skripsi full2
-
Upload
bagas-akhmad -
Category
Documents
-
view
477 -
download
1
description
Transcript of skripsi full2
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS TERHADAP KEPUTUSAN DISPUTE SETTLEMENTBODY WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) PADA KASUS
US-CLOVE CIGARETTES (TOBACCO CONTROL ACT) 2012DIPANDANG DARI PENERAPAN PRINSIP NATIONAL
TREATMENT (PERLAKUAN NASIONAL)
SKRIPSI
DIAN ESTERINA TAMBUNAN0906519381
FAKULTAS HUKUMPROGRAM STUDI ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN HUBUNGAN TRANSNASIONALDEPOK
JULI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS TERHADAP KEPUTUSAN DISPUTE SETTLEMENTBODY WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) PADA KASUS
US-CLOVE CIGARETTES (TOBACCO CONTROL ACT) 2012DIPANDANG DARI PENERAPAN PRINSIP NATIONAL
TREATMENT (PERLAKUAN NASIONAL)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
DIAN ESTERINA TAMBUNAN0906519381
FAKULTAS HUKUMPROGRAM STUDI ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN HUBUNGAN TRANSNASIONALDEPOK
JULI 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
.' .dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan benar.
• y ' .• ' -
Nama : Dian Esterina Tambunan
NPM : 0901\:'81Tanda Tangan: ~
Tanggal : 4 Juli 2013
11
HALAMANPENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
_ rna
- ~-
Program Studidul Skripsi
: Dian Esterina Tambunan: 0906519381: Ilmu Hukum: Analisis Terhadap Keputusan Dispute Settlement Body WorldTrade Organization (WTO) Pada Kasus US-Clove Cigarettes(Tobacco Control Act) 2012 Dipandang Dari PenerapanPrinsip National Treatment (Perlakuan Nasional)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterimaebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelararjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,.niversitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I : Adijaya Yusuf, S.H., LLM. ( )
Pembimbing I : Hadi R. Pumama, S.H., LL.M. ( ):
Penguj i : Prof. Dr. Sidik Suraputra, S.H. ( )
Penguj i : Prof. A. Zen U. Purba, S.H., LL.M ( )
?enguj i : AdolfWarouw, S.H., LL.M. ( )
Penguj i : Emmy Ruru, S.H., LL:,M. ( )
Penguj i : Arie Afriansyah, S.H., MIL. e~)
Penguj i : Melda Kamil A., S.H., LL.M, Ph.D. e )
Penguj i : Prof. Hikmahanto 1., S.H., LL.M., Ph.D.( )
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 4 Juli 2013
111
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Dian Esterina Tambunan
NPM
Program Studi
Fakultas
Jenis Karya
: 0906519381
: lImu Hukum
: Hukum
: Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Analisis Terhadap Putusan Dispute Settlement Body World Trade
Organization (WTO) Pada Kasus US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act)
2012 Dipandang Dari Penerapan Prinsip National Treatment (Perlakuan
Nasional)
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
. .oneksklusif uu, Universitas Indonesia berhak menyimpan,
engalih: .edia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
erawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
- . a sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dem ikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 4 Juli 2013
Yang menyatakan
(Dian Esterina Tambunan)
vi
v
KATA PENGANTAR
Salam Damai Sejahtera.
Segala puja dan puji syukur Peneliti agungkan pada Tuhan Yang Maha
Esa, Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pemurah yang telah
senantiasa menganugerahkan limpahan kasih dan karunia-Nya kepada Peneliti,
sehingga Peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat pada
waktunya, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Falkutas Hukum Universitas Indonesia.
Peneliti menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan
para pihak yang telah mendukung Peneliti dan juga berbagai pihak yang telah
membantu Peneliti menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Oleh karena itu Peneliti hendak mengucapkan terima kasih kepada :
a. Adijaya Yusuf, S.H., LL.M, selaku Dosen Pembimbing I. Terima kasih atas
kesediaan waktu, pikiran, dan tenaga untuk mengarahkan Peneliti dalam
penyusunan skripsi ini.
b. Hadi Rahmat Purnama, S.H., LL.M, selaku Dosen Pembimbing II. Terima
kasih. Atas waktu, pikiran, dan tenaga yang diberikan kepada Peneliti dalam
penyusunan skripsi.
c. Papa, dr. Mangisi Tambunan, SpOG. Terima kasih Papa sudah selalu
mendukung dan mengingatkan Peneliti untuk mengerjakan skripsi dengan
baik dan tepat waktu.
d. Mama, Riana Netty Pardede. Terima kasih Mama yang selalu sangat
mendukung dan selalu menasihati dan mendoakan Peneliti sepanjang
penyusunan skripsi. I love you, Mom.
e. Abang I, Felix Marcel Tambunan, S.H., M.H., LL.M. Terima kasih Koko
yang selalu mendukung dan selalu mau mendengarkan keluhan serta
memberikan saran kepada Peneliti dalam penyusunan skripsi.
f. Abang II, dr. David Oktavianus Tambunan, S. Ked., B. Med. Terima kasih
Bebi yang selalu mendukung dan selalu bersedia membantu Peneliti dalam
penyusunan skripsi.
vi
g. FnF (Anita Patresya Damanik, Brimanti Sari, Timothy Solomon Zebua,
Kristen Natalia Doloksaribu, Kristian Takasdo Simorangkir, Hana Monica
Hutabarat, Vinca Vinenska, Anindita Sasidwikirana Djatmiko, Adrianus
Madika, Budy Apriastuti Evita, Hana Pertiwi, Ferny Melissa Tobing). Terima
kasih FnF atas persahabatan dan suka duka yang kita miliki selama
perkuliahan serta dukungan telah kalian berikan pada Peneliti selama
penyusunan skripsi.
h. Astari Anjani. Terima kasih Star atas persahabatan dan dukungan yang telah
diberikan kepada Peneliti selama penyusunan skripsi.
i. Hana Pertiwi. Terima kasih Madam Tarot telah memberikan dukungan dan
mengerjakan skripsi bersama dengan Peneliti selama penyusunan skripsi.
j. Aldila Mesra. Terima kasih Bidadari atas dukungan yang telah diberikan dan
menghiasi hari-hari Peliti selama penyusunan skripsi.
k. Shafira Nindya Putri. Terima kasih Sapi telah memberikan dukungan dan
mengerjakan skripsi dengan susah payah bersama dengan Peneliti.
l. Tanti Hartati. Terima kasih Bu Haji telah memberikan dukungan dan
mengerjakan skripsi dengan Peneliti selama Penyusunan Skripsi.
m. Octaviana Pramustika. Terima kasih Nona atas dukungan yang telah
diberikan kepada Peneliti selama penyusunan skripsi.
n. Teman-teman PK VI. Terima kasih teman-teman seperjuangan untuk selama
ini di FHUI.
Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan di sini satu persatu, namun
tidak mengurangi rasa terima kasih Peneliti atas segala bantuan, doa, dan
dukungan yang selalu diberikan kepada Peneliti dalam menyelesaikan penulisan
skripsi. Akhir kata, Peneliti menyadari bahwa skripsi ini pun tidak luput dari
berbagai kekurangan baik dar segi materi maupun segi teknik penulisan. Semoga
skripsi ini akan membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Depok, Juli 2013
Dian Esterina Tambunan
vii
ABSTRAK
Nama : Dian Esterina Tambunan
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Skripsi : Analisis Terhadap Putusan Dispute Settlement Body World
Trade Organization (WTO) Pada Kasus US-Clove Cigarettes
(Tobacco Control Act) 2012 Dipandang Dari Penerapan
Prinsip National Treatment (Perlakuan Nasional)
Pada bulan September 2009, Presiden Obama menandatangani Family Smoking
Prevention and Tobacco Control Act (Bagian 907 (a) (1) (A)) yang berlaku di
Amerika Serikat. Undang-undang tersebut bertujuan untuk menurunkan tingkat
perokok muda di kalangan masyarakat AS, dengan melarang produksi dan
perdagangan rokok beraroma, termasuk rokok kretek dan rokok beraroma buah-
buahan. Setelah dilakukannya pengesahan terhadap UU tersebut, Indonesia
mengalami dampak kerugian yang sangat besar terhadap bidang perdagangan,
karena hampir 99% rokok kretek yang dijual di AS merupakan produk impor dari
Indonesia. Dengan hal ini, Indonesia akhirnya mengajukan klaim kepada Dispute
Settlement Body WTO bahwa Amerika Serikat telah melanggar ketentuan WTO
mengenai prinsip Perlakuan Nasional (National Treatment). Kemudian, setelah
melalui proses penyelesaian sengketa oleh Dispute Settlement Body WTO, maka
Indonesia dimenangkan dalam kasus ini, dengan memutus bahwa Amerika Serikat
telah melanggar prinsip National Treatment yang terdapat dalam Pasal 2.1
Technical Barrier to Trade Agreement. Prinsip National Treatment mengatur
bahwa setiap negara anggota WTO berkewajiban untuk memberikan perlakuan
yang sama terhadap produk sejenis, baik yang diproduksinya di dalam negeri
maupun yang berasal dari impor negara anggota WTO lainnya. Penelitian ini
membahas kesesuaian interpretasi prinsip National Treatment menurut Pasal 2.1
Technical Barrier to Trade Agreement dalam kasus US-Clove Cigarettes
(Tobacco Control Act) 2012 dengan pengaturan prinsip National Treatment secara
umum dalam ketentuan WTO, sehingga penelitian ini menggunakan metode
yuridis normatif dengan menggunakan beberapa perjanjian WTO yang berkaitan
dengan prinsip National Treatment seperti General Agreement on Tariff and
Trade1994 dan Technical Barrier to Trade Agreement.
Kata kunci : Prinsip National Treatment, Prinsip Non-Diskriminasi, World Trade
Organization (WTO), Hukum WTO
viii
ABSTRACT
Name : Dian Esterina Tambunan
Major : Law
Title : Analysis of the World Trade Organization Dispute
Settlement Body Decision on the Application of National
Treatment Principle in US-Clove Cigarettes (Tobacco
Control Act) 2012
In June 2009, President Obama signed the Family Smoking Prevention and
Tobacco Control Act that applied in United State of America. The Act aiming to
reduce the youth smoker in United States America, by banning production and
sale of the flavoured cigarettes, including clove cigarettes and fruit flavoured
cigarettes. After the ratification of that Act, Indonesia suffered for major losses in
the trade area, because almost 99% of the clove cigarettes that sold in United
States America is the import product from Indonesia. Because of this treatment,
Indonesia filed claim against United States of America to the Dispute Settlement
Body WTO, that United States of America has violate the WTO Agreements
related to the National Treatment principle. Furthermore, after held the dispute
settlement process by Dispute Settlement Body WTO, therefore Dispute
Settlement Body WTO ruled that United State of America violate the National
Treatment principle in accordance to Article 2.1 Technical Barrier to Trade
Agreement. The National Treatment principle requires the State parties to treat no
less favourable to imported products than like products of national origin. This
thesis discusses the compliance of the interpretation of the National Treatment
Principle in WTO case US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) 2012 with the
general regulations on the National Treatment Principle in the WTO, therefore
this thesis using the normative juridical research method by utilizing some WTO
agreements related to the National Treatment Principle, such as General
Agreement on Tariff and Trade1994 and Technical Barrier to Trade Agreement.
Key Words : National Treatment Principle, Non Discrimination Principle, World
Trade Organization (WTO), WTO Law
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………………ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………iii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………....iv
HALAM PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……………………...vi
ABSTRAK/ABSTRACT……………………………………………………vii/viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ix
1. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang……………………………………………………………11.2 Pokok Permasalahan…………………………………………………….101.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………..101.4 Kerangka Konsepsional…………………………………………………111.5 Metode Penelitian……………………………………………………….121.6 Sistematika Penulisan…………………………………………………...13
2. PRINSIP NATIONAL TREATMENT SEBAGAI PRINSIP NON-DISKRIMINASI…………………………………………………………...152.1 Pendahuluan……………………………………………………………..152.2 Prinsip National Treatment dalam Pasal III:2 GATT 1994……………..18
2.2.1 Pengaturan Prinsip National Treatment dalam Pasal III:2, kalimatpertama GATT 1994……………………………………………...18
2.2.2 Pengaturan Prinsip National Treatment dalam Pasal III:2, kalimatkedua GATT 1994………………………………………………..22
2.3 Prinsip National Treatment dalam Pasal III:4 GATT 1994……………..262.4 Pengecualian terhadap Pemberlakuan Prinsip National Treatment…......342.5 Kesimpulan……………………………………………………………...44
3. PRINSIP NATIONAL TREATMENT DALAM PASAL 2.1 TECHNICALBARRIER TO TRADE AGREEMENT……………………………………463.1 Pendahuluan……………………………………………………………..463.2 Prinsip National Treatment dalam Pasal 2.1 TBT Agreement…………..543.3 Hubungan antara Prinsip National Treatment dalam Pasal III:4 GATT dan
Pasal 2.1 TBT Agreement……………………………………………….643.4 Kesimpulan……………………………………………………………...67
4. ANALISIS PUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY WTO PADAKASUS WTO US-CLOVE CIGARETTES (TOBACCO CONTROL ACT)2012 MENGENAI PRINSIP NATIONAL TREATMENT.........................694.1 Pendahuluan……………………………………………………………..694.2 Kasus Posisi……………………………………………………….…….69
x
4.3 Argumentasi Hukum dari Para Pihak mengenai Prinsip NationalTreatment………………………………………………………………..704.3.1 Argumentasi Hukum Indonesia……………………….………….704.3.2 Argumentasi Amerika Serikat…………………………………....73
4.4 Laporan Panel…………………………………………………………...784.4.1 Interpretasi Panel Mengenai Prinsip National Treatment………..784.4.2 Kesimpulan dan Putusan Panel…………………………………..90
4.5 Laporan Appellate Body………………………………………………...90
4.5.1 Argumentasi Hukum Amerika Serikat…………………………....90
4.5.2Interpretasi Appellate Body mengenai Prinsip National
Treatment………………………………………………………....92
4.5.3 Kesimpulan dan Rekomendasi Appellate Body…………………..98
4.6 Pembahasan terhadap Interpretasi Prinsip National Treatment oleh
Dispute Settlement Body WTO pada Kasus US-Clove Cigarettes
(Tobacco Control Act) dibandingkan dengan Pengaturan Prinsip National
Treatment dalam Ketentuan WTO……………………………………...99
4.7 Kesimpulan…………………………………………………………....107
5. PENUTUP…………………………………………………………………1105.1 Kesimpulan……………………………………………………………110
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..121
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada tanggal 4 April 2012, akhirnya Indonesia memenangkan kasus WTO
US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) dengan Amerika Serikat (AS).
Sengketa ini bermula saat Presiden Obama menandatangani Family Smoking
Prevention and Tobacco Control Act (Bagian 907 (a) (1) (A)) yang kemudian
aktif berlaku pada bulan September 2009. Undang-undang tersebut bertujuan
untuk menurunkan tingkat perokok muda di kalangan masyarakat AS, dengan
melarang produksi dan perdagangan rokok beraroma, termasuk rokok kretek dan
rokok beraroma buah-buahan.1 Hal ini didasari bahwa anak-anak dan remaja
menjadi suka merokok karena beberapa produk rokok memakai tambahan rasa
(flavour). Dengan demikian, rokok yang menggunakan rasa tambahan ini dilarang
diperdagangkan di AS yang mana rokok kretek asal Indonesia termasuk di
dalamnya. Tetapi, ketentuan tersebut mengecualikan rokok beraroma mentol
produksi dalam negeri AS. Setelah dilakukannya pengesahan terhadap UU
tersebut, Indonesia mengalami dampak yang sangat besar terhadap bidang
perdagangan, karena hampir 99% rokok kretek yang dijual di AS merupakan
produk impor dari Indonesia.2 Kerugian yang dialami oleh Indonesia yang
diperkirakan timbul dari larangan ekspor rokok kretek mencapai US$ 200.000.000
1“WTO Kembali Memenangkan Kasus Rokok Kretek Indonesia”,http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/04/06/17203199/WTO.Kembali.Menangkan.Kasus.Rokok.Kretek.Indonesia, diakses tanggal 20 Desember 2012 pukul 16.00. WIB.
2“Diplomasi Perdagangan RI dalam Tatanan Perdagangan Dunia: WTO Setuju BentukPanel Sengketa mengenai Larangan Perdagangan Rokok Kretek di Amerika Serikat”, PublikasiSiaran Pers Kementrian Perdagangan Dalam Negeri Republik Indonesia pada tanggal 21September 2012.
Universitas Indonesia
2
per tahun. Selain itu, pelarangan rokok kretek ini juga sangat dirasakan oleh para
petani tembakau.3
Dengan hal ini, Indonesia akhirnya membawa masalah ini ke Badan
Penyelesaian Sengketa WTO (Dispute Settlement Body WTO/DSB WTO).
Setelah proses konsultasi yang berlangsung panjang tanpa mencapai kesepakatan,
Indonesia akhirnya mengajukan pembentukan Panel ke DSB WTO atas dasar AS
melanggar ketentuan WTO mengenai prinsip Perlakuan Nasional (National
Treatment). Prinsip ini memiliki ketentuan umum yang diatur dalam Pasal III:2
dan III:4 GATT 1944. Hal ini juga diatur secara khusus dalam Pasal 2.1 Technical
Barrier to Trade (TBT) Agreement. Dalam prinsip National Treatment, setiap
negara anggota WTO berkewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama
terhadap produk sejenis, baik yang diproduksinya di dalam negeri maupun yang
berasal dari impor negara anggota WTO lainnya. Berdasarkan prinsip ini, Panel
WTO menemukan bahwa kebijakan AS tidak sesuai dengan ketentuan WTO
tersebut, karena rokok kretek dan rokok mentol adalah produk sejenis (like
products), dan keduanya memiliki daya tarik yang sama bagi kaum muda.
Menurut WTO, kebijakan yang membedakan perlakuan terhadap dua produk
sejenis, merupakan tindakan yang tidak adil atau kurang menguntungkan (less
favourable).
Lalu, Pemerintah AS yang tidak puas terhadap keputusan panel yang
dikeluarkan pada 2 September 2011, melakukan banding ke WTO melalui
Appelate Body (AB) pada 5 Januari 2012. Hasil banding yang dikeluarkan
Appelate Body, menegaskan kembali bahwa keputusan panel sebelumnya adalah
benar, dan pemerintah AS telah mengeluarkan kebijakan yang tidak konsisten
dengan ketentuan WTO. Lebih lanjut, Appellate Body merekomendasikan kepada
DSB agar meminta Pemerintah AS untuk membuat kebijakan sesuai dengan
ketentuan dalam TBT Agreement.4
3”Ekspor Rokok ke AS Dilarang, RI Rugi US$ 200 Juta Per Tahun”, di akses darihttp://www.neraca.co.id/2011/09/05/ekspor-rokok-ke-as-dilarang-ri-rugi-us-200-juta-per-tahun/,akses tanggal 22 September 2012.
4“WTO Kembali Memenangkan Kasus Rokok Kretek Indonesia”,http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/04/06/17203199/WTO.Kembali.Menangkan.Kasus.Rokok.Kretek.Indonesia, diakses tanggal 20 Desember 2012 pukul 16.00. WIB.
Universitas Indonesia
3
Dengan demikian, dari kasus WTO diatas, maka peneliti tertarik untuk
membahasnya lebih lanjut dengan menitikberatkan pada ketentuan WTO
mengenai prinsip National Treatment. Namun, sebelumnya akan diberikan
penjelasan singkat mengenai WTO sendiri. Pada tahun 1944, diadakanlah
Konferensi mengenai masalah-masalah ekonomi di Bretton Woods, New
Hampshire, Amerika Serikat, yang mana menghasilkan tiga pilar, yaitu Dana
Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF), Bank
Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank for
Reconstruction and Development) atau sekarang lebih dikenal dengan nama Bank
Dunia (World Bank), dan Organisasi Perdagangan Internasional atau International
Trade Organization (ITO).5 Setelah pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa atau
United Nations (PBB), perundingan mengenai perdagangan multilateral diadakan
dalam kerangka Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Oleh karena itu, Dewan
Ekonomi dan Sosial PBB merundingkan ITO, yang termasuk dalam bidang
perdagangan multilateral, dan mengesahkan resolusi pembentukan ITO pada
tahun 1946.6
Perundingan-perundingan mengenai pembentukan ITO dan sistem
perdagangan internasional dimulai di London pada tahun 1946 dan berlanjut di
New York pada tahun 1947. Perundingan-perundingan yang diadakan di London
dan New York tersebut berujung pada pertemuan Jenewa pada tahun 1947.
Pertemuan Jenewa mempunyai tiga tujuan, yaitu : (i) menyusun Piagam ITO; (ii)
menyiapkan jadwal pengurangan tariff; (iii) menyiapkan perjanjian multilateral
yang berisi prinsip-prinsip umum perdagangan yang dinamakan Persetujuan
Umum mengenai Tarif dan Perdagangan atau General Agreement on Tariffs and
Trade (GATT 1947).7 Proses ratifikasi Piagam ITO tidak berjalan lancar dan pada
akhirnya Piagam ITO tidak pernah dapat dilaksanakan. Penyebabnya adalah
Amerika Serikat tidak mau meratifikasi piagam tersebut. Dengan tidak dapat
5 Peter van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization(Cambridge : Cambridge University Press, 2005), hal. 2.
6 Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C. Mavroidis, The World TradeOrganization: Law, Practice, and Policy (United State: Oxford University Press, 2003), hal. 1-2.
7 Ibid., hal. 2.
Universitas Indonesia
4
dilaksanakannya piagam tersebut, ITO tidak jadi berdiri sebagai organisasi
internasional. GATT 1947 yang tadinya akan dilaksanakan dalam kerangka ITO
tetap berjalan sebagai persetujuan multilateral yang mengatur perdagangan
internasional dan negara-negara di dunia menyelesaikan masalah-masalah
perdagangan melalui serangkaian perundingan multilateral yang dikenal dengan
nama Putaran Perdagangan (Trade Round).
Tabel 1
Putaran Perdagangan Dunia
Tahun Nama Putaran Masalah yang Dibahas Jumlah
Negara
Peserta
1947 Putaran Jenewa Tarif 23
1949 Putaran Annecy Tarif 13
1951 Putaran Torquay Tarif 38
1956 Putaran Jenewa Tarif 26
1960-1961 Putaran Dillon Tarif 26
1964-1967 Putaran Kennedy Tarif dan Kebijakan Anti-
Dumping
62
1973-1979 Putaran Tokyo Tarif, Kebijakan Non-Tarif,
Kerangka Persetujuan
102
1986-1994 Putaran Uruguay Tarif, Kebijakan Non-Tarif,
Jasa, Kekayaan Intelektual,
Penyelesaian Sengketa,
Tekstil, Pertanian,
Pembentukan WTO, dll
123
2001-
Sekarang
Putaran Doha Tarif, Kebijakan Non-Tarif,
Jasa, Kekayaan Intelektual,
Penyelesaian Sengketa,
Tekstil, Pertanian, dll
145
Pada tahun-tahun awal terbentuknya GATT, putaran perdagangan GATT
di Jenewa, Annecy, dan Torquay mengkonsentrasikan perundingan pada upaya
Universitas Indonesia
5
penurunan tarif untuk mendorong perdagangan agar lebih terbuka. Putaran-
putaran perdagangan tersebut menghasilkan penurunan 45.000 tarif yang bernilai
USD 10 miliar, yang merupakan seperlima dari perdagang dunia.8 Putaran
Kennedy mulai membahas mengenai masalah dumping dan kebijakan anti-
dumping. Akan tetapi, kerangka tentang persetujuan anti-dumping tersebut
memperkenalkan prosedur dan standar untuk menghitung margin dumping dan
menentukan apakah industri domestik dirugikan atau tidak.9 Putaran Uruguay
menghasilkan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia atau
Agreement Establishing the World Trade Organization (Marrakesh Agreement),
yang memuat sejumlah persetujuan sebagai lampiran. Marrakesh Agreement
memuat kerangka umum institusional untuk menyelenggarakan hubungan dagang
di antara negara-negara anggotanya.10 Lalu, putaran ini juga melakukan
perbaharuan terhadap GATT 1947 yang mana menghasilkan GATT 1994.
Lampiran 1, 2, dan 3 Marrakesh Agreement dinamakan Persetujuan
Perdagangan Multilateral (Multilateral Trade Agreement) yang merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan dari Persetujuan WTO.11 Lampiran 1 Marrakesh
Agreement terdiri dari: (i) Lampiran 1A, yaitu Persetujuan Multilateral dalam
Perdagangan Barang (Multilateral Agreements on Trade in Goods); (ii) Lampiran
1B, yaitu Persetujuan Umum dalam Perdagangan Barang (General Agreements on
Trade in Services and Annexes); (iii) Lampiran 1C, yaitu Persetujuan dalam
Aspek-aspek Perdagangan terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual (Agreement
on Trade-Related Aspects of Intellectual Property).12 Lampiran 2 Marrakesh
Agreement adalah Kesepakatan Penyelesaian Sengketa atau Understanding on
Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU). Sementara,
Lampiran 3 Marrakesh Agreement memuat Mekanisme Tinjauan Kebijakan
8 Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Sekilas WTO (World TradeOrganization), Edisi Kelima, (Jakarta: Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi, dan HakKekayaan Intelektual, Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri RI, 2008), hal. 6.
9 Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C. Mavroidis, Op.cit., hal. 401.
10 World Trade Organization, Agreement Establishing the World Trade Organization(Marrakesh : World Trade Organization, 1994), Pasal I:1.
11 Ibid., Pasal II:2.
12 Ibid., Daftar Lampiran.
Universitas Indonesia
6
Perdagangan (Trade Policy Review Mechanism).13 Lampiran 1, 2, 3 Marrakesh
Agreement bersifat imperatif untuk ditandatangai oleh setiap negara yang ingin
menjadi anggota WTO. Sedangkan Lampiran 4 Marrakesh Agreement yang
bernama Persetujuan Perdagangan Plurilateral (Plurilateral Trade Agreement)
bersifat fakultatif.14
Persetujuan Perdagangan Plurilateral hanya mengikat negara-negara
anggota yang telah menandatanganinya secara terpisah. Persetujuan Perdagangan
Plurilateral tidak memberikan hak dan kewajiban bagi negara-negara anggota
yang tidak menandatangani persetujuan tersebut.15 Agar Marrakesh Agreement
dan lampiran-lampirannya berjalan dengan efektif, maka WTO mempunyai sistem
penyelesaian sengketa yang diatur dalam DSU. DSU berlaku untuk konsultasi dan
penyelesaian sengketa antara negara-negara anggota mengenai hak dan kewajiban
berdasarkan Persetujuan WTO.16
Berdasarkan Marrakesh Agreement, WTO terbentuk pada tanggal 1
Januari 1995, merupakan organisasi payung (umbrella) yang bertanggung jawab
atas implementasi GATT 1994, General Agreement in Service, The Agreement on
Trade-Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPS), dan aturan WTO
lainnya. World Trade Organization (WTO) atau organisasi perdagangan dunia
adalah organisasi beranggotakan sebagian besar negara di dunia, yang berperan
dalam mengatur hubungan perdagangan internasional dalam rangka peningkatan
pembangunan ekonomi dan standar hidup bagi negara-negara anggotanya.17
Maka, WTO bertanggung jawab atas semua perjanjian multilateral dan plurilateral
yang dihasilkan dari putaran Uruguay dan perjanjian-perjanjian yang akan
dibentuk.18
13 Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, loc. cit.
14 Ibid.
15 World Trade Organization, Agreement Establishing the World Trade Organization,Pasal II:3.
16 World Trade Organization, Understanding on Rules and Procedures Governing theSettlement of Disputes (Uruguay: World Trade Organization, 1994), Pasal I:1.
17 Adolf Warouw, “Kata Pengantar”, dalam Pengantar Hukum WTO oleh Peter van denBossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,2010), hal. xi.
18 UNCTAD, Business Guide to the Uruguay Round (Geneva: 1996), hal. 33.
Universitas Indonesia
7
WTO didirikan oleh negara anggotanya dengan maksud dan tujuan
bersama yaitu:19
(1) Meningkatkan standar hidup.
(2) Memberikan lapangan pekerjaan.
(3) Pertumbuhan pendapatan dan permintaan efektif .
(4) Perkembangan produksi dan perdagangan barang dan jasa
(5) Mengusahakan perlindungan lingkungan hidup
Dalam mengejar tujuan-tujuan tersebut, ada langkah-langkah positif untuk
menjamin agar negara berkembang, khususnya yang terbelakang, mendapat
bagaian dari pertumbuhan perdagangan internasional sesuai dengan kebutuhan
pembangunan ekonomi. Selain itu, WTO juga merupakan badan internasional
yang dibentuk sebagai upaya untuk mendorong terciptanya liberisasi
perdagangan dan menghasilkan aturan-aturan perdagangan multilateral yang
transparan dan adil yang salah satunya adalah bidang perdagangan barang.20
Lalu, adapun fungsi dari WTO yang dapat dilihat dalam Pasal III dari
Marrakesh Agreement, yaitu:21
a. Memfasilitasi pelaksanaan, administrasi, dan pengoperasian serta membvantu
dalam pencapaian tujuan dari perjanjian WTO dan perjanjian-perjanjian
multilateral lainnya dan memberikan kerangka untuk pelaksanaan,
administrasi, dan operasi Plurilateral Trade Agreement
b. Menyediakan forum untuk negosiasi antara anggota-anggotanya mengenai
hubungan perdagangan serta forum untuk melakukan negosiasi selanjutnya
antara negara-negara anggotanya mengenai hubungan perdagangan
multilateral
c. Mengadministrasikan sistem penyelesaian sengketa
d. Mengadministrasikan Mekanisme Pengawasan kebijakan nasional suatu
negara di bidang perdagangan
19 World Trade Organization, Agreement Establishing the World Trade Organization,paragraf 1 mukadimah.
20 Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi, dan HKI, Direktorat JenderalMultilateral, Departemen Luar Negeri, Sekilas WTO, Edisi keempat, hal.1.
21 World Trade Organization, Agreement Establishing the World Trade Organization,Pasal III.
Universitas Indonesia
8
e. Melakukan kerjasama degan IMF (International Monetary Fund), World
Bank, dan badan-badan afiliasinya dengan maksud untuk mencapai suatu
hubungan yang lebih erat dalam pembuatan kebijakan ekonomi global
Kunci utama dalam hukum WTO adalah prinsip Non-diskriminasi. Prinsip
Non-diskriminasi merupakan prinsip yang melarang adanya diskriminasi dari
suatu negara. Pengaturan prinsip Non-diskriminasi terbagi dua macam prinsip
yaitu prinsip Most Favoured Nations (Perlakuan MFN) dan prinsip National
Treatment.22 Prinsip Non-diskriminasi melalui dua prinsip tersebut berlaku pada
barang dan jasa. Namun pada pembahasan dalam makalah ini akan memfokuskan
pada prinsip National Treatment yang berlaku terhadap barang yang diatur dalam
GATT 1994 (General Agreement on Tariffs and Trade) serta ketentuan WTO
lainnya. Menurut Pasal III GATT 1994, Prinsip National Treatment merupakan
larangan terhadap diskriminasi pada barang impor. Secara umum, prinsip ini
merupakan kewajiban yang melarang Negara anggota WTO untuk
memperlakukan produk impor kurang menguntungkan dibandingkan dengan
produk domestik yang sama, pada saat produk impor memasuki pasar domestik.23
Pada Pasal III:1 GATT 1994 memberikan ruang lingkup pengaplikasian dari
Pasal III GATT 1994 tersebut, yaitu24
a. pajak dan biaya internal
b. perundang-undangan, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi
penjualan, transportasi, distribusi, atau penggunaan barang
c. peraturan internal mengenai kuantitas dalam pencampuran, proses atau
penggunaan barang dalam proporsi tertentu
Tujuan dari Pasal III GATT 1994 ini jelas terungkap dalam putusan-
putusan panel yang memeriksa pelanggaran terhadap pasal tersebut. Misalnya
dalam laporan panel mengenai Italian Discrimination against Imported
Agricultural Machinery menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk
memperlakukan barang impor dalam cara yang sama seperti barang dalam negeri
22 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta : Raja Grafindo, 2005), hal.108
23 Peter van den Bossche, Op. cit., hal 327-328.
24 Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C. Mavroidis, Op. cit., hal. 157.
Universitas Indonesia
9
begitu barang-barang tersebut telah pabean. Lalu laporan panel tahun 1989
tentang United States Section 337 of the Tariff Act of 1930 dinyatakan bahwa
tujuan Pasal III GATT 1994 adalah untuk menjamin agar tindakan-tindakan dalam
negeri tidak dikenakan atas barang-barang impor atau pun barang domestik,
sehingga memberikan proteksi terhadap barang dalam negeri.25 Kewajiban dalam
prinsip National Treatment mencakup internal taxes (pajak internal) dan technical
regulations (peraturan teknis).26
Secara khusus, kewajiban dari prinsip National Treatment melalui
technical regulations diatur dalam salah satu annex dari GATT 1994 yaitu
Technical Barrier to Trade Agreement (TBT Agreement). Kewajiban technical
regulations ini diatur dalam Pasal 2.1 TBT Agreement yaitu negara anggota harus
mengambil ukuran wajar dalam pemberlakuan technical regulations terhadap
produk impor dari negara anggota lainnya melalui perlakuan yang tidak lebih
menguntungkan produk domestik negara tersebut yang merupakan produk yang
sama. Namun kewajiban technical regulations ini dapat dikecualikan jika produk
impor tersebut dapat mengancam keselamatan, kesehatan, dan perlindungan
lingkungan atau keamanan nasional suatu negara.27
Dalam pemberlakuan prinsip National Treatment ini masih ada
pelanggaran yang dilakukan oleh negara- negara anggota WTO. Maka, hal ini
sering menimbulkan sengketa antara para negara anggota WTO. Salah satunya
kasus WTO US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) antara Indonesia dan AS
yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan demikian, dalam skripsi ini akan
dibahas mengenai pengaturan prinsip National Treatment dalam ketentuan WTO
serta melakukan analisis terhadap kasus WTO mengenai WTO US-Clove
Cigarettes (Tobacco Control Act) yaitu dengan memperbandingkan interpretasi
prinsip National Treatment dalam putusan DSB WTO dalam kasus WTO tersebut
25 Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO (Bandung: PT RefikaAditama, 2006), hal. 97-98.
