Stabilitas Wilayah RI-PNG

6
ANCAMAN STABILITAS WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA-PAPUA NEW GUINEA Oleh M.Baried Izhom, 0806328562 I. Pendahuluan Geografi politik dapat diartikan sebagai: “…is the geography of states and provide a geographical interpretastion of internations”. Berdasarkan pengertian ini, ruang lingkup geografi politik pada dasarnya hanya terdapat tiga bahan kajian pokok, yaitu mengkaji tentang Evironmrnetal Relationship, National Power, dan Political Region. Untuk Political Region, memiliki konsep yang menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat teoritis seperti dasar, tujuan, dan ruang lingkup geografi politik serta pengorganisasian keruangan. Konsep Political Region membahas tentang pembagian wilayah administrasi, batas negara, dan masalah yang berhubungan dengan pengawasan wilayah kekuasaan negara. Kawasan perbatasan memegang peranan penting dalam kerangka pembangunan nasional. Kawasan perbatasan dalam perkembangannya berperan sebagai beranda depan NKRI yang merupakan cermin diri dan tolok ukur pembangunan nasional. Kedudukannya yang strategis menjadikan pengembangan kawasan perbatasan menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Jika dilihat dari sisi positifnya kawasan perbatasan memiliki potensi yang sangat strategis dalam berhubungan dengan negara-negara tetangga seperti kegiatan ekonomi, sosial, maupun budaya. Namun jika dilihat dari sisi negatifnya, kawasan perbatasan rawan terjadi konflik seperti dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam, politik maupun ekonomi. Dilihat dari dinamika sosial yang terjadi di wilayah perbatasan, dari segi mobilitas secara umum (Bandiyono, et.al, 1995, 1996) dan implikasi politis lainnya, menunjukan bahwa daerah perbatasan memerlukan penaganan khusus karena sering timbul permasalahan yang tidak ada didaerah lain seperti pelintas batas ilegal (ilegal movers) dan pelintas batas tradisional/kultural (tradisional border crosser). Pelintas batas tersebut bukan hanya penduduk, melainkan barang dan berbagai informasi juga termasuk didalamnya. Menurut Jean Bodin, kedaulatan merupakan keharusan tertinggi di dalam suatu negara, oleh karena itu setiap negara berkewajiban menjaga stabilitas keamanan wilayah perbatasan untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara untuk menjamin kedaulatan rakyat. II. Pembahasan Secara fisik, Indonesia merupakan negara terbesar kelima di dunia yang batas negaranya berbatasan sedikitnya dengan 10 negara tetangga. Provinsi Irian Jaya terletak di kawasan paling timur dari Negara Indonesia yang berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea (PNG). Wilayah tingkat II di Provinsi Irian Jaya yang berbatasan langsung dengan PNG meliputi Kotamadya Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, dan Kabupaten Jayawijaya. Wilayah perbatasan darat RI PNG tersebut memanjang dari utara ke selatan memotong tengah pulau Papua sepanjang kuran lebih 760 km. Garis batas ini ditetapkan melalui perjanjian antara Pemerintah Belanda dan Inggris pada pada tanggal 16 Mei 1895. Perjanjian ini menetapkan bahwa garis batas antara kekuasaan Belanda dan Inggris di New Guinea adalah mengikuti garis lurus 141° Bujur Timur dari titik perbatasan di sebelah utara sampai bertemu dengan Sungai Fly. Kemudian batas mengikuti aliran Sungai Fly terus ke selatan sampai dengan titik pada garis 141° 1’ 47,9” Bujur Timur. Dari titik inilah selanjutnya ditarik

Transcript of Stabilitas Wilayah RI-PNG

Page 1: Stabilitas Wilayah RI-PNG

ANCAMAN STABILITAS WILAYAH

PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA-PAPUA NEW GUINEA

Oleh M.Baried Izhom, 0806328562

I. Pendahuluan

Geografi politik dapat diartikan sebagai:

