Stabilitas Wilayah RI-PNG
-
Upload
muhammad-baried-izhom -
Category
Documents
-
view
362 -
download
2
Transcript of Stabilitas Wilayah RI-PNG
ANCAMAN STABILITAS WILAYAH
PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA-PAPUA NEW GUINEA
Oleh M.Baried Izhom, 0806328562
I. Pendahuluan
Geografi politik dapat diartikan sebagai:
“…is the geography of states and provide
a geographical interpretastion of
internations”. Berdasarkan pengertian ini,
ruang lingkup geografi politik pada
dasarnya hanya terdapat tiga bahan kajian
pokok, yaitu mengkaji tentang
Evironmrnetal Relationship, National
Power, dan Political Region. Untuk
Political Region, memiliki konsep yang
menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat
teoritis seperti dasar, tujuan, dan ruang
lingkup geografi politik serta
pengorganisasian keruangan. Konsep
Political Region membahas tentang
pembagian wilayah administrasi, batas
negara, dan masalah yang berhubungan
dengan pengawasan wilayah kekuasaan
negara.
Kawasan perbatasan memegang peranan
penting dalam kerangka pembangunan
nasional. Kawasan perbatasan dalam
perkembangannya berperan sebagai
beranda depan NKRI yang merupakan
cermin diri dan tolok ukur pembangunan
nasional. Kedudukannya yang strategis
menjadikan pengembangan kawasan
perbatasan menjadi salah satu prioritas
pembangunan nasional. Jika dilihat dari
sisi positifnya kawasan perbatasan
memiliki potensi yang sangat strategis
dalam berhubungan dengan negara-negara
tetangga seperti kegiatan ekonomi, sosial,
maupun budaya. Namun jika dilihat dari
sisi negatifnya, kawasan perbatasan rawan
terjadi konflik seperti dalam hal
pemanfaatan sumberdaya alam, politik
maupun ekonomi. Dilihat dari dinamika
sosial yang terjadi di wilayah perbatasan,
dari segi mobilitas secara umum
(Bandiyono, et.al, 1995, 1996) dan
implikasi politis lainnya, menunjukan
bahwa daerah perbatasan memerlukan
penaganan khusus karena sering timbul
permasalahan yang tidak ada didaerah lain
seperti pelintas batas ilegal (ilegal movers)
dan pelintas batas tradisional/kultural
(tradisional border crosser). Pelintas batas
tersebut bukan hanya penduduk,
melainkan barang dan berbagai informasi
juga termasuk didalamnya. Menurut Jean
Bodin, kedaulatan merupakan keharusan
tertinggi di dalam suatu negara, oleh
karena itu setiap negara berkewajiban
menjaga stabilitas keamanan wilayah
perbatasan untuk menjaga keutuhan dan
kedaulatan negara untuk menjamin
kedaulatan rakyat.
