PROCEEDINGS MIE 2013

183
0

Transcript of PROCEEDINGS MIE 2013

Page 1: PROCEEDINGS MIE 2013

0

Page 2: PROCEEDINGS MIE 2013

i

PROCEEDINGS of

“Population and Human Resources Development” Volume 2

National Conference

April 24 and 25th, 2013

Master of Economic Sciences

Padjadjaran University, Bandung

Hak Cipta © 2013 pada Departemen Magister Ilmu Ekonomi UNPAD dan UNPAD Press

Disusun oleh : Tim Ahli National Conference 2013

Editor : Tim Ahli National Conference 2013

Desain Sampul : Tim Ahli National Conference 2013

ISBN 978–602–9238–45–7

Dilarang keras mengutip, menjiplak, memfotokopi sebagian atau seluruh isi karya ilmiah ini

serta memperjualbelikannya tanpa izin tertulis dari Magister Ilmu Ekonomi UNPAD dan

UNPAD Press.

© HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

Page 3: PROCEEDINGS MIE 2013

ii

Ketentuan Umum Proceedings

Setiap penulis mematuhi izin publikasi yang bertanggungjawab atas informasi dalam

manuskrip masing-masing. Pihak penerbit berhak menyunting dan mengedit setiap tulisan

yang masuk, tanpa mengurangi maksud dan tujuan tulisan. Semua informasi dalam karya

ilmiah ini tidak mencerminkan kebijakan resmi Departemen Magister Ilmu Ekonomi

UNPAD. Setiap naskah yang diterbitkan berada dalam wewenang Departemen Magister Ilmu

Ekonomi UNPAD, dan tidak untuk dimuat di lembaga manapun. Hak milik tetap berada di

tangan penulisnya.

Proceedings of Population and Human Resources Development adalah kumpulan karya

ilmiah hasil konferensi nasional tahunan yang diadakan oleh Departemen Magister Ilmu

Ekonomi Universitas Padjadjaran (UNPAD). Diterbitkan atas kerjasama Magister Ilmu

Ekonomi UNPAD dan UNPAD Press. Beralamat di Jl. Cimandiri No. 6 – 8 Bandung. Bagi

pihak yang tertarik atau hendak berkomunikasi terkait Proceedings bisa menghubungi:

Telepon (022) 4267779, Faximile (022) 4267780 atau email: [email protected]. Website:

http://mie.fe.unpad.ac.id.

Page 4: PROCEEDINGS MIE 2013

iii

DAFTAR ISI

Lembar Judul i

Ketentuan Umum Proceedings ii

Daftar isi iii

1. Analisis Hubungan Populasi, Pola Konsumsi, dan Pertumbuhan Ekonomi 1

Abdul Holik

2. Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Pengangguran 20

Abdul Holik dan Aisyah Rosadi

3. Pengaruh Disiplin Kerja dan Pengembangan Karir Terhadap Kinerja Perusahaan 35

Galuh Tresna Murti, Aurora Angela dan Ernie Soedarwati

4. Monitoring dan Evaluasi Otonomi Rumah Sakit Serta Dampaknya terhadap Prioritas

Pelayanan Rumah Sakit 48

Herny Nurhayati, Reinhard Chrismantsa dan Mawar Novita Yulianty

5. Analysis of High Education Labor towards GDP in Indonesia ―Analisis Tenaga Kerja

Berpendidikan Terhadap GDP di Indonesia‖ 64

Ahmad Kafrawi Mahmud dan Galyn Ditya Manggala

6. Pengaruh Intellectual Capital terhadap Kinerja Bank BUMN yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia Tahun 2005-2012 71

Galuh Tresna Murti dan Rakhmini Juwita

7. Pengaruh Fraud risk factors terhadap pendeteksian kemungkinan Fraudulent financial

statement 85

Annisa Nurbaiti dan Heikal Muhammad Zakaria

8. Analisis Pengaruh Jumlah Sekolah, Jumlah Murid, dan Jumlah Guru terhadap Indeks

Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Barat 94

Gallyn Ditya Manggala dan Ahmad Kafrawi Mahmud

9. Peranan Komitmen Manajemen Puncak dan Budaya Organisasi Terhadap Implementasi

Sistem Informasi Akuntansi Manajemen 102

Muhammad Syaifullah

10. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Tindak Pidana Korupsi 119

Dahlia, Aditya Amanda Pane dan Marissa Putriana

11. Pengaruh Budaya Organisasi dan Kompetensi Aparatur Daerah terhadap

Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik serta dampaknya terhadap Good

Governance 133

Eka Nurmala Sari

12. Pro dan Kontra Pertumbuhan Penduduk terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 153

Dian Lestari Siregar, Reti Anggraeini dan Retno Andrini

Page 5: PROCEEDINGS MIE 2013

iv

DAFTAR ISI

13. Analisis Tingkat Pengangguran di 25 Kabupaten Kota di Jawa Barat 2006-2009 162

Indra Yudha Mambea, Estro Dariatno Sihaloho, dan Jacobus Cliff Diky Rijoly

14. Pengaruh Penerapan Pengendalian Internal dan Kompetensi Pegawai terhadap

Pencegahan Fraud 168

Hinny Herliany dan Firda Nur Aisha

Page 6: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

1

Analisis Hubungan Populasi, Pola Konsumsi, dan Pertumbuhan Ekonomi

Abdul Holik

Magister Ilmu Ekonomi

Universitas Padjadjaran

Abstract

This research aims to find the fundamental relation between population growth, economic

growth and consumption growth in Indonesia, from 1990 until 2011. It uses VECM (Vector

Error Correction Model) to find the dynamic relation among them and co-integration in the

long-run. This research uses variables such as GDP, population growth, and household final

consumption expenditure per capita. Data taken from WDI and ADB. Based on the analysis,

the result shows that economic growth (GDP) was supported positively by household final

consumption per capita (HFC) and population growth in the long-run. Meanwhile in the

short-run, economic growth can also be supported by population growth and HFC. However,

neither population growth nor HFC were affected by economic growth. This finding reflects

that consumption is still largest part of Indonesia’s GDP performance.

Keywords: population, economic growth, social welfare, food security.

Pendahuluan

Setiap tahun, jumlah penduduk Indonesia bertambah terus. Pada tahun 2010, jumlah

penduduk Indonesia berjumlah 237,641,326 jiwa. Persentase laju pertumbuhan penduduk saat

itu mencapai 1,49 persen per tahun. Sehingga jika diasumsikan tetap, maka pada setiap

tahunnya akan terjadi kenaikan penduduk sebesar 3,5 juta jiwa. Secara garis besar, dapat kita

lihat jumlah penduduk pada tabel di bawah ini:

1971 1980 1990 1995 2000 2010

119,208,229 147,490,298 179,378,946 194,754,808 206,264,595 237,641,326

Sumber: BPS

Namun masalah muncul, karena jumlah penduduk yang banyak itu tidak sebanding

dengan tingkat kesejahteraan sosial di masyarakat. Orang miskin di Indonesia masih banyak,

meskipun disinyalir mengalami penurunan. Ukuran pengeluaran yang menjadi tolok ukur

garis kemiskinan di Indonesia hanya berubah sedikit. Berikut bagannya menurut data BPS:

Garis Kemiskinan, Jumlah, dan Persentase Penduduk Miskin

Menurut Daerah, Maret 2011–Maret 2012

Garis Kemiskinan per kapita/ Rp/ Bulan

Daerah/ Tahun Makanan Bukan

Makanan Total Jumlah Penduduk

Miskin Persentase

Penduduk Miskin

Perkotaan

Maret 2011 177 342 75 674 253 016 11,05 9,23

Maret 2012 187 194 80 213 267 408 10,65 8,78

Page 7: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

2

BPS menyebut seseorang disebut miskin jika pengeluarannya dalam sebulan tidak

melebihi Rp233.740,- per kapita per bulan pada Maret 2011. Kemudian sejak Maret 2012

ukuran itu naik menjadi Rp248.707,- per kapita per bulan (BPS, 2012: 64). Di sini kendati

ukuran tingkat kemiskinan meningkat, tetapi peningkatannya tidak terlalu besar. Kemiskinan

terus menjadi kendala bagi pembangunan Indonesia. Orang miskin yang tidak bisa memenuhi

kehidupan layak, menjadi beban pembangunan. Nilai batas kemiskinan itu lebih rendah dari

ketetapan Bank Dunia, yakni: US$2 per hari. Padahal, PDB per-kapita Indonesia terus naik:

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

6,775 6,918 7,123 7,353 7,610 7,924 8,237 8,631 9,015 9,294 9,736 10,219

Sumber: BPS (Data PDB Skala 1000)

Di sinilah peran pemerintah dibutuhkan dalam menahan laju pertumbuhan penduduk,

mengingat sebaran penduduk dan ketidaksetaraan pendapatan mereka cukup besar terjadi di

berbagai daerah di Indonesia. Prof. Widjodjo Nitisastro—ekonom yang melakukan

transformasi perekonomian Indonesia pasca jatuhnya Soekarno—sempat mengingatkan

Presiden Sekarno bahayanya ledakan penduduk. Namun Soekarno tidak peduli peringatan

tersebut, karena baginya Indonesia membutuhkan jumlah penduduk yang besar sebagai

modal kemandirian bangsa dalam bekerja. Soekarno saat itu melihat jumlah penduduk

Indonesia yang besar sebagai asset yang suatu saat bisa diberdayakan.

Berbeda dengan Soekarno, Presiden Soeharto menerima saran Nitisastro dan

memberlakukan program KB (Keluarga Berencana). Program ini berhasil menahan laju

pertumbuhan penduduk, sehingga rencana pembangunan bisa fokus pada upaya

meningkatkan kualitas sumber daya manusia, alih-alih sekedar meningkatkan kuantitas

populasi. Nitisastro dan kelompoknya yang disebut ―mafia Berkeley—para ekonom lulusan

Berkeley University—memperkuat basis perekonomian Orde Baru, bahkan pengaruhnya

masih terasa sampai Kabinet Pembangunan V (Mudrajad Kuncoro, 2007: 86).

Kajian Pustaka

Dalam konteks kajian ekonomi makro, para ekonom umumnya sepakat apabila

jumlah penduduk terlalu besar, akibatnya pertumbuhan perekonomian berjalan lamban.

Akibatnya adalah peningkatan kemiskinan dan kelaparan. Food security menjadi amat

krusial. Dalam buku, Population Bomb, terbit 1968, Paul R. Ehrlich meramalkan akan adanya

bencana kemanusiaan akibat terlalu banyaknya penduduk dunia. Bencana itu disebabkan

ketersediaan pangan yang semakin tidak bisa memenuhi kebutuhan seluruh manusia di muka

bumi. Ramalan ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan Thomas Malthus dalam

bukunya, An Essay of Principle of Population, terbit tahun 1798. Bagi Malthus, manusia

bertambah sejalan dengan deret ukur (geometri), sedangkan kebutuhan pangan bertambah

sejalan dengan deret hitung (aritmetika).

Kekhawatiran akan munculnya kelaparan dan kemiskinan, serta kekacauan sosial

tidak bisa dipungkiri telah menjadi kenyataan. India pada era 1960-an mengalami kekacauan,

berupa kemiskinan dan kelaparan besar-besaran. Pemerintah negara itu tidak bisa memenuhi

kebutuhan pangan warganya yang jumlahnya sangat besar. Kondisi yang hampir sama juga

Pedesaaan

Maret 2011 165 211 48 184 213 395 18,97 15,72

Maret 2012 177 521 51 705 229 226 18,48 15,12

Kota + Desa

Maret 2011 171 834 61 906 233 740 30,02 12,49

Maret 2012 182 796 65 910 248 707 29,13 11,96

Page 8: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

3

terjadi di Pakistan—tetangga India (pada waktu itu Bangladesh belum ada). Akibat

kelangkaan bahan pangan, perang India-Pakistan tidak terhindarkan. Perang memperebutkan

sumber makanan pokok berlangsung selama bertahun-tahun, dan semakin memperburuk

suasana. Sampai di sini, ramalan kekacauan sosial akibat ledakan penduduk memang terbukti.

Untuk mengatasi penduduknya yang amat besar, Deng Xiaoping pada 1979 berupaya

melakukan reformasi perekonomian di antaranya dengan pembatasan jumlah kelahiran.

Kebijakan ini merupakan adopsi pandangan Neo-Malthusian, yang mengajukan rumusan

keterbatasan sumber daya alam tidak sebanding dengan pertambahan penduduk. Cina

menerapkan ―kebijakan satu keluarga satu anak‖ khusus pada suku Han—suku mayoritas

Cina—bukan pada suku minoritas (Hongbin Li & Junsen Zhang, 2007: 110). Kebijakan itu

nampaknya berhasil mendorong perekonomian Cina tumbuh dengan amat cepat.

Namun dalam wacana ekonomi makro pada decade 1950-an, sebagian para teoretis

nampaknya cukup optimis dengan kondisi jumlah populasi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Solow telah mengingatkan bahwa jumlah populasi yang besar dalam sebuah perekonomian

dapat menjadi beban dalam jangka panjang, meskipun ditopang dengan simpanan cukup

besar. Terlebih jika populasi itu hanya berisi kelompok masyarakat tidak terdidik. Tetapi

Solow merasa yakin bahwa dengan peran ilmu dan teknologi, populasi tidak lagi menjadi

beban. Ilmu dan teknologi yang terus berkembang dalam suatu masyarakat dapat

memberdayakan populasi yang besar itu, sehingga bisa mendorong perekonomian, dan

melaju pesat sampai Kaidah Emas (golden rule) (N. Gregory Mankiw, 2003: 205).

Sayangnya Solow tidak menjelaskan determinan teknologi secara detail. Solow dan

para ekonom yang sependapat dengannya—seperti kritik Romer—menganggap teknologi di

negara berkembang sama dengan kondisi teknologi di negara maju (Romer, 1994: 6).

Teknologi dianggap sebagai variabel eksogen. Paul Romer dan para ekonom setelahnya

menawarkan gagasan yang lebih maju dengan menjadikan teknologi sebagai variabel

endogen. Ia menilai bahwa ketika perkembangan teknologi dapat dikendalikan dan diukur,

melalui investasi dan sepenuhnya didukung oleh jumlah pekerja yang banyak, maka

pertumbuhan populasi bisa sangat efektif dalam mendorong perekonomian (Romer, 2012:

110). Tapi, populasi saja tanpa teknologi tidak cukup mendorong pertumbuhan (Romer,

1990: S71). Secara sederhana, model pertumbuhan ekonomi Romer didefinisikan menjadi:

net output; perubahan level teknologi; stok modal (Romer, 2012: 123).

Masalah krusial karena pertumbuhan populasi yang teramat besar adalah kelangkaan

sumber daya alam, terutama ketahanan pangan. Misalnya kasus kelaparan di India yang memicu peperangan dengan Pakistan. Namun, kondisi mengerikan itu berakhir ketika di

akhir dekade 1960-an muncul Norman Bourlag—tokoh yang menggagas Revolusi Hijau.

Green Revolution yang dimunculkan Norman berhasil menciptakan benih bahan pangan yang

kuat dan tahan uji pada berbagai kondisi. Pencapaian dan temuan Bourlag sebenarnya sudah

dimulai di Meksiko, saat negara itu terkena wabah kelaparan. Karena usahanya mewujudkan

India sebagai negara swasembada pangan dan mengakhiri perang, Bourlag kemudian

dianugerahkan hadiah Nobel Perdamaian. Ketika kebutuhan pangan terpenuhi, perang India-

Pakistan akhirnya usai (Rizal Mallarangeng, 2008: 260–264). Kendati pertumbuhan

perekonomian suatu negara perlu ditopang dengan populasi yang besar, tetapi jumlah

populasi itu bisa menjadi beban, ketika inovasi teknologi sebagai elemen penting kemajuan

masyarakat berjalan lamban atau malah stagnan.

Romer melihat output per pekerja adalah sama dengan perkembangan teknologi atau

. Laju perkembangan disimbolkan dengan . Fungsi produksi untuk pengetahuan baru

adalah: ( ) ( ( )) ( ) . Di mana adalah parameter pengubah; fraksi

dari labor force yang dicurahkan untuk pengembangan pengetahuan; , dan adalah

Page 9: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

4

parameter yang merefleksikan stok pengetahuan dalam kesuksesan R&D. Dalam persamaan

tersebut asumsi kita mengikuti Cobb-Douglas. Romer mendefinisikan menjadi:

( ) ( )

( )

( ) ( )

Dalam kelanjutannya, Romer melihat stok pengetahuan sebagai hal yang penting

agar pertumbuhan berjalan optimal. Ketika stok lebih kecil dari 1, peran perubahan teknologi

akan menjadi nol dan tidak bisa untuk mendorong pertumbuhan. Gambarnya seperti kurva di

bawah ini:

0

Pertumbuhan Dinamik Pengetahuan ketika

Pada kurva di atas, adalah fungsi dari perkembangan . Pada awalnya output per pekerja

bertambah seiring dengan naiknya teknologi. Namun dalam jangka panjang teknologi akan

menurun, sehingga sama dengan yakni kondisi puncak kualitas output yang sama

dengan nol. Selebihnya, jika labor force ditambah, maka yang terjadi adalah output tidak bisa

bertambah, bahkan bertambahnya labor force justru mengembalikan titik jumlah output pada

kondisi sebelum ditambahnya labor force. Contoh ini termasuk kondisi ketika populasi

berpengaruh secara negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ilustrasinya seperti kurva di

bawah ini:

0

Efek Peningkatan ketika

Di sisi lain Romer mengingatkan kondisi ketika Pada kondisi ini, pengetahuan

tambahan ternyata bisa mendorong pertumbuhan secara drastis. Bahkan pertumbuhan pada

Page 10: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

5

titik ini tidak menunjukkan balanced-growth, tetapi fantastis luar biasa. Pengetahuan amat

berguna dalam mendongkrak output. Pertambahan labor force dalam R&D akan semakin

menaikkan pertumbuhan ekonomi. Di sini terlihat peran pentingnya populasi yang

berkontribusi secara positif terhadap pembangunan perekonomian. Kurvanya seperti di

bawah ini:

0

Pertumbuhan Dinamik Pengetahuan bila

Dalam ulasan selanjutnya, Romer melihat perubahan teknologi cukup proporsional

dengan stok yang ada atau . Tampaknya teknologi yang ada cukup produktif dalam menghasilkan teknologi baru dan akhirnya mendorong perekonomian terus meningkat.

Situasi ini mirip ketika . Tetapi dalam kasus ini, populasi bernilai positif. Jika populasi

nol, justru pertumbuhan konstan, mengingat tidak ada orang yang mencurahkan dirinya

dalam pengembangan teknologi baru (Romer, 2012: 109). Pada kasus ini kita dapat

mendefinisikan ( ) ( ) dan ( ) ( ). Artinya, perubahan dan saving

rate bisa mempengaruhi pertumbuhan jangka panjang. Dalam hal ini, pertumbuhan disebut

linear growth model, yang juga dinamai model ; teori dasar endogenous growth.

Tentunya para pengambil kebijakan ekonomi perlu berhati-hati melihat pertumbuhan

populasi dan ekonomi, agar tidak terjadi kekacauan di masyarakat. Hal ini terutama

menyangkut pola konsumsi yang memuaskan kebutuhan mereka. Dalam kasus ini menarik

jika kita menyimak gagasan pembagian pola konsumsi menurut beberapa ekonom.

Secara umum kita batasi dua pola konsumsi, yakni konsumsi di bawah pendapatan

permanen dan konsumsi di bawah pendapatan tidak pasti. Dalam dua isu tersebut, Friedman

melampaui John M. Keynes yang melihat konsumsi individu dalam jangka pendek. Bagi

Keynes, konsumsi ditentukan oleh disposable income, atau pendapatan yang sudah dikurangi

pajak. Semakin besar pendapatan seseorang, semakin tinggi pola konsumsinya. Bagi Keynes,

kecenderungan rata-rata orang mengonsumsi (Average Propensity to Consume) turun ketika

pendapatan naik. Hal ini karena orang kaya lebih banyak menabung, sedikit mengalokasikan

uangnya untuk konsumsi daripada mereka yang miskin. Meskipun ia menganggap pengaruh

suku bunga terhadap konsumsi sebatas teori. Secara matematis kita tulis:

konsumsi; konstanta; disposable income ; kecenderungan marjinal Keynes tidak melihat individu akan menahan utilitasnya tetap sama sepanjang hidup,

karena itu fluktuasi konsumsi dimungkinkan adanya.

Page 11: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

6

Bagi Friedman seseorang akan mengonsumsi sepanjang hidupnya secara sama dan

tanpa penurunan. Utilitas sepanjang hidup sejak usia kerja dan mendapat penghasilan

diasumsikan tetap. Pendapatan berlebih menjadi akumulasi kekayaan. Model persamaannya

adalah: ∑ ( ) Seorang menyesuaikan konsumsinya dengan pertimbangan,

konsumsi tidak melebihi kekayaan awalnya dan pendapatannya ketika kerja:

Mengingat marjinal utilitas dari konsumsi selalu positif, maka seorang individu akan

menyesuaikan budget constraint-nya secara sama. Dalam masa sepanjang hidup, individu

akan memaksimalkan utilitasnya dalam model persamaan di bawah ini:

∑ ( ) (∑ ∑ )

)

First order condition of : ( ) . Dari persamaan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa marjinal utilitas individu itu selalu konstan atau tetap. Level konsumsi menentukan

utilitas marjinalnya, sehingga pola konsumsi individu itu selalu konstan sepanjang masanya.

Dengan demikian, konsumsi pada periode saat ini sama dengan waktu mendatang: . Dengan mensubstitusikan budget constraint di atas, maka didapat:

( ∑

) untuk semua (periode masa hidup). Ini konsumsi berpendapatan

tetap setiap periodenya (Romer, 2012: 372 – 373). Sedangkan konsumsi pada pendapatan

tidak tetap—seperti digagas Robert Hall—mengikuti ekspektasi rasional sebagai berikut:

[ ] [∑(

)

]

Di sini kita asumsikan bahwa suku bunga dan diskonto bernila nol. Individu menghadapi

ketidakpastian pendapatan. Tapi ia harus memaksimalkan utilitasnya. Kekayaannya untuk

konsumsi adalah rangkaian marjinal utilitas yang selalu bernilai positif. Budget constraint

didefinisikan menjadi: ∑ ∑

artinya individu dalam kondisi ketidakpastian

pendapatan akan mempertimbangkan pola konsumsinya tidak lebih banyak dari kekayaan

awal yang ia miliki dan pendapatannya. Dengan demikian, ia akan menyesuaikan

konsumsinya sepanjang waktu dengan dana yang ada. Harapannya menjadi: ∑ [ ]

∑ [ ] , dari sini kita dapat melihat konsumsi individu pada periode satu sebesar:

[ ∑ ( )

] . Individu akan terus berupaya agar utilitas sepanjang hidupnya tidak

turun. Maka harapan dalam konsumsi periode ke-2, dapat dilihat sebagai berikut:

( ∑ [ ]

)

( ∑ [ ]

)

Diketahui . Kita bisa masukkan harapan pendapatan pada periode ke-2,

yakni ∑ ( ) sebagai harapan kuantitas pendapatan periode ke-1: ∑ ( )

ditambah

informasi yang didapat antara periode 1 dan periode 2: ∑ ( ) ∑ ( )

. Maka:

[ ∑ ( ) (∑ ( ) ∑ ( )

)

]

Dari pola konsumsi pada periode 1, diketahui bahwa ∑ ( ) sama dengan

, sehingga persamaan di atas dapat dibentuk menjadi:

Page 12: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

7

[ (∑ ( ) ∑ ( )

)]

(∑ ( ) ∑ ( )

)

Dari persamaan di atas, diketahui bahwa perubahan dalam konsumsi antara periode 1 dan

periode 2 sama dengan perubahan dalam perkiraan sumber daya sepanjang hidup dibagi

jumlah periode masa hidup yang tersedia. Dari sini didapat bahwa pola konsumsi tidak

mempertimbangkan apakah pendapatannya tetap atau tidak. Ketidakpastian tidak

mempengaruhi pola konsumsi: ( ) [ ( )] . Nilai utilitas marjinal konsumsi yang

diharapakan sama dengan utilitas marjinal konsumsi yang diharapkan: ( ) ( [ ]),

atau sama dengan : [ ]. Konsumsi saat ini sama dengan harapan konsumsi di masa depan (Romer, 2012: 372 – 375).

Penelitian Sebelumnya

No Nama Judul Thn Masalah Metodologi Temuan

1 Tim

Hazledine

& R. Scott

Moreland

Population &

Economic Growth: A

World Cross-Section

Study

1977 Asumsi The

Neo-Malthusian:

low-level

equilibrium trap

OLS Ledakan

populasi

memperburuk

perekonomian

2 Hongbin

Li &

Junsen

Zhang

Do High Birth Rates

Hamper Economic

Growth?

2007 Pemberlakuan

satu anak pada

suku Han di

Cina

Panel & IV-

Method

Kelahiran tinggi

perekonomian

turun.

3 Paul

Beaudry,

Fabrice

Collard &

David A.

Green

Demographics &

Recent Productivity

Performance: Insights

from Cross-Country

Comparisons

2005 Perkembangan

teknologi dan

institusi dalam

mengintensifkan

pekerja dan

pengaruhnya

pada populasi

OLS & IV-

Method

Perkembangan

teknologi

menaikkan

performa

pekerja, sejalan

dengan naiknya

populasi

4 David E.

Bloom,

Jeffrey D.

Sachs,

Paul

Collier &

C. Udry

Geography,

Demography &

Economic Growth in

Africa

1998 Kemiskinan dan

pertumbuhan

yang lamban

ditopang oleh

iklim tropis,

populasi dan

institusi sosial

yang lemah

Panel &

GMM

system

estimation

Afrika jauh dari

terknologi.

Iklim, geografi,

populasi,

penyakit,

penyebab utama

lemahnya

ekonomi.

Lemahnya

institusi sebab

berikutnya

5 Jonathan

A. Parker

& Bruce

Preston

Precautionary Saving

& Consumption

Fluctuation

2005 Pola konsumsi

ditentukan

kekayaan

sekarang, bunga,

informasi, &

pendapatan

GMM

system

estimation

Ketidaksempurn

aan pasar

mempengaruhi

fluktuasi

konsumsi dan

simpanan

Page 13: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

8

Metodologi

Penelitian ini menggunakan data WDI (World Development Indicator) of World

Bank, dan ADB (Asian Development Bank) dari tahun 1990 sampai 2011. Data diambil pada

tahun 2012. Terdiri dari PDB (dari ADB), population growth, dan household final

consumption growth per capita (dari WDI). Metode analisisnya adalah VECM (Vector Error

Correction Model). Hal ini karena pada mulanya yang hendak dicari dari penelitian ini adalah

hubungan dinamis jangka pendek antar variabel, dan respon variasi antar variabel di masa

depan. Tapi setelah dilakukan test cointegration, ternyata didapat hubungan jangka panjang,

sehingga VECM lebih dipilih dalam proses analisis.

Melalui metode VECM, hubungan dinamis antar variabel dalam jangka pendek, juga

jangka panjang, pengaruh suatu shock dari masing-masing variabel yang diamati dapat

ditemukan. Modelnya terdiri dari tiga bentuk:

1)

2)

3)

Dimana

Sebelum menjalankan regresi, dilakukan beberapa pengujian berikut: Uji stasioneritas.

Pengujian ini dilakukan agar data yang diteliti tidak mengandung unit root, yang dapat

menyebabkan spurious regression. Data yang dianalisis stasioner pada first difference.

Tabelnya lihat di lampiran.

Lag pada analisis disesuaikan menurut penilaian AIC dan SIC agar tidak

menghabiskan degree of freedom dan tidak ada bias spesification. Kemudian dilakukan uji

kointegrasi melalui pendekatan Søren Johansen, untuk kelayakan VECM. Hasilnya lihat di

lampiran. Dari tabel analisis diketahui terdapat 1 hubungan kointegrasi pada model. Dengan

begitu, VECM adalah metode yang layak dalam menganalisis.

Hasil dan Pembahasan

1. Analisis VECM

Dari hasil perhitungan, diketahui R2

dan adj-R2 menandakan angka yang cukup besar,

secara berturut-turut yakni: 90% dan 88%. Dalam jangka panjang variabel populasi dan HFC

mempengaruhi variabel PDB dengan nilai t-statistik yang cukup signifikan. Artinya ketika

terjadi kenaikan populasi sebesar 1% akan menaikkan PDB sebesar 32.2%. Begitu juga jika

terjadi kenaikan pada konsumsi sebesar 1%, akan menyebabkan 2.2% kenaikan PDB. Ini

adalah bukti di Indonesia PDB masih cukup besar ditopang sisi konsumsi, dan besarnya

populasi yang menentukan itu semua. Untuk lebih jelasnya, hasil regresi lihat di lampiran.

Di Indonesia sektor konsumsi masih menduduki porsi yang besar dalam total Produk

Domestik Bruto, sedangkan sektor investasi relatif rendah. Berikut data yang dirilis ADB:

Tahun 1994 1999 2008 2010 2011

Porsi Konsumsi/ PDB 59,7 73,9 60,6 56,7 54,6

Investasi/ PDB 31,1 11,4 27,8 32,5 32,8

Page 14: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

9

Dalam analisis jangka pendek, diketahui terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan

kointegrasi: pada variabel PDB sebesar -1.6%, sedangkan pada HFC dan variabel Population

tidak signifikan. Lihat tabel di lampiran.

Pada hasil perhitungan VECM, dalam jangka pendek PDB ditentukan secara positif

oleh HFC dan populasi, secara berturt-turut sebesar: 6% dan 55.8%. Hal ini wajar, terutama

jika kita melihat sektor konsumsi yang menjadi penopang PDB selama bertahun-tahun.

Bahkan populasi yang besar sama sekali tidak berdampak buruk pada perekonomian. Kasus

yang menarik jika dibandingkan dengan di beberapa negara. Kesuksesan program-program

pembangunan di era 1990-an telah menghasilkan kelompok terdidik yang saat ini sedang

berada pada usia produktif. Sehingga sebagaimana yang diyakini ekonom endogenous

growth, jika populasi yang besar ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang lebih besar,

populasi bisa sangat efektif mendorong tingginya pertumbuhan ekonomi.

Namun, baik pertumbuhan populasi maupun HFC sama sekali tidak dipengaruhi PDB.

Bahkan yang lebih mencengangkan lagi, konsumsi tidak mempengaruhi populasi. Artinya

semakin tinggi konsumsi seseorang, tidak lantas menjadikannya memiliki keluarga yang

banyak. Malah justru yang terjadi sebaliknya, orang yang berpenghasilan tinggi dengan pola

konsumsi yang tinggi pula, lebih memilih anak yang sedikit. Inilah fenomena modernitas.

2. Analisis Granger Causality

Dari hasil hitung, null hypotheses of Population growth dan HFC does not granger

cause PDB tak dapat diterima, karena p-value keduanya tidak lebih dari 5%. Sebaliknya, null

hypotheses of PDB and HFC does not granger cause Population growth dapat diterima,

karena p-value menandakan lebih dari 5%. Juga null hypotheses of PDB and Population

growth does not granger cause HFC dapat diterima, karena p-value melebihi 5%. Hal ini

sesuai dengan kenyataan bahwa PDB Indonesia didukung penuh pola konsumsi yang tinggi,

dengan populasi yang besar. Tapi tidak sebaliknya. Keterangan lengkap lihat di lampiran.

3. Analisis Impulse Response

Dari hasil analisis Impulse Response, pada tabel pertama diketahui bahwa goncangan

variabel pertumbuhan PDB berdampak pada PDB 0.147420 SSD (Satuan Standar Deviasi) di

periode 1. Lalu nilainya menjadi mengecil, bahkan negatif dan terus berfluktuasi sampai

periode ke-10. Pengaruh goncangan pertumbuhan populasi terhadap PDB adalah 0 pada

periode ke-1. Lalu goncangan itu menjadi negatif sampai periode ke-10. Hal ini menandakan

dalam jangka panjang ke depan, populasi tak lagi menjadi anugerah pada perekonomian.

Justru yang terjadi adalah hambatan. Peran kelompok usia produktif saat ini, dalam tempo

beberapa tahun ke depan semakin berkurang, dan akhirnya menjadi minus. Goncangan HFC

terhadap PDB adalah 0 di periode ke-1. Lalu menjadi negatif, dan berfluktuasi sampai

periode ke-10. Hal ini menandakan kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus meningkat,

sehingga dalam tahun-tahun ke depan beban ekonomi menjadi semakin tinggi.

Pada tabel kedua, terlihat guncangan PDB bernilai positif dan terus berfluktuasi

mempengaruhi Populasi sampai periode ke-10. Perekonomian yang baik, bisa berdampak

positif pada jumlah populasi. Terlihat juga pada tabel ke-3, guncangan PDB kembali

berdampak positif terhadap HFC, meskipun nilainya tidak lebih besar dari HFC sendiri.

4. Analisis Variance Decomposition

Dalam analisis ini, informasi hubungan dinamis jangka panjang antar variabel dan

seberapa besar pengaruh acak guncangan masing-masing variabel terhadap variabel endogen

dapat ditemukan. Pada tabel pertama, PDB ternyata di periode ke-1 lebih banyak dipengaruhi

oleh PDB sendiri sebesar 100% lalu periode ke-2 sebesar 71.85%, nilainya kemudian turun

dan berfluktuasi sampai periode ke-10. Kemudian diikuti HFC, dan Populasi dengan nilai

Page 15: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

10

yang berfluktuasi. Hanya sampai periode ke-10, populas menjadi lebih dominan. Pada tabel

kedua dan ketiga, populasi lebih banyak dipengaruhi variabel populasi, dan HFC lebih

banyak dipengaruhi HFC, dengan nilai yang berfluktuasi sampai periode ke-10. Kemudian

disusul PDB pada posisi kedua yang mempengaruhi kedua variabel tersebut. Sedangkan

antara variabel HFC dan populasi kurang begitu kuat pengaruhnya. Keterangan selengkapnya

bisa dilihat di lampiran.

5. Uji Asumsi Klasik

Hasil analisis dalam penelitian ini, sudah melewati pelbagai pengujian, termasuk tak

ada satu pun asumsi klasik yang dilanggar. Data sudah terdistribusi secara normal, tidak

terdapat autokorelasi, juga tidak terjadi multikolineraritas, serta tak ada heteroskedastisitas.

Untuk lebih detail lihat di lampiran.

Solusi Mengatasi Ledakan dan Pemerataan Penduduk di Indonesia

Kondisi pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan.

Pemerintah harus segera melancarkan langkah-langkah strategis menanganinya. Beberapa

kiat berikut perlu disimak, sebagai solusi ledakan penduduk yang kurang terkontrol:

1) Menerapkan kembali program Keluarga Berencana (KB) secara intensif di tengah-

tengah masyarakat. Kebijakan ini juga harus ditopang pada peningkatan kualitas anak,

melalui penyuluhan kesehatan bayi, ibu hamil dan pembinaan menyeluruh kepada

masyarakat.

2) Kembali menggalakkan program transmigrasi antar pulau di Nusantara. Pemerintah

mendorong pemerataan penduduk di berbagai wilayah Indonesia yang luas, dengan

perpindahan secara terorganisir, dengan pembekalan dan pembinaan secara teratur.

Saat ini masih banyak tanah-tanah Indonesia yang belum terjamah tangan-tangan

manusia, tetapi memiliki potensi yang belum diberdayakan. Sehingga pemerataan

penduduk di berbagai wilayah menjadi cukup urgen.

3) Pemerataan pembangunan di berbagai wilayah Indonesia. Pemerataan ini diperlukan

agar pembangunan tidak terkonsentrasi di Pulau Jawa, tetapi ke berbagai daerah

lainnya.

4) Peningkatan pelayanan kesehatan publik bagi ibu hamil dan bayi. Saat ini kondisi

kesehatan wanita hamil masih cukup mengkhawatirkan. Misalnya, di desa

Bangsalrejo banyak wanita hamil terkena gondok, padahal desa itu wilayah ladang

garam (http://m.detik.com). Ketika persoalan kebutuhan dasar semacam ini belum

selesai, maka prestasi pembangunan ekonomi di Indonesia harus dipertanyakan.

Penutup

Pertumbuhan penduduk tidak menjadi masalah jika ditopang sumber daya manusia

yang lebih baik. Sehingga populasi yang besar dan produktif akhirnya bisa menjadi

pendorong pembangunan secara berkelanjutan. Tapi jika kemajuan ilmu pengetahuan kalah

cepat dibandingkan pertambahan penduduk, yang terjadi justru munculnya masalah

kemanusiaan seperti kelaparan dan peperangan. Hal ini merupakan kelanjutan dari penurunan

konsumsi masyarakat, akibat pertambahan anggota keluarga tidak sebanding dengan

penghasilan.

Pertumbuhan populasi yang besar di Indonesia disebabkan pertumbuhan ekonomi

yang lebih baik. Kendati hasil penelitian menemukan pertumbuhan populasi berperan besar

mendorong perekonomian, namun dalam prediksi di masa mendatang pertumbuhan populasi

justru berdampak negatif terhadap pembangunan. Pasalnya, tingginya perekonomian

Page 16: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

11

Indonesia ternyata ditopang oleh sisi konsumsi yang menandakan masyarakat lebih konsumtif

alih-alih memperbesar sektor lain sebagai penopang perekonomian. Temuan ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa ekonom sebelumnya. Ledakan jumlah

penduduk itu akan berdampak buruk pada pembangunan. Yang didapat dari penelitian ini

adalah pola konsumsi masyarakat Indonesia berfluktuasi, tidak konstan sepanjang waktu.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia masih

mengikuti gagasan Keynes, dan bukan Friedman atau R. Hall. Yang juga harus disimak di

sini adalah soal pembatasan angka kelahiran, untuk menstabilkan perekonomian dalam

jangka panjang, agar persoalan kemanusiaan yang sering diramalkan ekonom klasik tidak

pernah terjadi.

Daftar Pustaka

BPS, ―Data Strategis‖, Jakarta: BPS, 2012.

Beaudry, Paul, Fabrice Collard & David A. Green, (2005), ―Demographics & Recent

Productivity Performance: Insights from Cross-Country Comparisons‖,

The Canadian Journal of Economics, Vol. 38, No. 2, 309 – 344.

Bloom, David E., Jeffrey D. Sachs, Paul Collier & C. Udry, (1998), ―Geography, Demography &

Economic Growth in Africa‖, Brooking Papers in Economic Activity, Vol.

1998, No. 2, 207 – 295.

Hazledine, Tim & R. Scott Moreland, (1977), ―Population & Economic Growth: A World

Cross-Section Study‖, The Review of Economics and Statistics, Vol. 59,

No. 3, 253 – 263.

Kuncoro, Mudrajad, Ekonomi Industri Indonesia: Menuju Negara Industri Baru 2030?,

Yogyakarta: Andi, 2007.

Li, Hongbin & Junsen Zhang, (2007), ―Do High Birth Rates Hamper Economic Growth?‖,

The Review of Economics and Statistics, Vol. 89, No. 1, 110 – 117.

Mallarangeng, Rizal, (2008) Dari Langit, Gramedia: Jakarta.

Mankiw, N. Gregory, (2003), Teori Makroekonomi, terj., Jakarta: Erlangga, 2003.

―Optimalisasi Peran Penyangga Ketahanan Pangan‖, Media Indonesia, 13/12/2012.

Parker, Jonathan A., & Bruce Preston, (2005), ―Precautionary Saving & Consumption

Fluctuation‖, The American Economic Review, Vol. 95, No. 4, 1119 –

1143.

Romer, David, (2012), Advanced Macroeconomics, New York: McGraw-Hill.

Romer, Paul, (1986), ―Increasing Returns and Long-Run Growth‖, Journal of Political

Economy, Vol. 94, 1002 – 1037.

----------------, (1990), ―Endogenous Technological Change‖, Journal of Political Economy,

Vol. 98, No. 5, part 2, S71 – S102.

----------------, (1994), ―Origins of Endogenous Growth‖, Journal of Economic Perspectives,

Vol. 8, No. 1, 3 – 22.

http://m.detik.com/health/read/2012/12/18/082940/2121031/746/ironis-banyak-wanita-hamil-kena-gondok-di-ladang-garam-desa-desa-bangsalrejo

Page 17: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

12

Lampiran

Uji Stasioneritas (Data belum Stasioner)

Null Hypothesis: PDB has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -0.008244 0.9476

Test critical values: 1% level -3.788030

5% level -3.012363

10% level -2.646119

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(PDB)

Method: Least Squares

Date: 05/11/13 Time: 19:09

Sample (adjusted): 1991 2011

Included observations: 21 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PDB(-1) -0.000525 0.063659 -0.008244 0.9935

C 105.3426 85.12386 1.237521 0.2310

R-squared 0.000004 Mean dependent var 104.7619

Adjusted R-squared -0.052628 S.D. dependent var 213.5194

S.E. of regression 219.0659 Akaike info criterion 13.70701

Sum squared resid 911807.5 Schwarz criterion 13.80649

Log likelihood -141.9237 Hannan-Quinn criter. 13.72860

F-statistic 6.80E-05 Durbin-Watson stat 2.136122

Prob(F-statistic) 0.993508

Null Hypothesis: HFC has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic 0.551562 0.9844

Test critical values: 1% level -3.788030

5% level -3.012363

10% level -2.646119

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(HFC)

Method: Least Squares

Date: 05/11/13 Time: 19:05

Sample (adjusted): 1991 2011

Included observations: 21 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

HFC(-1) 0.014671 0.026600 0.551562 0.5877

C 3.51E+09 2.87E+09 1.224487 0.2357

R-squared 0.015759 Mean dependent var 5.04E+09

Adjusted R-squared -0.036043 S.D. dependent var 3.32E+09

S.E. of regression 3.38E+09 Akaike info criterion 46.81302

Sum squared resid 2.18E+20 Schwarz criterion 46.91250

Log likelihood -489.5367 Hannan-Quinn criter. 46.83461

F-statistic 0.304220 Durbin-Watson stat 1.801303

Prob(F-statistic) 0.587678

Page 18: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

13

Null Hypothesis: POP has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic 1.762614 0.9993

Test critical values: 1% level -3.788030

5% level -3.012363

10% level -2.646119

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(POP)

Method: Least Squares

Date: 05/11/13 Time: 19:12

Sample (adjusted): 1991 2011

Included observations: 21 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

POP(-1) 0.020340 0.011540 1.762614 0.0940

C -1.249206 2.396613 -0.521238 0.6082

R-squared 0.140536 Mean dependent var 2.961905

Adjusted R-squared 0.095301 S.D. dependent var 0.911853

S.E. of regression 0.867315 Akaike info criterion 2.643564

Sum squared resid 14.29247 Schwarz criterion 2.743042

Log likelihood -25.75742 Hannan-Quinn criter. 2.665153

F-statistic 3.106809 Durbin-Watson stat 1.663060

Prob(F-statistic) 0.094045

Data sudah Stasioner : 1) PDB Null Hypothesis: DLPDB has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.604345 0.0018

Test critical values: 1% level -3.808546

5% level -3.020686

10% level -2.650413

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(DLPDB)

Method: Least Squares

Date: 05/11/13 Time: 19:11

Sample (adjusted): 1992 2011

Included observations: 20 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

DLPDB(-1) -1.082143 0.235026 -4.604345 0.0002

C 0.116467 0.069887 1.666491 0.1129

R-squared 0.540816 Mean dependent var -0.001148

Adjusted R-squared 0.515306 S.D. dependent var 0.417870

S.E. of regression 0.290921 Akaike info criterion 0.463109

Sum squared resid 1.523429 Schwarz criterion 0.562682

Log likelihood -2.631085 Hannan-Quinn criter. 0.482546

F-statistic 21.20000 Durbin-Watson stat 2.033780

Prob(F-statistic) 0.000220

Page 19: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

14

Data sudah Stasioner: 2) HFC Null Hypothesis: DLHFC has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.646429 0.0141

Test critical values: 1% level -3.808546

5% level -3.020686

10% level -2.650413

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(DLHFC)

Method: Least Squares

Date: 05/11/13 Time: 19:07

Sample (adjusted): 1992 2011

Included observations: 20 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

DLHFC(-1) -0.836020 0.229271 -3.646429 0.0018

C 0.040417 0.014301 2.826229 0.0112

R-squared 0.424855 Mean dependent var -0.001378

Adjusted R-squared 0.392902 S.D. dependent var 0.049085

S.E. of regression 0.038245 Akaike info criterion -3.594970

Sum squared resid 0.026328 Schwarz criterion -3.495397

Log likelihood 37.94970 Hannan-Quinn criter. -3.575532

F-statistic 13.29644 Durbin-Watson stat 2.022031

Prob(F-statistic) 0.001846

Data sudah Stasioner: 3) Populasi Null Hypothesis: DLPOP has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.588389 0.0159

Test critical values: 1% level -3.808546

5% level -3.020686

10% level -2.650413

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(DLPOP)

Method: Least Squares

Date: 05/11/13 Time: 19:14

Sample (adjusted): 1992 2011

Included observations: 20 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

DLPOP(-1) -0.835023 0.232701 -3.588389 0.0021

C 0.011736 0.003391 3.461331 0.0028

R-squared 0.417033 Mean dependent var 5.54E-06

Adjusted R-squared 0.384646 S.D. dependent var 0.005130

S.E. of regression 0.004025 Akaike info criterion -8.098163

Sum squared resid 0.000292 Schwarz criterion -7.998590

Log likelihood 82.98163 Hannan-Quinn criter. -8.078725

F-statistic 12.87654 Durbin-Watson stat 1.953075

Prob(F-statistic) 0.002101

Page 20: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

15

Uji Kointegrasi Date: 05/11/13 Time: 18:20

Sample (adjusted): 1993 2011

Included observations: 19 after adjustments

Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted)

Series: DLPDB DLPOP DLHFC

Lags interval (in first differences): 1 to 1

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.884237 62.90258 42.91525 0.0002

At most 1 0.585270 21.93463 25.87211 0.1431

At most 2 0.239916 5.212205 12.51798 0.5662

Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)

Hypothesized Max-Eigen 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.884237 40.96795 25.82321 0.0003

At most 1 0.585270 16.72243 19.38704 0.1170

At most 2 0.239916 5.212205 12.51798 0.5662

Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Hasil Analisis VEC Model Vector Error Correction Estimates

Date: 05/11/13 Time: 18:20

Sample (adjusted): 1993 2011

Included observations: 19 after adjustments

Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]

Cointegrating Eq: CointEq1

DLPDB(-1) 1.000000

DLPOP(-1) 32.26742

(9.49119)

[ 3.39972]

DLHFC(-1) 2.276558

(0.74839)

[ 3.04195]

@TREND(90) 0.015722

(0.00390)

[ 4.02627]

C -0.858188

Error Correction: D(DLPDB) D(DLPOP) D(DLHFC)

CointEq1 -1.641442 0.004296 -0.016057

(0.17892) (0.00559) (0.05500)

[-9.17395] [ 0.76875] [-0.29195]

D(DLPDB(-1)) 0.449016 -0.002265 0.008150

(0.12509) (0.00391) (0.03845)

[ 3.58945] [-0.57959] [ 0.21197]

D(DLPOP(-1)) 55.82650 -0.781802 1.824307

(9.42410) (0.29436) (2.89682)

[ 5.92380] [-2.65598] [ 0.62976]

D(DLHFC(-1)) 6.086553 -0.015284 -0.499821

(0.76527) (0.02390) (0.23523)

[ 7.95349] [-0.63941] [-2.12481]

Page 21: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

16

C -0.018660 0.000114 -0.000783

(0.03411) (0.00107) (0.01049)

[-0.54700] [ 0.10717] [-0.07464]

R-squared 0.908287 0.372056 0.341601

Adj. R-squared 0.882083 0.192643 0.153487

Sum sq. resids 0.304256 0.000297 0.028748

S.E. equation 0.147420 0.004605 0.045314

F-statistic 34.66239 2.073742 1.815925

Log likelihood 12.31626 78.17476 34.72975

Akaike AIC -0.770133 -7.702606 -3.129447

Schwarz SC -0.521597 -7.454070 -2.880911

Mean dependent -0.000376 -0.000263 0.000980

S.D. dependent 0.429306 0.005125 0.049252

Determinant resid covariance (dof adj.) 7.26E-10

Determinant resid covariance 2.90E-10

Log likelihood 127.7428

Akaike information criterion -11.44661

Schwarz criterion -10.50217

Uji Granger Causality VEC Granger Causality/Block Exogeneity Wald Tests

Date: 05/11/13 Time: 18:34

Sample: 1990 2011

Included observations: 19

Dependent variable: D(DLPDB)

Excluded Chi-sq df Prob.

D(DLPOP) 35.09146 1 0.0000

D(DLHFC) 63.25799 1 0.0000

All 72.35624 2 0.0000

Dependent variable: D(DLPOP)

Excluded Chi-sq df Prob.

D(DLPDB) 0.335925 1 0.5622

D(DLHFC) 0.408841 1 0.5226

All 0.558990 2 0.7562

Dependent variable: D(DLHFC)

Excluded Chi-sq df Prob.

D(DLPDB) 0.044930 1 0.8321

D(DLPOP) 0.396601 1 0.5288

All 0.421886 2 0.8098

TabeI Impulse Response Response of DLPDB:

Period DLPDB DLPOP DLHFC

1 0.147420 0.000000 0.000000

2 0.022017 0.002876 0.093241

3 -0.180005 -0.216803 -0.216863

4 -0.004775 -0.080601 -0.033915

5 -0.011894 -0.062665 -0.040619

6 -0.048655 -0.105154 -0.059639

7 -0.053015 -0.103249 -0.078396

8 -0.031982 -0.092890 -0.055489

9 -0.037340 -0.089901 -0.058869

10 -0.042712 -0.099098 -0.063814

Response of DLPOP:

Period DLPDB DLPOP DLHFC

1 4.44E-06 0.004605 0.000000

2 0.000183 0.001667 -0.000218

Page 22: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

17

3 0.000727 0.004112 0.000617

4 0.000146 0.002434 -4.94E-05

5 0.000342 0.003311 0.000190

6 0.000322 0.002841 9.60E-05

7 0.000386 0.003184 0.000225

8 0.000295 0.002934 0.000104

9 0.000344 0.003076 0.000165

10 0.000332 0.003006 0.000142

Response of DLHFC:

Period DLPDB DLPOP DLHFC

1 0.021437 -0.004383 0.039682

2 0.008779 0.003982 0.018397

3 0.013640 -0.006590 0.027341

4 0.012571 0.002955 0.024030

5 0.013015 -0.003841 0.025652

6 0.012631 0.000734 0.024840

7 0.012639 -0.002568 0.024919

8 0.012906 -0.000174 0.025193

9 0.012667 -0.001764 0.024938

10 0.012791 -0.000773 0.025098

Cholesky Ordering: DLPDB DLPOP DLHFC

Tabel Variance Decomposition Variance Decomposition of DLPDB:

Period S.E. DLPDB DLPOP DLHFC

1 0.147420 100.0000 0.000000 0.000000

2 0.175839 71.85560 0.026752 28.11765

3 0.396679 34.71090 29.87652 35.41258

4 0.406231 33.11151 32.42473 34.46376

5 0.413209 32.08542 33.63873 34.27585

6 0.433271 30.44406 36.48597 33.06997

7 0.455346 28.91922 38.17542 32.90536

8 0.469117 27.71110 39.88790 32.40099

9 0.482714 26.77033 41.14101 32.08866

10 0.498728 25.81220 42.48960 31.69820

Variance Decomposition of DLPOP:

Period S.E. DLPDB DLPOP DLHFC

1 0.004605 9.31E-05 99.99991 0.000000

2 0.004905 0.139444 99.66239 0.198163

3 0.006471 1.341238 97.63657 1.022196

4 0.006915 1.218877 97.88094 0.900186

5 0.007677 1.187547 98.02069 0.791762

6 0.008193 1.196820 98.09419 0.708993

7 0.008801 1.229272 98.09090 0.679831

8 0.009283 1.205802 98.17061 0.623585

9 0.009786 1.208366 98.20217 0.589463

10 0.010244 1.208090 98.23460 0.557314

Variance Decomposition of DLHFC:

Period S.E. DLPDB DLPOP DLHFC

1 0.045314 22.38018 0.935658 76.68417

2 0.049848 21.59643 1.411439 76.99213

3 0.058837 20.87610 2.267510 76.85639

4 0.064854 20.93956 2.073937 76.98651

5 0.071051 20.80186 2.020243 77.17790

6 0.076324 20.76583 1.759982 77.47419

7 0.081318 20.70926 1.650158 77.64059

Page 23: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

18

8 0.086104 20.71775 1.472213 77.81004

9 0.090550 20.69002 1.369126 77.94085

10 0.094834 20.68236 1.254871 78.06277

Cholesky Ordering: DLPDB DLPOP DLHFC

Uji Asumsi Klasik

Uji Normalitas

VEC Residual Normality Tests

Orthogonalization: Cholesky (Lutkepohl)

Null Hypothesis: residuals are multivariate normal

Date: 05/11/13 Time: 18:55

Sample: 1990 2011

Included observations: 19

Component Skewness Chi-sq df Prob.

1 0.032034 0.003249 1 0.9545

2 0.997991 3.153957 1 0.0757

3 -1.127519 4.025782 1 0.0448

Joint 7.182988 3 0.0663

Component Kurtosis Chi-sq df Prob.

1 1.969354 0.840933 1 0.3591

2 4.284763 1.306737 1 0.2530

3 3.148937 0.017561 1 0.8946

Joint 2.165231 3 0.5388

Component Jarque-Bera df Prob.

1 0.844182 2 0.6557

2 4.460694 2 0.1075

3 4.043343 2 0.1324

Joint 9.348219 6 0.1549

Uji Ketiadaan Autokorelasi

VEC Residual Portmanteau Tests for Autocorrelations

Null Hypothesis: no residual autocorrelations up to lag h

Date: 05/11/13 Time: 18:53

Sample: 1990 2011

Included observations: 19

Lags Q-Stat Prob. Adj Q-Stat Prob. df

1 7.466693 NA* 7.881510 NA* NA*

2 13.04184 0.1607 14.11256 0.1184 9

3 17.41623 0.4947 19.30715 0.3731 18

*The test is valid only for lags larger than the VAR lag order.

df is degrees of freedom for (approximate) chi-square distribution

Page 24: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

19

Uji Ketiadaan Multikolinearitas

VEC Residual Serial Correlation LM Tests

Null Hypothesis: no serial correlation at lag order h

Date: 05/11/13 Time: 18:52

Sample: 1990 2011

Included observations: 19

Lags LM-Stat Prob

1 7.277553 0.6082

2 12.12773 0.2062

3 6.718789 0.6664

Probs from chi-square with 9 df.

Uji Ketiadaan Heteroskedastisitas

VEC Residual Heteroskedasticity Tests: No Cross Terms (only levels and squares)

Date: 05/11/13 Time: 18:57

Sample: 1990 2011

Included observations: 19

Joint test:

Chi-sq df Prob.

48.80527 48 0.4405

Individual components:

Dependent R-squared F(8,10) Prob. Chi-sq(8) Prob.

res1*res1 0.278722 0.483036 0.8427 5.295727 0.7256

res2*res2 0.239049 0.392681 0.9008 4.541925 0.8052

res3*res3 0.200228 0.312945 0.9435 3.804325 0.8743

res2*res1 0.292633 0.517117 0.8191 5.560032 0.6964

res3*res1 0.208533 0.329347 0.9356 3.962136 0.8605

res3*res2 0.356514 0.692544 0.6923 6.773764 0.5612

Page 25: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

20

Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter terhadap Pengangguran

Abdul Holik

Aisyah Rosadi

Magister Ilmu Ekonomi

Universitas Padjadjaran

Abstract

This research purposes to analyze monetary policies—inflation, money supply, exchange rate

and interest rate—toward unemployment rate in Indonesia, using OLS (Ordinary Least

Square) method. Based on the result, gross domestic product (GDP), interest rate, exchange

rate, and inflation are significant in affecting unemployment rate in 10 percent level.

Meanwhile, money supply cannot have significant effect toward unemployment rate. It is

evidence that Indonesia adopts inflation targeting framework in controlling unemployment

rate conducted by monetary authority, other than monetary variables targeting.

Keywords: monetary policies, inflation targeting, unemployment, gross domestic products.

Pendahuluan

Salah satu instrumen untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan

kestabilan jangka panjang adalah melalui kebijakan moneter, terutama penargetan inflasi.

Kebijakan ini cenderung dipilih sejumlah negara seperti Indonesia, alih-alih penargetan

moneter secara total. Hal ini juga umum diberlakukan di sejumlah negara ASEAN khususnya

pasca krisis moneter 1997 di Thailand yang menimbulkan contagion effect di kawasan dan

akhirnya menyebabkan tingginya angka pengangguran. Dalam kasus di Indonesia, isu

pengangguran menjadi masalah yang cukup besar dan menjadi penghambat pencapaian

kesejahteraan optimal masyarakat. Indonesia menurut sejumlah pengamat cenderung

lambat—dibandingkan negara-negara semisal Malaysia, Korea Selatan, Thailand—dalam

upaya mencapai stabilisasi perekonomian pasca krisis.

Dalam kajian ekonomi makro, pembangunan ekonomi tidak dapat diukur semata-mata

dari tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita (Todaro, 2006). Namun, harus pula melihat

bagaimana pendapatan tersebut didistribusikan kepada penduduk dan mengetahui siapa yang

mendapat manfaat dari pembangunan tersebut. Pembangunan ekonomi sebuah negara dapat

dilihat dari beberapa indikator perekonomian. Salah satu di antaranya adalah tingkat

pengangguran. Selain itu dengan tingkat pengangguran, dapat dilihat pula ketimpangan atau

kesenjangan distribusi pendapatan yang diterima suatu masyarakat negara tersebut.

Pengangguran dapat terjadi sebagai akibat dari tingginya tingkat perubahan angkatan kerja

yang tidak diimbangi dengan adanya lapangan pekerjaan yang cukup luas, serta penyerapan

tenaga kerja yang cenderung kecil persentasenya. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat

pertumbuhan penciptaan lapangan kerja di sektor riil untuk menampung tenaga kerja yang

siap bekerja.

Data BPS menunjukkan jumlah penduduk Indonesia terus mengalami kenaikan dari

tahun ke tahun. Pada tahun 1980, penduduk Indonesia berjumlah 146.777.000 jiwa. Tahun

2007 jumlah itu meningkat menjadi sebesar 224.904.000 jiwa (BPS, 1980 dan 2007).

Kenaikan tersebut juga diikuti oleh kenaikan jumlah pengangguran. Hal ini menunjukkan

kenaikan jumlah penduduk usia kerja tidak terserap sepenuhnya ke lapangan pekerjaan

Page 26: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

21

sehingga jumlah pengangguran pun naik. Grafik pengangguran digambarkan dalam bagan di

bawah ini:

Sumber: World Bank

Dari data di atas diketahui bahwa pengangguran di Indonesia masih cukup besar.

Terlebih ketika terjadi kenaikan harga bahan bakar subsidi di tahun 2005. Sampai tahun

2010, pengangguran terus menurun. Hanya saja, penurunan itu belum berhasil mencapai titik

seperti sebelum krisis 1997. Bahkan, pertumbuhan pasca krisis 1997 tidak dibarengi turunnya

tingkat pengangguran. Penelitian di Amerika Serikat pasca krisis mengindikasikan koefisien

hasil yang beragam (Weber, 1995).

Maka di sinilah pentingnya peran pemerintah untuk bisa menyediakan lapangan

pekerjaan bagi jumlah usia kerja yang setiap tahun terus bertambah.Yang dibutuhkan adalah

kebijakan yang berorientasi pada upaya mendorong pertumbuhan iklim investasi di sektor

riil, dan bukan sektor finansial semata. Dalam hal ini BI (Bank Indonesia) memainkan

peranan penting dalam mengatur tingkat suku bunga, jumlah uang beredar, mengontrol laju

inflasi, serta menjaga agar aliran modal yang ada di dalam negeri agar tidak lari keluar.

Mengingat Indonesia adalah negara dengan sistem ekonomi terbuka kecil (small open

economy), maka wajar jika akhirnya penetapan suku bunga domestik melibatkan

pertimbangan suku bunga di dunia. Suku bunga ini dipatok berdasarkan suku bunga yang

ditetapkan The Federal Reserve Fund Rate, di Amerika Serikat. Kebijakan ini diambil agar

aliran modal asing tetap bertahan, dan terus digalakkan dalam meningkatkan investasi

(Pilbeam, 1998). Selain itu, pilhan nilai tukar mengambang bebas (floated exchange rate

system) juga menjadi pilihan yang paling baik, di mana pasar dapat dengan sendirinya

menentukan sisi permintaan dan penawaran kurs mata uang rupiah (Arifien, 2008).

Dengan semakin baiknya iklim berinvestasi di Indonesia, maka ketersediaan lapangan

kerja formal semakin banyak. Dengan begitu, penduduk usia kerja bisa terserap dan

pengangguran bisa turun. Tidak bisa dipungkiri bahwa proyek-proyek pemerintah tidak bisa

menyerap semua supply pekerja. Sehingga peran sektor swasta amat dibutuhkan.

Oleh karena itu, peran sektor pemerintah dan peran swasta amat dibutuhkan dalam hal

penyedia lapangan pekerjaan. Isu pengangguran telah menjadi bahasan utama dalam

perencanaan ekonomi jangka panjang di banyak negara, termasuk di negara maju sekalipun.

0

2

4

6

8

10

12

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

Pengangguran Dari Total Angkatan Kerja

Pengangguran DariTotal Angkatan Kerja

Page 27: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

22

Kajian Pustaka

Salah satu target utama kebijakan moneter adalah penyediaan lapangan pekerjaan.

Dalam diskursus ekonomi makro, kondisi lapangan kerja penuh (full employment) merupakan

kondisi yang diharapkan untuk dicapai. Masalahnya adalah bagaimana kinerja otoritas

moneter berupaya menurunkan angka pengangguran sampai titik terendah.

Dalam kenyataannya kondisi lapangan kerja penuh tidak selamanya berarti bebas dari

pengangguran. Proses keluar masuk seseorang mencari pekerjaan akan menyebabkannya

menganggur untuk beberapa saat. Dibutuhkan waktu penyesuaian antara pekerja dan

pengusaha yang akan mempekerjakannya. Pengangguran friksional yang melibatkan waktu

penyesuaian ini menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan perekonomian.

Di sisi lain terdapat pengangguran struktural, yakni pengangguran yang disebabkan

ketidaksesuaian antara keahlian yang dibutuhkan dan kemampuan pekerja. Dalam kasus ini,

kebijakan moneter hanya sedikit bisa menanggulangi pengangguran semacam itu.

Dalam beberapa literatur, kondisi lapangan kerja penuh didefinisikan sebagai keadaan

dengan tingkat pengangguran di atas nol, yang selaras dengan sisi penawaran dan permintaan

tenaga kerja pada periode tertentu. Artinya, tingkat pengangguran alamiah (natural rate of

unemployment) boleh tidak melebihi 4% dari total angkatan kerja, meskipun nilai tersebut

masih diperdebatkan kalangan ekonom (Mishkin, 2007). Cukup sulit mencapai angka

tersebut.

Setiap negara berusaha keras untuk bisa mencapai tingkat tenaga kerja penuh tanpa

inflasi, kendati prakteknya hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Keynes mengajukan 4 bentuk

kondisi terkait kekakuan nominal dengan berpijak pada kondisi pasar untuk barang dan

pekerja, yang nantinya diselaraskan dengan kebijakan moneter (David Romer, 2012):

1) kondisi ketika upah bersifat kaku, harga fleksibel, dan pasar barang sangat

kompetitif. Dalam kondisi ini, upah disimbolkan dengan . Karena harga fleksibel,

maka perusahaan mempekerjakan karyawan sampai (marginal product of labor) sama

dengan upah riil: ( ) . Melalui asumsi ini, peningkatan demand menaikkan output. Perusahaan memproduksi

komoditas dengan lebih giat. Ketika supply uang naik, maka berangsur-angsur harga naik.

Mengingat kondisi upah yang tetap, perusahaan bisa menaikkan buruh untuk mengerjakan

permintaan pasar yang melonjak. Karena upah riil berada di atas market-clearing level, maka

supply pekerja dapat bertambah dan pekerja pun dengan senang hati mau memenuhi

kebutuhan produsen. Dengan demikian angka pengangguran bisa menurun.