“…is the geography of states and provide

a geographical interpretastion of

internations”. Berdasarkan pengertian ini,

ruang lingkup geografi politik pada

dasarnya hanya terdapat tiga bahan kajian

pokok, yaitu mengkaji tentang

Evironmrnetal Relationship, National

Power, dan Political Region. Untuk

Political Region, memiliki konsep yang

menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat

teoritis seperti dasar, tujuan, dan ruang

lingkup geografi politik serta

pengorganisasian keruangan. Konsep

Political Region membahas tentang

pembagian wilayah administrasi, batas

negara, dan masalah yang berhubungan

dengan pengawasan wilayah kekuasaan

negara.

Kawasan perbatasan memegang peranan

penting dalam kerangka pembangunan

nasional. Kawasan perbatasan dalam

perkembangannya berperan sebagai

beranda depan NKRI yang merupakan

cermin diri dan tolok ukur pembangunan

nasional. Kedudukannya yang strategis

menjadikan pengembangan kawasan

perbatasan menjadi salah satu prioritas

pembangunan nasional. Jika dilihat dari

sisi positifnya kawasan perbatasan

memiliki potensi yang sangat strategis

dalam berhubungan dengan negara-negara

tetangga seperti kegiatan ekonomi, sosial,

maupun budaya. Namun jika dilihat dari

sisi negatifnya, kawasan perbatasan rawan

terjadi konflik seperti dalam hal

pemanfaatan sumberdaya alam, politik

maupun ekonomi. Dilihat dari dinamika

sosial yang terjadi di wilayah perbatasan,

dari segi mobilitas secara umum

(Bandiyono, et.al, 1995, 1996) dan

implikasi politis lainnya, menunjukan

bahwa daerah perbatasan memerlukan

penaganan khusus karena sering timbul

permasalahan yang tidak ada didaerah lain

seperti pelintas batas ilegal (ilegal movers)

dan pelintas batas tradisional/kultural

(tradisional border crosser). Pelintas batas

tersebut bukan hanya penduduk,

melainkan barang dan berbagai informasi

juga termasuk didalamnya. Menurut Jean

Bodin, kedaulatan merupakan keharusan

tertinggi di dalam suatu negara, oleh

karena itu setiap negara berkewajiban

menjaga stabilitas keamanan wilayah

perbatasan untuk menjaga keutuhan dan

kedaulatan negara untuk menjamin

kedaulatan rakyat.