26 World Trade Organization, General Agreement on Tariffs and Trade (Uruguay: WorldTrade Organization, 1994), Pasal 3.
27 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement (Uruguay: WorldTrade Organization, 1994), Pasal 3.1.
Universitas Indonesia
10
dengan prinsip National Treatment yang diatur secara umum di dalam ketentuan
WTO.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang diatas, maka penulis telah
merumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan prinsip National Treatment sebagai prinsip Non
Diskriminasi dalam ketentuan WTO?
2. Bagaimana pengaturan prinsip National Treatment di dalam Pasal 2.1 TBT
Agreement ?
3. Bagaimana interpretasi prinsip National Treatment oleh Dispute Settlement
Body WTO dalam kasus WTO US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act)
2012?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman mengenai
pengaturan prinsip National Treatment dalam perjanjian-perjanjian WTO dan
penerapannya dalam perdagangan internasional. Penelitian ini memiliki tujuan
umum untuk mengetahui pengaturan prinsip National Treatment dalam sistem
perdagangan internasional WTO. Melalui penelitian ini masyarakat dapat
mengetahui melalui perjanjian-perjanjian internasional khususnya di WTO dan
berbagai sengketa yang telah diajukan oleh negara-negara anggota WTO kepada
DSB WTO mengenai pengaturan prinsip National Treatment di dalam sistem
perdagangan internasional. Kegiatan ekspor-impor terhadap barang telah banyak
dilakukan oleh negara-negara anggota WTO. Dalam hal ini, prinsip National
Treatment diperlukan sebagai suatu bentuk perlindungan pada barang impor yang
berada dalam suatu wilayah negara karena barang impor tersebut sangat rentan
dengan perlakuan diskriminasi dari negara tersebut. Maka dengan demikian,
penulis berharap dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai
pengaturan prinsip National Treatment di dalam sistem perdagangan internasional
WTO.
Universitas Indonesia
11
Selain itu, penelitian ini secara khusus memiliki tujuan-tujuan sebagai
berikut:
1. Memberi penjelasan mengenai pengaturan mengenai prinsip National
Treatment sebagai prinsip Non Diskriminasi dalam ketentuan WTO.
2. Memberi penjelasan mengenai pengaturan mengeni prinsip National
Treatment di dalam Pasal 2.1 TBT Agreement.
3. Memperoleh analisa mengenai interpretasi prinsip National Treatment oleh
Dispute Settlement Body WTO dalam kasus US-Clove Cigarettes (Tobacco
Control Act).
1.4 Kerangka Konsepsional
1. National Treatment (Perlakuan Nasional)
Prinsip dasar pengaturan ini adalah bahwa persamaan perlakuan harus
diberikan di dalam suatu negara, sehingga perlakuan terhadap barang asing adalah
sama seperti perlakuan terhadap barang dalam negeri sendiri. Produk atau barang
yang berasal dari luar negeri harus diperlakukan sama seperti terhadap barang
yang sama yang berasal dari dalam negeri.28
2. Prinsip Non-diskriminasi
Prinsip Non-diskriminasi atau larangan terhadap diskriminasi merupakan
kunci utama dari hukum WTO dan sering menjadi subjek sengketa perdagangan
antara anggota WTO. Ada dua prinsip utama dari prinsip Non-diskriminasi
yaitu:29
a. Prinsip Most Favoured Nation
b. Prinsip National Treatment
3. Technical Barrier to Trade (TBT)
Technical Barrier to Trade atau hambatan teknis dalam perdagangan. TBT
adalah salah satu kategori dari Non-tariff barriers, yang mana merupakan
hambatan non-tarif dalam perdagangan.30 TBT merupakan persyaratan teknis
mengenai karakteristik dan/atau proses bagaimana suatu barang diproduksi dan
28 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal III.
29 Peter van den Bossche, Op. cit., 308.
30 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 457.
Universitas Indonesia
12
bertujuan untuk melindungi kehidupan, kesehatan, perlindungan terhadap
lingkungan, pencegahan praktek yang menyesatkan atau untuk memastikan
kualitas dari barang-barang tersebut. Namun persyaratan TBT ini berpotensi
menjadi penghalang dalam perdagangan, tetapi harus diidentifikasi terlebih
dahulu apakah hal ini menjadi penghalang.31
4. Technical Regulations
Menurut Lampiran 1.1 dari TBT Agreement dan kasus-kasus WTO
mengenai peraturan teknis, suatu tindakan dapat dianggap sebagai ‘technical
regulations’ jika:32
a. Tindakan tersebut berlaku pada suatu produk atau sekelompok produk
yang bisa diidentifikasikan
b. Tindakan tersebut menyebutkan karakteristik dari produk dan/atau proses
atau cara produksi yang berkaitan dengan produk tersebut
c. Tindakan tersebut adalah wajib berkaitan dengan kepatuhan pada
karakteristik barang
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam membahas permasalahan
yang telah dipaparkan sebelumnya adalah penelitian hukum normatif dimana
dalam penelitian ini pengolahan data berarti kegiatan untuk mengadakan
sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang mengacu kepada norma
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada.33 Jenis
penelitian menggunakan tipe penelitian deskriptif dan eksplanatoris berdasarkan
kajian terhadap bahan pustaka hukum dan bahan tersier lainnya. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat
suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan
31 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 458.
32 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade, Lampiran 1.1 dan EC –Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 67–70 (Appellate Body Report. 2001).; dan EC – Sardines,WT/DS231/AB/R, para. 176 (Appellate Body Report. 2002).
33 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta : Badan PenerbitFakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 68.
Universitas Indonesia
13
frekuensi suatu gejala, sedangkan penelitian eksplanatoris adalah penelitian yang
menggambarkan atau menjelaskan lebih dalam suatu gejala.34
Dengan menggunakan metode normatif maka alat pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah alat studi dokumen atau studi pustaka.
Pengumpulan data akan dilakukan terhadap bahan-bahan pustaka hukum yang ada
dengan cara dipelajari dan dikaji untuk memperoleh data dan informasi. Bahan-
bahan pustaka hukum tersebut meliputi ketentuan perundang-undangan, buku,
artikel jurnal ilmiah, laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan bahan-bahan cetak
lainnya yang berkaitan dengan topik yang dikaji. Bahan-bahan pustaka tersebut
merupakan data primer dan data sekunder.35 Pada penelitian ini data primer yang
akan dipakai adalah perjanjian-perjanjian internasional yang berkaitan dengan
National Treatment dan WTO. Sebagai data primer, penulis juga akan
mempergunakan metode wawancara. Wawancara informan yang akan
diwawancarai berasal dari kalangan akademis dan praktisi dari institusi terkait.
Bahan-bahan data sekunder yang akan digunakan adalah artikel jurnal ilmiah dan
laporan-laporan lainnya yang berkaitan dengan pengaturan National Treatment di
dalam WTO. Selain itu, akan pula digunakan bahan pustaka tersier yang dapat
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap sumber primer atau sumber
sekunder yaitu kamus, penerbitan pemerintah, ensiklopedia, dan lain-lain.
1.6 Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengan sistematika berikut :
BAB I : Pendahuluan
Bab I merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang
permasalahan, tujuan penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka
konsepsional, metode penelitian, kegunaan teoritis dan praktis, dan sistematika
penulisan dari penelitian ini.
BAB II : Prinsip National Treatment sebagai prinsip Non-diskriminasi
34 Ibid., hal. 4.
35 Ibid., hal. 68.
Universitas Indonesia
14
Bab 2 akan membahas pengaturan prinsip National Treatment sebagai
prinsin Non-diskriminasi dalam sistem perdagangan di WTO. Pembahasan
terhadap prinsip National Treatment akan difokuskan pada pengaturannya secara
umum di dalam Pasal III GATT 1994. Prinsip National Treatment di dalam Pasal
III GATT 1994 dibagi dalam dua jenis kewajiban yaitu internal taxes dan
technical regulations
BAB III : Prinsip National Treatment dalam Pasal 2.1 Technical Barrier to trade
Agreeement (TBT Agreement)
Bab 3 akan membahas pengaturan prinsip National Treatment dalam
psasal 2.1 TBT Agreement. Pembahasan Prinsip National Treatment di dalam
pasal 2.1 TBT Agreement akan dikhususkan pada pengaturan National Treatment
melalui technical regulations.
BAB IV : Analisis Putusan Dispute Settlement Body WTO pada Kasus WTO US-
Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) 2012 mengenai Prinsip National
Treatment
Bab 4 akan membahas prinsip National Treatment melalui kasus WTO
US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) antara Indonesia dan AS.
Pembahasan ini akan menganalisa interpretasi prinsip National Treatment dari
DSB WTO dalam kasus WTO tersebut dengan membandingkannya dengan
prinsip National Treatment yang diatur dalam ketentuan WTO.
BAB V : Penutup
Pada bagian akhir penulisan yaitu Bab 5 sebagai penutupan yang akan
diberikan kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan disertai
dengan saran-saran.
Universitas Indonesia
BAB 2
PRINSIP NATIONAL TREATMENT SEBAGAI PRINSIP NON
DISKRIMINASI
2.1 Pendahuluan
Prinsip Non-diskriminasi atau larangan terhadap diskriminasi merupakan
kunci utama dari hukum WTO dan sering menjadi subjek sengketa perdagangan
antara anggota WTO. Ada dua prinsip utama dari prinsip Non-diskriminasi
yaitu:36
c. Prinsip Most Favored Nations
d. Prinsip National Treatment
Kedua prinsip utama ini berlaku dalam perdagangan produk barang dan jasa.
Dalam terminologi yang sederhana, prinsip Most Favored Nations melarang suatu
negara melakukan diskriminasi antara barang, jasa, atau pemberi jasa berdasarkan
asal negara asing yang berbeda; prinsip National Treatment melarang suatu
negara melakukan diskriminasi terhadap barang, jasa, atau pemberi jasa dari
negara lain dengan barang, jasa, pemberi jasa lokal.37 Pentingnya menghilangkan
diskriminasi dalam konteks WTO dijelaskan dalam Mukadimah dari Marrakesh
Agreement yang mana ‘penghapusan perlakuan diskriminatif dalam hubungan
perdagangan internasional’ diidentifikasikan sebagai salah satu cara utama yang
digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan WTO.38
Peraturan-peraturan mengenai prinsip Non-diskriminasi yang terpenting
dalam WTO Agreement39 adalah :
36 Peter van den Bossche, loc. cit.
37 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, PengantarHukum WTO (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2010), hal. 8.
38 Peter van den Bossche, loc. cit.
39 Ibid.
Universitas Indonesia
16
a. Pasal I GATT 1994 (prinsip Most Favored Nations atas barang)
b. Pasal III GATT 1994 (prinsip National Treatment atas barang)
c. Pasal II GATS (prinsip Most Favored Nations atas jasa)
d. Pasal XVII GATS (prinsip National Treatment atas jasa)
Selain itu, hukum WTO juga memberikan pengecualian terhadap peraturan-
peraturan dasarnya termasuk prinsip Most Favored Nations dan prinsip National
Treatment. Pengecualian ini penting dalam hukum dan kebijakan WTO karena
mereka memungkinkan untuk dilakukannya ‘rekonsiliasi’ terhadap liberisasi
perdagangan dengan nilai-nilai ekonomi dan non-ekonomi serta kepentingan
lain.40
Jackson menjelaskan pengertian dari prinsip National Treatment dalam
GATT 1994, yaitu barang impor akan diperlakukan sama dengan barang domestik
dalam hal yang berada dalam kontrol pemerintah, seperti perpajakan dan
peraturan.41 Lalu menurut Jackson, karena kewajiban National Treatment secara
langsung mempengaruhi tindakan internal pemerintah, maka hal ini semakin cepat
terlibat dalam politik domestik dibandingkan kewajiban GATT 1994 yang lain
dan kewajiban National Treatment menjadi sering untuk dilanggar.42 Kemudian,
pengaturan prinsip National Treatment dalam hukum WTO tidak hanya ada
dalam Pasal III GATT 1994, namun juga ada dalam Pasal 3 TRIPS dan Pasal
XVII GATS. Pada Pasal III GATT 1994 Prinsip National Treatment mengatur
persamaan perlakuan harus diberikan di dalam suatu negara, sehingga perlakuan
terhadap barang asing adalah sama seperti perlakuan terhadap barang dalam
negeri sendiri. Produk atau barang yang berasal dari luar negeri harus
diperlakukan sama seperti terhadap barang yang sama yang berasal dari dalam
negeri.43 Lalu, dalam Pasal 3 TRIPS, setiap anggota negara wajib memberikan
warga negara anggota lainnya perlakuan tidak kurang menguntungkan daripada
yang diberikannya kepada warga negaranya sendiri berkaitan dengan
40 Ibid., hal. 309.
41 John H. Jackson, World Trade and the Law of GATT (Indianapolis: Bobbs-MerrillCompany, 1969), hal. 273.
42 Ibid., hal. 274.
43 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal III.
Universitas Indonesia
17
perlindungan hak kekayaan intelektual, mengenai pengecualiannya ada dalam,
Konvensi Paris untuk perlindungan Kekayaan Industri (1967), Konvensi Berne
untuk Perlindungan Karya Seni dan Sastra (1971), Konvensi Roma untuk
Perlindungan Pelaku, Produser Rekaman dan Organisasi Penyiaran atau
Perjanjian Washington tentang HAKI atas Rangkaian Elektronik Terpadu. Dalam
Pasal XVII GATS untuk jasa, prinsip National Treatment (serta akses pasar)
bukan merupakan kewajiban umum, karena hanya diberikan pada sektor yang
didaftarkan oleh negara anggota dalam program nasional mengenai "komitmen
yang spesifik". Sedangkan dalam jasa (GATS), prinsip ini menyiratkan
ketiadaannya semua tindakan diskriminatif yang dapat mengubah kondisi
persaingan dalam menguntungkan jasa dan penyedia jasa domestik dibandingkan
dengan jasa dan penyedia jasa asing yang sejenis.44
Namun pada bab kedua ini akan dibahas mengenai prinsip National
Treatment atas barang yang merupakan bagian dari prinsip Non-diskriminasi
berdasarkan pengaturannya dalam Pasal III GATT 1994. Aturan dasar dalam
Pasal III GATT 1994 mengenai National Treatment adalah bahwa tidak ada
perundang-undangan, peraturan, atau sistem perpajakan yang menyebabkan
perubahan yang merugikan pada iklim kompetisi antara barang impor dan barang
domestik dalam pasar domestik.45 Pasal III GATT 1994 ini memberikan
konstruksi yang komprehensif dalam ruang lingkupnya. Dalam Pasal III:1 GATT
1994, dijelaskan mengenai lingkup keberlakuan dari Pasal III GATT 1994 yang
terdiri dari: (1) pajak dan biaya internal; (2) perundang-undangan, peraturan, dan
persyaratan yang mempengaruhi penjualan, transportasi, distribusi, atau manfaat
dari barang; dan (3) peraturan kuantitatif internal yang mewajibkan campuran,
pemprosesan atau penggunaan barang dalam porsi tertentu.46 Selain itu, prinsip
Non-diskriminasi dalam Pasal III GATT 1994 juga mencakup diskriminasi de
44 World Trade Organization, “Non Discrimination Principles and Specific Exceptions”,https://etraining.wto.org/admin/files/Course.../INTRO-M7-R3-E.doc, diunduh 31 Maret 2013.
45 Italian Discrimination Against Imported Agricultural Machinery, dalam GATT B.I.S.D(7th Supp.) (1959), hal.60, para. 12.
46 Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C. Mavroidis, Op. cit., hal. 157.
Universitas Indonesia
18
jure dan diskriminasi de facto.47 Pajak internal yang spesifik atau regulasi yang
secara eksplisit melakukan diskriminasi terhadap barang impor merupakan contoh
dari diskriminasi de jure. Lalu sebaliknya, tindakan internal yang terlihat netral
namun berlaku untuk merugikan barang asing merupakan diskriminasi de facto.
Walaupun Pasal III GATT 1994 tidak menjelaskan mengenai perbedaan antara
diskriminasi de jure dan de facto tersebut, yurisprudensi dari kasus-kasus di WTO
telah mengakui ilegalitas dari kedua jenis diskriminasi tersebut.48
Lalu, Pasal III GATT 1994 berlaku tidak hanya pada pemerintah pusat,
namun juga pada pemerintah daerah.49 Dijelaskan secara berbeda, kewajiban
National Treatment adalah secara ‘horizontal’ dan ‘vertikal’. Kewajiban ini
berlaku secara ‘horizontal’ diseluruh departemen, kementerian, kantor, dan juga
pada tingkatan tertentu pemerintah, seperti tingkat pusat.50 Selanjutnya, kewajiban
prinsip National Treatment dalam Pasal III GATT 1994 mencakup 2 hal yaitu
pajak internal (Pasal III:2 GATT 1994) dan regulasi internal (Pasal III:4 GATT
1994). Dalam hal kewajiban prinsip National Treatment dalam pajak internal,
maka penerapannya tidak hanya pada barang yang sejenis/like products (Pasal
III:2, kalimat pertama GATT 1994) tapi juga pada barang yang secara langsung
bersaing dalam pasar atau barang substitusi/directly competitive or substitutable
product (Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994).51
47 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. cit., hal.17.
48 Sherzod Shadikhodjaev, “National Treatment under GATT Article III:2 and itsApplicability in the Context of Korea’’s FTAs*”, dalam Journal of International EconomicStudies Vol. 12, No. 1, June 2008 (Juni 2008): hal. 65.
49 Kenneth W. Dam, The GATT : Law and International Economic Organization(Chicago: University of Chicago Press, 1970), hal. 124-129.
50 Raj Bhala, Modern GATT Law : A Treatise on the General Agreement on Tariffs andTrade (London: Sweet &Maxwell, 2005), hal. 102.
51 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, loc.cit.
Universitas Indonesia
19
2.2 Prinsip National Treatment dalam Pasal III:2 GATT 1994
2.2.1 Pengaturan Prinsip National Treatment dalam Pasal III:2, kalimat
pertama GATT 1994
Prinsip National Treatment dalam Pasal III: 2, kalimat pertama GATT
1994:
“The products of the territory of any contracting party importedinto the territory of any other contracting party shall not besubject, directly or indirectly, to internal taxes or other internalcharges of any kind in excess of those applied, directly orindirectly, to like domestic products.”52
Ketentuan ini menjelaskan bahwa barang-barang yang berasal dari setiap
negara anggota yang diimpor ke dalam wilayah teritori negara anggota lainnya
tidak boleh dikenakan, secara langsung atau tidak langsung, untuk pajak internal
atau biaya internal lainnya apapun melebihi yang diterapkan, dan secara langsung
atau tidak langsung, untuk barang yang sejenis dengan barang domestik.53
Pengaturan prinsip National Treatment dalam ketentuan ini berlaku pada pajak
internal suatu negara, sehingga dalam menentukan suatu pajak internal negara
anggota tidak konsisten dengan ketentuan ini maka dapat disimpulkan ada tiga hal
dalam ketentuan ini yang harus diperhatikan54:
i . Ketentuan yang dimaksud adalah pajak internal (internal taxes) yang secara
langsung atau tidak langsung diterapkan pada produk-produk
Pajak yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah pajak-pajak internal dan
biaya-biaya internal yang diterapkan terhadap barang-barang. Pajak internal
tersebut terbagi menjadi dua macam yaitu pertama, pajak yang diterapkan
secara langsung pada sebuah barang; kedua, pajak yang diterapkan secara
tidak langsung, dimana pajak tersebut diterapkan terhadap sesuatu yang
berhubungan dengan barang tersebut, seperti proses produksi yang diterapkan
52 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal III:2,kalimat pertama.
53 Pernyataan ini berdasarkan terjemahan peneliti. Versi bahasa inggris terdapat dalamPasal III:2, kalimat pertama GATT 1994.
54 Japan – Alcoholic Beverages II, WT/DS8/AB/R, WT/DS10/AB/R, WT/DS11/AB/R,hal. 19 (Appellate Body Report. 1996).
Universitas Indonesia
20
pajak tersebut. Contoh-contoh dari pajak internal adalah pajak pertambahan
nilai (PPN) dan pajak cukai.55
ii . Barang yang diimpor dan barang-barang domestik tersebut merupakan barang
sejenis (like products)
Konsep ‘like products’ ini digunakan dalam Pasal I:1 GATT 1994 (Prinsip
Most Favoured Nations), Pasal III:2 GATT 1994 dan Pasal III:4 GATT 1994
(Prinsip National Treatment).56 Berdasarkan Appellate Body Report pada
Japan-Alcoholic Beverages II, menyatakan bahwa konsep ‘like products’
menurut pasal III:2, kalimat pertama GATT 1994 harus diinterpretasikan
secara sempit karena didalam Pasal III:2 kalimat kedua GATT 1994 terdapat
konsep ‘directly competitive or substitutable products’.57 Dengan demikian,
Appellate Body memberikan faktor-faktor dalam menentukan ‘like products’
berdasarkan the 1970 Report of the Working Party on Border Tax
Adjustments58:
a. Karakteristik fisik barang (physical properties, nature, and quality)
b. Kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap barang (consumers’ tastes and
habits)
c. Kegunaan akhir dari barang (the product’s end-uses in a given market)
d. Sebagai tambahan, adalah faktor klasifikasi tarif internasional dari barang
tersebut59
iii . Barang yang diimpor diterapkan pajak yang melebihi (taxed in excess of) dari
barang-barang domestik
Berdasarkan Pasal III:2, kalimat pertama GATT 1994, pajak internal terhadap
barang impor tidak boleh melebihi dari pajak internal terhadap barang ‘like’
domestik. Pada Japan-Alcoholic Beverages II, Appellate Body membentuk
55 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. cit., hal.18.
56 Ibid, hal. 11.
57 Japan-Alcoholic Beverages II, WT/DS8/AB/R, WT/DS10/AB/R, WT/DS11/AB/R,para. 112-113.
58 Report of the Working Party on Border Tax Adjustments, BISD 18S/97, para. 18.
59Japan-Customs Duties, Taxes and Labelling Practices on Imported Wines and AlcoholicBeverages, BISD 34S/83, para. 5.6 (GATT Panel Report. 1987).
Universitas Indonesia
21
patokan untuk persyaratan ‘in excess of’.60 Appellate Body menyebutkan
bahwa bahkan jumlah terkecil dari ‘excess’ itu sudah dianggap melebihi.
Larangan terhadap pajak yang mendiskriminasi tersebut dalam Pasal III:2,
kalimat pertama GATT 1994, tidak bergantung pada uji efek perdagangan
dan juga tidak ditentukan oleh standar a de minimis.61 Dalam Japan-Customs
Duties, Taxes and Labelling Practices on Imported Wines and Alcoholic
Beverages, Panel menegaskan bahwa Pasal III: 2, kalimat pertama GATT
1994 mengharuskan adanya perbandingan beban pajak yang sebenarnya
bukan hanya beban nominal pajak. Panel menyatakan bahwa hal ini
diperlukan mengingat tujuan Pasal III: 2, kalimat pertama GATT 1994,
adalah untuk memastikan adanya kesetaraan dalam “kondisi persaingan
antara barang impor dan barang domestik yang sejenis”. Dengan demikian,
Pasal III: 2, kalimat pertama GATT 1994, tidak hanya memperhatikan suatu
pajak atau biaya atau tujuan kebijakan negara anggota mengenai hal tersebut,
tetapi juga pada dampak ekonomi dari hal tersebut terhadap peluang
kompetitif barang impor dan barang domestik yang sejenis. Maka, apa yang
harus dibandingkan adalah beban pajak yang diberlakukan pada barang
dikenakan pajak. Panel menganggap bahwa Pasal III: 2, kalimat pertama
GATT 1994, memerlukan perbandingan beban pajak yang sebenarnya bukan
hanya dari beban pajak nominal. Sebaliknya, negara anggota dapat dengan
mudah bisa menghindari peraturan tersebut. Jadi, walaupun barang impor dan
barang domestik dikenakan tarif pajak yang identik, beban pajak yang
sebenarnya masih bisa lebih berat pada barang impor. Hal ini dapat menjadi
masalah, misalnya, metode komputasi dasar pengenaan pajak yang berbeda
menyebabkan membesarnya beban pajak yang sebenarnya pada barang
impor. Sehubungan dengan metode komputasi dasar pengenaan pajak, bahwa
dalam menilai apakah ada diskriminasi pajak, akun yang akan diambil tidak
hanya dari tingkat pajak internal yang berlaku, tetapi juga dari metode
perpajakan (misalnya berbagai jenis pajak internal, pajak langsung dari
60 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 338.
61Japan-Alcoholic Beverages II, WT/DS8/AB/R, WT/DS10/AB/R, WT/DS11/AB/R,para. 115.
Universitas Indonesia
22
barang jadi atau tidak langsung perpajakan dengan mengenakan pajak pada
bahan baku yang digunakan dalam barang selama berbagai tahap produksi)
dan aturan untuk pemungutan pajak (misalnya dasar penilaian).62 Lalu negara
anggota yang menerapkan pajak yang lebih tinggi pada barang impor dalam
beberapa situasi, tetapi 'menyeimbangkan' hal ini dengan menerapkan pajak
yang lebih rendah pada barang-barang impor dalam situasi lain juga
merupakan tindakan yang tidak konsisten dengan prinsip National Treatment
dalam Pasal III: 2, kalimat pertama GATT 1994.63
2.2.2 Pengaturan Prinsip National Treatment dalam Pasal III:2, kalimat
kedua GATT 1994
Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994 menyebutkan:
“Moreover, no contracting party shall otherwise apply internaltaxes or other internal charges to imported or domestic products ina manner contrary to the principles set forth in paragraph 1.”64
Ketentuan ini merupakan pengaturan selanjutnya dari Pasal III:2, kalimat
pertama GATT 1994 yang menyatakan tidak ada anggota yang akan sebaliknya
memberlakukan pajak internal atau biaya internal lainnya pada barang impor
maupun domestik dengan cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang
ditetapkan dalam ayat 1.65 Prinsip National Treatment yang terdapat dalam Pasal
III:2, kalimat kedua GATT 1994 berhubungan dengan pajak internal yang
diterapkan pada barang yang secara langsung bersaing dalam suatu pasar atau
barang substitusi.66 Kemudian, dalam membaca ketentuan dalam Pasal III:2,
kalimat kedua GATT 1994 harus dibaca bersamaan dengan Pasal tambahan dari
62 Japan-Customs Duties, Taxes and Labelling Practices on Imported Wines andAlcoholic Beverages, BISD 34S/83, para. 5.8.
63 Peter van den Bossche, Op. cit, hal. 339.
64 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal III:2,kalimat kedua.
65 Pernyataan ini adalah terjemahan peneliti. Versi bahasa inggris terdapat dalam PasalIII:2, kalimat kedua GATT 1994.
66 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. cit., hal.19.
Universitas Indonesia
23
Pasal III:2 GATT 1994 untuk memberikan pengertian dari Pasal III:2, kalimat
kedua yang sewajarnya.67 Pasal tambahan tersebut menyebutkan:
“A tax conforming to the requirement of the first sentence ofparagraph 2 would be considered to be inconsistent with theprovisions of the second sentence only in cases where competitionwas involved between, on the one hand, the taxed product and, onthe other hand, a directly competitive or substitutable productwhich was not similarly taxed.”
Ketentuan ini menyatakan bahwa suatu pajak sesuai dengan persyaratan dalam
kalimat pertama dalam ayat kedua akan dianggap tidak konsisten dengan
ketentuan dalam kalimat kedua hanya dalam kasus dimana kompetisi terlibat
antara, disatu sisi, barang yang dikenakan pajak dan, di sisi lain barang yang
langsung bersaing atau bersubstitusi yang tidak dikenakan pajak yang sama.
Dalam menguji apakah suatu pajak internal dari anggota WTO tidak konsisten
dengan Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994, maka ada empat hal yang harus
diperhatikan yaitu:68
i . Ketentuan yang dimaksud adalah pajak internal (internal taxes) yang secara
langsung ataupun tidak langsung diterapkan pada barang-barang tersebut
Konsep dari pajak internal dan biaya internal dalam Pasal III:2, kalimat kedua
GATT 1994 memiliki elemen yang tidak berbeda dengan kalimat pertama
dari Pasal III:2 GATT 1994.69
ii . Barang impor dan domestik tersebut adalah barang yang secara langsung
bersaing dalam suatu pasar atau barang substitusi (directly competitive atau
substitutable products)
Prinsip National Treatment pada Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994,
berlaku untuk ‘directly competitive atau substitutable products’. Dengan
memperhatikan hubungan antara konsep ‘like products’ Pasal III:2, kalimat
67 John H. Jackson, William J. Davey, dan Alan O. Sykes, Jr, Legal Problems ofInternational Economic Relations, Fourth Edition (St. Paul : West Publishing Co, 2002), hal. 498.
68 Japan-Alcoholic Beverages II, WT/DS8/AB/R, WT/DS10/AB/R, WT/DS11/AB/R, hal.24.
69 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 342.
Universitas Indonesia
24
pertama GATT 1994, dan konsep ‘directly competitive or substitutable
products’ produk Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994, Appellate Body
dalam Japan-Alcoholic Beverages II70 menyatakan bahwa ‘like products’
adalah barang yang tergolong sebagai ‘directly competitive or substitutable
products’; semua barang seperti ini, menurut definisi, adalah ‘directly
competitive or substitutable products’, namun tidak semua ‘directly
competitive or substitutable products’ merupakan ‘like products’. Maka,
pendapat terhadap ‘like products’ harus ditafsirkan secara sempit tapi
kategori ‘directly competitive or substitutable products’ ditafsirkan lebih luas.
Sehubungan dengan faktor-faktor yang juga harus diperhitungkan untuk
menentukan barang tersebut ‘directly competitive or substitutable products’,
Appellate Body dalam Japan-Alcoholic Beverages II menyebutkan bahwa
faktor-faktor ini termasuk, selain karakteristik fisik (physical characteristic),
kegunaan akhir (common end-use) dan tarif klasifikasi (tariff classification),
sifat dari barang-barang yang dibandingkan, dan kondisi kompetitif di pasar
yang bersangkutan.71 Appellate Body mengganggap analisis terhadap kondisi
kompetitif dalam pasar dan secara khusus, elastisitas silang (cross-price
elasticity of demand), dapat sebagai sarana untuk menentukan suatu barang
‘directly competitive or substitutable products’. Kemudian, Japan-Alcoholic
Beverages II,72 menjelaskan lebih jauh, mengenai studi mengenai elastisitas
silang yang melibatkan penilaian permintaan laten. Studi tersebut mencoba
untuk memprediksi perubahan pemintaan yang dihasilkan perubahan harga
suatu barang, seperti, karena perubahan beban pajak relatif terhadap barang
domestik dan impor.
iii . Barang-barang tersebut tidak diterapkan pajak yang sama (not similarly
taxed)
Unsur berikutnya dari Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994, adalah apakah
produk pada masalah ‘not similarly taxed’. Untuk memberikan pengertian
70 Japan-Alcoholic Beverages II, WT/DS8/AB/R, WT/DS10/AB/R, WT/DS11/AB/R, hal.23. (menyetujui laporan Panel dalam para. 6.22).
71 Ibid., para. 117.
72 Ibid., hal. 25.
Universitas Indonesia
25
mengenai pembedaan dalam penulisan Pasal III:2, kalimat pertama GATT
1994 dan Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994, frase ‘not similarly taxed’
dalam Pasal tambahan pada kalimat kedua tidak boleh diberikan pengertian
yang sama dengan frase ‘in excess of’ yang ada dalam kalimat pertama.73
Maka, berdasarkan Pasal III: 2, kalimat pertama GATT 1994, bahkan pajak
yang berbeda sedikit mengarah pada kesimpulan bahwa pajak internal yang
dikenakan pada barang impor tidak konsisten dengan prinsip National
Treatment, sedangkan berdasarkan Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994,
perbedaan pajak harus lebih dari de minimis untuk dapat menyimpulkan
bahwa pajak internal yang dikenakan pada barang impor adalah tidak sesuai
dengan prinsip National Treatment.74 Persyaratan ‘not similarly taxed’
terpenuhi walaupun hanya beberapa barang impor yang tidak dikenakan pajak
yang sama dengan barang domestik, sedangkan barang impor yang lainnya
dikenakan pajak yang sama. Dalam Japan-Alcoholic Beverages II,75
Appellate Body menyatakan ketidaksamaan perpajakan terhadap beberapa
barang impor yang dibandingkan dengan barang domestik yang ‘directly
competitive or substitutable products’ merupakan ketidakkonsistenan dengan
ketentuan Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994.
iv . Ketidaksamaan pajak tersebut mengakibatkan perlindungan terhadap
produksi domestik (so as to afford protection to domestic productions)
Dalam Japan-Alcoholic Beverages II, Appellate Body menyebutkan terdapat
perbedaan antara elemen ‘apakah barang tersebut tidak dikenakan pajak yang
sama’ (‘not similarly taxed’) dan ‘apakah pajak tersebut diberlakukan untuk
melindungi produksi domestik’ (so as to afford protection to domestic
productions’). Hal ini merupakan sesuatu yang terpisah yang harus ditangani
secara individual. Jika barang-barang yang secara ‘directly competitive or
substitutable products’ tidak diterapkan pajak yang berbeda, maka tidak
diperlukan justifikasi berdasarkan Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994,
73 John H. Jackson, William J. Davey, dan Alan O. Sykes, Jr, Op. cit., hal. 499.
74 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 346.
