Proceeding jilid 2

423

Transcript of Proceeding jilid 2

Page 1: Proceeding jilid 2
Page 2: Proceeding jilid 2

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. atas karunia-Nya, kami dapat menyusun Prosiding Seminar Internasional Pedagogis yang Ke-6 dengan tema “The Development of Pedagogical Education From the Perspective of the 21st Century and Cooperation Asean Educator Community”.

Proseding ini memuat 148 artikel yang dibentangkan selama tiga hari pelaksanaan seminar. Fokus kajian yang dibahas dalam proseding ini mencakup isu-isu yang berkembang dalam bidang pedagogik umum, etnopedagogi, pedagogik praktis, pedagogik kritis, pedagogik bahasa,dan pedagogik sosial.

Dalam penyusunan prosiding ini, tentu akan ditemukan beberapa kelemahan atau kekurangan mendasar. Untuk itu kami mohon maaf dan maklum dari sidang pembaca atas kekurangan kami ini. Mudah-mudahan kritik dan saran yang membangun dapat siding pembaca sampaikan kepada kami agar agar proseding ini dapat lebih bermanfaat bagi semua pihak.

Semoga tujuan penyusunan proseding ini, yakni pertukaran informasi pendidikan antarnegara serumpun, dapat mencapai sasarannya. Selain itu, semoga saja temuan pemikiran yang terdapat di dalam proseding ini dapat diimplementasikan secara praktis dalam setting kependidikan. Lebih jauh lagi semoga hasil seminar antarbangsa ini berkontribusi bagi kejayaan negara serumpun, khususnya dalam bidang pendidikan dan peradaban moderen.

Bandung, September 2015

Tim Editor

Page 3: Proceeding jilid 2

ii

Assalamualaikaum, Wr. Wb.

Syukur ke Hadirat Illahi karena perkenan-Nya kita dapat melaksanakna seminar antarabangsa ini yang tentunya dapat membawa pencerahan dan kebaikan bagi kita semua, khususnya bagi dunia pendidikan di kawasan serantau IMTGT (Indonesia, Malaysia, Thailand, Growth Triangle). Selamat dan terima kasih kepada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Institut Pendidikan Guru Kampus Khas Kuala Lumpur, USAID-Indonesia, para penyaji dan peserta dari dalam dan luar negeri yang telah menyukseskan seminar antarabangsa ini.

Seminar ini sangat penting, mengingat pendidikan berkualitas dan bertaraf dunia merupakan suatu keniscayaan dalam lanskap dunia yang telah mengglobal dan penuh tantangan. Semoga hal ini menggugah kita semua untuk lebih peduli dan berkomitmen pada pendidikan berkualitas untuk mempersiapkan generasi masa depan yang berakhlak mulia, cerdas, mandiri, kreatif, inovatif, demokratis sehingga dapat bersaing di era global.

Saya berharap seminar internasional tiga negara serumpun ini dapat mencapai tujuannya dan dapat memberikan informasi terkini tentang upaya dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan hasrat merealisasikan pendidikan unggul bertaraf dunia di masing-masing negara. Semoga lahir ide-ide bernas, komitmen tinggi untuk mengubah wajah dunia pendidikan kita ke arah yang lebih baik dan bermakna. Di samping itu terbangunnya jejaring akademik di peringkat nasional dan internasional yang berfokus pada pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat dalam rangka membangun komunitas serantau dan masyarakat ekonomi Asean (MEA) yang tangguh dan berjaya.

Sekian. Terima kasih.Wassalam,

Bandung, 15 September 2015Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan

Prof. Dr. Ahman, M.Pd

KATA SAMBUTANDEKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Page 4: Proceeding jilid 2

iii

Page 5: Proceeding jilid 2

iv

Assalamualaikaum, Wr. Wb.

Terlebih dulu saya sebagai ketua Departemen Pedagogik, Fakultas Ilmu Pendidikan-UPI menyampaikan rasa syukur yang tidak terhingga karena izin-Nya saya diberi peluang menyampaikan sepatah dua patah kata dalam proseding, “Seminar Serantau Pedagogik ke-6” ini.

Atas nama Civitas Academica Departemen Pedagogik, kami mengucapkan terima kasih dan selamat kepada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar yang telah berjaya menyelenggarakan seminar antarabangsa ini. Terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada para penyaji, para peserta baik dari dalam dan luar negeri atas kontribusinya bagi terselenggaranya seminar ini.

Semoga kegiatan ini akan memperkokoh kerja sama para pendidik, peneliti dan stakeholders di kawasan serantau secara lebih luas dan lebih mendalam dalam rangka membangun pendidikan yang berkualitas dan bermanfaat bagi semua. Amin.

Sekian. Terima kasih.Wassalam,

Bandung, 15 September 2015 Ketua Departemen PedagogikDr.

Babang Robandi, M.Pd.

KATA SAMBUTANKETUA DEPARTEMEN PEDAGOGIK-FIP

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Page 6: Proceeding jilid 2

v

Assalamualaikaum, Wr. Wb.

Mewakili semua dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, kami menyambut dengan senang hati atas terselenggaranya Seminar Internasional Pedagogik ke-6 ini dengan tema, “Pengembangan Pedagogik dari Prespektif Pendidikan Abad 21 dan Kerja Sama Komunitas Pendidik Serantau” yang disertai dengan penerbitan proceeding-nya. Mudah-mudahan seminar ini dapat turut mencerahi dunia pendidikan Indonesia juga mereka yang menjadi mitra seminar internasional ini.

Seminar sebagai sebuah representasi dari kehidupan universitas harus merupakan kegiatan rutin, baik yang sifat publish formally maupun yang sifatnya berlangsung secara informal di ruang-ruang diskusi maupun di kelas. Seminar adalah sebuah bagian dari aktivitas pencarian para ilmuan. Mudah-mudahan dengan terus meneliti, menulis, menerbitkan dan seminar, suatu hari diperoleh temuan-temuan saintifi k yang bermanfaat untuk kita semua.

Sekian. Terima kasih.Wassalam,

Bandung, 15 September 2015 Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Dr. Dharma Kesuma, M.Pd.

KATA SAMBUTANKETUA PRODI PGSD-FIP

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Page 7: Proceeding jilid 2

vi

Assalamualaikaum, Wr. Wb.

Syukur Alhamdulillah, bahwa Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Departemen Pedagogik Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia dapat menyelenggarakan Seminar Internasional PGSD Ke-6 dengan tema, “Pengembangan Pedagogik dari Perspektif Pendidikan Abad 21 dan Kerja Sama Komunitas Pendidik Serantau” bekerja sama dengan Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas Kuala Lumpur Malaysia.

Seminar Pedagogik Serantau ini merupakan acara tahunan yang diselenggarakan di UPI Bandung dan Perguruan Tinggi di Malaysia; bertujuan membangun budaya akademik di kalangan dosen/pensyarah, membangun jejaring kerja sama antarkomunitas pendidik, memfasilitasi ke arah kecemerlangan pendidikan taraf antarabangsa, dan lebih jauh berpartisifasi membangun tamadun yang lebih berjaya dan bermanfaat bagi semua pihak di kawasan serantau.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat: Bapak Rektor UPI, Dekan FIP UPI, Pengarah IPGIK-KL, USAID Indonesia, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, jajaran panitia, para penyaji dan peserta seminar dari Indonesia, Malaysia, dan Th ailand; atas partisipasi, bantuan serta dukungan yang tak terhingga sehingga seminar ini dapat terlaksana.

Akhir kata semoga seminar ini mencapai tujuannya, memberikan ruang serta jalan menyelesaikan bagi masalah pendidikan serta memberikan sumbangan keilmuan yang bermakna dan barokah bagi kemajuan pendidikan di Tanah Air dan Kawasan Serantau. Amin.

Wassalam,Ketua Panitia

Tatat Hartati, M.Ed, Ph.D.

KATA SAMBUTANKETUA PANITIA SEMINAR

Page 8: Proceeding jilid 2

vii

KATA PENGANTAR

Kata Pengantar Editor.....................................................................................................iKata Sambutan Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan.....................................................iiKata Sambutan Pengarah IPG Kuala Lumpur ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,iiiKata Sambutan Ketua Departemen Pedagogik FIP...................................................ivKata Sambutan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar............................vKata Sambutan Ketua Panitia......................................................................................vi

DAFTAR ISI

JILID IIETNO PEDAGOGIK

ETNOPEDAGOGI DALAM KONTEKS MANAJEMEN STRATEGIK ORGANISASI KEPENDIDIKAN MODERNLinda Setiawati (UPI Bandung)....... 425

PEDAGOGIK PRAKTIS

PENDIDIKAN ABAD KE 21: PENGINTEGRASIAN TERAPI MEDIA DALAM MEMBINA KEMAHIRAN BERFIKIR ARAS TINGGIAbd Razak bin Mohd Nawi (Institut Pendidikan Guru Malaysia,Cyberjaya).....431

KAEDAH PEMBELAJARAN DAN PENGAJARAN TOPIK FOTOGRAFI BAGI KURSUS TEKNOLOGI DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN:TINJAUAN DARI ASPEK MASALAH DAN CADANGAN PENAMBAHBAIKANAliza Adnan, Rosseni Din & Zahiah Binti Haris (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur, Malaysia & Universiti Kebangsaan Malaysia 43600 UKM Bangi)....... 439

PERANAN GURU DI SEKOLAH DASARAni Hendriani (UPI Bandung)....... 449

PEDAGOGIK PROFETIK ISLAM: SEBUAH WACANA PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS BIMBINGAN UNTUK MEMBANGUN KARAKTER ANAK SHOLEHArie Rakhmat Riyadi dan Juntika Nurihsan (UPI Bandung)....... 458

KEBERKESANAN PENGGUNAAN MONTAJ ANIMASI PERISIAN SKETCHUP TERHADAP PROSES PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN PELAJAR DIPLOMA

Page 9: Proceeding jilid 2

viii

PERANCANGAN BANDAR DAN WILAYAH, POLITEKNIK SULTAN ABDUL HALIM MU’ADZAM SHAH, JITRA, KEDAH, MALAYSIA.Azzatunisa binti Ahmad Zubir (Politeknik Sultan Abdul Halim Mu’adzam Shah)...........468

PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT PERSPEKTIF PEDAGOGIK AL GHAZALI DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARANBabang Robandi (UPI Bandung)....... 478

APLIKASI PETA PEMIKIRAN I-THINK DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN SEMASA PRAKTIKUM Chanthirasekar a/l Karpan & Ruslin Bin Ekon (Institut Pendidikan Guru Kampus Keningau, Sabah)....... 490

PENGARUH METODE LATIHAN DAN KOORDINASI TERHADAP KETERAMPILAN LOMPAT JANGKITEllen Bernadet Lomboan (Universitas Negeri Manado)....... 501

IDENTIFIKASI KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR PROGRAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA GEMPA BUMI TERINTEGRASI DALAM PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU DI SEKOLAH DASAR KOTA BENGKULUEndang Widi Winarni & Feri Noperman (Universitas Bengkulu)....... 508

MENUMBUHKAN GREEN BEHAVIOR PADA ANAK USIA DINI MELALUI PEMBELAJARAN PROYEKErnawulan Syaodih & Hany Handayani (UPI Bandung)...... 521

PENGEMBANGAN LKS PADA PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TEMA BERMAIN DENGAN BENDA-BENDA DI SEKITARGhullam Hamdu & Friska Risdiani (UPI Tasikmalaya)....... 529

APLIKASI PETA PEMIKIRAN I-THINK DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN LITERASI NOMBORHaslina binti Jaafar & Khalidah binti Othman (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 541

KEBERKESANAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KOPERATIF DALAM KALANGAN PRA-SISWA PENDIDIK DI INSTITUT PENDIDIKAN GURU KAMPUS PENDIDIKAN TEKNIKHaslinah Abdullah (Institut Pendidik Guru Kampus Pendidikan Teknik, Negeri Sembilan)....... 547

IMPLEMENTASI SCIENTIFIC APROACH DALAM RPP KELAS 4 SD PERCOBAAN

Page 10: Proceeding jilid 2

ix

DI KABUPATEN MAGETAN PADA KURIKULUM 2013 TAHUN AKADEMIK 2014/2015Ibadullah Malawi, Dewi Tryanasari, & Edy Riyanto (IKIP PGRI Madiun)... 556

KEMAHIRAN MENAAKUL DALAM PENULISAN REFLEKSI PENGAJARAN PELAJAR PRAKTIKUMIdrus Saaidy bin Maarof & Badrul Hisham bin Mokhtar (Institut Pendidikan Guru Kampus Tawau, Sabah)....... 564

PENGGUNAAN SOALAN HOTS DALAM KALANGAN PENSYARAH Ismail Hj Raduan & Ramesh Rao (IPGKIK Kuala Lumpur)...... 571

INOVASI DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARANJanain Burut & Ramlee Mustapha (Universiti Pendidikan Sultan Idris,Tanjung Malim, Perak)....... 579

APLIKASI TEORI ‘WHOLE BRAIN’ DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN SAINS : SATU KAJIAN KESKartini Abdul Mutalib & Ahamad Shabudin Yahaya (Institut Pendidikan Guru Kampus Pendidikan Teknik, Enstek Negeri Sembilan)....... 585

TEACHER TALK: INFUSING HUMOUR IN THE CLASSROOMKuruvilla C.K. Joseph1 & Ramesh Rao Ramanaidu (IPGKIK, Kuala Lumpur)....... 596

DARI TEORI KE PRAKTIKAL : SATU PENGENALAN KONSEPTUAL MODEL REGGIO EMILIA DALAM PENDIDIKAN AWAL KANAK-KANAKLatifah Binti Monnas (Institut Pendidikan Guru Kampus Tawau, Sabah)..... 605

REKABENTUK PEMBELAJARAN AUTHENTIK MENGGUNAKAN OVT (DESIGNING OF AUTHENTIC LEARNING USING OVT)Mahamsiatus Kamaruddin, Faridah Hanim Yahya, Hafi za Abas, & Kamarudin Suib (Institut Pendidik Guru Kampus Pendidikan Teknik Enstek, Negeri Sembilan)....... 612

INOVASI PENATARAN MAKLUMAT SECARA EMEL BERKUMPULAN: SATU KAJIAN KES DI IPG KAMPUS PENDIDIKAN TEKNIKMohamed Nazul Ismail, Kamsiah binti Ab Rashid, Muaaz Muhammad, Normala Mohd,& Sabariah Ismail (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 619

U-LEARNING ENABLED NEAR FIELD COMMUNICATION (NFC) TECHNOLOGY & TOUCHING LEARNING ENVIRONMENTS.M.Nadarajan s/o Manickam A. Santha d/o Arumugam (Institut Pendidikan Guru Kampus Keningau, Beg Berkunci No 11, 89009 Keningau, Sabah)....... 625

Page 11: Proceeding jilid 2

x

PENGARUH PEMBELAJARAN BERASASKAN INKUIRI TERHADAP PENCAPAIAN TIMMS DALAM PERSEKITARAN PEMBELAJARAN ABAD KE-21Naquiah Binti Safi an (SMK Engku Husain Lengkap)....... 631

TAHAP KEMAHIRAN INTERPERSONAL DAN KEMAHIRAN TEKNIKAL DALAM KALANGAN GURU PEMBIMBINGNorlela bt. Ali, Firdaus bt.Abd Fatah,& Mohd Munaim bin Mahmud (IPGKIK Kuala Lumpur & Sekolah Kebangsaan Taman Nirwana, Selangor)....... 639

LINKING THEORY TO PRACTICE: A PRELIMINARY EXPLORATIONRamesh Rao Ramanaidu & Kuruvilla C.K. Joseph (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 647

PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN ASAS GRAFIK MELALUI WEBLOGS Rosnah binti Ahmad Zain (IPG Kampus Pendidikan Islam, Bangi Selangor)....... 655

AMALAN GURU-GURU PENDIDIKAN ISLAM DALAM PENGAJARAN AYAT KEFAHAMANRozita Md.Noh, Zaradi Sudin, Prof. Madya & Mohd. Aderi Che Noh (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur, & Universiti Kebangsaan Malaysia)....... 663

KUNJUNGAN KELAS UNTUK PERBAIKAN PEMBELAJARANRuswandi Hermawan (UPI Bandung)....... 675

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK TEMATIK DI SEKOLAH DASARSandi Budi Iriawan (UPI Bandung)....... 681

PEMIKIRAN REFLEKTIF DALAM KALANGAN SISWA PENDIDIKShamsiah Md Nasir & Nil Farakh Sulaiman (Institut Pendidik Guru Kampus Pendidikan Teknik, Negeri Sembilan).......697

LITERASI ICT DALAM KALANGAN GURU PENDIDIKAN ISLAM DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN SEKOLAH-SEKOLAH RENDAH Shukri bin Zain & Mohd Adli bin Abdullah (Universiti Malaysia Sabah)..... 707

EXPLORING ACADEMIC ACHIEVEMENT OF PRE-SERVICE TEACHERS THROUGH BLENDED LEARNINGSuci Utami Putri (UPI Kampus Purwakarta)....... 719

AMALAN PEDAGOGI SISWA GURU SEMASA PRAKTIKUM FASA II, 2014

Page 12: Proceeding jilid 2

xi

Syed Ismail Syed Mustapa, Noor Fitriyati Abd. Samad, & Ahmad Subki Miskon (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 726

BUILDING AUTHORITY IN LEARNINGPupun Nuryani (UPI Bandung)....... 746

PERENCANAAN MUTU SEKOLAH DASAR (REKAYASA ULANG MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH)Zoya Febrina Sumampow (UNIMA Manado)....... 754

PEDAGOGIK KRITIS

PEDAGOGI PERSEKOLAHAN INDONESIADharma Kesuma (UPI Bandung)....... 762

SOS! WHY DO WE NEED TO STUDY LITERATURE, MADAM?Nil Farakh Sulaiman (Institut Pendidik Guru Kampus Pendidikan Teknik, Kompleks Pendidikan Nilai, 71760 Bandar Enstek, Negeri Sembilan)....... 766

ANALISIS TAKSONOMI BLOOM DALAM PENILAIAN VOKASIONAL: CADANGAN SATU TAKSONOMI BARUNorhazizi Lebai Long & Ramlee Mustapha (Fakulti Pendidikan Teknikal Dan Vokasional Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjong Malim, Perak)...... 777

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AMALAN KITAR SEMULA DALAM KALANGAN PELAJAR SEKOLAH MENENGAH DI MAJLIS PERBANDARAN AMPANG JAYAPn. Kalsom Binti Badrus, Pn. Chin Yoon Poh, En. Mohd. Aqsa Bin Hj. Hussin,& Pn. Siti Salmiah Binti Mohd. Alias (Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur)....... 785

ANALISIS KECURANGAN AKADEMIK DALAM KALANGAN GURU PELATIH PERGURUAN DI MALAYSIA.Ramlan Bin Mustapha, Che Lah Bin Che Mamat, & Fauzi Bin Hassan (IPG Kampus Tengku Ampuan Afzan, Kuala Lipis Pahang)....... 800

REFORMASI PENGEMBANGAN GURUSri Aryani (STKIP PGRI Sukabumi)....... 815

BUKU TEKS SEBAGAI BAHAN AJAR YANG BERWAWASAN GENDERSri Astuti (UHAMKA Jakarta)....... 824

Page 13: Proceeding jilid 2

xii

REVITALISASI TRIPUSAT PENDIDIKAN DARI KI HADJAR DEWANTARA DALAM RANGKA MEMBANGUN KARAKTER BANGSATatang Syaripudin (UPI Bandung)

PETA KE ARAH KEJAYAAN DALAM PENGAJIAN PERNIAGAANChiew Wye Mei & Lim Zek Chew .......829

Page 14: Proceeding jilid 2

425

ETNOPEDAGOGI DALAM KONTEKS MANAJEMEN STRATEGIK ORGANISASI KEPENDIDIKAN MODERN

Linda Setiawati Universitas Pendidikan Indonesia

E-mail: [email protected].

Abstract Ethnopedagogy is an education study and education practice that concerned with natural superiority value which is played by human. But sometimes in its implementation is often appeared contradictive with the existed phenomenon. For example, in the implementation of natural role and the function of management that is done by individual in an educational organization, recently it is still fueled by engineer. Whereas all of organization with its strategic is surely try to rise even develop self character each other that is surely want to join on the concrete of rank level, factual, and natural, also not contain much of side engineer that inflict achievement of vision and mission. Through this simple paper, the writer tried to analyze based on character and ethnopedagogy in an educational organization based on strategic management which is natural. Keywords: Ethnopedagogy, Strategic management, Modern educational. PENDAHULUAN

Berbicara etnopedagogi pada dasarnya tidak akan terlepas dari proses bagaimana seorang pendidik mampu mengelola peran dirinya dalam mendidik orang lain. Dengan demikian dalam analisis fungsi etnopedagogi diperlukan suatu kemampuan individu pendidik yang melaksanakannya secara matang. Artinya bahwa dalam mendidik diperlukan suatu kepribadian yang matang. Jadi kematangan ini tidak bisa tumbuh dengan sendirinya melainkan harus dilatih dan dibentuk. Sebagai contoh ketika seseorang ingin menjadi guru, maka ia tidak bisa mengandalkan keturunan dari orang tuanya yang berprofesi sebagai guru, demikian juga tidak bisa mengandalkan hanya dari hasil membaca buku bagaimana menjadi guru yang baik. Namun untuk memperoleh nilai-nilai kematangan yang dimaksud maka seseorang harus mengikuti tahapan pendidikan yang mengedepankan fungsi naluri, alamiah, interaksi, penempaan dalam bentuk lingkungan sekitar yang mendukung baik formal, informal, maupun nonformal.

Dari sejumlah fungsi-fungsi di atas maka ada nilai-nilai budaya yang sudah biasa dan tumbuh berkembang di lingkungan alam dimana individu yang berusaha menjadi pihak pendewasa, pendidik, guru, pamong, tutor akan merasakannya dan membutuhkannya. Maka nilai-nilai tersebut cukup memberikan penyadaran bahwa dalam menerapkan ilmu mendidik tidak bisa sederhana, namun banyak variabel yang terikat di dalamnya. Dari analisis ini maka munculkan konsep “etno” yang berarti kembali ke alam, dan disandingkan dengan ‘pedagogi” atau ilmu mendidik.

Maka makna dari etnopedagogi sebenarnya berusaha meneguhkan tentang

konsep yang dikemukakan oleh J. Longeveld (et.all), yang menyatakan bahwa

Page 15: Proceeding jilid 2

426

pedagogi berarti ilmu mendidik yang dikaji dan dianalisis serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan peserta didik yang berada di lingkungan tertentu dengan karakter yang khas yang mampu diformulasikan oleh para pendidiknya menjadi bahan untuk melaksanakan proses pendidikan itu sendiri, apakah transfer knowledge, Sikap, keterampilan, karakter, kompetensi, maupun kepribadian secara simultan dan terus menerus.

Jika dianalisis lebih jauh lagi dengan menggunakan perspektif manajemen, maka terdapat suatu peluang dalam mengembangkan trend Etnopedagogi untuk memenuhi pembentukan individu para pendidik yang mampu mengelola peluang dan perannya dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik. Sebagai contoh ketika seseorang berprofesi sebagai pendidik, lantas ia juga memperoleh tugas tambahan sebagai pejabat struktural, maka ia harus mampu menerapkan nilai-nilai ke “etno” annya berdasarkan dukungan lingkungan alamiah yang ada disekitarnya. Dimana lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan organisasi ataupun lingkungan orang yang dipimpinnya.

Jika kemampuan dalam mengelola lingkungan organisasi dimana seorang pendidik itu berada dan ternyata tidak mampu mengendalikannya, maka ia akan tergelincir dalam ketidakberdayaan dan akhirnya ia tidak mampu untuk melaksanakan prinsip etnopedagogi dalam konteks manajemen pendidikan. Fenomena kegagalan dalam menegaskan konsep dan penerapan “Etnopedagogi” jika dikaitkan dengan perspektif manajemen ini banyak sekali yang tidak berhasil. Dari analisis ini maka penulis berupaya untuk menganalisisnya lebih mendalam, sehingga mampu dihasilkan suatu pendekatan baru dan pendefinisian tentang etnopedagogi dari perspektif manajemen pendidikan. ANALISIS TERKINI ETNOPEDAGOGI

Aplikasi Etnopedagogi Dalam Manajemen Pendidikan Dalam kajian etnopedagogi sudah pasti ada suatu analisis terhadap budaya

lokal, namun demikian budaya lokal yang dimaksud bukan berarti budaya lokal yang tradisional yang hanya hidup di masyarakat terpencil, dipedesaan, dan bahkan hidup di alam bebas, namun budaya lokal yang menjadi pemicu konsep Keetnoan ini bisa saja budaya organisasi. Budaya organisasi yang berkembang dengan sendirinya namun dikontrol oleh individu yang memerankannya maka jika dioptimalkan dalam kajian etnopedagogi akan lebih strategis. Kenapa demikian mengingat dalam upaya pemberdayaan kemampuan alami itu diperlukan suatu pengelolaan lingkungan atau mengelola organisasi dimana nilai-nilai keetnoannya tumbuh dan berkembang. Namun dalam perkembangannya masih harus terus memegang aspek moral yang berlaku , seperti yang dijelaskan oleh Juriah, Nurul (2014), sebagai

Model Orientation (the rationale and development of a model) and Component Model (syntax learning).

Jika seorang pemimpin ataupun yang dipimpin dalam sebuah organisasi kelembagaan yang berkembang sesuai dengan kondisi kompetitif tertentu, maka keaslian etno dalam memberlajarkan mereka untuk mampu tetap survive dalam melaksanakan fungsi-fungsi keorganisasiannya. Terlebih jika organisasi tersebut bergerak dalam bidang pendidikan. Dengan demikian aspek manajemen pendidikan akan menjadi sasaran etnopedagogi yang menantang.

Page 16: Proceeding jilid 2

427

Dari kondisi di atas jika kita mau bersinergis antara tugas sebagai pendidik dengan tuntutan tugas keetno-an yang dewasa ini akan dipengaruhi oleh kondisi alamiah organisasi dimana kita bertugas. Sebagaimana kita analisis bahwa ciri kearfian lokal yang harus dijadikan landasan melakukan implementasi dari etnografi dalam konteks Manajemen Pendidikan, diantaranya berbasis kepada kearifan lokal dimana ciri kearifan local adalah: (1) berdasarkan pengalaman (2) teruji setelah digunakan berabad-abad (3) dapat diadaptasi dengan kultur kini (4) padu dalam praktik keseharian masyarakat dan lembaga (5) lazim dilakukan oleh individu atau masyarakat secara keseluruhan (6) bersifat dinamis dan terus berubah (7) sangat terkait dengan sistem kepercayaan (Alwasilah, A. Chaidar, 2006, Tujuh ayat etnopedagogi, htt://beta.pikran-rakyat.com, 21 Juli 2006 azwirdafrist , 2008).

Manajemen Strategis Untuk Etnopedaogi Analisis sebaliknya dari fenomena di atas, menunjukkan bahwa manajemen

strategis pada dasaranya pasti ada dalam setiap individu pendidik, dimanapun ia bertugas sebagai pendidik. Sebagaimana penulis kutip pendapat dari Alwasilah (2012:13), bahwa dalam kajian etnopedagogi ada salah satu rekomendasi mengenai aspek” Sinergi antara pemerintah daerah, PT dan pelaku kebudayaan untuk mengembangkan potensi akademik dan pedagogik”. Dalam kajian manajemen strategik yang dapat dilaksanakan oleh seorang pendidikan, maka salah satu kunci keberhasilannya dapat kembali kepada

Dari penerapan manajemen strategik ini maka visi dari pendidikan masa depan sebagaimana dikemukakan oleh Morin (1999), bahwa ada 7 materi yang mendukung visi pendidikan masa depan, yaitu mencakup: (1) mendeteksi kekeliruan ilusi; (2) prinsip keterkaitan pengetahuan; (3) mengajarkan kondisi menusiawi; (4)Jati diri Bumi; (5) menghadapai ketidakpastian; (6) memahami satu sama lain; (7) etika manusia. Dari analisis visi tersebut maka visi sebuah organiasai yang bergerak dalam bidang pendidikan harus mampu mendefinisikan peluang-peluang adanya nilai etno pada setiap kajiannya sebagaimana pada kajian yang berhubungan dengan upaya mendeteksi kekeliruan yang terjadi dan berusaha membawanya ke dalam kondisi yang alamiah. Berikut tinjauan masing-masing analisis visi pendidikan masa depan berdasrkan perspektif manajemen strategik etnopedagogi, yaitu: 1. Medeteksi kekeliruan; Dalam sebuah organisasi pendidikan, maka kealamihan sebagai salah satu nilai etnopedagogi biasanya banyak sekali ditemukan kekeliruan yang kurang bisa diterima oleh pihak luar diri individu yang berada dalam organisasi yang dimaksud. 2. Keterkaitan Pengetahuan; Keterkaitaan pengetahuan, biasanya secara alamiah akan menjadi tantangan tersendiri, dan menjadi target mutu organisasi pendidikan yang dimaksud. Kealamiahan individu manusia selaku pemeran dalam organisasi pendidikan, maka strategi yang tepat dalam menyebarluaskan pengetahuan yang ia miliki akan berhadapan dengan budaya organisasi dan kebiasaan para anggota organisasi yang berada di dalamnya. Dalam konteks ini sebuah manajemen yang mampu memfungsikan dan mengoptimalkan kinerjanya secara alami, maka ia

Page 17: Proceeding jilid 2

428

akan menjadi lebih berhasil dalam implementasi keetnograpiannya yang sekaligus akan sukses pula keetnopedagogikannya. 3. Mengajarkan kondisi manusiawi. Dalam sebuah organisasi kependidikan, khususnya dalam upaya mengajak, memberdayakan dan menghimbau agar semua sejawat ataupun atasan dan bawahan merasa nyaman ketika melaksanakan tugasnya masing-masing. Dengan kembali ke kondisi alamiah apa adanya yang dimiliki oleh sebuah organisasi pendidikan maka nuansa Etnopedagogi dapat dengan mudah bisa diwujudkan. Kondisi seperti inilah pada dasarnya dapat dipandang sebagai upaya strategik dalam mengenalkan atau menyadarkan kembali kepada semua pengelola orgnisasi untuk dapat melaksanakan fungsi-fungsi manajemennya yang lebih menghargai nilai-nilai kemanusiawiannya. 4. Jati diri Bumi; Sebenarnya yang dimaksud dengan jati diri bumi, dapat dikategorikan menjadi jati diri kepribadian bangsa Indonesia, dimana sudah pasti lembaga pendidikan dengan penerapan manajemen strategisnya sudah pasti memiliki karakter “bumi sendiri” dimana tempat berpijak dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajemennya selama ini. Bumi merupakan alamiah adanya, dan manusia serta organisasi yang ada di dalamnya hanya dapat menikmati dan menempatkan dirinya dalam setiap kegiatan manajemennya. Melalui analisis etnopedagogi ini, maka semua pendekatan yang menuntut adanya upaya kembali ke alam dapat dengan mudah akan terbentuk oleh individu yang bersangkutan. 5. Menghadapi ketidakpastian; Dalam dunia organisasi kelembagaan pendidikan, maka sudah tidak bisa menghindari kondisi kompetitif yang terjadi baik yang diciptakan maupun yang memang menimpa secara alami kepada lingkungan organisasi yang dimaksud. Sebagaimana penulis yang selama ini melakukan analisis terhadap fungsi-fungsi manajemen maka dapat menganalsis lebih dalam mengenai sejumlah kondisi yang kurang menguntungkan. Jika dituntut untuk mampu memenuhi target fungsi manajemen dari organisasi yang dipimpinnya maka tiada lagi kata kunci yang harus diamalkannya, yaitu mampu memberikan solusi atas ketidakpastian yang terjadi selama ini. Salah satu jawabannya atas ketidakpastian di lingkungan organisasinya dapat diwujudkan dalam bentuk etnopedagogi manajemen strategik. 6. Memahami satu sama lain; Memahami satu sama lain merupakan kondisi alamiah yang dimiliki oleh semua individu dalam suatu manajemen organisasi kependidikan. Antara pimpinan dengan bawahan begitu juga sebaliknya, maka akan dihadapkan pada kondisi dimana kedua belah pihak harus mampu seirama dalam melaksanakan tugas dan harmonis dalam menempatkan dirinya dalam kurun waktu yang cukup lama. Maka esensial dari etnopedagogi yang dapat dilakukan dalam organisasi dengan penerapan manajemen strategis ini adalah berusaha semua pihak mengenal, memahami, dan memberikan solusi dalam setiap tugas-tugas individunya agar

Page 18: Proceeding jilid 2

429

mereka mampu memperoleh kajian yang lebih mawas diri dan saling mendorong satu sama lain sehingga bisa maju dan berkembang bersama. 7. Etika manusia Manusia sebagai pimpinan mampu memimpin organisasi kependidikannya, maka ia secara alamiah akan mampu juga menerapkan etika dan sekaligus norma secara alami. Kondisi ini akan berbeda dengan mahluk lainnya, bahkan jika individu manusia memiliki peran tertentu dalam organisasi kependidikan, maka ia akan secara sadar ataupun tidak sadar terus berusaha untuk kembali kepada kodratnya, yang terus berusaha untuk menunjukkan kemampuannya, kompetensinya sehingga organisasinya bisa berkembang dengan baik. Inilah karakter yang dapat dengan tegas ditunjukkan oleh individu yang dimaksud sebagai perwujudan dari manajemen strategik dalam penerapan etnopedagogi.

Dari telaah ciri kealamiahan dari kajian filosofis tentang etnopedagogi dalam konteks manajemen strategik, maka implementasinya tidak akan lepas dari nilai-nilai kealamiahan yang tumbuh dan berkembang di lingkungan organisasi kependidikan itu sendiri. Adapun manajemen strategis yang diberlakukan oleh semua unit, pimpinan dan bawahan akan banyak mempengaruhi perilaku-perilaku kealamiahan (etno) sesuai dengan karakter organisasinya.

SIMPULAN Etnopedagogi dalam konteks manajemen strategis untuk suatu organisasi kependidikan yang modern akan terus dituntut dalam rangka mewujudkan keajegan nilai-nilai dari kealamiahannya masing-masing. Artinya bahwa setiap organisasi kependidikan yang menuntut penerapan dari etnograpi akan lebih mudah dilihat, diraskan dan bahkan dikembangkan oleh individu sesuai perannya dalam organisasi kependidikan melalui fungsi dan perannya secara alamiah.

Namun demikian ada suatu tantangan dari para pemeran fungsi manajerial sebuah organisasi kependidikan, ketika harus secara utuh mampu menerapkan nilai-nilai etnopedagogi sehingga organisasinya mampu berkembang secara alami, yaitu mengenai upaya merefleksikan kembali makna dari etnopedagogi yang mungkin akan bergeser menjadi etnografi, dan bahkan etnomanagerial. Dimana ketiganya akan saling bersinggungan takkala diperankan oleh individu anggota atau pemeran organisasi kependidikan yang dimaksud. Lebih lanjut jika analisis dilakukan maka akan memberikan peluang kepada reposisi nilai-nilai etnopedagogi diantara setiap fungsi manajemen secara strategik dan efesien yang biasanya sama-sama mampu diperankan oleh semua fungsi manajemen yang ada.

DAFTAR RUJUKAN Alwasilah, A. C. (2006). Tujuh ayat etnopedagogi. http://beta.pikran-rakyat.com.

(21 Juli 2006 azwirdafrist , 2008). Malihah, E. tersedia di :

http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/196604251992032-ELLY_MALIHAH/ETNOPEDAGOGI_%28Final_Version%29.pdf. (Diakses tahun 2015).

Morin, E. (1999). Seven complex Elsson in Education for future. New York: Unesco Publishing.

Page 19: Proceeding jilid 2

430

Zuriah, N. (2014). Analisis Teoritik tentang Etnopedagogi Pendidikan Kewarganegaraan. (Sumber: http://sosiohumanika-jpssk.com/analisis-teoritik-tentang-etnopedagogi-pendidikan-kewarganegaraan/).

Page 20: Proceeding jilid 2

431

PENDIDIKAN ABAD KE 21 : PENGINTEGRASIAN TERAPI MEDIA DALAM MEMBINA KEMAHIRAN BERFIKIR ARAS TINGGI

Abd Razak bin Mohd Nawi

Institut Pendidikan Guru Malaysia,Cyberjaya E-mail: [email protected]

Abstrak Pendidikan adalah nadi pembangunan sesuatu bangsa dan negara. Tanpa sistem pendidikan yang terancang dan berkembang sejajar dengan keperluan dan perkembangan zaman, maka bolehlah dianggap bangsa atau negara tersebut telah gagal dalam melaksanakan tanggungjawabnya memartabatkan sesuatu bangsa atau negara. Peranan sistem pendidikan khusus di abad ke-21 adalah sangat penting dalam pembangunan sesebuah negara. Pendidikan yang berkualiti dan cemerlang merupakan wahana usaha membangunkan generasi alaf baru. Sistem pendidikan negara memerlukan usaha-usaha yang strategik yang boleh meningkatkan keupayaan dan kemampuan amalannya ke tahap kualiti yang tingggi dan cemerlang agar dapat menangani cabaran-cabaran abad ke-21. Selanjutnya dunia era globalisasi kini memperlihatkan perkembangan ilmu yang sangat pantas. Kemajuan dalam teknologi maklumat memberi kesan secara langsung atau tidak langsung dalam kehidupan dan sistem pendidikan. Perubahan demi perubahan yang berlaku itu turut membawa bersama isu dan cabaran dalam sistem pendidikan kita. Kemahiran berfikir aras tinggi merupakan satu elemen yang penting terkandung dalam pendidikan abad ke 21. Setiap murid perlu menguasainya dan faham dalam mengaplikasikannya mengikut masa dan keperluan. Untuk memastikan setiap murid mampu menguasai sekurang-kurangnya aras analisis dan sintesis, strategi pengajaran dan pendekatan terapi digunakan dalam membantu murid membina keyakinan diri dan melatih pemikiran yang lebih rasional serta dapat melihat semua aspek penyelesaian secara total. Kajian ini menggunakan kaedah Kuasi Eksperimental dan penyelidikan ini bertujuan untuk mengenal pasti keberkesanan pendekatan Terapi Media bagi meningkatkan kemahiran berfikir aras tinggi (KBAT) dikalangan murid sekolah rendah tahun 4. Terapi Media yang dimaksudkan dalam penyelidikan ini adalah kombinasi daripada tiga media utama, iaitu (1) pengunaan video (mengandungi unsur kecindanan atau lawak jenaka) (2) penggunaan Grafik Statik yang menarik; dan (3) penggunaan musik audio. Subjek kajian terdiri daripada 50 orang murid sekolah rendah tahun 4 yang dibahagikan kepada dua kumpulan, iaitu (a) kumpulan terapi dan (b) kumpulan kawalan. Instrumen pengumpulan data mencakupi ujian pra dan pasca, soalselidik dan temu bual. Hasil dapatan kajian menunjukkan bahawa terdapat peningkatan keputusan min skor yang signifikan dalam menyelesaikan soalan KBAT setelah terapi media diperkenalkan kepada kumpulan terapi berbanding pengajaran tanpa terapi media. Disamping itu hasil soalselidik dan temu bual juga menunjukkan murid –murid di dalam kumpulan terapi lebih seronok belajar dan aktif terlibat dalam aktiviti pembelajaran yang dilaksanakan guru. Mereka menunjukkan minat yang sangat positif dalam setiap sesi pembelajaran. Rumusannya boleh dinyatakan bahawa melalui terapi media

Page 21: Proceeding jilid 2

432

murid – murid dapat menguasai KBAT secara semulajadi dan tanpa paksaan serta yang lebih menarik, mereka seronok dalam proses pembelajaran. Kata kunci: terapi, pendidikan abad ke 21, KBAT, globalisasi, cabaran abad

ke-21

PENDAHULUAN

Kekuatan dan kemajuan sesebuah negara adalah terletak kepada tahap ilmu dan kemahiran yang dikuasai oleh rakyat negara tersebut. Oleh itu, sistem pendidikan diberi mandat yang besar untuk menyampaikan ilmu dan kemahiran kepada rakyatnya. Sehubungan dengan itu Malaysia telah mengalami tranformasi dalam bidang pendidikan. Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia 2013-2025 menekankan kepada konsep kemahiran berfikir aras tinggi (KBAT) untuk melahirkan murid yang dapat berdaya saing dalam abad ke 21.

Kemahiran Berfikir Aras Tinggi (KBAT) ialah keupayaan untuk mengaplikasikan pengetahuan, kemahiran dan nilai dalam membuat penaakulan dan refleksi bagi menyelesaikan masalah, membuat keputusan, berinovasi dan berupaya mencipta sesuatu (Lembaga Peperiksaan Malaysia 2013). Ini bermakna KBAT memerlukan proses kemahiran berfikir secara intelek dengan pemikiran yang meluas serta mendalam sama ada mencari makna dan pemahaman terhadap sesuatu, membuat pertimbangan dan keputusan atau menyelesaikan masalah.

Masyarakat berfikir ialah masyarakat yang berwibawa, produktif, optimistik kepada perubahan, berfikiran jauh, bersifat futuristik, dapat mempengaruhi proses membuat keputusan, mempunyai idealisme dan cita rasa yang tinggi, mempunyai nilai intelektual dan moral yang unggul, bersifat demokratik dan dapat membina dan mempertahankan nilai-nilai hidup yang menjamin kesejahteraan dan kebajikan ahli masyarakat. Bagi mencapai hasrat Wawasan 2020 dan Wawasan Pendidikan maka sistem pendidikan diharapkan memainkan peranan utama untuk menghasilkan rakyat yang bukan sahaja berpengetahuan dan berketerampilan tetapi juga boleh berfikir secara kritis dan kreatif, serta boleh membuat keputusan dan menyelesaikan masalah dengan cekap dan bijak. Kebolehan berfikir dengan berkesan sangat penting dalam dunia yang semakin kompleks dan canggih. Menghadapi cabaran-cabaran kehidupan seharian tidak hanya memerlukan pengetahuan yang cukup tetapi juga kemahiran mengaplikasikan pengetahuan itu dalam pelbagai situasi. Perkembangan seimbang seorang murid penting bagi melahirkan generasi yang dapat menyesuaikan diri dengan cabaran-cabaran dunia yang kian kompleks.

Sehubungan itu, pelbagai dasar dan pembaharuan pendidikan dilaksanakan kerajaan bertujuan memantapkan proses pembelajaran dan pengajaran di sekolah. Matlamat akhirnya sudah tentu untuk menghasilkan anak didik yang mampu memberi sumbangan kepada agama, bangsa dan negara. Antara cabaran terbesar dihadapi oleh guru pada abad ke-21 ialah perkembangan teknologi maklumat dan komunikasi. Tidak dinafikan perkembangan semasa memberi kesan kepada proses sahsiah, terutama murid. Bagi melahirkan murid yang

Page 22: Proceeding jilid 2

433

memenuhi hasrat visi dan misi negara, maka para pendidik dan guru-guru pelatih perlulah dilengkapkan dengan pelbagai ilmu pembelajaran abad ke-21. Antara ciri-cirinya adalah guru tersebut perlu menguasai subjek (kandungan kurikulum), mahir dan berketrampilan dalam pedagogi (pengajaran dan pembelajaran). Selain itu, guru itu juga perlu memahami perkembangan murid-murid dan menyayangi mereka. Para guru juga perlu memahami psikologi pembelajaran (cognitive psychology) serta memiliki kemahiran kaunseling.

Rajendran (2014) menyatakan KBAT merupakan aras yang paling tinggi dalam hieraki proses kognitif. Ini berlaku apabila seseorang mendapat maklumat baharu, menyimpan dan memeri, menyusun, serta mengaitkannya dengan pengetahuan sedia ada dan akan memanjangkan maklumat itu untuk mencapai sesuatu tujuan atau penyelesaian situasi yang rumit. Menurut Bereiter dan Scardamalia (1987), murid perlu dilatih mengambil bahagian dalam menentukan objektif, mewujudkan wacana, menentukan tindakan motivasi, analitik dan inferens yang dinamakan ‘literasi tinggi’. Som dan Mohd Dahlan dalam Rajendran (2014) menyatakan Kemahiran Berfikir Aras Rendah (KBAR) pula merujuk kepada penggunaan pemikiran secara terhad. Hal ini dapat dilihat apabila murid hanya disogokkan dengan jawapan-jawapan yang menjadikan mereka malas untuk berfikir.

Selanjutnya dunia era globalisasi kini memperlihatkan perkembangan ilmu yang sangat pantas. Kemajuan dalam teknologi maklumat memberi kesan secara langsung atau tidak langsung dalam kehidupan dan sistem pendidikan. Perubahan demi perubahan yang berlaku itu turut membawa bersama isu dan cabaran dalam sistem pendidikan kita. Kemahiran berfikir aras tinggi merupakan satu elemen yang penting terkandung dalam pendidikan abad ke 21. Setiap murid perlu menguasainya dan faham dalam mengaplikasikannya mengikut masa dan keperluan. Untuk memastikan setiap murid mampu menguasai sekurang-kurangnya aras analisa dan sintesis, strategi pengajaran dan pendekatan terapi digunakan dalam membantu murid membina keyakinan diri dan melatih pemikiran yang lebih rasional serta dapat melihat semua aspek penyelesaian secara total.

Dalam Model Taksonomi Bloom (1956) , kemahiran berfikir aras tinggi (KBAT) merupakan empat aras yang tertinggi iaitu :

i. Aplikasi - Penggunaan maklumat di dalam situasi yang relevan. ii. Analisis - Memecahkan maklumat kepada beberapa bahagian kecil supaya

boleh memahami sesuatu perkara dengan lebih jelas. iii. Sintesis - Maklumat dikumpul dan membina struktur baru yang berbeza

daripada keadaan yang asal. iv. Penilaian - Menilai kembali apa yang telah dilaksanakan .

Dalam model Taksonomi Bloom yang baru terdapat perubahan yang

dilakukan oleh Anderson, dimana aras kognitif analisis menjadi aras kognitif menganalisis dan aras kognitif sintesis menjadi aras yang tertinggi iaitu aras kognitif mencipta, menjadikan kajian ini lebih menarik dan menyeluruh.

Page 23: Proceeding jilid 2

434

OBJEKTIF KAJIAN 1. Mengenalpasti sama ada murid menguasai kemahiran berfikir aras tinggi

(KBAT) melalui pembelajaran semasa. 2. Mengkaji keberkesanan aktivti terapi media dalam membantu peningkatan

penguasaan murid dalam KBAT

SOALAN KAJIAN 1. Apakah tahap penguasaan murid terhadap kemahiran berfikir aras tinggi

(KBAT) melalui pembelajaran semasa?

2. Adakah terdapat peningkatan dalam penguasaan KBAT melalui aktiviti terapi media?

METODOLOGI Reka bentuk kajian yang digunakan adalah reka bentuk eksperimen kuasi. Jenis

reka bentuk eksperimen kuasi ini dipilih adalah reka bentuk ujian pra-ujian pasca-ujian kumpulan kawalan tidak setara (Non-equivalent pretest-posttest controlled group design) (lihat Jadual 1 ) dan dengan dua kali kitaran rawatan serta dua kali ujian pasca. Melalui pemilihan reka bentuk ini, penyelidik ingin menentukan sejauh mana perbezaan pra dan pasca dalam pencapaian aras kognitif dan penguasaan kemahiran berfikir aras tinggi (KBAT) oleh kumpulan terapi dan kumpulan kawalan. Penyelidik juga ingin mengenal pasti aras kognitif yang dicapai oleh murid dalam kumpulan kawalan berdasarkan pendidikan semasa. Perkiraan dibuat dengan melihat pencapaian dan kebolehan menyelesaikan persoalan kemahiran berfikir aras tinggi (KBAT) dalam ujian pra. Seterusnya bagi mengesahkan penguasaan murid dalam kemahiran berfikir aras tinggi (KBAT) bagi kumpulan terapi, pencapaian dalam ujian pasca dinilai perbezaannya.

Terapi Media yang dimaksudkan dalam penyelidikan ini adalah kombinasi daripada tiga media utama, iaitu (1) pengunaan video (mengandungi unsur kecindanan atau lawak jenaka)

(2) penggunaan Grafik Statik yang menarik; dan (3) penggunaan musik audio.

Tempat Kajian Lokasi kajian dijalankan di kawasan luar bandar di Hulu Langat, Selangor.

Tempoh eksperimen yang dijalankan adalah selama 6 minggu dan berfokus kepada pengetahuan am dan pengetahuan sedia ada murid. Subjek kajian yang terlibat dalam kumpulan terapi adalah seramai 26 orang murid dari Sekolah Kebangsaan Sunway Semenyih, Selangor dan 24 orang bagi kumpulan kawalan di sekolah yang sama. Kebolehan dan penguasaan kemahiran majoriti murid – muridnya adalah pada aras kognitif dan band yang sama. Sampel Kajian

Responden kajian terdiri daripada 24 orang murid kumpulan kawalan dan 26 orang murid kumpulan eksperimen. Mereka adalah murid tahun empat di sebuah sekolah dalam daerah Hulu Langat, Selangor. Responden dipilih dengan menggunakan kelas-kelas yang sedia ada, iaitu subjek kajian bagi kumpulan eksperimen dan kawalan tidak boleh dipilih secara rawak kerana terikat dengan

Page 24: Proceeding jilid 2

435

peraturan yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah (Chua 2006; Lim 2007; Wiersma 2000; Johnson dan Christensen 2000).

Analisis data

Data-data yang diperoleh, dianalisis untuk mengenal pasti tahap penguasaan murid dalam kemahiran berfikir aras tinggi (KBAT). Penyataan adalah secara deskriptif dengan merujuk kepada perbandingan tahap pencapaian skor min dan sisihan piawai berdasarkan ujian-t sampel berpasangan yang digunakan untuk mencari perbezaan elemen terapi media diantara kumpulan kawalan dan kumpulan eksperimen. Pencapaian skor min adalah merujuk kepada penskoran markah yang diperoleh menerusi ujian pra dan ujian pos bagi kedua-dua kumpulan.

Dapatan Kajian 1. Adakah terdapat penguasaan murid terhadap kemahiran berfikir aras tinggi

(KBAT) melalui pembelajaran semasa? Dapatan ujian-t berpasangan menunjukkan nilai signifikan (0.001) kurang

daripada nilai alpha (0.050), p < 0.050 dengan t(23) = 3.104. Maka kesimpulan kajian juga membuktikan bahawa terdapat perbezaan yang signifikan antara pra dan pasca terhadap penguasaan KBAT bagi kumpulan kawalan dengan kaedah pembelajaran semasa dengan peratus peningkatan sebanyak 30%. Ini bermakna melalui pembelajaran semasa murid – murid juga dapat membina KBAT. Walaubagaimanapun selepas 6 minggu dapat diukur kadar penguasaan KBAT agak kurang jika dibandingkan dengan pencapaian murid di kumpulan terapi media. Nilai perbezaan peratus ada 64 % - 30% = 34%.

Ujian Pengetahuaam

BilangaSampel Min Sisihan Pia Nilai t Darjah

Kebebasan Signifikan

Pra 24 25.88 4.950 3.104 23 0.001

Pasca 24 33.63 6.559

Jadual 2: Nilai pencapaian bagi kumpulan kawalan

2. Adakah terdapat peningkatan dalam penguasaan KBAT melalui aktiviti terapi media?

Dapatan kajian menunjukkan skor min ujian pasca penguasaan kemahiran berfikir aras tinggi (KBAT) dengan rawatan terapi media melebihi skor min ujian pra di mana peningkatan skor min pencapaian adalah sebanyak 64%. Dapatan ujian-t berpasangan pula menunjukkan nilai signifikan (0.000) kurang daripada nilai alpha (0.050), p < 0.050 dengan t(25) = 3.078. Ini dapat dilihat dalam Jadual 3. Maka kesimpulan kajian membuktikan bahawa terdapat perbezaan yang signifikan antara ujian pra dan pasca penguasaan kemahiran berfikir aras tinggi (KBAT) dengan rawatan terapi media selama 6 minggu. Ini dapat dilihat dalam jadual di bawah.

Page 25: Proceeding jilid 2

436

Ujian Pengetahuan am

Bilangan Sampel Min Sisihan

Piawai Nilai t

Darjah Kebebasan Signifikan

Pra 26 26.31 4.915 3.078 25 0.001

Pasca 26 43.269 8.123

Jadual 3: Perbandingan pencapaian kumpulan terapi ataupun eksperimen PERBINCANGAN

Keputusan kajian menunjukkan bahawa terdapat peningkatan dalam penguasaan KBAT di kalangan murid tahun 4 sekolah rendah. Peningkatan penguasaan KBAT bagi kumpulan terapi lebih menyerlah kerana mereka aktif dan terlibat dalam semua aktiviti –aktiviti yang telah ditentukan oleh penyelidik . Bagi kumpulan tradisional, walaupun tiada rawatan terapi media ke atas mereka, pemerhatian yang dilakukan menunjukkan bahawa mereka akan aktif dalam pembelajaran apabila diperhatikan oleh penyelidik.

Namun, peratusan peningkatan penguasaan KBAT yang diperoleh dalam kajian ini, menunjukan peningkatan yang sangat ketara. Kajian mendapati bahawa peningkatan skor min pencapaian dalam menjawab soalan KBAT bagi murid tahun 4 di dalam kumpulan terapi adalah lebih tinggi iaitu 64 peratus, manakala bagi murid tahun 4 di dalam kumpulan tradisional sebanyak 30 peratus. Ini bermakna peningkatan pencapaian dalam menjawab soalan KBAT bagi kumpulan terapi lebih tinggi sebanyak 34 peratus berbanding kumpulan kawalan. Peningkatan peratusan pencapaiannya adalah agak baik, kerana faktor – faktor persekitaran yang mempengaruhi. Disamping terapi media, semasa murid menuntun video, minda murid tdiransang dengan aktiviti ketawa yang menyebabkan perjalanan darah ke otak akan lebih lancar dan membantu murid belajar dengan lebih baik. Setelah 6 minggu, kebolehan murid –murid dapat ditingkatkan berbanding kumpulan kawalan yang belajar mengikut sistem yang sedia ada. SIMPULAN

Dalam kajian ini, pencapaian penguasaan KBAT amat ketara, penyelidik berpendapat bahawa terdapatnya beberapa faktor yang menyokong pengajaran berasakan terapi media yang mana dari segi teorinya memang menyeronokkan dan mampu merangsangkan pembelajaran ini serta mampu memberikan kesan yang positif ke atas penguasaan murid dalam KBAT. Dengan rawatan terapi media murid dapat meningkatkan pencapaian sekali ganda daripada kaedah pembelajaran semasa. Ini menunjukkan bahawa strategi dan pendekatan guru – guru dengan sistem yang sedia perlu diperkayakan membantu murid menguasai KBAT. Sepanjang eksperimen ini dijalankan, penyelidik berpendapat bahawa terdapat beberapa gangguan yang perlu dibincangkan dan dikaji semula seperti faktor – faktor persaingan yang wujud dikalangan murid – murid apabila mereka mengetahui bahawa kajian penguasaan KBAT sedang dijalankan ke atas mereka, faktor pendagogi yang lebih menjurus KBAT dan semua subjek ajar memfokuskan KBAT sebagai agenda utama yang perlu dicapai diakhir sesi pembelajaran.

Page 26: Proceeding jilid 2

437

Disamping itu latih-tubi dan kerja rumah yang diberikan oleh guru – guru subjek adalah berasaskan KBAT.

DAFTAR RUJUKAN Abdullah Hassan & Ainon Mohd (2005). Kursus berfikir tinggi. Kuala Lumpur:

Utusan Publications and Distributor. Akan, S. O. (2003). Teachers’ perception of constraints on improving students

thinking in high schools. Tesis Sarjana yang tidak diterbitkan. Middle East Technical University.

Baysala, Z. N., Kader Arkanb, K. & Yildirim, A. (2010). Preservice elementary teachers’perceptions of their self-efficacy in teaching thinking skills. Procedia Social and Behavioral Sciences 2 (2010) 4250–4254.

Bhg. Pembangunan Kurikulum Kementerian Pelajaran Malaysia 2012,Higher Order Thinking Skills in Science & Mathemaics (HOTsSM) ,[ Accessed on 15 Mei 2015] Available from : http://www.moe.gov.my/bpk/v2/download/HOTs/HOTs%20SAINS.pdfBook: Art Therapy and Computer Technology: A Virtual Studio of Possibilities, 2000, Cathy Malchiodi, PhD.

B .Miri . BC David, Z Uni-Research in science education ,2007-Springer Chua Yan Piau. (2006). Kaedah dan statistik pendidikan: Buku 1 kaedah

penyelidikan. Kuala Lumpur: McGraw Hill (M). Dewey J (1910) ,How we Think ; Published on 1st Jan 2008 .pg 5 . Helmi, (1994) Pelbagai Istilah berfikir [Accessed on 10 October 2013]

Available from : http://pts.com.my/index.php/berita/pelbagai-istilah berfikir John K.Gilbert (2006).Children’s science and its consequences for teaching :Science Education(Vol.66July 2006,623-633)

Kauchak & Eggen (1998) ,Effective Teaching: Preparation and Implementation. European Journal of Engineering Education-Promoting higher order thinking skills

using inquiry-based learning(Vol.37,No.2,May 2012,117-123) Keberkesanan Modul Linus Berbantukan Terapi Biofeedback Emwave Terhadap

Murid-murid, Di Zon Chenor, Pahang Oleh Muhammad Nubli, Abdul Wahab And Maziah, Mohd Sapar And Mohd Firdaus, Mohd Kamaruzaman (2012) , UMP.

Kemahiran pemikiran kritikal dan penyelesaiaan masalah dalam sains ,Siti Rahayah Ariffin , [Accessed on 10 Mei 2015]Available from :http://www.ukm.my/p3k/images/sppb08/d/1.pdfKemahiran berfikir aras tinggi (kbat) dalam salak didik dengan elemen nyanyian dan elemen.

Pantun, A.Rahman Haron , Jamaludin Badusah & Zamri Mahamod (2015) UKM. Khalil Mohamed Nikah (2009). Approaches to teaching thinking: the perceptions of

inservice and preservice tesl teachers in institute of education, IIUM. Tesis Sarjana yang tidak diterbitkan. Universiti Islam Antarabangsa.

Klorer, P. G. (2009). “The Effects Of Technological Overload On Children:an Art Therapist’s Perspective.” Art Therapy: Journal Of The American Art Therapy Association, 26(2), 80-82.

Johnson, B. & Christensen, L. (2000). Educational research quantitative and qualitative approaches. Boston: Allyn and Bacon.

Page 27: Proceeding jilid 2

438

Lembaga Peperiksaan Malaysia. 2013. Elemen kemahiran berfikir aras tinggi (KBAT) dalam instrumen pentaksiran. Putrajaya: Kementerian Pendidikan Malaysia.

Lim Chong Hin. (2007). Penyelidikan pendidikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Kuala Lumpur: Mc Graw-Hill Education (M).

Madhuri.G.V and Goteti.2011 ,Madrid,Spain-Imparting transferable skills and creating awareness among students on non-conventional energy sources using problem based learning .

Miller,R.Osbone,J.1998 .Beyond 2000 [Accessed on 8 Mei 2015] Available from:http://www.kcl.ac.uk/content/1/b2000.pd.

MohdAzhar .Ab.Hamid (2001), Pengenalan Pemikiran Kritis dan Kreatif Skudai, Penerbit UTM .h 91.

Nessel, D. D. & Graham, J. M. (2007). Thinking Strategies for student achievement: improving learning a cross the curriculum, K-12. (2nd . Ed.). Thousand oaks, Carlifonia: Corwin Press. A SAGE Publication Company.

Rajendran, N. (2008). Teaching & acquiring higher-order thinking skills: theory & practice. Malaysia: Penerbit Universiti Pendidikan Sultan Idris.Robert E.Slavin, Cooperative learning :Theory, research and Practise (Sept 1995).

Stein,M.K,& Lane, S.(1996).Instructional tasks and the development of student capacity to think and reason:An analysis of the relationship between teaching and learning in reform mathematics project .Educational Research and Evaluation ,2(1),50-80.

Strategi meningkatan kemahiran berfikir aras tinggi Available from : http://shamsina-urupendidikanislam.blogspot.com/2013/05/strategi [Accessed on 20 Mei 2015]

Terapi Seni Dalam Kaunseling Pelajar Pintar Dan Berbakat Oleh Rafidah Kastawi & Noriah Mohd Ishak, (2012) UKM.

Thinking tools, The Art and Science Thinking .[20 Mei 2015] Available from :http://www.edwdebono.com/lateral.htm

Wiersma, W. (2000). Research methods in education: An introduction. 7th edition. Boston: Allyn and Bacon.

Page 28: Proceeding jilid 2

439

KAEDAH PEMBELAJARAN DAN PENGAJARAN TOPIK FOTOGRAFI BAGI KURSUS TEKNOLOGI DALAM PENGAJARAN DAN

PEMBELAJARAN:TINJAUAN DARI ASPEK MASALAH DAN CADANGAN PENAMBAHBAIKAN

Aliza Adnan, Rosseni Din, & Zahiah Binti Haris

IPG Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur & Universiti Kebangsaan Malaysia Email: [email protected]

Abstrak Kajian ini bertujuan untuk meninjau kaedah pengajaran dan pembelajaran (PdP) topik Fotografi bagi kursus Teknologi dalam Pengajaran dan Pembelajaran di Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas (IPGKIK) dari persepsi guru pelatih. Kajian ini memfokuskan dua objektif iaitu masalah yang dihadapi guru pelatih dalam mempelajari topik Fotografi dan cadangan penambahbaikan terhadap kaedah pembelajaran yang dapat membantu guru pelatih menguasai topik Fotografi. Kajian ini penting kepada Institut Pendidikan Guru (IPG) kerana dapat memberikan maklumat yang bermanfaat untuk meningkatkan kualiti proses PdP bagi kursus Teknologi dalam Pengajaran dan Pembelajaran. Kajian ini melibatkan temu bual seramai 9 orang guru pelatih yang terdiri daripada 4 orang lelaki dan 5 orang perempuan. Mereka merupakan guru pelatih Semester Empat, Ambilan Januari 2013, Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PISMP). Data dianalisis secara kualitatif. Dapatan kajian menunjukkan masalah utama ialah kekurangan peralatan dan bahan sumber pembelajaran, masa interaksi tidak mencukupi dan kurang bimbingan latihan amali. Antara cadangan penambahbaikan ialah menggunakan kaedah pembelajaran hibrid, mempelbagaikan bahan sumber pembelajaran dan menambahbaik kemudahan peralatan untuk kegunaan pelajar. Kata Kunci: kaedah pembelajaran hibrid, Fotografi, Teknologi Dalam Pengajaran Dan Pembelajaran, PISMP PENGENALAN

Kursus Teknologi dalam Pengajaran dan Pembelajaran (EDU 3053) merupakan kursus teras yang diwajibkan kepada semua pelajar Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PISMP) di Institut Pendidikan Guru (IPG). Kursus ini perlu dijalani oleh guru pelatih selama 60 jam bersamaan 3 jam kredit. Kursus ini menfokuskan penggunaan teknologi dalam pengajaran, media, aplikasi TMK dan internet. Dalam kursus ini, guru pelatih didedahkan kepada penggunaan dan pengintegrasian media dan teknologi dalam pengajaran dan pembelajaran. Kursus Teknologi dalam Pengajaran dan Pembelajaran (EDU 3053) dilaksanakan menggunakan mod perbincangan, kuliah dan amali. Guru pelatih mendapat pendedahan cara mengaplikasikan kemahiran pelbagai media seperti grafik, Fotografi, video, Internet dan alat pengarangan (authoring tools) dalam pengajaran dan pembelajaran. Antara hasil pembelajaran kursus ini ialah menjelaskan konsep, teori, amalan dan perkembangan teknologi pendidikan, menghasilkan pelbagai media pengajaran secara berkesan dan mengaplikasi

Page 29: Proceeding jilid 2

440

kemahiran teknikal dengan menggunakan pelbagai media dalam proses pengajaran dan pembelajaran (Bahagian Pendidikan Guru, 2005).

1.1 Penyataan Masalah

Fotografi adalah media grafik yang diperlukan untuk menggambarkan situasi sebenar dan juga untuk mendokumentasikan sesuatu peristiwa (Noriati et.al 2009). Dalam aspek pendidikan, Fotografi merupakan media pembelajaran yang berkesan untuk merakamkan objek sebenar mengikut situasi. Dalam konteks latihan perguruan pula, kemahiran Fotografi bukan sahaja perlu dikuasai oleh guru pelatih bagi menjawab soalan peperiksaan tetapi juga membantu guru bagi menghasilkan foto yang boleh digunakan untuk tujuan pengajaran dan pembelajaran. Terdapat beberapa kajian lepas mengenai penghasilan grafik menggunakan Fotografi. Kajian oleh Mohd Farisulzamir (2009) mendapati kemahiran fotografi dianggap sukar oleh pelajar, tidak banyak bahan dalam Bahasa Melayu dan kebanyakan modul fotografi disediakan dalam Bahasa Inggeris. Oleh kerana tidak mempunyai kemahiran mengambil gambar menggunakan kamera, pelajar lebih gemar mengambil gambar atau grafik yang diperlukan dari internet yang kadangkala tidak sesuai dengan keadaan sebenar yang ingin digambarkan. Menurut Al Francis (2010, kursus fotografi menggunakan persekitaran pembelajaran atas talian boleh meningkatkan kefahaman pelajar tentang teknik fotografi melalui penggunaan modul. Kursus fotografi berasaskan modul secara dalam talian menggunakan LMS ( Web CT atau Moodle) adalah fleksibel di mana bahan pengajaran berbentuk objek pembelajaran boleh dikemaskini. Selain daripada bersifat fleksibel penggunaan pembelajaran fotografi secara digital juga dapat meningkatkan pencapaian pelajar. Kajian yang dibuat oleh Sanif (2013) mendapati projek seni fotografi secara digital dapat meningkatkan kreativiti pelajar yang berpencapaian rendah. Minat dan motivasi pelajar meningkatkan melalui projek fotografi secara digital.

Antara semua komponen media pengajaran yang dipelajari dalam subjek Teknologi Dalam Pengajaran dan Pembelajaran, topik Fotografi sering dianggap rumit bagi pelajar kerana topik ini melibatkan kefahaman teori, latihan amali dan penghasilan projek Fotografi mengikut teknik dan komposisi penggambaran yang bersesuaian. Pelajar menghadapi masalah menjawab soalan peperiksaan yang mempunyai aras aplikasi dan penilaian sekiranya kefahaman teori asas Fotografi tidak kukuh. Kemahiran boleh pindah guru pelatih dapat dinilai melalui penghasilan projek Fotografi. Menyedari hakikat ini, satu kajian untuk mengenalpasti permasalahan yang dihadapi guru pelatih dalam mempelajari topik Fotografi perlu dilaksanakan. Pengkaji berusaha untuk memperolehi persepsi yang bernas daripada subjek kajian yang merupakan guru pelatih secara langsung dalam kursus topik Fotografi Kursus Teknologi Dalam Pengajaran Dan Pembelajaran ini. Melalui kajian ini juga, pengkaji akan memperolehi maklumat daripada guru pelatih mengenai kaedah dalam proses PdP topik Fotografi Kursus Teknologi Dalam Pengajaran Dan Pembelajaran dan masalah dalam proses PdP.

1.2 Objektif Kajian Kajian ini dijalankan bertujuan untuk :

Page 30: Proceeding jilid 2

441

a. mengenal pasti masalah yang dihadapi guru pelatih dalam proses PdP Topik Fotografi kursus teknologi dalam pengajaran dan pembelajaran di IPGKIK

b. mengenal pasti cadangan penambahbaikan terhadap kaedah pengajaran dan pembelajaran yang dapat membantu guru pelatih menguasai topik Fotografi di IPGKIK

METODOLOGI KAJIAN

Kajian ini merupakan kajian tinjauan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Kaedah pengumpulan maklumat adalah menggunakan sesi temubual separa berstruktur. Temu bual merupakan salah satu kaedah mengumpul maklumat yang utama dalam kajian tinjauan. Melalui temubual pengkaji dapat mengetahui perasaan sebenar yang dialami subjek kajian (Chua Yan Piaw, 2006). Sehubungan dengan itu, pemilihan kajian ini sebagai kajian tinjauan amat bersesuaian untuk meneliti kaedah dan masalah dalam proses PdP Topik Fotografi kursus Teknologi Dalam Pengajaran Dan Pembelajaran. 2.1 Sampel Kajian

Sampel kajian ini ialah sampel bertujuan (purposive sampling) yang melibatkan 9 orang guru pelatih, iaitu empat orang lelaki dan lima orang perempuan yang terlibat secara langsung dalam proses PdP Topik Fotografi kursus Teknologi Dalam Pengajaran Dan Pembelajaran. Bilangan keseluruhan guru pelatih semester satu, ambilan Januari 2013, PISMP yang wajib mengambil kursus ini ialah seramai 112 orang. Sampel kajian dalam kajian kualitatif ini dipanggil juga sebagai subjek kajian. 2.2 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen kajian ini menggunakan protokol temu bual separa berstruktur berasaskan kepada objektif kajian ini. Satu set protokol telah disediakan untuk mendapatkan maklumat. Kaedah pengumpulan data kajian ini adalah dengan menemu bual sembilan orang guru pelatih tersebut. Temu bual dijalankan dengan guru pelatih setelah mereka mengikuti proses PdP selama 50 kali daripada 60 kali keseluruhan PdP untuk kursus Teknologi Dalam Pengajaran Dan Pembelajaran ini. Temu bual tersebut dicatat oleh pengkaji. Seterusnya pengkaji menganalisis hasil temu bual untuk mendapatkan tema-tema yang berkaitan dengan kajian ini 2.3 Analisis Data

Data telah dianalisis secara kualitatif untuk mengenal pasti tema-tema yang wujud daripada persoalan-persoalan kajian tersebut. DAPATAN KAJIAN

Dapatan kajian di bawah ini akan dibincangkan satu persatu berdasarkan objektif kajian yang telah dinyatakan sebelum ini. 3.1 Persepsi guru pelatih terhadap masalah yang dihadapi dalam proses PdP topik Fotografi bagi kursus Teknologi dalam Pengajaran dan Pembelajaran di IPGKIK Jadual 1 Persepsi guru pelatih terhadap masalah yang dihadapi dalam proses PdP topik Fotografi bagi kursus Teknologi dalam Pengajaran dan Pembelajaran di IPGKIK

Page 31: Proceeding jilid 2

442

Subjek kajian

Penyataan

1

Saya tidak dapat menguasai sepenuhnya tajuk Fotografi kerana tidak mempunyai kamera DSLR, saya hanya menggunakan handphone untuk mengambil gambar

2

Saya tidak mampu untuk membeli kamera, jadi saya menggunakan kamera kawan yang dipinjam. Saya tidak boleh menguasai sepenuhnya bagaimana memilih komposisi gambar dengan penyesuaian shutter speed dan aperture.

3

Tajuk Fotografi sangat mencabar, saya sukar menguasai bahagian komposisi pengambaran seperti rule of third, white balance dan sebagainya.

4

Tajuk Fotografi sangat mencabar tetapi menyeronokkan kerana seseorang yang menguasai seni Fotografi boleh mengambil gambar yang baik. Walaubagaimanapun saya sukar untuk menguasai cara mengubah jenis lensa untuk mengambil gambar yang baik.

5

“Saya sukar untuk faham term aperture dan shutter speed dan bagaimana nak mengubah suai kedua ni untuk beri kombinasi sesuai dan dapat ambil gambar yang baik”.

6

Semasa baca nota saya rasa faham tetapi dalam peperiksaan saya tidak dapat menjawab dengan baik terutama sekali bahagian komposisi pengambaran dan teknik shooting. Masa yang diperuntukkan untuk amali agak terbatas.

7 Kamera SLR mahal, saya guna handphone saja untuk ambil gambar jadi sukar la saya nak kuasai bahagian aperture dan shutter speed tu

8 Saya tidak mempunyai kamera maupun kamera video. Kena pinjam kawan..saya guna handphone..gambar kurang jelas. Kurang bimbingan dari pensyarah dan kurang peruntukan masa di dalam kelas untuk mengedit video.

9 teori kemahiran Fotografi boleh dirujuk dari internet..tapi amali pengeditan video kena buat sendiri..saya perlu bimbingan amali..

Sumber: Temu bual dengan subjek kajian

[DZ1]Dapatan kajian berdasarkan temu bual dengan subjek kajian mendapati masalah yang dihadapi dalam proses PdP topik Fotografi Kursus Teknologi Dalam Pengajaran Dan Pembelajaran di IPG KIK ialah kekurangan peralatan, pendekatan pengajaran, sumber pembelajaran dan masa. Masalah ini

Page 32: Proceeding jilid 2

443

jelas melalui kata-kata subjek kajian pertama iaitu “Saya tidak dapat menguasai sepenuhnya tajuk Fotografi kerana tidak mempunyai kamera DSLR, saya hanya menggunakan handphone untuk mengambil gambar” (SK1). Penyataan ini sama dengan kata-kata subjek kajian ketujuh, “Kamera SLR mahal, saya guna handphone saja untuk ambil gambar jadi sukar la saya nak kuasai bahagian aperture dan shutter speed tu” (SK7). Seterusnya subjek kajian kedua pula menyatakan, “Saya tidak mampu untuk membeli kamera, jadi saya menggunakan kamera kawan yang dipinjam” (SK2). Begitu juga subjek kajian kelapan yang mengatakan, “Saya tidak mempunyai kamera maupun kamera video. Kena pinjam kawan..saya guna handphone..gambar kurang jelas” (SK8).

[DZ2]Masalah seterusnya ialah guru pelatih yang kurang memahami kandungan kemahiran dan menganggap topik Fotografi adalah sukar. Masalah ini jelas melalui kenyataan subjek kajian ke tiga iaitu “Tajuk Fotografi sangat mencabar, saya sukar menguasai bahagian komposisi pengambaran seperti rule of third, white balance dan sebagainya” (SK3). Masalah yang sama diakui oleh subjek kajian ke lima yang mengatakan, “Saya sukar untuk faham term aperture dan shutter speed dan bagaimana nak mengubah suai kedua ni untuk beri kombinasi sesuai dan dapat ambil gambar yang baik” (SK5). Begitu juga subjek kajian ke empat yang menyatakan,”Tajuk Fotografi sangat mencabar tetapi menyeronokkan kerana seseorang yang menguasai seni Fotografi boleh mengambil gambar yang baik. Walaubagaimanapun saya sukar untuk menguasai cara mengubah jenis lensa untuk mengambil gambar yang baik” (SK4). Seterusnya subjek kajian ke enam pula mengakui, “Semasa baca nota saya rasa faham tapi bila periksa saya tak dapat menjawab dengan baik terutama sekali bahagian komposisi pengambaran dan teknik shooting” (SK6).

[DZ3]Pelajar merasakan pendekatan pengajaran secara konvensional, bimbingan amali yang tidak mantap menyebabkan kefahaman pelajar rendah mengenai topik fotogafi. Pernyataan ini diperolehi melalui penjelasan subjek kajian ke lapan yang menyatakan, “Kurang bimbingan dari pensyarah dan kurang peruntukan masa di dalam kelas untuk mengedit video.”(SK8). Pengakuan yang sama dinyatakan oleh subjek kajian ke sembilan iaitu, “teori kemahiran Fotografi boleh dirujuk dari internet..tapi amali pengeditan video kena buat sendiri..saya perlu bimbingan amali.” (SK9).

Faktor masa juga menyumbang kepada masalah yang dihadapi oleh guru pelatih. Kenyataan ini seperti yang dinyatakan oleh subjek kajian ke enam iaitu ”masa yang diperuntukkan untuk amali agak terbatas.” (SK6). Begitu juga dengan pernyataan yang dibuat oleh subjek kajian ke lapan yang menyatakan bahawa, ”Kurang bimbingan dari pensyarah dan kurang peruntukan masa di dalam kelas untuk mengedit video.” (SK8)

Berdasarkan dapatan objektif pertama yang telah dibincangkan di atas, jelas menunjukkan masalah utama yang dihadapi dalam proses PdP topik Fotografi bagi kursus Teknologi dalam Pengajaran dan Pembelajaran di IPGKIK, iaitu peralatan, pendekatan pengajaran, kandungan sumber pembelajaran dan masa. Secara keseluruhannya, masalah yang dihadapi ialah kekurangan peralatan kerana kebanyakan guru pelatih tidak mempunyai kamera SLR. Sebagai alternatif, guru pelatih menggunakan telefon bimbit atau ipad peribadi. Kualiti gambar yang dihasilkan sudah pasti tidak setara dengan kamera SLR kerana menu dan kefungsian dalam telefon bimbit adalah terbatas untuk kegunaan komunikasi.

Page 33: Proceeding jilid 2

444

[DZ4]Pendekatan pengajaran dan sumber pembelajaran yang tidak pelbagai juga menjadi kekangan dalam proses pembelajaran.

3.2 Persepsi guru pelatih untuk cadangan penambahbaikan terhadap kaedah pembelajaran yang dapat membantu guru pelatih menguasai topik Fotografi di IPG Kampus Ilmu Khas (IPGKIK)

Jadual 2

Persepsi guru pelatih untuk cadangan penambahbaikan terhadap kaedah pembelajaran yang dapat membantu guru pelatih menguasai topik Fotografi di

IPGKIK Subjek kajian

Penyataan

1 Kalau boleh kamera dipinjam kepada guru pelatih. Nota dan edaran atau soalan lepas mungkin membantu. Maklumat dari internet juga boleh membantu.

2 Gambar yang menunjukkan hasil kombinasi shutter speed dan aperture perlu untuk mengesan perubahan berlaku. Saya perlu lebih masa untuk menguasai setiap kemahiran menggunakan kamera.

3 Kalau ada web site yang spesifik untuk menguasai tajuk Fotografi lebih senang untuk dirujuk.

4 Saya perlu ada bimbingan amali dalam kumpulan dan bantuan tutorial dari video sangat membantu saya menguasai teknik penggambaran. Masa yang diperuntukan agak terhad.

5 Nota yang spesifik kepada kemahiran menggunakan kamera perlu dimuatkan berserta gambar yang bertepatan dengan penyesuaian aperture dan shutter speed.

6 Perbincangan mungkin boleh membantu menguasai tajuk ini. Video dari youtube lebih mudah untuk bantu bahagian praktikal.

7 Kalau boleh pensyarah pinjamkan kamera kepada guru pelatih, lagi baik. Amali, perbincangan, maklumat dari internet mungkin boleh membantu.

8 Kalau ada Kamera dan kamera video sendiri lebih baik..nota dari internet juga boleh membantu.

9 Bantuan modul yang mudah diikuti..lebihkan masa untuk akses kendiri.

Sumber: Temu bual dengan subjek kajian

Page 34: Proceeding jilid 2

445

Dapatan kajian berdasarkan temubual dengan subjek kajian mendapati penambahbaikan seperti yang dicadangkan oleh subjek kajian ialah penyediaan peralatan secara pinjaman kepada pelajar. Pernyataan jelas seperti yang dinyatakan oleh subjek kajian pertama iaitu, kalau boleh kamera dipinjam kepada guru pelatih” (SK1). Pernyatan yang sama diberikan oleh subjek kajian kedua iaitu, “Kalau boleh pensyarah pinjamkan kamera kepada guru pelatih, lagi baik.” (SK7)[DZ5]

Subjek kajian mencadangkan penambahbaikan dibuat terhadap kaedah pengajaran dan sumber pembelajaran berasaskan web dan penggunaan video. Pernyataan ini dilihat dari kata-kata subjek kajian pertama iaitu, ” nota edaran atau soalan lepas mungkin membantu. Maklumat dari internet juga boleh membantu.” (SK1). Pendapat hampir sama diberikan oleh subjek kajian ke empat yang menyatakan bahawa “bantuan tutorial dari video sangat membantu saya menguasai teknik penggambaran”(SK4). Begitu juga dengan pernyataan dari subjek kajian ke lima iaitu, “Nota yang spesifik kepada kemahiran menggunakan kamera perlu dimuatkan berserta gambar yang bertepatan dengan penyesuaian aperture dan shutter speed.” (SK5). Seterusnya subjek kajian ke tiga mencadangkan penggunaan web site melalui pernyataan “Kalau ada web site yang spesifik untuk menguasai tajuk Fotografi lebih senang untuk dirujuk” (SK3). Subjek kajian ke enam mencadangkan perbincangan dan penggunaan video melalui pernyataan berikut, “Perbincangan mungkin boleh membantu menguasai tajuk ini. Video dari youtube lebih mudah untuk bantu bahagian praktikal.” (SK6).

Subjek kajian juga mencadangkan sokongan bimbingan amali diberikan berdasarkan penyataan subjek kajian ke empat dan tujuh. Bimbingan amali dari sumber internet dan video dirasakan dapat meningkatkan penguasaan teknik penggambaran. Pernyataan ini jelas melalui kata-kata subjek kajian ke empat iaitu, “Saya perlu ada bimbingan amali dalam kumpulan dan bantuan tutorial dari video sangat membantu saya menguasai teknik penggambaran” (SK4). Seterusnya kenyataan hampir sama diberikan oleh subjek kajian ke tujuh iaitu, “Amali, perbincangan, maklumat dari internet mungkin boleh membantu.”(SK7)

Faktor masa menjadi kekangan kepada pelajar untuk menguasai pembelajaran dan kemahiran. Terdapat tiga subjek kajian yang mencadangkan penambahbaikan diberi kepada peruntukan masa amali. Subjek kajian ke dua mencadangkan diberi lebih masa amali melalui pernyataan berikut, “Saya perlu lebih masa untuk menguasai setiap kemahiran menggunakan kamera” (SK2). Pernyataan ini sama dengan kata-kata subjek kajian ke empat iaitu, “Masa yang diperuntukan agak terhad.”(SK4). Seterusnya subjek kajian ke sembilan menjelaskan keperluan modul dan masa melalui pernyataan, ” Bantuan modul yang mudah diikuti..lebihkan masa untuk akses kendiri.” (SK9).

Berdasarkan dapatan objektif kajian yang kedua yang telah dibincangkan di atas, antara cadangan penambahbaikan terhadap kaedah pengajaran dan pembelajaran ialah penyediaan modul akses kendiri dan nota berasaskan web, perbincangan dalam talian dan penggunaan video dari you tube. Bagi mengatasi masalah kekurangan peralatan dan kamera, guru pelatih mencadangkan kamera disediakan kepada pelajar.

Page 35: Proceeding jilid 2

446

PERBINCANGAN DAN IMPLIKASI Jadual 3

Rumusan masalah dan cadangan penyelesaian kepada pembelajaran topik Fotografi bagi kursus Teknologi Dalam Pengajaran Dan Pembelajaran.

Kategori Masalah Penyelesaian Peralatan Kurang peralatan

Tiada kamera peribadi Kerja dalam kumpulan Penyediaan peralatan kepada guru pelatih

Pendekatan pengajaran

Pendekatan pengajaran konvensional Pensyarah kurang beri bimbingan amali Guru pelatih tidak dapat menguasai kemahiran

Modul akses kendiri Web e-Pembelajaran Amali dalam kumpulan Video dari youtube

Penguasaan kemahiran

Kandungan sukar dikuasai Kurang sumber rujukan Tiada modul berstruktur

Modul akses kendiri Web e-Pembelajaran Video dari youtube

Masa Masa amali tidak mencukupi Masa pengajaran atau interaksi bersemuka tidak mencukupi

Amali dalam kumpulan Forum dalam talian Perbincangan antara guru pelatih dan pensyarah serta guru pelatih dan guru pelatih

4.1 Perbincangan

[DZ6]Dapatan kajian mendapati masalah utama yang dihadapi pelajar dalam topik fotografi bagi subjek Teknologi Dalam Pengajaran dan Pembelajaran ialah masalah peralatan, pendekatan pengajaran, sumber pembelajaran dan masa. Peralatan merujuk kepada perkakasan kamera dan aksesori kamera. Apabila guru pelatih melaksanakan latihan amali mereka memerlukan akses kepada kamera. Peralatan yang mencukupi membolehkan setiap pelajar dapat melakukan amali dengan sempurna. Cadangan penyelesaian bagi masalah ini ialah mendapatkan peruntukan peralatan dari pihak pengurusan. Gerak kerja amali dalam kumpulan juga boleh membantu pelajar berkongsi peralatan semasa menjalankan latihan amali. Di samping itu pelajar juga dapat mengaplikasikan pembelajaran secara koperatif.

Masalah kedua yang dikenalpasti adalah pendekatan pengajaran secara konvensional berbentuk kuliah syarahan yang kurang berkesan. Di samping itu, pelajar juga kurang mendapat bimbingan amali dari pensyarah oleh kerana tidak semua pensyarah mempunyai kepakaran dalam bidang fotografi. Disebabkan oleh faktor tersebut, pelajar menerima pendedahan yang tidak menyeluruh dan tidak mampu menguasai kemahiran fotografi sepenuhnya. Antara cadangan penyelesaian yang disarankan oleh pelajar ialah pendekatan pembelajaran secara hibrid (hibrid learning) atau juga dikenali sebagai blended learning. Pendekatan ini menggabungkan kaedah bersemuka dengan web e-pembelajaran, modul akses

Page 36: Proceeding jilid 2

447

kendiri dan video dari youtube. Menurut Bachman&Scherer (2015) persekitaran pembelajaran Web dan pembelajaran hibrid semakin popular digunakan dalam institusi pendidikan tinggi. Banyak penyelidikan yang dilaksanakan mendapati pembelajaran hibrid adalah amalan terbaik untuk mengintegrasikan teknologi, teori pedagogi dan sumber dan dapat meningkatkan pencapaian pembelajaran.

Masalah ketiga yang dinyatakan oleh guru pelatih adalah topik fotografi agak sukar berbanding topik lain dalam kursus Teknologi Dalam Pengajaran Dan Pembelajaran. Sumber pembelajaran dan bahan rujukan tidak banyak disediakan oleh pensyarah. Kaedah perbincangan, penyediaan modul berstruktur, kaedah pengajaran berasaskan web dan video dirasakan pelajar dapat membantu mereka untuk meningkatkan kemahiran mengambil gambar. Masalah seterusnya ialah faktor masa di mana pelajar merasakan peruntukan masa amali dan kuliah bagi topik fotografi tidak mencukupi. Kekangan masa adalah masalah yang selalu dihadapi guru pelatih bukan sahaja peruntukan masa dalam proforma kursus tetapi juga disebabkan oleh program rasmi yang melibatkan pelajar dan penyarah yang dikendalikan di dalam dan di luar IPG. Cadangan penyelesaian ialah penggunaan pembelajaran hibrid dengan mengunakan forum atau perbincangan dalam talian, penggunaan modul akses kendiri dan gerak kerja amali dalam kumpulan. Menurut Analisa et.al (2013) pembelajaran hibrid membantu pelajar menguasai kandungan pembelajaran melalui kaedah akses kendiri dan pembelajaran dalam talian. Di samping itu pelajar dapat belajar mengikut kesesuaian masa dan gaya pembelajaran masing-masing.

4.2 Implikasi Berdasarkan dapatan kajian ini terdapat beberapa implikasi yang perlu

diberikan perhatian iaitu: 4.1 Kemudahan peralatan dan perkakasan perlu disediakan kepada guru

pelatih bagi membolehkan aktiviti amali dilaksanakan dengan sempurna. 4.2 Modul pembelajaran berbentuk akses kendiri dan bahan pembacaan

terkini perlu disediakan di pusat sumber. Hal ini bertujuan untuk memastikan proses PdP dapat dilakukan secara mudah dan berkesan.

4.3 Pendekatan pembelajaran perlu dipelbagaikan. Pembelajaran hibrid (hybrid learning) yang menggabungkan pendekatan pengajaran bersemuka dan pendekatan berbantukan teknologi perlu diaplikasikan dalam proses PdP.

4.4 Penilaian terhadap keberkesanan kursus hendaklah dilaksanakan dengan mendapatkan pandangan daripada guru pelatih tentang masalah dan cadangan agar kursus ini dapat ditingkatkan dari semasa ke semasa secara berterusan.

RUMUSAN

Secara keseluruhannya, pendekatan pengajaran bagi kursus Teknologi Dalam Pengajaran Dan Pembelajaran hendaklah diberikan perhatian yang sewajarnya bagi menilai impak penggunaan terhadap guru pelatih. Hal ini penting kerana kaedah yang digunakan dalam PdP dapat memberikan kesan ke atas pencapaian hasil pembelajaran. Masalah-masalah yang dikemukakan oleh guru pelatih hendaklah diberi perhatian agar kelemahan yang wujud dapat diatasi. Kaedah pengajaran yang berpusatkan guru pelatih seperti modul akses kendiri, pembelajaran berasaskan web dan pembelajaran secara dalam talian merupakan

Page 37: Proceeding jilid 2

448

kaedah perlu diaplikasikan dalam PdP di IPG. Ini selaras dengan tuntutan perlaksanaan e-Pembelajaran hibrid di IPG atau (el@IPG) bagi mencapai ciri-ciri persekitaran pembelajaran Learner-Centered University (Haili, 2011). Saranan ini juga bertepatan dengan penggubalan Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia (2013-2025) telah mensasarkan sebelas anjakan untuk mentransformasi sistem pendidikan negara. Anjakan ke tujuh ialah memanfaatkan ICT dan akses persekitaran pembelajaran maya bagi meningkatkan kualiti pembelajaran di Malaysia. Justeru itu, kaedah pengajaran dan pembelajaran perlu dipelbagikan agar menepati matlamat persekitaran pembelajaran Learner-Centered University dan keperluan Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia (2013-2025). RUJUKAN Al Francis, D. L. 2010. Implementing an Online Photography Course at the up

Open University: Converging Icts to Enhance Student Learning Outcomes and Achievements. AAOU JOURNAL 103.

Analisa Hamdan, Rosseni Din, Aliza Adnan, Siti Zuraida Abdul Manaf, Nor Mohamad Ismail, Nor Syazwani Mat Salleh, & Hafizi Shafiin (2013). Penggunaan Teknologi Web 2.0 Dalam Pembelajaran Hibrid. Tempawan Jilid xxx 2013.

Bachman, C. & Scherer, R. 2015. Promoting Student Autonomy and Competence Using a Hybrid Model for Teaching Physical Activity. International Journal of Instruction 8(1).

Bahagian Pendidikan Guru. (2005). Proforma Kursus Teknologi Dalam Pengajaran Dan Pembelajaran. Putrajaya: Kementerian Guru pelatihan Malaysia.

Chua Yan Piaw (2006). Kaedah Penyelidikan Buku 1. Kuala Lumpur: Mc Graw Hill.

Creswell J.W.(2003). Research Design: Qualtative, Quantitative and Mixed Methods Approach.Thousands Oaks, CA: Sage Publication.

Haili Dolhan 2011. Gagasan Baharu IPG. Retrieved 20 Mac, 2012 from http://ipgm.info/blog/archives/tag/gagasan-baru. Retrieved.

Kementerian Pendidikan Malaysia. (2013). Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia 2013-2025 (Pendidikan Prasekolah hingga Lepas Menengah). Putrajaya: Kementerian Pendidikan Malaysia.

Meriam,S.B.(1998). Qualitative Research and Case Study: Application in Educations, Revised and Expended from Case Study Research in Education. San Francisco:Jossey-Bass.

Mohd Farisulzamir Bin Zakaria (2009). Modul Pembelajaran Kendiri Teknik Fotografi Dan Penghasilan Kesan Khas Menggunakan Perisian Adobe Photoshop. Tesis sarjana muda, UTM Skudai.

Sanif, S. N. a. M., Hussin, Z., Senom, F., Putih, S. S., Amp & Abu, T. 2013. Nature Exquisiteness Based Digital Photography Arts Project for Creativity Enhancement among Low Achievers Students. (Prosfdak). Procedia - Social and Behavioral Sciences 103(0): 675-684.

Voisard, R., Champod, C., Furrer, J., Curchod, J., Vautier, A., Massonnet, G. & Buzzini, P. 2007. Nicephor[E]: A Web-Based Solution for Teaching Forensic and Scientific Photography. Forensic Science International 167(2–3): 196-200.

Page 38: Proceeding jilid 2

449

PERANAN GURU DI SD

Ani Hendriani Universitas Pendidikan Indonesia email: [email protected]

Abstract Teachers are educators who become leaders, role models and identification for the students, and the environment. Teachers have a very big role to the success of education in schools. Teachers play a role in assisting the development of learners to realize the goal of his life optimally. Educate, teach and train the students is the teacher's job. Duties of teachers as educators, to continue and develop the values of life to the students. Teacher's job as a teacher means to continue and develop science and technology to students. The task of the teacher as a coach means developing skills and implement in life for students future. cognitive development of primary school age children are at the stage of concrete operational. The term concrete operations reflects the approach that is bound or limited to the real world. Elementary age children can form concepts, see relationships, and solve problems, but only to the extent involving objects and situations that they know. Characteristics of elementary school age children are happy to play, happy to move, enjoy working in groups, as well as the happy feeling or doing something directly. Therefore, teachers should develop games that contain elements of learning, allowing students to move or move and work or study in groups, as well as provide opportunities for students to be directly involved in learning. Keywords: the role of teachers, the characteristics of elementary school age children PENDAHULUAN

Pendidikan adalah suatu bentuk investasi jangka panjang yang penting bagi seorang manusia. Pendidikan yang berhasil adalah yang menciptakan manusia yang berkualitas, cerdas, trampil, sehat jasmani dan rohaninya. Dalam menempuh perjalanan itu atau untuk mencapai tujuan tersebut, manusia memerlukan bantuan karena pada hakekatnya manusia lahir dalam keadaan tidak berdaya, yang dalam perkembangannya senantiasa membutuhkan orang lain sejak lahir , sampai meninggal. Dengan demikian peserta didik menaruh harapan besar terhadap guru, agar dapat berkembang secara optimal. Menurut Thoifuri (2007) menyatakan: guru adalah orang yang mempunyai banyak ilmu, ingin mengamalkan dengan sungguh-sungguh, toleran dan menjadikan peserta didiknya lebih baik dalam segala hal.

Pendidik atau guru merupakan satu diantara sekian banyak unsure pembentuk utama anak agar menjadi manusia yang seutuhnya, manusia yang diharapkan. Untuk itu seorang pendidik perlu memiliki seperangkat ilmu tentang bagaimana ia harus mendidik. Anak usia Sekolah Dasar (SD) adalah anak yang sedang mengalami pertumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional

Page 39: Proceeding jilid 2

450

maupun pertumbuhan badaniyah, dimana kecepatan pertumbuhan masing-masing individu berbeda walaupun usia sama. Dengan karakteristik tersebut guru dituntut untuk dapat mengemas perencanaan dan pengelolaan proses pembelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik , baik dari materi maupun pola pengajaran sehimgga peserta didik dapat mengikuti proses belajar mengajar dengan menyenangkan dan dapat memahami ilmu pengetahuan secara lebih kongkrit serta membentuk karakter anak.

Pendidik dalam hal ini guru di sekolah bukan hanya trampil dalam menyampaikan bahan ajar namun harus mampu mengembangkan watak anak, emosional dan seluruh kepribadian anak yaitu kognitif, afektif dan psikomotornya, bersusila, memiliki nilai-nilai keagamaan dalam hidupnya, yang menjadi tujuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan peran guru UU No 14 tahun 2005 yaitu pendidik professional dengan tujuan utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan , melatih, menilai dan mengevaluasi diri. Artinya dalam melaksanakan suatu proses pendidikan terutama anak usia skolah dasar sangat dibutuhkan peran pendidik untuk memberikan bimbingan arahan , petunjuk, nasehat, penyuluhan dan motivasi yang diberikan kepada peserta didik dalam menghadapi masalah-masalah yang mungkin timbul dalam mengembangkan kemampuannya, serta memberikan pengertian dan kasih sayangnya sebagai dasar bagi pendidikan.

Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan pendidik yang professional yang memiliki kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogic, kompetensi professional dan kompetensi social. PEMBAHASAN Pengertian Guru dan karakteristiknya

Dalam UU Guru dan Dosen No 14 tahun 2005 guru adalah pendidik yang professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, melatih , menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini.

Menurut Noor jamaluddin (1978 : 1) guru adalah pendidik, yaitu orang dewasa yang bertanggung jawab, memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohani agar mencapai kedewasaannya,mampu berdiri sendiri dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Alloh khalifah dimuka bumi, sebagai makhluk social dan individu yang sanggup berdiri sendiri.

Berdasarkan pengertian tersebut diatas pendidik dalam hal ini guru adalah orang dewasa yang harus bertanggung jawab atas anak didik untuk mencapai kedewasaannya, dalam arti mandiri, yaitu tidak tergantung kepada orang lain , bertanggung jawab dalam arti mampu menentukan keputusan atau tindakan atas pilihannya sendiri dan mampu menerima segala konsekwensi atas keputusan atau tindakannya, serta mampu menyerahkan diri dalam arti berani berkorban demi nilai-nilai dan norma yang diakuinya, demi cita atau demi tujuan hidupnya, pekerjaannya, orang lain atau masyarakat.

Selanjutnya, bahwa bagi seorang pendidik diperlukan motif Intrinsik yaitu suatu motif yang didasari oleh rasa`kasih sayang, sehingga ia rela berkorban melaksanakan pendidikan bagi anak didiknya. Kasih sayang merupakan motif yang sangat penting dalam rangka pendidikan karena kasih sayang akan mampu mendorong pendidik (guru) untuk mengarahkan anak didik kepada hal-hal yang

Page 40: Proceeding jilid 2

451

baik dan bermanfaat , sehingga ada pepatah yang mengatakan guru adalah yang harus digugu dan ditiru oleh semua murid dan bahkan masyarakat. sehingga sikap dasar, bicara, kebiasaan ,pakaian , gaya hidup dan lainnya sangat berpengaruh terhadap prilaku peserta didik.

Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh dan panutan bagi peserta didik, oleh karena itu guru harus memiliki standar kualitas pribad tertentu yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin, sehingga guru harus mengetahui serta memahami nilai, moral dan social serta berusaha dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. Seorang guru yang berwibawa adalah guru yang memiliki kelebihan dalam merealisasikan nilai spiritual, emosional moral , social dan intelektual dalam pribadinya.

Berdasarkan pernyataan tersebut maka ciri pendidik (guru) yang professional itu harus memiliki kompetensi Kompetensi guru merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan dan prilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai dan diaktulisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 tahun 2008 tentang guru, dinyatakan bahwa kompetensi yang harus dimilikioleh guru meliputi kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi social dan kompetensi professional. Berikut akan dijelaskan keempat kompetensi:

1. Kompetensi pedagogic

Kompetensi pedagogic merupakan kemampuan yang berkenaan dengan a. pemahaman peserta didik b. perancangan dan pelaksanaan pembelajaran artinya menerapkan teori belajar dan pembelajaran, menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik siswa, c. melaksanakan pembelajaran dengan menata latar (setting ), d. evaluasi hasil belajar yaitumelaksanakan evaluasi proses dan hasil belajar secara berkesinambungan e. pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

2. Kompetensi kepribadian

Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang: a. mantap, stabil sesuai dengan norma hukum,norma social dan memiliki konsistensi dalam bertindak. b. dewasa artinya memiliki kemandirian dalam bertindak c. arif artinya menunjukkan keterbukaan dalam berfikir dan bertindak d. berwibawa artinya memiliki prilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan disegani e. menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia artinya bertindak sesuai dengan norma religius ( imtaq, jujur ikhlas ) dan memiliki prilaku yang diteladani peserta didik )

3. Kompetensi professional

Kompetensi professional merupakan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut, sertapenguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya.

Page 41: Proceeding jilid 2

452

4. Kompetensi social Kompetensi social berkenaan dengan kemampuan pendidik (guru) sebagai

bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan , orang tua/wali peserta didik dan masyarakat

PERANAN GURU

Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peran utama. Karena proses belajar mengajar mengandung serangkaian perbuatan pendidik dalam hal ini guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi educatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi timbal balik antara siswa dan guru merupakan syarat utama dalam kelangsungan proses belajar mengajar. Interaksi ini tidak hanya terbatas pada penyampaian materi saja tetapi menanamkan sikap dan nilai pada diri siswa , dalam hal ini guru tidak hanya tampil sebagai pengajar, melainkan juga dapat bertindak antara lain sebagai pelatih, pembimbing , dan manager.

Kehadiran guru dalam proses belajar mengajar atau pengajaran , memegang peranan penting dan tidak bisa digantikan dengan mesin, radio, komputer ataupun elektronik lainnya, karena dari proses belajar akan menghasilkan manusia yg berkepribadian yang memiliki sikap nilai, motivasi, kebiasaan, perasaan dll. Hal itu tidak bisa dicapai melalui mesin atau teknologi lain. Maka guru memiliki peran yang sangat penting yaitu sebagai sutradara dan sekaligus aktor yaitu yang merencanakan dan melaksanakan pembelajaran di kelas.

Para pakar pendidikan di barat telah melakukan penelitian tentang peran guru yang harus dilaksanakan. Peran guru yang beragam telah diidentifikasi dan dikaji oleh Pullias dan Young (1988), Manan (1990) serta Yelon dan Weinstein (1997). Adapun peran-peran tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Guru sebagai pendidik

Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh dan panutan dan identifikasi bagi para peserta didik dan lingkungannya, oleh karena itu guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin. Berkaitan dengan tanggung jawab guru harus mengetahui, serta memahami nilai, moral dan social serta berusaha dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. Seorang guru yang berwibawa adalah guru yang memiliki kelebihan dalam merealisasikan nilai spiritual , emosional , moral ,social dan intelektual dalam pribadinya, yang mandiri yang mampu mengambil keputusan secara mandiri dan disiplin mematuhi aturan dan tata tertib secara konsisten.

Peran guru sebagai pendidik berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga tidak cukup tahu materi yang diajarkan tetapi harus mencerminkan seseorang yang memiliki kepribadian guru dengan segala cirri tingkat kedewasaannya. Dengan kata lain bahwa untuk menjadi pendidik atau guru seseorang harus berpribadi. 2. Guru sebagai pengajar

Peranan guru sebagai pengajar dalam kegiatan belajar merupakan tugas dan tanggung jawab yang pertama dan utama untuk membantu peserta didik yang

Page 42: Proceeding jilid 2

453

sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya dan memahami materi yang dipelajari. Guru sebagai pengajar atau penyampai ilmu pengetahuan masih cenderung menonjol. Hal ini berarti guru pada umumnya akan memberikan kriteria keberhasilan anak didiknya melalui nilai-nilai pelajaran yang diajarkan setiap harinya.

Keberhasilan siswa dalam pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain, motivasi, kematangan, hubungan peserta didik dengan guru, kemampuan verbal, tingkat kebebasan, rasa aman dan keterampilan guru dalam berkomunikasi. Sebagai pengajar guru harus mampu membina hubungan yang baik dengan peserta didik dan keterampilan guru saat berkomunikasi di dalam kelas pun merupakan seorang yang harus dimiliki seorang pengajar.

3. Guru sebagai pembimbing

Guru berusaha membimbing peserta didik agar dapat menemukan berbagai potensi yang dimilikinya, membimbing siswa agar dapat mencapai dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan mereka sehingga dengan ketercapaian itu ia dapat tumbuh dan berkembang sebagai individu yang mandiri dan produktif. Peserta didik adalah individu yang unik sekalipun anak kembar tidak akan sama baik bakat, minat dan kemampuan, peserta didik adalah makhluk yang sedang berkembang, dengan kondisi itulah menuntut guru harus berperan sebagai pembimbing dengan memberikan lingkungan dan arah yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Membimbing dalam arti menuntun sesuai dengan kaidah yang baik, sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan , ikut memecahkan persoalan-persoalan atau kesulitan yang dihadapi anak. Dengan demikian dapat menciptakan perkembangan yang lebih baik pada diri siswa, baik perkembangan fisik maupun mental.

4. Guru sebagai penasehat

Menjadi guru berarti menjadi penasehat dan menjadi orang kepercayaan bagi peserta didiknya. Setiap peserta didik selalu dihadapkan masalah yang berkaitan dengan kompetensi sehingga guru harus menjadi pendengar yang baik (saondi dan suherman, 2010:150). Kesediaan untuk mendengar, akan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengutarakan keinginan dan pendapatnya, artinya guru memiliki perhatian yang konstruktif mengenai masalah yang dihadapi dan mempunyai alternatif atau solusi yang dibutuhkan siswa. Dengan demikian siswa memiliki rasa aman dan nyaman karena menerima saran-saran yang diberikan gurunya.

5. Guru sebagai pembaharu

Guru menerjemahkan pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi peserta didik. Dalam hal ini, trdapat jurang yang dalam dan luas antara generasi yang satu dengan yang lain, demikian halnya pengalaman orang tua memiliki arti lebih banyak dari pada nenek kita. Seorang peserta didik yang belajar sekarang , secara psikologis berada jauh dari pengalaman manusiayang harus dipahami, dicerna dan diwujudkan dalam pendidikan. Tugas guru adalah menerjemahkan kebijakan dan pengalaman yang berharga ini ke dalam istilah atau bahasa modern yang akan diterima oleh peserta didik. Sebagai jembatan

Page 43: Proceeding jilid 2

454

antara generasi tua dan muda, yang juga penerjemah pengalaman, guru harus menjadi pribadi yang terdidik.

6. Guru sebagai pengelola pembelajaran

Guru harus mampu menguasai berbagai metode pembelajaran. Selain itu guru juga dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya tidak ketinggalan jaman. 7. Guru sebagai model dan teladan

Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru. Sebagai teladan tentu saja apa yang dilakukan guru akan menjadi sorotan baik dari peserta didik maupun masyarakat , sehingga ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru yaitu sikap dasar, gaya bicara, pakaian, proses berfikir gaya hidup dan lain-lain karena prilaku seorang guru akan mempengaruhi peserta didik.

