Semnas Sipendikum FH UNIKAMA · menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga...

12
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 35 PANCASILA SEBAGAI LANDASAN ETIKA BIROKRASI Zuhrizal Fadhly 1 Universitas Teuku Umar email : [email protected] Abstract Pancasila as a system of philosophy is essentially a value so that it is the source of the elaboration of legal norms, moral norms and other state norms. In the philosophy of Pancasila contained in it a critical, fundamental, rational, systematic and comprehensive (whole) thought and this system of thought is a value, therefore a philosophical thought does not directly present the norms which are the guidelines in an action but a Value that is fundamental. As a belief system, Pancasila can only be meaningful if its values are reflected in the behavior of state servants and citizens as a whole. Ideally, Pancasila is present in the practice of state power, animating every government policy, becoming the foundation in various political interactions, and encouraging the economic, social and cultural relations of the Indonesian nation. In bureaucratic practice, the practice of Pancasila values should be the ethical foundation. Pancasila should be present as a system that represents the personality of the nation. Governments based on Pancasila Democracy should be a clear reference for all Indonesian citizens at various levels of life. Looking at all these possibilities, it is only natural that at the level of further analysis of Pancasila as bureaucratic ethics should be emphasized as a benchmark to assess the success of the nation to build a system of government in favor of the interests of the people. Kata Kunci : Pancasila Landasan Etika, Birokrasi Pancasilais Pendahuluan Perilaku individu dalam setiap segi kehidupan memberikan pengaruh bagi keadaan di sekitarnya. Dalam berorganisasi khususnya organisasi pemerintah, hal ini menjadi hal yang sangat penting karena ini merupakan bekal dasar yang harus dimiliki oleh seorang individu saat berada di dalam suatu lingkungan, selain itu hal ini pun menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga negara. Saya memutuskan untuk membahas mengenai Pancasila Sebagai Landasan Etika Birokrasi karena ini merupakan cikal bakal terciptanya suatu sistem pemerintahan yang sukses dan tidak melenceng dari jalur norma-norma yang ada. Alasan lain saya memilih 1 Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Administrasi Negara Universitas Teuku Umar

Transcript of Semnas Sipendikum FH UNIKAMA · menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga...

Page 1: Semnas Sipendikum FH UNIKAMA · menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga negara. ... kesadaran kolektif dalam ... Pancasila, 1 Juni 1945 sebagai pedoman

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

35

PANCASILA SEBAGAI LANDASAN ETIKA BIROKRASI

Zuhrizal Fadhly1

Universitas Teuku Umar

email : [email protected]

Abstract

Pancasila as a system of philosophy is essentially a value so that it is the

source of the elaboration of legal norms, moral norms and other state

norms. In the philosophy of Pancasila contained in it a critical,

fundamental, rational, systematic and comprehensive (whole) thought and

this system of thought is a value, therefore a philosophical thought does

not directly present the norms which are the guidelines in an action but a

Value that is fundamental. As a belief system, Pancasila can only be

meaningful if its values are reflected in the behavior of state servants and

citizens as a whole.

Ideally, Pancasila is present in the practice of state power, animating

every government policy, becoming the foundation in various political

interactions, and encouraging the economic, social and cultural relations

of the Indonesian nation. In bureaucratic practice, the practice of

Pancasila values should be the ethical foundation. Pancasila should be

present as a system that represents the personality of the nation.

Governments based on Pancasila Democracy should be a clear reference

for all Indonesian citizens at various levels of life. Looking at all these

possibilities, it is only natural that at the level of further analysis of

Pancasila as bureaucratic ethics should be emphasized as a benchmark to

assess the success of the nation to build a system of government in favor of

the interests of the people.

