Shuttle Diplomacy, NASA sebagai Instrumen Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

download Shuttle Diplomacy, NASA sebagai Instrumen Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

of 10

description

Sebuah analisis kritis mengenai peran NASA sebagai instrumen soft power Amerika Serikat.

Transcript of Shuttle Diplomacy, NASA sebagai Instrumen Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

Tugas Akhir Makalah Individu Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Amerika Serikat:

SHUTTLE DIPLOMACY: ANALISIS KRITIS TERHADAP EKSPLORASI LUAR ANGKASA NASA SEBAGAI INSTRUMEN SOFT POWER AMERIKA SERIKAT

Andhyta Firselly Utami 0906550373

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Depok 2012

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Thats one small step for man, one giant leap for mankind.Neil Armstrong1 Kutipan dari manusia pertama yang menginjakkan kakinya di bulan tersebut seolah-olah menjadi doktrin pemicu bagi siapapun dengan profesi yang berkaitan dengan penelitian dan ilmu pengetahuan. Bukan kebetulan bahwa Neil Armstrong adalah seorang warga negara Amerika Serikat yang juga diberangkatkan ke luar angkasa dalam misi yang dibiayai negara asalnya tersebut. Pendirian National Aeronautics and Space Administration (selanjutnya disingkat sebagai NASA) pada tahun 1958 menandai ambisi jangka panjang sang negara adidaya yang hari ini terbagi ke dalam dua agenda utama: 1) penelitian komprehensif mengenai perubahan iklim dan 2) eksplorasi luar angkasa secara keseluruhan.2 Pertanyaannya, mengapa penjelajahan ruang hampa udara di atas sana menjadi sangat menarik bagi sebuah great power seperti Amerika Serikat yang sebenarnya masih memiliki banyak urusanbaik secara militer, ekonomi, maupun sosialdi muka Bumi? Sebagai sebuah agensi pemerintah Amerika Serikat yang bertanggung jawab atas program luar angkasa jangka panjang, NASA sering dilihat sebagai bentuk penghamburan anggaran oleh publik di dalam negeri. Per tahun 2010 saja, administrasi Obama memutuskan untuk menambah $2.4 miliar ke dalam anggaran institusi tersebut.3 Jika dibandingkan dengan alokasi dan untuk bidang lain, tentu saja angka tersebut tidak bisa dibilang kecil. Meskipun demikian, di lain pihak banyak pula yang percaya bahwa eksplorasi luar bumi masih dibutuhkan untuk berbagai kepentingan Amerika Serikat salah satunya dalam praktik soft power.4 Dalam The US Space Shuttle Legacy and IR: A Realist Perspective, Guilhem Penent membuat sebuah pernyataan menarik mengenai bagaimana domestic failure can be perceived internationally as a tremendous success, yang dia kaitkan secara langsung dengan perkembangan NASA selama beberapa abad terakhir. Apakah benar bahwa NASA merupakan tremendous success bagi komunitas internasional? Jika ya, apakah itu berarti bahwa NASA benar telah menjalankan fungsinya sebagai instrument soft power Amerika Serikat? Makalah ini akan menawarkan sebuah kajian kritis dan komprehensif mengenai peran institusi domestik yang menjalankan peran internasional seperti NASA bagi Amerika Serikat dalam menjalankan diplomasi dan hubungan luar negerinya dengan berbagai negara secara global. Batasan waktu yang digunakan dalam makalah ini adalah setelah Perang Dingin berakhir.

James R. Hansen, First Man: The Life of Neil A. Armstrong (New York: Simon & Schuster, 2005), hal. 493 2010 Budget Fact Sheet, diakses dari laman resmi National Aeronautics and Space Administration: pada 18 Desember 2011 di http://www.whitehouse.gov/omb/assets/fy2010_factsheets/fy10_nasa.pdf 3 Ibid. 4 John Krige, NASA as an Instrument of U.S. Foreign Policy, Bab II dalam Societal impact of Spaceflight diakses dari http://history.nasa.org pada 11 Desember 2011, 21.05, hal. 2072

1

2

I.2. Rumusan Masalah Makalah ini akan menjadikan Amerika Serikat sebagai referent object yang utama dan secara komprehensif dan kekinian (kerangka waktu setelah Perang Dingin) menjawab pertanyaan: Apa peran National Aeronautics and Space Administration (NASA) dalam praktek soft power Amerika Serikat secara internasional? Temuan akan menuju justifikasi maupun falsifikasi terhadap pernyataan bahwa NASA telah memposisikan dirinya sebagai suatu hegemoni intelektual secara global.

