SAK ETAP-BASED AGRICULTURAL (SUGARCANE) ACCOUNTING …
Transcript of SAK ETAP-BASED AGRICULTURAL (SUGARCANE) ACCOUNTING …
1
SAK ETAP-BASED AGRICULTURAL (SUGARCANE) ACCOUNTING
A DESCRIPTIVE ANALYSIS STUDY
By:
Emir Faishal Baihaqi
Advisor:
Dr. Bambang Hariadi, M.Ec., CPA., Ak.
ABSTRACT
This study aims at identifying costs paid by sugarcane farmers in running their
business process, identifying their assets, and helping them by providing samples of
financial report appropriate to their business. The report is based on SAK ETAP since
their business is not the major one and the report is not for publication. This qualitative
descriptive study was held from May to October 2015 around Tjandi Baru sugar factory
in Sidoarjo and around Krebet sugar factory, in which the farmers of the surrounding
factories are the object. The data are collected through in-depth interviews, observations,
and documentation.
Keywords: qualitative descriptive, SAK ETAP, sugarcane farmers, agricultural
accounting, cost accounting
1. Pendahuluan
Dalam menjalankan usaha perkebunan tebunya, petani tentunya membutuhkan dana
yang tidak sedikit. Sutrisno (2009) menyatakan biaya pengeluaran petani dalam pertanian
dan perkebunan merupakan seluruh pengorbanan, meliputi nilai input yang dipergunakan
selama proses usaha tani, yang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu biaya sarana produksi,
biaya tenaga kerja, dan biaya modal. Terdapat biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh
para petani, yang muncul sejak akan dimulainya penanaman, hingga proses akhir masa
panen. Rossano (2016) menjelaskan, biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh petani
berpengaruh kepada baik atau buruknya kualitas budidaya tebu selama berada di
lapangan.
Biaya-biaya tersebut diatas dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian sesuai dengan
akuntansi biaya. Bagian pertama adalah biaya bahan baku, yaitu pembelian bibit dan
pupuk. Biaya tenaga kerja langsung, yaitu biaya pemotongan dan penanaman bibit, biaya
pemupukan, pembubutan, roges, dan aktivitas pemeliharaan tanaman lainnya serta tebang
angkut. Biaya overhead, yaitu pengairan. Mulawarman (2012) menjelaskan, akuntansi
pertanian membantu merubah pandangan pertanian menuju pandangan bisnis. Menurut
Fitriani, et al (2013), tingkat keberhasilan proses produksi tebu oleh para petani
2
ditunjukkan melalui tingkat produktivitasnya. Hal ini kemudian ditambahkan oleh Purina
(2010) yang menyatakan, kriteria tebu yang bermutu tinggi dan layak giling harus
memenuhi standar bersih, segar, dan manis, memiliki tingkat rendemensasi yang tinggi
pula sehingga dapat menghasilkan harga pokok gula yang tinggi pula. Peneliti lain,
Indrawanto, et.al (2010), memaparkan bahwa kualitas rendemen tebu akan
mempengaruhi prosentase bagi hasil gula petani dengan pabrik gula.
Nurmanaf (2007) menjelaskan bahwa, lembaga formal pembiayaan mikro di
pedesaan lebih mudah diakses oleh petani dengan kepemilikan lahan yang luas. Kondisi
ini tentunya disebabkan oleh penilaian akan kepemilikan aset yang dijadikan sebagai
jaminan. Masalah urgensi pendanaan ini diperkuat oleh Nanda (2013) yang
mengungkapkan bahwa, keterbatasan dana yang dialami petani telah berkontribusi dalam
menciptakan kemerosotan jumlah produksi gula nasional.
Dalam hal pembiayaan, petani hanya melakukan pembelian kebutuhan dalam bertani
sejumlah yang petani butuhkan dengan modal perhitungan kasar. Biaya-biaya tersebut
biasanya merupakan biaya yang wajib petani keluarkan, seperti biaya pembelian pupuk,
bibit, tenaga kerja, dan lain sebagainya. Apabila petani melakukan pencatatan dengan
benar, terdapat manfaat-manfaat yang sangat mungkin petani dapatkan dari adanya
pencatatan yang dilakukan dengan baik. Manfaat-manfaat tersebut antara lain mudahnya
petani melakukan kontrol biaya yang harus petani keluarkan untuk melakukan kegiatan
usaha taninya, serta dapat dijadikan sebagai alat pengajuan dana pinjaman.
Dalam melakukan pencatatan laporan keuangan, terdapat standar yang mengatur
tentang tata cara pencatatan laporan keuangan. Standar yang sesuai dengan petani adalah
SAK ETAP. Standar ini memberikan panduan tentang tata cara pencatatan laporan
keuangan yang baik, sehingga laporan keuangan yang disusun dapat lebih mudah untuk
dipahami, baik untuk diri pemilik catatan maupun untuk pemberi pinjaman modal,
apabila memang diperlukan nantinya, ataupun pengguna catatan lainnya, apabila
dibutuhkan.
Dari latar belakang yang telah dijabarkan diatas, maka peneliti mengambil judul
Akuntansi Pertanian (Tebu) Berbasis SAK ETAP Studi Analisis Deskriptif dengan lokasi
penelitian di daerah PG. Tjandi, kabupaten Sidoarjo, dan PG. Krebet, kabupaten Malang,
dengan menggunakan analisis deskriptif sebagai metode penelitian, serta menggunakan
SAK ETAP sebagai landasan akuntansi dalam kajian pustaka. Rumusan masalah yang
diangkat adalah mengenai bagaimana bentuk pencatatan akuntansi yang disusun oleh para
petani dan bagaimana pencatatan akuntansi yang seharusnya disusun sesuai dengan SAK
ETAP. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami pencatatan transaksi yang
dilakukan oleh petani, kemudian dikaitkan dengan SAK ETAP. Pencatatan tersebut
kemudian disusun menjadi laporan keuangan berdasarkan SAK ETAP, sehingga laporan
tersebut dapat digunakan oleh petani dalam kegiatan usahanya.
