SRIWIDJAJA - Universitas Indonesia Library
Transcript of SRIWIDJAJA - Universitas Indonesia Library
. 'N 'í?% a j £ l a . m . e t m u t j < i n à
' a . f f . -. y- t,
SRIWIDJAJA
f t
P E R I TET VKAN ARNOLDUS ENDE - FI,ORES N .T X
r , & * V
S R I W I D J A J A
S R I W I D J A J A
Prof. Dr. Slametmuljana
Pertjetakan Arnoldus Endc-Flores Nusa Tenggara Timur
K o le k s i P e rp u s ta k a a n FAKULTAS HUKUM U.I.V _____ ,
■ r r r p u s t a k a a n . .FAKt'LTAS HUKUM U.l.
T a n g g a l 1 A «
N o m o r S i l : 0 , A t y .
^ A s a l D u k u ........... . . . .
k ■ -V • ■■ •i . ' 'l "
I S I N J A
Kata pengantar
I. Ichtisar penulisan sedjarah Sriwidjaja ' 3
I-ts’ing: Nan-hai-chi-kuei-nai-fa-ch'uan, Ta-t’ang-si-yu-ku-fa-kao-
sêng-ch'uan; Kern: Inscriptie van Kota Kapur (eiland Bangka;
608 çaka); Groeneveldt: Notes 011 the Malay Archipelago and M a
lacca, compiled from Chinese sources; Blagden: The empire of the
Maharaja, King of the Mountains and Lord of the Isles; Coedès:
Le royaume de Çrivijaya; Krom: De Sumatraansche periode der
Javaansche Geschiedenis; Stutterheim: A Javanese period in Su
matran history; Krom: Hindoe-Javaansche Geschiedenis; Coedès:
Les inscriptions malaises de Çrivijaya; Vogel: Het Koninkrijk Çri
vijaya; Ferrand: L ’empire Sumatranais de Çrivijaya; Ivans: An in
scribed seal from Perak; Nilakanta Sastri; A note on an inscribed
seal from Perak; Chhabra: Expansion of Indo-Aryan culture during
Pallava rule, as evidenced by inscriptions; Majumdar: Let rois Çai-
lendra de Suvarnadvipa; Bosch: De inscriptie van Ligor; Moens:
Çrivijaya, Yava en Katâha; Stutterheim: Verslag over de gevonden
inscripties; Roland Braddell: An introduction to the study of ancient
times in the Malay Peninsula and the Straits of Malacca; Coedès:
Les états Hindouisés d’Indo-Chine et d’Indonésie; Nilakanta Sas-
tri: History of Çrivijaya; van Naerssen: The Çailendra inter
regnum; Coedès: Le Çailendra ,,tueur des héros ennemis” ; De
Casparis: Prasasti Indonesia I; II; Bosch: Çrivijaya, de Çailendra-
en de Sanjayavamça; Purbatjaraka: Riwajat Indonesia I; Hiranan-
da Sastri: The Nalanda copperplate of Devapaladeva; Bosch: Een
oorkonde van het groote klooster te Nalanda; Sukmono: Lokalisasi
pusat keradjaan Sriwidjaja; Moh. Yamin: Penjelidikan sedjarah
tentang negara Sriwidjaja dan radjakula Sailendra dalam kerangka
ketatanegaraan Indonesia; Tan-yeok-seong: Piagam Kanton; Brian
Harrison: Early Indianized States, Funan and Srivijaya; Hall: A
history of South-East Asia.
5
halaman
II. Pendidikan I'ts'ing 39
Pendidikan 39
Perdjalanan ke India t 43
Pernjataan I-ts’ing 47
lil . Lokalisasi tempat-tempat dalam perdjalanan l-tsing 52
Lo-jeng-kuo 53
Ka-cha 54
Mo-lo-yeu 57
Shih-li-fo-shih 61M o - h o ' S i n 6 5
Ho-ling 69
P ’o-li 76
Tan-tan 79
P’en-p'en &1Fo-shih-pU'lo
A-shan ^4
Lang-ya-hsiu ^4
To-ho-lo-po-ti ^7
IV . Pusat keradjaan Sriwidjaja 91
Lokalisasi ' ' 91Keradjaan Melaju dan Sriwidjaja l io
Piagam Kedukan Bukit 113Pusat keradjaan Melaju 120Piagam Talang Tuwo 123Gelar Dapunta Hyang 126Piagam persumpahan 128
V. Sriwidjaja dan Semenandjung v 135
Piagam Ligor A 135Piagam Ligor B 137
VI. Radjakula Sailendra di Djawa Tengah 147
Prasasti Kedu 147
Prasasti Tjanggal dan Sandjaja 149Prasasti Kalasan dan Rakai Panangkaran 152
6
halaman
Prasasti Ratu Baka dan Dharmatungga X57Prasasti Kelurak dan Dharanindra 158Prasasti Karang Tengah dengan Samaratungga £59Prasasti Sri Kahulunan dan Pramodawardhani 163Prasasti Gandasuli dan Dang Karayan Partapan 172
V II. Sriwidjaja dibawah kekuasaan Sailendra 179
Prasasti Nalanda dan Balaputra 179
Prasasti Balaputra - Djatiningrat 185Persoalan Sri Dharmasetu 193
V III. Keradjaati San~fo~ts’i 197
Berita Tionghwa 197
Berita India 200Lokalisasi San-fo-ts'i 202Negara-negara bawahan San-fo-ts’i 207Hubungan antara Sriwidjaja dan India 213Hubungan antara Sriwidjaja dan Tiongkok 217
IX . Runtuhnja keiadjaan Sriwidjaja 223
Kekuasaan di Semenandjung 223Kekuasaan di Sumatera 229
X . Karja utama dan singkatan 235
7
K A T A P E N G A N T A R
Kesadaran nasional bangkit kembali akibat tim buln ja kemerdekaan
dipelbagai negara Asia. D engan sendirinja pengetahuan sed ja tah nasio
nal mendapat perhatian para penduduk negara-negara jan g bersang
kutan lebih banjak daripada waktu jang sudah silam.Sedjarah keradjaan Sriw id ja ja adalah sedjarah salah satu negara A sia
Tenggara, jang menguasai Selat M a laka pada zaman jang sudah lama
lampau. Selat M a laka sebagai satu-satunja d ja lan lalu-hntas pelajaran
dari Ind ia ke Tiongkok d$n kebalikannja, memegang peranan penting
dalam sedjarah. Asia Tenggara. O leh karena itu sedjarah keradjaan
Sriw id ja ja pada hakekatnja adalah bagian penting dari sedjarah lama
Asia Tenggara. Sedjarah Sriw idja ja menjangkut hubungan antara
bangsa-bangsa A s ia , terutama jang menggunakan Selat M a laka sebagai
d ja lan lalu-lintas. Peranan Sriw idja ja tidak dapat diabaikan dalam
pengetahuan sedjarah Asia Tenggaia lama.Keradjaan Sriw idjaja lama terpendam dalam abu sedjarah, tanpa
diketahui oleh s e o ra n g p u n . Baru semendjak tahun 1918 keradjaan S riw i
d ja ja timbul lagi dalam sedjarah berkat penemuan Prof. George Coedes.
Sedjak itu nama Sriw idjaja mendjadi sangat mashur. Penjelidikan lebih
landjut masih terus-menerus dilakukan untuk mentjari pendjelasan me
ngenai hal-hal jang masih kabur. Penemuan keradjaan S riw id ja ja ini
mendapat sambutan jang hangat sekali dari para sardjana dalam b idang
pengetahuan sedjarah.Sudah selajaknja bangsa Asia Tenggaia umumnja, bangsa M a la ja
dan Indonesia chususnja tidak lagi puas dengan hanja mendengar nam a-
nja sadja. Mereka ingin tahu bagaimana seluk-beluk jang sebenarnja.
Itu lah sebabnja maka hasil penjelidikan para sardjana dalam bidang
sedjarah Sriw idjaja itu d juga dihimpun dan disiarkan dalam bahasa
M elaju/Indonesia dalam bentuk seperti berikut.
D isamping menghimpun dan mengutip pendapat pai a sardjana jang
telah memberikan sumbangan dalam rekonstruksi sedjarah Sriw idja ja ,
penjusun tidak lupa mengemukakan pelbagai persoalan, jang masih
menghendaki pemetjahan. D justru persoalan-persoalan itulah jang ter
utama mendapat perhatiannja. Usul pemetjahannja ada kalanja sama
dengan pendapat lama jang sudah pernah dikemukakan, ada kalanja
berbeda dan merupakan buah pikiran baru.
Sumber sedjarah jang digunakan sama sadja dengan sumber sedjarah
jang telah ditelaah sebelumnja dalam penelitian sedjarah Sriw idjaja.
Hasil penelitian jang penting-pentingpun setjara singkat diuraikan da--------------- ,-------------------------- j ------ a (---------------- a ............... -------------- J — « - n u f c H / t c t T T C l c
lain fatsal ichtisar penulisan sedjarah Sriw idja ja , jang tnenjebut pelbagai
karja para sardjana dalam bidang sedjarah Sriw idjaja. Tanpa mengu-
9
tangi djasa para sardjana jang telah menjumbungkan pendapat dalam
penjusunan kembali sedjavah Sriwidjaja, uraian ini tidak diperberat
dengan banjak kutipan dan tjatatan. Dengan djalan demikian uraian
mudah dibatja dan pikiran dapat dipusatkan pada persoalan jang di
telaah.
Dalam penulisan sedjarah Sriividjaja kita harus berusaha untuk hidup
dan berpikir dalam alam abad ke 7 sampai abad ke 13 dan berusaha me
mahami makna peristiwa sedjarah dalam rangka zamannja. Suasana
zaman Sriwidjaja jang telah lampau berabad-abad hanja dapat kita
bajangkan sadja dan kadang-kadang pembajangan suasana itu masih
bersifat raba-raba. Peristiwa sedjarah jang ingin kita pahami, sangat
kabur, karena sumber sedjarah memberitakannja tidak djelas. Sebagian
besar dari peristiwa-peristiwa sedjarah Sriwidjaja jang kita djumpai,
diberitakan oleh sumber sedjarah asing, terutama sumber berita Tiong-
hwa dan prasasti-prasasti asli dari zaman Sriwidjaja jang ditulis dalam
bahasa Sriwidjaja, Sansekerta dan Tamil.
Berita Tionghwa tentang Sriwidjaja kadang-kadang terlalu singkat
dan terlalu kabur. Berita-berita itu kadang-kadang disangsikan kebenar-
annja, karena kebanjakan diantara berita-berita itu tidak berasal dari
tangan pertama. Nama-nama tempat dan tokoh sedjarah jang diberita
kan, ditulis dalam bahasa Tionghwa menurut pendengaran pemdisnja.
Utjapan kata-kata Tionghwa jang digunakan untuk mentjatat nama-
nama itu berbeda-beda, sehingga susah untuk ditafsirkan. Bahasa Ti
onghwa pada abad ke 7 berbeda dengan bahasa Tionghwa zaman
sekarang. Bahasa Tionghwa Kanton berbeda dengan bahasa Tionghwa
Mandarin. Untuk memberikan tafsir terhadap berita-berita Tonghwa
itu diperlukan bantuan ahli bahasa Tionghwa klasik jang mempunjai
perhatian kepada persoalan sedjarah.
Nama-nama tempat jang ditranskripsikan dengan huruf-huruf Tiong
hwa perlu ditafsirkan. Pentafsiran -nama-nama itu tidaklah mudah, ka
rena nama-nama itu biasanja ditulis dalam satu rangkaian jang bunjinja
berbeda sekali dengan nama-nama desa atau kota di Malaja dan Su-
matera. Seringkali tempat jang namanja tertjatat dalam kronik Tionghwa
itu sudah berubah namanja, menjesuaikan diri dengan perkembangan
bahasa setempat. Keterangan geografi tentang tempat-tempat jang di
sebut kadang-kadang bersifat umum sekali, diukur dengan djarak pe
lajaran dan djarak dari pulau atau tempat jang letaknja sangat djauh.
Pemberitaan tentang batas-batas tempat itu dinjatakan dengan penje-
butan laut dan pulau atau negara jang sangat djauh letaknja. Betapapun
kaburnja berita geografi itu, berita geografi itu harus didjadikan pe
gangan untuk melokalisasikan tempat-tempat jang dimaksud. Penge
tahuan geografi dalam penulisan sedjarah kuno seperti sedjarah Sriwi-
10
djaja sangat diperlukan untuk menghindarkan salah tafsir tentang
peristiwa sedjarah. Kadang-kadang untuk melokalisasikan nama-nama
jang disebut, diperlukan pengetahuan tentang keadaan daerah dipel-
bagai pulau dan kemungkinan perkembangannja dalam masa sedjarah.
Bagaimanapun pengetahuan geografi kuno ini merupakan bagian penting
dalam sedjarah Sriividjaja untuk dapat memahami peristiwa sedjarah
dalam suasana zamannja. Pengetahuan geografi itu tidak dapat diabai
kan begitu sadja. Oleh karena itu karja Ir. f.L. Moens Qrivijaya, Yava
en Kataha dalam T.B.G. LXXV1I tahun 1937 afl. 3 dan karangan-
karangan Roland Btaddell jang termuat dalam J.M.B.R.A.S. berdjudul
An introduction to the study of ancient times in the Malay Peninsula
and the Straits of Malacca, dan Notes on ancient times in Malaya, jang
chusus merintis pengetahuan geografi sedjarah kuno Indonesia bagian
barat dan Semenandjung, harus dipandang sebagai sumbangan jang
sangat berharga bagi perkembangan ilmu sedjarah Sriividjaja. Ini tidak
berarti bahwa semua kesimpulan jang diambilnja, boleh kita terima be
gitu sadja. Mereka itu membuka djalan baru untuk mendekati kenjataan
sedjarah jang sudah berulang kali disoroti dari segi filologi dan terbukti
tidak mendjadi lebih djelas. Saja jakin bahwa lokalisasi pelbagai nama
tempat jang disebut oleh pendeta I-ts’ing dalam karjanja Memoire dan
Record serta oleh kronik Tionghwa, jang telah dilakukan oleh pelbagai
sardjana, berhubung dengan perkembangan penelitian geografi sesudah
perang dunia kedua, perlu dikoreksi.
Baik geografi maupun filologi serta archeologi dalam hal ini mengabdi
penulisan sedjarah. Fungsinja tidak lain daripada memberikan bantuan
untuk memahami makna peristiwa sedjarah dalam rangka zamannja
dan susunan masjarakatnja. Hanja dalam beberapa hal dimana diperlu
kan bantuannja, filologi, archeologi dan geografi dibeberkan demi pen-
djelasan peristiwa sedjarah. Penulisan sedjarah tetap mendjadi tudjuan
utama.
Tentang Sriwidjaja diketemukan djuga pelbagai prasasti dalam ba
hasa Sriwidjaja, Sansekerta dan T amil. Sebagian besar dari prasasti-
prasasti itu telah ditranskripsikan dengan huruf Latin, diterdjemahkan
dan diterbitkan dalam pelbagai madjalah ilmiah oleh pelbagai sardjana.
Namun tafsir sedjarahnja tetap masih gelap. Prasasti-prasasti itu hanja
sebagian ketjil dari kehidupan kenegaraan Sriwidjaja. Namun meskipun
demikian, prasasti-prasasti itu harus didjadikan pegangan untuk me
ngetahui perkembangan keradjaan Sriwidjaja. Terdjemahan prasasti-
prasasti itu seringkali sangat kusut, karena memang tidak mudah untuk
memahaminja. Untunglah disamping terdjemahan itu disiarkan djuga
transkripsi dan kadang-kadang fotokopi prasasti-prasasti jang ber
sangkutan, sehingga barangsiapa menaruh perhatian, dapat ikut mem-
11
batjanja sendiri. Pembatjaan fotokopi dan pentafsiran transkripsi
prasasti-prasasti itu ada kalanja memberikan gagasan baru untuk me-
metjahkan persoalan sedjarah Sriwidjaja jang masih gelap.
Meskipun sedjarah Sriwidjaja tidak mempunjai sangkut-paut setjara
langsung dengan zaman Indonesia moderen, namun sedjarah Sriwidjaja
itu masih tetap mempunjai tempat dalam kerangka sedjarah nasional.
Mungkin pengetahuan sedjarah kuno itu dapat memberikan dorongan
kearah pengagungan negara dan bangsa. Djika tidak, paling sedikit
sedjarah Sriwidjaja itu mengingatkan bangsa Indonesia kepada zaman
gemilang jang sudah silam.
12
/
I.
IC H T IS A R P E N U L IS A N SE D JA R A H S R IW ID JA JA
Maksud penulisan sedjarah pada umumnja ialah untuk mentafsirkan
peristiwa-peristiwa sedjarah dalam rangka kehidupan kenegaraan suatu
negara. Tafsir sedjarah itu bertudjuan untuk memaj^arkan pandangan
individuil seorang ahli sedjarah sebagai hasil usahanja untuk memahami
sepenuhnja peristiwa sedjarah jang diperolehnja dari sumber sedjarah.
Orang lain jang membatjanja boleh menjetudjui atau menentang pan-
dangannja. Tentangan atau perbedaan pandangan ahli sedjarah lain
boleh memberikan dorongan untuk mengadji suatir pandangan sedjarah
lebih landjut, sekali-kali tidak bertudjuan untuk semata-mata meng
gugurkan anggapan sardjana lainnja, tetapi dimaksud sebagai usaha
untuk memperoleh pendjelasan jang lebih memuaskan. Demikianlah
pertentangan tafsir sedjarah oleh para sardjana itu harus diartikan
sebagai usaha untuk mendekati kenjataan sedjarah. Pikiran bahwa hanja
anggapannja sadja jang benar dan boleh dipertjajai, akan menghenti
kan penjelidikan sedjarah. T iap pandangan baru, apalagi djika pan
dangan itu didasarkan atas bahan-bahan baru, jang belum diketahui
atau belum dapat dipetjahkan sebelumnja, merupakan sumbangan jang
berharga dan perlu dipertimbangkan. Lagipula pengetahuan sedjarah
bukanlah monopoli seorang ahli semata-mata.
Sedjarah Sriwidjaja sudah mengalami pengolahan pelbagai sardjana
sedjarah baik mengenai keseluruhannja maupun mengenai bagian-
bagiannja. Pandangan para sardjana itu tidak semuanja sehaluan, apa
lagi djika mereka menghadapi suatu soal sedjarah. jang menghendaki
suatu pemetjahan. Tafsiran mereka kadang-kadang bukan sadja tidak
sehaluan, melainkan seringkali bertentangan, sehingga seolah-olah me
nimbulkan polemik ilmu sedjarah. Masing-masing pihak berusaha mem
pertahankan anggapannja dan mengemukakan bukti-bukti untuk mem-
perkuatnja. Bukti-bukti itu diambilnja dari pelbagai sumber sedjarah.
Usaha mengumpulkan bukti-bukti ini melalui penapisan sumber sedja
rah jang tertulis dalam pelbagai bahasa, terdapat dipelbagai tempat,
berserak dalam pelbagai buku dan tertulis dalam pelbagai masa. Pem-
buktian-pembuktian itu merupakan pengadjian pandangan terhadap
soal sedjarah.
Pengetahuan sedjarah Sriw idjaja baru lahir pada permulaan abad 20 .
Nam a Sriw idjaja baru mulai dikenal pada tahun 1918, sedjak George
Coedes menulis karangannja Le royaume de Qrivijaija (B .E .F .E .O . 18).
Pada tahun 1913, waktu Prof. Kern menerbitkan piagam Kota Kapur,
salah satu piagam Sriwidjaja dari tahun 686, ia masih menganggap
13
bahwa nama Sriwidjaja jang tertjantum pada piagam tersebut, adalah
nama seorang radja, karena çri biasanja digunakan sebagai sebutan
atau gelar radja. diikuti nama radja jang bersangkutan. Sardjana Dje-
pang Takakusu jang menterdjemahkan karja I-ts’ing Nan~hai-chi-kuei-
nai fa~ch’uan kedalam bahasa Inggris (a Record of the Buddhist reli
gion as practised in India and the Malay Archipelago) pada tahun
1896, belum mengenal nama Sriwidjaja. I-ts'ing baik dalam bukunja
Nan-hai-chi~kuei-nai fa-ch’uan, maupun dalam bukunja Ta-t ang-si-
yu-ku~fa-kao-seng'ch’uan, jang telah diterdjemahkan lebih dahulu oleh
Prof. Chavannes pada tahun 1894 kedalam bahasa Perantjis, (Mémoire
composé à l’époque de la grande dynastie T ang sur les religieux émi
nents qui allèrent chercher la loi dans les pays d Occident) menjebut
Sriwidjaja jang pernah dikundjunginja Shih-li-fo-shih (atau dengan
edjaan Perantjis Che-li-fo-che). Nama itu dikira transkripsi Tionghwa
dari nama asli Sribhodja. Dalam kedua -buku itu nama Shih-li-fo-shih
jang seringkali disingkat Fo-shih sadja, digunakan untuk menjebut
negara, ibukota pusat keradjaan. dan sungai jang muaranja digunakan
sebagai pelabuhan. Terdjemahan piagam Kota Kapur oleh Kern, di-
mana terdapat nama Sriwidjaja dan terdjemahan karja I-ts ing, dimana
terdapat transkripsi Tionghwa Shih-li-fo-shih memungkinkan Coedès
untuk menetapkan, bahwa Sriwidjaja adalah nama Negara di Sumatera
Selatan jang ditranskripsikan kedalam tulisan Tionghwa Shih-li-fo-shih.
Tetapi Coedès tidak berhenti pada penemuan itu sadja. Ia berusaha
pula menetapkan letak ibukotanja di Palembang berdasarkan ang
gapan Groeneveldt dalam karangannja, Notes on the Malay Archipe
lago and Malacca, compiled from chinese sources dari tahun 1876, jang
menjatakan bahwa San-fo-ts i adalah Palembang. Beal pada tahun 1886
telah mengemukakan pendapatnja, bahwa negara Shih-li-fo-shih ter
letak ditepi sungai Musi dekat kota Palembang. Namun pada perte
ngahan kedua abad 19 itu nama Sriwidjaja belum dikenal. Keradjaan
itu masih disebut dengan nama Tionghwa jang tidak diketahui nama
aslinja. Meskipun anggapan itu boleh dipandang sebagai penemuan
ilmiah jang asli, namun karena kepintjangan tersebut, masih kabur
sekali. Bagaimanapun haru, diakui, bahwa ilmu sedjarah Sriwidlaia
adalah penemuan Coedès dan lahi, dari ketierdasannja dalam meng
gunakan has.l penjelidikan sardiana-sardjana lainnja. Penemuan Cce-
des m, mendapat sambutan jang bebal dalam ilmu pengetahuan sedja-
l l T T T f t r , “ d)arah Asia T“ Sgara. Karena letakn|a jangsangat ideal untuk lalu-lintas pelajaran Djawa, India, Arab dan Tiong-
o , ma a se jara riwidjaja menjangkut hubungan internasional.
Dengan sendirinja sedjarah Sriwidjaja itu berhubungan dengan sedjarah
negara-negara lam ,ang menggunakan Selat Malaka sebagai djalan
14
X
lalu-lintas dan namanja teringat pula dalam sedjarah asing. Apalagi
karena terbukti bahwa Sriwidjaja merupakan salah satu negeri besar
diantara negeri-negeri dilaut Selatan. Penemuan negeri Sriwidjaja oleh
Coedes ini mengalihkan minat para sardjana sedjarah, terutama para
sardjana Belanda, jang pada waktu itu terlalu banjak memusatkan
perhatiannja kepada sedjarah Djawa. Djustru oleh karena keradjaan
Sriwidjaja lebih tua daripada keradjaan Mataram lama, maka sedjarah
Sriwidjaja itu sangat menarik perhatian. Karenanja perkembangan ilmu
sedjarah Sriwidjaja sangat pesat.
Pada tahun 1919 djadi setahun sesudah terbitnja karangan Coedes
,,Le royaume de Qrivijaya” jang sangat mashur itu, Krom mengutjap-
kan pidato pelantikannja sebagai guru besar pada Universitas Leiden
jang berdjudul De Sumatraansche periode de r favaansche Geschiedenis.
Krom menjarankan bahwa didalam sedjarah Djawa menjusup masa
pemerintahan radja-radja Sumatera jakni radja-radja Sriwidjaja. Bukti
jang dikemukakannja ialah pemakaian banjak kata Melaju pada piagam
Gandasuli dari tahun 832 jang diketemukan di Djawa Tengah. Sepuluh
tahun kemudian saran ini mendapat serangan dari sardjana W .F . Stut-
terheim jang mengemukakan teori kebalikannja. Stutterheim menulis
pada tahun 1929: A favanese period in Sumatcan history. Ketjuali Krom,
Gabriel Ferrand pada tahun 1919 djuga menjambut tulisan Coedes
tersebut diatas dan pada tahun 1922 ia menerbitkan bukunja L ’Empire
Sumatranais de £ r ivljaya. Ferrand mengakui djasa Kern dalam usaha-
nja menterdjemahkan piagam Kota Kapur pada tahun 1913, meskipun
sardjana ini tidak mengenal bahasa Melaju Kuna. J.Ph. Vogel tidak
ketinggalan. Ia membahas karangan Coedes dalam karangannja jang
berdjudul Het koninkrijk Qrivijaya. Karangan itu ditulis dalam B.K.I.
75 tahun 1919. Demikian pula sardjana Inggris, ahli bahasa dan sedja
rah Melaju C.O. Blagden. Sardjana ini pada tahun 1920 menulis ka
rangannja The Empire of the Maharadja. King of the Mountains and
Locd of the Isles. Pada tahun 1926 Krom menerbitkan bukunja Hindoe~
favaansche Geschiedenis. Dalam buku itu ia djuga mengemukakan
keradjaan Sriwidjaja. Buku ini ditjetak lagi pada tahun 1931. Dalam
tjetakan jang kedua itu Krom tidak lupa membahas pendapat Dr. Stut
terheim, jang telah dibitjarakan okh Dr. F.D.K. Bosch pada tahun
1929. Baik Krom maupun Bosch menolak pendapatnja. Karangan Krom
ini merupakan buku sedjarah Indonesia lama jang paling lengkap dan
mendjadi buku pegangan sedjarah Indonesia bagi para sardjana lain-
lainnja. Segala literatur jang mempunjai sangkut-paut dengan sedjarah
Indonesia sampai waktu itu dibahas dan disebut. Susunan buku Krom
ini dipandang dari segi sedjarah tidak luput dari kritik. Bertalian de
ngan perkembangan penelitian sedjarah Indonesia kuno banjak bagian
15
jang perlu dikoreksi. Pada hakekatnja tulisan itu lebih banjak menje-
rupai pandangan archeologi daripada pandangan sedjarah dalam arti
chusus. Sifat jang demikian mudah dipahami, djika kita menempatkan
tulisannja pada zaman dan suasana perkembangan ilmu sedjarah di
Indonesia. Kita tidak dapat menulis sedjarah Indonesia lama seperti
jang dilakukan oleh para sardjana Eropa tentang salah satu bagian
benua Eropa, karena terlalu banjak hal-hal jang masih sangat me
ragukan. Tanpa pengetahuan archeologi. jang pada waktu penulisan
buku itu boleh dikatakan baru mulai berkembang, tidak mungkin orang
menulis tentang sedjarah lama. Dengan sendirinja Krom sebagai ahli
archeologi terlalu banjak mengutamakan soal-soal archeologi dalam
penulisan sedjarah. Ia beranggapan, bahwa dengan menempuh djalan
ini ia berharap dapat memberikan pendjelasan tentang hubungan per
istiwa jang masih gelap atau paling sedikit masih samar-samar. Oleh
karena itu alih-alih memberikan tafsir peristiwa sedjarah jang mem-
punjai hubungan dengan pandangan hidup dan tjara berpikir, ia dalam
banjak hal memberikan tafsir purbakala, Akibatnja tulisannja mengan
dung sifat sedjarah jang bertjampur aduk dengan archeologi. Buku
Krom berhenti pada uraian tentang keradjaan Madjapahit sadja. Suatu
hal jang agak aneh djika dipandang dari segi penulisan sedjarah. Pem
batasan itu membajangkan wataknja sebagai seorang ahli archeologi.
Kedjadian sesudah runtuhnja keradjaan Madjapahit tidak mendapat
perhatian samasekali, karena zaman itu sudah dianggap zaman Islam,
dan termasuk pangsa waktu baru. Penjelidikan archeologi mengenai
zaman ini tidak dilakukan.
Sesudah terbitan Hindoe - Javaansche Geschiedenis karangan Krom
ini, menjusul pada tahun 1930 Les inscciptions Malaises de Qrivijaya,
jang dikumpulkan, diperiksa dan dibitjarakan oleh Coedes. Terbitan
itu memuat piagam-piagam Sriwidjaja jang tertulis dalam bahasa Me
laju dan dikenal sampai tahun tersebut. Piagam-piagam itu ialah pia
gam Kedukan Bukit dari tahun 683, piagam Talang Tuwo dari tahun
684, piagam Kota Kapur dan piagam Karang Brahi dari tahun 686 Terbitan Coedes menjebut segala literatur jang bersangkutan dengan
piagam-piagam tersebut dan karangan-karangan jang mempunjai sang
kut-paut dengan sedjarah Sriwidjaja. Jang sangat penting ialah bahwa
piagam-piagam itu dikumpulkan dalam satu terbitan, sehingga setiap
sardjana jang ingin menjumbangkan pikirannja mengenai sedjarah Sri
widjaja dapat berkenalan setjara langsung dengan piagam-piagam asli
tersebut. Terdjemahannja pun dilampirkan pula. Orang bebas meneri
ma atau menolak terdjemahan itu, namun jang pasti ialah bahwa sa-
djian jang demikian dapat didjadikan pegangan untuk bekerdja lebih
landjut, tanpa terpengaruh oleh konsepsi Coedes sendiri. Kumpulan
16
piagam asli Sriwidjaja itu mcndjadi lengkap karena terbitan piagam
Telaga Batu dan beberapa petjahan piagam lainnja oleh Dr. de Cas-
paris dalam bukunja Prasasti Indonesia I I dari tahun 1956.
Pada tahun 1932 Ivor H. N. Ivans menulis tentang sebuah tjintjin
jang ditemunja di Tandjung Rawa, Selinsing, Perak dalam madjalah
Federated Malay States Museums Vol. X V part 3 seperti berikut:
„It is a small seal of red cornelian of good colour and somewhat trans-
luctant,- chamfered at the edges on the face and there engraved with
an inscription running the length of the seal in the middle. The di
mensions of the piece are 1.45cms X 1cm X 4cm. The back is a flat.”
Huruf tulisan pada tjintjin tersebut ialah huruf Palawa dan tulisannja
terbatja Qri Visnuvarmasya.
Dr. C.O. Blagden dan Dr. L.D. Barnett menduga bahwa tjintjin itu
berasal dari tahun 400, tetapi Dr. Van Stein Callenfels menduga dari
tahun 600. Van Stein Callenfels berpendapat bahwa nama (Jri Visnu
varmasya (Sri Wisnuwarman) itu adalah nama seorang radja atau
seorang pangeran, karena nama itu menggunakan gelar £ri. Dalam
A Note on an inscribed seal from Perak, Prof. Nilakanta Sastri mera
gukan pendapat itu. Djustru oleh karena pada nama tersebut terdapat
suatu kesalahan jakni Visnuvarmasya alih-alih Visnuvarmanah, maka
ia tjenderung untuk mengatakan bahwa pemilik tjintjin tersebut ialah
orang biasa atau seorang saudagar. Gelar cri itu sadja belum merupakan
djaminan, bahwa pemiliknja adalah seorang radja, karena gelar cri itu
sudah umum dipakai sebagai gelar penghormatan pada nama-nama
orang biasa. Dalam hubungan itu ia mengemukakan nama Qri Vati-
Kuddasya jang berasal dari Udjdjain, dan tertulis dengan huruf-huruf
jang serupa benar dengan huruf-huruf pada tjintjin dari Perak itu. Oleh
karena itu ia menduga, bahwa nama Wisnuwarman pada tjintjin jang
bersangkutan itu adalah nama seorang pedagang dari India Tengah
atau seorang pendatang dari India di Kuala Selinsing. Ternjata bahwa
tjintjin dari Selinsing ini sangat menarik perhatian. Dr. Ch. Chhabra
jang menulis karangannja Expansion of Indo-Aryan Culture during Pal~
lava Rule, as evidenced by inscriptions dalam J.A.S. Bengal Letters I 1935
ketjuali membitjarakan piagam Ligor A dan B djuga menjinggung nama
Sri Wisnuwarman pada tjintjin dari Perak ini. Ia sampai pada kesim
pulan bahwa berdasarkan bentuk aksaranja jang persegi, tjintjin itu
harus berasal dari abad 8 dan nama Wisnuwarman pada tjintjin tersebut
sama dengan nama W isnu pada piagam Ligor B. Djustru oleh karena
tempat penemuan tjintjin itu letaknja tidak djauh dari Ligor. Dr. Ch.
Chhabra beranggapan, bahwa piagam Ligor A dan B itu pada hakekat-
nja hanja suatu piagam jang terputus sesudah baris ketudjuh. Mangga-
lacarananya svasti terdapat pada permulaan piagam B, sedangkan pia
17
gam Ligor A jang bertarich tahun 775 tidak mulai dengan manggala-
carana.Pada tahun 1933 dalam tulisannja Les rois £ a ilendra de S uva rnadv ip a
(B.E.F.E.O. X X X III) R .c . Majumdar telah mengemukakan pendapat
bahwa piagam Ligor A dan B harus dipandang sebagai dua piagam
jang ditulis oleh dua orang radja. Piagam B ditulis kemudian daripada
piagam A.
Persoalan piagam A dan B ini masih tetap hangat. Pada tahun 1941
sebagai karangan jang terachir tentang Sriwidjaja sebelum petjah pe
rang dunia II terbit tulisan Dr. F.D.K. Bosch dalam T.B.G. djilid
LX X X I jang berdjudul De inscriptie van Ligor. Dalam tulisan itu Bosch
mengulangi pendapat Chhabra dan achirnja mengambil kesimpulan
bahwa pada tahun 775 seorang radja Sailendra jang bernama W isnu
memerintah Sriwidjaja. Radja W isnu jang tertjatat pada piagam Ligor
B itu tidak lain daripada rakai Panunggalan jang tertjatat pada pia
gam Kedu jang dikeluarkan oleh radja Balitung pada tahun 907. Rakai
Panunggalan ini sama dengan Samarottungga pada piagam Karang
Tengah, dan Samarottungga adalah Samaragrawira pada piagam Na-
landa. Ini adalah putra rakai Pantjapana Panangkaran jang tersebut
pada piagam Kalasan dari tahun 778. Pada piagam Kelurak radja Sai
lendra Panangkaran itu menjebut dirinja pembunuh musuh perwira
vairivara-viravimardana dan pada piagam Nalanda disebut viravai-
rimathana. Artikel Bosch ini akan disambut oleh Coedes pada tahun
1950 dalam karangannja Le Qailendra tueur des heros ennemis dalam
Bingkisan Budi, kumpulan karangan para sardjana untuk menghormat
Prof. Ph. S. van Ronkel.
Sementara itu pada tahun 1937 teori Coedes tentang keradjaan Sri
widjaja jang ditulis pada tahun 1918 itu dihantam oleh Ir. L. Moens
dalam terbitannja Qrivijaya, Yava en Kataha (T.B.G. L X X V II) ,
Salinannja kedalam bahasa Inggris disiarkan pada tahun 1940 da
lam Journal of the Malayan Branch X V II. Ia merombak teori jang
telah disusun oleh Coedes. Moens mengemukakan teori baru jang
berdasarkan pengetahuan geografi dari berita Tionghwa dan Arab.
Menurut pendapatnja Sriwidjaja tidak pernah berpusat di Palembang.
Pada mulanja pusat keradjaan itu terletak dipantai timur Malaja, ke
mudian berpindah ke Sumatera Tengah dekat Muara Takus. Sangat
menarik perhatian bagaimana Moens menggunakan berita-berita geo
grafi itu untuk menegakkan teorinja. Dari sedjarah Sung tertjatat
bahwa empat hari perdjalanan dari Cho-p'o orang sampai dilaut; djika
berlajar kearah barat laut sesudah limabelas hari orang sampai di
P ’o-ni dan limabelas hari lagi sampai di San-fo-ts’i. Djuga diberita
kan bahwa San-fo-ts’i terletak diantara Chen-la dan Cho-p’o. Ber-
18
dasarkan dua berita geografi itu Moens mengambil kesimpulan, bahwa
San-fo-ts’i terletak di Semenandjung Melaju. Berita Arab jang berasal
dari Abu Zaid mengatakan bahwa ibukota Jawaga berhadap-hadapan
dengan Tiongkok. Menurut pendapatnja Zabag (Jawaga) sama dengan
San-fo-ts'i. Oleh karena itu diambilnja kesimpulan bahwa San-fo-ts’i
terletak dipantai timur Semenandjung. Moens menjamakan San-fo-ts’i
dengan Kadaram, oleh karena itu terpaksa melokalisasikan Kadaram
dipantai timur Semenandjung. Ia djuga beranggapan bahwa San-fo-ts’i
bersaingan dengan Palembang. Setelah mengalahkan pusat keradjaan
Palembang dan mengusir keluarga radja, lalu mendirikan pusat ke
radjaan baru diwilajah Melaju, jakni dekat Muara Takus. Penundjukan
Muara Takus sebagai pusat keradjaan Sriwidjaja didasarkan:
(1) Atas berita I-ts’ing mengenai bajang-bajang diwelatjakra jang
tidak mendjadi pandjang atau pendek pada pertengahan bulan
delapan. Pada tengah hari orang jang berdiri dimatahari, tidak
berbajang-bajang samasekali. Muara Takus terletak pada garis
ekwator O. 20' N, Djadi tjotjok dengan berita I-ts’ing.
(2 ) Atas berita ahli peta Tionghwa Chia Tan, jang menjatakan bahwa
disebelah utara tjih-tjih (Selat Malaka) terletak keradjaan Lo-yue,
dan disebelah selatan terletak keradjaan Shih-li-fo-shih. Berita
itupun tjotjok dengan penempatan pusat keradjaan di Muara Ta
kus.
(3) Atas berita Arab jang berasal dari Ibn Said dan Abui Fida, bah
wa ibukota Sribusa terletak dimuara sungai. Menurut Moens muara
sungai itu muara Sungai Kampar. 1200 Tahun jang lalu muara
sungai itu lebih djauh kebarat daripada sekarang. Muara Kampar
sebagai pelabuhan hingga sekarang masih ramai hubungannja de
ngan Singapura. Kemunduran pelabuhan Muara Kampar disebab
kan timbulnja pelabuhan Teluk Bajur dipantai barat.
Moens menguraikan adanja nama radja Bicau jang dianggapnja se
bagai ubahan dari nama radja (Sri)widjaja dan dongeng tentang ada
nja datu Sriwidjaja jang menetap di Kotabaru. Berdasarkan itu semua
ia mengambil kesimpulan bahwa pusat keradjaan Sriwidjaja terletak
di Muara Takus. Peninggalan-peninggalan pusat keradjaan itu masih
nampak di Muara Takus dekat tempuran Kampar Kanan dengan Ba
tang Mahat di Sumatera Tengah.
Beberapa tahun sebelumnja teori Coedes ini telah diragukan, dianta-
ranja oleh Prof. R. C. Majumdar. Ia mengutarakan bahwa keradjaan
Sriwidjaja di Sumatera sampai abad ke 8 memperluas kekuasaannja
sampai di Ligor. Tetapi kemudian keradjaan itu dihantjurkan oleh
keradjaan Jawaka, jang disebut San-fo-ts’i dalam berita Tionghwa pada
19
masa pemerintahan dinasti Sung. Pusat keradjaan San-fo-ts’i ialah
Ligor. Keradjaan itu dikuasai oleh radjakula Sailendra dari India.
Pendapat Majumdar ini dibantah oleh Prof. K.A. Nilakanta Sastri
dalam T.B.G. 75 tahun 1935. Kemudian Dr. H.G. Quaritch Wales
menerbitkan karangannja dalam madjalah Indian Art and Letters vol.
IX no. 1. Iapun pada dasarnja meragukan lokalisasi pusat keradjaan
Sriwidjaja di Palembang seperti jang dikemukakan oleh Coedes. Dr.
Quaritch Wales melokalisasikan pusat keradjaan itu di Ch’aiya. Per
timbangan jang dikemukakannja untuk memperkuat pendapat itu:
1 . penemuan-penemuan purbakala diderah Ch’aiya jang terbukti lebih
banjak daripada diwilajah Palembang. 2 . kemiripan bunji antara Sri
widjaja dan Sivic’ai sebagai nama bukit disebelah selatan kota Ch’aiya.
Mengenai kemiripan bunji itu ia menulis: „A. difference in the native
pronunciation of the word Srivijaya in the region from its pronun
ciation in Sumatra might well account for the Chinese form San-fo-ts’i
being applied to the empire from the 10th century onwards, while in -
the 7th and 8th centuries the Sumatra State of Srivijaya had been
referred to by the Chinese as Fo-che = Che-li-fo-che". Usul loka
lisasi Dr. Quaritch Wales mendapat djawaban Coed^s dalam journal
M.B.R.A.S. Vol. X IV part III. Pada dasarnja Coedes menolak pen
dapat Wales. Untuk membantah lokalisasi San-fo-ts'i di Ch’aiya,
Coedes mengutip berita Tionghwa dari zaman Sung jang dengan d jelas
menguraikan bahwa San-fo-ts’i terletak di Palembang. Chao Ju Kua
mengatakan bahwa negara San-fo-ts’i terletak ditepi laut besar dan
menguasai lalu-lintas pelajaran dari barat ke Tiongkok dan kebalik-
annja. Mengenai penemuan-penemuan barang purbakala ia menge
mukakan piagam Kedukan Bukit, piagam Talang Tuwo, Karang Brahi
dan Kota Kapur. Isi kedua piagam jang terachir ini memberikan kesan
bahwa Sriwidjaja itu menguasai wilajah tempat piagam persumpahan
itu diketemukan. Lagipula piagam Ligor di Vat Sema Muong dari
tahun 775 djelas menjebut nama Sriwidjaja. Nama Marawidjajottung-
gawarman, putera Cudamaniwarman, keturunan radja Sailendra jang
disebut pada piagam Leiden sebagai radja Kataha dan Sriwidjaja
disebut dalam berita Tionghwa radja San-fo-ts'i. Djika Sriwidjaja sama
dengan San-fo-ts'i, maka Sriwidjaja itu tidak mungkin dilokalisasikan
di Ch'aiya.
Pada tahun 1935 itu pula Dr. Stutterheim dalam Verslag over de
gevonden inscripties (Oudheidkundige Vondsten in Palembang door
F. M . Schnitger) melokalisasikan Sriwidjaja dimuara sungai Indragiri,
tidak dimuara sungai Musi di Palembang. Moens beranggapan bahwa
nama Yava, Yavadvipa (Iabadiou) dan Cho-po mula-mula dipakai
untuk menjebut Semenandjung Melaju. Nenek mojang rakai Sandjaja
20
berpindah dari Kunjarakunjadesa di India Selatan ke Kedah. Pada
tahun 724/8 Sandjaja terdesak oleh Sriwidjaja lari ke Djawa Tengah.
Di Pulau Djawa Sandjaja mendirikan keradjaan baru. Pada tahun 732
mendirikan lingga diatas Gunung Wukir, jang piagamnja hingga se
karang terkenal dengan nama piagam Tjanggal. Pada piagam itu ter
sebut akan adanja tjandi Siwa jang didirikan ditempat jang bernama
Kundjarakundjadesa. Menurut Moens nama Yava (Yavakya) pada
piagam Tjanggal adalah nama pindahan dari Yavadwipa sebagai nama
Semenandjung Melaju, negara nenek mojangnja.
Orang boleh menerima atau menolak pandangannja, namun tidak
dapat disangkal, bahwa pandangannja adalah pandangan baru jang
didasarkan atas berita-berita geografi dan piagam-piagam jang di-
ketemukan hingga pada waktu itu. Prof. Nilakanta Sastri dalam bu-
kunja History of Criwijaya (1949) menolak pandangan itu dan lebih
tjenderung untuk mengikuti pendapat' Coedes.
Dato’ Sir Roland Braddell menerbitkan seri karangan dalam journal
M.B.R.A.S. sedjak tahun 1935 dibawah djudul An Introduction to the
Study of Ancient Times in the Malay Peninsula and the Straits of
Malacca. Karangannja termuat dalam volume X III part 2 , vol. X IV
part 3, vol. X V part 4, vol. X V II part 5, vol. X IX part 1 . Karangan
Roland Braddell ini penting sekali untuk pengetahuan sedjarah kuno
Malaja dalam hubungannja dengan negara-negara tetangganja. Penje-
lidikan itu terutama mengenai Tjampa dan Kambodja atau Funan,
dibagi mendjadi Pre-Funan dan Funan. Dalam karangannja jang ter
muat dalam vol. X IX part 1, Roland Braddell menguraikan betapa
pentingnja penjelidikan Funan dalam hubungannja dengan persoalan
negara Sriwidjaja dan asal-usul radjakula Sailendra. Katanja: „The
whole question of the last days of Funan and its passing into the
beginning of the Cambodian Empire is worthy of close argument and
a matter of importance as we shall see when we come to discuss Sri-
vijaya and the origin of the Sailendras.”
Karangan-karangannja jang langsung berhubungan dengan sedjarah
Sriwidjaja mulai dengan terbitannja tahun 1941 tersebut diatas pada
hal. 28; dilandjutkan sesudah perang mulai tahun 1947 sampai 1951,
ditutup dengan pembahasan tentang Che-li-fo-che, Mo-lo-yu and Ho
ling. Ia memusatkan perhatiannja kepada lokalisasi nama-nama tempat
jang disebut oleh berita-berita Tionghwa dan Arab, jang sedikit banjak
mempunjai hubungan dengan Sriwidjaja. Lokalisasi itu terutama di
dasarkan atas pandangan geografi, jang diambilnja dari sumber-sumber
berita Tionghwa dan Arab, tidak semata-mata didasarkan atas ke
miripan bunji seperti jang banjak dilakukan oleh para sardjana sedjarah
hingga sekarang. Ini adalah revolusi berpikir dalam lapangan penje-
21
lidikan sedjarah, jang dipelopori oleh Moens. la mengakui djasa-djasa
Moens dan menjetudjui pandangannja. Katanja: „W e agree with Mr.
Moens that it is wrong to disregard in favour of phonetic reasoning
the evidence wich are given. W e agree with him that having ascer
tained the evidence we must accept it and reason from it. Indeed, we
would insist most urgently that unless the ancient geography of M a
laysia is determined by a scientific application of the fundamental ru
les of reasoning it will get nowhere.”
Lokalisasi jang berdasarkan pandangan geografi ini dengan sen-
dirinja menghendaki penelitian segala bahan sedjarah jang banjak
sekali djumlahnja. Djustru karena itu maka pandangan itu berharga
sekali. Karangan-karangan Roland Braddell dalam lapangan ini terbit
dibawah djudul Notes on Ancient Times in Malaya. Dalam vol. X IX
part 1 ia menjelidiki Yavadvipa, labadiou, Tou~po, Tchou-po, Ye~po~ti.
Ia sampai kepada kesimpulan, bahwa tempat jang disebut dengan
pelbagai nama itu ialah pantai barat Kalimantan, jakni Sabah. Nama
Sabah sekarang hanja dipakai untuk menjebut bagian utara Kali
mantan. Karangannja jang termuat dalam vol. X X part 1 mengurai
kan prasedjarah zaman kebudajaan batu besar (megalith), batu baru
(neolith), dan zaman kebudajaan perunggu. Part 2 menguraikan za
man besi jang disebutnja The Ancient Beadtrade, kemudian disusul
dengan Ancient history of South Arabia. Vol. X X II part 1 membitja-
rakan Takola and Kataha dan Ilangasoka and Kadaram. Vol. X X II part
4 tentang P ’o~li dibawah djudul A note on Sambas and Borneo.
P ’o-li ditempatkan dipantai barat Kalimantan, Identifikasi Po-lo de
ngan Borneo masih memerlukan penjelidikan jang lebih mendalam.
Vol. X X II I part 1 tentang Langkasuka and Kedah. Nama Langkasuka
dalam berita-berita Tionghwa berbunji: Lang-ya-hsiu (Liang Shu:
Chiu T'ang Shu), Leng-chiau-shu (Hsii Kao Seng Chuan), Lang-ya-
shu (Sui Shu), Lang-Chia-Shu (I-ts’ing), Kia-mo-lang-chia (Hsuan-
Chuang), Ling-ya-ssi-kia (Chu Fan Chi), Lang-shi-chia (Wupei-shih).
Lokalisasinja dipantai timur Malaja. Pusatnja di Patani. Kedah dise
but Chieh-ch’a (I-ts’ing), Kia-tcha (Ma-tuan-lin), Ko-lo (Chia-Tan),
Ki-t’o (Chu Fan Chi), Chi-ta (Wu-pei-shih).
Ho-lo-tan dilokalisasikan di Patani. Vol. X X III part 3 menguraikan
Tan-ma-ling and Fo-lo-an. Tan-ma-ling disamakan dengan Tambraling-
ga (piagam Tjandrabhanu), Madalinggam (piagam Tanjore), Damaling-
gam (piagam Tamil), Tan-mei-lieou atau Tan-mi-liu atau Tan-mei-liu
(Sung-shih), Tan-ma-ling (Chu Fan Chi). Lokalisasinja Tembeling di
pantai timur Malaja didaerah sungai Kuantan. Fo-lo-an terletak dimuara
sungai Dungun. Pong-fong, Tong-ya-nong, dan Ki-lan-tan tidak banjak
menimbulkan kesulitan, karena nama-nama itu masih digunakan hingga
22
I
sekarang, jakni Pahang, Trengganu dan Kelantan. Tempat-tempat itu
berturut-turut terletak dimuara sungai Pahang, sungai Trengganu dan
sungai Kelantan. Vol. X X IV part 1 membitjarakan Che-li-fo-che, Mo-
lo-yu dan Ho-ling. Lokalisasinja Che-li-fo-che di Palembang, Mo-lo-
yu di Djambi dan Ho-ling dipantai barat Kalimantan.
Meskipun lokalisasi tempat-tempat tidak merupakan pokok per
soalan peristiwa sedjarah, namun lokalisasi itu memberikan gambaran
tentang wilajah negara jang bersangkutan. Djustru karena nama-nama
tempat itu kebanjakan terdapat dalam sumber sedjarah asing, maka
utjapan nama-nama itu berbeda dengan nama aslinja. Seringkali tem
pat-tempat itu sudah berubah namanja. Nama jang tidak dihubungkan
dengan tempat, tidak memberikan gambaran jang djelas. Apalagi djika
lokalisasinja salah, hal itu akan mengakibatkan pentafsiran jang ke
liru. Djustru oleh karena sedjarah kuno tentang Sriwidjaja sebagian
besar disusun berdasarkan berita-berita asing jang terutama hanja me
rupakan tjatatan pengiriman utusan dan penjebutan nama-nama, maka
lokalisasi nama-nama tempat itu perlu sekali. Tulisan Moens dan Ro
land Braddell ini betul-betul penelitian kembali sedjarah Sriwidjaja
dari sudut geografi. Lain daripada itu tulisan itu banjak sangkut-
pautnja dengan sedjarah kuno Malaja, jang tidak banjak diketahui
sebelumnja. Oleh karena itu tulisan Moens dan Braddell tersebut diatas
penting bagi pengetahuan sedjarah kuno Malaya.
Hampir bersamaan waktu dengan karangan Moens diatas telah
terbit pula dua djilid buku Suvarnadvipa, karangan Prof. R.C. Ma-
jumdar pada tahun 1937 dan 1938. Prof. George Coedès menerbitkan
Histoire ancienne des Etats Hindouisés d ’Extrème Orient pada tahun
1944. Terbitan itu diperbaharui pada tahun 1948 dibawah djudul Les
Etats Hindouisés d ’lndo Chine et d ’Indonésie. Prof. K. A. Nilakanta
Sastri membukukan kuliahnja History of Çrivijaya jang dilengkapi
dengan piagam-piagam jang mempunjai hubungan dengan sedjarah
Sriwidjaja, dari piagam Kedukan Bukit sampai piagam Tjandrabhanu
pada tahun 1949. Dimana mungkin piagam-piagam itu disertai ter-
djemahannja dalam bahasa Inggris jang disalin dari pelbagai terbitan,
sehingga orang jang tidak mengenal bahasa piagam-piagam jang ber
sangkutan dapat sekadar mengikuti pembitjaraannja. Sebagian dari
piagam-piagam itu kami lampirkan pula pada terbitan ini, terutama
jang tertulis dalam bahasa Tamil, Khmer dan Sansekerta. Meskipun
terbitan-terbitan itu penting sekali artinja, namun tidak ada jang dapat
memetjahkan persoalan pokok sedjarah Sriwidjaja jang banjak diper
debatkan sebelum petjah perang dunia kedua setjara memuaskan. Per
soalan jang dimaksud ialah persoalan piagam Kedukan Bukit, hubungan
antara piagam Ligor A dan piagam Ligor B dan hubungan antara
23
radjakula Sailendra dan radja-radja Sriwidjaja. Mengenai persoalan
siddhiyätca jang masih dipegang teguh oleh Prof. Coedes dalam terbit-
annja Les inscviptions Malaises de Qrivijaya, Prof. Nilakanta Sastri
sudah mulai meragukan pendapat Coedes dan lebih tjenderung untuk
mengikuti pendapat Prof. Krom. Bagaimanapun jang terbatja ialah
jayasiddhayätra, bukan siddhiyätra dan ini adalah kemenangan ter
hadap keradjaan Melaju. Namun ia tidak dapat keluar dari persoalan
Minanga Tamwa dan tidak dapat mendjelaskan dari mana diambilnja
kata Malaju jang didasarkan atas batjaan Krom jang terang salah.
Hubungan antara radjakula Sailendra dan radja-radja Sriwidjaja masih
tetap merupakan persoalan, meskipun berulang kali disebutnja nama
Balaputradewa pada piagam Nalanda, karena persoalan bagaimana
Balaputra dapat mendjadi radja di Sriwidjaja tidak ada pendjelasannja,
ketjuali keterangan jang sudah usang jakni akibat keturunan radja Dhar-
masetu jang dianggap radja Sriwidjaja oleh para sardjana sedjarah.
Anggapan itu hingga sekarang belum dapat dibuktikan kebenarannja.
Apalagi mengenai hubungan antara piagam Ligor A dan piagam Li-
gor B.
Pada tahun 1947 Dr. F.H.N. van Naerssen menerbitkan sebuah
karangan dalam India Antiqua berdjudul „The Qailendra Interregnum”.
Ringkasan pandangannja demikian. Piagam Kalasan memuat dua
wangsa jakni: 1 . wangsa Sailendra, 2. wangsa Sandjaja. Dalam wang-
sa Sandjaja termasuk maharadja dyah Pantjapana Pangkaran. Maha-
radja Panangkaran ada dibawah kekuasaan wangsa Sailendra. Dalam
wangsa Sailendra termasuk Radjasinga dan para guru Sailendra.
Pandangan van Naerssen ini kemudian mendjadi pola pembahasan
piagam Ligor B oleh Coedes. Pada piagam Ligor B, Coedes djuga
melihat dua radja jakni radja W isnu dan seorang radja lagi jang
bergelar maharadja. Menurut anggapannja radja jang terachir ini radja
Sailendra jang pertama. Rakai Panangkaran dianggap sebagai radja
setempat jang hanja menerima perintah dari radja Sailendra, Demi
kianlah pandangan kedua sardjana itu boleh dikatakan sedjadjar, mes
kipun piagam jang dibahasnja berbeda-beda.
Sebelum kita membitjarakan anggapan van Naerssen, kita teliti
dahulu piagam Kadasan jang dibahas. Jang dibahas disini hanja pokok- pokoknja sadja. Isinja seperti berikut:
Pada 2 — 3. Para guru radja Sailendra mohon kepada maharadja
dyah Pantjapana Panangkaran, agar beliau membangun tjandi
Tara. Permohonan para guru itu ialah agar dibangunlah artja
Dewi Tara, tjandinja dan beberapa rumah untuk para pendeta
jang fasih akan pengetahuan Mahajana W inaja.
24
Pada 4 — 6. Para pangkur, tawan dan tirip menerima perintah
untuk membuat tjandi Tara dan perumahan para pendeta. Tjandi
Tara didirikan didaerah makmur sang radja jang mendjadi hiasan
radjakula Sailendra untuk kepentingan para guru radja Sailendra.
Pada tahun Saka 700 maharadja Panangkaran selesai membangun
tjandi Tara, tempat para guru melakukan persembahan.
Pada 7 — 10. Desa Kalasan dihadiahkan. Para pangkur, tawan
dan tirip, adyaksa desa dan para pembesar mendjadi saksi. Tanah-
jang dihadiahkan oleh sang radja harus didjaga baik-baik oleh
para radja keturunan wangsa Sailendra, oleh para pangkur, para
tawan, para tirip dan para pembesar jang bidjak turun-temurun.
Selandjutnja sang radja berulang kali minta kepada semua radja
jang akan memerintah kemudian, agar tjandi itu selama-lamanja
didjaga untuk kebahagiaan semua orang.
Pada 11 — 12. Barkat pembangunan wihara itu diharapkan se
moga semua orang memperoleh pengetahuan tentang kelahiran,
memperoleh tibavopapanna dan mengikuti adjaran Djina. Jang mu
lia kariyana (rakyan) Panangkaran mengulangi lagi permintaan
beliau kepada semua radja jang akan menjusul untuk membina
wihara itu dalam keadaan jang sesempurna-sempurnanja.
Demikian itulah terdjemahan piagam Kalasan menurut paham saja.
Kata gailendraraja jang kedapatan dua kali pada piagam tersebut
terang sama dengan maharadja Panangkaran, dan £ ailendrarajagtiru
adalah para guru maharadja Panangkaran. Mereka minta kepada sang
prabu, agar beliau mendirikan tjandi Tara untuk keperluan mereka,
karena mereka pemeluk agama Buda. Permintaan jang demikian ter
makan akal. Apalagi djika kita mengingat bahwa sebelum rakai Pa
nangkaran memegang kekuasaan, jang berkuasa di Djawa Tengah
ialah rakai Sandjaja. Rakai Sandjaja memeluk agama Siwa. Beliau men
dirikan lingga diatas gunung W ukir pada tahun 732. Djika kita mem
perhatikan piagam jang terdapat di Gata dekat Prambanan dan Tadji
Gunung dekat Prambanan djuga, maka kedua piagam itu menggunakan
perhitungan tahun Sandjaja (Sanjayawarsa) masing-masing bertarich
tahun 693 dan 694 Saka, atau tahun Masehi 771 dan 772. (Oud-
Javaanse Oorkonde X X X V dan X X X V I) . Pada piagam Gata ke
dapatan nama maharadja Daksottamabahubajra. Oleh karena kedua
piagam tersebut menggunakan sanjayawarsa, boleh dipastikan bahwa
piagam tersebut dikeluarkan oleh keturunan radja Sandjaja. Demikian
lah keturunan radja Sandjaja memerintah sampai tahun Masehi 772.
Pembangunan tjandi Kalasan selesai pada tahun 778. Pembangunan itu
makan waktu beberapa tahun, dan dilakukan atas perintah radja Pa
nangkaran, keturunan Sailendra dan beragama Buda. Dari perbanding
25
an piagam-piagam tersebut dapat disimpulkan bahwa Daksottamaba-
hubajra, keturunan radja Sandjaja ditundukkan oleh Dyah Pantjapana
Panangkaran, keturunan radja Sailendra antara tahun Masehi 772
dan 778. Pada waktu itu Sandjajawangsa diganti oleh Sailendrawang-
sa; agama Siwa jang dianut oleh Sandjajawangsa diganti oleh agama
Buda Mahajana jang dianut oleh Sailendrawangsa. Djelaslah sekarang
bahwa Dyah Pantjapana Panangkaran bukan keturunan Sandjaja.
Beliau adalah radja Sailendra jang pertama di Djawa Tengah, jang
menggantikan Sandjajawangsa. Andaikata beliau keturunan radja San-
djaja, pasti beliau akan djuga menggunakan perhitungan tahun Sandjaja
seperti njata pada piagam O.J.O. X X X V dan X X X V I tersebut diatas.
Dengan bukti diatas maka teori van Naerssen jang memasukkan maha-
radja Panangkaran dalam Sandjajawangsa tidak dapat dipertahankan.
Keradjaan Siwa jang dikendalikan oleh radja Sanna, kemudian dilan-
djutkan oleh radja Sandjaja berachir pada tahun-tahun antara 772 dan
778 dengan timbulnja keradjaan Buda jang dikendalikan oleh wangsa
Sailendra maharadja Pantjapana Panangkaran. Keradjaan Siwa itu
akan timbul kembali dan dilandjutkan pada masa pemerintahan maha
radja Pikatan alias Djatiningrat. Tidaklah aneh, bila pembangunan
tjandi Tara dimaksud pula sebagai lambang kemenangan wangsa Sai
lendra terhadap wangsa Sandjaja.
Pendapat van Naerssen jang mengemukakan adanja dua wangsa
pada piagam Kalasan dan memasukkan rakai Panangkaran dalam
wangsa Sandjaja disambut baik oleh Prof. Vogel sebagai pembuka
pintu kearah penjelesaian persoalan Sriwidjaja — Sailendra. Pendapat
itu kiranja timbul akibat salah tafsir mengenai isi piagam Kalasan.
Piagam Tjanggal Sandjaja menjebut nama tempat Kundjarakundja.
Penjebutan itu menundjukkan adanja hubungan antara wangsa Sandjaja
dan India Selatan dalam soal agama atau mungkin sekali djuga dalam
asal-usul nenek mojangnja. Pada masa pemerintahan radjakula Sai
lendra, termasuk rakai Panangkaran jang menjebut dirinja hiasan radja
kula Sailendra, hubungan agama itu tidak dengan India Selatan tetapi dengan Benggala.
Pada piagam Kelurak dari tahun 782 terbukti bahwa upatjara pem
bukaan artja Mandjusri dipimpin oleh Sailendraradjaguru Kumaragosha
dari Gaudadwipa. Hubungan agama di Djawa dan Sumatera pada
masa pemerintahan radjakula Sailendra terutama dengan Benggala
sebagai pusat agama Buda Mahajana. Kumaragosha adalah seorang
pendeta Buda dari Benggala. Radja Dewapala jang mengeluarkan
piagam Nalanda atas permintaan Balaputradewa dari Sriwidjaja djuga
radja Benggala, jang pusat keradjaannja terletak di Pataliputra. Beliau
memerintah antara tahun 794 dan 839. Pada perkembangan keradjaan
26
r
Sailendra tingkat mula hubungan agama dilakukan oleh rakai Panang-
karan dengan radja Dharmapala jang memerintah antara tahun 758
dan 794. Kumaragosha hidup pada masa pemerintahan radja Dharma
pala ini. Nama Sri Dharmasetu jang tertjatat pada piagam Kelurak
kiranja sama dengan Sri Dharmasetu jang mendjadi nenek Balaputra
pada piagam Nalanda. Telah terbukti pula bahwa Balaputradewa se
masa ketjil hidup di Djawa Tengah. Dharmasetu harus djuga berasal
dari Djawa Tengah pada achir abad 8, dan mempunjai sekadar hu
bungan dengan radja Sailendra jang menjebut dirinja Dharanindra.
Pada tahun 1950 Prof. Coedès menerbitkan karangannja Le Çailen-
dra „tueur des héros ennemis" jakni Sailendra pembunuh pahlawan-
pahlawan lawannja. Karangan itu termuat dalam Bingkisan Budi,
kumpulan karangan-karangan para sardjana bekas murid dan kawan
untuk menghormati Prof, van Ronkel jang mentjapai usia 80 tahun.
Karangan Coedès tersebut adalah usaha baru untuk memetjahkan
persoalan hubungan piagam Ligor A dan B, terdorong oleh karangan
Bosch dari tahun 1941, dalam T.B.G. deel LX X X I hal. 26 dan seterus?
nja. Dalam karangan itu Dr. F.D.K. Bosch menjamakan Samaratungga
pada piagam Karang Tengah dengan rakai Panunggalan pada piagam
Kedu, dan kemudian dengan Samaragrawira pada piagam Nalanda,
jakni ajah Balaputra. Penjamaan itu masih lebih landjut lagi. Ia me-
njamakannja dengan W isnu pada piagam Ligor B. Teori Bosch ini
terang tidak dapat dipertahankan lagi setelah terbitnja karangan De
Casparis tentang piagam Balaputra — Djatiningrat A metvical otd
Javanese inscription dated 856 A.D. Namun penjamaan Samaratungga
dan Samaragrawira ini hingga sekarang masih tetap dipertahankan.
Sudah barang tentu kedua nama itu mirip sekali, karena kedua-duanja
mulai dengan Samara, jang berbeda hanja achirannja. Boleh dipasti
kan bahwa Balaputradewa mengenal nama Samaratungga pada piagam
Karang Tengah dan Samaragrawira sebagai nama ajah beliau, karena
Balaputra baru pada pertengahan abad 9 meninggalkan Djawa Te
ngah. Andaikata Samaratungga itu memang benar sama dengan Sa
maragrawira, timbul pertanjaan, mengapa piagam Nalanda Balaputra
tidak menjebut Samaratungga sadja? Karena kedua nama itu berbeda,
kiranja memang nama dua orang jang berlain-lainan pula. Samaragra
wira adalah nama rakai Warak, Samaratungga adalah nama rakai Ga-
rung. Dengan kata lain Samaratungga adalah putera Samaragrawira
dan kakak Balaputra. Samaratungga adalah putera sulung jang mem
punjai hak mewaris tachta keradjaan. Balaputra adalah putera bungsu
karena namanja memang berarti demikian, {vala: ekor; putera: anak).
Samaratungga terbukti tidak mempunjai putera laki-laki. Beliau hanja
mempunjai seorang puteri jakni Pramodawardani, permaisuri rakai
27
Pikatan. Balaputra sebagai putera laki-laki Samaragrawira mengira
berhak pula menggantikan Samaratungga, jang tidak berputera laki-
laki. Timbullah karenanja sengketa antara Balaputra dan Djatiningrat
jang membela hak permaisurinja. Hal ini lebih termakan akal daripada
anggapan bahwa Balaputra adalah adik Pramodawardani. Berdasarkan
anggapan jang terachir ini Balaputra mempunjai hak lebih besar atas
tachta keradjaan daripada Pramodawardani. Pernjataan Balaputra
seperti jang tertera pada piagam Nalanda, merupakan pernjataan per
sahabatan dengan radja Dewapaladewa untuk sekadar minta bantuan
dalam merebut kembali hak mendjadi radja di Mataram. Tafsiran jang
demikian dapat dipahami sepenuhnja. Sengketa antara Balaputra dan
Djatiningrat kiranja terutama mengenai perebutan kekuasaan antara
Balaputra dan Pramodawardhani, sepeninggal rakai Garung alias
Samaratungga. Dalam hal ini Djatiningrat sesungguhnja sebagai me
nantu ada diluar sengketa. Namun karena membela kepentingan isteri,
turut terlibat. Tentang hal ini akan kita bahas lebih landjut dalam bab
Piagam Nalanda.
Dalam usaha menjamakan Samaratungga dengan Samaragrawira
dengan sendirinja tidak dilupakan penjamaan epiteton jang terda
pat pada piagam Kelurak vairivaravîravimardana dan jang terdapat
pada piagam Nalanda vuavainmanthana. Prof. Coedès tidak lupa
menjebut karangan F.H .N . van Naerssen dalam India Antiqua jang
telah disinggung diatas. Djuga Coedès melihat adanja dua radja pada
piagam Ligor B seperti van Naerssen melihatnja pada piagam Kalasan.
Coedès sekali lagi meneliti piagam Ligor B. Pembetulan vapusmân
dan dvitîyas oleh Coedès telah dilakukan lebih dahulu oleh Chhabra
dan Nilakallia Sastri; ptabha(va) diganti dengan prabhu sesuai de
ngan pendapat Paul Mus. Jang penting dalam penelitian kembali ini
ialah perbedaan tafsiran Coedès dengan sardjana-sardjana lainnja.
Coedès berpendapat bahwa pada piagam Ligor B tersebut dua nama
radja. Jang pertama ialah radja W isnu jang disamakannja dengan Wis-
nuwarman pada tjintjin Perak. Jang kedua ialah radja jang mempunjai
epiteton sarvvarimadavi(ma)thana, jakni pembunuh musuh perwira.
Aksara tha terdapat antara vi dan nag. Tambahan ma disebabkan
karena untuk keperluan metrik jang kurang satu suku pendek. Para
lelisme penjebutan dua radja itu menurut Coedès ditundjukkan dengan
pemakaian kata ganti penundjuk 2 X jakni yosau dan asau y ah, dan
lebih-lebih oleh perlawanan ekas dan dvitîyas. Terdjemahan Coedès
itu lalu kita bandingkan dengan terdjemahan Chhabra.
Coedès: Ce premier, roi des rois, qui par son éclat personnel est
comparable au soleil dissipant la nuit constitué par la troupe de tous
ses ennemis, qui ressemble par sa beauté charmante à la lune d’autom
28
ne sans tache qui a l'aspect de Kârna incarné, a pour nom Visnu; —
et ce second qui par son énergie personnelle détruit sans exception
tous ses arrogants ennemis, en conséquence de la mention de son ori
gine, le Çailendravamça, a pour nom Çri Mahârâja.
Chhabra: He, who is the supreme king of kings, who through his
energy alone comparable to the sun for dispelling the darkness in the
shape of the hosts of all his foes, who in charming beauty is the very,
spotless autumnal moon, and is like Cupid in person, who is called
Visnu who entirely (annihilates) the pride of all his opponents, and
who with regard to his prowess is without a second, that self-name
is known by the appellation of Çailendravamçaprabhu and bears the
title of Çri Mahârâja.
Terhadap paralelisme penjebutan dua radja jang dikemukakan oleh
G. Coedès saja menaruh keberatan grammatikaî seperti njata dalam
pembahasan dibelakang. Dengan sendirinja lalu timbul perbedaan taf-
siran. Coedès mempertentangkan kata ekas dan dvitîyas. Menurut ang
gapan saja hal itu tidak mungkin dipertentangkan, karena jang tertera
disitu adalah ekas bukan prathama. Mengenai pemakaian kata penun-
djuk (ganti diri) yo’asau dan asau y ah dalam bahasa Sansekerta ada
lah soal biasa, tidak mengandung pretensi untuk menjatakan perbedaan
apa-apa.
Coedès sampai kepada kesimpulan bahwa radja W isnu jang dikata
kan radja jang pertama pada piagam Ligor B sama dengan radja jang
menjebut dirinja Çrivijayendrarâja, Çrivÿayesvarabhupati, dan Çrivija-
yanrêpati pada piagam Ligor A. Djadi beliau memerintah pada tahun
775. Radja jang kedua jang bergelar Sri Maharadja adalah putera
radja W isnu. Setelah kawin dengan puteri dari Funan, dari keluarga
Somawangsa, mendjadi radja Sailendra jang pertama dan menurunkan
radja-radja, Sailendra di Mataram. Tetapi Coedès sendiri mengakui
bahwa anggapan itu tidak berdiri diatas bukti-bukti jang kuat. Katanja:
J’ai formulé plus haut, avec les plus expresses réserves, une hypothèse
sur l'origine de ce Çailendra, le premier que nous fasse connaître l’epi-
graphie. S'il venait à être prouvé qu’il était fils du roi Visnu, et que
ce dernier est identique au roi de Çrivijaya de la fase A de la stèle
de Ligor (deux hypotheses aux quelles manque pour le moment une
base solide), il faudrait admettre, soit que ce Çailendra régnait aussi
à Sumatra, ce qui n’accorde pas avec le témoignage de la chartre de
Nalanda, soit que le trône de Çrivijaya appartenait à son père Visnu
encore vivant, ou un frère. Ce ne serait que son petit fils Balaputra
qui aurait définitivement assis à Sumatra la puissance des Çailendra.
Coedès beranggapan bahwa radja Sailendra jang pertama itu sama
dengan Dharanindra pada piagam Kelurak, memerintah Djawa Tengah
29
dan menjuruh radja setempat Pantjapana Panangkaran membangun
kembali tjandi Kelurak. Panangkaran pada piagam Kalasan dianggap-
nja sebagai pengganti rakai Sandjaja. Kesimpulan selandjutnja tidak
tjotjok baik dengan teori Krom tentang „pemerintahan Sriwidjaja ter-
selundup dalam sedjarah Djawa” maupun dengan teori Stutterheim
tentang „pemerintahan Djawa dalam sedjarah Sumatera”. Jang ada
ialah masa pemerintahan radjakula Sailendra keturunan radja Seme-
nandjung dan puteri Funan pada penghabisan abad 8 dan permulaan
abad 9. Coedes menganggap maharadja Panangkaran sebagai peng
ganti radja Sandjaja dan sebagai radja setempat jang menerima perin
tah dari Dharanindra, jakni radja Sailendra jang pertama di Indonesia.
Jang terang ialah bahwa maharadja Panangkaran menurut piagam
Kalasan tela'h memegang pemerintahan pada tahun 778 dan bergelar
maharadja, mendjadi hiasan radjakula Sailendra. Inilah pernjataan
tentang adanja radja Sailendra jang pertama kali dan jang terang mem-
punjai tarich tahun. Djika W isnu menurut Coedes adalah ajah radja
Sailendra jang pertama dan sama dengan Qrivija.yanrepa.ti pada piagam
Ligor A, maka piagam Ligor B harus dikeluarkan sesudah tahun 775.
Bolehlah diduga, bahwa pada tahun 775 seperti telah saja kemukakan
diatas, maharadja Panangkaran telah memegang kekuasaan di Djawa
Tengah. Penobatannja mendjadi radja berlangsung lebih dahulu dari
pada peresmian pembangunan tjandi Kalasan pada tahun 778. Demi
kianlah anggapan Coedes terbentur kepada chronologi.
Teori Coedes itu pada pokoknja diterima baik oleh Prof. Dr. F.D.K.
Bosch dalam terbitannja tivijaya, de (^ailendra en de Sanjayawamgat
termuat dalam B.K.I. 108 tahun 1952. Ini berarti bahwa Bosch telah
melepaskan anggapannja pada tahun 1941. Djika pandangan Coedes
itu diteliti benar-benar, ternjata bahwa pandangannja sangat gojah
terbentur pada pelbagai kesulitan. Namun harus diakui bahwa usahanja
sangat berharga untuk perkembangan pengetahuan sedjarah Sriwidjaja.
Pada tahun 1952 itu djuga terbit karangan Prof. Dr. Purbatiaraka
Riwajat Indonesia, djilid I. Jang kedua tidak pernah menjusul. Prof.
Purbatjaraka dalam bukunja tersebut banjak membitjarakan piaqam-
piagam Sriwidjaja. Pendapatnja jang baru ialah 1 . lokalisasi K uL r a
kunjadega pada piagam Tjanggal, jang disamakannja dengan desa
Sleman didaerah Jogjakarta; 2. lokalisasi Mo-ho-sin pada I-ts’inq janq
ditempatkannja di Djawa Barat. Lokalisasi Mo-ho-sin oleh Prof Pur
batjaraka semata-mata didasarkan atas kesamaan bunji dengan nama
nama jang serupa jang terdapat pada piagam-piagam, tanpa memper
hitungkan faktor geografi pelajaran pendeta I-ts’ing. Pendeta I-ts’in
tidak pernah berlajar sampai pulau Djawa. Uraiannja mengenai Sr^
30
1
widjaja lebih landjut termuat dalam Laporan Konggres Ilmu Penge
tahuan Nasional I pada tahun 1958. Piagam Sriwidjaja dibagi men-
djadi dua jakni piagam dengan sebutan punta (jakni dapunta hyang)
dan sebutan maharadja. Jang penting dalam rangkaian ini ialah go
longan piagam jang terachir. Katanja: ,,Batu tulis jang belum memuat
sebutan maharadja itu dari zaman sebelum Sriwidjaja menjerang pulau
Djawa. Kemudian tanah Djawa diserang dan dapat dikalahkan, ke-
radjaan diserahkan kepada Sriwidjaja. Sandjaja lari kedaerah pegu
nungan. Disitu Sandjaja menjiapkan diri untuk membalas. Sandjaja
berhasil mengalahkan Sriwidjaja dibawah anak Melaju tulen. Setelah
seorang keturunan Sandjaja dinobatkan di Sriwidjaja, batu tulis Sri
widjaja memuat sebutan maharadja dari keturunan Sailendra. Adapun
maharadja keturunan Sailendra jang tersebut dalam prasasti Kalasan
menurut kejakinan saja, ialah rakai Panangkaran. Kalau dikatakan
bahwa rakai Panangkaran itu tjuma diperintah sadja oleh radja jang
tidak disebut namanja> hal itu tidak tepat ....... Setelah Sriwidjaja ada
dibawah kekuasaan keluarga Sailendra, radjanja tinggal ditanah Dja
wa. Rakai Panangkaran disuruh pindah ke Sriwidjaja. Oleh karena
rakjatnja beragama Buda, diminta oleh ajahnja, radja Sandjaja, untuk
memeluk agama Buda. Kemudian didesak oleh pendeta-pendeta dari
Kodja untuk menjerang tanah Djawa, dimana bertachta seorang kaum-
nja sendiri. Peperangan ini tertj'antum dalam tjerita Adji Saka. Seterus-
nja rakai Panangkaran mendfadi radja Sriwidjaja, berkedudukan di
Djawa dan saudaranja melarikan diri ke Dinaja (Malang) jaitu radja
Dewasimha."
Uraian Prof. Purbatjaraka diatas menarik perhatian, namun hu
bungan peristiwa belum ada pembuktiannja. Misalnja, adakah rakai
Panangkaran itu memeluk agama Buda karena disuruh Sandjaja untuk
memerintah Sriwidjaja, karena rakjat Sriwidjaja beragama Buda? Ada
kah sudah pasti bahwa rakai Panangkaran itu mendjadi radja Sriwi
djaja? Adakah hubungan antara ratu Sandjaja dan rakai Panangkaran
betul sebagai ajah dan putera? Semuanja masih merupakan tanda tanja,
merupakan persoalan jang pemetjahannja menghendaki bukti-bukti.
Terbitan sesudah perang dunia II jang benar-benar sekadar mem
berikan pemetjahan salah satu soal sedjarah Sriwidjaja ialah terbitan
Dr. J.G. de Casparis Prasasti Indonesia I, II. Dalam hubungan ini ba
gian jang terpenting ialah pasal X I tentang piagam Djatiningrat —
Balaputra jang terbit dibawah djudul A metcical old Javanese inscription
dated 856 A .D . Penjelidikannja tentang piagam Djatiningrat — Bala
putra ini penting sekali artinja untuk pemetjahan soal hubungan antara
radjakula Sailendra dan Sriwidjaja pada pertengahan abad 9. Piagam
tersebut mempunjai tarich tahun Saka wualung gunung sang iviku
31
(tahun Saka 778) atau tahun Masehi 856, tertulis dalam bentuk kawya
(kekawin) dalam bahasa Djawa kuno. Hingga sekarang kekawin
tersebut adalah kekawin Djawa kuno jang tertua. Isinja seperti ber
ikut:Pada 1^-9- Seorang radja bernama Djatiningrat. memeluk agama
Siwa, berbeda dengan sang permaisuri. Djustru dalam bagian itu tersebut
nama B a la p u tra dalam pada 7. Balaputra menimbun ratusan batu
untuk didjadikan benteng pertahanan dan tempat bersembunji dalam
peperangan dengan Djatiningrat. Beliau mengambil nama Brahmana
(jakni Djatiningrat) dan mendirikan keraton di Medang didaerah Mam-
rati. Sesudah itu beliau mengundurkan diri sebagai radja dan me
njerahkan pemerintahan kepada Dyah Lokapala. Rakjatnja terbagi atas
empat asrama, masing-masing dikepalai oleh seorang brahmana.
Pada 10 — 13- Sang radja bersiap-siap untuk mengadakan upatjara
kematian. Rakai Mamrati menjerahkan tanah W antil. Beliau merasa
malu bahwa dusun Iwung pernah mendjadi medan pertempuran. Se
telah beliau beroleh kekuasaan dan kekajaan, lalu mendirikan tjandi
makam. Beliau menghimpun pengetahuan dharma dan adharma. Tidak
ada orang jang berani melawan. Sang radja mendirikan halu, jakni
lingga. Semua orang turut menjumbang untuk pembangunan lingga
jang sangat indah itu.
Pada 14 - 17. Tentang keadaan lingga jang didirikan. Dipintu ada
artja pendjaga jang gagah berani untuk mendjaga keamanan dan
keselamatan bangunan. Dipintu masuk didirikan dua bangunan jang
berbeda-beda bentuknja. Didalam daerah lingga itu ditanam pohon
tandjung dan didirikan rumah-rumah ketjil untuk para pertapa. Po-
koknja bangunan itu indah sekali.
Pada 1 8 — 23. Ruang bangunan jang terindah dipakai untuk jang
diperdewa. Para pengundjung dan penjembah berderet-deret dengan
hormat dan tenang. Semua orang diminta datang bersembah. Pada hari
peresmiannja rakjat datang menjaksikannja.
Pada 24 — 29. Peresmiannja dilakukan pada tahun Saka 778 hari
11 dari bulan terang, Selasa W age. Sesudah bangunan itu selesai se-
luruhnja, kali dipindahkan, tanahnja didjadikan wilajah tjandi. Itulah
tanah merdeka Pameget W antil. Berikut nama pedjabat dan djabatan-
nja. Tanah merdeka itu mendjadi milik tjandi. Semua orang jang diberi
tugas untuk mendjaga dan melakukan persembahan, diharap tekun
lagi tabah, dan djuga tidak akan mengalami lahir-mati jang tidak ada
hentinja.
Dengan terbitan itu persoalan asal-usul Balaputra mendjadi djelas.
Balaputra terbukti berasal dari Djawa Tengah. Penjingkirannja ke
32
Sriwidjaja disebabkan karena kekalahan perang dengan D jatin ingrat
pada pertengahan abad 9. Nam a Balaputra mulai dikenal sedjak tahun
1924 berkat penerbitan piagam Nalanda oleh sardjana H irananda Sastri
dibawah djudul The Nalanda Copperplate of Dewapaladewa dalam
Epigraphia Indica 17 hal. 310 -327). F .D .K . Bosch berdasarkan ter
bitan itu menulis karangannja Een Oorkonde van het Groote Klooster
te Nalanda dalam T .B .G . 65 tahun 1925 hal. 509 - 527. R .C . Majum-
dar djuga tertarik kepada terbitan piagam N alanda tersebut dan me
nulis karangannja dalam monografi Varendra Research Society I pada
tahun 1926. Dalam terbitannja tentang piagam Kelurak pada tahun
1929 dalam T .B .G . 69 Bosch dengan sendirinja membanding epiteton
viravairimanthana pada piagam N alanda dengan vairivaraviramardana
pada piagam Kelurak. Perbandingan itu sekarang sudah mendjadi
klasik, karena setiap sardjana jang menulis tentang sedjarah Sriw idjaja
tentu mengulanginja, tetapi siapa diantara radja M edang jang mem-
punjai epiteton tersebut, hingga sekarang belum dapat dipastikan.
Pendapat tentang hal itu masih bersimpang-siur. Dalam karangannja
Le Çailendca, tueur des héros ennemis (1950) jang telah disebut
diatas, Coedès dj'uga menudju kearah pemetjahan persoalan itu dan
merekonstruksikan çesasarvvârimadavithanaç dengan tambahan ma dan
batjaan tha diantara vi dan naç. Mengenai lempengan tembaga N a lan
da ini Krom menulis, bahwa piagam tersebut membuktikan 1 . arti N a
landa bagi pemeluk agama Buda di Sumatera; 2. hubungan erat antara
radja-radja Sailendra di D jaw a dan Sumatera. Katanja: Hubungan itu
tidak didasarkan atas kesamaan nama semata-mata, tetapi karena
kedua radja itu benar-benar berasal dari satu keturunan (Hindoe-
Javaansche Geschiedenis hal. 143). Persoalan Balaputra jang sebelum-
nja selalu menemui djalan buntu, karena terbitan A metrical old Java-
nese inscription dated 856 A .D . ini mendjadi agak djelas. N am un
artikel itu djuga belum dapat memetjahkan persoalan Balaputra, karena
bagaimana Balaputra dapat naik tachta keradjaan Sriw idjaja, masih
tetap merupakan teka-teki. D juga de Casparis masih beranggapan
bahwa Dharmasetu, nenek Balaputra, adalah radja Sriwidjaja:. Tetapi
tidak ada buktinja. O leh karena itu persoalan tersebut perlu ditindjau
sekali lagi.
Ketjuali terbitan piagam D jatin ingrat - Balaputra jang disertai pem
bahasan pandjang lebar dan mendalam, de Casparis masih menge
mukakan piagam baru jang langsung mempunjai hubungan dengan
sedjarah Sriw idjaja jakni piagam Telaga Batu. Piagam Telaga Batu
adalah piagam persumpahan, senafas dengan piagam Kota Kapur dan
Karang Brahi, namun redaksinja berbeda. M u la i baris 3 sampai 5 p ia
gam itu menjebut djabatan para pembesar pemerintahan Sriw idjaja,
33
mulai dengan rajaputra sampai hulun haji. Penjebutan jang dem ikian
tidak dilakukan pada piagam Kota Kapur dan Karang Brahi. Perbeda
an redaksi ini memberi kesempatan untuk pentafsiran baru mengenai
pusat keradjaan Sriw idjaja. Lain daripada itu Prasasti Indonesia II
masih memuat petjahan-petjahan piagam Sriw idjaja jang belum dikenal
sebelumnja. In i semuanja adalah bahan baru sebagai penambah bahan
jang telah ada untuk penjusunan sedjarah Sriw idjaja.
Pada tahun 1958 Drs. Sukmono mengemukakan teori baru tentang
lokalisasi pusat keradjaan Sriwidjaja berdasarkan penjelidikan geo-
morfologi. Karangannja termuat dalam Laporan Konggres Ilm u Pe
ngetahuan Nasional I hal. 245- 258. Hasil penjelidikannja menjangkal
lokalisasi pusat keradjaan Sriwidjaja di Palembang. Ia melokalisasikan-
nja di D jambi, menjamakan San-fo-ts’i dari berita T ionghwa dengan
Tembesi dan Sabadeibai dari Ptolomeus dengan pulau Sabak. Penje
lidikan itu dilakukan atas faham, bahwa pusat keradjaan Sriw idjaja
harus terletak ditempat strategis jang dapat menguasai pelajaran di
Selat M alaka sebagai djalan lalu-lintas pelajaran India —■ T iongkok
dan kebalikannja, tanpa memperhitungkan faktor-faktor lainnja. K a
rangan ini dikutip dibelakang untuk dibitjarakan. Kita akan melihat
sampai dimana kebenaran teori lokalisasi pusat Sriw idjaja berdasarkan
geomorfologi, setelah dikadji dengan bahan-bahan sedjarah lainnja.
Pada waktu dan tempat jang bersamaan Prof. M r. Moh. Yam in mener
bitkan karangannja Penjelidikan sedjarah tentang negara Sriw idjaja dan
Radjakula Sjailendra dalam kerangka kesatuan ketatanegaraan Indonesia
(idem hal. 133-223). Karangan itu dibagi mendjadi bagian 1 . Pidato
pembimbing; 2 . Perkembangan penjelidikan sedjarah; 3. Susunan tata-
negara Sriw idjaja dibawah kekuasaan radjakula Sjailendra; 4 . Negara
Sriwidjaja dan radjakula Sjailendra dalam kerangka kesatuan ketata
negaraan Indonesia; 5. Sedjarah djaman Sriwidjaja dalam empat dewasa
(392 — 1406). Kemudian menjusul lampiran beberapa piagam. Dite-
gaskannja bahwa penjelidikan itu dilakukan terdorong oleh semangat
seminar sedjarah di Jogjakarta pada tahun 1957 jang menghendaki
„tersusunnja sedjarah Indonesia sebagai sedjarah nasional Indonesia.
Penindjauan kembali penulisan sedjarah Asia Tenggara disebabkan
karena penemuan barang baru dan bangkitnja faktor kemerdekaan bagi
penjelidikan dan penulisan sedjarah nasional. Ia menghendaki agar
faktor kemerdekaan nasional diperhitungkan dengan saksama dalam
penilaian kembali hasil-hasil penjelidikan kebudajaan pada zaman jang
lampau.” Pada penutup Perkembangan Penjelidikan tertulis ,,dan kong-
gres M .I.P .I. dikota Malang memasukkan sedjarah Sriwidjaja kepintu
gerbang pembatjaan dan penjusunan kembali.” Demikian Yam in.
34
{
Jang terbatja pada prasaran itu ialah uraian tentang hasil penje-
lid ikan sedjarah Sriw id ja ja sampai tahun 1956. T idak ada pandangan
baru atau usul baru untuk memetjahkan persoalan-persoalan jang h ingga
pada w aktu itu masih mendjadi bahan perdebatan. Pem batjaan kembali
bahan-bahan sedjarah Sriw id ja ja mau tidak mau m enghadapkan kita
kepada persoalan-persoalan tersebut. T im bulnja persoalan-persoalan itu
disebabkan karena para sardjana sedjarah jang bersangkutan, berpikir
kritis, tidak dapat menerima begitu sadja saran-saran jang d iandjurkan
sebelumnja. Dem ikian lah menurut paham saja perdebatan ilm iah itu
bertudjuan untuk mentjari pendjelasan mengenai kedjadian jang dinjata-
kan pada atau dalam bentuk piagam dan uraian lainnja. Para sardjana
mentjari hubungan antara peristiwa-peristiwa sedjarah jang nam paknja
masing-masing berdiri sendiri. Sebelum hubungan antara fakta-fakta
sedjarah itu dapat didjelaskan, maka rekonstruksi sedjarah Sriw id ja ja
belum dapat d ilakukan dengan sempurna. Rekonstruksi jang d ipaksa
kan dalam suatu kerangka tanpa pengetahuan jang benar mengenai
fakta-fakta jang bersangkutan, lebih menjerupai lam unan daripada
rekonstruksi, karena pendjelasan fakta-fakta sedjarah jang kedapatan
disana-sini masih merupakan persoalan. Sebagai misal penjusunan
sedjarah Sriw idja ja menurut konsep Toynbee dikemukakan lah irnja
keradjaan Sriw idja ja berdasarkan piagam Kedukan Bukit: „Dewasa
timbul dari tahun 392 sampai 683, jaitu tarich proklamasi pembentukan
kedatuan Sriw idja ja menurut dua pertulisan jang sama, jaitu pertulisan
Kedukan Bukit bertarich 605 Saka.”