Kata Kunci : Pancasila Landasan Etika, Birokrasi Pancasilais

Pendahuluan

Perilaku individu dalam setiap segi kehidupan memberikan pengaruh bagi

keadaan di sekitarnya. Dalam berorganisasi khususnya organisasi pemerintah, hal ini

menjadi hal yang sangat penting karena ini merupakan bekal dasar yang harus dimiliki

oleh seorang individu saat berada di dalam suatu lingkungan, selain itu hal ini pun

menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga negara. Saya

memutuskan untuk membahas mengenai Pancasila Sebagai Landasan Etika Birokrasi

karena ini merupakan cikal bakal terciptanya suatu sistem pemerintahan yang sukses

dan tidak melenceng dari jalur norma-norma yang ada. Alasan lain saya memilih

1 Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Administrasi Negara Universitas Teuku Umar

Page 2: Semnas Sipendikum FH UNIKAMA · menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga negara. ... kesadaran kolektif dalam ... Pancasila, 1 Juni 1945 sebagai pedoman

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

36

bahasan ini adalah menguatnya fenomena korupsi, kolusi, nepotisme dan segala bentuk

penyelewengan lainnya yang telah menggerogoti institusi pemerintahan, baik level

pusat maupun level daerah. Masih banyaknya birokrasi sebagai penyelenggara

pemerintahan yang melakukan pelanggaran etika dan moral dalam melaksanakan

tugasnya.

Birokrasi sebagai penyelenggara kekuasaan di pemerintahan dalam bertindak

dan bertugas tidak boleh melanggar dan menyimpang keluar dari etika dan moral.

Kalau birokrasi dalam melaksanakan tugasnya berperilaku dan bertindak tidak

berlandaskan etika, dan moral yang ditetapkan maka bangsa, dan negara ini tinggal

menunggu kehancurannya. Masalah etika yang terjadi saat ini merupakan masalah yang

semakin mendapat perhatian di dunia, bahwa cita-cita reformasi untuk membangun

Indonesia baru haruslah dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan

terhadap keseluruhan kehidupan yang dibangun oleh orde baru. Inti dari cita-cita

tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakannya hukum

untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari adanya KKN, terwujudnya

keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran

produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat

Indonesia. Dalam membahas

Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan atau etis,

yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia disebut etis, ialah manusia

secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas

keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani

dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya.

Kalau berbicara tentang etika birokrasi berarti kita berbicara tentang bagaimana aparat

birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi tugasnya sesuai dengan ketentuan aturan

yang seharusnya dan semestinya, yang pantas untuk dilakukan dan yang sewajarnya

dimana telah ditentukan atau diatur untuk ditaati dan dilaksanakan.

Pembahasan

Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethes” berarti kesediaan jiwa akan

kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan

kesusilaan. Dalam pengertian kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan sebetulnya

tercakup juga adanya kesediaan karena kesusilaan dalam dirinya minta ditaati pula oleh

Page 3: Semnas Sipendikum FH UNIKAMA · menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga negara. ... kesadaran kolektif dalam ... Pancasila, 1 Juni 1945 sebagai pedoman

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

37

orang lain. Aristoteles juga memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian

yaitu etika meliputi kesediaan dan kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa Latin

dikenal dengan kata Mores yang berarti kesusilaan, tingkat salah satu perbuatan (lahir,

tingkah laku), kemudian perkataan Mores tumbuh dan berkembang menjadi moralitas

yang mengandung arti kesediaan jiwa akan kesusilaan.2 Dengan demikian maka

moralitas mempunyai pengertian yang sama dengan etika atau sebaliknya, dimana kita

berbicara tentang etika birokrasi tidak terlepas dari moralitas aparat birokrasi

penyelenggara pemerintahan itu sendiri.

Etika dan moralitas secara teoritis berawal dari pada ilmu pengetahuan (kognitif)

bukan pada afektif. Moralitas berkaitan pula dengan jiwa dan semangat kelompok

masyarakat. Moral terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat, tidak ada moral bila tidak

ada masyarakat dan seyogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral (Widjaja,

AW. Masyarakat dan Permasayarakatan Ideologi Pancasila, Bandung, Cv. Armico,

1985) dan berkaitan dengan kesadaran kolektif dalam masyarakat. Immanuel Kant, teori

moralitas tidak hanya mengenai hal yang baik dan yang buruk, tetapi menyangkut

masalah yang ada dalam kontak sosial dengan masyarakat, ini berarti etika tidak hanya

sebatas moralitas individu tersebut dalam artian aparat birokrasi tetapi lebih dari itu

menyangkut perilaku di tengah-tengah masyarakat dalam melayani masyarakat apakah

sudah sesuai dengan aturan main atau tidak, apakah etis atau tidak.

