RESISTENSI MASYARAKAT TERHADAP ELITE BARU Iromi Ilham ...

22
Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018 94 | Iromi Ilham RESISTENSI MASYARAKAT TERHADAP ELITE BARU PASCA-HELSINKI DI ACEH Iromi Ilham [email protected] Lembaga Seuramoe Budaya Abstract The reconcilement of Helsinki became the gateway of the Acehnese transformation which has implicated to the social and political change in Aceh. One other thing is the emergence of former GAM fighter as the new Acehnese elite. The collective trauma of the Aceh community led by "outsiders" before Helsinki treaty years ago made the people of Aceh want to leave hope to the awaknanggroe. However, over the time, as if the history of the past was repeated. People feel the social imbalance that practiced by the new elite who ever once existed as "justice fighters". The failure of reciprocity practiced by the elite as a form of responsibility to the people causes the resistance from society, whether it is in an insinuation or in the open pattern. This is the main study in this paper. Finally, the propaganda Meunyoe keun ie, mandum leuhob.Meunyoeu keun droe teuh, mandum gob which was once massively accepted, has expressed to a new antithesis; Nibak ngeun ie, mangat ngeun leuhob, nibak ngeun droeu teuh, mangat that ngeun gob. Keywords: GAM, New Elite, Resistance, Aceh

Transcript of RESISTENSI MASYARAKAT TERHADAP ELITE BARU Iromi Ilham ...

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

94 | Iromi Ilham

RESISTENSI MASYARAKAT TERHADAP ELITE BARUPASCA-HELSINKI DI ACEH

Iromi [email protected]

Lembaga Seuramoe BudayaAbstract

The reconcilement of Helsinki became the gateway of the Acehnesetransformation which has implicated to the social and political changein Aceh. One other thing is the emergence of former GAM fighter asthe new Acehnese elite. The collective trauma of the Aceh communityled by "outsiders" before Helsinki treaty years ago made the people ofAceh want to leave hope to the awaknanggroe. However, over thetime, as if the history of the past was repeated. People feel the socialimbalance that practiced by the new elite who ever once existed as"justice fighters". The failure of reciprocity practiced by the elite as aform of responsibility to the people causes the resistance from society,whether it is in an insinuation or in the open pattern. This is the mainstudy in this paper. Finally, the propaganda Meunyoe keun ie,mandum leuhob.Meunyoeu keun droe teuh, mandum gob which wasonce massively accepted, has expressed to a new antithesis; Nibakngeun ie, mangat ngeun leuhob, nibak ngeun droeu teuh, mangat thatngeun gob.

Keywords: GAM, New Elite, Resistance, Aceh

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

Iromi Ilham | 95

PENDAHULUAN

Suatu ketika, saat jalan-jalan sore di wilayah Aceh Besar, sayaterjebak hujan dan terpaksa harus mencari tempat berteduh. Warungkopi adalah pilihan bijak disaat kondisi untuk meneruskan perjalanansudah bukan pilihan. Di pintu masuk warung tersebut, terlihatseorang pria dengan postur tubuh atletis. Gayanya yang nyelenehsangat kontras dengan penampilannya yang “elegan”. Kemeja kotak-kotak dengan paduan jeans bermerek yang dikenakan, lebih daricukup untuk menutup identitas dirinya yang sebenarnya. Walaupakaian sudah terlihat sedikit lusuh, tetapi mampu membuat siapapun yang asing di kawasan itu, seperti saya, ragu untuk mengatakan“ada yang tidak beres dengan orang itu”.

Tidak lama kemudian, ia berjalan mendekati tempat sayaduduk. Saat berhadapan dalam jarak satu meter, ia berbicaramenggunakan bahasa tubuh yang mengisyaratkan meminta sayauntuk memberinya sebatang rokok. Ia menunjuk ke kotak putihbertuliskan “Marlboro” yang dari tadi terletak indah di sampingsecangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Lantas, sayamenyuguhkan isi kotak tersebut. Setelah mengambil sebatang, ialangsung berlalu tanpa mengucap sepatah kata pun. Gelagat“kebingungan” saya tercium oleh seorang pria paruh baya yang duduktidak jauh dari tempat saya.

Sejurus kemudian, pria itu –yang kemudian saya tahu bernamaYusuf-menghampiri saya dan kami terlibat dalam obrolan singkat. Disela-sela itu, Yusuf berucap “adak pih ka meunan, nyan pejuangawai…”,1 sembari telunjuk kanannya diarahkan ke pemuda yangsempat membuat saya tersenyum sendiri.

Di desanya, pemuda “pejuang” itu biasa disapa Wa Ang. Dulu,ia adalah mantan kombatan GAM yang berjuang untuk kemerdekaan

1 Terjemahan: “Walaupun penampilannya begitu, dia adalah mantan pejuang (GAM)dulu”.

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

96 | Iromi Ilham

Aceh. Meskipun Wa Ang bukan tokoh sentral dalam perjuangan,namun keberadaannya bisa dikatakan sangat penting. Ia adalahorang yang pertama memberi informasi kepada anggota GAM lainnyajika TNI sudah mulai bergerak masuk untuk menyisir wilayahpedalaman untuk operasi. Sehingga anggota GAM lainnya bisamempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yangakan terjadi. Dalam istilah lokal, profesi seperti Wa Ang seringdisebut dengan istilah “awak mat radio”2.

Yusuf melanjutkan bahwa keberadaannya sebagai orang yangterlibat dalam institusi GAM tercium aparat keamanan sehinggapernah mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari pihak aparatIndonesia yang berujung pada gangguan mental. Namun kondisinyasaat ini sudah lebih parah lagi disebabkan tidak terurus secara medis.Pasca damai, ia termasuk kombatan yang tidak mendapat pehatiankhusus dari para petinggi GAM lainnya di wilayah tersebut. Ia hanyamendapatkan satu unit mesin perontok padi sebagai kompensasi dariperundingan damai. Selebihnya, ia tidak mendapat apa-apa layaknyateman-teman pejuang lainnya yang sebagian besar sudah susksessecara ekonomi.

