tetanus tumbuh subur pada suhu 17C dalam media kaldu daging dan media agar darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat mengfermentasikan glukosa.Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejangkejang. Tetanolisin menyebabkan lisis dari selsel darah merah.C. EPIDEMIOLOGI4Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di samping sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.Perkiraan angka kejadian umur ratarata pertahun sangat meningkat sesuai kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 519 tahun dan2029 tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 3039 tahun dan umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka kejadian lebih banyak dijumpa pada anak lakilaki; dengan perbandingan 3:1.

D. PATOFISIOLOGITetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme). Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotonga tali pusat yang tidak steril.5Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat- tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan reflex respon motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot bergari pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.5Tetanospasmin pada system saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pernapasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama janjung, hiperflexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan di kelola dengan teliti.Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara : Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot. Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside.Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine. Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .5Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi.5Port of entry pada tetanus otogenik yaitu melalui telinga yang sudah lama terinfeksi , biasanya pada anak-anak yang sudah lama mengalami otitis media/ otitis media supuratif kronik. Clostridium tetanidapat berproliferasi hanya jika potensi oksidase-reduksi lebih rendah daripada jaringan normal. Luka yang cukup dalam pada otitis media akut supuratif mendukung kondisi untuk pertumbuhan dari organism anaerob yang kemudian dapat diikuti dengan tetanus. Biasanya tidak ada portal masuk yang terlihat ditemukan. 3Clostridium tetani masuk kedalam telinga melalui luka dalam bentuk spora. Pada OMSK kuman ini bias masuk karena kontaminasi saat mengorek telinga, dan melalui air saat mandi. Pada OMSK terjadi perubahan jaringan di telinga tengah yang menyebabkan area-area yang relative iskemik sehingga oksigenase jaringan terganggu. Disamping itu kuman aerob yang ada juga mengkonsumsi oksigen sehingga keadaan seperti ini menjadi tempat yang baik untuk tumbuhnya kuman anaerob yang masuk. Masa inkubasi kuman ini adalah 3-14 hari, bisa lebih cepat atau lama kemudian sampai lingkungan kuman baik untuk tumbuh. 3Ketika keadaan mendukung, basil bermultiplikasi pada lokasi tempat inokulasi primer dan menghasilkan toxin. Toxin kemudian menjelajah secara sentripetal di dalam axoplasma dari serat alpha motorik dan berakumulasi pada neuron motorik pada endoplasma reticulum membrane. Pada tahun 1902, Marie dan Morax mengemukakan rute akses toxin menuju system saraf pusat ini, seperti yang dilakukan Meyer dan Ransome pada tahun 1903. Terbukti secara eksperimental bahwa toxin tidak mematikan jika neuron motorik local sudah rusak. Toxin dapat dinetralisir jika bebas dan hanya sedikit yang dinetralkan jika toxin ini berada pada permukaan sel. Pinositosis, mengatur toxin, dan mengubahnya menjadi tidak dapat dinetralisir. Sehingga fiksasi toxin terhadap neuron dan akibat internalisasi menghasilkan efek irreversible. Pemotongan membrane protein sel neuron host oleh neurotoxin yang aktif mengkatalis mengakibatkan pada blockade neuroexositosis yang persisten dan berkesinambungan. Blockade ini mengakibatkan adanya penyebaran impuls yang tidak terkendali, hiperrefleksia, dan kontraksi otot konstan. Otot yang terkuat, biasanya ekstensor, mengalami efek yang paling besar. Toxin juga memberikan pengaruh terhadap system saraf simpatik.3

E. GEJALA KLINIS6Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik.Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:a. Tetanus lokalTetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.b. Tetanus umumBentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupaberupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada danperut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakitdan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi denganrangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yangtetap baik.c. Tetanus neonatorumTetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidakmendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalahketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuandan spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggungmenyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayimempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekapdada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawahhiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolapssirkulasi dan kegagalan jantung paru.

Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Abletts :1. Derajat I (ringan)Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.2. Derajat II (sedang)Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia ringan3. Derajat III (berat)Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi4. Derajat IV (sangat berat)Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik.Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV.

d. Tetanus sefalTetanus cephalic jarang terjadi, merupakan suatu bentu dari tetanus lokalisata, biasanya berhubungan dengan OMSK atau trauma kapitis atau trauma muka. Beberapa kasus dilaporkan berhubungan dengan benda asing di hidung. Gejala yang jelas adalah terjadinya gangguan pada nervus III. IV. VII, IX, X, dan XI. Nervus VII yang paling sering terkena. Bentuk cephalic ini biasanya diikuti oleh bentuk generalisata.

Lokasi sumber infeksi yaitu otitis media dapat terlihat jelas dengan beberapa pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis OMSK yang aktif kemudian diikuti dengan penggunaan otoskop untuk melihat lokasi perforasi, kondisi remnant membrane timpani dan cavum timpani. Sebelum terlihat gejala tetanus, pasien biasanya mengeluhkan gangguan pada telinga seperti adanya gangguan pendengaran atau adanya riwayat keluar cairan.

Penyakit tetanus otogenik ini bermula secara berangsur-angsur dengan peningkatan kekakuan otot volunteer secara progresif, biasanya otot rahang dan leher yang terkena pertama kali. Dalam 24-48 jam setelah onset penyakit, rigiditas dapat berkembang sempurna dan menyebar cepat sampai seluruh tubuh dan ekstremitas. Diikuti dengan spasme otot rahang dan trismus (lockjaw). Mengerutnya dahi dan alis dan sudut dari mulut memberikan penampakan wajah yang aneh yang biasa disebut risus sardonikus. Leher dan punggung menjadi kaku dan melengkung (opistotonus). Dinding perut menjadi seperti papan dan ekstremitas biasanya kaku dan ekstensi.Spasme paroxysmal nyeri yang berlangsung beberapa detik hingga menit mungkin diprovokasi oleh stimulus ringan pada penglihatan, pendengaran, atau sentuhan, seperti cahaya lampu, keributan tiba-tiba dan pengengaran pasien. Risus sardonikus dan opistotonus yang paling terlihat selama spasme ini berlangsung. Mulanya spasme terjadi pada interval yang jarang, disertai relaksasi sempurna diantara serangan. Kemudian spasme terjadi lebih sering, lebih panjang, dan lebih sakit. Keterlibatan otot pernapasan, terjadinya obstruksi laring akibat spasme laring, atau akumulasi sekresi pada daerah tracheobronkial dapat menyebabkan terjadinya distress pernapasan, asfiksia, koma dan kematian. Dapat pula terjadi retensi urin akibat terlibatnya spincter pada kandung kemih.

Manifestasi klinis dari keterlibatan system saraf simpatis dapat berupa hipertensi labil, takikardia, vosokonstriksi perifer, aritmia, keringat berlebih, hypercapnia, ekskresi ketokolamin berlebih, dan late-hypotension. Selama penyakit ini berlangsung, fungs indra pasien biasanya baik. Demam biasanya rendah bahkan tidak ada. Pasien yang sembuh biasanya afebris. Setelah beberapa minggu spasme paroxysm berkurang keparahan dan kekerapannya sampai secara perlahan menghilang. Pada umumnya trismus merupakan gejala terakhir yang bertahan. Pasien dengan penyakit yang fatal biasanya demam, disertai dengan kematian pada kebanyakan kasus sebelum penyakit memasuki hari kesepuluh.Cairan spinal pasien dengan tetanus normal. Sel darah putih perifer juga dapat normal atau sedikit meningkat. Kebanyakan pasien dengan tetanus memperlihatkan manifestasi menyeluruh (generalized tetanus) seperti dijelaskan diatas. Namun pada umumnya, generalized tetanus dapat terjadi setelah cephalic tetanus (tetanus otogenik).