2. Tinjauan Pustaka
2.1. Pertanian dalam Sudut Pandang Ekonomi
3
Pertanian dalam sudut pandang ekonomi yang dijelaskan dalam buku Mubyarto
(1972:4) mengungkapkan, ilmu ekonomi pertanian telah muncul di Indonesia pertama
kalinya sejak awal tahun 1950. Pada saat itu, ilmu ekonomi pertanian belum mendapat
dukungan yang kuat didalamnya. Dukungan tersebut baru dirasakan pada tahun 1969
ketika ilmu ini diakui sebagai sebuah cabang profesi sendiri, dan kemudian melahirkan
perhimpunan tersendiri, yaitu Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia. Terdapat dua
sifat yang dimiliki oleh ilmu ekonomi pertanian ini. Sifat yang pertama yaitu berkaitan
dengan aspek sosial-ekonominya, dan sifat kedua, ilmu ini tidak berbeda jauh dengan
ilmu ekonomi pada umumnya.
Pertanian di Indonesia tetap memiliki permasalahan tersendiri. Salah satu masalah
terbesarnya adalah masa penanaman yang identik dengan pengeluaran dalam jumlah
besar, dan selisih waktu yang sangat jauh dengan masa panen, yang kemudian
mempengaruhi penerimaan pendapatan. Hal ini membuat para petani harus memutar otak
agar dana yang petani miliki tidak habis pakai terlebih dahulu sebelum masa tanam
dimulai kembali.
Dalam ilmu ekonomi pertanian, fungsi produksi digunakan untuk menunjukkan
adanya hubungan antara hasil produksi, yang biasa juga dikenal sebagai output, dengan
faktor-faktor produksi, yang dikenal sebagai input. Input-input ini digunakan untuk
mendapatkan hasil produksi, atau yang dikenal sebagai output. Semakin tinggi output
yang dihasilkan dengan jumlah input yang sama, maka dapat dikatakan juga semakin
tinggi efisiensi produksi yang dicapai. Dalam ilmu ekonomi pertanian, hasil produksi
tidak dapat seluruhnya diterima, akibat adanya biaya-biaya yang diperlukan yang
berkaitan dengan faktor-faktor produksi selama masa produksinya. Biaya-biaya tersebut
terbagi menjadi dua macam, yaitu biaya produksi atau biaya variable dan biaya tetap.
2.2. Laporan Keuangan berdasarkan SAK ETAP
Standar Akuntansi Keuangan (SAK) untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik
(ETAP) memiliki ruang lingkupnya sendiri. Standar ini dikhususkan untuk digunakan
oleh entitas tanpa akuntabilitas publik, yaitu suatu entitas yang tidak memiliki
akuntabilitas publik signifikan. Entitas yang memiliki akuntabilitas publik yang
signifikan dapat menggunakan standar ini, apabila otoritas berwenang membuat regulasi
untuk mengizinkan penggunaan SAK ETAP.
Tujuan penyusunan laporan keuangan adalah menyediakan informasi mengenai
posisi keuangan, kinerja keuangan, dan laporan arus kas suatu entitas yang bermanfaat
bagi sebagian pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi. Perlu diketahui bahwa
SAK ETAP diterbitkan oleh IAI pada tanggal 17 Juli 2009, dan mulai efektif per tanggal
1 Januari 2011. Laporan keuangan juga menyertakan apa yang telah dilakukan oleh
manajemen (stewardship) atau pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang
dipercayakan kepada manajer. Hal tersebut dilakukan guna membantu dalam tercapainya
tujuan dari penyusunan laporan keuangan.
Posisi keuangan dalam laporan keuangan suatu entitas terdiri dari unsur-unsur aset,
kewajiban, dan ekuitas pada satu periode tertentu. Unsur-unsur tersebut memiliki
4
definisinya masing-masing. Aset merupakan sumber daya yang dikuasai oleh entitas
sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan manfaat ekonomi yang diharapkan di masa
depan dapat diperoleh entitas pemilik aset. Manfaat ekonomi masa depan yang terwujud
dalam aset adalah potensi dari aset tersebut. Manfaat yang diharapkan dapat berupa
sumbangan baik langsung maupun tidak langsung terhadap arus kas dan setara kas kepada
entitas. Wujud dari aset dapat berupa aset berwujud dan aset tidak berwujud.
Unsur kewajiban merupakan kewajiban masa kini entitas yang timbul akibat dari
peristiwa masa lalu. Penyelesaian dari kewajiban ini mengakibatkan adanya arus keluar
dari sumber daya entitas yang mengandung manfaat ekonomi. Karakteristik esensial dari
kewajiban atau liability adalah entitas mempunyai kewajiban (obligation) masa kini
untuk bertindak atau untuk melaksanakan sesuatu dengan cara tertentu. Unsur ketiga yaitu
ekuitas. Ekuitas adalah hak residual atas aset entitas setelah aset-aset tersebut dikurangi
dengan semua kewajiban.
Laporan keuangan yang disusun oleh suatu entitas haruslah disusun secara lengkap,
berisikan elemen-elemen laporan keuangan yang telah diatur dalam SAK ETAP. Elemen-
elemen tersebut adalah neraca, laporan laba-rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus
kas, dan catatan atas laporan keuangan (CALK). Dalam penyajian neraca, terdapat
beberapa poin penting yang termasuk dalam neraca. Poin-poin penting tersebut adalah
kas dan setara kas, piutang usaha, persediaan, property investasi, aset tetap, aset tidak
berwujud, utang usaha, kewajiban pajak, kewajiban diestimasi, dan ekuitas. Dalam
penyajiannya, aset dan kewajiban haruslah terpisah, berdasarkan tingkat likuiditas. Aset
dibagi menjadi dua, yaitu aset lancar dan aset tidak lancar atau aset tetap, sedangkan
kewajiban juga dibagi menjadi dua, yaitu kewajiban jangka pendek dan kewajiban jangka
panjang.
