Terapi Cairan Demam Berdarah

48
MEDICINUS MEDICINUS Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah Dengue Asam Valproat untuk Mencegah Migren Pencegahan Quorum Sensing: Suatu Pendekatan Baru untuk Mengatasi Infeksi Bakteri 22 14 Apakah Fungsi Kognitif Penderita Diabetes Dipengaruhi oleh Status Vitamin E 9 Vol.21, Nov - Des | No.4 | 2008 | ISSN 1979 - 391x SCIENTIFIC JOURNAL OF PHARMACEUTICAL DEVELOPMENT AND MEDICAL APPLICATION

Transcript of Terapi Cairan Demam Berdarah

Page 1: Terapi Cairan Demam Berdarah

MEDICINUSMEDICINUSDiagnosis dan Terapi Cairan pada Demam

Berdarah Dengue

Asam Valproat untuk Mencegah Migren

Pencegahan Quorum Sensing: Suatu Pendekatan Baru untuk Mengatasi Infeksi Bakteri

2214Apakah Fungsi Kognitif Penderita Diabetes Dipengaruhi oleh Status Vitamin E

9

Vol.21, Nov - Des | No.4 | 2008 | ISSN 1979 - 391x

SCIENTIFIC JOURNAL OF PHARMACEUTICAL DEVELOPMENT AND MEDICAL APPLICATION

Page 2: Terapi Cairan Demam Berdarah

IKLANTRIXIM

Page 3: Terapi Cairan Demam Berdarah

MED

ICIN

US

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

dari redaksi daftar isi

Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, di-agnosis klinis dapat segera diten-tukan. Dan dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penata-laksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Untuk lebih lengkapnya kami sajikan artikel pada rubrik leading article yang berjudul “Diagnosis dan Terapi

Cairan pada Demam Berdarah Dengue”.

Kami juga menyajikan berb-agai article research dan case report yang menarik untuk menambah wawasan kalangan dokter.

Pada rubrik medical review kami menyajikan tentang Quo-rum Sensing. Pengetahuan baru tentang Quorum Sensing memberi-kan strategi alternatif dalam usa-ha manusia untuk mengendalikan bakteri patogen, baik itu patogen pada manusia, hewan, dan tana-man.

Peran gap junction intercel-lular communication (GJIC) pada karsinogenesis adalah artikel pada rubrik medical review yang lain yang tidak kalah menarik untuk dibaca.

Selamat membaca!!!!

REDAKSI

Ketua Pengarah/Pemimpin Redaksi Dr. Raymond R. TjandrawinataRedaktur Pelaksana Dwi Nofiarny, Pharm., Msc.Staf Redaksi dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni, dr. Lydia Fransisca Hermina Tiurmauli Tambunan, Liana W Susanto, M biomed., dr. Lubbi Ilmiawan, dr. Prihatini, dr. Ratna Kumalasari, Tri Galih Arviyani, SKom.Peer Review Prof.Arini Setiawati, Ph.D, Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D, Prof.Dr.Med.Puruhito,M.D.,F.I.C.S., F.C.T.S, Prof DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFKRedaksi/Tata Usaha Jl. RS Fatmawati Kav 33, Cilandak, Jakarta Selatan Tel. (021) 7509575, Fax. (021) 75816588, Email: [email protected]

SUMBANGAN TULISANRedaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto dan materi lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Redaksi berhak menge-dit atau mengubah tulisan/susunan bahasa tanpa mengubah isi yang dimuat apabila dipandang perlu.

Dari Redaksi

Petunjuk Penulisan

Leading Article

Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam

Berdarah Dengue

Original Article (Research)

Apakah Fungsi Kognitif Penderita Diabe-

tes Dipengaruhi oleh Status Vitamin E?

Original Article (Case Report)

Asam Valproat untuk Mencegah Migren

Timpanolpasti Pendekatan Ganda pada

Otitis Media Supuratif Kronik dengan Ja-

ringan Granulasi

Medical Review

Pencegahan Quorum Sensing: Suatu Pen-

dekatan Baru untuk Mengatasi Infeksi Bak-

teri

Peran Gap Junction Intercellular Communi-

cation (GJIC) pada Karsinogenesis

Meet the Expert

Prof. Dr. H. Slamet Suyono, SpPD-KE

Events

Calender Events

Literatur Services

1

2

3

9

14

17

22

28

32

35

43

44

1

DBD

Page 4: Terapi Cairan Demam Berdarah

MED

ICIN

US

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau laporan kasus dengan foto-foto asli dalam bidang Kedokteran dan Farmasi. 1. Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang belum pernah

dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan. Keaslian dan keakuratan informasi dalam tulisan menjadi tanggungjawab pe-

nulis2. Tulisan berupa ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket, diketik di pro-

gram MS Word dan print-out dan dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui e-mail kami.

3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukuran kuarto (A4) dan tidak timbal balik.

4. Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words). Abstrak hendaknya tidak melebihi 200 kata.

5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap di pecah menjadi anak judul.

6. Nama penulis harap di sertai alamat kerja yang jelas.7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style), lihat contoh pe-

nulisan daftar pustaka. 9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan yang cukup.10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi dimasukkan ke

dalam sampul khusus. Beri judul dan keterangan yang lengkap pada tulisan.11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan kepada peer

reviewer.12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email (jika ada),

no. telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat.

ConToh PenUliSan DafTaR PUSTaKa

Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuai urutan pemu-nculan dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. Bila nama penulis lebih dari 6 orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti et al. Jumlah daftar pustaka di-batasi tidak lebih dari 25 buah dan terbitan satu dekade terakhir.

aRTiKel Dalam jURnal

1. artikel standar

Vega KJ,Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996; 124(11):980-3. Lebih dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer 1996; 73:1006-12

2. Suatu organisasi sebagai penulis

The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4

3. Tanpa nama penulis

Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:154. artikel tidak dalam bahasa inggris

Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2

5. Volum dengan suplemen

Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupa-tional lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82

6. edisi dengan suplemen

Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women’s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97

7. Volum dengan bagian

Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6

8. edisi dengan bagian

Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8

9. edisi tanpa volum

Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheu-matoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4

10. Tanpa edisi atau volum

Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the cancer patient and

the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33

11. nomor halaman dalam angka romawi

Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Intro-duction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii

BUKU Dan monogRaf lain

12. Penulis perseorangan

Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996

13. editor sebagai penulis

Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New York:Churchill Livingstone; 1996

14. organisasi sebagai penulis

Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program. Washington:The Institute; 1992

15. Bab dalam buku

Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya).

Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis and Management. 2nded. New York:Raven Press; 1995.p.465-78

16. Prosiding konferensi

Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neuro-physiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996

17. makalah dalam konferensi

Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and secu-rity in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors. MED-INFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.p.1561-5

18. laporan ilmiah atau laporan teknis

Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor: Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed during

skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health and Hu-man Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860

Diterbitkan oleh unit pelaksana: Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research: Work

Force and Education Issues. Washington:National Academy Press; 1995. Con-tract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and Research

19. Disertasi

Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The eldery’s access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univ.; 1995

20. artikel dalam koran

Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 ad-missions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5)

21. materi audio visual

HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year Book; 1995

maTeRi eleKTRoniK

22. artikel jurnal dalam format elektronik

Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis [se-rial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available from: URL:HYPERLINK

23. monograf dalam format elektronik

CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995

24. arsip komputer

Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer pro-gram]. Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems

Petunjuk Penulisaninstructions for authors

2

Page 5: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

leading article

51

Khie Chen, Herdiman T. Pohan, Robert SintoDivisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstrak. Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam strati-fikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007).4-5

Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti.6 Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

3

PendahuluanDemam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tinggi-nya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khusus-nya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, deng-an case fatality rate sebesar 1,01% (2007).4-5 Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD, antara lain:1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi, 2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, 3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah en-

demis, dan 4. Peningkatan sarana transportasi.4

Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (ter-utama kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan peng-ganti.6 Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan da-pat dilakukan secara efektif dan efisien.

DefinisiDemam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk

DBD.7 DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi vi-rus dengue.

Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus Dengue8

Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (gambar 1):5

1. Demam tidak terdiferensiasi2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut se-

lama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifesta-si perdarahan [petekie atau uji bendung positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama.

3. DBD (dengan atau tanpa renjatan)

MED

ICIN

US

Page 6: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

4

PatogenesisDua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infec-tion theory) dan hipotesis immune enhancement.

Gambar 2. Hipotesis infeksi sekunder9

Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977 (gambar 2), sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus deng-ue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa.9,10

Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.9,10

DiagnosisBerdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:2,5,9

1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bi-fasik.

2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; he-matemesis dan melena.

3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:

Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai •umur dan jenis kelamin.Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, •dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipopro-•teinemia, hiponatremia.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:2,5,9

Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya mani-festasi perdarahan adalah uji torniquet.

Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.

Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipo-tensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tam-pak gelisah.

Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3. Patogenesis dan spektrum klinis DBD (WHO, 1997)5

Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hema-tokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak tim-bulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.5 Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemos-tasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ krea-tinin. Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membu-tuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan iso-lasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah meng-alami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemerik-saan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.11

Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkem-bang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam

Page 7: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sam-pai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai ke-unggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.11

Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk me-lihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemi-toraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.5,9

Penatalaksanaan Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat supor-tif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan un-tuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombosito-penia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Te-rapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, peman-tauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang diberikan meli-puti tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai ter-api simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 pro-tokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini ter-bagi dalam 5 kategori, sebagai berikut: 1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar

4).2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di

ruang rawat (gambar 5).3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hema-

tokrit >20% (gambar 6).4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD

dewasa 5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

(gambar 7).

Gambar 4. Penanganan tersangka DBD tanpa syok5

Gambar 5. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat5

Gambar 6. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%5

5

Page 8: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

Gambar 7. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa5

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan

yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO meng-anjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibanding-kan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koa-gulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.1-3 Secara umum, peng-gunaan kristaloid dalam tata-laksana DBD aman dan efek-tif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait deng-an penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.12,13 Krista-loid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pem-buluh darah. Pemberian laru-tan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang sing-kat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen in-terstisial (ekstravaskular) den-gan perbandingan 1:3, sehing-ga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang in-terstisial.14 Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan peng-gunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plas-ma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi ana-filaktik.15,16

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memi-liki beberapa keunggulan yaitu:

pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan

6

Page 9: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memi-liki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: he-tastarch).15,16 Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada pen-derita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi. Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk meng-ganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan ru-matan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah seban-yak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk me-nilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi he-

modinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah he-modinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadi-nya perdarahan internal. KesimpulanDemam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat segera ditentukan. Di samping modalitas diagnosis standar un-tuk menilai infeksi virus Dengue, antigen nonstructural protein 1 (NS1) Dengue, sedang dikembangkan dan memberikan prospek yang baik untuk diagnosis yang lebih dini. Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi ke-hilangan cairan akibat kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris untuk menilai respon kecukupan cairan.

Daftar Pustaka1. Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue: an escalating problem. BMJ 2002;324:1563-62. World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue haemor-

rhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2001.p.5-173. World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock

syndrome in the context of the integrated management of childhood illness. Depart-ment of Child and Adolescent Health and Development. WHO/FCH/CAH/05.13. Ge-neva, 2005

4. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Jakarta, 2007

5. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pela-yanan kesehatan, 2005.p.19-34

6. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam: Su-doyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.1774-9

7. Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.137-8

8. World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, preven-tion and control. Geneva, 1997

9. Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di Indonesia. Departemen Kesehatan RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2004

10. Sutaryo. Perkembangan patogenesis demam berdarah dengue. Dalam: Ha-dinegoro SRH, Satari HI, editor. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap. Jakarta: Balai Pener-bit FKUI, 1999.p.32-43

11. Nainggolan L. Reagen pan-E dengue early capture ELISA (PanBio) dan platelia dengue NS1 Ag test (BioRad) untuk deteksi dini infeksi dengue. 2008

12. Stoelting RK, Miller RD. Basics of anestesia. 4th ed. New York:Churchill Livingstone, 2000.p.236-7

13. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York:Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2006.p.692-4

14. Kaaallen A J and Lonergan JM. Fluid resusciaation of acute hypovolemic hypoperfusion status in pediatrics. Pediat Clin N Amer 1990; 37(2):287-94

15. Venu Goppal Reddy. Crystalloids versus colloids in hypovolemic shock. Proceedings of 5th Indonesian-International Symposium on Shock and Critical Care 26-33

16. Liolios A. Volume resuscitation: the crystalloid vs colloid debate revisited. Medscape 2004. Available from: URL:http://www.medscape.com/viewarticle/480288

17. Wills BA, Nguyen MD, Ha TL, Dong TH, Tran TN, Le T, et al. Comparison of three fluid solutions for resuscitation in dengue shock syndrome. N Engl J Med 2005; 353:877–89

18. Ngo NT, Cao XT, Kneen R, Wills B, Nguyen VM, Nguyen TQ, et al. Acute management of dengue shock syndrome: a randomized double-blind comparison of 4 intravenous fluid regimens in the first hour. Clin Infect Dis 2001; 32:204–13

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada jumlah

volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang

lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang

intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberi-

kan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga

lebih stabil.

7

Page 10: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

Page 11: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

original article

Luthfan Budi Purnomo1, Astuti2, Harakati Wangi3, Harli Amir Mahmudji4, Rizka Humardewayanti Asdie5, Setyo Purwono6

1. Subdivision of Endocrinology and Metabolic, Internal Department of Gadjah Mada University/Sardjito Hospital Yogyakarta

2. Neurology Department of Gadjah Mada University/Sardjito Hospital Yogyakarta3. Internal Department of RSPAD Jakarta4. Internal Department of RSJ Magelang

5. Internal Department of Gadjah Mada University/Sardjito Hospital Yogyakarta6. Pharmacology Department of Gadjah Mada University/Sardjito Hospital Yogyakarta

abstract. Background: Long-term oxidative stress is believed to be one of the major factors contributing to the decline of cogni-tive function observed with aging. Oxidative stress due to the generation of free radicals resulting from normal metabolism causes accumulated oxidative damage to critical biomolecules, especially when coupled with insufficient endogenous antioxidant defense mechanisms. Brain tissue, which has relatively little antioxidant protection, also contains high levels of polyunsaturated fatty acids (PUFA), making it more vulnerable to oxidative insult. Interventions to increase antioxidant capacity and reduce oxidative damage have been sug-gested as a potentially useful strategy to prevent or retard this process. Due to its antioxidant properties, vitamin E plays a role in the prevention of certain diseases, including cancer, diabetes, cataracts, cardio and cerebrovascular disease, and has been related to the prevention or slowing of cognitive decline. Mild cognitive impairment is one of the risk factors to get dementia. Dementia connected with the risk factor of diabetes mellitus (DM). At prospective study Rotterdam and Hisamaya, and also the retrospective Rochester study show that the risk of Alzheimer (AD) become two time greater as risk as at person with type 2 DM.aim: The aim of this study was to examine associations between vitamin E status and cognitive performance in diabetic people.method: Cross sectional study was done to 46 DM patients of 23 men and 23 women, aged more than 50 years old, who came at Endocrine’s clinic Sardjito Hospital on August–December 2006 as subject. Serum levels of α-tocopherol (vitamin E) was determined by HPLC method. The cognitive capacity of subjects was tested using the mini mental examination state (MMSE). Mild cognitive im-pairment (MCI) if MMSE value ≤24.Result: There were 18 diabetic people with MCI. We found no different significantly in serum levels of α-tocopherol in both group according cognitive status (7.28 + 4.69 in diabetic people with MCI vs. 6.69 + 4.51 in diabetic people without MCI, p=0.678).Conclusion: This study shows there is no relationship between vitamin E status and cognitive function in diabetic people.

Keyword: Cognitive function, alpha tocopherol, diabetic people.

aBSTRaK. latar Belakang: Stres oksidatif jangka panjang diyakini sebagai salah satu faktor utama yang berperan dalam penurunan fungsi kognitif seiring dengan proses penuaan. Stres oksidatif berupa radikal bebas hasil metabolisme menyebabkan akumulasi kerusakan oksidatif biomolekul, terutama pada kondisi insufisiensi mekanisme pertahanan antioksidan endogen.Jaringan otak, yang hanya memiliki sedikit perlindungan antioksidan dan memiliki kadar asam lemak tak jenuh (polyunsaturated fatty acid/PUFA) yang tinggi, mudah terkena oksidasi. Intervensi untuk meningkatkan kapasitas antioksidan dan mengurangi keru-sakan oksidasi diperkirakan akan menjadi strategi yang sangat berguna untuk mencegah atau menghambat proses ini. Dengan meli-hat fungsinya sebagai antioksidan, vitamin E memegang peranan dalam pencegahan beberapa penyakit, termasuk kanker, diabetes, katarak, penyakit kardio dan serebrovaskular, dan telah dihubungkan dengan pencegahan atau penghambatan penurunan kognitif.Gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment/MCI) adalah salah satu faktor risiko demensia. Demensia dihubungkan dengan faktor risiko diabetes melitus (DM). Pada suatu studi prospektif yang dilakukan Rotterdam dan Hisamaya, dan studi retrospektif Ro-chester menunjukkan bahwa risiko Alzheimer (AD) menjadi dua kali lebih besar pada penderita DM tipe 2.Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara status vitamin E dan kondisi kognitif pada penderita diabetes.

9

MED

ICIN

US

rese

arc

h

Page 12: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

10

metode: Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 46 penderita DM, 23 laki-laki dan 23 perempuan, usia lebih dari 50 tahun, yang datang ke poliklinik Endokrin RS Dr. Sardjito pada bulan Agustus–Desember 2006. Kadar α-tocopherol serum (vitamin E) diukur dengan metode HPLC. Kapasitas kognitif subjek diukur dengan mini mental examination state (MMSE), dan dinyatakan gangguan kognitif ringan/mild cognitive impairment (MCI) bila nilai MMSE ≤24.hasil: Didapatkan 18 pasien diabetes dengan MCI. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar α-tocopherol serum kedua kelompok berdasar status kognitifnya (7,28 ± 4,69 pada penderita diabetes dengan MCI vs 6,69 ± 4,51 pada penderita diabetes tanpa MCI, p=0,678).Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara status vitamin E dan fungsi kognitif pada penderita diabetes.

Kata kunci: fungsi kognitif, alpha tocopherol, penderita diabetes

PendahuluanStres oksidatif jangka panjang diyakini sebagai salah satu faktor utama yang berperan dalam penurunan fungsi kognitif seiring dengan pro-ses penuaan.1,2 Stres oksidatif berupa radikal bebas hasil metabolisme normal menyebabkan akumulasi kerusakan oksidatif biomolekul-bi-omolekul, terutama pada kondisi insufisiensi mekanisme pertahanan antioksidan endogen.2-4

Jaringan otak, yang hanya memiliki sedikit perlindungan antiok-sidan dan memiliki kadar asam lemak tak jenuh (polyunsaturated fatty acid/PUFA) yang tinggi, mudah terkena oksidasi.1,2 Intervensi untuk meningkatkan kapasitas antioksidan dan mengurangi kerusakan ok-sidasi diperkirakan akan menjadi strategi yang sangat berguna untuk mencegah atau menghambat proses ini.2 Vitamin E (α-tokoferol) dike-tahui merupakan antioksidan paling poten dan paling banyak terdapat pada manusia.5,6 Di samping itu, vitamin E juga dapat memodulasi ber-bagai fungsi seluler yang tidak terkait dengan aktivitas antioksidan.7,8 Dengan melihat fungsinya sebagai antioksidan, vitamin E memegang peranan dalam pencegahan beberapa penyakit, termasuk kanker, diabetes, katarak, penyakit kardio dan serebrovaskular, dan telah di-hubungkan dengan pencegahan atau penghambatan penurunan kog-nitif.2,9,10

Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko terjadi-nya demensia. Demensia yang berhubungan dengan faktor risiko dia-betes adalah Alzheimer dan vaskular. Pada studi prospektif Rotterdam dan Hisayama, serta studi retrospektif Rochester, menunjukkan risiko kejadian demensia Alzheimer (AD) meningkat dua kali pada individu dengan DM tipe 2.11 Demensia vaskular dihubungkan dengan diabetes melalui kejadian vaskular (VaD) yang diikuti dengan penurunan kog-nitif, gangguan vaskuler ini salah satunya merupakan manifestasi dari komplikasi makrovaskular diabetes.11,12

Gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment/MCI) adalah suatu gangguan kognitif berupa gangguan orientasi, atensi, konsen-trasi, memori, bahasa, dan intelektual, yang tidak masuk dalam krite-ria demensia, dengan kata lain MCI merupakan keadaan predemen-sia.13,14 Gangguan kognitif merupakan proses awal kecacatan dalam otak berupa demensia. Berdasarkan studi terdahulu, menunjukkan hipotesis mengenai diabetes dan faktor komorbidnya terlibat dalam patogenesis demensia baik demensia Alzheimer (AD) ataupun demen-sia vaskular (VaD).11,15 Insidensi gangguan fungsi kognitif pada DM diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan meningkatnya jumlah populasi pen-derita DM, sehingga perlu strategi untuk mencegah penurunan fungsi kognitif. Mekanisme terjadinya risiko demensia pada diabetes belum dapat dijelaskan, diperkirakan salah satunya melalui stres oksida-tif dan diketahui pula bahwa kadar vitamin E plasma pada pengidap diabetes melitus (DM) tipe 2 lebih rendah dibandingkan dengan orang sehat16,17, sehingga diperkirakan gangguan fungsi kognitif pada pend-erita DM lebih banyak terjadi dibandingkan nonDM.

Tujuan PenelitianTujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara status vi-tamin E dan kondisi kognitif pada penderita diabetes.

metodePenelitian potong lintang dilakukan terhadap 46 penderita DM, 23 laki-laki dan 23 perempuan, usia lebih dari 50 tahun, yang datang ke poliklinik Endokrin RS Dr. Sardjito pada bulan Agustus – Desember 2006. Kriteria inklusi adalah penderita DM tipe 2 usia lebih dari 50 tahun yang kontrol di poliklinik Endokrin RSUP Dr. Sardjito dan pada saat pemeriksaan tidak sedang minum suplemen obat yang mengandung vitamin E dan menyetujui informed consent. Kriteria eksklusi adalah penderita dengan tanda klinis, dan hasil laboratorium menunjukkan infeksi, sedang menderita penyakit akut, terdapat penyakit inflamasi (demam reumatik, eritema nodosum, artritis reumatoid, artritis kronik, spondilitis ankilosis, psoriasis, vaskulitis sistemik, reumatik polimial-gia, penyakit Reiter, diare kronis, lupus eritematosus sistemik (LES), skleroderma, dermatomiositis, osteoartritis), penyakit jantung koro-ner, terdapat riwayat pembedahan atau stroke dalam 3 bulan sebelum penelitian, terdapat keganasan, gagal jantung kongesti, penurunan fungsi ginjal, penurunan fungsi hati, merokok dan terdiagnosis de-mensia. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dicatat dalam formulir penelitian, yaitu usia, jenis kelamin dan alamat. Kemudian dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik (tekanan darah, denyut nadi, respira-si, suhu, berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang, pemeriksaan fisik jantung, paru, abdomen dan ekstremitas) untuk mengetahui adanya penyakit infeksi akut, penyakit inflamasi (demam reumatik, eritema nodosum, artritis reumatoid, artritis kronik, spondilitis ankilosis, pso-riasis, vaskulitis, diare kronis, penyakit Reiter, lupus eritematosus sis-temik (LES), skleroderma, dermatomiositis, osteoartritis), hipertensi, adanya riwayat pembedahan atau stroke dalam 3 bulan sebelum pene-litian, penyakit jantung koroner, keganasan, sirosis hati, merokok ak-tif, dislipidemia. Kemudian pasien dipesan untuk datang ke poliklinik penyakit dalam untuk dilakukan pengambilan darah dengan puasa minimal 10 jam sebelumnya. Pengambilan darah 10 cc untuk pemeriksaan darah rutin, profil lipid, fungsi ginjal, enzim transaminase, HbA1c, kadar kolesterol total, kadar trigliserida, kadar low density lipoprotein (LDL), kadar high density lipoprotein (HDL) serta kadar α-tokoferol serum serta diminta untuk mengisi mini mental examination state (MMSE) untuk me-nilai fungsi kognitifnya. Pengukuran vitamin E dilakukan dengan HPLC (high-performance liquid chromatography). Sejumlah 20 mL plasma (dari darah EDTA) di-tambah 100 mL larutan ekstrak (etanol/butanol [50 : 50, vol/vol, 5 mg BHT/ml]). Campuran tersebut disentrifugasi selama 5 menit. Sejumlah 20 mL supernatan diinjeksikan ke HPLC. Spektrofotometer yang digu-

Page 13: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 21, No.4, Edisi November - Desember 2008