Etika merupakan instrumen dalam masyarakat untuk menuntun tindakan

(perilaku) agar mampu menjalankan fungsi dengan baik dan dapat lebih bermoral. Ini

berarti etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perilaku seseorang

dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam

masyarakat agar dapat dikatakan tindakannya bermoral.( Drs. Haryanto, MA, Kuliah

Birokrasi Indonesia, Politik Lokal Otonomi Daerah Program Pasca Sarjana UGM,

Yogyakarta,2002). Dari beberapa pendapat yang menegaskan tentang pengertian etika

di atas jelaslah bagi kita bahwa etika terkait dengan moralitas dan sangat tergantung dari

penilaian masyarakat setempat, jadi dapat dikatakan bahwa moral merupakan landasan

normatif yang didalamnya mengandung nilai-nilai moralitas itu sendiri dan landasan

2 Jaya Widya, A.W, (1991), Etika Pemerintahan, Jakarta: Bumi Aksara.

Page 4: Semnas Sipendikum FH UNIKAMA · menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga negara. ... kesadaran kolektif dalam ... Pancasila, 1 Juni 1945 sebagai pedoman

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

38

normatif tersebut dapat pula dinyatakan sebagai etika yang dalam organisasi birokrasi

disebut sebagai etika birokrasi

Etika Birokrasi

Etika birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat terkait dengan

moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan

itu sendiri yang mencerminkan fungsi pokok pemerintahan, yaitu fungsi pelayanan,

fungsi peraturan atau regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Etika dalam

birokrasi adalah masalah yang menjadi kepedulian dan keprihatinan para pakar dibidang

ini. Ia menjadi masalah di negara yang paling maju sekalipun, yakni di negara seperti

Amerika Serikat yang telah berdiri selama dua seperempat abad, yang konstitusi dan

gagasan-gagasan idealnya menjadi contoh bagi konstitusi dan gagasan-gagasan dasar

banyak negara lain, dan yang administrasinya juga menjadi rujukan administrasi di

banyak negara lain. Negara-negara lain yang telah lanjut usianya, seperti Inggris,

Prancis, dan Jepang, juga mengalami masalah yang sama, yaitu persoalan dalam etika

birokrasinya. Di negara- negara itu birokrasi diandalkan untuk menjadi pelindung dan

pengayom masyarakat, yang bersifat jujur dan adil, dan keseluruhan sistemnya

diarahkan untuk menjamin adanya hal itu. Pandangan itu didukung oleh observasi yang

umum dalam kondisi administrasi di negara-negara berkembang seperti antara lain

sebagai berikut :

Pertama, belum tercipta tradisi administrasi yang baik, yang menjaga timbulnya

masalah etika seminimal mungkin. Negara berkembang sedang mengembangkan

administrasinya, yang sesuai dengan kebudayaannya, tetapi mengikuti kaidah-kaidah

yang berlaku umum. Negara- negara itu tidak mempunyai banyak rujukan, karena tidak

dapat melanjutkan administrasi yang berasal dari masa kolonial, yang tujuan

keberadaannya berbeda dengan administrasi dalam negara yang merdeka.

Kedua, adanya keterbatasan dalam sumber daya, yang menyebabkan

pengembangan administrasi yang baik tidak bisa cepat berjalan. Keterbatasan itu adalah

baik dalam hal sumber dana maupun sumber daya manusia (SDM). SDM administrasi

sangat terbatas kualitas, kompetensi, dan profesionalismenya, dan keadaan itu

diperberat oleh imbalan yang rendah karena keterbatasan dana pemerintah.