8. Guru sebagai pendorong kreativitas

Kreativitas merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran dan guru dituntut untuk mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreatifitas tersebut.kreatifitas merupakan sesuatu yang bersifat universal dan merupakan cirri aspek dunia kehidupan di sekitar kita. Kreativitas ditandai oleh adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan tidak dilakukan oleh seseorang atau adanya kecenderungan untuk menciptakan sesuatu. Akibat dari fungsi itu, guru senantiasa berusaha untuk menemukan cara yang lebih baik dalam melayani peserta didik, sehingga peserta didik akan menilainya bahwa ia memang kreatif dan tidak melakukan sesuatu secara rutin. 9. Guru sebagai evaluator

Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang komplek, karena melibatkan banyak melibatkan latar belakang dan hubungan serta variable lain yang mempunyai arti apabila berhungan dengan kontek yang hampir tidak mungkin dipisahkan dengan setiap segi penilaian. Tehnik apapun yang dipilih, dalam penilaian harus dilakukan dengan prosedur yang jelas, yang meliputi tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut.

KARAKTERISTIK ANAK USIA SEKOLAH DASAR

Karakteristik anak usia sekolah dasa radalah senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok serta senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung oleh karena itu guru hendaknya mengembangkan pembelajaran yang mengandung unsure permainan, memungkinkan siswa berpindah atau bergerak dan bekerja dalam kelompok serta memberikan kepada anak didik untuk terlibat langsung dalam pembelajaran. Nurhayati (2001) anak-anak usia sekolah dasar sedang bergerak dari pemikiran egosentris ke desentris atau dari pemikiran subyektif ke pemikiran objektif. Pemikiran desentris memungkinkan anak-anak melihat bahwa orang lain dapat memiliki persepsi berbeda dengan dari persepsi mereka. Hal ini juga sejalan dengan yang dikatakan oleh Darmodjo (1992) anak usia sekolah dasar adalah anak yang sedang mengalami pertumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun pertumbuhan badaniyah . dimana kecepatan pertumbuhan

Page 44: Proceeding jilid 2

455

anak pada masing-masing aspek tersebut tidak sama, walaupun dalam usia yang sama.

Dari pengertian tersebut bahwa karakteristik utama anak usia sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan individual dalam banyak segi dan bidang, diantaranya dalam intelegensi, kemampuan kognitif dan bahasa,perkembangan fisik dan kepribadian, karena anak didik harus dipandang sebagai subyek/pribadi yang memiliki kedirisendirian dan kebebasan untuk mencapai kedewasaannya.

Karakteristik berikutnya anak usia sekolah dasar sedang berkembang, sehingga dalam perkembangannya harus sesuai tahap perkembangannya dan dituntut perlakuan tertentu, artinya prilaku yang harus sesuai dengan anak usia sekolah dasar. Potensi yang dimiliki oleh anak menuntut orang dewasa dalam hal ini guru untuk mengembangkannya, sehingga memiliki ketergantungan kepada pendidik namun tidak memperlakukan semena-mena dan tidak dipandang sebagai objek tapi sebagai subyek.

Sejalan dengan itu Thornburg (1984) anak sekolah dasar merupakan individu yang sedang berkembang, barangkali tidak perlu lagi diragukan keberaniannya. Setiap anak sekolah dasar sedang berada dalam perubahan fisik maupun mental mengarah yang lebih baik, tingkah laku mereka dalam menghadapi lingkungan social dan non social meningkat. Ericson juga mengatakan bahwa anak usia sekolah dasar tertarik kepada pencapaian hasil belajar. Mereka mengembangkan rasa percaya dirinya terhadap kemampuandan pencapaian yang baikdan relevan IMPLIKASI PERANAN GURU TERHADAP ANAK USIA SEKOLAH DASAR

Sebagaimana diuraikan diatas , dapat disimpulkan bahwa anakn usia sekolah dasar adalah individu yang sedang berkembang baik secara fisik maupun mental, perkembangan intelektual, perkembangan rasa percaya diri serta adanya perbedaan individual baik dari segi intelegensi , kemampuan dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan fisik serta mentalnya.

Menyikapi karakteristik tersebut maka peran guru menjadi sangat dominan untuk menumbuh kembangkan, menyelaraskan dan meningkatkan potensi, karakter dan motivasi yang dimiliki peserta didik dengan segala karakteristiknya sebagaimana tersebut diatas

Sebagaimana pendapat dari Pullias dan Young tentang peranan guru terdapat 14 peranan diantaranya sebagai pendidik, pengajar sampai sebgai kulminator. Dalam kaitan dengan peran guru di tingkat Sekolah Dasar penulis berpendapat ada beberapa peran guru yang sangat menonjol, yaitu:

1. Guru sebagai pendidik

Peran guru sebagai pendidik berkaitan dengan peningkatan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, sehingga guru harus mampu menyampaikan materi pembelajaran sesuai dengan karakteristik anak, yang dilandasi dengan sikap dan tingkah laku serta menjadi seorang yang berkepribadian, yang menjadi suri teladan bagi peserta didiknya.

Hal ini berkaitan dengan karakteristik anak usia Sekolah Dasar sebagai individu yang sedang berkembang baik secara fisik dan mental kearah yang lebih baik, sehingga dalam prosesnya mereka akan mencari figure yang dapat

Page 45: Proceeding jilid 2

456

diteladani dalam sikap. Disamping tentunya yang berkaitan dengan perkembangan intelektual yang diajarkan oleh guru.

2. Guru sebagai pengajar

Bahwa salah satu karakteristik anak usia Sekolah Dasar yang menonjol adalah dalam perkembangan kognitif, sebagaimana disampaikan oleh Nurhayati (2011) berdasarkan tahapan Piaget, perkembangan kognitif anak usia SD berada pada tahapan kongkrit. Istilah operasi kongkret mencerminkan pada dunia nyata.

Memperhatikan karakteristik tersebut maka peran guru sebagai pengajar menjadi peran utama atau sebagai aktor utamanya, dalam pengertian bahwa guru harus mampu membantu peserta didik untuk mempelajari ilmu pengetahuan dalam rangka mengembangkan, menggali dan meningkatkan potensi kognitif yang dimiliki oleh peserta didik.

3. Guru sebagai pembimbing

Pengembangan rasa percaya diri adalah salah satu karakter anak usia SD, hal ini berkaitan dengan kemampuan dan pencapaian hasil belajar. Sehubungan dengan hal tersebut maka seorang guru dituntut untuk berperan sebagai pembimbing dengan memberikan lingkungan dan arahan yang memungkinkan anak didik untuk mengembangkan kemampuan dan pencapaian hasil yang lebih baik, sehingga menumbuhkan rasa percaya diri dalam proses belajar mengajar. Sejalan dengan peran tersebut seorang guru harus mampu memahami karakteristik anak didik yang memiliki perbedaan diantara individu.

4. Guru sebagai model atau teladan.

Sebagaimana diuraikan bahwa karakteristik anak usia SD pada dasarnya adalah manusia yang sedang berkembang baik fisik maupun mental sehingga memerlukan figur, teladan atau model yang dijadikan panutan . guru dengan berbagai perannya, sikap dan gayanya, kemampuan intelektualnya dan prilakunya akan mempengaruhi sikap dan gaya peserta didiknya, karena anak usia Sekolah Dasar akan selalu meniru apa yang dilakukan gurunya, semboyannya digugu dan ditiru. Sehingga guru harus menjadi model dan teladan ideal bagi peserta didiknya. SIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa peran guru untuk anak usia Sekolah dasar adalah : A. Guru adalah pendidik sebagai unsure prmbentuk utama peserta didik atau

anak didik agar menjadi manusia yang diharapkan . sehingga perlu memiliki deperangkat ilmu pengetahuan serta memiliki kompetensi dasar dalam mendidik. Guru adalah orang dewasa yang bertanggung jawab atas peserta didiknya untuk mencapai kedewasaannya, yang didasari oleh kasih sayang serta teladan atau model yang baik, kaarena sikap dan kepribadian , gaya bicara, pakaian akan mempengaruhi prilaku peserta didik, guru dijadikan panutan atau tokoh bagi peserta didik dan lingkungannya.

B. Guru memiliki peran yang sangat besar terhadap keberhasilan pendidikan di sekolah . guru berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Secara sederhana , peran guru

Page 46: Proceeding jilid 2

457

srbagai pendidik ,adalah membimbing , mengajar dan melatih.ketiga peran ini harus disesuaikan dengan karakteristik peserta didik supaya tujuan pendidikan tercapai optimal

C. Karakteristik anak usia sekolah Dasar adalah individu yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan dengan segala perbedaan-perbedaannya, baik intelektual, emosional dan badaniyahnya, sehingga dalam perkembangannya harus disesuaikan dengan tahap dan tugas perkembangan anak usia Sekolah dasar dan dituntut perlakuan tertentu sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Disamping itu anak usia sekolah dasar senang bermain , bergerak bekerja dalam kelompok, melakukan sesuatu secara langsung. Oleh karena itu anak harus dilibatkan langsung dalam pembelajaran.

D. Peran guru untuk anak usia sekolah Dasar adalah menciptakan lingkungan social yang kondusif sehingga perbedaan peserta didik , baik kognitif,kemampuan intelektual bahasa dan lainnya, menjadi pemicu masing-masing individu untuk mengembangkan potensi dirinya. Memberikan luang dan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuan kognitif, intelektual serta pengembangan rasa percaya diri dalam proses belajar mengajar.

DAFTAR RUJUKAN Bobbi De Prter (2001), Quantum Learning, Kaifa bandung. Nurhayati, Eti (2001), Psikologi Pendidikan Inovatif. Yogyakarta, Pustaka Belajar. Noor Jamaluddin (1978, 17), Pengertian Guru. Thoifuri. (2007) , Menjadi Guru Inisiator. Semarangb , Rasail Media Group. Pullias dan Young (1988) Peran Guru dalam Pembelajaran. Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2008, tentang Guru. Thorn Burg (1984), Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar. Umar HamalIK (2008), Proses Belajar Mengajar, Bumi Aksara Bandung. Undang-Undang N0 14 tahun 2005 , tentang Guru dan Dosen. Usman, Moch Uzer (1994), menjadi Guru Profesional , Bandung PT Remaja

Rosdakarya

Page 47: Proceeding jilid 2

458

PEDAGOGIK PROFETIK ISLAM: SEBUAH WACANA PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS BIMBINGAN UNTUK

MEMBANGUN KARAKTER ANAK SHOLEH

Arie Rakhmat Riyadi & Juntika Nurihsan

Universitas Pendidikan Indonesia E-mail: [email protected]

Abstract Education is considered successful, especially when the goal can be achieved. There is one implicit educational goals, which almost all parents, educators and the community at large agree to establish pious children. Pious children referring to certain personal characteristics involving four dimension, namely qolbiah, aqliah, amaliah and jasadiah. The development of globalization is not accompanied by the readiness to face it and is not uncommon to reap the negative impact on children's development and getting them away from the desirable child's pious characters. Pious child character requires a number of requirements. One of them is the formulation of a model of learning that has partial matches so that the pious child can be achieved. Islamic prophetic pedagogic presented as one of the alternative ideas, as a framework for the implementation of the education system based on the Quran and the Hadith of the Prophet Muhammad, which in this study is expected to facilitate the birth of one of the applicative reference model of learning in schools. Islamic prophetic pedagogic was developed based on the study of literature by using the fundamental structure of pedagogic include: general philosophy, the purpose of education, the content of education (curriculum), and the educational process. This paper concludes by reviewing the implications for the development of learning models to build the character of pious children ranging from syntax, the social system, the principle of reaction, support systems, to the analysis of the impact, in terms of instructional effects and the nurturance effects. Keywords: pedagogical, prophetic, Islam, models, learning, character, and pious. PENDAHULUAN

Membahas tema pendidikan tidak akan ada habisnya, sebab pendidikan tidak dapat dilepaskan dari unsur terpenting peradaban, yaitu manusia. Keinginan untuk membawa manusia dari kondisi apa adanya (what it is) menuju kondisi bagaimana seharusnya (what should be) (Kartadinata, 2010; 2011; 2014) mendorong tumbuhnya beragam pemikiran, kajian bahkan eksperimen-eksperimen berbasis studi ilmiah untuk menemukan cara terbaik (best practice) mencapainya melalui pendidikan. Hubungan manusia dengan pendidikan sangat jelas dari sifat manusia sebagai makhluk pedagogik, yaitu makhluk yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik, dapat mendidik, dan dapat mendidik diri (Syaripudin, 2012: 18; Daradjat, 2006: 16). Atas dasar itulah, pedagogik dibutuhkan untuk menjadi dasar atau landasan bagi praktik pendidikan, standar

Page 48: Proceeding jilid 2

459

(kriteria) keberhasilan, dan wujud pertanggungjawaban ilmiah praktik pendidikan (Syaripudin, 2010: 9-10).

Dalam perwujudannya, pendidikan terkait persoalan tujuan dan fokus (Bereiter dalam Kartadinata, 2011: 10). Pendidikan sebagai upaya normatif mengimplikasikan bahwa proses pendidikan mutlak melibatkan pemahaman utuh tentang hakikat manusia. Bukan saja terpaku pada ke-di sini-an dan ke-kini-an (here and now) tetapi juga harus memandang manusia dalam proses menjadi (being) dan berada (eksis), (Kartadinata, 2011: 9) bangkit dari nothingness menuju being better (Kesuma, 2012: 273). Dengan demikian, pemahaman manusia dalam hal aktualitasnya, kemungkinannya (posibilities), pemikiran dan perubahan yang dapat diharapkan terjadi dalam diri manusia harus difahami secara utuh. Undang-Undang (UU) Sisdiknas No. 20, Tahun 2003 Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Pengembangan karakter bangsa tegas dinyatakan di pasal tersebut. “Ketika pendidikan karakter dicanangkan, tampak seolah-olah menjadi urusan baru dalam pendidikan. Padahal esensi dari pendidikan itu sendiri sudah diamanatkan dalam UU.” (Kartadinata, 2012: 31).

Lahirnya istilah pendidikan karakter, adalah sebuah kewajaran dan wujud keresahan terhadap keutuhan ketercapaian tujuan pendidikan sebagaimana tercantum di pasl 3 UU di atas. Faktanya, kondisi keseharian perilaku masyarakat masih didominasi dengan tampilan yang berkebalikan dengan apa yang diharapkan itu, bahkan dengan frekuensi yang semakin bertambah tinggi. Seiring dengan perkembangan globalisasi dan modernisme nilai-nilai spiritual transendental telah lambat laun terabaikan. Akibatnya, perkembangan kemajuan yang ada tidak berjalan pada memiliki pijakan yang kokoh dalam membangun peradaban (Maarif dalam Tafsir, 2012: 316). Keluhuran kata iman, taqwa, dan akhlak mulia tidak sederajat capaian kedalamannya dengan ekspektasi dan hasil luaran yang nampak dibandingkan dengan ilmu, kecakapan, kreativitas dan kemandirian. Ada ketidakseimbangan. Penyebab kekacauan ini adalah paradigma sains turunan dari Cartesian dan Newtonian yang tidak melihat alam dan kehidupan secara utuh dan menyeluruh (wholeness). Paradigma ini hanya melihat alam pada bagian yang empiriknya saja (Capra dalam Tafsir, 2012: 318). Pendewaan rasio manusia telah menjerumuskan manusia pada sekularisasi kesadaran dan menciptakan ketidakberartian hidup (Nashir dalam Tafsir, 2012: 312). Tindakan-tindakan koruptif, manipulatif dan desktruktif terjadi di mana-mana, di berbagai aspek kehidupan, di berbagai level kehidupan, termasuk pada anak usia Sekolah Dasar (SD).

Gambaran di atas bukan untuk memperkuat pesimisme langkah dan upaya pendidikan. Namun, merupakan sarana evaluasi dan refleksi dengan harapan feedback yang diperoleh melahirkan optimisme sebagai perwujudan memaknai realitas untuk menuai harapan masa depan yang lebih baik (devine reality and giving hope). Tulisan ini mencoba menelaah dan mengembangkan kerangka kerja pedagogik alternatif, beriringan dengan keyakinan bahwa seluruh orangtua, pendidik, masyarakat seluruhnya masih istiqomah berharap (berdoa) kepada

Page 49: Proceeding jilid 2

460

Tuhan YME (Allah SWT), agar anak-anak mereka di masa depan akan menjadi generasi penerus yang lebih baik, anak-anak yang memiliki karakter sholeh, pilar peradaban.

Bicara tentang pedagogik alternatif, tentu berkaitan dengan upaya-upaya pengembangan ilmu praktik pendidikan yang tidak biasa. Walaupun istilah biasa dan tidak biasa debateable, namun pada tulisan ini yang dimaksud sebagai pedagogik alternatif adalah pedagogik profetik Islam. Pedagogik yang melihat manusia secara utuh dan menyeluruh (wholeness) dengan melibatkan potensi dasar manusia (fitrah beragama), berke-Tuhan-an, berdasarkan pola pendidikan Nabi Muhammad saw yang mengimplementasikan substansi Al-Quran dan As-Sunnah atau Hadist. Sebenarnya, penggunaan istilah profetik dalam kajian-kajian pengembangan dan implementasi pendidikan bukan hal baru, namun menjadi booming sejak tahun 2010-an. Misalnya termuat dalam buku Prophetic Education (Kuntowidjojo dalam Roqib, 2011), “Pendekatan Profetik” (Syhabuddin, 2012), dan lain-lain yang merujuk pada misi Nabi Muhammad saw dalam menyelenggarakan “pendidikan” kepada umat dengan berdasar pada wahyu-wahyu Allah SWT. Singkatnya, pedagogik profetik Islam adalah sebuah kerangka kerja keilmuan penyelenggaraan pendidikan “ala” Nabi; yang akhlaknya sendiri adalah akhlak Al-Qur’an.

Tentu ulasan mengenai pedagogik profetik Islam ini akan sangat luas, selain karena sumber-sumbernya yang luhur melibatkan wahyu Allah SWT dan serangkaian Hadist-hadist Nabi, maka pada kesempatan ini tulisan ini dibatasi pada tiga hal saja. Pertama, menelusuri struktur fundamental pedagogik yang melibatkan filsafat umum (ontologi, epistemologi dan aksiologi); tujuan pendidikan, isi pendidikan, dan proses pendidikan. Kedua, melihat implikasi taktis pedagogik profetik Islam tersebut diterjemahkan pada model pembelajaran berbasis bimbingan, dan ketiga mengarahkannya secara spesifik untuk membentuk karakter anak sholeh.

Kajian Pedagogik Profetik Islam

Pendididikan dalam arti hakiki, ialah pemberian bimbingan dan bantuan rohani kepada orang yang belum dewasa; mendidik berarti melakukan tindakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan (Langeveld dalam Saripudin, 2010: 5-6). Simpulannya, pendidikan adalah suatu upaya yang dilakukan secara sengaja oleh orang dewasa untuk membantu atau membimbing anak (orang yang belum dewasa) agar mencapai kedewasaan. Karakteristik pendidikan. Pendidikan berlangsung dalam pergaulan atara orang dewasa (pendidik) dengan anak atau orang yang belum dewasa (anak didik) di dalam suatu lingkungan. Karena pendidikan merupakan upaya yang disengaja, maka pendidik harus sudah memiliki tujuan pendidikan. Adapun untuk mencapai tujuan tersebut, pendidik memilih isi pendidikan (pengaruh) tertentu, menggunakan cara-cara/metode tertenu dan menggunakan alat pendidikan tertenu pula.

Ada dua arus model pengembangan pedagogik profetik Islam yang dapat digunakan. Pertama cara deduksi, yaitu memulainya dari mulai teks wahyu atau sabda rasul; kemudian ditafsirkan, dari sini muncul teori pendidikan pada tingkat filsafat; teori itu lalu dieksperimenkan, dari sini akan muncul teori pendidikan pada tingkat ilmu (sains). Selanjutnya diurai lebih operasional sehingga langsung dapat dijadikan petunjuk teknis (manual).

Page 50: Proceeding jilid 2

461

Teks Islam (wahyu, hadist)

Tafsir (teori pendidikan tingkat filosofis)

Dieksperimenkan

Teori pendidikan tingkat ilmu

Petunjuk teknis (Manual)

Skema Pengembangan Pedagogik Profetik Islam Model Deduksi

(Diadaptasi dari Buku Tafsir, A. 2012. Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung: PT. Rosdakarya.)

Kedua, adalah cara induksi-konsultasi, yaitu mengambil teori yang sudah ada (baik dari Barat maupun dari Timur), dikonsulkasikan ke teks Al-Qur’an dan atau Hadist, jika tidak berlawanan, maka teori tersebut didaftarkan ke dalam khazanah keilmuan pedagogik profetik Islam. Ini bukan berarti cara deduksi sama sekali tidak digunakan. ONTOLOGI

Sifat hakiki manusia adalah “homo religius”, makhluk beragama yang mempunyai fitrah untuk memahami dan menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, serta sekaligus menjadikan kebenaran agama itu sebagai rujukan (referensi) sikap dan perilakunya. Dalil yang menunjukkan bahwa manusia mempunyai fitrah beragama adalah al-quran, Surat Al-A’raf ayat 172, yang berbunyi: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami (bani Adam) lengah terhadap (Keesaan Tuhan) ini.’" “atau agar kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dulu, sedang kami adalah keturunan yang (datang) setelah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang (dahulu) yang sesat?’” “Dan demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran).”

Rujukan Kreasionisme (Butller dalam Syaripudin, 2014: 10) bahwa asal usul manusia adalah ciptaan Tuhan YME diyakini lebih kuat bagi orang beragama, khususnya Islam, dibandingkan dengan filsafat Evolusionisme (manusia adalah hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di alam semesta). Ditambah empat argumen filosofis berikut meyakinkan kepatuhan terhadap rujukan kreasionisme tersebut. Argumen ontologis, bahwa semua manusia memiliki ide

Page 51: Proceeding jilid 2

462

tentang Tuhan, dan realitas lebih sempurna daripada ide manusia. Sebab itu, Tuhan pasti ada dan realitas ada-Nya itu pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan. Argumen kosmologis, bahwa segala sesuatu yang ada mesti mempunyai suatu sebab. Adanya alam semesta –termasuk manusia– adalah sebagai akibat. Di alam semesta terdapat rangkaian sebab-akibat, namun tentu mesti ada Sebab Pertama yang tidak disebabkan oleh yang lainnya. Sebab Pertama adalah sumber bagi sebab-sebab lainnya, tidak berada sebagai materi, melainkan sebagai “Pribadi” atau “Khalik”.

Argumen teleologis, bahwa segala sesuatu memiliki tujuan (contoh: mata untuk melihat, kaki untuk berjalan dsb.). Sebab itu, segala sesuatu (realitas) tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan diciptakan oleh Pengatur tujuan tersebut, yaitu Tuhan. Argumen moral, bahwa manusia bermoral, ia dapat membedakan perbuatan baik dan yang jahat, dsb. Ini menunjukkan adanya dasar, sumber dan tujuan moralitas. Dasar, sumber dan tujuan moralitas itu adalah Tuhan (Syaripudin, 2014: 10-11). “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” “dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertaqwalah kepada-Nya serta laksanakanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah,” “yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Q.S. 30 Ar-Rum: 30-32).

Potensi Manusia

Potensi positif manusia mencakup tujuh hal sebagai berikut (Ahmad, 2010: 84-92). Pertama, manusia mempunyai fitram beragama sebagaimana firman-Nya “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam fitrah Allah itu. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S. Ar-Ruum: 30). Kedua, manusia mempunyai kemampuan untuk memahami hokum kausalitas, sehingga dia tidak lagi menghubungkan kejadian alam semesta ini dengan kekuatan-kekuatan gaib selain Allah. Ketiga, kemampuan menguasai ilmu pengetahuan (al-Baqarah: 31). Ini mengandung pengertian bahwa menurut asal kejadiannya, manusia dapat memperoleh dan mengembangkan ilmu pengetahuan kemudian diaplikasikan dalam kehidupan nyata dalam bentuk teknologi. Keempat, mampu menyusun argument secara logis. Hal ini diisyaratkan-Nya dengan menampilkan teguran kepada kelompok Ahli Kitab yang saling berbantah tanpa argument logis (Q.S. Al-Baqarah: 65-68). Kelima, mampu mengambil pelajaran dari pengalaman. Hal ini diisyaratkan dengan teguran-Nya pada bangsa Yahudi yang tidak mampu mengambil pelajaran dari sejarah panjang bangsanya (Q.S. Al-Araf: 164-169). Keenam, mampu berpikir kritis terhadap gagasan yang disampaikan orang lain yang tidak mempunyai pijakan kebenaran (Q.S. Al-Maidah: 103). Dalam ayat tersebut, secara pedas Allah mencela sikap orang yang mengikuti pendapat orang lain secara membabibuta tanpa terlebih dahulu mengkritisinya. Ketujuh, kemampuan menguasai informasi (Q.S. Ar-Rahman: 4). Hal ini menunjukkan bahwa dengan akal yang dianugerahkan-Nya.

Page 52: Proceeding jilid 2

463

Adapun potensi-potensi negatif yang dimiliki manusia sebagai berikut: (1) Sifat tergesa-gesa (Q.S. Bani Israil: 11); (2) Bertindak bodoh dan mempersulit diri (Q.S. Al-Ahzab: 72); (3) Labil dan tidak betahan (Q.S. Al-Maarij: 19); (4) Keluh-kesah (Q.S. Al-Maarij: 20); (5) Kikir terhadap miliknya dan cenderung kurang bersyukur (Q.S. Al-Maarij: 21); (6) Suka berdebat dan membangkang (Q.S. Al-Kahfi: 54; Q.S. An-Nahl: 4); (7) Mudah melupakan jasa baik pihak lain (Q.S. Yunus: 12); (8) Sulit berterima kasih secara tulus (Q.S. Al-Adiyat: 6); (9) Bertindak melampaui batas (Q.S. Al-Alaq: 6); (10) Mudah putus asa dan cenderung menutup diri (Q.S. Hud: 9); (11) Senang kepada harta (Q.S. At-Takaatsur: 1-2); dan (12) Takut ancaman dan kematian (Q.S. An-Nisaa: 78).

Bicara potensi, manusia memiliki media belajar yang sangat mudah dan jelas yaitu Pendengaran, Penglihatan, dan Hati (rasa/kinestetik) sebagaimana dikemukakan beberapa firman Allah SWT berikut. (1) “Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu[1332] bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Fushshilat: 22); (2) Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya. (Q.S. Al-Ahqaaf: 26); (3) Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka[20], dan penglihatan mereka ditutup[21]. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. (Q.S. Al-Baqarah: 7). (4) Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur (Q.S. Al-Mu’minun: 78).

Tujuan Pendidikan

Dalam pandangan Ibnu Qayyim (Iqbal, 2015) tujuan pendidikan dalam Islam yang utama adalah menjaga (kesucian) fitrah manusia dan melindunginya agar tidak jatuh ke dalam penyimpangan serta mewujudkan dalam dirinya ubudiyah (penghambaan) kepada Allah Ta’ala. Allah SWT berfirman, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Ad-Dzariyat: 56). Klasifikasi tujuan pendidikan menurut pandangan Ibnu Qayyim sejalan dengan konsep karakter anak sholeh. Pertama, Ahdaf Jismiyah (tujuan yang berkaitan dengan badan). Maksudnya diadakan pendidikan adalah untuk menjaga kesehatan badan anak didik. Kedua, Ahdaf Akhliyah (tujuan berkaitan dengan pembinaan akhlak). Menurut Ibnu Qayyim, kebahagiaan akan bisa diraih dengan terhiasinya diri dengan akhlak mulia dan terjauhkannya dari akhlak buruk. Ketiga, Ahdaf Fikriyah (tujuan yang berkaitan dengan pembinaan akal). Pendidikan yang baik ialah yang bertujuan untuk membina dan menjaga anak dan pemikiran anak didiknya. Menurut Ibnu Qayyim, jika sekali saja terbuka kesempatan bagi anak melakukan perbuataan terlarang, maka bila terbiasa sehingga merusak akalnya. Keempat, Ahdaf Maslakiyah (tujuan yang berkaitan dengan keterampilan). Menurut Ibnu Qayyim, pendidikan harus memiliki tujuan menyingkap bakat dan keahlian (skill) yang tersimpan dalam diri seorang anak. Setelah mengetahui bakatnya, maka dengan segera diadakan pembinaan kepada

Page 53: Proceeding jilid 2

464

bidang-bidang yang sesuai dan baik yang akan mewujudkan kemaslahatan diri dan umat manusia secara keseluruhan.

Di luar itu, merujuk pada tingkatan tujuan pendidikan menurut Daradjat dkk (2014) maka ada empat bagian. Pertama, Tujuan Umum. Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan itu meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Kedua, Tujuan Akhir. Tujuan akhir pendidikan harus difahami dalam kerangka firman Allah SWT, yaitu: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Q.S. al-Imraan: 102). Mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah sebagi muslim yang merupakan ujung dari taqwa sebagai akhir dari proses hidup jelas berisi kegiatan pendidikan. Inilah akhir dari proses pendidikan itu yang dapat dianggap sebagai tujuan akhirnya. Ketiga, Tujuan Sementara. Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurkulum pendidikan formal. Keempat, Tujuan Operasional. Tujuan operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu unit kegiatan pendidikan dengan bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan akan mencapai tujuan tertentu disebut tujuan operasional. Dalam pendidikan formal, tujuan operasional ini disebut juga tujuan instrukseional yang selanjutnya ada tujuan instruksional umum dan khusus.

Isi dan Proses Pendidikan

Tanggung jawab terbesar bagi para pendidik, dalam konteks isi pendidikan terdiri dari tujuh pasal, yaitu: Pendidikan Iman, Pendidikan Moral, Pendidikan Fisik, Pendidikan Rasio, Pendidikan Psikologis, Pendidikan Sosial, Pendidikan Seksual (Ulwan dalam Iqbal, 2015). Pendidikan diselenggarakan melalui keteladanan, teguran, hukuman, cerita (kisah), pembiasaan dan pengalaman-pengalaman konkret. “dalam diri Rasulullaah itu kamus bisa menemukan teladan yang baik.” (Q.S. Al-Ahzab: 21). “Wahai Nabi Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan.” (Q.S. Al-Ahzab: 45-46), (Q.S. Ali-Imraan: 110), (Q.S. Ali-Imraan: 164), (Q.S. Al-Anbiya’: 107), dan (Q.S. Saba’: 28). Sedangkan Nasihat kita bisa belajar dari Q.S. Luqman.

Lingkungan Pendidikan

Lingkungan alamiah. “Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal (Q.S. Al-Maidaah: 31). Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Q.S. Al-Ankabut: 20). Lingkungan keluarga. Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu,

Page 54: Proceeding jilid 2

465

Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya" (Q.S. Al-Baqarah: 133). Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (Q.S. At-Tahrim: 6).

Lingkungan Masyarakat. “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (Q.S. An-Nisaa: 69). Serta, Lingkungan masjid. “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. At-Taubah: 18). Masjid harus dijadikan suatu lingkungan yang mengarah pada terbentuknya individu dan masyarakat yang terpuji, yang senantiasa mendasarkan perbuatannya pada prinsip-prinsip dasar keimanan. Menurut Al-Maraaghi (Ahmad, 2010: 147) masjid bisa diartikan juga rumah ibadah, sehingga kata imarat terkadang diartikan menetap dan bermukim di dalamnya untuk beribadah, juga termasuk untuk kegiatan bimbingan dan pendidikan.

Karakter Anak Sholeh

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah –yaitu Ibnu Hujr mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Isma’il –yaitu Ibnu Ja’far- dari Al’Ala’ dari Ayahnya dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullaah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya, dan anak sholeh yang selalu mendoakannya.” (H.R. Muslim No. 3084 Versi Syarh Shahih Muslim No. 1631; Abu Daud No. 2494; Tirmidzi No. 1297; Nasa’i No. 3591; Nawawi, 2013: 435). Kata sholeh/saleh/shalih/shalihah bila dilihat dari sifat katanya, “sholaha” = baik lawan kata “fasada” = rusak; “ashlaha” = memperbaiki; shollaha = rukun/damai. Dilihat dari subjek, “shoolihun/shoolihatun” = yang berbuat baik; “amalun shoolihun”: ‘amalum muwafiqum bimaa jaa a bihii nabiyyun = amal sholeh adalah amal yang cocok/sesuai dengan yang dibawa/dilakukan oleh Nabi. Berdasarkan analisis bahasa tersebut dapat diambil beberapa karakteristik kesholehan sebagai berikut.

1. Sholeh/sholehah menunjukkan kebaikan, bersifat baik. Semua yang merujuk kata sholeh adalah baik. Lawannya baik adalah “fasad”, rusak. Tidak dalam kondisi baik, rusak.

2. Kata sholeh juga dalam “aslaha” menunjukkan keaktifan. Bersifat pergerakan, pengerahan daya dan upaya meraih kebaikan, mengubah kondisi menjadi baik, memperbaiki, progresif.

3. Pada kata sholeh juga dalam “shollaha” menegaskan kondisi, situasi, keteraturan/ketaatan, rukun, kedamaian. Orang yang sholeh berada dalam kondisi taat aturan, rukun dan menuai kedamaian.

4. Dikarakterisasi pada person menjadi “shoolihun/shoolihatun” orang yang berbuat baik, melakukan kebaikan.

Page 55: Proceeding jilid 2

466

5. Ketika diwujudkan dalam tindakan, “amalun shoolihun”, maka perbuatan itu harus baik, dan kebaikan itu diperoleh melalui perbuatan/tindakan yang sesuai dengan rujukan Nabi.

Keshalihan anak merujuk kepada empat jenis keshalihan, yaitu (1) sholihul qolbi = hati yang bening, hati yang tunduk, taat atau sami’naa wa atha’naa kepada peraturan (perintah dan larangan) Allah; (2) shalihul ‘aqli = cerdas, kreatif, dan memiliki ghirah, motivasi atau semangat untuk ber-thalabul ‘ilmi; (3) shalihul ‘amali = melakukan amal atau perbuatan yang sesuai dengan perintah Allah, baik terkait dengan hablumminallaah maupun hablumminannaas; dan (4) sholihul jasadi = bersih dan sehat jasmaninya (Yusuf, 2005: 44).

Hipotesa Implikasi Bagi Pengembangan Model Pembelajaran Membangun Karakter Anak Sholeh

Berdasarkan kerangka model Joyce & Weill (2003), maka unsurnya mencakup:

1. Syntax, langkah-langkah operasional pembelajaran mengikuti proses pendidikan;

2. Social system, adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran mengikuti unsur lingkungan pendidikan;

3. Principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa juga sama mengikuti unsur lingkungan pendidikan;

4. Support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran melibatkan proses pendidikan dan lingkungan pendidikan; dan

5. Instructional dan nurturant effects—hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang ditetapkan (instructional effects) dan hasil belajar di luar yang ditetapkan (nurturant effects) merujuk pada tujuan-tujuan pendidikan termasuk tujuan mengembangkan karakter anak sholeh.

PENUTUP

Pedagogik profetik islam mengusung konsep nilai-nilai Qurani dan keteladanan Nabi Muhammad saw dalam proses pendidikan. Potensi manusia berupa fitrah beragama, sarana dan media yang diberikan Allah SWT berupa penglihatan, pendengaran dan hati (rasa) merupakan jalan masuk pendidikan. Hal tersebut akan sejalan dengan formulasi tujuan-tujuan pendidikan dan yang terakhir adalah agar manusia khusnul khotimah, meninggal dalam keadaan fitrah (muslim). Kemudian situasi dan proses pendidikan dilakukan melalui keteladanan dan nasihat, didukung oleh lingkungan pendidikan yang memadai termasuk mesjid. Unsur qalbiyah, amaliyah, aqliyah dan jasadiyah anak dapat dikembangkan melalui pembelajaran yang bernuansa bimbingan secara efektif dan efisien melibatkan langkah-langkah operasional khusus (sintaks), sistem sosial, prinsip reaksi dan dukungan lingkungan yang Islami diharapkan akan mewujudkan karakter anak sholeh yang diidam-idamkan. DAFTAR RUJUKAN Al-Qur’an Karim. Achmadi. (2010). Ideologi Pendidikan Islam. Edisi Revisi. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Page 56: Proceeding jilid 2

467

Ahmad, N. E.Q. (2010). Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan: Hati yang Selamat Hingga Kisah Luqman. Bandung: Marja.

Daradjat, Z. dkk. (2006). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama.

Kartadinata, S. (2011). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling sebagai Upaya Pedagogis: Kiat Mendidik sebagai Landasan Profesional Tindakan Konselor. Bandung: UPI Press.

Roqib, M. (2011). Prophetic Education: Kontekstualisasi Filsafat dan Budaya Profetik dalam Pendidikan. Purwokerto: STAIN Press.

Tafsir, A. (2012). Filsafat Pendidikan Islam: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tim Penyusun Buku Ajar Mata Kuliah Landasan Pendidikan (KD 300). (2014). Landasan Pendidikan. Bandung: Sub Koordinator MKDP Landasan Pendidikan Departemen Pedagogik FIP UPI.

Ulwan, A. N. (2007). Tarbiyatul Aulad fil Islam (1). Diterjemahkan oleh: Jamaludin Miri, berjudul: Pendidikan Anak dalam Islam. Jakarta: Pustaka Imani.

Yusuf, S. LN. (2005). Psikologi Belajar Agama (Perspektif Agama Islam). Edisi Revisi. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Page 57: Proceeding jilid 2

468

KEBERKESANAN PENGGUNAAN MONTAJ ANIMASI PERISIAN SKETCHUP TERHADAP PROSES PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN PELAJAR

DIPLOMA PERANCANGAN BANDAR DAN WILAYAH, POLITEKNIK SULTAN ABDUL HALIM MU’ADZAM SHAH, JITRA, KEDAH, MALAYSIA

Azzatunisa binti Ahmad Zubir Politeknik Sultan Abdul Halim Mu’adzam Shah

E-mail: [email protected] Abstrak Proses pengajaran dan pembelajaran telah melalui pelbagai proses inovasi dan transformasi. Pendekatan pengajaran interaktif difokuskan kepada cara persembahan maklumat yang diubah daripada isi pelajaran supaya lebih menarik. Penjelasan isi pelajaran yang menggunakan elemen-elemen seperti teks, grafik, animasi, audio dan video melahirkan sebuah persembahan pengajaran yang lebih menarik dan dapat merangsang minda pelajar. Kajian yang berbentuk kuasi eksperimen ini bertujuan untuk mengenalpasti kemahiran visualisasi sebelum dan selepas penggunaan montaj animasi Sketch up bagi kursus CP1023 Planning Principle 1 yang telah dibangunkan. Responden terdiri daripada 50 orang pelajar semester 1 kursus Diploma Perancangan Bandar dan Wilayah, Politeknik Sultan Abdul Halim Muadzam Shah, Jitra, Kedah, Malaysia. Soal selidik digunakan sebagai instrumen kajian. Data yang dianalisis menggunakan Perisian Statistical Package For Social Science (SPSS) versi 16.0 dipersembahkan dalam bentuk skor min dan sisihan piawai. Dapatan kajian menunjukkan bahawa responden menunjukkan minat dalam pembelajaran dengan menggunakan alat bantu mengajar (ABM) montaj animasi sketch up yang dibangunkan di mana mereka lebih cenderung dengan bentuk animasi dan gambar serta peningkatan kemahiran visualisasi. Oleh yang demikian, montaj animasi sketch up untuk kursus DCP1023 Planning Principle 1 yang dibangunkan ini dapat memberikan impak yang positif dalam melaksanakan proses pengajaran dan pembelajaran dan seterusnya boleh digunapakai sebagai salah satu bahan pengajaran di dalam kuliah. Kata kunci: Animasi 3D, Montaj animasi sketch up dan pengajaran interaktif PENGENALAN

Dunia pendidikan telah mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat. Perkembangan dan perubahan ini bukan hanya melibatkan falsafah dan kandungan kurikulum, tetapi juga pendekatan, kaedah dan teknik-teknik pengajaran dan pembelajaran. Dalam usaha untuk menarik minat pelajar dan seterusnya meningkatkan pencapaian mereka, pembelajaran haruslah dijadikan suatu pengalaman yang menyeronokkan dan mampu untuk mencabar pemikiran pelajar (Brody 2005; Dillon 2003). Akan tetapi, dari aspek perlaksanaan, terdapat banyak masalah yang menghalang dan mengganggu minat pelajar. Antara cabaran tersebut ialah kekurangan bahan bantu mengajar yang sesuai untuk menarik minat pelajar yang menyebabkan proses Pengajaran dan Pembelajaran (P & P) kurang berkesan (Hamzah 2002). Cabaran kedua adalah berkaitan dengan kualiti buku-buku teks. Walaupun buku-buku teks sekarang semakin

Page 58: Proceeding jilid 2

469

berkualiti, mempunyai grafik dan berwarna, tetapi ia masih memiliki kekurangan seperti kandungan buku yang tidak lengkap dan kurang menarik (Rustaman et al. 2005). Ketiga, pengajaran yang didominasi oleh guru yang mengakibatkan pelajar kurang aktif di dalam bilik darjah (Yustina & Rian 2009). Isu keempat adalah berkaitan dengan keterbatasan keupayaan dan kebolehan pelajar untuk mempelajari suatu perkara yang menyebabkan pembelajaran yang optimum kurang direalisasikan dalam diri kebanyakan pelajar. Analisis koleksi literatur menunjukkan bahawa salah satu faktor yang menentukan kejayaan pencapaian pelajar ialah penggunaan media pengajaran dan pembelajaran. Djamarah (2002) menyatakan bahawa kejayaan dalam proses pengajaran dan pembelajaran dipengaruhi oleh kaedah pengajaran yang melibatkan pelajar secara efektif dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Proses pengajaran dan pembelajaran tidak terlepas daripada penggunaan media pengajaran dan pembelajaran. Dari segi kaedah pengajaran dan pembelajaran, penggunaan pelbagai media pengajaran ini diakui dapat menambahkan penggayaan kepada daya pembelajaran manusia (Adri 2007). Media pengajaran yang tidak sesuai, sering menimbulkan masalah kepada guru dan pelajar dalam menjalankan proses pengajaran dan pembelajaran di sekolah. Masalah pembelajaran yang sering dihadapi ini menyebabkan kebanyakan pelajar menjadi pasif dan seolah-olah mereka tidak wujud dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Ekoran daripada itu, minat dan tarikan pelajar terhadap pelajaran semakin pudar dan akhirnya lenyap begitu sahaja. Perlu ditegaskan bahawa pelbagai media pengajaran sangat diperlukan dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Ini adalah kerana pelajar boleh mempelajari sesuatu dengan berkesan apabila pembelajaran diintegrasikan dengan pelbagai media pembelajaran yang sesuai. Tanpa media pembelajaran yang berkesan, mereka masih boleh belajar sesuatu, tetapi apa yang dipelajari akan dilupakan (Sudjana & Rivai 2008;Jamalludin & Zaidatun 2003). Menurut Norhashim, Mazenah dan Rose Alinda(1998), setiap pelajar mempunyai kemampuan yang berbeza dalam menerima bahan pembelajaran yang baharu. Setiap pelajar memerlukan masa yang tersendiri bagi pembelajaran yang berkesan. Oleh yang demikian, kaedah pembelajaran yang sesuai perlu dipilih dan dilaksanakan secara berkesan dengan memberi penjelasan dengan pelbagai media pengajaran yang dapat digunakan untuk membantu proses pengajaran dan pembelajaran. Beberapa dari mereka menerima pembelajaran lebih cepat dari yang lain. Belajar dengan pelbagai media pengajaran memungkinkan pelajar belajar sesuai dengan kecepatan masing-masing (Padmanthara 2007).Perlaksanaan proses pembelajaran yang kurang interaktif dalam pengajaran secara konvensional mengakibatkan pelajar kurang memberi perhatian kepada guru ketika mengajar dan segan untuk bertanya, sehingga pelajar kurang bermotivasi dan kurang memahami pelajaran yang diajarkan (Chuang & Cheng 2005). Oleh itu, untuk mendapatkan rancangan pengembangan pembelajaran yang baik dan interaktif, maka pelbagai media pengajaran yang berbentuk multimedia (ICT) mahupun modul diperlukan. Sehubungan dengan itu, kajian ini membangunkan modul pembelajaran menggunakan perisian Sketch-up dalam bentuk montaj. Inisiatif ini sejajar dengan dapatan kajian Attwood et al. (2005) yang menyatakan bahawa modul dan ICT menyediakan peluang pengajaran dan pembelajaran yang interaktif dan berkesan serta dapat meningkatkan pelbagai kemahiran dan pencapaian dalam kalangan pelajar. Dalam proses pengajaran dan pembelajaran

Page 59: Proceeding jilid 2

470

guru dituntut agar berusaha untuk memilih media pengajaran yang berkesan kerana tindakan ini dapat menyokong keberkesanan proses pengajaran dan pembelajaran. Hal ini adalah kerana proses pembelajaran yang efektif dan efisien hanya dapat dicapai melalui penggunaan media yang tepat (Chaeruman 2005). Media pengajaran yang berkesan adalah bahan yang membolehkan pelajar memperolehi kemahiran-kemahiran khusus, pengetahuan dan sikap (Abdul Rahim 1996). Oleh itu, reka bentuk pengajaran merupakan satu proses bagi memperkembangkan pelbagai jenis bahan pengajaran seperti bahan bercetak, pengajaran berpandukan komputer atau pengajaran melalui televisyen. Tugas guru adalah merancang dan menyediakan pelbagai aktiviti dan bahan dengan mengambil kira jenis dan kaedah pembelajaran yang sesuai dengan keperluan pelajar. (Jamalludin Hamzah, 2003) LATAR BELAKANG KAJIAN

Dalam kajian ini, pengkaji membangunkan modul pembelajaran dalam bentuk montaj dengan menggunakan perisian Sketch-up. Perisian ini digunakan untuk tujuan membina objek bangunan untuk diletakkan dalam Google Earth akan tetapi selain dari itu ia juga boleh digunakan untuk pelbagai tujuan antaranya adalah membina model sebuah rumah, membina objek 3d seperti almari, kerusi, meja, kereta, komponen elektrik, elektronik, objek bangunan dan banyak lagi yang boleh digunakan dan dicipta dengan perisian ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Von Wodtke (1993), Chuang & Cheng (2005) dan Koesnandar (2006) bahawa dalam pembelajaran, teknologi multimedia interaktif (ICT) menyajikan pelbagai jenis media seperti teks, suara, grafik, animasi dan video ke dalam sistem komputer. Menurut Feldman (1994), multimedia ialah manipulasi dan integrasi pelbagai media seperti data, teks, grafik, video dan bunyi dalam suatu persekitaran digital.

Sorotan Karya

Terdapat pelbagai jenis aplikasi yang boleh digunapakai oleh pensyarah untuk menghasilkan modul pengajaran berpandukan komputer seperti autoCAD, Google Sketchup, ArciCAD, 3Ds Max dan sebagainya. Penggunaan aplikasi ini membolehkan seseorang pereka menghasilkan lukisan unjuran ortografik secara automatik serta mengawal sudut pandang bagi rekabentuk model mengikut kesesuaian kehendak pereka (Batchelor & Weibe, 1995). Selain itu, pereka model 3D bebas memilih sudut perspektif tersendiri dalam membina, mengolah serta menjadikannya sebagai hasil visual dalam lukisan persembahan. Pembangunan dan persaingan perisian aplikasi ini telah banyak memberi peluang kepada pengguna dalam menyediakan pelbagai kelebihan kepada aplikasi masing-masing. Oleh itu, pengkaji telah memilih perisian Google Sketchup bagi menghasilkan montaj animasi sebagai alat bantu mengajar di dalam kelas untuk kursus DCP1023 Planning Principle untuk menarik minat pelajar-pelajar. Pengajaran dan pembelajaran secara konvesional di dalam kelas hanya melibatkan modul seperti buku teks serta penggunaan buku-buku ilmiah untuk rujukan, tetapi dengan penggunaan montaj animasi daripada perisian Google Sketchup diharapkan dapat menarik minat serta perhatian pelajar. Bagi perisian aplikasi Google Sketchup umumnya mudah digunakan kerana berkonsepkan mesra pengguna dengan penampilan aturcara dan ikon yang mudah difahami.

Page 60: Proceeding jilid 2

471

Perisian ini juga mudah dimuat turun secara percuma oleh sesiapa sahaja dengan melayari laman sesawang perisian tersebut. Pernyataan Masalah

Kajian dijalankan adalah untuk meninjau tahap keberkesanan penggunaan montaj animasi perisian Sketchup dalam pengajaran dan pembelajaran bagi pelajar-pelajar program Diploma Perancangan Bandar di Politeknik Sultan Abdul Halim Mu’adzam Shah. Proses pengajaran dan pembelajaran secara konvesional di dalam kelas hanya melibatkan modul seperti buku teks serta penggunaan buku-buku ilmiah untuk rujukan kurang menarik minat pelajar. Di dalam arus permodenan serta zaman teknologi maklumat, penggunaan montaj animasi multimedia dapat manipulasi dan integrasi pelbagai media seperti data, teks, grafik, video dan bunyi dalam suatu persekitaran digital serta dapat menarik minat serta perhatian pelajar.

Objektif Kajian : Objektif kajian ini adalah seperti berikut :

i. Mengenalpasti minat pelajar terhadap alat bantu mengajar menggunakan montaj animasi perisian Sketchup.

ii. Mengenalpasti maklum balas pelajar terhadap proses pengajaran dan pembelajaran menggunakan montaj animasi perisian Sketchup.

iii. Mengenalpasti pencapaian pelajar sebelum dan selepas menggunakan montaj animasi perisian Sketchup.

iv. Skop Kajian

Kumpulan sasaran bagi kajian ini adalah seramai 50 orang pelajar semester 1 program Diploma Perancangan Bandar dan Wilayah, Politeknik Sultan Abdul Halim Mu’adzam Shah. Kepentingan Kajian

Kajian yang dijalankan ini penting untuk memberi gambaran yang jelas terhadap keberkesanan penggunaan montaj animasi aplikasi Sketchup sebagai alat bantu mengajar di dalam proses pengajaran dan pembelajaran di kalangan pelajar program Diploma Perancangan Bandar dan Wilayah di Politeknik Sultan Abdul Halim Mu’adzam Shah. Selain itu, kajian ini juga bertujuan untuk penambahbaikan dalam proses pengajaran dan pembelajaran serta dapat mengenalpasti kelemahan pelajar. METODOLOGI KAJIAN

Kajian tinjauan ini merupakan kajian deskriptif yang menggunakan data-data kuantitatif dan kualitatif di mana data dipungut melalui soal-selidik yang diedarkan kepada 50 orang pelajar semester 1 Diploma Perancangan Bandar dan Wilayah sebagai responden. Instrumen Kajian

Instrumen yang digunakan dalam kajian ini berbentuk pengedaran borang soal-selidik yang mengandungi 4 bahagian iaitu :

Page 61: Proceeding jilid 2

472

Bahagian 1 : Demografi Responden Bahagian 2 : Minat Bahagian 3 : Tahap kefahaman Bahagian 4 : Maklumbalas responden

Soal selidik ini mengandungi 25 item serta menggunakan kaedah ujian kefahaman dan menggunakan aras persetujuan skor berdasarkan skala likert seperti berikut :

1- Sangat tidak setuju 2- Tidak Setuju 3- Tidak Pasti/Sederhana 4- Setuju 5- Sangat Setuju

Prosedur Kajian

Responden menjawab soalan tertutup pada Borang Soal-selidik (Pra test) yang diedarkan oleh pensyarah di dalam kelas secara individu di masa awal semester iaitu, pada minggu ke 2 pembelajaran dan sekali lagi Borang soal-selidik tersebut diedarkan semasa akhir semester (minggu ke 10 pembelajaran) . Masa yang diperuntukkan untuk menjawab adalah selama 15 minit. Ujian pra dijalankan pada awal semester untuk penguji proses pembelajaran secara konvensional dengan menggunakan rujukan buku ilmiah dan nota pensyarah sahaja manakala Post test dijalankan selepas menggunakan alat bantu mengajar secara montaj animasi menggunakan perisian Sketchup.

DAPATAN KAJIAN/ ANALISA DATA

Latar belakang responden ditunjukkan dalam Jadual 1. Dapatan Kajian mengenai minat serta kecenderungan pelajar terhadap montaj animasi Sketchup ditunjukkan dalam Jadual 2. Dapatan kajian mengenai tahap kefahaman ditunjukkan dalam Jadual 3 manakala Jadual 4 menunjukkan dapatan maklumbalas responden. Kajian Demografi Maklumat mengenai latar belakang responden. Pelajar Diploma SeniBina PSIS DPW1A Lelaki 22 Perempuan 28 Jumlah Pelajar 50

Jadual 1 Latar belakang Jantina responden

Minat

Bil

Item STS

TS TP S SS MIN

1. Saya amat meminati pembelajaran menggunakan montaj animasi menggunakan perisian Sketchup.

0% 0% 4% 43%

53%

4.49

Page 62: Proceeding jilid 2

473

2. Saya teruja melihat lukisan persembahan yang dihasilkan dengan menggunakan aplikasi Sketchup.

0% 0% 3% 28%

69%

4.66

3. Saya lebih selesa menghasilkan lukisan dengan cara manual kerana lebih menjimatkan masa dan kos

7% 34%

38%

13%

8% 2.81

4. Saya tidak mahir dalam menggunakan aplikasi 3D dan saya tidak berminat untuk menggunakannya

27%

44%

16%

12%

1% 2.16

5. Proses pengajaran dan pembelajaran (P&P) kursus senireka lebih mudah dan interaktif dengan aplikasi visual 3D

0% 1% 48%

48%

38%

4.23

Jadual 2 Peratusan kecenderungan minat responden terhadap aplikasi montaj Animasi Sketchup

Minat Sangat tidak setuju

Tidak setuju

Sederhana Setuju Sangat setuju

MIN

1.8% 5.2% 14.8% 39.4% 38.8% 4.08%

Jadual 2.2 Peratusan keseluruhan kecenderungan minat responden

Bagi dapatan kecenderungan minat,sebanyak 5 item telah digunakan dalam penilaian ini.Berdasarkan Jadual 2.2 didapati peratusan sebanyak 78.2% responden dengan min 4.08% berminat untuk menggunapakai montaj animasi Sketchup dalam proses pengajaran dan pembelajaran (P&P). Nilaian ini memberi gambaran bahawa responden cenderung untuk memilih cara alternatif iaitu dengan menggunakan montaj perisian Sketchup .

Pada Jadual 2.1 sebanyak 86% responden turut bersetuju jika proses Pengajaran dan Pembelajaran bagi program DPW menggunapakai montaj perisian Sketchup dalam menambah baik mutu pembelajaran supaya ia menjadi lebih interaktif . Hanya 21% responden yang selesa memilih menggunakan aplikasi 3D. Hasil dapatan ini juga dapat disimpulkan bahawa rata-rata pelajar seni bina adalah lebih cenderung ke arah penggunaan aplikasi 3D serta tahap penerimaan adalah tinggi di kalangan pelajar ini amat memberangsangkan .

Tahap kefahaman dan keupayaan mengaplikasi

Bil Item STS TS TP S SS MIN 1. Saya lebih memahami

pengajaran pensyarah dengan penggunaan montaj perisian Sketchup

0% 0% 14% 55% 31% 4.17

2. Saya mengalami masalah menguasai gerak kerja dalam

4% 12% 27% 35% 22% 3.59

Page 63: Proceeding jilid 2

474

menggunakan aplikasi Sketchup

3. Saya tidak mampu menyiapkan tugasan dalam tempoh yang ditetapkan tanpa bantuan aplikasi visual 3D

0% 2% 13% 47% 38% 4.21

4. Pensyarah kurang memahami idea rekabentuk yang ditunjukkan oleh saya sekiranya saya menggunakan aplikasi visual 3D

16% 34% 43% 4% 3% 2.44

5.. Tahap kemahiran penggunaan aplikasi 3D saya meningkat kerana sering menggunakannya

0% 3% 13% 58% 26% 4.07

6. Saya mengambil masa lebih panjang sekiranya menggunakan aplikasi visual 3D untuk menyiapkan tugasan kursus Senireka

6% 27% 44% 19% 4% 2.88

7. Tidak sukar menguasai aplikasi 3D kerana terdapat banyak sumber rujukan

0% 8% 21% 35% 36% 3.09

8. Saya sukar menghasilkan idea rekabentuk yang rumit walaupun saya mahir menggunakan aplikasi 3D

8% 19% 37% 34% 2% 3.03

9. Saya tidak dapat membiasakan diri dengan diri dengan paparan visual aplikasi 3D walaupun telah diberi pendedahan mengenai penggunaannya

26% 30% 31% 1% 3% 2.34

Jadual 3.1 Peratusan kecenderungan minat respondenterhadap aplikasi 3D

Kefahaman dan

aplikasi pengguna

an

Sangat tidak

setuju

Tidak setuju

Sederhana

Setuju Sangat setuju

MIN

2.1% 10.1% 29.1% 37.2% 21.5% 3.26

Jadual 3.2 Peratusan keseluruhan tahap kefahaman dan aplikasi penggunaan responden Berdasarkan jadual 3.1 sebanyak 86% responden gemar menggunakan montaj perisian Sketchup sebagai medium penyampaian idea rekabentuk dalam program DPW. Dengan skor min tertinggi sebanyak 4.17 menunjukkan tahap responden adalah setuju dalam menilai tahap kefahaman dan penggunaan montaj perisian Sketchup. Skor min sebanyak 3.26 pada jadual 3.2 skali min 2.61-3.4. Walaubagaimanapun, peratusan keseluruhan responden yang memahami serta

Page 64: Proceeding jilid 2

475

boleh menggunakan aplikasi 3D adalah sebanyak 58.7% .Secara umumnya , dapatan ini menunjukkan betapa perlunya penekanan serta pendekatan tambahan agar peratusan pelajar yang memahami dan dapat menggunakan aplikasi 3D ini lebih meningkat pada masa akan datang.

Maklumbalas responden

Bil Item STS TS TP S SS MIN 1. Pelajar seharusnya diberi

peluang untuk memanfaatkan penggunaan aplikasi 3D bagi program DPW.

0% 0% 4% 32% 64% 4.6

2. Visual yang dihasilkan dengan bantuan aplikasi 3D lebih pelbagai dan menarik

0% 0% 4% 36% 60% 4.56

3. Saya rasa montaj perisian Sketchup sangat membantu pelajar dalam menyiapkan tugasan kursus seni reka

0% 0% 9% 37% 54% 4.45

4. Pelajar lebih memahami topic pembelajaran dengan menggunakan montaj perisian Sketchup.

0% 4% 16% 36% 44% 4.2

5. Saya rasa menggunakan montaj perisian Sketchup sangat menyusahkan dan membuang masa

37% 37 20% 5% 1% 1.96

6. Saya menyokong penggunaan kaedah konvensional dalam program DPW berbanding penggunaan montaj perisian Sketchup

12% 49 26% 6% 7% 2.47

7. Aplikasi 3D sepatutnya menjadi sebahagian dari kemahiran yang perlu dikuasai oleh setiap pelajar DPW.

0% 2% 6% 41% 51% 4.41

8. Penggunaan aplikasi montaj perisian Sketchup perlu ditekankan bagi kursus DPW.

0% 0% 4% 49% 47% 4.43

9. Saya cepat berputus asa untuk menyiapkan reka bentuk menggunakan aplikasi 3D Sketchup apabila gagal menghasilkannya seperti yang diharapkan

22% 39% 24% 11% 4% 2.36

10. Saya berhasrat untuk menjadi pengguna mahir aplikasi 3D Sketchup

0% 0% 8% 34% 58% 4.5

Page 65: Proceeding jilid 2

476

Jadual 4.1 Peratusan kecenderungan minat responden terhadap aplikasi 3D

Maklum balas

Sangat tidak

setuju

Tidak setuju

Sederhana

Setuju Sangat setuju

MIN

1.2% 2.8% 12.1% 39% 44.9% 4.24 Jadual 4.2 Peratusan keseluruhan maklumbalas responden menyokong penggunaan aplikasi 3D

Bahagian ini mengandungi 10 item yang telah dibina bagi mendapatkan maklum balas daripada responden berkenaan sokongan responden terhadap penggunaan aplikasi dikalangan pelajar DPW .Berdasarkan jadual 4.2 secara keseluruhanya peratusan sebanyak 83.9% responden menyokong penggunaan montaj perisian Sketchup ini dengan menunjukan skor min pada tahap 4.24. Lebih membanggakan , tiada responden yang tidak berhasrat untuk menjadi pengguna mahir aplikasi 3D.

SELANG SKALA MIN TAHAP 4.21-5.0 Sangat setuju 3.41-4.2 Setuju 2.61-3.4 Sederhana 1.81-2.6 Tidak setuju 1.0-1.8 Sangat tidak setuju

Jadual 5 Selang skala min

CADANGAN DAN SIMPULAN Skor min responden pada bahagian minat dan maklumbalas menunjukkan

impak yang positif serta penerimaan yang tinggi terhadap penggunaan montaj animasi perisian Sketchup. Pelajar juga menunjukkan minat serta kecenderungan di dalam kelas dengan penggunaan alat bantu mengajar secara montaj animasi menggunakan perisian Sketchup berbanding proses pengajaran dan pembelajaran secara konvensional di dalam kelas. Keputusan peperiksaan akhir bagi kursus CP1023 Planning Principle juga menunjukkan peningkatan pencapaian pelajar.

Oleh itu, pengkaji turut mencadangkan penggunaan perisian 3D Sketchup ini bukan hanya digunakan untuk kursus DCP1023 Planning Principle sahaja tetapi boleh digunapakai untuk kursus yang lain dalam program Diploma Perancangan Bandar dan Wilayah bagi mempertingkatkan pemahaman pelajar di dalam proses pengajaran dan pembelajaran seterusnya dapat menarik minat dan perhatian pelajar.

DAFTAR RUJUKAN Abdul Rahim Mohd Said. 1996. Merekabentuk Teks Pengajaran Secara Efisien

dan Efektif. Shah Alam: Fajar Bakti Sdn. Bhd. Adri, M. 2007. Strategi Pengembangan Multimedia Instructional Design. Jurnal

Invontek.

Page 66: Proceeding jilid 2

477

Brody, M. 2005. Learning in nature. Environmental Education Research Bertoline, G.R, Wiebe, E.N.,Miller,C. & Mohler,J.L.(1997). Technical Graphics and Communications.(2ed.) New York: McGraw hill.

Dillon, J. 2003. On learners and learning in environmental education: missing theories, ignored communities.Environmental Education Research 9(2)

Djamarah, S.B. 2002. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha Nasional.

Hamzah. 2002. Keberkesanan Penggunaan Perisian Pembelajaran Berbantukan Computer Dalam Proses Pembelajaran Fizik Tingkatan Empat: Satu Kajian Di Sekolah Menengah Teknik, Pasir Mas Kelantan.Tesis. UKM.

Norhashim Abu Samah, Mazenah Youp & Rose Alinda Alias. 1998. Pengajaran Bantuan Komputer. Skudai: Penerbit Universiti Teknologi Malaysia. .

Jamalludin Harun & Zaidatun Tasir. 2003. Multimedia dalam Pendidikan. Bentong: PTS Publications.

Padmanthara, S. 2007. Pembelajaran berbantukan komputer dan manfaat sebagai media pembelajaran.Jurnal Teknodik

Page 67: Proceeding jilid 2

478

PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT PERSPEKTIF PEDAGOGIK AL GHAZALI DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN

Babang Robandi

Universitas Pendidikan Indonesia E-mail: [email protected]

Abstract This study is motivated by the phenomenon that in the information age and global world is not a bit of the citizens of our society, especially among teenagers have bad personality, they claim to be religious, but their behavior still like to do bad things, even things which is prohibited by religion. when these conditions is left, it will have a negative impact on children who are still in the process of formation moral and religious guidance. This study aims to know clearly about the concept of character education and the implementation in learning according to Imam Al-Ghazali pedagogic perspective. This study used Library Research. From the results of the study obtained a description that character education according to Ghazali is the moral education and formation of character by implanting properties of virtue either on students is none other than moral education, which became the primary mission he sent Rosululloh SAW, which has a style of religious Sufi and factual Empirical. The moral education should be implemented in learning whether through the planning, implementation and evaluation and follow-up study. Keywords: Character Education, Morals, pedagogic Al- Ghazali PENDAHULUAN

Suatu bangsa akan memiliki eksistensi dan bermartabat di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia ini apabila bangsa tersebut memiliki karakter yang baik. Karakter yang baik yang ditampilkan dalam kehidupan keseharian kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan dambaan kita sebagai bangsa Indonesia. Dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan, bahwa tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang mampu survive (bertahan hidup) dalam menghadapi berbagai hambatan dan tantangan serta kesulitan dalam mencapai tujuannya. Setiap upaya pembangunan yang dilakukan pemerintah kita melalui pendidikan, diharapkan mampu memberikan kontribusi yang mengarah pada tercapainya tujuan dan fungsi pendidikan nasional.

Dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa Pendidikan nasional adalah Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman (Pasal 1 ayat 2 UU RI No. 20 Tahun 2003).

Hal ini menunjukan bahwa keseluruhan penyelenggaraan pendidikan kita baik di dalam sekolah maupun di luar sistem persekolahan, mulai dari jenjang pendidikan dasar samapai jenjang pendidikan tinggi, dalam pelaksanaannya mesti berdasarkan nilai-nilai yang bersumber pada falsafah hidup bangsa kita yaitu

Page 68: Proceeding jilid 2

479

Pancasila dan berakar pada nilai-nilai agama yang dianut bangsa kita, berakar pada kebudayaan nasional, serta tanggap pada tuntutan perubahan zaman. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Bertujuan agar berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3 dan Penjelasan atas UU RI No. 20 tahun 2003).

Dalam kehidupan dewasa ini kita tidak bisa terlepas dari pengaruh kehidupan dunia global dan era informas. Kita tidak dapat menahan dan menolak derasnya arus informasi dan budaya dari luar yang masuk pada masyarakat kita, sehingga demikian mudahnya masyarakat kita menyerap informasi dan budaya tersebut baik yang positif maupun negatif. Perkembangan media sosial internet telah memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja, dan bagi generasi muda media sosial tersebut sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan sebaik-baiknya media sosial tersebut tentu kita memperoleh manfaat yang banyak bagi kemaslahatan hidup. Namun jika media sosial tersebut disalahgunakan, kita akan mendapat kerugian dan malapetaka yang besar.

Pada kenyataannya banyak di antara kita yang tidak bisa menyaring pengaruh global tersebut, sehingga banyak generasi muda kita yang terjebak dengan pengaruh buruknya, dan mengalami kerugian dalam bentuk rusaknya nilai-nilai moral, lunturnya nilai nasionalisme, berkurangnya rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan berkurangnya rasa perduli terhadap masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak sedikit pula dampak negatifnya terhadap kehidupan, sehingga pada saat ini manusia terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya berfungsi untuk memelihara dan mengendalikan karakter. Dalam kondisi seperti ini pendidikan karakter sangat diperlukan, sebab jika karakter bangsa kita tidak kuat, maka kehidupan global ini bukannya memajukan kehidupan kita, melainkan akan merusak nilai-nilai moral dan akibatnya melindas kehidupan generasi muda kita.

Krisis yang melanda Indonesia dewasa ini diindikasikan bukan hanya berdimensi material, akan tetapi juga telah memasuki kawasan moral agama. Tidak sedikit warga masyarakat kita yang mengaku sebagai umat beragama, namun dalam kehidupannya mereka masih suka berbuat hal-hal yang kurang baik atau bahkan hal-hal yang dilarang oleh agama. Mereka suka memeras orang lain, korupsi untuk dapat mencapai tujuan yang mereka inginkan, mereka bersikap ala liberalis, demikian pula dalam segi kehidupan lainnya, dalam bidang politik, budaya, seni, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lepas dari nilai-nilai moral yang telah digariskan oleh ajaran agama. Di samping itu masih banyak kasus-kasus yang di luar norma-norma agama. Misalnya kondisi moral/akhlak generasi muda yang rusak/hancur. Hal ini ditandai dengan maraknya tawuran, perbuatan anarkis, maraknya seks bebas di kalangan remaja, peredaran narkoba di kalangan remaja, peredaran foto dan video porno pada kalangan pelajar, dan sebagainya. Apakah ini merupakan relaitas produk pendidikan kita yang menghasilkan manusia yang korup, suka bertengkar dan materialistik?.

Page 69: Proceeding jilid 2

480

Sehubungan dengan kondiisi tersebut pada era global ini kita memerlukan sosok sumber daya manusia yang berkualitas dan berwawasan luas tidak hanya dalam bidang ilmu dan teknologi saja, melainkan kuat dan tangguh dalam karakter yang baik, sehingga mampu mengendalikan diri dari pengaruh budaya yang serba membolehkan segala cara tersebut. Di sinilah kita memerlukan pendidikan karakter yang kuat. Dengan pendidikan karakter dan budi pekerti yang luhur yang menjadi jati diri bangsa akan membuat bangsa kita tangguh menghadapi berbagai tantangan dan perubahan zaman.

Thomas Lickona (1992) menjelaskan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya: (1) Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral,(2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan, (4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5) Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus menjadi guru yang baik, dan (8) Pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang meningkat. Pendidikan karakter dalam pedagogik perspektif Imam Al-Ghazali lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Akhlak berasal dari kata Al-Khuluq (jamaknya Al-Akhlaq) ialah ibarat (sifat atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) daripadanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan wajar dan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan. Akhlak yang sesuai dengan akal pikiran dan syariat dinamakan akhlak mulia dan baik, sebaliknya akhlak yang tidak sesuai (bertentangan) dengan akal pikiran dan syariat dinamakan akhlak sesat dan buruk, hanya menyesatkan manusia belaka (Zainuddin, 1991 hal 102).

Pada hakikatnya Akhlak menurut Al-Ghazali itu harus mencakup dua syarat diantaranya yang pertama bahwa perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali kontinu dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan (habit forming). Sedangkan syarat yang kedua adalah bahwa perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksi dari jiwanya. Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan akhlak. Beliau mengatakan bahwa tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya. Pendapat Al-Ghazali itu seperti yang dikutip oleh Zainuddin yang menyatakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam (pendidikan yang dikembangkan oleh kaum muslimin), dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Tujuan utama pendidikan Islam adalah terwujudnya akhlak mulia sehingga tercipta kehidupan

Page 70: Proceeding jilid 2

481

manusia yang harmonis, saling tolong menolong, berlaku adil dan hubungan yang seimbang dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu penanaman akhlak kepada anak-anak generasi muslim sangat penting pada usia dini agar kelak ketika dewasa mereka bisa menjadi generasi penerus yang berakhlak karimah. Namun dalam kenyataannya yang seringkali terjadi adalah perilaku yang amoral dan tidak mencerminkan nilai-nilai akhlak yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan ada juga perilaku amoral yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang lahir dari lembaga pendidikan yang notabene adalah manusia yang terdidik.

Dari latar belakang diatas, maka kiranya sangat diperlukan kajian tentang pendidikan karakter atau pendidikan akhlak menurut pandangan pedagogik Al Ghazali. Adapun rumusan masalahnya adalah:

1. Bagaimana gambaran pendidikan karakter versi pedagogik Imam Al-Ghazali ?

2. Bagaimana implementasi pendidikan karakter menurut Imam Al Ghazali dalam pemebelajaran?

PENDIDIKAN KARAKTER VERSI PEDAGOGIK AL-GHAZALI

Koonsep Pendidikan, pendidikan dalam Islam merupakan suatu proses pengembangan potensi peserta didik yang bertujuan untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, memiliki etos kerja yang tinggi, berbudi pekerti yang luhur, mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya, bangsa, negara serta agama. Proses itu berlangsung sepanjang hidup manusia (Arif Armai, 2002, hal 3).

Pendidikan menurut Imam Al-Ghazali merupakan suatu sistem yang terdiri atas beberapa komponen, totalitas pandangannya meliputi: hakikat tujuan pendidikan,, pendidik, peserta didik, materi/kurikulum dan metode pendidikan. Paradigma pendidikan imam Ghazali berbeda dengan paradigma para ahli filsafat pendidikan Islam lainnya. Hal ini karena dipengruhi oleh keluasan ilmu pengetahuan yang dikuasainya baik dalam bidang filsafat maupun bidang tasowwuf. Kedua bidang ilmu tersebut yang terpadu dalam pikirannya mempengaruhi pandangannya tentang pendidikan dan komponen-komponen yang terlibat di dalamnya. Karena keluasan penguasaan tentang kedua bidang ilmu tersebut Imam AlGhazali dijuluki sebagai filosof al-Mutasawufin yakni filosof yang ahli tasowwuf (Ramayulis & Nizar, 2005). Karakteristk utama yang menjadi ciri khas pendidikan Imam Al Ghazali menurut Hasan sulaiman (1986) terlihat dari pembelajaran yang mengutamakan pengjaran moral religius tanpa mengabaikan kepentingan dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat nanti. Inilah pandangan yang relevan dengan upaya pengembangan pendidikan karakter dalam pembelajaran. Praktek pendidikan menurut Imam Ghazalai lebih berorientasi pada penekanan bathiniyah (aspek afektif) dari pada berorientasi pengetahuan kognitif dan aspek indrawi (aspek psikomotor) belaka. Hal ini sebagaimana diungkapkan Syaifudin A (2005, hal 108 ) bahwa terlihat dari beberapa karyanya seperti farihat al-kitab, ayyub al-walad, dan ihya’ ulumuddin, Imam Ghazali dalam pedagogiknya lebih mengutamakan pengemvbangan aspek afektif dari pada aspek pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan dipandang sebagai sarana atau media untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Sang Pencipta (Allah SWT) dan untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat kelak yang lebih utama dan

Page 71: Proceeding jilid 2

482

abadi. Pendidikan menurut Imam Al Ghazali bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang peka (insan perasa) yang mampu mendekatkan diri pada Alloh SWT dan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat ( Mujib A, 2006).

Paradigma pemikliran Imam Al Ghazali tentang pendidikan menurut (Mujib A, 2006) dapat kita lihat dalam pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai kehidupan yang selalu sejalan dengan filosofinya, serta hikmahnya yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan. Dalam kaitannya ini, nasihat terbaik yang dipesankan oleh Imam Al-Ghazali dalam bidang pendidikan, khususnya anak-anak adalah memperhatikan sistem pendidikannya sejak anak usia dini, karena keberhasilan perkembangan anak sewaktu kecil akan menentukan perkembangan anak berikutnya. Bila kita perhatikan pendidikan diwaktu kecil, ia pasti bersifat baik pula bila ia tumbuh menjadi besar. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan anak di waktu masih kecil merupakan strategi dan metode terbaik dalam pendidikannya, khususnya usia dini dalam pendidikan akhlak dan moral yang tinggi. Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa pesan-pesan Imam Al-Ghazali itu tentang pendidikan bagi anak adalah peraturan dasar dalam pendidikan Islam. Dari Paradigma tersebut, maka corak pemikirannya tentang pendidikan terfokus pada sufistik dan lebih banyak bersifat rohaniah. Menurutnya ciri khas pendidikan Islam itu lebih menekankan pentingnya menanamkan nilai moralitas yang dibangun dari basic pendidikan akhlak Islami. Selain itu dia juga menekankan pula pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan untuk kepentingan hidup manusia.

Secara lebih khusus paradigma pendidikan Imam Al Ghazali terlihat dari pernyataannya dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din (tanpa tahun) sebagai berikut : “Sesungguhnya hasil ilmu itu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, menghubungkan diri dengan ketinggian Malaikat dan berhampiran dengan Malaikat yang tinggi” “…Dan ini (pendidikan) sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pembelajaran dan bukan ilmu yang statis yang tidak berkembang”. Dengan demikian, pandangannya mengenai pendidikan Islam sebagaimana diungkapkan Ramayulis dan Nizar (2005) bahwa pendidikan adalah sarana bagi pembentukan manusia yang mampu mengenal Tuhannya dan berbakti kepada-Nya. Manusia yang dididik dalam proses pendidikan hingga pintar, namun tidak bermoral, orang tersebut dikategorikan sebagai orang bodoh, yang hidupnya akan susah. Demikian pula, orang yang tidak mengenal dunia pendidikan, dipandangnya sebagai orang yang binasa. Pandangan ini berdasarkan pernyataan Abu Darda, salah seorang sahabat Nabi, yang dikutip oleh Al-Ghazali dalam bukunya: ”Orang yang berilmu dan orang yang menuntut ilmu berserikat pada kebaikan. Dan manusia lain adalah bodoh dan tak bermoral. Hendaklah engkau menjadi orang yang berilmu atau belajar atau mendengar, dan jangan engkau menjadi orang keempat (tidak masuk salah seorang dari ketiga itu), maka binasalah engkau”.

Bertolak dari pernyataan tersebut, dapat dijelaskan bahwa Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya manusia berilmu dan ilmu itu harus diajarkan kepada yang lainnya. Dia menghendaki bahwa pendidikan menjadi suatu kebutuhan pokok umat Islam karena Islam menghendaki pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat. Melalui pendidikan itu pula, umat Islam dapat berprosesdan berkembang hingga mencapai predikat sebagai insan kamil, yakni manusia yang memiliki integritas moral yang tinggi, yang dibangun dari nilai-nilai akhlak yang

Page 72: Proceeding jilid 2

483

diajarkan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pendidikan menurut Imam Al-Ghazali merupakan usaha sadar yang dilakukan secara sistematis melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan melalui pendidikan dalam rangka mencapai predikat sebagai insan kamil (manusia sempurna) sehingga mampu mengenal Tuhannya dan berbakti kepada-Nya, sepanjang hayat.

Tujuan pendidikan, menurut Imam Al Ghazali tujuan pendidikan tidak terlepas dari filsafat atau pemikirannya yang mendalam tentang pendidikan itu sendiri. Menurut perspektif Imam Al-Ghazali tujuan pendidikan tidak hanya bersifat ukhrawi (mendekatkan diri kepada Allah), sebagaimana yang dikenal dengan kesufiannya, tetapi juga bersifat duniawi. Namun dunia hanya dimaksudkan sebgai jalan menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal. Dia juga juga tidak melupakan masalah-masalah duniawi yang diberi ruang dalam sistem pendidikannya bagi perkembangan duniawi. Dunia adalah alat perkebunan untuk kehidupan akhirat, alat yang mengantarkan seseorang menemui Tuhannya. Ini tentunya berlaku bagi yang memandangnya sebagai alat dan tempat tinggal sementara bukan untuk menetap. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan menurut Imam Al-Ghazali, selain bercorak religius sebagai ciri khas pendidikan Islam yang cenderung bersifat ruhani (sufistik), juga pendidikan itu bercorak sesuai dengan perkembangan keadaan sebenarnya, seperti dinyatakan syaefuddin (2005 hal 144) bahwa “Sasaran pendidikannya adalah kesempurnaan insani di dunia dan di akhirat. Manusia akan sampai pada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan jalur yaitu melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat ia bahagia di dunia dan mendekatkan diri kepada Allah Swt, sehingga ia akan menjadi bahagia di akhirat kelak”. Menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan, karena mengingat nilai yang terkandung serta kelezatan dan kenikmatan yang diperoleh manusia dari ilmu tersebut. Modal kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu. Ilmu adalah amal yang paling utama dan mulia, akhirnya ilmu akan membawa manusia pada derajat yang tinggi, berakhlak mulia, berakal sempurna, bertakwa, dan bahagia didunia dan akhirat dengan Ridho Allah. Hal ini sesuai dengan pernyataannya dalam kitab Ihya Ulumuddiin bahwa: ”Dunia adalah ladang tempat persemaian benih-benih akhirat. Dunia adalah alat yang menghubungkan seseorang dengan Allah. Sudah barang tentu, bagi orang yang menjadikan dunia hanya sebagai alat dan tempat persinggahan, bukan bagi orang yang menjadikannya sebagai tempat tinggal yang kekal dan negeri yang abadi”. Dari pernyataan tersebut tersirat bahwa tujuan pendidikan menurut Imam AlGhazali adalah mengembangkan potensi manusia agar menjadi insan yang paripurna, yakni insan yang tahu kewajibannya, baik sebagai hamba Allah maupun sesama manusia.

Pendidik, dalam perspektif Imam Ghazali pendidik atau guru dipandang sebagai orang-orang besar (great Individuals) yang aktifitasnya lebih baik dari pada ibadah setahun. Mujib A (2006, hal 89) menyatakan bahwa pendidik merupakan pelita (siraj) segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran cahaya (nur) keilmiahannya. Seorang pendidik bukan hanya berperan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih penting dari itu adalah membangun dan atau mengembangkan watak dan pribadi anak didiknya melalui akhlak yang baik, sehingga anak tersebut dalam menjalankan kehidupannya memiliki karakter dan perilaku yang baik.

Page 73: Proceeding jilid 2

484

Seorang pendidik dalam mengajar harus bertujuan pada masalah kehidupan di akhirat. Dan guru dalam ilmu keduniaan tetap harus bertujuan pada keakhiratan dan tidak pada keduniaan semata. Sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pendidik adalah : 1) Pendidik hendaknya memandang murid seperti anaknya sendiri,

menyayanginya dan mencintainya 2) Dalam melaksanakan tugasnya, guru hendaknya tidak mengharapkan upah

atau pujian, tetapi hanya ridho dari Allah SWT 3) Terhadap peserta didik yang bertingkah buruk, hendaknya guru menegur

sebisa mungkin dengan kasih sayang 4) Pendidik tidak boleh fanatik dengan bidang studi yang diasuhnya, lalu mencela

pendidik lain 5) Pendidik harus mengetahui perkembangan fikir peserta didik agar tahu

kelemahan daya fikirnya 6) Hendaknya pendidik mengamalkan ilmunya dan tidak sebaliknya, dimana

perbuatannya bertentangan dengan ilmu yang diajarkannya. 7) Mengaktualisasikan informasi yang diajarkan pada peserta didik.

Sedangkan syarat-syarat pendidik menurut Imam Al-Ghazali dalam Mujib A (2006: hal 80 adalah sebagai berikut: 1) Menguasai ilmu yang diajarkannya, memiliki inovasi dalam praktek belajar

mengajar 2) Ia harus memiliki atau menjadi contoh yang baik bagi siswanya, baik perkataan

maupun perbuatannya 3) Pendidik harus tahu bahwa tugas seorang guru menyerupai tugas Nabi

Muhammad SAW yang diutus oleh Allah SWT untuk mengajarkan petunjuk kepada umat manusia

4) Seorang pendidik harus mempunyai sifat tolong-menolong dengan rekan sesama guru

5) Seorang pendidik hendaknya senantiasa berlaku jujur dalam bertutur kata, ingatlah bahwa kejujuran membawa kebaikan

6) Pendidik hendaknya memiliki sifat sabar, pada saat menghadapi permasalahan dengan para siswa dan pelajarannya.

Selain mesti memenuhi persyratan tersebut di atas seorang pendidik menurut Al-Ghazali, sangat penting harus juga mempunyai keikhlasan yang tinggi, dan mempunyai jiwa pengabdian kepada ilmu, sehingga nantinya mampu menghasilkan anak didik (peserta didik) yang berkualitas baik dibidang keilmuan, moral maupun keimanannya terhadap Allah SWT.

Peserta didik, dalam upaya mencapai tujuan pendidikan Islam, peserta didik hendaknya memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam diri dan kepribadiannya. Diantara sifat-sifat dan karakter ideal yang perlu dimiliki peserta didik adalah berkemauan keras atau pantang menyerah, memiliki motivasi yang tinggi, sabar, tabah, dan tidak mudah putus asa. Berkenaan dengan sifat-sifat ideal tersebut, Imam Al-Ghazali dalam Nizar S (2002, hal 52) merumuskan sifat dan karakter yang patut dan harus dimiliki peserta didik yaitu: 1) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT,

sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik senantiasa mensucikan jiwanya dengan akhlak karimah

2) Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi

Page 74: Proceeding jilid 2

485

3) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ukhrawi maupun duniawi 4) Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang

mudah menuju pelajaran yang sukar 5) Mengenai ilmu-ilmu ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari 6) Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi. Etika seorang peserta didik Abudin N (adalah sebagai berikut: 1) Seorang pelajar harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak

yang buruk dan sifat-sifat tercela. 2) Seorang pelajar hendaknya tidak banyak melibatkan diri dalam urusan

duniawi. 3) Seorang pelajar jangan menyombongkan diri dengan ilmu yang dimilikinya

dan jangan pula banyak memerintah guru. 4) Bagi pelajar permulaan jangan melibatkan atau mendalami perbedaan

pendapat para ulama’, karena yang demikian itu dapat menimbulkan prasangka buruk, keragu-raguan dan kurang percaya pada kemampuan guru.

5) Seorang pelajar jangan berpindah dari suatu ilmu yang terpuji kepada cabang-cabangnya kecuali setelah ia memahami pelajaran sebelumnya, mengingat bahwa berbagai macam ilmu itu saling berkaitan satu sama lain.

6) Seorang pelajar jangan menenggelamkan diri pada satu bidang ilmu saja melainkan harus menguasainya ilmu pendukung lainnya.

7) Seorang pelajar jangan melibatkan diri terhadap pokok bahasan tertentu, sebelum melengkapi pokok bahasan lainnya yang menjdi pendukung tersebut.

8) Seorang pelajar agar mengetahui sebab-sebab yang dapat menimbulkan kemuliaan ilmu.

9) Seorang pelajar agar dalam mencari ilmunya didasarkan pada upaya untuk menghias batin dan mempercantiknya dengan berbagai keutamaan.

10) Seorang pelajar harus mengetahui hubungan macam-macam ilmu dan tujuannya.

Dari uraian tersebut nampak bahwa pandangan Imam Al-Ghazali terhadap akhlak peserta didik bersifat sufistik, seperti terlihat pada keharusan berniat mencari ilmu semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT, bersikap zuhud dan memuliakan ilmu akhirat.

Kurikulum pendidikan, dalam perspektif Imam Ghazali dikenal dengan istilah manhaj, yang berarti jalan terang yang harus ditempuh oleh pendidik beserta anak didik untuk mengembangkan kemampuan mereka baik berupa pengetahuan sikap maupun keterampilannya. Menurut Hasan Langgulung (1987) bahwa apa yang dimaksud materi atau kurikulum oleh Imam Al-Ghazali disebut sebagai ilmu, yang terdiiri atas ilmu syari’ ah dan Ilmu Ghair-Syari;at.

Ilmu Syari’ah merupakan ilmu terpuji, terdiri atas Ilmu Ushul (ilmu pokok) mencakup ilmu Al-Qur’an, hadits Nabi, Ijma umat,dan atsar sahabat, Ilmu Furu’ (cabang): ilmu fiqh yang berhubungan dengan kemaslahatan sosial, dan ilmu tentang baik dan buruk, terpuji dan tercela, Ilmu al-Muqaddimat (dasar) yakni suatu ilmu yang sangat dibutuhkan untuk mempelajari ilmu ushul, seperti ilmu bahasa nahwu, sharaf, balaghah dan sebagainya dan ilmu al-Mutammimat (pelengkap) yaitu suatu disiplin ilmu yang erat kaitannya dengan ilmu Al-Qur’an, seperti ilmu makharijul huruf (tajwid) ilmu qiraat dan sebaginya.

Page 75: Proceeding jilid 2

486

Ilmu Ghair-Syari;at, terdiri atas Al-ulum al-mahmudah (terpuji) : ilmu-ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan sosial manusia, meliputi Ilmu pokok dan utama : pertanian, pertenunan, pembangunan dan tata pemerintahan, Ilmu penunjang: pertukangan besi dan industri sandang; Ilmu penyempurnaan dan pelengkap bagi yang pokok dan utama misalnya pengolahan pangan dan pertenunan; kemudian Al-ulum al-muhabat (diperbolehkan): ilmu-ilmu tentang kebudayaan, seperti sejarah, sastra, dan puisi yang dapat membangkitkan keutamaan dan akhlak yang mulia.; dan Al-ulum al-madzmumah (tercela) yakni ilmu-ilmu yang membahayakan pemiliknya atau orang lain jika dipelajari dan ditekuni, seperti ilmu sihir, astrologi dan guna-guna.

Metode pembelajaran, menurut Imam Al-Ghazali pada prinsipnya metode pembelajaran dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinanmdan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan aqidah. Pendidikan dapat dimulai dengan menghafal dan memahami kemudian meyakini kebenarannya. Setelah itu baru ditegakkan dengan bukti-bukti dan dalil-dalil yang dapat membantu untuk menetapkan keyakinan tersebut. Dalam proses pencapaian tujuan pendidikan yang sangat penting adalah penggunaan metode yang didasarkan atas pendekatan keagamaan (religius), kemanusiaan (humanity) dan ilmu pegetahuan (scientific).

Dalam kitab ”Ihya’ Ulum ad-Din” juz III, beliau menguraikan antara lain: ”... metode untuk melatih anak adalah salah satu hal yang amat penting. Mendidik akhlak pada anak dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu: a. Metode cerita (hikayat), metode cerita merupakan jalan yang baik untuk

pendidikan akhlak bagi anak-anak. Anak-anak suka mendengar cerita dan menceritakannya kembali. Keadaan ini perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan kegairahan belajar bagi anak-anak.

b. Metode keteladanan, metode keteladanan merupakan metode yang paling unggul dan paling jitu apabila dibandingkan dengan metode-metode lainnya. Melalui metode keteladanan ini, para pendidik memberi contoh atau tauladan kepada anak didiknya bagaimana cara berbicara, berbuat, bersikap, mengerjakan sesuatu atau cara beribadah, dan sebagainya.

c. Metode pembiasaan, Metode pembiasaan diri ini penting untuk diterapkan, agar anak terbiasa hidup teratur, disiplin, tolong-menolong sesama manusia dalam kehidupan sosial memerlukan latihan yang terus-menerus setiap hari. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa semua etika keagamaan tidak mungkin akan meresap dalam jiwa sebelum jiwa itu sendiri dibiasakan dengan kebiasaan baik dan dijauhkan dari kebiasaan yang buruk. Nilai-nilai moral dan etika keagamaan haruslah mendarah daging menjadi perilaku (behaviour) dan kebiasaan (habitus) bahkan kesadaran (consciousness).

d. Metode nasihat, metode nasihat ini merupakan metode yang paling sering digunakan oleh para orang tua, pendidik, dan da’i terhadap anak/peserta didiknya dalam proses pendidikannya. Memberi nasihat sebenarnya merupakan kewajiban kita selaku muslim.

e. Metode ganjaran dan hukuman, metode ini sebenarnya berhubungan dengan pujian dan penghargaan. Imbalan atau tanggapan terhadap orang lain itu terdiri dari dua, yaitu penghargaan (reward/targhib) dan hukuman (punishment/tarhib),

Page 76: Proceeding jilid 2

487

hukuman dapat diambil sebagai metode pendidikan apabila terpaksa atau tidak ada alternatif lain yang bisa diambil.

Pendidikan Karakter, menurut Imam Al-Ghazali pendidikan karakter merupakan pendidikan moral dan pembinaan budi pekerti dengan menanamkan sifat-sifat keutamaan pada anak didik yang dekat dengan pendidikan akhlak. Secara etimologi akhlaq berasal dari kata “khalaqa” yang berarti mencipta, membuat atau menjadikan. Kata “akhlak” adalah kata yang berbentuk mufrad, jamaknya adalah “khuluqun” yang berarti perangai, tabiat, adat atau “khalqun” yang berarti kejadian, buatan, ciptaan. Jadi “akhlak” adalah perangai, adab, tabiat, atau sistem perilaku yang dibuat oleh manusia.

Karakter yang disebut sebagai akhlak merupakan sifat yang mengakar dalam hati yang mendorong munculnya perbuatan tanpa pertimbangan dan pemikiran, sehingga sifat yang seperti itulah yang telah mewujud menjadi karakter seseorang. Tujuan pendidikan yang utama adalah untuk mengembangkan karakter positif atau akhlak mulia dalam perilaku anak didik yang tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan anak sebagai manusia.

Akhlak adalah kebiasaan jiwa yang tetap yang terdapat dalam diri manusia, yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir (lebih dahulu) menimbulkan perbuatan manusia. Akhlak menurut Al Ghazalai (Ismail T, 1984, hal.2) berpangkal pada hati, jiwa atau kehendak, lalu kemudian, diwujudkan dalam perbuatan sebagai kebiasaan (bukan perbuatan yang dibuat-buat, tetapi sewajarnya). Akhlaq adalah “Suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dapat memunculkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan pemikiran”.

Karakteristik utama akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran, yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau bersandiwara. Perbuatan akhlak dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah.

Perbuatan akhlak terdiri atas dua bagian, yaitu akhlak yang baik disebut juga akhlak mahmudah (terpuji) atau akhlak karimah (mulia), dan akhlak yang buruk disebut juga akhlak madzmumah (tercela). Akhlak mahmudah yaitu tingkah laku terpuji yang merupakan tanda kesempurnaan iman seseorang kepada Allah. Akhlak yang terpuji dilahirkan dari sifat-sifat yang terpuji pula. Sedangkan Akhlak madzmumah yaitu segala tingkah laku yang tercela atau perbuatan jahat, yang merusak iman seseorang dan menjatuhkan martabat manusia.Pendidikan akhlak menurut pandangan Imam Al-Ghazali terletak pada dua kecen

derungan, pertama Kecenderungan agamis bercorak sufi, yang menempatkan Pendidikan akhlak di atas segala ilmu lainnya dan menempatkannya sebagai alat untuk mensucikan jiwa serta membersihkannya dari karat kehidupan duniawi. Kedua kecenderungan faktual pragmatik, yang mengutamakan kegunaan pendidikan akhlak bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Ilmu pengetahuan yang tidak dipergunakan oleh pemiliknya untuk memberi manfaat kepada umat manusia adalah ilmu yang negatif dan tidak bernilai.

Page 77: Proceeding jilid 2

488

Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa pendidikan karakter menurut perspektif Imam Al-Ghazali adalah pendidikan yang mempersoalkan baik buruknya amal perbuatan, meliputi perkataan, perbuatan atau kombinasi keduanya dari segi lahir dan batin. Lingkup pendidikan karakter mencakup semua perbuatan atau akhlak manusia yang menentukan apakah perbuatan itu termasuk baik atau buruk. Baik buruknya akhlak perbuatan tersebut didasarkan pada kriteria yang bersumber dari agama dan atau norma susila atau adat istiadat. Akhlak yang bersumber dari agama merupakan bukti dari keyakinannya kepada ketentuan dari Alloh dan Rosulnya. Dalam Islam telah jelas bahwa baik buruknya akhlak pada hakikatnya bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah.

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM PEMBELAJARAN

Pendidikan karakter menurut Imam Gazali tiada lain merupakan pendidikan akhlak yang merupakan misi utama para Nabi. Rosululloh Muhammad SAW sedari awal tugasnya mempunyai misi bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan karakter (akhlak). Hal ini mengindikasikan bahwa pembentukan karakter merupakan kebutuhan utama bagi tumbuhnya cara beragama yang dapat menciptakan peradaban. Pada sisi lain, juga menunjukkan bahwa masing-masing manusia telah memiliki karakter tertentu, namun belum disempurnakan. Konsep pendidikan karakter dalam perspektif Imam Ghazali berupaya menciptakan suatu sistem pendidikan yang tidak lepas dari nilai-nilai ilahiyah di dalam membina dan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki manusia sebagai bekal untuk melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin di muka bumi (khalifah Allah fil ardh). Yaitu, terciptanya sebuah sistem pendidikan yang dibangun di atas kesatuan (integrasi) antara pendidikan qalbiyah dan aqliyah, yang akan menghasilkan manusia muslim yang cerdas secara intelektual, spiritual, dan terpuji secara moral.

Sebagai sebuah konsep, pendidikan karakter tidak akan banyak manfaatnya bila tanpa implementasi dalam dunia praksis pendidikan. Untuk implementasinya dalam pembelajaran, seorang pendidik harus menjadi qudwah atau teladan yang baik, menggunakan berbagai metode yang bervariasi dengan mengedepankan cinta dan kasih sayang dalam proses pembelajaran. Di samping itu pendidik harus mampu memunculkan rasa empati, mampu memberi motivasi, menumbuhkan sikap toleransi, memposisikan sebagai teman belajar, menciptakan suasana belajar dialogis, mampu mengkombinasikan antara perasaan (keinginan peserta didik) dengan bahan pengajaran, dan guru dengan segala kerendahan hati dituntut transparan atas segala kekurangan, sehingga tercipta pola pembelajaran yang mendidik dan dialogis antara pendidik dan peserta didik dan anatara sesama peserta didik.

SIMPULAN

Menurut Imam Ghazali pendidikan karakter merupakan pendidikan moral dan pembinaan budi pekerti dengan menanamkan sifat-sifat keutamaan yang baik pada anak didik tidak lain adalah pendidikan akhlak, yang menjadi misi utama diutusnya Rosululloh SAW.

Terdapat dua kecenderungan pandangan Imam Ghazali tentang pendidikan karakter, yang pertama kecenderungan agamis yang bercorak sufi, yang menempatkan pendidikan akhlak di atas segala ilmu lainnya dan menempatkannya sebagai alat untuk mensucikan jiwa serta membersihkannya

Page 78: Proceeding jilid 2

489

dari karat kehidupan duniawi. Yang kedua kecenderungan faktual pragmatik, yang mengutamakan kegunaan pendidikan karakter bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.

Karakter yang disebut sebagai akhlak merupakan sifat yang mengakar dalam hati yang mendorong munculnya perbuatan tanpa pertimbangan dan pemikiran, sehingga sifat yang seperti itulah yang telah mewujud menjadi karakter seseorang. Perbuatan akhlak terdiri atas dua bagian, yaitu akhlak yang baik disebut juga akhlak mahmudah (terpuji) atau akhlak karimah (mulia), dan akhlak yang buruk disebut juga akhlak madzmumah (tercela). Pendidikan karakter mestinya terimplementasi dalam pembelajaran baik melalui perencanaan, pelaksanaan maupun dalam evaluasi dan tindak lanjutnya. Implementasi pendidikan karakter bisa terintegrasi melalui berbagai mata pelajaran, dengan menggunakan metode yang bervariasi, sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.

DAFTAR RUJUKAN Armai Arief, (2002), Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta:

Ciputat Pers. Bahreisj, Hussein,( 1981) Ajaran-ajaran Akhlak Imam Al-Ghazali, Surabaya:

Pustaka Setia. Langgulung, Hasan, (1987) Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-

Husna. Mujib, Abdul, (2006), Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media. Nata, Abuddin. (2001) Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid,

Jakarta: Raja Grafindo Persada. Nizar, Samsul, (2002), Filasafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers. Nizar, Samsul dan Ramayulis, (2005) Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam di

Dunia Islam dan Indonesia, Ciputat: Quantum Teaching. Rosyad, Achmad Faizur.(2004) Mengenal Alam Suci Menapak Jejak Al-Ghazali,

Yogyakarta: KUTUB, 2004. Sulaiman, Fathiyah Hasan, (1986) Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, Bandung:

Al-Ma’arif. Syaifuddin, Ahmad, (2005), Peranan Pemikiran Imam Al-Ghazali, dalam

Pengembangan Pendidikan Islam Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Bandung: Pustaka Setia.

Thaib, Ismail.( 1984), Risalah Akhlaq, Yogyakarta: Bina Usaha. Undang-undang Republik Indonesia no. 20 tahun 2003tentang Sistem Pendidikan

Nasional, Bandung: Citra Umbara.

Page 79: Proceeding jilid 2

490

APLIKASI PETA PEMIKIRAN I-THINK DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN SEMASA PRAKTIKUM

Chanthirasekar A/L Karpan & Ruslin Bin Ekon Institut Pendidikan Guru Kampus Keningau, Sabah

PENDAHULUAN

Dalam pengajaran ,perancangan instruksional harus mengambil kira aspek kognisi dan kaitannya dengan strategi praktikal dalam pembelajaran. Ini memberi asas kepada penyusunan strategi pengajaran yang boleh melibatkan murid mengembangkan kemahiran berfikir aras tinggi supaya pembelajaran bermakna tercapai kepada murid. Dengan ini kefahaman tentang konsep peta pemikiran i-think dan aplikasinya sebagai satu alat pemikiran pengajaran dan pembelajaran murid akan membantu seorang guru menguasai kemahiran mengajar dengan lebih baik di samping membantu pelajar belajar dengan lebih efisen. Kementerian Pelajaran melalui Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia(PPPM) 2013-2025 sangat menekankan kemahiran berfikir aras tinggi yang merupakan salah satu ciri utama yang diperlukan oleh setiap murid untuk bersaing di peringkat global. Sistem pendidikan negara mula percaya bahawa kemahiran berfikir perlu dikuasai dengan betul dan komprehensif jika ingin mencapai negara maju yang berkualiti tinggi.

Salah satu elemen dalam melaksanakan pengajaran dan pembelajaran yang berkesan ialah melalui penggunaaan alat pengurusan grafik sebagai alat berfikir yang telah terbukti kesannya di negara-negara maju. Hasilnya Kementerian Pelajaran mula menggunakan peta i-think sebagai alat berfikir yang disusun secara berstuktur walaupun sebelum ini sudah ada alat berfikir seperti peta minda. Pencapaian murid yang boleh berfikir secara aras tinggi dapat direalisaikan dengan penggunaan Peta Pemikiran i-Think yang mula dilaksanakan di semua sekolah sejak tahun 2010. Selaras dengan hasrat Kementerian Pelajaran memupuk budaya berfikir dalam kalangan pelajar maka guru perlu menguasai kemahiran penggunaan peta pemikiran i-think dengan lebih baik dan mengaplikasinya dalam pengajaran dan pembelajaran dalam bilik darjah.

1.1 Pernyataan masalah

Selama ini guru pelatih telah didedahkan dengan tajuk kemahiran berfikir dan alat-alat berfikir seperti peta minda dan peta pemikiran i-Think secara langsung atau secara tidak langsung melalui kuliah ataupun sesi tutorial. Guru pelatih telah didedahkan secara langsung dengan kemahiran berfikir dan alat-alat berfikir ini dalam sesi pengajaran dan pembelajaran subjek Kemahiran Berfikir semasa mereka di bawah Program Persediaan Ijazah Sarjana Muda Perguruan . Mereka didedahkan dengan subjek Kemahiran Berfikir supaya guru pelatih mengetahui bahawa kemahiran berfikir dan alat-alat berfikir sangat penting untuk membuat keputusan dan menyelesaikan masalah dalam banyak perkara dan mewujudkan pembelajaran yang bermakna secara kolaborasi dalam bilik darjah . Guru pelatih juga telah diberikan bimbingan bagaimanakah caranya menggunakan setiap peta pemikiran i-think sebagai alat berfikir mengikut proses pemikiran yang pelbagai. Kemahiran menggunakan peta pemikiran i-think ini diterapkan dalam

Page 80: Proceeding jilid 2

491

pengajaran dan pembelajaran sebelum mereka menjalani praktikum. Di samping itu guru pelatih juga telah diberi penekanan oleh pensyarah khususnya pensyarah ilmu pendidikan tentang kepentingan mengaplikasikan peta pemikiran i-think yang membantu kemahiran berfikir aras tinggi(KBAT) dalam kalangan pelajar terutamanya pelajar pemulihan dan seterusnya pembelajaran bermakna wujud. Oleh itu adalah penting untuk mengetahui sejauh manakah peta pemikiran i-think ini difahami ,diterima dan diaplikasikan oleh guru pelatih semasa praktikum dengan betul.

Kumpulan guru pelatih Pemulihan semester tujuh ini menjalani program praktikum selama 12 minggu dan ini merupakan pengalaman praktikum kali terakhir bagi pelajar kumpulan ini . Justeru itu adalah penting untuk mengetahui sama ada guru pelatih telah mengaplikasikan peta pemikiran i-think dalam pengajaran dan pembelajaran dalam proses mewujudkan kemahiran berfikir aras tinggi dan dapat mewujudkan minat belajar dalam kalangan pelajar terutamanya pelajar pemulihan yang diajar oleh mereka. Sehubungan ini adalah penting untuk mengetahui apakah permasalahan sebenar yang dihadapi oleh guru pelatih berhubung dengan aplikasi peta pemikiran i-think semasa pengajaran dan pembelajaran di dalam bilik darjah

1.2 Objektif kajian Kajian ini bertujuan untuk:

(i) Mengenal pasti sama ada guru pelatih mengetahui konsep dan jenis-jenis peta pemikiran i-think.

(ii) Mengenal pasti sama ada guru pelatih dapat mengaplikasi peta pemikiran i-think dengan betul dan berkesan dalam pengajaran dan pembelajaran semasa praktikum.

(iii) Mendapatkan pandangan guru pelatih tentang keberkesanan penggunaan peta pemikiran i-think dalam proses pengajaran dan pembelajaran.

TINJAUAN LITERATUR

Penyebatian kemahiran berfikir secara kritis dan kreatif dengan konteks dan isi kandungan pembelajaran memberi peluang untuk pelajar memproses informasi secara aktif dan reflektif. Teks atau bahan isi kandungan yang digunakan oleh guru membolehkan pelajar beranjak dalam satu kontinum gaya pembelajaran. Apabila guru menggunakan pengurusan lisan (soalan-soalan berpandukan proses tersebut) pelajar dapat terlibat secara aktif. Mereka dapat mengamati proses berfikir secara abstrak dan memikir secara reflektif. Mereka dapat menganalisis, menaakul dengan lebih berkesan malahan, dengan menggunakan pengurusan grafik, pelajar bukan sahaja melihat proses kemahiran berfikir tersebut secara eksplisit dan konkrit tetapi juga berfikir dan memproses secara aktif. Secara lazimnya, pengajaran dan pembelajaran kemahiran berfikir menjadi lebih berkesan dengan menggunakan pengurusan grafik. Pengurusan grafik adalah bentuk visual proses berfikir berkenaan. Pengurusan grafik membolehkan pelajar melihat secara konkrit dan visual, proses berfikir yang terbentang secara abstrak (K. Narayanasamy, 2000).

