Teori Taman

download Teori Taman

of 34

Transcript of Teori Taman

  • 8/17/2019 Teori Taman

    1/34

    179Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    BAB VI

    PENYELENGGARAAN RTH UNTUK

    MEWUJUDKAN KOTA TAMAN

  • 8/17/2019 Teori Taman

    2/34

    180 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

     VI PENYELENGGARAAN RTH UNTUK

    MEWUJUDKAN KOTA TAMAN

    6.1 KEBIJAKAN DAN STRATEGI

    PENYELENGGARAAN RTH

    Selaras dengan pelaksanaan Undang-Undang (UU)

    No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah, komit-

    men untuk mewujudkan pembangunan kota secara

    berkelanjutan, antara lain telah mensyaratkan pemba-

    ngunan dan pengelolaan RTH secara konsisten dan

    profesional. Otonomi Daerah harus bermuara pada pe-

    ningkatan kesejahteraan masyarakat dan upaya menerus

    untuk mendekatkan fungsi-fungsi pelayanan masyarakat.

    Sistem, mekanisme, prosedur penyelenggaraan otonomi

    daerah (baik UU maupun Peraturan Pemerintah/PP-nya)

    harus jelas dan aplikatif untuk menghindarkan distorsi

    kontra produktif. Otonomi Daerah dalam jangka panjang

    harus mampu mewujudkan kemandirian daerah, dilak-

    sanakan dalam wadah NKRI dan harus mampu meman-

    tapkan demokrasi dalam semangat persatuan dan kes-

    atuan.

    Demikian pula Undang-Undang N0. 24 Tahun 1992

    tentang Penataan Ruang di dalam revisinya telah men-

    syaratkan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan

    RTH, antara lain bahwa rencana pengelolaan RTH ha-rus merupakan bagian integral dari rencana tata ruang

    wilayah sesuai dengan tingkatan dan skala perencanaan

    (RTRWN, RTRWP, RTRWK, RDTR, RTR).

    Penyesuaian perkembangan paradigma reformasi

    pembangunan kota berkelanjutan, mensyaratkan pelak-

    sanaan transparansi semua kegiatan, baik oleh pemerin-

    tah maupun swasta (pengusaha dan lembaga masyara-

    kat umum). Kesadaran akan hak dan tanggung jawab

    pembangunan dan pengelolaan RTH tidak hanya meru-

    pakan dominasi pemerintah, tetapi juga masyarakat,

    dan penyesuaian program-program pembangunan yang

    inovatif, kreatif, dan mutakhir. Sampai saat ini kebijakan

    dan strategi penyelenggaraan RTH masih berdasarkan

    pendekatan sektoral dan partial, yang selanjutnya di-

     jabarkan ke dalam program-program sektoral secara

    sendiri-sendiri. Di lingkungan Kementrian Lingkungan

    Hidup misalnya, Program Bangun Praja, Super Prokasih,

    Langit Biru, sampai kini masih dianggap sebagai gerakan

    parsial lingkungan perkotaan saja.

    Pembangunan lingkungan berkelanjutan sangat mem-

    butuhkan peran sentral para arsitek lansekap yang sangat

    berpengaruh dalam menggubah wajah alam, menjadi

    suatu lingkungan kota yang layak huni, aman, nyaman,

    sehat dan indah bagi manusia. Apalagi di era otonomi

    daerah, dimana ternyata pembangunan daerah memer-

    lukan bantuan, yaitu dalam mengarahkan pembangunan

    kota berkelanjutan.

    Perlunya pengelolaan RTH secara khusus diindikasi

    oleh Departemen Dalam Negeri sejak tahun 1980-an ter-

    indikasi dengan dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam

    Negeri (Inmendagri) No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan

    Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Wilayah Perkotaan, yang

    kemudian dijabarkan ke dalam konsep kebijakan dan

    strategi pembangunan serta pengelolaan RTH secara

  • 8/17/2019 Teori Taman

    3/34

    181Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    umum. Inmendagri No. 14 Tahun 1988 hingga kini belum

    didukung oleh perangkat Petunjuk Pelaksanaan (Juklak)

    maupun Petunjuk Teknis (Juknis), menyangkut pengelo-

    laan RTH yang sesuai kebutuhan masing-masing daerah,

    utamanya Pemerintahan Kota dan Kabupaten.

    Keterpurukan keadaan ekonomi, sosial dan politik,

    telah menyita perhatian semua pihak agar bisa bertahan

    hidup dan berusaha bangun untuk mengatasinya. Ironis-

    nya pembangunan kota berkelanjutan, menjadi terabai-

    kan dan krisis lingkungan semakin bertambah parah.

    Untuk itu, perlu desakan segera mengkonsolidasikan diri

    dengan masing-masing pihak terkait, agar lebih memper-

    hatikan pembangunan lingkungan kota melalui pengelo-

    laan RTH yang juga berkelanjutan.

    Di era reformasi, hampir di semua sektor pemerin-

    tah melakukan pembenahan struktur manajemen kerja

    kembali sesuai tuntutan perkembangan kebijakan poli-

    tik kepemerintahan. Sebagai contoh, Kementerian Ling-

    kungan Hidup (KLH), mengalami perubahan struktural,

    dengan demikian bahwa pengelolaan lingkungan hidup,termasuk di wilayah perkotaan, dapat lebih mempertim-

    bangkan keselarasan dan kesimbangan dengan alam

    sekitar dan keseimbangan antar sektor.

    Pemerintah telah menetapkan berbagai peraturan pe-

    rundangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup, dari

    ’pucuk’ gunung sampai ke ‘ujung’ laut. Tak hanya Kantor

    KLH saja yang memang langsung diberi wewenang men-

    gatur pengelolaan lingkungan hidup ini, berdasar pada

    kemampuan dan tanggung jawab. Dalam pengelolaan

    lingkungan hidup, yang penting adalah adanya kesadar-

    an dan keterpaduan kerja untuk bersama-sama meles-

    tarikan fungsi lingkungan dengan berbagai pihak, seperti

    kerjasama antar sektor terkait, antara lain Departemen

    Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, Kantor Ke-

    mentrian Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Per-

    tanian dan Kehutanan, akademisi, praktisi profesional,

    dan masyarakat umum.

    Kantor KLH telah mencanangkan beberapa program

    dan proyek, yang sebagian besar mencoba kembali mere-

    habilitasi atau menata kembali lingkungan, khususnya

    lingkungan perkotaan, dan membantu mempertahankan

    lingkungan yang masih baik. Salah satunya adalah Pro-

    gram Tata Praja Lingkungan ( Good Environmental Govern- ance /GEG), yang terdiri dari dua sub program, yaitu Pro-

    gram Bangun Praja dan Program Masyarakat Madani.

    6.1.1 Issue dan Tantangan dalam

    Penyelenggaraan RTH

    Isu yang berkaitan dengan ruang terbuka publik an-

    Gambar 6.1 RPH (Rumah Pemotongan Hewan/  Abatoir  )

    Pertanian Kotat memanfaatkan halaman ‘abatoir’ di Jakarta.

  • 8/17/2019 Teori Taman

    4/34

    182 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    tara lain RTH secara umum, terkait dengan beberapa

    tantangan tipikal perkotaan, seperti menurunnya kualitas

    lingkungan hidup perkotaan, bencana banjir, longsor dan

    perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung

    kontra-produktif dan destruktif seperti kriminalitas dan

    vandalisme.

    Dari aspek kondisi lingkungan hidup (LH), rendahnya

    kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan

    di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung

    maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH

    secara ekologis. Tingginya frekuensi bencana banjir dan

    tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan

    karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya

    daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan

    (run-off). Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat

    menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan

    tingkat kesehatan dan tingkat harapan hidup masyara-

    kat. Di sisi lain, exposure terhadap polusi udara yang ber-

    lebihan dan terus-menerus dapat menyebabkan kelainan

    genetik dan menurunkan tingkat kecerdasan anak-anakdi masa mendatang.

    Secara sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan konik

    horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan se-

    cara tidak langsung juga dapat disebabkan oleh kurang-

    nya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuh-

    an interaksi sosial untuk pelepas ketegangan (stress)

    yang relatif banyak dialami oleh masyarakat perkotaan.

    Rendahnya kualitas lingkungan perumahan dan penye-

    diaan ruang terbuka publik, secara psikologis telah me-

    nyebabkan kondisi mental dan kualitas sosial masyarakat

    yang semakin memburuk dan menekan.

    Secara teknis, isu yang berkaitan dengan keperi-

    adaan RTH di perkotaan antara lain menyangkut terjadi-

    nya sub-optimalisasi penyediaan RTH baik secara kuanti-

    tatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM,

    kurangnya keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan

    RTH, serta ’selalu’ terbatasnya ruang/lahan di perkotaan

    yang dapat digunakan sebagai RTH.

    Pada kenyataannya, sub-optimalisasi ketersediaan

    RTH terkait dengan kenyataan pada masih dari kurang

    memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk

    ruang terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah ruang ter-

    buka per kapita yang tersedia. Mengakibatkan semakin

    rendahnya tingkat kenyamanan kota, menurunnya tingkat

    kesejahteraan masyarakat dan secara tidak langsung

    menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal (artefak

    alami dan nilai sejarah) akibat tergusur oleh kepentingan

    ekonomi yang pragmatis.

    Secara kelembagaan, masalah RTH terkait juga oleh

    Gambar 6.2

    Taman Umum (Public Park) di antara Gedung Permukiman Bertingkat

    (apartment) di Singapura.

  • 8/17/2019 Teori Taman

    5/34

    183Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    belum adanya peraturan perundang-undangan yang

    memadai tentang RTH, serta pedoman teknis pelaksa-

    naan dalam pengelolaan RTH sehingga keberadaan RTHmasih bersifat marjinal. Di samping itu, kualitas SDM

    yang tersedia juga harus ditingkatkan untuk dapat se-

    cara optimal dan lebih profesional mampu memelihara

    dan mengelola RTH. Di sisi lain, keterlibatan swasta dan

    masyarakat umumnya masih sangat rendah. Potensi pi-

    hak swasta dalam penyelenggaraan RTH masih belum

    banyak dimanfaatkan, sehingga pemerintah sering dan

    bahkan selalu terbentur pada masalah keterbatasan bia-

    ya dan anggaran.

    Walaupun secara teoritis dikatakan, bahwa ruang

    perkotaan yang tersedia makin terbatas, namun dalam

    kenyataannya banyak lahan-lahan tidur di perkotaan

    yang cenderung ditelantarkan dan kurang dimanfaatkan.

    Sementara ruang-ruang terbuka yang memang secara

    legal diperuntukkan sebagai RTH, kondisinya kurang te-

    rawat dan tidak dikelola secara optimal.

    Untuk meningkatkan keberadaan ruang publik, khu-

    susnya RTH di perkotaan, perlu dilakukan beberapa hal

    terutama yang terkait dengan penyediaan perangkat hu-

    kum, NSPM, pembinaan masyarakat dan keterlibatan

    para pemangku kepentingan dalam pengembangan ru-

    ang kota.

    Beberapa upaya yang akan dilakukan oleh Pemerin-

    tah ke depan antara lain adalah:

    • Melakukan revisi UU 24/1992 tentang Penataan Ruang

    untuk dapat lebih mengakomodasikan kebutuhan

    pengembangan RTH;

    • Menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan (NSPM)

    untuk peyelenggaraan dan pengelolaan RTH;

    • Menetapkan kebutuhan luas minimum RTH sesuai de-

    ngan karakteristik kota, dan indikator keberhasilan

    pengembangan RTH suatu kota;• Meningkatkan kampanye dan sosialisasi tentang pen-

    pentingnya RTH melalui gerakan kota hijau (green

    cities);

    • Mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif

    yang dapat lebih meningkatkan peran swasta dan ma-

    syarakat melalui bentuk-bentuk kerjasama yang saling

    menguntungkan;

    • Mengembangkan proyek-proyek percontohan RTH un-

    tuk berbagai jenis dan bentuk yang ada di beberapa

    wilayah kota.

    RTH merupakan kebutuhan pokok kota, demi man-

    faat masa kini dan harapan untuk masa depan lingkungan

    kota yang manusiawi untuk kesehatan dan kesejahteraan

    penghuninya. Perencanaan pertamanan perkotaan (ur-

     ban landscape planning) adalah bagian perencanaan la-

    han yang dinamis dalam tata ruang kota. Merencana kota

    pada hakekatnya ialah mengatur tempat untuk semuanya

    dan semua pada tempatnya.