Akan tetapi, pandangan sisi supply ini akhirnya bisa mendorong countercyclical real

wage (perekonomian turun karena upah yang dipaksakan untuk tetap) dalam merespon

aggregate demand shock. Perusahaan akan berhenti mempekerjakan karyawan ketika

sama dengan upah. Kita bisa melihat penjelasan ini dalam kurva. Level awal pekerjaan

ditentukan oleh permintaan pekerja dan upah riil yang ditujukan poin E, sedangkan

pengangguran berada pada perbedaaan supply dan demand upah riil (jarak EA):

Page 28: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

23

Dari kurva di atas pengangguran awalnya bisa turun, dengan naiknya lapangan

pekerjaan. Tapi akhirnya dengan upah yang kaku memaksa perusahaan harus mengurangi

upah dari titik menjadi di titik . Dalam kasus ini perekonomian dalam kondisi tidak stabil

dan tidak menemukan dukungan untuk mencapai procyclical pertumbuhan.

2) kondisi ketika harga-harga kaku, upah fleksibel, dan pasar pekerja kompetitif.

Dalam kasus ini, diasumsikan perusahaan-perusahaan memiliki kekuatan pasar sehingga

harga yang memaksimalkan keuntungan bisa melampaui biaya marjinal. Tapi sebenarnya

menerapkan upah fleksibel berangsur-angsur menyebabkan perusahaan merugi. Peningkatan

demand yang terus-menerus akhirnya mendorong countercyclical atas biaya marjinal.

Terutama ketika naiknya permintaan pasar. Mungkin demand yang besar dapat

menggerakkan peningkatan pekerja terdidik, tetapi akhirnya mendorong kenaikan upah.

Kondisi ini ditunjukan dengan E` pada kurva sebagai berikut:

Dalam konteks ini, kebijakan penetapan upah fleksibel dan harga kaku tidak

mendukung procyclical pada perekonomian. Pada akhirnya harga-harga harus naik, karena

jika tidak akan merugikan produsen.

3) kondisi ketika harga kaku, upah fleksibel dan pasar kerja tidak sempurna. Dalam

kasus ini persamaan upah kita definisikan menjadi:

( ). Dalam contoh kasus ini,

peningkatan demand menaikkan output sampai biaya marjinal sama dengan level harga.

Pekerjaan dan upah riil ditentukan melalui perpotongan kurva demand pekerja efektif dan

fungsi upah riil. Lapangan pekerjaan akan bertambah dengan naiknya demand atas output.

Page 29: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

24

Pengangguran dapat turun. Jarak EA menandakan pengangguran. Gambar kurvanya sebagai

berikut:

Akan tetapi demand yang semakin tinggi dan upah fleksibel akhirnya akan memaksa

harga-harga naik, karena jika tidak berakibat kerugian produsen.

4) kondisi ketika upah tetap, harga tetap dan pasar barang tidak sempurna. Dalam

kasus ini harga dibentuk dengan adanya markup: ( )

( ) ; di mana ( )⁄ adalah

biaya marjinal; adalah markup. Maka upah riil didefinisikan menjadi: ( ) ( )⁄ . Jika

constant, maka upah riil berlaku countercyclical karena adanya penurunan . Jika ( ) kecil, upah riil akan menjadi procyclical bahkan jika kekakuan nominal berlaku pada pasar

pekerja. Dalam situasi ini, upah dan harga tidak ditentukan dari perubahan . Tapi dari . Pekerjaan akan ditentukan oleh demand pekerja efektif dari produsen.

Level demand menentukan wilayah perekonomian itu berada. Pengangguran berada di

antara perbedaan supply pekerja dan pekerjaan pada upah riil yang berlaku. Terdapat tiga

contoh kurva yang menggambarkan kondisi upah:

a. Menurun; b. Konstan; c. Naik.

Page 30: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

25

Dalam analisis lebih lanjut, Keynes menguraikan konsep aggregate demand yang

menggambarkan hubungan negatif antara harga dan output. Pada kondisi ini diasumsikan

jumlah uang yang beredar adalah konstan. Jika pemerintah melakukan kebijakan moneter

ekspansif maka kurva AD akan bergeser ke kanan. Sedangkan AS menggambarkan hubungan

positif antara harga dan output. Hal yang dapat menyebabkan kurva ini bergeser ke kanan

adalah kenaikan biaya produksi. Interaksi antara kurva AD dan kurva AS terjadi pada jangka

pendek. Hal tersebut tercermin pada kurva di bawah ini:

Page 31: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

26

Setiap negara berusaha keras untuk bisa mencapai tingkat tenaga kerja penuh tanpa

inflasi. Dalam prakteknya hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Ahli ekonomi klasik telah

membuat simulasi empiris bahwa apabila tingkat pengangguran rendah, biasanya dibarengi

tingkat inflasi yang tinggi. Pada tahun 1950-an, A.W. Phillips, ekonom Inggris, melakukan

studi mengenai kebijakan stabilisasi perekonomian mengenai tingkat inflasi upah buruh dan

tingkat pengangguran. Ia membuat kurva sebagai berikut:

Namun, kedua konsep yang dikemukakan baik oleh Philips dan Keynes hanya berlaku

dalam jangka pendek. Milton Friedman menyatakan bahwa rezim moneter yang tidak bisa

menahan inflasi kronis takkan bisa menurunkan angka pengangguran. Dalam jangka panjang

inflasi berakibat sangat buruk pada perekonomian (Friedman, 1968). Contoh ekstrem seperti

Y

P

AD

AS

Gambar

Page 32: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

27

kasus hyperinflation di Jerman pada dekade 1930-an. Inflasi dalam jangka panjang dapat

menghancurkan perekonomian.

Gagasan Philips sebenarnya merupakan trade off antara pengangguran dan inflasi.

Baginya ketika pembuat kebijakan ekonomi menginginkan tingkat inflasi yang rendah,

mereka harus membayarnya dengan tingkat pengangguran yang meningkat. Sebaliknya,

ketika tingkat inflasi tinggi, pengangguran bisa turun.

Pertumbuhan ekonomi yang baik memiliki hubungan erat dengan penurunan

pengangguran. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh hukum Okun, yakni suatu hubungan

terbalik antara tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi. Ketika perekonomian suatu

negara mencapai pertumbuhan yang signifikan, maka tingkat pengangguran dapat ditekan.

Dalam beberapa penelitian misalnya, asumsi Okun tersebut terbukti. Namun setelah masa

krisis yang dalam, hukum Okun membutuhkan beberapa penjelasan lanjutan (Weber, 1995).

Friedman sendiri mengakui bahwa kebijakan moneter mempunyai lag (rentang

waktu) agar bisa berpengaruh pada output riil. Di Amerika misalnya, kebijakan moneter

mempunyai waktu satu tahun guna mempengaruhi output dan waktu dua tahun dalam

mempengaruhi inflasi secara signifikan. Sedangkan di negara-negara yang mengalami inflasi

tinggi, di mana harga-harga lebih fleksibel, selang waktu bisa lebih pendek (Mishkin, 2007).

Kebijakan penargetan inflasi juga diterapkan pada berbagai negara maju dengan nilai

yang berbeda-beda. Berikut tabelnya:

Negara &

Tahun Berlaku Definisi Rangkaian Target

Tingkat

penargetan

Jangka

waktu

Australia (1993)

Komponen IHK ( buah&sayuran, solar, harga-

harga sektor publik, dan harga-harga yang

fluktuatif)

2-3% sepanjang

masa

Kanada

(Februari 1991)

Komponen utama IHK (makanan, energi, dan

pajak tidak langsung) 1-3% 18 bulan

Finlandia

(Februari 1993)

Komponen IHK ( subsidi pemerintah, pajak tidak

langsung, harga rumah dan tingkat bunga cicilan

rumah)

sekitar 2% sepanjang

masa

Selandia Baru

(Maret 1990)

Komponen IHK (perubahan pada pajak tidak

langsung atau pengeluaran pemerintah, perubahan

pada harga ekspor dan impor, bencana alam)

0-3% 1 tahun

Spanyol (Januari

1995) IHK (perubahan pajak tidak langsung) Dibawah 3%

Setelah

krisis

1997

Swedia (Januari

1993) IHK 1-3%

sepanjang

masa

Inggris (Oktober

1992) tingkat bunga cicilan property

Dibawah

2.5%

sampai

berakhir

parlemen

Tabel dikutip dari (Ben S. Bernanke and Frederic S. Mishkin, 1997)

Pertumbuhan ekonomi yang ideal ditandai dengan terpenuhinya stabilisasi harga.

Stabilisasi harga tidak diartikan sebagai perekonomian tanpa inflasi. Tapi biasanya diartikan

mendekati 2 persen per tahun (Ben S. Bernanke and Frederic S. Mishkin, 1997). Dalam

jangka panjang, inflasi yang tinggi tidak pernah berkaitan erat dengan turunnya

pengangguran. Stabilisasi harga adalah pilihan kebijakan yang ideal dalam menangani

pengangguran di jangka panjang. Meskipun pada sisi lain, stabilisasi harga dalam jangka

Page 33: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

28

pendek justru bertentangan dengan tujuan penyediaan lapangan kerja dan stabilisasi suku

bunga.

Secara umum terdapat tiga bentuk mekanisme kebijakan untuk mencapai stabilisas

harga: penargetan moneter (monetary targetting), penargetan inflasi (inflation targetting),

kebijakan moneter dengan jangkar implisit—bukan eksplisit (Mishkin, 2007). Berikut

penjelasan detailnya:

1. Penargetan Moneter (Monetary Targetting).

Kebijakan ini dilakukan dengan menargetkan pencapaian angka dan nilai tertentu

dari tingkat pertumbuhan tahunan agregat moneter. Misalnya, 5% tingkat pertumbuhan M1

dan atau 6% tingkat pertumbuhan M2. Dalam hal ini, bank sentral akan berupaya secara

maksimal memenuhi target yang sudah ditetapkan tersebut.

Melalui mekanisme kebijakan ini, bank sentral bisa secara langsung memberi

sinyal-sinyal kepada publik dan pasar khususnya terkait arah kebijakan moneter dan inflasi ke

depan. Pada kelanjutannya, sinyal dari bank sentral ini bisa membantu memperbaiki

perkiraan inflasi dan menghasilkan inflasi yang lebih rendah. Penargetan moneter juga

menunjukkan akuntabilitas kebijakan moneter untuk mempertahankan inflasi yang rendah,

sehingga membantu membatasi para pengambil kebijakan moneter agar tidak terperangkap

pada ketidakkonsistenan waktu.

Namun, di sisi lain penargetan moneter juga memiliki sejumlah kendala. Hal ini

bisa dilihat apabila tujuan dan penargetan moneter tidak sejalan. Jika hubungan antara

agregat moneter dan variabel tujuan lemah, penargetan moneter tidak bisa bekerja. Contoh

kasusnya seperti di Amerika Serikat. Pada negara ini hubungan antara penargetan aggregat

moneter dan variabel tujuan tidak kuat. Maka penargetan moneter tidak membantu

memperbaiki perkiraan inflasi dan sama sekali tidak merupakan petunjuk yang baik dalam

menilai akuntabilitas bank sentral, sehingga komunikasi yang terpercaya antara pihak bank

sentral dan publik secara luas tidak bisa terpenuhi. Terkadang bahkan kestabilan besaran

moneter sulit dikendalikan, yakni ketidak stabilan hubungan tingkat perputaran uang.

2. Penargetan Inflasi (Inflation Targetting).

Penargetan inflasi termasuk salah satu instrumen untuk mencapai stabilisasi harga.

Penargetan inflasi mencakup beberapa unsur: 1) pengumuman kepada publik mengenai

target-target numerik jangka panjang menengah untuk inflasi; 2) komitmen institusi atas

stabilisasi harga sebagai tujuan utama dan jangka panjang kebijakan moneter dan komitmen

untuk mencapai tujuan-tujuan inflasi; 3) pendekatan penyertaan informasi (infomation-

inclusive approach) di mana banyak variabel (tidak hanya aggregat moneter) digunakan

dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan moneter; 4) transparansi mengenai

strategi kebijakan moneter yang meningkat melalui komunikasi dengan publik dan pasar

mengenai rencana dan tujuan pengambil keputusan moneter; 5) akuntabilitas bank sentral

yang meningkat untuk mencapai tujuan-tujuan inflasi.

Penargetan inflasi memiliki manfaat semisal otoritas moneter bisa menggunakan

semua informasi yang tersedia untuk menentukan pengaturan terbaik terkait kebijakan

moneter yang bakal diambil. Penargetan inflasi juga bisa lebih mudah dipahami publik dan

lebih transparan, dibandingkan dengan penargetan moneter yang tidak mampu memberikan

sinyal secara akurat.

3. Kebijakan Moneter dengan Jangkar Nominal Implisit.

Strategi kebijakan ini memberlakukan pengontrolan terhadap inflasi dalam jangka

panjang, dan memiliki orientasi ke depan (forward looking). Otoritas moneter memantau

secara ketat laju inflasi dan melakukan intervensi secara efisien dengan mempertimbangkan

informasi terkait sinyal-sinyal target inflasi di masa depan. Namun, sifat dari kebijakan ini

tidak diumumkan secara terbuka kepada publik, sehingga bersifat rahasia atau sekedar

implicit policy.

Page 34: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

29

Penargetan Inflasi di Indonesia

Penargetan inflasi di Indonesia diatur sepenuhnya oleh Bank Indonesia. Tapi, sejak

keluarnya UU No. 23 tahun 1999, sasaran inflasi ditetapkan oleh pemerintah. Bank Indonesia

berkoordinasi dengan pemerintah menetapkan target atau sasaran inflasi. Dalam Nota

Kesepahaman antara Pemerintah dan Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga

tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) (www.bi.go.id).

Penargetan inflasi diharapkan dijadikan acuan bagi masyarakat secara luas.

Penargetan itu ditujukan agar geliat perekonomian berjalan lebih optimal, mengingat kondisi

kenaikan harga menjadi lebih stabil dan terukur. Masyarakat diharapkan bisa mengacu pada

nilai yang sudah ditargetkan tersebut. Berikut tabel inflasi aktual dan penargetan inflasi

selama beberapa tahun:

Perbandingan Inflasi Aktual dan Penargetannya

Tahun Aktual Target

2001 12.55 6

2002 10.03 10

2003 5.06 10

2004 6.4 6.5

2005 17.11 7

2006 6.6 9

2007 6.59 7

2008 11.06 6

2009 2.78 6.5

2010 6.96 6

Berikut ini mari perhatikan grafik IHK (Indeks Harga Konsumen) Indonesia menurut

World Bank di bawah ini:

Dari grafik IHK diketahui adanya kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK). Hal itu

bukan berarti penargetan inflasi gagal dalam mengontrol kenaikan harga dalam jangka

panjang. Stabilisasi harga dalam prakteknya bukan berarti inflasi bernilai nol. Akan tetapi

0

20

40

60

80

100

120

140

160

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

IHK

IHK

Page 35: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

30

biasanya tingkat rata-rata kenaikan harga bernilai mendekati 2% per tahun (Bernanke &

Miskin, 1997).

Dalam penelitian lanjutan, didapat hasil berikut ini:

Negara

Jangka Waktu

Disinflasi (thn)

Inflasi Awal (%)

Inflasi Akhir (%)

Sacrifice Ratio

Selandia Baru

6.25 15.38 1.13 2.05

Kanada 2.75 5.25 1.09 3.04

Australia 3.75 7.62 1.4 1.87

Inggris 3.75 8.64 2.16 2.19

Swedia 2.75 9.55 3.21 0.53

Sumber dari (Ben S. Bernanke et.all, 1999)

Penelitian Sebelumnya

Beberapa studi empiris telah memberikan bukti adanya hubungan signifikan antara

variabel-variabel moneter terhadap pengangguran dan variabel riil lainnya.

Page 36: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

31

No Nama Judul Tahun Masalah Metodologi Temuan

1 Christian

E. Weber

Cyclical Output,

Cyclical

Unemployment,

and Okun's

Coefficient

1995

Pengujian

hukum okun di

Amerika pasca

krisis

Dynamic VAR Pengangguran dan

Pertumbuhan ekonomi

2 Michael

Parkin

Unemployment,

Inflation, and

Monetary Policy

1998

Kebijakan

moneter

mempengaruhi

pengangguran

dan inflasi

Model DGE

(Dynamic General

Economy

Equilibrium)

Monetary

Kebijakan stabilisasi

moneter

menstabilkansektor riil.

3

Fajar

Bambang

Hirawan

Efektivitas

Quantum

Channel Dalam

Mekanisme

Transmisi

Kebijakan

Moneter: Studi

Kasus Indonesia

Tahun 1993-

2005

2007

Mekanisme

quantum

channeldi

Indonesia masa

sebelum krisis,

masa krisis, dan

masa setelah

krisis.

Bagaimanakah

quantum

channel

mendorong

pertumbuhan

ekonomi di

Indonesia?

Analisis standar

deviasi dan

koefisien variasi,

koefisien korelasi,

dan granger

causality test

Pada masa sebelum

krisis, metode quantum

channel yang stabil

adalah jalur kredit. Di

masa krisis, metode

quantum channel yang

lebih stabil adalah jalur

uang. Pasca krisis,

metode quantum

channel yang lebih

stabil dalam mekanisme

transmisi kebijakan

moneter adalah jalur

kredit.

4 Charles

Onyeiwu

Monetary Policy

and Economic

Growth of

Nigeria

2012

Peran kebijakan

moneter Nigeria

terhadap

pertumbuhan

dan

pembangunan

ekonomi.

Ordinary Least

Square(OLS)

Kebijakan moneter tidak

memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap

inflasi di Nigeria

Page 37: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

32

Metodologi

Pada penelitian ini, digunakan metode Ordinary Least Square (OLS) antara berbagai

variabel, yakni: pengangguran, pertumbuhan ekonomi, jumlah uang beredar, nilai tukar,

tingkat suku bunga dan inflasi. Adapun periode penelitian dalam kasus ini adalah tahun 1996

sampai tahun 2010. Data diambil dari World Bank dan Badan Pusat Statistik.

Penelitian ini menggunakan metode OLS karena untuk melihat seberapa besar

efektifitas pengaruh variabel moneter dengan fokus pada kebijakan penargetan inflasi

terhadap pengangguran Indonesia. Penelitian ini tidak bermaksud melihat shock (guncangan)

pada satu variabel terhadap variabel yang lain secara timbal balik. Mengingat penargetan

inflasi adalah kebijakan untuk stabilisasi harga jangka panjang, maka metode OLS lebih tepat

digunakan sebagai alat analisis.

Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Unemt = Rirt + Xratet + Inflasit + M2t + PDBt + et

Dimana:

Unempt adalah variabel unemployment pada periode t. Data diukur dalam satuan %.

Rirt adalah variabel real interest rate pada periode t. Data diukur dalam satuan %.

Xratet adalah variabel exchange rate pada periode t. Data diukur dalam satuan rupiah per

dollar.

Inflasit adalah variabel inflasi pada periode t. Data diukur dalam satuan %.

M2t adalah variabel money supply pada periode t. Data diukur dalam satuan %.

PDBt adalah variabel Produk Domestik Bruto pada periode t, diukur triliun rupiah.

Sebelum dilakukan estimasi maka data dicek terlebih dahulu apakah stasioner atau

tidak. Setelah semua data stasioner maka dilakukan estimasi regresi dengan metode OLS

yakni meminimumkan nilai error sehingga didapatkan hasil yang efisien. Hasil estimasi yang

didapat kemudian dilakukan uji asumsi klasik agar tidak mengandung masalah dalam model.

Hasil dan Pembahasan

Dependent Variable: UNEM

Method: Least Squares

Date: 03/14/13 Time: 11:02

Sample (adjusted): 1998 2010

Included observations: 13 after adjustments

Convergence achieved after 16 iterations

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -1.308268 0.379512 -3.447239 0.0137

RIR 0.008406 0.003534 2.378409 0.0549

XRATE 8.96E-05 3.09E-05 2.897104 0.0274

INFLASI 0.769501 0.383433 2.006872 0.0916

M2_GROWTH 0.388278 0.341643 1.136503 0.2991

PDB -1.32E-07 3.33E-08 -3.958174 0.0075

AR(1) 0.132136 0.287040 0.460340 0.6615

R-squared 0.869159 Mean dependent var 0.031733

Adjusted R-squared 0.738318 S.D. dependent var 0.125091

S.E. of regression 0.063990 Akaike info criterion -2.356445

Sum squared resid 0.024568 Schwarz criterion -2.052241

Log likelihood 22.31689 Hannan-Quinn criter. -2.418972

F-statistic 6.642866 Durbin-Watson stat 1.774342

Prob(F-statistic) 0.018233

Inverted AR Roots .13

Page 38: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

33

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, didapatkan bahwa koefisien dari variabel real

interest rate, exchange rate, inflasi, dan GDP bernilai signifikan, sedangkan variabel money

supply bernilai tidak signifikan terhadap pengangguran pada derajat 10%. Pada perhitungan

kasar di atas terdapat masalah autokorelasi. Maka melalui pengolahan data, memungkinkan

kita menghilangkannya.

Nilai koefisien real interest rate adalah 0,008406 yang berarti bahwa ketika bank

sentral menaikkan tingkat suku bunga sebesar 1% maka akan meningkatkan pengangguran

sebesar 0,008406% dari total labor force. Hal ini menunjukkan ketika pemerintah

memberlakukan kebijakan moneter ekspansif dengan menaikkan tingkat suku bunga, akan

ada peningkatkan pengangguran.Tentu saja kondisi sebaliknya akan dipilih untuk

menurunkan pengangguran.

Koefisien Variabel exchange rate bernilai positif terhadap pengangguran sebesar

0,000000896%. Saat nilai tukar mata uang rupiah terapresiasi sebesar 1 rupiah terhadap dolar

Amerika, pengangguran akan meningkat. Hal itu terjadi karena saat ini Indonesia sedang

bersaing dengan negara lain meningkatkan ekspor produk-produknya ke luar negeri. Jika nilai

tukar terapresiasi, produk-produk Indonesia menjadi lebih mahal di pasar internasional,

sehingga sektor industri domestik menjadi kurang baik.

Indonesia sejak krisis 1997 tidak menerapkan penargetan nilai tukar (exchange rate

targeting). Berbeda dengan Cina yang dengan sengaja merendahkan nilai tukar Yuan

terhadap dolar Amerika, guna mendorong ekspor produknya. Hal ini karena Indonesia

menganut perekonomian terbuka kecil, dengan mobilitas dana luar negeri yang cukup tinggi.

Akibat buruknya kebijakan moneter menjadi tidak independen, rentan terhadap tindakan

spekulasi dan terkena dampak buruk jika di salah satu negara besar terjadi gunjangan.

Koefisien variabel inflasi menunjukkan angka sebesar 0,769501. Hal ini menandakan

saat tingkat inflasi naik sebesar 1%, pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang akan

menurun, dan pada akhirnya meningkatkan pengangguran sebesar 0,769501%. Bank sentral

melalui kebijakan targeting inflation framework dapat mengontrol laju inflasi yang pada

gilirannya dapat menekan laju pengangguran.

Hasil estimasi Pertumbuhan money supply bernilai 0,388278. Berdasarkan hasil

pengolahan data di atas didapatkan hasil bahwa variabel jumlah uang yang beredar tidak

berpengaruh signifikan terhadap pengangguran. Ini sebagai penegas bahwa sebenarnya

otoritas moneter di Indonesia lebih memilih pengontrolan inflasi sebagai upaya tercapainya

stabilisasi harga, dan bukan pengontrolan aggregat moneter berupa money supply.

Koefisien Gross Domestic Product bernilai -0,000000132. Hal tersebut menunjukkan

bahwa ketika GDP menurun sebesar 1 triliun rupiah, pengangguran akan meningkat sebesar

0,00000000132%. Ringkasnya adalah negara mengalami penurunan produktifitas. Sebagai

contoh saat anggaran belanja pemerintah berkurang, maka akan semakin sedikit lapangan

pekerjaan yang tersedia dan pada gilirannya pengangguran akan meningkat.

Penutup

Tulisan ini menganalisis efek dari kebijakan penargetan inflasi terhadap

pengangguran. Hasil penelitian dengan metode OLS menemukan hubungan signifikan antara

tingkat suku bunga, nilai tukar, inflasi, dan PDB terhadap pengangguran. Sedangkan jumlah

uang beredar tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Hal ini sesuai dengan arah kebijakan

moneter Indonesia, yakni mengendalikan inflasi. Melalui kebijakan ini, pemerintah dan

sektor swasta dapat berperan secara maksimal menentukan kebijakan yang dapat mendorong

laju pertumbuhan ekonomi dan menekan laju pengangguran di jangka panjang.

Page 39: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

34

Daftar Pustaka

Arifin, Sjamsul (ed.), (2008), Bangkitnya Perekonomian Asia Timur Satu Dekade Setelah

Krisis, Jakarta: Elex Media Komputindo.

Bernanke, Ben S. and Frederic S. Mishkin, ( Spring1997), ―Inflation Targeting: A New

Framework for Monetary Policy?‖, The Journal of Economic

Perspectives, Vol. 11, No. 2, 97 – 116.

Bernanke, Ben S. et. all, (1999) Inflation Targeting –Lesson from the International

Experience, Princeton University Press.

BPS (Badan Pusat Statistik).

Christiano, Lawrence J., (Feb. 1996), ―The Effects of Monetary Policies: Evidence from the

Flow of Funds‖, The Review of Economics and Statistics, vol. 78, No.

1, 16 – 34.

Friedman, Milton, (March 1968), ―The Role of Monetary Policy‖, American Economic

Review, vol. 1, No. 58, 1 – 17.

Hirawan, Fajar Bambang, (Januari 2007), ―Efektivitas Quantum Channel dalam Mekanisme

Transmisi Kebijakan Moneter‖, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Indonesia, vol. 7, No. 02, 53 – 73.

Hoover, Kevin D., (March 1988), ―Money, Prices and Finance in the New Monetary

Economics‖, Oxford Economic Papers, vol. 40, No. 1, 150 – 167.

Mishkin, Frederic S., (2007), The Economics of Money, Banking, and Financial Markets,

Boston: Pearson International Edition.

Onyeiwu, Charles, (2012), ―Monetary Policy and Economic Growth of Nigeria‖, Journal of

Economics and Sustainable Development, vol. 3, No. 7, 62 – 69.

Parkin, Michael, (Nov. 1998), ―Unemployment, Inflation, and Monetary Policy‖, The

Canadian Journal of Economics, vol. 13, No. 5, 1003 – 1032.

Pilbeam, Keith, (2006), International Finance, New York: Palgrave.

Todaro, Michael P. and Stephen C. Smith, (2006), Pembangunan Ekonomi, terj., Andri Yelvi,

jilid 1 & 2, Jakarta: Erlangga.

Weber, Christian E., (Oct. – Dec. 1995), ―Cyclical Output, Cyclical Unemployment, and

Okun‘s Coefficient: A new Approach‖, Journal of Applied

Econometrics, vol. 10, No. 4, 433 – 445.

http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Bank+Indonesia+dan+Inflasi/pengendalian.htm

Page 40: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

35

PENGARUH DISIPLIN KERJA DAN PENGEMBANGAN KARIR TERHADAP

KINERJA PERUSAHAAN

Galuh Tresna Murti

Aurora Angela

Ernie Soedarwati

Magister Ilmu Ekonomi dan Bisnis

Universitas Padjadjaran

Abstract This purpose of this research is to examine the human resources behavioral that accour in

an corporation and how it’s affect the company performance. In this research, writer simply

to choose an indicator of the company performance by using ROA ( return on assets ) and

performance indicators of an employee with discipline of work and career development in

Koperasi Usaha Pupuk Kujang with employees as a respondents. Method research used is

survey method. The research concludes that there is a positive and significant influence

between the disiplines of work with the company performance. There are also positive and

significant influence between the career development with the performance of the company.

And there is a positive and significant influence between the disiplince of work and career

development with the performance of the company.

Keywords : Dicipline of Work, Career Development, and Return on Assets (ROA)

I. PENDAHULUAN

Pengembangan koperasi dalam dimensi pembangunan nasional yang berdasarkan

sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya ditujukan untuk mengurangi masalah kesenjangan

pendapatan antar golongan dan antar pelaku, ataupun penyerapan tenaga kerja. Lebih dari itu,

pengembangan koperasi diharapkan mampu memperluas basis ekonomi dan dapat

memberikan kontribusi dalam mempercepat perubahan struktural, yaitu dengan

meningkatnya perekonomian daerah dan ketahanan ekonomi nasional.

Diantara berbagai sumber daya yang dimiliki koperasi adalah sumber daya manusia.

Hal ini yang paling penting dan strategis karena merupakan faktor penggerak kegiatan

koperasi. Disamping itu, hanya manusia yang memiliki perilaku, sifat, karakteristik yang

bervariasi, memiliki kemampuan berfikir rasional dan kreatif, memiliki kepribadian serta

nilai-nilai yang perlu dihargai dan dikembangkan, dapat dikatakan kunci keberhasilan setiap

organisasi saat ini terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki.

Mengingat betapa organisasi sangat berkepentingan dengan kinerja pegawai,

peningkatan kinerja tidak dapat diserahkan kepada pegawai semata. Organisasi harus

mengembangkan suatu program atau kebijakan bagi peningkatan kualitas sumber daya

manusia yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat memotivasi pegawai untuk

meningkatkan kinerjanya. Faktor kepemimpinan yang bisa mengarahkan, membimbing dan

memberikan suri tauladan yang baik bagi pegawai dalam melaksanakan aturan-aturan

perusahaan juga merupakan salah satu faktor meningkatnya kinerja karyawan. Selain itu

faktor ketersediaan pengembangan karir yang jelas disertai dengan bimbingan karir bagi pegawai sangat menentukan tingkat kinerja pegawai, karena dengan adanya pengembangan

karir yang jelas, pegawai termotivasi untuk dapat meraih karir yang mereka inginkan, dan

tentu saja hal tersebut meningkatkan kinerjanya. Kemampuan pegawai dalam melaksanakan

tugasnya merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kinerja pegawai yang bersangkutan.

Page 41: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

36

Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti pada Koperasi Usaha Warga Pupuk

Kujang telah diperoleh fakta bahwa kinerja karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang

pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 mengalami fluktuasi, sebagaimana terlihat dari

pencapaian Key Performance Indicator (KPI) untuk indikator kinerja karyawan Koperasi

Usaha Warga Pupuk Kujang yang dicerminkan dalam pencapaian tingkat produktivitas laba

bersih per individu tahun 2007 sampai dengan tahun 2011.

Pencapaian Tingkat Produktivitas laba bersih per individu

periode 2006 – 2011 Key Performance

Indicators

(KPI)

UoM 06 07 08 09 10 11

Tingkat produktivitas laba

bersih per individu

Rp

juta/orang/tahu

n

Na na 7,8 2,4 4,1 16,75

Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011

Pencapaian Tingkat Produktivitas laba bersih per individu periode 2006 – 2011

Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011

Pencapaian tingkat produktivitas laba bersih per individu karyawan Koperasi Usaha

Warga Pupuk Kujang mengalami penurunan dari Rp. 7.800.000,- per orang selama tahun

2008 menjadi Rp. 2.400.000,- per orang selama tahun 2009, kemudian mengalami

peningkatan sebesar Rp. 4.100.000,- per orang selama tahun 2010, dan mengalami

peningkatan yang drastis pada tahun 2011 sebesar Rp. 16.750.000,- per orang, sementara

untuk tahun 2006 dan 2007 belum adanya data yang akurat yang bisa menggambarkan

tingkat produktivitas laba bersih per individu.

Tingkat produktivitas laba bersih per individu yang mengalami fluktuasi tersebut

mengindikasikan adanya permasalahan mengenai kinerja karyawan Koperasi Usaha Warga

Pupuk Kujang selama tahun 2006-2011. Tingkat produktivitas sering dihubungkan dengan

kinerja, performansi dengan memberikan penekanan pada efisiensi.

Survey awal selanjutnya yang dilakukan peneliti pada Koperasi Usaha Warga Pupuk

Kujang telah diperoleh fakta bahwa disiplin karyawan koperasi pada tahun 2006 sampai

dengan tahun 2011 mengalami penurunan, sebagaimana terlihat dari pencapaian Key

Performance Indicator (KPI) untuk indikator disiplin kerja yang dicerminkan dalam

pencapaian tingkat kehadiran dan tingkat keterlambatan masuk kerja periode tahun 2006

sampai dengan tahun 2011. Pencapaian tingkat kehadiran karyawan dan tingkat

keterlambatan masuk kerjapun mengalami fluktuasi, hal ini mengindikasikan adanya

0

5

10

15

20

2006 2007 2008 2009 2010 2011

Tingkat produktifitaslaba bersih per individu

Page 42: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

37

permasalahan mengenai disiplin kerja karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang

selama tahun 2006-2011.

Tingkat Kehadiran dan Keterlambatan Masuk Kerja Periode 2006-2011 Key Performance Indicators

(KPI) UoM 06 07 08 09 10

11

Tk. Kehadiran % Rata-rata 96 95 94,4 94 96,8 96,4

Tk, Keterlambatan Masuk Kerja % Rata-rata 7,5 4 4,7 3,5 8,64 4,16

Sumber: Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011

Pencapaian Tingkat Kehadiran dan Keterlambatan Masuk Kerja Periode 2006-2011

Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011

Fakta selanjutnya adalah pengembangan karyawan koperasi pada tahun 2006 sampai

dengan tahun 2011 mengalami penurunan, sebagaimana terlihat dari pencapaian Key

Performance Indicator (KPI) untuk indikator pengembangan karyawan yang dicerminkan

dalam jam pelatihan periode tahun 2006 sampai dengan tahun 2011. Jam pelatihan karyawan

koperasi yang berfluktuasi tersebut mengindikasikan permasalahan mengenai pengembangan

pegawai di Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang selama tahun 2006-2011. Pencapaian Jam Pelatihan Karyawan Periode 2006-2011

Key Performance

Indicators (KPI)

UoM 06 07 08 09 10 11

Jam Pelatihan Karyawan

Cumm.jam/orang/tahun

18,7 25 29,2 17,6 na na

Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011

Pencapaian Jam Pelatihan Karyawan Periode 2006-2011

Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011

0

20

40

60

80

100

120

2006 2007 2008 2009 2010 2011

Tingkat kehadiranpegawai

0

5

10

15

20

25

30

35

2006 2007 2008 2009 2010 2011

Jam Pelatihan

Page 43: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

38

Permasalahan-permasalahan diatas dapat menyebabkan turunnya kinerja karyawan

serta secara keseluruhan adalah penurunan kinerja Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang dan

berdampak pada pelayanan yang diberikan terhadap anggota Koperasi Usaha Warga Pupuk

Kujang selaku stock holders dan semua pihak yang berkepentingan (stake holders).

Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan yang dapat diukur menggunakan

pendekatan Key Performance Indicator (KPI), dalam penelitian ini penulis hanya memilih

indikator disiplin kerja dan pengembangan karir di Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang.

II. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1 Pengukuran Kinerja Perusahaan

Stoner dan Freeman (1992:6) memberikan penjelasan mengenai kinerja organisasi

sebagai :

―The measure of how well organizations do their job.‖

Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya kinerja organisasi

dapat diartikan sebagai hasil yang telah dicapai atas aktivitas yang dilakukan perusahaan.

Dalam hubungannya dengan hasil yang telah dicapai atas aktivitas yang dilakukan

perusahaan, maka perlu dilakukan penilaian atas hasil kinerja tersebut. Atkinson,et.al., (1995

: 46) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai berikut :

―Performance measurement is measure the performance of each activity in the

process (value chain) from the perpective of customer requirement while assuring that

the overall performance of activities meets the requirements of the organization’s

other stakeholders‖.

Martin et al., (1995: 138) menyatakan bahwa profitabilitas juga berfungsi sebagai

indikator kinerja pengelolaan perusahaan, efektivitas manajemen, alat untuk memproyeksi

laba dan sebagai alat pengendalian manajemen. Profitabilitas jangka panjang sangat penting

untuk diamati mengingat keuntungan yang memadai diperlukan untuk mempertahankan arus

sumber – sumber modal perusahaan dan untuk kelangsungan hidup perusahaan (going

concern). Teknik analisis profitabilitas melibatkan hubungan antara pos – pos tertentu dalam

laporan keuangan, yaitu pada laporan laba rugi untuk memperoleh ukuran – ukuran yang

dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai efisiensi dan kemampuan perusahaan dalam

memperoleh laba.

Gaspersz (2002:40) menyatakan bahwa untuk menilai profitabilitas perusahaan dapat

dilihat melalui rasio profitabilitas perusahaan itu sendiri. Menurut Gaspersz (2002:40) rasio

profitabilitas adalah rasio untuk mengukur efektivitas manajemen yang ditunjukkan melalui

keuntungan (laba) yang dihasilkan terhadap penjualan dan investasi perusahaan yang sering

digunakan untuk menggambarkan profitabilitas suatu perusahaan, yaitu Gross Profit Margin,

Net Profit Margin, Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE). Dalam penelitian ini

peneliti memilih mengunakan indikator ROA untuk mengukur kinerja perusahaan.

Return On Asset (ROA) merupakan perbandingan antara net income dengan total

assets, rasio ini digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam menghasilkan

keuntungan dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang dimilikinya. Semakin besar

ROA menunjukkan kinerja perusahaan semakin baik, karena return semakin besar.

Perhitungan ROA terdiri dari:

1. Menghitung Earning Before Tax (EBT) laba perusahaan (bank) sebelum dikurangi pajak.

2. Menghitung keseluruhan aktiva yang dimiliki oleh bank yang terdiri dari aktiva lancar

dan aktiva tetap.

Formula perhitungan ROA yang digunakan sebagai berikut:

Page 44: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

39

2.2 Disiplin Kerja

Menurut Henry Simamora (1995:565), disiplin adalah ―bentuk pengendalian diri

karyawan dan pelaksanaan yang teratur dan menunjukkan tingkat kesungguhan tim kerja di

dalam suatu organisasi.‖ Kedisiplinan harus ditegakkan dalam organisasi, karena tanpa

dukungan disiplin karyawan yang baik, maka sulit perusahaan untuk mewujudkan tujuannya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedisiplinan merupakan kunci keberhasilan suatu

organisasi dalam mencapai tujuannya.

Dalam menegakkan suatu kedisiplinan penting bagi suatu perusahaan dengan harapan

karyawan mengerjakan pekerjaannya dengan seefektif dan seefesien mungkin sehingga pada

akhirnya kinerja perusahaan diharapkan meningkat.

2.3 Pengembangan Karir

Pengembangan karir menurut Andrew J. Furbin (1982:197) sebagaimana yang dikutip

oleh Anwar Prabu (2007:77) adalah : ―Career Development, from the standpoint of the

organization, is the personnel activity which helps individuals plan their future career within

enterprise, in order to help the entreprise achieve and the employee achieve maximum self-

development‖. Berdasarkan pendapat Andrew J. Durbin ini, pengembangan karir adalah

aktivitas kepegawaian yang membantu pegawai merencanakan karir masa depannya di

perusahaan, agar perusahaan dan pegawai dapat mengembangkan diri secara maksimum.

Sementara menurut Henry Simamora (1995:410), pengembangan karir adalah

―pendekatan formal yang diambil suatu organisasi untuk memastikan bahwa orang-orang

dengan kualifikasi dan pengalaman yang tepat tersedia pada saat dibutuhkan.‖ Pengertian

Pengembangan karir menurut Bernandin & Russel (1993:341) sebagaimana yang dikutip oleh

Faustino Cardoso (2003:215) adalah sebagai berikut :

―A Career development system is a formal, organized, planned effort to achieve a

balance between individual career needs and organizational workforce requirement. It

is mechanism for meeting the present and future human resources needs of an

organization.‖

Dua proses utama dalam pengembangan karir dikemukakan oleh pendapat dari Bernandin &

Russel (1993:341) yang dikutip oleh Faustino Cardoso (2003:214), yakni :

a. Career planning

b. Career management

2.4 Model Penelitian dan Pengembangan Hipotesis

2.4.1 Pengaruh Disiplin Kerja terhadap Kinerja Perusahaan

Disiplin kerja pegawai sangat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan, hal tersebut

terlihat dari pendapat-pendapat dari pakar berikut ini : Malayu S.P Hasibuan (2001:190)

dengan jelas mengatakan bahwa :

―Semakin baik disiplin karyawan, semakin tinggi prestasi kerja yang dapat

dicapainya. Tanpa disiplin karyawan yang baik, sulit bagi organisasi perusahaan untuk

mencapai hasil yang optimal.‖

Menurut Prijodarminto (1994:23) ―Disiplin merupakan suatu kondisi yang terbentuk

melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan,

kesetiaan, keteraturan dan atau ketertiban.‖ Dengan indikator penelitian sebagai berikut :

1. Pegawai datang tepat waktu.

2. Pegawai pulang tepat waktu.

3. Mengerjakan semua pekerjaan dengan baik .

Return on Assets (ROA) = Laba sebelum pajak

Rata-rata total aset

Page 45: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

40

4. Mematuhi tenggat waktu yang diberikan oleh pimpinan.

5. Mematuhi semua peraturan perusahaan.

6. Mematuhi norma-norma sosial yang berlaku.

Dari kutipan diatas dengan demikian dapat diduga terdapat pengaruh disiplin kerja

terhadap kinerja perusahaan. Semakin disiplin karyawan maka ia akan bekerja dengan

optimal, sehingga beban operasional menurun dan laba persahaan akan meningkat.

2.4.2 Pengaruh Pengembangan Karir terhadap Kinerja Perusahaan

Pengembangan karir merupakan kebutuhan individu setiap karyawan. Hal tersebut

tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang yang bekerja dalam suatu perusahaan tidak sekedar

memperoleh pekerjaan dan mendapatkan gaji, akan tetapi ia ingin maju, sejahtera, dihargai,

dan mencapai posisi tertinggi dalam perusahaan. Oleh karena itu karir sebagai kebutuhan

akan memotivasi individu untuk meraihnya, sehingga karyawan akan meningkatkan

kinerjanya. Apabila kinerja karyawan baik maka kinerja perusahaan pun akan meningkat.

Pengembangan karir bermula dari perencanaan karir, baik karir pegawai maupun karir

organisasional. Kedua hal tersebut berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.

Menurut Andrew J. Dubrin (1982:198) sebagaimana yang dikutip oleh Anwar Prabu

(2007:77) tujuan pengembangan karir adalah : ―To aid in achieving individual and

organizational goals.‖ Jadi menurut Andrew J. Dubrin, tujuan dari pengembangan karir

adalah membantu pencapaian tujuan perusahaan dan individu. Seorang pegawai yang sukses

dengan prestasi kerja sangat baik kemudian menduduki posisi jabatan yang lebih tinggi, hal

ini berarti tujuan perusahaan dan tujuan individu tercapai.

Dari kutipan-kutipan para ahli diatas dengan demikian dapat diduga terdapat pengaruh

pengembangan karir dengan kinerja perusahaan. Semakin tinggi tingkat perusahaan

memperhatikan karir pegawainya melalui pengembangan karir, maka tujuan perusahaan

dapat tercapai sehingga kinerja perusahaan menjadi baik.

2.4.3 Pengaruh Disiplin Kerja dan Pengembangan Karir terhadap Kinerja

Perusahaan

Keputusan yang berupa kebijaksanaan dan rencana-rencana kerja dimaksudkan untuk

lebih meningkatkan disiplin kerja personel, disamping gairah kerja yang meningkat setiap

waktu sehingga kinerja perusahaan akan semakin meningkat pula. Kinerja perusahaan sangat

dominan di pengaruhi oleh kemampuan dan motivasi setiap karyawannya, sedangkan

kemampuan dan motivasi tersebut dipengaruhi oleh lingkungan antara lain: bentuk pekerjaan,

pengembangan karir, kepuasan kerja, kondisi tempat bekerja dan kinerja karyawan tersebut.

Dengan demikian dapat diduga terdapat pengaruh disiplin kerja dan pengembangan karir

secara bersama-sama terhadap kinerja perusahaan.

Keterhubungan antara variabel Disiplin Kerja, Pengembangan Karir dan Kinerja

Perusahaan diatas dapat divisualisasikan dalam model penelitian sebagai berikut :

Disiplin kerja

(X1)

1. Ketaatan 2. Keteraturan dan

ketertiban 3. Kepatuhan

Pengembangan karir

(X2)

1. Perencanaan karir 2. Manajemen Karir

Bernandin & Russel

Kinerja Perusahaan

(Y)

Return on Assets

Page 46: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

41

2.5 Hipotesis

Berdasarkan model penelitian tersebut maka dinyatakan hipotesis sebagai berikut:

1) Disiplin kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan.

2) Pengembangan karir berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan.

3) Disiplin kerja dan pengembangan karir berpengaruh positif-signifikan pada perusahaan.

III. METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei. Menurut Moh Nazir (1988:65) bahwa

metode survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala

yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang instansi sosial,

ekonomi atau politik dari suatu kelompok atau suatu daerah. Metode survei membedah dan

mengenal masalah-masalah serta mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan praktek-

praktek yang sedang berlangsung. Dalam metode survei juga dikerjakan evaluasi serta

pembandingan terhadap hal-hal telah dikerjakan orang dalam menangani situasi atau masalah

yang serupa dan hasilnya dapat digunakan dalam pembuatan rencana dan pengambilan

keputusan di masa yang akan datang.

Penelitian ini dilakukan di Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang dengan responden

sebanyak 50 orang karyawan koperasi tersebut.

3.2 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Observasi, yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan langsung pada

obyek yang diteliti.

2. Kuesioner, yaitu pengumpulan data dengan menggunakan seperangkat daftar pertanyaan

yang telah disusun yang kemudian disebarkan kepada responden untuk memperoleh data

yang dibutuhkan. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner tertutup yang dibuat

dengan skala Likert sebagai berikut:

Sangat Setuju (SS) dengan bobot nilai 1

Setuju (S) dengan bobot nilai 2

Ragu-Ragu (R) dengan bobot nilai 3

Tidak Setuju (TS) dengan bobot nilai 4

Sangat Tidak Setuju (STS) dengan bobot nilai 5

3. Studi literatur, yaitu usaha untuk mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan

teori-teori atau konsep-konsep yang berkaitan dengan permasalahan yang telah

dirumuskan. Informasi tersebut diperoleh melalui dokumen laporan pengurus, buku-

buku, majalah, makalah, jurnal, surat kabar, brosur, yang dapat melengkapi informasi

berkaitan dengan variabel yang diteliti.

3.3 Operasionalisasi Variabel

Variabel Dimensi Indikator Skala No Item

Disiplin Kerja (X1)

Ketaatan - Pegawai datang tepat waktu Ordinal 3,4

- Pegawai pulang tepat waktu Ordinal 10,6

Keteraturan dan ketertiban

- Mengerjakan semua pekerjaan dengan baik Ordinal 5,7

Sumber : - Mematuhi tengat waktu yang diberikan oleh pemimpin

Ordinal 1,2

Page 47: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

42

Prijodarminto, 1994:23

Kepatuhan - Mematuhi semua peraturan perusahaan Ordinal 8

- Mematuhi norma-norma sosial yang berlaku Ordinal 9

Pengembangan Karir (X2)

Perencanaan Karir

- Pilihan jabatan Ordinal 21,22

- Pilihan organisasional Ordinal 25,26

- Pilihan penugasan pekerjaan Ordinal 23,24

- Pengembangan karir pribadi Ordinal 15,16

Manajemen Karir

- Rekruitmen dan seleksi Ordinal 17,18

Sumber : - Penempatan sumber daya manusia Ordinal 19,2

Benandin & Russel (1993:341)

- Penilaian dan evaluasi Ordinal 11,12

- Pelatihan dan pengembangan Ordinal 13,14

Kinerja Perusahaan (Y)

Profitabilitas Return on Assets Rasio

Sumber :

Gasperz (2002: 41-43)

VI. HASIL ANALISIS DATA

4.1 Tinjauan Umum Objek Penelitian & Data Responden

Penelitian ini dilakukan di Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang yang terletak di

dalam lingkungan kompleks Perumahan PT. Pupuk Kujang. Dengan alamat Jalan Ahmad

Yani no. 39 Cikampek, Jawa Barat.

Total karyawan yang bekerja pada satuan unit usaha Koperasi Usaha Warga Pupuk

Kujang tercatat 73 karyawan yang terdiri dari 50 orang karyawan tetap dan 23 orang

karyawan kontrak. Responden yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 50 karyawan

tetap saja dengan asumsi subjektivitas karyawan tetap lebih jelas mengenai jenjang karir dan

tanggung jawab kerja terhadap kinerjanya masing-masing. Komposisi responden

berdasarkan masa kerja

Masa Kerja Jumlah Prosentase

1 – 5 Th 22 Orang 44 %

5 – 10 Th 21 Orang 42 %

> 10 Th 7 Orang 14 %

Total 50 Orang 100 %

Sumber : Data Primer

Komposisi responden berdasarkan masa kerja dapat secara dominan memiliki masa kerja

diantara 1 dan 10 tahun. Hal ini dianggap cukup baik karena dengan masa kerja selama itu

mereka dianggap cukup mengenal kondisi lingkungan kerja mereka.

4.2 Uji Validitas

Tujuan dilakukan uji validitas adalah untuk mengukur apakah data yang diberikan

pada kuesioner dapat dipercaya atau tidak serta dapat mewakili apa yang hendak diteliti.

Page 48: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

43

Dalam penelitian ini uji validitas dipergunakan rumus korelasi Product Moment (Sudjana,

1996). Dengan kaidah pengambilan keputusan yang digunakan adalah:

a. Jika nilai hitung r lebih besar (>) dari nilai tabel r maka item angket dinyatakan valid.

b. Jika nilai hitung r lebih kecil (<) dari nilai tabel r maka item angket dinyatakan tidak valid.

c. Nilai tabel r dapat dilihat pada a = 5% dan db = n-2

Sumber : Hasil olah SPSS Versi 15.0

Berdasarkan uji validitas nilai-nilai korelasi Pearson Product Moment yang

diperoleh oleh masing-masing variabel lebih besar dari angka r Product Moment tabel yang

bernilai r = 0,284 (dapat dilihat pada Tabel nilai r Product Moment dengan taraf signifikansi

= 5% dan db = n-2) maka dapat disimpulkan bahwa seluruh instrument variabel dinyatakan

valid untuk dijadikan data penelitian.

4.3 Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas adalah tingkat kestabilan suatu alat pengukur dalam mengukur suatu

gejala atau kejadian. Semakin tinggi reliabilitas suatu alat pengukur, semakin stabil pula alat

pengukur tersebut untuk mengukur suatu gejala dan sebaliknya jika reliabilitas tersebut

rendah maka alat tersebut tidak stabil dalam mengukur suatu gejala. Dengan penggunaan

tingkat alpha dengan rumus (Sudjana, 1996). Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengukur

sampai sejauh mana derajat ketepatan, ketelitian atau keakuratan yang ditunjukkan oleh

instrumen pengukuran. Uji reliabilitas dilakukan dengan metode internal consistency.

Internal consistency diukur dengan menggunakan koefisien Cronbach Alpha. Apabila Alpha

nilainya lebih besar dari 0.60 maka data penelitian dianggap cukup baik dan reliabel untuk

digunakan sebagai input dalam proses analisis data guna menguji hipotesis penelitian.

Sumber : Hasil olah SPSS Versi 15.0

Berdasarkan hasil uji reliabilitas variabel-variabel tersebut terlihat nilai-nilai alpha

lebih besar dari 0.60. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing variabel dianggap cukup

baik dan reliabel untuk digunakan sebagai input dalam proses analisis data guna menguji

hipotesis penelitian

Variabel Jumlah item Homogenitas item

Disiplin kerja

Ketaatan 4 .551 - .947

Keteraturan & ketertiban 4 .472 - .783

Kepatuhan 2 .503 - .593

Pengembangan karir

Perencanaan karir 8 .544 - .851

Manajemen karir 8 .392 - .883

Variabel Jumlah item Homogenitas item

Disiplin kerja

Ketaatan 4 .873 - 1.000

Keteraturan & ketertiban 4 .693 - .908

Kepatuhan 2 .620 - .712

Pengembangan karir

Perencanaan karir 8 .731 - .838

Manajemen karir 8 .602 - .941

Page 49: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

44

4.4 Pengujian Hipotesis

4.4.1 Pengujian Hipotesis 1

Untuk mengetahui besarnya pengaruh antara variabel Disiplin Kerja terhadap Kinerja

Perusahaan, dapat dilihat dari besarnya koefisien determinasi (KP). Besarnya nilai koefisien

determinasi dalam tampilan output SPSS dapat dilihat dari besarnya nilai R Square.

Persamaan Regresi Disiplin Kerja (X1) terhadap Kinerja Perusahaan (Y)

Sumber : Hasil olah SPSS Versi 15.0

Dari tabel perhitungan persamaan regresi menggunakan SPSS diatas di atas dapat diketahui

bahwa nilai a = 10,237 dan b = 0,959 . Persamaan regresi antara variabel Disiplin Kerja

terhadap variabel Kinerja Perusahaan adalah :

Y = a + bx

Y = 10,237 + 0,959 x

Artinya setiap penambahan skor jawaban variabel disiplin kerja (X1) sebesar 1 satuan, maka

variabel kinerja perusahaan (Y) akan meningkat menjadi 11,196. Koefisien Determinasi

Disiplin Kerja (X1) terhadap Kinerja Perusahaan (Y)

Sumber : Hasil olah SPSS Versi 15.0

Besarnya nilai koefisien determinasi dalam tampilan output SPSS dapat dilihat dari besarnya

nilai R Square. Besarnya nilai R Square sebesar 0,291 atau dapat dikatakan bahwa besarnya

koefisien determinasi (KP) sebesar 29,1%, artinya bahwa pengaruh variable Disiplin Kerja

(X1) terhadap Kinerja Perusahaan (Y) adalah sebesar 29,1%.

4.4.2 Pengujian Hipotesis 2

Untuk mengetahui besarnya pengaruh antara pengembangan karir (X2) terhadap

kinerja perusaan, dapat dilihat dari besarnya koefisien determinasi (KP). Besarnya nilai

koefisien determinasi dalam tampilan output SPSS dapat dilihat dari besarnya nilai R Square.

Coefficientsa

10.237 10.009 1.023 .312

.959 .216 .540 4.440 .000

(Constant)

Disiplin

Model

1

B Std. Error

UnstandardizedCoeff icients

Beta

StandardizedCoeff icients

t Sig.

Dependent Variable: Kinerjaa.

Model Summaryb

.540a .291 .276 7.844

Model

1

R R SquareAdjustedR Square

Std. Error ofthe Estimate

Predictors: (Constant), Disiplina.

Dependent Variable: Kinerjab.

Page 50: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

45

Persamaan Regresi Hasil SPSS 15.0 Pengembangan karir (X2) terhadap Kinerja Perusahaan (Y)

Dari tabel perhitungan persamaan regresi menggunakan SPSS diatas di atas dapat diketahui

bahwa nilai a = 25,902 dan b = 0,501 . Persamaan regresi antara variabel Pengembangan

karir Terhadap variabel Kinerja Perusahaan adalah :

Y = a + bx

Y = 25,902 + 0,501 x

Artinya setiap penambahan skor jawaban variabel Pengembangan karir (X2) sebesar 1 satuan,

maka variabel kinerja Perusahaan (Y) akan meningkat menjadi 26,403

Persamaan Regresi

Pengembangan karir (X2) terhadap Kinerja Persahaan (Y)

Besarnya nilai koefisien determinasi dalam tampilan output SPSS dapat dilihat dari besarnya

nilai R Square. Besarnya nilai R Square sebesar 0,341 atau dapat dikatakan bahwa besarnya

koefisien determinasi (KP) sebesar 34,1%, artinya bahwa pengaruh variabel Pengembangan

Karir (X2) terhadap variabel kinerja perusahaan (Y) adalah sebesar 34,1%.

4.4.3 Pengujian Hipotesis 3

Untuk mengetahui besarnya pengaruh antara variabel Disiplin kerja dan

Pengembangan karir terhadap variabel kinerja perusahaan, dapat dilihat dari besarnya

koefisien determinasi (KP). Besarnya nilai koefisien determinasi dalam tampilan output SPSS

dapat dilihat dari besarnya nilai R Square. Persamaan Regresi Disiplin Kerja (X1)

dan Pengembangan Karir (X2) terhadap Kinerja Perusahaan (Y).

Coefficientsa

25.902 5.814 4.455 .000

.501 .100 .584 4.987 .000

(Constant)

Pengembangan.Karir

Model

1

B Std. Error

UnstandardizedCoeff icients

Beta

StandardizedCoeff icients

t Sig.

Dependent Variable: Kinerjaa.

Model Summaryb

.584a .341 .328 7.561

Model

1

R R SquareAdjustedR Square

Std. Error ofthe Estimate

Predictors: (Constant), Pengembangan.Karira.

Dependent Variable: Kinerjab.

Coefficientsa

8.767 9.249 .948 .348

.555 .239 .312 2.320 .025

.353 .115 .412 3.061 .004

(Constant)

Disiplin

Pengembangan.Karir

Model

1

B Std. Error

UnstandardizedCoef f icients

Beta

StandardizedCoef f icients

t Sig.

Dependent Variable: Kinerjaa.

Page 51: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

46

Dari tabel perhitungan persamaan regresi menggunakan SPSS 15.0 diatas, diketahui bahwa

nilai a = 8,767 dan b1 = 0,555 dan b2= 0,353. Persamaan regresi antara Disiplin Kerja dan

Pengembangan Karir Terhadap Kinerja Perusahaan adalah :

Y = a + b1x1 + b2x2

Y = 8,767 + 0,555 X1 + 0,353X2

Artinya setiap penambahan skor jawaban variabel disiplin kerja (X1) sebesar 1 satuan dan

variabel pengembangan karir (X2) 1 satuan, maka variabel kinerja perusahaan (Y) akan

meningkat menjadi 9,675.

Koefisien Determinasi Disiplin Kerja (X1) dan Pengembangan Karir (X2) terhadap Kinerja Perusahaan (Y)

Besarnya nilai koefisien determinasi dalam tampilan output SPSS dapat dilihat dari besarnya

nilai R Square. Besarnya nilai R Square sebesar 0,121 atau dapat dikatakan bahwa besarnya

koefisien determinasi (KP) sebesar 40,9%, artinya bahwa pengaruh variabel Disiplin Kerja

dan variabel Pengembangan Karir terhadap Kinerja Perusahaan adalah sebesar 40,9% dan

sisanya sebesar 50,1 % dipengaruhi oleh variable lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan dari penelitian sebagai berikut:

1. Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara Disiplin Kerja dengan Kinerja

Perusahaan dengan Koefisien diterminasi 0,291 atau sebesar 29,1 %. Hal ini berarti

Kinerja Perusahaan dipengaruhi oleh Pengembangan Karir sebesar 29,1 % .

Persamaan regresi antara variable Disiplin kerja (X1) dan Kinerja Perusahaan (Y)

adalah Y = 10,237+ 0,959 X.

Artinya setiap penambahan skor jawaban variabel disiplin kerja (X1) sebesar 1 satuan,

maka variabel kinerja (Y) akan meningkat menjadi 11,196.

2. Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara Pengembangan Karir dengan

Kinerja Perusahaan dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,584 atau 58,4 %. Koefisien

diterminasi 0,341 atau sebesar 34,1 %. Hal ini berarti pengaruh variabel

Pengembangan karir terhadap kinerja perusahaan sebesar 34,1 % Persamaan regresi

antara variable Pengembangan Karir (X2) dan Kinerja Perusahaan (Y) adalah Y =

25,902+0,501 X.

Artinya setiap penambahan skor jawaban variabel Pengembangan Karir (X2) sebesar

1 satuan, maka variabel kinerja perusahaan (Y) akan meningkat menjadi 26,403

3. Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara disiplin kerja dan

Pengembangan Karir dengan Kinerja Perusahaan dengan Koefisien Diterminasi 0,409

atau sebesar 40,9 %. Hal ini berarti pengaruh variabel disiplin kerja (X1)

Pengembangan karir (X2) terhadap kinerja perusahaan (Y) sebesar 40,9 % Persamaan

regresi antara variable Pengembangan Karir (X2) dan Kinerja Perusahaan (Y) adalah

Y = 8,767+0,555X1+0,353X2.

Model Summaryb

.639a .409 .384 7.238

Model

1

R R SquareAdjustedR Square

Std. Error ofthe Estimate

Predictors: (Constant), Pengembangan.Karir, Disiplina.

Dependent Variable: Kinerjab.

Page 52: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

47

Artinya setiap penambahan skor jawaban variabel disiplin kerja (X1) sebesar 1 satuan

dan variabel Pengembangan Karir (X2) sebesar 1 satuan, maka variabel kinerja

perusahaan (Y) akan meningkat menjadi 9,675.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar Prabu Mangkunegara.2007. Evaluasi Kinerja SDM, Bandung : Refika Aditama

Anwar Prabu Mangkunegara.2000. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia,

Bandung : Refika Aditama.

Faustino Cardoso Gomes. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : Andi

Offset.

Gasperz, V. 2002. Total Quality Management. Edisi Manajemen Bisnis Total. Jakarta:

Gramedia.

H. Malayu S.P Hasibuan. 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia ―Dasar dan Kunci

Keberhasilan. Jakarta : PT. Toko Gunung Agung.

Henry Simamora. 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : Bagian Penerbitan

STIE YKPN.

Moh. Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia,.

Prijodarminto, Soegeng. 1994. Disiplin Kiat Menuju Sukses. Jakarta : Pradnya Paraminta.

Stoner, James A.F. and R. Edward Freeman. 1992. Management. Fifth Edition. International

Edition. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Sudjana. 1996. Metode Statistika. Edisi ke.6. Bandung : Tarsito.

Page 53: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

48

MONITORING DAN EVALUASI OTONOMI RUMAH SAKIT SERTA

DAMPAKNYA TERHADAP PRIORITAS PELAYANAN RUMAH SAKIT

- STUDI KASUS PADA RSUD R SYAMSUDIN, S.H -

Herny Nurhayati

Reinhard Chrismantsa

Mawar Yulita Novianty

Magister Ilmu Ekonomi

Universitas Padjadjaran

Abstract

Autonomy is intended to accelerate the process of realization of public welfare through

improved service, empowerment and community participation. This local government

autonomy is expected to increase competitiveness, through the principles of democracy,

equality, equity in development, improve the usability and the potential diversity of regional

resources. RSUD (Local Public Hospital) R SYAMSUDIN, S.H Sukabumi as government

hospital shave indirectly dealing with the impact of regional autonomy policy. In carrying out

the duties and functions in the health sector, RSUD R Syamsudin, S.H Kota Sukabumi is

expected to implement activities as planned and expected by society. This research analyzes

and evaluates the performance of public hospitals that are expected following the regional

autonomy. The data used in this study is secondary data time series covering aspects of

financial and non-financial aspects during the period 2007-2011 in hospitals. R

SYAMSUDIN, S.H Sukabumi West Java. Qualitative research. Research results generated in

granting autonomy to public hospitals are expected to improve performance so that

management can make better strategic decisions efficiently and effectively to the hospital and

remain focuse don the optimization of public service. So that the management can contribute

freely on available resources management in order to realized the priority health services

and creates the best in centives for hospitals in order to raise revenue independently. But

autonomy can move ambitiously, so the incentive occurs un controllably from hospital

management behavior. Accounting and rules are made and necessary to avoid the

occurrence of fraud in the management of existing resources for the welf are of the

Indonesian people in generalon the priority of service in public hospitals.

Keywords: Autonomous Hospital, Hospital Performance, Priority Community Services

PENDAHULUAN

Pelaksanaan otonomi daerah secara tidak langsung akan memaksa pemerintah daerah

untuk melakukan perubahan, baik perubahan struktur maupun proses birokrasi. Perubahan

struktur adalah perubahan yang bersifat kelembagaan institutional reform, yaitu dapat berupa

perampingan struktur birokrasi agar lebih efektif dan efisien. Perubahan proses meliputi

keseluruhan aspek siklus pengendalian manajemen di pemerintah daerah, yaitu perumusan

strategi, perencanaan strategik, penganggaran, pelaporan kinerja, dan penilaian kinerja.

RSUD R Syamsudin SH Kota Sukabumi sebagai rumah sakit pemerintah secara tidak

langsung telah menghadapi dampak kebijakan otonomi daerah. Dalam mengemban tugas

pokok dan fungsinya di bidang kesehatan diharapkan dapat melaksanakan kegiatannya sesuai

dengan yang direncanakan dan diharapkan masyarakat. Untuk dapat memenuhi harapan

tersebut, RSUD R Syamsudin SH dituntut untuk mampu mempertanggungjawabkan, baik

Page 54: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

49

keberhasilan maupun kegagalan dari pelaksanaan visi, misi, dan strategi organisasi dalam

mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan.