75 Japan-Alcoholic Beverages II, WT/DS8/AB/R, WT/DS10/AB/R, WT/DS11/AB/R, hal.27.
Universitas Indonesia
26
untuk memeriksa apakah pajak tersebut berlaku ‘so as to afford protection to
domestic productions’. Namun, jika barang-barang tersebut tidak diterapkan
pajak yang sama, maka pemeriksaan selanjutnya harus dilanjutkan.76 Untuk
menentukan apakah pemberlakuan pajak dilakukan untuk memberikan
perlindungan terhadap produksi domestik, Appellate Body dalam Japan-
Alcoholic Beverages II menyatakan bahwa pemeriksaannya adalah apakah
perpajakan yang berbeda telah diterapkan, sehingga mampu memberikan
perlindungan yang membutuhkan analisis yang komprehensif dan obyektif
terhadap struktur dan penerapan pajak yang dimaksud terhadap barang
domestik yang dibandingkan dengan barang impor. Pemberlakuan dari
tindakan perlindungan ini dapat dibedakan melalui desain, arsitektur, dan
struktur yang mengungkapkan suatu tindakan.77 Maka, untuk menentukan
apakah pemberlakuan pajak memberikan perlindungan pada produksi
domestik harus diperiksa melalui kriteria pemberlakuan, struktur,
pemberlakuan secara menyeluruh dibandingkan memeriksa dari tujuan
subjektif dari regulator. Lalu, melihat relevansi maksud dari legislator atau
regulator, Appellate Body dalam Japan-Alcoholic Beverages II menyatakan
bahwa suatu tindakan pajak yang diterapkan untuk melindungi produksi
domestik, bukanlah masalah niat dari legislator atau regulator. Jika suatu
tindakan yang diterapkan terhadap barang impor atau domestik, sehingga
dapat memperoleh perlindungan pada produksi domestik, maka tidak peduli
apakah ada keinginan untuk melindungi produksi domestik oleh legislator
atau regulator yang memberlakukan tindakan tersebut. Hal ini tidak relevan
karena proteksionisme bukanlah tujuan yang dimaksudkan jika tindakan
pajak tertentu dipertanyakan namun, menurut Pasal III:1 GATT 1994,
‘pemberlakuan terhadap barang impor atau barang domestik untuk
memperoleh perlindungan terhadap produksi domestik’. Ini merupakan
masalah bagaimana suatu tindakan yang dipertanyakan dapat berlaku.78
76 Ibid., para. 119.
77 Ibid., para. 120.
78 Ibid., para. 119.
Universitas Indonesia
27
2.3 Prinsip National Treatment dalam Pasal III:4 GATT 1994
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, prinsip National
Treatment dalam Pasal III GATT 1994 mencakup tidak hanya pajak internal,
tetapi juga regulasi internal. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal III:4
GATT 1994. Pasal III:4 GATT 1994 berbunyi sebagai berikut :
“The products of the territory of any contracting party importedinto the territory of any other contracting party shall be accordedtreatment no less favorable than that accorded to like products ofnational origin in respect of all laws, regulations and requirementsaffecting their internal sale, offering for sale, purchase,transportation, distribution or use. The provisions of thisparagraph shall not prevent the application of differential internaltransportation charges which are based exclusively on theeconomic operation of the means of transport and not on thenationality of the product.”79
Ketentuan ini menyatakan bahwa barang-barang dari wilayah setiap negara
anggota yang diimpor ke dalam suatu wilayah negara anggota yang lain harus
diberikan perlakuan yang tidak kurang menguntungkan dari yang diberikan
kepada barang domestik dengan melalui semua perundang-undangan, peraturan,
dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan internal mereka, penawaran untuk
penjualan, pembelian, transportasi, distribusi atau penggunaan. Ketentuan ini
tidak akan menghalangi penerapan diferensiasi biaya transportasi internal yang
didasarkan secara khusus pada kegiatan ekonomi dalam hal sarana transportasi
dan bukan pada kewarganegaraan barang tersebut.80
Berdasarkan Appellate Body dalam Korea-Various Measure on Beef,
dalam ketentuan ini terdapat tiga elemen yang menentukan apakah suatu aturan
konsisten/tidak dengan prinsip National Treatment yang ada dalam Pasal III:4
GATT 1994, yaitu:81
79 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal III:4.
80 Pernyataan ini adalah terjemahan peneliti. Versi bahasa inggris terdapat dalam PasalIII:4 GATT 1994.
81 Korea–Various Measures on Beef, WT/DS161/AB/R, para. 133, (Appellate BodyReport. 2001).
Universitas Indonesia
28
i . Aturan yang dipermasalahkan merupakan perundang-undang, peraturan, atau
persyaratan (laws, regulations or requirements) yang termasuk dalam Pasal
III:4 GATT 1994
Pasal III:4 GATT 1994 berkaitan mengenai ‘all laws, regulations and
requirements affecting their internal sale, offering for sale, purchase,
transportation, distribution or use’. Secara umum, prinsip National
Treatment Pasal III:4 GATT 1994 berlaku untuk peraturan yang
mempengaruhi penjualan dan penggunaan barang.82 Dalam Italy-Agricultural
Machinery,83 Panel berpendapat bahwa ketentuan ayat 4 ini tidak hanya
diberlakukan terhadap perundang-undangan dan peraturan yang secara
langsung berpengaruh pada kondisi penjualan atau pembelian, tetapi juga
berlaku perundang-undangan dan peraturan yang merugikan yang mana
memodifikasi kondisi persaingan antara barang impor dan domestik dalam
pasar internal. Kemudian dalam Canada-Autos,84 Panel menyatakan bahwa
suatu tindakan dapat dianggap sebagai tindakan yang berpengaruh, yaitu
mempengaruhi penjualan internal atau penggunaan barang impor meskipun
tidak menunjukkan bahwa pada saat tersebut tindakan tersebut berdampak
terhadap keputusan pihak swasta untuk membeli barang impor. Sampai saat
ini, sebagian besar kasus yang melibatkan Pasal III:4 GATT 1994 umumnya
mengenai ‘laws and regulations’ yang berlaku, Pasal III:4 GATT 1994 juga
mencakup ‘requirements’ yang hanya berlaku pada kasus tertentu saja.
Dengan demikian, Pasal III:4 GATT 1994 mencakup pada tindakan yang
berlaku terhadap seluruhnya dan tindakan yang berlaku pada kasus tertentu
saja. Pertanyaan yang sering muncul terhadap istilah ‘requirements’ dalam
arti Pasal III:4 GATT 1994, apakah pemerintah memberlakukan persyaratan,
atau suatu tindakan yang dilakukan oleh pihak swasta yang dapat membentuk
‘requirements’ yang Pasal III:4 GATT 1994 berlaku. Dalam Canada-Autos,85
Panel memeriksa komitmen dari produsen mobil Canada untuk meningkatkan
82 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 350.
83 Italy–Agricultural Machinery, BISD 7S/60, para. 12, (GATT Panel Report. 1958).
84 Canada – Autos, WT/DS139/R, WT/DS/42/R, para. 10.80, (Panel Report. 2000).
85 Ibid., para. 10.106–10.107.
Universitas Indonesia
29
nilai tambah terhadap mobil Canada mereka sendiri. Komitmen ini
dikomunikasikan melalui surat yang dialamatkan kepada Pemerintah Canada.
Maka, Panel mengkualifikasikan komitmen seperti ini sebagai ‘requirements’
yang terdapat dalam Pasal III:4 GATT 1994. Untuk mengualifikasikan suatu
tindakan swasta sebagai suatu ‘requirements’ menurut Pasal III:4 GATT
1994, maka berhubungan dengan tindakan tersebut, seorang negara anggota
tidak dapat melakukan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap
barang impor dibandingkan dengan barang domestik. Dalam menentukan
apakah suatu tindakan swasta dapat dianggap sebagai ‘requirements’ menurut
Pasal III:4 GATT 1994, maka harus dilakukan pencarian apakah ada
hubungan sebab akibat antara tindakan tersebut dan tindakan pemerintah,
sehingga pemerintah harus bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Namun,
adanya hubungan sebab akibat tersebut tidak ditentukan hanya jika
pemerintah menjadikan usaha dari pihak swasta memiliki kekuatan hukum
atau pemerintah memberikan keuntungan kepada usaha pidak swasta. Dalam
hal ini, harus disadari bahwa dalam menerapkan konsep ‘requirements’
menurut Pasal III:4 GATT 1994 pada kondisi yang melibatkan tindakan pihak
swasta, hal ini harus diikuti dengan memperhitungkan bentuk-bentuk
tindakan pemerintah yang bervariasi yang mana efektif dalam mempengaruhi
tindakan dari pihak swasta. Singkatnya, tindakan swasta yang dapat menjadi
‘requirements’ menurut Pasal III:4 GATT 1994, hanya jika ada hubungan
sebab akibat yaitu hubungan yang dekat antara tindakan pihak swasta dan
tindakan pemerintah, sehingga pemerintah harus bertanggung jawab atas
tindakan pihak swasta tersebut.
ii . Barang-barang impor dan domestik adalah barang yang sejenis (like
products)
Konsep ‘like products’ menurut Pasal III:4 GATT 1994 dijelaskan dalam
kasus EC-Asbestos,86 konsep ‘like products’ ini juga digunakan dalam Pasal
III:2, kalimat pertama GATT 1994. Namun, interpretasi ‘like products’ dalam
Pasal III:2 GATT 1994 yang menafsirkan secara sempit tidak dapat
86 EC–Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 94.
Universitas Indonesia
30
disamakan dengan interpretasi ‘like products’ menurut Pasal III:4 GATT
1994. Hal ini dikarenakan Pasal III:2 GATT 1994 berisi dua kalimat yang
terpisah, yaitu pertama, mengenai ‘like products’ dan kedua, mengenai
‘directly competitive or substitutable products’. Sebaliknya, Pasal III:4
GATT 1994 hanya berlaku pada ‘like products’ dan tidak termasuk ketentuan
yang setara dengan Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994. Dengan demikian,
Appellate Body dari EC-Asbestos menyatakan bahwa perbedaan tekstual
antara Pasal III:2 dan Pasal III:4 GATT 1994 memiliki implikasi terhadap
makna ‘like products’ dalam dua ketentuan tersebut. Dalam Pasal III:2 GATT
1994, Appellate Body dari Japan-Alcoholic Beverages menyimpulkan bahwa
dalam menafsirkan Pasal III:2 GATT 1994, harus dilakukan secara serasi
antara dua kewajiban yang terpisah dalam dua kalimat. Karena dalam
melakukan penafsiran terhadap salah satu dari kalimat tersebut, maka tentu
akan mempengaruhi kalimat yang lainnya. Maka, ruang lingkup dari ‘like
products’ dalam kalimat pertama Pasal III:2 GATT 1994 mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh ruang lingkup dari ‘directly competitive or substitutable
products’ dalam kalimat kedua pasal tersebut. Dalam hal ini, kalimat kedua
dari Pasal III:2 GATT 1994 memberikan pertimbangan yang terpisah dan
aspek proteksi dari suatu tindakan dalam menentukan pengaplikasiannya
kepada barang yang kategorinya lebih luas yang bukan merupakan ‘like
products’, dan berbeda dengan kalimat pertama mengenai ‘like products’
yang harus ditafsirkan secara sempit.87 Setelah membedakan konsep ‘like
products’ dalam Pasal III:4 GATT 1994 dengan konsep menurut Pasal III:2,
kalimat pertama GATT, maka sekarang kita akan mencoba melihat arti dari
konsep ‘like products’ menurut Pasal III:4 GATT 1994. Namun, pertama-
tama harus diingat bahwa Pasal III GATT 1994 memiliki tujuan yang
mendasar, yaitu untuk menghindari perlindungan melalui pengaplikasian
pajak internal dan tindakan regulasi dan juga untuk menciptakan suasana
kompetitif antara barang impor dan domestik.88 Prinsip ini tidak secara
87 Japan-Alcoholic Beverages II, WT/DS8/AB/R, WT/DS10/AB/R, WT/DS11/AB/R,para. 95.
88 Ibid., para. 109–10.
Universitas Indonesia
31
eksplisit dinyatakan dalam Pasal III:4 GATT 1994, namun hal ini dinyatakan
melalui ketentuan tersebut.89 Appellate Body dalam EC-Asbestos90
menjelaskan mengenai makna ‘like products’ menurut Pasal III:4 GATT
1994, yaitu sebagai barang yang yang berada dalam hubungan yang
kompetitif di pasar dapat dipengaruhi oleh perlakuan yang ‘less favourable’
terhadap barang impor dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan
kepada barang domestik, maka ‘like products’ dalam Pasal III:4 GATT 1994
diinterpretasikan untuk berlaku pada barang-barang yang memiliki hubungan
yang kompetitif. Dengan demikian, dalam menentukan ‘like’ berdasarkan
Pasal III:4 GATT 1994 pada dasarnya melalui sifat dan tingkat hubungan
kompetitif antara barang-barang tersebut. Namun, tidak semua barang-barang
yang memiliki hubungan kompetitif dapat digolongkan sebagai ‘like
products’ dalam Pasal III:4 GATT 1994 karena dalam hubungan kompetitif
di pasar terdapat tingkatan daya saing atau substitusi. Maka, Appellate Body
menyimpulkan bahwa ruang lingkup ‘like products’ dalam Pasal III:4 GATT
1994 walaupun lebih luas dari kalimat pertama Pasal III:2 GATT 1994, tapi
tidak lebih luas dari ruang lingkup barang gabungan dari dua kalimat dalam
Pasal III:2 GATT 1994. Setelah mencapai kesimpulan diatas, maka Appellate
Body dari EC-Asbestos harus menentukan bagaimana menggolongkan suatu
barang sebagai ‘like’ menurut Pasal III:4 GATT 1994. Appellate Body
menyatakan bahwa sebagaimana Pasal III:2 GATT 1994, dalam menentukan
hal ini, ‘tidak ada pendekatan yang akan sama dengan semua kasus’. Namun,
penilaiannya dilakukan dengan menggunakan ‘elemen individual yang tidak
dapat dihindari, yaitu pertimbangan diskresioner’ yang dibuat berdasarkan
kasus per kasus. Dalam The Report of the Working Party on Border Tax
Adjustments merumuskan pendekatan untuk menganalisis ‘like’ yang telah
diikuti dan dikembangkan setelahnya. Pendekatan ini terdiri dari empat
kriteria umum dalam menganalisis ‘like’, yaitu: (i) ciri, sifat dan, kualitas
barang; (ii) kegunaan akhir dari barang; (iii) selera dan kebiasaan konsumen;
89 Ibid., para. 111.
90 EC–Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 99-100.
Universitas Indonesia
32
(iv) klasifikasi tarif dari barang. Dengan empat kriteria ini, sebuah barang
akan menunjukkan (i) ciri fisik dari barang tersebut; (ii) sejauh mana barang-
barang tersebut mampu melayani kegunaan akhir yang sama; (iii) sejauh
mana konsumen memandang dan memperlakukan barang tersebut sebagai
sarana alternatif dalam melakukan fungsi tertentu untuk memenuhi keinginan
atau permintaan tertentu; (iv) klasifikasi internasional dari barang tersebut
untuk tujuan tarif.91 Appellate Body dalam EC-Asbestos juga menambahkan
bahwa kriteria umum tersebut memberikan kerangka untuk menganalisis
‘likeness’ dari barang-barang tersebut, sehingga hal ini dapat menjadi alat
untuk membantu menyortir dan memeriksa bukti yang relevan. Tetapi,
kriteria ini bukanlah suatu daftar kriteria yang tertutup.92 Selain itu, Appelate
Body juga menyatakan bahwa berdasarkan Pasal III:4 GATT 1994, istilah
‘like products’ berkaitan dengan hubungan kompetitif antara barang. Maka,
apakah kerangka yang diberikan oleh Border Tax Adjustments dapat diadopsi
atau tidak, hal ini sangat penting berdasarkan Pasal III:4 GATT 1994 untuk
memperhitungkan bukti yang menunjukkan apakah, dan sejauh mana barang
yang terlibat atau bisa dalam hubungan kompetitif di pasar.93 Berkaitan
dengan kriteria kedua dan ketiga dari Border Tax Adjustment, yaitu kegunaan
akhir barang dan selera dan kebiasaan konsumen, maka Appellate Body
dalam EC-Asbestos menyebutkan bahwa jenis bukti seperti ini sangat penting
terutama berdasarkan Pasal III GATT 1994, karena ketentuan ini berkaitan
dengan hubungan kompetitif di dalam pasar. Jika ada atau tidak ada
hubungan kompetitif antara barang-barang tersebut, negara anggota tidak
dapat mengintervensi, melalui pajak internal atau regulasi, untuk melindungi
barang domestik. Bukti tentang sejauh mana barang dapat memberikan
kegunaan akhir yang sama, dan sejauh mana konsumen bersedia untuk
memilih salah satu barang dibandingkan dengan barang yang lain untuk
memberikan kegunaan akhirnya merupakan bukti yang sangat relevan dalam
menilai ‘like products’ menurut Pasal III:4 GATT 1994. Hal ini menjadi
91 Ibid., para. 101.
92 Ibid., para. 102.
93 Ibid., para. 103.
Universitas Indonesia
33
penting ketika dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan bukti fisik
menunjukkan barang-barang tersebut memiliki fisik yang berbeda. Jadi,
walaupun bukti fisik dari barang-barang tersebut berbeda, masih ada
hubungan kompetitif antara barang-barang tersebut, sehingga semua bukti
diambil bersama-sama untuk menunjukkan apakah barang-barang tersebut
‘like’ berdasarkan Pasal III:4 GATT 1994.94
iii . Barang-barang yang diimpor mendapatkan perlakuan yang kurang
menguntungkan (less favourable)
Fakta bahwa tindakan yang berbeda terhadap ‘like products’ tidak cukup
untuk menyimpulkan bahwa tindakan tersebut tidak konsisten dengan Pasal
III:4 GATT 1994. Pada sebagian besar kasus yang berkaitan dengan Pasal
III:4 GATT 1994, pertanyaan apakah suatu tindakan melakukan perlakuan
yang kurang menguntungkan belum menjadi hal yang utama. Namun, perlu
diingat bahwa tidak semua perlakuan yang berbeda adalah pasti merupakan
perlakuan yang kurang menguntungkan.95 Berdasarkan EC-Asbestos,
Appellate Body menyatakan bahwa terdapat elemen kedua yang harus
dibuktikan sebelum suatu tindakan dapat dianggap tidak konsisten dengan
Pasal III:4 GATT 1994 yaitu seorang negara anggota yang menggugat harus
menetapkan bahwa tindakan terhadap sekelompok barang impor yang ‘like’
‘less favourable’ dibandingkan dengan sekelompok barang domestik yang
‘like’.96 Di Korea-Various Measures on Beef, Appellate Body menyatakan
bahwa Pasal III:4 GATT 1994 hanya mewajibkan suatu tindakan terhadap
barang impor tidak boleh kurang menguntungkan dibandingkan dengan
tindakan terhadap barang domestik yang sejenis. Suatu tindakan yang
memberikan perlakuan terhadap barang impor yang berbeda dari barang
domestik yang sejenis, bukan merupakan pelanggaran terhadap Pasal III:4
GATT 1994, selama perlakuan tersebut diberikan melalui tindakan yang tidak
kurang menguntungkan. Mengenai arti ‘no less favourable treatment’, maka
hal ini bergantung pada kondisi dari kompetisi yang tidak kurang
94 Ibid., para. 117-118.
95 John H. Jackson, William J. Davey, dan Alan O. Sykes, Jr, Op. cit., hal. 520.
96 EC–Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 100.
Universitas Indonesia
34
menguntungkan terhadap barang impor dibandingkan dengan barang
domestik yang sejenis. Interpretasi ini, yang berfokus pada kondisi kompetisi
antara barang impor dan barang domestik yang sejenis, menunjukkan bahwa
suatu tindakan berdasarkan perlakuan yang secara formal berbeda terhadap
barang impor tidak langsung menjadikannya pelanggaran Pasal III:4 GATT
1994.97 Selanjutnya, Appellate Body dalam Korea-Various Measure on Beef
menambahkan bahwa perbedaan perlakuan secara formal antara barang impor
dan barang domestik yang sejenis, seperti demikian tidak diperlukan dan
tidak cukup, untuk menunjukkan pelanggaran terhadap Pasal III:4 GATT
1994. Apakah barang impor diperlakukan ‘less favourable’ dibandingkan
dengan barang domestik yang sejenis harus dinilai dengan memeriksa apakah
tindakan yang memodifikasi kondisi kompetisi pasar bersangkutan untuk
merugikan barang impor.98
2.4 Pengecualian terhadap Pemberlakuan Prinsip National Treament
Walaupun prinsip National Treatment merupakan prinsip dasar dari
GATT 1994, GATT 1994 memberikan beberapa pengecualian dalam
pemberlakuannya, yaitu:99
a. Pembelanjaan Pemerintah
Ketentuan dalam Pasal III:8 (a) GATT 1994 berbunyi:
“The provisions of this Article shall not apply to laws, regulationsor requirements governing the procurement by governmentalagencies of products purchased for governmental purposes and notwith a view to commercial resale or with a view to use in theproduction of goods for commercial sale.”100
Pasal ini menyebutkan bahwa ketentuan pasal ini tidak berlaku terhadap
undang-undang, peraturan atau persyaratan yang mengatur pengadaan oleh
97 Korea–Various Measures on Beef, WT/DS161/AB/R, para. 135-136.
98 Ibid., para. 137.
99“National Treatment Principle”,www.meti.go.jp/english/report/downloadfiles/gCT0002e.pdf, hal. 15-16.
100 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal III:8 (a).
Universitas Indonesia
35
lembaga pemerintah terhadap barang yang dibeli untuk keperluan pemerintah dan
bukan dengan tujuan komersial untuk dijual kembali atau dengan maksud untuk
digunakan dalam produksi barang untuk dijual komersial.101 Menurut Pasal III:8
(a) GATT 1994, pemerintah dimungkinkan untuk membeli barang produksi
domestik dalam rangka pembelanjaan pemerintah sebagai salah satu pengecualian
dari prinsip National Treatment dalam Pasal III GATT 1994. Pengecualian ini
diizinkan karena para anggota WTO mengakui peran dari pembelanjaan
pemerintah tersebut dalam kebijakan nasional. Sebagai contoh, jika ada kebutuhan
dalam keamanan untuk mengembangkan dan membeli barang domestik, atau
pembelanjaan pemerintahan tersebut biasanya digunakan sebagai alat
mempromosikan bisnis skala kecil, industri lokal atau teknologi canggih.
Sementara, GATT 1994 membuat pembelanjaan pemerintah sebagai pengecualian
terhadap prinsip National Treatment, Perjanjian mengenai Pembelanjaan
Pemerintah (Agreement on Government Procurement) yang dihasilkan melalui
dalam Putaran Uruguay memandatkan para penandatangan untuk menawarkan
prinsip National Treatment dalam pembelanjaan pemerintah mereka. Namun, para
anggota WTO tidak memiliki kewajiban untuk bergabung dalam Perjanjian
tersebut. Pada kenyataannya, negara-negara maju yang bergabung dalam
Perjanjian tersebut. Dengan demikian, dalam konteks pembelanjaan pemerintah,
prinsip National Treatment hanya berlaku antara negara-negara yang telah
mengaksesi Perjanjian mengenai Pembelanjaan Pemerintah tersebut, dan yang
lainnya, pengecualian Pembelanjaan Pemerintah sebelumnya tetap berlaku.102
b. Subsidi Domestik
Ketentuan dalam Pasal III:8 (b) GATT 1994 berbunyi:
“The provisions of this Article shall not prevent the payment ofsubsidies exclusively to domestic producers, including payments todomestic producers derived from the proceeds of internal taxes orcharges applied consistently with the provisions of this Article and
101 Pernyataan ini berdasarkan terjemahan peneliti. Versi bahasa inggris terdapat dalamPasal III:8 (a) GATT 1994.
102“National Treatment Principle”,www.meti.go.jp/english/report/downloadfiles/gCT0002e.pdf, hal. 16.
Universitas Indonesia
36
subsidies effected through governmental purchases of domesticproducts.”103
Ketentuan pasal ini menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal ini tidak
dapat mencegah pembayaran subsidi secara khusus kepada produsen domestik,
termasuk pembayaran kepada produsen domestik yang berasal dari hasil pajak
internal atau biaya yang diterapkan secara konsisten berdasarkan ketentuan dari
pasal ini dan subsidi yang dilakukan melalui pembelian negara terhadap barang
domestik.104 Pasal III:8 (b) GATT 1994 memperbolehkan untuk pemberian
subsidi secara khusus kepada produsen domestik sebagai suatu pengecualian
terhadap prinsip National Treatment, sehingga dalam situasi tersebut tidak ada
pelanggaran terhadap Pasal III GATT 1994 dan Perjanjian mengenai Subsidi dan
Tindakan Penyeimbangan (Agreement on Subsidies and Countervailing
Measures).105 Alasan adanya pengecualian ini adalah bahwa subsidi diakui
sebagai alat kebijakan yang yang efektif, dan diakui sebagai dasar dari
keleluasaan otoritas kebijakan domestik. Tetapi, subsidi juga dapat memberikan
efek negatif terhadap perdagangan, maka Perjanjian mengenai Subsidi dan
Tindakan Penyeimbangan memberlakukan pengaturan yang ketat dalam
penggunaan subsidi.106
c. Pasal XVIII:C GATT 1994
Para negara anggota dalam tahap awal pengembangan dapat meningkatkan
standar hidup mereka dengan mempromosikan pembentukan industri yang masih
dalam masa pertumbuhan, namun hal ini membutuhkan dukungan pemerintah dan
tujuan tersebut tidak dapat dicapai dengan tindakan-tindakan yang sesuai dengan
GATT 1994. Dalam hal ini, negara-negara dapat menggunakan ketentuan Pasal
XVIII:C GATT 1994 untuk memberitahu anggota yang lain dan mengadakan
konsultasi. Setelah konsultasi selesai dan berdasarkan pembatasan tertentu,
103 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal III:8 (b).
104 Pernyataan ini berdasarkan terjemahan peneliti. Versi bahasa inggris terdapat dalamPasal III:8 (b) GATT 1994.
105“National Treatment Principle”,www.meti.go.jp/english/report/downloadfiles/gCT0002e.pdf, hal. 16.
106 Ibid.
Universitas Indonesia
37
negara-negara ini dapat mengambil tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan
ketentuan GATT 1994 kecuali Pasal I, II, dan XIII GATT 1994. Berbeda dengan
pembatasan perdagangan untuk alasan keseimbangan pembayaran dalam Pasal
XVIII:B GATT 1994, ketentuan dalam Pasal XVIII:C GATT 1994
memperbolehkan baik tindakan pembatasan maupun tindakan pelanggaran
terhadap prinsip National Treatment dalam rangka mempromosikan industri
domestik yang masih dalam masa pertumbuhan.107
d. Pengecualian yang lain terhadap prinsip National Treatment
i . Pasal XX GATT 1994 mengenai pengecualian umum
Pengecualian-pengecualian GATT 1994 secara umum terdapat dalam
Pasal XX GATT 1994 merupakan pengecualian-pengecualian yang penting
terhadap prinsip National Treatment. Pengecualian-pengecualian ini hanya
berlaku sebagai pengecualian yang terbatas dan tergantung pada kewajiban dari
GATT 1994, termasuk prinsip National Treatment.108 Pasal XX GATT 1994
berbunyi sebagai berikut:
“Subject to the requirement that such measures are not applied ina manner which would constitute a means of arbitrary orunjustifiable discrimination between countries where the sameconditions prevail, or a disguised restriction on internationaltrade, nothing in this Agreement shall be construed to prevent theadoption or enforcement by any contracting party of measures:(a) necessary to protect public morals;(b) necessary to protect human, animal or plant life or health;(c) relating to the importations or exportations of gold or silver;(d) necessary to secure compliance with laws or regulations whichare not inconsistent with the provisions of this Agreement,including those relating to customs enforcement, the enforcementof monopolies operated under paragraph 4 of Article II and ArticleXVII, the protection of patents, trade marks and copyrights, and theprevention of deceptive practices;(e) relating to the products of prison labor;(f) imposed for the protection of national treasures of artistic,historic or archaeological value;(g) relating to the conservation of exhaustible natural resources ifsuch measures are made effective in conjunction with restrictions
107 Ibid.
108 Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C. Mavroidis, Op. cit., hal. 176.
Universitas Indonesia
38
on domestic production or consumption;(h) undertaken in pursuance of obligations under anyintergovernmental commodity agreement which conforms tocriteria submitted to the CONTRACTING PARTIES and notdisapproved by them or which is itself so submitted and not sodisapproved;*(i) involving restrictions on exports of domestic materialsnecessary to ensure essential quantities of such materials to adomestic processing industry during periods when the domesticprice of such materials is held below the world price as part of agovernmental stabilization plan; Provided that such restrictionsshall not operate to increase the exports of or the protectionafforded to such domestic industry, and shall not depart from theprovisions of this Agreement relating to non-discrimination;(j) essential to the acquisition or distribution of products in generalor local short supply; Provided that any such measures shall beconsistent with the principle that all contracting parties are entitledto an equitable share of the international supply of such products,and that any such measures, which are inconsistent with the otherprovisions of the Agreement shall be discontinued as soon as theconditions giving rise to them have ceased to exist. TheCONTRACTING PARTIES shall review the need for this sub-paragraph not later than 30 June 1960.”109
Ketentuan tersebut menyatakan bahwa berdasarkan pada persyaratan bahwa suatu
tindakan tidak berlaku dengan cara yang akan menjadi suatu sarana diskriminasi
yang sewenang-wenang atau tidak dapat dibenarkan antara negara-negara saat
keadaan yang sama berlaku, atau pembatasan yang terselubung dalam
perdagangan internasional, tidak ada dalam Perjanjian GATT 1994 akan
ditafsirkan untuk mencegah adopsi atau pelaksanaan tindakan-tindakan oleh
negara anggota:110
a. diperlukan untuk melindungi moral publik;
b. diperlukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan dari manusia, hewan
atau tanaman;
c. terkait dengan importasi atau eksportasi emas atau perak;
d. diperlukan untuk mengamankan kepatuhan terhadap undang-undang atau
peraturan yang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Perjanjian
109 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal XX.
110 Pernyataan ini berdasarkan terjemahan peneliti. Versi bahasa inggris terdapat dalamPasal XX GATT 1994.
Universitas Indonesia
39
ini, termasuk yang berkaitan dengan keberlakuan bea cukai, keberlakuan
monopoli yang diatur dalam ayat 4 dari Pasal II dan Pasal XVII GATT
1994, perlindungan paten, merek dan hak cipta, dan pencegahan praktek
yang menyesatkan;
e. berkaitan dengan produk-produk dari buruh penjara;
f. dilakukan untuk melindungi harta nasional yang bernilai artistik, sejarah
atau arkeologi;
g. berkaitan dengan konservasi sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui jika tindakan-tindakan tersebut dibuat efektif dalam
hubungannya dengan pembatasan produksi atau konsumsi dalam negeri;
h. dilakukan sesuai dengan kewajibannya berdasarkan perjanjian antar
pemerintah mengenai suatu komoditas yang mana sesuai dengan kriteria
yang disampaikan kepada Negara Anggota dan tidak ditolak oleh mereka
atau dengan sendirinya disampaikan dan tidak begitu ditolak; *
i. melibatkan pembatasan ekspor bahan dalam negeri yang diperlukan untuk
memastikan kuantitas esensial bahan-bahan tersebut untuk industri
pengolahan dalam negeri selama periode saat harga bahan-bahan tersebut
di dalam negeri berada di bawah harga dunia sebagai bagian dari rencana
stabilisasi pemerintah; asalkan pembatasan tersebut tidak berlakukan untuk
meningkatkan ekspor atau memberikan perlindungan kepada industri
dalam negeri, dan tidak akan menyimpang dari ketentuan Perjanjian ini
berkaitan dengan prisip non-diskriminasi;
j. penting untuk pengambilalihan atau distribusi produk secara umum atau
pasokan lokal jangka pendek; asalkan tindakan tersebut harus konsisten
dengan prinsip bahwa semua anggota berhak memperoleh bagian yang
merata dalam pasokan internasional dari produk-produk tersebut, dan jika
tindakan tersebut tidak konsisten dengan ketentuan-ketentuan dalam
Perjanjian ini, maka harus dihentikan segera setelah menimbulkan kondisi
yang tidak diinginkan.
Secara umum, Pasal XX GATT 1994 relevan dan akan digunakan oleh
negara anggota hanya ketika suatu tindakan negara anggota dianggap tidak
konsisten dengan ketentuan GATT 1994 yang lain. Maka, Pasal XX GATT 1994
Universitas Indonesia
40
dapat digunakan untuk membenarkan tindakan yang tidak konsisten dengan
GATT 1994. Tindakan yang memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Pasal XX
GATT 1994 maka diizinkan, bahkan jika mereka tidak konsisten dengan
ketentuan lain dari GATT 1994. Pasal XX memberikan pengecualian namun
untuk pengecualian yang ‘terbatas dan bersyarat’ dari kewajiban di dalam GATT
1994. Pengecualian ‘terbatas’ diatur secara lengkap dalam daftar pengecualian
dalam Pasal XX. Namun, pengecualian ‘bersyarat’ dalam Pasal XX GATT 1994
hanya disediakan untuk sebagai pembenaran terhadap tindakan yang melawan
hukum dan hanya jika syarat tersebut yang diatur dalam Pasal XX GATT 1994
terpenuhi. Sementara, Pasal XX GATT 1994 memperbolehkan negara anggota
untuk mengadopsi atau memberlakukan tindakan tersebut untuk mempromosikan
atau melindungi nilai-nilai sosial yang penting, maka hal ini memberikan suatu
pengecualian atau pembatasan terhadap komitmen pada GATT 1994.111
Lalu, Appellate Body dalam US- Gasoline menyatakan bahwa, berkaitan
dengan Pasal XX(g) GATT 1994, yang merupakan pengecualian dalam kasus
tersebut, yaitu konteks dari pengecualian Pasal XX(g) GATT 1994 meliputi
ketentuan lain dari GATT 1994, termasuk secara khusus Pasal I, III, dan XI
GATT 1994, serta sebaliknya, konteks Pasal I, III, dan XI termasuk dalam Pasal
XX GATT 1994. Dengan demikian, frase ‘berkaitan dengan konservasi sumber
daya alam yang tidak dapat diperbaharui’ tidak dapat dibaca secara luas dan
serius, sehingga melanggar maksud dan tujuan dari Pasal III:4 GATT 1994. Lalu
Pasal III:4 GATT 1994 tidak dapat diberikan jangkauan yang luas yang efektif
untuk melemahkan Pasal XX(g) dan kebijakan serta kepentingan yang
diwujudkan. Hubungan antara komitmen yang diatur dalam Pasal I, III, dan XI
GATT 1994 serta kebijakan dan kepentingan yang terdapat dalam ‘Pengecualian
Umum’ tercantum dalam Pasal XX GATT 1994, dapat dijelaskan melalui
kerangka dari GATT 1994 serta maksud dan tujuannya berdasarkan kasus-
kasus.112 Maka dengan demikian, Appellate Body mengakui interpretasi secara
sempit berlaku terhadap ketentuan pengecualian dalam Pasal XX GATT 1994,
111 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 599.