Semakin hari, Wa Ang semakin tersisihkan dari kawanseperjuangannya, karena itu pula membuat gangguan mentalnyasemakin parah. Ia memang tidak pernah menggangu orang lain.Kebiasaannya hanya meminta rokok dari siapa saja yang ada. “Dulusaat masih di hutan, mereka (GAM) masih bisa sebatang rokokdihisab bersama, namun sekarang mereka saling sikat dalammemperebutkan uang yang diberi Jakarta” ketus Yusuf diakhirpembicaraan.

2 Orang yang memegang saluran komunikasi radio HT (handy Talky) dan tugasnyasebagai informan. Pada saat konflik, biasanya mereka bertugas untuk memantau keadaan danmemberi informasi jika ada TNI atau Aparat keamanan yang masuk untuk menyisirkeberadaan GAM. Mereka tinggal bersama masyarakat atau di tempat keramaian supayamudah mendapatkan informasi jika ada pihak musuh yang mendekat.

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

Iromi Ilham | 97

“Badai pasti berlalu”, begitu ungkap Berlian Hutahuruk dalamtembang lawasnya. Begitupun badai yang membuat saya harusmenepi. Kemudian saya pamit dan melanjutkan perjalanan sore ituyang kian syahdu ditemani aroma debu yang basah bersebab hujan.

Kisah Wa Ang bisa jadi salah satu dari sekian banyak ceritapilu yang dirasakan mantan pejuang dan masyarakat Aceh yangpernah memiliki pengalaman hidup dalam dunia yang dipenuhipeluru. Lakon perang bagi masyarakat Aceh seakan sudah sepertikonstruksi budaya generik yang turun-temurun dari generasi kegenerasi. Perang, senjata, tembakan, darah dan segala sesuatu yangberbau konflik sudah begitu akrab. Meskipun damai telah menyapaAceh, sayup-sayup juga masih terbaca di lembaran surat kabar lokaljika senjata masih saja menyalak dan memakan korban. Hanya saja,suara tembakan dan darah yang mengalir pasca Helsinki, tidak lagibermuara pada konflik politik GAM dan Pemerintah Pusat, tetapidianggap sebagai kejadian “kriminalitas biasa”. Meski tidak bisadipungkiri, beberapa peluru yang melejit, tetap saja meninggalkanselongsong yang berbau politik.

Kini, damai telah tersemai di bumi tanoeh rincong. Implikasiperdamaian termanifestasi dalam perubahan konstelasi sosio-kulturaldan sosio-politik masyarakat Aceh. Tidak berlebihan jika MoUHelsinki dianggap sebagai titik kulminasi lahirnya peradaban baru.Sebuah peradaban yang sarat pada agenda-agenda transformasi, baikyang bersifat analitis, historis, maupun praktis.3 Salah satu agendatransformasi yang terlihat jelas hari ini adalah munculnya elite baruAceh dari kalangan mantan pejuang GAM. Elite baru yang dimaksudadalah sekelompok individu yang berafiliasi dengan GAM, baik secaralangsung maupun tidak langsung yang sudah berhasil mencapaikedudukan dominan dalam kehidupan masyarakat Aceh, baik itumemiliki kekuasaan, kekayaan, maupun kehormatan. Evers dan

3 Irwan Abdullah, ‘Tantangan Pembangunan Ekonomi dan Transformasi Sosial: SuatuPendekatan Budaya”, Jurnal Humaniora, Vol, XIV, edisi 3, 2002, hal. 260-270.

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

98 | Iromi Ilham

Schiel menyebutnya sebagai kelompok-kelompok strategis yang kinimemiliki fungsi untuk perkembangan politik, reformasi ataupunrevolusi dalam masyarakat.4

Peran yang dominan dan akses yang terbuka terhadap pusat-pusat kekuasaan, memunculkan beragam kekhawatiran dari berbagaikalangan di Aceh. Misalnya apa yang diungkapkan oleh pengamatpolitik, Fachry Ali, dalam seminar nasional “Studi Sosiologi Agamadan Persoalan Sosial Keagamaan di Aceh” yang digelar FakultasUshuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry.Menurutnya, komunitas elite baru di Aceh yang merupakan produkMoU Helsinki bukan lahir dari landasan profesionalisme sejati,sehingga kalangan “super elite” baru di Aceh akan melahirkan kelasmasyarakat konsumtif di mana perputaran uang yang tidak sehatbegitu kentara di kalangan elite tersebut, hal ini dikarenakansebagian pendapatan dikuasai oleh kelas masyarakat tersebut, FachryAli menyebutnya sebagai “kaum romantisme masa lalu”.5

Kekhawatiran Fachry Ali menjadi kenyataan dengan melihatberagam gejolak dan resistensi yang muncul dari kalangan akarrumput. Kesejahteraan yang menjadi harapan masyarakat Acehketika sudah di bawah kuasa awak nanggroe masih dipertanyakandan diperdebatkan oleh beberapa pihak. Kala Aceh masih bergolak,masyarakat Aceh di berbagai pelosok bersatu padu “berjuang”bersama GAM, sementara saat ini, ketika perdamaian telah tercipta,GAM dianggap melupakan bantuan rakyat di masa konflik.