Kualitas merupakan faktor dasar yang dapat mempengaruhi pilihan konsumen untuk

berbagai jenis jasa yang berkembang saat ini dan telah menjadi salah satu faktor dalam

keberhasilan dan pertumbuhan suatu organisasi

Tahun 2008 Terjadi perubahan Pengelolaan Keuangan rumah sakit dari Swadana

menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) berdasarkan Keputusan Walikota Sukabumi

Nomor 31 tahun 2008 tentang RSUD R. Syamsudin, SH sebagai SKPD yang menerapkan

PPK-BLUD secara Penuh.

Dalam usahanya untuk terus memperbaiki dan meningkatkan kualitasnya, RSUD R.

Syamsudin, S.H telah meningkatkan kualitas pelayanan disertai pelayanan yang tersertifikasi

ISO 9001:2000/SNI 19-9001-2001 dengan sertifikat Quality System Certificate Reg. No. 201-

07/131 yang kemudian RSUD R. Syamsudin, S.H juga telah meningkatkan kualitas

pelayanan disertai pelayanan yang tersertifikasi SNI ISO 9001:2008 dengan sertifikat Quality

System Certificate Reg. No. 323-07/131

Selanjutnya RSUD R. Syamsudin, S.H pada tahun 2011 telah meningkatkan kualitas

pelayanan implementasi System Management Terpadu untuk Mutu, Keamanan Keselamatan

Kerja (K3), dan Lingkungan Hidup. Dengan mengacu kepada ISO 9001 : 2008 dengan

sertifikat Quality System Certificate Reg No. 288 – 07/131), OHSAS 18001: 2007 (K3)

dengan sertifikat Occupational Health and Safety System Certificate Reg No. 06 – 11/06, dan

ISO 14001 : 2004 dengan sertifikat Environmental Management System Certifikate Reg No.

05 – 11/05.

Berkembangnya jumlah rumah sakit di Sukabumi menjadikan masyarakat Sukabumi

memiliki banyak pilihan untuk menentukan rumah sakit. Tumbuh persaingan antar rumah

sakit yang semakin ketat dan tajam. Untuk itu rumah sakit harus mengetahui apa saja faktor-

faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan pasien. Kualitas merupakan faktor dasar yang

dapat mempengaruhi pilihan konsumen untuk berbagai jenis jasa yang berkembang saat ini

dan telah menjadi salah satu faktor dalam keberhasilan dan pertumbuhan suatu organisasi.

Selain itu RSUD R. Syamsudin SH dihadapkan pada fenomena kinerja organisasi

pelayanan kesehatan biasanya menggunakan kriteria pengukuran yang melibatkan ukuran

internal dan eksternal. Ukuran kriteria internal diukur meliputi efisiensi produk dan utilitas,

dipertimbangkan dengan konstruk kualitas proses dan pelayanan. Sedangkan ukuran eksternal

diukur melalui hal yang ada diluar organisasi, kriterianya dievaluasi dengan menggunakan

data kondisi keuangan dan market share yang dikumpulkan dari pihak ketiga. Dengan kata

lain, kriteria kualitas eksternal difokuskan pada persepsi dan kepuasan konsumen dari produk

atau jasa yang dihasilkan oleh pelayanan kesehatan. Mencari apakah ada kesenjangan antara

kualitas pelayanan yang dipersepsikan dengan kualitas pelayanan yang diharapkan pasien

rumah sakit. Dan variabel apa yang harus diprioritaskan pada masing-masing rumah sakit.

Maka untuk mengacu kinerjanya kita melihat pedoman yang dibuat dalam RSUD R

Syamsudin S.H yaitu: 1) VISI RSUD R Syamsudin S.H adalah tahun 2013 menjadi Rumah

Sakit Daerah Terunggul Dalam Bidang Pelayanan dengan unggulan Surgery, Neurology,

Afiliasi Pendidikan dan Penelitian. 2) MISIyang ditetapkan yaitu menyelenggarakan kegiatan

peningkatan mutu seluruh pelayanan secara berkesinambungan berbasis kompetensi dan

Integrasi Moral. Mengembangkan fasilitas Unggulan Pelayanan sesuai dengan perkembangan

IPTEKDOK Medikolegal berbasis penelitian dan Penelusuran Riset Pasar.

Menyelenggarakan Layanan Sosial Kesehatan yang bermutu tinggi Menyelengarakan Afiliasi

Pendidikan dan Penelitian. 3) STRATEGI Berdasarkan Dokumen Sistem Manajemen Mutu

Terpadu (SMT). RSUD R.Syamsudin, SH tahun 2011 sebagaimana diketahui bahwa salah

satu arah kebijakan umum Kota Sukabumi adalah meningkatnya mutu pelayanan kesehatan

melalui upaya promotif, preventif, kuratif secara professional maka salah satu strategi yang

Page 55: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

50

dapat menunjang adalah meningkatkan pelayanan rumah sakit yang aman, nyaman dan

sembuh. 4) ARAH KEBIJAKAN Adapun kebijakan untuk mencapai tujuan dan saran

melalui strategi meningkatkan pelayanan rumah sakit yang aman, nyaman, dan sembuh

diantaranya: Intensifikasi dan ekstensifikasi pengelolaan pendapatan rumah sakit, KSO

dengan Pihak III, Memberikan ketepatan dan kecepatan pelayanan, Memberikan jaminan

kepuasan pelanggan.

RSUD R Syamsudin SH, Sebagai rumah sakit pemerintah yang dikelola secara

sosioekonomis, maka misi sosial menjadi prioritas utama. Namun, dalam pengelolaannya

tidak meninggalkan prinsip-prinsip bisnis dalam mengembangkan produk layanan. Adanya

penerapan ISO tersebut, maka perlu ada pengkajian terhadap tingkat kepuasan masyarakat

tentang pelayanan yang diberikan selama ini. Untuk itu perlu dilakukan penilaian kinerja,

baik dari segi keuangan maupun nonkeuangan. Penilaian kinerja yang tepat adalah penilaian

kinerja yang mempertimbangkan faktor eksternal dan internal, keuangan dan nonkeuangan,

jangka panjang dan jangka pendek.

KAJIAN PUSTAKA

Otonomi berarti pindah dari unit administrasi pemerintahan, yaitu pemisahan antara

agen pendanaan (Departemen Kesehatan atau dinas kesehatan setempat) dan rumah sakit.

Dengan demikian, otonomi rumah sakit dapat didefinisikan sebagai pengurangan kontrol

pemerintah langsung atas rumah sakit umum, dan pergeseran dari keputusan sehari-hari

membuat dari hirarki kepada tim manajemen rumah sakit. Hal ini dapat diringkas sebagai

"letting managers manage" (Harding dan Preker, 2003).Seperti yang diterapkan oleh analogi

kontinum, otonomi bukanlah negara absolut, di mana rumah sakit atau tidak otonom (Collins

et al, 1999.). Dengan kata lain, rumah sakit dapat lebih otonom dalam fungsi tertentu dan

kurang otonom pada orang lain, dan satu rumah sakit dapat berbeda dari orang lain mengenai

tingkat dan intensitas otonomi di masing-masing fungsi (Chawla et al., 1996).

Sebuah tahap yang lebih maju dari otonomisasi disebut korporatisasi oleh beberapa

penulis. Ied (2001) menyebutnya sebagai "hybrid organizational form" dimana otonomi

diberikan namun kepemilikan publik dipertahankan. Harding dan Preker (2003)

mendefinisikan entitas corporatized sebagai salah satu meniru Pemantauan 4 swasta dan

Mengevaluasi otonomisasi Rumah Sakit dan Efek Terhadap perusahaan Prioritas Pelayanan

Kesehatan yang bekerja dalam kendala anggaran keras dan akuntabilitas keuangan penuh,

tetapi tetap memiliki kepemilikan publik dan memenuhi sosial dan publik kewajiban. Bentuk

ekstrem dari otonomisasi adalah bahwa privatisasi, dimana rumah sakit kerugian bersifat

publik dan benar-benar ditransfer ke pemilik swasta, baik untuk keuntungan atau tidak-untuk-

keuntungan.

Otonomisasi dapat berlangsung dengan atau tanpa desentralisasi sistem kesehatan yang

lebih luas perawatan. Bahkan ketika suatu sistem kesehatan terpusat yang didesentralisasikan

ke subunit regional atau lokal, rumah sakit dapat disimpan di bawah komando unit-unit

subnasional dan kekurangan setiap otonomi untuk membuat keputusan sendiri.

Dua dimensi otomoni rumah sakit

Terdapat dua dimensi otonomi rumah sakit Chawla dkk (1996) menyatakan bahwa

definisi otonomi rumah sakit berada pada dua dimensi, yaitu: (1) seberapa jauh sentralisasi

pengambilan keputusan; dan (2) jangkauan keputusan untuk menentukan kebijakan dan

pelaksanaan program oleh rumah sakit.

Dengan demikian, konsep otonomi rumah sakit dapat dipergunakan pada rumah sakit-

rumah sakit pemerintah ataupun swasta. Pada konteks rumah sakit swasta, otonomi rumah

sakit diartikan sebagai seberapa jauh direksi rumah sakit dapat melakukan keputusan

manajemen, misalnya menentukan anggaran. Di rumah sakit pemerintah derajat otonomi

Page 56: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

51

dapat diukur, misalnya dari indikator mengenai proses rekruitmen dokter. Jika rumah sakit

pemerintah tidak mempunyai wewenang untuk menerima dokter, rumah sakit tersebut tidak

otonom dalam manajemen SDM. Perlu dipahami bahwa semakin besar level tingkatan

otonomi sebuah rumah sakit pemerintah tidak berarti mengarah pada privatisasi, selama tidak

ada pemindahan pemilikan ke pihak masyarakat.

Dalam kriteria evaluasi terlihat bahwa hal-hal yang terkait dengan prinsip-prinsip

ekonomi seperti efisiensi, akuntabilitas, pemerataan dan mobilisasi sumber daya merupakan

hal penting dalam reformasi rumah sakit. Dengan demikian, perubahan rumah sakit dari

lembaga sosial menjadi lembaga usaha membutuhkan kemampuan dan keterampilan

menggunakan ilmu ekonomi yang tidak hanya mencari keuntungan keuangan semata, tetapi

juga penggunaan ilmu ekonomi untuk pemerataan dan etika lembaga usaha rumah sakit.

Pelayanan Publik

Menurut H.A.S Moenir (1995), pelayanan publik merupakan upaya yang dapat

memberikan manfaat bagi pihak lain dan dapat ditawarkan untuk digunakan dengan

membayar kompensasi penggunaan. Pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh

seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor materil melalui sistem, prosedur

dan metode tertentu dalam rangka memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.

Pelayanan publik dapat dilakukan oleh perorangan, badan usaha, dan negara dalam hal

ini baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun badan usaha milik pemerintah.

Pelayanan publik di Indonesia banyak dikenal dengan sifatnya yang terlalu birokratis.

Sehingga tidak jarang sering mendapatkan keluhan dari masyarakat. Hal ini bisa terjadi tak

lain karena birokrasi kurang memperhatikan kepentingan masyarakat dalam melayani.

Sejalan dengan perkembangan manajemen pemerintahan negara dalam upaya

mewujudkan pelayanan prima dan berkualitas, paradigma pelayanan publik berkembang

dengan fokus pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan yang memiliki ciri-ciri

sebagai berikut: Pertama, lebih memfokuskan diri kepada fungsi pengaturan melalui berbagai

kebijakan. Kedua, memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat. Ketiga, menerapkan

sistem kompetensi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu. Keempat, fokus pada

pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcomes). Kelima,

mengutamakan keinginan masyarakat. Keenam, pada hal tertentu, pemerintah juga berperan

untuk memperoleh masukan dari pelayanan yang dilaksanakan. Ketujuh, mengutamakan

antisipasi terhadap permasalahan pelayanan. Kedelapan, lebih mengutamakan desentralisasi

dalam pelaksanaan pelayanan. Sembilan, menerapkan sistem pasar dalam memberikan

pelayanan. (Lembaga Administrasi Negara).

Di Indonesia upaya menerapkan pelayanan berkualitas dilakukan melalui konsep

pelayanan prima. Konsep ini dijabarkan dalam berbagai sistem seperti pelayanan satu atap

atau pelayanan satu pintu. Perubahan kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah juga tidak lepas dari upaya untuk

meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan. Perubahan tersebut juga didasari pergeseran

paradigma dari sentralistis ke desentralisasi dalam upaya meningkatkan efisiensi, mutu dan

efektivitas pelayanan.

Standar Pelayanan Publik

Adanya otonomi daerah belum tentu menjamin pelayanan akan menjadi lebih baik.

Namun, pemerintah harus lebih tegas dalam membuat kebijakan berkaitan dengan pelayanan

kepada masyarakat. Salah satunya adalah dengan membuat standar pelayanan publik. Setiap

penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan

sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan

Page 57: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

52

ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh

pemberi dan atau penerima pelayanan. Menurut Keputusan MENPAN No. 63/2004.

Prioritas Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit.

Rumah sakit adalah rumah tempat merawat orang sakit, atau tempat menyediakan dan

memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi berbagai masalah kesehatan (Depdikbud,

1991).Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI, No. 159 b / Men. Kes / PER /II/1988

menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan Rumah Sakit adalah sarana upaya kesehatan

menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan

tenaga kesehatan dan penelitian.

Menurut Permenkes RI, No. 159b, 1988, yang dimaksud dengan klasifikasi rumah sakit

adalah pengelompokan rumah sakit berdasarkan pembedaan bertingkat menurut kemampuan

pelayanan kesehatan yang dapat disediakan.

Keberhasilan rumah sakit untuk memecahkan sebagian besar masalah kesehatan

masyarakat harus diakui. Berbagai keberhasilan yang dicapai telah pula menyebabkan

tingginya tingkat ketergantungan sebagian masyarakat terhadap rumah sakit untuk mengatasi

berbagai keluhan kesehatannya (Foster and Anderson, 1986; Jhonson and Sargent, 1990).

Berdasarkan pendapat Mills et al (1991), dapat disimpulkan bahwa tuntutan masyarakat

terhadap kualitas pelayanan kesehatan rumah sakit telah menjadi masalah mendasar yang

dihadapi sebagian besar rumah sakit di berbagai negara.

Tuntutan ini menjadi dasar pengembangan organisasi kesehatan dan sistem pelayanan

kesehatan diberbagai negara melalui pelaksanaan desentralisasi. Kompleksitas masalah

kualitas pelayanan rumah sakit tidak saja terkait dengan keterbatasan sumber daya dan

lingkungan, tetapi juga bersumber dari perbedaan persepsi diantara pemakai jasa pelayanan,

petugas kesehatan, dan pemerintah atau penyandang dana terhadap ukuran kualitas pelayanan

kesehatan di rumah sakit.

Fenomena Kepuasan Pasien

Berdasarkan pendapat Wexley dan Yukl (1977) yang mengutip definisi kepuasan dari

porter, dapat disimpulkan bahwa kepuasan adalah selisih dari banyaknya sesuatu

yang‖seharusnya ada‖ dengan banyaknya ―apa yang ada‖. Semakin besar kekurangan dan

semakin banyak hal penting yang diinginkan, semakin besar rasa ketidakpuasan.

Asumsi teoritis di atas selaras pendapat Gibson (1987), yang dapat disimpulkan

bahwa kepuasan seseorang (pekerja, pasien atau pelanggan) berarti terpenuhinya kebutuhan

yang diinginkan yang diperoleh dari pengalaman melakukan sesuatu, pekerjaan, atau

memperoleh perlakuan tertentu dan memperoleh sesuatu sesuai kebutuhan yang diinginkan.

Penilaian terhadap kondisi rumah sakit (mutu baik atau buruk) merupakan gambaran kualitas

rumah sakit seutuhnya berdasarkan pengalaman subjektif individu pasien.

Penilaian pasien terhadap mutu rumah sakit bersumber dari pengalaman pasien.

Aspek pengalaman pasien rumah sakit, dapat diartikan sebagai suatu perlakuan atau tindakan

pihak rumah sakit yang sedang atau pernah dijalani, dirasakan, dan ditanggung oleh

seseorang yang membutuhkan pelayanan kesehatan rumah sakit.

Berpedoman pada konsep akreditasi rumah sakit, dapat disimpulkan bahwan mutu

pelayanan rumah sakit (meliputi aspek administrasi, pelayanan medis, pelayanan gawat

darurat, pelayanan keperawatan, rekam medis, kamar operasi, pelayanan perinatal resiko

tinggi, pelayanan radiologi, pelayanan laboratorium, pengendalian infeksi di rumah sakit,

pelayanan sterilisasi, keselamatan kerja, kebakaran dan kewaspadaan bencana) merupakan

indikator kepuasan pasien (redaksi jendela rumah sakit, 1996).

Dengan demikian, pada suatu saat tertentu seseorang dapat merasa puas pada suatu

aspek dari suatu keadaan. Berdasarkan studi literatur yang dilakukan Taylor (1994), dapat

Page 58: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

53

disimpulkan bahwa aspek mutu pelayanan rumah sakit sebagai indikator kepuasan pasien

cenderung merupakan suatu penomena yang diterima secara luas dikalangan para ahli.

Beberapa karakteristik individu yang diduga menjadi determinan utama atau penentu

prioritas indikator kualitas pelayanan kesehatan, dan penentu prioritas tingkat kepuasan

pasien, adalah (1) Kinerja tenaga dokter, (2) Kinerja tenaga perawat, (3) Makanan dan menu,

(4) Pembiayaan, Rekam medis. Indikator pelayanan kesehatan yang dipilih pasien sebagai

prioritas ukuran kualitas pelayanan kesehatan, cenderung akan menjadi sumber utama

terbentuknya tingkat kepuasan pasien.

Kepuasan pasien adalah hasil penilaian pasien berdasarkan perasaanya, terhadap

penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang telah menjadi bagian dari

pengalaman atau yang dirasakan pasien rumah sakit atau dapat dinyatakan sebagai cara

pasien rumah sakit mengevaluasi sampai seberapa besar tingkat kualitas pelayanan di rumah

sakit, sehingga dapat menimbulkan tingkat rasa kepuasan.

Peningkatan Efesiensi dan Kualitas Pelayanan

Diharapkan rumah sakit umum akan meningkatkan kinerja ketika diberikan otonomi.

Harapan ini bersandar pada dua asumsi utama. Asumsi pertama adalah bahwa non-otonom

rumah sakit dibatasi oleh kekakuan organisasi pemerintahan hirarkis, dan kekakuan tersebut

tidak memungkinkan administrator rumah sakit untuk membuat keputusan yang akan

meningkatkan kinerja. Asumsi kedua adalah bahwa, setelah diberikan otonomi, rumah sakit

umum akan terkena persaingan dengan rumah sakit saingan, yang akan menekan mereka

untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi untuk bertahan hidup.

PENELITIAN TERDAHULU

Govindaraj and Chawla (1996)

Govindaraj dan Chawla dilakukan lima studi kasus negara (Ghana, Kenya, Zimbabwe,

India, dan Indonesia), di setiap negara, satu atau beberapa rumah sakit dianalisis dengan

menggunakan M & E toolkit oleh Chawla et al. (1996). Mereka menyimpulkan bahwa

meskipun sulit untuk memisahkan efek dari desain yang buruk dari orang-orang miskin

implementasi, efek keseluruhan dari otonomisasi terhadap kinerja rumah sakit tampaknya

menjadi terbatas. Namun, hal ini dapat dikaitkan dengan waktu singkat yang berlalu sejak

pemberian otonomi.

Mereka juga menunjukkan bahwa mobilisasi sumber daya adalah alasan utama untuk

pemberian status otonomi dalam banyak kasus. Ini tersirat pergeseran dari line-item, untuk

memblokir anggaran hibah, dalam banyak kasus, dana tambahan dari fee user atau biaya-

recovery pendapatan sangat terbatas, meskipun Indonesia adalah pengecualian yang luar

biasa untuk temuan ini. Dalam semua kasus, sumber daya manusia yang dipertahankan di

bawah berbagai tingkat kontrol pusat. Meskipun studi menunjukkan tidak ada efek yang

terlihat pada efisiensi, kualitas, dan indikator akuntabilitas, mereka menemukan indikator

ekuitas negatif terpengaruh atau tidak terpengaruh. Data keterbatasan dari penelitian ini

adalah relevan untuk studi lebih lanjut.

Preker and Harding (2003)

Delapan studi kasus negara (Inggris, Selandia Baru, Victoria (Australia), Hong Kong,

Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Tunisia) yang dilakukan oleh penulis yang berbeda

setelah pengukuran dan evaluasi yang diusulkan oleh toolkit Preker dan Harding (2003).

Meskipun toolkit mencakup indikator dari respon rumah sakit dan dampak dari reformasi,

studi kasus yang difokuskan pada implementasi.

Page 59: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

54

Implementasi dinilai dari segi tingkat pencapaian di masing-masing dari lima elemen

utama dari struktur rumah sakit, yaitu, status penuntut sisa, hak keputusan, eksposur pasar,

akuntabilitas, dan mandat didanai (ini akan dijelaskan di bagian berikutnya). Para penulis

dihitung sebagai keberhasilan pelaksanaan suatu proses yang membutuhkan rumah sakit

menuju otonomi penuh yaitu sebuah rumah sakit diprivatisasi.

Mengingat bahwa dampak sulit untuk menganalisa karena ketersediaan data dan efek

kovariat yang sulit untuk mengisolasi dalam sejumlah kecil unit analisis, studi kasus tidak

kuat konklusif tentang efek otonomisasi.

Hawkins dan Ham (2003) merangkum delapan studi. Mereka menemukan bahwa

Singapura, Hong Kong, Tunisia, Malaysia, dan negara bagian Victoria adalah kasus yang

paling sukses. Kasus-kasus ini menunjukkan perbaikan dalam output dan kualitas, tetapi juga

meningkatkan biaya dan gaji, dan efek pengganggu dari reformasi dalam sistem pembayaran.

Pengalaman Inggris dianggap sebagai sebagian berhasil dalam hal efisiensi, tetapi ada juga

efek pembaur reformasi lainnya. Kasus yang kurang berhasil adalah mereka dari Selandia

Baru dan Indonesia, di mana pelaksanaan beberapa elemen reformasi tidak selesai, atau

bahkan terbalik. Dalam analisis lebih lanjut dari studi kasus dan kasus tambahan lainnya,

Jakab et al. (2002a) menekankan pentingnya konsistensi dalam pelaksanaan seluruh lima

elemen struktur organisasi. Setiap kali sebuah rumah sakit membuat kemajuan penting dalam

beberapa elemen, tetapi sedikit kemajuan pada orang lain (misalnya, pengambilan keputusan

tentang sumber daya manusia disimpan di tingkat pusat), tidak hanya itu reformasi kurang

berhasil tetapi juga organisasi yang beresiko menjadi disfungsional.

McPake et al. (2003)

McPakeetal. (2003) memberikan bukti sugestif dari dampak positif dari otonomisasi

pada kualitasdan efisiensi di lima rumah sakit di Bogotá, Kolombia. Sebuah reformasi

kesehatan luas perawatan disahkan di negara ini pada tahun 1993, yang termasuk pemberian

status otonomi ke rumah sakit umum. Meskipun dampak positif sulit untuk atribut untuk

otonomisasi itu sendiri, dapat dikatakan penelitian ini bahwa pembayaran reformasi,

penggerak utama perubahan dalam output, lebih mungkin untuk memberi efek mereka dalam

konteks rumah sakit otonom.

Para penulis juga menyoroti bahwa keterbatasan seperti ketersediaan dan kualitas data

yang disimpan mereka dari melakukan analisis statistik yang lebih rumit dan mencapai

kesimpulan yang kuat. Mengingat rentang waktu yang lama mereka bertujuan untuk

menganalisis (1990-1998), perubahan dalam prosedur akuntansi dan kebijakan selama

periode itu membuat sulit untuk membandingkan atau menginterpretasikan tren. Mereka juga

menekankan perlunya metode penelitian kualitatif untuk mencapai pemahaman yang lebih

baik tentang dinamika hubungan pembeli-penyedia.

Russel et al. (1999)

Penelitian ini merangkum temuan dari lima studi kasus negara: Ghana, Zimbabwe,

India (Tamil Nadu), SriLanka, dan Thailand. Meskipun studi ini berfokus pada pelaksanaan

reformasi New Public Management (NPM) di sektor kesehatan, temuan yang relevan seperti

kebijakan rumah sakit umum yang bersangkutan. Para penulis menunjukkan bahwa, dalam

banyak kasus, reformasi NPM tidak menikmati dukungan politik yang kuat, tetapi bahkan

jika mereka lakukan, negara tidak memiliki keahlian teknis untuk melaksanakan reformasi.

Mereka juga menekankan kebutuhan untuk membangun kembali kapasitas pemerintah

peraturan dan memperkuat sistem informasi.

Batley (1999) merangkum penelitian yang dilakukan oleh Russeleta dan studi lain di

beberapa daerah manajemen publik yang merupakan bagian dari proyek besar untuk

menganalisa pelaksanaan reformasi NPM di negara berkembang. Dia menunjukkan bahwa

Page 60: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

55

pemisahan antara pembeli dan penyedia tidak berhasil, terutama karena hanya satu sisi dari

persamaan liberalisasi diimplementasikan yaitu pemberian otonomi kesisi penyedia. Sisi lain

dari persamaan, yaitu, penguatan kapasitas pengaturan di sisi pembeli, telah ditinggalkan. Hal

ini menyebabkan kurangnya kontrol atas otonom, entitas corporatized atau diprivatisasi. Ia

juga menganggap bahwa biaya transaksi dari kontrak berbasis hubungan baru lebih besar dari

pada keuntungan dari otonomisasi.

METODE PENELITIAN

Variabel yang dianalisis adalah Monitoring Dan Evaluasi Otonomi Rumah Sakit,

Prioritas Pelayanan Rumah Sakit. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan maksud

memperoleh gambaran yang mendalam tentang evaluasi dan monitoring terhadap prioritas

pelayanan kesehatan akibat adanya otonomi di RSUD R Syamsudin S.H Kota Sukabumi.

Penelitian ini dilakukan dengan dua pendekatan yaitu penelitian kepustakaan dan

penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara membaca berbagai buku

literature dan referensi lainnya, termasuk hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan

dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan bisa memperoleh landasan

teori yang dapat mendukung analisis yang dilakukan nantinya. Sedangkan Penelitian

lapangan dimaksudkan untuk menghimpun data dan informasi yang diperoleh dari RSUD R

Syamsudin S.H Kota Sukabumi.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder runtut waktu (time

series) yang meliputi aspek keuangan dan aspek non keuangan selama kurun waktu 2007-

2011. Data keuangan meliputi laporan keuangan tahunan berupa Neraca, Laporan Aktivitas

dan Laporan Arus Kas. Sedangkan data non keuangan yang meliputi informasi kinerja,

informasi jumlah kunjungan penderita di rumah sakit yang bertujuan memperoleh infornasi

kemampuan tenaga kesehatan dalam melayani penderita yang datang.

Dalam pengumpulan data penelitian, penulis menggunakan beberapa teknik

diantaranya: (1) Wawancara, penulis melakukan wawancara tidak terstruktur dengan pihak

terkait di RSUD R Syamsudin S.H Kota Sukabumi diantaranya dengan staf keuangan rumah

sakit; (2) Dokumentasi, penulis mengumpulkan dokumen pendukung yang diantaranya

laporan keuangan, laporan tahunan dan data penunjang lain; (3) Studi kepustakaan, penulis

berupaya mendapatkan teori yang berhubungan dengan penelitian ini.

PEMBAHASAN

1. Analisis Monitoring

1.1. Kinerja Pelayanan Masa Kini (menurut berbagai aspek pelayanan dan capaian

terhadap SPM).

Kinerja Pelayanan BLUD RSU R. Syamsudin,SH berorientasi pada visi yang ingin

dicapai dimana pada tahun 2010 diharapkan menjadi rumah sakit daerah terunggul dalam

bidang pelayanan dan afiliasi pendidikan dengan menyelenggarakan kegiatan mutu diseluruh

bidang pelayanan secara berkesinambungan berbasisi kompetensi, mengembangkan fasilitas

unggulan pelayanan sesuai denan perkembangan Ipteknok Medicolegal berbasis penelitian

dan menyelenggaakan layanan sosial kesehatan yang bermutu tinggi. Untuk capaian terhadap

SPM rumah sakit menyediakan berbagai Jenis Pelayanan Minimal seperti : pelayanan gawat

darurat, pelayanan rawat jalan, pelayanan rawat inap, pelayanan bedah sentral, pelayanan

persalinan, pelayanan intensif, radiologi, pelayanan laboratorium patologi klinik, pelayanan

rehabilitasi medik, pelayanan farmasi, pelayanan gizi, pelayanan cuci darah, pelayanan

keluarga miskin, pelayanan rekam medis, pengolahan limbah, pelayanan administrasi

manajemen, pelayanan ambulance / kereta jenazah, pelayanan pemulasaraan jenazah.

Page 61: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

56

1.2. Kekuatan dan Kelemahan Internal

ANALISA LINGKUNGAN INTERNAL

Kritikal Faktor Sukses

Bobot Rating Skor Bobot

Kekuatan :

a. Akreditasi penuh 12 pelayanan

b. Brand name

c. Tersedianya peralatan canggih

d. Rumah sakit rujukan

e. Tersedianya fasilitas VIP dan Super VIP

f. Difersifikasi unit revenue center

g. Total Revenue meningkat (performance

penerimaan fungsional meningkat setiap

tahun)

h. Keterlibatan komite dalam decision making

i. Variasi pelayanan Dokter Spesialis

j. Lokasi Rumah Sakit strategis

k. Implementasi PKK-BLUD

l. Sertifikasi ISO 9000 : 2001

m. Master plan RSUD dan SIMRS

Jumlah

0.03

0.10

0.03

0.01

0.01

0.04

0.02

0.01

0.04

0.06

0.10

0.12

0.03

0.60

2

4

3

2

2

2

3

4

2

3

4

2

2

0.06

0.40

0.09

0.02

0.02

0.08

0.06

0.04

0.08

0.18

0.40

0.24

0.06

1.73

Kelemahan :

a. Motivasi dan produktivitas SDM belum

optimal

b. Kepatuhan terhadap SOP belum optimal

c. Utilisasi peralatan belum oprimal

d. Rigiditas Anggaran RSUD

e. Master plan RSUD dalam Proses

Penyelesaian

f. Beberapa SMF belum optimal

g. Marketing &Public Realtion belum

profesional

h. Belum terpenuhi rasio pengembangan SDM

5 hari per orang per tahun

i. Pengembangan Karir staf belum

proporsional

j. Remunerasi belum memadai dan

berkeadilan

Jumlah

0.02

0.02

0.04

0.08

0.03

0.07

0.02

0.02

0.02

0.08

0.40

2

4

3

3

4

2

2

3

3

2

0.04

0.08

0.12

0.24

0.12

0.14

0.04

0.06

0.06

0.16

SELISIH 0.20 0.67

1.3 Peluang dan Tantangan Eksternal

ANALISA LINGKUNGAN EKTERNAL

Kritikal Faktor Sukses Bobot Rating Skor Bobot

Page 62: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

57

Peluang

a. Perbendaharaan Negara

b. Undang-undang nomor 32 tahun 2004

tentang Pemerintah Daerah

c. Undang-undang nomor 40 tahun 2004

tentang System Jaminan Sosial Nasional

d. Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun

2005 tentang Pengelolaan Keuangan

Badan Layanan Umum

e. Permendagri nomor 61 tahun 2007 tentang

Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan

Badan Layanan Umum Daerah

f. Banyaknya Manajer dan staf Perusahaan

Swasta yang membutuhkan layanan

kesehatan

g. Meningkatnya kepuasan masyarakat

terhadap layanan yang diberikan sesuai

dengan brand image RS

h. Masih mendapat subsidi dana dan

seumber-sumber lainnya (hibah-pihak

ketiga-Public service Obligation

Jumlah

0.04

0.04

0.07

0.09

0.17

0.07

0.15

0.05

0.68

4

3

2

2

3

4

2

2

0.44

0.12

0.14

0.18

0.51

0.28

0.30

0.14

Ancaman :

a. Regulasi tenaga profesi / ahli

b. Kompetisi layanan kesehatan rujukan

berkualitas pada segmen-segmen menengah

atas

c. Kompetisi tenaga profesi Pemerintah

dengan Swasta

d. Undang-undang nomor 29 tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran yang berkaitan

dengan SIP di tiga tempat

e. Konflik of interest penerapan Undang-

undang nomor 08 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen bagi sektor

kesehatan

Jumlah

0.03

0.07

0.12

0.03

0.07

0.32

4

2

1

3

2

0.04

0.14

0.12

0.09

0.14

0.47

SELISIH 0.36 1.60

2. Analisis Evaluasi

Menurut Bambang Riyanto (2009 : 329) dalam mengadakan interpretasi dan analisa

laporan suatu perusahaan, seorang penganalisa memerlukan adanya ukuran atau ―yard-stick‖

tertentu. Ukuran yang sering digunakan dalam analisa finansial adalah ―rasio‖. Pengertian

rasio itu sebenarnya hanyalah alat yang dinyatakan dalam ―arithmetical terms‖ yang dapat

digunakan untuk menjelaskan hubungan antara dua macam data finansial.

Penggunaan analisis rasio finansial sebagai alat analisis kinerja keuangan secara luas

diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, sedangkan pada lembaga

Page 63: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

58

publik khususnya pemerintah daerah masih sangat terbatas sehingga secara teoritis belum ada

kesepakatan yang bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Mardiasmo (2002 : 123).

lndikator kinerja finansial dapat dilihat dari aspek keuangan yaitu dengan menggunakan rasio

likuiditas, rasio struktur modal, rasio aktivitas dan rasio profitabilitas. Arifin dan Prasetya

(2007 : 7).

Dalam organisasi sektor publik, analisis terhadap rasio-rasio tersebut dapat disesuaikan

dengan kondisi yang ada, yaitu: (1) Rasio Likuiditas (2) Rasio Struktur Modal (3) Rasio

Aktivitas (4) Rasio Profitabilitas . Berikut adalah tabel Rasio Finansial:

Tabel 1 Rasio Finansial

No. Keterangan

1 Rasio Likuiditas

a. Rasio lancar

b. Rasio cepat (Quick ratio)

2 Rasio Struktur Modal

a. Rasio biaya modal (equity financing ratio)

b. Rasio hutang terhadap modal

3 Rasio Aktivitas

a. Perputaran total aktiva

b. Perputaran aktiva tetap

c. Perputaran aktiva lancar

4 Rasio Profitabilitas

a. Mark up ratio

b. Marjin operasi

c. Return on assets

d. Return on equity

Menurut Mardiasmo (2002:123), informasi non finansial dapat dipakai sebagai tolak

ukur penilaian kinerja. Indikator kinerja non finansial bagi rumah sakit di klasifikasikan

untuk dapat memudahkan dalam menilai kinerja berdasarkan dimensi efisiensi (BOR, TOI,

BTO) dan dimensi kualitas (GDR dan NDR). Menurut Departemen Kesehatan Rl (2005)

uraian pengklasifikasian tersebut adalah sebagai berikut: (1) BOR (Bed Occupancy Rate)

lndikator ini memberikan gambar tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah

sakit yang telah tersedia; (2) TOI (Tum Over Interval) lndikator ini memberikan gambaran

tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur; (3) BTO (Bed Tum Over) adalah frekuensi

pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan

waktu tertentu; (4) ALOS (Average Length Of Stay) Indikator ini disamping memberikan

gambaran tingkat efisiensi, juga sebagai gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada

diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut; (5) GDR

(Gross Death Rate) adalah angka kematian umum untuk setiap 1000 penderita keluar; (6)

NDR (Net Death Rate) adalah angka kematian 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap 1000

penderita keluar. lndikator ini memberikan gambaran mutu pelayanan di rumah sakit.

Perhitungan terhadap rasio tersebut dapat dipakai sebagai acuan dalam menilai kinerja

dari sisi non finansial. Tinggi rendahnya nilai yang di dapat, lalu dibandingkan hasilnya

antara beberapa tahun yang menjadi objek penelitian. Hal ini dilakukan untuk melihat tren

peningkatan atau penurunan nilai rasio yang menunjukan kinerja rumah sakit jika dilihat dari

aspek non finansial yang mengindikasikan kinerja dari tingkat pelayanan yang diberikan

pihak rumah sakit seperti yang terlihat dalam table ratio non financial berikut:

Page 64: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

59

Tabel 2 Rasio Non Finansial

No Jenis Rasio

1. BOR (Bed Occupancy Rate)

2. TOI (Turn Over Interval)

3. BTO (Bed Turn Over)

4. ALOS ( Average Length Of Stay)

5. GDR (Gross Death Rate)

6. NDR (Net Death Rate)

Sumber: Standar Nasional Asuhan Kesehatan RS di Indonesia dalam Muninjaya (2004).

Pengertian Kinerja Menurut Bastian (2001:85), kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian

pelaksanaan suatu kegiatan/ program/ kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi

dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategi suatu organisasi.

Mardiasmo (2002:121) menambahkan bahwa sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah

suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu

strategi melalui alat finansial dan non finansial. Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan

sebagai alat pengendalian organisasi, karena pengukuran kinerja biasanya diikuti oleh sistem

reward dan punishment. Bagi sektor publik, pengukuran kinerja dilakukan untuk memenuhi

tiga maksud, yaitu: (1) Membantu memperbaiki kinerja pemerintah; (2) Digunakan untuk

pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan; (3) Untuk mewujudkan pertanggung

jawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.

Kinerja sektor publik bersifat multi dimensional sehingga tidak ada indikator tunggal

yang dapat menunjukan kinerja secara komprehensif. Berbeda dengan sektor swasta, output

sektor publik bersifat tidak berwujud (intangible output) sehingga aspek keuangan saja tidak

cukup untuk menilai kinerja sektor publik. Pengukuran kinerja finansial dan non finansial

secara berimbang memungkinkan untuk penelusuran perkembangan pencapaian strategi.

Berdasarkan teori-teori pendukung diatas, penulis merangkumnya kedalam gambar

kerangka berpikir seperti dibawah ini :

MONITORING

INTERNAL

EKSTERNAL

EVALUASI

RASIO FINANSIAL

RASIO NON FINANSIAL

PRIORITAS PELAYANAN

Page 65: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

60

KINERJA FINANSIAL

RSUD R. SYAMSUDIN, SH KOTA SUKABUMI

Per tahun 2007 – 2011

No. Keterangan 2007 2008 2009 2010 2011

1 RasioLikuiditas

a. Rasio lancer 4,343 4,362 2,920 2,830 2,118

b. Rasio cepat (Quick ratio) 2,552 3,651 2,761 2,697 1,962

2 Rasio Struktur Modal

a. Rasio hutang terhadap modal 0,027 0,020 0,070 0,088 0,119

b. Rasio hutang terhadap aktiva

tetap

0,029 0,022 0,081 0,105 0,137

3 RasioAktivitas

a. Perputaran total aktiva 0,458 0,519 0,525 0,685 0,749

b. Perputaran aktiva tetap 0,516 0,569 0,650 0,888 0,966

c. Perputaran aktiva lancer 4,068 5,935 2,741 2,984 3,326

4 RasioProfitabilitas

a. Mark up ratio 0,135 0,040 0,075 0,119 0,103

b. Marjin operasi 0,138 0,058 0,102 0,141 0,119

c. Return on assets 0,063 0,030 0,054 0,097 0,089

d. Return on equity 0,065 0,031 0,057 0,105 0,100

Pada perhitungan likuiditas digunakan rasio lancar dan rasio cepat yang menjelaskan

kemampuan rumah sakit dalam membayar kewajiban jangka pendeknya. Dianalisis bahwa

terjadinya kewajiban jangka pendek yang meningkat dari tahun ke tahun selama lima tahun

yang tidak diikuti oleh perkembangan aktiva lancarnya. Sebagai catatan kemampuan tahun

2007-2008 tinggi dalam melunasi kewajiban jangka pendek dikarenakan penumpukan

persediaan yang tinggi dan mengalami kestabilan di tahun mendatang.

Perhitungan rasio kewajiban jangka panjang dibandingkan dengan modal rumah sakit

dapat dijelaskan bahwa selama kurun waktu lima tahun adanya kewajiban jangka panjang

yang harus dibayar oleh pihak rumah sakit yang meningkatkan bersama jumlah ekuitas rumah

sakit. Perhitungan terhadap rasio hutang dibandingkan dengan aktiva tetap dalam kurun

waktu lima tahun juga ada kewajiban jangka panjang yang harus dilaksanakan oleh rumah

sakit. Adanya kewajiban jangka panjang yang terdapat dalam unsur aktiva tetap

mengidentifikasikan peningkatan dalam pengembangan rumah sakit dalam hal meningkatkan

jumlah aktiva tetap dengan mengandalkan dana yang berasal dari pinjaman jangka panjang.

Dalam kurun waktu lima tahun adanya kewajiban jangka panjang yang harus dibayar oleh

rumah sakit sehingga mengembangkan pelayanan dan kinerja rumah sakit dari sumber

pinjaman yang dilakukan rumah sakit. Akan tetapi diharapkan adanya kestabilan yang

dilakukan rumah sakit dalam kemampuan finansial pembayaran kewajiban yang lebih baik.

Faktor kontribusi aktiva untuk mendukung performa rumah sakit dalam meningkatkan

pendapatan serta pelayanan rumah sakit terangkum dalam rasio aktivitas. Hal ini sangat

tergambar dalam aktiva tetap yang dianalisis mengalami peningkatan yang stabil dikarenakan

faktor-faktor penyediaan alat-alat kesehatan yang baik.

Peningkatan hasil usaha yang stabil dan terus meningkat tergambar dalam ROA dan

ROE yang dimiliki oleh rumah sakit sehingga dapat dikatakan kinerja yang dimiliki dalam

menghasilkan laba per tahun dinilai baik melalui pengelolaan aktiva ataupun modal yang ada.

Marjin operasi menunjukan adanya kemampuan dalam menghasilkan pendapatan yang lebih

Page 66: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

61

mandiri dalam rangka otonomi yang dilakukan oleh rumah sakit. Sedangkan mark up ratio

mengukur kinerja dalam sebesar apa yang dapat terjadinya mark up ratio hasil usaha akibat

beban yang dihasilkan, ternyata cukup tinggi sehingga diperlukan perhatiaan yang lebih baik.

OUTPUT PELAYANAN

RSUD R. SYAMSUDIN, SH KOTA SUKABUMI

No Jenis Rasio 07 s/d 08 08 s/d 09 09 s/d 10 10 s/d 11

1. BOR (Bed Occupancy Rate) 84.34 % 74.16 % 74.06 % 74.06 %

2. TOI (Turn Over Interval) 0.83 hari 1.49 hari 1.40 hari 1.54 hari

3. BTO (Bed Turn Over) 53.78 kali 54.72 kali 68.58 kali 66.02 kali

4. ALOS ( Average Length Of Stay) 4.98 hari

4.87 hari 4.70 hari

4.80 hari

5. GDR (Gross Death Rate) 48.31% 46.63 % 43.317 % 39.981 %

6. NDR (Net Death Rate) 23.81% 23.26 % 22.874 % 22.995 %

Sumber: Data

Analisis:

1. Dalam Pencapaian Indikator Pelayanan angka Bed Occupancy Rate (BOR) mengalami

stabilitas yang terjadi tiap tahunnya namun masih dalam standar normal.

2. Sedangkan untuk Turn Over Interval (TOI) yaitu pasien lama kepada yang baru juga

meningkat sehingga kebersihan dan ke-higienis tempat tidur dapat terjamin dari tiap

tahun yang terjadi yaitu dari tahun 2007 hingga 2011.

3. Dengan meningkatnya jumlah pasien rawat inap angka Bed Turn Over (BTO) juga

meningkat tiap tahunnya dan menjadi normal di angka 60 sehingga dinilai cukup

memuaskan dimana standar rasio (40-50) saat ini karena berada pada angka 6.60

4. Untuk Average Lenght Of Stay (ALOS) menunjukan angka – angka yang stabil dalam

waktu 5 tahun dari 2007 hingga tahun 2011 sehingga menunjukan kinerja yang baik

5. Demikian pula dengan menurunnya angka Gross Death Rate (GDR) mengalami

penurunan tiap tahun hingga 33.9% menunjukan adanya upaya menurunkan rata-rata

pertumbuhan kematian sehingga berhasil berada dibawah posisi standar rasio yakni 45

per seribu.

6. Menurunnya angka Net Death Rate (NDR) artinya bahwa jumlah rata-rata pasien yang

meninggal dari jumlah pasien yang dilayani stabil berada dibawah standar rasio, hal ini

menunjukan bahwa kemapuan SDM dan sarana / prasarana sudah lebih baik dan

meningkat dari tahun sebelumnya.

3. Analisis Prioritas Pelayanan

Tahun

No. Keterangan 2007 2008 2009 2010 2011

1 Rasio Kemandirian RS 0,596347 1 0,999301 0,997983 0,915112

Meskipun dalam gambaran di atas rumah sakit mampu meningkatkan kinerjanya

dalam kemandirian secara baik dan stabil, akan tetapi dalam prioritas pelayanan pasien masih

kurang. Data yang didapat dilapangan baik keuangan (askes, askeskin, dsb) ataupun survey

mandiri rumah sakit menunujukan prioritas pasien untuk sama rata dalam pelayanan adalah

moderat dengan trend yang turun. Otonomi memungkinkan pendapatan yang meningkat

secara baik tetapi kadang pelayanan terbengkalai. Tidak lebih dari 50% dukungan dari

pemerintah dalam askes untuk mendukung prioritas pelayanan masyarakat di rumah sakit.

Page 67: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

62

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian pada pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Hasil perhitungan terhadap rasio finansial yaitu dengan mengunakan data-data dari

laporan keuangan rumah sakit menunjukan kecendrungan peningkatan dilihat dari

kinerja keuangan rumah sakit. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan tren yang terlihat

dari grafik yang disajikan pada bab pembahasan.

2. Hasil perhitungan terhadap rasio non finasial yaitu dengan mengunakan data-data dari

Instalasi Rekam Medik bertujuan melihat efisiensi dan mutu pelayanan rumah sakit

menunjukan bahwa terjadinya peningkatan yang terus baik sehingga menjadi standar

yang baik sesuai dengan keinginan manajemen yang terangkum dalam visi dan misi

perusahaan.

3. Hasil evaluasi baik finansial ataupun non finansial menunjukan tingkat kemandirian

yang tinggi, tetapi dalam mengatasi prioritas pelayanan masih perlu ditingkatkan

sehingga kualitas dalam persamaan pelayanan menjadi lebih baik. Monitoring dari

dalam menunjukan masih adanya permasalahan dalam manajemen pelayanan

meskipun secara garis kualitas baik. Keterbukaan data yang semakin baik

menunjukan adanya kesadaran perilaku dalam good governance terutama dari sisi

akuntansi.

4. Secara menyeluruh terjadi peningkatan yang cukup baik dalam kinerja di RSUD R

Syamsudin S.H dari tahun ke tahun yang dilakukan oleh pihak manajemen akan tetapi

faktor prioritas pelayanan pasien perlu ditingkatkan lebih baik untuk mendukung

terjadinya otonomi secara positif dalam rumah sakit.

Setelah melakukan penelitian maka ada beberapa hal yang dapat disarankan penulis yaitu:

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan rentang waktu penelitian yang lebih lama

sehingga analisis terhadap kecendrungan peningkatan dan penurunan kinerja dapat

terlihat lebih jelas.

2. Perlu adanya sosialisasi tentang pengukuran kinerja sektor publik dengan analisis

yang menyeluruh sehingga dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan dalam

peningkatan kinerja rumah sakit dalam mengelola sumber daya yang ada.

3. Kontribusi yang menyeluruh dan keterbukaan dari pihak-pihak internal rumah sakit

dalam menunjang perilaku manajemen yang sehat sehingga terjadinya good

governance seperti penyelesaian masalah pasien yang cepat, informasi yang akurat

dalam transparansi keuangan.

Page 68: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

63

DAFTAR PUSTAKA

Azwar A, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Balai Pustaka, Jakarta, 1991.

Departemen Kesehatan RI, Peraturan Kesehatan RI, No.159b/Menkes/Per/II/1988, Jakarta,

1988.

Depdagri. 2006. Pedoman Pelayanan Bagi Pemerintah Daerah Bidang Pelayanan Publik.

Jakarta.

Dr. Drs. Surya Utama, MS “Memahami Fenomena Kepuasan Pasien Rumah Sakit”

Referensi Pendukung Untuk Mahasiswa, Akademik, Pimpinan, organisasi,dan

Praktisi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Foster Gm, Anderson Bg, Medical Antropology, John Willey & Sons, Inc., California, 1986.

Fraser TM, Stres dan Kepuasan Kerja, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1986.

Gibson JL, Ivancevich JM, Donnely JH, Organisasi dan Manajemen-prilaku, Struktur,

Proses; Erlangga, Jakarta, 1987.

Harbianto D dan Trisnantoro L. 2004. ―Desentralisasi Pembiayaan Kesehatan dan Teknik

Alokasi Anggaran‖. Paper pada seminar nasional‖3 tahun desentralisasi kesehatan di

Indonesia‖.

Johnson TM, Sargent CF, Medical Anthropology, Contemporary Theory and Metod,

Greenwood Press, New York, 1990.

LAKIP RSUD R Syamsudin SH Kota Sukabumi 2007-2011

Laporan keuangan RSUD R Syamsudin SH 2007-2011

LPPD RSUD R Syamsudin SH Kota sukabumi 2011-2012

Masnah 27 Februari 2012,Analisis Rasio Financial Dan Rasio Non Financial Sebagai

Dasar Pengukuran Kinerja Rsup Dr. Muhammad Hoesin Palembang, Jurnal

Universitas Binadarma

Mohammad Khozin “Evaluasi Implementasi Kebijakan Standar Pelayanan Minimal

Bidang Kesehatan Di Kabupaten Gunungkidul” Sinergi Visi Utama Konsultan

Yogyakarta, Email: [email protected]

Ni Ketut Rasmini,Ni Luh Supadmi,Ni Luh Putu Herawati Sucandra ―Penilaian Kinerja

Badan Rumah Sakit Umum Tabanan Berdasarkan Balanced Scorecard”Jurusan

Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Udayana

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi,

Jakarta 2001

Profil RSUD R Syamsudin SH Kota Sukabumi 2011.

Ramón Castaño, MD, MS,Bitran & Asociados ,Ricardo Bitran, Ph.D.Bitran & Asociados,

Ursula Giedion, M.S.Bitran & Asociados, September 2004Monitoring

andEvaluatingHospitalAutonomizationand ItsEffects onPriority

HealthServicesPrepared by:PHRplus Resource Center

Sabarno Hari, 2002, Sambutan Lokakarya, Peran Gubernur Dalam Penyelenggaraan

Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Era Otonomi, Jakarta, 2002

Sidik M, Raksaka Mahi B, Simanjutak R, Brodjonegoro D. 2002. Dana ALokasi Umum:

Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah.Penerbit Buku Kompas

Jakarta, November 2002 Solomon C.M. 1994. Human Resources facilitates the

learning organizations concept. Personnel Journal. Nov. pp 56-66.

Sufandi, Trisnantoro,L & Utarini A.2000. Analisis Mutu Dokumen Perencanaan Strategik

Rumah Sakit Umum Daerah: Hasil Pelatihan Manajemen Strategik di

Indonesia.

Page 69: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

64

Analysis of High Education labor to GDP in Indonesia

“Analisis Tenaga Kerja Berpendidikan terhadap GDP di Indonesia”

Ahmad Kafrawi Mahmud

Gallyn Ditya Manggala

Magister Ilmu Ekonomi

Universitas Padjadjaran

Abstract

Pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang ada

didalamnya, baik itu dari segi jumlah maupun kualitasnya.Peningkatkan kualitas sumber

daya manusia dapat dilakukan melalui pendidikan. Hal ini sesuai teori Endogenous Growth

yang menyatakan bahwa kualitas tenaga kerja akan sangat memengaruhi tingkat

pertumbuhan suatu ekonominegara, sehingga pendidikan dijadikan sebagai variabel yang

sangat penting dan akan berpengaruh positif terhadap kualitas tenaga kerja / sumber daya

manusia. Untuk kondisi di Indonesia, peningkatan investasi sumber daya manusianya melalui

pendidikan menjadi sangat urgen.Dalam penelitian ini data yang dipakai adalah PDB,

Tenaga Kerja dan Tenaga Kerja terdidik (SMA ke atas).Untuk analisisnya digunakan alat

analisis ekonometrika dengan menggunakan model regresi OLS dan menggunakan software

Stata 11. Kemudian hasil analisisnya menyatakan bahwa variabel pendidikan terbukti

berpengaruh secara positif terhadap PDB, dan berdasarkan model diketahui bahwa

Indonesia termasuk Negara yang padat karya dengan nilai koefisien pekerja lebih besar dari

nilai koefisien modal secara umum.

Keyword: Pendidikan, PDB, Tenaga Kerja Berkualitas

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Human Capitalmemiliki hubungan yang sangat erat terhadap pencapaian pertumbuhan

ekonomi suatu daerah. Ada beberapa indikator yang bisa digunakan dalam mengukur kualitas

human capital, diantaranya Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Pendidikan, Indeks

Kesehatan.Dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi, yang harus dilakukan adalah

pembangunan manusia secara merata di seluruh daerah di Indonesia.

Ramirez dkk (1998) menyebutkan bahwa ada hubungan timbal balik (two-way

relationship) antara human capital dan pertumbuhan ekonomi.Studi Ramirez tersebut

berangkat dari hubungan dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia

(human development). Hubungan yang dimaksudkan oleh Ramirez dkk tersebut adalah

sebagai berikut :

1. Pertumbuhan Ekonomi ke Human Development.

GNP merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pembangunan

manusia, khususnya melalui aktivitas rumah tangga dan pemerintah; civil society

seperti melalui organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat juga.Hal

tersebut dapat dilihat ketika dalam membelanjakan pendapatannya, rumah tangga

cenderung membelanjakan barang-barang yang memiliki kontribusi langsung

terhadap pembangunan manusia seperti makanan, air, pendidikan dan kesehatan yang

tergantung pada sejumlah faktor seperti tingkat dan distribusi pendapatan antar rumah

tangga, dan tergantung siapa yang mengontrol alokasi pengeluaran rumah tangga.

Page 70: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

65

Namun secara umum, penduduk miskin menghabiskan porsi pendapatannya

lebih banyak ketimbang penduduk kaya untuk kebutuhan pembangunan manusia dan

andil perempuan cukup besar dalam mengatur pengeluaran rumah tangga. Ketika

tingkat kemiskinan tinggi, yang dikarenakan rendahnya pendapatan per kapita atau

karena buruknya distribusi pendapatan, maka pengeluaran rumah tangga untuk

kebutuhan pembangunan manusia akanmenjadi rendah.

Peranan fungsi alokasi pemerintah untuk meningkatkan pembangunan

manusia adalah fungsi total pengeluaran sektor publik, seberapa besar alokasi

pengeluaran sector public untuk sector pembangunan manusia. Perananan alokasi

pengeluaran public oleh pemerintah ini sangat memegang peranan penting dalam

pembangunan manusia. Peranan organisasi masyarakat dan LSM memegang peranan

sebagai factor pendukung dan pelengkap dalam pembangunan manusia.

2. Human Development ke Pertumbuhan Ekonomi

Memerhatikan hubungan kedua variabel tersebut, dari pembangunan manusia

ke pertumbuhan ekonomi, diketahui masyarakat yang lebih sehat, dipelihara dengan

baik dan berpendidikan akan berkontribusi terhadap peningkatan pertumbuhan

ekonomi. Tingginya pembangunan manusia akan mempengaruhi ekonomi melalui

peningkatan kemampuan atau kapabilitas masyarakat. Sebagai konsekuensinya

akanmenciptakan peningkatan tingkat kreatifitas dan produktifitas masyarakat.

Pendidikan merupakan variabel yang sangat berpengaruh dalam peningkatan

pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah / Negara, terlebih lagi hal tersebut dapat dilihat

pada penciptaan tenaga kerja yang memiliki tingkat produktifitas yang tinggi. Tenaga kerja

yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan mampu untuk menggunakan teknologi-

teknologi baru dan akan semakin produktif dalam dunia kerjanya. Oleh karena itu, ketika

tenaga kerja semakin berpendidikan tentunya hal ini akan dapat menciptakan pertumbuhan

ekonomi ke arah yang lebih baik demi tercapainya kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Selanjutnya seseorang akan memilih untuk berinvestasi melalui pendidikan dalam

rangka peningkatan kualitas dan taraf hidupnya dapat dijelaskan dengan terlebih dahulu

memerhatikan gambar berikut :

Gambar 1 : Keputusan berinvestasi melalui pendidikan

Sumber : Modern Labor Economics (Ronald G.Ehrenberg dan Robert S. Smith)

Berdasarkan gambar tersebut, seseorang akan lebih memilih untuk berinvestasi melalui

pendidikan terlebih dahulu (Kuliah )atau lebih memilih untuk langsung bekerja setelah lulus

Sekolah Menengah Atas (SMA) dapat dijelaskan sebagai berikut :

Page 71: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

66

a. Ketika A merupakan seseorang yang setelah lulus SMA pada umur 18 tahun lebih

memilih untuk langsung bekerja, maka dia akan mendapatkan gaji seperti yang

ditunjukkan pada line earnings stream A.

b. Sedangkan ketika B merupakan seseorang yang lebih memilih setelah lulus SMA

untuk melanjutkan ke perguruan tinggi (universitas), maka dia memerlukan biaya-

biaya untuk keperluan kuliahnya tersebut, diantaranya biaya buku, pembayaran yang

tergantung pada apakah si B melanjutkan ke perguruan tinggi swasta atau negeri.

Selain itu si B juga akanmenunda untuk mendapatkan pendapatan seperti yang

ditunjukkan pada Forgone Earnings.Namun setelah si B selesai kuliah, dia akan

menerima pendapatan sesuai dengan tingkat pendidikan yang dia tempuh, dan pada

jangka waktu itu si B akan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi dari

pendapatan yang di terima oleh si A.

Dalampaper ini, penulis mencoba lebih spesifik melakukan kajian terhadap tingkat

pendidikan tenaga kerja yang akan dikaitkan terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi.Untuk

melihat tingkat pencapaian pendidikan itu, berikut ini disajikan tabelIndeks Pembangunan

Manusia Nasional di Indonesia dari tahun 1996-2010 :

Tahun Nilai IPM

1996 67,70

1999 64,30

2002 65,80

2004 68,70

2005 69,57

2006 70,10

2007 70,59

2008 71,17

2009 71,76

2010 72,27

Data IPM Indonesia Tahun 1996-2010

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa selalu terjadi peningkatan IPM dari tahun ke tahun,

kecuai pada tahun 1996-1999 terjadi penurunan.Selain itu dapat kita lihat pula bahwa tingkat

peningkatan IPM tersebut belum menggambarkan tentang apakah dengan semakin

meningkatnya IPM berbanding lurus terhadap peningkatan serapan tenaga kerja di Indonesia?

atau apakah sebenarnya tidak terdapat hubungan dan pengaruh yang signifikan antara

peningkatan IPM dan tingkat serapan tenaga kerja?

Kajian dalam penelitian ini diarahkan untuk melihat dan membandingkan antara

serapan tenaga kerja yang High Education Labor dengan Labor yang berpendidikan biasa,

serta kontribusinya terhadap GDP. Penulis ingin melihat lebih jauh kondisi ketenagakerjaan

di Indonesia, apakah sudah terjadi pemerataan hak yang sama, sehingga harapan terciptanya

kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia bukan lagi hanya sebagai isapan jempol.

Metode Penelitian dan Data

Data yang digunakan merupakan data sekunder dalam kurun waktu tahun 2000

hingga tahun 2010, yang diperoleh dari berbagai sumber. Adapun perinciannya adalah

sebagai berikut:

Sumber : BPS 2011

Page 72: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

67

Tahun GDP (milyar

rupiah)

Kapital

(milyar rupiah)

Labor (ribu orang) High Educated Labor

(ribu orang)

1990 210866 64790 75851 19.99952259

1991 249969 80028 76423 20.15034099

1992 282395 91512 78518 20.70272659

1993 329776 97213 79210 20.88518522

1994 382220 118707 82039 21.63110353

1995 454514 145118 80110 21.12248691

1996 532568 163453 85702 22.5969214

1997 627695 199301 85406 22.51887551

1998 955754 160327 87672 23.11634842

1999 1099732 125011 88817 23.41824891

2000 1389770 309164 89838 23.68745449

2001 1684280 371069 90807 23.9429493

2002 1821833 389947 91647 24.16443088

2003 2013675 515470 92811 24.47134106

2004 2295826 552292 93722 24.7115431

2005 2774281 695829 93958 24.77376888

2006 3339217 848168 95177 25.09518083

2007 3949321 985161 97583 25.72956735

2008 4954029 1377247 102553 27.04

Sumber : BPS (2000)

Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan alat analisis

ekonometrika, dengan menggunakan model regresi dengan asumsi OLS, dan dalam

pengolahan data tersebut diolah dengan bantuan software Eviews.

Adapun model dugaan yang digunakan dalam paper ini adalah sebagai berikut :

, dimana :

Y = PDB

=Intercept (Autonomous Consumption)

=Koefisien regresi variable independent

X1 = Kapital

X2 = Angkatan Kerja Terdidik SMA ke atas

ε = error term

Berdasarkan model yang telah dibuat, terdapat empat variabel yang akan digunakan yaitu

variabel PDB sebagai dependent variabel dan variabel kapital, tenaga kerja dengan tingkat

pendidikan maksimum SMA, tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SMA keatas sebagai

independent variabel.

PDB / GDP dijadikan sebagai variabel devendent karena variabel tersebut

menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu Negara, sedangkan variabel kapital

yang digunakan merupakan variabel yang menggambarkan besaran alokasi modal yang

digunakan, dan variabel tingkat pendidikan tenaga kerja yang dipisah berdasarkan tingkat

pendidikan terkhirnya yaitu tenaga kerja dengan tingkat pendidikan maksimum SMA dan

tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SMA keatas digunakan untuk menggambarkan

pengaruh tingkat pendidikan yang dimiliki oleh tenaga kerja tersebut dalam menggambarkan

kontribusinya terhadap PDB / GDP.

Page 73: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

68

PEMBAHASAN

Konstribusi Pendidikan terhadap Kesuksesan Ekonomi

Setiap masyarakat di seluruh dunia ini senantiasa menghendaki kesejahteraan. Khusus

untuk kesejahteraan fisik, mereka secara praktis bersama mengembangkan sistem yang

mengatur bagaimana seluruh anggotanya berproses memperoleh kesuksesan, mengupayakan

distribusi pemuas kesejahteraan serta menjamin bagaimana alokasi wahana kesuksesan

tersebut dapat dianugerahkan kepada pihak-pihak yang berhak memperolehnya. Dalam kaitan

tersebut, terminologi sosiologi memfokuskan studi tentang kesejahteraan dan sistem

kesejahteraan fisik tersebut dalam suatu wadah subkajian bernama lembaga sosial ekonomi.

Dalam perkembangannya, pranata ekonomi memilihara kelangsungan sistem nilainya tidak

pernah lepas dari keterkaitan dengan ruang-ruang sosial lainnya baik itu pranata politik,

pendidikan, kemasyarakatan atau keluarga maupun agama. Di sini dapat diamati karakteristik

hubungan pranata sosial dalam masyarakat terkini yang cenderung bersifat kompleks,

fungsional, independen, serta memiliki ketergantungan yang tinggi sehingga mampu

menjabarkan sebuah pola hubungan yang bersifat sistemik.

Dalam konteks tersebut, keniscayaan aktivitas pendidikan senantiasa dibingkai dari

realitas sosial ekonomi masyarakat tertentu. Oleh karena itu, hubungan yang bersifat

deterministis menjadi karakter hubungan kedua pranata sosial tersebut. Asumsi-asumsi yang

berkembang selalu menekankan pengaruh persepsi umum mengenai simbol-simbol yang

terbentuk dari pranata sosial ekonomi. Keyakinan umum bahwa seseorang yang memiliki

bekal pendidikan formal akan cenderung menuai sukses ekonomi merupakan suatu contoh

pengaruh pranata pendidikan terhadap aktivitas ekonomi para anggota suatu masyarakat.