    Guna menampung keinginan-keinginan semacam

    itu, secara garis besar telah tertuang dalam rencana tata

    ruang dari yang bersifat umum (RTRWN, RTRW Pulau,

    RTRW Propinsi, Kabupaten dan RTRW Kota) hingga ren-

    cana tata ruang yang bersifat detail dan rinci (RDTR Ka-

    wasan dan RTR Kawasan). Besaran dan jenis RTH-nya

    sendiri berdasarkan skala perencanaan dan tingkat ke-

    pentingan/kebutuhannya.

    Selanjutnya, peran, fungsi dan manfaat RTH tersebut

    di atas diuraikan secara rinci, sebagai berikut:

  • 8/17/2019 Teori Taman

    6/34

    184 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    • Terjaminnya ketersediaan oksigen dalam jumlah

    yang cukup dan menerus;

    • Terciptanya iklim yang sehat, udara bersih bebaspolusi;

    • Terciptanya suasana teduh, nyaman, bersih dan

    indah;

    • Terkendalinya sistem tata-air (hidrologi) secara opti-

    mal dan memungkinkan adanya hasil sampingan

    berasal dari tanaman produktif yang sengaja dita-

    nam di lokasi yang aman dari polusi pada media

    tanah, air dan udara;

    • Tersedianya sarana rekreasi dan wisata kota, yang

    sekaligus berfungsi sebagai habitat satwa;

    • Sebagai lokasi cadangan untuk keperluan sanitasi

    kota dan pemekaran kota;

    • Sebagai sarana penunjang pendidikan dan pene-

    litian, serta jalur pengaman dalam penataan ruang

    kota.

    6.1.1.1 Permasalahan Pengelolaan RTH Kota

    Menurut Dahlan (1992) dan Purnomohadi (1995), de-

    gradasi lingkungan di sebagian wilayah perkotaan Indo-

    nesia semakin parah. Hal ini ditandai oleh makin mening-

    katnya suhu udara di atas kawasan perkotaan, penurunan

    muka air tanah, pencemaran air tanah, udara, dan suara

    (bising), amblasan permukaan tanah, intrusi air laut, abra-

    si pantai, suasana gersang, monoton, membosankan dan

    terjadinya tekanan psikologis penghuninya.

    Kurangnya apresiasi akan pentingnya RTH, inkon-

    sistensi kebijakan dan strategi Tata Ruang Kota yang

    sudah ditetapkan dalam Rencana Induk Kota, serta le-

    mahnya fungsi pengawasan (kontrol) dalam pelaksanaan

    pembangunan kota, menyebabkan kuantitas dan kuali-

    tas RTH semakin menurun. Hal ini lebih diperberat lagi

    dengan adanya: pertentangan kepentingan antara nilaiekonomi dengan nilai ekologis; keterbatasan luas lahan

    akibat benturan kepentingan dalam fenomena pemba-

    ngunan perkotaan, lebih ditekankan pada pentingnya

    pembangunan sektor perindustrian dan perdagangan

    yang dianggap mampu menyerap banyak tenaga kerja

    (atau demi kepentingan ekonomi jangka pendek).

    Masalah klasik pengelolaan RTH, dianggap sebagai

    akibat keterbatasan dana dan SDM profesional, peme-

    liharaan RTH yang tidak konsisten, dan pemilihan jenis

    tanaman yang tidak sesuai persyaratan ekologis bagi

    masing-masing lokasi, termasuk langkanya lahan pem-

    bibitan tanaman penghijauan. Keterbatasan dana pem-

    bangunan dan pengelolaan RTH memerlukan terobosan

    pengembangan pola kemitraan hijau.

    RTH sering dianggap sebagai lahan tidak berguna,

    tempat sampah, atau sumber dan atau sarang vektor ber-

    bagai penyakit. Pemahaman serta kesadaran masyarakat

    akan arti dan fungsi hakiki RTH, umumnya masih sangat

    kurang. Minimnya fasilitas RTH khususnya bagi kelompok

    usia tertentu, seperti lapangan olahraga, taman bermain

    anak, maupun taman lansia, apalagi taman khusus bagi

    penyandang cacat. Penyediaan lahan untuk pemakaman

    umum belum sesuai dengan harapan masyarakat umum

    (Haryoso, 2003). Dalam penataan lansekap kota, etika,

    dan estetika, khusus penempatan iklan/papan reklame

    belum ditata menurut kaidah penataan ruang yang lebih

    sesuai.

    Bentuk kelembagaan yang sesuai dan efektif un-

    tuk pengelolaan, penyelenggaraan dan pengembangan

  • 8/17/2019 Teori Taman

    7/34

    185Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    Dua gambar 6.3

    Pemandangan teduh di Pulau Lombok, terletak pelabuhan transit

    menuju Tiga Gili yang terkenal dengan wisata baharinya.

  • 8/17/2019 Teori Taman

    8/34

    186 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    (dari tingkat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,

    pengendalian) RTH masih sangat kurang, karena terbagi

    ke sekitar paling tidak sembilan sektor yang bekerja tum-pang tindih dan kurang terkoordinasi. Hal ini disebabkan

    karena tugas pokok dan fungsi yang hampir sama, seperti

    Dinas Pertamanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan; Di-

    nas Kebersihan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pendidik-

    an dan Keolahragaan, Dinas Pemakaman, Dinas Pariwi-

    sata, Dinas Kebudayaan, dan Dinas Kebersihan. Rencana

    penggabungan berbagai dinas terkait menjadi Dinas Tata

    Hijau atau Dinas Lansekap Kota, atau nama lain dalam

    satu atap agar mampu meningkatkan pelayanan pemban-

    gunan dan pengelolaan RTH, mungkin tetap perlu dikaji

    ulang. Perlu ada semacam Pedoman Pembangunan dan

    Pengelolaan RTH di Kawasan Perkotaan yang transparan

    dan akuntabel, sesuai dengan paradigma tata pemerin-

    tahan yang baik (good governance).

    6.1.1.2 Dilema Nilai Ekonomi, Sosial dan

    Budaya RTH-Kota

    RTH merupakan komponen utama lingkungan hidup

    kota sehat, yaitu terhadap keberlanjutan hidup kota dan

    warga kotanya, yang sampai saat ini tak tergantikan

    fungsi dan manfaatnya, sekali pun dengan pendekatan

    teknologi canggih. Ironisnya, Jakarta sebagai ibukota

    Negara, justru banyak memberikan contoh buruk dalam

    pengelolaan lingkungan hidup, terutama RTH kota, se-

    bagai akibat penataan ruang yang selalu terlalu mudah

    berubah sesuai kepentingan pengambil kebijakan, serta

    penerapan rencana sektor tanpa berkonsultasi dengan

    pihak lain, terutama warga kota.

    Di Jakarta dan sekitarnya telah banyak berdiri pabrik-

    pabrik yang dibangun di sepanjang aliran sungai, se-

    hingga terjadi deteriorasi lingkungan. Para nelayan dan

    pembudi-daya kerang hijau, maupun rumput laut di TelukJakarta melaporkan kepada Menteri Penerangan dalam

    pencanangan Kelompencapir Bahari (8/6/1996) bahwa

    budidaya kedua komoditi pertanian tersebut sudah ter-

    ancam tutup. Dugaan keras adalah akibat konsentrasi

    pencemaran air di muara-muara sungai dari hulunya (land

     based pollution). Kejadian ini mengingatkan kita pada pe-

    nyakit ‘Itai-itai’ dan kasus ‘Minamata’ di Jepang akibat

    akumulasi air raksa (merkuri) pada tubuh manusia yang

    merusak sistem susunan syaraf.

    Belum lagi, bila diperhitungkan nilai ameliorasi iklim,

    angin dan suara dari RTH kota, yaitu kenyamanan iklim

    mikro yang sejuk dan bersih, yang sekaligus dapat

    mencegah penyakit sik dan psikis. Implikasi ekonomis

    untuk mengetahui besar biaya yang sebenarnya, akibat

    dari peningkatan jumlah orang sakit, misalnya penyakit

    infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) dan semacamnya,

    perlu memperhitungkan biaya eksternalitas lingkungan,

    sehingga pernyataan tentang perlu adanya RTH sebagai

    penyeimbang lingkungan binaan tak hanya dinilai meng-

    ada-ada, namun berdasar pada perhitungan budaya-

     sosial-ekonomi yang nyata, seperti besaran kualitatif nilai

    tukar uang bila seseorang jatuh sakit, dan bila produk-

    tivitas SDM menjadi hilang atau berkurang, khususnya

    semakin rentannya tubuh anak di wilayah perkotaan aki-

    bat pencemaran lingkungan yang mempengaruhi tingkat

    kecerdasan anak.

    Sebagai negara yang ’dulu’ berbasis sektor agraris,

    akan sulit bagi penduduk kota yang sebagian besar me-

    mang para pendatang dari perdesaan atau kota-kota

  • 8/17/2019 Teori Taman

    9/34

    187Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    kecil. Kebijakan pemerintah dalam mendukung konsep

    pembangunan industri berbasis pertanian, di mana bu-

    daya agraris dengan lahan ekstensif ini bisa diintensifkan,namun tetap produktif. Teknologi yang menunjang sudah

    banyak kita kenal, di samping teknologi kultur jaringan

    dan hidroponik, ada pula yang disebut vertikultur, dan

    permikultur. Pemanfaatan ruang-ruang sisa, seperti teras

    dan atap rumah pun sudah lama dikenal dengan taman

    gantung (roof top garden).

    Teknologi penghitungan ‘indeks luas daun’ ( Leaf Area

    Indeks=LAI), sudah biasa dipakai untuk menghitung

    besaran cemaran air dan udara (gas dan partikel) yang

    bisa diserap dan dijerap oleh permukaan daun. Berbagai

    penelitian tentang bagaimana tanda-tanda biologis tana-

    man, apabila terjadi ketidak-seimbangan siologis, aki-

    bat pekatnya gradasi pencemaran juga telah dilakukan.

    (Lampiran 2: Penentuan luas RTH-Kota)

    Masyarakat sekitar lokasi pembangunan seringkali

    tidak pernah diberi informasi tentang rencana pemba-

    ngunan sik bangunan. Padahal masyarakat tersebut

    akan merasakan langsung dampak konstruksi pemba-

    ngunan, terlebih dampak negatif berupa debu, lumpur,

    kekeringan sumber air tanah, keamanan dan kenyaman

    hunian. Jadi, masih adakah yang memandang RTH kota

    tidak bernilai ekonomis, dibandingkan bangunan hotel,

    mal atau hipermarket?

    6.1.2 Kebijakan Penyelenggaraan RTH dalam

    Perencanaan Tata Ruang Kota

    Kebijakan pembangunan harus diterapkan melalui

    peraturan pengelolaan yang konsisten mengacu pada

    tata ruang aplikatif dan operasional dengan pengendalian

    peruntukan sesuai dengan daya dukung lingkungan me-

    lalui tertib administrasi pertanahan, mengurangi kesen-

     jangan kesejahteraan (poverty alleviation), konik sosial,dan kriminalitas. Adanya sarana transportasi multi-moda

    yang terpadu, termasuk ruang untuk para pejalan kaki

    dan sepeda, dan peningkatan jenis dan kualitas angkutan

    publik secara massal.

    RTH kota merupakan sub-ordinat ruang terbuka yang

    ada dalam konstelasi perencanaan ruang kota secara

    keseluruhan. Ditinjau dari sudut manusia, maka kon-

    sepsi pengelolaan LH menjadi kompleks. Di satu pihak,

    dengan berbagai pandangan dan latar belakang, manu-

    sia itu berbudaya (cultural contemplation), berperilaku so-

    sial (social behaviour), pertimbangan ekonomi (economic

    considerations), dan bersikap politik (political attitudes),

    semua terpadu sebagai salah satu komponen pendu-

    kung pengembangan lingkungan hidup (Haeruman, et.al.

    1980).

    Manusia akan selalu memandang, bahwa sumber

    daya itu akan menghasilkan barang dan jasa berupa

    materi, informasi dan energi, dalam siklusnya masing-

    masing, termasuk perhitungan antara daya dukung atau

    kemampuan asimilasi serta dampak negatif lingkungan.