II. Pembahasan
Secara fisik, Indonesia merupakan negara
terbesar kelima di dunia yang batas
negaranya berbatasan sedikitnya dengan
10 negara tetangga. Provinsi Irian Jaya
terletak di kawasan paling timur dari
Negara Indonesia yang berbatasan
langsung dengan Negara Papua New
Guinea (PNG). Wilayah tingkat II di
Provinsi Irian Jaya yang berbatasan
langsung dengan PNG meliputi
Kotamadya Jayapura, Kabupaten Jayapura,
Kabupaten Merauke, dan Kabupaten
Jayawijaya. Wilayah perbatasan darat RI –
PNG tersebut memanjang dari utara ke
selatan memotong tengah pulau Papua
sepanjang kuran lebih 760 km. Garis batas
ini ditetapkan melalui perjanjian antara
Pemerintah Belanda dan Inggris pada pada
tanggal 16 Mei 1895. Perjanjian ini
menetapkan bahwa garis batas antara
kekuasaan Belanda dan Inggris di New
Guinea adalah mengikuti garis lurus 141°
Bujur Timur dari titik perbatasan di
sebelah utara sampai bertemu dengan
Sungai Fly. Kemudian batas mengikuti
aliran Sungai Fly terus ke selatan sampai
dengan titik pada garis 141° 1’ 47,9” Bujur
Timur. Dari titik inilah selanjutnya ditarik
lurus ke selatan mengikuti garis bujur
tersebut, dengan menetapkan garis batas
yang hampir semuanya mengikuti garis
lurus bujur timur. Petetapan garis batas ini
tidak mempertimbangkan kondisi
topografis di lapangan. Di bagian utara
daerah perbatasan berada wilayah
pegunungan dengan kondisi medan yang
sangat sulit dijangkau. Berbeda dengan
perbatasan bagian selatan kondisi
topografisnya cukup landai, datar dan
berawa. Daerah perbatasan yang termasuk
dalam wilayah adminstratif berbeda antara
Indonesia dan PNG. Dalam kesepakatan
yang dibuat antara RI dan PNG, disepakati
bahwa daerah perbatasan di dalam wilayah
PNG terdiri dari Census Division,
sedangkan daerah perbatasan di dalam
wilayah Indonesia terdiri dari kampung-
kampung (setingkat desa) dan kelurahan-
kelurahan.
Penduduk daerah perbatasan baik di Papua
maupun PNG merupakan “satu keluarga
besar”, yakni masuk rumpun ras
Melanosoid sehingga penduduknya
memiliki banyak kesamaan yang dapat
dilihat dari berbagai sudut pandang, baik
fisik, suku, bahasa, maupun budaya.
Namun, dalam perjalanan sejarah mereka
telah terpisah, oleh karena berlakunya
konsep politik, berupa sebuah negara yang
berbeda. Sementara itu, karena mereka
masih melanggengkan hubungan
kekerabatan etnis, maka muncul persoalan
batas kultural yang berbeda dengan konsep
batas negara. Karena itu banyak dijumpai
kasus, batas kultural yang dimiliki oleh
kekuasaan, suku, klan tertentu untuk lebih
dihormati, dibandingkan dengan batas
kekuasaan yang dimiliki oleh garis batas
wilayah sebuah negara yang lainnya,
secara tidak langsung masyarakat sekitar
perbatasan tidak begitu menganggap
adanya batas negara. Hal ini dapat dilihat
dari masyarakat yang tinggal di wilayah
Indonesia juga seringkali memiliki tanah
ulayat yang merupakan lahan garapan
yang berada di wilayah PNG, demikian
juga sebaliknya masyarakat yang tinggal di
PNG setiap hari bercocok tanam di lahan
di wilayah Indonesia. Pengaruh
sumberdaya alam yang ada di sepanjang
perbatasan sebagian besar adalah hutan
yang sulit dijangkau dengan kendaraan
biasa dan memakan waktu yang lama
untuk mencapainya serta Kondisi
masyarakat di sepanjang perbatasan
umumnya masih miskin dan tertinggal
serta kurang mendapat perhatian dari
aparat pemerintah daerah maupun pusat
juga memberikan kontribusi besar
maraknya pelintas batas negara tersebut.
Dengan kondisi demikian, maka kawasan
perbatasan di Papua sering digunakan
sebagai tempat persembunyian para
pemberontak maupun “pelanggar hukum”
sebagai jalan untuk melarikan diri ke PNG
serta digunakan jalur para pencari suaka
menuju ke Negara PNG. Berikut ini data
mengenai jumlah pelintas batas yang
kembali dari PNG.
