Referat Mata Uveitis FIXED _ DONE

download Referat Mata Uveitis FIXED _ DONE

of 26

Transcript of Referat Mata Uveitis FIXED _ DONE

UVEITIS

RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPANUVEITISREFERAT KEPANITERAAN KLINIK ILMU MATA

Natalia WiryantoNIM : 07120100027

Pembimbing: dr. M. Sulaiman. Sp.MLetkol Laut (K) NRP 10834 / P

Periode: 1 April 2014 2 Mei 2014

BAB 1. PENDAHULUANUveitis adalah peradangan (-itis) pada uvea yang terdiri dari iris, badan siliar, dan koroid.1 Beberapa penelitian terhadap uveitis telah dilakukan di beberapa negara dengan tujuan untuk menentukan insiden dan penyebab tersering kasus uveitis di negara tersebut. Seperti halnya di northern California incidence rate kasus uveitis adalah 52.4 / 100,000 orang-tahun. Angka ini tiga kali lebih tinggi dibandingkan incidence rate yang didapat dari penelitian di United State. Tidak hanya itu, incidence dan prevalensi terendah ada pada kelompok umur pediatri dan tertinggi pada kelompok umur > 65 tahun. Secara keseluruhan, data menunjukkan bahwa penyebab idiopatik sering ditemukan pada anterior uveitis sedangkan penyebab infectious lebih sering pada posterior uveitis. Adamantiades Behcet syndrome lebih tinggi prevalensinya di Turkey dan China. Tidak hanya itu, untuk Vogt-Koyanagi-Harada pun lebih sering di China. Namun, Birdshot Retinochoroidopathy lebih sering di Western Europe. Untuk di India, tuberculosis tetap menjadi penyebab utama infectious uveitis. Sedangkan viral uveitis lebih sering di Middle East dan di Perancis, diikuti oleh toxoplasmosis. Untuk di Indonesia, penulis belum menemukan laporan penelitian terkait prevalensi dan jenis uveitis terbanyak di Indonesia dari sumber yang terpercaya.2Uveitis adalah penyakit yang dapat diklasifikan berdasarkan beberapa hal, seperti anatomi yang terlibat, perjalanan klinis, etiologi dan histopatologi. Berdasarkan etiologinya, uveitis dibagi menjadi infectious uveitis dan non-infectious uveitis. Walaupun penyebab uveitis seringkali idiopatik, genetic, trauma, atau mekanisme infeksi dapat juga menjadi pemicu terjadinya uveitis. Penyakit yang menjadi predisposisi terhadap uveitis adalah inflammatory bowel disease, rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematous, sarcoidosis, tuberculosis, syphilis, dan AIDS. Sedangkan trauma dipercaya menjadi pemicu proses inflamasi karena kombinasi antara kontaminasi microbial dan akumulasi produk nekrosis pada lokasi luka. Infeksi juga dapat menjadi pemicu uveitis karena dipercaya reaksi imun terhadap molekul asing atau antigen dapat melukai pembuluh darah dan sel sel uveal tract. Namun, jika uveitis dikaitkan dengan penyakit autoimmune, maka mekanismenya dapat karena reaksi hipersensitivitas menyebabkan deposisi kompleks imun di dalam uveal tract.4Belum pernah dilaporkan adanya kematian karena kasus uveitis. Namun, penyakit ini dapat menimbulkan komplikasi yang cukup serius. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah katarak, glaucoma, CME, hypotony, calcific band shaped keratopathy, vitreous opacification dan vitris, retinal detachment, retinal dan koroidal neovascularization. Oleh karena itu, referat ini dibuat tidak hanya sebagai tugas kepaniteraan klinik bagian mata di RS. Marinir Cilandak tetapi juga agar dapat memberikan informasi tentang uveitis.2

