REFERAT - Peritonitis

39
Insidensi Peritonitis Generalisata di Rumah Sakit Immanuel Periode Tahun 2009 – 2014 Disusun Oleh : Liem, Claudia Immanuel S. ( 1015003 ) Cindy Carrissa P. ( 1015011 ) Shannon C.P. Matabei ( 1015104 ) Edwin Nirwana ( 1015147 ) Nugraheni M. Letelay ( 1015159 ) Pembimbing : dr. Selonan S. Obeng, SpB-KBD Fakultas Kedokteran

description

Referat Peritonitis Bagian Ilmu Bedah

Transcript of REFERAT - Peritonitis

Page 1: REFERAT - Peritonitis

Insidensi Peritonitis Generalisata di Rumah Sakit Immanuel

Periode Tahun 2009 – 2014

Disusun Oleh :

Liem, Claudia Immanuel S. ( 1015003 )

Cindy Carrissa P. ( 1015011 )

Shannon C.P. Matabei ( 1015104 )

Edwin Nirwana ( 1015147 )

Nugraheni M. Letelay ( 1015159 )

Pembimbing :

dr. Selonan S. Obeng, SpB-KBD

Fakultas Kedokteran

Universitas Kristen Maranatha

Rumah Sakit Immanuel

Bandung

2014

Page 2: REFERAT - Peritonitis

BAB I

PENDAHULUAN

Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel – sel, dan

pus, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada abdomen,

konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi

pada peritoneum.

Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh.

Peritoneum terdiri atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal, dan peritoneum

visceral, yang berfungsi menutupi sebagian besar dari organ – organ abdomen dan

pelvis, membentuk perbatasan halus yang memungkinkan organ saling bergeseran

tanpa ada penggesekan. Organ – organ digabungkan bersama dan menjaga kedudukan

mereka tetap, dan mempertahankan hubungan organ – organ terhadap dinding

posterior abdomen. Sejumlah besar kelenjar limfe dan pembuluh darah yang terdapat

dalam peritoneum, membantu melindunginya terhadap infeksi.

Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak

berlangsung terus – menerus, tidak akan terjadi peritonitis. Sebagian besar peritonitis

disebabkan karena perforasi appendiks, lambung, usus halus, atau kandung empedu.

Apapun penyebabnya, onsetnya terjadi secara tiba – tiba, awalnya hanya pada satu

daerah saja tetapi kemudian berkembang ke daerah yang lebih luas, menyebar pada

peritoneum viseral dan parietal. Dan jika tidak ditangani dengan baik dapat berakibat

fatal.

Atas dasar tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian

peritonitis di Rumah Sakit Immanuel Bandung selama lima tahun terakhir.

1

Page 3: REFERAT - Peritonitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Peritoneum merupakan membrane yang terdiri dari epitel selapis gepeng yang

berasal dari mesoderm, atau disebut juga mesotelium yang dipisah dari jaringan ikat

vaskuler di bawahnya oleh membrane basalis. Peritoneum membentuk kantong

tertutup dimana viscera dapat bergerak bebas di dalamnya. Peritoneum melapisi

dinding abdomen sebagai peritoneum parietalis dan melekuk ke organ sebagai

peritoneum visceralis. (Marshall, 2003)

Luas permukaan peritoneum mendekati luas permukaan tubuh yang pada orang

dewasa mencapai 1.7m². Peritoneum berfungsi sebagai membran semipermeabel

untuk difusi dua arah cairan dan partikel (Heemken, et al., 1997).

Pada rongga peritoneum orang dewasa terdapat kurang lebih 100cc cairan

peritoneal yang mengandung protein 3g/dL. Sebagian besar berupa albumin. Jumlah

sel normal adalah 33/mm³ yang terdiri dari 45% makrofag, 45% sel T, 8% sisanya

terdiri dari NK cell, sel B, eosinofil dan sel mast. Bila terjadi peradangan, jumlah

PMN dapat meningkat sampai > 3000/mm³. (Marshall, 2003).

