Semnas Sipendikum FH UNIKAMA · menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga...
Transcript of Semnas Sipendikum FH UNIKAMA · menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga...
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
35
PANCASILA SEBAGAI LANDASAN ETIKA BIROKRASI
Zuhrizal Fadhly1
Universitas Teuku Umar
email : [email protected]
Abstract
Pancasila as a system of philosophy is essentially a value so that it is the
source of the elaboration of legal norms, moral norms and other state
norms. In the philosophy of Pancasila contained in it a critical,
fundamental, rational, systematic and comprehensive (whole) thought and
this system of thought is a value, therefore a philosophical thought does
not directly present the norms which are the guidelines in an action but a
Value that is fundamental. As a belief system, Pancasila can only be
meaningful if its values are reflected in the behavior of state servants and
citizens as a whole.
Ideally, Pancasila is present in the practice of state power, animating
every government policy, becoming the foundation in various political
interactions, and encouraging the economic, social and cultural relations
of the Indonesian nation. In bureaucratic practice, the practice of
Pancasila values should be the ethical foundation. Pancasila should be
present as a system that represents the personality of the nation.
Governments based on Pancasila Democracy should be a clear reference
for all Indonesian citizens at various levels of life. Looking at all these
possibilities, it is only natural that at the level of further analysis of
Pancasila as bureaucratic ethics should be emphasized as a benchmark to
assess the success of the nation to build a system of government in favor of
the interests of the people.
Kata Kunci : Pancasila Landasan Etika, Birokrasi Pancasilais
Pendahuluan
Perilaku individu dalam setiap segi kehidupan memberikan pengaruh bagi
keadaan di sekitarnya. Dalam berorganisasi khususnya organisasi pemerintah, hal ini
menjadi hal yang sangat penting karena ini merupakan bekal dasar yang harus dimiliki
oleh seorang individu saat berada di dalam suatu lingkungan, selain itu hal ini pun
menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga negara. Saya
memutuskan untuk membahas mengenai Pancasila Sebagai Landasan Etika Birokrasi
karena ini merupakan cikal bakal terciptanya suatu sistem pemerintahan yang sukses
dan tidak melenceng dari jalur norma-norma yang ada. Alasan lain saya memilih
1 Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Administrasi Negara Universitas Teuku Umar
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
36
bahasan ini adalah menguatnya fenomena korupsi, kolusi, nepotisme dan segala bentuk
penyelewengan lainnya yang telah menggerogoti institusi pemerintahan, baik level
pusat maupun level daerah. Masih banyaknya birokrasi sebagai penyelenggara
pemerintahan yang melakukan pelanggaran etika dan moral dalam melaksanakan
tugasnya.
Birokrasi sebagai penyelenggara kekuasaan di pemerintahan dalam bertindak
dan bertugas tidak boleh melanggar dan menyimpang keluar dari etika dan moral.
Kalau birokrasi dalam melaksanakan tugasnya berperilaku dan bertindak tidak
berlandaskan etika, dan moral yang ditetapkan maka bangsa, dan negara ini tinggal
menunggu kehancurannya. Masalah etika yang terjadi saat ini merupakan masalah yang
semakin mendapat perhatian di dunia, bahwa cita-cita reformasi untuk membangun
Indonesia baru haruslah dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan
terhadap keseluruhan kehidupan yang dibangun oleh orde baru. Inti dari cita-cita
tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakannya hukum
untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari adanya KKN, terwujudnya
keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran
produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat
Indonesia. Dalam membahas
Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan atau etis,
yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia disebut etis, ialah manusia
secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas
keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani
dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya.
Kalau berbicara tentang etika birokrasi berarti kita berbicara tentang bagaimana aparat
birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi tugasnya sesuai dengan ketentuan aturan
yang seharusnya dan semestinya, yang pantas untuk dilakukan dan yang sewajarnya
dimana telah ditentukan atau diatur untuk ditaati dan dilaksanakan.