Padahal, efek dari membantu perjuangan adalah mendapatShock terapy dari pihak TNI, semisal pembunuhan kilat,penangkapan, pembunuhan sewenang-wenang, penyiksaan tanpapengadilan, dan pelecehan seksual. Sasaran perlakuan tersebut tidak

4 H. D Evers & Schiel, T., Kelompok-Kelompok Strategis: Studi Perbandingan tentangNegara, Birokrasi, dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1990).5 http://aceh.tribunnews.com/2014/08/21/generasi-helsinki-rentan-tersingkir

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

Iromi Ilham | 99

hanya bagi anggota GAM, tetapi juga bagi masyarakat yang dicurigaisebagi teman, kerabat, atau saudara dari anggota pejuang yangdianggap pernah memberi bantuan terhadap perjuangan GAM.6Dalam catatan Aspinal, thirty-three thousand people lost their livesviolently during the twenty-nine years of the conflict. 7

Pada titik inilah muncul gesekan dan resistensi yangdijewantahkan dalam berbagai bentuk. Terlihat kekecewaan di sanaketika harapan dan kenyataan tidak berjalan selaras. Kisah Wa Ang,sang “pejuang” yang terbuang itu bisa menjadi batu loncatan akanhadirnya tulisan ini. Dalam bahasa yang sederhana, tulisan inihendak mengkaji tentang bagaimana pola resistensi masyarakat Acehterhadap elite politik baru yang muncul pasca MoU Helsinki. Secarateoritis, diskusi ini diharapkan menjadi bagian kecil dari bacaanilmiah yang kemudian bisa menambah wawasan keilmuan, terkhusustentang perubahan fenomena sosial-budaya dan politik di Aceh pascaHelsinki yang dilihat dari kaca mata antropologis. Selain itu, kajianini juga diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, di mana bisamenjadi “cermin reflektif” bagi para elite baru Aceh dalam melihatperubahan-perubahan dan respon masyarakat ketika Aceh sudahdalam genggaman awak droe .

METODE

Saya tidak memberikan batasan geografis yang kaku dalamkajian ini karena lokus utamanya adalah bagaimana menemukan polaresistensi masyarakat Aceh terhadap elite baru. Ketika sayamengunjungi banyak tempat di Aceh, segala informasi dan hasilobservasi empiris yang menurut saya relevan dengan kajian ini, makaakan menjadi data yang kemudian dianalisis secara deskriptif

6 M. I. Sulaiman, Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan, dan Gerakan (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2000).7 E. Aspinall, ‘The Construction of Grievance: Natural Resources and Identity in aSeparatist Conflict”, Journal of Conflict Resolution, Volume 51, edisi 6, 2007, hal. 950-104.

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

100 | Iromi Ilham

kualitatif. Namun demikian, kebanyakan data yang disajikan dalamtulisan ini adalah hasil pengamatan partisipatif di wilayah KotaBanda Aceh dan Aceh Besar. Banda Aceh, sebagai ibukota ProvinsiAceh, adalah kota yang heterogen dan menjadi tempat berkumpulnyamanusia dari berbagai penjuru dan dari berbagai lapisan kelasmasyarakat, termasuk juga kaum elite baru Aceh.

Sebagai sebuah kajian dalam ilmu humaniora, tentu sajapenelitian ini bersifat kualitatif. Karena itu, teknik pengumpulan datayang dianggap relevan adalah observasi partisipatif (participantobservation), wawancara mendalam (in-depth interview) dan jugawawancara secara terbuka. Selain itu, saya juga melakukan studikepustakaan (library research) melaui kajian literatur-literatur yangdianggap relevan dengan kajian ini. Pengamatan langsung yangmelibatkan peneliti hadir bersama subjek penelitian dianggap perluuntuk mencermati fenomena empiris yang terjadi di masyarakat.Wawancara mendalam dimaksudkan untuk mengungkap hal-hal yangtidak terlihat dalam pengamatan sehingga kita bisa memperolehpemahaman (verstehen). Dalam menetapkan informan, sayamenggunakan sistem purposive sampling dan snowball sampling.

Saya juga berusaha mendapatkan data melalui studikepustakaan. Hal ini dianggap penting untuk memperoleh datasekunder dengan mengkaji bermacam sumber tertulis, misalnyalaporan penelitian, artikel, jurnal ilmiah, surat kabar, dan buku-bukuyang berkaitan dengan topik kajian ini. Selanjutnya fakta-faktalapangan yang relevan dengan tema penelitian akan dianalisis secaradeskriptif interpretatif hingga tiba pada sebuah kesimpulan akhirpenelitian. Namun demikian, penelitian ini tidaklah bermaksud untukmenciptakan sebuah kesimpulan umum (law generalization) karenastudi antropologi lebih kepada melakukan sebuah kajian refleksi.

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

Iromi Ilham | 101

HASIL DAN PEMBAHASANResistensi dan Pembangkangan Aceh

Dalam masyarakat Aceh, implikasi sosial dari kehadiran elitebaru adalah menciptakan kelas menengah baru dan terjadinyaperubahan gaya hidup yang akhirnya banyak muncul gesekan-gesekan, baik antara sesama kaum elitis, maupun kalangan akarrumput dengan kaum elitis. Pergesekan dan ketimpangan tersebutmelahirkan beragam bentuk resistensi di masyarakat.

Dalam menjelaskan fenomena ini, saya merujuk pada konsepresistensi James Scott. Menurutnya, resisten merupakan sebuahtidakan perlawanan (resistance) yang memuat tindakan-tindakanyang dilakukan oleh kaum-kaum kalah yang bertujuan untukmengurangi atau menolak klaim dan tindakan yang dibuat oleh kelasatas. Pola resistensi bisa diwujudkan dengan perilaku menyerobotpekerjaan, makanan, sewa dan upah, perilaku pura-pura baik,bergosip, menyindir, menjatuhkan nama baik, mencuri, dan jugamengkritik melalui karya sastra.8

Pun demikian, resistensi juga terjadi dalam kehidupanmasyarakat Aceh saat ini terhadap elite yang sedang berlangsung.Bentuk resistensi dijewantahkan dalam beberapa varian, pertama,resistensi dalam bentuk insinuasi yang dipraktekkan melalui perilakumenjatuhkan nama baik, menggosip di belakang dan juga menyindir.Para penggosip kerap menghindari membicarakan secara terbukakarena alasan keamanan dan keselamatan. Kedua, sikap resistensiyang dilakukan secara terang-terangan, misalnya sindiran yangdiciptakan melalui desain yang terdapat di baju atau denganmemunculkan berbagai “meme” yang bernada menyindir danmengejek di media sosial.