Sirkulasi cairan dalam rongga peritoneal dipengaruhi sebagian oleh gerakan

diafragma. Pori-pori interseluler di peritoneum melapisi permukaan inferior

diafragma (disebut stomata) berhubungan dengan pembuluh limfatik dalam

diafragma. Cairan limfe mengalir dari saluran limfatik diafragma melalui limfatik

subpleural ke getah bening regional dan, pada akhirnya, duktus thoracicus. Relaksasi

diafragma selama pernafasan membuka stomata, dan tekanan intratoraks negatif

menarik cairan dan bakteri ke dalam stomata. Kontraksi diafragma selama inhalasi

mendorong getah bening melalui saluran limfatik mediastinum ke ductus thoracicus.

(Brunicardi, et al., 2010).

2

Page 4: REFERAT - Peritonitis

Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui

pembuluh limfe diafragma sedang sisanya melalui peritoneum parietalis. Peritoneum

dapat mengadakan fibrinolisis dan mencegah terjadinya perlekatan. Peritoneum

menangani infeksi dengan 3 cara yaitu, (1) absorbsi bakteri melalui stomata

diafragma, (2) penghancuran bakteri oleh sel imun, (3) lokalisasi infeksi sebagai

abses. (Evans, 2001).

Gambar 1. Ligament dan mesenteric dari peritoneum

2.2 Etiologi

Peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai bentuk :

a. Peritonitis primer ( Spontaneous )

Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) terjadi bukan karena ninfeksi intra

abdomen, tetapi biasanya terjadi pada pasien asites dimana terjadi kontaminasi ke

rongga peritoneal sehingga terjadi translokasi bakteri munuju dinding perut atau

pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi

bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Kira-kira 10-30% pasien dengan

sirosis hepatis disertai asites akan berkembang menjadi SBP.

3

Page 5: REFERAT - Peritonitis

b. Peritonitis sekunder

Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis,

perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon

sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus.

(Daley, 2013).

c. Peritonitis tertier

Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat

tindakan operasi sebelumnya. Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi

menjadi generalized (peritonitis) dan localized (abses intra abdomen). (Daley,

2013).

2.3 Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat

fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,

yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi

infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat

menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.

(Fauci, et al., 2008)

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran

mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,

maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti

misalnya interleukin, dapat memulai respon inflamasi, sehingga membawa

ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba

untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk

buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung,

tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. (Fauci, et al., 2008)

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami

oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ

tersebut meningkat. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-

4

Page 6: REFERAT - Peritonitis

lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen

termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia

bertambah dengan adanya kenaikan suhu, intake yang tidak ada, serta muntah.

Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan

tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan menjadi sulit dan menimbulkan

penurunan perfusi. (Fauci, et al., 2008)

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila

infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis generalisata. Dengan perkembangan

peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus

kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen

usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan

dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat

mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. (Fauci, et

al., 2008)

5

Page 7: REFERAT - Peritonitis

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus

karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik

usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana

yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat

total atau parsial, pada ileus strangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah

sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan

akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen

sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauci, et al., 2008).

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman

Salmonella thypii yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang

tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk

keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang

mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal

dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam

selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang

disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang

merosot karena toksemia. (Fauci, et al., 2008)

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di

epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi

lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang

mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini

timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan

peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian

menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi,

belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya

nyeri di bahu menunjukkan rangsanganperitoneum berupa mengenceran zat asam

garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai

kemudian terjadi peritonitis bacteria (Fauci, et al., 2008).

6

Page 8: REFERAT - Peritonitis

Pada appendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen

apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis

dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa

mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas

dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan

tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem,

diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem

bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang

diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan

perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general (Fauci et

al, 2008).

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen

dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang

berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari

organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon

yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat.

Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi

perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis

hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala

karena mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24

jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum (Fauci et al, 2008).

2.4 Manifestasi Klinis

2.4.1 Gejala

Nyeri abdomen

Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada peritonitis.

Nyeri biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita

dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen (Doherty,

2006).

7

Page 9: REFERAT - Peritonitis

Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak

ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan.

Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum.

Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi

dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta

dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis

(Brunicardi, et al., 2010)

Anoreksia, mual, muntah dan demam

Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti

dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa

seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul.

Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38°C sampai 40°C (Brunicardi, et

al., 2010).

Facies Hipocrates

Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini

termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong,

kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat (Cole et al,1970).

Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya

berada pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka

berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena

setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen (Brunicardi, et al.,

2010).

Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat

kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan

perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak

berkurang (Cole et al,1970).