I.3. Kerangka Teori: Konsep Soft Power Joseph S. Nye Konsep soft power harus ditarik kembali kepada konsep power dalam Ilmu Hubungan Internasional secara keseluruhan: kapasitas suatu negara untuk mempengaruhi perilaku negara lain. Nye secara spesifik membatasi konsep power sampai ke arah bagaimana suatu outcome yang diharapkan dapat terjadi. Soft power sendiri mengacu kepada kemampuan negara untuk memperoleh tujuan tertentu tanpa penggunaan kekerasan maupun paksaan, melainkan dengan mealui persuasi dan atraksi.5 Soft power secara jelas dibedakan dari hard power, dimana cara-cara yang digunakan adalah koersi militer ataupun pemaksaan ekonomi. Sebuah negara dianggap memiliki soft power jika kebudayaan, nilai-nilai, maupun institusinya diakui dan disukai di wilayah lain sebuah dunia. Menurut Nye, jika dibandingkan dengan hard dan economic power, soft power jauh lebih sulit dikendalikan, karena banyak sumber daya utamanya justru berada di luar kontrol pemerintah, serta efek yang diharapkan sangat bergantung pada kemampuan menerima dari audiens. 6 Karena itu, biasanya soft power membutuhkan waktu yang jauh lebih lamabahkan bertahun-tahununtuk membentuk lingkungan yang memungkinkan sebuah kebijakan untuk diambil. Salah satu bentuk tindakan yang memperlihatkan usaha soft power antara lain promosi citra yang baik tentang suatu negara.7 Akan tetapi, seiring dengan berakhirnya Perang Dingin dan semakin tersebarnya demokrasi, usaha pencapaian soft power sudah tidak dapat lagi menggunakan model yang sama, melainkan beradaptasi menjadi suatu public diplomacy dimana target audiens yang ingin dipengaruhi diperluas menjadi masyarakat secara umum, melalui tiga dimensi berikut: 8 1) Daily Communication: setelah sebuah kebijakan diambil, pemerintah memfokuskan perhatian mereka kepada bagaimana menjelaskan keputusan tersebut dapat dilihat secara domestik maupun luar negeri, guna mengontrol reaksi publik. 2) Srategic Communication: hal ini dilakukan secara menyeluruh dan berkala, dalam rentang waktu setidaknya satu tahun dimana acara-acara yang secara simbolis bersifat representatif dimanfaatkan untuk membentuk citra tertentu.Tysha Bohorquez, ulasan terhadap Joseph S. Nye., Soft Power The Means to Success in World Politics diakses dari http://www.international.ucla.edu/article.asp?parentid=34734 pada 18 Desember 2011, 13.05 6 Joseph S. Nye, Soft Power: The Means to Success in World Politics, Chapter 4 dalam Wielding Soft Power (2004) http://belfercenter.ksg.harvard.edu/files/joe_nye_wielding_soft_power.pdf, hal.1 7 Ibid., hal.6 8 Ibid.5