8 J. Scott, Senjatanya Orang-Orang yang Kalah: Bentuk Perlawanan Sehari-hari Kaum Tani(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000).

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

102 | Iromi Ilham

Dalam hal ini, konsep resistensi Scott saya padukan dengankonsep yang ditawarkan Tedd Robert Gurr. Sebagaimana dijelaskanManan dalam bukunya Gerakan Rakyat Melawaan Elite, Gurrmenjelaskan konsep resistensi melalui teorinya Relative Deprivation.Konsep dasar Gurr adalah deprivation (perampasan). Menurutnya,resistensi lahir jika seseorang merasa sesuatu yang sepantasnyamenjadi haknya atau harga dirinya dirampas oleh orang lain. Dalamartian, konsep relative deprivation adalah adanya “kesenjanganantara nilai yang diharapkan (value expectation) dengan kapabilitasuntuk meraih nilai (value capabilities)”. Definisa “nilai” menurut Gurradalah “suatu kejadian, barang dan kondisi yang diinginkan olehmanusia untuk dimiliki”. Nilai ekspektasi adalah “benda dan kondisihidup yang orang-orang percaya bahwa mereka sebagai pemilik yangsah”. Dan nilai kapabilitas adalah “benda dan kondisi yang menurutmereka mampu untuk memperoleh atau memeliharanya, disepakatiharta sosial tersedia untuk mereka”. Lebih lanjut, Gurr membagi tigajenis nilai, yaitu: 1) nilai kesejahteraan (welfare values), dimana nilaiini berupa benda fisik yang yang dibutuhkan untuk realisasi diri. Iaberkaitan dengan sesuatu yang bernilai ekonomis dan keleluaaanuntuk aktualisasi diri; 2) nilai kekuasaan (power values), nilai iniberkaitan dengan kemampuan mempengaruhi orang lain ataumenangkal campur tangan orang lain yang tidak diinginkan; 3) nilaiinterpersonal (interpersonal values), yaitu kepuasan psikologis yangdiperoleh dari interaksi tidak resmi dengan kelompok lain yangditandai oleh status, komunalitas dan koherensi ide”.9

Jika menyandingkan teori Gurr dengan konteks Aceh, sayamelihat bahwa “perampasan” yang terjadi adalah di wilayah “nilaikesejahteraan” dan “nilai interpersonal”. Kesejahteraan yang kerapdijanjikan oleh elite saat ini tak kunjung dirasakan oleh masyarakatkelas bawah. Sementara pada tataran “nilai interpersonal”, adasemacam ketidakpuasan publik terhadap perubahan secara signifikandalam kehidupan kelompok mantan GAM, baik secara ekonomi

9 M, Manan, Gerakan Rakyat Melawaan Elite (Yogyakarta: Resist Book, 2005).

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

Iromi Ilham | 103

maupun politik. Ketidakpuasan (discontent) dalam masyarakatkemudian dimanifestasikan dalam bentuk kemarahan, kejengkelan,ataupun aksi-aksi kekerasan. Semuanya tergantung pada kedalamanrasa perampasan tersebut. Kadar ketidakpuasan akan berkurang danmeredam bila tersedia sarana untuk menyalurkannya yang disebut“value opportunities”. Apabila saluran value opportunities tidakpernah ada, maka tidak menutup kemungkinan, ketidakpuasantersebut bermetamorfosis menjadi pemberontakan yang menggunakanjalur kekerasan, kekacauan, konspirasi, ataupun perang. Jika reaksiketidakpuasan semakin meningkat, maka akan melahirkanpemberontakan yang lebih terarah dan sistematis, dan sasarannyalebih terarah ketika sekelompok orang semakin sadar tentang siapadan apa yang menyebabkan rasa tidak puas itu muncul.10

Pola Resistensi Masyarakat Aceh terhadap Elite Baru

Sejatinya, setiap masyarakat terbagi dalam dua katagori yangluas, pertama, sekelompok minoritas yang memiliki kemampuansehingga menduduki posisi sebagai pemerintah; dan kedua, kelompokmassa mayoritas yang menjadi objek yang diperintah.11 Andrainmengutip pendapat ilmuan politik Italia Gaetano Mosca (1858-1941)menjelaskan bahwa distribusi kekuasaan politik dalam masyarakatsebagai berikut:

Di semua masyarakat… muncul dua kelas rakyat –kelas yangberkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas pertama, selalu lebihsedikit jumlahnya, menjalankan semua fungsi politik,memonopoli kekuasaan, dan menikmati sejumlah keuntunganyang dibawa oleh kekuasaan, sementara yang kedua,jumlahnya lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh

10 Ibid.11 SP Varma, Teori Politik Modern (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010).

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

104 | Iromi Ilham

yang pertama, melalui suatu cara yang kadang-kadang sedikitbanyak bersifat sah, kadang-kadang sewenang-wenang dankeras.12Keberadaan kaum elite tidak selamanya bersifat mutlak.

Artinya, selalu mengalami perubahan-perubahan atau dalam bahasaPareto disebut dengan sirkulasi elite. Dalam hal ini, kita bisa melihatadanya proses sirkulasi elite yang terjadi di Aceh pasca Helsinki. Paraaktor yang menjadi elite sebelum lahirnya MoU Helsinki adalahindividu yang dianggap berafiliasi dengan pemerintahan RepublikIndonesia. Kehadirannya dianggap sebagai perpanjangan tangannegara yang lebih mengakomodir kepentingan pemerintah pusatketimbang merealisasikan kepentingan rakyat di daerah. Lantas,ketika MoU Helsinki tercipta, maka berpengaruh pada perubahanstruktur politik, di mana para elite GAM melihat sebuah peluangpolitik untuk “menggeser” elite-elite sebelumnya. Kondisi ini menjadi“angin segar” bagi mayoritas Masyarakat Aceh kala itu.