Pembahasan
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethes” berarti kesediaan jiwa akan
kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan
kesusilaan. Dalam pengertian kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan sebetulnya
tercakup juga adanya kesediaan karena kesusilaan dalam dirinya minta ditaati pula oleh
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
37
orang lain. Aristoteles juga memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian
yaitu etika meliputi kesediaan dan kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa Latin
dikenal dengan kata Mores yang berarti kesusilaan, tingkat salah satu perbuatan (lahir,
tingkah laku), kemudian perkataan Mores tumbuh dan berkembang menjadi moralitas
yang mengandung arti kesediaan jiwa akan kesusilaan.2 Dengan demikian maka
moralitas mempunyai pengertian yang sama dengan etika atau sebaliknya, dimana kita
berbicara tentang etika birokrasi tidak terlepas dari moralitas aparat birokrasi
penyelenggara pemerintahan itu sendiri.
Etika dan moralitas secara teoritis berawal dari pada ilmu pengetahuan (kognitif)
bukan pada afektif. Moralitas berkaitan pula dengan jiwa dan semangat kelompok
masyarakat. Moral terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat, tidak ada moral bila tidak
ada masyarakat dan seyogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral (Widjaja,
AW. Masyarakat dan Permasayarakatan Ideologi Pancasila, Bandung, Cv. Armico,
1985) dan berkaitan dengan kesadaran kolektif dalam masyarakat. Immanuel Kant, teori
moralitas tidak hanya mengenai hal yang baik dan yang buruk, tetapi menyangkut
masalah yang ada dalam kontak sosial dengan masyarakat, ini berarti etika tidak hanya
sebatas moralitas individu tersebut dalam artian aparat birokrasi tetapi lebih dari itu
menyangkut perilaku di tengah-tengah masyarakat dalam melayani masyarakat apakah
sudah sesuai dengan aturan main atau tidak, apakah etis atau tidak.
Etika merupakan instrumen dalam masyarakat untuk menuntun tindakan
(perilaku) agar mampu menjalankan fungsi dengan baik dan dapat lebih bermoral. Ini
berarti etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perilaku seseorang
dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam
masyarakat agar dapat dikatakan tindakannya bermoral.( Drs. Haryanto, MA, Kuliah
Birokrasi Indonesia, Politik Lokal Otonomi Daerah Program Pasca Sarjana UGM,
Yogyakarta,2002). Dari beberapa pendapat yang menegaskan tentang pengertian etika
di atas jelaslah bagi kita bahwa etika terkait dengan moralitas dan sangat tergantung dari
penilaian masyarakat setempat, jadi dapat dikatakan bahwa moral merupakan landasan
normatif yang didalamnya mengandung nilai-nilai moralitas itu sendiri dan landasan
2 Jaya Widya, A.W, (1991), Etika Pemerintahan, Jakarta: Bumi Aksara.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
38
normatif tersebut dapat pula dinyatakan sebagai etika yang dalam organisasi birokrasi
disebut sebagai etika birokrasi
Etika Birokrasi
Etika birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat terkait dengan
moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan
itu sendiri yang mencerminkan fungsi pokok pemerintahan, yaitu fungsi pelayanan,
fungsi peraturan atau regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Etika dalam
birokrasi adalah masalah yang menjadi kepedulian dan keprihatinan para pakar dibidang
ini. Ia menjadi masalah di negara yang paling maju sekalipun, yakni di negara seperti
Amerika Serikat yang telah berdiri selama dua seperempat abad, yang konstitusi dan
gagasan-gagasan idealnya menjadi contoh bagi konstitusi dan gagasan-gagasan dasar
banyak negara lain, dan yang administrasinya juga menjadi rujukan administrasi di
banyak negara lain. Negara-negara lain yang telah lanjut usianya, seperti Inggris,
Prancis, dan Jepang, juga mengalami masalah yang sama, yaitu persoalan dalam etika
birokrasinya. Di negara- negara itu birokrasi diandalkan untuk menjadi pelindung dan
pengayom masyarakat, yang bersifat jujur dan adil, dan keseluruhan sistemnya
diarahkan untuk menjamin adanya hal itu. Pandangan itu didukung oleh observasi yang
umum dalam kondisi administrasi di negara-negara berkembang seperti antara lain
sebagai berikut :
Pertama, belum tercipta tradisi administrasi yang baik, yang menjaga timbulnya
masalah etika seminimal mungkin. Negara berkembang sedang mengembangkan
administrasinya, yang sesuai dengan kebudayaannya, tetapi mengikuti kaidah-kaidah
yang berlaku umum. Negara- negara itu tidak mempunyai banyak rujukan, karena tidak
dapat melanjutkan administrasi yang berasal dari masa kolonial, yang tujuan
keberadaannya berbeda dengan administrasi dalam negara yang merdeka.