Page 81: Proceeding jilid 2

492

Katherine M Hichies(2006) dalam kajian ijazah kedoktorannya, “An examination of student performance after two years of thinking map implementation in three Tennessee school” telah menunjukkan terdapat hubungan positif antara pelaksanaan program thinking maps dengan peningkatan pembelajaran pelajar dalam aspek membaca dan berbahasa jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang tidak melaksanakan program ini.

Kajian Sidek(2012) pula menunjukkan amalan guru melalui peta pemikiran ini telah mengubah tingkahlaku murid kepada lebih positif dan tekun. Kajian ke atas 290 murid Sekolah Menengah Gaal Pasir Puteh ini menyokong kajian kedua beliau ke atas Pelajar Semester 3 Pengajian Bahasa Melayu IPG Kampus Sultan Mizan yang mendakwa penggunaan peta pemikiran ini telah meningkatkan daya ingatan yang luar biasa berbanding cara pembelajaran yang lama. Lee & Gan (2012) dalam penulisan refleksinya mencatatkan bahawa peta pemikiran dapat membantu murid dalam mengorganisasikan pemikiran mereka ,memudahkan pemahaman serta membantu pelajar membentangkan idea-idea bernas dan baharu. Kajian Sidek(2013) di Tadika Yayasan Islam Terengganu membuktikan pengajaran guru-guru tadika berasaskan peta pemikiran kepada kanak-kanak berumur 5-6 tahun menghasilkan perubahan tingkahlaku positif yang memberangsangkan walaupun dipraktikkan dalam waktu yang singkat.

Berdasarkan kajian yang dijalankan oleh Laura(2011) peta pemikiran telah Berjaya meningkatkan keupayaan pelajar untuk membanding beza sebanyak 69%. Beliau juga menyatakan bahawa peta pemikiran telah dapat meningkatkan kemahiran berfikir aras tinggi dalam kalangan pelajar.Kajian yang dijalankan oleh Morgan-Janes(2009) mendapati bahawa peta pemikiran merupakan alat yang sangat berguna untuk meningkatkan pencapaian pelajar.

Berdasarkan tinjauan ke atas dapatan-dapatan kajian tentang peta pemikiran dalam amalan pendidikan di sekolah, pengkaji mendapati satu kajian terhadap aspek pelaksanaan dan penggunaan peta pemikiran i-think oleh guru-guru praperkhidmatan atau guru praktikum perlu dilakukan. Objektif kajian adalah untuk mengenal pasti tahap pengetahuan dan aplikasi pengajaran dengan mengadaptasi peta pemikiran i-think sebagai alat pengajaran oleh guru-guru Pemulihan praktikum Semester 7 Institut Pendidikan Guru Kampus Tawau, Sabah, sewaktu menjalani program praktikum di sekolah. Penelitian kajian mencakupi aktiviti pemerhatian ke atas pengajaran guru pelatih di bilik darjah, temu bual penguasaan kefahaman mereka terhadap konsep peta i-think dan melihat pelaksanaan peta i-think dalam aktiviti pengajaran pembelajaran serta penulisan penggunaan peta i-think di dalam Buku Rancangan Pengajaran Harian.

METODOLOGI 3.1 Reka Bentuk Kajian

Kajian ini menggunakan kaedah kualitatif iaitu kajian deskriptif yang bertujuan untuk melihat aplikasi dan penggunaan peta pemikiran i-Think sebagai alatdalam strategi pengajaran dan pembelajaran oleh guru pelatih. 3.2 Populasi dan Sampel Kajian

Wiliamson et,al(1982) mencadangkan penggunaan 35-40 responden sebagai jumlah minimum dalam penyelidikan. Ini disokong oleh Harrison(1989) yang memperakukan bahawa kebanyakan kajian menggunakan 30 atau lebih

Page 82: Proceeding jilid 2

493

sebagai responden tetapi mencadangkan bahawa 20 responden bagi setiap kumpulan ialah jumlah paling minimum yang boleh digunakan. Pengkaji mengambil 20 guru pelatih opsyen Pemulihan PISMP Semester 7 daripada 59 orang guru pelatih sebagai responden dan seramai 10 orang pensyarah penyelia praktikum subjek major. 3.3 Instrumen Kajian

Instrumen kajian terdiri daripada soalan temubual pensyarah penyelia praktikum dan guru pelatih. Antara soalan yang dikemukakan kepada guru pelatih:

Jadual 2 Soalan Temubual Guru Pelatih

Bil Soalan 1. Apakah yang anda faham tentang peta pemikiran i-Think? 2. Berikan lapan jenis peta pemikitan i-Think yang anda tahu. 3. Dari manakah anda mendapat maklumat tentang peta i-Think? 4. Adakah anda tahu bahawa peta pemikiran i-Think perlu ditulis sebagai

satu alat pemikiran dalam penulisan RPH dan bukannya sebagai ABM? 5. Adakah anda diberikan maklumat tentang kepentingan aplikasi peta

pemikiran i-Think dalam pengajaran dan pembelajaran? 6. Pernahkah pensyarah sama ada pensyarah subjek major atau

pensyarah Ilmu pendidikan menekankan aplikasi peta pemikiran i-Think sebagai alat pengajaran semasa aktiviti pengajaran dan pembelajaran dan penulisan RPH?

7. Adakah anda memahami cara penggunaan peta pemikiran i-Think mengikut topic secara think, pair dan share?

8. Adakah anda telah membuat latihan penggunaan peta i-Think sebagai alat mengajar semasa di IPG?

9. Pernahkah anda membuat pengajaran mikro atau makro dengan aplikasi peta pemikiran i-Think semasa mata pelajaran major atau ilmu pendidikan di IPG?

10. Apakah masalah yang anda hadapi dalam usaha menggunakan peta pemikiran i-Think dalam menggendalikan aktiviti pengajaran dan pembelajaran.

11. Apakah keinginan anda daripada pensyarah yang mengajar dalam usaha meningkatkan kefahaman aplikasi peta pemikiran i-think dalam pengajaran dan pembelajaran.?

12 Adakah penggunaan peta i-Think dapat memudahkan pengajaran dan pembelajaran dalam bilik darjah?

13 Adakah penggunaan peta i-Think dapat meningkatkan minat pelajar untuk belajar?

14 Adakah peta pemikiran i-Think dapat meningkatkan budaya berfikir dalam kalangan murid?

Jadual 3: Soalan Temubual Pensyarah

Bil Soalan 1. Adakah guru pelatih memahami konsep peta pemikiran i-Think? 2. Adakah guru pelatih mengetahui jenis-jenis peta pemikiran i- Think?

Page 83: Proceeding jilid 2

494

3. Adakah guru pelatih menulis contoh penggunaan peta pemikiran i-Think dalam RPH dalam sesuatu aktiviti.

4. Adakah guru pelatih yang diselia menulis penggunaan peta pemikiran i-Think dengan betul dan dengan sesuai dengan aktiviti dalam RPH ?

5. Adakah guru pelatih mengetahui kepentingan aplikasi peta pemikiran i-Think untuk membudayakan kemahiran berfikir dalam pengajaran dan pembelajaran?

6. Adakah guru pelatih menulis peta pemikiran i-Think yang betul dengan selari dengan aktiviti pengajaran yang dirancang?

7. Adakah guru pelatih memahami kaitan contoh peta pemikiran i-Think yang sesuai dengan aktiviti yang dirancang?

8. Apakah jenis peta pemikiran i-Think yang sering digunakan oleh guru pelatih dalam penulisan dan pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran?

9. Adakah guru pelatih mengaplikasikan semua jenis peta pemikiran i-Think dalam pengajaran mereka sepanjang masa praktikum?

10

Adakah guru pelatih mengaplikasikan peta pemikiran i-Think dengan berkesan dalam pengajaran dan pengajaran?

11 Adakah penggunaan peta pemikiran i-Think dapat meningkatkan minat pelajar untuk belajar semasa praktikum?

12 Adakah guru pelatih menggunakan kaedah think,pair dan share semasa mengaplikasikan peta pemikiran i-Think?

DAPATAN KAJIAN 4.1 Adakah Guru Pelatih memahami konsep dan jenis-jenis Peta Pemikiran i-Think dengan baik?

Persoalan ini dinilai berdasarkan temu bual 20 orang responden kajian. Sebanyak 14 soalan telah dikemukakan untuk mengenal pasti penguasaan dan pemahaman guru pelatih tentang konsep peta pemikiran i-Think dan aplikasinya dalam pengajaran dan pembelajaran. Hasil temu bual mendapati bahawa semua responden kajian memahami konsep peta pemikiran i-Think dan jenis-jenisnya sebanyak lapan dan proses pemikirannya. Semua responden kajian yang ditemu bual dapat memberikan penerangan yang baik dan jelas tentang konsep peta pemikiran i-Think dan menyatakan jenis-jenis peta pemikiran i-Think dengan proses pemikiran. Mereka juga memahami bahawa penggunaan peta pemikiran hanyalah sebagai alat dan bukannya ABM.Mereka menyatakan bahawa mereka telah mempelajari peta pemikiran i-Think dalam mata pelajaran Kemahiran Berfikir dan Kemahiran Akademik semasa PPISMP serta diberi kursus berkaitan i-Think oleh penyelaras i-Think sebelum praktikum. Responden mengingati semua peta pemikiran i- Think dan diterapkan dalam pengajaran dan pembelajaran semasa praktikum. Selain itu mereka menyatakan bahawa pensyarah yang mengajar mata pelajaran Kemahiran Berfikir dan Kemahiran Akademik serta pensyarah pembimbing praktikum telah memberi penekanan betapa pentingnya penggunaan peta pemikiran i-Think semasa guru pelatih melaksanakan pengajaran di dalam bilik darjah untuk mewujudkan budaya berfikir aras tinggi dan meningkatkan minat belajar.

Page 84: Proceeding jilid 2

495

4.3 .Adakah guru pelatih mengaplikasikan peta pemikiran i-think dengan betul dan berkesan dalam pengajaran dan pembelajaran semasa praktikum?

Jadual 5: Maklumat Pemeriksaan Dokumen Bil Perkara Bil. Responden Peratus 1 Menulis semua peta pemikiran i-Think

selari dengan topik yang diajar dan aktiviti dalam Rancangan Pengajaran Harian

2 Guru pelatih 10

2 Menulis lima daripada lapan peta pemikiran i-Think dalam RPH

6 Guru pelatih 30

3 Menulis kurang daripada empat peta pemikiran i-Think dalam RPH.

8 Guru pelatih 40

4 Menulis kurang daripada dua peta pemikiran i-Think dalam RPH.

4 Guru Pelatih 20

Jumlah 20 Guru pelatih 100

Untuk persoalan yang kedua pengkaji telah menggunakan kaedah

pemeriksaan dokumen dengan membuat penyemakan terhadap buku rancangan pengajaran harian guru pelatih sama ada mereka menulis penggunaan peta i-think dalam RPH mereka . Penyemakan secara menyeluruh telah dibuat untuk 12 minggu praktikum dan didapati bahawa seramai 2 (10%) orang guru pelatih telah menulis semua peta pemikiran i-Think selari dengan topik dan aktiviti yang diajar dalam RPH. Seramai 6 orang guru pelatih (30%) menulis hanya lima daripada lapan peta pemikiran i-Think. Seramai 8 orang guru pelatih (40%) menulis kurang daripada empat peta pemikiran i-Think manakala 4 orang guru pelatih (20%) menggunakan kurang daripada dua peta pemikiran i-Think sepanjang tempoh praktikum selama 12 minggu.Ini menunjukkan bahawa guru pelatih ada menggunakan peta i-think dalam pengajaran dan pembelajaran sebagai alat untuk meningkatkan budaya berfikir dan meningkatkan minat belajar dalam kalangan pelajar pemulihan.

Jadual 6: Maklumat Temubual Pensyarah Bil

Aspek temubual Bilangan Peratus

1 Guru pelatih mengaplikasikan semua peta pemikiran i-Think dalam aktiviti pengajaran semasa praktikum

-

2 Guru Pelatih mengaplikasikan 5 peta pemikiran i-Think secara berulang-ulang dalam aktiviti pengajaran semasa praktikum.

4 orang Pensyarah

40%

3 Guru Pelatih mengaplikasikan empat peta pemikiran i-Think secara berulang-ulang sepanjang praktikum.

4 orang pensyarah

40%

Page 85: Proceeding jilid 2

496

4 Guru pelatih mengaplikasikan kurang daripada dua peta pemikiran i-Think secara berulang-ulang sepanjang praktikum

2 orang pensyarah

20%

5 Guru pelatih mengaplikasikan peta pemikiran i-think dengan kaedah think, pair dan share

2 orang pensyarah

20%

Aspek ini dinilai berdasarkan temu bual ke atas 10 orang pensyarah yang

merupakan penyelia praktikum kepada guru pelatih pemulihan seramai 20 orang yang terlibat dalam kajian ini. Terdapat beberapa dapatan daripada temu bual ini. Pertamanya ialah tiada guru pelatih di bawah seliaan mereka yang mengaplikasikan semua peta pemikiran i-Think dalam pengajaran sepanjang tempoh praktikum. Hanya 8 orang pensyarah menyatakan guru pelatihnya mengaplikasikan sebahagian besar peta pemikiran i-Think semasa pengajaran dan pembelajaran iaitu 4 hingga 5 peta pemikiran i-Think. Dua orang pensyarah pula menyatakan guru pelatih mengaplikasikan kurang dripada 2 peta pemikiran i-Think secara berulang-ulang. Hanya 2 orang pensyarah sahaja mendapati bahawa guru pelatih di bawah seliaannya mengaplikasi kaedah think, pair dan share semasa menggunakan peta i-think sebagai alat pengajaran dan pembelajaran.

Melalui temubual dengan pensyarah pembimbing ini juga menunjukkan bahawa terdapat beberapa kelemahan guru pelatih semasa mengaplikasikan peta pemikiran i-Think dalam pengajaran. Dapatan menunjukkan terdapat sebahagian kecil guru pelatih yang hanya mengaplikasikan 2 hingga 4 peta pemikiran i-Think secara berulang-ulang. Selain itu guru pelatih juga dikatakan mengaplikasikan peta pemikiran i-Think secara tidak selari dengan proses pemikiran. Sebagai contohnya peta buih hanya digunakan untuk proses pemikiran menerangkan kata adjektif tetapi guru pelatih menggunakan untuk semua aspek.

Jadual 7: Maklumat Temubual Guru Pelatih

Bil Aspek Bilangan Peratus 1 Aplikasi 1 peta pemikiran i-Think dalam pengajaran 4 orang 20.0 2 Aplikasi 2 hingga 3 peta pemikiran i-Think dalam

pengajaran 6 orang 30.0

3 Aplikasi 4 hingga 5 peta pemikiran i-Think dalam pengajaran

8 orang 40.0

4 Aplikasi lebih daripada 5 peta pemikiran i-Think dalam pengajaran

2 orang 10.0

Untuk persoalan kedua pengkaji juga menggunakan kaedah temu bual

dengan guru pelatih. Seramai 20 orang guru pelatih telah ditemu bual dan dapatan menunjukkan bahawa seramai 4 (20.0 peratus) responden menyatakan mereka telah mengaplikasikan satu peta pemikiran i-Think dalam pengajaran mereka. Seramai 6 orang (30 peratus ) guru pelatih menyatakan telah mengaplikasikan dua hingga tiga peta pemikiran i-Think dalam pengajaran mereka. Sementara itu seramai 8 orang ( 40.0 peratus) guru pelatih menyatakan telah mengaplikasi

Page 86: Proceeding jilid 2

497

empat hingga lima peta pemikiran i-Think semasa mereka mengajar manakala seramai 2 orang (10.0 peratus) guru pelatih menyatakan telah mengaplikasi lebih dari lima peta pemikiran i-Think dalam pengajaran mereka. Guru pelatih mengatakan bahawa mereka mengaplikasikan peta pemikiran tetapi hanya menggunakan peta yang mudah digunakan untuk pelajar pemulihan.Pelajar pemulihan menghadapi masalah untuk mengaplikasikan semua peta i-think kerana tahap pembelajaran mereka yang rendah.Guru pelatih hanya menggunakan peta pemikiran i-think peta bulatan,peta buih, peta buih berganda dan peta pelbagai alir. Ini menunjukkan bahawa guru pelatih telah mengaplikasikan peta pemikiran i-Think dalam pengajaran dan pembelajaran semasa praktikum tetapi tidak menyeluruh. . 4.4 Apakah pandangan guru pelatih terhadap aplikasi peta pemikiran i-think dalam pengajaran dan pembelajaran semasa praktikum?

Jadual 8: Maklumat Temubual Guru Pelatih Bil Aspek Bilangan Peratus 1 Peta pemikiran i-Think sangat membantu

pengajaran dan pembelajaran dalam bilik darjah. 18 orang 90.0

2 Peta pemikiran i-Think dapat meningkatkan minat pelajar untuk belajar.

20 orang 100.0

3 Peta pemikiran i-Think dapat meningkatkan budaya berfikir dalam kalangan murid.

20 orang 100.0

Berdasarkan maklumat temubual guru pelatih seramai 20 orang, didapati

hampir semua guru pelatih menyatakan bahawa penggunaan peta pemikiran i-Think ini sangat berkesan sebagai satu alat berfikir semasa melaksanakan pengajaran dan pembelajaran. Semua guru pelatih yang ditemu bual juga bersetuju bahawa peta pemikiran i-Think ini dapat meningkatkan minat belajar dan budaya berfikir dalam kalangan pelajar. Namun ada sedikit masalah dalam pengajaran dan pembelajaran pelajar pemulihan yang tidak dapat menggunakan peta pemikiran i-think secara menyeluruh kerana tahap pemikiran mereka yang rendah. Guru pelatih juga mengatakan pelajar pemulihan hanya dapat mengaplikasikan beberapa peta pemikiran i-think sahaja kerana kandungan dan sukatan yang terhad. Maka aktiviti yang dirancang untuk mereka juga terlalu mudah dan penggunaan peta pemikiran i-think juga terhad. Jumlah murid juga terhad iaitu 5-6 orang dalam satu kelas pemulihan dalam satu-satu masa maka kaedah think,pair dan share dapat dilaksanakan tetapi kurang berkesan. RUMUSAN , PERBINCANGAN DAN CADANGAN 5.1 Kefahaman guru pelatih terhadap konsep peta pemikiran

Secara keseluruhan dapatan kajian ini melalui temu bual dan pemeriksaan dokumen menunjukkan bahawa semua guru pelatih memahami konsep peta pemikiran i-think dan jenis-jenisnya. Guru pelatih juga memahami proses pemikiran setiap peta pemikiran i-think dan cara penggunaan yang betul. Mereka menulis sebahagian besar peta pemikiran i-think dalam RPH sebagai alat pemikiran sepanjang tempoh praktikum selama 12 Minggu. Maklumat ini diperoleh melalui pemeriksaan dokumen iaitu Buku Rekod Mengajar guru pelatih. Mereka

Page 87: Proceeding jilid 2

498

memberi fokus untuk menulis peta pemikiran i-Think dalam pengajaran dan pembelajaran. Melalui temubual yang dijalankan menunjukkan bahawa guru pelatih tidak menghadapi sebarang masalah berhubung kefahaman konsep peta pemikiran dan jenis-jenis peta pemikiran i-think dan cara penggunaannya untuk aktiviti yang dirancang. Ini menunjukkan bahawa guru pelatih telah mendapat pendedahan yang agak baik tentang peta pemikiran i-think daripada pensyarah yang mengajar terutamanya mata pelajaran Kemahiran Berfikir dari Jabatan Ilmu Pendidikan dan penyelaras i-Think.

5.2 Aplikasi Peta Pemikiran i-Think dengan betul dan berkesan dalam pengajaran dan pembelajaran semasa praktikum

Bagi persoalan kedua, dapatan daripada pemeriksaan dokumen Buku Rekod Mengajar mendapati guru pelatih ada menulis peta pemikiran sepanjang tempoh praktikum sebagai alat untuk mewujudkan budaya berfikir.Semua guru pelatih Pemulihan seramai 20 orang menulis dan menggunakan peta pemikiran sebagai alat pengajaran. Selain itu,dapatan melalui temu bual dengan pensyarah pembimbing dan guru pelatih menunjukkan bahawa sebahagian besar guru pelatih telah mengaplikasikan peta pemikiran i-think dalam pengajaran mereka semasa praktikum. Walau bagaimanapun dapatan menunjukkan sebahagian kecil guru pelatih hanya mengaplikasi dua atau tiga jenis peta pemikiran i-think dalam pengajaran mereka. Sebahagian kecil guru pelatih juga hanya mengaplikasikan peta pemikiran i-think yang sama secara berulang-ulang dalam aktiviti pengajaran terutamanya peta bulatan, peta buih, peta buih berganda, dan peta pelbagai alir. Guru pelatih langsung tidak mengaplikasikan peta titi ,peta dakap dan peta pokok semasa pengajaran dilaksanakan. Ada juga guru pelatih yang menggunakan peta pemikiran i-think tetapi tidak sesuai dan selari dengan aktiviti yang dirancang kerana proses pemikirannya kurang difahami oleh guru pelatih. Contohnya peta buih hanyalah digunakan untuk proses pemikiran menerangkan kata adjektif tetapi guru pelatih menggunakan untuk semua aspek. Ini menunjukkan bahawa penguasaan guru pelatih terhadap pemahaman peta pemikiran i-think masih sederhana.

5.3 Pandangan guru pelatih terhadap aplikasi peta pemikiran i-think dalam pengajaran dan pembelajaran semasa praktikum.

Bagi persoalan ketiga didapati bahawa guru pelatih memberikan pelbagai pandangan yang bernas dan rasional berkaitan aplikasi peta pemikiran i-think dalan bilik darjah semasa proses pengajaran dan pembelajaran pelajar pemulihan. Berdasarkan maklumat temu bual guru pelatih didapati hampir semua guru pelatih menyatakan bahawa penggunaan peta pemikiran i-Think ini sangat berkesan sebagai satu alat untuk berfikir dan dapat meningkatkan minat pelajar untuk belajar. Namun ada sedikit masalah dalam pengajaran dan pembelajaran pelajar pemulihan yang tidak dapat menggunakan semua peta pemikiran i-think secara menyeluruh kerana tahap pemikiran mereka yang rendah. Guru pelatih juga mengatakan pelajar pemulihan hanya dapat mengaplikasikan beberapa peta pemikiran i-think sahaja kerana kandungan dan sukatan yang terhad mengikut aktiviti yang dirancang. Maka aktiviti yang dirancang untuk mereka juga terlalu mudah dan penggunaan peta pemikiran i-think juga terhad. Jumlah pelajar pemulihan yang terhad iaitu 5-6 orang dalam satu kelas pemulihan dalam satu-

Page 88: Proceeding jilid 2

499

satu masa maka kaedah think,pair dan share dapat dilaksanakan tetapi kurang berkesan. SIMPULAN

Oleh yang demikian aktiviti pengajaran dan pembelajaran di Institusi Pendidikan Guru (IPG) haruslah memberi penekanan yang lebih terhadap aplikasi peta pemikiran i-think dalam pengajaran dan pembelajaran dalam bilik kuliah atau semasa mereka membuat pembentangan. Dengan cara ini, mereka akan lebih terdedah dengan penggunaan peta pemikiran i-think secara berterusan. Selain itu, pensyarah major dan pensyarah teras (JIP) harus memberi penekanan terhadap penggunaan peta i-think semasa pengajaran mikro untuk melihat pencapaian guru pelatih dalam mengintegrasikan pengurusan grafik ini dalam pengajaran dan pembelajaran. Para pensyarah haruslah memberi fokus terhadap implementasi bahan pengurusan grafik dan peta pemikiran i-think dalam pengajaran dan pembelajaran daripada hanya menekankan kandungan subjek sahaja. Pensyarah pembimbing dan guru pembimbing juga perlu memberikan keutamaan terhadap penggunaan peta pemikiran i-think sebagai alat pengajaran yang sesuai untuk pelajar berfikir dengan aras tinggi. Pensyarah perlu memberikan penyebatian kemahiran berfikir dengan peta pemikiran i-think untuk mewujudkan suasana pembelajaran yang memberangsangkan kepada murid.

DAFTAR RUJUKAN Angus,C.,Janes,M.(2009).An examination of thinking maps in the context of.In

Costa&Kallick,B(Eds.),Activating and engaging habits of mind(pp,46-58). Beyer, B. K. (1992). Practical Strategies for the Teaching of Thinking. London:

Allyn and Bacon, Inc. Dewey, Jessica, Bento, Janet, (2009). Activating Children's Thinking Skills

(ACTS): The Effects of an Infusion Approach to Teaching Thinking in Primary Schools. British Journal of Educational Psychology, Vol. 79 Issue 2, p329-351.

Gallagher, M. L. (2011). Using Thinking Maps to Facilitate Research Writing in Upper Level Undergraduate Classes. Journal of Family & Consumer Sciences Education, 29 (2), 53-56.

Hyerle,D. (2000). Thinking Maps: Visual tools for activating habits of mind, In A.L Inquiry-Based Science Education for Fifth-Grade Students.Franklin Pierce.

Kartini Baharun et. al., (2009). Buku Panduan Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan Dengan Kepujian. Putrajaya: Kementerian Pelajaran Malaysia.

Kementerian Pelajaran Malaysia. (2003). Kemahiran berfikir dalam pengajaran dan pembelajaran. Putrajaya: Pusat Perkembangan Kurikulum.

Kementerian Pelajaran Malaysia. (2006). Pelan Induk Pembangunan Pendidikan 2006-2010. Putrajaya: Bahagian Pendidikan Guru.

Kementerian Pelajaran Malaysia. (2012). Draf Buku i-Think.Putrajaya: Bahagian Pembangunan Kurikulum, Kementerian Pelajaran Malaysia.

Krathwohl, D. R., Bloom, B. S., & Masia, B. B., (1964). Taxonomy of Educational Objectives: The classification of Educational Goals. Handbook II: Afective Domain. New York: David McKay.

Page 89: Proceeding jilid 2

500

K. Narayaanasamy (2000). Melayan Pelbagai Gaya Pembelajaran: Pengajaran Kemahiran Berfikir Sebagai Satu Alternatif Berkesan. Jurnal Pendidikan TIGAENF, 2(3): 64-70.

Laura A,W,(2011).The effect of thinking maps on students’ higher order thinking skills.US: California State University & Northridge University.

Lee Hou Yew & Gan We Ling.(2012). Penggunaan peta pemikiran i-Think dalam pengajaran dan pembelajaran.Kertas kerja dibentangkan di Konvensyen Kebangsaan Pendidikan Guru 2012,Bukit Gambang Resort, Oktober 2012.

McGregor D. (2007). Developing Thinking Developing Learning: A Guide to Thinking Skills in Education. New York: McGraw-Hill.

Muhamad Sidek Said & Ahamad Rahim.(2012).Transformasi pengajaran dan pembelajaran inovatif melalui ‘thinking maps’. Kertas kerja dibentangkan di Seminar Penyelidikan Pendidikan Antarabangsa Malaysia-Indonesia(Malindo),IPGKIK,Kuala Lumpur, 4-6 Oktober 2012.

Muhamad Sidek Said & Ahamad Rahim.(2012). Inovasi penagajaran dan pembelajaran melalui program i-Think. Kertas kerja dibentangkan di IPGM International Convention in teacher learning & development, Pearl International Hotel,Kuala Lumpur, 19-21 November 2012.

Muhamad Sidek Said(2013). Aplikasi menggunakan ‘Thinking Map’ dalam program praktikum KPLD di Tadika Yayasan Islam Terengganu, Seberang Takir, Kuala Terengganu, Kertas kerja dibentangkan di Seminar Kajian Tindakan Peringkat Kebangsaan, Tanjung Vista Hotel, Kuala Terengganu, 23-25 April 2013.

N. S. Rajendran, (2001). Amalan Berdaya Fikir Pengajaran Pembelajaran Bahasa Melayu Dalam Bilik Darjah. Kertas Kerja. Konvensyen Pendidikan ke-10.

N. S. Rajendran, (2001). Pengajaran Kemahiran Berfikir Aras Tinggi: Kesediaan Guru Mengendalikan Proses Pengajaran Pembelajaran. Kertas kerja. Seminar/pameran projek KBKK.

Poh Swee Hiang, (2005). Kemahiran Berfikir: Kurikulum Kursus Persediaan Program Sarjana Muda Pendidikan. Kuala Lumpur: Kumpulan Budiman Sdn. Bhd.

Poh Swee Hiang, (2002). Kemahiran Berfikir Secara Kritis dan Kreatif. Kuala Lumpur. Percetakan Sentosa.

Shermis, S. S (1999). Critical Thinking: Helping students learn reflectively. Bloomington, Indiana: Phi Delta Kappa Educational Foundation.

S. Supramani, (2006). Penyoalan Guru: Pemangkin Pemikiran Aras Tinggi Murid. Jurnal Pendidikan, Universiti Malaya, 225-246.

Weast, D. (1996). Alternative Teaching Strategies: The Case For Critical Thinking. Teaching Sociology, 24, 189-194.

Page 90: Proceeding jilid 2

501

PENGARUH METODE LATIHAN DAN KOORDINASI TERHADAP KETERAMPILAN LOMPAT JANGKIT

Ellen Bernadet Lomboan Universitas Negeri Manado

Abstract This experimental study aimed to find out the comparison of two training methods for triple jump skills. The training method consists of two methods namely plyometrics and weight training methods. This research also aimed to find out the interaction between training method and coordination of triple jump skills. Coordination consists of both high and low trunk flexibilities. This research was conducted at the Faculty of Sport Sciences, Manado State University. This experimental research using factorial design bay level 2x2. The sample of 40 students was taken from population of 80 students using purposive sampling method. Sample then divided into four groups that consist of 10 students each. The analyzing techniques of data implementing two-way analyses of variance (ANOVA) and further continued by Tukey Test α = 0.05 level of significance. The results of this research shows that: (1) in general the triple jump skills by using plyo metrics training methods is better than by using weight training methods. (2) there is interaction between training method and coordination toward triple jump skills; (3) for high coordination using plyometrics training methods is better than by using weight training methods; (4) for low coordination using weight training methods is better than by using ply metrics training methods. Keywords: Effect, Training Methods, Coordination, Triple jump Skill.

PENDAHULUAN

Lompat jangkit merupakan bagian dari cabang olahraga atletik yang termasuk dalam kategori olahraga prestasi. Lompat jangkit adalah nomor lompat yang menggunakan lompatan tiga kali yaitu jingkat (hop), langkah (step), lompat (jump). Lompat jangkit, lompat tiga atau lompat jingkat adalah suatu cara melompat dimana si pelompat melakukan lompatan yang didahului dengan gerakan awalan, tolakan, jingkat, langkah dan lompat diakhiri dengan mendarat. Pada langkah terakhir dari lari awalan pelompat melakukan tolakan dengan kaki kanan ke depan atas mendarat dengan kaki yang sama (kaki kanan) yang dinamakan gerakan jingkat (hop). Pada saat kaki kanan mendarat, kaki kiri segera diayunkan dari belakang ke depan ke atas bersamaan kaki kanan ditolakan ke atas ke depan untuk melakukan gerakan langkah (step). Kemudian melakukan gerakan lompat (jump) pada saat kaki kiri mendarat segera kaki kanan diayunkan dari belakang ke atas depan bersamaan dengan kaki kiri ditolakan lagi sekuat-kuatnya ke atas untuk membawa titik berat badan ke atas ke depan sejauh-jauhnya untuk melakukan sikap mendarat.

Untuk mengukur keterampilan lompat jangkit, akan menggunakan

instrument buatan sendiri, yaitu instrument baku yang dimodifikasi oleh peneliti yang mengacu pada landasan pola gerak lompat jangkit. Menurut Higgins dalam

Page 91: Proceeding jilid 2

502

Pate bahwa evaluasi dalam olaraga dapat dilakukan dengan cara kuantitatif dan kualitatif. Nilai-nilai kuantitatif misalnya jarak yang dilompati, waktu berlari dan angka yang dicapai ini merupakan metode-metode untuk mengukur suatu penampilan.Sedangkan analisa kualitatif memusatkan diri pada aspek penampilan atau katerampilan.Teknik-teknik penilaian kualitatif terutama berdasar pada pengamatan visual.Namun tujuan akhir dari olaragawan adalah meningkatkan keterampilan kuantitatif itu sendiri hanya memberikan sedikit informasi yang berguna untuk memperbaiki suatu kemampuannya. METODE PENELITIAN

Metode yang akan digunakan dalam Penelitian ini adalah metode eksperimental dengan desain faktorial 2X2. Penentuan desain penelitian merujuk pada Sudjana.Variabel penelitian terdiri dari 2 variabel bebas yaitu: (1) metode latihan beban dan (2) metode latihan pliometrik, satu variabel kategori dengan dua taraf yaitu koordinasi tinggi dan koordinasi rendah serta satu variabel terikat yaitu keterampilan lompat jangkit HASIL DAN PEMBAHASAN

Rangkuman Hasil Perhitungan Nilai x dan s. Data Hasil Penelitian untuk setiap perlakukan dapat dilihat pada tabel ini:

Tabel 1. Data Hasil Penelitian

Page 92: Proceeding jilid 2

503

Setelah pengujian normalitas dan homogenitas data hasil penelitian telah teruji, maka dengan demikian persyaratan untuk analisis varians telah terpenuhi. Untuk itu pengujian hipotesis dapat digunakan analisis varians (Anava) dua arah. Adapun perhitungan anava secara lengkap dapat dilihat pada lampiran, sedangkan rangkuman analisis varians pada tabel di bawah ini.

Tabel 2

Hasil Analisis Varians

Sumber Variasi Dk JK KT Fo Ft

Rata-rata Perlakuan A (Metode Latihan) B (Kordinasi) AB (Interaksi) Kekeliruan Eksperimen

1

1

1 1 36

423536,4 208,85 2250 1170,15 559.54

208,85 2250 1170,15 15.542

13,34 *

144,76 *

75,29 *

4.11

4.11

4.11

0.115

0.115

0.115

Jumlah 40 Keterangan : * = Signifikan pada taraf α = 0.05 * = Signifikan pada taraf α = 0.01 dk = Derajat kebebasan JK = Jumlah kuadrat KT = Rata-rata jumlah kuadrat Fo = Harga F observasi Ft = Harga F tabel

Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan analisis varians (Anava), kemudian di lanjutkan dengan analisis Uji Tukey, maka dengan demikian pembahasan hasil penelitian ini yang akan diuraikan, yaitu keempat hipotesis yang telah diuji kebenarannya berdasarkan hasil analisis adalah sebagai berikut:

1. Secara keseluruhan metode latihan pliometrik (A l) lebih baik daripada metode latihan beban (A2) terhadap keterampilan lompat jangkit. Keterampilan lompat jangkit adalah merupakan suatu proses gerak

yang sangat kompleks, karena dalam pelaksanaannya melalui l ima tahapan yang harus te rkoord inas i dengan cepat dan sempurna ya i tu awalan, j ingka t , langkah, melompat, dan mendarat . Untuk itu dibutuhkan metode latihan yang tepat agar dapat meningkatkan f isik yang efekti f dan efisien yang dapat menunjang dalam pelaksanaan keterampilan lompat jangkit.

Kedua metode latihan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode la t ihan p l iometr ik dan metode la t ihan beban kedua -duanya dapat

Page 93: Proceeding jilid 2

504

meningkatkan kemampuan daya ledak. Namun dalam pelaksanaannya memiliki perbedaan. Perbedaan ini disebabkan karena latihan pliometrik mempunyai prinsip dan bentuk latihan yang memiliki ciri khusus, yaitu terjadinya kontraksi otot yang sangat kuat yang merupakan respon dari pembebanan dinamik atau regangan dari otot-otot yang terlibat.

Dengan demikian, hal inilah yang dapat dimanfaatkan pada saat melakukan awalan untuk menambah kecepatan lari dan meningkatkan daya ledak pada saat melakukan tolakan di balok tumpuan sehingga menghasilkan keterampilan lompat jangkit yang lebih baik.

Sedangkan metode latihan beban adalah suatu metode latihan yang dilakukan dengan menggunakan alat-alat pemberat seperti bobot-bobot besi, penggunaan barbel, dumble peralatan mekanis, rompi, pemukul, sehingga pada waktu terjadinya kontraksi konsentrik memang sedikit masih cepat sebab adanya tekanan pembebanan yang menekan tubuh, tetapi pada saat terjadinya kontraksi eksentrik gerakannya sedikit lamban karena selain mengangkat tubuh sendiri juga adanya pembebanan diluar dari tubuh yaitu beban. Sehingga tentu akan menghasilan keterampilan lompat jangkit yang kurang maksimal.

Hasil analisis gerak di atas diperkuat oleh hasil perhitungan analisis varians tentang perbedaan keefektifan antara kedua metode latihan secara keseluruhan, yaitu Fobservasi antar kolom (FA) = 13,34 lebih besar dari pada Ftabel = 4.11 (Fo 13,34 > Ft = 4.11), maka dengan melihat hasil keterampilan lompat jangkit dengan menggunakan metode latihan pliometrik ( = 103. 19 dan s = 10,74) dibandingkan dengan hasil keterampilan lompat jangkit dengan menggunakan metode latihan beban ( = 102,64 dan s = 4,07) sehingga dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan metode latihan pliometrik lebih baik dari pada metode latihan beban terhadap hasil keterampilan lompat jangkit.

Dengan demikian berdasarkan pembahasan hasil penelitian, maka dapat direkomendasikan bahwa metode lat ihan pl iometrik lebih baik diterapkan dalam meningkatkan keterampilan lampat jangkit.

2. Terdapat intraksi antara metode latihan dengan koordinasi terhadap keterampilan lompat jangkit.

Hasil analisis varian 2 x 2 yang berkaitan dengan intraksi antara metode latihan dengan koordinasi terhadap keterampilan lompat jangkit hal ini menunjukkan bahwa Fhitung = 75,29 > Ftabel 0.05 = 4.11. Hal ini memberikan gambaran bahwa metode latihan pliometrik lebih baik diterapkan kepada mahasiswa yang memiliki koordinasi tinggi dibandingkan dengan metode latihan beban A1B1 > A2B1. Sebaliknya metode latihan beban lebih baik diterapkan bagi mahasiswa yang memiliki koordinasi rendah dibandingkan dengan metode latihan pliometrik A2B2 > A1B2. Hal ini diperkuat berdasarkan hasil uji lanjut yang membandingkan antara metode latihan pliometrik dengan koordinasi tinggi dan metode latihan beban dengan koordinasi tinggi A1B1 : A2B1 (P1:P2) hasilnya adalah Qhitung 9,6021 > Q tabel 3.79. Dengan demikian keefektifan metode latihan pliometrik dengan koordinasi tinggi ( = 116,38 dan s = 2,17) lebih baik secara nyata dibandingkan dengan metode latihan beban ( = 104,4 dan s = 5,43). Metode latihan beban

Page 94: Proceeding jilid 2

505

dengan koordinasi rendah dan metode latihan pliometrik dengan koordinasi rendah A2B2 : A1B2 ( P4 : P3) hasilnya adalah Qhi tung 8,7197 > Qtabe l 3.79. Dengan demikian keefektifan metode latihan beban dengan koordinasi rendah ( = 100,8 dan s = 3,19) lebih balk secara nyata dibandingkan dengan metode latihan pliometrik ( = 89.9 dan s = 5,43).

Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa bagi mahasiswa yang memiliki koordinasi tinggi bila ingin meningkatkan keterampilan lompat jangkitnya sebaiknya berlatih dengan menggunakan metode latihan pliometrik, demikian juga sebaliknya bagi mahasiswa yang memiliki koordinasi rendah bila ingin meningkatkan keterampilan lompat jangkitnya sebaiknya berlatih dengan menggunakan metode latihan beban.

3. Bagi mahasiswa yang memiliki koordinasi tinggi metode latihan pliometrik lebih baik daripada metode latihan beban terhadap hasil keterampilan lompat jangkit.

Te lah d i kemukakan sebe lumnya bahwa kedua me tode dapa t meningkatkan kemampuan daya ledak dan dapat meningkatkan keterampilan lompat jangkit bagi mahasiswa FIK UNIMA di Tondano, tapi masing-masing memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya.

Metode latihan pliometrik dalam pelaksanaannya memiliki ciri khusus yaitu kontraksi yang sangat kuat dan merupakan respon dari pembebanan dinamik atau regangan otot-otot yang terlibat. Sehingga regangan terjadi secara mendadak sebelum otot berkontraksi kembali dan memungkinkan otot-otot untuk mencapai kekuatan maksimum dalam waktu yang sangat singkat.

Dengan demikian bahwa bagi mahasiswa yang memilki koordinasi tinggi dapat meningkatkan kemampuannya terhadap pencapaian peningkatan keterampilan lompat jangkit, karena gerakan-gerakan yang cepat tentu akan lebih baik bila ditunjang oleh tingkat koordinasi yang baik pula.

Metode latihan beban merupakan salah satu metode latihan yang banyak digunakan oleh pelatih dalam pembinaan olahraga, karena metode latihan ini dapat meningkatkan kondisi fisik anak didik (atlet). Metode latihan ini sangat sederhana karena dapat menggunakan peralatan yang sederhana pula seperti barbel, dambel dan baju beban dan lain sebagainya. Selain dari pada itu juga dapat memberikan penampilan secara umum, hal ini disebabkan karena efek latihan beban terhadap tubuh antara lain terjadinya perubahan anatomi, biokimia, dan sistem saraf. Kemudian juga latihan beban adalah jenis umum dari latihan kekuatan untuk mengembangkan kekuatan dan ukuran otot rangka. Latihan beban menggunakan gaya gravitasi (dalam bentuk batangan tertimbang, barbel atau tumpukan berat) untuk melawan gaya yang dihasilkan oleh otot melalui kontraksi konsentris dan eksentrik.

Namun yang menjadi kendala latihan beban pada waktu terjadinya kontraksi konsentrik dan eksentrik tidak dapat dilakukan secara cepat karena adanya beban yang digunakan sebagai pemberat sehingga terjadi kekakuan yang berujung terhadap kurangnya pencapaian peningkatan keterampilan lompat jangkit.

Hasil analisis gerak di atas diperkuat oleh hasil uji lanjut

Page 95: Proceeding jilid 2

506

kelompok koordinasi tinggi yang dilatih dengan metode latihan pliometrik (P1) dibandingkan dengan kelompok koordinasi tinggi yang dilatih dengan metode latihan beban (P2) hasilnya adalah Qhi tung 13,34 > Qtabe l 3.79. Dengan demikian bahwa mahasiswa yang memilki koordinasi tinggi keefektifan metode latihan pliometrik ( = 116,39 dan s = 2,17) lebih baik secara nyata dibandingkan dengan metode latihan beban ( = 89,98 dan s = 5,43).

Dengan demikian berdasarkan pembahasan hasi l penel i t ian, maka dapat direkomendasikan bahwa bagi mahasiswa yang memilki koordinasi t i ngg i , me tode l a t i han p l i ome t r i k l eb ih ba i k d i t e rapkan da lam meningkatkan keterampilan lompat jangkit.

4. Bagi mahasiswa yang memiliki koordinasi rendah metode

latihan beban lebih baik daripada metode latihan pliometrik terhadap keterampilan lompat jangkit.

T e l a h d i k e m u k a k a n s e b e l u m n y a b a h w a k e d u a m e t o d e d a p a t meningkatkan kemampuan daya ledak dan dapat meningkatkan keterampilan lompat jangkit bagi mahasiswa FIK UNIMA di Tondano, tetapi masing-masing memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya.

Metode latihan beban merupakan salah satu metode latihan yang banyak digunakan oleh pelatih dalam pembinaan olahraga, karena metode latihan ini dapat meningkatkan kondisi fisik anak didik (atlet). ,Metode latihan ini sangat sederhana karena dapat menggunakan peralatan yang sederhana pula seperti barbel, dambel dan baju beban dan lain sebagainya. Selain dari pada itu juga dapat memberikan penampilan secara umum, hal ini disebabkan karena efek latihan beban terhadap tubuh antara lain terjadinya perubahan anatomis, biokimia, dan sistem saraf. Kemudian juga latihan beban adalah jenis umum dari lat ihan kekuatan untuk mengembangkan kekuatan dan ukuran otot rangka. juga menggunakan gaya gravitasi (dalam bentuk batangan tertimbang, barbel atau tumpukan berat) untuk melawan gaya yang dihasilkan oleh otot melalui kontraksi konsentris dan eksentrik.

Bagi mahasiswa yang memilki koordinasi rendah, lat ihan semacam ini sangat relevan karena tidak memerlukan gerakan yang terlalu cepat dan eksplosive dan memberikan motivasi bagi anak untuk melakukan gerak sesuai dengan kemampuan tubuhnya yang idimiliki. Sehingga peningkatannya-pun dapat lebih maksimal.

Metode latihan pliometrik dalam pelaksanaannya memiliki ciri khusus yaitu kontraksi yang sangat kuat dan merupakan respon dari pembebanan dinamik atau regangan otot-otot yang terlibat. Sehingga regangan terjadi secara mendadak sebelum otot berkontraksi kembali dan memungkinkan otot-otot untuk mencapai kekuatan maksimum dalam waktu yang sangat singkat. Dengan demikian bagi mahasiswa yang memilki koordinasi rendah tentu akan mengalami kesukaran dalam melakukan kotraksi konsentrik dan eksentrik yang cepat. Dengan kesukaran-kesukaran yang dialami bagi mahsiswa tersebut akan berdampak kepada penurunan motivasinya, sehingga berujung kepada peningkatan keterampilan lompat jangkit kurang maksimal.

Anal is is gerak d i a tas d iperkuat o leh has i l u j i lan jut ke lompok koordinasi rendah yang dilatih dengan metode latihan beban (P4)

Page 96: Proceeding jilid 2

507

dibandingkan dengan kelompok koordinasi rendah yang dilatih dengan metode latihan pliometrik (P3) hasilnya adalah Qhitung 8,7197 > Qtabel 3.79. Dengan demikian keefektifan metode latihan beban dengan koordinasi rendah ( = 100,8 dan s = 3,19) lebih baik secara nyata dibandingkan dengan metode latihan pliometrik ( = 89,9 dan s = 5,43).

Dengan demikian berdasarkan pembahasan hasil penelit ian, maka dapat direkomendasikan bahwa bagi mahasiswa yang memilki koordinasi r endah . me tode l a t i han beban l eb ih ba i k d i t e rapkan da lam meningkatkan keterampilan lompat jangkit.

DAFTAR RUJUKAN Harsono. (1988). Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis dalam Coaching.

Jakarta: CV Tambak Kusuma, Herre D. (1982). Principle of Sport Training: Introduction to Theory of Methodes of

Training. Sportverlag Berlin. IAAF. (2006). Competition Rules 2006-2007 PASI. Nossek, J. (1982). General Theory of Training, Lagos: Pan African Press Ltd. Pate dkk. (1993). Dasar-Dasar Ilmiah Kepelatihan, Diterjemahkan Kasio

Dwijowinoto. Semarang : IKIP Semarang. Radcliffe, J.C. ( 1995). Plyometric Explosive Power Training. Champaign Illionis:

Human Kinetics Publishers Inc., Sajoto. (1995). Peningkatan dan Pembinaan Kekuatan Kondisi Fisik Dalam

Olahraga. Semarang: Dahara Prize. Santoso. (2011). Pengaruh metode latihan dan kelentukan batang badan

terhadap kemampuan teknik lompat jangkit. Setiawan, I. (1996). Latihan Fisik Manusia Dalam Olahraga. Bandung: Penerbit

Kerjasama ITB FPOK IKIP Bandung. Tangkudung, J. (2006). Kepelatihan Olahraga, Pembinaan Prestasi Olahraga

Jakarta: Penerbit Cerdas Jaya. Tudor, B. G. H. G. (2009). Peridiozation Theory and Methodology of Training Fifth

Edition.Canada: Human Kinetick. Wilmore J., H. Costil DL. (1994). Physiology of Sport and ExerciseCanada:

Human Kinetic.

Page 97: Proceeding jilid 2

508

IDENTIFIKASI KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR PROGRAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA GEMPA BUMI TERINTEGRASI

DALAM PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU DI SEKOLAH DASAR KOTA BENGKULU

1)Endang Widi Winarni & 2)Feri Noperman

Universitas Bengkulu E-mail: 1)[email protected] & 2)[email protected]

Abstract People in Bengkulu Province very often deal with tectonic earthquake, so they should have the attitude, skills, and knowledge to face the disaster that can reduce material and immaterial risk. One strategic and effective efforts are through the education. In order not to increase the learning onus then disaster preparedness is integrated into an integrated thematic learning. This study type is research and development. The research began with literature study and qualitative empirical research. Research conclusion is: (a) for class 1, theme "Natural Events" and the subtheme "Natural Disaster"; class 2 theme "Safety at Home and in Travelling” and subtheme of" Rules of Safety at Home"; class 3 theme "Earth and Universe" and the subtheme "Topographical Changes"; and class 4 theme "My Home" and the subtheme "My Neighborhood"; (b) the relevant indicators of Disaster Risk Reduction (DRR) are attitudes, knowledge, and skills that related to pre-disaster preparedness and during the disaster; and (c) the process and learning outcomes that formulated in integrated DRR indicator focused on simulation and demonstration of self-rescue when an earthquake occured at home, on the way, or at school. Keywords: disaster risk reduction, earthquakes, and integrated thematic PENDAHULUAN

Provinsi Bengkulu secara geografis adalah salah satu wilayah dari enam wilayah di Indonesia yang berpotensi bencana gempa bumi. Oleh sebab itu, masyarakat termasuk siswa SD di Provinsi Bengkulu sangat sering menghadapi bencana alam gempa bumi tektonik.

Gempa bumi tektonik yang pernah melanda Bengkulu pada tanggal 4 Juni tahun 2000 berkekuatan 6,7 skala Richter mengakibatkan: (1) korban jiwa: 88 meninggal dunia, 959 luka berat dan 2207 luka ringan; (2) kerusakan gedung Sekolah sebanyak 387 unit tergolong rusak berat dan 156 tergolong rusak ringan; (3) kerusakan bangunan rumah penduduk yaitu rumah roboh sebanyak 1.733 unit, rusak berat 16.588 unit dan rusak ringan sebanyak 28.073 unit (Data Walhi Gempa 2007, dalam Winarni 2009). Gempa bumi tanggal 12 September 2007 berkekuatan 7,9 skala Richter mengakibatkan: (1) kerusakan rumah tercatat 4.759 unit rusak total, 7.444 rumah rusak berat, dan 5.594 rumah rusak ringan; (2) gedung sekolah yang rusak sebanyak 245 unit rusak total, 302 sekolah rusak berat, dan 234 sekolah rusak ringan, dengan jumlah kerusakan terberat di Kabupaten Muko-Muko (Kompas, 15 September 2007). Sebaran wilayah rawan gempa bumi di provinsi Bengkulu disajikan pada Gambar 1.

Page 98: Proceeding jilid 2

509

Gambar 1. Sebaran Wilayah Rawan Gempa Bumi di Provinsi Bengkulu

Berkaitan dengan kondisi wilayah seperti di atas, masyarakat Bengkulu

seharusnya memiliki sikap (attitudes), keterampilan (skills), dan pengetahuan (knowledges),dalam menghadapi bencana, sehingga risiko material dan immaterial yang ditanggung masyarakat menjadi lebih rendah (Sri Dadi, 2012). Pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan tersebut, salah satunya melalui pendidikan (Wachidi, 2010). Implementasi kurikulum 2013 tidak hanya pengembangan skills, tetapi ada tiga aspek sebagai cakupan standar kompetensi lulusan (SKL) yang tidak boleh lepas dan harus bersamaan, yaitu pengembangan attitude, skills, dan knowledge.

Kurikulum 2013 lebih kaya dengan nilai-nilai seni budaya dan moral sesuai dengan tradisi kedaerahan dalam muatan lokal. Salah satu isu lokal bagi siswa SD di Kota Bengkulu adalah bencana alam gempa bumi dalam bentuk program Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Tahap awal dari penelitian ini adalah mengidentifikasi kompetensi dasar program PRB terintegrasi dalam pembelajaran tematik terpadu kurikulum 2013. Hasil akhir dari penelitian ini adalah menghasilkan luaran tentang “Model Pembelajaran Tematik Integratif PRB Berbasis ICT untuk Pembudayaan Sikap dan Keterampilan Siaga Bencana bagi Siswa SD di Kota Bengkulu”.

PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU

Pembelajaran tematik integratif merupakan pendekatan pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai mata pelajaran ke dalam berbagai tema (Kemdikbud, 2014:27-33). Perubahan dalam kurikulum 2013 di SD antara lain meliputi:(1) Struktur kurikulum holistik, integratif berfokus pada alam, sosial, dan budaya; (2) Kompetensi lulusan, adanya peningkatan keseimbangan soft skills dan hard skills yang meliputi: kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan; (3) Materi dikembangkan dari kompetensi dan bukan sebaliknya; (4) Pengembangan kompetensi menggunakan pendekatan tematik integratif dalam semua mata pelajaran; (5) Proses pembelajaran dikembangkan atas prinsip

Page 99: Proceeding jilid 2

510

pembelajaran siswa aktif melalui kegiatan mengamati (melihat, membaca, mendengar, menyimak), menanya (lisan, tulis), menganalis (menghubungkan, menentukan keterkaitan, membangun cerita/konsep), mengkomunikasikan (lisan, tulis, gambar, grafik, tabel, chart, dan lain-lain). PROGRAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRB)

Dampak bencana alam yang terjadi sangat kompleks, di antaranya rusaknya sarana infrastruktur, hilangnya kerabat dan sanak keluarga yang menyebabkan trauma keluarga korban terutama anak-anak. Anak-anak korban bencana mengalami beban ganda, selain mengalami luka fisik, mereka juga mengalami trauma psikis. Secara psikis anak-anak mengalami stres dan trauma yang mendalam karena musibah yang menimpa (Kompas, 14 Januari 2005). Menurut Paripurno (2007) bahwa PRB adalah konsep dan praktik mengurangi risiko bencana melalui upaya sistematis untuk menganalisis dan mengelola faktor-faktor penyebab dari bencana. Dalam kerangka “pengurangan” bencana, kesadaran dan kesiagaan, sikap dan tindakan prefentif dan kuratif agaknya perlu ditumbuhkan dan diinternalisasi sehingga menjadi pola dan tata nilai budaya masyarakat (Winarni, 2011). Priyono (2007) menyatakan bahwa ragam pendidikan kesiapsiagaan bencana dapat berupa integrasi konsep-konsep pencegahan bencana ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah, mulai SD hingga PT. Program PRB di SD bertujuan menumbuhkembangkan: (1) nilai dan sikap kemanusiaan dan kepedulian terhadap risiko bencana; (2) pemahaman tentang risiko bencana dan motivasi; (3) pengetahuan dan keterampilan untuk pencegahan dan pengurangan risiko bencana baik secara individu maupun kolektif; dan (4) kemampuan tanggap darurat bencana.

Landasan hukum pelaksanaan program PRB antara lain adalah: (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memuat pasal-pasal yang berhubungan dengan kewajiban Negara Republik Indonesia untuk melindungi rakyatnya dari bencana; (2) Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana; (3) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana; (4) Surat Edaran (SE) Menteri Pendidikan Nasional No.70a/MPN/SE/2010 tentang pengarusutamaan risiko bencana di sekolah. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, pasal 33-38, dinyatakan, bahwa, penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi: (1) prabencana; (2) saat tanggap darurat; dan (3) pasca bencana. METODE PENELITIAN

Berdasarkan tujuan penelitian ini, maka jenis penelitian pengembangan (research and development). Penelitian dimulai dengan penelitian pustaka dan penelitian empirik berupa penelitian kualitatif. Pelaksanaan penelitian yang telah dicapai pada tahap ini adalah menitikberatkan pada research and information collecting (Borg and Gall, 1983).

Langkah operasional pada tahap ini adalah: (1) Mengidentifikasi kompetensi dasar dan materi Pengurangan Risiko Bencana, dan (2) Menganalisis tema dan sub tema serta pembelajaran yang memuat Kompetensi Dasar dalam kurikulum 2013 yang dapat diintegrasi dengan kompetensi dasar PRB.

Page 100: Proceeding jilid 2

511

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil identifikasi tema dan sub tema pembelajaran tematik integratif serta

program PRB terintegrasi disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Tema dan sub tema terintegrasi PRB

Kelas Tema Sub Tema Pembelajaran

ke- Muatan mapel

1 Peristiwa Alam

Bencana Alam 2 (dua) PPKn, Matematika, Bahasa Indonesia

2 Keselamatan di Rumah dan di Perjalanan

Aturan keselamatan di Rumah

2 (dua) PPKn, Bahasa Indonesia, SBdP

3 Bumi dan Alam Semesta

Perubahan Rupa Bumi

3 (tiga) Bahasa Indonesia, Matematika, IPA

4 Tempat Tinggalku

Lingkungan Tempat tinggalku

2 (dua) IPA, IPS, Bahasa Indonesia

Berdasarkan data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa kompetensi-

kompetensi dasar dan materi program PRB lebih jelas kemunculan dan pengintegrasiannya adalah pada jaringan sub tema. Jika dilihat dari muatan mata pelajaran yang diintegrasikan menunjukkan bahwa muatan mata pelajaran Bahasa Indonesia muncul pada seluruh pembelajaran. Hasil identifikasi tersebut memiliki relevansinya yang tinggi untuk membangun tata nilai kesiagaan bencana dalam kerangka pengurangan bencana.

Indicator PRB yang relevan diintegrasikan pada masing-masing KD mata pelajaran pada kelas 1 tema Peristiwa alam disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2.

Rumusan KD Mata Pelajaran dan Indikator PRB terintegrasi di Kelas 1

Mapel Rumusan KD Indikator PRB Terintegrasi PPKN 1.2 Menerima kebersamaan

dalam keberagaman sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa di lingkungan rumah dan sekolah

1.2.1 Menunjukkan perilaku bersyukur atas kebersamaan dan keberagaman sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa di lingkungan rumah dan sekolah

2.2 Menunjukkan perilaku patuh pada tata tertib dan aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari di rumah dan sekolah.

2.2.1 Menunjukkan perilaku patuh pada aturan yang berlaku dalam penyelamatan diri saat terjadi bencana gempa bumi

Page 101: Proceeding jilid 2

512

3.2 Mengenal tata tertib dan aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari di rumah dan sekolah.

3.2.1 Memberikan contoh sikap perilaku patuh pada aturan dan tata tertib penyelamatan diri pada saat terjadi gempa baik di lingkungan sekolah maupun rumah.

3.2.2 Melatih tata tertib aturan penyelamatan diri pada saat terjadi gempa di sekolah.

4.2 Melaksanakan tata tertib di rumah dan sekolah

4.2.1 Mendemonstrasikan tata tertib aturan penyelamatan diri pada saat terjadi gempa di sekolah.

Bhs Indo-nesia

1.2 Menerima keberadaan Tuhan Yang Maha Esa atas penciptaan manusia dan bahasa yang beragam serta benda-benda di alam sekitar.

1.2.1 Menunjukkan perilaku bersyukur atas penciptaan manusia dan bahasa yang beragam serta benda-benda yang ada di alam sekitar

2.5 Memiliki prilaku santun dan jujur dalam hal kegiatan dan bermain di lingkungan melalui pemanfaatan bahasa Indonesia atau bahasa daerah

2.5.1 Menunjukkan perilaku patuh pada tata tertib penyelamatan diri saat terjadi bencana gempa bumi

3.2 Mengenal teks petunjuk/arahan tentang perawatan tubuh serta pemeliharaan kesehatan dan kebugaran tubuh dengan bantuan guru atau teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan kosakata bahasa daerah untuk membantu pemahaman.

3.2.1 Mempelajari teks petunjuk/ arahan tentang perawatan tubuh serta pemeliharaan kesehatan dan kebugaran tubuh.

4.2 Mempraktikkan teks arahan/petunjuk tentang merawat tubuh serta kesahatan dan kebugaran tubuh secara mandiri dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan kosakata bahasa daerah untuk membantu penyajian

4.2.1 Melaksanakan petunjuk tentang merawat tubuh serta kesahatan dan kebugaran tubuh secara mandiri.

Page 102: Proceeding jilid 2

513

Mate-matika

1.1 Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya.

1.1.1 Menunjukkan perilaku menjalankan ajaran agama yang dianutnya dengan berdoa sebelum memulai pelajaran

2.2 Memiliki rasa ingin tau dan ketertarikan pada matematika yang terbentuk melalui pengalaman belajar.

2.2.1 Menunjukkan perilaku rasa ingin tahu dan ketertarikan pada matematika yang terbentuk melalui simulasi penyelamatan bencana gempa bumi

3.2 Mengenal bilangan asli 99 dengan menggunakan benda-benda yang ada di sekitar rumah, sekolah, atau tempat bermain.

3.2.1 Menghitung jumlah benda yang masih dapat digunakan setelah terjadi bencana gempa.

4.3 Mengemukakan kembali dengan kalimat sendiri dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan penjumlahan dan pengurangan terkait dengan aktivitas sehari-hari serta memeriksa kebenarannya.

4.3.1 Memecahkan masalah yang berkaitan dengan penjumlahan dan pengurangan terkait dengan aktivitas sehari-hari serta memeriksa kebenarannya

Indikator PRB yang relevan diintegrasikan pada masing-masing KD mata

pelajaran pada kelas 2 tema Keselamatan di rumah dan Perjalanan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3.

Rumusan KD Mata Pelajaran dan Indikator PRB terintegrasi di Kelas 2

Mapel Rumusan KD Indikator PRB Terintegrasi PPKN 1.2 Menghargai kebersamaan

dalam keberagaman sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa di lingkungan rumah dan sekolah.

1.2.1 Menunjukkan perilaku bersyukur atas anugerah Tuhan Yang Maha Esa di lingkungan rumah dan sekolah

2.2 Menunjukkan perilaku patuh pada tata tertib dan aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari di rumah dan sekolah.

2.2.1 Menunjukkan perilaku patuh dalam mentaati aturan penyelamatan diri saat terjadi gempa di sekolah

3.2 Memahami tata tertib dan aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari di

3.2.1 Memberikan contoh sikap perilaku patuh pada aturan dan tata tertib penyelamatan diri

Page 103: Proceeding jilid 2

514

rumah dan sekolah. pada saat terjadi gempa baik di lingkungan sekolah maupun rumah.

4.2 Melaksanakan tata tertib dan aturan di lingkungan keluarga dan sekolah.

4.2.1 Mendemonstrasikan tata tertib aturan penyelamatan diri pada saat terjadi gempa di sekolah.

Bhs Indo-nesia

1.2 Meresapi keagungan Tuhan Yang Maha Esa atas penciptaan makhluk hidup, hidup sehat, benda dan sifatnya, energy dan perubahan bumi dan alam semesta.

1.2.1 Mensyukuri anugerah Tuhan Yang Maha Esa berupa lingkungan di sekitar sekolah

2.3 Memiliki rasa percaya diri dan tanggung jawab terhadap keberadaan anggota keluarga dan dokumen milik keluarga melalui pemanfaatan bahasa Indonesia dan / atau bahasa daerah

2.3.1 Menunjukkan sikap percaya diri dalam menyampaikan informasi tentang aturan penyelamatan diri saat terjadi gempa bumi

3.2 Mengenal teks cerita narasi sederhana kegiatan dan bermain di lingkungan dengan bantuan guru dan teman dalam Bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dangan kosakata bahasa daerah untuk membantu pemahaman.

3.2.1 Menulis teks sederhana tentang langkah-langkah penyelamatan diri saat terjadi gempa.

4.2 Memperagakan teks cerita narasi sederhana tentang kegiatan dan bermain di lingkungan secara mandiri dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan kosakata bahasa daerah untuk membantu penyajian.

4.2.1 Melakukan demonstrasi penyelamatan diri saat terjadi gempa dengan benar.

SBdP 1.1 Merasakan keindahan alam sebagai salah satu tanda-tanda kekuasaan Tuhan.

1.1.1 Mensyukuri keindahan di lingkungan sekitar sebagai tanda-tanda kekuasaan Tuhan

2.3 Memiliki sikap terbuka, objektif, menghargai pendapat dan karya teman sebaya

2.3.1 Menghargai karya teman sebaya dalam membuat karya dekoratif tentang

Page 104: Proceeding jilid 2

515

dalam diskusi kelompok maupun aktivitas sehari-hari.

penyelamatan diri saat terjadi gempa

3.6 Mengetahui satuan panjang dan berat benda , jarak suatu tempat ( baik tidak baku maupun yang baku) dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitar.

3.6.1 Memperkirakan satuan panjang dengan menggunakan jengkal melalui benda-benda yang ada di lingkungan sekitar pengungsian.

4.5 Memecahkan masalah nyata secara efektif yang berkaitan dengan penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, waktu, panjang, berat benda, dan uang, selanjutnya memeriksa kebenaran jawabannya.

4.5.1 Menghitung penjumlahan satuan panjang benda dengan satuan tak baku.

Indikator PRB yang relevan diintegrasikan pada masing-masing KD mata

pelajaran pada kelas 3 tema Pengalaman yang Mengesankan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rumusan KD Mata Pelajaran dan Indikator PRB terintegrasi di Kelas 3

Mapel Rumusan KD Indikator PRB Terintegrasi PPKN 1.2 Menghargai kebersamaan

dalam keberagaman sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa di lingkungan rumah dan sekolah.

1.2.1 Menunjukkan rasa syukur atas anugerah Tuhan Yang Maha Esa di lingkungan sekolah

2.2 Menunjukkan perilaku patuh

pada tata tertib dan aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari di rumah sekolah dan masyarakat.

2.2.1 Menunjukkan perilaku patuh pada aturan penyelamatan diri saat terjadi gempa bumi

3.2 Memahami makna keberagaman karakteristik individu di rumah, sekolah, dan masyarakat.

3.2.1 Menunjukkan makna keberagaman karakteristik individu di rumah, sekolah dan masyarakat.

4.4 Mensimulasikan bentuk-bentuk kebersatuan dalam keberagaman di rumah, sekolah dan masyarakat.

4.4.1 Mendemonstrasikan tata tertib aturan penyelamatan diri pada saat terjadi gempa di sekolah

Bhs Indo-nesia

1.2 Meresapi keagungan Tuhan Yang Maha Esa atas penciptaan mahkluk hidup,

1.2.1 Menunjukkan sikap kekaguman atas penciptaan alam di sekitar rumah dan

Page 105: Proceeding jilid 2

516

hidup sehat, benda dan sifatnya, energi dan perubahan, bumi dan alam semesta.

sekolah

2.1 Memiliki kepedulian dan rasa tanggung jawab terhadap mahkluk hidup, energi dan perubahan iklim, serta bumi dan alam semesta melalui pemanfaatan bahasa Indonesia dan / atau bahasa daerah.

2.1.1 Menunjukkan rasa tanggungjawab terhadap keselamatan diri dan teman lain saat terjadi gempa bumi

3.1 Menggali Informasi dari teks laporan informatif hasil observasi tentang perubahan wujud benda, sumber energi, perubahan energi, energi alternatif, perubahan iklim dan cuaca, rupa bumi dan perubahannya, serta alam semesta dengan bantuan guru dan teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan kosakata bahasa daerah untuk membantu pemahaman.

3.1.1 Mengemukakan langkah-langkah penyelamatan diri saat terjadi gempa melalui teks sederhana tentang Melakukan demonstrasi penyelamatan diri saat terjadi gempa dengan benar.

4.1 Mengamati dan mengolah isi teks laporan informative hasil observasi tentang perubahan wujud benda, sumber energi, perubahan energi, energy alternatif, perubahan iklim dan cuaca, rupa bumi, dan perubahannya, serta alam semesta secara mandiri dalam bahasa Indonesia.

4.1.1 Menyusun karangan tentang langkah-langkah penyelamatan diri saat terjadi gempa melalui media gambar-gambar dengan diiringi lagu.

SBdP 1.2 Merasakan keindahan alam sebagai salah satu tanda-tanda kekuasaan Tuhan.

1.2.1 Menunjukkan rasa bersyukur atas penciptaan lingkungan di sekitarnya

2.3 Memiliki sikap terbuka, objektif, menghargai pendapat dan karya teman sebaya dalam diskusi kelompok maupun aktivitas sehari-hari.

2.3.1 Menunjukkan rasa menghargai hasil karya diri dan teman lainnya

Page 106: Proceeding jilid 2

517

3.8 Menemukan unsur dan sifat bangun datar sederhana berdasarkan pengamatan

3.8.1 Menganalisis unsur dan sifat bangun datar sederhana yang ada di lokasi pengungsian bencana.

4.9 Membuat dan menggambar berbagai bangun datar dengan keliling atau luas yang telah ditentukan

4.9.1 Membentuk gambar berbagai bangun datar dengan keliling atau luas yang telah ditentukan.

Indikator PRB yang relevan diintegrasikan pada masing-masing KD mata

pelajaran pada kelas 4 tema Daerah Tempat Tinggalku disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rumusan KD Mata Pelajaran dan Indikator PRB terintegrasi di Kelas 4

Mapel Rumusan KD Indikator PRB Terintegrasi Bhs Indo-nesia

1.2 Mengakui dan mensyukuri anugerah Tuhan yang Maha Esa atas keberadaan lingkungan san sumber daya alam, alat teknologi modern dan tradisional, perkembangan teknologi, energi, serta permasalahan sosial.

1.2.1 Menunjukkan rasa syukur atas anugerah Tuhan YME dalam menciptakan keberadaan lingkungan

2.4 Memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan sumber daya alam melalui pemanfataan bahasa Indonesia.

2.4.1 Menunjukkan sikap peduli lingkungan melalui penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar

3.4 Menggali informasi dari teks cerita petualang tentang lingkungan dan sumber daya alam dengan bantuan guru.

3.4.1 Menemukan informasi dari teks cerita petualang tentang pengalaman siaga bencana gempa.

4.4 Menyajikan teks cerita petualangan tentang lingkungan dan sumber daya alam secara mandiri dalam teks bahasa Indonesia lisan dan tulis dengan memilih dan memilah kosakata baku.

4.4.1 Menampilkan teks cerita petualangan tentang pengalaman siaga bencana gempa secara mandiri dalam teks bahasa Indonesia lisan dan tulis dengan memilih dan memilah kosakata baku.

IPA 1.1 Bertambah keimanannya dengan menyadari hubungan keteraturan dan kompleksitas alam dan jagad raya terhadap kebesaranTuhan yang menciptakanya, serta

1.1.1 Meyakini bahwa keteraturan alam merupakan kebesaran Tuhan YME serta mewujudkan dalam pengalaman ajaran agama yang dianutnya

Page 107: Proceeding jilid 2

518

mewujudkannya dalam pengalaman ajaran agama yang dianutnya.

2.2 Menghargai kerja individu dan kelompok dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud implementasi melaksanakan penelaahan fenomena alam secara mandiri maupun berkelompok.

2.2.1 Menunjukkan sikap menghargai kerja individu dan kelompok dalam percobaan tentang lezatnya gempa

3.3 Memahami hubungan antara gaya, gerak, dan energi melalui pengamatan, serta mendiskripsikan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

3.3.1 Mengaitkan hubungan antara gaya dan gerak dengan kehidupan sehari-hari melalui percobaan.

4.6 Menyajikan laporan tentang sumber daya alam dan pemanfaatannya oleh masyarakat.

4.6.1 Membuat laporan tentang pemanfaatan sumber daya alam melalui percobaan antara gaya dan gerak.

IPS 1.3 Menerima karunia Tuhan YME yang telah menciptakan manusia dan lingkungannya.

1.3.1 Menunjukkan perilaku bersyukur atas karunia Tuhan YME telah menciptakan manusia dan lingkungannya

2.3 Menunjukkan perilaku santun, toleran, dan peduli dalam melakukan interaksi sosial dengan lingkungan dan teman sebaya.

2.3.1 Menunjukkan perilaku percaya diri, menghargai sesama dan peduli lingkungan dalam melakukan percobaan lezatnya gempa

3.3 Memahami manusia dalam hubungannya dengan kondisi geografis di sekitarnya.

3.3.1 Mengaitkan hubungan manusia dengan kondisi geografis di sekitarnya melalui percobaan lezatnya gempa

4.3.Menceritakan manusia dalam hubungannya dengan lingkungan geografis tempat tinggalnya

4.3.1 Mendemontrasikan cara penyelamatan diri saat terjadi bencana alam gempa bumi di lingkungan tempat tinggal

Berdasarkan hasil identifikasi kompetensi dasar dalam kurikulum 2013

kelas 1, 2, 3, dan 4 serta indikator PRB yang relevan untuk diintegrasikan yang disajikan pada Tabel di atas menunjukkan bahwa: (a) substansi materi kebencanaan dapat diintegrasikan ke berbagai mata pelajaran di sekolah mengingat fenomena bencana adalah fenomena “geologis” dan “sosial”; (b) substansi kesiagaan pada dasarnya berbasis pada sikap dan perilaku yang

Page 108: Proceeding jilid 2

519

sosialisasi dan internalisasinya sangat dimungkinkan dilangsungkan di sekolah; (c) secara psikologis para siswa SD berada pada tahap peka, mudah menerima, dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan.

Materi PRB meliputi aktivitas kebencanaan prabencana mencakup dua macam kegiatan, yaitu hal yang harus dilakukan sebelum terjadi gempa dan merencanakan siaga bencana gempa bumi. Hal yang harus dilakukan sebelum terjadi gempa antara lain adalah: (1) Perabot sekolah atau rumah tangga (seperti lemari, dan lain-lain) diatur menempel pada dinding (dipaku/diikat) untuk menghindari jatuh, roboh, dan bergeser pada saat terjadi gempa; (2) Atur benda yang berat sedapat mungkin berada pada bagian bawah; (3) Matikan aliran air, gas dan listrik apabila sedang tidak digunakan; (4) Simpan bahan yang mudah terbakar pada tempat yang aman dan tidak mudah pecah, untuk menghindari kebakaran; (5) Perhatikan letak pintu, lift serta tangga darurat, apabila terjadi gempa bumi, dapat mengetahui jalan keluar bangunan atau tempat paling aman untuk berlindung (Winarni, dkk. 2009 dan 2010).

Pengetahuan yang berkaitan dengan perencanaan siaga bencana gempa bumi antara lain adalah: (1) Menentukan jalan melarikan diri yang paling aman untuk meninggalkan rumah atau kelas setelah gempa; (2) Menentukan tempat bertemu; (3) Mengadakan latihan cara melindungi diri dari gempa bumi, seperti berlindung di bawah meja, menjauhi kaca, berlari sambil melindungi diri terutama kepala, dan lainnya (Diptosaptotomo, 2008).

Aktivitas saat terjadi bencana gempa bumi adalah kita melakukan tanggap darurat. Tanggap darurat adalah upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi, dan pengungsian. Materi PRB yang diintegrasikan sesuai dengan pendapat Priyono (2007), bahwa aspek yang dipertimbangkan di dalam pembelajaran kesiapsiagaan bencana adalah: 1. Perkembangan psikologis anak, diperlukan terutama dalam menentukan

isi/materi yang diberikan kepada anak agar tingkat keluasan dan kedalamannya sesuai dengan tahap perkembangan anak dan peristiwa bencana yang dialami oleh anak.

2. Berbasis lingkungan, dengan mengutamakan nilai-nilai kearifan lokal. Ini mempunyai makna bahwa siswa diajak untuk bersahabat dengan alam lingkungan sekitar yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal.

3. Mempunyai nilai aplikatif yang tinggi, karena siswa bisa langsung menerapkan pengetahuan dan keterampilan dasar yang benar-benar diperlukan pada saat bencana maupun tanggap darurat.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) untuk kelas 1 tema “Peristiwa Alam” dan sub tema “Bencana Alam”; kelas 2 tema “Keselamatan di rumah dan di Perjalanan dan sub tema “Aturan keselamatan di rumah”; kelas 3 tema “Bumi dan Alam Semesta” dan sub tema “Perubahan Rupa Bumi”; dan kelas 4 tema “Tempat tinggalku” dan sub tema “Lingkungan Tempat Tinggalku”; (b) indikator PRB yang relevan secara garis besar mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang berhubungan dengan kesiapsiagaan pada prabencana dan saat bencana; dan (c) proses dan hasil belajar yang dirumuskan dalam indicator PRB terintegrasi difokuskan pada

Page 109: Proceeding jilid 2

520

simulasi dan demonstrasi penyelamatan diri saat terjadi gempa bumi baik di rumah, di perjalanan, maupun di sekolah.

DAFTAR RUJUKAN Borg, W.R., & M.D. Gall. (1983). Educational Research: An Introduction (4th

edition). New York: Longman. Diposaptotomo, S., dkk. (2008). Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami.

Bogor: Buku Ilmiah Populer. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). (2014). Materi Pelatihan

Guru Kurikulum 2013 Tahun Ajaran 2014/2015. Jakarta: Pusat Pengembangan Profesi Pendidik Kemdikbud.

Kompas. 14 Januari 2005. Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-Daerah Bencana.

Kompas. 15 September 2007. Pendidikan Kesiapsiagaan: Perlu Strategi. Paripurno, T.E. (2007). Modul Manajemen Bencana Pengenalan Gempa Untuk

Penanggulangan Bencana. Yogyakarta: Pusat Studi Bencana UPN Veteran Yogyakarta.

Peraturan Pemerintah. (2008). Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

Priyono, J. (2007). Pengurangan Resiko Bencana Dimulai dari Sekolah. http://sutikno.org/index.php?option=com_content&task=view&id=37& itemid=49

Sri, D., dkk. (2012). Pengembangan Kurikulum Program Pengurangan Risiko Bencana secara Terintegrasi ke dalam Mata Pelajaran di SDN 01 Kota Bengkulu. Lembaga Penelitian Unib: Laporan Penelitian Pembinaan.

Surat Edaran (SE) Menteri Pendidikan Nasional. (2010). Nomor 70a/MPN/SE/2010 tentang Pengarusutamaan Risiko Bencana di Sekolah.

Undang-Undang Republik Indonesia. (2007). Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Wachidi, dkk. (2010). Pilot Project Sekolah Siaga Bencana di Provinsi Bengkulu. Lembaga Penelitian Unib: Laporan Penelitian Program Safer Community Disaster Risk Reduction (SCDRR) dan didukung UNDP.

Winarni, E. W., dkk. (2011). Diseminasi Model Pembelajaran Tematik menggunakan Kebun Sekolah sebagai Alternatif Pendidikan Kesiapsiagaan Bencana di Sekolah Dasar. Lembaga Penelitian Unib: Laporan Penelitian Hibah Bersaing DP2M. Tahun Ketiga.

Winarni, E. W., dkk. (2010). Pengaruh Model Pembelajaran Tematik Kesiapsiagan Bencana terhadap Peningkatan Pemahaman Konsep, Kesadaran terhadap Bencana, dan Motivasi belajar Siswa SD di Bengkulu. Lembaga Penelitian Unib: Laporan Penelitian Hibah Bersaing DP2M. Tahun Kedua.

Winarni, E.W., dkk. (2009). Pengembangan Model Pembelajaran Tematik menggunakan Kebun Sekolah sebagai Alternatif Pendidikan Kesiapsiagaan Bencana di Sekolah Dasar. Lembaga Penelitian Unib: Laporan Penelitian Hibah Bersaing DP2M. Tahun Pertama.

Page 110: Proceeding jilid 2

521

MENUMBUHKAN GREEN BEHAVIOR PADA ANAK USIA DINI MELALUI PEMBELAJARAN PROYEK

1)Ernawulan Syaodih & 2)Hany Handayani

Universitas Pendidikan Indonesia e-mail: [email protected]

Abstract Environment plays an important role for the aspect of every human. It is essential for a society to have awareness to the environment, so that what they feel can be transferred to humankind and other creatures. Environment awareness needs to be developed from early childhood by means of developing green behaviour to children, which is developing behaviour that has vision for environment, where all the doings are always showing high awareness to the environment : keeping environment from destruction, taking care of the environment, and using energy wisely as needed. This effort can be done by project learning by starting to provide insight about the importance of taking care of nature, attitude-friendky environment and showing social awareness. Through this kearning, it is excpected that this will develop An orderly, discipline behaviour, as well as abilities to taking care of environment, keeping their beauty, watering plants, taking care of plants, using water properly, and finally developing awareness for society. Keywords: green behavior, early childhood, project learning. PENDAHULUAN

Sikap peduli lingkungan merupakan salah satu sikap kesadaran seseorang akan pentingnya kebersihan, kenyamanan, keamanan, kesehatan serta keseimbangan hidup. Dalam setiap kegiatan makhluk hidup terutama manusia pasti akan berdampak positif maupun negatif terhadap lingkungan sekitar. Dari kegiatan satu orang saja sudah bisa diketahui besarnya pencemaran yang dihasilkan dari kegiatannya sejak bangun tidur sampai tidur lagi.

Segala bentuk kegiatan yang dilakukan pasti akan menimbulkan kerugian, misalnya ketika seseorang bangun tidur dan pergi mandi, sabun yang dipakai dapat menyebabkan pencemaran air, selanjutnya pergi menggunakan motor, asap yang dikeluarkan akan menjadikan pencemaran udara, dan bentuk kegiatan lain yang kita saksikan bersama-sama. Dapat kita bayangkan, limbah yang dihasilkan dari sekian banyak orang di suatu wilayah dengan berbagai macam aktivitas yang berbeda-beda tentunya tingkat pencemarannya akan semakin besar. Bila hal ini tidak diantisipasi dapat berdampak lebih buruk lagi bagi bumi ini.

Menyadari hal tersebut, hal utama yang harus dilakukan adalah memunculkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan, dan penyadaran ini dapat dilakukan sejak anak usia dini. Penanaman kesadaran akan sikap cinta terhadap lingkungan sekitar dapat di tanamkan sejak anak-anak melalui pembelajaran di Taman Kanak-kanak. Menurut R.J. Drost (dalam Mardiyanto Dwi Aji, 2008) Taman Kanak-kanak adalah pendidikan untuk anak usia prasekolah yang kegiatannya mencakup kegiatan pendidikan, penanaman nilai, sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Tugas kita sebagai guru untuk selalu memberikan pendidikan, pemahaman, pengertian dan juga tindakan

Page 111: Proceeding jilid 2

522

nyata dalam melestarikan lingkungan sekita kita. Salah satu metode yang dapat membantu guru menumbuhkan sikap peduli lingkungan (green behavior) pada anak usia dini adalah melalui metode pembelajaran proyek.

Metode pembelajaran proyek merupakan salah satu metode pemberian pengalaman belajar dengan memberikan anak permasalahan atau persoalan sehari-hari yang harus dipecahkan secara berkelompok. Manfaat dari metode ini adalah untuk meningkatkan seluruh potensi dan keterampilan yang dimiliki anak serta memberikan peluang bagi anak untuk mengeksplor seluruh pengetahuan yang dimilikinya dan dapat meningkatkan daya kreativitas anak sejak dini.

Bagaimana pentingnya sikap peduli lingkungan sebagai green behavior, serta bagaimana metode pembelajaran proyek yang dilakukan dalam menumbuhkan green behavior anak usia dini akan diuraikan dalam artikel ini. PENTINGNYA PEDULI LINGKUNGAN

Jika berbicara mengenai lingkungan, sudah pasti tidak akan asing lagi bagi semua orang. Hal ini dikarenakan persoalan lingkungan merupakan salah satu masalah sehari-hari yang harus ditangani serius oleh semua orang. Seluruh makhluk hidup di muka bumi ini membutuhkan lingkungan hidup yang bersih, aman, nyaman dan harmonis. Berbagai bencana alam terjadi di Indonesia yang merusak kelangsungan hidup lingkungan. Dikala musim panas tiba, bencana kekeringan datang melanda, para petani tidak dapat memanen hasil taninya, warga kekurangan air bersih, kelaparanpun melanda. Selain itu ketika musim hujan tiba, banjir, bencana tanah longsor merupakan langganan di setiap sudut di Indonesia. Bencana tersebut terjadi karena adanya kerusakan lingkungan di negeri ini.

Selain bencana diatas, di seluruh dunia setiap tahunnya telah diproduksi 500 juta hingga 1 miliar kantung palstik, dengan perkiraan telah banyak menghabiskan 17 juta barel minyak dan 14 juta pohon yang ditebang. Dapat kita bayangkan sampah plastik tersebut dapat menyebabkan pencemaran tanah dan gangguan kesehatan lainnya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa seluruh bencana yang terjadi karena ulah manusia yang tidak menjaga keseimbangan seluruh makhluk di bumi. Berkaitan dengan hal tersebut, Gruner dan Gruner, seperti dikutip oleh Tilikidou (Ali Suprihatin, 2013), menyatakan bahwa bukti yang ada menunjukkan sekitar 30-40% ketidakseimbangan lingkungan disebabkan oleh aktifitas manusia.

Masyarakat dunia menunjukkan kepeduliannya terhadap keberlangsungan lingkungan hidup. Oleh karena itu melalui konferensi PBB tanggal 5-16 Juni tahun 1972 di Stockholm, Swedia dan dihadiri oleh 113 negara menghasilkan prinsip secara bersama bangsa-bangsa didunia untuk melindungi dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Tanggal 5 Juni ditetapkan sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Pemerintah Indonesia telah berusaha melakukan berbagai cara untuk menanamkan kesadaran pentingnya sikap peduli lingkungan melalui berbagai hal diantaranya memberikan berbagai jenis penghargaan adipura ataupun kalpataru, yang kaitannya dengan kebersihan dan pelestarian lingkungan bagi warganya yang dapat menjaga lingkungan bersih. Selanjutnya pemerintah juga menetapkan Undang-undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 1982 yang

Page 112: Proceeding jilid 2

523

berisi: Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

Sikap kepedulian terhadap lingkungan hendaknya ditanamkan sejak anak usia dini. Hal ini dilakukan karena melalui penanaman akan pentingnya menjaga lingkungan akan tertanam sampai anak dewasa bahkan sampai usia tua. Secara kelembagaan dunia pendidikan merupakan salah satu tempat yang cocok dalam mendukung upaya penanaman sikap peduli lingkungan secara berkelanjutan. Taman Kanak-kanak merupakan salah satu lembaga awal yang dapat secara dini menyelenggarakan pembelajaran yang berbasiskan lingkungan hidup.

Perilaku Peduli Lingkungan Sebagai Green Behavior Perilaku peduli lingkungan merupakan salah satu usaha dalam memberikan

perhatian terhadap suatu tempat dimana suatu makhluk hidup itu tumbuh. Manusia merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan makhluk lainnya mencakup lingkungan hidup alami, lingkungan hidup binaan atau buatan dan lingkungan hidup budaya atau sosial.

Lembaga pendidikan ikut berperan aktif dalam menanamkan sikap peduli lingkungan pada anak didik. Pendidikan lingkungan di sekolah menekankan pada aspek pemahaman akan pentingnya menjaga dan melestarikan alam sekitar. Selain itu perilaku peduli lingkungan dipandang sebagai green behavior, sehingga dalam proses pembelajaran diharapkan dapat membentuk sikap empati terhadap kondisi lingkungan sekitar.

Elliott, S and Davis, J (2009) menyatakan bahwa sudah sejak tahun 1960 pendidikan lingkungan didefinisikan dalam deklarasi Tbilisi dalam UNESCO yang berisi : The term ‘environmental education’ emerged in the 1960s and was defined by the Tbilisi Declaration in 1977 as a comprehensive lifelong education that should be responsive to a rapidly changing world. ‘It should prepare the individual for life through an understanding of the major problems of the contemporary world, and the provision of skills and attributes needed to play a productive role towards improving life and protecting the environment with due regard to ethical values’.

Dalam menciptakan sikap kepedulian lingkungan perlu adanya pengetahuan sebelumnya tentang lingkungan yang berasal dari belajar secara mandiri dengan membaca buku, dari media lain seperti televisi, internet dan bisa juga berasal dari pengalaman dan kegiatan sehari-hari. Menurut Sue (2004) kepedulian lingkungan menyatakan sikap-sikap umum terhadap kualitas lingkungan yang diwujudkan dalam kesediaan diri untuk menyatakan aksi-aksi yang dapat meningkatkan dan memelihara kualitas lingkungan dalam setiap perilaku yang berhubungan dengan lingkungan. Berdasarkan hal tersebut sikap peduli lingkungan sebagai green behavior merupakan suatu tindakan yang secara langsung dan nyata dilakukan, bukan hanya sekedar berbicara dan menulis dalam hasil karya tulis tentang lingkungan saja.

Selain itu Suparno, P. at.al. (2003), menyatakan bahwa sikap kepedulian lingkungan ditunjukkan dengan adanya penghargaan terhadap alam. Jika

Page 113: Proceeding jilid 2

524

seseorang peduli akan dirinya maka orang tersebut harus pula peduli dengan lingkungan sekitarnya, sehingga terjadi keseimbangan yang harmoni dengan alam. Dengan demikian sikap peduli lingkungan akan terbentuk dengan sendirinya.

[

[

Bentuk-Bentuk Green Behavior Sikap peduli terhadap lingkungan sebagai green behavior tergambarkan

melalui kegiatan sehari-hari yang ditunjukkan anak, diantaranya adalah: 1. Membuang sampah pada tempatnya.

Membuang sampah pada tempatnya merupakan salah satu bentuk peduli terhadap lingkungan. Anak dibiasakan untuk membuang sisa makanan atau sampah yang tergeletak di jalan pada tempat sampah. Sebelumnya, anak dapat diajarkan untuk mengetahui dan membedakan sampah basah dan sampah kering. Sampah ini dibuang pada tempat sampah yang berbeda.

2. Sikap tidak menyakiti hewan. Anak umumnya menyukai hewan terutama hewan peliharaan seperti kucing, burung, hamster atau kelinci. Hewan-hewan ini merupakan bagian dari lingkungan hidup yang perlu mendapatkan sentuhan kasih sayang. Menanamkan sikap tidak menyakiti hewan pada anak sejak usia dini sangat penting untuk dilakukan karena pada usia ini anak-anak masih mudah untuk diarahkan.

3. Tidak memetik tanaman sembarangan. Tanaman juga merupakan bagian dari lingkungan hidup yang harus dilestarikan. Tanaman sangat mudah ditemui karena ada disekitar anak. Membangun sikap tidak memetik tanaman sembarangan merupakan bagian dari sikap peduli lingkungan.

4. Menutup kran air setelah digunakan. Anak usia dini umumnya sudah bisa membuka dan menutup kran air, tetapi mungkin satu waktu tidak menutup kran sebagaimana mestinya. Air yang terbuang dengan percuma akan mengundang cadangan air yang kita miliki semakin berkurang dan hal itu akan menimbulkan bencana kekurangan air dan kekeringan. Sikap selalu menutup kran air setelah digunakan akan menimbulkan rasa tanggung jawab pada anak dalam menjaga kelangsungan hidup alam sekitar.

5. Menyiram tanaman. Tanaman perlu mendapatkan perawatan dan pasokan air yang cukup supaya tanaman dapat tumbuh dengan baik. Menyiram tanaman secara rutin akan menjaga tanaman tersebut tumbuh dan berkembang. Anak usia dini sangat senang bila bermain air, dan menyiram tanaman menjadi bagian dari pembentukan sikap peduli lingkungan yang dapat dibangun pada diri anak.

Nenggala (2007) menyebutkan beberapa indikator seseorang yang memiliki sikap peduli lingkungan diantaranya adalah: 1. Selalu menjaga kelestarian lingkungan sekitar. 2. Tidak mengambil, menebang atau mencabut tumbuh-tumbuhan yang terdapat

di sepanjang perjalanan. 3. Tidak mencoret-coret, menorehkan tulisan pada pohon, batu-batu, jalan atau

dinding. 4. Selalu membuang sampah pada tempatnya.

Page 114: Proceeding jilid 2

525

5. Tidak membakar sampah di sekitar perumahan. 6. Melaksanakan kegiatan membersihkan lingkungan. 7. Menimbun barang-barang bekas. 8. Membersihkan sampah-sampah yang menyumbat saluran air. MENUMBUHKAN GREEN BEHAVIOR MELALUI PEMBELAJARAN PROYEK

Menumbuhkan sikap peduli lingkungan atau green behavior perlu dimulai sejak anak usia dini karena secara potensial anak memiliki kepedulian untuk mencintai lingkungan sekitarnya. Anak tanpa rasa takut mendekat pada seekor kucing yang ditemuinya dijalan ketika anak mendengar suara kucing yang mungkin sedang mengalami kesulitan atau sakit. Anak juga sering mengajak berbicara hewan atau tanaman dengan rasa kasih sayang karena anak menganggap hewan atau tanaman bisa sakit seperti dirinya. Tumbuhnya sikap peduli terhadap lingkungan sejak kecil berdampak pada sikap peduli yang tinggi sampai usia dewasa, dan upaya penumbuhan sikap tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekolah. Guru perlu memiliki kreatifitas yang tinggi dalam memilih dan menentukan suatu metode pembelajaran yang sesuai dengan prinsip PAUD, yaitu belajar sambil bermain atau bermain seraya belajar yang menyenangkan. Salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru dalam menanamkan green behavior pada anak usia dini adalah melalui metode pembelajaran proyek.

Metode Proyek Proyek berasal dari manual arts (pekerjaan tangan). Dalam metode proyek

terdapat hal utama yang harus diperhatikan yaitu “the active purpose of the learner”. Dalam hal ini anak harus menerima suatu proyek dan melaksanakannya.

Roestiyah (1994) berpendapat bahwa metode proyek berarti rencana, suatu problem atau kesulitan, dan bentuk pengajaran dimana siswa mengelola sendiri. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kolb (1985) diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang erat antara proses memperoleh pengalaman yang sebenarnya dengan pendidikan. Berdasarkan hal itu, dalam proses pembelajaran anak usia dini harus diintegrasikan dengan keadaan nyata lingkungan kehidupan anak. Lingkungan kehidupan tersebut banyak memberikan pengalaman langsung bagaimana cara melakukan sesuatu yang terdiri atas serangkaian tingkah laku yang dimaksud, sehingga anak akan mudah untuk memahaminya.

Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode proyek akan membuat anak tertantang sekaligus senang dalam memilih proyek dan mengerjakan proyek tersebut. Dalam mengerjakan proyek ini pengetahuan anak akan semakin meningkat, kreativitas serta perkembangan sosial-emosi anak akan berkembang dengan sempurna.

Langkah Metode Proyek Dalam kegiatan pembelajaran menggunakan metode proyek, anak secara

berkelompok dan bekerjasama dengan rekan sekelompoknya akan mengerjakan suatu hasil proyek. Melalui pembelajaran dengan metode proyek, kemampuan anak dalam membangun hubungan sosial dan rasa solidaritas dengan sesama dapat terjalin. Pelaksanaan pembelajaran dengan metode proyek akan

Page 115: Proceeding jilid 2

526

menghasilkan suatu hasil proyek yang sangat bermanfaat bagi perkembangan anak.

Dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan metode proyek, anak mengeksplor seluruh kemampuannya. Ahmadi dan Prasetya (1997) menjelaskan langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan metode proyek yang terdiri dari lima langkah kegiatan sebagai berikut: 1. Penyelidikan dan observasi (exploration), pada tahap ini guru akan menggali

pengetahuan anak melalui berbagai pertanyaan lisan. 2. Penyajian bahan baru (presentation), pada tahap ini guru menggunakan

metode ceramah, serta memberikan garis besar tentang bahan materi. 3. Asimilasi/pengumpulan keterangan atau data, pada tahap ini anak mencari

informasi, keterangan atau fakta-fakta, anak berusaha mencari data dari sumber-sumber unit (resource unit maksudnya adalah sumber yang berisi berita, fakta, informasi dan sebagainya tentang unit yang sedang dipelajari).

4. Mengorganisasikan data (organization), pada tahap ini, anak dibawah pimpinan guru aktif mengorganisasikan data, fakta dan informasi, misal menggolongkan data, mengolah data untuk mengambil kesimpulan.

5. Mengungkapkan kembali (recitation), pada tahap ini mempertanggungjawabkan atau menyajikan hasil yang diperolehnya. Laporan pertanggungjawaban ini dapat dilakukan dengan lisan maupun tertulis atau keduanya.

Berdasarkan langkah-langkah penerapan metode proyek di atas, berikut merupakan salah satu contoh pembelajaran yang menggunakan metode proyek yaitu, tentang pemanfaatan barang-barang bekas, cara mengelola dan dampaknya bagi kehidupan sehari-hari. Langkah-langkah pembelajaran tersebut dapat dijelaskan dibawah ini. 1. Tahap pertama : Melakukan penyelidikan dan observasi.

Kegiatan diawali dengan merangsang kemampuan bertanya anak. Pertanyaan yang diajukan guru harus jelas, mudah dipahami dan berkaitan dengan materi yang akan disampaikan. Sebagai contoh, guru bertanya kepada anak: “Anak-anak apa yang kalian ketahui tentang sampah?” Setelah itu, anak diajak untuk berjalan-jalan disekitar lingkungan sekolah untuk melihat keadaan apakah terdapat banyak sampah disekitar sekolah atau tidak, sehingga anak-anak dapat melihat langsung sampah.

2. Tahap kedua: Melakukan penyajian bahan baru. Sambil anak-anak diajak berkeliling di sekitar sekolah, guru menjelaskan tentang sampah. Pada tahapan ini anak diberi pengertian pentingnya menjaga lingkungan bagi kehidupan sehingga akan tertanam sejak dini sikap-sikap green behavior.

3. Tahap ketiga: Melakukan pengumpulan keterangan. Setelah selesai berkeliling anak dirangsang untuk mengajukan pertanyaan dan dirangsang supaya rasa ingin tahunya tinggi tentang pengertian sampah, jenis-jenis sampah serta pemanfaatan sampah menjadi barang yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Selain itu pada anak-anak diperlihatkan berbagai macam gambar-gambar yang berhubungan dengan sampah. Pada tahapan ini penanaman green behavior terhadap anak perlu semakin ditanamkan,

Page 116: Proceeding jilid 2

527

sehingga anak akan memiliki sikap peduli lingkungan, kritis, dan tumbuh sikap menyayangi sesama.

4. Tahap keempat : Melakukan pengorganisasian data. Setelah anak-anak mendapatkan informasi mengenai sampah, baik dari fakta-fakta, gambar, maupun dari pengetahuan mereka, selanjutnya anak diminta untuk dapat menarik sebuah kesimpulan dan membuat sebuah hasil karya secara berkelompok dari barang bekas yang sebelumnya mereka bawa. Pada tahap ini anak dituntut mengeluarkan seluruh kreatifitasnya dalam membuat suatu karya bersama dengan kelompoknya.

5. Tahap kelima : Melakukan pengungkapan data. Pada tahap terakhir setiap kelompok anak melakukan diskusi yang dibimbing dan diarahkan oleh guru tentang hasil karya mereka masing-masing. Dalam tahap ini kemampuan berbicara dan berpikir kritis anak dituntut semaksimal mungkin. Selain itu pada tahap ini guru dapat melakukan penilaian terhadap anak melalui keaktifan saat berbicara, hasil karya yang dibuat, serta keaktifan dalam diskusi.

Kelebihan dan Kekurangan Metode Proyek Setiap metode pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Ahmadi

dan Prasetya (1997) menjelaskan beberapa kelebihan dari metode proyek adalah sebagai berikut: 1. Dapat merombak pola pikir anak didik dari yang sempit menjadi lebih luas dan

menyeluruh dalam memandang dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan.

2. Melalui metode ini, anak didik dibina dengan membiasakan menerapkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan dengan terpadu, yang diharapkan praktis dan berguna dalam kehidupan sehari-hari.

3. Pengetahuan yang diperoleh fungsional. 4. Anak-anak belajar bersungguh-sungguh dalam bekerja bersama. 5. Anak-anak bertanggung jawab penuh pada pekerjaannya.

Selain itu Ahmadi dan Prasetya (1997) menjelaskan bahwa metode proyek ini selain memiliki kelebihan, metode ini juga memiliki beberapa kekurangan yang harus diperhatikan oleh guru. Kekurangan dari metode pembelajaran proyek ini diantaranya adalah : 1. Kurikulum yang berlaku di negara kita saat ini, baik secara vertikal maupun

horizontal, belum menunjang pelaksanaan metode ini. 2. Organisasi bahan pelajaran, perencanaan, dan pelaksanaan metode ini sukar

dan memerlukan keahlian khusus dari guru, sedangkan para guru belum siap untuk ini.

3. Harus dapat memilih topik unit yang tepat sesuai kebutuhan anak didik, cukup fasilitas, dan memiliki sumber-sumber belajar yang diperlukan.

4. Bahan pelajaran sering menjadi luas sehingga dapat mengaburkan pokok unit yang dibahas.

SIMPULAN

Menumbuhkan green behavior pada anak usia dini merupakan salah satu sikap atau watak untuk peduli terhadap lingkungan sekitar melalui berbagai kegitan seperti membuang sampah pada tempatnya, mengadakan satu hari bersih

Page 117: Proceeding jilid 2

528

sampah, menanam tanaman di lingkungan rumah dan sekolah dan lain-lain. Sikap green behavior pada anak usia dini meliputi kegiatan membuang sampah pada tempatnya, sikap tidak menyakiti hewan, tidak memetik tanaman sembarangan, menutup kran air setelah digunakan, menyiram tanaman dan lain-lain. Untuk membiasakan anak selalu peduli terhadap lingkungan perlu metode pembelajaran yang cocok. Salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru PAUD adalah metode proyek.. Melalui metode pembelajaran proyek anak mempunyai bekal pengetahuan tentang pentingnya menjaga lingkungan agar anak menjadi manusia yang sehat jasmani dan rohani.

DAFTAR RUJUKAN Ali, Suprihatin. (2013). Prediksi Perilaku Ramah Lingkungan Yang Dipengaruhi

Oleh Nilai Dan Gaya Hidup Konsumen. Jurnal Perspektif Bisnis, Vol.1, No.1, Juni 2013, ISSN: 2338-5111.

Ahmadi & Prasetya.(1997). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia. Elliott, S., & Davis, J. (2009). “Exploring The Resistance: An Australian

Perspective. On Educating For Sustainability In Early Childhood”. International Journal of Early Childhood, Vol. 41, (2).

Kolb, D. A. (1985). Experiential Learning. USA: Prentice-Hall. Mardiyanto, D.A. (2008). Diagram Entity-Relationship: Jakarta: Erlangga. Nenggala, A.K. (2007). Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan. Bandung:

Grafindo Media Pratama. Roestiyah, N.K. (1994). Masalah Pengajaran Sebagai Suatu System. Jakarta: PT

Rineka Cipta. Suparno, P. at.al. (2003). Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi.

Yogyakarta: Kanisius. Sue, Adkins. (2004). Cause Related Marketing: Who Cares Wins. Butterworth-

Heinemann, Oxford. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU Pokok No. 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Page 118: Proceeding jilid 2

529

PENGEMBANGAN LKS PADA PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TEMA BERMAIN DENGAN BENDA-BENDA DI SEKITAR

1)Ghullam Hamdu & 2)Friska Risdiani

Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Tasikmalaya E-mail: [email protected]

Abstract Learning in curriculum 2013 was done by integrating many basic competencies or subjects still on one concept in a particular theme. Learning is done thematically, so that the knowledge of the students about a concept can be holistic. To be more meaningful learning, learning must be attributed to the problems commonly faced by students daily. To find the solution of the problem required a thorough knowledge of a concept. One way teachers to help student to solve problems is using problem-based learning method. The problem are how guiding student activity and give the direction. To guide the student activity and give the direction is the use of Student Worksheet. The method for this research isDBR (Design-Based research). DBR consists of four main phases, namely (1) identification and analysis of problems, (2) prototype development program, (3)test and prototype implementation in the program, and (4) reflection. The trials were conducted by researchers performed three times and in three different schools. There is an increased positive response of students in each trial. students' response to the student woorksheet on the first experiment to the second experiment increase of 18.4%. While the students' response to the second woorksheet experiment to the third experiment increase of 12,2%. The results of this study is a product in the form of worksheets in problem-based learning on the theme of play with objects around which the limit of the electrical sub-themes around us.. Electrical sub-theme around us integrate several subjects which subjects natural science, social science, Indonesian and mathematics. Keyword: student worksheet, problem based learning, playing with objects around PENDAHULUAN

“Pelaksanaan Kurikulum 2013 pada Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah dilakukan melalui pembelajaran dengan pendekatan tematik-terpadu dari Kelas I sampai Kelas VI” (BSNP, 2013 Salinan lampiran permendikbud no. 67 tahun 2013 tentang kurikulum SD). Pada Kurikulum 2013 pembelajaran yang disajikan haruslah secara tematik. Selain itu, perangkat pembelajaran yang digunakan pun haruslah tematik pula. Terdapat berbagai macam perangkat pembelajaran salah satunya bahan ajar. Karena pembelajaran dilaksanakan dengan pendekatan tematik, maka bahan ajar yang digunakan pun bahan ajar tematik.“Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktor dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar.” (Majid A, 2007, hlm. 173). Sedangkan tema menurut Departemen Pendidikan Nasional adalah ‘pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan.’ (Poerwadarminta, 2009, hlm.7). Bahan ajar tematik adalah segala macam bentuk bahan yang diperlukan oleh guru dan siswa dalam proses belajar mengajar yang dihubungkan dalam satu tema tertentu.