MED

ICIN

US

5711

nakan adalah UV-VIS l 292 nm. Puncak tokoferol akan muncul pada menit ke 3-6. Pengukuran trigliserida dilakukan dengan metode tes en-zimatik kolorimetri dengan menggunakan glycerol-3-phosphate-oxidase. Sampel yang diukur adalah plasma yang diambil dari darah EDTA. Penentuan trigliserida dilakukan setelah pemisahan oleh lipoprotein lipase. Sebagai indikator adalah quinonimine yang berasal dari reaksi 4-aminoantipyrine, 4-chlorophenol, dan hidrogen peroksida di bawah aksi katalis peroksidase. Pengukuran kolesterol dilakukan dengan metode tes fotometrik enzimatik. Sampel yang dipakai adalah plasma (dari darah EDTA). Penentuan kolesterol dilakukan setelah reaksi hidrolisis dan oksidasi. Sebagai indikator kolorimetri adalah Chinonimine yang berasal dari reaksi 4-aminoantipyrine, phenol, dan hidrogen peroksida di bawah aksi katalis peroksidase. Kadar LDL dihitung dengan rumus: LDL = kolesterol total - trigliserida/5 - HDL. Pengukuran HbA1c di-lakukan dengan metode fast ion-exchange resin separation. Reagen yang dipakai adalah Glycohemoglobin Test (Human®). Sampel yang dipakai adalah darah EDTA. Darah dicampur dengan reagen lysing yang berisi deterjen dan ion borat konsentrasi tinggi. Eliminasi basa Schiff labil ter-capai selama proses hemolisis. Hemolisat kemudian dicampur dengan resin penukar ion selama 5 menit. HbA1c akan terikat pada resin, ke-mudian digunakan separator untuk memisahkan resin dari superna-tan yang berisi glycohemoglobin. Presentase glycohemoglobin ditentukan dengan mengukur fraksi glycohemoglobin dan fraksi total hemoglobin pada Hg 405 atau 415 nm. Pemeriksaan kadar vitamin E dilakukan di laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pemeriksaan lainnya dilakukan di laboratorium Prodia Yogyakarta. Kapasitas kognitif subjek diukur dengan perangkat sederhana yaitu mini mental examination state (MMSE) dari Folstein, yang sudah di-standardisasi secara nasional. Pada MMSE variabel yang dinilai adalah orientasi, registrasi, atensi, kalkulasi, mengingat kembali, bahasa, dan clock drawing test (CDT) digunakan untuk menilai fungsi interpretasi.18 Untuk penilaian tes gambar jam batasan nilainya bersifat subjek-tif, dengan interpretasi apabila gambar dengan gangguan kontur yang hebat atau gambar yang tidak berhubungan sangat jarang dihasilkan oleh seseorang dengan kognitif yang utuh. Gambar yang sempurna tidak mungkin dihasilkan oleh individu dengan gangguan kognitif. Acuan termudah penilaian CDT masuk dalam kemungkinan kognitif terganggu apabila skor <418. Kriteria penurunan fungsi kognitif, berdasar status mental mini (MMSE) adalah: Normal = >28, dugaan MCI/VCI = 24 - 28, probabili-tas kognitif terganggu/dugaan demensia = 17 - 23, gangguan kognitif definitif = 0 – 16.18,19 Pada penelitian ini dinyatakan gangguan kognitif ringan bila nilai MMSE ≤24. Kukull et al. (1994) melakukan penelitian potong lintang instru-men untuk mendeteksi demensia pada populasi klinik dengan jumlah pasien 150, mendapatkan bahwa MMSE mempunyai sensitivitas 63%, spesifisitas 96%, positive predictive value (PPV) 96%, negative predictive value (NPV) 63%, dengan class of evidence I20.

analisis StatistikData karakteristik subjek penelitian disajikan dalam angka rerata dan simpangan baku. Hubungan antara mikroalbuminuria (positif atau negatif) dengan kadar vitamin E plasma dianalisis dengan uji-t tak ber-pasangan. Untuk membandingkan 2 kelompok dengan variabel kate-gori digunakan uji chi-square. Uji korelasi Pearson dipakai untuk me-lihat kaitan antara 2 variabel numerik. Hubungan antara faktor-faktor lain (usia, jenis kelamin, lama terdiagnosis DM, HbA1c, kadar kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserida) dengan fungsi kognitif dianalisis dengan regresi logistik. Batas kemaknaan yang di-terima bila p <0,05.

hasil PenelitianSelama penelitian data lengkap yang dapat dianalisis sebanyak 46 orang, didapatkan 18 pasien diabetes dengan MCI. Adapun data ka-rakterisitik dasar dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Data karakteristik dasar subjek penelitian

Variabel Rerata ± simpangan baku

Usia (tahun)Indeks massa tubuh (kg/m2)Lama DM (tahun)Kolesterol total (mg/dl)Trigliserida (mg/dl)High density Lipoprotein (mg/dl)Low density Lipoprotein (mg/dl)HbA1c (%)Gula darah puasa (mg/dl)Gula darah 2 jam pasca makan (mg/dl)Vitamin EMMSE

63,64 ± 6,9824,38 ± 3,3810,83 ± 5,18

216,48 ± 49,87158,22 ± 70,89

42,02 ± 9,43143,15 ± 44,51

7,26 ± 1,55132,67 ± 51,21189,98 ± 61,32

6,92 ± 4,5424,61 ± 3,49

Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar α-tocopherol serum kedua kelompok berdasar status kognitifnya (7,28 ± 4,69 pada penderita diabetes dengan MCI vs 6,69 ± 4,51 pada penderita diabetes tanpa MCI, p = 0,678), dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan data pasien dengan dan atau tanpa mild cognitive In-

pairment

VariabelDengan MCI Tanpa MCI

p(n=18) (n=28)

Usia (tahun)Indeks Massa tubuh (kg/m2)Lama DM (tahun)Kolesterol total (mg/dl)Trigliserida (mg/dl)High density Lipoprotein (mg/dl)Low density Lipoprotein (mg/dl)HbA1c (%)Gula darah puasa (mg/dl)Vitamin E

66,05 ± 7,4223,90 ± 3,2210,72 ± 5,55

221,39 ± 64,69169,61 ± 92,1940,89 ± 9,17

147,05 ± 56,037,39 ± 1,70

132,17 ± 48,667,28 ± 4,69

61,78 ± 6,2624,68 ± 3,4910,89 ± 5,02

213,32 ± 38,51158,22 ± 70,8942,75 ± 9,69

140,64 ± 36,177,18 ± 1,47

133,66 ± 53,666,69 ± 4,50

0,040,4480,9150,5980.8480,520,6390,6090,9580,678

PembahasanDalam menentukan status vitamin E tubuh, beberapa peneliti meng-gunakan rasio vitamin E/lipid total karena kadar lipid plasma sangat mempengaruhi kadar vitamin E. Tanpa menggunakan rasio ini, in-dividu dengan lipid rendah akan keliru diklasifikasikan sebagai de-fisiensi vitamin E, padahal kenyataannya normal.5 Hal yang serupa dapat terjadi pada individu dengan hiperlipidemia. Pada penelitian Sokol et al. (1984) beberapa subjek yang menunjukkan gejala dis-fungsi neurologis (dalam penelitian didefinisikan sebagai defisiensi vitamin E) terdapat hiperlipidemia dan mempunyai kadar vitamin E plasma normal. Rasio vitamin E/lipid total menunjukkan nilai di bawah normal. Dalam kondisi ini rasio vitamin E/lipid total lebih sesuai dengan disfungsi neurologis (yang disebabkan defisiensi vita-min E). Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis berdasarkan rasio vitamin E/lipid total. Keadaan yang dapat menghubungkan antara diabetes dengan proses penurunan fungsi otak, adalah: a. Hiperglikemia menyebabkan toksisitas saraf Hiperglikemia mempengaruhi viabilitas saraf melalui peningkatan

stres oksidatif, struktur dan fungsi pembuluh darah, jalur O gliko-protein, dan formasi advanced glycation end product (AGEs). Advanced glycation end product (AGEs) secara eksperimental terbukti berpen-garuh terhadap kerusakan vaskular dan fungsi endotel, kerusakan protein, DNA dan mitokondria, serta meningkatkan radikal bebas dan inflamasi.15

b. Komplikasi diabetes menyebabkan gangguan kognitif Hipertensi meningkatkan risiko kerusakan vaskular dan endo-

tel, gangguan pada pembuluh darah kecil dan besar, dan meng-

Page 14: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

ganggu sawar darah otak. Hipotesis mengenai efek kenaikan tekanan darah dan AD secara patologi adalah kerusakan endotel, yang berakibat meningkatnya respon proinfalamsi, prokoagulan, dan oksidatif, seperti pada hipotesis mengenai formasi pada plak neuritik pada AD.15

Kolesterol mempunyai peran esensial pada pemeliharaan struktur membran otak. Hiperinsulinemia merefleksikan tingginya kadar insulin otak, dan hipoinsulin merupakan kegagalan dari insulinisa-si pada otak. Transpor insulin ke dalam sistem saraf pusat mening-katkan kondisi hiperinsulinemia, yang mengakibatkan terjadinya proses resistensi insulin.15

c. Diabetes menyebabkan gangguan kognitif Kejadian diabetes dengan demensia Alzheimer (AD) juga mempu-

nyai keterkaitan yang positif. Pada studi Rotterdam menunjukkan hasil diabetes dengan AD mempunyai relative risk (RR) 1,9 (95% CI: 1,2 – 3,1), dengan rincian yang disertai penyakit serebrovaskular RR 1,8 (95% CI: 1,0 – 9,3) tanpa penyakit serebrovaskular RR 1,8 (95% CI: 1,1 – 3,0), diabetes dengan demensia vaskular (VaD) RR 2,0 (95% CI: 0,7 – 5,6), diabetes dengan demensia lainnya RR 1,6 (95% CI: 0,5 – 5,0).22

Pada penelitian dari Rochester menunjukkan kejadian AD dua kali lipat lebih besar pada laki-laki dengan diabetes (RR 2,3, 95% CI: 1,6- 3,3). Pada penelitian British cohort menunjukkan peningkatan risiko Alzheimer pada subjek dengan diabetes dibanding tanpa diabetes (RR 1,4 95% CI: 1,1 – 17,0).15,23

Dasar mekanisme biokimia komplikasi vaskular diabetes, berawal dari diabetes memicu resistensi insulin, hiperglikemia, dan terjadi pe-lepasan asam lemak bebas atau dislipidemia, keadaan tersebut mela-lui jalur stres oksidatif (reactive oxigen species = ROS), protein kinase C, aktivasi reseptor advanced glycation end product (RAGE), peningkatan jalur poliol, mioinositol, dan heksosamin akan mengakibatkan aktivasi sinyal sel molekul gangguan pada faktor pertumbuhan, angiotensin II, dan dikeluarkannya sitokin24,25 yang merangsang membran fosfolipid sel atau endotel berubah menjadi asam arakhidonat melalui aktivasi enzim fosfolipase (PLA2).26 Asam arakhidonat (AA) akan dimetabolisme menjadi tiga jalur

oksidasi yaitu jalur siklooksigenase (COX) yang akan membentuk prostaglandin, jalur lipooksigenase (LO), membentuk asam hidrok-sieikosatetraenoik (HETEs) dan leukotrin, dan jalur sitokrom P-450 monooksigenasi/epoksigenase yang membentuk epoksid dan HETEs. Khusus untuk sitokrom P-450 lebih berperan pada vasoaktif pada gin-jal, dan belum didapatkan data mengenai keterlibatan pada angiopati diabetik.26 Pada jalur siklooksigenase, COX-1 dan COX-2 dikatalisis menjadi prostaglandin dalam bentuk (prostaglandin H2) PGH2 yang terkonversi menjadi prostaglandin lain dan eikosanoid seperti PGE2, PGD2, PGF2α (isoprostan), PGI2 (prostasiklin) dan tromboksan. COX-1 berperan se-cara fisiologis pada beberapa sel dan jaringan. COX-2 ekspresinya se-ring tidak terdeteksi pada jaringan dan sel, tetapi menjadi signifikan bila tersimulir lipopolisakarida, dan sitokin (IL-6, IL-1α, IL-1β, TNF-α, dan faktor pertumbuhan), dan produk-produk dari COX-2 berperan dalam proses inflamasi termasuk arterogenesis.26,27 Jalur lipooksigenasi (LO) terbagi dalam 4 kelompok yaitu LO5, LO8, LO12, dan LO15, yang dibedakan berdasar kemampuannya dalam proses memasukkan molekul oksigen pada rantai karbon ke dalam asam arakhidonat. Kelompok LO5 dan O8 tidak berperan dalam diabetes. Untuk LO12 dan LO15 dapat membentuk 12/15 HETEs dari AA, produk tersebut akan tampak pada beberapa jaringan pembuluh darah dan sel, termasuk sel otot polos pembuluh darah (vascular smooth muscle cells /VSMC), endotel dan monosit.26

Jalur mediator inflamasi lipid pada sistem saraf pusat hampir sama dengan jalur asam arakhidonat, hanya pada sistem saraf pusat, fungsi neurotropik (fisiologis) dari jalur tersebut dapat berubah menjadi neu-rotoksik (patologis). Komponen penting pada metabolisme lipid pada otak adalah AA dan DHA (docosahexaenoic acid/asam dokosaheksae-noik), yang akan dimetabolisme menjadi eikosanoid, dokosanoid, liso-fosfolipid, reative oxygen species (ROS), 4-HNE (4 hidroksinonenal/ok-sidasi dari AA), dan 4-HHE (4-hidroksiheksenal/oksidasi dari DHA). Komponen tersebut akan memberikan efek neurotropik bila terdapat dalam kadar rendah, tetapi bila komponen jalur tersebut terpicu untuk termobilisasi kadarnya akan meningkat dan memberikan efek neuro-toksik. Asam dokosaheksaenoik dihidrolisis oleh plasmalogen selektif fosfolipase A2.28 Efek neurotoksik AA akibat hiperstimulasi adalah kerusakan pada struktur sel dan fungsi saraf. Asam arakhidonat mengakibatkan asido-sis intraseluler dan tidak terkendalinya oksidasi fosforilasi, sehingga terjadi disfungsi mitokondria. Siklooksigenase dan lipooksigenase yang mengubah AA menjadi protaglandin, leukotrin, dan tromboksan. Komponen eikosanoid tersebut apabila terstimulasi akibat kondisi pa-tologis berefek pada gangguan aliran pembuluh darah otak dan mem-pengaruhi trombosit dan leukosit, sehingga aliran mikrosirkulasi akan terganggu dan sistem saraf pusat akan terganggu.28 Lisofosfolipid yang merupakan hasil oksidasi fosfolipid selain AA, yang dapat teralkilasi oleh koenzim A menjadi fosfolipid kem-bali, pada kondisi patologis seperti iskemik, epilepsi, dan overstimu-lasi fosfolipase akan mengakibatkan akumulasi lisofosfolipid dan asam lemak bebas. Lisofosfolipid dapat memproduksi faktor aktivasi platelet, sebagai mediator proinflamasi yang poten. Pada sel endotel lisofosfolipid dapat memodulasi sinyal kalsium, dan fosforilasi nitrit oksid dan sitosolik fosfolipase 2. Sehingga bila terjadi akumulasi liso-fosfolipid yang berlebih akan berakibat demielinisasi dan kerusakan sel saraf.28 4-hidroksinonenal (4-HNE/oksidasi dari AA), pada kadar rendah berefek menyampaikan sinyal hingga ke sel basal, stimulasi fosfolipase c, adenil siklase, dan menurunkan aktivitas ornitin dekarboksilase, bila terstimulasi berlebihan mengakibatkan efek neurotoksik berupa efek deteriorisasi sel, menghambat sintesis DNA dan RNA, mengganggu homeostasis kalsium, dan menghambat respirasi mitokondria, 4-HNE juga meningkatkan permeabilitas sawar darah otak selama eksitoksisi-tas, menurunkan fungsi mitokondria dengan mengganggu transpor gula, dan berperan dalam memicu stres oksidatif dan proses apoptosis sel saraf.28

Dalam menentukan status vitamin E tubuh, beberapa

peneliti menggunakan rasio vitamin E/lipid total karena kadar lipid plasma sangat

mempengaruhi kadar vitamin E. Tanpa menggunakan rasio ini, individu dengan lipid rendah akan keliru diklasifikasikan sebagai defisiensi vitamin E,

padahal kenyataannya normal.5 Hal yang serupa dapat terjadi

pada individu dengan hiperlipidemia.

12

Page 15: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

Perkin et al. (1999) melakukan analisis terhadap 5000 orang usia lanjut pada the Third National Health and Nutrition Examintaion Survey III (NHANES III) mendapatkan hasil terdapat hubungan yang sang-at lemah antara jeleknya fungsi memori dengan kadar vitamin C, A, β-karoten dan selenium, tetapi mendapatkan hasil korelasi yang ber-makna antara fungsi memori dengan rendahnya kadar vitamin E sete-lah diadjust dengan kadar kolesterol.10

Ortega et al. (2002) dalam penelitiannya terhadap 120 orang usia lan-jut berusia 65-91 tahun tanpa gangguan fungsi kognitif mendapatkan hasil terdapat korelasi yang bermakna antara vitamin E (r= -0.3519) dan rasio vitamin E/kolesterol (r= -3014) dengan PMSQ (pfeiffer mental status questionnaire). Lebih lanjut dalam analisanya, Ortega et al. me-nemukan kadar vitamin E dan rasio vitamin E/kolesterol yang rendah pada subjek dengan ada kesalahan pada PMSQ dibandingkan dengan yang tanpa kesalahan dalam PMSQ.29

Foy et al. (1999) juga menemukan hal yang sama yaitu pasien de-ngan demensia kadar vitamin E-nya rendah pada dibandingkan den-gan kontrol, tetapi tidak terjadi pada tingkat defisiensi nutrisi. Jadi rendahnya status antioksidant pada pasien-pasien demensia menun-jukkan peningkatan stres oksidatif, yang merupakan faktor penting pada gangguan fungsi kognitif.9

Vitamin E mungkin berguna dalam mencegah penurunan fungsi kognitif melalui aksi antioksidannya yang potensial yang dapat mence-gah kerusakan jaringan saraf, tetapi juga mencegah demensia vaskular. Hubungan vitamin E dengan penurunan risiko demensia vaskular da-pat dihubungkan dengan beberapa macam efek pada sistem vaskular, termasuk pada kemampuannya mencegah stroke dengan menurunkan gregrasi dan adhesi platelet, memperlambat progresi dari aterosklero-sis a. carotis.30

Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap demensia adalah: umur, pada studi populasi insidensi AD 0,6% pada usia 65–69 tahun, 1% pada usia 70–74 tahun, 2% pada usia 75-79, 3,3% pada usia 80–85 tahun, dan 8,4% pada usia 85 tahun ke atas, riwayat keluarga akan me-ningkatkan risiko demensia 10–30%. Petersen et al. (2001), menya-takan analisis kejadian usia akan bermakna bila dihubungkan dengan risiko demensia Alzheimer, sedangkan bila hanya dihubungkan den-gan gangguan kognitif perbedaannya tidak bermakna, dan pada studi Framingham, oleh Bachman et al. (1993) menunjukkan bahwa annual rate antar usia dengan kejadian demensia akan berbeda dengan annual rate antar usia dengan kejadian demensia jenis Alzheimer.20 Pada pene-litian ini pada kelompok MCI didapatkan usia yang lebih tua diban-dingkan dengan kelompok non MCI, dan perbedaan ini secara statis-tik bermakna, sehingga apakah gangguan fungsi kognitif yang terjadi pada penelitian ini dipengaruhi oleh usia yang tua pada kelompok MCI masih belum dapat dibuktikan. Risiko dari arterosklerosis, seperti dislipidemia, diabetes melitus, penggunaan insulin, hipertensi, merokok, faktor risiko lainnya seperti trauma kepala, alkohol, gagal ginjal kronis, diet tinggi lemak, indeks masa tubuh (IMT), dan penggunaan estrogen merupakan faktor risiko terjadi gangguan kognitif.31 Pada analisis hubungan antara profil lipid, pengontrolan kadar gula darah (HbA1c) dan gula darah puasa sendiri serta IMT, tidak berhubungan dengan gangguan kognitif.

KesimpulanPenelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara status vitamin E dan fungsi kognitif pada penderita diabetes.

Daftar Pustaka1. Kalmijn S, Feskens EJ, Launer LJ and Kromhout D. Polyunsaturated fatty acids,

antioxidants, and cognitive function in very old men. Am. J. Epidemiol. 1997; 145:33-41

2. Meydani M. Antioxidants and cognitive function. Nutr. Rev. 2001; 59:S7-

5-S803. Halliwell B & Gutteridge IMC. Free radicals. In: Biology and Medicine. 2nd ed.

Oxford University Press Oxford:UK; 1995.p.543 4. Floyd RA. Antioxidants, oxidative stress, and degenerative neurological disor-

ders. Proc. Soc. Exp. Biol. Med. 1999; 222:236-455. Farrell PM and Roberts RJ. Vitamin E. Dalam: Modern Nutrition in Health and

Disease.8th ed. Lea & Febiger. Philadelphia; 1994.p.326-416. Young IS and Woodside JV. Antioxidants in Health and Disease. J Clin Pathol

2001; 54:176-86 7. Ricciarelli R, Zingg J, and Azzi A. Vitamin E: protective role of janus molecule.

FASEB J. 2001; 15:2314-258. Traber MG. Does vitamin E decrease heart attack risk? summary and implica-

tions with respect to dietary recommendations. J Nutr. 2001; 131:395S-397S9. Foy CJ, Passmore AP, Vahidassr MD, Young IS and Lawson JT. Plasma chain-

breaking antioxidants in Alzheimer’s disease, vascular dementia and Parkin-son’s disease. Q. J. Med. 1999; 92:39-45

10. Perkins AJ, Hendrie HC, Callahan CM, Gao S, Unverzagt FW, Xu Y, et al. As-sociation of antioxidants with memory in a multiethnic elderly sample using the Third National Health and Nutrition Examination Survey. Am. J. Epidemiol. 1999; 150:37-44

11. Strachan MWJ. Cognitive decline and the older patient with diabetes. Clin Ger. 2002; 10(6):29–35

12. Hartono B. Insulin, diabetes and cognitive function: from vascular cognitive impairment to vascular dementia. Dalam Naskah Lengkap PIT V PERKENI. Se-marang; 2004.p.313-27

13. Visser PJ. Mild cognitive impairment. Dalam: Pathy, M.S., Sinclair, J. & Morley, J.E. (Eds) Principles and Practice of Geriatric Medicine 4th (ed). John Wiley and Sons. Ltd:2006.p.1-7

14. Wright JD and Tranel D. Mild cognitive impairment. Up To Date®14.1; 2006 15. Launer LJ. Diabetes and Brain Aging: Epidemiologic Evidence. Curr. Diab.

Rep.2005; 5:59-63 16. Gokkusu C, Palanduz S, Ademoglu E and Tamer S. Oxidant and antioxidant

system in NIDDM patients: influence of vitamin E supplementation. Endocr Res 2001; 27(3):377-86

17. Nourooz-Zadeh J, Rahimi A, Tajaddini-Sarmadi J, Tritschler H, Rosen P, Hal-liwell B. et al. Relationship between plasma measures of oxidative stress and metabolic control in NIDDM. Diabetologia 1997; 40:647-53

18. Assosiasi Alzheimer Indonesia (AazI). Konsensus nasional – pengenalan dan penatalaksanaan demensia alzheimer dan demensia lainnya; 2003.p.61-3

19. Soejono CH, Harimurti K, Setiati S & Damping CE. Pedoman diagnosis dan tatalaksana MCI dan VCI. Dalam: Konsensus Nasional-Peran Dokter Spesialis Penyakit Dalam Untuk Deteksi Dini, Diagnosis Dan Penatalaksanaan Gang-guan Kognitif Ringan Pada Usia Lanjut. Perhimpunan Gerontologi Medik Indo-nesia. Jakarta; 2006.p.1-28

20. Petersen RC, Stevens JC, Ganguli M, Tangalos, Cummings and DeKosky. Prac-tice parameter: early detection of Dementia: mild cognitive impairment (An Evidence Based Review). Report of the Quality Standards Subcommittee of the America Academy of Neurology. Neur; 2001; (56):1133-42

21. Sokol RJ, Heubi JE, Iannacone ST, Bove KE and Balistreri WF. Vitamin E defi-ciency with normal serum vitamin E concentrations in children with chronic cholestasis. N Engl J Med 1984; 310:1209-12

22. Ott A, Stolk RP, Harskamp van, Pols HAP, Hofman A and Breteler MMB. Dia-betes mellitus and the risk of dementia–The Rotterdam Study. Neur 1999; (53):1937-42

23. Luchsinger JA, Tang MX, Stern Y, Shea S and Mayeux R. Diabetes mellitus and risk of Alzheimer’s disease and dementia with stroke in a multiethic cohort. Am J Epidemiol 2001; 154(7):635-41

24. Beckman JA, Creager MA and Libby P. Diabetes and atherosclerosis – epidemi-ology, pathophysiology, and management. JAMA 2002; 287(19): 2570-81

25. Kanwar Y, Akagi S, Sun L, Nayak B, Xie P, Wada J, et al. Cell biology of diabetic kidney disease. Nephron Exp Nephrol 2005; 101:e100-110

26. Natarajan R.and Nadler JL. Lipid inflamatory mediator in diabetic vascular dis-ease. Arterioscler Thromb Vasc Biol 2004; 24:1542-48

27. Helmersson J, Vessby B, Larsson A and Basu S. Association of type 2 diabetes With cyclooxygenase-mediated inflamation and oxidative stress in an elderly population. Circulation 2004; 109:1729-34

28. Farooqui AA and Horrocks LA. Phospholipase A2-generated lipid mediators in the brain: the good, the bad, and the ugly. Neuroscientist 2006; 12(3):245-60

29. Ortega RM, Roquejo AM, Lopez-Sobaler AM, Andres P, Navia B, Perea JM, et al. Cognitive function in elderly people is influenced by vitamin E status. J Nutr 2002; 132:2065-8

30. Kritchevsky SB, Shimakawa T, Tell GS, Dennis B, Carpenter M, Eckfeldt JH, et al. Dietary antioxidants and carotid artery wall thickness. The ARIC Study. Atherosclerosis Risk in Communities Study. Circulation 1995; 92:2142-50

31. Shadlen MF and Larson EB. Risk Factors for dementia. Up To Date® , 14.1; 2006

13

Page 16: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

I Made Oka AdnyanaBagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf

Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

PendahuluanSetiap orang pasti pernah menderita nyeri kepala selama hidupnya, dan nyeri kepala merupakan kasus yang paling sering berobat ke po-liklinik saraf. Kasus migren merupakan kasus kedua terbanyak sete-lah nyeri kepala tipe tegang yang datang berobat ke poliklinik saraf. Puncak prevalensi migren antara usia 25-55 tahun usia yang dimana sangat produktif, sehingga serangan migren harus diobati dengan sebaik-baiknya.1

Migren merupakan gangguan neurobiologik, yang berhubung-an dengan perubahan kepekaan sistem saraf dan aktivasi sistem trigemi-novaskular. Dimana penderita migren lebih peka dari pada orang tanpa migren. Pada setiap serangan migren di samping mengganggu kehidupan sosial dan ekonomi juga akan mengakibatkan perubahan permanen dari sistem saraf pusat. Beberapa penderita migren de-ngan atau tanpa aura menunjukkan bertambahnya risiko lesi sub-klinik pada daerah tertentu. Seperti daerah serebelum dan sirkulasi posterior pada penderita dengan migren menunjukkan prevalensi infark yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (5,4%: 0,7%). Risiko tertinggi adalah pada penderita migren dengan aura yang serangannya lebih dari 1 kali/bulan. Pada wanita risiko terjadinya deep white matter lesion (DWML) lebih besar pada pende-rita migren dibandingkan dengan kontrol. Risiko ini bertambah bila serangan lebih dari dua kali/bulan, akan tetapi risikonya sama pada penderita migren dengan atau tanpa aura. Pada laki-laki tidak menunjukkan perbedaan DWML antara kontrol dan penderita migren. Pada pend-erita migren juga ditemukan adanya akumuluasi ion Fe di daerah peri aquductus gray yaitu area yang memodulasi penghantaran nyeri se-cara desenden, dan bila daerah ini mengalami gangguan akibat aku-mulasi Fe akan mengganggu proses inhibisi penghantaran nyeri.2

Pencegahan serangan migren3-5

Mengingat efek perubahan pada susunan saraf pusat akibat serangan migren, maka serangan migren perlu diobati dan yang lebih pen-ting adalah mencegah kekambuhan serangan agar jangan sampai beru-lang.

