Reformasi Desentralisasi Indonesia

download Reformasi Desentralisasi Indonesia

of 66

Transcript of Reformasi Desentralisasi Indonesia

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    1/66

    Ringkasan Laporan

    Disusun oleh

    USAID Democratic Reform Support Program (DRSP)untuk

    Donor Working Group on Decentralization

    Australia Indonesia Partnership

    Kemitraan Australia Indonesia

    DRSPDemocratic reform Support program

    D

    ESENTRA

    LISASI2006

    MEMBEDAHREFORMASI DESENTRALISASI

    DI INDONESIA

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    2/66

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    3/66

    DESENTRALISASI 2006Membedah Reformasi Desentralisasi di Indonesia

    Ringkasan Laporan

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    4/66

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    5/66

    DESENTRALISASI 2006

    Membedah Reformasi Desentralisasidi Indonesia

    - Ringkasan Laporan -

    Disusun olehUSAID Democratic Reform Support Program (DRSP)

    untuk

    Donor Working Group on Decentralization

    Didanai olehDecentralization Support Facility (DSF)

    USAID

    AusAID

    Agustus 2006

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    6/66

    Diterbitkan oleh

    Democratic Reform Support Program (DRSP)

    Jakarta Stock Exchange Building

    Tower 2, 20th floor

    Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53

    Jakarta 12190

    Indonesia

    Tel. No. +62 21-5152541

    Fax No. +62 21-5152542

    Email: [email protected]

    Web. www.drsp-usaid.org

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    7/66

    i

    DAFTAR ISI

    UCAPAN TERIMAKASIH..................................................................................................... ii

    DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................................... iii

    PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1

    TEMUAN UTAMA... ......... 3

    I. KEMAJUAN DALAM KERANGKA HUKUM............................................................................ 3

    II. HUBUNGAN ANTAR TINGKAT PEMERINTAHAN ................................................................... 5

    Penataan Daerah ......................................................................................................... 5

    Pembagian Kewenangan .............................................................................................. 6Peran Gubernur dan Propinsi ........................................................................................ 8

    Hubungan Keuangan Antar Tingkat Pemerintahan: Pendapatan Asli Daerah ..................... 9

    Hubungan Keuangan Antar Tingkat Pemerintahan: Dana Alokasi Umum .......................... 10

    Hubungan Keuangan Antar Tingkat Pemerintahan: Dana Alokasi Khusus (DAK) ................. 11

    Hubungan Keuangan Antar Tingkat Pemerintahan: Pajak dan Pendapatan Bagi-Hasil........ 13

    Hubungan Keuangan Antar Tingkatan Pemerintahan: Pinjaman Daerah ........................... 14

    Pengawasan (Oversight) dan Supervisi ........................................................................... 15

    III. REFORMASI SISTEM PEGAWAI NEGERI SIPILKONTEKS DESENTRALISASI ................................... 18

    IV. REFORMASI PEMERINTAHAN DAERAH ............................................................................... 21

    Penyediaan Pelayanan Publik oleh Pemerintah Daerah .................................................... 21

    Perencanaan, Penganggaran dan Administrasi Keuangan Pemerintah Daerah................... 23

    Partisipasi Publik .......................................................................................................... 25

    Akuntabilitas Politik: Kepala Pemerintah Daerah ............................................................. 27

    Akuntabilitas Politik: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ................................................... 29

    Akuntabilitas Politik: Partai Politik ................................................................................... 31

    Akuntabilitas Politik: Pemilihan Umum Anggota DPRD ..................................................... 32

    Reformasi Pemerintahan Desa ....................................................................................... 34

    V. DUKUNGAN PIHAK KETIGA ........................................................................................ 38

    Peran LSM dan Perguruan Tinggi sebagai Lembaga Perantara

    dalam Desentralisasi Pemerintahan ............................................................................... 38

    Peran Asosiasi Pemerintah Daerah ................................................................................ 39

    Koordinasi Lembaga Donor dalam Mendukung Desentralisasi/Pemerintahan Daerah ........ 41

    HUBUNGAN ANTARA PENELITIAN INI DENGAN GRAND STRATEGY DAN NAPFD ........................... 45

    DESENTRALISASI 2006

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    8/66

    iiDESENTRALISASI 2006

    UCAPAN TERIMAKASIH

    USAID (The United States Agency forInternational Development) DRSP (DemocraticReform Support Program) atas nama Kelompok

    Kerja Bersama Desentralisasi, DecentralizationSupport Facility dan AusAID, mengucapkan terimakasih kepada para peneliti yang namanya disebutdibawah ini atas keterlibatannya dalam penelitianini. Keberhasilan studi ini tidak terlepas dari upayamereka dalam mengungkap dan mengolahberagam bahan dan pandangan para stakeholder.Sungguh bukan pekerjaan mudah meramubahan yang sedemikian beragam sehingga padaakhirnya menghasilkan penelitian sebagaimanayang tersaji dalam buku ini.

    Kajian yang dilakukan oleh para peneliti danjuga laporan gabungan (laporan sintetis) yangdibuat oleh tim penasehat teknis ini, merupakansesuatu yang sangat bernilai dalam memperkayadan meneguhkan kesimpulan-kesimpulan yangdibuat serta tindak lanjut yang diusulkan. USAID-DRSP juga sangat berterimakasih kepada semuapejabat pemerintah, organisasi-organisasi nonpemerintah, dan Masyarakat luas, yang telahmenyumbangkan waktu dan saran-saran yangsangat berharga selama rapat-rapat, diskusi-diskusi maupun diskusi kelompok terfokus yangdilaksanakan selama pelaksanaan penelitian danpengkajian laporan ini.

    Para penulis sepenuhnya bertanggungjawab ataspandangan-pandangan yang disampaikan dalamlaporan ini. Tim teknis USAID-DRSP terdiri dariElke Rapp, Gabriele Ferrazzi, Sebastian Eckhardt,Jups Kluyskens dan Frank Feulner. Sedangkan tim

    riset beranggotakan Ahmad Alamsyah Siregar,Andry Asmoro, Robert Simanjuntak, MuhammadFirdaus, Amir Imbarudin, Entin Sriani Muslim,Suhirman, Marselina Djayasinga, Arief Roesman,Pietra Widiadi, Sutoro Eko, Joana Ebbinghaus,Firsty Husbani, Meuthiah Ganie Rohman, danAdi Abidin.

    Kami juga menghaturkan terima kasih danpenghargaan yang tertinggi kepada Gordon Westdan Owen Podger (USAID), Bernhard May (GTZ),dan Blane Lewis (Bank Dunia) atas sumbang sarandan dukungan mereka yang sangat besar padapenelitian ini.

    Ucapan terimakasih tidak lupa kami tujukankepada Hetifah Sjaifudian (Akatiga), HefrizalHandra (Universitas Andalas), Guy Jansen(AusAID), Greg Rooney (AusAID), DeddyKoespramoedyo (Bappenas), Max Pohan(Bappenas), Jefrey Ong (CIDA), Joel Friedman(CIDA), Rudi Hauter (CIM/GTZ), Paul McCarthy(DSF), Anthea Mulaka (DSF/Bank Dunia), ShaliniBahuguna (DSF/Bank Dunia), Aruna Bagchee(DSF/Bank Dunia), Peter Rimmele (GTZ),

    Guenter Felber (GTZ), Manfred Poppe (GTZ),Robert Dahl (IFES), Kadjatmiko (DepKeu), MadeSuwandi (Depdagri), Saut Situmorang (Depdagri),Daeng Mochammad Nazier (Depdagri), NuridaMokhsen (Partnership), Ilham Cendikia (Pattiro),Diah Rahardjo (TIFA), Liesbeth Steer (TAF),Hans Antlov (LGSP/USAID), Andrew Urban(LGSP/USAID), Ed Anderson (DRSP/USAID),Djohermansyah Djohan (Sekretariat Wapres),Jessica Ludwig (Bank Dunia), Soren Davidsen(Bank Dunia), dan Abdi Suryaningati (Yappika).

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    9/66

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    10/66

    ivDESENTRALISASI 2006

    MUSREN

    MusyawarahPerencanaan

    BANG

    Pembangunan

    MUSREN

    MusyawarahPerencanaan

    BANGDE

    S

    PembangunanDesa

    MUSREN

    MusyawarahPerencanaan

    BANGDU

    S

    PembangunanDusun

    NGO

    Non-GovernmentalOrga-

    nization(LembagaSwadaya

    Masyarakat)

    NKRI

    NegaraKesatuanRepublic

    Indonesia

    NTB

    NusaTenggaraBarat

    NTT

    NusaTenggaraTimur

    ORMAS

    OrganisasiMassa

    PAD

    PendapatanAsliDaerah

    PAN

    PartaiAmanatNasional

    PAPSDA

    PengelolaanAgrariadanPen-

    gelolaanSumberDayaAlam

    PARPOL

    PartaiPolitik

    PEMDA

    PemerintahDaerah

    PERDA

    PeraturanDaerah

    PERDES

    PeraturanDesa

    PDRB

    ProdukDomesticRegional

    Bruto

    PKS

    PartaiKeadilanSejahtera

    PKB

    PartaiKebangkitanBangsa

    PLOD

    PolitikLokaldanOtonomi

    Daerah

    PMD

    PemberdayaanMasyarakat

    danDesa

    PP

    PeraturanPemerintah

    PROLEGDA

    ProgramLegislasiDaerah

    P

    ROLEG

    ProgramLegislasiNasional

    NAS

    P

    USSBIK

    PusatStudidanStrategiKebi-

    jakanPublik

    R

    ASKIN

    BerasMiskin

    R

    ENJA-

    RencanaKerjaSatuanKerja

    S

    KPD

    PerangkatDaerah

    R

    ENSTRA-

    RencanaStrategisSatuan

    S

    KPD

    KerjaPerangkatDaerah

    R

    ENSTRADA

    RencanaStrategikDaerah

    R

    R

    RegionalRegulations

    R

    KA

    RencanaKerjadanAnggaran

    R

    KPD

    RencanaKerjaPemerintah

    Daerah

    R

    PJM

    RencanaPembangunan

    JangkaMenengah

    R

    PJMD

    RencanaPembangunan

    JangkaMenengah

    R

    PJPD

    RencanaPembangunan

    JangkaPanjangDaerah

    R

    UU

    RancanganUndang-undang

    S

    AB

    StandardAnalisaBelanja

    S

    ATKER/

    SatuanKerja

    D

    INAS

    S

    DA

    SumberDayaAlam(Natural

    Resources)

    S

    DO

    SubsidiDaerahOtonom

    S

    EB

    SuratEdaranBersama

    S

    FDM

    SupportforDecentralization

    Measures

    S

    IAKAD

    SistemInformasiAkutansi

    KeuanganDaerah(Informa-

    tionSystemforRegional

    FinancialAccounting)

    SIKD

    SistemInformasiKeuan

    gan

    Daerah

    SKPD

    SatuanKerjaPerangka

    tDae-

    rah

    SOP

    StandardOperatingProce-

    dure

    STARSDP

    StateAuditReformSector

    DevelopmentProgram

    TCP3

    TataCaraPembuatanPerun-

    dang-undangan

    TPR

    TempatPemungutanRetribusi

    UDKP

    UnitDaerahKerjaPere

    nca-

    naan

    USAID

    UnitedStatesAgencyfor

    InternationalDevelopm

    ent

    UU

    Undang-undang

    UUD

    Undang-undangDasar

    VAT

    ValueAddedTax

    WALIKOTA

    KepalaDaerahKota

    WB

    WorldBank

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    11/66

    PENDAHULUAN

    Ruang Lingkup PenelitianIndonesia telah melangkah jauh dalam proses

    desentralisasi yang demokratis dalam lima

    tahun terakhir, dimana buah reformasi tersebuttelah dapat dirasakan di daerah-daerah. Telahdiakui luas bahwa Indonesia sudah membuatterobosan yang berani, meninggalkan masalalu yang serba sentralistis, melalui reformasipolitik melalui pemilihan umum yang bebasdan langsung di semua daerah; sekarangsemakin maju dengan pemilihan kepala daerahlangsung; devolusi sejumlah pelayanan publikmendasar kepada pemerintahan Kabupaten danKota; pengalihan dua setengah juta pengawai

    negeri sipil ke pemerintah daerah; dan transferdana dalam jumlah besar kepada pemerintahdaerah. Sejumlah perubahan ini telah semakinmemperkuat pemerintahan di daerah, dimanasekarang tersedia kewenangan dan sumber dayabagi pelayanan publik dan pembangunan yanglebih sesuai dengan kebutuhan dan keinginandaerah. Penelitian atas desentralisasi ini mengakuikemajuan yang telah dicapai sampai saat ini, sertamengusulkan langkah-langkah dan reformasi yang

    masih perlu dilakukan dalam rangka mencapaitujuan desentralisasi yang telah ditetapkan diIndonesia.