Bagaim ana kita dapat mengatakan bahwa tarich tahun proklamasi itu
683 atau menjebut piagam Kedukan Bukit itu piagam proklamasi, kalau
h ingga sekarang persoalan piagam Kedukan Bukit belum dapat dipetjah-
kan. Jang pasti ialah bahw a piagam Kedukan Bukit itu bukan piagam
proklamasi seperti dugaan Prof. Krom (H .J.G . hal. 121) jang diikuti
oleh M oh. Yam in , atau piagam siddhiyatra seperti jang dikemukakan
oleh Coedes, melainkan piagam perdjalanan djaja atau piagam jayasid-
dhayatra. Lagipula pada tahun 671 pendeta I-ts’ing dan W u-h ing
telah mengundjungi keradjaan Sriw idjaja dan diterima oleh sang radja.
Persoalan bagaimana Balaputra dapat mendjadi radja di Sriw idja ja
sesudah menjingkir dari M ataram , belum mendapat d jaw aban jang me
muaskan. Kebanjakan para sardjana menduga bahw a nenek Balaputra
Sri Dharmasetu adalah radja Sriw idjaja, tetapi dugaan ini tidak berdasar
kan bukti. U rutan radja jang memerintah keradjaan Sriw id ja ja seperti
jang dipaparkan oleh M oh. Yam in , masih harus diikuti tanda tanja jang
besar. In i hanja beberapa tjontoh sadja mengenai persoalan sedjarah
Sriw idjaja. Semangat nasional dalam penulisan sedjarah memang sangat
diperlukan dan semangat itu mendjiwai Prof. Y am in . N am un semangat
35
j
nasional didalam karja ilmiah tidak dapat merobah anggapan mendjadi
fakta sedjarah tanpa didahului oleh pembuktian atau menganggap sepi
persoalan-persoalan jang ada. Oleh karena itu menurut pendapat saja,
salah satu djalan jang harus ditempuh sebelum menjusun kembali sedja-
rah Sriwidjaja dalam rangka nasional, ialah berusaha meneliti lagi
bahan-bahan sedjarah Sriwidjaja dan berusaha memetjahkan persoalan-
persoalan jang masih gelap. Usaha penjusunan kembali sedjarah Sriwi-
djaja seperti jang ditjita-tjitakan oleh Prof. Mr. Moh. Yamin, terang
mempunjai segi-segi jang baik. Sedikit demi sedikit kelemahannja akan
dapat diatasi.
Pada tahun 1961 Tan Yeok Seong mengumumkan salinan piagam
Kanton jang diketemukan pada tahun 1959. Piagam itu mengenai pem
bangunan kembali tjandi Tien Ching jang diselenggarakan oleh Ti-
hua-ka-lo dari San-fo-ts'i pada tahun 1079. Penemuan piagam ini pen
ting artinja untuk mengetahui keadaan negara Sriwidjaja pada abad 11 sesudah serangan radja Chola seperti dinjatakan pada piagam Tanjore
jang bertarich tahun 1030. Djika transkripsi Ti-hua-ka-lo itu memang
benar dan dapat diidentifikasikan dengan Dewa Kulottungga (Dewa
Chola), maka ada kepastian bahwa Sriwidjaja pada waktu itu ada dibawah kekuasaan radja-radja Chola.
Prof. Brian Harrison dalam bukunja, South East Asia (1957) mem-
bitjarakan keradjaan Sriwidjaja pada pasal III dibawah djudul
Early Indianized States: Funan and Sdvijaya. Brian Harrison meng
uraikan pembentukan keradjaan Funan oleh Kaundinja berasal dari
P ’an-pa’an (Prampuri diteluk Siam) disekitar tahun 400 dan runtuhnja
dalam abad 6 oleh bangsa Khmer. Dengan runtuhnja keradjaan Funan
itu Kambodja memasuki zaman pre-Angkor jang berachir nada tahun
802, jakni timbulnja pemerintahan Djajawarman II setol^V, i. l
kan diri dari kekuasaan Djawa. Berdasarkan pendapat CcedeTuTmenT
hubungkan wangsa Sailaradja di Kambodja dengan c T j
di Djawa Tengah dan Sriwidjaja. Menurut pendana*-«- 3 ^
wangsa Sailendra oleh radja-radja di Djawa Tencrah •<■ ^ pen,e^ utan
bahwa mereka adalah achliwaris dari radja-radja di F 1 U mf^ unc^ukkan
dapat Coedes itu hingga sekarang masih tetap mpru”3!!’ pen'
jang masih memerlukan pembuktian. Se.jara populer I W
rison menguraikan sedjarah Sriwidjaja dengan sekad i
pelbagai peristiwa sedjarah jang masih diraouk^n ^ men)ln9gung
pemetjahan. Tetapi oleh karena tulisan itu A • j ” men9kendaki
peristiwa ^ ^ populer J * . ^
setjara angkat pula, dengan sendirinja ia tidak berusaha untuk mem- tjahkan persoalan-persoalan itu. Mengenai hubun™«
Sailendra di Djawa Tengah dan d, L w « !
36
I
kedatangan wangsa Sailendra di Sriwidjaja dalam abad 9 disebabkan
karena perkawinan. Bukti usang jang dikemukakannja ialah pernjataan
Balaputradewa pada piagam Nalanda. Soal perkawinan politik memang
mempunjai peranan penting dalam perluasan wilajah, namun kedatangan
Balaputradewa dari Djawa Tengah ke Sriwidjaja kiranja tidak didasar
kan atas perkawinan dengan puteri Sriwidjaja. Lagipula Dharmasetu
jang hingga sekarang dianggap radja Sriwidjaja dan mendjadi nenek
Balaputradewa, kiranja radja Djawa Tengah. Jang pasti ialah bahwa
nama Sri Dharmasetu kedapatan pada piagam Kelurak dengan tarich
tahun 782. Balaputra sendiri berasal dari Djawa Tengah pula. Ajahnja
Samaragrawira djuga mendjadi radja di Djawa Tengah. Penjingkiran
Balaputradewa ke Sriwidjaja tidak didasarkan atas perkawinan dengan
puteri Sriwidjaja, tetapi kalah perang dengan rakai Pikatan. Mengenai
hal ini akan didapat uraian jang lebih mendalam dalam pasal jang
bersangkutan.
Pada tahun 1961 terbit tjetak ulang buku Prof. D.G.E. Hall A His-
tory of South East Asia, jang telah terbit pada tahun 1955. Tulisan
Hall tidak semata-mata menguraikan sedjarah kuno seperti jang dilaku
kan oleh Prof. Dr. N.J. Krom dan Prof. George Coedes, tetapi djuga
membitjarakan sedjarah baru tentang perkembangan negara-negara di
Asia Tenggara. Uraiannja tentang sedjarah lama jang bersangkut paut
dengan Indonesia dikerdjakannja dengan teliti berdasarkan hasil penje-
lidikan dan pandangan para sardjana Perantjis, India dan Belanda baik
jang telah lama lampau maupun jang masih sangat baru. Sedjarah In
donesia kuno mendapat tempat jang wadjar. Djuga sedjarah Sriwidjaja
dengan sendirinja mendapat penuh perhatian. Uraiannja mengenai
sedjarah Sriwidjaja didasarkan atas karangan Coedes, Majumdar, Nila-
kanta Sastri, Krom dan terutama de Casparis. Boleh dikatakan, pan
dangan de Casparis hampir seluruhnja diterima, diringkas. Nama-nama
radja Sriwidjaja jang masih merupakan teka-teki dan jang pernah
dikemukakan oleh de Casparis sebagai anggapan, ikut djuga terkutip.
Disamping itu ia menolak pendapat Coedes tentang asal-usul radjakula
Sailendra dengan mengatakan, bahwa pendapat Coedes masih merupa
kan teori belaka, jang masih memerlukan bukti-bukti. Ia gembira dengan
penemuan nama narawata jang tertjantum pada baris- penghabisan pia
gam Kelurak, jang mengingatkannja kepada nama ibukota keradjaan
Funan lama. Kata narawara artinja: orang pilihan atau orang perwira,
tidak ada hubungannja dengan nama kota. Pandangan Hall sebagai
pandangan sedjarah jang didasarkan atas segala hasil penjelidikan
para sardjana jang bersangkutan, merupakan himpunan sari penjeli
dikan sedjarah Sriwidjaja dan berguna sekali untuk diketahui) namun
tidak memberikan fakta baru.
37
Itulah karangan-karangan jang penting tentang sedjarah Sriwidjaja
hingga tahun 1961. Karangan-karangan lainnja jang chusus mengenai
Sriwidjaja, tetapi tidak langsung mengenai sedjarah perkembangan Sri
widjaja, akan disinggung dalam pembahasan, djika dianggap perlu. Masih
ada beberapa karangan ahli sedjarah jang djuga menjinggung sedjarah
Sriwidjaja, tetapi pembahasannja hanja dilakukan sambil lalu, sehingga
rasanja tidak perlu ditanggapi setjara chusus. Bernard H .M . Vlekke
menerbitkan Nusantara, A History of Indonesia pada tahun 1959 sebagai
tjetak ulang dari karangannja pada tahun 1943. Dari djudulnja itu orang
mengharapkan pembahasan sedjarah Sriwidjaja setjara mendalam atau
setjara luas, tetapi kenjataannja Vlekke hanja menjinggung sadja soal
Sriwidjaja. Keradjaan Sriwidjaja dibitjarakan pada pasal II The kingdom
of Java and Sumatra. Dalam pasal itu keradjaan Sriwidjaja hanja di
singgung sadja dengan beberapa kalimat. Jang lebih banjak mendapat
perhatian ialah sedjarah Mataram dan Madjapahit. Uraiannja boleh di
katakan singkatan pendapat Krom. Djuga H.J. de Graaf dalam bukunja
Geschiedenis van Indonésie (1948) hanja menjinggung setjara sepintas lalu sedjarah Sriwidjaja.
38 i
II
P E N D ID IK A N P E N D E T A I-TS’IN G
Pendidikan
Fa-chien adalah pendeta Tionghwa jang pertama kali melakukan
ziarah ketanah sutji India sebagai sumber agama Buda. Lama ziarah itu
lebih kurang 15 tahun jakni dari tahun 399 sampai 414. Z iarah itu di
uraikan dalam bukunja Fo-hue-ki. Seratus tahun kemudian jakni pada
tahun 518 Sun-yun dan Hwui-ning berziarah dari Tiongkok ke India
djuga, namun uraiannja terlalu singkat, djika dibandingkan dengan
uraian pendeta-pendeta lainnja. Pendeta Hiuen Thsang mengembara
selama 17 tahun ditanah sutji India dari tahun 629 sampai 645. Segala
pengalamannja diuraikannja dengan teliti dalam bukunja Si-yu-ki. De
ngan sendirinja uraian itu berharga sekali untuk pengetahuan sedjarah
dan geografi India pada abad 7. Uraian jang bernilai tinggi itu ternjata
menarik perhatian para pemeluk agama Buda dan mendjadi pendorong
untuk djuga melakukan ziarah ke India. Demikianlah setelah Hiuen
Thsang meninggal, pendeta I-ts’ing berangkat ke Nalanda pada tahun
671. Setjara teliti ia menguraikan ziarahnja dalam bukunja jang ber-
djudul Nan-hai-chi-'kuei-nai-fa-ch’uan dan Ta-t’ang-si-yu-ku-fa-kao-
sêng-ch’uan. Buku jang pertama diterdjemahkan oleh Takakusu pada
tahun 1896 dibawah djudul A record of the Buddhist religion as prac-
tised in India and the M alay Archipelago. Untuk gampangnja buku itu
disebut Record sadja. Buku I-ts’ing jang kedua diterdjemahkan oleh
Prof. Chavannes pada tahun 1894 dibawah djudul Memoire à l’époque
de la grande dynastie Tang sur les religieux éminents qui allèrent cher
cher la Loi dans les pays d ’Occident. Atas alasan jang sama buku jang
kedua ini disebut Memoire sadja. Kedua karja itu penting sekali untuk
mengetahui sedjarah keradjaan Sriwidjaja chususnja dan negeri-negeri
dilautan Teduh umumnja, jang dilalui I-ts’ing dalam perdjalanannja
dari Tiongkok ke India dan kebalikannja. I-ts’ing menjaksikan keadaan
negara Sriwidjaja dan negara-negara lainnja dengan mata kepala sen
diri. Uraiannja adalah sumber berita dari tangan pertama. O leh karena
itu mendapat perhatian sepenuhnja.
Pendeta I-ts’ing lahir pada tahun 635 di Fan-yang dekat Peking,
dalam masa pemerintahan Fai-tsung. Sedjak berumur 7 tahun ia bela-
djar sastra Tionghwa umum. Ia merasa berbahagia sekali bertemu
dengan dua orang guru jakni San-yü sebagai upadhyaya dan Hui-hsi
sebagai karmacarya. Mereka tinggal diasrama Shi-en-t’ung jang di
dirikan oleh ahli renung. Seng-lang sedjak tahun 396, seorang pertapa
dari Chin-yü di Tai Shan. Mereka masing-masing dilahirkan di Teh
39
dan Pei. Mereka berdua sependapat, bahwa kehidupan bertapa banjak
manfaatnja untuk kepentingan dirinja pribadi, namun sedikit faedahnja
untuk kebahagiaan orang lain. Sekadar untuk memenuhi peraturan
agama jang dipeluknja, San-yii dan Hui-hsi pernah melakukan tapa
digua (T ’u-k’u) sambil memandang air djernih jang mengalir. H idup
bertapa demikian itu tidak dilandjutkan. M ereka\lebih suka bekerdja,
mengumpulkan bahan makanan untuk persediaan bagi para murid jang
suka mengangsu ilmu pada mereka diasrama, dan untuk persadjian
kepada artja Buda. San-yii dan Hui-hsi mendidik I-ts’ing sedjak ber
umur 7 tahun sampai berumur 37 tahun, waktu ia berangkat ke India
melalui keradjaan Sriwidjaja di Sumatera.
I-ts’ing hanja mendapat kesempatan 5 tahun lamanja untuk beladjar
pada San-yii, karena pada tahun 646 San-yii meninggal. Tetapi waktu
5 tahun itu sudah tjukup baginja untuk mengenal djiwa San-yii. Gengsi
San-yii sangat berkesan pada I-ts ing. I-ts ing menjebut gurunja dalam
Record, jang ditulisnja lebih kurang 45 tahun kemudian sepeninggal
San-yii dengan kiasan gadjah besar. Pemakaian metafora jang demi
kian oleh sardjana besar seperti I-ts ing hanja dapat ditafsirkan sebagai
pernjataan kekagumannja terhadap keagungan sifat-sifat sang guru
San-yii, sebagai guru, sebagai pendeta, sebagai sardjana dan sebagai
manusia biasa. Dalam bukunja tersebut I-ts'ing menguraikan enam sifat
jang dimiliki oleh San-yii jakni: keluasan pengetahuan sebagai guru,
keaneka-ragaman pengetahuannja, ketjerdasan berpikir, kedjudjuran,
kemurahan hati dan ketekunan kerdja.
I-ts’ing melandjutkan riwajatnja dan berkata bahwa pada waktu itu
ia sedang mengindjak usia 12 tahun. Sepeninggal San-yii dalam pela-
djaran ia dipimpin oleh Hui-hsi, jang menurut uraiannja ternjata sar
djana besar pula. Pada umur 14 tahun ia dilantik dalam pravadya dan
sedjak mengindjak umur 18 tahun, timbullah angan-angan untuk me- 1 lakukan ziarah ketanah sutji, India. Tetapi keinginan itu lama tidak
terkabul, sampai ia berumur 37 tahun. Selama itu ia selalu ada dibawah
Pimpinan Hui-hsi dan mempeladjari kanon sutji agama Buda. Ketika
ia berumur 20 tahun, ia dilantik dalam upasampada. Menurut I-ts'ing,
Hui-hsi adalah seorang ahli dalam winaya. Pikirannja terang-tenang,
tidak pernah melalaikan latihan, enam kali selama satu hari satu ma
lam. Tidak pernah merasa lelah mengadjar empat matjam kelas jakni
golongan biksu, biksuni, upasaka\dan upasika. Boleh dikatakan bahwa
Ja tidak pernah gusar dalam menghadapi kesibukan jang bagaimana
pun. Sikapnja tetap tenang dan sabar. Hui-hsi terlalu djudjur, tidak
suka memihak. Baik pendeta maupun awam, bila benar, dibenarkan,
bila salah disalahkan. Saddharmapundarika adalah buku kegemarannja.
Selama enampuluh tahun ia membatjanja setiap hari, djadi ia sudah
40
membatjanja duapuluh ribu kali. Meskipun hidupnja dalam zaman jang
serba sulit pada masa pemerintahan dinasti Sui (509-617), dan ber
pindah-pindah dari tempat jang satu ketempat jang lain menurutkan
nasibnja, ia tidak melalaikan kesanggupannja untuk membatja Sad-
dharmapundarika setiap hari. Hui-hsi memiliki sadindera dan empat
matjam zat jang diperlukan untuk kesehatan badannja. O leh karena
itu selama enampuluh tahun ia tidak pernah djatuh sakit. Pada waktu
sendja senjap biasanja Hui-hsi mentjari I-ts’ing. Dengan ramah mereka
bertj^kap-tjakap. Ada kalanja pertjakapan itu hanja mengenai daun-
daun jang sedang menguning, tetapi karena pertjakapan itu ia dapat
menghindarkan I-ts’ing dari rasa rindu kepada ibunja. A da kalanja ia
mentjeriterakan adat anak lembu jang disusui dan dibesarkan oleh
induknja. Dengan tjontoh itu ia mengadjar I-ts’ing setjara tidak lang- '
sung, agar ia selalu membalas tjinta kasih jang pernah dilimpahkan
orang kepadanja.
Hui-hsi adalah pudjangga besar. I-ts’ing mengagumi bakat kepu-
djanggaannja. Pudji sandjung I-ts’ing kepada Hui-hsi terlalu muluk.
Pada hal. 213 I-ts’ing menjatakan ketakutannja, kalau-kalau sementara
orang menjangsikan utjapannja, menduga bahwa pudjiannja kepada
Hui-hsi tidak beralasan. O leh karena itu ia memberikan bukti tentang
kebesaran Hui-hsi. Pada tanggal 12 bulan kedua, jakni pada hari Buda-
nirwana orang ramai baik pendeta maupun awam berkumpul dibukit
selatan tempat Seng-lang dimakamkan. Mereka datang untuk memper
ingati Seng-lang sebagai pemuka agama Buda. Pada waktu itu semua
pudjangga dikeradjaan C h ’i hadir. Masing-masing adalah pudjangga
terkenal jang telah mempunjai bukti-kerdja berupa karja sastra. Se
belum hari jang mulia itu tiba, radja telah membuat seruan kepada para
pudjangga untuk menulis sebuah kekawin jang akan ditulis pada kaki
artja Seng-lang pada hari Buda-nirwana. Hui-hsi menjambut seruan
itu tanpa ragu-ragu. Hui-hsi menulis kekawinnja pada tembok tanpa
kekeliruan sedikitpun. Kekawin itu termuat pada hal. 214. W a k tu
hadirin membatja kekawin tersebut, semuanja kagum. A da diantara
pudjangga jang segera meletakkan pensilnja, ada jang menusukkannja
pada batang pohon sambil berkata: „Si Shih (nama seorang wanita
jang terpudja ketjantikannja) telah memperlihatkan diri. Bagaimana
M u M o (nama wanita buta) akan menandinginja?" Banjak kaum tjen-
dekiawan jang hadir pada waktu itu, namun tak ada seorangpun jang
sanggup menandingi Hui-hsi. Karja Hui-hsi jang bertebaran telah d i
kumpulkan dalam himpunan karangan.
I-ts’ing dibesarkan dalam lingkungan kesardjanaan. O leh karena
iapun memiliki bakat dan djiwa besar, maka bakat dan d jiw anja men
dapat pupuk jang akan menjuburkan tumbuhnja. D ida lam uraiannja
41
• b t tiga orang guru, jang faham akan winaya dan sangat di-
ia menj jakni; San-yii, Hui-hsi dan Ming-teh. Itulah latar belakang
° r^v l'kan pendeta I-ts’ing sebelum berangkat ke India. Hui-hsi sering
j^rkata kepadanja, bahwa Buda telah lama meninggal. Adjarannja
ei| T io,- bisalah tafsirkan. Mereka jang harus membina aturan- sudah mulai . . .aturan keagamaan, malah melanggarnja. Adjaran Hui-hsi milah jang
mend'adi pendorong dan menimbulkan angan-angan padanja untuk
melakukan ziarah ke India, untuk mempeladjari agama Buda lebih
dalam lagi I-ts’ing menganggap San-yu sebagai bapaknja, Hui-hsi
Dalam hubungan mesra antara guru dan murid seperti sebagai ibunja. l ’“1“ °ianq diuraikan dan dialami oleh I-ts ing itu sendiri, maka djiwa jang
memang berbakat akan dapat berkembang. Salah satu pendorong
I-ts’in untuk melakukan ziarah ke India ialah kekagumannja kepada
pendeta Fa-hien dan bhadanta Hiuen Thsang jang telah lebih dahulu
mengundjungi India. Karena kundjungan itu mereka mendapat penge
tahuan jang lebih luas dan lebih dalam serta semangat jang menjala-
njala untuk menjiarkan agama Buda di Tiongkok. Dalam Record hal.
183 - 184 I-ts’ing berkata: „Kasiapa-matanga dan Dharmaraksha me-
njampaikan berita-berita sutji diibu kota propinsi timur Lo (Honan-
fu); kemashuran Paramartha sampai dilaut Selatan (N an Y ing) dan
jang sedang mulai ialah Kumaradjiwa. Ia memberikan kehidupan segar
kepada negeri asing (Tiongkok). Kemudian bhadanta Hiuen Thsang
memberikan kuliah dinegerinja sendiri. Dengan djalan demikian baik
pada zaman jang telah silam maupun pada zaman sekarang, para guru
menjebarkan adjaran Buda sangat luas dan djauh.” Pada hal. 207
I-ts’ing menguraikan djasa-djasa Seng-lang sebagai pendeta terkemuka,
jang mendirikan tjandi dan asrama di T ’ai Shan. Meskipun Seng-lang
telah lama meninggal, namun pengaruhnja masih tetap terlampau besar
dan kemashurannja masih terus berkumandang. Sepeninggal Seng-lang,
San-yii dan Hui-hsi tampil kemuka sebagai penggantinja, ditambah
seorang lagi Mirig-teh: ketiga-tiganja ahli dalam winaya dan faham
akan segala sutra. Salah satu adjaran jang mereka pertahankan ialah
larangan membakar djenazah. Sedjak para pendeta dari asrama Kuda
Putih di Lo-yang, jakni Kasiapa-matanga dan Dharmaraksha bergerak,
memantjarkan sinar kebidjaksanaan, seolah-olah mereka mendj'adi ma
tahari dan bulan dinegara dewata (Tiongkok); gadjah hitam K ’ang-
seng-hui dan Fa-hien siap berpelana, karena tepa teladan jang sangat
utama, mendjadi pertahanan dan djembatan untuk mengantarkan ke-
kajaan spirituil India ke Tiongkok. Tao-an dan Hui-yen bergerak se
bagai harimau disebelah selatan sungai Yang-tse dan Han. Hui-hsi
dan Fa-li beterbangan sebagai burung hantu disebelah utara sungai
Hwang dan Chi.
42
I-ts’ing berangan-angan mendjadi pendeta jang berguna untuk pe-
njiaran agamanja seperti para pendeta jang dikaguminja itu. Ia ber
pikir bahwa rantai kedatangan penjiar agama tidak boleh terputus.
O leh karena itu ia ingin bersiap-siap untuk mendjadi pendeta besar
dinegerinja jang kiranja kemudian sanggup mengganti gurunja, Hui-
hsi. O leh karena itu iapun mentjurahkan segenap tenaga dan perhati-
annja kepada adjaran sang guru dan kepada segala matjam sutra.
Ketika terasa oleh Hui-hsi bahwa ia sudah masak dalam ilmu, maka
ia mendapat perintah untuk pergi mentjari ilmu jang lebih dalam.
Demikianlah I-ts’ing minta diri kepada Hui-hsi, berangkat ke W e i
disebelah selatan. Disana ia mempeladjari Abhidarmasangiti dan Sam-
parigrahasastra. Kemudian berpindah keibukota propinsi barat Si-an-
fu untuk mempeladjari Koca dan V idyamatrasiddhi. Disini I-ts’ing
menetap sampai tahun 670, beberapa bulan sebelum ia berangkat ke
India. Setelah persiapan untuk melakukan ziarah ke India dipandang
telah tjukup, ia meninggalkan ibukota Si-an-fu menudju Fan-yang,
tempat kelahirannja. Sesudah itu barulah ia kembali keasrama T 'ai
Shan untuk minta nasehat kepada Hui-hsi. Katanja: „Sang guru, saja
bermaksud untuk mengadakan perdjalanan djauh. Saja jakin bahwa
disini saja belum sampai pada ilmu jang saja tuntut. Ditempat tudjuan
itu saja akan memperoleh kemadjuan jang pesat. Engkau sudah landjut
dalam usia. O leh karena itu saja tidak akan berbuat sesuatu tanpa
minta nasehatmu lebih dahulu.” D jawab Hui-hsi: „Ini adalah kesem
patan jang sangat baik bagimu. Kesempatan itu tidak akan berulang
lagi. Aku gembira mendengar maksudmu. Tak ada gunanja aku me
lahirkan perasaan kesedihanku. Bila ada umur pandjang, aku akan
melihatmu kembali dan akan menjaksikan usahamu memperluas adjaran
Buda. Berangkatlah tanpa ragu-ragu. D jangan melihat segala apa jang
kau tinggalkan. Aku setudju benar dengan maksudmu untuk melakukan
ziarah ketanah sutji. Apalagi mengingat bahwa ziarah itu adalah
penunaian tugas sutji untuk kebahagiaan agama. T idak usah ragu-
ragu.”
Perdjalanan ke India
Sebelum I-ts’ing berangkat, ia masih sempat mengundjungi kubur
San-yii untuk memberi hormat, minta diri dan restu. Pada waktu itu
daun-daun pohon disekitarnja terlalu rimbun melingkupi nisannja, dan
rumput-rumput tumbuh sangat rapat pada kaki nisan. Meskipun San-
yii sudah tidak ada lagi, namun hormat I-ts’ing besar bukan kepalang,
seolah-olah San-yii masih hidup. I-ts’ing merenungkan segala kebaikan
sang guru, jang pernah dilimpahkan kepadanja. Kemudian ia berang
43
kat meninggalkan Kwang-chou (Kanton) pada bulan 11 tahun kedua
pada masa pemerintahan Hsien Heng atau pada tahun Masehi 671
menudju lautan Selatan dengan hati tenteram, karena maksudnja di-
setudjui oleh sang guru, bahkan mendapat perintah berangkat, jang
bagaimanapun tidak akan dapat diabaikannja. Demikianlah ia berlajar
dari negeri jang satu kenegeri jang lain> menudju India untuk berziarah.
Pada hari kedelapan bulan dua tahun keempat masa pemerintahan
Hsien Heng (tahun Masehi 673), I-ts’ing sampai di Tamralipti, sebuah
pelabuhan dipantai India Timur. Pada bulan kelima ia mengadakan
perdjalanan kebarat, bertemu dengan kawan-kawan disana-sini. Ke
mudian keasrama Nalanda dan ketachta manikam; achirnja mengun-
djungi semua tempat sutji. Setelah itu kembali ke Shih-li-fo-shih.
Uraian perdjalanan I-ts’ing dalam Record terlalu singkat. Uraian
itu hanja sekadar diselipkan sadja dalam pasal jang istimewa memper-
bintjangkan para gurunja. Uraiannja jang lebih pandjang termuat
dalam Memoire jang telah diterdjemahkan oleh Prof. Chavannes. Se
mula ada beberapa orang teman jang akan turut berangkat. Sampai
tahun pertama masa pemerintahan Hsien Heng atau tahun Masehi 670.
I-ts’ing tinggal diibukota propinsi barat Ch’ang-an. Pada waktu C h ’ui,
pengadjar hukum, anak kelahiran Ping-pu, Hui-gi, pengadjar sastra,
berasal dari Lai-chou dan dua tiga bhadanta lainnja, telah setudju
untuk bersama-sama dengan I-ts’ing mengundjungi Gridakuta daxi
melihat Bhodidruma di India. Ch’ui tidak djadi ikut, karena tjintanja
kepada tempat kelahirannja dan ingat kepada ibunja jang sudah tua.
Hui-gi, berubah pikirannja, berbelok ke Sukawati waktu bertemu de
ngan Hiuen-chan di Kianning. Hiuen-kei hanja sampai Kwang-tung.
Achirnja I-ts’ing berangkat dengan seorang teman sadja, seorang pen
deta muda, muridnja jang bernama Tsin-chou. Pendeta muda ini dalam
perdjalanannja berhenti di Sumatera, lalu kembali ke Kwang-tung,
karena djatuh sakit. Demikianlah I-ts'ing berziarah ke India hanja
seorang diri. Pada musim rontok tahun 671 ia bertemu dengan Feng-
hsiao-ch’uan dari Kong-chou.
Atas pertolongan Feng-hsiao-ch’uan ia dapat berhubungan dengan
pemilik kapal Persi, jang akan ditumpanginja. I-ts’ing merasa banjak
berutang budi kepadanja, karena Feng-hsiao beserta saudara-saudara-
nja menjiapkan segala perlengkapan untuk keberangkatannja. Mereka
mendjaga benar-benar agar I-ts’ing djangan sampai menderita ke
kurangan, mengalami kesulitan ditengah djalan. Mereka itu tidak ada
ubahnja dengan orang tuanja sendiri. Pada pasal ini njatalah bahwa
ibu-bapak I-ts’ing pada waktu itu telah meninggal, karena ia berkata,
bahwa segala apa jang diminta oleh si jatim-piatu kepada keluarga
Feng, diberinja. Demikianlah waktu I-ts'ing pada tahun 670 dari ibu-
44
kota propinsi barat berangkat ke Fan-yang, tempat kelahirannja, ia
mengundjungi makam orang tuanja untuk m inta diri dan restu dalam
perdjalanan ke India. Setjara djudjur ia mengaku, bahwa ziarahnja
ke Ind ia dapat dilakukan terutama berkat kemurahan hati dan bantuan
keluarga Feng. T idak enggan-enggan ia menjebut Feng sebagai tempat
bernaung. Para pendeta dan awam jang menaruh perhatian, turut
mengantarkannja sampai pelabuhan. Para tjerdik-tjendekia dari pro
pinsi utara hadir, terharu pada waktu berpisah. Mereka mengira tidak
akan saling bertemu lagi.
Dem ikianlah pada bulan 11 tahun 671 I-ts’ing berangkat menurutkan
bintang Y i dan Chen, meninggalkan Kwang-tung, menjusur pantai
kearah selatan. Dalam pikirannja telah terbajang taman M regadaw a
di Benares dan gunung Kukkutapadagiri dekat Gaya. Kapal berlajar
menudju arah selatan jang kemerah-merahan; tali-temali jang pan-
djangnja seratus kubit, mengelewer dua-dua dari atas. W a k tu berpisah
dengan bintang Y i, dua lajar jang masing-masing pandjangnja lima
helai kain kampas, melambai, meninggalkan sisi utara jang kegelap-
, gelapan. Kapal mengarungi lautan, menerdjang gelombang besar-besar
setinggi gunung. Kapal ladju keselatan menumpang aliran ombak; ge
lombang seperti awan putih melemparkan diri keangkasa.
Sesudah hampir duapuluh hari berlajar, kapal sampai di Fo-shih
(Sriw id ja ja ). D isini ia mendarat dan menetap selama enam bulan untuk
beladjar Sabdavidya, jakni tatabahasa Sansekerta. Atas bantuan sri
baginda radja kemudian ia berangkat ketanah Melaju, sekarang men-
djadi bagian Shih-li-fo-shih (Sriw idjaja). D isini ia singgah dua bulan
lamanja. Kemudian ia meneruskan perdjalanannja ke Ka-cha (Kedah).
D ari sini ia berlajar lagi dengan kapal radja menudju India. Dari
Ka-cha terus keutara. Sesudah berlajar sepuluh hari lamanja, sampailah
pada pulau-pulau Lo-jeng-kuo; penduduknja masih telandjang bulat.
Disebelah timur nampak pantai antara djarak satu dua batu Tjina.
Jang nampak hanjalah pohon njiur dan pohon pinang gembira me
lambai-lambai. Ketika nampak kapal datang, para penduduk kira-kira
seratus orang banjaknja, segera melompat kedalam sampan-sampan
ketjil, semuanja membawa buah njiur, pisang, barang-barang dari rotan
dan bambu, dengan maksud untuk ditukarkan. Jang mereka harapkan
ialah besi; lempengan besi selebar dua djari ditukarnja dengan lima
atau sepuluh buah njiur. Jang laki-laki telandjang bulat, jang perem
puan sekadar bertutup daun. D jika ada diantara penumpang jang
setjara senda-gurau menawarkan pakaiannja, mereka melambaikan
tangannja sebagai isjarat menolak. Konon negara ini ada dibawah
pengawasan Shu-ch’uan barat daja. Pulau ini sama sekali tidak meng
hasilkan besi; emas dan perak djarang sekali. Penduduknja semata-
45
mata hidup dari buah njiur, tidak banjak padinja. Oleh karena itu jang
mereka anggap paling bermutu dan paling berharga ialah loha. Itulah
nama untuk besi ditempat itu. Kulitnja tidak hitam, tingginja sedang.
Mereka tjakap sekali menganjam bakul-bakul dari rotan; tidak ada
tempat lain jang sanggup menandinginja. Kalau ada jang berani me
nolak tukar-menukar, mereka segera melepaskan anak panah jang
beripuh. Peluntjuran sekali sadja sudah tjukup untuk membunuh orang.
Kira-kira sebulan berlajar dari situ kearah barat laut sampai Tan-mo-
lo-ti, jang merupakan tapal batas India Timur, terletak lebih kurang
enampuluh jodjana dari Mahabodhi dan Nalanda. Menurut berita Re-
cord, I-ts ing sampai di Tan-mo-lo-ti pada hari kedelapan bulan kedua
tahun keempat pada masa pemerintahan Hsien Heng (tahun Masehi
673). Tan-mo-lo-ti adalah pelabuhan dipantai India Timur. Nama jang sebenarnja ialah Tamralipti.
Di Tan-mo-li-ti I-ts’ing bertemu dengan pendeta Tan-ch’eng-teng.
Ia lalu tinggal bersama-sama dengan Teng beberapa bulan. Selama itu
ia mempeladjari bahasa Sansekerta dan mempraktekkan pengetahuan-
nja tentang tatabahasa. Kemudian bersama-sama dengan Teng ber
angkat kepropmsi barat dan menggabungkan diri dengan sekelompok
pedagang jang menudju India Tengah. Kira-kira sedjauh sepuluh
hari perdjalanan dari wihara Mahabodhi djalannja amat sulit laqi
berbahaja. Pada waktu itu ia djatuh sakit dan tertinggal oleh kawan-
kawannja sedjalan. Teng bersama duapuluh pendeta Nalanda 1 '
telah djauh kemuka. Terhujung-hujung dengan djatuh banqun i ^ b ^
usaha menjusulnja, namun tidak berhasil. Ia berdjalan seoran* diri
sampai Nalanda. Dalam hatinja telah tumbuh pikiran bahwa h 111 akan gagal ditengah djalan. Lain daripada itu pada waktu itu* T' ^
pinsi barat sedang berkobar pergolakan. Tiap oranci ■ * \ iPr°."
putih dibunuh. Karena ketakutan I-ts’ing masuk da lan /T 9 1<:
luruh badannja disaput dengan lumpur hitam. Dialan ut|1Pur- Se
utara menudju kesebuah desa. Itulah Nalanda jana ,?e“ belok ke"
I-ts ing lalu masuk tjandi Mulagandhakuti, kemudian m
Gridhakuta. Sesudah itu „engundjungi wihara Mahabldh 9UnU”9
bah kepada artja Buda. U menjampaikan pakaian ja n ‘ f 1“ '6“ ' dari Shan-tung, pemberian para pendeta A*n * \ aibawanja
da. Segala titipan aehh win’ ya " T ^
Demikan pula pesan An-tao dari daerah Ts’ dlsamPaikannja.
hormatnja kepada artja Buda telah dilakukan ^ UntUk men)amPaikan
I-ts’ing segera melemparkan dirinja diatas lant ■
bulat memberikan sembah. Ia memohonkan k K u ^ 9an Pikiran
kok, kemurahan Buda kepada radja, ibu-bapak 3013311 untuk Tiong-
berlimpah-limpah diwilajah Dharmadatu- t,arano P3r3 budimanaPannja ialah bertemu
46
dengan Buda Maitreja dibawah pohon Naga, beroleh adjaran sedjati
dan achirnja memiliki pengetahuan jang tidak tunduk kepada hukum
kelahiran. Di India I-ts’ing berziarah berkeliling ketempat-tempat sutji,
wihara Waigali, Kusinagara, taman Mrigadawa di Benares dan gunung
Kukkutapadagiri dekat Gaya. Ia tinggal diwihara Nalanda sepuluh
tahun lamanja.
Setelah mengumpulkan naskah-naskah sebanjak 500.000 sloka, ia
bersiap-siap akan pulang. Pada tahun pertama masa pemerintahan
Ch’ui-kung (tahun Masehi 685) I-ts’ing minta diri kepada Wu-hing
ditempat sedjauh 60 jodjana dise'belah timur Nalanda. Demikianlah
I-ts’ing menetap di Nalanda antara tahun 675 sampai tahun 685. Dari
situ ia berangkat ke Tan-mo-lo-ti untuk menumpang kapal menudju
Ka-cha. Dari sini kapal berlajar dua bulan kearah tenggara untuk
sampai di Ka-cha. Pada waktu itu kapal dari Fo-shih akan berlabuh
di Ka-cha. Kedatangan kapal dari Fo-shih umumnja pada bulan per
tama atau bulan kedua. Mereka akan berangkat ke Singala (Srilang-
ka) berlajar kearah barat daja. Kata orang pelajaran itu sedjauh 700
jodjana. I-ts’ing singgah di Ka-cha sampai musim dingin, lalu berlajar
lagi kearah selatan sebulan lamanja menudju tanah Mo-lo-yeu, jang
pada waktu itu sudah mendjadi Fo-?hih. Banjak negeri-negeri jang
mendjadi bawahannja. Pada umumnja kedatangan perahu disana pada
bulan pertama atau bulan kedua. Tinggal disana sampai pertengahan
musim panas, lalu berangkat lagi keutara; kira-kira sebulan berlajar
sampai di Kwang-fu (Kwang-tung).
Pernjataan l-ts’ing
Sekembalinja dari Nalanda I-ts’ing menetap di Fo-shih lebih kurang
4 tahun lamanja. Pada tanggal 20 bulan 7 tahun pertama masa peme
rintahan Yung-ch’ang (689) ia sampai di Kwang-tung kembali. Pe
lajaran kembali ini tidak direntjanakan lebih dahulu. Semula ia datang
disungai Fo-shih dengan maksud menitipkan surat rahasia ke Kwang-
tung untuk minta kiriman kue-kue, kertas dan tinta, guna menurun
naskah naskah Sansekerta dan sebagai upah kerdja menurun. Namun
pada waktu itu tiba angin baik. Oleh karena itu lajar-lajar segera di
pasang. I-ts’ing ikut terbawa. Ia tidak bermaksud akan pulang.
Sekembalinja di Kwang-tung, I-ts’ing bertemu dengan kawan-ka-
wannja seagama baik pendeta maupun awam. Dalam sidang ditjandi
Chih chih I-ts’ing mengemukakan usul pendapatnja. Ia membawa
500 000 * sloka Tripitaka dari India. Sloka-sloka , tersebut masih ke
tinggalan di Fo-shih. Bagaimanapun ia harus kembali ke Fo-shih.
47
1
Tetapi ia sudah merasa tua, sudah berumur limapuluh tahun lebih.
Oleh karena itu ia minta bantuan tenaga, jang kiranja dapat diserahi
pekerdjaannja. Usul itu mendapat sambutan baik dari sidang. Pendeta
bernama Cheng-ku, seorang ahli winaya, jang tempat tinggalnja tidak
djauh dari Kwang-tung diusulkan oleh sidang sebagai pembantu utama
I-ts'ing. Cheng-ku jang tinggal sebagai pertapa di Shih-men sebelah
barat laut Kwang-tung, setelah membatja surat I-ts’ing, segera sang
gup untuk menjertainja. Demikianlah pada hari pertama bulan sebelas
tahun 689 I-ts’ing dengan pembantunja menumpang kapal dagang me
lalui Lin-i menudju Fo-shih. Ketjuali Cheng-ku ada tiga pembantu lagi
jang menjertainja, jakni pendeta Tao-hung dan dua orang pendeta
jang tidak disebut namanja.
Menurut Sung-kao-seng-ch’uan pengembaraan I-ts’ing diluar Tiong-
- kok selama duapuluh lima tahun. Ia kembali ke Kwang-tung pada per
tengahan musim panas tahun pertama masa pemerintahan Cheng-seng
(tahun Masehi 695) dengan membawa lebih kurang 4000 naskah jang
terdiri dari 500.000 sloka. Dari tahun 700 sampai 712 ia menterdjemah-
kan 56 buku dalam 230 djilid.
Pada waktu I-ts’ing mengundjungi Fo-shih, agama Buda di Fo-shih
sedang berkembang. Diibu kota Fo-shih jang dikelilingi benteng, ter
dapat lebih dari 1000 pendeta Buda; semuanja radjin mentjurahkan
perhatiannja kepada ilmu dan mengamalkan adjaran Buda. Mereka
melakukan penelitian dan mempeladjari ilmu jang ada pada waktu itu,
tak ada bedanja dengan Madhyadega di India. Aturan-aturan dan
upatjara sama sekali tidak berbeda. Oleh karena itu bila ada pendeta
Tionghwa jang ingin pergi ke India untuk mengikuti adjaran-adjaran
dan membatja teks-teks asli, ada baiknja mereka tinggal di Fo-shih
dua/tiga tahun dahulu untuk berlatih, sebelum berangkat ke India.
D i Shih-li-fo-shih I-ts’ing bertemu dengan seorang pendeta W u-
hing; seperti telah diketahui ia bertemu dengan I-ts’ing lagi ditempat
jang letaknja sedjauh 60 jodjana disebelah timur Nalanda. Dalam per-
djalanannja ke Nalanda W u-hing djuga singgah di Sriwidjaja. Kata-
nja: „Setelah berlajar satu bulan Wu-hing sampai di Shih-li-fo-shih.
Baginda menerimanja dengan baik dan menghormatinja sebagai tamu
dari negeri putera dewata, T 'ang agung. Dengan menumpang kapal
radja ia berlajar kenegeri Mo-lo-yeu; setelah limabelas hari berlajar,
sampai ditempat tudjuan. Kemudian setelah berlajar limabelas hari
lagi, ia sampai di Ka-cha. Pada achir musim dingin ia menumpang
kapal lain dan berlajar kebarat. Tigapuluh hari kemudian ia tiba di.
Nagapatana. Dari sini ia berangkat lagi dengan kapal kepulau Sing-
hala; lamanja berlajar duapuluh hari."
48
M engenai letaknja Sriw idjaja I-ts'ing berkata: „D i In ia pengu ur
w aktu terdapat dimana-mana, nam anja tv e la c a k ra jakn i ro a w a tu.
T jaran ja mengukur bajang-bajang ialah memperhatikan bajang- ajang
tongkat. D jika mentjapai tingkat jang terpendek, artin ja tePa*\
hari. Tetapi di D jam budw ipa pandjang bajang-bajang itu e J
ini bergantung kepada letak tempatnja. D ip rop in s i Lo misa nja ti a
ada bajang-bajang samasekali. Lagi m isalnja dinegeri i - i- o-s i
kita melihat bajang-bajang diwelacakra tidak mendjadi pan
pendek pada pertengahan bulan delapan. Pada tengah hari ta tampa
bajang-bajang orang jang berdiri d ibawah matahari. La in a nja a au
musim semi. M atahari tepat diatas kepala dua kali satu ta un. a au
matahari ada disebelah selatan, bajang-bajang membudjur eutara,
pandjangnja lebih kurang dua atau tiga kaki. Kalau matahari a a 1- sebelah utara, bajang-bajangnja sama, tetapi djatuh keselatan.
D ida lam kata pengantar Record, I-ts’ing menguraikan kehidupan
keagamaan dinegara-negara jang dikundjunginja. Jang dikutip disini
ialah uraiannja tentang kehidupan keagamaan di Asia Tenggara,
karena hal ini langsung berhubungan dengan pokok pembitjaraan.
Katanja: „D iudjung sebelah timur ada gunung besar hitam (Takakusu
mengira M ahakala), jang kiranja terletak diperbatasan Tu-fan (T ibet).
Kata orang gunung itu ada disebelah barat daja Shu-ch uan; dari Shu-
ch’uan hanja sedjauh perdjalanan sebulan. Disebelah selatan gunung
itu dekat pantai, terdapat negeri jang disebut Qriksatta (Sriksetra.
Prome); disebelah tenggaranja Lang-ka-su (Takakusu: Kamalangka,
mestinja Langkasuka); sebelah timur Lang-ka-su ialah To-ho-lo-po-ti
(D w araw ati); diudjung timur Lin-i (T jam pa). Penduduk negara-
negara tersebut menjembah Ratnatraya (Buda, dharma, sangha). Ba-
njak diantaranja jang teguh mendjalankan hukum dan melakukan
dhutangam (mengemis) jang sudah mendjadi kebiasaan dinegeri-negeri
ini. Orang-orang seperti itu jang saja saksikan sendiri, terdapat djuga
dibarat (Ind ia); mereka memang berbeda dengan orang-orang biasa.
D i Singhala semua penduduknja tergolong dalam Aryasthaw iranikaya,
Aryamahasang-hikanikaya dilarang.Dinegara-negara laut Selatan ■—■ terdiri daripada sepuluh negara
lebih .— pada aimumnja penduduknja menganut Mulasarwastiwadani-
kaya» meskipun ada kalanja ada jang djuga memeluk Sammitinikaya,
sekarang ada djuga sementara pengikut kedua aliran lainnja (meskipun
hanja sedikit djumlahnja). Dihitung dari barat, jang pertama ialah ne
geri P ’o-lu’shi, lalu negeri Mo-lo-yeu, jang sekarang mendjadi negeri
Shih-li-fo-shih, Mo-ho-sin, Ho-ling, Tan-tan, Pem-pen, P ’o-li, Ku-Iun,
Fo-shih-pu-lo, O-shan dan Mo-chia-man. IVIasih ada beberapa pulau
ketjil-ketjil lagi; tidak dapat disebut semuanja disini. Agama jang di-
49
dipeluk dinegeri-negeri ini terutama agama Buda aliran Hinayana,
ketjuali dinegeri Mo-lo-yeu. Dinegeri ini sedikit sadja aliran Maha-
yana.
D iantara negeri-negeri ini ada jang kelilingnja kira-kira seratus
batu Tjina, ada jang kira-kira seratus jodjana. Meskipun sulit untuk
menghitung djarak dilautan besar, namun mereka jang telah biasa
berlajar dengan kapal dagang, akan pandai mengira-ngira luasnja
pulau. Negeri-negeri itu semuanja dikenal atas satu nama umum jakni
„kepulauan K'ulun, karena utusan K ’ulun jang pertama kali datang
di Ko-chin dan Kwang-tung.”
Didalam Record, I-ts’ing djuga menjebut nama para pendeta-sar-
djana di India dan dinegeri-negeri laut Selatan. Mereka itu: Jnana-
candra, ahli hukum, tinggal diwihara Tiladha; Ratnasinha diwihara
Nalanda; Diwakaramitra di India Timur; Tathagatagarbha didaerah
udjung selatan; di Shih-li-fo-shih jang terletak dilaut Selatan menetap
Sakyakirti. Ia berkeliling dilima negeri di India untuk mentjari ilmu;
sekarang ia ada di Shih—li—£o—shih. D i India 11 im 11 r ada seorang sar—
djana besar (mahasattwa), namanja Candra, sudah seperti Bodhisat-
twa, dianugerahi bakat besar. Orang ini masih hidup, ketika saja,
I-ts’ing, mengundjungi daerah tersebut. Pada suatu hari ada orang
bertanja kepadanja: „Apakah jang lebih berbahaja, tjobaan ataukah
bisa?” Dengan serta merta ia mendjawab: „Memang diantara barang
dua itu terdapat perbedaan besar; bisa berbahaja, hanja bila ditelan;
sedangkan jang lain merusak pikiran seseorang, meski hanja terpikir
sadja sekalipun." D jika ada wanita masuk wihara, dilarang keras
mengindjak bilik pendeta. Ia hanja boleh berbitjara dengan mereka
dilorong sebentar sadja, lalu pergi. Pada waktu itu ada seorang biksu
bernama A-ra-hu-la-mi-ta-ra (Rahulamitra) diam diwihara; ia baru
berumur lebih kurang tigapuluh tahun. Kelakuannja sangat terpudji
dan kemashurannja amat luas. Tiap hari ia membatja Ratnakutasutra
jang memuat 700 sloka. T idak hanja faham akan tiga kumpulan buku
sadja, tetapi djuga mendjeladjah kesusastraan agama dalam empat ilmu
Ia dihormati sebagai kepala pendeta didaerah India Timur. Sedjak
pelantikannja • sebagai pendeta, tidak pernah bertjakap dengan wanita,
apalagi bertemu muka, ketjuali dengan ibu dan adiknja perempuan,
bila mereka datang berkundjung. Itupun terdjadi diluar biliknja. Pada
suatu ketika saja bertanja kepadanja, apa sebabnja ia berbuat demikian,
pada hal itu bukan larangan. Maka djawabnja: „Karena pembawaan
saja mudah tertarik kepada kata-kata; djika saja tidak berbuat demi
kian, saja tidak akan dapat menjumbat sumbernja. Meskipun itu bukan
larangan Buda, kiranja memang baik berbuat demikian, djika orang
bermaksud menghindari keinginan-keinginan djahat.”
50
Hui-ning naik perahu menudju Ho-ling. Setelah tiba d isana ’ ‘a „me'
netap tiga tahun lamanja untuk menterdjemahkan naska -nas a an
sekerta dalam kerdjasama dengan pendeta bunnputera Jnana a ra.
H as il kerdja itu kemudian disuruh baw a pulang Yun-k i e iao c i
Setelah m enjam paikan terdjemahan itu Y un 'k i kembali e °- mg,
tetapi tidak dapat bertemu dengan Hui-ning, karena ui-nmg te a
berangkat. Yun-k ’i menetap selama sepuluh tahun dinegeri aut e
latan, dan mempeladjari bahasa K ’un-lun disamping ba asa anse_e^ a '
Ia m endjad i murid Jñanabhadra. Ia tinggal di Shih-li-fo-s i a u
I-ts’ing ada disana, ia berumur tigapuluh tahun.
D u a orang pendeta jang tidak disebut namanja, dengan m enumpang
kapal m eninggalkan T iongkok menudju P ’o-lu-shih, jang eta nja
sebelah barat Shih-li-fo-shih. Setibanja ditempat jang ditu ju, mere a
d ja tuh sakit, lalu meninggal. Fa-lang berlajar dari Pan-jong e o s i
selama sebulan. Hoai-ye melalui laut sampai di Fo-shih. isana ia
beladjar K ’un-lun dan bahasa Sansekerta. Tao-hong dan eng u
menemani I-ts’ing ke Chin-chou sampai dinegeri Fo-shih.
Itu lah berita-berita jang dapat d ikumpulkan dari dua karja I-ts ing
Nan-hai-chi-kuei-nai-fa-ch’uan (Record) dan Ta-t ang-si-yu- ao-seng
ch’uan (M em oire ). Kedua-duanja dititipkan oleh I-ts ng kepada a tsin
untuk d ibaw a ke Kwang-tung. Peristiwa-peristiwa sedjara terse ut
d isadjikan tanpa tafsir, agar para pembatja dapat menilai peristiwa
peristiwa tersebut tanpa terpengaruh oleh tafsir. Tempat-tempat jang
disebut oleh I-ts’ing memerlukan pendjelasan, karena nama nam a itu
bun jin ja berbeda dengan namanja jang asli. Lokalisasi tempat tempat
tersebut tidaklah mudah. Lokalisasi tempat-tempat itu akan itjo a
dalam pasal berikut.
l
I ll
LOKALISASI TEMPAT-TEMPAT DALAM
PERDJALAN AN I-TS’IN G
Perdjalanan I-ts’ing dari Kwang-tung ke Tan-mo-lo-ti dan kebalik-
annja melalui pelbagai tempat. Ia menjebut nama-nama tempat itu
dengan utjapan Tionghwa, tetapi tidak menegaskan dimana letaknja.
Demikianlah pelajaran I-ts’ing itu masih perlu ditafsirkan, untuk mem
peroleh gambaran jang djelas mengenai djalan pelajaran jang ditem-
puhnja. Keberangkatannja pada bulan 11 tahun 671 dari Kwang-tung
ke Tan-mo-lo-ti telah disadjikan dimuka. Dari uraiannja njatalah
bahwa I-ts’ing tidak menjusur pantai, melainkan menjeberangi lautan
besar langsung ke Fo-shih dengan menumpang kapal Possu (Persi)-
Sesudah hampir duapuluh hari berlajar, ia mentjapai Fo-shih, lalu
singgah disitu selama enam bulan. Kemudian atas bantuan radja Fo-
shih ia berangkat ke Mo-lo-yeu dan singgah disitu dua bulan. Sesudah
itu ke Ka-cha. Pada bulan duabelas ia berlajar dengan menumpang
perahu radja meninggalkan Ka-cha kearah utara. Sesudah berlajar
lebih dari sepuluh hari ia sampai di Lo-jeng-kuo. Pelajaran dilandjut-
kan kearah barat laut, satu setengah bulan kemudian ia sampai di
Tan-mo-lo-ti; pada hari kedelapan bulan kedua masa pemerintahan
Hsi-en-heng (tahun 673).
Perdjalanan pulang pada tahun 685 diuraikan setjara singkat demi
kian. Ia berangkat dari Tan-mo-lo-ti kearah tenggara menudju Ka-cha.
Singgah disini sampai musim dingin. Dengan menumpang perahu radja
berangkat dari Ka-cha keselatan menudju Mo-lo-yeu> jang sekarang
mendjadi Fo-shih. Pelajaran itu makan waktu selama sebulan. Umum-
nja pada bulan pertama atau kedua perahu datang dinegeri Mo-lo-yeu.
Tinggal disini sampai pertengahan musim panas, lalu berangkat ke-
utara menudju Kwang-tung. Lebih kurang sebulan berlajar, kemudian
sampai ditempat jang ditudju.
Dua tempat jang telah djelas letaknja jakni tempat pangkal ber
angkat Kwang-tung dan tempat tudjuan Tan-mo-lo-ti. Kwang-tung
adalah Kanton, dan Tan-mo-lo-ti adalah Tamralipti, jang sekarang
disebut Tamluk, terletak disebelah barat daja Kalkuta, ditepi sungai
Hooghly, disebelah barat delta Hooghly dipropinsi Benggala. I-ts’ing
mendjelaskan bahwa Tan-mo-lo-ti terletak empatpuluh jodjana dari
tapal batas India sebelah timur. Disana ada lima asrama; penduduknja
kaja. Termasuk India Timur, kira-kira sedjauh enampuluh jodjana dari
52
Mahabodhi dan Nalanda. Itu adalah pelabuhan tempat orang menum
pang perahu, djika akan kembali ke Tiongkok.
Kita sekarang akan menindjau letaknja beberapa tempat jang disebut
oleh pendeta I-ts’ing dalam Record dan Memoire, terutama jang di
singgahi selama perdjalanannja dari Fo-shih ke Tan-mo-lo-ti dan ke-
balikahnja, kemudian baru tempat-tempat lainnja. Kita mulai dengan
nama tempat jang boleh dikatakan telah pasti letaknja jakni:
1 . 'Lo-jeng-kuo
Lo-jeng-kuo artinja pulau orang telandjang. Dengan pandjang lebar
I-ts’ing menguraikan keadaan penduduknja seperti telah disadjikan
terdjemahannja dimuka. Nama pulau ini telah dikenal dalam piagam
Tanjore jang dikeluarkan oleh Rajendracoladewa pada tahun 1030
dalam bahasa Tamil. Pada piagam Tanjore Rajendracoladewa me-
njebut nama-nama keradjaan jang ditundukkannja, diantaranja ialah
Manakkawatam, artinja pulau besar jang didiami oleh orang-orang
telandjang. Pulau ini djuga dikenal oleh Marco Polo dengan nama
Necuveram. Dari nama ini maka terbetuklah namanja sekarang jakni
kepulauan Nikobav. I-ts'ing menjatakan, bahwa penduduk pulau Lo-
jeng-kuo menggunakan kata loha untuk pengertian besi. Kata tersebut
tidak dikenal dalam bahasa Melaju-Polinesia. Oleh karena pulau ter
sebut tidak menghasilkan besi, boleh dipastikan bahwa kata loha dalam
bahasa Nikobar adalah kata pindjaman. Mungkin sekali kata itu di-
pindjam dari bahasa jang digunakan oleh para penduduk pantai kon
tinen Asia. B a h a s a - b a h a s a Ahom, Khamti, Nora di Assam dan dalam
bahasa-bahasa dari rumpun bahasa Shan, jang merupakan tjabang
bahasa jang berasal dari Tiongkok Selatan, »enggunakan kata hk
untuk pengertian besi. Mungkin sekali kata /o/za dalam bahasa Ni
kobar ini bentuk turunan dari kata K* jan9 kemudian ditranskripsikan
kedalam bahasa Tionghwa mendjadi loha Kita tidak tahu bagaimana
penduduk Nikobar mengutjapkannja. Dalam kata pengantar Record
hal. 12, I-ts’ing menjatakan bahwa penduduk^negara-negara Sriksetra
(Prome), Langkasu ( L a n g k a s u k a ) dan To-ho-lo-po-ti (Dwarawati)' >’ y , , . Selatan semuanja mirip dengan bangsa
er a negara-negar nu1au K’un-lun (pulau Kondor). Penduduk
longhwa ketjuali pen J> “ berambut keriting. Tetapi pendudukpulau Kondor berkulit h tam dan ^ ^
negara-negara la.ni.jaJ . d sampai paha. Dalam
ain kan-man (sarong), e kuQ ini I-ts’ing menambahkan, bahwa
k e t e r a n g a n n j a m e n g e n a L J 9 L o - j e n g - k u o ada dibawah p e n g -
menurut j ^ c h ^ n t e r l e t a k di T i o n g J s lawasan Shu-ch uan barat daja.
53
latan. Pu lau itu sama sekali tidak menghasilkan besi; mas dan perak
djarang sekali. T idaklah aneh bila kata loha itupun berasal dari bahasa
Shu-ch’uan jang serumpun dengan bahasa-bahasa Miau-tse di T iong
kok Selatan. Bahasa-bahasa Shan, Ahom, Khamti, T ha i dan N ora
memang serumpun dengan bahasa Miau-tse dan menggunakan kata lik
untuk pengertian besi.
2. Ka-cha
Sebelum I-ts'ing sampai di Lo-jeng-kuo, ia singgah di Ka-cha dalam
perdjalanannja ke Tan-mo-lo-ti. Dalam perdjalanan kembali dari Tan-
mo-lo-ti ia berlajar kearah tenggara menudju Ka-cha, kemudian kearah
selatan menudju Mo-lo-yeu. Takakusu menjamakan Ka-cha dengan
Kotaradja jang terletak diudjung Sumatera U tara (A tjeh ). I-ts’ing
menguraikan bahwa pulau Lo-jeng-kuo itu terletak disebelah utara
Ka-cha dan dapat ditjapai dari Ka-cha sesudah berlajar sepuluh jhari
lebih. D ari Kotaradja pulau N ikobar terletak disebelah barat laut, tidak
disebelah utara. Dalam perdjalanan kembali dari Tan-mo-lo-ti ia tidak
singgah di Lo-jeng-kuo, tetapi langsung ke Ka-cha. Dengan sendirinja
maka Lo-jeng-kuo tidak merupakan pelabuhan jang penting dalam
perdjalanan dari Fo-shih ke Tan-mo-lo-ti atau kebalikannja. Jang me
rupakan pelabuhan penting ialah Ka-cha. Pelabuhan penting dalam
perdjalanan antara Fo-shih dan Tan-mo-lo-ti atau dari T iongkok ke
India, dan jang namanja hampir sebunji dengan Ka-cha ialah Kedah.
Pada waktu itu namanja bukan Kedah, tetapi Kataha. M ungk in sekali
kata Ka-cha itu transkripsi T ionghwa dari kata Sansekerta Kataha.
t I-ts’ing sebagai sardjana Buda jang mengenal bahasa Sansekerta, akan
berusaha untuk membuat transkripsi nama tersebut sedekat dan setepat
, mungkin. N am a tersebut djuga dikenal dalam piagam Tanjore dalam
. bahasa Tamil, dan ditulis K adara(m ). Baik Kadaram maupun Kataha
terang Kedah zaman sekarang. Berita mengenai Kedah sebagai tempat
penting datang dari pelbagai sudut. Ma-tuan-lin memberitakan bahwa
pada tahun 638 keradjaan Kia-tcha mengirim utusan ke T iongkok.
, M enurut G . Ferrand meskipun tujisannja agak berbeda dengan Chieh-
, ■ c^ a (edjaan Pelliot), kedua nama tersebut menundjukkan tempat jang
sama jakni Kedah di Semenandjung Melaju.
Seorang ahli peta Tionghwa jang mashur dan hidup antara tahun 730
dan 805 ialah Chia-tan. Karangannja disusun antara tahun 785 dan
805 atas perintah dinasti T ’ang. Memang ia diberi tugas untuk me®'
buat perdjalanan dari Tiongkok kenegeri-negeri dilaut Selatan dan ke
India melalui laut dan melalui daratan. Tetapi karja aslinja telah hilang-
Jang masih tinggal hanja kutipan-kutipannja, termuat dalam Hsin
54
T ang Shu dan T ’ai~ping_huan-yu-chi. Pelliot m engadakan penjelidik-
an mengenai dua matjam perdjalanan ini. Perd ja lanan melalui laut
d iura ikann ja demikian: Perd ja lanan itu melalui pu lau H a in an m enudju
pantai Indo-Tjina, terus menjusur pantai sampai d item pat jang ber
nam a Kun-t'u-nung. D ari situ berlajar lima hari lagi, m aka sam pailah
pada selat jang nam anja Chih; lebarnja dari utara keselatan 100 li.
D ipan ta i sebelah utara terdapat keradjaan Lo-yueh, d ipan ta i selatan
keradjaan Fo-shih. Sebelah timur keradjaan Fo-shih kira-kira sedjauh
pelajaran lima hari, orang mentjapai keradjaan Ho-hng; m i meliputi
pulau jang terbesar diselatan. Kemudian tiga hari berlajar dari selat
itu orang mentjapai keradjaan Ko-ko-seng-chin, terletak disebuah
pulau disudut barat laut Fo-shih. Penduduknja ban jak jang d jad i pe
rompak; penumpang perahu jang mendjadi m angsanja. D ip an ta i utara
terletak keradjaan Ko-lo. Sebelah barat Ko-lo ialah Ko-ku-lo.
P ada tahun 1904 Pelliot mempersoalkan keradjaap. Ko-lo jang d i
beritakan oleh Chia-tan itu. Kesimpulannja ialah bahw a Ko-lo sama
dengan Ka-cha (Chieh-ch’a) jang diberitakan oleh I-ts ing. Ko-lo ter
letak d ipanta i barat Semenandjung M ela ju , sama dengan Kedah. Ini-
pun tjotjok dengan nam a Ka-lah jang disebut dalam berita A rab .
Berita-berita A rab itu dapat disingkat demikian:
Sulaym an 851. Sulayman berkata, bahw a dari M uscat pe lajaran
menudju Kulam M a la ja untuk mengisi air sebelum pelajaran dilandjut-
kan kelaut H arkand , terus ke Langabalus dan dari sini kelaut Kalah-
bar. D iterangkann ja bahw a bar berarti baik keradjaan m aupun pantai.
Kalah-bar ada dibawah pemerintahan D jaw aga . D i Kalah-bar perahu
diisi dengan air sumber.
D ja rak antara Kulam dan Kalah-bar kira-kira sedjauh sebulan pe
lajaran. Kem udian perahu berlajar menudju T iyum a, kira-kira selama
sepuluh hari untuk mengisi air, djika d ipandang perlu. D a ri sini me
nudju tempat jang bernama Kundrang. Pe la jaran itu m akan w aktu
sepuluh hari. Kemudian menudju T jam pa, jang m enghasilkan kamfer.
Pe la jaran itu m akan w aktu sebulan. Sepuluh hari lagi berlajar, sampai
di Kundur-fulat. Sepuluh hari kemudian perahu masuk laut C ankhay .
melalui gerbang T jina, jang berpagar gunung kanan-kiri. D jik a selamat,
perahu terus berlajar ke T iongkok. Pada achir bu lan sampai disana.
D ari w aktu satu bulan itu tudjuh hari perahu menerobos selat jang
terbentuk dari gunung-gunung.
Jang dimaksud dengan Kulam M a la ja ialah Q u illó n jang terletak
d ipantai barat Travancore, d ibawah pegunungan ]S/Ialai (N la lay a ).
Langabalus ialah kepulauan N ikobar, D jaw aga ia lah D jaw a (Suma-
tera); K undrang ialah Kundurangga; Kundur-fulat ia lah pulau Kondor.
55
I
Abu Dulaf Misar f 940. Abu Dulaf Misar menguraikan perdjalan-
annja dari Tiongkok ke Kalah. Ia menjebut Kalah sebagai pangkal
bertolak ke India dan udjung perdjalanan dari Tiongkok. Perdjalanan
dari Tiongkok, bila telah sampai di Kalah, tidak dapat dilandjutkan
tanpa mengalami kekandasan. Ini dapat diartikan bahwa perahu jang
berlajar dari Tiongkok, sampai di Kalah pada achir musim angin timur
laut, dan pada awal musim angin barat daja. Perdjalanan menudju
Srilangka dan India terhenti karenanja. Kalah dikelilingi tembok tebal
dan mempunjai banjak taman. Airnja berlimpah-limpah. Ditempat itu
terdapat tambang timah, jang disebut kala’a. Logam ini digunakan
untuk membuat pedang jang disebut kala’i (pedang dari kala’a). Di-
sekitar Kalah ada banjak kota, dan kelompok rumah-rumah. Radjanja
ada dibawah pengawasan Tiongkok, dan berdoa untuk keselamatan
kaisar Tiongkok. Sanggar pemudjaan radja dimaksud untuk kaisar
dan kiblatnjapun kearah Tiongkok pula. Abu Dulaf Misar menjebutnja
kota India jang terletak ditengah-tengah antara Oman dan Tiongkok.
Berita jang sangat penting mengenai letaknja ialah bahwa pada tengah
hari orang tidak berbajang sama sekali. Ini dapat ditafsirkan bahwa Kalah terletak dekat garis katulistiwa.
Berita-berita lainnja jang berasal dari para pedagang Arab, me
njebut tempat itu Kaah atau Kala. Isinja hampir sama sadja. Boleh
dikatakan, bahwa hamp.r semuanja menjalakan Kalah terletak antara Arab dan Iiongkok, menghasilkan kamfer timnV, j i .
bawah pemerintahan Djawa. ' dan bambu' ada d>'
Ibn Khordazbeh 844. Kilah terletak sediauh
dari Langabalus. Negara tersebut ada dibawah Pelajaran
dan memiliki tambang timah kala’i jang sangat terkenal^ 1 311311
Ibn Al-Fakih 902. Kala-bar merupakan H
Djawaga. Hanja seorang radja sadja jang memerintah ' k "
Abu Zayd ± 916. Salah satu djadiahan n;„
letak antara negara Tiongkok dan Arab. K Kalah’ ter"
datang kesitu dan dari, situ kembali kenegara Arab ^ ° man
Mas’udi 943. Disekitar Kalah dan Sribusa terdanai- f u
bang mas dan perak; negara Kalah terletak ditenn Vi a“ ban9 'ta1" '
Tiongkok. Sekarang tempat itu mendjadi temDat n P jalanan ke
perahu dari Oman dan Siraf disatu pihak dan er^ muan perahu- Tiongkok dipihak lain. Perahu-perahu dari
Kalah masih dikenal oleh para pedaqana Arak „ , ,
sebelas sampai abad keenambelas. Tetapi tidak s e m u a V ’ ^
ting bagi tudjuan kita. Jang penting diantaranja ialah- ***** ^
56'
Dimaski 1325. Laut Kalah disebut demikian menurut nama negara
Kalah jang ibukotanja djuga disebut Kalah. Kalah adalah kota jang
paling besar diantara kota-kota jang terdapat disitu. Negara Kalah
pandjangnja 800 mil, lebarnja 350 mil, dan sangat berbahaja untuk
mendarat disitu. Dinegara tersebut terdapat kota Fansur, Djawa, Ma-
lajur, Lawri dan Kala; disitu ada gadjah jang ditangkap dari tanah
daratan dan sengadja dilatih untuk keperluan radjanja.
Pemberitaan Dimaski sama dengan pemberitaan Nuwayri dari ta
hun 1332 jang djuga menjatakan dikeradjaan Kalah terdapat kota-kota
Fansur, Malajur, Lawri dan Kalah.
Abulfida 1273-1331. Kala adalah pelabuhan umum dari negara-
negara antara Oman dan Tiongkok. Negara tersebut mengekspor
timah; disitu ada kota jang sangat makmur, didiami oleh orang-orang
Muslim, Hindu dan Persi. Dikatakan bahwa ditempat tersebut terdapat
tambang timah, kebun bambu dan pohon kamfer. Negara itu terpisah
sedjauh duapuluh hari pelajaran dari negara Maharadja.
Sedikit banjak berita-berita Arab itu pasti mengandung kebenaran.
Jang njata ialah bahwa Kedah sebelum dan sesudah abad sepuluh me
rupakan pelabuhan penting ditengah-tengah djalan pelajaran antara
Arab, India, dan Tiongkok. Sudah barang tentu djuga merupakan
tempat penting pada zaman Sriwidjaja, ketika I-ts’ing melakukan ziarah
ke India. Roland Braddell menjebut muara sungai Merbok dikeradjaan
Kedah sekarang sebagai pelabuhan Kedah jang disebut dengan pel
bagai nama dalam pelbagai berita: I-ts ing. Ka-cha (Chieh-cha); ]Vla-
tuan-lin: Kia-tcha; Chia-tan: Ko-lo; Chu-fan-chi: Ki-t’o; Wu-pei-chih:
Chi-ta; Arab: Kalah, Kala; Sansekerta: Kataha; Tamil: Kadara(m).
3. Mo~lo~yeu
Dalam perdjalanan pulang dari. Tan-mo-lo-ti, I-ts’ing mentjeritakan
bahwa ia naik kapal radja dari Ka-cha kearah selatan selama sebulan,
menudju negara Mo-lo-yeu. Disini biasanja orang singgah sampai
Pertengahan musim panas untuk menunggu tibanja musim angin barat
daja; kemudian baru berlajar keutara menudju Kwang-fu (Kwang-
tung). Jang dimaksud oleh I-ts’ing dengan negara Mo-lo-yeu disini
ialah pelabuhan dinegara Mo-lo-yeu jang pada waktu itu sudah berada
dibawah kekuasaan Shih-li-fo-shih; sama dengan pelabuhan tempatnja
singgah dalam perdjalanannja dari Fo-shih menudju India. I-ts’ing
djuga m e n t j e r i t e r a k a n bahwa pendeta Wu-hing berlajar dengan perahu
radja dari Fo-shih kenegeri Mo-lo-yeu selama limabelas hari. Jang
terang ialah bahwa dari pelabuhan Mo-lo-yeu orang biasanja terus
berlajar keutara menudju Tiongkok tanpa smggah d, Fo-shih.
57
Dalam uraiannja I-ts’ing djelas sekali menundjukkan adan ja pela
buhan Mo-lo-yeu tempat masuk perahu radja Fo-shih untuk berangkat
ke Tan-mo-lo-ti dan adanja keradjaan Mo-lo-yeu jang telah mendjadi
bagian keradjaan Fo-shih, sekembali I-ts’ing dari N a landa pada tahun
685. T idak perlu diragukan bahwa Mo-lo-yeu adalah transkripsi
T ionghwa dari nama M ala ju atau M elaju. Sebelum menetapkan letak
dua tempat tersebut, ada baiknja mengumpulkan berita-berita mengena,
keradjaan M elaju lebih dahulu, jang kiranja berguna untuk memetjah-
kan persoalannja.( 1 ) Berita jang tertua mengenai keradjaan M elaju berasal dari
T ’ang-hui-yao jang disusun oleh W a n g P ’u pada tahun 961 pada masa
pemerintahan dinasti T ’ang dan dari H s ’in T ’ang Shu, jang disusun
pada awal abad 7 pada masa pemerintahan dinasti Sung atas dasar
sedjarah lama jang terdiri dari T ’ang-hui-yao seperti tersebut diatas
dan Tse-fu-yuan-kuei, susunan W ang-ch ’in-jo dan Y ang I antara
tahun 1005. dan 1013. Menurut berita itu keradjaan M elaju mengirim
utusan ke T iongkok pada tahun 644/645. Pengiriman utusan ke T i
ongkok oleh keradjaan Melaju pada abad 7 hanja tertjatat satu kali
sadja. Selama itu jang nampak diistana kaisar utusan dari keradjaan
Sriw idjaja jang disebut Shih-li-fo-shih atau Fo-shih sadja. Sebab-mu
sabab kedjadian itu baru dapat dipahami, setelah I-ts’ing menulis buku-
nja Memoire dan Record jang menjatakan bahwa keradjaan M elaju
telah mendjadi bagian keradjaan Sriwidjaja. T iap kali ia menjebut
nama M elaju, selalu dibubuhi keterangan, jang sekarang telah masuk
(mendjadi bagian) keradjaan Sriwidjaja.
(2) Dalam perdjalanannja ke India, I-ts’ing singgah di F o - s h i h .
Ia menjebut negeri Melaju demikian: „Sang radja memberi bantuan
kepada saja, dan m e n g i r i m saja kenegeri Melaju, jang sekarang men
djadi bagian keradjaan Sriwidjaja. Saja tinggal disitu dua bulan, ke
mudian berangkat dari situ menudju Ka-cha.”
(3) W ak tu I-ts’ing menguraikan negara-negara dilaut Selatan, jang
penduduknja umumnja memeluk agama Buda, terutama aliran H ina
yana, ia menjebut djuga keradjaan Melaju, sebagai keketjualian. Ter
hitung dari barat: negeri Pu-lu-shih, lalu negeri Mo-lo-yeu, jang
sekarang termasuk keradjaan Shih-li-fo-shih, negeri Mo-ho-sin, neger*
Ho-ling, negeri Tan-tan, negeri Pem-pen, negeri P ’o-li, negeri K ’u-lun ’
negeri Fo-shih-pu-lo, negeri O-shan, dan negeri Mo-chia-man. M asih
ada lagi beberapa negeri ketjil-ketjil jang tidak disebut disini.
Dalam uraiannja mengenai negeri-negeri dilaut Selatan I-ts’in9 men9gunakan kata chou jang dapat berarti pulau atau negara (tanah
daratan). Satu kali ia menggunakan kata Chin-chou untuk menundjuk-
kan pulau Sumatera jakni waktu ia mentjeriterakan perdjalanannja
58
dengan Tao-hong dari Kwang-tung ke Chin-choti dan sam pai di Fo-shih.
Chin-chou adalah terdjemahan nam a Suw arnadw ipa : P u lau Em as.
N ja ta sekali bahw a pada zaman I-ts'ing nam a S uw arnadw ipa itu sudah
dikenal. Jang disebut Suw arnadw ipa adalah terutam a negeri M e la ju
seperti akan kita kenal nanti pada piagam A d ity aw arm an dan Kerta-
nagara.
(4) W a k tu I-ts’ing m enguraikan pendeta W u- h ing jang dalam
perd ja lanann ja ke Ind ia d juga singgah di S riw id ja ja , iapun menjebut
nam a keradjaan M ela ju nam un tanpa d ibubuhi keterangan apa-apa:
„Sesudah berlajar satu bu lan lamanja, W u- h ing sampai di Shih-li-fo-
shih. Sang rad ja menerimanja dengan baik dan m enghorm atin ja seba
gai tam u jang datang dari negara putera dewata, T ’ang A gung . Ia
m enum pang perahu rad ja menudju negeri Mo-lo-yeu. Setelah berla jar
limabelas hari lam anja, ia sampai disana. Limabelas hari lagi ia sam
pai Ka-cha. P ada achir musim d ing in ia berganti kapa l dan berla jar
kearah barat. Sesudah tigapuluh hari ia sampai d i N agapa tana . D a r i
sini ia berla jar lagi menudju pulau Simhala. Ia sampai disana duapu luh
hari kem udian.
(5) C h ’ang-min berlajar dengan kapal jang pand jangn ja 200 kaki
dan dapat mem bawa penumpang antara 600 sampai 700 orang. Ia me
nud ju negeri Ho-ling. D ari sini ia m enum pang perahu kenegeri Mo-
lo-yeu dengan maksud meneruskan perd ja lanann ja ke Ind ia . Tetap i
kapal itu terlalu berat m uatannja; kapal karam tidak djauh dari p ang
kalan. C h ’ang-min tenggelam.
Jang penting untuk tudjuan kita dalam pasal ini ia lah m enetapkan
d im ana k iran ja letak pelabuhan M elaju , tempat singgah I-ts’ing, "Wu-
hing dan pendeta T ionghw a lainnja dalam perd ja lanann ja dari T io n g
kok m enudju Ind ia atau kebalikannja. Berita A rab jang berasal dari
D im ask i ± tahun 1325 terang tidak benar. D im ask i berkata bahw a
dinegara K a lah jang pand jangnja 800 m il dan lebarnja 350 m il terdapat
kota Fansur, D jaw a , M ala jur, Law ri dan Kalah. Kedah terletak di-
panta i seberang utara, da.n M elaju terletak d ipantai seberang selatan
Selat M a laka , jang oleh orang Arab, d iantaran ja oleh Y a 'kub i, disebut
Sa laha t atau Salahit. Para ahli sedjarah m enjatukan pelabuhan dan
pusat keradjaan M ela ju disatu tempat jakn i di D jam bi. I-ts’ing dengan
djelas m enund jukkan bahw a arah pelajaran dari Kedah kenegeri M e
laju ialah keselatan dalam w aktu sebulan. U ra ian itu d itam bah dengan
keterangan, bahw a negeri M ela ju itu sekarang m endjad i bag ian S r i
w id ja ja . In i tidak berarti bahw a pelabuhan M ela ju itu lalu m endjad i
pe labuhan S riw id ja ja . Bagaim anapun kedua pelabuhan itu masih ter
pisah, karena baik I-ts’ing maupun W u-h ing menum pang perahu rad ja
dari Fo-shih ke Mo-lo-yeu. H ingga sekarang pendapat D r. Rouffaer
59
bahwa pusat keradjaan Melaju ialah D jambi, diterima seluruhnja oleh
para ahli sedjarah, namun tidak ada buruknja meneliti kembali pen
dapat jang sudah teradat itu.Penetapan geografi sedjarah kuno memang perlu ditindjau lagi, ba-
njak hal-hal jang tidak memuaskan. Banjak nama-nama tempat jang
disebut oleh I-ts’ing dan berita-berita T ionghwa lainnja belum terpe-
tjahkan. Beberapa jang sudah ditetapkan geografinja, perlu diteliti
lagi. Jang memang sudah benar, karenanja mendjadi lebih tegak dan
teguh; jang masih gojah, memperoleh orientasi baru.
Bukanlah sjarat mutlak bahwa pusat keradjaan itu terletak ditepi
pantai. T jontoh pusat keradjaan jang terdapat dipedalaman baik za
man dahulu maupun zaman sekarang banjak sekali. Penjatuan pusat
keradjaan dan pelabuhan disatu tempatpun bukan sjarat mutlak. Pusat
keradjaan M adjapahit terletak dipedalaman; pelabuhannja T janggu
terletak ditepi sungai. Pelabuhan jang terdapat dipantai ia lah Tuban
dan D jung Galuh. Ini hanja salah satu tjontoh sadja dari sedjarah kuno.
Pada zaman Adityawarman pusat keradjaan Melaju sudah terang ter
pisah dengan pelabuhannja. Pada zaman Sriwidjaja pusat keradjaan
Melaju digantikan oleh pusat keradjaan Sriwidjaja. Pelabuhannja masih
tetap digunakan, djustru untuk menguasai lalu-lintas kapal-kapal di
Selat M alaka. Dengan penguasaan atas pelabuhan Melaju itu Sriw i
djaja berhasil mendjadi negara penting di Asia Tenggara jang me
nguasai pula lalu-lintas kapal-kapal di Selat Malaka. Penguasaan selat
M alaka mendjadi perebutan antara Sriwidjaja dan Melaju. D ari p ia
gam Tanjore jang dikeluarkan pada tahun 1030 kita tahu bahwa
benteng keradjaan Melaju tidak terletak dipantai laut, tetapi diatas
bukit. Pusat keradjaan Melaju karenanja tidak mungkin terletak di
pantai laut atau dikota Djambi, tidak mungkin disatukan dengan pe
labuhan Melaju. '
O rang berlajar tentu memilih djalan jang menguntungkan. D ja lan
jang menguntungkan biasanja djalan jang pendek. D jika jang b e r l a j a r
adalah perahu dagang, perahu itu akan mentjari djalan pendek dan
tempat-tempat jang dapat disinggahi untuk keperluan dagang. I-ts’ing
dengan tegas menjatakan, bahwa pelajaran dari India ke T iongkok
kebanjakan dilakukan melalui pelabuhan Kedah dan Melaju. D i Melaju
Para penumpang menunggu sampai pertengahan musim panas, kemu
dian terus berlajar keutara menudju Kanton. Pelajaran dari Ind ia ke
Tiongkok tidak melalui Fo-shih. Ini berarti bahwa pelabuhan Fo-shih
dalam pelajaran India ke Tiongkok dan kebalikannja tersisih. Djustru
oleh karena itu Sriwidjaja jang sedang berkembang, berusaha menun-
dukkan keradjaan Melaju dan merebut pelabuhan Melaju demi pengua
saan lalu-lintas kapal-kapal di Selat Malaka. Itulah sebabnja maka
60
pada pemberitaannja I-ts'ing selalu m enam bahkan keterangan, bahw a
negeri M e la ju itu sekarang sudah m endjad i bag ian S riw id ja ja . P ada
tahun 671 ketika I-ts’ing berkund jung untuk pertama ka lin ja di S r iw i
d ja ja , ia m asih menjaksikan sendiri, bahw a kerad jaan M e la ju itu m asih
m erdeka terhadap Sriw id ja ja . N am un 15 tahun kem udian, ketika ia
pu lang dari N a la n d a m enudju S riw id ja ja , d ilihatn ja bahw a sudah ada
perubahan ketatanegaraan dalam keradjaan S riw id ja ja . N egeri M e la ju
telah m endjad i bag ian Sriw id ja ja .
U n tu k menetapkan d im ana letaknja pe labuhan M e la ju , m asih d i
perlukan keterangan lebih landjut. Letaknja pe labuhan M e la ju dan
pe labuhan S riw id ja ja atau Mo-lo-yeu dan Shih-li-fo-shih h ingga seka
rang m asih m erupakan teka-teki. O leh karena itu persoalan le taknja
Mo-lo-yeu dan Shih-li-fo-shih dibahas bersama. D engan kata la in per
soalan geografi Mo-lo-yeu d iland ju tkan dalam bab Shih-li-fo-shih.
4. Shih-li-fo-shih
Suatu ha l lagi k iran ja penting untuk penetapan letaknja pe labuhan
M e la ju ia lah ura ian I-ts'ing tentang negeri-negeri d ilaut Selatan jang
memeluk agam a Buda. D a lam urutan dari barat ia menjebut: P ’o-lu-
shih, Mo-lo-yeu, jang sekarang m endjadi bag ian kerad jaan Shih-li-
fo-shih, Mo-ho-sin, Ho-ling, Tan-tan, Pem-pen, Po-li, K ’u-lun, Fo-
shih-pu-lo, A-shan dan Mo-chia-man. M as ih ada beberapa pu lau ketjil-
ketjil lag i jang tidak disebut disini.
U ra ia n dar i barat pada I-ts’ing ini k iran ja harus d itafs irkan me
nuru t perd ia lanan dari Ind ia ke T iongkok melalui laut, tidak dari bara t
berturut-turut ketimur menurut k ib lat semata-mata. K iran ja jang d i
m aksud dengan negeri-negeri d ilaut Selatan jang memeluk agam a
Buda, ada lah negeri-negeri jang terdapat d iperd ja lanan dari In d ia ke
T iongkok mulai dengan P ’o-lu-shih. Negeri-negeri la inn ja jang letaknja
disebelah tim ur seperti D jaw a , Bali, Lombok, Sulawesi dan sebagainja,
m asih sangat disangsikan, karena I-ts’ing tidak pernah m engund jung i
tempat-tempat tersebut. K iran ja djuga perlu mendapat perhatian, bahw a
penjebutan itu d idasarkan atas pelabuhan, jang pernah d isinggahi atau
d ike tahu in ja . In i adalah ha l jang termakan akal. N am a-nam a jang ter
sebut diatas, kebanjakan belum mendapat pemetjahan jang memuaskan.
K ita m ulai dengan P'o-lu-shih.
( 1 ) D a lam urutan negeri-negeri d ilaut Selatan jang memeluk aga
ma Buda, I-ts’ing menjebut P ’o-lu-shih sebagai negeri jang terletak
d iud jung barat. Sesudah P'o-lu-shih baru menjusul Mo-lo-yeu. D engan
kata la in negeri P ’o-lu-shih terletak disebelah barat negeri M e la ju .
D item pat la in I-ts’ing djuga memberitakan negeri P'o-lu-shih ber
61
kenaan dengan pendeta Korea jang setibanja di P ’o-lu-shih djatuh
sakit. P ’o-lu-shih terletak disebelah barat Shih-li-fo-shih. Prof. Cha-
vannes menjamakan P ’o-lu-shih ini dengan Lang-po-lou-se dari sedja-
rah T ’ang. Lang-po-lou-se terdapat disebelah barat Shih-li-fo-shih.
Baik Prof. Chavannes maupun Takakusu melokalisasikannja dengan
Perlak. Ptolomeus menjebut Argyrie Chora: pulau perak; Chryse Cho-
ra: pulau mas, dan Chryse Chersonesos: djazirah mas. Negeri-negeri
tersebut dilokalisasikannja didaratan Asia Tenggara. Sesudah itu ia
menjebut lima pulau Barusai dan tiga Sabadeibai, jang didiami oleh
orang-orang jang makan daging manusia. Barusai dari berita Ptolo
meus itu kiranja sama sadja dengan P ’o-lu-shih dari berita I-ts’ing.
Prof. Kern menjamakannja dengan Barus atau Baros jang terletak di-
pantai barat Sumatera didaerah Tapanuli pada garis 2° 98’ L.U . De
mikianlah Barus pada abad 7 menguasai Sumatera U tara sampai
pantai timurnja. W ila jahn ja disebut dengan nama ibukotanja. H a l jang
demikian biasa dalam sedjarah.
(2 ) Dalam perdjalanannja pulang dari Nalanda, I-ts’ing mengurai
kan bahwa ia berangkat dari Tan-mo-lo-ti kearah timur menudju Ka-
cha. Singgah disini sampai musim dingin. Dengan menumpang perahu
radja ia berangkat dari Ka-cha menudju Mo-lo-yeu, jang sekarang
mendjadi bagian Fo-shih. Pelajaran itu makan waktu sebulan. Umum-
nja perahu tiba dipelabuhan Mo-lo-yeu pada bulan pertama atau bulan
kedua. T inggal disitu sampai pertengahan musim panas. Lalu berangkat
keutara menudju Kwang-tung. Lebih kurang sebulan kemudian sampai
ditempat tudjuan,
(3) Oleh karena I-ts *n9 djuga mentjeriterakan bahwa pendeta
W u-hing berlajar dengan perahu radja dari Fo-shih kenegeri Mo-lo-
yeu selama limabelas hari, maka penjamaan pelabuhan Mo-lo-yeu de
ngan pelabuhan Fo-shih tidak mungkin.
(4) Satu hal lagi jang harus mendapat perhatian ialah, bahwa dari
pelabuhan M elaju ini perahu berlajar keutara menudju Tiongkok tanpa
singgah di Fo-shih. Dengan kata lain pelabuhan Melaju merupakan
tempat berlabuh perahu-perahu dari Selat M alaka jang akan menudju
Tiongkok sambil menunggu datangnja angin barat daja. Kebalikannja
perahu-perahu dari laut Tjina jang akan berlajar melalui Selat M alaka
menudju India dan negeri barat lainnja, singgah dipelabuhan Melaju
sambil menunggu tibanja musim angin timur laut. D itindjau dari segi
perdagangan dan kesibukan lalu-lintas letak pelabuhan Melaju lebih
menguntungkan daripada pelabuhan Fo-shih atau Sriwidjaja.
(5) Pelajaran I-ts’ing pada tahun 671 dari Kwang-tung ke Fo-shih
mengarungi laut Tjina, hanja makan waktu 20 hari. D jalan jang di-
62
tempuhnja berbeda dengan pelajarannja jang kedua pada tahun 689
dari Kwang-tung kembali ke Fo-shih. Pada pelajarannja jang kedua
ini I-ts'ing menjusur pantai. Dalam perdjalanan jang pertama I-ts’ing
langsung menudju Fo-shih, mengarungi lautan besar, kemudian ber
angkat ke Mo-lo-yeu terus ke India. Ini berarti bahwa pelabuhan
Mo-lo-yeu terletak disebelah barat Fo-shih, atau paling sedikit dalam
perdjalanan Fo-shih —■ India.
(6 ) Berdasarkan tindjauan geomorfologi Drs. Sukmono mengemu
kakan pendapat, bahwa satu-satunja tempat jang letaknja sangat ideal
untuk menguasai pelajaran di Selat Malaka dan laut Selatan ialah
Djambi. Ia beranggapan bahwa Djambi adalah pusat keradjaan Sri
widjaja. Djustru karena letak Djambi jang sangat ideal itulah maka
kiranja Djambi sesuai benar dengan uraian I-ts’ing mengenai kedu
dukan pelabuhan Melaju. Letak pelabuhan Sriwidjaja tidak sebagus
pelabuhan Melaju. Demikianlah pada hakekatnja hasil penjelidikan
Drs. Sukmono malah memperkuat pendapat bahwa Djambi adalah pe
labuhan Melaju, sedangkan ia bermaksud untuk menetapkan Djambi
sebagai pusat keradjaan Sriwidjaja.
(7) Artja Amoghapa^a, hadiah radja Kertanagara pada tahun 1286,
sebelas tahun sesudah keberangkatan tentara Singasari kenegeri M e
laju, ditempatkan di Dharmmagraya. Artja tersebut diangkut dari Dja-
wa ke Suwarnabhumi untuk dihadiahkan kepada grimat Tribuwana-
radja Mauliwarmmadewa. Artja itu terdapat di Padang Rotjo dekat
sungai Langsat didistrik Batang Hari. Nama Langsat djuga tersebut
pada piagam Adityawarman, dimana djuga terdapat nama Malayapuca.
