Representasi Kapal Selam Indonesia dalam Perspektif ...
Transcript of Representasi Kapal Selam Indonesia dalam Perspektif ...
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
87
Representasi Kapal Selam Indonesia dalam Perspektif
Pertahanan Regional
Marsetio1 dan Rajab Ritonga2
[email protected], [email protected]
Abstract
Indonesia as one of the centers of gravity in Asia Pacific region requires defence equipment, including submarines
as a deterrence effect to play a leadership role within the regional area with all its dynamics in South China Sea.
In relation to that role, the Navy is now transformed to meet World Class Navy standards with four elements: (1)
excellence in human resources, (2) excellence in technology, (3) organizational excellence, and (4) excellence in
operational capabilities. This study tries to find out how submarine representation in the perspective of regional
defence is faced with China's overlapping claims in South China Sea, as well as the presence of the United States
that seeks to maintain regional hegemony. This research uses a descriptiveexplanative method with a qualitative
approach based on the constructivist paradigm. The research conclusions are: the existence of submarines as
strategic weapons has become a major need for Indonesia to play leadership role in the regional area in facing the
intensity of regional political crises as excesses of problems in South China Sea and the emergence of China as a
new rival to the United States. Keywords: Submarines, Domain Maritime Awareness, Deterrence Effect
Indonesia sebagai salah satu pusat gravitasi di kawasan Asia Pasifik membutuhkan peralatan pertahanan,
termasuk kapal selam sebagai efek jera untuk memainkan peran kepemimpinan dalam wilayah regional dengan
semua dinamika di Laut Cina Selatan. Sehubungan dengan peran itu, Angkatan Laut sekarang ditransformasikan
untuk memenuhi standar Angkatan Laut Kelas Dunia dengan empat elemen: (1) keunggulan dalam sumber daya
manusia, (2) keunggulan dalam teknologi, (3) keunggulan organisasi, dan (4) keunggulan dalam kemampuan
operasional . Studi ini mencoba untuk mengetahui bagaimana representasi kapal selam dalam perspektif pertahanan
regional dihadapkan dengan klaim China yang tumpang tindih di Laut Cina Selatan, serta kehadiran Amerika
Serikat yang berupaya mempertahankan hegemoni regional. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-
eksplanatif dengan pendekatan kualitatif berdasarkan paradigma konstruktivis. Kesimpulan penelitian adalah:
keberadaan kapal selam sebagai senjata strategis telah menjadi kebutuhan utama bagi Indonesia untuk memainkan
peran kepemimpinan di wilayah regional dalam menghadapi intensitas krisis politik regional sebagai ekses dari
masalah di Laut Cina Selatan dan munculnya Cina sebagai saingan baru ke Amerika Serikat. Kata kunci: Kapal Selam, Wilayah Kesadaran Maritim, Efek Pencegahan
Copyright © 2018 Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia. All rights reserved
1 Profesor di Universitas Pertahanan (Unhan) 2 Dosen di Universitas Prof. Dr. Moestopo
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
88
1. Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,
dengan 17.499 pulau (16.056 pulau sesuai
verifikasi PBB tanggal 18 Agustus 2017),
mutlak memerlukan sistem senjata armada
terpadu (SSAT) berupa kapal perang, pesawat
udara, marinir, dan pangkalan laut/udara untuk
menjaga kedaulatan negara di lautan yurisdiksi
nasional Indonesia. Keberadaan SSAT tidak
dapat dinihilkan sebab letak geografis Indonesia
sangat khas: pemisah Samudera Pasifik dengan
Samudera Hindia, sehingga perairannya
menjadi jalur perhubungan laut Asia dan
Australia.
Pada sisi lain, luas wilayah Indonesia
didominasi perairan, yakni dua pertiga, atau
seluas 5,8 juta km² dengan garis pantai 80.791
kilometer (Pushidros, 2017; Marsetio, 2013),
dan sisanya berupa daratan. Lautan Indonesia
itu berbatasan dengan 10 negara tetangga,
sedangkan di darat berbatasan dengan tiga
negara. Kondisi geografis seperti itu membuat
Indonesia memiliki potensi kerawanan berupa
ancaman militer dan nonmiliter di dan atau
melalui wilayah-wilayah tersebut. Melihat
kondisi seperti itu pula, Indonesia memerlukan
pertahanan negara yang efektif dan berdaya
tangkal tinggi. Pertahanan itu harus memiliki
strategi yang tepat dan mampu memaksimalkan
pendayagunaan seluruh sumber daya nasional.
Hal itu penting untuk menghadapi berbagai
kerawanan demi terpeliharanya kelangsungan
hidup bangsa dan negara dengan melibatkan
seluruh komponen utama, komponen cadangan
dan komponen pendukung bangsa.
Dari konstelasi geografis sebagaimana
diuraikan, maka TNI Angkatan Laut dalam
menjalankan peran, fungsi dan tugas pokoknya,
harus memiliki kesenjataan strategis dan
memiliki daya tangkal yang tinggi, berupa alat
utama sistem senjata (alutsista) yang memadai,
salah satunya senjata strategis berupa kapal
selam. Kapal jenis ini memiliki nilai strategis
sangat tinggi sesuai dengan konstelasi geografis
Indonesia berupa perairan dalam dan perairan
dangkal, serta gugusan pulau besar dan kecil
yang dapat dimanfaatkan dalam strategi perang
laut (Marsetio, 2014).
Sebagai alutsista bernilai strategis tinggi,
kapal selam dapat menimbulkan efek
penangkalan (detterence effect) bagi
negaranegara di sekitar yang ingin melancarkan
agresi. Kapal selam sangat ditakuti pada perang
laut, karena gerakannya sulit dideteksi sehingga
dapat menyusup ke jantung pertahanan lawan
tanpa diketahui (Sulistijono, 2017).
Pada sisi lain, revolution in military
affairs (RMA) kini cenderung mengembangkan
teknologi satelit, peningkatan jangkauan jarak
peluru kendali, dan pengembangan pesawat tanpa
awak. RMA juga membawa dampak terhadap
kemajuan teknologi militer, konsep operasi,
pengorganisasian, doktrin dan strategi militer,
bahkan secara luas telah berpengaruh terhadap
aspek politik, sosial dan ekonomi. Kendati
begitu, kekuatan kapal selam tetap
diperhitungkan, sebab kapal selam generasi
terbaru kini dapat menyelam berbulan-bulan
lamanya untuk menebar ancaman maupun
memotong jalur logistik lawan.
Untuk menjawab berbagai tantangan
perkembangan lingkungsan strategis, TNI AL
sebagai bagian integral TNI berupaya
mengembangkan kekuatannya dengan
memodernisasi alutsista melalui konsep
Paradigma Baru menuju World Class Navy yang
memerlukan empat elemen dasar yaitu: (1)
keunggulan sumber daya manusia (excellent
human resources), (2) keunggulan teknologi
(excellent technology), (3) keunggulan organisasi
(excellent organization), dan (4) keunggulan
kemampuan operasi (operation excellent)
(Marsetio, 2014; Marsetio, 2018a, Marsetio
2018b).
Sejalan dengan kemampuan industri
dalam negeri membuat kapal selam, TNI AL
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
89
terus berupaya untuk mencapai empat elemen
dasar standard World Class Navy terutama pada
aspek SDM awak kapal selam, deployment dan
pengembangan pangkalan kapal selam serta
keunggulan dalam pemenuhan tuntutan operasi
(sustainable operation detachment) kapal selam.
Dengan latar belakang sebagaimana
diuraikan tersebut di atas, studi eksplanatif ini
bertujuan untuk menjelaskan bagaimana
representasi kapal selam Indonesia dalam
perspektif pertahanan regional kawasan
dihadapkan dengan klaim tumpang tindih China
di Laut China Selatan, serta kehadiran Amerika
Serikat yang berupaya mempertahankan
hegemoni kawasan.
2. Kerangka Teoritis
Sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya, TNI AL harus dapat mengantisipasi
setiap bentuk ancaman yang timbul di perairan
yurisdiksi nasional Indonesia. Untuk itu,
keberadaan senjata strategis seperti kapal selam
sebagai deterence effect adalah keharusan.
Sesuai ciri khasnya, kapal selam mengemban
fungsi asasi sebagai (1) pengintaian taktis dan
strategis, (2) menyelenggarakan peperangan
antikapal permukaan (AKPA), dan (3)
menyelenggarakan peperangan antikapal selam
(AKS). Selain mengemban fungsi asasi, kapal
selam juga memiliki fungsi tambahan berupa;
(1) sarana infiltrasi (penyusupan pasukan
khusus, spionase dan sabotase), (2) penyebaran
ranjau secara terbatas, (3) pencarian dan
penyelamatan di laut secara terbatas, (4)
angkut/evakuasi VVIP secara terbatas, dan (5)
penyerangan obyek vital di darat dan di laut.
Sejak awal abad ke 20, kapal selam telah
menjadi senjata pilihan untuk meniadakan atau
menentang pengendalian laut oleh kekuatan
lawan. Dalam pengoperasiannya, kapal selam
memiliki kemampuan kerahasiaan (stealth),
jangkauan, daya tahan, dan kekuatan serangan
yang tangguh. Kapal selam memiliki sejumlah
elemen strategis penggunaan kekuatan angkatan
laut untuk mendukung tujuan nasional, yakni (1)
menegakkan kedaulatan, (2) menjaga keutuhan
wilayah, dan (3) menjaga keselamatan negara.
Deterrence effect kapal selam berfungsi
untuk mencegah penggunaan laut (sea denial);
pengendalian laut (sea control); intelligence,
surveillance, reconnaissance (ISR); dan
penyerangan (strike). Dalam berbagai mandala
operasi, kapal selam telah memperlihatkan
kemampuannya sebagai senjata penghancur
lawan yang efektif sebagaimana dibuktikan pada
Perang Dunia I, Perang Dunia II, Perang India-
Pakistan, Perang Malvinas, dan Perang Dingin.
Pada PD I, kapal selam Jerman banyak
menenggelamkan kapal, terutama kapal-kapal
logistik Sekutu sebagai taktik memutus garis
perhubungan laut lawan. Kisah yang cukup
terkenal adalah penenggelaman tiga kapal
penjelajah Inggris oleh U-9 dalam sekali
serangan. Pada PD II, kapal selam tetap menjadi
senjata andalan untuk menguasai laut. Di Laut
Mediterania, kapal selam Jerman
menenggelamkan banyak kapal kargo maupun
kapal perang Inggris.
Di Samudera Atlantik, tiga kapal induk
Inggris ditenggelamkan oleh kapal selam Jerman,
sedangkan di Samudera Pasifik, kapal selam AS
menenggelamkan berjuta tonase kapal-kapal
kargo dan kapal perang Jepang. Tercatat lima
kapal induk Jepang ditenggelamkan oleh kapal
selam Amerika Serikat, sementara kapal selam
Jepang berhasil menenggelamkan satu kapal
induk AS.
Pada Perang India-Pakistan I tahun 1965,
satu-satunya kapal selam Pakistan
menenggelamkan destroyer India. Pada Perang
India-Pakistan II tahun 1971, kapal selam
Pakistan kembali berhasil menenggelamkan
destroyer India. Dalam Perang Malvinas, kapal
selam Inggris, HMS Conqueror
menenggelamkan kapal penjelajah Argentina,
General Belgrano yang dikawal dua destroyer.
Kapal selam Argentina, SS San Luis juga berhasil
menyerang armada Inggris namun gagal
menenggelamkannya karena kerusakan torpedo.
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
90
Pada era perang dingin, terjadi beberapa
insiden yang berkaitan dengan pengoperasian
kapal selam, seperti kasus Whiskey on the Rock
(penyusupan kapal selam Rusia di perairan
Swedia), terdamparnya kapal selam mini Korea
Utara dan penyusupan kapal selam RRC di
perairan Jepang. Pada Teluk I tahun 1991 dan
Perang Teluk II 2002, kapal selam Inggris
memainkan peran penyusupan pasukan khusus
(SAS) ke pantai Kuwait, sedangkan kapal selam
AS berhasil menghancurkan beberapa sasaran
darat dengan rudal jelajah Tomahawk.
Begitu juga dengan sejarah
pengoperasian kapal selam di Indonesia. Pada
Operasi Trikora untuk pembebasan Irian Barat,
KRI Candrasa dan beberapa kapal selam TNI AL
jenis Whiskey Class lainnya berhasil menembus
blokade laut Belanda dan sukses mendaratkan
pasukan khusus di Tanah Merah, Irian Barat
(Papua).
Dari sisi perkembangan teknologi, saat ini
kapal selam diesel elektris modern memiliki
kemampuan hampir menyamai kemampuan
kapal selam nuklir. Dengan perkembangan
teknologi persenjataan yang mutakhir, kapal
selam modern semakin silent dengan endurance
semakin lama, serta memiliki daya pukul yang
tinggi. Kapal selam kini dapat dipersenjatai rudal
jelajah nuklir maupun konvensional, ataupun
torpedo jarak jauh, ranjau dan rudal anti kapal
permukaan maupun udara.
Dalam sejarah perkembangan teknologi dan
persenjataan militer, kapal selam merupakan
salah satu kekuatan pemukul strategis yang
terbukti memiliki daya tempur offensif yang
ampuh dan memiliki tingkat deterrence effect
tinggi. Dalam perpektif kekuatan laut (sea
power) atau kekuatan maritim (maritime power),
kapal selam merupakan bench mark atau tolok
ukur dari besarnya kekuatan laut suatu negara.
Indonesia pernah mengalami kejayaan
dengan skuadron kapal selam Whisky Class
sejumlah 12 kapal di luar kapal-kapal
pendukungnya, antara lain tender kapal selam
yang dipersiapkan untuk Operasi Trikora tahun
1961–1962, merebut Irian Barat (Papua) dari
tangan Belanda. Setelah kembalinya Irian Barat
ke pangkuan ibu pertiwi dan berhentinya
dukungan suku cadang dari Uni Soviet, maka
jumlah kapal selam mengalami penurunan
sehingga hanya tersisa dua kapal dengan
kemampuan asasi sangat terbatas.
Selanjutnya, sesuai perkembangan
kemampuan keuangan negara, satuan kapal
selam mendapatkan kekuatan baru berupa dua
buah kapal selam Jerman type 209/1300 tahun
1980 sebagai pengganti kapal selam kelas
Whisky. Kini, seiring dengan life time U-209
yang telah mencapai lebih dari 37 tahun, satuan
kapal selam TNI AL mendapat penambahan
kapal selam baru, tipe 209 Chang Bogo dari
Korea Selatan (Prasetyo, 2017).
Keberadaan kapal selam baru menjadikan TNI
AL memiliki pengalaman mengoperasikan dan
memelihara tiga generasi kapal selam yaitu (1)
Whisky Class Rusia, (2) U-209/1300 Jerman,
dan (3) Chang Bogo buatan Korea Selatan yang
sejatinya merupakan varian modifikasi type 209.
Generasi baru kapal selam ini berjumlah tiga
kapal dengan kesepakatan alih teknologi
(transfer of technology/ToT): dua kapal dibuat di
Korea dan satu di Indonesia. Sistem ToT sangat
bermanfaat karena Indonesia ke depan dapat
membuat kapal selam sendiri.
3. Metode Penelitian
Studi ini menggunakan metode
penelitian deskriptif-eksplanatif dengan
pendekatan kualitatif. Metode ini digunakan
untuk memperoleh informasi secara lebih
mendalam dan akurat mengenai permasalahan
penelitian. Penelitian deskriptif bertujuan untuk
mengumpulkan informasi secara lebih terperinci
dalam menggambarkan suatu fenomena
(Soegijono, 2010). Paradigma penelitian yang
digunakan adalah konstruktivis dengan peneliti
sebagai intrumen utama penelitian.
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
91
Moleong (2013) mengutip Denzin dan
Lincoln menyatakan, penelitian kualitatif adalah
penelitian yang menggunakan latar alamiah,
dengan maksud menafsirkan fenomena yang
terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan
berbagai metode yang ada. Pnelitian kualitatif
memiliki maksud dan tujuan untuk menafsirkan
fenomena yang sedang terjadi.
Data penelitian dianalisis menggunakan
teknik analisis kualitatif model Miles and
Huberman yang dilakukan secara interaktif
berupa: (1) reduksi data untuk menfokuskan pada
masalah tertentu; (2) penyajian data yang bersifat
naratif; dan (3) penarikan kesimpulan berupa
deskripsi atau gambaran suatu obyek (Sugiyono,
2011).
4. Pembahasan dan Hasil
Berbagai perkembangan lingkungan
strategis dan krisis ekonomi yang terjadi dewasa
ini dapat membawa dampak timbulnya
ketegangan di antara bangsa-bangsa di dunia.
Perkembangan ekonomi di beberapa negara Asia
Pasifik juga mendorong tumbuhnya kekuatan
baru dunia di bidang industri yang pada akhirnya
akan meningkatkan produktifitas di bidang
industri. Hal ini berdampak terhadap
meningkatnya kebutuhan energi, pangan dan air.
Dengan adanya keterbatasan sumber daya
alam, pada akhirnya telah menimbulkan
kesadaran akan keamanan sumber energi menjadi
sebuah perhatian serius, mengingat beberapa
sumber energi seperti minyak dan gas bumi
memiliki sifat tidak dapat diperbaharui sehingga
di masa mendatang akan menjadi sebuah
komoditi langka. Hal tersebut dapat
meningkatkan ketegangan di antara
bangsabangsa untuk menguasai sumber energi,
pangan dan air dari berbagai kawasan khususnya
kawasan Asia Pasifik.
Perkembangan lingkungan di kawasan
regional pada dewasa ini juga telah memberikan
pengaruh kepada bentuk ancaman yang mungkin
terjadi di masa mendatang. Permasalahan di Laut
China Selatan sebagai akibat dari klaim Nine
Dashed Line China telah menimbulkan
ketegangan berkepanjangan antara China dengan
beberapa negara klaiman. Kondisi ini diperparah
dengan hadirnya Amerika Serikat dan kekuatan
militernya untuk menstabilisasi ketegangan di
wilayah tersebut serta untuk mempertahankan
hegemoni di kawasan. Dalam perspektif AS,
kehadirannya di Laut China Selatan adalah untuk
mencegah gangguan terhadap perdagangan dan
investasi AS serta untuk memastikan kebebasan
bernavigasi (freedom of navigation operation).
China menyebut kehadiran kekuatan militer AS
itu adalah illegal dan dapat memicu ketegangan
yang tidak perlu di kawasan Laut Cina Selatan.
China secara sepihak telah mengeluarkan
peta wilayah teritorialnya di Laut China Selatan
dengan menggambar sembilan titik (9 dotted
line) dan menjadi perhatian internasional
terutama Amerika Serikat yang berkepentingan
di wilayah Asia Tenggara. AS pun membuat
Kebijakan Pertahanan Tahun 2012 melalui
dokumen Sustaining US Global
Leadership: Priorities For 21st Century Defense.
Wilayah Asia Tenggara merupakan salah satu
perhatian kebijakan AS terkait dengan
kepentingan ekonominya sekaligus untuk
menghadapi kemunculan China sebagai kekuatan
regional yang berpotensi memengaruhi ekonomi
dan keamanan AS. Untuk itu AS selalu
berinvestasi di kawasan guna terjaganya akses
regional dan kebiasaan beroperasi secara bebas.
Dari kebijakan pertahanan tersebut AS
telah mengimplementasikan kesadaran maritim
(maritime domain awareness/MDA). Amerika
juga menganggap lokasi choke points di Asia
Tenggara, masih lemah MDA-nya padahal dari
sembilan choke points di dunia, empat di
antaranya berada di Indonesia. Kebijakan
pertahanan AS tersebut dapat berimplikasi
terhadap Indonesia. Bila Indonesia belum
memiliki kebijakan kesadaran maritim nasional
(national maritime domain awareness), maka
tidak menutup kemungkinan, AS akan
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
92
menjadikan ini sebagai isu baru untuk
mengendalikan empat choke points tersebut
(Ritonga, 2016).
Sementara itu, di kawasan Laut China
Selatan terdapat dinamika klaim tumpang tindih
China terhadap Laut China Selatan, berhadapan
dengan lima negara claimants: Malaysia,
Filipina, Taiwan, Vietnam dan Brunei
Darussalam. Akibatnya terjadi ketegangan
memperebutkan hak kepemilikan wilayah di
sana. Demikian juga di Semenanjung Korea,
situasinya tidak kondusif akibat perilaku Korea
Utara yang tidak bersahabat. India dan China,
sebagai negara pemain di kawasan Hindia dan
Pasifik kini saling mengintai kekuatan
masingmasing berkenaan dengan kemampuan
dalam menggelar kekuatan laut yang telah
berkembang menjadi kekuatan blue water navy.
Situasi ini dimanfaatkan oleh Amerika Serikat
untuk menjalin kerja sama pertahanan dengan
India yang semakin intensif. Memanasnya
situasi di kawasan Asia Pasifik menyebabkan
Amerika Serikat mengambil kebijakan dengan
menggeser fokus perhatian dan menata kekuatan
militernya di kawasan Asia Pasifik yang selama
ini diemban oleh USPACOM. Komando itu telah
diperluas wilayah tanggung jawabnya sampai
Timur Tengah/Asia Selatan, dan diubah menjadi
USINDOPACOM. Perubahan itu tidak dapat
dilepaskan dari kepemimpinan Presiden Donald
Trump yang mengkampanyekan Make US Great
Again, dengan berbagai keputusan politiknya
yang menimbulkan kontroversi di dalam maupun
di luar Amerika Serikat
(Marsetio, 2018c).
Perubahan Komando AS itu
sesungguhnya merupakan penegasan atas
pentingnya kawasan geopolitik Indo Pasifik yang
di dalamnya kini termasuk India. Seperti
dikatakan oleh Menteri Pertahanan AS, Jenderal
Jim Mattis ketika meresmikan perubahan
komando di Hawaii pada akhir Mei 2018,
hubungan Sekutu di Samudera Pasifik dan India
terbukti penting untuk menjaga stabilitas
regional. Perubahan komando tersebut sekaligus
merupakan pengakuan atas meningkatnya
konektivitas Samudera Hindia dan Pasifik, serta
pengakuan terhadap relevansi militer India yang
semakin meningkat.
Pada kesempatan yang sama Admiral Phil
Davidson, Panglima US Indo-Pacific Command
menyatakan, hubungan India dan AS adalah
potensi paling bersejarah di Abad ke-21, dan
Amerika berniat untuk mewujudkannya. Pada
tahun 2016, AS dan India telah menandatangani
perjanjian yang mengatur penggunaan daratan,
udara, dan pangkalan angkatan laut untuk
perbaikan kapal dan pasokan bahan bakar.
Langkah ini merupakan pembangunan hubungan
pertahanan kedua negara untuk menghadapi
agresivitas China yang semakin meningkat.
Komando Indo Pasifik AS, bertanggung
jawab atas semua kegiatan militer Amerika
Serikat di wilayah Pasifik, dengan kekuatan
personil sekitar 375.000 personel sipil dan
militer. Kawasan itu meliputi 36 negara, dengan
lima negara di antaranya memiliki perjanjian
pertahanan dengan AS. Adapun jumlah
penduduk kawasan Asia Pasifik mencapai 50
persen dari populasi dunia. Secara militer
komando AS di Indo Pasifik diperkuat 200 kapal
perang dari berbagai jenis, 1.100 pesawat udara
dan lebih dari 130.000 pelaut yang siap
melindungi kepentingan Amerika Serikat dan
sekutu-sekutunya.
Perubahan komando Pasifik AS tersebut
dapat dikatakan sebagai tandingan atas inisiatif
China yang merangkul dan mendapatkan
dukungan dari negara-negara di kawasan Asia
Pasifik termasuk Afrika dengan konsep OBOR
(One Belt One Road)/BRI (Belt and Road
Initiative), dengan pendekatan ekonomi (Smart
Force). Perubahan komando AS tersebut juga
merupakan strategi pertahanan nasional AS di
Asia dalam menghadapi kekuatan China yang
terus berkembang. Hal tersebut dapat dilihat
dengan tidak diundangnya China mengikuti Rim
of Pacific (RIMPAC) Exercise tahun 2018
sebagaimana pada tahun sebelumnya China hadir
dalam latihan perang terbesar di dunia yang
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
93
melibatkan 42 kapal permukaan, 5 kapal selam,
200 pesawat tempur serta 25.000 personel dari 25
negara (dalam latihan ini TNI AL mengirimkan
dua kapal perang, KRI RE Martadinata, KRI
Makassar dan 600 personel).
Implikasi dari ketegangan yang semakin
meningkat di Laut China Selatan, memungkinkan
sewaktu-waktu dapat terjadi konflik yang
berimbas kepada Indonesia. Selain itu, Indonesia
masih menghadapi beberapa permasalahan
perbatasan dengan negara tetangga yang hingga
saat ini belum terselesaikan. Kondisi ini bila
berlangsung terus menerus, akan dapat
menimbulkan ketegangan sebagai akibat tidak
jelasnya perbatasan antarnegara.
Dalam kaitan itu, untuk menjaga
kedaulatan wilayah Indonesia, kehadiran
alutsista baru menjadi penting dibahas. Saat ini,
Indonesia membutuhkan 12 kapal selam yang
dipersenjatai dengan rudal untuk menjaga
kedaulatan wilayah NKRI. Indonesia
memerlukan kapal selam konvensional
berukuran besar agar dapat beroperasi jauh dari
pangkalan. Satuan kapal selam Indonesia harus
dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap
negara sebagai leadership role di kawasan
regional dan ikut aktif dalam menjaga
perdamaian dunia.
Dalam pemenuhan kebutuhan alutsista sesuai
dengan Perencanaan Stategis 2010-2014 yang
terbagai dalam tiga tahapan: (1) Periode 2010 –
2014 (Minimum Essential Forces), (2)
Periode 2015 – 2019 (Essential Forces), dan (3)
Periode 2020 – 2024 (Optimum Essential
Forces), maka pada periode 2010 – 2014 telah
dimulai penyiapan sarana pendukung di PT PAL
untuk pembuatan kapal selam kelas Chang Bogo
dengan system ToT dari Korea Selatan.
Pembangunan kapal selam bacth pertama terdiri
dari tiga unit, dua dibangun di Korea: KRI
Nagapasa-403 dan KRI Ardadedali-404 dan satu
di Indonesia yaitu KRI Alugoro-405. Pengadaan
bacth kedua, sebanyak tiga kapal, dimulai akhir
tahun 2018 dengan peningkatan persenjataan
strategis sehingga dapat membawa rudal Sub
Surface to Surface melampaui batas cakrawala
(over the horizon).
Di kawasan Asia Indonesia menjadi
pioner dalam pengoperasian kapal selam dengan
mengoperasikan 12 kapal selam kelas
Whiskey di tahun 60-an, dan kini
mengoperasikan empat kapal selam. Untuk
mendukung operasional kapal selam tersebut,
TNI AL merencanakan pembangunan pangkalan
kapal selam di Palu (ALKI II).
Melihat peningkatan kekuatan yang
dilakukan oleh Indonesia, negara tetangga terus
berupaya untuk membangun dan
mengembangkan kekuatan kapal selamnya.
Malaysia membeli dua kapal selam kelas
Scorpene (Perancis), Singapura sudah memiliki
enam kapal selam, dan merencanakan pengadaan
dua kapal selam type 218SG dari Jerman.
Vietnam, merupakan kekuatan laut baru
di kawasan. Pada Desember 2009 Vietnam telah
menandatangani kontrak pembelian enam kapal
selam kelas Kilo (Rusia). Thailand telah
melakukan penjajakan pembelian enam kapal
selam U-206A dari Jerman. Pada tahun 2020,
Filipina merencanakan pembelian kapal selam
sedangkan Myanmar telah mengoperasikan kapal
selam kelas Yugo 110 dan Sang-O 370 dan
mengakuisisi 2 kapal selam kelas Vela (Rusia).
Pengembangan kekuatan kapal selam di
kawasaan Asia Tenggara semakin meneguhkan
fungsi kapal selam sebagai deterrence effect
dalam penggunaan laut, pengendalian laut (sea
control); intelligence, surveillance,
reconnaissance (ISR); dan penyerangan
(strike).
5. Kesimpulan
Indonesia memiliki konstelasi geografis yang
sangat strategis sebagai center of gravity kawasan
Asia Pasifik, sehingga dalam menghadapi isu
keamanan maritim kawasan, Sistem Senjata
Armada Terpadu TNI AL memerlukan
representasi alutsista kapal selam. Keberadaan
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
94
kapal selam sebagai senjata strategis dengan
deterence effect-nya, menjadi kebutuhan bangsa
Indonesia sebagai leadership role di kawasan
regional. Untuk itu, TNI Angkatan Laut sedang
bertransformasi memenuhi standard World Class
Navy meraih (1) keunggulan sumber daya
manusia (excellent human resources), (2)
keunggulan teknologi (excellent technology), (3)
keunggulan organisasi (excellent organization),
dan (4) keunggulan kemampuan operasi
(operation excellent) untuk dapat diandalkan
dalam mengantisipasi perubahan lingkungan
strategis kawasan terkait dengan klaim tumpang
tindih China di Laut China Selatan, serta
kehadiran Amerika Serikat yang berupaya
mempertahankan hegemoni kawasan tersebut.
Referensi
Marsetio. (2013). Strategi TNI Angkatan Laut
dalam Pengamanan Batas Maritim NKRI:
Kajian Historis-Strategis. Jurnal Sejarah
Citra Lekha. Vol 27(1): 1-18.
Marsetio. (2014). Sea Power Indonesia.
Jakarta: Universitas Pertahanan.
Marsetio. (2014). Paradigma Baru TNI AL
Berkelas Dunia (World Class Navy).
Jakarta: Sekolah Staf dan Komando TNI
Angkatan Laut.
Marsetio. (2018a). Sengketa Laut China
Selatan dan Implikasinya terhadap
Indonesia. Jakarta: Universitas
Pertahanan.
Marsetio. (2018b). Peran Komponen Bangsa
dalam Membangun Indonesia Menjadi
Negara Maritim. Jakarta: Universitas
Pertahanan.
Marsetio. (2018). Perubahan Tatanan
Geomaritim Pasca Pembentukan US
Indopacific Command dan Implikasinya
terhadap Konflik Laut China Selatan
dalam Perspektif Indonesia. Pidato
Pengukuhan Guru Besar
Universitas
Pertahanan.
Moleong, Lexy J. (2013). Metode Penelitian
Kuantatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Prasetyo, Tuggul, Armaidy Armawi, Dafri
Agus Salim. (2017). Evaluasi Kinerja
KKIP dalam Kerjasama Republik
Indonesia-Korea Selatan pada
Pembangunan Kapal Selam untuk
Mendukung Ketahanan Alutsista TNI
Angkatan Laut. Jurnal Ketahanan
Nasional. Vol 23(1): 86-103.