    Penelitian IniPenelitian ini dilakukan oleh DRSP-USAID

    dengan dukungan dana dari DSF, USAID, dan AusAID. Penelitian ini sendiri sebagian besardikerjakan oleh peneliti Indonesia (dari kalanganLSM, Akademisi, dan konsultan). Kelompokini menggunakan kerangka penelitian yang

    sama, dimulai dengan: pertama, review atasanalisis yang telah ada atas langkah-langkahpenting dalam reformasi; kemudian kedua,mendapatkan pandangan baru dari daerah dankelompok masyarakat tentang desentralisasidan pemerintahan daerah; ketiga, mencari tahupenilaian yang pernah dibuat tentang kinerjapemerintahan daerah; keempat, melacak usaha-usaha yang tengah berjalan mengenai kebijakanatau instrumen hukum yang baru baik di daerahmaupun di pusat; serta kelima, mengkaji perandukungan pihak ketiga (negara donor dan pihaklain). Para peneliti sungguh-sungguh berusahamemperoleh masukan dari lembaga pemerintah

    yang berurusan dengan upaya pembinaan danreformasi, serta menggali informasi dari para ahlipada bantuan teknis negara donor yang selama ini

    mendukung upaya-upaya tersebut. Metoda diskusikelompok terfokus digunakan untuk menggaliinformasi dan pandangan serta mendapatkanumpan balik atas analisa, kesimpulan, dan saran-saran yang dibuat oleh para peneliti. Sejumlahpembaca dari berbagai organisasi dan lembagaikut memberikan komentar terhadap draft-draftawal.

    Laporan-laporan yang ditulis para penelitimenjadi sumber utama penulisan dokumenpenelitian ini. Laporan penelitian dirancang

    oleh Tim USAID-DRSP. Pada tanggal 1 Juni2006 pokok-pokok penting laporan draft inidisampaikan kepada kelompok donor. Kemudiandiikuti dengan beberapa kali pertemuan untukmendapatkan umpan balik, dan akhirnya setelahmelalui berbagai proses kaji ulang, dilakukanlahproses penyempurnaan draft laporan. Laporan inimenyajikan informasi, analisa, dan saran-saranpraktis.

    Hubungan Penelitian IniDengan StrategiDesentralisasi Pemerintah

    Pada tahun 2005, Departemen Dalam Negeri(Depdagri) menyiapkan Strategi Besar (GrandDesign) Desentralisasi, dan Badan PerencanaanPembangunan Nasional (Bappenas) menyiapkanRencana Aksi Nasional Desentralisasi Fiskal(National Action Plan for Fiscal Decentralization NAPFD), sebagai acuan pemerintah dalammemetakan tindak lanjut desentralisasi. Tujuan

    utama reformasi yang akan dilakukan olehpemerintah sebagaimana yang tertulis dalamnaskah dokumen strategi tersebut kemudianmenjadi arah kebijakan dalam melakukananalisis untuk penelitian ini. Bila dalam GrandDesign dan NAPFD tidak memberikan petunjukapapun mengenai masalah yang sedang dibahasdalam laporan ini, studi ini merujuk pada upayareformasi pemerintah atau negara sebagaimanayang tertuang dalam Undang-undang, peraturan-peraturan atau arahan-arahan Menteri. Penting

    diketahui pula bahwa cakupan penelitian ini jauhlebih luas daripada dokumen strategi pemerintahyang ada tersebut. NAPFD khususnya, hanya

    1DESENTRALISASI 2006

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    12/66

    2DESENTRALISASI 2006

    mencakup sebagian tertentu dari desentralisasi,yaitu tentang masalah-masalah pengaturan fiskal.

    Beberapa asumsi yang dibuat dalam Grand

    Design dan NAPFD sebaiknya perlu dibuka untukpengkajian ulang. Oleh karenanya, penelitianini juga mengajukan sejumlah pertanyaan atasbeberapa pendekatan yang dipakai. Seperti,peran yang menonjol dari Dewan PertimbanganOtonomi Daerah (DPOD) yang terdapat dalamNAPFD, dipertanyakan pada beberapa hal;penelitian ini, sebaliknya, menyarankan peran-peran penting dari lembaga-lembaga yang adasaat ini. Penelitian ini mengisyaratkan adanyakemungkinan bahwa DPOD bahkan kurang

    dipahami oleh anggotanya sendiri, sehinggalembaga tersebut berfungsi jauh dari maksimal.

    Untuk mendapatkan pemahaman yang lebihbaik, akan lebih mudah membaca penelitian iniapabila digabungkan dengan dokumen GrandDesign dan NAPFD. Ketiga dokumen ini dilihatsecara bersamaan sehingga menjadi basis dalammelakukan pilihan-pilihan tentang tindak lanjutyang harus diambil terhadap sejumlah agendareformasi yang masih tertinggal. Sebenarnya,akan lebih baik lagi apabila Pemerintah dapatmengeluarkan sebuah dokumen strategis yangutuh yang merupakan gabungan dari ketigadokumen ini.

    Temuan-temuanTemuan-temuan yang ada dari penelitian

    ini menggemakan suara banyak stakeholder,dimana mereka mengemukakan bahwa reformasidesentralisasi pada prinsipnya sudah maju, namunbelum lengkap dan tidak sepenuhnya berjalan di

    lapangan. Kesan-kesan umum seperti ini tidaksepenuhnya mengejutkan; kemajuan reformasitidak selalu bergerak lurus (linear), cepat, danberkesinambungan. Meskipun demikian, rasapenasaran atas keadaan ini perlu dilihat karenaada harapan yang demikian besar bahwa revisiUndang-undang yang dilakukan pada tahun2004 akan benar-benar mengkonsolidasikandesentralisasi, dengan harapan dapat memangkasdampak-dampak dan menangani hambatan-hambatan yang muncul. Revisi tersebut diharapkan

    dapat membuka ruang bagi pelaksana di pusatdan daerah agar mereka dapat membuat langkahmaju di tahun-tahun mendatang. Harapan-

    harapan tersebut ternyata jauh dari terpenuhi.Kemajuan-kemajuan yang terlihat dalam kerangkabaru inipun (masih dalam pengembangan)

    tergerus justru oleh langkah-langkah mundurdan perubahan yang tergesa-gesa. Akibatnya,harapan atas kemajuan yang semestinya tercapaijustru semakin jauh dari tercapai.

    Ringkasan temuan-temuan penelitian inidisajikan pada bagian-bagian berikut. Analisadan temuan lengkap termuat dalam laporanlengkap penelitian ini. Karena panjangnyaLaporan Utama, Ringkasan Temuan dibukukansecara terpisah untuk mempermudah parapengguna. Temuan tersebut terdapat dalam

    sub-bahasan topik (Kerangka Hukum, HubunganAntar Tingkat Pemerintahan, Reformasi Birokrasi,Reformasi Pemerintahan di Daerah, dan DukunganPihak Ketiga). Setiap bagian dibawah ini terdiridari temuan yang diikuti oleh pilihan-pilihantindak lanjut, dengan rekomendasi khusus bagilembaga-lembaga donor. Penekanan atas apayang perlu dilakukan oleh lembaga-lembagadonor merupakan cerminan bahwa merekalahsasaran utama penelitian ini. Meskipun demikian,penelitian ini tetap memperhatikan bahwakepemilikan dan kepemimpinan Pemerintahdan Masyarakat Indonesia sajalah yang akanmemastikan keberhasilan setiap kebijakan dinegeri ini. Pihak donor memang harus terusmenerus mempaduserasikan upaya koordinasi danimplementasi sesuai dengan kerangka Indonesiaagar benar-benar sesuai dan berhasil.

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    13/66

    TEMUAN UTAMA

    I. KEMAJUAN DALAM KERANGKA HUKUM

    K

    etentuan hukum untuk menyiapkanperaturan perundang-undanganmasih belum melingkupi semua

    tingkat peraturan. Kalaupun ketentuantersebut ada, untuk Undang-undangdan Peraturan (dari tingkat nasional sampaidesa), tetap mensyaratkan penulisan rancanganyang ketat dan terbuka. Sebagai tambahan, telahada penjejangan atau hirarki produk-produkhukum, dan sebenarnya ini dapat membantudalam rangka membangun kerangka hukum yangkoheren dan sesuai bagi proses desentralisasiataupun pemerintahan daerah. Meskipun telahada kerangka normatifnya, kelemahan yang

    mendasar dalam proses ini dan hasil penyiapanproduk-produk hukum masih terlihat.

    Kelemahan yang begitu nyata dari kerangkahukum dan proses pembuatannya adalahketiadaan koordinasi diantara lembaga-lembagaterkait, serta kurangnya konsultasi dengan parapemangku kepentingan (stakeholder) dan paraahli. Proses yang sangat lemah terlihat baik padainisiatif pemerintah maupun DPR, sehingga produkyang dihasilkan sangat mungkin beresiko besardalam hal kelayakan maupun penerimaannyaoleh stakeholders. Dampak dari carut marutnyaperaturan seperti yang selama ini berlangsungadalah ketiadaan harmonisasi diantara berbagaiperaturan perundang-undangan yang berkaitandengan desentralisasi tata pemerintahan,terutama antara undang-undang desentralisasidan undang-undang sektoral. Penjabaran dariUU 32/2004 (mengenai pembagian kewenanganmisalnya) membuktikan adanya kelemahan tatahukum.

    Kekurangjelasan dan ketidaklengkapan hirarkiperaturan perundang-undangan sebagaimanadisebut dalam UU 10/2004 tentang Tata CaraPenyusunan Peraturan Perundang-undangandan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerahsemakin memperkuat bukti adanya kelemahandalam kerangka hukum. Kekurangjelasan initerbukti dari tidak jelasnya cakupan PeraturanDesa dan Peraturan Daerah serta Keputusandan Peraturan Kepala Desa, Keputusan Menteri/Lembaga, surat edaran, dan surat-surat lainnya.

    Banyaknya inkonsistensi dalam kerangka hukumini mengakibatkan terjadinya pertentangan diatarapara pelaku yang pada akhirnya hanya akan

    semakin memperlambat proses desentralisasi.Meningkatkan kualitas dan kuantitas

    keterampilan baik dalam proses merancang

    peraturan perundang-undangan, maupunproduk peraturan perundang-undangan yangdihasilkan merupakan hal yang sangat pentingbagi keberhasilan reformasi dan pelaksanaandesentralisasi. Ini berlaku untuk pihak pemerintahdan juga nantinya bagi masyarakat, dimanadiharapkan mereka akan lebih menghargaihukum dan perundang-undangan. Lembaga-lembaga donor perlu mempunya dasar pijakyang sama dalam strategi pemberian dukunganpengembangan kemampuan sehubungan dengan

    pembuatan kebijakan dan penyusunan rancanganperaturan perundang-undangan. Meskipun donorsudah mengajak Pemerintah Indonesia untukmenggunakan pendekatan terbuka dan sistematis,belum terlihat adanya pemikiran strategis yangmemadai serta upaya-upaya intensif dan teraraholeh lembaga donor dalam bekerjasama denganPemerintah Indonesia dalam topik ini.

    Perbaikan kerangka hukum desentralisasidan pemerintahan daerah menuntut sikap barudari para pelaksana pemerintahan dan DewanPerwakilan Rakyat terhadap pembuatan kebijakandan penulisan rancangan peraturan padaumumnya. Perlu penekanan lebih besar dalampenetapan hirarki yang lebih tepat atas produkperundangan, termasuk amandemen ketentuan-ketentuan dalam Konstitusi. Perlu dibuat peraturanperundang-undangan yang lebih lengkap untukmenghindari peraturan-peraturan menteri yangkurang mempunyai visi pemersatu. Persiapanperlu dibuat dengan ketelitian tinggi, dengan

    disertai dokumen-dokumen konseptual sebagaibahan pembantu, serta dilibatkannya para ahlidan stakeholder. Harus ada antisipasi dampakperundangan maupun peraturan melalui sebuahpenilaian sistematis yang dilakukan sebagaikebiasaan rutin.

    Perbaikan-perbaikan atas permasalahansebagaimana dikemukakan diatas sebenarnyabisa dilakukan dalam rangka revisi UU32/2004 yang akan berjalan dalam waktudekat, sebagai sebuah usaha jangka pendek.

    Perbaikan sedikit demi sedikit namun berbobotmelalui proses pembahasan akan menghasilkanaturan main yang lebih berkesinambungan

    3DESENTRALISASI 2006

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    14/66

    4DESENTRALISASI 2006

    dan lebih membangkitkan rasa hormat bagiproses desentralisasi dan pemerintahan daerah.Kesempatan yang ada saat ini dan masa datang

    untuk mencapai sasaran tersebut sudah dilihatoleh beberapa lembaga donor yang tengahmendukung program pengembangan kebijakan.Keberhasilan-keberhasilan dimasa lalu terkaitdengan pemberian dukungan kebijakan dapatdijadikan model.