Page 119: Proceeding jilid 2

530

Faktanya, pengalaman dalam memecahkan masalah sangat penting untuk mengembangkan keterampilan berpikir siswa dan membantu mereka memperoleh keterampilan lebih dalam memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai keberhasilan dalam memecahkan masalah maka siswa harus diberi kesempatan mengembangkan rasa percaya diri untuk memecahkan masalah. Salah satu cara untuk memberikan pengalaman memecahkan masalah kepada siswa adalah melalui pembelajaran berbasis masalah. Pemilihan pembelajaran berbasis masalah diperlukan karena seorang guru tidak hanya fokus untuk memberikan konsep suatu materi saja tetapi juga mengajarkan siswa untuk belajar dan berpikir.Apabila siswa terlibat langsung dalam memecahkan masalah maka pembelajaran akan lebih bermakna dan sulit untuk dilupakan, dibandingkan siswa hanya diberikan teori terus menerus tanpa adanya kegiatan yang dilakukan.Hal ini selaras dengan pendapat dari Arends(1989), bahwa“Esensi PBL berupa menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan bermakna kepada siswa, yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan”.

Menurut Dewey dalam Prastowo (2013, hlm.158-159) bahwa ‘anak selalu aktif’. Persoalannya hanya terletak pada masalah memandu keaktifan siswa dan memberikan arahan. Salah satu cara untuk memandu keaktifan siswa dan memberikan arahan adalah dengan penggunaan Lembar Kerja Siswa (LKS). Untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah adalah dengan menggunakan LKS. Sesuai dengan pendapat dari Trianto (2012, hlm.111) LKS bahwa “Lembar Kerja Siswa adalah panduan siswa yang digunakan untuk melakukan kegiatan penyidikan atau pemecahan masalah”. Selain itu terdapat pernyataan “Lembar Kerja Siswa (LKS) merupakan panduan bagi siswa dalam memahami keterampilan proses dan konsep-konsep materi yang sedang dan akan dipelajari” (Astuti dan Setiawan, 2013). Berdasarkan pernyataan ahli tersebut pemilihan bahan ajar LKS pada pembelajaran berbasis masalah dinilai sangat cocok. Melalui LKS siswa dapat menyelesaikan masalah yang diberikan dalam proses belajar mengajar. LKS pada pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu LKS yang menjadikan pembelajaran berbasis masalah sebagai acuan dalam pembuatan dan pengembangannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnnya bahwa dalam kurikulum 2013 pembelajaran harus tematik-integratif dan pembelajaran berbasis masalah menekankan pada keterkaitan antara disiplin ilmu. Maka LKS yang digunakan pun haruslah tematik agar pemahaman siswa bersifat holistik dalan suatu konsep. Namun saat ini belum banyak contoh LKS pada pembelajaran berbasis masalah menggunakan kurikulum 2013 terutama untuk kelas V SD. Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian dan pengembangan LKS pada pembelajaran berbasis masalah tema bermain dengan benda-benda di sekitar. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi LKS yang biasa digunakan pada kegiatan pembelajaran di SD, menghasilkan rancangan LKS, memperoleh gambaran tentang keterpakaian penggunaan LKS dalam uji coba rancangan, dan menghasilkan LKS pada pembelajaran berbasis masalah tema bermain dengan benda-benda di sekitar. LKS yang dikembangkan menggunakan tema bermain dengan benda-benda di sekitar. Namun dibatasi hanya pada satu subtema saja yaitu subtema listrik di sekitar kita. Subtema listrik di sekitar kita mengintegrasikan tiga mata pelajaran yaitu mata pelajaran ilmu pengetahuan alam, bahasa Indonesia dan Matematika.

Page 120: Proceeding jilid 2

531

Sedangkan konsep yang dibahas yaitu konsep rangkaian listrik, penguraian teks penjelasan, dan denah serta letak koordinat. Melalui penggunaan LKS pada pembelajaran berbasis masalah diharapkan siswa dapat lebih memahami dan memecahkan masalah mengenai konsep-konsep yang terdapat dalam subtema listrik di sekitar kita.

Menurut Rohman dan Amri (2013, hlm. 96) LKS bertujuan sebagai berikut: 1. LKS yang membantu siswa menemukan suatu konsep. Melalui pedoman kerja

yang di lakukan oleh siswa sesuai dengan perintah yang terdapat LKS siswa dapat menemukan suatu konsep yang diharapkan.

2. LKS yang membantu siswa menerapkan dan mengintegrasikan berbagai konsep yang telah ditemukan. Dengan mengunakan LKS, siswa tidak hanya memahami teori saja tetapi siswa juga dapat mengaplikasikan konsep dan menyatukan berbagai konsep menjadi satu kesatuan konsep yang utuh.

3. LKS yang berfungsi sebagai penuntun belajar. LKS menjadi sebuah petunjuk untuk melakukan kegiatan pembelajaran.

4. LKS yang berfungsi sebagai penguatan. Konsep yang telah dimiliki oleh siswa diperkuat melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam LKS. Sehingga konsep yang dimiliki siswa menjadi lebih mantap.

5. LKS yang berfungsi sebagai petunjuk praktikum. Tanpa petunjuk-petunjuk yang harus dilakukan, siswa akan merasa kesulitan dalam melakukan praktikum. Maka dengan LKS praktikum yang dilakukan oleh siswa akan menjadi lebih terarah.

METODE

Metode penelitian yang digunakan menggunakan pendekatan DBR. DBR didefinisikan oleh Barab and Squire (2004) dalam Herrington, et.al (2007) sebagai “a series of approaches, with the intent of producing new theories, artifacts, and practices that accountfor and potentially impact learning and teaching in naturalistic settings”. Dengan mengadopsi dan memodifikasi dari desain penelitian yang diberikan oleh Reeves, 2006 (dalam Jan van Akker, 2010), maka penelitian ini dibagi menjadi 4 tahap, yaitu Identifikasi dan Analisis masalah, Pengembangan prototype program, Uji Coba dan implementasi Prototype Program, dan refleksi untuk mendapatkan prinsip desain yang diharapkan dan mengatasi berbagai permasalahan yang muncul. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1.

Uji coba dilakukan pada kelas V SD di tiga sekolah yang berbeda yaitu SD Sindangpalay I, SD Sindangpalay IV dan Yayasan Islam. Setiap kelas V SD terdiri dari 25 orang siswa. Teknik pengumpulan data yang dilakukan diantaranya wawancara, angket/kuesioner, observasi dan studi dokumentasi. Wawancara dan studi dokumentasi dilakukan pada saat studi pendahuluan. Wawancara dilakukan untuk mengetahui penggunaan LKS yang biasa dilakukan oleh guru dan siswa di sekolah penelitian. Studi dokumentai dilakukan untuk mengetahui LKS yang biasa digunakan oleh guru dan siswa. Angket/ kuesioner digunakan untuk mengetahui respon siswa setelah siswa menggunakan LKS pada pembelajaran berbasis masalah pada tahap uji coba 1, uji coba 2 dan uji coba 3. Sama halnya dengan angket/kuesioner observasi dilakukan pada tahap uji coba 1, uji coba 2 dan uji coba 3. Analisis data dilakukan dengan cara menganalisis hasil wawancara, menganalisis keusioner hasil respon siswa, menganalisis lembar observasi pertanyaan siswa, menganalisis lembar hasil pekerjaan siswa pada LKS. Hasil

Page 121: Proceeding jilid 2

532

Adaptasi dari: Pendekatan desain research (Reeves, 2006 dalam Jan van den

Akker, et. al, 2011 )

Hasil yang dihasilkan berupa perangkat dan video

pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Masalah sebagai

Implementasi Kurikulum 2013

dari analisis yang dilakukan disajikan dalam bentuk tabel dan uraian teks yang bersifat deskripsi. Setelah data disajikan maka peneliti menarik kesimpulan berdasarkan data yang ditemukan di lapangan.

Gambar 1

P d k t di k d l liti

Identifikasi dan

Analisis Masalah

(

Pengembangan prototipe program:

berdasarkan Need

Uji coba dan implementasi

pengembanganPrototipe

Refleksi untuk mendapatkan

prinsip desain yang diharapkan dan

mengatasi berbagai

Page 122: Proceeding jilid 2

533

Artikel penelitian yang disajikan ini merupakan bagian pengembangan perangkat pembelajaran yang terdiri dari: pengembangan desain pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan pembelajaran, Lembar Kerja Siswa, Media Pembelajaran, Asesmen kinerja dan tes berbasis berpikir tingkat tinggi dan video pelaksanaan pembelajaran. Perangkat pembelajaran lainnya dibahas pada artikel yang berbeda dengan pembahasan tema dan materi pembelajaran sama. Adapun sub tema yang dibahas berkaitan dengan gejala dan rangkaian listrik sederhana.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan DBR. Maka hasil penelititan yang yang dibahas berdasarkan tahapan-tahapan penelitian.

A. Identifikasi dan Analisis Masalah (Need Assesment) Hasil identifikasi dan analisis masalah diantaranya: 1. Menetapkan masalah. Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga orang guru

kelas v dari tiga buah sekolah dasar di Gugus Sindangpalay UPTDinas Pendidikan Wilayah Utara Kota Tasikmalaya inti dari masalah yang ditemukan adalah masih digunakannya LKS sebagai alat evaluasi bukannya sebagai bahan ajar, belum adanya contoh perangkat pembelajaran terutama LKS untuk kelas VSD yang didasarkan pada kurikulum 2013 dan komponen LKS yang digunakan masih belum lengkap.

2. Analisis siswa. Analisis siswa dilakukan untuk mengetahui karakter perkembangan kognitif siswa. Rata-rata usia siswa kelas V SD berkisar 10-11 tahun. Usia 10-11 tahun menunjukan bahwa siswa kelas V SD masih berada pada tahap operasional konkret. Pada tahap ini siswa dapat menemukan solusi dari masalah-masalah yang sedikt rumit namun bersifat konkret. Proses bertukar pikiran dan kerja sama dengan temannya akan sangat membantu siswa dalam menyelesaikan masalahnya.

3. Analisis kurikulum. Analisis kurikulum dilakukan untuk mengetahui kompetensi dasar mana saja yang saling berhubungan dan akan dipadukan dalam satu tema atau subtema. Mata pelajaran yang dipadukan pada uji coba 1 dan uji coba 2 diantaranya mata pelajaran ilmu pengetahuan alam,bahasa Indonesia dan matematika. Keempat mata pelajaran tersebut dipadukan dalam satu subtema yaitu subtema Listrik di Sekitar Kita. Sedangkan pada uji coba 3 ditambahkan satu mata pelajaran lagi yaitu mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial

4. Analisis Tugas. Analisis tugas berisikan indikator-indikator yang harus dicapai oleh siswa dalam LKS pada pembelajaran berbasis masalah. Indikator-indikator tersebut dirumuskan dalam sebuah tabel.

Tabel 1.

Contoh Indikator Pembelajaran Subtema Listrik di Sekitar Kita Uji Coba 3

Indikator Bahasa

Indonesia Matematika Ilmu

Pengetahuan Alam

Ilmu Pengetahuan

Sosial 1. Menentukan 1. Menggambar 1. Mengidentifika 1. Memahami

Page 123: Proceeding jilid 2

534

kalimat utama pada setiap paragraf dalam teks penjelasan yang berjudul “Listrik”.

2. Menuliskan gejala kelistrikan dengan kosakata baku.

letak benda dengan posisi tertentu.

2. Mendefinisikan pengertian denah.

3. Menentukan titik koordinat.

4. Menggambar rangkaian listrik seri pada sistem koordinat.

5. Menggambar rangkaian listrik paralel pada sistem koordinat.

si adanya gejala listrik.

2. Menentukan alat dan bahan yang diperlukan dalam percobaan gejala kelistrikan.

3. Menjelaskan pengertian sumber energi listrik.

4. Membedakan rangkaian seri dan rangkaian paralel.

hubungan manusia dengan kondisi geografis di wilayah Indonesia.

2. Menyatakan pendapat tentang manusia dalam hubungannya dengan kondisi geografis di Indonesia.

5. Perumusan tujuan pembelajaran. Indikator indikator yang telah dirumuskan

dikembangkan menjadi tujuan pembelajaran. Berikut contoh beberapa tujuan pembelajaran yang telah dikembangkan a. Melalui pengamatan, siswa mampu menentukan kalimat utama pada setiap

paragraf dalam teks penjelasan yang berjudul “Listrik” dengan tepat. b. Melalui diskusi, siswa mampu mendefinisikan pengertian denah dengan

benar. c. Melalui pengamatan, siswa mampumenentukan letak titik koordinat dengan

benar. d. Melalui percobaan, siswa mampu mengidentifikasi adanya gejala listrik

dengan benar. e. Melalui diskusi, siswa mampu menentukan alat dan bahan yang diperlukan

dalam percobaan gejala kelistrikan dengan tepat. f. Melalui percobaan, siswa mampu membuat rangkaian listrik seri

menggunakan sumber arus searah dengan benar. [

B. Pengembangan Prototype Program Berdasarkan Need Assesment, Teori Berdasarkan hasil analisis pada tahap pertama, maka diracang produk yang

diingin dikembangkan. Pada tahap ini terdiri dari: 1. Pemilihan kegiatan yang akan dilakukan. Peneliti memilih kegiatan inti apa saja

yang akan dilakukan oleh siswa dalam LKS yang akan dikembangkan. Kegiatan-kegiatan tersebut diantaranya: menguraikan teks penjelasan kedalam kalimat utama dalam setiap paragrafnya, menggambar denah letak benda dan menentukan letak koordinatnya serta membuat rangkaian listrik baik rangkaian seri maupun rangkaian paralel

2. Pemilihan alat dan bahan yang dibutuhkan. Alat dan bahan yang dibutuhkan disesuaikan dengan kegiatan siswa yang akan dilakukan. Alat dan bahan tersebut diantaranya: set alat dan percobaan gejala listrik statis, set media pembelajaran untuk menentukan dan menggambar denah benda, dan set alat dan bahan untuk membuat rangkaian listrik seri dan paralel.

Page 124: Proceeding jilid 2

535

3. Perencanaan tahapan-tahapan kegiatan yang akan dilakukan. Tahapan-tahapan kegiatan dirancang berdasarkan kegiatan yang akan dilakukan dan alat dan bahan yang digunakan. Tahapan-tahapan yang dilakukan diuraikan dalam langkah kerja pada LKS.

4. Perancangan pengolahan hasil pengamatan. Data-data yang didapatkan dalam kegiatan yang telah dilakukan diolah dan dirumuskan kedalam tabel hasil pengamatan.

5. Perumusan pertanyaaan pengarah menuju kesimpulan. Karena bagi siswa kelas V masih merasa kesulitan apabila ditugaskan untuk membuat kesimpulan. Maka dalam pembuatan kesimpulan siswa diarahkan melalui pertanyaan pengarah atau kesimpulan dibuat melalui kalimat rumpang. Hal ini dimaksudkan agar kesimpulan siswa menjadi lebih fokus dan terarah.

[

C. Uji Coba dan Implementasi Pengembangan Prototype Program Tahap pengembangan yang dilakukan adalah validasi, uji coba dan revisi.

LKS yang telah dirancang dinyatakan valid setelah di validasi oleh validator. Validator yang dimaksud adalah tim peneliti internal dan keterlibatan beberapa guru yang telah mengajar di sekolah. Validasi yang dilakukan bersifat perkiraan atau judgement. Setelah produk di validasi maka produk tersebut di ujicobakan ke 25 orang siswa yang berasal dari SD Sindangpalay 1. Oleh karena itu prosesuji coba tidak hanya dilakukan oleh peneliti saja tetapi juga melibatkan siswa dan guru di sekolah. Proses uji coba dilakukan dengan cara siswa belajar dalam sebuah pembelajaran berbasis masalah. LKS dibagikan pada fase II dan fase III pada pembelajaran berbasis masalah. LKS 1 diberikan pada fase kedua pembelajaran berbasis masalah yaitumengorganisasikan siswa untuk meneliti dan LKS 2 diberikan pada fase ketiga yaitu membantu investigasi mandiri dan kelompok. LKS diberikan tidak pada individu tetapi diberikan pada kelompok yang setiap kelompoknya terdiri dari 5 orang.Peneliti tidak berpartisipasi pada proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan. Peneliti hanya mengobservasi kegiatan pembelajaran dan mengisi lembar observasi pertanyaan siswa terhadap LKS yang digunakan. Setelah proses pembelajaran selesai siswa diminta untuk mengisi keusioner yang berisi respon siswa terhadap LKS yang digunakan. Teknis pelaksanaan uji coba 1 dan uji coba 2 tidak terlalu berbeda perbedaannya terletak pada pemberian LKS. Pada uji coba I pemberian LKS dilakukan dua kali pada fase II dan III sedangkan pada uji coba 2 pemberian LKS dilakukan hanya satu kali yaitu pada fase II saja. Pada uji coba 3 dilakukan dua hari pembelajaran dan masing-masing hari menggunakan satu buah LKS.Hasil pekerjaan siswa terhadap penggunaan LKS dirangkum pada tabel 2.

Tabel 2. Analisis Hasil Pekerjaan Siswa Pada LKS

No. Nama Kelompok

LKS yang Dipahami (Persentase)

Uji Coba 1 Uji Coba 2

Uji Coba 3

1 Kelompok 1 81% 68% 91% 2 Kelompok 2 79% 80% 84% 3 Kelompok 3 63% 80% 98% 4 Kelompok 4 42% 88% 98%

Page 125: Proceeding jilid 2

536

5 Kelompok 5 47% 88% 95% Rata-rata 62,4% 80,8% 80.8%

Terdapat perbaikan persentase hasil pekerjaan siswa pada LKS dari uji

coba 1, uji coba 2 dan uji coba 3 yang semula 62,4% menjadi 80,8% dan terakhir 93%. Pada uji coba 1 kecenderungan siswakurang memahami penggunaan kata baku atau kata yang kurang sesuai, siswa kurang memahami pemilihan kalimat utama dalam suatu teks penjelasan, kurang dapat menyimpulkan pengertian denah dan kurang memahami cara menentukan letak koordinat suatu benda. Setelah dilakukannya revisi terhadap LKS yang digunakan pada tahap uji coba 1, hasil pekerjaan siswa pada LKS menjadi lebih baik. Pada uji coba 2 kecenderungan siswa memahami kalimat utama dalam suatu teks penjelasan, penggunaan kata baku, dan cara menentukan letak koordinat suatu benda menjadi lebih baik. Namun kecenderungan siswa merasa kesulitan dalam menyimpulkan pengertian denah masih ada.Pada tabel 3 disajikan contoh revisi yang dilakukan dan pada tabel 4 disajikan beberapa analisis berdasarkan respon siswa.

Tabel 3. Contoh Hasil Revisi LKS

No Bagian LKS Uji Coba 1 Uji Coba 2 Uji Coba 3 1. Menuliskan

kalimat utama dari teks penjelasan

Diskusikan bersama temanmu mengenai kalimat utama dari setiap paragraf dalam teks.

Diskusikan bersama temanmu mengenai satu kalimat yang mewakili seluruh isi paragraf (kalimat utama) !

Diskusikan bersama temanmu mengenai satu kalimat yang mewakili seluruh isi paragraf (kalimat utama) !

2. Percobaan gejala listrik statis

Gosokkan kembali penggaris plastik ke kain selama 40 detik.

Gosokkan kembali plastik mika plastik ke rambut kering selama 40 detik.

Gosokkan kembali plastik mika ke rambut kering selama 40 detik.

3. Letak koordinat suatu benda

Setelah menuliskan hasil pengamatan

Setelah melakukan percobaan gejala

Seperti yang telah kalian ketahui bahwa petir

No Bagian LKS Uji Coba 1 Uji Coba 2 Uji Coba 3 gejala-gejala

listrik, simaklah cerita guru mengenai gejala-gejala listrik dalam kehidupan sehari-hari!

listrik statis. Amati demonstrasi yang dilakukan guru mengenai “Miniatur Perumahan”!

merupakan sumber energi terbesar. Listrik sangat erat hubungannya dengan kegiatan kita sehari hari. Pada suatu hari turun hujan yang sangat deras disertai dengan petir yang menyambar di daerah rumah A. Karena besarnya petir yang

Page 126: Proceeding jilid 2

537

menyambar terdapat dua rumah yang tersambar petir yaitu rumah A dan rumah G. Tetapi anehnya saat rumah G tersambar petir satu blok rumah langsung mengalami pemadaman, tetapi pada blok rumah A hanya rumah A saja yang mengalami mati listrik rumah yang lain tidak. Mengapa kejadian tersebut dapat terjadi? Untuk dapat mengetahuinya coba perhatikan demonstrasi yang akan guru lakukan mengenai perumahan rumah A!

Tabel 4.

Hasil Analisis Respon Siswa terhadap LKS

No Uraian Pertanyaan

Penilaian

Uji Coba 1 Uji Coba 2 Uji Coba 3

Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak

∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ∑ %

a b c d e f g h i j k l m n 1 ApakahLKS

yang guru gunakan saat pembelajaranmenarik?

24 96% 1 4% 23 92

% 2 8% 25 100% 0 0

%

No Uraian Pertanyaan

Uji Coba 1 Uji Coba 2 Uji Coba 3

Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya

∑ % ∑ ∑ % ∑ ∑ % ∑ ∑ % ∑

a b c d e f g h i j k l m n 2 Apakah LKS

yang diberikan sulit dipahami?

5 20% 20 80

% 3 12% 22 88

% 2 8% 23 92%

3 Apakah praktik atau percobaan yang telah dilakukan dalam LKS sulit?

3 12% 22 88

% 2 8% 23 92

% 1 4% 24 96%

Page 127: Proceeding jilid 2

538

4 Apakah dalam proses pengisian LKS sulit?

4 16% 21 84

% 3 12% 22 88

% 1 4% 24 96%

5 Apakah penggunaan LKS dapat membuat kalian lebih mudah mengerti tentang konsep dalam subtema listrik di sekitar kita?

24 96% 1 4% 23 92

% 2 8% 24 96% 1 4%

Kecenderungan siswa yang merespon LKS menarik karena terdapat

percobaan yang dilakukan, kegiatan yang dilakukan menyenangkan, dan terdapat gambar-gambar yang sesuai dengan kegiatan yang dilakukan. Kecenderungan siswa merasa kesulitan dalam memahami LKS dikarenakan pada uji coba 1 banyak materi yang harus dipelajari dan ada yang merasa kata-kata dalam LKS panjang dan sulit dipahami. Berlainan dengan yang merespon LKS mudah dipahami kecenderungan siswa beralasan perintahnya mudah dimengerti, materi yang dipelajari tidak terlalu sulit, banyak gambar yang disajikan dan LKS yang disajikan sudah jelas dan baik. Kecenderungan siswa yang merasa percobaan dalam LKS tidak sulit karena mereka melakukukannya bekerjasama bersama kelompoknya dan mereka merasa tertarik pada percobaan yang dilakukan. Dalam proses pengisian LKS respon siswa yang cenderung tidak merasa kesulitan beralasan mereka sudah memahami materi melalui kegiatan yang dilakukan dan dikerjakan oleh siswa secara berkelompokjadi siswa merasa terbantu. Kecenderungan siswa merespon dengan menggunakan LKS mereka menjadi mudah mengerti konsep dalam subtema listrik di sekitar kita.Berdasarkan hasil respon siswa dapat diketahui bahwa terdapat peningkatan respon positif disetiap aspeknya. Hal ini menunjukan bahwa LKS yang digunakan setelah direvisi mengalami perbaikan dan semakin diterima oleh para penggunanya. Setelah peoduk divalidasi, diujicoba sebanyak dua kali dan direvisi sebanyak tiga kali maka terbentuklah sebuah produk LKS pada pembelajaran berbasis masalah tema bermain dengan benda-benda di sekitar.

D. Refleksi

Refleksi selalu dilakukan setelah uji coba dilakukan. Beikut contoh refleksi yang dilakukan.

Tabel 5. Contoh Refleksi yang Dilakukan

Refleksi Uji Coba 1 Refleksi Uji Coba 2 Refleksi Uji Coba 3

Terdapat perintah dalam LKS yang tidak dipahami oleh siswa. Siswa kurang mengetahui apa yang

Terdapat gambar yang kurang relevan dengan alat yang digunakan saat percobaan.

Terdapat ketidaksesuaian antara perintah dalam LKS dengan tempat untuk mengisi jawaban. Dalam LKS terdapat

Refleksi Uji Coba 1 Refleksi Uji Coba 2 Refleksi Uji Coba 3

Page 128: Proceeding jilid 2

539

harus dilakukan karena tidak memahami kalimat perintah yang disediakan dalam LKS misalnya kata sistematis.

Misalnya pada gambar alat yang digunakan adalah penggaris namun alat yang digunakan siswa plastik mika.

perintah untuk mengisi kotak kalimat utama. Namun kotak kalimat utama tidak disediakan dalam LKS.

PEMBAHASAN

Menurut Moffit (dalam Prastowo, 2013, hlm. 79). bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pembelajaran. Hal ini berkesinambungan dengan pendapat dari Trianto (2012, hlm.111) yang menyatakan “Lembar Kerja Siswa adalah panduan siswa yang digunakan untuk melakukan kegiatan penyidikan atau pemecahan masalah” maka LKS yang dirancang dalam penelitian berdasarkan pembelajaran berbasis masalah yang didalamnya terdapat kegiatan penyelidikan atau pemecahan masalah.

Prosedur penelitian yang dilakukan sesuai dengan pendekatan penelitian DBR. Hasil dari uji coba pada tahap pengembangan dapat dilihat dari isian LKS yang menunjukan pemahaman siswa pada uji coba 3 lebih baik daripada pemahaman siswa pada uji coba 1da uji coba 2. Selain itu hasil dari kuesioner siswa, respon siswa pada tahap uji coba 2 dinilai lebih baik dibandingkan tahap uji coba 1dan uji coba 2. Hasil inti dari penelitian ini adalah LKS pada pembelajaran berbasis masalah tema bermain dengan benda-benda di sekitar. SIMPULAN

Berdasarkan penelitian dan pengembangan yang telah dilakukan maka dapat di tarik simpulan diantaranya: 1. LKS yang biasa digunakan di sekolah dasar penelitian belum digunakan dan

dirancang dengan optimal. 2. LKS pada pembelajaran berbasis masalah tema bermain dengan benda-benda

di sekitar dirancang berdasarkan beberapa tahapan perancangan diantaranya pemilihan kegiatan yang akan dilakukan, pemilihan alat dan bahan yang digunakan, perencanaan tahapan-tahapan kegiatan yang akan dilakukan, perancangan pengolahan hasil pengamatan, dan perumusan kesimpulan

3. Hasil implementasi dari uji coba 3 dinilai lebih baik dari hasil uji coba 1 dan uji coba 2. Hal ini dapat dilihat dari hasil analis respon siswa, respon guru dan hasil pekerjaan siswa pada LKS

4. Bentuk akhir dari penelitian ini berupa satu buah LKS pada pembelajaran berbasis masalah tema bermain dengan benda-benda di sekitar dengan judul LKS Listrik di Sekitar Kita

DAFTAR RUJUKAN Arends (1989). Learning To Teach . international Edition. McGraw-Hill Book

Company Astuti dan Setiawan. (2013). Pengembangan Lembar Kerja Siswa (LKS) Berbasis

Pendekatan Inkuiri Terbimbing Dalam Pembelajaran Kooperatif Pada Materi Kalor.

Page 129: Proceeding jilid 2

540

BSNP. (2013). Salinan lampiran permendikbud no. 67 tahun 2013 tentang kurikulum SD. Jakarta.

Herrington,J.,et. al. (2007). Design-based research and doctoral students: Guidelines for preparing adissertation proposal. InC. Montgomerie & J.Seale (Eds.) ,Proceedings of World Conferenceon Educational Multimedia, Hypermedia and Telecommunications 2007(pp.4089-4097). Tersedia:http://ro.ecu.edu.au/ecuworks/1612 [12 Januari 2013].

Jan van den Akker, et. al. (2010). An Introduction to Educational Design Research. the Netherlands: Netzodruk, Enschede. Tersedia: www.slo.nl/organisatie/international/publications [12 Januari 2013].

Majid A. (2007). Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Cetakan Ketiga. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.

Poerwadarminta, (2009). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Prastowo (2013). Pengembangan Bahan Ajar Tematik. Jogjakarta:Diva Press. Rohmandan Amri (2013.Strategi & Desain Pengembangan Sistem Pembelajaran.

Jakarta : Prestasi Pustakaraya. Trianto. (2012). Model Pembelajaran Terpadu (Cetakan Keempat). Jakarta: Bumi

Aksara.

Page 130: Proceeding jilid 2

541

APLIKASI PETA PEMIKIRAN I-THINK

DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN LITERASI NOMBOR

Haslina binti Jaafar & Khalidah binti Othman Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur

Abstrak Kajian ini bertujuan untuk mengkaji pandangan pelajar tentang aplikasi peta pemikiran i-Think dalam pengajaran dan pembelajaran Literasi Nombor. Seramai 183 orang pelajar PISMP Semester 2 Ambilan Jun 2013 telah terlibat dalam kajian ini. Dapatan kajian menunjukkan pelajar bersetuju peta pemikiran i-Think perlu diaplikasi dalam pengajaran dan pembelajaran Literasi Nombor. Aplikasi peta pemikiran i-Think membolehkan pelajar menjadi lebih kreatif, berani dan bersedia menggunakan pengurusan grafik dalam pengajaran dan pembelajaran Matematik. Kata kunci: peta pemikiran i-Think, kemahiran pedagogi, PISMP. PENGENALAN

Tradisi mengajar Matematik tidak banyak berubah sejak dahulu. Pendekatan yang digunakan juga hampir sama dari aspek konten dan aplikasi yang lebih mengutamakan sesi aktiviti individu dan kumpulan, menjadikan sesi berkenaan sekadar mengisi rutin harian di dalam kelas Matematik. Akhirnya, amalan yang streotaip ini kurang menggalakkan pelajar untuk berfikir pada aras tinggi. Di samping itu, penggunaan grafik kurang diberi penekanan semasa aktiviti dilaksanakan di dalam kelas. Penggunaan pengurusan grafik sebagai alat berfikir dalam pengajaran Matematik masih ditahap rendah di Malaysia. Perkara ini tidak menggalakkan pelajar untuk berfikiran lebih kreatif dan kritis (Ab. Fatah Hasan,1994).

2.0 Pernyataan Masalah

Penggunaan Peta Pemikiran i-Think merupakan satu alternatif dalam pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran (P&P) Literasi Nombor. Amalan P&P yang sebegini dapat menyediakan peluang pembelajaran yang bermakna kepada pelajar. Di samping itu, pelajar akan da[at menerima suatu pembaharuan yang akan mewujudkan persekitaran lebih interaktif.

Mengikut Hyerle & Yeager (2007), peta pemikiran memudahkan pelajar memahami konsep, menganalisis masalah dan mencari penyelesaian. Pelajar dapat menjalankan aktiviti secara kolaboratif dan berkongsi maklumat. Di samping itu, pelajar dapat membina pengetahuan sendiri berdasarkan pengalaman yang dilalui dan perbincangan dalam kumpulan. Pelajar juga dapat belajar dalam suasana yang menyeronokkan dan mendapat peluang kesamarataan untuk mencapai kejayaan.

Page 131: Proceeding jilid 2

542

Oleh yang demikian, pengkaji ingin meninjau pandangan pelajar selaku bakal guru terhadap terhadap aplikasi peta pemikiran i-Think dalam PdP Literasi Nombor. 2.1 Objektif Kajian

Objektif kajian ini ialah untuk mendapatkan pandangan pelajar terhadap aplikasi peta pemikiran i-Think dalam Pengajaran dan pembelajaran Literasi Nombor.

2.2 Persoalan Kajian

Apakah pandangan pelajar terhadap aplikasi peta pemikiran i-Think dalam Pengajaran dan pembelajaran Literasi Nombor? SOROTAN LITERATUR

Pelbagai kajian penandarasan di peringkat antarabangsa telah dijalankan bagi tujuan penambahbaikan mutu P&P. Dapatan kajian oleh TIMMS (Trend in International Matematics and Science Study) dan PISA (Programme for International Student Assesment) menunjukkan bahawa Jepun, Singapura dan Finland telah memperlihatkan pencapaian tahap pendidikan yang tinggi. Faktor kualiti guru adalah penyumbang kepada kejayaannya. Dapatan TIMSS dan PISA menunjukkan murid Malaysia di tahap yang masih rendah. Murid berpengetahuan tetapi tidak dapat mengaplikasikan pengetahuan mereka. Oleh itu, guru memainkan peranan yang penting dalam memastikan tahap pencapaian pelajar dapat ditingkatkan. Guru perlu mengaplikasikan pelbagai kaedah untuk menjana kemahiran berfikir aras tinggi (KBAT). Salah satu alat pemikiran yang sesuai ialah Peta Pemikiran i-Think.

Mengapakah Peta Pemikiran i-Think? 80% daripada maklumat yang diterima oleh otak adalah dalam bentuk visual. 40% daripada saraf gentian dalam badan yang disambung ke bahagian otak adalah dihubungkan dengan retina. 36,000 mesej dalam bentuk visual dapat diterima oleh mata dalam masa satu jam. Sehubungan itu, peta pemikiran adalah sesuai digunakan bagi penerimaan maklumat dengan sewajarnya. Berdasarkan kajian kecerdasan, peta memikiran telah menggabungkan proses pembelajaran secara kognitif dan persembahan maklumat secara visual dalam bentuk grafik.

Berdasarkan kajian yang dijalan oleh Laura A. Weis (2011), peta pemikiran telah berjaya meningkatkan keupayaan pelajar untuk membanding beza sebanyak 69%. Beliau juga menyatakan bahawa peta pemikiran telah dapat meningkatkan kemahiran berfikir aras tinggi dalam kalangan pelajar. Kajian yang dijalankan oleh C. Angus Morgan-Janes (2009) mendapati bahawa peta pemikiran merupakan alat yang sangat berguna untuk meningkatkan pencapaian pelajar.

Menurut Hyerle (2000), peta pemikiran dapat mengubah persepsi dan harapan guru. Beliau mendapati bahawa peta pemikiran menjadi alat yang dapat menghubungkan jurang budaya antara guru dan pelajar. Setiap peta pemikiran dapat meningkatkan kemahiran kognitif pelajar, iaitu mendefinisikan konsep, menerangkan, mengenal pasti, mengkategori dan menyusun maklumat, menyusun, banding beza, sebab dan akibat, menganalisa dan membuat keputusan. Melalui peta pemikiran, guru dan pelajar dapat berkomunikasi secara berkesan Akhirnya, pelajar akan memperoleh keyakinan untuk berkomunikasi.

Page 132: Proceeding jilid 2

543

Hasil daripada pemerhatian yang telah dijalankan oleh Zohar (2004), penggunaan peta pemikiran telah berjaya meningkatkan pelaksanaan aktiviti bagi KBAT. Beliau menyatakan bahawa pelajar mempunyai akses yang konsisten terhadap kemahiran berfikir aras tinggi. Dengan cara ini, pelajar akan dapat berkongsi pemikiran dalam bentuk visual. METHODOLOGI Rekabentuk kajian

Kajian ini merupakan kajian kuantitatif. Kajian ini dilaksanakan di Institut Pendidikan Guru kampus Ilmu Khas (IPGKIK), Cheras, Kuala Lumpur. Sampel kajian terdiri daripada pelajar Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PISMP) Semester 2 Ambilan Jun 2013 yang mengambil kursus WAJ3052 : Literasi Nombor sebagai kursus wajib. Seramai 183 orang pelajar terlibat dalam kajian ini, 138 orang terdiri daripada pelajar perempuan dan 45 orang terdiri daripada pelajar lelaki. Pelajar telah dikelaskan mengikut 4 bidang utama iaitu 58 orang pelajar Pendidkan Khas, 29 orang pelajar Pendidikan Seni Visual, 46 orang pelajar Pendidikan Muzik dan 50 orang pelajar Pengkhususan Bahasa Inggeris. Instrumen kajian

Kajian ini menggunakan satu set soal selidik dengan Skala Likert. Instrumen ini mengandungi 3 aspek utama iaitu aspek pengetahuan, aspek kemahiran pedagogi dan aspek intrapersonal dan interpersonal. Setiap aspek mengandungi 8 item.

Prosedur pengumpulan data

Data soal selidik diperoleh secara terus dengan meminta responden menjawab dan memulangkan dalam tempoh masa yang ditetapkan. Tiga pilihan jawapan ditawarkan kepada responden berdasarkan Skala Likert iaitu, kurang setuju, setuju dan sangat setuju. Responden diminta memilih jawapan secara jujur. Data temu bual pula diperoleh daripada responden secara rawak. Data temu bual dirakam dan ditranskripsi berdasarkan tema dan kategori faktor yang dibangunkan dalam kajian. Prosedur penganalisis data

Semua data yang diperoleh daripada borang soal selidik dianalisis secara diskriptif yang melibatkan peratusan dan kekerapan. Data diproses menggunakan Microsoft Excel. DAPATAN

Pandangan pelajar terhadap aplikasi peta pemikiran i-Think dalam P&P Literasi Nombor ditentukan melalui penganilisan data menggunakan program Microsoft Excel. Bagi menjawab persoalan kajian tentang pandangan pelajar terhadap aplikasi peta pemikiran i-Think dalam P&P Literasi Nombor, kekerapan dan peratusan digunakan.

Jadual 1 : Pandangan pelajar terhadap aplikasi peta pemikiran i-Think dalam PdP Literasi Nombor

Bidang Utama Aspek kurang setuju setuju sangat setuju

PK ( 58) Pengetahuan 0 (0%) 17 (25%) 41 (75%)

Page 133: Proceeding jilid 2

544

Kajian yang telah dijalankan mendapati bahawa majoriti pelajar Pendidikan

Khas (PK) dan Pendidikan Seni Visual (PSV) sangat setuju peta pemikiran i-Think diaplikasikan dalam P&P Literasi Nombor. Manakala, pelajar Pendidikan Muzik (PMz) dan Pengkhususan Bahasa Inggeris (PBI) bersetuju dengan aplikasi peta pemikiran i-Think dalam P&P Literasi Nombor. Namun begitu, ada bilangan sangat kecil dalam kalangan pelajar Pendidikan Muzik dan Pengkhususan Bahasa Inggeris yang tidak bersetuju dengan aplikasi peta pemikiran i-Think dalam P&P Literasi Nombor.

Merujuk Jadual 1 didapati bahawa bagi aspek pengetahuan, pelajar sangat setuju terhadap aplikasi peta pemikiran i-Think dalam P&P Literasi Nombor, iaitu Pendidikan Khas seramai 41 orang (75%), Pendidikan Seni Visual seramai 24 orang (83%). Pelajar Pendidikan Khas dan Pendidikan Seni Visual sangat setuju kerana mereka telah mendapat pendedahan tentang peta pemikiran i-Think dalam kursus lain pada semester sebelum ini. Respon sangat setuju bagi pelajar Pendidikan Muzik ialah 18 orang (39%) dan Pengkhususan Bahasa Inggeris ialah 24 orang (36%). Ini menunjukkan kurang daripada 50% sangat setuju bagi kedua-dua bidang tersebut kerana mereka hanya mendapat pendedahan buat kali pertama tentang peta pemikiran i-Think.

Bagi aspek pedagogi, pelajar Pendidikan Khas seramai 41 orang (75%) dan Pendidikan Seni Visual seramai 24 orang (83%) sangat bersetuju peta pemikiran i-Think diaplikasi dalam P&P Literasi Nombor. Pelajar Pendidikan Muzik pula seramai 26 orang (57%) dan Pengkhususan Bahasa Inggeris seramai 28 orang (56%). Manakala, pelajar yang kurang setuju ialah Pendidikan Muzik 2 orang (4%) dan Pengkhususan Bahasa Inggeris 3 orang (6%).

Bagi aspek interpersonal dan intrapersonal pula, pelajar Pendidikan Seni Visual seramai 26 orang (90%) sangat bersetuju dalam aplikasi peta pemikiran i-

Pedagogi 0 (0%) 17 (25%) 41 (75%)

Interpersonal & Intrapersonal

1 (2%) 24 (41%) 33 (57%)

PSV (29) Pengetahuan 0 (0%0 5 (17%) 24 (83%)

Pedagogi 0 (0%) 5 (17%) 24 (83%)

Interpersonal & Intrapersonal

0 (0%) 3 (10%) 26 (90%)

PMz (46) Pengetahuan 2 (4%) 26 (57%) 18 (39%)

Pedagogi 2 (4%) 26 (57%) 18 (39%)

Interpersonal & Intrapersonal

2 (4%) 27 (59%) 17 (37%)

PBI (50)

Pengetahuan 3 (6%) 24 (48%) 23(46%)

Pedagogi 3 (6%) 28 (56%) 19 (38%)

Interpersonal & Intrapersonal

2 (4%) 32 (64%) 16 (32%)

Page 134: Proceeding jilid 2

545

Think dalam P&P Literasi Nombor, diikuti pelajar Pendidikan Khas seramai 33 orang (57%). Manakala, pelajar Pendidikan Muzik seramai 27 orang (59%) dan pelajar Pengkhususan Bahasa Inggeris seramai 32 orang (64%) bersetuju aplikasi peta pemikiran i-Think dalam P&P Literasi Nombor telah dapat membantu mereka dalam aspek interpersonal dan intrapersonal. PERBINCANGAN DAN KESIMPULAN

Kajian ini menunjukkan majoriti pelajar bersetuju dengan aplikasi peta pemikiran i-Think dalam P&P Literasi Nombor. Bagi ketiga-tiga aspek yang dikaji, iaitu aspek pengetahuan, pedagogi, interpersonal dan intrapersonal, lebih daripada 90% pelajar bersetuju (Jadual 1). Menurut Ab Fatah (1994), pengurusan grafik sebagai alat berfikir masih kurang digunakan dalam Matematik. Oleh itu, peta pemikiran i-Think sememangnya amat wajar untuk diaplikasikan dalam Kursus Literasi Nombor.

Salah satu usaha untuk membudayakan kemahiran berfikir dalam kalangan pelajar ialah aspek kesediaan dan kebolehan pelajar. Tidak dinafikan bahawa pelajar akan bersedia untuk berfikir dan memberikan idea apabila wujudnya rangsangan untuk berfikir. Penggunaan alat berfikir seperti peta pemikiran i-Think dalam P&P akan dapat menggalakan pelajar untuk berfikir dan membuat penaakulan (KPM, 2012).

Melalui soal selidik, penggunaan peta pemikiran i-Think telah dapat menghasilkan nota yang ringkas, padat dan menarik, senang diingat, mudah dibaca dan dirujuk. Semasa membuat nota dalam bentuk peta pemikiran, pelajar perlu berfikir dan mencari maklumat dari pelbagai sumber. Pelajar perlu mengenal pasti jenis peta pemikiran yang akan digunakan. Seterusnya, mereka akan mampu mengembangkan idea yang tercatat dalam peta pemikiran tersebut. Langkah-langkah tersebut dapat mengembangkan kemahiran berfikir mereka. Sekiranya peta pemikiran i-Think sering digunakan secara tidak langsung akan membantu membudayakan kemahiran berfikir dalam kalangan pelajar.

Implikasi daripada kajian ini ialah pelajar telah dapat memahami peta pemikiran i-Think dengan lebih jelas dan bersedia mengaplikasikannya dalam P&P semasa di sekolah pada masa akan datang. Hal ini bersesuaian dengan transformasi bidang pendidikan masa kini. Menurut Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia (PPPM) 2013 – 2025, kemahiran berfikir menjadi salah satu komponen penting dalam aspirasi murid. Guru memainkan peranan utama untuk menjana kemahiran berfikir dalam kalangan murid. Sewajarnya pelajar Institut Pendidikan Guru (IPG) dapat membantu merealisasikan hasrat PPPM. Pendedahan kepada alat peta pemikiran i-Think semasa di IPG diharap dapat menghasilkan barisan guru-guru yang dinamik selaras dengan pendidikan Abad ke 21. DAFTAR RUJUKAN C. Angus Morgan-Janes (2009). An Examination of Thinking Maps in the Context

of Inquiry-Based Science Education for Fifth-Grade Students. Franklin Pierce University.

Kementerian Pelajaran Malaysia (2012). Draf Buku i-Think, Bahagian Pembangunan Kurikulum.

Page 135: Proceeding jilid 2

546

Laura A. Weis (2011). The Effect of Thinking Maps on Students’ Higher Order Thinking Skills. California State University, Northridge http://tskiaramas.blogspot.com/. Laman web telah dirujuk pada 29/12/13.

Hyerle. D. (2000). Thinking Maps: Visual Tools for Activating Habits of Mind. In A. L.

Costa and B. Kallick (Eds), Activating and Engaging Habits of Mind (pp. 46-58). Alexandria, VA.: Association for Supervision and Curriculum Development.

Zohar, A. (2004). Elements of Teachers’ Pedagogical Knowledge Regarding Instruction of Higher Order Thinking. Journal of Science Teacher Education, 15(4), 293-312.

Kementerian Pelajaran Malaysia (2013). Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia 2013 – 2025. KPM

Page 136: Proceeding jilid 2

547

KEBERKESANAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KOPERATIF DALAM KALANGAN PRA-SISWA PENDIDIK DI INSTITUT PENDIDIKAN

GURU KAMPUS PENDIDIKAN TEKNIK

Haslinah Abdullah Institut Pendidik Guru Kampus Pendidikan Teknik, Negeri Sembilan

email: [email protected]

Abstrak Pembelajaran koperatif adalah satu pendekatan pengajaran di mana pelajar bekerjasama dalam pasukan kecil yang mana setiap individu mempunyai bakat, kebolehan serta latar belakang yang berbeza untuk melengkapkan tugasan yang sama. Kajian ini bertujuan untuk mengkaji keberkesanan pelaksanaan pembelajaran koperatif dalam kalangan siswa Program Persediaan Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PPISMP) kumpulan Sains. Instrumen borang soal selidik tiga skala Likert dan temu bual digunakan bagi tujuan pengumpulan data. Analisis data menunjukkan bakal guru pelatih mendapati aktiviti pembelajaran koperatif adalah satu aktiviti yang menggalakkan pembelajaran dan sosialisasi, menyeronokkan, menggalakkan sikap komitmen dan bertanggungjawab ke atas kejayaan kumpulan mereka dan tugasan. Namun begitu, ada rasa ketidakpuasan hati ahli yang lain kerana merasakan ada ahli tidak memberi komitmen sepenuhnya ke atas tugasan dan kejayaan kumpulan. Ini menyebabkan mereka merasakan adalah lebih baik lakukan tugasan secara individu dan percaya bahawa akan dapat menghasilkan yang lebih baik berbanding secara berkumpulan. Ini berpunca daripada akauntabiliti yang menurun apabila ahli berpecah kepada kumpulan yang lain dan pengiktirafan kepada kumpulan dan individu tidak dimantapkan di peringkat awal lagi. Perkara ini juga punca kepada tidak cukup masa untuk menyiapkan tugasan kumpulan. Kesimpulannya, untuk memastikan keberkesanan dan kemantapan semasa melaksanakan pembelajaran koperatif yang mantap adalah penting memastikan lima elemen pembelajaran koperatif diperkukuhkan semasa perancangan dan pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran.

Kata kunci: pembelajaran koperatif, sosialisasi, komitmen, tanggungjawab, akauntabiliti PENDAHULUAN

Dalam kemajuan teknologi maklumat dan pendidikan di abad ke-21 peranan pensyarah di pengajian tinggi seperti kolej dan universiti telah mengalami suatu bentuk transformasi dalam pedagogi. Umumnya, dahulu pembelajaran di pengajian tinggi dicirikan dengan pembelajaran di dewan kuliah yang besar dengan pencapaian mengikut satu taburan normal, namun sejak 20 tahun kebelakangan ini, menurut Fink (2004) di pengajian tinggi merentas seluruh negara telah menunjukkan peningkatan dalam pembelajaran aktif dan pedagogi berasaskan pembelajaran koperatif. Kajian Fink (2004) menunjukkan kebanyakan profesor di kolej melaksanakan pembelajaran berkumpulan secara berstruktur sekurang-kurangnya sekali dalam pembelajaran dan pengajaran mereka dan

Page 137: Proceeding jilid 2

548

sekurang-kurangnya sekali dalam semester. Namun begitu, dalam kajian Paulsen dan Faust (2008) menunjukkan terdapat halangan dan keraguan dalam mengubah amalan pengajaran dan pembelajaran traditional kepada persekitaran koperatif di pengajian tinggi. Ramai profesor di pengajian tinggi tidak setuju untuk mengintegrasikan pembelajaran koperatif dalam kelas masing-masing dengan beranggapan bahawa pembelajaran koperatif hanya mencari alternatif lain selain daripada berusaha dalam meningkatkan kewibawaan sebagai pensyarah profesor. Dalam pada itu, menurut Wiemer (2007) seramai 76% profesor di kolej menggunakan teknik pengajaran secara kuliah, dan pembelajaran aktif dalam kelas bukan keutamaan di pengajian tinggi. Oleh kerana kepakaran ilmu yang wujud di pengajian tinggi, mereka berpegang kepada fahaman iaitu menerangkan ilmu kepada pelajar mereka, daripada melibatkan mereka dalam penerokaan dan penemuan ilmu melalui pembelajaran aktif (Ediger, 2001).

Selama empat puluh tahun banyak kajian telah dapat membuktikan pembelajaran koperatif merupakan salah satu cara pengajaran yang dapat memaksimumkan pembelajaran kendiri dan pencapaian akademik (Williams, 2007; Jones & Jones, 2008). Walaupun telah banyak kajian berkenaan pembelajaran koperatif di pengajian tinggi yang memberikan manfaat kepada mahasiswa (Kanthan & Mills, 2007; Tsay & Brady, 2010; Ghazali Yusri et.al., 2012), namun begitu strategi pedagogi dalam implementasi pembelajaran koperatif di dalam kelas masih tidak dilakukan dengan baik mengikut lima elemen dalam pembelajaran koperatif (Weimer, 2007) iaitu saling bergantungan positif (positive interdependence), akauntabiliti individu (individual accountability), kemahiran sosial (social skills), interaksi bersemuka (face-to-face interaction) , dan pemprosesan kumpulan (group processing) (Johnson & Johnson, 1994). Selain daripada itu, isu-isu lain yang timbul dalam pelaksanaan pembelajaran koperatif ialah pelajar bersosial semasa aktiviti berkumpulan dengan demikian mereka tidak bekerja semasa dalam kumpulan, pengurusan masa yang berkesan dan persediaan sebelum aktiviti kumpulan. Dalam mempastikan kejayaan bekerja dalam kumpulan, pelajar memerlukan juga kemahiran sosial dan kemahiran belajar (Gillies & Boyle, 2010). Sering kali juga pembelajaran koperatif disalah tafsirkan sebagai satu kerja kumpulan atau interaksi antara rakan sekelas untuk menyelesaikan tugasan, dengan meletakkan sekumpulan pelajar di dalam satu kumpulan secara spontan mereka akan ‘koperatif’ dan proses ‘belajar’ berlaku (Johnson & Johnson, 1994).

ISI KANDUNGAN Tujuan Kajian

Kajian ini bertujuan untuk melihat keberkesanan dalam mengimplimentasikan kelima-lima elemen pembelajaran koperatif dalam pengajaran dan pembelajaran biologi dalam kalangan siswa pendidik di Institut Pendidikan Guru Kampus Pendidikan Teknik. Kajian ini adalah penting untuk kajian seterusnya dalam menjalankan penyelidikan tindakan bagi menambahbaik amalan pengajaran dan pembelajaran pembelajaran koperatif setelah dapat dikenalpasti kelemahan dan kekuatan.

Objektif Kajian 1. Mengenalpasti keberkesanan pelaksanaan pembelajaran koperatif dalam

pembelajaran dan pembelajaran di dalam kelas.

Page 138: Proceeding jilid 2

549

2. Mengenalpasti manfaat yang diperolehi oleh siswa pendidik hasil daripada pembelajaran koperatif dalam pembelajaran dan pembelajaran di dalam kuliah.

Reka Bentuk Kajian Kaedah yang digunakan dalam kajian ini ialah kaedah bercampur secara

serentak (concurrent mixed method) iaitu pengumpulan data kualitatif dan kuantitatif berlaku serentak. Pendekatan triangulasi secara serentak dilakukan dengan membandingkan kedua-dua data bagi menentukan jika ada pencapahan, perbezaan atau pergabungan semasa analisis data bagi mendapat suatu interpretasi data yang menyeluruh dan lengkap (Creswell, 2009).

Populasi Kajian Populasi kajian ini ialah kumpulan Pra-Siswa Pendidik Semester Satu

Ambilan Jun 2014 seramai 15 orang.

Instrumen Kajian Data kuantitatif dikumpulkan dengan menggunakan soal selidik yang

diadaptasi daripada Akhtar, et.al. (2012). Soal selidik ini terdiri daripada 14 soalan yang dikategorikan kepada akauntabiliti individu, pelaksanaan aktiviti dari segi pemantauan pensyarah, struktur aktiviti, tujuan dan masa aktiviti, dan juga saling bergantungan positif iaitu memenuhi lima elemen dalam pembelajaran koperatif.

Data kualitatif dikumpul menggunakan kaedah temubual berfokus (focus group) seramai lima orang dalam satu kumpulan dan terdapat dua kumpulan ditemubual secara berasingan dan masa yang berbeza. Pemilihan sampel untuk temubual adalah secara sukarela.

Analisis dan Interpretasi Data Rajah 1 menunjukkan peratusan pra-siswa pendidik sebanyak 73%

didapati saling bergantungan secara positif apabila dapat memberi komitmen kepada kejayaan kumpulan dan tugasan, serta bertanggung jawab dengan kejayaan setiap individu. Sebaliknya, hanya separuh sahaja (53%) didapati memberikan komitmen kepada ahli kumpulan lain. Ini menunjukkan saling bergantungan positif didapati menurun apabila diberikan tugas untuk menyebarkan kefahaman konsep kepada kumpulan lain.

Page 139: Proceeding jilid 2

550

Rajah 1: Peratusan Pra-Siswa Pendidikan Dalam Elemen Saling Bergantungan Positif

Elemen aktiviti distrukturkan dengan baik dan pemantauan pensyarah merupakan elemen penting bagi menerapkan akauntabiliti individu semasa pembelajaran koperatif (Tannen et.al., 2003; Jones & Jones, 2008). Rajah 2 menunjukkan semasa aktiviti berkumpulan didapati pensyarah telah melakukan pemantauan (87%) dan aktiviti distrukturkan dengan baik (87%) yang mana tujuan aktiviti juga adalah jelas (80%). Ini menunjukkan semasa pembelajaran koperatif telah dapat memastikan kejayaan dalam akauntabiliti individu. Namun begitu, dari segi tempoh masa pelaksanaan aktiviti didapati seramai 34% yang menyatakan mereka tidak cukup masa dalam melaksanakan tugasan berkumpulan.

Rajah 2: Pelaksanaan Aktiviti dari Segi Pemantauan Pensyarah, Struktur Aktiviti, Tujuan dan Masa.

Walaupun usaha telah dilakukan bagi memastikan akauntabiliti individu

dapat diterapkan semasa pembelajaran koperatif, berdasarkan Rajah 3 didapati lebih separuh (59%) daripada pra-siswa pendidik merasakan mereka akan dapat menghasilkan hasil kerja yang lebih baik jika dilakukan secara individu dan

Setuju Tidak pasti Tidak setujuMemberi komitmen kepada

kejayaan kumpulan 73 20 7

Bertanggungjawab untukkejayaan setiap individu 73 27

Memberi komitmen kepadaahli kumpulan lain 53 40 7

Bertanggungjawab terhadaptugasan 73 27

01020304050607080

Bil.

Sisw

a Pe

ndid

ik (%

)

Setuju Tidak pasti Tidak setujuPemantauan oleh

pensyarah 87 13

Struktur aktiviti yang baik 87 13Kejelasan tujuan aktiviti 80 20Kecukupan masa 34 53 13

020406080

100

Bil.

Sisw

a Pe

ndid

ik (%

)

Page 140: Proceeding jilid 2

551

separuh daripada mereka (47%) mahu melakukan tugasan secara individu. Ini menunjukkan akauntabiliti individu semasa pelaksanaan pembelajaran koperatif adalah kurang memuaskan. Hasil daripada interaksi bersemuka juga seramai 60% mendapati ada di antara kawan-kawan mereka yang menunjukkan sikap tidak bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasan, ini menyebabkan hanya 66% sahaja merasa berpuas hati, namun begitu mereka seronok (87%) dalam melaksanakan pembelajaran koperatif.

Jadual 2 menunjukkan wujudnya elemen saling bergantungan positif apabila mereka membuat persediaan awal sebelum menghadiri kelas dan menunjukkan akauntabiliti individu apabila mereka faham apa yang dipelajari semasa penilaian melalui kuiz dibuat pada akhir sesei pengajaran dan pembelajaran dan melalui interaksi bersemuka membolehkan perbincangan dan penjanaan idea membantu dalam meningkatkan akauntabiliti individu masing-masing. Interaksi bersemuka berjaya dilaksanakan dengan baik dengan adanya kemahiran sosial. Walaupun mereka mempunyai kesukaran dalam membina pasukan tetapi dengan adanya semangat berpasukan dan kemahiran sosial membantu dalam melaksanakan pembelajaran koperatif. Dalam pada itu, mereka menjalankan pembelajaran berasaskan otak dan melaksanakan pembelajaran sosial kognitif oleh Albert Bandura. Namun begitu, mereka tidak dapat melengkapkan tugasan yang diberikan kemungkinan kemahiran belajar belum dikuasai dengan baik terutama dalam membina nota ringkas semasa prbincangan berkumpulan.

Rajah 3: Peratusan Pra-Siswa Pendidikan Dalam Elemen Akauntabiliti Individu dan Interaksi Bersemuka.

Jadual 1 : Hasil Analisis Data Temu bual.

Tema Respon Siswa Pendidik

Saling Bergantungan Positif - Persediaan awal sebelum kuliah

dengan membuat pembacaan

Setuju Tidak pasti Tidak setujuLebih baik daripada kerja

individu 59 34 7

Sesetengah ahli menjadi tidakbertanggungjawab 60 20 20

Mahu melakukan tugasansecara individu 47 13 40

Seronok 87 7 7Kepuasan 66 27 7

0102030405060708090100

Bil.

Sisw

a Pe

ndid

ik (%

)

Page 141: Proceeding jilid 2

552

- Komitmen menyumbangkan idea dan

pendapat Saling Bergantungan Negatif - Ada yang buka facebook, buat

tugasan lain, dan berinteraksi secara maya

gunakan whatsapp atau instagram - Ada yang tidak fokus semasa perbincangan

- Ada individu yang tidak begitu faham

konsep tetapi tidak bertanya dengan pensyarah

- Tidak bertanggungjawab, walaupun masih belum faham tetapi meneruskan perbincangan dengan kumpulan lain

Interaksi Bersemuka - Setiap individu dapat memberi idea dan

pandangan masing-masing. - Perbincangan yang berterusan - Penjanaan idea yang berterusan

Akauntabiliti Individu - Mendapat pandangan dan maklum

balas daripada rakan yang lain - Suka kuiz atau sesi soal jawab selepas

perbincangan bagi mempastikan kefahaman dan kejelasan konsep

Semangat berpasukan - Wujud semangat setia kawan dalam kumpulan

Pembelajaran sosial kognitif - Mempelajari cara penyampaian dan penerangan yang terbaik daripada kawan-kawan yang lain Pembelajaran berasaskan otak - Tidak mengantuk

- Tidak penat - Tidak bosan - Sentiasa bergerak aktif

Kemahiran sosial - Sentiasa memberikan fokus supaya dapat

memastikan rakan lain faham - Dapat berkomunikasi dengan baik

Page 142: Proceeding jilid 2

553

- Walaupun belum dapat mengenali antara

satu sama lain tetapi akhirnya dapat menyesuaikan diri

- Menerima kelemahan diri dengan senang

hati - mempunyai keyakinan diri untuk mencuba

- Menyelesaikan pertengkaran dengan merujuk buku atau pensyarah

Bina pasukan - Sukar dilakukan kerana masih belum mengenali antara satu sama lain - Pembinaan kumpulan yang tidak sesuai

mengikut keunikan personaliti seseorang seperti kawan yang pasif atau terlalu aktif

Tempoh masa - Tidak cukup masa menjalankan aktiviti - Masih ada rakan yang belum sempat faham

Kemahiran belajar - Tidak berjaya membina nota ringkas semasa menjalankan perbincangan

- Lebih suka menghafal sahaja daripada

memahami konsep - Terlalu lambat dalam memahami

konsep

PERBINCANGAN Pembentukkan saling pengantungan positif merupakan eleman yang

paling penting dan paling mencabar dalam mempastikan keberkesanan pelaksanaan pembelajaran koperatif (Johnson et.al., 1991). Dalam kajian ini walaupun dapat membina sifat komitmen dalam kumpulan masing-masing tetapi saling pergantungan positif menurun kerana ada yang bersosial secara maya dan tidak memberikan penumpuan semasa melaksanakan tugasan dalam kumpulan masing-masing dan akibatnya tidak dapat memahamkan konsep biologi kepada kumpulan lain. Ini memberikan ketidak puasan hati kepada kawan-kawan yang lain. Selain itu, ada diantara mereka yang mempunyai kemahiran belajar yang lemah terutama dalam membina nota dan tiada komitmen semasa melakukan tugasan dalam kumpulan menyebabkan ketidak cukupan masa dalam melaksanakan tugasan dalam kumpulan. Ini menyebabkan saling bergantungan menurun apabila bergerak ke kumpulan yang lain. Mereka yang kurang faham juga mungkin malu untuk bertanya kerana pasukan belum dapat dibina dengan

Page 143: Proceeding jilid 2

554

mantap lagi. Menurut Kagan (2009) bina pasukan yang mantap adalah merupakan salah satu elemen penting dalam mempastikan kejayaan pembelajaran koperatif.

Akauntabiliti individu adalah elemen penting bagi mempastikan pelajar belajar bersama-sama dalam kumpulan tetapi menunjukkan pencapaian invidu yang memuaskan. Akauntabiliti individu menguatkan menjadi satu pasukan yang dinamik dan melonjak pencapaian individu. Akauntabiliti individu turut dipengaruhi oleh saling bergantungan positif (Jones & Jones, 2012). Dalam kajian ini, akauntabiliti individu didapati kurang memuaskan kerana saling bergantungan positif tidak terbina dengan baik. Namun begitu, akauntabiliti individu dapat ditingkatkan melalui penilaian formatif seperti ruberik prestasi bagi setiap individu (Jones & Jones (2012) atau penilaian summatif selepas pengajaran dan pembelajaran seperti kuiz.

Pembelajaran koperatif membolehkan pembelajaran berasaskan otak yang mana melalui interaksi bersemuka membolehkan mereka berbincang dan menjana idea kerana mereka merasa seronok menyebabkan mereka tidak merasakan mengantuk, penat atau bosan. Menurut Jensen (2008) apabila aktiviti yang dapat menghalang amygdales iaitu sensor ancaman yang terdapat di otak daripada mencetuskan impuls maka ini akan meningkatkan kecekapan otak dalam pemprosesan maklumat. Pembelajaran koperatif juga membolehkan pembelajaran sosial kognitif melalui interaksi bersemuka yang mana pelajar akan belajar memlaui proses peniruan atau memerhati model yang terbaik (Noriati et.al., 2009). Contohnya mereka boleh belajar pelbagai cara untuk memahami konsep biologi melalui pemerhatian dalam interaksi sosial.

SIMPULAN Dalam kajian ini ada dua perkara yang perlu diperkukuhkan untuk menjadi

keberkesanan pembelajaran koperatif lebih efektif ialah saling bergantungan positif dan akauntabiliti individu. Saling bergantungan positif boleh dibina dengan mengukuhkan bina pasukan, kemahiran belajar serta kawalan kelas. Manakala untuk meningkatkan akauntabiliti individu adalah dengan memantapkan penilaian formatif dan summatif dan saling bergantungan positif. Pembelajaran koperatif adalah satu kaedah pembelajaran yang baik kerana pelajar dapat belajar mengikut teori pembelajaran berasaskan otak dan pembelajaran sosial kognitif.

DAFTAR RUJUKAN Creswell, J.W. (2009). Research Design. Third Edition. California : Sage

Publication. Ediger, M. (2001). Learning Opportunities in the Higher Education Curricullum.

College Student Journal, 35(3), 410. Fink, L.D. (2004). Beyond Small Groups: Harnessing the Extraordinary Power of

Learning. USA: Stylus Publishing. Ghazali Yusri, Nik Mohd Rahimi, Parilah M. Shah, Wan Haslina Wah & Ahmed

Thalal Hassan. (2012). Penggunaan Strategi Belajar Bersam Rakan Dalam Kalangan Pelajar Kursus bahasa Arab di Universiti Teknologi Mara (UiTM). Asia Pacific Journal of Educators and Education, 27, 37-50

Gillies, R. M. & Boyle, M. (2010). Teachers’ Reflections on Cooperative Learning: Issues of Implementation. Teacher and Teacher Education, 26, 933-940.

Jensen, E. (2008). Brain-based Learning. The New Paradigm of Teaching. Thousand Oaks, California: Cprwin Press.

Page 144: Proceeding jilid 2

555

Jones, K.A. & Jones, J.L. (2008). making cooperative Learning Work in the College Classroom: An Application of the ‘Five Pillars” of cooperative Learning to Post-Secondary Instruction. The Journal of Effective Teaching. 8(2):61-76.

Johnson, D.W., Johnson, R.T., & Smith, K.A. (1991). Active Leraning: Cooperation in the college classroom. USA: Edina

Kagan, S. K., & Kagan, M. (2009). Kagan Cooperative Learning. San Clemente, CA: Kagan Publishing.

Kantan, R. & Mills, S. (2007). Cooperative Learning in the First Year of Undergraduate Medical Education. World Journal of Surgical Oncology, 5: 136-143.

Noriati A, Rashid, Boon Pong Ying & Sharifah Fakhriah Syed Ahmad. (2009). Murid dan Alam Belajar. Selangor: Oxford Fajar.

Tannen, K., Chatman, L. & Allen, D. (2003) Appproaches to Cell Biology TEaching: Cooperative Learning in the Science Classroom - Beyond Students Working in Groups. Cell Biology Education, 2(1), 1-5.

Tsay, M. & Brady, M. (2010). A Case Study of Cooperative Learning and Communication Pedagogy: Does Working in Teams Make a Difference? Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, 10(2):78-89.

Paulson, D.R. & Faust, J.L. (2008). Active Learning for the College Classroom. Diperoleh daripada http://www. calstatela.edu/dept/chem/chem2/Active/main.htm pada 15 Julai 2008.

Weimer, M. (2008). Active Learning Advocates and Lecturers. Diperolehi daripada http://teachingprofessor.blogspot.com/2008/06/active-learning-advocates-and-lectures.html pada 18 Julai 2008.

Page 145: Proceeding jilid 2

556

IMPLEMENTASI SCIENTIFIC APROACH DALAM RPP KELAS 4 SD SD PERCOBAAN DI KABUPATEN MAGETAN PADA

KURIKULUM 2013 TAHUN AKADEMIK 2014/2015

Ibadullah Malawi, Dewi Tryanasari, & Edy Riyanto IKIP PGRI Madiun

E-mail: dtryanasari @gmail.com Abstract 2013 curriculum emphasizes the scientific approach as the approach used in the study. Scientific approach as the spirit of the 2013 curriculum requires teachers to implement inquiry-based learning and internalization of knowledge in depth and meaningful place gradually. therefore the curriculum in 2013, affective, cognitive and psychomotor students developed holistically and go hand in hand. The impact of the principle of learning in elementary school then must be held thematic integrative both in the early grades and in high class. At KTSP, teachers are already accustomed to carrying out thematic learning in the early grades but thematic integrative high class is something new in the field. For that learning in high-grade curriculum in 2013 needs to get more serious attention. Fourth grade is the first high-level class in elementary school. If learning in this class is guaranteed at least subsequent grade five and six live follow. Focused on the problem we need to hold in-depth research on the scientific aproach in the fourth grade. In this study selected main object is observed RPP generated in the fourth grade teacher in the process of testing the curriculum in 2013. RPP were taken from seven schools designated by the department of education in Magetan as pioneer pilot school curriculum 2013. This study includes qualitative research phenomenology. Data analysis was carried out with compared RPP produced by teachers with one another then check these data with scientific theory approach. The results showed that the lesson plans developed by teachers in the field has not fully representative accommodate the scientific approach as a learning approach to the curriculum of 2013. In addition, the integration between aspects of learning and achievement of each KD as a translator KI less measurable. The impact of these problems is not maximal learning process carried out by the teacher in the classroom. Keywords: Curriculum, 2013, Scientific approach, High Class, RPP PENDAHULUAN

Kurikulum 2013 sebagai perbaikan atas kurikulum yang berlaku sebelumnya, saat ini sedang ada pada taraf uji coba lapang. Sejarah mencatat bahwa setiap pergantian kurikulum, banyak sekali masalah yang timbul dalam dunia pendidikan. Mulai dari kurangnya pemahaman guru sebagai ujung tombak pelaksana kurikulum di lapangan sampai pada kurang representatifnya kurikulum itu sendiri dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan yang terjadi di lapangan. Timbulnya polemik tersebut tentunya tidak terlepas dari aspek kesiapan guru sebagai pelaksana kurikulum di lapangan. Saud (2008: 87) menegaskan bahwa maju mundurnya pendidikan bergantung pada sejauh mana pemahaman

Page 146: Proceeding jilid 2

557

guru terhadap tugasnya di sekolah termasuk pemahaman terhadap kurikulum. Terkait dengan hal itu, Sebagai sesuatu yang bersifat baru, kurikulum 2013 diduga mengalami kendala yang tidak jauh berbeda di lapangan.

Kurikulum 2013 menekankan pada scientific aproach yang pada dasarnya menitikberatkan pada proses perolehan pengetahuan yang berbasis inquiry serta internalisasi pengetahuan secara mendalam dan bermakna yang berlangsung bertahap. Oleh karena itu dalam kurikulum 2013, aspek afektif, kognitif, dan psikomotor siswa dikembangkan secara holistik dan seiring sejalan. Imbas dari prinsip tersebut, pembelajaran tematik integratif di SD dilaksanakan secara menyeluruh baik di kelas awal maupun di kelas lanjut. Pada dasarnya pembelajaran tematik di sekolah dasar bukanlah sesuatu yang sifatnya baru. Pembelajaran tematik pada KTSP diimplementasikan pada jenjang kelas bawah yaitu kelas satu, dua, dan tiga namun untuk kelas tinggi sekolah dasar masih menganut sistem tiap matapelajaran. Berdasarkan hal itu, pelaksanaan kurikulum 2013 di kelas tinggi yang saat ini diujicobakan pada kelas empat sekolah dasar, harus mendapatkan perhatian yang lebih serius untuk mengantisipasi terjadinya kesalahan pemahaman di tingkat implementasi.

Di Kabupaten Magetan ada tujuh sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah pioner pelaksana kurikulum 2013. Sekolah-sekolah tersebut tersebar pada wilayah Magetan barat, timur, utara, dan selatan. Masing-masing sekolah tersebut melaksanakan uji coba kurikulum di bawah binaan UPTD yang ada di wilayah masing-masing namun penelitian mendalam tentang keterlaksanaanya belum dipetakan dengan baik. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mendalam pada tujuh sekolah tersebut terkait dengan pelaksanaan kurikulum 2013 terutama pada aspek scientific approach sebagai komponen pendekatan yang melandasi pembelajaran pada kurikulum 2013.

Ada tiga komponen utama dalam melaksanakan kurikulum yaitu komponen perencanaan, proses, dan evaluasi. Penelitian ini ingin mengungkap bagaimana implementasi scientific aproach pada tataran perencanaan pembelajaran terutama di kelas tinggi yang dalam hal ini diwakili oleh kelas empat. Untuk itu objek utama penelitian ini adalah perencanaan pembelajaran di tujuh sekolah pioner pelaksana kurikulum 2013 di kabupaten Magetan. Perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru, bisa dilihat dengan jelas dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sebagai perangkat pembelajaran yang mempunyai kedudukan sangat penting dalam proses pembelajaran. RPP pada kurikulum 2013 dikembangkan oleh guru dengan mengacu pada silabus yang telah dibuat oleh pusat. Dalam RPP bisa ditemukan informasi utama tentang pendekatan dan strategi pembelajaran yang akan digunakan oleh guru.

Jika RPP yang dihasilkan oleh guru memang merepresentasikan scientific aproach sebagi pendekatan utama dalam kurikulum 2013 maka RPP tersebut harus memenuhi syarat scientific aproach. Proses pembelajaran dengan pendekatan saintifik bercirikan penonjolan pada dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Sehubungan dengan itu, beberapa ciri pendekatan saintifik dalam pembelajaran diantaranya adalah: 1. Materi pembelajaran berbasis pada fakta, gejala, atau peristiwa yang dapat

diamati secara langsung atau pun tidak langsung dan dapat dijelaskan dengan

Page 147: Proceeding jilid 2

558

logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.

2. Materi pembelajaran juga mengandung konsep dan teori yang dapat dipertanggung-jawabkan.

3. Penjelasan guru dan respon siswa terjadi secara obyektif dan logis serta bebas dari prasangka.

4. Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analitis, obyektif, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan menerapkan materi pembelajaran.

5. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan hubungan satu dengan yang lain dari materi pembelajaran.

6. Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran.

7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.

8. Proses pembelajaran menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara seimbang dan terpadu.

9. Hasil akhir pembelajaran adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari siswa yang meliputi aspek kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan sehingga bisa menjadi siswa yang produktif, kreatif, dan inovatif.

Tabel 2.1: Kegiatan Siswa dalam Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik

No Langkah-langkah pendekatan saintifik Kegiatan belajar

1. Mengamati (Observing)

Melihat gambar/video, persitiwa/kejadian, benda nyata.

Mendengar cerita, berita. Membaca naskah, buku, berita. Mencium bau. Meraba suhu Mencicipi rasa.

2. Menanya (Questioning)

Mengungkapkan ciri-ciri atau karakteristik obyek dari hasil pengamatan

Menanyakan sesuatu dari hasil pengamatan

Berdialog saling tanya jawab Melakukan perenungan Mengidentifikasi permasalahan Memberikan tanggapan

3. Menalar (Associating) Mencari sebab akibat Menganalisis masalah

Page 148: Proceeding jilid 2

559

Mencari perbedaan dan persamaan Mencari hubungan Menganalisis kelebihan dan kekurangan

Menganalisis kekuatan dan kelemahan Membuat dugaan Membuat kesimpulan

4. Mencipta Membuat dugaan/hipotesis/konjektur Merancang langkah percobaan Membuat alat untuk percobaan

5. Mencoba (Experimenting)

Melakukan simulasi Menjalankan peran Melakukan uji coba Membuat rancangan Melaksanakan rencana Melakukan pengukuran Menguji hipotesis

6. Menyaji Mengkomunikasikan Memperagakan Memaparkan Melaporkan

Sumber : (Kemendikbud, 2013) Selain memenuhi unsur scientific approach tentunya RPP sebagai perangkat pembelajaran harus memenuhi syarat perangkat yang baik. Rencana pembelajaran adalah keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar serta pengembangan sistem penyampaiannya untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan belajar. Rencana pembelajaran meliputi pengembangan paket pembelajaran, kegiatan pembelajaran, uji coba dan revisi paket pembelajaran, dan kegiatan evaluasi program dan hasil belajar (Gafur, 2007: 7). Ada beberapa prinsip yang harus dipegang ketika merencanakan pembelajaran. Brigss menyatakan bahwa desain pembelajaran dikembangkan atas dasar tesis pengajaran dapat didesain secara lebih sistematis berbeda dengan cara-cara tradisional (Ghafur, 2007: 9).

Hal itu berarti tujuan pembelajaran, materi, metode, dan teknik evaluasi dapat didesain sedemikian rupa sehingga masing-masing komponen satu sama lain saling berpengaruh dalam meningkatkan proses pembelajaran. Bertitik tolak dari hal itu, komponen-komponen pembelajaran harus relevan, konsisten, dan selaras. Merril (1978: 1) menyatakan bahwa pengembangan pembelajaran harus didasarkan pada asumsi-asumsi:

a. Hasil pembelajaran dapat dirumuskan secara operasional sehingga dapat diamati dan diukur.

b. Tercapainya tujuan pembelajaran dapat diukur dengan menggunakan instrumen yang disebut acuan patokan (Criterion Referenced Test) yaitu tes yang didasarkan atas kriteria atau patokan tertentu (dalam hal ini adalah tujuan pembelajaran khusus) sehingga dapat dibedakan

Page 149: Proceeding jilid 2

560

antara siswa yang mencapai hasil yang diharapkan dengan siswa yang tidak dapat mencapai hasil yang diharapkan.

c. Untuk menjamin efektivitas proses pembelajaran paket pembelajaran yang digunakan harus memenuhi status valid.

Desain pembelajaran dikembangkan berdasarkan teori sistem. Penerapan teori sistem dalam pengembangan rencana pembelajaran adalah dikembangkannya komponen-komponen pengajaran secara sistematis dan terintegrasi. Komponen-komponen yang terlibat dalam pengajaran, adalah tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode, alat, dan evaluasi. Dalam pembelajaran di Indonesia prinsip-prinsip tersebut dituangkan di Permendiknas Nomor 41 tahun 2007.

Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 menyatakan: (1) RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai KD; (2) setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik; (3) RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan; dan (4) komponen RPP meliputi:

i. Identitas Matapelajaran Identitas matapelajaran, meliputi: satuan pendidikan, kelas, semester, program/program keahlian, matapelajaran atau tema pelajaran, jumlah pertemuan.

ii. Standar Kompetensi Standar kompetensi merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap kelas dan/atau semester pada suatu matapelajaran.

iii. Kompetensi Dasar Kompetensi dasar adalah sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik dalam matapelajaran tertentu sebagai rujukan penyusunan indikator kompetensi dalam suatu pelajaran.

iv. Indikator Pencapaian Kompetensi Indikator kompetensi adalah perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian matapelajaran. Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

v. Tujuan Pembelajaran Tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar.

vi. Materi Ajar

Page 150: Proceeding jilid 2

561

Materi ajar memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi.

vii. Alokasi Waktu Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan beban belajar.

viii. Metode Pembelajaran Metode pembelajaran digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemilihan metode pembelajaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik, serta karakteristik dari setiap indikator dan kompetensi yang hendak dicapai pada setiap matapelajaran.

ix. Kegiatan Pembelajaran Pendahuluan

Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.

Inti Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk

mencapai KD. Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.

Penutup Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut.

x. Penilaian Hasil Belajar Prosedur dan instrumen penilaian proses dan hasil belajar disesuaikan dengan indikator pencapaian kompetensi dan mengacu kepada Standar Penilaian.

xi. Sumber belajar Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.

Seorang guru dalam menyusun RPP harus memperhatikan prinsip-prinsip Penyusunan RPP berikut ini:

a. Memperhatikan Perbedaan Individu Peserta Didik RPP disusun dengan memperhatikan perbedaan jenis kelamin, kemampuan awal, tingkat intelektual, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus,

Page 151: Proceeding jilid 2

562

kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik.

b. Mendorong Partisipasi Aktif Peserta Didik Proses pembelajaran dirancang dengan berpusat pada peserta didik untuk mendorong motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, dan semangat belajar.

c. Mengembangkan Budaya Membaca dan Menulis Proses pembelajaran dirancang untuk mengembangkan kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan, dan berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan.

d. Memberikan Umpan Balik dan Tindak Lanjut RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan remidi.

e. Keterkaitan dan Keterpaduan RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar. RPP disusun dengan mengakomodasikan pembelajaran tematik, keterpaduan lintas matapelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya.

f. Menerapkan Teknologi Informasi dan Komunikasi RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegrasi, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.

Setelah melalui proses pengambilan data yang dilakukan dengan teknik dokumentasi selanjutnya tujuh RPP bertema pahlawanku dengan sub tema perjuangan para pahlawan, yang berasal dari SDN Kawedanan 2, SDN Krowe, SDN Milangasri, SDN Rejosari, SDN Sukowinangun, SDN Baron dan SDN Magetan 3 dibandingkan dengan teknik triangulasi sumber. Dari hasil triangulasi diperolah fakta bahwa dari tujuh RPP tersebut mengambil pola yang mirip. Ditemukan bahwa scientific Aproach belum sepenuhnya muncul terutama pada tataran menanya, menalar dan mencipta. Hal ini karena pada tataran tersebut ternyata guru yang melakukan kegiatan menanya sehingga siswa justru hanya menjawab pertanyaan. Akibatnya pola menalar untuk mencari hubungan kausal, menganalisis masalah dari segi kreativitas siswa, mencari persamaan dan perbedaan sulit terwujud. Tentu saja hal ini berimbas pada kemampuan mencipta hipotesis dari siswa kurang.

Kesimpulan yang bisa diambil dari analisis data dan temuan di lapangan adalah bahwa scientific approach sebagai roh dari kurikulum 2013 belum sepenuhnya terimplemantasikan dalam RPP yang dihasilkan oleh guru. Untuk itu perlu dikembangkan buku petunjuk pengembangan RPP yang representatif.

Page 152: Proceeding jilid 2

563

DAFTAR RUJUKAN Arikunto, S. (2012). Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktik. Jakarta:

Rineka Cipta. Gafur, A. (2007). Bahan Diklat Profesi Guru Sertifikasi Guru Rayon II DIY Jateng.

Buku B 2.4. Pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Yogyakarta: LPMP.

Hamalik, O. (2005). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Hidayat, S. (2013). Pengembangan Kurikulum Baru. Bandung: Rosda. Majid, A. (2008). Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar

Kompetensi Guru. Bandung: Rosda. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Online). (http://kemdikbud.go.id, diakses 12 September 2013).

Peraturan Menteri Pendidikan Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (Online). (http://kemdikbud.go.id, diakses 12 September 2013).

Sa’ud, S. (2008). Inovasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sudjana, N., dan Ibrahim. (2004). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung:

Sinar Baru Algesindo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional. 2006. Bandung: Fokus Media.

Page 153: Proceeding jilid 2

564

KEMAHIRAN MENAAKUL DALAM PENULISAN REFLEKSI PENGAJARAN

PELAJAR PRAKTIKUM

Idrus Saaidy Bin Maarof & Badrul Hisham Bin Mokhtar Institut Pendidikan Guru Kampus Tawau, Sabah, Malaysia

E-mail: [email protected] Abstrak Kajian ini dilaksanakan bagi mengenalpasti kebolehan membuat taakulan serta kemahiran membuat refleksi pelajar Institut Pendidikan Guru Malaysia (IPGM) semasa menjalani praktikum atau Amalan Profesional. Aspek yang dikenalpasti adalah kemahiran pelajar membuat taakulan terhadap pernyataan mereka tentang sesi pengajaran serta mengaitkannya dengan teori berkaitan amalan pedagogi di dalam kelas. Kajian secara kualitatif ini melibatkan lima orang pelajar PISMP opsyen Pendidikan Pemulihan yang diselia oleh pengkaji dalam dua fasa praktikum. Pelajar telah dibimbing tentang gaya penulisan refleksi yang dikehendaki, dan hasil penulisan refleksi ini telah dijadikan sebagai dokumen kajian, di samping temu bual separa berstruktur bagi mendapatkan kepastian bahawa pelajar benar-benar mengamalkan pemikiran reflektif dalam amalan mereka sebagai guru. Analisis terhadap dokumen serta temu bual yang dijalankan menunjukkan pelajar yang dibimbing dalam praktikum dapat mengaitkan teori pedagogi dengan amalan mereka dalam bilik darjah, serta menunjukkan pemikiran reflektif dalam usaha menambahbaik amalan profesionalisme keguruan mereka. Kata kunci: Rancangan Pengajaran Harian (RPH), Penulisan refleksi, Pemikiran reflektif, Kemahiran menaakul, Praktikum.

PENGENALAN

Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PISMP) adalah bertujuan melatih dan menyediakan guru-guru terlatih untuk mengajar di sekolah-sekolah rendah milik kerajaan atau dikenali sebagai Sekolah Kebangsaan. Bakal-bakal guru ini dilatih di Institut Pendidikan Guru (IPG) yang terdapat di 27 cawangan IPG di seluruh Malaysia. Bakal guru di IPG ini melalui proses pembelajaran tentang teori pengajarandan pembelajaran di kelas dan didedahkan juga dengan pengalaman di sekolah melalui latihan mengajar yang dikenali sebagai Praktikum atau Amalan Profesional, selama dua puluh empat minggu yang dipecahkan kepada tiga fasa.

Melalui latihan praktikum ini, pelajar perlu menyediakan Rancangan Pengajaran Harian (RPH) untuk setiap waktu pengajaran mengikut jadual yang diberikan. Setiap kali selesai mengajar, pelajar juga perlu membuat catatan refleksi berkaitan pengajaran yang dilaksanakan tersebut. Penulisan refleksi ini membolehkan pelajar merenung kembali apa yang berlaku sepanjang proses pengajaran dan pembelajaran, dan secara reflektifnya mereka akan menemukan kekuatan dan kelemahan pengajaran tersebut, serta merancang penambahbaikan bagi pengajaran yang akan datang.

Page 154: Proceeding jilid 2

565

Penulisan refleksi memerlukan pelajar berfikiran reflektif bagi merenung kembali pengalaman pengajaran dan pembelajaran secara sedar dan membuat penaakulan. Menurut Kamus Dewan Bahasa (2010) menaakul adalah membuat pertimbangan yang logik. Secara umumnya, kemahiran menaakul adalah penggunaan pemikiran logik untuk memahami sesuatu situasi atau idea.

Kebolehan menaakul adalah proses kemahiran berfikir peringkat tinggi. Kemahiran berfikir adalah kecekapan menggunakan akal dalam menjalankan proses pemikiran. Seseorang yang memperoleh kemahiran berfikir cekap dalam menyusun maklumat, konsep atau idea secara yang teratur dan membuat kesimpulan atau keputusan yang tepat untuk tindakan yang terarah dan sewajarnya (Maridah, 2012).

Menurut Terry & Higgs (1993) penaakulan merupakan proses kognitif sebab musabab terjadinya sesuatu berdasarkan fakta atau pengetahuan, data dan strategi menyelesaikan masalah untuk menghasilkan kesimpulan serta membuat keputusan. Mobley (2010) merumuskan kemahiran menaakul sebagai kebolehan menganalisis maklumat dan menyelesaikan masalah secara literal. Ia juga melibatkan pengetahuan asas tentang aspek dalam kehidupan harian yang perlu difahami oleh individu melalui logik akal sebab sesuatu tindakan berlaku dan impaknya kepada kehidupan.

Penulisan refleksi bukanlah sekadar pernyataan-pernyataan tentang perasaan pelajar berkaitan pengalaman pengajaran dan pembelajaran. Seringkali ditemukan refleksi pelajar berupa pernyataan sedemikian, seperti berikut:

Contoh 1 “Saya berasa gembira dengan sesi pengajaran dan pembelajaran hari ini kerana murid-murid dapat melakukan aktiviti sebagamana yang dirancang dan kawalan kelas menjadi begitu mudah….”. Contoh 2 “Saya berpuashati dengan pengajaran hari ini kerana objektif tercapai dan selesai dalam masa yang ditetapkan. Murid-murid juga dapat menyebut...” Contoh 3 “Secara keseluruhannya sesi pengajaran dan pembelajaran berjalan dengan lancar, tetapi ada sedikit kelemahan yang seringkali berulang, iaitu murid-murid tidak mahu mengikut arahan, dan sering bergaduh atau mengganggu rakan yang lain. Saya telah mengambil tindakan….”

Pernyataan-pernyataan seperti di atas tidak mengandungi taakulan

terhadap apa yang berlaku dan tidak menggambarkan pemikiran reflektif pelajar secara akademik. Pelajar sepatutnya dapat mengaitkan apa yang berlaku dengan sebab musabab yang menjadikan pengajarannya berjaya, objektif tercapai, atau sebaliknya. Bagi mengukuhkan lagi taakulan tersebut, pelajar juga perlu mengaitkan amalan pengajaran dalam bilik darjah dengan teori-teori pengajaran dan pembelajaran yang relevan.

Page 155: Proceeding jilid 2

566

PERNYATAAN MASALAH Setiap kali menyelia pelajar praktikum, pengkaji mendapati tidak seorang

pelajar pun dapat menulis refleksi pengajaran dengan penuh taakulan dan bersifat akademik. Sebelum pelajar menjalani praktikum, mereka telah didedahkan dengan teknik penulisan refleksi pengajaran, samada dalam kuliah ataupun semasa perjumpaan dengan pengkaji yang ditugaskan untuk menyelia mereka. Namun, dalam lawatan pertama pengkaji mendapati pelajar hanya menulis refleksi dalam kadar separuh muka surat atau kurang dari itu dan hanya membuat pernyataan tentang perasaan, kesulitan menyediakan RPH atau aktiviti, dan masalah-masalah lain berkaitan tingkah laku, penguruan masa dan sebagainya. Pengkaji juga mendapati pelajar sering mengeluh tentang penulisan refleksi, malah ada pelajar yang tidak membuat penulisan refleksi bagi beberapa sesi pengajaran. Penulisan refleksi menjadi sukar dan membingungkan jika pelajar tidak jelas tentang apa yang sepatutnya mereka tulis dan luahkan selepas sesi pengajaran. Bimbingan pensyarah penyelia akan membantu mereka menghasilkan penulisan refleksi yang baik dan bermakna kepada mereka.

Di sinilah pentingnya peranan kemahiran berfikir dalam menyelesaikan masalah tersebut. Kemahiran berfikir perlu dikuasai oleh semua pelajar. Pelajar-pelajar seharusnya boleh berfikir secara proaktif, konstruktif, sistematik, pragmatik dan berfikiran positif. Melalui perbincangan dan bimbingan klinikal selepas sesuatu sesi pengajaran, pelajar saya diharapkan mampu menulis refleksi pengajaran dengan baik, dan tidak lagi menjadi kesulitan kepada mereka. Malah sebaliknya mereka akan suka menulis refleksi sedemikian dan menjadi amalan apabila mereka keluar menjadi guru terlatih.

OBJEKTIF KAJIAN

Matlamat kajian ini ialah untuk melihat kemampuan pelajar menghasilkan penulisan refleksi pengajaran tanpa sebarang masalah. Antara objektif kajian ini ialah untuk :

3.1 Mengenalpasti kemahiran menaakul pelajar praktikum dalam menulis refleksi pengajaran.

3.2 Mengenalpasti kemahiran pelajar praktikum mengaitkan teori pengajaran dan pembelajaran dalam penulisan reflektif.

3.3 Mengenalpasti penerimaan pelajar praktikum terhadap amalanpenulisan refleksi pengajaran.

SOALAN KAJIAN Kajian ini cuba menjawab soalan-soalan berikut: 4.1 Bagaimanakah amalan kemahiran menaakul pelajar praktikum dalam

penulisan refleksi pengajaran? 4.2 Adakah pelajar praktikum dapat mengaitkan teori pengajaran dan

pembelajaran dalam penulisan reflektif? 4.3 Apakah penerimaan pelajar praktikum terhadap amalan penulisan refleksi

pengajaran?

Page 156: Proceeding jilid 2

567

KEPENTINGAN KAJIAN Penguasaan kemahiran menaakul dalam kalangan murid akan membantu

hasrat negara melahirkan modal insan yang berkeupayaan berfikir secara kritis, kreatif dan inovatif. Kemahiran menaakul telah diberi penekanan dalam Kurikulum Standard Sekolah Rendah (KSSR) bermula Tahun 1 pada tahun 2011 disamping kemahiran membaca, menulis dan mengira (4M). Kemahiran menaakul adalah salah satu kemahiran yang penting pada abad ke 21. Kemahiran menaakul membolehkan murid memberi sebab dan akibat serta menyatakan rasional yang logik bagi menyelesaikan sesuatu masalah. Ianya dapat membantu murid untuk memahami proses pembelajaran. Selain itu, ia dapat membantu murid membezakan yang baik dan yang buruk dan memahami sebab dan akibat.

Sebagai bakal guru yang akan melaksanakan KSSR, pelajar-pelajar IPG perlu terlebih dahulu menguasai kemahiran menaakul dan menjadi amalan dalam melaksanakan tugas serta kehidupan. Maka kajian ini perlu dilaksanakan bagi mengesan masalah menaakul dalam kalangan pelajar IPG dan seterusnya memberi bimbingan bagi mengatasi kekurangan tersebut dalam kalangan pelajar IPG yang menjalani praktikum, yang merupakan medan sebenar mereka di sekolah nanti. METODOLOGI KAJIAN

Kajian ini bertujuan melihat kemampuan pelajar peringkat tinggi menaakul dan mengenalpasti kelemahan mereka dalam membuat penaakulan semasa menulis refleksi pengajaran. Pengkaji berada bersama-sama di sekolah tempat responden menjalankan praktikum dan melihat secara terus perkembangan kemahiran menaakul mereka yang diselia. Pengkaji sendiri menjadi instrumen utama dengan menempatkan diri secara aktif dalam kerja lapangan sebenar. Fenomena kajian diteroka dengan melakukan pengkajian terhadap penulisan refleksi responden pada Buku Rancangan Pengajaran Harian (RPH) dan diikuti dengan temu bual separa berstruktur terhadap pelajar PISMP opsyen Pemulihan yang diselia oleh pengkaji dalam dua fasa praktikum sama ada Fasa 1, Fasa 2 atau Fasa 3. Penggunaan perakam audio-visual digunakan bagi mengelakkan keciciran data-data penting. Seramai tiga pelajar lelaki dan dua pelajar perempuan telah diselia dan dijadikan subjek pemerhatian dalam kajian ini. Pelajar-pelajar ini dikodkan sebagai Pelajar A (PA), Pelajar B (PB), Pelajar C (PC), Pelajar D (PD), dan Pelajar E (PE). PROSEDUR ANALISIS DATA

Penulisan refleksi pengajaran dan pembelajaran oleh responden dilakukan setelah sesi pengajaran dan pembelajaran selesai. Catatan kekuatan, kelemahan dan cadangan tindakan susulan yang perlu dilakukan oleh pengkaji dalam sesi pengajaran berikutnya, dianalisis dengan membuat pembacaan awal secara menyeluruh bagi mendapatkan gambaran awal keseluruhan tentang hasil amalan reflektif setiap responden. Pengkaji mengekod, mengkategori dan menentukan tema-tema utama yang menunjukkan perkembangan kemahiran menaakul dalam kalangan responden. Proses ini dilakukan oleh pengkaji pada setiap fasa praktikum yang dilalui.

Temu bual bersama responden dicatat dan dirakam oleh perakam audio-visual. Keseluruhan perbualan antara pengkaji dan responden ditranskripsi secara verbatim sebelum memulakan proses analisis. Pengkaji mengekod, mengkategori

Page 157: Proceeding jilid 2

568

dan menentukan tema-tema utama yang muncul dari temu bual separa berstruktur berkenaan. Ketiga-tiga dapatan dari ketiga-tiga fasa praktikum akan dibanding menggunakan jadual matriks perbandingan dan pada peringkat akhir, pengkaji membuat nota rumusan reflektif keseluruhan hasil penemuan yang diperoleh. Dapatan analisis penulisan reflektif responden akan dibandingkan sekali lagi dengan dapatan analisis data temu bual untuk rumusan keseluruhan.

PERBINCANGAN DAPATAN KAJIAN DAN CADANGAN Penguasaan pelajar praktikum terhadap kemahiran menaakul dalam penulisan refleksi pengajaran

Pada umumnya, pengkaji mendapati semua responden memahami dengan jelas tentang amalan penulisan reflektif yang baik setelah melalui tiga fasa praktikum. Responden dapat menunjukkan kemahiran menaakul dalam penulisan reflektif mereka setelah dibimbing oleh pengkaji semasa praktikum. PE: “…gambaran apa yang sebenarnya berlaku semasa kita mengajar. Sebab penulisan reflektif ini, kita ada menulis kekuatan, kelemahan dan juga penambahbaikan….bagi saya untuk pengajaran seterusnya kita sudah mampu mengatasi ataupun menambahbaik daripada pengajaran sebelum ini. …sebab dalam penulisan reflektif kita ada menulis kaedah atau cara bagaimana nak mengatasi masalah, contohnya murid bising…tidak memberi perhatian, jadi dengan kita memasukkan teori dan juga langkah-langkah untuk mengatasi masalah, jadi dengan itu ia membantu kita dan sebagai panduan kita untuk menambahbaik pengajaran yang seterusnya.”

PB : “…bila encik dah bimbing begitu, saya faham yang penulisan refleksi bukan kita hanya menulis apa yang kita laksanakan semasa PdP, aaa…kita kena tahu juga kenapa (seperti) objektif tidak tercapai, kenapa dan mengapa, supaya saya perlu tahu apa tindakan yang saya boleh ambil untuk saya perbaiki kelemahan yang saya buat sebelum ni.”

PA : “saya pun setuju dengan PB, aaa …macam menaakul tu lebih kurang macam kita dah belajar dalam kuliah, beberapa semester baru kita praktikum. …. Bila pergi praktikum kita mengajar …. Kita mengaplikasikan segala kemahiran, teori dan semuanya….jadi dalam penulisan refleksi tu, kita mula-mula tulis apa yang berlaku dalam kelas, kemudian kita tengok kekuatan kelemahan kita, dan penambahbaikan. …dalam menambahbaik kelemahan tu kita cuba aplikasikan apa yang kami belajar…apa cara untuk atasi kelemahan pada sesi P d P itu supaya tidak berlaku pada masa akan datang.”

PD : “….perlu, sebab bagi saya kemahiran menaakul adalah macam kemahiran membuat pertimbangan atau rasional. Di sini kita boleh melihat kembali apa kesilapan dan apa yang kita boleh buat untuk menambahbaik P d P kita...kalau tidak…macam perancangan tidak teratur …tidak ada strategi.”

PC : “…selalunya kita akan berfokus kepada kelemahan, …penaakulan kita aplikasikan dalam penambahbaikan.” Penguasaan pelajar praktikum mengaitkan teori dalam amalan penulisan reflektif

Pengumpulan data utama adalah melalui semakan dokumen, iaitu penulisan refleksi pengajaran dalam Buku RPH. Oleh kerana PA telah dibimbing dalam penyeliaan praktikum Fasa 1, maka pengkaji mendapati PA tidak bermasalah dalam penulisan refleksi pengajaran dalam praktikum Fasa 2. Pengkaji mendapati

Page 158: Proceeding jilid 2

569

PA telah benar-benar faham tentang kandungan penulisan refleksi dan ia biasanya menulis lebih daripada satu muka surat. PA juga sentiasa dapat mengaitkan teori dengan amalan dalam bilik darjah. Melalui temu bual juga pengkaji mendapati PA lebih selesa menulis refleksi praktikum mengikut teknik yang ditunjukkan kerana ia dapat mencatatkan maklumat secara teratur langkah demi langkah.

Temu bual separa berstruktur bersama PA yang diselia oleh pengkaji dalam Fasa 1 dan Fasa 2 praktikum, menunjukkan beliau sudah terbiasa menulis refleksi dengan penaakulan dan mengaitkan amalan pengajaran dan pembelajaran yang dilalui dalam bilik darjah dengan teori berkaitan di samping menekankan impaknya kepada perkembangan profesionalisme keguruan diri : PA: “…..pada permulaan Fasa ke-3 saya masih meneruskan apa yang encik ajar saya iaitu mengaitkan teori dan penaakulan, tapi memandangkan pensyarah lain pula yang membimbing saya, jadi saya terpaksa mengikut cara yang pensyarah saya yang itu tetapkan….pada peringkat awal, sebelum lecturer datang, saya masih menggunakan teori. Saya kaitkan segala kekuatan dan kelemahan, …masih ada penaakulan, cuma tidak dikaitkan dengan teori…”

Dapatan daripada temubual ini jelas menunjukkan pelajar berasa selesa dengan penulisan refleksi bersama penaakulan, cuma terpaksa untuk tidak mengaitkan teori dengan amalan dalam bilik darjah kerana pensyarah penyelia yang baharu memfokuskan penulisan refleksi berkaitan pedagogi guru sahaja. PC: “Semasa praktikum 2, saya memang menerapkan teori dalam penulisan refleksi…di bawah seliaan encik, tapi praktikum 3 pun saya dengan PA…, pada peringkat awalnya saya masih terbawa-bawalah benda tu, sebab benda tu benda yang bagus untuk pemikiran reflektif saya….dengan secara tak langsungnya dapat praktikkan baliklah apa yang kami belajar….tapi di atas permintaan pensyarah praktikum 3, saya terpaksa mengikut (cara) dial lah, cuma ada juga sesetengah refleksi saya masukkan juga sebab benda tu tidak menjadi masalah juga pun…”

PE: “…teori sangat perlu….sejujurnya praktikum 1 dan praktikum 2 saya tidak tahu benda ni, tidak adapun teori dalam penulisan refleksi. Jadi setelah ditegur (bimbingan oleh pengkaji) dalam praktikum 3, saya fikir teori ni (bagus) sebab kita mengaplikasikan apa yang dipelajari di bilik kuliah…. “

PD : “…praktikum 1 dan 2 sama seperti PE…lain pensyarah lain caranya. Hanya menyatakan objektif tercapai, dan kenapa. Jadi, tidak juga mahu masukkan teori. Selepas yang fasa ke-3 ni , bagi saya teori ni perlu dimasukkan …penulisan reflektif ni adalah suatu penulisan ilmiah..jadi ia perlu ada satu sokongan, dan sebenarnya ia banyak membantu la…refresh balik apa yang saya pelajari.” Penerimaan Responden Terhadap Amalan Penulisan Reflektif

Kesemua responden bersetuju bahawa amalan penulisan reflektif perlu dilakukan oleh mereka setelah selesai sesi pengajaran dan pembelajaran dan tidak mengganggap ia sebagai beban kerja : PD : “bagi saya tidak menjadi masalah la…sebab bagi saya melaksanakan satu P d P tu macam saya hanya menulis balik apa yang saya telah aplikasikan…jadi tidak menjadi suatu masalah.” (PA, PB, PC dan PE mengganggukkan kepala tanda bersetuju dengan kenyataan PD)

Page 159: Proceeding jilid 2

570

Selain itu, pengkaji mendapati aspek epistemologi dan kemahiran menaakul pelajar dalam menulis refleksi pengajaran hendaklah dilaksanakan dalam dua fasa latihan utama iaitu, Fasa teori dan Fasa Amali beserta contoh penulisan refleksi yang baik dalam memenuhi spesifikasi yang ditentukan oleh Unit Praktikum, Institut Pendidikan Guru Malaysia.

Penerokaan terhadap amalan menaakul dalam penulisan refleksi menjadi satu elemen yang perlu diberi penekanan dalam sistem pentaksiran di Unit Praktikum Institut Pendidikan Guru Malaysia. Ia perlu dinyatakan secara jelas dalam pentaksiran praktikum serta wajaran markah yang diberikan hendaklah memberikan gambaran bahawa seseorang guru itu perlu menguasai kemahiran menaakul dengan baik bagi menghasilkan penulisan reflektif yang berkualiti. Cadangan Kajian Lanjutan

Beberapa cadangan yang praktikal untuk dilaksanakan oleh pengkaji-pengkaji lain bagi meneroka, merungkai dan menambahbaik amalan penulisan reflektif semasa praktikum dalam kalangan pelajar Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan di Institut Pendidikan Guru Kampus Tawau khususnya dan di Institut Pendidikan Guru Malaysia amnya; antara cadangan :

9.5.1 Kajian terhadap kemahiran menaakul dalam penulisan reflektif perlu dilakukan seawal praktikum pertama lagi. Dapatan kajian ini akan memudahkan para pensyarah mengesan kekuatan dan kelemaan pelajar serta membuat tindakan penambahbaikan berkesan lebih awal.

9.5.2 Penyelidik-penyelidik lain boleh menggunakan reka bentuk kuantitatif dalam kajian mereka terhadap isu kemahiran menaakul dalam penulisan reflektif melibatkan sampel yang lebih ramai dari pelbagai kursus yang ditawarkan.

RUMUSAN

Penulisan refleksi pengajaran bukanlah sesuatu yang sukar, malahan ia adalah rutin yang sepatutnya menjadi amalan pelajar dan guru. Melalui proses menaakul dan refleksi, guru akan dapat meningkatkan kualiti pengajarannya dan pembelajaran murid. Dengan pemahaman yang baik tentang refleksi serta mempunyai kemahiran berfikir secara reflektif membolehkan guru menulis refleksi pengajaran dengan bermakna bagi menilai pengajaran mereka dan membantu pembelajaran murid. DAFTAR RUJUKAN Kementerian Pelajaran Malaysia (2012). Buku Panduan Kemahiran Menaakul

KSSR. Putrajaya: Bahagian Pembangunan Kurikulum. Maridah Alias (2012). Memperkasakan Pengajaran dan Pembelajaran Alaf Ke-21

Melalui Model Rakan Pemikir. Jabatan Pengajian Melayu Institut Pendidikan Guru Kampus Raja Melewar Seremban.

Mobley, W.C.. (2010). Role Of Basic Science In Clinical Reasoning Education. AACP Meeting and Seminar, 10-14 Julai.

Sidang Editor (2010). Kamus Dewan: Edisi Keempat. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Terry, W. & Higgs, J. (1993). Educational Programmes To Develop Clinical Reasoning Skills. Australian Journal & Physiotheraphy, 39, 47-51.