3

3) Lasting Relationships Development: hal ini dapat dilakukan melalui pemberian beasiswa, pertukaran, pelatihan, dan sebagainya. Ketiga hal tersebut, menurut Nye, sama pentingnya untuk dilakukan dan membentuk citra positif tertentu terhadap sebuah negara, sehingga kemudian membentuk keputusan negara lain sesuai dengan yang dimaksudkan. Secara umum, Nye juga berargumen bahwa keamanan dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat harus menjalankan hard dan soft power secara bersamaan agar dapat memenangkan hati partner-partner yang dibutuhkan negara tersebut untuk mencapai tujuan yang lebih besar lagi. Alexander L. Vuving, kemudian mengajukan kritiknya terhadap konsep Nye dengan membagi unsur pembentuk soft power menjadi tiga: benignity, brilliance, serta beauty.9 Semua sama pentingnya dan akan digunakan sebagai kerangka berpikir di bagian analisis makalah ini. Adapun yang dimaksud dengan benignity mengacu kepada bagaimana sebuah negar harus berperilaku baik, dermawan, maupun kata sifat positif lainnya terhadap negara subjek. Hal ini dapat juga diartikan sebagai keinginan untuk berkompromi dan berdeliberasi dalam sebuah negosiasi. Brilliance dalam hubungan internasional, sementara itu, mengacu kepada hal-hal yang bagus secara fisik, misalnya keberadaan militer yang siaga, ekonomi yang sehat, kebudayaan yang kaya, serta bangsa yang secara umum damai. Unsur terakhir yang menurut Vuving penting juga adalah beauty, yaitu atraksi yang bersifat ideologis seperti kesamaan nilai, ide, tujuan, maupun visi. Hal-hal seperti ini memberikan aktor terkait sebuah perasaan keterkaitan dan sekaligus persepsi aman terhadap satu sama lain. Dalam makalah ini, penulis akan menunjukkan bagaimana ketiga B tersebut berusaha dimainkan oleh Amerika Serikat dengan memanfaatkan NASA.

9 Alexander L. Vuving, How Soft Power Works (Honolulu, 2009), dipresentasikan sebagai Associate Professor, AsiaPacific Center for Security Studies

4

II. ANALISIS Setelah memahami konsep soft power pada sub-bab sebelumnya, dalam bab ini, penulis akan menawarkan argumennya mengenai beberapa peran yang telah dilaksanakan oleh NASA selama ini, khususnya yang berkaitan dengan praktek diplomasi dan hubungan luar negeri Amerika Serikat: 1) keamanan, 2) ekonomi, 3) kerja sama ilmu pengetahuan internasional, serta 4) pemicu persaingan sehat di bidang teknologi luar angkasa. Pada akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa keberhasilankeberhasilan yang dicapai oleh NASA tersebut telah secara tidak langsung (sesuai dengan konsep soft power) mempengaruhi pula prioritas negara-negara lain. Perlu diperhatikan bahwa makalah ini akan berangkat dari periode setelah Perang Dingin dengan fokus kekinian. II.1. NASA: Institusi Domestik dengan Tanggung Jawab Internasional Segera setelah Perang Dingin berakhir di awal abad ke-20, Amerika Serikat dihadapkan pada peluang yang besar untuk mengalihkan fokusnya ke arah lingkungan dan ilmu pengetahuan. Pada saat itu, NASA yang awalnya hanya digunakan sebagai salah satu indikator persaingan Amerika Serikat dan Rusia langsung menerima mandat baru sebagai organisasi yang berfokus pada kemajuan dan kerja sama global di bidang ilmu pengetahuan. Sampai hari ini, pengaruh spaceflight atau penerbangan luar angkasa sangat beragam, mulai dari penemuan-penemuan baru yang memperkaya ranah ilmu pengetahuan manusia, motivasi dan stimulus bagi inovasi dan industri, penyebaran pelatihan, edukasi, dan penciptaan lapangan kerja, sertapada level yang lebih tinggi lagi peningkatan keamanan nasional dan pengumpulan informasi inteligen. Tentu saja poin-poin yang telah disebutkan barusan lebih mengacu kepada faktor yang dapat diukur, sedangkan masih banyak lagi faktor kultural lain yang masih sulit untuk diobservasi secara sekilas, seperti national prestige dan pengakuan dunia internasional terhadap pencapaian Amerika Serikat di bidang teknologi luar angkasa. Dalam sebuah tulisan yang berjudul NASA as an Instrument of U. S. Foreign Policy, John Krige mengajukan sebuah argumen mengenai bagaimana NASA menjadi salah satu instrumen meskipun bukan yang utamakebijakan luar negeri Amerika Serikat, terutama peran kultural untuk memproyeksi citra positif American power dan American democracy secara internasional. Tentu saja ide ini menjadi sangat menarik karena pada awal pembentukannya di tahun 1958, NASA dibentuk secara khusus untuk menyaingi satelit yang dikirimkan Rusia pada tahun sebelumnya.10 Pasca kepemimpinan Presiden John. F. Kennedy, salah satu misi terpenting NASA adalah kerja sama internasional untuk tujuan-tujuan damai, yang juga tercantum dalam Space Act 195811 yang membuat cakupan aktivitas internasional yang berada di bawah NASA sangat luas, sesuai dengan karakteristik utama dari wilayah luar angkasa sendiri, yaitu tanpa batas.