Penyajian laporan laba-rugi dibutuhkan karena laporan ini berisikan mengenai
kinerja keuangan suatu entitas dalam satu periode laporan keuangan yang sama. Laporan
perubahan ekuitas merupakan elemen penting lainnya yang harus termasuk ke dalam
laporan keuangan. Tujuan disajikannya laporan perubahan ekuitas adalah untuk
mengetahui perubahan-perubahan jumlah ekuitas akibat adanya laba atau rugi bersih
usaha yang telah dilaporkan sebelumnya ke dalam laporan laba-rugi. Laporan arus kas
merupakan laporan yang menyajikan informasi mengenai perubahan historis kas dan
setara kas yang dimiliki suatu entitas, akibat adanya aktivitas usaha yang dilakukan oleh
entitas tersebut baik itu akibat dari aktivitas operasi, investasi, maupun pendanaan, dalam
satu periode yang sama. Elemen terakhir yang terdapat dalam laporan keuangan adalah
catatan atas laporan keuangan (CALK). Catatan ini berisikan tentang informasi tambahan
yang disajikan dalam laporan keuangan.
3. Metode Penelitian
Menurut Sekaran (2007:7), penelitian merupakan suatu bentuk investigasi atau
keingintahuan ilmiah yang terorganisir, terstruktur, dan berbasiskan suatu data dan
bersifat kritis terhadap suatu masalah dengan tujuan menemukan jawaban atau solusi.
Dalam penelitian Gunawan (2012), mengungkapkan, penelitian adalah suatu kegiatan
5
atau aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan suatu informasi dan kemudian
informasi tersebut dianalisis untuk meningkatkan pemahaman akan suatu masalah,
dengan tiga alasan penting dilakukannya suatu penelitian, yaitu untuk menambah
pengetahuan, meningkatkan praktik, dan menginformasikan perdebatan kebijakan.
Metode penelitian dalam ilmu sosial terbagi menjadi dua jenis pendekatan, yaitu
pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kualitatif, karena dalam penelitian ini memiliki tujuan untuk menggali
transaksi-transaksi apa saja yang dilakukan oleh petani dan bagaimana petani melakukan
pencatatan transaksi dalam kegiatan usahanya. Pengkajian didalamnya juga tentang
analisis deskriptif, yang dijelaskan dalam buku Metodologi penelitian Moleong (2011:11)
bahwa penelitian kualitatif deskriptif digunakan untuk memahami tentang fenomena-
fenomena yang terjadi di suatu lokasi. Fenomena yang diteliti ini adalah fenomena
mengenai tata cara pencatatan biaya yang dilakukan oleh para petani, bagaimana petani
melakukan pencatatan biaya yang dikeluarkan dalam kegiatannya melakukan usaha tani,
serta transaksi-transaksi lainnya yang dilakukan petani dalam menjalankan usahanya,
mulai dari masa tanam, baik itu tanam awal maupun tanam berkelanjutan, hingga masa
panen. Selain mengkaji fenomena-fenomena yang terjadi, penelitian ini juga mengkaji
atau menganalisis temuan berupa teks, dalam hal ini adalah laporan keuangan milik
narasumber, baik yang tercatat rapi maupun yang bersifat sederhana.
Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data
deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati
dari orang-orang yang diteliti (Taylor dan Bogdan, 1992). Dalam buku metodologi
penelitian Moleong (2011:6) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena apa yang terjadi yang sedang atau telah
dialami oleh subjek penelitian secara holistik dan dideskripsikan dalam bentuk kata-kata
dan bahasa, dengan memanfaatkan metode ilmiah.
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil petani tebu yang berada di lokasi sekitar
pabrik gula Tjandi Baru, Sidoarjo, dan sekitar pabrik gula Krebet, Malang. Hal ini
dikarenakan pabrik gula Krebet merupakan salah satu pabrik gula dengan penghasil
rendemen tebu tertinggi di Jawa Timur, bahkan di Indonesia, sedangkan pabrik gula
Tjandi Baru merupakan induk dari pabrik gula Krebet itu sendiri.
Petani yang kami jadikan narasumber adalah Bapak As’ari, petani tebu yang
berdomisili di Sidoarjo, sebagai petani pemilik lahan, dan memberikan hasil panen
tebunya untuk diolah oleh pabrik gula Tjandi Baru. Perlu diketahui pula bahwa sudah
tidak terdapat petani buruh yang berdomisili di Sidoarjo, sehingga untuk pengolahan
lahan miliknya, narasumber mendatangkan petani buruh dari luar kota. Petani yang
berdomisili di Malang adalah Bapak Seniman, Muslimin, Saduki, dan Solikhin. keempat
narasumber tersebut adalah pemilik sekaligus buruh tani di lahan petani masing-masing,
dan menyerahkan seluruh hasil panennya kepada pabrik gula Krebet, Malang.
6
Wawancara kepada para narasumber tersebut dilkukan secara berkelompok atau
Focussed Group Discussion.
Penelitian ini menggunakan cara wawancara kepada para petani dan dilaksanakan
dalam kurun waktu kurang lebih sekitar enam bulan, yaitu bulan Mei sampai bulan
Oktober 2015. Wawancara dilakukan secara langsung menemui narasumber-narasumber
dilokasi yang telah disetujui sebelumnya.
3.2. Data Penelitian
3.2.1. Jenis dan Sumber Data
Berdasarkan buku Moleong (2011:157), sumber data utama pada data kualitatif
adalah kata-kata dan tindakan, selain itu seperti dokumen, foto-foto, dan lain sebagainya
merupakan data tambahan.
a. Data Primer
Data primer yang digunakan dalam penulisan ini adalah hasil dari wawancara
dengan para petani tebu yang menyerahkan hasil panennya kepada dua perusahaan gula,
yaitu perusahaan pabrik gula Krebet yang berlokasi di Kabupaten Malang serta pabrik
gula Tjandi Baru yang berlokasi di Candi, Sidoarjo.
b. Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini merujuk SAK ETAP, karena
standar akuntansi tersebut sesuai dengan penelitian ini, yaitu petani sebagai pelaku usaha
kecil.
3.2.2. Metode Pengumpulan Data
a. Wawancara
Pengertian dari metode wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara tanya-jawab secara langsung kepada pihak terkait, guna
mendapatkan data yang relevan dan sesuai dengan permasalahan yang sedang diteliti.