    Sekarang, tergantung pada diri kita masing-masing,

    bagaimana menyadari eksistensi sumberdaya itu dan

    pemanfaatannya, terutama di lingkungan perkotaan, se-

    hingga dapat bermanfaat bagi kehidupan warga kota se-

    cara berkelanjutan. Dilihat dari sebuah unit sosial terkecil

    yaitu keluarga, maka ruang luar yang ada sebenarnya

    dapat dimanfaatkan secara optimal, dengan tanaman pot

    bunga, buah, sayuran, apotik hidup minimal untuk kebu-

    tuhan keluarga.

  • 8/17/2019 Teori Taman

    10/34

    188 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    Gambar 6.4

    Sungai sebagai alternatif moda transportasi di samping untuk rekreasi.

    Sepeda umum digunakan, sangat bermanfaat guna mengurangi

    pencemaran udara kota.

    Kota akan selalu menghadapi perobahan akibat akse-

    lerasi pembangunan secara menyeluruh, sehingga terjadi

    degradasi kualitas fungsi alami lingkungan. Kemacetan

    lalu-lintas yang semakin parah di seluruh bagian kota,

    pencemaran udara, air, tanah dan suara, banjir, keba-

    karan, dan krisis air bersih, berakibat penurunan kualitas

    kesehatan, produktivitas, dan kinerja warga kota.

    Perencanaan tata ruang kota selalu tertinggal dengan

    laju kebutuhan sik dan psikis penduduk yang semakin

    meningkat, baik dalam jumlah maupun kualitas. Ekspansi

    ruang kota ke segala penjuru tanpa terkendali. Penangan-

    an masalah lingkungan hidup kota, termasuk eksistensi

    RTH, masih bersifat parsial dan temporal.

    Berdasarkan beberapa fenomena sebagaimana

    diutarakan di atas, maka seyogyanya dalam merumus-

    kan kebijakan penyelenggaraan RTH dalam perencanaan

    tata ruang kota perlu dipahami betul latar belakang ar-

    gumentatif mengenai kebutuhan RTH dalam konteks

    pengembangan wilayah/kawasan dalam kaitannya de-ngan pemanfaatan/penggunaan (utility)  ruang dan sum-

    ber daya alam, produtitas (productivity), dan kelestarian

    (conservation) lingkungan dan sumber daya alam, sehing-

    ga rumusan-rumusan kebijakan tersebut tidak terdeviasi

    (bias) dari visi, misi dan tujuan semula dari pengemban-

    gan wilayah/kawasan yang telah ditetapkan.

    6.1.3 Strategi Penyelenggaraan RTH

     Akibat negatif pembangunan struktur bertingkat dan

    meningkatnya intensitas transportasi tak beraturan tanpa

    pertimbangan pengelolaan lingkungan yang bijaksana

    akan berpengaruh pada pengurangan kapasitas kemam-

    puan RTH.

    Dari beberapa penelitian kota-kota di luar negeri dike-

    tahui, bahwa setiap satu hektar RTH efektif mampu me-

    netralisir 736.000 liter limbah cair hasil buangan 16.355

    penduduk, dan mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen

    guna dikonsumsi 1.500 penduduk/hari. RTH mampu me-

    nyimpan 900 m3  air tanah/tahun, mentransfer air 4.000

    liter/hari, setara dengan pengurangan suhu 5-8° Celcius,

    setara dengan kemampuan lima unit alat pendingin uda-

    ra berkapasitas 2,500 Kcal/20 jam, meredam kebisingan

    25-80 persen dan mengurangi kekuatan angin sebanyak

    75-80 persen, tergantung pada jenis tanaman, iklim dan

     jenis tanah. Sebatang pohon dapat mendinginkan udara

    setara dengan kapasitas lima buah mesin pendingin uda-

    ra yang dioperasikan selama 20 jam/hari terus-menerus.

    Pada kawasan industri, jalur hijau pengaman selebar

    50 meter yang dibangun di sekelilingnya, akan mampu

  • 8/17/2019 Teori Taman

    11/34

    189Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    menurunkan pencemaran akibat meningkatnya konsen-

    trasi SO2 sebesar 70 persen, dan NO

    2 sebesar 67 persen

    (Konstruksi, 1995). Bila angka-angka tersebut ditransferke dalam hitungan biaya lingkungan tanpa RTH, jumlah-

    nya pasti akan melebihi biaya ekonomi jangka pendek,

    sebagaimana selalu dilansir para pengembang kota, se-

    perti hotel, plaza, mal, hipermarket dan semacamnya.

    Hasil penelitian dari luar negeri tersebut hanya bisa

    menjadi referensi saja, di mana sebaiknya dilakukan

    penelitian, senada sesuai dengan keadaan ekosistem

    kota tropis di Indonesia.

    Pencemaran udara di Jakarta sudah melampaui am-

    bang batas. Penelitian hubungan antara RTH terhadap

    pengelolaan kualitas udara di Jakarta membuktikan,

    bahwa dalam jangka waktu 10 tahun (1981-1991) terjadi

    peningkatan tujuh zat pencemar utama CO, CO2, NO

    X,

    SOX, TSP/zarah, HC, dan Pb secara signikan. Meski ter-

    dapat angka peningkatan yang berbeda di antara ketu-

     juhnya, ternyata beberapa zat tersebut secara variatif

    sudah melampai standar baku mutu. Sedang sumber

    pencemar diteliti dari empat kegiatan utama, yaitu dari

    kegiatan industri, transportasi, rumah tangga, dan pe-

    musnahan sampah (Purnomohadi, 1994).

    Keberadaan air tanah yang semakin dalam dan terce-

    mar pun menyebabkan intrusi air laut, amblasan tanah dan

    krisis air bersih. Sementara biaya penjernihan sumberdaya

    air melalui intake langsung dari alam sumur atau sungai

    meningkat tajam, akibatnya selain menjadi semakin lang-

    ka, harga air PAM pun semakin meningkat mahal dengan

    kualitas air yang belum tentu terjamin bersih dan sehat.

    Upaya untuk mengatasi masalah kelangkaan keterse-

    diaan RTH kota dapat dilakukan melalui pemanfaatan

    sisa-sisa lahan yang ada secara optimal. Penanaman

    ruang luar halaman pekarangan rumah atau di atas ba-

    ngunan bertingkat secara efektif memanfaatkan terasatau puncak gedung (rooftop garden), dengan tanaman

    aerofonik atau hidrofonik, dan semacamnya.

     Akibat keterbatasan lahan, pengembangan RTH di-

    mungkinkan mengarah ke atas. Lansekap vertikal (verti-

    cal landscape) tengah dikembangkan di kota Singapura,

    New York, Chicago, dan kota-kota berpenduduk padat

    di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang. Pengem-

    bangan lansekap vertikal berupa taman atap (roof deck

     gardens), taman gantung (sky terraces greenery), taman

    balkoni (landscape balconies), lapangan golf mini, atau

    taman kafe, ibarat oase di atas langit. Kehadirannya akan

    meningkatkan keindahan gedung dan melindungi bangun-

    an dari sengatan matahari yang berlebihan. Untuk mem-

    buktikan keseriusan komitmen tersebut, pemerintah dae-

    rah harus memelopori pembangunan lansekap vertikal di

    gedung-gedung pemerintah dan rumah susun.

    Konsep kembali ke alam merupakan upaya menuju

    ke hidupan alam asli ke dalam lingkungan kehidupan

    kota dan menyatukan dengan sumber-sumber kehidup-

    an alaminya. Pemahaman akan pentingnya upaya men-

     jaga fungsi lingkungan melalui keseimbangan antara

    RTH dengan ruang kota lain, akan sangat menentukan

    keberhasilan pembangunan kota berkelanjutan. Penge-

    lolaan lingkungan perkotaan, khususnya RTH tak lepas

    dari kebijakan dan strategi pengelolaan lingkungan hidup

    terpadu seperti program Tata Praja Lingkungan, yang

    difokuskan pada empat aspek pengelolaan, yaitu per-

    masalahan sampah, RTH, kualitas air, dan fasilitas umum

    lain yang terkait erat.

  • 8/17/2019 Teori Taman

    12/34

    190 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    Pengembangan perancangan keempat aspek terse-

    but seyogyanya dirancang agar masing-masing bagian

    infrastruktur dapat berfungsi optimal, tanpa menimbulkanmasalah dan bisa saling mendukung bagi masing-masing

    kota maupun dalam hubungan kemitraan antar berbagai

    pihak secara menyeluruh. Teknik-teknik pemecahan di-

    pelajari, direncanakan dan disesuaikan secara terbuka

    melalui pembangunan berbasis masyarakat, sehingga

    dapat menghindari kesalahan serupa dan hasilnya sema-

    kin sempurna.

    Niat baik mewujudkan kepemerintahan yang baik

    dalam pengelolaan lingkungan hidup, seperti program

    Bangun Praja (  good environmental governance, GEG) se-

    benarnya bukan barang baru, dulu dikenal dengan pro-

    gram Adipura yang dilaksanakan secara terpusat. Selaras

    dengan semangat otonomi daerah untuk mendorong dan

    meningkatkan kapasitas pengelolaan lingkungan hidup

    pemerintahan di daerah, perlu disadari bersama akan

    perlunya peninjauan berbagai kebijakan dan strategi pe-

    ngelolaan lingkungan hidup yang sesuai dengan tuntutan

    zaman.

    Sesuai dengan laju pembangunannya, maka kota-

    kota selalu menghadapi masalah. Terutama pada ta-

    hun terakhir ini telah terjadi suksesi permasalahan yang

    segera membutuhkan penyelesaian, sedangkan perma-

    salahan yang baru sudah mulai, dan timbul lagi. Masalah

    yang terjadi dimana-mana adalah akibat berlebihannya

    konsentrasi penduduk dan aktivitas di kota-kota besar.

    Permasalahan ini diperbesar oleh karakteristik sosial,

    akibat internasionalisasi, pentingnya pertumbuhan infor-

    masi dan teknologi tinggi yang harus dipertimbangkan.

    Pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk siap

    menghadapi perkembangan masalah masyarakat yang

    semakin menua ini. Meningkatnya kondisi lingkungandan keindahan, serta memastikan bahwa pengukuran-

    pengukuran perlu ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan

    akan rekreasi di ruang terbuka. Jadi perlu disadari, bahwa

    kota selalu menghadapi masalah-masalah penting baru.

    Untuk mengatasi hal seperti ini, pemerintahan kota

    harus melihat bahwa permasalahan tidak hanya dari segi

    perangkat keras (sik) saja, tetapi juga pada masalah

    perangkat lunak, seperti ekonomi, sosial dan budaya.

    Dengan demikian, strategi pembangunan menyeluruh ini

    akan meningkat.

    Di Jepang, perencanaan kota harus mampu meme-

    rankan diri sebagai suatu alat yang dapat menyelesaikan

    masalah secara menyeluruh, melalui pedoman untuk

    kota yang bersangkutan, seiring dan melalui konsultasi

    dengan Perencanaan Nasional Pembangunan Menye-

    luruh, dan Rencana Induk Pembangunan Wilayah, serta

    Strategi Rehabilitasi Lahan.

    Selanjutnya, perencanaan Kota Menyeluruh di Je-

    pang, tidak langsung diterapkan melalui hukum, karena

    kedisiplinan dan kesadaran hukum penduduk yang su-

    dah relatif tinggi. Perencanaan kota tetap dikombinasikan

    dengan peraturan hukum sebagai petunjuk yang kuat dan

    dapat dipertimbangkan, serta menyadari akan keterba-

    tasan aspek-aspek lain, seperti penata-gunaan tanah dan

    pembangunan prasarana perkotaan, serta proyek-proyek

    pembangunan kota. Jadi, tetap ada semacam kekuatan

    hukum sebagai penunjangnya.

  • 8/17/2019 Teori Taman

    13/34

    191Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    6.2 PROGRAM DAN PENTAHAPAN

    PENGADAAN RTH

    Pengadaan RTH bagi kota yang sudah terbanguntentu membutuhkan pemikiran-pemikiran yang dapat di-

    pertanggung-jawabkan di kemudian hari. Relatif masih

    rendahnya kepedulian dan kesadaran perlunya eksistensi

    RTH, bahwa RTH Kota tak hanya berfungsi sebagai peng-

    isi ruang-ruang di antara bangunan saja, namun adalah

    lebih luas dari itu. Dalam pembangunan kota berkelan-

     jutan mutlak dipertimbangkan ada pembangunan RTH

    secara khusus, berdasar pada serangkaian fungsi pen-

    ting RTH dalam Rencana Induk Kota baik dalam jangka

    pendek maupun panjang.