Pushidros (Pusat Hidrografi dan Oseanografi
TNI Angkatan Laut). (2017). Peta Batas
Maritim NKRI.
Ritonga, Rajab. (2016). Kesadaran Baru
Maritim: Biografi Laksamana TNI Dr.
Marsetio. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Soegijono. (2010). Metode
Penelitian Kuantitatif, Kualitatif
dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sulistijono, R. Kukuh. (2017). Kemandirian
PT. PAL Indonesia (Persero) sebagai
Industri Stategis Pertahanan Nasional
dalam Pembuatan Kapal Selam Diesel
Elektrik Klas 209. Jurnal Prodi Strategi
Perang Semesta. Vol 3(1): 25-39.
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
95
Membangun Supremasi Dan Kesadaran Hukum Dalam Rangka
Ketahanan Nasional
Tb. Ronny Rachman Nitibaskara3
Abstract
Legal instruments are in the form of laws and regulations with the aim of regulating the life of a good and dignified
society, nation and state by upholding justice through the rule of law. Law is the highest source (supremacy of law) in regulating and determining the mechanism of legal relations between the State and society as well as between members or groups of people with one another. the legal culture of each profession above has relevance to certain cultural dimensions. As quoted by Tamtelahitu and Tafakurrozak (2012). Edward T. Hall (1990) divides the cultural dimension. The research method used is a qualitative research method. The results of this study at this point finally emerge the feeling of law (rechtsgevoel), namely to see the law as a necessity so that law obedience flows without coercion. If the above reality continues to grow in society, a noble legal culture is born. Every party really permeates the prohibitions and dangers of actions that are prohibited by law, to finally be held firmly as the
principle of life. Keywords: Law Supremacy, Legal Awareness, National Resilience.
Instrumen hukum berupa hukum dan peraturan dengan tujuan mengatur kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang baik dan bermartabat dengan menegakkan keadilan melalui supremasi hukum. Hukum adalah sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara Negara dan masyarakat serta antara anggota atau kelompok orang yang satu dengan yang lainnya. budaya hukum dari setiap profesi di atas memiliki relevansi dengan dimensi budaya tertentu. Seperti dikutip oleh Tamtelahitu dan Tafakurrozak (2012). Edward T. Hall (1990) membagi dimensi budaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Hasil penelitian ini pada titik ini akhirnya muncul perasaan hukum (rechtsgevoel), yaitu memandang hukum sebagai keharusan sehingga kepatuhan hukum mengalir tanpa paksaan. Jika kenyataan di atas terus tumbuh di masyarakat, budaya hukum yang mulia lahir. Setiap pihak benarbenar menembus larangan
dan bahaya tindakan yang dilarang oleh hukum, untuk akhirnya dipegang teguh sebagai prinsip hidup. Kata kunci: Supremasi Hukum, Kesadaran Hukum, Ketahanan Nasional.
Copyright © 2018 Jurnal Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia. All rights reserved
1.Pendahuluan
Sebagaimana diketahui, Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah
Negara hukum berlandaskan Undang-undang
Dasar 1945 dan Pancasila. Berdasarkan kedua
landasan tersebut, disusunlah segenap perangkat
hukum berbentuk peraturan perundang-
undangan dengan tujuan untuk mengatur
3 Dosen Ketahanan Nasional, Kajian Stratejik Ketahanan Nasional SKSG Universitas Indonesia
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang baik dan bermartabat dengan
jalan menegakkan keadilan melalui supremasi
hukum.
Voltaire (1694-1778), salah satu tokoh
terkemuka zaman pencerahan (Enlightenment)
memberikan suatu kesimpulan bahwa apabila
kita mencintai hukum, kita wajib memikul
seluruh “beban yang ditimpakan oleh hukum”,
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
96
hal tersebut memiliki arti bahwa pemerintah dan
rakyat memiliki kewajiban untuk bersamasama
menaati hukum. Beban terberat tentunya terletak
pada pemerintah, karena pemerintah sebagai
badan yang membuat hukum, juga wajib tunduk
pada hukum yang sama.
Kesimpulan diatas didapati Voltaire setelah ia
mendapati suatu tindak pidana di Toulouse,
dengan terdakwa Jean Calas yang divonis
hukuman mati atas tuduhan membunuh
puteranya sendiri. Setelah melakukan investigasi
selama tiga tahun akhirnya terungkap bahwa
tuduhan terhadap ybs hanya sekedar fitnah
belaka. Berkat usaha gigih Voltaire pula yang
tetap melakukan penyelidikan sesuai dengan
jalur hukum yang berlaku, nama Jean Calas
direhabilitasi dan semua catatan pada pengadilan
Touluse tentang kesalahannya dihapus.
Bercermin pada contoh pengalaman
menegakkan keadilan melalui supremasi hukum
tersebut, tidak salah bila Bagir Manan (1994)
pernah mengemukakan sendi utama Negara
berdasarkan atas hukum adalah bahwa hukum
merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum)
dalam mengatur dan menentukan mekanisme
hubungan hukum antara Negara dan masyarakat
maupun antara anggota atau kelompok
masyarakat yang satu dengan yang lain.
2.Metode Penelitian
Menurut John W Creswell (1994) dalam
penerapan paradigma ilmu sosial sangat penting
karena dengan suatu paradigma dapat
membantu peneliti untuk
menentukan perspektif yang benar
dalam melihat suatu masalah. Selain itu,
paradigma juga berfungsi untuk membantu
menentukan teori dan metode yang sesuai untuk
digunakan dalam penelitian.
Menurut Harmon, paradigma dapat didefinisikan
sebagai cara mendasar untuk memahami,
berpikir, menilai, dan melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan sesuatu yang spesifik
tentang visi realitas (Moleong, 2005: 49).
Pengamatan pertama, observasi
adalah teknik pengumpulan data yang
mengharuskan peneliti untuk turun ke lapangan
untuk mengamati objek penelitian dan aktivitas
individu di lokasi penelitian. Dalam hal ini,
peneliti akan mencatat dan merekam terstruktur
dan semi terstruktur. Selain itu, peneliti juga
mendaftarkan wawancara untuk memetakan dan
memfasilitasi proses di lapangan.
Baik wawancara, wawancara akan dilakukan
oleh peneliti untuk menggali informasi,
komentar dan pendapat dari responden yang
merupakan sumber data dalam penelitian ini.
Menurut jenisnya, wawancara dalam penelitian
ini adalah wawancara penelitian, yaitu
wawancara yang digunakan untuk menambah
data penelitian ilmiah. Sedangkan menurut
subyek wawancara, wawancara dalam penelitian
ini termasuk wawancara informatif yang
digunakan untuk memperoleh dan memberikan
informasi penting dan berharga (Kartono, 1986:
176-177). Wawancara dapat dilakukan tatap
muka (tatap muka) dengan peserta.
Ketiga, dokumentasi dilakukan untuk
mengumpulkan data yang bersumber dari arsip
dan dokumen. Menurut Arikunto (2006: 132)
dokumentasi adalah hal-hal dalam bentuk, buku,
surat kabar, majalah, risalah rapat, agenda dan
sebagainya. Dalam penelitian ini, peneliti perlu
mencari dokumen yang diperlukan melalui
dokumen yang sudah ada sebelumnya, yaitu
penelitian sebelumnya, serta dengan data yang
diperbarui.
3.Supremasi Hukum dan Profesi Hukum
Pengertian supremasi hukum dalam uraian dan
contoh diatas dapat dimaknai bahwa asas
legalitas merupakan landasan
yang terpenting di dalam setiap
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
97
tindakan, baik yang dilakukan individu
maupun kelompok.
Sebagaimana pernah diutarakan secara singkat
oleh Krabbe bahwa yang memiliki kekuasaan
tertinggi adalah hukum. Hal senada
dikemukakan Leon Duguit bahwa hukum
merupakan penjelmaan dari kemauan Negara.
Tetapi, dalam keanggotaannya Negara sendiri
tunduk pada hukum yang dibuatnya (Abu Daud
Busroh, 1993). Dalam konstelasi tersebut
seyogyanya dapat difahami bahwa tidak ada
sesuatu pun dapat lolos dari hukum, termasuk
yang membuatnya. Kesemuanya itu harus
dilandasi nilai kepastian hukum yang menurut
Gustav Radbruch (1961) ada tiga nilai dasar
hukum yaitu keadilan, kegunaan, dan kepastian
hukum.
Dalam ketiga dasar hukum diatas,
terdapat suatu ketegangan yang menurut Satjipto
Rahardjo (1991) dapat dimengerti, karena
ketiganya berisi tuntutan yang berlainan dan satu
sama lain memiliki potensi untuk bertentangan.
Sebagai contoh adalah kepastian hukum, sebagai
nilai ia akan menggeser nilainilai keadilan dan
kegunaan ke samping. Karena yang utama bagi
kepastian hukum adalah peraturan itu sendiri.
Tentang apakah peraturan itu harus adil dan
berguna bagi masyarakatnya, adalah di luar
pengutamaan nilai kepastian hukum. Dengan
adanya nilai yang berbeda-beda tersebut,
penilaian mengenai keabsahan hukum atau suatu
perbuatan hukum dapat berlain-lainan
tergantung nilai dan sudut pandang mana yang
kita pergunakan. Tetapi, umumnya nilai
kepastian hukum yang lebih berjaya, karena
disitu diam-diam tergantung pengertian
supremasi hukum.
Selanjutnya dalam upaya menciptakan
supremasi dan kesadaran hukum, Negara
memiliki beberapa unsur pelaksana pokok yaitu
kepolisian (polisi), kehakiman (hakim),
kejaksaan (jaksa), dan advokat (pengacara).
Keempat unsur penting tersebut, memiliki
keterkaitan satu sama lainnya yang bertujuan
menegakkan hukum dengan menggunakan
hukum.
Dalam penegakan hukum terdapat
kehendak agar hukum tegak sehingga nilai-nilai
yang diperjuangkan melalui instrumen hukum
yang bersangkutan dapat diwujudkan. Sementara
itu, dalam menggunakan hukum, belum tentu ada
upaya serius untuk meraih citacita yang
terkandung dalam aturan hukum karena sebagian
dari hukum itu digunakan untuk membenarkan
tindakan yang dilakukan (to use the law to
legitimate their actions), Perilaku
“menggunakan hukum” diatas, marak dilakukan
oknum profesi hukum yang menyalahgunakan
kewenangan diskresi-nya untuk kepentingan
pribadi.
Ketimpangan salah satu unsur diatas
dalam melaksanakan kewajiban dan
kewenangan yang dimilikinya, akan
mengakibatkan terganggunya upaya
mewujudkan keadilan yang selaras dengan
citacita dan hati nurani masyarakat banyak.
Kondisi tersebut kian diperparah apabila salah
satu dari keempat aparat hukum (atau lebih)
memanfaatkan kemampuan berupa pengetahuan
hukum yang dimilikinya untuk tujuan tertentu.
Keadaan diatas akan mengakibatkan
hukum dijadikan sebagai alat untuk melakukan
kejahatan (law as tool of
crime).
Kecenderungan tersebut apabila dibiarkan dapat
menciptakan fenomena hukum digunakan untuk
tujuan lain, bukan untuk menegakkan hukum.
Kenyataan yang tanpa disadari akan
mengganggu terciptanya supremasi hukum dan
kesadaran hukum di Indonesia.
4. Budaya Hukum Profesi Hukum & Potensi
Hukum sebagai Alat Kejahatan
Berdasarkan uraian singkat yang
dikemukakan di bagian sebelumnya, tidak dapat
dipungkiri bahwa kepastian hukum mutlak
diperlukan untuk mewujudkan keadilan. Tetapi,
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
98
tidak jarang orang-orang yang menguasai hukum
dan teknik hukum yang tinggi terjebak dan
tergoda untuk memanfaatkan skill yang
dimilikinya itu untuk melakukan kejahatan
maupun perbuatan merugikan lainnya dengan
menggunakan hukum sebagai alatnya (law as
tool of crime).
Konsep hukum dapat dipergunakan sebagai alat
kejahatan diatas merupakan sisi lain dari ajaran
Roscou Pound tentang hukum sebagai alat
rekayasa sosial (law as tool of social
engineering). Setiap jabatan khususnya profesi
penegak hukum seperti hakim, jaksa, polisi, dan
advokat memiliki budaya hukum masing-masing
yang berpotensi untuk disalahgunakan (abuse of
power) oleh mereka yang tidak amanah.
Penyalahgunaan jabatan tersebut, pada taraf
tertentu dapat berubah menjadi suatu tindak
kejahatan.
Budaya hukum itu sendiri dapat diartikan
sebagai sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum, kepercayaan, nilai serta
harapannya (Lawrence M Friedman: 1969).
Sebagaimana pernah dikutip Hein Wangania
(2012) Friedman juga membedakan budaya
hukum menjadi budaya hukum internal dan
eksternal. Budaya hukum internal merupakan
budaya hukum dari warga masyarakat yang
melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus,
seperti advokat, polisi, jaksa, dan hakim.
Sedangkan budaya hukum eksternal merupakan
budaya hukum masyarakat pada umumnya
(Friedman: 1975). Budaya hukum itu sendiri
adalah sebagai sub-budaya yang bertalian
dengan penghargaan dan sikap tindak manusia
terhadap hukum sebagai realitas sosial
(Nitibaskara: 2009).
Keseluruhan budaya hukum
masingmasing profesi diatas memiliki
keterkaitan dengan dimensi budaya tertentu.
Sebagaimana dikutip Tamtelahitu dan
Tafakurrozak (2012). Edward T. Hall (1990)
membagi dimensi budaya sebagai berikut:
1. Monochronics vs polychronics; Mengandung
arti fokus tidaknya perhatian dalam melakukan
pekerjaan, baik waktu maupun jumlah
pekerjaannya. Monochronics adalah budaya
yang fokus hanya pada satu waktu atau jenis
pekerjaan tertentu. Dalam arti konsentrasi cukup
ditujukan pada satu jenis pekerjaan pada satu
waktu. Sedangkan polichronics budaya yang
menganut mengerjakan beberapa pekerjaan
dalam satu waktu, berlawanan dengan
monochronics. 2. Space Jauh vs Space Dekat,
Secara sederhana space jauh biasa
diistilahkan kaku atau jauh dari masyarakat
dan sesama Sedangkan space dekat dikenal
lebih fleksibel
(berlawanan dengan space jauh)
3. High Context vs Low Context. High Context
dikenal tertutup atau implisit dan kurang
terbuka dalam memberikan akses informasi.
Sedangkan low context sebaliknya, lebih
terbuka dan eksplisit.
Sedangkan Hoftstede (1981) membagi
dimensi budaya seperti di bawah ini:
1. High Power Distance vs Low Power
Distance, Dimensi budaya ini menunjukkan
kemampuan untuk menempatkan diri dalam
hierarki sosial yang dipengaruhi faktor
kekuatan jabatan, politik, uang atau
kekuasaan.
2. Uncertainity Avoidance
(penghindaran ketidakpastian).
It deals with a society’s tolerance for
uncertainty and ambiguity. Mengandung arti
bahwa, dimensi budaya ini berkaitan dengan
toleransi masyarakat terhadap suatu
ketidakpastian dan ambiguitas atas situasi dan
kondisi yang terjadi. Dimensi budaya ini terbagi
menjadi low uncertainty avoidance (budaya
penghindaran ketidak-pastian rendah) dan high
uncertainty avoidance (.budaya penghindaran
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
99
ketidak-pastian yang tinggi). 3. Short and Long
Term Orientation Dimensi budaya ini
merupakan suatu orientasi jangka pendek dan
orientasi jangka panjang yang dijadikan sebagai
ukuran terhadap keberlangsungan suatu profesi.
Beberapa uraian singkat
mengenai perbedaan budaya hukum profesi
hukum itu sendiri dapat dilihat sebagai berikut:
a. Budaya Hukum Hakim;
Profesi Hakim merupakan jabatan dengan
kekuasaan tertinggi diantara ketiga unsur
lainnya. Dalam menerapkan hukum, Hakim
memiliki kekuasaan bebas dan mandiri serta
independen dari campur tangan pihak manapun.
Semua itu diperlukan supaya ia dapat
memberikan putusan hukum yang adil. Hal ini
akan menimbulkan multi tafsir tatkala
“kebebasan” tersebut juga dianggap oknum
sebagai keleluasaan untuk melakukan perbuatan
menguntungkan diri sendiri. Oknum hakim yang
menghianati sumpah jabatan lalu
menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya,
kejahatannya akan nyaris sempurna karena
terbungkus rapat oleh hukum atau bahkan
menjadi hukum itu sendiri
Berlindung pada asas kebebasan diatas,
ditambah asas Ius Curia Novit (hakim dianggap
tahu hukumnya), godaan melakukan
penyimpangan dalam profesi mulia ini demikian
besar. Seakan di tangan Hakim-lah semua
persoalan dapat diputar balikkan. Hitam menjadi
putih, yang salah menjadi benar, dan sebaliknya.
Dengan kekuasaan yang dimilikinya, pihak yang
berperkara akan turut
“terpancing” untuk memanfaatkan diskresi
tersebut. Dengan kedua asas itu, wewenang
hakim dalam menerapkan hukum menjadi sangat
luar biasa (Nitibaskara: 2001). Oleh karena itu,
banyak oknum hakim yang tidak amanah
menjadi tergoda untuk menyalahgunakan
kekuasaan yang dimilikinya (kasus hakim AY,
KM, AK, AM, dsb).
Dimensi budaya profesi hakim itu sendiri
sebagaimana dikemukakan Abdul Ficar Hajar
dkk (2012), apabila dikaitkan dengan teori
Edward T. Hall merupakan profesi dengan
budaya monochronics dan space jauh. Karena,
dalam melakukan pekerjaannya hakim hanya
fokus pada waktu tertentu yaitu pada hari-hari
dan jadwal sidang serta terikat hari kerja
pengadilan (monochronics). Hubungan atau
relasi sosial profesi ini dibatasi oleh kode etik &
ketentuan perundang-undangan. Hakim tidak
boleh berhubungan dengan pihak-pihak yang
berperkara (space jauh)..
Sementara itu, dalam ,hubungannya
dengan sebagian dimensi budaya Hoftstede yaitu
High Power Distance vs Low Power Distance,
short & long term orientation serta uncertainty
avoidance, profesi hakim merupakan High
Power Distance karena memiliki kekuasaan
tertinggi dalam suatu persidangan dan
kewenangan memutuskan perkara. Dalam hal
jabatan, hakim merupakan short term orientation
karena dibatasi dengan usia pensiun. Setelah
pensiun, sebagian besar mantan hakim menjadi
akademisi, pengajar maupun penulis buku
hukum. Profesi ini juga merupakan “low”
uncertainty avoidance. Pasca dipisahkannya pola
rekruitmen Hakim Agung menjadi wewenang
MA-KY-DPR, hal tersebut, mengakibatkan
kepastian karir hakim terganggu. Karena tidak
semua hakim karier berujung sebagai Hakim
Agung, jika tidak diusulkan oleh MA atau
melamar sebagai non
karier;
b. Budaya Hukum Jaksa;
Sebagaimana halnya hakim, peluang
melakukan penyimpangan serupa juga dapat
terjadi pada profesi jaksa. Dalam kapasitasnya
sebagai penuntut, seorang jaksa harus mampu
merekonstruksi dalam pikiran peristiwa pidana
yang ditanganinya. Bukan persoalan mudah
untuk memahami suatu peristiwa yang kita
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
100
sendiri tidak hadir di dalamnya, apalagi jika
berkas yang sampai sudah melalui tangan kedua
(dengan hanya membaca berita acara
pemeriksaan atau BAP dari kepolisian). Dalam
mengemban profesi, usaha-usaha yang dilakukan
jaksa bukan hanya untuk memenuhi unsur-unsur
yang terkandung dalam ketentuan hukum
semata, melainkan apa yang sesungguhnya
benar-benar terjadi dan dirasakan langsung oleh
masyarakat. Apabila jaksa tidak memiliki
integritas moral yang tinggi dan mempunyai
keberpihakan kepada rakyat yang kuat, akan
mudah membuat jaksa mengabdi pada
kepentingan-kepentingan sesaat (Nitibaskara:
2001). Sebagaimana pernah terjadi dalam kasus
jaksa U beberapa tahun silam, kasus jaksa RM di
Sulawesi, jaksa TH di lampung dan sebagainya,
Sebagaimana diketahui, pada bidang
penuntutan Jaksa memiliki kekuasaan tertinggi
dalam menentukan apakah suatu perkara yang
telah di-BAP oleh polisi, memenuhi segala
kelengkapan yang diperlukan. Peluang ini rentan
disalahgunakan oknum jaksa dan masyarakat
untuk kepentingan pribadi. Ketika jabatan ini
disalahgunakan, bermodalkan alibi kurang cukup
bukti, orang-orang yang nyata bersalah dapat
tidak dituntut untuk dimajukan ke sidang
pengadilan.
Profesi jaksa dalam kaitannya dengan
teori Edward T. Hall, sebagaimana pernah
diungkapkan Anas Yusuf (2012) memiliki
dimensi budaya monochronics dan space jauh.
Dikatakan demikian karena jaksa dalam
melakukan pekerjaan terfokus pada waktu
tertentu atau pekerjaan tertentu (sifat
pekerjaannya) dan wilayah kerja juga dibatasi
oleh Kejaksaan Negeri tempat bertugas
(monochronics). Perihal hubungannya dengan
masyarakat, profesi ini cenderung menjaga jarak
dan kaku (space jauh). Jaksa sebagaimana
tuntutan profesi, tidak boleh bertemu dengan
hakim maupun pihak-pihak yang berperkara di
luar pengadilan kecuali bersama-sama dengan
penasehat hukum terdakwa (Anas Yusuf:
2012).
Pada bidang penuntutan, Jaksa
merupakan High Power Distance karena
memiliki kekuasaan tertinggi dalam menentukan
apakah suatu perkara yang telah di-BAP oleh
polisi, memenuhi segala kelengkapan yang
diperlukan. Peluang ini rentan disalahgunakan
oknum jaksa untuk kepentingan pribadi. Dalam
hal jabatan, jaksa juga merupakan short term
orientation karena dibatasi dengan usia pensiun.
Kendatipun dibatasi usia, jabatan ini juga
merupakan “low” uncertainty avoidance.
Karena, bila memasuki masa pensiun, mereka
tetap mendapatkan penghasilan (uang pensiun)
dari Negara.
c. Budaya Hukum Polisi
Profesi polisi juga tidak kalah rentannya
dalam menghadapi jebakan godaan
penyelewengan diatas. Polisi
merupakan profesi yang dikatakan Hartjen
dengan kutipan
,”Damn if you do, damn if you don’t,” yang
kurang lebih artinya “berbuat salah, tidak
berbuat salah.” Polisi senantiasa dihadapkan
pada pilihan serba salah. Sedangkan menurut
Skolnick (1966), polisi diharapkan bisa menjadi
penegak peraturan, ayah, kawan, pelayan
masyarakat, moralis, petarung jalanan, pemberi
arah dan pejabat hukum. Tentu ditambah dengan
perannya yang sangat utama dan strategis yaitu
sebagai crime hunter
(Nitibaskara: 2009).
Tetapi, sebagaimana profesi hukum lainnya,
polisi hanyalah manusia biasa. Dengan diskresi
yang melekat padanya sebagai garda pertama
penegak hukum sebelum jaksa dan hakim,
oknum polisi yang tidak amanah akan
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
101
menggunakan peluang yang dimilikinya tersebut
demi kepentingan pribadi.
Taffakurrozak (2012) menemukan
kenyataan bahwa polisi dalam melakukan
pekerjaannya dapat menjalankan berbagai tugas
dalam waktu yang bersamaan. Pekerjaan tidak
tergantung hari kerja pengadilan, tidak terjadwal
secara rutin (situasional), serta bergantung pada
jenis atau program kerja yang dicanangkan di
bidang penegakan hukum
(polychronics).
Kebanyakan Polisi bertindak fleksibel
dan cepat akrab dengan banyak pihak, karena
sikap ini menjadi modal utama dalam
memudahkan pelaksanaan tugas dan
kewenangannya, khususnya untuk mendapat
kepercayaan masyarakat (space dekat). Profesi
polisi yang tidak menjadi anggota KPK tersebut,
walaupun dibatasi usia pensiun, ternyata
merupakan long term orientation.
Karena memiliki kecenderungan menjalankan
profesi lebih lama daripada polisi yang menjadi
anggota KPK (Taffakurrozak: 2012).
d. Budaya Hukum Advokat
Sementara itu, profesi advokat juga
memiliki godaan tersendiri dalam menjalankan
tugas dan wewenang yang dimilikinya. Secara
umum diketahui bahwa pembelaan advokat atas
kliennya cenderung merupakan law battle dari
pada untuk mencari kebenaran. Hal tersebut
wajar karena bukan terletak di pundak mereka
untuk mencari substansi kebenaran suatu
perkara. Sudut pandang kebenaran dalam suatu
perkara yang ditanganinya cenderung
subyektif.
Hal demikian tidaklah mengherankan
karena, pekerjaan pengacara atau advokat selain
memberikan nasehat hukum adalah membela
hak-hak tersangka atau terdakwa dalam perkara
pidana, dan memperjuangkan hak-hak klien
dalam suatu musyawarah atau membela hak
tergugat/ penggugat dalam perkara perdata.
Advokat yang tidak amanah akan tergoda
melakukan perilaku menyimpang dengan
menyelinap melalui celah hukum yang dapat
diputar-balikkan. Hukum ditangannya akan
menjadi alat atau instrumen untuk mewujudkan
kepentingan tersebut (Nitibaskara: 2001).
Dimensi budaya advokat itu sendiri
berlawanan dengan hakim dan jaksa. Advokat
dalam melakukan pekerjaan tidak berfokus
pada waktu atau pekerjaan tertentu. Ia dapat
menjalankan tugas mewakili dan membantu
kliennya tanpa terikat hari kerja di pengadilan
dan kejaksaan. Relasi sosial tidak dibatasi
karena hal tersebut menjadi signifikan dalam
rangka menumbuhkan “trust” klien. Kedua
fakta diatas dengan sendirinya menunjukkan
bahwa budaya hukum Advokat bersifat
polychronics dengan space dekat.
Dalam, kaitannya dengan sebagian
dimensi budaya Hoftstede profesi advokat
merupakan low power distance, long term
orientation dan “high” uncertainty avoidance.
Bila dilihat dari hierarkinya dalam persidangan,
profesi ini merupakan low power distance.
Karena, berdasarkan undang-undang hanya
hakim yang memiliki kekuasaan tertinggi dan
kewenangan memimpin, mengatur persidangan
dan memutuskan suatu perkara. Advokat tidak
memiliki kewenangan seluas diatas.
Tetapi, dalam sisi kelangsungan karier
berdasarkan faktor usia, profesi advokat
merupakan long term orientation. Hal tersebut
dapat dilihat tatkala memasuki usia yang
terhitung sebagai masa pensiun hakim dan jaksa,
advokat tidak mengenal usia pensiun. Semakin
tinggi “jam terbang” dan pengalamannya, makin
mahal “fee”-nya. Dibandingkan kedua profesi
tersebut, Advokat adalah profesi yang “ketidak
pastiannya” sangat tinggi (high uncertainty
avoidance). Keberlangsungan sepenuhnya
digantungkan pada kemampuan menumbuhkan
kepercayaan pada orang lain (Abdul Ficar Hadjar
dkk, 2012).
Keterbatasan dalam profesi ini tidak
jarang menggoda oknum advokat yang tidak
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
102
memegang teguh kode etik untuk terlibat dalam
perilaku menyimpang seperti dugaan suap yang
dilakukan advokat LS ke sejumlah hakim agung,
serta advokat G yang menyuap saksi dan
seterusnya. Tidak diharapkan perilaku tersebut
menyerupai black lawyer di Amerika, Seperti
diketahui, pekerjaan mereka di Amerika yang
biasa juga disebut consigliere (pengacara para
mafia) ini antara lain adalah merekayasa alibi,
mengatur pertemuan yang bersifat tersembunyi,
menyuap aparat penegak hukum, mengancam
juri dan menakut-nakuti saksi (Tanenbaum:
1938). Tetapi patut diingat, salah satu faktor
yang dapat menyebabkan terciptanya
penyalahgunaan hukum oleh keempat profesi
hukum diatas adalah masyarakat itu sendiri.
Karena, tidak jarang oknum masyarakat yang
terkait suatu kasus, melakukan pendekatan
tertentu kepada mereka.
5. Simpulan
Konsep hukum sebagai alat kejahatan
yang telah diuraikan secara singkat dimuka
mengingatkan agar kita tidak terlalu
mengagung-agungkan supremasi hukum. Sebab,
dalam supremasi hukum terkadang terdapat
celah dan jurang yang tidak sesuai dengan
aspirasi masyarakat banyak, sehingga dapat
mengancam stabilitas politik dan integrasi
nasional. Terkadang dalam suatu kasus yang
telah mengikuti proses penegakan hukum secara
sempurna dapat memberi luka yang dalam pada
masyarakat. Misalnya seperti vonis yang tidak
adil, yang terbukti bersalah dinyatakan tidak
bersalah dan seterusnya. Cacat pada supremasi
hukum demikian, diakibatkan lahir karena
watak hukum modern.
Satjipto, RH Soemitro, dan A. Siti S
(1986) mengemukakan bahwa salah satu ciri
hukum modern adalah penggunaannya secara
efektif untuk mencapai tujuan- tujuan tertentu.
Kesadaran ini akan membuat hukum modern
menjadi bersifat instrumental, dengan asumsi
bahwa kehidupan sosial bisa dibentuk oleh
kemauan sosial tertentu, khususnya “kemauan
sosial” dari golongan atas atau kalangan elit
dalam masyarakat. Melihat fenomena tersebut
tidaklah aneh bila teknikalitasnya cukup tingggi,
sehingga hanya mereka yang pandai menguasai
teknik hukum saja yang dapat memenangkan
berbagai pertempuran hukum
(law battle) dan mewujudkan “kemauan sosial”
kalangan atas menjadi sah dan legal sesuai
dengan hukum yang berlaku.
Dengan demikian, penyalahgunaan dari
kewenangan yang dimiliki penegak hukum
tersebut sangat mungkin terjadi. Karena, pada
intinya profesi semulia apapun memang akan
bercitra buruk manakala dikotori pelakunya
sendiri. Beberapa budaya hukum yang dianut
mereka dalam menjalankan profesinya, bukan
tidak mungkin dapat dijadikan suatu alasan
pembenar untuk memanfaatkan pengetahuan
hukum yang dimilikinya untuk kepentingan
pribadi.