BAB 2. TEORI2.1. Anatomi dan Fisiologi

3Uvea adalah lapis vaskuler di dalam bola mata yang terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid. Perdarahan uvea dibedakan antara bagian anterior dan posterior. Bagian anterior uvea diperdarahi oleh dua buah arteri siliar posterior longus yang masuk menembus sclera di temporal dan nasal dekat tempat masuk saraf optik dan tujuh buah arteri siliar anterior yang terdapat dua pada setiap otot superior, medial, dan inferior, serta satu pada otot rektus lateral. Sedangkan bagian posterior uvea mendapat perdarahan dari lima belas hingga dua puluh buah arteri siliar posterior brevis yang menembus sklera di sekitar tempat masuk saraf optik. Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang menerima tiga akar saraf di bagian posterior. Akar saraf pertama adalah saraf sensoris yang mengandung serabut sensoris untuk kornea, iris, dan badan siliar. Akar saraf kedua adalah saraf simpatis yang mempersarafi pembuluh darah uvea dan untuk dilatasi pupil. Akar saraf yang ketiga adalah akar saraf motor yang akan memberikan saraf parasimpatis untuk mengecilkan pupil. 1Iris adalah bagian paling anterior uvea yang berfungsi untuk mengatur secara otomatis masuknya sinar ke dalam bola mata. Hal ini menjadi indikator untuk fungsi simpatis (midriasis) dan parasimpatis (miosis) pupil.1 Iris terdiri dari stroma, pembuluh darah, saraf, lapisan berpigmen anterior dan posterior, otot dilator dan otot sphincter. Otot sphincter iris mendapat persarafan dari saraf parasimpatis yang berasal dari nucleus CN III. Otot sphincter ini memberikan respon farmakologis terhadap stimulasi muskarinik.2Badan siliar berfungsi untuk menghasilkan cairan bilik mata (aqueous humour) yang dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris di batas kornea dan sklera. Tidak hanay itu, ia juga berfungsi untuk akomodasi lensa dan pengeluaran aqueous humour. Badan siliar terdiri atas epithelium, stroma, dan otot siliar. Epithelium dan stroma terdiri atas pars plana dan pars plicata. Pars plana adalah bagian avaskular di badan siliar yang membentang dari ora serata hingga ciliary processes. Sedangkan pars plicata adalah bagian yang kaya pembuluh darah dan terdiri dari ciliary processes. Otot siliar terdiri dari 3 macam otot (longitudinal, radial, dan circular) yang menjalankan fungsinya sebagai satu unit. Otot ini dipersarafi oleh serabut parasimpatis yang berasal dari CN III. Sedangkan serabut simpatisnya berperan dalam relaksasi otot siliar. Otot ini dipengaruhi oleh obat kolinergik yang akan menyebabkan kontraksi otot sehingga ruang ruang trabekular meshwork terbuka. Hal ini menyebabkan peningkatan aliran aqueous humour.2Koroid berfungsi untuk menutrisi bagian luar retina. Ia terdiri dari 3 lapis pembuluh darah, yaitu choriocapillaris, lapisan tengah pembuluh darah kecil, dan lapisan luar pembuluh darah besar. Pencampuran dari choriocapillaris koroid dengan basal lamina dari retinal pigment epithelium (RPE) menghasilkan PAS-positif lamina yaitu membrane Bruch. Membran ini membentang dari tepi optik disk hingga ora serata dan terdiri atas basal lamina RPE, lapisan kolagen dalam, serat elastic dengan lapisan penyerap cairan yang lebih tebal, lapisan kolagen luar, basal lamina dari choriocapillaris.2

2.2. KlasifikasiUveitis terbagi dalam beberapa kelompok berdasarkan anatomi yang terlibat, perjalanan klinis, etiologi, dan histopatologi. Berdasarkan anatomi yang terlibat, uveitis dibagi menjadi uveitis anterior, intermediate, posterior, dan panuveitis. Sedangkan berdasarkan perjalanan klinisnya dibagi menjadi akut, kronik, dan berulang. Tidak hanya itu, uveitis juga dibagi berdasarkan penyebabnya (etiologi) menjadi infectious dan non-infectious. Dan berdasarkan histopatologinya, uveitis dibagi menjadi granulomatous (memiliki epitheloid and giant cell) dan non-granulomatous (memiliki infiltrate lymphocytic dan sel plasma).2Berdasarkan system klasifikasi the Standardization of Uveitis Nomenclature (SUN), bilik mata depan adalah lokasi peradangan utama uveitis anterior. Ada beberapa jenis peradangan yg termasuk / terkait dengan uveitis anterior. Pertama adalah iritis, yaitu peradangan yang terbatas pada bilik mata depan. Yang kedua adalah iridocyclitis, yaitu jika peradangan hingga ke ruang retrolental. Ketiga adalah peradangan yang melibatkan kornea yaitu keratouveitis. Sedangkan yang keempat adalah jika peradangan melibatkan sklera dan uveal tract yang disebut juga sebagai sclerouveitis. 2SUN mendefinisikan intermediate uveitis sebagai bagian dari uveitis yang lokasi peradangan utamanya berada di vitreous. Peradangan bagian tengah mata (badan siliar posterior dan pars plana) memberikan gejala adanya floaters yang mempengaruhi penglihatan. Kehilangan penglihatan sebagai hasil kronik CME (Cystoid Macular Edema) / pembentukan katarak. 2Sistem klasifikasi SUN mendefinisikan posterior uveitis sebagai peradangan intraocular yang utamanya melibatkan retina dan/atau koroid. Pada pemeriksaan bola mata ditemukan area retinitis / koroiditis baik focal, multifocal, ataupun diffuse dengan berbagai derajat aktivitas selular di vitreus. 2Panuveitis memiliki lokasi peradangan utama di bilik mata depan, vitreus, dan retina / koroid menurut SUN. Banyak penyakit sistemik yang berhubungan dengan uveitis baik infectious atau pun non-infectious menghasilkan peradangan intraocular yang difuse dengan komplikasinya iridocyclitis dan posterior uveitis. 2

2.3. EtiologiBerikut ini tabel penyebab uveitis tersering berdasarkan beberapa penelitian yang digunakan oleh AAO dan tabel tabel penyebab posterior uveitis dengan keadaan mata yang menyertai yang berbeda beda. 2

2.4. PathogenesisUveitis dapat terjadi akibat genetik, trauma, infeksi, atau pun idiopatik. Seringkali penyebab uveitis adalah idiopatik. Namun, genetic, trauma, atau mekanisme infeksi dapat juga menjadi pemicu terjadinya uveitis. Penyakit yang menjadi predisposisi terhadap uveitis adalah inflammatory bowel disease, rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematous, sarcoidosis, tuberculosis, syphilis, dan AIDS.4 Trauma dipercaya menjadi pemicu proses inflamasi karena kombinasi antara kontaminasi microbial dan akumulasi produk nekrosis pada lokasi luka. Infeksi juga dapat menjadi pemicu uveitis karena dipercaya reaksi imun terhadap molekul asing atau antigen dapat melukai pembuluh darah dan sel sel uveal tract. Namun, jika uveitis dikaitkan dengan penyakit autoimmune, maka mekanismenya dapat karena reaksi hipersensitivitas menyebabkan deposisi kompleks imun di dalam uveal tract.4