Kedua, adanya keterbatasan dalam sumber daya, yang menyebabkan
pengembangan administrasi yang baik tidak bisa cepat berjalan. Keterbatasan itu adalah
baik dalam hal sumber dana maupun sumber daya manusia (SDM). SDM administrasi
sangat terbatas kualitas, kompetensi, dan profesionalismenya, dan keadaan itu
diperberat oleh imbalan yang rendah karena keterbatasan dana pemerintah.
Ketiga, administrasi hidup dalam suatu sistem politik, dan di banyak negara
berkembang sistem politik itu sendiri masih berkembang. Peran politik yang besar itu,
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
39
acapkali tidak diimbangi dengan pertanggungjawaban (accountability) kepada rakyat
seperti layaknya dalam sebuah sistem demokrasi. Dengan demikian, masalah etika
dalam administrasi negara yang sedang membangun jauh lebih rumit dibandingkan
dengan masalah etika di negara yang sudah maju. Dengan kata lain, variabelnya lebih
luas dan ketidakpastiannya lebih besar. Oleh karena itu, akan sangat keliru apabila
orang berpendapat bahwa memperbaiki birokrasi di negara berkembang adalah
pekerjaan mudah. Upaya memperbaiki birokrasi termasuk didalamnya upaya
menanamkan etika sebagai nilai utama dalam administrasi, yang tercermin baik dalam
etika perorangan maupun etika organisasi adalah pekerjaan yang memerlukan
kesabaran, dan hasilnya pun tidak dapat diharapkan akan spektakuler, tetapi akan lebih
banyak bersifat inkremental.
Pancasila Sebagai Landasan Etika
Pancasila berisi lima nilai dasar, yaitu (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (2)
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, (5)
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Perumusan kelima sila itu terkesan
sederhana dan mudah dicerna. Akan tetapi dalam kenyataan praktik, sering ternyata
bahwa masyarakat birokrasi kita dan demikian pula masyarakat yang dilayani oleh
birokrasi, tidak cukup memahami atau dapat pula terjadi bahwa mereka memiliki
persepsi-persepsi yang berbeda dengan pengertian sila demi sila itu. Sebagian besar
orang hanya memahami Pancasila dalam rangka sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia.
Padahal keempat sila lainnya sungguh sangat penting untuk juga diwujudkan dalam
praktik. Pengertian Pancasila tidak boleh direduksi hanya dalam konteks satu sila saja,
tetapi harus menyeluruh dan simultan. Setiap aparat birokrasi kita haruslah
berketuhanan YME, berkemanusiaan yang adil dan beradab, bersatu, bersifat
kerakyatan, dan berorientasi keadilan sosial.3
Pemahaman Pancasila sendiri selain sebagai ideologi, pandangan hidup,
kepribadian, kebudayaan negara dan bangsa adalah kristalisasi nilai, standar etika, serta
manifestasi norma, dalam aspek moralitas, pikiran, tindakan dan ucapan. Dengan
demikian, seluruh ruang kehidupan bermasyarakat bernegara berada dalam koridor
3 Latif, Y, (2011), Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
40
landasan ideologis Pancasila. Perwujudan ideologi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara tidak lepas pula dari kesatuan sistematika etika yang dipraktekkan. Pancasila
sendiri mendasarkan tata etika pada lima prinsip negara Indonesia yang dipaparkan
dalam pidato lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945 sebagai pedoman dalam penggalian
kembali etik yang sesuai dengan kepribadian bangsa.