Situasi tersebut memang tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan pemerintah terhadap

tenaga terdidik untuk mengoperasikan skill dan keahliannya dalam rangka industrialisasi dan

modernisasi pembangunan negara. Selain itu, keyakinan umum tersebut juga bukanlah hal

yang baru.Puluhan tahun yang lalu ketika politik etis diterapkan oleh pemerintah kolonial

belanda berhasil membentuk pola piker masyarakat kita tentang pendidikan dengan

kesuksesan ekonomi.Para pribumi (meskipun hanyalah bangsawan dan golongan priyayi)

yang memiliki ijasah dari sekolah-sekolah bentukan kolonial mendapat kesempatan untuk

ditempatkan pada instansiintansi pemerintah kolonial.Meskipun posisi mereka hanya sebagai

pegawai rendahan, namun keberadaan mereka yang telah mendominasi lembaga birokrasi

kolonial berhasil menggeser persepsi masyarakat. Lembaga pendidikan dianggap sebagai

tangga strategis untuk meraih kemapanan hidup tanpa harus melalui usaha-usaha ekonomi

lain yang tampaknya lebih lambat dan beresiko tinggi untuk mengalami kegagalan.

Pendidikan dan Ekonomi pada Zaman Modern

Pada umumnya, kita melihat bahwa masyarakat kita berbeda dengan kehidupan masa

lalunya. Secara tegas perbedaan demikian oleh Schoorl (1974) disebut sebagai efek dari

modernisasi. Schoorl menegaskan bahwa modernisasi merupakan upaya pergantian dari

penggunaan teknik industri yang bersifat tradisional menjadi cara-cara yang cenderung

modern. Sementara kalangan sosiolog lebih berfokus melihat proses diferensiasi sosial yang

cenderung menggejala pada kondisi sosial masyarakat tersebut.

Dalam segi kelembagaan, proses diferensiasi sosial juga tidak bisa ditolak

kehadirannya, termasuk lembaga pendidikan ekonomi dan lembaga pendidikan di

dalamnya.Perbedaan keterkaitan dua lembaga tersebut cukup mencolok apabila kita

bandingkan aplikasinya pada masyarakat tradisional.Pada masyarakat demikian seluruh

pranata-pranata sosial cenderung bersifat lebur dan belum terpilah-pilah pada orientasi

spesifik.Pranata keluarga memiliki peranan yang cukup dominan dalam melayani seluruh

kebutuhan para anggota baik itu pendidikan, kesehatan, religi dan peribadatan, kelangsungan

ekonominya dan lain sebagainya.

Page 74: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

69

Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi

Secara lebih khusus hubungannya menyangkut modal fisik, tenaga kerja dan

kemajuan teknologi yang menjadi tiga faktor pokok sebagai masukan (input) dalam produksi

pendapatan nasional.Semakin besar jumlah tenaga kerja (yang berarti laju pertumbuhan

penduduk tinggi) semakin besar pendapatan nasional dan semakin tinggi pertumbuhan

ekonomi.Perhatian terhadap faktor manusia menjadi sentral akhirakhir ini berkaitan dengan

perkembangan dalam ilmu ekonomi pembangunan dan sosiologi. Para ahli di kedua bidang

tersebut umumnya sepakat pada satu hal yakni modal manusia berperan secara signifikan,

bahkan lebih penting daripada faktor teknologi, dalam memacu pertumbuhan ekonomi.

Modal manusia tersebut tidak hanya menyangkut kuantitas tetapi yang jauh lebih penting

adalah dari segi kualitas. Berikut hasil analisisnya dengan Eviews:

Dependent Variable: LNGDP

Method: Least Squares

Date: 05/17/13 Time: 13:14

Sample (adjusted): 1991 2008

Included observations: 18 after adjustments

Convergence achieved after 26 iterations

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -17858814 3074310. -5.809048 0.0000

LNCAP 682214.6 257242.0 2.652035 0.0190

LNLABHIGH 464562.0 123566.9 3.759598 0.0021

AR(1) 0.744494 0.136557 5.451886 0.0001

R-squared 0.967656 Mean dependent var 1618714.

Adjusted R-squared 0.960725 S.D. dependent var 1385630.

S.E. of regression 274603.8 Akaike info criterion 28.07718

Sum squared resid 1.06E+12 Schwarz criterion 28.27504

Log likelihood -248.6946 Hannan-Quinn criter. 28.10446

F-statistic 139.6143 Durbin-Watson stat 1.905503

Prob(F-statistic) 0.000000

Inverted AR Roots .74

Berdasarkan output pada model pertama diperoleh hasil bahwa model yang dibangun

dapat dipergunakan untuk menjelaskan perilaku PDB, hal ini ditandai dari perolehan nilai

Prob > F sebesar 0,000 , dan nilai adj R2 sebesar 0,967 menunjukkan bahwa keragaman PDB

dapat dijelaskan oleh capital dan angkatan kerja sebesar 97 persen.

Berdasarkan hasil regresi model tersebut sudah sangat jelas menjelaskan bahwa

tenaga kerja yang High Education Model memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap

peningkatan GDP jika dibandingkan dengan tenaga kerja yang tingkat pendidikan

biasa.Olehnya itu hasil analisis telah membuktikan teori bahwa tingkat pendidikan

memberikan kontribusi positif dan signifikan terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Melalui peningkatan tingkat pendidikan terhadap para tenaga kerja, tentunya hal tersebut

akan meningkatkan kualitas dari tenaga kerja itu sendiri sehingga hal tersebut akan menjadi

faktor utama yang mendorong tenaga kerja untuk dapat selalu meningkatkan kualitas

hidupnya agar mencapai kesejahteraan. Dengan semakin berpendidikannya para tenaga kerja

di Indonesia maka hal tersebut akan dapat mengurangi tingkat kemiskinan dalam kehidupan

bermasyarakat, karena selain mereka akan lebih dibutuhkan oleh perusahaan atau kantor dan

instansi-instansi, juga mereka dengan skill yang mereka miliki dalam hal ini dengan adanya

Page 75: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

70

peningkatan pendidikan yang mereka dapatkan maka akan dapat berwirausaha bagi

masyarakat yang belum dapat bekerja atau terserap kedalam sektor-sektor formal.

Kesimpulan

Human investment dipandang sebagai sesuatu kekuatan produktif baik sebagai subjek

maupun sasaran pembangunan nasional. Salah satu bagian yang tak terpisahkan dalam teori

invertasi sumber daya manusia adalah pendidikan. Pemerataan pendidikan diperlukan sebagai

prasyarat untuk percepatan pembangunan ekonomi dengan peningkatan kualitas sumber daya

manusia . Pendidikan dasar yang baik akan membekali anak didik untuk mengembangkan

diri dalam pekerjaannya maupun untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Namun,

pendidikan dasar tanpa kualitas tidak banyak memberikan kegunaan bagi seseorang.

Oleh karena itu harus ada perubahan arah kebijakan oleh pemerintah dengan lebih

memberikan perhatian dalam hal pengembangan kualitas sumber daya manusia Indonesia,

agar proses pembangunan mampu mendorong terbentuknya berbagai keahlian yang mampu

mengolah SDA dan tentunya agar semakin memandirikan struktur ekonomi bangsa. Supaya

tujuan pembangunan pun terjadi di berbagai daerah, maka harus ada koreksi total kebijakan

pembangunan pendidikan di tingkat makro dengan berbasiskan kepada pluralitas daerah.

Dengan demikian harapannya akan tercipta SDM yang mampu memperjuangkan kebutuhan

dan penguatan masyarakat.

Selain itu penguatan kesehatan masyarakat harus tetap menjadi fokus perhatian,

karena walaupun sistem pendidikan sudah bagus tapi tanpa didukung oleh Sumber Daya yang

sehat tentunya juga pertumbuhan ekonomi tidak tercapai, dan begitupun sebaliknya walau

tingkat kesehatan sudah bagus, tapi tanpa adanya dukungan sistem pendidikan yang baik,

juga tidak akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Saran-Saran

Untuk mencapai suatu pertumbuhan ekonomi pada suatu negara, tentunya harus

tercapai pareto optimum dan distribusi of income yang merata. Pencapaian Sumber Daya

Manusia yang unggul tersebut tentunya dipengaruhi oleh tingkat kesehatan dan tingkat

pendidikan yang didapatkan oleh seluruh masyarakat. Sehigga pemerintah harus dapat fokus

terhadap perbaikan sistem pendidikan dan perbaikan layanan kesehatan bagi semua.

Daftar Pustaka

Suryadi, Ace (2002) Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan: Isu, Teori, dan Aplikasi.

Jakarta: Balai Pustaka.

Suhardan, Dadang (2006) Pengawasan Profesional. Bandung: Dewa Rhuci.

Sidik, Indra Djati: Memperbaiki Kelemahan Masa Lalu. Republika, Minggu, 30 Mei 2004

PPRI Nomor 55 Tahun 1998, Tentang Perubahan Atas PPRI Nomor 28 Tahun 1990 Tentang

Pendidikan Dasar.

Pendidikan dalam Program 100 Hari Mendiknas. Kompas, Selasa, 23 November 2004

Steven G., Smith (1992) The Concept of Human Nature. Philadelphia: Temple University

Press.

WHO Regional Office For South-East ASIA( 2002): Regional Conference of

Parliamentarians on the Report of the Commission on Macroeconomics and Health,

Bangkok, Thailand 15 – 17 December 2002.

Romer, David. 1996. Advanced Macroeconomics.The McGraw-Hill Companies, Inc.New

York.

Ronald G. Ehenberg & Robert S. Smith 2009. Modern Labor Economics.Pearson Education.

Page 76: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

71

PENGARUH INTELLECTUAL CAPITAL TERHADAP KINERJA BANK BUMN

YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2005-2012

THE INFLUENCE OF INTELLECTUAL CAPITAL TO STATE BANK

PERFORMANCE LISTED IN INDONESIA STOCK EXCHANGE ON 2005-2012

Galuh Tresna Murti

Rakhmini Juwita

Magister Ilmu Ekonomi

Universitas Padjadjaran

[email protected]

[email protected]

Abstract

The purpose of this paper is to examine the influence of Intellectual capital (human capital

efficiency (HCE), structural capital efficiency (SCE) and capital employed efficiency (CEE)

to state bank performance on 2005-2012 as parsial and simultanuous. The method used in

this paper is multiple regression model, the data collected from financial report state bank

listed in Indonesia Stock Exchange on 2005-2012. The result found that human capital

efficiency (HCE), and capital employed efficiency (CEE) has positif and significant influence

to return on asset (ROA), structural capital efficiency (SCE) has negatif significant to return

on asset (ROA). VAIC (The human capital efficiency (HCE), capital employed efficiency

(CEE) and structural capital efficiency (SCE)) as simultinuous has a positif and significant

influence to return on asset (ROA).

Keywords : Intellectual Capital (human capital eficiency, structural capital

efficiency,capital employed efficiency), financial performance (ROA)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Dunia industri saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan, dari

ekonomi berbasis produksi menjadi ekonomi berbasis pengetahuan (Drucker, 1993 ; Powell

dan Snelman, 2004 dalam Huang dan Wu, 2010). Pada ekonomi berbasis pengetahuan ini

keunggulan kompetitif yang dimiliki perusahaan tidak lagi ditentukan oleh kepemilikan dan

penggunaan faktor-faktor produksi konvensional seperti mesin-mesin atau tenaga kerja

lainnya, tetapi lebih pada penggunaan faktor produksi berbasis pengetahuan, inovasi, dan

teknologi. Agar dapat bertahan, perusahaan mengubah bisnisnya yang pada awalnya

didasarkan pada tenaga kerja (labor based business) menjadi knowledge based business

(bisnis berdasarkan pengetahuan) yang memiliki karateristik utama ilmu pengetahuan

(Sawarjuwono dan Kadir, 2003). Dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi

maka akan dapat diperoleh suatu cara dalam menggunakan sumber daya lainnya secara

efisien dan ekonomis yang nantinya akan memberikan keunggulan bersaing (Rupert dalam

Sawarjuwono, 2003).

Dengan meningkatnya peran dari knowledge sebagai aset yang vital bagi perusahaan,

identifikasi dan pengelolaanya dalam bentuk intangible asset dirasa makin penting. Namun,

hal ini tidak diimbangi dengan pelaporan dan identifikasi yang jelas dalam praktik akuntansi

tradisional yang ada saat ini. Menurut Canibao et al (2001), banyak investasi perusahaan

pada berbagai intangible asset tidak dapat ditemukan pada neraca karena adanya keterbatasan

dalam kriteria akuntansi untuk pengakuan dan penilaian aset tersebut. Intangible asset yang

Page 77: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

72

baru seperti kompetensi staf, hubungan konsumen, model simulasi, sistem administrasi dan

komputer tidak mendapatkan pengakuan dalam model keuangan tradisional dan pelaporan

manajemen ( Stewart, 1997 dalam Hong et al, 2007).

Akibat dari tidak dilaporkannya intangible asset, laporan keuangan perusahaan menjadi

kurang informatif karena tidak melaporkan semua nilai perusahaan secara utuh. Bagi

perusahaan yang sebagian besar asetnya berbentuk modal intelektual seperti bank misalnya,

tidak adanya informasi mengenai modal intelektual dalam laporan keuangan akan

menyesatkan, karena dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan (Satria, 2010). Model

akuntansi tradisional, yang asalnya dikembangkan bagi perusahaan yang aktivitasnya

terfokus pada aktivitas manufaktur dan pengolahan sumber daya alam, harus diperluas

cakupannya agar dapat mencakup intangible asset dalam pelaporannya. Salah satu

pendekatan yang digunakan dalam penilaian dan pengukuran intangible asset adalah

pendekatan intellectual capital yang telah menjadi fokus perhatian dalam berbagai bidang,

baik manajemen, teknologi informasi, sosiologi, maupun akuntansi (Petty dan Guthrie, 2000).

Pengukuran yang tepat terhadap intellectual capital perusahaan belum dapat ditetapkan.

Misalnya, Pulic (1998; 1999; 2000) tidak mengukur secara langsung intellectual capital

perusahaan, tetapi mengajukan suatu ukuran untuk menilai efisiensi dari nilai tambah sebagai

hasil dari kemampuan intelektual perusahaan. Menurut Pulic (1998), tujuan utama dalam

ekonomi yang berbasis pengetahuan adalah untuk menciptakan value added. Sedangkan

untuk dapat menciptakan value added dibutuhkan ukuran yang tepat tentang physical capital

(yaitu dana-dana keuangan) dan intellectual potential (direpresentasikan oleh karyawan

dengan segala potensi dan kemapuan yang melekat pada mereka). Lebih lanjut Pulic (1998)

menyatakan bahwa intellectual ability (yang kemudian disebut dengan VAIC™)

menunjukkan bagaimana kedua sumber daya tersebut (physical capital dan intellectual

potential) telah secara efisiensi dimanfaatkan oleh perusahaan. Penelitian ini berusaha

mengukur pengaruh intellectual capital (dalam hal ini diproksikan dengan VAIC™) terhadap

kinerja keuangan bank BUMN. Pemilihan sektor perbankan sebagai sampel mengacu pada

penelitian Kamath (2006); Mavridis (2005); dan Firer dan William (2003). Sektor perbankan

dipilih karena menurut Firer dan William (2003) industri perbankan adalah salah satu sektor

yang paling intensif intellectual capital -nya. Selain itu, dari aspek intelektual, secara

keseluruhan karyawan sektor perbankan lebih homogen dibandingkan dengan sektor ekonomi

lainnya (Kubo dan Saka, 2002). Pemilihan model VAIC™ sebagai proksi atas intellectual

capital mengacu pada penelitian Firer dan William (2003); Chen et al. (2005); dan Tan et al.

(2007). Kinerja keuangan yang digunakan adalah profitabilitas ROA Pemilihan indikator

kinerja tersebut mengacu pada penelitian Chen et al. (2005) dan Firer dan William (2003).

Berdasar hal tersebut diatas peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh intelektual capital

(dengan proksi VAIC) terhadap kinerja keuangan bank BUMN tahun 2005-2012.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

1. Apakah HCE (Human Capital Efficiency) berpengaruh terhadap Return on Asset (ROA)?

2. Apakah SCE (Structural Capital Efficiency) berpengaruh terhadap Return on Asset

(ROA)?

3. Apakah CEE (Capital Employed Efficiency) berpengaruh pada Return on Asset (ROA)?

4. Apakah VAICTM (HCE,SCE,CEE) berpengaruh secara simultan terhadap (ROA) ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk

menguji dan memberikan bukti empiris:

Page 78: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

73

1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh HCE (Human Capital Efficiency) terhadap

Return on Asset (ROA)

2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh SCE (Structural Capital Efficiency) terhadap

Return on Asset (ROA)

3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh CEE (Capital Employed Efficiency) terhadap

Return on Asset (ROA)

4. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh VAICTM (HCE,SCE,CEE) secara simultan

terhadap ROA

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Bagi Akademisi, diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu akuntansi

dalam lingkup akuntansi keuangan, khususnya yang berkenaan dengan intellectual capital

dan kinerja keuangan perusahaan

2. Bagi Praktisi khususnya Perusahaan, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi

pelaksanaan peningkatan kinerja keuangan (ROA) dalam aspek intellectual capital

LANDASAN TEORI

A. Intellectual Capital Klein dan Prusak dalam Sawarjuwono (2003) menyatakan pendapat mengenai definisi

intellectual capital yang kemudian menjadi standar pendefinisian intellectual capital : ― ... we

can define intellectual capital operationally as intellectual material that has been formalized,

captured, and leveraged to produce a higher value asset‖

Dalam kajian mengenai intellectual capital, banyak definisi yang telah diajukan oleh para

peneliti. Pendapat awal lain mengenai definisi intellectual capital dinyatakan oleh Stewart,

1991 (dalam Ulum, 2009) : ―the sum of everything everybody in your company knows that

gives you a competitive edge in the market place. It is intellectual material – knowledge,

information, intellectual property, experience – that can be put to use to create wealth‖

Edvinsson dan Malone (1997) dalam Huang dan Liu (2009) menyebutkan bahwa intellectual

capital adalah suatu jenis kontrol atas pengetahuan, pengalaman yang bersifat empiris, teknik

organisasi, hubungan dengan pelanggan dan keahlian profesional. Hal tersebut akan

memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan.

Bukh et al (2005) dalam Ulum (2009) mendefinisikan intellectual capital sebagai

sumber daya pengetahuan dalam bentuk karyawan, pelanggan, proses atau teknologi yang

mana perusahaan dapat menggunakannya dalam proses penciptaan nilai bagi perusahaan.

Marr (2004) mempertimbangkan intellectual capital sebagai sebuah penggerak keunggulan

kompetitif dan penghubung kemampuan perusahaan untuk mengatur dan memanfaatkan

pengetahuan yang dimiliki perusahaan.

Bontis et al. (2000) menyatakan bahwa secara umum, para peneliti mengidentifikasi

tiga konstruk utama dari Intellectual Capital, yaitu: human capital (HC), structural capital

(SC), dan customer capital (CC). Menurut Bontis et al. (2000), secara sederhana HC

merepresentasikan individual knowledge stock suatu organisasi yang direpresentasikan oleh

karyawannya. HC merupakan kombinasi dari genetic inheritance; education; experience, and

attitude tentang kehidupan dan bisnis. Lebih lanjut Bontis et al. (2000) menyebutkan bahwa

SC meliputi seluruh nonhuman storehouses of knowledge dalam organisasi. Termasuk dalam

hal ini adalah database, organisational charts, process manuals, strategies, routines dan

segala hal yang membuat nilai perusahaan lebih besar daripada nilai materialnya. Sedangkan

tema utama dari CC adalah pengetahuan yang melekatdalam marketing channels dan customer

Page 79: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

74

relationship dimana suatu organisasi mengembangkannya melalui jalannya bisnis (Bontis et al.,

2000).

Pada umumnya peneliti menyatakan bahwa intellectual capital terdiri dari tiga

komponen utama, yaitu

1. Human capital (HC)

Human capital merupakan lifeblood dalam intellectual capital. Pada human

capital inilah terdapat sumber innovation dan improvement. Akan tetapi merupakan

komponen yang sulit diukur (Sawarjuwono dan Kadir, 2003) dalam Pramelasari 2010.

human capital merupakan sumber innovation dan improvement, karena didalamnya

terdapat pengetahuan, ketrampilan dan kompentensi yang dimiliki oleh karyawan

perusahaan. Human capital dapat meningkat jika perusahaan dapat memanfaatkan dan

mengembangkan pengetahuan, kompentensi dan ketrampilan karyawannya secara

efisien. Oleh karena itu, human capital merupakan sumber daya kunci yang dapat

menciptakan keunggulan kompetitif perusahaan sehingga perusahaan mampu bersaing

dan bertahan di lingkungan bisnis yang dinamis. Dengan memiliki karyawan yang

berkeahlian dan berketerampilan, maka dapat meningkatkan kinerja perusahaan dan

menjamin keberlangsungan perusahaan tersebut. Meningkatnya kinerja perusahaan juga

akan meningkatkan persepsi pasar.

2. Structural capital (SC)

Structural capital merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan dalam

memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung usaha

karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta kinerja bisnis

secara keseluruhan, misalnya : sistem operasional perusahaan, proses manufacturing,

budaya organisasi, dan filosofi manajemen (Sawarjuwono dan Kadir dalam

Pramelasari,2010).

3. Relational capital (RC) atau customer capital (CC)

Relational capital merupakan hubungan yang harmonis association network yang

dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal dari para pemasok,

pelanggan dan juga pemerintah dan masyarakat. Relational capital dapat muncul dari

berbagai bagian diluar lingkungan perusahaan yang dapat menambah nilai bagi

perusahaan (Sawarjuwono dan Kadir dalam Pramelasari,2010).

B. Value Added Intellectual Coefficient (VAIC™)

Metode VAIC™, dikembangkan oleh Pulic (1998), didesain untuk menyajikan

informasi tentang value creation efficiency dari aset berwujud (tangible asset) dan aset tidak

berwujud (intangible assets) yang dimiliki perusahaan. Model ini dimulai dengan

kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added (VA). Value added adalah indikator

paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan

dalam penciptaan nilai (value creation) (Pulic, 1998). VA dihitung sebagai selisih antara

output dan input (Pulic, 1999).

Tan et al. (2007) menyatakan bahwa output (OUT) merepresentasikan revenue dan

mencakup seluruh produk dan jasa yang dijual di pasar, sedangkan input (IN) mencakup

seluruh beban yang digunakan dalam memperoleh revenue. Menurut Tan et al. (2007), hal

penting dalam model ini adalah bahwa beban karyawan (labour expenses) tidak termasuk

dalam IN. Karena peran aktifnya dalam proses value creation, intellectual potential (yang

direpresentasikan dengan labour expenses) tidak dihitung sebagai biaya (cost) dan tidak

masuk dalam komponen IN (Pulic, 1999). Karena itu, aspek kunci dalam model Pulic adalah

memperlakukan tenaga kerja sebagai entitas penciptaan nilai (value creating entity) (Tan et

al., 2007). VA dipengaruhi oleh efisiensi dari Human Capital (HC) dan Structural Capital

(SC). Hubungan lainnya dari VA adalah customer capital (CC), yang dalam hal ini dilabeli

Page 80: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

75

dengan CEE (Capital Employed Efficiency). CEE adalah indikator untuk VA yang diciptakan

oleh satu unit dari physical capital.

Pulic (1998) mengasumsikan bahwa jika 1 unit dari CC menghasilkan return yang lebih

besar daripada perusahaan yang lain, maka berarti perusahaan tersebut lebih baik dalam

memanfaatkan CE-nya. Dengan demikian, pemanfaatan CC yang lebih baik merupakan

bagian dari IC perusahaan (Tan et al., 2007).

Hubungan selanjutnya adalah VA dan HC. ‗human capital efficiency‘ (HCE)

menunjukkan berapa banyak VA dapat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk

tenaga kerja. Hubungan antara VA dan HC mengindikasikan kemampuan dari HC untuk

menciptakan nilai di dalam perusahaan (Tan et al., 2007). Konsisten dengan pandangan para

penulis IC lainnya, Pulic (1998) berargumen bahwa total salary and wage costs adalah

indikator dari HC perusahaan.

Hubungan ketiga adalah ―structural capital efficiency‖ (SCE), yang menunjukkan

kontribusi structural capital (SC) dalam penciptaan nilai. SCE mengukur jumlah SC yang

dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari VA dan merupakan indikasi bagaimana

keberhasilan SC dalam penciptaan nilai (Tan et al., 2007). SC bukanlah ukuran yang

independent sebagaimana HC, SC dependent terhadap value creation (Pulic, 1999). Artinya,

menurut Pulic (1999), semakin besar kontribusi HC dalam value creation, maka akan

semakin kecil kontribusi SC dalam hal tersebut. Lebih lanjut Pulic (1999) menyatakan bahwa

SC adalah VA dikurangi HC, yang hal ini telah diverifikasi melalui penelitian empiris pada

sektor industri tradisional (Pulic, 2000). Rasio terakhir adalah menghitung kemampuan

intelektual perusahaan dengan menjumlahkan coefisien-coefisien yang telah dihitung

sebelumnya. Hasil penjumlahan tersebut diformulasikan dalam VAIC™ (Tan et al., 2007).

C. Model Pulic

VAICTM

merupakan metode yang dikembangkan oleh Pulic (1998), didesain untuk

menyajikan informasi mengenai value creation efficiency dari aset berwujud (tangible asset)

dan aset tidak berwujud (intangible asset) yang dimiliki perusahaan. Model ini dimulai

dengan kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added (VA). VA adalah indikator

paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan

dalam penciptaan nilai (value creation) (Pulic, 1998). Selain itu VAIC™ juga merupakan alat

manajemen pengendalian yang memungkinkan organisasi untuk memonitor dan mengukur

kinerja intellectual capital dari suatu perusahaan (Kammath, 2007 dalam Saleh, et al,. 2008).

VA dihitung sebagai selisih antara - output dan input (Pulic, 1998). VA secara teknik

merupakan penjumlahan, retained profit, interest expense, salaries dan wages, depreciation,

dividend, minority share, dan tax untuk pemerintah. Oleh karena itu, VA didefinisikan

sebagai peningkatan pada nilai bersih perusahaan dikarenakan kegiatan operasi perusahaan.

Menurut Tan et al., (2007) dalam Ulum dkk (2008), menyatakan bahwa output (OUT)

mempresentasikan revenue dan mencangkup seluruh produk dan jasa yang dijual di pasar,

sedangkan input (IN) mencangkup seluruh beban yang digunakan dalam memperoleh

revenue. Menurut Tan et al., (2007), hal penting di dalam model ini adalah bahwa beban

karyawan (labour expenses) tidak termasuk dalam IN dikarenakan peran aktifnya di dalam

kegiatan value creation, sehingga tidak dihitung sebagai biaya (cost).

VAICTM

juga dikenal sebagai Value Creation Efficiency Analysis, merupakan sebuah

indikator yang dapat digunakan dalam menghitung efisiensi nilai yang dihasilkan dari

perusahaan yang didapat dengan menggabungkan CEE (Capital Employed Efficiency), HCE

(Human Capital Efficiency), dan SCE (Structure Capital Efficiency) (Pulic, 1998)

Page 81: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

76

D. Kinerja Perusahaan

Mahoney et al.(1963) dalam Listianingsih dan Mardiyah (2005) menyebutkan bahwa

kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok dalam suatu

organisasi, sesuai dengan wewenang serta tanggung jawab masing-masing, dalam rangka

mencapai tujuan organisasi. Perusahaan harus terus melakukan peningkatan terhadap kualitas

dan kinerja perusahaan, agar tujuan perusahaan tercapai. Laporan tahunan perusahaan

merupakan informasi yang memberikan gambaran tentang kinerja perusahaan yang diberikan

oleh manajemen perusahaan kepada stakeholder. Menurut Fiori et al., (2007) konsep

pengukuran kinerja perusahaan tradisional terdiri dari: profitabilitas, solvency,financial

efficiency, dan repayment capacity. Akuntansi berdasarkan ukuran kinerja keuangan

digunakan untuk menilai perubahan potensi sumber daya ekonomi yang mungkin

dikendalikan di masa depan.

Return on asset (ROA) merupakan salah satu rasio profitabilitas yang mengukur

efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang

dimilikinya. ROA merefleksikan keuntungan bisnis dan efisiensi perusahaan dalam

pemanfaatan total aset (Chen et al., 2005)

Return on assets (ROA) yaitu indikator kemampuan unit usaha untuk memperoleh laba

atas sejumlah aset yang dimiliki oleh unit usaha tersebut.ROA dapat diperoleh dengan cara

menghitung rasio antara laba setelah pajak dengan total aktiva (Net Income dibagi Total

Assets).Munawir (2002:269), ―Return On Asset merefleksikan seberapa banyak perusahaan

telah memperoleh hasil atas sumber daya keungan yang ditanamkan oleh perusahaan‖.

Rasio ROA ini sering dipakai manajemen untuk mengukur kinerja keuangan

perusahaan dan menilai kinerja operasional dalam memanfaatkan sumber daya yang dimiliki

perusahaan, disamping perlu mempertimbangkan masalah pembiayaan terhadap aktiva

tersebut. Nilai ROA yang semakin mendekati 1, berarti semakin baik profitabilitas

perusahaan karena setiap aktiva yang ada dapat menghasilkan laba. Dengan kata lain semakin

tinggi nilai ROA maka semakin baik kinerja keuangan perusahaan tersebut.

E. Hipotesis

H1 : Human capital efficiency (HCE) berpengaruh terhadap ROA

H2 : Structural capital efficiency (SCE) berpengaruh terhadap ROA

H3 : Capital employed efficiency (CEE) berpengaruh terhadap ROA

H4 : Value Added Intellectual Coeficient (VAICTM

) berpengaruh terhadap ROA

METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek Penelitian

Objek Penelitian ini adalah perusahaan perbankan BUMN yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia (BEI) yaitu BTN, BRI, BNI, Mandiri. Sehingga sampel dalam penelitian ini

adalah laporan keuangan yang dipublikasi oleh BTN,BRI,BNI, Mandiri yang telah diaudit

tahun 2005-2012. Sampel dalam penelitian ini dapat dilihat table sebagai berikut.

Tabel 1

Sampel Perbankan BUMN yang terdaftar di BEI

NO NAMA

PERUSAHAAN

JUMLAH TAHUN

(2005-2012)

1 BTN 8

2 BRI 8

3 BNI 8

4 Mandiri 8

Total 32

Sumber : Pengolahan data

Page 82: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

77

B. Metode Pengumpulan data

Dalam penelitian ini metode pengumpulan data dengan metode dokumentasi dengan jenis

data sekunder. Data diperoleh dari internet (www.idx.go.id dan situs perusahaan). Dari

sumber tersebut diperoleh data kuantitatif berupa data laporan keuangan (annual report)

yang telah diaudit.

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel independen dalam penelitian ini adalah Intellectual Capital (IC)

menggunakan metode dalam penelitian Pulic (2000), yang terdiri atas human

capital, structural capital dan customer capital. Berdasarkan penelitian Pulic

(2000), Chen, et al., (2005) menggunakan efisiensi nilai tambah dari kemampuan

intellectual capital atau yang disebut juga dengan value added of intellectual

Coefficient (VAIC) yang diciptakan oleh human capital efficiency (HCE),

structural capital efficiency (SCE) dan capital employed efficiency (CEE).

a) Value added yang dihasilkan oleh perusahaaan dihitung dengan cara sebagai

berikut :

VA = OUT - IN

Keterangan :

VA = Value Added

OUT = Output = Total penjualan dan pendapatan lain

IN = Input = Beban (selain beban karyawan)

b) Rumus komponen VAIC adalah :

1. Human Capital Efficiency (HCE)

HCE menunjukkan berapa banyak VA dapat dihasilkan dengan dana yang

dikeluarkan untuk tenaga kerja. Beban karyawan dalam perhitungan HCE

di ambil dari beban gaji, upah dan kesejahteraan karyawan.

HCE = VA

HC

Keterangan :

VA = Value Added

HC = Beban Karyawan

2. Structural Capital Efficiency (SCE)

SCE merupakan kalkulasi untuk kemampuan organisasi dalam

perusahaan. Rasio ini mengukur jumlah SC yang dibutuhkan untuk

menghasilkan 1 rupiah dari VA dan merupakan indikasi bagaimana

keberhasilan SC dalam penciptaan nilai.

SCE = SC

VA

Keterangan :

SC = VA-HC

Page 83: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

78

VA = Value Added

3. Capital Employed Efficiency (CEE)

CEE adalah indikator dari VA yang diciptakan oleh satu unit dari

physical capital

CEE = VA

CE

Keterangan :

VA = Value Added

CE = Capital Employee

4. Value Added Intellectual Capital (VAIC TM

)

VAIC TM

merupakan instrumen untuk mengukur kinerja intellectual

capital perusahaan.

VAIC TM

= HCE + SCE + CEE

2. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kinerja keuangan perusahaan,

dengan menggunakan proksi Return on Asset (ROA).

ROA memperlihatkan kemampuan yang dimiliki oleh perusahaan dalam

melakukan efisiensi penggunaan total asset untuk operasional perusahaan. Adapun

rumus yang digunakan menurut Ghozali dan Chariri (2008) untuk menghitung rasio

return on asset (ROA), adalah sebagai berikut :

ROA = Net Income

Total Asset

Tabel 2

Operasionalisasi Variable Penelitian

No Variable Penelitian Dimensi Indikator Skala

1 Intellectual Capital

(Pulic, 2000)

Human Capital

Efficiency (HCE)

X1

HCE = VA

HC

Rasio

Structural Capital

Efficiency (SCE)

X2

SCE = SC

VA

Rasio

Capital Employed

Efficiency (CEE)

X3

CEE = VA

CE

Rasio

2 Kinerja Keuangan

Perusahaan

(Ghozali & Chariri 2008)

Return on Asset (ROA)

Y

ROA = Net Income

Total Aset

Rasio

Sumber : data sekunder diolah, 2013

Page 84: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

79

D. Metode Analisis

Teknik penyelesaian penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis

kuantitatif, yaitu pendekatan yang lebih fokus kepada tujuan untuk generalisasi, dengan

melakukan pengujian statistik dan steril dari pengaruh subjektif peneliti (Sekaran, 1992).

Dalam penelitian ini, analisis kuantitatif dilakukan dengan cara mengkuantifikasi data-

data penelitian sehingga menghasilkan informasi yang dibutuhkan dalam analisis. Alat

analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda

Penelitian ini menggunakan alat analisis regresi linear berganda dengan program SPSS.

Alasan penggunaan alat analisis regresi linier berganda adalah karena penelitian ini

meneliti hubungan pengaruh yang cocok untuk digunakannya alat analisis regresi

berganda. Selain itu, penelitian ini menggunakan skala rasio yang sesuai untuk

pengukuran menggunakan analisis regresi linier berganda.

Langkah dalam analisa regresi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Uji Asumsi Klasik

1. Uji Multikolinieritas

Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah variabel dalam model

regresi ditemukan adanya korelasi antara variable bebas (independen). Model

regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variable bebas. Uji

Multikolinieritas dapat dilakukan dengan melihat VIF (Variance Inflation

Factors) dan nilai tolerance. Jika VIF > 10 dan nilai tolerance < 0,10 maka terjadi

gejala Multikolinieritas

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of

the Estimate

Durbin-

Watson

1 .854a .730 .701 .0044822 .879

a. Predictors: (Constant), CEE, HCE, SCE

b. Dependent Variable: ROA

Coefficientsa

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig. Correlations

B Std.

Error

Beta Zero-

order

Partial Part

1

(Constant) .000 .005 -.057 .955

HCE .017 .006 1.275 2.740 .011 .631 .460 .269

SCE -.076 .033 -1.085 -

2.303 .029 .587 -.399

-

.226

CEE .415 .073 .702 5.691 .000 .801 .732 .559

a. Dependent Variable: ROA

Terlihat dari luaran SPSS, nilai R2

cukup tinggi sebesar 73%, sedangkan seluruh

variabel independen memiliki nilai t statistic yang signifikan pada α=5%. Oleh

karena R2cukup tinggi dan kebanyakan variabel independenya signifikan, maka

tidak ada indikasi terjadi multikolinieritas antar variabel independen.

Page 85: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

80

2. Uji Heteroskedastisitas & Homogenitas

Uji heteroskedastisitas dalam model dilakukan dengan menggunakan Uji Glejser

dengan cara meregresikan nilai absolute residual (AbsUi) terhadap variabel

independen lainya.

Coefficientsa

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig. Correlations

B Std.

Error

Beta Zero-

order

Partial Part

1

(Constant) -.001 .002 -.698 .491

HCE -.001 .003 -.248 -.305 .763 .174 -.059 -.046

SCE .015 .017 .730 .915 .368 .240 .173 .140

CEE .079 .049 .448 1.594 .123 .036 .293 .243

a. Dependent Variable: AbsUi

Hasil tampilan luaran SPSS dengan jelas menunjukkan variabel HCE, SCE dan

CEE memiliki nilai sig > α = 0.05. Berarti tidak terdapat heterokedastisitas dalam

model ini, dengan kata lain semua variabel independen yang terdapat dalam model

ini memiliki sebaran varian yang sama (homogen).

3. Uji Autokorelasi

Uji Autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linier ada korelasi

antara kesalahan pengganggu pada periode t-1. Model regresi yang baik adalah yang

bebas dari autokorelasi. Dalam penelitian ini uji Durbin-Watson akan digunakan

untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi.

Runs Test

Unstandardized Residual

Test Valuea .1191

Cases < Test Value 16

Cases >= Test Value 16

Total Cases 32

Number of Runs 10

Z -2.336

Asymp. Sig. (2-tailed) .191

a. Median

Hasil luaran SPSS menunjukkan nilai test 0,1191 dengan probabilitas (Sig)

0,191 > α = 0.05. Hal ini berarti bahwa residual bersifat random atau tidak terjadi

autokorelasi antar nilai residual.

4. Uji Normalitas

Uji normalitas data dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov

terhadap nilai residual hasil persamaan regresi. Jika signifikansi > 0,05 (uji dua arah

dengan nilai α/2 = 2.5%), maka data berdistribusi normal

Page 86: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

81

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized

Residual

N 32

Normal

Parametersa,b

Mean 0E-7

Std. Deviation .00425984

Most Extreme

Differences

Absolute .158

Positive .085

Negative -.158

Kolmogorov-Smirnov Z .892

Asymp. Sig. (2-tailed) .404

a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

Besarnya nilai uji Kolmogorov Smirnov adalah 0,892 dengan tingkat

signifikansi jauh diatas 0,05, yaitu 0,404. Dengan kata lain bahwa nilai Kolmogorov

Smirnov tidak signifikan, berarti residual terdistribusi secara normal.

b. Uji Hipotesa

1. Koefisien Determinasi

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of

the Estimate

Durbin-

Watson

1 .854a .730 .701 .0044822 .879

a. Predictors: (Constant), CEE, HCE, SCE

b. Dependent Variable: ROA

Tampilan luaran SPSS Model Summary menunjukkan bahwa besarnya

adjusted R2 sebesar 0,701, hal ini berarti bahwa 70,1% variasi kinerja keuangan

(ROA) dapat dijelaskan oleh variasi dari ketiga variabel independen HCE, SCE dan

CEE. Sedangkan sisanya (100%-70,1%=29,9%) dijelaskan oleh sebab sebab lain di

luar model yang diteliti. Standard error of estimate (SEE) sebesar 0,0044822,

semakin kecil nilai tersebut maka model regresi semakin tepat dalam memprediksi

variabel dependen

2. Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)

ANOVAa

Model Sum of

Squares

df Mean

Square

F Sig.

1

Regression .002 3 .001 25.226 .000b

Residual .001 28 .000

Total .002 31

a. Dependent Variable: ROA

b. Predictors: (Constant), CEE, HCE, SCE

Berdasarkan tabel ANOVA, diperoleh nilai F hitung sebesar 29,475 dengan

probabilitas (sig) = 0,000. Oleh karena nilai probabilitas (sig) < α = 0.05, maka

Page 87: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

82

dapat disimpulkan bahwa ketiga variabel independen HCE, SCE dan CEE secara

simultan berpengaruh terhadap kinerja keuangan.

3. Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t)

Coefficientsa

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

T Sig. Correlations

B Std.

Error

Beta Zero-

order

Partial Part

1

(Constant) .000 .005 -.057 .955

HCE .017 .006 1.275 2.740 .011 .631 .460 .269

SCE -.076 .033 -1.085 -

2.303 .029 .587 -.399 -.226

CEE .415 .073 .702 5.691 .000 .801 .732 .559

a. Dependent Variable: ROA

Seluruh variabel independen yang dimasukkan di dalam model memiliki nilai

signifikansi < α = 0.05. Semua variabel independen terbukti memiliki pengaruh

parsial yang signifikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel kinerja

keuangan (ROA) dipengaruhi oleh HCE, SCE dan CEE dengan persamaan

matematis sebagai berikut:

ROA = 0,00 + 0,17 HCE – 0,076 SCE + 0,415 CEE

Hasil perhitungan diatas dapat dirangkum dalam tabel berikut ini

Variabel Hasil Uji Statistik t

B t hitung Sig

VAIC 0,007 4,483 0,000

HCE 0.017 2.740 0.011

SCE -0.076 -2.303 0.029

CEE 0.415 5.691 0.000

Uji Statistik F F hitung :25,226 Sig: 0.000

Adjusted R Square 0,701

Hipotesis 1 adalah human capital efficiency (HCE) berpengaruh terhadap

Profitabilitas. Hasilnya menunjukkan bahwa variabel Human capital efficiency

(HCE) signifikan. Hal ini dapat dilihat pada nilai koefisien sebesar 0,017 dengan

nilai signifikansinya sebesar 0,011 lebih kecil dari α = 0,05 dan nilai t hitung sebesar

2,740. Berdasarkan hasil pengujian regresi berganda secara individual dapat

disimpulkan bahwa hipotesis H1 yang menyatakan bahwa Human capital efficiency

(HCE) berpengaruh terhadap ROA diterima. Berpengaruhnya HCE terhadap ROA

menunjukkan bahwa karyawan dari perusahaan sampel dimungkinkan pengetahuan

maupun keterampilan yang dimiliki karyawan telah dapat berpengaruh terhadap

profitabilitas seperti memiliki motivasi yang tinggi untuk berinovasi dan

memperbaiki proses bisnis agar lebih efisien yang akhirnya dapat meningkatkan

profitabilitas.

Hipotesis 2 adalah structural capital efficiency (SCE) berpengaruh terhadap

profitabilitas. Hasilnya menunjukkan bahwa variabel Structural capital efficiency

(SCE) signifikan. Hal ini dapat dilihat pada nilai koefisien -0.076 dengan nilai

Page 88: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

83

signifikansinya sebesar 0.029 lebih kecil dari α = 0,05 dan nilai t hitung sebesar -

2.303. Berdasarkan hasil pengujian regresi berganda secara individual dapat

disimpulkan bahwa hipotesis H2 yang menyatakan bahwa Structural capital

efficiency (SCE) berpengaruh terhadap profitabilitas diterima. Koofisien regresi

bernilai negative menyatakan bahwa dengan mengasumsikan ketiadaan variabel

lainnya, apabila SCE mengalami peningkatan maka ROA cenderung mengalami

penurunan.

Hipotesis 3 adalah capital employed efficiency (CEE) berpengaruh terhadap

profitabilitas. Hasilnya menunjukkan bahwa variabel Capital employed efficiency

(CEE) sangat signifikan dengan tanda positif. Hal ini dapat dilihat pada nilai

koefisien 0.415 dengan nilai signifikansinya sebesar 0,000 lebih kecil dari α = 0,05

dan nilai t hitung yang positif sebesar 5.691. Berdasarkan hasil pengujian regresi

berganda secara individual dapat disimpulkan bahwa hipotesis H3 yang menyatakan

Capital Employed Efficiency (CEE) berpengaruh terhadap ROA diterima.

Hipotesis 4 adalah intellectual capital (VAICTM)

) berpengaruh terhadap ROA.

Hasilnya menunjukkan bahwa variabel intellectual capital adalah sangat signifikan

dengan tanda positif. Hal ini dapat dilihat pada koefisien 0,007 dengan nilai

signifikansinya sebesar 0,000 lebih kecil dari α = 0,05 dan nilai t hitung yang positif

sebesar 4.483. Berdasarkan hasil pengujian regresi berganda secara individual dapat

disimpulkan bahwa hipotesis H4 yang menyatakan bahwa intellectual capital

(VAICTM

) berpengaruh terhadap ROA dierima. Hal ini menunjukkan perusahaan

sampel telah menggunakan baik asset yang berwujud maupun yang tidak berwujud

dengan efektif dan efisien. Selain itu value added (nilai tambah) yang disebut juga

sebagai penciptaan kekayaan telah dipertimbangkan sebagai konsep profitabilitas

dalam arti kemampuan perusahaan untuk dapat meningkatkan pembagian

keuntungan bagi pemegang saham. Hasil ini juga memberikan bukti bahwa

intellectual capital yang merupakan asset yang tidak berwujud yang dimiliki

perusahaan dapat menciptakan nilai yaitu meningkatkan atau memperbaiki

profitabilitas perusahaan yang diukur dengan ROA.

Simpulan

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan terbukti bahwa human capital

efficiency dan capital employed efficiency secara parsial mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap intellectual capital, sementara structural capital efficiency

mempunyai pengaruh negative signifikan terhadap ROA. Selain itu terbukti pula

bahwa variabel-variabel bebas secara bersama- sama terbukti mempunyai pengaruh

yang signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan. Hal ini terlihat

probabilitasnya yang lebih kecil dari taraf signifikansi (0,000 < 0,05). Tingkat

kepercayaan yang diambil dalam penelitian ini sebesar 95% dengan α sebesar 5%.

Besarnya kontribusi pengaruh variabel bebas secara simultan terhadap variabel

terikat adalah 70,1% sedangkan sisanya 29,9% dipengaruhi oleh variabel lainnya

yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini..

Page 89: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

84

DAFTAR PUSTAKA

Bontis, N. (2000). Assesing Knowledge Assets: A Review of The Models Used to Measure

Intellectual Capital, http://www.business.queensu.ca/kbe.

Canibao, Leandro, Manuel Garcia A, Paloma Sanchez. 2000. ―Accounting for Intangibles : A

Literature Review.‖ Journal of Accounting Literature . Vol 19, pp 102-130

Firer, S. Williams, S.M.2003.‖Intellectual capital and traditional measures of corporate

performance‖ Journal of Intellectual Capital Vol.4 No. 3. Pp. 348-360

Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi analisis Multivariate dengan Program SPSS Cetakan IV.

Badan Penerbit Universitas Dipenogoro : Semarang

Huang Yi-Chun , Yen-Chun Jim Wu. 2000. ―Intellectual capital and knowledge

productivity‖. the Taiwan biotech industry", Management Decision, Vol. 48 Iss: 4,

pp.580 – 599

James Guthrie, Richard Petty, Federica Ricceri, (2006) "The voluntary reporting of

intellectual capital: Comparing evidence from Hong Kong and Australia", Journal

of Intellectual Capital, Vol. 7 Iss: 2, pp.254 – 271

Kamath, G.B.2007.‖The Intellectual capital performance of Indian banking sector‖.Journal

of Intellectual Capital Vol. 8 No. 1 pp.96-123

Mavridis. Dimitrios.‖The Intellectual Capital Performance of the Japanese banking sector‖.

Journal of Intellectual Capital.Vol. 5 Iss: 1 pp.92-115

Pulic, A.1998. Measuring the performance of intellectual potential in knowledge

economy.available at : www.vaic-on,net

Pulic dan Bornemann, M.and Leitner, K.H.1999. ―Measuring and reporting intelectual

capital: the case of a research technology organisation‖, Singapore Management

Review, vol.24 No. 3, pp.7-19

Pulic. 2000.‖VAIC-An Accounting tool for IC Management‖, International Journal of

Technology Management, 20(5)

Sawarjuwono, T., dan A.P. Kadir.2003.‖Intellectual Capital :Perlakuan, Pengukuran dan

Pelaporan‖.Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol.5, No. 1. Mei:35-57

Sekaran, U. 1992. ―Research methods for business, a skill building approach‖.4th ed. John

Wiley & Sons, Inc. NY

Ulum, Ihyaul,2009. ―Intelectual capital:Konsep dan kajian empiris‖. Yogyakarta. Graha Ilmu

Page 90: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

85

PENGARUH FRAUD RISK FACTORS TERHADAP PENDETEKSIAN

KEMUNGKINAN FRAUDULENT FINANCIAL STATEMENT

(Studi Empiris pada Perusahaan yang Tercatat di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2011)

Annisa Nurbaiti

Heikal Muhammad Zakaria

Magister Ilmu Ekonomi

Universitas Padjadjaran

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh fraud risk factor terhadap pendeteksian

kemungkinan fraudulent financial statement (FFS) pada perusahaan yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia (BEI) selama periode 2009-2011. Sampel yang digunakan adalah 22

perusahaan yang aktif dan terdaftar di BEI. Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode deskriptif analisis. Data yang didapat dianalisis secara kuantitatif. Pengujian

statistik dalam penelitian ini menggunakan metode regresi logit. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa proksi variabel DL menunjukkan tingkat signifikan (p) sebesar 0,464

lebih besar dari α =5%. yang menyatakan eksternal pressure diproksikan dengan debt

leverage berpengaruh positif terhadap kemungkinan kecurangan pelaporan keuangan

ditolak. Proksi variabel RTP% menunjukkan tingkat signifikan (p) sebesar 0,088, lebih besar

dari α =5%. Berarti dengan adanya traksaksi pihak yang memiliki hubungan istimewa belum

tentu memungkinankan adanya tindak kecurangan pelaporan keuangan. Proksi variabel

AUDCHANGE menunjukkan tingkat signifikasi (p) sebesar 0,023, lebih kecil dari α =5%.

Maka hipotesis ke 3 berhasil didukung. Faktor risiko rasionalisasi yang diproksikan dengan

pergantian KAP oleh perusahaan berpengaruh positif terhadap kemungkinan kecurangan

pelaporan keuangan.

Kata kunci : fraud risk factors, fraudulent financial statement.

I. PENDAHULUAN

Pada dasarnya setiap manusia ingin menampilkan sesuatu yang terbaik dari yang dia

miliki. Hal tersebut terlihat saat kita akan beraktifitas di luar rumah, kita pasti memakai

pakaian yang terbaik. Juga terlihat pada orang yang ingin melakukan hal sesuatu demi

pengakuan sosial masyarakat luas. Ilustrasi ini terjadi pula pada perusahaan, Ketika

perusahaan publik menerbitkan laporan keuangannya maka perusahaan tersebut ingin

menggambarkan kinerja keuangan dalam keadaan terbaik. Isi laporan keuangan tidak hanya

sekedar angka-angka karena seharusnya informasi tersebut mencakup posisi keuangan dan

kinerja perusahaan yang nantinya akan berguna untuk pengambilan suatu keputusan. Hal ini

dapat menimbulkan potensi kecurangan yang akan menyesatkan para investor dan pengguna

laporan keuangan lainnya dalam mengambil keputusan. Di saat terdapat salah data dalam

laporan keuangan tersebut, maka informasi di dalamnya tidak relevan digunakan sebagai

dasar pengambilan keputusan karena laporan keuangan tersebut tidak berdasarkan informasi

yang sebenarnya.

Menurut SPAP pada PSA No. 70, dijelaskan kecurangan pelaporan keuangan yaitu

salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan

keuangan untuk mengelabui pemakai laporan keuangan, sehingga efek yang timbul adalah

ketidaksesuaian laporan keuangan dengan prinsip akuntansi secara umum.

Dewasa ini kasus fraud banyak bermunculan. Fraud sendiri dapat diartikan dalam

banyak hal tergantung situasi dan kondisi yang terjadi. IAI (2001) menjelaskan kecurangan

akuntansi sebagai: (1) Salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan

Page 91: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

86

yaitu salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan

keuangan untuk mengelabuhi pemakai laporan keuangan; (2) Salah saji yang timbul dari

perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva (terkait penyalahgunaan atau penggelapan)

berkaitan dengan pencurian aktiva entitas yang berakibat laporan keuangan tidak disajikan

sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Istilah fraud yang

melibatkan kecurangan atau salah saji dalam laporan keuangan disebut kejahatan akuntansi.

Kejahatan akuntansi atau skandal akuntansi melibatkan kaum elit bisnis dan kaum

profesional. Contoh kasus yang populer adalah kasus Enron, dimana harga saham perusahaan

tersebut anjlok karena ulah pendirinya, mantan CEO, eksekutif Enron lainnya serta Kantor

Akuntan Publik Arthur Anderson yang bersekongkol memanipulasi laporan keuangan.

Setelah terjadi kasus-kasus skandal perusahaan besar di Amerika Serikat, seperti Enron dan

Worldcom, masyarakat dunia merasa kaget karena skandal-skandal perusahaan besar justru

terjadi di negara yang selama ini dianggap sebagai panutan berbagai aturan dan standar

mengenai bursa saham, profesi akuntan, dan transparansi dalam laporan keuangan.

Perusahaan dapat dikatakan sehat atau tidak dilihat dari informasi yang tertuang

dalam laporan keuangannya. Selain itu laporan keuangan dapat juga dijadikan sebagai

pedoman bagi pemakai laporan keuangan eksternal, atau perusahaan-investor, untuk

pengambilan keputusan (Ghozali dan Chariri, 2007).

Guna meminimalisasi kecurangan yang terjadi dalam suatu laporan keuangan,

digunakanlah jasa akuntan publik untuk mengaudit seluruh proses bisnis dalam perusahaan.

Proses audit yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik eksternal biasa disebut dengan

Auditor Independent.

Namun meski dilakukan audit oleh auditor independent, kemungkinan fraud dalam

perusahaan masih bisa terjadi. Auditor independent dalam mengaudit suatu perusahaan

mengeluarkan sebuah opini auditor, yaitu : WTP, WDP, Disclaimer untuk hasil auditnya.

Bank Indonesia pun sebagai regulator menerbitkan ketentuan anti fraud. Ketentuan ini

tertuang dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.13/28/DPNP bertanggal 9 Desember 2011,

perihal Penerapan Strategi Anti Fraud, bagi Bank Umum sebagai upaya mencegah kasus-

kasus penyelewengan yang merugikan nasabah. Pengaturan ini sebagai bagian penguatan

sistem pengendalian intern Bank dan sebagai pelaksanaan lebih lanjut Peraturan Bank

Indonesia (PBI) No.5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko

bagi Bank Umum.

Paper penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Lou dan Wang

(2009). Penelitian mereka dilakukan di Taiwan yang menghubungkan variabel-variabel dari

fraud triangle dengan terjadinya financial statement fraud. Penelitian ini mengadopsi

penelitian Lou dan Wang, tetapi tidak semua perhitungannya. Hanya perwakilan dari setiap

bagian fraud triangle saja yang kami teliti.

II. KAJIAN PUSTAKA

Fraud Statement on Auditing Standards No. 99 mendefinisikan fraud sebagai ―an

intentional act that results in a material misstatement in financial statements that are the

subject of an audit.‖ Sedangkan The Treadway Commission mendefiniskan fraud sebagai

―melakukan tindakan secara sengaja atau ceroboh, apakah (oleh) perbuatan atau kelalaian,

yang menghasilkan materi laporan keuangan yang menyesatkan‖.

Dari beberapa definisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa fraud yaitu kecurangan

yang di lakukan oleh pihak perusahaan dalam hal keuangan atau non-keuangan untuk

memperindah suatu pelaporan yang disajikan.

Page 92: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

87

Hal senada terdapat dalam ACFE yang mendefinisikan fraud sebagai perbuatan-

perbuatan melawan hukum, yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu (manipulasi

atau memberikan laporan keliru terhadap pihak lain), yang dilakukan orang-orang dari dalam

atau luar organisasi, untuk mendapatkan keuntungan pribadi ataupun kelompok yang secara

langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain.

Hal-hal yang berkaitan dengan kecurangan atau rekayasa dalam pengungkapan

laporan keuangan termasuk kedalam financial statement fraud yang merupakan salah satu

bentuk kejahatan akuntansi.

Dalam SAS No. 99 terdapat dua jenis penipuan: pertama, salah saji yang timbul dari

kecurangan pelaporan keuangan (misalnya pemalsuan catatan akuntansi); kedua, salah saji

yang timbul dari penyalahgunaan aset (misalnya pencurian aset atau pengeluaran penipuan).

Standar ini menggambarkan Fraud Triangle.

Konsep segitiga kecurangan (Fraud Triangle) pertama kali diperkenalkan oleh

Cressey (1953). Teori risiko kecurangan menyediakan kerangka kerja bagi identifikasi

perusahaan fraud risk factors. Cressey (1953) dalam Skousen (2006) berpendapat bahwa

dalam penipuan laporan keuangan, selalu hadir tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi dalam

berbagai derajat. Kerangka fraud risk factors diadopsi dari America Institute of CPA

(AICPA) dalam Pernyataan Standar Auditing (SAS) No. 99, ―Consideration of Fraud in a

Financial Statement Audit‖.

Teori Fraud Triangle

Teori ini di memproksikan fraud risk factors sebagai variabel independent. Untuk

mengetahui penyebab terjadinya kejahatan akuntansi dapat menggunakan konsep segitiga

kecurangan. Konsep segitiga kecurangan (Fraud Triangle) pertama kali diperkenalkan oleh

Cressey (1953). Melalui serangkaian wawancara dengan orang-orang yang telah dihukum

karena penggelapan, Cressy menyimpulkan bahwa penipuan umumnya terbagi ke dalam tiga

ciri umum: pertama, koruptor memiliki kesempatan melakukan penipuan; Kedua, individu

memiliki kebutuhan keuangan (tekanan); Ketiga, individu terlibat dalam rasionalisasi

penipuan tindakan, sebagai konsistensi kode etik masing-masing. (Skousen, 2006)

Tekanan (Pressure)

Pressure adalah dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan fraud. Terdapat

dua jenis faktor tekanan, yaitu tekanan dari faktor keuangan (financial), dan tekanan dari

faktor sosial (non-financial). Contohnya seperti seseorang yang memiliki hutang atau tagihan

yang menumpuk, memiliki gaya hidup mewah, kebiasaan berjudi atau obat-obatan, seseorang

yang merasa tertekan ketika performanya kurang diakui oleh manajemen, dan sebagainya.

Kesempatan (Opportunity)

Adanya kesempatan memungkinkan fraud terjadi. SAS No. 99 menyebutkan bahwa

peluang pada financial statement fraud dapat terjadi pada tiga kategori. Kondisi tersebut

adalah nature of industry, ineffective monitoring, dan organizational structure.

Rasionalisasi (Rationalization)

Rasionalisasi adalah komponen kecurangan yang tidak kalah pentingnya, ketika

pelaku mencari pembenaran atas tindakannya. Misalnya, tindakan kecurangan yang

dilakukan untuk membahagiakan keluarga dan orang-orang yang dicintainya, masa kerja

pelaku cukup lama dan dia merasa gajinya kurang besar, dan kondisi saat perusahaan

mendapatkan keuntungan yang sangat besar sehingga tak mengapa jika mengambil bagian

sedikit dari keuntungan tersebut.

Page 93: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

88

Dalam SAS No. 99, terdapat empat jenis kondisi yang umum terjadi pada pressure

yang mengakibatkan kecurangan. Kondisi tersebut adalah financial stability, external

pressure, personal financial need, and financial targets.

Financial Statement Fraud

Menurut The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), kecurangan laporan

keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam

bentuk salah saji material laporan keuangan, yang merugikan investor dan kreditor.

Kecurangan ini dapat bersifat finansial atau non-finansial.

Penyebab Kejahatan Akuntansi

Menurut (Koroy, 2008), terdapat faktor yang menyebabkan identifikasi kecurangan

menjadi sulit, sehingga auditor gagal dalam usahanya, yaitu: karakteristik terjadinya

kecurangan, standar pengauditan mengenai pendeteksian kecurangan. Dalam table di bawah

ini disajikan kecurangan menurut Steve & Chad (2002):

Tabel 1 Tipe-tipe kecurangan yang dilakukan perusahaan

Sumber: Albrecht W.Steve and Albrecht Chad O, 2002 . ― Fraud Examination‖ Thomson South- Western,

dikutip dari Amrizal, Ak, MM, CFE, ―Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan Oleh Internal Auditor‖,

www.bpk.go.id

Penelitian Yung-I Lou et al (2009), yang juga meneliti mengenai likelihood of

fraudulent financial repoting menggunakan proksi yang sama dengan pembahsan dalam SAS

No. 99. Penelitian ini berkesimpulan bahwa fraudulent financial reporting memiliki

hubungan yang positif dengan ―more financial pressure of a firm or supervisor of a firm,

Page 94: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

89

higher percentage of complex transaction of a firm, more questionable integrity of a firm's

managers, or more deterioration in relation between a firm and its auditor‖.

Kecurangan Laporan keuangan telah menjadi salah satu cerita yang mendominasi

berita korporasi selama beberapa tahun terakhir. Publikasi yang cukup dengan bukti yang

dihasilkan, meruntuhkan integritas proses pelaporan keuangan dan secara substansial

menjadi kerugian investor maupun kreditur. Kecurangan telah mengikis kepercayaan publik

pada kegunaan dan keandalan laporan keuangan yang dipublikasikan

Berdasarkan uraian di atas, maka pada gambar 1 dapat menunjukkan suatu kerangka

pemikiran dari variabel dalam penelitian ini.

Gambar 1

H1

H2

H3

Pengembangan Hipotesis

Pada bagan di atas, digambarkan pengaruh Kemampuan Perusahaan Memenuhi

Kewajiban terhadap Fraudulent Financial Statement. Dalam penelitian ini tekanan eksternal

diukur dengan menggunakan kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban (DL). H1 :

Kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban berpengaruh positif terhadap Fraudulent

Financial Statement.

Begitu juga Transaksi Pihak Istimewa yang diasumsikan berpengaruh terhadap

Fraudulent Financial Statement. Lou dan Wang (2009) berpendapat bila presentase transaksi

lebih tinggi dan kompleks, perusahaan kemungkinan menghadapi kecurangan yang lebih

besar.

Dalam penelitian ini kesempatan diukur dengan transaksi pihak istimewa (RTP%). H2

: Transaksi pihak istimewa berpengaruh positif terhadap Fraudulent Financial Statement.

Pergantian KAP oleh Perusahaan berpengaruh terhadap Fraudulent Financial

Statement. Variabel ini digunakan sebagai proksi dari rasionalisasi. Maka H3 : Pergantian

KAP oleh Perusahaan berpengaruh positif terhadap Fraudulent Financial Statement.

Tekanan (Pressure)

Eksternal :

Kemampuan perusahaan

Kesempatan

(Opportunity)

Transaksi pihak istimewa

Rasionalisasi

(Rationalization)

Pergantian KAP oleh

perusahaan

Kecurangan

(Fraud)

Page 95: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

90

III. METODE PENELITIAN

Sampel dan Metode Pengumpulan Data

Data penelitian ini diambil dari perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia (BEI) periode 2009 – 2011. Pemilihan sample menggunakan purposive sampling

yaitu sample yang sengaja ditentukan berdasarkan kriteria tertentu oleh peneliti, sebanyak 22

perusahaan. Penelitian ini didasarkan pada data laporan keuangan yang diperoleh dari Bursa

Efek Indonesia (BEI) dan www.idx.co.id selama 3 tahun periode, sehingga total pengamatan

seluruhnya adalah 66 perusahaan.

Proses indentifikasi perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam fraudulent financial

statement bukan hal yang mudah, karena BAPEPAM tidak menerbitkan data perusahaan

yang memiliki kemungkinan melakukan fraud. BAPEPAM hanya menerbitkan perusahaan

yang sudah terbukti melakukan fraud. Berbeda dengan Skousen, et al (2008) yang

menggunakan data dari SEC dan AAERs untuk mengindentifikasi perusahaan yang

melakukan financial statement.

Peneliti memproksikan kemungkinan fraudulent financial statement sebagai variabel

dependen dengan opini audit Tidak Wajar (TW)), tidak Menyatakan Pendapat (TMP) dan

Wajar dengan Pengecualian (WDP) yang diperoleh perusahaan. Peneliti juga menggunakan

variabel dummy, yang dikodekan dengan 1 untuk perusahaan yang tergolong FFS, dan 0

untuk perusahaan non-FFS. Sedangkan untuk fraud risk factors sebagai variabel independen,

peneliti menggunakan model fraud triangle yaitu faktor pressure yang diproksikan dengan

Debt Leverage (DL) yaitu total assets atau total liabilities pada tahun perhitungan,

opportunity yang diproksikan dengan Kemampuan Perusahaan Memenuhi Kewajiban

(RTP%) yaitu total hutang pihak istimewa atau total kewajiban pada tahun perhitungan, dan

rationalization yang diproksikan dengan melihat pergantian KAP oleh perusahaan.