Namun dalam perjalanannya, angin segar yang diharapkanjuga tak kunjung berhembus. Ibarat kata orang Aceh, watee di laôtsapu pakat, troeh u darat laén keunira. Ungkapan simbolik tersebutditujukan kepada seseorang atau sekelompok orang yang melupakanapa yang telah diucapkan atau mengkhianati janji yang pernahdisampaikan ketika kondisi dan situasi sudah berubah. Dalam kulturmasyarakat Aceh, pepatah tersebut sering dikonotasikan dengan“janji ureung meulaot”.13

12 C.F Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1992).13 Janji ureung meulaot (janji orang yang berprofesi sebagai pelaut -terj). Terdapat sebuah “cerita rakyat”dalam kultur masyarakat Aceh yang kemudian menjadi inspirasi lahirnya pribahasa tersebut. Ceritanyabermula ketika ada sebuah boat pelaut yang tengah terombang-ambing di lautan lepas akibat hempasanbadai dan hujan yang luar biasa. Dalam kondisi tersebut, awak kapal ramai-ramai mengucapkan nazar(janji), jika seumpama mereka selamat sampai di daratan, mereka akan bersedekah seekor kerbau untukfakir miskin. Namun, ketika badai mulai reda, mereka merubah nazar menjadi seekor kambing.Kemudian, ketika daratan sudah mulai terlihat dan badai telah berlalu, mereka mengatakan hanyabernazar dengan seekor ayam, hingga akhirnya ketika sudah tiba dengan selamat di darat, lantas nazaryang tadinya dijanjikan di tengah laut, tak kunjung juga ditunaikan. Mereka melupakannya begitu saja,layaknya badai yang juga telah berlalu.

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

Iromi Ilham | 105

Harus diakui, semasa GAM aktif sebagai pihak yang dianggapsparatis oleh Indonesia, mereka tidak bisa bertahan hanya denganmengandalkan pasukan lapangan yang berjumlah 5000-an14 orangdengan persenjataan dan logistik yang serba terbatas. Lantas,mengapa GAM sanggup berperang hingga puluhan tahun (1976-2005),tentu saja institusi-institusi lain di luar organisasi tersebut ikutmembantu dan terlibat dalam “perjuangan” sesuai dengankapasitasnya masing-masing15, terkhusus institusi masyarakat.Akan tetapi, kala kondisi sudah berubah, di mana sebagian elite GAMtelah menjadi kaum elite baru yang diakui Negara, ternyata keadilandan kesejahteraan yang pernah didengungkan dulu masihdipertanyakan oleh masyarakat Aceh.

Melawan Dengan Kata: Resisten Berwujud Insinuasi

Dalam sebuah kesempatan gotong royong massal yangdiadakan di sebuah desa, saya menyempatkan diri untuk berdiskusidengan beberapa warga. Di sela-sela membersihkan pekaranganMesjid, saya kerap menanyakan persepsi mereka terhadap kuasa paraelite yang sedang berlangsung saat ini. Dari mulut mungil Mus16,saya menangkap kalimat indah yang terdengar bak pantun, akantetapi isinya menggambarkan bagaimana cara ia melihat paramantan kombatan yang sudah berkuasa saat ini. Ia mengatakan“Mulia langai watee meu-ue blang, perlei keu umpang oh taboeh padee.

14 Menurut Machfud MD, ketika ia menjabat Menteri Pertahanan Pemerintah RepublikIndonesia jumlah militer GAM terdiri atas 4.869 personel. Dari jumlah tersebut, 804 personeldididik di Libia dan 115 personel dilatih di Moro, Filipina. Lihat: www.intelijen.co.id, edisiN0.2/Tahun VIII/Februari 2011.15 A. Missbach, Politik Jarak Jauh Diaspora Aceh: Suatu Gambaran tentang Konflik

Separatis di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012).16 Mus (nama inisial, 53 tahun), tinggal di Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar.

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

106 | Iromi Ilham

Peurlee keu rakyat watee nanggroe prang, lheuhnyan lagee glang bakmata kawee”. Lebih lanjut, Mus menjelaskan, para mantan pejuangGAM yang hari ini sudah berada di tampuk kekuasaan sudah terlenadengan apa yang dicapai, sehingga begitu mudah melupakan rakyatyang padahal semasa konflik dulu menjadi “tulang punggung”perjuangan.

Kalimat “Mulia langai watee meu ue blang, perlei keu umpangoh taboeh pade”,17memiliki makna bahwa, “rakyat” hanyadiibaratkan bagaikan langai dan umpang (goni), yang hanya akanbernilai ketika dibutuhkan; langai akan berguna ketika awal mulaturun ke sawah untuk membajak, sementara goni diperlukan ketikamusim panen tiba untuk menyimpan padi. Pernyataan tersebutsemakin dipertegas dalam kalimat selanjutnya, yaitu “peurlei keurakyat watee nanggroe prang, lheuhnyan lage glang bak matakawee”18. Ketika perang, perjuangan selalu mengatasnamakan “kita”,yang di dalamnya adalah “GAM + rakyat”. Sementara ketika damaitelah tersemai, GAM memiliki jalan hidup sendiri dan rakyat jugademikian.