2.4.2 Pemeriksaan fisik

Inspeksi

8

Page 10: REFERAT - Peritonitis

Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi

dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak

menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada

awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda

distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi

kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik (Cole, et al., 1970).

Auskultasi

Auskultasi harus dilakukan dengan teliti. Bising usus dapat bervariasi dari

yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hampir tidak

terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Mungkin akan

ditemukan suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop bila

disertai adanya ileus. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen

akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami

strangulasi (Cole et al,1970).

Perkusi

Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa.

Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini

menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari

9

Page 11: REFERAT - Peritonitis

intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari

peritonitis (Cole et al,1970).

Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara

akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan

ditemukan pekak hepar yang menghilang (Brunicardi, et al., 2010).

Palpasi

Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada

kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah

yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai

terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak yang bila dengan palpasi

kuat langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak

berguna. Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada

wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua,

sulit untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen.

Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih

dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan

biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas

atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus

hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan

lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses

ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi

menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya

terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang

maksimal (Cole et al,1970).

Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan

spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis,

reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan (Brunicardi, et al., 2010).

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang

10

Page 12: REFERAT - Peritonitis

a. Laboratorium

Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat

penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah

termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah

putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua

atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat

mengerahkan mekanisme pertahanannya (Cole, et al., 1970).

Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan

didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan,

meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata

(Brunicardi, et al., 2010).

b. Radiologi

Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup

foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Dengan menggunakan foto

polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya

akibat adanya udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan

menggunakan foto polos abdomen (Cole et al,1970).

Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan

usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi.

Foto polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi

berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada

tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi

dan jumlah udara di usus besar dan usus halus (Cole et al,1970).

11

Page 13: REFERAT - Peritonitis

2.5 Penatalaksanaan

Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit,

kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik (Doherty,

2006).

2.5.1 Penanganan Preoperatif

a. Resusitasi Cairan

Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan

perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial

(Brunicardi, et al., 2010).

Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular

sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status

hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit

dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood).

Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang

(Doherty, 2006).

Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan

intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih

12

Page 14: REFERAT - Peritonitis

murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena

kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal (Brunicardi, et al., 2010).

b. Antibiotik

Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri

aerob yaitu Escherichia coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus,

sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,

Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis,

pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau

anaerob yang menginfeksi peritoneum (Brunicardi, et al., 2010).

Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur

dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih

terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan

penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik

harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji

sensitivitas (Cole et al,1970).

Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti:

(1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau

nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi

menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan

setelah operasi (Brunicardi, et al., 2010).

Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus

segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam

dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga

memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit

dari pencillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur

merupakan regimen terpai yang umum digunakan. Pada penderita yang sensitif

terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral

lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al,1970).

13

Page 15: REFERAT - Peritonitis

Pemberian cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif, metronidazole

dan clindamycin untuk organisme anaerob juga dapat dipertimbangkan (Doherty,

2006)

Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada

pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang

kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida

harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu

gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat

mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai

penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal

(Doherty, 2006).

2.5.2 Penanganan Operatif

Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya

dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini

berupa penutupan perforasi usus atau reseksi usus dengan anstomosis primer.

Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama

operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti

fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat irigasi untuk

mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen (Brunicardi, et al., 2010).

Kontrol Sepsis

Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan

semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis

dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi

midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang

terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus

dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan

organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu

14

Page 16: REFERAT - Peritonitis

diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung

empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut).

Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun

anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum (Doherty, 2006).

Peritoneal Lavage

Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat

menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri.

Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan

berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine).

Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada

cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage.

Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan

depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat

kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di

kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme

pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan

dimana fagosit menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).

Peritoneal Drainage

Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis

lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas

tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang

merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi.

Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan

abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna

pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan

untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi

(Doherty, 2006).

15

Page 17: REFERAT - Peritonitis

2.5.3 Pengananan Postoperatif

Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak

stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi

organ-organ vital, dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian

cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan

peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal,

penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik.

Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis.

Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan

resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).

2.6 Komplikasi

Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi

komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis

intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama

postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan

distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya

infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut

misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan

kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan,

dan sistem imun (Doherty, 2006).