Adapun prinsip umum terapi pencegahan adalah:1. Mengurangi frekuensi berat dan lamanya serangan.2. Meningkatkan respon pasien terhadap pengobatan.3. Meningkatkan aktivitas sehari-hari, serta pengurangan disabili-

tas.

Sedangkan indikasi terapi pencegahan adalah:1. Serangan berulang dan mengganggu aktivitas.2. Nyeri kepala sering terjadi (2 kali atau lebih dalam seminggu).3. Ada kontraindikasi terhadap terapi akut.4. Kegagalan terapi atau overuse.5. Efek samping yang berat pada terapi akut.6. Biaya untuk terapi akut dan pencegahan.7. Keinginan yang diharapkan penderita.8. Munculnya gejala-gejala dan kondisi yang luar biasa, misalnya

migren basiler, hemiplegia, aura yang memanjang.

asam Valproat (antiepilepsi) sebagai Pencegahan mi-grenAntiepilepsi sebagai antinyeri telah digunakan sejak tahun 1960. Beberapa mempunyai efek nyata pada nyeri neuropati, dan disertai bukti efektivitasnya. Saat ini obat antiepilepsi telah banyak digu-nakan sebagai pencegahan migren. Obat antiepilepsi yang dipakai untuk pencegahan migren adalah golongan valproat (asam/sodium) dan topiramat dengan bukti klinis A dan gabapentin dengan bukti klinis B. Dalam percobaan telah terbukti selama serangan migren terjadi ketidakseimbangan konsentrasi neuron inhibisi (GABA) dan neuron eksitasi (glutamat dan aspartat) di dalam plasma. Valproat mening-katkan konsentrasi GABA di otak dengan jalan menghambat enzim GABA transaminase dan juga mengaktifkan enzim glutamat dekar-boksilase yang akan menurunkan kadar glutamat. Seperti yang telah diketahui bahwa saat terjadi serangan migren kadar glutamat me-ningkat, sesuai dengan teori hipereksitabilitas saat terjadinya sera-ngan migren. Valproat juga meningkatkan kadar asam homovanilik,

abstrak. Migren merupakan nyeri kepala primer yang cukup sering dijumpai. Serangan migren terkadang sangat menganggu baik kehidupan sosial maupun ekonomi penderita. Semakin sering terjadi serangan, kehidupan penderita akan semakin ter-ganggu, sehingga perlu diberikan terapi pencegahan. Beberapa obat yang bisa dipakai untuk pencegahan migren adalah: Ca blocker (flunarizin, nimodipin), penyekat beta (propanolol, timolol), antidepresan (amitriptilin, nortriptilin, flouxetin), antiepi-lepsi (asam valproat, gabapentin, topiramat). Artikel ini membahas satu kasus penderita migren yang mengalami perbaikan setelah diterapi dengan obat antiepilpepsi yaitu asam valproat.

Kata kunci: migren, pencegahan, asam valproat

case

report

original article

14

Page 17: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

15

ekepalin yang berfungsi untuk transmisi nyeri di striatum, batang otak, hipotalamus dan korteks. Efek yang nyata dari valproat adalah penurunan ekstravasasi plasma saat terjadinya inflamasi neurogenik pada awal serangan migren dengan jalan interaksi dengan reseptor GABA. Percobaan pada binatang, valproat memblok c fos expression dan neurogenic inflamation. Reseptor GABA juga terdapat di nukleus raphe dorsalis, di mana aktivitasnya menurunkan firing rate neuron se-rotoninergik yang terlibat dalam serangan migren. Pemberian asam valproat peroral cepat diabsorpsi dan kadar maksimal dalam serum tercapai setelah 1-3 jam. Dengan masa paruh 8-10 jam, kadar dalam darah stabil dalam 48 jam setelah terapi. Ekre-si sebagian besar lewat urin. Efek samping yang bisa terjadi adalah gangguan saluran cerna (mual, muntah dan anoreksia). Efek samping pada SSP adalah rasa mengantuk, ataksia, dan tremor.6

Dalam penelitian klinik efek sodium valproat sebagai profilaksis migren diketahui dari suatu percobaan randomized double-blind con-trol placebo dengan menggunakan dosis 800 mg, berhasil menurunkan frekuensi serangan migren sebanyak 44%, dibandingkan dengan plasebo. Pada penelitian lain dengan randomized control trial, dengan dosis sesuai dosis antiepilepsi (500-1000 mg), ternyata valprota menu-runkan 43% hari tanpa migren dibandingkan dengan plasebo, tetapi berat dan durasi serangan migren tidak dipengaruhi.7

Penelitian multicenter randomized, plasebo kontrol studi dari di-valproat pada penderita migren dengan atau tanpa aura. Dosis yang digunakan adalah dosis titrasi sampai dosis sesuai dengan dosis

untuk antiepilepsi, hasilnya yaitu divalproat mampu menurunkan frekuensi serangan migren sebanyak 39% jika dibandingkan dengan plasebo. Penelitian multicenter tentang rentang dosis perlu dilakukan karena dengan dosis rendah mungkin efektif untuk beberapa pasien. Dengan dosis 500–1500 mg hasilnya lebih superior dari plasebo. Pada percobaan klinis, efek asam valproat sebagai pencegahan migren tel-ah diteliti dalam suatu studi randomized double-blind and placebo control dimana asam valproat berhasil menurunkan serangan migren seba-nyak 44%.8

Preitag dkk (2002) meneliti secara double blind randomized di mana dosis yang digunakan adalah 500 mg dan dinaikkan secara perlahan sampai dosis 1000 mg per hari dapat mencegah serangan migren se-banyak 81% dibandingkan dengan plasebo.9

Pada penelitian oleh Pulley (2005) dengan rancangan double blind dibandingkan dengan plasebo dengan dosis 400 mg, dapat mencegah serangan migren sebanyak 86,2%.10

Pada penelitian yang dilakukan oleh Modi dkk (2006) dengan subjek sebanyak 34 pasien ternyata hasilnya sangat efektif untuk mencegah serangan migren. Pada suatu penelitian multicenter randomized dan plasebo kontrol dari divalproat pada penderita migren dengan aura dan migren tan-pa aura, dengan dosis titrasi sampai dosis setara dengan antiepilepsi (500-1000 mg), ternyata asam valproat bisa mencegah serangan mi-gren sebanyak 39% dibandingkan dengan plasebo. Pada dosis 500-1500 mg hasilnya lebih bagus dibandingkan de-ngan plesebo. Terapi dengan valproat digunakan apabila obat pilihan pertama untuk pencegahan migren seperti penyekat beta (flunarizin) tidak efektif atau ada kontraindikasi. Dosis yang digunakan adalah 500 mg sebagai dosis awal, dosis bisa dinaikkan tergantung efektivi-tas dan efek samping.11

laporan KasusSeorang wanita umur 36 tahun, suku Bali sudah menikah dengan 2 anak, datang ke poliklinik rumah sakit Puri Raharja Denpasar, mengeluh nyeri kepala berdenyut di kepala sebelah kiri, intensitas nyeri sedang sampai berat. Dalam setiap serangan berlangsung 4 jam kadang-kadang lebih dari 1 hari, keluhan semakin berat dengan adanya aktivitas fisik, seperti berjalan dan naik tangga. Keluhan di-sertai mual dan muntah. Pada saat serangan penderita merasa tidak enak bila melihat cahaya. Serangan muncul 2-3 kali/minggu. Kelu-han sakit seperti ini sudah diderita sejak umur 15 tahun, dan dengan minum obat yang dibeli di toko obat/warung keluhan nyeri kepala bisa hilang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil; kedaan umum mengalami nyeri kepala berat. Tanda vital: tekanan darah 130/80 mmHg, denyut nadi 80 x/menit, respirasi 20x/menit, suhu tubuh 36,4°C. Pada pemeriksaan status general dalam batas normal. Pada pemeriksaan neurologi: nervus kranialis normal, funduskopi normal, tanda rangsangan meningen tidak ada, motorik baik, senso-rik baik, refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/-. Diagnosis kerja: migren tanpa aura. Penderita diterapi dengan:1. Analgetik (campuran metampiron 500 mg, klordiazepoksid HCl

5 mg, vitamin B1, B6, B12 dan kafein anhidrat 50 mg), kalau per-lu.

2. Flunarizin 5 mg (malam hari) sebagai pencegahan.3. Antimigren (alkoloid beladona, ergotamin tartat 0,3 mg dan feno-

barbital 20 mg), dua kali sehari maksimal 3 hari.

Selama minum obat keluhan berkurang sampai hilang tetapi begitu obat habis keluhan muncul lagi, sehingga penderita datang kontrol lagi. Kemudian penderita diminta untuk minum obat antimi-gren 2-3 kali/minggu dan analgetik diminum kalau perlu serta obat flunarizin sebagai pencegahan. Keluhan nyeri kepala berkurang se-hingga penderita bisa beraktivitas lagi. Tetapi keluhan nyeri kepala kadang-kadang masih muncul, meskipun penderita sudah minum obat flunarizin sebagai terapi pencegahan selama 3 bulan, sehingga

Valproat juga meningkatkan kadar asam homovanilik,

ekepalin yang berfungsi untuk transmisi nyeri di striatum,

batang otak, hipotalamus dan korteks. Efek yang nyata dari valproat adalah penurunan

ekstravasasi plasma pada saat terjadinya inflamasi neurogenik

pada awal serangan migren dengan jalan interaksi dengan

reseptor GABA. Percobaan pada binatang, valproat memblok

c fos expression dan neurogenic inflamasi. Reseptor GABA juga

terdapat di nukleus raphe dorsalis, di mana aktivitasnya menurunkan firing rate neuron

serotoninergik yang terlibat dalam serangan migren.

Page 18: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

16

penderita disarankan untuk pemeriksaan CT scan kepala dan EEG, untuk mengetahui apakah ada kelainan organik di intraserebral se-bagai penyebab nyeri kepalanya. Hasil pemeriksaan CT scan kepala dan EEG adalah normal, sehingga kecurigaan kelainan organik se-bagai penyebab nyeri kepala sudah tersingkirkan. Diagnosis tetap migren tanpa aura. Kemudian terapi diganti dengan pemberian an-algetik, antimigren dan asam valproat sebagai pencegahan. Setelah diterapi dengan asam valproat sebagai pencegahan keluhan nyeri kepala hilang. Dan setelah 3 bulan ternyata keluhan nyeri kepalanya sudah tidak pernah kambuh lagi.

DiskusiMigren adalah gangguan neurobiologik yang berkaitan dengan peru-bahan kepekaan sistem saraf dan aktivasi sistem trigeminovaskular. Ciri-cirinya adalah terjadinya serangan sakit kepala dan gejala neu-rologik, gastrointestinal dan otonom. Migren menurut International Headache Society (IHS) dibagi men-jadi: migren tanpa aura, migren dengan aura, sindrom periodik pada anak yang sering menjadi prekursor migren, migren retinal, kompli-kasi migren dan probable migren. Sedangkan kriteria diagnostik mi-gren tanpa aura menurut IHS adalah:12

A. Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan yang memenuhi kriteria B-D.

B. Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (tidak diobati atau tidak berhasil diobati).

C. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua di antara karakteristik berikut:1. Lokasi unilateral.2. Kualitas berdenyut.3. Intensitas nyeri sedang sampai berat.4. Keadaan bertambah berat oleh aktivitas fisik atau penderita

menghindari aktivitas fisik rutin (seperti berjalan atau naik

tangga).D. Selama nyeri kepala disertai salah satu gejala di bawah ini: 1. Mual dan atau muntah.

2. Fotofobia dan fonofobia.E. Tidak berkaitan dengan kelainan lain.

Melihat kasus pada penderita di atas maka penderita cocok deng-an kriteria diagnostik migren tanpa aura, karena nyeri kepala unila-teral (satu sisi kepala), serangan 4 jam, kadang sampai lebih 1 hari, diperberat oleh aktivitas fisik, mengalami mual dan muntah serta tid-ak enak melihat cahaya. Pengobatan yang diberikan adalah analgetik, antimigren dan obat untuk pencegahan migren yaitu flunarizin. Sete-lah diterapi dengan flunarizin selama 2 bulan, serangan migren belum terkontrol, sehingga dilakukan pemeriksaan penunjang (CT scan dan EEG) untuk mengetahui ada atau tidak kelainan organik penyebab nyeri kepala. Hasil CT scan kepala dan EEG normal. Dengan demi-kian kemungkinan penyebab yang berasal organik bisa disingkirkan. Pencegahan migren dengan flunarizin efektif setelah diberikan mini-mal 2 bulan dan hanya mengurangi serangan sebanyak 50%, hal ini mungkin dapat menjelaskan kenapa pada penderita pemberian flu-narizin kurang memuaskan. Pada penderita ini tidak diberikan terapi pencegahan dengan penyekat beta, karena tekanan darah penderita dalam batas normal, sehingga pada penderita kemudian diberikan asam valproat dengan dosis 2x250 mg. Setelah dievaluasi selama 3 bulan serangan migren pada penderita ini bisa terkontrol. KesimpulanMigren merupakan nyeri kepala primer yang menempati urutan ke-dua dalam kunjungan ke klinik sefalgia poliklinik saraf. Serangan mi-gren mengakibatkan efek yang merugikan terhadap pasien, keluarga, maupun masyarakat, sehingga bila serangannya sering perlu dilaku-kan pencegahan. Salah satu obat yang bisa dipakai untuk pencegahan adalah obat antiepilepsi, karena salah satu teori timbulnya bangkitan epilepsi dan migren karena ketidakseimbangan neurotransmiter ek-sitasi (glutamat) dan neurotransmiter inhibisi (GABA), di mana pada migren terjadi peningkatan neurotransmiter eksitasi. Pada kasus yang dilaporkan ternyata dengan terapi flunarizin sebagai pencegahan serangan migren belum terkontrol dan setelah diberikan asam valproat baru penderita bebas dari serangan migren.

Daftar Pustaka1. Djoenaedi Wijaya. The impact of migraine and the need of prophylactic treat-

ment. In: Hassan S, Aldy SR, editor. Buku Proseding Pertemuan Nasional I Nyeri Kepala. 7-8 Agustus 2004. Medan.p.21-45

2. Welch KM. Brain hyperexcitability: the basis for antiepileptic drug in mi-graine prevention. Headache 2005; 45 Suppl 1:S25-32

3. Nissan GR, Diamond ML. Advance in migraine treatment. JAOA 2005; 105(4 Suppl 2):S9-5

4. Silberstein SD. Treatmen of migraine. AAN 20045. Sun C, Rapoport A. New treatment strategies for migraine prevention. US

Neurological Disease 2006; 18-226. Steiner TJ, Hansen PT. Antiepileptic drugs in migraine prophylaxis. In: Olesen

J, Hansen PT, Welch KM, editor. The Headache. 2nd ed. Philadelphia:Lippnicot Williams and Wilkins; 2000.p.483-88

7. Cuter FM, Limmroth V, Moskowitz MA. Possible mechanism of valvroate in migraine Prophylaxis. Cephalgia 1997; 17:93-100

8. Spasic M, Zivkovic M, Lukic S. Prophylactic treatment of migraine by val-proate. Medicine and Biology 2003; 10(3):106-10

9. Freitag FG, Collins SD, Carlson AA, Goldstein J, Saper J, Silberstein SD, et al. A randomized trial of divalproate sodium extended release tablets in migraine prophylaxis. Neurology 2003; 58:1652-9

10. Pulley MT. Migraine headache. Origins consequences. Diagnosis and treat-ment. Northeas Florida Medicine 2005:10-3

11. Modis, Lowder DM. Medications for migraine prophylaxis. Americans Family Physician 2006; 73:72-80

12. International Headache Society. The International Classification of Headache Disorder, 2nd Edition. Cephalgia 2004; 24 Suppl 1:9-160

Pemberian asam valproate peroral cepat diabsorpsi dan

kadar maksimal dalam serum tercapai setelah 1-3 jam. Dengan masa paruh 8-10 jam,

kadar dalam darah stabil dalam 48 jam setelah terapi.

Ekresinya sebagian besar lewat urine. Efek samping yang bisa terjadi adalah gangguan salu-

ran cerna (mual, anotreksia dan muntah). Efek samping pada SSP adalah rasa mengantuk, ataksia

dan tremor.6

Page 19: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

17

original article

M. Fadjar PerkasaBagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran UNHAS/RS. dr. Wahidin Sudirohusodo

Makassar

abstrak. Dilaporkan satu kasus timpanoplasti pada seorang anak berumur 9 tahun dengan keluhan keluar cairan dari telinga kanan berwarna kekuningan sejak 5 tahun lalu, hilang timbul. Telah dilakukan tindakan timpanomastoidektomi tipe 1 dengan combined approach timpanoplasti pada penderita otitis media supuratif kronik (OMSK) yang disertai dengan jaringan granu-lasi.Pasca operasi, penderita sadar baik dan tidak ditemukan komplikasi saraf fasialis perifer. Pada kasus ini kami menyimpulkan bahwa hasil operasi memuaskan.

Kata Kunci: OMSK, timpanoplasti

case

rep

ort

PendahuluanOtitis media supuratif kronik (OMSK) adalah penyakit telinga tengah dimana terjadi peradangan kronis dari telinga tengah dan mastoid di-sertai perforasi dari membran timpani yang permanen disertai sekret (otore) yang hilang timbul dengan konsistensi encer atau kental, ben-ing atau berupa nanah (mukopurulen) berlangsung lebih dari 2 bulan. OMSK dibagi menjadi 2 jenis yaitu OMSK tipe aman (tipe mukosa = benign) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang = maligna) sedang ber-dasarkan aktivitas sekretnya yang keluar dikenal juga OMSK aktif dan OMSK tenang.1,2 Prinsip terapi OMSK adalah konservatif atau dengan medikamen-tosa serta operatif/pembedahan. Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronik baik tipe aman atau bahaya antara lain (1) mastoidektomi sederhana (2) mastoidektomi radikal (3) mastoidektomi radikal dengan modifi-kasi (4) miringoplasti (5) timpanoplasti (6) timpanoplasti pendekatan ganda (combined approach tympanoplasty).2

Tujuan utama dalam timpanoplasti pendekatan ganda (combined approach tympanoplasty) adalah untuk membersihkan semua jaringan patologis dimana anatomi dari meatus eksternus termasuk sulkus timpani utuh. Kavum mastoid dibuka untuk menghindari sistem aerasi yang tertutup. Aerasi dapat diperoleh dengan membersihkan penyumbatan antara kavum timpani, antrum dan sistem sel mastoid. Teknik timpanotomi posterior diperkenalkan oleh penciptanya pada akhir tahun 1950 di mana hasilnya baik pada tulang temporal. Ini dapat dilakukan dengan penipisan yang luas pada dinding posterior dalam rongga mastoid sehingga dapat mengevaluasi semua bagian dari te-linga tengah.3

Patogenesis omSK4,5

Pada saat ini patogenesis otitis media supuratif kronis (OMSK) tetap tidak diketahui. Kemungkinan besar proses primer terjadi pada sistem tuba Eustachius, telinga tengah dan sel mastoid. Proses ini khas mem-punyai ak tivitas derajat rendah, tidak jelas tampak dan menetap, ber-akibat hilangnya sebagian membran timpani sehingga memudahkan

proses menjadi lebih kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan penya kit infeksi telinga tengah supuratif menjadi kronis sangat bervariasi, antara lain:1. Gangguan fungsi tuba Eustachius yang kronis akibat:

a. infeksi hidung dan tenggorok yang kronis atau berulang,b. obstruksi anatomik tuba Eus tachius parsial atau total.

2. Perforasi membran timpani yang menetap.3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologik

menetap lainnya pada telinga tengah. 4. Obstruksi menetap terhadap aerasi te linga tengah atau rongga

mastoid. Hal ini dapat disebabkan oleh jaring an parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulasi atau timpano sklerosis.

5. Terdapat daerah-daerah dengan se kuester atau osteomielitis per-sisten di mastoid.

6. Faktor-faktor konstitusi dasar seper ti alergi, kelemahan umum atau per ubahan mekanisme pertahanan tu buh.

OMSK lebih sering merupakan penyakit kambuhan daripada menetap. Keadaan kronis ini lebih berdasarkan waktu dan stadium daripada keseragaman gambaran patologi. Ketidaksera gaman ini di-sebabkan karena proses peradangan yang menetap atau kambuhan ditambah efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan jaringan parut. Secara umum gambaran yang ditemu kan adalah:1. Terdapat perforasi membran timpani di bagian sentral. Ukurannya dapat bervaria si mulai kurang dari 20% luas membran

timpani sampai seluruh membran dan terkenanya bagian-bagian dari anulus.

Dalam proses penyembuhan dapat terjadi pertumbuhan epitel sku-amosa ke dalam telinga tengah. Pertumbuhan ke dalam ini dapat menutupi tempat perforasi saja atau dapat mengisi seluruh rongga telinga tengah. Kadang-kadang perluasan lapisan tengah ini ke dae-rah atik mengakibatkan pembentukan kantong dan kolesteatom sekunder. Kadang-kadang terjadi pembentukan membran timpani atrofik dua lapis tanpa unsur jaringan ikat. Membran ini cepat rusak pada periode infeksi aktif.

Page 20: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

18

2. Mukosa bervariasi sesuai stadium pe nyakit. Dalam periode tenang, kondisi akan tampak normal kecuali bila in-

feksi telah menye babkan penebalan atau metaplasia mukosa men-jadi epitel transisional.

Selama infeksi aktif, mukosa menjadi te bal dan hiperemis serta menghasilkan sekret mukoid atau mukopurulen. Setelah pengoba-tan, penebalan mukosa dan sekret mukoid dapat menetap akibat disfungsi kronik tuba Eustachius. Faktor alergi dapat juga meru-pakan penyebab terjadinya perubahan mu kosa menetap. Pada se-bagian kasus, pene balan mukosa terjadi karena iritasi fisik akibat terpaparnya mukosa dengan dunia luar. Penebalan mukosa bisa menutup seluruh rongga atik dan mastoid, yang mengakibat kan terisinya ruangan ini dengan mukus. Dengan berjalannya waktu, kristal-kris tal kolesterin terkumpul dalam kantong mukus, mem-bentuk granuloma kolesterol. Proses ini bersifat iritatif, menghasil-kan granulasi pada membran mukosa dan infil trasi sel datia pada cairan mukus kolesterin. Proses ini juga dapat terlihat dalam te-linga tengah pada otitis media sekretoria kronik.

Dalam penyembuhan, mukosa dapat me nunjukan perubahan menjadi timpanosklerosis, yang terdiri dari formasi lempeng hia-lin amorf dalam submukosa, dengan ben tuk bervariasi mulai dari lapisan tipis sampai ke massa yang tebal. Pada stadium awal, mu-kosa tampak tebal dan seperti karet. De ngan berlanjutnya proses penyembuhan, lempeng ini menjadi kekuningan dengan kon-sistensi seperti dempul. Suatu saat terjadi penimbunan garam kalsium, membentuk massa sekeras tulang. Tempat predikleksi proses ini adalah di daerah anulus membran timpani, khususnya anterosuperior dan se keliling tulang-tulang pendengaran. Proses ini menyebabkan fusi atau fiksasi rangkaian tulang pendengaran yang mengakibatkan tuli berat.

Mukosa juga dapat mengalami pemben tukan jaringan granulasi dan/atau polip. Proses ini berhubungan dengan adanya sek ret persisten atau infeksi aktif yang berlangsung lama. Pembentu-kan polip biasanya berhubungan dengan adanya epitel skuamo sa di telinga tengah. Massa ini dapat muncul keluar lewat perforasi kecil, menghalangi sebagian drainase dan mengakibatkan pe nyakit menjadi persisten.

3. Tulang-tulang pendengaran dapat rusak atau tidak, tergantung pada beratnya infeksi sebelumnya.

Biasanya prosesus lo ngus inkus telah mengalami nekrosis karena penyakit trombotik pada pembuluh darah mukosa yang memper-darahi inkus ini. Ne krosis lebih jarang mengenai maleus dan stapes, kecuali kalau terjadi pertumbuhan skuamosa secara sekunder ke arah dalam sehingga arkus stapes dan lengan maleus dapat rusak. Proses ini bukan disebabkan oleh osteomielitis tetapi disebabkan oleh ter bentuknya enzim osteolitik atau kolagenase dalam jaringan ikat subepitel.

4. Tulang Mastoid. OMSK paling sering berawal pada masa anak-anak. Pneumatisasi

mastoid paling aktif terjadi an tara 5 - 10 tahun. Bila infeksi kro-nik terus berlanjut mastoid mengalami proses sklerotik, sehing ga ukuran prosesus mastoid berkurang. Antrum menjadi lebih kecil dan pneuma tisasi terbatas, hanya ada sedikit sel udara saja sekitar antrum.

indikasi3

Teknik operasi timpanoplasti dengan pendekatan ganda (combined approach tympanoplasty) dikerjakan pada kasus OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe aman dengan jaringan granulasi yang luas. Tujuan operasi adalah untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran tanpa melakukan teknik mastoidectomy radikal (tanpa meruntuhkan dinding posterior liang telinga) antara lain pada pe-nyakit kronik telinga tengah, otomastoiditis kronik dengan jaringan granulasi atau kolesterol granuloma, tumor pada telinga tengah dan mastoid, otitis media seromucin yang gagal dengan pemasangan pipa Grommet, dekompresi saraf facialis.

