Protection of Human Right in Indonesian Constitution
-
Upload
sisemutmerah -
Category
Documents
-
view
102 -
download
5
Transcript of Protection of Human Right in Indonesian Constitution
Protection of Human Right in Indonesian Constitution
Abstract
Dalam perkembangan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi
menempati posisi yang sangat penting. Pengertian dan materi muatan konstitusi
senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan
organisasi kenegaraan. Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat diketahui
prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara serta
struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi dapat
dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.
Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepakatan umum atau persetujuan
(consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan
berkenaan dengan negara. Konstitusi merupakan konsensus bersama atau general
agreement seluruh warga negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga
masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau
dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut
negara.1
Kepentingan paling mendasar dari setiap warga negara adalah perlindungan
terhadap hak-haknya sebagai manusia. Oleh karena itu, Hak asasi manusia
merupakan materi inti dari naskah undang-undang dasar negara modern. Hak
Asasi Manusia (HAM), adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh Negara, Hukum, Pemerintahan, dan setiap orang, demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.2 Artinya, yang dimaksud sebagai hak
asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi manusia.
Keterkaitan antara konstitusi dengan hak asasi manusia juga dapat dilihat
dari perkembangan sejarah. Perjuangan perlindungan hak asasi manusia selalu
terkait dengan perkembangan upaya pembatasan dan pengaturan kekuasaan yang
1 William G. Andrews, misalnya, dalam bukunya Constitutions and Constitutionalism 3rd edition, menyatakan: “The members of a political community have, bu definition, common interests which they seek to promote or protect through the creation and use of the compulsory political mechanisms we call the State”, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 9.
2 Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
merupakan ajaran konstitusionalisme. Magna Charta (1215) dan Petition of Rights
(1628) adalah momentum perlindungan hak asasi manusia sekaligus pembatasan
kekuasaan raja oleh kekuasaan parlemen (house of commons).
Dalam perspektif hukum tata negara, norma yang terkandung dalam UUD merupakan sumber hukum (rechtsgulle) bagi aturan yang ada di bawahnya. Konstruksi ini merupakan makna bahwa norma-norma yang ada dalam UUD harus mengalir dalam perundang- undangan di bawahnya, apakah berupa norma original atau norma jabaran yang lebih konkrit. Norma tersebut dapat mengalir dalam perundang-undangan yang lebih rendah hierarki atau perundangan yang lebih rendah dapat memberikan norma tafsiran dari peraturan perundangan yang lebih tinggi tersebut. Dengan kata lain, meminjam istilah dari Rudolf Steammler, seorang ahli filsafat yang beraliran Neo Kantian, norma HAM yang terdapat dalam UUD adalah sebagai bintang pemandu (leitstren) bagi pembuat undang-undang di bawahnya agar selaras dengan nilai-nilai HAM.
Pandangan keliru bahwa HAM identik dengan pandangan dunia barat, tidak boleh menjadi alasan untuk tidak melaksanakan HAM. Hak asasi manusia adalah persoalan universal, tetapi sekaligus juga kontekstual. Sebagaimana dikatakan Magnis Suseno (1994:11-12), HAM merupakan pengertian modern3. Dalam masyarakat tradisional, HAM tidak banyak dipertanyakan karena struktur sosial tradisional itu masih mampu melindungi hak-hak individu di dalamnya. Indonesia sebagai negara modern tidak mungkin menghindar dari realitas bahwa masyarakatnya menjadi lebih individual daripada masyarakat tradisional. Jika diamati lebih jauh, HAM justru tidak memuat individualisme. Sebaliknya, jaminan terhadap HAM merupakantanda solidaritas dan kepedulian social dalam masyarakat yang bersangkutan, seperti perlindungan terhadap mereka yang kurang beruntung secara sosial dan ekonomi. Dengan demikian, secara substansi, HAM adalah universal, sedangkan dikatakan kontekstual apabila sudah berbicara tentang relevansinya (aktualisasi).
3 Jurnal komnasham hal 24