112 US – Gasoline, WT/DS2/AB/R, hal. 18, (Appellate Body Report. 1996).
Universitas Indonesia
41
dimana pengecualian yang memungkinkan, seperti tindakan pembatasan
perdagangan untuk melindungi kesehatan masyarakat atau lingkungan, menjadi
tidak sesuai. Karena Appellate Body, menganjurkan keseimbangan antara
liberisasi perdagangan dan nilai-nilai sosial lainnya.
Kemudian, Pasal XX GATT 1994 menetapkan uji dua tingkat, untuk
menentukan apakah suatu tindakan, sebaliknya, tidak konsisten dengan kewajiban
GATT 1994, dapat dibenarkan. Di US-Gasoline, Appellate Body menyatakan
bahwa dalam hal membenarkan perlindungan berdasarkan Pasal XX GATT 1994,
tindakan tersebut tidak hanya harus berada di bawah satu atau pengecualian yang
lain dari ayat (a)-(j) dalam Pasal XX GATT 1994, tetapi juga harus memenuhi
persyaratan dalam klausul pembukaan (chapeau) dari Pasal XX GATT 1994.
Analisis ini terdiri dari dua tingkat yaitu: pertama, pembenaran berdasarkan
karakteristik tindakan berdasarkan Pasal XX(g) GATT 1994; kedua, penilaian
lebih lanjut dari tindakan yang sama berdasarkan klausul pembukaan dari Pasal
XX GATT 1994.113 Dengan demikian, untuk membenarkan tindakan yang tidak
konsisten dengan GATT 1994, berdasarkan Pasal XX GATT 1994, harus
memenuhi :
1. Persyaratan dari salah satu pengecualian yang ada dalam ayat (a)-(j) Pasal
XX GATT 1994
Pengecualian-pengecualian yang terdapat dalam ayat (a)-(j) Pasal XX GATT
1994 merupakan suatu pembenaran yang memiliki beberapa alasan, yaitu
untuk perlindungan nilai-nilai sosial, ekonomi, dan non-ekonomi, seperti
kehidupan manusia, hewan, atau tumbuhan, atau kesehatan, sumber daya alam
yang tidak dapat diperbaharui, harta artistik nasional, nilai sejarah atau
arkeologi, dan moral publik. Membandingkan istilah yang digunakan dalam
ayat yang berbeda dari pasal XX GATT 1994, Appellate Body dalam US-
Gasoline menyatakan: dalam menyebutkan berbagai kategori dari tindakan
pemerintah, undang-undang, atau peraturan dari negara anggota WTO yang
dilaksanakan atau disebarluaskan untuk membedakan kebijakan negara atau
kepentingan di luar bidang liberisasi perdagangan, Pasal XX GATT 1994
113 Ibid., hal. 22.
Universitas Indonesia
42
menggunakan istilah yang berbeda sehubungan dengan kategori yang berbeda:
‘necessary’ terdapat dalam ayat (a), (b), dan (d); ‘essential’ terdapat dalam
ayat (j); ‘relating to’ terdapat dalam ayat (c), (e), dan (g); ‘for the protection
of’ terdapat dalam ayat (f); ‘in pursuance of’ terdapat dalam ayat (h); dan
‘involving’ terdapat dalam ayat (i). Rasanya tidak masuk akal untuk menduga
bahwa negara anggota WTO bermaksud untuk mensyaratkan, berdasarkan
masing-masing dan setiap kategori, jenis yang sama atau tingkat koneksi atau
hubungan antara tindakan yang dinilai dengan kepentingan atau kebijakan
negara yang berusaha untuk dipromosikan atau direalisasikan.114
2. Persyaratan dari chapeau dari Pasal XX GATT 1994
Dalam US-Gasoline, Appellate Body menyatakan bahwa chapeau dibentuk
untuk untuk mencegah penyalahgunaan dari pengecualian-pengecualian yang
terdapat dalam Pasal XX GATT 1994. Chapeau melalui istilahnya, bukan
hanya mempertanyakan suatu tindakan, atau isi spesifiknya, tetapi lebih
kepada sarana bagaimana tindakan tersebut diterapkan. Maka, karena itu
sangat penting untuk menggarisbawahi tujuan dan maksud dari kalimat
pembuka dari Pasal XX GATT 1994 yang umumnya menjadi pencegahan
terhadap ‘penyalahgunaan dari pengecualian-pengecualian dalam Pasal XX
GATT 1994. Pandangan ini diambil dari sejarah penyusunan Pasal XX
GATT1994 adalah sesuatu yang berharga. Chapeau digerakkan oleh prinsip
bahwa selama pengecualian-pengecualian dari Pasal XX GATT 1994 dapat
digunakan sebagai hak hukum, mereka tidak boleh diterapkan untuk
menggagalkan kewajiban hukum dari pemegang hak berdasarkan peraturan
substantif dari Perjanjian Umum. Jika pengecualian-pengecualian tersebut
tidak disalahgunakan, dengan kata lain tindakan yang termasuk dalam
pengecualian tertentu harus diterapkan sewajarnya, dengan memperhatikan
kewajiban hukum pihak yang menuntut pengecualian dan hak hukum dari
pihak lain yang berhubungan.115 Dalam memeriksa apakah suatu tindakan
dapat dibenarkan berdasarkan Pasal XX GATT 1994, maka harus selalu
114 Ibid., hal.17–18.
115 Ibid., hal. 22.
Universitas Indonesia
43
memeriksa, pertama, apakah tindakan ini dapat dibenarkan berdasarkan salah
satu pengecualian dalam ayat (a)-(j) dari Pasal XX GATT 1994 dan, jika
demikian, apakah penerapan tindakan ini memenuhi persyaratan chapeau dari
Pasal XX GATT 1994. Dengan demikian ayat dari Pasal XX GATT 1994
berisi persyaratan yang berbeda mengenai hubungan antara tindakan pada
masalah dan nilai sosial yang dikejar. Beberapa tindakan ‘necessary’ untuk
melindungi atau promosi terhadap nilai sosial yang dikejar (misalnya
perlindungan kehidupan dan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan),
sedangkan untuk tindakan-tindakan yang lain itu sudah cukup ‘relating to’
nilai sosial yang dikejar (misalnya konservasi sumber daya alam yang tidak
dapat diperbaharui). Oleh karena itu, alasan pembenaran dan persyaratan yang
menyertainya dalam Pasal XX GATT 1994 akan diperiksa secara terpisah.116
ii . Pasal XXI GATT 1994 mengenai pengecualian keamanan
Pasal XXI GATT 1994 mengenai pengecualian keamanan terhadap prinsip
National Treatment, Pasal ini berbunyi:
“Nothing in this Agreement shall be construed(a) to require any contracting party to furnish any information thedisclosure of which it considers contrary to its essential securityinterests; or(b)to prevent any contracting party from taking any action which itconsiders necessary for the protection of its essential securityinterests
(i)relating to fissionable materials or the materials from whichthey are derived;(ii)relating to the traffic in arms, ammunition and implementsof war and to such traffic in other goods and materials as iscarried on directly or indirectly for the purpose of supplying amilitary establishment;(iii)taken in time of war or other emergency in internationalrelations; or
(c)to prevent any contracting party from taking any action inpursuance of its obligations under the United Nations Charter forthe maintenance of international peace and security.”117
116 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 603.
117 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal XXI.
Universitas Indonesia
44
Pasal ini mengatur bahwa ketentuan GATT 1994 tidak dapat ditafsirkan118
(a) untuk meminta setiap negara anggota untuk memberikan informasi apapun
yang pengungkapannya dianggap bertentangan dengan kepentingan keamanan
yang sangat penting
(b) untuk mencegah setiap negara anggota mengambil tindakan yang dianggap
perlu untuk melindungi kepentingan keamanan yang sangat penting :
(i) berkaitan dengan bahan fisi atau bahan asalnya
(ii) berkaitan dengan lalu lintas senjata, amunisi, dan perlengkapan perang dan
arus lalu lintas barang dan bahan lainnya yang digunakan secara langsung atau
tidak langsung untuk tujuan pasokan militer
(iii) diambil pada saat perang atau keadaan darurat lainnya dalam hubungan
internasional
(c) untuk mencegah negara anggota mengambil tindakan sesuai dengan
kewajibannya berdasarkan Piagam PBB untuk memelihara perdamaian dan
keamanan internasional.
2.5 Kesimpulan
Maka dari hasil penjelasan diatas dapat dihasilkan kesimpulan sebagai
berikut. Dalam Pasal III:1 GATT 1994, dijelaskan mengenai lingkup keberlakuan
dari Pasal III GATT 1994 yang terdiri dari: (1) pajak dan biaya internal; (2)
perundang-undangan, peraturan, dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan,
transportasi, distribusi, atau manfaat dari barang; dan (3) peraturan kuantitatif
internal yang mewajibkan campuran, pemprosesan atau penggunaan barang dalam
porsi tertentu.119 Kewajiban prinsip National Treatment dalam Pasal III GATT
1994 mencakup 2 hal yaitu pajak internal (Pasal III:2 GATT 1994) dan regulasi
internal (Pasal III:4 GATT 1994). Dalam hal kewajiban prinsip National
Treatment dalam pajak internal, maka penerapannya tidak hanya pada barang
yang sejenis/like products (Pasal III:2, kalimat pertama GATT 1994) tapi juga
pada barang yang secara langsung bersaing dalam pasar atau barang
118 Pernyataan ini berdasarkan terjemahan peneliti. Versi bahasa inggris terdapat dalamPasal XXI GATT 1994.
119 Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C. Mavroidis, Op. cit., hal. 157.
Universitas Indonesia
45
substitusi/directly competitive or substitutable products (Pasal III:2, kalimat
kedua GATT 1994).120
Kemudian, hukum WTO juga memberikan beberapa pengecualian
terhadap kewajiban prinsip National Treatment ini yaitu pembelanjaan
pemerintah (Pasal III:8 (a) GATT 1994); subsidi domestik (Pasal III:8 (b) GATT
1994); negara berkembang (Pasal XVIII:C GATT 1994); pengecualian umum
(Pasal XX GATT 1994); dan keamanan nasional (Pasal XXI GATT 1994).121
120 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. cit.,hal.17.
121“National Treatment Principle”,www.meti.go.jp/english/report/downloadfiles/gCT0002e.pdf, hal. 16.
Universitas Indonesia
BAB 3
PRINSIP NATIONAL TREATMENT DALAM PASAL 2.1 TECHNICAL
BARRIER TO TRADE AGREEMENT
3.1 Pendahuluan
Negara anggota WTO memiliki peraturan-peraturan mengenai
perdagangan barang yang mengatur persyaratan yang berkaitan dengan
komposisi, kualitas, keamanan, proses produksi, kemasan, label, dan lain-lain.
Peraturan-peraturan nasional tersebut seringkali menyebabkan hambatan teknis
dalam perdagangan internasional. Maka, WTO sebagai organisasi perdagangan
internasional yang menaungi negara-negara tersebut membentuk Agreement on
Technical Barrier to Trade (TBT Agreement) yang merupakan perjanjian
internasional yang mengatur mengenai peraturan-peraturan nasional yang
menyebabkan hambatan teknis dalam perdagangan. Tujuan dibentuknya TBT
Agreement adalah untuk menyelesaikan masalah seperti (a) standar-standar yang
menyimpang dari norma internasional yang digunakan sebagai sarana untuk
melindungi produsen domestik, (b) standar yang sangat ketat yang dibuat
berdasarkan pada desain produk domestik, dan bukan pada kriteria kegunaan yang
penting, (c) akses yang tidak sama dalam sistem pengujian dan sertifikasi yang
dilakukan antara produsen domestik dan eksportir dari hampir semua negara, (d)
ketidakmampuan untuk menerima hasil pengujian dan sertifikasi yang dilakukan
antara produsen domestik dan ekspor dari hampir semua negara, (e)
ketidakmampuan yang terus menerus dalam menerima hasil pengujian dan
sertifikasi yang dilakukan oleh organisasi asing yang kompeten dalam beberapa
pasar, (f) kurangnya transparansi dalam sistem untuk membuat peraturan teknis
dan penilaian kesesuaian di hampir semua negara.122
122Autar Krishen Koul, Guide to WTO and GATT: Economics, Law, and Politics (DenHaag :Kluwer Law International, 2005), hal. 422.
Universitas Indonesia
47
TBT Agreement mengandung pengaturan terhadap:123
a. Peraturan teknis (technical regulations)
b. Standar (standards)
c. Prosedur penilaian kepatuhan (conformity assessment procedures)
Aturan dalam TBT Agreement berlaku untuk peraturan teknis, standar, dan
prosedur penilaian kesesuaian yang berkaitan dengan barang produksi (baik
manufaktur dan pertanian) dan proses yang terkait dan metode produksi
(PPMs).124 Selain itu, TBT Agreement juga mencoba untuk menyeimbangkan dua
tujuan dari kebijakan yang saling bertentangan, yaitu pencegahan dari
proteksionisme dan hak dari negara anggota untuk memberlakukan peraturan
terhadap barang untuk melaksanakan tujuan kebijakan publik (yang sah) seperti,
memperbolehkan otonomi peraturan yang wajar oleh negara anggota untuk
mencapai tujuan kebijakan domestik yang diperlukan125
Berdasarkan Lampiran 1.1 TBT Agreement dan kasus-kasus WTO yang
berkaitan dengan ‘technical regulations’, suatu tindakan dapat dianggap sebagai
‘technical regulations’ jika:126
a. Tindakan tersebut berlaku pada suatu barang atau sekelompok barang yang
bisa diidentifikasi
b. Tindakan tersebut menyebutkan karakteristik dari barang dan/atau proses atau
cara produksi yang berkaitan dengan barang tersebut
c. Tindakan tersebut adalah wajib berkaitan dengan kepatuhan terhadap
karakteristik barang
TBT Agreement meletakkan tiga kewajiban substantif yang penting mengenai
peraturan teknis,127 yaitu pertama, negara anggota harus menjamin bahwa
peraturan teknis tidak disusun, ditetapkan, atau diterapkan dengan maksud untuk
123 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. cit.,hal. 83.
124 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 458.
125 United Nations Conference on Trade and Development, Dispute Settlement (WTOtechnical barrier to trade) (NewYork dan Geneva: United Nations, 2003), hal. 3.
126 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Lampiran 1.1; EC– Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 67–70; dan EC – Sardines, WT/DS231/AB/R, para. 176(Appellate Body Report. 2002).
127 Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C. Mavroidis, Op. cit., hal. 511.
Universitas Indonesia
48
atau dengan dampak menimbulkan hambatan yang tidak diperlukan dalam
perdagangan internasional,128 kedua, peraturan teknis tersebut tidak boleh lebih
menghambat perdagangan, daripada yang diperlukan untuk memenuhi suatu
‘legitimate objectives’,129 ketiga, peraturan teknis tidak boleh dipertahankan,
apabila keadaan atau tujuan yang menyebabkan ditetapkannya peraturan tersebut
tidak ada lagi, atau apabila keadaan atau tujuan yang berubah tersebut dapat
dicapai dengan cara yang kurang membatasi perdagangan.130
Selain peraturan teknis, TBT Agreement juga memiliki dua pengaturan.
Pertama, standar adalah dokumen yang disetujui oleh suatu badan yang diakui,
yang menyediakan, untuk penggunaan umum dan berulang, peraturan, pedoman
atau karakteristik barang atau metode proses dan metode produksi yang terkait,
yang pemenuhannya tidak wajib. Dokumen tersebut dapat pula mencakup atau
secara khusus berkenaan dengan terminologi, simbol, persyaratan pengemasan,
penandaan atau pelabelan seperti yang digunakan pada barang, metode proses
atau metode produksi.131 Maka itu, standar berbeda dengan peraturan teknis,
dalam hal kesesuaian terhadap standar yang tidak bersifat kewajiban.132 Kedua,
prosedur penilaian kesuaian adalah setiap prosedur yang digunakan, secara
langsung atau tidak langsung, untuk menentukan bahwa persyaratan yang relevan
dalam peraturan teknis dan standar dipenuhi. Prosedur penilaian kesesuaian
mencakup, antara lain, prosedur pengambilan contoh, pengujian dan inspeksi;
evaluasi, verifikasi dan jaminan konformitas; registrasi, akreditasi dan
persetujuan, serta kombinasinya.133 Meskipun TBT Agreement utamanya
ditujukan kepada lembaga pemerintah pusat, TBT Agreement juga meluaskan
penerapannya pada lembaga pemerintah daerah dan lembaga non-pemerintah
dengan memberikan kewajiban terhadap negara-negara anggota WTO, yaitu:134
128 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 2.2.
129 Ibid.
130 Ibid., Pasal 2.3.
131 Ibid., Lampiran 1.2.
132 Ibid., Lampiran 1.2.
133 Ibid., Lampiran 1.3.
134 Peter van den Bossche, loc. cit.
Universitas Indonesia
49
a. Untuk mengambil tindakan-tindakan yang memastikan kepatuhan terhadap
TBT Agreement oleh lembaga pemerintah daerah dan lembaga non-
pemerintah
b. Untuk menghindari tindakan-tindakan yang dapat mendorong
ketidakkonsistenan dari lembaga-lembaga ini dengan ketentuan di dalam TBT
Agreement
Hal ini dilakukan sehubungan dengan kewajiban yang berkaitan dengan
peraturan teknis, standar, dan prosedur penilaian kesesuaian.135 Kemudian, dalam
Lampiran 3 TBT Agreement terdapat ‘Code of Good Practice’, yang mana
berlaku untuk menyusun, menetapkan, dan menggunakan standar. Negara
anggota harus memastikan bahwa lembaga standarisasi pemerintah pusat mereka
telah menerima dan tunduk terhadap ‘Code of Good Practice’. Selain itu, negara
anggota juga diwajibkan, berdasarkan Pasal 4 dari TBT Agreement, untuk
membuat tindakan yang layak yang mungkin untuk dilakukan dalam memastikan
lembaga standarisasi lokal dan non-pemerintah juga menerima dan mematuhi
‘Code of Good Practice’.136
Kemudian, memperhatikan hubungan antara TBT Agreement dengan
perjanjian WTO lainnya, maka penerapan SPS Agreement atau Agreement on
Government Procurement terhadap suatu peraturan teknis tertentu mengecualikan
penerapan TBT Agreement.137 Namun, TBT Agreement dan GATT 1994
keduanya dapat berlaku pada peraturan teknis tertentu.138 Secara umum, bahwa
hubungan antara GATT 1994 dengan perjanjian multilateral lainnya mengenai
perdagangan barang (termasuk TBT Agreement) diatur dalam General
Interpretative Note to Annex 1A dari Marrakesh Agreement.139 Hal ini
menjelaskan, bahwa dalam konflik antara ketentuan GATT 1994 dan ketentuan
lain dari perjanjian multilateral mengenai perdagangan barang, maka yang
135 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 3.1, 3.4, 4.1,7.1, 7.8, dan 8.1.
136 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 459.
137 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 1.4 dan Pasal1.5.
138 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 8.16.
139 Peter van den Bossche, loc. cit.
Universitas Indonesia
50
berlaku adalah perjanjian yang terakhir. Tetapi, dalam konflik antara GATT 1994
dengan TBT Agreement tidak dimungkinkan. Ketentuan substansi dasar dari TBT
Agreement terdiri dari beberapa prinsip yang juga ditemukan dalam GATT 1994,
seperti kewajiban perlakuan Most Favored Nations, kewajiban National
Treatment, dan kewajiban untuk tidak memberlakukan hambatan yang tidak
perlukan dalam perdagangan internasional. Dalam EC-Asbestos, Appellate Body
menemukan bahwa TBT Agreement sebagai tujuan lebih lanjut dari GATT 1994.
Namun, TBT Agreement melakukannya melalui rezim hukum yang khusus, yang
berisi kewajiban yang berbeda dan merupakan tambahan bagi kewajiban dalam
GATT 1994.140 TBT Agreement mensyaratkan bahwa, mengenai tindakan TBT
(technical barrier to trade), negara anggota harus sesuai dengan prinsip National
Treatment dan Most Favored Nations terhadap barang impor dari negara anggota
yang lain.141
Lalu, TBT Agreement juga mensyaratkan bahwa tindakan hambatan teknis
dalam perdagangan (technical barrier to trade) tidak boleh menimbulkan
hambatan yang tidak diperlukan terhadap perdagangan internasional.142 Untuk
hal ini, Pasal 2.2 TBT Agreement lebih lanjut mensyaratkan bahwa peraturan
teknis tidak boleh lebih menghambat perdagangan, daripada yang diperlukan
untuk memenuhi tujuan yang sah, dengan mempertimbangkan risiko yang akan
timbul seandainya tujuan tersebut tidak dipenuhi.143 Pasal 2.2 TBT Agreement
berlaku untuk membebankan beberapa tujuan yang sah, seperti, persyaratan
keamanan nasional; pencegahan praktek yang menyesatkan; perlindungan
kesehatan atau keselamatan manusia, kehidupan atau kesehatan hewan atau
tanaman, atau lingkungannya.144 Dalam menentukan keperluan terhadap suatu
tujuan, maka negara anggota wajib ‘taking account of the risks non-fulfilment
would create’. Dalam menilai risiko tersebut, Pasal 2.2 TBT Agreement membuat
140 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 80.
141 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 2.1, 5.1.1,dan Lampiran 3D.
142 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 2.2, 5.1.2,dan Lampiran 3E.
143 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 2.2.
144 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 2.2.
Universitas Indonesia
51
beberapa pertimbangan yang relevan, termasuk informasi ilmiah dan teknis yang
tersedia, yang berhubungan dengan teknologi pengolahan dan kegunaan akhir
yang dimaksudkan terhadap suatu barang.145
Harmonisasi dari peraturan teknis nasional, standar, dan prosedur
penilaian kesesuaian secara internasional sangat memfasilitasi pelaksanaan
perdagangan internasional, dengan meminimalkan variasi persyaratan terhadap
eksportir yang harus dipenuhi dalam pasar ekspor mereka. Dengan demikian,
Pasal 2.4 TBT Agreement mensyaratkan bahwa peraturan teknis disyaratkan
untuk sesuai dengan standar internasional yang ada, sehingga negara anggota
harus menggunakan hal tersebut, atau bagian-bagian yang relevan, sebagai dasar
dari peraturan teknis mereka.146 Arti dari pengertian kewajiban untuk
menggunakan standar internasional yang relevan ‘based on’ bagi suatu peraturan
teknis yang dijelaskan oleh Panel dalam EC-Sardines. Panel menjelaskan bahwa
konsep dari ‘based on’ itu tidak sama dengan konsep dari ‘conform to’, tetapi
menerapkan kewajiban untuk ‘employ or apply’ standar internasional sebagai
‘prinsip fundamental yang bertujuan memberlakukan peraturan teknis’.147
Berdasarkan Appellate Body di EC-Sardines, terdapat analisis terhadap ‘apakah
ada kontradiksi’ antara standar internasional dan peraturan nasional.148
Berdasarkan Pasal 2.4 TBT Agreement, sebuah peraturan teknis tidak
harus berdasarkan pada standar internasional yang relevan, jika suatu standar
internasional atau bagian relevannya akan menjadi sarana yang tidak efektif atau
tidak sesuai untuk pemenuhan tujuan sah yang ingin dicapai, karena faktor iklim,
faktor geografis, atau masalah teknologi yang fundamental.149 Perbedaan antara
keefektifan dan kesesuaian adalah pertanyaan terhadap keefektifan bergantung
pada hasil dari sarana yang diberlakukan, lalu pertanyaan terhadap kesesuaian
berkaitan dengan sifat dari sarana yang diberlakukan. Suatu standar internasional
145 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 460.
146 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 2.4.
147 EC – Sardines, WT/DS231/R, para. 7.110 (Panel Report. 2002).
148 EC - Sardines, WT/DS231/AB/R, para. 249.
149 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 2.4,Lampiran 3F, dan Pasal 5.4.
Universitas Indonesia
52
akan efektif, jika standar tersebut memiliki kapasitas untuk mencapai semua
tujuan yang ingin dicapai dan suatu standar internasional akan sesuai, jika standar
tersebut sesuai dengan pemenuhan semua tujuan yang ingin dicapai.150
Selanjutnya, TBT Agreement mensyaratkan negara anggota WTO untuk
mempertimbangkan untuk menerima, dengan sama, peraturan teknis negara
anggota yang lain, jika mereka puas terhadap peraturan teknis asing tersebut telah
memenuhi tujuan sah yang ingin dicapai oleh peraturan teknis mereka.151
Kemudian, TBT Agreement memberikan negara anggota kewajiban
mengenai transparansi dan pemberitahuan.152 Kewajiban transparansi dan
pemberitahuan terhadap peraturan teknis diatur dalam Pasal 2.9-2.12 TBT
Agreement, yaitu (a)negara anggota harus menerbitkan pengumuman dalam suatu
publikasi pada tahap sedini mungkin, dengan cara yang memungkinkan pihak
yang berkepentingan dalam negara anggota lain mengetahuinya dengan tujuan
untuk memperkenalkan suatu peraturan teknis tertentu; (b) negara anggota harus
memberikan notifikasi kepada negara anggota lain melalui Sekretariat WTO
mengenai barang yang dicakup dalam usulan peraturan teknis, bersama dengan
petunjuk singkat mengenai tujuan dan dasar pemikiran logisnya. Notifikasi
tersebut harus dilakukan sedini mungkin, pada waktu amandemen masih dapat
diajukan dan tanggapan masih dapat dipertimbangkan; (c) negara anggota harus,
atas permintaan, kepada negara anggota lain, memberikan keterangan atau kopi
dari usulan peraturan teknis dan, apabila mungkin, menunjukkan bagian mana
yang isi pokoknya menyimpang dari standar internasional yang relevan; (d)
negara anggota harus, tanpa diskriminasi, memberikan waktu yang cukup kepada
negara anggota lain untuk memberikan tanggapan tertulis, atas permintaan
mendiskusikan tanggapan ini, dan mengindahkan tanggapan tertulis serta hasil
dari diskusi ini. Lalu, negara anggota harus menjamin bahwa semua peraturan
teknis yang telah ditetapkan segera diterbitkan atau jika tidak, dibuat tersedia
dengan cara sedemikian rupa untuk memungkinkan pihak yang berkepentingan
150 EC – Sardines, WT/DS231/AB/R, para. 288.
151 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 2.7, Pasal6.1, dan Pasal 9.
152 Ibid, Pasal 2.9-2.12, Lampiran 3L-3O, dan Pasal 5.8.
Universitas Indonesia
53
dalam negara anggota lain untuk memahaminya. Selanjutnya, negara anggota
harus memberikan tenggang waktu yang cukup antara penerbitan suatu peraturan
teknis dengan pemberlakuannya untuk memberikan waktu kepada para produsen
dalam negara anggota pengekspor, dan terutama dalam anggota negara
berkembang yang menjadi anggota, untuk menyesuaikan barang atau metode
produksinya dengan persyaratan dari negara anggota pengimpor.
Negara anggota dapat berkonsultasi, mengenai setiap hal yang
menyangkut dengan tujuan atau pelaksanaan TBT Agreement, dalam Komisi
TBT (technical barrier to trade), yang terdiri dari semua negara anggota WTO
dan akan dilaksanakan beberapa kali dalam setahun.153 TBT Agreement
mengandung beberapa peraturan atau prosedur khusus atau tambahan, utamanya
menyangkut dengan kemungkinan panel untuk berkonsultasi dengan sekelompok
ahli teknis.154 Kelompok ahli teknis tersebut berada di bawah wewenang Panel.
Kerangka acuan tugas dan rincian prosedur kerjanya harus ditentukan oleh Panel,
dan mereka harus melapor kepada Panel. Partisipasi dalam kelompok ahli teknis,
harus dibatasi untuk orang yang mempunyai kedudukan profesional dan
berpengalaman di bidang yang dipermasalahkan. Bagi warga dari negara anggota
yang bersengketa tidak boleh menjadi anggota kelompok ahli teknis tanpa
persetujuan bersama antara negara anggota yang bersengketa, kecuali dalam
keadaan luar biasa bila panel mempertimbangkan bahwa bila tidak demikian
kebutuhan akan keahlian ilmiah khusus tidak dapat dipenuhi. Pejabat pemerintah
dari negara anggota yang bersengketa tidak boleh menjadi anggota kelompok ahli
teknis. Anggota kelompok ahli teknis harus bekerja berdasarkan kepasitas
individunya, dan tidak sebagai wakil pemerintah maupun wakil dari suatu
organisasi manapun. Pemerintah atau organisasi tidak boleh memberikan perintah
kepada mereka berkenaan dengan permasalahan mendahului kelompok ahli
teknis. Kelompok ahli teknis dapat berkonsultasi dan mencari informasi dan
saran teknis dari sumber manapun yang dianggap perlu. Sebelum suatu kelompok
ahli teknis mencari informasi atau saran tertentu dari sumber dalam wilayah
153 Ibid, Pasal 13.
154 Ibid, Pasal 14.2-14.3, dan Lampiran 2.
Universitas Indonesia
54
hukum negara anggota, harus memberitahukan kepada pemerintah dari negara
anggota tersebut. Negara anggota harus segera dan secara jelas menjawab setiap
pertanyaan dari kelompok ahli teknis untuk informasi tertentu yang oleh
Kelompok ahli teknik dianggap penting dan tepat. Para negara anggota yang
bersengketa harus dapat memperoleh semua informasi yang relevan, yang
diberikan kepada suatu kelompok ahli teknis, kecuali yang bersifat rahasia.
Informasi rahasia yang diberikan kepada kelompok ahli teknis, tidak boleh
diungkapkan tanpa wewenang resmi dari pemerintah, organisasi atau orang yang
memberikan informasi tersebut. Bila informasi semacam itu dimintakan dari
kelompok ahli teknis, akan tetapi kelompok tersebut tidak berwenang
mengungkapkannya, suatu ringkasan informasi yang bersifat tidak rahasia akan
diberikan oleh pemerintah, organisasi atau orang yang memasok informasi.
Kelompok ahli teknis harus menyampaikan laporan rancangannya kepada negara
anggota yang berkepentingan dengan maksud mendapatkan tanggapan dan
mempertimbangkannya secara layak dalam laporan akhir, yang harus diedarkan
pula kepada negara anggota yang berkepentingan pada waktu disampaikan
kepada Panel.155 Kemudian sebagai tambahan, dengan kesadaran akan kesulitan
yang dihadapi oleh negara anggota berkembang yang akan dihadapi dalam
melaksanakan kewajiban berdasarkan TBT Agreement, TBT Agreement
memberikan bantuan teknis dan beberapa perlakuan khusus dan berbeda untuk
negara anggota berkembang.156
3.2 Prinsip National Treatment dalam Pasal 2.1 TBT Agreement
Pasal 2.1 TBT Agreement menyatakan bahwa :
“Members shall ensure that in respect of technical regulations,products imported from the territory of any Member shall beaccorded treatment no less favourable than that accorded to likeproducts of national origin and to like products originating in anyother country.”157
155 Ibid, Lampiran 2.
156 Ibid, Pasal 12.
157 Ibid., Pasal 2.1.
Universitas Indonesia
55
Pasal 2.1 TBT Agreement menyebutkan bahwa Anggota harus menjamin
bahwa berkenaan dengan peraturan teknis, barang yang diimpor dari wilayah
setiap Anggota harus diberikan perlakuan yang tidak kurang menguntungkan
dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan kepada barang nasional sejenis,
dan barang sejenis yang berasal dari negara lain.158 Pasal 2.1 TBT Agreement
terdiri dari tiga unsur yang harus dibuktikan dalam rangka menentukan
ketidakkonsistensian dengan ketentuan ini, yaitu (i) bahwa tindakan dalam
masalah tersebut merupakan ‘technical regulations’ berdasarkan Lampiran 1.1
TBT Agreement, (ii) bahwa barang impor sejenis dengan barang domestik dan
barang yang berasal dari negara lain, dan (iii) bahwa barang impor sejenis
diperlakukan kurang menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan yang
diberikan kepada barang domestik dan barang sejenis yang berasal dari negara
lain.159 Namun sebelumnya, peneliti akan menjelaskan pendekatan untuk
menginterpretasikan komponen prinsip National Treatment dalam Pasal 2.1 TBT
Agreement. Berdasarkan Appellate Body dalam EC-Asbestos, walaupun istilah
dalam Pasal III:4 GATT 1994 dan Pasal 2.1 TBT Agreement identik, namun
istilah tersebut harus diinterpretasikan menurut konteks dan maksud serta tujuan
dari ketentuan tersebut, dan juga maksud serta tujuan dari perjanjian yang
mengandung ketentuan tersebut.160
i . Tindakan merupakan ‘technical regulations’
Pengertian ‘technical regulations’ dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement :
“Technical regulation Document which lays down productcharacteristics or their related processes and production methods,including the applicable administrative provisions, with whichcompliance is mandatory. It may also include or deal exclusivelywith terminology, symbols, packaging, marking or labellingrequirements as they apply to a product, process or production
158 Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, “Persetujuan tentang Hambatan Teknisdalam Perdagangan (Agreement on Technical Barriers to Trade)”, Pasal 2.1,www.ditjenkpi.kemendag.org, diunduh pada tanggal 6 Maret 2013.
159 EC – Trademarks and Geographical Indications (Australia),WT/DS174/R, para. 7.444(Panel Report. 2005).
160 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 88-89.