Oknum yang terpancing melakukan
perbuatan tidak patut diatas, akan mengerahkan
segala kemampuan berkaitan dengan
kewenangan yang dimilikinya untuk memenuhi
tujuan pribadi. Penyalahgunaan tersebut akan
membuat cita-cita keadilan untuk kepentingan
dan kemaslahatan umum, serta upaya
mewujudkan supremasi hukum menjadi makin
jauh. Seperti ungkapan Nemo iudex idoneus in
propria causa, tiada seorang pun dapat menjadi
hakim yang baik di dalam kepentingannya
sendiri (Sadipun,1998). Sebagai contoh
misalnya, profesi hukum dengan dimensi
budaya high power distance, short term
orientation dan long term orientation
sebagaimana telah diuraikan di bagian
sebelumnya, cukup rentan terjebak dalam
perangkap penyimpangan dan kejahatan yang
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
103
akhirnya akan menghambat terwujudnya
supremasi hukum dan kesadaran hukum dalam
masyarakat.
Mencermati kondisi diatas, maka akan
terlihat wajar apabila kelak supremasi hukum
lebih terlihat sebagai wacana para pihak yang
menguasai teknik-teknik hukum. Supremasi
hukum terkesan hanya berisi perdebatan dan
pertikaian dengan memanfaatkan hukum, yang
sesungguhnya hanya memberikan manfaat bagi
kalangan tertentu bukan pada masyarakat. Dalam
kasus Jean Calas yang telah dikemukakan di
bagian sebelumnya terlihat bahwa betapa
mudahnya hukum diperalat, asalkan syarat-
syarat yang dikehendaki oleh hukum itu secara
formal dapat dipenuhi. Voltaire pun sadar, untuk
membongkar kejahatan tersebut, ia tak boleh
keluar dari hukum, melainkan harus tegakkan
hukum gunakan hukum. Supremasi hukum
dalam kasus tersebut dapat dijunjung tinggi
karena, semua pihak yang terlibat dalam
penegakan hukum bersedia berlaku jujur dan
menjalankan kewajiban serta kewenangannya
sesuai dengan jalur hukum yang berlaku.
Upaya membangun supremasi dan
kesadaran hukum diatas terkait dengan tingkat
kesadaran hukum (rechtsbewustzijn), khususnya
ketika hukum itu dioperasionalkan (law in
action). Kesadaran hukum berkaitan dengan
perbuatan yang dilarang hukum, yang hanya
sebatas pada pengertian narasi perundang-
undangan (law in book) sebagian besar belum
secara optimal memberikan manfaat. Diperlukan
suatu sosialisasi terhadap peraturan itu sendiri,
setelah peraturan tersosialisasikan dengan baik,
akan mudah naik ke tahap internalisasi sehingga
menumbuhkan pemahaman mendalam yang
mendorong orang untuk berperilaku di lapangan
sesuai dengan yang dituntut oleh aturan hukum
yang berlaku. Dengan kata lain, terdapat
kesadaran hukum yang tinggi.
Pada titik inilah akhirnya muncul
perasaan hukum (rechtsgevoel), yakni melihat
hukum sebagai kebutuhan sehingga taat hukum
mengalir tanpa paksaan. Apabila realitas diatas
terus tumbuh dalam masyarakat, lahirlah budaya
hukum (legal culture) yang luhur. Setiap fihak
benar-benar meresapi larangan dan bahaya dari
perbuatan yang dilarang undangundang, untuk
kemudian akhirnya dipegang teguh sebagai
prinsip hidup.
Berdasarkan segala uraian yang telah
dikemukakan di bagian-bagian sebelumnya
dapat terlihat bahwa, upaya membangun
supremasi dan kesadaran hukum membutuhkan
kesadaran dan kerjasama semua pihak.
Khususnya, pihak penegak hukum seperti polisi,
jaksa, hakim, advokat dan komisi pengawas
masing-masing institusi, serta masyarakat.
Karena, supremasi hukum akan tegak manakala
ditegakkan oleh insan-insan yang jujur dan tidak
memanfaatkan kewenangan hukum yang
dimilikinya untuk kepentingan pribadi maupun
golongan.
Referensi:
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1993);
Anas Yusuf, Profesi Hukum dalam Dimensi
Pelaksanaan Tugas dan Tanggung
Jawab antara Kepolisian dan
Kejaksaan,(Makalah, Jakarta: 2012).
Bagir Manan, Pemahaman Sistim Hukum
Nasional, (Jakarta: Makalah, 1994);
Bayley, Police For The Future,
(_______,1994);
Creswell, John W. (2002). Research Design
Qualitative and Quantitatif Approaches
(Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif).
Jakarta : Pustaka Pelajar.
Erhard Blankenburg., The Infrastructure of
Legal Behavior in The Netherlands and
West Germany, (Law and Society
Review, No 28: 1984);
Edward T. Hall, The Silent Language, (New
York: Doubleday, 1959);
Edward T. Hall, Understanding Cultural
Differences, German, French and
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
104
Americans, (yarmouth: Intercultural
Press, 1990);
Geert Hofstade, Culture and Organization, (M.
E. Sharpe: 1981);
Hein Wangania, Perbandingan Budaya Hukum
Hakim dalam Menangani Perkara
Korupsi di Pengadilan Tipikor dan
Pengadilan Umum, (Makalah, Jakarta:
2012);
Lawrence M. Friedman, “Legal Culture and
Social Development”, dalam Law and
Social review, edisi 4 No 1 (1969);
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A
Social Science Perspective, (New York:
Russell Sage Foundation, 1976);
Lawrence M. Friedman, American Law, (New
York-London: WW Norton &
Company, 1984);
Oegroseno, Pengabdian Polisi Tak Kenal Lelah,
(_________, 2011);
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 1991);
Satjipto Rahardjo, Ronny Hanintijo Soemitro,
A Siti Soetami, Pengantar Ilmu Hukum,
(Jakarta: Universitas Terbuka, 1986);
Romylus Tamtelahitu, Pengejawantahan
Diversifikasi Dimensi Budaya Antara
Penyidik Tipidkor-Eks KPK dan
Penyidik Tipidkor-Non eks KPK dalam
Penanganan kasus Tindak Pidana
Korupsi, (Makalah: Studi pada satuan
kerja X, Jakarta: 2012);
Taffakurrozak, Profesi Hukum
sebagai Officium nobile, suatu
perbandingan antara Polisi dan KPK
dari perspektif
Budaya Hukum, (Makalah,
Jakarta:2012);
Tb. Ronny Rachman Nitibaskara,
Ketika Kejahatan Berdaulat,
(Jakarta:
Peradaban, 2001).
Tb. Ronny Rachman Nitibaskara,
Ketika Kejahatan Berdaulat,
(Jakarta:
Peradaban, 2001);
Tb. Ronny Rachman Nitibaskara, Tegakkan
Hukum Gunakan Hukum,
(Jakarta: Kompas, 2006);
Tb. Ronny Rachman Nitibaskara, Perangkap
Penyimpangan dan Kejahatan,
(Jakarta:YPKIK, 2009).
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
105
Antisipasi Perang Siber:
Postur Ketahanan Nasional Indonesia Merespon Ancaman Perang Siber
Muhammad Syaroni Rofii4
Abstract
These days cyber war is considered to be one of the important issues that have become the focus of defense officials
of major countries. Cyber war has the same damage effect as traditional war even more massive. A country's
nuclear installations can be destroyed with the help of cyber soldiers. The energy source of a country can also be
disabled with the help of cyber troops. Or creating chaos in a country's election such as US election in 2016 also
involving cyber troops. The same situation also happened in Indonesia whereby official website of general election
commission, public companies and private companies were targeted by cyber attacks. Because of the attacks those
institutions lost their data. Considering increasing number of cyber attacks, it is very necessary to learn form the
US experience. This article attempt to investigate the trends in cyber war and the dynamics surrounding it. The
paper also propose some reccomendation related to the national security of Indonesia in responding cyber threats
either from state or non-state actors. Keywords: cyberwar, national resilience, Indonesia
Dewasa ini perang cyber dianggap sebagai salah satu masalah penting yang telah menjadi fokus para pejabat
pertahanan negara-negara besar. Perang cyber memiliki efek kerusakan yang sama seperti perang tradisional
bahkan lebih masif. Instalasi nuklir suatu negara dapat dihancurkan dengan bantuan tentara siber. Sumber energi
suatu negara juga dapat dinonaktifkan dengan bantuan pasukan siber. Atau menciptakan kekacauan dalam
pemilihan suatu negara seperti pemilihan AS pada tahun 2016 juga melibatkan pasukan siber. Situasi yang sama
juga terjadi di Indonesia di mana situs web resmi komisi pemilihan umum, perusahaan publik dan perusahaan
swasta menjadi sasaran serangan cyber. Karena serangan lembaga-lembaga itu kehilangan data mereka. Mengingat
semakin banyaknya serangan cyber, sangat penting untuk belajar dari pengalaman AS. Artikel ini mencoba
menyelidiki tren dalam perang cyber dan dinamika di sekitarnya. Makalah ini juga mengusulkan beberapa
rekomendasi yang berkaitan dengan keamanan nasional Indonesia dalam menanggapi ancaman dunia maya baik
dari aktor negara atau non-negara. Kata kunci: cyberwar, ketahanan nasional, Indonesia Copyright © 2018 Jurnal Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia. All rights reserved
4 Dosen Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, SKSG Universitas Indonesia
ISSN: 22620-7419
Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
106
1. Pendahuluan
Perang siber atau ’’cyber warfare’’
adalah terminology baru yang muncul dalam
kamus militer dan pertemuan-pertemuan para
pejabat pertahanan dalam satu dekade terakhir.
Perang cyber atau siber sangat berbeda dengan
perang konvensional yang melibatkan senjata
berat beserta personil militer dari berbagai
kesatuan. Kendati sumber daya yang
dikeluarkan sangat minim namun dampak
kerusakan yang ditimbulkan oleh perang siber
tidak jauh berbeda dengan perang
konvensional. Dalam perang konvensional
instalasi nuklir sebuah negara dihancurkan
dengan menggunakan jet tempur, namun dalam
perang siber cukup dengan membobol sistem
radar dan sistem informasi militer sebuah
negara maka instalasi nuklir bisa dirusak,
diperlambat atau diledakkan. Iran termasuk
negara yang pernah menjadi korban serangan
siber yang mentargetkan instalasi nuklir
mereka (abc.net.au, 20/02/19). Intervensi pihak
luar dalam pemilu Amerika Serikat melalui
serangan interet atau cyber attack juga menjadi
sebuah fenomena baru dalam hubungan antar
negara
(atlanticcouncil.org, 25/07/2017). Mengingat
efektifitas serangan siber, Isac Ben Israel,
seorang penasehat pertahanan pemerintah
Israel dalam urusan perang siber menyebutkan
betapa teknologi siber memiliki dampak
kerusakan yang massif yang setara dengan
serangan rudal, tanpa harus mengeluarkan
sebutir peluru, sebuah negara mampu merusak
sumber energy dengan bantuan serangan siber,
"A cyber-war can inflict the same type of
damage as a conventional war. If you want to
hit a country severely you hit its power and
water supplies. Cyber technology can do this
without shooting a single bullet" (Jeff Moss,
2012).
Selain perang siber menyasar instalasi
militer, perang siber juga bisa menyerang
sektor-sektor yang berkaitan dengan urusan
warga sipil, seperti jaringan internet,
sambungan telepon, rekening bank, kartu kredit
hingga instalasi energy yang tersambung dengan
jaringan computer dan internet. Untuk kasus
Indonesia, kita bisa menjadikan pengalaman
situs Komisi Pemilihan Umum, Bank Indonesia
dan beberapa perusahaan swasta Indonesia yang
sempat mengalami kehilangan data lantaran aksi
serangan siber yang dilakukan oleh peretas
(sindonews.com, 20/02/19).
Dari beberapa peristiwa di atas bisa
ditarik sebuah kesimpulan, bahwa perang siber
bukan ilusi, perang siber sedang terjadi namun
tidak banyak yang menyadari keberadaannya.
Menyadari keberadaan perang siber, maka
negara-negara besar seperti Amerika, Inggris,
Rusia dan China telah mengambil
langkahlangkah strategis untuk mengantisipasi
potensi serangan yang dilakukan oleh aktor
negara dan aktor non-negara, baik dari dalam
maupun luar negeri. Negara-negara besar
tersebut telah membentengi diri untuk
menghalau setiap serangan yang setiap saat
mengintai sistem informasi mereka.
Dari paparan fakta di atas lantas muncul
sejumlah pertanyaan meliputi, bagaimana awal
mula perang siber di dunia? Seperti apa
perkembangan tren perang siber dalam satu
dekade terakhir? Bagaimana Indonesia
mengantisipasi kemunculan perang siber
ditengah meningkatnya konektivitas masyarakat
Indonesia dengan dunia informasi?
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode
kualitatif menurut Earl R. Babbie (2013), adalah
sebuah metode yang menekankan pada
pengambilan kesimpulan berdasarkan observasi,
ISSN: 22620-7419
Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
107
analisis wacana, interview mendalam atau
teknik-teknik riset lainnya untuk mendapat
kesimpulan non-numerik. Dalam melakukan
penelitian ini penulis berupaya mengumpulkan
data-data baik data primer maupun sekunder
terkait perang siber yang terjadi di level nasional
dan internasional untuk kemudian dilakukan
analisa mendalam hingga mendapatkan
kesimpulan seperti tertuang dalam penelitian ini.
Data primer yang dimaksud adalah
berita-berita seputar serangan siber yang
dilakukan oleh negara terhadap negara lain atau
korporasi yang dipublikasikan oleh media-
media mainstream dan memiliki dampak
signifikan terhadap keamanan sebuah negara.
Selain itu peneliti juga melakukan analisa
terhadap situs-situs serta video terkait serangan
siber terhadap objek-objek yang selama ini
menjadi target serangan para hacker baik yang
dilakukan oleh aktor negara maupun aktor non-
negara. Sementara data sekunder yang
dimaksud adalah paparan data yang
disampaikan oleh para peneliti yang konsen
dengan isu perang siber.
3. Definisi Perang Siber dan Trendnya
Sebelum mengelaborasi lebih jauh
tentang perang siber sangat penting untuk
memahami definisi yang umum digunakan oleh
para peneliti dan pakar siber dalam menjelaskan
fenonema perang siber. Paul Robinson, salah
seorang peneliti perang siber misalnya memiliki
definisi menarik tentang perang siber yang
belakangan menjadi perhatian banyak pemimpin
negara tersebut, dalam bukunya Robinson
menekankan bahwa perang siber sangat
menekankan pada penggunaan media computer
dan internet baik untuk tujuan menyerang atau
untuk bertahan. Kadang-kadang terminology
perang siber juga dikaitkan dengan aktifitas
operasi militer yang menggunakan teknik-teknik
teknologi informasi. Sebab negara modern dan
militernya telah memiliki ketergantungan pada
computer. Serangan-serangan terhadap jaringan
computer militer memiliki dampak kerusakan
yang sama dengan serangan militer tradisional.
Perang Siber memiliki sejumlah tujuan:
melakukan eksploitasi terhadap data informasi
pihak lain atau berupa spionase; melakukan
pengecohan terhadap musuh; melakukan
pelacakan terhadap sistem informasi musuh atau
mencegah musuh menggunakan sistem
informasi milik mereka sendiri; dan pada
akhirnya pihak musuh akan berupaya
menghancurkan sistem informasi lawannya.
Sementara metode yang sering
digunakan oleh negara-negara dalam menyerang
targetnya, meliputi seranganserangan terhadap
data, berupa spamming (sampah) yang dapat
menyebabkan computer terganggu dan
mengalami error; melakukan pembobolan
terhadap computer negara lain dengan tujuan
untuk mencuri informasi; serangan berupa
software, berupa virus, worm dan bom logic
hingga serangan fisik terhadap computer yang
terhubung ke sistem milik negara (Paul
Robinson, Dictionary of International Security
(New York: Polity Press, 2007, 58).
Dari penjelasan Robinson kita bisa
melakukan pemetaan terkait metode serangan
para penyerang baik dilakukan oleh negara
maupun non-negara dalam menjalankan
aksinya. Jika melihat kasus Indonesia serangan
terhadap situs Komisi Pemilihan Umum pada
tahun 2014 dalam bentuk penggantian logo
partai politik peserta pemilu dengan tujuan
untuk menguji ketahanan situ KPU atau
serangan terhadap situs Bank Indonesia oleh
hacker luar negeri memperlihatkan bahwa target
para peretas adalah institusi negara. Dampak
kerusakan yang ditimbulkan sangat berbahaya
bagi kelangsungan pemilihan umum Indonesia
yang sedang berlangsung atau peretasan
terhadap Bank Indonesia berpotensi membobol
ISSN: 22620-7419
Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
108
data-data keuangan Indonesia dan seluruh
nasabah.
Awalnya ancaman siber dilihat sebagai
fenomena biasa yang melibatkan para hacker
yang berupaya meraih keuntungan finansial dari
aksinya yang menyasar pengguna individu atau
perusahaan. Namun belakangan, negara terlibat
langsung dalam perang siber, negara merespon
perkembangan perang siber dengan
menciptakan sistem untuk bertahan atau untuk
menyerang. Amerika Serikat, Inggris, Israel,
Rusia, China, Korea Utara, dan Iran merupakan
negara-negara yang banyak disebut terlibat
dalam perang siber, baik sebagai korban
serangan atau sebagai pihak yang diduga
melakukan serangan.
4. Perkembangan Wacana Perang Siber
Kendati wacana perang siber sering
disampaikan oleh para pejabat pertahanan dalam
forum-forum aliansi pertahanan NATO,
pemerintah Amerika Serikat sendiri mengakui
bahwa perang siber belum akan terjadi dalam
waktu dekat akan tetapi dampak kerusakan yang
diciptakan oleh perang siber sangatlah nyata.
Richard A. Clarke selaku penasehat keamanan
Gedung Putih dalam sebuah wawancara dengan
Journal of International Affairs menjelaskan
bahwa perang siber menyasar sektor-sektor
yang terhubung dengan jaringan internet atau
disebut dengan istilah ‘’Internet of Things’’,
contoh instalasi yang sering menjadi sasaran
serangan adalah instalasi publik seperti reaktor
nuklir yang terhubung dengan sistem internet,
mesinmesin yang mendeteksi kelangsungan
hidup pasien yang terhubung dengan sistem
informasi, pipa saluran gas yang juga dikontrol
melalui komputer. Contoh-contoh tersebut
merupakan target sararan para penyerang, baik
dilakukan oleh aktor negara maupun aktor non-
negara (Richard A Clarke, 2016).
Namun demikian, pernyataan yang
disampaikan oleh Clarke selaku penasehat
pertahanan AS bisa dilihat sebagai upaya
pengalihan isu mengacu pada kenyataan di
lapangan terkait keterlibatan AS yang
disebutsebut terlibat dalam pembuatan virus
Stuxnet yang merupakan senjata berupa virus
computer pertama yang mampu melumpuhkan
instalasi nuklir Iran. Stuxnet sendiri disebut
sebagai virus computer yang diciptakan oleh AS
yang kemudian dikembangkan oleh Israel
sehingga membuat virus Stuxnet sangat agressif
dalam menyerang targetnya
(abc.net.au, 20/02/19).
Harus diakuai bahwa AS, Israel,
Inggris, China, Rusia, Iran, Suriah, dan Korea
Utara merupakan negara-negara yang memiliki
kemampuan untuk menyerang dan bertahan
secara mumpuni dalam perang siber.
Masingmasing negara memiliki detasemen
khusus untuk mengurus urusan serangan siber
dengan sebutan berbeda-beda.
Jika menggunakan contoh AS, AS memiliki
sejarah panjang dalam urusan pengembangan
pasukan yang bekerja khusus untuk menyerang
dan menangkal serangan siber. Kendati setiap
presiden AS memiliki kharakteristik sendiri dan
memiliki kebijakan yang berbeda-beda dalam
urusan perang siber namun mereka memiliki
fundamen yang kuat dalam merancang
bangunan pertahanan nasional mereka. Jika
selama Perang Dingin hingga Tragedi Serangan
Bom Menara Kembar 2001, presiden-presiden
AS memberikan keleluasaan bagi badan-badan
yang bergerak di dibidang pertahanan dan
infomrasi intelelijen. Ronald Reagan dikenal
sebagai presiden AS yang memiliki konsen
sangat tinggi terkait isu serangan non tradisional
dari musuh-musuh AS dengan mengeluarkan
dekrit National Security Decision Directive-145
atau NSDD-145 yang berjudul “National Policy
on Telecommunications and Automated
ISSN: 22620-7419
Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
109
Information Systems Security”(Fred Kaplan,
2016).
Keluarnya dekrit tersebut ditujukan
untuk mengantisipasi serangan yang tidak
secanggih serangan rudal lintas benua namun
memiliki dampak kerusakan yang sama bagi
keamanan nasional. Presiden AS lainnya
George W. Bush juga memanfaatkan
perkembangan teknologi informasi untuk
mensukseskan operasi militer Perang Irak 2003.
Selanjutnya, Presiden Barack Obama, kendati
tidak memberikan keleluasaan secara luas
kepada badan intelijen untuk mengakses
informasi dan melakukan pengintaian kepada
warga AS karena pertimbangan kebebasan sipil
namun dibelakang layar, melalui menteri
Pertahanan Robert Gates, AS membentuk Cyber
Comand (Pusat Komando Siber) yang mendapat
alokasi anggaran cukup tinggi. Pada tiga tahun
pertama badan ini mendapat anggaran dari
angka 2.7 milyar dollar menjadi 7 milyar dollar
(ditambah dengan 7 milyar dollar lainnya untuk
aktifitas siber di lingkungan militer. Sementara
jumlah pasukan siber AS dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan, mulai dari 900 personil
kemudian menjadi 4000 personil, data terakhir
seperti disebutkan Fred Kaplan dalam bukunya,
mencapai 14.000 personil (Kaplan, 2016).
AS sendiri belakangan banyak
menggunakan metode non-konvensional untuk
menaklukkan target-targetnya, NSA dan CIA
sebagai badan intelijen diberi peran lebih besar
untuk melakukan operasi di Irak. Sejak tahun
2007 misalnya, AS lebih banyak mengirim
operator-operator yang memahami sistem
komputer dan intelijen, sementara
pasukanpasukan organik ditarik karena
menganggap penggunaan instrumen perang
siber lebih efektif. Sejak tahun 2007 AS yang
saat itu kendali operasi dipegang oleh David
Petraeus juga membuka kantor perwakilan di
Irak di Al Balad Air Base. Dengan operasi yang
memaksimalkan peran teknologi informasi, AS
berhasil melumpuhkan empat ribu
pemberontak Irak. Penumpasan pemberontak
sangat terbantu oleh sistem yang dikenal dalam
kamus operasi militer AS sebagai RTRG (Real
Time Regional Gateway) atau Saluran
Langsung Komunikasi Regional
(Kaplan, 2016).
Kasus lain yang menunjukkan peran
teknologi informasi dalam operasi intelijen
adalah saat Israel melakukan operasi yang
disebut dengan Orchard Operation, dalam
operasi ini jet tempur militer Israel F-16
melakukan penyerangan terhadapa instalasi
nuklir Syria yang berhasil dibangun oleh
ilmuan asal Korea Utara, jet tempur militer
Israel berhasil meledakkan instalasi nuklir
Syria tanpa diketahui oleh penjaga radar,
dibalik serangan tersebut terdapat peran Unit
8200 Israel yang berhasil membobol sistem
radar militer Syria dengan program yang
dikenal dengan Suter. Unit 8200 diketahui
memiliki jejak sukses dalam operasi-operasi
intelijen (Kaplan, 2016).
Begitu juga dengan pola serangan siber
yang dialami oleh Estonia juga sangat menarik
untuk menegaskan tentang adanya perang siber
yang melibatkan negara. Pada bulan April tahun
2007 Estonia merupakan korban dari serangan
siber yang diduga datang dari Rusia. Serangan
siber berawal dari ketegangan yang dipicu oleh
sentimen anti-Rusia yang disampaikan oleh
Presiden Estonia yang mengeluarkan kebijakan
hendak menghilangkan patung-patung perunggu
yang berdiri di kota Talin. Sebagian kelompok
di Estonia melakukan protes yang diekenal
dengan Bronze Night dan melakukan perusakan
terhadap patung monumen Rusia, polisi
berupaya mengamankan patung-patung yang
ada di kota agar tidak terus menerus menjadi
sasaran kebencian yang juga memicu bentrokan
etnis. Tidak lama berselang Estonia mendapat
serangan siber secara bertubi-tubi yang
menyasar jaringan internet dan telepon. Warga
ISSN: 22620-7419
Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
110
Estonia sempat mengalami kesulitan karena
selama tiga minggu tidak mampu menggunakan
jaringan telepon, rekening bank, kartu kredit,
selain itu jaringan yang terhubung dengan
parlemen, kementrian, kantor pemerintah, toko-
toko, komunikasi militer mengalami gangguan
(Kaplan, 2016).
5. Potret Perang Siber Kontemporer
Pada tahun 2013 sebuah laporan yang
dirilis oleh Departemen Pertahanan Amerika
Serikat yang disampaikan kepada kongres
mengenai masalah China menyebutkan bahwa
pemerintah China melalui Tentara
Pembebasan Rakyat (People Liberation Army)
memiliki divisi khusus yang bertujuan untuk
melakukan serangan terhadap negara-negara
yang dianggap "musuh", divisi tersebut
merefleksikan perubahan visi pertahanan China
dengan menjadikan ancaman dunia maya
sebagai salah satu masalah penting yang harus
direspon. Oleh sebab itu China mendirikan
institusi khusus untuk melakukan respon terukur
untuk masalah ini. Bahkan Cina memiliki
terminologi sendiri untuk menjelaskan misi
mereka di dunia cyber, Cina misalnya,
menggunakan terminologi Perang Elektronik
(EW) untuk menjelaskan posisi mereka di
panggung dunia dan keamanan dunia maya
(United States Department of Defense, Annual
Report to Congress, Military Security and
Development, Involving the
People’s Republic of China 2013, 37).
NATO dalam dokumen yang mereka
rilis pada tahun 2012 menyebutkan
langkahlangkah antisipasi yang bisa diambil
oleh pemerintah dalam rangka merespon
perkembangan keamanan di dunia maya (cyber
security), meliputi: Military Cyber (Tentara
Siber), bahwa sejak tahun 2007 perusahaan
McAfee telah memperingatkan bahwa perang
senjata virtual sedang terjadi ditandai dengan
peluncuran senjata siber oleh sejumlah negara;
Counter Cyber
Crime/Menangkal Kejahatan Siber, aktifitas
kejahatan dunia maya dapat membahayakan
individu dan negara seperti pencurian data
individu atau perusahaan berupa pencurian hak
kekayaan intelektual; Intelligence and Counter
Intelligence (Intelijen dan Kontra Intelijen),
pola pengintaian yang dilakukan mata-mata
yang dilakukan oleh militer negara-negara;
Perlindungan Infrastruktur Vital dan
Manajemen Krisis Nasional, perlindungan
infrastruktur vital merupakan sarana penting
dalam skema keamanan nasional sebuah negara;
Cyber Diplomacy dan Internet Government
(Diplomasi Dunia Maya dan Pemerintahan
Internet) diplomasi dunia maya merupakan
sebuha keniscayaan yang harus diterima, oleh
sebab itu diplomasi modern merupakan bentuk
adaptasi atas perubahan tata aturan dunia saat
ini’’ (Alexander Klimburg, ed, 2012).
Data yang dirilis oleh CSIS Amerika
Serikat juga memperlihatkan intensitas serangan
siber yang dilakukan oleh peretas yang
bersumber dari negara-negara yang selama ini
dianggap memiliki kemampuan siber handal.
Sepanjang tahun 2018 hingga 2019 terlihat
China, Iran, Korea Utara, Rusia, Inggris, dan
Amerika Serikat masuk dalam kategori negara
yang paling sering menjadi sasaran serangan dan
diduga sebagai penyerang dalam insiden di
dunia siber. Sementara sasaran serangan siber
sebagian besar ditujukan kepada instansi
pemerintah, mitra kerja pemerintah, perusahaan
teknologi, serta perusahaan yang bergerak di
sektor keuangan. Jumlah serangan yang terus
meningkat menunjukkan adanya trend
peningkatan keterlibatan negara dalam aktifitas
serangan siber. Hal ini dipertegas oleh data
berikut pada gambar 1.
ISSN: 22620-7419
Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
111
Gambar 1. Insiden-insiden Penting
Siber antara tahun 2016-2019
Sumber: CSIS & Hackmageddon
6. Respon Indonesia
Melihat sejumlah peristiwa-peristiwa
penyerangan siber di Indonesia dalam sepuluh
tahun terakhir, bisa dilihat bahwa Indonesia
termasuk negara yang kerap menjadi korban
serangan peretas, serangan siber sebagian besar
menyasar situs-situs milik pemerintah serta
lembaga yang menyangkut urusan banyak orang
seperti Komisi Pemilihan Umum dan Bank
Indonesia. Oleh sebab itu sangat penting bagi
Indonesia melakukan antisipasi dini terhadap
kemungkinan-kemungkinan serangan siber
yang berpotensi melumpuhkan sumber-sumber
energy serta pencurian data. Sebagai bentuk
respon pemerintah atas dinamika internasional,
pemerintah Indonesia juga sepertinya
menyadari bahwa ancaman siber semakin nyata.
Oleh sebab itu diciptakanlah sebuah regulasi
untuk memaksimalkan pertahanan nasional di
dunia maya dengan membentuk Badan Siber
dan Sandi Negara selanjutnya disingkat BSSN
melalui Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun
2017. Di dalam peraturan presiden ini terlihat
sangat jelas bahwa fungsi utama badan siber
adalah untuk mengantisipasi segala bentuk
serangan yang berpotensi mengancam stabilitas
nasional dan ketahanan ekonomi nasional. Poin
ini bisa dilihat pada pasal 3 peraturan tersebut
yang menyebutkan bahwa BSSN bertugas untuk
: ‘’..penyusunan kebijakan teknis di bidang
identifikasi, deteksi, proteksi, penanggulangan,
pemulihan, pemantauan, evaluasi, pengendalian
proteksi e-commerce, persandian, penapisan,
diplomasi siber, pusat manajemen krisis siber,
pusat kontak siber, sentra informasi, dukungan
mitigasi, pemulihan penanggulangan
kerentanan, insiden dan/atau serangan siber’’.