Page 160: Proceeding jilid 2

571

PENGGUNAAN SOALAN HOTS DALAM KALANGAN PENSYARAH

Ismail Hj Raduan & Ramesh Rao Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur

E-mail: [email protected] Abstrak Kajian ini bertujuan untuk melihat tahap penggunaan soalan yang mempunyai elemen kemahiran berfikir aras tinggi (KBAT atau HOTs) semasa menjalankan proses pembelajaran dan pengajaran (PdP) dalam kalangan pensyarah di Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur (IPGKIK). Kajian tinjauan ini menggunakan soal selidik berskala lima mengandungi tiga konstruk. Data ini dianalisis secara deskriptif. Sampel terdiri daripada 119 orang pensyarah (lelaki 37% dan perempuan 73%) daripada pelbagai jabatan. Dapatan menunjukkan bahawa kefahaman pensyarah tentang penggunaan soalan HOTs semasa proses PdP berlangsung di bilik darjah berada pada tahap yang tinggi (min=4.06, SP=0.54). Sementara itu, pengetahuan pensyarah terhadap faktor yang menentukan soalan HOTs semasa PdP (min=3.38, SP=0.49) dan tujuan menggunakan soalan HOTs semasa proses PdP berlangsung di bilik darjah (min=3.64, SP=0.48) berada pada tahap sederhana tinggi. Secara keseluruhannya pensyarah di IPGKIK berada pada tahap sederhana tinggi (min=3.68, SP=0.38) dalam penggunaan soalan HOTs semasa PdP berlangsung. Semasa melaksanakan HOTs, tidak ada perbezaan antara jantina (min lelaki= 0.38, min perempuan=0.36 pada t=0.025 < 0.05, df=73). Ini juga dapat dilihat daripada perbezaan yang kecil iaitu 0.20 antara lelaki dan perempuan. Kata kunci: elemen kemahiran berfikir aras tinggi, HOTs, penggunaan soalan HOTs PENGENALAN

Salah satu kemahiran yang perlu dimiliki oleh setiap pelajar di abad ke 21 ialah kemahiran berfikir aras tinggi (KBAT). Dalam konteks pengajaran dan pembelajaran (PdP), KBAT harus diamalkan di semua peringkat. Sebagai contoh The Council of Chief State School Officers dan National Governors Association melalui dokumen In the Introduction to the Common Core Standards for English/Language Arts (2010) , berpendapat pelajar dari pra-sekolah sehingga sekolah menengah harus berupaya menunjukkan KBAT.

Apabila menggubal kurikulum, aspek KBAT dijadikan objektif utama dalam membantu melahirkan pelajar untuk menghadapi dunia pekerjaannya (Snyder & Snyder, 2008). Appelby (2001) berpendapat KBAT ini akan membantu dalam melahirkan individu yang akan mengamalkan pembelajaran sepanjang hayat. Beliau juga menyarankan usaha-usaha ini perlu dinyatakan dengan jelas dalam kurikulum pendidikan tinggi. Pelajar di institusi pengajian tinggi harus diberi peluang mengalami keadaan PdP yang mempunyai unsur-unsur KBAT. Tetapi malangnya, usaha mengajar kemahiran berfikir pada pelajar institusi tinggi terutamanya guru pelatih kurang berjaya (Coffman, 2013). Antara faktor yang

Page 161: Proceeding jilid 2

572

menyumbang kepada situasi ini ialah, sebelum mengikuti program perguruan, pelajar pelatih telah pun membuat beberapa andaian mengenai PdP. Kebanyakan andaian ini dibuat hasil pengamatan terhadap guru-guru yang telah mengajar mereka (Lortie, 2002). Pegangan yang diikuti pelajar juga secara tidak langusng menjejaskan usaha melahirkan pelajar yang boleh mengajar dengan menggunakan KBAT (Webb, 2005). Menukar atau mengubah pegangan dan pendirian boleh dilakukan dengan mendedahkan mereka kepada PdP yang menggunakan KBAT sebagai satu strategi PdP (Stuart & Thurlow, 2000). Dengan lain perkataan, pensyarah yang melatih pelajar ini memainkan peranan penting dalam usaha melahirkan pelajar yang mampu mengajar KBAT.

Menyedari tentang kepentingan peranan pensyarah semasa proses PdP, fokus kajian ini ialah untuk mengkaji tentang penggunaan soalan aras KBAT dalam kalangan pensyarah Institut Pendidikan Guru (IPG). Walaupun terdapat banyak kajian tentang penggunaan soalan KBAT dalam PdP, kajian-kajian itu berfokuskan kepada pelajar. Kelainan kajian ini boleh dilihat dari sampel yang terlibat dalam kajian ini. Sampel kajian ini adalah pensyarah IPG yang pernah berkhidmat sebagai guru di sekolah kerajaan di peringkat sekolah rendah dan sekolah. Selain daripada menggunakan soalan KBAT dalam PdP, pensyarah juga perlu menyedarkan tentang kepentingan dan sumbangan KBAT pada pelajar.

METODOLOGI

Kajian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan kajian tinjauan sebagai reka bentuknya. Data dipungut dengan menggunakan soal selidik lima skala (1-STS, 2-TS, 3-KS, 4-S, 5-SS) yang menjadi pilihan kepada sampel kajian. Soal selidik ini digunakan untuk mengukur tiga konstruk iaitu faktor yang menentukan soalan KBAT yang ditanya oleh guru, tujuan menggunakan soalan KBAT semasa proses PdP berlangsung di bilik darjah dan teknik penyoalan yag digunakan semasa memberi soalan KBAT. Sebanyak 35 item yang merangkumi tiga konstruk berkenaan ditadbirkan kepada sampel kajian.

Data dianalisis secara deskriptif dan inferen. Analisis deskriptif diperolehi berdasarkan nilai min, nilai peratus, dan sisihan piawai. Selain itu ujian-t juga digunakan untuk melihat perbezaan pengaruh berdasarkan jantina. Instrumen ini telah ditadbirkan ke atas pensyarah-pensyarah di Institut Pendidikan Guru Kampus ilmu Khas, Kuala Lumpur Penginterpretasian data min bagi setiap konstruk yang dianalisis akan dikategorikan mengikut tahap-tahap tertentu berdasarkan kepada Jadual 1.

Jadual 1 Interpretasi skor min

Skor Min Interpretasi 1.00 – 2.00 2.01 – 3.00 3.01 - 4.00 4.01 – 5.00

Tahap rendah Tahap sederhana rendah Tahap sederhana tinggi Tahap tinggi

Sumber: Alias Baba (1997)

Page 162: Proceeding jilid 2

573

KEPUTUSAN DAN DAPATAN Seramai 119 orang sampel terlibat dalam kajian ini yang mana 37% (44

orang) pensyarah lelaki dan 75%(75) pensyarah perempuan. Daripada bilangan ini, 54.6% (65 orang) mempunyai lebih empat tahun bertugas di IPG, 25.2%(30) berpengalaman tiga tahun, 3.4% (4 orang) berpengalaman dua tahun dan 16.8% (20) berpengalaman setahun. Sebanyak 29.4% (35) mempunyai pengalaman lebih 10 tahun di sekolah menengah dan 44.5 % (53) tidak pernah mengajar di sekolah rendah. Sebanyak 40.3 % (48) telah menghadiri kursus KBAT dan 57.1% (68) tidak pernah menghadirinya.

Jadual 2 Faktor yang menentukan soalan KBAT yang ditanya oleh guru

No Item Min sp 1 Mengemukakan soalan KBAT dalam semua kelas yang

diajar 4.32 0.72

2 Bertanya soalan KBAT untuk memotivasikan pelajar 4.22 0.75 3 Mengemukakan soalan KBAT untuk semua mata pelajaran

yang diajar 4.19 0.75

4 Menilai kefahaman pembelajaran murid berdasarkan pengajaran 4.19 0.86

5 Mengemukakan soalan KBAT dalam semua topik yang diajar dalam sesuatu matapelajaran 4.11 0.83

6 Bertanya soalan KBAT setiap kali masuk ke kelas 4.03 0.76 7 Aras soalan KBAT yang ditanya bergantung kepada kelas

yang diajar. 3.70 1.41

8 Aras soalan KBAT yang ditanya bergantung kepada tahap konsentrasasi murid 3.05 1.26

9 Bilangan soalan KBAT yang ditanya bergantung kepada tahap konsentrasasi murid. 3.03 1.22

10 Aras soalan KBAT yang ditanya bergantung kepada subjek yang ajar 2.78 1.53

11 Bilangan murid dalam kelas, mempengaruhi bilangan soalan KBAT yang ditanya 2.40 1.28

12 Bilangan murid dalam kelas, mempengaruhi aras soalan KBAT yang ditanya 2.18 1.32

13 Menggunakan soalan KBAT semasa mengajar mata pelajaran tertentu sahaja 1.93 1.15

Berdasarkan Jadual 2, sampel kajian akan mengemukakan soalan KBAT

dalam semua kelas yang diajar, dalam semua mata pelajaran yang diajar dan dalam semua topik yang diajar. Selain itu mereka juga mengemukakan soalan untuk memotivasikan pelajar dan menilai kefahaman pembelajaran murid pada setiap kali masuk ke kelas. Aras soalan KBAT yang ditanya bergantung kepada kelas yang diajar, tahap konsentrasasi murid, subjek yang diajar, bilangan soalan KBAT yang ditanya dan aras soalan KBAT yang ditanya.

Page 163: Proceeding jilid 2

574

Jadual 3 Tujuan menggunakan soalan KBAT semasa proses PdP berlangsung di bilik darjah

Item min sp 1 Menggunakan soalan KBAT untuk meningkatkan cara

pemikiran murid. 4.62 0.57

2 Mengunakan soalan KBAT untuk mendorong pelajar menanya soalan pada diri sendiri 4.44 0.71

3 Mengemukakan soalan KBAT untuk meningkatkan penglibatan murid dalam PdP 4.40 0.78

4 Menggunakan soalan KBAT untuk mendorong pelajar menggabungkan apa yang telah diajar 4.40 0.66

5 Mengajukan soalan KBAT untuk menarik minat pelajar terhadap topik yang diajar 4.32 0.71

6 Mengajukan soalan KBAT untuk menanam rasa ingin tahu terhadap pengajaran saya 4.29 0.80

7 Mengemukakan soalan KBAT untuk menguji tahap kefahaman murid 4.25 0.85

8 menggunakan soalan KBAT semasa pengajaran untuk tujuan meneguhkan pembelajaran murid. 4.24 0.76

9 Menggunakan soalan KBAT untuk menilai aktiviti dalam Pdp 4.13 0.81 10 Menggunakan soalan KBAT untuk membolehkan pelajar imbas

kembali terhadap topik yang diajar 4.06 0.90

11 Mengemukakan soalan KBAT untuk menilai pengajaran saya 4.02 0.98 12 Mengemukakan soalan KBAT untuk menarik perhatian murid 3.96 1.00 13 Mengemukakan soalan KBAT untuk mengekalkan konsentrasi

murid 3.66 1.04

14 Menggunakan soalan KBAT sebagai cara untuk menguruskan bilik darjah 3.38 1.16

15 Mengemukakan soalan KBAT untuk mendisplinkan pelajar 2.65 1.22

Berdasarkan kepada Jadual 3, penggunaan soalan KBAT akan memberi kesan kepada pensyarah dan juga pelajar. Di pihak pelajar, sampel akan menggunakan soalan KBAT untuk meningkatkan cara pemikiran semasa proses PdP berlangsung. Apabila proses PdP sedang berlangsung, sampel akan mendorong pelajarnya untuk menanya soalan pada diri sendiri melalui soalan-soalan yang dikemukakan oleh pensyarah. Selain daripada itu, sampel juga berusaha meningkatkan penglibatan pelajar dalam PdP dengan mengemukakan soalan agar pelajar dapat menggabungkan isi kandungan yang telah diajar, menguji tahap kefahaman dan meneguhkan pembelajaran pelajar. Di pihak pensyarah pula, sampel menggunakan soalan untuk menarik minat pelajar terhadap topik yang diajar dan menanam rasa ingin tahu terhadap pengajaran. Selain daripada itu, sampel juga akan menggunakan soalan untuk menilai aktiviti dalam PdP, mengimbas kembali isi kandungan yang diajar di samping menilai pengajaran guru.

Page 164: Proceeding jilid 2

575

Jadual 4 Teknik Menyoal soalan KBAT

No Item Min sp 1 Memberi masa yang cukup untuk menjawab soalan

KBAT yang dikemukakan. 4.44 0.58

2 Mengemukakan soalan KBAT secara umum kepada kelas, sebelum membenarkan pelajar menjawabnya 4.28 0.72

3 Mengajukan soalan KBAT secara spontan semasa PdP 4.09 0.78 4 Pelajar diberi peluang menjelaskan jawapan bagi soalan

KBAT jika jawapannya tidak sama dengan skema jawapan

3.85 1.16

5 Menyediakan senarai soalan KBAT yang digunakan semasa PdP 3.64 0.93

6 Menyediakan jawapan bagi soalan KBAT yang akan ditanya sebelum kelas bermula 3.27 1.25

7 Memilih pelajar sebelum mengemukakan soalan KBAT 2.07 1.12

Dalam Jadual 4, sampel akan memberikan masa yang secukupnya kepada murid untuk menjawab soalan KBAT yang dikemukakan. Semasa mengemukakan soalan KBAT, guru akan menyoal secara umum kepada kelas sebelum membenarkan pelajar menjawabnya. Selain daripada itu, sampel juga akan mengajukan soalan KBAT secara spontan semasa PdP berdasarkan topik yang diajar pada masa itu. Semasa menjawab soalan, pelajar diberi peluang menjelaskan jawapan yang diberikannya jika jawapannya itu tidak sama dengan skema jawapan. Semasa merancang PdP yang akan dijalankan pula, sampel akan menyediakan senarai soalan KBAT terlebih dahulu dan cuba menyediakan jawapan bagi soalan KBAT yang akan ditanya sebelum kelas bermula.

Jadual 5 Tahap pemahaman sampel terhadap konstruk No Konstruk Min SP Tahap 1 Faktor yang menentukan soalan KBAT

yang ditanya oleh guru

3.38 0.49 Sederhana tinggi

2 Tujuan menggunakan soalan KBAT semasa proses PdP berlangsung

4.06 0.54 Tinggi

3 Teknik penyoalan soalan KBAT 3.64 0.48 Sederhana tinggi

Keseluruhan 3.68 0.38 Sederhana tinggi

Page 165: Proceeding jilid 2

576

Berdasarkan kepada Jadual 5, sampel tahu tujuan menggunakan soalan KBAT semasa proses PdP berlangsung di bilik darjah berada pada tahap yang tinggi. Selain daripada itu, sampel juga tahu mengenai faktor yang menentukan soalan KBAT yang ditanya oleh guru dan teknik penyoalan soalan yang digunakan semasa memberi soalan berbentuk KBAT berada pada aras yang sederhana tinggi. Secara keseluruhannya pensyarah di IPGKIK berada pada tahap sederhana tinggi (min=3.68, SP=0.38). Dari segi perbandingan semasa melaksanakan KBAT, tidak ada perbezaan kefahaman antara jantina (min lelaki= 0.38, min perempuan=0.36 pada t=0.025 < 0.05, df=73). Ini juga dapat dilihat daripada perbezaan yang kecil iaitu 0.20 antara lelaki dan perempuan. PERBINCANGAN

Dalam kajian ini didapati bahawa penggunaan soalan KBAT semasa proses PdP berlangsung di bilik darjah pada tahap yang tinggi tetapi berada pada tahap yang sederhana tinggi pada menentukan kefahaman menentukan soalan KBAT yang ditanya dan teknik penyoalan yang digunakan semasa memberikan soalan KBAT kepada pelajar di dalam bilik darjah.

Semasa proses PdP berlangsung, pensyarah bertanggungjawab untuk menyediakan pelajarnya menjadi seorang pemikir yang bersifat kritikal. Pelajar ini bukan setakat mengingat fakta dan idea tetapi perlu melibatkan mereka dengan aktivti beraras tinggi dan menyerlahkan keupayaan yang dipunyainya. Salah satu aktiviti yang dijalankan adalah menyediakan soalan yang beraras kognitif tinggi. Soalan-soalan ini akan membolehkan pelajar menggunakan kemahiran berfikir aras tinggi semasa memahami dan menyelesaikan sesuatu masalah. Dengan menggunakan kemahiran ini, pelajar bukan hanya mengingat fakta sahaja tetapi berkeupayaan menggunakan pengetahuannya menyelesaikan masalah, menganalisis dan menilai masalah. Ini selari dengan dapatan oleh Timmins & Amy (1998). Selain daripada itu, soalan yang beraras tinggi juga akan membolehkan pelajar berupaya memahami sesuatu konsep dengan lebih mudah. Ini menyebabkan pelajar akan berfikir dan memahami sesuatu konsep atau soalan itu dengan lebih mendalam. Soalan-soalan yang beraras tinggi juga akan membantu kepada peningkatan kognitif dalam proses PdP (Gall, 1984, Arends ,1994) dan mengaplikasikan maklumat yang dipunyai dan digunakan untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan seharian. Dapatan dapat disimpulkan kepada tiga dapatan utama iaitu: a. Penyoalan adalah satu kemahiran penting yang perlu dikuasai oleh pensyarah dan pelajar. Penyoalan ini bergantung kepada aras soalan yang akan digunakan. Aras soalan KBAT yang ditanya bergantung kepada kelas yang diajar, tahap konsentrasi murid, subjek yang diajar dan bilangan soalan KBAT yang ditanya. Pensyarah juga perlu berupaya untuk menyesuaikan soalan yang ditanya dengan isu-isu semasa. b. Semasa memberikan soalan yang dibina kepada pelajarnya, pensyarah berkenaan perlu mengetahui tujuan utama soalan berkenaan diberikan. Dalam hal ini, soalan berkenaan perlu dijadikan petunjuk penting kepada aktiviti yang berlaku semasa PdP yang berlangsung. Selain daripada itu, soalan juga perlu berupaya

Page 166: Proceeding jilid 2

577

untuk menarik pelajar untuk menggunakan soalan KBAT semasa proses PdP berlangsung di bilik darjah. c. Semasa memberikan soalan kepada pelajarnya, strategi penyoalan adalah sangat penting. Guru perlu berupaya mempelbagaikan strategi ini melalui aktiviti penyoalan. Soalan yang dikemukakan perlu berupaya menarik minat pelajar mengikuti PdP sehingga tamat. Soalan yang diberikan boleh diterjemahkan melalui aktiviti berbentuk kuiz, perbincangan, percambahan idea, lakonan, simulasi, projek, lawatan dan sebagainya. Pensyarah juga boleh menggunakan pelbagai soalan bagi mengetahui tahap pencapaian dan kebolehan pelajarnya. Penyoalan boleh dilakukan dengan mempelbagaikan aras penyoalan berdasarkan Taksonomi Bloom yang berarah kepada aras aplikasi, analisis, sintesis dan mereka bentuk. Contohnya, guru boleh memulakan dengan memberikan soalan berdasarkan tayangan video, bercerita, bernasyid dan sebagainya dalam set induksinya. Secara tidak langsung aktiviti sebegini dapat menggalakkan penglibatan murid-murid dan meningkatkan motivasi untuk belajar.

Soalan yang diberikan mempunyai tujuan khusus dengan menggunakan strategi penyoalan yang terancang. Pelajar yang mempunyai aras kognitif yang berbeza perlu diberikan soalan yang sesuai dengan arasnya. Diberikan beberapa cara untuk menterjemahkan KBAT dalam proses PdP.

Mengajar pelajar tentang pemikiran aras tinggi melalui soalan beraras

tinggi dan strategi berfikir aras tinggi. Membantu pelajar memahami kekuatan pemikiran yang dipunyai oleh diri

sendiri dan cabaran yang dilaluinya. Mengajar dan menjelaskan konsep penyoalan berasaskan KBAT.

Pensyarah perlu membuat pelajar sendiri memahami ciri-ciri penting konsep penyoalan KBAT dan membezakannya daripada konsep kemahiran berfikir yang lain.

Menyatakan konsep utama dalam penyoalan. Walau pun KBAT melibatkan aras tertentu tetapi perlu juga menjelaskan sesuatu konsep yang konkrit dan abstrak.

Memberi soalan yang berupaya menggerakkan pemikiran daripada sesuatu yang konkrit kepada abstrak dan sebaliknya

Memastikan pensyarah dan pelajar menguasai konsep asas sebelum meneruskan konsep yang lebih kompleks. Mereka perlu memahami dan bukannya menghafal.

Sentiasa membuka ruang untuk perbincangan dalam kelompok secara berpandu

Guru dan ibu bapa memainkan peranan penting bagi menggalakkan pemikiran pelajar atau anak-anak mereka melalui perbincangan yang tidak formal.

Menggunakan soalan-soalan terbuka (open-ended questions) yang mempunyai jawapan lebih daripada satu jawapan.

Memberi rasa konfiden tanpa rasa takut apabila mendapati jawapannya yang diberikan salah

Page 167: Proceeding jilid 2

578

Mencuba bertanyakan melalui soalan yang mempunyai pelbagai aras Perlu memberi respon dengan memberi soalan tambahan berbentuk KBAT

untuk terus memberi peneguhan dalam proses berfikir Terus memberikan soalan yang berbentuk penyelesaian masalah.

DAFTAR RUJUKAN Appleby, D. (2001). The covert curriculum: The lifelong learning skills you can

learn in college. Eye on Psi Chi, 5, 28-31. Arends, R. (1994). Learning to teach. New York, NY: McGraw-Hill, Inc. Coffman, D. M. (2013). Thinking about Thinking: An Exploration of Preservice Teachers' Views about Higher Order Thinking Skills. University of Kansas, Kansas. Dewey, J. (1933). How we think: A restatement of the relation of reflective thinking to the educative process. Boston: D. C. Heath and Company. Ellis, K. (1993). Teacher questioning behavior and student learning: What

research says to teachers. (Paper presented at the 1993 Convention of the Western States Communication Association, Albuquerque, New Mexico). (ERIC Document Reproduction No. 359 572).

Gall, M. (1984). Synthesis of research on teachers' questioning. Educational

Leadership, 42, p. 40-47. Lortie, D. C. (2002). Schoolteacher : A Sociological Study. Chicago: Univ of

Chicago Press. Snyder, L., & Snyder, M. (2008). Teaching critical thinking and problem solving

skills. Delta Pi Epsilon Journal, 50, 90-99. Webb, M. (2005). Becoming a secondary-school teacher: The challenges of

making teacher identity formation a conscious, informed process. Issues in Educational Research, 15(2), 206-224.

Page 168: Proceeding jilid 2

579

INOVASI DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN

Janain Burut & Ramlee Mustapha

Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjung Malim, Perak, Malaysia E-mail: [email protected]

Abstrak Guru merupakan agen utama untuk mencapai kecemerlangan dalam pendidikan. Dalam konteks hari ini, suatu perubahan perlu dalam proses pengajaran dan pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif perlu dicerna ke arah kecemerlangan. Guru perlu membebaskan diri daripada pemikiraan lama yang membelenggu mereka seperti kaedah pengajaran ‘chalk and talk’ sudah tidak relevan lagi buat masa kini dan inovasi dalam pengajaran dan pembelajaran merupakan suatu pembaharuan kreatif dimana kaedah atau cara baru digunakan bagi seseorang guru untuk memastikan objektif pengajarannya tercapai. Pengajaran berasaskan masalah (PBL) adalah antara inovasi yang dilakukan terhadap pengajaran dan pembelajaran. Kejayaan sesuatu inovasi pengajaran dan pembelajaran bergantung kepada kreativiti guru, sokongan pentadbir dan alat-alat sokongan yang disediakan oleh sekolah seperti kemudahan komputer, internet dan lain-lain. Kata kunci: Inovasi, Pengajaran dan Pembelajaran PENGENALAN

Dalam proses pengajaran seseorang guru haruslah melakukan inovasi agar pelajar yang melalui pembelajaran tersebut dalam suasana yang menyeronokan. Noriati et al. (2009) menyatakan bahawa guru-guru tidak sepatutnya meneruskan pengajarannya sedangkan ada dalam kalangan muridnya yang didapati sudah hilang tumpuan. Halizah dan Samuel (2009) pula berpandangan bahawa guru seharusnya melaksanakan kaedah atau teknik yang baharu, efektif dan yang dapat merangsang minat murid. Kepelbagaian aktiviti bukan sekadar berupaya menarik minat murid bahkan juga boleh mewujudkan suatu situasi di mana murid tertunggu-tunggu untuk melihat aktiviti berikutnya. Esah (2003) menyatakan guru perlu cekap mengubahsuai pengajaran, prihatin terhadap keperluan pelajar dan jangan terikat dengan sesuatu keadaan atau bahan tertentu. Syed Ismail dan Ahmad Subki (2010) pula menyatakan bahawa guru yang kreatif dan inovatif dapat mencetuskan idea baharu dan dapat menterjemahkan kehendak dan matlamat kurikulum dengan menggunakan kaedah, pendekatan dan strategi pengajaran serta pembelajaran yang kreatif dan inovatif. APAKAH INOVASI DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN?

Perkataan inovasi berasal daripada perkataan latin ‘innovat’ yang bermaksud memperbaharui atau mengubah (Mckeown, 2014). Istilah inovasi diperkenalkan buat pertama kalinya oleh pakar ekonomi dan pemenang hadiah Nobel dari Austria yang bernama Joseph Schumpeter. Menurut Schumpeter, inovasi ialah komersialisasi terhadap semua kombinasi baru berdasarkan aplikasi

Page 169: Proceeding jilid 2

580

berikut: (a) Material dan komponen baru (teknologi), (b) Pengenalan proses baru (aplikasi), (c) Membuka pasaran baru (pasaran) dan (d) Memperkenalkan pembentukan organisasi baru (organisasi). Perubahan dan penerapan nilai tambah terhadap pelbagai produk dinamakan sebagai inovasi (Mohd.Azhar et al, 2006). Inovasi tidak bersifat statik tetapi beterusan dalam pemikiran tamadun manusia (Sufean, 2002: Mohd.Azhar et al, 2006).

Sejak dari zaman berzaman lagi manusia melakukan pelbagai inovasi dalam berbagai-bagai-bagai bidang kehidupan seperti bidang perundangan, pentadbiran negara, perdagangan, sains perubatan, kesenian, sastera, bahasa, pengangkutan dan termasuklah pendidikan. Manusia sentiasa melakukan inovasi demi inovasi untuk memperbaiki sistem kehidupan mereka.. Inovasi tidak terhad kepada komuniti saintifik, seni, kelompok profesional dan yang berpendidikan tinggi sahaja, istilah yang berasal daripada bahasa latin ‘innovare’ yang bererti ‘mengubah, memperbaharui itu berkait rapat dengan aktiviti mereka cipta sesuatu karya, peralatan, kemudahan, perisian, sistem atau idea. Inovasi sebenarnya boleh dilakukan sesiapa saja dengan syarat mereka berani mencuba dan melakukannya (Zaini Ujang, 2010). Perubahan dan penerapan nilai tambah terhadap pelbagai produk dinamakan sebagai inovasi (Mohd.Azhar et al, 2006). Di era baru yang serba canggih dan mencabar, invosi merupakan suatu kaedah untuk memberi nafas baru kepada sesuatu penciptaan seperti yang dinyatakan oleh Kinicki dan Williams (2003) iaitu inovasi adalah merupakan kaedah bagi mencari jalan untuk menghasilkan sesuatu penciptaan baru, produk baru atau perkhidmatan yang lebih baik serta sempurna. Kuratko dan Hodgetts (2008): Drucker (1986) menyatakan sesuatu inovasi boleh diilhamkan daripada perkara-perkara seperti peristiwa yang tidak dijangka, konsep berasaskan pengetahuan baru, perubahan ciri-ciri demografi dan perubahan dari segi proses keperluan. Sufean Hussin (2001) menyatakan inovasi bermaksud pembaharuan, modifikasi, atau membaiki idea, benda, ilmu dan ciptaan seni budaya tamadun dengan tujuan memenuhi fungsi-fungsi tertentu atau memenuhi cita rasa tertentu atau memenuhi pasaran tertentu. Dalam bidang pendidikan, inovasi yang dilakukan terhadap pengajaran dan pembelajaran adalah penciptaan, penambahbaikan atau pengubahsuaian yang dilakukan terhadap bahan bantu murid, kaedah penyampaian, persekitaran pengajaran pembelajaran atau tambah nilai pengajaran pembelajaran tanpa mengubah kurikulum asal bertujuan untuk menjadikan proses pengajaran dan pembelajaran menjadi lebih menarik, mengikut perkembangan teknologi semasa dan sesuai dengan pelajar di zaman ini yang serba canggih. Inovasi juga akan menjadikan sesuatu pengajaran dan pembelajaran memberi keseronokan dan pengalaman baru kepada pelajar. Daripada pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahawa secara mudah inovasi pengajaran dan pembelajaran boleh diterangkan sebagai: (i) Penghasilan bahan pengajaran dan pembelajaran yang baru, (ii) Berbentuk maujud dan mujarad, (iii) Berdasarkan proses penyusunan semula, (iv) Dengan menggunakan kurikulum yang sedia ada dan (v) Pengajaran menjadi unik, memudahkan dan bernilai. Kelly Dan Littman (2000) menggariskan elemen-elemen asas inovasi bagi apa jua organisasi iaitu:- (i) Bermula dengan kepekaan terhadap persekitaran, perkara yang digemari , menyusahkan dan dibenci, (ii) Meningkatkan keselesaan dan kualiti, (iii) Melalui permuafakatan dan perbincangan, (iv) Memerlukan lapan jenis manusia iaitu, jemaah tadbir berwawasan (visionaries), penentu masalah

Page 170: Proceeding jilid 2

581

(troublesshooter), pengkritik (iconoclast), detektif, seni ketukangan (craftman), teknokrat, pemaju (enterpreneur) dan pereka bentuk fleksibel. (v) Memerlukan keupayaan mengatasi rintangan (barrier jumping) dan keberanian untuk mencuba idea yang unik dan ganjil. (vi) Diiringi dengan keinginan melakukan inovasi dan (vii) Memerlukan jangkaan tentang keadaan masa hadapan (Imiginasi).

Inovasi boleh datang dari pelbagai sumber; tetapi yang terbaik adalah difahami sebagai hasil percanggahan atau kejanggalan; pertembungan antara harapan dan realiti, atau jurang antara standard yang ideal dan bentuk yang tertentu. Inovasi mungkin tindak balas kepada jurang antara kepelbagaian masyarakat dan keupayaan institusi sedia untuk menyokong pembangunannya. Dalam sistem pembelajaran yang berjaya, percanggahan tidak ditapis keluar atau dineutralkan, tetapi digunakan sebagai rangsangan untuk ujian berterusan, penilaian, kerjasama dan pertukaran yang membawa sistem itu ke konfigurasi yang lebih berjaya (Tom Bentley, 2008). Drucker (1986) telah menyatakan tiga perkara utama dalam suatu inovasi iaitu: (i) Ada tujuan (misi), (ii) Memberi sesuatu yang lebih baik dan (iii) Melalu proses penilaian. Dalam situasi inovasi pengajaran dan pembelajaran setiap inovasi yang dilakukan oleh guru haruslah: (i) Bertujuan ke arah pengajaran dan pembelajaran yang lebih baik dari sebelumnya seperti memudahkan dan mempercepatkan kefahaman pelajar, menarik minat dan fokus pelajar terhadap sesi pengajaran dan pembelajaran guru (ii) Memberi nilai tambah kepada pengajaran dan pembelajaran guru tersebut seperti menjadikan sesi pengajaran guru tersebut lebih menarik walaupun kurikulum yang digunakan adalah kurikulum lama dan (iii) Inovasi pengajaran dan pembelajaran tersebut telah melalui proses penilaian (ujian, tapisan) seperti guru tersebut telah melakukan sedikit penyelidikan, telah menguji inovasinya dan ternyata inovasi tersebut memang membawa sesuatu impak kepada sesi pengajaran tersebut. KEPENTINGAN INOVASI PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN

Setiap guru yang terlibat dengan pengajaran dan pembelajaran dalam tempoh yang lama pasti pernah melakukan inovasi tetapi tidak mendokumentasikannya kerana tidak menyedari kepentingan inovasi yang mereka lakukan. Dalam dunia pendidikan, sesuatu inovasi dilakukan kerana beberapa objektif dan kepentingan (Ainon dan Abdullah, 2005) iaitu: (i) Mengurangkan kos (alat bantu murid), (ii) Meningkatkan kualiti (pengajaran dan pembelajaran), (iii) Meningkatkan lagi prestasi pelajar), (iv) Memberikan ciri-ciri tambahan (nilai tambah kurikulum), (v) Memberikan suntikan baru kepada kurikulum sedia ada, (vi) Memaksimumkan kefahaman dan fokus pelajar terhadap pengajaran dan pembelajaran, (vii) Menambah minat pelajar terhadap pengajaran dan pembelajaran dan (viii) Membina konsep pengajaran dan pembelajaran yang baru. CABARAN DAN PENYELESAIAN

Cabaran-cabaran yang telah dikenalpasti oleh penyelidik-penyelidik terdahulu yang menjadi penghalang kepada inovasi pengajaran dan pembelajaran adalah: (i) Organisasi tidak mendorong pembaharuan, (ii) Kekurangan sumber dan (iii) Tingkahlaku pengurusan tradisional (Syed Zamberi, 2009). Disamping cabaran-cabaran tersebut, inovasi pengajaran dan pembelajaran juga menghadapi cabaran daripada diri individu guru itu sendiri

Page 171: Proceeding jilid 2

582

seperti: (i) Takut mencuba, (ii) Takut untuk melakukan kesilapan, (iii) Motivasi yang salah, (iv) Takut kepada perubahan, (v) Takut kepada kegagalan dan (vi) Tidak percaya kepada diri sendiri kerana individu guru tersebut merasa diri mereka terlalu tua atau tidak pandai melakukan tugas tersebut yang mengakibatkan beliau tidak mencuba untuk mencari jalan inovasi bagi mengatasi sesuatu masalah (Nurul ‘Ula Noor ‘Aaisa, 2011). Cabaran-cabaran tersebut memerlukan satu bentuk penyelesaian yang jitu agar tidak menghalang atau membantutkan usaha guru untuk melakukan sesuatu inovasi dalam pengajaran dan pembelajaran. Mohd. Azhar et al., (2006) menyatakan sebelum melakukan sesuatu inovasi dalam pengajaran dan pembelajaran, beberapa perkara mesti dilakukan oleh seorang guru iaitu: (i) Analisis sumber -Sebelum melaksanakan sesuatu inovasi pengajaran dan pembelajaran, seorang guru haruslah mempunyai perancangan yang teliti untuk mengenal pasti sumber seperti kepakaran, bahan mentah, modal, dan lain-lain, (ii) Inovasi mestilah mudah - Inovasi pengajaran dan pembelajaran yang dihasilkan guru haruslah mudah dari segi pengoperasian dan kepenggunaanya, (iii) Inovasi bermula secara kecil-kecilan - Inovasi pengajaran dan pembelajaran yang dilakukan guru haruslah bermula daripada kecil-kecilan, tidak terlalu kompleks dan mengkhusus kepada suatu fungsi sahaja pada satu masa. (iv) Inovasi memerlukan pengetahuan – guru haruslah mempunyai pengetahuan dari segi inovasi itu sendiri, pengetahuan ini akan memandu dan memacu inovasi pengajaran dan pembelajaran supaya menjadi lebih dinamik dan berguna, pengetahuan dalam sesuatu bidang memerlukan kelebihan daya saing terhadap pembangunan sesuatu produk dan perkhidmatan tanpa pengetahuan inovasi pasti terhenti. (v) Inovasi memfokuskan satu bidang - Kejayaan sesuatu inovasi pengajaran dan pembelajaran banyak bergantung pada pengkhususan dalam satu bidang sahaja. Pengkhususan dalam satu bidang menjadikan inovasi lebih kompetitif dan kita dapat memberikan tumpuan sepenuhnya terhadap inovasi tersebut. (vi) Inovasi memerlukan bakat, fokus dan komitmen - Inovasi memerlukan bakat, fokus dan komitmen yang tinggi bagi melakukan perubahan tertentu terhadap produk mahupun perkhidmatan dan (vii) Inovasi memerlukan nilai komersial – Sesuatu inovasi yang tidak mempunyai nilai komersial akan menjadikan inovasi tersebut tidak menarik dan membosankan. SIMPULAN

Kebanyakan guru yang terlibat dengan proses pengajaran dan pembelajaran merasakan inovasi merupakan suatu yang sukar dan membuang masa. Dapatlah disimpulkan bahawa sesuatu yang inovasi pengajaran dan pembelajaran itu adalah:

(i) Untuk menginovasikan pengajaran dan pembelajaran, guru haruslah

berinovatif dan berpengetahuan. (ii) Setiap penginovasian memerlukan pengorbanan guru dari segi masa

dan wang ringgit. (iv) Inovasi memerlukan proses yang panjang dan berkesinambungan. (v) Setiap penginovasian tidak semestinya menggunakan bajet yang besar

tetapi apa yang lebih penting adalah keberkesanan inovasi tersebut ke atas pengajaran dan pembelajaran.

(vi) Setiap inovasi pengajaran dan pembelajaran yang dilakukan oleh guru

Page 172: Proceeding jilid 2

583

haruslah memudahkan pengajaran pembelajaran, menjimatkan masa pengajaran dan pembelajaran, menarik minat serta membantu pelajar untuk memahami isi pengajaran guru.

(vii) Setiap inovasi yang bersifat komersial haruslah di patenkan untuk menjaga hak ke atas inovasi tersebut.

DAFTAR RUJUKAN Ainon Mohd. & Abdullah Hassan. (2005). Berfikir Seperti Inventor. Bentong :

PTSMillennia. Abu Bakar Nordin & Ikhsan Othman. (2003). Falsafah Pendidikan Dan

Kurikulum.Tanjung Malim, Perak: Quantum Books. Abraham, Stan. (2005). “Stretching Strategic Thinking”. Strategy & Leadership 33,

no. 5:5-12. Accessed April 28, 2013. Business Source Complete database. Azizi Yahya, Fawziah Yahaya, Zurihanmi Zakaria & Noordin Yahya. (2005).

Pembangunan Kendiri. Skudai: Penerbit UTM. Esah Sulaman. (2003). Amalan Profesionalisme Perguruan. Johor: Penerbit

Universiti Teknologi Malaysia. Haliza Hamzah dan Joy Nesamalar Samuel. (2009). Pengurusan Bilik Darjah

danTingkahlaku. Selangor: Oxford Fajar Sdn. Bhd. Kuratko, F.M & Hodgetts R.M (2007). Entrepreneurship: Theory, Process, Practice

(7th edition). Quebec: Thomas South- Western. Noriati A. Rashid, Boon Pong Ying, Sharifah Fakhriah Syed Ahmad. (2009). Murid

dan Alam Belajar. Selangor: Oxford Fajar Sdn. Bhd. Nurul ‘Ula Noor ‘Aaisa. (2011). Sikap Penentu Kejayaan Usahawan. Petaling

Jaya,Selangor: Edition Plus Sdn. Bhd. Peter F. Drucker . (1986).Innovation and Entrepreneurship Practice and

Principles.USA: HarperCollins Publishers Inc. Razak Abd. Samad Bin Yahya. (2007). Aktiviti penyelesaian masalah fizik di

kalangan bakal guru siswazah: satu kajian kes. Tesis PhD UKM. Robbins, S.P. (1996). Perilaku Organisasi. Jakarta: PT Raja Grafindo. Robert D. Hisrich, Michael P. Peters, Dean A. Shepherd. (2010). Entrepreneuship.8edition. Singapore. Mc Graw Hill. Robert F. Hebert & Albert N. Link. (1982). The Entrepreneur. New York, U.S.A:

Praeger Publishers. Rosnanaini Sulaiman et al. (2011). Siri Kemahiran Generik: Kemahiran Berfikir.

Puchong, Selangor: Penerbitan Multimedia Sdn.Bhd. Silver, A. D. (1983). The Entrepreneur Life. New York: John Wiley & Son. Sinha, D and Chaubey, N. P. (1972). Achievement Motive and Rural Economic

Development. International Journal Of Psycology. Shulman, L. S. (1986). Those Who Understand Teach: Knowldege growth in

teaching. Educational Researcher 15(2): 4-14. Stoof, A. (2005). Tools for the identification and desciption of competencies.

Thesisdissertation , Open University Of Nederland Suseela Malakolunthu. (2001). Pengumpulan dan Analisis Data Kualitatif: Satu

Imbasan dalam Penyelidikan Kualitatif: Pengalaman Kerja Lapangan KajianKuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya.

Sternberg, R. J. (1986). Intelligence Applied: Understanding and increasing your intellectual skills. New York, USA: Harcourt Brace Jovanovich.

Page 173: Proceeding jilid 2

584

Schumpeter, J.A. (1971). “The Theory Of Economic Development”, in Kilby, P. (ed), Enterpreneurship and Economic Development. New York: The Free Press.

Shulman, L. S. (1986). Those Who Understand Teach: Knowldege growth in teaching. Educational Researcher 15(2): 4-14.

Syed Ismail Bin Syed Mustapa & Ahmad Subki Bin Miskon. (2010). Asas Kepimpinan dan Perkembangan Profesional. Selangor: Penerbitan Multimedia Sdn. Bhd.

Syed Zamberi Ahmad. (2009). Keusahawanan: Teori, Proses dan Amalan. Petaling Jaya, Selangor: Leeds Publications (M) Sdn. Bhd.

Tom Kelley & Jonathan Littman. (2000). Art Of Innovation. USA: Doublebay a Divison of Random House inc.

Zaini Ujang. (2010). Budaya Inovasi: Prasyarat Model Baru Ekonomi. Skudai, Johor:Penerbit UTM Press.

Page 174: Proceeding jilid 2

585

APLIKASI TEORI ‘WHOLE BRAIN’ DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN SAINS : SATU KAJIAN KES

Kartini Abdul Mutalib & Ahamad Shabudin Yahaya

Institut Pendidikan Guru Kampus Pendidikan Teknik, Negeri Sembilan E-mail :[email protected]

Abstrak Kajian kes ini dijalankan dengan tujuan untuk mengenal pasti kesan aplikasi teori ‘Whole Brain” dalam pengajaran dan pembelajaran sains sewaktu guru pelatih menjalani praktikum fasa ketiga di sekolah rendah. Data bagi kajian ini dikumpulkan melalui tiga jenis kaedah iaitu pemerhatian, catatan jurnal refleksi dan juga temu bual. Dapatan kajian ini mendapati bahawa aplikasi teori ‘Whole Brain” dalam pengajaran dan pembelajaran sains telah memberikan kesan yang positif terhadap kualiti pengajaran dan pembelajaran sains. Hasil analisis pemerhatian mendapati bahawa terdapat peningkatan dalam perlakuan guru serta tingkah laku murid dalam aspek kawalan dan pengurusan kelas semasa sesi pengajaran dan pembelajaran sains. Hal ini disokong dengan analisis catatan jurnal refleksi guru yang menunjukkan bahawa aspek kawalan guru dan aspek disiplin murid telah dapat ditambahbaik. Murid yang ditemu bual juga bersetuju bahawa pembelajaran menjadi lebih terkawal, tersusun dan menarik apabila guru menggunakan teori tersebut. Selain daripada tema pengajaran guru terdapat juga tema lain yang ditemui kesan aplikasi teori ‘Whole Brain” dalam pengajaran dan pembelajaran sains iaitu pembelajaran murid dan juga elemen abad 21. Namun begitu, kajian lanjut melibatkan lebih ramai sampel kajian boleh dilakukan di masa hadapan untuk mendapatkan maklumat dan gambaran yang lebih menyeluruh tentang kesan aplikasi teori ‘Whole Brain” dalam pengajaran dan pembelajaran.

Kata kunci: teori ‘Whole Brain”, kajian kes, kawalan kelas, pengajaran dan pembelajaran sains

PENGENALAN Konteks Kajian

Kajian ini dijalankan di sebuah sekolah rendah iaitu Sekolah Kebangsaan Dato’ Ahmad Manaf yang berada dalam kawasan Pejabat Pendidikan Daerah (PPD) Seremban dalam masa 12 minggu iaitu semasa guru pelatih sedang menjalani praktikum di sekolah tersebut. Sekolah ini merupakan sebuah sekolah kebangsaan yang terletak di Batu 16 Jalan Sepang, Nilai, Negeri Sembilan dan dikategorikan sebagai sekolah bantuan penuh kerajaan. Jumlah pelajar sekolah ini adalah seramai 600 orang manakala gurunya berjumlah 30 orang. Murid-muridnya terdiri daripada pelbagai kaum seperti Melayu, India dan Cina dan sebilangan besar tergolong dalam keluarga yang berpendapatan sederhana. Isu Kajian/Pernyataan Masalah

Hasil pemerhatian pensyarah terhadap pengajaran dan pembelajaran Sains di sekolah ini semasa sesi penyeliaan pertama dan kedua mendapati bahawa dua orang guru pelatih yang dibimbing masih gagal dalam aspek pengurusan kelas khususnya bagi mengawal disiplin murid-murid ketika

Page 175: Proceeding jilid 2

586

pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran Sains dilakukan di makmal semasa praktikum sejak minggu kedua hingga minggu kelima. Data pemerhatian awal yang telah direkodkan pada 18 Februari 2015 dan 18 Mac 2015 ditunjukkan dalam Jadual 1 seperti berikut:

Jadual 1: Perlakuan murid dan guru sebelum teori pengajaran ‘Whole Brain” digunakan

Perlakuan

Aspek yang diperhatikan Masa Pengajaran dan Pembelajaran 10 20 30 40 50 60

Murid membuat bising – bercakap/berborak dengan rakan

/ ʘ / ʘ / ʘ / ʘ / ʘ

berlari-lari / / ʘ / ʘ ʘ mengusik rakan / / ʘ / ʘ / ʘ / ʘ / tidak mengambil bahagian

dalam aktiviti kumpulan / ʘ / ʘ / ʘ / ʘ

bermain dengan rakan/lcd/alatan/sendirian/buku

/ / ʘ / ʘ / ʘ ʘ

tidak memberi tumpuan - buat aktiviti lain/pasif

/ / ʘ / ʘ / ʘ / ʘ

jatuh kerusi / bergurau dengan

rakan/bergaduh / ʘ / ʘ / ʘ / ʘ

bergerak/berjalan ke kumpulan lain/berdiri

/ ʘ / ʘ / ʘ ʘ

Guru guna bantuan jadual chip berwarna

/ ʘ / ʘ / ʘ

sistem merit (tolak markah kumpulan)

/ ʘ / ʘ / ʘ ʘ

nada suara guru semakin tinggi

/ / ʘ / ʘ / ʘ

emosi terganggu / / ʘ / ʘ / ʘ wajah kelihatan kecewa

/sedih/tidak puashati / / ʘ / ʘ / ʘ

Petunjuk: / - pada 18 Feb 2015 (penyeliaan pertama) ʘ - pada 18 Mac 2015 (penyeliaan kedua)

Selain darpada pemerhatian, analisis dan tinjauan awal terhadap jurnal refleksi yang ditulis oleh guru pelatih menunjukkan wujudnya masalah yang sama dalam aspek pengurusan kelas iaitu disiplin murid. Masalah kawalan kelas menyebabkan guru terpaksa memberi arahan yang sama berulangkali seperti ‘jangan bising’ atau ‘duduk semula di tempat masing-masing’, memanggil nama murid-murid yang bising dan menggunakan bantuan jadual chip berwarna serta sistem merit untuk kumpulan.

Page 176: Proceeding jilid 2

587

“ Saya merasa kecewa kerana telah bersusah payah memikirkan idea yang terbaik untuk murid-murid menikmati sesi P&P Sains yang berbeza.... tetapi murid seolah-olah tidak menghargai aktiviti yang telah saya rancangkan. Mereka terus

membuat bising walaupun saya mengugut untuk mendenda mereka. Sehinggalah emosi saya

tidak tertahan lalu saya menjerit .....sehingga suara saya kedengaran hingga ke aras tiga walaupun

bilik sains berada di aras satu”

(Catatan refleksi GP1, Praktikum Minggu 2: 9/2/2015-13/2/2015)

“ Saya dapati murid-murid semakin hilang fokus, suka bercakap antara satu sama lain, membuat bising, kelas sukar dikawal dan tidak dapat menjawab soalan yang

dikemukakan. Murid kurang memberi perhatian kerana P&P Sains dijalankan selepas waktu rehat dan hampir waktu pulang. Untuk menyelesaikan masalah ini

saya bercadang untuk melaksanakan teknik Mirror Mirror berasaskan teori pengajaran ‘Whole Brain”

(Catatan refleksi GP2, Praktikum Minggu 5: 3/3/2015-7/3/2015)

Objektif Kajian

Mengenal pasti kesan aplikasi teori pengajaran ‘Whole Brain” dalam pengajaran dan pembelajaran Sains sewaktu guru pelatih menjalani praktikum fasa ketiga di sekolah rendah. Soalan Kajian

Bagaimanakah aplikasi teori pengajaran ‘Whole Brain” memberi kesan dalam pengajaran dan pembelajaran sains sewaktu guru pelatih menjalani praktikum fasa ketiga di sekolah rendah? Kesignifikan kajian

Dapatan kajian ini juga diharapkan dapat menyumbangkan idea-idea baru kepada guru pelatih yang lain dalam usaha meningkatkan kualiti pengajaran dan pembelajaran di sekolah. Di samping itu, dapatan kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam usaha menambahkan ilmu pengetahuan berbentuk ilmiah kepada bidang pedagogi itu sendiri serta menjadi pencetus kepada kajian-kajian lanjut tentang aplikasi teori pengajaran ‘Whole Brain” dalam P&P di masa hadapan. Batasan Kajian

Kajian ini melibatkan hanya dua orang guru pelatih Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PISMP) opsyen Sains semester tujuh dan empat orang murid (dua orang Tahun 3 dan dua orang Tahun 4). Lokasi kajian terbatas hanya di sebuah sekolah rendah di Nilai, Negeri Sembilan. Oleh itu dapatan kajian tidak dapat digeneralisasikan kepada populasi guru-guru pelatih PISMP di IPG Kampus Pendidikan Teknik. TINJAUAN LITERATUR Teori Pengajaran ‘Whole Brain”

Teori ‘Whole Brain’ telah dibangunkan oleh Herrmann pada tahun 1988. Teori ini berasaskan kepada ciri pemikiran, iaitu otak dibahagikan kepada empat

Page 177: Proceeding jilid 2

588

bahagian iaitu bahagian atas kiri, bahagian bawah kiri, bahagian atas kanan dan bahagian bawah kanan (Ali Khalid, Abdul Ghani Kanesan, Salmiza & Khoo, 2011). Secara keseluruhan bahagian atas otak mewakili pemikiran konseptual dan abstrak manakala bahagian bawah otak mewakili emosi dan visceral seperti yang ditunjukkan oeh Model Herrmann dalam Rajah 1.

Rajah 1: Model ‘Whole Brain’ Herrmann

Bahagian atas otak kiri adalah logik dan kuantitatif manakala bahagian

bawah otak kiri adalah mengikut urutan dan tersusun. Bahagian atas otak kanan adalah konseptual dan visual manakala bahagian bawah otak kanan adalah interpersonal dan dan emotional. Secara umumnya, bahagian kanan otak adalah berstruktur longgar sebaliknya bahagian kiri otak adalah berstruktur padat. Oleh itu menurut teori ‘Whole Brain’ terdapat empat gaya pemikiran iaitu gaya pemikiran eksternal (QA), gaya pemikran prosedural (QB), gaya pemikiran interaktif (QC) dan gaya pemikiran internal (QD).

Teori pengajaran “Whole Brain’ merupakan satu strategi baru yang diimplemenkan oleh guru-guru di Amerika Syarikat bagi meningkatkan penglibatan dan pencapaian murid-murid (Calhoun, 2012). Teori pengajaran ini bertujuan untuk mengubah kaedah P&P secara menghafal maklumat kepada pembelajaran secara bermakna dengan menggunakan keseluruhan fungsi otak kanan dan otak kiri (Basar, 2006) dan juga bertujuan melibatkan murid secara aktif dalam pembelajaran berasaskan pengalaman (Palasigue, 2009; Degen, 2014). Pemprosesan aktif otak akan membangunkan kemahiran berfikir dan logik sewaktu pembelajaran dan penggunaan prinsip ‘Whole Brain’ membolehkan kesemua orang berpotensi genius (Tyrer, 2002). Teori pengajaran “Whole Brain’ melibatkan pemprosesan dan pengaktifan penumpuan, persepsi, pembelajaran dan ingatan seseorang individu (Basar, 2006); dan berasaskan integrasi antara kedua-dua belah hemisfera otak (Palasigue, 2009). METODOLOGI Reka Bentuk Kajian

Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif berasaskan kepada reka bentuk kajian kes. Kelebihan menggunakan kajian kes adalah kerana kaedah ini mampu meneroka dan memahami isu-isu yang lebih kompleks (Saka & Sahinturk, 2013). Kajian kes secara kualitatif tentang teori pengajaran ’Whole Brain’ juga dilakukan oleh Palasigue (2009). Sampel Kajian

Page 178: Proceeding jilid 2

589

Sampel kajian dipilih menggunakan teknik persampelan secara bertujuan iaitu melibatkan sejumlah dua orang guru pelatih dan empat orang pelajar sekolah rendah Tahun 3 dan 4. Prosedur Mengumpul Data Kajian

Data-data dalam kajian ini telah dikumpulkan menggunakan tiga jenis kaedah iaitu pemerhatian oleh pensyarah pembimbing (dengan menggunakan borang senarai semak), analisis dokumen (terhadap jurnal refleksi guru pelatih dan ulasan guru pembimbing) dan juga temu bual dengan empat orang pelajar selepas kelas dijalankan.

Ketiga-tiga kaedah ini digunakan bagi mengaplikasikan kaedah triangulasi iaitu untuk tujuan meningkatkan kesahan dan kebolehpercayaan data yang dikumpulkan. Triangulasi adalah satu proses yang seringkali digunakan untuk meningkatkan kebolehpercayaan data yang dikumpulkan dalam penyelidikan kualitatif (Nabilah, Rohaya, Ghaziah, Shireena Basree & Norshidah, 2010). Proses triangulasi menggabungkan pelbagai teknik mengumpul data dan proses ini amat penting sekali untuk menggurangkan kebarangkalian atau peluang terjadinya bias (Kartini, Ahamad Shabudin, Rosli, & Badrul Hisham, 2012). Triangulasi juga dapat memberikan kefahaman yang lebih komprehensif terhadap sesuatu isu atau fokus yang dikaji oleh penyelidik (Saka & Sahinturk, 2013).

Temu bual bersama murid-murid secara kumpulan berfokus telah diadakan pada 24 April 2015 di makmal sains selepas pemerhatian terhadap sesi P&P dijalankan. Pemerhatian dengan menggunakan borang senarai semak telah dilakukan oleh dua orang penyelidik pada sesi penyeliaan kali ketiga (1 April 2015) dan pada sesi penyeliaan kali keempat (24 April 2015). Manakala analisis dokumen dilakukan terhadap catatan jurnal refleksi guru pelatih dan catatan ulasan penyeliaan guru pembimbing dilakukan pada minggu terakhir praktikum iaitu pada 28 April 2015. Analisis Data

Semua data temu bual telah ditranskripsikan dan dianalisis menggunakan kaedah analisis kandungan seperti yang dicadangkan oleh Fraenkel dan Wallen, (2007); serta Creswell (2008). Seterusnya bukti daripada pemerhatian ditriangulasikan dengan analisis dokumen dan data temu bual bagi mengenal pasti kategori dan tema-tema utama dalam dapatan kajian. Prosedur Pengajaran dan Pembelajaran Menggunakan Aplikasi Teori Pengajaran ”Whole Brain”

Semasa sesi pasca pemerhatian (selepas sesi penyeliaan kali kedua pada 18 Mac 2015), penyelidik berbincang dengan kedua-dua guru pelatih dan mencadangkan supaya teori pengajaran ’Whole Brain’ diaplikasikan dalam pengajaran dan pemerhatian akan dilakukan pada penyeliaan kali ketiga dan keempat. Kedua-dua guru pelatih juga ditunjukkan dengan beberapa klip video contoh bagaimana teori ini diaplikasikan dalam kelas Sains sekolah rendah, kelas Bahasa Inggeris di sekolah rendah serta juga bagaimana teori ini diaplikasikan di dalam kelas di peringkat universiti. Guru pelatih diminta mencari beberapa klip video contoh yang lain tentang aplikasi teori ini dalam pengajaran dan pembelajaran Sains dalam Youtube.

Pada penyeliaan yang ketiga iaitu pada 1 April 2015, kedua-dua guru pelatih mula mempraktikkan pengajaran menggunakan aplikasi teori pengajaran ’Whole Brain’ dengan membina sendiri peraturan kelas, arahan serta gerakan yang akan

Page 179: Proceeding jilid 2

590

dilakukan mengikut kesesuaian dengan tajuk Sains yang hendak diajar. Perbincangan sekali lagi dilakukan antara guru pelatih dan pensyarah pembimbing pada akhir sesi penyeliaan ketiga bagi mendapatkan pandangan dan nasihat daripada pensyarah. Pada penyeliaan keempat iaitu pada 24 April 2015, kedua-dua guru pelatih masih meneruskan aplikasi teori pengajaran ’Whole Brain’ di dalam kelas masing-masing. ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA

Bagaimanakah aplikasi aplikasi teori ‘Whole Brain’ memberi kesan dalam pengajaran dan pembelajaran sains sewaktu guru pelatih menjalani praktikum fasa ketiga di sekolah rendah? (i) Analisis Pemerhatian

Hasil pemerhatian oleh pasukan penyelidik pada sesi penyeliaan ketiga dan keempat iaitu pada 1 April 2015 dan 24 April 2015 dirumuskan seperti Jadual 2 berikut.

Jadual 2: Rumusan perlakuan murid dan guru semasa teori pengajaran ‘Whole Brain” digunakan

Perlakuan

Aspek yang diperhatikan Masa Pengajaran dan Pembelajaran 10 20 30 40 50 60

Murid memberikan tumpuan kepada arahan/peraturan guru

/ ʘ / ʘ / ʘ / ʘ / ʘ

mengikut arahan/peraturan/gerakan guru

/ ʘ / ʘ / ʘ / ʘ

mengikut arahan/peraturan/gerakan rakan sebaya

/ ʘ / ʘ / ʘ / ʘ

mengambil bahagian dalam aktiviti kumpulan

/ ʘ / ʘ / ʘ / ʘ

kreatif mencipta gerakan bagi kumpulan masing-masing

/ ʘ / ʘ / ʘ / ʘ / ʘ

bekerjasama dalam kumpulan masing-masing

/ ʘ / ʘ / ʘ / ʘ / ʘ

memainkan peranan masing-masing mengikut gerakan/peraturan/arahan

/ ʘ / ʘ / ʘ / ʘ / ʘ

berbincang untuk mencipta gerakan/peraturan

/ ʘ / ʘ / ʘ / ʘ

Guru tidak menggunakan bantuan jadual chip berwarna

/ ʘ / ʘ / ʘ / ʘ / ʘ

tidak menggunakan sistem merit (tolak markah kumpulan)

/ ʘ / ʘ / ʘ / ʘ / ʘ

nada suara guru terkawal / ʘ / ʘ / ʘ / ʘ memberikan

arahan/peraturan/gerakan / ʘ / ʘ / ʘ / ʘ

Page 180: Proceeding jilid 2

591

emosi terkawal / ʘ / ʘ / ʘ / ʘ / ʘ wajah kelihatan gembira/

ceria/ puashati / ʘ / ʘ / ʘ / ʘ

Petunjuk: / - pada 1 April 2015 (penyeliaan ketiga) ʘ - pada 24 April 2015 (penyeliaan keempat)

Analisis daripada senarai semak pemerhatian menunjukkan bahawa kedua-

dua guru pelatih telah berjaya menambahbaik aspek pengurusan kelas khususnya bagi mengawal disiplin murid-murid dengan cara mengaplikasikan teori pengajaran ‘Whole Brain’ di dalam kelas masing-masing. Guru tidak perlu lagi menggunakan bantuan jadual bintang serta sistem merit dalam pengurusan bilik darjah. Disiplin murid-murid berjaya dikawal dengan menggunakan arahan, peraturan serta gerakan asas yang dicipta oleh guru dan murid-murid sendiri berasaskan teori pengajaran ‘Whole Brain’. Murid-murid juga didapati telah mempraktikkan empat elemen utama dalam kemahiran Abad 21 iaitu kreativiti, pemikiran kritis, kolaborasi dan komunikasi apabila teori pengajaran ‘Whole Brain’ digunakan dalam pengajaran dan pembelajaran sains. (ii) Temu Bual

Hasil analisis temu bual menunjukkan bahawa aplikasi teori pengajaran ‘Whole Brain’ oleh guru pelatih dalam pengajaran dan pembelajaran Sains telah dapat memberikan kesan yang baik terhadap aspek pengurusan kelas khususnya disiplin murid. Kaedah pengajaran guru juga digemari/disukai oleh murid-murid dan semangat kerjasama, kolaborasi, kreativiti dan pemikiran kritis jelas ditunjukkan semasa aktiviti berkumpulan dijalankan.

Jadual 3: Analisis data temu bual secara kumpulan berfokus

Tema Kategori Respons Murid Pengajaran Guru

- Kaedah pengajaran

Cikgu ajar dengan cara yang lain daripada biasa.

Seronok belajar dengan cara yang cikgu tunjukkan.

Cikgu ajar cara baru melalui gerakan. Cikgu ajar saya cara baru bila membentang.

- Kawalan kelas

Saya berikan tumpuan kepada tugas dalam kumpulan.

Saya bincang dengan kumpulan untuk cipta gerakan/peraturan.

Saya tidak lagi bermain dengan kawan-kawan.

Saya tolong kawan-kawan siapkan tugasan kumpulan.

- Emosi Cikgu tidak marah dan selalu senyum bila kami buat gerakan.

Cikgu tidak lagi menjerit kepada kami. Cikgu tidak tolak markah kumpulan kami. Cikgu tidak denda kumpulan kami lagi.

Page 181: Proceeding jilid 2

592

Elemen Abad 21

- kreativiti - komunikasi - kolaborasi - kritis

Saya dan rakan-rakan berbincang untuk mereka gerakan.

Saya suka memberi arahan dan tunjukkan gerakan kumpulan saya di hadapan kelas.

Saya tolong warnakan dan tuliskan jawapan dalam kad manila

Saya tolong fikirkan gerakan yang akan dibuat.

Pembelajaran Murid

- Fokus Saya berbincang dengan kawan-kawan dalam kumpulan.

Saya bantu kumpulan siapkan projek yang cikgu suruh buat.

Saya siapkan tugasan yang cikgu berikan.

Saya lihat betul-betul bila kawan-kawan bentang.

- Emosi Saya suka belajar dengan cikgu kerana setiap kali ajar cikgu tukar gerakan.

Saya gembira belajar Sains dengan cikgu kerana banyak aktiviti.

Saya seronok belajar hari ini dan saya tolong kawan-kawan.

Seronok mengikut gerakan yang cikgu dan kawan-kawan ajar.

- Kawalan Disiplin

Saya tidak lagi ganggu kawan-kawan dan kelas tidak lagi bising.

Saya tidak berborak tentang hal lain dengan kawan-kawan.

Saya tolong siapkan kerja dalam kumpulan.

Saya tak sempat nak bincang pasal hal lain dengan kawan-kawan.

- Nilai murni/kerjasama

Semua kawan-kawan beri kerjasama semasa aktiviti kumpulan.

Saya siapkan projek bersama-sama kumpulan.

Saya tolong warnakan jawapan. Saya tolong pegang kad kumpulan untuk bentang.

Page 182: Proceeding jilid 2

593

(iii) Analisis Dokumen Hasil analisis jurnal refleksi yang ditulis oleh kedua-dua guru pelatih adalah

seperti berikut. “ Saya merasa sangat berpuas hati setelah mempraktik dan menggunakan teori pengajaran “Whole Brain’ dalam kelas Sains saya. Kelas menjadi lebih terkawal dan murid-murid lebih berdisiplin. Mereka tidak lagi membuat bising atau mengganggu rakan lain semasa saya mengajar. Mereka lebih fokus kerana perlu memikirkan arahan serta gerakan bagi kumpulan masing-masing semasa pembentangan diadakan. Saya juga mengaplikasikan teori ini ke dalam kelas Bahasa Inggeris saya ”

(Catatan refleksi GP1, Praktikum Minggu 12: 27/4/2015-30/4/2015)

“ Saya dapati murid-murid lebih menumpukan perhatian kepada pengajaran saya, mereka tidak lagi suka bercakap antara satu sama lain serta kurang membuat bising. Kelas lebih mudah dikawal dan murid kelihatan gembira mengikut gerakan yang dicipta oleh rakan-rakannya.Teori pengajaran ‘Whole Brain” telah berjaya membantu saya mengatasi masalah disiplin murid serta kawalan kelas ”

(Catatan refleksi GP2, Praktikum Minggu 12: 27/4/2015-30/4/2015) “ Penggunaan amalan ‘bahasa badan’ bersama murid-murid adalah menarik dan berkesan khususnya bagi mengawal keadaan kelas semasa P&P dijalankan ”

(Catatan ulasan Guru Pembimbing, Praktikum Minggu 12: 27/4/2015 30/4/2015) DAPATAN DAN PERBINCANGAN

Hasil daripada triangulasi ketiga-tiga kaedah pengumpulan data, dapatan kajian ini dapat diringkaskan berdasarkan tema dan kategori seperti dalam Rajah 2 berikut.

Rajah 2: Kategori dan tema yang ditemui kesan aplikasi teori pengajaran ‘Whole Brain’ dalam P&P Sains

Kajian ini mendapati bahawa aplikasi teori ‘Whole Brain’ dalam pengajaran

dan pembelajaran sains telah memberikan kesan yang positif terhadap kualiti pengajaran dan pembelajaran sains. Ini selaras dengan pandangan Tyrer (2002) bahawa strategi pengajaran akan berkesan jika ianya selari dengan cara otak belajar. Hasil analisis secara pemerhatian mendapati bahawa terdapat

Kesan aplikasi

teori pengajaran

'Whole Brain'

Tema 1: Pengajaran

Guru

Kategori 1: Kawalan

kelas

Kategori 2: Kaedah

PengajaranKategori 3:

Emosi

Tema 2: Pembelajara

n Murid

Kategori 1: Disiplin

Kategori 2: Emosi

Kategori 3: Nilai Murni

Tema 3: Elemen Abad 21

Kategori:: Elemen 4C

Page 183: Proceeding jilid 2

594

peningkatan dalam perlakuan guru aspek kawalan dan pengurusan kelas serta peningkatan tingkah laku murid dari segi disiplin semasa sesi pengajaran dan pembelajaran sains. Hal ini disokong dengan analisis catatan jurnal refleksi guru pelatih dan guru pembimbing yang menunjukkan bahawa aspek kawalan kelas guru dan aspek disiplin murid telah dapat ditambahbaik hasil daripada aplikasi teori pengajaran ‘Whole Brain’. Murid-murid yang ditemu bual juga bersetuju bahawa suasana pembelajaran Sains menjadi lebih terkawal, tersusun dan menarik apabila guru menggunakan teori tersebut.

Dapatan kajian ini menyamai kajian Palasigue (2009) yang mendapati bahawa pengajaran menggunakan teori pengajaran ‘Whole Brain’ telah berjaya melibatkan murid dalam proses pembelajaran berbanding dengan keadaan sebelumnya yang mana murid tidak terkawal dari segi tingkah laku seperti menjerit, bermain dan membuat kerja lain semasa guru mengajar. Ini adalah kerana teori pengajaran ‘Whole Brain’ melibatkan tiga mod pembelajaran iaitu visual, auditori dan kinestetik pada satu-satu masa. Dapatan yang sama juga ditemui dalam kajian tindakan oleh Margolis (2012) di mana aplikasi teori ‘Whole Brain’ telah memberikan kesan yang positif terhadap pencapaian murid dalam pembelajaran Bahasa Inggeris.

Selain daripada tema pengajaran guru terdapat juga tema lain yang ditemui kesan aplikasi teori ‘Whole Brain’ dalam pengajaran dan pembelajaran Sains iaitu tema pembelajaran murid dan juga penguasaan empat elemen abad 21 iaitu kreativiti, pemikiran kritis, kolaborasi dan komunikasi. Pembelajaran akan dapat dikekalkan lebih lama iaitu pembelajaran jangkapanjang akan berlaku jika guru mengambilkira fungsi, dinamik serta saling hubungan antara otak kiri/logik dengan otak kanan/gestalt (Tyrer, 2002; Basar, 2006; Palasigue, 2009). SIMPULAN

Aplikasi teori pengajaran ‘Whole Brain’ dalam pengajaran dan pembelajaran sains sewaktu guru pelatih menjalani praktikum fasa ketiga di sekolah rendah telah dapat memberikan kesan yang positif terhadap aspek pengajaran guru khususnya dalam aspek pengurusan kelas dan disiplin murid. Aplikasi teori pengajaran ‘Whole Brain’ juga membolehkan murid-murid menguasai serta mempraktikkan empat elemen kemahiran abad 21 iaitu kreativiti, pemikiran kritis, kolaborasi dan komunikasi.

Implikasi dan Cadangan Kajian

Implikasi daripada dapatan kajian adalah dicadangkan supaya konsep dan penggunaan teori pengajaran ‘Whole Brain’ diperkenalkan dan diperluaskan lagi khususnya dalam kalangan guru-guru pelatih di peringkat IPG mahupun di peringkat universiti. Teori pengajaran ‘Whole Brain’ juga boleh diperkenalkan dan sesuai diaplikasikan kepada pelbagai jenis mata pelajaran lain seperti Sains, Bahasa Melayu, Bahasa Inggeris, Matematik, Sejarah, Geografi mahupun Agama Islam.

Kajian lanjut yang melibatkan lebih ramai sampel kajian boleh dilakukan di masa hadapan termasuklah menjalankan kajian menggunakan reka bentuk eksperimen untuk mendapatkan maklumat dan gambaran yang lebih menyeluruh tentang kesan aplikasi teori pengajaran ‘Whole Brain’ dalam pengajaran dan pembelajaran.

Page 184: Proceeding jilid 2

595

DAFTAR RUJUKAN Ali Khalid Ali Bawaneh, Abdul Ghani Kanesan Abdullah, Salmiza Saleh & Khoo,

Y.Y. (2011). Jordanian students; thinking style based on Herrmann whole brain model. International Journal of Humanities & Social Science, 1, 9, 89-97.

Basar, E. (2006). The theory of the whole-brain-work. International Journal of Psychophysiology, 60, 133-138. doi: 10.1016/j.ijpsycho.2005.12.007

Calhoun, C.F. (2012). Brain-based teaching: Does it really work? Tesis Master Pendidikan. Tidak diterbitkan. Marygrove College, Michigan, USA.

Creswell, J.W. (2008). Educational research: Planning, conducting, and evaluating quantitative and qualitative research. (3rd ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc.

Degen, R., J. (2014). Brain-based learning: The neurological findings about human brain that every teacher should know to be effective. Amity Global Bussiness Review, 15-23.

Fraenkel, J.K. & Wallen, N. E. (1990). Student workbook accompany: How to design and evaluate research in education. (5th ed.). New York: Mc Graw-Hill.

Kartini Abdul Mutalib, Ahamad Shabudin Yahaya, Rosli Sahat & Badrul Hisham Alang Osman. (2012). Menguasai penyelidikan tindakan: Untuk PISMP dan DPLI. Ipoh: IPG Kampus Ipoh.

Margolis, C. (2012). Teaching to the right side of the brain to achieve whole-brain learning: Its effect on language learning with low-level, low-literate adult ESL students. Tesis Master Pendidikan. T tidak diterbitkan. Hamline University Saint Paul, Minnesota.

Nabilah Abdullah, Rohaya Abdul Wahab, Ghaziah Ghazali, Shireena Basree Abdul Rahman & Norshidah Nordin. (2010). Dlm Noraini Idris (Ed.), Ciri-ciri penyelidikan kualitatif (pp. 276-304). Kuala Lumpur: McGraw Hill Education.

Palasigue, J.T. (2009). Integrating whole brain teachin strategies to create a more engage learning environment. Tesis Master Pendidikan. Tidak diterbitkan. Marygrove College, Michigan, USA.

Saka, A. & Sahinturk, A. (2013). Attitudes of prspective forest engineers and primary school teachers toward a sustainable environment. Pol.Journal Environ. Stud., 22, 5, 1553-1557.

Tyrer, G. (2002). Whole brain learning for literacy. Literacy Today, 8-9.

Page 185: Proceeding jilid 2

596

TEACHER TALK: INFUSING HUMOUR IN THE CLASSROOM

Kuruvilla C.K. Joseph & Ramesh Rao Ramanaidu

Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas Abstract Humour plays an integral part in teaching and learning. Though researchers have examined the effectiveness of using humour in the teaching and learning context, most studies are on usage by language teachers. This study extends by including language and non-language teachers. This study examines how English Language and Science teachers from primary schools view the use of humour in the classroom. It also aims to investigate how and when a teacher utilises humour in the classroom. Primary school teachers from Wilayah Persekutuan (Kuala Lumpur) took part in this study. A questionnaires consisting of 20 items was administered to 40 teachers. The data for the study were collected from teachers attending a Continuous Professional Course using a survey designed by the researchers. The questionnaire was of a four-point Likert type and open ended items. The findings of this study revealed that though the teachers who took part in this study are aware of the benefits of humour, they were reluctant to use it in the teaching and learning process because of their limited repertoire of teaching using humour, the possibility of pupils not taking the lesson seriously and most importantly, their fear of not being able to complete the syllabus on time. Hence, it is recommended that teachers should be exposed to courses related to using effective ways on how to infuse humour in the teaching and learning so that a positive and fun learning atmosphere can be created. Keywords: Humour, Fun-learning, teacher talk, positive classroom atmosphere, affective filter INTRODUCTION

Brown (2007) refers to teacher talk as the time the teacher is talking in class. He further states that teacher talk is an important component that can make or break a lesson. Yanfen and Yuqin (2010) are of the opinion that teacher talk when used effectively will lead to a harmonious atmosphere in a classroom. It also promotes a more cordial and friendly relationship between teachers and students, and consequently leads to more opportunities for interactions between teachers and students.

A keen area of interest among educational researchers is using pedagogical strategies which could facilitate the smooth and effective implementation of teacher talk which will in turn break down the barriers that exist between teacher and students. Some of the barriers which teachers face in the classroom are the lack of information retention and the low level of interest among students, and the existence of a tense and uncomfortable learning environment. For instance, Alison

Page 186: Proceeding jilid 2

597

(2008) studied the role of technology especially virtual reality in bridging the gap between educators and students.

An easily accessible tool which can be used by teachers to break down barriers of communication in the classroom and create a positive learning environment is humour. It is perhaps one of the most underexploited and neglected areas within language learning. Established barriers in teacher-student relationship are minimised when jokes and laughter are used in teaching and learning (Lewis, 2010). If used effectively, humour can create an affective or positive environment which will be a wonderful source of enjoyment for both teachers and students. They are able to express themselves freely without fear of ridicule and criticism in a classroom which is filled with teacher talk which is infused with humour (Chiasson, 2002). A positive and conducive learning environment will minimise anxiety and stress among students. This in turn will lead them to become active learners who will take more risks when participating in classroom activities.

Humour plays an important role in classroom dynamics. There has been much research done on the importance of creating a conducive classroom environment in which the affective component is given due attention. In such a classroom, learners will be able to participate freely and confidently without having to focus too much of their attention on not making mistakes and this is where humour can be used effectively by the teacher. Stephen Krashen in his Affective Filter Hypothesis talks about the important role of motivation, self-confidence and anxiety in the learning process (Krashen, 1988). He claims that when a learner’s affective filter is lowered, the learner is better equipped for success in the classroom because of his or her high level of motivation, self-confidence, and low level of anxiety. What better way to achieve this then through the use of humour, which can play an important part in helping students relax and overcome stress related to learning.

In the context of teaching and learning, the attention-gaining model proposed by Ziv (1979) explains why teachers use humour in the classroom. The infusion of humour in teacher talk increases student participation and learning. Besides attracting the attention of the students, humour also sustains the attention span. The merit of this prolonged sustenance of attention leads to a positive achievement of the learning outcomes targeted by the teacher.

When children come to school, they are expected to listen and grow intellectually; and teachers play a crucial role in ensuring this happens. Thus teachers must have a cordial and warm relationship with their students for teaching and learning to take place effectively. Failure to create this could create a learning environment in which the affective filter is raised, creating unnecessary stress and an uncomfortable teaching-learning environment for both students and teachers. Collins and Laursen (2004) posited that the spillover effects of a close relationship between teachers and students can be seen in the overall development of skills.

The way teachers employ humour in classroom differs. Richardson & Fallona (2001) defined usage of humour as having tact and fun with students in a tasteful way. There are three types of humour (See Table 1) (McCauley, 1983). Humour

Page 187: Proceeding jilid 2

598

enables release of negative emotions and allows learners to express their feelings freely (Rieger & Ryndak, 2004). For example, upon hearing a funny joke, one will laugh spontaneously.

Table 1 Types of humour

Type of humour Description Verbal

the use of words and it can be found in such things as puns, jokes, and witticisms

Visual the use of images as seen in cartoons and in the physical appearance of some comedians

Physical the use of actions, which could include wild actions such as pie fights or chase scenes

Adapted from McCauley (1983)

Humour enables teachers to form a significant bond with their students, and this provides the path for students to form the necessary bond with their schools (Comer, 1988). However the form of humour used will usually determine the type and extent of relationship formed. Humour which promotes a healthy and comfortable learning environment will contribute to the building of a cordial relationship between the teacher and students. In emphasizing the value of infusing humour in the classroom, Dickinson (1998) points out that classrooms in which humour is incorporated, help bring learning to life.

Teachers who use humour in classroom are always preferred by students, but studies that focus on teachers’ views on the usage of humour are scarce. Though studies examining the impact of humour on students’ retention are abundant, little is looked at from the teacher’s point of view.

The distinction of this study lies in two broad domains. The first is the sample of this study is primary school teachers. Research on primary school teachers on the use of humour in teaching and learning is scarce. The second distinction lies in the subjects in which humour is explored. The teachers who participated in this study are English Language and Science teachers. Research on comparative usage of humour between a language and non-language subject in Malaysian classrooms is almost unheard of. The research questions of this study are

1. i. How do English Language teachers use humour in classroom? ii.How do Science teachers use humour in classroom?

2. Is there any difference in the way English Language and Science teachers use humour in the classroom?

DATA COLLECTION AND METHODOLOGY

A questionnaire consisting of three sections i.e Profile information, 17 questions aimed at measuring teachers’ usage of humour in the classroom (See Table 2); and an open ended question (Note: Why do you think teachers are reluctant to use humour in the classroom) were administered. The questionnaire was administered to 40 primary school teachers attending a Continuous Professional Development Course (CPD). The teachers were from selected

Page 188: Proceeding jilid 2

599

primary schools, located in Wilayah Persekutuan (Kuala Lumpur). To maintain anonymity, the participants were not required to state the schools they were teaching at.

The data is analysed using qualitative and quantitative approach. The qualitative data is derived from the open-ended question. The responses from the teachers were arranged thematically. The quantitative data is analysed using descriptive statistics. Besides descriptive statistics, non-parametric statistical analysis was included to determine whether statistically significant differences exist between the perceived importance and implementation of learning outcomes.

Nonparametric methods were used to test the research questions in this paper. This method is preferred because of its ability to provide estimation in quantifying the trends within and between groups, minus the peril of misspecification danger (Dacuycuy, 2006); assumptions required for a parametric test, such as normality of data, are not necessarily fulfilled (Alvo & Park, 2002; Mumby, 2002).

Table 2 Survey Items

How often do you use personal examples or talk about experiences that you have had outside of class? How often do you ask questions or encourage students to talk? How often do you address your students by name? How often do you use humour in class? How often do you use actual words and/or other elements of a humorous example (i.e. a joke, pun, comic strip, funny story, etc.) to illustrate grammar, vocabulary, pronunciation, or scientific content during a typical class? How often (on average) do you use humour (i.e. jokes, witticisms, humorous facial expressions, funny stories, etc.) during each class session? How often (on average) do your students use humour to communicate what they have learned during each class? In your opinion, how important is humour to the overall learning of subject matter in the classroom? Do you feel that your use of humour makes you more approachable to students in class? To what degree does humour in the subject matter being taught increase your students’ interest in learning that subject? To what degree does humour make your students feel more relaxed (i.e. less anxious) in the classroom? To what degree does usage of humour affect teaching and learning in the classroom? To what degree does usage of humour cause students to lose focus in the classroom? To what degree does usage of humour in the classroom cause the teacher to lose his/her students’ respect? I have attended course/courses on how to use humour in the classroom. Teachers who use humour in the classroom are looked down by their colleagues.

Page 189: Proceeding jilid 2

600

How would you rate yourself in terms of your overall effectiveness as a teacher? RESULTS & FINDINGS

The participants for this study are 40 teachers from National Primary schools. The findings of the study are presented in three main sections. They are:

3.1 Profile 3.2 Teachers’ usage of humour in the classroom 3.3 Observation on the usage of humour in classroom

3.1 Profile Table 3 shows the demographic data, while Table 4 shows their teaching

experience.

Table 3 Subjects Taught

Sex Teaching Subject Total English language Science Male 2 6 8 Female 12 20 32 Total 14 26 40

Table 4

Teaching Experience

Teaching Experience Sex Total Male Female Less Than 10 years 4 12 16 11-20 years 3 14 17 More than 20 years 1 6 7 Total 8 32 40

3.2 Teachers’ usage of humour in the classroom

Figure 1 shows results on English Language and Science teachers’ rating of themselves on how effective they are i.e in terms of teaching. To see whether there is a difference between English Language and Science teachers, non-parametric test (Mann-Whitney U test) was performed. The difference between English Language and Science teachers was found to be insignificant at the 0.05 level (p=0.284)

Page 190: Proceeding jilid 2

601

Figure 1: Effectiveness as a teacher?

Table 5 shows how teachers see themselves in relationship to effective teaching and usage of humour in the classroom. To see whether there is a difference between English Language and Science teachers, non-parametric test (Mann-Whitney U test) was performed. The difference between English Language and Science teachers was found to be insignificant at the 0.05 level (p=0.586)

Table 5 Usage of humour in the classroom by Subject (Teacher)

Subject Usage of humour in classroom

Total Not Very Frequent

Less Frequent Frequent Very

Frequent English Language 6 7 1 14

Science 2 11 11 2 26 Total 2 17 18 3 40

The teachers who took part in this study, see humour as a medium of

connection. Table 6 shows teachers’ frequency of using humour to communicate with their students.

Table 6 Using humour as a medium of communication with students

Using humour to communicate with students

Usage of humour in classroom Total Not at

all Not very frequent

Less Frequent Frequent

Least Agree 1 0 1 0 2 Agree 0 7 15 10 32 Most Agree 0 0 2 4 6 Total 1 7 18 14 40

1 1

11

11

22

3

0

5

10

15

20

25

Don't Agree Least Agree Agree Most Agree

English LanguageScience

Page 191: Proceeding jilid 2

602

To see whether there is a difference in the use of humour between English Language and Science teachers, non-parametric test (Mann-Whitney U test) was performed. The difference between English Language and Science teachers was found to be significant at the 0.05 level (p=0.032)

Table 7 Effects of using Humour in classroom (by subject/teacher)

Effects p-value To what degree does usage of humour affect teaching and learning in the classroom?

0.776

To what degree does usage of humour cause students to lose focus in the classroom?

0.048*

To what degree does usage of humour in the classroom cause teacher to lose their students’ respect?

0.836

I have attended course/courses on how to use humour in the classroom. 0.694 Teachers who use humour in the classroom are looked down by their colleagues.

0.725

How would you rate yourself in terms of your overall effectiveness as a teacher?

0.050*

*Significant at 0.05 level 3.3 Observation on the usage of humour in classroom

The responses from the teachers’ observation on the usage of humour in the classroom are arranged thematically. The themes are as follows

i. Teachers do not use humour because of a lack of knowledge as to how one may use it effectively in class. Since they are not comfortable about using it, they don't want to look foolish.

ii. Some teachers view the use of humour as an absolute waste of time and usually associate its use with non-productivity. They are of the view that students who are laughing can’t be learning. What they fail to realise is that humour is an important and integral aspect of everyday life.

iii. Another concern on the part of the teachers is that they may lose control of the classroom and the whole learning process may descend into chaos and work may not get done.

iv. Another reason quoted by teachers is the potential of students not taking the teachers seriously and not giving them due respect.

v. The most important reason is that they may not be able to complete the syllabus on time since many of them view joking and having fun in class as a waste of their precious time.

CONCLUDING REMARKS AND POLICY RECOMMENDATIONS

It is every teacher’s goal to be effective in the classroom and help students learn. Educators want their students to be eager and engaged. Humour has the power to fuel that engagement. It can create an affective or positive environment

Page 192: Proceeding jilid 2

603

which will be a wonderful source of enjoyment for both teachers and students, if used effectively. Students will be able to express themselves freely without fear of ridicule and criticism in a classroom which is filled with teacher talk infused with humour. A positive and conducive learning environment will minimise anxiety and stress among students. This in turn will lead them to become active learners who will take more risks when participating in classroom activities.

Using humour brings enthusiasm, positive feelings, and optimism to the classroom. Using humour in the classroom is a brilliant way of capturing students’ attention and interest. It helps create a non-threatening and relaxed atmosphere in which learning can be optimised. However, some teachers are of the opinion that the ability to infuse humour in the classroom is not something that can be learnt as it is part of a teacher’s personality. They claim it comes naturally. Some feel that the use of humour must be handled carefully and delicately as its use may be hijacked by the students. The age of the students is also a factor that needs to be considered when using humour in the classroom.

There are several implications that can be gleaned from this study on the use of humour in the classroom. First, it is important to identify the views and beliefs of teachers and students on the use of humour in the classroom. Teachers need to be mindful of sensitivities and the cultural environment when using humour in teaching (Olajoke, 2013). Second, teachers need to be exposed to courses related to enhancing their language teaching methodology to enable them to handle teaching strategies such as using humour effectively in making the process of learning an interesting and positive experience for the students. Further investigations of teachers’ views on the use of humour in teaching is recommended in order to allow a better and deeper understanding of the process of using humour in the classroom.

REFERENCE Allison, J. (2008). History educators and the challenge of immersive pasts: a

critical review of virtual reality ‘tools’ and history pedagogy. Learning, Media & Technology., 33(4), 343-352.

Alvo, M., & Park, J. (2002). Multivariate non-parametric tests of trend when the data are incomplete. Statistics & Probability Letters, 57(3), 281-290.

Anderson, A. R., Christenson, S. L., Sinclair, M. F., & Lehr, C. A. (2004). Check & connect: The importance of relationships for promoting engagement with school. Journal of School Psychology, 42(2), 95-113

Brown, H. D. (2007). Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy: Pearson Education.

Chiasson, P.-E. (2002). The Internet TESL Journal, VIII(3). Collins, A. W., & Laursen, B. (2004). Changing relationships, changing youth:

Interpersonal contexts of adolescent development. Journal of Early Adolescence, 24(1), 55-62.

Comer, J. P. (1988). Educating poor minority children. Scientific American, 259(5), 42-48.

Page 193: Proceeding jilid 2

604

Dacuycuy, L. (2006). Explaining male wage inequality in the Philippines: non-parametric and semiparametric approaches. Applied Economics, 38(21), 2497-2511.

Dickinson, D. (1998). The Humor Lounge; Humor and the Multiple Intelligences [Electronic Version] from http://www.newhorizons.org/rech_mi.htm.

Krashen, S. D. (1988). Second Language Acquisition and Second Language Learning: Prentice-Hall International.

Lewis, T. E. (2010). Paulo Freire’s Last Laugh: Rethinking critical pedagogy’s funny bone through Jacques Rancière. Educational Philosophy and Theory, 42(5-6).

McCauley, C., Woods, K., Coolidge, C., & Kulick, W. (1983). More aggressive cartoon are funnier. Journal of Personality and Social Psychology, 44(4), 817-823.

Mumby, P. J. (2002). Statistical power of non-parametric tests: A quick guide for designing sampling strategies. Marine Pollution Bulletin, 44(1), 85-87.

Olajoke, A. S. (2013). Students’ Perception on the Use of Humor in the Teaching of English as a Second Language in Nigeria. International Education Research 1(2), 65-73.

Richardson, V., & Fallona, C. (2001). Classroom management as method and manner. Journal of Curriculum Studies, 33(6), 705-728.

Rieger, A., & Ryndak, D. (2004). Explorations of the functions of humor and other types of fun among families of children with disabilities. Research & Practice for Persons with Severe Disabilities, 29(3), 194-209.

Shade, R. A. (1996). License to laugh: humor in the classroom. Englewood, CO: Teacher Ideas Press.

Torok, S. E., McMorris, R. F., & Lin, W. (2004). Is humor an appreciated teaching tool? College Teaching, 52(1), 14-19.

Yanfen, Liu, Yuqin, & Zhao. (2010). Chinese Journal of Applied Linguistics, 33(2). Ziv, A. (1976). Facilitating effects of humorous atmosphere on creativity. Journal of

Educational Psychology, 68, 318-322.

Page 194: Proceeding jilid 2

605

DARI TEORI KE PRAKTIKAL: SATU PENGENALAN KONSEPTUAL MODEL REGGIO EMILIA DALAM PENDIDIKAN AWAL KANAK-KANAK

Latifah Binti Monnas

Unit Prasekolah, Jabatan Ilmu Pendidikan IPG Kampus Tawau E-mail: [email protected]

Abstrak Pemilihan model program pendidikan awal kanak-kanak yang relevan, signifikan dengan situasi semasa terutama dengan dasar penggubalannya terhadap mana-mana kurikulum pendidikan awal kanak-kanak. Kertas konsep ini ditulis untuk berkongsi ilmu mengenai salah satu model program PAKK yang mendapat tempat dalam mempraktikan pengajaran dan pembelajaran berasaskan model tersebut. Tiga ciri prinsip utama dalam Model Program Reggio Emilia iaitu: melibatkan fitrah kanak-kanak dalam pembelajaran, peranan guru dan ibubapa serta persekitaran pembelajaran amat ditekankan menerusi model ini. Berdasarkan konseptual KSPK 2010 yang telah diperkenalkan dalam meningkatkan kualiti PAKK, model ini sangat singnifikan dalam pengajaran dan pembelajaran PAKK masa kini, sesuai dengan prinsip pembelajaran holistik, bermakna, seronok dan memberi ruang asas dalam pembelajaran seumur hidup serta sesuai dengan amalan bersesuaian dengan perkembangan kanak-kanak. Kata kunci: Model Reggio Emilia, Pendidikan Awal Kanak-Kanak, Kurikulum KSPK PENGENALAN

Pepatah Melayuada menyatakan ”melentur buluh kena dari rebungnnya”, konotasi ini begitu sinonim sekali dengan pendidikan di peringkat awal kanak-kanak. Diperingkat ini, pengalaman pembelajaran yang diterima oleh setiap kanak-kanak berupaya menjadikan mereka berkembang positif dan lebih bersedia untuk memasuki alam persekolahan yang lebih formal. Bagi memastikan kualiti dalam pendidikan dapat diacu menerusi pendidikan awal kanak-kanak dapat dicapai sepenuhnya.

Kementerian Pelajaran Malaysia telah menggubal Kurikulum Standard Prasekolah Kebangsaan (KSPK) yang holistik dan seimbang (KPM 2009) dan ianya menjadi dokumen rujukan standard yang perlu diketahui oleh semua guru prasekolah di seluruh negara dan pelaksanaannya melibatkan guru prasekolah yang dikelolakan oleh empat agensi utama, iaitu Kementerian Pelajaran Malaysia,Jabatan Kemajuan Masyarakat (KEMAS), Jabatan Perpaduan dan Intergrasi Nasional (JPIN) dan pihak swasta.

Mengambil kira dari senario ini, kepesatan pendidikan telah menjadikan pendidikan pada peringkat awal kanak-kanak telah menjadi keutamaan dalam memastikan pendedahan asas dikenalkan kepada kanak-kanak, pada tahun 2009 seramai 650,000 kanak-kanak mengikuti pembelajaran prasekolah di prasekolah yang berdaftaran dengan KPM (KPM 2009). Pelbagai usaha telah dikenalpasti dan telah direncanakan bagi membangunkan sumber pendidikan bagi memastikan guna tenaga dapat diteruskan kesinambungannya untuk masa depan negara.

Page 195: Proceeding jilid 2

606

Dasar peluasan prasekolah juga telah menjadi dalam senarai utama NKRA dan ia telah mensasarkan 87% peningkatkanan enrolmen kanak-kanak lima dan enam tahun , (NKRA 2011).

Tuntutan globalisasi di masa kini, dan dunia tanpa sempadan memaksa kita untuk melihat semula jenis pelajar yang bakal dihasilkan menerusi kurikulum yang ada setakat ini. Langkah Menteri Pendidikan merangka satu pelan yang melihat perkembangan pelajar secara holistik adalah wajar agar negara dapat mengeluarkan pelajar-pelajar yang mampu keluar dari kotak minda sedia ada serta dapat membuat perubahan yang berupaya membantu tenaga yang kompetatif, berkualiti dan boleh menyumbang kepada pembangunan negara. Dalam proses menyediakan warganegara Malaysia dengan pendidikan yang lengkap bagi mengisi dua keperluan utama iaitu keperluan individu dan keperluan negara, kualti sumber tenaga kerja perlu dirancang dan diurus dengan teliti. Agenda pelajaran nasional bagi abad ke 21 perlu dibentuk supaya relevan dan koheran dengan keadaan pada masa itu dan boleh memenuhi matlamat-matlamat yang ditentukan.

Penerapan pendidikan awal yang berkualiti menjadi satu keperluan yang mampu memberi impak yang besar pada masa depan negara. KSPK digubal berdasarkan rekabentuk kurikulum standard, berbentuk modular dan berkisar pada enam tunjang yang akan diteruskan di peringkat pendidikan rendah dan menengah. KSPK digubal berdasarkan kepada prinsip Amalan Besesuaian dengan Perkembangan Kanak-kanak dan teori pembelajaran kanak-kanak. Pendekatan pembelajaran berpusatkan murid, inkuiri penemuan, belajar melalui bermain, pendekatan bertema dan bersepadu adalah ditekankan. Kriteria pemilihan aktiviti memberi keutamaan kepada pengalaman yang meyuburkan (enriching), penglibatan aktif (engaging), selamat (safe) dan menyeronokan (fun), KSPK ( 2010). Konseptual Reggio Emilia dalam penerapkan terhadap pendidikan awal kanak-kanak dilihat mampu menerapkan konseptual KSPK yang diperkenalan dengan lebih bermakna sesuai dengan fitrah kanak-kanak. Reggio Emilia Dari Sebuah Pekan Kecil Ke Idea Sejagat

Berlatarbelakangkan era pasca perang dunia ke dua, Reggio Emilia adalah satu daerah di utara Itali. Diasaskan oleh Loris Malaguzzi (1920-1994) , dengan memberi pendidikan asas kepada kanak-kanak seawal tiga tahun sehingga ke usia enam tahun., (Morrison, 2014). Dengan memberi kanak-kanak satu proses pendidikan asas sesuai dengan persekitaran pada masa itu, pendidikan asas adalah untuk memberi pendedahan awal yang dapat memberi kanak-kanak satu konsep yang mampu membawa mereka dari keruntuhan atas insiden peperangan yang berlaku. Memberi kanak-kanak bebas memberi idea dan menjana projek dalam proses pendidikan menjadi kekuatan konsep program Reggio Emilia.

Menekankan asas pendidikan berkonsepkan pendekatan konstruktivisme, program Reggio Emilia lebih memberi fokus kepada praktikaliti pengetahun yang digemblengkan sejajar dengan konsep perkembangan kanak-kanak mengikut zon proksimal (ZPD) yang memberi kebebasan belajar dengan bimbingan orang dewasa.. Menerusi kebebasan mengikut proksimal kanak-kanak, mereka akan dapat mengembangkan abiliti untuk pembelajaran menerusi fokus terhadap pembelajaran, pemerhatian dan penyelesaian masalah., (Parke D.R & Gauvin.R 2009). Menerusi pendekatan ini juga kanak-kanak akan lebih bergerak secara

Page 196: Proceeding jilid 2

607

bebas, kerja berkumpulan dan mempertimbangkan persekitaran yang sesuai dalam melaksana pembelajaran yang dijalankan kelak.

Dengan konsep kepada pembangunan diri dan pembangunan setempat kerana kemusnahan peperangan, program Reggio Emilia ingin mengarap sikap yang lebih berdikari dalam diri kanak-kanak pada ketika itu dengan menerapkan elemen-elemen persekitaran dan memberi ruang sepenuhnya sambil dibantu oleh guru-guru yang lebih berperanan sebagai pembimbing telah berjaya membawa program yang diperkenalkan sebagai satu idea yang besar dan berkembang maju di dunia. Menerusi program yang di perkenalkan di Reggio Emilia ini ia dapat memberi kesan yang positif bukan sahaja terhadap perkembangan pembelajaran kanak-kanak tetapi ia juga mampu memperkembangkan budaya inovasi dan mencipta dalam diri kanak-kanak, (Morrison 2014). Menerusi program ini, maka satu model contoh pembelajaran kanak-kanak dapat dicetuskan menerusi idea-idea yang mantap serta mampu memberi pulangan yang berkesan menerusi program-program jangka panjang kerana program ini lebih menekan proses yang boleh diaplikasi sesuai dengan prosdur yang menjadi prinsip utama Reggio Emilia ini Prinsip Pengajaran Dan Pembelajaran Reggio Emilia

Menerusi model program Reggio Emilia ini, ia mengariskan beberapa konsep yang mudah untuk diikuti sebagai dasar perkembangan pembelajaran kanak-kanak. Terdapat tiga elemen utama dan dikembangkan ditekankan dalam perlaksanaan model program ini. Model ini dapat di lihat menerusi rajah seperti dibawah : RAJAH : ELEMEN ASAS REGGIO EMILIA 3.1 Fitrah Kanak-kanak

Menerusi kosnseptual ini, model Reggio Emilia menekankan satu persepsi terhadap kekuatan kepada abiliti pembelajaran.Kanak-kanak dalam pembelajaran yang diikuti. Kanak-kanak diberi kebebasan sepenuhnya mengikuti kurikulum yang digubal sesuai dengan fitrah sebagai kanak-kanak , Morrison, 2014. Dengan ini proses pembelajaran menjadi lebih luwes dan mudah diadaptasi oleh kanak-kanak kerana mereka adalah aktif, gemar bermain menjadi kekuatan kepada skop ini. Dengan memberi kanak-kanak hak mereka dalam konspe pembelajaran dilihat menjadi satu faktor yang boleh memberi kanak-kanak ruang untuk membesar dan belajar mengikut proses yang sihat.

Menerusi aspek ini juga kekuatan hubungan diantara individu dan orang-orang yang berada disekeliling kanak-kanak juga turut memberi makna dalam proses kanak-kanak dalam model program ini. Dengan mewujudkan hubungan yang jelas, mudah difahami alam berupaya memberi kesan yang sangat signifikat dalam proses pembelajaran yang akan dijalankan. Kanak-kanak akan dapat belajar dengan suasana yang lebih sesuai dengan rakan sebaya dan mereka dapat menyesuaikan diri dengan persekitaran dalam konteks lingkungan yang ada pada ketika itu.

Pendidik berusaha agar dapat memberi satu ruang pembelajaran yang sesuai kerana ini akan memberi satu makna yang positif lebih-lebih lagi dalam merangsang pembelajaran kanak-kanak. Suasana ini juga menyokong dinamika komunikasi dalam kalangan kanak-kanak, kerana konsep pembelajaran kanak-kanak sangat disokong atas faktor sosial interaksi seperti mana yang telah

Page 197: Proceeding jilid 2

608

diadaptasi oleh Vygotsky dan Montessori, Santrock JW (2011). Dengan wujudnya interkasi yang sihat dalam persekitaran kanak-kanak ia juga boleh merangsang pembelajaran bahasa, sesuai dengan keutamaan tunjang utama dalam KSPK yang diperkenalkan oleh KPM pada tahun 2010. 3.2 Peranan Guru dan Ibu Bapa

Menerusi model ini, peranan orang dewasa terutamanya guru dan ibu bapa amat ditekankan. Dengan mengambil kira kepentingan hubungan dalam perkembangan pembelajaran kanak-kanak ia amat menekankan guru yang berkualiti dalam melestarikan keberkesanan hasil yang akan didapati kelak. Aspek guru dan peranan ibu bapa dalam menjayakan program ini dapat dilihat menerusi peranan yang dimainkan oleh setiap individu yang berada dalam program ini. Menerusi peranan ini guru dilihat sebagai pembimbing dan pemudahcara yang banyak menggalakkan kanak-kanak menyesuaikan dan menjayakan sesuatu projek yang dilaksanakan kelak.

Tugas guru diungkapkan juga sebagai rakan kongsi dalam menjayakan proses pembelajaran kanak-kanak di prasekolah. Setiap guru akan dilatih menjadi atelierista dimana guru yang terbabit akan lebih terarah kepada seni yang berbentuk visual dan menggalakkan pembabitan kanak-kanak merangkumi semua kelompok dari peringkat taksa dan prasekolah. Studio seni juga diwujudkan dengan memberikan sepenuhnya kebebaskan kepada kanak-kanak untuk berkarya dibantu oleh guru dan ibu bapa.

Peranan ibupa dan penjaga kanak-kanak dalam program Reggio Emilia turut menjadi pautan yang penting dalam menjayakan program pendidikan awal kanak-kanak. Koloborasi diantara ibubapa dan pentadbir pengurusan prasekolah sangat banyak membantu proses perkembangan pembelajaran kanak-kanak. Dengan wujudnya komunikasi dan interaksi diantara guru dan ibubapa ia dapat menjadikan para ibubapa merasa bertanggungjawab terhadap pembelajaran anak-anak mereka dan berusaha menyokong program pendidikan yang dijalankan oleh pentadbir prasekolah. 3.3 Persekitaran pembelajaran

Peranan persekitaran pembelajaran dalam model program Reggio Emilia meliputi kerangka ruang fizikal yang kondusif dan mesra kepada pelawat juga dititikberatkan dalam program ini. Suasana dalam keakrafan komunikasi sangat digalakan dalam proses pembelajaran program ini. Dengan mewujudkan raung pembelajaran yang mengalakkan kepada aktiviti yang berbentuk hands on. Ruang pembelajaran yang sesuai direka dan diberi penekanan, ini dapat merangsang kanak-kanak lebih berkarya, menyelesaikan masalah dan meneroka alam sesuai dengan aktiviti yang dirangka bersama guru mereka.

Ruang pembelajaran dilaksanakan di satu ruang legar berbentuk bengkel di setiap premis model program Reggio Emilia. Bengkel ini dikenali sebagai Atelier dimana ia khusus untuk kanak-kanak membuat aktiviti berbentuk praktikal dan mengandungi bahan-bahan yang sesuai dengan kegiatan pembelajaran yang bakal dijalankan. Ia juga mencakupi bahan-bahan untuk seni lukis, pertukangan, perkebunan hatta sekali dengan bahan-bahan untuk melaksanakan kajian mudah dalam dunia sains, Crosser.S(2005). Kanak-kanak bebas untuk menggunakan mana-mana medium bahan dan pembelajaran sesuai dengan konsep pendekatan berbentuk projek dan ini banyak memberi kanak-kanak menjana idea, kreativiti

Page 198: Proceeding jilid 2

609

bersama rakan dan dibantu oleh guru dan ada kalanya di bantu oleh ibubapa kanak-kanak tersebut.

Melihat dari konseptual ini, persekitaran yang diwujudkan menerusi model ini,mempunyai hubungan menerusi interaksi yang berupaya memberi kesan yang positif dalam perkembangan sosioemosi kanak-kanak. Dengan kelonggaran masa dan kesesuaian kepada aspek pengajaran dan pembelajaran menerusi dunia kanak-kanak sesuai dengan sensori deria dan fizikal dalam aspek perkembangan kanak-kanak, mereka akan membuat penerokaan selaras dengan dunia kanak-kanak. Konsep ini sesuai dengan misi melahirkan kanak-kanak yang boleh menyelesaikan masalah, mencari jalan iktiar hidup sesuai dengan nilai setempat yang dimiliki dan dapat membina jati diri sebagai rakyat negara berkualiti dan mampu berdaya saing dipersada luar (KSPK, 2010). 4. Program Praktikal Reggio Emilia

Amalan kurikulum yang bersesuaian dibentuk untuk membina pengetahuan kanak-kanak dan kemahiran dalam setiap aspek kanak-kanak secara holistik. Ianya harus sesuai dengan cara belajar menerusi pendekatan bersepadu. Aspek ini mempunyai signifikan yang sangat berpengaruh dalam merangka satu bentuk kurikulum yang sesuai dengan kanak-kanak.

Penekanan Reggio Emilia memberatkan kaedah koperatif dalam perjalanan pembelajaran kanak-kanak. Guru dipasangkan dalam setiap kelas agar dapat memantau dan membimbing kanak-kanak secara dekat dalam aktiviti pembelajaran yang akan dilaksanakan kelak. Kekuatan hubungan sesama rakan sejawat memberi kesan yang positif terhadap rasa ukuwah disamping memberi rasa kekitaan yang membawa guru berkerjasama menjayakan program ini, Morrison.G(2014). Perancangan melibatkan projek open ended jangka panjang merupakan aspek utama dan berpengaruh dalam mewujudkan koloborasi antara kanak-kanak dan guru, Crosser,S(2005). Melihat kekuatan ini, faktor guru memainkan aspek penting kerana guru dapat merangsang kanak-kanak menerusi pembelajaran secara scaffolding dengan menjana idea dan kreativiti menerusi projek yang dipilih bersama-sama.