Universitas Indonesia
56
method”.161
Dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement ini, dijelaskan bahwa ‘technical
regulations’ adalah dokumen yang menetapkan karakteristik barang atau
metode proses dan metode produksi yang terkait, termasuk ketentuan
administratif yang digunakan, yang pemenuhannya adalah wajib. Dokumen
tersebut dapat pula mencakup atau secara khusus berkenaan dengan
terminologi, simbol, persyaratan pengemasan, penandaan atau pelabelan
seperti digunakan pada barang, metode proses atau metode produksi.162
Dalam EC-Asbestos, Appellate Body menyatakan bahwa inti dari definisi
‘technical regulations’ merupakan suatu ‘dokumen’ yang ‘mengatur’
‘karakteristik barang’. Kata ‘karakteristik’ memiliki beberapa sinonim yang
dapat membantu dalam mengerti arti sebenarnya dari kata tersebut, dalam
konteks ini. ‘Karakteristik’ suatu barang termasuk, setiap ‘fitur’, ‘kualitas’,
‘atribut’, atau ‘tanda pembeda’ suatu barang yang dapat didefinisikan secara
objektif. Suatu ‘karakteristik’ berkaitan, antara lain, dengan komposisi,
ukuran, bentuk, warna, tekstur, kekerasan, daya tarik, kemudahan terbakar,
konduktivitas, kerapatan, atau kekentalan suatu barang. Dalam definisi
‘technical regulations’ dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement sendiri
memberikan contoh khusus mengenai ‘karakteristik barang’ yaitu
‘persyaratan terminologi, simbol, pengemasan, penandaan, atau pelabelan’.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa ‘karakteristik barang’ termasuk, tidak
hanya fitur dan kualitas intrinsik dari barang itu sendiri, tapi juga
berhubungan dengan ‘karakteristik’, seperti sarana identifikasi, presentasi,
dan penampilan barang.
Selain itu, berdasarkan definisi dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement, suatu
‘technical regulations’ dapat ditetapkan melalui ‘ketentuan administratif yang
berlaku’ untuk barang yang memiliki ‘karakteristik’ tertentu. Selanjutnya,
definisi ‘technical regulations’ menyatakan bahwa peraturan semacam itu
161 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Lampiran 1.1.
162 Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, “Persetujuan tentang Hambatan Teknisdalam Perdagangan (Agreement on Technical Barriers to Trade)”, Lampiran 1.1,www.ditjenkpi.kemendag.org, diunduh pada tanggal 6 Maret 2013.
Universitas Indonesia
57
‘juga dapat termasuk atau berhubungan secara khusus dengan persyaratan
terminologi, simbol, pengemasan, penandaan atau pelabelan.’ Penggunaan
kata ‘khusus’ dan kata hubung ‘atau’ dalam kalimat tersebut menunjukkan
bahwa ‘technical regulations’ akan terbatas untuk mengatur hanya satu atau
beberapa ‘karakteristik barang’.163 Definisi tersebut juga menyatakan bahwa
‘kesesuaian’ terhadap ‘karakteristik barang’ yang ditetapkan dalam ‘technical
regulations’ merupakan suatu kewajiban. Suatu ‘technical regulations’ harus,
dengan kata lain, mengatur ‘karakteristik’ dari suatu barang dengan cara yang
mengikat dan wajib. Dengan demikian, sehubungan dengan barang, suatu
‘technical regulations’ memiliki efek memberlakukan satu atau lebih
‘karakteristik’, (‘fitur’, ‘kualitas’, ‘atribut’, atau ‘tanda pembeda’).164
‘Karakteristik barang’ akan dikenakan terhadap barang baik dalam bentuk
yang positif atau negatif. Bahwa, peraturan teknis mewajibkan, secara positif,
bahwa barang harus memiliki ‘karakteristik’ tertentu, atau peraturan teknis
mewajibkan, secara negatif, bahwa barang tidak boleh memiliki
‘karakteristik’ tertentu. Dalam kedua hal ini, dampak hukumnya sama yaitu
peraturan teknis ‘meletakkan’ ‘karakteristik’ tertentu yang mengikat terhadap
barang, dalam satu hal memberi dampak positif dan yang lain memberi
dampak negatif.165
Mengenai barang yang diterapkan peraturan teknis, Appellate Body dalam
EC-Asbestos menyatakan bahwa suatu ‘technical regulations’ harus, berlaku
terhadap barang atau sekelompok barang yang dapat diidentifikasikan.
Namun sebaliknya, penegakan peraturan tersebut akan, secara praktis, tidak
mungkin. Pertimbangan ini juga mendasari kewajiban formal, dalam Pasal
2.9.2 TBT Agreement, untuk negara anggota memberitahukan negara anggota
yang lain, melalui Sekretariat WTO, mengenai ‘barang yang dicakup’ oleh
suatu ‘technical regulations’ yang diusulkan. Dalam hal ini, jelas bahwa
kesesuaian dengan kewajiban ini membutuhkan identifikasi terhadap cakupan
barang dari suatu peraturan teknis. Namun, berbeda dengan apa yang
163 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 67.
164 Ibid., para. 68.
165 Ibid.,para. 69.
Universitas Indonesia
58
disarankan oleh Panel bahwa hal ini tidak berarti suatu ‘technical regulations’
harus berlaku terhadap barang yang disebutkan, diidentifikasi, atau
dispesifikasi dalam peraturan tersebut. Meskipun, TBT Agreement jelas
berlaku untuk ‘barang’ pada umumnya, tidak ada dalam teks Perjanjian
tersebut yang menunjukkan bahwa barang-barang tersebut perlu disebutkan
atau sebaliknya secara tegas diidentifikasikan di dalam ‘technical
regulations’. Selain itu, mungkin ada alasan administrasi yang sesuai untuk
membentuk suatu ‘technical regulations’ dengan cara yang tidak tegas
menyebutkan barang tersebut dengan nama, tetapi hanya membuat barang
tersebut teridentifikasi, melalui ‘karakteristik’ barang yang merupakan inti
dari peraturan tersebut.”166
Di EC-Sardines, Appellate Body meringkas penafsirannya terhadap definisi
‘technical regulations’ yang diawali dengan tiga kriteria bahwa dokumen
harus sesuai dengan definisi ‘technical regulations’ dalam TBT Agreement.
Pertama, peraturan teknis harus berlaku untuk barang atau sekelompok
barang yang dapat diidentifikasi. Barang atau sekelompok barang tersebut
tidak perlu secara tegas disebutkan dalam dokumen. Kedua, peraturan teknis
harus mengatur satu atau lebih karakteristik dari barang. Karakteristik barang
ini dapat merupakan intrinsik, atau juga berkaitan dengan barang tersebut.
Karakteristik ini dapat ditentukan atau diberlakukan dalam bentuk positif
maupun negatif. Ketiga, kesesuaian dengan karakteristik barang merupakan
suatu kewajiban. Sebagaimana telah ditekankan oleh Appellate Body dalam
EC-Asbestos, ketiga kriteria ini berasal dari kata-kata definisi dalam
Lampiran 1.1 TBT Agreement. Dengan demikian, kriteria ini dapat
menentukan apakah suatu dokumen merupakan ‘technical regulations’
berdasarkan TBT Agreement.167
Lalu, Appellate Body di EC-Sardines juga menyebutkan bahwa dalam EC-
Asbestos lebih jauh menjelaskan kriteria pertama, bahwa peraturan teknis
berlaku terhadap barang atau sekelompok barang yang dapat diidentifikasi,
166 Ibid., para. 70.
167 EC – Sardines, WT/DS231/AB/R, para. 176 dan EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R,para. 66-70.
Universitas Indonesia
59
menegaskan bahwa ‘barang tersebut tidak harus disebutkan secara eksplisit
dalam peraturan teknis, sehingga barang tersebut dianggap sebagai barang
yang dapat diidentifikasikan’. Lalu, dapat diidentifikasikan bukan berarti
secara tegas diidentifikasi.168 Berkenaan dengan kriteria kedua yaitu
persyaratan bahwa peraturan teknis harus mengatur mengenai satu atau lebih
karakteristik barang, Appellate Body dalam EC-Sardines menolak argumen
oleh Masyarakat Eropa (EC) bahwa suatu peraturan teknis dalam hal ini tidak
mengatur karakteristik barang, melainkan mengatur suatu ‘sistem penamaan’
(naming rule). Kemudian, Appellate Body menyatakan bahwa ‘karakteristik
barang’ tidak hanya mencakup fitur dan kualitas instrinsik suatu barang’,
tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut, seperti ‘sarana
identifikasi’.169
ii . Barang impor merupakan barang sejenis dengan barang domestik dan barang
yang berasal dari negara lain (like products)
Mengenai unsur ‘like products’, Appellate Body dalam EC-Asbestos
menyatakan bahwa “selama pengertian yang dikaitkan dengan istilah ‘like
products’ dalam ketentuan lain dalam GATT 1994, atau dalam perjanjian
yang lain, dapat menjadi konteks yang berkaitan dalam menginterpretasikan
Pasal III:4 GATT 1994, interpretasi dari ‘like products’ dalam Pasal III:4
GATT 1994 tidak harus identik, dalam semua hal, dengan pengertian dari
ketentuan yang lain tersebut.”170 Lalu mengenai accordion dalam
menggambarkan ‘like’, Appellate Body dalam Japan-Alcoholic Beverages II
menggunakan empat kriteria umum dalam Border Tax Adjustment:171
a. Karakteristik fisik barang (physical properties, nature, and quality)
b. Kegunaan akhir dari barang (the product’s end-uses in a given market)
c. Kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap barang (consumers’ tastes and
habits)
168 EC – Sardines, WT/DS231/AB/R, para. 180 dan EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R,para. 70.
169 EC – Sardines, WT/DS231/AB/R, para. 189.
170 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 89.
171 Report of the Working Party on Border Tax Adjustments, BISD 18S/97, para. 18.
Universitas Indonesia
60
d. Faktor klasifikasi tarif internasional dari barang172)
Dalam melakukan hal tersebut untuk menggambarkan ‘like’ sebagai
accordion yang ‘ditarik dan ditekan’ tergantung pada konteks dan perjanjian
yang mengandung istilah tersebut. Kriteria yang diberikan dalam Border Tax
Adjustment harus diperiksa, tapi tidak ada yang dapat memberikan definisi
yang mutlak mengenai ‘like’. Interpretasi dari ‘like’ dalam setiap kasus
berbeda.173 Maka, ‘accordion’ dari barang sejenis sebagaimana yang
dipertimbangkan oleh Appellate Body dalam EC-Asbestos memperbolehkan,
dan menyarankan, interpretasi yang berbeda terhadap istilah ‘like products’
berdasarkan Pasal III: 4 GATT 1994 dan Pasal 2.1 TBT Agreement.174
Lalu, menurut Appellate Body dalam EC-Asbestos menyatakan bahwa empat
kriteria umum tersebut ‘disediakan sebagai suatu kerangka untuk
menganalisis ‘like’ suatu barang tertentu berdasakan kasus per kasus’.175 Lalu,
Appellate Body selanjutnya menjelaskan bahwa kriteria ini adalah ‘alat
sederhana untuk membantu dalam memisahkan dan memeriksa bukti yang
relevan’ dan kriteria ini ‘bukan ketentuan yang tertutup dalam perjanjian’.176
Appellate Body juga mengingatkan, walaupun setiap kriteria yang disebutkan
dalam pemeriksaannya dilakukan secara terpisah, bukan berarti kriteria ini
tidak saling berkaitan.177
a. Karakteristik fisik barang (physical properties, nature, and quality)
The Report of the GATT Working Party on Border Tax Adjustments
mengatur bahwa kriteria pertama yang harus dianalisis saat menilai ‘like’
adalah karakteristik fisik dari barang tersebut. Dalam EC-Asbestos,
Appellate Body menjelaskan bahwa kriteria pertama mengenai
karakteristik fisik barang, harus diperiksa secara menyeluruh dan, secara
172 Japan-Customs Duties, Taxes and Labelling Practices on Imported Wines andAlcoholic Beverages, BISD 34S/83.
173 Japan – Alcoholic Beverages II, WT/DS8/AB/R, WT/DS10/AB/R, WT/DS11/AB/R,hal. 21.
174 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 99
175 Ibid., para. 102.
176 Ibid.
177 Ibid.
Universitas Indonesia
61
khusus, di dalam konteks dari pasal dan perjanjian dari pasal tersebut.178
Lalu, Appellate Body menjelaskan bahwa kriteria yang berbeda dari ‘like’
saling berkaitan. Sebagai contoh, mengenai karakteristik fisik suatu
barang, Appellate Body mengamati bahwa karakteristik fisik barang
membentuk dan membatasi kegunaan akhir yang dapat diberikan oleh
barang tersebut, dan bahwa tarif klasifikasi menunjukkan karakteristik
fisik dari barang tersebut.179 Walaupun demikian, Appellate Body
mengharuskan adanya pemeriksaan yang terpisah terhadap kriteria-kriteria
tersebut dan juga menggarisbawahi pentingnya pemeriksaan menyeluruh
terhadap karakteristik fisik dari barang. Walaupun tidak mutlak, sejauh apa
barang-barang tersebut memiliki karakteristik fisik yang sama dapat
berguna sebagai indikator ‘like’. Selanjutnya, fisik dari barang dapat juga
mempengaruhi bagaimana barang tersebut digunakan, sikap konsumen
terhadap barang tersebut, dan tarif klasifikasi.180 Kemudian, Appellate
Body dalam EC-Asbestos mengharuskan adanya analisis yang terpisah
terhadap karakteristik fisik yang tidak boleh dicampur dengan
pemeriksaan terhadap kegunaan akhir.181 Hal ini dikarenakan jika barang-
barang yang memiliki karakteristik fisik yang berbeda mungkin, dalam
situasi tertentu, dapat menunjukkan kegunaan akhir yang identik, tetapi itu
tidak berarti mereka sama.182
b. Kegunaan akhir dari barang (the product’s end-uses in a given market)
Appellate Body dalam EC-Asbestos telah menyatakan bahwa analisis
terhadap kriteria kegunaan akhir tidak boleh dicampur dengan dengan
analisis terhadap kriteria karakteristik fisik dari barang183 dan juga
kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap barang tersebut. Mengenai
kegunaan akhir, Appellate Body menjelaskan bahwa kegunaan akhir
178 Ibid., para. 110 dan 114.
179 Ibid., para. 102.
180 Ibid., para. 111.
181 Ibid.
182 Ibid., para. 111-112
183 Ibid., para. 111.
Universitas Indonesia
62
berhubungan dengan sejauh apa kedua barang mampu untuk menunjukkan
fungsi yang sama, sementara kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap
barang berhubungan dengan ‘sejauh apa konsumen berkeinginan untuk
menggunakan barang untuk melaksanakan fungsinya.184 Namun, Appellate
Body dalam EC-Asbestos menyatakan bahwa setiap kriteria, secara prinsip,
memiliki aspek yang berbeda dari barang, yang harus diperiksa secara
terpisah, tapi kriteria yang berbeda ini saling berkaitan dan tidak berdiri
sendiri, sehingga suatu bukti tertentu dapat termasuk dalam lebih dari satu
kriteria.185 Appellate Body menjelaskan bahwa hanya dengan membentuk
gambaran yang lengkap mengenai variasi kegunaan akhir dari barang,
maka dapat dinilai berbeda dari fakta bahwa barang-barang tersebut
memiliki beberapa kegunaan akhir yang sama.186
c. Kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap barang (consumers’ tastes and
habits)
Dalam EC-Asbestos, Appellate Body mendefinisikan ‘consumers’ tastes’
sebagai sejauh mana konsumen berkeinginan untuk memilih salah satu
dari barang dibandingkan dengan barang yang lain untuk melaksanakan
kegunaan akhir tersebut.187 Analisis terhadap pilihan konsumen akan
mencakup penentuan kemampuan substitusi dari satu barang terhadap
barang yang lain. Konsep dari substitusi didasari potensi dari konsumen
untuk mensubstitusikan sesuatu dengan yang lain.188
d. Faktor klasifikasi tarif internasional dari barang
Kriteria yang terakhir yaitu tarif klasifikasi dari barang tersebut. Menurut
Appellate Body dalam EC-Asbestos, tarif klasifikasi merefleksikan
karakteristik fisik dari suatu barang.189 Namun, walaupun tarif klasifikasi
184 Ibid., para. 117.
185 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 102.
186 Ibid., para. 119.
187 Ibid., para. 117.
188 Ibid.
189 Ibid., para. 102.
Universitas Indonesia
63
dari barang yang dibandingkan sama, indikasi ini dengan sendiri tidak
dapat menentukan barang tersebut ‘like’.190
iii . Perlakuan terhadap barang impor ‘less favourable’ daripada perlakuan
terhadap barang domestik dan barang yang berasal dari negara lain
Berdasarkan Panel dalam EC – Trademarks and Geographical Indications
(Australia), Pasal 2.1 TBT Agreement dan Pasal III:4 GATT 1994 mengatur
hal yang berkaitan dengan kewajiban National Treatment.191 Hal ini
ditunjukkan melalui unsur esensial dalam mengajukan klaim berdasarkan
Pasal 2.1 TBT Agreement yaitu perlakuan terhadap barang impor yang ‘less
favourable’ dibandingkan terhadap barang domestik yang sejenis. Panel
mencatat bahwa terdapat kesamaan dalam istilah yang terdapat dalam Pasal
2.1 TBT Agreement dan Pasal III:4 GATT 1994, yang juga merujuk pada ‘no
less favourable treatment’. Kemudian, kalimat pembuka dari TBT Agreement
secara jelas juga menyatakan keinginan untuk melanjutkan tujuan dari GATT
1994’.192 Maka, Panel dalam EC — Trademarks and Geographical
Indications (Australia) menyatakan kesamaan istilah dalam Pasal 2.1 TBT
Agreement dan Pasal III:4 GATT 1994, tetapi hal tersebut tidak perlu
dianggap adanya perbedaan dalam interpretasi.193
Dalam Korea – Various Measures on Beef, Appellate Body menyatakan
bahwa analisis terhadap perlakuan yang kurang menguntungkan berdasarkan
Pasal III:4 harus difokuskan pada ‘kondisi persaingan’ antara barang impor
dan barang domestik yang sejenis.194 Berdasarkan arti ‘no less favourable
treatment’, maka hal ini bergantung pada kondisi dari kompetisi yang tidak
kurang menguntungkan terhadap barang impor dibandingkan dengan barang
domestik yang sejenis. Interpretasi ini, yang berfokus pada kondisi kompetisi
antara barang impor dan barang domestik yang sejenis, menunjukkan bahwa
190 Ibid., para. 146.
191 EC – Trademarks and Geographical Indications (Australia), WT/DS290/R, para.7.469 (Panel Report. 2005).
192 Ibid., para. 7.464.
193 “WTO Analytical Index : Technical Barriers, Agreement on Technical Barrier toTrade”, worldtradelaw.typepad.com/…/the-relationship-of-gatt-article-iii4-and-tbt-a…
194Korea – Various Measures on Beef, WT/DS161/AB/R, para. 136.
Universitas Indonesia
64
suatu tindakan berdasarkan perlakuan yang secara formal berbeda terhadap
barang impor tidak langsung menjadikannya pelanggaran Pasal III:4 GATT
1994.195 Selanjutnya, Appellate Body menjelaskan bahwa perbedaan secara
formal dalam perlakuan antara barang impor dan domestik tidak dapat
dianggap sebagai pelanggaran terhadap Pasal III:4 GATT 1994. Maka, untuk
menentukan apakah barang impor telah diperlakukan ‘less favourable’
dibandingkan dengan barang domestik, harus dilakukan penilaian dengan
memeriksa apakah tindakan tersebut mengubah kondisi persaingan dalam
pasar untuk merugikan barang impor.196 Lalu, dalam EC-Asbestos, Appellate
Body menjelaskan bahwa barang impor akan diperlakukan kurang
menguntungkan dibandingkan dengan barang domestik yang sejenis, saat
peraturan teknis pembeda yang merugikan sekelompok barang impor
dibandingkan dengan sekelompok barang domestik yang sejenis. Appellate
Body beralasan bahwa klausa ‘no less favourable treatment’ dalam Pasal III:4
GATT menunjukkan prinsip umum yang ada dalam Pasal III:1 GATT 1994
yaitu tidak boleh diterapkan ‘so as to afford protection to domestic
production.’ Jika terdapat ‘less favourable treatment’ terhadap sekelompok
barang impor yang sejenis, yang dalam hal ini terdapat perlindungan terhadap
sekelompok barang domestik yang sejenis. Namun, seorang negara anggota
yang membentuk pembedaan antara barang-barang yang telah dianggap
‘like’, tanpa, untuk alasan ini saja, terhadap sekelompok barang impor yang
sejenis sudah dianggap dianggap sebagai ‘less favourable treatment’
dibandingkan dengan sekelompok barang domestik yang ‘like’.197
3.3 Hubungan antara Prinsip National Treatment dalam Pasal III:4
GATT dan Pasal 2.1 TBT Agreement
Appellate Body dalam EC-Asbestos menemukan bahwa dalam
perbandingan antara TBT Agreement terhadap GATT 1994, TBT Agreement
mengatur sebuah rezim hukum yang khusus, yaitu memberikan kewajiban
195 Ibid., para. 135-136.
196 Ibid., para. 137.
197 EC – Asbestos,WT/DS135/AB/R, para. 100.
Universitas Indonesia
65
tambahan.198 Hal ini juga diperkuat melalui kalimat pembukaan kedua dari TBT
Agreement yang menyatakan bahwa TBT Agreement dibentuk untuk melanjutkan
tujuan-tujuan dari GATT 1994.199 Dengan dua perjanjian ini yang bersifat
kumulatif ini, maka suatu peraturan teknis yang mengatur mengenai diskriminasi
diatur dalam lingkup Pasal III:4 GATT 1994 dan juga Pasal 2.1 TBT Agreement
dan Pasal 2.2 TBT Agreement. Lalu, Pasal 2.1 TBT Agreement, serupa dengan
Pasal III dan I GATT 1994 yang mensyaratkan ‘perlakuan yang tidak kurang
menguntungkan terhadap barang yang sejenis yang berasal dari negara lain
dibandingkan dengan barang sejenis dari dalam negeri’.200 Obligasi non-
diskriminasi ini menggabungkan antara perlakuan Most Favored Nations dan
National Treatment dalam satu ketentuan. Hal ini terdiri dari dua elemen dasar
mengenai ‘less favourable treatment’ dan ‘like products’. Tetapi, perbedaan
utama Pasal 2.1 TBT Agreement dengan Pasal I dan III GATT 1994 berkaitan
dengan fakta bahwa ruang lingkupnya terbatas pada peraturan teknis, sedangkan
ketentuan GATT 1994 berhadapan dengan ruang lingkup perundang-undangan,
peraturan, dan persyaratan yang lebih luas. Dengan melihat kesamaan dalam
pengaturan mengenai peraturan teknis, maka konsep ‘like products’ dalam prinsip
Most Favored Nations dan National Treatment dapat dikatakan juga berlaku
dalam Pasal 2.1 TBT Agreement. 201
Namun, harus diingat bahwa TBT Agreement tidak memiliki klausula
pengecualian umum seperti dalam Pasal XX GATT 1994 dan Pasal XIV GATS.
Maka, beberapa penulis menyarankan dibuatnya interpretasi mengenai konsep
‘like products’ yang lebih sempit dalam Pasal 2.1 TBT Agreement.202 Sebagai
198 Ibid., para. 80.
199 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, kalimat pembukakedua.
200 George A. Bermann dan Petros C. Mavroidis, Trade and Human Health and Safety(New York: Cambridge University press, 2006), hal. 19
201 Arthur E. Appleton, “The Agreement on Technical Barriers to Trade” dalam TheWorld Trade Organization: Legal, Economic and Political Analysis, vol. I, (New York : Springer,2005), hal. 216.
202 Ludivine Tamiotti, “Commentary to Article 2 TBT (preparation, adoption andapplication of technical regulations)” dalam WTO – Technical Barriers and SPS Measures: MaxPlanck Commentaries on World Trade Law, vol. 3, (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2007),hal. 217.
Universitas Indonesia
66
alternatif, solusi yang paling mungkin yaitu dengan melihat Pasal 2.1 TBT
Agreement dengan hubungannya dengan Pasal 2.2 TBT Agreement. Karena dalam
Pasal 2.2 TBT Agreement, ‘technical regulations are not prepared, adopted or
applied with a view to or with the effect of creating unnecessary obstacles to
international trade’. Tipe obligasi ini berlaku pada tindakan yang tidak dibedakan
secara de facto dan de jure antara barang impor dan domestik dan akan
memberikan suatu bentuk prinsip ‘non-restriksif’ yang lebih integratif.203 Daftar
tujuan yang sah tersebut adalah persyaratan keamanan nasional, pencegahan
terhadap praktik penipuan, perlindungan terhadap kesehatan atau keamanan
manusia, kehidupan atau kesehatan binatang atau tanaman, atau lingkungan.204
Dengan mempertimbangkan bahwa suatu tindakan diskriminasi
berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement pada saat bersamaan merupakan suatu
hambatan dalam perdagangan menurut Pasal 2.2 TBT Agreement, hal ini tidak
konsisten bahwa suatu tindakan dapat dibenarkan berdasarkan Pasal 2.2 TBT
Agreement tetapi tidak dalam Pasal 2.1 TBT Agreement. Dengan demikian,
pengecualian dalam Pasal 2.2 TBT Agreement harus secara prinsip juga berlaku
terhadap tindakan diskriminasi menurut Pasal 2.1 TBT Agreement.205 Kemudian,
dengan mempertimbangkan bahwa karakter lex specialis dari TBT Agreement,
seseorang dapat berpendapat bahwa dengan tidak adanya klausula pengecualian
umum dalam rezim yang lebih khusus, Pasal XX GATT 1994 dalam rezim yang
lebih umum menjadi berlaku. Maka, solusinya adalah Pasal XX GATT 1994
mengandung daftar lengkap dari tujuan yang sah, sedangkan daftar dalam Pasal
2.2 TBT Agreement lebih memberikan kesempatan yang lebih luas untuk
membenarkan tindakan yang membatasi dalam perdagangan. Daftar dalam Pasal
2.2 TBT Agreement dapat dijelaskan dengan fakta bahwa prinsip non-restriktif
lebih integratif dibandingkan dengan kewajiban non-diskriminasi, sehingga
membutuhkan bentuk pengecualian yang lebih luas. Dengan demikian,
203 Federico Ortino, Basic Legal Instruments for the Liberalisation of Trade – AComparative Analysis of EC and WTO Law (Oxford: Hart Publishing, 2004), hal. 434.
204 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, kalimat pembukakeenam.
205 Nicolas F. Diebold, Non Discrimination in Internatinal Trade in Services (‘Likenessin WTO/GATS’) (New York: Cambridge University Press, 2010), hal. 141.
Universitas Indonesia
67
dikarenakan Pasal 2.1 TBT Agreement dan Pasal III GATT 1994 terbatas pada
prinsip non-diskriminasi, hal ini menunjukkan bahwa ini pantas jika pengecualian
umum dalam daftar lengkap pengecualian umum Pasal XX GATT 1994
diberlakukan kepada Pasal 2.1 TBT Agreement.206
3. 4 Kesimpulan
Maka, dari hasil penjelasan diatas dapat dihasilkan kesimpulan sebagai
berikut. TBT Agreement merupakan ketentuan WTO (Organisasi Perdagangan
Internasional) yang mengatur mengenai persyaratan terhadap hambatan teknis
dalam perdagangan, yang mana berlaku pada peraturan teknis, standar dan
prosedur penilaian kepatuhan.207 Ketentuan substansi dasar dari TBT Agreement
terdiri dari beberapa prinsip yang mana juga ditemukan dalam GATT 1994,
seperti kewajiban perlakuan Most Favored Nations, kewajiban National
Treatment, dan kewajiban untuk tidak memberlakukan hambatan yang tidak perlu
dalam perdagangan internasional. Pengaturan mengenai prinsip National
Treatment dalam TBT Agreement diatur dalam Pasal 2.1 TBT Agreement.
Pasal 2.1 TBT Agreement mengatur bahwa setiap negara anggota harus
menjamin peraturan teknis terhadap barang impor dari wilayah setiap negara
anggota yang lainnya diperlakukan dengan tidak kurang menguntungkan
dibandingkan dengan barang sejenis yang berasal dari domestik dan pada barang
sejenis yang berasal dari negara anggota yang lainnya.208 Pasal 2.1 TBT
Agreement terdiri dari tiga unsur yang harus dibuktikan dalam rangka menentukan
ketidakkonsistensian dengan ketentuan ini, yaitu (i) bahwa tindakan dalam
masalah tersebut merupakan ‘technical regulations’ berdasarkan Lampiran 1.1
TBT Agreement, (ii) bahwa barang impor harus sejenis dengan barang domestik
dan barang yang berasal dari negara lain, dan (iii) bahwa perlakuan terhadap
206 Erich Vranes, Trade and the Environment: Fundamental Issues in International Law,WTO Law, and Legal Theory (Oxford: Oxford University Press, 2009), hal. 305.
207 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. cit.,hal. 83.
208 Pernyataan ini adalah terjemahan peneliti. Versi bahasa inggris terdapat dalam Pasal2.1 TBT Agreement
Universitas Indonesia
68
barang impor harus kurang menguntungkan daripada perlakuan yang diberikan
kepada barang domestik dan barang sejenis yang berasal dari negara lain.209
Berdasarkan kalimat pembukaan kedua dari TBT Agreement, TBT
Agreement dibentuk untuk melanjutkan tujuan-tujuan dari GATT 1994.210 Jadi,
mengenai dua perjanjian yang bersifat kumulatif ini, suatu peraturan teknis
diskriminasi diatur dalam lingkup Pasal III:4 GATT 1994 dan juga Pasal 2.1 TBT
Agreement serta Pasal 2.2 TBT Agreement. Maka, Pasal 2.1 TBT Agreement,
melanjutkan tujuan dari Pasal III dan I GATT 1994 yang mensyaratkan
‘perlakuan yang tidak kurang menguntungkan terhadap barang yang sejenis yang
berasal dari negara lain dibandingkan dengan barang sejenis dari dalam negeri’.211
Kemudian, mengenai pengecualian umum terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement
dengan mempertimbangkan karakter lex specialis dari TBT Agreement, serta
dengan tidak adanya klausula pengecualian umum dalam rezim yang lebih
khusus, maka Pasal XX GATT 1994 dalam rezim yang lebih umum menjadi
berlaku. Dengan demikian, solusi pada pengecualian dari Pasal 2.1 TBT
Agreement adalah Pasal XX GATT 1994 mengandung daftar lengkap dari tujuan
yang sah, sedangkan daftar dalam Pasal 2.2 TBT Agreement lebih memberikan
kesempatan yang lebih luas untuk membenarkan tindakan yang membatasi dalam
perdagangan.
209 EC – Trademarks and Geographical Indications (Australia),WT/DS174/R, para.7.444.
210 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, kalimat pembukakedua.
211 George A. Bermann dan Petros C. Mavroidis, loc. cit.
Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS PUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY WTO PADA
KASUS WTO US-CLOVE CIGARETTES (TOBACCO CONTROL ACT) 2012
MENGENAI PRINSIP NATIONAL TREATMENT
4.1 Pendahuluan
Dalam Bab ini akan dijelaskan mengenai analisis terhadap interpretasi
prinsip National Treatment oleh Dispute Settlement Body WTO dalam kasus US-
Clove Cigarettes (Tobacco Control Act). Dalam kasus ini, analisis terhadap
prinsip National Treatment akan fokuskan pada Pasal 2.1 TBT Agreement.
Sehingga, akan dianalisis apakah putusan mengenai interpretasi prinsip National
Treatment dalam kasus ini telah sesuai dengan prinsip National Treatment yang
diatur oleh WTO yang telah dijelaskan oleh Peneliti dalam Bab sebelumnya.
4.2 Kasus Posisi
Indonesia menentang Bagian 907(a)(1)(A) ‘special rule for cigarettes’
dalam the Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act of 2009
(FSPTCA).212 Tujuan dari ‘special rule for cigarettes’ tersebut adalah mengurang
kaum muda perokok dengan melarang rokok dengan ‘characterizing flavours’.
Salah satu jenis rokok yang lolos dari larangan tersebut adalah rokok mentol.213
Indonesia telah mengekspor rokok kretek ke Amerika Serikat selama lebih dari 40
tahun.214 Meskipun rokok kretek penting terhadap perekonomian dan masyarakat
Indonesia, Indonesia tidak keberatan dengan tindakan yang wajar yang dibentuk
untuk mencegah rokok, termasuk rokok kretek, dari jangkauan anak-anak.
212 US-Clove Cigarettes, WT/DS406/R, Annex A-1, para.1 (Executive Summary of theFirst Written Submission of Indonesia. 2011).
213 Ibid., para. 2.
214 Ibid., para. 4.
Universitas Indonesia
70
Namun, apa yang menjadi keberatan Indonesia terhadap suatu tindakan, dalam
kasus ini adalah ‘special rule for cigarettes’ dalam the Family Smoking
Prevention and Tobacco Control Act of 2009 (FSPTCA) mengenai Pencegahan
Keluarga Merokok dan Pengendalian Tembakau, memberlakukan larangan
sepenuhnya terhadap rokok kretek dari Indonesia, sementara memberikan sedikit
atau tidak ada pembatasan yang terhadap rokok tembakau dan rokok mentol asal
Amerika Serikat.215
Pada tahun 2007, total pasar Amerika Serikat untuk rokok kira-kira
berjumlah 360 miliar rokok. Impor terhadap rokok kretek berjumlah 398,9 juta
atau kira-kira 1/10 dari total 1% jumlah rokok dalam pasar Amerika Serikat.
Berdasarkan the Tobacco Merchants Association, semua rokok kretek yang dijual
di Amerika Serikat adalah barang impor, yang mana hampir sebagian besar
berasal dari Indonesia.216 Sejak pemberlakuan peraturan ini, rokok kretek dilarang
untuk beredar di Amerika Serikat yang mengakibatkan ekspor rokok kretek per
tahun dari Indonesia jatuh dari kira-kira US$15 juta sebelum larangan tersebut
menjadikannya nol, sedangkan rokok mentol dan rokok tembakau tetap
diproduksi dan dijual di Amerika Serikat.217
Dengan demikian, dalam kasus ini, Indonesia mengajukan klaim bahwa
Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA tidak sesuai dengan Pasal 2.1 TBT Agreement dan
secara alternatif, Pasal III:4 GATT 1994. Lalu Amerika Serikat mengajukan klaim
bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA sesuai dengan Pasal 2.1 TBT Agreement
dan Pasal III:4 GATT 1994.