2.7 Prognosis

Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-

faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit

primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan,

serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada

pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien

16

Page 18: REFERAT - Peritonitis

dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal

(Doherty, 2006).

BAB III

HASIL PENELITIAN

17

Page 19: REFERAT - Peritonitis

Jumlah Kasus Peritonitis di Rumah Sakit Immanuel pada tahun 2009-2014

Kasus penderita peritonitis pada bulan Januari 2009 sampai September 2014 di

Rumah Sakit Immanuel disajikan berdasarkan jenis kelamin, rentang usia, dan

penyebab peritonitis yang terjadi.

Pada data kasus peritonitis di Rumah Sakit Immanuel pada bulan Januari 2009

– September 2014 yang disusun berdasarkan jenis kelamin adalah sebagai berikut.

Grafik 3.1 Jumlah Kasus Peritonitis Generalisata pada Januari 2009 –

September 2014 Berdasarkan Jenis Kelamin

2009 2010 2011 2012 2013 20140

5

10

15

20

25

9

15

20

6

87

6

8

16

7

2

6

Laki-lakiPerempuan

Dari Grafik 3.1 didapatkan bahwa jumlah kasus total keseluruhan kasus peritonitis

yang terjadi pada Januari 2009 – September 2014 sebanyak 110 kasus dengan kasus

terbanyak terjadi pada tahun 2011 sejumlah 36 kasus, di mana didapatkan penderita

laki-laki berjumlah 20 kasus dan penderita perempuan berjumlah 16 kasus. Dan

18

Page 20: REFERAT - Peritonitis

secara keseluruhan insidensi kasus peritonitis dari tahun 2009 sampai tahun 2014

didapatkan jumlah kasus laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.

Grafik 3.2 Jumlah Kasus Peritonitis Generalisata pada Januari 2009 –

September 2014 Berdasarkan Rentang Usia

1-4 tahun 5-14 tahun 15-24 tahun 25-34 tahun 35-44 tahun 45-64 tahun0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

0

1

3

1

2

11

8

5

1

4

11

9

5 5 5

22

4

0

1 1 1

0

6

0

1 1 1

0

1 1

2

3 3

200920102011201220132014

Usia

Grafik 3.2 menunjukkan bahwa jumlah peritonitis yang terjadi pada Januari 2009 –

September 2014 berdasarkan usia, terjadi paling banyak pada rentang usia 5-14 tahun,

yaitu sejumlah 29 kasus dan selanjutnya usia 35-44 tahun dengan 16 kasus. Angka

kejadian paling sedikit pada rentang usia 1-4 tahun yaitu sebanyak sejumlah 4 kasus.

Grafik 3.3 Jumlah Kasus Peritonitis Generalisata dari Januari 2009 – September 2014 Berdasarkan Etiologinya

19

Page 21: REFERAT - Peritonitis

K65,0 K65,8 K65,90

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

8

0

7

18

0

5

18

1

17

5

2

6

8

0

2

12

01

200920102011201220132014

Pada Grafik 3.3 didapatkan bahwa jumlah kasus peritonitis geeralisata yang

terjadi pada Januari 2009 – September 2014 berdasarkan etiologinya, peritonitis akut

(K65,0) menempati kasus terbanyak yaitu sejumlah 69 kasus, dengan jumlah kasus

pada tahun 2009 berjumlah 8 kasus, tahun 2010 berjumlah 18 kasus, tahun 2011

berjumlah 18 kasus, tahun 2012 berjumlah 5 kasus, tahun 2013 berjumlah 8 kasus,

dan tahun 2014 berjumlah 12 kasus.

Sementara penyebab peritonitis terbanyak ke dua disebabkan oleh penyebab yang

tidak spesifik (K65,9) dengan jumlah 38 kasus. Terakhir, kejadian peritonitis kronis

(K65,8) merupakan yang paling sedikit dengan jumlah 3 kasus.