Ketiga, administrasi hidup dalam suatu sistem politik, dan di banyak negara

berkembang sistem politik itu sendiri masih berkembang. Peran politik yang besar itu,

Page 5: Semnas Sipendikum FH UNIKAMA · menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga negara. ... kesadaran kolektif dalam ... Pancasila, 1 Juni 1945 sebagai pedoman

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

39

acapkali tidak diimbangi dengan pertanggungjawaban (accountability) kepada rakyat

seperti layaknya dalam sebuah sistem demokrasi. Dengan demikian, masalah etika

dalam administrasi negara yang sedang membangun jauh lebih rumit dibandingkan

dengan masalah etika di negara yang sudah maju. Dengan kata lain, variabelnya lebih

luas dan ketidakpastiannya lebih besar. Oleh karena itu, akan sangat keliru apabila

orang berpendapat bahwa memperbaiki birokrasi di negara berkembang adalah

pekerjaan mudah. Upaya memperbaiki birokrasi termasuk didalamnya upaya

menanamkan etika sebagai nilai utama dalam administrasi, yang tercermin baik dalam

etika perorangan maupun etika organisasi adalah pekerjaan yang memerlukan

kesabaran, dan hasilnya pun tidak dapat diharapkan akan spektakuler, tetapi akan lebih

banyak bersifat inkremental.

Pancasila Sebagai Landasan Etika

Pancasila berisi lima nilai dasar, yaitu (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (2)

Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang

Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, (5)

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Perumusan kelima sila itu terkesan

sederhana dan mudah dicerna. Akan tetapi dalam kenyataan praktik, sering ternyata

bahwa masyarakat birokrasi kita dan demikian pula masyarakat yang dilayani oleh

birokrasi, tidak cukup memahami atau dapat pula terjadi bahwa mereka memiliki

persepsi-persepsi yang berbeda dengan pengertian sila demi sila itu. Sebagian besar

orang hanya memahami Pancasila dalam rangka sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia.

Padahal keempat sila lainnya sungguh sangat penting untuk juga diwujudkan dalam

praktik. Pengertian Pancasila tidak boleh direduksi hanya dalam konteks satu sila saja,

tetapi harus menyeluruh dan simultan. Setiap aparat birokrasi kita haruslah

berketuhanan YME, berkemanusiaan yang adil dan beradab, bersatu, bersifat

kerakyatan, dan berorientasi keadilan sosial.3

Pemahaman Pancasila sendiri selain sebagai ideologi, pandangan hidup,

kepribadian, kebudayaan negara dan bangsa adalah kristalisasi nilai, standar etika, serta

manifestasi norma, dalam aspek moralitas, pikiran, tindakan dan ucapan. Dengan

demikian, seluruh ruang kehidupan bermasyarakat bernegara berada dalam koridor

3 Latif, Y, (2011), Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Page 6: Semnas Sipendikum FH UNIKAMA · menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga negara. ... kesadaran kolektif dalam ... Pancasila, 1 Juni 1945 sebagai pedoman

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

40

landasan ideologis Pancasila. Perwujudan ideologi dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara tidak lepas pula dari kesatuan sistematika etika yang dipraktekkan. Pancasila

sendiri mendasarkan tata etika pada lima prinsip negara Indonesia yang dipaparkan

dalam pidato lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945 sebagai pedoman dalam penggalian

kembali etik yang sesuai dengan kepribadian bangsa.

Keteladanan Pemimpin

Dalam sistem ketatanegaraan yang belum tertib dan fungsional seperti sekarang

ini, peran kepemimpinan menjadi sangat sentral untuk menjamin terjadinya perbaikan

untuk kepentingan rakyat. Setiap pejabat atau pemegang jabatan (ambtsdraggers,

officials, officers, fungsionaris), mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling

rendah perlu menyadari kekuatan pengaruh kepemimpinannya dan memanfaatkannya

dengan tulus, ikhlas, dan jujur, semata-mata untuk kepentingan rakyat. Setiap

pemimpin, dalam lingkungan tanggungjawabnya masing-masing harus mendisiplinkan

diri dan para anggotanya untuk secara bersama-sama bekerja untuk mencapai tujuan

organisasi. Setiap pemimpin harus sanggup menjadi contoh, dan mampu menggerakkan

roda organisasi guna mencapai tujuan bersama. Jika, misalnya, kita menginginkan

bersihnya sistem birokrasi dalam lingkup tanggungjawab kita masing-masing, maka

setiap penanggungjawab harus sanggup menjadikan dirinya contoh dalam menerapkan

kehidupan yang bersih, dan mampu membersihkan lingkungan tanggjungjawabnya

dengan otoritas atau kewenangan yang dipercayakan kepadanya.