    6.2.1 Pengembangan RTH Kota Jangka Pendek

    Kegiatan pengembangan Kota Jangka Pendek, an-

    tara lain:

    • Refungsionalisasi dan pengamanan jalur-jalur hijau

    alami, seperti di sepanjang tepian jalan raya, jalan tol,

    bawah jalan layang (y-over), bantaran kali, saluran

    teknis irigasi, tepian pantai, bantaran rel kereta api,

     jalur SUTET, tempat pemakaman umum (TPU), dan

    lapangan olahraga, dari okupasi permukiman liar.

    • Mengisi dan memelihara taman-taman kota yang sudah

    ada, sebaik-baiknya dan berdasar pada prinsip fungsi

    pokok RTH (identikasi dan keindahan) masing-masing

    lokasi.

    • Memberikan ciri-ciri khusus pada tempat-tempat stra-

    tegis, seperti batas-batas kota dan alun-alun kota.

    • Memotivasi dan memberikan insentif secara material

    (subsidi) dan moral terhadap peran serta masyarakat

    dalam pengembangan dan pemeliharaan RTH secara

    optimal, baik melalui proses perencanaan kota, mau-

    pun gerakan-gerakan penghijauan.

    • Prasarana penunjang dalam pengembangan RTH yangdibutuhkan, adalah tenaga-tenaga teknisi yang bisa me-

    nyampaikan konsep, ide serta pengalamannya dalam

    mengelola RTH, misal pada acara penyelenggaraan

    pelatihan dan pendidikan pada Pusat Pendidikan dan

    Pelatihan Pusdiklat). Dibutuhkan sosialisasi dan pe-

    nyuluhan secara berkala kepada pihak-pihak yang

    berkepentingan, maupun masyarakat umum secara

    luas.

    6.2.2 Pengembangan RTH Kota Jangka Panjang

    Penyuluhan pengembangan RTH dapat dilakukan

    melalui instansi pemerintah daerah yang secara resmi

    ditunjuk dan erat kaitannya dengan penghijauan kota,

    mulai dari tingkat kota/kabupaten, camat, lurah/kepala

    desa, hingga lingkungan RT/RW, dewan legislasi, or-

    ganisasi-organisasi kemasyarakatan, sekolah, pramuka,

    rumah sakit, perkantoran, dan berbagai bentuk media

    massa cetak (surat kabar, majalah, buletin) serta media

    elektronik (radio, televisi, internet). Program pengemba-

    ngan RTH, seperti umumnya pengelolaan sumberdaya

    alam dan lingkungan, bukan hanya merupakan tanggung

     jawab pemerintah saja, tetapi seluruh unsur kemasyara-

    katan bersama dengan pemerintah hendaknya dapat

    mengelola RTH dalam sistem kepemerintahan yang baik

    (good governance) demi kepentingan bersama pula.

    Pendapat beberapa pakar, antara lain Pope (2003)1,

    mengatakan bahwa, bila ingin mengetahui beraneka-

    ragam budaya dapat ‘mengerti’ dunia alami, pergilah ke

    kota-kota mereka, amati konstruksi terbaru dengan baik,

  • 8/17/2019 Teori Taman

    14/34

    192 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    lakukan observasi transformasi stratejik yang ada, maka

    tanpa pertimbangan proses urbanisasinya, kenyataan

    yang terjadi adalah bahwa pergerakan dari alam ke ling-kungan kota ini tak bisa diprediksi, sebab horizon perkota-

    an yang bagaimana pun adalah dimana keberadaan alam

    dan kotanya selalu berhubungan, artinya eksistensi kota

    tak akan ada tanpa unsur alam. Dengan melihat kota,

    maka dapat dikirkan bagaimana dunia alaminya.

    Sistem transformasi yang terjadi dari tahun 1950-an,

    dimana masih banyak dianut sistem kota berbentuk ‘grid-

     iron’ sampai abad ke 19, menuju kepada sistem ‘cul de sac’ abad ke 20, dan seterusnya, merupakan gambaran

    kejadian fragmentasi kerja yang radikal pada baik kota

    maupun lingkungan alami, menjabarkan keberlanjutan

    tunggal, atau dunia dalam perobahan kota-kota yang

    terus meluas, menduduki (ekspansi) suatu kota.

    Dalam perkembangan kota-kota di Indonesia, apa

    yang kita saksikan saat ini (tahun 2005-2006) merupakan

    dampak dari terjadinya krisis multi dimensional sejak ta-

    hun 1997-1998 yang sampai kini ternyata belum dapat

    diselesaikan secaa tuntas. Penyebab utamanya adalah

    tidak konsistennya pengelolaan kota pada umumnya un-

    tuk secara hati-hati mengikuti Rencana Induk kota (RTH

    di dalamnya) agar fungsi RTH betul-betul dapat dirasakan

    manfaatnya secara menerus (continuity).

    Moda Ekspansi: untuk dapat mengerti ‘batas’ antar

    kawasan kota dan alam, perlu diketahui sesuatu tentang

    mekanisme ekspansi kota. Pola kota yang berbentuk ko-

    tak (grid), maupun pola ‘radial’, berkembang sampai akhir

    abad ke 19, yang menerus dan kemudian tumbuh pola

    ‘cul de sac’ yang terputus-putus, ketiganya terus tum-

    buh berkembang pada jalan yang berbeda. Tiap moda

    ekspansi merupakan kepastian yang juga telah memper-

    timbangkan bagaimana lingkungan kota dan lingkungan

    alam itu saling eksis dan bagaimana keduanya berhasilatau tidak membentuk suatu batas luar suatu kota (urban

    frontiers). Dapat dilihat dari melebarnya kota-kota secara

    horisontal dan ke semua arah dari waktu ke waktu.

    Karena itu diperlukan suatu rencana pengembangan

    kota jangka panjang, termasuk perteletakan dan penge-

    lolaan RTH-nya, yang kemudian implementasinya pun ha-

    rus diikuti secara konsisten. Walau ada perubahan dalam

    letak atau luas kawasan karena tuntutan waktu (jaman),namun sedapat mungkin RTRK yang telah direncana dan

    ditetapkan untuk paling tidak 25 tahun mendatang bisa

    tetap dijadikan pedoman, karena hal tersebut merupakan

    hasil pemikiran komprehensif, holistik secara koordinatif

    dari unsur-unsur perencanaan pembangunan kota yang

    tentu sudah mempertimbangkan segala aspek pertum-

    buhan berbagai bidang (kependudukan, IPTEK, kese-

    imbangan fungsi lingkungan, dan seterusnya).

    Ide pola pengembangan kota berbentuk kotak ini

    abad ke 19 ini, karena keinginan untuk ‘membuka ru-

    ang kota’ dengan meletakkan jalur lalu-lintas semacam

    urat nadi dalam tubuh. Contoh-contoh kota berpola grid

    tersebut: The Cerda Plan of Barcelona, The By-law Street

    of London, The Massive Kreuzberg District of Berlin, The

    Comissioner’s Plan Manhattan. Semua berkembang

    menjadi kota-kota besar tetap berdasar pola kotak-kotak

    tersebut. Bentuk RTH nya pun lalu mengikuti jalur, um-

    umnya berbentuk persegi empat, termasuk lahan yang

    khusus diperuntukkan bagi ‘agricultural allotments’ atau

    mengikuti bentuk topogra yang ada.

    Mengingat pertumbuhan RTH di kota-kota Indonesia

  • 8/17/2019 Teori Taman

    15/34

    193Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    dapat dikatakan ‘baru’ disadari sekitar tahun 1965-an di

    Jakarta, dimulai oleh perlu adanya pendidikan SDM bi-

    dang profesi arsitektur lansekap tahun 1963 oleh PemdaDCI Djakarta, maka pola pengembangan RTH-nya pun

    sudah berkembang meski pun relatif lambat. Kota-kota

    terutama di pulau Jawa, sebagian besar direncanakan

    kembali oleh pemerintah kolonial Belanda berdasar pada

    pola tata ruang kerajaan di mana di pusat kota disediakan

    ruang terbuka yang disebut alun-alun, atau di negara

    barat biasa disebut square. Di ke empat sisi terletak kan-

    tor-kantor pusat pemerintahan. Mulai dari istana (Balai-kota), kemudian rumahsakit, lembaga pemasyarakatan,

    pengadilan, kejaksaan dan lembaga pelayanan masyara-

    kat lain. Pola semacam ini diaplikasikan juga pada be-

    berapa kota lain di luar pulau Jawa.

    Yang patut dipertimbangkan dalam pengelolaan RTH

     jangka panjang, adalah agar kawasan pinggiran kota (hin-

    terland) tidak sampai semakin terlalu melebar sehingga

    ‘memakan’ daerah luar kota, sehingga jarak pelayanan

    menjadi terlalu panjang, sehingga sulit pelaksanaannya.

    Selain itu tanah-tanah yang biasanya relatif lebih subur di

    luar kawasan kota, berubah fungsi menjadi kawasan ter-

    bangun yang tak beraturan (urban sprawl), seolah tanpa

    perencanaan matang. Dapat dikatakan bahwa kejadian

    semacam ini disebut kegagalan perencanaan ruang se-

    cara total.

    6.2.3 Perencanaan dan Pengendalian RTH Kota

    Inventarisasi potensi alam merupakan dasar kela-

    yakan pembangunan RTH, khususnya sebagai dasar un-

    tuk menentukan letak dan jenis tanaman. Inventarisasi ini

    sangat diperlukan berdasar pada keterkaitan kondisi sik,

    sosial dan ekonomi, meliputi pendataan keadaan iklim

    (curah hujan, arah angin, suhu dan kelembaban udara);

    data topogra dan kongurasi kondisi alam adalah untuk

    menentukan tipe RTH kota; kemudian geologi, jenis ta-

    nah dan erodibilitas untuk penentuan jenis RTH; jaringan

    sungai, potensi dan pelestarian jenis, jumlah, dan kondisi

    fauna dan ora lokal. Umumnya keberadaan dan jenis

    fauna sangat berkaitan erat pula dengan jenis ora yang

    ada (existing, biota endemic).

    Penggunaan lahan (land use) dan keadaan yang mem-

    pengaruhinya perlu dikompilasi melalui pengumpulan data

    mengenai kedua hal tersebut, yaitu: meliputi penggunaan

    tanah serta penyebaran bangunan, daerah permukiman,

    perdagangan, industri, pusat pemerintahan, pusat per-

    belanjaan, tempat rekreasi, dan jaringan transportasi.

    Keadaan yang mempengaruhi penggunaan tanah adalah

    demogra jumlah dan persebaran penduduk, prosentase

    Gambar 6.5

    Rumah menghadap kali dan lansekapnya ditata secara sederhana.

  • 8/17/2019 Teori Taman

    16/34

    194 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    pertambahan jumlah, komposisi penduduk, dan keadaan

    sosial ekonomi. Kedua data ini dipergunakan untuk me-

    nentukan tipe, lokasi, dan jumlah RTH.Inventarisasi aktivitas dan permasalahannya meliputi

    data aktivitas yang dikumpulkan, terutama kegiatan-

     kegiatan yang bisa menimbulkan dampak negatif ter-

    hadap lingkungan. Tingkat atau besaran aktivitas akan

    menentukan luas RTH yang dibutuhkan dalam upaya

    menetralisir pengaruh negatif yang ditimbulkannya terse-

    but. Pengumpulan data sik (utama), meliputi:

    • Jumlah dan laju pertambahan kebutuhan air danoksigen;

    • Jumlah dan tingkat pertambahan penggunaan bahan

    bakar;

    • Jumlah dan laju pertambahan kendaraan bermotor;

    • Jumlah dan laju pembuangan limbah industri/rumah

    tangga;

    • Nilai kualitatif dan kuantitatif dari permasalahan lain

    yang sering timbul, seperti banjir, intrusi air laut, abrasi,

    erosi amblasan tanah, dan tingkat pencemaran lain.