Demikianlah pusat keradjaan Melaju letaknja harus disebelah selatan
kota Djambi, terpisah dari pelabuhannja. Pelabuhan Melaju terletak
pada muara sungai Batang Hari, dikota Djambi sekarang. Mengenai
lokalisasi pusat keradjaan Melaju ini akan diberi pembahasan jang
lebih mendalam.
(8) Oleh karena letak pelabuhan Melaju sudah dapat dipastikan
dimuara sungai Batang Hari, dikota Djambi sekarang, maka identifi
kasi Fo-shih dengan muara sungai Musi di Palembang termakan akal,
tidak perlu lagi diragukan. Perdjalanan dari Fo-shih kepelabuhan Melaju
menurut I-ts’ing makan waktu limabelas hari. Djika kita memperhati
kan perdjalanan Dapunta Hyang dari Sriwidjaja ke Minanga Tamwa
jakni Muara Tebo, jang letaknja disebelah selatan kota Djambi, maka
perdjalanan itu makan waktu kurang dari 26 hari. Hal ini diberitakan
pada piagam Kedukan Bukit. Berapa hari lamanja Dapunta Hyang
singgah di Minanga Tamwa, tidak dinjatakan. Demikianlah berita
I-ts’ing mengenai djarak antara Fo-shih dan pelabuhan Melaju, sesuai
63
dengan berita pada piagam K edukan Bukit tentang pe lajaran D apun ta
H y an g dari S riw id ja ja ke M in an ga T am w a alias M ua ra Tebo.
(9) O le h karena perd ja lanan W u- h ing dan I-ts’ing dari Fo-shih
ke In d ia melalui pe labuhan M e la ju , maka letak Fo-shih harus disebelah
tenggara pe labuhan M ela ju , tidak m ungkin ada disebelah baratnja.
Satu-satunja pe labuhan disebelah tenggara D jam b i adalah muara
sungai M usi. D em ik ian lah Fo-shih harus terletak dimuara sungai M usi.
N am a Palem bang pada zaman I-ts’ing belum dikenal.
( 1 0 ) S riw id ja ja terletak ditepi sungai. M enurut berita Record,
S riw id ja ja terletak ditepi sungai. N am a sungainja sama dengan nama
keradjaannja. D a lam bahasa T ionghw a baik nama keradjaannja m au
pun nam a sungainja ialah Fo-shih singkatan dari Shih-li-fo-shih. Be-
ritanja demikan: Pada tanggal 20 bulan 7 tahun pertama pemerintahan
Yung-ch’ang (689) ia sampai di Kwang-tung kembali. Pelajaran kem
bali itu tidak direntjanakan lebih dahulu. Semula ia datang disungai
Fo-shih titip surat rahasia ke Kwang-tung untuk m inta kirim an kue-
kue, kertas dan tinta, guna menurun naskah-naskah Sansekerta dan
sebagai upah kerdja-tulis. N am un pada waktu itu tiba angin baik. O leh
karena itu lajar-lajar segera dipasang. I-ts’ing ikut terbawa. Ia tidak
bermaksud akan pulang.
( 1 1 ) Letaknja Sriw idjaja. Letaknja Sriw idjaja diberitakan oleh
I-ts’ing dengan pandjangnja bajang-bajang orang jang berdiri dibawah
matahari. Katanja: D inegeri Shih-li-fo-shih kita lihat bahwa bajang-ba
jang diwelacakra tidak mendjadi pandjang atau mendjadi pendek pada
pertengahan bulan delapan. Pada tengah hari tak nampak bajang-
bajang orang jang berdiri dibawah matahari. Lain halnja kalau musim
Semi. M atahari tepat diatas kepala dua kali satu tahun. Kalau mata
hari disebelah selatan, bajang-bajang membudjur keutara, pandjangnja
lebih kurang dua atau tiga kaki. Kalau matahari disebelah utara,
bajang-bajangnja sama, tetapi djatuh keselatan.
D ari berita itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Shih-li-fo-shih ter
letak disekitar garis Katulistiwa.
D ari segala berita jang telah dikumpulkan diatas maka dapat di
ambil kesimpulan bahwa Sriwidjaja terletak ditepi sungai, disebelah
tenggara (timur) pelabuhan Melaju (D jam bi), disekitar garis Katulis
tiwa. Satu-satunja tempat jang memenuhi sjarat-sjarat tersebut ialah
muara sungai M usi didaerah Palembang. Tempat itu terletak pada
garis 3° 104’ L.S. Pada zaman I-ts’ing nama Palembang belum ’ dikenal
sebagai nama tempat dimuara sungai Musi. D juga nama Musi belum
dikenal sebagai nama sungai. Baik, nama sungainja maupun nama kota
dan keradjaannja disebut Fo-shih atau Sriwidjaja.
64
5. Mo-hosin
Sesudah negeri Mo-lo-yeu, I-ts’ing menjebut Mo-ho-sin. Hingga
sekarang lokalisasi Mo-ho-sin masih bersimpang siur. Terang sekali
bahwa negeri-negeri jang disebut oleh I-ts’ing sebagai negara Buda
ialah negara-negara jang terletak didjalan pelajaran India — Tiongkok.
Jang agak menjolok ialah bahwa diantara negara-negara dilaut Selatan
itu tidak ada satupun jang menurut tafsiran para sardjana terletak
didaerah Semenandjung Melaju, padahal Semenandjung Melaju djelas
terletak dilaut Selatan, berhadapan dengan negeri Melaju dipantai
timur Sumatera, dan djelas terletak didjalan pelajaran India — Tiong
kok. Suatu kemustahilan, bahwa pengaruh agama Buda tidak terdapat
di Semenandjung. Dari hasil penjelidikan prasedjarah Malaya jang
disusun oleh Tweedie, njata sekali akan adanja agama Buda di Seme
nandjung Melaju. Bahkan artja Buda dari abad kelima terdapat djuga
di Kedah. I-ts’ing pasti mengetahui tentang adanja agama Buda di-
djazirah Melaju. Lagipula Semenandjung Melaju termasuk daerah jang
besar. I-ts'ing menambahkan pada uraiannja sebuah keterangan, jang
kelihatannja tidak penting, tetapi berguna untuk tudjuan kita, jakni:
masih ada beberapa pulau ketjil-ketjil lagi jang tidak disebut disini.
Diantara pulau-pulau itu pasti Semenandjung tidak termasuk, karena Se
menandjung adalah negara jang terhitung besar. Oleh karena itu saja
berpendapat, bahwa Semenandjung itu djuga disebut dalam rangkaian
negara Buda oleh I-ts’ing. Hanja sadja namanja tidak Semenandjung.
Tjatatan ini boleh dianggap penting, karena hal ini mengubah tafsiran
para sardjana mengenai nama salah satu negara jang disebut oleh
I-ts’ing. Nama jang saja maksudkan ialah Mo-ho-sin.
Berdasarkan keserupaan bunji Takakusu menduga, bahwa Mo-ho-
sin sama dengan Mahasin atau Masin. Nama itu lalu disamakan de
ngan Bandjarmasin dimuara sungai Barito di Kalimantan Selatan.
Tetapi didalam lampiran peta ia menjebut dengan sangat hati-hati
pulau Biliton sebagai Mahasin, dan Bandjarmasin diikuti tanda tanja.
Dr. Rouffaer menjamakan Mo-ho-sin dengan Hasin jang terdapat pada
piagam Airlangga dan harus ditjari diluar Djawa, mungkin sekali
Tumasik. Pendapat Rouffaer ini timbulnja karena ia menterdjemahkan
nama-nama jang didjumpainja pada piagam Airlangga seperti Wura-
wari diterdjemahkan dengan „klaar water’’, air djernih, sama dengan
Ganggaju dalam Sedjarah Melaju. Ganggaju ini terdapat di Seme
nandjung; Lawaran diterdjemahkan dengan „lief water”, air tjantik,
disamakan dengan Langka atau Langkasuka, jang dikatakannja Djo-
hor Lama; Galuh diterdjemahkannja dengan „manikam”; manikam
adalah Djohor, karena Djohor berasal dari jauhar: manikam. Dengan
65
sendirinja pendapat Rouffaer ini mendapat sambutan sardjana Inggris,
W instedt, dalam bukunja History of Johore. "Winstedt lebih pertjaja
kepada Krom daripada kepada Rouffaer. Krom bersikap sangat hati-
hati terhadap teori Rouffaer jang sangat berani. Ia mentjari Hasin
dan Galuh di D jaw a Timur. Bagaimanapun Mo-ho-sin I-ts’ing ber
beda dengan Hasin pada piagam Airlangga. jang dipersoalkan diatas.
Mengenai Mo-ho-sin ini Krom tidak mengeluarkan sesuatu pendapat,
ketjuali mengemukakan pendapat Rouffaer. Ia membenarkan usaha
untuk mentjari Mo-ho-sin di Semenandjung Melaju, karena Semenan-
djung tidak disebut oleh I-ts’ing.
Prof. Dr. Purbatjaraka membitjarakan Mo-ho-sin dalam bukunja
Riwajat Indonesia I. Pendapatnja setjara lengkap seperti berikut:
1. Menurut pendapat kami sendiri, tentang dugaan, bahwa Mo-
ho-sin terletak di Semenandjung itu kurang benar. Sebab diatas
sudah dikatakan, bahwa kekuatan Sriwidjaja telah menduduki
tanah Si Menandjung (M alaka). D jadi bila di Si Menandjung
masih ada keradjaan, bagaimanapun djuga, keradjaan itu sudah
tidak berarti, sebab sudah ada dibawah kekuasaan Sriwidjaja.
O leh sebab itu I-ts’ing tidak menjebut salah satu keradjaan di
Malaka.
2 . Dengan dugaan jang terbelakang ini maka letaknja Mo-ho-sin
itu dapat diduga ialah di Pulau D jawa, karena menilik tempat jang
disebut oleh I-ts'ing diantara Sriwidjaja dengan Ho-ling (D jaw a),
djadi disebelah barat Ho-ling, barangkali di Pasundan. Adapun
alasan bagi dugaan ini agak pandjang dan kami terangkan seperti
dibawah ini.
3. D idalam tulisan jang dimuat di Bijdragen voor de Taal, Land-
en Volkenkunde, tahun 1921, muka 72 seterusnja, D r. Rouffaer
menjamakan Mo-ho-sin dengan Hasin dan lain-lainnja ialah Si-
ngapura. Disini kami katakan dengan hormat kepada Dr. Rouf-
f faer, bahwa tjeritanja itu sebagian besar hanja petai-hampa sadja.
4. D idalam T .B .G . djilid 19 tahun 1870 muka 393 Dr. V an der
Tuuk menulis seperti berikut: ,.Didalam piagam dari Banten selalu
saja dapati perkataan W on g entjik buat menamakan orang M e
laju. Perkataan ini sangat menarik perhatian kami, sebab mem
buktikan, bahwa perkataan wong Melaju dimasa itu ialah nama
nistaan, nama penghinaan. Bangsa lain jang datang berperahu,
didalam piagam itu djuga, dinamakan wong asin. Mula-mula ka
mi kira, bahwa kata Melaju asing; akan tetapi seringkali kami
66
-Vr
djumpai kata itu selalu ditulis dengan n sadja. Oleh karena itu
kami berpendapat, bahwa kata itu asal dari asin. Didalam piagam
jang lebih muda ....... kami berdjumpa dengan perkataan wong
Djaketra, dan didalam piagam-piagam lainnja selalu wong Djaja-
kerta ....... ”
5. Sekian tulisan Dr. Van der Tuuk jang kami ambil. Biarpun
tidak dikatakan dengan banjak perkataan, akan tetapi menilik
tulisan Van der Tuuk jang sekonjong-konjong mengganti per
kataan wong asin didalam piagam jang tua, dengan wong D ja ja-
kerta didalam piagam jang lebih muda, maka boleh diduga bahwa
wong asin disini maksudnja semata-mata sama dengan wong we
tan jakni orang timor. Oleh karena itu tanah, daerah atau tempat
jang bernama asin seharusnja ditjari di Tanah Djawa jang letak-
nja ketimur daripada Banten.
Didalam tembaga tulis jang berangka tahun 872 £aka terdapat
didaerah Klaten Surakarta, ada tersebut ramani hasin. Kata Hasin
disini terang nama suatu tempat.
\ Ada lagi nama Hasin, jakni jang tersebut didalam batu-tulis,
O .J.O . no. IX (muka 128- 129). Djikalau dihilangkan jang tidak
perlu, maka bunji perkataan batu-tulis tersebut ialah seperti ber
ikut: Angka tahun 956 Caka, bulan, hari dst. (dan seterusnja)
i rika diwaganyajna gri maharaja ....... (Airlangga) ....... tinadah
rakryan mahamantri ....... (nama segenap menteri besar) kumo-
naken ikanang karaman ring baru makabehan padamlakna sang
hyang ajna haji tamra pragasti tinanda garudamuka kmitanaya
sambandha ri panghinep paduka gri maharaja i rikanang thani
ring baru maprayojana i rikang ratri ri sdanganyanjayagatwa gri
maharaja ring samara kumawagakna musuhira ikana i hasin ate-
her tumunggalakna ikanang prtiwlmandala an sTma parnnahani-
kanang thani ring baru dening rama ring baru makabehan.
Artinja: „Angka tahun 956 Q!aka, bulan, hari dan seterusnja itulah
harinja perintah gri maharadja (Airlangga) diterima (oleh) jang
terhormat (para) menteri besar ....... (nama segenap menteri
besar) menjuruh supaja sekalian penduduk didesa Baru dibuatkan
surat kekantjingan diatas logam, jang menurut perintah mulia gri
baginda, ditandai dengan muka garuda, supaja mendjadi pegangan
dan dirawat (oleh sekalian penduduk didesa Baru) lantaran ke
tika gri baginda menginap didesa Baru, dimasa perangnja dan
dapat menguasai musuhnja dimasa itu di Hasin, selandjutnja me-
njatukan sekitar tanah (Djawa), maka desa Baru didjadikan desa-
merdeka bagi sekalian penduduk didesa Baru” . ,
67
Inilah pokok isi batu-tulis itu jang penting-penting. Selandjutnja
tertangkaplah radja di Hasin, lalu dibunuhnja. Barangkali sudah
sangat terang, bahwa keradjaan Hasin itu letaknja di Tanah
D jawa. D an oleh karena itu tahu, bahwa keradjaan maharadja
Airlangga itu ditanah D jawa Timor, tentu sadja, keradjaan Hasin
itu letaknja di Tanah D jawa sebelah barat, baik masih didalam
bagian Tanah D jawa Tengah, maupun ditanah Pasundan. Sebab:
djikalau Hasin itu dianggap terletak diluar Tanah Djawa, per
kataan menjatukan sekitar tanah jang kami tambah dengan ..dja
w a” itu agak susah diartikan.
Diatas telah kami katakan, bahwa Rouffaer menjamakan Mo-ho-
sin dengan Masin, lalu disamakan dengan jang sekarang men-
djadi Singapura. Pertanjaan: Apakah maharadja Airlangga hendak
menjerang musuhnja di Singapura bermalam didesa Baru? Apakah
harapan beliau mendjadikan merdeka desa Baru itu hanja mendoa
kan dari djauh sadja untuk kemenangannja didalam perang di
Singapura? Hal itu suatu hal jang sangat mustahil. Apalagi kalau
kita ingat kata „menjatukan sekitar tanah (D jaw a)”, negeri Hasin
itu tidak boleh tidak tentu terletak dipulau Djawa.
Masih ada lagi nama Hasin jang terdapat dalam riwajat D jawa,
jakni didalam buku Pararaton (tjetakan kedua muka 20, terdje-
mahan muka 63). Dikatakan, bahwa permaisuri radja Dangdang
Gendis di Kediri, jang dialahkan oleh Ken Angrok ialah Dewi
Amisani, Dewi Hasin dan Dewi Padja. Tentang nama jang ke
dua itu Dr. Brandes jang mengerdjakan buku Pararaton dengan
teliti sekali, sepatah katapun tidak memberi keterangan. Menurut
perasaan kami isteri sang Dangdang Gendis jang tiga orang itu
ialah isteri lantaran perkawinan politik. Jang pertama isteri asal
dari negerinja sendiri, jang kedua dari keradjaan Hasin, jang ke
tiga dari keradjaan Padja jang seharusnja dibatja Padjang. Biarpun
kira-kira dimasa itu keradjaan Hasin dan Padjang (dekat Solo)
ketjil sekali, akan tetapi masih dianggap kuat djuga oleh sang
Dangdang Gendis buat menambah kekuatannja didalam keradja-
annja sendiri di Kediri. Bahwa sang Dew i Hasin itu seorang pu-
teri dari keradjaan Hasin, jang dulu telah dialahkan oleh radja
Airlangga, hal ini barangkali tidak perlu lagi diterangkan lebih
pandjang. Kami ulangi lagi, letaknja negeri atau keradjaan Hasin
atau Mo-ho-sin ialah di Tanah Djawa, agaknja kesebelah barat.
(D idaerah Batang (Pekalongan) ketjamatan Warung-asem seka
rang masih ada desa M asin).
Penjebutan Mo-ho-sin dilakukan I-ts’ing sesudah Mo-lo-yeu, jang
sekarang mendjadi bagian keradjaan Shih-li-fo-shih. Ini dapat ditafsir
68
kan bahwa wilajah keradjaan Mo-lo-yeu atau pelabuhan Mo-lo-yeu,
jang pernah disinggahi oleh I-ts’ing, terletak agak kebarat dipantai
Sumatera Timur dari Mo-ho-sin. Telah kita ketahui bahwa pantai
timur Sumatera termasuk wilajah keradjaan Sriwidjaja. Menurut urai
an I-ts’ing sendiri perdjalanan dari India ke Tiongkok melalui pela
buhan Melaju biasanja langsung keutara tanpa melalui pelabuhan
Fo-shih. Perdjalanan jang demikian menerobos Selat Malaka, terus
ke Tumasik, jang dalam transkripsi Tionghwa mendjadi Tan-ma-shi.
menudju laut Tjina. Disebelah kiri memandjang pantai barat Malaka -
Pontian, disebelah kanan pantai timur Sumatera. Ahli peta Chia-tan
menjebut negeri seberang timur itu Lo-yueh dan diseberang barat
Fo-shih. Lo-yueh adalah Lo-cak menurut tjatatan Marco Polo. Lo-cak
ini bentuk ubahan dari Lo-kok jang berarti Negara Lo dan jang di
maksud dengan Lo adalah Langkasuka. Negara ini oleh I-ts’ing di
sebut Lang-chia-shu. Chia-tan menganggap keradjaan Langkasuka
jang terletak dipantai timur Malaja. meliputi djuga wilajah Malaja
sebelah barat dan selatan. I-ts’ing jang tinggal bertahun-tahun di
Fo-shih, dan pernah mengadakan perdjalanan dari India ke Tiong
kok, pasti lebih tahu tentang keadaan pantai barat Malaja daripada
Chia-tan. Ia tentu tahu akan adanja beberapa pelabuhan dipantai
barat Malaja seperti Malaka, Muar dan Tumasik. Saja kira Mo-ho-sin
itu djuga nama salah satu pelabuhan dipantai barat Malaja. Satu-
satunja nama jang agak mirip dengan Mo-ho-sin ialah bandar Maha~
rani, jang sekarang mendjadi Muar. Bandar Maharani sudah lama
dikenal sebagai tempat jang ramai dan tempat jang baik. Tidak asing
bagi para ahli sedjarah bahwa pembentukan keradjaan Djohor dimulai
dari Muar. Radja Singapura Iskandar Sjah, ketika negaranja diserang
oleh tentara Djawa, lari ke Muar. Bandar Maharani terletak dimuara
sungai Maharani, hingga sekarang masih digunakan.
Tidaklah aneh bahwa bandar Maharani sudah berupa pelabuhan dan
mendjadi pusat keradjaan pada abad 7, ketika I-ts’ing menetap di Shih-
li-fo-shih. Penjelidikan paling achir, jang dilakukan oleh H .D. Collings
di Tandjung Bunga dekat Muar, menundjukkan bahwa tempat tersebut
mempunjai kebudajaan batu baru, karena dalam penggalian ia mene
mukan alat-alat batu bersegi empat jang mempunjai hubungan dengan
kebudajaan batu baru. Keradjaan jang ada disitu mungkin tidak se
besar keradjaan Kedah.
6 . Ho-ling
Dalam abad ke 7 keradjaan Ho-ling memegang peranan penting
dalam soal kebudajaan. Pendeta Tionghwa Hwui-ning pada tahun
664/5 berangkat dari Tiongkok sengadja menudju Ho-ling. Apa jang
69
dilakukan oleh Hwui-ning selama tinggal di Ho-ling, d iu ra ik an oleh
I-ts’ing dengan teliti. Hwui-ning m engadakan kerdjasama dengan pen
deta Ho-ling Joh-na-po-to-lo untuk menterdjemahkan bag ian penutup
N irwanasutra, jang menguraikan pembakaran djenazah B uda dan pe
ngumpulan peninggalan-peninggalannja. Teks in i ternjata berbeda
dengan M ahaparinirwanasutra. N am a pendeta Ho-ling, Joh-na-po-to-lo
sesuai benar dengan nama Sansekerta, Jnanabhadra. Ketika terdje-
mahan itu selesai, Hwui-ning memberi perintah kepada pendeta m uda
Yun-k’i untuk membawanja pulang ke T iongkok. Hw ui-ning tinggal
di Ho-ling. Setelah Yun-k’i selesai menunaikan tugasnja, ia berlajar
kembali ke Holing untuk menjampaikan tanda terima kasih kepada
sang guru jnanabhadra dan untuk menggabungkan diri lag i dengan
Hwui-ning. Tetapi sesampainja di Ho-ling, pendeta Hw ui-n ing telah
berangkat ke India.
Ketjuali tjatatan sedjarah diatas tentang Hwui-ning, pendeta I-ts’ing
masih memberitakan keradjaan Ho-ling dalam bukunja M em oire seperti berikut:
(1) Yun-k’i, pendeta kelahiran Chiao-chih (Tongkin) tingga l se
puluh tahun dinegeri laut Selatan. Ia mendjadi murid Jnanabhadra.
Ia mempeladjari bahasa K ’un-lun dan faham akan bahasa Sansekerta.
Ketika I-ts’ing menulis bukunja, Memoire, Yun-k’i tinggal di Shih-li-
fo-shih dan berumur 30 tahun.
(2 ) C h ’ang-min menumpang perahu jang pandjangnja 200 kaki
dan dapat mengangkut penumpang sebanjak 600 sampai 700 orang,
menudju negeri Ho-ling. Dari sana ia berlajar kenegeri Mo-lo-yeu
untuk meneruskan perdjalanannja ke India. Tetapi perahunja karam
tidak djauh dari pangkalan, karena terlalu berat muatannja. C h ’ang- min meninggal.
(3) Ming-yuen berangkat dari Chiao-chih: perahunja t e r d a m p a r
gelombang sampai dinegeri Ho-ling.
(4) T an-yuen berangkat melalui daratan ke Chiao-chih. Ketika
musim angin baik telah tiba, ia menumpang perahu menudju selatan
engan harapan akan sampai di India Barat, tetapi waktu ia sampai
inegeri P ’u-p’en disebelah utara Ho-ling, ia meninggal.
|5) Fa-lang berlajar dari Pan-jong, sampai di Fo-shih pada achir
bulan; sesudah beberapa lama tinggal disana, ia berangkat ke Ho-lin9-
dunana ia meninggal.
(6) Tao-lin melakukan perdjalanan djauh, berlajar menudju laut
Selatan. I a s a m p a i dinegeri Lang-chia, melalui negeri Ho-ling d a n
o-jeng-kuo JDitiap negeri jang disinggahinja, ia diterima oleh radja
dengan hormat dan diperlakukan sangat baik. Sesudah beberapa tahun
70
ia sam pai di In d ia T im ur d ikerad jaan Tan-mo-lo-ti. D is an a ia tin gga l
tiga tahun un tuk be lad jar bahasa Sansekerta.
Itu lah beberapa tja ta tan tentang kerad jaan Ho-ling jang term uat
da lam M em o ire karja pendeta I-ts’ing. D id a lam Record m asih ada
berita m engenai kerad jaan Ho-ling, jang m eskipun samar-samar, se
kadar memberi pe tund juk tentang letaknja. I-ts’ing m enjebut negeri-
negeri d ilau t Selatan, jang pendudukn ja memeluk agam a Buda, ber
turut-turut, dari barat. D ian ta ran ja tersebut Ho-ling.
Pe llio t m entjatat pengirim an utusan dari Ho-ling ke T iongkok pada
tahun 640 sam pai 648, 6 6 6 , 767, 768, 813 sampai 815 d a n 818.
B aga im anapun keradjaan Ho-ling itu pernah ada, nam un h ingga
sekarang belum dapat d ipastikan letaknja. D a r i tja ta tan I-ts’ing me
ngena i geografi Ho-ling kita hanja dapat m enangkap bahw a Ho-ling
disebut sesudah kerad jaan Mo-lo-yeu dan Mo-ho-sin dalam uru tan
dari barat. N am u n pengertian „dari bara t” pada I-ts’ing itu harus
d ita fs irkan m enurut perd ja lanan dari Ind ia ke T iongkok , tid ak dari
barat berturut-turut ketimur menurut kiblat.
H in g g a sekarang para ahli sedjarah m enjam akan Ho-ling dengan
D ja w a . D ja w a terletak disebelah timur Sum atera, sedangkan Sum atera
sebelah tim ur dan selatan ada lah w ila jah kerad jaan M e la ju (Sriw i-
d ja ja ) . M en u ru t H sin-T ’ang-Shu buku 22 2 , bag ian 11 dem ik ian Ta-
kakusu, disebut bahw a jang dim aksud dengan K a lingga ada lah D jaw a .
B uku 197 m en jatakan bahw a K a lingga terletak disebelah tim ur S u
m atera. G roeneveld t m enjam akannja dengan panta i utara pu lau D ja w a
d an Prof. C havannes m enjam akannja dengan D ja w a Barat. D em ik ian
lah Ho-ling d ik ira transkripsi T ionghw a dari nam a K a lingga . D a n
K a lingga ada lah D jaw a .
Berdasarkan pand jangn ja bajang-bajang dalam w elacakra, jang per-
h itungann ja d ilakukan oleh seorang professor, T akakusu sampai kepada
kesim pulan, bahw a Ho-ling harus terletak di M a la ja pada garis 6 ° 8 '
L .U ., karena Hsin-T 'ang-Shu mem beritakan dem ikian:
„ D i Ho-ling pada musim panas, djika tongkat w elacakra p and jang
n ja 8 kaki, ba jang-bajangnja pada w aktu siang d ja tuh keselatan dan
pand jangn ja 2 kak i empat intji (22/ s k a k i) .” T akakusu m em buat tja
tatan, bahw a pemberitaan itu agak katjau, d jika jang d im aksud ia lah
salah satu tempat di D jaw a (jang terletak pada garis 6 ° 8 ' L .S .) . Ia
akan berusaha mentjari bahan perband ingan dalam kitab-kitab T iong-
hw a lebih dahulu, sebelum memberikan pem etjahannja. S udah terang
bahw a pada zam an I-ts’ing nam a D ja w a itu sudah d ikenal d ike rad jaan
S riw id ja ja , karena pada piagam Kota K apur jang d ike luarkan pada
tahun 686 telah disebut bahw a „tentara Sriw id ja ja berangkat ke bhutni
71
/au>a". T entun ja 1-ts’ing djuga mengenal piagam tersebut atau setidak-
tidaknja pernah mendengar nama D jaw a , karena ia lama m enetap di
Sriw idjaja. Lag ipu la ia adalah orang jang mengagum i Fa-hien, p ad a
hal Fa-hien jang berangkat dari T iongkok pada tahun 414, te lah me-
njebut Jaw adi dan pada zaman dinasti Sung jang pertama (420 - 578)
telah disebut pula nama Yaivada, m aksudnja Y aw adw ip a . Suatu
kenjataan ialah bahw a I-ts’ing menjebut Ho-ling. A nda ika ta jang d i
maksud oleh 1-ts’ing adalah D jaw a, pasti ia akan berusaha mentrans-
kripsikan nam a D jaw a itu dengan utjapan T ionghw a jang m irip . D e
mikianlah m ungkin sekali bahwa jang dimaksud dengan H o- ling itu
memang bukan pulau D jawa.
Sedjarah T ’ang lama jang hanja mengenal nama Ho-ling (maksud-
— nja tanpa identifikasi dengan Kalingga atau D jaw a seperti jang dikenal
dalam sedjarah T ’ang susunan baru) mentjatat, bahw a kota Ho-ling
dikelilingi pagar jang dibuat dari kaju. R ad jan ja tinggal d irum ah di-
atas tiang, beratap rumbia; ia duduk diatas tachta gading. D i Ho-ling
orang sudah mengenal tulisan dan telah mengenal ilmu fa lak . Orang-
orangnja makan tanpa sendok, melainkan m akan dengan d jari. M i-
numannja dibuat dari majang pinang.
U raian tentang adat kebiasaan itu penting artinja untuk ilm u sedja
rah, namun pemberitaan jang demikian sedikit artinja untuk penetapan
geografi. Kemudian menjusul dongeng jang sudah sangat populer,
jakni dongeng tentang maharani Si-mo. Pada tahun 644/5 rak ja t Ho-
ling mempunjai radja perempuan jang sangat keras dan ad il dalatn
pemer'mtahannja. Radja perempuan itu bernama Si-mo. T ak ada orang
jang berani mengambil barang jang djatuh ditengah d ja lan ketjuali
pemiliknja. Kabar itu terdengar oleh radja Ta-che. R ad ja Ta-che lalu
menjuruh meletakkan emas sekampil ditengah djalan d iw ila jah Ho-ling-
Tiap orang jang lalu disitu, menjingkir. T idak ada orang jang me-
njinggungnja. Kampil itu terletak ditengah djalan tiga tahun lam anja
tanpa berubah. Pada suatu ketika radjaputera lalu, kakinja tersandung
pa a kampil tersebut. Maharani Si-mo marah sekali mendengar laporan,
a wa kaki radjaputera menjentuh kampil tersebut. O leh karena per
buatan itu bertentangan dengan adat jang berlaku di Ho-ling, maka
diputuskan oleh maharani Si-mo, bahwa radjaputera akan d id jatuh i
hukuman penggal kepala. Tetapi keputusan itu ditentang oleh para
menteri. Achirnja diputuskan hukuman potong kaki, karena jang ber-
nat salah adalah kakinja. Protes para menteri tidak dihiraukannja-
u uman harus dilaksanakan, supaja umum mengetahui adan ja hukum
an keadilan dinegeri Ho-ling. Ketika radja Ta-che mendengar berita
itu, ia takut dan tidak berani melakukan serangan terhadap keradjaan Ho-ling.
72
r
Jang d im aksud dengan rad ja Ta-che ada lah rad ja A rab . K rom m em
bua t ta fs iran , bahw a m ungk in sekali jang d im aksud ia lah orang A rab
perantau jang menetap d ipan ta i Sum atera. A dak ah dongeng itu per
is tiw a sed jarah jang sungguh terdjadi, m asih d isangsikan. Jang terang
ia lah , b ah w a dongeng itu m enggam barkan adan ja kem akm uran , ke
a d ila n dan pem b inaan hukum dinegeri Ho-ling, salah satu negara di-
lau t Se la tan .
D a la m u ru tan negara-negara d ilaut Selatan jang m emeluk agam a
B uda dan terdapat d id ja lan pe la jaran Ind ia — T iongkok , Ho-ling d i
sebut sesudah negeri Mo-lo-yeu dan Mo-ho-sin, sebelum Tan-tan.
D jik a u ru tan itu d ita fs irkan m enurut k ib la t dari barat ketimur, m aka
T an- tan harus d itja ri disebelah timur Ho-ling, sedangkan Ho-ling oleh
para ah li sed jarah d isam akan dengan D jaw a . M enuru t p ik iran itu
T an- tan harus terletak disebelah tim ur pu lau D jaw a . H a l jang dem ik ian
tid ak lah m ungk in .
K em ud ian m enjusu l Pem-pen (Peng-peng), la lu P ’o-li. D em ik ian
se land ju tn ja . N a m u n Pem-pen d is ingk irkan atau d id iam kan sadja; me
reka m enem patkan P ’o-li disebelah tim ur Ho-ling, karena , bun jin ja
serupa dengan Bali, jang dalam berita T ionghw a disebut P ang li atau
Son-dor (Y u le : m ungk in dari ka ta sundaca: t ja n tik ) . Identifikasi P ’o-li
d engan B a li d idasarkan pu la atas u ra ian Friedrich m engenai kesusas
traan k aw i d ipu lau Bali, jang agak m irip dengan isi berita tentang
k ebuda jaan Ho-ling. O le h karena I-ts’ing dalam ura iann ja tentang
T ’an-yuen jang m enum pang perahu dari Chiao-chih (T ongk in ) m enudju
se latan dan sesam painja di P ’u-pen (Pem-pen) m eninggal, m engatakan,
bah w a P 'u-pen terletak disebelah utara Ho-ling, m aka segera Taka-
kusu m en jam akan P ’u-p'en itu dengan Pabuan , jang terletak d im uara
sunga i P ab u an d ipan ta i selatan K a lim antan . U ra ia n I-ts’ing mengenai
P ’u-p’en jang terletak disebelah u tara Ho-ling, sesungguhnja sudah
m erupakan pem beritahuan, bahw a uru tan penjebutan negeri-negeri itu
tid ak bo leh d ita fs irkan dari bara t ketim ur seperti jang d ilakukan h ingga
sekarang . K rom patuh kepada pendapat bahw a Ho-ling ada lah Ka-
lingga , m aka ia m em bitjarakan Ho-ling dalam rangka D jaw a T engah
dan m en jebut pendeta Jnanabhadra berasal dari D jaw a . T im bu ln ja
a n 9 gapan jang dem ik ian itu pada hakekatn ja , karena mereka bersandar
pada anggapan , bahw a Ho-ling ada lah K a lingga , dan K a lingga ada lah
D ja w a , terletak disebelah tim ur Shih-li-fo-shih. Shih-li-fo-shih ada lah
Pa lem bang . U n tu k keluar dari d ja ringan pendapat tersebut, sukar se
kali. T akakusu sendiri berdasarkan perh itungan w elacakra seperti jang
d ila k uk ann ja m enurut berita dari sedjarah baru, sesungguhnja sudah
ragu-ragu un tuk menerima pen jam aan Ho-ling dengan D jaw a , karena
pe rh itungan w elacakra djelas m enund jukkan (b ila berita itu benar).
73
I
bahwa Ho-ling harus terletak disebelah utara garis katu lis tiw a. D jika
Ho-ling disamakan dengan pulau D jaw a , bagaim ana m ungk in I-ts'ing
mentjeriterakan tentang C h ’ang-min jang naik perahu be rangka t ke
Ho-ling, terus ke Mo-lo-yeu dengan harapan akan sampai d i Ind ia?
Bagaimana mungkin M ing-yuen jang berlajar dari Chiao-chih (Tong-
kin), karena perahunja terdampar gelombang, bisa sampai di Ho-ling,
djika jang dimaksud dengan Ho-ling ialah pulau D jaw a? P u lau D jaw a
dengan pelabuhan-pelabuhannja dipantai utara seperti D japa ra , Tegal,
Tjirebon, terletak djauh dari perdjalanan T iongkok —■ Ind ia . S inggah
di D jaw a dalam perdjalanan dari T iongkok ke Ind ia, tidak lah m ung
kin, karena pelabuhan-pelabuhan dipantai utara D jaw a tidak terdapat
didjalai pelajaran Ind ia .— T iongkok, atau orang harus sengadja da
tang kepulau D jaw a. Dem ikianlah terdapat ban jak kesulitan, d jika kita
berpikir agak praktis, untuk menjamakan Ho-ling dengan D jaw a .
M engingat banjaknja pendeta jang kebanjakan naik perahu dagang
dan singgah di Ho-ling dalam perdjalanannja dari T iongkok ke Ind ia ,
maka Ho-ling harus merupakan pelabuhan jang penting. O le h karena
itu mau tidak mau letaknja harus baik sebagai pelabuhan. A tas clasar
berita-berita itu semata-mata kita belum dapat mengira-ngira dimana
letaknja Ho-ling ketjuali hanja mendengar bahwa Ho-ling itu harus
terletak didjalan pelajaran Tiongkok —■ M elaju.
D jika kita mempeladjari uraian Chia-tan, seorang ahli peta T ionghw a
jang mashur dan hidup antara tahun 730 dan 805, tentang perd ja lanan
Tiongkok kelaut Selatan, maka letak keradjaan H o ling m endjad i
e 1 terang, Uraiannja demikian: „Perdjalanan itu melalui pu lau Hai-
nan menudju pantai Indo-Tjina, terus menjusur pantai sampai ditempat
,ang bernama Kun-t’u -nung. D ari situ berlajar lima hari lagi, maka
Pada selat jang namanja Chih. Lebarnja dari utara keselatan
h. D i p a n t a i sebelah utara terdapat keradjaan Lo-yueh, dipantai
se atan terdapat keradjaan Fo-shih. Sebelah timur keradjaan Fo-shih
ira-kira sedjauh lima hari pelajaran, orang mentjapai keradjaan Ho-
*ng. In i merupakan pulau jang terbesar diselatan. Kemudian tiga hari
e r ajar dari selat itu orang mentjapai keradjaan Ko-ko-chih, t e r l e t a k
ise uah pulau disudut barat laut Fo-shih. Penduduknja ban jak jang
j a i perompak; penumpang perahu banjak m e n d j a d i mangsanja. D i
pantai utara terletak keradjaan Ko-lo. Sebelah barat Ko-lo ialah keradjaan Ko-ku-lo.”
Chia-tan menjatakan bahwa Ho-ling terletak sedjauh e m p a t / l i m a
Pelajaran dari Fo-shih kearah timur. Fo-shih terletak dipantai
sebelah selatan Chih (jang disebut Chih sama dengan apa jang disebut
ahalat oleh berita Arab jang berasal dari Y a 'kub i), dan disebelah
utara ialah keradjaan Lo-yueh. Keradjaan Lo-yueh ini sama dengan
74i
ke rad jaan Lo-cak seperti jang tertjatat oleh M arco Po lo , ja k n i ke-
ra d ja a n L angkasuka d ipan ta i tim ur M a la ja . T epa tn ja P a tan i sekarang .
Jang te rpenting ia lah pern ja taan Chia-tan, bahw a H o- ling terletak
d ip u lau jan g pa ling besar d ilau t Selatan. B aga im anapun pu lau jang p a
ling besar d ilau t Se la tan ia lah pu lau Borneo atau K a lim an tan , b u k an
pu lau D ja w a . D em ik ian lah sudah terang bahw a pe labuhan H o- ling
te rdapa t d ip an ta i bara t K a lim an tan , karena Ho-ling te rdapat d id ja lan
pe la ja ran dari T io ngkok ke Ind ia .
M en g en a i w ila ja h kerad jaan Ho-ling d iberitakan dalam sedjarah
T 'a n g jang d juga terkutip dalam sedjarah baru, dem ik ian : „K e rad jaan
Ho- ling terletak d ilau t Selatan . D isebe lah tim ur berbatasan dengan
P ’o-li, d isebelah bara t dengan T ’o-po-teng; disebelah se latan dengan
lau t, d isebe lah u tara dengan Chen-la.” Jang d im aksud dengan Chen-la
ia lah K am b od ja dan V ie tnam sekarang. D em ik ian lah disebelah u tara
H o- ling terletak Chen-la. Chen-la dan H o ling terpisah oleh lau tan .
D isebe lah tim ur Ho-ling terletak P ’o-li. D isebe lah selatan H o- ling a d a
lah laut.
O le h karena sekarang sudah kita ketahui bah w a Ho-ling terletak
d ip an ta i b a ra t K a lim an tan , k ita tjoba un tuk m eloka lisas ikann ja . D jik a
I-ts’ing m en jebut Ho-ling dalam berita-beritanja, jang d im aksud ter
u tam a ia lah pe labuhan Ho-ling, bukan w ila jah kerad jaann ja . B erhu
bung dengan u ru tan penjebutan negeri-negeri d ilau t Selatan , Ho-ling
d isebut lebih dahu lu daripada Tan-tan, jang d isam akan dengan Ten-
dong d ip an ta i tim ur M a la ja , m aka letak pe labuhan Ho-ling dari Fo-
shih leb ih dekat dar ipada Tan-tan. M enu ru t pe rh itungan bajang-bajang
d iw e lacakra , Ho-ling terletak pada garis 6 ° 108 ' L .U . T em pat in i
ad a lah laut. D ja d i tid ak m ungk in . Sudah pasti k ita tidak boleh pertja ja
100 % kepada berita tentang bajang-bajang d iw e lacakra itu. Berita
itu d ian ggap sebagai pegangan . U tja p a n nam a Ho-ling da lam bahasa
M a n d a r in ada lah Ke-ling. B aga im anapun nam a kerad jaan d ipan ta i
b a ra t K a lim an tan itu ia lah K a lingga . T en tun ja zam an sekarang tempat
tersebut tid ak terletak d ipan ta i laut, te tapi d idara tan , beberapa pu luh
k ilom eter dari pan ta i laut, seperti ha ln ja kota D jam b i zam an sekarang.
P ad a um um n ja pe labuhan pada w ak tu itu terletak d im uara sungai
besar, karena sungai memegang peranan penting sebagai penghubung
an ta ra p an ta i dan daerah pedalam an. S a lah satu sungai d ipan ta i bara t
K a lim an tan jang m uaran ja k iran ja d ipaka i sebagai pe labuhan kerad jaan
K a lin g g a ia lah B atang Lupar. D itep i B atang L upar itu sekarang m asih
ada kota jang nam an ja L ingga . M u n g k in la h nam a in i sisa dari nam a
lam a K a lingga , jang disebut Ho-ling. T em pat tersebut terletak d idaerah
S e raw ak pada garis 2 ° 1 1 1 ' L .U ., d jad i m endekati berita w e lacakra .
P an ta i bara t Seraw ak pada zam an jang lam pau te rang m endapat
75
I
b an jak pengaruh kebuda jaan Ind ia . D isekitar Seraw ak d item ukan ba
rang-barang purbaka la , k iran ja m em punjai hubungan dengan peranan
Seraw ak pada zam an jang sudah silam. D i Santubong, d im uara sungai
Seraw ak d ike tem ukan artja batu, tempajan, manik-manik. M enuru t
pendapat I .H .N . Ivans barang-barang tersebut serupa dengan pene
muan-penemuan d ikua la Selinsing d ipanta i timur M a la ja . D a r i bukit
Berhala ditepi sungai Sam arahan diketemukan lingga, jon i dan artja
G anesa, sedangkan didekat Sam p’so sebuah artja lembu dari batu.
Penem uan barang mas la inn ja jang berasal dari L im bang, berupa tjin
tjin, rantai, kantjing bad ju dan subang. D ian tara barang-barang mas
ini jang terpenting ia lah tjin tjin jang memuat tulisan dan sebuah lukisan
singa sebesar l 1/^ intji X l ^ i n t j i . N am un tulisan pada tjin tjin tersebut
tidak lagi terbatja.
7. P ’o-li
Tentang P ’o-li jang disebut oleh I-ts'ing ada beberapa pendapat.
Pelliot melokalisasikannja di Bali, berdasarkan keserupaan bun ji dan
berita dari Hsin-T’ang-Shu bahw a P ’o-li djuga disebut M a li. Bret-
schneider melokalisasikannja di Kalim antan. D a lam hal in i G . Coedes
bersikap sangat hati-hati. Berita mengenai P ’o-li seperti berikut:
(1) Liang-Shu jang disusun oleh Y ao Chien (623) memberitakan
bahw a P o-li mengirim utusan ke T iongkok 2 x . jang pertama kali pada
tahun 518, jang kedua kalinja pada tahun 523. R ad jan ja bernama Kaun-
dinya. M engenai letaknja diberitakan bahw a P ’o-li terletak di chou
jakni pulau. Lebarnja dari timur kebarat 50 hari perdjalanan, dari
utara keselatan rk 20 hari perd^alatian. P ’o-\i mempunjai 136 desa.
(.2) Sui-Shu memberitakan pengiriman utusan dari P ’o-li pada
tahun 616. M engenai luas daerahnja: dari timur kebarat ± 4 bulan
perdjalanan, dari utara keselatan 45 hari perdjalanan. M engenai letak
nja dikatakan: dari Chiao-chih orang berlajar keselatan melalui Chih-
tu dan Tan-tan, kemudian sampai P ’o-li.
(3) Chiu-T ang-Shu menguraikan bahwa keradjaan P ’o-li terletak
disebelah tenggara Lin-i (T jampa) dipantai laut, disebuah pulau. Lebar
dan pandjangnja beberapa ribu li. Untuk sampai disitu kita harus ber
lajar mengarungi laut dari Chiao-chih (Tongkin) menudju selatan,
melalui negeri Lin-i, Fu-nan, dan Tan-tan.
Bagaimanapun djelas bahwa P ’o-li adalah tempat sesudah Tan-tan
dalam pelajaran dari T iongkok ke Selat M alaka. Dalam penjelidikan-
nja tentang lokalisasi Tan-tan dalam journal M .B .R .A .S . vol. X X part 1
tahun 1947, Prof. Hsii Yiin-ts’iao sampai kepada kesimpulan bahwa
Tan-tan terletak dimuara sungai Kelantan dekat Kota Bharu. Nama
76
aslinja ialah Tendong. Roland Braddell sampai kepada kesimpulan jang
hampir serupa. Bagaimanapun menurut pendapatnja Tan-tan adalah
salah satu bagian dari Kelantan. Penjelidikan ini adalah penindjauan
kembali saran Bretschneider, jang menjamakannja dengan pulau Na-
tuna. Keterangan geografi diatas memberikan kesan bahwa penjamaan
P ’o-li dengan Bali tidak mungkin benar. P ’o-li harus terletak dipantai
barat Kalimantan. Negeri jang terletak dipantai barat Kalimantan dan
disebelah utara/timur Ho-ling adalah Brunei. Brunei merupakan daerah
pendudukan kaum pendatang dari India Selatan. Namanjapun berasal
dari India Selatan, jakni nama sungai di Travancore. Sungai itu berna
ma Porunai, namun namanja sekarang ialah Tamiraparani. Pendapat
mengenai nama Brunei ini berbeda dengan pendapat G.T .M .Mc. Bryan.
Menurut pendapatnja nama Brunei itu berasal dari kata Sansekerta
burni: activity, kesibukan. Oleh Bryan kata itu diberi arti chusus jakni:
perdagangan. Saja kurang dapat menjetudjui pendapat Bryan itu. Oleh
karena itu berusaha mentjari sumber lain. Nama Porunai itu kemudian
berubah mendjadi Brunei. Hingga sekarang nama itu masih digunakan
untuk menjebut negeri dipantai barat Kalimantan. Pengambilan nama
dari India seperti itu banjak dilakukan di Indonesia. Lihat sadja pulau
Madura, Namanja berasal dari India Mathura. Didalam East India Ga-
zetteer, Hamilton menguraikan bahwa wilajah Brunei dipantai barat se-
pandjang 700 mil dari Sambas sampai Tandjung Datu. Disebelah timur
sampai sungai Sandakan. T. Posewitz dalam Borneo. Its Geotogy and
Mineral Resources (1892) mentjatat bahwa sampai ± limapuluh tahun
sebelumnja wilajah Brunei meliputi daerah antara Tandjung Datu dan
sungai Sibotjo. Sampai pada tahun 1812 dinjatakan dalam laporannja
kepada Raffles bahwa pulau Borneo hanja terbagi atas tiga keradjaan
jakni keradjaan Brunei, Sukadana dan Bandjarmasin.
Berita diatas dimaksud untuk menundjukkan betapa luas wilajah
Brunei pada permulaan abad 19. Menurut Hamilton keradjaan Brunei
diantara keradjaan-keradjaan lainnja di Kalimantan adalah keradjaan
jang pertama kali dikundjiingi oleh bangsa kulit putih dari Eropa.
Oleh karena nama Brunei dikenal paling dahulu oleh bangsa kulit putih
diantara nama-nama lainnja, maka nama Brunei itu lalu digunakan
untuk menjebut seluruh pulau, padahal para penduduk aslinja me-
njebutnja Pulo Klemantan. Tetapi nama Brunei itu menurut pende
ngaran orang Portugis mendjadi Borneo. Oleh karena itu nama Bor
neo lalu mendjadi nama seluruh pulau jang bersangkutan hingga
sekarang. Namun semendjak proklamasi negara Indonesia dan perasaan
antikolonial meluap-luap, timbullah usaha untuk menggunakan kem
bali nama-nama asli. Demikianlah nama Kalimantan timbul kembali
sebagai nama pulau jang bersangkutan.
77
Selama toponimi di Nusantara belum mendapat perhatian sepenuhnja
dalam dunia kesardjanaan, pendjelasan tentang asal-usul nama tempat
masih tetap merupakan rabaan belaka. Demikian pula halnja dengan
nama Kalimantan, jang diutjapkan oleh para penduduk aslinja Kle-
mantan. Beberapa pendapat mengenai nama Kalimantan:
(1) Crowfurd didalam Descriptive Dictionary of the Ind ian Islands
(1856) menulis bahwa pulau Borneo dinamakan oleh para penduduk
aslinja Kalamantan. Kata itu adalah nama sedjenis mangga. D jad i
pulau Kalamantan berarti pulau mangga. Crowfurd menambahkan ke
terangan, bahwa nama itu berbau dongeng dan tidak populer.
(2 ) Dalam karangannja jang termuat dalam journal M .B .R .A .S .
vol. X V part 3 hal 79, Dr. B.Ch. Chhabra menundjukkan bahwa su
dah mendjadi kebiasaan bangsa India kuno untuk memberikan nama
sebuah tempat sesuai dengan hasil buminja seperti misalnja nama
pulau Djawa. Karena hasil bumi pulau tersebut terutama djewawut
( ansekerta yawa), maka pulau tersebut diberi nama pulau Yatva.
er asarkan analogi itu maka mungkin sekali nama Sansekertanja Amra-dwipa jakni pulau Mangga.
d' V ^ Hose dan Mac Dougall menguraikan bahwa suku Pagan
Ih a *ma*1tan terbagi atas enam golongan jakni: 1. Dajak Laut atau
an: 2. Orang Kajan; 3. Dajak Kenja; 4 . Klemantan; 5. M urut; 6 . Pu
ri. isini Klemantan adalah nama suku. Dalam karangannja Natural
Klema3 ^ e€OTi from Borneo (1926), C. Hose mendjelaskan bahwa man an adalah nama baru. Nama itu digunakan oleh bangsa Me-
) untuk menjebut seluruh pulau.
dai ^ ne^nja bahwa menurut W .H . Treacher dalam British Borneo
m antan^rnal M.B.R.A.S. (1889), mangga liar tidak dikenal di Kali-
pulau ' ara ^ a9*Pula pulau Borneo tidak pernah dikenal sebagai Kal menghasilkan mangga. Ia menambahkan tjatatan, bahwa
rena ^ mun9k'n sekali berarti Sago Island (Pulau Sagu), ka
jang dtd"ania^ ac a a^ nama dalam bahasa asli untuk sago mentah,
nama Kal'3 kePada Pabrik. Dengan kata lain karangan itu membantaht,,, . 'mantan jang menurut pendapat Crowfurd diambil dari namabuah mangga.
kin s ^ata Kalimantan itu djuga bukan kata Melaju asli. Mung-
dan M ' ^ata tersebut adalah kata pindjaman seperti kata M alaya
sebut 6 a^U Se a^a* nama didaerah jang bersangkutan. Kata-kata ter-
demik^eran^ ^ erasa dari India. Mungkin sekali kata Kalimantan djuga g *an‘ Saja kira nama Klemantan berasal dari kata Sansekerta
memba]^ a^ni Pu au )an9 udaranja sangat panas, seakan-akana ar; (kal(a): musim, waktu; manthan(a): membakar; producing
78
f i r e ) . Oleh k a r e n a v o k a l a p a d a k a l a d a n m a n t h a n a m e n u r u t k e i a s a a n
t i d a k d i u t j a p k a n , m a k a k a t a K a l a m a n t h a n a m e n d j a d i K a l m a n t a n . e
p e n d u d u k a s l i k a t a i t u l a l u d i u t j a p k a n K l c m a n t a n a t a u Q u a l l a m o n t a n .
D a r i b e n t u k i t u d i t u r u n k a n k a t a K a l i m a n t a n .
8 . Tan-tan
Didalam bukunja The knowledge possessed by the Ancient Chinese
o/ the A.rabs, Bretschneider menjamakan Tan-tan dari berita Tiong wa
dengan pulau Natuna. Demikian pula Julien dalam Hiuen Thsang.
Pendapat itu diterima oleh Takakusu. Hirt dan Rockhill dalam Chao
ju-kua djuga melokalisasikannja dipulau Natuna. Gerini sangat ragu
ragu untuk melokalisasikannja. Tan-tan disamakannja dengan pu au.
Terketau dalam kumpulan Langkawi, atau dengan Tandjung Datu,
atau dengan Panei dipantai timur Sumatera. Prof. Hsii Yii-ts iao me
nindjau sekali lagi persoalan Tan-tan dari pemberitaan I-ts ing da am
karangannja jang berdjudul Notes o n Tan-tan dalam journal M.B.
A.S. vol. X X part 1 hal. 47 sampai 63. Segala berita Tionghwa me
ngenai Tan-tan dikumpulkannja dan kebanjakan berita itu djuga mem
beritakan P ’o-li. Beritanja seperti berikut:
( 1 ) Berita dari Liang Shu:Pada tahun kedua masa pemerintahan Chung Ta Tung (tahun
radja Tan-tan mengirimkan utusan jang mempersembahkan utjapan
muluk-muluk kepada kaisar. Kaisar disamakan dengan jang maha mu
rah, memerintah rakjatnja dengan ramah, kepertjajaannja kepada at
natraya sangat tabah. Adjaran Buda benar-benar meresap da ain
tingkah-lakunja. Itulah sebabnja maka pendeta I.Buda mengerumuni
beliau; pelantikan pendeta Buda makin bertambah, semuanja horma
kepada beliau, jang kasih sajangnja meliputi segala umat, sehingga
machluk dari delapan djurusan dunia berkumpul. Betapa besar e-
kuasaan beliau untuk menaklukkan semua negeri-negeri tetangga,
hampir-hampir tidak terkatakan. Saja berharap mudah-mudahan be iau
berkenan memandang saja dan memberi kesempatan kepada utusan
saja untuk bertemu muka dengan beliau'. Saja mohon, agar beliau su a
menerima hadiah saja jang serba remeh berupa dua artja gading, ua
pagoda, sedjumlah agnimani, kapas dan minjak wangi.
Pada tahun pertama masa pemerintahan Ja-tung (tahun 535) ra ja
Tan-tan mengirim utusan lagi dengan membawa mas, perak, katja,
minjak wangi, rempah-rempah dan pelbagai benda lainnja.
(2) Berita dari Sui Shu, susunan W e i Cheng:Negeri P ’o-li dapat ditjapai dari Chiao-chih melalui Ch ih-tu dan
Tan-tan. Dari timur kebarat djauhnja sepandjang empat bulan perdja-
79
lanan. dari selatan keutara empatpuluh lima hari perdjalanan. at-
istiadat negeri P ’o-li sama dengan adat-istiadat negeri Kambodja. asil
buminja sama dengan negeri Tjampa. Pada tahun keduabelas masa pe
merintahan Ta-yih (tahun 616) negeri itu mengirim utusan ke iong o
untuk mempersembahkan upeti, namun pemberian itu tidak i an jut
kan. Disebelah selatan P'o-li terletak negeri Tan-tan dan P a n p an .
Dua negeri ini memberikan hasilnja sebagai upeti. Baik adat istia at
nja maupun hasil buminja sama.
(3) Berita dari Hsin T’ang Shu:
P ’o-li terletak disebelah tenggara Huan-wang (T jam pa), dapat di-
tjapai dari Kotjin-Tjina melalui Chih-tu dan Tan-tan. Lebar dan pan-
djangnja beberapa ribu li. Disitu banjak kudanja. Negeri itu djuga
disebut Mali. Disebelah timurnja terletak negeri Lo-tha.
( 4 ) Berita dari Nan Shih, susunan L i - y e n - s h u :
Berita mengenai Tan-tan dikutip dari Liang Shu (lihat 1).
(5) Berita dari T’ung Tien, susunan Tu You: ‘Berita tentang negeri Tan-tan kita kenal pada masa pemerintahan
radjakula Sui. Letaknja disebelah barat laut To-lo-mo dan ise e a
tenggara Chen-chow. Nama wangsa radjanja Sha-li, namanja sendiri
Shih-ling-chia. Ibukotanja didiami oleh lebih-kurang 20.000 keluarga.
Negeri itu dibagi dalam distrik dan propinsi untuk memudahkan dja-
lannja administrasi dan pimpinan. Setiap hari radjanja pagi jam
dan petang 2 djam diistana. Djumlah menterinja delapan, semuanja
Pendeta. Beliau bersaput bedalc wangi, mengenakan mahkota terbuka,
ersabuk pita, pakaiannja berwarna awan pagi, sanda nja i
kulit; djika keluar tidak djauh, duduk diatas tandu; djika keluar djauh,
na* gadjah. Dalam peperangan terompet dibunjikan, genderang i-
Pukul, bendera dikibarkan. Hukum pidananja tidak pan ang u .
“ arangsiapa mentjuri, dikenakan hukuman mati. Hasilnja: mas pera ,
tjendana, kaju sapan dan pinang. Djuga menghasilkan padi. Bi -
^ng ternaknja-. kambing, babi, ajam, angsa, itik, kidjang dan rusa.
Ulsitu ada burung kotjin dan merak. Buah-buahan dan rumput air.
an9gur, delima, labu, lugenaria vulgaris, ganggang dan teratai. ajur
Tfi\Urn'3: ^ eram^ an9> bawang dan akar.Berita dari Hsin T*’ang Shu, susunan Au Yang-hsiu.
Tan-tan terletak disebelah tenggara Chen-chow dan disebelah barat
o-lo-mo, terbagi atas distrik dan propinsi. Dinegeri itu terdapat ba
njak kaju tjendana. Nama wangsa radjanja Sha-li dan namanja sendiri
hih-ling-chia. Beliau mendjalankan tugasnja setiap hari dan mempu-
njai delapan menteri. Beliau memakai minjak wangi, mengenakan mah
kota dengan pelbagai bulu-bulu jang mahal-mahal. Dalam perdjalanan
dekat, beliau naik kereta, tetapi dalam perdjalanan djauh, naik gadjah.
80
V
Dalam peperangan terompet dibunjikan dan genderang dipukul. Pen-
tjuri besar-ketjil dihukum berat. Pada masa pemerintahan Chien-feng
(tahun 666-667) dan Tsung-cheng (668 - 669) negeri itu memper
sembahkan upeti hasil setempat. Negeri Lo-yueh letaknja 5000 li dari
laut disebelah utaranja, disebelah barat daja berbatasan dengan Ko-
ku-lo, mendjadi pusat pertemuan para pedagang dan pusat Ialu-lintas.
Ada-istiadatnja sama dengan negara To-ho-lo-po-ti (Dwarawati).
Tiap tahun ada perahu dari negeri itu datang di Kanton, nachodanja
memberi laporan keistana.
(7) Berita dari Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan, karangan I-ts'ing:
Tan-tan termasuk salah satu negeri laut Selatan jang memeluk aga
ma Buda, dan disebut sesudah Ho-ling.
(8) Berita dari T'ung Chih, susunan Cheng-ts’iao:
Beritanja dikutip dari T ’ung Tien (lihat 5).
(9) Berita dari masa pemerintahan dinasti Ch’ing:
Tan-tan terletak dipantai laut sedjauh 130 hentian disebelah barat
daja Amoy; adat-istiadat, pakaian dan hasil buminja sama dengan
Djohor. Pelajaran dari Amoy ke Djohor sedjauh 180 hentian, ke Sa-
ngora dan Patani sedjauh 150 hentian. Satu hentian kira-kira 60 li.
(10) Berita dari M ing Shih:
Tan-tan dalam berita Ming Shih menurut Prof. Hsii djelas sama
dengan Kelantan. Nama Kelantan tidak disebut.
Prof. Hsii menduga bahwa Tan-tan dari berita M ing Shih jang djelas
sama dengan Kelantan itu disebabkan karena ketjerobohan menulis.
Kata ,,lan-tan” didjadikan „Tan-tan”; Ke pada Kelantan karena tidak
mendapat tekanan, diabaikan.
Berdasarkan berita dari Liang Shu, Tan-tan terletak disebelah barat
laut To-lo-mo. To-lo-mo adalah nama sungai di Trengganu, namanja
sekarang ialah Telemong. Disebelah barat laut Trengganu ialah Ke
lantan. Demikianlah mungkin sekali Tan-tan itu nama dusun jang se
karang terletak sepuluh mil dari muara sungai Kelantan, 3ntara lima
atau enam mil dari Kota Bharu. Nama dusun itu sekarang Tendong.
Itulah kesimpulannja.
9. P'en-p’en atau P'an-p’an
Djalan pelajaran India — Tiongkok ada dua matjam jakni menga
rungi lautan Tjina dan menjusur pantai. Negeri-negeri dilaut Selatan
jang disebut oleh 1-ts’ing tentu banjak jang terletak didjalan pelajaran
menjusur pantai. Djalan pelajaran menjusur pantai melalui teluk Siam
8-1
dan pantai timur Malaja. Kita kumpulkan dahulu berita-berita mengenai P'en-p’en:
(1) I-ts’ing menjebut P ’en-p’en dalam rangkaian negeri-negeri dilaut
Selatan jang memeluk agama Buda, sesudah Tan-tan.
(2 ) Ditempat lain I-ts’ing menguraikan bahwa Tan-yuen berangkat
dari Chiao-chih (Tongkin), tetapi meninggal di P ’an-p’an. "disebe-
lah utara Ho-ling.
(3) Chiu T ’ang Shu menguraikan bahwa P ’an-p’an terletak disebelah
barat daja Lin-i (Tjampa), disudut laut. Disebelah utara terpisah
oleh laut sempit dengan Lin-i. Dari Chiao-chou letaknja sedjauh
empatpuluh hari pelajaran. Negeri ini berbatasan dengan Lang-
ya-hsiu.
(4) Negeri Tuo-ho-lo (Dwarawati) disebelah selatan berbatasan de
ngan P'an-p’an, disebelah utara dengan Kia-lo-sheh-fu, disebelah
timur dengan Chen-la, dan disebelah barat dengan laut besar. Dari
Kanton letaknja sedjauh lima bulan perdjalanan.
(5) Hsin T ’ang Shu menjatakan bahwa disebelah selatan P ’an-p’an
terletak Ko-lo, atau Ko-lo-fu-sha-lo.
(6 ) T ung Tien mengatakan bahwa Ko-lo atau Ko-lo-fu-sha-lo me
nurut uraian dinasti Han terletak ditenggara P ’an-p’an.
Prof. G. Coedes berpendapat bahwa P ’an-p’an terletak di Semenan-
djung, dipantai Teluk Siam. Lokalisasinja tidak dinjatakan dengan
tegas. Dr. Quaritch Wales mengira bahwa W ieng Sra adalah pusat
Pertama negeri P ’an-p’an. Prof. Hsii sampai kepada kesimpulan bahwa
an-p an sama dengan Pran-puri (Pranpun). karena menurut te tita
U* Shu, Tu-ho-lo disebelaVv se\atan berbatasan dengan P ’an-p’an. Per-
'bahwa Ko-lo terletak disebelah selatan P ’an-p’an, karenanja
ayus ditafsirkan „ditenggara” . Demikianlah pendapat para sardjana
e jarah tentang P ’an-p’an. Kiranja diantara pendapat-pendapat itu
Pendapat Prof. Hsii jang paling konkrit dan mendekati kebenaran.
10- Fo-shih~pu-lo i
Sesudah K u-lun pendeta I-ts’ing menjebut Fo-shih-pu-lo. K ’u-lun
9 P”! - Kondor, terletak dilaut Tjina, dimuka Vietnam. Demiki-
3n ^ Fo-shih-pu-lo harus ditjari dipantai timur Vietnam.
i. mentjarinja dipulau Djawa dan menjamakannja dengan
o jonegoro disebelah barat kota Surabaja, karena Fo-shih-pu-lo di-
ira transkripsi Tionghwa dari Bhojapura, sedjalan dengan Shih-li-
fo-shih sebagai transkripsi dari Sribhoja menurut van Ronkel. Bahwa
Fo-shih-pu-lo adalah transkripsi Tionghwa dari Widjajapura, mudah
82
difahami, karena Shih-li-fo-shih merupakan transkripsi dari Sriwidjaja.
Jang mendjadi persoalan ialah dimana letaknja.
Moens menjamakan Widjajapura dengan Puchavarao dari berita
Portugal dan menempatkannja dimuara sungai Redjang dipantai barat
Kalimantan. Menurut pendapatnja nama Kin-fo dalam keradjaan Ma-
lano adalah singkatan dari Kin-li-fo-che; nama Kin-li-fo-che disama-
kannja dengan Shih-li-fo-shih, jang diberitakan oleh pendeta I-ts’ing.
Menurut dugaannja keradjaan Malano bukan sadja meliputi Kali
mantan Utara sadja, tetapi djuga Brunei dan Serawak. Oleh karena
Moens menjamakan Fo-shih-pu-lo dengan Puchavarao, dan nama ini
dianggap sebagai nama ibukota dimuara sungai Redjang, sebelum
Brunei tampil kemuka, maka ia mentjari keradjaan Mo-chia-man trans
kripsi dari keradjaan Mahâkarman, djuga di Kalimantan. Nama itu
disamakan dengan Muara Kaman dipantai timur Kalimantan.
Penjamaan Kin-fo dan Shih-li-fo-shdh ini sangat diragukan, demi
kian pula Puchavarao dengan Widjajapura, karena bedanja terlalu
djauh, djika Moens mendasarkan identifikasinja itu atas kemiripan bu-
nji. Lagipula Fo-shih-pu-lo, Mo-chia-man disebut oleh I-ts’ing sesudah
K ’u-lun jakni pulau Kondor. Tidak mungkin tempat-tempat itu ditjari
di Kalimantan, jang letaknja disebelah selatan' pulau Kondor. Apalagi
penjamaan Mo-chia-man dengan Muara Kaman, jang letaknja dipantai
timur Kalimantan pada sungai Mahakam. Tempat itu samasekali ter
sisih dari djalan pelajaran India — Tiongkok. Menurut djalan pela
jaran India — Tiongkok tempat-tempat itu harus ditjari dipantai timur
kontinen Asia, sebelah utara pulau Kondor.
Kiranja tempat itu harus ditjari dipantai Vietnam. Pada tahun 192
keradjaan Lin-i (Tjampa) sedang dalam pembentukan. Dalam kata
pengantar Record, keradjaan Lin-i sudah disebut oleh I-ts’ing dalam
rangkaian negara-negara jang memeluk Ratnatraya: Sriksetra, Lang-
kasuka, Dwarawati, dan Lin-i (Tjampa) diudjung timur. Dalam per-
kembangannja kemudian keradjaan Lin-i meliputi pantai Indo-Tjina.
Disebelah selatan sampai Panrang zaman sekarang, disebelah utara
sampai Quang-nam. Didalamnja termasuk Khanh-hoa dan Binh-dinh.
Tempat-tempat ini mempunjai nama lama jakni Pandurangga: Pan
rang; Kanthara: Khanh-hoa, W idjaja: Binh-dinh dan Amarawati: Q u
ang-nam. Djelas sekali bahwa nama-nama itu semuanja menundjukkan
adanja pengaruh dari India. Pada zaman I-ts’ing penduduk Lin-i me
meluk Aryasamitinikaya. Djika nama Shih-li-fo-shih adalah transkripsi
Tionghwa dari nama Sriwidjaja, maka Fo-shih-pu-lo adalah transkripsi
dari W idjajapura. W idjajapura ialah Binh-dinh. Demikianlah Fo-shih-
pu-lo itu terletak di Binh-dinh, dipantai timur Vietnam, pada garis 14° 1 1 0 ' L.U.
83
11. A-shan
Nama negeri A-shan jang dikemukakan oleh I-ts'ing barangkali
sama dengan nama negeri I-shang-na-pu-lo jang diberitakan oleh Hsii-
en-chuang. I-shang-na-pu-lo (Iganapura) terletak disebelah timur To-
lo-po-ti (Dwarawati) dan, disebelah barat Mo-ho-chan-po (Mahatjam-
pa) atau Lin-i. Negeri itu tidak djauh dari Binh-dinh, pusat keradjaan
W idjajapura jang disebut djuga oleh I-ts’ing dengan nama Fo-shih-
pu-lo. A-shan atau I-shan adalah transkripsi Tionghwa jang mirip
sekali dengan kata Sansekerta, Igana. Fonem a pada suku terachir na
tidak diutjapkan. Baik menurut utjapan namanja maupun menurut letak-
nja A-shan pada I-ts’ing itu sama dengan I-shang-na-pu-lo pada Hsuen-
chuang, jakni keradjaan Icranapura disebelah barat Tjampa.
12. Lang-ya-hsiu
Pada masa pemerintahan Liang-shu (502- 557) tertjatat adanja
utusan dari keradjaan Lang-ya-hsiu atau Lang-ga-siu (edjaan Groe-
neveldt), jakni pada tahun 515, 523 dan 531; pada masa pemerintahan
Ch en-shu (557 - 589) datang utusan dari Lang-ya-hsiu pada tahun
568. Dalam tjatatan itu dinjatakan bahwa Lang-ya-hsiu terletak dilaut
Selatan, 24000 li dari Kanton. Lebarnja dari timur kebarat 30 hari per-
djalanan dan dari selatan keutara 20 hari perdjalanan. Negeri itu meng
hasilkan aloe dan kamfer. Dari berita itu sadja belum dapat diketahui
dengan djelas letaknja keradjaan Lang-ya-hsiu. Perdebatan jang per
nah dilakukan oleh para ahli sedjarah m e n g e n a i persoalan Lang-ya-
hsiu ini sungguh menarik perhatian. Dibawah ini beberapa kutipan
mengenai keradjaan Lang-ya-hsiu jang disamakan dengan Langka- suka.
(1) Dalam Record mengenai Lang-ya-hsiu itu I-ts’ing hanja membe
ritakan bahwa Lang-ya-hsiu terletak disebelah tenggara Sriksetra.
Katanja: „Disebelah selatan dari gunung tersebut ialah keradjaan
Shih-li-ch’a-ta-lo (Sriksetra). Disebelah tenggara keradjaan ini
ialah keradjaan Lang-ka-su (Lang-chia-shu) jakni Langkasuka.
Terus ketimur adalah keradjaan To-ho-po-ti (Dwarawati). Di-
udjung timur adalah keradjaan Lin-i (Tjampa).
Uraian 1-ts’ing mengenai Langkasuka itu termasuk dalam rangka
penjebutan negeri-negeri disebelah timur India, tidak dalam rang
ka negeri-negeri dilaut Selatan. '
(2) Dalam Memoire, I-ts’ing berkata, bahwa I-lang, Chih-ngan dan
I-hsiian berangkat dari Kanton melalui Funan menudju Lang-chia
(Langkasuka). Chih-ngan djatuh sakit dan meninggal disana. I-lang
84
dan 1-hsuan meneruskan perdjalanannja ke Sim-ha-la (Srilangka).
Dari berita I-ts’ing jang kedua ini njata, bahwa Langkasuka ada
lah pelabuhan, jang terletak didjalan pelajaran dari Tiongkok ke
Srilangka.
(3) Berita Hstien-chuang dari abad ketudjuh mengenai letak Langka
suka sama dengan berita I-ts'ing dalam Record. Jang agak ber
beda ialah sebutan namanja. Pada I-ts’ing nama itu djelas Lang-
ka-su (Lang-chia-shu), pada Hsiien-chuang ialah Chia-mo-lang-
chia, jang mirip dengan Kamalangka. Jang dimaksud oleh kedua
nama itu ialah tempat jang sama, jakni keradjaan Langkasuka.
jang letaknja disebelah tenggara Sriksetra. Uraian Hsiien-chuang
jang mengadakan perdjalanan melalui daratan, mengenai letak
Langkasuka, agak lebih djelas daripada uraian I-ts’ing. Katanja:
..Berdekatan dengan laut besar, dilembah pegunungan, terletak
keradjaan Shih-li-ch a-ta-Io (Sriksetra). Selandjutnja disebelah
tenggara disudut laut besar ialah keradjaan Chia-mo-lang-chia.
Terus ketimur ialah keradjaan To-lo-po-ti (Dwarawati). Terus
ketimur lagi ialah keradjaan I-shang-na-pu-lo (Iganapura). D i
sebelah timurnja ialah keradjaan Mo-ho-chan-po (Mahatjampa);
keradjaan ini djuga disebut Lin-i. Terus ketimur adalah keradjaan
Yen-mo-lo (Amarawati?). Untuk mentjapai enam negeri ini dja-
lannja melintasi gunung dan sungai jang sangat tjuram.”i
Baik Hsiien-chuang (Hiuen Thsang) maupun I-ts’ing djelas sekali
menempatkan Lang-ka-shu disebelah tenggara Sriksetra (Prome) dan
disebelah barat Dwarawati (Siam Selatan). Pernjataan inilah jang
menimbulkan keberatan terhadap kesimpulan Roland Braddell.
Letak keradjaan Dwarawati diuraikan dalam Chiu-T’ang Shu se
perti berikut: „Negara Tu-ho-lo berbatasan disebelah selatan dengan
P ’an-p’an, disebelah utara dengan Kio-lo-sheh-fu, disebelah timur de
ngan Chen-la dan disebelah barat dengan laut besar. Dari Kwang-chou
djauhnja lima bulan perdjalanan.” Dari uraian itu djelas sekali bahwa
jang dimaksud dengan Tu-ho-lo (Dwarawati) adalah negara jang
letaknja diwilajah Siam Selatan. Biasanja jang dianggap sebagai ibu-
kotanja ialah Nakon Prathom.
Coedes menempatkan Langkasuka di Semenandjung Melaju. Roland
Braddell dipantai timur Malaja, tegasnja dimuara Dungun. Penempatan
ini pada hakekatnja agak berlainan dengan . pemberitaan I-ts’ing dan
Hsiien-chuang. Keradjaan lama jang terletak disebelah tenggara Sri-
ksetra atau Prome dan disebelah barat Dwarawati adalah keradjaan
Mon. Djika berita I-ts’ing dan Hsiien-chuang itu benar, maka Lang-ka-
shu harus meliputi keradjaan Mon.
85
Menurut pemberitaan Hsiien-chuang keradjaan Langkasuka terletak
disudut laut besar, disebelah tenggara Sriksetra. Jang dimaksud dengan
sudut laut besar kiranja teluk Martaban. Lagipula I-ts’ing memberita
kan bahwa keradjaan Lang-ka-shu itu dalam rangka uraiannja menge
nai negeri-negeri disebelah timur India dan menjebutnja sesudah Sri
ksetra, dan sebelum Dwarawati. Sesungguhnja pemberitaan dalam
uraian Ch’ang-chiin jang berangkat dari Kanton ke Ch'ih-tu pada
tahun 607, belum djuga dapat memberi kepastian bahwa Langkasuka
itu terletak dipantai timur Malaja. Berita itu menjatakan bahwa Ch’ang-
chun pada bulan 10 tahun 607 berlajar dari Kanton dengan angin baik;
sesudah lebih daripada 20 hari berlajar, ia sampai dibukit Tsiao-shih,
jang membudjur ketenggara, lalu berlabuh di Ling-chia-po-pa-to, jang
berhadapan dengan Lin-i. Kemudian berlajar lagi menudju selatan,
sampai di Shih-tze-shih. Dari sini setelah berlajar dua/tiga hari me
lalui banjak pulau, nampak disebelah barat gunung-gunung keradjaan
Lang-ya-shu. Dari sini berlajar lagi keselatan, meninggalkan pulau
Chi-lung lalu sampai dipantai Ch’ih-t’u. Perahu ditambatkan, sesudah
sebulan lebih baru sampai diibukota.
Terdjemahan Dr. Luce diatas dipandang tidak tepat oleh Prof. Hsii.
Katanja: „Sesudah lebih dari sebulan berdjalan, sampai diibukota.”
Itulah jang terdapat di Sui Shu. Tidak ada berita tentang penambatan
perahu. Dalam T ’ung Tien ditulis: „Sesudah sebulan ia sampai diibu
kota. Menurut Prof. Hsii ibukotanja disebut dalam T ’ung Tien jakni
Shih-tze-cheng dan artinja kota singa, jang dimaksud dengan kota
singa ialah Singora. Singora adalah nama lama dari kota Songkla, jang
terletak dipantai timur Malaja, diwilajah keradjaan Siam pada garis 7°
101 L.U. Oleh karena itu Lang-ya-shu djuga terletak dipantai timur
Malaja, tetapi sebelah utara Ch'ih-t'u. Diterangkan oleh Prof. Hsii ten
tang Ch ih-t’u itu demikian. Ch’ih-t'u adalah terdjemahan dari nama
Melaju „Tanah Merah”. Berita Sui Shu dan T ’ung Tien memang me
njatakan, bahwa tempat itu disebut Ch’ih-t’u, oleh karena tanahnja
berwarna merah. Jang paling mentjolok ialah warna tanah merah di-
hulu sungai Kelantan. D i Singora dan Patani tanahnja memang ber
warna merah sebagai warna besi berkarat.
Dalam piagam Tanjore pada tahun 1030 dinjatakan djuga bahwa
Rajendracoladewa merampas keradjaan Illanggasogam. Illanggasogam
ini terang transkripsi Tamil dari Langkasuka. Penjebutan itu dilakukan
sesudah keradjaan Melaju (r) dan Mayirudinggam dan sebelum Mappa-
palam dan Mewilimbanggam. Krom mengikuti pendapat Coedes, bahwa
Langkasuka terdapat di Semenandjung Melaju. Dari piagam itu tidak
dapat ditarik kesimpulan apa-apa mengenai lokalisasi Langkasuka.
Demikianlah persoalan Langkasuka jang oleh umum dianggap sudah
86
terpetjahkan, pada hakekatnja masih samar-samar. Djika uraian Ch'ang-
chiin itu dihubungkan dengan uraian I-ts’ing dan Hsiien-chuang, maka
kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa keradjaan Langkasuka di-
sebelah barat berbatasan dengan Teluk Martaban, disebelah timur
berbatasan dengan Teluk Siam.
Prof. Hsii berpendapat bahwa pada masa pemerintahan dinasti Li
ang, Sui dan T'ang Langkasuka ada didaerah Ligor, jakni di Nakon
Sri Tamarat wilajah Siam. Dalam Wu-pei-chih disebut beberapa nama
sungai dan daerah dipantai timur Semenandjung diantaranja P’eng-
k’eng chiang (sungai Pahang), Ku-lan-tan chiang (sungai Kelantan)
dan Hsi chiang (utjapannja dalam Amoy Hokkien Sai Kang) jakni
sungai Telubin. Daerah jang dibatasi oleh sungai Kelantan dan sungai
Telubin menurut berita itu menghasilkan minjak wangi. Dato Douglas
menjamakan Lang-hsi-chia, jang terdapat pula dalam berita itu, dengan
Patani. Dalam Amoy Hokkien utjapannja Long-sai-ka. Nama itu di
samakan oleh Roland Braddell dengan Langkasuka. Oleh karena itu
ia sampai kepada kesimpulan, bahwa Langkasuka berpusat di Patani.
Kesimpulan itu didasarkan atas keadaan gelombang laut Tjina. Ge
lombang dari laut Tjina sampai disekitar pantai Patani, lalu mengalir
keselatan, sedangkan di Singora mengalir keutara. Keadaan gelombang
seperti dipantai Patani itu menggampangkan perahu jang akan ber
labuh.
13. To~ho~lo-po~ti
Dalam bukunja Record, I-ts’ing menjebut To-ho-lo-po-ti dua kali.
Jang pertama kali dalam rangkaian negeri-negeri disebelah timur India.
Jang kedua kalinja dalam rangkaian tumbuh-tumbuhan jang digunakan
sebagai obat. Dalam hal jang terachir ini diuraikan bahwa di Dwara-
wati terdapat tiga matjam rumput kardamom. Dalam tjatatannja Taka-
kusu menjebut tiga matjam kardamom itu seperti berikut: 1 . rumput
kardamom jang banjak tumbuh di Ling-nam jakni disebelah selatan
pegunungan Plum (Kwang-t.ung dan Kwang-hsi); 2. kardamom putih
atau kardamom tulang jang ditemukan dinegeri Ka-ho-ra(?); 3. karda
mom daging jang tumbuh dinegeri Su-li (sebelah barat Kashgar), djuga
disebut ka-ku-lok. Ka-ku-lok ini tidak ada di Tiongkok.
Bahwa To-ho-lo-po-ti adalah transkripsi Tionghwa dari Dwarawati,
tidak ada keberatan. Hanja lokalisasinja jang menimbulkan perbedaan
pendapat. Kapten St. John menjamak&nnja dengan Tangu lama dan
Sandoway di Birma. Prof. Chavannes menduga bahwa Dwarawati ada
lah nama Sansekerta dari Ayuthya atau Ayudhya disebelah utara Bang
kok, ibukota lama keradjaan Siam. Prof. Hsii melokalisasikan ibukota
87
Dwarawati di Nakon Prathom, disebelah barat Bangkok. Lokalisasi
itu didasarkan atas lokalisasi P ’an-p'an di Prampuri, jang terletak di
Teluk Siam pada garis 12.20° 98.85' L.U. Berita dari Chiu T ’ang
Shu seperti jang telah diterdjemahkan oleh Prof. Hsii mengatakan:
„Negeri Tu-ho-lo disebelah selatan berbatasan dengan P'an-p an, di
sebelah utara dengan Kia-lo-sheh-fu, disebelah timur dengan Chen-la,
dan disebelah barat dengan laut besar. Letaknja dari Kanton sepan-
djang perdjalanan lima bulan.”
Berita dari Sui Shu menjatakan: „Tu-ho-lo disebelah selatan berba
tasan dengan P ’an-p’an.” Berita dari I-ts’ing: „Disebelah timur Lang-
ka-shu terletak Dwarawati, dan diudjung timur ialah Lin-i. Ketiga
berita tersebut dengan djelas menjatakan bahwa Dwarawati terletak
disebelah barat Kambodja/Tjampa. Dua berita menjatakan, bahwa
P ’an-p’an terletak disebelah selatan Dwarawati. Hanja berita dari
Chiu T ’ang Shu jang menjatakan bahwa disebelah barat Dwarawati
berbatasan dengan laut besar. Djika benar P ’an-p’an itu Pran Buri.
maka menurut Chiu T ’ang Shu, Langkasuka jang berbatasan dengan
P an-p’an. dan dikatakan oleh I-ts’ing terletak disebelah tenggara Pro
me, Langkasuka meliputi daerah Tenaserim. Dengan sendirinja jang
berbatasan dengan laut besar jakni laut Andaman, bukan Dwarawati,
tetapi Langkasuka. I-ts’ing jang berlajar dari India, dengan djelas me-
njebut, bahwa disebelah timur Langkasuka ialah Dwarawati. Dem i
kianlah Dwarawati itu terletak antara Langkasuka dan Kambodja/
Tjampa. Disebelah selatan berbatasan dengan Pran Buri. Itulah Siam
pada abad ke 7 Masehi, sebelum kedatangan bangsa Thai dari T iongkok Selatan.
Dalam bukunja Memoire, I-ts’ing menjebut nama Langkasuka dalam
uraiannja mengenai perdjalanan I-lang, Chih-ngan dan I-hsiian, jang
berangkat dari Kanton melalui Funan sampai Langkasuka. Radja Lang
kasuka menerima mereka dengan upatjara. Chih-ngan djatuh sakit, lalu
meninggal disana. I-lang dan I-hsiian melandjutkan perdjalanannja ke
rilangka. Pemberitaan I-ts’ing ini penting sekali untuk mengetahui
3 Wa Pelajaran dari Tiongkok ke India dengan djalan menjusur pantai,
me a ui. pantai timur Malaja. Pelajaran itu tidak langsung dari Funan
e an-ma-shi (Tumasik) terus ke Melaju. Rupanja memang djalan
itulah jang biasa ditempuh. Dalam hubungan ini maka dapat diberita-
an disini bahwa I-ts’ing, dalam perdjalanannja dari Kwang-chou ke
^o-shih pada bulan 11 tahun 671 dengan menumpang perahu dagang
ersi tidak menjusur pantai kontinen Asia, tetapi mengarungi laut Tji-
na’ lan9sung menudju Fo-shih. Oleh karena itu pelajarannja hanja
makan waktu hampir duapuluh hari sadja. Dalam pelajaran jang kedua
kahnja pada tanggal satu bulan sebelas tahun 689, djadi 18 tahun ke-
mudian, ia berangkat dengan kapaJ dagang dari P ’an-yu menudju Fo-
shih melalui Lin-i. Ini berarti bahwa perdjalanan itu menjusur pantai.
Biasanja makan waktu sebulan. Perbedaan waktu sepuluh hari itu lalu
mudah dipahami. i
Pada abad ketiga sampai kelima pelajaran menjusur pantai ini dapat
langsung dari Funan ke Langkasuka. Pada waktu itu jang berkuasa
sepandjang pantai laut Tjina ialah Funan. Funan menguasai tanah
datar sepandjang sungai Mekong, pantai Vietnam dan Kambodja, me
luas sampai Siam dan pantai timur Malaja. Tetapi pada abad ketudjuh
kekuasaan Funan itu dipatahkan oleh Kambodja jang disebut Chen-la
oleh para ahli sedjarah Tionghwa.' Sedjak itu perahu-perahu jang
menjusur pantai diharuskan singgah dipelabuhan Kambodja. Dengan
sendirinja pelajaran itu makan waktu ’ lebih lama. Pelajaran menjusur
pantai dari Tiongkok kenegeri-negeri Selatan dan kebarat bertambah
intensif sedjak pemerintahan dinasti Sung-shu, Liang-shu dan T ’ang.
Pada pemerintahan Sung dan Liang politik mulai diarahkan untuk
menguasai negeri-negeri dilaut Selatan. Persahabatan dan perdagangan
dengan negeri-negeri dilaut Selatan diperluas. Kundjungan dari dan
kenegeri Selatan lebih banjak dilakukan daripada waktu jang sudah-
sudah. Sedjak pemerintahan Liang (502-557) tiap tahun kaisar me
ngirim utusan keliling untuk menarik padjak dan upeti dinegeri-negeri
Selatan, jang bersahabat baik dengan Tiongkok. Akibat persahabatan
itu negeri-negeri jang bersangkutan mendapat perlindungan. Apalagi
pada zaman pemerintahan dinasti T ’ang (618-907), ketika Tiongkok
sudah bersatu kembali. Persahabatan dengan Tiongkok betul-betul di
rasakan sebagai usaha mentjari perlindungan terhadap serangan negeri
tetangganja. Baik mengenai perdagangan maupun mengenai persaha
batan Tiongkok sesungguhnja bersikap pasif. Perahu-perahu dagang
jang pulang-pergi melalui djalan pelajaran tepi pantai dan tengah samu-
dera adalah perahu dagang asing jang datang dari Arab. India. Persi
dan negara-negara dilaut Selatan. Para pendeta jang berangkat ke In
dia, kebanjakan menumpang perahu asing. Dalam soal persahabatan
lebih banjak kundjungan tetamu dari negeri sahabat daripada pengi
riman utusan dari Tiongkok kenegeri lain. Mungkin sekali kundjungan-
/ kundjungan utusan Tiongkok- tidak biasa tertjatat dalam sedjarah
negeri-negeri dilaut Selatan atau dinegeri lainnja. Hanja satu-dua sadja
jang diberitakan, terutama djika utusan itu menjangkut hal-hal jang
agak istimewa. Kebalikannja kundjungan dari luar banjak sekali. Bah
kan kundjungan-kundjungan utusan dari luar itu perlu diatur waktu-
nja.Dari T ’ang Hui Yao kita tahu bahwa tanggal 5 bulan 9 tahun 695
dikeluarkan perintah untuk mengadakan persiapan menerima utusan\
89
i
dari luar: enam bulan untuk utusan dari negeri-negeri India Selatan
dan India Utara, Persi dan Arab; lima bulan untuk utusan dari Fo-shih,
Chen-la, Ho-ling dan sebagainja; tiga bulan untuk utusan dari negeri
Lin-i. Utusan dari negeri luar tidak dapat datang sewaktu-waktu me
nurut kehendak radja jang mengutusnja. Kedatangan para utusan untuk
mempersembahkan upeti semuanja ditjatat. Dan dari para utusan itu
lah sesungguhnja mereka memperoleh pengetahuan jang agak luas
tentang geografi dan situasi negeri-negeri asing, terutama negeri-negeri
dilaut Selatan. Bagaimanapun pengetahuan jang diperoleh dari sumber
jang demikan, kurang dapat dipertjajai. Oleh karena itu kadang-kadang
sulit untuk mentafsirkannja. Tetapi disamping itu ada djuga sumber
pengetahuan geografi dam situasi negeri-negeri dilaut Selatan jang asli,
berasal dari pengundjung negeri-negeri itu sendiri seperti Fa-hien,
I-ts'ing, Chia-tan, Hsuen-chuang, dan sebagainja. Perdjalanan melalui
laut dan daratan dari Tiongkok ke India atau kenegeri Selatan lalu
mendjadi djelas. Pada zaman pemerintahan dinasti T ’ang kesadaran
sebagai warganegara Tiongkok bernjala pada para perantau dinegeri-
negeri dilaut Selatan. Masing-masing sadar dan bangga mendjadi
,,orangnja T ’ang”. I-ts’ing dalam uraiannja tentang pendeta Wu-hing
jang singgah di Sriwidjaja, dengan bangga mengatakan: „Sang radja
menerimanja sangat baik dan menghormatinja sebagai tamu dari negeri
putera dewata, T ’ang Agung.”
90
IV
PUSAT KERADJAAN SRIW IDJAJA
Dalam sedjarah Ming dikatakan bahwa Kan-to-li adalah nama lama
keradjaan San-fo-ts’i. Gerini melokalisasikan Kan-to-li dipantai timur
Semenandjung. Berdasarkan pendapat Gerini itu R.C. Majumdar
mengambil kesimpulan bahwa keradjaan San-fo-ts'i terdapat dipantai
timur Semenandjung. Oleh karena Kan-to-li menurut pendapatnja me
liputi Kadara atau Kidara (menurut piagam Tamil), maka San-fo-ts’i
sama dengan Kadara. Nama Kan-to-li sesuai dengan nama Kadara,
nama San-fo-ts’i sesuai pula dengan Zabag dari berita Arab. Perbeda-
annja semata-mata terletak pada n jang terdapat pada nama Kan-to-li
dan San-fo-ts’i jang berasal dari berita Tionghwa. Tentang hal ini akan
banjak kita bitjarakan pada pasal KERADJAAN SAN-FO-TS’I.