    Kesempatan di depan mata bagi lembaga donorbisa dilakukan saat membantu clearinghouseDepdagri dalam mengevaluasi dan merevisi UU32/2004. semua lembaga donor yang terlibatdalam produk lanjutan harus mengerti peran

    strategis lembaga ini yang ada di Direktorat JendralOtonomi Daerah Depdagri, dan harus berusahabekerja sama dengan lembaga ini.

    Dalam jangka menengah, semua stakeholderperlu mengembangkan arena tukar menukarpikiran yang lebih dalam dan luas tentangbagaimana melaksanakan perumusan kebijakanyang lebih baik dan penyusunan rancanganperaturannya. Lembaga donor dapat mulaimenyelaraskan prinsip-prinsip dan pendekatan-pendekatan pengembangan kapasitas mereka.Kerjasama dengan Depdagri, DepartemenHukum dan Hak Asasi Manusia (DepKumHam),dan Sekretariat Negara dapat dikembangkanuntuk membahas proses penyusunan rancanganundang-undang/kebijakan yang mempunyairuang lingkup luas.

    Dalam jangka panjang, penyelarasan sektoraldan amandemen konstitusi (tidak harus dalamurutan seperti ini) perlu diperhatikan dandiusahakan. Sifat dan hakekat otonomi daerah

    harus punya payung yang jelas dalam UUD. Akansangat beresiko bagi masa depan Indonesia untukterus bergerak maju dengan berbagai macam arusdan alur perundangan serta administratif tanpadisertai konsensus nasional mengenai strukturdan prinsip-prinsip dasarnya.

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    15/66

    Penataan Daerah

    Pemerintah Indonesia mengharapkan bahwa

    pembentukan, pembagian, penggabungan danpenghapusan sebuah daerah akan memberidampak bagi meningkatnya kesejahteraanmasyarakat, melalui pelayanan yang lebih baik,kehidupan demokratis yang semakin berkembang,pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat,keamanan dan tatanan yang semakin bagus sertahubungan yang selaras antar daerah. Perangkathukum untuk menilai usulan pembentukan sebuahdaerah baru, yaitu PP 129/2000, saat ini tengahdirevisi untuk meningkatkan tata cara teknis usulan

    sejalan dengan ketentuan umum yang termuatdalam UU 32/2004. Proses administratif dasaryang dipakai dalam peraturan yang sedangdirevisi ini tampaknya mirip dengan prosesyang sudah dipakai sebelumnya. Proses tersebuttetap mengandung baik unsur-unsur yang tepat(tahap-tahap persetujuan) maupun kelemahan-kelemahan teknis yang terdapat dalam analisausulan tersebut. Meskipun ada perampinganindikator, rancangan peraturan yang dipakai

    saat ini masih mengandung banyak indikatoryang patut dipertanyakan. Ada kelemahansangat mendasar bagaimana indikator-indikatortersebut diaplikasikan dalam sistem penilaian.Dengan munculnya 136 kabupaten/kota barudan 6 propinsi baru selama masa 1999-2005,dan ditambah 100 usulan daerah baru, prosespengkajian yang tepat menjadi sangat pentingdemi keberhasilan program desentralisasi.

    Proses pemekaran daerah harus dilihat melaluikacamata visi desentralisasi pemerintahan,

    dimana tugas utama semua kabupaten/kotasudah digariskan sama, dengan harapanbahwa pemerintahan di tingkat ini akan menjadipemerintah daerah yang pada umumnya berfungsiserupa, yaitu sebagai penyedia utama pelayanankebutuhan dasar. Pemerintah kebupaten/kotajuga diharapkan semakin tanggap dan berdayaguna, dengan asumsi masyarakat dapatmembiayainya melalui pajak dan pungutan. Pajakdan pungutan ini harus dapat menutup sebagianbesar dana pelayanan yang dituntut masyarakatdari pemerintah daerah masing-masing. Denganadanya pemecahan kabupaten, nampaknya tidakmungkin daerah-daerah baru dapat menjalankan

    fungsi pelayanan yang memuaskan. Juga tidakjelas apakah pencapaian sasaran-sasaranyang mendasari kebijakan desentralisasi lebih

    dimudahkan ataukah malah terhambat olehmomentum pemekaran yang terus bergulir.Pemekaran mungkin muncul karena adanya

    dorongan untuk mendekatkan pemerintahkepada masyarakatnya, dan mendorongmodernisasi di daerah tersebut, namun terlihat jugaadanya alasan-alasan tersembunyi; penekananhomogenitas dan munculnya prioritas padaputra daerah, keinginan untuk mendapatkankeuntungan finansial terkait dengan pengucurandana; birokrasi pemburu rente; maupun

    keinginan sekalangan elit untuk memperkuatdukungan politisnya. Tidak jelas apakah sudahada perbaikan dalam bidang pelayanan;yang jelas pemekaran menyebabkan kegiatanpengelolaan pemerintahan tidak efisien karenabiaya pemerintahan per kapita yang dikeluarkanmeningkat drastis. Pemekaran nampaknya jugamenciptakan kesenjangan potensi kemampuandalam pelaksanaan tugas yang sudah ditetapkanseragam untuk semua kabupaten/kota dan jugaberpotensi memperburuk ketegangan serius antarkelompok.

    Mengerem pemekaran menuntut komitmenbaik dari pemerintah maupun DPR, karenaDPR mempunyai hak inisiatif (hak yang seringdigunakan secara bebas akhir-akhir ini dalammenyikapi keinginan pemekaran). Diperlukankonsensus diantara kedua belah pihak mengenaiproses pengkajian usulan yang seragam. Prosestersebut harus mengandung modifikasi unsurteknis, yang bisa operasional dan berguna.

    Diperlukan waktu untuk menciptakan proseskaji ulang teknis yang baru. Perlu diberikankeleluasaan (minimal satu tahun) mengenaimasalah pemekaran. Selama masa ini, pemerintahdapat mempelajari bukan saja pemekaran, tetapimasalah yang lebih luas mengenai penataandaerah. Keinginan DPR/Pemerintah dalampenentuan jumlah daerah yang ideal kemudiandapat diletakan pada kerangka pertanyaanyang lebih mendasar tentang hakekat otonomidaerah yang diinginkan. Perlu sekali melakukan

    perenungan kembali dan menentukan apa tujuanpenataan daerah, dan perangkat apa saja yangdiperlukan untuk mencapai tujuan ini. Hanya

    5DESENTRALISASI 2006

    II. HUBUNGAN ANTAR TINGKAT PEMERINTAHAN

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    16/66

    6DESENTRALISASI 2006

    melalui tahapan ini akan jelas bagaimana carapenangangan usulan pembentukan daerah baruatau bagaimana cara penangangan daerah

    yang sedang berjuang menjalankan tugas yangdiembannya; jumlah daerah akan terseleksiberdasarkan kriteria penyesuaian yang jelas.Proses seperti ini membutuhkan pembahasanyang melibatkan banyak pihak. Pembicaraanini sebaiknya didukung oleh lembaga-lembagadonor karena Indonesia belum pernah mempunyaiperangkat alat penataan daerah yang lengkap.

    Sebelum menuntaskan perundangan yangbaru, Pemerintah Indonesia sebaiknya mendorongberlangsungnya dialog yang mampu memberi

    pencerahan kepada para stakeholder tentangkinerja yang sudah dicapai dan tantangan yangakan dihadapi oleh daerah baru. Dialog ini jugaharus bisa membuat para pemangku kepentinganlebih terbuka terhadap perangkat lain penataandaerah (termasuk penggabungan). Tindakan-tindakan pelengkap juga diperlukan dalamjangka menengah. Secara khusus, unsur-unsuryang kurang menguntungkan dalam kerangkadesentralisasi yang condong ke pemekaran jugaperlu dibahas (misalnya penggajian PNS daerahyang masih masuk dalam ketentuan DAU).

    Perlu pula pengembangan kapasitas dilembaga-lembaga pemerintah terkait agardapat menuntaskan kerangka perundanganserta melakukan penelitian dan pengembangankebijakan, dengan sisi pandang jauh kedepan.Pemerintah perlu menjalin kerjasama denganpusat penelitian independen yang handal untukdapat menyumbangkan konsep-konsep dan hasilpenelitian di daerah.

    Pembagian Kewenangan

    Restrukturisasi urusan-urusan pemerintahandaerah merupakan salah satu unsur terpentingdan menantang yang ditangani dalam reformasisekarang ini (melalui UU 32/2004 dan peraturanpelaksananya). Pembagian urusan belumdilakukan secara jelas bagi pemerintahankabupaten/kota dalam reformasi desentralisasi

    tahun 1999. Bahkan jika pembagian urusan telahjelas, beberapa departemen maupun lembagapemerintah pusat lainnya berkeberatan dalam

    menyerahkan sejumlah urusan strategis maupunyang dapat menjadi sumber pendapatan daerah,yang selanjutnya akan menyebabkan ketegangan

    antar tingkatan pemerintahan.Berbeda jauh dengan UU 22/1999, UU32/2004 menghilangkan urusan residual kepadapemerintah daerah (kabupaten/kota). Undang-undang ini kemudian mencantumkan positif listdari urusan wajib bagi propinsi dan kabupaten/kota, dengan rincian lanjutan akan ada dalamPeraturan Pemerintah. Undang-undang inimembedakan antara urusan wajib dan urusanpilihan. Urusan wajib yang ditentukan dalam UU32/2004 bentuknya kurang konsisten; ada yang

    berbentuk sektor dan yang bersifat urusan denganruang lingkup sempit. Daftar untuk propinsi hampirsama dengan daftar kabupaten/kota, hanya adatambahan urusan lintas kabupaten/kota. Lebihlagi, penentuan apa yang menjadi urusan wajibmaupun pilihan ditentukan atas serangkaiansektor, daripada penentukan yang berdasarhakekat urusan itu sendiri.

    Rancangan peraturan (yang akan mengganti-kan PP 25/2000) sekarang sedang beradadalam tahap akhir persiapan, melalui prosesyang dipandu oleh Depdagri, yang melibatkanpembahasan intensif dengan departemen sektoraldan instansi pemerintah lain (meskipun tidakbanyak pembahasan dengan para stakeholder lainseperti asosiasi-asosiasi pemerintah daerah).

    Undang-undang ini masih jauh dari memadaidalam mengatur pendelegasian kewenanganyang berkaitan dengan tugas pembantuan.Mekanisme untuk hal ini masih sangat terbatas,termasuk dari kesalahpahaman yang muncul

    dari Amandemen UUD 1945: daerah mengaturdan melaksanakan urusan pemerintahan menurutasas otonomi dan tugas pembantuan. Ketentuanini (dikutip didalam UU 32/2004) sebenarnyainkonsisten dengan prinsip dasar bahwa daerahtidak dapat dengan seksama mengatur urusanpemerintah pusat. Daerah tentu saja dapatmelaksanakan hal-hal tersebut, dengan parametertertentu, bila ditugaskan. Juga tidak jelas dalamUU 32/2004 apakah urusan wajib sebuah daerahdapat didelegasikan sebagai tugas pembantuan

    kepada tingkat dibawahnya ataukah tidak.Keseluruhan tata rancang hukum mengenai

    urusan terus menjadi masalah. Kelemahan

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    17/66

    7DESENTRALISASI 2006

    II. HUBUNGAN ANTAR TINGKAT PEMERINTAHAN

    yang besar dan terus menerus terjadi adalahkurangnya harmonisasi dengan undang-undangdan peraturan-peraturan sektoral. Ini memang

    tidak memberikan harapan untuk mengurangiketegangan antar lembaga pemerintahan yangterlihat beberapa tahun terakhir ini.

    Beberapa perbaikan mungkin dapat dicapaidengan mencocokan urusan pemerintahandengan sumber keuangan. Dalam beberapa tahunterakhir ini, beberapa departemen telah berhasilmengeluarkan dana yang cukup besar lewat DIPke daerah-daerah untuk membiayai tugas yangseharusnya ada dibawah kontrol pemerintahdaerah. Penyaluran dana seperti ini melemahkan

    perencanaan dan anggaran setempat. Dengankesepakatan akan terjadi perpindahan yang sedikitdemi sedikit dari dana ini ke DAK, pemerintahdaerah akan mempunyai kontrol yang lebih besaratas dana ini untuk membiayai tugas pokoknya.