II. Pembahasan

Secara fisik, Indonesia merupakan negara

terbesar kelima di dunia yang batas

negaranya berbatasan sedikitnya dengan

10 negara tetangga. Provinsi Irian Jaya

terletak di kawasan paling timur dari

Negara Indonesia yang berbatasan

langsung dengan Negara Papua New

Guinea (PNG). Wilayah tingkat II di

Provinsi Irian Jaya yang berbatasan

langsung dengan PNG meliputi

Kotamadya Jayapura, Kabupaten Jayapura,

Kabupaten Merauke, dan Kabupaten

Jayawijaya. Wilayah perbatasan darat RI –

PNG tersebut memanjang dari utara ke

selatan memotong tengah pulau Papua

sepanjang kuran lebih 760 km. Garis batas

ini ditetapkan melalui perjanjian antara

Pemerintah Belanda dan Inggris pada pada

tanggal 16 Mei 1895. Perjanjian ini

menetapkan bahwa garis batas antara

kekuasaan Belanda dan Inggris di New

Guinea adalah mengikuti garis lurus 141°

Bujur Timur dari titik perbatasan di

sebelah utara sampai bertemu dengan

Sungai Fly. Kemudian batas mengikuti

aliran Sungai Fly terus ke selatan sampai

dengan titik pada garis 141° 1’ 47,9” Bujur

Timur. Dari titik inilah selanjutnya ditarik

Page 2: Stabilitas Wilayah RI-PNG

lurus ke selatan mengikuti garis bujur

tersebut, dengan menetapkan garis batas

yang hampir semuanya mengikuti garis

lurus bujur timur. Petetapan garis batas ini

tidak mempertimbangkan kondisi

topografis di lapangan. Di bagian utara

daerah perbatasan berada wilayah

pegunungan dengan kondisi medan yang

sangat sulit dijangkau. Berbeda dengan

perbatasan bagian selatan kondisi

topografisnya cukup landai, datar dan

berawa. Daerah perbatasan yang termasuk

dalam wilayah adminstratif berbeda antara

Indonesia dan PNG. Dalam kesepakatan

yang dibuat antara RI dan PNG, disepakati

bahwa daerah perbatasan di dalam wilayah

PNG terdiri dari Census Division,

sedangkan daerah perbatasan di dalam

wilayah Indonesia terdiri dari kampung-

kampung (setingkat desa) dan kelurahan-

kelurahan.

Penduduk daerah perbatasan baik di Papua

maupun PNG merupakan “satu keluarga

besar”, yakni masuk rumpun ras

Melanosoid sehingga penduduknya

memiliki banyak kesamaan yang dapat

dilihat dari berbagai sudut pandang, baik

fisik, suku, bahasa, maupun budaya.

Namun, dalam perjalanan sejarah mereka

telah terpisah, oleh karena berlakunya

konsep politik, berupa sebuah negara yang

berbeda. Sementara itu, karena mereka

masih melanggengkan hubungan

kekerabatan etnis, maka muncul persoalan

batas kultural yang berbeda dengan konsep

batas negara. Karena itu banyak dijumpai

kasus, batas kultural yang dimiliki oleh

kekuasaan, suku, klan tertentu untuk lebih

dihormati, dibandingkan dengan batas

kekuasaan yang dimiliki oleh garis batas

wilayah sebuah negara yang lainnya,

secara tidak langsung masyarakat sekitar

perbatasan tidak begitu menganggap

adanya batas negara. Hal ini dapat dilihat

dari masyarakat yang tinggal di wilayah

Indonesia juga seringkali memiliki tanah

ulayat yang merupakan lahan garapan

yang berada di wilayah PNG, demikian

juga sebaliknya masyarakat yang tinggal di

PNG setiap hari bercocok tanam di lahan

di wilayah Indonesia. Pengaruh

sumberdaya alam yang ada di sepanjang

perbatasan sebagian besar adalah hutan

yang sulit dijangkau dengan kendaraan

biasa dan memakan waktu yang lama

untuk mencapainya serta Kondisi

masyarakat di sepanjang perbatasan

umumnya masih miskin dan tertinggal

serta kurang mendapat perhatian dari

aparat pemerintah daerah maupun pusat

juga memberikan kontribusi besar

maraknya pelintas batas negara tersebut.

Dengan kondisi demikian, maka kawasan

perbatasan di Papua sering digunakan

sebagai tempat persembunyian para

pemberontak maupun “pelanggar hukum”

sebagai jalan untuk melarikan diri ke PNG

serta digunakan jalur para pencari suaka

menuju ke Negara PNG. Berikut ini data

mengenai jumlah pelintas batas yang

kembali dari PNG.

Tabel 1. Rekapitulasi Jumlah Pelintas

Batas Indonesia yang Kembali dari

PNG (1984 – 2000)