Ir. Moens beranggapan bahwa keradjaan Sriwidjaja lama terdapat
dipantai timur Semenandjung. Alasan jang dikemukakannja berdasar
kan berita geografi dari sumber Tionghwa. Dari sedjarah Sung tertjatat
bahwa empat hari perdjalanan dari Ch’o-p’o orang sampai dilaut;
djika berlajar kearah barat laut sesudah limabelas hari orang sampai
di P ’u-ni, dan limabelas hari lagi sampai di San-fo-ts’i. Djuga diberita
kan bahwa San-fo-ts’i terletak diantara Chen-la dan Ch’o-p’o. Ber
dasarkan dua berita geografi itu Moens mengambil kesimpulan, bahwa
San-fo-ts'i terletak di Semenandjung. Dan berdasarlcan berita Arab
dari Abu Zayd jang mengatakan bahwa ibukota Zawaga berhadap-
hadapan dengan Tiongkok, maka diambil kesimpulan, bahwa San-fo-ts’i
terletak dipantai timur Semenandjung. Menurut pendapatnja Zabag
sama dengan San-fo-ts'i. Achirnja ia menjamakan San-fo-ts’i dengan
Kadaram dan melokalisasikan Kadaram dipantai timur Semenandjung.
Moens beranggapan bahwa San-fo-ts’i bersaingan dengan Palembang.
Setelah mengalahkan pusat keradjaan Palembang dan mengusir ke
luarga radja, San-fo-ts’i mendirikan pusat keradjaan baru didaerah
Melaju, jakni dimuara Takus. Lokalisasi pusat keradjaan San-fo-ts’i
dimuara Takus itu didasarkan atas:
( 1 ) Berita I-ts’ing mengenai bajang-bajang diwelacakra jang tidak
mendjadi pandjang atau pendek pada pertengahan bulan delapan.
Pada tengah hari orang jang berdiri dimatahari, tidak mempunjai
bajang-bajang samasekali. Muara Takus terletak pada garis katu-
listiwa.
(2 ) Atas berita achli peta Chia-tan, jang menjatakan bahwa disebelah
utara Chih-chih terletak keradjaan Lo-yue dan disebelah selatan
terletak Shih-li-fo-shih. Berita itupun tjotjok.
91
(3) Atas berita Arab jang berasal dari Ibn Said dan Abui Fida, jang
mengatakan, bahwa ibukota Sribusa terletak dimuara sungai.
Menurut Moens sungai Kampar 1200 tahun jang lalu djauh lebih
kebarat daripada sekarang.Muara Kampar sebagai pelabuhan hingga sekarang masih ramai
hubungannja dengan Singapura. Kemunduran pelabuhan M uara Kam
par disebabkan timbulnja pelabuhan Teluk Bajur (Emma) dipantai
barat. Menurut dongeng benteng ibukotanja memandjang sebulan per-
djalanan tikus. Moens mentjeriterakan adanja nama radja Bitjau jang
dianggapnja sebagai ubahan dari nama radja (Sri)widjaja, dan do
ngeng tentang adanja datu Sriwidjaja jang menetap di Kota Baru.
Berdasarkan alasan-alasan itu semuanja Moens mengambil kesimpulan,
bahwa pusat keradjaan Sriwidjaja terletak di Muara Takus dekat tem
puran Kampar Kanan dengan Batang Mahat di Sumatera Tengah.
Quaritch V/ales mentjari pusat keradjaan Sriwidjaja di Chaiya atau
Ligor di Teluk Bandon. Pendapatnja ini kemudian berobah. Ibukota
Sriwidjaja dilokalisasikan di Kadaram, dan Kadaram menurut penda
patnja terletak di Perak dilembah Kinta. Tetapi tidak ada peninggalan-
peninggalan sedjarah jang berupa barang-barang purbakala jang ke
dapatan ditempat tersebut.
Semata-mata berdasarkan pertimbangan atas keuntungan letaknja
kota Djambi dari sudut perdagangan dan pelajaran dalam hubungannja
dengan Selat Malaka jang merupakan tempat lalu-lintas dari Tiongkok
kebarat dan kebalikannja, Drs. Sukmono menolak Palembang sebagai
pusat keradjaan Sriwidjaja dan melokalisasikan pusat keradjaan itu
dikota Djambi. Letaknja kota Djambi zaman dahulu berbeda dengan
zaman sekarang. Hal itu dengan sendirinja tidak luput dari pertim
bangan. Karena tindjauan dari sudut geomorfologi ini penting, maka
karangan itu dikutip seperti dibawah ini:
. . K e b e r a t a n tentang lokalisasi (Jriwijaya di Palembang itu terutama
sekali didasarkan atas sangat sedikitnja peninggalan-peninggalan pur
bakala disana. Dalam tahun 1930 Bosch sudah mengemukakan ke-
sangsiannja, ketika ia menjatakan bahwa „de persoonlijk opgedane
ervaring, dat de hoofdplaats (Palembang) nagenoeg gene overblijfselen
bevat, die aan het glorierijk bestaan van het oude Qriwijaya kunnen
herinneren, heeft met klem de vraag naar voren gebracht, of wel ooit
de hoofdstad van dat rijk op de plaats van het huidige Palembang
gevestigd is geweest” , dan kemudian berkesimpulan ......... de oudheid-
kundige overblijfselen (geven) geen steun aan de gangbare onderstel'
hng. dat de hoofdstad Qriwijaya op de plaats van de tegenwoordige
kota Palembang gelegen was. Pun Nilakanta Sastri, jang bagaimana"
pun djuga tetap mempertahankan Palembang untuk lokalisasi Criwijaya
92
new site V «?3-1’-bahWa ”n° CaSC haS been made ° Ut ^ loCatÜ19 the menentera° t nV1J'3ya eIsewhere in Sumatra than at Palembang” harus
archeolo 301 an dln den9«n perkataan „the most total absence of
a myste^ 1Ca f VeStl9ES ° f SriviJ'aya at Palembang (Srivijaya) remains
Sumbe^ ° W1C no s° lution is forthcoming as yet.”
berita Tio UL3ma untu^ l°kalisasi Çriwijaya sebenarnja adalah berita-
Fo-che Ch* Wa’ J ra^ ’ ^ unani dan India. Disitu didapatkan nama-nama
dan seba ! ^°”Cke' San-fo-ts'i, Sribuza, Zabag, Sabadibai, Çriwisaya
atau u f 39amia’ ^3n semuania sudah dapat diterima sebagai edjaan
berita it3^ 1 aSingr. untuk Çriwijaya. Didapatikan pula dalam berbagai
sasi itu 3 'SaSi temPat_tempat tersebut. Sajang sekali bawa lokali-
struksi n 't 3 a ™emberi sesuatu kepastian, sehingga didalam merekon-
D iant £ 3 Sia r en" ,ara terdapat banjak perbedaan pendapat,
dar iana h P3ra Penentan9 Coedès mula-mula tampil kemuka Majum-
nantinja ,.e^ .en^ Ir*an bahwa Çriwijaya itu harus ditjari di Djawa dan
atas pe ■ i - j -if dan kemudian Quaritch "Wales jang berdasarkan kan Cri ' ann a dldaerah Chaiya berkesimpulan untuk menempat-
sendiri d *tU d* Chaiya. Kedua pendapat ini dibantah oleh Coedès
Palemha n^an sangat tegas, sehingga identifikasi Çriwijaya dengan
ianq den ^ men a^1' kokoh. Penentang jang kuat adalah Moens,berita Ti^ n ™erek°nstruksikan peta Asia Tenggara berdasarkan berita-
ya itu mi 1 ^ ^ 3n ^ rab sampai kepada kesimpulan, bahwa Çriwija-
sunqai K mU 0r^usat ^ Kedah dan kemudian didaerah pertemuan
belum da an3n dan ®atang Mahat. Meskipun teori Moenstrarlici” t. * ar*tah sepenuhnja, namun tidak dapat pula merobah
Beta ’ Çriwijaya itu di Palembang,
asinq itu^ • SU!*tn a menggunakan bahan-bahan dari berita-berita
hampir d lia n V u dan kesimpulan Roland Braddell, jang selama
nia untuk PU uh tahun telah berturut-turut mengumumkan hasil studi-
terdapat d a T ^ 9 entlflkasikan dan melokalisasikan tempat-tempat jang
niaX “ ? r ber,,a^,Si"9 tadl' dan ^ ~ p u r p o s e h a « K a a m s e n e i t u m e n g a t a k a n , b a h w a ........................... O u r m a i n
vestioated iri t0 protest a9ainst the repetition of insufficiently in-
than thev , ntlflCations’ and to from sinologists far more help
geography ^ COnstruction of the ancient historical
kala, achli b a h L ^ a c h r 311 ' ^ ^ 3^ ^ kebeSaran Para achli Purba~ memberikan s.imk ' * ^ achli-achli lainnja, jang telah
ya, pada kesemn ?n9a.nn,’a jang tak ternilai terhadap sedjarah Çriwija-
hal jang pada h ^ ““ ^ m9‘n meminta Perhatian terhadap suatu
T en ig a ra z a l Î ? PatUt dipe' hatU- » ' i»«- « • , pe.a Asian,a” Ç r'W,'a^ sangat berlainan daripada apa dapa,
93
kita lihat sekarang. Hal ini oleh para achli tersebut tadi tentu dimak
lumi, akan tetapi selandjutnja tidak diperhitungkan. Maka dari itu dalam
usaha melokalisasikan Sriwijaya, terlebih dahulu kita harus mentjari
pegangan pokok dengan djalan merekonstruksi peta Asia Tenggara,
chusus garis-garis pantainja, lebih chusus lagi pantai jang berbatasan
dengan bagian barat Sunda-plat. Usaha kearah ini dilakukan pula
oleh Moens dan Roland Braddell, akan tetapi satu tjabang ilmu pe
ngetahuan jang dapat memberi bantuan untuk mendapatkan sesuatu
kepastian tidak mereka gunakan. Jang saja maksudkan ialah geomor-
fologi.
Usaha untuk mempetakan pantai-pantai disebelah barat Sunda-plat
pertama kali dilakukan oleh Obdeyn jang berdasarkan geomorfologi
melokalisasi tempat-tempat jang tersebut dalam berita-berita Tiong-
hwa dan sebagainja. Antara lain ia sampai kepada kesimpulan, bahwa
didalam zaman £ riwijaya> Bangka-Belitung bersambung mehdjadi satu
dengan djazirah Malaka melalui kepulauan Lingga dan Riau. Karena
Selat Sunda belum ada (Sumatera bersambung dengan D jawa), maka
pelajaran internasional India^-Indonesia.—Tiongkok harus mengitari
Bangka-Belitung sehingga pantai timur Sumatera dan pantai utara
Djawa mendjadi sangat penting.
Meskipun hasil-hasil usaha Obdeyn itu untuk sebagian besar tidak
dapat diterima oleh para achli jang berkepentingan, namun djelaslah
kiranja bahwa geomorfologi adalah ilmu jang dapat memberi bahan-
bahan baru lagi untuk lokalisasi Sriwijaya. Maka sajanglah, bahwa
kegagalan Obdeyn itu menjebabkan hasil telaahannja tidak mendapat
sambutan dan tenggelam begitu sadja dalam timbunan teori-teori jang ada.
Namun usaha Obdeyn itu djugalah jang didjadikan pangkal, ketika
Dinas Purbakala dalam tahun 1954 atas perintah Menteri P.P. & K.
(Mr. Moh. Yamin) melakukan penjelidikan terhadap £riwijaya, ter
utama untuk meneliti garis pantainja dan lokalisasi peninggalan-
peninggalan purbakala. Penjelidikan ini dilakukan baik dari udara
maupun didarat, dan oleh karena geomorfologi akan didjadikan bahan
utama, maka chusus untuk keperluan ini telah dipindjam seorang achli
geomorfologi dari djawatan Topografi Angkatan Darat, ialah Dr.
H.Th. Verstappen.
Hasil penjelidikan dari udara ialah, bahwa garis jang memisahkan
tanah tertiair dari tanah quartair (terutama alluvium) — sebagaimana
dinjatakan dalam peta-peta geologi — dapat dianggap sebagai garis
pantai dahulukala. Maka dengan garis pantai ini sebagai pegangan,
ternjata bahwa Palembang dan Djambi terletak dipantai laut, Palem
bang pada udjung djazirah jang berpangkal di Sekaju, dan Djambi
94
pada sebuah teluk jang mendjorok kedalam sampai di Muara Tem-
besi.
Penjelidikan didarat ternjata memperkuat hypothese ini. Semua pe
ninggalan purbakala, baik didaerah Palembang maupun di Djambi dan
Muara Djambi, tidak ada jang terletak diatas tanah alluvium. Djuga
tempat-tempat ditemukannja batu-batu bersurat, seperti Kedukan Bu
kit, Talang Tuwo dan Telaga Batu letaknja diatas tanah tua.
Menurut keadaannja sekarang, kota-kota Palembang dan Djambi itu
masing-masing letaknja kira-kira 70 km dari laut, dan tanah alluvium
jang penuh rawa-rawa dan mendjadi ladjur dataran rendah dipantai
timur Sumatera itu adalah hasil pengendapan sungai-sungai jang mem
bawa lumpur dari daerah pedalaman kelaut. Timbullah pertanjaan,
apakah mungkin sedjak zaman Çriwijaya itu pengendapan-pengendapan
tadi telah dapat merobah garis pantai itu begitu rupa, sehingga kedua
kota tadi mendjadi terpisah demikian djauhnja dari laut?
Menurut van Bemmelen garis pantai pada muara Batang Hari ber
tambah lebar IV i km dalam tempo 100 tahun, jang berarti rata-rata
75 m tiap tahun. Lebar seluruhnja dari ladjur alluvium disini kira-kira
ada 140 km, ,,so that it may have come into existence since the begin-
ning of the Christian era.” Tentang air Musi dikatakan, bahwa peng
endapan jang setjepat ini ialah karena di Palembang sungai Musi men
dapat tambahan air sungai-sungai Ogan dan Komering, maka dapat
pula diambil kesimpulan, pantai baru dimulai pada awal tarich M a
sehi.
Mengenai pengendapan ini tidak boleh djuga dilupakan, bahwa de
ngan mengambil garis pemisah tanah tertiair dan quartair sebagai
pangkalnja, permulaan pengendapan air Musi itu berlangsungnja di
Sekaju (djarak terbang 100 km disebelah barat Palembang) dan bagi
Batang Hari permulaannja di Muara Tembesi (60 km djarak terbang
disebelah barat Djambi). Ditambah lagi dengan kenjataan, bahwa
proses pengendapan di Sekaju dan Muara Tembesi lebih lambat
berlangsung daripada pengendapan sesudah melewati Palembang dan
Djambi, maka dengan mendekati kepastian dapatlah kini kita katakan,
bahwa dalam zaman Çriwijaya kota-kota Palembang dan Djambi
terletak ditepi laut; Palembang pada udjung djazirah dan Djambi pada
suatu teluk. Seperti kita ketahui keradjaan Çriwijaya — dengan ups
and downsnja .— berlangsung dari pertengahan achir abad ke 7 sampai
achir abad ke 14. Selama tudjuh abad itu tentu sadja garis pantai jang
telah saja gambarkan tadi mengalami perubahan-perubahan jang tidak
sedikit. Hal ini njata misalnja dari berita-berita Arab dan Tionghwa
dari abad ke 13 jang menjatakan bahwa Çriwijaya terletak ditepi sungai
besar. Hanja gandjilnja ialah bahwa pada peta-peta V.O.C. diantara-
95
nja ada jang bahkan berasal dari tahun 1660, Palembang dan Djambi
itu masih digambarkan ditepi pantai. Mungkin hal itu disebabkan
karena petanja terlalu ketjil, sehingga djarak-djarak ketjil tidak ditam
pakkan, dan lagi oleh karena kedua kota itu memang merupakan
pelabuhan samudera didalam zaman itu.
Mengingat akan hal jang terachir ini, jaitu bahwa dalam abad ke 13
(^riwijaya terletak ditepi sungai, pula dengan menghitung ketjepatan
pengendapan sungai-sungai Musi dan Batang Hari mulai dari Sekaju
dan Muara Tembesi, maka dapatlah kini kita tentukan bahwa lokali
sasi Qriwijaya ditepi laut hanja berlaku dari permulaan sedjarahnja
sampai sekitar tahun 1000 Masehi. Kesimpulan ini kiranja mendapat
sokongan dari peninggalan-peninggalan purbakalanja didaerah Djambi.
Kalau sebuah bangunan (tjandi) di Solok Sipin ditepi barat kota
Djambi berangka tahun 1064, maka dimuara Djambi terdapat bangunan
jang berasal dari zaman Singasari. Hal ini dihubungkan dengan apa
jang dikenal sebagai ,,Pamalaju” memberi kesan, bahwa tentara Singa
sari sampainja di Malaju, bukan Djambi melainkan djauh ketimur lagi,
jaitu di Muara Djambi, untuk kemudian menudju kedaerah sungai
Dareh. Pun peninggalan-peninggalan zaman V .O .C . (benteng dari
tahun 1724) didaerah ini terdapat di Muara Kompeh. antara Djambi
dan Muara Djambi.
Setelah kita merekonstruksi garis pantai timur Sumatera itu untuk
melokalisasi Qriwijaya, kita masih djuga perlu meneliti garis-garis pantai
jang berhadapan dengan pantai tadi guna merekonstruksi djalan-djalan
pelajaran zaman Criwijaya. Seperti sudah dikatakan dimuka, Obdeyn
berpendapat bahwa djazirah Malaka bersambung mendjadi satu dengan
kepulauan Riau-Lingga dan Bangk'a-Belitung. Terhadap pendapat ini
Verstappen menjatakan dengan tegas bantahannja, dan berpendapat
bahwa didalam zaman £riwijaya kepulauan Riau dan Lingga memang
merupakan tanah landjutan dari djazirah Malaka, tetapi Bangka dan
Belitung terpisah oleh laut. Pandangan ini sesuai dengan apa jang
njata dari peta-peta hydrografi. Pun dari sudut geologi pendapat ini
dapat dipertanggung djawabkan. Menurut van Bemmelen kepulauan
Lingga, Bangka dan Belitung itu, „belong to a mountain range wich
had largely been baselevelled and which was partly abraded. It has
of the sea in late quarternary time. They represent a drowned topo
graphy”, dan selandjutnja ia katakan bahwa „Singkip, Bangka and
Billiton are surrounded by an aureole of submerged river valleys, con
taining alluvial tin-ores”.
Kesimpulan jang kini dapat kita tarik mengenai rekonstruksi peta
daerah Riau dan kepulauan Lingga ialah, bahwa didalam zaman Qri-
wijaya daerah-daerah ini bukannja terdiri atas pulau-pulau melainkan
96
merupakan udjung selatan djazirah Malaka. Dengan menjesuaikan ke
adaan garis pantai Sumatera sendiri, gambaran tanah Riau ini dapat
djuga kiranja dipertahankan sampai sekitar tahun 1000 Masehi. N a
mun, kalau sedjak masa ini daerah itu sudah mulai berpetjah-petjah
mendjadi kepulauan, selat-selat sempit dan dangkal diantara pulau-
pulaunja belum djuga dapat dipakai untuk pelajaran. Daerah ini bah
kan terkenal sebagai sarang badjak-badjak laut jang selalu mengganggu
djalan pelajaran di Selat Malaka.
Rekonstruksi peta daerah Riau ini dapat pula kiranja memberi pen-
djelasan, mengapa di Pasir Pandjang (udjung utara pulau Karimun)
terdapat tulisan dari abad ke 9 jang' menggunakan huruf-huruf Dewa-
nagari dan bersifat agama Buda Mahayana. Tempat ini sebagai udjung
jang mendjorok kelaut dan jang tentu dihadapi orang dalam pelajaran
dari utara keselatan melalui Selat Malaka adalah tempat jang penting,
mungkin sebagai tempat singgah dan mungkin pula hanja sebagai
tanda peringatan atau petundjuk pelajaran.
Setelah kita merekonstruksi djalannja pantai-pantai dahulu disekitar
Palembang — Djambi dan kepulauan Riau, dapatlah kita kini berusaha
menetapkan djalan-djalan laut jang menghubungkan India dengan In
donesia dan dengan Hindia Belakang serta Tiongkok. Oleh Quaritch
W ales telah dapat dibuktikan, bahwa bagian tersempit djazirah M a
laka (disekitar teluk Bandon) memegang peranan penting sebagai
kuntji djalan perdagangan antara India dan Tiongkok. Djalan ini ada
lah djalan darat, sehingga disini muatan kapal harus dibongkar untuk
dipindahkan kekapal-kapal lain, suatu hal jang bagi niaga laut tidak
sedikit menimbulkan kesulitan dan kerugian. Maka djalan ini terang
tidak banjak mempengaruhi djalannja pelajaran mengitari djazirah
Malaka. Ada djuga pendapat, jang baru-baru ini dikemukakan oleh
Chand, bahwa „at one time there was a sea route through the pe
ninsula that made present day Malaya as island”, akan tetapi utjapan
ini hanja berupa kalimat demikian sadja, tanpa disertai sesuatu bukti
atau pun pendjelasan. Dengan demikian pendapat ini tidak dapat kita
perhitungkan dalam uraian sekarang ini.
Djalan lain jang mungkin menghubungkan lautan Hindia dan laut
Tiongkok Selatan adalah Selat Sunda, akan tetapi menurut Obdeyn
Selat Sunda ini baru dikenal oleh orang-orang Tiongkok dan Arab
Sedjak tahun 1175. Pendapat ini disokong pula oleh van Bemmelen,
jang menjatakan „It is possible that indeed, Strait Sunda, did not yet
exist in older historical times in its present configuration. The link bet
ween South Sumatra and Java has probably been engulfed in the early
quartenary, accompanied by paroxysmal volcanic outbursts” dan ke
mudian dalam subchapter „Speculation on the Origin of the origin
97
of Strait Sunda” sampai kepada kesimpulan bahwa „It is possible that
(Selat Sunda) became navigable scarcely one thousand years ago.
Especially the narrow passage across the northmost branch of the
Great Lampong fault, with the island of Dwars-in-de-weg (Sangiang)
in the middle, could be navigated only since the middle ages”.
Dengan tertutupnja kemungkinan hubungan pelajaran dilakukan
melalui Teluk Bandon dan Selat Sunda, maka djelaslah betapa pen-
tingnja Selat Malaka dan Selat Berhala didalam zaman Sriwijaya
sebelum tahun 1000 Masehi. Tiap kapal dari dan ke India, Djawa dan
Hindia Belakang, Tiongkok harus melalui teluk Djambi.
Dari kenjataan ini nampaklah dengan djelas, bahwa Djambi mem-
punjai kedudukan jang lebih penting daripada Palembang, jang hanja
disinggahi oleh kapal-kapal jang melewatinja dalam pelajarannja antara
Selat Malaka dan pulau Djawa sadja. Lagipula Djambi itu letaknja
menghadap kelaut bebas, sedangkan Palembang pada suatu selat sadja.
jaitu selat Bangka. Maka diantara Palembang dan Djambi untuk Sri
wijaya, pilihan akan lebih tepat kalau djatuh pada Djambi.
Teluk Djambi memang sangat ideal untuk suatu pelabuhan samu-
dera, pula untuk pertahanan terhadap serangan-serangan dari laut,
sebab dimulut teluk itu terdapat tiga buah pulau. Pada salah satu pulau
jang paling luar terdapat sebuah dusun sekarang jang bernama Muara
Sabak, dan menurut keterangan beberapa orang di Djambi didusun
itu ada pula ditemukan peninggalan-peninggalan purbakala. Adanja
tiga pulau dan dusun Sabak itu sungguh menarik perhatian, karena
dari Ptolomeus diketahui adanja 3 pulau Sabadeibai, jang oleh Krom
dilokalisasikan disekitar Palembang, sedangkan „wanneer wij in deibai
weder het gewone dwipa in zijn Prakrit-vorm vertegenwoordigd mo-
gen denken, houden wij Saba als eigenlijke plaatsnaam over” . Terlalu
djauhkah kalau kita menarik ikesimpulan, bahwa ketiga pulau di Teluk
Djambi itulah jang dimaksudkan oleh Ptolomeus?
Pun pada peta kuno (abad ke 16 — 17), jang dipakai sebagai bahan
oleh Obdeyn, kita djumpai nama-nama „Saban” dan „Sabi” , jang
letaknja disebelah utara „Palimbao” (Palembang), tepat dimana kita
mengharapkan letaknja Djambi.
Tidakkah lebih masuk akal, kalau perkataan-perkataan Zabaj, Za-
bag, dari berita-berita Arab kita identifikasikan dengan (M uara) Sa
bak? Mungkin pula bahkan Sabak ini adalah pelabuhan bagi (Jriwijaya
jang beribukota Djambi di Djambi. Inilah kiranja jang menjebabkan
berita-berita Arab itu mengatakan adanja maharadja dari Zabag.
Tidak masuk akal pulakah, kalau San-fo-tsi dari berita-berita Tiong-
hwa itu kita identifikasikan dengan (Muara) Tembesi, sebuah kota
98
di Qriwijaya djuga, tetapi mempunjai kedudukan penting karena letak-
nja diudjung teluk Djambi dan dimuara Batang Hari, dan dengan
demikian mendjadi penghubung penting antara pantai dan daerah pe
dalaman?
Dapatkah kesimpulan untuk melokalisasikan Sriwijaya di Djambi
itu memperoleh dukungan dari bahan-bahan ilmu purbakala? Djawab-
nja menguntungkan, bahkan memperkuat kesimpulan ini. Prasasti-
prasasti jang didapatkan disekitar Palembang, jang sampai kini dipakai
untuk memperkuat pendapat bahwa di Palembanglah letaknja Sriwija
ya, kalau kita teliti kembali bahkan akan memperkuat kebalikannja.
Penelitian kembali ini dimungkinkan oleh diterbitkannja prasasti Te
laga Batu oleh De Casparis, jang ternjata „Consists of a long impre-
cation directed against the perpetrators of all possible crime against
the king and the state Sriwijaya" dan asalnja dari masa jang seperti
prasasti-prasasti lainnja. Kalau Palembang memanglah ibukota £ri-
wijaya, dapatkah masuk akal, bahwa kutukan-kutukan jang berupa
antjaman sangat mengerikan itu djustru diabadikan diibukota? Mung
kin warga ibukota sendiri diantjam setjara demikian oleh radjanja?
Prasasti Telaga Batu bukanlah piagam radja dan negara Sriwijaya
jang berpusat atau beribukota di Palembang. Peringatan itu adalah
usaha mendjamin ketertiban (dengan istilah sekarang: follow up dari
suatu operasi militer) dari seorang radja Sriwijaya jang telah berhasil
menduduki Palembang. Inilah kiranja interpretasi jang dapat memberi
pendjelasan kepada prasasti Kedukan Bukit, lebih-lebih setelah ada lagi
petjahan prasasti lainnja jang memuat keterangan tambahan terhadap
prasasti tersebut. Follow up jang positif ialah pemberian suatu hadiah
kepada masjarakat jang telah tunduk itu, agar mereka mengetjap ke
bahagiaan atas kemurahan radja, dan inilah jang dimaksudkan dengan
„pranidhana” jang dikekalkan pada batu Talang Tuwo (tahun 684,
djadi tahun berikutnja dari prasasti Kedukan Bukit).
Dalam rangka ini maka prasasti Kota Kapur dan Karang Brahi jang
sama isinja, adalah peringatan-peringatan jang dimaksudkan untuk
memperkuat kedudukan £riwijaya. Kota Kapur di Bangka adalah tem
pat jang strategis untuk menguasai djalan laut dimuka pelabuhan Pa
lembang, dan Karang Brahi terletak didjalan raja (sungai dan darat)
antara pantai timur dan daerah pedalaman, jang banjak mengandung
emas. Dan tempat-tempat jang chusus diperkuat itu adalah tempat-
tempat jang sesuai dengan siasat untuk mendjamin pertahanan S ri
wijaya, dan jang memperkuat pula pilihan kita untuk melokalisasi Qri-
wijaya dan Djambi.
Pun peringatan-peringatan purbakalanja jang berupa artja tidak ber
tentangan dengan kesimpulan kita. Artja Buda jang besar sekali dari
99
Bukit Siguntang, jang tjoraknja dapat dikembalikan kepada langgam
Amarawati, dan artja-artja perunggu jang didapatkan dari dalam
sungai dan bertjorak langgam Gupta, merupakan petundjuk kearah
Buda Mahayana di Palembang disekitar abad ke 6 — 7. Kenjataan ini
dihubungkan dengan berita I-ts’ing — seorang musafir Tionghwa jang
mendjelang achir abad ke 7 lama sekali tinggal di Sriwijaya — bah
wa didaerah lautan Selatan agama Buda jang ia djumpai dimana-
mana adalah Hinayana (dari aliran Mulasarwastiwadanikaya) ketjuali
di Melaju dimana ia djumpai penganut-penganut agama Buda M aha
yana, menutup segala kemungkinan untuk melokalisasi Qriwijaya
di Palembang. Maka menarik perhatianlah, bahwa Moens djustru
mengidentifikasikan Melaju itu dengan Palembang, meskipun Sumatera
Tengah (Djambi dan Muara Takus) ia masukkan pula.
Djelaslah kini, bahwa rekonstruksi berdasarkan geomorfologi jang
memberi kesimpulan untuk melokalisasikan Qriwijaya di Djambi se
suai djuga dengan bukti-bukti peninggalan purbakala.
Sesuaikah pula kesimpulan ini dengan berita-berita Tionghwa, Arab
dan lain-lain sebagainja? Seperti' sudah dikatakan dimuka, mengenai
berita-berita Tionghwa itu Roland Braddell sampai kepada kesimpulan
untuk memprotes „the repetition of insufficiently investigated identi
fications” dan „to ask from sinologists for more help”. Lebih sem
purna lagi kiranja, kalau protes ini ditambah dengan penjesalan jang
sangat terhadap tradisi, jang — berdasarkan atas „insufficiently ¡in
vestigated identifications” — itu mendjadi penghalang untuk me-
nindjau kembali teori-teori jang sudah usang. Dalam hal ini sangatlah
menarik perhatian, bahwa salah satu sumber terpenting jang dipakai
oleh Moens untuk kartografinja, baru-baru ini oleh W illiam T. Kao
dapat dibuktikan sebagai sumber jang tidak seharusnja dipertjajai se-
tjara mutlak. Sumber ini adalah berita dari Kia-tan, „one of China’s
most celebrated cartographers”, jang ternjata „never travelled beyond
the borders of his native country”, akan tetapi dari bukunja jang -40
djilid tebalnja mengenai topografi Tiongkok dan negara-negara di-
lautan Selatan menimbulkan „a widespread belief that Kia-tan’s
writing were based on first hand observations made during his jour
neys”. Pun nama-nama tempat seringkali ditulis berbeda-beda, ter
gantung dari pendengaran orang Tionghwa sendiri. Ho-lo-tan misalnja
„has been transcribed in different ways and its location is also uncer
tain. One translator says that it is situated on the island of Cho-po
or Tou-po; another maintains that it ruled over the island of Cho-po;
while a third thinks that it has its capital in She-po” . Pembatjaan
kembali tulisan-tulisan Tionghwa kuno itupun menimbulkan berbagai
kesulitan. Kao mengatakan bahwa „it is difficult to trace the influence
100
of the Amoy-Swatow-Canton dialects in the toponyms”; dan selandjut-
nja: ,.Notwithstanding what we have just said as to the insignificant
part played by South China seamen before the eleventh century, how
ever, we think the Amoy dialect is a very useful guide to the correct
pronunciation of many Chinese characters in early writings. For, among
all dialects, it retains the largest elements of ancient Chinese into
nations and rhymes.” Apa jang dikemukakan oleh W .T . Kao tadi,
jang sesuai dengan protes Roland Braddell, memberikan dorongan
pada kita untuk lebih berhati-hati lagi dalam mengidentifikasi serta
melokalisasi nama-nama dan tempat-tempat sebagaimana didapatkan
dalam berita-berita Tionghwa, Demikian pula kiranja dalam kita meng
hadapi berita-berita Arab atau lainnja. Hal ini njata sudah, kalau kita
mengingat, bahwa apa jang kini dibatja Sribuza dari berita Arab da-
hulunja dibatja Sarbaza dan Zabej dibunjikan sekarang Zabag.
Namun didalam kita berhati-hati itu, kalau sesuatu identifikasi dan
lokalisasi (atau satu diantara dua) tidak' meragukan dan memang sesuai
dengan kenjataan, apa salahnjakah kalau kita sampai kepada suatu
ketetapan. Sebagaimana sudah dikemukakan, Sabadeibai dari Ptolomeus
dan Zabag dari berita-berita Arab adalah (Muara) Sabak dimuka teluk
Djambi. San-fo-ts’i untuk (Muara) Tembesi dapat pula kita anggap
pasti, kalau kita menilik berita-berita Tionghwa dari zaman Sung (960 -
1279), dimana kita djumpai radja „Chan-pi” dikeradjaan San-fo-ts’i.
Chan-pi dan San-fo-ts’i bersama-sama tidak memberi kesangsian lagi
untuk mengidentifikasikannja dengan Djambi dan (Muara) Tembesi.
Demikianlah, maka — ditindjau dari berbagai sudut — tidak ada
suatu bahan, jang memberi petundjuk untuk melokalisasi Çriwijaya
di Palembang. Semua petundjuk mengarahkan pandangan kita ke
Djambi, dengan meninggalkan tradisi jang telah bertahan 40 tahun
lamanja.”
Penjelidikan geomorfologi jang dilakukan oleh Drs. Sukmono dengan
tudjuan untuk menetapkan lokalisasi pusat keradjaan Sriwidjaja, me
rupakan salah satu usaha untuk memetjahkan persoalan sedjarah Sri-
widjaja. Andaikata lokalisasi pusat keradjaan Sriwidjaja itu semata-
mata bergantung kepada pandangan dari sudut geomorfologi, maka
pendapatnja akan dapat diterima tanpa keragu-raguan. Hasil penjeli
dikan geomorfologi memberikan saran jang kuat untuk menempatkan
Djambi sebagai pelabuhan jang sangat ideal dan sanggup menguasai
lalu-lintas kapal di Selat Malaka jang berlajar keutara menudju Tiong
kok, ketimur menudju Djawa. Kebalikannja perahu-perahu jang ber
lajar dari lautan Selatan dan laut Djawa menudju India dan negara-
negara lainnja disebelah barat, berlajar melalui Djambi. Demikianlah
101
menurut pendapatnja pusat keradjaan Sriwidjaja harus terletak di
Djambi, bukan di Palembang.
Namun pandangan geomorfologi bukan satu-satunja sumber sedjarah
jang dapat digunakan untuk melokalisasikan pusat keradjaan Sriwidja
ja. Oleh karena itu hasil penjelidikan geomorfologi masih perlu dikadji
dengan sumber sedjarah lainnja, jang kiranja dapat dipertjaja. Sumber
sedjarah jang saja maksud ialah pernj'ataan I-ts’ing tentang letaknja
pelabuhan Melaju, jang bertahun-tahun menetap di Sriwidjaja dan
beberapa kali mengundjungi pelabuhan Melaju. Jang akan dibitjarakan ,
disini bukanlah pernjataan I-ts’ing mengenai bajang-bajang diwelaca-
kra, jang bertalian dengan letaknja ibukota Sriwidjaja, melainkan per-
njataannja tentang pelabuhan tempatnja singgah dalam perdjalanan
dari India ke Tiongkok. Perdjalanan pulang dari Nalanda pada tahun
685 diuraikan oleh I-ts’ing setjara singkat. Uraiannja demikian:
,,I-ts’ing berangkat dari Tan-mo-lo-ti (Tamralipti atau Tamluk)
menudju Ka-cha (Kataha atau Kedah). Singgah disini sampai musim
dingin. Dengan menumpang perahu radja ia berangkat dari sini (Ke
dah) keselatan menudju tanah Melaju, jang sekarang mendjadi bagian
Fo-shih (Sriwidjaja). Pelajaran itu makan waktu selama sebulan.
Umumnja perahu itu datang dinegeri Melaju pada bulan kedua. Ting
gal disini (dinegeri Melaju) sampai pertengahan musim panas. Lalu
berangkat keutara menudju Kwang-tung (Kanton). Lebih kurang se
bulan kemudian sampai ditempat tudjuan.”
Dari pernjataan I-ts’ing itu njata sekali bahwa perdjalanan dari
India ke Tiongkok melalui pelabuhan Melaju. Dari pelabuhan Melaju
perahu terus menudju keutara kearah Kwang-tung. Dengan kata lain
pelabuhan Melaju adalah tempat berlabuh perahu jang berlajar dari
Kedah melalui Selat Malaka dan jang berlajar dari Tiongkok melalui
laut Tiongkok Selatan menudju India. I-ts’ing tidak mengatakan bahwa
perdjalanan dari Selat Malaka ke Tiongkok melalui Sriwidjaja atau
Fo-shih. Demikianlah pelabuhan Melaju menguasai lalu-lintas pelajaran
dari laut Tiongkok Selatan ke Selat Malaka dan kebalikannja. Berda
sarkan pernjataan I-ts’ing tersebut diatas maka letak pelabuhan Melaju
dalam soal menguasai pelajaran di Selat Malaka dan dilaut Tiongkok
Selatan lebih baik daripada pelabuhan Fo-shih. Saudara Sukmono
djustru mendasarkan penjelidikannja dari sudut geomorfologi pada
penguasaan pelajaran di Selat Malaka dan dilaut Tiongkok Selatan.
Oleh karena itu ia djustru memperkuat pendapat bahwa jang terletak
di Djambi ialah pelabuhan Melaju, bukan pelabuhan Sriwidjaja. Letak
pelabuhan Melaju jang sangat ideal itu memperkuat pernjataan I-ts’ing
tentang pelabuhan Melaju jang menguasai lalu-lintas pelajaran di Selat Malaka.
102
Pelabuhan Sriwidjaja tersisih dari lalu-lintas perahu dari Tiongkok
ke Selat Malaka dan kebalikannja. Djambi mempunjai kedudukan jang
djauh lebih penting daripada Palembang, jang hanja disinggahi oleh
kapal-kapal jang melewatinja dalam pelajarannja antara Selat Malaka
dan Pulau Djawa sadja. Lagipula Djambi itu letaknja menghadap kelaut
bebas, sedangkan Palembang pada suatu selat sadja, jaitu selat Bangka.
Demikianlah kedudukan pelabuhan Djambi djauh lebih penting dari
pada pelabuhan Palembang.
Djika saudara Sukmono mengidentifikasikan Djambi itu dengan pusat
Sriwidjaja, dimanakah lokalisasi pelabuhan Melaju? Pertanjaan itu
setjara tidak langsung didjawab dengan mengemukakan lokalisasi pe
labuhan Melaju oleh Moens: Maka menarik perhatianlah, bahwa Moens
djustru mengidentifikasikan Melaju itu dengan Palembang .......
Dengan djelas dinjatakan oleh I-ts’ing bahwa dalam perdjalanannja
ke Nalanda di India, baik I-ts’ing maupun Wu-hing berangkat dari
Fo-shih menudju Melaju, kemudian terus ke Ka-cha (Kedah). Djika
pelabuhan Melaju itu adalah pelabuhan Palembang seperti jang di
sarankan oleh Moens, maka I-ts’ing dan Wu-hing untuk berangkat
ke India jang letaknja disebelah barat, harus pergi ketimur dahulu,
karena Palembang letaknja disebelah timur atau tenggara Djambi. Hal
jang demikian agak aneh, tidak termakan akal. Ketjuali kalau mereka
itu mempunjai kepentingan istimewa di Palembang!
Soal jang perlu mendapat perhatian ialah penjamaan San-fo-ts’i de
ngan (Muara) Tembesi. Logis sekali bahwa saudara Sukmono ber
dasarkan lokalisasi pusat keradjaan Sriwidjaja di Djambi, lalu meng
identifikasikan San-fo-ts’i dengan Tembesi, jang terletak ditempuran
sungai Tembesi dengan sungai Batang Hari. Tembesi adalah satu-
satunja tempat didaerah Djambi jang bunjinja hampir serupa dengan
San-fo-ts’i, namun keserupaan bunji itu tidak dapat didjadikan alasan
untuk penjamaan tanpa memperhatikan keterangan-keterangan lain.
Penjamaan itu samasekali tidak tjotjok dengan pemberitaan dari sum
ber Tionghwa jang menjatakan letaknja San-fo-ts’i. Sudah pasti bahwa
ada diantara berita-berita Tionghwa itu jang boleh dipertjaja. Dalam
hal ini saja kutip pernjataan Ying-yai-sheng-lan (1416), jang isinja,
bahwa Chiu-chiang sama sadja dengan negara jang sebelumnja disebut
San-fo-ts’i, djuga disebut Po-lin-pang, ada dibawah kekuasaan Djawa.
Kapal-kapal jang datang dari manapun, masuk selat Peng-chia (Bang
ka) jang berair tawar. Didekatnja adalah tempat bertegak banjak
pagoda jang dibuat dari bata. Kemudian para pedagang mudik kehulu,
djalannja makin lama makin sempit, menudju ibukota.
Berdasarkan (berita Tionghwa diatas jang serba djelas uraiannja
njatalah bahwa San-fo-ts’i terletak di Palembang. Drs. Sukmono meng
103
anggap pasti penjamaan antara San-fo-ts’i dan (Muara) Tembesi.
P e n j a m a a n itu ketjuali berdasarkan keserupaan bunji, lokalisasi Sri-
widjaja dikota Djambi, djuga berdasarkan berita Tionghwa pada za
man pemerintahan radjakula Sung (960- 1279) dimana didjumpai
radja Chan-pi” dikeradjaan San-fo-ts’i. Chan-pi dan San-fo-ts’i ber
s a m a - s a m a tidak memberi kesangsian lagi untuk mengidentifikasikannja
dengan Djambi dan (Muara) Tembesi, menurut pendapatnja.
Mengenai radja „Chan-pi” kiranja tidak mutlak demikian tafsiran-
nja. Sumber berita itu ialah Sung Hui Yao. Demikian beritanja: „Pada
tahun kelima pemerintahan Yuan Fong (jakni pada tahun 1082) bulan
10 tanggal 17, Sun Chiang, wakil kepala urusan pengangkutan dan
wakil kepala urusan dagang menjatakan bahwa wakil umum para pe
dagang asing dinegeri laut Selatan menjampaikan surat kepadanja jang
ditulis dengan bahasa Tionghwa. Surat tersebut berasal dari radja
Chan-pei (Djambi) bagian dari San-fo-ts’i dan dari puteri radja, jang
diserahi kekuasaan mengawasi urusan negara San-fo-ts’i. Mereka me
ngirimkan .kepadanja 227 tahil su-Iung (perhiasan), rumbia, kamfer
dan 13 potong pakaian.
Peristiwa ini terdjadi sesudah penundukan Sriwidjaja, Melaju dan
negara-negara lainnja oleh radja Coja seperti tertjatat pada piagam
Tanjore (tahun 1030). Oleh karena itu jang dimaksud dengan puteri
radja disini ialah puteri keturunan radja asing jang memerintah San-
fo-ts'i. Beliau dibantu oleh radja Djambi, jang telah ditaklukkan oleh
radja Cola, dan karenanja djuga mendjadi radja bawahan San-fo-ts’i.
Tan Yeok Seong memberi tafsiran, bahwa pada tahun 1082 ada dua
pemerintahan, jang politiknja sedjalan. Jang satu pendjadjah, jang lain
asli. Jang pendjadjah berpangkal di Palembang, jang asli di Djambi.
Dengan kata lain radja pendjadjah itu bertachta di Sriwidjaja, jang
lain didaerah Melaju. Djelaslah bahwa radja Chan-pei itu tidak me
nguasai San-fo-ts’i, tetapi malah kebalikannja. Bahwa radja San-fo-ts’i
pada waktu itu bukan lagi orang asli, terbukti dari piagam Kanton
jang diketemukan pada tahun 1959 tentang „Chung Siu Tien Ching
Kuan Chi” jakni Laporan pembangunan kembali tjandi Ten Ching.
Tjandi Kanton jang telah rusak itu diperbaiki atas biaja radja San-
fo-ts i pada tahun 1079. Dengan djelas dinjatakan pada piagam itu
bahwa radja San-fo-ts’i jang bersangkutan ialah Ti-hua-ka-lo (Dewa
Kulottungga). Piagam Kanton ini akan kita bahas dibelakang.
Dimana letaknja San-fo-ts’i, dari uraian Ying Yai Sheng Lan
telah djelas, jakni di Palembang. San-fo-ts’i tidak mungkin diidentifi
kasikan dengan Tembesi jang terletak didaerah Djambi. Hingga
sekarang ahli sedjarah menerima penjamaan antara San-fo-ts’i dan
104
Shih-li-fo-shih, jang pada hakekatnja masih merupakan persoalan.
Penjamaan itu menurut pendapat saja tidak dapat diterima (lihat pasal
K ERADJAAN SAN-FO-TS’I). Oleh karena San-fo-ts’i bagaimana
pun adalah transkripsi Tionghwa dari nama asli atau Sansekerta,
jang menurut berita Tionghwa terdapat di Palembang, maka kita harus
mentjari tempat didaerah tersebut jang mungkin dapat disamakan,
tidak mentjarinja didaerah Djambi. Djustru oleh karena Djambi jang
disangka saudara Sukmono pusat keradjaan Sriwidjaja, terbukti pela
buhan Melaju, maka andjuran untuk mentjari San-fo-ts’i di Palembang
beralasan lebih kuat lagi.
Drs. Sukmono mengemukakan peninggalan-peninggalan purbakala *
di Palembang, jang djelas menundjukkan adanja agama Buda Maha-
yana di Palembang. Peninggalan itu terutama berupa artja Buda, ber
asal dari Bukit Siguntang. Tjoraknja dapat dikembalikan kepada lang
gam Amarawati. Peninggalan purbakala ini lalu dihubungkan dengan
pernjataan I-ts’ing, bahwa didaerah laut Selatan dimana-mana agama
Buda jang didjumpainja adalah agama Buda Hinayana, ketjuali dinegeri
Melaju. Disini terdapat beberapa penganut agama Buda Mahayana.
Peristiwa tersebut menurut pendapatnja menutup segala kemungkinan
untuk melokalisasi Sriwidjaja di Palembang. Ditambahkannja pendapat
Moens, bahwa keradjaan Melaju berpusat di Palembang. Penundjukan
Moens mengenai lokalisasi pelabuhan Melaju di Djambi (?) tidak ber
sifat mutlak.
Oleh karena di Palembang diketemukan artja Buda Mahayana, Drs.
Sukmono mengambil kesimpulan bahwa kemungkinan Palembang se
bagai pusat keradjaan Sriwidjaja tertutup samasekali. Ia membatasi
diri sampai kepada pernjataan I-ts’ing jang didasarkan atas keadaan
pada achir abad ke 7.
Pernjataan I-ts’ing mengenai agama Buda Mahayana dan Hinayana
didaerah laut Selatan tidak bersifat mutlak. Sebagai bukti dapat di-
kemukakan pernjataan piagam Talang Tuwo, jang diketemukan di
daerah sekitar Palembang dan bertarich tahun 684, setahun sesudah
piagam Kedukan Bukit. Tidak ada orang jang menjangkal bahwa
piagam Talang Tuwo adalah piagam Sriwidjaja. Piagam itu adalah
piagam „pranidhana” jakni pemberian suatu hadiah oleh radja Sriwi
djaja kepada masjarakat. Piagam Talang Tuwo dikeluarkan atas pe
rintah Dapunta Hyang Sri Djajanaga. Djadi merupakan pernjataan
resmi dari putjuk pimpinan pemerintahan Sriwidjaja. Piagam tersebut
djelas sekali menguraikan adjaran agama Buda Mahayana, istimewa
aliran , tantrisme, karena disitu tertjatat wajragarira. Tidak dapat di
katakan bahwa pernjátaan piagam itu semata-mata dimaksud untuk
mengelus-elus perasaan rakjat jang memeluk agama Buda Mahayana
105
Oleh karena pernjataan tersebut adalah per- diwilajah Sriwi jaja diambil kesimpulan, bahwa adjaran agama
njataan resmi, ma a ntrisme itu dipeluk di Sriwidjaja, setidak-tidak- B»da Mahayana al.ta»|ta»m memerintah pada’tall„„ 68„. Rupa.
nja tidak dilarang jkap toleransi antara agama Buda Mahayana
rupanja memang a Hinayana aliran Mulasarwastiwadanikayaa l i r a n t a n t r i s m e dan d d^ n.a diperlakukan sama oleh radja Sri-
iwilajah Sriwi jaja , ecjakan Perlakuan jang demikian itu terbukti
wi jaja, tanpa mem ¿eta Tionghwa jang beraliran agama Buda
ari penerimaan pa pendeta dari Srilangka Wadjrabodhi, jangHinayana dan penerimaan p« a j j a
/ Mahayana. Pada tahun 717 pendeta Wadjra-
h W - 13!? ^ k a t dari Srilangka dengan 35 perahu Persi menudjuo i erang d_ s riwidjaja, diterima oleh radja Sriwidjaja
long o . a si ¿ ¡ p e r l a k u k a n dengan baik. Bahkan pendeta ini dengan hormat dan a*P . .malah tinggal selama lima bulan di Sriwidjaja, menunggu tibanja
musim angin baik. Lagipula I-ts ing djuga setjara mutlak mengatakan
bahwa dikeradjaan Sriwidjaja hanja ada agama Buda Hinayana aliran
Mulasarwastiwadanikaya. Pernjataan I-ts ing mengenai agama Buda
dinegeri-negeri dilaut Selatan itu ditutup dengan kalimat: „Agama jang
dipeluk dinegeri ini terutama aliran Hinayana, ketjuali dinegeri Melaju.
Dinegeri-negeri ini sedikit sadja pengikut aliran Mahayana." Djadi
adanja agama Buda aliran Mahayana dikeradjaan Sriwidjaja tidak ter
tutup samasekali. Terbukti bahwa piagam Talang Tuwo jang terang
adalah piagam Sriwidjaja, menguraikan adjaran agama Buda M aha
yana.Kesimpulan jang diambil oleh saudara Sukmono ialah bahwa pusat
keradjaan Sriwidjaja terletak di Djambi dan pusat keradjaan Melaju
di Palembang, meskipun pendapat jang terachir ini tidak dinjatakan
setjara tegas, hanja dengan mengingatkan, bahwa Moens djustru meng
identifikasikan Melaju dengan Palembang. Andaikata pelabuhan M e
laju itu di Palembang, maka ada kesulitan mengenai pentafsiran pe
lajaran I-ts’ing dari Fo-shih ke Nalanda. Baik I-ts’ing maupun Wu-hing
pernah mengadakan pelajaran dari Fo-shih ke Mo-lo-yeu terus ke Ka~
cha (Kedah). Pelajaran I-ts’ing dari Fo-shih ke Nalanda menurut pen
dapat saja harus ditafsirkan, bahwa I-ts’ing melalui pelabuhan Melaju
terus ke Kedah. Ini berarti bahwa pelabuhan Melaju terletak diantara
Sriwidjaja dan Kedah. Djika pelabuhan Melaju itu dilokalisikan di Pa
lembang, maka pelajaran itu menudju timur dahulu, lalu kembali lagi
ke Sriwidjaja terus ke Kedah. Perdjalanan jang demikian terang tidak
normal, tidak biasa. Pelajaran dari Kedah ke Tiongkok menurut taf-
siran saudara Sukmono lalu harus melalui Sriwidjaja jang disebut Fo-
shih. I-ts’ing tidak mengatakan demikan. Dalam perdjalanannja dari
106
India ke Sriwidjaja I-ts’ing berkata: .,Dari sini (Tan-mo-lo-ti) kapal
berlajar dua bulan kearah tenggara untuk sampai di Ka-cha. Pada wak-
-tu itu kapal dari Fo-shih akan berlabuh di Ka-cha. Kedatangan pe
rahu dari Fo-shih umumnja pada bulan pertama atau bulan kedua.
Mereka jang akan berangkat ke Sinhala (Srilangka) berlajar kearah
barat daja. Kata orang pelajaran itu sedjauh 700 jodjana. I-ts ing sing
gah di Ka-cha sampai musim dingin, lalu 'berlajar lagi kearah selatan
sebulan lamanja menudju tanah Mo-lo-yeu, jang pada waktu itu sudah
mendjadi bagian Fo-shih; banjak negeri-negeri jang mendjadi bawah-
annja. Pada umumnja kedatangan perahu disana pada bulan pertama
atau bulan kedua. Tinggal disana sampai pertengahan musim panas,
lalu berangkat lagi keutara; kira-kira sesudah sebulan berlajar, sampai
di Kwang-fu.”
Djadi pelajaran dari Selat Malaka menudju Tiongkok melalui pela
buhan Melaju, tidak melalui pelabuhan Sriwidjaja. Djadi pelabuhan
Melaju menguasai lalu-lintas kapal dari Selat Malaka ke Tiongkok.
Pelabuhan jang menguasai lalu-lintas kapal di Selat Malaka adalah
pelabuhan Djambi. Djadi pelabuhan Melaju adalah pelabuhan Djambi.
Berdasarkan pernjataan I-ts’ing jang melakukan pelajaran itu sendiri,
maka identifikasi pelabuhan Melaju dengan pelabuhan Palembang
tidak mungkin.
Saja sependapat sepenuhnja dengan Drs. Sukmono, bahwa piagam
persumpahan Telaga Batu itu sangat mengerikan. Namun sifat jang
mengerikan itu belum menutup kemungkinan lokalisasi pusat keradjaan
Sriwidjaja disekitar Telaga Batu didaerah Palembang. Djustru karena
pada piagam Telaga Batu itu terdapat nama-nama djabatan jang
mempunjai hubungaan erat dengan putjuk pemerintahan (pemerintahan
pusat), berbeda dengan jang terdapat pada piagam persumpahan Ka
rang Brahi dan Kota Kapur, maka saja lebih tjenderung untuk melokali
sasikan pusat keradjaan Sriwidjaja disekitar Telaga Batu. Keterangan
itu diuraikan dibawah.
Meskipun piagam persumpahan Telaga Batu itu senafas dengan
piagam persumpahan Karang Brahi dan Kota Kapur, namun redaksinja
berbeda. Redaksi piagam Kota Kapur dan Karang Brahi boleh dikata
kan sama. Jang saja maksud ialah orang-orang jang disebut dalam
persumpahan sesudah bagian awal jang menguraikan Tandrun Luah
dan Kandra Kayet. Apa jang disebut pada piagam Telaga Batu ber
beda dengan apa jang disebut pada piagam Karang Brahi dan Kota
Kapur. Perbedaan redaksi ini menimbulkan pertanjaan, apa sebabnja
berbeda? Menurut paham saja tiap pengeluaran piagam harus meng
ingat untuk siapa piagam itu dikeluarkan. Betul bahwa ketiga piagam
persumpahan itu menjangkut seluruh lapisan masjarakat diwilajah Sri-
107
widjaja, namun susunan lapisan masjarakat dipusat keradjaan berbeda
dengan susunan masjarakat dikota ketjil atau didusun.
Didesa terang tidak ada radjaputra atau bupati. Oleh karena itu
nama djabatan radjaputra dan bupati tidak akan disebut pada piagam
jang diperuntukkan bagi masjarakat desa. Penjebutan pelbagai djabatan
pada piagam Telaga Batu menundjukkan bahwa piagam tersebut di
alamatkan kepada masjarakat dimana terdapat pemegang djabatan-
djabatan jang bersangkutan. Batu piagam itu dengan sendirinja dipa
sang ditempat jang didiami oleh pelbagai pedjabat tersebut. Piagam
persumpahan jang memuat nama djabatan tinggi itu diketemukan di
Telaga Batu. Mungkin sekali memang sedjak semula piagam itu di-
tempa'tkan disitu. Tidak ada orang jang dapat mengatakan, dari mana
asal batu piagam tersebut. Kesimpulannja ialah bahwa tempat disekitar
Telaga Batu pada achir abad 7 didiami oleh radjaputra, bupati, sena
pati, dandanajaka dan sebagainja. Djabatan-djabatan ini adalah dja
batan tinggi dalam pemerintahan. Pedjabat-pedjabat tinggi seperti itu
tinggal disekeliling radja; dengan kata lain tinggal diibukota.
Lebih djelas lagi, djika kita membatja baris 9 sampai 1 1 . Disitu di
uraikan, barangsiapa memberi tahu kepada bini hadji tentang keadaan
didalam rumah, dan membudjuknja untuk mengambil barang mas-
masan atau bersekutu dengan para pekerdja didalam rumah, akan
termakan sumpah. Jang dimaksud dengan bini hadji ialah isteri radja
jang bukan permaisuri. Jang dimaksud dengan rumah ialah istana
radja. Mungkin sekali tidak semua bini hadji tinggal didalam keraton,
sehingga ada kemungkinan bahwa bini hadji tidak tahu 'keadaan di
dalam. Terutama bini hadji jang tinggal diluar. Para pekerdja didalam
istana tentu mengetahui seluk-beluk keraton. Barangsiapa bermaksud
djahat terhadap radja, ia akan bersekutu dengan mereka. Bagai
manapun bini hadji tinggal disekitar istana, setidak-tidaknja didalam
atau sekitar ibukota jang didiami oleh radja.
ada baris 11 terdapat kata kadatuan. De Casparis memberi tafsir-
an’ kaW a kata kadatuan ini sama dengan kata Djawa kadaton, ke
raton jakni: istana radja. Jang berarti wilajah datu ialah pardatuan
atau pardatvan.
Utjapan-utjapan diatas memberikan kesan, bahwa istana radja ter
apat disekitar tempat bertegak batu persumpahan Telaga Batu. Dji-
a analisa diatas itu benar, maka kesimpulannja ialah, bahwa ibukota
era jaan Sriwidjaja pada abad 7 adalah kota Palembang sekarang, egasnja terletak disekitar Telaga Batu.
•M . Schnitger antara tahun 1935 dan 1936 dalam penggalian di
e a9a Batu memperoleh timbunan-timbunan bata. Batu-batu s'tddha-
yatra banjak kedapatan disitu. Mungkin timbunan bata itu bukan
108
bekas keraton, melainkan bekas wihara jang didirikan disitu. Oleh
karena itu kita masih harus berusaha mentjari dimana kiranja letak keraton Sriwidjaja.
O leh karena telah diambil kesimpulan bahwa pusat keradjaan Sri
widjaja ada disekitar Telaga Batu dikota Palembang, dengan sendirinja
kita beranggapan bahwa jang disebut sungai Fo-shih oleh I-ts’ing
ialah sungai Musi. Penjebutan jang demikian biasa sekali. Bagian
sungai jang mengalir melalui suatu kota, disebut oleh penduduk dengan
nama kota jang bersangkutan. Sungai Batang Hari disebut oleh pen
duduk Djambi, sungai Djambi. Sungai Brantas, djika telah masuk kota
Surabaja, disebut kali Surabaja. Ibukota Sriwidjaja dilalui oleh sungai
Sriw idjaja jang disebut oleh I-ts’ing sungai Fo-shih. Sungai itu ialah
sungai Musi zaman sekarang. Menurut penjelidikan geomorfologi jang
dilakukan oleh saudara Drs. Sukmono pada abad ke 7 kota Palembang
terletak dipantai laut pada udjung djazirah. Nama Palembang pada
waktu itu belum dikenal. Nama itu baru dikenal pada abad 13 dalam
Chu-fan-chi dan sedjarah Ming. Seperti telah disinggung dimuka da
lam Ying-yai-sheng-lan (tahun 1416) kota itu disebut Po-lin-pang.
M ungkin nama itu telah ada pada abad ke 7, tetapi nama itu tidak
digunakan untuk menjebut kota jang bersangkutan. Kota jang bersang
kutan disebut oleh berita-berita Tionghwa dan oleh I-ts’ing, Shih-li-
fo-shih, dan pada piagam Sriwidjaja jang paling tua jakni piagam
Kedukan Bukit tahun 683, Sriwidjaja. Nama kota Palembang djelas
berasal dari kata Sansekerta palimbang(a): breaking of the margin,
breaking of the edge. Sudah terang bahwa muara sungai Musi ter
masuk w ilajah Sriwidjaja dan digunakan sebagai pelabuhan Sriwidjaja.
Pada muaranja terdapat tempat jang disebut Shih-li-fo-shih, jakni
Sriw idjaja alias Palembang zaman sekarang.
Pada waktu pendeta I-ts’ing mengundjungi Sriwidjaja, agama Buda
dikeradjaan Sriwidjaja sedang berkembang. Dikatakannja bahwa di-
ibukota, jang dikelilingi oleh benteng, terdapat lebih daripada 1000 pendeta Buda, semuanja radjin mentjurahkan perhatiannja kepada ilmu
dan mengamalkan adjaran Buda. Mereka melakukan penjelidikan dan
mempeladjari ilmu jang ada pada waktu itu, tidak ada bedanja dengan
Madhya~deqa di India. Aturan-aturan dan upatjara keagamaan sama-
sekali tidak berbeda. Oleh karena itu diandjurkannja, bila ada pendeta
Tionghwa jang ingin pergi ke India untuk mengikuti adjaran-adjaran
dan memfeatja teks-teks asli, ada baiknja mereka itu tinggal di Sriwi
djaja dua/tiga tahun dahulu untuk berlatih, sebelum berangkat ke India
Tengah. Demikianlah keadaan pusat keradjaan Sriwidjaja pada achir
abad ke 7 menurut uraian I-ts’ing. Dengan djelas dinjatakan bahwa
ibukota Sriwidjaja dikelilingi' benteng.
109
Berita jang tertua mengenai keradjaan Melaju berasal dari T ’ang-
hui-yao jang disusun oleh Wang-p’u pada tahun 961 pada masa peme
rintahan dinasti T ’ang dan dari Hsin T ’ang Shu, jang disusun pada
awal abad ke 7 pada masa pemerintahan dinasti Sung atas dasar se-
djarah lama, jang teridiri dari T ’ang-hui-yao seperti tersebut diatas
dan Tse-fu-yuan-kuei', susunan Wang-ch’in-jo dan Yang I antara
tahun 1005 dan 1013. Menurut berita itu keradjaan Melaju mengirim
kan utusan ke Tiongkok pada tahun 644/5. Pengiriman utusan ke T i
ongkok oleh keradjaan Melaju pada abad ke 7 hanja tertjatat satu kali
itu sadja. Selama itu jang nampak diistana kaisar utusan dari keradjaan
Sriwidjaja jang disebut Shih-li-fo-shih.
Dalam Hsin T'ang Shu tertjatat bahwa keradjaan Shih-li-fo-shih
mengirim utusan ke Tiongkok pada mangsa waktu 670 — 673 dan
713— 741. Sedjak itu utusan Shih-li-fo-shih tidak lagi kedengaran.
Pada masa pemerintahan radjakula Sung negeri dilaut Selatan jang
namanja San-fo-ts'i mengirim utusan ke Tiongkok ¡berkali-kali. Sung
Shih mentjatat kedatangan utusan itu pada tahun 960, 962, 971, 972,
974, 975, 980, 983, 985 dan 988. Utusan jang terachir ini tinggal di
Kanton sampai tahun 990, karena mendengar bahwa negerinja, San-
fo-ts’i sedang diserang oleh tentara dari Cho-p’o.
D jika kita memperhatikan berita tentang utusan keradjaan Melaju
jang tertjatat dalam T ’ang-hui-yao dan membandingkannja dengan
berita tentang utusan keradjaan Sriwidjaja jang terdapat dalam Hsin
T ’ang Shu, maka terdapat kepastian bahwa keradjaan Melaju telah
berdiri pada tahun 644/5. Pada waktu itu keradjaan Sriwidjaja belum
mengirimkan utusan ke Tiongkok. Kepastian berdirinja negara Sriwi
djaja baru pada tahun 670, ketika negara itu mengirimkan utusan jang
pertama kali ke Tiongkok. Sedjak timbulnja keradjaan Sriwidjaja ne
geri Melaju tidak lagi mengirim utusan ke Tiongkok. Demikianlah
dapat dipastikan bahwa negeri Melaju lebih dahulu berdiri daripada
Sriwidjaja. Berdasarkan berita tersebut pengiriman utusan ke Tiong
kok oleh kedua keradjaan tersebut berselisih 25 tahun.
Pertanjaan jang timbul ialah mengapa keradjaan Melaju tidak lagi
mengirim utusan, sedjak timbulnja keradjaan Sriwidjaja? Djawaban
atas pertanjaan itu diberikan oleh pendeta I-ts’ing dalam bukunja
Memoire dan Record jang menjatakan bahwa keradjaan Melaju telah
mendjadi bagian Sriwidjaja. Tiap kali ia menjebut nama keradjaan
Melaju, selalu dibubuhi, keterangan: jang sekarang telah mendjadi ba
gian Sriwidjaja.
Keradjaan Melaju dan Sriwidjaja
110
Pada bulan 11 tahun 671, I-ts’ing berangkat menurutkan bintang Yi
dan Chen meninggalkan Kanton menjusur pantai kearah selatan. W ak
tu berpisah dengan bintang Chi, dua lajar jang masing-masing pan-
djangnja lima helai kain kampas, melambai-lambai, kapal meninggalkan
sisi utara jang kegelap-gelapan, mengarungi lautan, menerdjang ge
lombang besar-besar setinggi gunung. Sesudah hampir duapuluh hari
berlajar, kapal sampai dipelabuhan Sriwidjaja. Di Sriwidjaja ia men
darat dan menetap selama enam bulan untuk beladjar Sabdavidya
jakni tatabahasa Sansekerta. Atas bantuan radja Sriwidjaja kemudian
ia berangkat kepelabuhan Melaju, jang sekarang mendjadi bagian Sri-
widjaja.
Keterangan tambahan itu harus ditafsirkan, bahwa pendeta I-ts’ing
pernah menjaksikan negeri Melaju sebagai keradjaan merdeka. Ke
datangan I-ts’ing jang pertama kali di Sriwidjaja ialah pada achir
tahun 671. Setelah enam bulan menetap di Sriwidjaja untuk beladjar
tatabahasa Sansekerta, dengan bantuan radja Sriwidjaja ia berlajar
kepelabuhan Melaju untuk melandjutkan perdjalanannja ke Nalanda.
Djadi pada tahun 671 keradjaan Melaju masih merdeka. Tetapi dalam
Record dan Memoire setiap kali ia menjebut nama keradjaan Melaju
selalu dibubuhi keterangan bahwa keradjaan itu „sekarang mendjadi
bagian Sriwidjaja”. Record dan Memoire ditulis oleh I-ts’ing dikera-
djaan Sriwidjaja, sesudah ia pulang dari Nalanda tahun 685. Demi
kianlah penundukan keradjaan Melaju itu harus terdjadi sebelum
I-ts’ing menjelesaikan bukunja Record dan Memoire. Kita tetapkan
dahulu bila kedua karja itu ditulis oleh I-ts’ing.
Berdasarkan salah batja mengenai nama jang terdapat pada piagam
Kedu'kan Bukit achir baris 7, Krom menganggap bahwa piagam Ke
dukan Bukit mempunjai hubungan dengan penundukan keradjaan
Melaju. Dugaan itu didasarkan terutama pada berita I-ts’ing tentang
negeri Melaju dalam Record dan Memoire. De Casparis menaruh
banjak keberatan terhadap pendapat Krom itu. Bahwa penundukan
negeri Melaju itu terdjadi sebelum tahun 692 seperti dikemukakan oleh
Krom, tidaklah disangkal, karena berita itu memang termuat dalam
Record dan Memoire, jang dikirim ke Kanton pada tahun 692. Dalam
bulkunja Hindoe-Javaansche Geschiedenis hal. 116, Krom berpendapat
bahwa I-ts’ing menulis Record dan Memoire antara tahun 689 dan
692. Andaikata buku itu telah selesai sebelumnja, maka I-ts’ing akan
membawanja sendiri ke Kanton pada tahun 689. Uraian mengenai
keadaan keradjaan Sriwidjaja harus tertjatat antara tahun 689 dan
692. Oleh karena itu peristiwa penundukan keradjaan Melaju harus
terdjadi sebelum tahun 692. Demikian Krom.
111
Menurut pendapat saja alasan Krom tentang selesainja penulisan
Record dan Memoire diatas sesungguhnja kurang tepat, karena ke-
berangkatan I-ts’ing ke Kanton pada tahun 689 tidak disengadja. Ia
bermaksud menitipkan surat jang berisi permintaan, supaja dikirimi
kertas, tinta dan kue-kue dari Kanton. Tetapi karena pada waktu itu
tiba angin baik, perahunja berangkat. I-ts’ing ikut terbawa (Memoire
hal. 176). Andaikata Record dan Memoire itu telah selesai ditulis,
tidak akan terbawa djuga, karena I-ts’ing tidak ada maksud untuk
pulang ke Kanton. Pelajarannja ke Kanton pada tahun 689 tanpa per
siapan.
Memoire ditulis kemudian daripada Record, karena Memoire me-
njebut Record dua kali. Tetapi baik kata pengantar Record maupun
kata pengantar Memoire ditulis kira-kira pada waktu jang sama, ka
rena kata pengantar itu saling sebut-menjebut. Kedua-duanja menjata-
kan bahwa isi Memoire 2 volume, dan Record 4 volume (40 pasal).
Suplemen Memoire sudah barang tentu ditulis sesudah teks Memoire
selesai. Ketika I-ts'ing menulisnja, Tao-hung berumur 23 tahun; pada
tahun 689 ketika ia menggabungkan diri pada I-ts’ing, ia berumur
20 tahun. Demikianlah Suplemen Memoire itu selesai pada tahun 692.
Kata pengantar Record, Memoire dan Suplemen Memoire selesai di
tulis kira-kira pada waktu jang sama. W aktu I-ts’ing menjelesaikan
bab (pasal) X X X IV dari Record, ia berkata, bahwa ia tinggal di Sri-
widjaja sudah lebih daripada empat tahun, sedjak kedatangannja dari
India. Pada pasal X X III ia berkata bahwa ia sudah duapuluh tahun
lebih mengembara. Ini berarti bahwa pada waktu itu tahun 691 atau
tahun 692, karena ia meninggalkan Kanton pada achir tahun 671.
Demikianlah dapat diambil kesimpulan, bahwa Record itu ditulis antara
tahun 691 dan bulan kelima tahun 692, karena pada bulan kelima
tahun 692 buku itu dititipkan kepada pendeta Ta-chin jang berangkat
ke Kanton. Empat tahun sebelum tahun 691/692 ialah tahun 688/689.
Kita lihat bahwa I-ts’ing pada tahun 689 sudah ada di Sriwidjaja.
Djadi pulangnja kembali dari India kira-kira tahun 688. Didalam kata
pengantar Record I-ts’ing menjebut negeri Melaju dalam rangkaian
negara-negara dilaut Selatan, jang memeluk agama Buda. Pada pe-
njebutan itu ditambahkan keterangan „jang sekarang mendjadi bagian
keradjaan Sriwidjaja”. Djuga dalam Memoire ia menjebut negeri M e
laju dengan tambahan jang sama. Demikianlah ketika I-ts’ing menulis
Record dan Memoire, negeri Melaju itu telah mendjadi bagian ke
radjaan Sriwidjaja. Pada tahun 686 Sriwidjaja mengeluarkan piagam
persumpahan Kota Kapur di Bangka, jang memuat antjaman kepada
siapapun jang tidak mau tunduk kepada Sriwidjaja. Pada piagam itu
dinjatakan bahwa pada waktu itu tentara Sriwidjaja berangkat ke
112
i
Djawa. Normal penundukan keradjaan Melaju harus dilakukan lebih
dahulu, sebelum tentara Sriwidjaja berangkat ke Djawa, agar djangan
terpukul oleh negara tetangganja. Lagipula piagam Karang Brahi jang
senafas dengan piagam Kota Kapur, tetapi tanpa tarich tahun, keda
patan diwilajah keradjaan Melaju, jakni dihulu Batang Hari. Ini ber
arti bahwa pada waktu itu keradjaan Melaju sudah dikuasai oleh Sri
widjaja.
Demikianlah penundukan keradjaan Melaju oleh Sriwidjaja terdjadi
sebelum tahun 686. Pendapat itu'kita hubungkan dengan hasil pene
litian piagam Kedukan Bukit. Tidak lagi dapat dibantah bahwa piagam
Kedukan Bukit adalah piagam jayasiddhayatra jakni piagam perdja-
lanan djaja atau piagam tentang arak-arakan kemenangan. Piagam
itu bertarich tahun Saka 605 atau tahun Masehi 683. Perdjalanan djaja
mempunjai hubungan dengan kemenangan. Kemenangan jahg diperoleh
Sriwidjaja sebelum tahun 686 adalah kemenangan terhadap keradjaan
Melaju. Demikianlah keradjaan Melaju itu ditundukkan oleh keradjaan
Sriwidjaja pada tahun 683. Bahwa piagam Kedukan Bukit adalah pia
gam perdjalanan djaja, terbukti dari hasil penelitian jang berikut.
Piagam Kedukan Bukit
Piagam Kedukan Bukit hingga sekarang masih merupakan persoalan
jang sulit. Jang mendjadi persoalan ialah pertama-tama apa maksud
piagam Kedukan Bukit itu? Apa jang dimaksud dengan siddhayatra
pada piagam Kedukan Bukit? Dimana letaknja Minanga Tamwa(r)?
Itulah persoalan pokok jang harus dipetjahkan, untuk sekadar menge
tahui sedjarah Sriwidjaja. Persoalan tersebut bukan persoalan jang
gampang pemetjahannja. Hal ini terbukti dari bersimpang-siurnja pen
dapat para sardjana baik dalam bidang bahasa, maupun purbakala
serta sedjarah. Bertahun-tahun, mereka mentjurahkan perhatiannja ke
pada persoalan tersebut, namun hingga sekarang persoalan itu belum
dapat dipetjahkan. Kita tjoba ikut serta memperhatikan persoalan
tersebut. Untuk mendapatkan gambaran tentang udjud piagam tersebut,
pada achir pasal ini kita tjantumkan transkripsi dan terdjemahan pia
gam tersebut. Dengan djalan demikian dapat mengikuti djalan pikiran
mentjari pemetjahan persoalan.
Tentang piagam Kedukan Bukit ini Krom dalam bukunja Hindoe-
Javaanshe Geschiedenis menulis demikian: „Tidak semuanja terang,
tetapi ziarah untuk mentjari kekuatan gaib itu mentjolok sekali. Peris
tiwa itu tjotjok dengan pendapat umum ditempat-tempat lain. Mung
kinlah hal itu berhubungan dengan peristiwa mendirikan keradjaan
Sriwidjaja. Suatu kenjataan ialah, bahwa peristiwa ini memperingati
113
suatu kedjadian jang penting sekali untuk negara." Krom menambah
kan tjatatan: „Djelasnja, beberapa kata tidak terang; mungkin itu nama
orang, misalnja sambau (jang telah diterdjemahkan oleh Prof. Purba-
tjaraka: perahu), dan kata jang merupakan teka-teki minanga Tam-
wa(r) tempat radja membebaskan diri.”
Apa jang dikatakan oleh Krom masih sebagai kemungkinan, oleh
Prof. Mr. Moh. Yamin sudah dianggap kepastian. Dalam Laporan
Konggres M I P I hal. 193 ia menulis: „Baru pada tahun 683 dipahat
permakluman proklamasi pembentukan kedatuan Sriwidjaja dengan
resmi diatas batu bertulis Kedukan Bukit di Palembang.”
Demikianlah baik Krom maupun Yamin mengira bahwa piagam Ke
dukan Bukit adalah piagam proklamasi keradjaan Sriwidjaja. Saja kira
tidak ada hubungannja dengan soal mendirikan negara Sriwidjaja. Ber
dasarkan berita Tionghwa Hsin Tang Shu keradjaan Sriwidjaja telah
mengirim utusan ke Tiongkok pada tahun 670, djadi 13 tahun sebelum
piagam Kedukan Bukit. Pada tahun 683 keradjaan Sriwidjaja telah
berdiri tegak. Dapunta Hyang sudah mempunjai tentara paling sedikit
dua laksa. Demikianlah anggapan bahwa piagam Kedukan Bukit ada
lah piagam proklamasi dengan sendirinja tidak dapat dipertahankan.
Pada piagam Kedukan Bukit diuraikan bahwa Dapunta Hyang
mangalap siddhayatra pada tanggal 11 bulan terang waigakha tahun
683. Prof. G. Coedes menganggap bahwa kata siddhayatra jang ke
dapatan pada piagam Kedukan Bukit itu sinonim dari kata siddhiyatra
pada piagam Nhan-bieu, dan berarti: ziarah untuk mentjari kekuatan
gaib. Demikianlah Coedes beranggapan bahwa piagam Kedukan Bukit
adalah piagam ziarah demi kekuatan gaib. Katanja: „Siddhayatra.
lebih tepat siddhiyatra, berarti: perdjalanan atau ziarah untuk mem
peroleh kekuatan gaib; itulah arti katanja pada piagam Nhan-bieu.
demikian pula pada piagam Kedukan Bukit. Baginda naik perahu untuk
memperoleh kekuatan gaib di Minanga Tamwa(r).” Pendapat Coedes
itu disetudjui oleh Krom seperti terbukti dari kutipan diatas. Demikian
pula oleh Prof. Nilakanta Sastri. R.A. Kern dalam karangannja jang
termuat dalam B.K.I. 88 tahun 1931 menjamakannja dengan kebiasaan
di Sunda ngalap berkah: mentjari (memperoleh) restu. Dr. B.Ch.
Chhabra membahas kata siddhayatra ini dalam hubungan dengan pe
dagang mahanavika Buddhagupta, dan dongeng-dongeng jang terdapat
dalam Kathasaritsagara. De Casparis menundjukkan bahwa kata sid
dhayatra terdapat djuga pada piagam Djawa kuno dari tahun 856
A metrical old Javanese inscription dated 856. Pada strophe 22 terbatja,
bahwa ¡burung bangau, gagak dan angsa serta pedagang disuruh mandi
untuk memperoleh perlindungan. Kalimat itu diikuti kata siddha ta yatra
siha. Meskipun strophe itu masih gelap artinja, namun sudah dapat
114
diraba, bahwa kata siddhayatra itu digunakan dalam hubungan dengan
burung dan pedagang, jang berpindah-pindah tempat dan berhubungan
dengan air, karena burung-burung dan pedagang itu diandjurkan su-
paja mandi. De Casparis menundjukkan bahwa burung-burung itu
dalam bahasa Sansekerta disebut tirthakaka. Jang mendapat tekanan
dalam soal siddhayatra ini adalah „perpindahan tempat” , dari tempat
jang satu ketempat jang lain.
Setelah memperhatikan pembahasan para sardjana mengenai kata
siddhayatra, timbul pertanjaan jang prinsipiil: Apakah kata siddhayatra
perlu diubah mendjadi siddhiyatra seperti jang dilakukan oleh Coedes?
Saja berpendapat bahwa perubahan itu tidak perlu. Alasannja ialah:
1 . kata siddhayatra itu sadja sudah mempunjai arti jakni: perdjalanan.
2. Kata siddhayatra pada baris 3 itu mempunjai hubungan dengan kata
siddhayatra pada baris 10 dalam bentuk kata madjemuk jayasiddha
yatra artinja: perdjalanan djaja. 3. Kata siddhayatra dan jayasiddha-
yatra memang terdapat pada batu piagam Kedukan Bukit; bentuk kata
itu memang betul.
Berdasarkan pendapat itu maka batu piagam Kedukan Bukit adalah
piagam siddhayatra, bahkan piagam jayasiddhayatra jakni piagam jang
mentjatat perdjalanan djaja. Sudah djelas bahwa perdjalanan djaja
adalah kedjadian besar dalam kehidupan kenegaraan, karena perdja
lanan djaja itu mempunjai hubungan dengan kemenangan jang diperoleh
dalam peperangan. Kata jayasiddhayatra digunakan sebagai penutup
tjatatan perdjalanan, termuat pada baris 10. Dalam istilah Djawa
dikatakan: didjadikan gong maksudnja: perkara jang paling penting.
Bahwa piagam Kedukan Bukit itu piagam perdjalanan, terbukti, karena
pada piagam jang terlalu pendek itu tertjatat beberapa perdjalanan,
jakni:
(a) Tanggal 11 bulan terang Waisaka Dapunta Hyang naik perahu.
(b) Tanggal 7 bulan terang Jyestha Dapunta Hyang berangkat dari
Minanga Tamwa(r) dengan tentara.
(c) Tanggal 5 bulan terang bulan Asada Dapunta Hyang datang mem
buat wanua.
(d) ........... wihara ini diwanua ini. (Tambahan pada petjahan pia
gam).
Mengenai berita pada (a) tidak dinjatakan bahwa Dapunta Hyang
naik perahu diikuti oleh tentaranja. Berita itu hanja menjatakan, bah
wa Dapunta Hyang mengadakan perdjalanan dengan naik perahu.
Djarak waktu antara (a) dan (b) ialah 26 hari. Sekonjong-konjong
pada (b) dinjatakan, bahwa Dapunta Hyang berangkat dari Minanga
Tamwa(r) dengan membawa duapuluh ribu tentara. Mengingat sing-
katnja djarak waktu antara berita (a) dan (b) jakni 26 hari sadja.
115
rupanja perdjalanan Dapunta Hyang tanggal 11 bulan terang bulan
W aisaka itu langsung menudju Minanga Tamwa(r). Dengan kata lain
Dapunta Hyang datang di Minanga Tamwa(r) untuk menggabungkan
diri pada tentara Sriwidjaja jang berdjumlah duapuluh ribu. Dari M i
nanga Tamwa(r) Dapunta Hyang menudju4 suatu tempat, jang tidak
terbatja seluruhnja. Jang terbatja hanja huruf-huruf ma, ia(ka), dja(?).
Coedes mengira Matadjap; Krom menduga Malayu. Batjaan Krom ini
dibantah oleh de Casparis, karena pada nama itu tidak nampak aksara
la. Aksara jang masih agak terang terbatja pada baris 7 itu menurut
penglihatan saja da; udjudnja sama dengan aksara keenam baris 9
pada kata datang (datam). Coedes djuga mengira kalau bukan da
ialah dja (j) , tetapi ia memilih dja (ja). Aksara tersebut masih disusul
aksara lain jang samar. Jang nampak hanja garis vertikal. Coedes
mengira bahwa garis itu permulaan aksara pa. Menurut penglihatan
saja itu adalah aksara na, serupa dengan na pada kata wanua baris 9.
Djika tidak salah lihat atau salah duga, nama itu kiranja matadanau.
Artinja sama sadja dengan telaga atau danau atau mata air. Nama itu
tjotjok dengan Telaga pada nama Telaga Batu, tempat diketemukannja
beberapa piagam Sriwidjaja, diantaranja jang terpenting dalam hu-
bungannja dengan persoalan kita ialah petjahan piagam siddhayatra
jang memuat kalimat penutup: ....... wihara ini diwanua ini. (De Cas
paris: Prasasti Indonesia II hal. 14-15).
Piagam tentang mendirikan bangunan biasanja tersimpan dalam
bangunan jang bersangkutan itu sendiri. Tidaklah aneh, djika biara
itu didirikan di Matadanau, jang sekarang disebut Telaga Batu. D a
punta Hyang beserta tentaranja datang ditempat tersebut dengan
sukatjita. Pada tanggal 5 bulan terang bulan Asada beliau datang
dengan lega gembira membuat wanua. Meskipun tidak dinjatakan
/ datang ditempat mana, namun kiranja sudah djelas, bahwa tempat itu
adalah tempat jang baru sadja disebut. Piagam itu lalu ditutup dengan
kalimat: C^riwijaya jayasiddhayatra subhiksa ....... Perdjalanan Dapunta
Hyang diiringkan oleh duapuluh ribu tentara bukanlah perdjalanan
biasa. Perdjalanan jang demikian adalah perdjalanan djaja. Perdja
lanan djaja itu mulai dari Minanga Tamwa(r). Perdjalanan djaja me-
njusul suatu kemenangan. Djadi sebelum Dapunta Hyang melakukan
perdjalanan djaja, tentara jang mengiringkannja, memperoleh keme
nangan dahulu dalam peperangan. Arak-arakan tentara jang dikepalai
oleh Dapunta Hyang menudju tempat dimana beliau akan mendirikan
wanua. Pembuatan wanua itu dimulai pada bulan Asada. Njata sekali
bahwa tentara dua laksa itu berkumpul di Minanga Tamwa(r), dan
dari situ mereka mulai bergerak ke Matadanau, mengadakan arak-
arakan djaja.
116
Minanga Tamwa(r) masih merupakan teka-teki jang belum dapat
ditebak. R.A. Kern dalam terbitannja B.K.I. 88 tahun 1931 menjama-
kan Minanga Tamwa(r) dengan muara Sungai Musi, kata minanga
ditafsirkan: muara. Djika minanga Tamwa(r) ditafsirkan muara su
ngai Musi, timbul pertanjaan, adakah pernah sungai Musi itu disebut
Tamwa(r)? Dalam Record> I-ts’ing selalu menjebut sungai Fo-shih
atau sungai Sriwidjaja. Namanja sekarang djuga bukan Tamwa(r)
tetapi Musi. Lagipula perdjalanan dari ibukota Sriwidjaja kemuara
sungai Musi tidak akan makan waktu lama seperti dinjatakan di-
muka.
Dalam Riwajat Indonesia Prof. Purbatjaraka menerangkan bahwa
Minanga Tamwa sebagai tempat pertemuan dua sungai. Ia mendasar
kan keterangannja pada kata tamwa(r) jang menurut pendapatnja
bentuk lama dari kata temu. Pendapat ini sudah terang tidak dapat
dipertahankan. De Casparis segera mengetahui kesalahan itu, karena
pada piagam Talang Tuwo sudah ada kata tmu (temu). Jang di
maksud oleh Prof. Purbatjaraka dengan pertemuan dua sungai itu
ialah pertemuan sungai Kampar Kanan dan 'Kampar Kiri didaerah
Minangkabau. Dari nama itu Purbatjaraka menerangkan terdjadinja na
ma Minangkabau. Tidak aneh bahwa nama Minangkabau berasal dari
Minanga Kampar, tetapi suatu pertanjaan ialah, apakah Minanga
Tamwa (r) itu sama dengan Minanga Kampar? De Casparis tidak me-
njatakan pendapatnja setjara positif tentang persoalan Minanga Tam
wa (r). Ia lebih tjenderung kepada tafsiran muara sebagai pertemuan
antara sungai dan laut. Prof. Moh. Yamin djuga tidak menjetudjui
pendapat Prof. Purbatjaraka. Ia membatjanja Minanga Hambar. Kata
minanga diartikan sungai seperti masih dikenal dalam bahasa Batak,
sedangkan hambar sama dengan tawar. Menurut pendapatnja jang di
maksud dengan sungai tawar ialah sungai Sengkawak dikaki Bukit
Siguntang. Aksara ta dan aksara ha djauh sekali bedanja. Jang ter-
batja sudah pasti aksara ta bukan ha. Moh. Yamin dikuasai oleh ga
gasan akan menjamakan kata hambar, tawar. Djika aksara ma{m)
pada hambar itu dimasukkan pada kata tawar, maka kita mendapat
kan kata tamwar. Tjaranja berpikir unik, tetapi tidak dapat memetjah-
kan persoalan. Kata tamwa(i) tidak perlu diperkosa.
Tidak ada keberatan untuk mengartikan kata minanga itu sungai
atau muara atau pertemuan antara dua sungai. Seperti dikemukakan
oleh Mr. Moh. Yamin kata minanga dalam bahasa Batak masih berarti
sungai. D i Jogjakarta masih dikenal kata winanga sebagai nama su
ngai dibagian barat kota' Jogja. Di Sumatera dikenal kata binanga
sebagai nama kota ditepi sungai Barumun. Pokoknja minanga mem-
punjai hubungan dengan sungai. Tinggallah sekarang memetjahkan
117
. . . rp „/_\7 Dalam bahasa Indonesia/Me- persoalan dimana letaknja Tamwa(r)! uaidUi» kata Mnanga dengan arti sungai tidak lagi d,kenal. Kata sudah
Kata-kata zaman sekarang jang mempunjai fonem b. djika kedapatan. i. . i • • „»mnurnai fonem w misalnia: wulan:pada piagam Sriwidjaja, biasanja mempunjai j
bulan; wanak: banjak; serius seribu dsb. Bun„ a pada suku terach.r
berubah mendjadi o dalam bahasa Minangkabau m.salnja s,apa, sapo;
apa: apo; lama: lamo; bersua: bersuo dsb. Zaman sekarang d,seluruh
Sumatera tidak ada sungai jang bernama Tamwa(r). Sudah past. bah
wa sungai Tamma(r) itu sekarang masih ada, namun naman,a ber
ubah utjapannja atau ganti baru s a m a s e k a l i . Biasan,a nama ,t„ han,a
berubah bentuknja atau utjapannja, menjesuaikan dm dengan bahasa
masjarakatnja. Djika kita berpegang pada kebiasaan ,ang denukmn ,tu.
mungkin sungai Tamwa itu masih djuga kita kenal d.daerah Djamb.
Hulu. Namanja sekarang ialah Batang Tebo. Kota ,ang terletak pada
pertemuan Batang Tebo dan Batang Hari bernama Muara Teto. B.asa-
nja nama tempat jang terdapat pada pertemuan dua sungai namanja
sama dengan nama sungai tjabang jang masuk a am sungai ian9
lebih besar, didahului dengan kata muara. Misalnja; Muara Tembesi.
Tempat ini terdapat ditempat pertemuan antara sungai Tembesi dan
Batang Hari. Demikianlah kita kenal nama Muara Rupit, Muara
Enim, Muara Tebo, Muara Dua dsb.
Masih ada satu persoalan lagi jang minta perhatian jakni kata
marlepas pada baris 4 dalam kalimat: Dapunta Hyang marlepas dari
M inanga Tamwa ....... Coedes m e n t e r d j e m a h k a n n j a : /e roi se libera
de artinja: baginda membebaskan diri d a r i....... Coedes tidak menje-
lesaikan terdjemahannja, karena ia menghubungkannja dengan per
istiwa siddhiyatra jang dilakukan oleh radja Kambodja, Djajawar-
man II untuk melepaskan diri dari kekuasaan Djawa. Djajawarman
menghentikan pemberian upeti kepada radja Djawa. D jiwa ter-
djemahan jang demikian tidak tjotjok dengan isi piagam Kedukan Bu
kit, jang merupakan kronik perdjalanan. Krom djuga tidak dapat
keluar dari kesulitan tersebut. Sesungguhnja kesulitan jang terbesar
ialah memetjahkan persoalan Minanga Tamwa(r). Djika kata ter
sebut telah diketahui apa maksudnja, pemetjahan kata marlepas tidak
lagi menimbulkan kesulitan. Minanga Tamwa(r) saja identifikasikan
dengan Batang (Muara) Tebo, didaerah Djambi Hulu. Kata dari ber
hubungan dengan tempat, tidak dengan djandji atau kekuasaan orang
lain. Sesuai dengan djiwa kronik perdjalanan ungkapan marlepas dari
Minanga Tamwa berarti: berangkat dari Minanga Tamwa, (M uara
atau Batang Tebo). Dalam bahasa Melaju di Malaja dan Singapura
hingga sekarang masih digunakan kata berlepas untuk pengertian
118
berangkat M'Berita f-Ja • n 3' Meieka akan berlepas esok hari (dikutip dari
dukan Bukit *P ^ 1961). Dalam membahas piagam Ke~
bieu, sehin ' *'"’° ec s sangat dipengaruhi oleh isi piagam Nhan-
yatra. (Dielak ^ men9U^a^ bentuk kata siddhayatra mendjadi siddhi-
kekuatan cr ’h 3rei*a kata siddhiyatra mempunjai hubungan dengan
....... Kata ‘ ‘ ma 3 ^3ta mar epas ditafsirkan: membebaskan diri dari
kelebihan P3da 1ayasiddflayatra dihilangkan, mungkin dianggap
Djika „ t" be?.‘Uk ia"9dari Muar 'ataS *tU ^enar’ maka perdjalanan djaja itu dimulaiPalembano 'T2!50 menudju Matadanau (Telaga Batu) dikota
menundukk ^ kernenan9an jang diperoleh tentara Sriwidjaja dalam
an MeTa; ^ 33n Melaju pada tahun 683. Penundukan keradia-an Melaju oleh Sriwidjaja didasarkan atas:
( 1 ) P e m b e r i t a a n I - t s ' i n a - • / o • •
djaja .......... lan9 sekarang mendjadi bagian ortwi-|2 J y
i a an9 (Muara) Tebo di Djambi Hulu, jang termasuk wi~
(3) Pen adjaan Melaiu‘oleh ^ a^3m PersumPahan Karang Brahi jang dikeluarkan
rad' 3 riWidjaja- barang Brahi djelas terletak diwilajah ke-
(su^ n A e 3 U disebelah tenggara Muara Tebo, didjalan raja1 an daratj antara pantai timur dan daerah pedalaman,
jang banjak mengandung mas.