Dilihat dari alasan pendirian dan tugastugas
yang diberikan oleh BSSN, kita bisa melihat
bahwa lembaga ini berdiri ditujukan untuk
menjadi lembaga yang membentengi data
Indonesia secara keseluruhan. Menjaga data-
data Indonesia dari kemungkinan pencurian dan
serangan dari luar. Selain itu lembaga baru ini
memiliki fungsi koordinasi atas semua lembaga
negara yang memiliki kaitan langsung dengan
sistem informasi di Indonesia. Kendati
pendirian BSSN tergolong terlambat namun
paling tidak pemerintah Indonesia telah
memahami peta ancaman kontemporer yang
berpotensi mengancam ketahanan nasional
Indonesia.
Bagi Indonesia yang saat ini tengah
mempersiapkan penyelenggaran pemilihan
umum tentu saja menjadi sebuah keniscayaan
untuk melakukan deteksi dini atas setiap potensi
serangan siber yang datang dari dalam maupun
luar negeri baik yang dilakukan oleh aktor
negara maupun non-negara. Instalasi yang
sangat rawan menjadi sasaran serangan siber
pada masa-masa sekarang adalah sistem
informasi Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Badan Pengawas Pemilu, bank data Departemen
Dalam Negeri, serta instansi pemerintah yang
terkait langsung dengan urusan pemilu. Selain
penyelenggara pemilu, para peserta pemilu juga
berpotensi menjadi sasaran serangan, seperti
partai politik, calon anggota legislatif, hingga
calon presiden yang saat ini sedang terlibat
ISSN: 22620-7419
Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
112
dalam kampanye hingga pemilihan pada bulan
April 2019.
Terkait potensi serangan yang terjadi
menjelang pemilu Indonesia perlu belajar dari
pengalaman AS, AS kendati memiliki sistem
pertahanan siber yang tangguh namun dalam
kenyataanya serangan siber asing mampu
menembus sistem keamanan panitia Konvensi
Partai Demokrat yang kemudian menjadi isu
nasional yang membuat hubungan AS dan Rusia
memburuk. Serangan siber yang diduga
dilakukan oleh kelompok hacker asal Rusia
membuat citra Presiden AS saat itu Barack
Obama memburuk karena dianggap tidak
mampu membentengi keamanan nasional
negaranya. Akibat serangan hacker tersebut AS
mengeluarkan sanksi kepada diplomat
Rusia (David P. Fidler, 2017).
Pelajaran lain yang bisa diambil dari
pengalaman AS adalah adanya potensi
penciptaan disinformasi atau penyesatan
informasi. Seperti diakui Alexander Klimburg,
salah seorang pakar keamanan siber yang juga
penulis buku ‘’The Darkening Web: The War
for Cyberspace’’, menyebutkan bahwa dalam
peristiwa penyerangan peretas pada pemilu AS
tahun 2016 penyesatan informasi memiliki
kontribusi dalam penciptaan kekacauan di AS.
Sebab menurut survey hanya 20 persen warga
AS percaya pada media mainstream, sementara
hanya 6 persen yang percaya pada Kongres AS,
statistic ini menujukkan bahwa terdapat potensi
untuk membombardir public AS dengan
informasi yang bersumber dari sumber-sumber
non-mainstream yang banyak diproduksi oleh
para peretas
(www.attlanticcouncil.org, 20/01/19) .
Oleh sebab itu Indonesia yang hendak
menggelar pemilu pada tahun 2019 sangat perlu
untuk memperhatikan keamanan data dan
membentengi Indonesia agar mampu menghalau
potensi serangan siber yang bertujuan untuk
menyesatkan public dengan informasi yang
keliru. Pada pemilu 2019 angka pemilih
mencapai 192 juta dengan tingkat literasi digital
yang rendah akan menjadi sasaran empuk bagi
para penyerang untuk membombardir dengan
informasiinformasi tidak besar berupa berita
palsu dan isu-isu yang dibuat untuk menciptakan
kekacauan dan berujung pada distabilitas
nasional.
Selain terkait pemilu, sektor lain yang perlu
menjadi objek yang perlu mendapat penjagaan
oleh BSSN adalah sektor yang berkaitan dengan
industry pertahanan, energy dan keuangan.
Sebab sektor ini merupakan sektor yang selalu
menjadi incaran para peretas. Perusahaan seperti
PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara
Indonesia adalah perusahaan yang
mengandalkan kerahasiaan data untuk setiap
produk mereka demi daya saing di tingkat
internasional. Kehilangan data berarti
kehilangan daya saing. Oleh sebab itu,
penjagaan atas sektor strategis ini sangat penting
dilakukan karena berkaitan langsung dengan
kebutuhan nasional dan kepentingan nasional
Indonesia.
7. Simpulan
Perkembangan teknologi
saat ini mempermudah para penggunanya
dalam setiap aktifitas. Dengan kemampuan
teknologi para pelaku usaha dapat
mempercepat produksi mereka, mempercepat
distribusi, menghemat biaya dan keuntungan
lainnya. Begitu juga ketika teknologi diadaptasi
oleh negara untuk kepentingan pertahanan
nasional. Sebuah negara yang mengadopsi
teknologi pertahanan mutakhir sangat terbantu
dengan kehadiran teknologi mutakhir. Sebut
saja kehadiran teknologi drone yang mampu
memetakan posisi musuh secara tepat dan real
time atau teknologi satelit yang memudahkan
para tentara yang bertugas di lapangan untuk
mengetahui keberadaan musuh di medan
ISSN: 22620-7419
Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
113
tempur yang sebelumnya tidak pernah mereka
datangi.
Namun perkembangan teknologi
informasi juga bisa menjadi sumber ancaman
bagi negara, dalam hal ini serangan siber,
keberadaan serangan siber semakin nyata untuk
saat ini hal itu dibuktikan oleh data serangan
sepanjang tahun 2018 dan tahun 2019 yang
menunjukkan bahwa negara tidak diam, negara
terlibat langsung dalam aktifitas serangan siber,
oleh sebab itu Indonesia juga harus aktif dalam
memetakan setiap potensi serangan demi
keamanan dan ketahanan nasional Indonesia.
Kendati perang siber tidak begitu
menjadi prioritas perhatian para pengambil
kebijakan, namun demikian dampak dari perang
siber sangat nyata dan menyentuh langsung
kehidupan masyarakat. Serangan siber yang
dikendalikan dibalik layar monitor mampu
mematikan listrik sebuah kota, memutus saluran
air, menciptakan kerusuhan, membobol data-
data nasabah, hingga memicu destabilitas
nasional adalah beberapa contoh dampak
serangan siber.
Atas alasa tersebut maka tidak ada kata
terlambat bagi pemerintah Indonesia untuk
merespon perkembangan ancaman siber dengan
melakukan pemetaan atas setiap potensi
serangan serta melakukan perbaikan pada sistem
informasi yang menyangkut data warga negara
Indonesia. Selain itu pemerintah juga perlu
memaksimalkan peran Badan Siber dan Sandi
Negara untuk mengamankan setiap sektor yang
berpotensi menjadi sasaran target para
penyerang.
Daftar Pustaka
Babbie, Earl, The Practice of Social Research,
Australia : Wadsworth Cengage Learning, 2013.
David P. Fidler ‘’The U.S. Election Hacks,
Cybersecurity, and International Law’’
2017,
https://www.repository.law.indiana.edu
/cgi/viewcontent.cgi?article=3607&con
text=facpub.
Journal of International Affairs, Vol. 70, No.
1, The Cyber Issue (Winter 2016).
Kaplan, Fred, Dark Territory: Secret History
of Cyber War, New York: Simon and
Schuster, 2016.
Klimburg, Alexander, and Hugo Zylberberg,
Cyber Security Capacity
Building:Developing Access , NUPI
Report, Report no. 6, 2015.
Moss, Jeff, et.all, “Cyber-security: The Vexed
Question of Global Rules, An
Independent Report on
cyberpreparedness around the world”,
Security Defense Agenda and McAfee
Company, 2012. Nye, Joseph S., The Regime Complex for
Managing Global Cyber Activities,
Belfer Center for Science and
International Affairs, November 2014.
National Geographic, The Future of
Cyberwarfare, in
https://www.youtube.com/watch?v=L7
8r7YD-kNw, akses 20 February 2019.
Richard A. Clarke, The Risk of Cyber War And
Cyber Terrorism,
Robinson, Paul, Dictionary of International
Security, New York: Polity Press, 2007.
Stuxnet: The Real life Sci-fi Story of ‘’the
world’s first digital weapon’’,
www.abc.net.au, diakses 20/02/19.
The Risk of Cyber War And Cyber Terrorism
Author(s): Richard A. Clarke
United States Department of Defense, Annual
Report to Congress, Military Security
and Development, Involving the
People’s Republic of China 2013.
Wall, D. (2007) Cybercrime: The
Transformation of Crime in the
Information Age, Polity Press 2007.
Xiaojing Zeng, ‘’Multistakeholder Approach
ISSN: 22620-7419
Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
114
Touted in Response to Cybersecurity
Challenge’’, www.atlanticcouncil.org,
akses 20 Feb. 2019.
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
115
Sistem Ekonomi Pancasila Sebagai Landasan
Ketahanan Ekonomi Indonesia dalam Perspektif Filsafat Ilmu
Palupi Lindiasari S5 [email protected]
Abstract This article aims to analyze the fundamental of the Pancasila economic system as a foundation for the resilience
of the Indonesian economy in the perspective of National Resilience. The study method uses a philosophy of
science approach through the ontological dimension. There are three elements to determine the essence of the
Pancasila economy, namely: macroeconomics, microeconomics and literal meaning. In macro terms, Pancasila
economic system is explained in the UUD 1945 chapter 33 verses 1 to 5, whose essence consists of two elements
(dualism) in defining welfare, namely material (outwardly) and inner (spiritual) which must be achieved equally
through Gotong Royong. Literally, the fundamental of the Pancasila economy consists of economic philosophy
and Pancasila philosophy. The economy explain the needs of human life (individual households, families, and
countries), while Pancasila is representative of the godly element of man. Therefore the Pancasila economic
system is a system of household management (material) by godless people (prioritizing intelligence). The results
of the study of micro-economic elements, defining godless humans as humans who run the Pancasila economy
through the components of the human brain, namely the neo-cortex which describes an awareness of each
individual in behaving as a godly human. It’s mean that human behavior is compassionate which is implemented
with a caring attitude or better known as mutual cooperation (Gotong Royong). The Pancasila economic system
as the foundation of Indonesia's economic resilience is able to explain the strength or resilience of the state in
maintaining economic stability which consists of two elements namely economic soft skills and economic hard
skills. Both of these powers aim to realize inner and outer prosperity for all people without exception with equitable
growth through mutual cooperation (Gotong Royong). Keywords : Pancasila Economy System, Mutual Cooperation (Gotong Royong), Material, Spiritual, Equitable
Growth, National Resilience Artikel ini bertujuan untuk menganalisa hakekat sistem ekonomi Pancasila sebagai landasan ketahanan ekonomi
Indonesia dalam perspektif ketahanan nasional. Metode kajian menggunakan pendekatan filsafat ilmu dalam
dimensi ontologis. Terdapat tiga unsur yang digunakan untuk mengetahui hakekat dari ekonomi Pancasila, yaitu
: makro ekonomi, mikro ekonomi dan arti harafiah. Secara makro, definisi sistem ekonomi pancasila dijelaskan
dalam UUD Pasal 33 ayat 1 sampai 5, yang hakikatnya terdiri atas dua unsur (dualism) dalam mendefinisikan
kesejahteraan, yakni materi (lahir) dan batin (rohani) yang harus dicapai secara merata melalui Gotong Royong.
Secara harafiah, hakikat ekonomi Pancasila terdiri atas filsafat ekonomi dan filsafat Pancasila. Ekonomi
menjelaskan kebutuhan hidup manusia (rumah tangga individu, keluarga, dan negara), sedangkan Pancasila
merupakan representative dari unsur manusia yang bertuhan. Sehingga system ekonomi Pancasila merupakan
suatu system pengelolaan rumahtangga (materi) oleh manusia yang bertuhan (mengedepankan akal). Hasil kajian
unsur mikro ekonomi, mendefinisikan manusia yang bertuhan sebagai manusia yang menjalankan ekonomi
Pancasila melalui komponen otak manusia, yakni neo-cortex yang menggambarkan suatu kesadaran setiap
individu dalam berperilaku sebagai manusia yang bertuhan. Artinya perilaku manusia bersifat welas asih yang
diimplementasikan dengan sikap peduli atau yang lebih dikenal dengan gotong royong. Sistem ekonomi Pancasila
sebagai landasan ketahanan ekonomi Indonesia mampu menjelaskan kekuatan atau ketangguhan negara dalam
menjaga stabilitas ekonomi yang terdiri dari dua unsur yakni soft skill ekonomi dan hard skill ekonomi. Kedua
5 Dosen Kajian Stratejik Ketahanan Nasional SKSG, Universitas Indonesia
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
116
kekuatan tersebut bertujuan untuk mewujudkan kemakmuran lahir dan batin bagi seluruh rakyat tanpa kecuali
dengan pertumbuhan merata melalui Gotong Royong. Kata Kunci : Sistem Ekonomi Pancasila, Gotong Royong, Materi, Batin, Pertumbuhan Merata, Ketahanan Nasional
Copyright © 2018 Jurnal Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia. All rights reserved
1. Pendahuluan
Dinamika perekonomian dunia
menggambarkan keterkaitan kondisi ekonomi
antar negara. Hal ini terbukti dari gejolak
ekonomi pada suatu negara berdampak pada
negara lainnya. Krisis moneter yang terjadi di
Indonesia tahun 1997-1998, dan terakhir krisis
financial yang melanda Amerika berpengaruh
secara tidak langsung terhadap perekonomian
di Indonesia. Keterpurukan nilai tukar
BathThailand menjadi salah satu penyebab
eksternal terjadinya krisis moneter di
Indonesia. Dan yang terbaru krisis ekonomi di
Turki mengindikasikan adanya gejolak
ekonomi di beberapa negara, salah satunya
nilai tukar Rupiah yang mengalami pelemahan
menjadi Rp. 14.651 per dolar AS
(www.bbc.com 2018). Serta dampak perang
dagang China dan Amerika disinyalir
berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah
hampir menyentuh angka Rp. 15.000 per dolar
AS (Lavinda 2018). Hal ini menunjukkan di
era keterbukaan ekonomi, setiap negara
dituntut untuk mampu beradaptasi terhadap
perubahan global yang dapat mengancam
perekonomian domestic. Negara yang tidak
cepat beradaptasi akan terkena imbas krisis
ekonomi yang berkepanjangan, sebaliknya
negara yang mampu bereaksi lebih cepat dan
antisipatiflah yang mampu terus bertahan.
Sehingga dalam hal ini dibutuhkan ketahanan
ekonomi negara yang solid, kokoh dan resisten
terhadap perubahan-perubahan yang
bersumber dari internal maupun eksternal.
Berdasarkan pandangan ekonomi
mainstream (ekonomi kapitalis) menilai
bahwa kekuatan ekonomi negara bersumber
dari besaran pendapatan nasional. Sehingga
semakin tinggi pertumbuhan ekonomi
mengindikasikan kemampuan tinggi dari
negara dalam merespon perubahan global.
Karena kekuatan materi menjadi kunci
keberhasilan suatu negara dalam menjaga
perekonomiannya, dalam hal mewujudkan
kesejahteraan rakyatnya. Untuk mengetahui
seberapa liberal suatu negara, Milton
Friedman dkk membuat pengukuran indeks
kebebasan ekonomi. Data indeks kebebasan
ekonomi tahun 2017 (BA 2017) menunjukkan
negara-negara peringkat 5 teratas yang
tergolong liberal diantaranya Hongkong,
kemudian disusul Singapore, New Zealand,
Switzerland dan Australia. Negara pencetus
sistem liberalis yakni Amerika menempati
posisi ke -17 sebagai negara yang tidak
sepenuhnya liberal (mostly free). Hal ini
cukup mengherankan, mengingat Amerika
sebagai negara pencetus sistem liberalisasi
justru mengalami kemunduran dalam sistem
liberalisasi ekonomi.
Di tahun 1980 hingga akhir tahun 2000,
posisi Amerika masih tergolong negara yang
menganut sistem liberal (free). Namun, setelah
tahun 2000, tepatnya mulai tahun 2005 berlanjut
hingga tahun 2017 dan sampai sekarang ini,
Indeks kebebasan ekonomi Amerika terus
mengalami penurunan. Tahun 2005 indeks
kebebasan ekonomi Amerika senilai 7,9
menempati ranking 9 didunia, kemudian di
tahun 2017 menjadi 7,51 dengan ranking ke-17.
Penurunan tingkat liberalisasi yang cukup besar
ini menempatkan Amerika tidak lagi menjadi
negara yang murni 100% liberal. Mulai terdapat
proteksi dalam menjalankan sistem ekonomi
liberal.
China sebagai salah satu negara
penganut sistem sosialis, dimana indeks
kebebasan ekonomi China menunjukkan terus
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
117
mengalami keterbukaan ekonomi. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai indeks kebebasan
ekonomi di tahun 1980 sebesar 4,41 kemudian
meningkat ditahun 1985 hingga tahun 2007
sebesar 6,41. Namun setelah krisis yang
melanda Amerika akibat subprime mortgage,
indeks kebebasan ekonomi China mengalami
penurunan di tahun 2017 menjadi 5,74 (skala
dikonversi dari 100 menjadi 10). Artinya praktis
ditahun 2005 dan 2007 China mengalami
keterbukaan ekonomi yang cukup tinggi,
sehingga masuk dalam kategori moderately free.
Namun setelah tahun 2007, indeks kebebasan
ekonomi China mengalami penurunan hingga di
tahun 2017 menjadi negara yang termasuk
kategori mostly unfree.
Berbeda dengan Indonesia, secara
umum sejak tahun 1985 Indonesia masuk
kategori negara moderately free dengan nilai
kisaran di atas 6,1. Nilai indeks kebebasan
ekonomi tertinggi terjadi di tahun 1995 di era
orde baru. Namun setelah krisis moneter di
tahun 1998, Indonesia mulai melakukan
proteksi yang menyebabkan nilai indeks
kebebasan ekonomi turun menjadi 5,98 di
tahun 2000. Pada tahun inilah Indonesia
termasuk dalam kategori negara yang mostly
unfree. Akan tetapi seiring pemulihan
ekonomi domestic yang membutuhkan
suntikan dana dari luar negeri, menyebabkan
indeks kebebasan ekonomi meningkat mulai
tahun 2005 sebesar 6,42. Selanjutnya di tahun
2006 dan 2007 masing-masing senilai 6,36
dan 6,44. Di tahun 2017, Indonesia tetap
menjadi negara dengan kategori moderately
free dengan nilai indeks kebebasan ekonomi
yang sedikit menurun menjadi 6,19.
Fenomena perubahan sistem ekonomi
yang dialami Amerika dan China
menunjukkan bahwa sistem ekonomi liberal
tidak sepenuhnya di adopsi oleh kedua negara.
Disaat China membuka perekonomiannya,
produk China lebih kompetitif dan mampu
menguasai pangsa pasar dunia. Daya saing
China didapatkan dari sistem ekonomi sosialis
yang diterapkan didalam negeri dan sistem
kapitalis dalam hubungan perdagangan
dengan negara lain. Sebaliknya Amerika juga
tidak murni menganut sistem kapitalis, karena
dengan liberalisasi yang tinggi telah
berdampak pada kurang kompetitifnya
produkproduk domestic dibanding negara lain.
Hal ini disebabkan biaya produksi domestic
lebih tinggi dibanding negara lain. Artinya
sistem ekonomi kedua negara tersebut
tergolong menerapkan sistem ekonomi
campuran. Walaupun kecenderungan sistem
ekonomi Amerika masih liberal.
Hal ini juga terjadi pada sistem
perekonomian Indonesia yang mengalami
perubahan dari beberapa periode
kepemimpinan. Saat orde lama, Indonesia
pernah menerapkan sistem ekonomi liberal dan
terpimpin. Selanjutnya di era orde baru sistem
ekonomi liberal lebih cenderung dominan
digunakan. Hal ini ditandai dengan tumbuhnya
perusahaan-perusahaan multi nasional serta
kebijakan devisa bebas oleh Bank Indonesia.
Hasil yang didapatkan memang cukup
signifikan dibanding era orde lama, dimana
pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai
tingkat tertinggi sepanjang sejarah
perekonomian Indonesia, yakni di atas 10%
(tahun 1968) dan di tahun 1996 sebesar 7,8%
(databoks.katadata.co.id 2018). Namun
keterbukaan ekonomi tersebut membawa
konsekuensi terhadap pengaruh gejolak
ekonomi negara lain terhadap perekonomian
Indonesia. Puncaknya saat terjadi krisis moneter
di tahun 1998 akibat contagion effect dari
terpuruknya nilai tukar Thailand. Setelah itu,
sistem ekonomi Indonesia lebih terkontrol
dengan dominasi intervensi pemerintah di pasar.
Dari fenomena perubahan sistem
ekonomi baik dari negara barat (Amerika)
maupun negara timur (China) dan Indonesia,
menandakan setiap negara masih mencari sistem
ekonomi yang tepat diterapkan di negaranya
masing-masing. Hal ini diperkuat dengan
permasalahan ekonomi baik ketimpangan
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
118
ekonomi, maupun kemiskinan belum mampu
dipecahkan oleh sistem ekonomi yang sekarang
ada. Oleh karenanya perdebatan antar sistem
ekonomi yang terbaik masih menjadi topic
utama untuk dipecahkan.
Gerakan perubahan sistem ekonomi telah
terjadi di Indonesia sejak tahun 1980-an melalui
pandangan sistem ekonomi ala Indonesia yang
dikenal dengan sistem ekonomi Pancasila.
Kritikan sistem ekonomi Pancasila terhadap
sistem ekonomi liberal ditujukan pada adanya
penguasaan oleh pemodal dan eksploitasi kaum
buruh. Hal inilah yang menjadi salah satu
penyebab ketimpangan ekonomi di suatu negara.
Karena prinsip pasar bebas yang dianut sistem
ekonomi liberal menyebabkan tidak adanya
perlindungan bagi yang lemah dan adanya
dominasi pemilik modal terhadap factor-faktor
produksi.
Sistem ekonomi Pancasila yang
ditawarkan oleh para ekonom di tahun 1980-
an ditujukan untuk menjawab tujuan negara
dalam mewujudkan kesejahteraan yang adil
dan merata bagi seluruh rakyat tanpa kecuali.
Namun seiring perkembangan ekonomi,
konsep sistem ekonomi pancasila belum
mampu dijabarkan secara konkrit dan ilmiah.
Tantangan inilah yang membuat
pengembangan sistem ekonomi Pancasila
secara keilmuwan berjalan lambat. Padahal
pandangan sistem ekonomi Pancasila
merupakan implementasi dari cara pandang
bangsa Indonesia dalam mengatur negara
berlandaskan Pancasila. Oleh karenanya,
artikel ini ditulis dengan tujuan untuk
menelaah sistem ekonomi pancasila melalui
pendekatan filsafat ilmu. Hal ini penting
sebagai pengembangan sistem ekonomi
pancasila secara keilmuwan, sehingga
mendapat tempat di dunia akademisi.
Kajian ekonomi Pancasila telah
dilakukan sejak zaman orde baru, tepat di
tahun 1981. (Mangunpranoto 1981)
menjelaskan filasafat ekonomi Pancasila
secara epistimologis dan ontologis merupakan
ilmu humaniora. Artinya titik central Pancasila
adalah “kemanusiaan”. Lebih lanjut Ki Sarino
M menjelaskan filasat ekonomi Pancasila
terbentuk dari unsur filsafat ekonomi dan
filsafat manusia. Perbedaan dengan teori
ekonomi kapitalis dan ekonomi sosialis
terletak pada filsafat manusia. Ekonomi
kapitalis memandang manusia adalah
homoeconomicus, sedangkan ekonomi
sosialis memandang manusia tanpa nilai sacral
dan sama dengan modal sebagai materi.
Artinya tujuan hidup manusia sama-sama
dipandang dari aspek materi. Sedangkan
ekonomi Pancasila yang dimaksud Ki Sarino
memandang manusia memiliki hubungan
hidup tidak hanya dengan manusia namun juga
berhubungan langsung dengan Tuhan YME,
sehingga dibutuhkan keseimbangan hidup
materi dan rokhani. Dalam hal ini materi
bukan menjadi tujuan tunggal atau materi
menguasai manusia, sebaliknya manusia yang
memiliki materi.
Hidajat Nataatmadja (H 1981)
menjelaskan perbedaan filasat ekonomi yang
diterapkan ekonomi kapitalis dengan ekonomi
Pancasila. Landasan ekonomi kapitalis adalah
kepuasan konsumtif, sedangkan ekonomi
Pancasila dibentuk dari kepuasan kreatif.
Konsumtif identic dengan sifat hewani yang
tidak memperhatikan kaidah moral. Sedangkan
kreatif berasal dari ciri khas manusia yang ber
Tuhan. Lebih lanjut Hidajat menjelaskan
ekonomi Pancasila dengan 3 teori baru, yakni :
teori kesadaran, teori kreativitas dan hukum
dasar keperiadaan. Hakikat sila pertama
dijelaskan dari manifestasi sistem referensi
agama, sila kedua bersumber dari manifestasi
global humanistic, sila ketiga merupakan
manifestasi referensi nasional. Sila keempat dan
kelima tidak bisa dijelaskan oleh teori ekonomi
kontemporer yang terbukti dari teorema
kemustahilan Arrow. Hanya manusia
pancasilais yang telah mengenal khaliknya atau
fitrahnya yang mampu menjawab
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
119
permusyawaratan perwakilan dan keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagian besar ekonom Indonesia
menjelaskan filsafat ekonomi Pancasila melalui
sudut pandang konstitusi yang tercermin dalam
Mukadimah UUD 1945, Pasal 33 dalam UUD
1945, arti harafiah ekonomi Pancasila yang
terdiri dari filsafat ekonomi dan filsafat
Pancasila serta filsafat manusia dan filsafat
religious. (P. A 1981), (Rahardjo, Mencari
Pengertian Tentang Pembangunan:
Sudut Pandangan Pancasila 1981), (PH 1981).
(Yunus 1981) menambahkan dalam tulisannya
bahwa sistem ekonomi yang terkandung dalam
Pancasila terletak pada sila kelima “Keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesiaa” dan
keempat sila yang mendahuluinya dijelaskan
untuk mewujudkan apa yang terkandung dalam
sila kelima.
1.1. Kajian Ekonomi Pancasila dalam
Perspektif Filsafat Ilmu
Metode yang digunakan untuk
mengkaji sistem ekonomi pancasila melalui
pendekatan filsafat ilmu. Dimana terdapat tiga
dimensi yang harus dipenuhi dalam filsafat
ilmu. Artinya sebuah pengetahuan menjadi
ilmu harus memenuhi tiga dimensi yang ada
didalamnya, yakni : ontologi, epistemologi
dan aksiologi.
Sebagai tahap awal pengkajian sistem
ekonomi Pancasila, kajian ini menggunakan
pendekatan filsafat ilmu dalam aspek ontologi.
Secara definisi ontologi berasal dari kata
“ontos” yang berarti “berada (yang ada)”.
Artinya studi atau pengkajian mengenai sifat
dasar ilmu, dimana sifat dasar tersebutlah yang
menentukan arti, struktur dan prinsip ilmu.
Ontologi seringkali disebut metafisika dan
cakupan bahasan ontology tentang realitas.
Realitas yang dimaksud merupakan kenyataan
yang menjelaskan tentang kebenaran.
Ontologis juga berarti membahas tentang apa
yang ingin kita ketahui, hakikat apa yang
dikaji (Karimah 2010). Dalam kajian ini,
realitas yang dimaksud adalah Ekonomi
Pancasila. Untuk memahami hakikat dari
ekonomi pancasila perlu kajian untuk
menjawab:
• Apakah sesungguhnya hakekat ekonomi
pancasila ?
• Apakah ekonomi pancasila ini merupakan
realitas materi saja?
• Adakah sesuatu dibalik keberadaan
ekonomi pancasila?
• Apakah ekonomi pancasila terdiri dari satu
bentuk unsur (monisme), dua unsur
(dualism), pluralism, nihilisme atau
agnostisime?
Bakhtiar (2004) menjelaskan tentang
pengertian ontologis merupakan ilmu yang
membahas tentang hakekat yang ada, yang
merupakan ultimate reality baik yang
berbentuk jasmani/konkret maupun
rohani/abstrak.
2. Pembahasan
2.1. Hakikat Makro Ekonomi Pancasila
Menurut UUD 1945
Lahirnya pandangan ekonomi Pancasila
diawali dari arah pengelolaan ekonomi Indonesia
yang diatur berdasarkan Undang-Undang Dasar
1945. Karena kata “Pancasila” merupakan
pedoman hidup yang hanya dimiliki bangsa
Indonesia dan menjadi landasan UUD 1945.
Sehingga aspek ontology pertama yang perlu kita
bahas sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Undang-undang dasar 1945 merupakan
aturan yang menjadi arahan bagi
penyelenggaraan negara baik dibidang alam,
social dan humaniora. Ekonomi merupakan
aspek social yang diatur dalam UUD 1945 pasal
33 ayat 1-5. Kemudian diperkuat dengan Pasal
27 ayat 2, Pasal 28D ayat 2, dan pasal 28 H ayat
1-4. Sebelumnya, (Bawazier 2017) juga
menggunakan pasal 33 UUD 1945 untuk
menerangkan system ekonomi Pancasila.
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
120
Hakekat yang terkandung dalam pasal 33 tentang
perekonomian nasional dan kesejahteraan social
menerangkan landasan pengaturan ekonomi
negara secara makro. Terdapat nilai-nilai penting
yang menjadi pedoman pengaturan ekonomi
negara, yakni :
• Kekeluargaan
• Kebersamaan
• Kemandirian
• Keseimbangan kemajuan dan kesatuan
Keempat nilai tersebut merupakan
gambaran makro ekonomi dengan sistem
ekonomi pancasila yang menghendaki
pemerataan dan pertumbuhan (kemakmuran)
berjalan seiring, artinya pertumbuhan yang
merata, bukan pertumbuhan dulu baru
pemerataan. Hal ini merupakan hakekat dari nilai
keseimbangan antara kemajuan dan kesatuan.
Nilai kekeluargaan dan kebersamaan memiliki
hakekat bahwa untuk mencapai tujuan negara,
yakni kesejahteraan umum dan keadilan social,
maka pengelolaan ekonomi negara dilakukan
secara bersama-sama dan mengedepankan nilai
kekeluargaan. Artinya ekonomi pancasila tidak
menghendaki adanya persaingan antar individu,
karena kesejahteraan umum dan keadilan social
tidak bisa dicapai dengan prinsip persaingan.