Model Reggio Emilia banyak berinsiatif kepada guru dan kanak-kanak dalam melaksanakan pembelajarannya sama ada di dalam bilik darjah atau pun di luar darjah. Menerusi prinsip utama yang disepadukan dalam program model ini ia melibatkan prinsip pendekatan seperti dibawah ini. 1. Kurikulum dirancanag berdasarkan rundingan dan persetujuan bersama di

antara kanak-kanak, orang dewasa ( guru dan ibubapa ). 2. Projek dan tema mengikut perkembangan konsep dan idea sepenuhnya dari

kanak-kanak , guru berperanan sebagai pemudahcara atau pembimbing kepada aspek projek yang dipilih oleh kanak-kanak.

3. Kanak-kanak memilih project, meneruskan projeck yang dipilih sendiri dan membina hipotesis, meneroka idea dan kembali semula dengan idea yang baru dan menyesuaikannya dengan projek yang bakal dilaksanakan kelak.

4. Dokumentasi hasil kerja kanak-kanak akan dibuat bermula dari mereka melaksanakan aktiviti yang dijalankan. Dokumetasi ini penting untuk memastikan kejayaan projek yang dijalankan. Pendokumentasian ini akan dipamerkan diruang pembelajaran kanak-kanak agar kronologi projek mudah diikuti oleh kanak-kanak disamping memberi mereka motivasi dalam membuatkan projek yang dikendalikan oleh mereka.

Page 199: Proceeding jilid 2

610

Pengalaman pembelajaran yang bermakna, memberi penekanan kepada

penglibatan murid secara aktif dalam aktiviti sebenar agar mereka boleh mengaitkan kepada kehidupan seharian. Prinsip pembelajaran bermakna ini banyak diterap masuk dalam prinsip pembelajaran Maria Montessori (Morisson 2014). Penguasaan kepada yang asas dalam pembelajaran menjadi kata kunci yang amat signifikan dalam penglibatan yang aktif, kanak-kanak akan belajar berdikari menerusi penyediaan yang sesuai dengan persekitaran mereka. Pembelajaran yang menggembirakan iaitu memberi penekanan kepada minat dan bersemangat untuk belajar.

Pembelajaran yang bermakna meliputi kurikulum serta persekitaran yang menyokong kanak-kanak bersemangat dan menambah minat ke arah pembelajaran itu sendiri. Morisson (2014). Mengupas kenyataan ini maka sewajarnya penekanan pembelajaran dalam diri kanak-kanak mencakupi situasi yang menggembirakan dan seronok, sekiranya kanak-kanak merasa seronok maka mereka akan dapat belajar dengan lebih cepat dan berkesan. Bidang pendidikan berhadapan dengan masa depan yang mencabar dan memerlukan perancangan rapi, sistematik dan holistik. Dengan adanya model program Reggio Emilia ini ia memberi satu ruang kepada stakeholder atau mana-mana badan yang memilih satu program pendidikan awal kanak-kanak yang kompetatif dan boleh disepadukan dengan keperluan semasa kini. 2. Rumusan

Pengajaran dan pembelajaran merupakan aspek penting dalam pelaksanaan kurikulum. Menjelang abad ke 21 pelajar perlu mendapat segala kemudahan yang disediakan untuk membantu mereka dalam proses pembelajaran. Sebagai kumpulan pelaksana yang bakal memikul tanggungjawab terhadap aspirasi negara, guru memainkan peranan besar untuk memastikan wadah ini dapat disampaikan dengan cemerlang. seorang guru seharusnya memikirkan tatacara yang dapat mencungkil potensi pelajar tanpa mengira kanak-kanak berada kerana mereka adalah aset yang bakal memacu kejayaan negara.

Sudah sewajarnya mencari sesuatu yang mampu memberi pulangan yang baik dalam amalan dan jati diri perlu dipraktikan. Dengan memahami budaya, latarbelakang pendidikan terutamanya dalam aspek perkembangan profesional amat dituntut. Ilmu pengetahuan yang bersifat luas ni, semakin banyak dipelajari semakin banyak yang diterokai menuntut diri supaya lebih peka dan membuat refleksi kendiri. Dengan ini ia akan membawa satu perubahan yang positif sikapnya mungkin pada pandangan org lain kurang signifikannya tetapi buat diri sendiri dan mengalaminya ia memberi satu makna dan membuat satu “turning point” yang bakal membantu diri membuat perubahan dalam membantu merealisasikan wadah pendidikan di negara Malaysia. Usaha untuk memantapkan kualiti pendidikan negara, pelbagai cara telah ditambah dan diperbaharui agar pendidikan yang disasarkan menepati sasaran kerajaan. Dewasa ini pendidikan awal kanak-kanak sering mendapat tempat keutamaan dalam peningkatkan kualiti pendidikan yang ada. Usaha murni negara yang ingin mencungkil potensi pelajar-pelajar dapat dibangunkan dengan memastikan pemantapan awal dapat dikembangkan dari peringkat akar iaitu pendidikan awal kanak-kanak.

Perubahan yang telah dibuat menerusi Akta Pendidikan 1996 dalam pendidikan awal kanak-kanak telah mencorak satu perubahan dalam era

Page 200: Proceeding jilid 2

611

pendidikan negara. Pendidikan awal kanak-kanak yang berkesan memerlukan kurikulum yang universal, global dan ianya harus terancang rapi serta berupaya memenuhi keperluan semasa dan futuristik. Setiap kanak-kanak mempunyai kekuatan dan kelemahan yang tersendiri. Pemilihan program pendidikan awal kanak-kanak yang sesuai dan kompetatif penting kerana ia akan meningkatkan potensi perkembangan kanak-kanak dan membantu mereka supaya mencapai perkembangan yang optimum, disamping sebagai satu titik permulaan yang penting dalam membantu kanak-kanak bermula sebagai seorang insan yang sewajarnya demi menjana aset negara yang berkualiti sesuai dengan misi dan misi KPM. DAFTAR RUJUKAN Clodie Tai (2010), Teacher Tranning and Other Insights, Case study in

Understanding and enhance classroom management skill in preschool tranning , Early Childhood Education J.39 (143-152) springer v

Eliason C, Jenkins L (2008) A Practical Guide to Early Chilhood Curriculum 8 edition, New Jersey, Prearson education Ltd.

George S. Morrison ( 2014 ) Early Childhood Education Today, Upper Saddle River New Jersey USA : Pearson Merrill Prrentice Hall.

Jurnal Penyelidikan Pendidikan ( 2004 ), Jendela Kelabu : Pendekatan Kualitatif dalam Kajian Tindakan ( atas talian ) http://www.emoe.gov.my/bppdp, diperolehi pada 10.12.2006.

Kat. L.G (2000) Current Issues in Early Chilhood Education, Champaign IL, Eric ( ED 281908).

Kurikulum Standard Prasekolah Kebangsaan ( 2010 ) Pusat perkembangan Kurikulum, Kementerian Pendidikan Malaysia.

Kostelnik J. Marjorie, Soderman K. Whiren P. Alice ( 2004 ) Develpomentally Appropriate Curriculum – DAP , Pearson Education Upper Saddle River New Jersey.

Mastura Badzis (2008) Kepentingan Pendidikan Awal Sebagai Asas Pembentukkan Bangsa , Institut Pendidikan UIAM , Jilid 1 ms 12 -23

Pusat Perkembangan Kurikulum, (2001) Pembelajaran Secara Konstruktivisme : Kementerian Pendidikan Malaysia.

Rohani Abdullah, 2001 ) Perkembangan Kanak-kanak : Penilaian secara Portfolio, Serdang , Universiti Putra Malaysia.

Rohani Abdullah, Nani Menon, Mohd Sharani Ahmad (2003) Panduan Kurikulum Prasekolah, Kuala Lumpur : PTS Publication And Distributors.

Rebecca S.New, (2005) Reggio Emilia A Cultural Activity Theory in Practice, Theory into Practice, 46(1), 5-13

Sandra Crosser (2005) What Do We Know About Early Childhood Education ? USA : Thomson Delmar Learning.

Page 201: Proceeding jilid 2

612

REKABENTUK PEMBELAJARAN AUTHENTIK MENGGUNAKAN OVT (DESIGNING OF AUTHENTIC LEARNING USING OVT)

Mahamsiatus Kamaruddin, Faridah Hanim Yahya, Hafiza Abas, & Kamarudin

Suib IPG Kampus Pendidikan Teknik, Negeri Sembilan, IPG Kampus Bahasa

Antarabangsa, Kuala Lumpur, Advanced Informatics School, & SMK Seri Indah, Serdang, Selangor

E-mail: [email protected] Abstrak Pembelajaran autentik adalah aktiviti pengajaran dan pembelajaran (P&P) dilaksana berasaskan situasi nyata dan sahih. Aktiviti P&P secara autentik dapat membantu pelajar meneroka dan membincangkan tindakan berkaitan untuk memperoleh kefahaman dan seterusnya merangka serta melaksana penyelesaian mata pelajaran yang dipelajari. Aplikasi multimedia dan teknologi web dikenalpasti mampu merealisasikan persekitaran pengalaman pembelajaran autentik. Namun tidak banyak kajian menjelaskan mengenai reka bentuk pembelajaran autentik menggunakan bahan pembelajaran multimedia seperti video secara atas talian dilakukan. Kajian ini bertujuan membincangkan pelaksanaan reka bentuk pembelajaran autentik matapelajaran Kemahiran Hidup menggunakan bahan multimedia online video tutorial (OVT) yang dibangunkan berasaskan model ADDIE. Bagi melancarkan akses bahan OVT, kod QR (quick response code) digunakan menghubungkan OVT di web bagi P&P. Prinsip pembelajaran autentik yang dikemukakan oleh Herington dan Kevin dijelaskan dalam reka bentuk persekitaran pembelajaran autentik kajian. Pelaksanaan pembelajaran autentik disesuaikan dalam persekitaran pembelajaran dapat melibatkan kemahiran berfikir dalam P&P. Kajian ini berpotensi dikembangkan sebagai rujukan pelaksanaan pembelajaran, program latihan atau pengurusan menggunakan bahan multimedia video secara web. Kata kunci : OVT, Pembelajaran autentik PENDAHULUAN

Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia 2013-2025 menggariskan salah satu anjakan utama transformasi sistem pendidikan negara adalah memanfaatkan ICT bagi meningkatkan kualiti pembelajaran (Kementerian Pelajaran Malaysia, 2013). ICT bermanfaat membantu memperkukuhkan proses pengajaran dan pembelajaran (P&P) di sekolah. Melalui penggunaan ICT, pelajar dapat didedahkan kaedah belajar mengikut kadar kendiri dengan guru bertindak sebagai pemudahcara dan bukan lagi pembekal kandungan mata pelajaran secara langsung.

Menurut Herrington & Kevin (2007), penggunaan teknologi ICT bukan hanya dapat melibatkan pelajar dalam persekitaran pembelajaran yang lebih bermakna, malahan boleh dijadikan sebagai alat meningkatkan kemahiran kognitif pembelajaran pelajar. Teknologi ICT juga boleh dijadikan alat pengupaya minda (intelek) bagi menjana kemahiran berfikir aras tinggi (Higher Order Thinking, HOT)

Page 202: Proceeding jilid 2

613

(Herington & Parker, 2013). Menggunakan teknologi ICT, pembelajaran boleh dilakukan tanpa terikat pada lokasi atau masa belajar, yang menyokong dan memperluaskan akses P&P secara mobile learning (Mahamsiatus et al., 2014; Faridah et al., 2014).

Dengan kemudahan teknologi ICT, talian internet dan pelbagai aplikasi teknologi visual dan simulasi, guru dapat menunjukkan peristiwa lepas, menjelaskan fenomena atau melakukan tunjukcara serta berkomunikasi bersama pelajar tanpa bersemuka (Lombardi, 2007; Herrington et al., 2004). Kemunculan teknologi alatan pintar seperti iPod, iPad, phablet, tablet, notepad atau alatan yang sepadan menawarkan pengalaman pembelajaran boleh diikuti samada secara visual dan autentik. Oleh itu, guru tidak hanya perlu bergantung kepada Ms Power Point untuk menyampaikan P&P, malahan dapat memfokuskan kepada kandungan dan pengetahuan yang ingin disampaikan secara lebih khusus (Herrington & Kervin, 2007).

Aplikasi multimedia dan teknologi web dikenalpasti mampu merealisasikan persekitaran pengalaman pembelajaran autentik pelajar (Herrington & Kervin, 2007; Mahamsiatus, 2014). Menggunakan bahan pembelajaran autentik, pelajar tidak hanya belajar secara abstrak tetapi dapat belajar secara lebih nyata dan secara konstekstual (Lombardi, 2007). Melalui bahan multimedia seperti video tutorial yang menunjukkan tunjuk cara proses dalam P&P sebagai bahan bantu pembelajaran autentik, berguna untuk melatih pelajar mengenai kemahiran yang melibatkan penguasaan langkah kerja tertentu bagi memperkenalkan kemahiran baru yang boleh diulang semula seperti mempelajari teknik jahitan dan sebagainya (Mahamsiatus et al., 2014). Bahan pembelajaran autentik berasaskan online video tutorial (OVT) yang boleh diakses atas talian menggunakan kod QR (quick response code) didapati dapat mengatasi pemasalahan guru mengajar pelajar yang mempunyai tahap kognitif dan gaya pembelajaran yang berbeza. OVT berfungsi membantu pembelajaran berlaku secara lebih fleksibel dan mempelbagaikan pengalaman pembelajaran pelajar (Faridah et al., 2014).

Memandangkan keperluan semasa abad ke-21, sekolah atau institusi mempunyai halatuju masing-masing dalam menghadapi cabaran pendidikan supaya pelajar dapat menguasai kemahiran yang lebih kompleks dan terperinci, didapati pada masa kini tidak banyak kajian menjelaskan pembelajaran autentik menggunakan bahan pembelajaran multimedia seperti OVT dilakukan khususnya bagi mata pelajaran Kemahiran Hidup. P&P mata pelajaran ini sering berlaku dengan guru melakukan demonstrasi dalam kumpulan kecil. Selain masa pembelajaran untuk mata pelajaran Kemahiran Hidup bagi subtajuk tertentu yang melibatkan tunjukcara, P&P mata pelajaran ini memerlukan guru dapat menjelaskan dengan teratur supaya skil kemahiran tersebut dapat dikuasai dengan baik oleh semua pelajar secara segerak. Mata pelajaran Kemahiran Hidup merupakan subjek yang wajib diikuti pelajar di peringkat sekolah rendah dan menengah di Malaysia. Di antara fokus mata pelajaran Kemahiran Hidup (Lembaga Peperiksaan Malaysia, 2012) ini adalah untuk supaya pelajar dapat mengaplikasi kemahiran, mengaplikasikan kreativiti dan seterusnya mengaplikasikan dalam cara bekerja menggunakan skil yang dipelajari.

Oleh demikian, kajian ini bertujuan membincangkan pelaksanaan reka bentuk pembelajaran autentik bagi matapelajaran Kemahiran Hidup menggunakan OVT. Objektif kajian ini adalah seperti berikut :

Page 203: Proceeding jilid 2

614

(a) Menjelaskan pembangunan OVT berdasarkan pembelajaran autentik (b) Menjelaskan rekabentuk P&P menggunakan OVT berdasarkan pembelajaran

autentik. LATAR BELAKANG KAJIAN (a) Online Video Tutorial (OVT)

Bahan pembelajaran yang digunakan untuk P&P perlu dapat membantu pelajar untuk belajar dengan cara yang betul, menambah pengetahuan dan meningkatkan pemikiran kognitif pelajar. Oleh itu, memilih bahan bantu pembelajaran yang sesuai penting, supaya pelajar dapat menyesuaikan mod pembelajaran mereka serta mengguna dan mengawal pembelajaran secara kendiri. Kajian rintis mengenai tahap kesediaan pelajar menggunakan OVT berdasarkan kajian Faridah et al. (2014) menunjukkan OVT sesuai menyokong pembelajaran kendiri pelajar bagi pembelajaran mudah alih (mobile learning).

OVT adalah koleksi video atas talian di web untuk P&P yang disediakan menggunakan teknik screencast. Screencast merupakan teknik merakam pergerakan penuding di skrin komputer bagi menjelaskan tunjuk cara proses atau langkah kerja dengan menggunakan perisian suntingan khas, contohnya menggunakan perisian Camtasia Studio (Faridah et al., 2014). Melalui teknik screencast bahan koleksi video tutorial dihasilkan sebagai bahan pembelajaran autentik untuk menggalakkkan know-how pelajar bagi mencapai sesuatu objektif pembelajaran yang ditentukan (Mahamsiatus et al. 2014). Teknik ini membantu pelajar untuk memahami langkah kerja dalam menjelaskan sesuatu tugasan. Aplikasi teknik screencast telah diterima oleh Kementerian Pelajaran Malaysia (KPM) sebagai salah satu strategi pengajaran untuk pelajar sekolah rendah mempelajari konsep baru mata pelajaran TMK Tahun 4 di sekolah rendah di Malaysia (Faridah et al. 2014).

Dalam kajian ini, kod QR telah dibangunkan untuk memudahkan pengguna mengakses bahan OVT bahan pembelajaran autentik secara mudah alih. Kod ini adalah kod bar matrik dua dimensi yang merupakan inovasi oleh Denso Wave di Jepun pada tahun 1994 (Lai et al. 2013; Ramsden & Jordan, 2009). Pengguna boleh menggunakan peranti mudah alih yang mempunyai fungsi kamera dan perisian pembaca kod QR untuk mencapai koleksi OVT secara atas talian menggunakan talian internet. OVT dibangunkan menggunakan model reka bentuk pembelajaran ADDIE yang menggariskan lima fasa reka bentuk pembangunan iaitu fasa analisis, reka bentuk, pembangunan, pelaksanaan dan penilaian. Model rekabentuk pengajaran ini dihasilkan untuk menjadi garispanduan untuk menjalankan sesuatu proses pengajaran dan pembelajaran dengan berkesan (Gagne et al., 2005). Pembangunan OVT berdasarkan reka bentuk model ADDIE dijelaskan seperti Jadual 1 berikut.

Page 204: Proceeding jilid 2

615

Jadual 1 : Model ADDIE Dalam Pembangunan OVT ADDIE Keterangan

- Analysis (Analisis)

- mengkaji laman video dalam talian yang sedia ada, pengguna sasaran dan analisis mengapa OVT yang diperlukan

- mengenalpasti dua jenis video rakaman skrin untuk OVT : skrin yang dirakamkan dan persembahan PowerPoint direkodkan

- mengenalpasti pengguna sasaran untuk OVT mata pelajaran Kemahiran Hidup : guru / pensyarah dan pelajar-pelajar dari semua peringkat pendidikan: rendah, menengah dan pengajian tinggi

- menentukan fokus OVT sebagai rujukan pembelajaran

- Design

(mereka bentuk)

- menentukan matlamat video screencast berdasarkan hasil fasa analisis dan menyenaraikan spesifikasi reka bentuk

- merangka/membangunkan kemudahan perkongsian kandungan untuk memuat naik video

- merangka/membangunkan penjanaan kod QR secara automatik oleh laman web apabila video dimuat naik

- Developmen

t (pembangunan)

- membangunkan bahan OVT berdasarkan spesifikasi reka bentuk meliputi kategori mengenai video dalam OVT

- Implementat

ion (pelaksanaan)

- menggunakan OVT dalam P&P

- Evaluation (menilai)

- uji lari OVT - setiap fasa kembali ke fasa sebelumnya atau ke

hadapan untuk penambahbaikan

(b) Pembelajaran autentik

Pembelajaran autentik tertumpu bagi mata pelajaran yang melibatkan sama ada untuk menunjukkan peristiwa sebenar, penyelesaian kompleks, latihan berperanan, aktiviti berasaskan masalah, kajian kes, dan sebagainya (Herrington & Kevin, 2007). Kelebihan aktiviti P&P secara autentik dapat membantu pelajar meneroka dan membincangkan tindakan berkaitan untuk memperoleh kefahaman dan seterusnya merangka serta melaksana penyelesaian mata pelajaran yang dipelajari (Chan et al., 2013; Lombardi, 2007; Herrington & Parker, 2013). Justeru

Page 205: Proceeding jilid 2

616

pelajar boleh menghubungkaitkan pengetahuan teoritikal dan diaplikasikan pada keadaan sebenar.

Prinsip pembelajaran autentik berdasarkan kajian Herrington dijelaskan dalam kajian ini. Prinsip pendekatan pembelajaran autentik yang diadaptasi daripada Herrington & Kevin (2007) dikemukakan seperti pada Jadual 2 berikut memandangkan telah dirujuk oleh kebanyakan pengkaji sebelum ini.

Jadual 2: Prinsip Pendekatan Pembelajaran Autentik (Adaptasi daripada Herrington & Kevin, 2007)

Prinsip Keterangan Relevan dunia sebenar

- memberi peluang menunjukkan aktiviti yang sepadan / bertepatan / tulen dengan tugasan atau konteks

- memindahkan fakta atau konsep yang abstrak kepada dunia sebenar

Terbuka - memberi peluang dapat mengenalpasti / mentafsir / menginterpretasi penyelesaian dan sub tugas berkaitan yang diperlukan untuk penyelesaian tugas utama

Kompleks - memberi peluang melakukan penyelesaiaan lanjut yang memerlukan penyiasatan lanjut signifikan berkaitan situasi masalah

Mempelbagaikan sumber / persepktif

- memberi peluang mengkaji tugasan dari pelbagai perspektif serta menggunakan pelbagai sumber teoritikal atau praktikal bagi mengakses dan mengenalpasti maklumat lain yang relevan

Kerjasama - memberi peluang intergrasi / koloborasi untuk mempelbagaikan pilihan penyelesaian

Refleksi - memberi peluang membuat pilihan seterusnya memilih yang bersesuaian

Merentas disiplin - memberi peluang merentas disiplin ilmu / antara mata pelajaran

Penilaian menyeluruh

- memberi peluang penilaian aktiviti secara menyeluruh situasi sebenar

Membina hasil kendiri

- memberi peluang menghasilkan produk sendiri yang mempunyai makna dan berguna

Kepelbagaian hasil

- Memberi peluang pelbagai cara penyelesaian

Walau bagaimanapun, menurut Lombardi (2007), bagi menjayakan P&P

menggunakan pendekatan pembelajaran autentik berasaskan teknologi ICT, beberapa faktor kejayaan turut perlu diberi tumpuan. Dimensi faktor kejayaan berdasarkan adaptasi kajian Lombardi (2007) ini dijelaskan seperti Jadual 3 berikut:

Page 206: Proceeding jilid 2

617

Jadual 3 : Faktor Kejayaan Penggunaan Teknologi ICT dalam Pembelajaran Autentik

Keterangan Dimesi Faktor

Kejayaan Sumber Manusia

Kemahiran mengurus tingkah laku pembelajaran pelajar menggunakan teknologi ICT

- Peranan pengajar

Kemahiran menggunakan perisian untuk perkongsian / akses bahan atas talian

- Peranan pengajar

- Peranan pelajar Kemahiran mengendalikan peralatan

komputer / peralatan mudah alih (mobile) - Peranan

pengajar - Peranan pelajar

Kemahiran integrasi maklumat / komunikasi seperti blog, e-portfolio, kuiz dan lain-lain

- Peranan pengajar

- Peranan pelajar Kemahiran pemetaan konsep / teori

kepada pembangunan bahan digital - Peranan

pengajar Menilai hasil / kesan pengajaran bagi

meneroka alternatif penambahbaikan - Peranan

pengajar Teknologi

Prasarana akses / kelajuan internet - Teknologi Mekanisme teknologi selari / tidak selari

seperti aplikasi sosial - Teknologi

Mekanisme maklumbalas / cadangan - Teknologi Reka bentuk Pendekatan Pembelajaran Autentik Menggunakan OVT

Penggunaan teknologi ICT menggalakkan pembelajaran yang fleksibel dan mengurangkan kebergantungan pembelajaran kepada tenaga pengajar. Cadangan reka bentuk pendekatan pembelajaran autentik menggunakan OVT seperti pada Rajah 1 berikut merangkumi langkah sebelum pelaksanaan P&P dan semasa pelaksanaan P&P berlangsung yang turut merangkumi peranan pengajar, peranan pelajar dan teknologi secara khususnya. RUMUSAN

Teknologi ICT memberi ruang penerokaan dan persekitaran pembelajaran yang lebih luas kepada para pelajar dalam mendapatkan sumber bahan pembelajaran. Dalam kajian ini, pendekatan pembelajaran autentik telah diterapkan berdasarkan penggunaan OVT yang dihasilkan. Dalam konteks pendekatan pembelajaran autentik pelajar disediakan pengalaman belajar bermula daripada aras mengetahui kepada aras mengaplikasi seterusnya menghasilkan bahan sendiri.

Hasil kajian ini diharap dapat mendedahkan kepada guru yang mengajar mata pelajaran Kemahiran Hidup untuk membangun dan menggunakan OVT dalam P&P. OVT yang dibangunkan boleh digunakan berulang kali sebagai bahan

Page 207: Proceeding jilid 2

618

bantu mengajar pada masa hadapan. Selain OVT dapat membantu mengatasi masalah kesuntukan masa guru bagi melakukan demonstrasi tunjuk cara subtajuk tertentu berkaitan kurikulum mata pelajaran ini. Pelajar pula berpeluang menggunakan OVT sebagai pengukuhan pembelajaran kendiri mereka mengikut kemampuan masing-masing sama ada di dalam atau di luar bilik darjah. Kajian berpotensi ini dikembangkan sebagai rujukan pelaksanaan pembelajaran autentik dalam P&P khususnya atau program latihan serta pengurusan berasaskan bahan multimedia secara atas talian.

DAFTAR RUJUKAN Chen G.D., Nurkhamis, Wang, C.Y., Yang, S.H., Lu, W.Y., Chang, C.K. (2013).

Digital learning playground: supporting authentic learning experiences in the classroom. Interactive Learning Environment, 21, 2, 172-183.

Faridah H.Y., Hafiza A., Mahamsiatus K., Zahisham Y. (2014). Quick Responce (QR) code for online video tutorial repository (OVTR). Conference, Competition & Exhibition 2014, Politeknik Seberang Perai, Pulau Pinang – Gold Medal.

Gagne R.M., Wager W.W., Golas K.C., Keller J.M. (2005). Principles of Instructional Design (5th ed). California: Wadsworth. Holy Bible- New King James Version. Jonassen.

Herrington, J., Kervin, L. (2007). Authentic learning supported by technology: 10 suggestion and cases of integration in classrooms. University of Wollongong, Reserach Online.

Herrington, J., Parker. J. (2013). Emerging technologies as cognitive tools for authentic learning. British Journal of Educational Technology, 44, 4, 607-615.

Herrington, J., Reeves, T., Oliver, R. Won, Y. (2004). Designing authentic activities in web-based courses. Akses pada 5 Mei 2015 di http://authenticlearning.info/CQU2015/Authentic_eLearning_files/JCHE.pdf

Kementerian Pelajaran Malaysia (2013). Pelan Pembangunan Pendidikan 2013-2025.

Lai H.C., Chang C.Y., Li W.S., Fan Y.L., Wu Y.T. (2013). The implementation of mobile learning in outdoor education: application of QR codes. British Journal of Education Technology, 44, 2, 57-62.

Lembaga Peperiksaan Malaysia (2012). Dokumen Standard Prestasi Bagi Pentaksiran Sekolah Kemahiran Hidup Bersepadu.

Lombardi, M.M. (2007). Authentic learning for the 21st century: an overview. Edu cause Learning Initiative, 1-12.

Mahamsiatus K., Faridah H.Y., Hafiza A. (2014). Tahap kesediaan penggunaan kod QR dalam melearning oleh pelajar IPGKPT. Seminar RISE 2014, Politeknik Nilai, Negeri Sembilan.

Ramsden, A. & Jordan, L. (2009). Are students ready for QR codes? Findings from a student survey at the University of Bath. Working Paper University of Bath. (Unpublished).

Page 208: Proceeding jilid 2

619

INOVASI PENATARAN MAKLUMAT SECARA EMEL BERKUMPULAN: SATU KAJIAN KES DI IPG KAMPUS

PENDIDIKAN TEKNIK

Mohamed Nazul Ismail, Kamsiah Ab Rashid, Muaaz Muhammad, Normala Mohd, Sabariah Ismail

Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur Abstrak This study is aimed to design an email group for each class of students. The process of the formation of this group email using domain server yahoogroups.com based on Co-creation 'L-E-R' Model. Formation of group emails involving all full-time students in Teacher Training Institutes Technique Education Campus, Bandar Enstek. The findings showed that a total of 8 group email address has been created during the period of this study. The major contribution of this study, the administration could provide information to all students simultaneously coincide with the ICT infrastructure available. MOTIVASI KAJIAN

Kemajuan aplikasi internet telah banyak mempengaruhi kehidupan kita pada hari ini. Ia meliputi cara kita berkomunikasi dan mendidik generasi masa depan. Generasi hari ini digelar generasi internet (Net generation). Proses mendidik ini pastinya berbeza dengan generasi masa lalu. Generasi internet ialah sekumpulan manusia yang lahir selepas 1965 (Oblinger & Oblinger 2006). Sebahagian besar generasi ini begitu cakna dengan gajet ICT masa kini. Internet bagaikan oksigen kepada generasi ini. Kegemaran melayari internet menjadi punca kepada perkembangan pesat gajet teknologi untuk memenuhi kehendak pengguna (Muriati Mukhtar et al. 2012). Keupayaan internet meliputi pelbagai aplikasi seperti rangkaian sosial, mel elektronik (emel), dan portal yang merupakan proses penyebaran maklumat masa kini. Fenomena ini merentasi pelbagai sektor seperti korporat, pengurusan, pertanian malahan dalam bidang pendidikan. Perkembangan ini harus dimanfaatkan supaya ia dapat meningkatkan produktiviti, penjimatan kos, informasi terkini dan tepat.

Setiap aplikasi internet yang digunakan untuk penyebaran maklumat mempunyai kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Sebagai contoh, penggunaan aplikasi seperti Facebook dan Google+ banyak membantu dalam penyebaran maklumat dalam jaringan kenalan atau rangkaian sosial (sosial network). Penyebaran ini bersifat serentak dan segera kepada setiap ahli dalam jaringan tersebut. Paparannya juga dipengaruhi oleh minat, identiti, personaliti seseorang dan dalam konteks kenalan mesra. Manakala penyebaran maklumat melalui portal bersifat sehala. Selain itu, penggunaan emel juga melibatkan penyebaran maklumat. Jika dibandingkan penyebaran maklumat melalui rangkaian sosial, emel didapati mempunyai batasan kawalan keselamatan yang lebih baik. Menyedari kelebihan itu, maka emel berkumpulan dibangunkan untuk menyampaikan maklumat penting kepada setiap ahlinya. Sehubungan itu, aplikasi ini digunakan untuk para pelajar di IPG KPT, Bandar Enstek.

Page 209: Proceeding jilid 2

620

LATAR BELAKANG LOKASI KAJIAN IPG Kampus Pendidikan Teknik, Bandar Enstek baru sahaja beroperasi.

Pelbagai kemudahan asas telah disediakan bagi meningkatkan tahap keupayaan guru pelatih seperti bangunan, peralatan dalaman, asrama, kafeteria dan lain-lain lagi. Kampus ini merupakan pusat latihan guru yang baharu dan mula beroperasi pada 2013. Walau bagaimanapun masih terdapat kemudahan lain yang belum sempurna. Kampus ini berpindah dari lokasi asal di Cheras, Kuala Lumpur. Dalam proses transisi ini banyak perkara memerlukan pengubahsuaian, pengorbanan, inovasi, adaptasi dan kemahiran komunikasi yang sesuai dengan persekitaran sedia ada. Namun demikian, proses pengajaran dan pembelajaran tetap perlu diteruskan seperti sedia kala. Tidak kurang juga, peranan Jabatan Hal Ehwal Pelajar yang ditugaskan untuk memgembleng modal insan dari aspek pengurusan asrama, disiplin, kebajikan serta sosial dan pengembangan pelajar secara keseluruhan.

Menyedari hakikat bahawa kumpulan guru yang belajar di kampus ini adalah kumpulan generasi internet. Mereka berkemampuan memiliki dan menggunakan ‘handheld devices’ seperti telefon bimbit, smartphone dan iphone. Keupayaan talian internet secara berwayar atau tanpa wayar (wifi) di sekitar kampus juga memuaskan iaitu 100MB. Keupayaan internet ini boleh menjana 4000 alamat protokol internet (IP address) dalam satu masa. Pada kapasiti ini juga seramai 1024 orang pengguna tanpa wayar boleh berinteraksi melalui internet selama 4 jam pada sela masa yang sama. Kemudahan ini mendorong media komunikasi diinovasikan.

Selain itu, lanskap pembangunan kampus ini berbeza dengan kampus lama, terdapat bangunan-bangunan yang didirikan secara terpisah tanpa laluan pejalan kaki berbumbung, tiada pusat akses pelajar secara berpusat, kedudukan kolej kediaman dan dewan kuliah terpisah dengan bentuk muka bumi yang berbukit-bukit menjadikan penyebaran maklumat secara tradisional seperti poster-poster di papan kenyataan menjadi kurang berkesan. Berasaskan kepada senario ini, Jabaatan Hal Ehwal Pelajar khususnya Unit Perkembangan dan Kepimpinan Pelajar mencadangkan inovasi dalam penataran maklumat melalui emel berkumpulan dengan menggunakan pelayan yahoogroups.com sebagai satu pilihan. Pelayan yahoogroups.com dipilih kerana setiap emel berkumpulan boleh mempunyai ahli tidak lebih dari 50 orang dan perkhidmatan ini adalah percuma. Jumlah ini sesuai dengan saiz kelas pelajar di kampus ini yang tidak melebihi 30 orang dalam satu-satu kelas atau kumpulan.

1.2 Inovasi Dalam Penyebaran Maklumat Terdapat beberapa takrif dalam mendefinisikan inovasi. Menurut Croslin (2010) sesuatu produk inovasi hanya diperolehi selepas sesuatu ciptaan itu digunakan dan diterima oleh pengguna untuk meningkatkan nilai sebenar, nilai positif dan nilai transfomatif. Selain itu, inovasi bukanlah sesuatu produk yang baharu tetapi penampilan yang diubah suai untuk meningkatkan kuasa guna (Plattner 2012). Berpandukan definisi ini, jelaslah bahawa emel berkumpulan ini bukan sesuatu penemuan baru dalampenyebaraan maklumat tetapi diinovasikan dalam konteks IPG KPT. Konsep penghantaran mesej diperjelaskan dalam Rajah 1.

Page 210: Proceeding jilid 2

621

Pada setiap nama emel berkumpulan mempunyai lebih daripada satu emel peribadi. Dalam konteks IPG KPT, setiap emel berkumpulan mempunyai tidak kurang daripada 10 emel peribadi. Emel peribadi ini mewakili bilangan ahli dalam sesebuah kelas. Berpandukan Rajah 1, seorang penghantar mesej yang memiliki akaun emel peribadi menghantar mesej kepada pelayan (server) emel kumpulan. Dalam aplikasi pelayan emel kumpulan, terdapat perkhidmatan untuk menyebarkan mesej tersebut kepada setiap ahli termasuk juga penghantar mesej tadi. Semua emel peribadi yang dihimpunkan dalam emel kumpulan itu meneriam mesej tersebut. Proses penghantaran mesej sedemikian perlu melibatkan kerjasama antara ahli kelas, moderator dan pegawai HEP. Oleh itu tujuan kajian ini adalah membentuk emel berkumpulan bagi setiap program mengikut kelas melalui pendekatan nilai cipta-sama. Pendekatan ini dipilih kerana ia mengharmonikan hubungan antara pihak yang memberikan perkhidmatan dan pengguna yang mengharapkan perkhidmatan. Pendekatan ini sesuai untuk inovasi perkhidmatan yang berpusatkan pengguna.

2.0 Aplikasi Model ‘L-E-R’

Model ‘L-E-R’ adalah singkatan kepada ‘Listen – Engage – Respons’. Model ini diperkenalkan oleh Bhalla (2011). Terdapat empat komponen yang saling berinteraksi dalam model ini iaitu: i. Dengar (Listen): Pihak Hal Ehwal Pelajar selaku penyedia perkhidmatan

perlu mendengar apa yang dikehendaki oleh pelajar sebagai pengguna. Proses ini melibatkan cadangan, sumbangsaran, perbincangan secara lisan ataupun bersemuka.

ii. Penglibatan (Engage) : Merujuk kepada kesungguhan pihak Hal Ehwal Pelajar dan pelajar dalam meningkatkan proses penataran maklumat yang cekap. Oleh itu cadangan menggunakan emel kumpulan kerana pada pelayan yahoogroups.com terdapat fitur yang membolehkan kedua-dua pihak iaitu pihak Hal Ehwal Pelajar dan moderator daripada kalangan pelajar mempunyai kuasa kawalan terhadap sistem yang hampir sama.

Penghantar mesej

Pelayan emel kumpulan

Pelayan emel peribadi

Penghantar / penerima mesej

Rajah 1: Konsep penghantaran mesej di antara penghantar dan penerima

Page 211: Proceeding jilid 2

622

iii. Tindakan luaran (Respond Externally) : Media untuk proses cipta-sama (co-creation process) ) di antara pihak Hal Ehwal Pelajar dan pelajar dalam konteks penghantaran dan penerimaan mesej.

iv. Tindakan dalaman (Respond Internally): Menilai semula struktur dan proses kerja dalam perlaksanaan sistem emel berkumpulan. Ia juga melibatkan proses penambahbaikan, kajian masa depan, cadangan kepada sistem alternatif dan pelbagai lagi.

Ringkasnya kerangka kerja ini boleh digambarkan seperti Rajah 2.

Rajah 2 : Kerangka Keupayaan Cipta-Sama Sumber : Bhalla(2011)

Untuk merealisasikan model ini, Bhalla (2011) telah menekan 3 syarat penting dalam proses pemikiran iaitu autentikasi (authentic), keluwesan (flexibility) dan keyakinan (conviction). Autentikasi merujuk kepada ketelusan dan percaya kepada semua pihak terlibat. Dalam hal ini, pelajar diberi kepercayaan untuk membina sendiri emel kumpulan menggunakan pelayan yahoogroups.com. Manakala keluwesan adalah kesediaan pihak Hal Ehwal Pelajar dan pengguna berkongsi kemudahan ini dengan wakil Hal Ehwal Pelajar iaitu pegawai yang didaftar bersama-sama dalam emel kumpulan setiap kelas. Akhirnya syarat ketiga adalah keyakinan penuh mencapai matlamat tanpa unsur sabotaj dan unsur negatif. Model ‘L-E-R’ Bhalla ini juga menonjolkan elemen-elemen penglibatan secara aktif, interaksi secara dalaman dan luaran, tidak menidakkan kuasa pelajar dalam menentukan hala tuju kejayaan sistem penataran maklumat ini. METODOLOGI KAJIAN

Perbincangan metodologi kajian ini melibatkan segmen populasi dan persampelan, dan pembentukan emel kumpulan. Pendekatan kajian kes digunakan dalam penyelidikan ini. Kajian kes dipilih kerana ia fokus kepada keadaan kontemporari dalam konteks kehidupan sebenar(Yin 2009). 3.1 Populasi dan Persampelan

Kajian ini dijalankan bersama-sama dengan semua pelajar. Walau bagaimanapun pada kali ini, pelajar sepenuh masa diberikan keutamaan

Listen

Respond Internally:

Respond Externally Co-

Co-creation Capability

Engage

Page 212: Proceeding jilid 2

623

berbanding pelajar Kursus Dalam Cuti (KDC) dan Program Pengsiswazahan Guru (PPG) di atas faktor keperluan semasa. Kajian ini menerangkan proses pembangunan sistem penataran maklumat melalui emel berkumpulan. Semua pelajar dimaklumkan melalui ketua kumpulan masing-masing. Walau bagaimanpun hanya sebahagian sahaja yang berjaya membentuk emel kumpulan bagi kelas masing-masing. Selebihnya masih belum lagi mencapai kitaran lengkap proses pembentukan emel kumpulan.

3.2 Pembentukan emel kumpulan

Setiap kumpulan pelajar dikehendaki melantik moderator bagi membentukkan sebuah emel kumpulan bagi kelas masing-masing. Moderator kelas juga dikehendaki ‘invite’ wakil pengawai daripada Jabatan Hal Ehwal Pelajar untuk menyertai kumpulan mereka. Hanya ahli kumpulan sahaja yang boleh menghantar mesej ke dalam emel kumpulan ini. Oleh itu, penyertaan wakil Jabatan Hal Ehwal Pelajar dalam setiap emel kumpulan penting agar mesej dari HEP dapat disampaikan melalui mekanisme ini. Tempoh pembentukkan emel berkumpulan selama sebulan.

Dalam pada itu beberapa sesi dialog dengan wakil pelajar bagi melicinkan pembentukan emel berkumpulan ini telah dijalankan. Setiap sesi dialog diperjelas prosedur yang diperlukan, risiko yang dihadapi dan aras capaian yang bersesuaian secara terperinci. Terdapat 36 kumpulan sepenuh masa yang sedang aktif dalam kampus ini. Dalam pada itu terdapat beberapa kohort yang berlainan program, tahun ambilan dan jenis kursus. Bagi memudahkan penghantaran mesej, satu pemiawaian perlabelan ditetapkan. Pembentukan pemiawaian nama kumpulan atau Naming Convention of Group (NCG) mengandungi maklumat berkaitan dengan program, tahun ambilan, jenis kursus dan kumpulan. Perlabelan emel kumpulan seperti berikut:

4.0 Dapatan Kajian dan Kesimpulan

Dari tempoh 10 Jan 13 sehingga 10 Feb 13, sebanyak 8 (22%) emel kumpulan yang telah berjaya dibentuk. Emel kumpulan yang dimaksudkan seperti Jadual 1 di bawah.

Jadual 1: Senarai emel berkumpulan

Bil Alamat emel 1 pismp_jan10dis13_rbt2 2 pismp_jan11_pbm 3 pismp_jan11dis14_mt1 4 pismp_jan11dis14_sn 5 pismp_jan12dis15_tesl2 6 pismp_ jan12dis15_sn2 7 pismp_ jan2011_pra 8 pismp_ jan13dis16_mt

(program)_(ambilanThnMula-ThnTamat)_(Kursus)[email protected]

Contoh : [email protected]

Page 213: Proceeding jilid 2

624

Berdasarkan hasil kajian ini bolehlah dirumuskan bahawa sebahagian besar guru pelatih masih belum bersedia dalam menggunakan emel kumpulan untuk penataran maklumat HEP. Sebahagian besar moderator masih gagal melengkapkan proses pembentukan emel kumpulan. Pada asasnya penggunaan emel kumpulan dapat meningkatkan penerimaan arahan, maklumat terkini dan menjimatkan kos telefon.

Hasil kajian ini juga menunjukkan bahawa guru pelatih memerlukan gajet teknologi yang berupaya berkomunikasi dengan internet. Kestabilan internet dalam kampus ini adalah prasyarat kepada perlaksanaan komunikasi maya secara berkesan. Sumbangan memudahkan penyebaran mesej rasmi daripada Jabatan Hal Ehwal Pelajar dengan cepat dan adil kepada semua pelajar. Walau bagaimanpun terdapat beberapa batasan dalam penggunaan emel berkumpulan menggunakan pelayan yahoogroups.com. Di antaranya :

i. terhad kepada 50 orang pertama sahaja ii. penghantar mesej (poster) diperlu menjadi ahli emel kumpulan iii. pembentukan alamat emel kumpulan agak panjang

Sumbangan kajian ini adalah adalah memudahkan pihak Hal Ehwal Pelajar menyalurkan maklumat kepada setiap pelajar serentak bertepatan dengan prasarana ICT yang disediakan. Selain itu, membangunkan alternatif media penataran maklumat yang boleh dipercayai dan dapat mengelakkan pengguna mempunyai lebih daripada satu akaun alamat emel. Menerusi penggunaan emel kumpulan, wakil Hal Ehwal Pelajar boleh menapis emel yang dihantar. Walau bagaimanapun bagi tujuan penjimatan ruang peti simpanan emel, wakil Hal Ehwal Pelajar hanya menerima mesej yang dihantar oleh moderator sahaja. Bilangan ahli setiap kelas juga tertera dengan dalam rekod sistem untuk dibandingkan dengan rekod Hal Ehwal Pelajar. Ia penting agar tiada orang yang tidak berkenaan wujud dalam komunikasi emel kumpulan ini. Pada masa akan datang kajian ini mencadangkan agar nama emel kumpulan diringkaskan dan mengukur tahap kesediaan pelajar melalui pendekatan lain seperti kualitatif ataupun kuantatif.

DAFTAR RUJUKAN Bhalla, G. 2011. Collaboration and Co-creation: New Platforms for Marketing

and Innovation. New York Springer Croslin, D. 2010. Innovate the future: A radical new approach to IT innovation.

Massachusetts: Pearson Education, Inc. Muriati Mukhtar, Mohamed Nazul Ismail & Yazrina Yahya. 2012. A hierarchical

classification of co-creation models and techniques to aid in product or service design. Computers in Industry 63(4): 289-287.

Oblinger, D. G. & Oblinger, J. L. 2006. Educating the Net Generation. http://www.educause.edu/ir/library/pdf/pub7101.pdf [3 September 2009].

Plattner, H. 2012. Design Thinking Research: Studying Co-Creation in Practice. New York: Springer.

Yin, R. K. 2009. Case study research: Design and methods (Applied sosial research methods series). 4. California, USA: SAGE Publication, Inc.

Page 214: Proceeding jilid 2

625

U-LEARNING ENABLED NEAR FIELD COMMUNICATION (NFC) TECHNOLOGY & TOUCHING LEARNING ENVIRONMENTS

M.Nadarajan s/o Manickam & A. Santha d/o Arumugam Institute of Teacher Education, Keningau Campus, Sabah

E-mail: [email protected]

Abstract The digital learning technology has evolved from E-Learning to M-Learning, and U-Learning in recent years. However, this technology has not created the desired awareness in teaching paradigms. The concept of ubiquitous learning has become an important topic and a breakthrough in the field of education. Being aware of U-Learning for example, is very different from the normal process. It enables learners to perform learning activities in real physical environment, complemented with technology, instead of virtual worlds, and not being connected to any specific physical place. Similarly, M-Learning was expected to deliver content, yet not specifically designed for interacting, with real objects and context. In this regard, this paper proposes the ‘U-Learning enabled Near Field Communication (NFC)' technology concept as part of the evolution of M-Learning - enhancing the interactive teaching activities in the class, and enabling touching technologies. Embracing this technology is expected to facilitate and improve more interactive and ubiquitous learning. Keywords: Near Field Communication, Ubiquitous Learning, Touching Learning Environments INTRODUCTION

In the past years, the development of information technologies such as wireless networks, sensor technology, and mobile technology have changed the teaching and learning patterns. The evolution of E-Learning paradigm shift diagram is shown in Figure.1. Most traditional learning methods are face-to-face teaching styles which are mostly spoon-feeding, mechanical teaching modes; it is generally considered inefficient and spatiotemporal limited in traditional teaching and learning styles.

Fig.1 The components of paradigm shifts in E-Learning

U-Learning + NFC

U-Learning

M-Learning

E-Learning

Traditional Learning

No constraints of time and space Active Learning More teacher-student interaction

Mobile Devices Wireless Sensor Technology

Mobile Devices Wireless Passive Learning

Fixed computer & Network F2F

Page 215: Proceeding jilid 2

626

E-learning releases the spatiotemporal constraint which is suitable for distant learning and learners can study whenever they have access to Internet. E-learning is the delivery of teaching materials via electronic media, such as the Internet, intranets, extranets, satellite broadcast, audio/video tape, interactive TV and CD-ROM. Nevertheless, there are some disadvantages in traditional E-Learning method. For instance, E-learning decreases the relationships between the teachers with students as well as the students with other students. Students and teachers must know how to use computers for E-learning, and computers must be available. Mobile learning (M-learning) is the idea that a student can learn from any place at any time using portable learning devices, such as tablets or smart phones. However, it does not take the context information from surrounding learning environment into account so that it is classified as a passive learning pattern, as the E-Learning does.

NFC - Near Field Communication.

The actual deployment and evolution of ubiquitous computing is possible due the progress and widespread dissemination of some enabler technologies such as Radio Frequency Identification (RFID), Bluetooth and NFC. The use of these technologies combined with the extensive market penetration of mobile phones and their powerful options for personalization and mobility, offer an unprecedented atmosphere for the creation of new learning environments.

This new learning environment consists basically in the interaction of a person with the context, basically by touching things, this things will give information and it could be part of learning activities. The long term vision is a place where people can get information and learning experience by “talking” or manipulating objects. To facilitate the reading, most of technical details will eliminate, but a basic explanation of technologies involved will be included.

The structure of the paper is as follows. First, some background about related Ubiquitous Learning on the section 2. Then a set of generic touching learning scenarios are exposed in section 3. Finally some conclusions and future work are presented at the end of the paper. UBIQUITOUS LEARNING

This section gives background information on Ubiquitous Learning (U-Learning). This U-Learning is different from immersive learning as learners perform learning activities in a real physical environment enriched with technologies. This U-learning method is also classified as an active learning pattern comparing to M-Learning, it allows learners to obtain learning information from the learning environment through variety type of sensors. Ubiquitous computing is the highest level of interaction between humans and computers. By considering the spatiotemporal environment of the students, U-Learning is most suitable for self-learning outside the class because it has the advantages of permanent, availability, timeliness, interactive, adaptive. These class teaching and learning activities can be assisted by the NFC and wireless communication technology, so that the teaching activities in class can be done quickly and conveniently.

Page 216: Proceeding jilid 2

627

Since U-Learning is evolution of M-Learning, it breaks up the U-Learning into three main components: Users, Environment, and Content.

Fig. 2. Main components of a Ubiquitous Learning System adapted from OzDamli & Cavus (2011)

2.1 Users component includes all main actors of the system. This identifies the following user roles for U-Learning systems: Learners, Instructors, Developer, and Researcher, not only teachers and learners as needs of different user roles in U-Learning. To be more specific, learners uses the system to learn a specific subject, whereas Instructor designs and controls learning paths and learning activities. A learning path defines the sequence of learning activities for a learner to effectively build up knowledge and skills. While, instructors have changed their traditional role with the incursion of technology in learning environments. The teacher has become an "a conductor of an orchestra" that must "conduct" students to achieve their learning goals using learning instruments available in the environment. More concretely, instructors create content and arrange learning activities, monitor and evaluate learners progress, hence, their role is essential for useful ubiquitous learning experience. Developer is the one implementing the learning system, as well as providing run-time support. A researcher perform overall system analysis and evaluates the system an learning process and they also represent different fields, like pedagogy, learning science, ubiquitous computing and user experience. 2.2 Environment component includes the context in which the system operates and consists of physical environment, infrastructure and tools. In ubiquitous learning, a learning activity is integrated in the environment via use of environment properties, resources and tools, whereas in M-Learning, the environment is considered as either as a tool or just a location where the learning activity takes place. Physical environment is the physical space where the learning activity occurs. These spaces have qualities which need to be considered, like light and noise level. Infrastructure covers all the equipment and technological solutions together with software, connectivity and available appliances. 2.3 Content component covers all information presented to a user. This information can be generated both at design-time an at run-time. Here, the content can be categorized into educational resources, personal profiles, official regulations and assessments.

USER Learner

Instructor Developer

Researcher Teacher / Learners

ENVIRONMENT

Physical environment Infrastructure

Tools

CONTENT Educational resources

Personal profiles Official regulations

Assessments

Page 217: Proceeding jilid 2

628

Ubiquitous Learning systems adapt their behavior to components presented above to serve users better. Moreover, different components cannot be analyzed individually but as a whole. Learners, instructors, technology, learning activities and learning environment must interplay together in harmonious way (orchestration) conducted generally by the instructor with the support of technology.

GENERIC TOUCHING LEARNING SCENARIOS

At this point of view, “Touching Learning” or “Learning by Touching” can be defined as: the used services and applications in a learning environment where the learning actor can interact with environment resources for learning purposes or for communication, only by touching. NFC, as technological enabler can be used in several ways. A set of generic learning touching scenarios are presented henceforth. These scenarios are expected to be as generic as possible to be applied in any specific instances. The first part one describes the basic function of “Touching for searching”. The second presents a “Personal Physical Context”, this is the relationship established between a person and several objects. The third one shows the action of direct interaction and control from the mobile user to the surrounding “intelligent” objects. 3.1 Touching to Search in the Physical Context

The World Wide Web (WWW) is a huge repository of information that must be organized in order to be able to find useful things for the final user. Nowadays there is a well-known series of search engines with their friendly web based interfaces; it is easy to find information in the Web. In general, there are various mechanisms to do that, but the most popular is based on references and indexation. By introducing these mechanisms, the concept of searching can define. The main difference between the information in the Web and the information in the Physical context is that the information is associated and lives attached to a particular object, describing it and providing some times the access mechanisms for its remote control and adaptation. In Figure 3(a) and 3(b), shows an application of one touch scenario of the wireless headphones to your smartphone, and in a lab, where student look for media content using NFC Tags to collect media.

3a

3b

Fig. 3. One touch scenarion and Touching NFC Tags to collect media

Page 218: Proceeding jilid 2

629

3.2 Touching in Personal Physical Context Touching in personal Physical Context is the relationship established

between a person and several objects that personalizes the behavior of the objects according to the mobile user preferences. Mobile users with an NFC enabled mobile device can personalize the behavior of their local environment simply by touching the objects, exchanging profiles and taking the appropriate actions. A person in its daily routine interacts with diverse physical objects. This interaction in an NFC enable scenario is produced by the contact of mobile devices with physical objects with different purposes (refer Figure 4). Due to this relation, the information obtained by the physical contact with objects can be stored, analyzed and processed in the mobile device or can be shared and synchronized with other personal devices or with external computers depending on the information in the user profile.

Fig. 4. Using NFC enabled devices to perform contactless, “touch to pay”

transactions 3.3 Touching to Adapt Physical Context

This third scenario establishes an association between a user and the surrounding objects which is by itself active. The physical environment of the user, adapt to the user not only in an automatic process which is the result of the exchange and processing of user and object profiles, but in a proactive way which can be controlled by the user by means of a peer to peer communication process (Figure 5). NFC has three communication modes: Read/Write, Peer-to-Peer (P2P), and Card Access System. Using NFC P2P capabilities allows us to implement real scenarios implementing this idea. As an example we can find a classroom containing some devices such as an overhead projector, a bookshelf and some other devices which can be controlled by the professor or the students in some different ways depending on their profiles.

Fig. 5. Using NFC enabled devices to peer to peer (P2P) communication process

CONCLUSIONS

To conclude, this paper proposes the concept of Ubiquitous Learning and Touching Learning Scenarios using NFC as technology to enable mobility and

Page 219: Proceeding jilid 2

630

interaction with physical spaces. It also proposes three generic scenarios considering mobile phone is one of the best candidates to enable transparency in learning systems. This basic technology combined with others as NFC, increases the possibilities of adoption into teaching and learning environment.

As part of future work, the design of experiences linking the Touching Learning concept with formal and informal learning is expected. REFERENCES

Blum, Adam. "NFC and the Internet of Things." Venturebeat.com. June 21, 2011. (Feb. 8, 2012) http://venturebeat.com/2011/06/21/nfc-and-the-internet-of-things/

Chandler, Nathan. "What\u0027s an NFC tag?" 14 March 2012. HowStuffWorks.com. <http://electronics.howstuffworks.com/nfc-tag.htm> 07 July 2015.

Chewn-Fu Horng, Gwo-Jiun Horng, "Heterogeneous wireless networks integraton RFID and face recognition for technical and vocational education and training on ARM and Windows CE", Journal of Computer Science and Application, Vol.14, No. 1, pp. 13-30, June 2008.

Geiger, Harley. NFC Phones Raise Opportunities, Privacy And Security Issues | Center for Democracy & Technology. Center for Democracy & Technology | Keeping the Internet Open, Innovative and Free . Center for Democracy & Technology, 11 Apr. 2011. Web. 24 May 2011. < http://www.cdt.org/blogs/harley-geiger/nfc-phones-raise-opportunities-privacy-and-security-issues >.

Joan, B. (n.d.). Difference Between RFID and NFC. In Difference Between. Retrieved May 26, 2011, from http://www.differencebetween.net/technology/difference-between-rfid-and-nfc/>

Near Field Communications World. "List of NFC trials, pilots, tests and commercial deployments." Near Field Communications World. N.p., 25 May 2011. Web. 25 May 2011. <http://www.nearfieldcommunicationsworld.com/list-of-nfc-trials-pilots-tests-and-commercial-services-around-the-world/>.

NFC Forum site. "Broadcom Announces New Embedded NFC Tag Technology to Simplify Wireless Device Connectivity." NFC-Forum.org. Dec. 14, 2010. (Feb. 8, 2012) http://www.nfc-forum.org/news/pr/view?item_key=75c37545f4b178c20a6f6dfce4f517e6243ee631

Nikitin, Pavel V. and Steve Lazar. "An Overview of Near Field UHF RFID." EE.Washington.edu. (Feb. 8, 2012) http://www.ee.washington.edu/faculty/nikitin_pavel/papers/RFID_2007.pdf

Planck, Seth. "NFC Vending Machines." NFCrumors.com. Jun. 9, 2011. (Feb. 8, 2012) http://www.nfcrumors.com/06-09-2011/nfc-vending-machines/

Raitila, Veli-Jussi. "Tag, You're It – NFC in a Home Environment." Tml.tkk.fi. 2007. (Feb. 8, 2012) http://www.tml.tkk.fi/Publications/C/23/papers/Raitila_final.pdf

Page 220: Proceeding jilid 2

631

PENGARUH PEMBELAJARAN BERASASKAN INKUIRI TERHADAP PENCAPAIAN TIMMS DALAM PERSEKITARAN PEMBELAJARAN

ABAD KE-21 Naquiah Binti Safian@Sofian

SMK ENGKU HUSAIN E-mail: [email protected]

Abstract TIMMS is an international assessment of school-based curriculum for Mathematics and Science around the world. TIMSS 2011 results show that there are gaps of achievement in Malaysian education system with other countries because 35 per cent and 38 per cent of Malaysian students failed to reach the minimum level of skills in mathematics and science. The findings show that the area of algebra was the most difficult for Malaysian pupils mainly for domain-level cognitive reasoning. Therefore, the main focus of the study is innovating student-centred learning pedagogy for 21st century. Inquiry-based learning approach is the realization of pedagogical inquiry learning skills for the 21st century student. A quasi-experimental study using a quantitative descriptive analysis of data addressed to respondents among form two students only. Data for student achievement had been analysis of by using percentage, mean, standard deviation and t test. Keywords: inquiry-based learning, TIMMS, learning environment of the 21st century PENGENALAN

Pembelajaran abad ke-21 menggambarkan kecekapan mengendalikan kemajuan persekitaran pembelajaran bagi kemahiran celik digital dan kreativiti mencipta, kesedaran emosi dan pemikiran kritis dalam penyelesaian masalah (Bill and Melinda Gates Foundation, 2013). Pendidikan abad ini memerlukan amalan pengajaran dan pembelajaran yang berbeza iaitu penyediaan bahan pengajaran dan pembelajaran pedagogi yang interaktif, penggunaan digital dalam kolaborasi dan pembelajaran berasaskan inkuiri untuk menyelesaikan masalah matematik yang kompleks.

Pembelajaran berasaskan inkuiri bertujuan untuk membangunkan minda melalui sikap suka bertanya. Pada dasarnya, pembelajaran berasaskan inkuiri menggunakan pendekatan penyoalan yang aktif. Murid akan menyiasat dan mengemukakan soalan, meneroka dan menilai dalam proses penyelesaian masalah. Guru yang proaktif pula menyokong kesungguhan murid dan pengalaman murid yang berjaya adalah melalui penggunaan soalan yang strategik. Mereka menyumbang idea termasuk kesilapan pengiraan bagi perkongsian maklumat dan pengetahuan.

Bagi memudahkan pengajaran dan pembelajaran, teknologi Web 2.0 (contohnya twitter dan facebook) telah dibawa masuk ke dalam bilik darjah (Chu, et al, 2012;. Chu, et al, dalam akhbar;. Chu & Kennedy, 2011; Richardson, 2006). Berbeza dengan Web 1.0 yang mempunyai ciri-ciri persembahan kandungan yang pasif, Web 2.0 menggalakkan penyertaan aktif di kalangan penggunanya dengan

Page 221: Proceeding jilid 2

632

membenarkan mereka untuk menyumbang kepada kandungan (Chu, 2008; Chu, 2011; Kennedy 2007). Twitter misalnya boleh digunakan untuk menyampaikan kandungan pengajaran, menunjukkan konsep literasi maklumat, membina pemikiran kritikal tentang aspek-aspek sosial dan dan menggalakkan murid untuk melihat diri mereka sebagai agen aktif dalam penciptaan maklumat dan pengetahuan (Dunaway, M., 2011). Manfaat yang berpotensi termasuk memudahkan pembangunan murid terhadap pemikiran kritis dan kemahiran menyelesaikan masalah (Woo et al., 2011), peningkatan kolaborasi dan kualiti hasil kerja (Chu, 2008), dan peningkatan kemahiran sosial (Fung et al., 2011).

Matematik adalah satu mata pelajaran teras dalam kurikulum sekolah menengah di Malaysia. Namun keputusan mata pelajaran ini didapati paling menurun dalam TIMMS (merosot daripada tangga ke-10 pada tahun 2003 ke tangga ke-20 pada tahun 2007 - Muhyiddin 2009) dan PISA (kedudukan yang ke 57). Oleh kerana pencapaian bidang algebra hanya mendapat 2.1% bagi soalan aras tinggi dalam matematik maka satu penekanan kepada perkembangan kebolehan penyelesaian masalah bagi bidang algebra perlu bagi abad ke-21 untuk mencabar dalam pemahaman dan pengaplikasian konsep algebra dari segi menterjemah, menganalisa dan mengitlakkan sesuatu situasi masalah yang mempunyai pelbagai jalan penyelesaian.

Penaakulan algebra merupakan pemikiran matematik termasuk aritmetik kerana ia membenarkan penerokaan struktur matematik. Kepentingan penaakulan algebra dalam matematik diperkenalkan kepada murid dari usia yang muda supaya idea metematik yang hebat dapat diakses kepada semua murid. Penaakulan matematik juga merupakan sebahagian daripada penyediaan kepada karier pekerjaan seperti arkitek dan pakar pembinaan untuk membina bangunan dan penentuan bahan tertentu untuk membina struktur bangunan, pembangun perisian menggunakan penaakulan algebra apabila mencipta kod dan pegawai bank menggunakan algebra untuk menganggar pinjaman dan kadar bunga serta para saintis menggunakan algebra dalam hampir semua bidang.

Dalam Pelan Tindakan PPPM (2013-2025), terdapat pembentukan dan mengaplikasi kurikulum dan pentaksiran abad ke-21 dalam aktiviti pembelajaran murid. Oleh itu, satu pendekatan pembelajaran berasaskan inkuiri dengan menggunakan aplikasi twitter sebagai platform kolaborasi perlu dilaksanakan dalam pengajaran dan pembelajaran bagi mengatasi masalah pencapaian TIMMS dalam bidang algebra. 1.1 Objektif kajian Kajian yang akan dijalankan bertujuan untuk mencapai objektif-objektif berikut: (a) mengkaji perbezaan min pencapaian murid tingkatan 2 dalam ungkapan

algebra (TIMMS) bagi ujian pra (b) mengkaji perbezaan min pencapaian murid tingkatan 2 dalam ungkapan algebra (TIMMS) bagi ujian pos (c) mengkaji perbezaan min pencapaian murid tingkatan 2 dalam ungkapan algebra (TIMMS) bagi ujian pra dan ujian pos

Page 222: Proceeding jilid 2

633

Oleh itu, objektif kajian ini adalah untuk mengenal pasti pencapaian murid dalam TIMMS bagi tajuk ungkapan algebra dalam pembelajaran berasaskan inkuiri bagi penggunaan aplikasi twitter. 1.2 Persoalan Kajian

Berdasarkan perkara yang timbul daripada pernyataan masalah dan objektif kajian, maka kajian ini akan cuba menjawab soalan-soalan berikut: (a) Adakah terdapat perbezaan min pencapaian murid tingkatan 2 dalam ungkapan algebra (TIMMS) bagi ujian pra? (b) Adakah terdapat perbezaan min pencapaian murid tingkatan 2 dalam ungkapan algebra (TIMMS) bagi ujian pos? (c) Adakah terdapat perbezaan min pencapaian murid tingkatan 2 dalam ungkapan algebra (KBAT) bagi ujian pra dan ujian pos? METODOLOGI

Kajian ini menggunakan kaedah kuantitatif yang bersifat analisis data secara deskriptif. Ia menggunakan pendekatan reka bentuk bertujuan (Purposive Design) di mana responden bagi kajian adalah secara tidak rawak dan ditujukan kepada responden di kalangan murid tingkatan dua sahaja.

Reka bentuk kajian kuasi eksperimental dipilih untuk mengkaji responden murid dengan menggunakan tiga kumpulan murid dan tahap pencapaian murid dikenal pasti melalui ujian pra bagi tajuk ungkapan algebra. Kumpulan A didedahkan dengan pendekatan pembelajaran berasaskan inkuiri bagi kemahiran berfikir aras tinggi di dalam makmal komputer dengan menggunakan talian internet, kumpulan B didedahkan dengan pembelajaran konvensional bagi kemahiran berfikir aras tinggi di dalam makmal komputer iaitu aktiviti pembelajaran yang menggunakan power point sahaja dan kumpulan C merupakan kumpulan kawalan yang tidak mendapat rawatan. Kemudian, murid diberi ujian pos bagi mengenal pasti tahap pencapaian murid. Ujian pra dan ujian pos menggunakan interpretasi mengikut tahap pencapaian ujian iaitu tahap pengetahuan, aplikasi dan penaakulan.

Berdasarkan Jadual dibawah, kumpulan rawatan mengambil ujian pra sebanyak dua kali dengan selang masa yang sama iaitu pra ujian kali pertama (O1) dan pra ujian kali kedua (O2). Kumpulan A menerima rawatan bagi pembelajaran berasaskan inkuiri (X) dan kumpulan B menerima rawatan bagi pembelajaran konvensional (Y) manakala kumpulan C merupakan kumpulan kawalan yang tidak menerima rawatan. Ketiga-tiga kumpulan ini mengambil ujian pasca sebanyak dua kali dengan selang masa yang sama iaitu pasca ujian kali pertama (O3) dan ujian pasca kali kedua (O4).

Page 223: Proceeding jilid 2

634

Jadual : Rekabentuk Ujian Pra - Ujian Pasca Kumpulan

Ujian Pra Rawatan Ujian Pos

O1 O2 X O3 O4

O1 O2 Y O3 O4

O1 O2 O3 O4

Nota : X = Pembelajaran berasaskan inkuiri Y = Pembelajaran konvensional

Rekabentuk kajian kuasi eksperimental bagi tiga kumpulan dipilih kerana pengkaji ingin melihat perbandingan ujian pra dan ujian pos bagi ketiga-tiga kumpulan. Dengan cara ini, pengkaji akan dapat melihat kesan pencapaian murid bagi bentuk soalan TIMMS dalam pembelajaran berasaskan inkuiri yang menfokus kepada empat kemahiran iaitu komunikasi, kolaborasi, pemikiran kreatif dan kritikal pada abad ke-21.

Berikut merupakan jadual bentuk soalan ujian pra dan ujian pos bagi soalan tajuk ungkapan algebra.

Jadual : Format markah soalan ujian pra dan ujian pos

ARAS SOALAN SUBJEKTIF OBJEKTIF MARKAH

PENGETAHUAN 2 2 4

APLIKASI 2 2 8

PENAAKULAN 2 2 12

Jadual : Pencapaian murid mengikut markah dan aras pencapaian

ARAS MARKAH

PENGETAHUAN 0 - 4

APLIKASI 5 - 12

PENAAKULAN 13 - 24

Page 224: Proceeding jilid 2

635

Murid mengambil masa selama 30 minit untuk menjawab ujian pra dan ujian pos manakala kumpulan A dan kumpulan B mengambil masa selama 3 jam bagi menjalani rawatan dalam aktiviti pembelajaran berasaskan inkuiri dan pembelajaran berasaskan konvensional. 1.3.1 Tempat Kajian

Kajian dijalankan di sebuah sekolah menengah harian bagi kategori sekolah luar bandar di Daerah Hulu Langat, Selangor. Sekolah ini terpilih kerana lokasi sekolah yang terletak dengan persekitaran di antara bandar dan luar bandar serta merupakan satu-satunya sekolah menengah di pekan Semenyih, Selangor.

1.3.2 Sampel Kajian

Sebanyak 30 orang murid tingkatan dua dipilih bukan secara rawak di sebuah sekolah yang terdiri daripada murid lelaki dan murid perempuan yang terdiri daripada bangsa melayu, cina dan india. Kajian sampel melibatkan murid tingkatan dua bagi murid yang mendapat markah antara 40-60. Julat markah ini diambil berdasarkan pencapaian sederhana lemah yang diperolehi oleh murid ketika peperiksaan pertengahan tahun.

Jadual dibawah menunjukkan bilangan sampel murid yang dipilih oleh penyelidik.

Responden Jumlah sampel

Kumpulan A 10

Kumpulan B 10

Kumpulan C 10

1.3.3 Analisis data

Penganalisaan data yang dilakukan oleh penyelidik ialah statistik deskriptif untuk melihat kiraan peratusan, min dan sisihan piawai yang digunakan apabila penyelidik hendak memerihal sesuatu set data supaya data menjadi lebih bermakna dan ringkas. Manakala statistik inferens bagi ujian t sampel yang digunakan untuk menguji kewujudan perbezaan min dalam pemboleh ubah bersandar bagi satu kumpulan sampel (Mohd Salleh & Zaidatun, 2001).

Hasil pengumpulan data di analisis dengan ujian parametrik berdasarkan kaedah ujian soalan TIMMS matematik algebra. Keputusan tahap pencapaian murid adalah mengikut aras pengetahuan, aplikasi dan penaakulan.

Page 225: Proceeding jilid 2

636

1.4 Dapatan Kajian

Jadual dibawah menunjukkan peratus pencapaian ujian pra murid mengikut aras pencapaian.

Jadual : Peratus pencapaian ujian pra murid mengikut aras pencapaian

ARAS A B C Min Sp % Nilai t df Sig

PENGETAHUAN 4 2 3 3.333 1.323 30 3.833 8 0.005

APLIKASI 6 8 7 8.333 2.058 70 3.153 20

PENAAKULAN 0 0 0 0 0 0 0 0

Ujian pra menunjukkan bahawa murid bermasalah dalam menjawab soalan subjektif bagi aras aplikasi dan penaakulan. Namun seramai 69% murid berkemahiran dalam menjawab soalan objektif berbentuk urutan ungkapan algebra. Manakala 100% murid tidak dapat menjawab soalan subjektif bagi pola ungkapan algebra. Jadual dibawah menunjukkan peratus pencapaian ujian pos murid mengikut

aras pencapaian.

Jadual : Peratus pencapaian ujian pos murid mengikut aras pencapaian

ARAS A B C Min Sp % Nilai t df Sig

PENGETAHUAN 0 0 6 2.667 1.366 20 4.773 5 0.005

APLIKASI 3 9 4 8.938 1.731 57 3.286 15

PENAAKULAN 7 1 0 18 1.773 23 4.029 7

Ujian pos menunjukkan bahawa 12% berjaya menjawab soalan subjektif bagi pola ungkapan algebra aras penaakulan. Manakala 100% murid berjaya menjawab soalan objektif bagi aras pengetahuan. 1.5 Perbincangan

Perbandingan antara ujian pra dan ujian pos menunjukkan bahawa terdapat pertambahan murid bagi aras penaakulan bagi kumpulan pembelajaran berasaskan inkuiri dan pembelajaran berasaskan konvensional manakala tiada murid bagi kedua-dua kumpulan ini mendapat pencapaian aras pengetahuan dan pertambahan murid bagi aras aplikasi.

Kumpulan tiada rawatan pula menunjukkan penurunan dalam pencapaian aras aplikasi dan peningkatan pada aras pengetahuan. Namun begitu, murid yang mendapat julat markah antara 40-60 menguasai kemahiran berfikir aras tinggi

Page 226: Proceeding jilid 2

637

pada aras aplikasi iaitu 70% bagi ujian pra dan 57% ujian pos. Tetapi ujian pos menunjukkan bahawa 80% murid berada pada pencapaian kemahiran aras tinggi.

SIMPULAN

Artikel ini meneliti pengajaran berdasarkan pendekatan inkuiri mengikut corak pengajaran guru melalui interaksi verbal guru. Ini adalah kerana proses inkuiri menggalakkan murid agar terlibat dalam pemikiran kreatif dan kritis manakala penggunaan web 2.0 menggalakkan murid berkomunikasi dan berkolaborasi dalam proses penyelesaian masalah. Dapatan kajian menunjukkan soalan guru dan pernyataan guru memberi penekanan terhadap aspek penyelesaian masalah. Penggunaan twitter sebagai platform aktiviti penyoalan ternyata menyokong pembelajaran berasaskan inkuiri. Ini jelas menunjukkan bahawa teknologi bukan sahaja diperlukan dalam mengajar tetapi penggunaannya menjadi keutamaan dalam membimbing murid melalui proses inkuiri. Murid mempunyai minat yang tinggi dalam aplikasi Web, jadi guru perlu memanfaatkan kelebihan yang ada melalui kandungan pembelajaran.

Bagi pembelajaran berasaskan konvensional dengan aplikasi power point juga menunjukkan peningkatan dalam pencapaian aras aplikasi dan penaakulan. Walau pun murid mendapat rawatan yang berbeza tetapi terdapat peningkatan pencapaian murid dalam TIMMS. Bagi kumpulan kawalan pula menunjukkan penurunan pencapaian kerana tiada rawatan diberi bagi murid yang belajar secara tradisional.

Secara keseluruhannya, aktiviti penyoalan menghasilkan pembelajaran aktif dan bantuan guru pula dapat meningkatkan motivasi murid. Kajian juga menunjukkan bahawa pembelajaran berasaskan inkuiri memberi kesan positif terhadap keupayaan murid untuk memahami konsep dan prosedur teras. Usaha ini perlu dilaksanakan bagi meningkatkan kualiti pengajaran dan pembelajaran algebra khususnya serta memastikan guru sedar dan dapat mengaplikasikan pengajaran berdasarkan pendekatan inkuiri dengan berkesan. DAFTAR RUJUKAN Bill and Melinda Gates Foundation. (2013). College ready education. Retrieved

from http://www.gatesfoundation.org/What-We-Do/US-Program/College-Ready-Education

Chu, S.K.W., & Kennedy, D.M. (2011). Using online collaborative tools for groups to co-construct knowledge. Online Information Review, 35 (4), 581–597.

Chu, S.K.W., Chan, C.K.K., & Tiwari, A.F.Y. (2012). Using blogs to support learning during internship. Computers & Education, 58, 989-10

Chu, S.K.W., Chow, K., Tse, S.K., & Kuhlthau. C.C. (2008). Grade four students’ development of research skills through inquiry-based learning projects. School Libraries Worldwide, 14, 10-37.

Dunaway, M. (2011). Web 2.0 and critical information literacy. Public Services Quarterly, 7(3-4), 149-157. doi:10.1080/15228959.2011.622628

Fung, K.Y., Chu, S.K.W., Tavares, N., Ho, G., & Kwan, K. (2011). Using Google Sites in English Collaborative Writing. Paper presented at CITE Research Symposium 2011, The University of Hong Kong, Hong Kong.

Kennedy, G., Dalgarno, B., Gray K., Judd, T., Waycott, J., Bennett, S., Maton, K., Krause, K., Bishop, A., Chang, R., Churchward, A. (2007). The net

Page 227: Proceeding jilid 2

638

generation are not big users of Web 2.0 technologies: Preliminary findings. Proceedings Ascilite Singapore 2007, 517-524.

Mohd Salleh dan Zaidatun Tasir (2001). “Pengenalan kepada Analisis Data Berkomputer: SPSS 10.0 for Windows.” Kuala Lumpur: Venton Publishing.

Richardson, W. (2006). Blogs, wikis, podcasts and other powerful Web tools for classrooms. Thousand Park, CA: Corwin Press.

TIMSS Advanced 2015 Mathematics Framework, Liv Sissel Grønmo, Mary Lindquist, and Alka Arora.

Woo, M., Chu, S., Ho, A., & Li, X.X. (2011). Using a Wiki to Scaffold Primary School Students’ Collaborative Writing. Journal of Educational Technology & Society, 14(1), 43–54.

Page 228: Proceeding jilid 2

639

TAHAP KEMAHIRAN INTERPERSONAL DAN KEMAHIRAN TEKNIKAL DALAM KALANGAN GURU PEMBIMBING

Norlela bt. Ali, Firdaus bt.Abd Fatah, & Mohd Munaim bin Mahmu Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur & Sekolah

Kebangsaan Taman Nirwana, Selangor E-mail: [email protected]

Abstrak Kajian ini adalah bertujuan untuk menentukan tahap kemahiran interpersonal dan kemahiran teknikal guru pembimbing di sekolah sepanjang tempoh penyeliaan praktikum guru-guru pelatih jQAF di sekolah. Kajian melibatkan seramai 97 orang guru pembimbing yang terlibat menyelia guru-guru pelatih jQAF Ambilan Januari 2013 dari Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur (IPGKIK). Kajian ini merupakan kajian kuantitatif dengan menggunakan satu set soal selidik yang mengandungi 16 item, bagi mendapatkan maklum balas daripada responden. Kaedah statistik diskriptif seperti min, kekerapan, peratus, dan sisihan piawai, digunakan untuk menganalisis item soal selidik. Hasil dapatan kajian menunjukkan guru-guru pembimbing mempunyai tahap kemahiran interpersonal yang sangat tinggi dengan min 4.40, manakala kemahiran teknikal guru pembimbing berada pada tahap tinggi iaitu min 4.16. Oleh yang demikian, adalah dicadangkan supaya guru-guru pembimbing berusaha meningkatkan kemahiran interpersonal dan kemahiran teknikal dalam membuat penyeliaan dan bimbingan. Ini penting bagi memastikan guru-guru pelatih yang dibimbing mendapat bimbingan yang berkualiti, seterusnya dapat menghasilkan pengajaran berkualiti dalam bilik darjah. Kajian ini diharap dapat memperkembangkan potensi guru-guru pembimbing secara berterusan dan meningkatkan lagi profesionalisme guru pembimbing. Kata kunci: Kemahiran interpersonal, kemahiran teknikal, guru pembimbing, guru pelatih PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan

Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia 2013-2025, mensasarkan guru-guru akan meningkatkan keupayaan bertaraf dunia yang diperlukan bagi membantu mencapai keberhasilan murid yang dihasratkan, dan akan memperoleh lebih keseronokan dan kepuasan dalam menjalankan tugas mereka. Dengan pakej kerjaya guru yang baharu, mereka akan menikmati perkembangan profesional yang lebih memuaskan, laluan kerjaya yang lebih baik, dan proses penilaian yang telus dan adil serta berkait terus dengan keupayaan dan prestasi yang relevan. Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia 2013-2025, memberi fokus terhadap meningkatkan profesionalisme keguruan dengan memberi pendedahan kepada guru-guru tentang budaya kerjasama dan kecemerlangan profesional. Guru akan saling bekerjasama dalam menangani isu dan berkongsi amalan terbaik. (Kementerian Pendidikan Malaysia, 2013). Dalam hal ini, aktiviti penyeliaan dan bimbingan pengajaran sangat dititikberatkan oleh warga pendidik.

Page 229: Proceeding jilid 2

640

Bagi memastikan hasrat ini tercapai aspek penyeliaan melalui dimensi kemahiran interpersonal dan kemahiran teknikal perlulah diberikan penekanan. Merujuk pula kepada Surat Pekeliling Ikhtisas Bil. 3/1987, penyeliaan adalah aspek terpenting dalam pentadbiran, pengurusan dan kepimpinan pendidikan. Glickman, Gordon dan Gordon (1995) telah menjelaskan penyeliaan sebagai tulang belakang keberkesanan sesebuah sekolah. Penyeliaan yang berkesan memerlukan perancangan yang baik dan dilaksanakan secara berterusan untuk memastikan matlamat dan objektif pengajaran yang dijalankan oleh seseorang guru itu tercapai. 1.2 Kajian Literatur

Proses penyeliaan merangkumi beberapa aspek iaitu melibatkan proses merancang, melaksana, merangsang, mengaju, memimpin, mengawal, menganalisis dan menilai. Semua tingkah laku ini berhubungan secara tidak langsung dengan usaha memperbaiki pengajaran serta meningkatkan mutu pembelajaran (Rafisah, 2009). Penyeliaan penting bagi membantu orang yang dinilai meningkatkan kemahiran dan kebolehan mereka dalam bidang yang diceburi Christenson et al. (1982).Penyeliaan yang baik dan berkesan memerlukan perancangan yang baik dan sistematik. Perlaksanaannya perlu diamalkan secara berterusan untuk memastikan matlamat dan objektif pengajaran yang dijalankan oleh seseorang guru itu tercapai (Arsaythamby & Mary Macdalena, 2013).

Di peringkat Institut Pendidikan Guru (IPG), guru-guru pelatih dibimbing oleh pensyarah pembimbing dan juga guru pembimbing sepanjang tempoh latihan praktikum. Guru pembimbing merujuk kepada guru sekolah yang berpengalaman dalam mata pelajaran major/minor dan dilantik oleh Jabatan Pelajaran Negeri (JPN) sebagai pembimbing guru. Tempoh pelaksanaan praktikum bagi adalah selama 12 minggu. Guru pembimbing bertanggungjawab menyelia sebanyak 6 kali iaitu 4 kali bagi subjek major dan 2 kali bagi subjek minor, dan terlibat dengan penyeliaan bersama pensyarah pembimbing pada akhir penyeliaan sebanyak sekali bagi setiap subjek major dan minor (Institut Pendidikan Guru Malaysia, 2012). Oleh itu, guru pembimbing dilihat sebagai agen penting dalam memastikan bimbingan pengajaran yang diterima oleh guru pelatih adalah berkualiti atau sebaliknya. Untuk itu, guru pembimbing perlu memiliki kemahiran menyelia dan membimbing yang baik.

Menurut Tanruther (1973), guru pembimbing memainkan dua peranan iaitu mengajar pelajar-pelajar dan juga menyelia kerja-kerja yang dilakukan oleh guru pelatih. Guru pembimbing, perlu berusaha untuk meningkatkan tahap pengetahuan dan kemahiran yang sedia ada, bukan sahaja untuk mengajar pelajar-pelajar dengan berkesan, tetapi juga untuk memberikan panduan yang baik kepada guru pelatih. Peranan guru pembimbing bukan sekadar tertumpu kepada aspek pembelajaran dan pengajaran, malahan mendidik dan membantu guru pelatih untuk menjadi seorang guru yang professional kerana kualiti dan kecemerlangan seseorang guru itu bergantung kepada sikap profesionalnya dalam menjalani tugas sebagai seorang guru. (Normahajazrin, 2006). Adalah menjadi hasrat dan cita-cita setiap guru pelatih hendak menjadi seorang guru yang berkesan, jujur dan bersifat ikhtisas (profesional). Peranan penyelia ialah memberi sebarang bimbingan dan panduan supaya guru pelatih itu berjaya mencapai matlamat tersebut” (KPM, 2001)

Page 230: Proceeding jilid 2

641

1.3 Pernyataan Masalah Kajian memgenai penyeliaan pengajaran dan pembelajaran telah banyak

dikaji. Begitu juga kajian mengenai amalan penyeliaan yang melibatkan pihak pentadbir seperti pengetua, guru besar dan juga guru-guru penolong kanan. Namun kajian mengenai tahap kemahiran dan amalan penyeliaan guru pembimbing yang menyelia guru pelatih kurang dikaji. Sepanjang tempoh praktikum, guru-guru pelatih lebih banyak dibimbing dan diselia oleh guru pembimbing. Oleh yang demikian, kajian untuk mengenalpasti tahap kemahiran interpersonal dan kemahiran teknikal guru pembimbing perlu dilakukan.

Kajian Muaz Abd Karim (2002) mendapati terdapat ramai guru masih ragu-ragu terhadap penyeliaan yang dijalankan terhadap mereka. Kajian ini disokong kajian Sarimah (2012) ke atas guru-guru sekolah menunjukkan pengetua jarang menyelia pengajaran mereka. Ini kerana semasa penyeliaan, pengetua yang hanya fokus kepada buku persediaan mengajar, penyediaan dan penggunaan alat bantu mengajar. Hal ini telah menimbulkan perasaan cemas dan keresahan dalam kalangan guru kerana penyelia tidak mengaplikasi kriteria penyeliaan yang sepatutnya semasa menyelia dan kurang memberi bantuan dalam membimbing guru yang diselia.

Namun kajian-kajian ini berbeza dengan kajian Nurahimah dan Rafisah (2010), yang mendapati tahap kemahiran interpersonal pengetua semasa proses penyeliaan adalah berada pada tahap tinggi, manakala tahap kemahiran teknikal pengetua berada pada tahap sederhana tinggi. Hasil kajian ini menyokong kajian Hamdan dan Nurlia (2011) yang menunjukkan bahawa guru-guru mempunyai tanggapan yang positif terhadap penyeliaan pengajaran yang dilaksanakan di sekolah-sekolah; amalan penyeliaan pengajaran yang dijalankan di sekolah adalah tinggi; dan penyeliaan pengajaran yang diamalkan berkesan dalam meningkatkan profesionalisme guru.

Namun begitu, kajian-kajian yang dijalankan, kebanyakannya berfokus kepada penyeliaan pengetua. Begitu juga dengan aspek penyeliaan yang dikaji, kurang menumpukan aspek kemahiran interpersonal dan kemahiran teknikal secara khusus. Oleh yang demikian kajian mengenai tahap kemahiran interpersonal dan tahap kemahiran teknikal guru pembimbing perlu dijalankan bagi mendapatkan hasil kajian yang sebenar disamping merungkai persoalan kajian. 1.4 Objektif Kajian

Kajian ini bertujuan untuk menentukan tahap kemahiran interpersonal dan tahap kemahiran teknikal guru pembimbing melalui penyeliaan praktikum. Kajian ini juga adalah untuk menjawab persoalan tentang apakah tahap kemahiran interpersonal dan tahap kemahiran teknikal guru pembimbing semasa membuat penyeliaan latihan praktikum ke atas guru pelatih jQAF IPGKIK. 1.5 Kepentingan Kajian

Oleh kerana kajian ini bertujuan mengkaji tahap kemahiran interpersonal dan tahap kemahiran teknikal guru pembimbing, maka dapatan yang diperoleh hasil kajian ini diharap dapat membantu pihak Jabatan Pelajaran Negeri (JPN) serta Pejabat Pendidikan Daerah (PPD) menyediakan kursus-kursus penyeliaan yang lebih efektif kepada kepada guru pembimbing untuk memantapkan lagi aspek penyeliaan pengajaran dan pembelajaran mereka. Bagi pihak pentadbir sekolah, kursus, bengkel dan ceramah mengenai penyeliaan kepada guru-guru perlu dilaksanakan bagi memantapkan teknik penyeliaan para guru. Di pihak Institut

Page 231: Proceeding jilid 2

642

Pendidikan Guru Malaysia (IPGM) pula, hasil kajian ini boleh dijadikan panduan untuk melatih guru-guru pembimbing, tentang aspek bmbingan yang menepati kriteria yang ditetapkan oleh IPGM. Kajian ini juga penting bagi guru pembimbing bagi meningkatkan pengetahuan dan kemahiran dalam penyeliaan pengajaran dan pembelajaran supaya bimbingan yang dibuat dapat meningkatkan kualiti pengajaran dan pembelajaran guru-guru pelatih. 1.6 Batasan Kajian

Kajian ini mempunyai batasan berdasarkan instrumen, sampel dan lokasi kajian. Kajian ini adalah melibatkan seramai 97 orang guru pembimbing yang terlibat dalam penyeliaan praktikum bagi guru pelatih jQAF di IPGKIK sahaja. Kajian ini juga terbatas kepada item-item yang dikemukakan dalam alat ukur kajian iaitu borang soal selidik yang diedarkan kepada guru-guru pelatih yang dipilih secara rawak. Keputusan kajian adalah semata-mata berdasarkan jawapan yang diberikan responden melalui instrumen soal selidik yang diedarkan. Oleh yang demikian, hasil keputusan kajian ini hanya berdasarkan sampel yang dipilih, dan tidak mewakili secara keseluruhan guru pembimbing yang membimbing guru pelatih jQAF sekolah-sekolah lain di seluruh Malaysia METODOLOGI KAJIAN 2.1 Reka bentuk Kajian Kajian ini adalah menggunakan kaedah pengumpulan data secara kuantitatif melalui soal selidik terpiawai. Kajian ini melibatkan seramai 97 orang guru pembimbing yang terlibat menyelia guru pelatih jQAF Ambilan Januari 2013 dari IPGKIK. 2.2 Sampel Kajian Keseluruhan jumlah guru pelatih jQAF Ambilan Januari 2013 dari IPGKIK adalah seramai 135 orang. Oleh kerana kajian melibatkan guru pembimbing, maka bilangan sampel yang dipilih bagi tujuan kajian hanya melibatkan seramai 97 orang guru pembimbing berdasarkan jumlah pensampelan yang dicadangkan oleh Krejcie dan Morgan (1970), iaitu saiz populasi dalam julat 130 hingga 140 memerlukan lebih kurang 97 hingga 103 sampel. 2.2 Instrumen Kajian Bagi mendapatkan data kajian, satu set soal selidik yang mengandungi 16 item menggunakan skala likert lima mata telah diedarkan kepada responden. Soal selidik ini mengandungi 3 bahagian iaitu; Bahagian A merangkumi latar belakang respondan. Bahagian B adalah berkaitan dengan kemahiran interpersonal guru pembimbing, dan Bahagian C adalah berkaitan kemahiran teknikal guru pembimbing. Bahagian B dan C dalam soal selidik ini telah diubah suai daripada soal selidik kajian oleh Rafisah (2009). 2.3 Analisis Data Dalam kajian ini, data yang diperoleh adalah dianalisis menggunakan perisian SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) versi 18. Analisis statistik deskriptif telah digunakan pada Bahagian A, B dan C untuk mendapatkan kekerapan, min dan sisihan piawai ke atas item latar belakang responden, dan juga untuk menilai tahap kemahiran interpersonal dan kemahiran teknikal guru pembimbing. Pengelasan min untuk tafsiran pemboleh ubah adalah seperti Jadual 1 berikut:

Page 232: Proceeding jilid 2

643

Jadual 1: Pengkelasan Min Min Tahap 1.0 – 1.80 Sangat rendah 1.81 – 2.60 Rendah 2.61 – 3.40 Sederhana 3.41 – 4.20 Tinggi 4.21 – 5.00 Sangat tinggi

Sumber: Joriah Md. Saad (2009) DAPATAN KAJIAN

Jadual 2 memaparkan latar belakang responden berdasarkan faktor demografi yang melibatkan 97orang guru pembimbing bagi guru pelatih jQAF Ambilan Januari 2013 dari IPGKIK.

Jadual 2: Profil Responden berdasarkan demografi (N-97) Bil Perkara Bilangan

Responden Peratus Responden

1 Jantina

Lelaki Perempuan

19 78

20 80

2

Pengkhususan

Bahasa Arab Pendidikan Islam Pendidikan Islam (Pendidikan Khas)

8 52 37

8 54 38

Berdasarkan kepada latar belakang responden, jumlah guru pembimbing

perempuan yang terlibat dalam kajian ini adalah lebih ramai, iaitu seramai 78 orang (80%), berbanding jumlah guru pembimbing lelaki, iaitu seramai 19 orang (20%). Dari taburan mata pelajaran pengkhususan yang diselia, seramai 8 orang (8%), guru pembimbing terlibat menyelia guru pelatih yang mengajar Bahasa Arab, 52 orang (54%) menyelia guru pelatih yang mengajar Pendidikan Islam kelas perdana, dan 37 orang (38%) guru pembimbing terlibat menyelia guru pelatih yang mengajar Pendidikan Islam bagi kelas pendidikan khas.

Jadual 3 : Analisis Diskriptif Tahap Kemahiran Interpersonal Guru Pembimbing

Dimensi Min Sisihan Piawai

Tahap

Kemahiran Interpersonal 4.40 .54 Sangat Tinggi

Hasil analisis statistik diskriptif tahap kemahiran interpersonal guru

pembimbing seperti dalam jadual 3 mendapati min tahap kemahiran interpersonal guru pembimbing adalah 4.40 iaitu berada dalam julat yang sangat tinggi (3.41-4.20: Jadual 1). Ini menunjukkan guru-guru pembimbing mempunyai tahap kemahiran interpersonal yang sangat tinggi.

Page 233: Proceeding jilid 2

644

Jadual 4 : Analisis Diskriptif Tahap Kemahiran Teknikal Guru Pembimbing Dimensi Min Sisihan

Piawai Tahap

Kemahiran Teknikal 4.16 .52 Tinggi

Keputusan analisis statistik dalam Jadual 4 di atas menunjukkan min bagi dimensi kemahiran teknikal guru pembimbing pula adalah 4.16, dan berada pada julat 3.41 – 4.20 iaitu pada tahap amalan yang tinggi. Ini menunjukkan tahap kemahiran teknikal guru-guru pembimbing adalah pada tahap tinggi. PERBINCANGAN DAN KESIMPULAN Rumusan Dapatan

Hasil kajian mendapati tahap kemahiran interpersonal guru pembimbing berada pada tahap sangat tinggi dengan min 4.40. Dapatan kajian mendapati ini selari dengan kajian Norlela dan Mohd Munaim (2014) yang mendapati tahap kemahiran interpersonal berada pada tahap yang sangat tinggi. Namun berbeza dengan dapatan Nurahimah dan Rafisah (2010) yang mendapati tahap kemahiran interpersonal penyelia berada pada tahap tinggi, iaitu min 4.02. Kajian juga mendapati tahap kemahiran teknikal guru pembimbing berada pada tahap tinggi dengan min 4.16. Dapatan ini berbeza dengan dapatan Norlela dan Mohd Munaim (2014) yang mendapati tahap kemahiran teknikal guru pembimbing berada pada tahap sangat tinggi dengan min 4.22. Manakala kajian Nurahimah dan Rafisah (2010) ke atas tahap kemahiran teknikal pengetua berada pada tahap sederhana dengan skor min bagi kemahiran teknikal ialah 3.60.

Hasil kajian menyokong kajian Lee (2009), yang mendapati persepsi guru pelatih terhadap penyeliaan guru pembimbing adalah berada pada tahap peratusan yang baik. Guru pelatih mempunyai persepsi yang positif terhadap guru pembimbing semasa pra pemerhatian, sebelum memulakan sesi penyeliaan, semasa dan pos pemerhatian. Guru pembimbing juga telah membincangkan semua aspek pengajaran yang telah mereka lakukan dan telah memberikan galakan dan bimbingan semasa menjalani Latihan Mengajar.

Dapatan dari kajian-kajian ini adalah sama dengan kajian Sarimah et.al (2011) yang menunjukkan purata penyeliaan yang dijalankan mengikut komponen pengajaran dan pembelajaran, penguasaan isi pelajaran, penglibatan pelajar, hasil kerja pelajar, persediaan guru, kaedah penyampaian, kemahiran komunikasi berkesan, amalan profesion keguruan, penggunaan sumber pendidikan, penilaian, teknik penyoalan dan pengurusan kelas ke atas guru-guru teknikal berada pada tahap tinggi (min=4.15).

Oleh itu, dapatan kajian ini berbeza dengan kajian Muaz Abd Karim (2002) yang mendapati penyeliaan pentadbir berada pada tahap terdapat ramai guru masih ragu-ragu dengan penyeliaan yang dijalankan terhadap mereka. Kajian ini disokong kajian Sarimah (2012) ke atas guru-guru sekolah menunjukkan pengetua jarang menyelia pengajaran mereka. Ini kerana semasa penyeliaan, pengetua yang hanya fokus kepada buku persediaan mengajar, penyediaan dan penggunaan alat bantu mengajar. Hal ini telah menimbulkan perasaan cemas dan keresahan dalam kalangan guru kerana penyelia tidak mengaplikasi kriteria penyeliaan yang sepatutnya semasa menyelia dan kurang memberi bantuan dalam membimbing guru yang diselia

Page 234: Proceeding jilid 2

645

4.2 Implikasi, Cadangan dan Kesimpulan Berdasarkan kajian yang telah dibuat, jelaslah guru-guru pembimbing

mempunyai tahap kemahiran interpersonal yang sangat tinggi dan tahap kemahiran teknikal yang tinggi semasa menjalankan bimbingan dan penyeliaan ke atas guru-guru pelatih. Oleh yang demikian, adalah dicadangkan supaya pihak JPN, PPD serta IPGM memberikan kursus-kursus penyeliaan berkualiti kepada semua guru, khususnya guru pembimbing bagi memberi pendedahan kepada mereka aspek pendidikan berkesan dan bersepadu. Model penyeliaan pengajaran dan pembelajaran yang berkesan juga boleh dibina dan diguna pakai diperingkat sekolah. Dengan adanya model ini, pihak sekolah dapat menjadikannya rujukan dan diaplikasikan dalam bimbingan dan penyeliaan.

Pihak pentadbir perlu memastikan penyeliaan pengajaran dapat dilakukan secara berterusan dan sistematik bagi memberi pendedahan kepada para guru tentang aspek penyeliaan dan proses bimbingan pengajaran yang berkesan. Bengkel, kursus dan seminar tentang penyeliaan juga boleh masukkan dalam Latihan Dalam Perkhidmatan (LADAP) di sekolah dengan melibatkan semua guru. Pihak pentadbir juga dicadangkan supaya melantik guru pembimbing dalam kalangan guru yang berpengalaman, mempunyai kemahiran pedagogi yang baik dan juga perlu memastikan mereka mampu membimbing dengan ektif dan profesional dalam memberikan bimbingan kepada guru pelatih. Bagi para guru, khususnya guru pembimbing, perlu sentiasa mempersiapkan diri dengan pengetahuan tentang penyeliaan pengajaran yang berkesan dengan mengikuti kursus, seminar atau bengkel penyeliaan serta melalui perkongsian pengetahuan dan pengalaman pentadbir atau guru pembimbing yang lebih berpengalaman. Ini penting bagi meningkatkan profesionalisma dan impak yang positif dalam membimbing rakan guru dan guru pelatih.

Oleh kerana kajian tertumpu kepada guru pembimbing bagi progran jQAF, adalah dicadangkan penyelidik lain meluskan lagi kajian dengan melibatkan guru pembimbig yang membimbing guru pelatih program lain dan Institut Pendidikan Guru yang lain. Kajian juga pelu melibatkan aspek yang lebih luas bagi mendapatkan hasil kajian yang lebih baik serta memberi impak kepada kualiti penyeliaan pengajaran guru pembimbing.

Kesimpulannya, kajian yang telah dijalankan mendapati guru-guru pembimbing mempunyai tahap kemahiran interpersonal dan kemahiran teknikal yang tinggi. Oleh itu, adalah penting bagi guru-guru pembimbing terus mempertingkatkan kualiti diri khususnya dalam aspek penyeliaan supaya bimbingan melalui seliaan yang diberikan kepada guru pelatih dapat dimanfaat dan menjadi panduan kepada guru pelatih dalam mewujudkan pengajaran dan pembelajaran berkesan. DAFTAR RUJUKAN Arsaythamby Veloo & Mary Macdalena A Komuji. (2013). Kesan Penyeliaan

Klinikal Terhadap Prestasi Pengajaran Guru Sekolah Menengah. Asia Pacific Journal of Educators and Education, Vol. 28, 81–102, 2013.

Christenson . C, Johnson. T.W dan Stinson. J.E. (1982). Supervising. Addison-Wesley Publishing Company.

Glickman, C. D., Gordon, S. P., & Ross-Gordon, J. M. (1995). Supervision of instruction (3rd ed.). Needham Heights, MA: Simon & Schuster.

Page 235: Proceeding jilid 2

646

Hamdan Said & Nurlia Mohamad. (2011). penyeliaan pengajaran dan pembelajaran di sekolah-sekolah kebangsaan di Daerah Kota Tinggi, Johor. Journal. Fakulti Pendidikan. Universiti Teknologi Malaysia

Haslinda Jamaluddin. (2012). Persepsi guru pelatih terhadap penyeliaan guru pembimbing IPG Kampus Temenggung ibrahin semasa latihan mengajar. Universiti Teknologi Malaysia.

Kementerian Pendidikan Malaysia. (2013). Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia 2013-2025 (Pendidikan Prasekolah hingga Lepas Menengah). Kuala Lumpur: Kementerian Pelajaran Malaysia.

Lee Fang Chua. (2009). Persepsi guru pelatih terhadap penyeliaan guru pembimbing dan pensyarah penyelia Universiti Teknologi Malaysia semasa latihan mengajar. Universiti Teknologi Malaysia.

Norlela Ali & Mohd Munaim Mahmud. (2014). Tahap efikasi guru pelatih jQAF Pendidikan Khas dan hubungannya dengan kualiti penyeliaan pengajaran dan pembelajaran guru pembimbing. Seminar Internasional Pendidikan Serantau Ke-7 2014, 22-24 November 2014.

Normahajazarin Suria Jamuri (2006). Tinjauan Maklum Balas Daripada guru Pelatih UTM Mengenai Keberkesanan Bimbingan Guru Pembimbing Terhadap Guru Pelatih UTM Semasa Menjalani Latihan M.

Nurahimah Mohd Yusoff & Rafisah Osman (2010), Hubungan kualiti penyeliaan pengajaran dan pembelajaran di bilik darjah dengan efikasi guru. Asia Pacific Journal of Educators and Education, Vol. 25, 53–71, 2010

Rafisah Osman (2009). Hubungan kualiti penyeliaan pengajaran dan pembelajaran dengan komitmen dan efikasi guru. Tesis Ijazah Doktor Falsafah. Universiti Utara Malaysia.

Sarimah Ismail, Peggie Chia dan Rohana Hamzah (2012) Komponen penyeliaan pengajaran dan pembelajaran guru-guru teknikal di Malaysia. Seminar Kebangsaan Majlis Dekan Pendidikan IPTA 2012, 7-9 Oktober 2012.

Shukri Zain (2011). Penyeliaan pendidikan: Teori dan amalan. Perak: Emeritus Publiations.

Wan Shafira Bt Wan Zaki (2011) Aplikasi gaya penyeliaan pengajaran guru pembimbing dalam program latihan mengajar. Universiti Teknologi Malaysia

Page 236: Proceeding jilid 2

647

LINKING THEORY TO PRACTICE: A PRELIMINARY EXPLORATION

Ramesh Rao Ramanaidu & Kuruvilla C.K. Joseph

Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas E-mail: [email protected]&[email protected]

Abstract The task of bridging the gap between theory and practice is easier said than done. In the field of teacher education, it is of utmost importance to ensure that teachers who graduate from Teacher Education Institutes are able to develop and establish their professional identity as soon as possible. Though pre-service teachers in Malaysia are exposed to numerous theories of learning and teaching during their training, there is a specific course all TESL teacher trainees have to undertake which is known as “Linking Theory to Practice” (LTP) which encompasses all these important elements. One of the course learning outcomes (CLO) of LTP is that pre-service teachers should be able to design a scheme of work, and lesson plans to teach language skills, language content and language. Hence this study explored whether pre-service teachers who would be embarking on a practicum stint, have achieved this CLO. A questionnaire consisting of thirty items representing three constructs were administered to 50 pre-service teachers. Initial analysis shows that there are three areas which need to be further examined. They are: i. lack of writing skills; ii. lack of ability to teach the English sound system; and iii. lack of ability to teach subjects other than English. Keywords: Theory, practice, linking theory to practice, teaching and learning

theories, teacher readiness INTRODUCTION

The processes involved in the development from a student to a full-fledged teacher is complicated. Lortie (2002) posited that teachers’ views of teaching and learning are socially constructed. Hence, experiences garnered by student teachers while they were in school, observing their teachers teaching them, results in many trainees entering the teaching profession with pre-conceived ideas about teaching (Clift & Brady, 2005). This view is also suported by Hammerness et.al (2005) who highlighted that pre-service teachers come with notions on teaching and learning, which are influenced by popular culture, politics and their personal experiences as students. At times, perceptions, beliefs and attitudes towards teaching and learning are intertwined with myth and reality (Leland & Harste, 2005)To counter such perceptions, a ‘long list of trainable skills that became the basis for teacher education’ were drawn (Korthagen, 2001) which led to the advent of the ‘theory to practice’ approach in teacher e.ducation. In this approach, teacher educators share and impart knowledge related to theory and practice with prospective teachers. In turn, new teachers will put into practice the newly acquired knowledge in their respective classrooms. However, the nobility of the

Page 237: Proceeding jilid 2

648

approach is constantly debated. For instance, Korthagen (2001) is of the view that the outcome of this approach is not up to the desired level. Research shows that many pre-service teachers who were exposed to educational concepts were unable to utilize them during their student teaching phase (Worthy, 2005).

There are numerous theories on how teachers learn to teach. These theories have evolved from the behaviourist to the social-constructivist perspectives. The wide gap that exists between the different theories that can be used poses numerous challenges to teacher educators who, during their interactions with their students, must demonstrate the importance of the relationship between teaching and learning (Loughran, 1997).