No. Asal

Jenis

Kelamin Jumlah

Kabupaten/Kota Distrik LK PR

1

2

3

4

5 6

7

8

Kota Jayapura

Kabupaten Jayapura

Kabupaten Merauke

Kabupaten

Jayawijaya

Kabupaten Mimika Kabupaten Sorong

Kabupaten Yapen

Waropen

Kabupaten Paniai

1. Abepura

2. Jayapura Utara

3. Jayapura

Selatan

1. Arso 2. Senggi

3. Waris

4. Web

5. Membramo

Hulu 6. Kemtuk Gresi

7. Kaureh

8. Sentani

9. Depapre 10. Unurum Guai

11. Bonggo

12. Nimboran

13. Demta 1. Mindiptana

2. Muting

3. Merauke

4. Waropko

5. Tanah Merah 1. Kiwirok

2. Oksibil

3. Okbibab

4. Batom 5. Kelila

6. Bolakme

7. Tiom

8. Kobakma 9. Bokondini

Akimuga

Sorong

Serui 1. Komopo

Paniai

2. Komuju

3. Enarotali

4. Waigate

164

165 9

512

435

433 865

260

57

375

4 25

5

1

1 1

1779

133

262 896

21

801

456

14 57

23

5

1 5

9

27

4 6

3

4

2 1

163

92 10

389

336

364 610

201

56

285

3 8

6

-

- -

1796

91

246 916

20

643

428

9 50

20

5

- 2

15

34

3 2

2

2

1 -

327

257 19

901

771

797 1475

461

113

660

7 33

11

1

1 1

3575

224

508 1811

41

1444

884

23 107

43

10

1 7

24

61

7 8

5

6

3 1

Sumber: BPKD Provinsi Papua, 2003

Page 3: Stabilitas Wilayah RI-PNG

Gambar 1. Daerah Perbatasan RI-PNG (Sumber : BPKD Provinsi Papua, 2003)

Kawasan perbatasan Indinesia – PNG

dengan kondisi yang telah diutarakan,

cukup menyimpan banyak persoalan.

Terdapat sedikitnya 15 isu dan

permasalahan mengenai kawasan

perbatasan Papua, antara lain :

1. Daerah perbatasan sering dijadikan

sebagai tempat pelarian orang-orang

yang melakukan pelanggaran hukum

baik di wilayah RI maupun PNG.

Wilayah perbatasan sering dijadikan

tempat pelarian bagi orang-orang yang

melakukan pelanggaran hukum baik di

wilayah RI maupun PNG. Hal ini

disebabkan masih rendahnya jumlah aparat

keamanan yang ada, ditambah dengan

tanggung jawab wilayah yang tidak

proporsional. Kondisi ekonomi dan sosial

seperti rendahnya tingkat pendidikan,

tingkat pendapatan penduduk yang rendah

menyebabkan tingginya tingkat

kriminalitas di kawasan perbatasan ini.

Selain itu, akses transportasi yang masih

sulit membuat kawasan perbatasan ini

menjadi tempat berlindung yang kondusif

bagi para kriminal dari kedua negara

tersebut.

2. Adanya pelintas batas illegal yang

masuk ke wilayah PNG dan tidak

mau kembali ke wilayah Papua

karena alasan politik.

Di masa lalu, cukup banyak kepergian

warga RI yang masuk ke PNG dengan

alasan tertentu. Seiring dengan berjalannya

waktu, sekarang mereka mulai tidak

diterima olah masyarakat PNG sendiri.

Karena itu saat ini mereka kembali ke

Indonesia secara berangsur-angsur.

3. Sering terjadi penyelundupan

barang-barang ilegal dan kegiatan

perdagangan ilegal masuk dan keluar

dari/ke wilayah RI.

Akibat minimnya infrastruktur penunjang

di Pos-pos Lintas Batas yang ada di

perbatasan, termasuk sarana dan prasarana

transportasi dan bea cukai, karantina,

imigrasi serta keamanan (CIQS), telah

mengakibatkan terhambatnya jalur

ekonomi dan distribusi barang dan jasa

menuju kawasan perbatasan, sebaliknya

distribusi barang/produk yang berasal dari

PNG relatif lebih mudah karena ditunjang

oleh sarana yang memadai. Sebagai

akibatnya, semakin marak terjadinya

penyeludupan di kawasan ini. Dalam skala

kecil sebenarnya aparat di pos lintas batas

bisa mengenali penyelundupan tersebut.