Udjud piagam Kedukan Bukit itu seperti berikut:
? kT \ ?n ?akawarsatita 605 ekadagi gu-
3 Ssnf WUlan Wai?akha dapunta hyang najik di(4 ) W i 1 aU- man9a aP siddhayatra di saptami guklapaksa
/ n -y n /yestha dapunta hyang marlepas dari minanga 5 Tamwa(r) mamawa yang wala dua laksa ko
(7 ) r iT rf US Cara disamwau dangan jalan sariwu
X u S S?PUlU dua wanyaknVa datang di matada(nau)8 S u k h a a t , ,di pancarai iukIapaksa wu,a(n) (asada)
tVn\n mudlta datang marwuat wanua(10) Sriwijaya jaya siddhayatra subhiksa .........
Terdjemahannja:
(1) Bahagia! Pada tahun saka 605 hari kesebelas
p ar\ ,teran9 bulan waisaka dapunta hyang naik diera u melakukan siddhayatra. Pada hari ketudjuh dari
bulan terang
(4) Bulan jyestha dapunta hyang berangkat dari Minanga
5 Tamwa(r) membawa tentara dua laksa orang
( ) Dua ratus orang diperahu; jang berdjalan seribu
119
(7) Tiga ratus dua belas banyaknya; datang di matada(nau)
(8) Dengan senang hati; pada hari kelima dari bulan terang
bulan (Asada)
(9) Dengan lega gembira datang membuat wanua ...........
(10) Sriwidjaja melakukan perdjalanan djaja dengan lengkap ...........
Pasat keradjaan Melaju
Sebelum menetapkan pusat keradjaan Melaju, lebih dahulu kita mem-
bitjarakan adat-istiadat kaum pendatang jang mendirikan keradjaan
Melaju. Diseberang utara Selat Malaka terhampar daerah Semenan-
djung Melaju, jang disebut Malaja, didiami oleh penduduk asli bangsa
Melaju. Diseberang selatan memandjang pantai timur Sumatera, di-
mana terletak pelabuhan Melaju, jang sudah dikenal pada zaman Sri
widjaja. Nama Malaja dan Melaju berasal dari kata jang sama, jakni
kata Sansekerta malaya artinja: bukit. Kata tersebut berkembang didua
tempat jang berbeda. Diseberang utara Selat Malaka kata tersebut
mempertahankan bentuk aslinja malaya; diseberang selatan kata ter
sebut mengalami perubahan bunji, mendjadi Melaju. Didaerah Orissa
masih ada gunung jang bernama Malayagiri, didekat udjung Comorin
ada lagi gunung jang bernama Malayam. Bentuk tersebut terang tu
runan dari bentuk kata Sansekerta malaya. Dalam bahasa Tamil kata
malaya itu mendjadi malai artinja: bukit.
Sudah mendjadi kebiasaan kaum pendatang untuk menjebut tempat
tinggalnja jang baru dengan nama tempat kediaman jang ditinggalkan-
nja. Apalagi djika antara tempat tinggal jang baru dan jang lama
terdapat kemiripan. Demikianlah Semenandjung Melaju disebut M a
laja oleh kaum pendatang dari India, sesuai dengan keadaan alamnja.
Daerah Semenandjung Melaju penuh dengan bukit-bukit. Penduduk
aslinja menjebut dirinja bangsa Melaju, karena mereka kebanjakan
keturunan orang pendatang dari seberang selatan Selat Malaka. Dalam
kesusastraan Djawa kuno nama Malaja belum dikenal. Jang tersebut
dalam Nagarakretagama, jang ditulis pada tahun 1365 ialah nama
Tumasik, Pahang, dan Terengganu. Mungkin sekali nama Malaja ini
timibulnja dalam pemakaian sesudah abad 14. Djuga djika kita menje-
lidiki asal nama keradjaan Tjampa, kita mendjumpai peristiwa pemin
dahan nama dari India ketempat lain. Di India malah ada dua tempat
jang bernama Tjampa, satu di Bhutan dan lainnja di Madhya Pradesh.
Nama pulau Madura djuga berasal dari nama propinsi di India Se
latan. Demikian pula nama Brunei, jang kemudian mendjadi nama
seluruh pulau (jakni Borneo), berasal dari nama sungai Porunai di
daerah Tranvancore. Zaman sekarang adat jang demikian itu masih
120
berdjalan. Didaerah transmigrasi Sumatera Selatan banjak amat nama
desa jang sama dengan nama kota di Djawa seperti Purwokerto, Pur-
bolinggo, Kutahardjo dsb. Didaerah Selangor masih ada kampung
Djawa dan kampung Asam Djawa. Adat-kebiasaan Djawa terbawa
pula ketempat tersebut. Nama tjamatnja ialah Radin Sunarno, meski
pun sudah keturunan disitu.
Melaju sebagai nama keradjaan di Sumatera lebih tua daripada
Malaja sebagai nama Semenandjung Melaju. Nama Melaju sebagai
nama keradjaan sudah dikenal dalam berita Tionghwa pada tahun
644/5. Kata Melaju memang mirip sekali dengan kata Malaja. Jang
berbeda hanja vokalnja terachir, jakni a dan u. Seperti telah disinggung
kata malaja sebagai nama Semenandjung Melaju mempertahankan ben
tuk aslinja Sansekerta, sedangkan kata Melaju sebagai nama keradjaan
di Sumatera mengalami perubahan bunji; datangnja di Indonesia me
lalui bahasa Tamil: malai. Karena sesudah mengutjapkan bunji i, mulut
tertutup, maka terdengar bunji u jang pada hakekatnja bukan fonem
dalam bahasa Tamil. Oleh karena itu kata malai lalu mendjadi malai-u
— Malaju.
Pengaruh India Selatan nampak pula pada gelar beberapa radja Me
laju jang termuat pada piagam Khmer dan pada piagam Kertanagara
ditepi sungai Langsat. Nama radja Melaju pada piagam Khmer ialah
grimat trailokyaraja Maulibhusana Warmmadewa, dan pada piagam
Kertanagara ialah grimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa. Gelar
grimat dipakai di India Selatan dengan arti „tuan”, istimewa dalam
kehidupan keagamaan dibiara-biara. Berdasarkan gelar tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa radja-radja Melaju itu ketjuali mengepalai
keradjaan djuga setjara resmi mengepalai kehidupan keagamaan. De
mikianlah baik gelar radjanja maupun nama keradjaannja berasal dari
India Selatan. Peristiwa jang agak mentjolok ialah bahwa piagam-
piagam jang dikeluarkan oleh radja-radja Melaju, jang diketemukan
hingga sekarang, kebanjakan tertulis dalam bahasa Sansekerta, berbeda
dengan piagam-piagam Sriwidjaja. Tidak ada piagam Melaju jang di
ketemukan disekitar kota Djambi. Pada tahun 1286 radja Kertanagara
memberikan hadiah artja kepada radja Melaju, grimat Tribuwanaradja
Mauliwarmmadewa. Dinjatakan dengan tegas bahwa artja Amoghapaga
dengan tigabelas pengikutnja diangkut dari bhumi Jawa ke Sumatra-
bhumi, ditempatkan di Dharmmafraya atas perintah radja Sri Kertana
gara W ikrama Dharmottunggadewa. Atas hadiah itu semua penduduk
Melaju gembira: para pendeta, ksatria, waisja dan sudra, terutama radja
grimat Tribuwanaradja Mauliwarmmadewa.
Dharmmagraya terletak didaerah hulu sungai' Batang Hari. Selama
pemerintahan Adityawarman segala piagam tentang keradjaan Melaju
121
diketemukan disekitar hulu sungai Batang Hari. Piagam Pagar Rujung
dari tahun 1356 diketemukan dibukit Gombak, kemudian diangkut ke
Pagar Rujung. Pada piagam ini Adityawarman menjebut dirinja: Adi-
tyawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimaniwarmmadewa maha-
rajadhiraja. Pada piagam Suroaso dari tahun 1375 Adityawarman me
njebut dirinja Surawagawan, artinja: jang dipertuan di Surawaga. Suroaso
hingga sekarang masih ada sebagai nama tempat dihulu sungai Batang
Hari. Pada tugu nisan Adityawarman menjebut dirinja Kanakamedi-
nindra artinja: jang dipertuan dipulau emas, jakni Sumatera. Nama
Suwarnadwipa djuga digunakan pada piagam Pagar Rujung. Nama
itu sinonim dari nama Suwarnabhumi pada piagam Kertanagara. Pen
deta I-ts’ing menjebutnja Chin-chou: pulau emas. Djustru Karang Brahi
jang terkenal karena emas bubuknja. Karang Brahi adalah daerah
penghasil emas. Karang Brahi terletak dihulu sungai Merangin, amat
djauh dari kota Djambi.
Pada piagam sungai Langsat dari tahun 1347 dibalik piagam Kerta
nagara untuk pertama kalinja kita mengenal nama Malayapura sebagai
nama keradjaan Melaju dibawah pemerintahan Adityawarman. Rouf-
faer mengemukakan pendapat bahwa pusat keradjaan Melaju terletak
di Djambi lama. Pendapat itu termuat dalam B.K.I. 77 hal. 11-19
tahun 1921. Pendapat Rouffaer itu mendapat sambutan baik dari pihak
Prof. Krom dan telah mendjadi pendapat umum. Krom menduga bahwa
pusat keradjaan Melaju telah dipindahkan ke Pagar Rujung dekat
Fort van de Kapellen (H.J.G. hal. 413). Djika pendapat Rouffaer itu
ditjotjokkan dengan piagam Tanjore, jang dikeluarkan pada tahun 1030
oleh Rajendracoladewa, maka pendapat itu agak gojah. Pada piagam
tersebut dinjatakan, bahwa ibukota keradjaan Melaju dengan benteng
pertahanannja terletak diatas bukit. Daerah pantai timur Sumatera
merupakan tanah datar, tidak berbukit, apalagi daerah sekitar Djambi.
Hampir seluruhnja merupakan tanah rendah jang masih muda. Djika
udjud daerah Djambi ditjotjokkan dengan arti nama Melaju, tidak
sesuai, karena Melaju berasal dari malai atau malaya jang berarti:
bukit. Demikianlah baik dilihat dari pernjataan piagam Tanjore mau
pun dari arti nama Melaju, pusat keradjaan Melaju tidak mungkin
terletak di Djambi. Lagipula piagam-piagam penting jang diketemukan
hingga sekarang, tidak diketemukan disekitar kota Djambi, tetapi di-
pedalaman, seperti telah disinggung diatas. Piagam persumpahan Ka
rang Brahi, jang dimaksud sebagai peringatan keras radja Sriwidjaja
kepada rakjat Melaju, tidak terdapat dikota atau disekitar kota Djambi,
melainkan dihulu sungai Merangin. Piagam serupa itu hanja lajak di
tempatkan didaerah djadjahan, jang masih membahajakan; diletakkan
ditempat janq ramai dikundjungi orang, supaja diketahui orang banjak.
122
Apa agi djika kita memperhatikan perdjalanan djaja jang dilakukan
oleh Dapunta Hyang mulai j ari Batang (Muara) Tebo, maka kiranja
tidak aneh bila pusat keradjaan Melaju itu terletak dipedalaman di
sekitar Muara Tebo. Djika demikian maka pusat keradjaan itu terpisah
dan pelabuhan. Pantai laut tidak merupakan sjarat mutlak bagi pusat
keradjaan. Pusat keradjaan Singasari dan Madjapahit tidak terletak
ditepi pantai. Pusat keradjaan itu terpisah dari pelabuhan. Biasanja
pusat keradjaan itu terletak ditempat jang menguntungkan: ditanah
subur jang merupakan daerah pertanian atau dipantai laut jang me
rupakan pelabuhan. Daerah disekitar Muara Tebo, adalah daerah mak
mur, daerah pertanian. Lagipula Muara Tebo mudah ditjapai dari
pelabuhan Djambi melalui sungai Batang Hari. Demikianlah baik di-
tindjau dari peninggalan-peninggalan kuno jang berupa piagam, mau
pun dari pemberitaan piagam Tanjore dan piagam Kedukan Bukit,
maka letak pusat keradjaan Melaju disekitar Muara Tebo lebih meng
untungkan daripada dikota Djambi. Pusat keradjaan jang letaknja
demikian tidak mudah diserang oleh musuh baik dari laut maupun
dari darat. Untuk dapat mentjapai Muara Tebo, musuh harus berhasil
merebut pelabuhan Djambi lebih dahulu.
Djustru oleh karena Sriwidjaja bernafsu untuk menguasai lalu-lintas
ka,pal di Selat Malaka, Sriwidjaja harus merebut pelabuhan Melaju
dahulu. Tetapi oleh karena pelabuhan hanja sebagian dari milik ke
radjaan, maka pusat keradjaan itu perlu diserbu. Hanja dengan demi
kian maka kekuasaan keradjaan Melaju itu patah. Ditindjau dari sudut
ini maka kita dapat memahami, mengapa perdjalanan djaja itu mulai dari
Muara Tebo, tidak dari kota Djambi.
Piagam Talang Tuwo
Setahun setelah penundukan keradjaan Melaju radja Sriwidjaja mem
berikan hadiah kepada rakjat berupa taman. Pemberian hadiah itu
disertai piagam jang bertarich tahun 684 dan berisi pesan Dapunta
Hyang kepada rakjat untuk menikmati hadiah taman jang bersang
kutan. Piagam tersebut diketemukan di Talang Tuwo jang terletak
5 km sebelah barat daja Bukit Siguntang pada tanggal 17 November
1920 oleh residen Westenenk, Penemuan piagam diumumkan pada
tahun 1921 dimadjalah berkala Djawa I. Penetapan tarich tahun ber
asal dari Dr. F.D.K. Bosch. Dari piagam tersebut ternjata bahwa
Dapunta Hyang menghadiahkan beberapa taman dipelbagai tempat
jang tidak disebut namanja. Selain memuat pesan Dapunta Hyang Sri
Djajanaga, piagam tersebut memuat doa untuk kebahagiaan radja Sri
widjaja atas kemurahan hatinja. Didoakan agar beliau memperoleh
123
segala hal jang baik sesuai dengan adjaran agama Buda. Segala hal
jang baik itu disebut dengan istilah-istilah dalam agama Buda. Pesan
Dapunta Hyang termuat pada baris dua, mulai dengan kata sawanyak-
nya dan berachir pada baris dengan kata sacaracara. Selandjutnja
adalah utjapan pemahat atau pembesar jang menjuruh pahat piagam
tersebut, berupa doa kepada Dapunta Hyang.
Dalam bukunj'a Hindoe-Javaansche Geschiedenis hal. 121 Krom me
nulis tentang piagam Talang Tuwo itu seperti berikut: „Na de daar-
door te breiken gelukkige toestanden volgen de in het uitzicht gestelde
goederen van geestelijke aard, het ontwaken van de gedachte aan de
Bodhi, het niet gescheiden zijn van Drie Juweelen etc.......... (artinja:
Setelah mentjapai keadaan jang berbahagia, kemudian menjusul hal-
hal rochaniah seperti: membangkitkan bodhicitta, tidak bertjerai
dengan Dang Hyang Ratnatraya dsb.......... ). Djasa Coedes dalam
penerbitan piagam Talang Tuwo berupa usaha membetulkan batjaan
teks dan mentjari arti kata-katanja. Namun karena kurang tepat meng
hubungkan kata-kata jang bersangkutan, terdjemahannja sangat kusut.
De Casparis mengemukakan beberapa keberatan terhadap terdjemahan
Coedes dalam Prasasti Indonesia II. Istilah-istilah agama Buda itu
tidak saja terdjemahkan, karena hal itu lebih banjak berhubungan
dengan agama daripada usaha untuk memahami maksud piagam.
Teks dan terdjemahan piagam Talang Tuwo itu seperti berikut:
1. Swasti gri gakawarsatita 606 dim dwitiya guklapaksa wulan caitra
sana tatkalanya parlak griksetra ini niparwuat.
2. parwa n dapunta hyang gri jayanaga(ga) ini pranidhanam dapunta
hyang sawanyaknya m mitanam di sini nyiur pinang hanau, ru-
3. mwiya dngan samigranya yang kayu nimakan wuahnya tathapi
haur wuluh pattung ityewamadi punarapi yang parlak wukan
4. dngan tawad talaga sawanyaknya yaijg wuatku sucarita parawis
prayojanakan punyanya sarwwasatwa sacaracara ware payanya
tmu
5. sukha di asanakala di antara margga lai tmu muah ya ahara
dngan air niminumnya sawanyaknya wuatnya huma parlak man-
cak mu-
6. ah ya manghidupi pagu prakara marhulun tuwi wreddhi muah ya
jangan ya niknai sawanyaknya yang upasargga pidana swapna-
wighna . warang wua-
7. tnya kathamapi anukula yang graha naksatra parawis diya nir-
wyadhi ajara kaw.uatananya tathapi sawanyaknya yang bhretyanya
8. styarjjawa dredhabhakti muah ya diya yang mitranya tuwi jangan
ya kapata yang wininya mulang anukula bharayya muah ya wa
rang stha-
124 »
1 0 .
nSnya lagi curi ucca wadhanya paradSra di sana punarapi tmu ya kalyanam.t.a marw„anguil wodhic|lta maitri.
-dhan di dang hyang ratnatraya jangan marsarak dngan hyang
ratnattaya tathapi nityakala ,yaga m a „ i | a ksanti marwwangun wiryva rajin
11. tahu di samigranya gilpakala parawis s a m a d h i t a c i n t a tmu ya prajnya
smreti medhawi punarapi dhairyyamani mahasattwa
12. wajragarira anupamagakti jaya tathapi jatismara awikalendriya
mancak rupa subhaga hasin halap ade-
13. y awak ya wrahmaswara jadi laki swayambhu puna(ra)pi tmu ya
cintamammdhana tmu janmawagita karmmawagita klegawagita
awagana tmu ya anuttarabhisamyaksamvodhi ||
13.
14
Artin/a:
Bahagia! Tahun Saka 606 pada hari kedua bulan terang bulan Tjai-
tra, itulah waktunja taman Sriksetra ini dibuat, milik Dapunta Hyang
Sn Djajanaga. Inilah pesan Dapunta Hyang: „Semuanja jang ditanam
dis.ni: njiur, pinang, enau, rumbia dan lain-lainnja, pohon-pohon itu
dimakan buahnja; tetapi aur, buluh, betung dan jang sematjam itu,
emikian pula taman-taman lainnja dengan tebat dan telaganja, jang
kubuat, semua itu dimaksudkan demi kebahagiaan segenap machluk.
baik jang bergerak maupun jang tidak bergerak.” Hendaklah daja-
upaja jang mulia itu mendapat kesukaan dikemudian hari dengan
djalan lain. Semoga beliau mendapat makanan dan air untuk minumnja.
Segala sesuatu jang dibuatnja, ladang, kebun luas, supaja menghidupi
segala machluk; semoga semua hamba beliau hidup sedjahtera! Djauh-
ana beliau dari segala bentjana, dari pidana dan penjakit tidak
apat tidur. Semoga segala usahanja berhasil baik, bintang-bintangnja
lengkap, terhindar dari penjakit dan dianugerahi awet muda! Semoga
semua abdi setia bakti kepada beliau. Djangan hendaknja para sahabat
erc ianat terhadap beliau; para bini hendaknja tetap setia sebagai
isteri kepada beliau. Dimanapun beliau berada, djanganlah dilakukan
tjuri, tjurang, bunuh, dan zina disitu. Mudah-mudahan beliau bertemu
dengan kalyanamitra, membangun bodhicitta dengan maitri, menjembah
kepada Ratnatraya, djangan sampai berpisah dengan Dang Hyang
Ratnatraya, bahkan senantiasa tenang bersila membangun keteguhan
hati, keuletan dan pengetahuan tentang perbedaan segala silpakala dan
pemusatan pikiran. Semoga beliau memperoleh pengetahuan, ingatan
dan ketjerdasan, dan lagi ketetapan mahasatwa, badan manikam waj-
ragarira jang sakti tanpa upama, mendapat kemenangan dan ingatan
kepada kelahiran jang lampau, indera lengkap, rupa penuh, kebaha
giaan, kegembiraan, ketenangan, kata manis, suara Brhma, djadi lelaki
125
karena kekuatannja sendiri; mudah-mudahan beliau memperoleh cinta-
manidhara, janmawagita, karmmawagita, klegawagita, achirnja men
dapat anuttarabhisamyaksambodhi.
Gelar Dapunta Hyang
Baik pada piagam Talang Tuwo maupun pada piagam Kedukan
Bukit telah kita djumpai gelar dapunta hyang, tanpa mengetahui tepat
bagi siapa gelar itu diperuntukkan. Mengingat bahwa menurut berita
Tionghwa dari sedjarah Sung banjak keluarga dikeradjaan San-fo-ts’i
jang bergelar pu, maka gelar dapunta hyang harus diperuntukkan bagi
orang jang amat tinggi kedudukannja. Kehormatan jang amat tinggi
itu ditundjukkan dengan bubuhan da-, -ia dan sebutan hyang. Pema
kaian gelar terikat pada waktu dan tempat. Oleh karena itu mungkin
sebutan atau gelar jang sama, berbeda maknanja di Djawa dan di Su-
matera. Zaman sekarang kata teuku atau tengku di Atjeh dan Per
sekutuan Tanah Melaju menundjukkan keturunan radja jang masih
akrab. Demikian pula gelar atau sebutan tengku dan ungku di Djohor.
Tetapi sebutan tengku atau engku di Minangkabau biasa digunakan
untuk menjebut seorang guru. Deradjatnja sama dengan pak zaman
sekarang di Indonesia dan chikgu di Singapura. Misalnja engku Sulai
man (Minangkabau) = chikgu Sulaiman (Singapura) = pak Sulaiman
(Indonesa sekarang). Ringkasnja gelar atau sebutan itu dalam pema-
kaiannja dapat mengalami perubahan semantik.
Pada piagam dari tahun 860 di Djawa terdapat gelar dapunta jakni
dapunta Anggada. Tjontoh lain dapunta i Panunggalan: jang diper
tuan di Panunggalan (K.O. IX ); dapunta Marhyang (O.J.O. II) . D a
punta Anggada adalah pembesar biara. Bagaimanapun dapunta adalah
gelar jang berhubungan dengan kehidupan dibiara. Hingga sekarang
menurut de Casparis belum ada bukti jang menundjukkan bahwa da
punta itu digunakan sebagai gelar radja. Djika kita memperhatikan
piagam lain sebagai analogi, maka berdasarkan analogi itu mungkin
dapat diambil kesimpulan. Jang saja maksud ialah gelar jang kedapatan
pada piagam Khmer jang telah diterbitkan oleh Coedés dalam B.E.-
F.E.O. 18, 6 (1918) dan pada piagam Kertanagara jang diketemukan
ditepi sungai Langsat. Nama radja Melaju (Sriwidjaja) pada piagam
Khmer ialah grimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmmadewa, dan
pada piagam Kertanagara grimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa.
Kedua-duanja menggunakan gelar grimat. Gelar grimat di India Sela
tan berarti ,,tuan”, dan dipakai chusus dalam kehidupan keagamaan.
Tetapi gelar grimat itu diwilajah keradjaan Melaju pada tahun 1286
terang digunakan sebagai gelar radja. Kata grimat sebagai gelar di
126\
India Selatan860. Ked rl an13 tepat dengan kata dapunta di Djawa pada tahun mengenal uania digunakan sebagai gelar pembesar biara. Djika kita
piagam ^rimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmmadewa pada
piaaam K 0161 ^3n ?r'mat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa pada dapunta ^ertana9ara' maka pada piagam Talang Tuwo kita mengenal
pada se ^ a°® ^ n" Djajanaga. Dapunta hyang memberikan pesan ke-
oranq i ®ena^ ra^"at untuk menikmati hadiah taman. Hingga sekarang
diaia d ^a^wa P*a9am Talang Tuwo adalah piagam Sriwi-. , a la^ taman itu diberikan oleh radja Sriwidjaja. Kiranja
iana b 1 * ^ eSan ia ah radja Sriwidjaja. Jang berpesan adalah orang
diperu t kl-31 ^aPunta fyarig- Segala pudji-pudjian jang muluk dan doa
1nrr'<!n * ^ dapunta hyang, jang memberi hadiah taman. Djadi
Talan^ T a^Unfa hyang adalah gelar radja Sriwidjaja. Pada piagam
i-j. j . .U ? jtU 'an9 bergelar dapunta hyang ialah Sri Djajanaga(ga).
' iajanaga adalah radja Sriwidjaja pada tahun 684. Pada
P 9 e ukan Bukit djuga disebut dapunta hyang tanpa diikuti na-
, ma engan dapunta hyang pada piagam Talang Tuwo baris 2.
g n9fat ahwa selisih waktu antara piagam Kedukan Bukit dan
P 9 a ang Tuwo hanja satu tahun sadja, maka kiranja dapunta
yan9 Pa a Kedukan Bukit itu adalah dapunta hyang Sri Djajanaga djuga.
Andaikata dapunta hyang pada piagam Kedukan Bukit itu hanja
ge ar epa a biara seperti dapunta Anggada, maka agak aneh bahwa
e^a a *ara ^u t tjampur dengan urusan ketentaraan. Djuga (pada pia
gam a Tuwo) agak aneh bahwa kepala biara memberikan hadiah
taman (ti ak hanja satu) kepada masjarakat. Biasanja kepala biara
m.a a men aPat hadiah dari radja atau pembesar lainnja. Jang me
nimbulkan dugaan bahwa dapunta hyang adalah kepala biara, ketjuali
perbandingan dengan dapunta pada piagam Djawa Kuno djuga pene
muan petjahan piagam, dimana terdapat petjahan kalimat jang ber-
unji: wihara ini diwanua ini. Sudah djelas bahwa Dapunta Hyang
datang di Matadanau untuk membuat wanua. Dari petjahan piagam
tersebut diatas njata, bahwa diwanua itu terdapat bihara. Berdasarkan
djalan pikiran diatas maka biara itu adalah hadiah radja Sriwidjaja, jang bergelar dapunta hyang.
Dari pelbagai piagam njata sekali, bahwa radja-radja Sriwidjaja
sikapnja sangat baik terhadap agama Buda, bahkan mendjadi promotor
untuk kesuburan agama tersebut. Setidak-tidaknja radja Sriwidjaja
mendjadi pelindungnja, djika tidak langsung turut tjampur dalam urusan
agama setjara aktif. Pun piagam Nalanda dinjatakan bahwa Balaputra-
dewa jang menjebut dirinja Suwarnadwipadhipamaharaja, keturunan
Yawabhumipalah mendirikan sebuah wihara di Nalanda. Meskipun
127
menurut tafsiran soal mendirikan biara itu mempunjai maksud politik
jakni untuk mengeratkan persahabatan dan kemudian untuk memper
oleh bantuan dari India, namun ditindjau dari sudut keagamaan hadiah
biara itu menundjukkan ketjenderungan radja Sriwidjaja kepada agama
Buda. Tentang Balaputradewa ini akan diuraikan dengan lebih pan-
djang dibelakang. Pada charter Leiden, jang tertulis dalam bahasa
Tamil dinjatakan djuga, bahwa qri Marawijayottunggawarman, putera
radja Cudamaniwarman keturunan Sailendra, radja Kataha dan Sri
widjaja, menghadiahkan sebuah desa di Nagippattana. Ajahnja meng
hadiahkan sebuah biara jang diberi nama Cudamaniwarmanwihara.
Hadiah itu diberikan pada tahun pertama pemerintahan radja Cola
Rajaraja I (1005/6). Dalam persahabatannja dengan Tiongkok radja
San-fo-ts’i Ti-hua-ka-lo (Dewa Kalottungga) memperbaiki tjandi Tien
Ching di Kanton dan menghadiahkan 400.000 uang mas jang kemudian
digunakan untuk membeli ladang padi guna membina tjandi dan para
pendeta dibiara. Radja San-fo-ts’i Ti-hua-ka-lo mendapat djulukan
djenderal besar jang menjokong pembaharuan ibadah dan keutamaan.
Perbaikan tjandi Tien Ching dilakukan pada tahun 1079.
Dari tjontoh-tjontoh diatas terbukti bahwa radja-radja Sriwidjaja
sering menghadiahkan biara untuk kepentingan kehidupan keagamaan
diluar negeri. Tidaklah aneh djika radja Sriwidjaja djuga menghadiah
kan sebuah biara dinegerinja sendiri jang diperingati pada petjahan
piagam jang terdapat di Telaga Batu, tempat dapunta hyang mendiri
kan wanua. Pemberian hadiah biara bertalian dengan perdjalanan
djaja jang dilakukan oleh Dapunta Hyang dari Muara Tebo atas ke
menangan terhadap keradjaan Melaju, dengan diikuti oleh duapuluh
ribu tentara. Pembangunan biara jang demikian adalah gedjala biasa,
sebuah manifestasi rasa terima kasih. Pembangunan tjandi Tara di
Kalasan pada tahun 778 djuga bertepatan dengan muntjulnja radjakula
Sailendra Pantjapana Panangkaran dan berhentinja radjakula Sandjaja
jang menggunakan perhitungan tarich Sandjaja. Piagam jang meng
gunakan tarich Sandjaja jang terachir ialah piagam Tadji Gunung
(O.J.O . X X X V I) . Pembangunan bangunan sutji sebagai manifestasi
rasa terima kasih seorang radja jang demikian banjak dilakukan diluar
negeri.
Piagam persumpahan
Piagam persumpahan Karang Brahi diketemukan pada tahun 1904
oleh kontrolir L.M . Berkhout dihulu sungai Merangin, tjabang sungai
Batang Hari, atau lebih tepat tjabang sungai Tembesi. Krom telah
mengemukakan pendapatnja tentang piagam persumpahan Karang
128
Brahi itu pada tahun 1921 dalam T.B.G. L IX hal. 426-431, dan dalam
bukunja Hindoe-Javaansche Geschiedenis hal. 117. Ia berpendapat
bahwa pengeluaran piagam itu boleh dipandang sebagai pernjataan
kekuasaan Sriwidjaja, jang katanja, sama dengan peristiwa menaikkan
bendera Sriwidjaja. Pendapat itu masih ditambah dengan utjapan, jang
berdasarkan pemberitaan I-ts’ing: keradjaan Melaju sebagai saingan
berat Sriwidjaja djuga sudah ditundukkan. Menurut de Casparis an-
tjaman jang termuat dalam piagam Karang Brahi dan Kota Kapur
ditudjukan kepada musuh-musuh dalam negeri. Fragmen a dan b jang
diketemukan di Bukit Siguntang dan Telaga Batu sangat menarik per
hatian, karena kedua petjahan piagam itu menguraikan perdjuangan
dalam negeri, setidak-tidaknja pada awal pertumbuhan keradjaan Sri
widjaja. Musuh-musuh dalam negeri ini sesungguhnja sulit ditegaskan,
karena kita tidak mengetahui dengan pasti, sampai dimana batas ke
radjaan Sriwidjaja pada tahun 686, dan berapa luas wilajah Sriwidjaja
asli, dan dimana letaknja. Dalam uraian mengenai perdjalanan pulang
dari India, I-ts'ing mentjatat, bahwa banjak negeri-negeri bawahan
Sriwidjaja. Sajang sekali I-ts'ing tidak menjebutkannja satu demi satu.
Namun kita dapat menangkap maksudnja jakni bahwa negeri-negeri
bawahan itu semula berdiri sendiri sebagai keradjaan merdeka, se
belum masuk wilajah Sriwidjaja. I-ts’ing hanja menjebut satu sadja
diantara negeri-negeri bawahan jang banjak itu, jakni keradjaan Me
laju. Kiranja keradjaan Melaju adalah salah satu negeri bawahan
Sriwidjaja jang sangat penting. Jang terang ialah bahwa I-ts’ing mem-
punjai kepentingan dalam penjebutan itu, karena pelabuhan Melaju
adalah tempat I-ts’ing singgah dalam perdjalanannja ke Nalanda. De
ngan negeri-negeri bawahan lainnja I-ts’ing tidak mempunjai sangkut
paut. Antjaman itu djelas dimaksud untuk mengelakkan pemberontakan
dinegeri-negeri bawahan, jang disebut oleh I-ts’ing. Oleh karena itu
piagam persumpahan itu harus ditempatkan dinegeri-negeri jang di
anggap membahajakan. Hingga sekarang piagam persumpahan itu baru
tiga buah jang diketemukan jakni piagam Karang Brahi, piagam Kota
Kapur dan piagam Telaga Batu. Mungkin masih ada lagi jang akan
menjusul. Menilik isinja piagam-piagam persumpahan itu harus dike
luarkan pada waktu jang bersamaan dan atas motif jang sama pula.
Hanja satu sadja diantara piagam-piagam persumpahan itu jang me
muat tarich tahun jakni piagam Kota Kapur dengan tarich tahun 686.
Djadi piagam-piagam persumpahan itu dikeluarkan 3 tahun sesudah
penundukan keradjaan Melaju.
Piagam persumpahan Kota Kapur ditutup dengan kalimat jang ber-
bunii, bahwa pada waktu piagam itu dikeluarkan, tentara Sriwidjaja
berangkat kepulau Djawa, karena pulau Djawa tidak berbakti kepada
129
Sriwidjaja. Itulah motif pengeluaran piagam-piagam persumpahan ter
sebut. Keberangkatan tentara Sriwidjaja ke Djawa membawa akibat
pengurangan kekuatan pertahanan dalam negerir Dengan sendirinja
Dapunta Hyang takut, kalau-kalau timbul pemberontakan diwilajah
Sriwidjaja sebagai usaha untuk memperoleh kemerdekaan kembali atau
sebagai balas dendam terhadap Sriwidjaja. Pemberontakan jang mung
kin timbul, adalah pemberontakan dinegeri-negeri bawahan. Tidak
mustahil pula, bahwa pemberontakan akan timbul dipusat keradjaan
akibat hasutan para pembesar, jang tidak menjetudjui politik Dapunta
Hyang. Oleh karena itu tekanan terletak pada drohaka: pengchianat.
Barangsiapa melawan kekuasaan Dapunta Hyang atau barangsiapa
melakukan pemberontakan atau bersekutu dengan pemberontak ter
hadap kekuasaan Sriwidjaja, ditjap sebagai drohaka atau pengchianat.
Dalam bentuk apapun pemberontakan terhadap kekuasaan Dapunta
Hyang, akan ditumpas. Penumpasan itu pasti akan berhasil seperti
telah terbukti dengan penumpasan Kandra Kayet, pemberontak jang
kuat sekali. Peristiwa penundukan Kandra Kayet rupa-rupanja masih
hangat sekali dan masih teringat oleh setiap orang diwilajah Sriwidjaja,
karena ketiga-tiganja piagam persumpahan itu mulai dengan peristiwa
penumpasan Kandra Kayet. Djangankan orang lain jang lebih lemah,
sedangkan Kandra Kayet jang sangat kuat sekalipun, berhasil ditumpas
oleh Dapunta Hyang. Dalam perang melawan Kandra Kayet Sriwi
djaja kehilangan seorang senapati jang bernama Tandrun Luah. Dalam
perkelahian Tandrun Luah terbunuh oleh Kandra Kayet. Namun
achirnja Kandra Kayet berhasil djuga diringkus oleh Dapunta Hyang.
Penumpasan Kandra Kayet oleh Dapunta Hyang itulah jang harus
mendjadi peringatan pada setiap ojrang diwilajah Sriwidjaja, jang ber-
angan-angan untuk memberontak terhadap kekuasaan Dapunta Hyang.
Itulah makna manggala ketiga piagam persumpahan tersebut, jang hing
ga sekarang belum berhasil diterdjemahkan.
Setjara lengkap George Coedes menguraikan penemuan piagam Kota
Kapur dalam terbitannja Les inscriptions malaises de Qrivijaya. Setjara
singkat uraiannja demikian. Kota Kapur terletak dipulau Bangka, di-
sebelah utara sungai Menduk. Uraian tentang tempat penemuan pia
gam Kota Kapur disampaikan oleh van der Meulen kepada Roufaer
(B.K.I. 74, 1918 hal. 142). Van der Meulen, administrator di Sungai
Selan, menemukan piagam persumpahan Kota Kapur dalam bulan De
sember 1892. Pada tanggal 5 Agustus 1893 batu piagam tersebut di
angkut ke Djakarta. Brandes selaku konservator membuat pengumuman
tentang penerimaan batu piagam tersebut dalam notulen tahun 1893.
Pada waktu itu boleh dikatakan bahwa Brandes adalah satu-satunja
sardjana jang menaruh perhatian kepada piagam tersebut. Iapun mem-
130
buat turunan piagam jang diterimanja (O.J.O. CXX I). Pada tahun 1909
sepeninggal Dr. Brandes, turunan itu dikirimkan kepa a ro . e
Tiga tahun kemudian Kern menerbitkan teks dan terdjemahannja dalam
B.K.I. 67 tahun 1913 hal. 393-400. Teks dan terdjemahan itu ditjetak
lagi dalam V.G. V II hal. 205. „Suatu karya jang genial. ata oe es
tentang terbitan Kern tersebut. C.O. Blagden mentjoba membenkan
tjatatan linguistik tentang piagam Kota Kapur dalam J®“” 1*1 j™' ' '
A.S. 64 tahun 1913 dibawah djudul The Kota Kapur (West Bangka)
inscription. Seterusnja piagam tersebut mendapat perhatian . oe
dalam terbitannja Le Royaume de f r ivijaya pada tahun 1918, an a am
Les inscriptions malaises de Qrivijaya tahun 1930. Perhatian . erran
termuat dalam L'empire Sumatranais de (¿rivijaya tahun 19 an per
hatian Krom dalam Hindoe~)avaansche Geschiedenis tahun
Suatu kenjataan ialah bahwa piagam Karang Brahi tepat benar de
ngan piagam Kota Kapur. Jang berbeda hanja barisnja. Ke ua piagam
tersebut mulai dengan peristiwa Kandra Kayet dan Tandrun uah.
Kata hamwan pada piagam Karang Brahi terdapat pada baris 1; pada
piagam Kota Kapur pada baris 1? kata Tandrun Luah pada piagam
Karang Brahi terdapat pada baris 2, 2-3, 5-6; pada piagam Kota Kapur
pada baris 1, 2, 2, sama-sama tiga kali. Piagam Telaga Batu senafas
dengan piagam Kota Kapur dan Karang Brahi, namun re a sinja aga
berbeda. Djuga piagam Telaga Batu mulai dengan mangga a jang
sama.Telah disinggung dimuka bahwa manggala itu hingga se arang e
lum berhasil diterdjemahkan. De Casparis mengemukakan pen apat,
bahwa manggala piagam persumpahan itu mungkin tetap ge aP un u
selama-lamanja. Menurut pendapat saja manggala itu u an manra
persumpahan seperti jang dikemukakan oleh Coedes an para a i
sedjarah lainnja, tetapi peristiwa pada abad 7 dikeradjaan riwi jaja^
tidak dapat dikatakan, pembesar daerah mana Kandra aye i u, a
rena ketiga piagam persumpahan jang bersangkutan ti a mem en a
kan asalnja. Jang djelas ialah asal Tandrun Luah. Ia a a a senapa i
atau pahlawan Sriwidjaja, karena pada piagam Kota Kapur an arang
Brahi dinjatakan, bahwa ia mendjaga kedatuan Sriwi jaja, a p
gam Telaga Batu pernjataan itu tidak ada. Tidak dapat disa«9 a
bahwa Tandrun Luah. adalah nama orang, karena disitu dmjatakan
bahwa Tandrun Luah dibunuh: Tandrun Luah winunu Pemtvunuhnja
ialah Kandra Kayet: Kandra Kayet makamatai. Pendjadjaran Tandrun
Luah dengan para dewata jang mendjaga kedatuan Sriwidjaja harus
ditafsirkan bahwa jang dimaksudkan adalah arwah Tandrun Luah.
Setelah ia dibunuh oleh Kandra Kayet, arwahnja masih tetap men
djaga kedatuan Sriwidjaja. Zaman sekarang orang akan menjama-
131
kannja dengan arwah para pahlawan (kemerdekaan) jang telah gu
gur. Selama hidupnja, mereka mempertahankan negaranja terhadap
serangan musuh; oleh karena mereka sekarang sudah gugur, arwah-
nja mendjaga atau melindungi negara. Demikianlah kalimat: kita tuwi
Tandcun Luah wanyaknya dewata mulanya yang parsumpahan para-
wis saja tafsirkan: Dan kau Tandrun Luah dan semua para dewata,
jang didjadikan permulaan (pembukaan) seluruh persumpahan. Piagam
persumpahan memang mulai dengan peristiwa Tandrun Luah dan
Kandra Kayet.
Pada manggala itu didjelaskan siapa musuh Tandrun Luah. Disitu
kedapatan nama Kandra Kayet, kemudian disingkat Kayet sadja.
Kayet berhasil membunuh Tandrun Luah, tetapi achirnja pemberontak
Kayet berhasil dikalahkan djuga oleh radja Sriwidjaja. Diakui oleh
Dapunta Hyang; bahwa Kandra Kayet adalah orang pilihan. Buktinja
ia berhasil mengalahkan Tandrun Luah. Namun meskipun demikian,
ia berhasil ditumpas djuga. Ditegaskan pada baris 2 bahwa sebab-
sebabnja timbul peperangan itu ialah, karena Kandra Kayet mem
berontak kekuasaan Sriwidjaja; tidak mau tunduk kepada radja Sri
widjaja, berchianat terhadap radja Sriwidjaja. Pengchianatan Kandra
Kayet didjadikan tjermin bagi semua pembesar dipusat keradjaan dan
bagi semua penduduk diwilajah Sriwidjaja. Barangsiapa berbuat seperti
Kandra Kayet, akan mengalami nasib jang sama dengan Kandra Kayet.
Peristiwa itu harus ditjamkan benar-benar dalam ingatan. Dua hal
jang harus mendapat perhatian sepenuhnja dari semua orang diwilajah
Sriwidjaja, terutama dari mereka jang berangan-angan akan mem
berontak, selama tentara Sriwidjaja bertugas diluar untuk menunduk
kan pulau Djawa. Pertama bahwa orang kuat seperti Kandra Kayet,
jang berhasil membunuh Tandrun Luah, achirnja dapat dikalahkan
oleh Dapunta Hyang. Kedua, barangsiapa memberontak terhadap ke
kuasaan Sriwidjaja, akan mengalami nasib jang sama seperti Kandra
Kayet. Kemenangan Dapunta Hyang terhadap Kandra Kayet itu harus
mendapat perhatian sepenuhnja.
Harus diakui bahwa pada manggala tersebut terdapat kata-kata jang
sulit, kata-kata jang tidak lagi digunakan dalam bahasa Indonesia/
Melaju, dalam bahasa daerah di Sumatera. Namun kiranja djiwa mang
gala itu dapat ditangkap. Mengenai keterangan kata-kata jang sulit
ditafsirkan, telah saja berikan dalam karangan saja jang berdjudul
Perkembangan Penelitian Bahasa Nasional hal. 134- 135 dalam Re
search di Indonesia 1945 - 1965 IV . Keterangan itu tidak perlu diulang
lagi disini. Lagipula pendjelasan kata-kata itu agak mengganggu dalam
penulisan sedjarah. Literatur mengenai bahasa Sriwidjaja hampir leng
132
kap, termuat dalam artikel tersebut diatas, sehingga barangsiapa ingin
ikut memperhatikan bahasa Sriwidjaja, memperoleh petundjuk seperlu- nja.
Piagam persumpahan Kota Kapur djelas menundjukJcan hubungan
antara Sriwidjaja dan pulau Djawa. Pada tahun 686 Sriwidjaja ber
usaha menundukkan pulau Djawa. Keradjaan mana jang akan ditun
dukkan, tidak diketahui, karena keradjaan itu tidak disebut. Jang di-
njatakan pada piagam Kota Kapur hanjalah bhumi Jawa. Tentara
Sriwidjaja berangkat ke Djawa pada hari pertama bulan terang bulan
Waisaka tahun Saka 608. Piagam persumpahan Sriwidjaja adalah
follo\\ up operasi’ militer Sriwidjaja. Berdasarkan djalan pikiran diatas
maka terdjemahan piagam Kota Kapur itu lalu seperti berikut:
„Seorang pembesar jang gagah berani, Kandra Kayet dimedan per
tempuran ia bergumul dengan Tandrun Luah dan berhasil membunuh
Tandrun Luah. Tandrun Luah mati terbunuh dimedan pertempuran.
Tetapi bagaimana nasib Kayet jang berhasil membunuh itu? Djuga
Kayet berhasil ditumpas. Ingatlah akan kemenang an itu! Ia enggan
tunduk kepadaku. Ingatlah akan kemenangan itu!
Kamu sekalian dewata jang berkuasa dan sedang berkumpul men-
djaga keradjaan Sriwidjaja! Dan kau, Tandrun Luah dan para dewata
jang disebut pada pembukaan seluruh persumpahan ini! Djika pada
saat manapun diseluruh wilajah keradjaan ini ada orang jang ber-
chianat, bersekutu dengan pengchianat, menegur pengchianat atau
ditegur oleh penchianat, sepaham dengan pengchianat, tidak mau tun
duk dan tidak mau berbakti, tidak setia kepadaku dan kepada mereka
jang kuserahi kekuasaan datu, orang jang berbuat demikian itu akan
termakan sumpah, Kepada mereka akan segera dikirim tentara atas
perintah datu Sriwidjaja. Mereka SCSimak kcluarganja akan ditumpasf
an semuanja jang berbuat djahat, menipu orang, membuat sakit,
membuat gila, melakukan tenung, menggunakan bisa, ratjun, tuba, se-
rambat, pekasih, pelet dan jang serupa itu, mudah-mudahan tidak
erhasil; dosa perbuatan jang djahat itu berbalik kepada mereka itu
sendiri! Dan dibunuh oleh sumpah! Dan mereka jang menjuruh ber
buat djahat, berbuat djahat untuk merusak batu ini, hendaklah segera
terbunuh oleh sumpah, segera dipukul. Mereka jang membahajakan,
jang mendurhaka, jang tidak setia kepadaku dan kepada jang kuserahi
kekuasaan datu, mereka jang berbuat demikian itu, mudah-mudahan
dibunuh oleh sumpah ini. Tetapi kebalikannja mereka jang berbakti
kepadaku dan kepada mereka jang kuserahi kekuasaan datu, hendak-
nja diberkati segala perbuatannja dan sanak keluarganja,, berbahagia,
sehat, sepi bentjana dan berlimpah-limpah rezeki segenap penduduk dusunnja!
133
Tahun Saka 608 hari pertama bulan terang bulan Waisaka, itulah
waktunja sumpah ini dipahat. Pada waktu itu tentara Sriwidjaja ber
angkat memerangi tanah Djawa, karena tidak mau tunduk kepada
Sriwidjaja.
134
\
SRIW IDJAJA DAN SEM ENANDJUNGc~ % :~ti'
Piagam Ligor { \' 'i
Didaerah Ligor di Semenandjung diketemukan sebuah batu piagam
jang bertulis pada dua belah sisi. Tulisan pada sisi A disebut piagam
Ligor A. Tulisan pada sisi B disebut piagam Ligor B. Baik piagam i-
gor A maupun piagam Ligor B ditulis dalam bahasa Sansekerta,
berbeda dengan piagam-piagam persumpahan Karang Bra i.
Kapur, Telaga Batu, piagam siddhayatra Kedukan Bukit dan p’ g
pranidhana Talang Tuwo. Piagam-piagam jang diketemukan p
Sumatera dan Bangka ini ditulis dalam bahasa Sriwidjaja.
Piagam Ligor A
Piagam Ligor A adalah piagam Sriwidjaja jang paling achir jang
tidak menjebut wangsa Sailendra. Piagam ini memuat sepu u pa a
tanpa manggalacarana. Jang dimaksud dengan manggalacarana ia a
uluk-uluk atau salam pembukaan seperti swasti, siddha dan se againja.
Telah disinggung dimuka bahwa radja Sriwidjaja pada piagam-piagam
jang ditulis dalam bahasa Sriwidjaja menggunakan gelar daptinta yang
Pada piagam Ligor A ini gelar daptinta hyang tidak digunakan, ar
gelar tersebut tidak kedapatan dalam bahasa Sansekerta. a ja n
widjaja menjebut dirinja:
1. griwijayendraraja
2. griwijayegwarabhupati
3. griwijayanrepati
4. nrepa . ,
Pada jang pertama berisi pudjian tClhadap sifat-sifat vai
seperti ketjerdasan, keramahan dan kesaktian. Beliau disama an
ngan bulan pada musim rontok, jang tjahaja sinarnja menjuram
segala sinar bintang-bintang. Demikian pula kewibawaan agin
hadap semua radja bawahannja. „Pada jang kedua adalah landjutan sifat-sifat baik bagin a. e
menghimpun segala kebaikan. Sinar beliau menerangi puntja pu
gunung Himalaya, mengalahkan semua orang bidjak an tjen
didunia. Beliau dikiaskan dengan laut luas dan melebur sega a
djahatan.Pada jang ketiga menguraikan bahwa baginda adalah pelindung si
miskin. Orang-orang miskin memperoleh perlindungan pada e iau se
perti gadjah-gadjah jang bernaung dibawah pohon rindang pa a wa tu
terik matahari membakar telaga.
V
135
Pada jang keempat menjamakan baginda dengan Manu, menjebar
segala kebahagiaan seperti musim semi jang memberi ketjantikan ke
pada pelbagai tumbuh-tumbuhan.
Pada jang kelima menjebut radja Sriwidjaja jang berkuasa gilang-
gemilang. Kekuasaan beliau ditaati oleh semua radja tetangga; beliau
ditjiptakan oleh Brahma dengan tudjuan untuk mendjundjung tinggi
dharma.Pada jang keenam berbunji: Itulah radja Sriwidjaja, penghimpun
segala kebaikan dan jang paling baik diantara semua radja dipermu-
kaan bumi. Beliau mendirikan bangunan batu, trisamaya-caitya untuk
Padmapani, Sakyamuni dan Vajrapani.
Pada jang ketudjuh: bangunan trisamaya-caitya dipersembahkan ke
pada semua Djina budiman jang menduduki sepuluh tempat diangkasa,
djuga merupakan tempat bersemajam Amreta jang memberi kebahagia
an ditiga djagat.
Pada jang kedelapan: pendeta Jayanta menerima perintah baginda
untuk membangun stupatrayamasi. Bangunan itu dilaksanakan sesuai
dengan perintah baginda.
Pada jang kesembilan: Setelah pendeta keradjaan itu meninggal,
muridnja Adhimukti diangkat mendjadi pendeta keradjaan sebagai
penggantinja. Ia mendirikan caitya didekat bangunan trisamaya-caitya.
Pada jang kesepuluh: Tanggal selesainja bangunan trisamaya-caitya
ialah tahun Saka 697 hari 11 bulan terang Waisaka; waktu matahari
terbit menjertai Wenu, radja Sriwidjaja jang menjerupai Indra, men
dirikan bangunan caitya dan stupa demikian indahnja seakan-akan
dibuat dari tjintamani jang terpilih ditriloka.
Piagam A ini menguraikan serba djelas, bahwa radja Sriwidjaja
benar-benar berkuasa didaerah Ligor di Semenandjung. Beliau ber
ulang kali disamakan dengan dewa Indera dan diakui sebagai radja
daripada radja-radja tetangga. Beliau mendirikan bangunan trisamaya-
caitya di Ligor pada tahun Masehi 775. Piagam A adalah piagam pem
bangunan trisamaya-caitya.
Mengenai piagam A agaknja perlu kita sekadar memperhatikan
berita Tionghwa. Menurut Hsin-t’ang-hsu jakni sedjarah baru jang
disusun dalam abad 11 pada masa pemerintahan radjakula Sung atas
dasar berita-berita Ch'iu T ’ang Shu atau sedjarah lama, keradjaan
Shih-li-fo-shih mengirim utusan ke Tiongkok dalam pangsa waktu
670 - 673 dan 713-741. T'ang-hui-yao, susunan Wang-p’u pada ta
hun 961 mentjatat, bahwa pada hari kelima bulan 9 tahun 695, kaisar
memberikan maklumat untuk menjelenggarakan persediaan bagi utusan
luar negeri 6 bulan untuk utusan dari India Selatan dan Utara, Persia
dan Arab; 5 bulan untuk utusan dari Shih-li-fo-shih, Chen-la, Ho-ling
136
dan negeri-negeri Jainnja; 3 bulan untuk utusan dari Lin-i. Tse-fu-yuan-
kuei, susunan Wang-ch’in-jo dan Yang I pada tahun 1005- 1013 meng
uraikan bahwa utusan dari Fo-shih datang pada tahun 701 - 702
dan 716. Baik Tse-fu-yuan-kuei maupun Hsin-t’ang-shu memberitakan,
bahwa radja Shih-li-fo-shih mengirim tjalon penggantinja sebagai utus
an ke Tiongkok. Pada tahun 724 datanglah seorang utusan dari Sri-
widjaja di Tiongkok bernama Kiu-mo-lo (Kumara), membawa dua
orang tjebol, seorang gadis djanggi, biduan dan lima burung bajan
untuk dipersembahkan kepada kaisar. Kaisar kemudian memberikan
gelar tcho-teh’ong (djenderal) kepadanja beserta seratus potong kain
sutera. Lain daripada itu kaisar djuga menghadiahkan gelar kepada
radja Sriwidjaja jang bernama Che-li-to-le-pa-mo (Sri Indrawarman).
Pada tahun 728 datang lagi utusan dari Sriwidjaja jang djuga membawa
hadiah burung bajan berwarna. Utusan jang terachir datang pada tahun 742.
Dari berita Tionghwa itu jang menarik perhatian ialah nama Sri
Indrawarman, jang pada tahun 724 memerintah keradjaan Sriwidjaja.
Djika masa pemerintahannja itu kita hubungkan dengan tarich piagam
Ligor A, jakni tahun 775, maka selisihnja 51 tahun. Mungkin pada tahun
775 Sri Indrawarman masih memerintah, mungkin djuga sudah diganti
oleh puteranja. Pada penutup piagam tersebut radja Sriwidjaja, jang
mengeluarkan piagam itu, dikiaskan dengan dewa Indra. Kiasan itu
terdapat pada baris 2 dari bawah, dinjatakan dengan kata dewendra-
bhena. Mungkin sekali kiasan dengan dewa Indra itu sengadja dimak
sud untuk menjebut nama radja jang mengeluarkan piagam itu. Djika
anggapan itu benar, maka nama jang mengeluarkan piagam itu Sri
Indrawarman atau puteranja, jang djuga bernama Indra.......
Piagam Ligor B
Piagam Ligor B hanja memuat empat baris lebih sedikit. Berlainan
dengan piagam Ligor A, piagam ini menggunakan manggalacarana
swasti; tidak menjebut tarich tahun. Lain daripada itu piagam ini pia
gam Sriwidjaja jang pertama jang menjebut wangsa Sailendra dan gelar
gri maharaja. Djadi berbeda dengan piagam Ligor A.
Terdjemahannja tidak menimbulkan banjak kesulitan. Namun sedjak
tahun 1950 muntjul terdjemahan baru jang diusahakan oleh Coedes.
Terdjemahan baru itu berbeda dengan terdjemahan jang sudah-sudah,
diantaranja jang dibuat oleh Dr. Chhabra. Terdjemahan Coedes meng
akibatkan perbedaan tafsiran. Dibawah ini dilsadjikan terdjemahan Dr. Chhabra:
137
„Hail! He who is the supreme king of kings, (who) through his
energy (is) alone comparable to the sun for dispelling the dark
ness (in the shape) of the hosts of all his foes, (who) in charming
beauty (is) the very spotless, autumnal moon (and is) like Cupid
in person, (who is) called W isnu (who) entirely (annihilates)
the pride of all (his opponents) and (who) with (regard to) his
prowess is without a second - that self - name is known by the
appellation of Srimaharaja (i.e. the illustrious Great King) be
cause of the mention of his origin in the £ailendrawamga. And of
him ....... of all kings (?) .......
Perbedaan pokok antara terdjemahan Chhabra dan Coedés ini de
mikian. Chhabra beranggapan, bahwa pada piagam Ligor B hanja
terdapat satu radja Sriwidjaja. Radja Sriwidjaja itu bernama W isnu
dan bergelar gri maharaja, karena beliau keturunan wangsa Sailendra.
Sebaliknja Coedés bukan sadja melihat satu radja pada piagam ter
sebut, melainkan dua. Jang pertama ialah radja Wisnu, jang kedua
ialah puteranja jang bergelar maharadja. Menurut pendapat Coedés
radja W isnu itu sama dengan radja jang menjebut dirinja griwijayen-
drarája, griwijayeegwarabhüpati, dan griwijayanrépati pada piagam Li
gor A. Djadi beliau memerintah pada tahun 775. Radja jang kedua
jang bergelar sri maharadja adalah puteranja. Setelah kawin dengan
puteri dari Fu-nan dari keluarga Somawangsa, beliau mendjadi radja
Sailendra jang pertama, dan menurunkan radja-radja Sailendra di
Mataram. Tetapi Coedés sendiri mengakui bahwa anggapannja itu
tidak berdiri diatas bukti-bukti jang kuat. Selandjutnja ia menjamakan
radja-radja Sailendra jang pertama itu dengan Dharanindra pada
piagam Kelurak, jang memerintah Djawa Tengah dan menjuruh radja
setempat Pantjapana Panangkaran membangun kembali tjandi Kelurak.
Panangkaran pada piagam Kalasan dianggapnja sebagai pengganti
rakai Sandjaja. Kesimpulan selandjutnja tidak tjotjok baik dengan
teori Krom tentang adanja „pemerintahan Sriwidjaja dalam sedjarah
Djawa” maupun dengan teori Stutterheim „pemerintahan Djawa da
lam sedjarah Sumatera ”. Jang ada ialah masa pemerintahan radjakula
Sailendra keturunan radja Semenandjung dan puteri Fu-nan pada
penghabisan abad 8 dan pertengahan pertama abad 9. Karangan Coe-
dés ini termuat dalam Bingkisan Budi 1950 dibawah djudul Le Qai-
lendra, tueur des héros ennemis hal. 58 - 70.
Kelemahan-kelemahan teori Coedés:
Teori Coedés mengandung beberapa kelemahan. Salah satu dianta-
ranja ialah kelemahan tatabahasa, jang didjadikan dasar terdjemahan
138
»
dan kemudian pentafsiran. Anggapan tentang adanja dua radja pada
piagam Ligor B didasarkan atas perlawanan kata ekas dan dwitiyas
artinja: satu dan kedua. Coedes menterdjemahkannja jang kesatu dan
jang kedua. Andaikata kedua kata itu benar-benar dimaksud sebagai
perlawanan, tentunja akan digunakan kata ptathamas dan dwitiyas atau
kesatu dan kedua, bukan satu dan kedua. Meskipun soal tatabahasa
ini soal ketjil, namun kiranja perlu dipertimbangkan djuga, djustru oleh
karena teori Coedes terutama berdasarkan peristiwa tatabahasa. De
mikian pula fungsi pemakaian ye’asau dan asau yah: beliau, ia. Ke ua
kata tersebut, karena susunannja berbeda dianggap sebagai berlawan
an. Menurut pendapat saja tidak ada maksud untuk memperlawan an,
melainkan sebagai ulangan jang mempunjai daja mempertegas. angan
jang demikian tidak asing dalam bahasa Sansekerta. Dengan kata ain
piagam jang terdiri dari empat baris lebih itu djelas menun ju an
bahwa radja jang 'bersangkutan jakni radja W isnu menegaskan a wa
beliau adalah keturunan radjakula Sailendra, dan oleh karena itu ^e iau
bergelar maharadja. Kebiasaan itu berbeda dengan radja-ra ja riwi
djaja sebelumnja. Beliau-beliau itu bukan keturunan radjaku a ai en
dra, oleh karena itu tidak bergelar maharadja.
Kelemahan jang kedua tentang tarich pemerintahan. Coe es er
anggapan bahwa radja Sailendra jang pertama adalah putera *®nu’
jang mengeluarkan piagam Ligor A pada tahun 775. Dengan sen irmja
beliau akan memerintah sesudah tahun 775. Pada piagam igor
samasekali tidak ada pernjataan bahwa piagam itu dikeluar an o e
radja W isnu. Pada tahun 778 pada piagam Kalasan telah tertjatat
adanja keturunan radjakula Sailendra jakni dyah Pantjapana ra
Panangkaran. Boleh dipastikan bahwa rakai Panangkaran mu ai me
merintah beberapa tahun sebelum pembangunan tjandi Tara i a a
san itu selesai. Djadi sebelum tahun 778. Selisih waktu tiga ta
antara pengeluaran piagam Ligor B dan piagam Kalasan unfu Pe
sebaran keturunan Sailendra dari Semenandjung ke jawa
boleh dianggap terlalu singkat. Lagipula tidak dapat dipasti an a wa
radja Sriwidjaja jang menjebut dirinja griw ijayaraja itu sete a me
ngeluarkan piagam, segera turun tachta dan digantikan ole puteranja
jakni radja Sailendra jang pertama. Lagipula masih merupa an tan a
tanja, apakah piagam Ligor A pasti lebih dahulu dipahat daripa a pia
gam Ligor B. Apakah piagam Ligor B itu pasti dipahat lebi a u u
daripada piagam Kalasan?Kelemahan jang ketiga tentang keturunan Sandjaja. Coedes berang
gapan bahwa Idyah Pantjapana Panangkaran adalah keturunan rakai
Sandjaja, jang menerima perintah dari radja Sailendra Dharanindra
untuk membangun kembali tjandi Kelurak. Djika rakai Panangkaran
139
keturunan radja Sandjaja, mengapa piagam Kalasan jang dikeluarkan
oleh rakai Panangkaran tidak menggunakan tahun perhitungan San
djaja seperti piagam Gata dan Tadji Gunung? Kedua piagam ini djelas
menggunakan Sandjajawarsa dan bertarich tahun Saka 693 dan 694.
Enam tahun sebelum rakai Panangkaran mengeluarkan piagam Kala
san, Djawa Tengah diperintah oleh keturunan Sandjaja. Sekonjong-
konjong dengan timbulnja rakai Panangkaran pemakaian Sandjaja
warsa itu hilang dan jang nampak ialah pernjataan bahwa rakai
Panangkaran adalah keturunan Sailendra. Djustru pernjataan itu me
nurut anggapan saja djelas menundjukkan, bahwa rakai Panangkaran
bukan keturunan radja Sandjaja, berbeda dengan radja-radja sebelum-
nja. Coedes beranggapan bahwa rakai Panangkaran adalah radja
bawahan jang menerima perintah dari Dharanindra untuk membangun
tjandi Kelurak. Pada baris 6 piagam Kalasan djelas tertjatat: maha-
rajam dyah Pancapanam Panangkavanam. Gelar maharadja tidak
mungkin digunakan oleh radja bawahan.
Kelemahan jang keempat.
Telah disinggung dimuka keberatan saja tentang anggapan Coedes
bahwa rakai Panangkaran adalah keturunan radja Sandjaja. Lain dari
pada kenjataan bahwa rakai Panangkaran tidak menggunakan tarich
tahun Sandjaja, perbedaan agama jang dianut oleh radjakula Sailen
dra dan radjakula Sandjaja djuga merupakan keberatan. Radjakula
Sandjaja beragama Siwa, berkiblat ke India Selatan seperti ternjata
pada pembangunan tjandi Siwa ditempat jang disebut Kundjarakundja-
desa, tertjatat pada piagam Tjanggal. Rakai Panangkaran menganut
agama Buda Mahayana, berkiblat ke Benggala sebagai pusat agama
Buda Mahayana.
Kelemahan jang kelima tentang perbedaan dewa persembahan. Di
Fu-nan radja jang memerintah pada tahun 620 ialah keturunan radja
kula gailaraja. Radjakula jang memerintah di Djawa Tengah dan Sri-
widjaja adalah gailendra. Meskipun kata raja dan indra boleh dikata
kan sinonim, namun sebagai nama berbeda. Pada piagam-piagam
Sailendra baik jang dikeluarkan oleh radja-radja Sriwidjaja maupun
oleh radja-radja Djawa Tengah tidak pernah terdapat kata gailaraja,
tetapi selalu gailendrawamga. Perbedaan itu akan lebih njata lagi, djika
kita memperhatikan dewa persembahan atau agamanja. Radja-radja
Fu-nan jang menjebut dirinja keturunan radjakula gailaraja menjembah
dewa Siwa, sedangkan radja-radja Sailendra di Djawa Tengah dan
Sriwidjaja memeluk agama Buda Mahayana. Menurut Coedes dalam
kronik sedjarah Tionghwa tertjatat bahwa pada abad kelima seorang
pendeta Nagasena berangkat ke Tiongkok sebagai utusan radja Fu-nan.
Pendeta itu mentjeriterakan, bahwa di Fu-nan ada gunung sutji ber
140
nama Mo-tan. Gunung itu tempat bersemajam dewa Siwa. Semua radja
Fu-nan menjebut dirinja parwatabhûpâla artinja: radja gunung; sama
dengan girinata. Kemudian Coedès mengutip piagam Sri Isanawar-
man, radja Kambodja dari tahun 620 jang bunjinja: Radja Isanawarman,
jang memperoleh kesukaan dalam menemani para pendeta, setelah
mendjeladjah tempat-tempat, memperoleh ' kedudukan sebagai radja
gunung (çailarâja).
Kalimat itu ditafsirkan oleh Coedès, bahwa radja Isanawarman
setelah merebut seluruh keradjaan Fu-nan, kemudian mendjadi radja
dan menggunakan sebutan çailarâja. Coedès selandjutnja mengutip
piagam Djajawarman II di Sdok Kak Thom dari tahun 802 jang me-
njatakan, bahwa sekembalinja radja Djajawarman dari Djawa, dan
mendirikan ibukota diatas bukit Mahendra, Kamboja-deça tidak lagi
mendjadi negeri bawahan Djawa. Dalam keradjaan itu hanja ada satu
radja jang memerintah. Djajawarman mendjelaskan, bahwa negara
Kambodja memeluk agama dewarâja (agama Siwa). Berdasarkan
peristiwa tersebut diambil kesimpulan, bahwa setelah penundukan
radja Fu-nan, timbullah hubungan kekeluargaan antara Djawa dan
Kambodja. Radja Djawa kemudian mengambil alih sebutan çailarâja
sebagai sebutan radjakula.
Teori Coedès diatas telah ditinggalkan sedjak tahun 1950, ketika
ia menerbitkan karangannja Le Çailendra, tueur des héros ennemis da
lam Bingkisan Budi. Seperti telah diuraikan diatas, Coedes beranggap
an, bahwa radja Sailendra jang pertama memerintah di Semenandjung
seperti tertjantum pada piagam Ligor B. Sebutan çailendra diperoleh
sesudah perkawinan putera radja W^isnu dengan puteri Fu-nan. ^Visnu
adalah radja Sriwidjaja.
Teori Coedès terbentur pada pelbagai kesulitan. Namun harus di
akui fcahwa j3ngg.apann}a adalah salah satu hasil penjelidikan sedjarah
Sriwidjaja sesudah perang dunia kec(ua, Usaha ■/.tu haras disambut
dengan baik, meskipun hasilnja belum memuaskan. Djustru hal itu
membuktikan, betapa sulitnja persoalan sedjarah Sriwidjaja. Anggapan
Coedès itu diterima baik oleh Prof. Dr. F.D.K. Bosch dalam karang
annja Çriwijaya, de Çailendra- en de Sanjayawamça, jang termuat dalam
B.K.I. 108 tahun 1952 hal. 113-123. Karangan itu dilengkapi dengan
lampiran silsilah radja-radja Sailendra dalam hubungannja dengan
radja Fu-nan dan radjakula Sandjaja. Dalam silsilah itu njata sekali
bahwa Bosch beranggapan bahwa rakai Panangkaran adalah ketu
runan radja Sandjaja. Radja W isnu (piagam Ligor) mempunjai hu
bungan dengan radja Sandjaja; Dharmasètu adalah radja Sriwidjaja,
mempunjai puteri jang bernama dewi Tara, jang kawin dengan Sama-
ragrawira (piagam Nalanda). Samaragrawira disamakan dengan Sa-
141
maratungga. Seperti kita ketahui Samaragrawira adalah ajah Balapu-
tradewa. Menurut silsilah Bosch, puteri radja Fu-nan dari Somawangsa
kawin dengan rakai Panangkaran, keturunan Sandjaja. Dari perkawinan
itu lahir sri maharadja (piagam Ligor) dan rakai Panunggalan (piagam
Kedu). Teori baru Bosch jang didasarkan atas teori Coedes ini perlu
mendapat sorotan dalam bab SR IW ID JA JA D IB A W A H KEKU ASAAN
SA ILEN DRA .Ini berarti bahwa Bosch telah melepaskan teorinja pada tahun 1941,
ketika ia menulis De lnscdptie van Ligor dalam madjalan T.B.G.
L X X X I hal. 26 dst. Dalam tulisan itu ia mengulangi pendapat Dr.
Chhabra mengenai radja W isnu jang disamakan dengan Wisnuwar-
masya pada tjintjin perak dan achirnja mengambil kesimpulan, bahwa
pada tahun 775 seorang radja Sailendra jang bernama W isnu me
merintah Sriwidjaja. Radja W isnu jang tertjatat pada piagam Ligor B
tidak lain daripada rakai Panunggalan, jang tertjatat pada piagam
Kedu jang dikeluarkan oleh radja Balitung pada tahun 907. Rakai
Panunggalan itu sama dengan Samarottungga pada piagam Karang
Tengah, dan Samarottungga adalah Samaragrawira pada piagam Na-
landa. Beliau adalah putera rakai Pantjapana Panangkaran, jang ter
sebut pada piagam Kalasan dari tahun 778. Pada piagam Kelurak
radja Pantjapana Panangkaran menjebtft dirinja pembunuh musuh per
wira jakni wairiwarawirawimardana dan pada piagam Nalanda disebut
wirawairimanthana, dengan arti jang sama.
Djalan pikiran Coedes dalam pembahasan piagam Ligor B sedjadjar
dengan djalan pikiran van Naerssen dalam pembahasan piagam Ka
lasan. Dalam karangannja The Qailendra Interregnum jang termuat da
lam India Antiqua tahun 1947 hal. 249 — 253. Van Naerssen meng
utarakan, bahwa pada piagam Kalasan ia melihat adanja dua radja.
Jang satu ialah rajasingha, termasuk dalam wangsa Sailendra; jang
lainnja ialah dyah Pantjapana Panangkaran, termasuk wangsa Sandjaja,
Radja Panangkaran ada dibawah kekuasaan radja Sailendra jang tidak
disebut namanja. Van Naerssen beranggapan bahwa ketika rakai Pa
nangkaran menggantikan ajahnja jakni radja Sandjaja, keradjaan M a
taram diserbu dari luar oleh wangsa Sailendra, jang memeluk agama
Buda. Serbuan itu berhasil baik. Oleh karena itu rakai Panangkaran
mendjadi radja bawahan Sailendra; agama Siwa jang selama pe
merintahan Sandjaja mendjadi agama resmi dalam keradjaan Mataram,
diganti dengan agama Buda Mahayana. Sedjak itu maka keradjaan
Mataram dikuasai oleh radja-radja dari wangsa Sailendra, sedangkan
radja-radja keturunan Sandjaja terdesak. Keadaan jang demikian itu
berlangsung sampai pertengahan abad 9, ketika rakai Panangkaran
timbul dan berhasil memegang tampuk pimpinan pemerintahan. Rakai
142
Pikatan adalah keturunan tingkat lima dari radja Sandjaja. Beliau ti
dak bergelar maharadja, tetapi ratu sadja. Baru setelah rakai Kaju-
wangi berkuasa, gelar maharadja itu digunakan. Rakai Kajuwangi
adalah putera rakai Pikatan. Dengan timbulnja rakai Kajuwangi dengan
gelar maharadja itu maka kekuasaan radjakula Sailendra berachir sama- sekali.
Anggapan bahwa rakai Panangkaran adalah putera radja Sandjaja
telah tjukup banjak dikemukakan oleh para sardjana. Terhadap ang
gapan itu telah saja kemukakan keberatan saja dalam Ichtisar Pe
nulisan Sedjarah Sriwidjaja. Dengan djelas piagam Kalasan menjebut
bahwa Dyah Pantjapana Panangkaran adalah hiasan radjakula Sai
lendra. Piagam Kalasan pada 5. Ungkapan itu berarti bahwa rakai
Panangkaran djustru salah seorang radja dari radjakula' Saileindra.
Bahkan pada hakekatnja ia adalah radja Sailendra jang pertama di
Djawa Tengah sepandjang pengetahuan kita dari piagam-piagam.
Bahwa rakai Panangkaran tidak menggunakan Sandjajawarsa seperti
radja-radja lainnja pada piagam Gata dan Tadji Gunung, tetapi de
ngan tegas menjatakan bahwa beliau adalah hiasan radjakula Sailen
dra, adalah pernjataan jang tjukup tegas, bahwa rakai Panangkaran
bukan keturunan radja Sandjaja. Oleh karena itu tidak mungkin bahwa
rakai Panangkaran adalah radja bawahan radjakula Sailendra jang
berasal dari luar. Menurut anggapan saja djustru rakai Panangkaran
itulah jang merobohkan atau mengachiri kekuasaan radjakula Sandjaja.
Dengan timbulnja radjakula Sailendra di Mataram jang dimulai oleh
rakai Panangkaran, dengan sendirinja radjakula Sandjaja terdesak.
Radjakula Sandjaja timbul kembali dengan muntjulnja rakai Pikatan
jang berhasil kawin dengan Pramodawardhani, puteri keturunan wang-
sa Sailendra, dan kemudian menghalau Balaputeradewa dari bumi M ataram.
Oleh karena baik teori van Naerssen maupun teori Coedes terbentur
pada pelbagai kesulitan seperti diuraikan diatas, maka kiranja lebih
beralasan untuk mengemukakan bahwa adanja radjakula Sailendra
di Djawa Tengah lebih dahulu daripada di Semenandjung seperti jang
tertjatat pada batu Ligor menurut tafsiran Coedes. Rakai Panangkaran
jang bergelar maharadja dan menjebut dirinja hiasan radjakula Sai
lendra, sebelum mendirikan tjandi Tara pada tahun 778, pasti sudah
mendjadi radja. Ini berarti bahwa ketika griwijayaraja mengeluarkan
piagam Ligor A pada tahun 775, rakai Panangkaran telah bertachta
dan bergelar maharadja, karena piagam Tadji Gunung sebagai piagam
jang terachir dari radjakula Sandjaja bertarich tahun 772. Antara tahun
772 dan 778 itulah berachirnja kekuasaan radjakula Sandjaja dan tim-
143
bulnja kekuasaan radjakula Sailendra, jang dimulai oleh dyah Pantja-
pana rakai Panangkaran.Suatu kenjataan ialah bahwa di Semenandjung diketemukan batu
piagam dengan pemberitaan tentang adanja radjakula Sailendra, di
Djawa Tengah kedapatan pula piagam Sailendra dengan tarich tahun
778. Adakah hubungan antara dua radjakula Sailendra itu? Djika ada,
mana buktinja? Itulah persoalannja. Tidak dapat disangkal bahwa
piagam radjakula Sailendra di Semenandjung itu ditulis pada batu jang
sama dengan piagam Sriwidjaja dari tahun 775. Bagaimana hubungan
antara piagam A dan piagam B itu?
Mengenai hubungan Sriwidjaja dan radjakula Sailendra, Prof. Nila-
kanta Sastri dalam bukunja History of Qriwijaya menuliskan kesim
pulan penjelidikannja demikian: „The relations between Sriwijaya and
the Sailendras would appear to have been on the whole friendly, and
together they spread their power for a time as far as Campa and Kam
boja. This outer empire was short-lived, and at the beginning of the
ninth century Kamboja became independent of the southern power.
About the middle of that century a Sailendra prince comes to occupy
the throne of C^riwijaya which then becomes the seat of the maharaja.
Possibly Qailendera rule continued in Java for some time longer, and
if that be so, there were two branches of this celebrated line ruling
in Sumatra and Java for a while.”
Jang menimbulkan persoalan ialah siapa „Sailendra prince" jang
dikatakan oleh prof. Nilakanta Sastri merebut tachta Sriwidjaja itu?
Diantara piagam Sailendra dari Djawa Tengah jang paling menarik
perhatian mengenai hubungan Sriwidjaja — Sailendra dalam abad 8
ialah piagam Kelurak. Piagam ini dikeluarkan oleh seorang radja dari
wangsa Sailendra jang menjebut dirinja Dharanindra pada tahun Saka
704 atau tahun Masehi 782. Beliau membangun artja Manjugri. Penje-
lenggaraannja diserahkan kepada seorang pendeta dari Gaudadwipa
bernama Kumaragosha. Artja Manjugri merupakan kesatuan Brahma,
W isnu dan Maheswara atau Siwa. Namun piagam tersebut sudah
sangat rusak. Banjak kata-katanja jang tidak dapat lagi dibatja.
Djika kita meneliti piagam Kedu, jang menjebut radja-radja Medang
di Poh Pitu, nama Dharanindra tidak tersebut disitu. Piagam Kedu
memang tidak menjebut nama pribadi radja-radja Mataram, ketjuali
ratu Sandjaja. Jang disebut disitu hanjalah gelar rakai, diikuti nama
tempat seperti Warak, Garung, Pikatan, Panangkaran dsb. Djelas
sekali bahwa nama pribadi rakai Panangkaran ialah Pantjapana, namun
nama Pancapana tidak disebut pada piagam Kedu. Saja kira nama
Dharanindra djuga nama pribadi salah satu diantara 8 radja jang di
sebut pada piagam Kedu. Meskipun waktu pengeluaran piagam itu
144
t '
hanja berselisih 4 tahun dengan pengeluaran piagam Kalasan, namun
karena sang radja menjebut dirinja Dharanindra, sedangkan pada pia
gam Kalasan dyah Pantjapana, maka kiranja Dharanindra ini berbeda
dengan Pantjapana alias rakai Panangkaran. Selisih waktu jang terlalu
pendek itu menimbulkan dugaan bahwa Dharanindra adalah putera
dan pengganti Pantjapana. Djika anggapan itu benar, maka Dhara
nindra harus maharadja rakai Panunggalan, karena dalam urutan nama
radja-radja Medang rakai Panunggalan disebut sesudah rakai Panang
karan. Nama Dharanindra artinja radja djagat, adalah nama tambahan
Wisnu, karena W isnu mempunjai tugas untuk membina dunia. Ke
samaan antara radja dan dewa Wisnu dalam membina keradjaan sudah
meresap dalam kesusateraan dan kehidupan. Demikianlah !Dharanin~
dra atau Dharanidhara: pendjaga, pendukung dunia, tidak aneh di
gunakan sebagai nama radja. Nama Dharanidhara atau Dharanindra
. adalah Dewa Wisnu. Jang agak mentjolok ialah adanja kesamaan nama
dan radjakula antara radja jang tersebut pada piagam Ligor B dan
piagam Kelurak. Kedua-duanja adalah keturunan radjakula Sailendra.
Jang satu bernama Wisnu, lainnja bernama Dharanindra. Nama Dha
ranindra adalah sinonim dari nama W isnu. Piagam Kelurak boleh
dikatakan sezaman dengan piagam Ligor. Berdasarkan pandangan
diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa kedua piagam itu di
keluarkan oleh satu radja, jakni oleh rakai Panunggalan. Demikianlah
rakai Panunggalan mempunjai nama pribadi Dharanindra. Kelandjutan
dari kesimpulan ialah, bahwa daerah Ligor pada achir abad 8 diperin
tah oleh radja dari radjakula Sailendra jang berasal dari Djawa Te
ngah, tegasnja oleh rakai Panunggalan.
Ini berarti bahwa radja Sriwidjaja jang mengeluarkan piagam Li
gor A merupakan radja jang terachir dari keluarga radja jang dalam
bahasa Sriwidjaja bergelar dapunta hyang. Kekuasaan Sriwidjaja di-
daerah Ligor diambil alih oleh radja dari radjakula Sailendra dari
Djawa Tengah, jakni oleh rakai Panunggalan.
Nama desa Panunggalan disebut beberapa kali dalam prasasti di-
antaranja dalam prasasti K.O. IX. Desa Panunggalan terletak didaerah
Purwadadi, Djawa Tengah. Politik perluasan daerah diluar Djawa
memang dilakukan oleh tentara Djawa pada pertengahan abad 8. Me
nurut tjatatan sedjarah Annam pada tahun 677 Tongkin mengalami
serangan musuh dari Ch o-po dan K’un-lun. Namun serangan itu tidak
berhasil. Tentara musuh dapat dipukul mundur oleh gubernur Ch ang-
po-yin didekat Son-tay dan diusir kembali kelaut. Piagam Sansekerta
dari Po Ngar menguraikan bahwa pada tahun 774 Tjampa diserang
oleh tentara asing jang warna kulitnja hitam, tindakannja sangat ke-
djam dan datang dengan perahu. Mereka merebut lingga dan mem-
145
bakar tjandi. Namun mereka dapat dikalahkan oleh radja Satyawarman.
Pada tahun 787 tentara Djawa datang lagi dengan perahu dan mem
bakar tjandi lain. Pada tahun 802 radja Kambodja Djajawarman me
ngatakan, bahwa pada tahun itu Kambodjadesa berhenti djadi djadjahan
Djawa. Peristiwa-peristiwa tersebut membuktikan adanja politik per
luasan daerah atau perluasan kekuasaan oleh radjakula Sailendra di
Djawa. Kita berhenti pada pernjataan bahwa pada tahun 787 tentara
Djawa datang menjerang Tjampa dan pada tahun 802 Kambodjadesa
berhenti djadi djadjahan Djawa. Ini berarti bahwa sebelum tahun 802
Kambodja djadi djadjahan Djawa.
Tahun 787 adalah masa pemerintahan rakai Panunggalan atau Dha-
ranindra. Tentara Djawa pada waktu itu menjerang Tjampa. Kiranja
tidak mustahil bahwa Ligor, daerah Sriwidjaja jang terletak dipantai
timur Malaja, mendapat serangan lebih dahulu daripada Tjampa. Pada
tahun 775 radja Sriwidjaja masih berkuasa didaerah Ligor. Demikian
lah pengambil alihan kekuasaan daerah Ligor oleh rakai Panunggalan
harus terdjadi antara tahun 775 dan 787. Djika demikian maka pe
mahatan piagam Ligor B harus terdjadi pada waktu-waktu itu jakni
antara tahun 775 dan 787. Piagam Ligor B lalu merupakan proklamasi
kekuasaan radjakula Sailendra dari Djawa Tengah didaerah Ligor.
Ligor didjadikan pangkalan untuk menjerang Kambodja dan Tjampa.
Kekuasaan Sriwidjaja di Semenandjung dipatahkan oleh tentara Djawa
dari Djawa Tengah dibawah pemerintahan dyah Dharanindra rakai Panunggalan.
146
V I
RADJAKULA SAILENDRA DI D JA W A TENGAH
Prasasti Kedu
Untuk mengetahui bagaimana hubungan radjakula Sailendra di
Sriwidjaja dengan radjakula Sailendra di Djawa, perlu kita mengada
kan sekadar tindjauan tentang perkembangan keradjaan Sailendra
di Djawa Tengah. Untuk tudjuan tersebut perlu kita memperhatikan
prasasti-prasasti jang pernah dikeluarkan oleh radjakula Sailendra di
Djawa dan prasasti-prasasti lainnja, jang dapat memberikan keterangan
tentang keradjaan Sailendra di Djawa Tengah.
Salah satu piagam jang didjadikan pegangan ialah piagam Kedu,
jang dikeluarkan oleh radja Balitung pada tahun 907. Piagam Kedu
telah diterbitkan oleh Dr. W .F . Stutterheim dalam T.B.G. LV II hal.
172 dan seterusnja, pada tahun 1927. Piagam Kedu menjebut nama
delapan radja jang pernah memerintah Medang diwilajah Poh Pitu,
dan jang mendahului radja Balitung. Kedelapan radja itu semuanja
bergelar sri maharadja ketjuali Sandjaja. Sandjaja bergelar sang ratu.
Kedelapan radja itu semuanja tanpa ketjuali menggunakan sebutan
rakai. Penjebutan radja-radja itu didahului dengan utjapan Rahyang
ta rumuhun ri Medang r i Poh Pitu: pembesar-pembesar dahulukala jang
memerintah di Medang di Poh Pitu. Kedelapan radja itu lalu disebut
berturut-turut seperti berikut:
1. Sang Ratu Sandjaja, rakai Mataram.
2. Sri Maharadja rakai Panangkaran.
3. Sri Maharadja rakai Panunggalan.
4. Sri Maharadja rakai Warak.
5. Sri Maharadja rakai Garung.
6. Sri Maharadja rakai Pikatan.
7. Sri Maharadja rakai Kajuwangi.
8. Sri Maharadja rakai Watuhumalang.
Dari delapan radja itu jang disebut namanja pribadi hanja radja
Sandjaja. Lainnja hanja disebut dengan gelar rakai jang diikuti nama
tempat. Dengan sendirinja lalu timbul pertanjaan, siapa nama pribadi
atau nama abhiseka radja-radja jang tudjuh itu. Hingga sekarang kita
belum berhasil sepenuhnja untuk mentjari nama-nama pribadi atau
nama-nama abhiseka ketudjuh radja tersebut. Nama pribadi rakai Pa
nunggalan dan rakai W arak hingga saat ini belum lagi diketemukan.
Lima radja lainnja berkat penelitian pelbagai piagam sudah dapat
diketahui.
147
Sudah djelas bahwa di Djawa Tengah hanja ada 8 radja, jang me
merintah sebelum radja Balitung, sebelum tahun 907. Pada tahun 907
radja Balitung sudah memerintah. Dari piagam Tjanggal kita ketahui
dengan pasti bahwa radja Sandjaja telah memerintah pada tahun 732.
Berapa tahun lamanja beliau sudah memerintah ketika mendirikan
lingga diatas gunung W ukir, tidak dapat diketahui. Demikianlah dela
pan radja itu memerintah di Djawa Tengah dalam pangsa waktu ta
hun 732 — 907, lebih kurang 175 tahun. Masa pemerintahan Sandjaja
sebelum tahun 732 dan Balitung sebelum tahun 907 tidak ikut diper
hitungkan.
Piagam Kedu adalah piagam persumpahan, jang menjebut nama-nama
radja jang telah dimakamkan. Pangsa waktu 175 tahun pada hakekat-
nja bukan pangsa waktu jang pandjang. Radja jang memerintah ada
lah tokoh-tokoh jang dikenal oleh masjarakat. Oleh karena itu penje-
butan 8 nama radja itu kiranja dapat dipertjaja. Kiranja tidak ada
maksud untuk menjelundupkan nama radja lain atau dengan sengadja
tidak memberitakan radja jang tidak disukainja, mengingat bahwa pada
masa itu kultus persembahan atau pendewaan nenek-mojang se
dang berkembang. Balitung atau pemahat piagam pasti mempeladjari
nama radja-radja jang bersangkutan lebih dahulu. Tidak ada alasan
untuk meragukan kebenaran pemberitaan piagam tersebut. Bahwa
kemudian diketemukan nama-nama radja jang tidak termasuk dalam
daftar piagam Balitung, dapat ditafsirkan bahwa radja-radja jang
bersangkutan tidak termasuk radja-radja jang memerintah di Poh Pitu.
Selain keradjaan Mataram, di Djawa Tengah pada waktu itu pasti
masih ada keradjaan-keradjaan lain. W ilajah keradjaan pada waktu
itu tidak bisa digambarkan dengan djelas, namun dapat dipastikan,
bahwa kebanjakan keradjaan pada waktu itu merupakan keradjaan
ketjil-ketjil.
Djuga tidak dapat dibuktikan, apakah urutan radja-radja jang
djumlahnja 9 dengan Balitung itu termasuk satu dinasti, jang bisa
disebut dinasti atau wangsa Sandjaja; berhubung Sandjaja adalah
radja jang pertama. Djuga masih diragukan apakah radja-radja jang
disebut itu memerintah berturut-turut dari bapak keanak, atau di-
antaranja terselip pula radja dari wangsa lain. Bagaimana hubungan
antara radja jang satu dengan radja jang lain, tidak diketahui dengan
pasti. Ketjuali piagam Kedu di Djawa Tengah masih banjak lagi di
ketemukan prasasti-prasasti jang menjebut nama radja jang tidak
tertjantum pada daftar nama radja prasasti Kedu. Bagaimana hubungan
antara radja-radja tersebut dengan radja pada, prasasti Kedu, masih
perlu diselidiki. Demikianlah pada hakekatnja persoalan wangsa Sai-
lendra di Djawa Tengah itu masih sangat rumit.
148
Pada prasasti Kedu djelas dinjatakan bahwa radja-radja jang ter
sebut pada prasasti itu pernah memerintah di Medang * °
Hingga sekarang kita tidak mengetahui dimana letaknja o itu.
Pada piagam lain akan kita djumpai pula nama Medang, jang tida
dihubungkan dengan Poh Pitu, tetapi dengan Mataram dan amrati.
Dimana letaknja tempat-tempat tersebut dan apa sebab-seba nja tim
bui tiga nama tersebut, masih memerlukan penelitian lebi an jut.
Lokalisasi tempat-tempat itu tidaklah mudah. Sandjaja memelu
Siwa, tetapi rakai Panangkaran djelas memeluk agama Buda Maha-
yana. Apakah sebabnja maka timbul perubahan agama dalam e-
hidupan wangsa Sandjaja, djika Panangkaran adalah benar putera
rakai Mataram, sang ratu Sandjaja? Djelas bahwa Sandjaja bergelar
sang ratu. Mengapa sekonjong-konjong rakai Panangkaran bergelar
sri maharadja? Hal-hal tersebut merupakan persoalan jang perlu di
perhatikan, djika kita ingin mengetahui perkembangan wangsa Sai-
lendra di Djawa Tengah. Tidak semua soal itu dapat dipetjahkan
setjara memuaskan karena bahan sedjarah jang diperlukan tidak
mentjukupi. Bahwa kita menjadari adanja persoalan-persoalan itu,
adalah suatu tanda bahwa kesadaran sedjarah itu telah timbul,, telah
mulai tumbuh dikalangan masjarakat Indonesia. Kesadaran sedjarah
itu dengan sendirinja akan mendorong kita untuk mentjari pendje-
lasan tentang soal-soal jang belum kita ketahui.