Dalam metode ini, wawancara yang dilakukan bukan wawancara dengan kaku yang
terstruktur menggunakan teks, namun wawancara yang mendalam (in depth interview),
dengan tanpa teks terhadap para responden atau informan, yang dalam hal ini lebih di
khususkan kepada para petani, baik petani kecil maupun petani dengan skala besar.
b. Observasi
Pengertian dari observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara melakukan
pengamatan langsung pada situasi serta kondisi disuatu lingkungan tertentu dengan tujuan
untuk memahami aktivitas-aktivitas yang berlangsung, yang kemudian menjelaskan siapa
saja yang terlibat didalam suatu aktivitas tersebut, serta memahami makna dari suatu
kejadian guna mendeskripsikan setting yang terjadi pada suatu aktivitas.
c. Dokumentasi
Pengertian dari dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara melihat,
mengumpulkan, dan kemudian menggunakan laporan-laporan, catatan-catatan, dan
formulir yang mendukung penelitian.
7
3.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Dalam penelitian ini, data yang diterima dalam penelitian ini adalah berupa data
kualitatif, dikarenakan penelitian ini juga menggunakan jenis kualitatif. Untuk mengolah
data tersebut, peneliti menggunakan metode analisis data deskriptif. Seperti penjelasan
pada sub-bab sebelumnya, sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam buku metodologi
penelitian Moleong (2011:11), dijelaskan bahwa penelitian kualitatif deskriptif
digunakan untuk memahami tentang fenomena-fenomena yang terjadi.
3.4. Pengujian Kredibilitas Data
Dalam Moleong (2011:330), triangulasi atau keabsahan data membantu tercapainya
kredibilitas (kepercayaan) dalam penelitian kualitatif. Terdapat beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk melakukan uji kredibilitas data, yaitu :
a. Triangulasi Teknik
Triangulasi teknik dilakukan untuk menguji kredibilitas data, dengan cara
mengecek data kepada sumber yang sama namun dengan teknik yang berbeda.
Pencocokan hasil wawancara dengan hasil dokumentasi sangat sesuai untuk
membuktikan keabsahan data yang didapatkan penulis.
b. Triangulasi Waktu
Penulis melakukan triangulasi waktu dengan cara melakukan wawancara dengan
narasumber pada waktu dan situasi yang berbeda. Wawancara dilakukan pertama dengan
cara mendatangi rumah milik petani, dan wawancara kedua dilakukan dengan cara
menelpon narasumber ketika narasumber sedang melakukan usaha taninya.
c. Menggunakan Bahan Referensi
Bahan referensi yang digunakan sebagai bahan pendukung atau untuk pembuktian
kredibilitas data adalah rekaman suara hasil wawancara secara langsung, serta hasil
wawancara melalui telepon ketika petani sedang melakukan usaha taninya.
4. Hasil Penelitian
4.1. Gambaran Umum Petani Wilayah Pabrik Gula Krebet
Tekstur tanah dan kandungan-kandungan tanah, baik biologi, kimia, dan fisika di
wilayah malang selatan, khususnya di wilayah Bululawang, krebet, sangat mendukung
untuk komoditas pertanian tebu. Dikarenakan hal tersebut, sebagian besar para petani di
daerah Bululawang rata-rata bercocok tanam tebu untuk mencukupi kehidupan sehari-
hari. Namun, hal tersebut berbalik dengan apa yang ada di Sidoarjo. Tekstur tanah tidak
mendukung seperti apa yang ada di wilayah Bululawang, sehingga menyebabkan banyak
perbedaan, termasuk mengenai penanaman ulang tebu. Di wilayah Bululawang, petani
melakukan tanam ulang setelah melewati delapan hingga dua belas kali masa panen. Di
Sidoarjo, petani melakukan tanam ulang tidak lebih dari lima hingga enam kali masa
panen. Tingkat rendemen juga dapat dilihat, bahwa di Bululawang merupakan penghasil
rendemen tebu tertinggi, sedangkan Sidoarjo cukup rendah.
Para petani membutuhkan modal cukup besar untuk melakukan usahanya. Hal ini
tampak dalam penjelasan para petani, mengenai harga-harga pupuk, biaya tebang angkut,
8
biaya perawatan, pengairan, yang intinya adalah biaya-biaya yang dibutuhkan selama
masa tanam hingga masa panen. Namun petani di wilayah Bululawang kesulitan
mendapatkan dana usaha, meskipun itu dari koperasi. Kejadian tersebut tidak terjadi
sekali dua kali, namun sering kali terdapat kejadian yang sama. Pihak koperasi
mengatakan tidak ada dana untuk menunjang aktivitas yang dibutuhkan para petani untuk
melakukan usaha taninya. Berbeda dengan koperasi di wilayah Candi, Sidoarjo. Koperasi
di wilayah tersebut cukup kooperatif dalam membantu kegiatan usaha tani.
Sebagian petani untuk menutupi kekurangan modal tersebut dengan cara
membagi lahan taninya dengan mengusahakan bercocok tanam komoditas yang lain
selain tebu, seperti menanam padi. Kemudian hasil dari menanam padi digunakan untuk
keperluan merawat dan membudidayakan komoditas tebu milik petani, dan begitu pula
sebaliknya.
Dalam hal akuntansi, petani di kedua wilayah tidak mengenal apa itu akuntansi
dan bagaimana akuntansi itu sendiri. Petani hanya mengetahui tentang pencatatan
mengenai beban-beban apa saja yang petani keluarkan. Namun, petani di Sidoarjo
melakukan pencatatan dengan lebih baik dan lebih rapi, mengenai waktu panen di setiap
lahan dan menyimpan perhitungan-perhitungan penting seperti struk pendapatan yang
diterima dari pabrik, bukti timbang dari pabrik, dan lain sebagainya. Tingkat pendidikan
yang rendah sangat memungkinkan menjadi penyebab para petani tersebut hanya
melakukan pencatatan-pencatatan sederhana, dan lebih banyak menggunakan
penghitungan dan pencatatan dengan modal ingatan semata. Namun, petani di wilayah
Sidoarjo lebih beruntung karena memiliki lahan yang sangat luas dan kehidupan sosial
ekonomi di Sidoarjo yang lebih baik, serta pengetahuan umum tentang bisnis yang lebih
baik.