    Keseimbangan antara urusan pemerintahan dankeuangan juga akan dipermudah melalui usahaterkait untuk tetap menjaga tingkat aksesibilitasdan mutu pelayanan dasar di seluruh daerahmelalui standar pelayanan minimal (SPM). Usaha-usaha awal departemen/lembaga sektoral padatahun 2000-2005 telah menghasilkan daftar SPMyang sangat beragam dalam bentuk maupunjustifikasi. Faktor kelayakan dan penyerapannyabelum diuji. Pemerintah Daerah belum dapatmenggunakan daftar ini sesuai harapanpemerintah. Menyadari besarnya tantangan,pemerintah mengambil upaya pengembanganmodel awal (piloting) dari tahun 2003/2005,dengan dukungan sejumlah lembaga donor, danmemasukan pelajaran yang dipetik dari kegiatan

    ini dalam PP 65/2005 tentang SPM, denganmemperjelas lebih rinci bagaimana SPM harusdisiapkan dan diperkenalkan. Peraturan ini cukupbaik, namun tantangannya adalah bagaimanamembuat peraturan ini lebih operasional.Ketentuan-ketentuan yang lebih rinci akanditerbitkan dalam peraturan-peraturan Menteri.

    Depdagri sekarang sedang mengembangkaninstrumen peraturan yang disebutkan dalam PP65/2006 agar penetapan SPM dalam peraturanMenteri per-sektor dan penerapannya berjalan

    dengan mulus. Kecuali dukungan terhadapSPM, dukungan lembaga donor atas pembagianurusan berlangsung tidak konsisten dan umumnya

    intensitasnya sangat sedikit. Ini sebagiandisebabkan karena kurangnya kontribusi dariproyek yang didukung oleh lembaga donor, tetapi

    lebih banyak lagi disebabkan karena pendekatantertutup yang sering dilakukan oleh Depdagriantara tahun 2004 sampai pertengahan 2005.

    Di masa yang akan datang, perlu adanyamekanisme/forum institusional yang lebih baikyang mampu mendorong koordinasi dalampengembangan kerangka desentralisasi pemerin-tahan. Koordinasi antar lembaga ini akan sangatpenting untuk memperkenalkan SPM di setiapsektor, khususnya agar keterjangkauan keuanganSPM terjamin. Pembuatan mekanisme koordinasi

    lembaga donor yang efektif (Sekretariat TetapKelompok Kerja Bersama Desentralisasi saat ini)juga diharapkan dapat membantu terciptanyakoherensi antara bidang-bidang reformasi terkait,dan diharapkan dapat memperbaiki kualitasreformasi. Koordinasi yang baik mengandalkanjuga pembahasan dengan para stakeholder dansumber ahli, agar kualitas dan legitimasi bisalebih baik.

    SPM harus diseleksi dan diperkenalkan dengancara hati-hati, agar terjamin dapat diterapkan didaerah dan akan terjangkau secara keuangan.Para stakeholder harus mempunyai pandanganyang seragam mengenai SPM dan bagaimanaSPM sesuai konsepnya, sehingga SPM bisamembuahkan hasil. Juga harus ada usahauntuk menghindari bahaya-bahaya yang munculapabila hal itu tidak dilaksanakan dengan baik.Daripada menetapkan SPM dengan asal-asalan,dengan dampak yang negatif, lebih baik SPMhanya digunakan semata-mata sebagai tolok

    ukur awal. Arsitektur pembagian urusan memerlukan

    perbaikan yang lebih permanen. Untuk sementara,pembagian urusan akan dilakukan lewatperu-bahan PP 25/2000. menyusul peraturanpemerintah ini, perlu dipertimbangkan langkahlanjutan, yaitu instruksi Presiden kepada paramenteri agar menyiapkan peraturan perundang-undangan dalam kurun waktu tertentu denganmaksud menyelaraskan instrumen hukum.Perbaikan menyeluruh memerlukan perubahan

    dalam UUD, dan harus dirancang selarasdengan pengkajian dan penguatan mendasardari kerangka hukum desentralisasi itu sendiri.

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    18/66

    8DESENTRALISASI 2006

    Dalam amandemen, akan sangat penting untukmenjelaskan perbedaan dari urusan wajib danurusan pilihan.

    Peran Gubernur dan Propinsi

    Pada prinsipnya, kemungkinan meningkat-kan peran Gubernur sudah termuat dalam UU32/2004, dengan pertimbangan bahwa Gubernurakan memperpendek lingkup kontrol terutamadalam aspek pembinaan dan pengawasanterhadap pemerintah kabupaten/kota. Patut diper-hatikan bahwa peran propinsi sebagai pemerintahdaerah yang otonom masih tetap tidak jelas.

    Tidak lama sesudah UU 22/1999 diterapkansecara penuh, pemerintah pusat menyimpulkanbahwa pemerintah kabupaten/kota terbuktisulit diawasi. Khususnya, banyak daerah tidakmemandang penting pemerintah propinsi danGubernur. Daerah-daerah tersebut tergerak olehkesalahpahaman bahwa UU 22/1999 telahmenghilangkan jenjang hirarki antara pemerintahPropinsi/Gubernur dengan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah pusat mencoba mengambillangkah coba-coba untuk memulihkan kembaliperan para Gubernur, tetapi usaha perbaikantersebut diganjal kembali oleh UU 32/2004 danperaturan pelaksananya. Dalam UU 32/2004,indikasi adanya otonomi terbatas bagi propinsiyang terdapat dalam UU 22/1999 ditanggalkan.Demikian juga, penyebutan secara eksplisit tentangketiadaan jenjang hirarki antara pemerintahpropinsi dan pemerintah kabupaten/kota jugadihapuskan. Meski demikian, disamping indikasitersebut, hubungan pemerintah propinsi harus

    dinilai dari daftar spesifik urusan yang diberikandalam peraturan pemerintah tentang pembagianurusan.

    Terlingkup dalam peran Gubernur sebenarnyaada modalitas desentralisasi yang disebut sebagaidekonsentrasi (penyebaran kantor departemen/lembaga pemerintah pusat di seluruh wilayahIndonesia). Dengan dihapuskannya kebanyakankantor-kantor wilayah pada departemen/lembaga,dan pembatasan bupati/walikota sebagai kepaladaerah, pemerintah pusat harus lebih banyak

    menggunakan peran Gubernur (dan sebagaikonsekuensi praktisnya, pemerintah propinsi)agar pemerintah pusat dapat menjalankan

    fungsi pemerintahan secara efektif. Penggunaandekonsentrasi ini sama sekali tidak dilihat padareformasi tahun 1999. penggunaan dekonsentrasi

    ini diangkat lebih penuh pada reformasi tahun2004, dengan maksud untuk mengangkatkembali/meningkatkan peran Gubernur (palingtidak, peran pemerintah propinsi tetap diabaikan)melalui tugas dekonsentrasi.

    Ternyata penguatan tugas dekonsentrasiGubernur ini tidak berjalan jelas. Tugas-tugasyang terlihat dalam UU 32/2004 masih rancu,dan rincian tugas-tugas ini masih menungguperaturan pemerintah yang saat ini masih digodok.Kalaupun saja tugas-tugas tersebut dianggap

    penting, arsitektur tugas dekonsentrasi masihkekurangan uraian tentang organisasi yangtersedia bagi Gubernur untuk menjalankan tugastersebut. Kerangka tidak jelas/tidak konsistendalam hal penggunaan unit pelaksana propinsiyang otonom dalam pelaksanaan tugas-tugasdekonsentrasi. Seandainya unit pelaksana propinsidipakai, pemerintah kabupaten/kota akanbingung karena mereka kurang pasti tentangfungsi apa yang dijalankan para pejabat propinsipada saat melaksanakan tugas tertentu. Ini jugaakan mempersulit laporan keuangan dan laporanpertanggungjawaban pemerintah propinsi.

    Situasi ini dipersulit dengan adanya tumpangtindih dekonsentrasi Gubernur dan peran Gubenurdalam kapasitasnya sebagai Kepala Daerah.Tugas koordinasi dan tugas pengawasan terha-dap kabupaten/kota merupakan dua tugas yangdiberikan baik dalam kerangka dekonsentrasi(Gubernur) dan desentralisasi (Propinsi).

    Penyusunan UU 32/2004 berkaitan peran

    Gubernur, Propinsi, dan ketentuan pengawasanyang terkait kurang dibahas secara terbuka dantidak memanfaatkan dari pengalaman interna-sional. Sayangnya, lembaga-lembaga akademisdi Indonesia juga belum begitu tanggap terhadapmasalah ini, dan mereka nampaknya tidak ter-sambung dengan kegiatan-kegiatan internasionalyang mungkin dapat memberikan beberapa inspi-rasi. Pada saat ini, hampir tidak ada dukungandari para donor yang diberikan kepada Depdagrimengenai dekonsentrasi dan peran Gubernur.

    Konsep jenjang hirarki antara tingkat sub-nasional pemerintah terlihat rumit. Eksistensijenjang hirarki terdapat di cukup banyak negara

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    19/66

    9DESENTRALISASI 2006

    II. HUBUNGAN ANTAR TINGKAT PEMERINTAHAN

    dan kelihatan sulit dihindari, bahkan antaratingkatan otonom. Kalau kita mau melangkahke depan, diperlukan banyak klarifikasi terkait

    dengan peran propinsi dalam sistem pemerintahanIndonesia yang bertingkat, dan sifat tugas-tugas yang pantas tidak dipercayakan kepadapemerintahan sub-nasional otonom, serta carapelaksanaan alternatif (organisasi, mekanismekeuangan) dalam menjalankan tugas-tugas ini.

    Diperlukan dukungan yang lebih intensif darilembaga-lembaga donor untuk membahasperaturan-peraturan penting yang masih harusdirancang, terutama peraturan-peraturanyang terkait dengan peran Gubernur dan

    struktur organisasinya. Dalam jangka panjang,perbandingan-perbandingan pembagian perandalam pemerintah kesatuan yang bertingkatbanyak dapat menjadi masukkan berguna.Masukkan ini diperlukan untuk membenahikerangka kebijakan agar lebih jelas, operasionaldan tanggap terhadap tuntutan aktual.

    Hubungan KeuanganAntar Tingkat Pemerintahan:

    Pendapatan Asli Daerah

    Pendapatan Asli Daerah diharapkan menjadisumber utama pendapatan daerah di masa depan.Pendapatan ini diperoleh dari pajak daerah,pungutan daerah, keuntungan bersih aset daerah,dan sumber legal lainnya. Peningkatan penda-patan asli daerah dalam jumlah besar diharapkandapat mendorong akuntabilitas yang lebih besardari pemerintah daerah yang bersangkutan.

    Meskipun demikian, tingkat pendapatan aslidaerah saat ini masih kurang dari sepuluh persendari total pendapatan daerah seluruhnya, danperubahannya juga sangat lamban.

    Saat ini ada empat jenis pajak propinsi dantujuh jenis pajak untuk kabupaten/kota. Dasarpenentuan pajak ini ditetapkan oleh pemerin-tah pusat dan ada platform untuk setiap pajakyang membatasi penetapan tingkat pajak olehpemerintah daerah. Selain itu, pemerintah daerahmempunyai hak untuk menetapkan pajak-pajak

    baru sejauh pajak-pajak itu sejalan dengan prinsipperpajakan yang baik yang sejiwa dengan prak-tek-praktek yang baik di dunia internasional.

    UU 32/2004 melarang pemerintah daerahmenetapkan sumber pendapatan asli daerah yangberakibat ekonomi biaya tinggi atau membatasi

    mobilitas orang, barang, dan jasa antar daerah(dalam negeri) atau membatasi kegiataneksport dan impor (internasional). Ketentuan inidiberlakukan sebagai jawaban atas penerapanpajak perdagangan antar daerah oleh beberapapemerintah daerah. Meskipun ada ketentuanini, banyak sekali pajak-pajak baru dan retribusibermunculan. Karena tidak adanya kewenanganbesar, untuk memperoleh pendapatan tambahan,pemerintah daerah mengandalkan diri kepadapajak dan pungutan yang tidak efisien dengan

    potensi pendapatan kecil tetapi disertai biayaadministrasi tinggi. Pajak-pajak seperti inicenderung menjadi penyebab distorsi ekonomi.Masalah ini diperparah dengan pengawasanyang lemah oleh pemerintah pusat (Depdagridan Depkeu). Beberapa peraturan daerah sudahdibatalkan. Namun tindakan tersebut agakmenghambat, sehingga memunculkan banyakkeraguan bahwa pengawasan akan dijalankandengan cara yang ketat dan tepat waktu di masamendatang.

    Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah saatini sedang mempersiapkan sebuah revisi UU34/2000, yang nampaknya akan memuat daftarpajak daerah dan retribusi, untuk mengurangibeban administratif dalam proses revisi danmencegah kegiatan perpajakan yang tidak efisien.Pendekatan seperti ini kurang didukung olehdonor yang memberikan bantuan teknis karenadaftar retribusi akan sangat rumit, kaku, dansangat sulit dilaksanakan di lapangan. Tidak ada

    dukungan dari lembaga donor untuk membahasmasalah ini.

    Kalau Pemerintah Indonesia ingin meningkat-kan pendapatan aslinya, pemerintah dapatmempertimbangkan dua langkah reformasiyang menjanjikan: menyerahkan Pajak Bumidan Bangunan (PBB) kepada pemerintahdaerah, dan memberikan wewenang kepadapemerintah daerah untuk mendapatkan bagian(tambahan) dari pajak penghasilan. Sebagianbesar pendapatan pajak bangunan sudah diterima

    oleh pemerintah daerah melalui pengaturanpembagian perolehan yang berlaku saat ini.Pajak Bumi dan Bangunan memang lebih tepat

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    20/66

    10DESENTRALISASI 2006

    diberlakukan sebagai Pajak Daerah karena objekpajak tersebut tidak bergerak. Pajak Bumi danBangunan ini juga merupakan sumber keuangan

    penting dalam berbagai sistem pajak di seluruhdunia. Menarik tambahan pajak penghasilan(misalnya sampai lima persen) dari dasar pajakpenghasilan tingkat nasional akan meningkatkanjumlah pajak secara signifikan dan menggiurkanbagi Pemerintah Daerah.

    Kedua pilihan yang sangat baik itu nampaknyatidak akan terwujud dalam jangka pendek ataujangka menengah karena nampaknya revisiUU 34/2000 tidak memberikan wewenangperpajakan yang berarti kepada Pemerintah

    Daerah. Revisi ini pun tidak akan disiapkandalam waktu dekat. Dukungan donor tidakbisa diharapkan kalau pemerintah Indonesiatidak menaruh minat yang cukup besar untukmerealisasikan sasaran reformasi perpajakan ini.Dukungan lembaga donor dapat diberikan terkaitdengan pekerjaan analisa awal yang diharapkandapat memperluas pengertian mengenaipentingnya reformasi di bidang perpajakan yangdiharapkan dapat menjadi dasar untuk setiapprakarsa pengembangan kebijakan berikutnya.

    Hubungan KeuanganAntar Tingkat Pemerintahan:

    Dana Alokasi Umum

    Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan sumberutama pendapatan pemerintah daerah, yangdigunakan baik untuk perimbangan vertikalmaupun perimbangan horisontal. Pemerintah

    Indonesia menyadari bahwa mekanismepenyaluran keuangan merupakan hal yangsangat penting terhadap suksesnya kebijakandesentralisasi. Pemerintah mengacu kepadaprinsip money follows functions dan pemerintahberharap untuk membuat cara pengaturan DAUmenjadi lebih baik.

    DAU adalah hibah (block grant) yang didasar-kan atas formula: dimulai pada tahun anggaran2008 DAU minimal mencapai 26% dari totalpendapatan domestik bersih (penghasilan total

    dikurangi dana bagi-hasil) dan pembagiannyadiantara Propinsi, Kabupaten/Kota ditentukandengan Peraturan Pemerintah. Ini terdiri dari

    alokasi dasar dan alokasi kesenjangan fiskal. Alokasi dasar meliputi pengeluaran gaji PNSdari masing-masing pemerintah daerah. Unsur

    kesenjangan fiskal dihitung dari jumlah perbedaanantara kebutuhan fiskal dan kemampuanfiskal. Variabel pengganti yang dipakai untukpenghitungan kebutuhan keuangan adalahjumlah proporsional penduduk, luas daerah,indeks harga bangunan, PDRB per kapita, dankebalikan dari Indeks Pengembangan SDM(yang terakhir ini dapat dilihat sebagai cerminanindeks kemiskinan, sebuah ukuran yang dipakaidalam rumusan sebelumnya). Variabel kapasitaskeuangan adalah pendapatan asli daerah yang

    terealisasi, pajak, dan dana bagi hasil SDA. Mulaitahun anggaran 2008 (dengan dihapuskannyahold harmless provision) daerah-daerah dengankesenjangan fiskal sama dengan nol hanya akanmemperoleh alokasi dasar; daerah-daerahdengan kesenjangan fiskal negatif, yaitu lebihdari atau sama dengan alokasi dasar tidak akanmenerima DAU lagi.

    DAU adalah sumber utama anggaranpemerintah daerah, yang jumlahnya merupakansekitar 80% dari total pendapatan kabupaten/kota dan sekitar 30% untuk tingkat propinsi.Total ketergantungan terhadap DAU tersebuttelah meningkat pada masa paska-desentralisasi,bahkan dengan berkurangnya bagian DAU dalamtotal pendapatan nasional dari 22% pada tahunfiskal 2001 menjadi 17% pada tahun fiskal 2005.ini tidak berarti bahwa agregat pendapatannasional telah berkurang tetapi mungkin terjadikarena adanya pergeseran dari DAU ke sumberpendapatan lain, terutama bagi-hasil pajak dan

    lainnya, dan mungkin juga bergeser ke DAK.Meskipun demikian, DAU masih tetap menjadisalah satu bagian terbesar anggaran nasional.Perlu diketahui bahwa DAU sebenarnya sudahmeningkat sebesar 60% pada tahun 2006,sebagai akibat dari diberlakukannya anggaranyang lebih realistis.

    Penyaluran dana seharusnya tidak terkaitdengan keputusan pengeluaran dan pendapatanpemerintah daerah. Rumusan DAU mengandungbeberapa segi yang berpotensi menimbulkan

    distorsi dalam keputusan pengeluaran danpendapatan. Berdasarkan sisi pendapatan,pada tahun anggaran 2006, PAD yang terealisir

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    21/66

    11DESENTRALISASI 2006

    II. HUBUNGAN ANTAR TINGKAT PEMERINTAHAN

    digunakan untuk menentukan kemampuan fiskal.Seandainya keadaan ini berlangsung terus,praktek ini akan menyebabkan pemerintah daerah

    menurunkan usaha untuk mencari pendapatan,karena pendapatan yang semakin tinggi akanmenyebabkan rendahnya alokasi DAU. Komponenbiaya pegawai dalam alokasi DAU menyebabkaninsentif yang mendorong pemerintah daerahuntuk meningkatkan (atau setidaknya tidakmengurangi) pengangkatan pegawai baru denganmembebankan biaya pada pemerintah pusat.Gambaran dalam alokasi dana seperti ini akantidak mendorong usaha yang diperlukan dalampenentuan jumlah tepat pegawai negeri sipil di

    tingkat daerah dan akan mengurangi pengeluaranmodal (capital expenditure) sampai tingkat sub-optimal.

    Kebijakan untuk semakin menghilangkan holdharmless provision dalam DAU menjelang TA2008 merupakan langkah positif. Hambatanyang masih harus dihadapi dalam meningkatkanDAU adalah bagaimana membuat DAU lebihselaras dengan kebutuhan keuangan, bagaimanamenghitung semua sumber pendapatan agardapat memperkirakan kemampuan keuangan,dengan demikian mengurangi insentif yangmerugikan. DAU dapat lebih baik lagi disesuaikandengan kebutuhan keuangan dengan caramemasukan norma pengeluaran SPM dalamperhitungannya. Meskipun memperkirakanbiaya untuk SPM bagi berbagai jenis pelayananyang diperlukan menuntut kecanggihan teknis,pendekatan ini merupakan penerapan langsungprinsip money follows function dan dapatdiharapkan menciptakan keselarasan antara

    pendapatan dan pengeluaran. Agar penghitungankapasitas fiskal bagi DAU semakin baik, bagi-hasil pendapatan dan pajak dari propinsi ketingkat kabupaten/kota harus dimasukan. Untukmengurangi insentif yang merugikan, PemerintahIndonesia harus mengkaji ulang rumusan DAUdimana pemerintah hanya mengganti sebagianbiaya yang dikeluarkan untuk biaya pegawai.Sebuah penghitungan regresif atas biaya upahper kapita dapat dipertimbangkan, sehinggaPemerintah Daerah selalu menghadapi biaya

    upaya marginal yang semakin tinggi. Ini akanmenciptakan sebuah insentif untuk merampingkanformasi pegawai negeri sipil di tingkat daerah.

    Harus dimengerti bahwa reformasi kompensasiupah (kebalikan dari reformasi yang ada baru-baru ini) mensyaratkan perubahan dalam undang-

    undang desentralisasi saat ini, jadi hanya mungkinditerapkan dalam jangka menengah dan jangkapanjang. Sangat diharapkan agar biaya SPM dapatdimasukan kedalam DAU dan dapat terealisirdalam jangka pendek dan jangka menengah,mengingat syarat UU 33/2004 memberi dorongansecara mendasar, serta adanya peluang setiaptahun, menurut peraturan yang belaku, untukmenyesuaikan rumusan DAU.

    Hubungan Keuangan

    Antar Tingkat Pemerintahan:Dana Alokasi Khusus (DAK)

    DAK merupakan dana alokasi pengimbang(matching) untuk membiayai kegiatan yang terkaitdengan prioritas nasional atau kebutuhan khususyang tidak bisa dimasukkan ke dalam DAU,misalnya bantuan darurat. DAK diprioritaskan bagipemerintah-pemerintah daerah yang mempunyaikapasitas keuangan lebih rendah dari rata-rata.UU 33/2004 juga menyebutkan acuan khususbahwa kebutuhan khusus tersebut termasukpelayanan dasar bagi masyarakat. MekanismeDAK yang terdapat dalam UU 32/2004 tentangPemerintahan Daearh dan dalam UU 33/2004tentang Perimbangan Keuangan tidaklah sama.Dalam UU 32/2004, DAK bisa dikabulkan ataspermintaan pemerintah daerah, sedangkandalam UU 33/2004 dana tersebut pada dasarnyadibagikan secara nasional melalui sejumlahkriteria. Masih harus diperjelas kebijakan yang

    lebih khusus terkait dengan peran sementara dantetap DAK, hubungan DAK dengan DAU, danberapa besarannya saat ini dan di masa datang.Pemerintah Indonesia telah menyatakan niatnyauntuk memperbaiki kriteria pembagian DAK dancara penyalurannya.

    UU 32/2004 menuntut pendekatan dari bawahke atas (bottom-up) dan alokasinya didasarkanatas usulan pemerintah daerah. Pemerintah Pusatbelum mampu menangani mekanisme ini, danbelum menggali bagaimana cara penanganan

    mekanisme ini (misalnya dengan menggunakanpemerintahan propinsi secara lebih intensif).Pemerintah Pusat lebih memilih cara coba-coba,

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    22/66

    12DESENTRALISASI 2006

    dengan mekanisme atas ke bawah (top-down)dalam UU 33/2004. Menurut mekanisme ini,alokasi DAK didasarkan atas kriteria umum,

    khusus, dan teknis. Kriteria umum dan khususditetapkan sama untuk semua sektor oleh Depkeu.Dalam prakteknya, alokasi DAK yang ada saat iniberasal dari dan dirancang oleh lembaga-lembagasektoral masing-masing, dan pada dasarnyadialokasikan untuk membiayai pengeluaranmodal, dan hanya sedikit dialokasikan untukbiaya administratif, tunjangan-tunjangan proyek,penelitian, pelatihan, dan biaya-biaya lainyang umumnya dikaitkan dengan pemberianpelayanan. Pemerintah Daerah masih perlu

    mengeluarkan dana perimbangan dari sumbermereka sendiri sekurang-kurangnya 10 persendari keseluruhan biaya.

    Kriteria umum DAK didasarkan pada formulayang mempertimbangkan pembanding untukdana modal yang terdapat dalam daerahtertentu. Kriteria khusus mengacu langsung kePapua dan Aceh. Selebihnya, daerah pesisir,daerah konflik, daerah tertinggal, dan daerahyang terkena musibah banjir dan bencana alamlain menerima alokasi DAK. Peraturannya masihtidak jelas bagaimana dan sampai seberapa jauhkriteria-kriteria tersebut dimasukan dalam prosesalokasi. Kriteria teknis ditetapkan oleh departemensektoral masing-masing dengan pertimbangandari Depkeu dan Depdagri, dan kriterianya sangatberagam menurut sektor masing-masing1.