Metode Analisis Data

Analisis regresi logit digunakan untuk menjelaskan hubungan antara variabel terikat

yang berubah atau data dikotomik (biner) dengan variabel bebas yang berupa data berskala

interval dan atau kategorik (Hosmer dan Lemeshow, 1989). Variabel terikat berskala biner

adalah variabel terikat Y yang menghasilkan dua kategori (dikotomik) yang dinotasikan

sebagai Y = 1 menyatakan kejadian ―sukses‖, dan y = 0 menyatakan kejadian ―gagal‖.

Variabel Y ini mengikuti sebaran/distribusi Bernouli.

Model regresi logistik dalam penelitian ini adalah :

FRAUD = β0 + β1 DL + β2 AUDCHANGE + β3 RTP% + ε

Keterangan:

FRAUD = Variabel dummy yang dikodekan dengan 1 untuk perusahaan yang

tergolong FFS, dan 0 untuk perusahaan non FFS.

DL = Total Aktiva terhadap Total Kewajiban.

AUDCHANGE = Variabel dummy, dengan kode 1 jika perusahaan melakukan

perubahan auditor dalam dua tahun, dan kode 0 jika tidak

melakukan perubahan auditor dalam dua tahun.

RTP% = Hutang yang harus di bayarkan oleh pihak istimewa.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah emiten yang terdaftar di BEI pada

tahun 2009-2011. Dari seluruh sampel dilihat apakah indikasi perusahaan menuju terjadinya

kemungkinan kecurangan (fraud) yang diproksi dalam opini auditor atas laporan keuangan

berupa wajar dengan pengecualian (WDP), tidak wajar dan tidak memberikan pendapat

(TMP) dan tidak melakukan kecurangan yang diproksi dengan opini auditor atas laporan

keuangan berupa wajar tanpa pengecualian (WTP).

Page 96: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

91

Uji Klasifikasi 2x2

Prediksi ketepatan model juga dapat menggunakan tabel klasifikasi 2x2 yang

menghitung nilai estimasi yang benar (correct) dan salah (incorrect) pada variabel dependen.

Menurut prediksi, perusahaan yang kemungkinan tidak melakukan tindak kecurangan (0)

adalah 26 perusahaan. Sedangkan hasil observasi hanya 9 perusahaan, sehingga ketepatan

klasifikasi adalah 34.6%. Sedangkan dalam memprediksi perusahaan yang melakukan tindak

kecurangan (1) adalah 40 perusahaan, hasil observasi hanya 36 sehingga ketepatan klasifikasi

adalah 90%. Dengan demikian secara keseluruhan ketepatan klasifikasi adalah 68.2%. Hal

tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Classification Tablea

Observed Predicted

PROBABILITY Percentage Correct nonffs ffs

Step 1 PROBABILITY Nonffs 9 17 34.6

Ffs 4 36 90.0

Overall Percentage 68.2

a. The cut value is .500

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 9.286 3 .026

Block 9.286 3 .026

Model 9.286 3 .026

Pengujian signifikansi variabel secara bersama-sama dalam regresi logistic

menunjukkan nilai chi square sebesar 9.286 dengan signifikansi sebesar 0,026. Nilai

signifikansi yang lebih kecil dari tingkat sebesar 0,05 menunjukkan adanya kemungkinan

pengaruh yang signifikan dari ketiga variabel independen tersebut dalam menjelaskan

probabilitas Fraudulent financial statement pada tingkat sama dengan 5%.

Interpretasi Hasil

Analisis model regresi logistik dapat dilihat dari ringkasan hasil estimasi model

logistik yang tersaji dalam table ebagai berikut:

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1a DL .093 .128 .535 1 .464 1.098

AUDITCHANGE

(1)

-1.592 .700 5.177 1 .023 .204

RPT 1.762 1.033 2.910 1 .088 5.824

a. Variable(s) entered on step 1: DL, AUDITCHANGE, RPT.

Pengujian Hipotesis

a. Pembahasan Hasil Uji Hipotesis Ke 1

Proksi variabel DL menunjukkan tingkat signifikan (p) sebesar 0,464 lebih besar dari

α =5%. Oleh karena tingkat signifikan (p) lebih besar dari α=5% maka hipotesis ke-1 yang

menyatakan eksternal pressure diproksikan dengan debt leverage berpengaruh positif

terhadap kemungkinan kecurangan pelaporan keuangan ditolak pada tingkat α =5%.

Penelitian ini bertentangan dengan Ema kurniawati (2010), yang memperoleh sebaliknya.

Page 97: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

92

b. Pembahasan Hasil Uji Hipotesis Ke 2

Proksi variabel RPT% menunjukkan tingkat signifikan (p) sebesar 0,088, lebih besar dari α

=5%. Hal ini mengindikasi bahwa perusahaan dengan adanya traksaksi pihak yang memiliki

hubungan istimewa belum tentu memungkinankan adanya tindak kecurangan pelaporan

keuangan. Penelitian ini tidak membuktikan adanya pengaruh faktor risiko kesempatan

melalui proksi variabel transaksi terhadap pihak yang memiliki hubungan istimewa terhadap

kemungkinan kecurangan pelaporan keuangan. Hal ini bertentangan sama dengan penelitian

yang dilakukan Lou dan Wang (2009), yaitu transaksi pihak istimewa menimbulkan risiko

salah saji material akibat fraud, karena sangat rentan terhadap manipulasi transaksi dengan

pihak yang memiliki hubungan istimewa. Tapi pada derajat 10%, RPT% menunjukkan signifikansinya.

c. Pembahasan Hasil Uji Hipotesis Ke 3

Proksi variabel AUDCHANGE menunjukkan tingkat signifikasi (p) sebesar 0,023,

lebih kecil dari α =5%. Maka hipotesis ke 3 berhasil didukung. Penelitian ini membuktikan

bahwa faktor risiko rasionalisasi yang diproksikan dengan pergantian KAP oleh perusahaan

berpengaruh positif terhadap kemungkinan kecurangan pelaporan keuangan. Hasil penelitian

ini senada dengan yang dilakukan oleh Loebbecke et al. (1989).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini menganalisis pengaruh antara risk fraud factor dengan beberapa proksi

dari fraudulent financial statement. Pengukuran financial statement fraud pada penelitian ini

menggunakan analisis fraud triangle seperti yang dilakukan oleh Lou dan Wang (2009) dan

Ema Kurniawati (2011). Penelitian ini menggunakan proksi opini auditor atas laporan

keuangan perusahaan sebagai variabel dependen. Indikasi adanya kecurangan ditandai

dengan opini selain wajar tanpa pengecualian (WTP).

Berdasarkan hasil analisis dan pengujian hipotesis, dapat ditarik kesimpulan berikut

ini: (1) Debt Leverage (DL) tidak berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap

kemungkinan fraudulent financial statement. DL tidak bisa menjadi proksi dalam terjadinya

kemungkinan fraudulent financial statement pada perusahaan; (2) Transaksi pihak istimewa

tidak berpengaruh secara signifikan terhadap financial statement fraud, kecuali jika derajat

kesalahan dalam perhitungan ditingkatkan menjadi 10%. (3) Perpindahan KAP yang

diproksikan dengan AUDCHANGE berpengaruh secara positif - signifikan terhadap

kemungkinan fraudulent financial statement. Hal tersebut dapat diartikan bahwa perpindahan

KAP dapat dijadikan sebagai proksi mengidentifikasikan terjadinya financial statement fraud.

Saran

Ada beberapa keterbatasan pada penelitian ini, antara lain: (1) terlalu sedikitnya

waktu sampel data yang diambil; (2) sampel perusahaan yang diambil hanya 33 perusahaan

yang terdaftar di BEI; (3) Indikator yang diambil untuk memproksikan variabel independen

hanya terdiri dari Debt leverage, Audit Change dan hubungan dengan pihak istimewa.

Penelitian selanjutnya diharapkan perlu memperbanyak indicator lainnya agar lebih kaya.

Peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut dalam pengkajian lanjutan: (1)

menambah variabel proksi dari fraud triangle agar cakupan penelitian menjadi lebih luas; (2)

menambah jumlah sampel perusahaan agar dapat memprediksi kasus fraudulent financial

statement pada kategori perusahan lain; (3) melibatkan atau bahkan mengganti proksi yang

sudah ada dalam penelitian ini, sebagai pengukur kemungkinan fraudulent financial

statement secara lebih luas.

Page 98: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

93

DAFTAR PUSTAKA

Cendrowski, H., J.P. Martin, dan L.W. Petro., 2007, The Handbook of Fraud Deterrence.

New York: John Wiley & Sons, Inc. Halaman 41 – 48.

Christopher J. Skousen. CONTEMPORANEOUS RISK FACTORS AND THE

PREDICTION OF FINANCIAL STATEMENT FRAUD. Texas. 2006.

Cressey, D. 1953. Other People’s Money; a Study in the Social Psychology of Embezzlement.

Glencoe, IL, Free Press.

Ghozali, Imam dan Anis Chari. 2007. Teori Akuntansi. Edisi 3. Semarang: Badan Penerbit

Universitas Dipinegoro.

Koroy, Tri Ramaraya. 2008. Pendeteksian Lecurangan (Fraud) Laporan Keuangan oleh

Auditor Eksternal. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Banjarmasin.

Rezaee, Z., 2002, Financial Statement Fraud: Prevention and Detection. New York: John

Wiley & Sons, Inc. Halaman 1 – 2. You-I Lou, and Ming-Long Wang (2009). ―Fraud risk factor of the fraud triangle assessing

the likelihood of fraudulent financial reporting‖, Journal of business &

economics research, Vol. 7, No. 2.

Page 99: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

94

Analisis Pengaruh Jumlah Sekolah, Jumlah Murid, dan Jumlah Guru terhadap Indeks

Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Barat

Gallyn Ditya Manggala

Ahmad Kafrawi Mahmud

Magister Ilmu Ekonomi

Universitas Padjadjaran

Abstract

Penelitian ini menggunakan regresi panel data dengan variabel-variabel IPM, jumlah

sekolah, jumlah murid, dan jumlah guru di tingkat SD dan SMP. Hasil penelitian

menunjukkan koefisien dari variabel-variabel jumlah sekolah dan jumlah murid

menunjukkan hasil yang tidak signifikan, artinya variabel tersebut kurang berpengaruh

terhadap pembentukan IPM di Jawa Barat. Kecuali variabel jumlah guru yang menunjukkan

hasil yang signifikan, hal ini mengindikasikan bahwa variabel tersebut mempunyai pengaruh

terhadap pembentukan IPM di Jawa Barat.

Keyword : IPM, Jumlah sekolah, Jumlah murid, Jumlah Guru

I. Latar Belakang

Sekitar tahun 1996, untuk pertama kalinya Badan Pusat Statistik (BPS) dan United

Nations Development Programme (UNDP) Indonesia mempublikasikan Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) sebagai alat tolok ukur pembangunan manusia. IPM mengukur

aspek-aspek yang relevan dengan pembangunan manusia melalui indeks komposit yang

terdiri dari tiga komponen utama yaitu kesehatan, pendidikan, dan pendapatan (daya beli).

Pada saat ini IPM dianggap lebih mencerminkan hasil-hasil pembangunan yang berfokus

pada pembangunan manusia. Indikator ini merupakan penentu apakah daerah atau kawasan

tersebut maju atau tidak, suatu daerah bisa dikatakan maju apabila di daerah tersebut tingkat

IPM sudah tinggi. Hal ini dikarenakan Indek Pembangunan Manusia merupakan indikator

dari tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, dan indek daya beli di suatu wilayah tersebut.

Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, ini

merupakan sesuatu hal yang positif apabila sebagian besar masyakarat-nya produktif. Dapat

dikatakan bahwa pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu

masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian proses sosial, ekonomi dan

institusional demi mencapai kehidupan yang lebih baik.

Sangat dilemmatis sekali memang kalau melihat IPM Jawa Barat yang berada di

kisaran angka 16 dari 34 propinsi yang ada di Indonesia. Berbeda sekali dengan dengan

tetangga dekatnya seperti Jakarta yang berada di posisi ke-1. Hal ini merupakan persoalan

yang harus diselesaikan oleh pemerintah provinsi Jawa Barat untuk bisa menanggulangi

masalah tersebut, seharusnya dengan sumberdaya yang ada di Jawa Barat, baik itu dari

sumberdaya manusia, alam, maupun dalam hal infrasturktur, Jawa Barat hendaknya berada di

posisi 5 besar dari 34 propinsi yang ada di Indonesia dalam hal IPM-nya. Oleh karena itulah

hendaknya permasalahan ini harus segera di selesaikan, agar propinsi Jawa Barat ini bisa

menjadi propinsi yang unggul dan juga sebagai pelopor dari propinsi-propinsi lainnya.

Berikut ini adalah perbandingan IPM Jawa Barat dengan DKI Jakarta dan Yogyakarta.

Page 100: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

95

gambar 1: Perbandingan IPM ketiga propinsi

II. Rumusan Masalah

1. Untuk mengetahui pengaruh jumlah sekolah dasar (SD) dan jumlah sekolah

menengah pertama (SMP) terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Barat.

2. Untuk mengetahui pengaruh jumlah murid sekolah dasar (SD) dan jumlah murid

sekolah menengah pertama (SMP) terhadap IPM di Jawa Barat.

3. Untuk mengetahui pengaruh jumlah guru sekolah dasar (SD) dan jumlah guru sekolah

menengah pertama (SMP) terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Barat.

III. Tinjauan Teoritis

Sebagai tokoh utama dari aliran ekonomi klasik, Adam Smith menganggap bahwa

manusialah sebagai faktor produksi utama yang menentukan kemakmuran suatu bangsa.

Alasan utama yang mendasari pernyataan Smith tersebut karena beliau menganggap alam

tidak ada artinya kalau tidak ada sumber daya yang pandai mengelolanya sehingga

bermanfaat bagi kehidupan. Smith juga melihat bahwa alokasi sumber daya yang efektif

adalah pertumbuhan ekonomi. Menurut UNDP (1990), pembangunan manusia adalah suatu

proses perluasan pilihan bagi penduduk untuk membangun hidupnya yang dianggap

berharga. Beberapa hal esensial dalam pembangunan manusia adalah agar manusia dapat

merasakan kehidupan yang panjang dan sehat, berpengetahuan, dan mempunyai akses

terhadap sumber-sumber yang diperlukan untuk hidup layak. Pada tahun 1990, UNDP

memperkenalkan suatu indikator yang telah dikembangkannya, yaitu suatu indikator yang

dapat menggambarkan perkembangan pembangunan manusia secara terukur dan

representatif, yang dinamakan Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan

Manusia (IPM). Angka IPM berkisar antara 0 hingga 100. Semakin mendekati 100, maka hal

tersebut merupakan indikasi pembangunan manusia yang semakin baik.

Pelaksanaan pembangunan seutuhnya senantiasa menempatkan manusia sebagai titik

sentral dalam pembangunan. Dalam kerangka ini maka pembangunan ditujukan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan

partisipasi rakyat dalam semua proses dan kegiatan pembangunan. Dengan demikian maka

pembangunan manusia menjadi tujuan utama pembangunan melalui peningkatan kemampuan

sumber daya manusia, agar mampu sebagai subyek pembangunan. Untuk mencapai tujuan

66

68

70

72

74

76

78

2006 2007 2008 2009 2010

Indeks Pembangunan Manusia

DKI Jakarta

Jawa Barat

Yogyakarta

Page 101: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

96

tersebut maka setiap negara dalam hal ini pemerintah perlu melakukan upaya meningkatkan

kualitas penduduk sebagai sumber daya, baik dari aspek fisik (kesehatan), aspek

intelektualitas (pendidikan), aspek kesejahteraan ekonomi (daya beli) maupun aspek

moralitas (keimanan dan ketaqwaan) sehingga partisipasi rakyat dalam pembangunan akan

sendirinya meningkat (BPS Jawa Barat, 2000). Menurut UNDP (1990), pembangunan

manusia merupakan model pembanguanan yang ditujukan untuk memperluas pilihan yang

ditumbuhkan melalui upaya pemberdayaan penduduk. Pemberdayaan penduduk ini dapat

dicapai melalui upaya yang menitikberatkan pada peningkatan kemampuan dasar manusia

yaitu meningkatkan derajat kesehatan, pengetahuan dan keterampilan agar dapat digunakan

untuk mempertinggi partisipasi dalam kegiatan produktif, sosial, budaya dan politik.

Upaya untuk mengangkat manusia sebagai tujuan utama pembangunan, sebenarnya

telah muncul dengan lahirnya konsep ―basic need development‖. Paradigma ini mengukur

keberhasilan pembangunan dengan menggunakan Indeks Mutu Hidup (Physical Quality Life

Index), yang memiliki tiga parameter, yaitu: angka kematian bayi (infant motality rate),

angka harapan hidup waktu lahir (life expentancy) dan tingkat melek huruf (literacy rate).

Indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan manusia terus dikembangkan,

sehingga muncul paradigma baru pembangunan manusia yang diukur dengan Indeks

Pembangunan Manusia (Human Development Index). Pada dasarnya IPM mengukur tiga

dimensi pokok pembangunan manusia, yaitu:

1. Umur panjang dan sehat yang mengukur peluang hidup

2. Berpengetahuan dan berketarampilan, serta

3. Akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup layak.

Lebih jelasnya UNDP menentukan beberapa komponen besaran Indeks Pembangunan

Manusia (IPM), yaitu usia hidup (longevity) diukur dari angka harapan hidup waktu lahir,

pengetahuan (knowledge) diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, dan

standar hidup layak (decent living) diukur dengan rata-rata konsumsi riil yang telah

disesuiakan. Untuk lebih jelasnya teknis penentuan IPM dapat dilihat pada gambar ini: gambar 2: Komponen Indeks Pembangunan Manusia

Page 102: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

97

Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh banyak indikator antara lain:

pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan pekerjaan, peningkatan daya beli, peningkatan

kualitas kesehatan, dan banyak lagi indikator yang lain. Dari berbagai indikator kemajuan

pembangunan ekonomi, salah satunya adalah keberhasilan dalam meningkatkan kualitas

pembangunan manusia. Indikator peningkatan kualitas pembangunan manusia terlihat dari

perubahan indeks pembangunan manusia (human development index). Perubahan dalam

indeks pembangunan manusia dipengaruhi oleh tiga indikator, yaitu: indeks kesehatan, indeks

pendidikan, dan indeks daya beli. Oleh karena itu, perubahan dalam IPM terkait erat dengan

perubahan ketiga indeks tersebut.

Dalam perhitungan indeks kesehatan, digunakan angka harapan hidup sebagai

indikator. Selain memasukkan indeks kesehatan, perhitungan IPM juga memasukkan indeks pendidikan. Indeks pendidikan berbeda dengan indeks kesehatan, karena di dalam indeks

pendidikan mengakomodir dua indikator komponen prestasi, yaitu: indeks melek hurup dan

indeks rata-rata lama sekolah. Indeks melek hurup dihitung berdasarkan perubahan angka

melek huruf, sedangkan indeks rata-rata lama sekolah dihitung berdasarkan angka rata-rata

lama sekolah.

Penelitian Sebelumnya:

No Nama Judul Thn Masalah Metode Temuan

1 Nur Isa

Pratowo

Analisis Faktor-

Faktor Yang

Berpengaruh

Terhadap Indeks

Pembangunan

Manusia

2010 Indeks

Pembangunan

Manusia di

Indonesia masih

rendah bahkan jauh

di bawah Malaysia.

Analisis data

Belanja

daerah, Gini

rasio, Proporsi

pengeluaran

non makanan,

Rasio

ketergantunga

n, IPM

Belanja Daerah dan

Proporsi

Pengeluaran non-

Makanan signifikan

positif terhadap

IPM. Gini Rasio dan

Rasio

Ketergantungan

signifikan negatif

terhadap IPM.

2 Paulus

Grans

Naput

Analisis Pengaruh

Daya Beli

Masyarakat,

Belanja Pendidikan,

dan Belanja

Kesehatan

Terhadap

Indeks

Pembangunan

Manusia

di Indonesia

2012 Indeks

Pembangunan

Manusia masih

tergolong rendah

jika dibandingkan

dengan negara-

negara lainnya.

Penelitian

kuantitatif

cross-section

yang

dikumpulkan

dengan

metode

dokumentasi.

Belanja kesehatan

kabupaten/kota

tahun 2007 tidak

signifikan

berpengaruh

terhadap angka

harapan hidup tahun

2007, 2008, dan

2009..

3 Prieska

Pretty

Madogucc

i

Analisis Faktor-

Faktor Yang

Mempengaruhi IPM

di Indonesia.

2010 Tantangan

Indonesia

menghadapi

ekonomi global

dengan IPM yang

rendah.

Ordinary

Least Square

dengan

menggunakan

regresi linear

berganda

Estimasi penelitian

ini menunjukkan

semua variabel

bebas berpengaruh

positif terhadap IPM

Page 103: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

98

IV. Metodologi

Penelitian ini menggunakan regresi panel guna menganalisis pengaruh jumlah sekolah,

murid, dan guru terhadap Indeks Pembangunan Manusia Jawa Barat. Metode panel

merupakan gabungan data time series dan cross section yang mampu menyediakan data yang

lebih banyak sehingga akan menghasilkan degree of freedom yang lebih besar. Regresi model

panel juga dapat memperlihatkan karakteristik masing-masing kabupaten dan kota di Jawa

Barat. Dengan menggabungkan informasi dari data time series dan cross section dapat

mengatasi masalah yang timbul ketika ada masalah penghilangan variabel (omitted-variable).

Variabel penelitian terdiri dari Jumlah Sekolah, Jumlah Murid, Jumlah Guru, dan

Indeks Pembangunan Manusia. Adapun periode penelitian dalam kasus ini adalah tahun 2008

sampai tahun 2010 di provinsi Jawa Barat. Data diambil dari www.jabarprov.go.id.

Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

IPMit : Variabel Indek Pembangunan Manusia pada periode t dan wilayah i.

Data diukur dalam angka.

Sekolahit : Variabel jumlah sekolah pada periode t dan wilayah i. Data diukur dalam

satuan unit sekolah.

Muridit : Variabel jumlah murid pada periode t dan wilayah i. Diukur dalam orang.

Guruit : Variabel jumlah guru pada periode t dan wilayah i. Diukur dalam orang.

Prosedur pengolahan data panel adalah pertama dilakukan uji hausman untuk melihat

apakah pengolahan panel data akan dilakukan denga metode random effect atau fix effect.

V. Hasil dan Analisis

Uji Hausman Correlated Random Effects - Hausman Test

Pool: Untitled

Test cross-section random effects

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 4.665420 3 0.1980

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.

SEKOLAH? -0.001533 -0.001488 0.000000 0.6114

MURID? -0.000001 -0.000001 0.000000 0.0650

GURU? 0.000144 -0.000132 0.000000 0.0680

Cross-section random effects test equation:

Dependent Variable: IPM?

Method: Panel Least Squares

Date: 05/10/13 Time: 22:46

Sample: 2008 2010

Included observations: 3

Cross-sections included: 26

Total pool (balanced) observations: 78

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 72.54461 0.102792 705.7397 0.0000

SEKOLAH? -0.001533 0.001484 -1.033145 0.3066

MURID? -9.57E-07 3.17E-06 -0.302358 0.7637

GURU? 0.000144 6.46E-05 -2.226947 0.0306

Effects Specification

IPMit = Sekolahit + Muridit + Guruit + et

Page 104: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

99

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.987956 Mean dependent var 72.20423

Adjusted R-squared 0.981074 S.D. dependent var 2.728066

S.E. of regression 0.375306 Akaike info criterion 1.156552

Sum squared resid 6.901879 Schwarz criterion 2.032764

Log likelihood -16.10552 Hannan-Quinn criter. 1.507316

F-statistic 143.5519 Durbin-Watson stat 1.890354

Prob(F-statistic) 0.000000

Ho : Model Random Effect

Ha : Model Fixed Effect

Kriteria: Prob Chi Square > α do not reject Ho. Gunakan model random effect.

Kesimpulan: 0.1980 > 0.05

Berdasarkan hasil uji hausman maka diperoleh kesimpulan bahwa penelitian ini akan

menggunakan metode panel dengan random effect. Hal ini juga sesuai dengan syarat yang

terdapat dalam random effect yakni objek data silang (cross section) harus lebih besar

daripada banyaknya koefisien. Dalam analisis ini jumlah data silang sebanyak 26 buah yaitu

kabupaten dan kota yang ada di Jawa Barat. Sedangkan jumlah variabel sebanyak 4 buah.

Berikut adalah hasil pengolahan data maka didapatlah hasil estimasi seperti berikut ini:

Dependent Variable: IPM?

Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects)

Date: 05/10/13 Time: 22:43

Sample: 2008 2010

Included observations: 3

Cross-sections included: 26

Total pool (balanced) observations: 78

Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 72.52886 0.537025 135.0567 0.0000

SEKOLAH? -0.001488 0.001481 -1.004866 0.3182

MURID? -1.33E-06 3.16E-06 -0.419507 0.6761

GURU? 0.000132 6.43E-05 -2.047009 0.0442

Random Effects (Cross)

_KABBOGOR—C -0.385800

_KABSUKABUMI—C -1.958608

_KABCIANJUR—C -3.521780

_KABBANDUNG—C 1.773571

_KABGARUT—C -1.299409

_KABTASIKMALAYA--C -0.646659

_KABCIAMIS—C -1.335006

_KABKUNINGAN--C -1.776480

_KABCIREBON—C -3.980561

_KABMAJALENGKA--C -2.501995

_KABSUMEDANG--C -0.260034

_KABINDRAMAYU--C -4.793020

_KABSUBANG—C -1.414063

_KABPURWAKARTA--C -1.538800

_KABKARAWANG--C -2.684100

_KABBEKASI—C 0.588587

_KABBANDUNGBARA—C 0.753555

_KOTBOGOR--C 3.310690

_KOTSUKABUMI--C 2.159532

_KOTBANDUNG--C 4.144029

Page 105: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

100

_KOTCIREBON--C 2.245995

_KOTBEKASI--C 3.832943

_KOTDEPOK--C 6.504606

_KABCIMAHI--C 2.758551

_KOTTASIKMALAYA--C 1.514353

_KOTBANJAR--C -1.490098

Effects Specification

S.D. Rho

Cross-section random 2.688222 0.9809

Idiosyncratic random 0.375306 0.0191

Weighted Statistics

R-squared 0.178852 Mean dependent var 5.801179

Adjusted R-squared 0.145562 S.D. dependent var 0.410561

S.E. of regression 0.379506 Sum squared resid 10.65783

F-statistic 5.372564 Durbin-Watson stat 1.216027

Prob(F-statistic) 0.002113

Unweighted Statistics

R-squared -0.025917 Mean dependent var 72.20423

Sum squared resid 587.9127 Durbin-Watson stat 0.022044

IPMit = 72,52886 – 0,001488 Sekolahit – 1,33E-06 Muridit + 0,000132 Guruit

Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka didapatkan hasil bahwa koefisien dari

variable jumlah sekolah dan jumlah murid tidak signifikan, pada derajat 5%. Sedangkan

variabel jumlah guru berpengaruh signifikan pada derajat 5%.

Nilai koefisien Jumlah Sekolah adalah –0,001488 yang berarti bahwa ketika jumlah

Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) bertambah pada Kabupaten dan

Kota di Jawa Barat maka akan menyebabkan menurunkan IPM sebesar –0,001488 di Jawa

Barat, hal tersebut bisa terjadi jika kualitas sekolah yang dibangun masih kurang memenuhi

standar yang layak, dan belum mempunyai fasilitas yang memadai. Bertambahnya jumlah

sekolah jika tidak dibarengi dengan mutu dan kualitas sarana dan prasarananya justru hanya

menjadi sekolah yang pajangan saja, tidak mempunyai kontribusi yang positif terhadap

peningkatan pendidikan dan IPM di Jawa Barat.

Besaran hasil estimasi variabel jumlah murid adalah –1,33E-06 yang berarti bahwa

ketika jumlah murid Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) bertambah

pada Kabupaten dan Kota di Jawa Barat maka akan menyebabkan penurunan IPM sebesar –

1,33E-06. Hal ini juga bisa terjadi jika kualitas peserta didik yang ada tidak mempunyai

bobot dan kualitas, hal ini bisa terjadi karena sarana dan prasarana sekolah tersebut kurang,

ataupun ada faktor yang lainnya, seperti kurangnya motivasi murid-murid dalam belajar.

Nilai hasil estimasi variabel jumlah guru adalah 0.000132 yang berarti bahwa ketika

jumlah guru bertambah pada Kabupaten dan Kota di Jawa Barat maka akan menyebabkan

menaiknya IPM di propinsi Jawa Barat sebesar 0.000132. Ini bisa terjadi karena guru adalah

sosok yang menjadi panutan bagi siswanya, guru yang baik ialah guru yang mempunyai

murid yang baik juga. Guru yang mempunyai metode-metode pembelajaran yang baik

biasanya akan membuat muridnya termotivasi untuk giat belajar dan mengejar cita-citanya.

VI. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah di bahas dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa

jumlah sekolah dan jumlah murid kurang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

pembentukan IPM di Jawa Barat. Kedua variabel tersebut malah berpengaruh negatif

terhadap pembentukan IPM, hal ini bisa terjadi jika kualitas sekolah, serta sarana dan

prasarananya kurang memadai, sedangkan untuk muridnya sendiri kurangnya motivasi dalam

Page 106: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

101

mengikuti kegiatan belajar mengajar dan juga kurangnya sarana dan prasarana dalam sekolah

tersebut. Sedangkan variabel jumlah guru dalam penelitian ini mempunyai pengaruh yang

signifikan dalam terbentuknya IPM di Jawa Barat, dengan bertambahnya jumlah guru dengan

kualitas yang baik serta dengan metode pembelaran yang baik bisa membuat murid-muridnya

termotivasi untuk mengikuti kegiatan belajar-mengajar.

Saran

Pemerintah hendaknya lebih memperhatikan lagi kualitas sekolah-sekolah yang

dibangun, serta memperbaiki sarana dan prasarana yang ada di sekolah tersebut. Pemerintah,

keluarga serta sivitas akademik juga harus lebih memberikan perhatian serta dukungan

kepada anak-anak didiknya supaya bisa lebih termotivasi dan lebih giat belajar.

Daftar Pustaka - Ace Suryadi (2002) Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan: Isu, Teori, dan

Aplikasi. Jakarta: Balai Pustaka.

- Badan Pusat Statistik , Indeks Pembangunan Manusia 2006-2010. Badan Pusat Statistik.

Jakarta.

- Gujarati, Damodar.2007 Dasar-dasar Ekonometrika. Terjemahan oleh Julius A. Mulyadi.

Penerbit Erlangga, Jakarta. (On-line) diakses tanggal 17 januari 2011

- Hausman, J. A, 1978, ―Specification Test in Econometrics ‖, Econometrica Journal, Vol.

46, No. 6. (November, 1978), pp. 1251-1271.

- Hsiao, Cheng. 2003. Analysis of Panel Data. Second Edition. Cambridge University Press

(On-line)

- LIPI, Pusat Penelitian Kependudukan. 2008. ―Pengembangan Sumber Daya Manusia

diantara Peluang & Tantangan’. LIPI Press. Jakarta (On-line)

- Ramirez, A., G. Ranis, dan F. Stewart, 1998. Economic Growth and Human Capital. QEH

Working Paper No. 18.

- Richard, Pierre Agenor. The Economics of Adjustment and Growth. LA Editorial UPR (On-

line).

- Romer, David. 1996. Advanced Macroeconomics.The McGraw-Hill Companies, Inc.New

York.

- Steven G. Smith (1992) The Concept of Human Nature. Philadelphia: Temple University

Press.

- www.jabarprov.go.id.

Page 107: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

102

“PERANAN KOMITMEN MANAJEMEN PUNCAK DAN BUDAYA ORGANISASI

TERHADAP IMPLEMENTASI SISTEM INFORMASI AKUNTANSI

MANAJEMEN”

(Studi Pada Bank Perkreditan Rakyat di Kota Pontianak)

Muhammad Syaifullah

Doktor Ilmu Ekonomi

Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menguji: (1) peranan komitmen manajemen puncak dan

budaya organisasi terhadap implementasi system informasi akuntansi manajemen ; (2)

peranan komitmen manajemen puncak terhadap implementasi sistem informasi akuntansi

manajemen; 3) peranan budaya organisasi terhadap implementasi sistem informasi

akuntansi manajemen. Penelitian ini dilakukan pada 8 BPR di kota Pontianak. Data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah untuk pengumpulan data primer dengan mendia

pengunpul data melalui kuesioner. Responden penenlitian adalah direktur, para manajer

akuntansi dan staf akuntansi. Metode penelitian yang digunakan adalah Structural Equation

Modeling (SEM). Hipotesis dari penelitian ini adalah: (1) terdapat peranan komitmen

manajemen puncak dan budaya organisasi terhadap implementasi system informasi

akuntansi manajemen ; (2) terdapat peranan komitmen manajemen puncak terhadap

implementasi sistem informasi akuntansi manajemen; 3) terdapat peranan budaya organisasi

terhadap implementasi sistem informasi akuntansi manajemen. Hasil penelitian adalah

sebagai berikut: (1) komitmen manajemen puncak dan budaya organisasi berperan signifikan

terhadap implementasi sistem informasi akuntansi manajemen; (2) komitmen manajemen

puncak berperan secara signifikan terhadap implementasi sistem informasi akuntansi

manajemen; (3) budaya organisasi berperan terhadap implementasi sistem informasi

akuntansi manajemen. Konstrak yang paling dominan berperan terhadap implementasi

sistem informasi akuntansi manajemen adalah konstrak komitmen manajemen puncak.

Kata Kunci: Budaya Organisasi, Komitmen Manajemen Puncak, dan Implementasi System

Informasi Akuntansi Manajemen.

PENDAHULUAN

Nugroho dan Soekarni (2003) dalam penelitiannya menyatakan bahwa sebagai

upaya memperkuat ekonomi, stabilitas sektor perbankan dan keuangan yang efisien akan

memberikan landasan bagi efektivitas implementasi kebijakan stabilitas ekonomi makro dan

mobilitas modal pada penggunaan yang tepat. Oleh sebab itu penting bagi suatu negara

untuk terus memperhatikan kondisi stabilitas sektor perbankan dan keuangannya.

Halim Alamsyah (2012), menyatakan bahwa peranan dan fungsi bank sentral dalam

perekonomian Indonesia adalah menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan, mendorong

pengembangan pasar keuangan serta menjamin sistem pembayaran yang aman dan efisien.

Dalam menjalankan tugas utama dari bank sentral, kebijakan yang diambil sering kali

bertentangan dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Menyikapi hal ini, dalam

menjalankan perannya, bank sentral juga selalu berkoordinasi dengan Pemerintah.

Kalimantan Barat adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau

Kalimantan dan beribukotakan Pontianak. Luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah

Page 108: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

103

146.807 km² (7,53% luas Indonesia). Merupakan provinsi terluas keempat setelah Papua,

Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu

daerah yang dapat dijuluki provinsi "Seribu Sungai". Julukan ini selaras dengan kondisi

geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering

dilayari. Beberapa sungai besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur utama

untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana jalan darat telah dapat menjangkau

sebagian besar kecamatan. Kalimantan Barat berbatasan darat dengan negara bagian

Sarawak, Malaysia. Walaupun sebagian kecil wilayah Kalimantan Barat merupakan perairan

laut, akan tetapi Kalimantan Barat memiliki puluhan pulau besar dan kecil (sebagian tidak

berpenghuni) yang tersebar sepanjang Selat Karimata dan Laut Natuna yang berbatasan

dengan Provinsi kepulauan Riau (http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Barat).

Salah satu potensi ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat adalah unit Koperasi dan

UMKM, yang belakangan menjadi penting untuk mendapatkan perhatian dari Pemerintah.

Berbagai program dan kegiatan pemberdayaan koperasi dan UMKM yang dilaksanakan

Pemerintah pada dasarnya untuk mewujudkan Koperasi dan UMKM sebagai pelaku ekonomi

yang memiliki daya saing yang tinggi, profesional dan mampu memberikan kontribusi bagi

pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (www.indonesia.go.id).

Kenyataannya menunjukkan bahwa kinerja perekonomian Kalimantan Barat pada

triwulan I-2011 dibandingkan triwulan IV-2010, yang diukur dari Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB) mengalami penurunan pertumbuhan sebesar minus 3,39 persen.

Hampir seluruh sektor mengalami penurunan kinerja, kecuali sektor pertanian yang tumbuh

12,10 persen, sektor pertambangan-penggalian 3,22 persen, dan sektor listrik-gas-air bersih

0,63 persen. (BPS Provinsi Kal-Bar, 2011). Demikian pula halnya dengan perkembangan

perbankan daerah Kalimantan Barat, dimana secara triwulanan, aset perbankan di daerah

Kalimantan Barat selama triwulan I-2011 tumbuh melambat dibandingkan triwulan IV-2010

(Bank Indonesia, 2011).

Perkembangan perekonomian nasional dan perubahan lingkungan strategis yang

dihadapi dunia usaha termasuk BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dan usaha kecil

menengah saat ini sangat cepat dan dinamis. BPR sebagai badan usaha senantiasa harus

diarahkan dan didorong untuk ikut berperan secara nyata meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan masyarakat agar mampu mengatasi ketimpangan ekonomi dan kesenjangan

sosial, sehingga lebih mampu berperan sebagai wadah kegiatan ekonomi rakyat.Oleh

karena itu sudah saatnya untuk menempatkan sektor informal (seperti petani kecil di

pedesaan, pedagang dipasar-pasar tradisional, penjual rokok dan pedagang warung

kelontong) di barisan terdepan dalam penetapan kebijakan Bank Indonesia (Putting the

Last First).Terkait dengan hal tersebut, serta dalam rangka pemberdayaan dan

pengembangan sektor informal, peran dan kontribusi BPR sebagai ujung tombak

lembaga keuangan daerah dalam pembiayaan sektor informal tentunya menjadi sangat

penting.BPR dianggap yang paling dekat dan paling mengetahui nasabahnya

dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya (Bramantyo & Ronny, 2007).

Ada tujuh dimensi yang digunakan sebagai instrumen untuk mengukur budaya kerja,

yakni inovasi, stabilitas, menghargai orang (respect for people), orientasi pada hasil (outcome

orientation), orientasi pada detail (detail orientation), orientasi pada tim (team orientation),

dan agresivitas (O‘Reilly, C., Chatman, J.A. and Caldwell, D., 1991). Ini menggariskan

bahwa budaya kerja mampu memengaruhi pencapaian kinerja perusahaan atau bank. Paul

Sutaryono, mengatakan menambahkan bahwa “Pemimpin memiliki peran sentral dalam

setiap perubahan, termasuk dalam budaya kerja yang memuat tata nilai utama (core

values)...‖ Wakil Presiden Republik Indonesia, Boediono dalam Asia Pacific Conference and

Exhibition 2010, di Jakarta pada 28 April 2010 menegaskan bahwa ―kredibilitas informasi

amat penting dalam pengambilan keputusan...‖ (http://www.infobanknews.com/2010/04/).

Page 109: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

104

Sistem informasi berkembang selama masa hidup suatu perusahaan. Artinya,

suatu sistem informasi yang baru (atau paling tidak yang telah ditingkatkan mutunya

secara besar – besaran) akan menggantikan sistem yang sedang digunakan jika tidak

memadai lagi. Karena setiap sistem informasi mempunyai siklus hidup tertentu, maka

pengembangan sistem merupakan suatu kegiatan bersiklus yang terdiri dari beberapa tahap

dimulai dengan perencanaan sistem, analisis sistem, pengkajian dan pemeliharaan sistem,

implementasi sistem dan diakhiri dengan pengoperasian sistem (Setianingsih dan Nur

Indriantoro, 1998).

Kesuksesan pengembangan sistem informasi sangat tergantung pada kesesuaian

harapan antara sistem analis, pemakai (user), sponsor dan Customer (Setianingsih dan Nur

Indriantoro, 1998). Pengembangan sistem informasi akuntansi memerlukan suatu

perencanaan dan implementasi yang hati – hati, untuk menghindari adanya penolakan

terhadap sistem yang dikembangkan (resistance to charge), karena perubahan dari

sistem manual ke sistem terkomputerisasi tidak hanya menyangkut perubahan teknologi

tetapi juga perubahan perilaku dan organisasional untuk menghindari adanya penolakan

terhadap sistem yang dikembangkan, maka diperlukan adanya partisipasi dari pemakai.

Partisipasi pemakai pada tiap tahap pengembangan sistem informasi tentunya akan

berpengaruh pada tingkat kepuasan pemakai atas sistem yang dikembangkan (Elfreda

Aplonia Lau, 2004).

Dalam tahap perencanaan dan pengembangan sistem informasi seharusnya lebih

memperhatikan faktor mnusia tersebut, sebab seandainya dalam tahapan tersebut yang

diperhatikan adalah peran teknologinya saja, maka akan muncul permasalahan baru dari

faktor manusia tersebut, seperti timbulnya ketidakpastian dalam pekerjaan yang tentunya akan

sangat merugikan organisasi tersebut (Setianingsih dan Nur Indriantoro, 1998). Untuk itu,

dalam perancangan sistem sebaiknya pemakai dapat terlibat aktif, demikian juga sampai

dengan proses pengujiannya ( Setianingsih dan Nur Indriantoro, 1998).

KAJIAN PUSTAKA, DAN HIPOTESIS

Sistem Informasi Akuntansi Manajemen (SIAM) adalah sistem informasi yang

dirancang untuk menyediakan informasi akuntansi manajemen bagi manajer dan karyawan

untuk membuat keputusan mengenai penggunaan berbagai sumber daya yang ada dalam

perusahaan seperti uang, fasilitas fisik dan sumber daya manusia (Atkinson, et.al., 2004).

Informasi akuntansi manajemen yang dapat disajikan secara finansial maupun non-

finansial (Atkinson, et.al., 2004; Blocher dan Chen, 2006; Horngren et.al., 2006).

Persaingan yang ketat diantara industri sejenis menyebabkan perusahaan harus

melakukan berbagai perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan yang diadopsi perusahaan

akan efektif, jika didukung oleh SIAM yang menyediakan informasi bagi manajemen untuk

memahami dampak dari perubahaan-perubahan tersebut terhadap organisasi. Peran SIAM

dalam perubahan lingkungan tersebut adalah dengan merumuskan ukuran-ukuran

keberhasilan implementasi perubahan tersebut (Chenhall dan Morris, 1986).

Bukti empirik tentang perilaku organisasi mencatat bahwa komitmen manajemen

puncak merupakan faktor kunci dalam mempengaruhi keberhasilan aktivitas-aktivitas yang

berkaitan dengan pemrosesan informasi (King, et.al., 1989). Hasil penelitian tersebut

menunjukkan keyakinan manajemen puncak tentang kemampuan sistem informasi untuk

membantu tercapainya tujuan organisasi. Dengan adanya komitmen manajemen puncak

berupa penyediaan seluruh sumber daya yang diperlukan untuk mengefektifkan SIAM

(Ahire dan O‘Shaughnessy, 1997; Brah, 2002), maka departemen pemroses informasi akan

memperoleh berbagai fasilitas untuk melaksanakan pekerjaannya, dan mereka merasa hasil

pekerjaannya diakui dan dihargai oleh manajemen puncak (Raghunathan, 1998).

Page 110: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

105

Hasil penelitian tentang komitmen manajemen puncak terhadap SIAM menunjukkan bahwa (1) keterlibatan manajemen puncak dalam fungsi SIAM cukup kuat;

(2) manajemen puncak memahami pentingnya peranan SIAM dalam pelaksanaan operasi

perusahaan; (3) manajemen puncak memandang SIAM merupakan sumber daya strategis,

dan (4) manajemen puncak menekankan kepada unit-unit operasi untuk bekerja sama dengan

departemen akuntansi agar diperoleh keefektifan informasi akuntansi manajemen

(Raghunathan, 1998).

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa komitmen manajemen puncak dapat

mempengaruhi sistem informasi akuntansi manajemen. Peran komitmen manajemen puncak

sangat penting karena merupakan faktor kunci dalam mempengaruhi keberhasilan aktivitas-

aktivitas yang berkaitan dengan pemrosesan informasi sistem informasi akuntansi

manajemen.

Hubungan antara Budaya Organisasi dengan Implementasi Sistem

Informasi Akuntansi Manajemen

Budaya organisasi, sebagai variabel mediasi kepemimpinan dan kinerja organisasi,

juga berasosiasi dengan strategi organisasi dan sistem akuntansi manajemen perusahaan

(Goddard, 1997; Thomas, 1989; Dent, 1991). Budaya organisasi yang sesuai dengan strategi

organisasi akan mempengaruhi kinerja organisasi (Doise, 2008). Budaya organisasi akan

tercermin dalam semua fungsi dalam organisasi termasuk akuntansi (Thomas, 1989).

Efek budaya perusahaan terhadap kinerja perusahaan telah menjadi topik penelitian Allen

(1985), Davis (1984), Dennison (1984), Gordon (1985), Buono, Bowditch dan Lewis

(1985), Lorsch (1985). Posner, Kouzes dan Schmidt (1985) dalam studinya menemukan

bahwa pemahaman karyawan yang benar mengenai budaya organisasi akan menuntun pada

perbedaan kinerja organisasi yang signifikan. Budaya organisasi adalah seperangkat nilai-

nilai, yang jika diatur dengan baik akan menghasilkan return keuangan yang lebih tinggi

(Baker dan Hawes, 2001).

Budaya dan struktur organisasi adalah alat-alat untuk mencapai tujuan. Oleh

sebab itu, persoalan dalam desain organisasi bagaimana dan mengapa variasi struktur

dan struktur organisasi dipilih. Hal ini mengingat keduanya berfungsi untuk

mengendalikan organisasi, dan memotivasi setiap individu untuk mencapai tujuan

(Jones, 1995: 11-14) dan menghadapi berbagai tekanan baik dari dalam maupun dari

luar organisasi (Nazaruddin, 1998).

Kultur organisasional merupakan cara yang tepat untuk dilakukan pada sebuah

organisasi meskipun hal tersebut seringkali lewat asumsi yang tidak terucapkan

(Schein, 1991: 13-15; Kotter dan Hesket, 1992: 15). Kotter dan Hesket, 1992: 141;

Gibson, et.al, 1991: 48), menyatakan ―bahwa budaya organisasi akan mempengaruhi

motivasi para manajer untuk mencapai tujuan organsisasi. Oleh karenanya para

manajer harus selalu terus menerus meningkatkan kualitas informasi akuntansi

manajemen untuk proses pengambilan keputusan. Karena keputusaan manajer akan

berdampak signifikan terhadap usaha perusahaan dimasa datang.‖

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat mempengaruhi

sistem informasi akuntansi manajemen. Peran budaya organisasi akan tercermin dalam semua

fungsi yang ada dalam organisasi termasuk didalam sistem informasi akuntansi akuntansi

manajemen.

Page 111: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

106

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Secara spesifik,

penelitian ini menggunakan metode survai eksplanatory (Singarimbun & Effendi,

1995: 5). Metode survai adalah penelitian dengan cara mengajukan pertanyaan kepada

orang-orang atau subjek dan merekam jawaban tersebut kemudian dianalisis secara kritis

(Sugiama, 2008: 135).

Komitmen Manajemen Puncak

Komitmen Manajemen Puncak merupakan kekuatan relatif manajemen puncak dan

keterlibatannya pada organisasi, percaya pada tujuan organisasi, selalu berupaya sekuat

tenaga bagi kepentingan organisasi (Kreitner dan Kinicki, 2005; Luthan, 2006). Variabel ini

berkedudukan sebagai variabel eksogenus, yang selanjutnya dilambangkan dengan X.

Variabel Komitmen Manajemen Puncak (X), diukur melalui 3 (tiga) dimensi yaitu

dimensi komitmen afektif, komitment continuance dan komitmen normatif (Allen dan Meyer,

1997) dengan indikator-indikator yang merupakan ciri dari variabel ini sebanyak 8

pernyataan. Dimensi komitmen afektif diukur melalui 4 indikator yang dioperasionalkan

menjadi 4 pertanyaan/pernyataan yang merupakan ciri dari dimensi ini. Komitmen afektif

manajemen puncak ditunjukkan kepeduliannya terhadap suatu program (Robbins, 2007).

Dimensi komitmen afektif berkaitan pula dengan hubungan emosional manajemen puncak

terhadap perusahaan, yang didasarkan pada keyakinan yang kuat dan erat terhadap tujuan

dan nilai suatu organisasi serta dan keterlibatannya dalam kegiatan perusahaan (Allen dan

Meyer, 1997; Durkin, 1999; Luthan, 2006).

Dimensi komitmen continuance dioperasionalkan menjadi 2 indikator dan diukur

dengan 2 pernyataan. Komitmen continuance dari manajemen puncak ditunjukkan dengan

keinginannya yang kuat untuk terus menjadi anggota organisasi (Allen dan Meyer, 1997;

Luthan, 2006). Dimensi komitmen continuance dari Manajemen Puncak diukur dengan

menggunakan instrumen berupa kuesioner.

Dimensi komitmen normatif dioperasionalkan menjadi 2 indikator yang diukur

dengan 2 pernyataan/pertanyaan. Komitmen normatif dari manajemen puncak ditunjukkan

dengan perasaan keterikatannya untuk tetap berada dalam organisasi karena adanya

kewajiban untuk melaksanakan suatu tugas (Allen dan Meyer, 1997).

Seluruh indikator dalam variabel komitmen manajemen puncak diukur dengan

menggunakan instrumen berupa kuesioner. Hasil dari kuesioner ini merupakan data yang

berskala ordinal, dengan skor berkisar 1- 5 setiap item-nya (Likert, 1989).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Data demografi dalam penelitian ini berjumlah 8 (delapan) BPR yang berada di

Kota Pontianak. Responden yang diambil dari masing-masing BPR sebanyak 4

responden, sehingga total kuesioner yang dikirim berjumlah 36 (tigapuluh enam) set,

ternyata dari jumlah tersebut yang mengembalikan 10 set. Berdasarkan data demografi

responden yang diperoleh kemudian dibagi dalam 6 profil, yaitu: (1) nama; (2) umur;

(3) jenis kelamin; (4) latar belakang pendidikan; dan (5) masa jabatan.

Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas responden dalam penelitian ini berjenis

kelamin laki-laki yaitu sebanyak 70 %. Usia mayoritas berada pada rentang 20 tahun

sampai dengan 35 tahun yaitu sebanyak 50 %. Untuk pendidikan terakhir mayoritas

responden berpendidikan S1 yaitu sebanyak 60 %. Mayoritas responden mempunyai

masa jabatan 1 sampai dengan 4 tahun sebesar 85 %.

Page 112: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

107

Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

1. UJi Validitas

Menurut Sudarmanto (2004: 77), ―Uji validitas adalah alat uji yang digunakan untuk

mengetahui apakah alat ukur (instrumen penelitian) yang telah disusun dapat digunakan

untuk mengukur apa yang hendak diukur secara tepat.‖ Uji validitas dilakukan pada tiap item

kuesioner dengan metode korelasi Product Moment Pearson. Hasil korelasi tersebut harus

signifikan berdasarkan ukuran statistik tertentu. Koefisien korelasi yang tinggi menunjukkan

kesesuaian antara fungsi item dengan fungsi ukur secara keseluruhan atau dengan kata lain

instrumen tersebut valid. Pengukuran dapat memberikan hasil yang relatif tidak berbeda bila

dilakukan pengukuran kembali terhadap subjek yang sama. Untuk melihat validitas instrumen

yang dipergunakan, terlebih dahulu diujicobakan pada responden yang mewakili karakteristik

yang sama dengan subjek penelitian. Dimana syarat minimum suatu instrument penelitian di

anggap valid jika nilai p<0,05 (Sugiyono, 2004: 124). Untuk mengetahui hasil uji validitas

instrumen penelitian, dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 4.1

Uji Validitas Instrumen Untuk Variabel Komitmen Manajemen Puncak

Item Koefisien koerlasi ( r ) signifikansi Keterangan

x1.1 0.813 0.004 Valid

x1.2 0.891 0.001 Valid

x1.3 0.838 0.002 Valid

x1.4 0.696 0.025 Valid

x1.5 0.718 0.019 Valid

x1.6 0.91 0,00 Valid

x1.7 0.779 0.008 Valid

x1.8 0.698 0.025 Valid

Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2012.

Berdasarkan hasil pengujian validitas untuk item-item variable Komitmen

Manajemen Puncak pada Tabel 4.1, semua item sudah valid mengukur variabel Komitmen

Manajemen Puncak. Selanjutnya adalah melakukan uji validitas terhadap item-item yang

digunakan untuk mengukur variable Budaya Organisasi, hasil perhitungan validitasnya dapat

dilihat pada Tabel 4.2 berikut. Tabel 4.2

Uji Validitas Instrumen Untuk Variabel Budaya Organisasi

Item Koefisien koerlasi ( r ) signifikansi Keterangan

x2.1 0.82 0.00 Valid

x2.2 0.73 0.02 Valid

x2.3 0.88 0.00 Valid

x2.4 0.77 0.01 Valid

x2.5 0.69 0.03 Valid

x2.6 0.83 0.00 Valid

x2.7 0.86 0.00 Valid

x2.8 0.82 0.00 Valid

x2.9 0.67 0.03 Valid

x2.10 0.87 0.00 Valid

x2.11 0.70 0.02 Valid

x2.12 0.70 0.02 Valid

Page 113: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

108

x2.13 0.70 0.02 Valid

x2.14 0.79 0.01 Valid

x2.15 0.90 0,00 Valid

x2.16 0.82 0.00 Valid

x2.17 0.84 0.00 Valid

x2.18 0.83 0.00 Valid

x2.19 0.86 0.00 Valid

x2.20 0.86 0.00 Valid

x2.21 0.83 0.00 Valid

x2.22 0.88 0.00 Valid

x2.23 0.76 0.01 Valid

x2.24 0.74 0.01 Valid

x2.25 0.88 0.00 Valid

x2.26 0.68 0.03 Valid

x2.27 0.90 0,00 Valid

x2.28 0.88 0.00 Valid

x2.29 0.79 0.01 Valid

Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2012.

Berdasarkan Tabel 4.2. dapat diketahui bahwa semua item yang digunakan untuk

mengukur variable Budaya Organisasi sudah memenuhi kriteria validitas.

Tabel 4.3

Uji Validitas Instrumen Variabel Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen

Item Koefisien koerlasi ( r ) Signifikansi Keterangan

Y1.1 0.709 0.022 Valid

Y1.2 0.718 0.019 Valid

Y1.3 0.807 0.005 Valid

Y1.4 0.858 0.001 Valid

Y1.5 0.706 0.022 Valid

Y1.6 0.84 0.002 Valid

Y1.7 0.737 0.015 Valid

Y1.8 0.725 0.018 Valid

Y1.9 0.783 0.007 Valid

Y1.10 0.77 0.009 Valid

Y1.11 0.726 0.017 Valid

Y1.12 0.788 0.007 Valid

Y1.13 0.787 0.007 Valid

Y1.14 0.712 0.021 Valid

Y1.15 0.757 0.011 Valid

Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2012

Bedasarkan hasil perhitungan uji validitas pada Tabel 4.53. dapat diketahui bahwa

semua item yang digunakan untuk mengukur variable Implementasi Sistem Informasi

Akuntansi Manajemen, sudah valid atau handal dalam mengukur Implementasi Sistem

Informasi Akuntansi Manajemen.

Page 114: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

109

2. Uji Reliabilitas

Menurut Sudarmanto (2004: 89), ―Suatu alat ukur atau instrumen penelitian

(kuesioner) dikatakan memilki reliabilitas yang baik apabila alat ukur atau instrumen tersebut

selalu memberikan hasil yang sama meskipun digunakan berkali-kali baik oleh peneliti yang

sama maupun oleh peneliti yang berbeda.‖ Pengujian reliabilitas dianalisis dengan

menggunakan Alpha Cronbach, suatu instrumen penelitian diketahui valid bila memiliki nilai

koefisien kehandalan atau lapha sebesar 0,6 atau lebih (Sudarmanto, 2004: 99).

Untuk mengetahui hasi uji relialibelitas instrumen penelitian, dapat dilihat berikut ini. Tabel 4.4

Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian

Variabel Cronbach's Alpha Keterangan

Komitmen Manajemen Puncak 0.913 Reliabel

Budaya Organisasi 0.977 Reliabel

Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen

0.944 Reliabel

Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2011.

Berdasarkan hasil pengujian reliabilitas instrumen dengan menggunakan SPSS 18.0

diperoleh nilai koefisien Cronbach‘s Alpha untuk Komitmen Manajemen Puncak Budaya

Organisasi dan Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen masing-masing

sebesar 0.913, 0.977 dan 0.944. Karena koefisien Cronbach‘s Alpha yang diperoleh dari hasil

perhitungan > 0.60 maka dapat disimpulkan bahwa item yang digunakan untuk mengukur

variabel Komitmen Manajemen Puncak, Budaya Organisasi dan Implementasi Sistem

Informasi Akuntansi Manajemen sudah reliable. Artinya: item pertanyaan yang digunakan

sudah memiliki konsistensi internal yang baik.

Uji Asumsi Klasik (Asumsi Regresi Linear)

1. Uji Normalitas Residual (nilai sisaan) Regresi

Salah satu uji persyaratan yang harus dipenuhi dalam penggunaan analisis parametrik

yaitu uji normalitas data. Menurut Putrawan dalam Sudarmanto (2004: 105), ―Suatu

penelitian yang melakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji t dan atau uji F,

menuntut suatu asumsi yang harus diuji yaitu data harus berdistribusi normal.‖ Uji normalitas

bisa dilakukan dengan menggunakan statistik Kolmogrov Smirnov. Alat uji ini biasa disebut

dengan uji K-S yang tersedia di dalam program SPSS.

Ketentuan untuk menyatakan normal tidaknya suatu data dapat dilihat dari tingkat

alpha atau signifikan si, apabila Asymp. Sig > alpha atau KS Statistik < KS Tabel, maka

residual regresi berdistribusi normal. Hasil pemeriksaan asumsi normalitas menggunakan

Kolmogorve Smirnonov dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut: Tabel 4.5

Pengujian Normalitas

Statistik Uji Standardized Residual

Kolmogorov-Smirnov Z 0.188

Kolmogorove Tabel 0,480

Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2011.

Berdasarkan hasil pengujian normalitas diperoleh asimptotic signifikansi (untuk uji

dua arah) sebesar 0,188 Karena KS statistic < KS tabel maka terima H0 artinya: Residual

regresi berdistribusi normal

Page 115: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

110

2. Uji Linearitas

Menurut Sudarmanto (2004: 124), ―Uji linieartias garis regresi digunakan untuk

mengambil keputusan dalam memilih model regresi yang akan digunakan.‖ Uji liniearitas

garis merupakan kunci yang digunakan untuk memilih model regresi linier. Apabila

persyaratan liniearitas tidak terpenuhi artinya model regresi linear tidak dapat digunakan

dalam menganalisis data, oleh karena itu untuk menlanjutkan proses analisis data harus

dipilih model regresi selain linear.

Uji asumsi liniearitas garis regresi berkaitan dengan suatu pembuktian apakah model

garis linear yang ditetapkan benar-benar sesuai dengan keadaannya atau tidak. Pengujian ini

perlu dilakukan sehingga hasil analisis yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan dalam

pengambilan beberapa kesimpulan penelitian yang diperlukan.

Pengujian linieritas garis di dalam penelitian ini menggunakan pendekatan diagram

pencar (scatterplot). Ketentuan penerimaan dan penolakan H0 adalah: Jika data menyebar

disekitar garis lurus maka terima hipotesis nol (H0), artinya: Model regresi mengikuti model

linear. Hasil pemeriksaan linearitas melalui diagram pencar menggunakan SPSS 18 dapat

dilihat pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 berikut:

Gambar 4.1 Uji Linearitas Antara Variabel Komitmen Manajemen Puncak dengan Implementasi

Sistem Akuntansi Manajemen.

Page 116: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

111

Gambar 4.2 Uji Linearitas Antara Variabel Budaya Organisasi dengan Implementasi Sistem

Akuntansi Manajemen.

Berdasarkan hasil pemeriksaan asumsi linearitas pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2

dapat diketahui bahwa hubungan antara komitmen manajemen puncak dan budaya organisasi

memiliki hubungan yang linear dengan implementasi sistem informasi akuntansi manajemen

karena data menyebar disekitar garis lurus (garis linear).

3. Uji Heteroskedasitas

Uji asumsi heteroskedasitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah variasi residual

absolut sama atau tidak sama untuk semua pengamatan, apabila asumsi ini tidak terpenuhi

maka penaksir menjadi tidak efisien baik dalam sampel kecil maupun dalam sampel besar

dan estimasi koefisien dapat dikatakan menjadi kurang akurat. Model regresi yang baik

adalah yang homoskedasitas atau tidak terjadi heteroskedasitas. (Ghozali, 2005: 206).

Asumsi persyaratan heteroskedasitas diperlukan untuk mengetahui variansi i

konstan yaitu var i = 2 identik atau sama untuk setiap i. Cara pengujian

heterocedasticity dapat dilakukan dengan:

Plot residual 2 dengan ˆY

Uji Glesjer

Apabila pengujian heterocedasticity tidak dapat dipenuhi maka solusinya dapat

dilakukan dengan:

Transformasi data

Metode Weighted Least-Squares

Ada beberapa cara yang digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya

heteroskedasitas, di antaranya dilakukan dengan memploting antara nilai prediksi variabel

Page 117: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

112

terikat yaitu Zpred dengan residualnya (Sresid). Jika plot Zpred dengan SResid membentuk

pola tertentu seperti bergelombang atau menyempit berarti ada indikasi terjadi

heteroskedasitas. Sebaliknya jika plot antara Zpred dengan SResid tidak membentuk pola

tertentu (plot menyebar secara acak di bawah angka nol pada sumbu Y) artinya tidak ada

indikasi heteroskedasitas residual (varians homogen). Selanjutnya diberikan hasil output

SPSS sebagai berikut:

Gambar 4.3 Plot Uji Heteroskedasitas

Berdasarkan Scatterplot antara Studentized Residual dengan Standardizet Predicted

Value pada Gambar 4.2, tampak nilai-nilai residual menyebar secara acak dan tidak

membentuk pola tertentu, sehingga dapat disimpulkan bahwa residual regresi tidak terjadi

heteroskedasitas

4. Uji Autokorelasi

Uji Independen atau uji autokorelasi residual (error) merupakan salah satu asumsi

utama di dalam model regresi linear yang harus dipenuhi. Autokorelasi adalah adanya

korelasi antara naggota seri observasi (pengamatan) yang disusun menurut urutan waktu

(time series) atau urutan tempat/ruang (cross section), atau korelasi yang timbul pada dirinya

sendiri. Berdasarkan konsep tersebut, maka uji asumsi tentang autokorelasi sangat penting

untuk dilakukan tidak hanya pada data yang bersifat time series saja, akan tetapi semua data

(independent variabel) yang diperoleh perlu diuji terlebih dahulu autokorelasinya apabila

akan dianalisis dengan regresi linier berganda.

Asumsi persyaratan independent yaitu covarians ,i j = 0, untuk setiap i j atau

tidak terdapat autokorelasi. Cara pengujian independent dilakukan dengan:

Plot autocorrelation function (ACF) dari residual

Uji durbin-watson

Page 118: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

113

Apabila 4u w ud d d maka H0 ditolak yang berarti tidak terdapat autokorelasi

antara residual atau dengan cara membandingkan antara DW statistik dengan DW tabel, jika

DW hitung/statistik > DW artinya tidak terjadi autokorelasi antar pengamatan. Untuk

mendeteksi autokorelasi di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji Durbin Watson,

karena nilai dari perhitungan Durbin Watson dapat langsung diperoleh pada saat melakukan

uji regresi berganda melalui SPSS 18.00 for Windows.

Dari hasil analisis diperoleh nilai durbin watson wd = 2.231, jika dibandingkan

dengan tabel Durbin Watson (du) yaitu sebesar 1,699 (diperoleh dari, α=0,05, k= 2 dan n=9)

yang berada pada interval 1,699 2,231 4 1,699 1,699 2,231 2,301 , sehingga

dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi antara residual dalam model.

5. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas sering terjadi pada regresi linear ganda, sehingga harus dideteksi

adanya koerlasi linear antar variabel bebas. Untuk melihat hal ini dapat dideteksi dari VIF

(Variance Inflantion factors). Jika nilai VIF lebih dari 10 maka diduga ada Multikolinearitas.