Peneliti mendapatkan fakta bahwa di wilayah Candi, Sidoarjo, sudah susah,
bahkan mungkin hampir tidak terdapat petani buruh lagi, sehingga petani yang diteliti
adalah petani yang sangat sejahtera, dan mempekerjakan para petani buruh yang berasal
dari luar kota Sidoarjo dengan biaya secukupnya dan dianggap layak. Sedangkan petani
di wilayah Bululawang masih banyak terdapat petani pemilik sekaligus buruh tani. Hal
ini karena lahan yang dimiliki tidak cukup besar sehingga dapat dikerjakan sendiri.
4.2. Pencatatan Transaksi Petani Tebu
Pencatatan yang dilakukan oleh para petani tebu di wilayah Bululawang adalah
pencatatan yang sederhana. Pencatatan tersebut dilakukan dengan mengandalkan ingatan
dan disertai dengan catatan-catatan kecil, yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
catatan-catatan tersebut dapat dibuang sewaktu-waktu, yang dapat diartikan catatan-
catatan tersebut tidak dibutuhkan kembali. Berbeda dengan petani di wilayah Candi,
Sidoarjo, yang telah melakukan pencatatan yang lebih kompleks mengenai masa panen
lahan miliknya dengan sangat teratur dan rapi, menggunakan computer, serta menyimpan
catatan-catatan penting dari pihak pabrik, seperti struk pendapatan, bukti timbang pabrik,
dan lain sebagainya. Namun perlu diketahui bahwa pencatatan tersebut tidak dilakukan
sendiri, melainkan dilakukan oleh pegawainya yang merupakan keponakan sendiri.
9
Mengenai pendapatan, petani tidaklah melakukan pencatatannya sendiri. Para
petani menggantungkan perhitungan pendapatan yang diberikan oleh pihak pabrik, yang
telah tersusun dan tercatat rapi dalam secarik kertas, bagi setiap petani. Namun, petani di
sekitar pabrik gula Krebet tidak menyimpan bukti pendapatan tersebut dengan baik. Hal
ini bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh petani di daerah Candi, Sidoarjo.
Para petani yang diteliti dari kedua wilayah penelitian dapat menjelaskan unsur-
unsur “laporan keuangan” milik petani, sesuai dengan apa yang diingat dengan hanya
sebagian catatan kecil yang petani miliki. Pada saat kondisi lahan belum diolah sama
sekali dan belum terdapat tanaman tebu, Bapak Seniman selaku narasumber menjelaskan
terdapat pengeluaran tersendiri. Dalam satu kali siklus tanam hingga panen, pengeluaran-
pengeluaran yang wajib petani lakukan adalah biaya untuk membajak sawah, pembuatan
barisan tebu, pembelian bibit, penanaman bibit, pembuatan saluran air, pengairan,
pembelian pupuk, pencabutan gulma, pencangkulan, pengelentekan atau pengupasan
daun tebu dari batang, hingga biaya tebang angkut.
Tebu yang sudah ditebangpun tidak perlu ditanam kembali dari awal, karena saat
panen, tebu-tebu tersebut tidak ditebang hingga akar, sehingga dapat tumbuh kembali.
Para narasumber mengatakan bahwa pada masa-masa ini, biaya-biaya yang dikeluarkan
tidak sebanyak ketika awal-awal masa tanam tebu. Lahan tersebut diistilahkan sebagai
lahan “tonggak”, yang berarti lahan yang telah ditanami dan telah dipanen, namun masih
terdapat tanamannya, sehingga petani tinggal menumbuhkannya kembali. Biaya yang
dibutukan petani dalam mengolah lahan tonggak ini tidak sebesar ketika mengolah lahan
kosong. Biaya-biaya tersebut antara lain biaya pemaparan, “pengowakan” atau
pemotongan akar, biaya cangkul, pengelentekan, pengairan, dan biaya tebang angkut.
Terdapat opsi lain yang lebih praktis, namun juga perlu biaya, yaitu membajak sawah
menggunakan kerbau. Perlu diketahui pula, kerbau-kerbau yang digunakan adalah kerbau
yang disewa.
4.3. Keuntungan Penyusunan Laporan Keuangan Bagi Pelaku Usaha Tani
Laporan keuangan memiliki banyak keuntungan bagi pelaku usaha, baik itu bagi
pemilik, maupun selain pemilik. Laporan keuangan berfungsi untuk melakukan kontrol
terhadap aktivitas keuangan pelaku usaha. Dengan adanya laporan keuangan, maka
pelaku usaha dapat melakukan batasan-batasan tertentu yang dibutuhkan, sehingga
kondisi keuangan yang dimiliki tetap sehat.
Menurut PSAK no 1 (2004), laporan keuangan merupakan bagian dari proses
pelaporan keuangan lengkap yang berisikan laporan laba rugi, neraca, laporan arus kas,
laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara), catatan
dan laporan serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dalam laporan
keuangan. Laporan keuangan memiliki karakteristik yang menandakan bahwa laporan
tersebut merupakan laporan keuangan, yaitu :
a. Relevan
Laporan keuangan yang disusun haruslah relevan, yang berarti harus memiliki
keterkaitan dengan situasi dan kondisi yang ada dilapangan.
10
b. Berkompeten
Laporan keuangan yang disusun haruslah berkompeten, yang berarti pembuatan
laporan serta penyusunannya dilaksanakan sejujur-jujurnya tanpa ada yang ditutupi, dapat
diferifikasi, dan juga netral.
c. Dapat dibandingkan
Laporan keuangan yang baik haruslah dapat dibandingkan. Hal ini bertujuan untuk
menemukan kesalahan atau kekurangan yang nantinya dapat diperbaiki, sehingga
selanjutnya tidak ada lagi kesalahan. Perbandingan ini terbagi menjadi dua, yaitu bersifat
internal maupun eksternal.
d. Mudah dipahami
Laporan keuangan yang baik haruslah laporan yang mudah dipahami bagi pengguna
atau pembacanya. Hal ini dikarenakan laporan keuangan memang ditujukan kepada para
pengguna dan pembacanya, guna membantu pemilik dalam menentukan langkah-langkah
berikutnya dalam menjalankan usahanya.