Jika setiap jajaran kepemimpinan dapat bekerja dengan maksimal, niscaya

semua agenda perbaikan dan penataan kembali kehidupan ketatanegaraan kita ke arah

yang lerbih baik akan dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya. Tetapi selama 14 tahun

terakhir, termasuk dalam upaya bangsa kita melancarkan gerakan pemberantasan

korupsi, tindakan pemberantasan itu seakan-akan hanya menjadi tugas dan

tanggungjawab Komisi Pemberantasan Korupsi, bukan tugas dan tanggungjawab semua

aparat pemimpin dalam seluruh lapisan dan di semua lini serta jajaran birokrasi

kenegaraan dan pemerintahan kita di seluruh tanah air. Lihat bagaimana perilaku polisi

dan petugas DLLAJR di jalanan, perilaku petugas pajak, petugas imigrasi, petugas

Lembaga Pemasyarakatan, petugas pelabuhan, petugas urusan KTP, petugas dan

pegawai bank, petugas asuransi, petugas pos, petugas pembuangan sampah, petugas

listrik, buruh bangunan, dan lain-lain sebagainya. Semuanya apabila kita tes sekarang

Page 7: Semnas Sipendikum FH UNIKAMA · menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga negara. ... kesadaran kolektif dalam ... Pancasila, 1 Juni 1945 sebagai pedoman

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

41

dengan menggunakan ukuran dan kriteria modern tentang korupsi dan suap, serta

prinsip-prinsip “Good Governance”, niscaya semuanya tidak menggambarkan bahwa

kita telah sekian lama melancarkan gerakan nasional anti korupsi.4

Karena itu, diperlukan gerakan kedisiplinan pemimpin yang dimulai dari atas.

Pemimpin tertinggi harus dapat dijadikan teladan, baik dalam hidup bersih maupun

dalam kemampuannya menggerakkan roda organisasi, pembenahan sistem pencegahan

dan pemberantasan korupsi. Tanpa hal itu, ide untuk merealisasikan nilai-nilai Pancasila

dalam perilaku birokrasi negara kita menjadi non-sense dan tidak akan berhasil dengan

efektif. Buktinya, kita sudah melancarkan gerakan anti korupsi, dimulai dengan

Ketetapan MPR, pembentukan KPKPN, dan sekarang pimpinan KPK sudah bekerja

dalam 4 periode, tetapi korupsi tetap saja terjadi dimana-mana, bahkan di depan mata

kita sendiri. Ini jelas menggambarkan kepada kita bahwa pendekatan represif dengan

hanya mengandalkan peran KPK seperti yang sudah berlangsung sampai sekarang ini,

adalah tindakan dan pendekatan yang relatif tidak dapat diandalkan. Kita memerlukan

pendekatan lain dengan menggerakkan peranan kepemimpinan, dengan memberikan

contoh atau keteladanan untuk hidup bersih tanpa korupsi, kemampuan untuk

membersihkan lingkungan tanggungjawabnya, baik melalui upaya pencegahan maupun

penindakan, dan melakukan upaya-upaya pembenahan sistemik dan penataan kembali

sistem administrasi, termasuk dengan melakukan upaya modernisasi sistem

administrasi, sehingga perilaku koruptif tidak akan atau setidaknya sulit untuk terjadi

lagi.