2.5. Manifestasi KlinisGejala akut anterior uveitis (iridocyclitis) adalah sakit, photophobia, merah, dan penglihatan kabur. Sedangkan kronik iridoyclitis menyebabkan penglihatan kabur dapat sebagai akibat calcific band keratopathy, katarak, atau CME. Namun kronik iridocyclitis pada pasien dengan JRA (Juvenile Rheumatoid Arthritis) / JIA (Juvenile Idiopathic Arthritis) dapat tidak menimbulkan gejala apapun (asimptomatik). Recurrent anterior uveitis ditandai dengan henti obat selama > 3 bulan dan diikuti oleh kembalinya gejala. 2Intermediated uveitis memberi gejala penglihatan kabur dan adanya floaters. Penglihatan kabur dapat sebagai akibat CME atau kekeruhan vitreus di visual axis. Sedangkan floaters sebagai hasil dari shadows cast oleh sel sel vitreus dan snowballs pada retina. 2Gejala yang muncul pada posterior uveitis adalah penurunan tajam penglihatan tanpa rasa sakit, floaters, photopsias, metamorphopsia, scotomata, nyctalopia, atau kombinasi gejala gejala tersebut. Epiphora dan photophobia biasanya ada ketika peradangan melibatkan iris, kornea, atau iris-badan siliar. Penurunan tajam penglihatan dapat disebabkan oleh beberapa hal. Penyebab pertama adalah semata mata karena uveitis yang diderita seperti retinitis dan/atau koroiditis yang secara langsung mempengaruhi fungsi macular. Penyebab kedua adalah sebagai komplikasi dari inflamasi seperti CME, epiretinal membrane, retinal ischemia, dan choroidal neovascularization. Penyebab ketiga adalah karena kelainan refraksi seperti myopia / hyperopic shift yang berhubungan dengan macular edema, hypotony, atau perubahan pada posisi lensa. Penyebab keempat adalah kekeruhan visual axis karena sel sel inflamasi, fibrin, atau protein di bilik mata depan. Penyebab lain adalah karena ada keratic precipitates (KPs), katarak sekunder, vitreus debris, macular edema, dan retinal atrophy. Rasa sakit pada uveitis biasanya dari peradangan akut pada iris (iritis) atau glaucoma sekunder. Spasme siliar pada iritis dapat menyebabkan nyeri alih dengan radiasi ke daerah yang dipersarafi oleh saraf trigeminal (CN V).2

Pada pemeriksaan bola mata, uveitis anterior menunjukkan adanya keratic precipitates, cells, flares, fibrin, hypopyon, pigment dispersion, papillary miosis, iris nodule, synechia anterior dan posterior, band keratopathy, aqueous flare, ciliary flush, dan injeksi konjungtiva / episklera yang diffuse. Keratic Precipitates (KPs) adalah kumpulan sel sel inflamasi pada endotel kornea. KPs yang kekuningan disebut juga muttonfat KPs. KPs ini berhubungan dengan tipe peradangan yang granulomatosa. Dengan peningkatan permeabilitas kapiler, dapat memberikan beberapa jenis reaksi, yaitu serous (aqueous flare yang disebabkan oleh protein influx), purulent (polymorphonuclear leukocytes dan necrotic debris yang menyebabkan hypopyon), fibrinous (plasmoid / intense fibrinous exudates), dan sanguinoid (sel sel inflamasi dengan eritrosit yang bermanifestasi sebagai hypopyon bercampur dengan hyphema). SUN juga mengembangkan metode penilaian sel dan flare pada anterior chamber yang terlampir pada table 6.11 dan 6.12. Keterlibatan iris dapat bermanifestasi sebagai anterior dan posterior synechia, iris nodule (koeppe nodule pada batas pupil, busacca nodule diantara iris stroma, dan berlin nodule di sudutnya), iris granuloma, heterochromia (seperti Fuchs heterochromic iridocyclitis) atau stromal atrophy (seperti herpetic uveitis). Sedangkan keterlibatan badan siliar dan trabekular meshwork mengakibatkan IOP yang rendah sebagai akibat pengurangan produksi atau peningkatan pengeluaran aqueous, tetapi IOP bisa menjadi sangat tinggi jika meshwork tersumbat oleh sel sel inflamasi atau debris atau jika terjadi trabekulitis. Penyumbatan pupil karena iris bombe dan sudut tertutup sekunder juga dapat menyebabkan peningkatan IOP secara akut. 2Pada pemeriksaan untuk intermediate uveitis dapat ditemukan sel sel peradangan vitreal, snowball opacities (which are common with sarcoidosis / intermediate uveitis), exudates pada pars plana yang disebut juga sebagai snowbank (active: fluffy / shaggy appearance; inactive: gliotik / fibrotic dan smooth), dan vitreal strands. Uveitis kronik dapat berhubungan dengan pembentukan membrane cyclitic dengan pelepasan badan siliar sekunder dan hypotony. 2Sedangkan pada pemeriksaan untuk uveitis posterior dapat ditemukan infiltrat peradangan koroidal / retinal, peradangan lapisan pelindung arteri / vena, perivascular inflammatory cuffing, retinal pigment epithelial hypertrophy atau atrophy, atrophy atau pembengkakan retina / koroid / kepala saraf optik, fibrosis pre- atau subretinal, exudative, tractional, atau rhegmatogenous retinal detachment (RRD).2