    Kemudian, perlu disusun Rencana Kerja Berkala, me-

    liputi Rencana Jangka Pendek, (Menegah), dan Panjang.

    Kebijakan umum pengembangan RTH, yang dilengkapi

    langkah-langkah pelaksanaan menurut waktu dan skala

    prioritas.

    Monitoring dan Evaluasi secara berkala dan terus

    menerus, guna mendapat data akurat yang dapat diper-

    gunakan sebagai dasar perbaikan dan pengembangan di

    masa datang.

    6.2.4 Pola Penyelenggaraan RTH

    Pelaksanaan pembangunan RTH sebaiknya dapat di-

    lakukan sendiri oleh unit instansi pemerintah daerah yangditunjuk sebagai pengelola RTH, berdasar tugas pokok

    dan fungsi serta bentuk dan kriteria unit tersebut, atau,

    mungkin karena ada berbagai keterbatasan, mungkin

    pula untuk dikontrakkan sebagian atau seluruh peker-

     jaannya kepada pihak lain yang tentu harus bisa menge-

    lola secara bertanggung jawab sampai dengan monitor-

    ing dan evaluasinya.

    Selaras dengan semangat otonomi daerah yang ber-dasar azas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas per-

    bantuan, maka organisasi pengelolaan dan pengembang-

    an RTH kota dapat disusun sebagai berikut:

    Penanggungjawab: Kepala Wilayah (Bupati/Walikota).

    Perencana & Pengendali: Bappeda/Bapedalda/ BLH/ 

    Unit PLH.

    Pelaksana: Dinas-dinas Tata Kota, Pertamanan, Pe-

    makaman, Pertanian, Kehutanan, dan pemilik lahan

    (individu/swasta).

    6.2.5 Perkembangan dan Pembangunan RTH

     Akibat pembangunan tidak berwawasan lingkungan,

    luas RTH kota di berbagai kota semakin berkurang, jauh

    dari luas optimal 30 persen dari total luas kota. Secara

    umum, permasalahan ketidaktersediaan RTH kota secara

    ideal disebabkan oleh (Purnomohadi, 1994 dan KLH,

    2001):

    (1) Inkonsistensi kebijakan dan strategi penataan ruang

    kota, kurangnya pengertian dan perhatian akan ur-

    gensi eksistensi RTH dalam kesatuan wilayah/kawasan

    perkotaan. Perencanaan strategis pembangunan RTH

  • 8/17/2019 Teori Taman

    17/34

    195Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    di daerah belum memadai, karena dianggap sebagai

    ruang publik (common property) yang secara ekonomis

    tidak menguntungkan sehingga saling melepas tang-gungjawab;

    (2) Pemeliharaan RTH tidak konsisten dan tidak rutin.

    RTH sering dianggap sebagai tempat sampah, gubug

    liar dan sarang vektor pembawa penyakit, sehingga cen-

    derung lebih menjadi ‘masalah’ dibanding ‘manfaat’;

    (3) Kurangnya pemahaman (butir 1), berakibat tidak ter-

    sedianya RTH yang memadai, semakin mengurangi

    peluang bagi warga kota, terutama anak-anak, remaja,wanita, manusia usia lanjut dan penyandang cacat,

    untuk mendapat pendidikan dan pelajaran tentang ke-

    hidupan langsung dari alam sekitar, serta fasilitas olah

    raga, berekreasi dan bermain;

    (4) Pencemaran ekosistem perkotaan terhadap media

    tanah, air dan udara semakin meningkat dan menim-

    bulkan penyakit sik dan psikis yang serius.

    Pernyataan ‘hidup sehat itu mahal’ telah dibuktikan

    oleh para pakar kesehatan maupun para penderita pe-

    nyakit. Hubungan antara pencemaran pada media ling-

    kungan udara, air dan tanah dengan kesehatan sangat

    terkait erat, sebab warga kota akan menghirup udara ter-

    cemar yang sama, makan dari hasil produksi bahan men-

    tah dari sumberdaya buatan maupun alami yang relatif

    sama, di mana siklus rantai makanan (nutrient), terpaksa

    atau tumbuh melalui media tanam yang sudah tercemar.

    Sebagaimana kehidupan tubuh manusia yang sehat

     jasmani dan rohani, maka tubuh kota pun dapat selalu

    dijaga kesehatannya. RTH kota sebagai paru-paru kota,

    mampu menghasilkan udara bersih dan iklim mikro. Alur

    sungai yang ada dalam tubuh kota diumpamakan se-

    bagai aliran darah yang harus selalu bersih dan lancar.

    Ketersediaan RTH digunakan sebagai salah satu krite-ria pengembangan Kota Sehat, di mana warga kotanya

    dapat hidup sehat pula.

    Perencanaan RTH kota harus dapat memenuhi kebu-

    tuhan warga kota dengan berbagai aktivitasnya. Kepmen

    PU No. 387 tahun 1987, menetapkan kebutuhan RTH

    kota yang dibagi atas: fasilitas hijau umum 2,3 m2 /jiwa,

    sedang untuk penyangga lingkungan kota (ruang hijau)

    15 m2 /jiwa.Dengan demikian, secara menyeluruh kebutuhan akan

    RTH kota adalah sekitar 17,3 m2 /jiwa. RTH tersebut harus

    dapat memenuhi fungsi kawasan penyeimbang, konser-

    vasi ekosistem dan pencipta iklim mikro (ekologis), sa-

    rana rekreasi, olahraga dan pelayanan umum (ekonomis),

    pembibitan, penelitian (edukatif), dan keindahan lansekap

    kota (estetis).

    Semua jenis RTH harus diusahakan dapat berfungsi

    estetis, karena secara alami manusia membutuhkan

    hidup dekat dengan alam yang asri, nyaman dan sehat,

    sehingga terjadi siklus kehidupan penunjang fungsi eko-

    sistem alam.

    Kota identik dengan deretan beranekaragam bangun-

    an-bangunan yang dibuat oleh manusia. Bangunan pe-

    rumahan, perkantoran, sarana umum seperti pasar atau

    pusat perbelanjaan, rumah sakit, terminal, jalan raya,

    tempat hiburan, dan lain-lain dibangun demi kepentingan

    manusia (Nazarudin, 1996).

    Sebagian besar wilayah/kawasan perkotaan di In-

    donesia mengalami kemunduran secara ekologis yang

    diakibatkan oleh ketidakharmonisan hubungan manusia

  • 8/17/2019 Teori Taman

    18/34

    196 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    Tabel 6.1: Standar RTH Kota, Kriteria Unit-unit Lingkungan

    Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU (1987)

    UNIT LINGKUNGAN

    PERENCANAAN

    Lingkungan I

    Lingkungan II

    Lingkungan III

    Lingkungan IV

    Lingkungan V

    UNIT LINGKUNGAN

     ADMINISTRASI

    Rukun Tetangga

    Rukun Warga

    Kelurahan

    Kecamatan

    Wilayah Kota

    JUMLAH PENDUDUK

     YANG MENDUKUNG

    250 jiwa

    3.000 jiwa

    30.000 jiwa

    200.000 jiwa

    1 juta jiwa

    Tabel 6.2: Kebutuhan akan RTH

    Sumber: Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota, Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU (1987)

    Unit Lingkungan

     

    L-I

    (250 jiwa)

    L-II(3000 jiwa)

    L-III

    (30.000 jiwa)

    L-IV

    (200.000 jiwa)

    L-V

    (1 juta jiwa)

    Penyempurnaan

    Jenis Ruang Terbuka

     yang Dibutuhkan

    Tempat bermain

    anak-anak

    Taman +Lapangan Olahraga

    Taman +

    Lapangan Olahraga

    Taman +

    Stadion Kecil

    Taman Kota +

    Kompleks Stadion

    Pemakaman

    Hutan Kota

    Jalur Hijau

    Jumlah

    Luas/Unit

    (m2 )

    250

    1.500

    10.000

    40.000

    150.000

    Standar/ 

    Kapita

    (m2 /kapita)

    1,0

    0,5

    0,33

    0,2

    1,5

    0,58

    6,0

    15,0

    Lokasi

     

    Di tengah kelompok pemukiman

    Di pusat kegiatan RW

    Dikelompokkan dengan sekolah

    Dikelompokkan dengan sekolah

    Di puast wilayah/tersendiri

    Di luar pusat wilayah (pinggir kota)

    Di gabung dalam kesatuan yang kompak

    Tersebar

  • 8/17/2019 Teori Taman

    19/34

    197Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    dengan lingkungan hidup. Hal ini ditandai dengan mening-

    katnya suhu udara di perkotaan, penurunan air tanah,

    banjir/genangan, penurunan permukaan tanah, intrusi airlaut, abrasi pantai, pencemaran air oleh bakteri dan unsur

    logam, pencemaran udara seperti peningkatan debu, ka-

    dar karbon monoksida (CO), ozon (O3 ), karbon-dioksida

    (CO2 ), oksida nitrogen (NO) dan belerang (SO), serta sua-

    sana yang gersang, monoton, bising, dan kotor (Dahlan,

    1992).

    Menimbang hal tersebut, maka pembangunan RTH

    berupa hutan kota sebagai salah satu alternatif pemecah-an permasalah lingkungan perkotaan yang kompleks,

    sangat diperlukan. Hutan kota yang dibangun dan dikem-

    bangkan dapat mengurangi monotonitas, meningkatkan

    keindahan, membersihkan lingkungan dari pencemaran

    dan perusakan, meredam kebisingan, dan beberapa

    keuntungan lain.

    Pada dasarnya hutan kota merupakan bagian Ruang

    Terbuka Hijau (RTH) kota. Pembangunan hutan kota me-

    miliki makna mengamankan ekosistem alam yang besar

    pengaruhnya terhadap eksistensi dan kelangsungan

    hidup kota itu sendiri. Hal ini perlu disadari oleh warga

    kota itu sendiri, sebab sudah menjadi kenyataan, bahwa

    potensi masyarakat merupakan hal utama dalam mem-

    bentuk wajah kota yang hijau dan indah. Oleh karena itu,

    peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam pembangun-

    an dan pengembangan hutan kota.

    Hutan Kota adalah lahan yang bertumbuhan po-

    hon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah

    perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak,

    yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang

    berwenang (PP No. 63 Tahun 2002).

    Pengertian Kota yang nyaman dan menyehatkan

    adalah kota dengan lingkungan yang kondusif bagi ter-

    wujudnya lingkungan yang bebas polusi, tersedianya airbersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan

    dan permukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang

    berwawasan lingkungan, serta terwujudnya kehidupan

    dalam suasana kemasyarakatan yang akrab dan saling

    tolong menolong, dan dengan upaya untuk tetap meme-

    lihara nilai-nilai budaya bangsa.

    Salah satu metode paling efektif dalam mengenda-

    likan pencemaran udara adalah pengendalian pada sum-bernya, tetapi metode ini belum menjamin 100 persen

    efektif dan esien, karena keterbatasan teknologi serta

    dukungan nansial. Salah satu alternatifnya adalah peng-

    gunaan metode pengendalian pencemaran udara bukan

    pada sumber pencemar, salah satunya yaitu dengan

    mempertimbangkan peran RTH.

    6.3 STANDAR DAN KEBUTUHAN RTH KOTA Secara selintas standar dan kebutuhan kota telah se-

    dikit diuraikan pada Bab II, namun standar itu mengacu

    pada pembangunan kembali (renovasi) kota Rotterdam

    di negeri Belanda, yang hampir rata tanah akibat Perang

    Dunia ke II. Standar semacam itu memang sangat ideal

    apalagi bila jumlah pendudukya relatif tetap.

    Bagaimana untuk kota-kota di Indonesia? Banyak

    pertimbangan perlu didiskusikan sebab Negara Kepulau-

    an terbesar di dunia ini, mempunyai ciri-ciri khusus, baik

    dari lingkungan terestrial apalagi lingkungan kelautannya.

    Dari segi kondisi iklim (tropis) saja, sebarannya pun sa-

    ngat luas dan beragam, dari iklim tropis basah, sedang

    sampai kering. Iklim tropis pegunungan dataran tinggi,

  • 8/17/2019 Teori Taman

    20/34

    198 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    sampai ke kawasan perairan dari hulu samai hil ir (sungai,

    danau, lahan basah) sampai ke kawasan pesisir dengan

    sumberdaya hayati yang juga beranekaragam, berupakawasan mangrove, terumbu karang dan padang lamun

    yang tersebar di seluruh kawasan NKRI.