    Pengembangan DAK ini tertinggal dibelakanginstrumen keuangan lain selama dua tahunpertama desentralisasi. DAK ini berubah pada saatdaftar sektor berkembang dari fokus reforestasi

    (penghutanan kembali) pada TA 2001 ke sembilansektor utama pada TA 2006, dengan alokasi Rp9.7 triliun (USD 1.2 miliar) dalam jumlah riil.Meskipun demikian, DAK masih tetap kurang dari10% DAU. DAK harus memainkan peran pentingdalam membiayai investasi infrastruktur di daerah-daerah miskin. Tetapi agar ini dapat terlaksana,target DAK harus diperbaiki. Saat ini, prosesalokasi DAK masih tetap rentan campur tanganpolitis pemerintah daerah, departemen sektoraldan komisi anggaran DPR. Kesan ini diperkuat

    dengan analisa distribusi lintas sektoral yangmenunjukan korelasi buruk antara alokasi DAKdan ukuran-ukuran keperluan pengeluaran.

    Jumlah dana DAK yang berdasarkan sasaranwilayah dan kegunaan yang senantiasa berubahberdasarkan kebutuhan pengeluaran dapat

    membantu dalam pengenalan SPM nasional(setidaknya sampai DAU benar-benar mencer-minkan kebutuhan pengeluaran) dan menanganidisparitas dalam kebutuhan pengeluaran modal diseluruh Indonesia. Dalam hal ini, kecenderungannaiknya DAK merupakan perkembangan yangpositif dan harus terus dilanjutkan; berpindahnyaDIP ke DAK merupakan sebuah kebijakan yangmemerlukan langkah dan pelaksanaan tegas.

    Pentargetan yang lebih baik mungkin bisadicapai apabila DAK diserahkan ke tingkat

    propinsi dengan kriteria teknis dan keuanganyang benar, dan dari propinsi ke kabupaten/kotayang paling memerlukan dan memenuhi batasambang pemerintahan (governance) tertentu.Keputusan alokasi dapat dibuat berdasarkankonteks kajian anggaran kabupaten/kota yangsudah dibuat oleh Gubernur, yang dengandemikian akan menghasilkan bantuan berbasiskinerja. Mekanisme seperti ini dapat menjadijalan untuk menggabungkan secara baikpendekatan atas bawah (top-down) UU 33/2004dengan pendekatan bawah atas (bottom-up) UU32/2004. Sebagai langkah percontohan modelpenggunaan DAK yang mencerminkan kinerjapemerintah daerah, porsi Pajak PenghasilanPerseorangan yang ditujukan kepada kabupaten/kota oleh propinsi dapat dikembangkan menjadibantuan berdasarkan kinerja, dimana lembagadonor dapat memberikan bantuan kepadapropinsi-propinsi untuk menambah jumlahdana, serta memberikan bantuan teknis untuk

    mengembangkan mekanisme tersebut.Penting sekali untuk tetap selalu mempertahan-

    kan sektor-sektor yang terkait dengan MDG/SPMdalam mengoptimalkan hasil pembangunanberdasarkan prioritas. Fragmentasi DAK, yangsudah nampak, akan melemahkan usaha-usahapencapaian sasaran pemberian pelayananmasyarakat yang penting.

    Pada beberapa bagian pengembangan DAK,

    1 Dalam bidang pendidikan misalnya, dipakai jumlah ruang kelas yang harus diperbaiki

    dan indeks harga konstruksi. Dalam sektor kesehatan, kriteria teknis termasuk indeks

    Pengembangan SDM, jumlah fasilitas pelayanan kesehatan dan indeks harga konstruksi.

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    23/66

    13DESENTRALISASI 2006

    II. HUBUNGAN ANTAR TINGKAT PEMERINTAHAN

    perlu kiranya dipilah hubungannya dengan DAU,terutama terkait dengan ketentuan mengenaipemberian pelayanan dasar. Mungkin ada

    baiknya bila DAK menjadi alat penting untukmemperbaiki kelemahan-kelemahan DAU terkaitdengan perimbangan. Namun demikian, padasaat data/rumusan DAU semakin menyatu dengannorma pengeluaran riil pemberian pelayanandasar, peran DAK dalam pemberian pelayanandasar harus disesuaikan.

    Batasan-batasan yang benar ada maupunmasih tidak kasat mata mengenai jumlah pokokanggaran yang dapat digunakan berfungsi jugasebagai peringatan apakah DAK dapat memainkan

    peran transisi ini dalam pendanaa pelayanankepada masyarakat. Tidak jelas benar apakahDAK dapat digunakan untuk semua jenis investasipemberian pelayanan dasar dan kebutuhanoperasional seperti yang terjadi saat ini. Perludibuat penyesuaian atau klarifikasi mengenaiperaturan DAK. Penyesuaian/klarifikasi ini dapatmisalnya memuat apakah DAK dapat dialokasikanpada jangka waktu menengah (multi-year) agarpemerintah daerah lebih mudah memprediksipemasukan pendapatan. Syarat-syarat bagikelanjutan pendanaan dapat bergantung kepadalaporan atas hasil yang dicapai dan penerapanpemerintahan yang baik.

    Hubungan KeuanganAntar Tingkat Pemerintahan:

    Pajak dan PendapatanBagi-Hasil

    Tidak ada pernyataan kebijakan mendasarPemerintah Indonesia untuk mengarahkan pajakdan pendapatan bagi-hasil, kecuali bahwa garisbesar hukum yang sedang dikaji memperlihatkanbahwa program pajak dan pendapatan bagihasil akan tetap dilanjutkan di masa depan.Tetapi hold harmless provision DAU akandihapuskan pada tahun 2008 untuk mengurangikesenjangan daerah, yang sudah diperburuk olehbeberapa daerah yang sangat menikmati pajakdan pendapatan bagi-hasil.

    Desentralisasi meningkatkan sumbangan pajakdan pendapatan bagi hasil pemerintah kabupaten/kota. Pembagian pajak terutama berdasarkan

    prinsip derivasi, sedangkan royalti perikanan danpajak yang terkait dengan bumi dan bangunanjuga menggunakan bagian yang sama dengan

    kriteria tambahan. Bagian nasional 9% ataspajak bumi dan bangunan merupakan ongkosadministrasi untuk membayar administrasi pajaknasional dalam pengumpulan dan pengelolaanpajak.

    UU 33/2004 memperkenalkan pendapatanbagi-hasil dari pertambangan geothermal dansedikit menaikan bagian daerah untuk pendapatanminyak dan gas. Mulai tahun 2009, pemerintahakan memperoleh tambahan setengah persen daripendapatan gas dan minyak2 yang dialokasikan

    untuk meningkatkan pengeluaran daerah dalampendidikan dasar. Sebagian besar pendapatandari dua sumber ini dikembalikan kepada jurisdiksidaerah asal. Sebagai tambahan dari pengaturanpembagian untuk penghasilan nasional,pemerintah kabupaten dan kota memperolehbagian dari empat pajak propinsi3. Meskipundemikian, sumbangan pajak ini terhadapkeseluruhan pendapatan daerah relatif kecil.

    Meskipun pendapatan bagi-hasil dari sumberdaya alam hanya rata-rata sekitar 9% daripendapatan daerah, pendapatan ini sangatpenting bagi sejumlah daerah. Pendapatan danpajak bagi-hasil merupakan pendorong utamaterjadinya kesenjangan fiskal di Indonesia. Padatahun fiskal 2003, kota industri Bekasi yangterletak di pinggir Jakarta, menerima 100 kalipajak penghasilan daripada sebuah wilayahpedesaan di Lombok Timur. Sekitar 80% darisemua pendapatan dan pajak bagi-hasil sumberdaya alam terkonsentrasi di dua puluh persen

    teratas pemerintah kabupaten/kota penerima.Berdasarkan basis per-kapitak, 80% daerahterbawah hanya menerima 30% dari pendapatantotal.

    Pengaturan pembagian pendapatan untukpajak dan terutama untuk pendapatan sumberdaya alam mencoba menyeimbangkan antara apa

    2 84.5% pendapatan dari minyak masuk ke anggaran pemerintah pusat dan 15.5% masuk

    ke pemerintah daerah. Untuk pendapatan dari gas 69.5% masuk ke pusat dan 30.5%

    masuk ke daerah.3 Yaitu pajak kendaraan bermotor (30%), pajak mutasi kendaraan (30%), pajak pungutan

    minyak (70%), pajak air tanah dan penggunaannya (70%).

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    24/66

    14DESENTRALISASI 2006

    yang diinginkan daerah yang kaya sumber dayaalam dan sasaran pemerataan pemerintah pusat.Secara politis, pengaturan pembagian pendapatan

    dan pajak saat ini membantu mengurangi kesanketidakadilan dalam pembagian pendapatansumber daya alam. Meskipun demikian, halini juga sangat meningkatkan kesenjanganpenghasilan diantara pemerintah daerah.

    Nampaknya hampir tidak mungkin adaperubahan mendasar dalam pengaturanpembagian pendapatan saat ini dalam kurunwaktu dekat atau menengah. Daerah yang kayasumber alam mempunyai alasan kuat menentangperubahan dalam sistem yang berlaku saat ini

    karena mereka takut kehilangan sumber tersebut.Ini memerlukan penggunaan instrumen keuanganlain, yaitu DAU, untuk mendorong perimbanganhorisontal.

    Hubungan KeuanganAntar Tingkatan Pemerintahan:

    Pinjaman Daerah

    Meningkatkan pendapatan di pasar modalmelalui pinjaman dan obligasi pemerintahdaerah sering lebih merupakan cara yang efisienuntuk membiayai pengeluaran modal daripadamembiayainya melalui pajak dan hibah daripemerintah pusat. Kerangka pemerintahandaerah memungkinkan melakukan pinjamanatas dasar alasan sebagaimana dikemukakandiatas. Meskipun demikian, ada hal yang perludiperhatikan dalam pinjaman daerah sehinggatidak menjadi beban anggaran nasional

    atau membuat kebijakan makro ekonomiterguncang.

    Kekhawatiran tentang instabilitas makroekonomi telah menyebabkan pemerintah berhati-hati dalam mengatur akses ke pasar modal bagipemerintah daerah. UU 33/2004 membolehkanpemerintah daerah meminjam baik dari sumberdalam negeri maupun luar negeri, mengeluarkanobligasi pemerintah daerah dalam bentuk rupiahdi pasar modal dalam negeri, dan memberijaminan bagi utang pihak ketiga. Meskipun

    demikian, keseluruhan utang dibatasi 70% daripendapatan dikurangi pengeluaran penting, danuntuk pelayanan utang (debt service) sampai 40%

    pendapatan dikurangi pengeluaran wajib (biayatetap). Akibatnya, persyaratan ini membatasipinjaman untuk daerah-daerah yang kemampuan

    keuangannya lemah dan memungkinkan daerahyang keuangannya kuat mendapatkan akses kesumber keuangan dari luar. UU 33/2004 jelassekali mengatakan bahwa tidak ada jaminannegara bagi obligasi pemerintah daerah, tetapiUU 33/2004 ini masih tetap belum menjelaskanmengenai pinjaman pemerintah daerah yang takterbayar (defaulted).

    Disamping itu, ada persyaratan yang berbeda-beda tergantung kepada jatuh tempo utang.Pinjaman jangka pendek (jatuh tempo kurang dari

    satu tahun) dibatasi seperenam pengeluaran saatini dan hanya dapat digunakan untuk manajemenarus kas. Pinjaman jangka menengah (jatuh tempolebih dari satu tahun) hanya dapat dipakai sebagaipengeluaran modal di proyek-proyek denganpotensi kembalinya biaya (cost recovery potential).Setiap pinjaman jangka panjang dan menengahpemerintah daerah memerlukan persetujuan dariMenteri Keuangan dan DPR. Utang dan pelunasanutang pemerintah daerah diawasi dengan ketatoleh pemerintah pusat dan Depkeu mempunyaihak untuk campur tangan dalam hal penyerahanDAU pada saat pemerintah daerah tidak berhasilmengembalikan utangnya.

    Pemerintah daerah mempunyai akses terhadapmodal yang diperoleh dari sumber internasionalmelalui pinjaman atau hibah yang disetujui olehpemerintah pusat. Sebelum mengajukan pinjamanbaru, pemerintah daerah harus menyediakan danapendukung dan membayar tunggakan-tunggakanyang masih ada.

    Di Indonesia pinjaman pemerintah daerahmemang rendah. Utang daerah kumulatifterhadap ratio GDP dari tahun 1978-2004 adalah0.33% dari GDP, sangat jauh dibawah negara-negara berkembang lainnya. Jumlah pinjamanmasih harus dinaikan lagi dari kejatuhannyapada saat krisis keuangan di tahun 1998.pada tahun fiskal 2001-2003 hanya ada utangsebesar 0.22% dari total pendapatan daerah.Pasar untuk obligasi pemerintah daerah masihtetap tertinggal. Kerangka hukum yang kurang

    memberikan kepastian, telah memperlambat baikpermintaan maupun penawaran bagi kredit danobligasi pemerintah kabupaten/kota.