Untuk memperoleh sekadar gambaran tentang perkembangan ke-
radjaan Sailendra di Djawa Tengah, perlu kita menindjau prasasti-
prasasti jang dikeluarkan oleh radja-radja Sailendra sendiri dan
prasasti-prasasti jang dikeluarkan oleh radja-radja jang disebut pada
prasasti Kedu, meskipun tindjauan tentang prasasti-prasasti itu tidak
akan sangat mendalam. Kita mulai dengan penindjauan prasasti
Tjanggal, jang dikeluarkan oleh sang ratu Sandjaja.
Prasasti Tjanggal dan Sandjaja
Prasasti Tjanggal ditulis dalam bahasa Sansekerta, bertarich tahun
Saka 654 atau tahun Masehi 732. Prasasti tersebut diketemukan di-
atas gunung W ukir di Tjanggal, desa Kadiluwih, distrik Salam di
Kedu Selatan, diterbitkan oleh Kern pada tahun 1885 dalam B.K.I.
djilid X, dimuat kembali dalam V .G . V II hal. 115 dan seterusnja.
Prasasti Tjanggal dikeluarkan oleh radja Sandjaja pada waktu men
dirikan lingga diatas gunung Wukir, diketemukan didekat puing-pu
ing tjandi. ,Isinja. Prasasti Tjanggal terdiri dari 12 pada. Pada 1 mengurai
kan pembangunan lingga oleh radja Sandjaja diatas gunung. Pada
149
4 memuat pudjaan kepada dewa Siwa. Pada 5 memuat pudjaan
i j Brahma. Pada 6 adalah pudjaan kepada dewa Wisnu,terhadap dewa d « ““ . . u i • 1Pada 7 menguraikan pulau Djawa, jang sangat subur, kaja akan
t ban mas dan banjak menghasilkan padi. Dipulau itu didirikan
ml' Siwa demi kebahagiaan penduduk, berasal dari Kundjarakun-
d' desa (di India Selatan). Pada 8-9 menguraikan bahwa pulau Djawa
rl intah oleh radja Sanna, jang sangat bidjaksana, adil dalam tin-
d kannja perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada bawah-
n'a (rakjat). Ketika radja Sanna wafat, negara berkabung, sedih
karena kehilangan pelindung. Pada 10-11 menguraikan pengganti
rad'a Sanna jakni puteranja, radja Sandjaja. Sandjaja dikiaskan de-
taliari Beliau menerima kekuasaan tidak langsung dari radja ngan matanai*-Sanna tetapi dari kakaknja perempuan. Pada 12 menguraikan kese
jahteraan, keamanan dan ketenteraman negara. Rakjat dapat tidur
ditengah djalan, tidak usah takut akan pentjuri dan penjamun atau
kedjahatan lainnja. Rakjat hidup serba senang.
Dari piagam Tjanggal njatalah bahwa radja Sandjaja memeluk
agama Siwa dan berkiblat ke India Selatan. Nama Kundjara atau Kun-
djaradari terdapat di India Selatan, terkenal sebagai tempat pertapaan
Agastya. Kundjaradari adalah pusat agama Siwa. Boleh dipastikan
bahwa nenek-mojang radja Sandjaja berasal dari India Selatan, tegas-
nja dari tempat jang namanja Kundjaradari. Penjebutan nama San
djaja pada prasasti Balitung terbukti tjotjok dengan kenjataan. Nama
Sandjaja memang kedapatan pada prasasti Tjanggal. Sandjaja diang
gap sebagai radja pertama di Mataram dan disebut rakai Mataram,
sedangkan prasasti Tjanggal jang dikeluarkan oleh radja Sandjaja
sendiri menjatakan, bahwa sebelum radja Sandjaja, Djawa telah di
perintah oleh ajah beliau jang bernama radja Sanna. Satu hal lagi jang
perlu diperhatikan ialah pernjataan bahwa pulau Djawa kaja akan
tambang mas. Moens dalam karangannja £ nvijaya, Yava en Kataha
(T.B.G. LX X V II hal. 386-387) segera menghubungkan Yawa pada
prasasti Tjanggal itu dengan Ye-po-ti, sebagai transkripsi Tionghwa
dari Yawadwipa, jang diidentifikasikan dengan Semenandjung Me
laju, karena pulau Djawa tidak pernah dikenal sebagai pulau mas atau
pulau jang menghasilkan mas. Baik Yawadwipa dalam kekawin Sanse-
kerta Ramayana maupun pemberitaan Ptolomeus tentang Chryso Cher-
sonesos bertalian dengan Semenandjung, tidak dengan pulau Djawa.
Menurut pendapatnja radja Sandjaja diusir dari Kataha dan lari ke
Djawa. Di Djawa beliau mendirikan keradjaan di Djawa Tengah.
Apa jang ditjeriterakan pada prasasti Tjanggal tentang Djawa adalah
ingatan kepada tempat tinggalnja jang lama jakni Semenandjung.
Tjandi Siwa jang diuraikan pada pada 7 tidak pernah terdapat di Dja-
150
wa. tetapi di Semenandjung. Djuga radja Sannaha tidak memerintah
Djawa. Radja Sanna hidup dan wafat di Semenandjung. Kesedjah-
teraan rakjat jang diuraikan dalam prasasti Tjanggal adalah kesedjah-
teraan rakjat di Semenandjung. Pusat keradjaan Yawadwipa adalah
Kedah. Moens berusaha untuk mengidentifikasikan Cho-po dengan
Djawa (Yawadwipa) jang dilokalisasikan di Semenandjung. karena
timbulnja keradjaan Sriwidjaja jang segera menguasai Selat Malaka
dan menjerang Semenandjung, maka radja Sandjaja berhasil diusir
dari Kedah dan melarikan diri ke Djawa. Demikianlah pendapat
Moens.
Piagam-piagam jang menggunakan perhitungan tarich tahun San
djaja ada dua, jakni piagam Gata dekat Prambanan dengan tarich
Sandjajawarsa 693 (O.J.O. X X X V ) dan piagam Tadji Gunung djuga
dekat Prambanan dengan tarich Sandjajawarsa 694 atau tahun M a
sehi 772 (O.J.O. X X X V I), djadi 40 tahun sesudah prasasti Tjanggal.
Nama radjanja tidak djelas, tetapi radjanja terang bergelar sri maha-
radja, dan nama abhisekanja berachir dengan tunggawidjaja. Nama
itu terdapat pada baris 4 dan 5:
gri maharaja daksottamabahubajrapratipaksaksaya gri .......
nggawijaya, tumurun i rakryan mapatih halu, sirikan, muang.
Oleh karena kedua piagam tersebut menggunakan tarich Sandjaja-
warsa, boleh dipastikan bahwa radja jang namanja tersebut pada pia
gam Gata adalah keturunan radja Sandjaja.
Prasasti Tadji Gunung tidak menjebut nama radja, hanja menjebut
mahamantri rakryan Gurunwangi. Benar pada prasasti itu disebut
Sri Sandjaja naranata, tetapi didahului dengan kata nguni: dahulu.
Pada waktu itu radja Sandjaja sudah wafat. Oleh karena selisih waktu
hanja satu tahun sadja dengan prasasti Gata, maka boleh dipastikan
radja jang memerintah sama dengan radja jang mengeluarkan prasasti
Gata. Lagipula baik prasasti Gata maupun prasasti Tadji Gunung
menggunakan Sandjajawarsa.
Peristiwa tersebut saja anggap penting, karena pada prasasti itu
djelas bahwa keturunan Sandjaja djuga bergelar sri maharadja dan
mengambil nama abhiseka dengan tangga. Lagipula masa pemerin-
tahannja djelas dinjatakan dengan tarich tahun jakni tahun 771 dan
772. De Casparis dalam perhitungan bahwa setiap radja memerintah
20 tahun untuk mengisi pangsa waktu 175 tahun, sampai kepada per
hitungan, bahwa rakai Panangkaran memerintah mulai 760 780 dan
seterusnja. Prasasti Gata dan Tadji Gunung tidak ditulis dalam bahasa
Sansekerta seperti prasasti Tjanggal, Kalasan, Karang Tengah dll.,
151
tetapi dalam bahasa Djawa kuno. Prasasti ini segera kita hubungkan
dengan prasasti Kalasan jang bertarich tahun 778 dan ditulis dalam
bahasa Sansekerta.
Prasasti Kalasan dan rakai Panangkaran
Prasasti Kalasan ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan huruf
Pra-Nagari, bertarich tahun Saka 700 atau tahun Masehi 778. Untuk
pertama kalinja prasasti tersebut diterbitkan oleh Dr. Brandes pada
tahun 1886 dalam T.B.G. 31 hal. 240-260. Pada tahun 1928 diterbit
kan lagi oleh Bosch dalam T.B.G. 68 hal. 57-62.
Kalasan letaknja berdekatan sekali dengan Prambanan, boleh dikata
kan hanja terpisah oleh sungai. Pada tahun 771 dan 772 Prambanan
masih ada dibawah kekuasaan sri maharadja Daksottamabahubadjra
Tunggadewa, keturunan radja Sandjaja. Pada tahun 778 Kalasan
mendjadi wilajah maharadja Pantjapana Panangkaran. Sudah pasti
bahwa Prambanan djuga termasuk wilajah radja Pantjapana Panang
karan.
Isi prasasti: Pada 1; doa dan salam kepada Arya Tara, mudah-
mudahan para pemudjanja dapat mentjapai tudjuannja.
Pada 2-3. Para guru radja Sailendra mohon kepada maharadja
dyah Pantjapana Panangkaran, agar beliau membangun tjandi Tara.
Permohonan para guru itu ialah, agar dibangunlah artja dewi Tara
tjandinja dan beberapa rumah untuk para pendeta jang fasih akan
pengetahuan Mahayana W inaya.'
Pada 4-6. Para pangkur, tawan dan tirip menerima perintah untuk
membuat tjandi Tara dan perumahan para pendeta. Tjandi Tara di
dirikan didaerah makmur sang radja jang mendjadi hiasan radjakula
Sailendra untuk kepentingan para guru radja Sailendra. Pada tahun
Saka 700 maharadja Panangkaran selesai membangun tjandi Tara
tempat para guru melakukan persembahan.
Pada 7-9. Desa Kalasan dihadiahkan. Para pangkur, tawan dan
tirip, adyaksa desa dan para pembesar mendjadi saksi. Tanah jang
dihadiahkan oleh sang radja supaja didjaga baik-baik oleh para radja
keturunan wangsa Sailendra, oleh para pangkur, para tawan dan tirip
serta para pembesar jang bidjak turun-temurun. Selandjutnja sang
radja berulang kali minta kepada semua radja jang akan memerintah
kemudian, agar tjandi itu selama-lamanja didjaga untuk kebahagiaan
semua orang.
Pada 11-12. Berkat pembangunan wihara itu diharapkan semoga
semua orang memperoleh pengetahuan tentang kelahiran, memperoleh
tibavopapanna dan mengikuti adjaran Djina. Jang mulia kariyana
152
(rakyan) Panangkaran mengulangi lagi permintaan beliau kepada
semua radja jang akan menjusul untuk membina wihara itu a a
adaan jang sesempurna-sempurnanja.
Prasasti Kalasan tidak menggunakan perhitungan tarich tahun San-
d ja ja seperti Gata dan Tadji Gunung. Nama radja jang disebut ialah
rakai Panangkaran dengan nama pribadinja dyah Pantjapana. e ar
jang digunakan ialah maharadja. Untuk pertama kalmja diberita an
adanja radjakula Sailendra. Pada 2 menguraikan bahwa para guru
radja Sailendra mohon kepada maharadja dyah Pantjapana, rakai
Panangkaran untuk membangun tjandi Tara dan perumahan untuk
para pendeta.
Sudah sedjak tahun 1919 Prof. Ph. Vogel dalam artikelnja Het
Koninktijk Qnwijaya (B.K.I. 75 hal. 614) telah menjarankan untuk
memisahkan radja Sailendra (gailendraraja) dengan rakai Panangka
ran. Pada tahun 1928 dalam terbitannja prasasti Kalasan Prof. Bosch
mengira bahwa gailendraräja dan rakai Panangkaran adalah radja Sri-
widjaja dan termasuk radjakula Sailendra. Pada tahun 1947 Dr. van
Naerssen mentjurahkan perhatiannja lagi kepada prasasti Kalasan
dan melihat adanja dua radja pada prasasti tersebut. Jang satu adalah
radja Sailendra jang tidak disebut namanja (dalam kata madjemuk
gailendrarajaguru); jang satu lagi ialah maharadja Dyah Pantjapana
Panangkaran. Artikel van Naerssen termuat dalam India Antiqua
hal. 249 - 253. Van Naerssen beranggapan bahwa maharadja Pantja
pana Panangkaran adalah radja bawahan radja Sailendra jang tidak
disebut namanja itu. Radja Sailendra jang tidak disebut namanja itu
datang dari seberang lautan dan menguasai keradjaan rakai Panang
karan. Beliau adalah pemeluk agama Buda.
Pandangan F.H.N. van Naerssen ini kemudian diambil alih oleh
de Casparis dalam Prasasti Indonesia I dan Bosch dalam karangannja
jang berdjudul (¿riwijaya, de Qailendra- en de Sanjayawamga jang akan
dibitjarakan segera. Mereka semuanja berpendapat bahwa radja ya
Pantjapana Panangkaran adalah radja bawahan radja Sailendra. e
gera timbul pertanjaan: Djika rakai Panangkaran adalah radja a
wahan radja Sailendra, mengapa para guru Sailendra minta kepa a
rakai Panangkaran untuk membangun tjandi Tara beserta wi aranja,
tidak langsung minta kepada radja Sailendra jang lebih berkuasa.
Permintaan guru-guru radja Sailendra itu membuktikan, bahwa ra ai
Panangkaran berkuasa atas daerahnja. Beliau berkuasa membebaskan
tanah dan desa demi kepentingan pembangunan tjandi dan wihara.
Permintaan itu adalah manifestasi pengakuan guru-guru radja Sailen
dra terhadap kekuasaan rakai Panangkaran.
153
Pembebasan tanah demi kepentingan pembangunan tjandi dan w i
hara dilakukan oleh radja jang berkuasa didaerahnja. Pada prasasti
Kalasan pemberian desa Kalasan sebagai hadiah demi pembangunan
tjandi Tara dan wiharanja dilakukan oleh rakai Panangkaran atas per
mintaan para guru. Peristiwa itu sama dengan peristiwa pembebasan
tanah didesa Timbangan Wungkal demi pembangunan dharmma kawi-
kuati: tanah itu didjadikan tanah perdikan atau swatantra, bebas dari
padjak. Pembebasan desa Timbangan Wungkal dilakukan oleh sri ma-
haradja Daksottama Bahubadjra Tunggawidjaja pada tahun Saka 693
atau tahun Masehi 771, karena sri maharadja jang berkuasa. Perintah
pembebasan itu diberikan oleh sang prabu kepada rakryan mahamantri
dan rakryan Gurun Wangi. Dari peristiwa pembangunan tjandi Tara
beserta wiharanja dan penghadiahan desa Kalasan njatalah bahwa
rakai Panangkaran berkuasa penuh didaerahnja. Tidak ada radja lain
jang ada diatasnja.
Andaikata ada radja jang lebih berkuasa daripada rakai Panangkaran,
sudah pasti para guru itu akan minta kepada radja tersebut. Perintah
radja jang lebih berkuasa itu akan disampaikan kepada rakai Panang
karan, seperti halnja dengan peristiwa pembangunan dharmma kawi-
kuan di Timbangan Wungkal. Gelar maharadja jang terdapat pada
prasasti Kalasan jang diperuntukkan bagi rakai Panangkaran pada
hakekatnja merupakan keberatan terhadap teori (pendapat) van
Naerssen, de Casparis dan Bosch. Dengan djelas pada awal pada 2
tertulis: maharajam dyah Pancapanam Panangkacanam: maharadja
Pantjapana Panangkarana. Gelar radja Sailendra pada piagam Ligor B
djuga sri maharadja. Timbul pertanjaan apakah ada perbedaan antara
gelar Pantjapana Panangkaran dan gelar radja Sailendra pada piagam
Ligor B itu? Saja kira tidak ada. Keterangan „hiasan radjakula Sai
lendra” atau „gailendrawamgatilaka” jang terdapat pada pada 5 ber
talian dengan rakai Panangkaran. Dengan kata lain rakai Panangkaran
adalah radja Sailendra di Djawa Tengah. Beliau adalah radja Sailendra Djawa Tengah jang pertama.
Mengapa para guru Sailendra mohon, agar sang prabu suka mem
bangun tjandi Tara dan wihara untuk para pendeta? Pantjapana Pa
nangkaran adalah radja daripada para guru tersebut, Pantjapana
sebagai radja Sailendra jang beragama Buda mempunjai kewadjiban
untuk mengembangkan agama Buda, djustru setelah berhasil mendiri
kan keradjaan. Kita ketahui bahwa menurut piagam Tadji Gununa
dan piagam Gata jang djelas menggunakan tarich Sandjajawarsa, sri
maharadja Daksottama Bahubadjra Tunggawidjaja jang berkuasa
Sebagai keturunan Sandjaja beliau adalah pemeluk agama Siwa. Oleh
karena sekarang jang berkuasa adalah radja jang beragama Buda,
154
sudah selajaknja bahwa agama Buda mendapat perhatian. Mungkin
djuga pembangunan tjandi Tara dan wihara itu bertalian dengan
penebusan djandji sang radja kepada para guru, disamping persem
bahan kepada nenek mojang seperti dikenal dalam agama Buda IVla-
hayana dimasjarakat Djawa Tengah. Pembangunan tjandi dan wihara
di Kalasan adalah manifestasi rasa terima kasih bahwa Pantjapana
berhasil menduduki tachta keradjaan.
Diantara radja-radja jang namanja tertjantum pada daftar silsilah
prasasti Kedu pada hakekatnja hanja rakai Panangkaran jang kita ke
tahui namanja pribadi dengan djelas, karena nama pribadi itu ditjan-
tumkan pada piagam Kalasan djuga, berdampingan dengan gelar rakai.
Lain-lainnja tidak diketahui, atau djika diketahui, maka diketahui se-
tjara tidak langsung. Artinja pengetahuan itu diperoleh karena per
bandingan dengan piagam-piagam lain. Ketjuali gelar rakai jang di
ikuti nama tempat seperti dkenal pada prasasti Balitung (Kedu), radja
biasanja mempunjai nama pribadi dan nama abhiseka. Baik nama
pribadi maupun nama abhiseka ini perlu mendapat perhatian. Mungkin
sekali nama-nama dengan tungga jang terdapat pada beberapa piagam,
dan disangka chusus sebagai nama radja Sailendra oleh de Casparis,
adalah nama abhiseka rakai jang disebut pada prasasti Kedu. Satu-
satunja rakai pada prasasti Kedu jang disertai nama pribadi hanja
rakai Mataram, jakni sang ratu Sandjaja, jang djuga dikenal pada
piagam Tjanggal. Berkat prasasti Balitung (Kedu) kita mengetahui
bahwa radja Sandjaja disebut rakai Mataram. Dari piagam Tjanggal
sadja kita hanja mengetahui bahwa ada radja jang bernama Sandjaja.
Nama Mataram samasekali tidak disebut pada prasasti Tjanggal. De
mikian pula dengan nama-nama lainnja. Dari prasasti Balaputra -
Djatiningfat kita hanja mengetahui nama Djatiningrat. Nama rakai
Pikatan tidak disebut pada prasasti itu. Pengetahuan bahwa Djati
ningrat adalah rakai Pikatan diperoleh akibat pembandingan pra
sasti Kedu dengan prasasti Balaputra •— Djatiningrat. Demikianlah
kiranja dengan perbandingan itu kita mungkin berhasil mengiden
tifikasikan beberapa nama dengan nama-nama radja pada prasasti
Kedu. Lagipula prasasti Kedu samasekali tidak menjatakan setjara
mutlak, bahwa nama-nama jang tertjantum pada prasasti itu semata-
mata keturunan radja Sandjaja. Bahkan nama sri maharadja Daksot-
tama Tunggawidjaja pada prasasti Gata jang djelas menggunakan
tarich Sandjajawarsa malah tidak disebut disitu. Apa jang dinjatakan
pada prasasti Kedu tidak lain daripada menjebut nama radja-radja
jang pernah memerintah di Poh Pitu dengan ungkapan rahyang ta vu-
muhun ri Medang ri Poh Pitu. Mungkin ada djuga radja Sailendra
jang pernah memerintah di Poh Pitu. Kiranja Medang ri Poh Pitu
155
bukan monopoli radja-radja keturunan radja Sandjaja sadja. Siapa
jang kuat dan berhasil merebut kekuasaan, dialah akan menduduki
tachta keradjaan.
Pada tahun 1950 seperti telah disinggung dimuka Coedes mengana
lisa piagam Ligor B. Djalan pikiran Coedes sedjadjar dengan djalan
pikiran van Naerssen. Djuga Coedes melihat adanja dua radja pada
piagam Ligor B. Jang pertama adalah radja Wisnu jang dianggapnja
sama dengan radja Sriwidjaja jang disebut pada piagam Ligor A dan
tidak masuk wangsa Sailendra; jang kedua ialah radja jang bergelar
sri maharadja dan termasuk radjakula Sailendra, tetapi namanja tidak
disebut. Hubungan antara radja Wisnu dan radja Sailendra itu ialah
hubungan bapak dan putera. Akibat perkawinannja dengan puteri
Fu-nan radja W isnu dari Sriwidjaja memperoleh putera, jang bergelar
maharadja, dan termasuk radjakula Sailendra. Menurut anggapan Coe
des itulah radja Sailendra jang pertama. Namanja tertjantum pada
piagam Kelurak, jakni Dharanindra. Epiteton radja Sailendra jang
pertama jakni „pembunuh musuh-musuh perwira” wairiwarawiramar-
dana pada piagam Kelurak, kedapatan kembali pada piagam *Ligor
dalam bentuk sarwwarimadawi(ma)thana dan pada piagam Nalanda
wirawairimathana. Epiteton itu adalah epiteton radja Sailendra Dha
ranindra. Seperti telah diberitahukan dimuka karangan Coedes tersebut
dimuat dalam Bingkisan Budi tahun 1950.
Pada tahun 1952 Bosch menerbitkan karangannja jang berdjudul
Criwijaya, de (¡Sailendra- en de Sanjayawamsa dalam B.K.I. 108 hal.
113-123 dengan lampiran silsilah radja-radja Sailendra, radja ke
turunan Sandjaja dan radja-radja Sailendra di Sriwidjaja, Baik ka
rangan van Naerssen, maupun Coedes serta disertasi de Casparis
Prasasti Indonesia dibahas seperlunja dalam artikel Bosch tersebut.
Ia mengakui kegagalannja dalam usaha membahas persoalan piagam
Ligor pada tahun 1941 jang berdjudul De inscriptie van Ligor dalam
T.B.G. LXXX I hal. 26-38. Dalam terbitannja jang baru itu Bosch
mentjoba memberikan ichtisar tentang perkembangan dan hubungan
radjakula Sailendra di Sriwidjaja dan radjakula Sailendra di Djawa.
Bosch masih tetap beranggapan bahwa radja Dharmasetu jang tertjatat
pada piagam Nalanda sebagai ajah Tara dan mertua Samaragrawira
adalah radja Sriwidjaja. Nama Samaragrawira pada piagam Nalanda
tetap masih disamakan dengan nama Samaratungga pada piagam Ka
rang Tengah. Radja W isnu pada piagam Ligor disamakan dengan
rakai Panangkaran dan dianggap putera Sandjaja. Menurut anggapan
Bosch rakai Panangkaran jang diidentifikasikan dengan radja W isnu
kawin dengan puteri dari Fu-nan dan dari perkawinan itu lahir rakai
Panunggalan dan Dharanindra.
156
Pada umumnja Bosch menerima teori Coedes. Oleh karena itu timbul
ichtisar jang demikian. Menurut pendapat Bosch ketidak-puasan hasil
penelitian mengenai piagam Ligor B ditimbulkan akibat pandangan
jang diarahkan kepada politik perluasan wilajah dan politik mengedjar
kekuasaan jang dilakukan oleh radja-radja Djawa dan Sriwidjaja
sebagai saingan dalam abad 8. Pandangan itu ditinggalkan dan ber
alih kepada pandangan perdamaian jang dimanifestasikan dalam per
kawinan antara wangsa jang memerintah Sriwidjaja dan wangsa jang
memerintah Djawa. Katanja: „Sebaliknja kami berpandangan bahwa
dalam abad 8 dan 9 sudah pasti perkawinan itu di Djawa meme
gang peranan jang sangat penting. Hubungan antara wangsa Sai-
lendra di Djawa dan wangsa di Sriwidjaja berlangsung dalam suasana
aman dan damai. Penerimaan pandangan itu membawa konsekwensi
penerimaan teori Coedes tentang perkawinan W isnu / Panangkaran
dengan puteri Sailendra. Dari perkawinan itu lahir dua putera. Jang
sulung melandjutkan kekuasaan Sandjaja dan bergelar maharadja.
Putera sulung itu ialah rakai Panunggalan. Keturunan rakai Panung-
galan tertjatat pada daftar silsilah radja Balitung. Putera jang bungsu
djuga menerima gelar maharadja, tetapi tidak digunakan, seperti ter-
njata pada piagam Kelurak, Kalasan dan Nalanda. Putera bungsu
itu ialah Dharanindra.”
Oleh karena Bosch menerima pendapat bahwa radja Dharmasetu
adalah radja Sriwidjaja, maka ia mengambil perkawinan antara Sama-
ragrawira dan dewi Tara sebagai tjontoh, betapa baik hubungan antara
radja Sriwidjaja dan radja Djawa. Tidak ada soal permusuhan. Teori
Bosch ini bertentangan dengan makna epiteton radja Dharanindra
,.pembunuh musuh-musuh perwira”.
Prasasti Ratu Baka dan Dharmatungga
Prasasti Ratu Baka ditulis dalam bahasa Sansekerta. Oleh karena
banjak bagian jang telah rusak, tidak mungkin diterdjemahkan. Tarich
tahun pemahatannja telah hilang. Berdasarkan kesamaan bentuk huruf
jang digunakan, dengan bentuk huruf prasasti Kalasan, de Casparis.
jang menerbitkan prasasti tersebut dalam Prasasti Indonesia I (1950),
menduga bahwa prasasti Ratu Baka dipahat pada waktu jang sama
dengan prasasti Kalasan. Djuga pada prasasti Ratu Baka terdapat kata
gailendra ....... dibelakang nama Dharmmatunggadewasya. Nama itulah
jang penting untuk diketahui. Dengan sendirinja ia mengambil kesim
pulan bahwa prasasti Kalasan dikeluarkan oleh radja Sailendra Dharm-
matungga tersebut. Rakai Panangkaran dianggap sebagai radja ke
turunan Sandjaja, jang ada dibawah .kekuasaan radja Sailendra.
157
Prasasti Kelurak dan Dharanindra
Prasasli K e l u r a k ditulis dalam bahasa Sansekerta. bertarich tahun t, Masehi 782, diterbitkan oleh Bosch dalam T.B.G.
**£” S ÎT .92S . Piagam Kelurak terdiri dari duapuluh
pada. Isinja adalah peresmian artja M aS ^r i. pf da achir pada 5 ter- , dhrê tâ anre tim ata dharam ndranatnna: keradjaan_aPat ung apan . tegUh hatinja. Bosch semula mengira bahwaDharanindra jang sang 9
, •<. t Oleh karena itu terlalu pendek, Jalu dirangkapnama radja itu Indra, r ,
.. • ditambah denqan warmart. ierbentuklah namadengan dharam dan diramu* »Namun radia bailendra jang berachir warman
Dharanindrawarman. iNamuu J T n -i jtidak ada. Pada tahun 1950 dalam karangannja Le Çailendra, tueur, , . ’ rw d è s membatjanja Dharanindra sadja. Pada ta-des héros ennemis Coeaeb j j •
hun 1950 dalam bukunja Prasasti Indonesia I, de Casparis tetap meng
gunakan nama Indra. Saja beranggapan bahwa nama itu ialah Dhara
nindra sebagai sinonim, nama Dharanidhara. Dharanindra berarti
radja bumi; Dharanidhara berarti pendukung atau pelindung dunia.
Nama itu adalah nama Wisnu. Nama itu saja identifikasikan dengan
nama radja W isnu di Ligor B, dan menurut pendapat saja adalah nama
pribadi rakai Panunggalan. Demikianlah radja W isnu pada piagam
Ligor B itu saja identifikasikan dengan rakai Panunggalan pada pra
sasti Balitung (Kedu). Dengan sendirinja saja tidak melihat adanja dua
radja pada piagam Ligor B. Radja Sailendra jang bergelar maharadja
adalah radja W isnu. Pendapat itu terdapat dalam terbitan saja. Ke
radjaan Sriwidjaja (Kerajaan Sriwijaya) pada tahun 1963 di Singa
pura. Baik epiteton „pembunuh musuh perwira” jang terdapat pada
piagam Kelurak, piagam Ligor B maupun pada piagam Nalanda adalah
epiteton rakai P a n u n g g a l a n . Pada jang terachir jakni pada 20 memuat
nama Sri Sanggrama Dhanandjaja. Baris jang memuat nama tersebut
diterdjemahkan oleh de Casparis: D it bouwwerk van hem, die bij de
wijding tôt de v o o r t r e f f e l i j k s t e der mannen de koningsnaam gri Sang-
gramadhananjaya aanneemt. Artinja: Bangunan itu adalah bangunan
sang radja jang mendjadi pahlawan diantara para perwira dan meng
ambil nama abhiseka Sri Sanggrama Dhanandjaja. Demikianlah saja
berpendapat bahwa Dharanindra adalah nama pribadi, Sanggrama
Dhanandjaja adalah nama abhiseka, rakai Panunggalan adalah gelar
sebutannja.
Djuga pada prasasti Kelurak ini saja djumpai nama Sri Dhàrmasetu
pada pertengahan pada 19 didahului dengan kata pratipâlaniyah: pen-
djaga. Djadf ungkapan pratipâlaniyah çri .Dharmmasetur ayam .......
....... artinja: Sri Dharmasetu diserahi untuk mendjaga (bangunan).
Terdjemahan jang demikian tjotjok dengan kalimat berikutnja jang
158
/
menjatakan bahwa bangunan itu dibuat oleh radja Sri Sanggrama
Dhanandjaja. Oleh karena nama Sri Dharmasetu itu kedapatan pada
prasasti Kelurak dan bersama-sama dengan nama Dharanindra, maka
saja menolak anggapan, bahwa radja Dharmasetu adalah radja Sriwi-
djaja, seperti jang dikemukakan oleh Krom, Bos.ch dan de Casparis.
Menurut prasasti Nalanda Dharmasetu- adalah ajah dewi Tara dan
mertua Samaragrawira, sedangkan Samaragrawira adalah ajah Bala-
putra. Demikianlah Dharmasetu itu berbesan dengan Dharanindra alias
rakai Panunggalan. Karena hal-hal tersebut maka saja anggap prasasti
Kelurak adalah prasasti penting, jang dapat memberikan petundjuk
untuk penjelesaian persoalan hubungan antara piagam Nalanda dan
piagam Ligor B, atau persoalan hubungan Sriwidjaja dan Djawa. Saja
menduga bahwa djustru pada prasasti Kelurak itu kita mendapatkan
keterangan tentang rakai Panunggalan jang hingga sekarang tidak
pernah diketemukan. Hal itu agak aneh. Djustru oleh karena Balitung
pada prasasti Kedu hanja menjebut gelar rakai jang diikuti dengan
nama tempat, tidak menjebut nama pribadi atau nama abhisekanja,
maka agak sulit untuk memperoleh keterangan. Prasasti dapat dike
luarkan atas nama pribadi atau atas nama abhiseka radja jang ber
sangkutan.
Prasasti Karang Tengah dengan Samaratungga
Prasasti Karang Tengah dekat Temanggung di Djawa Tengah ter
diri dari dua bagian ditulis dalam bahasa Sansekerta dan bahasa Djawa
kuno. Bagian jang ditulis dalam bahasa Sansekerta isinja berbeda
dengan jang ditulis dalam bahasa Djawa kuno. Bagian jang ditulis
dalam bahasa Djawa kuno telah dimuat dalam O.J.O. no. IV . Tarich
tahunnja adalah tahun Saka 769, namun ternjata batjaan Brandes
kurang tepat. De Casparis dalam Prasasti Indonesia I hal. 31/40
membatjanja tahun 746 atau tahun Masehi 824. Tarich tahun 746
itu tjotjok dengan tarich tahun jang terdapat pada bagian jang
ditulis dalam bahasa Sansekerta. Bagian Sansekerta menggunakan
tjandrasangkala rasa:, sagara, ksitidhara, jang masing-masing menun-
djukkan angka 6, 4 dan 7. Djadi tarich tahunnja ialah 746 Saka. De
mikianlah kedua prasasti itu ditulis pada waktu jang sama.
Bagian Sansekerta menderita banjak kerusakan, karena batunja pe-
tjah. Bagian atas kiri dan tengah hilang. Bagian jang masih ada telah
ditranskripsikan dengan huruf Latin dan diterdjemahkan oleh de Cas
paris. Isinja seperti berikut:
Radja Samaratungga mempunjai seorang puteri bernama Pramoda-
wardhani. Puteri Pramodawardhani membangun finalaya jang sangat
indah. Pada tahun Saka 746 atau tahun Masehi 824 artja jang dimu
159
liakan ditempatkan dalam tjandi jang telah dibangun. Artja itu bersinar
seperti bulan, jang karena ketakutan kepada Rahu djatuh kembali
kebumi. Kemudian dinaikkan diatas kaki tjandi, jang telah dibangun
sangat indah oleh orang-orang tua dengan bantuan orang-orang muda.
M udah-mudahan beliau barkat pembangunan tjandi D jina itu dapat
mentjapai sepuluh tingkat ke-Buda-an. Saja berharap agar sajapun
djika sampai giliran saja, dapat mentjapai tingkat jang sangat sulit
ditjapai itu? tingkat jang tertinggi, jang .......... Selama gunung Meru
masih djadi tempat kediaman para dewa, dan selama matahari diang-
kasa masih bersinar demi kehidupan ribuan manusia, mudah-mudahan
selama itu pula umur bangunan ini, penuh dengan keutamaan Buda.
Bagian D jaw a kuno sedikitpun tidak menjinggung soal pembangunan
tjandi D jinalaja. Bagian itu menguraikan .pembebasan tanah. Paida ta
hun 746 atau tahun Masehi 824 rakarayan Patapan mpu Palar meng
hadiahkan ladang padi sebagai tanah perdikan jang terletak di Baba-
dan, Lo Pandak, Kisir, Santo i Karung, Petir, Kuling dan Trihadji.
Ukuran tanah itu disebutkan dengan teliti. Untuk keperluan tersebut
diundang saksi dari pelbagai desa; lengkap dengan nama dan tempat
tinggalnja, anak dan djabatannja para saksi ditjatat pada piagam itu.
Para saksi jang bersangkutan memperoleh hadiah masing-masing.
Boleh dipastikan bahwa hadiah tanah perdikan itu bertalian dengan
pembangunan tjandi D jinalaja jang disebut pada bagian Sansekerta.
Hadiah tanah itu diberikan oleh rakarayan Partapan mpu Palar. De
Casparis berpendapat bahwa tidak ada alasan samasekali untuk meng
identifikasikan rakarayan Patapan mpu Palar itu dengan Samaratung-
ga. Ia beranggapan bahwa rakarayan Patapan adalah radja dengan
gelar D jawa: rakai, rakarayan atau kariyana. Radja-radja D jawa itu
adalah radja bawahan radja Sailendra. De Casparis membanding pra
sasti Karang Tengah dengan prasasti Kalasan, jang memuat nama
rakai Panangkaran. Ia sependapat dengan van Naerssen bahwa radja
Panangkaran adalah radja bawahan Sailendra. Demikian pula halnja
dengan rakai Patapan dalam hubungannja dengan Samaratungga.
Bagaimanapun rakarayan Patapan tidaklah sama dengan Samara
tungga. Titel rakarayan bukanlah gelar radja semata-mata. Hal itu tidak
hanja terbukti pada zaman Madjapahit sadja, tetapi djuga pada zaman
pemerintahan radja Sandjaja. Tjontoh jang baik kiranja dapat diambil
dari piagam Gata dan Tadji Gunung dari tahun 771 dan 772. Pada
piagam Gata terdapat nama rakryan Gurun W ang i. Pada piagam
Tadji Gunung i djelas disebut rakryan Gurun W ang i. Mahamantri
djuga disebut rakryan. Demikianlah rakarayan Patapan tidak perlu
mendjabat radja. Jang pasti ialah bahwa rakarayan Patapan adalah
bawahan Samaratungga.
1 6 0
Hampir semua prasasti tentang hadiah tanah jang langsung berhu
bungan dengan rakjat dan mengundang rakjat desa sebagai saksi di
tulis dalam bahasa Djawa kuno, tetapi prasasti-prasasti resmi tentang
peresmian tjandi hampir semuanja ditulis dalam bahasa Sansekerta.
Peresmian tjandi Kalasan, peresmian artja Manjugri di Kelurak, pem
bangunan Djinalaja di Karang Tengah, peresmian lingga diatas gu
nung W ukir ditulis dalam bahasa Sansekerta. Salah satu keketjualian
ialah peresmian pembangunan tjandi makam didesa W antil seperti
diuraikan pada prasasti Balaputra - Djatiningrat atau A metrical old
Javanese inscription dated 856 termuat dalam Prasasti Indonesia II hal.
280 - 330. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Djawa kuno, boleh dikata
kan pada achir zaman pemerintahan radjakula Sailendra. Kesan jang
diperoleh ialah, bahwa prasasti jang langsung berhubungan dengan
rakjat dan harus diketahui oleh rakjat, ditulis dalam bahasa rakjat
jakni bahasa Djawa kuno. Tetapi prasasti jang sifatnja resmi tentang
kepentingan radja-radja baik kepentingan radjakula Sandjaja maupun
kepentingan radjakula Sailendra ditulis dalam bahasa Sansekerta.
Kiranja prasasti Karang Tengah itu harus ditafsirkan demikian djuga.
Bagian Djawa kunonja langsung mengenai tanah perdikan tjandi, jang
memerlukan kesaksian rakjat, sedangkan bagian Sansekertanja lang
sung mengenai peresmian bangunan tjandi makam, kepentingan chas
keluarga radja. Peresmian pembangunan lingga diatas gunung W ukir
oleh radja Sandjaja ditulis dalam bahasa Sansekerta, tetapi prasasti
Gata dan Tadji Gunung tentang soal tanah untuk pembangunan tjandi
Timbangan Wungkal ditulis dalam bahasa Djawa kuno. Kedua pra-'
sasti itu djelas menggunakan tarich Sandjajawarsa, ditulis oleh ke
turunan Sandjaja.
Pembebasan tanah demi pembangunan tjandi tidak mutlak dilaku
kan oleh radja, apalagi djika pembangunan tjandi itu demi kepentingan
keluarga radja. Dalam hal jang demikian maka rakjat sebenarnja jang
memberikan hadiah tanah kepada radja. Oleh karena itu rakjat harus
diberitahu dan untuk kerelaannja rakjat sekadar mendapat pepulih
berupa hadiah uang/barang atau ganti tanah. Djika pembebasan tanah
demi kepentingan bangunan umum sebagai hadiah radja, biasanja radja
jang melakukan pembebasan dengan kesaksian rakjat. Dalam soal
tanah perdikan pada prasasti Karang Tengah keluarga radja jang
mendapat keuntungan, karena rakjat menjerahkan tanahnja demi pem
bangunan tjandi Djinalaja. Oleh karena itu rakjat diikut-sertakan pada
prasasti jang bersangkutan, dikepalai oleh rakarayan Patapan. Pada
prasasti Tadji Gunung penjerahan tanah rakjat demi kepentingan
pembangunan tjandi Timbangan Wungkal dilakukan sri maharadja
Tunggawidjaja. Perintah pembebasan tanah diberikan oleh radja ke
161
pada rakryan mahamantri dan rakryan Gurun Wangi. Peresmian
pawikuan Timbangan W ungkal dilakukan oleh rakryan mahamantri
dan rakryan Gurun W angi. Djelas sekali disini bahwa gelar rakryan
atau rakarayan tidak semata-mata digunakan oleh radja bawahan.
Pada prasasti Kalasan gelar itu digunakan oleh Pantjapana Panang-
karan jang djuga bergelar sri maharadja. Demikianlah kiranja rakara
yan Patapan mpu Palar bukan radja. bawahan radja Sailendra Samara-
tungga, tetapi pembesar bawahan Samaratungga. Dialah jang diserahi
mengatur urusan penjerahan tanah rakjat demi kepentingan pemba
ngunan tjandi makam Djinalaja. Rakai Patapan tidak bisa diidentifi
kasikan dengan Samaratungga atau salahsatu radja dalam daftar pra
sasti Kedu, tidak bisa diidentifikasikan dengan rakai Garung. Seperti
kita ketahui nama jang mengikuti rakai adalah nama tempat atau
djabatan. Garung dan Patapan adalah dua tempat jang berlain-lainan.
Itulah sebabnja maka identifikasi rakai Garung dengan rakai Patapan
seperti jang dilakukan oleh Bosch dalam silsilah Qriwijaya, de Qai~
lendra - en de Sanjayawamga tidak dapat diterima.
Prasasti Karang Tengah bagian Sansekerta memberikan bahan se-
djarah jang berharga bagi pengetahuan tentang perkembangan radja-
kula Sailendra chususnja dan perkembangan sedjarah keradjaan Djawa
Tengah umumnja. Pertama-tama prasasti tersebut menjebut radja Sa
maratungga. Nama Samaratungga tidak kedapatan pada daftar silsilah
radja-radja Poh Pitu pada prasasti Kedu. Namun pada piagam Nalanda
jang dikeluarkan oleh radja Dewapala di Pataliputra atas permintaan
radja Suwarnadwipa Balaputradewa terdapat nama jang hampir serupa
jakni Samaragrawira. Kedua-duanja mulai dengan Samara. Hanja
bagian belakangnja jang berbeda. Jang satu berbunji: grawira, jang
satu lagi tungga. Oleh karena pada prasasti Nalanda itu dinjatakan
bahwa Samaragrawira adalah putera radja Djawa dari radjakula Sai
lendra, pembunuh musuh-musuh perwira, maka timbul dugaan bahwa
Samaragrawira pada prasasti Nalanda sama dengan Samaratungga
pada prasasti Karang Tengah. Aktivitas radja Samaratungga diarah-'
kan kepada pengembangan agama Buda. Radjakula Sailendra adalah
pemeluk agama Buda Mahayana, Demikianlah penjamaan antara Sa
maragrawira dan Samaratungga itu berdasarkan alasan jang kuat
sekali. Tentang penjamaan antara Samaratungga dan Samaragrawira
ini kita tangguhkan sampai kepada pembahasan prasasti Nalanda.
Tokoh kedua ialah Pramodawardhani jang dinjatakan sebagai puteri
Samaratungga. Aktivitasnja diarahkan kepada pembangunan Djinalaja.
De Casparis menduga bahwa peresmian tjandi makam Djinalaja itu
mempunjai hubungan dengan pentjandian radja Sailendra Dharanindra
jang disebut pada prasasti Kelurak dan dianggap sebagai nenek Pra-
162
modawardhani. De Casparis dalam Prasasti Indonesia I masih me-
njebut radja Sailendra pada prasasti Kelurak itu Indra sadja, tidak
Dharanindra. Oleh karena ada identifikasi antara S a m a rag raw ira dan
Samaratungga, sedangkan pada piagam Nalanda Samaragrawira di-
njatakan kawin dengan puteri Tara dari Somawangsa, maka dengan
sendirinja Pramodawardhani dianggap sebagai puteri Samaragrawira
jang lahir dari perkawinannja dengan Dewi Tara. Pramodawardhani
lalu mendjadi saudara perempuan Balaputradewa. Pembitjaraan tokoh
Pramodawardhani akan kita djumpai dalam pembahasan prasasti Na-
landa dan prasasti Balaputra - Djatiningrat serta pada prasasti gn
Kahulunan. Nama Pramodawardhani tersangkut dalam pembahasan
prasasti Djatiningrat, karena Pramodawardhani kawin dengan D jati
ningrat alias rakai Pikatan. Tersangkut dalam prasasti gri Kahulunan,
karena beliau adalah puteri jang mengeluarkan prasasti tersebut. Jang
agak menarik perhatian ialah bahwa pada piagam Karang Tengah itu
djuga disebut sepuluh tingkat ke-Buda-an jang kiranja djuga mem-
punjai hubungan dengan pembangunan tjandi Buda Barabudur. Ung
kapan-ungkapan jang tertjantum pada prasasti Karang Tengah sangat
menarik perhatian untuk mengetahui perkembangan adjaran agama
Buda Mahayana di Djawa Tengah.
Prasasti Sri Kahulunan dan Pramodawardhani
Prasasti Sri Kahulunan ((¡¡ri Kahulunan) berasal dari Magelang. Ti
dak diketahui asal mulanja diketemukan prasasti tersebut. Prasasti Sri
Kahulunan telah termuat dalam O.J.O. no. X V II dan ditranskripsikan
oleh Brandes. Ternjata bahwa baik pembatjaan tarich tahunnja ma
upun transkripsi teks kurang sempurna. Tarich tahunnja dibatja oleh
Brandes tahun Saka 884. Menurut batjaan de Casparis tarich tahunnja
jang benar ialah 764 atau tahun Masehi 842. Prasasti Sri Kahulunan
adalah prasasti persumpahan bertalian dengan pembebasan tanah
mendjadi sima atau tanah perdikan tjandi. Tanah itu disebut Sri
Kahulunan, oleh karena tanah tersebut mendjadi milik Sri Kahulunan.
Sri Kahulunan adalah gelar permaisuri radja. Keterangan ini didapat
oleh de Casparis dari analogi dengan gelar dalam Udyogaparwa se
bagai gelar Dewi Kunti. Judistira menjebut ibunja: Sri Kahulunan.
Demikianlah kata Kahulunan itu tidak berasal dari kata hulun jang
berarti: abdi. Dalam bahasa Djawa kuno sang hulun (B.Y. X X X V III)
berarti: tuan puteri; sinasanghulun: diakui sebagai tuan puteri.
Siapa sebenarnja puteri jang menjebut dirinja Sri Kahulunan itu,
de Casparis memberikan keterangan jang sangat menarik perhatian.
Analisa jang dibuatnja untuk mengidentifikasikan Sri Kahulunan itu
163
sangat mentakdjubkan. De Casparis berhasil membanding prasasti Sri
Kahulunan' itu dengan prasasti-prasasti pendek jang diketemukan di
tjandi Plaosan Lor. Pada prasasti-prasasti pendek dari Plaosan itu
kedapatan beberapa kali gelar Sri Kahulunan. Gelar Sri Kahulunan
terpahat pada tjandi ketjil deretan tengah no. 21 dan deretan dalam
no. 22. Dibelakang tjandi no. 21 terdapat rumah ketjil dalam deretan
luar no. 24 terdapat gelar terpahat jang berbunji dharmma....... raja.
Sudah pasti bahwa gelar jang lengkap ialah dharmma gri maharaja.
Pada tjandi-tjandi ketjil di Plaosan itu kedapatan 15 kali. Deretan
dalam berisi 50 tjandi, deretan tengah berisi 58 tjandi, dan deretan
luar berisi 66 tjandi.
Oleh karena dari literatur telah diketahui bahwa gelar Sri Kahulu
nan adalah gelar permaisuri, maka kesimpulannja ialah bahwa Sri Ka
hulunan jang terpahat pada tjandi no. 21 deretan tengah dan no. 22
deretan dalam adalah permaisuri sri maharadja jang terpahat 15 kali
itu. Nama jang terpahat pada tjandi no. 14 dan 15 deretan luar lebih
pandjang dari pada jang lain-lainnja. Nama itu bunjinja: gri maharaja
rakai Pikatan. Nama itu terang terdapat pada daftar silsilah radja-ra-
dja di Poh Pitu pada prasasti Kedu dan pada prasasti tjandi Perot
pada tahun 850. Demikianlah Sri Kahulunan adalah permaisuri sri
maharadja rakai Pikatan.
Dalam terbitannja Prasasti II hal. 280 — 330 de Casparis membahas
kakawin Djawa kuno dari tahun 856 dibawah djudul A metrical O ld
Javanese inscription dated 856. Pada 7 menguraikan bahwa sang radja
memeluk agama Siwa berbeda dengan sang permaisuri. Dari analisa
itu ternjata bahwa jang dimaksud dengan sang radja adalah rakai
Pikatan, jang dalam kakawin itu menjebut dirinja Djatiningrat.
Demikianlah dapat dipastikan bahwa rakai Pikatan kawin dengan
permaisuri dari wangsa Sailendra jang beragama Buda Mahayana.
Permasuri itu adalah Pramodawardhani, puteri radja Samaratungga,
jang namanja tertjatat pada piagam Karang Tengah. Sri Kahulunan
jang tertjatat pada piagam Sri Kahulunan dan terdapat di Magelang,
adalah puteri Pramodawardhani, jang pada prasasti Karang Tengah
membangun tjandi Djinalaja.
Prasasti Sri Kahulunan seperti telah disinggung diatas adalah pra
sasti persumpahan bertalian dengan pembebasan desa-desa di Kedu
Selatan untuk pembangunan tjandi dan didjadikan tanah milik sang
permaisuri alias Sri Kahulunan. Isi persumpahan itu termuat pada
achir prasasti dari baris 26 — 33, bunjinja seperti berikut: „Seperti
halnja dengan telur, djika telah dirusak tidak lagi dapat menetas, de
mikian pula barangsiapa merusak batu ini. Ia akan musnah. Djika ia
masuk hutan, semoga ditelan harimau: djika berdjalan diladang, se-
164
moga digigit ular; ....... djika kesungai, semoga dimakan buaja; .......
Demikianlah semoga musnah, barangsiapa jang berani merusak tanah
Sri Kahulunan.”
Jang sangat penting dari prasasti persumpahan itu ialah permulaan-
nja, karena permulaan prasasti itu menjebut batas tanah Sri Kahulu-
nan jang didjadikan tanah perdikan Kamulan Bhumisambhara. Jang
dibebaskan ialah desa Teru di Tepusan, sawah kanayakan, sawah
para petugas (winekas), ladang para kawula (penduduk). Jang di
serahi tugas melaksanakan ialah pembesar desa Rukap, bernama W i-
dya dan isterinja Mutra. Selandjutnja disebut pelbagai nama orang
lainnja jang ikut serta melaksanakan perintah Sri Kahulunan, beserta
desa tempat tinggalnja. Kemudian menjusul para saksi lengkap dengan
nama dan tempat tinggalnja. Mereka itu masing-masing menerima ha
diah jang berbeda-beda.
Penjebutan desa-desa itu penting untuk mengetahui dimana letaknja
tanah perdikan Sri Kahulunan jang didjadikan sima Kamulan Bhumi
sambhara. Bagaimanapun djuga desa-desa itu adalah desa tetangga
kedelapan kiblat dari tempat jang didjadikan pusat bangunan jang
didirikan di Kamulan Bhumisambhara. Kombinasi antara nama-nama
desa jang disebut pada prasasti Sri Kahulunan dan nama-nama de
sa jang disebut pada prasasti Kedu dapat menghasilkan keterangan
jang mendekati kenjataan mengenai letak desa-desa tersebut terhadap
desa jang didjadikan pusat. Prasasti Kedu menjebut 24 desa. Djika
24 desa itu terdapat dalam lingkungan jang berkiblat delapan, maka
setiap kiblat memuat 3 desa. Demikianlah terdapat tiga lapis desa dari
pusat. Jang mendjadi pusat adalah desa Mantyasih; setjara berturut-
turut kearah selatan menudju Kedu, Pamandajan lalu Tepusan. Nama
desa Tepusan terdapat pada prasasti Sri Kahulunan.
Prasasti Sri Kahulunan menjebut sima Kamulan Bhumisambhara.
Identifikasi dan lokalisasi Kamulan Bhumisambhara itu penting sekali
bertalian dengan adanja tjandi Barabudur didaerah Kedu Selatan.
Untuk dapat melokalisasikan Kamulan Bhumisambhara di Barabudur,
diperlukan banjak keterangan. Dalam hal ini de Casparis memberikan
keterangan tentang nama Barabudur dalam bukunja Prasasti Indone
sia I hal. 164- 170 dan keterangan tentang nama Kamulan dari hal.
170- 175. Setjara ringkas keterangannja seperti berikut:
a) Kamulan
Sudah djelas bahwa bangunan jang didirikan ditanah perdikan Sri
Kahulunan disebut Kamulan (Kamidan). Pokok katanja ialah mula
artinja: akar atau asal, permulaan. Bubuhannja ka~ dan ~an. Djadi
kata kamulan artinja: permulaan.
165
Kata kamulan digunakan pada: 1) Prasasti Siman dari Kediri (O.J.O.
X L V III) dalam hubungan: sang hyang dhatmma kamulan. Kata dharm-
ma disini berarti: tjandi makam. 2) Prasasti dari Singasari (O.J.O.
X X X V III) dalam hubungan mula kahyangan: permulaan kahyangan.
Gunung Wangkedi (Bromo) dianggap sebagai permulaan kahyangan.
3) Prasasti dari Malang (O.J.O. LI) dalam hubungan sawates lawan
kamulan Walandit-. berbatas dengan kamulan Walandit. Dewa Brah
ma dianggap sebagai dewa jang menguasai segala hasil perdikan di
Walandit. Batara Brahma biasa disebut swayambhu: lahir dari kekuat-
annja sendiri; mendjadi mula dari segala jang ada.
Tjandi makam di W alandit disebut sang hyang dharmma kabuyutan:
tjandi makam nenek-mojang. Disini kata buyut: mojang mempunjai
arti jang sama dengan mula. Kata kabuyutan — kamulan: kenenek-
mojangan.
Demikianlah pada bangunan sutji jang disebut kamulan: tersembunji
pengertian kenenek-mojangan. Artinja bahwa bangunan jang bersang
kutan digunakan sebagai tempat persembahan kepada nenek-mojang.
Nenek-mojang adalah asal manusia jang memberikan persembahan.
Berdasarkan pendapat itu maka Kamulan Bhumisambhara ditanah per
dikan Sri Kahulunan adalah tempat pemudjaan atau persembahan
nenek-mojang. Oleh karena Pramodawardhani adalah seorang puteri
pemeluk agama Buda dari wangsa Sailendra, maka boleh dipastikan
bahwa Kamulan Bhumisambhara adalah tempat pemudjaan nenek-
mojang radjakula Sailendra.
Tingkat untuk mentjapai kesempurnaan (ke-Buda-an) dalam sistem
agama Buda disebut bhumi. Tingkat jang tertinggi adalah tingkat ke
sepuluh. Djika orang sudah mentjapai tingkat itu, ia sudah mendjadi
Buda. Pada piagam Karang Tengah bagian Sansekerta tentang pem
bangunan Djinalaja Pramodawardhani berdoa, agar jang dimuliakan
mentjapai tingkat kesepuluh ke-Buda-an. Demikianlah Kamulan Bhumi
sambhara merupakan tempat pemudjaan nenek-mojang radjakula Sai
lendra, agar nenek-mojang jang dipudja ditempat itu berhasil mentjapai
ke-Buda-an.
b) Bhumisambhara
Telah disinggung dimuka, bahwa bhumi disini berarti tingkat atau
taraf untuk mentjapai ke-Buda-an. Dalam agama Buda tingkat itu ada
sepuluh. Tingkat kesepuluh adalah tingkat jang sempurna. Kata sam-
bhara berarti: timbunan. Demikianlah bhumisambhara berarti: timbunan
tingkat. Bangunan jang didirikan ditanah perdikan Sri Kahulunan jang
disebut Kamulan Bhumisambhara harus terdiri dari 10 tingkat.
166
Didaerah Kedu Selatan memang ada bangunan tjandi Buda jang
bertingkat-tingkat. Bangunan tjandi Buda itu disebut tjandi Barabudur.
Djumlah tingkatnja memang sepuluh. Demikianlah jang dimaksud de
ngan Kamulan Bhumisambhara pada prasasti Sri Kahulunan itu adalah
tjandi Buda jang hingga sekarang disebut tjandi Barabudur. Tjandi
Barabudur adalah tjandi pemudjaan nenek-mojang radjakula Sailendra.
Timbullah persoalan, mengapa tjandi Kamulan Bhumisambhara itu
disebut Barabudur. Nama Barabudur tidak dikenal pada prasasti Sri
Kahulunan. Baik prasasti Sri Kahulunan maupun prasasti Kedu me-
njebut nama-nama desa disekitar tanah perdikan Sri Kahulunan dan
Kedu Selatan. Namun diantara nama-nama desa itu tidak terdapat
desa jang bernama Budur. Bahwa kata baca pada nama Barabudur
berasal dari kata sambhara pada Bhumisambhara, tidak menimbulkan
kesulitan. De Casparis bertanja dari mana asal nama budur itu?
Persoalan nama Barabudur sudah lama mendapat perhatian para
sardjana baik dilingkungan sardjana Belanda maupun dilingkungan
sardjana Indonesia, djustru oleh karena didesa Barabudur itu terdapat
bangunan tjandi megah jang disebut tjandi Barabudur. Literatur ten
tang persoalan Barabudur telah disusun oleh Dr. W .F . Stutterheim
dalam bukunja: Tjandi Baraboedoer, naam, vocm en beteekenis pada
tahun 1929. Dalam buku itu dibahas persoalan nama, bentuk dan arti
tjandi Barabudur, dilengkapi dengan gambar. Persoalan nama terdapat
pada hal. 13-17.
Dalam pembahasan nama Barabudur terbitan Stutterheim ini dengan
sendirinja telah mendapat perhatian de Casparis. Tidak ada djeleknja
pendapat-pendapat itu sekali lagi dikemukakan disini. Pendapat jang
pertama dilontarkan oleh Prof. Purbatjaraka dalam konggres Taal-,
Land- en Volkenkunde van Java tahun 1919 di Surakarta. Ia menja-
makan kata bara pada nama Barabudur dengan kata wihara. Djadi
Barabudur ditafsirkan sebagai tempat bertegak wihara Budur. Ia ber
anggapan bahwa disekitar bangunan Barabudur dahulu terdapat ke
lompok wihara. Nama bara banjak terdapat disekitar gunung Menoreh.
Ada nama Bara Kidul. Dilihat dari djurusan perkembangan kata pen
dapat Prof. Purbatjaraka itu tidak dapat dipertahankan, karena kata
Sansekerta wihara dalam bahasa Djawa djuga terdapat dan dalam
bahasa Indonesa mendjadi biara. Bunji i pada wihara tetap dipertahan
kan. Satu-satunja kata Sansekerta jang dapat digunakan untuk mem
perkuat pendapatnja ialah kata wyoma: awan, dalam bahasa Djawa
kuno mendjadi boma. Dilihat dari segi bangunan pendapat itu lemah
sekali. Disekitar tjandi Barabudur tidak ada wihara dan tidak mungkin
pernah ada wihara. Pendapat jang kedua diberikan oleh murid Stutter
heim. Kata budur disamakan dengan kata Minangkabau budur berarti:
167
uitpuilen, opbollen; menondjol. Dalam bahasa Minangkabau bunjinja
bud.ua. Barabudur lalu diartikan wihara jang mendjulang atau wihara
diatas bukit. Tafsiran itu terang tidak kena. Stutterheim menguraikan
hubungan antara Sriwidjaja-dan Djawa untuk memperkuat pendapat
bahwa kata budur dari Minangkabau terbawa ke Djawa. Dalam bahasa
Djawa masih ada djuga kata bidur: perentul jang gatal; dalam sakit
biduren. Krom menundjukkan bahwa di Djawa Timur djuga ada desa
jang bernama Budur. Pokoknja keterangan jang diberikan tidak me
muaskan. Djuga Stutterheim menganggap bahwa kata bara berasal
dari kata wihara. W ihara itu dibuat dari kaju, lambat-laun rusak, lalu
lenjap.
Pendapat Stutterheim itu dikemukakan berhubung dengan keberatan-
keberatan Krom terhadap pendapat Purbatjaraka jang menjamakan kata
wihara dan bara pada kata Barabudur. Dari penelitian prasasti Sri
Kahulunan terbukti bahwa kata bara pada nama Barabudur tidak ber
hubungan dengan wihara tetapi dengan sambhara: timbunan. Dalam
rangka ini de Casparis mentjari makna kata Budur. Telah disinggung
pula dimuka bahwa kata bhumi adalah tingkat untuk mentjapai ke-Buda-
an. Tingkat jang djumlahnja 10 itu merupakan bukit. Dalam bahasa
Sansekerta ada kata bhudhara artinja: bukit. Demikianlah de Casparis
menganggap bahwa nama aslinja ialah Bhumisambharabhudhara:
artinja: gunung timbunan tingkatan (untuk mentjapai ke-Buda-an).
Untuk memperkuat pendapatnja dikemukakan bahwa kata bhudhara
itu dapat berubah mendjadi budur. Sebagai analogi diutarakan kata
swara jang dapat mendjadi suwur melalui tingkat suwara.
Kata Bhumisambharabhudhara dapat mempunjai paling sedikit tiga
arti:
a) sebagai istilah didalam agama Buda Mahayana berarti: gunung
untuk mentjapai kesempurnaan melalui Bodhisattwa jang terdiri
dari 10 tingkat.
b) ditindjau dari segi arsitektur berarti: gunung jang bertipgkat-
tingkat.
c) arti umum: radja (bhudhara) daripada timbunan (sambhara) tanah
(bhumi). Dalam arti jang terachir ini bhumisambhara menerangkan
kata bhudhara, djadi pada hakekatnja pleonasme; sinonim dari kata
gaila dan bhudhara.
Djadi mempunjai hubungan dengan gailzndra.
Dalam resensinja tentang Prasasti Indonesia I, termuat dalam B.K.I..
108 tahun 1952 F.D.K. Bosch menjinggung hipotese de Casparis ten
tang nama Bhumisambharabhudhara. Pokoknja ia meragukan hipotese
168
tersebut dan menjerahkan soal perubahan bunji kata bhudhara men-
djadi budur kepada orang jang lebih tahu.
Dalam madjalah Bahasa dan Budaja no. 1 tahun 1952 saja djuga
meragukan hipotese de Casparis itu. Keberatan saja terutama mengenai
perubahan bunji kata bhudhara mendjadi budur, dengan mengambil
analogi perubahan kata swara mendjadi suwur melalui suwara. Kata
Djawa suwur tidak mempunjai hubungan asal dengan kata swara; kata
suwur mempunjai hubungan asal dengan kata Arab/Melaju mashur.
Keberatan jang kedua ialah tambahan kata bhudhara. Nama jang ter-
batja pada prasasti Sri Kahulunan ialah Kamulan Bhumisambhara.
Itulah kiranja nama lengkapnja sedjak semula. Nama jang terlalu pan-
djang itu dalam pemakaian bahasa biasa disingkat. Jang dihidupkan
ialah kata bara, singkatan dari sambhara. Sudah pasti bahwa penduduk
desa disekitar Kamulan Bhumisambhara tahu, bahwa tempat itu adalah
tempat pemudjaan nenek-mojang. Tetapi oleh karena kamulan dan
bhumi sudah lama hilang dari pemakaian bahasa, tidak diingat lagi
oleh penduduk desa disekitarnja kemudian hari. Desa jang bernama
bara disekitar gunung Menoreh ada beberapa, misalnja Bara Kulon,
Bara Kidul, Bara Kali Bawang. Untuk membedakan desa bara tempat
tjandi itu dari desa-desa bara lainnja, perlu didjelaskan. Pendjelasan
itu sesuai dengan sifat atau watak tjandi jang terdapat disitu. Nama-
nja jang asli ialah Kamulan: pemudjaan terhadap nenek-mojang. Di-
dalam bahasa Djawa Tengahan dan Djawa Baru kata Kamulan dengan
arti: tempat pemudjaan arwah nenek-mojang tidak lagi dikenal oleh
rakjat umum. Arwah nenek-mojang dalam bahasa Djawa adalah leluhur
atau leluwur. Djelas bahwa kata leluhur berasal dari kata ruhur atau
duhur (duwur). Djadi leluhur adalah orang jang sudah dimuliakan.
Tempatnja ruhur atau duwur. Pada prasasti Kedu Balitung menjebut
para radja di Poh Pitu: rahyang rumuhun: para orang terhormat jang
telah mendahului, jang telah marhum. Arwah leluhur itu mempunjai
tempat jang tinggi alias duwur, duhur. Kiranja nama Barabudur itu
terdjadi dari kombinasi antara dua unsur itu jakni unsur sambhara dan
unsur leluhur. Kata duhur mendapat awalan ba(be) mendjadi baduhur,
baduwur — budur, karena bunji a atau e terdesak oleh bunji u. Kata
Sunda heula artinja: muka; ti heula atau ti pajun: dimuka, dahulu,
baheula: zaman jang sudah mendahului, dahulu, zaman dahulu. Di
Bali ada nama Badahulu, sekarang mendjadi Bedulu. Awalan ba (be,
bu) dengan pengertian memiliki sifat, terdapat pada beberapa kata.
Misalnja kata buntut: ekor; memiliki sifat tut. Dalam bahasa Djawa
kuno artinja: barisan belakang. Banding dengan kata menuntut; ider:
edar; mider: berkeliling; bunder: bulat; bundar; mingkem: menutup;
bungkem: tertutup, bungkam; tugel: putus, terpotong; nugel: memotong;
169
bugel: sepotong kaju jang sebagian telah dimakan api, puntung kaju,
Demikianlah nama Barabudur artinja sama sadja dengan Kamulan
Bhumisambhara.Bertalian dengan kenjataan bahwa Tjandi Barabudur pada hake-
katnja adalah tjandi kamulan atau tempat pemudjaan arwah nenek-
mojang radja-radja Sailendra, jang dibangun oleh Pramodawardhani,
maka de Casparis mengambil kesimpulan bahwa arwah nenek-mojang
radja-radja Sailendra jang mendjadi pendiri radjakula Sailendra ha
rus ditempatkan ditempat jang paling tinggi. Pendiri radjakula Sai
lendra adalah Indra jang tersebut pada prasasti Kelurak (menurut
batjaan Coedes adalah Dharanindra). Dharanindra sebagai pendiri
radjakula Sailendra jang berarti „Dewa gunung” diwudjudkan de
ngan artja pada puntjak tjandi Barabudur. Demikianlah artja Buda
dipuntjak Barabudur, jang sangat kasar dan sangat djelek pahatannja,
adalah artja Dharanindra pada saat ia mentjapai ke-Buda-an jakni
pada saat ia melepaskan klega atau kotoran jang penghabisan. Pada
saat itu ia mentjapai tingkat jang tertinggi. Hanja dengan wajva
klega jang terachir itu dapat berhasil dibersihkan. Jang mempunjai
wajra ialah Aksobhya. Demikianlah artja Buda dipuntjak tjandi Bara
budur adalah artja Aksobhaya dalam samadi jang disebut wajropama-
samadhi jakni samadi untuk menghilangkan klega jang terachir. Dalam
wajropamasamadhi itu orang sedang dalam mentjapai tingkat ke-Buda-
an jang tertinggi, namun belum merupakan Buda jang sempurna. Ting
katan itu baru tertjapai, setelah klega jang terachir berhasil disingkirkan
dengan wajra. Itulah sebabnja maka bentuk artja Buda pada tingkat
jang paling tinggi ditjandi Barabudur tidak sempurna.
Pada prasasti Karang Tengah tahun 824 Pramodawardhani me
resmikan bangunan Djinalaja dan berdoa agar jang dimuliakan men
tjapai tingkat ke-Buda-an jang kesepuluh. Kiranja pada waktu itu dju-
ga tjandi Barabudur diresmikan Prasasti Sri Kahulunan dari tahun
842 menjatakan, bahwa Kamulan Bhumisambhara pada waktu itu
telah berdiri. Demikianlah tarich pembangunan tjandi Barabudur itu
kira-kira tahun 824. Dengan sendirinja timbul pertanjaan dimana dje-
nazah Dharanindra atau pendiri 'Sailendrawangsa itu dimakamkan.
Dalam hal ini de Casparis menghubungkan tjandi Barabudur dengan
tjandi Pawon, jang terletak IV2 km disebelah timur tjandi Barabudur.
Sudah sedjak lama tjandi Pawon dianggap sebagai tjandi pendahuluan
Barabudur; dimaksud supaja para peziarah ketjandi Barabudur mem
persiapkan diri ditjandi Pawon, sebelum mengindjak Kamulan Bhumi
sambhara. Anggapan itu timbulnja, karena orang memandang tjandi
Barabudur jang berupa stupa sebagai „Leuchtturm des Bhuddhismus” .
Pandangan itu harus dikoreksi. Tjandi Pawon memang merupakan
170
tjandi pendahuluan tetapi tidak diperuntukkan bagi para peziarah,
melainkan untuk radja pendiri radjakula Sailendra Dharanindra, jang
dimakamkan disitu, supaja kemudian hari dapat mendaki tingkat ke-
Bodhisattwa-an. Tjandi Pawon adalah tjandi makam atau dharmma
Kamulan. Namanja itu sendiri sebenarnja sudah menundjukkan bahwa
tjandi Pawon adalah dharmma kamulan atau dharmma kabuyutan:
pawon berarti: perabuan; dari pa-awu-an. Dalam bahasa Djawa Baru
pawon berarti: dapur. Arti itu masih tjotjok dengan artinja jang asli.
Dalam kerangka pemudjaan terhadap arwah nenek-mojang adanja
dharmma kamulan memang tjotjok sekali. Tetapi tidak dalam rangka
sepuluh Bodhisattwabhumi. Untuk mengetahui kedudukan tjandi Pa-
won dalam sistem Bodhisattwabhumi harus diingatkan adanja taraf
persiapan dalam sistem Bodhisattwabhumi. Dalam sistem Abhisamaya-
lamkara ada dua taraf persiapan jakni sambharamarga dan prayoga-
marga, sebelum orang mulai mengindjak bodhisattwabhumi jang paling
rendah.
Kedua taraf persiapan itu berwatak keduniaan, disebut laukika, se
dangkan taraf bodhisattwa disebut lokottara. Oleh karena tjandi Pawon
terletak tepat dibawah bodhisattwabhumi atau taraf ke-bodhisattwa-an,
maka tjandi Pawon mempunjai fungsi prayogamarga jakni persiapan
jang terachir (jang kedua). Dengan sendirinja timbul pertanjaan, ma
nakah jang merupakan persiapan pertama atau sambharamarga? Dja-
wabnja ialah: tjandi Mendut jang terletak disebelah barat dan meng
hadap kearah barat daja, berbalikan dengan arah tjandi Barabudur.
Pada piagam Karang Tengah djelas dinjatakan bahwa tjandi Djina-
laja itu disebut Wenuwana artinja: hutan bambu. Nama wenuwana
adalah tempat Buda Sakyamuni mengadjar untuk pertama kalinja.
Bagaimanapun artja utama tjandi Djinalaja Wenuwana harus artja
Buda dalam dharmacakratnudra. Tjandi Wenuwana melukiskan do
ngeng binatang. Lukisan dongeng binatang itu memang terdapat pada
tjandi Mendut. Relief balustrade kaki tjandi menggambarkan cakra
diantara dua rusa. Demikianlah tjandi Djinalaja Wenuwana jang di
sebut pada prasasti Karang Tengah adalah tjandi Mendut. Tjandi
Mendut terletak disebelah barat tjandi Pawon dan merupakan taraf
persiapan jang disebut sambharamarga.
Inti adjaran Buda Sakyamuni jang disebut dharmacakrapawartana
ialah bodhicittapada. Adapun jang dimaksud dengan bodhicittapada
ialah keinginan untuk mentjapai ke-Buda-an tidak demi kepentingan
diri sendiri dahulu, tetapi demi pembebasan orang-orang lain dari sam-
sara. Itulah pokok adjaran agama Buda Mahayana. Bodhicittapada
termasuk kerangka sambharamarga. Demikianlah baik nama W enu
wana maupun adjarannja jang disebut dharmacakrapawartana sesuai
171
dengan keadaan Tjandi Mendut. Satu hal lagi jang penting untuk
disebut ialah pengertian gotra sebagai unsur sambharamarga. Dalam
agama Buda Mahayana gotra merupakan unsur jang sangat penting.
Gotra berarti kekeluargaan dalam keagamaan demi kesutjian. Djuga
pengertian gotra itu ditjamkan dalam pemudjaan nenek-mojang, tetapi
tidak chusus dalam arti keagamaan melainkan dalam arti kekeluargaan,
keturunan. Demikianlah pada radjakula gailendra pengertian pemu
djaan nenek-mojang itu dipersatukan dengan pengertian keagamaan
Buda Mahayana. Tiap radja masuk sebagai anggota aryasantati. Hal
ini merupakan hipotese baru jang bertalian dengan panil Bodhisattwa
pada dinding luar tjandi Mendut, jang berdjumlah 11.
Delapan panil memuat lukisan bodhisattawa, dua panil besar me
muat lukisan dewi Tara dan satu memuat Awalokitegwara. Djika Awa-
lokitegwara diikut-sertakan dalam kerangka Buda Mahayana gailendra,
maka djumlahnja ada 9. Djumlah Bodhisattwa 9 adalah djanggal da
lam agama Buda Mahayana. Tambahan 2 lukisan dewi Tara djuga
djanggal. Djumlah 9 itu harus ditafsirkan dalam kerangka: pemudjaan
nenek-mojang radjakula Sailendra. Teras tertinggi tjandi Barabudur
diperuntukkan bagi pendiri radjakula Sailendra, teras kaki diperun
tukkan bagi Dharanindra setelah selesai mendjalani prayomarga, meng-
indjak bhumi jang terendah. Sepuluh teras tjandi Barabudur diperuntuk
kan bagi 10 mojang pendiri tjandi Barabudur jakni Samaratungga. Dja-
di sebelum Samaratungga telah ada 10 mojang jang mendjadi radja.
Sebelum Dharanindra (ajah Samaratungga), jang mendirikan tjandi
Mendut, hanja ada 9 mojang. Sembilan mojang itulah jang diwudjud-
kan 9 bodhisattwa. Dua Tara itu kiranja dua orang permaisuri radja
Sailendra jang berasal dari seberang lautan. Untuk pembuktiannja
tidak ada tjukup bahan. Demikian de Casparis.
Prasasti Gandasuli dan Dang Karayan Partapan
Prasasti Gandasuli diketemukan di Gandasuli dekat Temanggung,
dimuat dalam O.J.O. C V dan telah dibahas oleh de Casparis dalam
Prasasti Indonesia I. Prasasti Gandasuli seperti prasasti-prasasti lain-
nja mulai dengan manggalacarana namaggiwaya. Ini berarti bahwa
prasasti Gandasuli bukan dikeluarkan oleh radja dari radjakula Sai
lendra jang memeluk agama Buda Mahayana, tetapi oleh pemeluk
agama Siwa. Setelah manggalacarana Prasasti segera mulai dengan
pudjaan kepada Dang Karayan Partapan Ratnamahegwara Sida Busu
Pelar. Isinja:
Semua orang dari empat pendjuru telah mendengar bahwa Dang
Karayan Ratnamahegwara Sida Busu Pelar adalah orang utama jang
172
telah banjak berdjasa. Isterinja bernama Busu .djuga. Ibu JDang Kara-
yan Partapan bernama Djantakabbi, ibu isterinja bernama Panuahan.
Kedua orang tua itu masing-masing mendjaga puteranja. Adik mpu
Palar bernama Busu Tarba; dua iparnja bernama Busu Badjra dan
Busu Uttara. Saudara sepupunja bernama Busu Tarai dan Busu Dan-
dai. Ipar isterinja bernama Busu Huwuriyan. Pamannja jang bernama
W isnuwrata diserahi djabatan nayaka untuk mengurus daerah Bunut;
iparnja jang bernama Busu Pandarangan didjadikan nayaka untuk
mengurus daerah Kahuluan. Anak-anaknja bernama: Sida Busu Putih,
Tedjah Pahit, Swasta, Pagar Wesi dan Awak Indu. Mereka itu semua-
nja perempuan.
Semua anak perempuan itu merupakan kekajaan dan kekuasaan
Dang Karayan Partapan. Ia sangat gembira, rezekinja berlimpah-
limpah. W ilajahnja terdjaga. Semua penduduk desa dari timur, selatan, -
barat dan utara memudji kebidjaksanaan Dang Karayan Partapan.
Disitu ada Dang Artjarya Dhalawa, seorang sthapaka jang sangat
mahir (pembuat bangunan); bapuh munda Dang Karayan Siwardjita,
nayaka di Prang Kapulang. Semua orang bawahannja mahir memba
ngun tjandi makam jang sangat bagus lagi berguna. Mereka membuat
artja sang hadji (radja) disebelah utara prasada Sang hyang Win-
tang; tjandi makam itu dibuat bagus dan disertai tanah: Tanah Bunga
tiga barih; Pragaluh tiga lattir; Tina Ayun empat lattir; W unut tiga
lattir; Pawidjahan dua lattir; Kaywara Mandir dua lattir; W angur
Baharu satu lattir; Mundu dua lattir; Kakalyan satu lattir; Tarukan
satu lattir. Ukuran tanah jang dapat ditanami di Tanah Bunga selu-
ruhnja ada empatpuluh satu lattir.
Partakkan (saksi?): di Walunuh mpu Posuh; di Pragaluh isteri War-
patih, bernama Manulu; djuga nayaka Kyubungan pembantu Warpatih,
bernama pu Lihasin; nayaka di Mantyasih bernama Dapunta Marhy-
ang Jnanatatwa.
Demikianlah isi prasasti Gandasuli. Tidak mudah untuk menterdje-
mahkan prasasti tersebut. Banjak hal-hal jang masih agak gelap. Na
mun maksudnja kiranja dapat ditangkap. Prasasti Gandasuli ditulis
dalam bahasa Djawa kuno bertjampur aduk dengan bahasa Melaju
Sriwidjaja. Hal itu mengingatkan bahwa pemahat prasasti tersebut
mungkin berasal dari seberang lautan, mungkin dari wilajah Sriwidjaja.
Tidak perlu disini kita membitjarakan soal bahasa jang bertjampur
aduk itu setjara terperintji. Jang pokok ialah mengetahui sekadar isinja.
agar djangan sampai salah tafsir. Bahasanja memang penuh dengan
kata-kata Sriwidjaja, hampir serupa dengan prasasti Talang Tuwo.
Nama mpu Pelar telah dikenal pada prasasti Karang Tengah. Dialah
jang mengeluarkan prasasti Karang Tengah bagian Djawa kuno dengan
173
sebutan Karayan Partapan. D jika bahasa prasasti Gandasuli dan pra
sasti Karang Tengah bagian D jawa kuno dibanding-bandingkan, beda-
nja sangat besar. Prasasti Karang Tengah jang bersangkutan bahasa
D jawa kunonja lebih rapi. Prasasti itu terang dikeluarkan oleh Karayan
Partapan mpu Pelar. Kiranja prasasti Gandasuli dikeluarkan oleh orang
lain, jang berasal dari seberang lautan. Pendapat ini berlainan dengan
apa jang dikemukakan oleh de Casparis.
Dibelakang manggalacarana terdapat tjandrasangkala jang terdjalin
dalam kalimat; tidak segera dapat diketahui. Tjandrasangkala itu ber
hasil diketahui oleh de Casparis. Bunjinja sahinga alas partapan: sege
nap arah (batas) hutan pertapaan. Kata-kata itu masing-masing me
wakili angka: 4, 5 dan 7; djadi mewakili tahun 754 atau tahun Masehi
732. Dengan kata lain prasasti Gandasuli dikeluarkan 8 tahun sesudah
prasasti Karang Tengah.
Tokoh D ang Karayan Partapan
Tokoh Dang Karayan Partapan sangat menarik perhatian de Cas
paris. Pada Prasasti Karang Tengah hanja disebut Karayan Partapan
mpu Palar. Pada prasasti Gandasuli nama lengkapnja disebut jakni Dang
Karayan Partapan Ratnamaheçwara Sida Busu Pelar. Nama Palar
dan Pelar hanja berbeda ortografinja, namun tokohnja sama tepat.
Gelar dang ditambahkan pada gelar karayaw, sama dengan gelar raka-
rayan pada prasasti Karang Tengah. Gelar itu disamakan dengan
gelar karyâna pada prasasti Kalasan, jang diperuntukkan bagi Pantja-
pana Panangkaran. Pada prasasti Kalasan Pantjapana sekali bergelar
maharadja, satu kali bergelar karyâna. Oleh karena itu gelar maha-
radja disamakan dengan gelar karyâna, sama dengan gelar rakarayan,
sama dengan gelar dang karayan. Pada baris 8 terdapat kata râjya:
keradjaan. Baik isterinja maupun anggota keluarganja bergelar busu
dan banjak jang mempunjai kedudukan jang tinggi-tinggi seperti na-
yaka. Kesimpulan jang diambil oleh de Casparis ialah bahwa Dang
Karayan Partapan mpu Palar adalah radja. Djika 8 tahun sebelumnja
ia masih ada dibawah kekuasaan radja Sailendra Samaratungga, maka
pada tahun 832 ia telah membebaskan diri dari kekuasaan Sailendra.
Terhadap kesimpulan de Casparis itu ada djuga keberatan-keberat-
annja. Pertama mengenai sebutan dang karayan atau rakarayan. Pada
prasasti Gandasuli itu djuga kedapatan orang lain jang bergelar dang
karayan jakni Siwardjita, nayaka di Prang Kapulang. Pada prasasti
Gata dan Tadji Gunung dari tahun 771 dan 772 gelar karayan atau
rakryan djuga digunakan oleh para mahamantri dan rakryan Gurun
W ang i. Sesudah tahun 850 banjak lagi pembesar jang bergelar rakryan
174
atau karayan atau rakarayan, namun pembesar itu bukan radja, bukan
maharadja. Demikianlah ada keberatan untuk menjamakan gelar dang
karayan dan rakarayan dengan maharadja.
Kata cajya jang terdapat pada baris 8 memang berarti: keradjaan.
Adanja keradjaan pada prasasti Gandasuli tidak dapat didjadikan
alasan untuk menetapkan, bahwa mpu Palar telah melepaskan diri
dari kekuasaan Sailendra dan mendirikan keradjaan sendiri. Hal ini
bertalian dengan sifat prasasti. Prasasti Gandasuli dianggap seolah-
olah proklamasi kemerdekaan dari pendjadjahan radjakula Sailendra.
Menurut pendapat saja tidak demikian. Prasasti Gandasuli adalah pra
sasti pertjandian. Jang ditjandikan ialah Dang Karayan Partapan. Oleh
karena itu segala sifat dan djasa Dang Karayan Partapan disebut
paling muka. Prasasti Gandasuli adalah prasasti pertjandian jang me-
mudja kebesaran jang ditjandikan. W atak pertjandian itu djelas di-
njatakan pada baris sepuluh dan seterusnja. Pada tjandi makam itu
disertakan perdikan desa atau tanah (sawah) seperti dinjatakan pada
baris-baris berikutnja. Ternjata bahwa Dang Karayan Partapan tidak
mendjadi radja jang berdiri sendiri, tetapi pembesar bawahan bergelar
haji (baris 11). Disitu disebutkan hyang haji. Dengan sendirinja ia
mempunjai wilajah dan kekuasaan jang besar. W ilajahnja lalu disebut
rajya: keradjaan: lebih tepat dikatakan ke-hadji-ati, namun bentuk
kata itu tidak ada dalam bahasa Djawa kuno. Gelar haji terang lebih
rendah daripada gelar pri maharaja. Haji mempunjai kekuasaan dan
wilajah jan^f sangat luas.
Bertalian dengan watak prasasti itu maka djelas bahwa prasasti
Gandasuli tidak dikeluarkan oleh Dang Karayan itu sendiri, tetapi oleh
orang lain jang berasal dari seberang lautan. Terbukti bahwa sanak-
saudara Dang Karayan Partapan kebanjakan mempunjai gelar busu.
Gelar busu tidak dikenal di Djawa, tidak dikenal pada prasasti-prasasti
Djawa kuno lainnja. Kiranja pembuat prasasti itu djuga salah seorang
anggota keluarganja. Dang Karayan Partapan meninggal dalam ke
dudukan sebagai haji antara tahun 824 (pengeluaran prasasti Karang
Tengah) dan tahun 832 (pentjandian Dang Karayan pada prasasti
Gandasuli).
Kiranja prasasti Gandasuli ini menjingkapkan hubungan antara Sri-
widjaja dan Djawa Tengah dalam abad 8 sebelum penjingkiran Bala-
putra ke Sriwidjaja. Terbukti bahwa radja Sailendra Samaratungga
mengangkat orang dari seberang lautan mendjadi haji, suatu kedudukan
jang sangat tinggi. Peristiwa itu hanja mungkin, kalau Sriwidjaja dan
Djawa Tengah berada dalam hubungan jang baik. Kiranja Sriwidjaja
dan Djawa Tengah pada waktu itu sudah ada dibawah kekuasaan
jang sama, jakni dibawah kekuasaan radjakula Sailendra. Prasasti
175
I
Ligor B telah djelas menjatakan bahwa Ligor ada dibawah kekuasaan
radja Sailendra. Djika identifikasi antara radja W isnu dan Dhara-
nindra itu benar, maka Sriwidjaja sudah ada dibawah kekuasaan radja
Sailendra antara tahun 775 (pengeluaran prasasti Ligor A oleh radja
Sriwidjaja) dan 787 (serangan tentara Djawa terhadap Tjampa). Hi-
potese ini memberikan pemetjahan persoalan, mengapa Balaputra sete
lah menjingkir dari Djawa segera dapat mendjadi radja di Sriwidjaja.
Perlu ditambahkan disini bahwa Dang Karayan Sida Busu Palar
tidak terdapat pada silsilah radja-radja di Poh Pitu seperti tertjatat
pada prasasti Kedu. Apa jang kita ketahui dari prasasti Karang Te
ngah ialah bahwa rakarayan mpu Palar adalah pembesar bawahan
radja Samaratungga. Dari prasasti Gandasuli kita ketahui bahwa Dang
Karayan Partapan mpu Palar adalah seorang pembesar jang bergelar
haji, bukan seorang radja jang bergelar maharadja. Itulah sebabnja
maka namanja tidak disebut pada silsilah radja-radja di Poh Pitu. Jang
tersebut pada silsilah radja-radja di Poh Pitu diantaranja ialah sri
maharadja rakai Garung. Tentang rakai Garung tidak banjak diketahui
dari prasasti. Salah satu prasasti jang menjebut rakai Garung ialah
prasasti Pengging. Disitu disebut rakarayan i Garung. Penting untuk
diketahui bahwa prasasti Pengging dikeluarkan oleh rakarayan i Ga-
rung pada tahun 819, lima tahun lebih tua daripada prasasti Karang
Tengah. Pada prasasti Kedu jang disebut ,Jayapattra-Dieduksman”
(T.B.G. X X X II tahun 1899 hal. 98 dan seterusnja) disebut bahwa desa
Guntur termasuk wilajah wihara Garung. Pada prasasti Kedu disebut
pula bahwa desa Kagunturan termasuk bawahan Patapan. Atas dasar
itu maka de Casparis mentjoba untuk mengidentifikan rakarayan Pata
pan dengan rakai Garung.
Oleh karena Dang Karayan Partapan wafat sebagai haji tidaklah
mungkin untuk mengidentifikasikannja dengan rakai Garung jang ber
gelar sri maharadja. Dengan siapa sri maharadja rakai Garung itu lalu
akan diidentifikasikan? Djika kita ingin mengidentifikasikannja, sudah
pasti bahwa sri maharadja rakai Garung harus diidentifikasikan de
ngan radja jang pasti bergelar maharadja. Jang pasti bergelar sri ma
haradja pada zaman permulaan abad 9 ialah Samaratungga dari radja-
kula Sailendra seperti dikenal pada prasasti Karang Tengah bagian
Sansekerta. Djelas bahwa rakai Garung hidup pada zaman itu, karena
beliau mengeluarkan prasasti Pengging pada tahun 819. Lima tahun
kemudian Samaratungga mengeluarkan prasasti Karang Tengah ten
tang peresmian tjandi makam Djinalaja. Djadi rakai Garung hidup
sezaman dengan Samaratungga. Nama Samaratungga tidak dikenal
pada piagam Kedu, karena piagam Kedu hanja menjebut gelar sri ma
haradja dan gelar rakai jang diikuti oleh nama tempat. Hingga sekarang
176
desa Garung itu masih ada, terletak didaerah Wanasaba, keresidenan
Kedu (O .J.O . V II) . Menurut anggapan saja nama Samaratungga ada
lah nama pribadi (mungkin djuga nama abhiseka) rakai Garung. Ber
dasarkan djalan pikiran ini rakai Garung adalah radja Poh Pitu dari
radjakula Sailendra.
Djalan pikiran diatas bertentangan dengan djalan pikiran de Cas-
paris. De Casparis ingin melihat garis batas jang tegas antara radja
kula Sandjaja dan radjakula Sailendra. Semua radja jang disebut pada
silsilah Balitung pada prasasti Kedu dianggap sebagai keturunan ratu
Sandjaja, rakai Mataram. Silsilah itu mulai dengan rakai Mataram,
sang ratu Sandjaja. Semua radja jang disebut disitu menggunakan
sebutan rakai jang diikuti oleh nama tempat. Sebutan rakai dengan
segala bentuk perubahannja seperti karayan, rakarayan, dang karayan,
rakryan, karyana adalah monopoli keturunan Sandjaja. Keturunan
radjakula Sailendra tidak menggunakan gelar rakai. Mereka itu meng
gunakan unsur nama tungga atau uttungga jang berarti: puntjak atau
gunung. Nama itu tjotjok dengan arti gailendra alias „radja gunung” .
Samaratungga menggunakan unsur nama tangga, djadi menurut de
Casparis tidak mungkin bergelar rakai; keturunan Sailendra. Panang-
karan dan Garung bergelar rakai, djadi mereka adalah keturunan
Sandjaja, tidak mungkin termasuk dalam radjakula Sailendra.'.