Dari hasil analisis diatas tidak ada nilai VIF yang lebih dari 10, maka tidak ada

multikolinearitas antar variabel bebas. Oleh karena itu, dari keempat asumsi yang ada

semuanya terpenuhi sehingga model tersebut dapat digunakan untuk pendugaan. Tabel 4.6

Pengujian Multikolinearitas Regresi

Variabel Bebas Tolerence VIF Keterangan

Komitmen Manajemen Puncak

0.472 2.120 Tidak Terjadi Multikolinearitas

Budaya Organisasi 0.472 2.120 Tidak Terjadi Multikolinearitas

Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2011.

Berdasarkan Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa nilai VIF untuk variabel Komitmen

Manajemen Puncak dan Budaya Organisasi masing-masing sebesar 2.120 , karena tidak

ada satupun yang melebihi 10, sehingga dapat disimpulan bahwa tidak terjadi

mulitkolinearitas (korelasi linear yang signifikan di antara sesama variabel bebas).

Analisis Regresi Linear Berganda

Analisis regresi linier berganda merupakan salah satu alat analisis statistik yang

digunakan untuk menguji pengaruh dari beberapa variabel bebas terhadap variabel satu

variabel terikat. Metode regresi multiple yang digunakan dalam pengolahan data dalam

penelitian ini adalah metode enter, yaitu metode analisis regresi yang digunakan untuk

menganalisis secara bersama-sama yang meliputi semua variabel independen berpengaruh

signifikan maupun yang tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

1. Penilaian Ketepatan Model Regresi Linear Berganda

Untuk melihat seberapa tepat atau seberapa akurat prediksi yang dihasilkan oleh

regresi berganda, dapat dilihat dari beberapa kriteria diantaranya nilai R dan R2 yang

mendekati 1, serta standar error yang kecil menunjukkan bahwa hasil prediksi regresi

semakin tepat atau mendekati sempurna. Penilaian ketepatan model regresi dapat dilihat dari

ouput SPSS berikut:

Page 119: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

114

Tabel 4.7

Penilaian Ketepatan Model Regresi Berganda Berdasarkan Nilai Korelasi Ganda (R)

Koefisien Determinasi (R2), dan Standar Error of the Estimate

R R Square

Std. Error of the Estimate

0.929 0.863 4.910

Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2011.

Berdasarkan kriteria ketepatan model yang diperoleh dari hasil analisis regresi dengan

bantuan software SPSS 18.0, diperoleh:

Korelasi ganda (R) sebesar 0.929. Karena nilai koefisien koerlasi melebihi 0.5

(Sugiyono, 2004), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat koerlasi yang signifikan

antara variabel Komitmen Manajemen Puncak dan Budaya Organisasi dengan

Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen .

Koefisien determinasi (R2) sebesar 0,863 atau 86,30%. Artinya: Varisi perubahan

Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen dapat dijelaskan oleh

Komitmen Manajemen Puncak dan Budaya Organisasi sebesar 86,30%

sedangkan sisanya sebesar 13,70% variasi Implementasi Sistem Informasi

Akuntansi Manajemen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak terdapat di dalam

penelitian (extraneous variable).

Estimasi kesalahan baku (standar error of the estimate) sebesar 4,849. Nilai standar

error sebesar 4,910 berada di bawah 10 dengan katagori yang kecil, nilai ini

memberikan informasi bahwa semakin kecil nilai standard error menunjukkan

semakin baik atau semakin tepat model regresi yang digunakan.

2. Uji Pengaruh Secara Simultan (Bersama-Sama)

Untuk menilai apakah variabel bebas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

variabel terikat atau tidak dapat diketahui dari hasil Uji F (F test). Hasil Uji F dengan

bantuan SPSS 18.0 dapat dilihat pada Tabel 4.9 Berikut.

Tabel 4.8 Tabel ANOVA Regresi Linear Berganda

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Regression 1059.242 2 529.621 21.968 0.001

Residual 168.758 7 24.108

Total 1228.000 9

Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2012.

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda pada Tabel 4.8 (tabel Anova) diperoleh

nilai F hitung sebesar 21.968dengan siginfikansi sebesar 0.001. Karena Signifikansi < alpha

(0.05) maka H0 ditolak: Artinya: Terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan antara

Komitmen Manajemen Puncak dan Budaya Organisasi terhadap Implementasi Sistem

Informasi Akuntansi Manajemen.

3. Uji Pengaruh Secara Parsial (Individu)

Untuk menilai kekuatan pengaruh variabel independen (variabel bebas) secara

individu terhadap variabel dependen (variabel terikat), dapat diketahui dari uji t (t test) yang

diperoleh dari analisis regresi berganda. Hasil uji signifikansi pengaruh variabel bebas secara

individu terhadap variabel terikat (uji t) dapat dilihat pada Tabel 4.9. berikut:

Page 120: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

115

Tabel 4.9 Nilai Koefisien Regresi dan Uji Parsial

Variabel B Std. Error

T Sig.

Konstanta -8.389 9.399 -.893 .402

Komitmen Manajemen Puncak 1.036 .419 2.469 .043

Budaya Organisasi .275 .113 2.430 .045

Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2011.

Berdasarkan Tabel 4.9, diperoleh nilai t hitung (t test) sebagai berikkut :

Nilai t hitung untuk Komitmen Manajemen Puncak sebesar 2,469 dengan

signifikansi sebesar 0.043 (sig<alpha) hipotesis nol (H0) ditolak. Artinya:

Komitmen Manajemen Puncak berpengaruh signifikan secara individu terhadap

Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen.

Nilai t hitung untuk variabel Budaya Organisasi sebesar 2,430dengan signifikansi

sebesar 0.045 (sig<alpha) hipotesis nol (H0) ditolak, artinya Budaya Organisasi

berpengaruh signifikan secara individu terhadap Implementasi Sistem Informasi

Akuntansi Manajemen.

Variabel yang memiliki pengaruh paling kuat atau paling dominan terhadap

Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen adalah Komitmen Manajemen

Puncak karena memiliki nilai t statistic paling tinggi jika dibandingkan dengan

variabel Budaya Organisasi yaitu sebesar 12.469 dengan nilai signifikansi 0,043.

4. Interpretasi Terhadap Model Taksiran Regresi Linear Berganda

Koefisien regresi ( ) pada Tabel 4.10 dapat disusun ke dalam persamaan

regresi (model regresi) sebagai berikut:

Interpretasi:

Nilai konstanta (konstanta / 0 ) sebesar -9,389 artinya: Implementasi Sistem

Informasi Akuntansi Manajemen mengalami penurunan sebesar sebesar 9,389

satuan jika di asumsikan variabel Komitmen Manajemen Puncak dan Budaya

Organisasi adalah konstan (0).

Koefisien regresi untuk variabel Komitmen Manajemen Puncak ( 1 ) sebesar

1,036. Artinya: Jika variabel Komitmen Manajemen Puncak bertambah sebesar

1 satuan, akan mengakibatkan meningkatnya Implementasi Sistem Informasi

Akuntansi Manajemen sebesar 1,036 satuan.

Koefisien regresi untuk variabel Budaya Organisasi ( 2 ) sebesar -0275. Artinya:

Jika variabel Budaya Organisasi bertambah sebesar 1 satuan, akan

mengakibatkan naiknya Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen

sebesar 0.275 satuan.

4.2. Pembahasan

Hasil penelitian ini secara umum menunjukkan adanya hubungan antara komitmen

manajemen puncak, budaya organisasi, dan implementasi sistem informasi akuntasi

manajemen.

Ŷ= -9,389 + 1,036X1 + 0.275X2

Page 121: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

116

Komitmen manajemen puncak telah diidentifikasi sebagai variabel yang dapat mempengaruhi Implementasi sistem informasi akuntansi manajemen (Choe, JM,, 1996; Delone,

W.H.,, 1988; Raghunathan, 1998;). Sistem Informasi Akuntansi Manajemen (SIAM) adalah

sistem informasi yang dirancang untuk menyediakan informasi akuntansi manajemen bagi

manajer dan karyawan untuk membuat keputusan mengenai penggunaan berbagai

sumber daya yang ada dalam perusahaan seperti uang, fasilitas fisik dan sumber daya

manusia (Atkinson, et.al., 2004). Informasi akuntansi manajemen yang dapat disajikan

secara finansial maupun non-finansial (Atkinson, et.al., 2004; Blocher dan Chen, 2006;

Horngren et.al., 2006).

Bukti empirik tentang perilaku organisasi mencatat bahwa komitmen manajemen

puncak merupakan faktor kunci dalam mempengaruhi keberhasilan aktivitas-aktivitas yang

berkaitan dengan pemrosesan informasi (King, et.al., 1989). Hasil penelitian King, et.al

sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan yang menunjukkan keyakinan

manajemen puncak tentang kemampuan sistem informasi untuk membantu tercapainya tujuan

organisasi. Dengan adanya komitmen manajemen puncak berupa penyediaan seluruh sumber

daya yang diperlukan untuk efektifitas implementasi SIAM (Ahire dan O‘Shaughnessy,

1997; Brah, 2002), maka departemen pemroses informasi akan memperoleh berbagai

fasilitas, dan hasil pekerjaannya lebih dihargai oleh manajemen puncak (Raghunathan, 1998).

Hasil penelitian tentang komitmen manajemen puncak terhadap SIAM menunjukkan

bahwa (1) keterlibatan manajemen puncak dalam fungsi SIAM cukup kuat; (2) manajemen

puncak memahami pentingnya peranan SIAM dalam pelaksanaan operasi perusahaan; (3)

manajemen puncak memandang SIAM merupakan sumber daya strategis, dan (4)

manajemen puncak menekankan kepada unit-unit operasi untuk bekerja sama dengan

departemen akuntansi agar diperoleh keefektifan informasi akuntansi manajemen

(Raghunathan, 1998).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komitmen manajemen puncak dapat

mempengaruhi implementasi sistem informasi akuntansi manajemen. Peran komitmen

manajemen puncak sangat penting karena merupakan faktor kunci dalam mempengaruhi

keberhasilan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan pemrosesan informasi sistem

informasi akuntansi manajemen.

Budaya organisasi, sebagai variabel mediasi kepemimpinan dan kinerja organisasi,

juga berasosiasi dengan strategi organisasi dan sistem akuntansi manajemen perusahaan

(Goddard, 1997; Thomas, 1989; Dent, 1991). Budaya organisasi yang sesuai dengan strategi

organisasi akan mempengaruhi kinerja organisasi (Doise, 2008). Budaya itu akan tercermin

dalam semua fungsi yang ada dalam organisasi termasuk akuntansi (Thomas, 1989).

Efek budaya perusahaan terhadap kinerja perusahaan telah menjadi topik penelitian

Allen (1985), Davis (1984), Dennison (1984), Gordon (1985), Buono, Bowditch dan Lewis

(1985), Lorsch (1985). Posner, Kouzes dan Schmidt (1985) dalam studinya menemukan

bahwa pemahaman karyawan yang benar mengenai budaya organisasi akan menuntun pada

perbedaan kinerja organisasi yang signifikan. Budaya organisasi adalah seperangkat nilai-

nilai, yang jika diatur dengan baik akan menghasilkan return keuangan yang lebih tinggi

(Baker dan Hawes, 2001).

Budaya dan struktur organisasi adalah alat-alat untuk mencapai tujuan. Oleh

sebab itu, persoalan dalam desain organisasi bagaimana dan mengapa variasi struktur

dan struktur organisasi dipilih. Hal ini mengingat keduanya berfungsi untuk

mengendalikan organisasi, dan memotivasi setiap individu untuk mencapai tujuan

(Jones, 1995: 11-14) dan menghadapi berbagai tekanan baik dari dalam maupun dari

luar organisasi (Nazaruddin, 1998).

Page 122: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

117

Struktur organisasi mempengaruhi kemampuan organisasi tersebut dalam

mengumpulkan, mengolah aliran informasi (Duncan, 1987). Pada struktur organisasi

yang tersentralisasi aliran informasi akan terpusat pada pihak manajemen puncak.

Sebaliknya pada struktur organisasional yang terdesentralisasi aliran informasi akan

menyebar ke berbagai level manajemen dibawahnya. Bagi para manajer akan sangat

bermanfaat dalam pengambilan keputusan (Hongrens, et.al, 1993: 9).

Kultur organisasional merupakan cara yang tepat untuk dilakukan pada sebuah

organisasi meskipun hal tersebut seringkali lewat asumsi yang tidak terucapkan

(Schein, 1991: 13-15; Kotter dan Hesket, 1992: 15). Kotter dan Hesket, 1992: 141;

Gibson, et.al, 1991: 48), menyatakan ―bahwa budaya organisasi akan mempengaruhi

motivasi para manajer untuk mencapai tujuan organsisasi. Oleh karenanya para

manajer harus selalu terus menerus meningkatkan kualitas informasi akuntansi

manajemen untuk proses pengambilan keputusan. Karena keputusaan manajer akan

berdampak signifikan terhadap usaha perusahaan dimasa datang.‖

Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat mempengaruhi sistem

informasi akuntansi manajemen. Peran budaya organisasi akan tercermin dalam semua fungsi

yang ada dalam organisasi termasuk didalam sistem informasi akuntansi manajemen.

Hasil pengujian hipotesis yang telah diuraikan sebelumnya, Hipotesis 1 membuktikan

bahwa Komitmen Manajemen Puncak dan Budaya Organisasi berpengaruh signifikan secara

bersama-sama terhadap Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen. Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian Choe, JM, 1996; Delone, W.H, 1988; Mahdi Saleh &

Abdoraze Abdipour, 2011; Raghunathan, 1998; Goddard, 1997; Thomas, 1989; Dent, 1991;

Thomas, 1989; Jean, Francois Henri, 2006; dan Wanyama G. Indeje & Qin Zheng, 2010,

yakni bahwa untuk mengatasi masalah akibat komitmen manajemen puncak dan budaya

organisasi, diperlukan implementasi sistem informasi akuntansi manajemen yang andal.

Hasil penelitian ini juga mengungkapkan betapa pentingnya mengetahui komitmen

manajemen puncak terhadap implementasi system informasi akuntansi manajemen, dapat

dilihat dari hasil pengujian hipotesis ke 2 diatas, menyatakan bahwa Komitmen Manajemen

Puncak berpengaruh signifikan secara individu terhadap Implementasi Sistem Informasi

Akuntansi Manajemen. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang

dilakukan oleh Choe, JM, (1996); Delone, W.H, (1988); Mahdi Saleh & Abdoraze Abdipour,

(2011); Raghunathan, (1998); dan Jean, Francois Henri, (2006), yang menyatakan bahwa

pentingnya akan komitmen manajemen puncak terhadap implementasi system akuntansi

manajemen didalam pelaksanaan operasi perusahaan.

Hasil penelitian ini juga mengungkapkan pentingnya budaya organisasi terhadap

terhadap implementasi sistem akuntansi manajemen di perusahaan. Hasil ini ditunjukkan oleh

hasil pengujian hipotesis ke 3 seperti tertera diatas yang menyatakan Budaya Organisasi

berpengaruh signifikan secara individu terhadap Implementasi Sistem Informasi Akuntansi

Manajemen, dapat diterima. Hasil pengujian ini mendukung hasil penelitian terdahulu yang

dilakukan oleh Schein (1991); Kotter & Hesket (1992); Gibson, et.al (1991); Jean, Francois

Henri, (2006); Wanyama G. Indeje & Qin Zheng, (2010); yang menyatakan bahwa budaya

organisasi akan mempengaruhi motivasi para manajer untuk mencapai tujuan organisasi.

Oleh karenanya para manajer harus selalu terus menerus meningkatkan kualitas dalam

implementasi sistem akuntansi manajemen untuk proses pengambilan keputusan. Karena

keputusan manajer akan berdampak signifikan terhadap usaha perusahaan dimasa mendatang.

SIAM adalah sistem informasi yang dirancang untuk menyediakan informasi

akuntansi manajemen bagi manajer dan karyawan untuk membuat keputusan mengenai

penggunaan berbagai sumber daya yang ada dalam perusahaan seperti uang, fasilitas fisik dan

sumber daya manusia (Atkinson, 2004). Informasi akuntansi manajemen dapat disajikan

secara finansial maupun non finansial.

Page 123: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

118

Informasi yang berintegrasi diperlukan karyawan untuk mengetahui dampak

keputusan terhadap input dan output dari perbaikan proses (Banker et.al, 1993; Atkinson,

2004). Ketepatan waktu merupakan kriteria yang harus dipenuhi oleh informasi akuntansi

manajemen dalam menyediakan informasi bagi manajer, (Cane, 1998; Wellington 1998).

KESIMPULAN

1. Komtimen Manajemen Puncak dan Budaya Organisasi berperan signifikan

terhadap Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen.

2. Komitmen Manajemen Puncak berperan signifikan terhadap Implementasi

Sistem Informasi Akuntansi Manajemen.

3. Budaya Organisasi berperan signifikan terhadap Implementasi Sistem Informasi

Akuntansi Manajemen.

4. Komitmen Manajemen Puncak memiliki peran paling dominan jika dibandingkan

dengan Budaya Organisasi.

SARAN

1. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan melakukan teknik pengumpulan data

tambahan, memperbanyak responden, melakukan pilot study untuk menjamin

bahwa kuesioner dapat difahami dengan benar oleh responden.

2. Menambahkan variabel kontekstual yang berkorelasi dengan karakteristik sistem

informasi akuntansi, seperti persaingan pasar, strategi bisnis, dan ketergantungan.

3. Menggunakan populasi dan sampel yang lebih luas. Misalnya, semua BPR yang

ada di satu provinsi tertentu. Sehingga generalisasi kesimpulan lebih luas lagi.

4. Instrumen yang digunakan untuk mengukur adalah persepsi jawaban responden,

sehingga akan menimbulkan bias jika presepsi itu berbeda dengan kenyataan.

5. Data metode survey via pos memiliki kelemahan, karena kuesioner bisa diisi

bukan oleh responden. Guna mengantisipasi kelemahan itu, dilakukan uji

validitas dan reabilitas, baik terhadap sampel maupun responden sesungguhnya.

Daftar Pustaka

Agus Procoyo, 2003, Teknologi Informasi Indonesia dalam Sorotan, Diakses dari

www.ebizzasia.com. Diakses pada tanggal 25 September 2011.

Abernethy dan Guthrie, C. H, 1994, An Empirical Assesment of the Fit between

Strategy and Management Information System Design,Accounting and

Finance.November.pp. 49-66. Azhar Susanto, 2004, Sistem Informasi Manajemen, Edisi 3, Lingga Jaya, Bandung

Azhar Susanto, 2008, Sistem Informasi Akuntansi : Konsep dan Pengembangan Berbasis

Komputer, Edisi Perdana, Cetakan Pertama, Lingga Jaya, Bandung

Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2011.Bentley, Lonnie D. &

Whitten, Jeffrey L, 2007,Systems Analysis & Design for the Global

Enterprise.McGraw-Hill Irwin. Seventh Edition, New York

Bromwich, M, 1990, The Case for Strategic Management Accounting: The Role of

Accounting information for Strategy in Competitive Market,Accounting

Organization and Society. Vol. 15, pp. 27-46.

Drajad Wibowo, 2011, Usai Benahi Masalah Internal, Modal Bank Harus Segera

Dinaikkan, Diakses dari finance.detik.com. pada tanggal 30 September 2011.

Chenhall, R.H., & Morris, D, 1986,The impact of structure, environment, and

interdependence on the perceived usefulness of management accounting systems.

Accounting Review, 61, 16 -35.

Page 124: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

119

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH

TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI

(Survei Pada LP Klas I Sukamiskin Kota Bandung)

Dahlia

Aditya Amanda Pane

Marissa Putriana

Magister Ilmu Ekonomi

Universitas Padjadjaran

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

korupsi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada para

tahanan yang terlibat kasus korupsi di LP Klas I Sukamiskin Bandung. Adapun metode yang

digunakan untuk menentukan pemilihan responden adalah random sampling dimana para

responden dipilih secara acak. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas

Tekanan, Kesempatan, Sikap dan Tindakan Korupsi. Pengujian dilakukan dengan

menggunakan metode Analisis Jalur untuk melihat pengaruh antara variable eksogen

terhadap variable endogen baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasil analisis

menunjukkan bahwa faktor-faktor berupa tekanan, kesempatan dan rasionalisasi/sikap

berpengaruh signifikan terhadap terjadinya tindak korupsi secara simultan. Sementara

secara parsial hanya variabel rasionalisasi/sikap saja yang berpengaruh signifikan terhadap

korupsi. Tindak korupsi yang terjadi memiliki dampak yang sangat buruk terhadap

pembangunan bangsa. Korupsi mengakibatkan semakin tingginya biaya sosial ekonomi

seperti rendahnya kualitas pelayanan publik baik secara fisik ataupun jasa. Untuk

meminimalisir terjadinya tindak korupsi maka harus dilakukan antisipasi sejak dini yaitu

dengan membudayakan sikap jujur yang anti terhadap penyimpangan dan penyelewengan

dimulai dari lingkungan keluarga, menanamkan sikap moral yang baik pada setiap individu,

memberikan imbalan yang sesuai atas kinerja, meningkatkan pengawasan dan peran serta

para akuntan, dan menegakkan aturan hukum serta pemberian sanksi yang tegas kepada

para pelanggar-pelanggarnya sehingga memungkinkan adanya efek jera.

Kata Kunci: Korupsi, Tekanan, Kesempatan dan Rasionalisasi/Sikap

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Kenyataan pahit yang sedang kita rasakan sebagai bangsa Indonesia dengan peringkat

Negara terkorup di dunia. Republik ini telah masuk pada barisan Negara-negara dengan label

tinggi prilaku korupsinya. Indonesia memiliki reputasi internasional yang buruk dari segi

korupsi dan menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Prestasi Indonesia dalam

mengendalikan korupsi juga dinilai makin lama makin buruk. Orang Indonesia mengetahui

hal ini dan mengibaratkan bahwa korupsi sebagai ―Penyakit yang harus dibasmi‖, dengan

memaparkan setiap kasus yang diketahui walaupun persepsi tersebut diimbangi dengan

munculnya keterbukaan baru di Indonesia yang demokratis, tingkat korupsi memang sangat

tinggi dan membebani biaya sosial dan ekonomi yang berat1. Korupsi juga turut

menyebabkan hilangnya kepercayaan rakyat pada pemerintah.

1 The World Bank 2004, halaman 42.

Page 125: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

120

Korupsi tidak hanya terjadi di pemerintahan tetapi juga terjadi pada sektor-sektor

swasta. Beberapa contoh kasus korupsi yang akhir-akhir ini terjadi mulai dari kasus

penyuapan di level pemerintahan yang paling rendah sekalipun seperti di kelurahan yang

memberikan pungutan-pungutan saat pengurusan surat-surat dan KTP, hingga sampai kepada

kasus-kasus dengan level high class seperti kasus korupsi pajak oleh Gayus Tambunan, kasus

korupsi berupa penggelapan dan penipuan nasabah Citybank Malinda Dee senilai Rp

17.000.000.000 yang bertindak selaku Relationship Manager, kasus yang menyeret selebritis

sekaligus tokoh salah satu partai politik Angelina Sondakh dalam kasus korupsi suap

kepengurusan anggaran di kementerian Pemuda dan Olah Raga serta kementerian Pendidikan

Nasional serta menerima uang hadiah senilai Rp 2.500.000.000 dan $1.200.000 Amerika dari

Grup Permai, hingga kasus yang menyeret salah satu menteri aktif Kementrian Pemuda dan

Olahraga Andi Mallarangeng sebagai tersangka kasus Hambalang.

Maraknya kasus korupsi di Indonesia juga turut diperkuat dengan data dari

Transparency International (TI) yang merilis indeks persepsi korupsi untuk tahun 2012.

Indonesia menempati peringkat 118 dari 176 negara. Ini menunjukkan Indonesia masih butuh

banyak perbaikan untuk membenahi berbagaisektor yang dipersepsikan masih terjerat

korupsi. Indeks persepsi korupsi adalah skala dari 0 sampai 100, dengan 0 mengindikasikan

level korupsi yang tinggi dan 100 untuk level yang rendah. Indonesia memiliki indeks sebesar

32, setingkat dengan Mesir, Republik Dominika, Ekuador, dan Madagaskar di peringkat 118.

Dari 27 negara di regional Asia Pasifik, Indonesia berada di peringkat 18, tepat di bawah

Timor-leste yang mendapat nilai indeks 33. Dibanding dengan negara-negara di ASEAN,

Indonesia sangat jauh ketinggalan dengan Singapura, Brunei, dan Malaysia yang mendapat

peringkat 2, 46, dan 54 dari 176 negara. Ada empat negara ASEAN yang peringkatnya

berada di bawah Indonesia, yaitu Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Pada tahun 2011

Indonesia memperoleh peringkat 100 dari 183 negara dengan indeks 3.0. Tahun ini Indonesia

turun 18 posisi.

Indonesia Corruption Watch (ICW) selaku organisasi non-pemerintah (NGO) yang

mempunyai misi untuk mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai aksi korupsi

yang terjadi di Indonesia menyatakan, tahun 2013 ini menjadi tahun dengan kemarakan kasus

korupsi. Di dalam konferensi persnya yang diadakan di Jakarta, Kamis (7/2/2013), ICW

memaparkan ada kecenderungan penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),

khususnya dari bantuan sosial dan hibah yang akan digunakan untuk kepentingan suksesi

Pemilu 2014. Ada tren peningkatan anggaran bantuan sosial hibah yang akan rawan dibajak

oleh fungsionaris partai yang masih menjabat.

Korupsi di Indonesia semakin sulit dicegah dan diberantas secara tuntas karena

banyak sebab yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Sehingga dapat dikatakan

bahwa kondisinya sudah sangat rumit, kompleks dan parah. Keadaan ini bukan karena tidak

adanya upaya pemerintah untuk mencegah dan memberantas korupsi, akan tetapi karena

sangat banyak orang yang tidak peduli dibandingkan dengan orang yang peduli dengan

masalah ini. Serta korupsi yang subur juga disebabkan oleh sikap mental individu yang

kontra produktif, seperti ingin sukses atau berhasil dengan cepat tanpa melalui prosedur dan

tahapan yang wajar yang seharusnya dilandasi dengan kejujuran dan profesionalisme. Dalam

prakteknya ternyata justru para pelaku korupsi semakin merajalela tanpa mengenal rasa takut

atau sungkan-sungkan lagi dalam melakukan tindak pidana korupsi mereka, sehingga

nilainya sudah mencapai milyaran atau bahkan trilliunan rupiah yang kemudian disimpan

diberbagai negara-negara lain.

Persoalan korupsi bukanlah sekedar persoalan penegakan hukum semata melainkan

juga terkait dengan persoalan sosial dan psikologis yang juga parah. Alasan mengapa

dimasukkan kedalam persolan sosial psikologis karena korupsi ini telah mengakibatkan tidak

Page 126: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

121

adanya pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan Korupsi pun merupakan

penyakit sosial yang sulit disembuhkan2.

LP Sukamiskin Bandung merupakan salah satu lapas yang diperuntukkan bagi para

koruptor memiliki dengan tahanan sejumlah 216 narapidana kasus korupsi dari berbagai

daerah. Sejumlah tahanan korupsi sudah dipindahkan ke LP tersebut sepanjang 2012. Satu di

antaranya mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus H Tambunan, yang menjadi

terpidana kasus korupsi perpajakan dan pencucian uang

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dibidang ini dan menuangkannya ke dalam bentuk paper dengan judul “Analisis

Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Tindak Pidana Korupsi (Survei Pada LP

Klas I Sukamiskin Kota Bandung)”. Penulis akan menganalisis mengenai faktor penyebab,

implikasi hingga alternatif upaya pencegahan yang dapat dilakukan.

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang dapat dibuat

suatu rumusan masalah yaitu Faktor-Faktor apa saja Yang Berpengaruh Terhadap Tindak

Pidana Korupsi ?

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Faktor-Faktor Yang Berpengaruh

Terhadap Tindak Pidana Korupsi.

1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah:

1. Bagi Penulis adalah dapat menambah wawasan khususnya mengenai faktor-faktor

yang menjadi penyebab terjadinya korupsi, serta bagaimana upaya penanggulangan

yang dapat dilakukan sekaligus sebagai bentuk nyata kepedulian tim penulis akan

maraknya kasus korupsi di Indonesia.

2. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan mampu menjadi

referensi berbagai pihak dalam memahami mengenai faktor-faktor yang berpengaruh

pada tindak pidana korupsi dan upaya penanggualangannya.

2. KAJIAN PUSTAKA

2.1 Korupsi

Membahas persoalan korupsi/kecurangan memanglah sesuatu yang tidak ada

habisnya, hal ini sudah berlangsung sejak dari dulu sampai sekarang. Layaknya sebuah cerita

dalam sebuah buku kita tidak mengetahui kapan lembaran cerita dari buku ini akan segera

berakhir meskipun para pembacanya sudah sangat ingin mengetahui bagaimana endingnya.

Apabila dilihat dari perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi kuantitas maupun

kualitasnya maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan

merupakan kejahatan biasa melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa

(Extraordinary Crime)3. Terdapat berbagai macam pandangan mengenai korupsi ini, Robert

Klitgaard (2005:2). Dalam arti luas korupsi berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan

pribadi. Jabatan dalam hal ini adalah kedudukan atau kewenangan. Seseorang bisa diberikan

kewenangan atau bertindak atas nama lembaga, baik itu lembaga pemerintah, lembaga

swasta, maupun nirlaba lainnya. Korupsi dapat berarti memungut uang bagi layanan yang

sudah seharusnya diberikan (pemerasan), atau menggunakan wewenang untuk mencapai

2 Romli Atmasasmita, 2002, halaman 9.

3 Romli Asmasasmita, 2002.

Page 127: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

122

tujuan yang tidak sah. Korupsi ini pun ada yang dilakukan secara ―free lance‖ artinya secara

sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk

meminta suap. Namun korupsi juga dapat menjadi sistematis dan kadang disebut sebagai

korupsi ―Berjamaah‖.

Korupsi merupakan suatu fenomena sosial yang merupakan realitas perilaku manusia

dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang. Dilihat ari sudut terminology istilah

korupsi berasal dari kata ―Corruptio‖ dalam bahasa latin yang berarti kerusakan atau

kebobrokan dan dipakai pula untuk menunjuk sesuatu keadaan dan perbuatan yang buruk.

Definisi lain dari korupsi yang banyak diacu, termasuk oleh World Bank dan UNDP, adalah:

―the abuse of public office for private gain‖. Pengertian ini jika dialihbahasakan ke bahasa

Indonesia dapat berarti: ―penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi‖.

Korupsi juga didefinisikan seperti berikut:

― an act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty

and the rights of other‖4

―Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu

keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain‖

Pengertian korupsi secara yuridis, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di

dalam UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah

diubah dengan UU no 20 tahun 2001, yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah :

Pasal 2 ayat (1) : Perbuatan korup diartikan sebagai tindakan melawan hukum dengan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara

Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.

Fraud/kecurangan menggambarkan setiap upaya penipuan yang disengaja yang

dimaksudkan untuk mengambil harta atau hak orang lain atau pihak lain5. Dalam konteks

audit atas laporan keuangan kecurangan didefinisikan sebagai salah saji laporan keuangan

yang disengaja.

Terdapat 2 (dua) kategori yang utama dalam fraud ini yaitu :

1. Fraudulent financial reporting, adalah salah saji laporan keuangan yang disengaja

terhadap nilai atau disclosure dengan tujuan untuk menyesatkan penggunananya.

2. Misappropriation of assets, adalah fraud yang melibatkan pencurian asset milik entitas

Terdapat berbagai macam bentuk-bentuk fraud beberapa diantaranya adalah

pencurian, penggelapan asset, penggelapan informasi, penggelapan kewajiban, penghilangan

atau penyembunyian fakta. Oleh karena itu fraud dikelompokkan menjadi 3 yaitu

(Misappropriation of assets, Fraudulent financial reporting,corruption)6. Dari berbagai

definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa korupsi sebagai kejahatan Extraordinary

Crime merupakan perbuatan yang merugikan orang lain, keuangan negara atau perekonomian

negara yang patut diperangi.

Beberapa elemen-elemen korupsi berdasarkan Association of Certified Fraud

Examiners (ACFE):

1. Bribery/Penyuapan.

4 Hendry Campbell dalam Black’s Law Dictionary, 1990.

5 Arens, 2008, halaman 430.

6 Tuankotta, 2007, halaman 96 - 98

Page 128: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

123

Suap yaitu tindakan berupa menawarkan, memberi, menerima, atau meminta sesutau

yang berharga dengan tujuan mempengaruhi tindakan seseorang dalam melaksanakan

kewajiban publik.

2. Conflict of interest/ Konflik Kepentingan

Conflict of interest terjadi ketika kepentingan individu bertentangan dengan kepentingan

lingkungan sekitarnya.

3. Ilegal gratuties/ Penerimaan yang tidak sah

Pemberian sesuatu yang mempunyai nilai kepada seseorang tanpa disertai dengan nilai

untuk mempengaruhi keputusannya. Pemberian tersebut biasanya dilakukan setelah

keputusan menguntungkan orang atau pihak tertentu telah dilakukan. Pihak-pihak yang

diuntungkan oleh keputusan tersebut memberikan hadiah kepada orang yang mengambil

keputusan.

4. Economic Extortion/Pemerasan

Suatu tindakan yang dapat ―mengancam‖ rekanan. Ancaman ini bisa terselubung tetapi

tidak jarang pula yang dilakukan secara terbuka. Ancaman semacam ini disebut

pemerasan.

2.2 Faktor-Faktor Penyebab Korupsi

Seseorang tidak akan melakukan kecurangan/korupsi apabila tidak disertai dengan

faktor penyebab atau pun dorongan untuk melakukannya. Menurut teori Cressey7, terdapat

tiga kondisi yang selalu hadir dalam tindakan fraud yaitu pressure, opportunity, dan

rationalization yang disebut sebagai fraud triangle. Ketiga kondisi tersebut merupakan faktor

risiko munculnya kecurangan dalam berbagai situasi.

Fraud triangle theory merupakan suatu gagasan yang meneliti tentang penyebab

terjadinya kecurangan. Gagasan ini pertama kali diciptakan oleh Donald R. Cressey (1953)

yang dinamakan fraud triangle atau segitiga kecurangan. Fraud triangle menjelaskan tiga

faktor yang hadir dalam setiap situasi fraud:

1. Pressure (Tekanan/dorongan), yaitu adanya insentif/tekanan/kebutuhan untuk melakukan

fraud. Tekanan dapat mencakup hampir semua hal termasuk gaya hidup, tuntutan

ekonomi, dan lain-lain baik itu aspek keuangan maupun non keuangan.

2. Opportunity (Kesempatan), yaitu situasi yang membuka kesempatan bagi manajemen

atau pegawai untuk melakukan suatu kecurangan. Kesempatan biasanya disebabkan oleh

lemahnya pengendalian internal /pengawasan dan perputaran personil akuntansi atau

kelemahan lain dalam proses akuntansi dan informasi.

3. Rationalization (Rasionalisasi), yaitu adanya sikap, karakter, atau serangkaian nilai-nilai

etis yang membolehkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan kecurangan, atau

orang-orang yang berada dalam lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka

merasionalisasi tindakan fraud. Dengan kata lain bahwa rasionalisasi dijadikan sebagai

alasan pembenar seseorang untuk membenarkan tindakannya melakukan korupsi.

Ketiga faktor tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain. Meskipun terdapat

tekanan atau dorongan untuk melakukan korupsi tetapi tidak disertai dengan kesempatan

dan rasionalisasi yang mendukungnya maka peluang untuk korupsi kecil. Sehingga jika

ketiga hal ini terpenuhi, maka seseorang sangat berpeluang untuk melakukan tindak

pidana korupsi.

Ketiga hal di atas digambarkan seperti dibawah ini :

7 Skousen et al, 2009.

Page 129: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

124

Gambar1. Fraud Triangle

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Sampel dan Data Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin bandung

Jawa Barat. Adapun yang menjadi objek khusus untuk memperoleh data dan informasi adalah

para tahanan atau koruptor. Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis data primer dan

sekunder dengan menyebarkan angket, wawancara dengan pihak pengelola dan ditambah

dengan dokumen dari peraturan perundang-undangan dan beberapa media di Internet. Teknik

pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah penyebaran angket. Pengambilan

sampel dilakukan dengan metode random sampling.

3.2. Metoda Analisis Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kuantitatif dengan menggunakan analisis jalur. Dengan terlebih dahulu dilakukan pegujian

validitas dengan menggunakan teknik korelasi Spearman, sedangkan untuk uji reliabilitas

instrument akan dilakukan adalah dengan menggunakan Cronbach Alpha.

3.3 Operasionalisasi Variabel

Dalam mengukur variabel penelitian diatas, dilakukan operasionalisasi variabel yang

penjabaran variabel-variabel tersebut kedalam indikator tertentu. Secara lengkap

operasionalisasi variabel adalah sebagai berikut : Tabel 1. Operasionalisasi Variabel

VARIABEL DIMENSI INDIKATOR KUISIO

NER

Tekanan atau Dorongan / Pressure ( )

(Arens 2008, Zimmerman 2004, Tuanakotta 2007)

1. Tekanan Manajemen

a. Tekanan dari pimpinan atau atasan

terhadap pegawai

b. Menurunnya prospek keuangan

perusahaan/organisasi sehingga

melakukan manipulasi untuk

menjaga reputasi

1

2

2. Tekanan Individu a. Tekanan keuangan berupa

kewajiban keuangan yang besar

untuk memenuhi kebutuhan pribadi

b. Dorongan gaji yang diberikan

sesuai dengan pekerjaan

3

4

Page 130: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

125

c. Mendapatkan bonus untuk performa yang baik

d. Mendapatkan kenaikan gaji secara

berkala sesuai dengan kinerja

aparat

e. Mendapatkan promosi dan jenjang

karis yang sesuai dengan prestasi

f. Non keuangan berupa

Mendapatkan penghargaan atas

prestasi yang telah dicapai

g. Mendapatkan penugasan khusus

terkait dengan kinerja aparat

h. Mendapat hukuman atas kinerja

yang buruk

5

6

7

8

9

10

Kesempatan / Opportunity ( )

(Arens 2008, Zimmerman 2004, Tuanakotta 2007)

1. Kewenangan a. Kekuasaan pimpinan

b. Pemanfaatan masa jabatan

11

12

2. Tidak efektifnya

pengawasan

a. Pengendalian internal dan

eksternal yang lemah

b. Perputaran personil akuntansi.

13,14, 15

16

3.Aturan yang

tidak tegas.

a. Aturan tertulis

b. Sanksi yang setimpal dengan

pelanggaran

17

18

Sikap/rationalization ( )

(Arens 2008, Zimmerman 2004, Tuanakotta 2007)

1. Sikap

manajemen

puncak

a. Sikap manajemen terhadap nilai

etis

b. Menganggap penyelewangan

merupakan hal yang lumrah

19

20

2. Sikap Pegawai a. Pengaruh lingkungan/pergaulan

b. Keserakahan

21

22

Korupsi (Y) Tuanakotta 2007

1. Bribery a. Memberikan sesuatu atau

menjanjikan sesuatu dengan

maksud berbuat atau tidak berbuat

sesuatu yang melanggar

kewajibannya

b. Menerina hadiah dari pihak yang

berkepentingan dengan mengingat

jabatan atau kekuasaan yang

melekat pada jabatan itu

1

2

2. Conflict of interest a. Dengan sengaja langsung atau tidak langsung turut serta dalam

pelaksanaan pekerjaan untuk

seluruh atau sebagian ditugaskan

3

Page 131: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

126

untuk mengawasi atau mengurusnya

3. Ilegal gratuities a. Menerima gratifikasi yang

berhubungan dengan jabatan atau

berlawanan dengan kewajiban

atau tugasnya dan gratifikasi itu

tidak dilaporkan kepada KPK

4

4.Economic Extortion

a. Dengan maksud menguntungkan

diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum memaksa orang

lain memberikan sesuatu,

membayar, atau menerima

pembayaran dengan potongan

atau mengerjakan sesuatu bagi

dirinya kepada penyelenggara

negara atau pihak lain

5

3.4. Model Penelitian

Pengujian atas hipotesis penelitian menggunakan model persamaan sebagai berikut:

dimana Y adalah variabel tindak pidana korupsi, adalah variabel tekanan, adalah

variabel kesempatan dan , adalah variable rasionalisasi/sikap.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

a. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1) Sejarah Singkat Lapas Klas I Sukamiskin Bandung

Penjara Sukamiskin yang sekarang di kenal dengan nama Lapas Klas I

Sukamiskin dibangun pada masa kolonial Belanda tahun 1918 dan mulai difungsikan

pada tahun 1924 sebagai tempat hukuman bagi kaum intelektual yang dianggap

melakukan kejahatan politik karena bertentangan dengan Penguasa Belanda dengan

nama ―STRAFT GEVANGENIS VOOR INTELECTUELEN‖, berlokasi di Jalan A.H.

Nasution Nomor 114 Bandung. Penjara Sukamiskin memiliki nilai sejarah bagi

Bangsa Indonesia karena banyak tokoh nasional pernah dipenjarakan disini, antara

lain Presiden RI pertama, Ir. Soekarno pernah menghuni Kamar No. 1 Blok Timur

Atas. Dipenjara inilah Ir. Soekarno menulis buku berjudul ―Indonesia Menggugat‖.

Bangunannya memiliki ciri khas tersendiri, jika dilihat dari atas mirip kincir angin,

karena pembagian blok mengikuti arah mata angin, kemana bilah ―kincir‖ menunjuk:

blok utara, blok selatan, blok barat dan blok timur. Masing-masing blok memiliki 2

(dua) lantai yang saling berhubungan melalui bangunan bundar paling tinggi ditengah

sebagai porosnya.

Sejalan dengan perkembangan konsep perlakuan terhadap pelanggar hukum dari

sistem penjara ke Sistem Pemasyarakatan, Penjara Sukamiskin berubah menjadi

Lembaga Pemasyarakatan Khusus Dewasa Muda Sukamiskin Bandung, kemudian

berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: 01-PR.07.03

Tahun 1985 ditetapkan menjadi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin. Dan

pada tanggal 22 Juni 2010 telah dilakukan penandatanganan Prasasti Lapas klas I

Page 132: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

127

Sukamiskin menjadi Lapas Pariwisata oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia.

Sebagai Unit Pelaksana Teknis di bidang pemasyarakatan yang berada dibawah

dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Barat, Lapas Sukamiskin mempunyai tugas

melakukan pembinaan guna meningkatkan kualitas narapidana, meliputi kualitas

ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; kualitas intelektual; kualitas sikap dan

prilaku; kualitas profesionalisme/keterampilan; dan kualitas kesehatan jasmani dan

rohani serta kualitas keamanan dalam pelayanan.

Gambaran infra struktur LAPAS Klas I Sukamiskin Bandung dengan

kepemilikan tanah seluas 146.355 M2, terdiri dari :

Tabel 2. Infrastruktur Lapas Klas I Sukamiskin

1 Tanah Bangunan Lapas 54.730 M2

2 Perumahan Dinas     9.360 M2

3 Tanah Pertanian dan Tegalan 70.920 M2

4 Lain-lain  11.345 M2    

5 Sarana Olahraga dan Peribadatan Lapangan tenis, bulu tangkis,

bola, mesjid, gereja

6 Sarana Fisik Blok Hunian Daya tampung 522

No Infrastruktur Keterangan

Sumber : http://lapassukamiskin.com

2) Sumber Daya Manusia

Pada saat ini jumlah pegawai LAPAS Klas I Sukamiskin Bandung 142 orang,

Terdiri dari :

Tabel 3. Sumber Daya Manusia Lapas Klas I Sukamiskin

1 Magister (S2) 13 orang

2 Strata 1 (S1) 37 orang

3 Diploma 4 (D4) 4 orang

4 Diploma 3 (D3 5 orang

5 SLTA 83 orang

No Uraian Keterangan

Sumber : http://lapassukamiskin.com

3) Data Responden

Saat ini Lapas Klas I Sukamiskin memiliki tahanan khusus koruptor sejumlah

266 tahanan per 1 April 2013. Adapun kuisioner yang dibagikan sebanyak 40 rangkap

tetapi yang dikembalikan hanya sebanyak 35 rangkap, dengan kata lain response rate

yaitu sebesar 87,5%. Berikut rekap data tahanan yaitu :

Page 133: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

128

Tabel 4. Responden Lapas Klas I Sukamiskin

1 Doktor (S3) 1

2 Magister (S2) 5

2 Strata 1 (S1) 19

3 Diploma 2

4 SLTA 7

5 SLTP 1

35

No Uraian Keterangan

Berdasarkan Tingkat Pendidikan :

Jumlah

Sumber: data diolah

1 20 - 30 Tahun 5

2 31 - 40 Tahun 7

3 41 - 50 Tahun 12

4 51 - 60 Tahun 8

5 61 - 70 Tahun 3

35

No Uraian Keterangan

Berdasarkan Umur :

Jumlah

Sumber: data diolah

b. Pengujian Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas dilakukan untuk menilai instrument penelitian yang digunakan dapat

mengukur apa yang ingin diukur dalam penelitian tersebut. Uji reliabilitas untuk

memberikan kepercayaan atas hasil dari instrumen penelitian yang digunakan. Hasil

uji validitas dalam penelitian ini menunjukkan bahwa untuk variabel tekanan, terdapat

dua item kuesioner yang tidak valid yaitu pertanyaan nomor 1 dan 3 sehingga tidak

dapat digunakan dalam penelitian ini. Untuk variabel kesempatan terdapat satu

kuesioner yang tidak valid, yaitu pertanyaan nomor 2. Sedangkan variabel

rasionalisasi dan korupsi semua item pertanyaannya telah valid. Keempat instrumen

penelitian untuk menilai keempat variabel dalam penelitian ini telah lulus uji

reliabilitas dengan hasil untuk variabel tekanan, kesempatan, rasionalisasi dan korupsi

dengan nilai cronbach alpha berturut-turut sebesar: 0.733; 0.724; 0.743; 0.783

sehingga hasil pengukuran atas keempat variabel tersebut dapat dipercaya.

Page 134: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

129

c. Pengolahan Data 1. Persamaan Struktur Penelitian

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized

Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) -1.735 4.128 -.420 .677

Pressure .088 .122 .113 .721 .477

Opportunity .054 .143 .060 .381 .706

Rationalizati

on

.927 .195 .639 4.752 .000

a. Dependent Variable: Corruption

Berdasarkan hasil penelitian di atas persamaan struktur dalam penelitian ini adalah:

2. Hubungan antara Variabel-Variabel Eksogen dan Endogen

Correlations

Pressure Opportunity Rationalization Corruption

Pressure Pearson Correlation 1 .513** .043 .171

Sig. (2-tailed) .002 .805 .326

N 35 35 35 35

Opportunity Pearson Correlation .513** 1 .021 .131

Sig. (2-tailed) .002 .903 .453

N 35 35 35 35

Rationalization Pearson Correlation .043 .021 1 .646**

Sig. (2-tailed) .805 .903 .000

N 35 35 35 35

Corruption Pearson Correlation .171 .131 .646** 1

Sig. (2-tailed) .326 .453 .000

N 35 35 35 35

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

a) Hubungan antara Tekanan dengan Korupsi

Hasil penelitian tersebut menunjukkan nilai hubungan antara Tekanan dan

Tindak Korupsi adalah sebesar 0.171. Hasil ini memberikan gambaran bahwa

hubungan antara kedua variabel tersebut adalah searah dan lemah. Dimana semakin

besar tekanan yang terjadi di lingkungan pekerjaan maka menyebabkan tindak korupsi

yang terjadi juga meningkat. Hasil ini sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh

Cressey, dimana semakin tinggi tekanan yang dirasakan seorang karyawan seperti

tekanan kebutuhan ekonomi, maka keinginan untuk melakukan korupsi juga semakin

tinggi, selain didukung oleh dua faktor penyebab korupsi lainnya. Namun demikian

hubungan antara kedua variabel ini sangat lemah.

b) Hubungan antara Kesempatan dengan Korupsi

Hasil penelitian menunjukkan nilai hubungan antara variabel Kesempatan

dengan Tindak Korupsi adalah sebesar 0.131. Hasil ini dapat memberikan gambaran

Page 135: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

130

bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut searah dan lemah. Dimana semakin

besar kesempatan yang ada untuk melakukan tindak korupsi, maka tindak korupsi

yang terjadi juga semakin besar, walaupun hubungan antara kedua variabel ini lemah.

c) Hubungan antara Rasionalisasi/Sikap dengan Korupsi

Hasil penelitian menunjukkan nilai hubungan antara variabel

Rasionalisasi/Sikap dengan Tindak Korupsi adalah sebesar 0.646. Hasil ini dapat

memberikan gambaran bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut adalah searah

dan erat. Dimana semakin tinggi sikap karyawan dalam merasionalisasikan bahwa

tindakan penyelewengan atau kecurangan yang dilakukan adalah hal yang benar atau

wajar, maka semakin banyak/tinggi pula tindak korupsi yang terjadi. Dengan

hubungan antara kedua variabel tersebut erat.

d) Hubungan antara variable-variabel Tekanan, Kesempatan dan

Rasionalisasi/Sikap

Dalam penelitian ini, ketiga variabel eksogen memiliki hubungan/keterkaitan

dimana dalam penelitian yang dilakukan oleh Donald R. Cressey (1953) menjelaskan

bahwa ketiga faktor yang dirumuskan dalam fraud triangle saling berhubungan dan

saling mempengaruhi. Dari hasil penelitian ini menunjukkan hubungan antara tekanan

dan kesempatan adalah sebesar 0.513, artinya terdapat hubungan positif antara kedua

variabel tersebut. Untuk hubungan antara variabel Tekanan dan Rasionalisasi/Sikap

adalah sebesar 0.043, angka ini menunjukkan bahwa antara kedua variabel tersebut

terdapat hubungan yang positif yang tidak erat. Kemudian untuk hubungan antara

kesempatan dan rasionalisasi/sikap adalah sebesar 0.021. Angka ini menunjukkan

bahwa antara kedua variabel terdapat hubungan positif yang cukup erat.

3. Menghitung Koefisien Jalur Secara Simultan dan Parsial

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 169.022 3 56.341 8.115 .000a

Residual 215.221 31 6.943

Total 384.243 34

a. Predictors: (Constant), Rationalization, Opportunity, Pressure

b. Dependent Variable: Corruption

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients T Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) -1.735 4.128 -.420 .677

Pressure .088 .122 .113 .721 .477

Opportunity .054 .143 .060 .381 .706

Rationalization .927 .195 .639 4.752 .000

a. Dependent Variable: Corruption

a) Koefisien Jalur Secara Simultan

: ρx1y = ρx2y = ρx3y = 0 (Tekanan, kesempatan dan rasionalisasi/sikap tidak berpengaruh signifikan terhadap terjadinya tindak korupsi)

: ρx1y = ρx2y = ρx3y ≠ 0 (Tekanan, kesempatan dan rasionalisasi/sikap berpengaruh signifikan terhadap terjadinya tindak korupsi)

Page 136: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

131

Kriteria uji: Probabilitas Sig. < Probabilitas 0.05, maka Ho ditolak. Ternyata pada

penelitian tersebut menunjukkan bahwa prob. Sig < prob. 0.05 yaitu 0.000 < 0.05,

hasil menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara tekanan,

kesempatan dan rasionalisasi secara simultan terhadap terjadinya tindak korupsi.

b) Koefisien Jalur Secara Parsial Dari hasil pengujian masing-masing variabel tekanan, kesempatan dan

rasionalisasi/sikap terhadap terjadinya tindak korupsi menunjukkan bahwa tekanan

dan kesempatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya tindak

korupsi sedangkan untuk variabel rasionalisasi/ sikap dalam penelitian ini memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya tindak korupsi.

4.2 Pembahasan

Dari hasil penelitian dapat kita lihat bahwa para responden dalam hal ini para

terpidana tindak korupsi memberikan respon terhadap faktor-faktor yang menjadi motif

dilakukankannya korupsi yaitu adanya rasionalisasi/sikap yang tidak anti terhadap korupsi itu

sendiri. Tindak korupsi yang mengakar disebabkan karena personal individu yang

menganggap itu adalah hal yang umum atau lumrah. Dalam penelitian ini, tekanan

kesempatan tidak berpengaruh signifikan, sedangkan rasionalisasi berpengaruh secara

signifikan terhadap terjadinya tindak korupsi. Hal ini menunjukkan, sebagian besar koruptor

atau pelaku tindak pidana korupsi melakukan tindak kecurangannya bukan karena adanya

tekanan ekonomi melainkan pada umumnya para koruptor menganggap apa yang

dilakukannya adalah hal umum yang biasa dilakukan dan tidak melanggar hukum dan

kemanusiaan sehingga tindak korupsi kerap terjadi dan kesadaran/sensitifitas masyarakat

akan dampak kecurangan tersebut tidak ada. Oleh karena itu, selain upaya reformasi birokrasi

yang dilakukan, yang sekiranya dapat menghilangkan celah kesempatan untuk melakukan

korupsi, perlu dilakukan berbagai upaya dalam pembentukan karakter individu yang lebih

antipati terhadap korupsi dan benar-benar memahami setiap dampak dari tindak korupsi.

Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk penanganan korupsi adalah:

1. Preventif

- Membudayakan sikap anti korupsi/semangat untuk membenci korupsi seperti

(membudayakan sikap untuk tidak menerima suap dan keserakahan (greediness),

- Membudayakan sikap anti korupsi dari pendidikan di lingkungan keluarga,

pendidikan dilingkungan sekolah dasar hingga perguruan tinggi, pendidikan ini

mengenai etika dan kejujuran menanamkan nilai-nilai moral secara meluas kepada

generasi muda bangsa ini bahwa korupsi merupakan salah satu kejahatan.

- Menciptakan iklim kerja yang sehat dalam lingkup entitas pemerintahan di pusat,

daerah maupun entitas swasta.

- Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan

- Memaksimalkan peranan internal auditor dalam mengawasi dan mendeteksi

kemungkinan terjadinya korupsi

- Penguatan sistem pengendalian internal

- Pemberian reward sesuai dengan kinerja

- Memberikan imbalan bagi pihak yang mengungkap kasus korupsi

- Menyediakan layanan pengaduan atas adanya indikasi awal korupsi

2. Kuratif

- Mendorong penegakan hukum dengan pemberian hukuman yang setimpal atas kasus

korupsi sehingga menimbulkan efek jera

- Gunakan hukuman-hukuman non formal seperti (pemindahan, hilangnya reputasi

professional, tidak diterima di lembaga manapun)

Page 137: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

132

- Memaksimalkan pembinaan mental/moral

- Pemisahan fungsi yang jelas diantara beberapa lembaga peradilan

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama ketiga variabel yang terkait

dengan faktor-faktor/motif korupsi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya

tindak korupsi itu sendiri. Tetapi secara parsial, faktor rasionalisasi/sikap saja yang

berpengaruh secara signifikan, sementara dua faktor lain yaitu tekanan dan kesempatan tidak

berpengaruh secara signifikan. Selain itu, antara ketiga faktor tersebut juga saling memiliki

hubungan positif (searah).

Oleh karena itu, peneliti memberikan saran kepada penelitian selanjutnya untuk

melakukan penelitian dengan menspesifikasi sampel, seperti kasus korupsiyang terjadi pada

sektor pemerintahan saja atau swasta saja. Diharapkan dengan demikian dapat memberikan

masukan yang lebih mendalam dan spesifik terhadap salah satu sektor. Penelitian berikutnya

juga dapat memperluas penelitian dengan menambah jumlah responden.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 2010. Proteksi Dini Penyakit Korupsi Berbasis Syariah. Jurnal Karsa, Vol.

XVII No. 1 April 2010

Arens. 2008. Auditing and Assurance Services. Diterjemahkan oleh Herman Wibowo. Jakarta

: Erlangga.

Atmasasmita, Romli. 2002. Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di

Indonesia. Departemen Kehakiman dan Ham RI:Jakarta

Aunalal Zany Irayati. 2008. Penanganan Korupsi Di Dunia Birokrat. Jurnal Administrasi

Bisnis (2008), Vol.4, No.1: hal. 34–45, (ISSN:0216–1249)

Diansyah, Febri. 2009. Senjakala Pemberantasan Korupsi; Memangkas Akar Korupsi dari

Pengadilan Tipikor. Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Juli

Idris, Fahmi. 2010. Selamatkan Uang Negara dengan Tata Kelola Keuangan Negara yang

Benar. Ekspose: Jakarta.

Klitgaard, Robert & Ronald Maclean Abaroa.2005. Corrupt Cities A proctica Guide to Cure

and Prevention. Diterjemahkan oleh Masri Maris. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

____________. 2005. Controlling Corruption. Diterjemahkan oleh Selo Soemardjan. Jakarta

: Yayasan Obor Indonesia

Kemendagri. 2013. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Peringkat 118 Dunia.

http://www.kemendagri.go.id. Diakses tanggal 5 April 2013.

Suradi. ―Mengapa Seseorang Korupsi?‖. Diakses dari:

http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/palembang/attachments/178_MENGAPA-

SESEORANG-KORUPSI.pdf

Tuanakotta, Theodorus. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Lembaga

Penerbit FE Universitas Indonesia

World Bank. 2004. Memerangi Korupsi di Indonesia.

Page 138: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

133

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KOMPETENSI APARATUR DAERAH TERHADAP EFEKTIVITAS PENERAPAN AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK SERTA

DAMPAKNYA TERHADAP GOOD GOVERNANCE

(Studi Pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di Kota Medan)

Oleh Eka Nurmala Sari

Doktor Ilmu Ekonomi

Universitas Padjadjaran

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh budaya organisasi dan kompetensi aparatur daerah terhadap efektivitas penerapan akuntansi sektor publik serta dampaknya terhadap good governance pada satuan perangkat daerah (SKPD) di kota Medan.Penelitian ini dilakukan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Medan dengan menggunakan sensus. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner dan online survei di official websitepemerintahan kota Medan. Analisis data dan pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan Path Analysis (Analisis Jalur). Hasil penelitian menunjukkan: (1) Budaya organisasi dan kompetensi aparatur daerah secara parsial dan simultan berpengaruh signifikan terhadap efektivitas penerapan akuntansi sektor publik. Hal ini menunjukkan budaya organisasi dan kompetensi aparatur daerah memberikan kontribusi dalam meningkatkan efektivitas penerapan akuntansi sektor publik, namun belum mencapai maksimal.(3) Efektifitas penerapan akuntansi sektor publik berpengaruh signifikan terhadap Good Governance.

Kata Kunci: Efektivitas, Akuntansi Sektor Publik, Good Governance, Budaya Organisasi, Kompetensi Aparatur Daerah

I. Pendahuluan

Konsep good governance merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh sektor publik,

khususnya pemerintah daerah. Mardiasmo (2006:2) menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga)

mekanisme yang dapat dilaksanakan agar pemerintahan daerah lebih responsif, transparan,

dan akuntabel serta dapat mewujudkan good governance, yaitu: (1) mendengarkan suara atau

aspirasi masyarakat serta membangun kerjasama pemberdayaan masyarakat, (2) memperbaiki

internal rules dan mekanisme pengendalian, dan (3) membangun iklim kompetisi dalam

memberikan layanan terhadap masyarakat serta marketisasi layanan. Ketiga mekanisme

tersebut saling terkait, untuk memperbaiki efektivitas pengelolaan pemerintahan daerah.

Dalam merealisasikan pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan

dalam UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah, maka pengembangan dan pengaplikasian

akuntansi sektor publik sangat mendesak, sebagai alat untuk melakukan transparansi dalam

mewujudkan akuntabilitas publik.

Akuntansi sektor publik juga terkait erat dengan paradigma otonomi daerah dan

desentralisasi fiskal yang saat ini sedang berjalan. Kaitannya dengan reformasi sektor publik,

otonomi daerah menjadi salah satu bagian dari reformasi sektor publik itu sendiri. Otonomi

memberikan keleluasaan (diskresi) pada daerah untuk mengembangkan sistem pengelolaan

keuangan daerah secara luas (Mardiasmo,2002).

UUNo.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UUNo.25 tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menjadi tonggak di mulainya

Otonomi Daerah. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal,

tantangan yang dihadapi akuntansi publik adalah menyediakan informasi yang dapat

digunakan untuk memonitor akuntabilitas pemerintah daerah yang meliputi akuntabilitas

Page 139: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

134

finansial (financial accountability), akuntabilitas manajerial (managerial accountability),

akuntabilitas hukum (legal accountability), akuntabilitas politik (political accountability),

dan akuntabilitas kebijakan (policy accountability).

Akuntansi sektor publik memiliki peran utama untuk menyiapkan laporan keuangan.

Hal ini dipertegas oleh Mardiasmo (2002)yang menyatakan bahwa Good governance dan

akuntansi sektor publik memiliki hubungan kuat, dimana akuntansi publik sebagai alat dalam

elaborasi good governanance ke tatanan yang lebih riil.Urif Santoso dan Yohanes (2008) di

dalam penelitiannya menemukanbahwa penerapan akuntansi sektor publik berpengaruh

terhadap akuntabilitas pemerintah. Selain itu N. C.Shil (2008) menyatakan:―...accounting will

show us the way to proceed with corporate governance where bad governance generally

comes from financial dissatisfaction and over exercising of power.‖

Pendapat laindikemukan Vijay Kelkar (2009), bahwa akuntansi memberikan kerangka

dasar yang mempengaruhi kualitas good governance. Dari beberapa pendapat tersebut,

dipercaya bahwa akuntansi khususnya akuntansi sektor publik memiliki peran yang sangat

penting dalam terciptanya good governance.Penelitian di Indonesia mengenai hal ini

dilakukan olehUrif Santoso dan Yohanes (2008) yang menemukan bukti bahwa penerapan

akuntansi sektor publik dan kualitas informasi akuntansi berpengaruh terhadap akuntabilitas

pemerintahan.

Akuntansi sektor publik memiliki kaitan erat dengan penerapan dan perlakuan

akuntansi domain publik (Mardiasmo,2009). Menurut American Accounting Association

(1970) dalam Glynn (1993), tujuan akuntansi pada organisasi sektor publik adalah

memberikan informasi yang diperlukan agar dapat mengelola suatu operasi dan alokasi

sumber daya yang dipercayakan kepada organisasi secara tepat, efisien, dan ekonomis, serta

memberikan informasi untuk melaporkan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan

tersebut, serta melaporkan hasil operasi dan penggunaan dana publik. Dengan demikian,

akuntansi sektor publik terkait dengan penyediaan informasi untuk pengendalian manajemen

dan akuntabilitas. Agar tujuan akuntasi pada organisasi sektor publik dapat tercapai maka

perlu adanya peningkatan efektivitas penerapan akuntansi sektor publik.

Pengembangan akuntansi dapat dijelaskan baik, dari segi budaya dan lingkungan.

Budayadan lingkungan adalah kedua faktor yang membentuk konteks tempat akuntansi

beroperasi, dan dampak budaya pada akuntansi merupakan kontribusi penting dari literatur

akuntansi internasional, menurut Cingdem Solas and Sinan Ahyan (2008l).

Budaya perusahaan dapat mempengaruhi efektivitas penerapan akuntansi.Budaya

organisasi dapat membentuk tindakan manajer dan pengambilan keputusan, termasuk pilihan

sistem kontrol.Dengan demikian, budaya organisasi mempengaruhi perilaku pekerja terutama

efektivitas praktek akuntansi, seperti integrasi informasi keuangan, pembentukan pelaporan,

diseminasi laporan keuangan, informasi akuntansi yang kredibel(Hanpuwadal, Nupakorn dan

Ussahawanitchakit, Phapruke, 2010).

Budaya organisasi adalah sistem nilai bersama yang ada di dalam organisasi.

Hanpuwadal, Nupakorn dan Ussahawanitchakit, Phapruke (2010) menyatakan budaya

organisasi didefinisikan sebagai dukungan perusahaan untuk pengembangan etika dan

teknologi pelatihan, yang bertujuan meningkatkan hubungan dan keselarasan para anggota

organisasi dan pengaruh yang penting terhadap setiap aspek dari operasi perusahaan.

Selanjutnya Cingdem Solas and Sinan Ahyan (2008) memberikan bukti di negara

China bahwa―...the criteria which claim that Chinese accounting has been shaped by

together with cultural, economical and political factors in the last century.‖ Senada dengan

penelitian di Iran oleh Iraj Noravesh, Zahra Dianati Dilami, Mohammad S.Bazaz (2007):―The

results of this research show the relationships among cultural and accounting values in Iran

and found support for more than one-half of Gray's hypotheses.‖Temuan-temuan ini

menunjukkan bahwa ada hubungan antara budaya organisasi dan penerapan akuntansi.