Berbagai aktifitas penyelelundupan ilegal

diantaranya adalah masuknya barang-

barang sejenis ganja dan obat-obatan

psikotropika jenis narkoba. Dalam hal ini

telah dibangun kantor bantu pelayanan bea

dan cukai Skuo dan kantor pelayanan bea

dan cukai sota, tetapi dalam hal ini

keberadaannya masih dirasakan kurang.

4. Terdapat tanah hak ulayat penduduk

PNG yang berada di wilayah RI,

begitu juga sebaliknya.

Perjanjian pemerintah kolonial yang

membagi pulau Papua dalam 2 wilayah

dilakukan dengan menarik garis lurus

secara astronomis, tanpa melihat kondisi

sosial yang ada, menimbulkan

permasalahan. Akibatnya adalah pemilikan

harta benda (tanah, kebun ladang)

masyarakat, menurut hak ulayatnya terbagi

menjadi 2, dimana sebagian berada di

wilayah RI dan sebagian lagi berada di

wilayah PNG. Tanah ulayat ini menjadi

ladang penghidupan yang diolah sehari-

hari oleh masyarakat perbatasan, sehingga

pelintasan batas antar negara menjadi hal

yang biasa dilakukan setiap hari.

Page 4: Stabilitas Wilayah RI-PNG

5. Adanya penduduk yang mengaku

warga negara PNG dan berdiam di

wilayah RI.

Akibat sulitnya transportasi ke kawasan

perbatasan, akses dari pusat pemerintahan

RI menjadi sangat terbatas, tetapi di pihak

lain, akses ke pusat pemerintahan PNG

lebih mudah. Akibatnya ada beberapa

daerah di mana pemerintahan PNG

berjalan efektif di dalam wilayah RI.

Karena yang berjalan adalah pemerintah

PNG, maka penduduknya pun mengaku

sebagai warga negara PNG meski berdiam

dalam wilayah RI.

6. Sarana infrastruktur dan

aksesibilitas menuju perbatasan

masih sangat terbatas.

Saat ini jalan yang sudah ada dan dapat

ditempuh melalui darat hanya dari

kabupaten/kota ke perbatasan adalah

Kabupaten Keerom, Kabupaten Merauke,

dan Kota Jayapura, sedangkan di wilayah

perbatasan lainnya, hanya dapat dicapai

dengan pesawat terbang/helikopter.

Sehingga untuk mendatangi daerah-daerah

perbatasan tersebut, membutuhkan biaya

yang sangat mahal. Lebih lanjut lagi,

ternyata sarana dan prasarana wilayah di

perbatasan pada umumnya masih kurang

dan kalaupun ada, tentunya sudah kurang

layak dan tidak memadai untuk melayani

kebutuhan masyarakat di perbatasan.

Sarana air bersih, listrik, perumahan dan

permukiman, jaringan irigasi dan juga

belum tersedia dengan baik dan memadai.

7. Masih maraknya kepemilikan KTP

ganda sebagai identitas dari warga

(dua kewarganegaraan).

Aktifitas ekonomi dan perdagangan ilegal

di kawasan perbatasan semakin marak. Hal

ini telah menarik perhatian warga yang

tinggal di kedua wilayah yang berbatasan

untuk melakukan kegiatan perdagangan di

kawasan tersebut, ataupun antarnegara.

Dengan demikian banyak warga

masyarakat yang tinggal di perbatasan

memiliki 2 kartu identitas (KTP) dan 2

kwarganegaraan (RI dan PNG). Akibatnya

ada penduduk yang apabila berada di

wilayah RI mengaku sebagai WNRI dan

apabila berada di wilayah PNG mengaku

sebagai warga negara PNG. Demikian juga

apabila jika ada kegiatan seperti halnya

pemilu, mereka dapat mengikuti pemilu di

RI maupun PNG.

8. Banyaknya pelanggaran batas

wilayah baik yang dilakukan oleh

WN-RI maupun WN-PNG

disebabkan tidak jelasnya patok

batas negara.