F. DIAGNOSIS3Diagnosis tetanus seringkali cukup dengan melihat gejala klinik. Pada anamnesa pasien biasanya tidak pernah mendapat imunisasi tetanus. Biasanya terdapat riwayat luka atau infeksi dalam tempat masuknya kuman seperti luka tusuk, OMSK dan sebagainya. Pemeriksaan laboratorium sebenarnya tidak perlu,. Jumlah sel darah putih tidak jelas meningkat, kimiawi cairan otak normal, mungkin ada peningkatan cairan serebrospinal karena kontraksi otot. Pemeriksaan mikrobiologi kultur dari tempat infeksi hanya positif 1/3 kasus.Tetanus harus dibedakan dengan trismus karena kelainan gigi, fase akut poliomyelitis, meningitis, rabies, keracunan trichin dan tetani.Berkembangnya trismus, rhisus sardonikus, rigiditas tonik menyeluruh, dan spasme pada pasien dengan sensorik baik, dan dengan riwayat pasien dengan infeksi telinga, terutama OMSK (Otitis media supuratif kronik), cairan purulen keluar dari meatus akustikus eksternus, terlihat gambaran jaringan granulasi pada daerah meatus akustikus eksternus, membrane tympani sudah mengalami perforasi kemungkinan dikarenakan adanya koleastoma sehingga sangat mengarahkan diagnosis pada tetanus otogenik. Suhu tubuh pasien biasanya normal, terdapat sedikit peningkatan jumlah kadar leukosit polimorfonuklear, tentunya tidak ditemukan luka-luka ditempat lain maupun riwayat trauma. Penemuan Clostridium tetani dari dalam luka pada telinga tentunya sangat memastikan diagnose tetanus ootogenik.

1. Anamnesa Pasien mengeluhkan gejala-gejala tetanus seperti : sulit membuka mulut, otot-otot kaku, kejang, biasanya tidak demam, namun jika ada demam ringan. Tidak ditemukan luka terbuka pada daerah tubuh. Tidak ada riwayat trauma. Riwayat sakit telinga beberapa hari yang lalu dengan gejala OMSK (otitis media supuratif kronik) antara lain : adanya gangguan pendengaran, sakit pada telinga, keluar cairan dari telinga yang berbau seperti nanah yang kental.

2. Pemeriksaan Fisik Adanya inflamasi yang terlihat pada liang telinga luar-dalam. Nyeri yang hebat, yang ditandai dengan kekakuan pada jaringan lunak pada ramus mandibula dan mastoid. Jaringan granulasi terdapat pada dasar hubungan tulang dan tulang rawan. Tampak adanya perforasi pada membrane tympani. Tampak cairan purulen kental yang keluar dari membrane timpani. Nervus kranialis harus diperiksa karena pada tetanus otogenik ini nervus-nervus kranialis ikut terlibat terutama N.VII, N.IV, N.IX, N.X, N.XII dapat terkena juga Status mental harus diperiksa. Gangguan status mental dapat menunjukan adanya komplikasi intracranial. Demam tidak umum terjadi.