2.6. Pemeriksaan PenunjangDalam mengevaluasi pasien dengan tipe uveitis tertentu pemeriksaan penunjang dapat sangat membantu, seperti pemeriksaan laboratorium, fluorescein angiography (FA), indocyanine green (ICG) angiography, ultrasonography, optical coherence tomography (OCT), anterior chamber paracentesis, vitreus biopsy, dan chorioretinal biopsy. FA adalah untuk mengevaluasi pasien dengan penyakit chorioretinal dan komplikasi struktural dari posterior uveitis. 2ICG angiography menunjukkan dua macam pola hypofluorescence pada peradangan koroid vaskulopati. Tipe pertama menunjukkan peradangan choriocapillaropati yang lebih selektif dengan gambaran early dan late multifocal area of hypofluorescence dan dapat dilihat di multiple evanescence white dot syndrome (MEWDS). Tipe kedua menunjukkkan stromal inflamasi vaskulopati of the choroids dengan gambaran area of early hypofluorescence and late hyperfluorescence dan dapat dilihat di sarcoidosis, sympathetic ophthalmia, birdshot chorioretinopathy, dan VKH (Vogt Koyanagi Harada) syndrome. USG membantu dalam menunjukkan kekeruhan vitreus, penebalan koroidal, pelepasan retina, atau pembentukkan membrane siklitik. 2OCT adalah pelayanan standard untuk penilaian objective uveitic CME, penebalan retinal, cairan subretinal yang berhubungan dengan koroidal neovaskularisasi, dan serous retinal detachment, tetapi OCT tidak bermanfaat pada pasien dengan uveitic glaucoma. Hal ini karena nerve fiber layer defect dan defect lapang pandang berpengaruh pada perubahan yang terlihat di gambaran OCT terhadap kepala saraf optik. 2Anterior chamber paracentesis diikuti dengan analisa aqueous humour. Pemeriksaan ini sering dilakukan pada pasien infectious uveitis dengan gejala yang tidak khas atau pasien dengan kecurigaan terhadap primary intraocular lymphoma. Tidak hanya itu, pemeriksaan produksi antibody local berdasarkan Goldmann-Witmer (GW) coefficient adalah gold standard untuk diagnosis toxoplasmosis di Europe. Komplikasi aqueous paracentesis dapat berupa anterior chamber hemorrhage, endophthalmitis, dan kerusakan pada iris atau lensa. 2Vitreus biopsy dapat dibutuhkan untuk evaluasi diagnostic pasien dengan kecurigaan terhadap primary intraocular lymphoma (Reticulum Cell Sarcoma) atau endophthalmitis bakteri / fungal. Pemeriksaan lain yang biasanya menyertai pemeriksaan ini adalah pemeriksaan cytologic, cytofluorographic, dan microbilogis dari cairan vitreus, serta kultur bakteri dan jamur dari specimen vitreus dan aqueous jika diduga infeksi. Perencanaan yang baik terhadap tes yang akan dilakukan dapat menjadi sarana yang efektif untuk mengkonfirmasi diagnosis klinis terhadap pasien intraocular lymphoma, infeksi ocular kronik, dan atipikal korioretinitis. 2Biopsi korioretinal dapat bermanfaat ketika diagnosis tidak bisa dikonfirmasi dengan gambaran klinis atau pemeriksaan laboratorium. Contoh kasus yang memerlukan tindakan ini adalah necrotizing retinitis pada pasien AIDS atau kasus yang dicurigai primary subretinal intraocular lymphoma. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah penurunan / kehilangan penlihatan karena komplikasi operasi, retinal detachment, katarak, dan perdarahan vitreus. 2