Tabel 1. Rekapitulasi Jumlah Pelintas
Batas Indonesia yang Kembali dari
PNG (1984 – 2000)
No. Asal
Jenis
Kelamin Jumlah
Kabupaten/Kota Distrik LK PR
1
2
3
4
5 6
7
8
Kota Jayapura
Kabupaten Jayapura
Kabupaten Merauke
Kabupaten
Jayawijaya
Kabupaten Mimika Kabupaten Sorong
Kabupaten Yapen
Waropen
Kabupaten Paniai
1. Abepura
2. Jayapura Utara
3. Jayapura
Selatan
1. Arso 2. Senggi
3. Waris
4. Web
5. Membramo
Hulu 6. Kemtuk Gresi
7. Kaureh
8. Sentani
9. Depapre 10. Unurum Guai
11. Bonggo
12. Nimboran
13. Demta 1. Mindiptana
2. Muting
3. Merauke
4. Waropko
5. Tanah Merah 1. Kiwirok
2. Oksibil
3. Okbibab
4. Batom 5. Kelila
6. Bolakme
7. Tiom
8. Kobakma 9. Bokondini
Akimuga
Sorong
Serui 1. Komopo
Paniai
2. Komuju
3. Enarotali
4. Waigate
164
165 9
512
435
433 865
260
57
375
4 25
5
1
1 1
1779
133
262 896
21
801
456
14 57
23
5
1 5
9
27
4 6
3
4
2 1
163
92 10
389
336
364 610
201
56
285
3 8
6
-
- -
1796
91
246 916
20
643
428
9 50
20
5
- 2
15
34
3 2
2
2
1 -
327
257 19
901
771
797 1475
461
113
660
7 33
11
1
1 1
3575
224
508 1811
41
1444
884
23 107
43
10
1 7
24
61
7 8
5
6
3 1
Sumber: BPKD Provinsi Papua, 2003
Gambar 1. Daerah Perbatasan RI-PNG (Sumber : BPKD Provinsi Papua, 2003)
Kawasan perbatasan Indinesia – PNG
dengan kondisi yang telah diutarakan,
cukup menyimpan banyak persoalan.
Terdapat sedikitnya 15 isu dan
permasalahan mengenai kawasan
perbatasan Papua, antara lain :
1. Daerah perbatasan sering dijadikan
sebagai tempat pelarian orang-orang
yang melakukan pelanggaran hukum
baik di wilayah RI maupun PNG.
Wilayah perbatasan sering dijadikan
tempat pelarian bagi orang-orang yang
melakukan pelanggaran hukum baik di
wilayah RI maupun PNG. Hal ini
disebabkan masih rendahnya jumlah aparat
keamanan yang ada, ditambah dengan
tanggung jawab wilayah yang tidak
proporsional. Kondisi ekonomi dan sosial
seperti rendahnya tingkat pendidikan,
tingkat pendapatan penduduk yang rendah
menyebabkan tingginya tingkat
kriminalitas di kawasan perbatasan ini.
Selain itu, akses transportasi yang masih
sulit membuat kawasan perbatasan ini
menjadi tempat berlindung yang kondusif
bagi para kriminal dari kedua negara
tersebut.
2. Adanya pelintas batas illegal yang
masuk ke wilayah PNG dan tidak
mau kembali ke wilayah Papua
karena alasan politik.
Di masa lalu, cukup banyak kepergian
warga RI yang masuk ke PNG dengan
alasan tertentu. Seiring dengan berjalannya
waktu, sekarang mereka mulai tidak
diterima olah masyarakat PNG sendiri.
Karena itu saat ini mereka kembali ke
Indonesia secara berangsur-angsur.
3. Sering terjadi penyelundupan
barang-barang ilegal dan kegiatan
perdagangan ilegal masuk dan keluar
dari/ke wilayah RI.
Akibat minimnya infrastruktur penunjang
di Pos-pos Lintas Batas yang ada di
perbatasan, termasuk sarana dan prasarana
transportasi dan bea cukai, karantina,
imigrasi serta keamanan (CIQS), telah
mengakibatkan terhambatnya jalur
ekonomi dan distribusi barang dan jasa
menuju kawasan perbatasan, sebaliknya
distribusi barang/produk yang berasal dari
PNG relatif lebih mudah karena ditunjang
oleh sarana yang memadai. Sebagai
akibatnya, semakin marak terjadinya
penyeludupan di kawasan ini. Dalam skala
kecil sebenarnya aparat di pos lintas batas
bisa mengenali penyelundupan tersebut.