3. Pemeriksaan Penunjang Jumlah leukosit biasanya normal atau sedikit meningkat. Laju endap darah meningkat bervariasi rata-rata 87 mm/jam. Kultur dan tes sensitivitas dari liang telinga perlu dilakukan sebelum pemberian antibiotic. Organism penyebab Clostridium tetani diharapkan ditemukan pada kultur sehingga akan langsung memudahkan diagnose terutama tujuan pengobatannya. CT-scan dan MRI keduanya berguna untuk memeriksa perluasan inflamasi terhadap anatomi jaringan lunak, pembentukan abses, dan komplikasi intracranial.G. DIAGNOSIS BANDING2Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sukar sekali dijumpai dari pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal dan pemeriksaan darah rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan SERUM aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi yang lengkap atau tidak lengkap, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran yang tetap normal.1. Meningitis bacterialPada penyakit ini trismus tidak ada da kesadaran penderita biasanya menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya kelainan cairan serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun.2. PoliomyelitisDidapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.3. RabiesSebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan, kejang bersifat klonik.4. Keracunan strychninePada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.5. Tetani Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar kalsium dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot ialah karpopedal spasme dan biasanya diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus6. Retropharyngeal abses Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.7. Tonsillitis berat Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tapi trismus ada.8. Efek samping fenotiasinAdanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom ektrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot.9. Kaku kuduk juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis leher dan spondilitis leher.H. KOMPLIKASI71. Pada saluran pernapasanOleh arena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukar menelan air liur dan makanan dan minuman sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi, atelektasis akibat obstruksi oleh secret. Pneumothoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.2. Pada kardiovaskular Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.

3. Pada tulang dan otot Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat kejang yang terus menerus terutama pada anak dan orang dewasa, beberapa peneliti melaporkan juga dapat miositis ossifikans sirkumskripta.

4. Komplikasi yang lain Laserasi lidah akibat kejang Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan mengganggu pusat Pengatur suhu.

Penyebab kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi yaitu : Bronkopneumonia cardiac arrest septicemia dan pneumothoraks.

I. PENATALAKSANAAN8,9Prinsip pengobatan tetanus otogenik adalah segera menetralisasi toksin yang beredar di sirkulasi, mengeradikasi sumber tetanospasmin, serta perawatan pendukung yang intensif. Eradikasi sumber infeksi dalam hal ini masteidektomi, harus secepatnya dilakukan tetapi dengan mempertimbangkan kondisi umum pasien demi keamanan tindakan operasi. Perawatan infeksi di telinga bisa dilakukan dengan membersihkan dengan larutan perioksida 3% agar drainase cairan dari telinga tengah baik.a. Umum Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalamhal ini penata laksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATSdan pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolitb. Obat-obatan 1. Antibiotic Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.

2. Anti toksinAntitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius.Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.

3. Tetanus ToksoidPemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.Berikut ini tabel petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka Tabel 1 : petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka

4. Anti-konvulsan Penyebab utama kematian pada tetanus adalah kejang klonik yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.Tabel 2 : jenis-jenis antikonvulsanJenis ObatDosisEfek Samping

Diazepam0,5 1,0 mg/kgStupor, Koma

Berat badan / 4 jam (IM)

Meprobamat300 400 mg/ 4 jam (IM)Tidak Ada

Klorpromasin25 75 mg/ 4 jam (IM)Hipotensi

Fenobarbital50 100 mg/ 4 jam (IM)Depressi pernafasan

Obat anti konvulsan yang sering dipergunakan untuk tetanus otogenik berupa diazepam, obat ini diberikan melalui bolus injeksi yang dapat diberikan setiap 2 4 jam. Pemberian berikutnya tergantung pada basil evaluasi setelah pemberian anti kejang. Bila dosis optimum telah tercapai dan kejang telah terkontrol, maka jadwal pemberian diazepam yang tetap dan tepat baru dapat disusun.Dosis diazepam pada saat dimulai pengobatan ( setelah kejang terkontrol ) adalah 20 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan tiap 3 jam ). Kemudian dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih terus berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat teratasi. Dosis maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari( dosis maintenance ).Bila dosis optimum telah didapat, maka skedul pasti telah dapat dibuat, dan ini dipertahan selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10 - 15 % dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan penaikkan dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol kejang yang terjadi.Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus segera dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang dipertahankan selama 2- 3 hari dan dirurunkan lagi secara bertahap, hal ini dilakukan untuk selanjutnya . Bila dalam penggunaan diazepam, kejang masih terjadi, sedang dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti kejang lainnya harus dilakukan.