Page 140: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

135

Penerapan akuntansi yang efektif dapat berjalan jika didukung oleh kompetensi

pegawai yang melaksanakan tugas di bidang akuntansi. Seperti yang dikemukan Hanpuwadal

dan Ussahawanitchakit (2010), bahwa kemampuan sumber daya manusia membuat

penerapan akuntansi berjalan efektif, dan pada gilirannya memberikan pengaruh pada

integrasi informasi akuntansi, pembentukan pelaporan yang berguna, diseminasi laporan

keuangan efektif, dan informasi yang dapat dipercaya. Kompetensi akuntan adalah

kemampuannya untuk mengoperasikan akuntansi yang memberikan nilai informasi untuk

mencapai tujuan organisasi (Fowler, 1999).

Selanjutnya menurut Djadja S. (2009), dalam menyikapi terbitnya serangkaian

peraturan di bidang keuangan negara, banyak pemda mengalami kesulitan, karena laporan

keuangan merupakan hal baru, dan terbatasnya sumber daya manusia yang menguasai

pengelolaan keuangan. Hal senada dinyatakan Anwar Nasution (2009), sesungguhnya bukan

cuma faktor waktu pemberlakuan yang masih tergolong baru, hampir semua tenaga atau

birokrat yang bertanggung jawab pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tidak

memahami akuntansi karena tidak pernah mempelajarinya.

Selain itu Bagus Rumbogo (2009) berpendapat bahwa dalam rangka membangun

sistem akuntansi instansi, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 59 Tahun 2005, yang perlu diupayakan adalah sumber daya manusia (brainware)

yang memiliki kemampuan yang memadai dalam hal akuntansi dan pengoperasian komputer.

Secara garis besar bahwa permasalahan di atas menurut Mardiasmo (2006)

merupakan penghambat terwujudnya good governance. Dilihat dari sisiakuntansi publik,

terdapat tiga permasalahan utama mengapa Good Governance masih jauh dari kenyataan,

yaitu: Pertama, belum adanya sistem akuntansi pemerintahan daerah yang baik yang dapat

mendukung pelaksanaan pelaporan secara handal.Tidak adanya sistem akuntansi yang handal

menyebabkan lemahnya pengendalian intern (internal control) pemerintah daerah. Kedua,

sangat terbatasnya jumlah personel pemerintahan daerah yang berlatarbelakang pendidikan

akuntansi, sehingga mereka tidak mengerti dengan permasalahan ini. Di sisi lain, sangat

sedikit sarjana akuntansi berkualitas yang tertarik mengembangkan profesinya di

pemerintahan daerah. karena kompensasi yang rendah. Ketiga, belum diterapkannya secara

penuh standar akuntansi keuangan sektor publik yang baku, sebagai pedoman pembuatan

laporan keuangan dan mekanisme pengendalian. Belum diterapkannya standar akuntansi

secara penuh akan menimbulkan implikasi negatif berupa rendahnya reliabilitas informasi

keuangan serta menyulitkan pengauditan.

Berdasarkan hal ini peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul: ―Pengaruh

Budaya Organisasi dan Kompetensi Aparatur Daerah Terhadap Efektivitas Penerapan

Akuntansi Sektor Publik Serta Dampaknya Terhadap Good Governance Pada Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD) di Kota Medan.

Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah Budaya Organisasi dan Kompetensi Aparatur Daerah berpengaruh terhadap

Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik

2. Apakah Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik berpengaruh terhadap Good

Governance

2. Kajian Teoritis

2.1. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor

Publik

Stephen B. Salter dan Frederick Niswander (1995) menyatakan bahwa praktik

pelaporan keuangan di pengaruhi oleh budaya.Iraj Noravesh, Zahra Dianati Dilami,

Mohammad S.Bazaz (2007) menemukan hasil bahwa terdapat hubungan antara nilai budaya

Page 141: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

136

dan akuntansidi Iran. Cingdem Solas and Sinan Ahyan (2008) menyatakan pengembangan

akuntansi dapat dijelaskan baik, dari segi faktor budaya dan lingkungan. Hauriasi Abrahan

dan Davey, Howard (2009) dalam penelitiannya menemukan hasil bahwa terdapat pengaruh

budaya terhadap praktik akuntansi di Kepulauan Solomon.

Budaya perusahaan dapat mempengaruhi efektivitas penerapan akuntansi

(Hanpuwadal, Nupakorn dan Ussahawanitchakit, Phapruke,2010). Budaya organisasi dapat

membentuk tindakan manajer dan pengambilan keputusan, termasuk pilihan sistem kontrol.

Sistem kontrol dan struktur kekuasaan perusahaan merupakan komponen penting dari budaya

perusahaan yang unik, yang mencerminkan pola pikir yang mendasari paradigma perusahaan

(Williams dan Triest, 2009). Dengan demikian, budaya organisasi mempengaruhi perilaku

pekerja terkait efektivitas praktek akuntansi, seperti integrasi informasi keuangan,

pembentukan pelaporan, diseminasi laporan keuangan, informasi akuntansi terpercaya.

2.2. Pengaruh Kompetensi Aparatur Daerah Terhadap Efektivitas Penerapan

Akuntansi Sektor Publik

Kompetensi aparatur daerah merupakan pilar peyangga penyelenggaraan

pemerintahan daerah, khususnya dalam penerapan akuntansi yang efektif. Kemampuan

sumber daya manusia meningkatkan efektivitas praktik akuntansi, dan pada gilirannya

berpengaruh pada integrasi informasi akuntansi, pembentukan pelaporan yang berguna,

diseminasi laporan keuangan yang efektif, dan informasi akuntansi yang dapat dipercaya.

Menurut Hanpuwadal, Nupakorn dan Ussahawanitchaki, Phapruke (2010) bahwa

Kompetensi Akuntan adalah kemampuan akuntan dengan pengetahuan profesional dan

keterampilan, termasuk pengalaman. Selain itu Menurut Hanpuwadal, Nupakorn dan

Ussahawanitchaki, Phapruke (2010) bahwa kompetensi akuntan merupakan faktor penting

untuk mempromosikan efektivitas penerapan akuntansi.

Selanjutnya Fowler (1999) menyatakan bahwa Pengetahuan akuntan adalah

kemampuan akuntan untuk mengoperasikan akuntansi yang memberikan nilai informasi

untuk mencapai tujuan organisasi Artinya, akuntan yang melakukan pekerjaan akuntansi

(mengumpulkan, mengubah proses, laporan, dan menyebarkan pelaporan) dilatih untuk

menangani dengan menggunakan standar akuntansi dan pengetahuan teknologi informasi dan

operasi untuk mendukung praktik akuntansi.

2.3. Pengaruh Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik Terhadap Good

Governance

Pengertian good governance sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik

(Mardiasmo, 2010). Sementara World Bank (1994) mendefinisikannya sebagai suatu

penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, yang sejalan

dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi,

dan pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif, serta menjalankan disiplin

anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

Selanjutnya United Nation Development Program (UNDP) pada tahun 1997

mendefinisikan Good Governance sebagai: Kepemerintahan adalah pelaksanaan

kewenangan/kekuasaan di bidang ekonomi, politik, dan administratif untuk mengelola

berbagai urusan negara pada semua tingakatan dan merupakan instrumen kebijakan negara

untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam

masyarakat. Dengan kata lain suatu hubungan yang sinerjik dan konstruktif di antara negara,

sektor swasta, dan masyarakat (state, prevate, society). Namun dalam kenyataan, negara

(state) masih menjadi yang paling dominan. UNDP mengajukan 9 (sembilan) prinsip sebagai

Page 142: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

137

karakteristik good governance yaitu: partisipasi, rule of law, transparansi, responsiveness,

consensus orientation, equity, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, strategic vision.

Dari kesembilan prinsip tersebut menurut Mardiasmo (2010,18) paling tidak terdapat

tiga hal yang dapat diperankan oleh akuntansi sektor publik yaitu penciptaan transparansi,

akuntabilitas publik, serta efektifitas dan efisiensi.

Dalam rangka mewujudkan good governance, pemerintah diharapkan melakukan

berbagai upaya perbaikan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas publik, salah

satunya dengan penerapan akuntansi sektor publik yang lebih efektif.

Akuntansi sektor publik memiliki peran utama untuk menyiapkan laporan keuangan

sebagai salah satu bentuk pelaksanaan akuntabilitas publik.Penerapan akuntansi sendiri

adalah suatu proses akuntansi untuk mengumpulkan, proses merubah, laporan, dan

menyebarkan pelaporan kepada pengguna. Umumnya, penerapan akuntansi menyajikan

informasi akuntansi organisasi untuk manajemen (Hakansson dan Lind, 2004) dan

merupakan alat untuk administrasi sumber daya yang efisien, dan dukungan pengambilan

keputusan yang tepat (Quattrone, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa penerapan akuntansi

memiliki peran penting dalam membangun pelaporan keuangan dan informasi bagi pengguna

eksternal dan internal yang difungsikan untuk menilai status kinerja keuangan perusahaan.

Penelitian Richard G.Sloan (2001) menunjukkan bahwa Akuntansi keuangan adalah

bahan utama dalam proses corporate governance. Sama halnya dengan penelitian Eugene

(2003) yang menyatakan bahwa akuntansi dan auditing merupakan komponen dari system

corporate governance yang lebih luas dan tidak bisa "diperbaiki" dengan cara apa pun,

kecuali perubahan substantive dalam proses governance secara keseluruhan. Nikhil C. Shil

(2009) menyatakan bahwa akuntansi disebut sebagai kendaraan untuk memastikan good

corporate governance (GCG), dan bahwa dunia harus mengadopsi standar akuntansi global.

Vijay Kelkar (2009) menyatakan bahwa kerangka kerja akuntansi berdampak pada

kualitas governance. Penelitian yang dilakukan oleh P.Brown et all (2010) menyimpulkan

bahwa ada hubungan yang positif antara good governance dengan kualitas akuntansi.

Pembahasan mengenai pengaruh akuntansi sektor publik terhadap good governance di

Indonesia telah dilakukan oleh Mardiasmo (2002) yang menyatakan Good governance dan

akuntansi sektor publik memiliki hubungan yang kuat, dimana akuntansi sektor publik

sebagai alat untuk melakukan elaborasi good governanance ke tatanan yang lebih riil.

Selanjutnya Mardiasmo (2006) menyatakan akuntansi sektor publik, yang diartikulasikan

melalui akuntansi manajemen, akuntansi keuangan, dan auditing sektor publik sudah sangat

mendesak pengembangan dan pengaplikasiannya sebagai alat untuk mewujudkan

transparansi dan akuntabilitas publik dalam mencapai good governance.Sama halnya dengan

hasil penelitian yang di lakukan oleh Urif Santoso dan Yohanes (2008) yang menemukan

bukti bahwa penerapan akuntansi sektor publik berpengaruh terhadap good governance

dalam hal ini terhadap akuntabilitas pemerintah.

Berdasarkan uraian di atas, maka bagan kerangka pemikirannya sebagai berikut:

Gambar 2.1 Bagan kerangka Pemikiran

Budaya

Oganisasi Efektivitas Penerapan

Akuntansi Sektor

Publik

Good

Governance Kompetensi

Aparatur

Daerah

Page 143: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

138

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Budaya Organisasi dan Kompetensi Aparatur Daerah berpengaruh secara parsial dan

simultanterhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik .

2. Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik berpengaruh terhadap Good

Governance

III. METODE PENELITIAN

3.1. Operasionalisasi Variabel

Sebelum variabel dalam penelitian ini dioperasionalisasikan maka berikut di bawah

ini didentifikasikan terlebih dahulu variabe-variabel yang digunakan dalam penelitian ini:

1. Budaya Organisasi (X1) didefinisikan budaya organisasi merupakan seperangkat nilai,

norma atau etika yang ada dalam organisasi yang dapat mengendalikan anggota dalam

organisasi sehingga tercipta keselarasan diantara para anggota organisasi dan orang-

orang di luar organisasi(Hofstede,Geert, Michael Harris Bond dan Chung-Leung

Luk:1993).

2. Kompetensi Aparatur Daerah (X2) didefinisikan kemampuan yang dimiliki seseorang

melalui pengetahuan profesional dan keterampilan, termasuk di dalamnya pengalaman,

juga menyangkut fungsi, peran, tugas, keterampilan, kemampuan atau sifat-sifat pribadi

seseorang, yang mendasari seseorang untuk mampu menunjukkan suatu prestasi kerja

yang baik dalam bidang pekerjaan, peran dan situasi tertentu (Spencer, Lyle M. JR and

Signe M Spencer:1993).

3. Efektivitas penerapan akuntansi merupakan variabel eksogenus (X) didefinisikan

sebagai hasil dari praktik akuntansi mengenai proses pemeriksaan akuntansi,

transformasi, penjelasan, analisis, penyebaran laporan, dan berbagi informasi akuntansi

untuk manajer yang didukung oleh keandalan informasi (Hanpuwadal and

Ussahawanitchakit: 2010).

4. Good Governance merupakan variabel endogenus (Y) Kepemerintahan adalah

pelaksanaan kewenangan/kekuasaan di bidang ekonomi, politik, dan administratif

umtuk mengelola berbagai urusan negara pada semua tingakatan dan merupakan

instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan,

integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat (UNDP,1997).

3.2.Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh SKPD yang ada di Kota Medan. Dalam

penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah seluruh SKPD yang ada di Kota Medan.

Sedangkan yang dijadikan responden dari setiap SKPD adalah Kepala atau Wakil SKPD dan

Bendahara atau Kepala Bagian Akuntansi. Sehingga dari masing-masing SKPD yang

dijadikan responden adalah 2 orang. Jadi jumlah responden secara keseluruhan berjumlah 31

x 2 orang = 62 orang.

Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif, yang merupakan data Primer. Data

ini diperoleh melalui: Kuesioner,Wawancara, dan Observasi. Data yang dikumpulkan melalui

penyebaran kuesioner perlu dilakukan pengujian terlebih dahulu dengan pertimbangan bahwa

responden bersungguh-sungguh dalam menjawab pertanyaan. Untuk itu diperlukan dua

macam pengujian yaitu uji Validitas (test of validity) dan uji reliabilitas (test of reliability).

3.3.Analisis Data

Untuk menganalisis data yang diperoleh melalui kuesioner, terdapat dua langkah yang

dilakukan, yaitu: Statistik Deskriptif

Page 144: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

139

Analisis ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai jawaban responden

mengenai variabel-variabel penelitian. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan teknik

Analisis Indeks, untuk menggambarkan tanggapan responden atas item-item pertanyaan yang

diajukan. Teknik skoring yang dilakukan dalam penelitian ini adalah minimum 1 dan

maksimum 5, maka perhitungan indeks jawaban responden dilakukan dengan rumus dari

Augusty Ferdinand (2006) sebagai berikut:

Nilai Indeks = ((%F1x1)+(%F2x2)+(%F3x3)+(%F4x4)+(%F5x5)/5

Dimana:

F1 = frekuensi responden yang menjawab 1

F2 = frekuensi responden yang menjawab 2 dst,

F5 = frekuensi responden yang menjawab 5

Atas dasar perhitungan tersebut, dengan menggunakan kriteria three box method,

interpretasi angka indeks dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu:

10.00 – 40.00 = rendah

40.01 – 70.00 = sedang

70.01 – 100.00= tinggi

Analisis Jalur (Path Analysis).

Teknik analisis selanjutnya yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian adalah

Analisis Jalur (Path Analysis). Alasan digunakan model ini, selain karena tujuan dari

penelitian adalah melihat sejauh mana pengaruh variabel exogen terhadap variabel endogen,

juga karena hendak menguji hubungan kausal antar variabel. Analisis Jalur merupakan bagian

dari statistika parametrik yang mensyaratkan skala minimal interval, sehingga data ordinal

hasil kuesioner perlu dinaikkan menjadi skala interval melalui metode interval berurutan

(Method of Successive Interval). Penaikan skala dari ordinal ke interval dilakukan untuk

setiap item per subvariabel/variabel berdasarkan kepada skor ordinal responden.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1Tanggapan Responden Mengenai Variabel Budaya Organisasi Tabel 4.1.

Tanggapan Responden Mengenai Budaya Organisasi INDIKATOR JAWABAN RESPONDEN TENTANG

BUDAYA ORGANISASI (dalam persentase)

Indeks (%)

1 2 3 4 5 1. Profesionalisme - 0,95 12,95 38,80 46,30 86,29 2. Jarak Dari Manajemen - 0,63 13,60 50,60 35,17 84,06 3. Percaya Pada Rekan

Sekerja - - 7,40 38,30 54,30 89,38

4. Keteraturan - - 7,43 38,30 53,37 89,47 5. Permusuhan/ Konflik - 0,63 7,40 28,40 63,57 90,98 6. Integrasi - 1,40 11,1 37,90 49,60 92,18 Rata-rata 88,73

Sumber : Data primer diolah Tabel di atas menunjukkan bahwa variabel budaya organisasi memiliki indeks

88,73%, sehingga kesimpulannya bahwa budaya organisasi yang meliputi: profesionalisme,

jarak dari manajemen, percaya pada rekan kerja, keteraturan, permusuhan/konflik dan

integritas berada dalam kategori tinggi. Dari keenam indikator yang digunakan untuk

mengukur variabel budaya organisasi, indikator mengenai integritas memiliki skor tertinggi

Page 145: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

140

yaitu 92,18% sedangkan indikator jarak dari manajemen memiliki skor terrendah yaitu

84,06%. Hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi pada SKPD di Kota Medan dalam

kategori baik.

4.1.2Tanggapan Responden Mengenai Variabel Kompetensi Aparatur Daerah

Tabel 4.2.

Tanggapan Responden Mengenai Kompetensi Aparatur Daerah INDIKATOR JAWABAN RESPONDEN TENTANG

KOMPETENSI APARATUR DAERAH (dalam persentase)

Indeks (%)

1 2 3 4 5 1. Motif 7,34 3,73 3,70 14,83 70,4 87,44 2. Karakter / watak 3,71 2,55 8,56 36,8 48,38 84,72 3. Konsep Diri 1,30 3,70 12,37 56,80 25,90 80,50 4. Pengetahuan - 0,62 12,36 54,30 32,72 83,82 5. Keterampilan - 0,95 21,80 53,30 23,95 80,05 6. Pengalaman 0,46 2,34 23,85 47,29 22,06 75,23 Rata-rata 81,96

Sumber : Data primer diolah Tabel di atas menunjukkan bahwa variabel kompetensi aparatur daerah memiliki

indeks 81,96%, sehingga dapat disimpulkan bahwa kompetensi aparatur daerah yang

meliputi: motif, watak, konsep diri, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman berada dalam

kategori tinggi. Dari keenam indikator yang digunakan, indikator mengenai Motif memiliki

skor tertinggi yaitu 87,44% sedangkan indikator pengalaman memiliki skor terrendah yaitu

75,23%. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi apaatur daerah yakni, pengalaman, masih

kurang optimal sehingga perlu perhatian lebih dari para pimpinan SKPD di Kota Medan.

4.1.3. Tanggapan Responden Mengenai Variabel Efektifitas Penerapan Akuntansi

Sektor Publik Tabel 4.3.

Tanggapan Responden Mengenai Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik

INDIKATOR JAWABAN RESPONDEN TENTANG EFEKTIVITAS PENERAPAN

AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK (dalam persentase)

Indeks

(%)

1 2 3 4 5 Integrasi Informasi Keuangan yang memadai

0,45 6,023

24,53 50.93 18,08 76.04

Pembentukan Pelaporan Keuangan yang Berguna

0,45 0,93 15,3 55,1 28,23 81,95

Penyebaran pelaporan keuangan yang efektif

0,93 0,48 15,28 43,05 40,28 84,26

Informasi Akuntansi yang dipercaya

2,8 6,03 16,6 44,93 29,63 78,50

Rata-rata 80,19 Sumber: Data primer diolah Tabel di atas menunjukkan bahwa variabel efektivitas penerapan akuntansi sektor

publik memiliki indeks 80,19%, sehingga dapat disimpulkan bahwa efektivitas penerapan

akuntansi sektor publik yang meliputi: integrasi informasi keuangan yang memadai,

Page 146: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

141

PYX1

PYX2

pembentukan laporan keuangan yang berguna, penyebaran laporan keuangan yang efektif

dan, informasi akuntansi yang dipercaya berada dalam kategori tinggi. Dari kempat indikator

yang digunakan, indikator penyebaran pelaporan keuangan yang efektif memiliki skor

tertinggi yaitu 84,26%, sedangkan indikator integrasi informasi keuangan yang memadai

memiliki skor terrendah yaitu sebesar 76,04%. Hal ini menunjukkan bahwa integrasi

informasi keuangan yang memadai masih kurang optimal sehingga perlu perhatian yang

lebih dari para pimpinan SKPD di Kota Medan.

4.1.4. Variabel Good Governance

Tabel 4.4. Tanggapan Responden Mengenai Good Governance

INDIKATOR JAWABAN RESPONDEN TENTANG GOOD GOVERNANCE

(dalam persentase)

Indeks (%)

1 2 3 4 5 Akuntabilitas Publik 3,71 2,89 6,59 34,57 52,28 85,79 Transparansi 4,44 5,2 12,98 42,58 34,8 79,64 Rata-rata 82,72

Sumber : Data primer diolah Tabel di atas menunjukkan bahwa variabel good governance memiliki indeks 82,72%,

sehingga dapat disimpulkan bahwa good governanceyang meliputi: akuntabilitas dan

transparansi berada dalam kategori tinggi. Dari kedua indikator di atas, indikator

akuntabilitas publik memiliki skor tertinggi yaitu 85,79%. Sedangkan indikator transparansi

memiliki skor paling rendah yaitu 79,64%. Hal ini menunjukkan bahwa transparansi yang ada

pada SKPD di Kota Medan masih kurang optimal sehingga perlu di tingkatkan lagi.

4.2. Pengujian Kualitas Data

Sebelum analisis data dikerjakan, maka terlebih dahulu perlu dilakukan pengujian atas

data yang diperoleh meliputi uji validitas dan uji reliabilitas dengan menggunakan bantuan

program SPSS version 17. Berdasarkan output SPSS bahwa semua pertanyaan pada

kuesioner tentang variabel-variabel yang di teliti dinyatakan valid dan reliable.

4.3. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis Analisis data dilakukan dengan analisis jalur path analysis) atas variabel dependen,

yaitu Good Governance (Z) dan Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik (Y), dan

variabel independen yakni Budaya Organisasi (X1) dan Kompetensi Aparatur Daerah (X2).

Data berskala ordinal terlebih dahulu ditransformasi menjadi skala interval melalui Methode

of Successive Interval (MSI). Sehingga model penelitiannya digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.1. Model Penelitian

X1

Y

Ɛ1 Ɛ2

PZƐ2

X2

Z PZY

PYƐ1

Page 147: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

142

Model di atas akan diuraikan menjadi tiga sub struktur sebagai berikut :

Sub struktur 1 : Y = PYX1.X1 + PYX2.X2 + Ɛ1

Sub struktur2 : Z = PZY.Y + Ɛ2

Keterangan:

X1 = Budaya Organisasi

X2 = Kompetensi Aparatur Daerah

Y = Efektivitas Penerapan akuntansi Sektor Publik

Z = Good Governance

4.3.1. Hasil Analisis Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Derah

Terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik

Model Sub struktur 1 : Y = PYX1.X1 + PYX2.X2 + Ɛ1

Berdasarkan pengolahan data dengan menggunakan SPSS, diperoleh koefisien jalur

untuk mencari PYX1 dan PYX2 sebagai berikut: Tabel 4.5

Koefisien Jalur Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Daerah Terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta 1 (Constant) 11.899 7.087 1.679 .099

BUDAYA.ORGANISASI .357 .085 .495 4.193 .000 KOMPETENSI.APARATUR.DAERAH

.167 .082 .240 2.036 .047

a. Dependent Variable: EFEKTIVITAS.PENERAPAN.AKUNTANSI

Berdasarkan output SPSS di atas, nilai standardized beta budaya organisasi dan

kompetensi aparatur daerah pada persamaan pertama untuk PYX1 sebesar 0,495 danPYX2-

sebesar 0,240 pada taraf signifikansi 0,000 untuk budaya organisasi dan taraf signifikansi

0,047 untuk kompetensi aparatur daerah. Hal ini berarti bahwa budaya organisasi dan

kompetensi aparatur daerah mempengaruhi efektivitas penerapan akuntansi sektor publik.

Besarnya pengaruh simultan dari variabel budaya organisasi dan kompetensi aparatur

daerah terhadap variabel efektivitas penerapan akuntansi sektor publik dapat dilihat dari

koefisien deteminasi. Lihat tabel berikut ini: Tabel 4.6.

Koefisien determinasi Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Daerah Terhadap Variabel Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik

Model Summary

Model R R Square Adjusted R

Square Std. Error of the

Estimate

Change Statistics

R Square Change F Change

1 .626a .392 .368 7.305867928 .392 16.442

a. Predictors: (Constant), KOMPETENSI.APARATUR.DAERAH, BUDAYA.ORGANISASI

Berdasarkan perhitungan di atas diperoleh R

2 sebesar 0,392. Artinya Budaya

Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Daerah berpengaruh terhadap Efektivitas Penerapan

Akuntansi Sektor Publik sebesar 39,2% dan sisanya sebesar 60,8% dipengaruhi variabel lain

di luar model. Maka persamaan jalur sub struktur kedua di peroleh sebagai berikut: Y = 0,495.X1 + 0,240.X2 + 0,608

Page 148: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

143

Gambar 4.2

Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Daerah Terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik

Untuk mendapatkan pengaruh parsial dari setiap variabel bebas terhadap variabel

terikat, berikut dilakukan perhitungan dekomposisi pengaruh langsung dan tidak

langsungnya, dengan ketentuan rumus sebagai berikut: pengaruh langsung diperoleh dari

kuadrat koefien jalur dikalikan 100%, sedangkan pengaruh tidak langsung merupakan

perkalian dari dua koefisien jalur yang berkaitan dikalikan dengan koefisien korelasi antara

kedua variabel bebas dikalikan 100% atau PYXi x PYXj X rXiXj X 100%.Hasil perhitungan

selengkapnya disajikan pada tabel berikut: Tabel 4.7

Besaran Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Daerah Terhadap Variabel Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik

Variabel Koefisien Jalur

Pengaruh Langsung

(dalam %)

Pengaruh tidak langsung (dalam %)

Total Pengaruh

Tidak Langsung

( dalam %)

Total Pengar

uh (dalam

%) X1 X2

X1 0,495 24,50 4,5 4,5 29,0

X2 0,240 5,7 4,5 4,5 10,2 Total Pengaruh 39,2 Sumber: Hasil Pengolahan Data (lampiran)

Pengujian Hipotesis

Untuk membuktikan budaya organisasi dan kompetensi aparatur daerah secara

simultan berpengaruh terhadap variabel efektivitas penerapan akuntansi sektor publik maka

hipotesis yang ada akan diuji.Dengan menggunakan SPSS diperoleh hasil uji hipotesis

simultan (uji F) sebagai berikut: Tabel 4.8

Uji Hipotesis Simultan Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Daerah Terhadap Variabel Efektivitas

Penerapan Akuntansi Sektor Publik ANOVA

b

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 1755.242 2 877.621 16.442 .000a

Residual 2722.161 51 53.376

Total 4477.403 53 a. Predictors: (Constant), KOMPETENSI.APARATUR.DAERAH, BUDAYA.ORGANISASI

b. Dependent Variable: EFEKTIVITAS.PENERAPAN.AKUNTANSI

Berdasarkan tabel di atas diperoleh nilai F hasil perhitungan sebesar 16,442 dan nilai

signifikansi sebesar 0,000. Nilai F hitung akan dibandingkan dengan nilai F pada tabel

distribusi F, sedangkan nilai signifikansi akan dibandingkan dengan α. Dengan α = 0,05,

derajat bebas (db) db1 = 2 dan db2 = 51, diperoleh nilai F tabel sebesar 3,18. Dikarenakan

X1

Y 0,240 X2

0,495

0,608

0,378

Page 149: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

144

nilai F hitung (16,44) lebih besar dari nilai F tabel (3,18) maka H0 ditolak dan H1 diterima.

Hal ini bersesuaian dengan nilai signifikansi hasil perhitungan sebesar 0,000 yang lebih kecil

dibandingkan dengan α = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa Budaya Organisasi dan

Kompetensi Aparatur Daerah secara simultan memberikan pengaruh terhadap Efektivitas

Penerapan Akuntansi Sektor Publik.

Selanjutnya untuk membuktikan apakah budaya organisasi dan kompetensi aparatur

daerah secara parsial berpengaruh terhadap variabel efektivitas penerapan akuntansi sektor

publik maka hipotesisnya diuji sebagai berikut: Tabel 4.9

Uji Hipotesis Parsial Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Daerah Terhadap Variabel Efektivitas

Penerapan Akuntansi Sektor Publik Coefficients

a

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 11.899 7.087 1.679 .099

BUDAYA.ORGANISASI .357 .085 .495 4.193 .000

KOMPETENSI.APARATUR.DAERAH

.167 .082 .240 2.036 .047

a. Dependent Variable: EFEKTIVITAS.PENERAPAN.AKUNTANSI

Berdasarkan tabel di atas diperoleh nilai t hasil perhitungan untuk variabel budaya

organisasi sebesar 4.193 pada taraf signifikansi sebesar 0,000 dan variabel kompetensi

aparatur daerah sebesar 2.036 pada taraf signifikansi 0,047. Nilai t hitung akan dibandingkan

dengan nilai t pada tabel t distribusi t, sedangkan nilai signifikansi akan di bandingkan

dengan α= 0,05. Dengan α= 0,05 dan derajat bebas (db) sebesar 51 diperoleh nilai t tabel

sebesar ±2,009. Dikarenakan nilai t hitung untuk budaya organisasi (4.193) dan nilai t hitung

untuk kompetensi aparatur daerah ( 2.036) lebih besar dari t tabel (2,009) maka H0 ditolak

dan H1 diterima. Hal ini bersesuaian dengan nilai signifikansi hasil perhitungan untuk

variabel budaya organisasi sebesar 0,000 dan untuk kompetensi aparatur daerah sebesar 0.047

yang lebih kecil dari α= 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa Budaya Organisasi dan

Kompetensi Aparatur Daerah secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Efektivitas

Penerapan Akuntansi Sektor Publik.

4.3.2. HasilAnalisis Pengaruh Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik Terhadap

Good Governance

Model sub struktur 2Y = PZY.Y + Ɛ2

Berdasarkan pengolahan data dengan menggunakan SPSS, diperoleh koefisien jalur

untuk mencari PZY sebagai berikut: Tabel 4.10

Koefisien Jalur Pengaruh Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik Terhadap Good Governance

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 23.587 5.136 4.592 .000

EFEKTIVITAS.PENERAPAN.AKUNTANSI

.418 .105 .483 3.973 .000

a. Dependent Variable: GOOD.GOVERNANCE

Page 150: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

145

Berdasarkan output SPSS di atas, nilai standardized beta efektivitas penerapan

akuntansi sektor publik pada persamaan keempat sebesar 0,483 dan signifikansi pada 0,000.

Ini berarti efektivitas penerapan akuntansi sektor publik mempengaruhi good governance.

Besarnya pengaruh dari variabel efektivitas penerapan akuntansi sektor publik

terhadap variabel good governance dapat dilihat dari koefisien deteminasi. Koefisien

determinasi diperoleh dari mangkuadratkan nilai koefisien jalur, jadi koefisien determinasi

efektivitas penerapan akuntansi sektor publik terhadap variabel kualitas informasi akuntansi

dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

R2Z = (PZY)2 = (0,483)2 = 0,233

Tabel . 4.11. Koefisien determinasi Pengaruh Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik

Terhadap Good Governance Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate

1 .483a .233 .218 7.035234058

a. Predictors: (Constant), EFEKTIVITAS.PENERAPAN.AKUNTANSI

Berdasarkan perhitungan di atas diperoleh R

2 sebesar 0,233 atau 23,3%. Dengan

demikian maka dapat disimpulan bahwa Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik

memberikan pengaruh terhadap Good Governance sebesar 23,3% dan sisanya sebesar 76,7%

lainnya merupakan pengaruh dari variabel lain yang tidak diteliti.Dengan demikian maka

persamaan jalur sub struktur ketiga di peroleh sebagai berikut: Z = 0,483Y + 0,767

Gambar 4.4 Pengaruh Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik Terhadap Good Governance

Pengujian Hipotesis

Selanjutnya untuk membuktikan apakahefektivitas penerapan akuntansi sektor publik

berpengaruh terhadap good governance maka hipotesis yangada akan diuji. Dengan

menggunakan SPSS diperoleh hasil uji hipotesis sebagai berikut: Tabel 4.12.

Uji Hipotesis Pengaruh Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik TerhadapGood Governance

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

T Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 23.587 5.136 4.592 .000

EFEKTIVITAS.PENERAPAN.AKUNTANSI

.418 .105 .483 3.973 .000

a. Dependent Variable: GOOD.GOVERNANCE

Berdasarkan tabel di atas diperoleh nilai t hasil perhitungan sebesar 3,973 dan nilai

signifikansi sebesar 0,000. Nilai t hitung akan dibandingkan dengan nilai t pada tabel t

distribusi t, sedangkan nilai signifikansi akan di bandingkan dengan α= 0,05. Dengan α=

0,05 dan derajat bebas (db) sebesar 53 diperoleh nilai t tabel sebesar ±2,009. Dikarenakan

Y Z

0,767

0,483

Page 151: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

146

nilai t hitung (3,973) lebih besar dari t tabel (2,009) maka H0 di tolak dan H1 diterima. Hal ini

bersesuaian dengan nilai signifikansi hasil perhitungan sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α=

0,05. Hal ini menunjukkan bahwa Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik

berpengaruh signifikan terhadap Good Governance.

4.3.3. Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Daerah Terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik Serta Dampaknya Terhadap Good Governance

Dari hasil perhitungan tiga sub struktur di atas maka diperoleh model jalur

keseluruhan sebagai berikut:

Gambar 4. 5

Diagram Dan Koefisien Jalur Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Daerah Terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik Serta

Dampaknya Terhadap Good Governance

Berdasarkan data di atas maka dapat dihitung pengaruh langsung dan pengaruh tidak

langsung dari variabel X1 dan X2 terhadap Variabel Z sebagai berikut:

1. Pengaruh X1 melalui Y terhadap Z:

(PYX1) x (PZY) x 100% = (0,495) x (0,483) = 23,9%

2. Pengaruh X2 melalui Y terhadap Z:

(PYX1) x (PZY) x 100% = (0,240) x (0,483) = 11,6%

Berdasarkan model di atas dapat diambil ksimpulan sebagai berikut:

1. Budaya Organisasi berpengaruh signifikan terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi

Sektor Publik dengan pengaruh sebesar 29%

2. Kompetensi Aparatur Daerah berpengaruh signifikan terhadap Efektivitas Penerapan

Akuntansi Sektor Publik dengan pengaruh sebesar 10,2%

3. Budaya Organisasi dan Kompetensi Aparatur Daerah secara simultan berpengaruh

signifikan terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik dengan pengaruh

sebesar 39,2%

4. Efektifitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik berpengaruh signifikan terhadap Good

Governance dengan pengaruh sebesar 23,3%

5. Budaya Organisasi berpengaruh terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor

Publik dan berdampak terhadap Good Governance dengan besar pengaruh sebesar

23,9%.

6. Kompetensi Aparatur Daerah berpengaruh terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi

Sektor Publik dan berdampak terhadap Good Governance dengan besar pengaruh sebesar

11,6%.

BUDAYA

ORGANISASI

KOMPETENSI

APARATUR

DAERAH

EFEKTIVITAS

PENERAPAN

AKUNTANSISEKT

OR PUBLIK

GOOD

GOVERNANCE 0,378

0,495

0,240

0,483

0,767

0,608

Page 152: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

147

4.2. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4.2.1. Pengaruh Budaya Organisasi dan Kompetensi Aparatur Daerah terhadap

Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik Secara Simultan.

Hasil pengujian pengaruh budaya organisasi dan kompetensi aparatur daerah secara

simultan terhadap efektivitas penerapan akuntansi sektor publik menunjukkan nilai F hitung

(16,442) > F tabel (3,18), maka pada tingkat kekeliruan 5% (α=0,05) diputuskan untuk

menolak H0 dan menerima H1. Hal ini berarti budaya organisasi dan kompetensi aparatur

daerah secara simultan berpengaruh signifikan terhadap efektivitas penerapan akuntansi

sektor publik pada SKPD di Kota Medan.

Dari hasil pengujian statistik juga didapat nilai koefisien determinasi R2 sebesar

0,392.Nilai ini menunjukkan besarnya variasi dari variabel efektivitas penerapan akuntansi

sektor publik yang dapat dijelaskan oleh budaya organisasi dan kompetensi aparatur daerah

sebesar 39,2 %, sedangkan sisanya sebesar 60,8 % dijelaskan atau merupakan kontribusi

variabel lain yang tidak terdapat dalam model. Pengaruh variabel ini dapat dikategorikan

sedang. Nilai koefisien determinasi (R2) ini menunjukkan bahwa budaya organisasi dan

kompetensi aparatur daerah secara bersama-sama cukup mampu mempengaruhi efektivitas

penerapan akuntansi sektor publik pada SKPD yang ada di Kota Medan.

Sedang atau cukupnya tingkat pengaruh budaya organisasi dan kompetensi aparatur

daerah dapat dijelaskan berdasarkan deskriptif data tanggapan responden hasil penelian. Hal

ini sesuai dengan rata-rata skor aktual yang diperoleh untuk variabel budaya organisasi

berdasarkan analisis deskriptif yang diperoleh dalam kategori baik yaitu dengan skor 88,73%

dan demikian pula dengan variabel kompetensi aparatur daerah masuk pada kategori baik

yaitu dengan skor 81,96%. Temuan dilapangan ini menunjukkan bahwa budaya organisasi

pada SKPD di Kota Medan sudah baik dan sebaiknya tetap dipertahankan dan jika perlu lebih

ditingkatkan lagi agar mencapai tingkat yang ideal.Sedangkan untuk variabel kompetensi

aparatur daerah juga ternyata menunjukkan skor yang tinggi, hal ini berarti kompetensi

aparatur daerah pada SKPD di Kota Medan sudah baik. Walaupun rata-rata skor ini tinggi

namun ternyata salah satu indikator kompetensi aparatur daerah memiliki skor di bawah 80%

yaitu mengenai indikator pengalaman yang memiliki skor 75,23%. Hal ini menunjukkan

bahwa pengalaman yang dimiliki oleh aparatur daerah di SKPD Kota Medan masih perlu

ditingkatkan lagi melalui pemberian pendidikan dan pelatihan, seminar-seminar, dan

workshop yang lebih banyak lagi khususnya yang berhubungan dengan bidang akuntansi, dan

sebaikknya pimpinan SKPD dalam menempatkan orang-orang berpengalaman dalam

pengelolaan keuangan setidaknya di atas dua tahun. Temuan di lapangan juga menunjukkan

bahwa efektivitas penerapan akuntansi sektor publik pada SKPD di Kota Medan sudah sangat

baik, namun ada beberapa indikator yang perlu ditingkatkan lagi agar menjadi lebih efektif.

4.2.2. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor

Publik .

Hasil pengujian pengaruh budaya organisasi terhadap efektivitas penerapan akuntansi

sektor publik menunjukkan nilai t hitung (4.193) > t tabel (2,009), maka pada tingkat

kekeliruan 5% (α=0,05) diputuskan untuk menolak H0 dan menerima H1. Hal ini berarti

budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap efektivitas penerapan akuntansi sektor

publik pada SKPD di Kota Medan.Besaran pengaruh budaya organisasi terhadap efektivitas

penerapan akuntansi sektor publik adalah 29%. Besaran ini termasuk ke dalam kategori

sedang. Hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi memberikan kontribusi yang cukup

dalam meningkatkan efektivitas penerapan akuntansi sektor publik namun belum mencapai

tingkat maksimal yang diharapkan.

Page 153: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

148

Temuan dilapanganmenunjukkan bahwabudaya organisasi pada SKPD do Kota

Medan sudah baik, hal ini dapat ditunjukkan secara deskriptif yang dapat dilihat dari skor

rata-rata yang dihasilkan yaitu sebesar 88,73%. Dari seluruh indikator yang ada untuk

mengukur budaya organisasi menunjukkan skor di atas 80%. Hal ini berarti budaya

organisasi di SKPD Kota Medan secara keseluruhan sudah baik namun belum mencapai

tingkat maksimal yang diharapkan, sehingga perlu adanya peningkatan lagi sesuai dengan apa

yang diharapkan. Sedangkan temuan dilapangan untuk variabel efektivitas penerapan

akuntansi sektor publik yang dilakukan oleh SKPD telah baik. Kondisi ini dapat ditunjukkan

secara deskriptif yang dapat dilihat dari skor rata-rata yang dihasilkan yaitu sebesar 80,18%.

Namun dari keempat indikator yang digunakan untuk mengukur efektivitas penerapan

akuntansi sektor publik ternyata terdapat dua indikator yang memilki skor di bawah 80%

yaitu; integrasi informasi keuangan yang memadai dengan skor 76,04% dan indikator

informasi akuntansi yang dipercaya dengan skor 78,50%. Berdasarkan kondisi ini

diharapkan SKPD yang ada di Kota Medan perlu meningkatkan lagi integrasi informasi

keuangan yang memadai dengan cara lebih memperhatikan pengelolaan dokumen secara

sistematis di setiap bagian yang ada, membuat standar tunggal yang lebih ketat di dalam

mengintegrasikan informasi antar bagian, memberikan perhatian lebih dalam menjembatani

informasi antar bagian. Selain itu juga dalam meningkatkan hasil informasi akuntansi yang

dipercaya dapat dilakukan dengan cara selalu menggunakan standar akuntansi disetiap

praktek akuntansi yang ada di dalam SKPD, dan lebih mempertimbangkan proses yang ada di

dalam maupun dari luar SKPD dalam menghasilkan informasi akuntansi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hanpuwadal, Nupakorn

dan Ussahawanitchakit, Phapruke (2010) yang menyatakan bahwa budaya organisasi dapat

mempengaruhi efektivitas penerapan akuntansi. Selain itu Hauriasi Abrahan dan Davey,

Howard (2009) dalam penelitiannya menemukan hasil bahwa terdapat pengaruh budaya

terhadap praktik akuntansi di Kepulauan Solomon.Selanjutnya Stephen B. Salter dan

Frederick Niswander (1995) menyatakan bahwa praktik pelaporan keuangan secara aktual di

pengaruhi oleh budaya. Selain itu penelitian ini juga sejalan dengan penelitian sebelumnya

yang dilakukan oleh S. J. GRAY1988; Jeremy F. Dent 1991; Iraj Noravesh, Zahra Dianati

Dilami, Mohammad S.Bazaz 2007;George T. Tsakumis 2007;Cingdem Solas and Sinan

Ahyan 2008, yang secara tersirat menyatakan bahwa praktik akuntansi dipengaruhi oleh

budaya organisasi atau perusahaan.

4.2.3. Pengaruh Kompetensi Aparatur Daerah terhadap Efektivitas Penerapan

Akuntansi Sektor Publik.

Hasil pengujian pengaruh kompetensi aparatur daerah terhadap efektivitas penerapan

akuntansi sektor publik menunjukkan nilai t hitung (2,036) > t tabel (2,009), maka pada

tingkat kekeliruan 5% (α=0,05) diputuskan untuk menolak H0 dan menerima H1. Hal ini

berarti kompetensi aparatur daerah berpengaruh signifikan terhadap efektivitas penerapan

akuntansi sektor publik pada SKPD di Kota Medan.Besaran pengaruh kompetensi aparatur

daerah terhadap efektivitas penerapan akuntansi sektor publik adalah 10,2%. Besaran ini

termasuk ke dalam kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi

memberikan kontribusi yang kurang mampu dalam meningkatkan efektivitas penerapan

akuntansi sektor publik sehingga belum mampu mencapai tingkat maksimal yang diharapkan.

Kurang optimalnya besaran pengaruh kompetensi aparatur daerah terhadap efektivitas

penerapan akuntansi sektor publik didasarkan dari hasil analisis deskriptif yang

menunjukkan hasil yang belum maksimal. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa skor

rata-rata kompetensi aparatur daerah masuk pada kategori baik yaitu dengan skor 81,96%.

Namun walaupun rata-rata skor ini tinggi ternyata salah satu indikator kompetensi aparatur

Page 154: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

149

daerah memiliki skor di bawah 80% yaitu mengenai indikator pengalaman yang memiliki

skor 75,23%. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman yang dimiliki oleh aparatur daerah di

SKPD Kota Medan masih kurang optimal sehingga masih perlu ditingkatkan lagi. Kondisi ini

menyebabkan kurang optimalnya kontribusi yang diberikan terhadap peningkatan efektivitas

penerapan akuntansi sektor publik. Dari hasil temuan juga menunjukkan bahwa efektivitas

penerapan akuntansi sektor publik secara umum termasuk dalam kategori baik. Hal ini dapat

ditunjukkan dari skor rata-rata analisis deskriptif yaitu sebesar 80,18%. Namun dari keempat

indikator yang digunakan untuk mengukur efektivitas penerapan akuntansi sektor publik

ternyata terdapat dua indikator yang memilki skor di bawah 80% yaitu; integrasi informasi

keuangan yang memadai dengan skor 76,04% dan indikator informasi akuntansi yang

dipercaya dengan skor 78,50%. Berdasarkan kondisi ini diharapkan SKPD yang ada di Kota

Medan perlu meningkatkan lagi integrasi informasi keuangan yang memadai dan dapat

memberikan informasi akuntansi yang dapat dipercaya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hanpuwadal, Nupakorn

dan Ussahawanitchakit, Phapruke (2010) yang menyatakan bahwa kompetensi khususunya

kompetensi dari akuntan dapat mempengaruhi efektivitas penerapan akuntansi. Selain itu

juga Gregory (2008) dalam penelitiannya menyatakan pengetahuan dan keterampilan akuntan

berarti apa yang akuntan perlukan untuk mengetahui di dalam rangka melakukan peran

kompeten mereka. Selanjutnya Fowler (1999) menyatakan pengetahuan akuntan adalah

kemampuan akuntan untuk mengoperasikan akuntansi yang memberikan nilai informasi

untuk mencapai tujuan organisasi.

4.2.4. Pengaruh Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik Terhadap Good

Governance

Hasil pengujian pengaruh efektivitas penerapan akuntansi sektor publik terhadap good

governance menunjukkan nilai t hitung (3,973) > t tabel (2,009), maka pada tingkat

kekeliruan 5% (α=0,05) diputuskan untuk menolak H0 dan menerima H1. Hal ini berarti

efektivitas penerapan akuntansi sektor publik berpengaruh signifikan terhadap good

governance pada SKPD di Kota Medan.

Dari hasil pengujian statistik juga didapat nilai koefisien determinasi R2 sebesar

0,233.Nilai ini menunjukkan besarnya variasi variabel good governanceyang dapat

dijelaskan oleh efektivitas penerapan akuntansi sektor publik sebesar 23,3 %,. Sedangkan

sisanya sebesar 76,7 % dijelaskan variabel lain yang tidak terdapat dalam model penelitian.

Pengaruh variabel ini dapat dikategorikan sedang. Nilai koefisien determinasi (R2) ini

menunjukkan bahwa efektivitas penerapan akuntansi sektor publik kurang mampu

mempengaruhi good governancepada SKPD yang ada di Kota Medan.

Temuan di lapangan menunjukkan bahwa efektivitas penerapan akuntansi sektor

publik pada SKPD di Kota Medan sudah sangat baik, namun ada beberapa indikator yang

perlu ditingkatkan lagi sehingga penerapan akuntansi sektor publik dapat berjalan lebih

efektif lagi. Sedangkan temuan dilapangan menunjukkan good governance pada SKPD di

Kota Medan juga menunjukkan kondisi yang sangat baik. Hal ini dapat di lihat dari hasil

statistik deskriftif yang memiliki skor rata-rata 82,72%. Walaupun rata-rata skor ini tinggi

namun ternyata salah satu indikator good governance memiliki skor di bawah 80% yaitu

indikator mengenai transparansi yang memiliki skor 79,64%. Kondisi ini memperlihatkan

bahwa transparansi pada SKPD di Kota masih perlu di tingkatkan lagi, sehingga transparansi

pada SKPD di Kota Medan dapat berjalan sesuai dengan harapan.

Berdasarkan hasil pengolahan data dihasilkan bahwa pengaruh variabel efektivitas

penerapan akuntansi sektor publik terhadap good governance tergolong sedang, yaitu hanya

23,3%. Kondisi ini dapat terjadi karena efektivitas penerapan akuntansi sektor publik hanya

Page 155: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

150

merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi good governance, sedangkan faktor

yang dapat mempengaruhi good governance cukup banyak, sedangkan faktor-faktor itu tidak

diteliti dalam penelitian ini.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian RichardG.Sloan (2001) yang

menyatakan bahwa akuntansi keuangan adalah bahan utama dalam proses governance.

Selanjutnya Mardiasmo (2002) yang menyatakangood governance dan akuntansi sektor

publik memiliki hubungan yang kuat, dimana akuntansi sektor publik sebagai alat untuk

melakukan elaborasi good governanance ke tatanan yang lebih riil.Begitu pula dengan Shil,

N. C.(2008), Vijay Kelkar (2009),dan Urif Santoso dan Yohanes (2008) yang secara tersirat

menyatakan bahwa penerapan akuntansi dapat mempengaruhi good governance.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya , maka dapat

disimpulkan bahwa:

1. Budaya Organisasi berpengaruh signifikan terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi

Sektor Publik. Besaran pengaruh budaya organisasi terhadap efektivitas penerapan

akuntansi sektor publik termasuk ke dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan

bahwa budaya organisasi cukup memberikan kontribusi dalam meningkatkan

efektivitas penerapan akuntansi sektor publik namun belum mencapai tingkat

maksimal yang diharapkan.

2. Kompetensi Aparatur Daerah berpengaruh signifikan terhadap Efektivitas Penerapan

Akuntansi Sektor Publik. Besaran pengaruh kompetensi aparatur daerah terhadap

efektivitas penerapan akuntansi sektor publik termasuk ke dalam kategori rendah. Hal

ini menunjukkan bahwa Kompetensi Aparatur Daerah kurang mampu memberikan

kontribusi dalam meningkatkan efektivitas penerapan akuntansi sektor publik

sehingga belum mampu mencapai tingkat maksimal yang diharapkan.

3. Budaya Organisasi dan Kompetensi Aparatur Daerah secara simultan berpengaruh

signifikan terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik. Besarnya variasi

dari variabel efektivitas penerapan akuntansi sektor publik yang dapat dijelaskan oleh

budaya organisasi dan kompetensi aparatur daerah adalah sebesar 39,2 %, sedangkan

sisanya sebesar 60,8 % dijelaskan atau merupakan kontribusi variabel lain tetapi tidak

terdapat dalam model penelitian ini. Pengaruh variabel ini dapat dikategorikan

sedang. Nilai koefisien determinasi ini menunjukkan bahwa budaya organisasi dan

kompetensi aparatur daerah secara bersama-sama cukup mampu mempengaruhi

efektivitas penerapan akuntansi sektor publik pada SKPD yang ada di Kota Medan.

4. Efektifitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik berpengaruh signifikan terhadap Good

Governance. Namun, efektivitas penerapan akuntansi sektor publik kurang mampu

mempengaruhi good governancepada SKPD yang ada di Kota Medan.

5.2. Saran

Berdasarkan uraian di atas maka saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagi SKPD yang ada di Kota Medan sebaiknya tetap mempertahankan budaya

organisasi, selain diperlukan peningkatan kompetensi aparatur daerah melalui

peningkatan pengalaman dengan memperbanyak pemberian pendidikan dan pelatihan,

serta memperbanyak kesempatan untuk mengikuti seminar-seminar ataupun workshop

yang berkaitan dengan akuntansi. Diperlukan juga integrasi informasi keuangan yang

memadai dengan cara lebih memperhatikan pengelolaan dokumen secara sistematis.

SKPD Kota Medan sebaiknya lebih terbuka kepada publik.

2. Bagi peneliti berikutnya, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat pengaruh dari

variabel lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

Page 156: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

151

DAFTAR PUSTAKA American Institute of Certificated Public Accountants (AICPA), Statement Accounting

Board, New York, Oktober 1970. Ali Masykur Musa ,2009, Hampir 90% SKPD Belum Bisa Buat Laporan Keuangan, kuliah

umum mengenal BPK-RI dan pemeriksaan berperspektif lingkungan di aula FE USU, Jumat (15/1/2009), Sumber : Harian Global, Selasa – 16 Januari 2009

Alan D. Morrison dan William J. Wilhelm, Jr. (2004) Culture, Competence, and the Corporation, JEL CLASSIFICATION: J24, L20, M14, M53, O33 , First Version: October 2004

Anwar Nasution ,2009,Benang Kusut Laporan Keuangan Daerah, Majalah Akuntan Indonesia, Mitra Dalam Perubahan, Edisi. No.18/Tahun III/ Juli 2009, hal 17-20

Arvanitidou Virginia, Konstantinidou Eleni, Papadopoulos Dimitrios, Xanthi Chrysoula, 2007, The role of financial accounting information in strengthening corporate control mechanisms to alleviate corporate corruption, university of macedonia, greece

Asian Development Bank,1999,―Governance : Sound Development Management, hal 7 -13 Arikunto,Suharsimi,2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta. Rineka

Cipta. Bastian, Indra., 2006, Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar, Jakarta ,Penerbit Erlangga. BPK, 2010, Iktisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2010 Melalui penguatan SPIP

sesuai amanat PP 60/2008 BPKP , 2010, Pengawalan BPKP terhadap RKP 2009 dan 2010 BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Utara,(2009), Penyimpangan Anggaran di Sumut

Mencapai Rp. 57,3 Miliar : Anggaran Panwaslih Pilgubsu Rp. 62,3 Miliar Belum Dipertanggung Jawabkan, Analisa, Kamis – 30 April 2009, 20 April 211 , di download 20 april 2011

Bonson, E., Cortijo, V., and Escobar, T., 2009, "Towards the global adoption of XBRL using International Financial Reporting Standards (IFRS)", International journal of Accounting Information Systems, Vol.10, pp. 46-60.

Carlos Batista, 2003,ICTs and Good Governance:The Contribution of Information and Communication Technologies to Local Governance in Latin America, NP³ - Núcleo de Pesquisa em Políticas Públicas Universidade de Brasilia, Brazil , January, 2003,

Daeng M.Nazir kepala Direktorat Utama Revbang Diklat BPK ,2009, Kualitas Laporan Keuangan Daerah Makin Buruk, Workshop Pemaparan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK Semester II tahun 2008, di kantor BPK, Jakarta, Selasa (28/4).

Deshpande, R., J.U. Farley & F.E. Webster ,1993, ―Corporate culture, customer orientation, and innovativeness in Japanese firms: A quadrad analysis‖,Journal of Marketing, Vol. 57, pp. 23-27

Enceng, LiestyodonoBI, dan Purwaningdyah MW, 2008,Meningkatkan Kompetensi Aparatur Pemerintah Daerah Dalam Mewujudkan Good Governance,Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS,Vo. 2 No. 1, Juni 2008

Eugene A.Imhoff,Jr, 2003, Accounting Quality, Auditing, and Gorporate Governance. Accounting Horizons, Supplement, pp 117-128

Fowler, Carolyn J.,1999,"The management accountant's role in quality management: A Queensland perspective", International Journal of Applied Quality Management. 2(1): 41-57.

Ghazali, Imam, 2006, Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, Cetakan Keempat, Semarang, Penerbit Universitas Diponegoro.

Gregory, A., 2008 "Competencies of senior communication practitioners in the UK: An initial study", Public Relations Review, Vol.34, 215-223.

Glynn, J.J., 1993, Public Sector Financial Control and Accounting, 2nd

Ed., Oxford: Blackwell. George T. Tsakumis ,2007, The Influence of Culture on Accountants’Application of Financial

Reporting Rules, ABACUS, Vol. 43, No. 1, 2007, doi: 10.1111/j.1467-6281.2007.00216.xJournal compilation © 2007 Accounting Foundation, The University of Sydney

Page 157: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

152

Governmental Accounting Standards Boards (GASB), 1999, ―Concepts Statement No. 1: Objectives of Financial Reporting” in Governmental Accounting Standards Boards Series Statement No. 34: Basic Financial Statement and Management Discussion and Analysis for State and Local Government, Norwalk.

Hakansson, H. and Lind, J., 2004, "Accounting and network coordination", Accounting Organizations and Society, Vol.29, pp.51-72.

Hanpuwadal, Nupakorn and Ussahawanitchakit, Phapruke, 2010,Accounting practice effectiveness and financial performance of Thai listed firms: mediating effects of decision making efficiency for tax management, competent resource allocation, and strategic planning success, European Journal of Management Jan, 2010 Source Volume: 10 Source Issue: 1

Hashem Nejad, H. Sajady, and M.Dastgir and, 2008,Evaluation Of The Efectiveness of Accounting Information System , International Journal of Information Science and Technology, Volume 6 no. 2, Juli/December 2008

Hauriasi Abrahan dan Davey, Howard ,2009, Accounting and culture: The case of Solomon Islands.Pacifis Accounting Review, 21(3) p. 228-259. Publisher Emerald;http://www.emeraldinsight.com/journsl.htm?articleid=1826923&show=html

Huang, K. T., Lee, Y.W., & Wang, R.Y.,1999, Quality Information and Knowledge: Pentice Hall PTR Upper Saddle River, NJ, USA

International Federation of Accountants (IFAC), 2003, Handbook of International Public Sector Accounting Standards

International Federation of Accountants, 2000, Preface to International Public Sector Accounting Standards, New York.

Iraj Noravesh, Zahra Dianati Dilami, Mohammad S.Bazaz ,2007, The impact of culture on accounting: does Gray's model apply to Iran?, 2007, Review of Accounting and Finance, Vol. 6 Iss: 3, pp.254 – 272, publisher Emerald Group Publishing Limited

Jane Fedoworicz and Yang W. Lee ,1999, Accounting Information Quality ,The Review of Accounting Information System Volume 3 No.1

Jeremy F. Dent ,1991, Accounting and organizational cultures: A field study of the emergence of a new organizational reality,Accounting, Organizations and Society, Volume 16, Issue 8, 1991, Pages 705-732

Jones,Gareth R., 2004, Organizational Theory, Design and Change , Pearson Education,Inc.,Upper Saddle River,New Jersey,07458.

Keith Kefgen and Manav Thadani, 2003, Corporate Governance and Organizational Culture, Ambika Mehta, Nov 4, 2003, http://www.hvs.com/article/658/corporate-governance-and-organizational-culture/, di download tgl 7 nopember 2011

Local Governance Forum ,2002,Introducing Good Local Governance The Indonesia, A Related Event in Conjunction with The Fourth Preparatory Committee Meeting For the World Summit on Sustainable Development Denpasar, Bali, 3-4 June 2002

Mardiasmo ,2007,Reformasi Pengelolaan Keuangan Daerah Masih Dihadapi Beberapa Kesulitan, Jurnal Otonomi Daerah. Vol VII No 2 Juni-Juli 2007

Mardiasmo,2006,Pewujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik:Suatu Sarana Good Governance Jurnal Akuntansi PemerintahVol. 2, No. 1, Mei 2006 Hal 1 – 17

Page 158: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

153

PRO DAN KONTRA PERTUMBUHAN PENDUDUK TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

Dian Lestari Siregar

Reti Anggraeni

Retno Andrini Magister Ilmu Ekonomi

Universitas Padjadjaran

Abstract Rapid population growth makes Indonesia as a country with the fourth largest

population in the world. In the study of Kuznets (1967) showed that there is a positive

correlation between population growth and per capita income growth among some groups in

some countries. While Joshi and Schultz (2007) and Schultz (2009) in his research show that

the decline in birth rates had a positive impact on the level of income and health, particularly

for women and children. Zhang (2009) and Miller (2010) found that the decline in the birth

rate has a positive effect on improving the quality of education. This study use secondary

data on GDP per capita, population and government capital expenditure to identify pro-

population growth in Indonesia and use the data to identify the unemployed and HDI counter

population growth. The methodology is Pooled Least Squares from 2001 to 2010 on the

islands throughout Indonesia, Sumatra; Java and Bali; Kalimantan; Sulawesi; and Papua,

Nusa Tenggara and Maluku. The results from this study are population growth increases

economic growth in Indonesia increasing output and productivity countries.

Keywords: Economic growth, pro and contra rapid population

1. Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk dunia menunjukkan trend peningkatan yang sangat pesat.

Data survei resmi United Nation dalam The 2010 Revision 1, mengestimasi bahwa jumlah

penduduk dunia akan mencapai 7 miliar di akhir tahun 2011. Dapat dikatakan bahwa jumlah

penduduk dunia meningkat lebih dari dua kali lipat dari 2,53 miliar sejak tahun 1950. Lebih

lanjut, United Nation memperkirakan bahwa jumlah penduduk pada tahun 2050 akan menjadi

9 miliar dan 10 miliar pada tahun 2100. Tambahan tiga miliar penduduk hingga tahun 2100

akan meningkatkan jumlah penduduk di negara berkembang, atau diprediksi akan meningkat

dari 5,7 miliar pada tahun 2011 menjadi 8 miliar pada tahun 2050 dan 8,8 miliar pada tahun

2100. Di lain pihak, populasi di negara maju diperkirakan akan meningkat lebih sedikit dari

negara berkembang yaitu: 1,24 miliar pada tahun 2011 menjadi 1,34 miliar pada tahun 2100.

Page 159: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

154

Gambar 1 Populasi Dunia Tahun 1950-2011 dan Proyeksi Tahun 2012-2050

Sumber: United Nation Population Division (2011)

BKKBN mencatat Indonesia menduduki peringkat ke empat untuk negara berpopulasi

terbesar setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Tahun 2010 populasinya mencapai 237,6

juta jiwa, maka diperkirakan laju pertumbuhan penduduk Indonesia sekitar 1,49% per tahun.

Artinya populasi tahunan terus tumbuh sebesar 3,5 - 4 juta jiwa.

Pada gambar berikut menyajikan data mengenai piramida populasi di Indonesia

beserta proyeksinya pada tahun 2020. Pada tahun 2000, penduduk Indonesia tertinggi berada

pada kelompok umur 0 – 60 tahun, sedangkan pada tahun 2020 jumlah penduduk Indonesia

tertinggi berada pada kelompok umur 10 – 65 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa pada

tahun 2020, semakin sedikit jumlah penduduk usia muda (0-15 tahun).

Gambar 2

Piramida Populasi di Indonesia tahun 2000 - 2020

Sumber: UNDP World Population Prospects (2008)

Page 160: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

155

Jika diperhatikan lebih seksama, piramida populasi Indonesia pada tahun 2020

menunjukkan pergeseran demografi, dimana terjadi penurunan proporsi penduduk usia muda

dan usia lanjut, sementara proporsi usia menengah mengalami peningkatan. Kondisi ini dapat

dikatakan sebagai ―bonus demografi‖ dimana Indonesia pada tahun 2020 akan mengalami

ledakan usia produktif yang tentunya akan memengaruhi produktivitas ekonomi negara ini.

Gambar 3

Masterplan Ekonomi Indonesia

Sumber: Komite Ekonomi Nasional (KEN)

Gambar 4

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Sumber: Komite Ekonomi Nasional (KEN)

Berdasarkan kedua gambar diatas, dengan pertambahan penduduk yang semakin

meningkat, menurut Ketua KEN Indonesia, Chairul Tanjung, perekonomian di Indonesia juga

akan semakin tumbuh dengan cepat. Pada Gambar 3, GDP meningkat seiring dengan

meningkatnya populasi di Indonesia.

Page 161: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

156

Pertumbuhan penduduk khususnya pada usia produktif terhadap perekonomian suatu

negara telah menjadi perdebatan yang cukup lama diantara para ekonom. Selalu ada pro dan

kontra terhadap pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap perekonomian. Beberapa ekonom

yang berpandangan positif menganggap bahwa pertumbuhan penduduk dapat meningkatkan

produktivitas serta konsumsi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara

ekonom yang kontra terhadap pandangan tersebut berpandangan bahwa pertumbuhan

penduduk akan menambah beban negara khususnya dalam menyediakan lapangan pekerjaan

serta pelayanan publik yang justru akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Pendapat awal yang paling terkenal dalam menganalisis hubungan antara

pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi dikemukakan oleh Kuznet (1967). Dalam

penelitiannnya, ia menemukan adanya korelasi positif antara pertumbuhan populasi dengan

pertumbuhan pendapatan perkapita antar beberapa kelompok negara yang berbeda. Hasil

penelitian ini kemudian menginspirasi peneliti-peneliti lainnya yang mendapat hasil hampir

serupa seperti Kelley (1988), Barro (1991), Mankiw, Romer, dan Weil (1992), serta Bloom

dan Canning (2008). Para peneliti ini kebanyakan mendasarkan penelitiannya pada model

pertumbuhan Solow serta meregres pertumbuhan penduduk usia produktif (jumlah angkatan

kerja) terhadap peningkatan pendapatan per kapita yang menghasilkan korelasi positif.