4.3 Argumentasi Hukum dari Para Pihak mengenai Prinsip National
Treatment
4.3.1 Argumentasi Hukum Indonesia
A. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Merupakan Peraturan Teknis (Technical
Regulation) Menurut Lampiran 1.1 TBT Agreement
215 Ibid., para. 5.
216 Ibid., para. 10.
217 Ibid., para. 13.
Universitas Indonesia
71
Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA melanggar Pasal 2.1 TBT Agreement
karena hal ini merupakan peraturan teknis yang memberikan perlakuan ‘less
favourable’ terhadap rokok kretek impor dibandingkan dengan barang domestik
yang sejenis yaitu rokok mentol dan rokok tembakau.218 Dalam EC-Asbestos,219
Appellate Body menginterpretasikan ‘technical regulation’ sebagai dokumen yang
‘mengatur karakteristik dari barang dengan cara yang mengikat atau wajib’, yang
memiliki efek ‘memaksakan satu atau lebih karakteristik’. Maka, suatu ‘technical
regulation’ merupakan: (1)tindakan yang berlaku pada suatu barang atau
sekelompok barang yang bisa diidentifikasi, (2)tindakan yang menyebutkan
karakteristik dari barang dan/atau proses atau cara produksi yang berkaitan
dengan barang tersebut, (3)tindakan tersebut adalah wajib berkaitan dengan
kepatuhan pada karakteristik barang.220 Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA memenuhi
semua kriteria ini .221
B. Bagian 907 (a)(1)(A) FSPTCA Tidak Sesuai Dengan Pasal 2.1 TBT
Agreement dan Secara Alternatif, Pasal III:4 GATT 1994
1. Rokok Kretek Adalah Sejenis (Like) Dengan Rokok Lain yang Diproduksi
Domestik Secara Umum, dan Rokok Mentol, Secara Khusus.
Berdasarkan Border Tax Adjustment,222 ada empat kriteria umum untuk
menentukan ‘like’, yaitu karakteristik fisik barang (physical properties, nature,
and quality), kegunaan akhir dari barang (the product’s end-uses in a given
market), kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap barang (consumers’ tastes and
habits), faktor klasifikasi tarif internasional dari barang.223
i . Karakteristik Fisik Barang (Physical Properties, Nature, and Quality)
Rokok kretek dan rokok yang diproduksi domestik, termasuk rokok mentol,
yang memiliki karakteristik fisik yang sama. Kedua rokok tersebut
218 Ibid., para. 15
219 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 67–70.
220 US-Clove Cigarettes, WT/DS406/R, Annex A-1, para.16 (Executive Summary of theFirst Written Submission of Indonesia. 2011).
221 Ibid., para. 17.
222 Report of the Working Party on Border Tax Adjustments, BISD 18S/97, para. 18.
223 US-Clove Cigarettes, WT/DS406/R, Annex A-1, para. 18(Executive Summary of theFirst Written Submission of Indonesia. 2011).
Universitas Indonesia
72
mengandung tembakau yang telah diawetkan dan dicampur di dalam kertas
pembungkus dengan filter. Kedua rokok ini juga mengandung bahan-bahan
tambahan dan perasa yang menciptakan rasa yang unik dari masing-masing
merek. Selain itu, kedua rokok tersebut juga memenuhi definisi ‘rokok’
menurut pemerintah Amerika Serikat. Panel dalam EC-Asbestos224
menyatakan bahwa kadar racun juga hal yang berkaitan dengan karakter fisik
saat menentukan barang-barang tersebut adalah ‘like’.
ii . Kegunaan Akhir Dari Barang (the Product’s End-Uses in a Given Market)
Kegunaan akhir dari semua rokok, termasuk rokok kretek dan rokok mentol
sama, yaitu digunakan untuk merokok tembakau.225
iii . Kebiasaan dan Pilihan Konsumen Terhadap Barang (Consumers’ Tastes and
Habits)
Konsumen menganggap rokok tembakau, rokok mentol, dan rokok kretek
sebagai ‘sarana alternatif untuk melakukan fungsi tertentu, yaitu untuk
memenuhi kebutuhan tertentu atau permintaan tertentu’ (yaitu sarana
alternatif merokok). Singkatnya, semua rokok ada dalam hubungan
kompetitif satu sama lain untuk akses terhadap distribusi, ruang display, dan
pangsa pasar.226
iv . Faktor Klasifikasi Tarif Internasional Dari Barang
Rokok kretek dan rokok yang diproduksi domestik memiliki klasifikasi tarif
internasional yang sama pada tingkat enam digit, tingkat yang paling rinci
yang digunakan antara negara anggota WTO.227
Indonesia juga berargumen bahwa dalam konteks Pasal 2.1 TBT Agreement, suatu
penentuan terhadap ‘likeness’ adalah secara mendasar ditentukan melalui sifat dan
sejauh apa hubungan kompetitif antara barang-barang, sebagaimana dijelaskan
oleh yurisprudensi dari Pasal III:4 GATT 1994. Alasan Indonesia didasarkan pada
224 EC-Asbestos, WT/DS135/R, Para.8.220 (Panel Report. 2000).
225 US-Clove Cigarettes, WT/DS406/R, Annex A-1, para. 22(Executive Summary of theFirst Written Submission of Indonesia. 2011).
226 Ibid., para. 23.
227 Ibid., para. 24.
Universitas Indonesia
73
fakta bahwa GATT 1994 dan TBT Agreement memiliki konteks masing-masing,
tapi dapat saling digunakan untuk interpretasi yang satu sama lain.228
2. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Memberikan Perlakuan Kurang
Menguntungkan (Less Favourable) Terhadap Rokok Kretek Impor
Dibandingkan Dengan Rokok Mentol yang Diproduksi Domestik
Larangan dalam Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA menciptakan kondisi
persaingan yang tidak sama dalam pasar Amerika Serikat dan hal tersebut
merupakan perlakuan ‘less favourable’.229 Bagian 907(a)(1) (A) FSPTCA juga
tidak sesuai dengan Pasal III:4 GATT 1994. Namun, tidak seperti Pasal 2.1 TBT
Agreement, Pasal III:4 GATT 1994 tidak memerlukan pertimbangan apakah
Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA merupakan ‘technical regulation’. Sebaliknya,
suatu tindakan berdasarkan Pasal III:4 GATT 1994 harus merupakan ‘undang-
undang, peraturan, atau persyaratan yang mempengaruhi penjualan internal,
penawaran dalam penjualan, pembelian, transportasi, distribusi atau kegunaan dari
barang impor.230 Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA memperlakukan rokok kretek
‘less favourable’ dibandingkan dengan rokok mentol atau rokok tembakau yang
diproduksi domestik, sehingga rokok kretek dilarang, sedangkan rokok mentol
dan rokok tembakau tetap dijual dalam pasar Amerika Serikat.231
4.3.2 Argumentasi Hukum Amerika Serikat
A. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Sesuai Dengan Ketentuan Dari Prinsip
National Treatment dalam GATT 1994 atau TBT Agreement
Argumen Indonesia bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA tidak sesuai
dengan Pasal III:4 GATT 1994 dan Pasal 2.1 TBT Agreement didasarkan pada
analisis yang cacat dan bukti yang tidak cukup bahwa Bagian 907(a)(1)(A)
FSPTCA memberikan perlakuan yang ‘less favourable’ terhadap rokok impor dari
Indonesia dibandingkan dengan rokok yang diproduksi di Amerika Serikat. Lalu,
228 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7.43 (Panel Report.2012).
229 US-Clove Cigarettes, WT/DS406/R, Annex A-1, para.25 (Executive Summary of theFirst Written Submission of Indonesia. 2011).
230 Ibid., para. 26.
231 Ibid., para. 27.
Universitas Indonesia
74
Indonesia tidak menunjukkan bahwa rokok kretek ‘like’ dengan rokok yang
diproduksi domestik (secara khusus rokok tembakau dan rokok mentol. Lalu,
Indonesia juga gagal dalam menunjukkan bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA
memberikan perlakuan ‘less favourable’ terhadap rokok kretek berdasarkan asal
negaranya.232
B. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Sesuai Dengan Pasal III:4 GATT 1994
1. Rokok Kretek Tidak Sejenis (Like) Dengan Rokok Lain yang Diproduksi
Domestik Secara Umum, dan Rokok Mentol, Secara Khusus.
i . Karakteristik Fisik Barang (Physical Properties, Nature, and Quality)
Komposisi fisik dari rokok kretek berbeda dengan rokok mentol dan rokok
tembakau. Rokok kretek biasanya mengandung 60% tembakau dan 40%
cengkeh dan kokoa. Rokok tembakau dan rokok mentol tidak mengandung
bahan makanan dengan kuantitas yang signifikan tersebut. Lalu, berbeda
dengan rokok yang lain, rokok kretek mengandung jumlah eugenol yang
signifikan, yang menciptakan efek anestetik dan mati rasa yang dilaporkan
terjadi pada perokok pemula. Rokok kretek juga mengandung ‘saus’ khusus
yang diakui dengan daya tariknya. Lalu, rokok kretek juga mengandung zat
kimia berbahaya coumarin, yang tidak ditemukan dalam sebagian besar
rokok, dan senyawa perasa lainnya yang tidak secara umum ditemukan pada
rokok tembakau atau rokok mentol. Berbeda dengan cengkeh, yang terdiri
hampir setengah dari massa rokok kretek, mentol hanya terdiri kurang dari
1% dalam rokok mentol. Selain itu, rokok mentol tidak mengandung
coumarin dan senyawa perasa lain yang ditemukan dalam rokok kretek.233
ii . Kegunaan Akhir Dari Barang (the Product’s End-Uses in a Given Market)
Rokok memiliki sedikitnya dua kegunaan akhir di Amerika Serikat, yang
diberikan oleh rokok kretek, rokok mentol, dan rokok tembakau dengan
derajat yang berbeda. Pertama, rokok memberikan kegunaan akhir untuk
memuaskan kecanduan terhadap nicotine. Kedua, rokok juga memberikan
kegunaan akhir yang menciptakan suatu pengalaman yang menyenangkan
232 US-Clove Cigarettes, WT/DS406/R, Annex A-2, para. 3 (Executive Summary of theFirst Written Submission of United States. 2011).
233 Ibid., para. 5.
Universitas Indonesia
75
yang berhubungan dengan rasa dari rokok dan aroma dari asapnya.234
iii . Kebiasaan dan Pilihan Konsumen Terhadap Barang (Consumers’ Tastes and
Habits)
Appellate Body dalam EC-Asbestos235 menekankan bahwa jika karakteristik
fisik dari barang-barang tersebut sangat berbeda, maka pemeriksaan terhadap
bukti mengenai kebiasaan dan pilihan konsumen sangat diperlukan untuk
menentukan ‘likeness’. Inti dari analisis ini adalah apakah barang-barang
tersebut ‘interchangeable’ atau ‘substituable’ dalam pandangan konsumen,
yang menunjukkan hubungan persaingan.236 Namun dalam hal ini, konsumen
jelas membedakan barang-barang tersebut. Indonesia belum menunjukkan
bukti bahwa rokok kretek bersaing dengan rokok tembakau atau rokok
mentol, atau bahwa konsumen memandang barang-barang tersebut saling
bersubstitusi. Rokok kretek tidak bersaing pada pasar ‘regular use’ dengan
rokok mentol. Lalu, Indonesia juga belum memberikan bukti untuk
menunjukkan bahwa rokok kretek bersaing dengan rokok tembakau atau
rokok mentol untuk akses dalam proses distribusi, ruang display, atau pangsa
pasar. Bukti yang ada mengenai kebiasaaan dan pilihan konsumen
menunjukkan bahwa rokok kretek digunakan ‘like’ dengan rokok rasa lain,
yang dilarang oleh Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA. Dikarenakan, rokok kretek
memberikan efek yang membuat tembakau menjadi tampak menarik,
terutama bagi perokok baru. Kemudian, Indonesia memberikan data yang
tidak benar yang menunjukkan bahwa rokok kretek memiliki pola
penggunaan yang sama dengan rokok tembakau atau rokok mentol, hanya
dalam skala yang lebih kecil. Selain itu, Indonesia tidak mempermasalahkan
fakta bahwa rokok kretek dihisap oleh jumlah kaum dewasa yang tidak
signifikan.237
iv . Faktor Klasifikasi Tarif Internasional Dari Barang
234 Ibid., para. 6.
235 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 120-121.
236 US-Clove Cigarettes, WT/DS406/R, Annex A-2, para. 7(Executive Summary of theFirst Written Submission of United States. 2011).
237 Ibid., para. 8.
Universitas Indonesia
76
Amerika Serikat menyatakan bahwa perlakuan perpajakan terhadap dua
barang yang berbeda seharusnya memiliki pengaruh yang sedikit dalam
analisis ‘like products’, saat tindakan domestik ditetapkan bukan untuk tujuan
perpajakan, melainkan untuk perlindungan kesehatan manusia.238
Dalam hal ini, faktor-faktor tersebut telah memberikan kesimpulan penting bahwa
(1)rokok kretek tidak memiliki hubungan kompetitif dengan rokok tembakau atau
rokok mentol dan (2)rokok kretek tidak ‘interchangeable’ atau ‘substituable’
dengan rokok tembakau atau rokok mentol. Dengan demikian, rokok kretek dan
rokok tembakau serta rokok mentol bukan ‘like products’.239
2. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Tidak Memberikan Perlakuan yang Kurang
Menguntungkan (Less Favourable) Terhadap Rokok Kretek Impor
Dibandingkan Dengan Rokok Mentol yang Diproduksi Domestik
Indonesia belum memenuhi beban pembuktian yang menunjukkan bahwa
rokok kretek diperlakukan ‘less favourable’ berdasarkan negara asalnya. Pasal III
GATT 1994 tidak melarang negara anggotanya untuk membentuk perbedaan
peraturan terhadap barang yang berbeda yang mungkin diklasifikasikan sebagai
‘like products’ berdasarkan Pasal III GATT 1994. Sebaliknya, Pasal III GATT
1994 melarang negara anggota untuk memberikan perlakuan ‘less favourable’,
secara de jure atau de facto, terhadap barang impor dibandingkan dengan barang
domestik.240
i . Tidak Ada Diskriminasi De jure
Larangan terhadap rokok dengan ‘characterizing flavours’ selain rokok
tembakau atau rokok mentol berlaku secara sama terhadap semua rokok yang
dijual di Amerika Serikat, terlepas tempat rokok tersebut diproduksi. Dalam
kasus ini, peraturan teknis ini adalah netral dan hal ini adalah beban bagi
Indonesia untuk membuktikan bahwa peraturan tersebut mendiskriminasi
antara rokok Indonesia dengan rokok domestik yang didasari pada negara asal
dan memberikan perlakuan ‘less favourable’ terhadap barang impor
238 Ibid., para. 9.
239 Ibid., para. 10.
240 Ibid., para. 11.
Universitas Indonesia
77
dibandingkan dengan barang domestik.241
ii . Tidak Ada Diskriminasi De facto
Indonesia belum memenuhi beban pembuktian mengenai diskriminasi de
facto. Pertama, Indonesia tidak menjelaskan barang apa yang menjadi subjek
dari perlakuan yang berbeda242 Kedua, desakan Indonesia bahwa Bagian
907(a)(1)(A) FSPTCA melanggar Pasal III:4 GATT 1994 karena memberikan
perlakuan yang berbeda terhadap rokok kretek dan setiap rokok domestik
tidak sesuai dengan interpretasi Appellate Body dalam EC-Asbestos mengenai
perlakuan ‘less favourable’, bahkan jika telah ditentukan rokok kretek dan
semua rokok domestik adalah ‘like products’.243 Appellate Body dalam EC-
Asbestos menyatakan bahwa negara anggota akan memberikan perbedaan
antara barang yang dianggap sebagai ‘like products’ tanpa tujuan untuk
melindungi produksi domestik atau tanpa tujuan perlakuan ‘less favourable’
terhadap barang impor.244
Pemberlakuan Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA sepenuhnya sesuai dengan maksud
dan tujuan dari FSPTCA dan pendekatan Amerika Serikat secara umum dengan
peraturan mengenai tembakau. Barang dari Indonesia yang terkena efek negatif
dari Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA bukanlah akibat dari diskriminasi berdasarkan
negara asal, tetapi karena otoritas kesehatan Amerika Serikat secara sah
menentukan bahwa rokok kretek termasuk dalam kategori rokok yang dilarang
dalam pasar Amerika Serikat untuk perlindungan kesehatan publik.245 Bagian
907(a)(1)(A) FSPTCA juga tidak memberikan perlindungan terhadap barang
domestik. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA berlaku pada rokok yang dibuat di
Amerika Serikat secara luas yang mau memasuki pasar Amerika Serikat. 246
C. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Sesuai Dengan Pasal 2.1 TBT Agreement
Amerika Serikat menyatakan bahwa perbedaan tekstual dan kontekstual
241 Ibid., para. 12.
242 Ibid, para. 13.
243 Ibid., para. 14.
244 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 100.
245 US-Clove Cigarettes, WT/DS406/R, Annex A-2, para. 15 (Executive Summary of theFirst Written Submission of United States. 2011).
246 Ibid., para. 16.
Universitas Indonesia
78
dari TBT Agreement akan diperhitungkan dalam analisis Panel mengenai
‘likeness’ dan perlakuan ‘less favourable’ berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement.
Satu perbedaan yang harus dipertimbangkan oleh Panel adalah bahasa dalam
kalimat pembuka dari TBT Agreement yang menyatakan bahwa ‘tidak boleh ada
negara yang dicegah untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk
perlindungan terhadap kesehatan atau kehidupan publik’. Hal ini juga harus
dicatat bahwa Pasal 2.1 TBT Agreement menyatakan, dalam bagian yang
berhubungan, bahwa “negara anggota harus menjamin peraturan teknisnya, bahwa
barang impor yang berasal dari wilayah setiap negara anggota harus diberikan
perlakuan yang tidak ‘less favourable’ dibandingkan dengan barang domestik
yang sejenis”. Analisis ‘like products’ berdasarkan TBT Agreement harus
dilakukan secara hati-hati untuk membedakan antara karakteristik yang akan
membuat suatu barang atau sekelompok barang yang dapat diidentifikasi untuk
tujuan dari peraturan dan karakteristik yang menunjukkan hubungan kompetitif
atau substitusi dalam pasar.247
4.4 Laporan Panel
4.4.1 Interpretasi Panel Mengenai Prinsip National Treatment
A. Penjelasan Panel Mengenai Pasal 2.1 TBT Agreement
Pasal 2.1 TBT Agreement mewajibkan negara anggota WTO untuk
memberikan ‘no less favourable treatment’ terhadap barang impor dibandingkan
dengan barang domestik yang sejenis dan barang sejenis yang berasal dari negara
anggota yang lain.248 Kalimat dalam Pasal 2.1 TBT Agreement sangat sama
dengan Pasal III:4 GATT 1994, namun perbedaannya adalah Pasal 2.1 TBT
Agreement berlaku terhadap ‘technical regulations’ sedangkan Pasal III:4 GATT
1994 berlaku terhadap ‘undang-undang, peraturan, atau persyaratan yang
mempengaruhi perjualan internal, penawaran penjualan, pembelian, transportasi,
distribusi, atau penggunaan.249 Berdasarkan Panel dalam EC – Trademarks and
247 Ibid., para. 17.
248 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 74 (Panel Report.2012).
249 Ibid., para. 7.76.
Universitas Indonesia
79
Geographical Indications (Australia) Pasal 2.1 TBT Agreement terdiri dari tiga
unsur yang harus dibuktikan dalam rangka menentukan ketidakkonsistensian
dengan ketentuan ini, yaitu (i) bahwa tindakan dalam masalah tersebut merupakan
‘technical regulations’ berdasarkan Lampiran 1.1 TBT Agreement, (ii) bahwa
barang impor harus sejenis dengan barang domestik dan barang yang berasal dari
negara lain, dan (iii) bahwa perlakuan terhadap barang impor harus kurang
menguntungkan daripada perlakuan yang diberikan kepada barang domestik dan
barang sejenis yang berasal dari negara lain.250
B. Cara Interpretasi Panel Terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement
Pemeriksaan terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement memberikan masalah,
karena hanya ada satu laporan yang membahas mengenai ketentuan tersebut, yaitu
laporan Panel EC-Trademaks and Geographical Indications (Australia)251, itupun
yang tidak melakukan analisis terhadap ‘likeness’ dalam keputusannya karena
penggugat tidak melakukannya terlebih dahulu sebelum masuk dalam masalah
‘less favourable treatment’.252 Maka, Panel dalam kasus ini akan
menginterpretasikan untuk pertama kali Pasal 2.1 TBT Agreement.253 Panel
menyimpulkan bahwa pendekatan dalam menginterpretasikan Pasal 2.1 TBT
Agreement harus memastikan bahwa TBT Agreement digunakan terlebih dahulu
sebagai konteks dari Pasal 2.1 TBT Agreement. Lalu, yurisprudensi dari Pasal
III:4 GATT 1994 juga berfungsi, sebagai konteks meskipun tidak langsung, tapi
dapat dipertimbangkan.254 Namun, Panel tidak akan menginterpretasikan Pasal 2.1
TBT Agreement melalui perspektif persaingan/kompetisi. Dalam menginterpretasi
‘likeness’ berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement, Panel lebih memilih untuk
mempertimbangkan bukti yang berkaitan dengan kriteria umum ‘likeness’ dalam
Border Tax Adjustment Working Group yang dipengaruhi oleh kenyataan bahwa
250 EC – Trademarks and Geographical Indications (Australia),WT/DS174/R, para.7.444.
251 Ibid., para. 7.475.
252 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 80 (Panel Report.2012).
253 Ibid., para. 7.81.
254 Ibid., para. 7.117.
Universitas Indonesia
80
Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA adalah ‘technical regulation’ yang mengatur rokok
dengan ‘characterizing flavour’ untuk alasan kesehatan publik.255
C. Isu Substantif dari Pasal 2.1 TBT Agreement
1. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Merupakan Peraturan Teknis (Technical
Regulation)
Sebelum menganalisis, Panel menjelaskan definisi dari ‘technical
regulation’ dalam Lampiran 1 TBT Agreement yaitu “dokumen yang menetapkan
karakteristik barang atau metode proses dan metode produksi yang terkait,
termasuk ketentuan administratif yang digunakan, yang pemenuhannya adalah
wajib. Dokumen tersebut dapat pula mencakup atau secara khusus berkenaan
dengan terminologi, simbol, persyaratan pengemasan, penandaan atau pelabelan
seperti digunakan pada produk, metode proses atau metode produksi.”256 Dalam
EC-Asbestos dan EC-Sardines, Appellate Body mengatur tiga kriteria yang harus
dipenuhi suatu peraturan untuk sesuai dengan definisi ‘technical regulation’
dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement, yaitu: Pertama, peraturan tersebut berlaku
pada suatu barang atau sekelompok barang yang bisa diidentifikasi. Kedua,
peraturan tersebut menyebutkan karakteristik dari barang dan/atau proses atau
cara produksi yang berkaitan dengan barang tersebut. Ketiga, peraturan tersebut
adalah wajib berkaitan dengan kepatuhan terhadap karakteristik barang.257
i . Unsur pertama : Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Berlaku Terhadap Barang
atau Sekelompok Barang yang Dapat Diidentifikasi (Identifiable Products or
Group of Products)
Dalam EC-Asbestos, Appellate Body258 menjelaskan suatu ‘technical
regulation’ harus berlaku terhadap barang atau sekelompok barang yang
dapat diidentifikasi. Namun, Panel menyatakan bahwa hal ini tidak berarti
bahwa suatu ‘technical regulation’ harus berlaku pada barang yang benar-
benar disebutkan, diidentifikasi atau dispesifikasi dalam peraturan.
255 Ibid., para. 7.119.
256 Ibid., para. 7.23.
257 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 66-70 dan EC – Sardines, WT/DS231/AB/R,para.176.
258 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 70.
Universitas Indonesia
81
Selanjutnya, dalam hal ini akan dianggap sesuai sebagai alasan administratif
untuk merumuskan suatu ‘technical regulation’ dengan cara yang tidak
secara eksplisit mengidentifikasikan barang melalui nama, tetapi secara
sederhana membuat barang tersebut dapat diidentifikasi, melalui karakteristik
yang menjadi pokok dari peraturan tersebut.259 Panel mengamati bahwa
tindakan dalam kasus ini, Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA, secara eksplisit
mengidentifikasi barang-barang yang termasuk dalam cakupannya, yaitu
rokok dan setiap bagian dari rokok tersebut. Panel menyatakan lebih lanjut
bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA menyebutkan bagian yang berkaitan
bahwa ‘rokok atau setiap bagian dari rokok tersebut (termasuk tembakau,
filter, atau kertas)’ tidak boleh mengandung ‘characterizing flavour’ apapun
selain tembakau atau mentol.260
ii . Unsur kedua : Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Menyebutkan Satu atau Lebih
Karakteristik Dari Barang (Product Characteristics)
Dalam EC-Asbestos, Appellate Body menyatakan bahwa inti dari definisi
‘technical regulation’ adalah dokumen yang harus menyebutkan karakteristik
dari barang.261 Appellate Body menjelaskan bahwa istilah ‘karakteristik
barang’ dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement harus diinterpretasikan
berdasarkan arti yang sebenarnya. ‘Karakteristik’ dari barang termasuk setiap
‘fitur’, ‘kualitas’, ‘atribut’, atau ‘tanda pembeda’ dari barang yang secara
objektif dapat didefinisikan. Suatu ‘karakteristik’ berkaitan, antara lain,
dengan komposisi, ukuran, bentuk, warna, tekstur, kekerasan, daya tarik,
kemudahan terbakar, konduktivitas, kerapatan, atau kekentalan suatu
barang.262 Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA menyebutkan karakteristik barang.
Peraturan ini melarang rokok yang mengandung bahan adiktif tertentu dengan
‘characterizing flavour’ yang berdasarkan definisi merupakan tindakan yang
menyebutkan satu atau lebih karakteristik barang. Bagian 907(a)(1)(A)
259 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 26 (Panel Report.2012).
260 Ibid., para. 7.27.
261 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 67.
262 Ibid.
Universitas Indonesia
82
FSPTCA juga secara jelas ‘berkaitan dengan komposisi barang’, sebagaimana
disebutkan bahwa tidak ada rokok yang dapat mengandung bahan yang
adiktif, setiap rasa alami yang merupakan ‘characterizing flavour’ (selain
tembakau atau mentol).263 Dalam pandangan Panel, fakta bahwa Bagian
907(a)(1)(A) FSPTCA menyebutkan karakteristik barang dalam bentuk
negatif (rokok tidak boleh mengandung) tidak merubah kesimpulan bahwa
Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA menyebutkan karakteristik barang.264 Dalam
EC-Asbestos dan EC-Sardines, Appellate Body dan Panel menjelaskan
bahwa karakteristik barang dapat diberlakukan terhadap barang baik dalam
bentuk negatif atau positif.265 Lalu, fakta bahwa Bagian 907(a)(1)(A)
FSPTCA tidak secara eksplisit mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
‘characterizing flavour’ tidak merubah kesimpulan bahwa tindakan tersebut
mengatur karakteristik barang.266
iii . Unsur ketiga : Kepatuhan terhadap karakteristik barang adalah wajib
Dalam EC-Asbestos, Appellate Body menyatakan bahwa definisi ‘technical
regulation’ dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement, yang juga menyatakan
bahwa ‘kepatuhan’ terhadap ‘karakteristik barang’ yang disebutkan dalam
peraturan merupakan suatu kewajiban.267 Dalam EC-Sardines, baik Panel
maupun Appellate Body menyimpulkan bahwa peraturan yang menetapkan
karakteristik barang dalam kasus tersebut menyatakan bahwa persyaratan
yang terkandung didalamnya adalah mengikat secara menyeluruh dan secara
langsung berlaku terhadap semua negara anggota.268 Sifat dari kewajiban dari
Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA jelas terlihat dari bahasa dari ketentuan
tersebut, yang mengatur bahwa rokok atau setiap bagian dari rokok tidak
263 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 31 (Panel Report.2012).
264 Ibid., para. 7.32.
265EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 69 dan EC – Sardines, WT/DS231/R, para.7.45.
266 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 35 (Panel Report.2012).
267 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 68.
268 EC – Sardines, WT/DS231/R, para. 7.30 dan EC – Sardines, WT/DS231/AB/R, para.194.
Universitas Indonesia
83
boleh mengandung bahan adiktif, bahan alami (selain tembakau atau mentol)
atau herbal atau rempah-rempah yang memberikan ‘characterizing flavour’.
Lalu, FDA Guidance juga mengatur ketentuan khusus yang dikandung dalam
the Tobacco Control Act terhadap ketidakpatuhan terhadap Bagian
907(a)(1)(A) FSPTCA.269
iv . Kesimpulan
Dengan alasan-alasan tersebut, Panel memutuskan bahwa Bagian
907(a)(1)(A) FSPTCA merupakan ‘technical regulation’ menurut pengertian
dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement.
2. Rokok Kretek Impor dan Rokok Domestik Adalah Barang Sejenis (Like
Products)
Laporan dari GATT Working Party on Border Tax Adjustment
merumuskan pendekatan dalam menganalisis ‘likeness’, yaitu karakteristik fisik
barang (physical properties, nature, and quality), kegunaan akhir dari barang (the
product’s end-uses in a given market), kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap
barang (consumers’ tastes and habits), dan faktor klasifikasi tarif internasional
dari barang.270 Appellate Body dalam EC-Asbestos menyatakan bahwa kriteria ini
adalah alat untuk membantu dalam memisahkan dan memeriksa bukti yang
berkaitan. Appellate Body juga mengingatkan bahwa walaupun setiap kriteria
memberikan aspek yang berbeda dari barang untuk diperiksa secara terpisah,
kriteria ini tetapi berhubungan.271
i . Karakteristik Fisik Barang (physical properties, nature, and quality)
Dalam EC-Asbestos, Appellate Body menjelaskan bahwa kriteria pertama
ini yang mencakup kualitas fisik dan karakteristik dari barang.272 Appellate
Body juga mengarahkan Panelnya untuk memeriksa secara menyeluruh
karakteristik fisik dari barang dan secara khusus, sebagaimana hal tersebut
dalam konteks analisis Pasal III:4 GATT 1994, untuk memeriksa
269 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 39 (Panel Report.2012).
270 Report of the Working Party on Border Tax Adjustments, BISD 18S/97, para. 18.
271 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 102.
272 Ibid., para. 110.
Universitas Indonesia
84
karakteristik fisik barang tersebut yang mempengaruhi hubungan kompetitif
antara barang-barang dalam pasar.273 Lalu, Panel dalam menganalisis
berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement, memeriksa karakteristik fisik dari
barang tersebut yang berkaitan dengan tujuan Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA
terhadap keberadaan rokok dengan ‘characterizing flavour’.274 Kemudian,
Appellate Body dalam EC-Asbestos menegaskan bahwa analisis terpisah
terhadap kriteria karakteristik fisik barang tidak boleh tercampur dengan
pemeriksaan terhadap kriteria kegunaan akhir. Hal ini sangat penting karena
barang-barang yang memiliki karakteristik fisik yang berbeda, pada situasi
tertentu, dapat menunjukkan kegunaan akhir yang sama, tapi tidak berarti
mereka setara.275 Dengan demikian, Panel akan memeriksa karakteristik
fisik dari rokok kretek impor dan rokok mentol domestik berdasarkan bukti
yang diberikan oleh para pihak.276
ii . Kegunaan Akhir dari Barang (The Product’s End-Uses In a Given Market)
Appellate Body dalam EC-Asbestos mendefinisikan kriteria ini sebagai
sejauh apa barang-barang mampu untuk melakukan fungsi (kegunaan akhir)
yang sama.277 Dalam konteks analisis dari Pasal III:4 GATT 1994,
Appellate Body dalam EC-Asbestos memutuskan bahwa kriteria kegunaan
akhir mencakup unsur-unsur penting yang berkaitan dengan hubungan
kompetitif antara barang-barang sepanjang sejauh apa barang-barang
mampu untuk melakukan fungsi yang sama. Maka, bagi Appellate Body,
bukti mengenai sejauh apa barang-barang mampu untuk melakukan fungsi
yang sama (kegunaan akhir) sangat berkaitan dengan analisis ‘likeness’
berdasarkan Pasal III:4 GATT 1994.278 Argumen Indonesia mengenai
kriteria kegunaan akhir adalah kegunaan akhir dari semua rokok, termasuk
273 Ibid., para. 114.
274 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 150 (PanelReport. 2012).
275 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 111-112.
276 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 155 (PanelReport. 2012).
277 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 117.
278 Ibid.
Universitas Indonesia
85
rokok kretek dan rokok mentol, sama, yaitu digunakan untuk merokok
tembakau. Namun, Amerika Serikat menyatakan bahwa rokok memiliki
paling sedikit dua kegunaan akhir di Amerika Serikat, yaitu (a) untuk
memuaskan kecanduan nicotine dan (b) untuk menciptakan pengalaman
menyenangkan dengan rasa dari rokok dan aroma dari asapnya.279 Menurut
Panel, argumen Indonesia benar, yaitu kegunaan akhir rokok adalah untuk
merokok. Panel menyadari bahwa kegunaan akhir dari Amerika Serikat
menunjukkan hal yang berkaitan dan bukan pada efek yang dihasilkan dari
merokok, sehingga Panel memasukkannya dalam kriteria kebiasaan dan
pilihan konsumen. 280
iii . Kebiasaan dan Pilihan Konsumen Terhadap Barang (Consumers’ Tastes and
Habits)
Dalam EC-Asbestos, Appellate Body mendefinisikan pilihan konsumen
sebagai sejauh apa konsumen berkeinginan untuk menggunakan suatu
barang dibandingkan dengan yang barang lain untuk melaksanakan
fungsinya.281 Mengingat tujuan dari Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA adalah
mengurangi perokok kaum muda, Panel setuju dengan Amerika Serikat
untuk mempertimbangkan perokok potensial yaitu kaum muda yang
merokok atau yang sudah merokok tapi belum kecanduan.282 Lalu,
Appellate Body dalam EC-Asbestos menyatakan bahwa saat permintaan
dalam pasar yang telah dipengaruhi oleh hambatan peraturan dalam
perdagangan atau dalam persaingan, negara anggota masih harus
menganalisis kriteria kebiasaan dan pilihan konsumen, dengan mengajukan
bukti mengenai kemampuan substitusi barang dari beberapa pasar lain yang
relevan, atau bukti yang tersembunyi mengenai permintaan konsumen
dalam pasar tersebut.283 Dengan hal ini, maka akan terlihat, sejauh apa
279 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 195 (PanelReport. 2012).para. 7.195.