Keteladanan Pemimpin
Dalam sistem ketatanegaraan yang belum tertib dan fungsional seperti sekarang
ini, peran kepemimpinan menjadi sangat sentral untuk menjamin terjadinya perbaikan
untuk kepentingan rakyat. Setiap pejabat atau pemegang jabatan (ambtsdraggers,
officials, officers, fungsionaris), mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling
rendah perlu menyadari kekuatan pengaruh kepemimpinannya dan memanfaatkannya
dengan tulus, ikhlas, dan jujur, semata-mata untuk kepentingan rakyat. Setiap
pemimpin, dalam lingkungan tanggungjawabnya masing-masing harus mendisiplinkan
diri dan para anggotanya untuk secara bersama-sama bekerja untuk mencapai tujuan
organisasi. Setiap pemimpin harus sanggup menjadi contoh, dan mampu menggerakkan
roda organisasi guna mencapai tujuan bersama. Jika, misalnya, kita menginginkan
bersihnya sistem birokrasi dalam lingkup tanggungjawab kita masing-masing, maka
setiap penanggungjawab harus sanggup menjadikan dirinya contoh dalam menerapkan
kehidupan yang bersih, dan mampu membersihkan lingkungan tanggjungjawabnya
dengan otoritas atau kewenangan yang dipercayakan kepadanya.
Jika setiap jajaran kepemimpinan dapat bekerja dengan maksimal, niscaya
semua agenda perbaikan dan penataan kembali kehidupan ketatanegaraan kita ke arah
yang lerbih baik akan dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya. Tetapi selama 14 tahun
terakhir, termasuk dalam upaya bangsa kita melancarkan gerakan pemberantasan
korupsi, tindakan pemberantasan itu seakan-akan hanya menjadi tugas dan
tanggungjawab Komisi Pemberantasan Korupsi, bukan tugas dan tanggungjawab semua
aparat pemimpin dalam seluruh lapisan dan di semua lini serta jajaran birokrasi
kenegaraan dan pemerintahan kita di seluruh tanah air. Lihat bagaimana perilaku polisi
dan petugas DLLAJR di jalanan, perilaku petugas pajak, petugas imigrasi, petugas
Lembaga Pemasyarakatan, petugas pelabuhan, petugas urusan KTP, petugas dan
pegawai bank, petugas asuransi, petugas pos, petugas pembuangan sampah, petugas
listrik, buruh bangunan, dan lain-lain sebagainya. Semuanya apabila kita tes sekarang
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
41
dengan menggunakan ukuran dan kriteria modern tentang korupsi dan suap, serta
prinsip-prinsip “Good Governance”, niscaya semuanya tidak menggambarkan bahwa
kita telah sekian lama melancarkan gerakan nasional anti korupsi.4
Karena itu, diperlukan gerakan kedisiplinan pemimpin yang dimulai dari atas.
Pemimpin tertinggi harus dapat dijadikan teladan, baik dalam hidup bersih maupun
dalam kemampuannya menggerakkan roda organisasi, pembenahan sistem pencegahan
dan pemberantasan korupsi. Tanpa hal itu, ide untuk merealisasikan nilai-nilai Pancasila
dalam perilaku birokrasi negara kita menjadi non-sense dan tidak akan berhasil dengan
efektif. Buktinya, kita sudah melancarkan gerakan anti korupsi, dimulai dengan
Ketetapan MPR, pembentukan KPKPN, dan sekarang pimpinan KPK sudah bekerja
dalam 4 periode, tetapi korupsi tetap saja terjadi dimana-mana, bahkan di depan mata
kita sendiri. Ini jelas menggambarkan kepada kita bahwa pendekatan represif dengan
hanya mengandalkan peran KPK seperti yang sudah berlangsung sampai sekarang ini,
adalah tindakan dan pendekatan yang relatif tidak dapat diandalkan. Kita memerlukan
pendekatan lain dengan menggerakkan peranan kepemimpinan, dengan memberikan
contoh atau keteladanan untuk hidup bersih tanpa korupsi, kemampuan untuk
membersihkan lingkungan tanggungjawabnya, baik melalui upaya pencegahan maupun
penindakan, dan melakukan upaya-upaya pembenahan sistemik dan penataan kembali
sistem administrasi, termasuk dengan melakukan upaya modernisasi sistem
administrasi, sehingga perilaku koruptif tidak akan atau setidaknya sulit untuk terjadi
lagi.