Berbagai aktifitas penyelelundupan ilegal
diantaranya adalah masuknya barang-
barang sejenis ganja dan obat-obatan
psikotropika jenis narkoba. Dalam hal ini
telah dibangun kantor bantu pelayanan bea
dan cukai Skuo dan kantor pelayanan bea
dan cukai sota, tetapi dalam hal ini
keberadaannya masih dirasakan kurang.
4. Terdapat tanah hak ulayat penduduk
PNG yang berada di wilayah RI,
begitu juga sebaliknya.
Perjanjian pemerintah kolonial yang
membagi pulau Papua dalam 2 wilayah
dilakukan dengan menarik garis lurus
secara astronomis, tanpa melihat kondisi
sosial yang ada, menimbulkan
permasalahan. Akibatnya adalah pemilikan
harta benda (tanah, kebun ladang)
masyarakat, menurut hak ulayatnya terbagi
menjadi 2, dimana sebagian berada di
wilayah RI dan sebagian lagi berada di
wilayah PNG. Tanah ulayat ini menjadi
ladang penghidupan yang diolah sehari-
hari oleh masyarakat perbatasan, sehingga
pelintasan batas antar negara menjadi hal
yang biasa dilakukan setiap hari.
5. Adanya penduduk yang mengaku
warga negara PNG dan berdiam di
wilayah RI.
Akibat sulitnya transportasi ke kawasan
perbatasan, akses dari pusat pemerintahan
RI menjadi sangat terbatas, tetapi di pihak
lain, akses ke pusat pemerintahan PNG
lebih mudah. Akibatnya ada beberapa
daerah di mana pemerintahan PNG
berjalan efektif di dalam wilayah RI.
Karena yang berjalan adalah pemerintah
PNG, maka penduduknya pun mengaku
sebagai warga negara PNG meski berdiam
dalam wilayah RI.
6. Sarana infrastruktur dan
aksesibilitas menuju perbatasan
masih sangat terbatas.
Saat ini jalan yang sudah ada dan dapat
ditempuh melalui darat hanya dari
kabupaten/kota ke perbatasan adalah
Kabupaten Keerom, Kabupaten Merauke,
dan Kota Jayapura, sedangkan di wilayah
perbatasan lainnya, hanya dapat dicapai
dengan pesawat terbang/helikopter.
Sehingga untuk mendatangi daerah-daerah
perbatasan tersebut, membutuhkan biaya
yang sangat mahal. Lebih lanjut lagi,
ternyata sarana dan prasarana wilayah di
perbatasan pada umumnya masih kurang
dan kalaupun ada, tentunya sudah kurang
layak dan tidak memadai untuk melayani
kebutuhan masyarakat di perbatasan.
Sarana air bersih, listrik, perumahan dan
permukiman, jaringan irigasi dan juga
belum tersedia dengan baik dan memadai.
7. Masih maraknya kepemilikan KTP
ganda sebagai identitas dari warga
(dua kewarganegaraan).
Aktifitas ekonomi dan perdagangan ilegal
di kawasan perbatasan semakin marak. Hal
ini telah menarik perhatian warga yang
tinggal di kedua wilayah yang berbatasan
untuk melakukan kegiatan perdagangan di
kawasan tersebut, ataupun antarnegara.
Dengan demikian banyak warga
masyarakat yang tinggal di perbatasan
memiliki 2 kartu identitas (KTP) dan 2
kwarganegaraan (RI dan PNG). Akibatnya
ada penduduk yang apabila berada di
wilayah RI mengaku sebagai WNRI dan
apabila berada di wilayah PNG mengaku
sebagai warga negara PNG. Demikian juga
apabila jika ada kegiatan seperti halnya
pemilu, mereka dapat mengikuti pemilu di
RI maupun PNG.
8. Banyaknya pelanggaran batas
wilayah baik yang dilakukan oleh
WN-RI maupun WN-PNG
disebabkan tidak jelasnya patok
batas negara.