According to Kessels and Korthagen (2001), the gap between theory and practice in teacher education is heightened by the approach taken by teacher educators where it was found that many teacher educators rely on their own practical experience, and fall short when it came to supporting it with relevant theories. As a result, at the completion of the teacher education programme, a majority of pre-service teachers are unable to connect with their existing knowledge of both theory and practice.

Pre-service teachers must realise that theories of learning and teaching are intertwined and complicated. The line dividing both learning and teaching is vague when applied in the classroom. Hence, managing the link between the two components requires the intuition and skills of the teacher. The important task of linking theory to practice is what teacher education should strive to achieve among pre-serice teachers. To cultivate critical thinking, reflection is incorporated in most courses and plays a major role in teacher education. It is hoped that their ability to reflect well will help pre-service teachers assimilate the theories they had been introduced to with ‘real’ world experiences.

In the Malaysian teacher education programme, pre-service teachers are exposed to a variety of subjects related to theory and methodology throughout the programme. (See Table 1). In Semester 5, a compulsory course for TESL pre-service teachers is ‘Linking Theory to Practice’. Besides revisiting ELT methodologies through the course, pre-service teachers are also exposed to areas such as designing schemes of work and lesson plans, conducting formative assessment and providing feedback.

Table 1 List of Courses Offered (TESL Programme)

Semester Course 1 Introduction to Linguistics 1 Literature in English 2 ELT Methodology 2 Phonetics and Phonology

3 Teaching Listening and Speaking in the Primary ESL Classroom

3 Teaching Reading Skills and Vocabulary in the Primary ESL Classroom

Page 238: Proceeding jilid 2

649

4 Teaching Writing Skills in the Primary ESL Classroom 4 Teaching Grammar 5 Managing the Primary ESL Classroom 5 Linking Theory to Practice 6 Developing and Using Resources 6 Language Assessment 7 Action Research 1 - Methodology 8 Curriculum Studies 8 Action Research II - Implementation and Reporting

Children’s Literature E– Songs and Poetry for Young Learners E– Stories for Young Learners

E– Plays and Drama for Young Learners Source: IPGM, Buku Panduan- Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan Dengan Kepujian (Dikemas kini Jun 2012) – Cetakan Kedua 2013

The learning outcomes of this course, Linking Theory to Practice, are as follows:

1. Design a scheme of work and lesson plans to teach language skills, language content and language arts.

2. Demonstrate the ability to analyse and integrate language skills, language content and language arts.

3. Demonstrate teaching skills and strategies, assessment and feedback through micro/ macro-teaching.

4. Assess and evaluate own teaching performance.

Teacher educators who are teaching this course are expected to equip pre-service teachers with the necessary knowledge and skills to help them make the link between teaching and learning and relevant theories. Hence, the challenge lies in the successful delivery of the course by teacher educators. In other words, how the content of the course is delivered is left to the discretion of the teacher educators, so long as they adhere to the requirements outlined in the course pro forma. Though such an approach i.e. giving a free hand to the teacher educators to deliver the content of the course is to be applauded, there is a remote possibility that the manner in which this course (LTP) is delivered may result in the learning outcomes (LOs) not being fully met. As such, this paper intends to explore whether the LOs of this course are met. At first glance, this study might look like a course evaluation but the distinction lies in the data collected and the feedback provided by the pre-service teachers.

The pre-service teachers who took part in this study are from the PISMP TESL Semester 5 Cohort. They were on the verge of beginning the first phase of their practical teaching (practicum) stint which is for a period of four weeks. As such, when responding to the survey, they were eager to know if the knowledge

Page 239: Proceeding jilid 2

650

gained through this course would help them during their school stint. The findings of this study could be used to gauge whether courses such as this i.e. Linking Theory to Practice, can be introduced and used to produce teachers who able to integrate theory and practice in the real classroom.

2.0 Data Collection and Methodology

This study uses a quantitative approach. The data was collected via an online survey. A link to a survey was emailed and posted online via Facebook. In total, there are 83 pre-service teachers enrolled in the PISMP TESL Semester 5 Cohort (January 2013 intake) programme. A time-frame was given to the pre-service teachers to participate in the study and they were also given the option to participate or withdraw from the study. At the end of the date set, a total of 50 pre-service teachers had participated in the online survey. Their willingness to respond is deemed as their willingness to participate.

A Likert-type scale survey capturing three constructs was developed by the researchers (See Table 2). The pre-service teachers stated their level of agreement or disagreement based on a set of 30 statements. A precursor to these statements, two demographic items, were also included. They were gender and ethnicity. Since the researchers composed the statement, a reliability analysis was conducted on the survey to determine if the scale was reliable.

Cronbach alpha (α) reliability analysis was used to test the reliability of the survey. The results revealed the scale was sufficiently reliable (Funk, Ives, & Dennis, 2012). Each of the three constructs representing the course, Linking Theory to Practice, were calculated at N=50. The coefficients were α=0.926, α=0.959, and α=0.967. Hence, the instrument as a whole is accepted as a reliable measure of the ability to link theory with practice. This analysis is summarized in Table 2.

Table 2 Cronbach’s Coefficient Alpha Analysis Indicating Internal Consistency

Reliability of LTP Sub-scales of the LTP Survey were Sufficiently Reliable (= 0.70) with N = 50

Construct No of Items Cronbach Alpha Subject knowledge and effective teaching

5 0.925

Effective teaching of specific subjects 16 0.977 Pupil-teacher interaction 6 0.964

Descriptive statistics was used to organize and describe the characteristics

of the data (Salkind, 2004) including mean and frequency distribution, which were applied to the data to determine pre-service teachers’ agreement on items representing the LOs of the course i.e. LTP. Computation of the values for each construct was done by summing up the values and dividing by the number of items.

Page 240: Proceeding jilid 2

651

3.0 Results / Findings Collected data were analysed using the Statistical Package for the Social

Sciences Professional Version 12.00 (SPSS). Of the 50 who participated in this study, only two were males. Table 3.1-3.4 displays the demographic data gathered.

Table 3.1 Pre-service teachers’ demography

Ethnic Gender Total Male Female Malay 4 33 37 Chinese - 7 7 Indian - 6 6

Total 4 46 50 The mean values of the constructs are shown in Table 3.2

Table 3.2 Mean Values of the constructs

Construct Mean Std Deviation Subject knowledge and effective teaching

3.09 0.72

Effective teaching of specific subjects 1.79 0.79 Pupil-teacher interaction 3.34 0.84

Table 3.3

Highest mean value for the items Construct Mean Std Deviation

Subject knowledge and effective teaching

This course helps me in my speaking skills.

3.24 0.85

Effective teaching of specific subjects

This course helps me to prepare lesson plans.

3.43 0.91

Pupil-teacher interaction

This course will help me to manage Teaching & Learning activities.

3.41 0.89

Table 3.4

Lowest mean value for the items Construct Mean Std Deviation

Subject knowledge and effective teaching

This course helps me in my writing skills.

2.98 0.78

Effective teaching of specific subjects

This course prepares me to teach the English sound system.

2.69 0.82

Pupil-teacher This course will help 3.20 1.02

Page 241: Proceeding jilid 2

652

interaction me in the summative assessment of my students.

FINDINGS Among the three constructs, pupil-teacher interaction scores the highest. In

this construct, the item on “managing teaching and learning activities’ is deemed most beneficial by the pre-service teachers. In this course, classroom management is not dealt with directly per se. What is done is purely incidental or indirect, mainly through the lesson planning and micro-teaching sessions. The score is high probably due to the fact that the students had just completed their micro-teaching sessions or because they were also doing a course on classroom management i.e. “Managing the Primary ESL Classroom” (See Table 1) simultaneously with LTP in Semester 5, allowing the pre-service teachers to integrate the knowledge gained from both the courses, i.e. TSL3093 and TSL3103.

On the other hand, the item on assessment i.e. ‘This course will help me in the summative assessment of my students’, scored the lowest. At the point of this study, the pre-service teachers will only be taking a course on language assessment in the coming semester (Note- See Table 1 - Language Assessment). However, this area should not pose much of a problem to the pre-service teachers in completing their practicum. During the practicum which lasts four weeks, the pre-service teachers may not have the opportunity to conduct summative assessment as the test papers would have been prepared by the respective teachers well ahead of their time there and the administration of the test is also after their stint ends there.

The lowest construct is ‘Effective teaching of specific subjects’ i.e. 1.79. Though there is no evidence showing which subject the pre-service teachers were thinking of or referring to when answering this item, the lowest score in the items for this construct most probably refers to the teaching of the English Language. This lowest score is for the item ‘this course prepares me to teach the English sound system’. During the second semester the pre-service teachers had followed a course on “Phonetics and Phonology”. The course covers phonetics and phonology, speech sound classification, English consonants and vowels, phonemic analysis, the syllable, stress patterns, intonation, aspects of connected speech and speech variation. This course is meant to develop and increase pre-service teachers’ knowledge to better understand issues related to the production of sounds in the English Language. Most pre-service teachers have always found this course to be one of the toughest in the undergraduate programme. Even though the students have been exposed to and taught the intricacies related to speeh sound production, the gap between the time when the course was taught (Semester 2) and when the survey was conducted (Semester 5) shows that there is a gap of three semesters. This could be the reason why the students do not see the connection between the two courses – Phonetic and Phonology and Linking Theory to Practice. Even though the syllabus used in the schools does not have a separate component for the teaching and learning of the sound system, emphasis is still placed in this area, but in a more ‘toned down’ approach. It is subsumed in

Page 242: Proceeding jilid 2

653

the Listening & Speaking section where emphasis is on pronunciation, stress, intonation and rhythm.

5.0 Concluding Remarks and Policy Recommendations

It can be safely concluded that the pre-service teachers find the course, Linking Theory to Practice, to be of great help in helping them cope with the potential challenges they could face in actual classroom teaching. It greatly helps them bridge the gap between theory and practice and at the same time helps them improve their ability to prepare effective lesson plans and manage teaching and learning activities effectively. Based on the findings of this study, the researchers would like to make the following recommendations:

a. Courses similar to Linking Theory to Practice need to be introduced across all programmes in TEIs as they help pre-service teachers bridge the gap between theory and practice;

b. More ‘hands on’ and practical activities need to be incorporated in the training programme which allow trainees to put into practice the various theories they have learnt in the lecture room;

c. Teacher educators need to serve as effective role models in helping trainees develop and hone their teaching skills as they are being constantly watched closely by the trainees;

d. Presently, there is a lot of emphasis on Formative Assessment in this course but limited coverage on Summative Assessment. Since the respondents have stated that they are not well equipped to deal with issues related to summative assessment, there may be a need to include some elements related to summative assessment in this course.

REFERENCE Clift, R. T., & Brady, P. (2005). Studying teacher education: the report of the AERA

panel on research and teacher education. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erblaum Associates.

Funk, R., Ives, M., & Dennis, M. (2012). Li analysis training series: Reliability [Electronic Version] from http://www.chestnut.org/LI/downloads/training_memos/Alpha.pdf.

Hammerness, K., Darling-Hammond, L., Bransford, J., Berliner, D., M Cochran-Smith, & McDonald, M. (Eds.). (2005). Preparing teachers for a changing world: What teachers should learn and be able to do. San Francisco: Jossey-Bass.

IPGM. (2013). Buku Panduan: Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan Dengan Kepujian (Dikemas kini Jun 2012).

Kessels, J., & Korthagen, F. (Eds.). (2001). The relation between theory and practice (1st ed.). Mahwah, New Jersery: Lawrence Erlbaum Associates.

Korthagen, F. A. (Ed.). (2001). Teacher education: A problematic enterprise. London: Lawrence Erblaum Associates.

Leland, C. H., & Harste, J. C. (2005). Doing what we want to become: Preparing New Urban Teachers. Urban Education,, 40(1), 60-77.

Page 243: Proceeding jilid 2

654

Lortie, D. C. (2002). Schoolteacher : A Sociological Study. Chicage: Univ of Chicago Press.

Loughran, J. (1997). Teaching about teaching: purpose, passion and pedagogy in teacher education (1st ed.). London, Washington D.C: The Falmer Press.

Salkind, N. J. (2004). Statistics for people who (think they) hate statistics. Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc.

Worthy, J. (2005). It didn't have to be so hard': the first years of teaching in an urban school. Journal of Qualitative Studies in Education, 18(3), 379-398.

Page 244: Proceeding jilid 2

655

PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN ASAS GRAFIK MELALUI WEBLOGS

Rosnah Binti Ahmad Zain IPG Kampus Pendidikan Islam

E-mail: [email protected]

Abstract

Quality learning materials needed in the teaching and learning process (PDP) to solve the problem of incompatibility of the PDP. Thus the web-based learning has been viewed as an effective alternative in the teaching and learning because this method is able to create a student-centered learning, self-directed. Teaching and Learning Basic Chart for teachers PISMP IPG Kampus Islamic Education is intended to help teachers acquire skills using graphic software. Weblogs built on the proforma Technology in Teaching and Learning (EDU3053) using Weebly for Education as a site to teach a topic Basic Chart. The learning content consists of several main modules that contain learning objectives, activities, questions, exercises and group activities. It is hoped that this weblog will be able to diversify teaching and learning techniques so that the learning process would be easier, fun and effective. In addition, the weblog is also expected to help teachers to design in the production of the project and provides website and blog interesting. This module was built using the software Microsoft Office 2010, Adobe Photoshop CS7, MartView and PDF Converter 7. Evaluation module was conducted using questionnaires that were distributed to 20 students PISMP Semester 4. Charging the contents of this weblog developed in three stages, based on the design model Hannafin and Peck (1988), which shows that media-based software should be developed in three phases; Phase 1: The phase of the software requirements of the course, Phase 2: design phase and Phase 3: phase of development and implementation. Evaluation Module continuously and improvements have been carried out during the three phases are performed (Isham & M.Arif 2008). Based on the designs, the author will develop a module associated with the teaching of Basic Chart for teachers PISMP Semester 4 in IPG Kampus Islamic Education. In addition, the module construction method tutorial, drill and projects through computer education concept has been successfully implemented using cooperative learning strategies, individual, flexible, active and mastery. This agreement proved melalui100% of respondents who said learning using built this weblog is attractive, easy to understand, taking into account the diversity of students and understandable.

Page 245: Proceeding jilid 2

656

PENGENALAN

Populariti desktop publishing berkisar kepada kepelbagaian kegunaan dalam kalangan pengguna. Pelbagai langkah telah dijalankan oleh Kementerian Pendidikan Malaysia (KPM) untuk menggalakkan golongan pendidik memperkembang dan memajukan diri dalam bidang komputer demi mendidik generasi akan datang (PPPM 2013-2025). Berdasarkan dapatan kajian dari kajian taksiran masalah yang telah dilaksanakan dalam fasa kajian permulaan, satu kajian dokumen ke atas Proforma Teknologi dalam Pengajaran dan Pembelajaran dalam topik Asas Grafik (IPGM Jun 2014) serta modul-modul dalam talian mengenai P&P perisian grafik (Lynda Weinman 2001) telah dibuat. Guru pelatih perlu menghasilkan projek multimedia pada akhir kursus ini sama ada membina laman web, blog atau e-book dan sebagainya. Selain kuliah, guru pelatih memerlukan bahan sumber dalam talian yang memenuhi keperluan yang boleh membina kemahiran dalam menyunting dan mengedit grafik. Kejayaan kebanyakan bahan pengajaran antara lain adalah disebabkan oleh usaha seni dan juga kegunaan grafik yang berkualiti dalam pembangunan (Kemp & Smellie 1994). Topik asas grafik menekankan prinsip-prinsip grafik, reka bentuk visual dan peralatan penghasilan grafik. Penggunaan teknologi berasaskan web dalam pendidikan mendorong kepada anjakan paradigma peranan guru dan pelajar. Menurut Deitel (2009), aplikasi web menyerupai tulisan-tulisan pada sebuah halaman web umum. Menurut Walsh (2007), bilangan blog meningkat dua kali ganda setiap tahun. Selain daripada berperanan sebagi penyampai maklumat, guru kini berperanan sebagai perancang strategi kepada aktiviti pengajaran dan pembelajaran berasaskan web sebagai fasilitator. Melalui P&P asas grafik menggunakan Adobe Photoshop, guru pelatih boleh membuat pembelajaran kendiri berdasarkan keperluan masing-masing. Selain itu, guru pelatih yang tidak hadir kuliah atas sebab-sebab yang tidak dapat dielakkan, juga boleh mengakses pelajaran yang tertinggal semasa ketidakhadirannya dengan menggunakan weblog ini secara kendiri.

TUJUAN KAJIAN

Tujuan kajian ini dijalankan adalah untuk melaksanakan P&P Asas Grafik menggunakan perisian Adobe Photoshop melalui weblog. Penggunaan Perisian Adobe Photoshop diharap boleh membantu guru pelatih meningkatkan kefahaman dan kemahiran asas dalam menghasilkan bahan grafik dan multimedia.

PERSOALAN KAJIAN

Berdasarkan masalah-masalah yang telah dikenalpasti dalam pelaksanaan P&P topik Asas Grafik dan Multimedia yang telah dikenalpasti dalam kajian taksiran masalah, beberapa soalan kajian telah dibentuk.

Page 246: Proceeding jilid 2

657

i. Bagaimana P&P Asas Grafik menggunakan Adobe Photoshop melalui weblog dilaksanakan? ii. Bagaimana membina Modul P&P Asas Grafik menggunakan Adobe Photoshop yang menggunakan kaedah tutorial, latihtubi dan projek?

iii. Adakah kandungan topik grafik asas yang dibina menggabungkan strategi pembelajaran anjal, koperatif, kendiri, masteri dan projek serta kemahiran berfikir dan penerapan-penerapan nilai-nilai murni?

Pembelajaran Berasaskan Web Menurut Roblyer (2006), aplikasi ICT dalam pendidikan sebagai alat

penyebaran maklumat atau alat bantuan pengajaran dapat memanfaatkan pelajar atau guru. Antaranya ialah memperjelaskan sesuatu konsep atau prosedur serta menyokong pembelajaran kendiri melalui aktiviti yang dibangunkan. Penggunaan blog dalam kelas mempunyai potensi yang tingi untuk mempengaruhi pelajar dalam banyak cara positif. Menurut Richardson (2006), walaupun secara jelas blog merupakan alat untuk mengajar, pendidik menggunakan blog dalam semua bidang kurikulum untuk berkolaborasi dengan pakar dalam mata pelajaran tertentu. Secara teknikal blog juga dikenali sebagai CMS (Content Management Systems). Blog membenarkan penulis menerbitkan dan menguruskan kandungan pada laman terrtentu. Pengajaran dan Pembelajaran Asas Grafik

Prinsip grafik perlu dipatuhi dalam penghasilkan media pengajaran seperti carta, gambar, slaid, illustrasi dan sebagainya supaya bahan itu berkesan dan menarik. Prinsip grafik tidak harus dilihat sebagai sesuatu peraturan yang rigid, namun pengetahuan tentang prinsip grafik dapat membantu seseorang pereka dalam menghasilkan sesuatu rekaan yang baik. Menurut Rozinah Jamaludin (2003) untuk menghasilkan bahan-bahan persembahan atau pengajaran yang berkesan, beberapa prinsip grafik dalam pembinaan bahan perlulah diberi perhatian dan dibincangkan seperti kesatuan, penegasan (dominan), pergerakan, keseimbangan, variasi dan harmoni. Pengajaran dan Pembelajaran Perisian Grafik Adobe Photoshop

Adobe Photoshop merupakan perisian grafik dan penyuntingan imej yang membolehkan sesuatu imej gambar atau bahan visual diubahsuai mengikut kreativiti seseorang pengguna. Rupa bentuk gambar yang telah diubahsuai mengikut citarasa pengguna boleh digunakan untuk bahan percetakan, buku elektronik, persembahan multimedia dan juga laman web mahupun blog. Pada peringkat asas, beberapa elemen asas ruang kerja Photoshop yang penting perlu diketahui oleh para guru pelatih. Antara fitur-fitur yang perlu dipelajari iaitu: menu bar, status bar, toolbox dan pallettes. Ruang kerja bar menu pula mengandungi sebelas pilihan iaitu; File, Edit, Image, Layer, Select, Filter, Analysis, 3D, View, Window dan Help.

Page 247: Proceeding jilid 2

658

Kaedah yang digunakan semasa mengajar perisian Grafik Adobe Photoshop ialah kaedah latih tubi, tunjukcara dan projek. Melalui pendekatan latih tubi, guru pelatih dibekalkan dengan aktiviti-aktiviti yang telah disusun mengikut topik daripada peringkat pengenalan kepada peringkat asas. Kaedah demonstrasi menggunakan video turut dijalankan bagi aktiviti yang agak sukar sebelum para peserta kursus mencuba sendiri latihan yang diberikan. Pada peringkat akhir pembelajaran perisian Grafik Adobe photoshop ini, kaedah projek digunakan. Guru pelatih biasanya akan diminta untuk menghasilkan reka bentuk poster, buku bergambar atau reka bentuk laman web. Kaedah-kaedah yang digunakan adalah berlandaskan kemahiran kognitif yang memerlukan kebolehan mengumpul dan memproses maklumat daripada aktiviti yang disediakan, mengimbas imej atau mengakses imej daripada internet. Biasanya, semasa membuat projek, strategi pembelajaran koperatif digunakan.

INSTRUMEN PENILAIAN DAN RESPONDEN KAJIAN

Pembinaan Weblog P&P Asas Grafik menggunakan perisian Adobe Photoshop ini melibatkan instrumen dan responden untuk tujuan taksiran masalah, analisis keperluan pengguna, analisis keperluan pembinaan weblogs, penilaian weblogs secara formatif dan penilaian secara sumatif. Instrumen dan responden terlibat dalam fasa-fasa berkaitan beserta output yang dihasilkan dalam setiap fasa seperti dalam Jadual 1.

JADUAL 1: Kaedah/Instrumen dan Responden Kajian Mengikut Fasa Kajian dan Output Yang Dihasilkan dalam Setiap Fasa

FASA/OUTPUT KAEDAH/INSTRUMEN

RESPONDEN

FASA 1: Kajian permulaan i. Persolan Kajian

i. Protokol temubual (LAMPIRAN A)

ii. Seorang Pensyarah Kanan Jabatan TP

iii. Seorang Pensyarah TMK

FASA 2: Rekabentuk i. Spesifikasi

keperluan weblogs

ii. Dokumentasi Reka Bentuk

i. Analisis dokumen (senarai semak)

ii. Analisis dapatan kajian permulaan

iii. Spesifikasi keperluan modul

i. Sukatan Pelajaran Teknologi Pendidikan

ii. Modul–modul atas talian Adobe Photoshop

iii. Manual Adobe Photoshop

FASA 3: Implementasi i. Deraf pertama

weblogs

i. Analisis dokumentasi reka bentuk

ii. Borang pengesahan kandungan

i. Dua orang pensyarah TMK (pengesahan kandungan)

ii. 20 orang guru pelatih PISMP, IPG KPI – ambilan Januari 2012

Page 248: Proceeding jilid 2

659

iii. Borang pernilaian

Penilaian & Pembaikan i. Deraf Kedua ii. Deraf Akhir

i. Borang penilaian – pelajar–pelajar

i. 25 guru pelatih PISMP yang mengikut bengkel Adobe Photoshop di IPG KPI (deraf kedua & deraf akhir)

METODOLOGI PEMBINAAN WEBLOGS

Pendekatan yang digunakan pembinaan dan pelaksanaan weblogs P&P Asas Grafik ini adalah berdasarkan model reka bentuk menggunakan Model Hannafin dan Peck (1988) yang menunjukkan perisian berasaskan media yang dibangunkan perlu melalui tiga fasa iaitu; Fasa 1: fasa keperluan kandungan kursus, Fasa 2: fasa mereka bentuk dan Fasa 3: fasa pembangunan dan implementasi. Penilaian dan pembaikan weblogs secara berterusan dalam bentuk formatif telah dijalankan di sepanjang fasa pembinaan.

REKABENTUK DAN PELAKSANAKAN PERISIAN PENDIDIKAN Sumber: Isham Shah Hassan & Mohd Arif Ismail (2008)

DAPATAN KAJIAN

Weblogs yang dibina dalam kajian ini direkabentuk berasaskan skop yang telah ditentukan untuk mencapai matlamat dan objektifnya. Bagi pihak penulis, rekabentuk berstruktur begini mewujudkan ciri-ciri modulariti, bertujuan memudahkan pengujian di peringkat awal bagi mengenal pasti setiap ralat. Di samping itu, ia juga memudahkan penggabungan kandungan subjek sebelum sesuatu modul yang lengkap dan sempurna dapat dibina. Di pihak pengguna pula, mereka memperoleh maklumat yang dikehendaki dengan cara sistematik kerana ia disampaikan dalam format yang mudah difahami dan diikuti. Modul yang dibina dalam weblogs telah dinilai oleh dua orang pensyarah berpengalaman dan

FASA 1 Keperluan

Aset

FASA 2 Rekabentuk

FASA 3 Membangunkan/

Melaksanakan

MULA

PENILAIAN & PEMBAIKAN

Page 249: Proceeding jilid 2

660

mereka bersetuju bahawa modul ini adalah menepati sukatan pelajaran dan piawai yang ditetapkan.

Dalam modul latihan, peserta kursus digalakkan melaksanakan segala aktiviti yang telah disediakan. Aktiviti dan latihan disediakan mengikut turutan-turutan dan sistematik supaya mudah diikuti. Soalan latihan disertakan pada sesi akhir setiap tajuk modul pembelajaran. Soalan yang disediakan adalah bersifat pengukuhan. Tugasan projek yang disertakan pada akhir sesi pembelajaran merupakan satu latihan kumpulan yang membolehkan peserta kursus mengaplikasikan kemahiran yang telah diperoleh dengan menghasilkan satu projek yang berkaitan dengan subjek pilihan mereka.

Hasil kajian weblog P&P asas grafik menggunakan perisian Adobe Photoshop menggunakan kandungan topik asas grafik ini melibatkan kemahiran berfikir berasas tinggi seperti menganalisis maklumat, mereka cipta, mengecam pola dalam aktiviti seperti menghasilkan bentuk, warna, saiz, susunan dan reka letak imej. Dapatan hasil soal selidik menunjukkan100% responden yang terdiri daripada 20 orang guru pelatih PISMP IPG KPI bersetuju dengan penyataan bahawa wujud kemahiran berfikir di aras tinggi dalam pembelajaran menggunakan welogs ini. Ini berlaku semasa menjana ide yang pelbagai ketika melalui proses mengendalikan ikon-ikon, tetingkap palet dan membina layer yang memerlukan kesabaran dan kegigihan dalam diri pelajar. Zoraini Wati (2008) telah mengemukakan satu teori pembelajaran global. Menurut teori tersebut, pada masa akan datang, sistem pendidikan akan menggunakan alat perhubungan online sosial di Internet seperti laman web, blog, wikipedia dan ruang sosial seperti My Space dan Facebook. Ini bermakna pembelajaran masa kini dan akan datang adalah satu proses aktif di antara bahan pembelajaran, interaksi sosial dan kompetensi teknologi.

Bagi guru pelatih yang sederhana atau lemah mereka tidak menghadapi masalah mengikuti aktiviti latihan modul ini kerana pendekatan kaedah latih tubi mampu memberi mereka peluang mengikuti langkah demi langkah aktiviti tanpa rasa takut atau segan dengan pensyarah. Pensyarah sedia membantu peserta kursus yang ketinggalan mengulangi semula aktiviti pembelajaran berpandukan modul yang dibina. Kemudahan mengulang tanpa perlu ketinggalan dalam pelajaran selanjutnya memudahkan latih tubi latihan sebagai pengukuhan bagi memebolehkan guru pelatih benar-benar menguasai sesuatu kemahiran sebelum meneruskan pelajaran ke bahagian selanjutnya.

Pendekatan tutorial dan latih tubi dalam modul ini digabungkan dengan kaedah projek. Penilaian projek adalan berdasarkan laporan dan pembentangan secara berkumpulan. Melalui projek yang dihasilkan, semua kemahiran yang dipelajari dalam modul dapat diaplikasikan. Soalan-soalan projek direka bentuk untuk menguji sejauh mana pelajar telah memahami dan menguasai kemahiran yang diharapkan.

Page 250: Proceeding jilid 2

661

Pengaplikasian pendekatan teori kognitivisme dalam bahan bantu mengajar sebagaimana hasil kajian yang dilakukan oleh Shaharuddin & Fatimah (2011) mendapati penggunaan Modul Pembelajaran Kendiri dalam perisian yang dibangunkan amat sesuai digunakan dalam proses pembelajaran kerana pelajar boleh menggunakan modul tersebut berulang kali sehingga berlakunya proses pembelajaran. Ini bertepatan dengan kajian penulis dalam pengajaran dan pembelajaran Asas Grafik melalui Weblogs.

PENUTUP

Pembinaan bahan pengajaran yang baik, perlu kepada pelbagai kaedah dan strategi pembelajaran. Metodologi pembinaan perlulah berdasarkan satu model rekabentuk penghasilan bahan pembelajaran mengikut fasa-fasa yang ditentukan agar bahan yang dihasilkan dapat mengambilkira pelbagai aspek yang diperlukan secara sistematik. Pembinaan weblogs perlulah kepada pembaikan dan penilaian agar kerja-kerja pembinaan modul dapat menepati objektif kajian dan kehendak pengguna sasaran.

DAFTAR RUJUKAN Abdul Rahim Hashim. 1998. Pembentukan dan penilaian modul pengajaran

kendiri litar arus ulang alik bagi tingkatan empat. Tesis Sarjana Muda Teknologi serta Pendidikan (Kejutan Elektrik). Universiti Teknologi Malaysia.

Hamidah Baba. 1999. Pemikiran dan hala tuju pembangunan perisian kursus multimedia pendidikan interaktif. Kertas kerja Kursus Penilaian Grafik Adobe Photoshop. Bahagian Teknologi Pendidikan, Kuching, 6-10 September.

Hannafin, M.J. & Peck 1988. The design, development and evulation of instructional software. New York: Macmillan Publishing Company.

Jamaludin Harun & Zaidatun Tahir. 2001. Grafik Digital: Asas Penggunaan Adobe Photoshop 6.0. Kuala Lumpur. Venton Publishing.

Rashidi Azizan dan Abdul Razak Habib. 1996. Pengajaran dalam bilik darjah: Kaedahdan strategi. Kajang: Masa Enterprise.

Roblyer, M.D., 2006. Integrating Educational Technology into Teaching 4th ed. Person, Prentice Hall.

Rozinah Jamaludin. 2000. Multimedia dalam pendidikan. Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributor Sdn Bhd.

Rozinah Jamaludin (2003). Teknologi Pengajaran. Kuala Lumpur Utusan Publications & Distributors Sdn. Bhd.

Richardson, W. “The Educator’s Guide to The Read and Write Web” dalam Educational Leadership. 2005.

Yusup Hashim. 1998. Rekabentuk pengajaran bersistem dalam pembinaan pengajaran berbantu komputer (PBK). Jurnal Pendidikan. 18: 1-14. Zoraini Sumber Dalam Talian:

Page 251: Proceeding jilid 2

662

Adobe. 2011. (atas talian) About Adobe Systems Incoperated http://www.adobe.com (20 Mei 2015).

Imran Abdul Jabar. 2011. (atas talian) Sumber Grafik/Multimedia Malaysia URL:http://www.sifoo.com (12 November 2014).

Weinman, L. 2001. (atas talian) Learning Photoshop CD-ROM. http://www.adobe.com/support/photoshop/gettingstarted/2012 (Mei 2015)

Page 252: Proceeding jilid 2

663

AMALAN GURU-GURU PENDIDIKAN ISLAM DALAM PENGAJARAN AYAT KEFAHAMAN

Rozita Md.Noh, Zaradi Sudin, & Madya Dr. Mohd. Aderi Che Noh

Jabatan Pendidikan Islam dan Moral, IPG Kampus Pendidikan Islam. Universiti Kebangsaan Malaysia & Jabatan Pendidikan Islam dan Moral, IPG Kampus Ilmu

Khas. E-mail: [email protected]

.

Abstrak Amalan pengajaran ayat kefahaman dalam kalangan guru-guru jarang mendapat perhatian khusus para penyelidik sedangkan ayat kefahaman merupakan satu daripada elemen penting melengkapkan pengajian bahagian Tilawah al-Quran Sukatan Pelajaran Pendidikan Islam Kementerian Pendidikan Malaysia. Kajian ini dilakukan ke atas 100 orang guru Pendidikan Islam sekolah kebangsaan yang telah dipilih daripada sepuluh daerah negeri Selangor. Tujuan kajian ini adalah untuk meninjau amalan pengajaran ayat kefahaman yang diamalkan dalam kalangan para guru Pendidikan Islam yang merupakan sasaran kajian ini. Data yang dikumpul dianalisa menggunakan SPSS. Analisis deskriptif digunakan untuk memberi tafsiran kepada data dan menjawab persoalan kajian. Analisis mendapati bahawa secara keseluruhannya, tahap amalan guru dalam pengajaran ayat kefahaman agak memuaskan namun masih terdapat amalan-amalan yang perlu ditingkatkan terutamanya melazimi dan mempelbagaikan set induksi, dan menepati masa memulakan pengajaran serta menjalankan aktiviti menarik semasa pengajaran ayat kefahaman. Kata kunci: amalan pengajaran, ayat kefahaman, tilawah al-Quran, guru Pendidikan Islam. PENGENALAN Latar belakang Kajian

Pembelajaran al-Quran adalah sangat diberkati dan bermanafaat kepada individu yang mempelajari, memahami, menghafaz dan menghayatinya. Manafaatnya bukan sahaja di dunia malah keberkatan dan kebahagiaan yang diperolehi akan berterusan hingga ke akhirat kelak. Berdasarkan kepada pengalaman Rasulullah SAW, para sahabat dan para tabi’in, terdapat lima perkara dalam mempelajari al-Quran iaitu membaca, menulis, menghafaz, memahami dan menghayati atau disifatkan sebagai kemahiran 5M (Yusuf al-Qardhawi, 2007).

Sehubungan dengan hakikat tersebut, pihak Kementerian Pendidikan menetapkan tiga elemen penting dalam pembelajaran Tilawah al-Quran Pendidikan Islam di sekolah iaitu elemen bacaan, kefahaman ayat dan kefahaman ayat. Kajian ini meninjau amalan guru dalam pengajaran ayat kefahaman di bahagian permulaan pengajaran, perkembangan langkah pengajaran, penggunaan bahan bantu mengajar yang digunakan serta amalan para guru di bahagian penutup pengajaran.

Allah S.W.T mengurniakan akal kepada kita supaya selari dengan

pemahaman dalil-dalil daripada al-Quran dan al-Sunnah. Islam yang mulia

Page 253: Proceeding jilid 2

664

menetapkan bahawa akal digunakan untuk menghuraikan ayat-ayat al-Quran dan juga Sunnah Nabi saw dengan mengikut disiplin-disiplinnya yang tertentu. Kita dilarang sama sekali untuk meletakkan akal sebagai sumber hukum dan menjadikan nas-nas al-Quran dan al-Sunnah sebagai penghurainya. Ini merupakan kaedah yang salah kerana mendahulukan akal daripada dalil-dalil al-Quran dan al-Sunnah. Justeru itu para guru yang terlibat mengajar ayat-ayat kefahaman al-Quran hendaklah mengamalkan budaya ilmu merujuk kitab-kitab tafsir muktabar dan tidak menggunakan akal semata-mata dalam usaha memahami ayat-ayat al-Quran. Penyataan Masalah

Dalam memahami ayat-ayat al-Quran kita sewajibnya melihat kepada huraian-huraian para ulama’ tafsir yang muktabar. Dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Quran para ulama’ menggunakan dua metode yang utama iaitu al-Tafsir bi al-Ma’thur dan al-Tafsir bi al-Ra’y. Maksud al-Tafsir bi al-Ma’thur adalah menghuraikan ayat-ayat al-Quran dengan berpandukan ayat-ayat al-Quran yang lain. Di samping itu kaedah tafsir ini juga menghuraikan ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan hadith-hadith Nabi saw dan athar para sahabat.

Kaedah al-Tafsir bi al-Ra’y ialah kaedah huraian ayat-ayat al-Quran dengan mengetengahkan pendapat-pendapat peribadi mahupun pandangan para sarjana Islam yang lain. Daripada huraian-huraian melalui kaedah ini maka terserlahlah hikmah-hikmah daripada ayat-ayat al-Quran yang kadangkala tidak mampu dilihat oleh mata-mata manusia. Antara karya tafsir yang menggunakan pendekatan ini ialah kitab Fi Zilal al-Quran karangan Ustaz Sayyid Qutb rhm. Walaupun begitu kaedah al-Tafsir bi al-Ma’thur perlulah diutamakan dalam perbahasan-perbahasan ayat-ayat al-Quran dan seterusnya diselitkan hikmah-hikmah dan juga pandanga-pandangann yang mampu memberi manfaat kepada para pembaca dengan menggunakan kaedah al-Tafsir bi al-Ra’y.

Sekiranya ditinjau Kurikulum Pendidikan Islam; Kurikulum Baru Sekolah Rendah (KBSR) didapati kesemuanya memberi tumpuan kepada kebolehan membaca al-Quran dan menanamkan asas-asas Fardhu ’Ain serta cara hidup Islam (Kementerian Pendidikan Malaysia 2002, Kementerian Pendidikan Malaysia 2003, Kementerian Pelajaran Malaysia 2004b) begitu juga dengan Kurikulum Standard Sekolah Rendah 2011 (KSSR). Namun isunya, kajian berkaitan kebolehan membaca al-Quran lebih banyak bertumpu di Sekolah Menengah sebagaimana kajian berkaitan, di Sekolah Menengah Kebangsaan (SMK) arus perdana Kementerian Pelajaran menunjukkan tahap kebolehan pelajar dalam bidang Tilawah al-Quran masih di tahap sederhana dan menghadapi pelbagai masalah (Mohd Yakub @ Zulkifli bin Haji Mohd Yusoff & Saidi Mohamad 2008 dan Mohd. Aderi Che Noh dan Rohani Ahmad Tarmizi 2009 dan kajian Mohd Alwi Yusoff, Adel Mohd Abdulaziz & Ahmad Kamel Mohamed. 2010). Ketetapan pihak kementerian dengan tiga elemen kemahiran iaitu kemahiran bacaan, memaham dan menghafaz menunjukkan ketiga-tiganya perlu dikuasai murid secara sama rata untuk meneruskan pengajian di peringkat menengah. Namun, hakikat yang berlaku, tumpuan lebih berfokus kepada penguasaan kemahiran bacaan sahaja. Kajian terhadap amalan pengajaran guru diharapkan dapat menutup atau sekurang-kurangnya mengecilkan perbezaan penguasaan murid dalam ketiga-tiga elemen kemahiran dan menjadikan penguasaan kemahiran murid lebih seimbang.

Page 254: Proceeding jilid 2

665

Tujuan Kajian Kajian ini bertujuan untuk : 1. Mengenalpasti tahap amalan pengajaran guru dalam bidang kefahaman al-Quran sekolah kebangsaan di negeri Selangor.

Soalan Kajian 1. Apakah tahap amalan pengajaran guru dalam bidang kefahaman al-Quran sekolah kebangsaan di negeri Selangor?

Tinjauan Literatur

Pengajaran dan Pembelajaran yang berkesan amatlah penting dalam usaha guru untuk membina pengetahuan kepada pelajar. Untuk memenuhi hasrat itu yang selaras dengan Falsafah Pendidikan Negara maka seseorang guru itu perlulah memiliki kepelbagaian kemahiran untuk menjana pemikiran pelajar dalam proses pengajaran dan pembelajarannya.

Dalam matapelajaran Pendidikan Islam terutamanya dalam pengajaran dan pembelajaran bidang kefahaman guru haruslah lebih kreatif dalam menggunakan kepelbagaian strategi pengajaran dan pembelajaran. Ini adalah bertujuan untuk menarik minat murid serta ilmu pengetahuan yang akan diperolehi akan terus berkekalan serta dapat diamalkan dalam kehidupan seharian.

Menurut Ibnu khaldun (2002) dalam kitabnya Muqaddimah menyatakan bahawa “al-Quran itu perlu dipelajari dan dibaca oleh kanak-kanak pada peringkat awal, kerana membaca al-Quran akan menanamkan benih-benih keimanan ke dalam jiwa kanak-kanak”. (Yusof Qardhawi, 2010) menegaskan diantara manfaat membaca dan memahami serta menghafal Al Quran pada masa kanak-kanak adalah, ianya dapat meluruskan lidah, membaca huruf dengan tepat, dan mengucapkannya sesuai dengan makhraj hurufnya.

Selain daripada itu, kelebihan mereka yang memahami al-Quran juga diterangkan dalam sebuah Hadis iaitu dari an-Nawwas bin Sam`an radhiAllahu `anhu katanya: “Saya mendengar Rasulullah sallAllahu `alaihi wasallam bersabda: “Al-Quran itu akan didatangkan pada Hari Kiamat nanti, demikian pula ahli-ahli al-Quran iaitu orang-orang yang mengamalkan al-Quran itu di dunia, didahului oleh surah al-Baqarah dan surah ali-Imran. Kedua surat ini menjadi hujah untuk keselamatan orang yang mempunyainya (membaca, memikirkan dan mengamalkan).” (Riwayat Muslim)

Selain itu, teknik dan pemilihan kaedah yang sesuai merupakan salah penyumbang ke atas pencapaian murid dan proses pengajaran dan pembelajaran. Oleh itu, merujuk kepada amalan pengajaran dan pembelajaran kefahaman al-Quran yang berkesan, guru hendaklah memilih pendekatan yang sesuai. Hal ini kerana tidak ada satu pendekatan yang dianggap terbaik untuk satu-satu mata pelajaran bagi semua pelajar dalam semua keadaan. Antara pendekatan dalam pengajaran dan pembelajaran membaca dan memahami al-Quran ialah pendekatan induktif (Ahmad Mohd Salleh 1997), di mana para guru mengemukakan contoh bacaan al-Quran mengikut sesuatu hukum tajwid dan seterusnya menerangkan maksud kefahaman ayat dan para murid mengaplikasikan contoh bacaan guru dalam bacaan al-Quran yang dibaca.serta membincangkan kefahaman ayat seperti yang diterangkan oleh guru.

Page 255: Proceeding jilid 2

666

Memandangkan pengajaran dan pembelajaran kefahaman al-Quran melibatkan pengajaran kemahiran. Maka mengajar kemahiran perlu menekankan kepada arahan, dan penerangan yang membolehkan pelajar dapat memahami sesuatu kefahamn yat al-Quran yang diajar.

Kesimpulannya, kepada mereka yang terlibat dan bertanggung jawab dalam pengajaran dan pembelajaran al-Quran seperti guru al-Quran, para pendidik di sekolah mahupun di institusi pengajian tinggi mesti mendalami dan menyelami segala keistimewaan dan kelebihan yang terdapat di dalam isi kandungan al-Quran dalam usaha untuk disampaikan kepada murid dengan pendekatan yang tepat dan lebih berkesan lagi. Manakala bagi para pendidik dan guru al-Quran, mereka haruslah menyelami segala kelebihan al-Quran kemudian menyampaikan kepada para murid dari semasa ke semasa dengan tujuan untuk menyuburkan minda, cintakan al-Quran serta suka untuk mendengar, membaca, memahami ,menghafaz dan mempelajari al-Quran. METODOLOGI Reka bentukKajian Kajian ini dilaksanakan dengan menggunakan kaedah penyelidikan berbentuk kuantitatif dalam bentuk tinjauan (survey). Penyelidikan ini menggunakan reka bentuk penyelidikan deskriptif bagi mengenal pasti dan mengkaji secara sistematik berkaitan faktor guru iaitu amalan pengajaran guru dalam pengajaran ayat kefahaman Tilawah al-Quran di sekolah rendah. Pensampelan Responden kajian ini terdiri daripada 90 orang guru Pendidikan Islam yang dipilih secara rawak berkelompok daripada sekolah-sekolah kebangsaan merangkumi sepuluh buah daerah negeri Selangor iaitu Klang, Kuala Langat, Kuala Selangor, Hulu Langat, Hulu Selangor, Sabak Bernam, Gombak, Sepang, Petaling Perdana dan Petaling Utama. Sekolah di daerah-daerah tersebut dipilih secara multistage random sampling. Fokus kajian ini ialah Sekolah Kebangsaan yang berada di bawah seliaan Kementerian Pendidikan Malaysia (KPM). Instrumen Kajian Instrumen kajian ini merupakan soal selidik yang terdiri daripada empat konstruk berdasarkan Model Pembelajaran Biggs (1990) yang terdiri daripada tiga proses utama iaitu permulaan , proses dan hasil. Pengkaji mengubahsuai dengan membina empat konstruk soal selidik iaitu: bahagian permulaan pengajaran, bahagian perkembangan langkah pengajaran, bahagian penutup pengajaran bahagian bahan bantu mengajar.

Responden menjawab item-item setiap konstruk berdasarkan Skala Likert lima skala iaitu 5 = sangat kerap, 4 = kerap, 3 = kurang kerap, 2 = tidak kerap, dan 1 = sangat tidak kerap. Pengumpulan data

Prosedur pengumpulan data dilakukan melalui pengumpulan data tinjauan menggunakan satu soal selidik yang dibina oleh pengkaji hasil ubahsuai soal selidik yang telah dijalankan oleh Md. Aderi (2008) dan telah disemak dan disahkan oleh pakar untuk menjaga kebolehpercayaan dan keesahan instumen. Prosedur pengumpulan data ini dijalankan dengan sistematik mengikut prosedur

Page 256: Proceeding jilid 2

667

pengumpulan data kuantitatif dan dianalisis secara deskriptif menentukan frekuensi menggunakan SPSS Versi 20.

DAPATAN KAJIAN

Sampel Kajian JADUAL 1: Peratus guru lelaki dan perempuan

Jantina Bilangan Peratus Lelaki 23 25.6 Perempuan 67 74.4 Jumlah 90 100.0

JADUAL 2: Pengalaman Mengajar Pendidikan Islam

Tempoh Bilangan Peratus Kurang 5 tahun 21 23.3 5 - 9 tahun 26 28.9 10 - 14 tahun 25 27.8 Melebihi 14 tahun 18 20.0 Jumlah 90 100.0

JADUAL 3: Kelayakan Akademik

Kelayakan Bilangan Peratus Sijil Perguruan 10 11.1 Diploma Pendidikan 51 56.7 Ijazah Pertama 29 32.2 Jumlah 90 100.0

JADUAL 4: Latihan Tambahan berkaitan Tilawah al-Quran Latihan Bilangan Peratus

Ya 37 41.1 Tidak 53 58.9 Jumlah 90 100.0

Jenis Latihan Bilangan Peratus Bacaan al-Quran 27 73 Kefahaman al-Quran 4 10.8 Kefahaman al-Quran 4 10.8 Kefahaman dan Tarannum al-Quran

2 5.4

Jumlah 37 100.0

Jadual 1 menunjukkan sampel kajian mengikut jantina. Jadual 2 berdasarkan pengalaman sampel mengajar Pendidikan Islam. Manakala Jadual 3 pula menunjukkan kelayakan akademik sampel dan Jadual 4 menunjukkan latihan tambahan yang pernah diikuti oleh sampel berkaitan Tilawah al-Quran.

JADUAL 5: Amalan Guru Semasa Permulaan Pengajaran Ayat Kefahaman

1=Sangat Tidak kerap, 2=Tidak Kerap, 3=Kurang Kerap, 4=Kerap, 5=Sangat Kerap

Page 257: Proceeding jilid 2

668

Bil. Item 1 2 3 4 5 01 Melaksanakan set induksi. - 1% 16% 68% 16% 02 Mempelbagaikan set induksi. - 2% 16% 64% 18% 03 Memperkenalkan tajuk terlebih

dahulu setiap kali mengajar ayat kefahaman.

1% 2% 8% 67% 22%

04 Meminta murid-murid membaca potongan ayat semasa permulaan pengajaran.

- 1% 15% 64% 20%

05 Menjalankan aktiviti menarik semasa pengajaran kemahiran memahami ayat.

- 2% 14% 67% 17%

06 Sentiasa menepati waktu semasa memulakan pengajaran.

- - 7% 68% 25%

07 Menyusun langkah-langkah secara sistematik semasa mngajar kemahiran memahami ayat.

- 2% 7% 60% 21%

08 Memastikan murid-murid bersedia setiap kali memulakan pengajaran.

- - 1% 66% 33%

09 Mengaitkan pengetahuan sedia ada murid yang berkaitan dengan ayat kefahaman yang diajar.

- - 8% 67% 25%

10 Tidak mengajukan soalan berkaitan dengan ayat kefahaman yang hendak diajar.

1% 20% 34% 33% 12%

11 Menggunakan kaedah bercerita untuk memulakan pengajaran ayat kefahaman.

- 1% 13% 67% 19%

Jadual 5 menunjukkan amalan pengajaran guru di peringkat permulaan

pengajaran ayat kefahaman. Hasil kajian mendapati 17% responden kurang melazimi set induksi, 18% daripada responden tidak mempelbagaikan set induksi pengajaran mereka, 16% tidak menjalankan aktiviti yang menarik semasa pengajaran memahami ayat. Masih terdapat 75% dalam kalangan responden yang tidak menepati masa memasuki kelas, bagaimanapun hampir keseluruhan responden iaitu 99% sentiasa memastikan murid-murid bersedia setiap kali memulakan pengajaran. Kajian ini juga mendapati 55% guru mengamalkan mengajukan soalan kepada murid-murid semasa memulakan pengajaran, sebanyak 86% daripada responden mengamalkan amalan bercerita.

Jadual 6: Amalan Pengajaran Semasa Perkembangan Langkah Pengajaran 1=Sangat Tidak kerap, 2=Tidak Kerap, 3=Kurang Kerap,

4=Kerap, 5=Sangat Kerap

Page 258: Proceeding jilid 2

669

Bil.

Item 1 (%) 2 (%) 3 (%) 4 (%) 5 (%)

01 Menggunakan pelbagai pendekatan pengajaran kemahiran memahami ayat.

1% 1% 14% 64% 20%

02 Menggunakan pelbagai kaedah pengajaran kemahiran memahami ayat.

- 2% 8% 70% 20%

03 Menggunakan pelbagai teknik pengajaran kemahiran memahami ayat.

- 1% 13% 70% 16%

04 Mengubah cara pengajaran apabila murid-murid telah mahir memahami ayat yang diajar.

- - 8% 71% 21%

05 Segera membetulkan pemahaman murid sekiranya terdapat kesalahan dalam memahami ayat.

- 1% 3% 61% 35%

06 Mengaitkan kefahaman murid dengan bacaan dalam solat

- - 5% 70% 25%

07 Mengaitkan pengajaran ayat kefahaman murid dengan subjek Pendidikan Islam setiap kali mengajar.

- 2% 4% 68% 26%

08 Mengajar ayat kefahaman dengan bacaan tarannum.

3% 4% 37% 49% 7%

09 Memberi penekanan pengajaran ayat kepada murid yang lemah.

- - 10% 70% 20%

10 Menekankan adab terhadap al-Quran ketika mengajar ayat kefahaman.

- 1% 1% 61% 37%

11 Menggalakkan murid mengambil bahagian yang aktif dalam proses PdP ayat kefahaman.

- - 3% 66% 31%

12 Melibatkan rakan sebaya untuk mengajar ayat kefahaman secara berkumpulan.

- - 14% 62% 24%

13 Sentiasa bersemangat mengajar ayat kefahaman walaupun kepada murid lemah.

- 2% 4% 72% 22%

14 Mempunyai waktu untuk memberi tumpuan kepada murid yang lemah.

- 2% 19% 58% 21%

Page 259: Proceeding jilid 2

670

15 Memberi perhatian kepada setiap murid semasa mengajar.

- 1% 10% 68% 21%

16 Tidak dapat mengawal bilik darjah dengan baik semasa mengajar ayat kefahaman.

- - - 80% 20%

17 Meminta murid mengulang ayat kefahaman yang diajar kepada mereka.

- - 3% 66% 31%

18 Mengajar ayat kefahaman secara berperingkat bermula daripada potongan kalimah berkembang kepada potongan ayat dan kefahaman ayat yang lengkap.

- - 1% 63% 36%

Jadual 6 menunjukkan hasil data yang diperolehi berkaitan amalan guru

semasa perkembangan langkah pengajaran. Sebanyak 16% guru masih tidak menggunakan pelbagai pendekatan semasa proses pengajaran dan pembelajaran kemahiran memahami ayat. Sebaliknya 44% mengajar ayat kefahaman dengan bacaan tarannum. Manakala sebanyak 21% mengakui tidak mempunyai waktu untuk memberi tumpuan kepada murid-murid yang lemah dan 11% daripada responden tidak melazimkan diri memberi perhatian kepada murid yang lemah.

Walau bagaimanapun, dapatan menunjukkan majoriti guru iaitu sebanyak 92% mengamalkan perubahan cara pengajaran apabila murid-murid telah mahir memahami ayat yang diajar. Sebilangan besar responden iaitu 84% menggunakan pelbagai pendekatan dalam pengajaran mereka, 96% responden membetulkan pemahaman murid sekiranya terdapat kesalahan dalam memahami ayat. Manakala sebanyak 98% daripada responden melibatkan bimbingan rakan sebaya untuk mengajar ayat kefahaman secara berkumpulan. Majoriti responden iaitu 95% mengaitkan kefahaman murid dengan bacaan dalam solat. Responden juga meminta murid-murid mengulang-ulang ayat kefahaman yang diajarkan (97%) dan hampir keseluruhan responden iaitu 99% daripada mereka mengamalkan mengajar ayat kefahaman secara berperingkat-peringkat daripada potongan kalimah, ayat hingga ayat kefahaman yang lengkap.

Page 260: Proceeding jilid 2

671

Jadual 7: Amalan Semasa Penutup Pengajaran 1=Sangat Tidak kerap,2=Tidak Kerap, 3=Kurang Kerap, 4=Kerap, 5=Sangat

Kerap

Bil.

Item 1 (%) 2 (%) 3 (%) 4 (%) 5 (%)

01 Merumuskan pengajaran ayat kefahaman yang telah diajar

1% - 3% 72% 24%

02 Meminta murid menjelaskan isi pelajaran berkaitan ayat

- 3% 6% 71% 20%

03 Membimbing murid menjelaskan isi pelajaran.

- 2% 5% 76% 17%

04 Meminta murid menulis kesimpulan pembelajaran ayat kefahaman dalam buku catatan mereka.

- 8% 13% 63% 16%

05 Menguji semula kefahaman murid semasa sesi penutup.

2% 9% 71% 18%

06 Merekod pencapaian kefahaman murid

- 1% 6% 81% 12%

07 Berbincang dengan murid untuk membantu meningkatkan kefahaman ayat al-Quran mereka

- 3% 8% 78% 11%

08 Menyedari bahawa penutup yang baik untuk pengajaran ayat kefahaman memberi kesan kepada murid.

- 1% 4% 69% 26%

09 Memastikan aktiviti susulan diberikan kepada murid setelah sesi PdP ayat kefahaman selesai.

- - 7% 73% 20%

Page 261: Proceeding jilid 2

672

10 Membuat refleksi kendiri untuk membaiki pengajaran.

- 1% 10%

67% 22%

Jadual 7 menunjukkan dapatan amalan guru di bahagian penutup

pengajaran. Analisis mendapati bahawa 91% responden menjelaskan isi pelajaran berkaitan ayat kefahaman. Sebanyak 7% responden kurang kerap membimbing murid menjelaskan isi pelajaran dan terdapat 11% responden tidak melazimi berbincang dengan murid untuk membantu meningkatkan kefahaman ayat al-Quran mereka dan masih terdapat 7% daripada kalangan responden yang tidak melazimkan diri secara kerap untuk memastikan aktiviti susulan diberikan kepada murid setelah sesi PdP ayat kefahaman selesai.

Sebanyak 86% responden berbincang dengan murid bagi membantu meningkatkan kefahaman mereka, manakala 95% daripada kalangan responden menyedari bahawa penutup yang baik untuk pengajaran ayat kefahaman memberi kesan kepada murid dan 89% daripada responden sangat kerap membuat refleksi kendiri untuk membaiki pengajaran mereka.

Jadual 8: Penggunaan Bahan Bantu Mengajar

1=Sangat Tidak kerap, 2=Tidak Kerap, 3=Kurang Kerap, 4=Kerap, 5=Sangat Kerap

Bil.

Item 1 (%) 2 (%) 3 (%) 4 (%) 5 (%)

01 Menggunakan papan tulis semasa pengajaran ayat kefahaman.

- - 7% 71% 22%

02 Menggunakan bahan eletronik

- - 29% 62% 9%

03 Menggunakan kertas majung

2% 12% 38% 40% 8%

04 Menggunakan lembaran kerja

- - 12% 74% 14%

05 Menggunakan LCD 3% 1% 36% 53% 7% 06 Menyediakan bahan bantu

mengajar yang menarik 1% - 17% 69% 13%

07 Menggunakan kitab al-Quran

11% 20% 34% 28% 7%

08 Menggunakan buku teks untuk merujuk ayat kefahaman.

7% 10% 37% 44% 2%

09 Menggunakan peta minda.

- 4% 7% 73% 16%

10 Bahan yang disediakan membantu penguasaan murid menguasai ayat kefahaman.

3% - 14% 70% 13%

11 Bahan yang disediakan 1 % 1% 2% 70% 26%

Page 262: Proceeding jilid 2

673

menarik perhatian murid untuk kemahiran kefahaman ayat al-Quran.

Jadual 8 menunjukkan data yang diperolehi daripada responden berkaitan penggunaan bahan bantu mengajar sepanjang proses pengajaran ayat kefahaman. Secara keseluruhan, dapatan menunjukkan responden kerap dan sangat kerap menggunakan papan tulis, bahan eletronik seperti komputer, video, radio dan alat perakam dan lai-lain, semasa pengajaran ayat kefahaman. Penggunaan kertas mahjung sebanyak 48%, penggunaan lembaran kerja pula mencatatkan 88%, dan 60% untuk penggunaan LCD atau Liquid Crystal Display. Analisis menunjukkan responden yang kerap menggunakan peta minda adalah sebanyak 89% dan 96% daripada responden kerap memastikan bahan yang disediakan akan membantu penguasaan murid terhadap kemahiran ayat kefahaman. PERBINCANGAN DAN CADANGAN

Hasil kajian menunjukkan bahawa 77% responden merupakan guru-guru yang berpengalaman iaitu mempunyai lima tahun hingga melebihi 14 tahun pengalaman dalam pengajaran dan pembelajaran. Namun, dari sudut amalan guru didapati masih wujud amalan-amalan yang tidak selari dengan kadar pengalaman guru. Kajian ini mendapati pada bahagian permulaan pengajaran, masih terdapat amalan yang tidak sepatutnya dilakukan seperti kurang melazimi set induksi, kurang menjalankan aktiviti yang menarik serta tidak menyusun langkah pengajaran secara sistematik apabila memulakan pengajaran kemahiran kefahaman ayat.

Begitu juga dengan amalan-amalan guru di bahagian perkembangan

langkah pengajaran masih terdapat responden yang tidak melazimkan diri menggunakan pelbagai pendekatan dan teknik pengajaran ayat kefahaman. Responden juga didapati tidak mengajar ayat kefahaman secara bertarannum atau berlagu. Ini menyebabkan pengajaran ayat kefahaman menjadi kurang menarik. Responden yang tidak kerap melibatkan rakan sebaya murid semasa pengajaran ayat kefahaman juga boleh mengurangkan keberkesanan pengajaran. Responden sepatutnya sentiasa menunjukkan semangat yang tinggi ketika mengajar ayat kefahaman. Selain itu, kawalan bilik darjah yang baik semasa pengajaran ayat kefahaman adalah sangat penting kerana kegagalan mengawal bilik darjah boleh menyebabkan pengajaran terganggu dan objektif pembelajaran tidak tercapai.

Amalan pengajaran berkesan menurut Brophy dan Good (1986) ialah amalan pengajaran yang membolehkan ramai murid meningkatkan pencapaiannya secara berterusan, tahap pencapaian yang tinggi, sedikit kekeliruan dan tanpa kehilangan momentum dari satu langkah ke satu langkah. Manakala Dunkin (1997) membezakan penggunaan istilah teachimg effectiveness, teaching performance dan teaching competence. Merujuk Dunkin (1997) teaching effectiveness ialah menggambarkan sejauh mana amalan pengajaran guru yang dapat memberi keberkesanan kepada murid. Teaching performance pula ialah memberi fokus kepada amalan guru dalam proses pengajaran. Manakala teaching

Page 263: Proceeding jilid 2

674

competence ialah menggambarkan sejauh mana ilmu dan kemahiran yang dimiliki guru. Oleh itu, merujuk kepada teaching effectiveness yang dimaksudkan oleh Dunkin (1997), amat sesuai dan tepat dengan fokus kajian ini, kerana tujuan kajian ialah untuk mengenal pasti amalan pengajaran guru dan hubungannya dengan pencapaian murid dalam TQ. Pandangan Dunkin (1997) ini selari dengan pandangan Cohen (1981) yang berpendapat bahawa teaching effectiveness ialah sejauh mana ilmu yang dapat dikuasai oleh murid dalam satu-satu pelajaran. SIMPULAN

Kajian ini mencadangkan supaya ketiga-tiga pakej pembelajaran al-Quran iaitu tiga komponen yang melibatkan pengajaran ayat bacaan, ayat kefahaman dan ayat kefahaman dikekalkan hingga ke peringkat menengah untuk memastikan para pelajr memperolehi kemahiran al-Quran yang lebih maksimum terutamanya kemahiran memahami ayat al-Quran. DAFTAR RUJUKAN Ahmad Mohd Salleh. (1997). Pendidikan Islam: Falsafah, pedagogi dan metodologi. Shah Alam: Fajar Bakti Sdn. Bhd. Al-Qardhawi, Yusuf. (2004). Konsep pendidikan menurut Imam al-Shatibi. terj.

Selangor: Safa Integrated Network. Al-Qardhawi, Yusuf.( 2010). Menghafal al-Quran. Seni Tarbiyah. Mizan: Bandung Biggs, J. B. (1991). Teaching for learning: The view from cognitive psychology.

Victoria: The Australian Council for Educational Research Ltd. Ibn Khaldun. 2000. Muqadimah Ibn Khaldun. Terj. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa

dan Pustaka Dunkin, M. J., & Biddle, B. J. (1974). The study of teaching. New York: Holt,

Rinehart, & Winston, Inc. Mohd Aderi Che Noh. 2008. Hubungan Antara Amalan Pengajaran Guru dan

Pencapaian Tilawah al-Quran Pelajar Tingkatan Dua Di Sekolah Menengah Harian Di Malaysia.Tesis Doktor Falsafah. Universiti Putra Malaysia.

Mohd.Aderi Che Noh. 2004. Celik Al-Quran di kalangan Pelajar Tingkatan Satu Zon Pudu Kuala Lumpur. Projek Penyelidikan. Universiti Kebangsaan Malaysia.

Mohd Aderi Che Noh & Rohani Ahmad Tarmizi. 2009 .Persepsi Pelajar Terhadap Amalan Pengajaran Tilawah al-Quran.Jurnal Pendidikan Malaysia, 34 (1).93-109.

Mohd Alwi Yusoff, Adel M Abdulaziz, Ahmad Kamel Mohamed. (2003). Keberkesanan Iqra’ sebagai kaedah pembelajaran membaca al-Quran. Journal Studi Al-Quran and Islamic Education 3(2):51-66.

Mohd Yakub @ Zulkifli bin Haji Mohd Yusoff & Saidi Mohamad.( 2008.) Keupayaan bacaan al-Quran di kalangan pelajar tingkatan 4: kajian di beberapa buah sekolah menengah terpilih di negeri Terengganu. Journal of alQuran & Hadith ISSN. Universiti Kebangsaan Malaysia.

Mohd Yusuf Ahmad. (2000). Sejarah dan kaedah pendidikan al-Quran. Kuala Lumpur: Penerbitan Universiti Malaya.

Page 264: Proceeding jilid 2

675

KUNJUNGAN KELAS UNTUK PERBAIKAN PEMBELAJARAN

Ruswandi Hermawan Universitas Pendidikan Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstract This paper is a study of the practice of classroom visits in order to improve learning. Classroom visits that are traditionally considered as a threat to teachers who will be visited because it is still subjective and not systematic that focus of his visit only to the person to be visited so that the activities of classroom visits more authoritarian and more referrals to find fault when in fact many benefits to be gained when visiting class include (1) study the teaching practices, (2) discover the advantages of teachers, (3) the teacher needs in performing their duties. (4) encourage teachers earnest in work. Therefore the practice of classroom visits must implement an approach which characterized the dialogue comfortable, honest, open and constructive in order to produce results and a rewarding experience for both parties (teachers visited and people visiting). There are three stages of classroom visits, which is planning a meeting, classroom observation, and feedback discussion. When all three phases is done before making classroom visits, there will be an improvement in learning that teachers do in class. Keyword: classroom visits, improvement of learning PENDAHULUAN

Salah satu tantangan terbesar dalam kegiatan pengelolaan program adalah mengawasi keterlaksanaan dari program tersebut karena pekerjaan pengawasan biasanya jarang dihargai oleh orang yang akan dilihat sejauhmana pekerjaannya telah terlaksana. Semestinya, keduanya saling bekerja sama. Banyak fakta dan bukti yang menunjukkan hal itu, tetapi di sini bukan kapasitas penulis untuk membeberkannya, kebanyakan orang yang akan dilihat atau diawasi bereaksi secara negative dan depensif terhadap kegiatan pengawasan dan terutama juga pada orang-orang yang akan melakukan kegiatan pengawasan. Orang-orang yang akan dilihat atau disupervisi biasanya memandang kegiatan pengawasan merupakan sebuah ancaman dan akan menjadi gelisah ketika berinteraksi dengan orang yang akan mengawasinya. Sikap-sikap bermusuhan seperti ini biasanya berasal dari hubungan orang yang mengawasi dan orang yang akan diawasi masih bersifat tradisional, yaitu sifatnya yang masih subjektif dan tidak sistematik yang biasanya dilakukan tanpa terlebih dahulu memberitahukan akan kunjungan (kelas). Sikap bermusuhan seperti ini dari orang-orang yang akan diawasi dan orang akan mengawasi biasanya focusnya hanya pada orang-orang yang akan diawasinya sehingga kegiatannya menjadi otoriter, dan terlalu banyak arahan pada orang yang diawasinya walaupun sebenarnya banyak hal yang dapat diperoleh ketika melakukan kunjungan (kelas). (Stoller, 1996).

Tantangan terbesar yang dihadapi kita saat ini adalah mengubah sikap-sikap negative terhadap kegiatan pengawasan atau kunjungan kelas sehingga orang-orang yang akan diawasi (dan program-programnya) atau guru-guru yang akan dikunjungi dapat memperoleh manfaat dan keuntungan yang sebesar-besarnya

Page 265: Proceeding jilid 2

676

dalam bentuk pengembangan professional dan memperbaiki cara-cara pembelajaran dari orang-orang yang diawasinya tersebut. Oleh karena itu, kita (sebagai orang yang akan melakukan kunjungan) dapat mengubah sikap-sikap yang negative dari orang-orang yang akan dikunjungi dengan melakukan pengadopsian suatu pendekatan kunjungan (kelas) yang lebih interaktif daripada direktif, lebih demokratik daripada otoriter, lebih konkret daripada samar, lebih objektif daripada subjektif, dan lebih focus daripada tidak sistematik. Dengan cara-cara dan sikap-sikap seperti itu perlu dilakukan (oleh orang yang akan melakukan kunjungan) sehingga diharapkan sikap-sikap negative dari orang-orang yang akan dikunjungi bisa diperbaiki. Walaupun, memang, dalam kenyataanya bahwa setiap setting pembelajaran dari orang (guru) yang akan dilihat atau dikunjungi satu sama lain berbeda, tetapi kita perlu suatu model praktek-praktek kunjungan kelas yang dapat membawa perubahan yang cukup mendasar sehingga interaksi yang terjadi antara orang yang melakukan kunjungan dan guru yang akan dikunjungai lebih nyaman, produktif dalam menghasilkan hasil-hasil kunjungan yang diharapkan.

Pendekatan kunjungan kelas yang bercirikan dialog yang nyaman, jujur, terbuka, dan konstruktif pada saat memberikan feedback kepada orang-orang yang disupervisi akan membawa kepada pengembangan professional dan akan menghasilkan hasil serta pengalaman yang berharga bagi kedua belah pihak (guru yang dikunjungi dan orang yang berkunjung). “Dengan bersikap terbuka, Anda mampu menerima ide baru dan memadukan ke dalam otak. Jika Anda hanya mau menerima keyakinan yang sudah baku, Anda takkan pernah merasa tertantang untuk menebar pandangan keluar dan mengembara lebih jauh (Rose, 2007:93). Teknik dan Metode Pengawasan Pendidikan

Dalam melaksanakan tugas-tugas pengawasan pendidikan terutama dalam hal proses pendekatan terhadap orang-orang yang akan dikunjungi, seorang pengawas dapat saja mengunakan teknik kelompok dan atau teknik individual.

Teknik kelompok ialah cara pelaksanaan pengawasan terhadap sekelompok orang yang akan dikunjungi. Sekelompok orang yang diduga mempunyai masalah yang sama dapat dihadapi secara bersama-sama dalam suatu situasi kunjungan dalam bentuk rapat guru, lokakarya, dan lain sebagainya. Sementara teknik individual dilakukan secara secara individual terhadap individu-individu yang mempunyai masalah yang khusus dan bersifat pribadi. Contoh dari teknik ini adalah pertemuan individu atau pembicaraan secara pribadi. Pengawasan pendidikan dalam prakteknya lebih banyak menggunakan teknik kelompok karena perkembangan individu telah terjadi bersama-sama dengan kelompoknya. Teknik kelompok ini lebih efisien serta mengandung kemungkinan besar menjadi teknik individual.

Dalam rangka mengetahui situasi pendidikan dan pembelajaran di suatu sekolah, seorang pengawas perlu berkunjung ke sekolah untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang sekolah yang dikunjunginya dengan cara memberitakukan sebelumnya atau dengan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Kedua cara ini masing-masing memiliki kelebihan satu sama lain. Kunjungan tanpa pemberitahuan memilki keunggulan bahwa apa yang akan diobservasi di sekolah itu dalam keadaan original tetapi dianggap tidak demoktratis. Sedangkan kunjungan dengan pemberitahun keunggulannya adalah bahwa sekolah terlebih

Page 266: Proceeding jilid 2

677

dahulu mengadakan persiapan seperlunya. Jenis kunjungan ini termasuk pada kunjungan rutin menurut jadwal yang telah ditentukan sebelumnya.

Kunjungan yang baik perlu direncanakan terlebih dahulu yang mencakup: a. Tujuan, yaitu apa yang akan diobservasi yang meliputi: (1) kunjungan lengkap

yaitu kunjungan yang diadakan untuk mengobservasi (memeriksa) seluruh aspek dalam suatu situasi misalnya keseluruhan administrasi seorang kepala sekolah atau seorang guru. (2) kunjungan spesifik, yaitu kunjungan untuk mengoservasi (memeriksa) satu aspek tertentu untuk suatu tujuan khusus misalnya untuk mengobservasi suatu metode pembelajaran atau penggunaan alat peraga tertentu atau untuk menyusun conduite guna usul kenaikan tingkat atau pangkat seorang guru dan lain sebagainya.

b. Waktu kunjungan perlu diperhitungkan mengenai hari dan tanggal, jam serta lama kunjungannya.

c. Siapa yang akan diobservasi d. Bagaimana observasi dilakukan. Pengetahuan akan teknik dan prosedur

observasi sangat membantu dalam melaksanakan suatu observasi secara wajar.

e. Tindak lanjut perlu memperhatikan kesinambungan dengan kegiatan-kegiatan pengawasan sebelumnya.

f. Pemanfaatan situasi-situasi social.

Bila tujuan utama pengawasan pendidikan adalah untuk membina guru-guru dalam rangka perbaikan pembelajaran, maka kunjungan kelas untuk mengobservasi situasi tersebut merupakan suatu metode pengawasan yang bersifat “to the-point”. Tujuan khusus kunjungan kelas adalah: (1) untuk mempelajari praktek-praktek pembelajaran setiap guru dan kemudian menilainya. (2) untuk menemukan kelebihan-kelebihan khusus dan sifat-sifat yang menonjol pada setiap guru. (3) untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan guru dalam melaksanakan tugasnya. (4) untuk mendorong guru agar lebih sungguh-sungguh dan lebih baik dalam bekerjanya. (5) untuk memperoleh bahan-bahan dan informasi guna menyusun program pengawasan. (6) untuk mengetahui sampai dimana penerapan prinsip-prinsip dan saran-saran yang diberikan. (7) untuk menanamkan kepercayaan diri dari pengawas itu sendiri. (8) untuk mempererat dan memupuk integritas sekolah. (9) untuk mempelajari perubahan-perubahan administrative yang mempengaruhi pelajaran. (10) untuk pengumpulan bahan dan menambah pengalaman dalalm proses pengembangan diri

Tahapan dalam Kunjungan (Observasi) Kelas

Terdapat tiga tahap dalam pendekatan pengembangan professional dari kunjungan kelas yang sebenarnya berasal dari supervise klinis (Hopkins, 1993; Stoller, 1996). Tiga tahap itu adalah:

Page 267: Proceeding jilid 2

678

Tiga Tahap Kunjungan (Observasi) Kelas

Classroom Meeting

Tahap pertama dari kunjungan kelas adalah merencanakan pertemuan. Dalam tahapan ini kegiatan yang dilakukan adalah menentukan agenda bagi kedua pihak perihal kunjungan kelas misalnya saja mengidentifikasi dan menentukan ketertarikan guru atau orang yang akan dikunjungi untuk dikembangkan atau diperbaiki. Dalam tahapan ini pun apa-apa yang dibicarakan itu menjadi focus dari kunjungan kelas. Fokus-fokus yang mungkin bisa dibicarakan dalam kegiatan ini adalah manajemen kelas, interaksi kelas, factor-faktor afektif, penggunaan sumber belajar, teknik-teknik mengajar, metodologi, dan akusisi (Stoller, 1996). Menurut Stoller (1996:4) focus questions yang bisa digunakan antara lain:

1. How clear are my directions? 2. What kinds of questions do I direct to students? 3. Do I give all students equal attention? 4. What is the distribution of student talk/teacher talk in class? How much

student participation is there? 5. What kinds of verbal and non-verbal feedback do I give students? To

whom do I direct these different types of feedback? 6. How often do students direct their comments to classmates, and how

often do they direct them to the teacher? 7. How well do I use the backboard? 8. How well do I answer students’ questions? Are may answer more

complex than the questions require? 9. Is my pacing too fast or too slow for the majority of students in the class? 10. How well am I implementing the curriculum? 11. How well do I handle unanticipated classroom events?

Setelah focus ditentukan pada waktu kunjungan yang akan datang, orang

yang akan dikunjungi dan yang akan berkunjung menentukan tanggal dan waktu

Planning meeting

Classroom observation Feedback discussion

Page 268: Proceeding jilid 2

679

kunjungan kelasnya juga ditentukan perihal metoda dalam pengumpulan datanya. Menentukan hal seperti ini adalah penting karena akan mengurangi stess dan kecemasan orang-orang yang akan dikunjungi yang biasanya tak pernah dilakukan sebelumnya dengan pendekatan kunjungan yang tradisional. Juga menentukan hal-hal ini pun akan membangun situasi yang dapat menciptakan guru atau orang-orang yang akan dikunjungi menjadi lebih responsive dan terbuka. Sebab, “keterbukaan juga terkait dengan kesadaran akan dan ‘tanggap’ terhadap kebetulan-kebetulan dalam hidup. Pikiran yang tertutup menghilangkan kesempatan untuk berinteraksi dan menghadapi kejadian-kejadian yang sering sekali menjdi peluang untuk menemukan dan mencipta” (Rose, 2007:94)

Classroom Observation

Tahap kedua dari kunjungan kelas ini adalah tahapan pengamatan kelas tentang hal-hal yang telah disetujui sebelumnya pada tahap pertama. Menurut Stoller (1996) yang mengutip pendapat dari Acheson dan Gall (1992) terdapat tiga teknik pengumpulan data untuk mengamati kelas, yaitu Selective Verbatim, Seating Chart Observation Records, dan Wide-Lens Techniques

Salah satu keberhasilan dari kegiatan kunjungan kelas adalah memilih teknik pengumpulan data yang merupakan pelengkap terbaik focus pengamatan kelas. Ketiga teknik pengumpulan data di atas masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tergantung dari tipe perilaku kelas apa yang akan diamati (Lihat lembar lampiran yaitu table 1 dan table 2).

Selective verbatim merupakan teknik pengumpulan data dalam pengamatan kelas yang melihat bagaimana interaksi verbal dan non-verbal terjadi antara guru dan siswa di dalam kelas. Guru atau orang yang akan dikunjungi biasanya ingin mengidentifikasi pola –pola perilaku kelas yang mereka ingin ketahui dan pahami secara lebih baik lagi. Analisis terhadap pola-pola komunikasi verbal dapat membantu guru dan atau orang-orang yang dikunjungi memahami dinamika kelasnya dan memahami efektivitas dari cara pembelajarannya. Teknik pengumpulan data ini memilih trankripsi kata demi kata yang dipilih dalam kegiatan pengamatan kelas seperti perilaku tanya-jawab, feedback dari guru, bahasa yang digunakan dalam mengorganisasi kelas, dll.

Seating chart observation records merupakan teknik pengumpulan data dari kegiatan pengamatan kelas fokusnya merekam dokumen pola-pola interaksi yang non-verbal seperti runtut tidaknya arahan yang disampaikan, jumlah partisipas, gerakan guru dan siswa, perilaku mengerjakan tugas, dll. Dengan teknik ini, kita dapat mengidentifikasi dan merekam setiap siswa dan karakteristiknya dengan memberikan tanda dan atau symbol sebagaimana dijelaskan oleh Stoller (1996:7) berikut:

1. student-teacher interactions, recipients of verbal communication, and/or non-verbal recognition (indicated with tally marks);

2. direction of verbal flow, who is talking to whom (indicated with arrows); 3. instances of teacher praise and/or criticism tally marks); 4. instances of student initiation (indicated with tally marks); 5. teacher/student movement patterns (indicated with arrows); 6. on-task behaviours; at task, stalling, out of seat, off-topic (indicated with

symbols representing each type of behaviour);

Page 269: Proceeding jilid 2

680

7. types of tasks students are engaged in-reading, writing, problem solving, collaborating (indicated with symbols representing each type of task).

Wide-lens techniques merupakan deskripsi data perihal sebagian besar

perilaku guru dan siswa dalam bentuk catatan-catatan tertulis, video-tapes or audiotapes. Membuat asumsi-asumsi sebelumnya tentang apa-apa yang penting atau efektif dalam pembelajaran. Biasanya setelah mereview data teknik ini guru akan lebih siap dengan focus perilaku yang spesifik pada sesi pengamatan kelas di kemudian hari.

Feedback Discussion

Tahap ketiga yang merupakan tahap akhir dari kunjungan kelas ini adalah diskusi balikan (feedback discussion). Pada kegiatan ini diskusi yang interaktif, supportif, dan kolaboratif perihal apa-apa yang yang menjadi focus yang telah dibicarakan dan diamati sebelumnya, dan apabila data pada waktu melakukan pengamatan objetif dan akurat, guru dan orang-orang yang dikunjungi akan merasakan bahwa diskusi kegiatan yang informative, dan berguna bagi kedua belah pihak. Idealnya kegiatan diskusi ini berlangsung segera setelah kegiatan pengamatan kelas dilakukan sehingga bagi keduanya dapat mengdeskripsikan data dan mengingat kembali apa-apa yang telah terjadi. Dalam kegiatan ini kedua belah pihak secara bersama-sama melakukan:

1. Analyze the data cooperatively. 2. Reach agreement on what is actually happening. 3. Interpret the data, considering causes and consequences of action. 4. Reach decisions about future actions by considering alternative

approaches. (Stoller, 1996:9).

DAFTAR RUJUKAN Ametembun, N. A. (1981) Supervisi Pendidikan: Penuntun bagi para penilik

pengawas kepala seklah dan guru-guru. Bandung: Penerbit Suri. Hopkins, David. (1993) A Teacher’s Guide to Classroom Research, 2nd Edition.

Buckingham: Open University Press. Rose, Colin dkk. (2007) Super Accelerated Learning: revolusi belajar cepat abad

21 berdasarkan riset terbaru para ilmuwan. Bandung: Penerbit Jabal. Stoller, Fredricka L. (1996) “Teacher Supervision: Moving towards an interactive

approach”. Journal of Forum. 38 (2), 2-17. Wiles, Kimball dan Lovell, John T. (1983) Supervision For Better Schools, 5th

Edition. . New Jersey: Prentice-Hall.

Page 270: Proceeding jilid 2

681

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK TEMATIK DI SEKOLAH DASAR

Sandi Budi Iriawan

Universitas Pendidikan Indonesia e-mail: [email protected]

Abstract This research is motivated by the Curriculum 2013 in writing require project-based learning model (project based learning) to be applied in learning to enhance students' creativity which includes the ability to think creatively and disposition. The purpose of this study was to: (1) Develop a learning model based thematic projects for elementary school students in accordance with the demands of Curriculum 2013, (2) Obtaining an overview of the effectiveness of the learning model based thematic projects for elementary school students to improve their creativity in accordance with the demands Curriculum 2013. The method used is the method of R & D (Research & Development). Testing the effectiveness of the model on a limited scale using pre-experimental design with one group of experiments (One Group Design) is the entire fourth grade students of SDN Binabudi District of Cipanas, Cianjur . The results showed that the thematic project-based learning model developed highly effective, project and product grade IV SDN Binabudi Cianjur Regency in accordance with the theme, very diverse (varied) and creativity classified as very high criteria.

Keywords: model development, project-based learning, integrated thematic approach, creativity of primary school students, the curriculum of 2013. PENDAHULUAN

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sehingga pembelajaran yang sesuai dengan pendapat Undang-undang di atas adalah pembelajaran yang menekankan kepada penguasaan kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan. Selain itu, Permendikbud No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses menyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis siswa. Sehingga pembelajaran yang dilakukan oleh guru di dalam kelas seharusnya ditujukan untuk meningkatkan kreativitas siswa.

Selain itu, penjelasan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 “ Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam undang-undang meliputi:..., 2. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi,...”. Pernyataan

Page 271: Proceeding jilid 2

682

tersebut menjadi dasar atas perubahan kurikulum menjadi kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi. Selanjutnya, pendekatan tematik integratif pada kurikulum 2013 yang mengintegrasikan kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan sangat sesuai dengan penjelasan Pasal 35 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati.

Selanjutnya, Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses menyatakan bahwa untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antar mata pelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/ penelitian (discovery/ inquiry learning). Lebih jelas lagi, Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses menyatakan bahwa untuk mendorong kemampuan siswa untuk menghasilkan karya kontekstual, baik individual, maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based learning).

Siswa sekolah dasar pada umumnya memiliki rentang usia antara 7 tahun sampai dengan 13 tahun. Menurut Piagiet pada usia tersebut siswa masih tergolong kedalam tahap operasional konkret. Sehingga, guru dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa seharusnya dimulai dari sesuatu yang konkret dan dekat dengan kehidupannya sehingga siswa dapat dengan mudah menerima materi yang disampaikan oleh guru. Selain itu, secara alami siswa memahami sebuah materi pelajaran menggunakan cara berpikir yang holistik atau tidak terpisah-pisah sesuai dengan bidang studi. Oleh karena itu, tuntutan Kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan tematik integratif sangat sesuai dengan karakteristik siswa sekolah dasar. Berdasarkan pendapat di atas, perlu kiranya dikembangkan dan diterapkan sebuah model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa untuk memfasilitasi kreativitasnya dalam menghasilkan sebuah karya sesuai dengan materi yang telah dipelajarinya.

Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap keperluan di lapangan tentang pelaksanaan kurikulum 2013 yang telah diwajibkan kepada setiap sekolah dasar pada tahun 2014 untuk melaksanakannya. Kurikulum 2013 secara tertulis menghendaki model pembelajaran berbasis proyek untuk diterapkan dalam pembelajaran untuk meningkatkan kreativitas siswa yang meliputi kemampuan berpikir kreatif dan disposisinya. Selain menerapkan model pembelajaran berbasis proyek, Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan tematik integratif yaitu pendekatan pembelajaran yang melibatkan tema tertentu dengan mengintegrasikan beberapa mata pelajaran kedalam tema tersebut. Tetapi, model pembelajaran berbasis proyek dengan pendekatan tematik integratif yang cocok untuk siswa sekolah dasar tidak dijelaskan secara rinci, baik di dalam Standar Proses (Permendikbud No. 65 Tahun 2013) maupun peraturan lainnya. Sehingga dalam pelaksanaannya, banyak guru SD yang masih kesulitan dalam memilih referensi tentang model pembelajaran berbasis proyek yang cocok dengan pendekatan tematik integratif dan karakteristik siswa SD untuk meningkatkan kreativitasnya.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti bermaksud melakukan penelitian yang berjudul “ Pengembangan Model Pembelajaran

Page 272: Proceeding jilid 2

683

Berbasis Proyek Tematik Di Sekolah Dasar”. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengembangkan model pembelajaran berbasis proyek tematik di sekolah dasar. 2. Memperoleh gambaran tentang efektivitas penerapan model pembelajaran

berbasis proyek tematik di sekolah dasar DESKRIPSI TEORETIS 1. Pendekatan Tematik Integratif

Pendekatan tematik integratif merupakan pendekatan yang wajib dilaksanakan pada Kurikulum 2013. Pendekatan tematik integratif mengandung kata “tematik” yang memiliki makna “ bersifat memiliki tema” dan “integratif” yang memiliki makna “memadukan”. Dengan demikian pada pembelajaran yang menerapkan pendekatan tematik integratif akan melibatkan tema pemersatu beberapa konsep atau materi pada beberapa mata pelajaran. Untuk sekolah dasar tema-tema telah ditentukan oleh pusat melalui buku guru dan buku siswa untuk setiap tema.

Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses menyatakan bahwa “ Untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antarmata pelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/ penelitian...”. Dengan demikian, berdasarkan pernyataan di atas terdapat perbedaan antara pendekatan tematik dan pendekatan tematik terpadu (integratif) yaitu pendekatan tematik akan memunculkan tema yang menyatukan beberapa konsep pada satu mata pelajaran sedangkan pendekatan tematik integratif memunculkan tema pemersatu beberapa konsep lintas bidang studi atau mata pelajaran.

Terdapat dua makna integratif pada pendekatan tematik integratif. integratif bisa memiliki makna menyatukan beberapa mata pelajaran kedalam satu tema pemersatu. Integratif bisa bermakna mengintegrasikan kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan dalam setiap pelaksanaan pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran yang menganut pendekatan tematik integratif harus memunculkan tema sebagai pemersatu beberapa mata pelajaran dengan mengembangkan empat ranah kompetensi secara utuh/ holistik yaitu kompetensi sikap ketuhanan, kompetensi sikap sosial, kompetensi pengetahuan dan kompetensi keterampilan.

Permendikbud Nomor 57 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 SD/ MI dinyatakan bahwa pembelajaran tematik merupakan salah satu model pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna bagi siswa. Pembelajaran terpadu juga didefinisikan sebagai pembelajaran yang menghubungkan berbagai gagasan, konsep, keterampilan, sikap dan nilai baik antarmata pelajaran maupun dalam satu mata pelajaran. Lebih jauh lagi Permendikbud Nomor 57 tahun 2014 dinyatakan bahwa pembelajaran tematik lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan sesuatu (learning by doing) yang memiliki ciri khas sebagai berikut: a. Pengalaman dan kegiatan belajar relevan dengan tingkat perkembangan dan

kebutuhan anak usia sekolah dasar;

Page 273: Proceeding jilid 2

684

b. Kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran tematik bertolak dari minat dan kebutuhan siswa;

c. Kegiatan belajar dipilih yang bermakna dan berkesan bagi siswa sehingga hasil belajar dapat bertahan lama;

d. Memberi penekanan pada keterampilan berpikir siswa; e. Menyajikan kegiatan belajar yang bersifat pragmatis sesuai dengan

permasalahan yang sering ditemui siswa dalam lingkungannya; dan f. Mengembangkan keterampilan sosial siswa, seperti kerjasama, toleransi,

komunikasi, dan tanggap terhadap gagasan orang lain. Ketika menerapkan pembelajaran tematik terpadu, terdapat beberapa prinsip

yang harus diperhatikan yaitu: a. Siswa mencari tahu, bukan diberi tahu. b. Pemisahan antar mata pelajaran menjadi tidak begitu nampak. c. Terdapat tema yang menjadi pemersatu sejumlah kompetensi dasar. d. Sumber belajar tidak terbatas pada buku. e. Siswa dapat bekerja secara mandiri maupun berkelompok sesuai dengan

karakteristik kegiatan yang dilakukan. f. Guru harus merencanakan dan melaksanakan pembelajaran agar dapat

mengakomodasi siswa yang memiliki perbedaan tingkat kecerdasan, pengalaman, dan ketertarikan terhadap suatu topik.

g. Kompetensi dasar mata pelajaran yang tidak dapat dipadukan dapat diajarkan tersendiri.

h. Memberikan pengalaman langsung kepada siswa dari hal-hal yang konkret menuju ke abstrak.

Iriawan (2013) mengemukakan tentang karakteristik pembelajaran dengan pendekatan tematik integratif yaitu: a. berpusat pada siswa b. memberikan pengalaman langsung c. pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas d. menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran e. bersifat fleksibel f. hasil pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa g. menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan

Lebih jelas lagi, Iriawan (2013) menyatakan bahwa pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan tematik integratif memiliki rambu-rambu yaitu: a. tidak semua mata pelajaran harus dipadukan b. dimungkinkan terjadinya penggabungan kompetensi dasar lintas semester c. kompetensi dasar yang tidak bisa dipadukan jangan dipaksakan untuk

dipadukan. Kompetensi dasar yang tidak diintegrasikan dibelajarkan secara tersendiri

d. kompetensi dasar yang tidak tercakup pada tema tertentu harus tetap diajarkan baik melalui tema lain maupun disajikan secara tersendiri

e. kegiatan pembelajaran ditekankan pada kemampuan membaca, menulis, dan berhitung serta penanaman nilai-nilai moral

f. tema-tema yang dipilih disesuaikan dengan karakteristik siswa, minat, lingkungan, dan daerah setempat

Page 274: Proceeding jilid 2

685

2. Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) Gagne mengemukakan bahwa dalam belajar ada dua objek yang dapat

diperoleh siswa yaitu objek langsung dan objek tidak langsung. Objek langsung dapat berupa fakta, keterampilan, konsep dan aturan. Sedangkan objek tidak langsung antara lain ialah kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah, belajar mandiri, bersikap positif terhadap matematika dan tahu bagaimana semestinya belajar. Selain itu juga objek tidak langsung yang lebih penting adalah perubahan perilaku siswa ke arah yang lebih baik setelah pembelajaran (dalam Tatang Herman, dkk., hal 42).

Model pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang menuntut kreativitas siswa. Pada model ini terkandung makna hasil karya siswa sebagai hasil dari belajar melalui berbuat atau pengalaman langsung (learning by doing) yang merupakan konsep dari pendekatan konstruktivisme dari John Dewey (1920). Hal ini sesuai dengan pernyataan Katz dan Chard (1989: 8) yang menyatakan bahwa proyek yang lebih dikenal dengan metode proyek memperoleh kepopulerannya pertama kali di Amerika ketika diusulkan oleh John Dewey dan Killpatrik pada Tahun 1920.

Terdapat beberapa definisi tentang proyek. Katz dan Char (1989: 2) menyatakan “ A project is an in-depth study of particular topic that one or more children undertake”. Menurut pendapat di atas, proyek adalah sebuah penelitian atau penyelidikan mendalam tentang topik tertentu yang dikerjakan oleh satu orang atau banyak orang. Sehingga proyek mengandung makna penelitian atau penyelidikan untuk memecahkan masalah yang muncul dalam pembelajaran. Lebih jelas lagi, Setiasih (2010: 738) menyatakan bahwa pendekatan proyek adalah upaya-upaya penyelidikan yang sengaja difokuskan pada penemuan jawaban terhadap pertanyaan sesuai dengan topik yang diajukan baik oleh siswa atau guru. Menurutnya, melalui cara ini diharapkan siswa mempelajari topik secara mendalam untuk mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan yang diajukan oleh guru atau mencari solusi atas masalah yang muncul dalam pembelajaran.

Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses menyatakan bahwa untuk mendorong kemampuan siswa untuk menghasilkan karya kontekstual, baik individual, maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based learning). Berdasarkan pendapat di atas, perlu kiranya dikembangkan dan diterapkan sebuah model pembelajaran berbasis proyek untuk memfasilitasi kreativitas siswa dalam menghasilkan sebuah karya sesuai dengan materi yang telah dipelajarinya. Karya yang dihasilkan oleh siswa harus merupakan karya untuk memecahkan masalah yang muncul dari materi yang telah dipelajarinya atau disebut dengan karya terprogram bukan merupakan karya yang terpisah dengan materi yang telah dipelajari siswa sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna (meaningfull).

Selanjutnya, Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses menjelaskan bahwa keterampilan diperoleh melalui kegiatan mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta. Seluruh isi materi (topik dan subtopik) mata pelajaran yang diturunkan dari keterampilan harus mendorong siswa untuk melakukan proses pengamatan hingga penciptaan. Untuk mewujudkan keterampilan tersebut perlu melakukan pembelajaran yang

Page 275: Proceeding jilid 2

686

menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based learning). Berdasarkan pernyataan di atas, proyek yang dihasilkan dalam model pembelajaran berbasis proyek tersebut adalah proyek terprogram yang merupakan pemecahan masalah yang muncul dalam pembelajaran sesuai dengan materi yang telah dipelajari oleh siswa. Hal ini sesuai dengan Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian yang menyatakan bahwa “penilaian proyek dilakukan oleh pendidik untuk tiap akhir bab atau tema pelajaran”.

Langkah-langkah pada model pembelajaran berbasis proyek secara tersurat dinyatakan pada Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian yang menyatakan bahwa proyek adalah tugas-tugas belajar (learning tasks) yang meliputi kegiatan perancangan, pelaksanaan, dan pelaporan secara tertulis maupun lisan dalam waktu tertentu. Dengan demikian, pada model pembelajaran berbasis proyek paling sedikit harus memiliki tiga langkah yang terdiri dari perancangan, pelaksanaan dan pelaporan. Sedangkan Henry (1995: 12) menyatakan bahwa beberapa langkah pada model pembelajaran berbasis proyek terdiri dari pemilihan topik proyek oleh siswa, mencari sumber-sumber bahan, menyajikan hasil akhir (laporan). Hal ini sesuai dengan pendapat Katz dan Chard (dalam Setiasih, 2010: 742) yang menyatakan bahwa model pembelajaran berbasis proyek terdiri dari tiga langkah yaitu kegiatan penyelidikan yang dilakukan oleh siswa di dalam atau di luar kelas, kegiatan konstruksi yaitu kegiatan siswa dalam membuat karya, dan kegiatan bermain peran yaitu menampilkan peranan yang sesuai dengan topik proyek.

Permendikbud Nomor 57 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 SD/ MI dinyatakan bahwa pembelajaran berbasis proyek adalah metode pembelajaran yang menggunakan proyek/ kegiatan sebagai media. Siswa melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar. Pembelajaran berbasis proyek merupakan metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktivitas secara nyata. Pembelajaran berbasis proyek dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan siswa dalam melakukan insvestigasi dan memahaminya. Pembelajaran berbasis proyek memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Siswa membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja; b. Adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada siswa; c. Siswa mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan

atau tantangan yang diajukan; d. Siswa secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses dan

mengelola informasi untuk memecahkan permasalahan; e. Proses evaluasi dijalankan secara kontinyu; f. Siswa secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah

dijalankan; g. Produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif; dan h. Situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan.

Lebih jelas lagi Permendikbud Nomor 57 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 SD/ MI dinyatakan bahwa melalui pembelajaran berbasis proyek, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding question)

Page 276: Proceeding jilid 2

687

dan membimbing siswa dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung siswa dapat melihat berbagai elemen utama sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya. Pembelajaran berbasis proyek merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha siswa. Mengingat bahwa masing-masing siswa memiliki gaya belajar yang berbeda, maka Pembelajaran berbasis proyek memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menggali konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif. Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha siswa.

Menurut Sungkono, melalui pembelajaran berbasis proyek siswa akan mengalami dan belajar konsep-konsep. Pembelajaran berbasis proyek memfokuskan pada pertanyaan atau masalah yang mendorong menjalani konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Proyek juga melibatkan siswa dalam investigasi konstruktif. Investigasi ini dapat berupa desain, pengambilan keputusan, penemuan masalah, pemecahan masalah, penemuan atau proses pembangunan model.

Lebih jauh lagi Sungkono mengatakan bahwa proyek mendorong siswa mendapatkan pengalaman belajar sampai pada tingkat yang signifikan. Proyek lebih mengutamakan otonomi, pilihan, waktu kerja yang tidak rumit, dan tanggung jawab siswa. Proyek memberikan keotentikan pada mahasiswa. Karakteristik ini meliputi topik, tugas, peranan yang dimainkan siswa, konteks dimana proyek dilakukan, kolaborator yang bekerjasama dengan siswa, produk yang dihasilkan, sasaran bagi produk yang dihasilkan dan unjuk kerja atau kriteria dimana produk itu dinilai. Menurutnya, model pembelajaran berbasis proyek terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut.

Menetapkan tema proyek (sesuai dengan materi atau tema yang sudah dipelajari)

Merencanakan aktivitas (project planning)

Memproses aktivitas (project pre-actuating)

Penerapan aktivitas untuk menyelesaikan proyek (project actuating)

Mendemonstrasikan proyek (project demonstration & disemination)

Page 277: Proceeding jilid 2

688

Model pembelajaran berbasis proyek dilaksanakan dalam rangka mengembangkan kreativitas siswa. Kajian dari berbagai literatur menunjukkan pengertian yang berbeda mengenai makna dari kreativitas. Menurut The Oxford English Dictionary (1995) dijelaskan bahwa “ Creativity as being imaginative and inventive, bringing into exixtence, making, originating”. Oleh karena itu menurut Suratno (2009: 28), istilah kreativitas berkenaan dengan perubahan yang dapat menghasilkan gagasan baru, orsinil dan inventif.

Simonton (2000) mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan menghasilkan sesuatu pengetahuan baru. Sedangkan Quigley (1998) mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan efektif. Healy (1994) mendeskripsikan kreativitas “ the ability to generate, to approach problem in any field from fresh perspectives.” Sementara Schifter (1999) mendefinisikan kreativitas “ the ability to take existing objects and combine them ini different ways for nwe purposes”. Hal serupa dikemukakan oleh Higgins (1994) yang mendefinisikan kreativitas “ the process of generating something new that has value.” yang dapat diartikan sebagai proses untuk melakukan invensi untuk sebuah inovasi.

Alvino (Sumarmo, 2012: 17) mendefinisikan kreativitas adalah kemampuan menyusun ide baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah, dan kemampuan mengidentifikasi asosiasi antara dua ide yang kurang jelas. Sementara Rhodes (Sumarmo: 2012: 17) mendefinisikan kreativitas dengan menganalisis empat dimensinya yang dikenal dengan istilah “the Four P’s of Creativity” atau empat P dari kreativitas yaitu Person, Product, Process, dan Press. Pertama, kreativitas sebagai person mengilustrasikan individu dengan pikiran atau ekspresinya yang unik. Kedua kreativitas sebagai produk merupakan kreasi yang asli, baru, dan bermakna. Ketiga, kreativitas sebagai proses merefleksi keterampilan dalam berfikir yang meliputi: kemahiran/kelancaran (fluency), fleksibilitas (flexibility), originalitas (originality), dan elaborasi (ellaboration). Keempat, kreativitas sebagai press adalah kondisi internalatau eksternal yang mendorong munculnya berfikir kreatif.

Lebih jauh lagi, Sumarmo (2011) merinci indikator kreativitas yang dijadikan indikator penilaian kreativitas siswa sebagai berikut. a. Kelancaran (fluency): 1) Mencetuskan banyak ide/ jawaban/ penyelesaian masalah/ pertanyaan

dengan lancar; 2) Memberikan banyak cara/ saran; memikirkan lebih dari satu jawaban. b. Kelenturan (flexibility):

Menyempurnakan produk (reflection and evaluation)

Menyusun laporan (project report)

Page 278: Proceeding jilid 2

689

3) Menghasilkan beragam gagasan/jawaban/pertanyaan/arah alternatif; melihat suatu masalah dari beragam sudut pandang;

4) Mengubah cara pendekatan/pemikiran. c. Keaslian (originality): 1) Mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik; 2) Memikirkan cara/kombinasi yang tidak lazim; d. Elaborasi (elaboration): 1) Mampu mengembangkan suatu gagasan/ produk; 2) Menambah/ memperinci detail-detail dari suatu obyek/ gagasan/ situasi.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa paling sedikit terdapat tiga langkah dalam model pembelajaran berbasis masalah yaitu perancangan, pelaksanaan dan pelaporan yang dalam pelaksanaannya dapat dilakukan secara individual atau secara kolaboratif. Model pembelajaran berbasis proyek dilaksanakan di sekolah dasar secara tematik untuk mengembangkan kreativitas siswa. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode Penelitian dan Pengembangan (Research & Development) untuk mengembangkan model pembelajaran berbasis proyek tematik di sekolah dasar. Merujuk pada pendapat Sugiyono (2007: 407) bahwa penelitian R & D adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut. Produk dalam penelitian ini berupa model pembelajaran berbasis proyek tematik untuk diterapkan di sekolah dasar.

Penelitian R & D ini terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi potensi dan masalah; (2) Mengumpulkan Informasi; (3) Mendesain Produk; (4) Memvalidasi Desain; (5) Memperbaiki Desain; (6) Mengujicoba Produk; (7) Merevisi Produk; (8) Mengujicoba Pemakaian; (9) Merevisi Produk; (10) Pembuatan Produk Masal. Validasi desain atau pengujian efektivitas model pada skala terbatas menggunakan metode pre-eksperimen dengan menerapkan model pembelajaran berbasis proyek tematik terhadap kelas eksperimen yaitu seluruh siswa kelas IV SDN Binabudi Kecamatan Cipanas Cianjur.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sebuah model pembelajaran berbasis proyek tematik integratif untuk dekolah dasar dan mendeskripsikan efektivitas penerapan model pembelajaran berbasis proyek tematik terhadap siswa sekolah dasar. Hal-hal yang akan dituliskan mengenai hasil penelitian ini adalah: (1) desain model pembelajaran berbasis proyek tematik untuk sekolah dasar; dan (2) hasil uji model pembelajaran berbasis proyek tematik pada skala terbatas terhadap siswa kelas IV SDN Binabudi Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur yaitu tentang efektivitas penerapannya terhadap kreativitas siswa. 1. Desain Model Pembelajaran Berbasis Proyek Tematik

Page 279: Proceeding jilid 2

690

Berdasarkan hasil analisis kebutuhan dan studi kebijakan serta lapangan, telah dikembangkan sebuah desain model pembelajaran berbasis proyek tematik untuk sekolah dasar sebagai berikut:

Diagram 1. Desain Model Pembelajaran Berbasis Proyek Tematik

Langkah-langkah pada model pembelajaran berbasis proyek di atas dapat

dirinci sebagai berikut: a. Pembelajaran berbasis proyek dilaksanakan setelah selesai satu tema

pembelajaran b. Guru memfasilitasi siswa dan menggiring siswa kepada sebuah masalah terkait

dengan tema pembelajaran c. Guru menentukan topik-topik proyek sesuai dengan tema pembelajaran. Topik-

topik proyek adalah solusi-solusi dari masalah yang dapat dipilih oleh siswa melalui proyeknya

d. Siswa memilih satu topik proyek untuk dikembangkan e. Siswa secara individual atau kelompok menyusun perencanaan proyek dan

jadwal proyek serta pembagian tugas proyek f. Siswa melaksanakan proyeknya, kemudian melaporkan progres proyek. g. Siswa menyusun laporan proyek h. Guru memberikan penilaian atas proyek (perencanaan, pelaksanaan dan

pelaporan) dan produk siswa (kreativitas dan estetikanya) i. Siswa memajangkan hasil karyanya dan memamerkannnya pada acara

pameran kelas j. Siswa melakukan refleksi terhadap kegiatan proyek yang telah dilakukan 2. Hasil Uji Model Pembelajaran Berbasis Proyek Tematik

Uji model dilakukan melalui penilaian terhadap produk dan proyek siswa secara berkelompok yang terdiri dari lima kelompok yang masing-masing memilih topik proyek yang berbeda-beda tentang tema “ Selalu Berhemat Energi”. Berikut adalah topik-topik proyek yang dipilih oleh setiap kelompok.