2.7. TatalaksanaPengobatan yang digunakan adalah siklopegik, NSAIDs, dan kortikosteroid. Terapi immunomodulator dapat diperlukan untuk pasien yang tidak berespon terhadap terapi kortikosteroid, pasien dengan komplikasi karena kortikosteroid, dan pasien dengan gangguan yang menunjukkan hubungan dengan hasil akhir yang jelek untuk waktu yang lama ketika kortikosteroid sudah digunakan sebagai satu satunya terapi modalitas. 2Midriatik dan siklopegik bagus untuk mencegah dan menghentikan pembentukan sinekia posterior dan untuk meringankan photophobia sekunder akibat spasme siliar. Contoh short acting dalam bentuk tetes mata adalah cyclopentolate hydrochloride dan contoh tetes mata yang long acting adalah atropine. Pasien dengan chronic uveitis dan moderate flare di bilik mata depan (contoh: JRA/JIA-berhubungan dengan iritis) dapat memerlukan short acting agent untuk penggunaan jangka panjang untuk mencegah sinekia posterior. 2NSAIDs bekerja dengan menghambat cyclooxygenase dan mengurangi sintesis prostaglandin yang memediasi peradangan. Topical NSAIDs dapat berguna pada tatalaksana pasca operasi peradangan dan CME tetapi kegunaan dalam mengobati endogenous anterior uveitis belum terbukti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistemik NSAIDs dapat efektif dalam pengobatan kronik iridosiklitis (JRA/JIA-berhubungan dengan iritis) dan kemungkinan CME. 2Kortikosteroid adalah kunci pengobatan uveitis. Namun, kortikosteroid disimpan untuk indikasi tertentu seperti mengobati peradangan aktif pada mata, mencegah / mengobati komplikasi seperti CME, mengurangi infiltrasi peradangan pada retina, koroid, atau saraf optic karena efek samping yang mungkin ditimbulkan. Kortikosteroid hanya dipakai jika kemungkinan hasil pengobatan lebih baik dibandingkan dengan komplikasi yang mungkin ditimbulkan. Ia juga tidak selalu diindikasikan pada pasien dengan kronik flare atau pada spesifik terapi seperti pada penyakit Fuchs heterochromic iridocyclitis atau pars planitis tanpa macular edema atau dengan peripheral lesion of toxoplasmosis. Penggunaan kortikosteroid dimulai dengan dosis tinggi kemudian diturunkan seiring dengan berkurangnya peradangan yang terjadi. Dosis dapat ditinggikan jika diperlukan tindakan operasi untuk mencegah terjadinya uveitis pasca operasi. Kortikosteroid dapat diberikan seara topical, periokular, oral, intravena, atau pun intravitreal. 2Topikal corticosteroid efektif untuk anterior uveitis walaupun bisa juga memberikan efek yang baik pada vitritis dan macular edema pada pasien pseudofaki atau afakia. Topical kortikosteroid dapat juga diberikan dalam bentuk salep. Contoh sediaan kortikosteroid topical yang memiliki efek ocular hypertensive lebih kecil dibandingkan yang lain adalah rimexolone, loteprednole, dan fluorometholone. Namun, untuk uveitis dengan derajat yang berat prednisolone menunjukkan hasil yang lebih efektif. 2Periokular kortikosteroid biasanya diberikan ketika menginginkan efek yang lebih posterior atau ketika pasien kurang responsive dengan topical atau sistemik kortikosteroid. Contoh kortikosteroid yang diberikan secara perikoular adalah triamcinolone acetonide 40mg atau methylprednisolone acetate 40-80mg. Pengobatan ini sering dilakukan untuk intermediate / posterior uveitis atau pasien yang dengan CME karena langsung memberikan pengobatan ke tempat inflamasi dan hanya memiliki sedikit efek samping sistemik pada orang dewasa. Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah perdarahan periorbital / retrobulbar, lower lid refractor ptosis, orbital fat prolapsed dengan periorbital festoon formation, orbital fat atrophy, dan skin discoloration. Suntikan periokular tidak boleh digunakan pada kasus infectious uveitis dan pasien dengan necrotizing scleritis karena penipisan sclera dan kemungkinan perforasi. Suntikan periokular kortikosteroid dapat meningkatkan IOP sangat tingi atau untuk waktu yang lama. 2Terapi oral / IV dapat membantu atau mengantikan cara masuk obat yang lain. Korikosteroid sistemik digunakan untuk kronik uveitis yang mengancam penglihatan ketika topical kortikosteroid tidak memadai atau penyakit sistemik juga membutuhkan terapi. Lama pengobatan menggunakan kortikosteroid dapat mencapai tiga bulan. Jika terapi diperlukan untuk lebih dari tiga bulan, makan immunomodulator terapi juga diperlukan. Pasien dengan DM, hipertensi, tukak peptik, GERD, immunocompromised, dan pasien dengan kondisi kejiwaan yang beresiko tinggi untuk kortikosteroid induced exacerbation of their systemic conditions harus dihindari sebisa mungkin terhadap penggunaan kortikosteroid. Pasien dengan oral kortikosteroid dosis tinggi harus diberikan juga H2 receptor blocker atau PPI untuk mencegah gastric dan peptic ulcer. Pasien dengan terapi kortikosteroid jangka panjang khususnya geriatri dan wanita postmenopausal harus mendapat supplement kalsium dan vitamin D untuk mengurangi resiko osteoporosis. Test yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pasien yang beresiko untuk corticosteroid-induced bone loss adalah serial height measurements, serum calcium dan phosphate level, serum 25-hydroxycholecalciferol levels (if vit. D stores are uncertain), FSH dan testosterone levels (if gonadal status is uncertain), bone mineral density screening for pasien yang menerima terapi kortikosteroid > 3 bulan. Oleh karena itu, FDA telah menyetujui penggunaan alendronate untuk pencegahan dan pengobatan kortikosteroid induced osteoporosis pada laki laki dan perempuan. 2Intravitreal corticosteroid dapat diberikan melalui suntikan atau implantasi dari sustained release device. Contoh intravitreal kortikosteroid adalah triamcinolone acetonide / kenalog. Intravitreal kortikosteroid telah digunakan pada banyak kasus uveitis namun kegunaannya pada uveitis CME masih terbatas dan keefektifannya terhadap kronik uveitis masih belum jelas. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah endophthalmitis, wound leaks, hypotony, perdarahan vitreus, dan retinal detachment. Pengobatan ini bukanlah pengobatan untuk uveitis kronik dan efeknya hanya sementara (jangka pendek yaitu 2-3 tahun). 