Pancasila Sebagai Ideologi Perlawanan Terhadap Kecurangan (Fraud)
Pancasila memiliki pandangan moral luar biasa yang terkandung dalam sila-
silanya. Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan haluan
keselamatan bangsa. Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan kenegaraan,
Pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat dimana
dalam setiap sila memiliki justifikasi historis, rasional dan aktual yang dipahami,
dihayati, dipercayai, dan diamalkan secara konsisten sehingga dapat menopang
pencapaian-pencapaian agung peradaban bangsa ini.5
4 Pratikno, (2005), Good governance dan governability, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Vol. 8, No.
3, 231‐248. 5 Latif, Y, (2011), Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
42
Jika kesadaran terdalam kita sampai pada ujung pemaknaan bahwa kecurangan
(termasuk korupsi dan suap) akan menghancurkan suatu peradaban bangsa dan
menistakan kemanusiaan, maka seharusnya kita menggelorakan “perang kemerdekaan”
jilid II. Sebagaimana yang dilakukan para pejuang pendahulu dalam melawan belenggu
penjajahan dan kebiadaban, semangat terbebas dari belenggu kecurangan harus
digaungkan saat ini. Perlawanan ini antara lain dilakukan dengan menghidupkan dan
memperkuat kembali (revitalisasi) nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nyata, bukan
sekedar diwacanakan.
Birokrasi Pancasilais
Selain beretika dan berorientasi kepada upaya pembersihan dan pembenahan
sistemik, birokrasi yang Pancasilais harus benar-benar terkait dengan kelima sila
Pancasila. Pertama, perlu dipahami bahwa setiap warga masyarakat kita dimana saja,
boleh bebas dan merdeka untuk beragama atau tidak beragama, untuk percaya kepada
Tuhan atau ateis sama sekali. Begitulah pengertian ideal yang seharusnya kita pahami
dari jaminan konstitusional Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 tentang kemerdekaaan
beragama (freedom of belief or freedom of religion). Tidak boleh ada orang yang
dipaksa memeluk sesuatu agama atau aliran keagamaan yang ia tidak percayai. Akan
tetapi, birokrasi dan para birokrat yang bekerja di dalamnya tidak boleh ateis. Semua
pejabat dan pegawai harus percaya kepada adanya Tuhan YME, apapun agama yang
dianut dan dipercayainya. Karena itu, semua pejabat dan pegawai negara dan negeri
selalu dipersyaratkan oleh undang-undang agar beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
Nilai-nilai ketuhanan merupakan sumber moralitas dan spiritualitas (yang
bersifat vertikal-transendental) bagi bangsa Indonesia. Ini sudah merupakan kenyataan
hakiki dimana Tuhan telah “hadir” dalam relung jiwa manusia Indonesia sejak lampau,
meski usaha-usaha untuk mencerabutnya terus menerus dilakukan oleh para kolonialis.