Kontraindikasi3,6,7

Teknik operasi ini pada OMSK tipe maligna belum disepakati oleh para ahli karena sering terjadi kambuhnya kolesteatoma kembali. Pada ke-banyakan kasus tumor ganas pada meatus merupakan kontraindikasi. Fistula pada sistem Kanalis semisirkularis harus dipertimbangkan.

Gambar 3. Batas timpanotomi posterior7

laporan KasusSeorang anak berumur 9 tahun datang dengan keluhan keluar cairan dari telinga kanan yang berwarna kekuningan tidak berbau yang dike-luhkan sejak umur 4 tahun yang hilang timbul dengan disertai penuru-nan pendengaran pada telinga kanan. Riwayat demam (-), otalgia (-), tinitus (-), cephalgia (-), vertigo (-), paresa pada wajah (-).Keluhan pada hidung dan tenggorokan disangkal.Pemeriksaan fisis Keadaan umum: Baik/ gizi cukup/ kompos mentisOtoskopi: Kanan: MAE dalam batas normal, membran timpani perforasi sedang, mukosa kavum timpani hiperemis, sekret (+) mukopurulen, jaringan granulasi (-)Kiri: MAE dalam batas normal, membran timpani utuh, pantulan ca-haya (+), sekret (-)Rinoskopi: Konka normal, mukosa normal, sekret (-)Faringoskopi: T1/T1 tenang, mukosa dorsal faring normalPemeriksaan penunjang Tes garputala: - R + ← W ↑ S NTes Audiometri: Kanan: Tuli konduktif ringan (38,3 dB) Kiri: Pendengaran normal (18 dB)Patch test: Kanan/pendengaran normal (30 dB)Tes fungsi tuba (+)

Page 21: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

Tes fistula: Vertigo (-) nistagmus (-)Tes keseimbangan: tes Manns: Tidak ada kelainan tes Romberg: Tidak ada kelainan tes Stepping: Tidak ada kelainanLaboratorium : Dalam batas normalFoto thoraks: Dalam batas normalCT scan Mastoid potongan axial: - tampak perselubungan pada rongga telinga tengah dengan air

cell mastoid kanan berkurang - osikel telinga kanan intak - struktur telinga dalam intak - telinga kiri: struktur telinga dalam, osikel, dan pneumatisasi

mastoid dalam batas normalKesan: Otomastoiditis kanan

Diagnosa kerja: Otitis media supuratif kronik dekstraTindakan: Timpanomastoidektomi tipe 1 dengan pendekatan ganda Laporan operasi:- pasien baring dalam posisi supine di bawah pengaruh anastesi

umum. - dilakukan insisi retroaurikuler sampai tampak fasia temporalis, la-

pisan fasia temporalis profunda dielevasi dan diambil untuk graft.- dilakukan insisi “H” pada periosteum kemudian dielevasi.- identifikasi spine of henle, linea temporalis serta segitiga Mc-ewen.- pahat korteks mastoid lalu diperdalam dengan bor sampai tampak

antrum→ jaringan granulasi (+) dibersihkan, evaluasi diperluas sampai epitimpanum→ jaringan granulasi (+) dibersihkan.

- Bebaskan kulit dinding posterior MAE D/ → maleus utuh, mobile (+), kavum timpani kosong, muara tuba terbuka. Identifikasi Pro-cessus Brevis Inkus → utuh, mobile(+) → tampak jaringan granulasi di sekitar inkus yang menutupi additus ad antrum, aerasi tidak ada → coba bersihkan jaringan granulasi, aerasi tetap tidak ada.

19

Page 22: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

20

- buat timpanotomi posterior pada ressesus fasialis dengan Diamond Burr → Kanalis fasialis pars mastoid terkikis, saraf facialis terpapar tetapi tetap utuh (tidak putus).

- antrum dan kavum timpani sudah terhubung → aerasi baik dan lancar.

- tandur graft diletakkan secara overlay.

- Pasang drain serta masukkan tampon antibiotik, tutup luka insisi.- Operasi selesai.

Perawatan hari 1KU: Baik Instruksi perawatan:

N: 100x/menit, P: 24x/menit, S: 37° C

- awasi tanda vital dan perda-rahan

Perdarahan (-), Parese fasialis perifer (-)

- IVFD RL: Dex 5%=1:1=18 tts/mnt

Cephalgia (+) Vertigo (-) - Inj. Cefotaxime 500 mg/12 jam/hari

Mual/muntah (-) - Inj. Dexamethasone 2,5 mg/8 jam/hari

- Inj. Ulsikur 100 mg/8 jam/hari

- Inj. Antrain 25 mg/8 jam/hari

Page 23: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

21

Perawatan hari 3KU: Baik Instruksi perawatan:

N: 100x/menit, P: 24x/menit, S: 37°C

- awasi tanda vital dan perda-rahan

Perdarahan (-), Parese facialis perifer(-)

- Aff drain, ganti verband

Cephalgia (-) Vertigo (-) - IVFD RL: Dextrosa 5%= 1:1= 18 tts/mnt

Luka insisi baik, tanda infeksi (-) - Inj. Cefotaxime 500 mg/12jam/hari

- Inj. Dexamethasone 2,5 mg/8 jam/hari

- Inj. Ulsikur 100 mg/8 jam/hari

- Inj. Antrain 25 mg/8 jam/hari

Perawatan hari ke 5KU: Baik Instruksi perawatan :

N: 100x/menit, P: 24x/menit, S: 37°C

- Aff infus, ganti oral

Parese facialis perifer(-) Cephalgia (-)

- Ganti verband

Luka insisi baik, tanda infeksi (-) - Cefadroxil tab 3x250 mg

- Methylprednisolone 3x2 mg

- Asam mefenamat 3x250 mg

- Boleh pulang, kontrol di poli THT

DiskusiOMSK merupakan penyakit telinga tengah yang sering ditemukan pada anak-anak dan tidak jarang menyebabkan gangguan fungsi pendengar-an yang permanen. Pada kasus OMSK yang tidak berespon terhadap pengobatan perlu ditelusuri faktor predisposisi yang menyebabkan kekambuhan penyakit, seperti gangguan fungsi tuba yang kronik, per-forasi membran timpani yang menetap, aerasi kavum timpani-kavum mastoid yang menetap akibat jaringan granulasi, kolesteatoma. Dilaporkan satu kasus, anak laki-laki 9 tahun dengan keluhan otore kronik sejak 5 tahun yang lalu, hilang timbul. Penderita mempunyai ri-wayat berobat sebelumnya, dari anamnesis dan pemeriksaan fisis THT tidak ditemukan faktor predisposisi seperti yang disebutkan di atas, kecuali terdapatnya perforasi yang menetap. Pemeriksaan audiometri pure tone, didapatkan telinga kanan tuli konduktif ringan (38,3 dB) dan kiri normal. Hal ini menunjukkan ter-dapat gangguan fungsi konduksi telinga tengah akibat perforasi uku-ran sedang dan kemungkinan besar rantai ossikula masih utuh. Tidak ditemukan adanya gangguan keseimbangan, gangguan fungsi tuba dan tes fistula negatif. Pemeriksaan radiologi, foto polos mastoid tampak kesan mas-toiditis kronik kanan dan CT-scan mastoid potongan axial tampak perselubungan pada rongga telinga tengah dengan air cell mastoid kanan berkurang tanpa tanda-tanda destruksi tulang di sekitarnya. Dari pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan diagnosis penderita ini adalah OMSK tipe benigna. Oleh karena itu penatalaksanaan ter-baik pada kasus ini adalah pembedahan dengan tujuan utama untuk eradikasi penyakit dan sebisa mungkin tetap mempertahankan pen-dengaran karena ambang pendengarannya tuli konduktif ringan. Durante operationem didapatkan jaringan granulasi pada antrum mastoid, meluas ke epitimpanum di sekitar inkus yang menutupi aditus ad antrum sehingga aerasi tidak ada. Jaringan granulasi dibersi-hkan namun aerasi tetap tidak ada sehingga diputuskan untuk dilaku-kan timpanotomi posterior. Pada saat melakukan prosedur tersebut

kanalis facialis terpapar, namun saraf facialis tetap utuh, sehingga tidak perlu dilakukan reanimasi saraf fasialis. Kemudian dilakukan pema-sangan graft fascia temporalis profunda secara overlay. Pasca operasi, penderita sadar baik, komplikasi pasca operasi berupa perdarahan, parese saraf fasialis perifer dan vertigo tidak ada, terapi antibiotik, analgetik dan antiinflamasi diberikan per injeksi ke-mudian dilanjutkan terapi oral. Keberhasilan operasi timpanomastoidektomi ditentukan oleh dua hal utama, yaitu viabilitas dari graft dan perbaikan pendengar-an pasca operasi yang diukur tiga bulan pasca operasi. Pada kasus ini kami menyimpulkan bahwa operasi dan perawatan pasca operasi berjalan baik.

KesimpulanOMSK merupakan penyakit telinga tengah yang dapat menyebabkan komplikasi berupa gangguan fungsi pendengaran yang permanen yang apabila tidak ditangani dengan baik dapat mengancam jiwa pen-derita jika perluasan penyakit ke intraranial. Pemeriksaan radiologi, foto polos mastoid dan CT-Scan mastoid potongan axial pre operasi sangat penting dalam mendeteksi perlu-asan penyakit dan dalam merencanakan tindakan terbaik yang akan dilakukan untuk kesembuhan penderita. Penatalaksanaan pada kasus ini adalah combined approach tympano-plasty yang bertujuan untuk eradikasi penyakit dan tetap memperta-hankan pendengaran.

Daftar Pustaka1. Helmi. Otitis media supuratif kronik. Dalam: Helmi, Otitis Media Supura-

tif Kronik Pengetahuan Dasar, Terapi Medik, Mastoidektomi, Timpanoplasti. Jakarta:Balai Penerbit FKUI,2005.p.55-69

2. A Zainul, Djaafar, Helmi. Kelainan telinga tengah. Dalam: Buku Ajar Ilmu Ke-sehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 2007.p.64-77

3. Jansen CW. Combined approach tympanoplasty. In: Ballantyne JC. Operative Surgery Ear. 4th edition. United Kingdom:Butterworths, 1986.p.91-101

4. Ballenger JJ. Anatomi dan embriologi telinga. Dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jilid dua, Edisi 13. Jakarta Barat:Binarupa Aksara,1997.p.101-51

5. Ballenger JJ. Penyakit telinga kronis. Dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jilid dua, Edisi 13. Jakarta Barat:Binarupa Aksara,1997.p.392-403.

6. A Zainul, Djaafar, Helmi. Komplikasi otitis media supuratif. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Ke-6. Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 2007.p.78-86

7. Bennet M, Warren F, Haynes D. Indications and technique in mastoidecto-my.In: Otolaryngologic Clinics of North America. USA:Elsevier Saunders Inc, 2006.p.1095-112

OMSK merupakan penyakit telinga tengah yang sering

ditemukan pada anak-anak dan tidak jarang menyebabkan

gangguan fungsi pendengaran yang permanen. Pada kasus OMSK yang tidak berespon terhadap pengobatan perlu

ditelusuri faktor predisposisi yang menyebabkan kekambuhan

penyakit.

Page 24: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

Yaya Rukayadi* dan Jae Kwan Hwang*** Natural Products and Biomaterials Lab., Department of Biotechnology, College of Engineering,

Yonsei University, Republic of Korea; Biopharmaca Research Center, Bogor Agricultural University, Indonesia** Natural Products and Biomaterials Lab., Department of Biotechnology, College of Engineering,

Yonsei University, Republic of Korea

Abstract. Quorum sensing (QS) is a process that enables bacteria to communicate using secreted signaling molecules called autoinducer. This process enables a population of bacteria to regulate gene expression. Link between QS and virulence factors as well as the formation of biofilms have been established for a number of important pathogenic bacteria, suggesting that interference with these signaling circuits might be therapeutically useful. There are two broad strategies for the control of bacterial infection: kill the organism or attenuate its pathogenicity using inhibiting bacterial QS systems. The major concern with the first approach is the frequently observed development of resistance to antimicrobial compounds. Hence, the identi-fication of antagonistic molecules to block QS systems (anti-QS) would be of great interest as therapeutic measures against bacterial infection; additionally, the combination of anti-QS with traditional antibiotics may reduce either the required dosage of antibiotics or duration of therapy. The application of anti-QS may potentially be useful in inhibiting the growth or virulence mechanisms of bacteria in different environments. It is important that pharmacist has an awareness and an understanding of the mechanisms involved in bacterial QS, since strategies targeting QS may offer a means to control the growth of pathogenic bacteria in new drug (antibiotic) design.

abstrak. Quorum sensing (QS) merupakan suatu proses yang memungkinkan bakteri dapat berkomunilasi dengan meng-sekresikan molekul sinyal yang disebut autoinduser. Proses ini memungkinkan suatu populasi bakteri dapat pengatur suatu ekspresi gen tertentu. Ekspresi faktor-faktor virulen dan pembentukan biofilm pada sejumlah bakteri patogen penting diken-dalikan oleh proses QS, hal ini mengisyaratkan bahwa campur-tangan pada proses QS sangat berguna pagi pengobatan. Ada dua strategi utama untuk mengontrol infeksi bakteri yaitu membunuh bakteri itu dan menurunkan derajat patogennya dengan menggunakan penghambatan QS. Akan tetapi, strategi yang pertama sering kali menimbulkan resistensi bakteri terhadap se-nyawa antimikroba. Jadi, identifikasi molekul antagonis yang dapat memblokir proses QS (anti-QS) merupakan hal yang sangat menarik untuk melawan infeksi bakteri. Sebagai tambahan, kombinasi antara anti-QS dengan antibiotik kemungkinan akan menurunkan dosis dan lama pengobatan. Penggunaan anti-QS diharapkan dapat digunakan untuk penghambatan pertumbu-han dan mekanisme virulensi pada bakteri di lingkungan yang berbeda. Memahami proses QS dan anti-QS sangat penting bagi ahli farmasi, sebab dengan memahami pendekatan proses QS dan anti-QS ini akan memberikan peluang dan kerangka kerja baru untuk mendisain obat baru.

PendahuluanIstilah quorum sensing (QS) pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Clay Fuqua pada tahun 1994.1 QS digunakan untuk menjelaskan komu-nikasi di antara sel-sel bakteri. Sebenarnya hal-hal yang berkaitan den-gan QS sudah dilaporkan sebelumnya, misalnya Tomasz and Mosser (1966) melaporkan bahwa bakteri Gram-positif, Streptococcus pneumo-niae, menghasilkan molekul sinyal yang disebut sebagai competence fac-tor, yang merupakan faktor pengendali pengambilan DNA dari alam (natural transformation).2 Laporan lain, pada tahun 1970, dilaporkan bahwa proses perpendaran cahaya (luminescence) pada bakteri Gram-negatif asal laut, Vibrio fischeri, diatur oleh sebuah molekul sinyal yang dihasilkannya sendiri yang disebut autoinduser (AI).3 Molekul sinyal

tersebut berhasil diidentifikasi berupa N-3-oxo-hexanoyl-L-homoserine lactone pada tahun 1981.4 Selanjutnya pada tahun 1983, gen penyandi protein pengatur pengaktivasi transkripsi (protein R) dan penyandi molekul sinyal AI (protein I) berhasil dikloning, gen tersebut disebut gen lux, atau luxR-luxI yang menghasilkan protein LuxR-LuxI.5 Pada awal tahun 1990-an, homologi luxR-luxI diteliti pada berbagai jenis bakteri dan sistem sinyal LuxR-LuxI pada V. fischeri menjadi paradigma baru untuk menjelaskan proses komunikasi di antara sel-sel bakteri. Sejak tahun 1994, laporan ilmiah tentang QS meningkat tajam, menurut data NCBI (National Center for Biotechnology Information) sampai awal tahun 2009 terdapat 2074 laporan. QS terjadi pada sejumlah bakteri, bakteri menghasilkan senyawa

medical review

22

MED

ICIN

US

Page 25: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

berberat molekul rendah yang disebut autoinduser (AI) atau pherom-ones bakteri, senyawa AI-lah yang menjadi sinyal komunikasi pada bakteri. AI umumnya bersifat khusus untuk spesies bakteri tertentu. AI tersebut dilepaskan ke luar sel sehingga dapat dikenali oleh sel yang lainnya yang sama-sama menghasilkan AI. Selama proses tersebut, ter-jadi akumulasi AI diluar sel dan tentu saja akumulasi AI sejalan dengan penambahan densitas atau kerapatan sel bakteri. Bila jumlah selnya te-lah mencapai kepadatan tertentu atau mencapai quorum tertetu, maka AI akan diserap kembali kedalam sel dan membentuk kompleks den-gan protein pengatur pengaktivasi transkripsi. Kompleks antara AI dengan protein pengatur pengaktivasi transkripsi akan mengaktifkan tersekspresinya gen-gen penyandi tertentu, misalnya gen penyandi bioluminescence, berbagai enzim, konjugasi, sporulasi, pembentukan sel kompeten, pembentukan biofilm, faktor-faktor virulen, antibiotik, simbiosis, dan lain sebagainya.6,7 Jadi, QS bisa diartikan sebagai suatu pengaturan ekspresi gen atau aktivitas atau tingkah laku atau fenotipik bakteri yang bergantung kepada jumlah populasi bakteri tersebut dan akumulasi AI-nya. Sejumlah aktivitas bakteri yang diatur oleh proses QS disajikan pada Tabel 1.6,7

Tabel 1. Beberapa contoh aktivitas atau fenotipik bakteri yang diatur oleh QS6,7

Spesies Bakteri Molekul Sinyal atau Autoinduser (AI)

Gen/Protein Pengatur

Aktivitas/Fenotipik

Aeromonas hydrophila

C4-HSL ahyI-ahyR/AhyI-AhyR

- Pembentukan biofilms, dan produksi enzim-enzim eksopro-tease

Agrobacterium tumefaciens

3-oxo-C8-HLS traI-traR/TraI-TraR

- Konjugasi plas-mid Ti

Bacillus subtilis ComX pheromones (a modified decapep-tide) / Competence-Stimulating Factor (a pentapeptide)

comX/ComX - Pembentukan kompeten sel, sporulasi

Burkholderia cepacia

C8-HSL cepI-R/CepI-R - Produksi siderophore dan eksoprotease

Chromobacterium violacein

C6-HSL cviI-cviR/CviI-CviR

- Produksi eksoenzim, HCN, violacein

Erwinia carotovora subsps. caratovora

3-oxo-C6-HSL carI-carR/CarI-CarRexpI-expR/ExpI-ExpR

- Produksi antibi-otik carbapenem dan eksoenzim

Pseudomonas aeruginosa

Cd-HSL/3-oxo-C12-HSL

lasI-lasR/LasI-LasRrhlI-rhlI/RhlI-RhlR

- Produksi eksoenzim, HCN, rhamnolipid dan pembentukan biofilms

Serratia liquefaciens

C4-HSL swrI-swrR/SwrI-SwrR

- Motilitas swarm-ing, produksi eksoprotease

Staphylococcus aureus

Peptide thiolactones agrBDCA/AgrB-DCA

- Produksi ekso-toksin, eksoen-zim, protein A

Vibrio fischeri 3-oxo-C6-HSL luxI-luxR/LuxI-LuxR

- Biolumines-cence

Vibrio harveyi 3-hydroxy-C4-HSL luxLM-luxN/LuxLM-LuxN

- Biolumines-cence

Yersinia pseudo-tuberculosis

3-oxo-C6-HSL/C8-HSL

yesI-yesR/YesI-YesR

- Motilitas dan agregasi

Tabel 2. Spesies bakteri yang mempunyai QS yang diatur oleh LuxS atau AI-2

Spesies Bakteri Aktivitas yang Diatur

Actinobacillus actinomycetemcomitans - Virulensi, penambatan besi

Borrelia burgdorferi - Ekspresi protein pleiotropik

Campylobacter jejuni - Motilitas

Clostridium perfringens - Produksi toksin

Escherichia coli W3110 - Pembelahan sel, motilitas dan me-tabolisma

Escherichia coli EHEC dan EPEC - Sekresi virulensi tipe III

Neisseria meningitides - Infeksi bakterimia

Photorhabdus luminescens - Produksi antibiotik (carbapenem)

Porphyromonas ginggivalis - Pembentukan biofilm, penambatan heme, produksi protease

Salmonella typhi - Pembentukan biofilm

Salmonella typhimurium - Ekspresi transfor ABC

Shigella flexneri - Transkripsi faktor-faktor yang beraso-siasi dengan virulensi

Streptococcus mutans - Pembentukan biofilm

Streptococcus pneumoniae - Virulensi

Streptococcus pyogenes - Ekspresi faktor-faktor virulen

Vibrio cholerae - Ekspresi faktor-faktor virulen

Vibrio harveyi - Luminescence, produksi protease, sekresi tipe III, morfologi koloni, produksi siderophore

Vibrio vulnificus - Virulensi

Aktivitas QS pada bakteri sebenarnya merupakan suatu tanggapan atau respon bakteri terhadap kondisi lingkungannya yang seringkali berubah secara cepat. Respon tersebut sangat diperlukan guna men-jaga kelestarian bakteri tersebut, atau dengan kata lain supaya bakteri tersebut tetap survive. Respon tersebut bisa berupa adaptasi terhadap keberadaan nutrisi, pertahanan melawan mikroorganisme lain yang mungkin memiliki kesamaan nutrisi, dan menghindar dari senyawa-senyawa toksik yang membahayakan bakteri tersebut.8

Meskipun QS juga terjadi pada sel eukariotik seperti Candida al-bicans,9 akan tetapi artikel ini hanya membahas QS pada bakteri saja. Bahasan artikel ini terdiri dari: (1) pendahuluan yang membahas ten-tang sekilas sejarah QS serta pengertian QS sendiri, seperti yang telah dijelaskan di atas; (2) autoinduser (AI), membahas tentang macam-macam AI serta sumber dan kegunaannya; (3) mekanisme umum quorum sensing, yang ditekankan hanya pada mekanisme QS yang melibatkan AI-1 dan AI-2; (4) QS hubungannya dengan patogenisitas bakteri, yang membahas bahwa patogenisitas sejumlah bakteri patogen diatur oleh QS; (5) pencegahan QS, yang membahas tentang peluang penghambatan QS; (6) potensi disain anti-QS, yang membahas tentang beberapa kemungkinan untuk disain anti-QS sebagai obat baru; dan (7) penutup, berupa rangkuman dan pandangan tentang potensi Indone-sia yang memungkinkan sebagai sumber pencarian anti-QS. Selain itu, dalam artikel ini, bahasan QS lebih ditekankan kepada QS hubungan-nya dengan infeksi bakteri.

autoinduser (ai)Autoinduser (AI) merupakan molekul sinyal yang disekresikan, kemu-dian diakumulasikan, selanjutnya diserap kembali dan dikenali oleh bakteri pada saat proses QS terjadi. AI dapat dikategorikan menjadi empat yaitu: (i) turunan asam lemak, pada umumnya berupa N-acyl homoserine lactones (AHLs), dihasilkan oleh bakteri Gram-negatif, serta digunakan untuk komunikasi dalam spesies yang sama (intraspecies communication among Gram-negative bacteria), AI ini dikenal sebagai AI-1; (ii) rangkaian asam amino atau peptide pendek atau oligopep-

23

Page 26: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

tida, dihasilkan oleh bakteri Gram-positif, umumnya digunakan un-tuk komunikasi dalam spesies yang sama (intraspecies communication, among Gram-positive bacteria), dan juga dikelompokan ke dalam AI-1; (iii) furanocyl borate diester, dihasilkan oleh bakteri Gram-negatif dan Gram-positif, serta digunakan untuk komunikasi antar spesies (inter-species communication) baik sesama Gram-negatif atau Gram-positif atau antara Gram-positif dengan Gram-negatif dan sebaliknya, AI ini dikelompokan ke dalam AI-2; dan (iv) autoinducer-3 (AI-3), struk-turnya belum diketahui, digunakan untuk komunikasi silang dengan epinephrine (suatu sistem sinyal sel-inang mamalia), AI-3 dilaporkan terdapat pada Eschericia coli O157:H7.10,11,12 Selain itu, ada juga sistem AI yang lain yang belum jelas struktur dan mekanismenya.7 Sejumlah contoh AI disajikan pada Gambar 1.13

Gambar 1. Beberapa contoh autoinduser (AI) dari beberapa spesies bakteri: (a) be-

berapa turunan acyl-homoserine lactone (AHL) dari sejumlah bakteri Gram-negatif;

(b) oligo peptide dari sejumlah bakteri Gram-positif; (c) g-butryolactones dari Strep-

tomyces griseus; dan (d) AI -2 dari Vibrio harveyi dan Salmonella typhymurium13

mekanisme Umum Quorum SensingAda tiga komponen penting dalam pengaturan QS pada bakteri yaitu (i) sintesa molekul sinyal atau sintesa AI, (ii) akumulasi molekul sinyal, dan (iii) pengenalan molekul sinyal.14

1. QS pada bakteri Gram-negatifQS pada bakteri Gram-negatif melibatkan dua komponen gen/protein pengatur yaitu protein R dan protein AI. Molekul sinyal atau AI yang diproduksi oleh sel-sel secara individu tidak ber-pengaruh apa-apa terhadap transkripsi gen target, baru akan berpengaruh jika telah mencapai jumlah minimal tertentu (men-capai quorum tertentu). Dengan kata lain, jika densitas populasi sel rendah maka konsentrasi AI yang dihasilkan juga rendah, pada kondisi non-quorum ini konsentrasi AI belum cukup untuk mengaktifkan protein R, sehingga akan terjadi proses akumulasi AI yang sejalan dengan penambahan jumlah populasi bakteri. Akan tetapi jika populasi atau densitas sel telah mencapai jumlah minimal atau quorum tertentu, maka AI yang dihasilkan juga akan cukup untuk mengaktifkan protein R, pada kondisi quorum ini, AI akan membentuk kompleks dengan protein R, kompleks AI-protein R ini akan mengaktifkan terjadi transkripsi dan translasi gen pada gen target (Gambar 2).6 Contoh umum QS pada bakteri Gram-negatif adalah proses bioluminescence pada V. fischeri (Gam-bar 3).15