Panjang garis batas RI–PNG di Papua
sekitar 760 kilometer dan pilar batas yang
ada hanya 52 buah, sehingga jarak antar
dua pilar batas yang berdampingan
mencapai lebih dari 14 kilometer. Jarak
antar kedua pilar batas yang cukup jauh
menjadi sulit untuk membedakan wilayah
kedua negara. Kondisi demikian membuat
terjadinya pelanggaran batas yang
dilakukan baik oleh WNRI maupun
WNPNG. Sangat mungkin pelanggaran ini
dilakukan secara tidak sengaja. Sangat
sulit untuk tidak melakukan pelanggaran
batas antar negara dengan jumlah pilar
batas yang masih sangat terbatas dan
kondisi topografis yang sangat sulit.
9. Masih rendahnya kualitas SDM
terutama masyarakat di kawasan
perbatasan RI-PNG.
Masih rendahnya kualitas sumberdaya
manusia (SDM) di kawasan perbatasan
telah menjadi permasalahan/isu strategis
yang perlu mendapat perhatian mendesak
dari pemerintah, karena tingkat kualitas
SDM yang tersedia akan menjadi faktor
penentu dalam upaya peningkatan
kesejahteraan kehidupan di masyarakat.
Rendahnya kualitas SDM tersebut juga
menyebabkan kurangnya pemahaman akan
konsep garis batas suatu negara.
10. Belum optimalnya pengelolaan
sumberdaya alam dan Taman
Nasional Hutan Wasur.
Pola pemanfaatan sumberdaya alam
khususnya untuk kawasan perbatasan
dengan tipologi kawasan lindung dan
konservasi, harus memiliki pola
pemanfaatan SDA yang memperhatikan
kelestarian lingkungan dan ekosistem.
Kerusakan Taman Nasional Wasur akan
berdampak pada kerusakan ekosistem
alam, hilangnya keanekaragaman hayati,
dan potensi hilangnya sumber pendapatan
daerah dari sektor wisata alam Hutan
Wasur. Hal ini disebabkan belum
optimalnya pengelolaan sumberdaya alam
dan Taman Nasional Hutan Wasur.
11. Belum terbentuknya penataan ruang
wilayah khususnya wilayah
perbatasan.
Maraknya perdagangan illegal disebabkan
belum tersedianya pasar tradisional
perbatasan atau pasar lelang untuk
masyarakat di perbatasan. Padahal di sisi
lain, potensi pasar yang cukup besar di
kawasan perbatasan, menuntut pemerintah
untuk melakukan langkah-langkah
kebijakan yang konstruktif terhadap
permasalahan perdagangan liar dan
kegiatan ekonomi lainnya agar masyarakat
dapat beraktifitas secara legal dan teratur.
12. Masih maraknya pencurian kayu
(illegal logging) oleh masyarakat
yang tinggal di sekitar kawasan
perbatasan.
Maraknya illegal logging akibat dari
pengelolaan SDA, khususnya sumberdaya
hutan yang dilakukan masyarakat
perbatasan, sangat merugikan pemerintah
maupun masyarakat lainnya. Disamping
rusaknya hutan sebagai sumber kehidupan
masyarakat, negara juga dirugikan dengan
hilangnya pendapatan dari sektor
kehutanan yang diperkirkan mencpai
Rp600 milyar pertahun.
13. Belum terbentuknya penataan ruang
wilayah khususnya wilayah
perbatasan.
Rencana pembangunan di wilayah
perbatasan memperhatikan kaidah
keruangan, hal ini karena tata ruang baik
wilayah maupun kawasan perbatasan
menjadi payung dalam setiap perencanaan
di setiap kawasan perbatasan di masa
yang akan datang. Tata ruang yang
meliputi segala aspek baik aspek sosial,
aspek ekonomi, aspek politik maupun
sosial budaya belum mendapat penanganan
prioritas dari pemerintah. Hal ini terlihat
dari belum adanya penataan ruang wilayah
di wilayah perbatasan Papua.