Hal demikian menunjukkan bahwa sejarah panjang perjuangan mencapai dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia, banyak dilandasi oleh semangat
keberagamaan. Etos perjuangan para pendahulu bangsa yang sangat kuat dilandasi oleh
semangat ketuhanan ini, antara lain dapat diperhatikan dalam pernyataan Pembukaan
UUD 1945 alinea ketiga yang berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa
…”, dan pekik gemuruh “Allahu Akbar” yang disuarakan oleh Bung Tomo saat
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
43
menggelorakan semangat juang rakyat pada perang kemerdekaan 10 Nopember 1945 di
Surabaya.6
Dalam konteks pola keberagamaan Islam, jika syahadat itu merupakan
pernyataan keyakinan substansif kita akan keesaan Tuhan, maka seharusnya kita juga
tidak mengeramatkan atau memesonakan selain-Nya (misalnya
jabatan/kekayaan/prestise) karena itu adalah syirik. Dengan pemahaman demikian maka
ketika kita menjadikan jabatan/kekayaan/prestise sebagai orientasi utama hidup kita,
maka kita sudah terjebak pada kemusyrikan. Hidup dalam kemusyrikan sudah tentu
tidak berkah, dan karenanya menjadikan jabatan/kekayaan/prestise sebagai orientasi
utama dalam kehidupan kita pasti akan berakibat ketidakberkahan. Sedemikian
terpesonanya kita pada jabatan/kekayaan/prestise itu sehingga semangat dan cara
mencapainya pun sarat dengan kecurangan.
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari
kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat
siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal) (QS. Albaqarah, ayat: 165).”
Jika dengan syahadat itu kita juga meyakini bahwa Muhammad SAW itu adalah
Rasul Allah SWT. Dalam hal ini satu contoh akhlaq yang luar biasa baiknya diajarkan
Rasulullah SAW untuk kita aplikasikan dalam menghindari kecurangan adalah selalu
berniat baik dalam menjalani berbagai aktivitas. Jika kita melakukan aktivitas dengan
niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT maka itu akan mendapatkan pahala
yang besar, dan sebaliknya jika meniatkan bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT maka yang kita dapatkan hanya kenikmatan dunia, baik berupa kedudukan, pujian,
melimpahnya harta atau yang lainnya. Terbukti bahwa kebanyakan kenikmatan-
kenikmatan dunia ini akan menghanyutkan dan kemudian menenggalamkan manusia
pada kesesatan.
“Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika
engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu” (H.R. Muslim).
6 Jimly Asshiddiqie, (2011), Membudayakan Nilai-nilai Pancasila dan Kaedah-kaedah Undang-Undang
Dasar Negara RI tahun 1945, Surabaya: Makalah dalam Kongres Pancasila III 31 Mei-1 Juni.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
44
Komitmen ketuhanan ini dijadikan sebagai sumber motivasi dan inspirasi dalam
menjalani kehidupan. Ihsan sepenuhnya dapat menjadikan seseorang sebagai pribadi
yang selalu berbuat baik. Dengan demikian ihsan juga bermakna suatu keadaan di mana
seorang manusia mencurahkan kebaikan dan menahan diri untuk tidak mengganggu
orang lain. Perbuatan baik ini antara lain diwujudkan dengan sifat-sifat kejujuran,
kerendah hati dan ketulusan dalam menjalani aktivitas kehidupannya. Ini kemudian
akan berlanjut pada penciptaan suasana kehidupan yang dipenuhi cinta kasih pada
sesama.
Birokrasi kita haruslah berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Ada kaitan
antara sikap berketuhanan, dengan berperikemanusiaan. Dengan percaya kepada Tuhan
sebagai satu-satunya yang mutlak, semua orang sebagai makhluk Tuhan haruslah
dipandang menurut prinsip persamaan kemanusiaan dan egalitarianisme. Karena itu,
sering dikatakan bahwa ketaqwaan itu dekat dengan keadilan, dan keadilan juga dekat
dengan ciri taqwa, sehingga melahirkan sikap egaliter, saling hormat menghormati
perbedaan satu dengan yang lain, dan merekat persatuan bangsa di tengah
kemajemukan. Karena itu, dalam birokrasi kita harus tumbuh budaya egaliter, mengikis
feodalisme, tidak memandang satu sama lain dengan kacamata atasan bawahan.