Bagi Mus, “masa perang” diibaratkan “musim sawah”,sementara “langai dan goni” diibaratkan dengan “rakyat”. Setelah“musim sawah” selesai, langai akan disimpan di tempat tertentu danbaru akan dilirik lagi ketika musim turun sawah kembali tiba. Begitujuga dengan goni, saat musim panen padi tiba, ia akan bernilai tinggidi mata para petani, namun kembali tak dilirik manakala prosesipanen telah selesai. Begitupun dengan rakyat, yang dibiarkan

17 Langai hanya akan bermakna ketika membajak sawah, begitu pun goni yang hanyadiperlukan ketika hendak menyimpan padi-terj. Langai adalah alat traktor tradisional yangdigunakan masyarakat Aceh untuk membajak sawah, biasanya ditarik dengan menggunakantenaga kerbau atau lembu.18 “Pada saat perang membutuhkan rakyat, setelah perang dan negeri aman, posisi rakyatbagaikan cacing diujung kail”-terj.

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

Iromi Ilham | 107

menggeliat melawan getir hidup dengan sendirinya, persis bagaikancacing diujung kail yang siap diterkam oleh ikan pemangsa. Rakyatbaru akan kembali didekati ketika musim pemilu datang. Selepasmusim “panen suara” berlalu, rakyat kembali dibiarkan menggeliattak menentu.

Selain cerita di atas, saya juga banyak menemukan ungkapan-ungkapan kekecewaan senada ketika saat berada di warung kopi.Dalam suasana canda ala warung kopi, kita bisa dengan mudahmenemukan pola resisten dalam bentuk verbal yang berupamenyindir, mengejek, dan menggosip kaum elite baru Aceh yangsekarang sudah suskses secara ekonomi dan politik. Pola resistendalam bentuk insinuasi masyarakat bukan semata-mata karenamerasa iri terhadap harta yang mereka miliki saat ini. Namun bagiMus, perilaku semacam itu dianggap sebagai bentuk pengkhianatanterhadap rakyat.

Di sudut yang lain, Zul19, seorang warga Banda Aceh jugamenyinggung perihal janji-janji politik yang pernah disampaikan,misal janji pemberian “satu juta per KK” yang pernah diucapkanpasangan Zaini Abdullah – Muzakkir Manaf dalam kampanyepemilihan gubernur 2012 yang katanya akan diberikan kepadaseluruh penduduk Aceh jika mereka terpilih. Namun hingga kini, janjiitu tak kunjung terealisasikan. Dengan sedikit menggerutu, Zulmengatakan bahwa yang cocok untuk motto awak nanggroe adalah“Tapubloe nanggroe ngeun MoU, Mita breuh mirah ngeun UU PA”.20

Cerita di atas hanya sebagian dari sikap perlawanan yangterjadi di belakang layar atau apa yang disebut Scott sebagai hiddentranscript. Sebagian dari para “pembenci” tidak berani meluapkannya

19 Zul (inisial, 30 tahun), tokoh pemuda, tinggal di Banda Aceh.20 “Menjual negeri dengan MoU, dan mencari nafkah dengan UU PA). Hal ini diungkapkanZul karena ‘dagangan politik’ orang GAM selalu menyebut bahwa ‘kami akan berjuang untukUU PA dan MoU Helsinki’”.

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

108 | Iromi Ilham

secara terang-terangan. Apa yang terjadi ini bisa dibandingkandengan apa yang ditulis Scott sebagai berikut:

“Elite lokal hampir selalu menang dalam kehidupan ekonomikampong. Dengan memperhatikan penguasaannya atassumber-sumber daya, elite pada umumnya juga mengendalikankehidupan ritual publik –yaitu, tingkah laku “di atas pentas”dari kebanyakan orang miskin yang terdapat di masyarakatitu. Hanya “di belakang pentas”, di mana gossip, hujatan,fitnah, dan sabotase yang secara terselubung mengejek danmembantah tatanan ritual publik, maka disanalah kontrolkaum elite tidak berlaku lagi…”21

Kaos “SATU JUTA Per KK”: Bentuk Resistensi Terbuka

Bagi masyarakat kalangan akar rumput, resistensi terhadapkaum elite terjadi di belakang layar, berbeda dengan yangdipraktekkan oleh Helmy22, yang berani melakukannya secaraterang-terangan. Helmy adalah seorang pengusaha di Banda Aceh.sebagai masyarakat Aceh, ia merasakan ketidaknyamanan dengansegala hegemoni awak nanggroe yang terjadi. Sehingga ia punmelakukan perlawanan dengan gayanya sendiri. Salah satunyadengan mendesain kaos yang bertuliskan “SATU JUTA per KK” dibagian depan kaos yang kemudian dipasarkan di Aceh.

Helmy memanfaatkan media sosial facebook dan twittersebagai media promosi. Sepertinya, ia mengamalkan betul apa yangdikatakan mantan presiden Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono“Setiap krisis megandung peluang”. Kini, kaos buatannya tidak hanya

21 J. Scott, op.cit.,22 Helmy, pengusaha, tinggal di Banda Aceh.

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

Iromi Ilham | 109

laku di wilayah Aceh, namun juga dipesan oleh masyarakat Aceh yangada di luar di luar negeri, semisal Inggris, Denmark, dan lain-lain.