14. Belum tersedianya infrastruktur
sarana transportasi, permukiman
dan jaringan irigasi yang memadai
untuk masyarakat di perbatasan.
Wilayah perbatasan selama ini hanya
menjadi wilayah belakang wilayah NKRI.
Sebagai akibatnya belum tersedianya
aksesibilitas dengan baik berupa
terbatasnya infrastruktur jaringan jalan
(terbatasnya jaringan lintas batas di Papua,
jaringan trans yang kurang memadai, dan
belum adanya jaringan dari sentra
produksi), terbatasnya sarana kebutuhan
dasar (air bersih, listrik dan
telekomunikasi), kurangnya pengelolaan
persampahan, pasar desa, dan tambatan
perahu, dan kurangnya pemeliharan
jaringan air irigasi di kawasan perbatasan
ini.
15. Belum tersedianya sarana
pertahanan dan keamanan setingkat
batalyon di kabupaten perbatasan.
Mengantisipasi era globalisasi dan
pembukaan akses internasional di berbagai
sektor terutama yang menyangkut
pertahanan dan keamanan. Kabupaten
Merauke merupakan salah satu kabupaten
yang memiliki kawasan perbatasan
antarnegara yang masih sangat rawan
terhadap gangguan separatis dan tindakan
kriminal lainnya yang dimungkinkan
mengarah kepada permasalahan
internasional yang akan merugikan bangsa
Indonesia. Oleh karena itu dipandang
penting untuk membangun fasilitas
pertahanan dan keamanan secara memadai
baik dari segi fisik maupun personilnya.
Secara ringkas permasalahan dari
perbatasan Indonesia dengan Papua New
Guinea dapat dilihat pada bagan berikut :
III. Penutup
Kedaulatan suatu negara dapat tercermin
dari stabilinya keamanan di wilayah
perbatasan. Terdapat dua penyebab
masalah yang menjadi ancaman stabilitas
dari wilayah perbatasan RI dengan PNG,
yaitu kurangnya perhatian pemerintah
Indonesia terhadap wilayah perbatasan
tersebut dan kurang pahamnya masyarakat
perbatasan akan konsep garis batas,
dimana warga negara yang berada di lokasi
perbatasan masih memandang kekerabatan
(masih dalam satu rumpun). Oleh karena
itu dibutuhkan kerjasama antara
pemerintah dengan warga perbatasan
dalam menjaga stabilitas keamanan
wilayah perbatasan demi menjaga
keutuhan dan kedaulatan negara unuk
menjamin kedaulatan rakyat.
Referensi :
______. 2004. Kebijakan dan Strategi
Nasional Pegelolaan kawasan
Perbatasan Antarnegara di
Indonesia. Bappenas. Jakarta.
Anhari, John. 2008. Analisisi Penyebab
Konflik Papua & Solusinya Secara
Hukum Internasional. OPPB. Papua
Barat
Hayati, dkk. 2007. Geografi Politik.
Refika Adiatama. Bandung.
Karim, Muhammad. 2009. Eksisitensi
Pulau-Pulau Kecil di Kawasan
Perbatasan Negara. Pusat Kajian
Pembangunan Kelautan dan
Maritim. Jakarta.
Mochamad, Yanyan. 2008. “Pengamanan
Wilayah Perbatasan Darat Guna
Mendukung Keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.
LEMHANNAS RI. Jakarta.
Sugandi, Yulia. 2008. Analisis Konflik dan
Rekomendasi Kebijakan Mengenai
Papua. FES. Jakarta.
Permasalahan
Kurangnya perhatian pemerintah kepada daerah perbatasan
Tidak ada pasar tradisonal dan utilitas
yang buruk
Warga perbatasan yang tidak memahami
mengenai batas suatu negara
Banyaknya tanah adat ulayat yang status
kepemilikannya bukan warga negara yang
bersangkutan