Pancasila Sebagai Ideologi Perlawanan Terhadap Kecurangan (Fraud)

Pancasila memiliki pandangan moral luar biasa yang terkandung dalam sila-

silanya. Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan haluan

keselamatan bangsa. Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan kenegaraan,

Pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat dimana

dalam setiap sila memiliki justifikasi historis, rasional dan aktual yang dipahami,

dihayati, dipercayai, dan diamalkan secara konsisten sehingga dapat menopang

pencapaian-pencapaian agung peradaban bangsa ini.5

4 Pratikno, (2005), Good governance dan governability, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Vol. 8, No.

3, 231‐248. 5 Latif, Y, (2011), Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Page 8: Semnas Sipendikum FH UNIKAMA · menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga negara. ... kesadaran kolektif dalam ... Pancasila, 1 Juni 1945 sebagai pedoman

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

42

Jika kesadaran terdalam kita sampai pada ujung pemaknaan bahwa kecurangan

(termasuk korupsi dan suap) akan menghancurkan suatu peradaban bangsa dan

menistakan kemanusiaan, maka seharusnya kita menggelorakan “perang kemerdekaan”

jilid II. Sebagaimana yang dilakukan para pejuang pendahulu dalam melawan belenggu

penjajahan dan kebiadaban, semangat terbebas dari belenggu kecurangan harus

digaungkan saat ini. Perlawanan ini antara lain dilakukan dengan menghidupkan dan

memperkuat kembali (revitalisasi) nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nyata, bukan

sekedar diwacanakan.

Birokrasi Pancasilais

Selain beretika dan berorientasi kepada upaya pembersihan dan pembenahan

sistemik, birokrasi yang Pancasilais harus benar-benar terkait dengan kelima sila

Pancasila. Pertama, perlu dipahami bahwa setiap warga masyarakat kita dimana saja,

boleh bebas dan merdeka untuk beragama atau tidak beragama, untuk percaya kepada

Tuhan atau ateis sama sekali. Begitulah pengertian ideal yang seharusnya kita pahami

dari jaminan konstitusional Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 tentang kemerdekaaan

beragama (freedom of belief or freedom of religion). Tidak boleh ada orang yang

dipaksa memeluk sesuatu agama atau aliran keagamaan yang ia tidak percayai. Akan

tetapi, birokrasi dan para birokrat yang bekerja di dalamnya tidak boleh ateis. Semua

pejabat dan pegawai harus percaya kepada adanya Tuhan YME, apapun agama yang

dianut dan dipercayainya. Karena itu, semua pejabat dan pegawai negara dan negeri

selalu dipersyaratkan oleh undang-undang agar beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan

Yang Maha Esa.

Nilai-nilai ketuhanan merupakan sumber moralitas dan spiritualitas (yang

bersifat vertikal-transendental) bagi bangsa Indonesia. Ini sudah merupakan kenyataan

hakiki dimana Tuhan telah “hadir” dalam relung jiwa manusia Indonesia sejak lampau,

meski usaha-usaha untuk mencerabutnya terus menerus dilakukan oleh para kolonialis.

Hal demikian menunjukkan bahwa sejarah panjang perjuangan mencapai dan

mempertahankan kemerdekaan Indonesia, banyak dilandasi oleh semangat

keberagamaan. Etos perjuangan para pendahulu bangsa yang sangat kuat dilandasi oleh

semangat ketuhanan ini, antara lain dapat diperhatikan dalam pernyataan Pembukaan

UUD 1945 alinea ketiga yang berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa

…”, dan pekik gemuruh “Allahu Akbar” yang disuarakan oleh Bung Tomo saat

Page 9: Semnas Sipendikum FH UNIKAMA · menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga negara. ... kesadaran kolektif dalam ... Pancasila, 1 Juni 1945 sebagai pedoman

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

43

menggelorakan semangat juang rakyat pada perang kemerdekaan 10 Nopember 1945 di

Surabaya.6

Dalam konteks pola keberagamaan Islam, jika syahadat itu merupakan

pernyataan keyakinan substansif kita akan keesaan Tuhan, maka seharusnya kita juga

tidak mengeramatkan atau memesonakan selain-Nya (misalnya

jabatan/kekayaan/prestise) karena itu adalah syirik. Dengan pemahaman demikian maka

ketika kita menjadikan jabatan/kekayaan/prestise sebagai orientasi utama hidup kita,

maka kita sudah terjebak pada kemusyrikan. Hidup dalam kemusyrikan sudah tentu

tidak berkah, dan karenanya menjadikan jabatan/kekayaan/prestise sebagai orientasi

utama dalam kehidupan kita pasti akan berakibat ketidakberkahan. Sedemikian

terpesonanya kita pada jabatan/kekayaan/prestise itu sehingga semangat dan cara

mencapainya pun sarat dengan kecurangan.