Gambar 2. Mekanisme QS pada bakteri Gram-negatif6

Gambar 3. Mekanisme QS pada Vibrio fischeri15

2. QS pada bakteri Gram-positif Berbeda dengan bakteri Gram-negatif, bakteri Gram-positif meng-

gunakan senyawa oligopeptida sebagai sinyal komunikasi.13 Selain itu juga melibatkan dua komponen sensor berupa histidin kinase yang terikat pada membran sel, sensor histidin kinase tersebut ber-fungsi sebagai reseptor.13 Sebagai contoh, QS pada Staphylococcus aureus (Gambar 4).13 QS pada S. aureus diatur oleh sinyal komunika-si yang disebut autoinducing peptide atau AIP dan dua sensor kinase berupa protein AgrB dan AgrC, yang masing-masing dikodekan oleh gen agrB dan agrC. Gen argD akan mengekspresikan protein AgrD, protein AgrD ini diekspor keluar membran melalui sensor kinase AgrB pada membran, selain itu protein AgrB juga akan me-nambahkan cincin thiolactone pada AgrD dan memodifikasi pro-tein tersebut sehingga membentuk autoinducing peptide (AIP) yang merupakan peptida siklik. Selanjutnya AIP akan dikenali oleh sensor kinase kedua yaitu AgrC sehingga membentuk kompleks AgrC-AIP. Kompleks AgrC-AIP akan memfasilitasi terjadinya fos-forilasi pada protein AgrA sehingga terbentuk AgrA~P, akibatnya AgrA berada dalam keadaan aktif. AgrA~P akan menginduksi terekspresinya gen regulator RNA yang disebut RNAIII. RNAIII ini akan menekan ekspresi faktor-faktor pelekatan sel dan akan menginduksi ekspresi faktor-faktor sekresi. AgrA~P atau AgrA yang teraktivasi ini juga akan menginduksi ekspresi gen agrBDCA. Proses ini akan meningkatkan jumlah AIP sejalan dengan pertam-bahan jumlah sel sehingga membentuk suatu quorum.13

24

Page 27: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

Gambar 4. Mekanisme QS pada bakteri Gram-positif, Staphylococcus au-

reus. P2 dan P3 masing-masing merupakan promotor untuk gen agrBDCA

dan RNAIII13

3 QS yang melibatkan AI-2 QS yang melibatkan AI-1 (AHSL dan oligopeptida) terjadi pada

kebanyakan bakteri yang sama spesiesnya. Akan tetapi AI-1 ti-dak cukup memadai jika bakteri dalam kondisi multispesies atau dalam komunitas tertentu yang terdiri dari berbagai spesies yang berbeda.12 Sejumlah bakteri baik Gram-negatif ataupun Gram-posi-tif, memiliki tambahan sinyal komunikasi lain yaitu AI-2. Berbeda dengan AI-1 yang berfungsi sebagai alat komunikasi antar spe-sies yang sama, AI-2 ini berfungsi sebagai alat komunikasi antar spesies yang berbeda jenis. Bagi bakteri yang hidup dalam suatu komunitas populasi yang beragam, misalnya pada multi-spesies bio-films, AI-2 tidak hanya berguna untuk merespon akibat perubahan jumlah densitas pada spesies yang sama, akan tetapi juga dapat di-gunakan untuk merespon jumlah densitas spesies lain yang hadir dalam komunitas tersebut.16

Gambar 5a. QS hibrid pada Vibrio harveyi8

Pada V. harveyi, sintesa AI-2 tergantung kepada sintesa protein LuxS yang disandikan oleh gen luxS. Homologi gen luxS terdapat pada berbagai bakteri Gram-negatif ataupun Gram-positif (Tabel 2).17 Artinya bakteri-bakteri yang terdapat pada Tabel 2 tersebut dapat berkomunikasi dengan spesies lainnya dengan menggunakan AI-2 sebagai sinyal komunikasinya, sehingga AI-2 ini disebut juga se-bagai “bahasa umum” atau “bahasa universal” pada bakteri. Pada kenyataannya, sering kali bakteri melakukan QS secara berseri atau secara paralel yang melibatkan AI-1 dan AI-2 secara bergantian

atau bersamaan, seperti pada V. harveyi dan Bacillus subtilis (Gam-bar 5).18 Sistem QS yang melibatkan AI-1 dan AI-2 sering di-sebut juga QS hibrid.

Gambar 5b. QS hibrid pada Bacillus subtilis18

QS hubungannya dengan Patogenisitas BakteriTabel 1 dan 2 menyajikan sejumlah aktivitas bakteri yang dikendalikan oleh sistem QS. Dari Tabel tersebut bisa dilihat bahwa sejumlah proses patogenitas bakteri patogen manusia dikendalikan oleh QS, misalnya ekspresi gen-gen yang terlibat dalam virulensi, pembentukan biofilm, serta resistensi terhadap suatu antimikroba. Jadi jelas terjadi hubungan kuat antara QS dengan terjadinya penyakit infeksi bakteri. Salah satu yang paling populer adalah patogenisitas pada Pseu-domonas aeruginosa penyebab cystic fibrosis.19 QS pada P. aeruginosa diken-dalikan oleh dua AI-1 yaitu N-(3-oxododecanoyl)-L-homoserine lactone (OdDHL) yang mengatur ekspresi elaste, eksotoksin A, protein LasA, protease alkalin, neuraminidase, serta sekresi protein dan kedua adalah N-butanoyl-L-homoserine lactone (BHL) yang mengatur ekspresi protease alkalin, elastase, haemolysin, pyocyanin, cyanida (HCN), aktivitas staphylo-lytic, lectins, chitinase serta sekresi protein, kesemuanya itu merupakan faktor virulensi yang terlibat dalam patogenisitas P. aeruginosa.20

Biofilm merupakan sebuah komunitas mikroorganisme baik se-jenis ataupun berlainan jenis yang menempel pada suatu permukaan. Biofilm menyebabkan lebih dari 80% penyakit infeksi dan lebih kurang dari 65% infeksi nosokomial disebabkan oleh mikroorganisme yang berkembang dalam biofilm.21,22 Sejumlah penyakit infeksi yang dise-babkan atau dipengaruhi oleh pembentukan biofilm adalah plak gigi dan dental caries, periodontitis, cystic fibrosis pneumonia, infective endocar-ditis, muscle skeletal infections, necrotizing fasciitis, osteomielitis, meloido-sis, infectious kidney stones, bacterial endocarditis, airway infections, otitis media, biliary tract infections, chronic bacterial prostatitis dan infeksi yang disebabkan karena adanya kontak dengan alat-alat kesehatan seperti intravenous catheters, artificial joints dan contact lenses. Penelitian selan-jutnya, dilaporkan bahwa hampir semua biofilm bakteri dikendalikan oleh sistem QS dan berhubungan dengan terjadinya penyakit infeksi.23

Pencegahan Quorum Sensing (QS)Pada umumnya orang dapat menggunakan antibiotik untuk mengen-dalikan penyakit infeksi bakteri. Akan tetapi, seringkali menyebabkan resistensi pada bakteri tersebut, apalagi kalau patogen itu membentuk biofilm yang sukar ditembus oleh antibiotik karena terlindungi oleh

25

Page 28: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

extracellular polymeric substance (EPS). Deng-an memahami proses QS, maka kita dapat mengembangkan cara pengendalian bakteri yang tidak selalu ber-basis antibiotik, yaitu dengan cara pendeka-tan pencegahan QS. Sebenarnya bakteri patogen tidak meng-hasilkan faktor-faktor virulen yang pada gilirannya tidak me-nimbulkan infeksi, jika bakteri patogen itu populasi atau

densitasnya tidak mencapai quorum tertentu. Dengan demikian, pence-gahan QS berarti juga mencegah bakteri berkumpul atau ber-quorum, artinya kita tidak berusaha memberantas atau membunuh bakteri itu selama bakteri itu hidup berdampingan tanpa menimbulkan penyakit. Pencegahan QS ditujukan untuk merusak sistem komunikasi bakteri sehingga massa bakteri tidak berkumpul. Dengan mencegah bakteri untuk tidak berkumpul diharapkan faktor-faktor virulensi pada bakteri tidak terekspresi, atau paling tidak kita berusaha menurunkan derajat virulensi suatu patogen sehingga tidak menimbulkan infeksi atau pen-yakit. Pencegahan QS dapat dilakukan dengan cara penggunaan sen-yawa atau molekul tertentu yang dapat mencegah terjadinya QS atau merusak QS yang sudah terjadi. Senyawa atau molekul yang bisa memblok atau merusak sistem QS disebut anti-QS. Sejumlah senyawa anti-QS telah banyak dilaporkan baik yang diisolasi dari alam atau-pun yang dibuat secara sintetis, misalnya senyawa sintetis analog dari AI dan furanone yang diisolasi dari alga merah (Delisea pulchra).24,25 Ar-tikel terbaru dan relatif lengkap tentang sejumlah senyawa yang dapat menghambat atau bersifat antagonistik terhadap QS dilaporkan oleh Ni et al.26

Senyawa anti-QS dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) se-nyawa pendegradasi atau degradator, adalah golongan senyawa-se-nyawa yang dapat mendegradasi AI atau komponen pengatur QS lain-nya, golongan ini biasanya adalah enzim, misalnya enzim laktonase yang bisa mendegradasi sennyawa AHL; (2) senyawa antagonis; dan (3) senyawa kompetitor, adalah senyawa-senyawa yang dapat berkom-petisi dengan AI membentuk kompleks dengan protein R atau LuxR, senyawa analog AI termasuk ke dalam kelompok ini. Skema umum mekanisme pencegahan QS oleh anti-QS disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6a. Skema umum pencegahan QS degradasi senyawa AI

Gambar 6b. Skema umum pencegahan QS kompetisi

Gambar 6c. Skema umum pencegahan QS antagonis

Gambar 6 (a) senyawa AI didegradasi oleh senyawa degradator (misalnya enzim laktonase), akibatnya tidak terjadi kompleks AI-LuxR, sehingga tidak terjadi transkripsi gen target. Pada Gambar 6 (b), senyawa kompetitor akan bersaing dengan AI untuk mem-bentuk kompleks AI-LuxR, jika senyawa kompetitor atau senyawa analog AI menang maka akan terjadi kompleks analog AI-LuxR, akan tetapi kompleks ini tidak dikenali oleh gen target akibatnya tidak terjadi transkripsi gen target. Sedangkan pada Gambar 6 (c), senyawa antagonis, senyawa antagonis akan mengkelat senyawa AI sehingga AI tidak dikenali lagi oleh protein LuxR, atau jika senyawa antagonis berikatan dengan protein LuxR akan mengaki-batkan melawan kerja LuxR secara berlawanan atau antagonistik, akibatnya kompleks senyawa antagonis dengan LuxR tidak dapat menempel pada gen target yang pada akhirnya tidak terjadi tran-skripsi pada gen target tersebut.

Potensi Disain anti-QSFenomena QS yang sangat erat hubungannya dengan terjadinya penyakit infeksi bakteri ditambah dengan semakin meningkatnya masalah resistensi pada sejumlah bakteri patogen, memberikan kerangka kerja baru bagi para ahli yang bergerak dalam bidang pencarian dan pembuatan obat baru. Gambar 7 merupakan con-toh target yang berpotensi untuk disain pencarian atau pembuatan anti-QS untuk obat.27 Sebenarnya, disain anti-QS bisa dimulai dari tahapan sintesa AI, kita bisa melalukan penghambatan langsung pada sintesa AHL atau AIP atau AI-2 misalnya dengan mendisain senyawa yang dapat menghambat penggabungan asam lemak den-gan acyl-ACP (acyl carrier protein). Bisa juga dilakukan pada tahap

Dengan memahami proses QS, maka kita

dapat mengembangkan cara pengendalian

bakteri yang tidak selalu berbasis antibiotik, yaitu dengan cara pendekatan

pencegahan QS.

26

Page 29: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

transfer AI keluar membran dengan cara memblokir AI supaya tidak dapat disekresikan ke luar membran. Tentu saja masih banyak potensi-potensi lain yang bisa jadi bahan pemikiran bagi para ahli untuk mend-isain anti-QS untuk kepentingan pencegahan penyakit dan pengobatan penyakit. Secara umum disain obat baru untuk pencegahan penyakit yang disebabkan oleh aktivitas QS dapat dilakukan dengan memper-hatikan ligan-ligan dan reseptor-reseptor yang terlibat dalam QS itu sendiri.28

Pencarian dan modifikasi anti-QS dari bahan alampun semakin banyak dilakukan. Senyawa furanone yang dilaporkan mempunyai aktivitas anti-QS dan diisolasi dari alga merah (D. pulchra),25 ternya-ta toksik terhadap manusia, hal ini mendorong sejumlah ahli untuk mencari senyawa anti-QS dari bahan-bahan alam yang aman dikon-sumsi. Sejumlah ekstrak tanaman telah dilaporkan dapat menghambat QS. Penulis telah melaporkan bahwa extract vanila dan vanillin yang merupakan senyawa yang diisolasi dari ekstrak vanilla ternyata bisa menghambat QS pada Chromobacterium violacein dan menghambat produksi faktor-faktor virulensi yang dikendalikan oleh QS pada Pseu-domonas aeruginosa.29,30

Gambar 7. Target yang berpotensi untuk pencegahan QS27

KesimpulanPengetahuan baru tentang QS memberikan strategi alternatif dalam usaha manusia untuk mengendalikan bakteri patogen, baik itu patogen pada manusia, hewan, dan tanaman. Sejumlah ahli dari berbagai labo-ratorium, baik di universitas-universitas maupun di lembaga-lembaga penelitian lainnya, banyak melakukan penelitian QS yang ditekankan pada pencarian senyawa baru yang dapat digunakan sebagai anti-QS selanjutnya diharapkan untuk dapat digunakan sebagai obat baru. Banyak perusahaan farmasi di luar negri, mengalokasikan sejumlah dana untuk secara khusus meneliti QS ini dengan harapan dapat dipe-roleh bahan pengendali bakteri yang baru (anti-QS). Sejumlah kan-didat senyawa anti-QS sudah banyak dilaporkan, akan tetapi baru sebatas skala laboratorium. Sejauh pengetahuan penulis, sampai saat ini, belum ada senyawa anti-QS yang benar-benar telah dikomersial-kan dan aman digunakan oleh manusia seperti halnya obat antibiotik umum yang ada dipasaran. Sejalan dengan itu, dengan dikumandangkannya slogan kembali ke alam (back to nature) dan menghindari efek samping kurang baik dari penggunakan bahan-bahan kimia. Pencarian senyawa anti-QS juga di-arahkan ke bahan alam (senyawa biologis), baik bahan alam asal darat (terestrial) atau darat maupun bahan alam asal laut (marine). Indonesia sebagai salah satu megabiodiversitas dunia mempunyai banyak kes-empatan untuk berpartisipasi dalam pencarian senyawa biologis un-

tuk anti-QS. Dengan bahasan artikel ini diharapkan dapat mendorong peneliti dan perusahaan farmasi Indonesia untuk turut serta dalam pencarian senyawa biologis untuk anti-QS dari bahan alam asli Indo-nesia.

Daftar Pustaka1. Fuqua WC, Winans SC, Greenberg EP. Quorum sensing in bacteria-the LuxR-

LuxI family of cell density-responsive transcriptional regulators. J Bacteriol 1994; 176(2):269-75

2. Thomasz A, Mosser JL. On the nature of the pneumococcal activator sub-stance. Proc Natl Acad Sci USA 1966; 55:625-32

3. Nealson KH, Platt T, Hasting JW. Cellular control of the synthesis and activity of the bacterial luminescent system. J Bacteriol 1970; 104(1):313-22

4. Eberhard A, Burlingame AL, Kenyon GL, et al. Structural identification of au-toinducer of Photobacterium fischeri luciferase. Biochemistry 1981; 20:2444-9

5. Engebrecht J, Nealson K, Silverman M. Bacterial bioluminescence: isolation and genetic analysis of functions from Vibrio fischeri. Cell 1983; 32:773-81

6. de Kievit TR, Iglewski BH. Bacterium quorum sensing in pathogenic relation-ships. Infect Immun 2000; 68(9):4839–49

7. Swift S, Downie JA, Whitehead NA, Barnard AML, Salmon GPC, Williams P. Quorum sensing as a population-density-dependent determinant of bacterial physiology. Adv Microb Physiol 2001; 45:199–270

8. Miller MB, Bassler BL. Quorum sensing in bacteria. Annu Rev Microbiol 2001; 55:165-99

9. Kruppa M. Quorum sensing and Candida albicans. Mycoses 2009; 52(1):1-1010. Whitehead PM, Barnard AML, Slater H, Simpson NJL, Salmond GPC. Quorum-

sensing in gram-negative bacteria. FEMS Microbiol Rev 2001; 25:365-40411. Sperandio V, Torres AG, Giron JA, Kaper JB. Bacteria-host communications: the

language of hormones. Proc Natl Acad Sci USA 2003; 100:8951-612. Schauder S, Bassler BL. The languages of bacteria. Genes Dev 2001; 15:1468-

8013. Waters CM, Bassler BL. Quorum sensing: cell-to-cell communication in bacte-

ria. Annu Rev Cell Dev Biol 2005; 21:319-4614. Leonard BA, Podbielski A. Emerging density dependent control system in

gram-positive cocci. In: Dunny GM, Winans SC, editors. Cell-cell signaling in bacteria. Washington, D.C: ASM Press; 1999.p.315-31

15. Brenner K, Haseltine E, Tracewell C. Genetic circuits and synthetic ecosystems: Quorum sensing and genetic circuit design [on line] [cited 2009 Jan 29] 1(1): [2 screens]. Available from: http://www.che.caltech.edu/groups/fha/quorum.html

16. Taga ME, Semmelhack JL, Bassler BL. The LuxS-dependent autoinducer AI-2 controls the expression of an ABC transforter that functions in AI-2 uptake in Salmonella typhimurium. Mol Microbiol 2001; 42:777-93

17. Federle MJ, Bassler BL. Interspecies communication in bacteria. J Clin Invest 2003; 112:1291–9

18. Henke JM, Bassler BL. Bacterial social engagements. TREND Cell Biol 2004; 16(11):649-56

19. Geisenberger O, Givskov M, Riedel K, HÖiby N, Tummler B, Eberl L. Production of N-acyl-L-homoserine lactones by P. aeruginosa isolates from chronic lung infection associated with cystic fibrosis. FEMS Microbiol Lett 2000; 184:273-8

20. Finch RG, Pritchard DI, Bycroft BW, Williams P, Stewart GSAB. Quorum sens-ing: a novel target for anti-infective therapy. J Antimicrob Chemother 1998; 42:569-71

21. Schachter B. Slimy business—the biotechnology of biofilms. Nat Biotechnol 2003; 21:361-5

22. Douglas LJ. Medical importance of biofilms in Candida infections. Rev Iberoam. Micol 2002; 19(3):139-43

23. Rice D, McDougald D, Kumar N, Kjelleberg S. The use of quroum-sensing blockers as therapeutic agents for the control of biofilm-associated infections. Curr Opin Investig Drugs 2005; 6(2):178-84

24. Smith KM, Bu Y, Suga H. Induction and inhibition of Pseudomonas aeruginosa quroum sensing by synthetic autoinducer analogs. Chem Biol 2003; 10:81-9

25. Hentzer M, Wu H, Andersen JB, Riedel K, Rasmussen TB, Bagge N, et al. At-tenuation of Pseudomonas aeruginosa virulence by quorum sensing inhibi-tors. The EMBO J 2003; 22(15):3803-15

26. Ni N, Li M, Wang J, Wang B. Inhibitors and antagonists of bacterial quorum sensing. Med Res Rev 2009; 29(1):65-124

27. Whitehead NA, Welch M, Salmond GPC. Transgenic plants expressing an en-zyme that degrades microbial signaling molecules show promise in control-ling damage caused by bacterial infection. Nat Biotechnol 2001; 19:735-6

28. Raffa RB, Iannuzzo JR, Leine DR, Saeid KK, Schwartz RC, Sucic NT, et al. Bac-terial communicarion (“quorum sensing”) via ligands and receptors: a novel pharmacologic target for the design of antibiotic drugs. J Pharmacol Exp Ther 2005; 312(2):417-423

29. Choo JH, Rukayadi Y, Hwang JK. Inhibition of bacterial quorum sensing by vanilla extract. Lett Appl Microbiol 2006; 42:637-41

30. Rukayadi Y, Choo JH, Hwang JK. Vanillin inhibits quorum sensing - regulated virulence factors production of Pseudomonas aeruginosa. Curr Microbiol (In press)

27

Page 30: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

medical review

6628

abstrak. Gap junction intercellular communication (GJIC) berperan dalam pertukaran metabolit dan ion antar sel. Berbagai zat kimia dapat mempengaruhi pembentukan GJIC di membran dan menyebabkan perubahan komunikasi interseluler se-hingga Ion, metabolit, dan zat-zat pengatur tidak dihantarkan secara normal pada jaringan akibatnya terjadi gangguan pada integritas organ. Berbagai promoter tumor mengganggu GJIC. Fokus tumor akan mengalami gangguan komunikasi dengan sel-sel normal di sekitarnya, sehingga tidak bisa diatur dan terisolasi dari sel-sel normal di sekitarnya. Pada berbagai penelitian didapatkan penurunan GJIC pada tumor yang sedang berkembang. Peran GJIC pada lesi metastasis masih kontroversial.GJIC dibutuhkan oleh tumor metastasis untuk berkomunikasi dan bermetastasis pada tempat baru. Transfeksi GJIC secara spesifik diharapkan mampu menekan pertumbuhan tumor.

Kartika Widayati Taroeno-HariadiSubBagian Hematologi dan Onkologi Medik

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UGM YogyakartaSMF Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

PendahuluanSel secara individual memiliki perlengkapan untuk dapat berfungsi mandiri, namun hidup dan perilaku sel tersebut tergantung pada sel-sel dan kondisi di sekitarnya. Dengan kata lain homeostatis dan kelang-sungan keutuhan seluler tergantung pada hubungan interseluler.1

Tidak seperti sel normal, sel kanker memiliki perangai yang ber-beda dari sel-sel di sekitarnya dan tumbuh di luar kendali homeostasis normal. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan komunikasi in-terseluler yang memelihara homeostasis normal terganggu pada ber-bagai tahap karsinogenesis sehingga dihipotesiskan bahwa komunikasi interseluler kemungkinan berfungsi sebagai elemen penekan pertum-buhan tumor.1

Ada 2 macam cara sel-sel melakukan komunikasi. Pertama, komu-nikasi melalui faktor pertumbuhan atau hormon ekstraseluler. Kedua, melalui kontak sel. Berbeda dengan komunikasi interseluler melalui hormon atau faktor pertumbuhan yang secara teknik mudah diiden-tifikasi, komunikasi interseluler melalui cara kontak sel sukar dii-dentifikasi apa yang dikomunikasikan dan efek komunikasi tersebut. Dengan kemajuan di bidang biologi molekuler melalui kloning cDNA yang mengodekan aparatus komunikasi tersebut, dapatlah diketahui peranan komunikasi interseluler melalui kontak sel. Salah satu elemen terpenting pada kontak sel adalah gap junction intercellular communica-tion (GJIC).1,2

Tulisan ini dibuat untuk membantu memahami peranan GJIC dalam memelihara homeostasis dan pertumbuhan sel, konsekuensi adanya gangguan GJIC, peranan GJIC pada proses karsinogenesis, dan aplikasi pengetahuan ini terhadap perkembangan terapi kanker.

Komunikasi interseluler melalui gjiCAntar satu sel dengan sel terdekat terdapat suatu saluran yang memungkinkan terjadi kontak langsung dan transfer ion, metabo-lit, molekul seperti: kalium, cAMP, inositol triphosphate, calcium, yang disebut GJIC.1,3-5 GJIC mampu menghantarkan molekul bila memiliki ukuran <1000 dalton.1 Pada jaringan yang berbeda, struktur penyusun GJIC juga tidak sama. Meskipun strukturnya berbeda, pada umumnya GJIC terdiri dari 6 subunit (hexamer) protein connexin yang membentuk satu hemichannel (connexon) pada tiap sisi membran sitoplasma. Con-nexon (hemichannel) dari masing-masing sitoplasma yang berdekatan

akan melekat membentuk channel (saluran). Channel ini bisa membuka menutup dengan cara merapatkan connexin pada tiap connexon.6

Connexin memiliki untaian tetap dan untaian variabel. Letak con-nexin ini pada membran dijelaskan sebagai berikut: akhiran amino dan karboksi terdapat pada sitoplasma, dan protein melekuk 2 kali pada membran memberikan gambaran seperti huruf M, dengan 2 regio eks-traseluler dan 3 regio sitoplasma.