Pada bidang pertanian, penyusunan laporan keuangan yang dapat disusun oleh
petani tidak perlu laporan yang rumit. Laporan yang disusun cukup dengan berdasarkan
pada SAK ETAP, yang telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya. Hal ini dikarenakan
pertanian di Indonesia masih dapat dikategorikan sebagai bisnis kecil.
Penyusunan laporan keuangan dapat memberikan beberapa dampak positif bagi para
pelaku usaha. Laporan keuangan yang baik akan membantu petani, untuk mendapatkan
informasi-informasi yang relevan. Keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh petani
dengan disusunnya laporan keuangan, adalah sebagai berikut:
a. Sebagai bahan evaluasi
Laporan keuangan dapat membantu pelaku usaha, dalam hal ini petani, untuk
mengevaluasi kinerja mereka dalam satu periode tertentu. Sebagai contoh, selama ini,
petani hanya mengetahui jumlah pengeluaran mereka dengan cara perkiraan dan ingatan.
Apabila petani melakukan penyusunan laporan keuangan, petani dengan mudah
mengetahui jumlah secara rinci pengeluaran-pengeluaran yang petani lakukan guna
menggerakkan usaha mereka.
b. Sebagai alat untuk pengajuan dana usaha
Laporan keuangan dapat dijadikan acuan oleh kreditur, apakah akan memberikan
pinjaman dana atau tidak kepada pelaku usaha, dengan jumlah yang sesuai.
c. Sebagai acuan pengambilan keputusan
Laporan keuangan merupakan salah satu alat yang dapat digunakan sebagai acuan
untuk pengambilan keputusan. Dalam hal pertanian, dengan adanya laporan keuangan,
maka dapat membantu petani tebu dalam mengambil keputusan-keputusan yang penting
dan tepat, untuk keberlangsungan usaha taninya, seperti apakah tetap melanjutkan usaha
tani tebu, atau beralih pada komoditas lainnya.
d. Sebagai laporan pertanggungjawaban
Pada bagian ini, hanya berlaku apabila petani, sebagai pelaku usaha, menjalankan
usaha taninya dengan menggunakan pinjaman modal. Laporan keuangan yang disusun
11
dapat digunakan sebagai pertanggungjawaban kepada kreditur, sebagai bukti bahwa dana
yang dipinjamkan kepada petani memang benar digunakan untuk usaha tani.
4.4. Saran Model Laporan Keuangan Bagi Pelaku Usaha Tani
Petani dalam lingkup penelitian tidak melakukan pencatatan laporan keuangan.
Petani hanya melakukan pencatatan-pencatatan kecil tentang beban-beban usaha, namun
tidak secara keseluruhan. Peneliti memberikan saran penyusunan laporan keuangan
berdasarkan pada Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK
ETAP), disusun sesuai dengan transaksi-transaksi yang dilakukan oleh petani dalam
menjalankan usahanya, seperti pembelian bibit, beban buruh, dan lain sebagainya.
Transaksi yang dilakukan oleh para pelaku usaha tani di kedua lokasi penelitian
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Transaksi-transaksi yang dilakukan hanya
dibedakan berdasar pada apakah lahan usaha mereka merupakan tahun awal penanaman,
atau lahan berkelanjutan, dalam hal ini lahan yang baru panen namun tidak memerlukan
penggantian bibit.
Pada masa lahan kosong atau lahan tahun awal penanaman, kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh petani adalah pembongkaran lahan apabila telah masuk masa penggantian
bibit, pembajakan sawah, pembuatan barisan tebu, pembelian bibit, penanaman bibit,
pengairan, pencabutan gulma, pengelentekan, pencangkulan, pembelian dan pemberian
pupuk, serta biaya tebang angkut ketika masa panen. Seluruh aktivitas yang telah
disebutkan diatas dapat dikategorikan dalam beberapa kategori biaya. Kategori biaya atau
beban pertama adalah beban pengolahan lahan, yang berisikan dengan kegiatan
pembongkaran lahan, pembuatan saluran air, pembajakan sawah, pembuatan barisan
tebu, dan penanaman bibit. Biaya berikutnya merupakan pembelian bibit dan pembelian
pupuk. Kemudian, pengairan merupakan beban pengairan. Kegiatan pencabutan gulma,
pengelentekan, dan pencangkulan termasuk ke dalam beban perawatan.
Kegiatan yang dilakukan petani pada masa lahan bertonggak, atau lahan yang telah
dipanen, berbeda dengan ketika lahan kosong. Kegiatan-kegiatan usaha tersebut yaitu
pemaparan, pengowakan atau pemotongan akar, pencangkulan, pengelentekan, dan
pemberian pupuk, dikategorikan sebagai beban perawatan lanjutan. Hal ini bertujuan agar
membedakan antara biaya perawatan ketika masa awal tanam, dengan biaya perawatan
ketika masa lahan tonggak. Berikutnya adalah kegiatan pengairan, termasuk ke dalam
beban pengairan. Pengairan merupakan komponen penting, sehingga tidak bisa dijadikan
sebagai beban overhead. Komponen biaya berikutnya adalah pembelian pupuk.
Komponen biaya terakhir adalah beban tebang angkut.
Aset dibagi menjadi dua, yaitu aset lancar dan aset tetap. Aset lancar yang dimiliki
petani adalah kas. Selama ini kas yang dimiliki tidak terpisah dengan uang milik pribadi
untuk hidup sehari-hari petani. Hal ini tentu saja harus dirubah, sehingga petani akan
mengetahui dengan lebih detail mengenai kondisi keuangan petani dalam menjalankan
usaha taninya. Aset lancar lainnya adalah persediaan, yaitu persediaan pupuk, apabila
petani membeli pupuk dan disimpan untuk penggunaan periode berikutnya. Aset lancar
12
lain adalah beban penyusutan kendaraan atau truk dan sewa dibayar dimuka, untuk
menyewa kerbau dalam pembajakan sawah.