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan

selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun

orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya

orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari

kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat

siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal) (QS. Albaqarah, ayat: 165).”

Jika dengan syahadat itu kita juga meyakini bahwa Muhammad SAW itu adalah

Rasul Allah SWT. Dalam hal ini satu contoh akhlaq yang luar biasa baiknya diajarkan

Rasulullah SAW untuk kita aplikasikan dalam menghindari kecurangan adalah selalu

berniat baik dalam menjalani berbagai aktivitas. Jika kita melakukan aktivitas dengan

niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT maka itu akan mendapatkan pahala

yang besar, dan sebaliknya jika meniatkan bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah

SWT maka yang kita dapatkan hanya kenikmatan dunia, baik berupa kedudukan, pujian,

melimpahnya harta atau yang lainnya. Terbukti bahwa kebanyakan kenikmatan-

kenikmatan dunia ini akan menghanyutkan dan kemudian menenggalamkan manusia

pada kesesatan.

“Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika

engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu” (H.R. Muslim).

6 Jimly Asshiddiqie, (2011), Membudayakan Nilai-nilai Pancasila dan Kaedah-kaedah Undang-Undang

Dasar Negara RI tahun 1945, Surabaya: Makalah dalam Kongres Pancasila III 31 Mei-1 Juni.

Page 10: Semnas Sipendikum FH UNIKAMA · menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga negara. ... kesadaran kolektif dalam ... Pancasila, 1 Juni 1945 sebagai pedoman

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

44

Komitmen ketuhanan ini dijadikan sebagai sumber motivasi dan inspirasi dalam

menjalani kehidupan. Ihsan sepenuhnya dapat menjadikan seseorang sebagai pribadi

yang selalu berbuat baik. Dengan demikian ihsan juga bermakna suatu keadaan di mana

seorang manusia mencurahkan kebaikan dan menahan diri untuk tidak mengganggu

orang lain. Perbuatan baik ini antara lain diwujudkan dengan sifat-sifat kejujuran,

kerendah hati dan ketulusan dalam menjalani aktivitas kehidupannya. Ini kemudian

akan berlanjut pada penciptaan suasana kehidupan yang dipenuhi cinta kasih pada

sesama.

Birokrasi kita haruslah berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Ada kaitan

antara sikap berketuhanan, dengan berperikemanusiaan. Dengan percaya kepada Tuhan

sebagai satu-satunya yang mutlak, semua orang sebagai makhluk Tuhan haruslah

dipandang menurut prinsip persamaan kemanusiaan dan egalitarianisme. Karena itu,

sering dikatakan bahwa ketaqwaan itu dekat dengan keadilan, dan keadilan juga dekat

dengan ciri taqwa, sehingga melahirkan sikap egaliter, saling hormat menghormati

perbedaan satu dengan yang lain, dan merekat persatuan bangsa di tengah

kemajemukan. Karena itu, dalam birokrasi kita harus tumbuh budaya egaliter, mengikis

feodalisme, tidak memandang satu sama lain dengan kacamata atasan bawahan.

Kultur birokrasi kita harus berkembang menurut prinsip “meritokrasi”, bukan

KKN berdasarkan hubungan darah, atau sistem koneksi yang bertentangan dengan

prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance). Dalam proses

pengambilan keputusan, birokrasi yang Pancasilais harus bersifat kerakyatan,

partisipatoris, menerapkan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat berdasarkan

aturan hukum dan etika (the rule of law and the rule of ethics) yang diakui dan/atau

disepakati bersama. Karena itu, birokrasi kita tidak perlu terlalu hirarkis, apalagi dengan

hirarki yang sangat berjarak antara struktur teratas dengan struktur terbawah. Di

samping itu, birokrasi kita juga tidak boleh berjarak dengan rakyat yang harus dilayani,

karena tujuan dibentuknya birokrasi pemerintahan tidak lain ialah untuk melayani

kepentingan rakyat. Karena itu, sistem pengambilan keputusan dalam birokrasi

Pancasilais haruslah berorientasi kepada upaya untuk dari waktu ke waktu memperdekat

jarak antara struktur atau strata jabatan tertinggi dengan terendah, baik jarak eksternal

antara birokrasi dengan rakyat maupun jarak internal antara pegawai dan pejabat di

lingkungan birokrasi. Ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan sosial bagi seluruh