    Menyadari akan keanekaragaman di berbagai lokasi

    di seluruh penjuru tanah air ini, maka menjadi tugas kita,

    terutama arsitek lansekap untuk sedapat mungkin beru-

    saha menjaga keanekaragaman tipe ekosistem yang ada,

    sebab sesuai prinsip ‘hetereogenitas dalam stabilitas’

    fungsi kingkungan pendukung kehidupan manusia danmakhluk hidup lain.

    Standar RTH Kota telah diterbitkan oleh Departe-

    men Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Cipta Karya,

    disesuaikan dengan hierarkhi unit lingkungan adminsitra-

    tif sesuai dengan jumlah penduduknya (tabel). Sedangkan

    tabel selanjutnya, adalah tentang kebutuhan akan jenis

    RTH kota, dari masing-masing unit lingkungan dari sum-

    ber yang sama, memperlihatkan perkiraan luasan RTH

    yang dibutuhkan mencakup jenis pelayanan RTH dan

    luasan per unit lingkungan. Kedua tabel tersebut, tentu

    dapat berubah secara dinamis karena kondisi lingkungan

    pun tak pernah tetap. Jadi bukan merupakan pedoman

    yang mati, namun disesuaikan dengan tuntutan pemenu-

    han kebutuhan masyarakat sesuai kondisi geograsnya.

    6.3.1 Standar RTH Kota

    Sebagaimana telah disebutkan, beberapa pakar meng-

    acu pada para peneliti negara lain yang telah dituangkan

    dalam berbagai literatur, yang mengemukakan bahwa

    luas RTH Kota yang akan dibangun ditetapkan menurut

    persentase dari luas kota. Ada yang menyatakan 10, 20,

    25, 30, 40, 50, hingga 60 persen dari total luas kota.

    Dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri)

    No. 14 Tahun 1988 Tentang Penataan RTH di WilayahPerkotaan, setiap kota dianjurkan untuk menyediakan

    area sebagai kawasan RTH; sebesar 40-60 persen dari

    total luas wilayah kota, hal ini didasarkan pada pertim-

    bangan keamanan khusus yang ditinjau dari segi kese-

    imbangan alami lingkungan hidup perkotaan.

    Penentuan luas lahan RTH kota umumnya dihitung

    berdasar pada jumlah penduduk. Luasan RTH kota di

    Malaysia ditetapkan sebesar 1,9 m2

     /penduduk, sedang-kan di Jepang 5,0 m2 /penduduk (Tong Yiew, 1991). De-

    wan kota Lancashire, Inggris menentukan 11,5 m2 /pen-

    duduk, dan Amerika 60 m2 /penduduk, sedangkan di DKI

    Jakarta taman untuk bermain dan berolahraga diusulkan

    1,5 m2 /penduduk (Rifai, 1991).

    Standar penentuan RTH berdasarkan jumlah pen-

    duduk juga telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Cip-

    ta Karya, Departemen Pekerjaan Umum (DPU, 1987) ber-

    dasar pada kriteria unit-unit lingkungan sebagai berikut:

    Di dalam total peredaman cemaran udara oleh ling-

    kungan terdapat komponen peredaman cemaran udara

    vegetasi hijau, termasuk hutan kota. Kemampuan hu-

    tan kota dalam memberikan sumbangan kepada proses

    peredaman cemaran didekati dengan menggunakan

    peubah-peubah yang menyangkut keragaan dan kinerja

    kelompok tumbuhan pembentuk hutan kota, mencakup

    sifat-sifat sik dan sifat-sifat siologis serta metabolistik

    tumbuhan yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai

    berikut:

    • Luas hutan kota (dalam satuan hektar), yang menca-

    kup luas liputan lahan hutan kota dan prakiraan luas

  • 8/17/2019 Teori Taman

    21/34

    199Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    Gambar 6.6: Central Park New York 1858.

    Michael Laurie, An Introduction to Landscape Architecture

    efektif penutupan tajuk hutan kota, untuk setiap jenis

    hutan kota.

    • Indeks Luas Daun ( Leaf Area Index  /LAI)-(dalam satuanha/ha), berdasar prapendugaan untuk semua kelom-

    pok tumbuhan di dalam setiap jenis hutan kota. Peubah

    penciri hutan kota ini dinyatakan dalam satuan rata-

    rata tertimbang terhadap sebaran luas masing-masing

    kelompok tumbuhan setiap jenis hutan kota.

    • Biomassa (B satuan ton), untuk semua kelompok tum-

     buhan di dalam setiap jenis hutan kota, diduga berdasar-

    kan peredaman CO2 oleh hutan kota, yang pada hakekat-nya merupakan penggunaan konsumtif CO

    2 oleh veg-

    etasi pembentuk hutan kota dalam proses fotosintesis.

    • Indeks kesempurnaan Arsitektur Lansekap (dimension-

     less), yang merupakan gabungan (komposit) dari In-

    deks Kesempurnaan Disain Pertamanan dan IndeksKesempurnaan Komposisi Jenis Tanaman.

     

    6.3.2 Penentuan Luas RTH

    Wilayah Kota (kawasan perkotaan) adalah kawasan

    yang sengaja dibangun sebagai pusat-pusat permukim-

    an, beserta segala sarana umumnya (perkantoran, pasar,

    sekolah, rumah sakit, industri terbatas, tempat-tempat

    rekreasi), yang berkembang secara dinamis dan meru-pakan simpul-simpul jasa pelayanan, serta mempunyai

    ciri khusus kehidupan perkotaan. Kegiatan utamanya

  • 8/17/2019 Teori Taman

    22/34

    200 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    sesuai dengan susunan fungsi kawasan perkotaan terse-

    but, adalah sebagai pemusatan dan distribusi berbagai

    pelayanan, seperti jasa kepemerintahan, pelayanan sosial(sarana pendidikan, rumah sakit), dan kegiatan ekonomi

    (perdagangan, pasar, industri terbatas).

    Nazaruddin (1996), mengatakan bahwa kota identik

    dengan bangunan-bangunan yang dibangun oleh manu-

    sia untuk memenuhi kebutuhannya, seperti perumahan,

    perkantoran, sarana umum (pasar, rumah sakit, terminal,

     jalan raya, tempat hiburan, termasuk juga sarana RTH

    kota. Akibat krisis moneter berkepanjangan, yang diikutioleh krisis manajemen kepemerintahan, maka sebagian

    besar wilayah perkotaan Indonesia, semakin mengalami

    degradasi lingkungan (kemunduran secara ekologis) di-

    tandai oleh ketidakharmonisan hubungan antara manu-

    sia dengan lingkungan hidupnya, seperti meningkatnya

    suhu udara, terbentuk pulau panas (heat island) di atas

    media udara kawasan perkotaan; peningkatan pencema-

    ran udara, seperti karbon monoksida (CO), ozon (O3 ), kar-

    bon-dioksida (CO2 ), oksida nitrogen (NO), belerang (SO)

    dan debu; penurunan muka air tanah, pencemaran air ta-

    nah dan air permukaan, sehingga air baku air minum pun

    menjadi kotor, berbau, mengandung logam berat; terjadi

    pula amblasan tanah, intrusi air laut, dan abrasi pantai.

     Akhirnya, terbentuklah suasana yang gersang, monoton,

    bising dan kotor, sebagaimana dirasakan saat ini (Purno-

    mohadi, 1995, Dahlan,1992).

    Berdasarkan kondisi tersebut, maka pengelolaan

    RTH kota secara menyeluruh (rehabilitasi, rekonstruksi,

    dan peningkatan upaya pemeliharaannya), merupakan

    hal mutlak yang harus segera dilakukan, sebagai alter-

    natif penting dalam pemecahan permasalah lingkungan

    perkotaan yang sudah amat kompleks dan tidak seim-

    bang ini.

    Melalui pembangunan sistem RTH kota (Urban ParkSystem) sebagai penyeimbang kondisi lingkungan, akan

    mengurangi monotonitas, meningkatkan keindahan,

    membersihkan lingkungan, meredam kebisingan, peng-

    hasil produksi tetumbuhan,  intangible maupun tangible,

    bagi kemaslahatan hidup warga kota.

    Saat ini, di kota-kota besar terutama yang sudah

    bersifat ‘metropolis’, akibat kurangnya apresiasi akan

    pentingnya eksistensi RTH ini telah menyebabkan lua-san RTH semakin berkurang. RTH adalah salah satu milik

    umum (common property) yang mungkin keberadaannya

    tak terlalu dipentingkan, sehingga pemerintahan kota

    mengikuti kebutuhan dasar para ‘urbanis’ yang terus me-

    ningkat, serta tak sebanding dengan ruang yang ada. Hal

    itu menimbulkan hal-hal sebagai berikut:

    • Inkonsistensi kebijakan dan strategi penataan RTH

    dalam tata ruang kota yang sudah ditetapkan, dan

    yang sudah diakomodasi secara menyeluruh dalam

    Rencana Induk Kota atau Rencana Umum Tata Ruang

    (RUTR).

    • Pemeliharaan RTH tidak konsisten dan tidak rutin,

    menyangkut pula pemilihan jenis tanaman yang tidak

    sesuai secara ekologis kondisi bio-geograsnya pada

    masing-masing lokasi.

    • RTH sering dianggap sebagai tempat sampah dan

    sarang vector berbagai penyakit.

    • Pemahaman masyarakat pada umumnya sangat

    kurang, khususnya amat terbatasnya pendidikan prak-

    tis yang langsung berhubungan dengan alam sekitar.

    • Minimnya fasilitas RTH, berupa lapangan olahraga

  • 8/17/2019 Teori Taman

    23/34

    201Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    dan tempat bermain anak, maupun taman rekreasi

    untuk para lansia, padahal telah diketahui amat pen-

    ting dalam mendukung perkembangan (proses) moto-

    rik pada anak-anak serta keseimbangan mental bagi

    orang dewasa.

    • Pencemaran media lingkungan (tanah, air, dan uda-

    ra) secara sik pasti menimbulkan masalah kesehatan

    yang serius, khususnya bagi manusia yang rentan ter-

    hadap penyakit, para lansia dan balita (Purnomohadi,

    2003).

    6.4 PEMBANGUNAN RTH KOTA 

    Manusia, dalam ‘membangun’ kota telah mengubah

    tapak alami secara drastis. Awal teknik pembangunan

    memang mengajarkan ‘land clearing’  terutama bersih

    dari berbagai macam vegetasi, apalagi pepohonan, pa-

    dahal dengan hilangnya vegetasi, maka hilang pula biota

    lain yang hidup tergantung padanya. Vegetasi, kecuali

    ‘yang produknya bisa dimakan’ dianggap sebagai suatu

    “barang” tak penting. Air hujan yang mampu mengalir

    dengan perlahan melalui daun dan batang menguatkan

    akar dan tetumbuhan lain menjadi akuifer, lalu terpaksa

    mengalir langsung menuju tempat/lokasi yang lebih ren-

    dah (dengan membawa sedimen) menuju selokan atau

    pipa sewerage, lebih cepat menuju perairan akhirnya ke

    laut. Tanah menjadi keras (kompak) dan miskin hara (aki-

    bat erosi).

    Pembangunan RTH sebagai unsur alam di kota mam-

    pu menjadi pusat, dan mengalirkan energi bagi kehidup-

    an penghuni kotanya, serta menimbulkan rasa tenang,

    nyaman dan sejuk. Bentuknya pun bermacam-macam

    dari skala besar, seperti taman-taman rekreasi berskala

    nasional, provinsi maupun taman formal di depan gedung

    resmi atau perkantoran, taman dan kolam yang diren-

    canakan mengikuti karakter geogras, sampai ke taman-

    taman lingkungan yang berukuran relatif kecil, termasuk

    halaman rumah, ‘taman atap, balkon dan teras bangu-

    nan’, taman dalam rumah (indoor), sampai sekedar tana-

    man rumput di sekitar kita, semuanya merupakan unsur

    alam.