10

About NASA, diakses dari website resmi NASA: http://www.nasa.gov/about/highlights/what_does_nasa_do.html pada 8 Januari 2012, 22.35 11 Seperti tercantum dalam Space Act 1958, Unamended dari http://history.nasa.gov/spaceact.html

5

II.2. NASA dan Keamanan Nasional Amerika Serikat Selama beberapa dekade terakhir, kita dapat melihat bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi memainkan peran yang penting terhadap pengambilan kebijakan luar negeri, khususnya sebagai landasan atau fondasi terhadap insiatif dan negosiasi di bidang kehutanan, kelautan, kesehatan, iklim, serta isu lingkungan serupa lainnya.12 Akan tetapi, kaitan antara lembaga riset dan hubungan luar negeri suatu negara ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Sebagai organisasi militer dan sipil pada saat bersamaan, posisi NASA menjadi unik dan sangat strategis.13 Vincent Sabathier dan Ashley Bander mengajukan sebuah analisis yang mereka sebut dengan globalization of space. Dalam tulisannya yang berjudul Foreign Policy Opportunities for NASA, mereka menggambarkan bagaimana negara-negara great powers di dunia mulai meluncurkan satelit dan misi luar angkasa mereka masing-masing sepanjang tahun 2009.14 Jepang sukses mengirimkan Greenhouse Gases Observing Satellite (GOSAT), yang disusul dengan Iran yang mengirimkan satelit pertamanya serta satelit Eropa yang diterbangkan menggunakan roket Cina. Konflik kepentingan antar negara tersebut mungkin belum dapat terlihat secara langsung, sampai akhirnya terjadi sebuah tabrakan antara satelit Amerika Serikat dan Rusia pada tahun 2009 yang menandakan bahwa dunia internasional mulai harus memperbesar ruang kajiannya bukan hanya terhadap apa yang ada di darat dan laut, tapi juga udarakhususnya ruang angkasa. Sehubungan dengan isu tersebut, terdapat dua buku yang berusaha menjawab pertanyaan seputar masa depan dunia militer internasional yang bisa jadi berpindah medan perang ke luar angkasa. Michael E. OHanlon dan John J. Klein menawarkan analisis terhadap pertanyaan tentang superioritas Amerika Serikat di bidang ilmu pengetahuan luar angkasa yang ditantang oleh negaranegara lain dan karenanya mengancam keamanan Amerika Serikat secara langsung maupun tidak.15 Cina dianggap sebagai lawan yang paling utama, meskipun situasinya dipersulit dengan fakta bahwa dunia hari ini bersifat multipolar dengan berbagai regionalisme yang semakin solid terbentuk. NASA sebagai agensi yang langsung berada di bawah pemerintah Amerika Serikat, karena itu, dipercaya memainkan peranan yang sangat penting bukan hanya untuk mempertahankan hegemoni Amerika Serikat secara globalterutama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi juga keamanan negara secara umum. Pergeseran prioritas ini dapat kita kuantifikasi langsung melalui fakta bahwa pada tahun 2010, NASA menerima peningkatan anggaran sebanyak $2.4 milyar, dengan harapan biaya tersebut dapat meningkatkan usaha dan memperjelas arah institusi tersebut selama12 Timothy E. Wirth, Irving A. Lerch, Peter A. Cohen, Science, Technology, and Foreign Policy dalam Science, New Series, Vol. 277, No. 5330 (American Association for the Advancement of Science, Aug. 29, 1997), hal. 1185 diakses dari http://www.jstor.org/stable/2892454 pada 22 Desember 2011, 21.53 13 R. J. Cooksey, Foreign Policy Review dari The Australian Quarterly, Vol. 41, No. 1 (Australian Institute of Policy and Science, Mar., 1969), hal. 78-91 diakses dari http://www.jstor.org/stable/20634265 pada 22 Desember 2011, 22.18 14 Vincent Sabathier, Ashley Bander, Foreign Policy Opportunities for NASA dalam Center for Strategic and International Studies Commentaries, (March 2009) 15 Bleddyn E. Bowen, Space Warfare: a 21st Century Battlefield, diakses dari http://www.e-ir.info/?p=8459 pada 5 Januari 2012, 17.11