Persaingan antar inividu merupakan nilai
ekonomi yang dianut oleh sistem ekonomi
kapitalis melalui sistem pasar. Prinsip persaingan
ini akan membawa dampak negative bagi salah
satu pihak akibat kalah dalam bersaing. Maka
dengan demikian sistem persaingan tidak mampu
menjawab tujuan negara Indonesia.
Hakikat pasal 27 ayat 2 yang berbunyi
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
mengandung arti dalam pelaksanaan sistem
ekonomi Pancasila, hak individu untuk
mendapatkan kehidupan yang layak juga
dipertimbangkan. Artinya sifat kebersamaan dan
pemerataan tanpa menghilangkan hak individu
untuk peningkatan taraf hidup melalui pekerjaan
sesuai keinginan dan kemampuannya. Hal ini
diperkuat dengan pasal 28 D no 2 “Hak untuk
bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja”,
mengandung arti adanya perlindungan terhadap
hak asasi manusia untuk pengembangan diri serta
perlakuan yang manusiawi. Kedua pasal ini
mencirikan nilai kemandirian dalam sistem
ekonomi Indonesia. Artinya prinsip kebersamaan
dalam pengelolaan ekonomi bukan berarti setiap
individu menjadi bergantung kepada individu
lainnya. Melainkan kemajuan individu menjadi
hak seluruh rakyat tanpa kecuali sesuai dengan
keinginan dan keahliannya masing-masing.
Kebersamaan yang dimaksud dapat
mendorong kemajuan bersama melalui sikap
saling mendukung potensi yang terdapat pada
masing-masing individu demi mencapai tujuan
bersama. Artinya sistem ekonomi pancasila
mengedepankan kepentingan bersama dengan
tetap menjunjung tinggi hak-hak individu untuk
berkembang dan maju. Hal ini berbeda dengan
sistem ekonomi sosialis yang membatasi
kebebasan individu untuk berkembang dan maju.
Pasal 28 H ayat 1 hingga 4 memperkuat
penyelenggaraan sistem ekonomi di Indonesia.
Dalam hal ini setiap warga negara berhak untuk
hidup sejahtera materi dan batin. Artinya
kesejahteraan yang dimaksud tidak hanya
bersumber dari materi, namun juga kesejahteraan
yang sifatnya non-materi. Dimana terdapat nilai
ketuhanan yang menjadi sumber rohani setiap
individu. Maka terdapat nilai Ketuhanan yang
menjadi landasan dalam mewujudkan
kesejahteraan materi dan batin. Hal ini
menggambarkan bahwa negara menjunjung
tinggi kebutuhan hidup manusia yang
sesungguhnya yakni jasmani dan rohani.
Keseimbangan inilah yang menjadi
ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat di
Indonesia. Dan negara bertanggung jawab untuk
memenuhi hak jaminan social bagi seluruh
rakyatnya tanpa kecuali. Peran pemerintah
menjadi sentral dalam memberikan perlindungan
dan keadilan bagi masyarakat. Jadi peran
pemerintah secara makro adalah membuka akses
seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
121
menikmati kesejahteraan materi dan batin.
Upaya-upaya yang merintangi hal tersebut
menjadi kewenangan pemerintah untuk
menindaknya baik yang bersumber dari dalam
maupun luar negeri. Artinya pemerintah
berperan penting dalam system proteksi ekonomi.
Hal ini berbeda dengan system ekonomi kapitalis
yang memiliki prinsip liberalisasi atau
kebebasan, dimana system proteksi dilakukan
seminimal mungkin. Namun sejak krisis
finansial dan kebangkitan ekonomi China
menyebabkan Amerika sebagai negara penganut
system kapitalis melakukan proteksi ekonomi
dalam bentuk hambatan tariff. Hal ini
bertentangan dengan prinsip liberalisasi ekonomi
yang mereka anut. Kenyataan tersebut dapat
menjelaskan bahwa secara natural terdapat sifat
nasionalis dari setiap negara untuk melindungi
kepentingan negaranya.
Sehingga dari uraian tersebut
menunjukkan bahwa penyelenggaraan ekonomi di
Indonesia ditujukan untuk mencapai
kesejahteraan yang merata baik materi maupun
batin. Untuk mewujudkannya dibutuhkan
niiainilai yang dianut yakni
kekeluargaan, kebersamaan, kemandirian,
kemajuan dan kesatuan yang seimbang, dan
Ketuhanan. Yang kesemuanya itu merupakan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Proses Sistem Ekonomi Pancasila Menurut
UUD 1945
Tujuan negara akan dicapai dengan
kerjasama, kekeluargaan dan persatuan
melalui Gotong Royong. Merujuk pada
pandangan
Bung Karno (Sukarno 2005)) bahwa “Djiwa
Indonesia adalah djiwa gotong royong, djiwa
persaudaraan, djiwa kekeluargaan, dan kita
telah menemukan djiwa yang demikian itu
dengan apa yang dinamakan Pantja Sila”.
Sehingga pada prinsipnya sistem ekonomi
pancasila terdiri dari dua unsur (dualism)
dalam mendefinisikan kesejahteraan, yakni
materi (lahir) dan batin (rohani) yang dapat
dicapai dengan Gotong Royong.
2.2. Hakikat Ekonomi Pancasila
Berdasarkan Definisi Harafiah
Kajian ontologis selanjutnya dalam mencari
hakikat sistem ekonomi pancasila adalah
melalui definisi harafiah. Dalam hal ini,
sistem ekonomi pancasila terdiri dari dua
elemen yakni ekonomi dan pancasila. Oleh
karenanya untuk menjawab hakikat ekonomi
pancasila, diperlukan pemahaman akan
hakikat ekonomi dan hakikat pancasila.
Ekonomi berasal dari bahasa yunani
yang terdiri dari dua kata : oikos dan nomos.
“Oikos” mengandung arti rumah dan
“Nomos” artinya aturan atau peraturan.
Sehingga jika digabung menjadi satu “oikos
nomos” berarti pengelolaan rumah tangga.
Dalam hal ini hakikat ekonomi merupakan
suatu sistem cara pengelolaan rumahtangga.
Rumahtangga yang dimaksud mulai dari
rumah tangga individu, keluarga hingga
negara.
Pertanyaan selanjutnya adalah siapakah
yang mengatur atau mengelola rumahtangga
tersebut?. Jawabannya tentu saja manusia,
namun manusia seperti apakah yang mampu
mengelola rumahtangganya dengan baik. Oleh
karenanya bermunculan sistem ekonomi yang
memiliki perbedaan satu sama lain dalam hal
pemakanaan pelaku ekonomi.
Sistem ekonomi kapitalis terdiri dari dua
kata, yakni ekonomi dan kapitalis. Sehingga jika
digabung berarti sistem pengelolaan
rumahtangga yang mengedepankan kepemilikan
materi sebagai roda penggeraknya. Dengan
Nilai - nilai : Kekeluargaan,Ke bersamaan,Kema
ndirian, Kemajuan dan kesatuan yang seimbang dan
ketuhanan
Gotong Royong
Kemakmura n yang
Merata Lahir dan Batin
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
122
prinsip kebebasan bagi hak-hak individu dalam
menguasai dan memiliki materi. Pemikiran barat
(Amerika) menerapkan prinsip kebebasan. Hal
ini dilatar belakangi oleh sejarah Amerika yang
didominasi imigran, yang lari dari negaranya
untuk mencari kebebasan individu. Maka tidak
heran prinsip kapitalis menjadi tawaran yang
cukup menarik untuk mencapai kesejahteraan
yang dimaksud.
Begitupun juga dengan sistem ekonomi
sosialis, yang terdiri dari dua kata yaitu ekonomi
dan sosialis. Artinya sistem pengelolaan
rumahtangga yang mengedepankan kepemilikan
materi secara merata untuk setiap individu
dengan pemerintah sebagai pengaturnya. Peran
pemerintah sangat tinggi dalam mengatur setiap
individu dalam kegiatan ekonomi,
konsekuensinya kebebasan individu menjadi
semakin terbatas.
Selanjutnya, bagaimana dengan hakikat
ekonomi pancasila secara harafiah, apa yang
membedakan dengan kedua sistem ekonomi
tersebut. Tentunya, secara harafiah terlihat
bahwa perbedaannya terletak pada kata
“pancasila”. Sehingga jika digabungkan antara
ekonomi dan pancasila mengandung arti
pengelolaan rumahtangga dengan prinsip
pancasila. Selanjutnya prinsip pancasila seperti
apa yang dimaksud?. Dalam hal ini Pancasila
merupakan ideology sekaligus pedoman hidup
bernegara bagi bangsa Indonesia. Sehingga
untuk memahami hakikat dari pancasila, kita
harus memahami hakikat dari setiap sila yang
terdapat didalamnya.
a. Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha
Esa
Nilai hidup pertama yang terdapat
didalam pancasila adalah kesadaran bahwa
manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa. Sehingga karena sebagai ciptaan,
maka segala perilakunya harus sesuai dengan
perintah sang pencipta. Ketuhanan Yang
Maha Esa juga menjelaskan bahwa Tuhan
adalah tunggal atau esa, yang dapat diartikan
kebenaran itu satu, tidak ada kebenaran yang
mendua. Implikasinya setiap agama meyakini
bahwa Tuhan itu ada. Walaupun berbeda-beda
dalam hal ritual dan pemahamannya, namun
terdapat keyakinan yang sama bahwa Tuhan
itu ada dan pencipta alam semesta termasuk
manusia.
Hal ini dijelaskan dalam berbagai kitab
suci, baik alquran bagi umat muslim,alkitab
bagi umat Kristen dan katolik, weda bagi umat
hindu, tripitaka bagi umat budha, dan wu-jin
serta si shu bagi umat konghuchu. Keberadaan
Tuhan menurut alquran tercantum dalam surat
Yunus ayat 3 (RI 2016), yang berbunyi
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy
untuk mengatur segala urusan. Tiada
seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali
sesudah ada izinNya. yang demikian itulah
Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia.
Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?
Keberadaan Tuhan menurut Al-kitab
tercantum dalam Surat Ibrani (11) ayat 6
(alkitab 2006)
"Tetapi tanpa iman tidak mungkin
orang berkenan kepada Allah. Sebab
barang siapa berpaling kepada Allah,
ia harus percaya bahwa Allah ada, dan
bahwa Allah memberi upah kepada
orang yang sungguh-sungguh mencari
Dia".
Keberadaan Tuhan menurut kitab Weda
tercantum dalam R.W.X.121.8 (Maswinara
2004)
“Siapakah yang akan kami puja dengan
segala persembahan ini? Ia Yang Maha
Suci yang kebesaran-Nya mengatasi
semua yang ada, yang memberi kekuatan
spiritual dan yang membangkitkan
kebaktian, Tuhan yang berkuasa. Ia yang
satu itu, Tuhan di atas semua”
Keberadaan Tuhan menurut kitab
tripitaka tercantum dalam ungkapan dari sang
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
123
Buddha yang terdapat dalam sutta pitaka, udana
VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan
Yang Maha Esa dalam agama Buddha.
Ketuhanan yang Maha Esa dalam bahasa Pali
adalah Atthi Ajatan Abhutam Akatam
Asamkhatam yang artinya : “suatu yang tidak
dilahirkan, tidak dijelma, tidak diciptakan dan
yang mutlak”.
“ketahuilah para bikkhu bahwa ada
sesuatu yang tidak dilahirkan, yang tidak
menjelma, yang tidak tercipta, yang
mutlak. Duhai para bikkhu, apabila tidak
ada yang tidak dilahirkan, yang tidak
menjelma, yang tidak tercipta, yang
mutlak, maka tidak akan mungkin kita
dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan,
pembentukan, pemunculan dari sebab
yang lalu. Tetapi para bikkhu, karena ada
yang tidak dilahirkan, yang tidak
menjelma, yang tidak tercipta, yang
mutlak, maka ada kemungkinan untuk
bebas dari kelahiran, penjelmaan,
pembentukan, pemunculan dari sebab
yang lalu”.
Keberadaan Tuhan menurut kitab agama
konghucu yakni wu-jin dan shi-shu tercantum
dalam Zhong Yong Bab Utama Pasal 1 (Sishu
2012)
“Firman Tian-Tuhan Yang Maha Esa
(Tian Ming) itulah dinamai watak sejati
(Xing). Hidup mengikuti watak sejati
itulah dinamai menempuh Jalan Suci
(Dao). Bimbingan menempuh jalan suci
itulah dinamai Agama (Jiao)”
Artinya sifat ketuhanan bagi seluruh
agama yang ada di Indonesia adalah kebenaran
yang Esa atau tunggal. Hal ini menjelaskan
dalam menjalankan hidupnya, manusia tidak
bisa lepas dari hubungannya dengan Tuhan
YME. Sehingga terdapat kebutuhan rohani
atau spiritual dalam diri setiap manusia.
Dalam agama islam disebut hablumminaAllah
atau hubungan manusia dengan Tuhannya.
b. Sila Kedua hingga Kelima
Menjelaskan nilai persatuan,
kemanusiaan, musyawarah, dan keadilan
social. Keempat nilai tersebut merupakan
cerminan manusia yang berakhlak dan berbudi
pekerti yang baik. Artinya manusia yang
seperti ini tidak mungkin bisa diwujudkan jika
manusia tersebut tidak memiliki kesadaran
penuh sebagai manusia yang bertuhan.
Percaya akan Tuhan hakikatnya meyakini
seluruh tingkah laku dirinya dilakukan
berdasarkan perintah Tuhan YME, yakni
bermanfaat bagi sesama. Sila kedua hingga
keempat ini menjelaskan hubungan antar
sesama manusia hidup didunia.
Dalam perspektif agama islam disebut
Hablumminannas atau hubungan baik antar
sesama manusia di dunia.
Perilaku baik antar sesama umat
manusia didunia mengandung dua tujuan,
yakni pertama Setiap agama selalu
mengajarkan welas asih atau kasih sayang
kepada sesama umat manusia tanpa kecuali.
Hal ini dijelaskan dalam salah satu kitab suci
al-quran surat Al-
Qasas ayat 77
“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan oleh Allah kepadamu
kebahagiaan akherat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari kenikmatan
dunia, dan berbuat baiklah kepada orang lain
sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai terhadap orang-orang yang
berbuat kerusakan.”
Petikan ayat tersebut merupakan salah
satu contoh bahwa setiap manusia harus berbuat
baik dan bermanfaat bagi sesama, serta
menegaskan jika ingin menjalankan perintah
Tuhan YME maka hindari tindakan yang
dilarang-Nya seperti membuat kerusakan di
muka bumi. Kerusakan yang dimaksud tidak
hanya terhadap alam sekitar tetapi memerangi
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
124
sesama manusia melalui menyakiti,
pertengkaran, penjajahan, penguasaan dan lain
sebagainya.
Berdasarkan definisi harfiah diatas,
menunjukkan bahwa ekonomi pancasila
menghendaki keseimbangan (balance) antara
kebutuhan jasmani dan rohani. Sehingga untuk
mewujudkannya, terdapat dua unsur dalam
ekonomi pancasila, yakni kemanusiaan dan
ketuhanan atau jika digabung menjadi
pengelolaan rumahtangga oleh manusia yang
menyadari sebagai makhluk ciptaan tuhan.
Keseimbangan kebutuhan jasmani dan
rohani menjadikan pengelolaan negara dapat
mencapai kesejahteraan lahir dan batin.
Sehingga dalam hal ini terdapat kebutuhan
jasmani yang disebut hard need dan kebutuhan
rohani yang disebut soft need.
Kebutuhan Manusia dalam Ekonomi Pancasila
Artinya ekonomi pancasila menawarkan
konsep yang tidak hanya kebahagiaan semu, yang
bersifat duniawi, namun juga kebahagiaan sejati
yang terdapat didalam batin sebagai bekal
menuju akhirat.
Oleh karenanya, maka definisi manusia
sebagai pelaku ekonomi menjadi hal yang
penting atau krusial dalam menjelaskan manusia
seperti apa yang mampu menjawab tujuan
ekonomi Pancasila ?. Pertanyaan tersebut
dijelaskan dalam kerangka mikro ekonomi
Pancasila.
2.3. Hakikat Mikro Ekonomi Pancasila
Menurut Definisi Manusia yang
Berakal
Secara Mikro ekonomi unsur utama
yang menjadi pelaku ekonomi adalah manusia.
Cara pandang manusia sangat mempengaruhi
perilakunya dalam mengambil keputusan.
Sehingga hakikat manusia menjadi penting
sebagai pondasi dalam memahami perilaku
pelaku ekonomi. Ekonomi Kapitalis
memandang manusia sebagai makhluk
homoeconomicus yaitu manusia yang selalu
mengejar kepentingan (keuntungan) sendiri
(M 2007).
Atas dasar pandangan inilah, maka
tidak heran jika tujuan utama ekonomi
kapitalis mementingkan kepentingan individu,
kebebasan pemilikan hak-hak pribadi melalui
sistem pasar bebas. Dengan demikian
pengelolaan rumah tangga baik individu
maupun negara mementingkan keuntungan
atau pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal
ini identic dengan pengelolaan negara dengan
modal materi atau kekayaan, serta ukuran
kemakmuran suatu negara dilihat berdasarkan
besarnya jumlah materi yang dimiliki oleh
negara tersebut.
Sistem ekonomi kapitalis mendapat
perlawanan dari sistem ekonomi sosialis,
akibat timbulnya kesenjangan yang tinggi
antara kaum pemodal dengan kaum buruh.
Kritikan ekonomi sosialis memandang bahwa
manusia adalah makhluk social. Artinya
manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa
ketergantungan dengan lainnya. Namun
pengelolaan rumahtangga baik individu
maupun masyarakat diatur sepenuhnya oleh
negara. Hal ini ditujukan untuk
menghilangkan adanya dominasi antar satu
individu terhadap lainnya. Namun
konsekuensi dari sistem ekonomi ini adalah
terbatasnya hakhak kebebasan individu, baik
dalam berkarya maupun mendapat kehidupan
yang lebih layak. Pandangan sosialis tersebut
mengacu pada sifat social dan komunal dari
manusia. Namun sifat social ini memiliki
kelemahan karena lebih mengedepankan
perasaan atau simpati dalam bertindak.
Berbeda dengan sistem ekonomi
pancasila dalam memandang hakikat manusia.
Pada dasarnya yang membedakan manusia
Hard Need
Soft Need
Ekonomi Pancasila
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
125
dengan makhluk lainnya didunia adalah akal.
Artinya manusia diberi akal untuk mengambil
sikap sesuai dengan tujuan manusia hidup
didunia, yakni bermanfaat bagi sesama serta alam
tempat tinggal manusia. Hal ini merupakan
tujuan hidup manusia yang berpedoman pada
perintah Tuhan YME. Untuk itu, hakikat
manusia dapat didekati dengan pemahaman akal
manusia yang terdapat di otak. Menurut Dr. Paul
Maclean (Maclean
1990) yang membagi otak kedalam tiga bagian
(the triune brain), yakni otak reptilian, lymbic
dan neo cortex. Ketiga bagian otak tersebut dapat
menjelaskan alasan atau sebab manusia
berperilaku.
a. R-Kompleks (Reptile)
Bagian otak yang ukurannya paling kecil
dibanding lainnya. otak reptile mencerminkan
binatang bertubuh manusia. Perilaku yang
mencerminkan binatang diantaranya persaingan,
tidak bermoral, tidak beretika, tidak ada tata
krama, mementingkan diri sendiri terutama tubuh
(somatic or survival), rakus atau serakah, tidak
perduli dengan lingkungan, tidak mengenal
benarsalah, teritoriality, tidak mau bertanggung
jawab, menyalahkan orang lain. Artinya perilaku
tersebut lahir karena manusia lebih
mengedepankan nafsu dalam setiap pengambilan
keputusan.
Beberapa sifat tersebut merupakan hakikat
manusia yang menjadi landasan berpikir dari
sistem ekonomi kapitalis yakni persaingan,
mementingkan diri sendiri dan rakus. Artinya,
jika pola pikir manusia lebih banyak didominasi
oleh R-kompleks, maka nafsu akan dikedepankan
dalam bertindak. Akibatnya timbul pola hidup
yang konsumtif dan rakus. Hal ini juga
dijelaskan oleh Thorstein Veblen dalam buku
Alan Greenspan mantan Gubernur bank Sentral
Amerika Serikat (G. A 2008) bahwa kebiasaan
konsumtif individu tersebut merupakan cerminan
kebiasaan orang untuk memamerkan bahwa ia
memiliki uang sebanyak orang lain
(conspicuous consumption ). Artinya setiap
individu memilki kecenderungan bersifat
kompetitif dalam hal status. Konsep ini
menjadikan ekonomi diartikan sebagai
kebutuhan jasmani dari manusia yang harus
dipenuhi. Sifatnya nafsu tidak pernah puas,
sehingga jika konsep ekonomi menggunakan
pemikiran nafsu, maka yang timbul adalah
berlomba-lomba untuk memenuhi kebutuhan
jasmani tersebut. Hal ini tidak sesuai dengan
jiwa manusia yang berakal dan berbudi
pekerti. Seharusnya R-kompleks digunakan
sesuai peruntukannya saja yakni sikap reflex
dari individu untuk melindungi diri ketika
menghindari ancaman, perilaku konsumsi
yang secukupnya dalam memenuhi kebutuhan
jasmani untuk melangsungkan hidup. Sifat
nafsu merupakan bagian dari diri manusia
yang tidak bias dihilangkan, namun perlu
dididik dan diarahkan penggunaannya dengan
baik.
b. Lymbic System
Lymbic merupakan bagian otak
tengah. Dalam hal ini, otak yang
membungkus batang otak. Bagian ini
berhubungan dengan perasaan atau emosi,
diantaranya: marah, sedih, jijik, kecewa, takut,
senang, dan bahagia. Jika cara berpikir
manusia didominasi oleh bagian otak lymbik,
maka sifat-sifat yang dihasilkan akan
mengedepankan perasaan dalam setiap
pengambilan keputusan. Sifatnya iba,
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
126
melankolis tidak menerima penindasan atas
satu dengan yang lainnya.
Akibatnya memunculkan sikap
pengambilan keputusan yang memandang semua
manusia harus diperlakukan sama untuk
mencapai keadilan. Hal tersebut dapat dipenuhi
dari peran pemerintah dalam mewujudkannya.
Pandangan inilah yang menjadi hakikat manusia
menurut sistem ekonomi sosialis. Tidak hanya
materi saja yang dibutuhkan manusia namun juga
kehidupan antar sesama manusia menjadi
pertimbangannya.
Terdapat kebersamaan dan kesetaraan
sebagai manifestasi kehidupan social manusia.
Namun, cara pemikiran ini dapat menjadi
boomerang karena mengedepankan perasaan.
Manusia bisa terkecoh bahkan menjadi tidak bisa
membedakan mana yang patut dibantu mana
yang tidak. Karena tidak semua orang jujur dan
mau untuk disamakan dengan yang lain. Maka
timbul pemberontakan menuntut kebebasan
dalam bertindak dan menentukan nasibnya
sendiri.
Definisi manusia dengan cara pandang
limbic juga tidak cukup untuk menjawab hakikat
manusia seutuhnya, berakal dan berbudi pekerti.
Karena jika perasaan lebih mendominasi akal,
akibatnya timbulnya fanatisme atau pemihakan
kebenaran atas dasar perasaan (intuisi) tanpa
didukung dengan bukti (akal).
c. Neocortex
Neocortex merupakan otak baru, berusia
lebih muda sekitar 40.000 tahun. Disinilah
tempat bersemayamnya kecerdasan yang bisa
membuat perbedaan antara manusia dengan
binatang. Otak kiri berisi kecerdasan dan otak
kanan berisi kesadaran spiritual. Di dalam neo
cortex terdapat satu titik yang merupakan titik
focus manusia yang berhubungan dengan Tuhan,
yang disebut God Spot. Kombinasi antara
kecerdasan, kesadaran spiritual terhadap
keberadaan Tuhan inilah yang menjadi landasan
manusia bermoral atau berakhlak baik. Hal ini
sesuai dengan dasar rumpun ilmu ekonomi yakni
filsafat moralitas.
Manusia yang menggunakan akalnya
dengan dominasi neo-cortex akan memiliki
sifat-sifat yang berbeda dengan binatang,
diantaranya welas asih (kasih sayang),
toleransi, kepedulian terhadap sesama,
memberi maaf, dan menghormati orang lain.
Sifat-sifat ini sesuai dengan cara pandang
bangsa Indonesia dalam memperlakukan
manusia sebagai pelaku ekonomi. Sehingga
hakikat manusia seutuhnya adalah manusia
yang menyadari akan keberadaan tuhan dan
berhubungan langsung dengan dirinya. Hal
inilah sebagai control terhadap perilaku
manusia yang menyimpang. (Swasono 2009)
juga menyinggung tentang nilai-nilai afaktif
yang melekat pada manusia rasional diabaikan
daam aliran ekonomi mainstream.
Manusia yang bertuhan
Elizabeth Svoboda (E 2013)
menjelaskan dalam bukunya bahwa setiap
manusia memiliki sisi heroic dalam dirinya.
Sifat kepahlawanan ini merupakan cerminan
tindakan tidak egois, emphatic dari diri
manusia untuk bermanfaat bagi sesamanya
tanpa pamrih. Inilah sifat manusia yang
menunjukan bahwa manusia menjalankan
perannya sebagai manusia yang bertuhan.
Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi
pancasila, hal mendasar yang membedakan
dengan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis
adalah dalam pendefinisian hakikat manusia
seutuhnya. Berdasarkan ketiga uraian bagian
Ketuhanan
MATERI
KEMANUSIA AN
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
127
otak manusia, dapat disimpulkan bahwa
manusia pada hakikinya memiliki nafsu,
perasaan dan logika (akal) sebagai anugerah
dari Tuhan YME. Artinya hakikat manusia
yang mencerminkan manusia Pancasilais
adalah manusia yang mampu menggunakan
logika serta kesadaran spiritualnya untuk
mengatur secara bijaksana elemen nafsu dan
perasaan yang ada didirinya. Implikasinya
adalah keberadaan materi sebagai perwujudan
dari nafsu dan sisi social antar manusia
sebagai perwujudan perasaan adalah dibawah
kendali logika dan kesadaran spiritual. Inilah
wujud dari manusia yang bertuhan.
Hakikat manusia yang bertuhan inilah yang
sesuai dengan prinsip sistem ekonomi pancasila.
Dalam hal ini, prinsip gotong royong sebagai cara
untuk mencapai kesejahteraan materi dan batin
dapat dicapai dengan kesadaran manusia yang
bertuhan. Kesadaran inilah yang menumbuhkan
sifat-sifat mulia seperti kepedulian antar sesama.
Sehingga pada akhirnya manusia-manusia yang
saling peduli satu sama lain akan bahumembahu
bekerjasama untuk mendahulukan kepentingan
bersama diatas kepentingan pribadi.
Tahapan Jiwa Gotong Royong
Berdasarkan kajian ontologis sistem
ekonomi pancasila dari definisi otak manusia,
dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi
pancasila merupakan sistem yang diatur oleh
manusia yang bertuhan dengan mengedepankan
sifat kepedulian antar sesama umat manusia tanpa
kecuali untuk mencapai tujuan bersama melalui
gotong royong.
3. Ketahanan Ekonomi Indonesia dengan
Sistem Ekonomi Pancasila
Secara ontologis ketahanan ekonomi
merupakan gabungan dari hakikat ketahanan dan
ekonomi. Dalam hal ini sistem ekonomi yang
kita bahas sebelumnya adalah sistem ekonomi
pancasila. Sehingga ketahanan ekonomi yang
dimaksud haruslah sesuai dengan nilai-nilai
ekonomi pancasila.
Hakekat dari ketahanan adalah daya
atau kemampuan untuk menjaga kestabilan
saat terjadi gangguan baik dari dalam maupun
dari luar. Kestabilan mengandung makna
terdapat dua unsur yang dijaga agar tidak
terjadi instabilitas. Hal ini sesuai dengan
prinsip ekonomi pancasila yang secara
ontologis terdiri dari dua unsur, yakni jasmani
(materi) dan rohani (batiniah). Artinya
kehebatan atau ketangguhan suatu negara dari
sisi fisik (materi) pasti juga menimbulkan
celah jika tidak diimbangi dengan kekuatan
non-fisik. Kekuatan non-fisik inilah yang
menjadi perbedaan dalam menjelaskan
ketahanan ekonomi Indonesia dengan
landasan ekonomi pancasila. Kekuatan non-
fisik ini disebut soft skill ekonomi.
Stabilitas ini tidak hanya berlaku pada
aspek makro ekonomi (negara), namun juga
stabilitas mikro (individu) menjadi pondasi
penting bagi ketahanan ekonomi di Indonesia.
Oleh karenanya ketahanan ekonomi di
Indonesia terdiri dari kajian ketahanan
ekonomi individu (mikro) dan ketahanan
ekonomi negara (makro).
3.1. Ketahanan Ekonomi Mikro
Hasil kajian menggambarkan
ketahanan ekonomi pancasila merupakan
cerminan ketahanan individu sebagai
perwujudan manusia yang bertuhan.
Ketahanan ekonomi pancasila merupakan
suatu konsep yang mempertimbangkan
keseimbangan atau stabilitas kebutuhan
jasmani dan rohani. Stabilitas ekonomi
individu merupakan cerminan stabilitas
ekonomi suatu negara.
Sehingga dalam perspektif ketahanan
ekonomi Indonesia, dapat didefinisikan
Kesadaran menjadi manusia
yang bertuhan
Kepeduli an
Gotong Royong
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
128
ketahanan ekonomi individu secara mikro
adalah kemampuan individu untuk menjaga
stabititas atau keseimbangan kebutuhan
jasmani dan kebutuhan rohani (batiniah). Jika
terdapat kelebihan pemenuhan kebutuhan
salah satu aspek tersebut maka akan terjadi
ketimpangan. Hal inilah yang akan
menimbulkan perilakuperilaku manusia yang
melenceng dari hakikatnya sebagai manusia.
Contohnya perilaku korupsi, merupakan
cerminan ketimpangan kebutuhan jasmani dan
rohani. Karena orang yang melakukan tindak
korupsi selalu merasa dirinya kurang secara
materi, walaupun pada kenyataannya memiliki
nominal yang berlebih. Hal ini terjadi karena
kurang terpenuhinya kebutuhan rohani
sebagai wujud hubungan spiritual kepada
Tuhan YME dalam menjalankan perintahnya.
Artinya tidak adanya sikap bersyukur yang
merupakan wujud kebutuhan rohani dalam
memandang materi yang diperolehnya. Atau
kurangnya penyadaran diri bahwa harta dan
kekayaan merupakan anugerah Tuhan YME
dan terdapat hak orang lain untuk dikeluarkan,
bukan berasal dari usaha diri sendiri.