280 Ibid., para. 7.198.
281 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 117.
282 Ibid., para. 7.206.
283 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 123.
Universitas Indonesia
86
hubungan kompetitif tersebut berubah oleh peraturan, hal ini dapat
diperhitungkan jika hal ini dijelaskan dan dianalisis. Larangan yang
diberlakukan melalui Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA, yang menghilangkan
rokok kretek dari pasar Amerika Serikat, merupakan perubahan terhadap
hubungan kompetitif dalam pasar karena menghilangkan persaingan.284
Appellate Body dalam EC-Asbestos menyatakan bahwa analisis terhadap
pilihan konsumen akan mencakup penentuan kemampuan substitusi suatu
barang dengan barang yang lain. Konsep ‘substitutability’ dan ‘substituable’
didasarkan pada potensi konsumen untuk mengganti barang dengan barang
yang lain. Jadi, subtitusi yang sebenarnya tidak diperlukan, tapi sebaliknya
yaitu sejauh apa konsumen berkeinginan untuk menggunakan barang untuk
melakukan kegunaan akhir tersebut.285 Menurut Panel, dalam hal ini wajar
untuk memeriksa kemampuan substitusi dari rokok kretek dan rokok mentol
dari perspektif sekelompok konsumen yang relevan, yaitu perokok kaum
muda dan kaum muda yang siap untuk merokok.286 Rokok mentol dan
rokok kretek menarik bagi kaum muda karena adanya zat adiktif yang
memberikan ‘characterizing flavour’ yang memberikan efek memperhalus
tembakau. Panel berpendapat berdasarkan penjelasan diatas maka, kaum
muda menganggap rokok dengan rasa, termasuk rasa cengkeh dan mentol,
adalah sama.
iv . Klasifikasi Tarif dari Barang (The Tariff Classification Of The Products)
Menurut Appellate Body dalam EC-Asbestos, klasifikasi tarif merefleksikan
karakteristik fisik dari barang.287 Namun, Appellate Body menjelaskan
bahwa walaupun klasifikasi bea cukai dari barang yang dibandingkan adalah
sama, maka indikasi ini tidak bisa dengan sendirinya menjadi penentu
‘likeness’.288 Rokok diklasifikasikan berdasarkan Bab 24 Harmonised
284 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 208 (PanelReport. 2012).
285 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 117.
286 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 214 (PanelReport. 2012).
287 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 102.
288 Ibid., para. 146.
Universitas Indonesia
87
System (HS), dalam Heading 2402 untuk ‘Cigar, cheroots, cigarillos, dan
cigarettes, of tobacco atau of tobacco substitutes’.289 Maka, kode 6-digit
untuk rokok kretek, rokok mentol, dan rokok tembakau adalah 2402.20.290
Dengan demikian, Panel memutuskan bahwa rokok kretek dan rokok mentol
diklasifikasikan sama dalam HS Subheading 2402.20.291
v . Kesimpulan
Dengan demikian, Panel memutuskan bahwa rokok kretek dan rokok mentol
merupakan barang sejenis (like products) berdasarkan Pasal 2.1 TBT
Agreement.292
3. Rokok Kretek Impor Diperlakukan Kurang Menguntungkan (less
favourable treatment) Dibandingkan Dengan Barang Domestik yang
Sejenis
Konsep ‘less favourable treatment’ menurut Pasal III:4 GATT
menyatakan harus ada persamaan efektif dalam kesempatan untuk barang
impor.293 Dalam Korea – Various Measures on Beef, Appellate Body menyatakan
bahwa untuk menentukan apakah barang impor telah diperlakukan ‘less
favourable’, maka harus diperiksa apakah peraturan yang diberlakukan mengubah
kondisi persaingan dalam pasar yang dapat merugikan barang impor.294 Lalu,
Appellate Body dalam EC-Asbestos menyatakan bahwa jika terdapat ‘less
favourable treatment’ terhadap sekelompok barang impor, maka dalam hal ini
berkaitan dengan perlindungan terhadap sekelompok barang domestik yang
sejenis.295 Namun, negara anggota WTO yang memberikan pembedaan antara
barang-barang yang dianggap ‘like products’, dengan alasan ini, tidak dapat
langsung dianggap sebagai ‘less favourable treatment’ terhadap barang impor
289 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 236(Panel Report.2012).
290 Ibid., para. 7.237.
291 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 239 (PanelReport. 2012).
292 Ibid., para. 7.248.
293 US – Section 337 Tariff Act, BISD 36S/345, para. 5.11(GATT Panel Report .1989)
294 Korea – Various Measures on Beef, WT/DS161/AB/R, para. 137.
295 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 100.
Universitas Indonesia
88
dibandingkan dengan barang domestik yang sejenis.296 Hal ini dikarenakan dalam
beberapa kasus, diberlakukan peraturan yang sama terhadap barang, namun pada
prakteknya peraturan tersebut memberikan perlakuan yang ‘less favourable’
terhadap barang impor dibandingkan dengan barang domestik yang sejenis. Jadi,
‘less favourable treatment’ terjadi saat barang impor ditempatkan pada posisi
persaingan yang tidak menguntungkan dalam pasar domestik sebagai akibat dari
peraturan yang diberlakukan.297 Kemudian, sehubungan dengan dampak yang
merugikan, Appellate Body dalam Dominican Republic – Import and Sale of
Cigarettes menyatakan keberadaan dampak merugikan terhadap barang impor,
yang diakibatkan oleh peraturan, tidak selalu berarti bahwa peraturan ini
memperlakukan ‘less favourable’ terhadap barang impor, jika dampak merugikan
tersebut diakibatkan oleh faktor atau keadaan yang tidak berkaitan dengan negara
asal dari barang impor, seperti pangsa pasar dari importir dalam kasus ini.298 Jadi,
tidak cukup untuk menentukan ketidakkonsistenan terhadap Pasal III:4 GATT
1994 hanya berdasarkan pada peraturan yang merugikan kondisi persaingan dari
barang impor. Tetapi, penggugat juga harus membuktikan bahwa dampak
merugikan tersebut berhubungan dengan negara asal dari barang impor
i . Rokok Kretek Impor dan Rokok Mentol yang Diproduksi Domestik
Diperlakukan Berbeda
Dalam kasus ini, kesimpulan yang jelas adalah bahwa perlakuan tidak bisa
lebih berbeda. Pada kenyataanya, rokok kretek dilarang, sementara rokok
mentol dikecualikan dari larangan tersebut.299 Dengan demikian, Panel
menyimpulkan bahwa rokok kretek impor dan rokok mentol diproduksi
domestik diperlakukan dengan cara yang secara fundamental berbeda.300
ii . Perlakuan yang Berbeda Tersebut Merugikan Bagi Rokok Kretek Impor
296 Ibid.
297 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 266 (PanelReport. 2012).
298 Dominican Republic – Import and Sale of Cigarettes, WT/DS302/AB/R, para. 96(Appellate Body Report. 2005).
299 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 279(Panel Report.2012).
300 Ibid., para. 7.280.
Universitas Indonesia
89
Dalam kasus ini, Panel menyimpulkan bahwa rokok kretek impor dilarang,
sementara rokok mentol yang sejenis diperbolehkan untuk dipasarkan dalam
Amerika Serikat.301 Sehingga, hal ini merugikan rokok kretek impor.
iii . Dampak Merugikan Dari ‘Less Favourable Treatment’ Terhadap Rokok
Kretek Impor Berkaitan Dengan Negara Asal
Menurut Panel, Amerika Serikat tidak melarang rokok mentol karena bukan
jenis rokok dengan ‘characterizing flavour’ yang menarik bagi kaum muda,
tetapi lebih kepada biaya yang harus dikeluarkan sebagai akibat dari
pelarangan. Menurut Panel, dampak dari pelarangan rokok dengan
‘characterizing flavour’ selain rokok mentol adalah untuk membebankan
biaya pada produsen negara anggota yang lain, terutama produsen di
Indonesia, sementara pada saat yang sama tidak ada biaya yang
diberlakukan terhadap setiap produsen Amerika Serikat.302 Dalam kasus ini,
Amerika Serikat menetapkan ‘technical regulation’ untuk mencapai tujuan
yang sah dalam mengurangi kaum muda merokok, tapi pada saat yang sama
membatasi ruang lingkup barang dari ‘technical regulation’ untuk
meminimalisir atau bahkan menghilangkan biaya potensial yang mungkin
dikenakan pada produsen domestik, saat menimbulkan biaya terhadap
produsen barang yang sejenis dari negara anggota yang lain.303 Menurut
Panel, tujuan dari Pasal 2.1 TBT Agreement, untuk melarang diskriminasi,
akan gagal, jika negara anggota tidak memberlakukan peraturan yang sama
terhadap barang domestiknya dalam rangka untuk menghindari biaya
potensial yang akan dikeluarkan.304
iv . Kesimpulan
Dengan demikian, Panel menyimpulkan bahwa dengan melarang rokok
kretek sementara mengecualikan rokok mentol dari larangan tersebut, maka
Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA memberikan perlakuan yang ‘less
favourable’ terhadap rokok kretek impor dibandingkan dengan rokok
301 Ibid., para. 7.281.
302 Ibid., para. 7. 289.
303 Ibid., para. 7.290.
304 Ibid., para. 7.291.
Universitas Indonesia
90
mentol yang diproduksi domestik, berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement.305
4.4.2 Kesimpulan dan Putusan Panel
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, Panel memutuskan bahwa:306
a. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA merupakan ‘technical regulation’ menurut
pengertian dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement;
b. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA tidak sesuai dengan Pasal 2.1 TBT Agreement
karena memberikan perlakuan yang ‘less favourable’ terhadap rokok kretek
impor dibandingkan dengan rokok mentol yang sejenis yang diproduksi
domestik;
c. Dengan memutuskan bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA tidak sesuai
dengan Pasal 2.1 TBT Agreement, Panel menolak untuk memutuskan klaim
Indonesia berdasarkan Pasal III:4 GATT 1994.307
4.5 Laporan Appellate Body
4.5.1 Argumentasi Hukum Amerika Serikat
Pada tingkat Appellate Body, Amerika Serikat mengajukan dua klaim
banding, yaitu :
(1) Bahwa Panel salah dalam menginterpretasikan dua kriteria umum dari
‘likeness’, yaitu kriteria kegunaan akhir dan kriteria kebiasaan dan pilihan
konsumen.308
a. Kegunaan Akhir (End Uses)
Amerika Serikat menyatakan bahwa Panel salah dalam menyebutkan
kegunaan akhir dari rokok adalah untuk merokok dan tidak
mempertimbangkan untuk memuaskan kecanduan terhadap nikotin dan
memberikan pengalaman yang menyenangkan sebagai kegunaan akhir.309
305 Ibid., para. 7.292.
306 Ibid., para. 8.1.
307 Ibid., para. 8.3.
308 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 13 (AppellateBody. 2012).
309 Ibid., para. 14.
Universitas Indonesia
91
Amerika Serikat mendasari pada pernyataan oleh Appellate Body dalam EC-
Asbestos, yaitu Panel harus memeriksa kegunaan akhir barang yang lain dan
hanya dengan hal itu akan memberikan gambaran yang lengkap dari
kegunaan akhir, sehingga Panel dapat menilai signifikansi fakta bahwa
barang-barang tersebut memiliki beberapa kegunaan akhir yang terbatas.310
b. Kebiasaan dan Pilihan Konsumen (Consumer Tastes and Habits)
Amerika Serikat menyatakan bahwa Panel melakukan kesalahan dengan tidak
mempertimbangkan kebiasaan dan pilihan dari konsumen dewasa dalam
analisisnya. 311 Sebagaimana yang dinyatakan oleh Appellate Body dalam EC-
Asbestos bahwa Panel seharusnya memeriksa semua bukti yang yang saling
berkaitan antara kriteria umum likeness dan mempertimbangkan semua bukti
yang berkaitan.312
(2) Bahwa Panel salah dalam memutuskan Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA
memberikan ‘less favourable treatment’ terhadap rokok kretek impor
dibandingkan dengan rokok mentol yang diproduksi domestik.313
Pertama, Amerika Serikat menyatakan bahwa Panel salah dalam membatasi
lingkup dari barang yang dibandingkan dalam analisis ‘less favourable
treatment’ hanya pada rokok kretek impor yang berasal dari Indonesia dan
rokok mentol yang diproduksi domestik yang dianggap ‘like products’.
Amerika Serikat mengacu pada pernyataan Appellate Body dalam EC-
Asbestos bahwa analisis yang relevan adalah bagaimana suatu peraturan
memperlakukan barang impor yang sejenis, sebagai suatu kelompok dan
barang domestik yang sejenis, sebagai suatu kelompok.314 Kedua, Amerika
Serikat mempermasalahkan pernyataan Panel bahwa pada saat pelarangan,
tidak ada rokok domestik dengan ‘characterizing flavour’ selain rokok
310 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 119.
311 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 17 (AppellateBody. 2012).
312 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 109.
313 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 22 (AppellateBody. 2012).
314 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 100.
Universitas Indonesia
92
mentol.315 Ketiga, Amerika Serikat mengklaim bahwa Panel salah dalam
menyimpulkan bahwa setiap dampak mrugikan terhadap kondisi persaingan
antara rokok kretek dalam pasar Amerika Serikat tidak dapat dijelaskan oleh
faktor yang tidak berkaitan dengan negara asal barang.316
4.5.2 Interpretasi Appellate Body mengenai Prinsip National Treatment
A. Cara Interpretasi Appellate Body Terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement
Appellate Body setuju dengan Panel bahwa interpretasi terhadap istilah ‘like
products’ dalam Pasal 2.1 TBT Agreement harus dimulai dengan teks dari
ketentuan tersebut didasarkan oleh konteks yang diberikan oleh Pasal 2.1 TBT
Agreement. Namun, Appellate Body tidak setuju bahwa interpretasi terhadap
konsep ‘like products’ dalam Pasal 2.1 TBT Agreement tidak dapat menggunakan
pendekatan persaingan.317 Lalu, Appellate Body setuju bahwa konsep ‘treatment
no less favourable’ yang ada dalam Pasal III:4 GATT 1994 sama dengan Pasal 2.1
TBT Agreement, yang juga berpengaruh dalam penentuan dari ‘likeness’ yang
menyatakan bahwa ‘likeness’ adalah mengenai sifat dan sejauh apa hubungan
kompetitif antara barang-barang. Appellate Body menyatakan bahwa dalam
menentukan ‘likeness’ berdasarkan hubungan kompetitif antara barang-barang,
Panel harus memperhitungkan semua efek perubahan yang mungkin diakibatkan
oleh peraturan dalam hubungan kompetitif dan mempertimbangkan efek tersebut
untuk menganalisis ‘less favourable treatment’.318 Tetapi, Appellate Body tidak
setuju dengan Panel bahwa teks dan konteks dari TBT Agreeement mendukung
interpretasi konsep ‘likeness’ lebih berfokus pada tujuan sah dan maksud dari
‘technical regulation’, dibandingkan pada hubungan kompetitif antara barang-
barang.319 Walaupun demikian, Appellate Body bukan menyatakan bahwa
kepentingan dalam menetapkan ‘technical regulation’ tidak berpengaruh dalam
315 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 26 (AppellateBody. 2012).
316 Ibid., para. 28.
317 Ibid., para. 108.
318 Ibid., para. 111.
319 Ibid., para. 112.
Universitas Indonesia
93
penentuan apakah barang-barang tersebut ‘like’. Dalam hal ini, Appellate Body
mengacu pada pernyataan Appellate Body dalam EC-Asbestos bahwa kepentingan
dan pertimbangan dari peraturan dapat memiliki pengaruh terhadap kriteria
tertentu dari ‘likeness’ dan dalam menentukan ‘likeness’ berdasarkan Pasal III:4
GATT 1994.320 Dalam EC-Asbestos, Appellate Body menyatakan bahwa, dalam
menentukan apakah barang-barang adalah ‘like’, Panel harus memeriksa semua
bukti yang berkaitan, termasuk bukti yang berkaitan dengan risiko kesehatan dari
barang, yang merupakan kepentingan dari peraturan dalam kasus. Appellate Body
juga menyatakan bahwa bukti tersebut tidak akan diperiksa sebagai kriteria yang
terpisah, tapi diperiksa berdasarkan kriteria umum dari ‘likeness’. Secara khusus,
Appellate Body menyatakan bahwa risiko kesehatan dari suatu barang berkaitan
dalam menentukan hubungan kompetitif antara barang-barang dan menjadikan
risiko kesehatan sebagai bagian dari kriteria karakteristik fisik barang dan
kebiasaan dan pilihan konsumen.321 Maka, Appellate Body menyatakan bahwa
kepentingan dari peraturan, seperti risiko kesehatan dari barang, dapat berkaitan
dengan analisis terhadap kriteria ‘likeness’ berdasarkan Pasal III:4 GATT 1994
dan juga Pasal 2.1 TBT Agreement, mengenai sejauh apa risiko kesehatan
memiliki dampak terhadap hubungan kompetitif antara barang-barang.322
B. Isu Substantif dari Pasal 2.1 TBT Agreement
1. Panel Salah Dalam Menginterpretasikan dua kriteria umum dari ‘like
products’
i . Kegunaan Akhir (End Uses)
Dalam EC-Asbestos, kegunaan akhir sebagai ‘sejauh apa barang-barang
mampu untuk melaksanakan fungsi yang sama’ dan kebiasaan dan pilihan
konsumen sebagai ‘sejauh apa konsumen berkeinginan untuk menggunakan
barang dalam melaksanakan fungsi tersebut’.323 Lalu, Appellate Body dalam
EC-Asbestos menyatakan bahwa setiap kriteria, secara prinsip, memiliki
320 Ibid., para. 117.
321 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 113.
322 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 119 (AppellateBody. 2012).
323 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 117.
Universitas Indonesia
94
aspek yang berbeda dari barang, yang harus diperiksa secara terpisah, tapi
kriteria yang berbeda ini saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri, sehingga
bukti tertentu dapat digunakan dalam lebih dari satu kriteria.324 Maka,
Appellate Body menyatakan bahwa konsumen merokok untuk memuaskan
kecanduan atau mereka merokok untuk kesenangan merupakan hal yang
berkaitan dalam pemeriksaan baik mengenai kegunaan akhir dan kebiasaan
dan pilihan konsumen, walaupun aspek yang berbeda yang terdapat dalam
analisis dari kedua kriteria ‘likeness’ ini.325 Dengan demikian, Appellate
Body menyatakan tidak setuju dengan Panel bahwa kegunaan akhir dari
rokok hanya untuk merokok dan setuju dengan Amerika Serikat bahwa ada
beberapa kegunaan akhir yang lebih spesifik, yaitu ‘memuaskan kecanduan
terhadap nicotine’ dan ‘menciptakan pengalaman yang menyenangkan yang
dikaitkan dengan rasa dari rokok dan aroma dari asapnya.326
ii . Kebiasaan dan Pilihan Konsumen (Consumer Tastes and Habits)
Appellate Body juga menyadari bahwa Panel telah salah dalam melakukan
analisis terhadap kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap konsumen
tersebut (perokok kaum muda dan kaum muda yang berpotensi merokok)
yang didasarkan pada tujuan dari ‘technical regulation’ (untuk mengurangi
kaum muda merokok). Dalam analisis terhadap ‘likeness’ berdasarkan
hubungan kompetitif, pasar yang menentukan ruang lingkup konsumen
yang relevan. Untuk menentukan kemampuan substitusi dari barang-barang
ini, Panel harus menilai kebiasaan dan pilihan dari semua konsumen yang
relevan terhadap barang-barang tersebut, dan tidak hanya konsumen utama
dari rokok kretek dan rokok mentol, tapi juga proporsi penting dari perokok
rokok mentol adalah konsumen dewasa.327 Walaupun, terdapat kesalahan,
Appellate Body tidak mengubah keputusan Panel mengenai kebiasan dan
pilihan konsumen. Tapi dengan alasan yang lain, Appellate Body
324 Ibid., para. 102.
325 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 126 (AppellateBody. 2012).
326 Ibid., para. 132.
327 Ibid., para. 137.
Universitas Indonesia
95
mendasarkan pada pernyataan Appellate Body dalam Philippine-Distilles
Spirits bahwa standar dari ‘directly competitive or substituable’ berkaitan
dengan Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994 dapat terpenuhi, walaupun
jika persaingan tidak terdapat dalam seluruh pasar, tapi hanya terbatas pada
suatu segmen dari pasar.328 Walaupun putusan Appellate Body dalam
Philippine-Distilled Spirits mengenai Pasal III:2, kalimat kedua GATT
1994, Appellate Body mengakui interpretasi dari ‘directly competitive atau
substitutable products’ berkaitan dengan konsep ‘likeness’ dalam Pasal III:4
GATT 1994 dan Pasal 2.1 TBT Agreement, karena ‘likeness’ berdasarkan
ketentuan ini ditentukan berdasarkan hubungan kompetitif antara barang-
barang.329 Dengan demikian, putusan Panel mengenai ‘likeness’
berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement betul dikarenakan tingkat persaingan
dan kemampuan substitusi yang diputuskan Panel untuk perokok kaum
muda dan kaum muda yang berpotensi merokok cukup tinggi untuk
mendukung.330
iii . Kesimpulan
Dengan demikian, Appellate Body memperkuat putusan Panel bahwa rokok
mentol dan rokok kretek adalah ‘like products’ berdasarkan Pasal 2.1 TBT
Agreement.331
2. Panel Salah Dalam Memutuskan Bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA
Memberikan ‘Less Favourable Treatment’ Terhadap Rokok Kretek Impor
Dibandingkan Dengan Rokok Mentol yang Diproduksi Domestik yang
Sejenis
328 Philippines – Distilled Spirits,WT/DS396/AB/R/WT/DS403/AB/R, para. 220(Appellate Body Reports. 2012).
329 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 143(AppellateBody. 2012).
330 Ibid., para. 145.
331 Ibid., para. 160.
Universitas Indonesia
96
i . ‘Treatment No Less Favourable’ berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement
Standar ‘treatment no less favourable’ untuk Pasal III:4 GATT 1994, yaitu
melarang negara anggota WTO untuk mengubah kondisi persaingan di
dalam pasar yang akan merugikan sekelompok barang impor dibandingkan
dengan sekelompok barang domestik yang sejenis.332 Maka, Panel yang
melakukan pemeriksaan terhadap klaim pelanggaran Pasal 2.1 TBT
Agreement harus menentukan apakah ‘technical regulation’ dalam kasus
tersebut mengubah kondisi persaingan dalam pasar untuk merugikan
sekelompok barang impor dibandingkan dengan sekelompok barang
domestik yang sejenis.333 Konteks dan maksud serta tujuan dari TBT
Agreement diperhitungkan dalam membaca persyaratan ‘treatment no less
favourable’ dari Pasal 2.1 TBT Agreement yang menyatakan melarang
diskriminasi de jure dan de facto terhadap barang impor, namun pada saat
yang bersamaan memperbolehkan dampak merugikan terhadap kesempatan
kompetitif untuk barang impor yang hanya secara khusus berasal dari
peraturan pembedaan yang sah.334 Maka, saat ‘technical regulation’ tidak
mendiskriminasi secara de jure terhadap barang impor, keberadaan dampak
merugikan terhadap kesempatan kompetitif untuk sekelompok barang impor
dalam hubungannya dengan sekelompok barang domestik yang sejenis
merupakan ‘less favourable treatment’ berdasarkan Pasal 2.1 TBT
Agreement. Selain, Panel harus selanjutnya menganalisis apakah dampak
merugikan terhadap barang impor terjadi akibat peraturan teknis yang sah
atau menunjukkan adanya diskriminasi terhadap sekelompok barang impor.
Dalam melakukan penentuan ini, Panel harus secara hati-hati
mempertimbangkan keadaan khusus dalam kasus, yaitu desain, arsitektur,
struktur, operasi, dan pemberlakuan ‘technical regulation’ dalam kasus dan
secara khusus, apakah ‘technical regulation’ tersebut melakukan
diskriminasi terhadap sekelompok barang impor.335
332 Ibid., para. 179.
333 Ibid., para. 180.
334 Ibid., para. 181.
335 Ibid., para. 182.
Universitas Indonesia
97
ii . Dampak Merugikan Terhadap Barang Impor
Menurut Appellate Body, ‘technical regulation’ dalam kasus ini tidak
memberikan diskriminasi de jure terhadap barang impor, maka Panel harus
berhati-hati dalam memeriksa keadaan tertentu dalam kasus, yaitu desain,
arsitektur, struktur, operasi, dan pemberlakuan dari ‘technical regulation’
dan secara khusus, apakah ‘technical regulation’ diberlakukan yang dampak
merugikannya terhadap barang impor yang berasal dari peraturan
pembedaan yang sah dan bukan memberikan diskriminasi terhadap
sekelompok barang impor.336 Mengenai hal ini, Appellate Body setuju
dengan Amerika Serikat bahwa Panel tidak jelas menjelaskan alasan untuk
menyimpulkan bahwa dampak dari pemberlakuan Bagian 907(a)(1)(A)
FSPTCA adalah untuk memberlakukan biaya terhadap produsen di negara
anggota lain, terutama produsen di Indonesia, sementara pada saat yang
sama tidak memberlakukan biaya pada entitas Amerika Serikat.337 Lalu,
Appellate Body juga tidak setuju dengan Amerika Serikat bahwa dampak
merugikan dari Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA terhadap kesempatan
kompetitif untuk rokok kretek impor berasal dari peraturan pembedaan yang
sah. Melihat alasan dari Amerika Serikat untuk pengecualian rokok mentol
dari larangan terhadap rokok dengan rasa tidak menunjukkan bahwa
dampak merugikan terhadap kesempatan kompetitif dari rokok kretek
berasal dari peraturan pembedaan yang sah. Alasan Amerika Serikat
tersebut adalah dampak terhadap sistem perlindungan kesehatan Amerika
Serikat yang dikaitkan dengan risiko untuk menyembuhkan jutaan perokok
rokok mentol yang terkena penyakit ‘withdrawal symptoms’ dan risiko
perkembangan pasar gelap dan penyelundupan rokok mentol untuk
memenuhi kebutuhan perokok rokok mentol. Appellate Body menyatakan
bahwa bahan adiktif dalam rokok mentol adalah nicotine, bukan peppermint
atau bahan lain yang secara khusus ada dalam rokok mentol, dan bahwa
bahan ini juga terdapat dalam sekelompok barang yang diperbolehkan
336 Ibid., para. 215.
337 Ibid., para. 221.
Universitas Indonesia
98
berdasarkan Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA, yaitu rokok tembakau biasa.
Jadi, hal ini tidak jelas bahwa risiko/alasan yang diajukan oleh Amerika
Serikat akan terjadi jika rokok mentol dilarang di dalam pasar Amerika
Serikat.338 Dengan demikian, Appellate Body memperkuat putusan Panel ,
yaitu denganmengecualikan rokok mentol dari larangan rokok dengan rasa,
maka Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA memperlakukan rokok kretek dari
Indonesia ‘less favourable’ dibandingkan rokok domestik yang sejenis,
berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement.339
iii . Kesimpulan
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, Appellate Body memperkuat putusan
Panel bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA memberikan perlakuan yang
‘less favourable’ terhadap rokok kretek impor dibandingkan dengan rokok
mentol yang diproduksi domestik, berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement.340
4.5.3 Kesimpulan dan Rekomendasi Appellate Body
Untuk alasan yang ditetapkan dalam Laporan, Appellate Body, mengenai
Pasal 2.1 TBT Agreement:341
a. Memperkuat bahwa rokok kretek dan rokok mentol adalah ‘like products’
berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement;
b. Memperkuat bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA merupakan perlakuan
yang ‘less favourable’ terhadap rokok kretek impor dibandingkan dengan
rokok mentol yang diproduksi domestik, berdasarkan Pasal 2.1 TBT
Agreement; dan
c. Memperkuat bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA tidak sesuai dengan Pasal
2.1 TBT Agreement karena memberikan perlakuan yang ‘less favourable’
terhadap rokok kretek impor dibandingkan dengan rokok mentol yang
diproduksi domestik.
338 Ibid., para. 225.
339 Ibid., para. 226.
340 Ibid., para. 233.
341 Ibid., para. 298.
Universitas Indonesia
99
4.6 Pembahasan terhadap Interpretasi Prinsip National Treatment oleh
Dispute Settlement Body WTO pada Kasus US-Clove Cigarettes
(Tobacco Control Act) dibandingkan dengan Pengaturan Prinsip
National Treatment dalam Ketentuan WTO
Dalam menginterpretasi Pasal 2.1 TBT Agreement ada tiga unsur, yaitu
pertama, tindakan yang diberlakukan merupakan ‘technical regulation’, kedua,
barang domestik dan barang impor adalah ‘like products’ dan ketiga, ‘technical
regulation’ memberikan ‘less favourable treatment’ terhadap barang impor
dibandingkan dengan barang domestik.
A. Interpretasi terhadap ‘technical regulation’
Panel US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) menginterpretasi
‘technical regulation’ dengan tiga kriteria, yaitu (a) peraturan tersebut berlaku
pada suatu barang atau sekelompok barang yang bisa diidentifikasi, (b) peraturan
tersebut menyebutkan karakteristik dari barang dan/atau proses atau cara produksi
yang berkaitan dengan barang tersebut, dan (c) peraturan tersebut adalah wajib
berkaitan dengan kepatuhan terhadap karakteristik barang. Maka, interpretasi
yang dilakukan oleh Panel tepat dan hal ini juga sesuai oleh Appellate Body dalam
EC-Asbestos dan EC-Sardines yang juga menggunakan kriteria tersebut dalam
menginterpretasikan ‘technical regulation’.342 Dengan demikian, dalam
menentukan suatu tindakan merupakan ‘technical regulation’, maka harus
memenuhi tiga kriteria, yaitu (a) peraturan tersebut berlaku pada suatu barang atau
sekelompok barang yang bisa diidentifikasi, (b) peraturan tersebut menyebutkan
karakteristik dari barang dan/atau proses atau cara produksi yang berkaitan
dengan barang tersebut, dan (c) peraturan tersebut adalah wajib berkaitan dengan
kepatuhan terhadap karakteristik barang.
B. Cara Interpretasi Terhadap Prinsip National Treatment Berdasarkan Pasal
2.1 TBT Agreement
Dalam menginterpretasikan Pasl 2.1 TBT Agreement, Panel US-Clove
Cigarettes (Tobacco Control Act) menyimpulkan bahwa pendekatan dalam
342 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 66-70 dan EC – Sardines, WT/DS231/AB/R,para.176.
Universitas Indonesia
100
menginterpretasikan Pasal 2.1 TBT Agreement harus memastikan bahwa TBT
Agreement digunakan terlebih dahulu sebagai konteks dari Pasal 2.1 TBT
Agreement. Lalu, yurisprudensi dari Pasal III:4 GATT 1994 juga berfungsi,
sebagai konteks meskipun tidak langsung, tapi dapat dipertimbangkan.343 Namun,
Panel tidak akan menginterpretasikan Pasal 2.1 TBT Agreement melalui
perspektif persaingan/kompetisi. Lalu, menginterpretasi ‘likeness’ berdasarkan
Pasal 2.1 TBT Agreement, Panel lebih memilih untuk mempertimbangkan bukti
yang berkaitan dengan kriteria umum ‘likeness’ dalam Border Tax Adjustment
Working Group yang dipengaruhi oleh kenyataan bahwa Bagian 907(a)(1)(A)
FSPTCA adalah ‘technical regulation’ yang mengatur rokok dengan
‘characterizing flavour’ untuk alasan kesehatan publik.344 Tetapi, ada dua hal
yang menjadi perbaikan dari Appellate Body terhadap cara interpretasi yang
dilakukan oleh Panel, yaitu Pertama, Appellate Body tidak setuju dengan Panel
yang memutuskan untuk tidak menggunakan pendekatan persaingan dan Kedua,
Appellate Body tidak setuju dengan Panel bahwa teks dan konteks dari TBT
Agreement mendukung interpretasi ‘likeness’ yang lebih berfokus pada tujuan sah
dari ‘technical regulation’, dibandingkan dengan hubungan kompetitif antara
barang-barang. 345
Maka, Panel telah tepat dalam menggunakan konteks dari TBT Agreement
terlebih dahulu dalam menginterpretasikan Pasal 2.1 TBT Agreement. Hal ini
telah diatur dalam Pasal 31(1) Vienna Convention on the Law of Treaties, yang
menyatakan bahwa dalam menginterpretasikan ketentuan hukum dari suatu
perjanjian harus dimulai dengan pengertian umum dari istilah tersebut. Lalu,
Panel tepat juga dalam menggunakan yurisprudensi dari Pasal III:4 GATT 1994
sebagai konteks yang membantu untuk menginterpretasi Pasal 2.1 TBT
Agreement. Hal ini dikarenakan Pasal 2.1 TBT Agreement dan Pasal III:4 GATT
1994 memiliki istilah yang sama dan hal ini didukung oleh Appellate Body dalam
343 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 117 (PanelReport. 2012).
344 Ibid., para. 7.119.
345 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 108 dan 112(Appellate Body. 2012).