Tabel 3.1 Pembagian Kasus Peritonitis Akut pada Kejadian Peritonitis

Generalisata pada Januari 2009 – September 2014

20

Page 22: REFERAT - Peritonitis

Etiologi Jumlah

Rupture appendix 11

Perforation of the intestine

Small intestine

- Gaster

- Duodenum

- Jejunum

- Ileum

Large intestine

- Colon, include ascenden, transverse,

descenden

- Colon sigmoid

6

4

2

5

5

3

Pancreatic peritonitis 2

Tuberculosis peritonitis 9

Pelvic peritonitis 3

peritonitis with or following abortion or ectopic

or molar pregnancy

5

Bile, billiary peritonitis 8

Diverticular disease 5

Subdiaphragmatic peritonitis 1

Diaphragmatic peritonitis 0

Tabel 3.1 menunjukkan etiologi yang termasuk dalam peritonitis akut. Didapatkan

rupture dari appendix merupakan etiologi terbanyak, diikuti dengan peritonitis TB

dan peritonitis bilier.

Tabel 3.2 Pembagian Kasus Peritonitis Kronis pada Kejadian Peritonitis

Generalisata pada Januari 2009 – September 2014

21

Page 23: REFERAT - Peritonitis

Etiologi Jumlah

Hepatic peritonitis 2

Urine peritonitis 1

Chronic proliferative 0

Eosinophilic peritonitis 0

Mesenteric saponification 0

Pneumococcal peritonitis 0

Tabel 3.2 menunjukkan etiologi yang termasuk dalam kasus peritonitis kronis.

Kasus peritonitis kronis hanya terdapat 3 kasus diantaranya adalah peritonitis akibat

asites dari penyakit hepar dan peritonitis akibat urine.

Tabel 3.3 Pembagian Kasus Peritonitis Tidak Spesifik pada Kejadian Peritonitis

Generalisata pada Januari 2009 – September 2014

Etiologi Jumlah

22

Page 24: REFERAT - Peritonitis

Peritonitis due to infected dialysis

catheter6

Peritonitis due to infected dialysis

catheter5

Fistula peritoneal 4

Hemoperitoneal

- Infected

- Trauma

7

9

Peritonitis due to peritoneal dialysis 5

Fibrinous peritonitis 2

Tabel 3.3 menunjukan etiologi yang termasuk dalam peritonitis tidak spesifik.

Didapatkan kasus terbanyak disebabkan oleh hemoperitonitis karena trauma, dan

diikuti dengan infeksi.

BAB IV

SIMPULAN

23

Page 25: REFERAT - Peritonitis

            Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ

perut (peritonieum). Penyebab paling sering dari peritonitis primer

adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis.

Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi

gaster dan penyakit ulkus duodenale, serta perforasi kolon. Tanda-tanda peritonitis

yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi

hingga menjadi hipotensi. Nyeri  abdomen yang hebat, dinding perut akan teras

tegang karena iritasi peritoneum.

         Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit,

kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik. Komplikasi

postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan

sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain

tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum

pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.

Kasus peritonitis di Rumah Sakit Immanuel pada tahun 2009-2014 didapatkan 110

kasus dan 59,1% nya diderita oleh laki-laki dengan jumlah 65 kasus. Usia paling

banyak pada kasus peritonitis berada dalam rentang 5-14 tahun dengan presentase

26,4% dengan jumlah 16 kasus, sedangkan paling sedikit adalah rentang usia 1-4

tahun dengan presentase 3,6% dengan jumlah 4 kasus. Penyebab terbanyak peritonitis

akut adalah akibat rupture appendiks dengan presentase 15,9% dari seluruh etiologi

yang termasuk dalam peritonitis akut dengan jumlah 11 kasus, sementara peritonitis

tidak spesifik paling banyak adalah akibat hemoperitoneum yang disebabkan trauma

dengan presentase 23,7% yaitu sejumah 9 kasus.

DAFTAR PUSTAKA

24

Page 26: REFERAT - Peritonitis

Brunicardi, F. Charles, et al. 2010. Scwartz's Principles of Surgery. USA : The Mc Graw-Hill company, Inc, 2010.

Cole, Warren H. and Zollinger, Robert M. 1970. Cole and Zollinger textbook of surgery. New York : Appleton-Century-Crofts, 1970.

Daley, Brian James. 2013. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Medscape. [Online] 2013. http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview.

Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment 12ed. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc, 2006.

Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease) is not An Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with Intra Abdominal Infection. Surgical Infection. 2001.

Fauci, et al. 2008. Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1. United States of America : McGraw-Hill, 2008.

Heemken, R., L., Gandawidjaja and T., Hau. 1997. Peritonitis: pathophysiology and local defense mechanisms. s.l. : Hepatogastroenterology, 1997.

Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection. s.l. : Critical Care Medicine, 2003.

25