Gambar 1. Skema GJIC pada membran lipid bilayer dan topologi connexin1

GJIC dapat ditemukan pada semua jaringan tubuh kecuali pembu-luh darah dan otot skelet. Beberapa connexin menunjukkan spesifisi-tas ekspresi pada jaringan tertentu, namun juga sebaliknya beberapa jaringan dan sel-sel penyusunnya juga bisa mengekspresikan berbagai connexin yang berbeda.1,2

Page 31: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

29

Tabel 1. Ekspresi gena connexin2

Connexin Klas Jaringan Tipe Sel

Cx26

Cx30.3Cx31Cx31.1

Cx32

Cx33Cx37

Cx40

Cx43

Cx45

Cx46

Cx50

β

βββ

β

αα

α

α

α

α

α

hepar, ginjal, lien, testes, paru, lambung, otak, pankreas, kulit, kelenjar pinealkulitkulit, testesepitel skuamosa terstratifikasi, kulit, testes hepar, otak, ginjal, lien, uterus, testes, paru, lambung, usus halustestesvaskuler, jantung, otak, lam-bung, usus halus, lien, ginjal, uterus, ovarium, paru, kulitvaskuler, jantung, ginjal, uterus, ovarium, paru, usus halusjantung, otak, otot polos, ginjal, uterus, ovarium, testes, paru, lambung, usus halus, kulit, lensa, kornea, tulang, plasenta

paru, jantung, otak, ginjal, usus haluslensa, hati, ginjal, saraf perifer

lensa, kornea, jantung

hepatosit, neuron, kerati-nosit, pinealosit

keratinositkeratinosit

hepatosit, oligodendrosit, neuron, sel epitel tiroid, sel Schwannsel Sertolisel endotel, miosit, kerati-nosit

sel endotel, serabut Purkinje

miosit, otot polos, astrosit, sel endotel fibroblas, ke-ratinosit, sel ependimasel Leydig, makrofag, os-teosit, sel B pankreas, sel folikuler dan epitel tiroid, sel trofoblas

serabut lensa, sel Schwannserabut lensa, sel-sel epitel, katup AV

Penyusunan connexon dan gap junction dimulai dengan sel kontak melalui cellular adhesion molecules (CAMs). Kontak suatu sel dengan sel lain memerlukan suatu adhesion molecule (molekul pelekat). Terdapat korelasi antara ekspresi CAMs dan protein gap junctions. Adanya adhe-sion molecule menginduksi ekspresi GJIC, dengan asumsi bahwa kon-tak interseluler menginduksi terbentuknya saluran gap junction. Tran-feksi E-cadherin pada sel line dengan defisiensi komunikasi dan tidak mengekspresikan CAMs akan berakibat induksi GJIC pada klonal yang mengekspresikan E-cadherin.2,7 Transfeksi LCAM pada sel yang tidak mampu berkomunikasi akan menginduksi ekspresi GJIC disertai fosforilasi connexin endogen Cx43 dari sitoplasma menuju membran plasma. Fosforilasi connexin ini memegang peranan penting dalam ekspresi GJIC. Masing-masing untai connexin memiliki pola fosforilasi tertentu sehingga memiliki regulasi ekspresi dan fungsi yang berbeda. Cx32 mengalami fosforilasi oleh cAMP, protein kinase C (PKC) dan Ca2+/calmodulin dependent protein kinase II, sementara Cx43 hanya di-fosforilasi oleh PKC dan mitogen-activated protein kinase. Abnormalitas pada proses fosforilasi connexin ini ternyata akan menyebabkan ken-dali pertumbuhan sel menjadi berubah. Fosforilasi protein gap junction memegang peran penting dalam membentuk gap junction yang dapat berfungsi baik. Sebagian besar connexin mengalami fosforilasi in vivo terutama pada residu seri-ne, residu threonine, dan residu tyrosine yang terletak pada akhiran karboksil (Carboxyl-terminal=CT). Fosforilasi ini dibutuhkan untuk menyusun dan memfungsikan GJIC.6 Faktor pertumbuhan, kinase protein onkogen, hormon, dan mediator inflamasi berperan pada GJIC melalui proses fosforilasi domain protein CT (asam amino 236-382). Beberapa kinase yang mempengaruhi GJIC berhasil diidentifikasi ter-masuk Protein Kinase C (PKC) (Ser 368 and Ser 372), mitogen-activated protein kinases (MAPKs) (Ser 255, Ser 279, and Ser 282), cdc2/cyclinB (Ser 255), dan casein kinase I (Ser 325, Ser 328, dan Ser 330).8 Proses perpindahan connexin menuju membran plasma juga pen-

ting untuk keutuhan dan fungsi GJIC. Sebagai contoh sel-sel dengan Cx43 yang gagal mencapai membran plasma merupakan sel dengan defisiensi komunikasi. Namun bila ditransfeksikan LCAM akan terjadi translokasi Cx43 dari sitoplasma menuju membran plasma. Dengan demikian meskipun protein GJIC tetap ada pada berbagai jenis tumor namun tidak diproses dengan benar dan tidak ditransportasikan untuk membentuk GJIC.2

Hemichannel biasanya dalam keadaan tertutup dan pada saat ter-buka berfungsi sebagai saluran untuk melepas molekul pemberi sinyal parakrin seperti ATP, glutamat, NAD+, dan prostaglandin. Hemichan-nel menutup pada konsentrasi mikromolar fisiologis kalsium ekstrase-luler. Saluran akan membuka bila terjadi penurunan kadar kalsium ekstraseluler, depolarisasi membran yang kuat, stimulasi mekanik, ekstraseluler UTP, penghambatan metabolik, infeksi shigela, dan pe-ningkatan kalsium sitoplasma. Beberapa kinase dan asam arakidonat diketahui mampu memodulasi GJIC.6

GJIC didegradasi secara cepat dengan waktu paruh 1-3 jam. Con-nexin akan mengalami proteolisis yang diperantarai oleh ubiquitin pro-teasomal pathway. Susunan connexon ditentukan oleh protein connexin. Connexon homo-meric adalah connexon yang tersusun oleh protein connexin yang sama dan connexon heteromeric adalah connexon yang tersusun oleh connexin yang berbeda. Connexon heteromeric terbentuk akibat mutasi dominan negatif. Connexon homomeric bisa mengadakan ikatan dengan connexon yang berbeda pada sel yang berbeda (ikatan heterotypic). Dengan demi-kian sekarang sudah jelas dibuktikan bahwa interaksi antar connexon ditentukan oleh protein connexin yang terlibat. Connexin tertentu dapat membentuk saluran fungsional dengan beberapa connexin dan tidak dengan connexin yang lainnya.2,9

gjiC dan KarsinogenesisPertumbuhan sel yang tidak teratur merupakan ciri khas tumor, se-hingga tidak mengejutkan bahwa sel-sel kanker menunjukkan adanya GJIC yang abnormal. GJIC abnormal terjadi pada GJIC homolog dan GJIC heterolog.10

GJIC homolog melakukan komunikasi antar sel yang serupa.2 Pada sel-sel tumor GJIC tipe ini sering terganggu namun ada juga beberapa tumor yang mempertahankan kadar GJIC homolog yang sama seperti sel-sel normal. Hilangnya GJIC tipe homolog di antara sel-sel kanker

itu sendiri akan m e n i n g k a t k a n h e t e r o g e n i t a s sehingga sel-sel dengan fenotipe paling ganas yang akan mendomi-nasi populasi. GJIC hete-rolog terganggu pada beberapa tu-mor berdasarkan bukti bahwa sel-sel tumor tidak b e r k o m u n i k a s i dengan sel-sel normal di seki-tarnya. Sel kanker memerlukan per-tumbuhan tanpa gangguan dari sel-sel normal di sekitarnya karena itu dibutuhkan p e n g h a m b a t a n pada GJIC tipe heterolog.

Fosforilasi protein gap junction memegang peran penting dalam membentuk gap junction yang dapat berfungsi baik. Sebagian

besar connexin mengalami fosforilasi in vivo

terutama pada residu serine, residu threonine, dan

residu tyrosine yang terletak pada akhiran karboksil (Carboxyl-

terminal=CT).

Page 32: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

30

Kedua tipe GJIC ini juga bisa menurun kadarnya pada kultur sel-sel epitel kanker hati pada tikus, dan tumor hati pada manusia.11,12

Sementara itu pada tumor metastasis atau anak sebar, peran GJIC masih kontroversial. Diduga fungsional GJIC heterolog dan reekspresi dari adhesion molecule dibutuhkan untuk menghubungkan sel kanker metasta-sis dengan endotel kapiler dan tempat baru untuk metastasis. Pada daerah metastasis atau limfonodi metastasis reekspresi GJIC dan adhesion molecule lebih sering ditemukan dibandingkan dengan tumor primer.13

Down Regulation gjiC oleh agen Pe-numbuh Tumor (Tumor-Promoting Agents), onkogen, dan faktor Pertum-buhanBanyak bukti menunjukkan bahwa agen pe-numbuh tumor mampu menghambat GJIC. GJIC pada kultur sel dapat dihambat secara reversibel oleh forbol ester sehingga trans-fer molekul dan ion terganggu. Bukti in vivo diperlukan karena kompleksitas komunikasi inteseluler tidak bisa semuanya ditiru se-cara in vitro. Beberapa penumbuh tumor hati menurunkan gap junction dan menghambat GJIC pada hati tikus in vivo. Kurangnya GJIC akan menyebabkan pertumbuhan klonal yang mendahului perubahan ke arah ganas yaitu promosi tumor.2

Beberapa onkogen dan faktor pertumbu-han juga menghambat GJIC, seperti onkogen retroviral (v-src, v-Ha-ras, v-raf, v-fps), onko-gen virus DNA (polioma-middle T, SV-40 T, HPV 16 E5) dan onkogen seluler (c-src, C-Ha-ras, c-erbB2). Faktor pertumbuhan dan hor-mon yang menghambat GJIC adalah fibrob-last growth factor, platelet derived growth factor, transforming growth factor B, epidermal growth factor dan testosterone.2

Kaitan antara Down Regulation gjiC Dan KarsinogenesisAda 3 proses yang terlibat pada abnormalitas GJIC di kanker yaitu:1. abnormalitas GJIC pada tumor, 2. down regulation GJIC oleh agen penumbuh tumor atau gen penum-

buh tumor, dan 3. up-regulation GJIC oleh penghambat karsinogenesis.

Riset pada syrian hamster embrio (SHE) membuktikan adanya kore-lasi antara penghambatan GJIC dengan peningkatan transformasi sel oleh phorbol ester.14,15 Namun penghambatan GJIC tidak tampak deng-an agen penumbuh tumor lain. Penurunan ekspresi Cx26 dan Cx43 juga terlihat pada karsinoma skuamosa kulit tikus.16

Penghambatan GJIC lebih merupakan faktor penyerta penting pada karsinogenesis namun bukan menjadi faktor utama.

mekanisme molekuler yang Terlibat dalam Penghambatan gjiC pada Tumor yang Diinduksi KarsinogenKarena GJIC dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti agen penumbuh tumor, onkogen, dan faktor pertumbuhan, dipikirkan adanya suatu me-kanisme pengaturan pada GJIC yang menjadi sasaran dari faktor-faktor tersebut. GJIC dapat dimodulasi melalui beberapa mekanisme baik yang terlibat pada mekanisme pengaturan protein seperti transkripsi, stabilisasi mRNA, kontrol translasi, fosforilasi post-translation ataupun mekanisme lain seperti translokasi ke membran sitoplasma, adhesion molecule, matriks ekstraseluler, faktor pertumbuhan, faktor penentu membuka dan menutupnya channel, serta mutasi gen connexon.2,17,18

Modulasi post-translation merupakan mekanisme utama perubahan

GJIC yang diinduksi karsinogen. Sebagai contoh: kultur epitel sel liver tikus tidak menunjukkan perubahan gen Cx43 di tingkat mRNA. Pro-tein Cx43 juga tidak mengalami perubahan jumlah sebelum dan sesu-dah penambahan karsinogen TPA, namun bentuk fosforilasi meng-alami perubahan sehingga protein connexin terletak pada sitoplasma, tidak pada membran sel, akibatnya terjadi gangguan GJIC.2

Terdapat kaitan fungsional yang erat antara connexin dan adhesion molecule cell. Telah dilaporkan bahwa ekspresi E-cadherin sangat pen-

ting bagi Cx43 untuk membentuk fung-sional GJIC di keratinosit tikus. Hal ini juga menjelaskan mengapa GJIC pada kerati-nosit tikus sangat tergantung Ca2+ karena E-cadherin merupakan sel yang tergan-tung pada Ca2+. Ekspresi E-cadherin sangat menurun pada tumor kulit tikus selama perkembangan invasive dan metatasis. Penurunan ekspresi dan mutasi E-cadherin juga ditemukan pada berbagai jenis kanker pada manusia.2,19

GJIC membutuhkan mekanisme pengena-lan sel yang memadai. Tumor tidak mampu membentuk GJIC heterolog dengan sel-sel normal di sekitarnya. Bila barisan sel epitel hepar tikus bertumor dikultur bersamaan dengan barisan sel epitel hepar tikus tanpa tumor, maka tidak akan terbentuk GJIC he-terolog. Dapat disimpulkan bahwa sel-sel homolog mempunyai suatu mekanisme un-tuk mengenali sel-sel sejenis di antara mere-ka, dan mekanisme pengenalan ini tidak ada di antara sel-sel normal dan sel tumor.2,20

Supresi Tumor oleh ConnexinAdanya percobaan transfeksi over expres-sion cDNA connexin pada sel tumor mem-buktikan bahwa GJIC fungsional mampu menekan tumorigenesis pada beberapa tipe sel-sel yang mengalami transformasi. Fibroblast sel-sel tikus, sel glioma, sel-sel rhabdomyosarcoma manusia yang ditrans-

formasikan secara kimiawi, mengalami defisiensi Cx43, dan setelah ditransfeksikan Cx43 akan mengalami pengurangan pertumbuhan tu-mor dan perlambatan tumorigenesis. Begitu pula transfeksi Cx32 pada sel-sel hepatoma manusia, dan Cx26 pada HeLa cell yang berasal dari sel-sel servikal uteri. Jadi tampaknya efek connexin pada pengham-batan pertumbuhan sel bersifat selektif menurut spesifikasi connexin tersebut.2,24

Connexin dan apoptosis21

Perubahan molekul yang terlibat pada pengaturan proses kematian sel melalui apoptosis penting pada karsinogenesis. Connexin menjadi molekul target modulasi apoptosis. Connexin yang tetap berada pada sitoplasma dan tidak diekspresikan pada membran sel kehilangan fungsinya dalam komunikasi antar sel dan mungkin berperan pada per-tumbuhan tumor. Connexin sitoplasma ini sering dijumpai pada tumor. Mutasi pada regio ekstraseluler dan transmembran connexin akan menyebabkan connexin tetap berada pada sitoplasma dan kehilangan fungsinya dalam pengaturan pertumbuhan tumor, namun salah satu penelitian lain menyebutkan bahwa mutasi salah satu regio ekstrase-luler lain pada connexin menyebabkan lokalisasi ke sitoplasma namun fungsi penghambatan tumor oleh Cx43 tersebut tidak terganggu. Jadi, pengaturan pertumbuhan tumor pada Cx43 tidak tergantung pada fungsi GJIC. Connexin sitoplasma mampu mengontrol pertumbuhan tumor melalui pengaruhnya pada ekspresi gen yang mengatur fungsi-fungsi sel kanker. Jadi, lokasi connexin pada sitoplasma atau membran plasma memiliki fungsi yang berbeda antara sel kanker dan sel normal.

Connexin memiliki peran pada penekanan tumor. Connexin menghambat pertumbuhan sel dan

menghambat pengaturan diferensiasi jaringan. Di

samping itu connexin meningkatkan apoptosis melalui transfer molekul signaling melalui GCIJ

dengan mekanisme yang belum jelas dan terutama dilakukan oleh connexin

yang terletak pada plasma membran.

Page 33: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

31

Connexin memiliki peran pada penekanan tumor. Connexin meng-hambat pertumbuhan sel dan menghambat pengaturan diferensiasi jaringan. Di samping itu connexin meningkatkan apoptosis melalui transfer molekul signaling melalui GCIJ dengan mekanisme yang be-lum jelas dan terutama dilakukan oleh connexin yang terletak pada plasma membran. Dihipotesiskan bahwa peran connexin pada apop-tosis ini di antaranya melalui pengaturan pada protein. famili Bcl-2. Connexin pada sitoplasma memiliki signaling pathway yang berbeda dari connexin pada plasma membran. Transduksi sinyal connexin mem-butuhkan interaksi dengan protein-protein intraseluler lain. Huang dkk menemukan penurunan ekspresi Bcl-2 pada sel-sel ganas yang ditransfeksikan Cx43 namun tidak terjadi pada sel-sel nontransfeksi.22

Gen connexin mengatur ekspresi gen lain pada tumor sel. Tanaka dkk juga menemukan bahwa sel-sel tumor prostat yang ditransfeksikan Cx26 akan tertekan pertumbuhannya, terjadi induksi penghentian si-klus sel pada fase G2/M, penurunan ekspresi Bcl-2, dan peningkatan apoptosis.23

Pada karsinogenesis terjadi perubahan ekspresi, lokalisasi connexin dan mungkin penurunan fungsi.

mekanisme Kontrol Pertumbuhan negatif oleh Connexin2

GJIC membentuk saluran antar sel untuk penyebaran atau dispersi fak-tor intraseluler terlarut guna mengontrol pertumbuhan sel. Faktor ini melewati GJIC heterolog antara sel-sel normal dengan sel yang menga-lami transformasi dan menghambat pertumbuhan sel-sel yang menga-lami transformasi. Jika GJIC memiliki efek pada pertumbuhan sel, maka tentunya ada perubahan pada siklus sel, namun ternyata peran GJIC pada siklus sel masih belum jelas. Beberapa bukti menunjukkan, bahwa GJIC hilang pada saat aktivitas mitosis dan pada saat terjadi perubahan stabilitas mRNA. GJIC juga menurun di antara waktu mitosis dan nonmitosis sel-sel granulosa tikus imortal. Namun GJIC juga muncul pada fase antara mitosis dan interfase kultur fibroblas, dan kadar transcript con-nexin meningkat selama fase S. Pada sel-sel yang mengalami transformasi dan ditransfeksikan Cx43 akan terjadi penurunan ekspresi gen yang terlibat pada siklus sel seperti cyclin A, D1, D2 dan CDK5, CDK6. Sel glioma yang ditransfeksikan dengan Cx43 dikultur bersama-sama dengan sel-sel glioma yang tidak ditransfeksi. Percobaan ini un-tuk melihat apakah transfeksi Cx43 mampu mengubah pertumbuhan sel melalui GJIC heterolog. Hasil penelitian menunjukkan sel glioma membentuk gap junction dengan sel-sel yang ditransfeksi Cx43, dan ter-jadi penurunan tingkat proliferasi. Jadi GJIC mampu memodulasi pertumbuhan sel melalui peruba-han ekspresi gen.

Peran dan aplikasi Connexin atau gjiC Terhadap Kemo-prevensi dan Terapi KankerBanyak sel tumor hanya memiliki sedikit GJIC. Oleh karena connexin lebih menyerupai gen penekan tumor, maka transfeksi gen connexin akan menjadi suatu terapi kanker yang efisien melalui dua jalan yaitu bystander effect dan pengendalian pertumbuhan sel. Jadi efek terapi kanker bisa ditingkatkan dengan transfeksi gen connexin. Terapi yang diterima oleh sel-sel tumor akan diteruskan pada sel-sel di sekitarnya melalui GJIC sehingga akan meningkatkan efek terapi. Contoh pada sel HeLa dengan defisiensi GJIC yang ditransfeksikan thymidyne kinase dari Herpes simplex virus (HSV-tk). Sel HeLa HSV-tk ini akan mati oleh ganciclovir karena ganciclovir diaktifkan oleh HSV-tk; namun sel-sel HeLa di sekitarnya yang tidak ditransfeksikan HSV-tk (tk-) tetap hidup karena ganciclovir tidak aktif pada jenis sel ini. Namun bila digunakan sel HeLa yang ditransfeksikan dengan gen penyandi protein gap junc-tion Cx43, maka ganciclovir tidak saja membunuh sel-sel dengan tk+ na-mun juga tk-. Hal tersebut mengindikasikan bahwa molekul ganciclovir toksik yang difosforilasi oleh HSV-tk ditransfer melalui GJIC ke sel-sel tk-. Contoh lain adalah pada terapi tumor otak dengan transfeksi gen tymidine kinase dari HSV (HSV-tk). Sel-sel yang ditransfeksikan

dengan gen HSV-tk dan juga sel-sel di sekitarnya dapat dibunuh oleh ganciclovir karena GJIC masih berfungsi normal.

KesimpulanGJIC berperan menjaga homeostasis normal dan kendali pertumbu-han sel melalui keutuhan komunikasi interseluler. Pada beberapa jenis tumor terjadi gangguan ekspresi connexin. Gangguan ini bisa berupa down regulation protein connexin karena gangguan fosforilasi. Terjad-inya gangguan GJIC heterolog akan menyebabkan sel tumor tumbuh dan berkembang tanpa pengaruh kendali sel-sel di sekitarnya, dan gangguan GJIC homolog akan menyebabkan perbedaan fenotipe antar sel-sel tumor yang sama. Dalam kaitannya dengan kepentingan terapi, GJIC bisa digunakan untuk menekan pertumbuhan tumor atau memo-dulasi efek kemoterapi melalui bystander effect.

Daftar Pustaka1. Yamasaki H. Gap Junctional intercellular comunication and carcinogenesis

Carcinogenesis 1990; 7:1051-82. Yamasaki H, Naus CC. Role of connexin genes in growth control. Carcinoge-

nesis 1996; 17(6):11990-2133. Pitts JD and Finbow ME. The gap junction. J Cell Sci 1986; 4(Suppl.):239-2664. Lawrence TS, Beers WH, and Gilula NB. Hormonal stimulation and cell com-

munication in cocultures. Nature 1978; 272:501-65. Saez JC, Conner JA, Spray DC and Bennett MV. Hepatocyte gap junctions are

permeable to the second messenger, inositol 1,4,5-triphosphate, and to cal-cium ions. Proc Nail Acad Sci USA; 1989: 86:2708-12

6. De Vuyst E, Decrock E, De Bock M, Yamasaki H, Naus CC, Evans WH, et al. Molecular Biology of the Cell 2007; 18:34-46

7. Jongen WM, Fitzgerald DJ, Asamoto M, Piccoli C, Slaga TJ, Gros D, et al. Regu-lation of connexin 43-mediated gap junctional intercellular communication by Ca2+ in mouse epidermal cells is controlled by E-cadherin. J Cell Biol 1991; 114:545-55

8. Lampe PD and Lau AF. The effects of connexin phosphorylation on gap junc-tional communication. Int J Biochem Cell Biol 2004; 36:1171–86

9. Bruzzone R, White TW, dan Paul DL. Connections with connexins: the mo-lecular basis of direct intercellular signaling. Eur J Biochem 1996; in press 238(1):1-27

10. Yamasaki H. Gap Junctional intercellular comunication and carcinogenesis Carcinogenesis 1990; 7:1051-8

11. Mesnil M dan Yamasaki H. Selective gap-junctional communication capacity of transformed and non-transformed rat liver epithelial cell lines. Carcinogen-esis.1988; 9:1499-502

12. Krutovskikh VA, Mazzoleni G, Mironov N, Omori Y, Aquelon AM, Mesnil M, et al. Altered homologous and heterologous gap-junctional intercellular com-munication in primary human liver tumors associated with aberrant protein localization but not gene mutation of connexin 32. Int J Cancer 1994; 56: 87-94

13. Kanczuga-Koda L, Sulkowski S, Lenczewski A, Koda M, Wincewicz A, Baltaziak, et al. Increased expression of connexins 26 and 43 in lymph node metastases of breast cancer. J Clin Pathol 2006;59:429–33

14. Rivedal E, Sanner T, Enomoto T, Yamasaki H. Inhibition of intercellular com-munication and enhancement of morphological transformation of syrian ham-ster embryo cells by TPA. Use of TPA-sensitive and TPA-resistant cell lines. Carcinogenesis 1985; 6:899-902

15. Rivedal E, Roseng LE, Sanner T. Vanadium compounds promote the induction of morphological transformation of hamster embryo cells with no effect on gap junctional cell communication. Cell Biol and Toxicol 1990; 6:303-14

16. Ruch RJ, Klaunig JE, Kerckaert GA, LeBoeuf RA. Modification of gap junctional intercellular communication by changes in extracellular pH in syrian hamster embryo cells. Carcinogenesis 1990; 11:909-13

17. Musil LS, Goodenough DA. Biochemical analysis of connexin43 intracellular transport, phosphorylation, and assembly into gap junctional plaques. J Cell Biol 1991; 115:1357-74

18. Unwin PN, Ennis PD. Calcium-mediated changes in gap junction structure: evidence from the low angle X-ray pattern. J. Cell Biol. 1983; 97:1459-66

19. Risinger JI, Berchuck A, Kohler MF, Boyd J. Mutation of the E-cadherin gene in human gynecological cancers. Nat Genet1994; 7:98-102

20. Mesnil M, Asamoto M, Piccoli C, Yamasaki H. Possible molecular mechanism of loss of homologous and heterologous gap junctional intercellular commu-nication in rat liver epithelial cell lines. Cell Ahes. Commun 1994; 2:377-84

21. Kanczuga-Koda. L, Sulkowski S, Koda M, Skrzydlewska E, Sulkowska M. Con-nexin 26 correlates with Bcl-xL and Bax proteins expression in colorectal can-cer. World J Gastroenterol 2005:11(10):1544-8

22. Huang RP, Hossain MZ, Huang R, Gano J, Fan Y, Boynton AL. Connexin 43 (cx43) enhances chemotherapy-induced apoptosis in human glioblastoma cells. Int J Cancer 2001; 92:130-8

23. Tanaka M, Grossman HB. Connexin 26 induces growth suppression, apopto-sis and increased efficacy of doxorubicin in prostate cancer cells. Oncol Rep 2004; 11:537-541

Page 34: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

32

Ketua Pusat Diabetes dan Lipid RS Dr. Cipto Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia

Di bagian Metabolik dan Endokrinologi nama Prof. Slamet Suyono su-

dah tidak asing lagi. Beliau seka-rang ini masih menjabat sebagai Ketua di Pusat Diabetes dan Li-pid di RSCM/FKUI, dan merupa-kan salah satu tokoh yang turut mengembangkan Pusat Diabetes dan Lipid ini. Bahkan beliau juga sempat secara khusus mengikuti training mengenai Lipid pada tahun 1968 yang diadakan di Pe-rancis, di mana pada saat itu Li-pid merupakan sesuatu hal yang baru di bidang Penyakit Dalam. Pusat Diabetes dan Lipid Ja-karta merupakan badan yang bersifat multidisiplin. Badan ini menangani masalah diabetes dan lipid, yang kegiatannya meliputi 3 bidang, yaitu pelayanan, pene-litian dan penyuluhan. Pada nama pusat itu tercantum kata lipid, karena lipid merupakan salah satu faktor penyakit jan-tung koroner (PJK). Pada kesempatan kali ini, kami mewawancarai beliau dise-la-sela jadwal Prof. Slamet yang padat. Berikut hasil wawancara kami dengan Prof. Slamet Suyono. Redaksi MEDICINUS (RM): Apakah memang sedari kecil Prof. Slamet sudah bercita-cita menjadi seorang dokter?Prof. Slamet Suyono (SS): Sebetulnya waktu kecil saya tidak bercita-cita menjadi seorang dokter. Walaupun keluarga saya terutama dari keluarga ayah saya banyak yang menjadi dokter. Ketika saya masuk SD pun saya masih belum tahu apa cita-cita saya sebenarnya. Hanya saja waktu di sekolah dulu saya lebih menyukai bi-dang eksakta. Saya selalu mempunyai ni-lai-nilai yang bagus pada mata pelajaran eksakta tersebut terutama pada pelajaran Kimia. Kemudian ketika saya lulus SMA saya mengikuti 2 tes penerimaan maha-

siswa, yang pertama di Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan yang ke-dua di Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Ternyata dua-duanya diterima. Tapi karena dorongan yang begitu kuat dari orangtua untuk masuk kedokteran UI maka sayapun akhirnya memilih kuliah di kedokteran. Jadi tradisi dokter saya lanjutkan di keluarga saya. Dan pada akhirnya sayapun sangat menyukai bi-dang ini dan alhamdullilah studi saya di kedokteran berhasil dan tidak ada halang-an apapun.