Baginya, pembuatan kaos tersebut bukan hanya semata-mataperkara bisnis, akan tetapi juga sebagai bentuk kontrol sosialterhadap pemerintah. “Tujuannya ya… untuk mengingatkanpemerintah apa yang pernah dijanjikannya. Banyak orangmenganggap saya sedang berbisnis. Cuma kalau saya gratiskan,ya…tidak mungkin juga. Saya butuh modal untuk bikin kaos”, tegasHelmy. Semakin banyak yang memakai kaosnya, maka akan semakinbanyak pula yang sadar akan janji politik penguasa. Bagi Helmy,motivasi terbesar hingga melahirkan ide menciptakan kaos tersebutadalah melawan hegemoni rezim Pemerintah Aceh yang menurutnyasudah jauh menyimpang dari garis perjuangan. Terlebih saat inihanya sedikit golongan masyarakat yang berani muncul secaraterang-terangan untuk mengontrol penguasa. Ia menjelaskan bahwa:

“hegemoni rezim itu harus dilawan, apalagi saat ini minimperlawanan, mahasiswa juga mandul dalam merespon realitassosial saat ini. Kaos ini memang saya jual, mengapa saya jual?Karena saya tak punya cukup uang untuk mengorganisirdemonstrasi di tengah masyarakat yang kesulitan ekonomi danmahasiswa yang minim militansi. Saya selalu mensyaratkankepada siapa pun pembeli kaos supaya ketika memakainyaharus memfoto, lalu menguploadnya di media sosial agarkampanyenya semakin meluas. Dengan itu, setiap orang bisademo kapan pun mereka mau. Dan juga supaya setiap pembeliitu sadar bahwa mereka bukan hanya sekedar membeli kaos,tetapi juga bergabung dalam revolusi… harapan kita, denganbegitu semoga bisa mengubah kondisi yang sudah beginiparah”Keberadaan kaos tersebut sangat kontroversial di masyarakat,

bahkan ada yang mengatakan Helmy sedang mencari sensasi, namundengan bermacam kontroversi yang muncul, justru semakin membuatkaos itu kian terkenal yang membuatnya sudah laku terjual mencapai

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

110 | Iromi Ilham

angka 1000 potong. Diterimanya kaos di masyarakat yang bisa dilihatdari angka jual yang mencapai 1000 potong menjadi tanda bahwamasyarakat sebenarnya juga merasakan hal yang sama, yaitu inginmenagih janji yang pernah disampaikan oleh pemerintah dalamkampanye. Masyarakat ingin mengeskpresikan kegeramannyadengan ikut “berkampanye” melalui kaos tersebut.

Resistensi dan Kegagalan Resiprositas Kaum Elite

Pertunjukan politik dan tata kelola daerah yang tidak puasdari para elite, monopoli akses terhadap sumber daya dan hegemonikekuatan politik dan ekonomi yang dipraktekkan memunculkanketidakpercayaan publik (public distrust). Distrust ini menimbulkandisorientasi yang pada gilirannya berpeluang melahirkanpembangkangan (disobedience) dan resistensi. Dalam bahasa Gurrdijelaskan telah terjadi perampasan (deprivation) terhadap hak yangseharusnya dimiliki oleh rakyat ketika nilai-nilai kesejahteraan(welfare values) yang dijanjikan oleh pemegang otoritas tidakterealisasi sebagaimana mestinya.23 Padahal, pasca perdamaian,begitu banyak dana reintegrasi yang mengalir ke Aceh, hanya sajayang terjadi di lapangan sarat dengan manipulasi dan beragamkepentingan. Kondisi ini dipertegas oleh Fuad M, mantan aktivis 1998yang sekarang aktif di Lembaga Aceh Institute yang mengatakanbahwa:

“Aceh ini aneh sekali. Dulu konflik dengan Jakarta karenatidak ada uang, sekarang setelah banyak uang, konfliknyasemakin parah, orang Aceh sudah berperang sesama orangAceh. Pasca damai, banyak sekali dana yang mengalir ke Aceh,ada dana reingtegrasi, ada dana diyat, apalagi damai Helsinkiitu selepas Tsunami, dana-dana dari donator begitu banyak…sekarang, dengan posisi Aceh sebagai daerah otonomi khusus,

23M. Manan, ibid.

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

Iromi Ilham | 111

dana Otsus situ triliunan. Tapi, ya itu… makin banyak uang,makin kuat kita berperang (sesama Aceh)”.24Bentuk resistensi ini bisa dilihat dalam dua sudut pandang,

yaitu sudut pandang politik dan sudut pandang sosial-antropologis.Sudut pandang politik ditandai dengan fenomena kuatnya resistendan kontrol masyarakat terhadap elite (Negara) atau terhadapkekuatan politik tertentu, sementara sudut pandang sosial-antropologis tercermin dari reaksi masyarakat dan fenomena anarkisyang lahir dari akar rumput, kemudian juga tergambar dari konflikhorizontal.25

Perlawanan yang hadir, baik dalam bentuk insinuasi maupundalam aksi nyata, tentu saja tidak bisa dipisahkan dari adanya“kepentingan-kepentingan” di balik itu semua. Bisa jadi, seseorangyang mengejek atau menggosip para elite baru itu karena ia jauh atautidak termasuk dalam golongan yang mendapatkan “kue kekuasaan”atau para “barisan sakit hati” yang jauh dari akses mendapatkan“hasil perjuangan”. Tentu saja, dengan berbagai perspektif yangtumpang-tindih, kita akan sulit untuk melihat kejadian-kejadiantersebut sebagai sebuah sikap perlawanan ataukah hanya aksi kecilyang sifatnya incidental dan gejala sekunder suatu aksi kejahatan.26.Namun, jika merujuk pada apa yang disampaikan Scott, kita akanyakin bahwa itu adalah sebuah sikap resistensi:

“Menuntut agar perlawanan kelas-kelas yang selalu kalah itu“berprinsip” atau “tanpa pamrih”, tidak hanya merupakan ilusiyang terlalu muluk dan pengingkaran terhadap status moraldari kebutuhan material fundamental; malah lebih dalam lagi,ia lebih merupakan salah satu konstruksi dasar perjuangan

24 Fuad Mardhatillah, mantan aktifis dan akademisi, tinggal di Darussalam, Banda Aceh.25 M. Manan, ibid.26 J. Scott, ibid.