Kultur birokrasi kita harus berkembang menurut prinsip “meritokrasi”, bukan
KKN berdasarkan hubungan darah, atau sistem koneksi yang bertentangan dengan
prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance). Dalam proses
pengambilan keputusan, birokrasi yang Pancasilais harus bersifat kerakyatan,
partisipatoris, menerapkan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat berdasarkan
aturan hukum dan etika (the rule of law and the rule of ethics) yang diakui dan/atau
disepakati bersama. Karena itu, birokrasi kita tidak perlu terlalu hirarkis, apalagi dengan
hirarki yang sangat berjarak antara struktur teratas dengan struktur terbawah. Di
samping itu, birokrasi kita juga tidak boleh berjarak dengan rakyat yang harus dilayani,
karena tujuan dibentuknya birokrasi pemerintahan tidak lain ialah untuk melayani
kepentingan rakyat. Karena itu, sistem pengambilan keputusan dalam birokrasi
Pancasilais haruslah berorientasi kepada upaya untuk dari waktu ke waktu memperdekat
jarak antara struktur atau strata jabatan tertinggi dengan terendah, baik jarak eksternal
antara birokrasi dengan rakyat maupun jarak internal antara pegawai dan pejabat di
lingkungan birokrasi. Ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan sosial bagi seluruh
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
45
rakyat Indonesia sebagai sila kelima Pancasila. Dengan demikian, struktur jabatan dan
struktur pendapatan dalam sistem administrasi pemerintahan kita yang berlaku sekarang
harus diperbaiki, sehingga lebih berorientasi kepada prinsip keadilan sosial atau (social
justice based administration).
Kesimpulan
Birokrasi Pancasilais Republik Indonesia di masa depan haruslah dikembangkan
menjadi birokrasi yang benar-benar (1) berketuhanan, (2) berperikemanusiaan yang adil
dan beradab, (3) bersatu, (4) merakyat dalam dirinya sendiri, dan merakyat pula
sikapnya dalam melayani kepentingan umum, serta (5) terus menerus berorientasi
keadilan sosial dengan cara dari waktu ke waktu memperdekat jarak kesejahteraan
antara pegawai terendah dengan pejabat tertinggi, serta menjalankan tugas-tugas
pelayanan kepada masyarakat yang juga mendorong berkembangnya struktur sosial
yang berkeadilan.
Untuk mengembangkan tata nilai kehidupan Pancasila, yang secara mendasar
adalah harus adanya unsur keyakinan bahwa Pancasila merupakan ideologi yang tepat
untuk bangsa Indonesia. Pancasila memuat konsep-konsep dasar yang menunjukkan
adanya seperangkat keyakinan untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan, yaitu
kemajuan bangsa Indonesia. Berdasarkan pandangan yang demikian maka Pancasila
dapat dibawa ke dalam ranah berbagai media kehidupan kebangsaan, termasuk ranah
profesi. Asshiddiqie (2011) menyatakan bahwa upaya pembudayaan Pancasila dapat
diwujudkan secara konkrit dalam praktik kehidupan masyarakat, antara lain melalui
perumusan kode etik dan kode perilaku beserta pelembagaan institusi penegaknya di
lingkungan jabatan kenegaraan, pemerintahan, ormas, LSM dan Badan Usaha.
Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah peran lembaga pendidikan. Secara
institusional benteng moral kehidupan bangsa Indonesia saat ini adalah pendidikan.
Pendidikan adalah media penyebaran ideologi yang paling efektif untuk generasi
mendatang. Kurikulum harus adaftif terhadap penyebaran cara pandang Pancasila ini
sehingga efektif membentuk karakter manusia Indonesia seutuhnya. Bukan dengan cara
doktriner Pancasila ditanamkan, namun dengan pola yang lebih mengedepankan asah
kritis peserta didik sehingga memahami Pancasila dengan segala potensi kecerdasannya,
menyerap nilai-nilainya dengan ketulusan, mengimplementasikannya dengan
keikhlasan, dan menyebarkannya dengan keyakinan.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
46
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, J, (2011), Membudayakan Nilai-nilai Pancasila dan Kaedah-kaedah
Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945, Surabaya: Makalah dalam
Kongres Pancasila III 31 Mei-1 Juni.
Latif, Y, (2011), Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Pratikno, (2005), Good governance dan governability, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik: Vol. 8, No. 3, 231‐248.
Widya Jaya, A.W, (1991), Etika Pemerintahan, Jakarta: Bumi Aksara.