RM: Sekarang ini Prof. Slamet sudah menjadi seorang yang ahli dalam bidang Endokrinologi. Apa yang menyebabkan Prof. Slamet akhirnya memilih bidang tersebut?SS: Endokrinologi adalah suatu cabang

ilmu yang mempelajari hormon dalam tubuh dari ubun-ubun sampai ujung kaki, tidak terbatas pada organ tubuh secara sentral tapi menyeluruh. Jadi ketertari-kan saya nomor satu pada saat itu adalah karena hal itu, yaitu mengobati seorang manusia se-cara keseluruhan. Jadi, ketika saya lulus kedokteran pada ta-hun 1963, saya mengambil spe-sialis penyakit dalam. Setelah saya berkecimpung di penyakit dalam, saya lalu berpikir se-pertinya saya lebih tertarik lagi di endokrinologi. Kembali lagi karena saya ingin mengobati pasien secara holistik atau kese-luruhan. Pada waktu itu saya banyak merawat pasien-pasien diabetes dan tiroid. Ketertari-kan saya di bidang endokrin ini salah satunya juga adanya pe-ngaruh figur Prof. Utoyo Suka-ton yang menjadi panutan buat saya. Prof. Utoyo Sukaton da-hulu adalah Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam dan Kepala Sub-bagian Metabolik dan Endokrin

juga sebagai pendiri bagian Metabolik dan Endokrinologi. Ketika saya menyele-saikan spesialis penyakit dalam, akhirnya Prof. Utoyo meminta saya untuk menjadi staff-nya. Kemudian pada tahun 1968 saya diki-rim ke Perancis untuk mengikuti training bidang baru, yaitu tentang Lipid. Di In-donesia pada tahun tersebut belum ada ahli mengenai Lipid. Adapun training yang saya ikuti di Perancis pada waktu itu adalah “Training on Hyperlipidemia and Endocrinology”. Jadi saya belajar di sana untuk Lipid-nya selama lebih kurang 10 bulan. Dan dari sinilah saya mulai terta-rik di bidang Lipid karena ingin mengo-bati pasien secara keseluruhan dan itu ha-nya terdapat pada bidang endokrinologi dalam artian tidak terpaku pada organ tertentu saja. Ketika ingin belajar di Pe-

Meet the Expert

Page 35: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

33

racis saya mengetahui bahwa di sana itu tidak banyak orang Perancis yang bisa ba-hasa Inggris maka sebelum saya mengiku-ti training di sana saya mengikuti kursus bahasa Perancis terlebih dahulu di Indo-nesia. Saya mengikuti kursus mulai dari nol sampai bisa berbahasa Perancis dalam kurun waktu selama 3 bulan. Sehingga ketika saya ke Perancis, saya sudah bisa berbahasa Perancis dan terkadang men-jadi penerjemah buat teman-teman ketika berada di sana.

RM: Prestasi apa saja yang pernah Prof. Slamet dapatkan selama ini dan apa yang paling membanggakan Prof. Slamet sela-ma menjalani profesi dokter?SS: Banyak orang yang mengatakan kalau saya jadi pembicara dalam suatu acara simposium atau acara ilmiah lainnya, apa yang saya sampaikan tidak muluk-muluk jadi saya bicara to the point. Sekarang ini banyak sekali orang-orang pintar, dan biasanya mereka itu banyak yang ingin menunjukkan kepintarannya dan merasa tahu banyak hal. Padahal belum tentu audien bisa menerima apa yang dia sam-paikan. Audien itu kan ingin menimba ilmu. Jadi prinsip saya, kalau kita bicara seperti berbicara dalam suatu simposium kita harus ada transfer of knowledge. Untuk transfer of knowledge kita harus membuat suatu ikatan batin antara siapa yang kita ajak bicara. Untuk itu persiapan sebelum-nya untuk menjadi pembicara adalah saya harus tahu terlebih dahulu siapa audien saya nantinya apakah itu orang awam, mahasiswa kedokteran, dokter umum, dokter spesialis atau setingkat professor. Sehingga kita harus memberikan tehnik penjelasan yang baik dalam arti supaya dapat diterima 100% apa yang kita sam-paikan kepada audien. Oleh sebab itu se-tiap kali saya menjadi pembicara, penya-jian dalam satu slide tidak terlalu penuh, tapi saya buat sedikit-sedikit sehingga akan gampang untuk dimengerti dan saya juga menggunakan tambahan animasi pada slide yang saya buat sendiri. Tentu-nya pembuatan slide ini juga harus kreatif sehingga tampilan slide tidak terlalu mo-noton dan membosankan bagi audien. Hal lainnya, selama saya menjadi Ketua di Pusat Diabetes dan Lipid di RSCM/FKUI, saya selalu memberikan kebebas-an kepada staff saya sehingga dengan ber-jalannya waktu, mereka menjadi sangat berkembang dan ikut pula mengembang-kan bagian Metabolik dan Endokrinologi ini. Hal inilah yang membuat saya bangga kepada mereka.Satu hal lagi, anak saya yang terkecil juga

sudah menjadi spesialis penyakit dalam mengikuti jejak saya.

RM: Kegiatan ilmiah apa saja yang pernah Prof. Slamet ikuti selama ini?SS: Sebenarnya saya sudah pensiun pada tahun 2002, tetapi alhamdullilah saya masih dipakai untuk konsultasi atau se-bagai penasehatlah untuk yang muda-muda di sini. Saya juga masih diberikan ruang kerja pribadi di sini. Karena itulah saya jadi tidak terlalu pikun karena justru saya makin sibuk karena setiap minggu saya selalu mempunyai kegiatan. Kadang-kadang menjadi pembicara untuk acara simposium atau kegiatan ilmiah. Saya di-minta sharing pengalaman ilmiah kepada yang muda-muda. Itulah yang menyebab-kan saya masih berkecimpung di dunia ilmiah ini walaupun usia saya sudah 71,5 tahun.

RM: Bisa ceritakan hobi Prof. Slamet sen-diri apa ya?SS: Dalam hobi, saya bagi 2. Ketika saya kecil hobi saya adalah olahraga bulutang-kis. Sejak saya SD sampai SMA-pun saya masih main bulutangkis. Sejak berkuliah di kedokteran sekitar tahun 1957 saya berhenti bermain bulutangkis karena ber-bagai kesibukan perkuliahan. Kemudian baru tahun 1972 saya kembali bermain bulutangkis kembali karena ajakan teman sampai tahun 2005. Terakhir saya bertan-ding dengan anak-anak muda ketika umur saya sudah di atas 68 tahun. Karena terlalu bersemangat dalam bertanding saya mengalami cedera lutut. Berselang 6 bulan kemudian badan saya merasa tidak enak karena sudah lama tidak berolah-raga akhirnya saya memilih olahraga re-nang. Dan ketika saya berenang tiba-tiba ada yang terasa sakit dan saya merasa bahwa ada sesuatu yang terjadi pada jan-tung saya. Akhirnya, besoknya pun saya periksakan diri, dan hasilnya sangat bu-ruk sekali. Dan saya harus menjalani be-dah by pass pada jantung saya sekitar 3,5 tahun yang lalu. Dan dari situlah saya benar-benar menghentikan hobi bermain bulutangkis. Dan hobi olahraga saya beru-bah menjadi berenang. Sampai saat ini, saya masih menjalani renang setidaknya 2x dalam seminggu. Semenjak pembeda-han jantung itu saya jadi merubah lifestyle. Hobi lain saya, yaitu dansa. Saya mengiku-ti klub dansa antar dokter-dokter sampai sekarang. Dan yang terakhir adalah hobi jalan-jalan bersama cucu.

RM: Terus apa nih yang membuat Prof. Slamet selalu tampak segar dan fit?

SS: Turunan keluarga saya banyak yang terkena penyakit jantung dan kolesterol. Waktu operasi dikatakan oleh dokter bahwa pembuluh darah saya jelek sekali. Banyak sekali aterosklerosisnya. Dokter yang menangani saya pada saat itu me-ngatakan bahwa operasi ini bukan menye-lesaikan masalah tapi yang bisa menyele-saikannya hanyalah anda sendiri, yaitu saya harus merubah lifestyle. Kemudian saya berpikir bahwa apa yang dikatakan beliau ada benarnya juga. Jadi dahulu kalau saya terlalu over confidence dalam arti saya merasa sehat dan tidak mengalami kelu-han apa-apa sampai umur 68 tahun tetapi satu hal yang tidak saya sadari bahwa life-style itu pusatnya adalah makanan. Dulu saya sangat menyukai makanan dari da-ging kambing. Tapi kemudian saya beralih banyak makan sayuran dan buah-buahan serta untuk proteinnya saya makan ikan yang serba direbus. Terkadang saya juga makan ayam (hanya dagingnya saja) tapi dengan porsinya yang sedikit. Dan yang utama selalu menggunakan “JAMU” alias jaga mulut saya untuk tidak memakan makanan yang dahulu sangat saya sukai. Saya berusaha untuk menjaga pola hidup saya dengan menjaga pola makan, tidak stres dan olahraga yang teratur. Terlambat sih sebenar-nya karena saya baru memu-lainya saat berumur 68 tahun ketika saya harus menjalani pembedahan jantung. Tapi saya kira lebih baik terlambat dari-pada tidak sama sekali. Bahkan sekarang ini saya menjadi lebih baik dan fit dari se-belumnya.

RM: Kegiatan apa yang biasa dokter laku-kan di waktu luang (akhir pekan/hari li-bur)?SS: Yang pasti olahraga, pergi bersama cucu saya setiap akhir pekan. Pokoknya saya harus ketemu mereka bagaimanapun juga. Cucu saya sekarang sudah 6 orang.Saya juga tetap hobi makan ketika ada waktu luang tapi tentunya hobi makan yang sekarang ini berbeda dengan yang dulu.

RM: Kebiasaan apa yang biasa diterapkan dilingkungan sekitar Prof. Slamet untuk mananamkan pola hidup sehat?SS: Itu tadi, jangan hanya bicara tapi di-contohkan juga ke orang-orang sekitar saya. Saya juga sudah mencontohkan ke-pada teman, pasien dan keluarga saya. Bahkan banyak dari teman-teman saya yang berkonsultasi kepada saya karena mereka melihat sendiri kalau saya keliha-tan lebih sehat dan fit. Padahal usia saya sudah 71 tahun. Dan saya selalu menga-

Page 36: Terapi Cairan Demam Berdarah

MED

ICIN

US

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

34

takan kepada mereka supaya “JAMU” atau jaga mulut dan banyak makan sayur serta buah-buahan serta tentu saja melaku-kan olahraga yang teratur. Walaupun saya sendiri termasuk terlambat dalam meru-bah lifestyle saya.Untuk merubah lifestyle, awalnya tidak mudah dan terasa berat tapi saya selalu niatkan dalam hati bahwa saya harus merubah kebiasaan saya yang dulu se-perti makan keju, makan daging merah. Sekarang ini saja orang-orang muda ba-nyak yang sudah terkena diabetes, jan-tung, stroke dan itu dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat karena pe-rubahan pola makan seperti senang me-makan makanan siap saji.

RM: Harapan dokter di pekerjaan dan kehidupan pribadi dokter untuk 5 tahun mendatang?SS: Yang pasti ingin tetap sehat dan saya berusaha menjadi orang yang sebijaksana mungkin. Kadang-kadang dulu itu, saya sering meletup-letup emosi nya. Sekarang saya lebih meredam emosi saya. Dalam pekerjaan untuk 5 tahun yang akan datang, yaitu di bagian Metabolik dan Endokrin RSCM/FKUI ini saya berharap makin maju dan mengalami perubahan yang lebih baik lagi. Dan di bagian ini juga terus terlibat dalam peningkatan ke-sehatan terutama dalam hal pencegahan melalui penerangan kepada masyarakat bagaimana cara hidup yang sehat.

RM: Saat ini penyakit-penyakit di bidang Endokrinologi yang paling sering diha-dapi apa ya Prof.?SS: Yang paling banyak adalah yang per-tama diabetes dan kedua tiroid. Diabetes di Indonesia sudah ada data sekarang dari Departemen Kesehatan (DEPKES), yaitu kalau di kota besar prevalensinya orang yang terkena diabetes sekitar 12%. Itu ni-lai yang cukup besar menurut saya. Tapi kemudian tahun 2008 kemarin keluar data gabungan dari kota dan pedesaan di selu-ruh Indonesia disurvey dan ternyata pen-derita diabetes di Indonesia sebesar 5,7%.Untuk kasus tiroid juga banyak di Indo-nesia. Penyebabnya karena stres sehingga timbulah hipertiroid.

RM: Penatalaksanaan penyakitnya sendiri bagaimana ya?SS: Sampai sekarang untuk diabetes, kita sudah membuat guideline untuk penatalak-sanaan diabetes karena kita mempunyai

PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) dan PERSADIA (Persatuan Diabetes Indonesia) sehingga guideline ini digunakan merata di seluruh Indonesia. Bahkan di Depok sendiri sudah melaku-kan upaya pencegahan diabetes kurang lebih 7 tahun mulai tahun 2001 dengan melibatkan DEPKES.

RM: Bisa ceritakan pengalaman suka maupun duka selama menjalani profesi dokter?SS: Saya sangat menikmati profesi saya meskipun kerjanya berat. Pengalaman yang baik itu adalah saya merasa sangat puas sekali apabila kita melihat pasien itu sembuh dari penyakitnya dari pengo-batan yang diberikan. Jawabannya klise barangkali ya. Tapi memang betul kalau kita melihat pasien sembuh rasanya se-nang sekali. Dan biasanya mereka akan berterimakasih kepada saya padahal saya tidak mengharapkan terimakasih tersebut. Saya juga suka bilang kepada pasien saya bahwa yang menyembuhkan penyakit itu bukan saya tapi Allah SWT. Saya ini ha-nya sebagai penyambung tangan dengan ilmu-ilmu yang saya pelajari.Hubungan saya dengan pasien tentunya

tidak selalu manis tapi juga ada pahitnya terutama bila berhadapan dengan pa-sien-pasien yang sulit. Malahan si pasien belum apa-apa sudah mendikte dan dia merasa bahwa dia lebih pinter dari dok-ternya. Apalagi zaman sekarang ini orang dengan mudah bisa browsing di internet untuk mencari informasi penyakit-pe-nyakit tertentu sehingga mereka merasa sudah mengetahui pengobatannya. Tapi hal itu alhamdullilah masih bisa ditangani dengan memberikan penjelasan yang baik tentang penyakit dan pengobatannya ke-pada pasien.

RM: Apa harapan Prof. Slamet, khususnya untuk dokter-dokter muda di Indonesia?SS: Saya berharap dokter-dokter muda ini harus bisa menemukan cara-cara baru pengobatan atau pencegahan terhadap penyakit-penyakit dan bisa menemukan vaksin untuk mencegah penyakit-penyakit yang kita takutkan. Dan juga penelitian-penelitian para dokter muda ini harus kita pacu dan biaya yang tentu saja didukung kalau bisa oleh pemerintah. Karena untuk melakukan suatu penelitian itu memerlu-kan biaya yang sangat besar. GLH

Page 37: Terapi Cairan Demam Berdarah

MED

ICIN

US

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

35

Pada tanggal 20 Desember 2008, diadakan acara round table discussion “Update

Management in Dengue Hemor-rhagic Fever” yang diadakan di Hotel Borobudur, ruang Timor, Jakarta Pusat. Acara dibuka den-gan sambutan dari Ketua PAPDI JAYA DR. dr. Idrus Alwi, SpPD, K-KV, FACC. Diskusi dimulai oleh modera-tor Dr. Tunggul D Situmorang, SpPD, KGH dengan menekankan bahwa penyakit DBD merupakan penyakit yang perlu diwaspadai. Menurut Dr. Tunggul D Situmo-rang, SpPD, KGH, patofisiologi demam berdarah sampai saat ini tidak banyak berubah sedangkan untuk diagnosis kita sekarang mengenal NS1 antigen.

Kemudian acara dilanjutkan dengan presentasi dari Dr. Leo-nard Nainggolan, SpPD, KPTI, yaitu tentang:

Patofisiologi dan Diagnosis De-mam Berdarah Dengue”Dr. Leonard memulai sharing materi dengan memaparkan epi-demiologi infeksi dengue secara global, sampai pada distribusi se-rotype, dan jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) secara lokal. Di mana kasus infeksi de-ngue secara global semakin me-luas. Kemudian secara lokal, di Indonesia dari tahun 2004-2007 di mana kasus DBD semakin meningkat. Akan tetapi BMS ber-harap kasus DBD menurun apa-bila PSN-DBD berhasil.

Apabila kita bisa mengetahui patofisiologi demam berdarah dengan baik, umumnya kita tidak akan kecolongan. Karena fase kri-tis Cuma pada jam ke-24 - 48, asal-kan pasien datang belum shock. Ada falsafah yang mengatakan jika terjadi kasus demam berdarah pre-shock tetapi meninggal, maka hal ini merupakan kesalahan dok-ter. Patogenesis DBD bermacam-macam. Ada yang menerangkan bahwa virulensi virus yang sang-at berperan terhadap severity of disease. Ada juga teori peranan mediator, apoptosis, genetik, dan antibody dependent enhancement. Sebagian ahli menganut antibody dependent enhancement, di mana infeksi virus dengue yang kedua dengan serotype virus yang ber-beda akan memberikan mani-festasi penyakit yang lebih parah. Teori-teori ini pada akhirnya men-jelaskan akan adanya gangguan hemostasis, permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma. Nyamuk membutuhkan da-rah untuk mematangkan telurnya, tidak hanya darah manusia, darah sapi juga bisa. Jadi sapi juga bisa mengalami DBD. Virus dengue membutuhkan waktu kira-kira 10 hari untuk bereproduksi. Kemu-dian nyamuk yang mengandung virus menggigit manusia sehat. Virus dengue akan ada untuk se-lamanya dalam tubuh virus sam-pai nyamuk mati.

Patofisiologi: Virus demam berdarah akan

masuk ke dalam makrofag. Me-nurut antibody dependent enhance-ment, antigen infeksi pertama pada makrofag justru menjadi semacam opsonisasi untuk mem-fasilitasi virus menempel ke per-mukaan makrofag dan masuk ke dalamnya. Makrofag akan me-lepaskan monokin, sitokin, hista-mine, dan interferon, yang akan mengakibatkan celah endotel me-lebar, selanjutnya terjadi keboco-ran cairan intravaskular ke ruang eks-travaskular. Konsekuensinya, terjadi hipovolemia, hemokon-sentrasi, tubuh lemah, edema, dan kongesti visceral. Perenggangan celah antar sel endotel dapat juga disebabkan oleh virus dengue itu sediri. Saat sel endotel terinfeksi DV, terjadi kerusakan sel endotel. Akan tetapi pelebaran celah sel endotel terutama disebabkan oleh pelepasan sitokin inflamasi. Dengan demikian, manifestasi klinis yang paling penting dalam penyakit DBD adalah kebocoran plasma. Dan untuk mengetahui tanda-tanda kebocoran plasma bukannya trombosit yang dipan-tau tetapi hematokrit. Selain itu, penting juga pemantauan urine output dan hemostasis. Dari peng-alaman dokter, apabila tidak terja-di pendarahan massive, trombosit 3.000 atau 7.000 juga tidak meng-akibatkan kematian pasien. Adapun tingkat keparahan sindrom kebocoran kapiler ter-gantung ukuran celah endotel dan lokasi atau daerah yang terkena infeksi, komposisi matriks kom-partemen perivaskular, dan per-

bedaan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik di intra dan ek-stravaskular. Tekanan hidrostatik dipengaruhi oleh tekanan pompa jantung yang mendorong plasma keluar dari intravaskular ke eks-travaskular. Tekanan onkotik adalah nilai tekanan zat-zat yang terkandung dalam darah yang memiliki sifat osmolaritas untuk menahan plasma tetap berada pada intravaskular. Pada arteri tekanan hidrostatik lebih besar dari tekanan onkotik maka plas-ma bisa keluar ke ekstravaskular memberikan nutrisi dan oksigen pada jaringan tubuh. Sedangkan di mikrokapiler tekanan hidrosta-tik lebih kecil dari tekanan onkotik sehingga cairan tubuh yang telah kehilangan nutrisi dan mengan-dung CO2 dapat dikembalikan ke dalam pembuluh darah. Perlu dipahami bahwa apabila kita te-lah mengetahui kalau kebocoran plasma dipengaruhi oleh tekanan onkotik, penggunaan koloid un-tuk meningkatkan tekanan osmo-tik dapat dilakukan apabila telah diketahui adanya tanda-tanda ke-bocoran plasma. Pelebaran celah endotel da-pat juga menyebabkan leukosit keluar dari intravaskular menge-jar makrofag yang mengandung virus dengue, sehingga dapat di-mengerti terjadi leukopenia pada DBD. Manisfestasi trombositopeni pada infeksi dengue memiliki be-berapa hipotesa penyebab: (1) terjadi destruksi trombosit aki-

bat interaksi antibody-antigen

20 Desember 2008Hotel Borobudur, Ruang Timor, Jakarta-Pusat

Round Table Discussion “Update Management in Dengue

Hemorrhagic Fever”

events

Page 38: Terapi Cairan Demam Berdarah

MED

ICIN

US

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

36

virus dengue di permukaan trombosit;

(2) kerusakan dinding endotel oleh virus dengue sehingga menyebabkan interaksi trom-bosit dengan kolagen suben-dotel sehingga terjadilah agre-gasi dan destruksi trombosit;

(3) IL-6 menginduksi antibodi IgM antitrombosit sehingga terjadilah destruksi trombos-it;

(4) manifestasi pendarahan pada DBD meningkatkan kebutu-han akan trombosit. Mani-festasi (nomor 3) menguatkan bahwa tidak perlu diberikan infus trombosit pada pederita DBD, karena pada akhirnya trombosit yang di berikan akan didestruksi dengan adanya antibodi antitrom-bosit.

Perjalanan penyakit dengue seperti lagu menghitung hari. Pada kasus dengue, kita meng-hitung hari, ada masa inkubasi (virus dengue ada dalam tubuh tapi tidak ada manifestasi klinis penyakit), fase akut (demam hari I-IV), dan fase kritis (hari V-VII), dan fase konvalesense. Proses plasma leakage hanya terjadi pada fase kritis, dan hanya terjadi dalam 24-48 jam. Untuk meng-identifikasi fase kritis perhatikan bahwa pada sekitar hari kelima demam sudah mulai turun, tetapi kematrokit makin meningkat, leu-kosit makin anjlok, dan trombosit juga makin anjlok. Leukopeni rata-rata selalu mendahului trom-bositopeni, dan trombositopeni mendahului plasma leakage. Pemeriksaan serologi baru dapat terdeteksi setelah hari ke-lima, karena disitu kemungkinan besar konsentrasi antibodi cukup di atas batas deteksi alat. Sedang-kan pemeriksaan antigen NS1 dapat dilakukan dari H-1 sam-pai dengan hari keempat, kadar optimal NS1 adalah pada hari ketiga. Pemeriksaan antigen NS1 ada dua, yaitu dengan ELISA dan rapid test. Pemeriksaan de-ngan ELISA lebih akurat tetapi mem-butuhkan waktu yang lama (4 jam). Sedangkan pemeriksaan dengan rapid test hanya mebu-tuhkan waktu 5 menit. NS1 merupakan non structure protein yang terdapat pada per-mukaan virus, merupakan an-tigen yang letaknya paling luar

sehingga paling mudah terde-teksi dan merupakan biang kerok utama manifestasi respon imun yang telah diterangkan sebelum-nya. Dr. Leonard sempat bertemu dengan penemu alat rapid test un-tuk NS1 ini, dan menurut sang penemu hari ketiga merupakan puncak kadar NS1 sehingga pa-ling memungkinkan deteksi NS1 pada hari itu. Akan tetapi setelah hari kelima, jumlah antigen sudah menurun sampai tidak bisa terde-teksi. Untuk antibodi, dapat dide-teksi setelah kelima demam. Pemeriksaan NS1 tidak bisa menggantikan pemeriksaan an-tibodi. Akan tetapi tidak dapat menentukan infeksi yang terjadi primer atau sekunder. Kita juga telah melupakan uji tourniquet. Padahal uji tourniquet merupa-kan uji yang paling sederhana dan spesifik untuk DBD. dr. Leonard menutup pre-sentasi dengan menekankan per-bedaan antara demam dengue dengan demam berdarah dengue, pada DBD sudah pasti terjadi plasma leakage, sedangkan pada demam dengue tidak terjadi.