Universitas Indonesia
101
EC-Asbestos yang menyatakan bahwa selama pengertian dari istilah dalam
ketentuan lain dari GATT berkaitan dengan konteks dalam menginterpretasikan
ketentuan tersebut, maka hal tersebut dapat digunakan.346 Kemudian, mengenai
perbaikan yang diberikan oleh Appellate Body, Appellate Body tepat dalam
menyatakan bahwa Panel tidak tepat dengan tidak menggunakan pendekatan
persaingan. Hal ini dikarenakan pada laporan diatas Panel telah menyatakan untuk
menggunakan juga konteks dari yuriprudensi Pasal III:4 GATT 1994, sehingga
bagaimana mungkin Panel tidak menggunakan pendekatan persaingan yang
merupakan cara dalam menginterpretasikan istilah tersebut menurut Pasal III:4
GATT 1994. Lalu, mengenai perbaikan kedua, Appellate Body tepat bahwa
seharusnya tidak mempertimbangkan tujuan kesehatan publik dari ‘technical
regulation’ dalam menganalisis ‘likeness’, dibandingkan pada hubungan
kompetitif antara barang-barang. Hal ini dikarenakan tujuan dari technical
regulation tersebut bukan merupakan salah satu kriteria dari ‘likeness’ yang harus
dinilai secara terpisah untuk dapat menentukan barang-barang tersebut ‘like
products’, namun tujuan kesehatan publik hanya memiliki pengaruh terhadap
kriteria tertentu dari ‘likeness’(karakteristik fisik barang dan kebiasaan dan pilihan
konsumen), dan hal ini juga didukung oleh Appellate Body EC-Asbestos.347
Dengan demikian, dalam melakukan interpretasi terhadap Pasal 2.1 TBT
Agreement harus terlebih dahulu melihat konteks dari TBT Agreement. Lalu,
dapat menggunakan yuriprudensi Pasal III:4 GATT 1994 sebagai konteks yang
membantu dalam menginterpretasi.
C. Interpretasi Terhadap ‘Like Products’
Dalam kasus US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) ini, Appellate
Body dan Panel menggunakan kriteria umum ‘likeness’ Border Tax Adjustment
dalam menginterpretasikan ‘like products’. Maka, hal yang dilakukan oleh Panel
dan Appellate Body telah tepat karena kriteria umum ‘likeness’ ini adalah alat
untuk membantu dalam memisahkan dan memeriksa bukti-bukti yang berkaitan
346 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 88-89.
347 Ibid., para. 113.
Universitas Indonesia
102
serta kriteria-kriteria ini saling berhubungan satu sama lain.348 Kriteria umum ini
terdiri empat kriteria, yaitu:349
i . Karakteristik fisik barang (physical properties, nature, and quality)
Panel US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) menginterpretasikan
kriteria pertama ini mencakup kualitas fisik dan karakteristik barang,
sehingga harus dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap semua
bukti yang relevan, serta secara khusus, dilakukan dalam konteks dari
ketentuan dari perjanjian yang berlaku. Lalu, Panel dalam menganalisis
berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement, memeriksa karakteristik dari barang
tersebut yang berkaitan dengan tujuan dari ‘technical regulation’.350 Maka,
Panel tepat dalam menginterpretasikan kriteria fisik barang, sebagaimana hal
ini sesuai dengan pernyataan dari Appellate Body dalam EC-Asbestos yang
menyatakan bahwa untuk memeriksa secara menyeluruh semua bukti yang
berkaitan dengan karakteristik barang, teapi Panel juga seharusnya
memastikan bahwa bukti-bukti tersebut mempengaruhi hubungan kompetitif
antara barang-barang dalam pasar.351 Lalu, Panel tepat dalam
mempertimbangkan tujuan dari ‘technical regulation’ dalam kriteria
karakteristik barang, tapi harus diingat sebagaimana dijelaskan oleh Appellate
Body dalam EC-Asbestos bahwa posisi dari tujuan ini sebagai hal yang
memiliki pengaruh terhadap kriteria tersebut dan bukan kriteria tersendiri.352
Dengan demikian, dalam menginterpretasikan kriteria karakteristik fisik
barang menurut Pasal 2.1 TBT Agreement harus dilakukan pemeriksaan
terhadap bukti-bukti yang berkaitan dengan hubungan kompetitif antara
barang-barang dalam pasar dan juga mempertimbangkan tujuan dari
‘technical regulation’ yang berpengaruh terhadap kriteria ini.
ii . Kegunaan akhir dari barang (the product’s end-uses in a given market)
348 Ibid., para. 102.
349 Report of the Working Party on Border Tax Adjustments, BISD 18S/97, para. 18.
350 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7.149-7.155 (PanelReport. 2012).
351 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 114.
352 Ibid., para. 113.
Universitas Indonesia
103
Mengingat bahwa Panel US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) tidak
menyetujui analisis berbasis persaingan, maka Panel menginterpretasikan
kriteria kegunaan akhir dengan membuat gambaran lengkap mengenai variasi
kegunaan akhir, sehingga dapat menentukan barang-barang tersebut memiliki
kegunaan akhir yang terbatas.353 Lalu, Appellate Body melakukan perbaikan
terhadap interpretasi Panel tersebut, yaitu kriteria kegunaan akhir seharusnya
menentukan sejauh apa barang-barang tersebut mampu melakukan
fungsi/kegunaan akhir yang sama dalam hubungan kompetitif antara barang-
barang tersebut.354 Kemudian, Appellate Body juga memberikan perbaikan
terhadap interpretasi Panel, yaitu Panel melakukan kesalahan dalam
menggolongkan dua fungsi lain dari rokok (untuk memuaskan kecanduan
nikotin dan memberikan pengalaman yang menyenangkan), selain untuk
merokok, ke dalam kriteria kebiasaan dan pilihan konsumen dan bukan ke
dalam kriteria kegunaan akhir juga.355 Dalam hal ini, Panel kurang tepat
melakukan interpretasi demikian dan Appellate Body telah tepat dalam
menginterpretasikan kriteria ini, yang menganalisis dengan pendekatan
persaingan yang sesuai dengan pernyataan oleh Appellate Body dalam EC-
Asbestos bahwa kriteria kegunaan akhir mencakup unsur-unsur penting yang
berkaitan dengan hubungan kompetitif barang-barang yang menentukan
sejauh apa barang-barang tersebut mampu untuk melakukan fungsi/kegunaan
akhir yang sama.356 Lalu, Appellate Body tepat, yang menyatakan bahwa dua
fungsi lain dari rokok tersebut seharusnya juga dimasukkan dalam kriteria
kegunaan akhir, hal ini sesuai dengan pernyataan dari Appellate Body dalam
EC-Asbestos, yaitu setiap kriteria memiliki aspek yang berbeda dari barang,
tapi kriteria ini saling berkaitan, maka bukti tertentu dapat digunakan dalam
lebih dari satu kriteria.357 Dengan demikian, dalam menginterpretasikan
353 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7.191 (Panel Report.2012).
354 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 125 (AppellateBody. 2012).
355 Ibid., para. 126.
356 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 117.
357 Ibid., para. 102.
Universitas Indonesia
104
kriteria kegunaan akhir menurut Pasal 2.1 TBT Agreement, maka harus
ditentukan sejauh apa barang-barang tersebut mampu untuk melakukan
fungsi/kegunaan akhir yang sama dalam hubungan kompetitif antara barang-
barang tersebut.
iii . Kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap barang (consumers’ tastes and
habits)
Panel US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) menginterpretasikan
kebiasaan dan pilihan konsumen sebagai sejauh apa konsumen berkeinginan
untuk menggunakan suatu barang dibandingkan dengan barang lain untuk
melaksanakan fungsinya. Maka, Panel dengan ikut mempertimbangkan
tujuan dari ‘technical regulation’ (untuk mengurangi perokok kaum muda),
Panel hanya mempertimbangkan kebiasaan dan pilihan konsumen dari kaum
muda yang perokok dan yang berpotensi merokok.358 Mengenai hal ini,
Appellate Body menganalisis kriteria ini berdasarkan hubungan kompetitif
antara barang-barang, sehinggap pasar yang akan menentukan ruang lingkup
konsumen yang relevan.359 Dalam hal ini, Panel kurang tepat dengan
menginterpretasikan kriteria ini dengan mendasarkannya pada tujuan dari
‘technical regulation’ dan Appellate Body telah tepat dengan interpretasi
tersebut yang didasarkan pada hubungan kompetitif dalam pasar, yang sesuai
dengan pernyataan dari Appellate Body dalam EC-Asbestos yang menyatakan
bahwa harus menganalisis kriteria kebiasaan dan pilihan konsumen
berdasarkan kemampuan substitusi barang dalam beberapa pasar yang relevan
atau bukti mengenai permintaan konsumen yang relevan dalam pasar.360
Sehingga, seharusnya Panel juga harus mempertimbangkan kaum dewasa
yang juga menjadi konsumen dalam pasar tersebut. Namun, walaupun
demikian Appellate Body memperbaiki analisis Panel yang telah terlanjur
dilakukan terbatas hanya pada kaum muda perokok dan yang berpotensi
358 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7.206 (Panel Report.2012).
359 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 137 (AppellateBody. 2012).
360 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 123.
Universitas Indonesia
105
merokok, dengan mendasarkan pernyataan Appellate Body dalam Philippine-
Distilles Spirits bahwa standar dari barang yang ‘directly competitive or
substituable’ berkaitan dengan Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994 dapat
terpenuhi, walaupun jika persaingan tidak terdapat dalam seluruh pasar, tapi
hanya terbatas pada suatu segmen dari pasar.361 Perbaikan dari Appellate
Body ini kurang tepat karena istilah dari barang yang ‘directly competitive or
substituable’ dalam Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994 tidak dapat
disamakan dengan istilah ‘like products’ dalam Pasal III:4 GATT 1994,
sebagaimana dijelaskan dalam EC-Asbestos bahwa istilah ‘like products’
dalam Pasal III:4 GATT 1994 tidak setara dengan istilah ‘directly competitive
or substituable’ dalam Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994.362 Dengan
demikian, dalam menginterpretasikan kriteria kebiasaan dan pilihan
konsumen menurut Pasal 2.1 TBT Agreement harus ditentukan sejauh apa
konsumen berkeinginan untuk menggunakan suatu barang dibandingkan
dengan barang lain untuk melaksanakan fungsinya melalui kemampuan
substitusi barang dalam beberapa pasar yang relevan atau bukti mengenai
permintaan konsumen yang relevan dalam pasar, sehingga dapat dinilai
sejauh apa hubungan kompetitif tersebut berubah oleh pemberlakuan
‘technical regulation’ tersebut .
iv . Faktor klasifikasi tarif internasional dari barang
Panel US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) menyatakan bahwa kriteria
klasifikasi tarif menunjukkan fisik dari barang, tetapi jika barang-barang
tersebut memiliki klasifikasi tariff yang sama, maka tidak secara otomatis
menjadikan kriteria ini sendiri dapat menentukan ‘likeness’.363 Maka, Panel
tepat dalam menginterpretasikan kriteria klasifikasi tarif, hal ini sesuai
dengan pernyataan dari Appellate Body dalam EC-Asbestos bahwa klasifikasi
tarif merefleksikan fisik barang, namun indikasi dari kesamaan klasifikasi
tarif tidak dapat langsung dianggap dengan sendirinya sebagai penentu
361 Philippines – Distilled Spirits,WT/DS396/AB/R / WT/DS403/AB/R, para. 220.
362 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 94.
363 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7.235 -7.237(PanelReport. 2012).
Universitas Indonesia
106
‘likeness’.364 Dengan demikian, dalam menginterpretasikan kriteria klasifikasi
tarif menurut Pasal 2.1 TBT Agreement, maka klasifikasi tarif menunjukkan
bagaimana fisik barang yang diwakili, sehingga dapat ditentukan apakah
barang tersebut secara fisik ‘like’, namun walaupun barang-barang tersebut
memiliki klasifikasi tarif yang sama, hal ini tidak dapat dengan sendirinya
menjadi penentu ‘likeness’.
D. Interpretasi Terhadap ‘Less Favourable Treatment’
Panel dan Appellate Body US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act)
menginterpretasikan adanya ‘less favourable treatment’ adalah dengan memeriksa
apakah ‘technical regulation’ yang diberlakukan mengubah kondisi persaingan
antara barang-barang yang merugikan barang impor dibandingkan dengan barang
domestik yang sejenis. Tetapi dengan perbedaan perlakuan yang diberikan oleh
‘technical regulation’ tidak dapat dianggap langsung merupakan perlakuan yang
‘less favourable’.365 Maka, interpretasi yang dilakukan oleh Panel dan Appellate
Body tepat, yang sebagaimana sesuai dengan pernyataan oleh Korea – Various
Measures on Beef, Appellate Body menyatakan bahwa untuk menentukan apakah
barang impor telah diperlakukan ‘less favourable’, maka harus diperiksa apakah
peraturan yang diberlakukan mengubah kondisi persaingan dalam pasar yang
dapat merugikan barang impor.366 Mengingat bahwa dalam kasus ini dilakukan
analisis terhadap diskriminasi secara de facto, maka Panel melakukan analisis
terhadap dampak merugikan terhadap barang impor yang diakibatkan oleh
pemberlakuan ‘technical regulation’. Sehubungan dengan dampak merugikan,
Panel menganalisis bahwa ‘technical regulation’ memberikan ‘less favourable
treament’, jika dampak merugikan tersebut berasal dari faktor yang berkaitan
dengan negara asal barang impor.367 Kemudian, dalam hal ini, Appellate Body
tidak setuju dengan Panel dan menyatakan bahwa untuk menentukan adanya ‘less
364 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 102 dan 146.
365 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7.266(Panel Report.2012) dan US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 181 (AppellateBody. 2012).
366 Korea – Various Measures on Beef, WT/DS161/AB/R, para. 137.
367 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7.268(Panel Report.2012).
Universitas Indonesia
107
favourable treatment’ harus ditentukan apakah dampak kerugian tersebut berasal
dari peraturan pembedaan yang sah dari ‘technical regulation’, sehingga hal
tersebut dibenarkan dan jika tidak, maka hal tersebut merupakan diskriminasi
terhadap barang impor.368 Dalam hal ini, Panel dalam menganalisis dampak
kerugian kurang tepat dengan mendasarkannya pada faktor yang berkaitan dengan
negara asal barang impor, yang hal ini merupakan analisis berdasarkan konteks
Pasal III:4 GATT 1994. Lalu, Appellate Body telah tepat, yang memperhitungkan
konteks dan tujuan dari TBT Agreement, yang menyebutkan bahwa persyaratan
‘treatment no less favourable’ dari Pasal 2.1 TBT Agreement yang melarang
diskriminasi de jure dan de facto terhadap barang impor, tetapi mempernolehkan
dampak merugikan terhadap barang impor selama hal tersebut berasal dari
pemberlakuan peraturan pembedaan yang sah dari ‘technical regulation’. Dengan
demikian, dalam menginterpretasi ‘less favourable treatment’ menurut Pasal 2.1
TBT Agreement, maka harus memeriksa apakah ‘technical regulation’ yang
diberlakukan mengubah kondisi persaingan antara barang-barang yang merugikan
barang impor dibandingkan dengan barang domestik yang sejenis. Lalu, dalam
menganalisis dampak merugikan terhadap barang impor, harus didasarkan pada
konteks dan tujuan dari TBT Agreement, jadi dapat ditentukan apakah apakah
dampak kerugian tersebut berasal dari peraturan pembedaan yang sah dari
‘technical regulation’, sehingga hal tersebut dibenarkan dan jika tidak, maka hal
tersebut merupakan diskriminasi terhadap barang impor
4.7 Kesimpulan
Maka, dari hasil penjelasan diatas dapat dihasilkan kesimpulan sebagai
berikut. Panel dan Appellate Body dalam US-Clove Cigarettes (Tobacco Control
Act) menyimpulkan bahwa dalam melakukan interpretasi terhadap Pasal 2.1 TBT
Agreement harus pertama-tama menginterpretasikannya berdasarkan konteks dari
TBT Agreement, kemudian dapat menggunakan yurisprudensi dari Pasal III: 4
GATT 1994 sebagai bantuan dalam pertimbangannya. Pasal 2.1 TBT Agreement
ada tiga unsur yang harus diinterpretasikan, yaitu pertama, tindakan yang
368 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 181-182(Appellate Body. 2012).
Universitas Indonesia
108
diberlakukan merupakan ‘technical regulation’, kedua, barang domestik dan
barang impor adalah ‘like products’ dan ketiga, ‘technical regulation’
memberikan ‘less favourable treatment’ terhadap barang impor dibandingkan
dengan barang domestik.
Mengenai unsur pertama, dalam kasus US-Clove Cigarettes (Tobacco
Control Act), Panel dan Appellate Body memutuskan bahwa Bagian 907(a)(1)(A)
FSPTCA merupakan ‘technical regulation’, yang didasarkan pada tiga unsur
‘technical regulation’ yang terpenuhi, yaitu Pertama, peraturan tersebut berlaku
pada suatu barang atau sekelompok barang yang bisa diidentifikasi. Kedua,
peraturan tersebut menyebutkan karakteristik dari barang dan/atau proses atau
cara produksi yang berkaitan dengan barang tersebut. Ketiga, peraturan tersebut
adalah wajib berkaitan dengan kepatuhan terhadap karakteristik barang.369 Lalu
pada unsur kedua, Panel dan Appellate Body memutuskan bahwa rokok kretek
impor dan rokok mentol diproduksi domestik merupakan ‘like products’, yang
didasarkan pada kriteria umum dari ‘likeness’, yaitu karakteristik fisik barang
(physical properties, nature, and quality), kegunaan akhir dari barang (the
product’s end-uses in a given market), kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap
barang (consumers’ tastes and habits), dan faktor klasifikasi tarif internasional
dari barang.370
Pada unsur ketiga, Panel dan Appellate Body memutuskan bahwa Bagian
907(a)(1)(A) FSPTCA telah memberikan ‘less favourable treatment’ terhadap
rokok kretek impor dibandingkan dengan rokok mentol yang diproduksi
domestik. Hal ini didasarkan pada pemberlakuan Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA
yang mengakibatkan kondisi dari kompetisi dalam pasar Amerika Serikat menjadi
kurang menguntungkan terhadap barang rokok kretek impor dibandingkan dengan
rokok mentol diproduksi domestik yang sejenis. Kemudian Appellate Body juga
mempertimbangkan dampak merugikan dari kondisi yang tidak menguntungkan
yang diakibatkan oleh Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA yang digolongkan sebagai
369 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 66-70 dan EC – Sardines, WT/DS231/AB/R,para.176.
370 Report of the Working Party on Border Tax Adjustments, BISD 18S/97, para. 18.
Universitas Indonesia
109
bentuk diskriminasi terhadap sekelompok barang impor dan bukan berasal
peraturan pembeda yang sah.
Universitas Indonesia
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kunci utama dalam hukum WTO adalah prinsip Non-diskriminasi. Prinsip
Non-diskriminasi merupakan prinsip yang melarang adanya diskriminasi dari
suatu negara. Pengaturan prinsip Non-diskriminasi terbagi dua macam prinsip
yaitu prinsip Most Favoured Nations (Perlakuan MFN) dan prinsip National
Treatment. Prinsip Non-diskriminasi melalui dua prinsip tersebut berlaku pada
barang dan jasa. Pembahasan dalam makalah ini memfokuskan pada prinsip
National Treatment yang berlaku terhadap barang yang diatur dalam GATT 1994
(General Agreement on Tariffs and Trade) serta ketentuan WTO lainnya.
Menurut Pasal III GATT 1994, Prinsip National Treatment merupakan larangan
terhadap diskriminasi pada barang impor. Secara umum, prinsip ini merupakan
kewajiban yang melarang Negara anggota WTO untuk memperlakukan produk
impor kurang menguntungkan dibandingkan dengan produk domestik yang sama,
pada saat produk impor memasuki pasar domestik. Pada Pasal III:1 GATT 1994
memberikan ruang lingkup pengaplikasian dari Pasal III GATT 1994 tersebut,
yaitu :
d. pajak dan biaya internal
e. perundang-undangan, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi
penjualan, transportasi, distribusi, atau penggunaan barang
f. peraturan internal mengenai kuantitas dalam pencampuran, proses atau
penggunaan barang dalam proporsi tertentu
Secara khusus, kewajiban dari prinsip National Treatment melalui
technical regulations diatur dalam salah satu annex dari GATT 1994 yaitu
Technical Barrier to Trade Agreement (TBT Agreement). Kewajiban technical
regulations ini diatur dalam Pasal 2.1 TBT Agreement yaitu negara anggota harus
Universitas Indonesia
111
mengambil ukuran wajar dalam pemberlakuan technical regulations terhadap
produk impor dari negara anggota lainnya melalui perlakuan yang tidak lebih
menguntungkan produk domestik negara tersebut yang merupakan produk yang
sama. Namun kewajiban technical regulations ini dapat dikecualikan jika produk
impor tersebut dapat mengancam keselamatan, kesehatan, dan perlindungan
lingkungan atau keamanan nasional suatu negara. Dari uraian di atas, dapat
diberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada dasarnya, prinsip National Treatment bersumber pada Pasal III GATT
1994, yang menyatakan bahwa negara anggota tidak boleh memberikan
perlakuan ‘less favourable’ terhadap barang impor dibandingkan dengan
barang domestik yang sejenis dan yang langsung bersaing atau bersubstitusi
dalam pasar domestik negara tersebut. Dalam Pasal III:1 GATT 1994,
dijelaskan mengenai lingkup keberlakuan dari Pasal III GATT 1994 yang
terdiri dari: (1) pajak dan biaya internal; (2) perundang-undangan, peraturan,
dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan, transportasi, distribusi, atau
manfaat dari barang; dan (3) peraturan kuantitatif internal yang mewajibkan
campuran, pemprosesan atau penggunaan barang dalam porsi tertentu.
Kewajiban prinsip National Treatment dalam Pasal III GATT 1994
mencakup dua hal yaitu pajak internal dan regulasi internal. Dalam hal
kewajiban prinsip National Treatment dalam pajak internal, maka
penerapannya tidak hanya pada barang yang sejenis/like products tetapi juga
pada barang yang secara langsung bersaing dalam pasar atau barang
substitusi/directly competitive or substitutable products. Kemudian, hukum
WTO juga memberikan beberapa pengecualian terhadap kewajiban prinsip
National Treatment ini yaitu pembelanjaan pemerintah (Pasal III:8 (a) GATT
1994); subsidi domestik (Pasal III:8 (b) GATT 1994); negara berkembang
(Pasal XVIII:C GATT 1994); pengecualian umum (Pasal XX GATT 1994);
dan keamanan nasional (Pasal XXI GATT 1994).
2. Ketentuan substansi dasar dari TBT Agreement terdiri dari beberapa prinsip
yang mana juga ditemukan dalam GATT 1994, seperti kewajiban perlakuan
Most Favored Nations, kewajiban National Treatment, dan kewajiban untuk
Universitas Indonesia
112
tidak memberlakukan hambatan yang tidak perlu dalam perdagangan
internasional. Pengaturan mengenai prinsip National Treatment dalam TBT
Agreement diatur dalam Pasal 2.1 TBT Agreement. Pasal 2.1 TBT Agreement
mengatur bahwa setiap negara anggota harus menjamin peraturan teknis
terhadap barang impor dari wilayah setiap negara anggota yang lainnya
diperlakukan dengan tidak kurang menguntungkan dibandingkan dengan
barang sejenis yang berasal dari domestik dan pada barang sejenis yang
berasal dari negara anggota yang lainnya. Pasal 2.1 TBT Agreement terdiri
dari tiga unsur yang harus dibuktikan dalam rangka menentukan
ketidakkonsistensian dengan ketentuan ini, yaitu (i) bahwa tindakan dalam
masalah tersebut merupakan ‘technical regulations’ berdasarkan Lampiran
1.1 TBT Agreement, (ii) bahwa barang impor dan barang domestik
merupakan ‘like products’, dan (iii) bahwa perlakuan terhadap barang impor
harus kurang menguntungkan daripada perlakuan yang diberikan kepada
barang domestik dan barang sejenis yang berasal dari negara lain.
Berdasarkan kalimat pembukaan kedua dari TBT Agreement, TBT Agreement
dibentuk untuk melanjutkan tujuan-tujuan dari GATT 1994. Jadi, mengenai
dua perjanjian yang bersifat kumulatif ini, suatu peraturan teknis diskriminasi
diatur dalam lingkup Pasal III:4 GATT 1994 dan juga Pasal 2.1 TBT
Agreement serta Pasal 2.2 TBT Agreement. Maka, Pasal 2.1 TBT Agreement,
melanjutkan tujuan dari Pasal III dan I GATT 1994 yang mensyaratkan
‘perlakuan yang tidak kurang menguntungkan terhadap barang yang sejenis
yang berasal dari negara lain dibandingkan dengan barang sejenis dari dalam
negeri’. Kemudian, mengenai pengecualian umum terhadap Pasal 2.1 TBT
Agreement dengan mempertimbangkan karakter lex specialis dari TBT
Agreement, serta dengan tidak adanya klausula pengecualian umum dalam
rezim yang lebih khusus, maka Pasal XX GATT 1994 dalam rezim yang
lebih umum menjadi berlaku. Dengan demikian, solusi pada pengecualian
dari Pasal 2.1 TBT Agreement adalah Pasal XX GATT 1994 mengandung
daftar lengkap dari tujuan yang sah, sedangkan daftar dalam Pasal 2.2 TBT
Agreement lebih memberikan kesempatan yang lebih luas untuk
membenarkan tindakan yang membatasi dalam perdagangan.
Universitas Indonesia
113
3. Dalam Interpretasi prinsip National Treatment dalam Pasal 2.1 TBT
Agreement, Panel dan Appellate Body dalam US-Clove Cigarettes (Tobacco
Control Act) menyimpulkan bahwa dalam melakukan interpretasi terhadap
Pasal 2.1 TBT Agreement harus pertama-tama menginterpretasikannya
berdasarkan konteks dari TBT Agreement, kemudian dapat menggunakan
yurisprudensi dari Pasal III: 4 GATT 1994 sebagai bantuan dalam
pertimbangannya. Pasal 2.1 TBT Agreement ada tiga unsur yang harus
diinterpretasikan, yaitu (a) tindakan yang diberlakukan merupakan ‘technical
regulation’; (b) barang domestik dan barang impor adalah ‘like products’,
dan (c) ‘technical regulation’ memberikan ‘less favourable treatment’
terhadap barang impor dibandingkan dengan barang domestik.Mengenai
unsur pertama dari Pasal 2.1 TBT Agreement, dalam kasus US-Clove
Cigarettes (Tobacco Control Act), Panel dan Appellate Body memutuskan
bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA merupakan ‘technical regulation’, yang
didasarkan pada tiga unsur ‘technical regulation’ yang terpenuhi, yaitu (a)
peraturan tersebut berlaku pada suatu barang atau sekelompok barang yang
bisa diidentifikasi; (b) peraturan tersebut menyebutkan karakteristik dari
barang dan/atau proses atau cara produksi yang berkaitan dengan barang
tersebut; dan (c) peraturan tersebut adalah wajib berkaitan dengan kepatuhan
terhadap karakteristik barang. Lalu pada unsur kedua dari Pasal 2.1 TBT
Agreement, Panel dan Appellate Body memutuskan bahwa rokok kretek
impor dan rokok mentol diproduksi domestik merupakan ‘like products’,
yang didasarkan pada kriteria umum dari ‘likeness’, yaitu karakteristik fisik
barang (physical properties, nature, and quality), kegunaan akhir dari barang
(the product’s end-uses in a given market), kebiasaan dan pilihan konsumen
terhadap barang (consumers’ tastes and habits), dan faktor klasifikasi tarif
internasional dari barang. Pada unsur ketiga Pasal 2.1 TBT Agreement, Panel
dan Appellate Body memutuskan bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA telah
memberikan ‘less favourable treatment’ terhadap rokok kretek impor
dibandingkan dengan rokok mentol yang diproduksi domestik. Hal ini
didasarkan pada pemberlakuan Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA yang
mengakibatkan kondisi dari kompetisi dalam pasar Amerika Serikat menjadi
Universitas Indonesia
114
kurang menguntungkan terhadap barang rokok kretek impor dibandingkan
dengan rokok mentol diproduksi domestik yang sejenis. Kemudian Appellate
Body juga mempertimbangkan dampak merugikan dari kondisi yang tidak
menguntungkan yang diakibatkan oleh Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA yang
digolongkan sebagai bentuk diskriminasi terhadap sekelompok barang impor
dan bukan merupakan ‘technical regulation’ yang memiliki peraturan
pembedaan yang sah.
Universitas Indonesia
115
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta : Raja Grafindo, 2005.
Bermann, George A. dan Petros C. Mavroidis. Trade and Human Health and
Safety. New York: Cambridge University press, 2006.
Bhala, Raj. The GATT : Law and International Economic Organization. Chicago:
University of Chicago Press, 1970.
Dam, Kenneth W. The GATT : Law and International Economic Organization.
Chicago: University of Chicago Press, 1970.
Diebold, Nicholas F. Non Discrimination in Internatinal Trade in Services
(‘Likeness in WTO/GATS’). New York: Cambridge University Press, 2010.
Hata. Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO. Bandung: PT
Refika Aditama, 2006.
Jackson, John H. World Trade and the Law of GATT. Indianapolis: Bobbs-Merrill
Company, 1969.
Jackson, John H, William J. Davey, dan Alan O. Sykes, Jr. Legal Problems of
International Economic Relations, Fourth Edition. St. Paul : West
Publishing Co, 2002.
Koul, Autar Krishen. Guide to WTO and GATT: Economics, Law, and Politics.
Den Haag :Kluwer Law International, 2005.
Universitas Indonesia
116
Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta : Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Matsushita, Mitsuo, Thomas J. Schoenbaum, dan Petros C. Mavroidis. The World
Trade Organization: Law, Practice, and Policy. United State: Oxford
University Press, 2003.
Ortino, Federico. Basic Legal Instruments for the Liberalisation of Trade – A
Comparative Analysis of EC and WTO Law. Oxford: Hart Publishing,
2004.
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). Business
Guide to the Uruguay Round. Geneva: 1996.
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). Dispute
Settlement (WTO technical barrier to trade). NewYork dan Geneva:
United Nations, 2003.
Van den Bossche, Peter. The Law and Policy of the World Trade Organization .
Cambridge : Cambridge University Press, 2005.
Van den Bossche, Peter, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi.
Pengantar Hukum WTO. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2010.
Vranes, Erich. Trade and the Environment: Fundamental Issues in International
Law, WTO Law, and Legal Theory. Oxford: Oxford University Press,
2009.
PERJANJIAN INTERNASIONAL
World Trade Organization. Agreement Establishing the World Trade
Organization. Marrakesh : World Trade Organization, 1994.
Universitas Indonesia
117
_________________________. General Agreement on Tariffs and Trade.
Uruguay: World Trade Organization, 1994.
_________________________. Technical Barrier to Trade Agreement. Uruguay:
World Trade Organization, 1994.
_________________________. Understanding on Rules and Procedures
Governing the Settlement of Disputes. Uruguay: World Trade
Organization, 1994.
KASUS-KASUS
Canada – Autos. (WTO Panel, 2000).
Dominican Republic – Import and Sale of Cigarettes. (WTO Appellate Body,
2005).
EC–Asbestos. (WTO Panel, 2000).
EC–Asbestos. (WTO Appellate Body, 2001).
EC – Sardines. (WTO Panel, 2002).
EC – Sardines. (WTO Appellate Body, 2002).
EC – Trademarks and Geographical Indications (Australia). (WTO Panel, 2005).
Italian Discrimination Against Imported Agricultural Machinery. (GATT Panel,
1959).
Japan – Alcoholic Beverages II. (WTO Appellate Body, 1996).
Universitas Indonesia
118
Japan-Customs Duties, Taxes and Labelling Practices on Imported Wines and
Alcoholic Beverages. (GATT Panel, 1987).
Korea–Various Measures on Beef. (WTO Appellate Body, 2001).
Philippines – Distilled Spirits. (WTO Appellate Body, 2012).
US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act). (WTO Panel, 2012).
US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act). (WTO Appellate Body, 2012).
US – Gasoline. (WTO Appellate Body, 1996).
US – Section 337 Tariff Act. (GATT Panel, 1989).
ARTIKEL JURNAL
Appleton, Arthur E. “The Agreement on Technical Barriers to Trade.” dalam The
World Trade Organization: Legal, Economic and Political Analysis, vol. I,
(2005).
Shadikhodjaev, Sherzod. “National Treatment under GATT Article III:2 and its
Applicability in the Context of Korea’’s FTAs*.” dalam Journal of
International Economic Studies Vol. 12, No. 1 (Juni 2008).
Tamiotti, Ludivine. “Commentary to Article 2 TBT (preparation, adoption and
application of technical regulations).” dalam WTO – Technical Barriers
and SPS Measures: Max Planck Commentaries on World Trade Law, vol.
3, (2007).
Universitas Indonesia
119
MAJALAH
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Sekilas WTO (World Trade
Organization), Edisi Kelima. (2008).
Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi, dan HKI, Direktorat Jenderal
Multilateral, Departemen Luar Negeri, Sekilas WTO, Edisi keempat.
INTERNET
”Ekspor Rokok ke AS Dilarang, RI Rugi US$ 200 Juta Per Tahun” di akses dari
http://www.neraca.co.id/2011/09/05/ekspor-rokok-ke-as-dilarang-ri-rugi-
us-200-juta-per-tahun/. Diakses tanggal 22 September 2012.
“National Treatment Principle”
www.meti.go.jp/english/report/downloadfiles/gCT0002e.pdf. Diakses
tanggal 20 Februari 2013.
“Non Discrimination Principles and Specific Exceptions”
https://etraining.wto.org/admin/files/Course.../INTRO-M7-R3-E.doc.
Diunduh 31 Maret 2013.
“Persetujuan tentang Hambatan Teknis dalam Perdagangan (Agreement on
Technical Barriers to Trade)” www.ditjenkpi.kemendag.org. Diunduh
pada tanggal 6 Maret 2013.
“WTO Analytical Index : Technical Barriers, Agreement on Technical Barrier to
Trade” worldtradelaw.typepad.com/…/the-relationship-of-gatt-article-iii4-
and-tbt-a… Diakses tanggal 20 Maret 2013.
“WTO Kembali Memenangkan Kasus Rokok Kretek Indonesia”
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/04/06/17203199/WTO.Kem
Universitas Indonesia
120
bali.Menangkan.Kasus.Rokok.Kretek.Indonesia. Diakses tanggal 20
Desember 2012 pukul 16.00. WIB.
SUMBER LAIN
“Diplomasi Perdagangan RI dalam Tatanan Perdagangan Dunia: WTO Setuju
Bentuk Panel Sengketa mengenai Larangan Perdagangan Rokok Kretek di
Amerika Serikat” Publikasi Siaran Pers Kementrian Perdagangan Dalam
Negeri Republik Indonesia pada tanggal 21 September 2012.
GATT Council. Report of the Working Party on Border Tax Adjustments. 2
Desember 1970.