Sehingga dalam perspektif ketahanan
ekonomi mikro, dibutuhkan formula untuk
menjaga kestabilan individu dalam mengatur
kebutuhan jasmani (materi) dan rohani
(batiniah). Formula yang dimaksud adalah nilai
kepedulian yang tercermin dalam ekonomi
pancasila. Dimana jika setiap individu memiliki
rasa kepedulian antar sesama, maka setiap
tindakannya akan selalu memikirkan dampaknya
bagi individu lainnya. Artinya terdapat self
control di dalam diri karena adanya dominasi
akal (neo-cortex) yang mengatur R-kompleks
dan Lymbic.
Implementasinya secara matematis,
kesejahteraan individu ditentukan tidak hanya
bersumber dari diri sendiri, namun menjadi
kebermanfaatan bagi orang lain juga merupakan
sumber kesejahteraan. Sehingga kebutuhan
individu akan selalu terkontrol dengan baik,
tidak hanya memikirkan keluarga, namun juga
lingkungan dan masyarakat secara luas.
3.2. Ketahanan Ekonomi Makro
Dalam aspek makro, ketahanan ekonomi
yang dimaksud adalah ketahanan ekonomi
Nasional. Sesuai dengan hakikat ekonomi
pancasila secara makro (UUD 1945), maka
ketahanan ekonomi nasional merupakan
kekuatan atau ketangguhan negara dalam
menjaga stabilitas ekonomi guna mewujudkan
kemakmuran masyarakat lahir dan batin bagi
seluruh rakyat tanpa kecuali. Stabilitas yang
dimaksud dalam menjaga keseimbangan antara
pemerataan dan pertumbuhan ekonomi. Artinya
pertumbuhan ekonomi yang dimaksud
merupakan pertumbuhan ekonomi yang merata.
Hal ini sekaligus menunjukkan dengan adanya
pertumbuhan yang merata merefleksikan
tercapainya keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Sistem ekonomi pancasila menghendaki
adanya nilai kekeluargaan, kemandirian,
kebersamaan dan ketuhanan dalam mengelola
ekonomi negara menjadi kuat dan tangguh dalam
menghadapi segala tantangan, ancaman dan
hambatan baik berasal dari dalam maupun luar
negeri. Nilai-nilai tersebut terkristalisasi menjadi
satu nilai yakni GOTONG ROYONG.
Artinya ekonomi yang tangguh dilakukan
secara bersama-sama di atas kaki sendiri atau
mandiri. Oleh karenanya perlu melibatkan
seluruh elemen yang ada di masyarakat untuk
bahu membahu mewujudkan cita-cita negara
tersebut. Artinya peran pemerintah adalah
PEMERSATU antar lapisanlapisan yang ada di
masyarakat untuk menghadapi segala tantangan,
hambatan dan ancaman yang sifatnya dinamis.
4. Simpulan
Hakekat sistem ekonomi Pancasila
sebagai landasan ketahanan ekonomi Indonesia
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
129
dalam perspektif filsafat ilmu terdiri dari tiga
kategori :
1. Secara makro, definisi sistem ekonomi
pancasila dijelaskan dalam UUD Pasal 33 ayat
1 sampai 5, yang hakikatnya terdiri dari dua
unsur (dualism) dalam mendefinisikan
kesejahteraan, yakni materi (lahir) dan batin
(rohani) yang harus dicapai secara merata
melalui Gotong Royong.
2. Secara mikro ekonomi, mendefinisikan
manusia dalam system ekonomi Pancasila
adalah manusia yang bertuhan yang dijelaskan
melalui komponen otak manusia, yakni
neocortex yang menggambarkan suatu
kesadaran setiap individu dalam berperilaku
sebagai manusia yang bertuhan. Dalam hal ini
perilaku manusia bersifat welas asih yang
diimplementasikan dengan sikap peduli atau
yang lebih dikenal dengan gotong royong.
3. Secara harafiah, hakikat ekonomi Pancasila
terdiri dari filsafat ekonomi dan filsafat
Pancasila. Ekonomi mencerminkan
kebutuhan hidup manusia (rumah tangga
individu, keluarga, dan negara), sedangkan
Pancasila merupakan representative dari unsur
manusia yang bertuhan. Sehingga system
ekonomi Pancasila merupakan suatu system
pengelolaan rumahtangga (materi) oleh
manusia yang bertuhan (mengedepankan
akal).
4. Sistem ekonomi Pancasila sebagai landasan
ketahanan ekonomi Indonesia mampu
menjelaskan kekuatan atau ketangguhan
negara dalam menjaga stabilitas ekonomi
yang terdiri dari dua unsur yakni soft skill
ekonomi dan hard skill ekonomi baik dalam
aspek mikro maupun makro ekonomi. Kedua
kekuatan tersebut bertujuan untuk
mewujudkan kemakmuran lahir dan batin bagi
seluruh rakyat tanpa kecuali dengan
pertumbuhan merata melalui Gotong Royong
Referensi
A, G. (2008). Abad Prahara : Ramalan
Kehancuran Ekonomi Dunia Abad
Ke21. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
A, P. (1981). Aspek Religius-Spiritual Dalam
Ekonomi Pancasila. In
Mubyarto&Boediono, Ekonomi
Pancasila (p. 84). Yogyakarta: Bagian
Penerbitan Fakultas Ekonomi UGM.
alkitab. (2006). Jakarta: Lembaga Alkitab
Indonesia.
BA, M. T. (2017). 2017 Index of Economic
Freedom. USA: Institute for Economic
Freedom, The Heritage Foundation.
Bahrum. (2013). Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi. Sulesana, Vol 8 No. 2 .
Bakhtiar, A. (2004). Filsafat Ilmu. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
Bawazier, F. (2017). Sistem Ekonomi Pancasila
: Memaknai Pasal 33 UUD 1945. Jurnal
Keamanan Nasional Vol III, No.2 .
Boediono, M. &. (1981). Ekonomi Pancasila.
Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas
Ekonomi UGM.
databoks.katadata.co.id. (2018, Januari 31).
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
(1961-
2018). Indonesia:
www.databoks.katadata.co.id.
E, S. (2013). Makes a Hero? Retrieved from
http://www2.centralcatholichs.com/cop
i
ed%20articles%20to%20review/Neuro/
what%20makes%20a%20hero%20DIS
C%20sept%2013.pdf.
Gwartney, J. (2009). Economic Freedom of The
World 2009 Annual Report. Economic
Freedom Network.
H, N. (1981). Karsa Membangun Ilmu
Ekonomi Pancasila. In
Mubyarto&Boediono, Ekonomi
Pancasila (p. 21). Yogyakarta: Bagian
Penerbitan Fakultas Ekonomi UGM.
Karimah, K. &. (2010). Filsafat dan Etika
Komunikasi, Aspek Ontologis,
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
130
Epistimologis dan Aksiologis dalam
Memandang Ilmu
Komunikasi.
Bandung: Widya Padjadjaran.
Lavinda. (2018, September 4). Rupiah Makin
Liar,Tembus Rp. 14.920 per Dolar AS.
Jakarta:
www.cnnindonesia.com/ekonomi/.
M, S. (2007). The Big Three in Economics :
Adam Smith, Karl Marx and John
Maynard Keynes. M.E. Sharpe Inc.
Maclean, P. (1990). The Triune Brain in
Evolution: Role in
Paleocerebral Functions. New
York: Plenum Press.
Mangunpranoto, K. (1981). Dasar Filsafat
Ekonomi Pancasila. In
Mubyarto&Budiono, Ekonomi
Pancasila (p. 17). Yogyakarta: Bagian
Penerbitan Fakultas Ekonomi UGM.
Maswinara, I. W. (2004). Rg. Veda Samhita.
Surabaya: Paramita.
Nasrullah, Y. (2007). Peran Filsafat Ilmu terhadap
Ilmu Ekonomi dan Pengembangan
Para Sarjananya.
UNISIA Vol XXX No 65 .
PH, S. (1981). Sekelumit tentang sistem ekonomi
pancasila ditinjau dari segi sosio-kultural.
In Mubyarto&Boediono, Ekonomi
Pancasila (p. 99). Yogyakarta: Bagian
Penerbitan Fakultas Ekonomi UGM.
Rahardjo, M. (1981). Mencari Pengertian
Tentang Pembangunan: Sudut
Pandangan Pancasila. In
Mubyarto&Boediono, Ekonomi
Pancasila (p. 49). Yogyakarta: Bagian
Penerbitan Fakultas Ekonomi UGM.
Rahardjo, M. (2009). Menuju
Sistem Perekonomian Indonesia. UNISIA
Vol XXXII No 72 .
RI, K. A. (2016). Al-Qur'an
dan Terjemahannya: dilengkapi
tajwid warna. Surabaya: CV. Rabita.
Sishu, K. (2012). Kitab Suci Agama
Khonghucu. Sala: Matakin.
Soemitro, R. (1983). Himpunan Kuliah : Pengantar
Ekonomi dan Ekonomi
Pancasila. Bandung: PT. Eresco Jakarta.
Sukarno. (2005). Dibawah Bendera Revolusi
Jilid Pertama Cetakan kelima. Jakarta:
Yayasan Bung Karno.
Swasono, S. (2009). Mengubah Pakem:
Kompetensi dan Integritas Sarjana
Ekonomi. Retrieved from
https://www.bappenas.go.id
Wulandari, D. (2014). Kebebasan Ekonomi di
Indonesia. JESP Vol 6 No 2 .
www.bbc.com. (2018, Agustus 14). Anjloknya
Lira Turki : Negara-negara berkembang
terdampak, sejauh apa pengaruhnya pada
Indonesia? Indonesia:
www.bbc.com/indonesia.
Yunus, H. (1981). Nasionalisme Dalam
Ekonomi Pancasila. In
Mubyarto&Boediono, Ekonomi
Pancasila (p. 113). Yogyakarta: Bagian
Penerbitan Fakultas Ekonomi UGM.
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..1, No.2, 2018
131
Ketahanan Bahasa Indonesia Di Era Milenial
Oom Rohmah Syamsudin6
Abstract
This brief study aims at discussing the current condition of the Indonesian language which is sadly demonstrating
signs of “deterioration”, as one of the consequences of the present social media assault. Ever more progress in the
advances of sophisticated science and technology has broken down the endurance of standard Indonesian as
demonstrated particularly by the millennial generation. This code mixing in language use is generally noticeable
in writing a mixture of Indonesian and English, a common practice among today’s young generation in Twitter,
Instagram and other social media. The use of elements of both language simultaniously, however, does not violate
linguistic rules of either language. Nevertheless, it should be borne in mind that language is a constantly changing
device, at the same time it represents the symbol of a country, signifying love, pride, respect, and above all: a
national identity of a country. These are features that should be instilled in the minds of the younger generation, in
order to ensure the preservation of the Indonesian language. Keywords: language endurance, millennial
generation.
Studi singkat ini bertujuan membahas kondisi bahasa Indonesia saat ini yang dengan sedih menunjukkan
tandatanda "kemunduran", sebagai salah satu konsekuensi dari serangan media sosial saat ini. Semakin banyak
kemajuan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih telah merobohkan daya tahan standar
Indonesia seperti yang ditunjukkan khususnya oleh generasi milenial. Pencampuran kode ini dalam penggunaan
bahasa umumnya terlihat dalam penulisan campuran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, sebuah praktik umum
di antara generasi muda saat ini di Twitter, Instagram dan media sosial lainnya. Penggunaan elemenelemen dari
kedua bahasa secara bersamaan, bagaimanapun, tidak melanggar aturan linguistik dari kedua bahasa tersebut.
Namun demikian, harus diingat bahwa bahasa adalah perangkat yang terus berubah, pada saat yang sama ia
mewakili simbol suatu negara, menandakan cinta, kebanggaan, rasa hormat, dan yang terutama: identitas nasional
suatu negara. Ini adalah fitur yang harus ditanamkan dalam pikiran generasi muda, untuk memastikan pelestarian
bahasa Indonesia. Kata kunci: daya tahan bahasa, generasi milenial.
Copyright © 2018 Jurnal Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia. All rights reserved
6 Dosen Pascasarjana Universitas Indrapasta PGRI Jakarta
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional Vol. 1, No.2, 2018
132
1. Pendahuluan
Akhir-akhir ini kita sering mendengar
pemakaian bahasa Indonesia terutama di media
sosial yang cenderung mengabaikan
kaidahkaidah bahasa Indonesia yang sudah
digariskan.
Seperti contoh di bawah ini :
Akun sandiaga Uno @sandiuno pernah
menulis: “Kita literally fine-fine aja kok. So,
please jangan ada lagi ya yang mengadu my
statement and kang Emil di media which is no
maksud to saling serang. Gimana kang
@ridwankamil, bahasanya udah cukup jaksel
belum ?”
Atau contoh yang ini :
@dudidab20098: “But I realized that
mother gara2 ah found I selembek this, this if
I’ve entered the world of work gimana ya.
Dimarahin little aja udah thought continues, and
also the annoyance of followup”.
Contoh-contoh di atas menunjukkan
“ketidakberdayaan” bahasa Indonesia dari
“gempuran” media sosial. Banyak penutur
bahasa Indonesia, terutama kaum muda,
menggunakan bahasa Indonesia yang
dicampur/diselipi kata-kata asing, dalam hal ini
bahasa Inggris. Proses percampuran bahasa ini
dalam Linguistik dikenal dengan code mixing
(Campur Kode), dimaksudkan untuk
memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa.
Termasuk di dalam code mixing ini adalah
pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan
sebagainya. Biasanya, campur kode terjadi bila
seorang penutur bahasa menguasai lebih dari satu
bahasa. Misalnya, dalam satu kalimat, seorang
penutur memakai bahasa Indonesia yang diselipi
kosa kata bahasa Inggris.
“Sekarang kan sudah jam 15.00, flight
kita kan jam 17.30, sementara kita harus
menempuh 200 km lagi untuk sampai airport
terdekat. What should we do ya… apa kita masih
bisa reschedule tiket, atau gimana yaaa…?”
Contoh kalimat di atas, memperlihatkan
code mixing, tapi masih dalam kesan positif, atau
masih “mengikuti” struktur kalimat basaha
Indonesia, walaupun diselipi dengan kata-kata
bahasa Inggris. Selain code mixing, dalam
linguistik juga dikenal adanya alih kode atau
code switching, yaitu satu percakapan yang
menggunakan lebih dari satu bahasa untuk
menyesuaikan diri dengan situasi percakapan.
Baik code mixing maupun code switching
keduanya bertujuan untuk memperlihatkan
“kekayaan” berbahasa dalam komunikasi sesuai
dengan situasi, dan dalam arti positif, atau
mengikuti kaidah yang berlaku. Tetapi bila kita
perhatikan kalimat pada contoh sebelumnya,
terutama pada kalimat :
“Dimarahin little aja udah thought
continues…” mungkin maksud dari kalimat itu
adalah “dimarahin sedikit saja sudah
dipikirin terus….” Tampak jelas,
kalimat tersebut menyalahi kaidah bahasa
Indonesia dan bahkan terkesan melecehkan
bahasa Indonesia, dengan penggunaan kosa kata
bahasa Inggris dalam struktur kalimat bahasa
Indonesia.
Proses “pelecehan” terhadap bahasa
Indonesia saat ini oleh penutur bahasa Indonesia
terjadi dengan sadar dan dengan sengaja,
terutama oleh kaum muda yang disebut generasi
Millenial. Kalimat-kalimat dengan campur kode
yang campur aduk ini banyak ditemukan di
media sosial, seperti Twitter, Facebook,
Instagram, dan lainnya. Pengguna bahasa tidak
lagi memperhatikan kaidah-kaidah bahasa
Indonesia yang telah digariskan, pemakaian kosa
kata pun sudah dicampuradukkan dengan kosa
kata bahasa Inggris yang (juga) tanpa
memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku
dalam bahasa Inggris. Bagi para pemerhati
bahasa dan bagi mereka yang perduli pada
bahasa Indonesia, pemakaian bahasa seperti pada
kalimat-kalimat di atas, membuat merinding,
kita seolah-olah menyaksikan kehancuran
bahasa Indonesia perlahan tapi pasti.
Berdasarkan fenomena tersebut, timbul
pertanyaan mengapa code mixing akhir-akhir ini
sering terjadi khususnya di kalangan muda? dan
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional Vol. 1, No.2, 2018
133
bagaimana mengatasi masalah code mixing agar
tidak terjadi kepunahan bahasa Indonesia?
2. Metode Penelitian
Pembahasan mengenai fenomena
pemakaian bahasa yang campur aduk seperti
contoh-contoh di atas, dan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan penelitian, akan dibahas
dengan menggunakan metode deskriptif.
Mengacu pada Sugiyono (2005), metode
deskriptif adalah suatu metode yang digunakan
untuk menggambarkan atau menganalisis suatu
hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk
membuat kesimpulan yang lebih luas.
Dalam penelitian ini, akan digambarkan
fenomena pemakaian code mixing khususnya di
kalangan muda, yang dikenal dengan generasi
Millennial, berdasarkan pemakaian bahasa,
terutama struktur dan diksi yang mereka
gunakan. Selanjutnya akan disimpulkan
bagaimana proses code mixing itu terjadi dan
pengaruhnya terhadap ketahanan bahasa
Indonesia.
3. Pembahasan
3.1. Era “Ketahanan” Bahasa Indonesia
Awal tahun 1980-an, ketika stasiun
televisi hanya satu dan media sosial belum
gencar seperti sekarang, bahasa Indonesia masih
dapat dikatakan “tahan”. Sesuai dengan sifatnya
yang dinamis, bahasa Indonesia juga banyak
menyerap kata-kata asing, baik dari bahasa
Inggris, Portugis, Prancis, dan bahasa Belanda.
Kata-kata serapan itu selanjutnya menjadi kosa
kata bahasa Indonesia dan digunakan dalam
kalimat sesuai dengan kaidahkaidah yang
berlaku. Mengacu pada pendapat seorang ahli
filsafat alam semesta dari Prancis, René Thom,
dalam Usman (2018:111) yang menyatakan
bahwa semua benda hidup atau mati mempunyai
7 Lengeh berasal dari bahasa Bali, yaitu sifat/tindakan
seseorang yang tidak mengindahkan aturan yang berlaku,
sifat keteraturan dan stabilitas dalam dirinya,
serta berpotensi untuk terjadi perubahan baik
secara perlahan-lahan (smooth) maupun secara
mendadak berubah. Demikian pula dengan
bahasa. Satu bahasa dikatakan tahan (resilience)
jika ada keteraturan dan stabilitas dalam bahasa
tersebut, walaupun juga mengandung potensi
untuk terjadinya keruntuhan atau bencana
(catastrophe).
Bahasa Indonesia saat ini, tengah
mengalami perubahan tersebut, bila dilihat dari
penggunaannya, seperti contoh-contoh kalimat
di atas, yang tidak lagi tunduk pada
kaidahkaidah bahasa, tidak ada keteraturan,
menyelipkan secara “suka-suka” kosa kata
bahasa Inggris yang juga tidak sesuai dengan
kaidahnya. Bila kesemrawutan ini dibiarkan
terjadi, maka bahasa Indonesia tidak akan
“tahan” (resilience), dan akan mengalami
“keruntuhan” (catastrophe). Pemakaian bahasa
yang campur-campur seperti dalam
contohcontoh di atas, adalah code mixing yang
menjurus pada kehancuran bahasa (language
destruction). Fenomena penggunaan bahasa
Indonesia campur-campur yang menjurus pada
kehancuran bahasa tersebut bisa saya sebut
sebagai Lengeh7: Pengguna bahasa secara sadar
dan sengaja menggunakan kosa kata
campurcampur, melakukan code mixing namun
justru merusak bahasa Indonesia, yang lambat
laun tanpa disadari akan menjurus pada
kepunahan bahasa (the death of a language). Di
sisi lain, pengguna bahasa campur-campur
tersebut, yang saya sebut sebagai kaum “lengeh”,
juga menunjukkan “kelas sosial” tertentu.
Mereka adalah kaum muda, yang biasa disebut
kaum Millenial, yang memiliki “bahasa” sendiri
dan umumnya “hidup di dunia maya”, melalui
media sosial. Kalangan muda atau kaum
Millenial ini merupakan substansi yang cukup
menentukan dalam upaya mempertahankan
bahasa dan juga regenerasi penutur bahasa.
walaupun orang tersebut mengetahui aturan, tetapi tetap
dilanggar.
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional Vol. 1, No.2, 2018
134
Kaum muda juga merupakan indikator utama
dalam proses transmisi bahasa antar generasi.
Keberlanjutan penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar di kalangan muda/generasi
Millenial akan menentukan pemertahanan
bahasa Indonesia.
3.2.Pemertahanan Bahasa Indonesia
Dalam sosiolinguistik, upaya untuk
mempertahankan penggunaan bahasa adalah
dengan cara pemertahanan bahasa. Konsep
pemertahanan bahasa lebih berkaitan dengan
prestise suatu bahasa di mata masyarakat
pendukungnya. Pemertahanan bahasa ini biasa
dilakukan oleh para imigran atau suatu kaum
yang berpindah dari satu lingkungan sosial dan
yang ingin mempertahankan bahasa asal
mereka, dengan cara menggunakannya di setiap
kesempatan, agar bahasa mereka tetap “ada”.
Contoh pemertahanan bahasa yang berhasil
misalnya imigran Prancis yang berada di
Kanada. Mereka beranak pinak, dari generasi ke
generasi tetap menggunakan bahasa Prancis,
dan menjadikan bahasa Prancis sebagai bahasa
nasional di Quebec, Kanada.
Lain halnya dengan fenomena yang
terjadi saat ini di Indonesia. Berdasarkan
penelusuran dari beberapa akun di media sosial
berupa Instagram, Twitter, WhatsApp, generasi
Millenial, justru tidak berusaha untuk
mempertahankan bahasa Indonesia sesuai
dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Mereka membuat “ragam” baru bahasa
campurcampur yang tidak sesuai dengan kaidah
bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, dan
mereka dengan sengaja melakukannya sebagai
identitas diri mereka, kaum Millenial yang saya
sebut kaum Lengeh. Pemakaian bahasa yanag
campur aduk tersebut justru menjatuhkan
identitas bangsa Indonesia yang menggunakan
bahasa Indonesia. Tidak ada kebanggaan akan
bahasa Indonesia bagi para pemakai bahasa
campur-campur tersebut. Ketahanan bahasa
Indonesia sedikit-demi sedikit hancur.
Sumarsono (1993:3) menjelaskan bahwa
faktorfaktor yang memengaruhi pemertahanan
bahasa Indonesia adalah kedwibahasawan atau
kemultibahasaan. Selain itu, industrialisasi
serta urbanisasi juga dipandang sebagai
penyebab utama bergeser atau punahnya sebuah
bahasa yang dapat berkait dengan keterpakaian
praktis sebuah bahasa, efisiensi bahasa,
mobilitas sosial, kemajuan ekonomi, dan
sebagainya. Faktor lain misalnya adalah jumlah
penutur, konsentrasi pemukiman dan
kepentingan politik. Perlu pula
dipertimbangkan bahwa faktor-faktor yang
turut memengaruhi ketahanan bahasa Indonesia
antara lain adalah usia, jenis kelamin, dan
intensitas/seringtidaknya kontak dengan bahasa
lain.
Pepatah mengatakan “Bahasa
menunjukkan bangsa”, bila penutur bahasa
Indonesia tidak lagi menggunakan bahasa sesuai
dengan kaidah bahasa Indonesia, bagaimana pula
dengan identitas mereka? Bila ingin
mempertahankan identitas bangsa Indonesia,
maka para penutur bahasa harus menentukan
sikap bahasa mereka (language attitude). Sikap
bahasa (Language Attitude) adalah posisi mental
atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau
bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197).
Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa
tidak jauh dari keadaan dan proses terbentuknya
sikap pada umumnya. Sebagaimana halnya
dengan sikap, maka sikap bahasa juga
merupakan peristiwa kejiwaan sehingga tidak
dapat diamati secara langsung. Sikap bahasa
dapat diamati melalui perilaku berbahasa atau
perilaku tutur. Namun dalam hal ini juga berlaku
ketentuan bahwa tidak setiap perilaku tutur
mencerminkan sikap bahasa. Demikian pula
sebaliknya, sikap bahasa tidak selamanya
tercermin dalam perilaku tutur. Satu hal yang
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional Vol. 1, No.2, 2018
135
penting adalah, setiap komponen bangsa harus
menunjukkan sikap, apakah akan tetap
menggunakan bahasa Indonesia sebagai identitas
bangsa, ataukah menggunakan bahasa Indonesia
kaum lengeh?
4. Simpulan
Code Mixing atau campur kode
akhirakhir ini sering digunakan oleh kaum
Millenial, karena pemakaian bahasa Indonesia
yang diselipi kata-kata berbahasa Inggris
membuat rasa percaya diri mereka lebih tinggi.
Pemakai code mixing dapat dianggap sebagai
orang berpendidikan tinggi karena “mengerti”
bahasa Inggris. Kaum Millenial sedikit banyak
pasti mengetahui kaidah-kaidah bahasa
Indonesia, namun dengan sengaja dilanggar,
karena itu, kaum Millenial pengguna code
mixing ini saya sebut sebagai kaum lengeh.
Proses code mixing ini terjadi juga
karena dorongan kaum Millenial, kaum lengeh
untuk “diakui” keberadaan mereka dalam
lingkup sosial masyarakat Indonesia. Dengan
mengabaikan latar belakang pendidikan,
siapapun yang ingin dianggap sebagai bagian
dari generasi Millenial ini, mereka akan
berusaha untuk menggunakan code mixing.
Ketahanan Bahasa Indonesia akan tetap
stabil bila seluruh komponen bangsa bersatu
padu, mempertahankan pemakaian bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Agar tidak
terjadi “kejatuhan”(catastrophe) berupa
kehancuran bahasa (languge destruction) dan
berujung pada kepunahan bahasa Indonesia (the
death of Indonesian language), alangkah
baiknya apabila penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar tetap diterapkan terutama
di sekolah-sekolah, sejak sekolah dasar, hingga
perguruan tinggi serta di kantor-kantor
pemerintah maupun swasta. Bila akan
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia,
selesaikan dalam bahasa Indonesia, perhatikan
struktur kalimat, diksi, dan aturan-aturan yang
berlaku dalam bahasa Indonesia. Demikian
pula, bila penutur akan menggunakan bahasa
Inggris, maka gunakan bahasa Inggris dari awal
hingga akhir kalimat, sesuai kaidah yang
berlaku dalam bahasa Inggris, jangan lagi
dicampuradukkan. Pemakaian code mixing
harus dihentikan karena akan menuju pada
kepunahan bahasa Indonesia (the death of
Indonesian language).
Referensi
Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Linguistik Suatu
Pengantar. Bandung: Angkasa.
Chaer, Abdul, dkk. (2004). Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistics of
Society. Oxford: Basil Blackwell.
Fishman, Joshua A. (1971). The Sociology of
Language. Rowley.
Massachussetts: Newburry.
Holmes, Janet. (1992). An Introduction to
Sociolinguistic. New York. Longman.
Kridalaksana, Harimurti. (1993). Kamus
Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.House.
Sumarsono dan Paina Partana. (2002).
Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Sugiyono. (2005). Metode Penelitian
Administrasi. Bandung: Alfabeta.
Usman, Wan. Prof.Dr. (2018). Bunga Rampai
Ketahanan Nasional. Jakarta: Universitas
Indonesia, Sekolah Kajian Stratejik dan
Global
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
136
Kajian Strategi dan Global :
Strategi Keamanan Nasional
Koesnadi Kardi8
Abstract
National Security Strategy is a vast subject involving a daunting array of interrelated subelements woven in
intricate, sometimes vague, and ever-changing patterns. Its processes are often irregular and confusing and always
based on difficult decisions laden with serious risks. In short, it is a subject undestood by few and confusing to
most. It is, at the same time, a subject of everwhelming important to the fate of civilization itself. Col. Dennis M.
Drew and Dr. Donald M have done a considerable service by drawing together many of the diverse threads of
national security strategy into a coherent whole. They consider political and military strategy elements as part of
a larger decision making process influenced by economic, technological, cutural, and historical factors. We know
of no other recent volume that addresses the entire nationalm security milieu in such a logical manner and yet also
manages to address current concerns so thoroughly. It is equally remarkable that they have addressed so many
contentious problems in such an evenhanded manner. We are convinced that experienced practitioners in ther field
of national security strategy would benefit greatly from a closed examination of this excellent book. Keywords :
Strategy, National Security
Strategi Keamanan Nasional adalah subjek yang luas yang melibatkan berbagai subelemen yang saling terkait yang
dijalin dalam pola yang rumit, kadang samar, dan selalu berubah. Prosesnya seringkali tidak teratur dan
membingungkan dan selalu didasarkan pada keputusan sulit yang sarat dengan risiko serius. Singkatnya, ini adalah
subjek yang kurang dipahami oleh sedikit orang dan membingungkan bagi kebanyakan orang. Ini, pada saat yang
sama, merupakan subjek yang sangat penting bagi nasib peradaban itu sendiri. Kolonel Dennis M. Drew dan Dr. Donald M telah melakukan pelayanan yang cukup besar dengan menyatukan
banyak rangkaian strategi keamanan nasional yang beragam menjadi satu kesatuan yang koheren. Mereka
menganggap elemen strategi politik dan militer sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan yang lebih besar
dipengaruhi oleh faktor ekonomi, teknologi, cutural, dan historis. Kami tahu tidak ada volume baru-baru ini yang
membahas seluruh lingkungan keamanan nasional dengan cara yang logis dan juga mengelola untuk mengatasi
masalah saat ini dengan sangat teliti. Sungguh luar biasa bahwa mereka telah mengatasi begitu banyak masalah
yang diperdebatkan sedemikian rupa. Kami yakin bahwa praktisi yang berpengalaman dalam bidang strategi
keamanan nasional akan mendapat manfaat besar dari pemeriksaan tertutup terhadap buku yang luar biasa ini
Copyright © 2018 Jurnal Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia. All rights reserved
8 Dosen Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, SKSG Universitas Indonesia.
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
137
1. Pendahuluan
Keamanan Nasional adalah suatu
keadaan yang amat sangat penting bagi suatu
negara, karena tidak mungkin suatu negara
dapat mencapai tujuannya tanpa mencapai
Keamanan Nasional (KAMNAS) terlebih
dahulu. Sedangkan Strategi KAMNAS adalah
cara untuk mewujudkan KAMNAS itu sendiri.