6

beberapa dekade ke depan. Presiden Obama dalam sebuah pernyataan resmi mengatakan bahwa NASA can combat climate change, inspire the world, make America stronger, and help grow the economy.16 Poin yang perlu diperhatikan dari pernyataan tersebut adalah make America stronger, dimanaseiring dengan semakin berkembangnya teknologi luar angkasa yang dikembangkan negara lain (terutama Rusia dan Cina), bukan tidak mungkin teknologi persenjataan pun turut memanfaatkan satelit dan hal-hal lain yang dikembangkan oleh NASA. Dari aspek ini, kita dapat melihat bahwa melalui keseriusan pemerintah mengembangkan program-program NASA telah memperlihatkan brilliance atau kecemerlangan Amerika Serikat dari segi kemampuan militer dan mempertahankan keamanan secara internasional. Hal ini nantinya akan berpengaruh kepada persepsi dunia internasional terhadap Amerika Serikat, hegemoni, dan kepemimpinannya secara global. II.3. NASA sebagai Penggerak Ekonomi Domestik Melalui Perdagangan Internasional Pada saat yang bersamaan NASAsebagai satu-satunya lembaga industri luar angkasa Amerika Serikatharus menghadapi berbagai tantangan, khususnya di bidang peraturan yang berkaitan dengan ekspor terhadap negara-negara pembeli produk industri NASA yang digunakan untuk merancang roket maupun satelit mereka sendiri. Dengan diterbitkannya rezim International Traffic in Arms Regulations pada tahun 1999, seluruh teknologi luar angkasa dilihat sebagai senjata dan karenanya menjadi dinding penghalang tertentu bagi kemajuan NASA.17 Selain itu, dari tahun ke tahun organisasi Amerika Serikat tersebut memiliki kecenderungan isolasi yang semakin meningkat. Ketiadaan industry kompetitor yang berarti membuat NASA cenderung malas untuk melakukan inovasi, meskipun dengan konsisten tetap mengembangkan berbagai program eksplorasimulai dari Mars sampai Planet Kepler 22-B. Dengan disahkannya NASA 2010 Authorization Act oleh Kongres, manusia hari ini dapat melakukan tur keliling luar angkasa, menambang asteroid, bahkan mengunjungi Mars.18 Hal ini menandai periode baru space commerce yang sebelumnya belum pernah dihadapi manusia di abadabad sebelumnya. Hal ini bisa membuka bab baru kapitalisme dimana orang-orang yang memiliki kuasa dan uang pada akhirnya menguasai wilayah lain di luar bumi: luar angkasa. Terlepas dari bagaimana manusia melihat tantangan-tantangan tersebut, kita masih patut memuji NASA sebagai sebuah institusi yang mampu menjadi salah satu sumber neraca perdagangan luar negeri Amerika Serikat, antara lain sebagai pengirim ekspor ke negara-negara yang menginginkan teknologi serupa. Jika bukan sebagai brilliance atau kecemerlangan Amerika Serikat,

National Aeronautics and Space Administration, 2010 Budget Fact Sheet, diakses dari http://www.whitehouse.gov/omb/assets/fy2010_factsheets/fy10_nasa.pdf 17 Vincent Sabathier, Ashley Bander, Op. Cit. 18 Eddrick Bedford, Space Commerce is Happening Right Now for Those Who Know dalam website e-IR pada 5 Januari 2012, 17.05