Page 11: Semnas Sipendikum FH UNIKAMA · menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga negara. ... kesadaran kolektif dalam ... Pancasila, 1 Juni 1945 sebagai pedoman

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

45

rakyat Indonesia sebagai sila kelima Pancasila. Dengan demikian, struktur jabatan dan

struktur pendapatan dalam sistem administrasi pemerintahan kita yang berlaku sekarang

harus diperbaiki, sehingga lebih berorientasi kepada prinsip keadilan sosial atau (social

justice based administration).

Kesimpulan

Birokrasi Pancasilais Republik Indonesia di masa depan haruslah dikembangkan

menjadi birokrasi yang benar-benar (1) berketuhanan, (2) berperikemanusiaan yang adil

dan beradab, (3) bersatu, (4) merakyat dalam dirinya sendiri, dan merakyat pula

sikapnya dalam melayani kepentingan umum, serta (5) terus menerus berorientasi

keadilan sosial dengan cara dari waktu ke waktu memperdekat jarak kesejahteraan

antara pegawai terendah dengan pejabat tertinggi, serta menjalankan tugas-tugas

pelayanan kepada masyarakat yang juga mendorong berkembangnya struktur sosial

yang berkeadilan.

Untuk mengembangkan tata nilai kehidupan Pancasila, yang secara mendasar

adalah harus adanya unsur keyakinan bahwa Pancasila merupakan ideologi yang tepat

untuk bangsa Indonesia. Pancasila memuat konsep-konsep dasar yang menunjukkan

adanya seperangkat keyakinan untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan, yaitu

kemajuan bangsa Indonesia. Berdasarkan pandangan yang demikian maka Pancasila

dapat dibawa ke dalam ranah berbagai media kehidupan kebangsaan, termasuk ranah

profesi. Asshiddiqie (2011) menyatakan bahwa upaya pembudayaan Pancasila dapat

diwujudkan secara konkrit dalam praktik kehidupan masyarakat, antara lain melalui

perumusan kode etik dan kode perilaku beserta pelembagaan institusi penegaknya di

lingkungan jabatan kenegaraan, pemerintahan, ormas, LSM dan Badan Usaha.

Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah peran lembaga pendidikan. Secara

institusional benteng moral kehidupan bangsa Indonesia saat ini adalah pendidikan.

Pendidikan adalah media penyebaran ideologi yang paling efektif untuk generasi

mendatang. Kurikulum harus adaftif terhadap penyebaran cara pandang Pancasila ini

sehingga efektif membentuk karakter manusia Indonesia seutuhnya. Bukan dengan cara

doktriner Pancasila ditanamkan, namun dengan pola yang lebih mengedepankan asah

kritis peserta didik sehingga memahami Pancasila dengan segala potensi kecerdasannya,

menyerap nilai-nilainya dengan ketulusan, mengimplementasikannya dengan

keikhlasan, dan menyebarkannya dengan keyakinan.

Page 12: Semnas Sipendikum FH UNIKAMA · menjadi sangat penting karena menyangkut kehidupan bangsa dan warga negara. ... kesadaran kolektif dalam ... Pancasila, 1 Juni 1945 sebagai pedoman

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

46

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, J, (2011), Membudayakan Nilai-nilai Pancasila dan Kaedah-kaedah

Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945, Surabaya: Makalah dalam

Kongres Pancasila III 31 Mei-1 Juni.

Latif, Y, (2011), Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas

Pancasila, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Pratikno, (2005), Good governance dan governability, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik: Vol. 8, No. 3, 231‐248.

Widya Jaya, A.W, (1991), Etika Pemerintahan, Jakarta: Bumi Aksara.