2Pengobatan immunomodulator dibutuhkan untuk pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid lebih dari tiga bulan dengan dosis lebih dari 5 10 mg / hari, pasien dengan kronik topical kortikosteroid dependence, dan pasien yang memerlukan banyak suntikan kortikosteroid periokular. Beberapa penyakit seperti Adamantiades-Behcet syndrome, simpatetik ophthalmia, VKH, dan necrotizing sclerouveitis membutuhkan immunomodulator sejak awal terapi untuk mendapatkan prognosis jangka panjang yang kebih baik dan mengurangi tingkat kehilangan penglihatan. Immunomodulator tersedia dalam beberapa golongan, yaitu antimetabolite, alkilating agent, inhibitor of limfosit T signaling, dan biologic respond modifier. Indikasi penggunaan immunomodulator secara umum pada uveitis adalah vision threatening intraocular inflammation, reversibility of disease process, inadequate response to corticosteroid treatment (gagal terapi), dan kontraindikasi terapi kortikosteroid karena masalah sistemik atau efek samping yang tdk bisa ditoleransi (ketergantungan kortikosteroid kronik dan efek samping kortikosteroid yang tdk bisa diterima). Komplikasi serius yang dapat terjadi adalah renal dan hepatic toxicity, bone marrow suppression, dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Tidak hanya itu, sterility dan resiko terhadap keganasan seperti leukemia atau lymphoma juga meningkat. Sebelum memulai pengobatan, dokter hendaknya memastikan bahwa tidak ada infeksi, tidak ada kontraindikasi hepatik dan hematologi, ada follow up yang cermat oleh dokter yang kompeten, ada objective longitudinal evaluation of disease process, dan ada informed consent. Dalam masa pengobatan, pasien sebaiknya tidak mengandung / hamil. 2Antimetabolite (azathioprine / AZA) menunjukkan keefektifan untuk mencegah keterlibatan mata terhadap penyakit yang tidak disertai dengan penyakit mata dan mengurangi penyebaran mata yang lain ketika terjadi peradangan unilateral seperti pada Amantiades-Behcet uveitis. Antimetabolite juga ditemukan efektif untuk intermediate uveitis, VKH, simpatetik ophthalmia, dan necrotizing scleritis. Berdasarkan evaluasi TPMT untuk mengetahui apakah pasien tersebut perlu AZA/6-MP atau tidak dan dosis yang diperlukan, ada 3 kelompok pasien. Kelompok pertama adalah yang low / no TPMT enzymne activity dimana terapi AZA tidak direkomendasikan. Kelompok kedua adalah intermediate TPMT enzyme activity dimana terapi AZA diberikan dengan dosis yang dikurangi. Kelompok ketiga adalah normal / high TPMT enzyme activity dimana terapi AZA diberikan dengan dosis normal / yang lebih tinggi daripada untuk pasien dengan intermediate TPMT activity. Antimetabolit lain adalah methotrexate dan mycophenolate mafetil. Methotrexate efektif untuk berbagai uveitis termasuk JRA/JIA-berhubungan dengan iridosiklitis, sarkoidosis, panuveitis, dan scleritis. Methotrexate adalah obat yang teratogenik memerlukan pemantauan hasil laboratorium (CBC dan liver function test) setiap 4-6 minggu untuk memantau efek sampingnya. Obat ini menjadi pilihan utama untuk pengobatan pada anak anak karena telah banyak tercatat keberhasilannya dalam pengobatan anak anak dengan JRA/JIA. Mycophenolate mofetil ditemukan efektif sebagai kortikosterid sparing agent pada pasien dengan kronik uveitis. Profil efek sampingnya menjadikan mycophenolate mofetil sebagai pilihan utama immunomodulation. Dalam penggunaannya, CBC diperiksa setiap minggu selama 1 bulan, lalu setiap 2 minggu selama 2 bulan, kemudian setiap bulan satu kali. 2Inhibitor T-Lymphocyte signaling adalah cyclosphorine, tacrolimus, dan sirolimus. Cyclosphorine memiliki beberapa efek samping, yaitu sistemik hipertensi, nephrotoxicity, paresthesia, gastrointestinal upset, fatigue, hypertrichosis, dan gingival hyperplasia. Tacrolimus juga memiliki efek samping nephrotoxicity sedangkan sirolimus memiliki efek samping yang dipengaruhi dosis dan lebih ke arah gastrointestinal dan cutaneous. Namun, sirolimus masih dalam penelitian. 2Alkilating agent (sikloposphamide dan klorambucil) digunakan untuk mengontrol uveitis jika immunomodulator lain gagal. Tidak hanya itu, alkilating agent juga digunakan sebagai lini pertama dalam pengobatan necrotizing scleritis yang berhubungan dengan sistemik vaskulitis seperti Wegener granulomatosis / relapsing polychondritis. Obat ini juga efektif pada intermediate uveitis, VKH, simpatetik ophthalmia, dan adamantiades behcet. Efek samping yang paling dikhawatirkan adalah peningkatan resiko terhadap keganasan. 2Biologic response modifier adalah obat yang menghambat sitokin. Contoh obat ini adalah etanercept, infliximab, daclizumab, efalizumab, alefacept, dan adalizumab. Pengobatan ini hanya digunakan ketika semua immunomodulator lain telah gagal / tidak dapat ditoleransi dengan baik. Obat ini memiliki efek sebagai antiviral, immunomodulator, dan antiangiogenic. Adapun efek samping pengobatan ini adalah flulike syndrome, leukopenia, thrombocytopenia, dan depresi. 2Tindakan operasi dapat dilakukan untuk diagnosis sekaligus pengobatan. Beberapa tindakan yang dilakukan adalah paracentesis aqueous humour, biopsy vitreus dan/atau korioretinal, dan vitrectomy. Paracentesis dan biopsy dilakukan untuk diagnosis dan telah dibahas sebelumnya pada bagian diagnosis. Indikasi paling umum untuk tindakan vitrectomy adalah kasus dengan endophthalmitis, primary intraocular lymphoma atau keganasan intraocular lain, infectious posterior uveitis, dan jika diduga panuveitis. Therapeutic vitrectomy dilakukan pada kasus uveitis tertentu untuk membersihkan visual axis dari kekeruhan atau perdarahan, mengangkat epiretinal membrane, mengangkat subfoveal choroidal neovascular membrane pada kasus kasus tertentu, memperbaiki complex retinal detachments, mengurangi intravitreal cytokines dan chemokines untuk membantu mengontrol inflamasi, dan mengurangi CME. Namun, jika terdapat kronik uveitis dengan presentasi yang tidak khas, inconclusive systemic work up, dan respon yang buruk terhadap terapi konventional, maka dapat dilakukan diagnostic vitrectomy. Tidak hanya itu, diagnostic vitrectomy juga dipertimbangkan jika biposi dapat mengubah pengangan terhadap uveitis. Komplikasi yang dapat terjadi adalah retinal detachment, perdarahan suprachoroidal dan vitreus, perburukan katarak dan inflamasi, dan retinal tears atau detachment. 2