Timbulnja pendapat jang demikian disebabkan karena adanja nama
Dharmatungga pada prasasti Ratu Baka jang seumur dengan prasasti
Kalasan/Kelurak. Prasasti Karang Tengah dikeluarkan oleh radja jang
menggunakan unsur nama tungga jakni Samaratungga. Apa jang di-
kemukakan oleh de Casparis sebenarnja logis, namun alasan-alasan
jang dipakai sebagai dasar hipotese itu menghendaki penelitian lebih
tjermat lagi. Dari nama-nama radja Sailendra hanja terdapat beberapa
sadja jang memuat unsur tungga jakni Dharmatungga (dari prasasti
Ratu Baka), Samaratungga (dari prasasti Karang Tengah) dan Mara-
widjatunggawarman (dari Larger Leyden Plates). Lainnja tidak meng
gunakan unsur nama tungga seperti Dharanindra Sanggramadhanan-
djaja (dari prasasti Kelurak), Balaputradewa (dari prasasti Nalanda),
Cudamaniwarman (dari prasasti Larger Leyden Plates). Kita tidak
menjebut nama Pantjapana Panangkaran, karena tokoh ini masih di
ragukan. Sebaliknja banjak lagi nama abhiseka radja-radja jang meng
gunakan unsur tungga tanpa ada hubungannja dengan radjakula Sai
lendra. Mereka itu bahkan keturunan rakai Pikatan, jang djelas
menganut agama Siwa dan rupanja djuga keturunan Sandjaja. Misalnja
Sri Sadjanotsawatungga (rakai Kajuwangi), Sri Iswarakeswarasama-
rottungga (Balitung), Sri Sajanasnamatanuragatungga (Tulodong),
Sriwidjajaloka Namottungga (dyah W aw a) dsb. Radja-radja ini
177
hidupnja kemudian daripada S a m a r a t u n g g a . Sekarang kita ment,ari
«T to h lain jang lebih tua daripada prasasti Karang Tengah dan pra
sasti Kelurak. Prasasti Gata terang lebih tua daripada prasast. Ke
lurak dan Karang Tengah, dan d)elasbertarich tahun 771. Radja jang mengeluarkan prasasti Gata djelas 7 karena prasasti tersebut menggunakanketurunan radjakula Sandjaja, Ka v . Dak-tarich Sandjaja. Radja itu bergelar sri maharadja dan bernama Dak-tancn o j j (tunq)gawidjaja. Namanja meng-
sottamaba u a jra ....... tiitinan itu djelas sekali bahwa unsurounakan unsur tungga. D an kutipan itu ajeinama tangga pada achir abad kedelapan bukan monopoh radjakula
Sailendra Djuga keturunan Sandjaja menggunakan unsur nama tunggz.
Seperti telah saja singgung dimuka k i r a n j a ungkapan r.hyzng runrn-
hun ri Poh Pita pada piagam Kedu jang dhkut, oleh delapan radjanun ron v berqelar sri maharadja ketjuali Sandjajadengan sebutan ra keturunan radja Sandjaja sadja, tetapitidak mutlak harus d,t,»fsirkan k « “™ “ ' pUa ba|k telunraaPn
tiap radja jang perna Kekuasaan bertalian erat de-Sandjaja maupun keturunan Sailend^ ^ ^ ^ ^ ^
ngan kekuatan. K n iika unqkapan prasasti Kedu itu di-
berusaha merebut ^ ^ k o t a k radjakula Sandjaja dan kotak radja-
tafsirkan demikian h_ Adakalanja radjakula Sandjaja jang
kula Sailendra tida P Sailendra jang memegang pimpinan,berkuasa, adakalanja ra j
Jang kalah mendjadi ^ av a , ag prasasti Nalanda dan prasasti
Prasasti j a n g segera 1 k e k u a s a a n radjakula Sailendra Dja-Balaputra - D j a t i n i n g r a t , a
wa Tengah di S r i w i d j a j a .
178
\
V II
SR IW ID JA JA D IB A W A H KEKU ASAAN
RADJAKULA -SAILENDRA
Prasasti Nalanda dan Balaputra
Prasasti Nalanda dikeluarkan oleh radja Benggala Dewapaladewa
di Nalanda, ditulis dalam bahasa Sansekerta tanpa tarich tahun. Kita
hanja mengetahui bahwa rada Dewapala adalah pengganti radja Dhar-
mapala dan wafat pada tahun ± 878. Djadi prasasti Nalanda harus
dikeluarkan sebelum tahun 878. Prasasti tersebut telah diterbitkan oleh
sardjana India Hirananda Sastri dalam Epigraphia Indica no. 17 hal.
310-327. Hirananda Sastri menduga bahwa prasasti itu dikeluarkan
=t tahun 949. Isinja tentang permintaan maharadja Balaputra dari Su-
warnadwipa kepada radja Dewapala untuk mendirikan wihara di
Nalanda. Balaputra mengaku tutju radja Sailendra dari Djawa dan
putera Samaragrawira, lahir dari Tara, puteri radja Dharmasetu.
Dalam terdjemahannja Hirananda Sastri lupa menjebut nama Sama
ragrawira, jang tertjatat pada prasasti- Nalanda. Oleh karena itu nama
Samaragrawira saja tambahkan pada terdjemahan jang bersangkutan
diantara kurung. Oleh karena kebanjakan diantara pembatja tidak
akan sempat memeriksa teks Sansekerta atau terdjemahannja dalam
Epigraphia Indica itu, maka terdjemahan dalam bahasa Inggris jang
dibuat oleh Hirananda Sastri dikutip seluruhnja seperti dibawah:
,,W e being requested by the illustrious Maharaja Balaputradewa,
the king of Suwarnadwipa through a messenger I have caused to be
built a monastery at Nalanda granted by this edict toward the income
for the blessed Lord Buddha, the abode of all the leading virtues like
the prajnaparamita, for the offerings, oblations, shelter, garments, alms,
beds, the requisites of the sick like mendicines, etc., of the assembly
of the venerable bhiksus of the four quarters (comprising) the Bodhi-
sattwas well versed in the tantras, and the eight great holy personages
(i.e. the aryapuggalas), for writing the dharma-ratnas or Buddhist texts
and for the up-keep and repair of the monastery (when) damaged.
There was a king of Yawabhumi (or Yawa), who was the ornament
of the gailendra dynasty, whose lotus feet bloomed by lustre of the
jewels in the row of trembling diadems on the heads of all the princes,
and whose name was conformable to the illustrious tormentor of brave
foes (wira-wairi-mathana). His fame, incarnate as it were, by setting
its foot on the regions of (white) palaces, in white water lilies, in lotus
plants, conches, moon, jasmine and snow and being incessantly sung
179
in all the quarters, pervaded the whole universe. At the time when
that king frowned in anger, the fortunes of the enemies also broke
down simultaneously with their hearts. Indeed the crooked ones in the
world have got ways of moving which are very ingenious in striking
others. He had a son (named Samaragrawira), who possesses prudence,
prowess, and good conduct, whose two feet fordled too much with
hundreds of diadems of mighty kings (bowing down). He was the
foremost warrior in the battle - fields and his fame was equal to that
earned by Yudhistira, Paragara, Bhimasena, Karna and Arjuna. The
multitude of the dust of the earth, raised by the feet of his army, mo
ving in the field of battle, was first blown up to the sky by the wind,
produced by the moving ears of the elephants, and then, slowly set
tled down on the earth (again) by the inchor, poured forth from the
cheeks of the elephants. By the continuous existence of whose fame the
world was altogether without the dark fortnight, just like the family
of the lord of the daityas (demons) was without the partisanship of
Krishna. As Paulomi was known to be (the wife of) the lord of the
Suras (i.e. Indra), Rati the wife of the mind-born (Cupid), the daugh
ter of the mountain (Parwati) of the enemy of Cupid (i.e. Qiwa) and
Laksmi of the enemy of Mura (i.e. W isnu), so Tara was the queen
consort of that king, and was the daughter of the great ruler Dharma-
setu of the lunar race and resembled Tara (the Buddhist goddess of
this name) herself. As the son of CJuddhodana (i.e. the Buddha) the
conqueror of Kamadewa, was born of Maya, and Skanda, who deligh
ted the heart of the host of gods, was born of Uma by £iwa, so was
born of her by that king the illustrious Balaputra, who was expert in
crushing the pride of all the rulers of the world, and before whose
footstool (the seat where his lotus feet rested) the group of princes
bowed. W ith the mind attracted by the manifold excellences of Na-
Ianda and through devotion to the sun of Cuddhodana (the Buddaha)
and having realized thdt riches was fickle like the waves of a moun
tain stream, he whose fame was like that of Sangharthamitra. This
might possibly mean that his wealth befriended the cause of the Sang-
ha. Built there (at Nalanda) a monastery wich was the abode of the
assembly of monks of various good qualities and was white with the
series of stuccoed and lofty, dwellings. Having requested, King Dewa-
paladewa who was the preceptor for initiating into widowhood the
wives of all the enemies, through envoys, very respectfully and out of
devotion and issuing a charter, (he) granted these five villages whose
purpose had been motived above for the welfare of himself, his pa
rents and the world. As long as there is the continuance of the ocean
or the Ganges has her limbs (the currents of water) agitated by the
180
extensive plaited hair of Hara (£iwa), as long as the immovable king
of snakes (Qesa) lightly bears the heavy and extensive earth every
day, and as long as the (Udaya) Eastern and (Asta) Western moun
tains have their crest jewels scratched by the hoofs of the horses of
the Sun, so long may this meritorious act, setting up virtues over the
world, endure.
Prasasti Nalanda menimbulkan pelbagai persoalan. Persoalan jang
pertama ialah pengakuan Balaputra sebagai keturunan Sailendra di
Djawa jang mendjadi radja Suwarnadwipa. Dalam hal ini Suwarna-
dwipa adalah Sriwidjaja. Bagaimana Balaputra dari keturunan Sailen
dra mungkin mendjadi radja Suwarnadwipa? Persoalan jang kedua
ialah siapa jang dimaksud dengan radja Sailendra Djawa jang men
djadi nenek Balaputra dan mempunjai epiteton wirawairimathana itu?
Apakah beliau termasuk salah satu diantara radja-radja di Poh Pitu
jang disebut pada prasasti Kedu? Djika termasuk, siapa beliau itu?
Bagaimana hubungan antara radjakula Sailendra di Sriwidjaja pada
prasasti Nalanda itu dengan radjakula Sailendra di Semenandjung
seperti terpahat pada batu Ligor B? Radja Sailendra Djawa jang
mendjadi nenek Balaputra dikatakan mempunjai putera jang bernama
Samaragrawira, jakni ajah Balaputra. Adakah nama Samaragrawira
pada piagam Nalanda ini sama dengan Samaratungga pada piagam
Karang Tengah? Perkawinan antara Samaragrawira dan Tara djuga
menimbulkan persoalan, karena prasasti Nalanda memberitakan bahwa
Tara adalah puteri radja Dharmasetu, dari Somawangsa. Siapa se-
betulnja radja Dharmasetu itu? Adakah betul beliau itu radja Sriwi
djaja, sehingga akibat perkawinan itu Balaputra memperoleh hak untuk
mendjadi radja Sriwidjaja? Mengapa Balaputra jang mengaku tjutju
radja Sailendra Djawa melarikan diri ke Sriwidjaja? Itulah beberapa
persoalan jang perlu mendapat perhatian akibat perkenalan dengan
prasasti Nalanda.
Terbitan The Nalanda Copperplate of Dewapaladewa segera me
narik perhatian sardjana purbakala F.D.K. Bosch. Pada tahun 1925
Bosch menjambut terbitan tersebut dan menulis karangannja jang ber-
djudul Een oorkonde van het groote klooster te Nalanda dalam T.B.G.
L X V hal. 509 - 527. Genealogi Balaputra berdasarkan prasasti Nalan
da pada hakekatnja sangat sederhana: Radja Djawa jang mempunjai
epiteton wirawairimathana berasal dari radjakula Sailendra, mempunjai
seorang putera Samaragrawira. Samaragrawira kawin dengan puteri
Tara dari Somawangsa. Dari perkawinan itu lahir Balaputra, radja
Suwarnadwipa. Genealogi jang sangat sederhana itu menghendaki
pendjelasan. Oleh karena epiteton'radja Sailendra Djawa jang tertjatat
pada prasasti Nalanda itu hampir sama dengan epiteton radja jang
181
mengeluarkan piagam Kelurak, Bosch menjamakannja dengan Dhara-
nindra. R.C, Majumdar djuga tertarik kepada terbitan tersebut dan
menulis karangan dalam monografi Varendraresearch Society I pada
tahun 1926. Krom dalam Hindoe-Javaansche Geschiedenis hal. 156
menjamakan Samaragrawira dengan Samaratungga pada piagam Ka
rang Tengah.
Identifikasi Yawabhumipalah dengan Dharanindra dan Samaratung-
ga dengan Samaragrawira diterima sepenuhnja oleh de Casparis dalam
prasasti Indonesia I. Ia menganggap hubungan antara Dharanindra
dan Samaratungga sebagai hubungan antara bapak dan putera. Dari
gaja bahasa jang digunakan oleh prasasti Nalanda terasa bahwa pada
waktu prasasti itu dikeluarkan, Samaragrawira telah wafat. Oleh ka
rena Samaragawira disamakan dengan Samaratungga, maka dapat
diraba berkat analisa prasasti Karang Tengah dan Gandasuli, bahwa
wafat Samaragrawira itu antara tahun 824 dan 832. Pada waktu itu
menurut de Casparis agaknja puteranja Balaputra telah beberapa lama
menetap di Sumatera, dan memerintah sebagai radja. Oleh karena pada
prasasti Nalanda disebutkan bahwa Samaragrawira kawin dengan
Tara, puteri Sri Dharmasetu, dengan sendirinja Tara dianggap per
maisuri Samaratungga. Oleh karena pada prasasti Karang Tengah
Pramodawardhani adalah puteri Samaratungga, maka dengan sendiri
nja Pramodawardhani adalah puteri Samaragrawira djuga. Akibat
analisa prasasti Nalanda itu maka timbul nama Balaputra, putera Sa
maragrawira. Oleh karena Samaragrawira adalah Samaratungga, maka
Balaputra adalah putera Samaratungga. Pendapat ini dipertahankan
djuga dalam Prasasti Indonesia II dibawah djudul A metrical O ld Java-
nese inscription dated 856 A .D .
Dengan sendirinja de Casparis terbentur pada prasasti Karang Te
ngah jang menjatakan bahwa Samaratungga hanja mempunjai seorang
puteri jang bernama Pramodawardhani. Seperti telah kita ketahui pada
tahun 824 Pramodawardhani meresmikan bangunan tjandi makam
Djinalaja. Andaikata Samaratungga mempunjai putera, sudah pasti
bahwa peresmian tjandi itu dilakukan oleh puteranja. Untuk menghin
darkan kontradiksi itu de Casparis memberikan keterangan: „Akibat
perkawinan dengan salah seorang puteri dari Sriwidjaja, maka Bala
putra mendjadi radja di Sriwidjaja. Setelah Balaputra meninggalkan
Djawa, di D jawa tidak ada lagi radjaputera jang mewarisi tachta ke~
radjaan. Puteri Samaratungga telah dikawinkan dengan rakai Pikatan.
Dengan djalan demikian, maka rakai Pikatan memperoleh sekadar
kekuasaan untuk memerintah sebagian dari Djawa Tengah. Kemung
kinan lain ialah, bahwa Balaputra belum dewasa, ketika ajahnja me
ninggal, sehinga ia belum diizinkan memerintah. Berhubung dengan
182
timbulnja perubahan suasana, jang sebab-sebabnja tidak dapat dike
tahui dengan pasti, Balaputra kemudian mendjadi radja di Sriwidjaja.”
Kita merasa bahwa keterangan diatas agak ditjari-tjari, untuk meng
hindari kontradiksi. Pada prasasti Karang Tengah djelas, bahwa Sa-
maratungga hanja mempunjai seorang puteri, jakni Pramodawardhani.
Tetapi akibat penjamaan antara Samaratungga pada prasasti Karang
Tengah dan Samaragrawira pada prasasti Nalanda, terpaksa Samara
tungga mempunjai dua orang anak, jang satu laki-laki jakni Balaputra,
jang lain seorang puteri jakni Pramodawardhani. Untuk menghindar
kan kesulitan tentang kedudukan Balaputra, ditjarikan djalan perka
winan dengan puteri dari Sriwidjaja. Hubungan antara Balaputra dan
Pramodawardhani lalu seperti hubungan kakak dan adik atau dua
saudara sekandung. Seorang radjaputera tidak mudah meninggalkan
haknja atas tachta dan pergi ketempat lain untuk mendjadi radja akibat
perkawinan. Pokoknja keterangan jang diberikan tidak memberikan
kejakinan. Kontradiksi jang timbul kiranja akibat salah-identifikasi.
Terbukti bahwa identifikasi Samaragrawira dengan Samaratungga
menimbulkan kontradiksi. Suatu tanda bahwa ada sesuatu jang tidak
tjotjok. Identifikasi antara Samaragrawira dan Samaratungga jang
menimbulkan kontradiksi itu djuga diterima oleh Bosch dalam karang-
annja jang berdjudul Qriwijaya, de Qailendra~ en de Sanjayawamga
dalam B.K.I. 108 hal. 113-123. Kita dapat melihatnja setjara djelas
pada silsilah jang disusunnja pada hal. 123.
Meskipun nama Samaragrawira pada piagam Nalanda itu mirip
sekali dengan nama Samaratungga pada piagam Karang Tengah, na
mun saja berpendapat, bahwa Samaragrawira dan Samaratungga itu
nama dua tokoh sedjarah jang berbeda-beda. Kedua-duanja memang
termasuk radjakula Sailendra dan berasal dari Djawa Tengah. Dalam
pembahasan prasasti Gandasuli telah saja kemukakan bahwa identifi
kasi antara Dang Karayan Partapan mpu Palar pada prasasti Ganda
suli dan sri maharadja rakai Garung pada prasasti Kedi’ tidak tjotjok,
karena sampai adjalnja Dang Karayan Partapan mpu Palar hanja
menduduki djabatan haji. Kedudukan itu lebih rendah daripada kedu
dukan radja. Pada waktu itu jang mendjadi radja ialah Samaratungga.
Nama Samaratungga, rakai Garung dan Dang Karayan Partapan
terdapat pada prasasti jang dikeluarkan sezaman. Nama Samaratungga
pada prasasti Karang Tengah (tahun 824), nama rakai Garung pada
prasasti Pengging (tahun 819) dan nama Dang Karayan Partapan mpu
Palar pada prasasti Karang Tengah dan Gandasuli (tahun 824 dan 832).
Dari prasasti Karang Tengah dapat kita ketahui bahwa Dang Karayan
Partapan adalah pembesar bawahan Samaratungga, dan dari prasasti
Gandasuli kita ketahui, bahwa Dang Karayan mempunjai kedudukan
183
haji, bukan radja. Djadi tidak mungkin disebut sri maharadja. Demiki
anlah identifikasi antara rakai Garung dan Dang Karayan Partapan
tidak mungkin. Pada awal abad 9 jang bergelar maharadja hanja Sama-
ratungga. Pada prasasti Kedu rakai Garung bergelar sri maharadja.
Demikianlah maka Samaratungga adalah sama dengan rakai Garung.
Samaratungga pada piagam Karang Tengah sama dengan rakai Ga
rung pada piagam Kedu.
Oleh karena nama Samaragrawira terbukti tidak dapat disamakan
dengan Samaratungga, maka harus ditjari pemetjahannja; harus di
identifikasikan dengan tokoh lain. Menurut prasasti Kedu radja jang
memerintah sebelum dan sesudah sri maharadja rakai Garung ialah sri
maharadja rakai W arak dan rakai Pikatan. Identifikasi antara rakai
Pikatan dan Samaragrawira tidak dimungkinkan, karena dari penelitian
prasasti Sri Kahulunan dan nama-nama jang terpahat pada tjandi-
tjandi Plaosan rakai Pikatan adalah suami Sri Kahulunan alias Pra-
modawardhani, sedangkan Pramodawardhani adalah puteri Samara
tungga. Djadi penjamaan antara rakai Pikatan dan Samaragrawira
tidak mungkin. Satu-satunja djalan ialah penjamaan dengan sri maha
radja jang memerintah sebelum Samaratungga alias rakai Garung.
dengan sri maharadja rakai Warak atau sri maharadja rakai Panung-
galan. Identifikasi dengan rakai Panunggalan tidak dimungkinkan,
karena seperti kita ketahui rakai Panunggalan telah kita identifikasi
kan dengan Dharanindra, ajah Samaragrawira jang menurut piagam
Nalanda disebut Yawabhumipalah.
Baik Dharanindra maupun Yawabhumipalah mempunjai epiteton „pem
bunuh musuh-musuh perwira”. Dharanindra memerintah sesudah rakai
Panangkaran. Sri maharadja rakai Panunggalan djuga memerintah
sesudah rakai Panangkaran. Tinggallah satu-satunja kemungkinan ialah
identifikasi antara rakai Warak dan Samaragrawira. Oleh karena
Samaragrawira menurut piagam Nalanda kawin dengan puteri Tara,
dengan sendirinja puteri Tara adalah permaisuri (isteri) sri maharadja
rakai Warak. Dari perkawinan itu lahir Balaputra. Demikianlah Bala-
putra adalah putera rakai Warak. Menurut artinja nama Balaputra
adalah putera bungsu, karena bala artinja: ekor. Demikianlah rakai
Warak harus mempunjai putera-putera lainnja jang lebih tua daripada
Balaputra. Dengan sendirinja Balaputra sebagai putera bungsu tidak
langsung mempunjai hak untuk menggantikan ajahnja sebagai radja.
Putera sulung atau putera jang lebih tua mempunjai lebih banjak hak
atas tachta keradjaan daripada putera bungsu. Salah seorang diantara
saudara-saudara tua Balaputra ialah sri maharadja rakai Garung me
nurut prasasti Kedu atau Samaratungga menurut prasasti Karang Te
ngah. Demikianlah hubungan antara Samaratungga dan Balaputra
184
adalah hubungan saudara, atau kakak beradik. Balaputra berkakak
terhadap Samaratungga. Dengan sendirinja Pramodawardhani adalah
puteri kemanakan Balaputradewa. Mengapa Balaputra melarikan diri
ke Suwarnadwipa dan kemudian minta kepada radja Dewapaladewa
untuk membangun wihara Nalanda dengan pengakuan bahwa beliau
adalah keturunan radja Sailendra di Djawa, pertanjaan itu segera di-
djawab dalam pembahasan prasasti Balaputra - Djatiningrat atau A
metrical O ld Javanese inscription dated 856 A.D.
Prasasti Balaputra - Djatiningrat
Nama Balaputra disebut pada prasasti Nalanda sebagai nama radja
Suwarnadwipa. Pengakuannja sebagai keturunan radja Sailendra dari
Djawa telah tjukup dibahas diatas. Nama Balaputra djuga disebut satu
kali pada prasasti Balaputra - Djatiningrat jang bertarich tahun 856.
Prasasti itu telah diterbitkan oleh Dr. J.G. de Casparis dalam Prasasti
Indonesia II pada tahun 1957 dibawah djudul A metrical O ld Javanese
inscription dated 856 A.D. dari hal. 280 - 330. Prasasti ini memberikan
sekadar pendjelasan mengapa Balaputra melarikan diri ke Suwarna-
dwipa dan mendjadi radja di Sriwidjaja. Ringkasan isinja seperti ber
ikut:
Pada 1 — 9. Seorang radja jang bernama Djatiningrat, pemeluk aga
ma Siwa, kawin dengan seorang permaisuri jang memeluk agama lain.
(Dalam bagian ini terdapat nama Walaputra pada pada 7). Balaputra
menimbun ratusan batu untuk didjadikan benteng pertahanan dan
tempat bersembunji, dalam perang melawan Djatiningrat. Radja itu
mengambil nama Brahmana ,,Djatiningrat” dan mendirikan keraton di
Medang didaerah Mamrati. Sesudah itu beliau mengundurkan diri
sebagai radja dan menjerahkan kekuasaannja kepada dyah Lokapala.
Rakjatnja terbagi atas empat asrama, masing-masing dikepalai oleh
seorang Brahmana.
Pada 10 — 13. Sang radja bersiap-siap untuk mengadakan upatjara
kematian. Rakai Mamrati menjerahkan tanah Wantil. Beliau merasa
malu, bahwa dusun Iwung pernah didjadikan gelanggang pertempur
an. Setelah beliau mentjapai kekuasaan dan kekajaan, beliau mendiri
kan tjandi makam, menghimpun pengetahuan dharma dan adharma.
Tidak ada orang jang berani melawan beliau. Sang radja mendirikan
halu jakni lingga. Semua orang turut menjumbang untuk pembangun
an lingga jang sangat indah itu.
Pada 14 — 17. Bagian ini menguraikan lingga jang didirikan. Di-
gapura ada artja pendjaga jang gagah berani untuk mendjaga ke
amanan dan keselamatan bangunan. Dipintu masuk didirikan dua
bangunan jang berbeda bentuknja. Halaman lingga ditanami pohon
185
tandjung dan disitu didirikan rumah-rumah ketjil untuk para pertapa.
Pokoknja bangunan itu indah sekali.
Pada 18-23. Ruang bangunan jang terindah diperuntukkan bagi
jang diperdewa. Para pengundjung dan penjembah berdiri dalam de
retan dengan hormat dan tenang. Semua orang diminta datang ber-
sembah.
Pada 24 ■— 29. Peresmiannja dilangsungkan pada tahun Saka 778
hari kesebelas bulan terang, Selasa Wage. Sesudah bangunan itu se
lesai seluruhnja, kali dipindahkan, tanahnja didjadikan wilajah tjandi.
Itulah tanah merdeka pameget Wantil. Lalu menjusul nama para pe-
djabat dan djabatannja. Tanah merdeka itu mendjadi milik tjandi.
Semua orang jang diberi tugas untuk mendjaga dan melakukan persem
bahan, diharap tekun lagi tabah, dan djuga tidak mengalami lahir-mati
jang tidak ada hentinja.
Pada 7 dalam prasasti diatas menjebut nama Walaputca. Kata itu
didahului dengan kata-kata: timbunan batu untuk pengungsian. Kata-
kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa Balaputra sedang berperang
dengan sang radja jang mengambil nama Brahmana ,,Djatiningrat”
dan menimbun batu untuk digunakan sebagai tempat pengungsiannja.
Pada 9 menguraikan bahwa rakai Mamrati menjerahkan tanah Wantil
untuk bangunan lingga dan merasa malu, bahwa desa Iwung pernah
mendjadi gelanggang pertempuran. Kiranja didesa Iwung itulah ter-
djadi pertempuran antara Balaputra dan sang radja alias rakai Mam-
rati atau Djatiningrat. Balaputra menderita kekalahan.
Prasasti Balaputra - Djatiningrat dipahat pada tahun Saka 778 atau
tahun Masehi 856. Tarich tahun itu dinjatakan pada permulaan pada
23 atau baris 39 dengan tjandrasangkala wualung gunung sang wiku
jang mewakili angka 8, 7, 7 atau tahun Saka 778. Namun tarich ta
hun itu bukan tarih tahun kemenangan Djatiningrat terhadap Balaputra
melainkan tarich tahun pembangunan lingga ditanah Pameget W antil
didaerah Mamrati. Pembangunan lingga itu dilakukan setelah Djati
ningrat mengundurkan diri dari pemerintahan dan menjerahkan ke
kuasaannja kepada dyah Lokapala. Demikianlah penerangan antara
Djatiningrat dengan Balaputra berlangsung sebelum tahun 856. Djadi
pengungsian Balaputra ke Suwarnadwipa djuga terdjadi sebelum-tahun
856. Tarich tahun kemenangan itu akan kita selidiki lebih landjut
Identifikasi Djatiningrat. Nama Djatiningrat adalah nama Brahmana
jang sengadja diambil oleh sang radja jang mengeluarkan prasasti
diatas. Sebagai radja sudah pasti beliau mempunjai nama abhiseka
dan nama pribadi. Pada prasasti itu beliau menjebut dirinja ketjuali
Djatiningrat djuga rakai Mamrati. Pada 8 baris terachir menguraikan
186
bahwa Djatiningrat mendirikan keraton didaerah Mamrati. Setelah itu
lalu mengundurkan diri sebagai radja. Itulah sebabnja Djatiningrat
menjebut dirinja rakai Mamrati.
De Casparis menjamakan Djatiningrat dengan rakai Pikatan pada
prasasti Kedu. Alasan jang dikemukakannja ialah, karena prasasti ini
menjebutkan, bahwa Djatiningrat menjerahkan kekuasaannja kepada
dyah Lokapala. Prof. L.C. Damais dalam Epigrafische aanteekeningen.
Lokapala - Kayuwangi (T.B.G. L X X X III afl. 1 hal. 1 - 6 tahun 1949),
telah membuktikan kesamaan antara dyah Lokapala dan Kayuwangi.
Rakai Kayuwangi mengeluarkan piagam Argapura pada tahun 863,
djadi tudjuh tahun kemudian daripada prasasti Balaputra - Djatiningrat.
Prasasti Argapura termuat dalam O.J.O. no. V III, namun transkripsi-
nja berhenti ditengah djalan. Tarich tahunnja Saka 786; setelah di
koreksi oleh Prof. L.C. Damais ternjata tarich tahunnja Saka 785 atau
tahun Masehi 863. Duplikat prasasti tersebut tersimpan djuga. Pada
prasasti Argapura (oleh Damais disebut prasasti W anua Tengah)
terbatja nama rakai Pikatan pu Manuku. dan rakarayan Kayuwangi pu
Lokapala. Njata disini adanja kesamaan antara rakai Kayuwangi dan
pu Lokapala.
Dalam silsilah radja-radja di Poh Pitu pada prasasti Kedu sri maha-
radja rakai Pikatan disebut lebih dahulu daripada sri maharadja Kayu
wangi. Pada prasasti Balaputra - Djatiningrat dinjatakan bahwa Djati
ningrat menjerahkan kekuasaannja kepada dyah Lokapala. Demikian
lah Djatiningrat itu sama dengan rakai Pikatan. Pada prasasti Arga
pura itu njata pula bahwa nama rakai Pikatan ialah pu Manuku,
sedangkan pada prasasti Balaputra — Djatiningrat beliau mengaku
mengambil nama Brahmana „Djatiningrat”. Djuga pada prasasti jang
terachir ini beliau menjebut dirinja rakai Mamrati. Dikatakan bahwa
rakai Mamrati menjerahkan tanah W antil, sedangkan rakai Mamrati
tidak dikenal pada prasasti Kedu. Oleh karena Djatiningrat / Manuku
adalah rakai Pikatan, maka mungkin sekali tempat Mamrati itu ter
letak didaerah Pikatan. Kita hanja mengetahui bahwa Djatiningrat
membangun istana di Mamrati, setelah beroleh kekuasaan dan keka-
jaan. Letaknja desa Pikatan telah dapat kita ketahui jakni dekat Te
manggung dikeresidenan Kedu. Mamrati harus djuga terletak disekitar
daerah Temanggung.
Ketjuali pada prasasti Balaputra - Djatiningrat nama desa Mamrati
djuga dikenal pada prasasti Alas Lintakan (K.O. no. I) . Rakai Lajang
dyah Tulodong sri maharadja Sadjana Sannatanuraga Tunggadewa
membuat tanah perdikan di Alas Lintakan. Desa Kasugihan dibeli oleh
sri maharadja, ikut didjadikan tanah perdikan Tjaitya Niyaya. Di-
sebelah selatan berbatasan dengan desa Mamrati.
187
Ada dua nama desa jang perlu diperhatikan jakni desa Pikatan dan
desa Kasugihan. Kedua desa itu tersebut djuga pada prasasti diatas.
Desa Pikatan dekat Temanggung, desa Kasugihan disebelah timur laut
Mantyasih. Oleh karena desa Mamrati tidak disebut pada prasasti
Kedu, maka letaknja harus diluar lingkaran bangunan di Mantyasih,
disebelah selatan desa Kasugihan. Nama desa Kasugihan disebut pada
prasasti Kedu dan merupakan desa lapis ketiga disebelah timur laut
Mantyasih. Bagaimanapun keraton Mamrati jang didirikan oleh rakai
Pikatan harus terletak disekitar Temanggung. Sedjak pemerintahan
rakai Pikatan Mamrati mendjadi pusat keradjaan atau ibukota ke-
radjaan. Pada tahun 842 kiranja rakai Pikatan sudah berkuasa, karena
pada tahun itu Pramodawardhani telah bergelar Sri Kahulunan: per
maisuri. Seperti kita ketahui pada tahun 842 dikeluarkan prasasti Sri
Kahulunan bertalian dengan tanah perdikan Sri Kahulunan jang men
djadi milik bangunan sutji Kamulan Bhumisambhara alias Barabudur.
Prasasti Sri Kahulunan jang berupa batu besar diduga oleh Krom ber
asal dari daerah Temanggung (Krom, HJG. hal. 182). Prasasti Ganda-
suli jang bertarich tahun 832 telah menjebut adanja tanah Sri Kahu-
luan (Sri Kahulunan) jang diurus oleh Busu Pandarangan. Djika
demikian, maka rakai Pikatan pada tahun 832 telah memggang kekua
saan. Penetapan letaknja desa Mamrati itu bertalian dengan pembe
ritaan tentang adanja tiga keraton jakni:
1. medang i Bhumi Mataram (pada Minto-steen tahun Saka 846
O.J.O. X X X I).
2. medang i Mamrati (pada prasasti Balaputra - Djatiningrat
tahun Saka 778).
3. medang ri Poh Pitu (pada prasasti Kedu, tahun Saka 829).'
Demikianlah sebelum rakai Pikatan berkuasa, pusat keradjaan itu
terletak di Mataram. Hingga sekarang kita tidak mengetahui dengan
pasti, dimana letaknja desa Mataram itu setjara tepat. Jang kita ke
tahui ialah bahwa menurut prasasti Kedu Sandjaja disebut rakai
Mataram. Hingga sekarang daerah istimewa Jogjakarta masih disebut
daerah Mataram. Orang masih membedakan Mataram dan Kedu. Dje-
las bahwa pada pemerintahan rakai Pikatan ibukota itu dipindahkan
dari Mataram ke Kedu, tepatnja disekitar Temanggung. Djika kita
memperhatikan aktivitas radjakula Sandjaja, maka njata bahwa akti-
vitasnja terbatas disekitar daerah istimewa Jogjakarta sekarang. Lingga
jang didirikan oleh radja Sandjaja diatas gunung W ukir, letaknja tidak
djauh dari Jogjakarta. Prasasti Gata dan Tadji Gunung tentang pem
bangunan dharmma kawikuan di Timbangan Wungkal terdapat di-
dekat Prambanan. Tjandi Kalasan jang dibangun oleh rakai Panang-
karan pada tahun 778 terdapat didaerah Jogjakarta. Masih banjak lagi
188
prasasti-prasasti jang dikeluarkan sebelum pemerintahan rakai Pikatan
jang diketemukan ditempat-tempat jang tidak terlalu djauh dari daerah
Jogja misalnja prasasti Ratu Baka jang memuat nama Dharmatungga.
Namun dari prasasti-prasasti itu kita tidak dapat menetapkan letaknja
pusat keradjaan. Didaerah makmur sebelah utara kota Jogja memang
ada sekelompok desa jang memakai nama Sansekerta. Nama-nama itu
kiranja bukan nama baru. Dan disitu djuga ada tjandinja, jang sudah
sangat rusak. Desa tempat tjandi itu sekarang disebut desa Tjandi. Di-
sebelah tenggara Tjandi terletak desa Redjadani (Rajadhani): tempat
radja; disebelah barat Redjadani adalah Poton '(Pattana)i 'kota; dise-
belah barat desa Poton adalah desa Saragan (Saragana): tentara; di
sebelah selatan Redjadani adalah desa Kamdanen (Kamadhani): tem
pat kesenangan; disebelah selatan desa Kamdanen adalah desa Nandan
(N andana): taman kesenangan; disebelah timur Redjadani adalah desa
Dajakan (Dayaka): sanak-saudara (radja); disebelah timurnja adalah
desa Gentari (Gata): tentara; sebelah utara Redjadani adalah desa
Bantardja (Batararaja): arwah para leluhur alias makam; disebelah
utaranja adalah desa Danalajan (Danalaya): tempat berkorban. Su
ngai jang melalui desa Redjadani djuga disebut dengan nama Sanse
kerta jakni kali Trasi (traci): menakutkan, berbahaja. Itulah sekelom
pok desa didaerah sebelah utara Jogjakarta, jang nama-namanja
mempunjai hubungan dengan kemungkinan adanja pusat keradjaan
dan hingga sekarang masih ada serta mengandung unsur-unsur India.
Karena tidak ada bahan 'lain jang dapat digunakan, maka toponimi
itu hanja memberikan petundjuk sadja, tidak memberikan kemungkinan
untuk menarik kesimpulan.
Terbukti pada tahun 907 pusat keradjaan itu telah berpindah ke
Poh Pitu. Dimana letaknja djuga tidak kita ketahui. Jang pasti ialah
didaerah Kedu. Nama Poh Pitu sendiri tidak kita kenal baik zaman
sekarang maupun pada prasasti ketjuali pada prasasti Kedu. Desa
Poh Pitu tidak disebut diantara 24 desa pada prasasti. Desa Kedu
hingga sekarang masih ada. Mungkin karena Poh Pitu itu mendjadi
pusat keradjaan, maka nama itu tidak disebut. Desa Poh atau wanua
Poh kita kenal beberapa kali pada prasasti diantaranja pada prasasti
Bara Tengah dari tahun 907 tentang pembuatan tanah perdikan Kaju
Ara Hiwang didaerah W aru Tihang oleh rake wanua Poh dyah Mala.
Disitu disebutkan djuga pelbagai nama desa diantaranja desa Man-
tyasih. Desa Mantyasih terletak disebelah utara desa Kedu dan me
rupakan pusat. Desanja disebut Mantyasih tetapi sebagai pusat ke
radjaan disebut Poh Pitu. Ichtisar mengenai kelompok desa disekitar
Mantyasih telah diberikan setjara djelas oleh de Casparis dalam Pra
sasti Indonesia I hal. 159.
189
Oleh karena pada piagam Balaputra - Djatiningrat dengan djelas
dinjatakan, bahwa Djatiningrat memeluk agama Siwa, berbeda dengan
sang permaisuri, maka dapat diambil kesimpulan bahwa beliau kawin
dengan puteri dari radjakula Sailendra, jang memeluk agama Buda.
Puteri itu ialah rani jang mengeluarkan prasasti Sri Kahulunan pada
tahun 842. Nama Sri Kahulunan ternjata terpahat bersama dengan sri
maharadja rakai Pikatan pada kelompok tjandi Plaosan Lor. Sri Ka
hulunan adalah puteri Samaratungga, jang pada piagam Karang Te
ngah bernama Pramodawardhani.
Bahwa rakai Pikatan mempunjai banjak nama terbukti dari pelbagai
prasasti. Bagi kita jang penting ialah mengetahui bahwa penjingkiran
Balaputradewa dari Djawa akibat kekalahan perang dengan rakai
Pikatan, menantu Samaratungga. Nama Samaratungga ini sangat me
narik perhatian, karena nama itu oleh de Casparis dan Bosch disama
kan dengan nama Samaragrawira pada piagam Nalanda. Piagam
Nalanda jang dikeluarkan oleh radja Dewapaladewa menguraikan
pembangunan wihara Nalanda atas permintaan Balaputra dari Suwar-
nadwipa. Balaputra mengaku keturunan radja Sailendra dari Djawa.
Maharadja jang disebut Yawabhumipalah gri wtrawairimanthananuga-
tabhidanah mempunjai seorang putera jang kemashurannja dalam pe
perangan sama dengan Yudistira, Parasara, Bimasena, Karna dan
Ardjuna, bernama Samaragrawira. Radjaputera Samaragrawira kawin
dengan Tara, puteri Sri Dharmasetu; dari perkawinan itu lahir se
orang putera, bernama Balaputradewa.
Seperti telah didjelaskan kemiripan nama antara Samaratungga dan
Samaragrawira itu, maka pelbagai sardjana mengira bahwa Samara
tungga adalah sama dengan Samaragrawira. Bosch dalam karangannja
De Inscriptie van Ligor dalam madjalah T.B.G. LX X X I tahun 194i
menjamakan Samaratungga pada piagam Karang Tengah dengan rakai
Panunggalan pada piagam Kedu, dan kemudian dengan Samaragrawira
pada piagam Nalanda, jakni ajah Balaputra. Penjamaan itu masih
lebih landjut lagi. Ia menjamakannja dengan W isnu pada piagam Li
gor B. Dalam karangannja £ riwijaya, de Sailendra- en de Sanjayawamga
(B.K.I. 108 hal. 113-123) masih tetap ia menjamakan Samaratungga
dengan Samaragrawira. Rakai Garung sama dengan rakai Patapan
pada piagam Karang Tengah dan piagam Gandasuli. Untuk menda
patkan gambaran jang djelas tentang teori Bosch mengenai hubungan
antara radjakula Sailendra, Sriwidjaja, Sandjaja dan Sailaradja di
Fu-nan, jang pada hakekatnja himpunan daripada hasil penelitian
Coedes, van Naerssen, de Casparis dan penelitiannja sendiri, maka
silsilah jang telah disusunnja itu disalin seperti dibawah.
1 9 0
Çailendra-wangsa menurut teori F.D.K. Bosch :
[Dinasti Fu-nan
■J Somawangsa
( Sailendrawangsa (?)
Sandjaja (Tj)
Wisnu (L)
Puteri rakai Panangkaran (Kd)
rakai Panangkaran (K)
Uharmasetu (N)
= radja Sriwidjaja (L')
rakai Panunggalan (Kd)
Tara (N)
I
Sri Maharadja
Sailendrawangsa
Sarwwarimadawi (ma) thana (L)
= Sailendraradja (K)
= Dharanindra
wairiwarawiramardana (Kl) rakai Warak (Kd)
= Y awabhumipalah
Çailendrawamçatilaka
wîrawairimathana (N)
{Samaratungga (Kt)
= Samaragrawira (N)
rakai Garung (Kd)
rakai Patapan (Kt)
Balaputradewa / Pramodawardhani (Kt)
Suwamadwipadhipa (N)
' = Sri Kahulunan (Mg')Çudamamwarman
radja Kataha dan Sriwidjaja (Gr. Ch)
I
(Gs)
rakai Pikatan (Kd)
(Pl)
Rakai Kajuwangi (Kd)
Irakai Humalang (Kd)
rakai Watukura (Kd)
Marawidjajotunngawarman
radja Kataha dan Sriwidjaja
Sailendrawangsa (Gr. Ch)
Piagam-piagam:
Keterangan singkatan; K = Kalasan; Kd = Kedu; K1 = Kelurak; Kt = Ka
rang Tengah; L = Ligor; Mg = Magelang; N = Nalanda; Pl = Plaosan Lor;
= Tjanggal; Gr. Ch; = Great Charter of Leyden.
Dari ichtisar hubungan antara radja-radja Sriwidjaja, radjakula Sai-
lendra di Djawa dan radjakula Sandjaja diatas njata bahwa Bosch
masih tetap menjamakan Samaratungga dengan Samaragrawira. Sudah
pasti bahwa kedua nama itu mirip sekali, karena kedua-duanja mulai
dengan Samara; jang berbeda hanja bagian belakangnja. Boleh dipasti
kan bahwa Balaputra mengenal nama Samaratungga pada piagam
Karang Tengah dan Samaragrawira sebagai ajah Balaputra, karena
Balaputra baru pada pertengahan abad 9 meninggalkan Djawa Te-
191
ngah. Andaikata Samaratungga itu benar sama sadja dengan Samara-
grawira, timbul pertanjaan, mengapa pada piagam Nalanda Balaputra
tidak menjebut ajahnja Samaratungga sadja? Penjebutan itu lebih meng
untungkan, karena dengan djalan demikian maka ia sebagai putera
laki-laki mempunjai hak atas tachta jang lebih besar daripada Pramo-
dawardhani?
Karena kedua nama itu berbeda, kiranja memang nama dua tokoh
jang berlain-lainan. Samaragrawira adalah nama rakai Warak, Sama
ratungga adalah nama rakai Garung. Dengan kata lain Samaratungga
adalah putera Samaragrawira dan kakak Balaputra. Samaratungga
adalah putera sulung jang mempunjai hak untuk mewaris tachta; Bala
putra adalah putera bungsu, karena namanja memang berarti demi
kian; (wala = ekor; putra = anak).
Terbukti bahwa Samaratungga tidak mempunjai putera. Beliau hanja
mempunjai seorang puteri jakni Pramodawardhani, permaisuri rakai
Pikatan. Balaputra sebagai putera laki-laki Samaragrawira mengira
berhak pula menggantikan Samaratungga, jang tidak berputera laki-
laki. Timbullah karenanja sengketa antara Balaputradewa dan Djati-
ningrat jang membela hak permaisurinja. Ini lebih logis daripada
anggapan, bahwa Balaputradewa adalah adik Pramodawardhani. Ber
dasarkan anggapan jang terachir ini maka Balaputra mempunjai hak
atas tachta jang lebih besar daripada Pramodawardhani. Pernjataan
Balaputra di Nalanda harus ditafsirkan sebagai pernjataan persaha
batan antara Balaputra dan Dewapaladewa untuk sekadar minta ban
tuan dalam merebut kembali hak mendjadi radja di Mataram. Tafsiran
j^ng demikian dapat dipahami. Sengketa antara Balaputradewa dan
Djatiningrat kiranja terutama mengenai perebutan kekuasaan antara
Balaputra dan Pramodawardhani, sepeninggal rakai Garung. Dalam
hal ini sebenarnja Djatiningrat sebagai menantu ada diluar sengketa
Namun karena membela kepentingan isteri, turut terlibat. Pada piagam
Balaputra - Djatiningrat dengan djelas dinjatakan bahwa setelah Djati
ningrat beroleh kekuasaan dan kekajaan, beliau lalu mendirikan tjandi
makam, menghimpun ilmu dharma dan adharma. Tidak ada orang jang
berani melawan. Sesudah berkuasa sebagai radja,' lalu mendirikan
keraton di Medang didaerah Mamrati. Sesudah itu lalu mengundurkan
diri dan menjerahkan kekuasaannja kepada puteranja Lokapala. Loka-
pala memang berhak sepenuhnja atas tachta keradjaan sebagai putera
Pramodawardhani. Djatiningrat lalu hidup. sebagai pertapa. Dengan
djelas pula dinjatakan bahwa beliau menjesal, bahwa desa Iwung per
nah djadi medan pertempuran. Kiranja kalimat jang terachir ini djuga
sekadar membajangkan penjesalannja atas peperangan jang dilakukan-
nja melawan Balaputradewa.
192
Pada tahun 842 dikeluarkan sebuah piagam oleh seorang rani jang
bergelar Sri Kahulunan. Menurut dugaan Sri Kahulunan adalah Pra-
modawardhani. De Casparis berpendapat bahwa gelar sri kahulunan
adalah gelar permaisuri, bukan gelar radjaputeri. Pendapat itu didasar
kan atas piagam tjandi Plaosan. Samaratungga masih mempunjai se
orang putera, bernama Balaputra jang berarti: anak bungsu. Prof. Mr.
Moh. Yamin, sependapat dengan de Casparis. Katanja: „Pramodawar-
dhani tak ikut bersama Balaputra berpindah ke Sumatera, melainkan
menetap di Djawa Tengah dan berkawin dengan rakai Pikatan. Per-
tulisan Ratu Baka berisi pertentangan antara rakai Pikatan dengan
Balaputra jang agaknja karena menderita kekalahan lalu berpindah
ke Sumatera. Sementara itu puteri Pramodawardhani dikawini rakai
Pikatan dan keraton Ratu Baka mendjadi keraton Siwa, padahal se
belum tahun 856 ialah keraton Sailendra untuk kepentingan agama
Buda Mahayana.”
Persoalan Sri Dharmasetu
Pada piagam Nalanda tertjantum bahwa Tara, ibu Balaputra, ada
lah puteri Sri Dharmasetu dan permaisuri Samaragrawira. Namun pada
piagam itu tidak dinjatakan dimana keradjaan Sri Dharmasetu. Timbul
lah karenanja anggapan bahwa Sri Dharmasetu adalah radja Sriwi-
djaja. Anggapan itu telah dikemukakan oleh Krom pada tahun 1938
dalam Stapel’s Geschiedenis I hal. 162. Dalam bukunja Prasasti Indo~
nesia I hal. 110-111 de Casparis menulis: „Setelah Balaputra mening
galkan Djawa, di Djawa tidak ada lagi radjaputera jang mewaris tachta
keradjaan. Puteri Samaratungga telah dikawinkan dengan rakai
Pikatan. Dengan djalan demikian maka rakai Pikatan memperoleh
kekuasaan untuk memerintah sebagian dari Djawa Tengah. Kemung
kinan lain ialah, bahwa Balaputra belum dewasa, ketika ajahnja me
ninggal, sehingga ia belum diizinkan memerintah. Berhubung dengan
timbulnja perubahan suasana, jang sebab-sebabnja tidak dapat diketahui
dengan pasti, Balaputra kemudian mendjadi radja di Sriwidjaja.
Dalam terbitannja Prasasti Indonesia II hal. 296 note 66 de Casparis
menjarankan bahwa Balaputra kawin dengan puteri sulung radja ri
widjaja, setelah menjingkir dari Djawa. Berdasarkan perkawinan itu
beliau berhak mendjadi radja Sriwidjaja. Pengangkatan mendjadi ra ja
tidak semata-mata didasarkan atas keunggulannja sebagai tjalon, tetapi
karena Balaputra mempunjai hak atas tachta keradjaan Djawa Tenga
D jika tuntutannja berhasil, berarti perluasan wilajah Sriwidjaja sampai
di Djawa. Itulah sebabnja maka Balaputra menjerukan asal-usulnja
sebagai keturunan radja Sailendra di Djawa dan tjutju Sri Dharma
13*193
setu, radja Sriwidjaja, di Nalanda. Dengan kata lain ia mengadukan
kepada radja Dewapaladewa, bahwa haknja mendjadi radja di Djawa
dirampas oleh orang lain jakni oleh rakai Pikatan.
Tentang anggapan bahwa perkawinan Pramodawardhani dengan
rakai Pikatan berlangsung sesudah Balaputra meninggalkan Djawa,
ada keberatannja. Pada tahun 856 Dyah Lokapala, jang lahir dari
perkawinan antara Djatiningrat dan Pramodawardhani, sudah diserahi
pemerintahan. Pada waktu itu beliau sudah dewasa, padahal pengusiran
Balaputra dari Mataram terdjadi baru beberapa tahun sebelumnja jakni
antara tahun 842 sebagai batas pemerintahan Samaratungga dan tahun
856 masa penjerahan kekuasaan kepada Dyah Lokapala dan pemba
ngunan halu dan tiga lingga didataran tinggi Ratu Baka. Oleh karena
itu menurut pendapat saja perkawinan antara Djatiningrat dan Pramo
dawardhani berlangsung pada masa pemerintahan Samaratungga alias
rakai Garung. Selama Samaratungga masih berkuasa, tidak ada per
selisihan antara Balaputra dan Djatiningrat. Tetapi sepeninggal beliau,
timbul perselisihan mengenai hak atas tachta keradjaan. Sebagai suami
Djatiningrat membela permaisuri Pramodawardhani. Setelah berhasil
mengalahkan Balaputradewa, sang suami Djatiningrat memegang tam
puk pemerintahan, bukan Pramodawardhani.
Oleh karena de Casparis menerima anggapan bahwa Sri Dharmasetu
adalah radja Sriwidjaja, maka perkawinan Balaputra dengan puteri
radja Sriwidjaja, jang pada hakekatnja masih berupa teori jang sangat
kabur, adalah perkawinan antara dua saudara sepupu. Penjingkirannja
ke Sumatera didasarkan pertimbangan akan adanja hubungan kekelu
argaan dengan radja Sriwidjaja, seperti dinjatakan pada piagam Li-
gor B. Saran ini logis sekali dan mudah dipahami. Seperti telah di
singgung dimuka, Coedes telah mengemukakan pendapat bahwa pia
gam Ligor B, dikeluarkan oleh putera Criwijayegwarabhupati dari pia
gam Ligor A, jang mendjadi radja Sailendra I, setelah kawin dengan
puteri Fu-nan. Teori Coedes telah diambil alih oleh Prof. F,.D.K. Bosch
dalam karangannja Qriwijaya, de Qailendra- en de Sanjayawamga se
perti kelihatan djelas pada silsilah jang disusunnja. Mr. Moh. Yamin
dalam Laporan Konggres M J.P .I. dan Nilakanta Sastri dalam History
of Sriwijaya djuga menerima saran, bahwa Sri Dharmasetu adalah
radja Sriwidjaja. Tetapi hingga sekarang tidak ada pem buktiannja. Keberatan terhadap pendapat Coedes telah saja kemukakan. M esk ipun saran de Casparis sangat termakan akal, namun ada banjak keberatan
nja. Pertama perkawinan antara puteri radja Sriwidjaja dan Balaputra
dewa. Hal tersebut merupakan anggapan sadja, karena tidak ada pem
beritaan tentang perkawinan itu. Kedua tentang anggapan bahwa Sri
Dharmasetu adalah radja Sriwidjaja. Hal tetsebut djuga masih merupa
194
kan anggapan, karena pemberitaannja tidak tertjantum pada piagam
manapun. Ketiga perkawinan antara puteri Fu-nan dengan radja W'is-
nu, jang mengakibatkan timbulnja dua tjabang radjakula Sailendra.
Djuga mengenai hal ini tidak diperoleh bukti-buktinja.
Nama Sri Dharmasetu djelas kedapatan pada dua piagam, pada
piagam Kelurak dan pada piagam Nalanda. Kiranja Sri Dharmasetu
jang kedapatan pada piagam Kelurak itu sama sadja dengan Sri
Dharmasetu jang kedapatan pada piagam Nalanda. Pada piagam
Nalanda tertjantum bahwa Sri Dharmasetu termasuk Somakula. Djadi
beliau bukan keturunan Sailendra. Demikianlah Samaragrawira itu
mengambil puteri dari Somakula. Pada upatjara peresmian artja Ma-
njugri di Kelurak dinjatakan: mah pratipalaniyah gri dhavmmasetuc ayam
artinja: Sri Dharmasetu jang diserahi untuk mendjaga .......
Oleh karena bangunan itu terdapat di Djawa Tengah, kiranja Sri
Dharmasetu jang diserahi untuk mendjaganja, djuga berkedudukan di
Djawa Tengah. Samaragrawira adalah rakai W arak dan putera
Dharanindra (rakai Panunggalan). Demikianlah Dharanindra itu ber-
besan dengan Sri Dharmasetu. Balaputradewa adalah tjutju Sri Dhar
masetu menurut keturunan ibunja, dan tjutju Dharanindra menurut
keturunan ajahnja. Kedua-duanja berkedudukan di Djawa Tengah.
Namun menurut analisa diatas rakai Panunggalan berhasil menguasai
keradjaan Sriwidjaja. Oleh karena Balaputra menderita kekalahan
dalam peperangan melawan Djatiningrat dan kemudian terpaksa me-
njingkir ke Sumatera, maka negeri jang harus diwarisnja dari nenek
Dharmasetu dan dari ajahnja Samaragrawira terampas semuanja oleh
rakai Pikatan, jang menurut adat tidak berhak untuk menguasainja.
Demikianlah penjebutan Dharmasetu sebagai neneknja melalui urutan
ibunja dan penjebutan Jawabhumipalah melalui urutan ajahnja, i
hubungkan dengan negara jang harus diwarisnja melalui urutan aja
nja sebagai keturunan radjakula Sailendra. Seruan hak itu ditudjukan
kepada radja Dewapaladewa terhadap rakai Pikatan dan keturunan
nja. Djika sekarang tidak berhasil merebut kembali hak itu, harap
perdjuangan merebut kembali hak atas tachta itu dilandjutkan ke
mudian.Penobatan Balaputra sebagai radja Sriwidjaja tidak didasarkan
atas keturunan Sri Dharmasetu. Satu-satunja djalan ialah menerima
anggapan, bahwa maharadja W isnu jang tertjantum pada piagam
Ligor sama dengan Dharanindra pada piagam Kelurak, sama dengan
rakai Panunggalan pada piagam Kedu.Demikianlah jang dimaksud dengan Yawabhumipalah pada piagam
Nalanda ialah Dharanindra pada piagam Kelurak atau rakai Panungga'
lan pada piagam Kedu. Dengan djalan demikian maka epiteton griwita-
195
wairimathana pada piagam Nalanda itu memang sama dengan epiteton
wairiwarawtramardana pada piagam Kelurak. Epiteton itu kedua-dua-
nja epiteton Dharanindra atau rakai Panunggalan. Epiteton radja
W isnu pada piagam Ligor hampir serupa jakni sarwwarimadawi(ma)~
thana. Semua mengandung arti: pembunuh musuh perwira. Oleh karena
nama Dharanindra (Dharanidhara) sama dengan nama Wisnu, maka
epiteton sarwwarimadavi(ma) thana pada piagam Ligor itu d juga epi
teton Dharanindra alias rakai Panunggalan.
Daftar nama radja-radja Djawa Tengah itu lalu seperti berikut:
Nama pribadi rakai abhiseka tarich prasasti
Sandjaja Mataram 732 Tjanggal
Daksottamabahubadjra 771 Gata
pratipaksaksaja sri 772 Tadji Gunung
Tunggadewa
Pantjapana Panangkaran Dharmatungga? 778 Kalasan
Dharanindra Panunggalan Sanggramadhanandjaja 782 Kelurak
_+ 787 Ligor B
_+ 860 Nalanda
+. 860 Nalanda
819 PenggingSamaragrawira Warak
Samaratungga Garung
Djatiningrat Pikatan
Lokapala Kajuwangi Sadjanotsawatungga
(Gurun Wangi)
DyahDewendra Limus
Watuhumalang
Balitung
Tulodong
Watukura
Lajang
Sri Iswarakesawo-
tsawatungga
Sadj anasanatanur aga-
tunggadewa
824 Karang Tengali
856 Balaputra-Djatiningrat850 Tulang Air
863 Argapura
856 Balaputra-Djatiningrat880?Wuatan Tidja
863 Wanua Tengah
887 Munggu Antan
890 (Poh Dulur)
896 > Kawikuan Panunggalan 886?
907 Matyasih (ICedu).
919 (Lintakan)
196
V III
KERADJAAN SAN-FO-TS’I
Berita Tionghwa
Pada masa pemerintahan radjakula T ’ang (618-907) keradjaan
Sriwidjaja disebut Shih-li-fo-shih (Che-li-fo-che). Nama Shih-li-fo-shih
baik jang tertjatat dalam sedjarah T ’ang maupun jang tertjatat dalam
karya-karya I-ts’ing adalah transkripsi Tionghwa dari nama Sriwi
djaja. Transkripsi jang demikian mudah dipahami. Hsin-t ang-shu
mentjatat bahwa keradjaan Shih-li-fo-shih mengirim utusan ke Tiong
kok dalam pangsa waktu 670-673 dan 713-741. Sedjak itu utusan
Shih-li-fo-shih tidak lagi kedengaran.
Pada masa pemerintahan radjakula Sung (960- 1279) negeri dilaut
Selatan jang namanja San-fo-ts’i mengirim utusan ke Tiongkok ber
kali-kali. Sung Shih mentjatat kedatangan utusan itu ke Tiongkok pada
tahun 960, 962, 971, 972, 974, 975, 980, 983, 985 dan 988. Utusan jang
terachir ini tinggal di Kanton sampai tahun 990, karena mendengar
bahwa negerinja San-fo-ts'i sedang diserang oleh tentara dari Cho-p o.
Pada musim semi tahun 992 utusan itu berangkat lagi menudju San-
fo-ts’i, namun pelajarannja hanja sampai di Tjampa, karena belum ada
kepastian tentang negerinja. Oleh karena itu ia berlajar kembali. Ia
mendesak kaisar untuk mengeluarkan pengumuman, bahwa San-fo-ts i
ada dibawah perlindungan Tiongkok. Pada tahun 992 itu djuga datang
utusan dari Cho-p’o di Tiongkok menjatakan bahwa negerinja sering
berperang dengan San-fo-ts’i. Utusan dari Cho-p o ini adalah utusan
dari radja Dharmawangsa, jang naik tachta pada tahun 991. Baru pada
tahun 1003 datang lagi utusan dari San-fo-ts’i. Kemudian pada tahun
1008. Sepuluh tahun lamanja tidak ada utusan dari San-fo-ts i jang
datang. Sung Shih mentjatat bahwa utusan dari San-fo-ts i datang lagi
pada tahun 1017, 1028, 1067, 1080, 1082, 1083, pangsa waktu 1094-
1097, 1156, dan jang penghabisan kali pada tahun 1178. Pada tahun
1178 kaisar mengeluarkan pengumuman, agar San-fo-ts i tidak lagi
mengirim utusan keistana, tetapi mendirikan suatu perusahaan dagang
di C h ’uan-chow di Fu-kien.Didalam sedjarah Sung (bab 489) keradjaan San-fo-ts’i itu diuraikan
seperti berikut:„Keradjaan San-fo-ts’i adalah keradjaan bangsa liar dilaut Selatan.
Letaknja antara Chen-Ia dan She-po, memerintahkan limabelas matjam
negeri. Negeri itu menghasilkan rotan, kino(?) merah, kaju tjendana,
pinang dan njiur. Penduduknja tidak menggunakan uang tembaga,
197
kebiasaan mereka ialah berdagang mas dan perak. Hawanja panas.
Dimusim dingin tidak ada es atau saldju. Rakjatnja mengusap badan-
nja dengan minjak semegrak. Negeri ini tidak menghasilkan gandum,
tetapi menghasilkan banjak padi, kapri kuning dan hidjau. Mereka
membuat anggur dari bunga, dari njiur, pinang dan madu. Mereka
menggunakan huruf Sansekerta (Dewanagari); radjanja menggunakan
tjintjin sebagai tjap. Mereka djuga mengenal huruf Tionghwa. Djika
mengirim utusan ke Tiongkok, mereka menulis dengan huruf jang ter-
achir ini. Bila angin baik, djarak antara Kwang-tung dan negara
tersebut, dapat ditempuh dalam waktu duapuluh hari. Nama-nama kelu
arga banjak jang mulai dengan P ’u. Pada tahun 960 radja Shih-li-hu-
ta-hia-li-tan mengirim utusan ke Tiongkok. Pada tahun 992 negeri itu
ditundukkan oleh Djawa. Pada tahun 1003 dua utusan dari San-fo-ts’i
memberitahukan bahwa dinegeri itu telah didirikan tjandi Buda dengan
tudjuan sebagai tempat berdoa untuk memohonkan pandjang usia
bagi kaisar Tiongkok. Kaisar kemudian memberi nama untuk tjandi itu
dan menghadiahkan lontjeng chusus tertjetak untuk tjandi tersebut.
Pada tahun 1017 utusan dari San-fo-ts’i membawa bingkisan-bingkisan
buku Sansekerta, jang dilipat dalam sampul papan. Pada tahun 1082
tiga utusan datang menghadap kaisar; mereka mempersembahkan bunga
teratai mas jang berisi mutiara, kapur barus dan satin.”
Chu-fan-chi jang disusun oleh Chao-ju-kua pada masa pemerintahan
radjakula Sung (960- 1279) menguraikan bahwa San-fo-ts’i terletak
tepat disebelah selatan Ch’uan-hou (berhadapan dengan Formosa uta
ra); rakjatnja bersarong kain kapas dan berpajung sutera. Mereka
pandai berperang baik dilaut maupun didarat. Organisasi ketentaraan-
nja sangat rapi. Bila radjanja wafat, rakjatnja bertjukur gundul sebagai
tanda belasungkawa. Mereka jang berbela, mentjeburkan diri dalam
minjak mendidih. Adat itu disebut „T’ung-sheng-ssu” artinja „sehidup
semati”. Ada artja Buda jang disebut gunung mas dan perak. Radjanja
biasa disebut „hakekat ular". Mahkotanja mas, berat sekali. Hanja
baginda sadja jang kuat mengangkatnja. Barangsiapa kuat mengang-
katnja, djadi panggantinja. Negeri itu terletak ditepi laut dan merupa
kan bandar penting, mengawasi masuk-keluar kapal negferi-negeri lain-
nja. Dahulu menggunakan rantai besi sebagai batas bandar.
Dalam sedjarah Ming (1368- 1643) buku 324 tertjatat demikian:
„Pada tahun 1397 San-fo-ts i untuk penghabisan kalinja dikalahkan
oleh Djawa; kemudian namanja diganti Chiu-chiang artinja: pelabuhan
lama, sungai lama”.
Dalam Ying-yai-sheng-lan (1416) tertjatat, bahwa Chiu-chiang
sama sadja dengan negara jang sebelumnja disebut San-fo-ts’i, djuga
disebut Po-lin-pang, ada dibawah kekuasaan Djawa. Kapal-kapal jang
198
datang dari manapun, masuk selat Peng-chia (Bangka) jang berair
tawan. Didekatnja banjak pagoda jang dibuat dari bata. Kemudian
para pedagang mudik kehulu, djalannja makin lama makin sempit,
menudju ibukota.
Berdasarkan berita-berita geografi diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa keradjaan San-fo-ts’i terletak di Palembang. Kesimpulan itu
sudah merupakan pendapat umum. Dan memang tidak ada keberatan
untuk menerima pendapat itu. Seperti telah disinggung diatas, jang
menimbulkan persoalan ialah: adakah Shih-li-fo-shih itu sama dengan
San-fo-ts’i? Hingga sekarang para ahli sedjarah menganggapnja sama.
Takakusu jang belum mengenal nama Sriwidjaja, menjamakan Shih-li-
fo-shih dengan Sribhoja, Fo-shih dengan Bhoja. Ia djuga beranggapan
bahwa Shih-li-fo-shih dalam pemberitaan I-ts’ing sama dengan San-
fo-ts i dalam berita-berita Chu-fan-chi. Penjamaan Shih-li-fo-shih de
ngan Sriwidjaja adalah djasa Coedes. Penjamaan itu memang tjotjok.
Tarich piagam Kedukan Bukit ialah 683, tarich piagam Talang Tuwo
ialah 684 dan tarich piagam Kota Kapur ialah 686. Pada tahun 672
I-ts ing ada di Sriwidjaja. Bukunja Memoire dan Record semuanja
ditulis dikeradjaan Sriwidjaja sesudah ia kembali dari Nalanda. Te-
tapi penjamaan Shih-li-fo-shih dan San-fo-ts’i masih harus dibuktikan.
Kesulitannja segera nampak,- djika kita memperhatikan perbedaan
waktu antara timbulnja dua nama tersebut. Nama Shih-li-fo-shih di
kenal pada masa pemerintahan radjakula T'ang (61& ~9Q7) dan nama
San-fo-ts i dikenal pada masa pemerintahan radjakula Sung (960-1279)
dan seterusnja. Perbedaan bunji antara dua nama itu terutama berupa
perbedaan antara bunji Shih-li dan San. Bahwa Shih-li atau Che~li
adalah transkripsi Tionghwa dari Sri mudah dipahami. Mengapa maka
pada pemerintahan radjakula Sung sekonjong-konjong timbul bunji
San? Adakah nama Sriwidjaja berubah mendjadi Sang W idjaja?
Meskipun soal linguistik ini soal ketjil, namun kiranja perlu djuga
diperhatikan. Saja jakin bahwa jang dimaksud dengan San-fo-ts i dalam
sumber berita Tionghwa itu keradjaan Sriwidjaja, namun kiranja
San-fo-ts i bukanlah transkripsi nama Sriwidjaja. Untuk menundjukkan
identifikasi keradjaan San-fo-ts’i dengan keradjaan Sriwidjaja, kita
perlu membandingkan berita Tionghwa pada masa pemerintahan radja-
kula Sung dengan piagam Leiden jang berbahasa Sansekerta. Disitu
kita melihat radja jang sama, diberitakan oleh kedua belah pihak, baik
oleh berita Tionghwa maupun oleh berita India.
Berita Tionghwa menguraikan bahwa pada tahun 1003 seorang
radja dari San-fo-ts'i jang bernama Cudamaniwarmadewa mengirim
dua orang utusan ke Tiongkok. Dua orang utusan itu menjatakan ke-
199
i
pada kaisar, bahwa dinegerinja sedang dibangun sebuah tjandi Buda.
Mereka mohon kepada kaisar, agar beliau suka memberi nama untuk
bangunan tersebut. Tjandi itu lalu diberi nama Ch eng-tien-wan-show.
Pada tahun 1008 datang lagi utusan dari San-fo-ts’i. Terbukti bahwa
radja jang mengirim utusan itu bukan lagi Cudamaniwarman, tetapi
puteranja jakni Marawidjajatunggawarman. Dua nama itu memang
tertjatat pada piagam Leiden jang berbahasa Sansekerta. Menurut
berita Tionghwa itu radja Cudamaniwarmadewa disebut Se’-li-chu-
la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa, sedangkan Marawidjajatunggawarman di
sebut Se’-li-ma-la-pi (Sri Marawi, jakni Sri Marawidjaja).
Berita India
Hubungan antara Sriwidjaja dan India pada permulaan abad 1 j tertjatat pada piagam jang sekarang disebut Larger Leyden Plates, di
tulis dalam bahasa Sansekerta dan bahasa Tamil. Isinja peringatan
pembangunan wihara Cudamaniwarman oleh radja Marawidjajatung
gawarman dan persembahan dusun Anaimanggalam sebagai djaminan
kepada para pendeta jang hidup dalam wihara tersebut. Bagian jang
tertulis dalam bahasa Sansekerta itu telah diterdjemahkan oleh Prof
Nilakanta Sastri seperti berikut:
,,He, this Rajakesawariwarman Rajaraja, who had seen the other
shore of the ocean of the collection of all sciences, who foot-stool \Vas
made yellow by the cluster of rays (eminating) from many a gem set
on the borders of the beautiful gold diadems worn by the entire circle
of kings, gave in the twenty-first year of his universal sovereignty
to the Buddha residing in the surpassing by beautiful Culamaniwa r '
mawihara, of (such) high loftiness (as had) belittled the Kanakagjri
(i.e. Meru), which had been built - in the name of his father, by the
glorious Marawijayatunggawarman, who, by the greatness of his wis
dom, had conquered the teacher of the gods, who was the sun to the
lotusforest (viz.) the learned man, who was the Kalpa-tree to suppjj
cants, who was born in the Çailendra family, who was the lord of
the Çriwisaya (country), who was conducting the rule of Kataha
who had the Makara-crest (and) who was the son of Culamaniwar-
man that had matered all state-craft, at Nagapittana, delightful (on
account of) many a temple, rest-house, watershed, and pleasure gar
den and brilliant with arrays of various kinds mansions (situated) in the division called Pattanakura (included) in the big group of dis
tricts named Ksatriyaçikkamani-walanadu, which was the forehead-
mark of the whole earth, the village named Anaimangalam (wich had
its) four bounderies defined by circumambulation of the female elephant
200
and (which was situated) in the division called Pattanakura (included)
in the same group of districts (as has been named above).
W hen that powerful (Rajaraja) had obtained divinity, his wise son,
king Madhurantaka, who ascended on his throne, caused an enduring
edict (to be made) for this village, which had thus been granted by
his father, the king-emperor, and ordered thus: —
As long as £esa, the lord of all serpents, holds the entire earth, so
long may this wihara last in (this) world with its endowment.
This lord of Kataha of great valour, the abode of virtues, thus prays
to all future kings: —
Protect (ye) for ever this my charity.
Selandjutnja Nilakanta Sastri memberikan keterangan bahwa dalam
piagam Tamil disebut, bahwa pembangunan wihara dan tjandi itu di
lakukan oleh radja Kidara Cudamaniwarman pada tahun ke 21 masa
pemerintahan Rajakesariwarman jakni pada tahun 1006. Piagam pe-
nguatnja dikeluarkan oleh radja Madhurantaka jakni Rajendra, putera
radja Kesariwarman. Namun pada piagam Sansekerta disebut bahwa
pembangunan wihara dan tjandi itu dilakukan oleh Marawidjajatung-
gawarman. Ini dapat ditafsirkan bahwa pembangunan wihara dan tjan
di itu dimulai oleh Cudamaniwarman pada tahun 1006. Namun sebelum
bangunan itu selesai, beliau mangkat. Kemudian pembangunan disele
saikan oleh Marawidjajatunggawarman. Piagam Tamil ditulis pada
masa pemerintahan Rajakesariwarman Rajaraja, sedangkan piagam
Sansekerta ditulis pada masa pemerintahan Rajendra. Beliau mengeta
hui, bahwa pembangunan itu dilakukan atas nama radja Marawidjaja
tunggawarman. Nama Cudamaniwarman dan Marawidjajatunggawar
man dikenal dalam berita Tionghwa.
Tarich berita Tionghwa itu tjotjok dengan tarich piagam Larger
Leyden Plates, tentang masa pemerintahan Cudamaniwarman dan a
rawidjajatunggawarman. Menurut J.C. Powell-Price dalam bukunja
A History of India hal. 87 masa pemerintahan Rajaraja mulai tahun
985 sampai tahun 1012. Djadi tahun ke 21 masa pemerintahan Rajaraja
ialah tahun 1006. Menurut berita Tionghwa jang mengirim utusan ke
Tiongkok pada tahun 1008 ialah Marawidjajatunggawarman. Pada
piagam jang ditulis dalam bahasa Tamil dinjatakan, bahwa pada tahun
ke 22 masa pemerintahan beliau, jakni pada tahun 1007 wihara di
Nagapattana itu sedang dibangun oleh radja Kidara Cudamaniwar
man. Demikianlah dapat dipastikan bahwa Cudamaniwarman wafat
antara tahun 1006 dan 1008. Baik piagam Larger Leyden Plates mau
pun berita Tionghwa itu membuktikan bahwa radja Sriwidjaja Cuda
maniwarman dan Marawidjajatunggawarman mengadakan hubungan
201
dengan India dan Tiongkok untuk memperkuat kedudukan Sriwidjaja.
Berita Tionghwa menjebut negaranja San-fo-ts’i, sedangkan Larger
Leyden Plates menjebut Qriwisaya. Demikianlah San-fo-ts’i itu sama
dengan Sriwidjaja.Menurut berita Tionghwa Yin-yai-sheng-lan jang telah dikutip di-
atas Chiu-chiang sama sadja dengan negara jang sebelumnja disebut
San-fo-ts'i, djuga disebut Po-lin-pang. Oleh karena San-fo-ts’i seperti
dibuktikan diatas sama sadja dengan Sriwidjaja, maka Sriwidjaja
terletak di Palembang. San-fo-ts’i tidak mungkin diidentifikasikan de
ngan Muara Tembesi didaerah Djambi seperti disarankan oleh Drs.
Sukmono.
Lokalisasi San-fo-ts'i
Tidak dapat lagi disangkal bahwa San-fo-ts’i terletak di Palembang.
Kita ingin mengetahui mengapa kiranja maka keradjaan Sriwidjaja
jang ditranskripsikan dalam tulisan Tionghwa pada masa pemerintah
an radjakula T ’ang Shih-li-fo-shih, sekonjong-konjong dalam masa
pemerintahan radjakula Sung ditranskripsikan San-fo-ts’i.
Takakusu dalam menterdjemahkan 'karya pendeta I-ts’ing Nan-hai-
chi-kuei-nai-fa-ch’uan jang diberi djudul A record of the Bhuddhist reli-
gion as practised in India and the Malay Archipelago. disingkat Record, djuga menjinggung nama San-fo-ts’i. Nama itu ditranskripsikan kem
bali Sam-bo-tzai. Nama Sam-bo-tzai terang tidak ada di Sumatera.
Van Ronkel menjamakannja dengan Sam-bho-ja. Coedes beranggapan
bahwa sati pada San-fo-ts i adalah akibat salah tulis. Pendapat jang
demikian tidak dapat dipertahankan, karena nama San-fo-ts’i diguna_
kan dalam sedjarah Sung dan Ming berkali-kali. Ferrand tjenderung
untuk menjamakan San-fo-ts’i dengan Sambhoja dan beranggapan
bahwa nama Sriwidjaja kemudian berubah mendjadi Sambhoja (Sam-
bodja). G. Ferrand mengikuti pendapat van Ronkel. Tetapi segera
tertumbuk kepada kesulitan, bahwa baik dalam kesusasteraan maupun
epigrafi pada permulaan abad 10 dan selandjutnja nama Sambhoja tidak
pernah didjumpai. Bahkan pada tahun 1006 radja Cudamaniwarman
dan Marawidjajatunggawarman masih disebut radja £ riwisaya dan
Kadaram (menurut Larger Leyden Plates},. Majumdar membantah pe-
njamaan San-fo-ts’i dengan Palembang. Ia berpendapat bahwa San-
fo-ts’i dan Palembang adalah dua tempat jang berbeda. Menurut pen-
dapatnja satu-satunja kemungkinan untuk menetapkan dimana letaknja
San-fo-ts’i ialah menerima pendapat, bahwa San-fo-ts’i itu sama de
ngan Zabaj atau Zabag, seperti jang diberitakan oleh penulis-penulis
A r a b . San-fo-ts'i harus terletak di Semenandjung Melaju. Dalam
s e d j a r a h Ming dinjatakan bahwa San-fo-ts'i semula disebut Kan-to-li.
202
Negeri ini mengirim utusan jang pertama kali pada masa pemerintahan
kaisar W u (454-464). Selama pemerintahan kaisar W u (502-549)
dari radjakula Liang negeri San-fo-ts’i berulang kali mengirim utusan
ke Tiongkok. Selama masa pemerintahan radjakula Sung jang kedua
(960- 1279) tidak ada putusnja mengirim utusan. Tentang geografi
Kan-to-li dikatakan, bahwa negeri tersebut terletak dilaut Selatan.
Adat istiadat penduduknja sama dengan penduduk Fu-nan dan Lin-i.
Gerini menempatkan Kan-to-li ini dipantai timur Semenandjung. Ber
dasarkan penjelidikan Gerini ini Majumdar menetapkan San-fo-ts i
djuga dipantai timur Semenandjung. Ditegaskannja* bahwa Kan-to-li
meliputi wilajah Kadara atau Kidara. Kadara atau Kidara adalah nama
Kedah dalam bahasa Tamil. Menurut pendapatnja San-fo-ts’i adalah
nama Tionghwanja. Nama Kan-to-li sesuai dengan nama Kidara, se
dangkan San-fo-ts’i sesuai dengan Zabaj atau Zabag.
Perbedaannja hanja tambahan fonem selundup n pada Kan-to-li dan
San-fo-ts’i. Dalam bahasa Tamil bentuk lain dari Kadara ialah Kidara.
Dalam bahasa Tionghwa pun ada dua bentuknja, jakni Kan-to-li dan
Kin-to-li. Groeneveldt menjamakannja dengan Palembang berdasarkan
berita Tionghwa pada masa pemerintahan radjakula Ming. Mengenai
nama Kan-to-li Prof. Kern mengira bahwa nama tersebut adalah trans
kripsi Tionghwa dari nama Kandari; Kandari disamakannja dengan
Kondor. Dari berita Arab, tulisan Ibn Madjid dari abad 15 G. Ferrand
memperoleh keterangan bahwa pelabuhan Singkel di Sumatera disebut
oleh berita Arab „Sinkil Kandari”. Kesimpulan jang diambilnja ialah
bahwa nama Kandari kemudian mendjadi nama seluruh Sumatera. Krom
sependapat dengan Ferrand, bahwa Kandari harus ditjari di Suma
tera.
Moens lebih banjak meletakkan tekanannja pada soal geografi dari
pada soal linguistik. Oleh karena itu ia mendasarkan pendapatnja ter
utama pada berita-berita Tionghwa, jang mempunjai sangkut-paut
dengan geografi keradjaan San-fo-ts’i. Dari sedjarah Sung dipero e
berita bahwa dari Cho-po dalam empat hari perdjalanan orang men
tjapai laut. Sesudah limabelas hari berlajar kearah barat laut,
sampai di Po-ni; limabelas hari lagi orang sampai di San-fo-ts i.
berita Tionghwa didapat lagi keterangan bahwa San-fo-ts i1 antara Chen-la dan Cho-po atau antara Kambodja dan Djawa. % ^
dasarkan berita itu Moens mengambil kesimpulan, bahwa San- o- s
terletak dibagian selatan Semenandjung. Moens lalu mengutip
Arab Abu Zayd jang mengatakan bahwa ibukota Jawaka berha aPa”
dengan Tiongkok dan dapat ditjapai dari Tiongkok selama tigapu u
hari pelajaran dengan angin baik. Menurut Moens berita itu menun
djukkan bahwa ibukota Jawaka terletak dipantai timur Semenandjung.
203
I
karena bagian ini berhadapan dengan Tiongkok. Ia menjamakan Zabaj
dan San-fo-ts’i dengan Kadaram. Oleh karena San-fo-ts'i terletak
dipantai timur Semenandjung, dan Sriwidjaja terletak di Palembang
dan menurut berita Tionghwa San-fo-ts'i kemudian menggantikan
Sriwidjaja, maka Moens berpendapat, bahwa San-fo-ts’i pernah me
nundukkan Sriwidjaja. Pendapat Moens ini diperkuat oleh berita Arab
berasal dari Sulaiman (851) jang mengatakan bahwa Kalah-bar dan
Zabaj ada dibawah kekuasaan satu radja. Berita Zayd Hassan djuga
mengatakan, bahwa Sribuza adalah salah satu negara jang termasuk
wilajah kekuasaan radja Zabaj. Djadi menurut Moens Kadaram mengalahkan Sriwidjaja, bukan kebalikannja.
Pendapat Moens ini bertentangan dengan pendapat para sardjana
jang berlaku hingga pada waktu itu. Penempatan San-fo-ts’i dipantai
timur Semenandjung, oleh Moens dan Majumdar bertentangan dengan
berita Yin-yai-sheng-lan jang menjatakan, bahwa Chiu-chiang sama
sadja dengan negara jang sebelumnja disebut San-fo-ts’i, djuga disebut
Po-lin-pang. Uraian tentang letaknja ibukota keradjaan San-fo-ts'-
oleh Yin-yai-sheng-lan djelas sekali. Bagaimanapun jang dimaksud
dengan San-fo-ts'i oleh Yin-yai-sheng-lan ialah keradjaan di Suma
tera jang ibukotanja terletak di Palembang. Hingga sekarang or
berpendapat, bahwa ibukota keradjaan Sriwidjaja ialah Palemba ^
meskipun bukti-bukti jang dikemukakan belum memberi kejakin*19 Andaikata benar bahwa ibukota keradjaan Sriwidjaja itu terletak
Palembang, timbul pertanjaan, apa sebabnja nama Shih-li-fo-shih ' '
berubah mendjadi San-fo-ts’i? Kedua-duanja adalah transkripsi T'
hwa dari nama keradjaan di Palembang. Jang satu terang translT^9*
dari Sriwidjaja, jang lain belum diketahui, karena usaha para s a r d ^ ^
hinga sekarang belum memberikan hasil jang memuaskan. ,ana
Nilakanta Sastri mengemukakan pendapat bahwa timbulnia
San-fo-ts’i diberita-berita Tionghwa terang sesudah Sriwidia'
perintah oleh radjakula Sailendra dari Djawa, jang bernama Bala!,3 ,
dewa seperti tertjantum pada piagam Nalanda. Timbullah pertan“
apakah perubahan radjakula itu menjebabkan perubahan nama k ’
djaan? Apa jang mendjadi dasar perubahan nama keradjaan itu?
hal mi Nila anta Sastri tidak mengemukakan pendapatnja. D engan kata lain hasil usahanja untuk memetjahkan persoalan San-fo-ts’i m u
negatif. Suatu kenjataan ialah bahwa perubahan dinasti jang * *
rintah itu menimbulkan perubahan gelar atau sebutan radia p T
piagam-piagam jang ditulis dalam bahasa Sriwidjaja radia
merintah bergelar dapunta hm ng Pa(Ja piagara. piagam ’ 9
dalam bahasa Sansekeria dan dikeluarkan oleh radja dari r a d ia lc l Sailendra, gelar rad,a ,alah matmraija. p ada piagam N alanda Bala
204
putra bergelar maharadja dan menjebut dirinja Suwarnadwipadhipa
maharaja: maharadja Suwarnadwipa. Pada piagam Ligor B radjanja
bergelar gri maharaja: Sri maharadja. Gelar maharadja tidak dikenal
pada piagam-piagam Sriwidjaja jang ditulis dalam bahasa Sriwidjaja.
Pada piagam Nalanda negara Sriwidjaja disebut Suwarnadwipa. Nama
Suwarnadwipa pada piagam Nalanda terang sama dengan nama Sri
widjaja pada piagam-piagam jang ditulis dalam bahasa Sriwidjaja.
Nama Suwarnadwipa tidak mungkin ditranskripsikan San-fo-ts’i dalam
tulisan Tionghwa.
Sung-shih mentjatat bahwa pada tahun 980 dan 983 radja San-fo-ts i
menggunakan sebutan hia-tch’e. Sebutan hia-tch’e adalah transkripsi
dari kata Melaju hadji atau Djawa kuno haji: radja. Diantara piagam-
piagam Sriwidjaja hanja piagam Telaga Batu jang menjebut radja
Sriwidjaja haji dalam hubungan marsi haji: dubi radja, bini haji: isteri
radja; dan hulun haji: abdi radja. Pada tahun 1017 tertjatat sebutan hia-
tch’e Sou-wou-tch’a: haji Sumatra (haji Suwarnadwipa). Nama Suwar
nadwipa telah banjak dikenal dalam berita Tionghwa. Dalam karya-
karyanja I-ts’ing menjebutnja Chin-chou: pulau emas. Ia tidak men-
transkripsikan dengan huruf Tionghwa, tetapi menterdjemahkannja.
Pada tahun 1156 digunakan lagi maharadja dalam bentuk si-li-ma-chia-
lo-cho. Gelar maharadja itu djelas gelar radja Sriwidjaja dari radja-
kula Sailendra.
Tidak ada nama atau sebutan jang kiranja mirip dengan nama San-
fo-ts’i. Jang agak menarik perhatian ialah usaha untuk menjamakan
nama San-fo-ts’i dari berita Tionghwa dengan Zabaj atau Zabag dari
berita Arab. Baik Coedes maupun Nilakanta Sastri menjetudjui bahwa
Zabag dari berita Arab dan Jawaka dari berita Tamil adalah bentu
ubahan nama asli jang digunakan untuk Malaysia. Jang mendja i
persoalan ialah bentuk nama asli jang mana? Jang mungkin ditrans
kripsikan Zabaj dalam bahasa Arab ialah nama Yawadwipa. Yawa-
dwipa telah dikenal oleh Ptolomeus dan ditranskripsikan mendja i
Iabadiou. Tambahan diou sesuai dengan kata Prakrit diwu jang ber
asal dari kata Sansekerta dwipa. Bentuk Zabag dan Zabaj dalam
berita Arab berbeda asalnja. Zabag mengikuti transkripsi Tamil Jawa
ka; Zabaj mengikuti Iabadiou atau memang langsung dari Yawadwipa.
Pada abad 14 fonem y pada Yawa sudah berubah mendjadi j seperti
dikenal dalam Nagarakretagama. Nama Yawadwipa tidak semata-
mata digunakan untuk m enjebut pulau Djawa. Sumatera disebut djuga
Yawadw ipa. Nama Yawadwipa ditranskripsikan dengan huruf Tiong-
hwa mendjadi Ye-po-ti. Ye-po-ti tidak mungkin sama dengan San
fo-ts'i.
205
Saja beranggapan bahwa San-fo-ts'i adalah transkripsi dari nama
tempat, jang sudah ada pada zaman Sriwidjaja. Tempat itu harus ter
letak didaerah Palembang, karena menurut Yin-yai-sheng-lan keradjaan
San-fo-ts’i djuga disebut keradjaan Po-lin-pang. Nama tempat itu harus
sudah ada pada zaman Sriwidjaja, karena pada tahun 960 ketika ke
radjaan Sriwidjaja masih berdiri seperti terbukti dari piagam Tanjore
(tahun 1030), nama San-fo-ts’i telah muntjul dalam sedjarah Tionghwa.
Menurut Chu-fan-chi Palembang termasuk salah satu negeri bawahan
San-fo-ts'i. Nama jang ditranskripsikan San-fo-ts’i, bunjinja paling
sedikit menjerupainja. Djadi harus memuat bunji San; b(w ), g(j), dan
fonem jang terachir ini harus disertai bunji i. Mungkin bunji i ini per
ubahan dari suku ya dari kata Sansekerta jaya, jang mendjadi jay,
mungkin memang i pada dasarnja.
Nama tempat jang kiranja memenuhi sjarat-sjarat tersebut ialah
Sabukingking dibagian timur kota Palembang zaman sekarang, ter
letak ditepi sungai Musi. Tempat ini terbukti tempat penting dalam
sedjarah, karena disitu diketemukan petjahan piagam jang tertulis da
lam bahasa Sansekerta. Berdasarkan bentuk tulisannja, piagam itu
berasal dari abad ke 7, sama dengan petjahan piagam Bukit Siguntang.
Zaman sekarang tempat itu didjadikan tempat keramat, tempat orang
mentjari restu; dianggap sebagai tempat dimakamkan orang penting
zaman dahulu kala. Sesuai dengan kepertjajaan masjarakat zaman se
karang, jang kebanjakan anggotanja beragama Islam, sudah semestinja
timbul anggapan bahwa tempat itu mendjadi tempat dimakamkan radja
Palembang jang beragama Islam. Demikianlah Sabukingking mengalam,-
proses peng-Islam-an. Kiranja nama itu bentuk ubahan dari nama lama
jang disesuaikan dengan sifat dan utjapan bahasa Palembang seka
rang. Nama itu kiranja semula kata Sansekerta seperti halnja dengan
nama Palembang jang berasal dari palimbang(a ): tepi. Kalau tidak
salah duga, namanja dahulu ialah Sambhogin artinja: tempat jang pe
nuh dengan kesenangan. Nama Sambhogin memang tidak djauh dari
transkripsi Tionghwa San-fo-ts'i. Sebagai pertjobaan dua orang T i
onghwa saja suruh menulis Sambogin dengan huruf Tionghwa. Kedua-
duanja mendjawab: sulit sekali. Namun mereka itu berusaha djuga
untuk menulisnja. Hasilnja mereka menulis huruf-huruf jang sama.
Mereka lalu membatjanja menurut utjapan Mandarin dan Kanton;
San-fo-ts’i. Tulisan itu saja bandingkan dengan tulisan Tionghwa jang
biasa diutjapkan San-fo-ts’i, terdapat pada Record, terbitan Takakusu.
Berdasarkan pertjobaan itu saja jakin bahwa San-fo-ts'i dalam sedjarah
Sung itu adalah transkripsi Tionghwa dari nama tempat Sambhogin,
jang sekarang mendjadi Sabukingking, terletak dibagian timur Palem
bang. ditepi sungai Musi. Perubahan nama jang demikian adalah per
206
istiwa biasa dalam sedjarah toponimi. Perubahan bunji nama jang
bersangkutan disesuaikan dengan kebiasaan masjarakat jang menje-
butnja. Nama Carpentie r dikota Solo didjadikan Seka r patje: kampung
Sekar Patje. Bouwploeg didjadikan Boplo: pasar Boplo di Djakarta.
Nama Marlborough didjadikan Malioboro: djalan raja dikota Jogja
karta.