    Central Park  di Kota New York, berukuran sekitar 341

    ha terbukti mampu mengencerkan konsentrasi gas-gas

    polutan. Dengan ukuran yang sama, maka satu garis jaja-ran dedaunan, kemampuan penjerapan/penyerapan debu

    bisa menjadi tiga sampai empat kali dibanding alat beru-

    pa bahan berpermukaan halus dengan ukuran sama dan

    dipasang di lokasi yang sama. Studi di Hyde Park (295 ha)

    di London membuktikan 25% reduksi konsentrasi asap

    yang kebetulan dihembuskan angin melalui Taman terse-

    but. Banyak lagi hasil-hasil penelitian kota-kota dunia

    yang kira-kira membuktikan pentingnya eksistensi RTH

    dalam Kota. Karena itu RTH-kota mutlak ada sebagai

    komponen penting syarat pembangunan lingkungan kota

    yang nyaman (Hal 150, Modul pelatihan UNESCO-UNEP

    seri ke-4, 1987).

    6.4.1 Perancangan, Bentuk dan Konfgurasi RTH

    (Arsitektur Lansekap)

    Pembangunan bidang pertamanan (landscape archi-

    tecture) di kota metropolitan, atau biasa disebut “Metro-

     politan Park System” sebaiknya berorientasi pula kepada

    sumber yang telah ditetapkan pemerintah sebagai dasar

    kebijakan pembangunan atau RTRK.

    Umumnya pembangunan ’lingkungan’ perkotaan se-

  • 8/17/2019 Teori Taman

    24/34

    202 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    bagian besar ’hanya’ merupakan perbaikan atau penam-

    bahan sarana dan prasarana kota yang semula ’sudah’

    ada ( urban renewal , revitalisasi), namun tetap harus di-

    lakukan secara berencana, dengan lebih memperhatikan

    keserasian hubungan antara kota terbangun dengan ling-

    kungan alaminya, dan antara kota dengan daerah perde-

    saan sekitar atau kota pendukung (hinterland), serta ke-

    serasian dalam pertumbuhan kota itu sendiri.

    Kota sebagai konsentrasi permukiman dan kegiatan

    manusia, telah berkembang sangat pesat berikut dam-

    paknya pada banyak kota di Indonesia. Kota dalam keter-batasan kemampuan, tetap menuntut adanya suatu kon-

    disi sik dan l ingkungan yang sehat bagi warga kotanya.

    Pertambahan penduduk yang pesat senantiasa di-

    iringi tuntutan ketersediaan prasarana, sarana, fasilitas

    pelayanan bagi kehidupan dan kegiatannya. Keterba-

    tasan dana dan teknologi, penanganan dan pengelolaan

    kota yang kurang tepat, serta pertambahan penduduk

    kota yang pesat sebagai akibat kelahiran maupun ur-banisasi, telah menimbulkan banyak masalah perkotaan

    yang seringkali menjadi berlarut-larut.

    Pengembangan dan pembangunan kota sangat ber-

    gantung pada faktor kuantitas dan kualitas penduduk,

    keluasan dan daya dukung lahan, serta keterbatasan ke-

    mampuan itu sendiri. Gejala pembangunan, perkembang-

    an dan pemekaran kota untuk memenuhi tuntutan dan

    pelayanan terhadap penduduk kota yang jumlahnya terus

    membengkak tersebut, seringkali menimbulkan kecende-

    rungan menuju pembangunan maksimal struktur kota,

    ruang terbuka kota, dengan mudah menghilangkan atau

    mengorbankan eksistensi dan wajah alam.

    Lahan kota semakin tertutup oleh struktur (perkerasan/ 

     hard materials ), dan permukaan air (sungai, rawa, pantai,

    dan lain-lain) yang berubah fungsi dan kualitasnya. Anda-

    lan kemampuan teknologi modern, telah mengembang-

    kan pemikiran membangun kota yang seringkali meng-

    abaikan sistem ekologi kota, bahkan berusaha merobah

    seluas mungkin eskosistem alam menjadi ekosistem buat-

    an (artifcial ecosystem). Maka, muncul dampak negatif

    pembangunan akibat perlakuan kurang wajar terhadap

    norma-norma dan kaidah-kaidah alam tersebut, seperti

    perubahan suhu kota, krisis air bersih, penurunan air ta-

    nah, amblasan tanah, banjir, intrusi air laut, abrasi pantai,kualitas udara memburuk, sungai mengering, dan ber-

    bagai polusi terhadap media lingkungan.

    Perencanaan RTH kota yang matang, dapat menjaga

    keseimbangan dan keharmonisan antara ruang terba-

    ngun dan ruang terbuka. Keselarasan antara struktur kota

    dengan wajah-wajah alami, mampu mengurangi berbagai

    dampak negatif akibat degradasi lingkungan kota dan

    menjaga keseimbangan, kelestarian, kesehatan, kenya-manan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup kota.

    6.4.2 Pemilihan Jenis Tanaman

    Sebenarnya tidak ada apa yang dinamakan dalil khu-

    sus dalam pemilihan jenis tanaman yang sesuai pada

    suatu lokasi. Namun demikian, kondisi bio-geogra ling-

    kungan secara alami telah menunjukkan habitat berbagai

     jenis-jenis tanaman (keaneka-ragaman hayati endemic/ 

    existing ) yang paling tepat sebagai acuan pemilihan tana-

    man untuk RTH sesuai tapak masing-masing. Kemudian

    barulah pertimbangan berdasar pada pengalaman akan

    kesesuaian bentuk dan fungsi (form follows function) wu-

     jud arsitektural tanaman-tanaman tersebut, hendaknya

  • 8/17/2019 Teori Taman

    25/34

    203Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    dijadikan dasar pemilihan selanjutnya.

    Tanaman sebagai salah satu elemen alam yang diper-

    gunakan dalam penataan lansekap kota tidak henti-henti-

    nya mengalami perubahan. Di samping itu tanaman juga

    membutuhkan iklim tertentu, teknik penanaman dan pe-

    rawatan, mempunyai bentuk arsitektural dan kesan visual

    yang berbeda.

    Tanaman juga membantu mengendalikan radiasi ca-

    haya matahari, kekuatan angin dan mengurangi pantulan

    cahaya, membersihkan udara melalui proses fotosintesa,

    menyaring debu, meredam kebisingan suara, menahandan menyimpan air tanah, mengurangi erosi, dan mem-

    perbaiki kesuburan tanah.

    Dalam konsepsi arsitektural dan penggunaan kein-

    dahan visual, tanaman dapat memberikan rasa akrab,

    keteduhan, mengendalikan pandangan, dan keleluasaan

    bagi setiap individu untuk melaksanakan kegiatannya.

    Pohon dan perdu memberikan kesan lansekap dalam

    berbagai bentuk, struktur, tekstur, warna, dan pola. Ke-san ini akan selalu berubah sesuai dengan iklim atau

    musim. Hal ini sangat nyata terlihat pada negara-negara

    yang mempunyai empat musim.

    Berbagai jenis tumbuhan dapat hidup di hutan kota,

    dari stratikasi atas (pepohonan), tengah (perdu) dan ren-

    dah (penutup tanah), sehingga membentuk satu komuni-

    tas yang berfungsi menahan erosi. Sebagaimana fung-

    sinya pada hutan alam, maka pemilihan jenis tanaman

    diarahkan pada upaya:

    • Meningkatkan fungsi tanaman untuk penyelamatan

    tanah dan air, mencegah terjadinya banjir dan erosi;

    • Memperbaiki dan memelihara agar kondisi hidrologis

    daerah aliran sungai tetap terjaga, sehingga menjamin

    sistem tata air yang mantap sepanjang masa;

    • Memperbaiki dan mempertahankan kelangsungan pro-

    duktivitas lahan, serta;

    • Meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masya-

    rakat, berarti prospek ekonomis dari tanaman terpilih

    sudah dapat dijamin cepat berproduksi dan disukai

    oleh masyarakat setempat.

    Beberapa jenis tanaman yang memenuhi persyaratan

    tersebut di atas, antara lain: Sengon (Albizzia falcataria),

    Kemin (Aleurites moluccana), Rasamala (Altingia excelsa),Keluwih (Artocarpus altilis), Benda (Artocarpus elasticus),

    Nangka (Artocarpus heterophyllus), Kemang (Mangifera

    caesia), Limus (Mangifera foetida), Kweni (Mangifera odo-

     rata), Rambutan (Nephelium lappaceum), Petai (Parkia

     speciosa), Alpokat (Persea amaricana), Pinus (Pinus

     merkusii), dan Kesambi (Schleicera oleosa)  (Sulistami,

    1995).

    Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan,bahwa pengelolaan RTH kota, terutama hutan kota ha-

    rus terintegrasi dan berdasar pada pemikiran serta per-

    timbangan keseimbangan antara daerah terbangun dan

    tidak terbangun, sehingga nyaman ditinjau dari segi kese-

    hatan, aman, dan dapat dipakai sebagai tempat rekreasi

    untuk meningkatkan produktivitas manusia warga kota,

    dan dapat mensejahterakan kehidupan manusia secara

    adil dan merata.

    Dari berbagai penelitian (Dahlan, 1992 dalam Purno-

    mohadi 1995, 2002) yang sebagian besar didasarkan

    pada penerapan pelaksanaan RTH Kota yang disesuaikan

    dengan fungsinya tersebut, maka pemilihan jenis tanaman

    yang sesuai pada umumnya dapat diuraikan sebagai:

  • 8/17/2019 Teori Taman

    26/34

    204 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    • Pengidentitas (mascot/landmark) Kota

    Berbagai jenis ora dan fauna dapat dijadikan maskot

    kota, antara lain: Pohon Pinang (Arenga pinnata) yang

    menjadi mascot Kota ’Pagar Ruyung’, Kayu Manis (Cin-

     namomum burmanii) sebagai maskot Provinsi NTT, dan

    seterusnya.

    • Upaya untuk Melestarikan Plasma Nutfah

    Secara ex-situ dari berbagai tanaman langka bernilai

    tinggi, seperti Nam-nam (Cynometra cauliora), Kepel

    (Stelechocarpus burahol), Majegau (Dysoxylum den- siorum), Jati (Tecona grandis), dan seterusnya masih

    banyak lagi.

    • Penahan dan Penyaring Partikel Padat di Udara

    Tanaman dengan daun berbulu atau permukaan yang

    kasar, secara mekanistis-fungsional sangat baik dalam

    menyerap polutan debu. Demikian pula jumlah stomata

    daun yang relatif banyak akan mudah menyerap danmenjerap partikel padat yang melayang-layang di uda-

    ra bebas.

    • Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal

    (Dahlan et.al., 1990)

    a. Tanaman yang mempunyai kemampuan sedang-

    tinggi dalam menurunkan kandungan timbal di udara,

    seperti Damar (Agathis alba), Mahoni (Swietenia mi-

    crophylla dan S. macrophylla), Jamuju (Podocarpus

     imbricatus), Pala (Myristica fragrans), Asam Landi

    (Pithecelebium dulce), dan Johar (Cassia siamea).

    b. Yang berkemampuan sedang dan rendah adalah Glo-

    dogan (Polyalthea longifolia), Keben (Baringtonia asia-

    tica), dan Tanjung (Mimusops elengi).

    c. Tanaman yang berkemampuan rendah dan tak tahan

    terhadap zat pencemar dari kendaraan bermotor,

    antara lain adalah Bunga Kupu-kupu (Bauhinia pur-

     purea), dan Kesumba (Bixa orellana).

    • Penyerap (absorbsi) dan Penjerap (adsorbsi) Debu

    Semen (Irawati, 1990 dalam Dahlan, 1992)

    Tanaman yang tahan dan mampu mengendalikan seka-

    ligus sebagai penjerap (adsorbsi) dan penyerap (ab-

     sorbsi) zat pencemar (debu semen), antara lain adalahMahoni (Swietenia macrophylla), Bisbul (Diospyros dis-

    color), Tanjung (Mimusops elengi), Kenari (Canarium

    commune), Meranti Merah (Shorea leprosula), Kirai Pa-

    yung (Filicium decipiens), Kayu Hitam (Diospyros cele-

     bica), Duwet/Jamblang (Eugenia cuminii), Medang Lilin

    (Litsea roxburghii), dan Sempur (Dillenia ovata).

    • Peredam KebisinganTanaman dapat meredam suara dengan cara mengab-

    sorpsi gelombang suara oleh daun, cabang, dan ran-

    ting dari berbagai strata tanaman. Pohon yang paling

    efektif meredam suara ialah yang bertajuk tebal, karena

    dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sam-

    pai 95 persen (Grey dan Deneke, 1978).