2.8. KomplikasiKomplikasi uveitis yang tersering secara umum adalah katarak, glaucoma, CME, dan hypotony. Komplikasi lainnya adalah calcific band shaped keratopathy, vitreous opacification dan vitris, retinal detachment, retinal dan koroidal neovascularization. Pasien dengan kronik uveitis biasanya memiliki deposit kalsium di epithelial basement membrane dan bowmans layer. Endapan ini dapat ditemukan di zona interpalpebral dan sering memanjang hinggga ke visual axis. Penanganannya adalah dengan operasi (EDTA scrubs) untuk mengangkat endapan tersebut.2Katarak dapat terjadi karena inflamasi atau pun penggunaan kortikosteroid. Penanganannya adalah dengan operasi katarak. Namun, syarat operasi intraocular pada mata uveitis adalah tidak ada peradangan >3 sebelum operasi. Untuk pasien JRA/JIA yang berhubungan dengan uveitis dengan katarak disarankan untuk melakukan pars plana lensectomy / vitrectomy. Bahkan jika perlu, synechiolysis dengan viscoelastic atau iridodialysis spatula dilakukan dan diikuti oleh capsulorrhexis, standard phacoemulsification dan penanaman IOL. Komplikasi post operative jangka panjang adalah peningkatan kekeruhan kapsul posterior, glaucoma, dan CME. Namun, terapi immunosuppressive pre-operative yang lebih lama, control ketat peradangan perioperative, penggunaan topical corticosteroid selama 3 5 bulan pasca operasi, dan terapi immunosuppressive perioperative secara agresif dan berkelanjutan dapat mengurangi resiko komplikasi dan meningkatkan hasil penglihatan. 2Komplikasi lain yang sering terjadi adalah glaucoma. Uveitic glaucoma hendaknya dibedakan dengan uveitic ocular hypertension. Uveitic ocular hypertension merujuk pada IOP >10mmHg tanpa adanya kerusakan saraf optik. Sedangkan uveitic glaucoma adalah peningkatan IOP sehingga terjadi neuroretinal rim loss dan gangguan lapang pandang yang khas glaucoma. Penanganan pada ocular hypertension yang terjadi pada awal uveitis adalah dengan pemberian steroid. Namun jika setelah peradangan menjadi tenang tetapi IOP masih >30 mmHg, dosis topical corticosteroid boleh diturunkan perlahan lahan dan aqueous suppressant boleh ditambahkan. Penanganan uveitic glaucoma sudut tertutup akut adalah dengan aggressive kortikosteroid terapi dan aqueous suppressant, subakut dengan iridotomy dan YAG / argon laser kemudian diikuti dengan intensive topkial kortikosteroid dan siklopegik terapi, dan kronik dengan goniosynechiolysis dan trabeculectomy dengan mitomycin C atau glaucoma tube shunt placement. Sedangkan penanganan uveitic glaucoma sudut terbuka akut adalah dengan topical siklopegik, kortikosteroid, dan tatalaksana spesifik terhadap agen infeksius, dan untuk yang kronik adalah dengan topical dan oral glaucoma medication (carbonic anhidrase inhibitors, B-blocker, dan alpha agonis). Jika gagal, maka diperlukan nonpenetrating deep sclerotomy dengan atau tanpa penanaman drainage. 2Hypotony pada uveitis karena penurunan produksi aqueous dari badan siliar dan dapat terjadi setelah operasi intraocular. Hypotony pada awal uveitis biasanya berespon terhadap terapi kortikosteroid dan siklopegik intensif, namun untuk kronik hypotony dapat digunakan topical ibopamine, nonselective dopaminergic, dan alpha dan beta adrenergic receptor. Vitrectomy, membranectomy, dan intraocular silicone oil dapat juga diperlukan pada keadaan tertentu. 2 CME biasanya terjadi pada parsplanitis, birdshot retinochoroiditis, dan retinal vasculitis tetapi dapat terjadi pada uveitis kronik manapun. Tatalaksana CME adalah terapi kortikosteroid dan immunomodulator. 2Vitreus opacification dan vitritis ditangani dengan 3-port pars plana vitrectomy. Sedangkan RRD ditangani dengan pars plana vitrectomy dan endolaser dengan internal silicone oil tamponade untuk memperbaiki pelepasan (detachment) dan membuang epiretinal membrane. Dan untuk retinal dan choroidal neovascularization ditangani dengan kortikosteroid dan/atau immunomodulator atau scatter laser photocoagulation di daerah iskemik dan area watershed yang berhubungan. 2RRD biasanya berhubungan dengan panuveitis, infectious uveitis, pars planitis, dan posterior uveitis. Retinal detachment yang berhubungan dengan pars planitis dapat ditangani dengan sclera buckling dan cryoretinopexy. Pars plana vitrectomy dan endolaser treatment with internal silicone oil tamponade dibutuhkan untuk memperbaiki detachment dan mengangkat membrane epiretina. Jika terdapatproliverative retinopathy (PVR), kombinasi sclera buckling dan pars plana vitrectomy sering dibutuhkan untuk menyambungkan kembali retina yang terlepas. 2Retinal neovaskularisasi dapat berkembang pada uveitis kronik manapun tetaoi lebih sering pada pars planitis, sarcoid panuveitis, dan retinal vasculitis. Penanganannya adalah dengan kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi dan/atau immunomodulator agent / scatter laser photocoagulation di daerah iskemik dan area watershed yang berhubungan. Sedangkan choroidal neovaskularisasi (CNV) dapat berkembang pada posterior uveitis, panuveitis, ocular histoplasmosis syndrome, punctuate inner choroidopathy, idiopathic multifocal choroiditis, dan serpiginous choroiditis. Metamorphosia dan rapid onset scotoma adalah tanda yang dapat ditemukan pada pasien. Diagnosis dilakukan berdasarkan keadaan klinis dan angiography. Penanganan yang dapat dilakukan adalah kortikosteroid, immunomodulator, dan focal laser photocoagulation of peripapillary, extrafoveal, dan juxtafoveal CNV. Immunomodulator dapat dikombinasikan dengan vascular endothelial growth factor (VEGF) inhibitor atau dgn ocular photodynamic therapy. Jika semua langkah tersebut gagal, maka dapat dipertimbangkan untuk melakukan pars plana vitrectomy dan subfoveal CNV extraction. 2