Letak Sambhogin ditepi sungai Musi sesuai dengan pemberitaan
Yin-yai-sheng-lan seperti telah dikutip diatas. Menurut berita Yin-yai-
sheng-lan San-fo-st’i adalah nama ibukota keradjaan San-fo-st’i. De
mikianlah Sambhogin (Sabukingking) adalah ibukota Sriwidjaja dalam
abad 10 keatas. Orang-orang Tionghwa menjebut nama keradjaan
jang pada waktu itu masih djelas bernama Sriwidjaja, dengan nama
pusat keradjaannja. Peristiwa jang demikian djuga merupakan gedjala
biasa dalam sedjarah. Sebagai analogi kita mengambil tjontoh kata
Djakarta zaman sekarang. Biasa orang berkata: „Apa kata Djakarta?”
maksudnja: Apa jang dikatakan oleh pemimpin-pemimpin Republik
Indonesia jang ada di Djakarta? Nama ibukota Djakarta mewakili Re
publik Indonesia. Zaman tigaratus tahun jang lalu daerah istimewa
Jogjakarta bernama keradjaan Mataram. Setelah ibukota Ajodhyakarta
didirikan, orang menjebutnja Jogjakarta. Nama Mataram terdesak oleh
nama Jogjakarta. Masih banjak tjontoh-tjontoh lainnja. Perpindahan
ibukota sebagai pusat keradjaan banjak terdjadi. Tidaklah aneh bah
wa ibukota keradjaan Sriwidjaja dalam abad 10 keatas mengalami per
pindahan djuga, meskipun perpindahan itu hanja terdjadi dilingkungan
kota Palembang sadja. Pusat aktivitas pembesar-pembesar Sriwidjaja
berpindah ke Sabuking'king. Tempat itulah jang dikenal baik oleh para
pedagang dan pembesar Tionghwa. Dalam berita-berita Tionghwa
nama itu lebih dikenal daripada nama resmi keradjaannja.
Negara-negara bawahan San-fo-ts’i
Chu-fan-chi jang disusun pada tahun 1225 memberitakan limabelas
negeri bawahan keradjaan San-fo-ts’i, termasuk diantaranja Palem
bang, jakni: 1 . Pong-fong, 2. Tong-ya-nong, 3. Ling-ya-si-kia, 4. Ki-
lantan, 5. Fo-lo-an, 6. Ji-lo-ting, 7. Ts'ien-mai, 8. Pa-t'a, 9. Tan-ma-
ling, 10. Kia-lo-hi, 11. Pa-lin-fong, 12. Sin-to, 13. Kien-pi, 14. Lan-
mu-li, 15. Si-lan.
Pong-fong disamakan dengan Pahang; Tong-ya-nong dengan Treng-
ganu; Ling-ya-si-kia dengan Langkasuka; Ki-lan-tan dengan Kelan
tan; Ji-lo-ting dengan Jelotong; diudjung tenggara Semenandjung; Tan-
ma-ling dengan Tamralingga; Kia-lo-hi dengan Grahi; Pa-lin-fong
dengan Palembang; Sin-to dengan Sunda; Ken-pi dengan Kampe di-
207
teluk Aru; Lan-wu-li dengan Lamuri (Atjeh), Si-lan dengan Ceylon
atau Sailan atau Srilangka.Rouffaer menjamakan Kien-pi dengan Kampe diteluk Aru. Dalam
Sung-hui-yao dinjatakan, bahwa pada tahun 1082 keradjaan Djambi
masih berdiri sendiri sebagai bagian keradjaan San-fo-ts i. Keradjaan
Djambi itu disebut Chan-pei. Djika nama Kien-pi pada Chu-fan-chi ini ■
sama dengan Chan-pei pada Sung-hu-yao, maka jang dimaksud ialah
Djambi, jang sudah terang ada dibawah kekuasaan San-fo-ts'i atau
muara Kompeh.Rouffaer mentjari Fo-lo-an di Selangor Selatan, Pa-t’a disamakan
dengan Batak, Ts’ien-mai disamakan dengan Semang atau Semawe.
Roland Braddell jang meneliti toponimi tentang nama-nama itu sekali
lagi, tidak mendasarkan pendapatnja pada kemiripan bunji semata-mata,
tanpa mengingat geografi, menjatakan bahwa Fo-lo-an adalah daerah
sungai Dungun, dan Pa-t’a adalah daerah sungai Paka. Kedua-duanja
terdapat dipantai timur Semenandjung. Ji-lo-ting adalah sungai Tjera^
ting, jang mengalir didaerah perbatasan Trengganu dan Pahang,. Ten
tang nama Ts’ien-mai Braddell tidak dapat menemukan tempat jang
mirip namanja dan menurut geografi dapat dipertanggung djawabkan.
Penjelidikannja memberi sumbangan jang berharga bagi pengetahuan
geografi dalam sedjarah lama.
Tan-ma-ling oleh Takakusu dikira Tana-Melaju; oleh Coedes di
samakan dengan Tamralingga didaerah Ligor. Pendapat Coedes inj
diterima oleh umum hingga sekarang. Nama Tamralingga kedapatan
pada piagam jang diketemukan di Ch’ai-ya, jakni didaerah Ligor, ber-
tarich tahun 1230. Pada piagam itu tersebut nama Tjandrabhanu (Can-
drabhanu), jang bergelar Sri Dharmaradja, pembesar Tamralingga.
Oleh karena piagam tersebut diketemukan di Ch’ai-ya, dikira bahwa
Ch’ai-ya termasuk wilajah Tamralingga. Tetapi tidak diketahui dimana
letaknja. Coedes menempatkannja antara teluk Bandon dan Ligor
seperti djuga Nilakanta Sastri, karena menurut anggapannja Sri Dhar
maradja adalah chusus sebutan radja-radja Ligor. Sedjak daerah itu
termasuk wilajah Siam, maka nama ibukotanja disebut Negara Sridhar-
maradja, jakni Nakon Sri Tammarat zaman sekarang. Pada piagam
Nidessa jang tertulis dalam bahasa Tamil terdapat nama Tambrali-
ngam. Baik oleh Coedes maupun oleh Nilakanta Sastri nama itu di
samakan dengan nama Tamralingga pada piagam Ch’ai-ya. Menurut
pendapatnja Tan-ma-ling adalah transkripsi Tionghwa dari Tamra
lingga. Ma-Damalingam pada prasasti Nidessa adalah Damalingam
atau Tamalingam agung. Demikianlah Tan-ma-ling (Tionghwa) = Ta-
malingam (Tami) = Tamralingga (Ch’ai-ya). Ia menambahkan bah
wa tambra adalah bentuk Prakrit dari tamra dan berarti: tembaga. Te-
208
tapi oleh karena Ch’ai-ya tidak menghasilkan tembaga, maka nama
itu harus diartikan: lingga tembaga. Demikian ringkasan pendapat
Coedes.
Oleh Jkarena Tan-ma-ling adalah transkripsi Tionghwa dari suatu
tempat, jang disebut diantara negara-negara dipantai timur Malaja
dalam rangkaian negara-negara bawahan San-fo-ts'i, maka nama itu
harus ditjari dipantai timur Semenandjung Melaju. Mungkin diantara
nama-nama tempat jang sekarang masih ada, ada jang menjerupainja.
Ketjuali daripada itu kita harus mentjari pendjelasan mengenai berita-
berita lain atau dalam Chu-fan-chi, jang sekadar memberikan uraian
tentang Tan-ma-ling sebelum mengambil kesimpulan. Demikian Roland
Braddell.
Didalam bahasa Amoy Hokkien Tan-ma-ling itu diutjapkan Tan-be-
ling, menurut Schlegel. Nama tempat jang mirip sekali dengan Tan-
be-ling ialah Tembeling di Pahang. Chao-ju-kua dalam Chu-fan-chi
mentjatat bahwa Tan-ma-ling adalah suatu keradjaan dibawah peme
rintahan Siang-kung. Oleh ikarena Tan-ma-ling daerah djadjahan San-
fo-ts i, maka pembesar jang disebut Siang-kung itu bukan radja. Da
lam susunan keradjaan Sriwidjaja seorang pembesar jang diserahi
pemerintahan didaerah tertentu oleh radja Sriwidjaja disebut datu.
Mungkin Siang-kung ini sama dengan datu. Oleh San-tsai-t’u-hui (1607)
diberitakan dengan djelas, bahwa Tan-ma-ling diperintah oleh seorang
pembesar jang bukan radja. Mengenai hasil bumi baik Chu-fan-chi
maupun Tao-i-chih-lio (1249) beritanja hampir sama. Tao-i-chih-lio
mentjatat: terutama timah, kamper, mutiara, tulang, penju, tjendana
dari gaharu. Chu-fan-chi menambah gading dan tanduk. Suatu hal
jang penting dan tertjatat dalam Chu-fan-chi ialah, bahwa keradjaan
Tan-ma-ling mengumpulkan perak dan mas sebagai upeti kepada radja
San-fo-ts’i. Pada tahun 1196 Tan-ma-ling masih mengirim utusan jang
penghabisah kali ke Tiongkok. Tao-i-chih-lio menjatakan bahwa Tan-
ma-ling adalah negeri tetangga dari Sha-li dan Fo-lai-an. San-tsai-t tt-
hui memberitakan, bahwa Tan-ma-ling terletak sedjauh sepuluh hari
pelajaran dari Kambodja. Tan-ma-ling dapat djuga ditjapai dari Ling-
ya-si-kia (Langkasuka) baik melalui daratan maupun melalui laut.
D jika melalui laut, berlajar enam hari enam malam.
Mengenai pemberitaan Chu-fan-chi, bahwa Tan-ma-ling diperintah
oleh Siang-kung jang diterdjemahkan oleh Hirt dan Rockhill: minister
(menteri), mungkin sekali kata tersebut adalah transkripsi Tionghwa
dari kata Melaju tumenggung atau tiang agungi orang besar, pembesar.
Kata tiang adalah kata Melaju-Polinesia dan berarti: jang berdiri. D a
lam bahasa Djawa diberi arti: orang; dalam bahasa Melaju tiang diberi
arti lain misalnja: tiang litrik, tiang rumah dan sebagainja; agung ber
14 * 209
arti: besar. Kata tersebut terbukti dipakai djuga zaman sekarang di
Malaja dalam sebutan jang dipertuan a gong. Tiang agung atau wong
agung biasa digunakan untuk menjebut seorang pembesar dalam pe
merintahan. Persoalan jang timbul ialah dari siapa Chao-ju-kua mem
peroleh berita tersebut.
Tentang pengumpulan mas dan perak sebagai upeti kepada radja
San-fo-ts’i, dapat didjelaskan, bahwa Pahang memang menghasilkan
mas. Dato F .W . Douglas mentjatat bahwa mas Pahang berwarna
merah. Mas Pahang sering disebut mas tulen. Perdagangan mas di
Pahang masih berlangsung hingga sekarang. Dari hasil penjelidikan
purbakala terbukti bahwa di Kelantan terdapat porselen seladon dari
zaman Sung dan tempajan-tempajan dari zaman Ming. Penemuan ini
menundjukkan adanja hubungan antara Pahang, Kelantan dengan
Tiongkok pada zaman jang lampau. Mengenai hasil timah, memang
daerah Pahang terkenal karena timahnja. Nama Pahang itu sendiri
adalah kata Khmer jang berarti: timah. Adanja mas dan timah
didaerah Pahang dan Kelantan jang boleh dikatakan banjak, dibukti
kan oleh tulisan Anker Retse, seorang ahli tambang. Mas jang ter
dapat ditepi-tepi sungai menjebabkan adanja perdagangan mas di-
tempat tersebut. Rupanja pada zaman jang lampau mas ditepi sungai-
sungai ini lebih banjak lagi daripada sekarang.. Demikianlah tidak
aneh, bahwa chusus Tan-ma-ling jang menjediakan mas dan perak
sebagai upeti kepada radja San-fo-ts’i.
Dr. Linehan dalam bukunja History of Pahang menguraikan bah
wa sungai-sungai dipantai timur merupakan djalan daratan ;
menghubungkan tempat jang satu dengan jang lain. Sungai Tanum tjabang sungai Djelai (Jelai), sungai Sat dan Sepia, tjabang Sun .
Tembeling, mengalir menudju Kelantan. Sungai Sepia merupak^'
djalan jang menudju Trengganu. Tanah datar Tembeling dilalui d "a*
Ian raja disebelah utara. Ditanah datar ini diketemukan bara ^
barang kuno dari emas. Djalan kereta api jang ada sekarang
nurutkan djalan jang sudah ada sebelumnja. Disamping melalui d ’à"
lan daratan ini tempat-tempat dipantai timur dapat ditjapai dari tem"
pat jang satu ketempat jang lain melalui djalan pelajaran menjusui pantai. Oleh karena itu berita-berita Tionghwa diatas dapat dipahami
Tan-ma-ling terbukti bukan Tamralingga seperti disangka oleh Coedès
dan Nilakanta Sastri, melainkan Tembeling didaerah Pahang.
Dalam sedjarah Sung tertjatat utusan dari negeri Tan-mei-liu (edjaan Perantjis Tan-mei-lieou) pada tahun 1001. Oleh karena ke
datangan utusan itu lebih dahulu dari pada utusan negeri Tan-ma-
ling dan namanja mirip sekali, Coedès beranggapan, bahwa Tan-mei-
liu adalah nama lama Tan-ma-ling. Dengan kata lain Tan-ma-ling
210
»
dan Tan-mei-liu adalah nama satu keradjaan jang sama dan keradja-
an itu ialah Tamralingga di Ligor. Diuraikan dalam sedjarah Sung
bahwa utusan itu dikirim oleh radja Tou-sii-chi, dan dipimpin oleh
Ta-chih-ma. Wakilnja ialah Ta-lueh, dan jang mendjadi hakim ialah
P'i-ni. Utusan itu terdiri dari sembilan orang. Mereka membawa kaju
tjendana, 100 kati, seng, tembaga, timah masing-masing seratus kati,
lithospermum 100 kati, diatas dulang merah, empat potong pakaian
bersongket, serat 10.000 kati dan gading 61 batang. Keadaan negara-
nja digambarkan seperti berikut. Rumah-rumahnja dibuat dari kaju;
mas dan perak diperdagangkan. Luas tempat tinggal pembesarnja
sampai lima li, tetapi tidak dikelilingi tembok. Djika keluar, radjanja
naik kereta jang ditarik gadjah atau naik kuda. Negeri Tan-mei-liu
menghasilkan badak, gadjah, seng, tembaga, lithospermum officinale,
serat dll. Mengenai letaknja dari Tan-mei-liu ketimur sampai Chen-
la 50 pos (hentian); keselatan sampai Lo-yue 15 pos, menjeberangi
laut; kebarat sampai Si-t'en 35 pos; keutara sampai Teh eng-leang
60 pos, ketenggara sampai Cho-po 45 pos; ketimur laut sampai Kan
ton 135 pos. Demikianlah berita jang mengenai Tan-mei-liu.
Oleh karena nama Tan-ma-ling timbulnja lebih-kurang satu abad
sesudah Tan-mei-liu dan menurut hasil penjelidikan Tan-ma-ling
dapat diidentifikasikan dengan Tembeling, maka Roland Braddell
berpendapat, bahwa Tan-mei-liu adalahTamralingga. Pada tahunl030
ada dibawah kekuasaan Kedah, jang mendjadi pusat kekuatan Sri-
widjaja di Semenandjung. Dengan sendirinja Tamralingga masuk di
bawah pemerintahan Sriwidjaja. Ketika Sriwidjaja ditundukkan oleh
Djawa, maka Tamralingga memperoleh kemerdekaannja kembali dan
berhubungan dengan Tiongkok.. Tetapi pada tahun 1030 keradjaan
itu diserang oleh radja Cola seperti diberitakan pada piagam Tanjore.
Dari Tao-i-chih-lio kita memperoleh berita, bahwa negeri Tan-ma-
ling adalah negeri tetangga Sha-li-fo-lai-an. Prof. Hsu melihat Sha-
li-fo-lai-an sebagai dua nama jakni Sha-li dan Fo-lai-an, tetapi Roland
Braddell menganggap Sha-li adalah transkripsi dari gri. Dengan sen
dirinja nama itu menurut pendapatnja hanja menundjuk satu negeri.
Dr. Linchan dalam uraiannja mengenai lembah sungai Tembeling me-
njebut nama sungai Jelai dan Selinsing, sungai Tanum sebagai tjabang
sungai Jelai. Sungai Jelai bertemu di Tembeling dengan sungai Tem
beling; kedua-duanja mendjadi sungai Pahang. Tidak aneh djika Sha-li
itu transkripsi dari nama sungai Jelai, mengingat bahwa sungai itu
mengalir dekat Tembeling jang disebut Tan-ma-ling. Oleh karena
Fo-lo-an disebut dalam rangkaian negeri-negeri dipantai timur Seme
nandjung, maka Fo-lo-an harus djuga terletak dipantai timur, tidak
mungkin dipantai barat Selangor seperti jang disarankan oleh Rouf-
21,1
faer, dan disamakan dengan Beranang. Bahwa Beranang itu disebut
Fo-long-an dalam bahasa Tionghwa sekarang, bukan soal. Namun Be
ranang sebagai desa dimuara sungai Langat, tidak menundjukkan
bahwa tempat itu pernah memegang peranan sedjarah pada zaman
jang lampau. Coedes menjamakan Fo-lo-an dengan Pa-tha-lung se
perti jang pernah dikemukakan oleh C.O. Blagden.
Berita mengenai Fo-lo-an mengatakan bahwa pembesar Fo-lo-an
diangkat dari San-fo-ts'i. Di Fo-lo-an terdapat artja Buda, jang tiap
tahun dikundjungi oleh para bangsawan dari San-fo-ts'i. D i Fo-lo-an
ada dua artja Buda. Jang satu bertangan empat, jang satu lagi ber
tangan enam. Djika ada kapal jang akan mengangkutnja, kapal itu
akan ditiup kembali kelaut oleh angin ribut akibat kekuatan gaib Buda.
Tjandi Buda di Fo-lo-an atapnja dibrons dan dihiasi dengan mas. Tang
gal 15 bulan 6 dirajakan sebagai hari kelahiran Buda. Pada hari itu
diadakan pawai jang diikuti oleh musik dan bunji-bunjian. Pedagang
asing ikut serta mengadakan pawai. Negeri Fo-lo-an menghasilkan
gaharu, tjendana dan gading. Tiap tahun mengirim upeti kenegeri San-
fo-ts’i. Fo-lo-an dapat ditjapai dar Ling-ya-si-kia dalam waktu empat
hari pelajaran. Perdjalanan dari Lang-ya-si-kia (Langkasuka, Patani)
ke Tembeling makan waktu enam hari. Pelajaran menjisir pantai ber
henti dimuara Kuantan, kemudian perahu mudik kehulu sungai. Demi
kianlah kira-kira Fo-lo-an itu letaknja sedjauh dua pertiga djarak
Patani — Muara Kuantan. Roland Braddell menegaskannja, bahwa
Fo-lo-an terletak di Tandjung Dungun, pelabuhannja dilindungi
pulau Tenggol.
Pa-t’a seperti telah disinggung dimuka, disamakan dengan Tand'
Paka, dimuara sungai Paka, dipantai timur Malaja. Hingga seka^
daerah tersebut masih bernama Paka, letaknja disebelah selatan s ^
Dungun didaerah Trengganu. " 1
Diantara negeri-negeri dipantai timur Semenandjung jang menurut
Chu-fan-chi termasuk negeri bawahan San-fo-ts’i ialah negeri Kia-lo
hi. Berdasarkan kemiripan bunji dan geografi, jang diperoleh dari pel
bagai berita Tionghwa, Kia-lo-hi disamakan dengan Grahi. Dalam
sedjarah Sung diuraikan, bahwa keradjaan Chen-la menjentuh bagian
selatan Chan-ch eng (Annam), disebelah timur menghadap kelaut di
sebelah barat berbatasan dengan keradjaan Kia-lo-hi jang ada dibawah
kekuasaan San-fo-ts’i. Dari berita itu njata, bahwa pada masa peme
rintahan radjakula Sung keradjaan Chen-la beradu batas dengan San-
fo-ts’i. Berita ini penting, karena di Grahi kedapatan prasasti dalam
bahasa Khmer, padahal menurut Chu-fan-chi Kia-lo-hi adalah wilajah
keradjaan San-fo-ts’i.
212
1I
Telah diuraikan sekadarnja antara radja Sriwidjaja Balaputra dan
radja Dewapaladewa dari Benggala. Balaputradewa mengambil alih
kekuasaan radja Sailendra diluar Djawa dan mendjadi maharadja di
Sriwidjaja, setelah menjingkir dari Djawa Tengah. Dengan timbulnja
Balaputra sebagai radja Suwarnadwipa, kekuasaan Sailendra dibagi
mendjadi dua. Kekuasaan Sailendra di Sumatera dan Semenandjung
diambil alih oleh Balaputra, kekuasaan di Djawa djatuh ditangan ke
turunan radjakula Sandjaja rakai Pikatan alias Djatiningrat. Setelah
Balaputra dinobatkan mendjadi radja di Suwarnadwipa, segera meng
adakan hubungan dengan radja Benggala Dewapaladewa dan mem
bangun wihara di Nalanda. Piagam Nalanda djelas menundjukkan
adanja hubungan agama dan politik antara radja Balaputra dari Sri
widjaja dan radja Dewapaladewa dari Pataliputra. Menurut ketera
ngan R.C, Majumdar dalam karangannja jang berdjudul Colonial and
cultural expansion dalam An advanced History of India hal. 219 pada
waktu itu Benggala adalah pusat agama Buda Mahayana di India.
Kehidupan keagamaan radja-radja Sailendra baik pada masa pemerin
tahan rakai Panangkaran di Djawa Tengah dan keturunannja mau-
pun pada masa pemerintahan Balaputra di Suwarnadwipa berhubungan
erat dengan kehidupan keagamaan di Benggala. Upatjara peresmian
artja Manjusri di Kelurak pada tahun 782 dipimpin oleh pendeta Ku-
maraghosa, berasal dari Benggala. Pada waktu itu jang memerintah
keradjaan Benggala ialah radja Dharmapala. Pusatnja di Pataliputra.
Dharmapala naik tachta keradjaan antara tahun 752 dan 794 dan
wafat antara tahun 794 dan 839. Tarich tahun jang pasti tidak dapat
dipastikan. Beliau adalah radja jang terbesar diantara radja-radja jang
permah memerintah Benggala. Pengganti beliau adalah radja Dewa-
pala, jang mempunjai hubungan erat dengan Balaputradewa berkenaan
dengan pengeluaran piagam Nalanda atas permintaan Balaputra. Beliau
wafat pada tahun ± 878. Demikianlah hubungan antara radja Sailen
dra Dharanindra di Djawa Tengah, nenek Balaputra, dan radja Dhar-
mapala di Pataliputra, dilandjutkan oleh Balaputra dan Dewapala.
Hubungan keagamaan diperluas mendjadi hubungan politik, karena
dasar pengeluaran piagam ialah tuntutan politik Balaputra mengenai
hak atas tachta keradjaan di Djawa Tengah kepada rakai Pikatan jang
dianggap merampas hak tersebut.
Hubungan dengan India tetap dipelihara. Radja Cudamaniwarman
dan M araw idjaja dari radjakula Sailendra melandjutkan hubungan
jang telah dimulai oleh Balaputra, untuk menghadapi keturunan rakai
Pikatan di Djawa. Sudah barang tentu disamping tudjuan politik, per
Hubungan antara Sriwidjaja dan India
2 1 3
sahabatan dengan India itu djuga menjebabkan kelantjaran perda
gangan dan kesuburan kehidupan agama Buda Mahayana. Ditindjau
dari sudut kehidupan politik, ekonomi dan keagamaan hubungan antara
India dan Sriwidjaja itu memang menguntungkan kedua belah pihak.
Radja Kidara Cudamaniwarman membangun wihara dan tjandi pada
tahun 1006 pada masa pemerintahan Rajakesariwarman. Pembangunan
tjandi dan wihara dilandjutkan oleh puteranja jakni Marawidjajatung-
gawarman. Ketjuali melandjutkan pembangunan tjandi dan wihara
tersebut, radja Marawidjaja mempersembahkan desa Anaimangalam
sebagai djaminan kepada para pendeta jang hidup dalam wihara ter
sebut. Hal ini telah diuraikan diatas.
Persahabatan antara India Selatan dan Sriwidjaja tidak berlangsung
baik terus-menerus. Setelah Rajaraja wafat dan diganti oleh Rajendra-
cola I pada tahun 1012, sikap Rajendracola terhadap radja Sriwidjaja
berubah. Watak imperialis Rajendracola mulai meluap. Rajendracola
memperluas wilajahnja sampai kira-kira seluas propinsi Madras seka
rang. Djendral-djendral Rajendra. bergerak sampai sungai Gangga-
para laksamananja menguasai selat Srilangka dan pulau-pulau Nikobar
Mereka masih terus bergerak kearah timur. Maharadja Mahapala I
dari Benggala ditundukkan. Demikian pula radja Chalukya di Dekkan
Untuk sementara waktu kewibawaan radja Chalukya runtuh beran-
takan. Dengan timbulnja Somegwara Ahawamalla, kewibawaan itu
dapat dipulihkan. Namun tidak lama kemudian digugurkan lagi oleh
putera Rajendracola I. Demikianlah pengiriman angkatan laut oleh
Rajendracola I ke Semenandjung dan Sriwidjaja disekitar tahun 1025
boleh dikatakan dalam rangka politik perluasan wilajah radjakula Cola
Tetapi apa jang mendjadi dorongan langsung untuk pengiriman ang
katan laut ke Sriwidjaja, tidak dinjatakan pada piagam Tanjore jang
dikeluarkan pada tahun 1030. Sebab jang pokok ialah politik perluasan
wilajah Rajendracola. Dua kali Rajendracola menjebut kemenangannja
terhadap radja Kadara jang djuga memerintah Sriwidjaja. Prasasti jang
pertama dikeluarkan pada tahun ke 12 masa pemerintahannja jakni
pada tahun 1024. Prasasti jang kedua jang terkenal dengan nama pra
sasti Tanjore, dikeluarkan pada tahun 1030 dan memuat daftar negeri-
negeri jang ditundukkannja. Ketjuali menjebut Srilangka, Orissa dan
Benggala, jang terletak disekitar negerinja, prasasti itu djuga menjebut
negeri-negeri di Semenandjung dan Sumatera. Bagian prasasti Tanjore
jang mepunjai sangkut-paut dengan keradjaan Sriwidjaja seperti ber
ikut:
„(Rajendra) having despatched many ships in the midst of the rol-
ling sea and having caught Sanggramawijayotunggawarman, the king
of Kadaram, together with the elephants in his glorious army (took)
214
the large heap of treasures, which (that king) had rightfully accumu
lated; captured with noise the (arch called) Widyadharatorana at the
war-gate of his extensive capital (nagar), Qriwijaya, with the jewelled
wicket-gate adorned with great splendour and the gate of large jewels;
Panai with water in its bathing ghats; the ancient Malayur with the
strong mountain for its rampart; Mayirudingam, surrounded by the
deep sea (as) by a moat; Illanggagoka undaunted (in) fierce battles;
Mappapalam having abundant (deep) water as defence; Mewilimbang-
gam guarded by beautiful walls; Walaippanduru possessed of Wilaip-
panduru(?); Talaittakolam praised by great men (versed in) the scien
ces; the great Tamralingga (capable of) strong action in dangerous
battles; Ilamuri-degam, whose fierce strength rose in war; the great
Nakkawaram, in whose extensive gardens, honey was collecting; and
Kadaram of fierce strength, which was protected by the deep sea.”
Demikianlah terdjemahan Prof. Nilakanta Sastri.
Diantara nama-nama tempat jang tertjatat pada piagam Tanjore
diatas ada jang tidak diketahui letaknja. Jang terang ialah Kadaram
jakni Kedah; Sriwidjaja = Sriwidjaja di Palembang; Panai = Panai
dimuara sungai Barumun; Malayur = Melaju; Mayirudingam = Che-
rating? dipantai timur Malaja; Ilanggagogam = Langkasuka dipantai
timur Malaja; Mappapalam = ? ; Mewilimbanggam = ? ; Walaippan
duru == ? : Talaittakolam = Takola?; Ilamuri-degam = Lamuri, Atjeh;
Nakkawaram = Nikobar.
Radja-radja Cola mempunjai kebiasaan memberikan kekuasaan kem
bali kepada radja-radja jang ditaklukkan. Radja Cola sudah puas de
ngan pengakuan atas kekuasaannja dan dengan persembahan upeti
sekadarnja sebagai tanda takluk. Dalam rangka itu kiranja, maka radja
Sriwidjaja masih dapat langsung berhubungan dengan kaisar Tiong
kok. Pada tahun 1028 radja Sriwidjaja mengirim utusan ke Tiongkok.
Nama radjanja tertjatat Se-li-houa (Sri Tunggawarman). Jang meme
rintah pada waktu itu putera Marawidja/atunggawarman, jang bernama
Sanggramawidjajatunggawarman. Peristiwa pengiriman utusan itu ber
langsung antara tahun ke 12 masa pemerintahan Rajendracola dan
tahun 1030 masa pengeluaran prasasti Tanjore. Oleh karena itu sifatnja
masih meragukan. Tidak aneh bila radja Rajendracola I djuga meng-
anggap dirinja sebagai radja negeri-negeri jang ditalukkan, meskipun
tidak setjara langsung mendjalankan pemerintahan dinegeri taklukkan
jang bersangkutan. Inipun kebiasaan jang didjumpai dalam sedjarah.
Sebagai bukti untuk kebenaran peristiwa tersebut, dapat dikemukakan
piagam Kanton jang bertarich tahun 1079 tentang perbaikan tjandi
Tien Ching didekat Kanton. Perbaikan tjandi Tien Ching dilakukan
atas biaja radja San-fo-ts'i jang bernama Ti-hua-ka-lo (Dewa Kulot-
215
i
tungga). Pada daftar silsilah radja-radja Chalukya Timur, Dewa Ku-,
lottungga Cola I ialah tjutju Rajendradewa II dan dikenal dengan'
nama Rajendra III. Beliau memerintah dari tahun 1070 — 1122. Djika
penjamaan Ti-hua-ka-lo pada piagam Kanton, dengan Dewa Kulot-
tungga itu benar, maka Rajendra III inilah jang mengaku radja San-
fo-ts’i, atau radja Sriwidjaja. Ti-hua-ka-lo dari Chu-lien merebut ke
kuasaan San-fo-ts’i dan menetap disitu sampai tahun 1070, karena
pada tahun 1070 beliau naik tachta keradjaan di Cola dan memerintah
sampai tahun 1119. Sesudah Rajendradewa Kulottungga naik tachta
pada tahun 1070, pemerintahan atas San-fo-ts'i diserahkan kepada
puterinja, jang dalam pemerintahan dibantu oleh radja Djambi. Berita
jang ditangkap dari Sung-hui-yao seperti berikut: „Pada tahun ke 5
masa pemerintahan Yuan-?ong (tahun 1082) bulan 10 tanggal 17, Sun
Chiang, wakil kepala urusan pengangkutan dan wakil kepala urusan
dagang menjatakan, bahwa wakil umum pedagang asing dinegeri laut
Selatan menjampaikan surat kepadanja, jang ditulis dalam bahasa Ti-
onghwa. Surat tersebut berasal dari radja Chan-pei (Djambi) bagian
dari San-fo-ts’i dan dari puteri radja, jang diserahi kekuasaan meng
awasi urusan negara San-fo-ts’i. Mereka mengirimkan kepadanja 227
tahil perhiasan, rumbia dan 13 potong pakaian.” Demikian Tan Yeok
Seong.
Untuk mengaku radja San-fo-ts’i bukanlah sjarat mutlak menetap
di San-fo-ts’i. Ini sesuai dengan kebiasaan radja-radja Cola di India
Oleh karena itu jang dimaksud dengan puteri radja dalam Sung-hui-
yao mungkin sekali keturunan radja Sanggramawidjaja jang ditunduk
kan oleh Rajendracoladewa I. Radja-radja asli berbuat atas nama radja
Cola di India. Demikianlah dapat dipahami, apa sebabnja nama Dewa
Kulottungga jang pada tahun 1079 telah memegang pemerintahan di
India selama 9 tahun, namanja tertjatat sebagai radja San-fo-ts’i pada
piagam Tien Ching di Kanton.
Jang perlu mendapat perhatian ialah bahwa pada tahun 1006 radja
Cudamaniwarman dan kemudian Marawidjajatunggawarman pada
piagam Larger Leyden Plates menjebut dirinja radja Kataha dan Sri
widjaja. Kalimat itu dapat ditafsirkan bahwa pada waktu itu Kedah
sudah didjadikan ibukota jang kedua dalam wilajah Sriwidjaja. Sriwi
djaja menguasai sepenuhnja lalu-lintas kapal diselat Malaka. Peng-'
awasan diudjung utara dilakukan di Kedah, diudjung selatan dilakukan
di Djambi; kapal-kapal jang berlajar dari laut Djawa keselat Malaka
dan kebalikannja diawasi di Palembang. Kedah didjadikan pusat pe
nguasaan negeri-negeri bawahan Sriwidjaja di Semenandjung; Palem
bang mendjadi ibukota resmi keradjaan Sriwidjaja dan pusat penguasa
an negeri-negeri bawahan Sriwidjaja di Sumatera.
216
Pangsa waktu penghabisan pengiriman utusan ke Tiongkok oleh
keradjaan Shih-li-fo-shih (Sriwidjaja) pada masa pemerintahan ra-
djakula T ang ialah dari tahun 713 sampai 741. Sedjak itu utusan
Shih-li-fo-shih tidak lagi kedengaran. Berhentinja pengiriman utusan
ke Tiongkok oleh Sriwidjaja bertepatan dengan perubahan pe
merintahan dalam negeri, karena djustru pada masa itu mulailah pe
merintahan radjakula Sailendra, seperti dinjatakan pada piagam Li-
gor B. Radja Wisnu dari wangsa Sailendra mulai berkuasa di Sri
widjaja.
Pengiriman utusan ke Tiongkok dimulai lagi pada permulaan masa
pemerintahan radjakula Sung (960 — 1279). Tepat pada tahun 960
seorang radja dari San-fo-ts’i jang bernama Se-li-hou-ta-hia-li-tan
(Sri Udayadityawarman) mengirim utusan ke Tiongkok. Boleh di
pastikan bahwa Sri Udayadityawarman adalah keturunan Sailendra-
wangsa, keturunan Balaputra, karena radja-radja Sriwidjaja jang me-
njusul jakni radja Cudamaniwarman dan Marawidjajatunggawarman
djuga keturunan radjakula Sailendra. Pada tahun 962 datang lagi
utusan ke Tiongkok. Namun nama radjanja agak berbeda jakni Se-
li-wou-a (mungkin singkatan dari Sri Udayadityawarman). Ketika
kembali, utusan itu membawa kendi, porselin putih, benang sutera, dua
pasang pelana dan kendali. Dalam perutusan pada tahun 980 dan 983
jang tertjatat hanja gelar radja Sriwidjaja jakni hia-tche (haji).
Perutusan itu tinggal agak lama di Tiongkok. Pada tahun 992 datang
kabar dari Kanton, bahwa negeri Sriwidjaja sedang diserang oleh
tentara Djawa. Kemudian pada musim semi tahun 992 utusan itu ber-
berangkat dari Kanton menudju (Tjampa, tetapi perdjalanan pulang
itu dibatalkan, karena datang kabar, bahwa peperangan dinegeri San-
fo-ts’i masih terus berkobar. Kemudian ia berlajar kembali dan mo
hon kepada kaisar, agar kaisar mengeluarkan pengumuman, bahwa
San-fo-ts'i ada dibawah perlindungan Tiongkok. Berita perang itu
tjotjok dengan uraian utusan dari Djawa jang pada waktu itu datang
ke Tiongkok untuk pertama kali. Utusan Djawa itu memberitahukan
bahwa negerinja dalam permusuhan dengan San-fo-ts i. Pada waktu
itu jang memerintah di Djawa ialah radja Dharmawangsa, di Sriwi
djaja ialah radja Cudamaniwarman. Itulah permusuhan antara Sriwi
djaja dan Djawa jang tidak tertjatat pada piagam, tetapi tertjatat dalam
kronik Tionghwa.
Pada tahun 1003 radja Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa (Sri Cu-
damaniwarmadewa) mengirim dua orang utusan untuk mempersem
bahkan upeti. Kedua utusan itu mentjeriterakan bahwa dinegerinja
Hubungan antara Sriwidjaja dan Tiongkok
217
telah selesai dibangun sebuah tjandi Buda tempat berdoa agar kaisar
dikaruniai pandjang usia. Kemudian dikeluarkan pengumuman oleh
kaisar, bahwa tjandi itu diberi nama Cheng-'tien-wan-sliow. Disamping
itu kaisar menghadiahkan lontjeng untuk tjandi tersebut. Pada tahun
1008 radja Se-li-ma-la-pi (Sri Marawi jakni Marawidjaja) mengirim
tiga orang utusan untuk mempersembahkan upeti. Mereka diizinkan
pergi ke T ’ai-shan dan menghadap kaisar.
Dari uraian diatas djelas sekali bahwa pada permulaan abad 11
radja Sriwidjaja mengadakan hubungan erat dengan Radja Kesari-
warman Rajaraja di India dan dengan kaisar Tiongkok. Tokoh Cu-
damaniwarman dan Marawidjaja mempererat hubungan segitiga In
dia — Sriwidjaja — Tiongkok untuk menghadapi Djawa. Hubungan
dengan Tiongkok masih tetap dilandjutkan setelah Sriwidjaja diserang
oleh Rajendracola I dari India Selatan. Pada tahun 1079 Rajendra
Dewa Kulottungga sebagai radja San-fo-ts’i memperbaiki tjandi Tien
Ching dikota Kuang Cho dekat Kanton. Laporan pembangunan kem
bali tjandi Tien Ching itu dinjatakan dalam bentuk piagam jang di-
ketemukan pada tahun 1959 di Kanton. Batu piagam itu terdapat di-
tjandi, jang terletak dikota Kuang Cho, disebelah utara Kanton. Ku
ang Cho adalah tempat sutji di Kanton. Pada zaman pemerintahan
radjakula Sung tjandi itu disebut Tien Ching Kuan dan pada zaman Yuan disebut Yuan Miau Kwan. Dibagian atas batu piagam itu ter
tulis eham huruf Tonghwa jang bunjinja: Chung Siu Tien Ching Kuan
Chi artinja: Laporan pembangunan kembali tjandi Tien Ching. Batu
tersebut bertarich tahun 1079. Terdjemahan batu piagam itu seperti
berikut:
,,Agama Tao berasal dari daerah Luo-tan. Timbulnja pada masa
pemerintahan radjakula T ’ang dan berkembang pada masa pemerin
tahan kaisar Ch’ang dari radjakula T'ung. Lao-tgu menulis tentan
Tao-te-ching. Kata-katanja tinggi lagi mulia. Bukan itu asal mulanja?
Kaisar Ming mengandjurkan kepada rakjat untuk memudja Tao dan
membangun tjandi Kai-yuen. Bukankah ini suatu kemadjuan? Kaisar
Tsin-tsung sendiri memeluk agama Tao dan selama pemerintahannja
di Siang-fu pembangunan tjandi Tien Ching diumumkan diseluruh wi-
lajah kaisar. Tidakkah ini berarti, bahwa agama itu mengalami per
kembangan sepenuhnja?
Disudut selatan kota Kanton, disebuah kota dikaki gunung, disitu
bertegak salah satu tjandinja. Itu menundjukkan, bahwa ditempat itu Tao dipudja dengan giat.
Pada tahun keempat masa pemerintahan Huan-yiu, pendjahat Lang
dari Kwang-yuen sekonjong-konjong berlajar kehilir sungai dan diam-
diam datang ditepi tembok pusat kota Fan-yu. Ia menimbulkan mala-
218
bentjajlakah jan ^3 3 t-iar’di tersebut dan membakarnja mendjadi abu. Siapa-
dimuka 9 memban9un kembali runtuhan-runtuhan jang berserak
mampu Pa”dan9an setiaP oran9 itu? Tidak adakah salah seorang jang
9uh. ia Sa seoran9 Pemudja Tao dan pentjari bahagia jang sung-
Kambi ^ san99uP menumpahkan perhatian kepada hal itu? Kota Lima
dengan^ ^ anton) terletak didekat laut besar. Kota itu berhubungan
ganq p ^ elba9ai negara asing. Disitulah tempat bertemu para peda-
fo-ts’i R3 masa Pen,erintahan Chih-ping ada seorang radja dari San-
seora an9 Prabu Ti-hua-ka-lo. Beliau memberi perintah kepada salah
kekot” 9, i13™*531 '3 Chih-lo-Io untuk mengirimkan perahu-perahunja
runqk ^ ^ih-lo-lo melihat tjandi rusak, kakinja terpendam dalam
harad'Utan ^ emudian ia kembali, lalu memberikan laporan kepada ma-
Pada ^ h saat itu beliau mulai tjenderung kepada agama Tao.
ke Kant Un keemPat beliau mengirim orang jang bernama Si-li-sha-wen °n, untuk menemui pembesar mandala, kemudian mulai menje-
99 rakan pembangunan kembali gapura besar tjandi.
a tahun pertama masa pemerintahan Hsi-ming, Sha-wen pulang
um pembangunan ruang dilaksanakan seluruhnja. Ia datang lagi
^ ^abun kedua untuk melandjutkan pekerdjaannja. Ia mendirikan
au orium sabda kaisar disebelah barat Mandala.
Shawen pulang lagi kenegerinja dan pada tahun ketiga maharadja
mengirim utusannja lagi membawa pelbagai barang kepertapaan Lo-
yin . 1 ’ seorang pendeta dari Lu-san, minta agar Lo-yin-chih suka
men jadi pengurus setempat dan Ho-teck-sun suka mendjadi pengawas
tjan i tersebut. Pada tahun itu djuga ia membentuk suatu panitya
pem eli ladang padi seharga 100.000 uang mas untuk membelandjai
pengawasan tjandi tersebut. Lo-yin-chih mengundurkan diri dan kem
bali egunung tempatnja lama. W akil maharadja lalu mendesak guper-
nur untuk mengangkat Ho-teck-sun sebagai penggantinja. Selandjutnja
waki ma aradja membangun ruang Pao-tsin, ruang utara dan ruanq vegetans. a
A k idahme? eT Urnakan Pemban9unan tjandi, maka terpahat dan terlukislah art,a ditempat persadjian Tian-ti bersama-sama dengan para
pengawalnja. Ketika Sha-wen kenegerinja dengan maksud untuk me~
njempurna an agama Tao, Ho-teck-sun berpesan kepadanja agar ia
suka membudjuk sang radja (terputus karena rusak) ....... Sekarang
seorang a im jang bernama Ma-tu-hau-lo, seorang budajawan, da
tang membawa upeti keistana. Izin telah diberikan untuk menerima
upetinja jang imaksud untuk membangun ruang San-ching dan per
pustakaan kaisar . .. (tidak terbatja). Setiap tahun harus ada satu
orang jang ditebus (dari dosanjaj. Telah ditjetak sebuah lontjeng besar
219
dan telah didirikan pula menara lontjeng. Hadiah sedjumlah 400.000
uang mas telah disampaikan untuk membeli ladang padi guna pem
binaan tjandi.Maksud ini terpudji oleh istana. Kehormatan jang gemilang diberi
kan kepada mereka jang bersangkutan. Gelar djendral besar, jang
membantu pembaharuan ibadah dan keutamaan diberikan kepada ma-
haradja; Ho-teck-sun didjadikan tokoh besar jang menjembah Tao.
Sampai tahun kedua masa pemerintahan Yuan-fong dalam pangsa
waktu 7 atau 8 bulan, rentjana terlaksana. Kebagusan wihara mem
berikan pemandangan tjemerlang. Angin bertiup, lontjeng-lontjeng ber-
bunji; dibawah matahari terik mentjurahkan sinar keemasan, pertama
gemerlapan. Hadiah sedjumlah 400.000 uang mas digunakan untuk
membeli ladang padi ditepi sungai seluas 190 oddmu, terletak diteluk
Naga disebelah pulau dekat desa San-kui didistrik Nan-hai. Hasil
tanamannja tiap tahun 758 hu. Ladang lain lagi jang menghasilkan
90 hu padi, dan jang terletak didesa Lian-tang didistrik Ching-yuen,
djuga dibeli; milik ini memberi hasil padi sebanjak 700 hu setiap tahun.
Ini digunakan untuk pembiajaan para pendeta Tao. 100.000 uang mas
sisanja didermakan kepada tjandi Ching-hui-si untuk membeli ladang
padi guna merijokong para biksu dan biksuni.
Sesudah mendirikan tjandi tersebut, sang radja lalu melepaskan
perahunja berlajar kearah negeri jang ditudju, tanpa takut akan bahaja,
padahal sebelumnja dalam ketakutan. Ini tjukup membuktikan bahwa
Jang Maha Sutji memberikan restu dan anugerah.
Sebagai saksi, jang melihat mukdjizat ini dengan mata sendiri, saja
tjenderung untuk memandjatkan doa kepada jang dimuliakan Tsong
Tao, dan membuat laporan ini pada tahun kedua masa pemerintahan
Yuan-fong pada hari dua lipat sembilan.
Hakim Ma-tu-hua-lo, djendral Pao Sun Lang
Ku Lian Chuan Tu
Ka Na Cha
Pada waktu itu kota Kanton dirusak oleh pendiah.f T.a„„
Penderma jang berdjasa: Ti-hua-ka-lo, djendral besar j;
njokong pembaharuan ibadah'dan keutamaan.”jang me-
pin-shu, jang bunjinja seperti berikut:
220
T LHk^ ”- kedebu. Chih-lo-lo datang melihatnjaerbukti itulah gambar oran tua jang dilihatnja beberapa hari sebelum-
nja. Ketika ia pulang, ia mentjeriterakan pengalamannja itu kepada
l-hua-ka-lo. Pada saat itu djuga ia mengirim Si-li-sha-wen ke Kanton
untuk membeli bahan-bahan bangunan dan mentjari pekerdja untuk
memperbaiki tjandi. Waktu pekerdjaan itu selesai, seorang pendeta
Tao, Lo-yin-chih diminta untuk mendjadi pengurus setempat dan Ho-
tek-sun mendjadi pengawas. Ia menghadiahkan sebanjak 100.000 uang
mas untuk membeli ladang pertanian, jang terletak didesa Min-tang,
distrik Fan-yu. Tahun berikutnja Ti-hua-ka-lo mangkat. Kuku dan
rambutnja dipotong dan dikirimkan kepada pendeta (Ho-tek-sun), ke
mudian ditanam di Min-tang. Hingga sekarang masih dilakukan upa-
tjara peringatan peristiwa tersebut. Keuangan tjandi Tien-ching luas
sekali. Di Yang-chen-kuo-chao tjandi ini memiliki ladang padi seluas
1478 — 32 mu beserta kolam-kolam ikan. Radja besar Ti-hua-ka-lo
adalah penderma utama jang sangat berdjasa."
Tentang piagam Kanton ini Tan-yeok-seong memberikan keterangan
jang mendjelaskan hubungan antara radja-radja Cola di India Selatan
dan radja-radja Sriwidjaja. Djustru karena nama radja San-fo-ts’i
jang tersebut pada piagam Kanton sama dengan nama radja Chu-lien
jakni Ti-hua-ka-lo (Rajendra Dewa Kulottungga). Pada masa peme
rintahan Chih-ping 1064 — 1067 Ti-hua-ka-lo dari Chu-lien mengirim
utusan Chi-lo-lo keistana Tiongkok. Pada piagam Kanton Ti-hua-ka-
lo mendjadi radja San-fo-ts’i. Nama utusannjapun hampir sama jakni
Ch'i-lo-lo dan Chih-Io-Io.
Hubungan dengan luar negeri, terutama dengan Tiongkok, dilaku
kan oleh radja Sriwidjaja atas nama radja Kulottungga Coladewa.
Pemerintahan didalam negeri tetap ada ditangan radja Sriwidjaja, jang
pada waktu itu pusat pemerintahannja ada di Kedah. Piagam Smaller
Leyden Plates djelas menjebut adanja radja Kadaram. Piagam itu
menjatakan, bahwa pada tahun ke 20 masa pemerintahan Rajakesari-
warman alias Sri Kulottungga Coladewa, jakni pada tahun 1090, radja
Kadaram mengirim dua utusan Rajawidyadhara Sri Samanta dan
Abhinottungga Sri Samanta. Kedua utusan itu mohon agar dikeluarkan
pengumuman pembebasan tjukai mengenai desa-desa Antarayam, Wi-
rasesai, Panmai-pandai-wetti, Kundali dan Sungamera, ringkasnja semua
desa jang termasuk wilajah tjandi Rajendracolapperumpalli dan Raja-
rajapperumpalli, jang dibangun oleh radja Kadaram di Pattanakura.
Lain daripada itu mereka menghendaki perubahan pengawasan desa-
desa wilajah tjandi tersebut jang dipegang oleh ka^ilayar (pengawas).
Desa-desa wilajah tjandi itu supaja diserahkan kepada sangattar,
jakni sekelompok orang. Kemudian Sri Kulottungga Coladewa mern-
221
berikan perintah kepada Rajendrasingha Muwendawelar untuk menulis
piagam tersebut.
Pada piagam Larger Leyden Plates dinjatakan, bahwa desa Anai-
mangalam di Pattanakura sebagai dusun jang termasuk wilajah tjandi
{wihara Cudamaniwarman) telah !jdibebaskan dari tjukai. Terbukti
bahwa djumlah desa-desa jang disebut dalam Smaller Leyden Plates
lebih banjak lagi. Desa-desa itu termasuk wilajah Rajendracolapperum-
palli dan Rajarajapperumpalli. Demikianlah dapat ditafsirkan bahwa
pada masa pemerintahan Rajendra III jakni Sri Kulottungga Coladewa I
radja Kadaram memperluas bangunan wihara Cudamaniwarman dan
menambah djumlah desa-dfesa jang dimasukkan kedalam wilajah tjandi.
Peninggalan wihara Cudamaniwarman diketemukan pada tahun 1867,
berupa beberapa artja Buda jang dibuat dari perunggu. Peninggalan-
peninggalan itu hasil penggalian paderi Jesuit dan sekarang tersimpan
di Madrast.
222
IX
r u n t u h n j a KERADJAAN SR IW ID JA JA
Kekuasaan di Semenandjung
Kia-lo-hi adalah s a l a h satu negara bawahan San-fo-ts i d i p a n t a i
tim ur Semenandjung. Kia-lo-hi adalah transkripsi Tionghwa dari nama
asli suatu tempat dipantai timur Semenandjung. Berita tentang letaknja
Chen-la dalam S u n g - s h i h menjinggung nama K i a - l o - h i . Bentanja se
perti berikut: Chen-la (Kambodja) bertemu dengan bagian selatan
Chan-cheng (Annam)i disebelah timur Chen-la adalah laut. Disebelah
barat Chen-la berbatasan dengan P ’u-kan (Pagan) dan disebelah
selatan beradu batas dengan Kia-lo-hi.
D a r i berita itu njata sekali bahwa Kia-lo-hi terletak disebelah selatan
Kam bodja. O leh karena Chu-fan-chi memberitakan bahwa Kia-lo-hi
ada lah negeri bawahan San-fo-ts'i, maka Kia-lo-hi merupakan batas
antara Kambodja dan wilajah San-fo-ts i. Tidak ada o r a n g jang ragu,
b ah w a Kia-lo-hi adalah transkripsi dari nama tempat Grahi, jang ter-
tjatat pada piagam Sriwidjaja jang diketemukan di Ch’ai-ya. Nama
G rah i sebag ai nama tempat tidak lagi dikenal zaman sekarang. Dengan
sendirin ja lokalisasi Grahi ialah ditempat penemuan artja Buda jang
memuat piagam tersebut, jakni di Ch’ai-ya. Boleh dipastikan bahwa
nam a C h ’ai-ya itu nama baru. Namanja jang lama ialah Grahi. kj»rena
sumber berita Tionghwa dari tahun 1225 tidak mengenal nama ai-
ya . Jang dikenal ialah nama Kia-lo-hi. Nama Ch’ai-ya baru digunakan,
setelah daerah itu mendj&di djadjahan Siam. Menurut kebiasaan bang
sa S iam suka menggunakan kata-kata Sansekerta sebagai nama tempat.
Sebagai tjontoh ialah nama Nakon Sri Tammarat. Nama ini di
gunakan untuk menjebut daerah Ligor, sesudah mendjadi djadjahan
Siam. N am a Sri Tammarat itu sendiri diambil dari nama tokoh sedjarah
jakni Candrabhanu Qri Dharmmaraja. tertjatat pada piagam Candra-
bhanu jang djuga diketemukan di Ch ai-ya.
Piagam Grahi m enjebut, bahwa pada tahun Saka 1105 (tahun Masehi 1183) atas perintah Kamraten An Maharadja Srimat Trailokya- radja Maulibhusanawarmadewa, hari ketiga bulan naik bulan Jyestba. hari Rabu, mahasenapati Galanai, jang memerintah Grahi, menjuruh mraten Sri Nano membuat artja Buda. Beratnja 1 bhara 2 tula dan nilai masnja 10 tamlin. P em bua tan artja itu dimaksud untuk melegakan semua pemeluk agama, jang menjembahnja ditempat jang bersangkutan.
Piagam Grahi ditulis dalam bahasa Khmer. Hal itu dapat dipahami,
djika mengingat bahwa letaknja berbatasan dengan Kambodja dan
223
timbulnja keradjaan Khmer semcndjak lepas dari kekuasaan Djawa
pada tahun 802. Penduduknja menggunakan bahasa Khmer, tetapi
dalam kehidupan kenegaraan mereka mendjadi warga negara keradjaan
Sriwidjaja.
D jika pada tahun 1183 kita mengenal nama mahasenapati Galanai
sebagai radja bawahan Sriwidjaja, maka limapuluh tahun kemudian
jakni pada tahun Kaliyuga 4332 (tahun Masehi 1230), ditempat jang
sama kita mengenal nama Candrabhanu Qri Dharmmaraja (Tjandra-
banu Sri Dharmaradja). Nama itu tertjatat pada piagam Ch’ai-ya jang
ditulis dalam bahasa Sansekerta. Sudah pasti bahwa pada tahun 1230
nama Grahi masih dikenal, karena Chu-fan-chi jang disusun pada ta
hun 1225 masih menjebut Kia-lo-hi. Djika kita ingin membedakan ke
dua piagam tersebut, jang kedua-duanja diketemukan di Ch’ai-ya,
maka kita akan menjebutnja piagam Trailokya dan piagam Candra
bhanu. Tetapi hingga sekarang piagam itu dikenal dengan sebutan pia
gam Grahi Buda dan piagam Ch’ai-ya.
Jang mendjadi persoalan ialah dimana letaknja Tambralingga, karena
Candrabhanu mengaku Tambralinggegwara. Setelah membanding nama
Tambralingga pada piagam Candrabhanu, Tambralinggam pada pia
gam Nidessa dari abad kedua, Madamalingam pada piagam Tanjore
dari tahun 1030, Coedes sampai kepada kesimpulan bahwa Tambra
lingga harus terletak antara teluk Bandon dan Ligor. Itulah sebabnja
maka ia melokalisasikan Tan-ma-ling ditempat-tempat tersebut. Pen
dapat Coedes ini disetudjui oleh Nilakanta Sastri. Tidak ada keberat
an untuk mengidentifikasikan Tambralingga dengan Tan-ma-ling dari
Chu-fan-chi, karena nama Kalingga dalam berita Tionghwa baik dalam
karya I-ts'ing maupun dalam sedjarah T ’ang djelas ditranskripsikan
Ho-ling. Dalam bahasa Mandarin tulisan Tionghwa itu diutjapkan Ke
ling. Dalam bahasa Melaju dan bahasa Djawa orang dari Kalingga
biasa disebut orang Keling. Lokalisasi Tambralingga antara Teluk
Bandon dan Ligor oleh Coedes mendapat tentangan Roland Braddell.
Roland Braddel menjamakannja dengan Tembeling dan melokalisasi-
kannja didaerah Pahang. Hingga sekarang masih ada sungai jang ber
nama Tembeling. Oleh karena lokalisasi Tan-ma-ling telah diuraikan
dalam bab N E G A RA -N EG A RA B A W A H A N SAN-FO-TS’I, tidak
perlu diuraikan lagi disini. Berdasarkan analogi kesamaan antara Ka
lingga (Sansekerta, India), Ho-ling (Tionghwa) dan Keling (M elaju),
dan berdasarkan berita geografi Tan-ma-ling, saja lebih tjenderung
untuk mengidentifikasikan Tambralingga pada piagam Candrabhanu
serta Tan-ma-ling pada Chu-fan-chi dengan Tembeling dan melokali-
sasikannja dipantai timur Malaja, didaerah Pahang, tempat sungai
Tembeling mengalir, sesuai dengan pendapat Roland Braddel. Dengan
224
k
i
sendirinja timbul anggapan bahwa Tambralingga adalah nama lama
atau nama Sansekerta dari Tembeling jang masih ada hingga sekarang.
O leh karena itu Candrabhanu Sri Dharmaradja adalah radja Tembe-
lijig. Jang menarik perhatian ialah berita Tionghwa mengenai pembesar
Tan-ma-ling sebelum tahun 1230, djadi sebelum Candrabhanu berkuasa.
1. Chu-fan-chi memberitakan bahwa Tan-ma-ling diperintah oleh
seorang pembesar jang disebut Siang-kung. Djabatan itu menurut ter-
djemahan Hirt dan Rockhill ialah ..minister of state" jakni menteri.
N am un menurut bunjinja kiranja kata itu transkripsi dari temenggung
atau tiang agung. Selandjutnja Chu-fan-chi memberitakan bahwa Tan-
ma-ling mengumpulkan mas untuk didjadikan upeti kepada radja San-
fo-ts'i.
2. Tao-i-chih-lio dari tahun 1349 mentjatat bahwa Tan-ma-ling di
perintah oleh seorang pembesar setempat.
3. San-tsai-t’u-hui dari tahun 1607 menguraikan bahwa Tan-ma-ling
diperintah oleh seorang pembesar jang bukan radja. Pada tahun 1196
untuk jang terachir mengirim utusan ke Tiongkok.
D ari berita-berita tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Tan-ma-
ling selama djadi negara bawahan San-fo-ts’i diperintah oleh seorang
pembesar setempat, jang bertanggung djawab kepada radja Sriwidjaja.
Pada tahun 1001 menurut Sung-shih radja jang bernama Su-chi me
ngirim utusan ke Tiongkok, terdiri dari 9 orang dan dikepalai oleh T ’a-
chih-ma. Nama itu berbeda-beda transkripsinja dalam huruf Latin.
Prof. Hsu menulisnja Tuo Sze-chi, Schlegel Ta-Suki dan Saint Denys To -siu-ki. Kiranja kedudukan Candrabhanu semula djuga tumenggung
se tem pa t, jang bertanggung djawab kepada radja Sriwidjaja. Oleh
karena pada tahun 1183 Grahi djelas masih mendjadi negeri bawahan
S r iw id ja ja , dan pada tahun 1230 Candrabhanu mengeluarkan piagam
di Grahi dan menjebut dirinja Tambralinggegwara, maka boleh dipasti
kan bahwa Candrabhanu memberontak kekuasaan Sriwidjaja. Setelah
membebaskan Tambralingga dari kekuasaan Sriwidjaja, Candrabhanu
mengangkat dirinja sebagai radja Tambralingga dan bergelar Candra
bhanu Sri Dharmaradja. Kemudian memperluas daerahnja sampai di
Grahi. C andrabhanu mengumumkan bahwa ia mendjalankan politik
Dbarmagoka, jakni politik radja Agoka di India. Ia akan berusaha
mengembangkan agama Buda. Dengan tegas dinjatakan, bahwa nama-
n ja ada lah lambang djasanja kepada segenap manusia (candra = bu
lan; bhanu = matahari, s inar). Pengumuman jang demikian didaerah
lain han ja dapat ditafsirkan bahw a Candrabhanu baru sadja menduduki
daerah Grahi dan ingin menentramkan hati para penduduknja, jang
15* 225
djelas memeluk agama Buda. Piagam itu boleh ditafsirkan sebagai pro
klamasi kemerdekaan negara-negara dipantai timur Malaja dari ke
kuasaan Sriwidjaja jang berpusat di Kedah/Palembang. Demikianlah
timbulnja Candrabhanu berarti patahnja kekuasaan Sriwidjaja di M a
laja dan djuga berachirnja pemerintahan radjakula Sailendra didaerah
tersebut. Politik jang didjalankannja megandung maksud untuk mem
peroleh sokongan para penduduk Grahi sepenuhnja, karena Candra
bhanu masih bermaksud memperluas wilajahnja diluar Malaja.
Oleh karena pengiriman utusan Tan-ma-ling ke Tiongkok hanja ter-
tjatat satu kali sadja jakni pada tahun 1196, maka dapat diduga, bahwa
Tan-ma-ling pada tahun 1196 telah berusaha membebaskan diri dari
kekuasaan Sriwidjaja. Pengiriman utusan itu boleh dianggap sebagai
permohonan pengakuan kepada kaisar Tiongkok. Chu-fan-chi jang di
susun pada tahun 1225, masih memasukkan Tan-ma-ling sebagai negeri
bawahan San-fo-ts’i, dibawah pemerintahan seorang pembesar setem
pat. Andaikata Tan-ma-ling pada tahun 1196 mengirim utusan sebagai
negara merdeka, tentunja tidak akan dimasukkan dalam golongan ne
gara bawahan San-fo-ts’i. Demikianlah kiranja pemberontakan Can
drabhanu terhadap kekuasaan Sriwidjaja terdjadi antara tahun 1225
dan 1230. Untuk menghindari balas dendam Sriwidjaja, maka pembe
rontakan harus segera diperluas diseluruh Semenandjung, dan menikam
pusat kekuasaan Sriwidjaja di Semenandjung, jang terletak di Kedah.
Dari pandangan itu kita dapat memahami, apa sebabnja Candrabhanu
memasuki daerah Grahi dan mengeluarkan piagam di Grahi, suatu
tempat diudjung barat Semenandjung, jang paling dekat dengan Ke
dah. Ekspedisi ke Sri Langka tidak akan dilakukan sebelum kekuasaan
Sriwidjaja di Semenandjung patah samasekali.
Pandangan lokalisasi Tambralingga di Tembeling mendapat dukungan
dari sudut ekonomi jang lebih banjak menguntungkan daripada loka
lisasi di Grahi antara teluk Bandon dan Ligor. Daerah Tembeling kaja
akan logam dan hasil bum i seperti tertjatat dalam sumber-sumber berita
Tionghwa. Chu-fan-chi mentjatat, bahwa Tan-ma-ling menghasilkan
lilin lebah, tjendana, gaharu, kamfer, setanggi, kaju arang, gading dan
tjula badak. Tao-i-chih-lio menambah, bahwa Tan-ma-ling menghasil
kan padi lebih banjak daripada konsumsi penduduknja. Sumber berita
itu djuga menjebut hasil kamfer, tjendana dan gaharu disamping penju.
Jang sangat menarik perhatian ialah bahwa Tan-ma-ling menurut Chu-
fan-chi mengumpulkan .mas sebagai upeti kepada San-fo-ts’i, dan me
nurut Tao-i-chih-lio Tan-ma-ling menghasilkan timah jang bermutu
tinggi. Berita ekonomi negeri Tan-ma-ling ini dengan singkat meng
uraikan kemakmuran daerah dan kesedjahteraan rakjatnja. Soal ini
penting sekali berhubung dengan berita peperangan Candrabhanu
226
dengan Sri Langka, jang terdjadi sampai dua kali. Mengingat letak
Sri Lagka jang sangat djauh dari Malaja, maka biaja perang itu banjak
sekali. Ekspedisi Candrabhanu ke Sri Langka dipersiapkan dan di
lakukan, sesudah negeri-negeri disekitarnja dibebaskan dari kekuasaan
Sriwidjaja dan wilajah negerinja terasa aman dan tenteram. Ketente
raman dalam negeri harus terdjamin lebih dahulu. Candrabhanu me-
njerang Sri Langka sampai dua kali. Ekspedisi jang pertama dilakukan
pada tahun 1247; jang kedua pada tahun 1270/1271. Ekspedisi Can
drabhanu ke Sri Langka tertjatat dalam sedjarah Culawangsa. Dalam
sedjarah itu Candrabhanu disebut radja Djawaka, bukan radja Tam-
bralingga seperti pada piagam Candrabhanu di Grahi.
Tjatatan sedjarah dalam Culawangsa itu tidak mungkin salah, ka
rena baik nama Candrabhanu maupun Djawaka (Jawaka) dikenal pada
piagam asli. Lagipula penempatan masa termakan akal, jakni 17 tahun
sesudah proklamasi kemerdekaan Grahi. Djadi tidak ada soal anachro
nisme. Mungkin sebutan Jawaka itu jang meragukan, karena pada
piagam Candrabhanu tahun 1230 Candrabhanu memperkenalkan diri
sebagai Tambralinggeçwara. Tambralingga terletak di Malaja, tidak
di Djawa. Dalam bahasa Tamil jang dimaksud dengan Jawakam ada
lah Djawa. Namun kiranja nama Djawa sudah mendjadi sebutan umum
bagi Semenandjung, Sumatera dan Djawa, djika penjebutnja orang dari
Barat, terutama para saudagar Arab. Nama Zabag atau Zabaj terang
berhubungan dengan Jawakam, tetapi Iokalisasinja tidak selalu di Dja
wa. Kepopuleran nama Jawa(ka) disebabkan karena kekuasaan radja-
kula Sailendra semendjak abad ke 8 di Sumatera dan Semenandjung.
Radjakula Sailendra berasal dari Djawa Tengah. Sudah pasti bahwa
radja Sailendra di Sriwidjaja seperti Balaputra disebut maharadja jang
berasal dari Djawa. Djuga tidak mustahil bahwa perkembangan ke
kuasaan Sailendra membawa akibat penempatan orang-orang Djawa di-
seberang laut. Sri Langka jang terpisah djauh dari Sriwidjaja, dengan
mudah akan menjebut Semenandjung dan Sumatera negara Jawaka,
jakni negara jang dikuasai oleh maharadja Djawa. Djuga setelah ke
kuasaan Srwidjaja di Semenandjung dipatahkan oleh Candrabhanu,
sebutan itu masih tetap sebagai momok. Tentara Candrabhanu jang
pada hakekatnja memang bekas rakjat djadjahan Sriwidjaja terlandjur
disebut tentara Jawaka oleh orang-orang Sri Langka. Berita-berita
Arab jang menjebut Zabag atau Zabaj memang harus ditafsirkan de
mikian.
Didalam sedjarah kuno dan moderen tjukup banjak tjontoh atau tokoh jang dihinggapi nafsu perang dan nafsu kebesaran. Apabila tiba kesempatan, kesempatan itu tidak akan dibiarkan lalu begitu sadja oleh orang jang mempunjai watak demikian. Tiap kemenangan jang diper-
227
olehnja, mendjadi umpan pembakar jang mengobarkan nafsunja. Ke-
radjaan Sriwidjaja jang sudah mulai runtuh semendjak serangan Ra-
jendracoladewa pada tahun 1030, memberi kesempatan baik kepada
Candrabhanu untuk tampil kemuka. W ila jah Sriwidjaja terlalu luas.
Pengawasannja tidak mudah. Kekuatan Sriwidjaja terbagi mendjadi
dua. Sebagian ditempatkan di Kedah sebagai pusat Sriwidjaja di Seme-
nandjung; sebagian lagi di Palembang sebagai pusat Sriwidjaja di Su
ni ater a. Semangat nasional setelah berkuasa selama beberapa ratus
tahun, mulai lapuk, mulai kendor. tidak mampu menghadapi semangat
Candrabhanu jang sedang berkobar. Lagipula wilajah Tembeling ter
masuk daerah makmur, tjukup kaja untuk membiajai nafsunja mengedjar
kebebasan dan kebesaran. Kemenangan dalam pemberontakan terhadap
kekuasaan Sriwidjaja menjebabkan penobatannja sebagai radja Tem
beling. Kemenangan itu mendorongnja lebih djauh lagi. Pada tahun
1230 Candrabhanu merebut GrahL
Dari piagam jang dikeluarkannja kita dapat menangkap sekadarnja
watak Candrabhanu jang sedang mabuk kebesaran. Ia menjamakan
dirinja dengan radja Agoka jang sangat mashur di India. Sudah pasti
bahwa penjamaan dengan radja Agoka itu mengandung politik pengem
bangan agama Buda didaerah jang didudukinja djuga. Ia menjamakan
djasa-djasanja kepada umat manusia dengan bulan dan matahari jang
siang-malam menjinari djagat. Oleh karena itu ia mengambil nama
Cadcabhanu jang berarti: sinar bulan atau bulan dan matahari. Pia
gam Candrabhanu bernafaskan kebanggaan jang berbatas kepada
kesombongan. Candrabhanu mempunjai nafsu 'kuat untuk mengedjar
kebesaran. W atak jang demikian suka akan petualangan, tidak enggan-
enggan mendjalankan segala apa jang dapat menambah kebesarannja.
Terbukti bahwa tudjuhbelas tahun sesudah berhasil menguasai Grahi,
pada tahun 1247 ia melakukan ekspedisi ke Sri Langka, suatu tempat
jang amat djauh letaknja. Serangan itu berhasil baik. Candrabhanu
berhasil menguasai sebagian dari keradjaan Sri Langka, meskipun
penguasaan itu tidak bersifat mutlak. Setelah berhasil menguasai seba
gian dari Sri Langka, Candrabhanu kembali ke Malaja, meninggalkan
puteranja di Sri Langka. Dalam tahun 1258 dan 1263 terdjadi serbuan
oleh pihak bangsa Pandya. Dalam serbuan jang terachir itu tentara
Candrabhanu menderita kekalahan dan terpaksa mengakui kekuasaan
radja Pandya. Mengenai serbuan tentara Pandya itu ada piagamnja
jang bertarich tahun 1264. Piagam Pandya tentang Candrabhanu mulai
dengan rajuan menteri kepada radja Pandya untuk menundukkan
putera Candrabhanu. Isi piagam itu seperti berikut:
„Dengarkanlah tjara mendirikan pemerintahan, barkat kemenangan jang sesuai dengan adat-istiadat. Pangeran, berbuatlah seperti jang
228
berikut: usahakan musuh tunduk kepada kekuatanmu, perangi dia dan
kirim lah dia keachirat! Lalu masukilah keradjaannja bersama dengan
Sanak~saudara dan tentaramu. Djika engkau berhasil masuk, engkau
akan memperoleh pradjurit berkuda, kereta kentjana, /ang ditarik oleh
enam ekor kuda, banjak permata dari kesembilan matjam, mendapat
banjak mas, tachta, machkota, gelang tangan, gelang kaki, kalung,
bendera dan pajung, kipas jang dibuat dari bulu kidjang, nobat dan
sebagainja.
Kemenanganmu pasti mengedjutkan dan menakutkan radja-radja
lainnja. Kemudian engkau akan menanamkan tongkat kebesaran radja
jang mempunjai lambang ikan diatas gunung Konai dan Tiru Kuda
dan akan menerima banjak persembahan.
Putera Sri Langka, alih-alih mengabdi kepadamu, merendahkan ke
besaranmu. Sesudah engkau berhasil menundukkannja, engkau harus
mendjalani mandi adat dalam kolam radja, kemudian si kalah akan
membungkuk dihadapanmu. Sesudah itu engkau gilang-tjemerlang, me
ngendarai gadjah dan berkirap mengelilingi wilajah jang kaukalahkan,
langsung menudju Annurapuri dan memerintah keradjaan, jang pernah
diperintah datuk mojangmu pada masa jang lampau!
Pada tahun 1270/1271 Candrabhanu sekali lagi melantjarkan se
rangan terhadap Sri Langka, tetapi serangan itu menemui kegagalan.
Bahkan keadaan dalam negeri karenanja kotjar-katjir. Achirnja pada
tahun 1294 keradjaannja diserang dan diduduki oleh tentara Siam.
Nama Sri Dharmaradja diabadikan sebagai nama kota diteluk Siam
jang sekarang disebut Sri Tammarat.
Kekuasaan di Sumatera
Gelar radja Sriwidjaja jang tertjantum pada piagam Grahi (tahun
1183) ialah grimat; nama lengkapnja ialah grimat Trailokyaraja Mau-
libhusanawarmadewa. Nama resminja menggunakan kata mauli. Baik
grimat maupun mauli adalah kata Tamil; grimat berarti ,,tuan dan
mauli berarti „mahkota”. Gelar grimat dan nama mauli tidak dikenal
pada gelar dan nama radja dari radjakula Sailendra baik jang meme
rintah di Djawa maupun di Sriwidjaja. Gelar grimat dan nama mauli
hanja dikenal pada radja-radja Melaju.
Pada piagam A m oghapaga , hadiah radja Kertanagara kepada rad ja
Melaju pada tahun 1286, terdapat gelar dan nama jang sama bagi ra-
dja Melaju. Diberitakan, bahwa pada tahun Saka 1208 atau tahun
Masehi 1286 artja A m oghapaga dengan H pengikutnja, hadiah Sri
Wigwarupakumara, diangkut dari Djawa ke Suwarnabhumi dan di
tempatkan di D harm m agraya atas perintah M ahara jadh ira ja C n
Kertanagara W ikrama Dharmottunggadewa. Jang ikut
229
I
artja tersebut ialah rakryan mahâmantri d} ah Adwayabhrahma, ra-
kryan sirikan dyah Sugatabhrahma, samget payanan hang Dipangkara-
daça dan rakryan demung Pu W ira . Karena hadiah itu segenap rakjat
Melayu gembira, para bhrahmana, para ksatria, para waisya, para
sudra, para arya, dan terutama çri mahârâja çrimat Tribhuwanarâja
Mauliwarmadewa.
Piagam Amoghapaça diketemukan ditepi sungai Langsat dihulu Ba
tang Hari. Itulah sebabnja maka timbul anggapan bahwa Dharmmaç-
raya terletak dihulu Batang Hari. Piagam Amoghapaça dikeluarkan
100 tahun sesudah piagam Grahi, namun gelar dan nama radjanja tetap
sama. Oleh karena itu timbul anggapan bahwa radja Trailokya Mauli-
bhusanawarmadewa adalah radja Melaju. Dengan kata lain pada tahun
1183 keradjaan Sriwidjaja, jang biasa disebut San-fo-ts’i dalam berita-
berita Tionghwa zaman radjakula Sung dan Ming, telah runtuh dan
digantikan oleh keradjaan Melaju. Semenandjung tidak lagi diperintah
Sriwidjaja, tetapi diperintah oleh keradjaan Melaju.
Djika hal tersebut dihubungkan dengan pengiriman utusan Sriwidjaja
ke Tiongkok, maka njatalah bahwa pengiriman utusan Sriwidjaja ke
Tiongkok jang terachir berlangsung pada tahun 1178. Demikianlah
antara tahun 1178 dan 1183 dalam keradjaan Sriwidjaja terdjadi per
ubahan pemerintahan. Kekuasaan Sriwidjaja di Sumatera diambil alih
oleh Melaju. Dengan sendirinja negeri-negeri bawahan Sriwidjaja
baik jang ada di Sumatra maupun jang ada di Semenandjung, ikut di
ambil alih oleh keradjaan Melaju. Radja Melaju jang mengambil alih
kekuasaan ialah çrimat Trailokyarâja Maulibhusanawarmadewa. Oleh
karena kekuasaan radja Trailokya tidak hanja terbatas pada wilajah
keradjaan Melaju lama, maka gelar mahârâja jang biasa dipakai oleh
radja-radja Sriwidjaja dari radjakula Sailendra diambil alih pula.
Demikianlah terdjadi perangkapan gelar mahârâja çrimat Trailokya
râja.
Chu-fan-chi jang disusun oleh Chao-ju-kua pada tahun 1225, djadi
42 tahun sesudah pengeluaran piagam Grahi, masih menjebut adanja
negara San-fo-ts’i. Nama San-fo-ts’i pada orang-orang Tionghwa su
dah sangat populer, sehingga perubahan pemerintahan, jang pada
hakekatnja adalah perubahan dipusat keradjaan Sriwidjaja, tidak mem
pengaruhi masjarakat luar. Nama San-fo-ts'i masih tetap digunakan.
Bahkan Chao-ju-kua malah masih menjebut negara-negara bawahan
San-fo-ts’i jang djumlahnja 15. Djika nama-nama negara bawahan
San-fo-ts’i itu diperhatikan, maka diantara 15 negara bawahan
itu tidak disebut negara Melaju, tetapi malah menjebut Pa-lin-fong
(Palembang), sedangkan Palembang adalah pusat keradjaan San-fo-
ts’i, pusat keradjaan Sriwidjaja. Demikianlah sebenarnja Chao-ju-kua
230
tahu bahwa ada perubahan dalam pemerintahan dipusat keradjaan
Sriwidjaja. Peranan politik jang dulu dipegang oleh Palembang pada
tahun 1225, ketika ia menjusun Chu-fan-chi, dipegang oleh keradjaan
Melaju. Keradjaan Melaju jang sedjak tahun 683 mendjadi negara
bawahan Sriwidjaja, pada tahun 1225 sudah merdeka lagi, bahkan
menggantikan kedudukan Sriwidjaja di Palembang. Palembang berganti
peranan mendjadi negara bawahan. Namun nama San-fo-ts’i masih
tetap digunakan, seolah-olah tidak terdjadi perubahan dalam ketatanegaraan.
Demikianlah nama San-fo-ts’i dalam Chu-fan-chi dan dalam kronik
radjakula M ing harus ditafsirkan bahwa jang dimaksud adalah kera
djaan Melaju jang berpusat di Dharmmagraya. Pada tahun 1371 ke
radjaan Melaju mengirimkan utusan ke Tiongkok. Utusan itu membawa
beruang, merak, burung bajan, dan seputjuk surat jang ditulis diatas
lembaran mas. Pada tahun 1373 datang lagi utusan dari keradjaan
jang disebut San-fo-ts’i (batja keradjaan M elaju). Radjanja jang meng
utus bergelar maharadja prabu, dan bernama Ta-ma-cha-na-a-cho.
Kiranja beliau adalah putera maharadja grimat Tribuwanaradja. T idak
mungkin Tribuwanaradja sendiri, megingat bahwa selisih waktu antara
penerimaan hadiah artja dan pemberitaan itu ada 87 tahun. D iberitahu
kan oleh utusan itu bahwa dinegerinja ada tiga radja. Ini berarti bah
wa keradjaan San-fo-ts'i telah petjah mendjadi tiga keradjaan. D ari
pengiriman utusan-utusan jang berikut, ternjata bahwa 'keradjaan
telah petjah mendjadi: Dharmmagraya (M elaju), Palembang dan M i
nangkabau. Pada tahun 1374 datang utusan Ma-na-ha Po-lin-pang
(Maharadja Palembang); tahun berikutnja jakni pada tahun 1375
datang utusan Seng-k’ia-lie-yu-lan (Sang Adityawarman, radja M i
nangkabau). Pada tahun 1376 radja Melaju Dharmmagraya jang ter
sebut diatas wafat dan diganti oleh puteranja Ma-na-cho W u- li (M a
haradja M au li). Nama lengkapnja tidak diketahui, tetapi djelas termasuk
radjakula M auli jakni radja-radja Dharmmagraya. Tahun berikutnja
Maharadja Mauli mengirim utusan ke Tiongkok, membawa pelbagai
upeti diantaranja: burung kaswari, burung bajan, kera putih dan penju.
Utusan mohon kepada kaisar supaja suka memberikan surat pengakuan
kepada Maharadja Mauli. Tetapi dalam perdjalanan pulang utusan itu
tertangkap oleh tentara Djawa. Pada waktu itu San-fo-ts’i telah di
kuasai oleh D jaw a .
Perlu ditjatat bahwa pada tahun 1325 dan 1332 menurut kronik
radjakula Yuan Seng-k'ia-lie-yu-lan telah datang sebagai utusan ke
Tiongkok dengan pangkat menteri, dari D jawa. Boleh dipastikan bahwa
Seng-k’ia-lie-yu-lan adalah Sang Adityawarman jang semasa ketjilnja
diasuh dipura Madjapahit pada masa pemerintahan Djajanegara dan
231
Tribuwanatunggadewi. Baru pada tahun 1339 ia kembali ke Sumatera
dan mendirikan keradjaan Minangkabau. Tentang tokoh Adityawar-
man ini timbul pelbagai pendapat. Stutterheim dalam T.B.G. 76 me
ngemukakan pendapat pengangkutan artja Amoghapaga pada tahun
1286 dari Djawa ke Sumatera atas perintah radja Kertanagara dilaku
kan demi hadiah perkawinan Wigwarüpakumára dengan puteri Melaju.
Wigwarüpakumara adalah saudara radja Kertanagara. Dari perka
winan itu lahir Adityawarman. Demikianlah hubungan antara Gajatri
dan Adityawarman dalam kekeluargaan adalah saudara sepupu.
Dalam karangannja „De Sadeng-oorlog en de mythe van groot-Maja-
pahit” setjara pandjang lebar C.C. Berg membahas asal-usul Aditya
warman dengan mengemukakan pelbagai pendapat jang pernah di
utarakan. Ringkasnja Berg beranggapan bahwa Dara Djingga adalah
puteri Kertanagara. Puteri ini kawin dengan Sanggramawidjaja alias
Kertaradjasa Djajawardana, dan dengan radja Melaju Mauliwarma-
dewa. Dari perkawinan itu lahir Arya Damar / Adityawarman. Aditya
warman adalah putera bungsu radja Madjapahit Kertaradjasa Djaja
wardana. Oleh karena itu kedudukannja djauh lebih rendah daripada
Djajanagara. Berg menganggap bahwa radja Melaju jang kawin de
ngan Dara Djingga adalah WiQwarüpakumara. D jadi berbalikan de
ngan pendapat Stutterheim.
Pendapat Berg ini bertentangan dengan pemberitaan Kidung Pandji
Widjajakrama dan Pararaton, bahwa Dara Petak dan Dara Djingga
adalah dua orang puteri Melaju jang dibawa oleh tentara Singasari
dibawah pimpinan Kebo Anabrang ke Madjapahit untuk dipersembah
kan kepada sang prabu. Dara Petak diambil sebagai isteri. Tentang
Dara Djingga dikatakan „sira alaki dewa”, suatu ungkapan jang hingga
sekarang masih gelap artinja. Oleh karena itu timbul pelbagai tafsir.
Berg tetap beranggapan bahwa Adityawarman adalah putera radja
Kertaradjasa jang lahir dari Dara Djingga. Baik karangan Berg mau
pun karangan Stutterheim mengenai asal-usul Adityawarman itu sangat
berbelit-belit dan sangat muluk, dihubungkan dengan pelbagai teori.
Tidak perlu dipaparkan sekali lagi disini.
Kita perhatikan sekarang pengakuan Adityawarman sendiri. Peng
akuan itu terdapat pada prasasti jang dipahat pada kubur radja Adi
tyawarman, ditulis dalam bahasa Sansekerta jang sangat ruwet. Namun
njata pada prasasti itu bahwa Adityawarman adalah putera Adwaya-
warman radja Kanakamedini, radja Suwarnadwipa, keturunan wangsa
Kuligadhara (Indra). Maka persoalannja ialah siapa Adwayawarman
itu? Bagaimana hubungan Adwayawarman dengan pura Madjapahit,
karena waktu masih muda, Adityawarman tinggal dipura Madjapahit.
Teori Stutterheim dan Berg telah dikemukakan setjara singkat sekali.
232
Barangsiapa ingin mengetahuinja selengkapnja, dapat membatjanja sendiri dalam Icarangan jang telah disebut diatas.
Dlantara para pembesar Singasari jang mengantarlcan artja Amo- ghapaga dari Singasari ke Suwarnabhumi ialah mahamantri Adwaya- brahma. Djelas nama itu terdapat pada piagam Amoghapaga. Pada waktu itu jang mendjadi radja dikeradjaan Melaju jang ditundukkan oleh tentara Singasari ialah grimat Tribuwanaraja Mauliwarmadewa. Peristiwa pengangkutan artja Amoghapaga terdjadi pada tahun 1286. Tentara Singasari pulang ke Madjapahit pada tahun 1293, djadi enam tahun kemudian. Sudah pasti bahwa kedua puteri Dara Petak dan Dara Djingga adalah puteri Tribuwanaradja Mauliwarmadewa. Kedua puteri itu dipersembahkan kepada radja Madjapahit sebagai hadiah balasan. Hadiah balasan itu tidak diterima oleh radja Kertanagara, 'karena pada waktu tentara Singasari kembali, prabu Kertanagara telah wafat. Hadiah balasan diterima oleh Raden Widjaja, jang telah kawin dengan puteri Kertanagara. Dara Petak, adik Dara Djingga dikawini oleh radja Kertaradjasa. Dari perkawinan itu lahir Djajanagara. Pada piagam Gunung Butak tahun 1294 nama Djajanagara telah disebut. Pada waktu itu Djajanagara pasti masih baji. Tentang Dara Djingga dikatakan „sira alaki dewa”. Oleh karena Adityawarman mengaku putera Adwayawarman, maka boleh dipastikan bahwa Dara Djingga kawin dengan mahamantri Adwaya. Dari perkawinan itu lahir Adityawarman Mantrolot. Oleh karena ia tidak menjebut bahwa ajahnja adalah radja Kanakamedini (Suwarnadwipa), maka Adwayawarman sebagai menantu grimat Tribuwanaradja tidak berkesempatan untuk mendjadi radja di Dharmmagraya. Diharapkan sypaja mahamantri Adwaya sebagai menantu radja Dharmmagraya pada suatu saat, djika
grimat Tribuwanaradja Mauliwarmadewa mangkat, dapat mendjadi penggantinja. Itulah kiranja keterangan ungkapan „sira alaki dewa”.
Dari pihak ibunja maka Djajanagara dan Adityawarman adalah saudara sepupu. Dari pihak ajah mungkin sekali djuga masih dalam hubungan kekeluargaan jang sangat akrab, mengingat bahwa mahamantri biasanja adalah orang jang masih mempunjai hubungan kekeluargaan jang akrab dengan radja. Pada zaman pemerintahan radja Kertanagara Adwaya mendjadi mahamantri dan raden Widjaja mendjadi senapati. Raden Widjaja keturunan Narasinga, Kertanagara keturunan Djaja- wisnuwardana. Mengingat masa perkawinan Dara Petak dengan Raden Widjaja (1293), maka kiranja Djajanagara dan Adityawarman adalah sebaja. Mengingat hubungan kekeluargaan antara Djajanagara dan Adityawarman seperti diuraikan diatas, maka mudah dipahami, mengapa Adityawarman diasuh bersama dengan Djajanagara diistana
Madjapahit. Puteri Dara Petak jang kemudian bernama Indreswari.
233
pandai merebut hati radja Kertaradjasa. Sudah pasti bahwa Aditya-
warman sebagai kemanakan puteri Indreswari mendapat perhatian
radja Kertaradjasa.
Nama lengkap Adityawarman seperti jang tertjantum pada piagam
Amoghapaga ialah Udayadityawarman Pratapaparakramarajendra Mau-
liwarmadewa. Ia mengambil nama Mauliwarmadewa, karena ia ke
turunan radja Dharmmagraya Tribuwanaradja Mauliwarmadewa. Adi
tyawarman adalah tjutjunja. Pada tahun 1339, kira-kira pada waktu itu
Adityawarman berumur ± 50 tahun ketika kembali ke Sumatera dan
mendirikan keradjaan Minangkabau. Demikianlah lalu timbul tiga ke-
radjaan dibekas keradjaan San-fo-ts’i jakni: Dharmmagraya, Palembang
dan Minangkabau. Sebelum kedatangan Adityawarman hanja ada dua
keradjaan jakni Dharmmagraya dan Palembang sebagai bekas keradja
an lama: Melaju dan Sriwidjaja. Itulah kiranja tiga keradjaan jang
diuraikan oleh kronik radjakula Ming. Dengan timbulnja keradjaan-
keradjaan tersebut maka keradjaan Sriwidjaja di Sumatera berachir,
meskipun dalam kronik radjakula Ming masih disebut nama keradjaan
San-fo-ts’i. Pada tahun 1377 radja Dharmmagraya jang namanja ter-
tjatat Ma-na-cho Wu-li (Maharadja Mauli) masih berusaha memper
oleh pengakuan kaisar Tiongkok sebagai maharadja San-fo-ts’i. Namun
utusan radja Dharmmagraya itu dalam perdjalanannja pulang ditang
kap oleh tentara Djawa. Kronik radjakula Ming selandjutnja memberita
kan' bahwa sedjak itu keradjaan San-fo-ts’i dikuasai oleh tentara
Djawa. Beritanja jang termuat dalam buku 324 ialah: Pada tahun 1397
San-fo-ts’i untuk penghabisan kalinja dikalahkan oleh Djawa; kemu
dian namanja diganti Chiu-chiang artinja: pelabuhan lama, sungai lama.
Dalam Yin-yai-sheng-lan dinjatakan, bahwa Chiu-chiang sama sadja
dengan negara jang sebelumnja disebut San-fo-ts’i, djuga disebut Po-
lin-pang (Palembang).
234
,!<ARJA UTAMA DAN SINGKATAN
Chavannes
&C o e d è s
De^Casparis
Ferrandi
Gerini
Groeneveldt
Hirth and Rockhill
Krom
Majumdar
Moens
Nilakanta Sastri :
Pelliot
Roland Braddell :
Takakusu
Winstedt
B.E.F.E.O.
B.K.I.
: I-ts'ing, Memoire à l’époque de la grande dy
nastie T ang sur les religieux éminents qui allè
rent chercher la loi dans les pays d'Occident.
: Le royaume de Çrivijaya, B.E.F.E.O. XVIII.
Les états hindouisés d’Indo-Chine et d’Indoné
sie.
Prasasti Indonesia I, II.
: L ’empire ^sumatranais de Çrivijaya.
Relations de Voyages et Textes géographiques.
: Researches on Ptolomy’s geography.
: Notes on the Malay Archipelago and Malacca,
compiled from Chinese sources.
: Chao-ju-kua.
: Hindoe-Javaansche Geschiedenis (HJG).
: Les rois çailendra de Suvarnadvipa, B.E.F.E.O.
XXX III.
Çrivijaya, Yâva en Katâha, T.B.G. LXXVII
afl. 3.
History of Çrivijaya.
Deux itinéraires de Chine en Inde, B.E.F.E.O.
1904.
An introduction to the study of ancient times in
the Malay Peninsula and the Straits of Malac
ca; notes on ancient time in Malaya, J.M.B.R.-
A.S. X III, X IV , XV, XVII, XIX, XX, XXII,
X X III, XX IV .
I-ts'ing, A Record of the Buddhist religion as
practised in India and the Malay Archipelago.
History of Johore.
Bulletin de l’Ecole Française d’Extrème Orient.
Bijdragen tôt de Taal-, Land- en Volkenkunde
van Nederlandsch Indië, uitgegeven door het
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Vol
kenkunde.
235
M.B.R.A.S.
K.O.
O.J.O.
Malayan Branch of the Royal'Asiatic S
(Journal).
Kawi-Oorkonden in facsimile met inleidir
transcriptie van Dr. A.B. Cohen Stuart.
Oud-Javaansche Oorkonden, nagelaten tran-‘fl
scripties van wijlen Dr. J.L.A. Brandes, ifltge?
geven door Dr. N.J. Krom. :- m
236
Perpustakaan U'