16

7

tindakan ini dapat dipuji sebagai behtuk pemenuhan kepentingan nasional negara sambil juga menyebarkan perkembangan ilmu pengetahuan ke negara-negara berkembang. II.2. NASA sebagai Instrumen Kepemimpinan Kerja Sama Global Di samping fungsi strategis secara militer dan ekonomi, NASA juga memiliki berbagai program internasional yang ditujukan untuk membentuk suatu world community yang ditujukan bagi peaceful exploration atau penjelajahan luar angkasa secara damai, dengan bantuan, kepemimpinan, dan tuntunan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Seperti yang disebutkan oleh NASA Task Force, International cooperation in space from the outset has been motivated primarily by foreign policy objectives.19 Dari situ, kita bisa melihat bagaimana NASA menjadi salah satu sarana multitrack diplomacy Amerika Serikat yang tidak mengandalkan pemerintah saja, tapi justru para ilmuwan, astronot, dan berbagai aktor sipil lain yang juga terlibat dalam program-program NASA secara keseluruhan. Dengan mempertahankan dan mengembangkan kinerja NASA dari tahun ke tahun, Amerika Serikat memastikan posisi kepemimpinannya secara global di bidang kerja sama ilmu pengetahuan, khususnya luar angkasa. Pada tahun 1998, sebuah komisi Akademi Nasional memperlihatkan bahwa, selama Perang Dingin, terdapat political goodwill yang cukup signifikan dan mungkin diperoleh Amerika Serikat melalui kerja sama dengan Eropa dan Uni Soviet lama (Rusia dan negara-negara pecahannya) untuk berkompetisi di bidang teknologi luar angkasa yang digunakan antara lain sebagai indikator yang menunjukkan kepemimpinan, kapabilitas teknis, serta baru kemudian kemampuan negara-negara tersebut.36 Sehubungan dengan pergeseran keseimbangan balance of power hari ini, Eropa mulai dilibatkan secara langsung terhadap program-program luar angkasa. Ketika negara-negara maju Barat secara bertahap menaruh program luar angkasa nasional maupun multinasional-nya kepada kedudukan yang lebih tinggi, secara langsung maupun tidak, mereka mengharapkan Amerika Serikat untuk memperlakukan institusi penelitian mereka secara setara. European Space Agency (ESA) menjadi organisasi yang dianggap sebagai partner NASA di Eropa. Dengan visi tersebut, ESA pada tahun 1984-1990 bertekad untuk menjadi imbangan yang pantas bagi Amerika Serikat dan keduanya mulai bekerja sama dengan lebih intensif pada tahun 2004-2005, salah satunya pada kesuksesan joint venture berupa survey terhadap cincin Saturnus yang diberi kode nama Cassini-huygens. Pencapaian tersebut tentunya tidak hanya dilihat sebagai sebuah prestasi saintifik di bidang engineering ataupun managerial, tapi juga diplomasi. Sebelum kerja sama tersebut terbentuk, pada tahun 1992, visi Goldin selaku administrator NASA ketika itu yang berbunyi faster, better, cheaper sangat tidak sesuai dengan kesulitan program Cassini-huygens yang memang membutuhkan biaya, waktu, dan pikiran dalam ukuran yang luar biasa. Pada saat itu, tim ESA lah yang bersikeras bahwa19