KAMNAS adalah suatu kondisi dimana
merupakan pre-requisite yang harus dicapai
terlebih dahulu sebelum Tujuan Nasional dapat
diwujudkan. Bagi suatu negara, KAMNAS
merupakan suatu keharusan yang harus
diwujudkan terlebih dahulu. Jadi begitu
pentingnya KAMNAS bagi suatu negara,
KAMNAS merupaka kondisi yang aman dalam
arti terbebas dari segalam macam ancaman,
baik yang datang dari dalam negeri maupun dari
luar negeri. National Security is free from
internal and external threat.
National Security Strategy (Strategi
Keamanan Nasional) adalah strategi yang amat
penting bagi suatu negara, karena akan
menentukan keamanan suatu negara dalam
menghadapi segala macam tantangan dan
ancaman, baik yang datang dari luar negeri
maupun dari dalam negeri. Strategi KAMNAS
ini disarikan dari buku tulisan Colonel Dennis
M.Drew dan Dr. Donald M Snow yang berjudul
“Making Strategy” yang ditulis selama 7
(tujuh) tahun lamanya, termasuh penelitian dan
pembahasan yang tidak mengenal lelah.
Colonel M. Drew awalnya menulis dengan
judul “Pengenalan Strategi” yang diajarkan di
Air Force Academy, Alabama, USA. Jabatan
Colonel M. Drew pada waktu itu sebagai
Direktur Institut Penelitian tentang Air Power
di Air Force Academy, Alabama. Sedangkan
Dr. Donald M Snow adalah seorang Profesor
Ilmu Politik di Departmen Ilmu Politik Air
Force Academy, Alabama. Buku tersebut
kemudian dialihbahasakan olek Dr. Koesnadi
Kardi, M.Sc, RCDS pada waktu menjabat
sebagai KABADIKLAT (Kepala Badan
Pendidikan dan Latihan Kementeria Pertahanan
pada bulan Desember 2004.
Setelah 7 tahun buku tersebut akhirnya
dinyatakan selesai dan diberi judul “MAKING
STRATEGY – An Introduction to National
Security Process and its problems” - 1988.
Buku tersebut tidak hanya diajarkan di Air
Force Academy saja, namun juga diajarkan di
Military Academy, West Point dan di Lembaga
Pendidikan lainnya di USA. Sa’at ini buku
tersebut selain diajarkan di SESKO AU di
Lembang, Bandung, di SESKO TNI di
Bandung, juga diajarkan di Strategi Ketahanan
Nasional (TANNAS) pada proram S-2 di UI
Salemba, Jakarta. Begitu pentingnya
Keamanan Nasional (KAMNAS) bagi bangsa
Indonesia, walaupun Indonesia masih awam
dengan pemahaman tentang KAMNAS, karena
belum diundangkan oleh pemerintahna kita,
padahal hampir semua negara di dunia memiliki
National Security Act (setara dengan UU
KAMNAS), sebagai undang-undangnya untuk
mewujudkan KAMNAS.
Namun dalam dunis akademisi, pelajaran
ini perlu sekali diperkenalkan dan dipelajari
terutama di kalangan akademisi generasi muda
sebagai generasi penerus yang nantinya ikut
bertanggung jawab mewujudkan keamanan
nasional suatu negara dan sebagai calon
pemimpin di masa depan.
2. Proses Strategi
Definisi strategi yang paling sederhana
adalah sebuah rencana kegiatan yang mengatur
segala upaya untuk mencapai suatu tujuan.
Kemudian strategi tersebut berkembang
sehingga definisi strategi menjadi seni militer
yang paling mendasar dan paling sulit dari
kegiatan militer. Pada era Perang Modern, akan
lebih akurat dengan menggambakan secara lebih
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
138
jelas, apabila memahami strategi sebagai suatu
proses pembuatan keputusan yang rumit dalam
menghubungkan antara tujuan dan cara-cara,
serta sarana untuk mencapai suatu tujuan. Pada
zaman raja-raja (yang berasal dari prajurit yang
paling pemberani, seperti Frederick Agung dan
Napoleon), keputusan-keputusan yang
diperlukan untuk membuat strategi seringkali
hanya dibuat sendiri, karena masalahnya masih
sangat sederhana.
Mulai dari arah haluan politik negara
yang paling luas sampai ke taktik tempur di
lapangan yang paling mendetail. Mereka
menguasai sebagian besar garis vertikal struktur
komando negara sejak mereka menjadi seorang
prajurit sampai menjadi pemimpin suatu negara
dan sekaligus Panglima di medan tempur.
Namun kompleksitas-nya dalam konteks
modern benar-benar telah mengeliminasi
kemungkinan seseorang memiliki kemampuan
menguasai seluruh tingkat dan aspek suatu
keadaan. Dengan runtuhnya monarki absolut
(termasuk raja-raja yang pemberani dalam
sistem internasioan telah berdampak tidak
seorangpun yang akan mampu menjalankan
wewenang yang begitu amat rumit dan
menyeluruh, terutama dalam sistem demokrasi.
Akibatnya strategi pada era sekarang, dibuat
oleh orang-orang atau kelompok yang berbeda,
dengan perspektif yang berbeda, dan dengan
level otoritas yang berbeda pula. Sehingga
dalam pembuatan suatu strategi, terdiri dari
banyak orang, dan banyak ahli. Sehingga
hasilnya akan lebih sempurna karena dari
beberapa aspek analisa yang dibuatnya.
3. Strategi Keamanan Nasional (KAMNAS)
Permasahan pokok dari Strategi
KAMNAS adalah adanya rangkaian ancaman
militer yang harus dihadapi oleh suatu bangsa.
Dengan demikian yang akan dihadapi adalah
berkaitan dengan “Manajemen Resiko” dengan
tujuan utama adalah untuk memperkecil resiko
seminimum mungkin, dengan rumusan sebagai
berikut: “Ancaman – Kemampuan = Resiko”
atau “Threat – Capability = Risk” . Artinya
suatu kesenjangan dalam menghadapi suatu
ancaman. Apabila ada kesen- jangan antara
ancaman atau calon ancaman terhadap
keamanan kita. Apabila ancaman tersebut
dapat dihadapi dengan Sumber Daya Manusia,
materail yang ada, dan tekad yang disepakati
bersama, maka resiko akan dapat diperkecil.
Namun apabila yang terjadi kesenjangan antara
besarnya ancaman dengan kemampuan kita
dalam menghadapi ancaman, maka
kesenjangan tersebut merupaka resiko yang
harus kita hadapi. Dalam kondisi yang ideal,
mengukur besar kecilnya resiko dan mengelola
resiko adalah bukan merupakan masalah kecil.
Namun demikian, kita harus membuat daftar
semua jenis ancaman yang kemungkinan ada
dan yang sangat mungkin terjadi terhadap
KAMNAS. Kita tinggal mengalokasikan
Sumber Daya Nasional yang ada untuk
meniadakan ancaman dan dengan demikian kita
akan dapat menekan semua resiko yang
mungkin timbul.
Namun dalam kondisi nyata, meniadakan
seluruh ancaman yang ada merupakan hal yang
tidak mungkin dilaksanakan karena dua alasan,
pertama karena tidak adaya kesepakatan diantara
para pembuat kebijakan, ancaman yang mana
yang perlu diperkecil dan sampai level apa.
Yang kedua, dalam menentukan batasan
ancaman dan menetapkan sarana apa yang tepat
digunakan untuk menghadapi ancaman, selalu
ada masalah (ketidak sepahaman). Negara
Amerika Serikat yang banyak ahli strategi dan
super kuat-pun, dalam hal ini selalu menghapi
masalah. Adapun kendala lain adalah tentang
Sumber Daya Nasional apa yang tersedia untuk
meghadapi ancaman. Belum lagi masalah
hutang negara yang boleh dikatakan tidak kecil,
dan jumlah anggaran untuk
membiayai/memperkuat sektor pertahanan.
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
139
4. Proses Strategi Modern
Baik dari segi teori maupun praktek yang
sukses, paling tidak terdiri dari 5 (lima) langkah
dari keputusan fundamental yang saling terkait
dan berurutan yang merumuskan definisi
strategi.dari yang bertujaun nasional sampai
dengan masalah tempur di lapangan. Dari
kesemuanya itu terdapat 3 langkah pengambilan
keputusan lain yang kita kenal dengan istilah :
a. Strategi Raya,
b. Strategi Militer, dan
c. Strategi Operasional.
4.1. Langkah (1)- Menentukan Tujuan
Keamanan Nasional
Sama sulitnya antara menembak tanpa
sasaran dengan menyusun rencana kegiatan
tanpa mengetahui tujuan rencananya. Tugas
pertama seorang pakar strategi adalah
meumuskan tujuan Keamanan Nasional yang
menjadi dasar dari proses strategi. Manakala
tujuan tersebut keliru dirumuskan, atau tidak
konsisten, atau tidak mendapat dukungan dari
penuh dari konsesus nasional, maka peran dari
pakar strategi akan menghadapi kesulitan.
Sebagai ilustrasi yang baik, kita ambil
contoh tujuan AS dalam Perang Dunia yang ke
II, selain konsisten, juga mendapat dukungan
luas dari publik AS. Itulah sebabnya pada sa’at
menyerang Jerman, tidak banyak masalah dan
akhirnya berhasil mengalahkan
Jerman.
Sebaliknya yang terjadi pada sa’at menyerang
Vietnam, yang jaraknya lebih dari 10.000 di
seberang Samudera Pasific (setelah dijajah
Perancis), tujuannya kurang dikomunikasikan
dengan rakyat AS dan akhirnya banyak rakyat
AS yang tidak yakin akan pentingnya AS
menyerang Vietnam. Alhasil tidak mendapat
dukungan luas dari masyarakat AS dan juga
Konggres AS. Akibatnya tidak mendapat
dukungan dana dari Konggres AS dan
merosotnya dukungan publik yang berakibat
kekalahan perang yang memalukan.
Pengalaman yang sangat berharga, baik pada
waktu perang Korea maupun perang Vietnam,
adalah dengan menentukan Tujuan Keamanan
Nasional terlebih dahulu yang pertama, baru
membuat strateginya kemudian. Pada kedua
perang tersebut AS mengalami kekalahan
perang yang memalukan.
4.2. Langkah (2) – Merumuskan Strategi
Raya
Setelah mengidentifikasi dan
merumuskan Tujuan Nasional, para pakar
strategi harus menentukan paralatan Kekuatan
Nasional yang dibutuhkan untuk dapat mencapai
Tujuan Nasional. Selanjutnya menjabarkan
bagaimana peralatan tersebut akan digunakan.
Strategi Raya adalah merupakan seni dan ilmu
untuk mengkoordinir suatu pembinaan dan
penggunaan peralatanperalatan nasional dalam
rangka upaya mencapai tujuan Keamanan
Nasional. Para ilmuan politik sering
menggunakan istilah kebijakan sebagai
pengganti istilah Strategi
Raya. Kita perlu memahami bahwa penggunaan
istilah strategi raya mencakup penggunan
seluruh peralatan Kekuatan Nasional (seperti
kekuatan dalam bidang ekonomi, politik, dan
milter) dan yang paling penting adalah peng-
koordinasian peralatanperalatan tersebut untuk
mencapai Tujuan Nasional. Tanpa koordinasi
yang baik kemungkinan kerjanya akan tidak
produktif dan tidak efisien. .
Strategi Raya merupakan gabungan
antara kekuatan non-militer (bidang ekonomi
dan politik) dan kekuatan militer sementara
kekuatan tersebut saling mempengaruhi satu
sama lain. Strategi Raya menjadi acuan yang
pertama karena penggunaan kekuatan militer
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
140
adalah berhubungan erat dengan Hubungan
Internasional. Dalam perang Konvional yang
berskala besar dalam kurun waktu yang cukup
lama, peralatan non-militer (ekonomi dan
politik) harus dimobilisasi terlebih dahulu untuk
mendukung kekuatan militer dalam
menyelenggarakan perang.
4.3. Langkah (3) – Mengembangkan Strategi
Militer
Setelah memilih peralatan Kekuatan
Nasional, sehingga memadai,
kemudian menentukan peran dan misi. para
Pakar Strategi selanjutnya akan
memusatkan perhatian mereka pada strategi
khusus untuk setiap peralatan yang dipilih.
Strategi Militer
adalah sebuah seni dan ilmu
dalam mengkoordinasikan pembinaan,
penggelaran, dan penggunaan kekuatan militer
dalam rangka mencapai tujuan Keamanan
Nasional. Definisi tersebut mencakup empat
istilah yang sangat penting. Kita perlu sepaham
bahwa pembinaan dan penggelaran tidak selalu
berkaitan dengan operasi militer. Namun
koordinasi merupakan istilah terpenting dalam
istilah ini. Pada masa lalu sering terjadi
penyiapan dan penggelaran kekuatan militer
tidak sesuai dengan kebutuhan penggunaan.
Contoh yang jelas, yaitu sebelum perang Dunia
II, dibuatlah parit statis yang membentuk Garis
Maginot sepanjang perbatasan antara Perancis
dan Jerman yang memakan biaya sangat mahal,
yang dimaksudkan untuk pertahanan Perancis.
Namun yang terjadi, biaya yang sangat
tinggi tersebut menjadi sia-sia. Karena pasukan
Jerman yang terkenal sangat mobil, mampu
menghindari parit Maginot dan berhasil masuk
ke Perancis ke daerah/wilayah belakang
sehingga membuat parit Maginot yang sangat
mahal tersebut tidak banyak manfa’atnya dan
pasukan pertahanan Perancis menajdi tidak
berdaya. Akhirnya Perancis terlambat
menyadari adanya revolusi mobilitas biaya
mahal yang seharusnya bisa untuk
memodernisir persenjataan menjadi sia-sia.
Akhirnya Perancis gagal mempersiapkan diri
untuk menghadapi perang dengan Jerman yang
menggunakan manuver-manuver cepat,
sehingga akhirnya Jerman yang menang.
4.4. Langkah (4) – Merancang Strategi
Operasi
Strategi Militer adalah menentukan
suatu proses kegiatan-kegiatan yang diperlukan
untuk pembinaan struktur kekuatan militer
(seperti perencanaan, pengadaan sistem
persenjataan dan material, serta pengadaan
personil, pelatihan militer, dan perawatan
personil serta mengerahkan struktur kekuatan
militer. Kegiatan-kegiatan ini harus
diselenggarajkan berdasarkan konsep yang
komprehensif tentang bagaimana kekuatann
militer ini akan digunakan dalam rangka
memenuhi peran dan misi yang telah ditetapkan
dalam Strategi Raya.
Strategi Militer mencakup ruang lingkup
yang luas, sedangkan Strategi Operasi mencakup
ruang lingkup yang lebih sempit dan spesifik.
Strategi Operasi menggunakan kekuatan yang
telah disiapkan oleh Stratregi Militer. Sehingga
difinisi Strategi Operasi menjadi sebagai seni
dan ilmu dalam merencanakan,
mengkoordinasikan, dan mengendalikan
pertempuran militer dalam sebuah mandala
operasi dalam rangka mencapai Tujuan
Nasional.
Contohnya, yang paling terkenal adalah
pertempuran udara pada Perang Vietnam. Yaitu
pada Kampanye Pengeboman yang disebut
Linebacker II, yaitu sebagai Kampanye
Pengeboman 11 hari pada akhir 1972.
Kampanye Militer tersebut memiliki tujuan
politis tertentu. Kampanye tersebut terdiri dari
operasi-operasi harian yang terpisah-pisah,
namun memiliki tujuan masing-masing dan
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
141
setiap operasi merupakan kumpulan
pertempuran yang melibatkan rudal darat ke
udara, artileri pesawat udara yang kesemuanya
tergabung dalam gelombang pesawat bomber
USA dan pesawat pendukung. Kejadian tersebut
sama halnya pada sa’at perang Teluk, sa’at
pesawat tempur koalisi menyerang Irak. Jadi
Kampanye Militer boleh dikatakan merupakan
kunci dari Strategi Militer.
Kampanye Militer terdiri atas rangkaian
operasi militer yang saling terkait, yang setiap
operasi melibatkan beberapa pertempuran yang
digabungkan bersama-sama untuk mencapai satu
tujuan tertentu. Di Vietnam, militer Amerika
Serikat memperoleh kemenangan dalam
pertempuran, namun sedikit mudaratnya karena
tidak mendapat dukungan secara nasional
sehingga akhirnya Amerika Serikat kalah dalam
perang dengan Vietnam secara keseluruhan.
4.5. Langkah (5) – Merumuskan strategi
Medan Tempur/ Taktis
Meskipun sudah ada tujuan nasional yang
jelas dan realistis, strategi raya terkoordinasikan
dengan baik, strategi militernya sudah tepat, dan
strategi operasionalnya juga dirancang dengan
baik, namun sebuah negara masih bisa kalah
dalam perang. Dengan demikian langkah
mendasar dari proses strategi yang terakhir, yaitu
merumukan dan melaksanakan strategi di medan
tempur itu sendiri yang dikenal dengan taktik,
yang paling menentukan dalam pertempuran.
Pengertian dari Strategi Medan Tempur adalah
merupakan seni dan ilmu menggunakan
kekuatan di medan tempur untuk mencapai
Tujuan Keamanan Nasional.
Perbedaan mendasar bahwa Taktik
adalah mengendalikan penggunaan kekuatan din
medan tempur, sedangkan strategi raya, strategi
militer, dan strategi operasi membawa kekuatan
ke medan tempur. Contoh yang sangat baik
tentang pentingnya Taktik yang benar adalah
pada sa’at Perang Dunia ke II. Pada sa’at
Amerika Serikat melakukan pengeboman tanpa
pengawalan di Jerman, dengan menggunakan
pesawat pengebom secara akurat pada siang hari.
Sehingga terjadi suatu yang tidak diharapkan,
karena banyak pesawat pembom yang jatuh
karena dihadang pesawat penyergab Jerman di
Schweinfur pada tahun 1943, akhirnya memaksa
para Penerbang Amerika Serikat menunda
operasi jauh ke wilayah Jerman sampai Amerika
Serikat mampu memproduksi pesawat-pesawat
pengawal jarak jauh yang baik. Amerika Serikat
mengevaluasi kembali doktrinnya dan
mempebaiki kesalah taktik yang pernah
dilaksanakan. Hasil akhirnya Amerika Serikat
berhasil memenangkan perang dengan Jerman.
5. Pengaruh-Pengaruh Terhadap Proses
Strategi
kenyataannya tidaklah demikian. Kadang
bercampur menjadi satu, dari tujuan nasional
langsung ke taktik. Penulis menyebutnya sebagai
Taktik Raya, strategi tingkat rendah, dsb-nya.
Kedua, adanya alur yang berlawanan
atau sistem umpan balik di dalam proses strategi,
dimana Strategi Raya, Strategi Militer, Strategi
Operasi, dan Taktik ber-ubah-ubah. Ketiga,
banyak sekali faktor eksternal (jumlahnya tak
tehitung) yang membatasi dan membelokkan
alur lurus dari tujuan nasional ke taktik medan
tempur. Gambar 1 (di bawah ini), memotret
secara grafis proses strategi dan pengaruh dari
luar yang mendorong dan menarik proses
strategi.
Keempat, yang membuat proses strategi
menjadi rumit yaitu tentang-pertanyaan dimana
dan oleh siapa keputusan diambil didalam proses
itu sendiri. Siapa yang menetapkan tujuan-
tujuan nasional dalam ruang lingkup yang sangat
luas dan siapa yang menentukan Strategi Raya?
Siapakah yang memutuskan Dewan Keamanan
Nasional? Dan sebagaunya.
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
142
Keterangan Gambar :
Setelah Tujuan Nasional disepakati. Pada
kenyataannya terdapat empat faktor yang
membuat proses strategi menjadi rumit.
Pertama, langkah-langkah proses strategi
yang kelihatannya rapih, pada KAMNAS.
KAMNAS, dengan Strategi Raya, yang
didapatkan dari Kekuatan Nasional, baik dari
kekuatan pertahanan maupun dari kekuatan
lainnya (kekuatan dalam bidang Politik dan
kekuatan dalam bidang ekonomi). Dalam
memberi masukan kepada Strategi Militer,
banyak mendapat pengaruh dari aspek aspek
antara lain:
Pertama : adanya ancaman dan pengaruh
politik dari dalam negeri, ekonomi, kemajuan
dalam bidang teknologi, dan kondisi lingkungan
yang ada, Politik dalam negeri, situasi
Internasional, geografi, dan doktrin yang ada.
Kedua : Kepemimpinan pada sa’at itu,
budaya masyarakat yang ada, politik dalam
negeri, kondisi/situasi Internasional, dan
teknologi yang ada, serta lingkungan yang
mempengaruhi.
Referensi
National Security Policy and Economic
Stability. New Haven. CT: Yale
University Press. Institute of
International Studies, 1950.
Strategy and National Interest: Reflectionfor The
Future, New York National
Strategy Information Centre, 1971.
Bush Doctrine, National Security Strategy of
The United States, Washington DC; The
White House, September 2002:
http://www.whitehouse.gov/nsc/nss/pdf
Collin, Jhon M. Grand Strategy: Principle and
Practices Annpolis, MD:
Naval
InstitutePress, 1973.
Liddell Hart, BH. StrategyNew York. Meridian
Printing, 1991.
National Interest and National Strategy. “
InUnderstanding US Strategy: a
Reader,edited by Terry L. Hens.
Vance, Cyrus, Secretary of State.’ US Foreign
Policy: Our Broader Strategy” 27 March
1980. Departement of State, Current
Policy no. 153 Reprinted in case study:
National Security Policy,Departement of
National Security Affairs. Maxwell AFB.
AL: Air War College, 1980-1981
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
143
Pemodelan Sistem Dinamis Economy-Energy Dalam Pengurangan Emisi Co2 Dan Peningkatan Pdrb Untuk
Mkmeningkatkan Ketahanan Daerah Banten
Donny Yoesgiantoro9, Sumiati
Abstract Banten Province is one of the areas in Indonesia that has a similar characteristics. Although Banten has an
important role in regional and national economic growth, but the region is also included as a contributors of CO2
emissions and consume a substantial amounts of fossil energy. Areas like this endure two opposite sides. On one
side, economic growth as an important aspect of regional growth, on the other hand there is an tremendous increase
in CO2 emissions. government policies to reduce CO2 emissions can not be determined equally, although among
the Provinces have similar characteristics and their effects on global CO2 emissions. making a policy concerning
complex issues such as CO2 emission reduction require a dynamic system modeling with the EECP concept. Model
concept is made into Causal Loop Diagram using vensim software, then implemented to equation in Stock Flow
Diagram using Powersim software, then simulated and analyzed. In this study determined two policies as an effort
to reduce CO2 emissions that is the use of renewable energy scenarios and the implementation of the carbon tax.
The results show that the implementation of a carbon tax more than Rp.80.000, - will boost the interest of industry
Stakeholder shifting the use of fossil energy into renewable energy. Both policies can contribute Supressing CO2
emissions in Banten province, thereby providing the effect of CO2 emission reduction on global warming that
threatens the mandkind. Keywords: System Dynamics, policy, economy energy, Gross Domestic Regional Product, energy consumption,
CO2 emissions.
Provinsi Banten adalah salah satu daerah di Indonesia yang memiliki karakteristik serupa. Meskipun Banten
memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi regional dan nasional, tetapi wilayah ini juga dimasukkan
sebagai kontributor emisi CO2 dan mengkonsumsi sejumlah besar energi fosil. Daerah seperti ini memiliki dua
sisi yang berlawanan. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi sebagai aspek penting dari pertumbuhan regional, di sisi
lain ada peningkatan emisi CO2 yang luar biasa. kebijakan pemerintah untuk mengurangi emisi CO2 tidak dapat
ditentukan secara merata, walaupun di antara provinsi-provinsi tersebut memiliki karakteristik yang serupa dan
pengaruhnya terhadap emisi CO2 global. membuat kebijakan tentang masalah kompleks seperti pengurangan
emisi CO2 memerlukan pemodelan sistem yang dinamis dengan konsep EECP. Konsep model dibuat menjadi
Causal Loop Diagram menggunakan perangkat lunak vensim, kemudian diimplementasikan ke persamaan dalam
Stock Flow Diagram menggunakan perangkat lunak Powersim, kemudian disimulasikan dan dianalisis. Dalam
penelitian ini ditentukan dua kebijakan sebagai upaya untuk mengurangi emisi CO2 yaitu penggunaan skenario
energi terbarukan dan penerapan pajak karbon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pajak karbon lebih
dari Rp.80.000, - akan mendorong minat industri Pemangku kepentingan menggeser penggunaan energi fosil
menjadi energi terbarukan. Kedua kebijakan dapat berkontribusi untuk menekan emisi CO2 di provinsi Banten,
sehingga memberikan efek pengurangan emisi CO2 pada pemanasan global yang mengancam manusia. Kata kunci: Dinamika Sistem, kebijakan, energi ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto, konsumsi energi,
emisi CO2.
Copyright © 2018 Jurnal Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia. All rights reserved
9 Dosen Kebijakan Publik PKN Universitas Indonesia
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
144
1. Pendahuluan
Perubahan iklim global telah menjadi
topik perbincangan hangat negara- negara di
berbagai belahan dunia, tidak terkecuali
Indonesia. Perubahan iklim disebabkan adanya
perubahan pola hidup dan tuntutan kebutuhan
hidup manusia, terutama dalam penggunaan
energi. Penggunaan energi terutama pembakaran
bahan bakar fosil dalam jumlah besar, baik
secara langsung maupun tidak langsung telah
meningkatkan jumlah emisi CO2 dalam jumlah
besar. Kondisi ini berkontribusi terhadap
kenaikan emisi CO2 ke atmosfer dan memicu
terjadinya percepatan pemanasan global. Para
peneliti yang tergabung dalam Intergovermental
Panel on Climate Changes (IPCC), yaitu sebuah
organisasi dunia yang mengawasi tentang adanya
perubahan iklim secara global, mengemukakan
bahwa telah terjadi peningkatan perubahan iklim
sejak 150 tahun yang lalu.
Keselamatan bangsa menjadi salah satu
tujuan nasional bangsa Indonesia yang tertera
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di
Alinea ke IV yang menyatakan bahwa, negara
melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kepada perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Dalam upaya menanggulangi pemanasan
global akibat emisi Gas Rumah Kaca (GRK),
pemerintah Indonesia pada COP ke 21 di Prancis
menyatakan akan mengupaya penurunan emisi
dengan usaha sendiri hinggga 29% atau dengan
bantuan internasional hingga 41% di tahun 2030.
Indonesia menyatakan komitmennya dalam
penanggulangan masalah perubahan iklim
melalui pembangunan nasional yang bersih dan
rendah karbon.
Indonesia merupakan negara yang rentan
akan dampak perubahan iklim, oleh karena itu
pemerintah sangat fokus terhadap komitmennya
untuk berkontribusi dalam mengurangi
pemanasan global. Melalui kebijakan teknis
yang disebut
Rencana Aksi Nasional (RAN) Gas
Rumah Kaca (GRK) yang tertuang, dalam
Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011, dengan
prinsip dasar bahwa RAN tidak boleh
menghambat pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan rakyat. Kebijakan RAN tersebut
selanjutnya dijadikan dasar bagi pemerintah
daerah untuk menyusun Rencana Aksi Daerah
(RAD) Gas Rumah Kaca, yang merupakan
wujud konkret dalam mencapai target penurunan
tingkat pemanansan global.
Pemanasan global terjadi akibat
tingginya gas rumah kaca. Berdasarkan data
publikasi Kementerian ESDM (2005), sebesar
99% emisi CO2 mendominasi emisi gas rumah
kaca yang dihasilkan oleh penggunaan energi,
sedangkan 1% sisanya dihasilkan oleh metana
(CH4), dan dinitro-oksida (N2O). Emisi CO2
tersebut 80% berasal dari 3 sektor utama, yaitu
pembangkit listrik, industri dan transportasi
sedangkan sisanya berasal dari rumah tangga dan
sektor lainnya. Ketiga sektor ini merupakan
pengguna energi yang terbesar dengan
kecenderungan peningkatan mengikuti
pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan
ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi secara umum
dapat diartikan sebagai kemampuan suatu negara
untuk meproduksi lebih banyak barang dan jasa
dari satu tahun ke tahun berikutnya. Konsep
pertumbuhan ekonomi diperoleh dari
perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB)
suatu negara. Nilai Produk Domestik Bruto
(PDB) merupakan salah satu penggerak
kebutuhan energi. Antara PDB, kebutuhan energi
dan tingkat emisi CO2 terdapat hubungan yang
saling mempengaruhi. Adanya aktivitas ekonomi
akan tercipta permintaan energi dan konsumsi
energi, baik di sisi (end use) maupun sebagai
distributor, sehingga munculnya emisi CO2
sebagai output ke lingkungan. Sebaliknya
permintaan energi menyebabkan terjadinya
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
145
aktivitas ekonomi yang berdampak pada
ekonomi.
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan ialah
pendekatan sistem dinamis. Data diperoleh dari
studi pustaka, pengambilan data di instansi
terkait, wawancara secara mendalam dengan
narasumber untuk verifikasi data dan kebijakan
yang diterapkan dalam upaya berkontribusi
mengurangi emisi CO2 pada sektor industri di
Banten.
Data yang digunakan ialah data time
series dari tahun 2010 hingga 2015 yang
diperoleh dari hasil studi kepustakaan dan
informasi yang diperoleh dari Badan Pusat
Statitstik Banten (BPS Banten), Dinas Energi
dan Sumber Daya Mineral Provinsi Banten
(ESDM), Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Banten (Bappeda Banten), Dinas
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi
Banten (Dinas LHK).
Teknik analisis data dalam penelitian ini
terdiri atas dua macam yaitu analisis deskriptif
dan pemodelan sistem dinamis. Analisis
deskriptif digunakan sebagai analisis sederhana
yang bertujuan untuk menafsirkan informasi
yang didapatkan dalam bentuk tabel, grafik, dan
diagram.
Kemudian masalah utama penelitian
dibuat menjadi sebuah sistem kausal loop
diagram menggunakan sofware VENSIM,
kemudian dimodelkan menggunakan sofware
Powersim dengan menggunakan data dalam
pentuk persamaan matematika, lalu dilakukan
simulasi model dan divalidasi. Selanjutnya
dilakukan proyeksi dan dianalisis. Selanjutnya
baru dapat ditentukan kebijakan yang
dirumuskan kesesuaiannya terhadap dampak
yang dapat ditimbulkan terhadap model ekonomi
energi dalam kebijakan pengurangan emisi CO2.