Aset tidak lancar atau aset tetap yang dimiliki petani adalah lahan usaha tani mereka
sendiri, sehingga dianggap sebagai aset tetap yang berupa tanah. Aset tetap lainnya adalah
kendaraan atau truk. Bibit tebu merupakan bagian atau komponen dari harga pokok
penjualan.
Passiva yang dimiliki oleh petani adalah utang usaha, dan utang sewa, apabila petani
meminjam kerbau atau alat bajak sawah lain dan dibayar setelah pemakaian. Dalam hal
ekuitas, yang dimiliki oleh petani adalah modal usaha. Sesuai dengan apa yang telah
dijelaskan pada tinjauan pustaka, laporan keuangan yang diatur dalam SAK ETAP
berisikan laporan neraca, laporan laba-rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas,
dan catatan atas laporan keuangan. Namun, cukup tiga komponen saja dalam laporan
keuangan petani. Tiga komponen tersebut adalah laporan neraca, laporan laba rugi, dan
laporan perubahan ekuitas, karena kegiatan usaha tani bukanlah kegiatan usaha yang
cukup rumit, dan laporan keuangan tidak dipublikasikan. Berikut adalah saran atas
penyusunan laporan keuangan yang dapat digunakan oleh para pelaku usaha tani :
4.4.1. Neraca
Tabel 1
Contoh Laporan Neraca
LAPORAN NERACA
PETANI TEBU A
Per Tanggal 31 Desember 20xx
NAMA AKUN Debet Kredit
1. Aset
1.1. Aset Lancar
1.1.1. Kas Rp. xxx
1.1.2. Sewa Dibayar Dimuka* Rp. xxx
Total Aset Lancar Rp. xxx
1.2. Aset Tetap
1.2.1. Tanah Rp. xxx
1.2.2. Kendaraan Rp. xxx
1.2.3. Akumulasi Penyusutan Kendaraan (Rp. xxx)
Total Aset Tetap Rp. xxx
Total Aset Rp. xxx
2. Kewajiban dan Modal
2.1. Kewajiban
2.1.1. Utang Usaha Rp. xxx
2.1.2. Utang Sewa* Rp. xxx
13
Total Kewajiban Rp. xxx
2.2. Modal
2.2.1. Modal Usaha Petani Tebu A Rp. xxx
Total Kewajiban dan Modal Rp. xxx
*Tidak dapat muncul dalam satu periode pencatatan yang sama.
Pada laporan neraca diatas, telah dijelaskan mengenai aset-aset yang dimiliki oleh
petani, serta kewajiban dan modalnya. Terdapat dua poin yang diberi tanda (*), yaitu sewa
dibayar dimuka dan utang sewa. Kedua akun tersebut tidak muncul dalam satu periode
laporan keuangan yang sama. Hal ini dikarenakan pembayaran sewa yang terkadang
dibayarkan di awal sebelum pemakaian, atau setelah pemakaian. Perlu diketahui pula
bahwa umur ekonomis truk berkurang setiap tahunnya, sehingga perlu adanya pencatatan
akumulasi penyusutan truk atau kendaraan dalam neraca.
4.4.2. Laporan Laba Rugi
Tabel 2
Contoh Laporan Laba Rugi
LAPORAN LABA RUGI
PETANI TEBU A
Per Tanggal 31 Desember 20xx
1. Penjualan
Penjualan Tebu Rp. xxx
Penjualan Kotor Rp. xxx
2. Harga Pokok Penjualan
Persediaan Pupuk Rp. xxx
Pembelian Bibit* Rp. xxx
Pembelian Pupuk Rp. xxx
Beban Angkut Pembelian Rp. xxx
Beban Sewa Rp. xxx
Beban Pengolahan Lahan* Rp. xxx
Beban Perawatan* Rp. xxx
Beban Perawatan Lanjutan** Rp. xxx
Total Harga Pokok Penjualan (HPP) (Rp. xxx)
Penjualan Bersih Rp. xxx
3. Beban-Beban
Beban Tebang Angkut Rp. xxx
Beban Pengairan Rp. xxx
Beban Penyusutan Kendaraan Rp. xxx
14
Total Beban-Beban (Rp. xxx)
Laba/Rugi Bersih Rp. xxx
*Dilakukan pada masa awal penanaman.
**Dilakukan pada masa setelah penanaman.
Pada laporan laba rugi, penyusunan antara tahun awal penanaman atau lahan
kosong dengan lahan bertonggak memiliki komponen harga pokok penjualan (HPP) dan
beban-beban yang berbeda. Pada tahun awal penanaman, terdapat komponen pembelian
bibit dalam harga pokok penjualan. Komponen persediaan pupuk bisa terdapat ke dalam
kedua laporan laba rugi, bergantung apakah petani memiliki persediaan pupuk atau tidak.
Selain itu, terdapat pula komponen beban yang berpengaruh pada harga pokok
penjualan yang berbeda dari kedua laporan laba rugi. Perbedaan beban tersebut yaitu pada
lahan kosong, terdapat komponen beban pengolahan dan beban perawatan, yang
klasifikasinya telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Pada masa lahan bertonggak,
tidak terdapat komponen pembelian bibit, beban pengolahan lahan dan beban perawatan.
Pada masa lahan tonggak ini yang ada adalah beban perawatan lanjutan, yang
klasifikasinya juga telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Hal ini menyebabkan laba
yang diterima petani akan lebih tinggi pada saat lahan telah menjadi lahan tonggak.
4.4.3. Laporan Perubahan Ekuitas
Tabel 3
Contoh Laporan Perubahan Ekuitas
LAPORAN PERUBAHAN EKUITAS
PETANI TEBU A
Per Tanggal 31 Desember 20xx
Modal Petani Rp. xxx
2. Penambahan/Pengurangan
Laba/Rugi Bersih Rp. xxx
Prive
(Rp.
xxx)
Jumlah Penambahan/Pengurangan Rp. xxx
Modal Akhir Rp. xxx
Pada laporan perubahan ekuitas, tidak ada pembeda seperti pada laporan laba rugi.