Pengobatan menurut Adam .R.D. (1): Pada saat onset, 3000 - 6000 unit, tetanus immune globulin satu kali saja. 1,2 juta unit Procaine penicilin sehari selama 10 hari, Intramuscular. Jika alergi beri tetracycline 2 gram sehari. Perawatan luka, dibersihkan, sekitar luka beri ATS (infiltrasi) Semua penderita kejang tonik berulang, lakukan trachcostomi, ini harus dilakukan tuk mencegah cyanosis dan apnoe. Paraldehyde baik diberikan melalui mulut. Jika cara diatas gagal, dapat diberi d-Lubocurarine IM dengan dosis 15 mg setiap jam sepanjang diperlukan, begitu juga pernafasan dipertahankan dengan respirator.

Sedangkan pengobatan menurut Gilroy: Kasus ringan :Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam dan barbiturate secukupnyanya untuk mengurangi spasme. Kasus berat : 1. Semua penderita dirawat di ICU (satu team )2. Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus dibersihkan setiap satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti dengan yang baru.3.Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam. Pernafasan dijaga dengan respirator oleh tenaga yang berpengalaman4. Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam mencegah conjunctivitis5. Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi, jika perlu 6 1./hari6. Urine pasang kateter, beri antibiotika.7. Kontrol serum elektrolit, ureum dan AGDA8. Rontgen foto thorax9. Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan pemakaiannya. Jika KU membaik, NGT dihentikan. Tracheostomy dipertahankan beberapa hari, kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.

J. PROGNOSIS Dipengaruhi oleh beberapa factor :1. Masa inkubasiMakin panjang masa inkubasinya makin ringan penyakitnya, sebaliknya makin pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila inkubasi < 7 hari tergolong berat.2. UmurMakin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya makin jelek3. Period of onsetPeriod of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismussampai terjadinya kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosanya jelek4. PanasPada tetanus tidak selalu ada febris. Adanya hiperpireksia prognosanya jelek.5. PengobatanPengobatan yang terlambat prognosanya jelek.6. Ada tidaknya komplikasi7. Frekusensi kejangSemakin sering prognosanya makin jelek.

K. PENCEGAHAN10a. Imunisasi aktifDi Indonesia dengan adanya program Pengembangan Imunisasi (PPI) selain menurunkan angka kesakitan juga mengurangi angka kematian tetanus. Imunisasi tetanus biasanya dapat diberikan dalam bentuk DPT; DT dan TT. DPT : diberikan untuk imunisasi dasar DT: diberikan untuk booster pada usia 5 tahun; diberikan pada anak dengan riwayat demam dan kejan TT: diberikan pada: ibu hamil Anak usia 13 tahun keatas

Sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi, imunisasi dilakukan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan booster dilakukan pada usia 1,52 tahun dan usia 5 tahun. Dosis yang diberikan adalah 0,5 cc tiap kali pemberian secara intramuskuler.

b. Imunisasi pasifDiberikan antitoksin, pemberian antitoksin ada 2 bentuk, yaitu: ATS dari serum kuda; Tetanus Immunoglobulin Human (TIGH).Dosis yang dianjurkan belum ada keseragaman pendapat- 15003000 u i.m- 30005000 u i.m.Pemberian ini sebaiknya didahului dengan tes kulit dan mata. Dosis TIHG: 250500 u i.mPemberian ATS/TIGH atau Toksoid Tetanus maupun antibiotic tergantung dari kekebalan seseorang apakah orang tersebut sudah pernah mendapat imunisasi dasar dan boosternya, berapa lama antara pemberian toksoid dengan terjadinya luka.c. Perawatan luka Sebuah luka sebaiknya dibersihkan secara keseluruhan. Benda asing dan jaringan nekrotik sebaiknya dibuang dan area tersebut di debridement jika perlu. Luka yang mengandung jaringan yang terpisah, dan yang disebabkan oleh tabrakan keras, trauma avulse, luka bakar, sangat tinggi kecenderungan terkontaminasi Clostridium tetani.

20