Panjang garis batas RI–PNG di Papua

sekitar 760 kilometer dan pilar batas yang

ada hanya 52 buah, sehingga jarak antar

dua pilar batas yang berdampingan

mencapai lebih dari 14 kilometer. Jarak

antar kedua pilar batas yang cukup jauh

menjadi sulit untuk membedakan wilayah

kedua negara. Kondisi demikian membuat

terjadinya pelanggaran batas yang

dilakukan baik oleh WNRI maupun

WNPNG. Sangat mungkin pelanggaran ini

dilakukan secara tidak sengaja. Sangat

sulit untuk tidak melakukan pelanggaran

batas antar negara dengan jumlah pilar

batas yang masih sangat terbatas dan

kondisi topografis yang sangat sulit.

9. Masih rendahnya kualitas SDM

terutama masyarakat di kawasan

perbatasan RI-PNG.

Masih rendahnya kualitas sumberdaya

manusia (SDM) di kawasan perbatasan

telah menjadi permasalahan/isu strategis

yang perlu mendapat perhatian mendesak

dari pemerintah, karena tingkat kualitas

SDM yang tersedia akan menjadi faktor

penentu dalam upaya peningkatan

kesejahteraan kehidupan di masyarakat.

Rendahnya kualitas SDM tersebut juga

menyebabkan kurangnya pemahaman akan

konsep garis batas suatu negara.

10. Belum optimalnya pengelolaan

sumberdaya alam dan Taman

Nasional Hutan Wasur.

Pola pemanfaatan sumberdaya alam

khususnya untuk kawasan perbatasan

dengan tipologi kawasan lindung dan

konservasi, harus memiliki pola

pemanfaatan SDA yang memperhatikan

kelestarian lingkungan dan ekosistem.

Page 5: Stabilitas Wilayah RI-PNG

Kerusakan Taman Nasional Wasur akan

berdampak pada kerusakan ekosistem

alam, hilangnya keanekaragaman hayati,

dan potensi hilangnya sumber pendapatan

daerah dari sektor wisata alam Hutan

Wasur. Hal ini disebabkan belum

optimalnya pengelolaan sumberdaya alam

dan Taman Nasional Hutan Wasur.

11. Belum terbentuknya penataan ruang

wilayah khususnya wilayah

perbatasan.

Maraknya perdagangan illegal disebabkan

belum tersedianya pasar tradisional

perbatasan atau pasar lelang untuk

masyarakat di perbatasan. Padahal di sisi

lain, potensi pasar yang cukup besar di

kawasan perbatasan, menuntut pemerintah

untuk melakukan langkah-langkah

kebijakan yang konstruktif terhadap

permasalahan perdagangan liar dan

kegiatan ekonomi lainnya agar masyarakat

dapat beraktifitas secara legal dan teratur.

12. Masih maraknya pencurian kayu

(illegal logging) oleh masyarakat

yang tinggal di sekitar kawasan

perbatasan.

Maraknya illegal logging akibat dari

pengelolaan SDA, khususnya sumberdaya

hutan yang dilakukan masyarakat

perbatasan, sangat merugikan pemerintah

maupun masyarakat lainnya. Disamping

rusaknya hutan sebagai sumber kehidupan

masyarakat, negara juga dirugikan dengan

hilangnya pendapatan dari sektor

kehutanan yang diperkirkan mencpai

Rp600 milyar pertahun.

13. Belum terbentuknya penataan ruang

wilayah khususnya wilayah

perbatasan.

Rencana pembangunan di wilayah

perbatasan memperhatikan kaidah

keruangan, hal ini karena tata ruang baik

wilayah maupun kawasan perbatasan

menjadi payung dalam setiap perencanaan

di setiap kawasan perbatasan di masa

yang akan datang. Tata ruang yang

meliputi segala aspek baik aspek sosial,

aspek ekonomi, aspek politik maupun

sosial budaya belum mendapat penanganan

prioritas dari pemerintah. Hal ini terlihat

dari belum adanya penataan ruang wilayah

di wilayah perbatasan Papua.