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

112 | Iromi Ilham

kelas yang pertama, dan terutama merupakan petarunganuntuk mendapat kesempatan kerja, produksi, harta milik danpajak. Masalah-masalah “roti dan mentega” merupakanhakekat politik kelas bawah dan perlawanannya. Dariperspektif ini, konsumsi merupakan tujuan, maupun hasil dariperlawanan dan kontra-perlawanan”27Sistem politik akan memiliki legitimasi yang luas manakala

mampu manyatukan keanekaragaman kelompok ke dalam organisasi-organisasi dan keyakinan-keyakinan politik yang sama. Dalam halini, bagaimana organisasi politik pemerintahan mampu menyediakanpeluang-peluang, akses, serta kesempatan yang sama bagi kelompokprimordial dan ekonomi yang berbeda untuk berperan serta dalamlingkaran organisasi tersebut. Sehingga semua kelompok akanmerasa bahwa mereka adalah bagian dari identitas bersama dansemua akan ikut serta dalam sistem distribusi.28 Kondisi semacamini yang masih gagal dilakukan oleh elite baru yang berkuasa di Aceh.Pupusnya impian yang pernah digantungkan masyarakat Aceh padaawak nanggroe melahirkan bencana kemanusian baru yangdipraktekkan melalui ragam bentuk resistensi.

Biasanya, masyarakat akan memasang wajah manis dihadapan para elite, namun penuh sumpah serapah ketika dibelakangnya. Dalam bahasa Scott, relasi semacam ini diistilahkansebagai hidden transcript . Seakan, relasi antara kedua pihak initercipta dari duri dan besi karatan. Sementara bagi masyarakat yangmemiliki power, upaya-upaya perlawanan dilakukan secara terbukadan terang-terangan, misalnya apa yang dilakukan oleh Helmydengan menciptakan baju kaos berdesain “peringatan” terhadap pihakpenguasa. Geliat perlawanan-perlawanan di atas terbaca sebagairespon atas ketidaknyamanan dan kegagalan resiprositas penguasa.

27 Ibid.28 C.F Andrain, ibid.

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

Iromi Ilham | 113

Stressing pointnyaadalah adanya sharing kesejahteraan yang tidakmerata di kalangan masyarakat Aceh. Ini ibarat api dalam sekamyang sewaktu-waktu dapat menghancurkan perdamaian Aceh. Jikadulu masyarakat percaya akan propaganda Nyoe keun ie mandumleuhob, nyoeu keun droe teuh mandum gob, kini melahirkan antitesisbaru; Nibak ngeun ie, mangat ngeun leuhob, nibak ngeun droeuteuh,mangat that ngeun gob (lebih baik dipimpin oleh “orang lain”,ketimbang dipimpin “orang sendiri”).

PENUTUP

Kondisi ini harus menjadi refleksi bagi kalangan elite baruAceh. Ternyata masih ada yang keliru dalam cara membangunpranata sosial pasca MoU Helsinki. Tafsir perdamaian dankesejahteraan harus ditinjau kembali. Refleksi terbesar yangseharusnya muncul adalah tentang hakikat kemanusiaan. Jusuf Kalla–sang inisiator perdamaian Aceh- ketika membahas isu perdamaian ditingkat nasional dan internasional selalu berbicara di atas logika-logika kemanusiaan. Karena hakikat transformasi adalah melahirkankaum elite yang mampu menjadi panutan, dapat mengayomi danmelindungi rakyat, bukan kaum elite yang penuh intrik traksasionalyang hanya mementingkan bagaimana menguasai danmempertahankan kekuasaan.

Kekuasaan elitis di Aceh yang saat ini mayoritas berada ditangan mantan GAM harus mampu memperhatikan hal-hal yangmenjadi pemicu lahirnya konflik di masyarakat, khususnya terkaitdengan “isi perut” yang secara historis juga melatarbelakangi konflikpolitik Aceh dengan Pemerintah Indonesia.

Betapa mudahnya kita melupakan masa lalu itu tanpa mauberguru. Transparansi publik dalam mengelola kekayaan Aceh danjaminan penegakan hukum adalah kunci menuju perdamaian hakikidan bisa melewati tahap-tahap perdamaian yang masih rentan (peacevulnerabilities). Hanya dalam negara yang aman dan kehidupan yang

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

114 | Iromi Ilham

damai, hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya bisa dinikmati.Jika tidak demikian, posisi elit kembali akan terganggu dan menjadisasaran sikap resisten masyarakat, yang pada gilirannya kembalimenegaskan akan kebenaran ungkapan Vilfredo Pareto, sangteoritikus politik; sejarah merupakan suatu perkuburan aristokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, I., 2002. ‘Tantangan Pembangunan Ekonomi danTransformasi Sosial: Suatu Pendekatan Budaya”, JurnalHumaniora, XIV (3).

Andrain, C.F., 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial.Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Aspinall, E., 2007. ‘The Construction of Grievance: Natural Resourcesand Identity in a Separatist Conflict”, Journal of ConflictResolution.

Evers, H. D & Schiel, T., 1990. Kelompok-Kelompok Strategis: StudiPerbandingan tentang Negara, Birokrasi, dan PembentukanKelas di Dunia Ketiga, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Manan, M., 2005. Gerakan Rakyat Melawaan Elite, Yogyakarta: ResistBook.

Missbach, A., 2012. Politik Jarak Jauh Diaspora Aceh: SuatuGambaran tentang Konflik Separatis di Indonesia,Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Scott, J., 2000. Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah: BentukPerlawanan Sehari-hari Kaum Tani, Jakarta: Yayasan OborIndonesia.

Sulaiman, M. I., 2000. Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan, danGerakan, Jakarta: Pustaka Al-Kausar.

Aceh Anthropological Journal Volume 2 No. 1 Edisi April 2018

Iromi Ilham | 115

Varma, SP., 2010. Teori Politik Modern, Jakarta: PT Raja GrafindoPersada.

http://aceh.tribunnews.com/2014/08/21/generasi-helsinki-rentan-tersingkir