Acara dilanjutkan kembali den-gan presentasi yang akan disam-paikan oleh dr. Kie Chen, SpPD, KPTI, yaitu mengenai:

Penatalaksanaan Demam Berdarah DengueDr. Kie Chen memulai dengan penekanan bahwa Indonesia merupakan endemik demam ber-darah dengue (DBD) dan pada de-mam berdarah terjadi kebocoran plasma. Terapi pada demam berdarah adalah terapi suportif. Yaitu mem-berikan cairan pengganti sampai respon imunologi itu berhenti. Kematian yang terjadi 1%. Penetapan kasus DHF menu-rut WHO pada tahun 1997, yaitu: - Demam atau pernah demam,

dalam 2-7 hari terakhit, dan bi-asanya biphasic.

- Trombositopenia (<100.000/mm3)

- Test tourniquet positif- Petecheae, ecchymoses, atau pur-

pura. - Pendarahan di mukosa, saluran

GI, tempat injeksi, atau lokasi lainnya.

- Hematemesis atau melena. - Kejadian kebocoran plasma:

peningkatan hematokrit >20%,

penurunan hematokrit setelah pemberian cairan pengganti >20% terhadap baseline.

- Tanda-tanda kebocoran plasma lainnya: efusi pleura, asites, dan hipoproteinemia.

Tatalaksana DHF umumnya adalah tatalaksana yang bersifat suportif. Kita tidak mempunyai obat-obat yang bisa menyetop proses imunologi yang terjadi. Tetapi kebocoran plasma akibat respon imunologi akan berhenti dengan sendiri. Umumnya yang diberikan kepada pasien adalah cairan pengganti cairan tubuh, istirahat yang cukup, nutrisi. Selain itu diberikan pula obat an-tipiretik, akan tetapi hindari pem-berian aspirin dan NSAID karena obat-obat tersebut dapat memicu pendarahan. Hal yang paling penting juga dalam tatalaksana DHF adalah 1. monitoring tanda-tanda shock, bi-

asanya selama fase afebril (hari ke-4-6);

2. monitoring kesadaran, denyut nadi, dan tekanan darah;

3. monitoring hematokrit (Ht) dan jumlah platelet.

Kita memiliki beberapa pilihan cairan. WHO menuliskan pem-berian cairan kristaloid, yaitu cairan yang mengandung elek-trolit. Sebaiknya jangan berikan cairan maintenance yang seperti dekstrosa dan cairan lainnya un-tuk nutrisi, karena cairan-cairan

tersebut tidak bisa bertahan dalam kapiler dalam waktu yang lama. Cairan itu umumnya akan keluar dari pembuluh darah. Memang pemberian koloid belum direko-mendasikan pada protokol WHO. Tapi koloid dengan molekul yang lebih besar dapat bertahan lebih lama dalam plasma. Kita belum ada data untuk pemakaian koloid pada DHF I/II. Tetapi untuk DHF yang mengalami shock sudah ada penelitian yang dilakukan. Prinsip tatalaksana pemberian cairan: volume cairan yang diberi-kan merupakan jumlah defisit cairan tubuh ditambah deng-an jumlah cairan yang diperlukan untuk maintenance. Formula: Need of fluid / day = Fluid deficit + maintenance5% BW deficit = (5% x BW x 1000) mLMaintenance = 1500 + 20 x [BW(kg) - 20]Pemberian cairan harus disesuaikan sesuai dengan kondisi klinis pasien, evaluasi kondisi vi-tal Ht dilakukan setiap 4 jam seka-li. Jangan sampai terjadi kelebihan cairan.

Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pela-yanan Kesehatan Depkes 2005

Berikut adalah tatalaksana DHF dengan peningkatan Ht >20%:

Page 39: Terapi Cairan Demam Berdarah

MED

ICIN

US

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

37

Tatalaksana renjatan

Pada kesempatan ini, dipaparkan secara singkat hasil penelitian “An Open Pilot Study of the Ef-ficacy and Safety of Polygeline (Haemaccell®) in Adult Subjects with Dengue Hemorrhagic Fe-ver” yang diteliti oleh Herdiman J Pohan, Khie Chen Lie, Widayat Djoko Santaso, Suhandro, dan Eppy dengan sponsor PT Dexa Medica. Terapi cairan pada pende-rita demam berdarah tahap I/II memiliki beberapa problema, se-bagai berikut:

1. terjadinya hemokonsentrasi selama terapi cairan pengganti sehingga dibutuhkan lebih ba-nyak cairan;

2. terjadi akumulasi cairan pada rongga-rongga tubuh seperti pleural efusi, asites, dan udem pada kadnung kemih.

Problema ini memunculkan kebutuhan akan adanya cairan pengganti yang dapat bertahan lebih lama dalam intravaskular, mudah diekskresi, lebih aman untuk organ tubuh (misal ginjal),

memiliki pengaruh yang minimal terhadap sistem koagulasi, dan less allergic potential. Haemaccell® adalah cairan koloid yang memiliki kompo-sisi polygeline yang diperoleh dari tulang rawan sapi. Kandun-gan koloid yang memiliki Berat Molekul lebih besar dibanding cairan kristaloid memungkinkan Haemaccell® bertahan dalam in-travaskular lebih lama, dan apa-bila dibandingkan dengan cairan koloid lainnya, berat molekul polygeline adalah yang paling kecil

sehingga lebih mudah diekskresi, lebih aman bagi ginjal, minimal mempengaruhi sistem koagulasi, dan kemungkinan menyebabkan alergi kecil. Hasil dari penelitian pilot dari Haemaccell® ini menunjukkan bahwa Haemaccell® aman dan efektif digunakan sebagai terapi cairan pada pasien demam berda-rah tahap I/II. Uji klinis kompara-tif dengan jumlah subjek yang lebih besar akan dilakukan untuk menegaskan efikasi dan keamanan Haemaccell®.

Beberapa Hasil Diskusi Round Table DiscussionTransfusi trombosit hanya diberi-kan pada kondisi pendarahan dan tidak pernah diberikan untuk pro-filaksis. Dalam beberapa peneli-tian yang telah dilakukan Dr. Kie Chen, SpPD, KPTI dkk, rendah-nya jumlah trombosit ti-dak selalu menimbulkan pendarahan. Yang penting adalah selalu monitoring, pendarahan tidak akan terjadi tan-pa diketahui. Bila terjadi epistaksis namun hemodinamik stabil, nadi tidak cepat, tidak gelisah, Ht nor-mal, maka tidak diberikan pembe-rian trombosit. Namun bila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu: pasien gelisah, hemodinamik tid-ak stabil, Ht turun, adanya nyeri yang hebat pada abdomen, terasa mual yang hebat, barulah pem-berian transfusi trombosit harus dipertimbangkan. Apakah benar alat diagnostik NS1 berguna? Karena biayanya mahal sekali. Filosofi NS1 rapid test: mendeteksi sedini mungkin. Dibutuhkan di daerah endemik seperti di Indonesia. Tapi untuk pasien menengah ke bawah, bia-sanya dilakukan deteksi dini dari kadar leukosit. Ingat leucopenia mendahului trombositopenia. Ra-pid test NS1 sekarang bisa false posi-tive. Tapi sekarang sedang diteliti untuk menghindari false positive. Kemudian acara diakhiri dengan penutupam oleh modera-tor (Dr. Tunggul D Situmorang, SpPD, KGH) dengan applause me-riah dari peserta. Wila, Taufik, Ana, Natalia, Lydia

Page 40: Terapi Cairan Demam Berdarah

MED

ICIN

US

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

38

Page 41: Terapi Cairan Demam Berdarah

MED

ICIN

US

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

133

Page 42: Terapi Cairan Demam Berdarah

MED

ICIN

US

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

134

IKLAN STIMUNO / HISTRIN FT

Page 43: Terapi Cairan Demam Berdarah

MED

ICIN

US

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

41

Website Dexa medica Tampil dengan Wajah Baru

Website Dexa Medica kini tampil dengan wajah baru. Disain

dan menu-menu baru terlihat lebih dinamis. Website ini akan menjadi pintu gerbang infor-masi tentang Dexa Medica.

Tampilan baru ini mulai dapat diakses pada Rabu, 4 Februari 2009, setelah Managing Director Dexa Medica, Ferry Soetikno melakukan browsing di sejum-lah menu-menu baru dalam website ini, seperti Presentations, 40 Tahun Dexa Medica, dan Hot News.

Selain menu-menu baru, bera-gam pilihan menu lain yang dapat diakses seperti info produk (ethical dan OTC), be-rita kesehatan dan farmasi, ca-lendar of event, ragam aktivitas sosial Dharma Dexa, hingga info karir.

Web Dexa Medica akan senan-tiasa dikembangkan mengikuti dinamika teknologi informasi. Silahkan kunjungi, tampilan baru www.dexa-medica.com ! Corporate Communications Dexa Medica

STimUno Raih anugerah Produk asli indonesia 2008

STIMUNO yang diproduk-si PT Dexa Medica memperoleh Anugerah

Produk Asli Indonesia (APAI) 2008, Pemenang Kategori Obat. Penghargaan ini diberikan oleh harian ekonomi terkemuka Bis-nis Indonesia, yang diserahkan pada Kamis, 11 Desember 2008, di Gedung Balai Kartini, Jakarta. APAI 2008 mengangkat tema “Goes Global” dirancang dan diwujudkan untuk mengang-kat produk asli Indonesia, baik berupa barang maupun jasa, agar dapat menjadi tuan ru-mah di negeri sendiri maupun mampu berlaga di ajang antar-bangsa.

Penghargaan APAI 2008 un-tuk STIMUNO diserahkan oleh Wakil Pemimpin Perusahaan Harian Bisnis Indonesia, Harya-di B. Sukamdani kepada Sylvia Andriani Rizal, Head of Marke-ting and Sales OTC Dexa Medi-

ca mewakili Managing Director Dexa Medica, Ferry Soetikno. Se-mentara itu, Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia, Ahmad Djau-har dalam sambutannya men-jelaskan bahwa para pemenang APAI 2008 akan difasilitasi un-tuk mengikuti ABAC (ASEAN Business Advisory Council) Award tahun 2009 mendatang. Dewan Juri APAI 2008 terdiri dari: 1. Insan Budi Maulana, Pengamat Hak Kekayaan Inte-lektual, Managing Partner and Head of Intellectual Property Prac-tice pada Lubis, Santosa Maulana Law Offices, 2. Yongky S. Susilo, Director, Business Development, Retail Services PT The Nielsen Company Indonesia, 3. Rofikoh Rokhim, Ekonom Harian Bisnis Indonesia, 4. Amalia E. Maula-na, Head of MM Strategic Mar-keting BiNus Business School, 5. Bambang Setiadi Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN), 6. Goenawan Loekito, Pemerhati

Bisnis dan Teknologi, Marketing Director PT Oracle Indonesia, 7. Narga S. Habib, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklan-an Indonesia (PPPI), 8. Maya-dewi Hartarto, Presiden Direktur Esmod Jakarta, 9. Julius Aslan,

Direktur PT Astra Honda Motor. Sebelumnya, STIMUNO juga pernah memenangkan penghar-gaan Primanyarta Award (2005) dan BJ Habibie Technology Award (2008). Corporate Communica-tions Dexa Medica

events

Page 44: Terapi Cairan Demam Berdarah

MED

ICIN

US

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

42

Dua Tahun Berturut-turut:Dexa medica Perusahaan Pembina Tenaga Kerja Perempuan Terbaik

Dua Tahun berturut-turut, Dexa Medica terpilih se-bagai Perusahaan Pem-

bina Tenaga Kerja Perempuan Terbaik Provinsi Sumatera Sela-tan tahun 2008 dan 2007.

Penghargaan Perusahaan Pem-bina Tenaga Kerja Perempuan Terbaik 2008 diberikan Senin, 22 Desember 2008, di Jakarta Conven-

tion Center, oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Erman Suparno disaksikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, dan Ibu Negara, Ani Bambang Yudho-yono, Wakil Presiden Yusuf Kalla, Menteri Megara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, Menteri Kesehatan, Siti Fadillah Supari, Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, dan sejumlah Menteri

Kabinet Indo-nesia Bersatu lainnya.

Dari Dexa Medica, ha-dir pada penyerahan penghargaan t e r s e b u t , K a r y a n t o , C o r p o r a t e Communica-tions Manag-er, mewakili M a n a g i n g Director Dexa M e d i c a ,

Ferry Soetikno. Penghargaan ini digelar ber-samaan Perin-gatan Hari Ibu ke-80 dan Pen-canangan Ta-hun Indonesia Kreatif 2009.

Ada tujuh kate-gori penghargaan yang diberi-kan, yaitu Penghargaan Anuge-rah Parahita Ekapraya Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, Penghargaan Pengelola Program Terpadu Peningkatan Peran Wa-nita menuju Keluarga Sehat Se-jahtera (P2WKSS) Terbaik Tingkat Provinsi, Penghargaan Pengelola Program Bina Keluarga Balita (BKB) Terbaik Tingkat Provinsi, Penghargaan Kelompok Bina Keluarga Balita (BKB) Terbaik Tingkat Provinsi, Penghargaan Pengelola Kecamatan Sayang Ibu (KSI) Terbaik Tingkat Provinsi, Penghargaan Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi (RSSI dan B) Terbaik

Tingkat Provinsi, dan Penghar-gaan Perusahaan Pembina Tenaga Kerja Perempuan Terbaik Tingkat Provinsi.

Pemenang Perusahaan Pembina Tenaga Kerja Perempuan Terbaik Tingkat Provinsi Sumatera Sela-tan Tahun 2008 adalah, Pemenang Pertama: PT Dexa Medica, Jl. Bambang Utoyo Palembang deng-an nilai 7.323, Pemenang Kedua PT Interbis, Jl HBR Motik KM 7, Palembang dengan nilai 6.808, dan Pemenang Ketiga adalah PT PN VII Unit Usaha Beringin, Ka-bupaten Muara Enim dengan nilai 6.662. Corporate Communications Dexa Medica

events

Dexa Medica kembali memberikan penghar-gaan Dexa Award ke-

pada lulusan terbaik program profesi Apoteker dari universitas terakreditasi A di Indonesia. Kali ini, Nova Trisnawaty, S.Farm, Apt, terpilih untuk menerima penghar-gaan Dexa Award sebagai lulusan terbaik program profesi Apoteker Angkatan ke-67, Universitas Indo-nesia (UI). Nova yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan ini, memiliki Indeks Prestasi Kumula-tif (IPK) 3,46.

Dexa Award diserahkan oleh Head of Marketing and Sales OTC Dexa Medica, Sylvia Andriani Rizal, mewakili Direksi Dexa Medica, pada Pelantikan dan

Pengambilan Sumpah Apoteker Angkatan LXVII, Departemen Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI,

di Balai Sidang UI, Depok, Rabu, 4 Februari 2009.

Acara itu diha-diri pula Ketua Umum Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI),

Prof. Dr. Har-yanto Dhanutir-to. Ada 60 lulu-san Apoteker Angkatan ke-67 yang dilantik dan diambil sumpahnya dalam acara terse-but. Dexa Award merupakan penghargaan dari Dexa Medica kepada para apoteker dan dok-ter yang telah dengan upaya gigih menjadi lulusan terbaik.

Dalam sambutannya, Sylvia mengatakan Dexa Medica didi-rikan di Palembang pada 27 September 1969. Produk-produk

Dexa award untuk lulusan Terbaik apoteker Ui

obat Dexa Medica tidak hanya didistribusikan di dalam negeri, tetapi juga diekspor ke manca ne-gara. STIMUNO yang merupakan produk herbal untuk memperkuat sistem imun telah mendapatkan sertifikat Fitofarmaka dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Bahkan belum lama ini, STIMUNO juga meraih penghar-gaan Anugerah Produk Asli Indo-nesia (APAI) 2008. Corporate Com-munications Dexa Medica

Page 45: Terapi Cairan Demam Berdarah

MED

ICIN

US

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

43

calender events

1. 5th Jakarta International FESS Course &

Workshop

Tanggal: 7-9 Maret 2009

Tempat: Gran Melia Hotel, Jakarta

Sekretariat:

Ear Nose Throat Department

Gedung A (Medical Staff Building) - 7th Floor

Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta

Indonesia

Telp.: +62-21-3910701 / 3912144

faks: +62-21-3912144 / 394154

E-mail: [email protected] atau

[email protected]

Website: http://www.pediatric-ent.asia/index.

php?option=com_content&view=category&lay

out=blog&id=30&itemid=102

2. PIT FETOMATERNAL MALANG

Topik: Management of Obstetric Emergen-

cies from Biomolecular to Vlinical Practice

Tanggal: 7-11 Maret 2009

Tempat: Kusuma Argo Wisata Hotel Batu,

Malang

Sekretariat:

RSU Dr. Saiful Anwar Malang Div. Obstetric & Gine-

cology

Jl. Jaksa Agung No. 2 Malang dan Jl. Ciasem I No.

30A Kebayoran Baru - Jakarta Selatan

Telp.: 0341-353331 / 021-7254424

faks: 0341-353332 / 021-72794826

E-mail: [email protected]

Contact Person: Dewi

3. Workshop on Stem Cell Isolation, Culture

and Analysis 2009

Tanggal: 17 Maret 2009

Tempat: Stem Cell and Cancer Institute (SCI) Pulo-

mas, Jakarta

Sekretariat:

Fakultas Farmasi Universitas Pancasila

Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa - Jakarta Selatan

Telp.: 021-7864727

E-mail: [email protected]

Contact Person: Tasqiah J (08122440698);

Lungguk H (0812199185); Esti M

(08151663201)

4. 7th National Obesity Symposium

Topik: Obesity: Mission Possible

Tanggal: 21-22 Maret 2009

Tempat: Flores Room - Hotel Borobudur, Jakarta

Sekretariat:

Prodia Clinical Laboratory

Jl. Kramat VI No. 5, Jakarta Pusat

Telp.: 021-3145256, 3145296, 3145013,

3145014

faks: 021-31902310, 3159610

E-mail: [email protected]; wil3.

[email protected]

Contact Person: Pipih (0818196087); Nurul

(085711118648)

5. HIV Infection in Infants and Children in Indo-

nesia: Current Challenges in Management

Tanggal: 22-23 Maret 2009

Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta

Sekretariat:

PKB IKA Departemen Ilmu Kesehatan Anak

FKUI/RSCM, Jl. Salemba Raya 6 Jakarta 10430

Telp.: 021-3161420

faks: 021-3161420

E-mail: [email protected]

Website: http://www.idai.or.id/agenda/

Contact Person: Sdri. Indri Nethalia / Dinnisa

Adirisnur

6. Non Surgical Management of Benign Gyne-

cology

Tanggal: 27-28 Maret 2009

Tempat: Auditorium Sarwono Lt. 1 Gedung A/

Public Wing RSCM

Sekretariat:

RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo

Telp.: 021-3928720 / 021-68275657

faks: 021-3928719

Contact Person: Sdr. Rima/frany

7. Update on Diagnosis & Management of

Clinical Problem in Daily Practice (KPPIK

FKUI 2009)

Tanggal: 14-19 April 2009

Tempat: FKUI dan Shangri La Hotel, Jakarta

Sekretariat:

CME-PDU FKUI Lt.2

Jl. Salemba Raya No. 6 Jakarta Pusat

Telp.: 021-3106737, 70752375

faks: 021-3106443

E-mail: [email protected] atau cme_

[email protected]

Contact Person: Yaya/Fiona/Wafi

8. Joint Meeting - 3rd Congress of Association

of Souteast Asan Pain Society (ASEAPS) and

Neuropathic Pain Special Interest Group

(NeuPSIG) 2009

Tanggal: 17-20 April 2009

Tempat: Hyatt Hotel - Nusa Dua, Bali

Sekretariat:

Anesthesiology Department, Faculty of

Medicine, Hasanuddin University/Dr. Wahidin

Sudirohusodo General Hospital

Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 11 Tamalanrea,

Makassar, South Sulawesi, Indonesia

Telp.: +62-411-582583

faks: +62-411-590290

E-mail: [email protected]

Website: http://www.aseaps2009.net

Contact Person: Abdillah Khomeini

9. 10th Jakarta Antimicrobial Update (JADE)

2009

Topik: Improving Clinical Skills in Manag-

ing Tropical and Infectious Diseases

Tanggal: 25-26 April 2009

Tempat: Shangri-La Hotel, Jakarta

Sekretariat:

Telp.: 021-3929106 / 021-3920185

faks: 021-3911873 / 021-3929106

Contact Person: Lenni Sibarani/Dewi/Yulianto

10. Anesthesia and Cardiovascular Problems

Tanggal: 8-9 Mei 2009

Tempat: Patra Convention Hotel, Semarang

Sekretariat:

PT GPD Indonesia, Jl. Ciasem I No. 30A Kebayoran

Baru, Jakarta Selatan 12180

Telp.: 021-7254424, 7246720

faks: 021-72794826

11. Disfunctional Uterine Bleeding dan Hiper-

plasia Endometrium

Tanggal: 14-15 Mei 2009

Tempat: Auditorium Sarwono Lt. 1 Gedung A/

Public Wing RSCM

Sekretariat:

RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo

Telp.: 021-3928720, 68275657

faks: 021-3928719

Contact Person: Sdr. Rima/Frany

12. The 5th International Endoscopy Workshop

& Indonesian Digestive Diseases week

Tanggal: 14-17 Mei 2009

Tempat: Borobudur Hotel, Jakarta dan RSCM

Sekretariat:

Divisi Gastroenterologi

Bagian Ilmu Penyakit Dala, FKUI/RSUP Dr.

Cipto Mangunkusumo, Jl. Diponegoro 71,

Jakarta

Telp.: +62-21-3148680, 83792121

E-mail: [email protected] atau pt_mts@

indo.net.id

Website: http://www.ina-hgic.

or.id/?page=event

13. 12th Asian Conference on Diarrhoeal Dis-

eases and Nutrition (12th ASCODD)

Tanggal: 25-29 Mei 2009

Tempat: Yogya

Sekretariat:

Pediatric Research Unit Child Health Depart-

ment Faculty of Medicine Gadjah Mada Univer-

sity, Jl. Kesehatan No. 1 Yogyakarta 55281

Telp.: +62-274-7011570, 555455

faks: +62-274-555255

E-mail: [email protected]

14. Jogya Dsypepsia Forum 2009

“Dyspepsia Management Strategy”

Where are We Now and Where are We Go-

ing?

Tanggal: 5-6 Juni 2009

Tempat: Hotel Borobudur, Jakarta

Sekretariat:

Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito

Jl. Kesehatan No. 1 Sekip, Yogyakarta

Telp.: 62 274 587333 psw 316 / 553119

faks: 62 274 553120

E-mail: [email protected]

15. 4th National Symposium on Vascular Medi-

cine

Topik: Integrative Approach on Vascular

Disease: from Prevention to Intervention

Tanggal: 30 Juli - 1 Agustus 2009

Tempat: Ritz Carlton Hotel, Jakarta

Sekretariat:

Rumah sakit Pusat Jantung Nasional Harapan

Kita, Jl. S Parman Kav. 87 Slipi, Jakarta

Telp.: 021-5684085, 5684093 (ext 2831)

faks: 021-56963795

Page 46: Terapi Cairan Demam Berdarah

MED

ICIN

US

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

44

literature services

o outcomes of patients hospitalized with

community-acquired, health care-associated,

and hospital-acquired pneumonia. Annals of

Internal Medicine 2009; 150:19-26

o Screening for skin cancer: an update of the evi-

dence for the US preventive services task force.

Annals of Internal Medicine 2009; 150:194-8

o Prognosis of fatigue and functioning in pri-

mary care: a 1-year follow-up study. Annals of

Family Medicine 2008; 6:519-27

o oxidative stress and left ventricular remod-

elling after myocardial infarction. Cardiovas-

cular Research 2009; 81:457-64

o long-term use of thiazolidinediones and

fractures in type 2 diabetes: a meta-analy-

sis. CMAJ 2009; 180(1):32-9

o acupuncture treatment for pain: Systemic

Review of randomised clinical trials with

acupuncture, placebo acupuncture, and no

acupuncture groups. BMJ 2009; 338:330-44

olong-term survival after evidence based

treatment of acute myocardial infarction

and revascularisation: follow-up of popula-

tion based Pert moniCa cohort, 1984-2005.

BMJ 2009; 339:b36

o antidepressants for the treatment of chronic

pain. Drugs 2008; 68(18):2611-32

o novel targets for antiretroviral therapy. Clin-

ical progress to date. Drugs 2009; 69(1):31-

50

o management of nSaiD-induced gastrointes-

tinal toxicity. focus on proton pump inhibi-

tors. Drugs 2009; 69(1):51-69

o effect of high-dose simvastatin therapy on glu-

cose metabolism and ectopic lipid deposition in

nonobese type 2 diabetic patients. Diabetes Care

2009; 32:209-14

o metabolic syndrome and risk for incident

alzheimer’s disease or vascular dementia.

Diabetes Care 2009; 32:169-74

o allopurinol and nitric oxide activity in the

cerebral circulation of those with diabetes.

Diabetes Care 2009; 32:135-7

ogiant osteoclast formation and long-term

oral bisphosphonate therapy. The New Eng-

land Journal of Medicine 2009; 360:53-62

ofractional flow reserve versus angiography

for guiding percutaneous coronary inter-

vention. The New England Journal of Medicine

2009; 360:213-24

oPrimary ovarian insufficiency. The New Eng-

land Journal of Medicine 2009; 360:606-14

oassociation of mild anemia with hospitaliza-

tion and mortality in the elderly: the health

and anemia population-based study. Haema-

tologica 2009; 94(1):22-8

Pembaca yang budiman,

Jurnal MEDICINUS melayani permintaan literatur services hanya dengan melalui Tim Promosi Dexa Medica Group. Di bawah ini akan diberikan daftar isi beberapa jurnal terbaru yang dapat anda pilih. Bila anda menginginkannya, mohon halaman ini difotokopi, artikel yang dimaksud diberi tanda dan dikirimkan ke atau melalui Tim Promosi.

Page 47: Terapi Cairan Demam Berdarah

Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

MED

ICIN

US

IKLAN KEPPRA

Page 48: Terapi Cairan Demam Berdarah

IKLAN HOSPITAL EXPO