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    25/66

    15DESENTRALISASI 2006

    II. HUBUNGAN ANTAR TINGKAT PEMERINTAHAN

    Kebanyakan utang pemerintah daerah adalahutang tak langsung perusahaan daerah, terutamaPDAM, yang terhitung lebih dari tiga-perempat

    utang yang harus dibayar. Kinerja pembayarankembali utang sangat buruk, hanya setengah daripembayaran yang jatuh tempo terbayar. Lewis(2003) menunjukan bahwa masalah pelunasanutang terutama disebabkan oleh ketidakmampuanmembayar utang. Keadaan seperti ini jugamenunjukkan tidak adanya penerapan peraturanyang ada dan tidak adanya sanksi bagi individumaupun organisasi (baik pada tingkat daerahmaupun pusat) terkait dengan tanggungjawabpelaksanaan dan pengawasannya. Di samping

    kerumitan hukum seperti yang disebutkan tadi,kelayakan kredit yang begitu rendah jugamenghalangi tambahan akses kredit pemerintahdaerah. Akibatnya, rendahnya pinjamanpemerintah daerah menjadi potensi kendalapertumbuhan infrastruktur, pelayanan publik yangmemadai dan pertumbuhan ekonomi.

    Peran pengawasan pemerintah pusat yangkuat terkait dengan utang pemerintah daerahharus disertai dengan pembangunan kompetensiuntuk dapat dengan baik menilai kelayakan kreditdaerah-daerah serta memilih dengan teliti daerahyang dapat mempunyai akses untuk mendapatkandana dari luar. Di samping itu, pemerintah pusatdapat meningkatkan transparansi yang menyeluruhdalam pasar kredit daerah. Akhirnya, alokasimodal harus semakin dipacu oleh pasar (marketdriven). Menciptakan sebuah keadaan yangdidukung oleh sistem perangkat kredit pemerintahkabupaten/kota, yang tercermin dalam premiumrisiko, dapat mendorong tumbuhnya pasar kredit

    pemerintahan daerah.Sangat penting menetapkan peraturan

    kebangkrutan (default) pemerintah daerah untukmenggerakkan pasar modal bagi pemerintahdaerah. Tidak adanya peraturan kebangkrutan,dimana pemerintah pusat memberikan jaminanatas utang yang tak terbayarkan, dapat mendorongmunculnya korupsi diantara para peminjamdi daerah dengan harapan pemerintah pusatakan menalangi utang tersebut. Perlu diciptakankerangka peraturan untuk urang daerah yang

    tak terbayarkan untuk mendorong manajemenutang yang bertanggungjawab oleh pemerintahdaerah.

    Meskipun penting untuk menjaga pasar kreditdaerah, akses yang tidak merata ke seluruhdaerah berarti kurangnya pinjaman, dan suku

    bunga yang semakin tinggi di beberapa daerah.Ini nampaknya akan berdampak pada perbe-daan kualitas dan kuantitas pelayanan publik.Jadi penting sekali menerapkan mekanisme lainuntuk membiayai pembelanjaan modal di daerah-daerah tersebut.

    Pengawasan (Oversight)dan Supervisi

    Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)

    merupakan suatu badan antar departemen dengankeanggotaan setaraf menteri, diberi peran besardi pemerintah pusat untuk mengawasi pemerintahdaerah. Badan ini menerima informasi dariMenteri Dalam Negeri mengenai kemajuandaerah-daerah dalam pelaksanaan otonomidaerah, dan memberikan pertimbangan sertasaran kepada Presiden terkait dengan penilaiankemajuan tersebut. Penilaian ini penting karenadengan penilaian ini, dapat menentukanapakah suatu daerah bisa terus dipertahankankeberadaannya dalam batas administratifsekarang ini; pembubaran, dan penggabungandimungkinkan untuk daerah-daerah yang tidakmenunjukan kinerja positif. DPOD sudah ditataulang sedikit melalui UU 32/2004, dengandihapuskannya anggota asosiasi daerah. Parawakil pemerintah daerah dan para ahli masihmenjadi anggota. Maksudnya adalah untukmenciptakan sebuah forum pemerintahan yanglebih efektif untuk koordinasi kebijakan antar

    menteri.Salah satu alasan pendorong bagi revisi kerang-

    ka desentralisasi adalah adanya persepsi bahwadaerah-daerah tidak cukup mendapatkan arahandan pengawasan secara terus menerus. Secarakhusus, pemerintah bermaksud mengetatkansistem pengawasan dan ingin melaksanakannyamelalui peran Gubernur yang diperbaharui.Pemerintah juga ingin melihat koordinasi yanglebih baik antara organisasi yang terlibat dalamsupervisi.

    Dengan Peraturan Presiden 28/2005, DPODsudah diberi suatu mandat tertulis untukmemberikan pertimbangan dan saran kepada

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    26/66

    16DESENTRALISASI 2006

    Presiden mengenai kebijakan penataan daerah(pemekaran), keuangan daerah, dan kemampuansetiap daerah dalam pelaksanaan tugasnya.

    DPOD mempunyai sebuah sekretariat dan akanmenetapkan suatu tim teknis. Hubungannyadengan pekerjaan supervisi pemerintah masihtetap tidak jelas dan masih menunggu perincianlebih lanjut melalui peraturan Depdagri. Meskipundemikian, diharapkan DPOD dapat menggunakanmekanisme supervisi terus di Depdagri dan dilembaga pemerintah pusat lainnya. Mekanismeini tidak berjalan dengan semestinya pada tahun-tahun terakhir dan membutuhkan revitalisasi.

    PP 79/2005 diharapkan memberikan kerangka

    operasional dalam pelaksanaan supervisipemerintah daerah. PP 79/2005 membuatDepdagri bertanggungjawab atas pengawasanhukum, sedangkan departemen/lembagabertanggungjawab atas pelaksanaan supervisiteknis terkait dengan fungsi masing-masing.Peraturan tersebut membolehkan pemerintahmelaksanakan baik pengawasan pencegahan(preventif) maupun pemberian sanksi (represif).Tergantung atas produk hukum mana yang sedangdisoroti, Depdagri (atau Gubernur) mempunyaihak untuk memberi rekomendasi kepada Presidenbahwa peraturan-peraturan tersebut dapatdibatalkan (melalui sebuah Peraturan Presiden)apabila peraturan tersebut bertentangan denganperaturan yang lebih tinggi (pengawasan represif).Konflik antara peraturan tingkat daerah dannasional dapat diselesaikan melalui MahkamahAgung.

    Di samping itu, Depdagri memimpin usahapersiapan peraturan pemerintah lain terkait

    dengan pelaporan dari daerah, monitoring/evaluasi kinerja, struktur organisasi pemerintahdaerah. Mungkin ada juga peraturan pemerintahyang terkait yang disiapkan dibawah kendaliBappenas, sehubungan dengan kinerjapelaksanaan perencanaan pemerintah daerahsebagai tindak lanjut dari UU 25/2004. Depkeujuga sudah melakukan usaha untuk menanganilaporan keuangan daerah, berdasarkan UU1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, yangmenghasilkan PP 8/2006 berkaitan dengan

    Laporan Keuangan dan Kinerja Unit Pemerintah.Peraturan Pemerintah yang sudah dikeluarkanmempunyai banyak masalah terkait dengan

    koherensi dan ketajaman isi, serta dalam ruanglingkup dan keterkaitan antar PP.

    Peran Gubernur (secara implisit pemerintah

    Propinsi) dengan jelas diperluas dalam prinsipoleh UU 32/2004. Peran yang diperluas ini tidaksepenuhanya jelas dalam PP 79/2005. Sebagaibagian dari pengawasan pencegahan, rancanganperaturan kabupaten/kota yang terkait denganperpajakan, retribusi, anggaran, pengkavlingandaerah, memerlukan persetujuan dari Gubernur(dan persetujuan dari tingkat nasional bagirancangan peraturan pemerintahan propinsi).Peraturan lain harus dilaporkan sesudah peraturantersebut diterbitkan, dan anehnya hanya dapat

    dikaji ulang oleh Depdagri. Tidak jelas mengapaGubernur tidak diberi peran dalam peraturanyang lain ini. Juga ada instrumen hukum yangterkait dengan sektor-sektor yang mempunyaimekanisme pendelegasian supervisi kepadapemerintah daerah, bukan kepada Gubernursebagai wakil pemerintah pusat. Tidak jelasapakah peraturan seperti itu masih mempunyaivaliditas atau memerlukan penataan ulang.

    Sampai saat ini, lembaga-lembaga donormempunyai pendekatan yang berbeda-bedadalam pemberian dukungan bidang pelaporan,monitoring/evaluasi, dan supervisi. Sumber dayayang diarahkan untuk dukungan dari para donorkurang berarti dan kegiatannya kurang menyentuhproses pembuatan kebijakan. Proses pembuatankebijakan pemerintah Indonesia sendiri terpecah-pecah, sehingga menyulitkan lembaga donoruntuk dapat memijakkan kakinya dengan tepat.

    Kerangka pengawasan yang terkait denganDPOD sendiri belum pernah dijalankan seperti

    maksud awal pembuatannya. Saat ini sulitmengatakan bahwa ada pendekatan yang berbedauntuk membuat DPOD yang sudah mempunyaiwewenang baru ini berjalan dengan lebih baikdalam fungsi pengawasannya terutama dalammasalah kinerja pemerintah daerah. SuksesDPOD akan sangat tergantung dari mutu informasidan analisa yang diberikannya.

    Sistem pengawasan/supervisi sedangdikembangkan tetapi tidak terkoordinasi, dengandemikian menimbulkan inkonsistensi, kesulitan

    dan persyaratan yang membebani pemerintahdaerah. Badan supervisi tidak mempunyai cukuppersiapan untuk mengatasi kajian teknis tentang sisi

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    27/66

    17DESENTRALISASI 2006

    preventif pengawasan. Pengkajian anggaran olehGubernur/propinsi atas anggaran kabupaten/kota masih belum jelas lingkup dan tujuannya.

    Tindakan tergesa dan agresif pemerintah daerahdalam lingkup ekonomi, dengan meminta hakuntuk menarik pajak atau meminta sahamperusahaan misalnya, ditangani secara coba-coba dan penuh nuansa politis, dengan hampirtanpa acuan kepada kerangka hukum.

    Para stakeholders saat ini merasa cemas bahwabaik Gubernur maupun Depdagri nampaknyatidak siap untuk memberi jawaban atas peraturandaerah problematik akhir-akhir ini, yang melarangatau mengatur perilaku-perilaku tertentu,

    kegiatan kebudayaan dan keagamaan (sepertimisalnya membaca Al-Quran, pergi ke masjid,pemakaian jilbab, dsb.). Soal-soal seperti ini sudahmenimbulkan banyak kontroversi dan mendapatbanyak sorotan media. Meskipun demikian belumada tanggapan dari Depdagri berkaitan denganvaliditas hukum peraturan-peraturan tersebut,dan keberadaan peraturan seperti itu dalamhubungannya dengan hak-hak konstitusional dankemaslahatan masyarakat.

    Untuk menempatkan fungsi pengawasan/supervisi dalam pijakan yang lebih kuat, perlukiranya memperkuat kerangka peraturan.Diperlukan penyelesaian yang baik atasrancangan peraturan yang sekarang ini ada,serta revisi atas peraturan yang sudah dikeluarkannamun mengandung cacat berat. Penyelesaiantersebut harus dilakukan dengan memperhatikanperampingan/penintegrasian peraturan-peraturantersebut agar diperoleh definisi yang lebih baiktentang peran pembimbingan, pengawasan dan

    supervisi.Selain itu perlu ditingkatkan kapasitas

    pengawasan dan supervisi, terutama ditingkatpropinsi, dengan memperkuat peran Gubernur(secara implisit peran pemerintah propinsi). Apabila DPOD ingin berfungsi sebagai manamestinya, pada tingkat nasional, penting sekaliDPOD mempunyai sarana dimana lembaga inidapat memperoleh data dan analisa pentingdari departemen/lembaga pemerintah pusat.Lembaga pemerintah tersebut harus mempunyai

    kemampuan keuangan dan organisational agardapat dengan baik menilai kinerja pemerintahdaerah.

    Pengembangan kapasitas DPOD dalam halkoordinasi kebijakan desentralisasi mungkinakan menemukan hambatan; lembaga ini belum

    berfungsi dengan benar sejak pembentukannyapada tahun 1999. DPOD tidak akan pernahberfungsi dengan benar apabila masih terusdilihat sebagai lembaga yang didominasiDepdagri. Mungkin harus dipertimbangkanuntuk meningkatkan koordinasi sampai padabadan yang lebih tinggi, misalnya kantorkepresidenan.

    Untuk membuat agar sistem supervisi dapatberjalan, perlu sekali merekonstruksi sistempelaporan pemerintah daerah. Harus diciptakan

    daya tarik untuk menulis laporan serta hukumanuntuk yang tidak memberikan laporan. Syaratpembuatan laporan harus diciptakan agar tidakmenjadi beban pemerintah daerah.