14. Belum tersedianya infrastruktur

sarana transportasi, permukiman

dan jaringan irigasi yang memadai

untuk masyarakat di perbatasan.

Wilayah perbatasan selama ini hanya

menjadi wilayah belakang wilayah NKRI.

Sebagai akibatnya belum tersedianya

aksesibilitas dengan baik berupa

terbatasnya infrastruktur jaringan jalan

(terbatasnya jaringan lintas batas di Papua,

jaringan trans yang kurang memadai, dan

belum adanya jaringan dari sentra

produksi), terbatasnya sarana kebutuhan

dasar (air bersih, listrik dan

telekomunikasi), kurangnya pengelolaan

persampahan, pasar desa, dan tambatan

perahu, dan kurangnya pemeliharan

jaringan air irigasi di kawasan perbatasan

ini.

15. Belum tersedianya sarana

pertahanan dan keamanan setingkat

batalyon di kabupaten perbatasan.

Mengantisipasi era globalisasi dan

pembukaan akses internasional di berbagai

sektor terutama yang menyangkut

pertahanan dan keamanan. Kabupaten

Merauke merupakan salah satu kabupaten

yang memiliki kawasan perbatasan

antarnegara yang masih sangat rawan

terhadap gangguan separatis dan tindakan

kriminal lainnya yang dimungkinkan

mengarah kepada permasalahan

internasional yang akan merugikan bangsa

Indonesia. Oleh karena itu dipandang

penting untuk membangun fasilitas

pertahanan dan keamanan secara memadai

baik dari segi fisik maupun personilnya.

Secara ringkas permasalahan dari

perbatasan Indonesia dengan Papua New

Guinea dapat dilihat pada bagan berikut :

Page 6: Stabilitas Wilayah RI-PNG

III. Penutup

Kedaulatan suatu negara dapat tercermin

dari stabilinya keamanan di wilayah

perbatasan. Terdapat dua penyebab

masalah yang menjadi ancaman stabilitas

dari wilayah perbatasan RI dengan PNG,

yaitu kurangnya perhatian pemerintah

Indonesia terhadap wilayah perbatasan

tersebut dan kurang pahamnya masyarakat

perbatasan akan konsep garis batas,

dimana warga negara yang berada di lokasi

perbatasan masih memandang kekerabatan

(masih dalam satu rumpun). Oleh karena

itu dibutuhkan kerjasama antara

pemerintah dengan warga perbatasan

dalam menjaga stabilitas keamanan

wilayah perbatasan demi menjaga

keutuhan dan kedaulatan negara unuk

menjamin kedaulatan rakyat.

Referensi :

______. 2004. Kebijakan dan Strategi

Nasional Pegelolaan kawasan

Perbatasan Antarnegara di

Indonesia. Bappenas. Jakarta.

Anhari, John. 2008. Analisisi Penyebab

Konflik Papua & Solusinya Secara

Hukum Internasional. OPPB. Papua

Barat

Hayati, dkk. 2007. Geografi Politik.

Refika Adiatama. Bandung.

Karim, Muhammad. 2009. Eksisitensi

Pulau-Pulau Kecil di Kawasan

Perbatasan Negara. Pusat Kajian

Pembangunan Kelautan dan

Maritim. Jakarta.

Mochamad, Yanyan. 2008. “Pengamanan

Wilayah Perbatasan Darat Guna

Mendukung Keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia”.

LEMHANNAS RI. Jakarta.

Sugandi, Yulia. 2008. Analisis Konflik dan

Rekomendasi Kebijakan Mengenai

Papua. FES. Jakarta.

Permasalahan

Kurangnya perhatian pemerintah kepada daerah perbatasan

Tidak ada pasar tradisonal dan utilitas

yang buruk

Warga perbatasan yang tidak memahami

mengenai batas suatu negara

Banyaknya tanah adat ulayat yang status

kepemilikannya bukan warga negara yang

bersangkutan