Website resmi NASA: http://www.nasa.gov/50th/50th_magazine/partners.html

8

investasi yang mereka keluarkan sudah terlalu besar dan karenanya terlambat bagi mereka untuk berhenti di situ. Pada 1994, Direktur Jendral ESA Jean-marie Luton bahkan menulis surat kepada Wakil Presiden Al Gore dan Menteri Pertahanan Amerika Serikat saat itu, yang berisi kekecewaannya terhadap kepemimpinan Goldin secara spesifik, dan akhirnya dapat menghindarkan salah satu insiden diplomatic yang sangat mungkin berlanjut ke dalam animosity tertentu. Dengan keberhasilan diplomatis tersebut, maka tidak heran apabila, selama 20 tahun pertama sejak pendiriannya, NASA sudah berhasil mengembangkan berbagai program kerja sama internasional yang melibatkan lebih dari 100 negara berkembang maupun maju. 20 Hal ini tentunya harus dilihat sebagai kesempatan dimana Amerika Serikat dapat memanfaatkan NASA sebagai instrumen yang mempengaruhi preferensi negara-negara secara internasional, serta bagaimana Amerika Serikat menciptakan jaringannya sendiri dengan berbagai negara tanpa menimbulkan kecurigaan kepentingan yang tidak perlu. Secara general, AS perlu menjalin kerja sama dengan negara berkembang sebagai sumber dari energi dan sumber daya alam lain yang dibutuhkan oleh negara industri seperti Amerika Serikat selama puluhan tahun ke depan, sedangkan dengan negara maju lain dalam hal bagaimana keduanya dapat saling berbagai di pasar internasional. II.3. NASA sebagai Pendorong Kemajuan Ilmu Pengetahuan Negara Lain Melalui berbagai kerja sama internasional yang telah disebutkan pada sub-bab sebelumnya, kita dapat melihat bagaimana keberadaan NASA saja telah memicu persaingan antara negara maju maupun berkembang di bidang teknologi. Seperti yang disebutkan pada sub-bab ke-2, kita dapat melihat bagaimana Cina, Rusia, dan Jepang mulai mengembangkan dan mengirim satelit maupun roket mereka sendiri. Dari fakta tersebut kita bisa melihat bahwa Amerika Serikat sehingga secara tidak langsung telah berhasil menciptakan sebuah prioritasisasi tersendiri bagi negara-negara tersebut. Dari satu sisi, hal ini dapat dilihat sebagai hal negatif dimana keamanan maupun ekonomi Amerika Serikatsampai pada level tertentuterancam oleh keberadaan dan kemajuan negara lain. Tabrakan antara satelit Amerika Serikat dan Rusia yang telah disebutkan sebelumnya sudah lebih dari cukup untuk menandakan bahwa Amerika Serikat mulai harus memikirkan secara lebih spesifik fungsi NASA secara militer. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, hal ini menandai keberhasilan soft power Amerika Serikat untuk mempengaruhi prioritas dan perilaku negara-negara komunitas internasional, terutama negara-negara maju di Eropa melalui ESA.

20

Jeff Krukin: Shuttle Diplomacy dalam Insight (May/June 1981), hal. 5

9

III. KESIMPULAN

Setelah melihat analisis pada bab sebelumnya mengenai bagaimana NASA telah melakukan usaha-usaha pencapaian benignity, brilliance, maupun beauty melalui fungsifungsi multidimensionalnya di bidang keamanan, ekonomi, maupun kerja sama ilmu pengetahuan internasional, kita dapat menyimpulkan bahwasampai pada level tertentu NASA telah menjalankan fungsi hubungan luar negerinya sebagai salah satu instrumen soft power. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana NASA berhasil mempengaruhi prioritas negaranegara lain untuk juga menaruh fokus tertentu di bidang ilmu pengetahuan dengan tanpa melibatkan kepentingan politik apapun. Tentu saja jika dilihat dari sudut pandang realis, mungkin fakta tersebut justru menjadi ancaman baru bagi great power seperti Amerika Serikat, tapi fakta lapangan sampai hari ini lebih menunjukkan bagaimana Amerika Serikat melegitimasi serta membangun kembali kepemimpinannya di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan luar angkasa. Dengan meminjam istilah Joseph S. Nye sendiri, kita dapat menyimpulkan bahwa inisiatif internasional NASA harus terus berperan sebagai agen dari change atau cooptive power yang melegitimasi power Amerika Serikat di mata dunia internasional. Kolaborasi teknologi di luar angkasa dimana sebelumnya Amerika Serikat memiliki begitu banyak kepentingan dan melaut sendiri, pastinya akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan national pride di dalam negeri, yang juga bermanfaat untuk membentuk less resistance terhadap pemenuhan kepentingan-kepentingan Amerika Serikat sendiri di level global. Lebih jauh, NASA menjadi simbolisasi Amerika Serikat untuk mempromosikan kultur dan ide-ide demokratisnya, serta usaha mencapai kepentingan kepentingan nasional Amerika Serikat lainnyaberhubungan ataupun tidak dengan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut penulis, NASA telah memainkan peran yang penting sepanjang sejarah dan tampaknya akan tetap menjadi instrumen soft power Amerika Serikat di masa depan.

10