    II. HUBUNGAN ANTAR TINGKAT PEMERINTAHAN

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    28/66

    III. REFORMASI SISTEM PEGAWAI NEGERI SIPIL

    KONTEKS DESENTRALISASI

    R

    eformasi sistem pegawai negeri sipil(PNS) merupakan strategi pendukungbagi implementasi desentralisasi,

    sehingga proses desentral isasidapat berjalan dengan baik, melaluiperubahan pada sistem personalia dan organisasiyang mencakup status, bentuk, peran, hubungandan cara melaksanakan pekerjaan. Padaakhirnya, perubahan ini harus mengarah kepadapenyelenggaraan pelayanan masyarakat yanglebih baik.

    Reformasi sistem PNS dipermudah denganadanya kejelasan manajemen PNS, tetapimemperoleh kejelasan tersebut juga mungkin

    merupakan salah satu tugas awal; untukmenentukan tingkat pemerintahan manadan badan pengatur mana yang mempunyaiwewenang untuk menetapkan persyaratanorganisasi dan kebijakan serta prosedurpembinaan sumber daya manusia (tingkatpenggajian, syarat dan kondisi pengangkatanpegawai, dan struktur PNS). Pembagian tugasdalam manajemen PNS sudah lama tidak jelasdi Indonesia, dengan banyaknya lembaga peme-rintah pusat yang mempunyai mandat tumpangtindih. Hal ini menyulitkan organisasi pemerintahmelaksanakan reformasi yang terpaut denganreformasi desentralisasi yang dimulai tahun 1999.Perubahan-perubahan dalam kerangka peraturanpada saat itu nampaknya menetapkan pegawainegeri daerah dalam posisi yang otonom, namunarus perundangan lain yang khusus terkait denganPNS (UU 43/1999) sangat bertentangan aspekpenting desentralisasi, dan sampai saat ini masihtetap meninggalkan kebijakan yang mendua

    serta dibiarkan begitu saja. UU 43/1999 jugamengamanatkan pembentukan Komisi PegawaiNegeri yang hingga kini berlum terwujud.

    Desentralisasi ronde kedua, dalam UU32/2004, juga mengubah aturan permainanantara pemerintah pusat dan pemerintahdaerah. Gubernur diberi tanggungjawab yanglebih banyak atas pegawai negeri di propinsidan kabupaten/kota. Gubernur dalam hal inibertindak dalam kapasitasnya sebagai wakil daripemerintah pusat. Depdagri juga memperoleh

    banyak tanggungjawab baru dalam halpembinaan dan pengelolaan PNS daerah. Halini tidak memperjelas pemberian tanggungjawab

    yang kabur dalam pengaturan pengawai negeridi daerah. Perubahan-perubahan ini justru men-ciptakan ketidaknyamanan antara pemerintah

    daerah dan lembaga donor.Salah satu dampak yang muncul daridesentralisasi adalah restrukturisasi kelembagaanpemerintahan daerah. UU 22/1999 memberikankewenangan yang luas dalam penataan struktur-struktur administrasi. Meskipun demikian, tidaklama sesudah itu, pemerintah pusat mencobakembali mengambil kendali dengan menerapkanpembatasan ketat mengenai jumlah dan jenisstruktur administrasi yang boleh dibentuk olehdaerah, meskipun ada bukti bahwa sebagian

    besar pemerintah daerah berusaha untukmenyerap PNS Pusat, dan sebagian daerahyang lain tetap berusaha untuk membatasipertumbuhan organisasinya. Pembatasan ketatseperti ini kelihatannya tidak banyak berubah,dalam konteks penjabaran UU 32/2004. BahkanUU 32/2004 ini memperkenalkan insentifuntuk menggelembungkan formasi PNS daerahdengan memasukkan gaji pegawai dalam DAU.Departemen sektoral juga menjadi penghambatusaha pemerintah daerah untuk menjadikandirinya ramping dengan mendorongnya membukaunit khusus untuk menangani sektor itu, denganiming-iming akses atas dana dekonsentrasi.

    UU 32/2004 telah mensentralisasi penerimaanPNS setiap tahunnya, yang merupakan titikmasuk satu-satunya ke dalam sistem karir PNSdi Indonesia. Pada tahun 2006 penerimaan PNSdikoordinasikan oleh Gubernur/propinsi (atasnama pemerintah pusat). Tujuannya adalahuntuk mengurangi peluang korupsi, namun

    pemerintah daerah berpendapat bahwa merekabisa melakukannya dengan sama sama baiknyaseperti pemerintah pusat dalam hal tersebut.Pemerintah daerah juga menyatakan bahwakesempatan baik bagi manajemen setempat saatini sudah hilang. Dengan langkah ini, pemerintahpusat tergiring untuk menciptakan kebijakan yangkurang tepat bagi pemerintah daerah, misalnyajanji untuk mengintegrasikan seluruh tenagahonorer menjadi PNS.

    Permasalahan terbesar PNS daerah adalah

    masalah yang terkait dengan sistem itu sendiri.Sangat sedikit ada deskripsi tugas para PNS, dandeskripsi tugas yang ada (kebanyakan untuk posisi

    18DESENTRALISASI 2006

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    29/66

    19DESENTRALISASI 2006

    struktural) dibuat secara kabur, sehingga sukarsekali meminta pertanggungjawaban kepadamereka atas kewajiban dan tugas mereka.

    Tidak adanya deskripsi tugas juga menghambatpemakaian sistem manajemen kinerja. Memangada sebuah alat penilaian (DP3) tetapi indikatornyabegitu umum, sangat subjektif dan berlaku untuksemua pangkat dan golongan. Para atasan yangmenggunakan alat itu melihat hal tersebut sebagaikegiatan rutin yang tidak berarti. Dengan demikiankenaikan karir biasanya berlaku otomatis,berdasarkan senioritas dan tidak berkait dengankinerja. Jarang sekali ada tindakan disipliner yangterkait dengan kedudukan dan gaji PNS.

    Sistem penggajian yang begitu rumit, tidakada transparansi dan tidak ada insentif ataskinerja. Terlebih lagi, penggunaan tunjangandan dukungan lain yang tidak berbentuk uang,dan adanya sikap pemburu rente dari para PNS,telah mengacaukan gambaran penghasilan PNSyang sebenarnya. Pelatihan diberikan karenadipicu oleh suplai dan bukan oleh kebutuhan.Pelatihan dan kurikulum tidak dikembangkanuntuk memenuhi permintaan tugas dan kewajibanpemerintah daerah yang baru. Pensiun ditetapkanberdasarkan gaji dasar yang sangat rendah,dengan demikian menyebabkan para PNS mencarijalan untuk memperpanjang masa kerja merekameskipun sudah usia pensiun (opsi yang palingmenarik) atau berpindah ke posisi fungsionallain dimana usia pensiun ditetapkan lebih tinggi.Pensiun yang rendah juga menyebabkan merekamencari kesempatan sampingan selama masakerja.

    Singkatnya, pemerintah daerah hampir tidak

    mempunyai insentif dan cara untuk memberipenghargaan yang mampu membuat parapegawainya bekerja efisien. Pemerintah daerahmempunyai begitu banyak pegawai, yang tidakmempunyai ketrampilan. Pengurangan pegawaibiasanya dilakukan secara bertahap melalui prosesalami. Karena tidak adanya kebijakan pensiundini, pengurangan karyawan dsb, pemerintahdaerah hanya dapat menghentikan penerimaanpegawai baru dalam jangka waktu tertentu ataumerumahkan karyawannya (yang tetap menerima

    gaji). Penerimaan pegawai pada pangkat tinggitidak dimungkinkan dalam sistem yang adasekarang ini, selain itu, pemerintah daerah hanya

    dapat memasukan tenaga terampil denganmenerima para akademisi dari universitas karenamereka juga berstatus pegawai negeri, sehingga

    perpindahan semacam ini diperbolehkan.Perubahan-perubahan dalam kadar desentralisasi, dari kedua arah, belum menunjuk-kan adanya kontribusi yang berarti terhadapreformasi PNS. Para PNS tidak mengalamipemberlakuan kebijakan, prosedur, alat daninstrumen moderin yang merupakan bagiandari pembinaan SDM modern. Kerangka hukumdan pembinaan bercirikan budaya berbasisaturan tradisional yang telah berakar, dengantitik perhatian (fokus), setidaknya diatas kertas,

    pengawasan dan kewenangan atas parabawahan. Belum terlihat adanya visi dalammerancang arah reformasi. Dengan demikian,usaha usaha yang lemah kearah reformasi hanyamenambah kesemrawutan peraturan, bahkansering kali peraturan tidak diindahkan.

    Inovasi berkaitan dengan PNS jarang terlihatdi daerah. Apabila inovasi muncul, seringkalimendapat dorongan dari daerah itu sendiri,dengan dukungan juga dari bantuan lemagadonor. Pemerintah pusat belum mempunyaisemangat untuk mendorong inisiatif ini denganmembantu penyebaran pelembagaan dalam skalanasional. Bahkan kadang-kadang pemerintahpusat mematahkan inisiatif kreativitas daribawah.

    Reformasi yang baik berarti memberikankesempatan kepada pemerintah daerah untukmenetapkan pegawai dan struktur organisasinyasendiri, dalam kerangka yang lebih fleksibel,dan menghapuskan rangsangan kaku yang

    menggelembungkan pegawai pemerintah daerah(gaji pegawai di DAU, dana dekonsentrasi kepadadaerah yang meniru organisasi pemerintahpusat). Bahkan seandainya kerangka PNS sudahterdesentralisir secara baik, kerangka tersebuttetapi diperlukan dan harus mendorong efisiensi,kinerja dan orientasi prestasi. Reformasi sepertiitu sukar untuk dirancang dan hanya akantertanam dan berkesinambungan kalau adarasa kemendesakan (sense of urgency) diantarapara stakeholders yang pada akhirnya juga akan

    mengarah pada kepemimpinan politis. Jugaperlu dicari tempat berpijak yang operasionaluntuk mengintensifkan dialog, merancang serta

    III. REFORMASI SISTEM PEGAWAI NEGERI SIPILKONTEKS DESENTRALISASI

  • 8/4/2019 Reformasi Desentralisasi Indonesia

    30/66

    20DESENTRALISASI 2006

    mengawasi usaha reformasi. Pada saat penulisanlaporan penelitian ini beberapa sumber, termasuklembaga donor dan Pemerintah Indonesia,

    mengisyaratkan bahwa beberapa inisiatif yangditujukan untuk perbaikan reformasi sistemPNS sedang dikerjakan. Begitu inisiatif tersebutterorganisir, inisiatif tersebut dapat menjadi dasaruntuk reformasi mendasar dan berjangka panjangyang diperlukan.

    Beberapa inisiatif yang sedang dalam prosesadalah:

    1. Pembentukan Komisi Kepegawaian Negara

    sebagaimana diamanatkan oleh UU43/1999;

    2. Evaluasi penggajian para pejabat negaradalam konteks UU 12/1980;

    3. Kelompok Kerja Kepresidenan mengenaireformasi Pegawai Negeri Sipil, yangsekretariatnya akan dijalankan olehPartnership for Governance Reform;

    4. Rencana KPK untuk mendorong pelak-sanaan uji coba reformasi di beberapaDepartemen dan kementrian.

    Tindakan parsial bisa dilaksanakan, danjuga dapat punya arti, tetapi tindakan sepertiini, tanpa perubahan yang lebih mendasar,akan menunda pencapaian sasaran pelayananmasyarakat yang diinginkan. Tindakan parsialini antara lain memberikan ruang bagi inovasipemerintah daerah dimana inovasi tersebutmuncul dalam kerangka yang ada ini (bolehdiinterpretasikan secara bebas), dan menjamin

    bahwa inovasi tersebut dapat disebarkan melaluiperan perantara Indonesia yang sudah dibekalidengan kemampuan cukup. Contoh dari inovasi(praktek yang baik) itu misalnya perencanaan SDMyang lebih baik; memperkenalkan alat penilaiankinerja tambahan yang bisa disatukan ke DP3,dan digabungkan dengan kinerja dan insentifsetempat; kebijakan dan prosedur penggajianlokal (redistribusi tunjangan setempat) untukmeningkatkan transparansi dan akuntabilitas;instrumen pendisiplinan yang lebih baik yang

    dapat memantau dan menerapkan aturan PNS(misalnya kehadiran); memperkenalkan pelatihananalisa kebutuhan untuk melatih para pegawai

    negeri yang betul-betul bisa masuk kategoridapat dilatih dan mengembangkan kebijakanuntuk mempromosikan orang yang tepat dalam