Pada komponen laporan perubahan ekuitas, hanya terdapat komponen modal pemilik
usaha atau dalam hal ini adalah petani, dan komponen penambahan/pengurangan yang
berisikan laba/rugi bersih dan prive pemilik.
5. Simpulan, Batasan dan Saran
5.1. Kesimpulan
15
Petani dari kedua wilayah memiliki model pencatatan yang berbeda. Narasumber
yang berasal dari daerah Candi, Sidoarjo, melakukan pencatatan dengan menggunakan
komputer mengenai kapan masa panen dari lahan-lahan tebu yang dimilikinya. Namun,
narasumber tidak melakukan pencatatan secara detail mengenai pengeluaran-pengeluaran
kebutuhan dalam menjalankan usaha taninya. Petani yang berasal dari Bululawang,
Malang, melakukan pencatatan secara tertulis dan sederhana. Tidak terdapat pencatatan
modern, menggunakan komputer yang tersusun dan tertata rapi, meskipun hanya sekedar
pencatatan masa panen, seperti yang dilakukan oleh petani di daerah Candi, Sidoarjo.
Komponen-komponen yang terdapat di dalam pencatatan tertulis tidaklah lengkap.
Petani akan dimudahkan apabila mereka melakukan pencatatan akuntansi dengan
lebih baik. Pencatatan yang dilakukan cukup dengan SAK ETAP, sehingga pencatatan
yang dilakukan tidaklah rumit. Selain dimudahkan, dengan adanya laporan keuangan,
banyak keuntungan lain yang dapat diperoleh petani. Laporan keuangan yang disusun
cukup berisikan laporan laba-rugi, laporan neraca, dan laporan perubahan modal.
5.2. Keterbatasan Penelitian
Sulitnya mencara petani sebagai narasumber di daerah Candi, Sidoarjo. Hal ini
dikarenakan sedikitnya petani di wilayah tersebut. Batasan lain adalah penggunaan
bahasa Jawa halus yang digunakan oleh petani di wilayah PG Krebet, Bululawang.
Peneliti memahami bahasa yang digunakan oleh narasumber, namun peneliti tidak dapat
membalas percakapan menggunakan bahasa Jawa halus, sehingga menghambat
percakapan antara peneliti dengan narasumber.
5.3. Saran
Penelitian selanjutnya diharapkan merubah, atau menambah jangkauan wilayah
penelitian. Hal ini diharapkan agar penelitian selanjutnya bisa mendapatkan narasumber
yang lebih banyak, sehingga hasil penelitian yang didapatkan lebih bervariasi pula.
Peneliti juga hendaknya memahami penggunaan bahasa lokal atau bahasa daerah tempat
tinggal narasumber berada. Hal ini berguna ketika sedang melakukan wawancara,
sehingga wawancara yang dilakukan dapat berjalan dengan lancar. Apabila tidak
memahami bahasa lokal narasumber, maka sebaiknya membawa translator, guna
membantu mendapatkan informasi yang jelas bagi peneliti.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Vaisal. 2014. Gugurnya Petani Rakyat : Episode Perang Laba Pertanian Nasional.
Malang: Universitas Brawijaya Press.
Bachri, Bachtiar S. 2010. Meyakinkan Validitas Data Melalui Triangulasi Pada Penelitian
Kualitatif. Jurnal Teknologi Pendidikan. Volume 10 No. 1 (2010).
Bogdan, Robert & Steven J. Taylor. 1992. Introduction To Qualitative Research Methods
(terjemahan Arief Furchan). Surabaya : Usaha Offset Printing.
Direktorat Jenderal Pertanian. 2014. Kebutuhan Gula Nasional Mencapai 5700 Juta Ton
Tahun 2014. Kementrian Pertanian. (Online).
16
(http://ditjenbun.pertanian.go.id/setditjenbun/berita-172-dirjenbun--kebutuhangula-
nasional-mencapai-5700-juta-ton-tahun-2014.html), diakses 10 Oktober 2015.
Fitriani, sutarni, dan luluk irawati. 2013. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi,
Curahan Kerja dan Konsumsi Petani Tebu Rakyat di Provinsi Lampung. ESAI.
Volume 7 (2013).
Gunawan, Rendra. 2012. Valuasi Aset Biologis: Kajian Kritis Atas IAS 41 Mengenai
Akuntansi Pertanian. Skripsi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Universitas Brawijaya, Malang.
IAI. 2009. Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik. Dewan
Standar Akuntansi Keuangan: Jakarta.
Indrawanto, Chandra, et.al. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Tebu. Jakarta: ESKA
Media.
Moleong, L.J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Mubyarto. 1972. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial : Jakarta.
Mulawarman, Aji Dedi. 2012. Accounting in the Madness Vortex of Neoliberal IFRS-
IPSAS: A Criticism of IAS 41 and IPSAS 27 on Agriculture.
Nanda U.D, Ardhitya. 2013. Pola Dan Kepercayaan Yang Terbentuk Pada Kontrak
Kemitraan Antara Pabrik Gula Dengan Petani Tebu (Studi Kasus: Pabrik Gula
Kebon Agung Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang). Jurnal. Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Brawijaya.
Nurmanaf, A. Rozany. 2007. Lembaga Informal Pembiayaan Mikro Lebih Dekat Dengan
Petani. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 (2007)
Purina, Luthiakirana Tri. 2010. Manajemen Pengendalian Mutu Tebu Rakyat Kerjasama
Usaha di PT. Pabrik Gula Candi Baru – Sidoarjo. Skripsi S1. Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran”, Surabaya.
Rossano, Gracias Sheilla Gloria. 2016. Sustainabilitas Petani Tebu Gondanglegi Malang.
Skripsi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Universitas Brawijaya,
Malang.
Sekaran, Uma. 2007. Metodologi Penelitian untuk Bisnis. Jakarta: Salemba Empat.
Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung. Penerbit : ALFABETA
Sutrisno, Bambang. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Pendapatan Petani Tebu Pabrik Gula Mojo Sragen. Daya Saing Jurnal Ekonomi
Manajemen Sumber Daya. Vol. 10 No. 2 (2009)
www.kompas.com edisi tahun 2010, diakses tanggal 7 Juli 2015.