Michael Kremer memberikan dukungan pada pertumbuhan penduduk yang tinggi

dalam artikel yang berjudul ―Population Growth and Technological Change: One Million

B.C. to 1990‖, pada tahun 1993. Kremer memulai analisisnya dengan berpendapat bahwa

sepanjang sejarah manusia, pertumbuhan dunia berkembang seiring peningkatan

pertumbuhan penduduk. Contohnya adalah ketika pertumbuhan dunia lebih cepat pada saat

jumlah penduduk berjumlah 1 miliar (pada tahun 1800), dibandingkan dengan ketika jumlah

penduduk hanya berjumlah 100 juta (tahun 500 SM). Oleh karena itu, Kremer menarik

kesimpulan bahwa semakin banyak jumlah penduduk maka semakin cepat tingkat kemajuan

teknologi, atau dengan kata lain jumlah penduduk yang besar menjadi syarat terjadinya

kemajuan teknologi. Kelemahan hasil penelitian ini adalah alpa memasukkan variabel-

variabel instrumental (instrument variables), seperti tingkat kesehatan atau partisipasi tenaga

kerja wanita yang cukup menjadi permasalahan identifikasi model, dan memengaruhi

signifikansi dari hasil penelitian yang diperoleh.

Sementara itu di sisi lain, Malthus (1978) menyatakan bahwa populasi akan tumbuh

secara eksponensial, sedangkan produksi makanan meningkat secara linear. Sehingga pada

titik tertentu akan terjadi krisis pangan.

Gambar 5

Malthusian’s Curve

Sumber: Malthus (1978)

Page 162: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

157

Point penting dari ilustrasi diatas adalah, dalam kondisi sumber daya yang jumlahnya

tetap, pertumbuhan populasi akan mempengaruhi konsumsi secara langsung. Sebagai

konsekuensi dari hukum diminishing marginal return, produktivitas tenaga kerja akan

berkurang seiring dengan penambahan tiap satu orang tenaga kerja, sementara input produksi

lainnya bersifat tetap. Hal ini berarti pendapatan per kapita akan cenderung konstan.

Fenomena populasi yang semakin besar memberikan dampak yang cukup luas yang

lebih condong kearah negatif. Populasi dinilai sebagai sebuah ancaman yang cukup besar,

yang mampu mendatangkan berbagai permasalahan seperti permasalahan lingkungan. Bila

populasi bertahan pada taraf ideal, keseimbangan antar lingkungan dan generasi populasi

mampu tercapai. Tapi kenyataannya, populasi tumbuh lebih pesat dari pada kemampuan

bumi dan lingkungan dalam hal menghasilkan sumber daya yang ada. Pada akhirnya,

kemampuan bumi akan terlampaui dan berimbas pada kualitas hidup manusia yang rendah.

Seiring dengan peningkatan penduduk, eksploitasi sumber daya alam semakin besar.

Worlds Resources Institute mencatat, Indonesia kehilangan 72% hutan alam yang areal

hutannya menurun rata-rata 3,4 juta hektar pertahun.

Tekanan populasi, keterbatasan sumber daya, pertumbuhan ekonomi telah berdampak

pada permasalahan lingkungan seperti deforestasi, sanitasi, kelangkaan air bersih, sampah,

krisis energi, polusi air, udara, dan tanah. Air bersih terkontaminasi oleh limbah industri dan

sampah rumah tangga yang langsung dibuang ke sumber air. Banyak sungai di Asia yang

terkontaminasi oleh polutan seperti nitrogen, fosfor, bakteri patogen, dan residu pestisida.

Polusi udara juga menjadi masalah yang sangat serius akibat emisi dari industri, rumah

tangga, dan kendaraan bermotor telah melebihi kemampuan alami kota untuk mengembalikan

emisi ke tingkat yang tidak berbahaya bagi kesehatan (Brennan, 1999).

Para ekonom yang berpandangan kontra terhadap pertumbuhan penduduk dengan

perekonomian, seringkali menggunakan pendekatan mikro dalam studi mereka. Misalnya,

Joshi dan Schultz (2007) serta Schultz (2009), menemukan penurunan angka kelahiran

berdampak positif terhadap tingkat pendapatan dan kesehatan, khususnya bagi perempuan

dan anak-anak. Zhang (2009) serta Miller (2010) menemukan bahwa penurunan tingkat

kelahiran berpengaruh positif pada peningkatan kualitas pendidikan dan tingkat independensi

perempuan. Beberapa penelitian lainnya juga menunjukkan korelasi yang positif antara

penurunan angka kelahiran dengan tingkat pertisipasi tenaga kerja.

Populasi yang tumbuh dengan cepat tanpa diimbangi oleh lapangan pekerjaan,

sementara pasar sudah tidak mampu menyerap tenaga kerja yang tersedia pada akhirnya

melahirkan pengangguran. Hal itu sesuai dengan fenomena yang terjadi di Indonesia, yang

semakin diperparah oleh adanya pemusatan-pemusatan lapangan pekerjaan di daerah

perkotaan. Teori-teori pertumbuhan ekonomi yang modern menekankan pada pengaruh

pertumbuhan penduduk terhadap akumulasi modal. Jika pertumbuhan populasi tinggi akan

mengurangi angka PDB per tenaga kerja. Dengan kata lain, semakin cepat populasi tumbuh

maka semakin rendah modal bagi masing-masing tenaga kerja. Modal yang lebih kecil per

tenaga kerja akan menyebabkan tingkat produktivitas dan PDB per tenaga kerja yang lebih

rendah. Di negara-negara berkembang, pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan

jumlah anak usia sekolah semakin besar sehingga menjadi beban terhadap pendidikan. Oleh

karena itu, tingkat pencapaian pendidikan cenderung rendah di negara-negara berkembang.

Masih terbatasnya literatur yang membahas mengenai pengaruh peningkatan

penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia menjadi daya tarik dilakukannya

penelitian ini. Berbagai penelitian yang telah dilakukan di negara lain, serta hasil yang

menunjukkan perdebatan antar para ekonom juga telah ikut melatarbelakangi penelitian

dampak populasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Page 163: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

158

2. Identifikasi Masalah

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat

pertumbuhan penduduk di Indonesia mencapai 1,49% atau sekitar 3,5 – 4 juta jiwa tiap

tahunnya. Sementara UNDP memproyeksi adanya perubahan struktur usia penduduk di

Indonesia dari tahun 2000 ke 2020 dimana pada 2020 mendatang penduduk Indonesia akan

didominasi oleh penduduk usia produktif. Indonesia akan memiliki lebih banyak angkatan

kerja yang tentunya secara otomatis akan meningkatkan kebutuhan lapangan pekerjaan.

Berbagai penelitian menunjukkan pendapat yang berbeda-beda mengenai dampak

pertumbuhan penduduk terhadap perekonomian. Sebagian berpendapat bahwa peningkatan

jumlah penduduk akan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas

dan konsumsi. Sementara sebagian lainnya berpendapat bahwa pertumbuhan penduduk hanya

akan menambah beban negara dalam menyediakan lapangan pekerjaan serta fasilitas publik

seperti kesehatan dan pendidikan. Terlebih lagi, meningkatnya populasi seringkali berkorelasi

positif dengan degradasi lingkungan yang akan mendatangkan lebih banyak permasalahan.

Mengingat cukup tingginya pertumbuhan penduduk di Indonesia, penelitian mengenai

dampak pertumbuhan populasi terhadap pertumbuhan ekonomi perlu dilakukan. Penelitian

tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai apakah pertumbuhan

penduduk yang terjadi di Indonesia sebenarnya memberikan dampak yang positif atau negatif

terhadap pertumbuhan ekonomi negara, sehingga dapat memberikan arahan bagi penentuan

kebijakan pemerintah dalam hal pengendalian penduduk di Indonesia.

3. Metodologi Penelitian Dalam menganalisis pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap pertumbuhan

ekonomi di Indonesia, kami menggunakan metode Pooled Least Squares berdasarkan data

time series dari tahun 2001 – 2010 dan cross section di pulau-pulau seluruh Indonesia yaitu

Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, Nusa Tenggara dan Maluku.

Variabel-variabel yang kami gunakan dalam penelitian ini antara lain :

a) PDB per kapita; b) Jumlah Penduduk; c) Belanja Modal Pemerintah

4. Hasil Penelitian

4.1. Pro Pertumbuhan Penduduk

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dikarenakan semakin meningkatnya populasi

maka semakin meningkatnya konsumsi masyarakat.

Gambar 6

Total GDP dan Pengeluaran Konsumsi Tahun 1960 - 2010

Sumber: Asian Development Bank (ADB)

$-

$50,000,000,000

$100,000,000,000

$150,000,000,000

$200,000,000,000

$250,000,000,000

$300,000,000,000

19

60

19

65

19

70

19

75

19

80

19

85

19

90

19

95

20

00

20

05

20

10

$

Tahun

Konsumsi

GDP

Page 164: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

159

Pada Tabel 1 menunjukkan hasil estimasi bahwa Pendapatan Domestik Regional

Bruto (PDRB) dipengaruhi oleh jumlah penduduk di setiap pulau di Indonesia secara

signifikan. Jumlah penduduk yang tinggi menandakan bahwa terdapat banyak penduduk yang

akan mengkonsumsi barang dan jasa. Tingginya jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi

masyarakat Indonesia mempengaruhi PDRB di setiap pulau. Oleh karena itu, pertumbuhan

ekonomi di setiap pulau di Indonesia masih dipengaruhi oleh pola konsumsi masyarakat

Indonesia yang padat penduduk. Sehingga tingginya jumlah penduduk di Indonesia dapat

menopang perekonomian Indonesia.

Tabel 1

Hasil Estimasi

Variabel Dependen : PDRB

Variabel Independen Coefficient t-statistika Prob

C -2.90E+08 -1.79853 0.0794

Populasi 13.80138 3.522274 0.0010

Belanja_Pemerintah 13.75804 2.442598 0.0188

R-Squared 0.984272

F-Statistic 448.495

DW-Stat 0.582949

Sumber : pengolahan data oleh penulis

Tabel 2

Intersep Hasil Regresi

Fixed Effects (Cross)

Jawa -5.35E+08

Kalimantan 2.55E+08

Sulawesi 1.42E+08

Sumatera -1173776

Papua 1.40E+08

Sumber : pengolahan data oleh penulis

4.2. Kontra Pertumbuhan Penduduk

Pertumbuhan penduduk Indonesia menyisakan berbagai persoalan. Pada Gambar 7

menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pengangguran selama 10 tahun yaitu daari tahun

1996 – 2006. Selain itu Gambar 7 juga menunjukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

yang ada di 5 pulau di Indonesia menurun. Dengan melihat kedua komponen tersebut, maka

diketahui bahwa pertumbuhan penduduk yang meningkat tidak disertai meningkatnya

pertumbuhan lapangan kerja yang menimbulkan pengangguran. Pemerintah tidak

menyiapkan pendidikan, kesehatan serta fasilitas yang mendukung bagi pertambahan

penduduk. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk di Indonesia harus diatur oleh pemerintah

agar pertumbuhan penduduk seiring dengan pertumbuhan fasilitas serta lapangna kerja.

Page 165: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

160

Gambar 7

Sumber : Asian Development Bank (ADB)

Gambar 8

Pertumbuhan IPM

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)

5. Kesimpulan

1. Pertumbuhan penduduk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sehingga

meningkatkan output serta produktivitas negara.

2. Pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat di Indonesia,yg tidak diiringi oleh fasilitas

yang disediakan oleh pemerintah menjadikan kualitas penduduk menurun.

3. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk Indonesia yang terkontrol akan berdampak

positif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

0

2

4

6

8

10

12

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Pengangguran

Pengangguran

0

0.002

0.004

0.006

0.008

0.01

0.012

0.014

2005 2006 2007 2008 2009

Per

tum

bu

han

Tahun

Sumatera

Jawa dan Bali

Kalimantan

Sulawesi

Papua

Page 166: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

161

Daftar Pustaka

Ashraf, Q. H., Weil, D. N., & Wilde, J. (2012). The effect of fertility reduction on economic

growth.

Barro, R. J. (1991). Economic growth in a cross section countries. Quarterly Journal of

Economics , 106 (2) : 407-443.

Bloom, D. E., & Canning, D. (2009). Fertility, female labor participation, and the

demographic dividend. Journal of Economic Growth , 14(2) : 79-101.

Joshi, S., & Schultz, T. P. (2007). Family planning as an investment in development :

Evaluation of a program's consequences in Matlab, Bangladesh. IZA Discussion

Paper 2639. Institute for The Study of Labor.

Kelley, A. C. (1998). Economic consequences of population change in the Third World.

Journal of Economic Literature , 26(4) : 1685-1728.

Kuznetz, S. (1967). Population and economic growth. Proceedings of American

Philosophical Society , 111(3) : 170-193.

Malthus, T. R. (1978). An essay of the principle of population. Oxford University Press.

Miller, G. (2010). Contraception as development? New evidence of family planning in

Columbia. Economic Journal , 120(545) ; 709-736.

Page 167: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

162

Analisis Tingkat Pengangguran di 25 Kabupaten Kota

di Jawa Barat 2006-2009

Indra Yudha Mambea, Estro Dariatno Sihaloho, Jacobus Cliff Diky Rijoly

Magister Ilmu Ekonomi Fakultas

Universitas Padjadjaran

Abstrak

Dengan tingkat permasalahan kemiskinan yang tinggi di Jawa Barat menjadikan sebuah

pertanyaan besar mengapa hal tersebut dapat terjadi. Hal yang paling mempengaruhi

tingkat kemiskinan di Jawa Barat adalah tingkat pengangguran yang tetap cukup tinggi di

Jawa Barat. Dengan tingkat pengangguran yang tinggi akan menyebabkan rendahnya

tingkat pendapatan masyarakat yang ada di Jawa Barat. Ada beberapa hal yang

mempengaruhi tingkat pengangguran di Jawa Barat. Salah satu hal yang paling yang

mempengaruhi tingkat pengangguran tersebut adalah berapa besar tingkat penyerapan

tenaga kerja dari setiap sektor atau lapangan pekerjaan utama di Jawa Barat. Penelitian ini

meneliti bagaimana pengaruh beberapa lapangan pekerjaan utama terhadap pengurangan

tingkat pengangguran seperti lapangan pekerjaan pertanian, industri manufaktur dan

perdagangan. Penelitian dilakukan dengan cara Fixed Effect Model yang menunjukkan

bahwa tingkat lapangan pekerjaan utama yaitu pertanian, industri manufaktur, dan

perdagangan memiliki pengaruh yang negatif terhadap tingkat pengangguran di Jawa Barat

atau dengan kata lain dengan meningkatnya atau meluasnya lapangan pekerjaan pertanian,

industri manufaktur, dan perdagangan akan mengurangi jumlah pengangguran di Jawa

Barat.

Keywords: Kemiskinan, Pengangguran, Fixed Effect Models

Pendahuluan

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di

Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar yakni 43.021.826 jiwa (BPS Jawa

Barat 2010), pastilah Jawa Barat tidak lepas dengan berbagai permasalahan seperti masalah

sanitasi,masalah kesehatan, masalah pendidikan, masalah pemerataan pendapatan, masalah

kemiskinan, masalah pengangguran , dan banyak masalah kependudukan lainnya. Masalah

pengangguran merupakan masalah yang sangat krusial karena berdampak besar dan dapat

menjadi pemacu atau penyebab terjadinya masalah yang lain di penduduk Jawa Barat.

Dengan tingginya tingkat pengangguran akan menyebabkan tingkat pendapatan masyarakat

Jawa Barat yang rendah dan hal ini akan mendorong rendahnya tingkat pendidikan dan

tingkat kesehatan masyarakat. Berdasarkan data BPS Jawa Barat 2010, Jawa Barat memiliki

4.852.520 jiwa masyarakat miskin dan tingkat pengangguran yang tinggi adalah salah satu

penyebab dari tingkat kemiskinan tersebut.

Pada tahun 2010, Jawa Barat memiliki angkatan kerja sebesar 18.981.260 orang

dengan yang aktif bekerja sebanyak 16.901.430 jiwa dan sisanya adalah pengangguran

sebesar 2.079.830 (BPS Jawa Barat 2010). Jumlah pengangguran ini adalah tingkat

pengangguran yang cukup tinggi dengan persentase sekita 10 persen. Hal ini pasti mendorong

masyarakat yang menganggur akan mengalami kemiskinan dan juga akan berdampak kepada

keluarga yang mereka topang. Tingkat pengangguran yang tinggi tidak terjadi dengan

sendirinya. Ada begitu banyak hal yang bisa menyebabkan tingkat pengangguran di suatu

daerah tidak menurun atau malah mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Dan tentu saja

Page 168: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

163

hal ini pasti memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Tingkat pengangguran yang

terjadi di Jawa Barat tidak terpusat pada satu daerah saja,melainkan tersebar juga ke daerah

lain. Dan berdasarkan angkatan kerja di masing-masing kabupaten/kota tahun 2009, kota

bogor memiliki persentase tingkat pengangguran tertinggi dibandingkan dengan

kabupaten/kota lain yaitu sebesar 19,04 % dari angkatan kerja kota bogor dan yang paling

rendah adalah kabupaten Ciamis dengan 6,31% dari total angkatan kerja di kabupaten

Ciamis(BPS Jawa Barat 2010).

Tingkat pengangguran yang berbeda-beda pada setiap daerah pasti disebabkan oleh

berbedanya beberapa faktor tertentu di masing-masing daerah. Tingkat populasi dan jumlah

lapangan pekerjaan yang berbeda di masing-masing kabupaten/kota pasti akan berpengaruh

terhadap jumlah masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan di daerah tersebut. Di Jawa Barat

terdapat beberapa lapangan pekerjaan utama yaitu pertanian, industri dan yang lain. Masing-

masing daerah memiliki persentase lapangan pekerjaan utama yang berbeda-beda juga. Pada

tahun 2010, Kabupaten Cianjur memiliki persentasi pertanian sebagai lapangan pekerjaan

utama sebesar 61,38% yang berarti sebanyak 61,38% angkatan kerjanya bekerja pada sektor

pertanian (BPS Jawa Barat 2010). Sementara kota Bandung merupakan daerah yang memiliki

lapangan pekerjaan utama terkecil di sektor pertanian yaitu hanya sebesar 1,47% (BPS Jawa

Barat 2010). Dengan berbedanya sektor-sektor potensial di masing-masing daerah pastinya

akan berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah daerah. Kebijakan yang tepat dengan

jumlah anggaran belanja pemerintah daerah yang tepat akan mendorong tumbuhnya lapangan

pekerjaan dan mengurangi tingkat pengangguran secara signifikan.

Teori dan Metode Penelitian

Dalam salah satu publikasinya ILO (International Labor Organization) menyatakan

bahwa "The rules of the global economy should be aimed at improving the rights, livelihoods,

security, and opportunities of people, families and communities around the world." - World

Commission on the Social Dimension of Globalization, 2004 ( ILO: A Fair Globalization: Creating opportunities for all, Report of the World Commission on the Social Dimension of

Globalization (Geneva, 2004), p. 143)

. Artinya Organisasi ketenagakerjaan dunia ini

menginginkan agar perekonomian dunia haruslah memfokuskan diri pada pengembangan

standard hidup masyarakat yang layak melalui pemberian kesempatan bagi semua orang

untuk dapat memperoleh haknya, untuk mewujudkan hal ini (kesejahteraan) seseorang

haruslah memiliki penghasilan yang layak melalui kesempatan kerja yang bebas serta

terbuka, hal inilah yang sampai sekarang masih menjadi permasalahan utama bagi pakar-

pakar ekonomi maupun pemerintahan di seluruh dunia untuk memberikan kehidupan yang

layak bagi masyarakatnya, karena terbatasnya kesempatan kerja bagi individu atau kelompok

masyarakat tersebut. Kurangnya kesempatan kerja tersebut mengakibatkan suatu fenomena

ekonomi yang disebut dengan pengangguran (Unemployment).

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Pengangguran adalah istilah untuk orang yang

tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama

seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan. Fenomena

unemployment ini juga terjadi di Indonesia, sejak merdeka hingga sekarang pemerintah

Indonesia selalu berusaha untuk mereduksi kemiskinan dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945.Jawa Barat sebagai Provinsi dengan

total penduduk yang besar juga mengalami permasalahan yang sama, sebagai penyokong

kawasan industri permasalahan ini menjadi tak terhindarkan dengan luas wilayah yang sangat

luas menjadikan masalah penaggguran ini sebagai fenomena tersendiri dalam pembangunan

masyarakat jawa barat. Penyebaran tingkat pengagguran di Provinsi Jawa Barat relatif tinggi

di akibatkan adanya banyak factor diantaranya rendahnya tingkat pendidikan masyarakat

Page 169: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

164

setempat serta adanya clustering industri mengakibatkan rendahnya diversivikasi jenis

industri, oleh karena itu kebanyakan jenis pekerjaan mungkin hanya terkonsentrasi pada

beberapa lapangan pekerjaan saja.

Grafik 2.1 Tingkat pengangguran Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat

Tahun 2008-2009

Sumber : BPS Jawa Barat 2010,diolah.

Dari grafik diatas kita dapat melihat bahwa banyak sekali daerah kabupaten/kota yang

mengalami kenaikan tingkat pengangguran dari tahun 2008 ke tahun 2009. Dari grafik di atas

kita juga dapat melihat bahwa tingkat pengangguran tertinggi terdapat di Kabupaten Bogor,

Kabupaten Bandung, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bogor, dan

hampir di semua kotamadya kecuali kota Banjar. Dan tiga daerah kabupaten/kota yang

mengalami peningkatan tingkat pengangguran hingga menyentuh 15% atau lebih adalah kota

Bogor, kota Sukabumi, dan kota Cimahi. Kecenderungan tingkat pengangguran lebih tinggi

di perkotaan dibandingkan di daerah kabupaten disebabkan adanya perpindahan masyarakat

pedesaaan ke perkotaan. Hal ini tidak didukung dengan perkembangan atau pertumbuhan

lapangan pekerjaan yang ada di perkotaan dan mengakibatkan pertumbuhan populasi lebih

cepat dibandingkan pertumbuhan lapangan pekerjaan, sehingga naiknya pengangguran.

Secara umum pengertian tenaga kerja adalah menyangkut manusia yang mampu

bekerja untuk menghasilkan barang atau jasa dan mempunyai nilai ekonomis yang

dapat berguna bagi kebutuhan masyarakat. Secara fisik kemampuan bekerja diukur

dengan usia. Orang dalam usia kerja dianggap mampu bekerja. Menurut Undang-

Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja adalah setiap orang yang

mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa, baik untuk memenuhi

kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Di Indonesia, sejak tahun 1998 BPS

menggunakan usia 15 tahun ke atas sebagai kelompok penduduk usia kerja. Rendahnya

kesempatan kerja yang ada kemudian berimplikasi pada rendahnya pendapatan sehingga

kemudian tingkat kemiskinan masyarakat meningkat.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan data BPS Jawa Barat dari tahun 2005 hingga tahun 2009

yang terdiri atas data 25 kabupaten/kota yang terdapat di Jawa Barat. Data yang diteliti

05

101520

Kab

up

aten

Bo

gor

Kab

up

aten

Su

kab

um

i

Kab

up

ate

n C

ian

jur

Kab

up

aten

Ban

du

ng

Kab

up

aten

Gar

ut

Kab

upaten

Kab

up

aten

Cia

mis

Kab

up

aten

Ku

nin

gan

Kab

up

aten

Cir

ebo

n

Kab

upaten

Kab

up

aten

Su

med

ang

Kab

up

aten

Ind

ram

ayu

Kab

up

ate

n S

ub

ang

Kab

upaten

Kab

up

aten

Kar

awan

g

Kab

up

aten

Bek

asi

Ko

ta B

ogo

r

Ko

ta S

uka

bu

mi

Ko

ta B

and

un

g

Ko

ta C

ireb

on

Ko

ta B

ekas

i

Ko

ta D

epo

k

Ko

ta C

imah

i

Ko

ta T

asik

mal

aya

Ko

ta B

anja

r

TingkatPengangguranTahun 2008TingkatPengangguranTahun 2009

Page 170: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

165

meliputi data tingkat pengangguran per kabupaten/kota, tingkat populasi per kabupaten/kota,

persentase lapangan pekerjaan pertanian per kabupaten/kota, persentase lapangan pekerjaan

industri/manufaktur per kabupaten/kota dan tingkat belanja pemerintah daerah. Pengolahan

data menggunakan Fixed Effect Model. Estimasi pada model regresi data panel dengan

pendekatan fixed effect tergantung pada beberapa asumsi yang dipergunakan pada intercept,

koefisien, dan error term yang terdapat pada hasil regresi (Gujarati 2003). Asumsi dalam

fixed effect model adalah bahwa intercept dan koefisien slope dalam model adalah konstan

antar waktu dan ruang sementara error term adalah berbeda sepanjang waktu dan individu.

Model penelitian yang digunakan adalah :

TPit = β1 + β2 LKPit + β3 LPIit + β4 LPerit + μit

Dimana :

TP merupakan Tingkat Pengangguran (%)

LKP merupakan Tingkat Lapangan Kerja Utama Bidang Pertanian (%)

LPI merupakan Tingkat Lapangan Kerja Utama Bidang Industri/Manufaktur (%)

LPer merupakan Tingkat Lapangan Kerja Utama Bidang Perdagangan (%)

i merupakan unit cross section

t merupakan unit time series

Hasil Pembahasan

Berdasarkan hasil regresi melalui Fixed Effect Model didapatkan bahwa terdapat

pengaruh negatif antara berbagai lapangan pekerjaan utama dengan tingkat pengangguran di

Jawa Barat.

Dependent Variable: LOG(TP?)

Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)

Date: 04/25/13 Time: 00:39

Sample: 2006 2009

Included observations: 4

Cross-sections included: 24

Total pool (balanced) observations: 96

Linear estimation after one-step weighting matrix

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 11.87192 0.335555 35.37995 0.0000

LPI? -0.017347 0.006276 -2.763871 0.0073

LPer? -0.014213 0.005351 -2.656206 0.0098

LKP? -0.006869 0.004697 -1.462680 0.1481

Dari hasil pengolahan diatas di dapatkan beberapa kesimpulan bahwa :

1. C sebesar 11,87 menjelaskan bahwa tingkat pengangguran alamiah yang terdapat di

25 kabupaten kota Jawa Barat adalah berkisar pada rata-rata 11,87 % dengan asumsi

bahwa variabel lain adalah konstan.

2. LPI sebesar -0,017 menjelaskan bahwa ketika tingkat lapangan pekerjaan bidang

industri manufaktur mengalami kenaikan 1% akan menyebabkan tingkat

pengangguran di Jawa Barat akan berkurang sebesar 0,017%,cateris paribus.

Page 171: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

166

3. LPer sebesar -0,014 menjelaskan bahwa ketika tingkat lapangan pekerjaan bidang

perdagangan mengalami kenaikan 1% akan menyebabkan tingkat pengangguran

mengalami penurunan sebesar -0,014,cateris paribus.

4. LKP sebesar -0,006 menjelaskan bahwa ketika tingkat lapangan pekerjaan bidang

pertanian mengalami kenaikan 1% akan menyebabkan tingkat pengganguran akan

mengalami penurunan sebesar -0,006, cateris paribus.

Berdasarkan hasil t-stat diatas ditunjukkan bahwa terdapat dua lapangan pekerjaan

utama yakni lapangan pekerjaan utama industri manufaktur dan perdagangan yang

berpengaruh signifikan terhadap pengurangan tingkat pengangguran di Jawa Barat sedangkan

lapangan pekerjaan utama pertanian tidak berpengaruh signifikan terhadap pengurangan

tingkat pengangguran di Jawa Barat. Hal ini disebabkan oleh ketertarikan sebagian besar

masyarakat Jawa Barat yang berada di pedesaan untuk melakukan migrasi ke perkotaan dan

mendapat pekerjaan dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi seperti bekerja di bidang

industri/manufaktur atau perdagangan. Saat ini bidang pertanian tidak menjadi daya tarik

yang kuat bagi masyarakat Jawa Barat. Hal ini juga mendorong semakin banyaknya

pengalihan lahan pertanian menjadi lahan-lahan industri di Jawa Barat.

Weighted Statistics

R-squared 0.971785 Mean dependent var 18.05899

Adjusted R-squared 0.961153 S.D. dependent var 9.160112

S.E. of regression 0.223471 Sum squared resid 3.445824

F-statistic 91.40344 Durbin-Watson stat 2.232851

Prob(F-statistic) 0.000000

Tabel diatas menunjukkan bahwa R2 dalam model tersebut adalah sebesar 0,9717 yang

menunjukkan bahwa model tersebut dapat dijelaskan sebesar 97,17% oleh variabel-variabel

yang terdapat di dalam model sedangkan sisanya sebesar 2,83 dijelaskan oleh variabel yang

berada diluar model tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan data 25 Kabupaten/Kota di Jawa Barat menunjukkan bahwa

kecenderungan tingkat pengangguran di Jawa Barat dapat berkurang secara signifikan dengan

bertambahnya lapangan pekerjaan di bidang industri manufaktur dan perdagangan.

Sedangkan lapangan pekerjaan bidang pertanian tidak memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap penyerapan tenaga kerja di Jawa Barat. Secara kontur geografis, Provinsi Jawa Barat

memang memiliki potensi yang besar di bidang pertanian, tetapi yang terjadi adalah hal yang

sebaliknya pendapatan utama provinsi justru berasal dari sektor industri dan perdagangan, hal

ini dapat disebabkan beberapa hal:

1. Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang menitikberatkan pembangunan sektor

industri dan perdagangan, dengan menjadikan daerah-daerah seperti karawang dan

Bekasi sebagai sentra industri terutama manufaktur, sehingga mengabaikan

industrialisasi sektor pertanian itu sendiri.

2. Kabupaten/ kota yang dekat ke Jakarta, terkondisikan lebih sebagai daerah penopang

ibukota sehingga, sebagian besar hanya menjadi kawasan residensial sementara

penduduknya malah bekerja di Daerah Jakarta.

3. Adanya tren dari masyarakat Jawa Barat itu sendiri terutama yang Fresh Graduate dari

Perguruan-perguruan Tinggi untuk mengabaikan sektor pertanian sebagai salah satu

areal untuk mendapatkan pekerjaan dengan asumsi bahwa ekspektasi pendapatan yang

akan didapatkan tidak akan maksimal jika di bandingkan sektor lainnya.

Page 172: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

167

Saran Kebijakan

Berdasarkan hasil penelitian, apabila pemerintah ingin secara cepat melakukan pengurangan

tingkat pengangguran di Jawa Barat, maka pemerintah Jawa Barat haruslah:

1. Menyusun regulasi yang tepat dengan memperhatikan secara baik bidang industri

manufaktur dan perdagangan dengan cara mempermudah birokrasi dalam pendirian

industri.

2. Perdagangan juga harus benar-benar didukung dengan pembangunan sarana dengan

pembangunan sentral/pusat pasar di setiap daerah kabupaten/kota di Jawa Barat.

3. Melakukan ekspansi kebijakan dengan tidak hanya menitikberatkan pada industri

manufaktur saja, tetapi juga melakukan industrialisasi di sektor pertanian, agar

paradigma dalam sektor inipun menjadi berubah.

Daftar Pustaka

• BPS, Berbagai Penerbitan, Jawa Barat Dalam Angka . Bandung : Badan Pusat

Statistik.

• Gujarati, Damodar. 2009. Basic Econometrics. 3 Ed. Mc Graw Hill International.

• ILO: A Fair Globalization: Creating opportunities for all, Report of the World

Commission on the Social Dimension of Globalization (Geneva, 2004), p. 143

• Todaro, Michael. 1994. Pembangunan Ekonomi. Jakarta : Bumi Aksara

Page 173: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

168

Pengaruh Penerapan Pengendalian Internal dan Kompetensi Pegawai terhadap

Pencegahan Fraud

Firdha Nur Aisya

Hinny Herliany

Magister Ilmu Ekonomi

Universitas Padjadjaran

Abstract

The aim of this study is to identify and analyze the impact of internal control and

improvement of human resources competency of prevention possible irregularities or fraud in

the company. Using a quantitative method through questionnaires distributed to PT Bank

Mandiri (Persero) Tbk. The questionnaire were analyzed and processed through multiple

regression statistical methods. There is impact of internal control and improvement of human

resources quality in the prevention of fraud in the company simoultanosly. The risk of fraud

in the company's business activities can be suppressed in the presence of a good system of

internal control and competency of personnel (Human Resources) and also influenced by

other factors that are not directly related to the research model.

Keywords: internal control, competency of human resources, fraud prevention

1 Pendahuluan

Industri perbankan dewasa ini semakin berkembang dan memiliki pangsa pasar yang

luas. Bank yang berfungsi sebagai penghimpun dana masyarakat kemudian menyalurkannya

kepada masyarakat sebagai alat membantu transaksi keuangan memiliki peranan penting

sebagai penunjang perekonomian negara. Peranan bank sebagai penghimpun dana

masyarakat memiliki berbagai resiko untuk terjadinya fraud atau kecurangan.

Perusahaan (bank) sebagai pembuat peraturan dan kebijakan harus menerapkan

pengendalian kuat untuk mencegah terjadinya fraud yang dilakukan pegawai perbankan.

Pihak bank dan pemerintah harus mempunyai sanksi tegas dalam menindak pelaku. Saat ini,

seringkali terjadi banyak kecurangan (fraud) yang dilakukan pihak yang tidak bertanggung

jawab yang berasal dari sindikat pelaku di perbankan. Kecurangan tersebut biasanya berupa

penggelapan aset nasabah, transaksi fiktif melalu kartu debit, kartu kredit, dan sebagainya.

Seperti kebijakan pada PT Bank Rakyat Indonesia Tbk yang dilansir Bisnis Indonesia

pada Jumat, 08 Maret 2013, BRI berkomitmen memberikan sanksi kepada pekerja yang

terbukti menggelapkan emas nasabah. Diberitakan sebelumnya, seorang nasabah di Jakarta

Selatan melaporkan dugaan penggelapan emas. Sementara itu, berita dari Metrotvnews.com,

Jakarta: Bank Indonesia (BI) mencatat jumlah transaksi kartu kredit yang tidak sesuai

ketentuan hingga Februari 2013 mencapai 6.100 transaksi. Nilai volume transaksinya

mencapai Rp7,5 miliar. Adapun rinciannya adalah Rp 3,6 miliar per Januari 2013 dan Rp 3,9

miliar per Februari 2013. Kasus lain terjadi di Semarang, seperti dilansir oleh Bisnis

Indonesia pada Selasa, 16 April 2013 – Satya Laksana, nasabah PT BPD Jawa Tengah (Bank

Jateng) mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Jateng dalam perkara ganti rugi

pembobolan dana oleh mantan Kepala Unit Usaha Syariah Cabang Surakarta. Selain itu,

berdasarkan berita dari Tempo, Rabu 25 Mei 2011, terjadi tindak pidana perbankan berupa

pencairan deposito dan tabungan nasabah tanpa sepengetahuan pemiliknya di Bank Mandiri.

Kasus ini dilaporkan 1 Februari 2011 dan nilai kerugiannya sebesar Rp 18 miliar.

Melihat beberapa kenyataan tersebut, diperlukan upaya sistematis dalam mengatasi

kecurangan di dunia perbankan. Perlu adanya integrasi dalam menerapkan strategi di

Page 174: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

169

perusahaan. Misalnya dengan mengedepankan strategi preventif atas kecurangan. Salah

satunya adalah menerapkan pengendalian internal yang baik. Melalui pengendalian internal

manajemen siap menghadapi perubahan perekonomian, persaingan, pergeseran permintaan

pelanggan dan fraud serta restrukturisasi kemajuan yang akan datang (Ruslan, 2009).

Sebagai suatu entitas pelayanan jasa keuangan, diperlukan pemahaman dan penerapan

pengendalian internal yang diterapkan oleh karyawan di bank. Jika hal ini diterapkan secara

efektif maka dapat mencegah terjadinya fraud (kecurangan). Disamping itu, setiap karyawan

yang melaksanakan pengendalian internal harus didukung kualitas sumber daya manusia

(SDM) yang baik. Kualitas SDM yang baik dibekali oleh kompetensi berupa pengetahuan

dan keahlian. Diharapkan dengan kualitas pegawai yang baik dapat mencegah kecurangan.

2 Kajian Pustaka

2.1 Pengendalian Internal

Pengendalian internal telah mengalami perubahan baik dalam konsep maupun

komponennya sesuai dengan perkembangan dunia bisnis yang semakin kompleks. Pada awal

perkembanganya, pengendalian internal diartikan sebagai internal cek. Internal cek dengan

konsep kesamaan hasil melalui pencocokkan catatan dari dua bagian atau lebih, sebagaimana

diungkapkan American Institute of Certified Public Accoountant (AICPA) yang dikutip

Moller & Witt (1999). Sementara Arens et al. (2010) menggambarkannya sebagai berikut:

1. Lingkungan Pengendalian (Control Environment)

Lingkungan pengendalian perusahaan mencakup sikap para manajemen dan karyawan

terhadap pentingnya pengendalian di dalam organisasi. Salah satu faktor yang berpengaruh

terhadap lingkungan pengendalian adalah filosofi manajemen (manajemen tunggal dalam

persekutuan atau manajemen bersama dalam perseroan) dan gaya operasi manajemen

(manajemen yang progresif atau yang konservatif), struktur organisasi (terpusat atau

terdesentralisasi) serta praktik kepersonaliaan. Lingkungan pengendalian ini amat penting

karena menjadi dasar keefektifan unsur-unsur pengendalian intern yang lain.

2. Penilaian Resiko (Risk Assesment)

Semua organisasi memiliki risiko. Setiap risiko terkait dengan suatu aktivitas, baik

berupa bisnis (profit dan non profit) maupun non bisnis. Suatu risiko yang telah di

identifikasi dapat dievaluasi sehingga dapat di perkirakan intensitas untuk meminimalkannya.

3. Prosedur Pengendalian (Control Procedure)

Prosedur pengendalian ditetapkan untuk menstandarisasi proses kerja sehingga

menjamin tercapainya tujuan perusahaan dan mencegah atau mendeteksi terjadinya

ketidaksesuaian dan kesalahan. Prosedur pengendalian meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Personil yang kompeten, mutasi tugas dan cuti yang wajib.

b. Pelimpahan tanggung jawab.

Page 175: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

170

c. Pemisahan tanggung jawab untuk kegiatan terkait.

d. Pemisahan fungsi akuntansi, penyimpanan aset dan operasional.

4. Pemantauan (Monitoring)

Pemantauan atas sistem pengendalian intern akan menemukan kekurangan serta

meningkatkan efektivitas pengendalian. Pengendalian intern dapat dimonitor dengan baik

dengan cara penilaian khusus atau sejalan dengan usaha manajemen. Usaha pemantauan yang

terakhir dapat dilakukan dengan cara mengamati perilaku karyawan atau tanda-tanda

peringatan yang diberikan oleh sistem akuntansi.

Penilaian secara khusus biasanya dilakukan secara berkala saat terjadi perubahan

pokok dalam strategi manajemen senior, struktur korporasi atau kegiatan usaha. Pada

perusahaan besar, auditor internal adalah pihak yang bertanggung jawab atas pemantauan

sistem pengendalian internal. Auditor independen juga sering melakukan penilaian atas

pengendalian intern sebagai bagian dari audit atas laporan keuangan.

5. Informasi dan Komunikasi (Information and Communication)

Informasi dan komunikasi merupakan elemen-elemen yang penting dari pengendalian

internal perusahaan. Informasi tentang lingkungan pengendalian, penilaian risiko, prosedur

pengendalian dan monitoring diperlukan oleh manajemen untuk meyakinkan pedoman

operasional dan menjamin ketaatan dengan pelaporan hukum dan peraturan-peraturan yang

berlaku pada perusahaan. Informasi juga diperlukan dari pihak luar perusahaan. Manajemen

dapat menggunakan informasi jenis ini untuk menilai standar eksternal. Hukum, peristiwa

dan kondisi yang berpengaruh pada pengambilan keputusan dan pelaporan eksternal.

2.2 Kompetensi Pegawai

Kompetensi sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan kinerja pada tingkat

yang memuaskan di tempat kerja, termasuk diantaranya kemampuan seseorang untuk

mentransfer dan mengaplikasikan keterampilan dan pengetahuan tersebut dalam situasi yang

baru dan meningkatkan manfaat yang disepakati. Kompetensi menjelaskan apa yang

dilakukan orang di tempat kerja pada berbagai tingkatan dan memperinci standar masing-

masing tingkatan, mengidentifikasi karakteristik, pengetahuan dan keterampilan yang

diperlukan oleh individual yang menjalankan tugas dan tanggung jawab secara efektif

sehingga mencapai standar kualitas profesional dalam bekerja.

Secara umum, kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau

melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan

serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh perkerjaan tersebut.

Hutapea dan Thoha (2008:28), mengungkapkan bahwa ada tiga komponen utama

pembentukan kompetensi yaitu: pengetahuan, kemampuan, dan perilaku. Pengetahuan adalah

informasi yang dimiliki seorang karyawan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya

sesuai dengan bidang yang digelutinya. Kecakapan karyawan menentukan berhasil tidaknya

pelaksanaan tugas. Karyawan yang mempunyai pengetahuan cukup akan meningkatkan

efisiensi perusahaan. Namun bagi karyawan yang belum mempunyai pengetahuan cukup,

maka kerjaannya akan tersendat-sendat. Keahlian merupakan suatu upaya untuk

melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan perusahaan kepada seorang

karyawan dengan baik dan maksimal.

Disamping pengetahuan dan kemampuan, yang perlu diperhatikan adalah sikap. Sikap

(attitude) merupakan pola tingkah laku seorang karyawan/pegawai di dalam melaksanakan

tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan perusahaan. Apabila karyawan

mempunyai sifat yang pendukung pencapaian tujuan organisasi, maka secara otomatis segala

tugas yang dibebankan kepadanya akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Page 176: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

171

Kompetensi knowledge dan skill cenderung lebih nyata/terlihat sebagai karakteristik

yang dimiliki manusia. Kompetensi pengetahuan dan keahlian relatif mudah untuk

dikembangkan. Misalnya, dengan program-program pelatihan. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa kompetensi adalah kemampuan dan kemauan pegawai untuk melakukan

sebuah tugas dengan kinerja yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan perusahaan.

2.3 Kecurangan (Fraud)

Fraud tidak hanya diartikan sempit sebagai kecurangan, sehingga ada banyak sinonim

yang digunakan untuk mendefinisikan kecurangan, diantaranya dijelaskan oleh Singleton,

Tommie, Aoron Singleton, Jack Bologna (2006):

a. ―Fraud as a crime‖.

Fraud is a generic term, and embraces all the multifarious means which human

ingenuity can devise, which are resorted to by one individual, to get an advantage

over another by false representations‖.

Maksud dari penjelasan diatas adalah kecurangan adalah istilah umum, yang

mencakup berbagai macam kelihaian manusia, dimana satu individu memberikan gambaran

yang salah untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain.

b. ―Fraud as a tort‖.

Fraud is the defendant has made a representation in regard to material fact; that such

representation is false; that such representation was not actually believed by the

defendant, on reasonable grounds, to be true; that is was made with intent that it

should be acted on; that is acted on by complainant to his damage; and that in so

acting on it the complainant was ignorant of its falsity, and reasonably believed it to

be true‖.

Maksud dari penjelasan diatas adalah bahwa kecurangan merupakan tindakan yang

disengaja dalam menyajikan laporan tentang fakta-fakta material yang salah, sehingga

menjadikan seseorang salah dalam mengambil keputusannya karena menganggap itu benar.

Secara skematis, Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)

menggambarkan occupational fraud dalam bentuk fraud tree (dalam Tuanakotta, 2007, p.96-

105). Occupational tree ini mempunyai tiga cabang utama, yakni Corruption, Asset

Misappropriation dan Fraudulent Statements. Berikut ini penjelasan singkatnya:

(1) Corruption

Istilah corruption disini serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi dalam

ketentuan perundang-undangan di Indonesia (Tuanakotta, 2007, p.96).

Bentuk corruption menurut ACFE digambarkan dalam empat ranting, yakni conflicts of

interests, bribery, illegal gratitutes dan economic extortion.

(2) Asset Misappropriation

Asset Misappropriation atau pengambilan aset secara illegal dalam bahasa sehari-hari

disebut mencuri (Tuanakotta, 2007, p.100). Yang sering menjadi sasaran penjarahan adalah

uang sebab uang tunai atau uang di bank yang menjadi sasaran tersebut langsung dapat

dimanfaatkan oleh pelakunya.

(3) Fraudulent Statements

Jenis fraud ini sangat dikenal para auditor yang melakukan general audit. Fraud ini

berupa salah saji baik itu overstatement maupun understatement (Tuanakotta, 2007, p.105)

Asset Misappropriation (Penyalahgunaan Aset) Untuk mendeteksi kecurangan yang masuk kategori ini banyak variasinya. Namun,

pemahaman yang tepat atas pengendalian intern yang baik dalam pos-pos tersebut akan

sangat membantu dalam melaksanakan pendeteksian kecurangan. Oleh karena itu, terdapat

Page 177: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

172

banyak sekali teknik yang dapat digunakan untuk mendeteksi setiap kasus penyalagunaan

aset. Setiap kecurangan dapat dideteksi melalui beberapa teknik yang berbeda.

Contohnya untuk mencegah kecurangan dalam transaksi ada beberapa metode yang

dapat digunakan. Metode tersebut akan sangat efektif bila digunakan secara kombinasi

gabungan, setiap metode pencegaha akan menunjukan gejala penyimpangan yang dapat

diinvestigasi lebih lanjut untuk menentukan ada tidaknya kecurangan. Selain itu metode

tersebut, juga menunjukan kelemahan dalam pengendalian intern dan mengingat/memberi

peringatan pada auditor akan adanya potensi terjadinya kecurangan di masa mendatang.

Metode-metode tersebut antara lain seperti penerapan aktivitas pengendalian, pemisahan

fungsi, pengawasan dan sebagainya.

Fraudulent Financial Reporting

Fraudulent financial reporting (Efendi, 2006) adalah perilaku yang disengaja atau

ceroboh, baik dengan tindakan atau penghapusan yang menghasilkan laporan keuangan yang

menyesatkan. Fraudulent financial reporting yang terjadi di suatu perusahaan memerlukan

perhatian khusus dari auditor independen.

Penyebab fraudulent financial reporting umumnya 3 (tiga) hal sebagai berikut:

1. Manipulasi, falsifikasi, alterasi atas catatan akuntansi dan dokumen pendukung atas

laporan keuangan yang disajikan.

2. Salah penyajian (misrepresentation) atau kesalahan informasi yang signifikan dalam

laporan keuangan.

3. Salah penerapan (misapplication) dari prinsip akuntansi yang berhubungan dengan

jumlah, klasifikasi, penyajian (presentation) dan pengungkapan (disclosure).

Fraudulent financial reporting juga dapat disebabkan adanya kolusi antara

manajemen dengan auditor independen. Salah satu upaya untuk mencegah adanya kolusi

tersebut, perlu dilakukan rotasi auditor independen dalam melakukan audit suatu perusahaan.

Berdasarkan penelitian COSO (1999) yang berjudul ―Fraudulent Financial

Reporting: 1987 – 1997, An Analysis of U.S. Public Company‖, bahwa dari hasil analisa

perusahaan yang listing di Securities Exchange Commission (SEC) selama periode Januari

1987 sampai dengan Desember 1997 (11 tahun) dapat disimpulkan: Teridentifikasi sejumlah

300 perusahaan yang terdapat fraudulent financial reporting yang memiliki karakteristik

yaitu memiliki permasalahan bidang keuangan (experiencing financial distress), lax oversight

dan terdapat fraud dengan jumah uang yang besar (Ongoing, large-dollar frauds).

3 Metode Penelitian

3.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah bersifat deskriptif kuantitatif. Dalam penelitian ini, metode

penelitian yang digunakan adalah metode survei, didasarkan pada pertimbangan bahwa

metode ini dianggap sangat relevan dengan materi penelitian, dan bisa mendapatkan data

yang objektif dalam rangka mengetahui dan memecahkan permasalahan yang ada.

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai

kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan

kemudian ditarik kesimpulan. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada

obyek/subyek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh

obyek atau subyek itu (Sugiyono, 2007: 55). Populasi yang akan di teliti adalah karyawan

yang bekerja pada PT.Bank Mandiri (Persero), Tbk.

Page 178: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

173

3.2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi. Bila

populasi besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi,

misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan

sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang disimpulkan akan diberlakukan untuk

populasi. Untuk itu, sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul bisa mewakili

(Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah karyawan PT. Bank

Mandiri (Persero), Tbk yaitu level manajemen tingkat menengah (middle) dan manajemen

atas (top) serta karyawan lain yang terlibat yang berjumlah 35 orang.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey

yaitu pengumpulan data primer yang diperoleh secara langsung dari sumber asli. Data primer

dikumpulkan melalui kuesioner ke PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk. Penggunaan angket

kuesioner merupakan suatu teknik pengumpulan data dan informasi dengan memakai daftar

pertanyaan yang diajukan kepada responden mengenai masalah yang akan diteliti.

3.4 Operasionalisasi Variabel

Variabel Indikator Skala

Pengendalian Internal (X1) 1. Lingkungan pengendalian

2. Penilaian resiko

3. Prosedur pengendalian

4. Pemantauan

5. Informasi dan komunikasi

Ordinal

Kompetensi Pegawai (X2) 1. Pengetahuan

2. Keahlian

Ordinal

Kecurangan/Fraud (Y) 1. Fraudulent Financial Reporting

2. Asset Misappropriation

Ordinal

Tabel 3.1 Operasionalisasi Variabel

X1

Pengendalian

Internal

X2

Kompetensi

Pegawai

Y

Pencegahan

Fraud

Bagan 3.1 Kerangka Pemikiran

3.5 Teknik Analisis Data

3.5.1 Uji Kualitas Data

Penelitian ini menggunakan instrumen yang telah digunakan oleh penelitian

sebelumnya, sehingga validitas dan realibilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun

demikian, tetap akan dilakukan pengujian ulang validitas dan reliabilitas instrumen tersebut.

3.5.1.1 Uji Validitas Data

Validitas menunjukkan seberapa jauh suatu tes dari operasi-operasi mengukur apa

yang seharusnya diukur. Sebuah pengukuran dikatakan valid jika dapat mengukur tujuannya

Page 179: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

174

dengan nyata atau benar (Jogiyanto, 2004: 120). Validitas berhubungan dengan ketepatan alat

ukur valid untuk melakukan tugasnya mencapai sasaran. Instrumen yang digunakan dalam

penelitian ini berbentuk kuesioner, sehingga pengujian validitas yang digunakan berupa

validitas isi (content validity). Pengujian validitas isi dapat dilakukan dengan

membandingkan antara isi instrumen dengan materi pelajaran yang telah diajarkan. Nilai

koefisien korelasi antara skor setiap item dengan skor total dihitung dengan korelasi product

moment (product moment pearson correlation).

3.5.1.2 Uji Reliabilitas Data

Pengujian ini bertujuan mengetahui sejauhmana hasil pengukuran konsisten jika

dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap pernyataan yang sama, menggunakan alat

ukur yang sama pula. Reliabilitas menunjukkan akurasi dan ketepatan dari pengukuran.

Besarnya tingkat reliabilitas ditunjukkan oleh nilai koefisien reliabilias (Jogiyanto, 2004). Uji

reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan teknik Cronbach Alpha (α), di mana suatu

instrumen dapat dikatakan handal (reliable), bila memiliki cronbach Alpha ≥ 0,6.

3.5.2 Uji Normalitas

Sebelum menentukan teknik analisis statistik, dilakukan uji normalitas. Uji normalitas

ditujukan untuk memeriksa keabsahan sampel yang diterapkan dalam teknik statistik

(Arikonto, 1997). Uji normalitas dilakukan untuk meyakinkan bahwa variabel yang

dibandingkan rata-ratanya mengikuti sebaran atau distribusi normal. Dalam penelitian ini,

teknik uji normalitas adalah one sampel kolmogorov smirnov test, yaitu pengujian dua sisi

yang dilakukan dengan membandingkan signifikansi hasil uji (p value) dengan taraf

signifikansi. Tujuan uji normalitas adalah untuk membuktikan bahwa (1) sampel telah

diambil secara proporsional dari populasinya; dan (2) variabel yang diteliti memenuhi kriteria

distibusi normal. Apabila hasil yang diperoleh lebih besar dari taraf signifikan, maka sebaran

data penelitian adalah normal. Perhitungan uji normalitas dalam penelitian ini menggunakan

aplikasi SPSS 20.0 for windows untuk pengujian terhadap data sampel tiap variabel.

3.5.3 Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik dilakukan untuk memenuhi asumsi regresi linear berganda yang

digunakan untuk menjawab hipotesis yang diajukan dalam penelitian. Tujuannya untuk

memperoleh hasil atau estimator linear tidak bias yang terbaik. Asumsi klasik tersebut yaitu:

a. Uji Multikolonieritas

Menyatakan hubungan antar sesama variabel independen (Santoso, 2000) menyatakan

bahwa deteksi adanya multikolinearitas dibagi menjadi 2 yaitu : (a) besaran VIF

(Variance Inflation Factor) dan tolerance. Pedoman suatu model regresi bebas

multikolineritas adalah mempunyai nilai VIP sekitar angka 1 dan mempunyai nilai

tolerans mendekati 1, serta (b) besaran korelasi antar variabel independen.

b. Uji Heterokedastisitas

Heterokedastisitas terjadi jika varian dari residual suatu pengamatan ke pengamatan lain

yang terjadi ketidaksamaan. Untuk mendeteksi Heterokedastisitas dapat melihat grafik

scatterplot. Deteksinya dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik dimana

sumbu X dan Y yang telah diprediksi dan sumbu Y (Santoso, 2000).

3.5.4 Uji hipotesis

Pengujian hipotesis digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh pengendalian

internal dan kompetensi pegawai terhadap pencegahan fraud.

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

1. Uji Signifikansi Parameter Individual ( Uji Statistik t)

Page 180: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

175

Uji diperlukan untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan dari masing-

masing variabel independen terhadap variabel dependen. Apabila sig t lebih besar dari

0,05 maka Ha ditolak. Demikian pula sebaliknya jika sig t lebih kecil dari 0,05 maka

Ha diterima, bila Ha diterima ini berarti ada hubungan yang signifikan antara variabel

independen terhadap variabel dependen (Ghozali, 2005).

2. Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)

Uji F bertujuan menguji keseluruhan variabel independen yaitu pengendalian internal

dan kompetensi pegawai, berpengaruh terhadap variabel dependen, pencegahan fraud.

4 Pembahasan

Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data primer yaitu dengan

mengirimkan 45 (empat puluh lima) buah kuesioner ke PT. Bank Mandiri, Tbk, dan

kuesioner yang kembali sebanyak 35 (tiga puluh lima) buah. Data variabel penelitian yang

terkumpul melalui kuesioner berskala ordinal. Pengolahan data dilakukan menggunakan

aplikasi SPSS 20.0 for windows untuk pengujian terhadap data sampel tiap variabel.

4.1 Uji Kualitas Data

4.1.1 Uji Validitas

Uji validitas dilakukan untuk mengukur pertanyan-pertanyaan yang ada dalam

kuesioner. Hasil pengujian validitas terhadap variabel pengendalian internal (Xl), Kompetensi

pegawai (X2) dan Pencegahan fraud (Y) menunjukkan bahwa semua pertanyaan valid.

Case Processing Summary

N %

Cases

Valid 35 100,0

Excludeda

0 ,0

Total 35 100,0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

4.1 Tabel hasil uji validitas

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa data atau case yang valid berjumlah 35

dengan presentase 100% dan tidak ada data yang dikeluarkan (exclude).

4.1.2 Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas ini dilakukan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang memiliki validitas,

untuk mengetahui apakah alat pengumpulan data tersebut menunjukkan tingkat ketepatan,

keakuratan, kestabilan atau konsistensi alat tersebut digunakan walaupun dalam waktu yang

berbeda. Pada tabel di bawah ini, menunjukkan hasil perhitungan koefisien reliabilitas

dengan menggunakan SPSS for Windows 20.

Variabel Jumlah

Pertanyaan

Cronbach

Alpha Keterangan

Pengendalian Internal 25 0,941 Reliabel

Kompetensi Pegawai 10 0,870 Reliabel

Pencegahan fraud 10 0,926 Reliabel

4. 2 Tabel hasil uji reliabilitas

Berdasarkan tabel di atas, diketahui nilai Cronbach Alpha adalah diatas 0,941, 0,870

dan 0,926. Menurut Sekaran (1992), reliabilitas kurang dari 0,6 adalah kurang baik

sedangkan 0,7 dapat diterima dan diatas 0,8 adalah baik.

Page 181: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

176

4.2 Uji Normalitas

Setelah dilakukan uji normalitas, maka dapat diketahui bahwa variabel pengendalian

internal (Xl), Kompetensi pegawai (X2) dan Pencegahan fraud (Y) yang dibandingkan rata-

ratanya mengikuti sebaran atau distribusi normal.

4.3 Uji Asumsi Klasik

4.3.1 Uji Multikolonieritas

Berdasarkan hasil uji Multikolonieritas yang tercantum dalam tabel dibawah ini,

terlihat bahwa nilai koefisien (r2) yang diperoleh seluruhnya bernilai lebih kecil dari nilai

koefisien determinasi (R2). Maka disimpulkan, tidak adanya multikolinearitas.

Model Summary

Model

R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 ,838a ,702 ,684 2,73903

a. Predictors: (Constant), X2, X1

Tabel 4.3 Hasil Uji Multikolinearitas

Kemudian dilakukan pengujian dengan melihat nilai tolerance dan inflation factor (VIF)

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients T Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant)

1,254 5,007 ,250 ,804

X1 ,212 ,067 ,457 3,156 ,003

X2 ,461 ,152 ,439 3,033 ,005

a. Dependent Variable: Y

Tabel 4.4 Hasil Uji Multikolinearitas

Dari hasil output dapat dilihat bahwa nilai tolerance kedua variabel lebih dari 0,1 dan

VIF kurang dari 10. Maka disimpulkan tidak terjadi multikolinearitas antar variabel bebas.

4.3.2 Uji Heterokedastisitas

Berdasarkan hasil uji heterokedastisitas yang tercantum dalam tabel dibawah ini,

dapat dilihat bahwa korelasi antara variabel X1 dan X2 dengan Unstandardized Residual

memiliki nilai yang signifikansi lebih besar daripada 0,05.

Correlations

X1 X2 Unstandardized Residual

Spearman's rho X1 Correlation Coefficient

1,000 ,748** ,057

Sig. (2-tailed) . ,000 ,745

N 35 35 35

X2 Correlation Coefficient

,748** 1,000 ,116

Sig. (2-tailed) ,000 . ,507

N 35 35 35

Unstandardized Residual

Correlation Coefficient

,057 ,116 1,000

Sig. (2-tailed) ,745 ,507 .

N 35 35 35

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Tabel 4.5 Hasil Uji Heterokedastisitas

Page 182: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

177

4.4 Uji Hipotesis

4.4.1 Hasil uji t

Berdasarkan hasil output uji t yang tercantum dalam tabel di bawah ini, dapat

diketahui bahwa Ho ditolak, karena nilai t hitung > t tabel (7,290 > 2,035) signifikansi < 0,05

(0,000 < 0,05), maka Ho ditolak. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengendalian internal

berpengaruh signifikan terhadap pencegahan fraud.

Coefficients

a

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant)

4,332 5,478 ,791 ,435

X1 ,364 ,050 ,785 7,290 ,000

a. Dependent Variable: Y

Tabel 4.6 Hasil uji t

Sedangkan berdasarkan hasil output uji t yang tercantum dalam tabel di bawah ini,

dapat diketahui bahwa Ho ditolak, karena nilai t hitung > t tabel (7,181 > 2,035) signifikansi

< 0,05 (0,000 < 0,05), maka Ho ditolak. Jadi dapat disimpulkan bahwa kompetensi pegawai

berpengaruh signifikan terhadap pencegahan fraud.

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant)

9,114 4,898 1,861 ,072

X2 ,820 ,114 ,781 7,181 ,000

a. Dependent Variable: Y

Tabel 4.7 Hasil uji t

4.4.2 Uji Simultan

Setelah dilakukan uji F pada tingkat signifikansi 0,05 untuk mengetahui apakah

terdapat pengaruh signifikan atau tidak antara variabel X1 dan X2 terhadap Y secara bersama

sama, maka diperoleh hasil sebagai berikut:

ANOVA

a

Model Sum of Squares

df Mean Square

F Sig.

1 Regression 566,669 2 283,334 37,766 ,000b

Residual 240,074 32 7,502 Total 806,743 34

a. Dependent Variable: Y

b. Predictors: (Constant), X2, X1

Tabel 4.7 Hasil uji F

Berdasarkan tabel di atas , dapat diketahui bahwa F Hitung > F tabel (37,766 > 4,149)

dan signifikansi kurang dari 0,05 (0,000 < 0,05) maka Ho ditolak. Jadi disimpulkan bahwa pengendalian internal dan kompetensi pegawai berpengaruh terhadap pencegahan fraud.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab

sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan pengendalian internal dan kompetensi pegawai

berpengaruh signifikan terhadap pencegahan fraud. Pengendalian internal dan kompetensi

pegawai berpengaruh signifikan terhadap pencegahan fraud dengan arah pengaruh yang

Page 183: PROCEEDINGS MIE 2013

Proceedings of Population and Human Resources Development, Vol. 2, April 2013

Magister Ilmu Ekonomi – Universitas Padjadjaran ISBN 978–602–9238–45–7

178

positif. Ini berarti bahwa fraud dapat dicegah dengan baik apabila pengendalian internal dan

kompetensi.

Agar pencegahan fraud di industri perbankan dapat berjalan efektif, maka pihak

manajemen dan seluruh karyawan perlu menjaga pengendalian internal, yang ruang

lingkupnya mencakup lingkungan pengendalian, penilaian resiko, aktivitas pengendalian,

Informasi dan komunikasi, monitoring serta kompetensi pegawai.

DAFTAR PUSTAKA

Arens, Alvin A., Randal J. Elder and Mark S. Beasley. 2006. Auditing and Assurance

Services: An Integrated Approach. 11th

. Prentice Education, Inc. New Jersey.

Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian. V. Penerbit Rineka. Cipta. Yogyakarta.

Effendi, Muh. Arif. 2006. Fraudulent Financial Reporting; Tanggung Jawab. Auditor

Independen. Ttp., Tt.

Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan program SPSS, Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, Semarang

Hair, J.F. et all, (1992). Multivariate Data Analysis with Readings, New York: Pearson

Hutapea, P. dan N.Toha. 2008. Kompetensi Plus Teori, Desain, dan Penerapan untuk HR dan

Organisasi yang Dinamis. Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama.

Jogiyanto, (2004), Metodologi Penelitian Bisnis, Yogyakarta: BPFE.

Joseph V., Carcello, and Albert L. Nagy, (2004). Client size, auditor specialization and

fraudulent financial reporting, Research paper.

Konrath, Laweey F. 2002. Auditing Concepts and Applications: A Risk-Analysis Approach

Approach. 5th

. West Publishing Company.

Moller, R dan Witt, H. (1999). Brink’s Modern Internal Auditing. New York: John Wlley and

Sons.

Ruslan. (2009). Internal Control Berbasis COSO. www.mediareformasi.com, artikel diakses

pada 23 Mei 2010.

Santoso, Singgih, 2000, Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik, PT Elex Media

Komputindo.

Sekaran, U. (2003). Research Method for Business: A Skill Building Approach. New York:

John Wiley & Sons Inc.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan

R&D). Bandung: Alfabeta.

Tuanakotta, T. M. (2007). Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Lembaga

Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPFE UI).

http://www.bisnis.com/fraud-perbankan-bri-bawa-kasus-emas-ke-polda diakses tanggal 20

April 2013

http://www.bisnis.com/korban-fraud-bpd-jateng-ajukan-kasasi-ke-ma diakses tanggal 20

April 2013

http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/03/22/2/140434/Fraud-Kartu-Debet-dan-

Kredit-Selama-2013-Rp75-Miliar diakses tanggal 21 April 2013.