BAB 3. RANGKUMAN

Uveitis adalah peradangan pada uvea dan dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomi yang terlibat, perjalanan klinis, etiologi, dan histopatologi.

Penyebab uveitis tersering: Uveitis anterior idiopathic Intermediate idiopathic Posterior Toxoplasmosis Panuveitis Adamantiades Behcet syndromeManifestasi klinis uveitis:PenyakitGejalaTanda

AnteriorAkutSakit, photophobia, merah, penglihatan kaburKPs, cells, flares, fibrin, hypopyon, pigment dispersion, papillary miosis, iris nodule, synechia anterior dan posterior, band keratopathy, aqueous flare, ciliary flush, injeksi konjungtiva / sklera

KronikAsimptomatik atau penglihatan kabur

IntermediatePenglihatan kabur dan ada floatersSel - sel peradangan vitreal, snowball opacities, snowbank, vitreal strands, membran cyclitic, hypotony

PosteriorPenurunan tajam penglihatan tanpa rasa sakit, floater, photopsias, metamorphopsia, scotomata, nyctalopia, epiphora, photophobiaInfiltrat peradangan koroidal / retinal, peradangan lapisan pelindung arteri / vena, pervascular inflamatory cuffing, retinal pigment epithelial hypertrophy / atrophy, atrophy atau pembengkakan retina/koroid/kepala saraf optik, fibrosis pre- atau subretinal, exudative, tractional, atau rhegmatogenous retinal detachment

Pemeriksaan penunjang:Referat: Uveitis Natalia Wiryanto (07120100027)

24Kepaniteraan Klinik Ilmu MataRS. Marinir Cilandak - UPH Fluorescein angiography (FA) Indocyanine green (ICG) angiography Ultrasonography Optical coherence tomography (OCT) Anterior chamber paracentesis Vitreus biopsy Chorioretinal biopsy

Tatalaksana:Komplikasi: Katarak Galukoma CME Hypotony Calcific band shaped keratopathy Vitreus opacifiation and vitritis Retinal detachment Retinal and koroidal neovaskularization

DAFTAR PUSTAKA1. Ilyas, H. Sidarta, Prof. dr. SpM, Sri rahayu Yulianti, dr. SpM. Ilmu penyakit mata. 4th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.2. Intraocular Inflammation and Uveitis. Singapore: American Academy of Ophthalmology; 2007.3. Netter, Frank. H, MD. Atlas of Human Anatomy. 5th ed. Philadelphia: Saunders ELSEVIER; 2011.4. Tsang, Keith, MD. Iritis and Uveitis: Medscape [updated: 2014 January 13; cited 2014 April 23] available from: http://emedicine.medscape.com/article/798323-overview#showall