Gambar 2.1. Siklus Pemodelan
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Kondisi Umum Sektor Industri di
Banten
Provinsi Banten memiliki jumlah industri yang
cukup besar, jumlah industri besar dan sedang di
Provinsi Banten mengalami pertumbuhan rata-
rata sekitar 1,5% per tahun sejak 2010. Pada
tahun 2015 jumlah industri di Banten telah
mencapai 1747 unit industri. Hal tersebut
mendorong terjadinya peningkatan dari sisi
ekonomi (PDRB sektor industri), konsumsi
energi, serta jumlah emisi gas rumah kaca (GRK)
yang ditimbulkan.
Sektor industri pengolahan
(manufacturing industry) mempunyai peranan
yang sangat penting dalam proses pembangunan
ekonomi di Povinsi Banten. Nilai tambah dari
sektor industri pengolahan mempunyai
kontribusi terbesar dibandingkan dangan sektor
lainnya. Sektor industri merupakan penyumbang
terbesar bagi Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) atas dasar harga berlaku yaitu sekitar
32,61 persen pada tahun 2010 PDRB sektor
industri di Banten ialah 107,8 triliun rupiah,
hingga tahun 2015 PDRB sektor industri di
Banten mencapai 134,79 triliun rupiah.
Sektor industri di Banten merupakan
sektor yang mengkonsumsi energi dalam jumlah
besar dibandingkan dengan sektor lainnya,
terutama industri pengolahan. Tabel 3.1
merupakan Konsumsi energi di Tahun 2010,
konsumsi energi sektor industri didominasi oleh
penggunaan batubara.
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
146
Tabel 3.1. Konsumsi Energi Sektor
Industri di Banten Tahun 2010
Tingginya kebutuhan energi untuk proses
produksi sektor industri di Provinsi Banten
sejalan dengan tingkat pertumbuhan industri.
Sebagian besar industri tersebut menggunakan
bahan bakar batu bara, sehingga pada tahun 2010
menghasilkan emisi 26,75 juta ton.
Industri penghasil emisi GRK yang ada
di Provinsi Banten, menurut sumber Banten
Dalam Angka Tahun 2012, meliputi industri
mineral, industri kimia , industri logam, industri
elektronik, dan lain-lain. Emisi GRK terbesar
dari bidang Industri yang dihasilkan dari
Penggunaan Energi.
3.2. Pemodelan Sistem Dinamis
Gambar 3.1 Causal Loop Diagram
Berdasarkan metode sistem dinamis,
Beberapa loop utama yang terbentuk
diantaranya ialah sebagai berikut:
Loop 1: PDRB Sektor Industri
→Kebutuhan energi sektor industri →Konsumsi
energi →Emisi CO2 sektor industri →Pajak
Karbon.
Efek peningkatan jumlah industri akan
mempengaruhi penambahan nilai tambah bruto
yang akan menjadikan nilai PDRB sektor
industri meningkat. Peningkatan PDRB akan
berakibat naiknya permintaan kebutuhan energi
dan konsumsi energi. Jika konsumsi energi
meningkat maka jumlah emisi CO2 akan
semakin meningkat.
Loop 2: Kebutuhan energi sektor
industry →Suplai energi terbarukan ke industri/
Suplai energi fosil ke Industri →Suplai energi ke
industri →Ketersediaan energi →Efek terhadap
ketersediaan energi terhadap konsumsi
→Konsumsi energi.
Kebutuhan energi sektor industri akan
menentukan jumlah suplai energi ke industri.
Suplai energi baik berupa energi terbarukan atau
energi fosil, akan mempengaruhi ketersediaan
energi untuk konsumsi industri. Efek
ketersediaan energi terhadap konsumsi akan
mempengaruhi kemauan industri di suatu daerah
untuk tumbuh atau cenderung menurun.
a. Stock Flow Diagram (SFD)
Data hasil penelitian ini berupa data
sekunder selanjutnya dikategorikan menjadi
variabel-variabel stock dan flow. Setelah
dikategorikan kemudian dimasukan ke dalam
persamaan yang sesuai dan dilihat bagaimana
variabel tersebut saling mempengaruhi satu sama
lainnya. Dalam penelitian ini SFD diperlihatkan
dengan Gambar 3.2 Gambar tersebut
menunjukkan transformasi bentuk CLD menjadi
SFD dengan menggunakan perangkat lunak
Powersim Studio10.
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
147
Gambar 3.2 Stok Flow Diagram
Untuk mendefinisikan setiap data dalam
SFD maka proses input data menyesuaikan
model lapangan. Sehingga simulasi yang
diharapkan menyerupai data aktual yang akan
dijadikan perbandingan.
b. Hasil Simulasi Model
Hasil simulasi dalam jumlah industri
yang ada di Provinsi Banten mencapai 1746 unit
pada tahun 2015. Jumlah ini merupakan jumlah
yang signifikan meningkat dalam tiap tahunnya,
dengan rata-rata pertumbuhan jumlah industri di
Banten adalah sebesar 1,5 persen per tahun.
Dalam simulasi kondisi industri tidak
dipengaruhi oleh faktor luar lainnya (diabaikan)
hanya peningkatan rata-rata pertahun sebesar 1,5
persen. Peningkatan rata-rata industri tiap tahun
memberikan dampak pertumbuhan ekonomi
yang ditandai naiknya nilai tambah bruto dan
penambahan PRDB sektor industri.
PDRB yang dihasilkan untuk Provinsi
Banten semakin meningkat dengan tahun dasar
yang dipakai dalam simulasi ialah tahun 2010,
dengan peningkatan PDRB rata- rata sebesar 5,1
persen pertahun, hingga tahun 2015 PDRB
sektor industri manufaktur mengalami
peningkatan hingga 135,75 triliun rupiah. Hal ini
sebanding dengan nilai tambah yang semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah
industri setiap tahunnya.
Selain meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, peningkatan jumlah industri juga
memberikan efek terhadap kebutuhan energi
sektor tersebut, sehingga menyebabkan
konsumsi energi semakin tinggi pula. Tentu saja
tingginya konsumsi energi di industri
memberikan efek terhadap peningkatan jumlah
emisi CO2 yang dihasilkan dari sektor industri
tersebut.
c. Validasi Data Hasil Simulasi
Tahap terakhir dalam pengembangan
model dalm sebuah sistem dinamis ialah
melakukan validasi data hasil simulasi. Validasi
yang dilakukan dalam penelitan ini yaitu dengan
mengoperasikan model dan membandingkannya
dengan sistem nyata
(quantitative behaviour pattern comperasion).
Salah satu uji validasi yang dilakukan dengan
membandingkan prilaku model dengan sistem
nyata ialah uji MAPE (mean Absolute
Percentage Error). MAPE merupakan salah satu
ukuran relative yang menyangkut kesalahan
persentase. Uji ini dapat digunakan untuk
mengukur kesesuaian data hasil perkiraan
dengan data aktual
Dengan ketentuan jika:
MAPE <5% : Sangat tepat
MAPE 5-10% : Tepat
MAPE >10% : Tidak tepat
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
148
Gambar 3.3 Perbandingan PDRB Sektor Industri di
Banten dengan Hasil Simulasi (Triliun Rupiah)
Berdasarkan uji MAPE terhadap hasil
simulasi PDRB ditunjukan oleh Gambar 3.3
Hasil perhitungan dengan MAPE ialah 0,7
persen (Lampiran 2), menunjukkan bahwa hasil
model semulasi sangat tepat. Dapat dikatakan
bahwa model yang dibuat sangat mendekati
sistem nyata yang ditiru. Secara visual PDRB
hasil simulasi (biru) sama dengan data
lapangan/refrensi (merah). Sehingga uji validasi
terhadap model menunjukkan bahwa model
berada dalam kriteria sangat tepat.
3.3. Tanpa Skenario (Skenario Dasar)
Sektor industri pengolahan (manufaktur)
merupakan sektor yang penting dalam
perekonomian Indonesia. Sektor industri
pengolahan yang dicakup dalam penelitian ini
adalah industri pengolahan (bukan migas) yang
terdiri dari sembilan subsektor. Dalam dua
dekade terakhir, kontribusi sektor industri
Banten terhadap PDRB semakin meningkat.
Bahkan pada tahun 2017 kontribusinya sebesar
32,6 persen. Peran sektor industri pengolahan
Banten yang begitu besar terhadap penciptaan
PDRB diiringi dengan tingginya konsumsi
energi di sektor ini yang jumlahnya juga semakin
meningkat dari tahun ke tahun.
Gambar 3.4 Proyeksi Jumlah Industri Manufaktur di Banten
Berdasarkan Gambar 3.4 dapat dilihat
bahwa jumlah industri manufaktur besar dan
sedang di Provinsi Banten mengalami
peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata per
tahun sebesar 1,5 persen. menunjukkan tren
pertumbuhan industri yang meningkat setiap
tahunnya. Diperkiran hingga tahun 2030 jumlah
industri di Banten akan mencapai2.187 unit
industri. Selain akan mempengaruhi total nilai
tambah dalam PDRB sektor industri,
peningkatan jumlah industri ini juga akan
mempengaruhi jumlah konsumsi energi pada
sektor tersebut.
Gambar 3.5 Proyeksi Jumlah PDRB sektor Industri
di Banten
Gambar 3.5 menunjukkan tingkat
pertumbuhan PDRB Banten sangat dipengaruhi
oleh jumlah industrinya. Pada tahun dasar 2010
PDRB sektor industri manufaktur di Banten ialah
sebesar 107,81 triliun rupiah. Hingga tahun 2030
diproyeksi jumlah PDRB sektor industri
manufaktur di Banten akan meningkat hingga
233,31 triliun rupiah.
industri
2.100
2.000
1.900
1.800
1.700
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
Jumlah
Industri di
Banten
TriliunRupiah
200
150
100
10 11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
PDRB
Sektor
Industri
Banten
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
149
Peningkatan PDRB seiring penigktan
jumlah industri akan mempengaruhi kebutuhan
energi sektor industri. Sementara kebutuhan
energi langsung berpengaruh terhadap jumlah
energi yang dikonsumsi. Besarnya konsumsi
energi di industri juga akan dipengaruhi oleh
tingkat ketersediaan energi dan suplai yang akan
menjadi stok utama dalam pemenuhan
kebutuhan energi industri.
Gambar 3.6 Proyeksi Kebutuhan dan Konsumsi Energi Sektor Industri di Banten
Gambar 3.6 menunjukkan adanya
perbedaan jumlah kebutuhan energi sektor
industri dengan jumlah energi yang dikonsumsi
setiap tahunnya. Jumlah konsumsi energi di
industri setiap tahunnya disimulasikan akan
mengalami kekurangan bila dibandingkan
dengan kebutuhannya. Kebutuhan energi yang
cenderung mengingkat disebabkan
perkembangan industri yang pesat sehingga nilai
tambah bruto meningkat dan menyebabkan
bertambahnya PDRB. Hal ini menuntut
kebutuhan energi yang semakin tinggi namun
ketiadaan stok awal energi yang melebihi
kebutuhan energi menyebabkan kebutuhan
energi lebih besar daripada jumlah energi yang
dikonsumsi.
Ketersediaan energi akan memberikan
efek terhadap energi, sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan antara ketersediaan energi
yang disuplai berdasarkan kebutuhan dengan
jumlah konsumsi energi. Turunnya ketersediaan
energi akibat konsumsi yang lebih besar
dibandingkan dengan stok energi menyebabkan
pada tahun 2013 konsumsi energi mengalami
penurunan dari kebutuhan yang seharusnya. Efek
ketersediaan energi terhadap konsumsi akan
mengalami penurunan hingga 0,02 persen hingga
tahun 2020 bila dibandingkan stok energi yang
tersedia. Kondisi di industri saat ini ialah tidak
adanya ketersediaan stok energi menjadikan
asumsi dasar ketersediaan energi sama dengan
jumlah kebutuhan energi pada tahun dasar
tersebut.
Terkait dengan penggunaan energi, untuk
mengukur tingkat efisiensi penggunaan energi
digunakan indikator intensitas energi. Intensitas
energi merupakan suatu indikator yang
menunjukkan rasio konsumsi energi terhadap
PDB, dengan kata lain intensitas energi
menggambarkan jumlah energi yang dibutuhkan
untuk menghasilkan PDB. Tabel 3.2 merupakan
hasil simulasi intensitas energi industri
pengolaan di Provinsi Banten.
Tabel 3.2 Intensitas Energi Sektor Industri di Banten Tahun Intensitas Energi Banten
2010 514,14637
2015 503,78374
2020 499,68045
2025 501,28992
2030 502,56294
Berdasarkan Tabel 3.2 intensitas energi
rata-rata industri di Banten adalah sebesar 504,29
BOE per miliar rupiah. Bila dibandingkan
dengan intensitas energi di Indonesia yaitu 482,2
BOE per miliar rupiah, maka industri di Banten
tergolong dalam kategori boros energi. Dari
Gambar 3.7 dapat dilihat bahwa indonesia
merupakan negara dengan konsumsi energi yang
tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara
lainnya.
10
11
1
2 1
3 1
4 1
5 1
6 1
7 1
8 1
9 2
0 21
2
2 2
3 2
4 2
5 2
6 2
7 2
8 29
Kebutuh
an Ener
gi Konsum
si Ener
gi
BOE/
yr 120.000.
000 110.
0 00.00
0 100.000.0
00 90.000.0
00 80.000.0
00 70.000.0
00 60.000.0
00
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
150
Gambar 3.7 Perbandingan Intensitas Energi Negara
di Dunia (BOE/Miliar Rupiah)
Emisi CO2 dihasilkan dari konsumsi
energi yang dikalikan faktor emisi rata-rata
berdasarkan refrensi IPCC 2006. Faktor emisi
diambil dengan merata-ratakan faktor emisi
energi fosil baik berupa gas, BBM maupun
Batubara.
Gambar 3.8 Proyeksi Emisi CO2 Sektor Industri di
Banten
Berdasarkan Gambar 3.8 emisi CO2
sektor industri pada tahun 2010 berada pada
angka 26.753.000 ton CO2 per tahun,
diperkirakan akan meningkat hingga mencapai
56.386.387 tonCO2 pada tahun 2030, dengan
intensitas emisi CO2 sebesar 0,48 tonCO2 per
BOE.
Akumulasi emisi CO2 yang semakin
tahun semakin meningkat tanpa melakukan aksi
apaun (Skenario BAU) akan memberikan
dampak buruk bagi lingkungan, terutama
pemanasan global dan keselamatan umat
manusia. Oleh karena itu perlu aksi mitigasi
dalam mengurangi emisi CO2 yang ditimbulkan
dari sektor industri, yang akan semakin parah
bila perkembangan industri semakin pesat.
Meskipun berkembangnya kondisi industri di
Provinsi Banten akan memberikan nilai tambah
bruto dan memberikan kemajuan signifikan
dalam pengembangan ekonomi, akan tetapi
kondisi ini juga akan memberikan dampak buruk
bagi lingkungan jika tidak melakukan aksi yang
seimbang dalam hal pengurangan emisi CO2.
3.3.1. Skenario Penggunaan Energi
Terbarukan di Industri
Dalam skenario ini penggunaan energi
terbarukan untuk suplai energi di variasikan yaitu
dimulai dengan 10 persen, 15 persen, 20 persen
dan 25 persen. Masing-masing
kemudian disimulasikan dengan model
sehingga mendapatkan hasil seperti Gambar
3.8.
Pada tahun 2010 emisi CO2 mencapai 26
juta ton, tanpa mitigasi hingga tahun 2030 emisi
CO2 yang dihasilkan sektor industri di Banten
mencapai 56 juta ton. Sementara jika kita
mengasumsikan energi terbarukan mulai di
konsumsi di industri sebesar 10 persen maka,
jumlah emisi hingga tahun 2030 di proyeksi akan
mengalami penurunan hingga ke
50 juta ton CO2. Pemakaian energi
terbarukan sebagai suplai energi juga akan
mempengaruhi signifikan pengurangan emisi
sektor industri, 15 persen akan mengurangi
jumlah emisi hingga menjadi 47 juta ton dan 20
persen akan membawa emisi CO2 sektor industri
di Banten menempati angka 44 juta ton,
sementara jika suplai energi terbarukan
meningkat hingga 25% maka pada tahun 2030
jumlah emisi CO2 akan mencapai 41 juta ton
CO2.
to nC
O 2 /yr
50.000.000
40.000.000
30.000.000
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
Emisi
CO2
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
151
Gambar 3.9. Proyeksi Emisi CO2 dengan Skenario Energi Terbarukan (ton CO2)
Energi terbarukan berupa energi
biomassa di Provinsi Banten yang dapat terukur
yaitu sebesar 1.771.255,6 BOE per tahun, maka
diasumsikan dapat menggunakan energi
terbarukan sebagai suplai energi ke industri
sebesar 3 persen per tahun. Dengan demikian bila
diasumsikan energi tersebut dipakai seluruhnya
untuk disuplai ke industri, maka suplai energi
terbarukan hanya dapat memenuhi jumlah 3
persen setiap tahun sebagai bahan bakar. Potensi
itu di luar potensi energi terbarukan lainnya yang
dapat disuplai dari sektor pembangkit listrik
energi terbarukan ke industri.
3.3.2. Skenario dengan Pajak Karbon
Implementasi kebijakan berbasis
lingkungan dan pertumbuhan ekonomi akan
saling melengkapi, bila konsekuensi sosial dan
lingkungan sudah diperhitungkan. Carbon
pricing (penetapan harga karbon)
merupakan instrumen yang penting untuk
mencapai tujuan pengurangan emisi gas rumah
kaca. Dengan membayar emisi karbon, sistem
insentif dirubah menjadi sistem pajak sehingga
produsen atau industri harus ikut menanggung
resiko kerusakan lingkungan karena aktivitas
ekonomi mereka.
Jika sistem pajak karbon diterapkan,
maka pemasukan dari pajak karbon akan dapat
digunakan untuk mengganti biaya yang harus
dikeluarkan untuk program mitigasi.
Kementerian Keuangan melalui Green Paper
(2009) mensimulasi efek penerapan pajak karbon
bagi perekonomian Indonesia. Dalam penelitian
ini bila simulasi diberlakukan pajak karbon
dengan beberapa skenario sesuai kebijakan
Kementerian Keuangan akan menghasilkan
Gambar 3.10.
Gambar 3.10. Proyeksi PDRB Sektor Industri di
Banten dengan Skenario Pajak Karbon (Triliun Rupiah)
Berdasarkan Gambar 3.10 ada empat
skenario yang disimulasikan dalam model.
Dalam skenario yang dilakukan standar pajak
karbon yang diterapkan ialah sebesar
Rp.80.000,- per ton emisi CO2 berdasarkan buku
Pedoman Kementerian Keuangan 2009
(Kementerian Keuangan , 2009). Garis biru
merupakan PDRB industri manufaktur di Banten
skenario dasar atau tanpa menerapkan sistem
pajak karbon. Skenario pertama ialah menerapan
pajak karbon sebesar Rp.40.000,- per ton emisi
CO2 atau lebih kecil dibandingkan dengan pajak
standar. Dengan skenario tersebut PDRB sektor
industri di Banten akan meningkat sebesar 2,9%.
Namun dengan skema ini, efek kemauan atau
minat pelaku industri untuk melakukan peralihan
energi fosil ke energi terbarukan masih sangat
kecil atau sekitar 21 persen saja, sehingga
kondisi ini tidak diharapkan karena upaya
mitigasi dengan peralihan bahan bakar fosil ke
energi terbarukan tidak tercapai.
Dengan skenario kedua jika pemerintah
menerapkan pajak karbon sebesar Rp.80.000,-
per ton CO2 maka sumbangan pajak karbon
terhadap PDRB akan meningkat sebesar 5,7%,
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
152
kondisi ini meningkatkan kemauan pelaku
industri untuk melakukan peralihan energi fosil
ke konsumsi energi terbarukan sebesar 43
persen. Skenario ini tidak akan memberikan efek
yang berarti karena industri cederung lebih
memilih membayar pajak dari pada beralih ke
pengunaan energi terbarukan. Sedangkan
skenario ketiga, jika nominal pajak karbon lebih
tinggi dari Rp.80.000,- per ton CO2 akan
meningkatkan kemauan industri beralih ke
penggunaan energi terbarukan sebesar 87 persen.
Penerapan pajak karbon lebih dari Rp.80.000,-
per ton CO2 akan memberikan sumbangan ke
PDRB sebesar 11,8%. Dengan penerapan pajak
karbon lebih besar dari Rp.80.000,- akan
memaksa pelaku industri melakukan peralihan
ke penggunaan energi terbarukan sebesar 3
persen per tahun.
Gambar 3.11. Efek Pajak Karbon Terhadap Peralihan Energi Fosil ke Energi terbarukan
(BOE/yr)
Gambar 3.11 menggambarkan pengaruh
pajak terhadap perubahan energi fosil ke energi
terbarukan. Dalam skenario ini pengingkatan
penggunaan energi terbarukan meningkat lebih
signifikan dengan skenario pajak karbon lebih
besar dari Rp.80.000,-, seperti yang tergambar
dalam grafik dengan garis berwarna ungu. Hal ini
menunjukkan adanya keinginan pelaku industri
untuk mengganti energi fosil ke energi
terbarukan yang lebih besar.
3.3.3. Usulan Kebijakan Pengurangan Emisi
CO2
Seiring meningkatnya konsumsi energi
sebagai akibat meningkatnya jumlah industri dan
nilai tambah bruto yang dihasilkan,
mengakibatkan kebutuhan energi untuk sektor
ini akan semakin meningkat. Hal ini akan
memberikan efek pada peningkatan jumlah emisi
CO2 yang dihasilkan dari sektor ini. Kondisi ini
akan diperparah dengan semakin besarnya
ketergantungan kebutuhan energi industri
terhadap energi fosil.
Penggunaan intensif energi konvensional
berbasis fosil, mempunyai implikasi penting
terhadap kelestarian lingkungan hidup. Polusi
dan perubahan iklim merupakan dua contoh dari
dampak negatif penggunaan energi berbasis
fosil. Sektor energi memegang peranan dominan
dalam masalah pemanasan global, karena 56,6
persen emisi karbondioksida (CO2) dunia
dihasilkan dari sektor energi (Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC), 2007).
Melalui penerapan penggunaan energi
terbarukan sebagai energi bersih dalam dunia
industri dinilai akan membantu mengurangi
tingkat emisi yang dihasilkan industri di Banten.
Dalam penelitian ini rencana mitigasi yang
dilakukan ialah dengan memasukan energi
terbarukan sebagai suplai energi ke industri.
Dalam model yang disimulasikan intensitas
emisi yang dihasilkan ialah sebesar 0,48 tonCO2
per BOE. Untuk mendapatkan jumlah mitigsi
yang dilakukan intensitas emisi yang dihasilkan
akan dikalikan dengan jumlah energi terbarukan
yang disuplai ke industri. Sehingga besarnya
mitigasi yang dilakukan ke industri akan
bergantung pada jumlah suplai energi
terbarukan.
Penggunaan energi terbarukan sebagai
suplai energi ke industri akan membutuhkan
investasi yang besar. Keterbatasan investasi
teknologi tersebut dapat menghambat usaha
pelaku industri dalam upaya beralih ke energi
terbarukan karena terkendala dengan besarnya
biaya diversifikasi yang harus dikeluarkan.
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
153
Sebagai dispensasi skenario yang
dikembangkan dalam membuat sebuah
kebijakan penurunan emisi CO2 sektor industri
di Banten ialah dengan menerapkan skema pajak
karbon. Dalam skenario penelitian ini skema
pajak karbon yang sesuai diterapkan di industri
ialah lebih besar dari Rp.80.000,- per ton CO2.
Nominal pajak karbon ini akan memberikan
kontribusi bagi PDRB sebesar
11,8 persen. Dalam skema pajak karbon ini,
jumlah emisi yang harus dikurangi oleh industri
ialah sebesar 3% per tahun sesuai dengan
Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-
GRK). Melalui skema pajak karbon ini selain
memaksa pelaku industri untuk beralih ke
penggunaan energi terbarukan secara bertahap,
juga pemasukan hasil pajak karbon yang
dihasilkan harus dipakai sebagai insentif kepada
industri yang taat untuk investasi pengembangan
teknologi energi terbarukan sebagai suplai energi
primernya. Dengan demikian diharapkan dapat
mengurangi jumlah emisi yang dihasilkan oleh
sektor industri di Provinsi Banten.
3.3.4. Kebijakan Pengurangan Emisi CO2
dalam meningkatkan
Ketahanan
Daerah Banten
Dalam aspek ekonomi, kegiatan
ekonomi merupakan kegiatan pemerintah dan
masyarakat dalam mengelola produksi (SDA,
tenaga kerja, modal, teknologi, dan
manajemen) sampai distribusi barang dan jasa
yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Kegiatan ekonomi mendorong
peningkatan penggunaan energi dari penggunaan
energi tersebut memberikan kontribusi terhadap
perubahan iklim dimana adanya peningkatan
emisi CO2 yang didominasi bersumber pada
pembangkit listrik, industri dan transporasi.
Berdasarkan penelitian yang dikaji Nilai
Produk Domestik Bruto (PDB), yang merupakan
hasil dari kegiatan ekonomi, memiliki hubungan
yang saling mempengaruhi dengan kebutuhan
energi dan peningkatan emisi CO2.
Ketahanan energi merupakan bagian dari
ketahanan ekonomi dan ketahanan ekonomi
merupakan bagian dari ketahanan nasional.
Kondisi ketahanan nasional yang perlu
meningkat dari waktu ke waktu termasuk
ketahanan energi disebut geostrategi Indonesia
(Yusgiantoro, P). Skenario pengurangan emisi
yang diusulkan dalam penelitian ini mampu
meningkatkan ketahanan energi yang berdampak
pada peningkatan ketahanan daerah Banten
dengan meningkatkan PDRB Provinsi Banten.
Dalam Skenario tersebut, tidak hanya
mengurangi emisi CO2 tetapi juga mendorong
industri secara perlahan untuk meningkatkan
penggunaan energi terbarukan.
4. Simpulan
Dari data hasil penelitian dan uraian
pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal
berikut:
1. Berdasarkan pemodelan sistem dinamis maka
dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
a. Seiring meningkatnya jumlah industri di
Provinsi Banten maka nilai tambah bruto yang
di hasilkan juga semakin meningkat. Hal ini
menyebabkan naiknya Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) sektor industri.
b. Naiknya PDRB sektor industri akan diiringin
dengan peningkatan jumlah konsumsi energi
di sektor industri dan semakin meningkatkan
jumlah emisi CO2 yang dihasilkan akibat
ketergantungan kebutuhan energi sektor
industri terhadap energi fosil.
c. Perlu adanya upaya diversifikasi energi yang
dikonsumsi industri ke sumber energi
terbarukan untuk mengurangi emisi CO2
yang dihasilkan.
2. Berdasarkan hasil simulasi didapatkan
beberapa hal berikut:
a. Pertumbuhan rata-rata industri sebesar 1,5
persen per tahun. Hingga tahun 2030 jumlah
industri di Banten akan mencapai 2.187 unit
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
154
industri, dengan pertumbuhan PDRB ratarata
sebesar 4,38 persen per tahun. Hingga tahun
2030 PDRB industri di Banten akan mencapai
233,31 triliun rupiah.
b. Emisi CO2 sektor industri pada tahun 2010
berada pada angka 26.753.000 ton CO2 per
tahun, diperkirakan akan meningkat hingga
mencapai 56.386.387 ton CO2 pada tahun
2030. Kondisi tersebut merupakan kondisi
tanpa skenario mitigasi (BAU). Dengan
intensitas emisi CO2 sebesar 0,48 ton CO2
per BOE.
c. Intensitas energi rata-rata industri di Banten
adalah sebesar 504,29 BOE per miliar rupiah.
Bila dibandingkan dengan intensitas energi di
Indonesia yaitu 482,2 BOE per miliar rupiah,
maka industri di Banten tergolong dalam
kategori boros energi.
3. Beberapa kebijakan yang perlu diambil
pemerintah dalam mengurangi emisi CO2
sektor industry di Banten, yaitu
a. Kebergantungan kebutuhan energi sektor
industri terhadap energi fosil yang bersifat
terbatas, sehingga hendaknya Pemerintah
menyiapkan langkah khusus (kebijakan)
dalam pengelolaan energi terbarukan untuk
sektor industry agar sektor industri ini tetap
berjalan kondusif tanpa bergantung terhadap
ketersediaan energi fosil.
b. Penerapan pajak karbon di sektor industry
dapat membantu mengurangi tingginya emisi
CO2 sektor industri di Banten. Pajak karbon
akan mendorong pelaku industri untuk
mengupayakan peralihan penggunaan energi
fosil ke energi terbarukan.
Tingginya investasi peralihan energi fosil
ke energi terbarukan pada sektor industri akan
menghambat upaya peralihan tersebut, maka
pemerintah harus memberikan insentif sebagai
investasi teknologi energi terbarukan. Insentif
yang diberikan dapat diambil dari hasil pajak
karbon sektor industri, lalu digunakan untuk
memberikan insentif kepada pelaku industri yang
taat sebagai dispensasi pengembangan teknologi
untuk menggunakan
energi terbarukan
Referensi
BPS Provinsi Banten. (2017). Buku Saku PDRB
Provinsi Banten. Serang: BPS.
Chontanawat J, H. L. (2006). Causality between
Energy Consumption and GDP: Evidence
from 30 OECD and 78 nonOECD
Countries. Surrey Energy
Economics Discussion Paper Series 113.
Fujia Li, S. D. (2012). The Improvement of
CO2 Emission Reduction Policies Based
on System Dynamics
Method in
Tradisional Industrial Region with Large
CO2 Emission. Elsevier; Energy Policy
51, 683-695.
Hills, C. C. (2007). Intensity of Energy Use in
the USA: 1949-2003. Journal of Business
& Economic Research, Vol. 5 (11): 17-
30.
Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC). (2007). The Physical Science
Basis. Contribution of Working Group I to
the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate
Change. Paris: http://www.
ipcc.ch/publications_and_
data/ar4/wg1/en/contents.html.
Kementerian Keuangan . (2009). Green Paper on
Economic and Fiscal Policy Options for
Climate Change Mitigation. Jakarta:
Kementerian Keuangan.
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.
(2015). Buku Putih Pertahanan Indonesia.
Jakarta: Kementerian Pertahanan RI.
Muhammadi, E. A. (2001). Analisis Sistem
Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial,
Ekonomi, Manajemen. Jakarta: UMJ
Press.
Yusgiantoro, D. (2017). Kebijkan Energi
ISSN: 22620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol. 1, No.2, 2018
155
Lingkungan. Depok: LP3ES. Yusgiantoro,
P. (2000). Ekonomi Energi Teori dan
Praktik. Jakarta: Pustaka LP3E.
Yusgiantoro, P. (2013). Modifikasi
Modul Geopolitik & Geostrategi,
Lemhanas). Jakarta