    • Mengurangi Bahaya atau Dampak Hujan Asam

    Melalui proses siologis tanaman yang disebut ‘pro-

    ses gutasi’, akan menghasilkan beberapa unsur Ca,

    Na dan Mg, serta bahan organik seperti glutamine dan

    gula (Smith, 1985 dalam Dahlan 1992). Bahan in-or-

    ganik yang diturunkan ke lantai hutan dan tajuk melalui

  • 8/17/2019 Teori Taman

    27/34

    205Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    proses throughfall  dengan urutan K>Ca>Mg>Na, baik

    untuk tajuk dari tegakan daun lebar maupun dari daun

     jarum (Henderson et.al, 1977 dalam Dahlan, 1992). Hu-

     jan yang mengandung H2SO

    4 atau HNO

    3, bila sampai

    di permukaan daun akan mengalami reaksi, antara lain

    H2SO

    4  dengan Ca, membentuk garam Ca

    2SO

    4  yang

    bersifat netral, dibanding kadar asam dari air hujan itu

    sendiri. Karena itu dengan adanya proses intersepsi

    dan gutasi oleh permukaan daun, akan sangat mem-

    bantu dalam menaikkan pH, sehingga air hujan menjadi

    tidak begitu berbahaya lagi bagi lingkungan. PenelitianHoffman et.al, (1980) menunjukkan bahwa pH air hu-

     jan yang telah melewati tajuk pohon lebih tinggi, jika

    dibandingkan dengan pH air hujan yang tidak melewati

    tajuk pohon.

    • Penyerap Karbon monoksida (CO)

    Kacang merah (Phaseolus vulgaris) dapat menyerap

    gas karbon monoksida (CO) sebesar 12-120 kg/km2 / hari. Mikro-organisme dalam tanah berperan baik,

    dalam menyerap gas ini dari udara dari yang semula

    konsentrasinya sebesar 120 ppm (13,8X104 ug/m3 )

    menjadi hampir mendekati nol, hanya dalam waktu tiga

     jam saja (Smith, 1981, Bidwell & Fraser dalam Smith,

    1981 dalam Dahlan, 1992).

    • Penyerap Karbon dioksida (CO2 ) dan Penghasil Ok-

      sigen (O2 )

    Tanaman pada ekosistem daratan, termasuk hutan alam,

    tanaman pertanian, termasuk  mangrove dan tanaman

    pada ekosistem lahan basah lain, selain toplankton,

    ganggang dan rumput laut, dan tumbuhan lain dalam

    perairan laut, seperti padang lamun, mampu menyerap

    karbondioksida dan penghasil oksigen dalam proses

    fotosintesis, menggunakan cahaya matahari. Dalam

    ekosistem daratan jumlah luasan hutan sudah sangat

     jauh berkurang, maka pembangunan dan penataan

    hutan kota sebagai bagian RTH kota, sudah sangat

    mendesak. Salah satu dampak negatif bertambahnya

    gas karbon monoksida (CO) ini adalah meningkatkan

    efek gas rumah kaca, sedang di lain pihak proses asim-

    ilasi tersebut akan menghasilkan oksigen yang penting

    bagi kehidupan biota di dunia, terutama bagi manusia.Tanaman yang baik dalam menyerap gas karbon diok-

    sida (CO2 ) dan menghasilkan oksigen (O

    2 ), antara lain:

    Damar (Agathis alba), Kupu-kupu (Bauhinia purpurea),

    Lamtoro Gung (Leucena leucocephala), Akasia (Acacia

     auriculiformis), dan Beringin (Ficus benyamina).

    • Penahan Angin

    Panlov dalam Robinette (1983), mengemukakan,bahwa angin kencang dapat dikurangi sampai 75-80

    desibel oleh suatu penahan angin yang berupa RTH

    (hutan) Kota. Faktor-faktor yang harus diperhatikan

    dalam merancang suatu hutan kota, khususnya untuk

    menahan angin, (Grey & Deneke, 1978) dengan mem-

    perhatikan jenis tanaman yang ditanam harus memiliki

    dahan yang kuat, daun tak mudah gugur oleh terpaan

    angin yang berkecepatan sedang, akar pohon yang

    dapat menghujam ke dalam tanah sehingga lebih tahan

    terhadap hembusan angin yang cukup kuat ketimbang

    tanaman berakar menyebar di sekitar atau dekat de-

    ngan permukaan tanah, memiliki kerapatan cukup (50-

    60 persen), serta tinggi dan lebar jalur hutan kota yang

  • 8/17/2019 Teori Taman

    28/34

    206 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    cukup luas, sehingga dengan baik dapat melindungi

    wilayah sesuai dengan yang diinginkan.

    • Penyerap dan Penapis Bau

    Tanaman dapat menyerap bau secara langsung atau

    menahan gerak angin dari sumber bau (Grey & Deneke,

    1978) seperti dari tempat pembuangan sampah yang

    terbuka (open dumping), apakah itu TPS atau pun TPA.

     Akan lebih efektif bila tanaman tersebut berbunga atau

    berdaun harum, seperti Cempaka (Michelia champaka),

    Pandan (Pandanus sp.), kemuning (Murraya paniculata) atau Tanjung (Mimusops elengi).

    • Mengatasi Penggenangan

    Daerah yang topogranya relatif rendah sering menjadi

    genangan air, karena itu perlu ditanami dengan jenis

    tanaman dengan kemampuan evapotranspirasi tinggi.

    Kriteria tanaman ini biasanya berdaun lebat, sehingga

     jumlah permukaan daunnya relatif luas dan jumlah sto-matanya pun banyak. Jenis tanaman dengan penguap-

    an relatif besar ini, antara lain Nangka (Artocarpus in-

    tegra), Albazia (Paraserianthes falcataria), Acacia vilosa,

    Indigofera galegoides, Dalbergia sp., Mahoni (Swiete-

     nia mahagoni), Jati (Tectona grandis), Ki Hujan/Trem-

    besi (Samanea saman), dan Lamtoro Gung (Leucena

     glauca).

    • Mengatasi Intrusi Air Laut

    Kasus ini terjadi terutama pada kota-kota yang terletak

    di jalur pantai, sehingga rawan terhadap intrusi air laut.

    Pemilihan tanaman harus benar-benar diperhatikan,

    sebab penanaman tanaman yang kurang tahan terha-

    dap kandungan garam yang sedang agak tinggi, akan

    mengakibatkan tanaman tak dapat tumbuh baik, bah-

    kan mungkin sampai mati. Penanaman tanaman yang

    mempunyai daya evapotranspirasi tinggi akan mengu-

    ras air dalam tanah, sehingga konsentrasi garam dalam

    tanah akan meningkat. Dengan demikian penghijauan

    semacam ini justru akan mendatangkan masalah bukan

    mengatasi intrusi air asin, karena itu diperlukan peng-

    hijauan kota di kawasan semacam ini, namun dengan

    memakai jenis tanaman dengan daya evapotranspirasi

    rendah. Berbagai jenis tanaman bakau (mangrove), ter-masuk tegakan Nipah (Nypha fruticaus), dan asosiasi

    dalam ekosistem mangrove lain akan sangat sesuai un-

    tuk daerah pesisir pantai ini. Jenis-jenis tanaman Keta-

    pang (Terminalia catappa), Nyamplung (Callophyllum

     innophyllum), dan Keben (Barringtonia asiatica) sangat

    sesuai terutama sebagai pohon peneduh dan pelin-

    dung di sepanjang pantai yang umumnya mendapat

    sengatan sinar matahari paling tinggi.

    • Produksi Terbatas

    Sudah dapat dibuktikan, secara ekonomis bahwa fungsi

    produksi hutan kota sangat signikan. Hasil pokok kayu

    maupun hasil sampingan lain bisa dimanfaatkan untuk

    berbagai keperluan, tentu saja tidak sebanyak jumlah

    dari hutan alam maupun hutan produksi. Dahlan (1992)

    menyebutkan bahwa 740 pohon mahoni di kota Suka-

    bumi, dilelang seharga Rp. 74.000.000,00 juta saja. Pa-

    dahal tanaman tersebut secara nominal harusnya lebih

    berharga dari nilai tangible tersebut, apabila ditinjau dari

    nilai  intangible-nya, misalnya dari bentukan iklim mi-

    kro yang nyaman dengan adanya pohon-pohon terse-

  • 8/17/2019 Teori Taman

    29/34

    207Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    but. Manfaat lain, masih banyak lagi, dari bunga dan

    buah yang melengkapi susunan gizi warga masyarakatsekitar, buah dan biji kenari yang bisa digunakan un-

    tuk makanan dan kerajinan tangan, dan tanaman lain,

    seperti Pala, Kawista, Sawo, Kelengkeng, Menteng,

    Kersen, Duku (Lancium domesticum), Asem (Tamarin-

    dus indica), Melinjo (Gnetum gnemon), Buni (Antidenua

     bunius), atau Mangga (Mangifera indica). Buah mangga

    madu yang ditanam di sepanjang jalur hijau jalan, pada

    musimnya warga dapat memetik buah cuma-cuma, un-

    tuk dimakan di tempat atau diolah menjadi sari buah

    (juice) atau buah kalengan yang berorientasi ekspor,

    contoh di Kota Chandigarh, India tersebut.

    • Ameliorasi Iklim

    Meningkatnya suhu dan debu di wilayah perkotaan dankemacetan lalu-lintas yang semakin parah, terutama di

    musim kemarau, sangat berpengaruh terhadap kes-

    ehatan warga kota. Kondisi ini sangat memprihatinkan

    dan mengancam kesehatan anak kecil dan balita yang

    sangat rentan terhadap penyakit sesak nafas, batuk,

    dan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Kota Singa-

    pura dan Kuala Lumpur dengan iklim relatif sama, telah

    berhasil membangun hutan kota dengan memelihara

    pepohonan besar yang dapat menahan sinar matahari

    dan pada malam hari sebaliknya dapat menahan radiasi

    cahaya matahari yang diserap permukaan bumi pada

    siang hari, sehingga udara tetap nyaman dan hangat.

    Penelitian Wenda (Dahlan, 1992) tentang pengukuran

    Gambar 6.7

    Jalur sepeda khusus

    dibangun pada dua

     jalur ROW (right of way),

    disamping jalur pedestrian

    bagi pejalan kaki.

  • 8/17/2019 Teori Taman

    30/34

    208 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

    suhu dan kelembaban udara wilayah yang bervegetasi

    dengan berbagai kerapatan, lebih tinggi dibandingan

    dengan wilayah yang lebih didominasi perkerasan jalan

    (aspal), dan bangunan (tembok), yang menghasilkan be-

    berapa angka perbandingan wilayah bervegetasi suhu:

    25,5–31,0° celcius, kelembaban 66-92 persen; yang

    kurang bervegetasi: suhu 27,7–33,1, kelembaban 62-

    78 persen, dan areal padang rumput, mencapai suhu:

    27,3–32,1, kelembaban 62-78 persen. Demikian pula

    penelitian Koto (Dahlan, 1992), di dalam komplek Mang-

    gala Wana Bhakti, Jakarta, ditemukan pula, bahwa suhudi dalam ‘hutan buatan’ lebih nyaman (terendah) diban-

    dingkan dengan areal parkir maupun padang rumput

    dan di sekitar bangunan di perkantoran yang sama.

    • Pengelolaan Sampah

    RTH sudah seringkali dinyatakan mampu sebagai pere-

    dam kebisingan, bau, silau, dan pelindung struktur ta-

    nah. Di Provinsi Wurtenberg di Jerman Selatan, di manapada setiap kota hanya dihuni maksimal dua juta jiwa,

    mewajibkan adanya hutan kota pada lokasi tempat

    pembuangan sampah, sebagai peredam buangan sam-

    pah warga kota, baik berupa sampah padat maupun

    limbah cair. Kedua jenis sampah itu ditampung dalam

    kontainer khusus yang secara berkala di semprotkan

    atau diletakkan ke dalam hutan kota tersebut di mana

    telah ‘ditanam’ sejenis mikroba tertentu yang kembali

    mengasimilasi sampah dan limbah tersebut, sehingga

    bisa keluar sebagai material padat (humus) dan cair

    yang bersi