PENENTUANPERTANYAAN/MASALAHMENDASAR

PENENTUANTOPIK-TOPIKPROYEK

PEMILIHANTOPIKPROYEK

PERENCANAANDANPENYUSUNANJADWAL PROYEK

PELAKSANAANDANPELAPORANPROGRESPROYEK

PENYUSUNAN LAPORAN PROYEK

PENILAIAN PROYEK

DAN PRODUK SISWA

PAMERAN PROYEK

DAN PRODUK SISWA

REFLEKSI KEGIATAN

PROYEK

Page 280: Proceeding jilid 2

691

Tabel 1. Topik Proyek Siswa Nama Kelompok Topik Proyek

Kelompok 1 Membuat Alat/ Produk Kincir Angin Kelompok 2 Membuat Acara Lomba Menghemat Energi Kelompok 3 Membuat Alat/ Produk Kincir Air Kelompok 4 Membuat Program tentang Pentingnya

Menghemat Energi Kelompok 5 Membuat Alat/ Produk Saringan Air Kotor

Aspek-aspek penilaian proyek dan produk siswa terdiri dari: (1) aspek perencanaan yang terdiri dari desain dan tahap pembuatan; (2) proses pembuatan yang terdiri dari persiapan alat dan bahan, teknik pembuatan, K3 (keselamatan, keamanan, dan kebersihan); dan (3) hasil/ produk yang terdiri dari bentuk fisik, keberfungsian dan estetika. Penilaian menggunakan instrumen penilaian proyek dan produk siswa terdiri dari skor 1 (kurang), skor 2 (cukup), skor 3 (baik) dan skor 4 (baik sekali). Instrumen ini diisi oleh guru kelas IV SDN Binabudi Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur. Berikut adalah rekapitulasi nilai/ skor proyek dan produk untuk masing-masing kelompok siswa.

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Penilaian Proyek dan Produk Kelompok Siswa ASPEK SKOR RERATA Kelompok 1Kelompok Kelompok Kelompok 4 Kelompo

1. Perencanaan a. Desain 3 3 4 3 4 3,40 b. Tahapan Pembua3 4 3 3 3 3,20 2. Proses Pembua a. Persiapan A

Bahan 3 3 4 3 4 3,40

b. Teknik Pembuata 3 4 3 3 3 3,20 c. K3 3 4 3 3 4 3,40 3. Hasil/ Produk a. Bentuk Fisik 3 3 4 3 4 3,40 b. Keberfungsian 3 3 3 3 3 3,00 c. Estetika 3 3 3 3 4 3,20 RERATA 3,00 3,375 3,375 3,00 3,625 3,275

Dari tabel 2. di atas dapat dilihat bahwa kelompok 5 dalam skala 4,00

memiliki rerata skor proyek dan produk yang tertinggi yaitu 3,625 atau 90,625 dalam skala 100, sedangkan kelompok 1 memiliki rerata skor proyek dan produk yang terendah yaitu 3,00 atau 75,00 dalam skala 100. Rerata skor proyek dan produk siswa adalah 3,275 atau 81,875 dalam skala 100.

Penilaian kreativitas siswa dalam pembelajaran berbasis proyek ini adalah penilaian terhadap kelompok siswa yang terdiri dari lima kelompok yang masing-masing memilih topik proyek yang berbeda-beda. Aspek-aspek penilaian kreativitas proyek siswa terdiri dari kelancaran (fluency), kelenturan (flexibility), keaslian (originality), elaborasi (elaboration), dan kepekaan (sensitivity). Penilaian menggunakan instrumen ini terdiri dari skor 0 (kurang), skor 1 (cukup), dan skor 2 (baik). Instrumen ini diisi oleh guru kelas IV SDN Binabudi Kecamatan Cipanas

Page 281: Proceeding jilid 2

692

Kabupaten Cianjur menggunakan rubrik penilaian kreativitas proyek siswa sebagai berikut.

Tabel 3. Rubrik Penilaian Kreativitas Proyek Siswa Aspek Kreativitas Kriteria Skor

Kelancaran (Fluency) Mampu mencetuskan banyak ide/ jawaban dengan lancar dan tepat

2

Hanya mampu mencetuskan satu ide/ jawaban dengan lancar dan tepat

1

Tidak mampu mencetuskan ide/ jawaban dengan lancar dan tepat

0

Kelenturan (Flexibility) Mampu menghasilkan beragam gagasan/ jawaban

2

Mampu menghasilkan hanya satu ragam gagasan/ jawaban

1

Tidak mampu menghasikan satu ragam gagasan/ jawaban

0

Keaslian (Originality) Mampu melahirkan cara/ jawaban yang baru, unik dan tidak lazim

2

Hanya mampu melahirkan cara/ jawaban yang biasa

1

Tidak mampu melahirkan cara/ jawaban yang biasa atau unik

0

Elaborasi (Elaboration) Mampu mengembangkan suatu gagasan dan memperinci detail-detailnya dengan tepat

2

Mampu mengembangkan suatu gagasan tetapi tidak mampu memperinci detail-detailnya dengan tepat

1

Tidak mampu mengembangkan suatu gagasan dan memperinci detail-detailnya dengan tepat

0

Kepekaan (Sensitivity)

Mampu untuk menangkap masalah sebagai tanggapan suatu situasi

2

Kurang mampu menangkap masalah sebagai tanggapan suatu situasi

1

Tidak mampu menangkap masalah sebagai tanggapan suatu situasi

0

Berikut adalah rekapitulasi nilai/ skor kreativitas proyek siswa untuk masing-

masing kelompok siswa.

ASPEK SKOR Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Penilaian Kreativitas

Proyek Kelompok Siswa RERATA Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelom

pok 5 a. Kelancaran

1 1 1 2 2 1,40

b. Kelenturan 1 2 1 2 1 1,40 c. Keaslian 1 2 2 2 2 1,80 d. Elaborasi 2 1 2 2 2 1,80 e. Kepekaan 2 1 2 2 2 1,80 RERATA 1,40 1,40 1,60 2,00 1,80 1,64

Page 282: Proceeding jilid 2

693

Dari Tabel 4. di atas dapat dilihat bahwa kelompok 4 dalam skala 2,00 memiliki rerata skor kreativitas proyek yang tertinggi dan sempurna yaitu 2,00 atau 100 dalam skala 100, sedangkan kelompok 1 dan 2 memiliki rerata skor kreativitas proyek yang terendah yaitu 1,40 atau 70,00 dalam skala 100. Rerata skor kreativitas proyek siswa adalah 1,64 atau 82,00 dalam skala 100.

PEMBAHASAN

Di dalam buku guru, model pembelajaran berbasis proyek tidak diawali dengan masalah mendasar untuk dipecahkan, tetapi lebih fokus kepada produk/ karya siswa. Hal ini bertentangan dengan Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses yang dinyatakan Berdasarkan pernyataan di atas, karya yang dihasilkan oleh siswa harus merupakan karya untuk memecahkan masalah yang muncul dari materi yang telah dipelajarinya atau disebut dengan karya terprogram bukan merupakan karya yang terpisah dengan materi yang telah dipelajari siswa sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Hal ini sesuai dengan Permendikbud Nomor 57 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 di SD/ MI yang menyatakan bahwa karakteristik pembelajaran berbasis proyek adalah siswa membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja, adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada siswa, siswa mendesain proses untuk menentukan solusi atas pernasalahan atau tantangan yang diajukan, siswa secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan, produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif. Beberapa data hasil wawancara dengan responden tentang penerapan model pembelajaran berbasis proyek sesuai dengan Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian diantaranya adalah bahwa penilaian proyek dilakukan oleh pendidik untuk tiap akhir bab atau tema pelajaran.

Model pembelajaran berbasis proyek tematik yang dikembangkan dilaksanakan oleh guru setiap berakhir satu tema pembelajaran dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Guru memfasilitasi siswa dan menggiring siswa kepada sebuah masalah terkait

dengan tema pembelajaran. Langkah ini sesuai dengan Permendikbud Nomor 65 tahun 2013 tentang Standar Proses yang dinyatakan bahwa untuk mendorong kemampuan siswa untuk menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah.

c. Guru bersama siswa menentukan topik-topik proyek sesuai dengan tema pembelajaran. Topik-topik proyek adalah solusi-solusi dari masalah yang dapat dipilih oleh siswa melalui proyeknya. Langkah ini sesuai dengan pendapat Henry (1995: 12) menyatakan bahwa beberapa langkah pada model pembelajaran berbasis proyek terdiri dari pemilihan topik proyek oleh siswa, mencari sumber-sumber bahan, dan menyajikan hasil akhir (laporan). Pada langkah ini dihasikan topik-topik proyek yang beragam sesuai dengan tema pembelajaran untuk dipilih siswa sesuai dengan minat dan kemampuannya.

Page 283: Proceeding jilid 2

694

d. Siswa memilih satu topik proyek untuk dikembangkan. Langkah ini sesuai dengan pendapat Katz dan Char (1989: 2) menyatakan “ A project is an in-depth study of particular topic that one or more children undertake”. Menurutnya, proyek adalah sebuah penelitian atau penyelidikan mendalam tentang topik tertentu yang dikerjakan oleh satu orang atau banyak orang. Sehingga proyek mengandung makna penelitian atau penyelidikan untuk memecahkan masalah yang muncul dalam pembelajaran. Topik proyek yang dipilih siswa dalam rangka memecahkan masalah kontekstual di sekitar siswa.

e. Siswa secara individual atau kelompok menyusun perencanaan proyek dan jadwal proyek serta pembagian tugas proyek

f. Siswa melaksanakan proyeknya, kemudian melaporkan progres proyek. g. Siswa menyusun laporan proyek h. Guru memberikan penilaian atas proyek (perencanaan, pelaksanaan dan

pelaporan) dan produk siswa (kreativitas dan estetikanya) i. Siswa memajangkan hasil karyanya dan memamerkannnya pada acara

pameran kelas. Pameran kelas dilaksanakan sebagai media komunikasi dan diseminasi hasil proyek siswa.

j. Siswa melakukan refleksi terhadap kegiatan proyek yang telah dilakukan

Hasil penilaian proyek dan produk siswa pada Tabel 2. menunjukkan bahwa kelompok 5 dengan topik proyek yang dipilih adalah Membuat Alat/ Produk Saringan Air Kotor memiliki skor tertinggi yaitu 3,625 pada skala 4,00 atau setara dengan 90,625 dalam skala 100, sedangkan kelompok 1 dengan topik proyek yang dipilih adalah Membuat Alat/ Produk Kincir Angin memiliki skor terendah yaitu 3,00 pada skala 4,00 atau setara dengan 75,00 pada skala 100. Rerata skor proyek dan produk siswa adalah 3,275 pada skala 4,00 atau setara dengan 81,875 pada skala 100. Berdasarkan kriteria konversi nilai kuantitatif menjadi kualitatif sebagai berikut: Interval Skor Kriteria 0 ≤ x < 20,00 Sangat Rendah 20,00 ≤ x < 40,00 Rendah 40,00 ≤ x < 60,00 Sedang 60,00 ≤ x < 80,00 Tinggi 80,00 ≤ x ≤ 100,00 Sangat Tinggi

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa rerata skor proyek dan produk

siswa kelas IV SDN Binabudi Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur dalam pembelajaran berbasis proyek sebesar 81,875 pada skala 100 dengan kriteria sangat tinggi. Skor rata-rata kreativitas proyek siswa adalah 1,64 pada skala 2,00 atau setara dengan 82,00 pada skala 100 dengan kriteria sangat tinggi. Dengan demikian, model pembelajaran berbasis proyek tematik yang dikembangkan sangat efektif untuk mengembangkan kreativitas siswa sekolah dasar.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut.

Page 284: Proceeding jilid 2

695

1. Desain model pembelajaran berbasis proyek tematik untuk sekolah dasar terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut: (1) guru memfasilitasi siswa secara berkelompok dan menggiring siswa kepada sebuah masalah terkait dengan tema pembelajaran; (2) guru menentukan topik-topik proyek sesuai dengan tema pembelajaran. Topik-topik proyek adalah solusi-solusi dari masalah yang dapat dipilih oleh siswa melalui proyeknya; (3) siswa secara berkelompok memilih satu topik proyek untuk dikembangkan; (4) siswa secara berkelompok menyusun perencanaan proyek dan jadwal proyek serta pembagian tugas proyek; (5) siswa melaksanakan proyeknya, kemudian melaporkan progres proyek; (6) siswa menyusun laporan proyek; (7) guru memberikan penilaian atas proyek (perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan) dan produk siswa (kreativitas dan estetikanya); (8) siswa memajangkan hasil karyanya dan memamerkannnya pada acara pameran kelas; dan (9) siswa melakukan refleksi terhadap kegiatan proyek yang telah dilakukan.

2. Rata-rata skor proyek dan produk siswa adalah 3,625 pada skala 4,00 atau setara dengan 81,875 dengan kriteria sangat tinggi. Sedangkan rata-rata skor kreativitas proyek siswa adalah 1,64 pada skala 2,00 atau setara dengan 82,00 dengan kriteria sangat tinggi/ sangat kreatif. Dengan demikian, model pembelajaran berbasis proyek sangat efektif untuk mengembangkan kreativitas siswa sekolah dasar.

DAFTAR RUJUKAN Departemen Pendidikan Nasional (2006), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP), Jakarta: Depdiknas. Dimyati dan Mudjiono. (2009) Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta Healy, J.M. (1994). Testing for creativity requires a clear definitation of what it is.

Brown University Child & Adolescent Behaviour Letter, 10 (12), 1-2. Henningsen, M., & Stein, K. (1997). Mathematical Tasks and Students Cognition:

Classroom Based Factor that Support and Inhibit High-Level Mathematical Thinking and Reasoning. Jurnal for Research in Mathematics Education, 28, 524-549.

Herman, T. (2009). “Problem Based Learning in Mathematics to Promote Creative and Critical Thinking of Primary School Students”. Proceeding Seminar Internasional Membangun Pendidikan Berkualitas. 223-228.

Higgins, M. (1994). 101 creative problem solving techniques. Winter Park, FL: New Management.

Iriawan, S.B. (2013). Pendekatan Tematik Integratif. Handout Mata Kuliah: Prodi PGSD FIP UPI.

Katz, L.G. and Chard, S.C. (1989). Engaging Children’s Mind: The Project Approach. New Jersey: Ablex.

Oxford English Dictionary. (1995). Concise Oxford dictionary (9th ed). Oxford, UK: Oxford UP.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 65 Tahun 2013. (2013). Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Depdikbud: Jakarta.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 66 Tahun 2013. (2013). Standar Penilaian Pendidikan Dasar dan Menengah. Depdikbud: Jakarta.

Page 285: Proceeding jilid 2

696

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013. (2013). Implementasi Kurikulum 2013. Dekdikbud: Jakarta

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 57 Tahun 2014. (2014). Kurikulum 2013 di SD/ MI. Depdikbud: Jakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013.(2013). Perubahan atas Peratutan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Depdikbud: Jakarta.

Reed, S.K. (2010) Cognition: Theories and Aplications. Canada: Wadsworth Cengage Learning.

Riedesel, C.A, et.al. (1996). Teaching Elementary School Mathematics. Boston: Allyn and Bacon.

Schifter, L. (1999). Definitions of creativity. Retrieved March 25,2005, from http://members.ozemail.com.au.

Setiasih, O. (2010). Pendekatan Proyek untuk Anak Usia Dini: Sebuah Kajian Pedagogik. Proceeding: 2nd International Seminar 2010 Practice Pedagogic in Global Education Perspective. 2 (2), 736-745.

Simonton, D.K. (2000). Creativity: Cognitive, personal, development, and social aspects. American Opsychologist, 55 (1), 151-158.

Sumarmo, U. (2012). “Pendidikan Karakter serta Pengembangan Berfikir Disposisi Matematik dalam Pembelajaran Matematika”. Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika II NTT.

Suratno, T. (2009) “Pengembangan Kreativitas Siswa dalam Pembelajaran Sains di Sekolah Dasar”. Jurnal Pendidikan Dasar. 12, (12), 28-32.

Quigley, P. (1998). Creativity and computers. RetrievedApril 12, 2004, from http://erica.net/edo/ED315063.htm.

Page 286: Proceeding jilid 2

697

PEMIKIRAN REFLEKTIF DALAM KALANGAN SISWA PENDIDIK

Shamsiah Md Nasir & Nil Farakh Sulaiman Institut Pendidikan Guru Kampus Pendidikan Teknik

E-mail: [email protected]

Abstrak Dunia pendidikan dalam abad kini berhadapan dengan pelbagai cabaran yang memerlukan guru dan pelajar mempunyai pemikiran reflektif dalam menyelesaikan masalah. Bagi memenuhi tuntutan tersebut, program latihan perguruan memberi tumpuan utama kepada komponen amalan refleksi bagi melatih dan memperkembangkan pemikiran reflektif siswa pendidik. Justeru itu, satu kajian berdasarkan teori pemikiran reflektif Mezirow telah dilaksanakan bagi melihat amalan pemikiran reflektif siswa pendidik. Seramai 86 orang siswa pendidik semester 5 Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan, Institut Pendidikan Guru Kampus Pendidikan Teknik telah dipilih sebagai responden dalam kajian ini. Kajian kuantitatif ini menggunakan “Questionnaire for Reflective Thinking” (QRT) yang diadaptasi daripada Kember at. el. (2000) sebagai instrumen kajian bagi mengumpul data. Dapatan kajian menunjukkan pemikiran reflektif siswa pendidik telah dapat diperkembangkan melalui kursus yang mereka ikuti. Implikasi dan kajian lanjutan berkaitan pemikiran reflektif siswa pendidik juga dibincangkan. Kata kunci: amalan refleksi, pemikiran reflektif, siswa pendidik

PENDAHULUAN Pendidikan ialah penyumbang utama pembangunan modal sosial dan

ekonomi negara. Pendidikan juga merupakan pencetus kreativiti dan penjana inovasi yang melengkapkan generasi muda dengan kemahiran yang diperlukan untuk bersaing dalam pasaran kerja, dan menjadi pengupaya perkembangan ekonomi keseluruhannya. Maka tidak hairanlah sistem pendidikan di Malaysia terus ditambahbaik dari masa ke semasa bagi melahirkan modal insan yang diaspirasikan oleh Falsafah Pendidikan Kebangsaan agar dapat menyumbang kepada pembangunan dan kesejahteraan negara. Tahun 2013 memperlihatkan transformasi sistem pendidikan negara untuk tempoh 15 tahun akan datang melalui Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia 2013-2025.

Transformasi pendidikan ini bermatlamat melengkapkan setiap murid di negara kita dengan segala kemahiran baharu yang diperlukan oleh mereka untuk merebut peluang dan menangani cabaran abad ke-21. Dalam usaha kita untuk bersaing dengan negara termaju di dunia, sistem pendidikan kita perlu berupaya melahirkan generasi muda yang berpengetahuan, mampu berfikir secara kritis dan kreatif, mempunyai kemahiran kepimpinan yang mantap dan berupaya berkomunikasi dengan berkesan pada peringkat global. Tidak kurang pentingnya, setiap murid di negara kita perlu diterapkan dengan nilai, etika, dan rasa tanggungjawab sebagai warganegara, agar mereka dapat membuat pilihan yang tepat untuk diri mereka, keluarga, dan negara, serta berupaya mengharungi dan mengatasi cabaran masa depan (KPM, 2013). Oleh itu, guru merupakan tunjang utama dalam melahirkan generasi muda yang dihasratkan agar dapat bersaing diperingkat global. Antara hasrat transformasi sistem pendidikan adalah

Page 287: Proceeding jilid 2

698

melahirkan insan yang mampu berfikir secara kritis, kreatif dan berinovasi. Bagi memenuhi tuntutan tersebut guru hendaklah mempunyai kemahiran yang diperlukan iaitu dapat berfikir secara reflektif agar dapat membentuk pelajar yang dihasratkan dan berupaya menyelesaikan masalah yang dihadapi sebagai seorang guru.

Membentuk guru dan pelajar untuk menjadi pemikir yang reflektif dengan meningkatkan pengetahuan mereka berkaitan strategi yang membolehkan mereka membuat refleksi pembelajaran dan amalan mereka merupakan salah satu cabaran utama dalam pendidikan moden kini. Membuat refleksi ke atas amalan telah menjadi elemen kecekapan profesional yang diperlukan untuk merapatkan jurang teori dan praktikal kepada mana-mana profesion (Mann, et. al, 2009). Ianya adalah lebih penting dalam profesion perguruan kerana kedua-dua guru dan pelajar perlu sentiasa menyemak dan membuat refleksi ke atas rutin mereka.

Kepentingan pemikiran reflektif dalam pendidikan dan sebagai satu kemahiran berfikir yang wajib dalam perkembangan profesion perguruan telah diutarakan oleh Dewey (1933). Pendapat beliau ini telah dibincangkan secara meluas dalam bidang pendidikan terutamanya bagi meningkatkan kecekapan, kemahiran dan keyakinan guru dalam pengurusan pengajaran dan pembelajaran. Dewey (1933) berpendapat bahawa pemikiran reflektif merupakan aktiviti kognitif yang mengimbas kembali pengalaman atau pengetahuan lalu untuk membuat pertimbangan dan pentafsiran yang lebih teliti. Proses pemikiran ini melibatkan pertimbangan kritikal terhadap pengetahuan, nilai dan kepercayaan diri; kreativiti mencari cara, kaedah dan sumber alternatif untuk mendapat kesimpulan akhir yang lebih sempurna. Lazimnya proses ini dirangsangkan dan dijanakan apabila seseorang menghadapi kekeliruan terhadap persekitaran baru. Proses pemikiran reflektif dijanakan ke arah memberi cadangan menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Mezirow (1991) telah memperluaskan idea Dewey ini dalam pembelajaran orang dewasa. Menurut teori pembelajaran transformasi Mezirow (1991), seseorang perlu mempertimbangkan kandungan, proses dan premis dalam pemikiran atau ideanya terhadap sesuatu fenomena dengan teliti. Kesedaran ini adalah amat penting, terutamanya kepada golongan profesional supaya mereka dapat memahami dan mentafsir situasi dengan tepat, seterusnya membuat tindakan yang tepat kepada masalah yang perlu diselesaikan. Mezirow (1991) merujuk pemikiran reflektif sebagai ujian kesahan, di mana berfikir secara kritikal terhadap kesahan pengetahuan, kepercayaan dan nilai seseorang, memeriksa serta menguji untuk mendapat kefahaman yang lebih tepat menerangkan pengalaman baru.

Pemikiran refleksi telah mula menjadi tumpuan penyelidik pendidikan apabila terbitnya hasil kerja Schon (1983) iaitu “The Reflective Practitioner”: How Professional Think in Action”. Kebanyakan penyelidik pendidikan perguruan menyedari bahawa kekuatan kemahiran reflektif berupaya meningkatkan pembelajaran pelajar (Calderhead & Gates, 1993) dan memperbaiki mutu keprofesionalan seorang guru (Schon, 1983). Gũr Şahin & Dikkartin Övez (2012) berpendapat bahawa pemikiran reflektif merupakan elemen utama dalam proses pendidikan; ia merupakan kemahiran yang perlu diajar dalam parameter program penyediaan guru (Bates, Ramirez, & Drits, 2009: Marcos, Sanchez, & Tillema, 2011;Thorsen & DeVore, 2013; Burbank, Ramirez, & Bates, 2012).

Page 288: Proceeding jilid 2

699

Persoalan sejauh mana berkesannya program di institut pendidikan guru dalam menyediakan guru yang reflektif menjadi semakin penting dalam kajian kontemporari. Institut pengajian tinggi dan institut pendidikan guru berusaha untuk menjadikan program-program mereka lebih kondusif bagi mewujudkan kemahiran pemikiran reflektif dalam kalangan graduan. Kajian yang dijalankan oleh Buzdar & Ali (2013) menunjukkan program pendidikan guru mempunyai kecenderungan yang kuat untuk menggalakkan pemahaman dan pemikiran reflektif dalam kalangan pelajar yang dikajinya. Poyraz & Usta (2013) melalui kajiannya mendapati perbezaan yang signifikan kecenderungan pemikiran reflektif dalam kalangan guru pelatih yang berlainan jantina dan latar belakang keluarga. Pennington (2011) pula dalam kajiannya melalui penilaian portfolio yang disediakan oleh guru pelatih mendapati tahap pemikiran reflektif guru pelatih adalah tinggi.

Kajian ini adalah berasaskan kepada teori pemikiran reflektif Mezirow yang menegaskan tiga jenis pemikiran yang utama, iaitu yang memberi makna (skim dan perspektif), refleksi, dan refleksi kritikal. Memberi makna adalah hasil daripada jangkaan lazim (yang berdasarkan pengalaman lalu) atau pemahaman (asimilasi dan interpretasi pengalaman baru). Pembelajaran merujuk kepada penggunaan seterusnya makna ini dalam membuat keputusan. Hipotesis Mezirow adalah berdasarkan analogi bahawa "skim makna" menjana amalan lazim individu yang membentuk dan mentadbir perspektif, andaian dan keputusan. Refleksi, pada pandangan Mezirow, merujuk kepada membetulkan penyelewengan prosedur manakala "refleksi kritikal" mencabar asas dan andaian "makna" dan "perspektif" yang dijana. OBJEKTIF KAJIAN

Kajian ini memberi tumpuan terhadap amalan pemikiran siswa pendidik melalui kursus-kursus yang mereka ikuti di bawah Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PISMP) mengikut pengkhususan masing-masing. Objektif kajian ini adalah untuk melihat sejauh mana program pendidikan guru berupaya menggalakkan pembangunan pemikiran reflektif siswa pendidik. Kajian ini juga bertujuan untuk meneroka amalan pemikiran reflektif siswa pendidik berdasarkan kursus-kursus yang diikuti dalam pengkhususan mereka. METODOLOGI

Kajian ini adalah kajian kuantitatif yang menggunakan “Questionnaire for Reflective Thinking” (QRT) yang diadaptasi daripada Kember at el (2000). Berdasarkan kepada teori pembelajaran transformatif Mezirow (1991) yang mencadangkan dua tindakan reflektif dan bukan-reflektif, Kember et al (2000) membina soal selidik tersebut dengan empat tahap yang terdiri daripada amalan lazim (habitual action), pemahaman (understanding), refleksi (reflection), dan refleksi kritikal (critical reflection). Ciri-ciri setiap tahap pemikiran seperti yang diutarakan oleh Kember et al. adalah seperti berikut: 1. Amalan pelaziman: aktiviti yang dipelajari melalui kekerapan melakukannya.

Kemudian, ia dilakukan secara automatik atau dengan fikiran yang sedikit sedar.

2. Pemahaman: Aktiviti berfikrah individu di mana mereka menggunakan pengetahuan sedia ada dan mendapatkan kefahaman perkara/fenomena yang berbeza. Kember et al. (2000) menjelaskan bahawa konstruk

Page 289: Proceeding jilid 2

700

pemahaman terdiri daripada pemahaman konsep tanpa mencerminkan atas kepentingannya dalam situasi peribadi atau praktikal.

3. Refleksi: Kritikan dan penilaian andaian mengenai kandungan atau proses penyelesaian masalah. Ia membezakan masalah daripada penyelesaian masalah dan menimbulkan persoalan mengenai kesahihan penyelesaian masalah.

4. Refleksi Kritikal: Ini adalah tahap refleksi yang mendalam. Ia melibatkan pengujian premis dan menyemak bukti refleksi dengan berasaskan pembelajaran terdahulu yang disedari dan tanpa disedari. Tahap pemikiran reflektif ini tidak diperhatikan dengan kerap dan sering diabaikan. Soal selidik tersebut meliputi 16 penyataan dengan lima skala likert

berkaitan tindakan dan mod pemikiran reponden terhadap kursus yang telah mereka diikuti. Kebolehpercayaan item telah dilakukan dengan nilai Alpha Cronbach 0.727. Responden kajian ini terdiri daripada 86 orang siswa pendidik Semester 5 IPG Kampus Pendidikan Teknik yang sedang mengikuti Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan dengan pengkhususan Matematik, Reka Bentuk & Teknologi (RBT) dan TESL. Analisis statistik deskriptif dan inferensi digunakan untuk menganalisis data bagi menjawab persoalan kajian. Julat skor min yang dicadangkan oleh Mohamed Najib (1999) digunakan untuk menentukan aras persetujuan penyataan berkaitan pemikiran reflektif responden. DAPATAN

Dapatan menunjukkan responden agak setuju dengan penyataan bahawa mereka tidak perlu berfikir untuk memulakan sesuatu aktiviti yang kerap dilakukan dalam kursus mereka. Respon yang sama juga diberikan terhadap penyataan bahawa jika mereka mengikuti pengajaran pensyarah dan mengingati nota yang diberikan, mereka tidak perlu berfikir banyak. Skor min bagi konstruk “amalan lazim” ialah 2.83 yang menunjukkan bahawa secara kumulatifnya siswa pendidik agak bergantung kepada pemikiran lazim (Jadual 1)

Jadual 1: Amalan pemikiran siswa pendidik bagi amalan lazim Penyataan Min SP S1. Apabila melakukan sesuatu aktiviti, saya boleh

laksanakan tanpa berfikir apa yang saya lakukan

2.85 1.00

S5. Dalam kursus ini, kami kerap melakukan aktiviti, oleh itu saya memulakan sesuatu aktiviti tanpa perlu berfikir

2.66 1.05

S9. Selagi saya boleh mengingati nota yang diberikan untuk peperiksaan, saya tidak perlu berfikir banyak

2.78 1.09

S13. Jika saya ikut apa yang penyarah ajar, saya tidak perlu berfikir banyak tentang kursus ini.

3.03 1.02

Amalan Lazim 2.83 .77

Page 290: Proceeding jilid 2

701

Data seterusnya menunjukkan bahawa responden bersetuju dengan penyataan bahawa kursus yang mereka ikuti telah meningkatkan pemahaman mereka. Ini dapat dilihat melalui skor min semua penyataan konstruk “pemahaman” (Jadual 2). Ini menunjukkan bahawa responden memahami konsep dan bahan pembelajaran kursus yang mereka ikuti. Pemahaman juga dianggap penting untuk lulus dalam peperiksaan. Skor min bagi keseluruhan penyataan konstruk “pemahaman” ialah 4.30. Ini menyokong tanggapan bahawa program PISMP adalah kondusif dalam menjana pemahaman pelajar terhadap kandungan kursus. Jadual 2: Amalan pemikiran siswa pendidik bagi pemahaman Penyataan Min SP S2. Kursus ini memerlukan saya memahami konsep

yang diajar oleh pensyarah

4.44 .57

S6. Untuk lulus dalam kursus major, saya perlu memahami kandungannya

4.61 .56

S10. Saya perlu memahami bahan yang diajar oleh pensyarah dalam melaksanakan tugasan amali

4.21 .62

S14. Dalam kursus major, saya perlu berfikir secara berterusan tentang bahan yang telah diajar

3.94 .79

Pemahaman 4.30 .43

Berdasarkan Jadual 3, dapatan menunjukkan responden bersetuju dengan penyataan bahawa mereka ada kalanya akan mempersoalkan cara sesuatu perkara itu dilakukan oleh dirinya atau orang lain dan cuba memikirkan alternatif yang lebih baik. Sebahagian besar daripada mereka memikirkan kembali dan menilai semula pengalaman lalu dengan tujuan untuk belajar dan memperbaiki amalan pemikiran mereka. Skor min menunjukkan konstruk “refleksi” responden secara keseluruhannya ialah 4.17. Ini menggambarkan bahawa siswa pendidik mempunyai sikap reflektif yang tinggi terhadap apa yang telah mereka lakukan.

Jadual 3: Amalan pemikiran siswa pendidik bagi refleksi Penyataan Min SP S3. Kadang kala saya mempersoalkan cara sesuatu itu

dilakukan dan cuba memikirkan cara yang lebih baik

4.15 .64

S7. Saya suka memikirkan semula apa yang telah saya lakukan dan mempertimbangkan alternatif lain untuk melakukannya

4.10 .74

S11. Saya selalu membuat refleksi terhadap tindakan saya bagi melihat samada saya boleh

4.19 .73

Page 291: Proceeding jilid 2

702

memperbaiki apa yang telah saya lakukan S15. Saya sering menilai semula pengalaman saya

agar saya boleh belajar daripadanya dan meningkatkan prestasi saya seterusnya

4.26 .69

Refleksi 4.17 .49

Analisis seterusnya sebagaimana yang dapat dilihat dalam Jadual 4 menunjukkan responden bersetuju dengan semua penyataan bagi konstruk “refleksi kritikal”. Ini menunjukkan bahawa kursus yang mereka ikuti telah menggalakkan mereka untuk mencabar idea yang mereka pegang dan telah membantu mereka mencari kesilapan asas mereka. Responden juga bersetuju bahawa mereka telah mengubah cara biasa mereka melakukan sesuatu hasil daripada kursus yang mereka ikuti. Skor min keseluruhan bagi konstruk “refleksi kritikal” ialah 4.01, yang mendedahkan bahawa majoriti siswa pendidik mempunyai pemikiran kritikal.

Jadual 4: Amalan pemikiran siswa pendidik bagi refleksi kritikal Penyataan Min SP S4. Kesan daripada kursus major telah mengubah cara

saya melihat diri saya

4.04 .78

S8. Kursus major telah mencabar sebahagian idea-idea yang saya pegang dengan teguh

4.08 .74

S12. Kesan daripada kursus major telah mengubah cara biasa saya melakukan sesuatu

3.82 .75

S16. Semasa mengikuti kursus major, saya mendapati bahawa apa yang saya percaya betul sebelum ini adalah satu kesilapan

4.10 .81

Refleksi Kritikal 4.01 .53

Bagi melihat adakah wujud perbezaan amalan pemikiran dalam kalangan siswa pendidik yang berlainan pengkhususan, Ujian Anova Sehala telah dilakukan. Berdasarkan Jadual 6, didapati terdapat perbezaan yang signifikan skor min amalan pemikiran bagi konstruk amalan lazim (F(2, 83)=11.026; p<0.05) dan konstruk pemahaman (F(2, 83)=5.347; p<0.05). Manakala bagi konstruk refleksi dan refleksi kritikal menunjukkan tidak terdapat perbezaan yang signifikan.

Jadual 5: Skor Min amalan pemikiran siswa pendidik mengikut pengkhususan

Amalan Pemikiran Pengkhususan Bil (N) Skor Min Sisihan Piawai

Amalan Lazim Matematik 17 2.88 .81

Page 292: Proceeding jilid 2

703

RBT TESL

34 35

3.21 2.44

.67

.65 Jumlah 86 2.83 .77 Pemahaman Matematik

RBT TESL

17 34 35

4.50 4.13 4.37

.28

.44

.43 Jumlah 86 4.30 .43 Refleksi Matematik

RBT TESL

17 34 35

4.28 4.13 4.17

.38

.50

.54 Jumlah 86 4.18 .49 Refleksi Kritikal Matematik

RBT TESL

17 34 35

4.15 4.02 3.94

.65

.41

.59 Jumlah 86 4.01 .54

Jadual 6: Ujian ANOVA amalan pemikiran siswa pendidik mengikut pengkhususan

Jumlah Kuasa Dua

Darjah Kebebasan

Min Kuasa Dua

Nilai F Sig

Amalan Lazim

Antara Kumpulan Dalam Kumpulan

10.481 39.449

2 83

5.241 .475

11.026 .000

Jumlah 49.930 85 Pemahaman

Antara Kumpulan Dalam Kumpulan

1.181 14.076

2 83

.907

.170 5.347 .007

Jumlah 15.890 85 Refleksi Antara Kumpulan

Dalam Kumpulan .247 20.486

2 83

.124

.247 .501 .608

Jumlah 20.733 85 Refleksi Kritikal

Antara Kumpulan Dalam Kumpulan

.480 23.939

2 83

.240

.288 .833 .438

Jumlah 24.419 85

Untuk melihat kumpulan pengkhususan manakah yang mempunyai perbezaan, ujian Post Hoc Scheffe telah dilakukan. Berdasarkan Jadual 7, didapati perbezaan yang signifikan skor min amalan pemikiran siswa pendidik bagi konstruk amalan lazim bagi kumpulan pengkhususan RBT dan TESL. Ini menunjukkan skor min siswa pendidik kumpulan RBT lebih tinggi (M = 3.21, SP = .67) berbanding kumpulan TESL (M = 2.44, SP = .65). Ini menunjukkan siswa pendidik kumpulan RBT kurang berfikir apabila melakukan sesuatu aktiviti berbanding kumpulan TESL. Mereka lebih bergantung kepada nota pensyarah apabila menghadapi peperiksaan.

Page 293: Proceeding jilid 2

704

Manakala bagi konstruk pemahaman, kumpulan pengkhususan Matematik dan RBT menunjukkan perbezaan. Skor min siswa pendidik kumpulan Matematik lebih tinggi (M = 4.5, SP = .28) berbanding siswa pendidik kumpulan RBT (M = 4.13, SP = .44). Begitu juga dengan skor min kumpulan TESL lebih tinggi (M = 4.37, SP = .43) berbanding kumpulan RBT. Ini menunjukkan bahawa siswa pendidik kumpulan Matematik dan Kumpulan TESL lebih berusaha untuk memahami konsep dan kandungan kursus yang dikuti serta berterusan berfikir tentang bahan yang dipelajari. Walaupun keputusan ujian Anova Sehala tersebut adalah signifikan secara statistik, perbezaan sebenar dalam skor min antara kumpulan agak kecil. Kesan saiz bagi konstruk amalan lazim yang dikira menggunakan Eta kuasa dua adalah 0.2, manakala bagi konstruk pemahaman adalah 0.07

Jadual 7. Keputusan Ujian Post Hoc Scheffe amalan pemikiran siswa pendidikan mengikut pengkhususan

Amalan pemikiran Pengkhususan Perbeza

an Min Ralat Piawai Sig

Amalan Lazim Matematik

RBT TESL

RBT TESL Matematik

-.331 .778* -.447

.205

.166

.204

.245

.000

.079 Pemahaman Matematik

RBT TESL

RBT TESL Matematik

.368*

.239*

.129

.122

.099

.122

.010

.047

.544 Refleksi Matematik

RBT TESL

RBT TESL Matematik

-.147 .039 -.107

.148.

.199

.147

.581

.943

.743 Refleksi Kritikal Matematik

RBT TESL

RBT TESL Matematik

.125

.079

.204

.159

.129

.158

.714

.814

.407 * Perbezaan min signifikan pada tahap 0.05.

Bagi melihat samada amalan pemikiran siswa pendidik berbeza di antara jantina, ujian t telah dilakukan. Berdasarkan Jadual 8, didapati terdapat perbezaan antara jantina bagi konstruk amalan lazim. Skor min siswa pendidik lelaki secara signifikan adalah lebih tinggi (M = 3.26, SP = .89) berbanding siswa pendidik perempuan (M = 2.66, SP = .65; t(84) = 3.438, p < .05). Ini menggambarkan bahawa siswa pendidik lelaki kurang berfikir apabila melakukan sesuatu aktiviti berbanding siswa pendidik perempuan. Sebaliknya, tidak terdapat perbezaan amalan pemikiran siswa pendidik berlainan jantina bagi konstruk yang lain.

Jadual 8. Keputusan Ujian t amalan pemikiran siswa pendidikan mengikut jantina

Amalan pemikiran Jantina N Min Sisihan

Piawai t Sig

Page 294: Proceeding jilid 2

705

Amalan Lazim Lelaki 24 3.26 .89 3.428* .028 Perempuan 62 2.67 .65

Pemahaman Lelaki 24 4.25 .49 -.696 .874 Perempuan 62 4.32 .41

Refleksi Lelaki 24 4.23 .59 .603 .081 Perempuan 62 4.16 .45

Refleksi Kritikal

Lelaki 24 4.04 .57 .209 .648 Perempuan 62 4.00 .53

SIMPULAN

Secara keseluruhannya, kajian ini memberikan penjelasan tentang amalan pemikiran reflektif dalam kalangan siswa pendidik di IPGKPT. Daripada dapatan kajian, dapatlah disimpulkan bahawa amalan pemikiran reflektif siswa pendidik berada pada tahap praktikal. Dapatan kajian ini menggambarkan bahawa kursus-kursus yang diikuti oleh siswa pendidik telah menggalakkan perkembangan pemikiran reflektif mereka. Walau bagaimanapun amalan pemikiran reflektif ini perlu ditingkatkan ke tahap yang lebih tinggi dalam usaha menyediakan bakal guru yang berupaya membentuk para pelajarnya yang mampu bersaing di pentas dunia. Maka, program pendidikan guru perlu mempertimbangkan pembangunan satu sistem sokongan untuk siswa pendidik yang meliputi pengajaran yang explisit ke atas pemikiran reflektif dan proses pemikiran reflektif. Apabila siswa pendidik mempersoalkan amalam pengajaran mereka secara reflektif, mereka akan menjadi lebih reflektif dan efektif sebagai guru pada masa akan datang. Dengan tanggungjawab sebagai seorang guru dalam meningkat dan memperbaiki pembelajaran murid, adalah penting mereka memahami bagaimana menjadi pemikir yang berfikir secara reflektif dapat menjadikan mereka guru yang lebih berkesan, seterusnya meningkatkan pencapaian pelajar, Bagaimanapun, mempelajari amalan dan proses pemikiran reflektif merupakan satu kemahiran yang perlu bermula di peringkat awal lagi semasa siswa pendidik memulakan program pendidikan guru mereka. DAFTAR RUJUKAN Bates, A. J., Ramirez, L. and Drits, D. (2009). Connecting university supervision

and critical reflection: Mentoring and modeling. The Teacher Educator 44.2: 90-112.

Buzdar, M. A, and Ali, A. (2013). Development of Reflective Thinking through Distance Teacher Education Programs at AIOU Pakistan. The International Review of Research in Oopen and distance learning, Vol 14: 3 dalam files.eric.ed.gov /fulltext/EJ1017486.pdf pada 10 Mac 2015.

Calderhead, J, and Gates, P. (1993). Conceptualizing Reflection in Teacher Education. London, Palmer Press.

Poyraz, Cengiz and Usta, Seda (2013). Investigation of preservice teachers’ reflective thinking tendencies in terms of various variances. International journal on new Trends in Education and Their Implications. Vol 4: 2. dalam www.ijonte.org/FileUpload/ks63207/ File/12.poyraz.pdf pada 15 Feb 2015.

Dewey, J. (1933), How We Think, Boston, D. C. Heath & Co.

Page 295: Proceeding jilid 2

706

Kember, D., Leung, D., Jones, A. & Loke, A. Y. (2000) Development of a Questionnaire to measure the Level of Reflective Thinking. Assessment and Evaluation in Higher Education, 25, 380-395.

KPM. (2013). Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia 2013-2025. Mann, K., Gordon, J. and MacLeod, A. (2009). Reflection and reflective practice in

health professions education: a systematic review. Advances in Health Sciences Education 14.4: 595-621.

Marcos, J. M., Sanchez, E., and Tillema, H. H. (2011). Promoting teacher reflection: What is said to be done. Journal of Education for Teaching 37.1: 21-36.

Burbank, M., Ramirez, L. & Bates, A. (2012). Critically Reflective Thinking in Urban Teacher Education: A Comparative Case Study of Two Participants’ Experiences as Content Area Teachers. Professional Educator, v36 n2

Mezirow, J. (2003). Transformative learning as discourse. Journal of transformative education 1.1: 58-63.

Mezirow, J. (1991). Transformative dimensions of adult learning. Jossey-Bass Mohamed Najib Ghafar. (1999). Penyelidikan pendidikan. Skudai: Universiti

Teknologi Malaysia. Pennington, R. (2011). Reflective Thinking in Elementary Preservice Teacher

Portfolios: Can It Be Measured and Taught? Journal of Educational Research and Practice Vol 1, 1:37-49

Gur, G. S., & Ovez, F. T. D. (2012) "An Investigation of Prospective Teachers’ Reflective Thinking Tendency." Procedia-Social and Behavioral Sciences 55: 568-574.

Schon, D. (1983). The Reflective Practitioner: How Professional Think in Action: London, Temple Smith.

Thorsen, C. A., and DeVore, S. (2013). Analyzing reflection on/for action: A new approach." Reflective Practice 14.1: 88-103.

Page 296: Proceeding jilid 2

707

LITERASI ICT DALAM KALANGAN GURU PENDIDIKAN ISLAM DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN SEKOLAH-SEKOLAH RENDAH

Shukri bin Zain, Mohd Adli bin Abdullah Universiti Malaysia Sabah

email: [email protected]

Abstrak Kajian deskriptif ini bertujuan untuk meninjau tahap literasi ICT dalam kalangan guru Pendidikan Islam dalam pengajaran dan pembelajaran sekolah-sekolah rendah daerah Tawau. Seramai 80 orang responden terdiri dari guru-guru pendidikan islam yang dipilih adalah berdasarkan kaedah persampelan rawak dari 16 buah sekolah rendah di sekitar daerah Tawau, Sabah. Data yang diproleh diproses dan dianalisa dengan menggunakan perisian SPSS versi 17.0 (Statistical Packages For Social Science). Statistik deskriptif seperti frekuensi, min dan sisihan piawai digunakan untuk mengenal pasti tahap keberkesanan beberapa pembolehubah yang ada dan yang paling dominan serta mengenal pasti masalah kepenggunaan ICT bagi guru-guru berkenaan Manakala statistik inferensi seperti Ujian-t dan korelasi telah digunakan. Dapatan kajian menunjukkan tidak terdapat perbezaan yang signifikan antara pengetahuan (p=0.939 >α 0.05), kemahiran (p=0.537), sikap (p=0.207) dan masalah penggunaan ict (p=0.475>α 0.05) dengan jantina guru. Hasil kajian mendapati bahawa pengetahuan guru adalah aspek yang paling dominan berbanding aspek yang lain berdasarkan kesemua pembolehubah yang ada. Oleh itu, dicadangkan agar pihak pentadbir memainkan peranan dalam menguruskan penyediaan prasarana, alat, dan bahan yang lengkap dalam bilik darjah bagi mewujudkan suasana kerja praktikal yang lebih kondusif, selamat dan berjalan lancar. PENDAHULUAN Persaingan masyarakat dunia dalam abad ke 21 dan perubahan daripada era masyarakat industri kepada era masyarakat bermaklumat memberi cabaran baru kepada institusi pendidikan. Perkembangan ini mempengaruhi dunia pendidikan terutama dalam kaedah pengajaran dan pembelajaran (P&P). Kemajuan teknologi maklumat dan komunikasi (ICT) telah membuka lembaran baru dalam kemajuan teknologi dunia. Dalam konteks pendidikan di Malaysia bagi merealisasikan Wawasan 2020,kerajaan tidak mahu ketinggalan dalam arus pembangunan ICT. Menurut Mohd Arif dan Rosnaini (2003), ICT berupaya menjadi tunjang penting dalam urusan pengajaran dan pembelajaran serta pengurusan sekolah. Pengetahuan dan kemahiran ICT penting bukan sahaja sebagai pemudahcara tetapi ia juga merupakan sumber maklumat yang mudah diperolehi dalam segenap bidang ilmu. Pendidikan Islam merupakan salah satu pengajaran wajib dalam sistem pendidikan negara turut menerima perubahan daripada kaedah pengajaran dan pembelajaran berasas komputer. Perkembangan sihat yang berlaku ini jangan dipersiakan dan dipandang mudah oleh para pendidik aliran agama dalam meningkatkan prestasi pengajaran serta memberi dimensi baru

Page 297: Proceeding jilid 2

708

suasana pembelajaran. Kadangkala ada perkara yang sukar untuk dipersembahkan dalam bilik darjah. Ini mungkin pengajarannya agak komplek, mahal, merbahaya dan mengambil masa. Contohnya pengajaran berunsur ibadah seperti melakukan haji,solat dan tayammum. Oleh itu ICT memainkan peranan dalam pemudahcara kefahaman murid. Manakala Hasbullah & Yusni (2003) melihat Pendidikan Islam bukan sahaja melibatkan penyampaian fakta atau pengetahuan dalam disiplin ilmu,tetapi lebih banyak menekan aspek ‘amalan’ sebagai penghayatan kepada ilmu yang dipelajari. Oleh itu guru-guru pendidikan islam perlu mengambil sebanyak peluang dalam program mengintegrasikan ICT bagi meningkatkan kefahaman dan mengaplikasikannya. Ini bagi membolehkan matlamat penyampaian kandungan dan amalan dalam subjek Pendidikan Islam mampu dicapai secara kontruktif. PENYATAAN MASALAH

Penggunaan peralatan teknologi pendidikan seperti komputer dan internet oleh Guru Pendidikan Islam (GPI) merupakan salah satu cara yang perlu dipraktikkan sebagai langkah ke arah penambahbaikan mutu dan keberkesanan pengajaran. Pendidikan islam merupakan matapelajaran penting yang memberi penekanan kepada pembentukan akhlak yang mulia. Namun,kemampuan mata pelajaran ini dalam menjana akhlak mulia masih dipersoalkan. Corak pengajaran dan pembelajaran pendidikan islam sering dianggap masih menjalankan kaedah ‘chalk and talk’, menunjukkan faktor pengajaran pendidikan islam kelihatan lesu dan hambar. Kaedah pengajaran yang masih tradisional ini amat menjemukan murid malah ia juga kurang memberi kesan kepada pengetahuan teknologi terkini. Pengetahuan guru dan murid akan ketinggalan dalam bidang ICT berbanding subjek lain.

Berdasarkan kajian oleh Khadijah dan Sharin (2006) dalam Wan Khairuddin (2006),mendapati amalan pengajaran guru Pendidikan Islam masih tidak memanfaatkan ICT sebagai bahan bantu mengajar (BBM). Ini dibuktikan melalui min bagi item BBM berasaskan ICT mencatat min paling rendah iaitu 2.06. Ada persepsi mengatakan beban tugas guru dianggap sebagai salah satu faktor penyumbang kepada kegagalan guru pendidikan islam menggunakan BBM berasaskan ICT. Kebanyakkan guru dibebankan dengan tugas yang tidak akademik atau mengajar terlalu banyak subjek lain hingga mempengaruhi sikap,kemahiran dan komitmen mereka terhadap penggunaan ICT.

Perbandingan demografi antara jantina juga menjadi ukuran kajian bagi menentukan tahap kemahiran,pengetahuan dan sikap GPI. Terdapat persepsi yang mengatakan guru lelaki lebih berpengetahuan dan berkemahiran berbanding guru perempuan. Namun dalam kajian Siti Fatimah Ahmad (2010) mendapati nilai T bagi perbadingan persepsi antara guru lelaki dan perempuan ialah T=1.399 dan nilai –P= 0.163. tahap signifikan ini adalah lebih besar daripada 0.05 (p=0.163). oleh itu Ujian -t telah menerima hipotesis nul. Hal ini bermaksud tidak terdapat perbezaan yang signifikan min persepsi antara guru lelaki (min=4.04) dan guru perempuan (min=3.97) berdasar jantina penggunaan ICT dalam kelas Oleh itu perlunya suatu kajian yang menyentuh penggunaan ICT ini serta cadangan – cadangan yang membina ke arah kebaikan kaedah pengajaran dan pembelajaran. Kajian ini dijalankan adalah bertujuaan meninjau literasi kepenggunaan ICT dikalangan guru pendidikan islam dalam proses pengajaran

Page 298: Proceeding jilid 2

709

dan pembelajaran. Kajian dilakukan terhadap GPI sekolah-sekolah rendah dalam Daerah Tawau. Aspek yang paling penting ditekankan dalam kajian ialah dari aspek pengetahuan,kemahiran dan sikap guru sendiri. Ia bertujuan mengetahui kefahaman dan penggunaan mereka dalam ICT. Kemahiran dan pengetahuan yang baik dalam ICT akan memberi impak yang besar dalam pendidikan khususnya pelajaran Agama Islam . OBJEKTIF KAJIAN Objektif kajian ini adalah seperti berikut:

i. Mengenal pasti tahap pengetahuan GPI berkaitan ICT . ii. Mengenal pasti tahap kemahiran ICT oleh GPI dalam pengajaran dan pembelajaran di bilik darjah. iii. Mengenal pasti sikap GPI dalam kepenggunaan ICT di sekolah. iv. Mengenal pasti faktor-faktor kekangan kepenggunaan ICT dalam kalangan GPI dalam Pengajaran dan Pembelajaran . v. Mengenalpasti sama ada terdapat hubungan yang signifikan antara faktor pengetahuan, kemahiran dan sikap GPI dalam mata pelajaran pendidikan Islam di sekolah rendah di daerah Tawau dengan jantina guru.

TEORI-TEORI BERKAITAN ICT 1.2 Teori ICT Pada Pandangan Umum

Alvin Tofler (1980) berpendapat bahwa industri elektronik dan komputer sebagai ‘tool of tomorrow ’ merupakan tulang belakang industri dalam era Gelombang ke-3, dan yang akan membawa perubahan besar dalam perekonomian dan sosial politik. Lebih jauh, dia mengemukakan bahawa teknologi komunikasi telah mampu mengurangi transportasi akibat gerakan de-urbanisasi, bahkan telah mendorong berkembangnya hubungan komuniti. Muhammad Uthman El-Muhammady (1998) berpendapat umat Islam perlu bijak menggunakan teknologi maklumat (ICT) untuk meningkatkan imej mereka melalui:

a. mesej kebenaran dan kaedah penumpuan mereka dalam menegakkan kebenaran;

b. pemahaman mereka mengenai dunia, budaya dan ketamadunan pemahaman dan rasa hormat terhadap kemanusiaan dan kebenaran manusia, nilai- nilai serta prinsip-prinsipnya.

1.3 Teori ICT Dalam Pendidikan Menurut George Siemens dan Stephen Downes(1995),Teori Pembelajaran

Connectivisim adalah teori pembelajaran bagi era digital masa kini. Idea membangunkan teori ini adalah berdasarkan analisis mereka terhadap keterbatasan Teori Behaviorisme, Konstruktivisme Dan Kognitism untuk menjelaskan pengaruh teknologi tentang bagaimana kita hidup, bagaimana kita berkomunikasi, dan bagaimana kita belajar. Manakala Donald G. Perrin,(1997), mengatakan Teori Connectivism "menggabungkan elemen-elemen yang relevan dari kebanyakan teori pembelajaran, struktur sosial, dan teknologi untuk mencipta sebuah pembinaan teori yang kuat untuk belajar di era digital ini."

Komunikasi secara maya ini dalah merupakan salah satu faktor sosial dalam teori pembelajaran sosial kognitif yang mana akan mempengaruhi jangkaan pelajar terhadap pembelajaran. Seterusnya dalam teori pembelajaran konstruktivisme, penggunaan ICT akan dapat membina keyakinan dan pelajar

Page 299: Proceeding jilid 2

710

yang mampu untuk belajar sendiri contohnya mencari maklumat dengan melayari internet. Ini secara tidak langsung akan meningkatkan tahap pemikiran kognitif dan melahirkan pelajar yang mahir. KAJIAN LEPAS YANG BERKAITAN

Kajian-kajian lepas yang dilakukan oleh para pengkaji sebelum ini banyak menitik beratkan tentang strategi pengajran serta kaedah-kaedah pengajaran seperti kaedah pembangunan koperatif, penggunaan komputer dan aplikasinya dalam P&P dalam Pendidikan Islam di sekolah. Beberapa kajian yang lepas mempunyai perkaitan dengan kajian penyelidik.

Antaranya ialah kajian Wan Khairuddin Wan Yahya (2006) berkaitan kemahiran dan penggunaan ICT dalam kalangan GPI mendapati masih di tahap sederhana. Tujuan utama kajian beliau ini untuk membincangkan tentang penggunaan ICT guru-guru pendidikan Islam dalam proses pengajaran dan pembelajaran di sekolah-sekolah daerah Rompin, Pahang. Kajian ini telah dijalankan di 14 buah sekolah menengah di daerah Rompin. Seramai 77 orang guru Pendidikan Islam terlibat sebagai responden. Instrumen yang digunakan dalam kajian ini ialah borang soal selidik. Data-data yang diperolehi melalui kajian ini telah dianalisis dengan menggunakan program SPSS for windows (Version 11.0).

Dapatan kajian mendapati tahap penggunaan ICT dalam proses pengajaran pembelajaran berada pada tahap tinggi iaitu 3.8809. Manakala tahap pengetahuan dan kemahiran berada pada tahap sederhana iaitu 3.579 dan 3.3546. Keputusan kajian juga mencatatkan terdapat perbezaan pengetahuan dan kemahiran tentang ICT berdasarkan jantina. Terdapat juga perbezaan antara kemahiran menggunakan ICT berdasarkan pengalaman mengajar. Dapatan kajian juga menjelaskan bahawa terdapat hubungan yang signifikan antara kemahiran dengan pendedahan, penggunaan dan persepsi terhadap ICT.

Aspek demografi berkaitan jantina juga merupakan aspek yang penting dalam membandingkan literasi dan penggunaan ICT. Kajian mengenai komputer dalam pendidikan telah mengambilkira pembolehubah jantina semenjak awal 1980-an. Namun begitu, dapatan kajianmengenai perbezaan jantina adalah tidak konsisten, terutamanya dari segi sikap terhadap penggunaan komputer dan kefahaman ICT. Kajian oleh. Tengku Faekah Bt Tengku Ariffin (2005) yang telah dijalankan ke atas 556 orang pelajar dalam Daerah Kubang Pasu, Kedah, menunjukkan bahawa secara keseluruhannya, pelajar mempunyai sikap yang positif terhadap komputer, tetapi agak rendah tahap kemahiran berkomputer. Pelajar perempuan mempunyai sikap yang lebih positif,berbanding dengan pelajar lelaki, dari segi keyakinan dan persepsi terhadap kepentingan.

METODOLOGI

Metodologi kajian adalah kaedah yang diambil dalam menjalankan sesuatu kajian oleh penyelidik. Kajian ini menggunakan kaedah tinjauan melalui soal selidik. Kaedah tinjauan ini dijalankan di sekolah-sekolah rendah di daerah Tawau, Sabah bagi melihat sikap dan tahap guru-guru pendidikan Islam terhadap penggunaan ICT dalam pengajaran. Kajian tinjauan bermatlamat untuk mengumpulkan maklumat mengenai pemboleh-pemboleh ubah. Sebanyak 25 soalan yang dibahagikan kepada 2 bahagian iaitu 15 soalan bahagian A: 3 item

Page 300: Proceeding jilid 2

711

berdasar kemahiran, pengetahuan dan sikap,dan 10 soalan bahagain B: item soalan berkaitan faktor masalah penggunaan, telah digunakan untuk tujuan penyelidikan ini. Data diproses menggunakan Program SPSS (Statistical Package for Social Science version 17.0). Soal selidik ini mengandungi arahan dan soalan-soalan untuk dijawab oleh semua responden yang terlibat dalam kajian ini. Kesemua data yang diperolehi daripada soal selidik ini akan dianalisis secara kuantitatif.

DAPATAN KAJIAN

Rumusan kajian keseluruhan kajian menunjukkan bahawa tahap literasi guru pendidikan islam ditahap sederhana dan tinggi iaitu berdasarkan dari beberapa analisis yang dihuraikan. Namun item yang mempunyai tahap sederhana masih mendahului seperti yang akan diterangkan. Hasil analisis juga menunjukkan 8 daripada 1 item yang diuji kepada guru-guru pendidikan Islam dalam kajian ini berada pada tahap tinggi. Namun, terdapat 3 item menunjukkan responden bersikap sederhana terhadap penggunaan ICT dalam pengajaran dan pembelajaran.

ANALISIS KESELURUHAN ITEM

Jadual 1 : Taburan Tahap dan min keseluruhan bagi setiap item JENIS ITEM MIN KESELURUHAN TAHAP

Pengetahuan Guru 3.98 Tinggi Kemahiran Guru 3.482 Sederhana

Sikap Guru 3.43 Sederhana Faktor dan Masalah

Penggunaan 3.134 Sederhana

Berdasarkan jadual 1 menunjukkan bahawa pengetahuan guru, min

keseluruhan sebanyak 3.98 berada pada tahap tinggi. Item kemahiran guru pula berada pada tahap sederhana iaitu nilai minnya sebanyak 3.482. Bagi item sikap guru pula menunjukkan min berada pada 3.43,ini juga berada pada tahap sederhana. Item faktor dan masalah penggunaan juga berada di tahap sederhana dengan nilai min sebanyak 3.134. Walaupun aspek masalah penggunaan masih ditahap sederhana, namun beberapa inisiatif perlu di ambil bagi mengurangkan masalah kepenggunaannnya.

Taburan tahap dan min dalam bab empat yang telah diterangkan menunjukkan ,guru-guru pendidikan islam kebanyakan berpengetahuan tinggi iaitu 3.98. Namun bagi item kemahiran,sikap dan faktor rata-rata menunjukkan min sederhana walaupun tidak begitu lemah,masih ditahap literasi yang baik. PERBINCANGAN DAPATAN KAJIAN 1) Tidak terdapat perbezaan yang signifikan antara Pengetahuan ICT guru

Pendidikan Islam sekolah rendah di Daerah Tawau dengan jantina guru. Jadual 2 : Analisis Ujian-t Perbezaan Jantina Aspek Pengetahuan Guru.

Statistik Kumpulan

Jantina N Mean Std.

Deviation Std. Error

Page 301: Proceeding jilid 2

712

Mean

Lelaki

40 4.00 .934 .148

Perempuan 40 3.80 .823 .130 Aras keertiaan α = 0.05

Ujian Levene bagi kesamaan varians yang menunjukkan tidak signifikan (p

= .939 > .05) . Ini menunjukkan kedua jantina guru lelaki dan perempuan mempunyai varians yang sama. Ini bermakna hipotesis nol yang menyatakan bahawa varians bagi kumpulan guru lelaki adalah sama dengan varians bagi kumpulan guru perempuan adalah gagal ditolak. Perbandingan sisihan piawai bagi lelaki ialah 0.934 berbanding perempuan 0.823. Maka hipotesis nol ini ditolak. Ini bermakna tidak terdapat perbezaan signifikan antara jantina guru dengan pengetahuan guru.

Oleh kerana keputusan Ujian-t menunjukkan nilai signifikan 0.039 maka dengan ini dirumuskan bahawa tidak dapat perbezaan yang signifikan antara jantina guru dengan pengetahuan guru GPI di sekolah rendah di daerah Tawau, Sabah. Berdasarkan Jadual 3, didapati pengetahuan guru Pendidikan Islam terhadap penggunaan ICT dalam pengajaran mereka berada pada tahap yang tinggi dan varians yang sama min antara jantina iaitu, lelaki 4.00 dan min guru perempuan 3.80.

Analisis ini menunjukkan bahawa kedua aspek jantina responden bersikap positif terhadap pengetahuan ICT. Kesedaran antara kedua jantina dalam menggunakan ICT ini berpunca dari pengetahuan mereka didalam ICT. Responden memilih pandangan bahawa ICT memberi kesan impak yang besar kepada bidang pendidikan disamping memudahkan bebanan kerja dalam menghasilkan sesuatu yang sukar.

2) Tidak terdapat perbezaan yang signifikan antara Kemahiran ICT Guru

Pendidikan Islam sekolah rendah di daerah Tawau dengan jantina guru.

Jadual 3 : Analisis Ujian-t Perbezaan Jantina Aspek Kemahiran Guru Statistik Kumpulan

Jantina N Mean Std.

Deviation

Std. Error Mean

Lelaki 1 40 3.43 .984 .156 Perempuan 2 40 3.55 .876 .138

Independent Samples Test

.006 .939 1.016 78 .313 .200 .197 -.192 .592

1.016 76.784 .313 .200 .197 -.192 .592

Equal variancesassumedEqual variancesnot assumed

markahF Sig.

Levene's Test forEquality of Variances

t df Sig. (2-tailed)Mean

DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper

95% ConfidenceInterval of theDifference

t-test for Equality of Means

Page 302: Proceeding jilid 2

713

Aras keertiaan α = 0.05

Ujian Levene bagi kesamaan varians yang menunjukkan tidak signifikan (p

= .537 > .05) . Ini menunjukkan kedua jantina guru lelaki dan perempuan mempunyai varians yang sama. Ini bermakna hipotesis nol yang menyatakan bahawa varians bagi kumpulan guru lelaki adalah sama dengan varians bagi kumpulan guru perempuan adalah gagal ditolak. Maka hipotesis nol ini ditolak. Ini bermakna tidak terdapat perbezaan signifikan antara jantina guru dengan kemahiran guru. Perbandingan sisihan piawai bagi lelaki ialah 0.984 berbanding perempuan 0.876.

Oleh kerana keputusan Ujian-t menunjukkan nilai signifikan 0.537 maka dengan ini dirumuskan bahawa tidak dapat perbezaan yang signifikan antara jantina guru dengan pengetahuan guru GPI di sekolah rendah di daerah Tawau, Sabah. Merujuk kepada Jadual 5.2, min keseluruhan bagi konstruk pengetahuan yang dihadapi oleh para guru dalam penggunaan komputer adalah 3.49. Hasil dapatan ini menunjukkan guru-guru tidak mengalami masalah yang serius untuk menggunakan komputer dalam pengajaran mereka.

Dapatan ini selaras dengan dapatan yang diperolehi oleh Muhamad Ridzuan (2006) terhadap guru-guru di sekolah menengah daerah Yan, Kedah. Dalam kajiannya menunjukkan bahawa guru-guru tidak mengalami masalah yang serius untuk menggunakan komputer dalam P&P . 3) Tidak terdapat perbezaan yang signifikan antara Sikap Guru Pendidikan Islam

sekolah rendah di daerah Tawau dalam ICT dengan jantina guru. Jadual 4 : Analisis Ujian-t Perbezaan Jantina Aspek Sikap Guru

Statistik Kumpulan

Jantina N Mean Std.

Deviation

Std. Error Mean

Lelaki 1 40 3.40 1.081 .171 Perempuan 2 40 3.43 .903 .143

Aras keertiaan α = 0.05

Independent Samples Test

.385 .537 -.600 78 .550 -.125 .208 -.540 .290

-.600 76.958 .550 -.125 .208 -.540 .290

Equal variancesassumedEqual variancesnot assumed

markahF Sig.

Levene's Test forEquality of Variances

t df Sig. (2-tailed)Mean

DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper

95% ConfidenceInterval of theDifference

t-test for Equality of Means

Independent Samples Test

1.625 .206 -.112 78 .911 -.025 .223 -.468 .418

-.112 75.587 .911 -.025 .223 -.469 .419

Equal variancesassumedEqual variancesnot assumed

markahF Sig.

Levene's Test forEquality of Variances

t df Sig. (2-tailed)Mean

DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper

95% ConfidenceInterval of theDifference

t-test for Equality of Means

Page 303: Proceeding jilid 2

714

Ujian Levene bagi kesamaan varians yang menunjukkan signifikan (p = .206 > .05) . Ini menunjukkan kedua jantina guru lelaki dan perempuan mempunyai varians yang sama. Ini bermakna hipotesis nol yang menyatakan bahawa varians bagi kumpulan guru lelaki adalah sama dengan varians bagi kumpulan guru perempuan adalah gagal diterima. Maka hipotesis nol ini diterima. Ini bermakna tidak terdapat perbezaan signifikan antara jantina guru dengan sikap guru.

Oleh kerana keputusan Ujian-t menunjukkan nilai signifikan 0.206 maka dengan ini dirumuskan bahawa tidak terdapat perbezaan yang signifikan antara jantina guru dengan sikap guru GPI di sekolah rendah di daerah Tawau, Sabah. Berdasarkan Jadual 3, didapati sikap guru Pendidikan Islam terhadap penggunaan ICT dalam pengajaran mereka berada pada tahap yang tinggi dan hampir sama min antara jantina iaitu, lelaki 3.40 dan min guru perempuan 3.43.

Analisis ini menunjukkan bahawa responden bersikap positif terhadap penggunaan ICT. Kesedaran antara kedua jantina dalam menggunakan ICT adalah tinggi menandakan ICT sebagai sumber pencarian maklumat yang berkesan. Disamping itu responden kedua jantina berasa selesa untuk mempelajari kemahiran komputer dan mereka menunjukkan Sikap dan minat yang tinggi dengan min 3.45 terhadap penggunaan komputer di dalam kelas. 4) Tidak terdapat perbezaan yang signifikan antara Masalah Penggunaan ICT Guru Pendidikan Islam sekolah rendah di daerah Tawau dengan jantina guru.

Jadual 5 : Analisis Ujian-T Perbezaan Jantina Aspek Masalah Penggunaan dikalangan Guru

Statistik Kumpulan

Jantina N Mean Std.

Deviation

Std. Error Mean

Lelaki 1 40 3.10 1.172 .185 Perempuan 2 40 3.05 1.061 .168

Aras keertiaan α = 0.05

Ujian Levene bagi kesamaan varians yang menunjukkan signifikan (p = .475

> .05) . Ini menunjukkan kedua jantina guru lelaki dan perempuan mempunyai varians yang sama. Ini bermakna hipotesis nol yang menyatakan bahawa varians bagi kumpulan guru lelaki adalah sama dengan varians bagi kumpulan guru perempuan adalah gagal diterima.

Maka hipotesis nol ini diterima. Ini bermakna tidak terdapat perbezaan signifikan antara jantina guru dengan sikap guru. Perbandingan sisihan piawai bagi lelaki ialah 1.172 berbanding perempuan 1.061. Oleh kerana keputusan

Independent Samples Test

.514 .475 .200 78 .842 .050 .250 -.448 .548

.200 77.236 .842 .050 .250 -.448 .548

Equal variancesassumedEqual variancesnot assumed

markahF Sig.

Levene's Test forEquality of Variances

t df Sig. (2-tailed)Mean

DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper

95% ConfidenceInterval of theDifference

t-test for Equality of Means

Page 304: Proceeding jilid 2

715

Ujian-t menunjukkan nilai signifikan 0.206 maka dengan ini dirumuskan bahawa tidak terdapat perbezaan yang signifikan antara jantina guru dengan sikap guru GPI di sekolah rendah di daerah Tawau, Sabah.

Dalam ujian-t yang telah dianalisis menunjukkan tidak begitu jauh perbezaan pengetahuan,namun dari aspek kemahiran dan sikap di antara jantina lelaki dan perempuan menunjukkan sisihan piawai lebih tinggi dikalangan lelaki iaitu 1.081 dalam aspek sikap dan 1.172 dalam aspek penggunaan berbanding 0.903 dan 1.061 jantina perempuan. Daripada hasil kajian ini seharusnya pihak guru perlu memperlengkapkan diri dengan pengetahuan dan kemahiran komputer dan bahan ICT yang lain sebagai sumber yang mencukupi agar pengajaran dan pembelajaran mereka lebih baik, berkesan dan menarik minat murid.

Kesimpulan daripada dapatan kajian ini menunjukkan bahawa guru-guru mempunyai minat tinggi dalam menggunakan komputer, menggunakan internet sebagai medium maklumat dan sedia meningkatkan pengetahuan dan kemahiran ICT melalui pelbagai usaha ke arah meningkatkan profesionalisme keguruan. CADANGAN KAJIAN

Berdasarkan dapatan kajian ini, pengkaji mengemukakan beberapa cadangan yang boleh dipertimbangkan oleh pihak-pihak berkenaan. Antaranya ialah;

a) Guru Pendidikan Islam seharusnya meningkatkan kualiti pengajarannya dengan menggunakan pendekatan pengajaran terkini seperti penggunaan komputer dalam pengajaran, di samping menerapkan nilai-nilai murni semasa pengajaran bagi menyahut seruan kerajaan untuk melahirkan anak didik yang berwawasan dan berdisiplin tinggi.

b) Sikap malas,sambil lewa dan tidak kreatif perlu dibuang oleh GPI bagi menerapkan kefahaman celik ICT dan menimbulkan situasi p&p yang lebih menarik dan berkesan.

c) Dicadangkan kepada Kementerian Pendidikan bersama dengan pereka atau pembangun perisian multimedia, untuk mata pelajaran Pendidikan Islam sekolah Bestari, melakukan lebih banyak kajian-kajian lain yang seumpamanya bagi memperkemaskan dan mempertingkatkan lagi keberkesanan perisian multimedia berkaitan. Dicadangkan juga, isi kandungan dan gaya persembahan perisian multimedia untuk mata pelajaran Pendidikan Islam sekarang dikukuhkan lagi dengan ciri-ciri yang berupaya menimbulkan rasa ingin tahu atau perasaan untuk menjelajah dengan lebih mendalam lagi isi kandungan perisian Pendidikan Islam yang digunakan.

d) Pihak pentadbir dan ahli jawatankuasa yang dilantik sekolah perlu peka dan prihatin terhadap penyediaan prasarana atau kemudahan yang cukup kepada makmal komputer terutamanya dalam melengkapkan makmal dengan carta organisasi,senarai tugas,panduan keselamatan dan kemudahan tertentu.

e) Guru-guru Pendidikan Islam juga seharusnya bijak mengintegrasikan penggunaan multimedia dan juga bahan bercetak di dalam pengajaran dan pembelajaran Pendidikan Islam di sekolah. Guru juga tidak seharusnya menggunakan perisian multimedia seratus peratus di dalam pengajaran dan

Page 305: Proceeding jilid 2

716

pembelajaran Pendidikan Islam walaupun perisian itu mempunyai suara, gambar, dan bersifat interaktif serta berkeupayaan mengambil alih tugas guru Pendidikan Islam ketika pembelajaran Pendidikan Islam sedang berlangsung. Oleh itu, guru perlulah bijak merancang dengan teliti pengajaran dan pembelajaran Pendidikan Islam apabila melibatkan penggunaan perisian multimedia. Nescaya, pembelajaran Pendidikan Islam akan menjadi suatu pembelajaran yang indah, menyeronokkan, efektif, dan penuh bermakna. Ini seterusnya akan menanamkan perasaan atau semangat minat terhadap mata pelajaran Pendidikan Islam di dalam diri seseorang pelajar itu.

RUMUSAN

Kajian ini merupakan kesinambungan kajian-kajian lepas yang bertujuan menyokong, mendalami dan seterusnya berkemungkinan menjawab serta memberi gambaran tambahan tentang literasi ICT khususnya di dalam pengajaran dan pembelajaran Pendidikan Islam dalam pengajaran dan pembelajaran. Secara khusus, penggunaan multimedia interaktif oleh guru di dalam pengajaran dan pembelajaran Pendidikan Islam, ianya merupakan satu inovasi di dalam cara memperolehi sesuatu ilmu pengetahuan atau menyebarkannya. Kajian ini juga sebenarnya ingin memperlihatkan bagaimana penggunaan multimedia interaktif digunakan peranannya, khususnya di dalam pengajaran dan pembelajaran Pendidikan Islam yang sememangnya mencabar.

Kesimpulan daripada hasil dapatan kajian ini mendapati kekuatan dan keberkesanan suatu pengajaran khasnya mata pelajaran pendidikan islam adalah bergantung kepada persiapan guru dari aspek pengetahuan, kemahiran , sikap guru dan kualiti pengajaran guru. Hubungkait di antara keempat-empat elemen ini penting dalam menentukan pencapaian murid. Oleh kerana bidang Pendidikan Islam ada melibatkan perkara yang abstrak atau sukar diterangkan dengan ucapan praktikal, jadi mustahak bagi guru pendidikan Islam menguasai kemahiran ini tanpa mengira latar jantina. Pengajaran secara teori sahaja sudah tentulah tidak dapat memberikan kesan atau kefahaman yang maksimum kepada murid. Guru-guru tidak seharusnya melihat persepsi murid sebagai satu perkara yang remeh-temeh, sebaliknya perlu memberikan perhatian yang serius dan dapat menjadikannya satu panduan untuk membuat penambah baikan dalam keempat-empat aspek yang dinilai iaitu pengetahuan, kemahiran, sikap dan masalah penggunaan ICT untuk guru. DAFTAR RUJUKAN Ab.Halim Tamuri, Adnan Yusop, Kamisah Osman,Shahrin Awaluddin & Khadijah

Abd.Razak (2004). Keberkesanan Kaedah P&P Pendidikan Islam ke atas Pembangunan Diri Pelajar. Projek Penyelidikan GG002/04. Fakulti Pendidikan,Universiti Kebangsaan Malaysia.

Afifah Hamdzah (2005). Pola Penerimaan Komputer di Kalangan Kakitangan Organisasi Awam: Kajian Kes Kakitangan Teknikal Majlis Perbandaran Kuantan. Tesis Sarjana, Universiti Sains Malaysia, Pulau Pinang.

Ahmad Rashid bin Osman. Tinjauan Sejauh Manakah Komputer Digunakan Di Kalangan Guru-guru Sekolah Menengah Di Johor Bahru. Tesis Sarjana. UTM;2003

Page 306: Proceeding jilid 2

717

Ahmad Mohd. Salleh (2004) Pendidikan Islam: Falsafah, Sejarah dan Kaedah Pengajaran Pembelajaran. Shah Alam. Fajar Bakti Sdn. Bhd.

Azizi Yahaya, Shahrin Hashim, Jamaludin Ramli, Yusof Boon dan Abdul Rahim Hamdan (2006). Menguasai Penyelidikan Dalam Pendidikan. Kuala Lumpur: PTS Professional Publishing Sdn. Bhd

Azwan Ahmad, Abdul Ghani Abdullah, Mohammad Zohir Ahmad & Abd. Rahman Hj. Abd. Aziz (2005). Kesan Efikasi Kendiri Guru Sejarah Terhadap Amalan Pengajaran Berbantukan Teknologi Maklumat Dan Komunikasi (ICT). Jurnal Penyelidikan Pendidikan. Bahagian Perancangan & Penyelidikan Dasar Pendidikan.

Baharuddin Aris, Noraffandy Yahaya, Jamaludin Hj. Harun & Zaidatun Tasir (2000). Teknologi Pendidikan. Jabatan Multimedia Pendidikan, Fakulti Pendidikan UTM.

Bahagian Dakwah Dan Kepimpinan Jabatan Pendidikan Islam dan Moral. (2005). Kursus Khas Guru Pendidikan Islam Fasa 3. Kementerian Pelajaran Malaysia

Becker, W.E. & Watts, M. (1996). Chalk and Talk: A National Survey on Teaching Undergraduate Economics. American Economic Review, 86(2) 448-453.

Faridah Mohamed. Sikap Dan Persepsi Terhadap Komputer di Kalangan Guru-guru Pelatih Di Maktab Perguruan Temenggong Ibrahim, Johor Bahru. Tesis Ph.D UTM; 1993.

J. Noraien Mansor (1999), Tahap Pengetahuan dan Penggunaan Internet Dalam Mencari Maklumat di Kalangan Pelajar Tingkatan 4 di Sekolah-sekolah Menengah di Kuantan, Tesis Sarjana Sains Pendidikan, Universiti Putra Malaysia.

Johan @ Eddy Luaran. Kajian Terhadap Kemahiran dan Aras Keyakinan Guru Terhadap Aplikasi Teknologi Maklumat dan Komunikasi (ICT) Dalam Proses Pengajaran dan Pembelajaran Di Sek. Men. Di Daerah Kudat. Tesis Sarjana. UTM; 2005

Long, Larry E. (2004), Computers: Information Technology in Perspective, 11th

ed. New Jersey: Pearson Education Inc.

Mohd Arif Ismail dan Rosnaini Mahmud (2003). Teknologi Maklumat Dan Komunikasi Di Sekolah : Isu Dan Cabaran. Prosiding Seminar Aliran Terkini Teknologi Maklumat dan Komunikasi (ICT),1-18.

Mohd. Izham Mohd. Hamzah, Zamalul Lail Abdul Wahab dan Siti Rodzila Sheikh Ghadzi (2001). Penggunaan Perisian Pengajaran Dan Pembelajaran Berbantu Komputer Di Kalangan Guru Sains KBSM di Sekolah Bestari.UKM.

Mohd. Majid Konting (1994). Kaedah Penyelidikan Pendidikan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Mona Masood dan Nor Azilah Ngah (2004). Kedudukan Pelbagai Teknologi Dalam Pengajaran Dan Pembelajaran Pada Peringkat Sekolah Rendah: Satu Penilaian Semula. Prosiding Konvensyen Persatuan Teknologi Pendidikan Malaysia kali ke 16. Hotel City Bayview, Melaka pada 13-16 Jun.

Muhammad Uthman El-Muhammady (1998), The Muslim Society As An Information Society, Islam and Development in Asia, Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM).

Pusat Perkembangan Kurikulum (2001), Penggunaan Teknologi Maklumat dan Komunikasi (ICT) dalam Pendidikan. Kementerian Pendidikan Malaysia.

Page 307: Proceeding jilid 2

718

Rancangan Malaysia Ke-9 (2006). Pelan Induk Pembangunan Pendidikan (2006- 2010).Kementerian Pelajaran Malaysia.

Rozinah Jamaludin (2000).”Asas-Asas Multimedia Dalam Pendidikan”. Kuala Lumpur :Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd.

Siti Kasma Yaacob (2005), The Perception of SAR’s Student on Science and Technology: A case study at Sekolah Agama Rakyat Al-Ihsan, Tanah Merah, Kelantan. Laporan Projek Ilmiah, Fakulti Kepimpinan dan Pengurusan, Kolej Universiti Islam Malaysia. Jun 2003: 123-127

Zaradi Sudin & Rozita Md Noh. (2003). Penggunaan Komputer dalam Pengajaran Pendidikan Islam. Prosiding Wacana Pendidikan Islam (Siri 3). Perkaedahan Pengajaran Pendidikan Islam:Antara Tradisi dan Inovasi. Universiti Kebangsaan Malaysia.

Engkizar Bin Martias (2010).Pengtingnya Integrasi ICT Dalam Proses Pengajaran Dan Pembelajaran Pendidikan Islam. http://engkizarquran.wordpress.com/2010/04/15/pengtingnya-integrasi-ict-dalam-proses-pengajaran-dan-pembelajaran-pendidikan-islam/

Intan Melati Binti Ismail (2005).Literasi Komputer Dalam Pendidikan Awal Kanak-Kanakwww.mpbl.edu.my/inter/penyelidikan/seminarpapers/2005/rahimiUM.pdf

Dave Marshall (2001) .What is Multimedia? http://www.cs.cf.ac.uk/Dave/Multimedia/node10.html Krejcie, Robert V., Morgan, Daryle W., “Determining Sample Size for Research Activities”, Educational and Psychological Measurement, 1970

www.fns.usda.gov/fdd/processing/info/SalesVerificationTable.doc Wan Khairuddin Bin Wan Yahya (2006).Penggunaan Ict Di Kalangan Guru

Pendidikan Islam : Kajian Di Sekolah-Sekolah Menengah Daerah Rompin. www.gemaislam.net/.pendidikanislam/penggunaan_ict_dikalangan_guru_pendidikan islam_kajian_disekolah_sekolah_menengah_daerah_rompin

Melvina Chung Hui Ching & Jamaludin Badusah (2010).Sikap Guru Bahasa Melayu terhadap Penggunaan Teknologi Maklumat dan Komunikasi (ICT) dalam Pengajaran di Sekolah-sekolah Rendah di Bintulu, Sarawak. http://pkukmweb.ukm.my/~jurfpend/volume35%20pdf/Teknologi%20Maklumat%20dan%20Komunikasi%20IT%20dalam%20Pengajaran%20Di%20Sekolah-Sekolah%20Rendah%20di%20Bintulu,Sarawak.pdf

Pengintegrasian Kandungan Bahan-Bahan Berasaskan ICT Didalam Pengajaran Dan Pembelajaran Pendidikan Islam (2007). Kementerian Pendidikan Malaysia Http://Msc.Motionworks.Com.My/Codenavia/Portals/Msc/Images/Img/Rakyat/Empower_Your_Life/Empowering_Learning/Ictislam.Pdf

Prof. Madya Ajmain Safar,Hishamuddin Bin Alham &Mohd Ismail Bin Mustari (2008). Perisian Bbm Subjek Akidah Pendidikan Islam SPM. Error! Hyperlink reference not valid.http://Eprints.Utm.My/2846/1/75194.Pdf

Norazamudin Umar TUITION IN ARABIC (2005).Pengajaran Dan Pembelajaran Bahasa Arab Menggunakan Ict di Maktab Sabah http://www.btpnsabah.edu.my/index.php/kajian-tindakan

Tengku Faekah Bt Tengku Ariffin.Gender Differences In Computer Attitudes And Skills.Jurnal Pendidikan 30 (2005) 75-91 http://pkukmweb.ukm.my/~jurfpend/journal/vol 30 2005/full article 30 2005/artikel 30_5.pd

Page 308: Proceeding jilid 2

719

MENGEKSPLORASI PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA CALON GURU MELALUI BLENDED LEARNING

Suci Utami Putri & Yuyu Hendawati

Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Purwakarta E-mail: [email protected]

Abstract The aims of this study are to improve the mastery of science concept and the ability to design science learning of preservice teachers through blended learning in elementary science education course. This study involved 39 preservice teachers taking Elementary Science Education course at the University Education of Indonesia at Purwakarta. The method used are pre-experimental design with one group pretest-posttest. This research used test related with Plant Physiology and Anatomy and also Earth and Space topic to examine the mastery of science concept. In addition, rubric was used to evaluate the lesson design. The results showed that there are significant differences between the mastery of concepts and the ability of the students in designing science lesson plans before and after the implementation of the elementary science education lecture-based blended learning. Keyword: Blended learning, science education, preservice teachers PENDAHULUAN

Dalam pembelajaran sains, penguasaan terhadap konten dan strategi pembelajaran adalah syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang guru karena kombinasi antara kedua pengetahuan tersebut dapat menunjang suatu keberhasilan belajar siswa yang dihadapinya. Dengan penguasaan konten dan strategi pembelajaran yang baik, guru akan mampu mengembangkan dan melaksanakan suatu pembelajaran yang sesuai dengan hakikat IPA serta karakteristik peserta didiknya. Watters & Ginns (1995) yang menyatakan bahwa bagaimana cara guru melaksanakan pembelajaran sains di sekolah dasar dipengaruhi oleh pengetahuan guru tersebut terhadap konten sains dan isu-isu di dalam mengajar sains.

Penguasaan terhadap kedua pengetahuan ini juga ditegaskan dengan kuat dalam UU No. 14 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa seorang guru profesional harus memiliki empat kompetensi yang terdiri dari kompetensi pedagogi, profesional, kepribadian dan sosial. Hal senada juga dikemukakan oleh Uzer Usman (2011) membagi kompetensi guru menjadi dua kompetensi utama yang terdiri dari kompetensi pribadi dan kompetensi profesional. Kompetensi pribadi menurut Uzer Usman merupakan kompetensi yang berhubungan dengan kemampuan guru dalam mengembangkan kepribadiannya yang berkaitan dengan keimanan & ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat di lingkungan sekitar serta aktif dalam melaksanakan pembimbingan, penyuluhan, serta penelitian untuk keperluan pengajaran sedangkan kompetensi profesional berhubungan dengan penguasaan landasan pendidikan, penguasaan bahan pengajaran, menyusun dan

Page 309: Proceeding jilid 2

720

melaksanakan program pembelajaran serta menilai proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan.

Berdasarkan hasil observasi pendahuluan mengenai penguasaan konsep IPA mahasiswa calon guru sekolah dasar tingkat akhir, ditemukan bahwa penguasaan konsep mahasiswa terhadap IPA masih berada pada tingkat yang rendah terutama berkaitan dengan matri Sistem Organ Tubuh Manusia, Alat Indera, Cahaya Bunyi, Tumbuhan dan Tata Surya. Selain itu, kemampuan mahasiswa calon guru dalam merancang RPP IPA untuk sekolah dasar sebagian besar masih menggunakan pendekatan, metode atau model pembelajaran yang konvensional. Kedua hasil observasi tersebut menggambarkan bahwa program perkuliahan pendidikan IPA belum mampu untuk membekali mahasiswa calon guru agar dapat melaksanakan tugasnya secara profesional. Selain itu, pembagian mahasiswa menjadi beberapa konsentrasi bidang ilmu menyebabkan terjadinya perbedaan penguasaan pengetahuan IPA pada mahasiswa yang memilih konsentrasi IPA dengan mahasiswa yang memilih konsentrasi non sains.

Jika kondisi yang terjadi seperti yang telah diuraikan di atas dibiarkan, maka calon guru sekolah dasar akan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan karakteristik pembelajaran IPA untuk sekolah dasar. Oleh karena itu, perlu adanya program perkuliahan yang fokus pada pencapaian pengetahuan pedagogi dan bidang ilmu yang terjadi secara terintegrasi dan berkesinambungan. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu dengan cara menerapkan model perkuliahan blended learning. pada perkuliahan Pendidikan IPA SD yang bertujuan untuk meningkatkan penguasaan konsep mahasiswa terhadap konsep IPA dan meningkatkan kemampuan merancang pembelajaran IPA untuk sekolah dasar.

Blended learning dapat didefiniskan sebagai suatu model pembelajaran yang mengombinasikan antara berbagai macam pendekatan pembelajaran, lingkungan belajar dan metode belajar yang dapat menunjang keberhasilan pembelajaran yang bersifat tradisional (Marsh, 2012: 3). Selanjutnya menurut Bath dan Bourke (2010: 1-3) menyatakan bahwa pada awalnya blended learning itu merupakan strategi pembelajaranyang memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk belajar mandiri dengan menggunakan sumber belajar cetak sebelum mereka memasuki sesi belajar tatap muka reguler di kelas, namun sekarang definisi blended learning kini telah berkembang menjadi suatu model pembelajaran yang mengintegrasikan ICT dalam suatu sistem pembelajaran yang mencakup tahapan kegiatan belajar mandiri dan tatap muka. Blended learning merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang mengombinasikan antara pertemuan tatap muka (in-class session) dengan pembelajaran secara online sebagai upaya untuk menggabungkan keunggulan dari kedua jenis metode yang digunakan (Reay, 2001; Rooney, 2003).

Penggunaan blended learning dalam perkuliahan dapat digunakan untuk menunjang pembelajaran yang bersifat tatap muka, berpeluang untuk meningkatkan aktivitas belajar pada kelompok kecil maupun kelompok besar, self-directed learning, serta dapat meningkatkan komunikasi diantara pembelajar dan instruktur (Bath & Bourke, 2010: 4). Selain itu, menurut Singh & Reed (2001: 2) menyatakan bahwa fokus dari penerapan blended learning adalah untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan pembelajaran dengan cara menerapkan teknologi pembelajaran yang tepat yang disesuaikan dengan cara belajar dari individu pembelajar untuk merangsang sejumlah keterampilan yang tepat.

Page 310: Proceeding jilid 2

721

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka blended learning dianggap memiliki potensi untuk mengambangkan sejumlah potensi akademik pembelajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, penerapan blended learning dalam perkuliahan pendidikan IPA SD dapat mengubah kultur akademik mahasiswa sehingga mampu meningkatkan penguasaan konsep sebagai salah satu indikator kompetensi profesional dan kemampuan merancang pembelajaran IPA sebagai salah satu indikator kompetensi pedagogi. Untuk membuktikan hal ini, maka perlu dilakukan penelitian tentang penerapan blended learning dalam perkuliahan Pendidikan IPA Kelas Tinggi untuk mengeksplorasi prestasi akademik mahasiswa. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian pre-experimental dengan design the one-group pretest-postest design (Best, 1978). Penelitian hanya menggunakan satu kelompok yang terdiri dari 39 orang mahasiswa calon guru sekolah dasar yang mengontrak mata kuliah Pendidikan IPA SD. Perkuliahan Pendidikan IPA SD ini akan mengadopsi blended learning yang mengombinasikan sistem belajar mandiri dan sistem belajar tatap muka. Pada sistem belajar mandiri, mahasiswa akan mempelajari konsep IPA pada topik Anatomi Fisiologi Tumbuhan serta Bumi dan Antariksa secara offline dengan menggunakan multimedia interaktif dan online dengan menggunakan edmodo. Pada sesi online, mahasiswa akan difasisilasi dengan forum diskusi, tanya jawab dan penugasan. Salah satu Tugas yang diberikan pada saat belajar online yaitu membuat RPP IPA untuk kelas tinggi di sekolah dasar. RPP ini kemudian dianalisis dan dievaluasi pada saat belajar tatap muka yang diselenggarakan setelah kegiatan belajar mandiri selesai dilaksanakan. Perkuliahan Pendidkan IPA SD berbasis blended learning ini akan dilaksanakan sebanyak dua tahap blended yang terdiri dari: 1) blended 1 (sesi belajar mandiri dan tatap muka pada topik Anatomi Fisiologi Tumbuhan); dan 2) blended 2 (sesi belajar mandiri dan tatap muka pada topik Bumi dan Antariksa). Instrumen penelitian yang digunakan yaitu soal penguasaan konsep dan rubrik penilaian RPP IPA yang digunakan pada saat pretes dan postes yang dilakukan sebelum dan setelah perkuliahan dilaksanakan. Soal tes penguasaan konsep dikembangkan berdasarkan hasil analisis uji coba dan revisi sedangkan rubrik penilaian RPP IPA diadopsi dari format penilaian rencana pengajaran menurut Uzer Usman (2011). Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menghitung nilai rata-rata pretes dan postes dan penghitungan statistik menggunakan uji-t. HASIL PENELITIAN 1. Penguasaan Konsep Mahasiswa a. Nilai rata-rata penguasaan konsep

Page 311: Proceeding jilid 2

722

Gambar 1. Nilai rata-rata pretes dan postes

Berdasarkan gambar di atas, terdapat peningkatan antara nilai pretes danpostes mahasiswa pada topik Anatomi Fisiologi Tumbuhan serta Bumi danAntariksa. Peningkatan ini menunjukkan bahwa penerapan blended learning padaperkuliahan Pendidikan IPA SD khususnya pada pertemuan tentang topik AnatomiFisiologi Tumbuhan serta Bumi dan Antariksa memberikan kontribusi positifterhadap penguasaan konsep mahasiswa. Peningkatan nilai rata-rata pretes danpostes ini tidak dapat dijadikan dasar yang kuat untuk menyimpulkan bahwapenguasaan konsep mahasiswa sebelum perkuliahan berbeda signifikan dengansetelah perkuliahan. Untuk menghitung perbedaan signifikan antara nilai rata-ratapretes dan postes, selanjutnya dilakukan uji-t dengan hasil sebagai berikut. b. Analisis uji-t

Tabel 1. Hasil analisis uji-t nilai penguasaan konsep mahasiswa No. Topik p-value α Ket 1. Anatomi Fisiologi Tumbuhan 0,000 0,05 Signifikan 2. Bumi dan Antariksa 0,000 0,05 Signifikan

Nilai p-value pada kedua topik IPA yang dikaji adalah 0,000 yaitu lebih kecil

dari nilai α = 0,05, hal ini berarti Ho ditolak dan Ha diterima yang artinya terdapatperbedaan signifikan antara nilai rata-rata penguasaan konsep mahasiswasebelum perkuliahan dengan setelah perkuliahan Pendidikan IPA SD denganmenggunakan blended learning. 2. Kemampuan merancang pembelajaran IPA a. Nilai rata-rata kemampuan merancang pembelajaran IPA

Anfistum Bumi dan Antariksa

283737

84

Pretes Postes

Page 312: Proceeding jilid 2

723

Gambar 2. Perbedaan nilai rata-rata pretes dan postes kemampuan

merancang RPP IPA

Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa kemampuan merancang RPP IPA mahasiswa calon guru sekolah dasar mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Perbedaan berdasarkan hasil penghitungan nilai rata-rata ini tidak dapat dijadikan dasar yang kuat untuk menyimpulkan bahwa penerapan blended learning pada perkuliahan Pendidikan IPA SD berpengaruh signifikan terhadap kemampuan merancang pembelajaran IPA mahasiswa. Oleh karena itu, penghitungan terhadap data ini dilanjutkan dengan melakukan analisis uji-t. b. Hasil analisis uji-t

Tabel 2. Hasil analisis uji-t nilai penguasaan konsep mahasiswa Aspek p-value α Ket Kemampuan merancang RPP IPA 0,000 0,05 Signifikan

Hasil pada tabel di atas menunjukkan bahwa nilai p-value (0,000) lebih kecil dari α = 0,05, yang artinya bahwa Ho ditolak dan Ha diterima atau dapat dimaknai bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kemampuan merancang pembelajaran IPA mahasiswa sebelum dengan setelah perkuliahan pendidikan IPA SD dengan menggunakan blended learning. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa penerapan blended learning pada perkuliahan Pendidikan IPA SD memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan mahasiswa dalam merancang pembelajaran IPA untuk jenjang sekolah dasar. SIMPULAN

Penerapan blended learning pada perkuliahan Pendidikan IPA SD bagi mahasiswa calon guru terbukti efektif dalam meningkatkan penguasaan konsep dan kemampuan merancang pembelajaran IPA. Peningkatan kedua aspek ini dapat menunjang tercapainya profesionalisme calon guru sebagai outcome dari hasil program persiapan calon guru di pendidikan tinggi. Peningkatan aspek penguaasaan konsep dan kemampuan merancang pembelajaran IPA ini dapat terjadi karena pada perkuliahan Pendidikan IPA, mahasiswa diberikan kesempatan lebih banyak belajar mengenai konten IPA yang dianggap sulit melalui multimedia interaktif yang ditindak lanjuti dengan forum diskusi serta tanya jawab secara online.

Pretes Postes

50

87

Page 313: Proceeding jilid 2

724

Melalui multimedia interaktif, mahasiswa dapat mempelajari topik Anatomi Fisiologi Tumbuhan serta Bumi dan Antariksa melalui penyajian gambar, animasi serta narasi teks dan audio. Elemen-elemen multimedia tersebut dapat membantu mahasiswa memahami konsep IPA yang dirasa sulit karena terlihat lebih konkret dan mudah untuk diamati. Hal ini didukung oleh pendapat Thoman dan Jolls (2004) yang menyatakan bahwa penggunaan multimedia dalam pembelajaran sains yaitu dapat membantu memvisualisasikan konsep-konsep dan gagasan-gagasan yang bersifat ilmiah serta dapat menghubungkan pengguna dengan konsep-konsep yang berhubungan dengan objek yang sulit diamati dan diakses sehingga pembelajar menjadi lebih aktif yang akan merangsang untuk berkembangnya keterampilan berpikir kritis, memecahkan masalah dan keterampilan abad 21. Dari pendapat ini, dapat disimpulkan bahwa penggunaan multimedia pada pembelajaran sains berpotensi untuk mengembangkan banyak aspek hasil belajar yang diharapkan. Oleh karena itu, penggunaan multimedia interaktif dapat direkomendasikan untuk digunakan sebagai suplemen pembelajaran yang strategis sebagai upaya mencapai tujuan pembelajaran sains yang sesuai dengan hakikat sains itu sendiri.

Aktivitas belajar online yang dirancang dalam perkuliahan ini juga bermanfaat bagi mahasiswa untuk memperdalam pengetahuan tentang konten IPA. Adanya forum diskusi dan tanya jawab akan meminimalisir munculnya rasa terisolasi pada diri pembelajar dan dapat mengakomodir kebutuhan interaksi sosial antara sesama pembelajar maupun dengan dosen atau instruktur ketika aktivitas belajar berjalan. Melalui sesi belajar online, mahasiswa diberikan kesempatan untuk mengajukan pendapat, berbagi informasi yang relevan serta mengajukan pertanyaan dengan bebas namun tetap harus memperhatikan norma-norma yang berlaku. Hal ini sesuai dengan pendapat Arkorful dan Abaidoo (2014) yang menegaskan bahwa forum diskusi online dapat meminimalisir garis pembatas yang dapat berpotensi untuk menciutkan keinginan mahasiswa untuk berpartisipasi secara aktif karena adanya rasa takut atau tidak percaya diri ketika berkomunikasi dnegan pembelajar yang lain. Lebih lanjut lagi, Arkorful dan Abaidoo mengatakan bahwa e-learning dapat memotivasi mahasiswa untuk berinteraksi dengan pembelajar lainnya, seperti halnya saling bertukar pendapat dan saling menghormati pandangan-pandangan yang berbeda. Selain itu, e-learning juga dapat meningkatkan kepercayaan diri pembelajar dalam menguasai pengetahuan karena aktivitas online ini memberikan kesempatan pada mereka untuk memperoleh banyak informasi yang dapat diakses secara online.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kombinasi antara sistem belajar offline dengan online memberikan banyak keuntungan bagi pembelajar terutama dalam hal penguasaan konsep yang dipelajari. Hubungan saling melengkapi antara pembelajaran offline dan online ini akan berjalan dengan optimal apabila sejumlah komponen pendukung seperti ketersediaan komponen hardware, software dan jaringan internet tersedia dengan lengkap.

Untuk melengkapi sesi belajar mandiri yang mengombinasikan antara offline dan online, dilaksanakan perkuliahan tatap muka. Kehadiran perkuliahan tatap muka ini dirancang untuk memberikan aktivitas belajar pada mahasiswa yang sarat akan nuansa pedagogik. Sebagai mahasiswa calon guru, penguasaan pedagogi merupakan salah satu kompetensi penting yang harus dicapai. Adanya aktivitas membuat, analisis serta mengevaluasi RPP IPA memberikan

Page 314: Proceeding jilid 2

725

kesempatan belajar yang lebih banyak bagi mahasiswa calon guru untuk menganalisis konten IPA kemudian memformulasikannya menjadi sebuah rancangan pembelajaran yang inovatif bagi siswanya.

Secara umum, penerapan blended learning pada perkuliahan Pendidikan IPA SD dapat memberikan efek yang positif pada mahasiswa calon guru. blended learning dapat dijadikan strategi yang efektif yang dapat membantu mewujudkan calon guru profesional dalam program persiapan guru yang diselenggarakan di pendidikan tinggi. Kombinasi kekuatan antara sistem belajar offline, online dan tatap muka masing-masing memberikan manfaat yang lengkap dan penguasaan hasil belajar yang lebih komprehensif pada mahasiswa. Mofahedzadeh (2011) mengemukakan bahwa blended learning dapat meningkatkan motivasi dan meningkatkan sikap positif mahasiswa terhadap sains. Peningkatan motivasi dan sikap positif ini tentu saja akan berperan dalam penguasaan pengetahuan yang akan dicapai peserta didik yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, blended learning ini dapat direkomendasikan sebagai salah satu model perkuliahan yang efektif yang berpotensi besar dalam meningkatkan serta mengembangkan kemampuan serta keterampilan-keterampilan tertentu sebagai hasil belajar yang memuaskan. DAFTAR RUJUKAN Arkorful, V. & Abaidoo, N. (2014). The role of e-learning, the advantages and

disadvantages of its adoption in Higher Education. International Journal of Education and Research, Vol.2, No.12, 397-410

Marsh, D. (2012). Blended learning: Creating learning oppurtunities for languAge learner. Cambridge University Town

Mofahadzadeh, F. (2011). Improving Students’ Attitude Toward Science Through Blended Learning. Science education and civic engagement, vol 3, No.2, 13-19

Bath, D., & Bourke, J. (2010). Getting Started With Blended Learning. Griffith University

Best, W.J. (1978). Research In Education. New Delhi: Prentice Hall of India Reay, J. (2001). Blended learning a Fusion for the Future. Knowledge

Management Review, 4(3): 6. Rooney, J. E. (2003). Blended learning Opportunities to Enhance Educational

Programming and Meetings. Association Management, 55(5), 26-32 Singh, H. & Reed, C. (2001). A White Paper: Achieving Success with Blended

Learning. Tersedia online di: http://www.leerbeleving.nl/wbts/wbt2014/blend-ce.pdf

Thoman, E. dan Jolss, T. (2004). Why Use Multimedia in Science Education. American Behavioural Scientist, vol 48, No.1, 18-29

Uzer, Usman, M. (2011). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Rosdakarya Watters, J,J & Ginns, S, I. (2000). Developing Motivation to Teach Elementary

Science:Effects of Collaborative and Authentic Learning Practices in Preservice Education. Journal of Science Teacher Education, 11(4), 277-313

Page 315: Proceeding jilid 2

726

AMALAN PEDAGOGI SISWA GURU SEMASA PRAKTIKUM FASA II, 2014

Syed Ismail Syed Mustapa, Noor Fitriyati Abd. Samad & Ahmad Subki Miskon

IPG Kampus Ilmu Khas E-mail: [email protected]

Abstract The purpose of this study is to this study is to find out pedagogy practices by student during Phase II Practicum, 2014. The sample consist of 129 students from intake January 2011 of the Specialist Teachers’ Training Institute (STTI). This students are from 4 areas of specialisation mainly Special Education, Social Studies, Music Education and English Language. Methodology used is quantitative approach using questionnaires instruments as the main reference. There are seven constructs to measure pedagogical practices. There are knowledge and understanding, teaching planning, teaching implementation, teaching and learning skill, reflection practices, attitudes, and teachers’ professionalism values. The findings show that students from Special and Music Education and Social Studies recorded highest mean in construct knowledge and understanding 4.41 mean (sd = .31), 4.08 mean (sd = .33) and 4.10 mean (SD = .34) respectively. Whilst students from English Language show that the construct teaching and learning skills recorded the highest of pedagogical practices 4.19 mean (sd= .34). Studies also reveals there are strengths and weaknesses of every aspects of construct in pedagogical practices. Keywords: practicum guidance, supervision in practicum, practicum mentoring PENGENALAN

Profesion keguruan menuntut setiap guru sentiasa berusaha untuk meningkatkan kualiti profesionalisme perkhidmatan agar menjadi seorang guru yang kompeten dan berkualiti kerana di bahu mereka tergalas usaha untuk pembentukan modal insan, pembangunan sumber manusia, masyarakat dan negara (Abdul Rafie, 2002; Abdul Shukor, 2004; Subramaniam, 1995). Ke arah merealisasikan hasrat menghasilkan guru yang kompeten dan berkualiti, maka Kementerian Pendidikan Malaysia (KPM) telah memberikan tanggungjawab penuh kepada Institut Pendidikan Guru (IPG) untuk mengeluarkan guru yang mampu menggalas amanah tersebut (KPM 2003). IPG yang mempunyai 27 buah kampus di seluruh Malaysia sedang melaksanakan Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PISMP) bagi menghasilkan guru yang kompeten dan berkualiti seperti yang dihasratkan.

Setakat ini terdapat banyak kajian yang dilakukan terhadap kualiti guru-guru terlatih, tetapi hanya sedikit sahaja perhatian yang diberikan kepada guru-guru pelatih (Abu Hassan, 1995; Khairuddin, 1997; KPM, 2003). Struktur pengajian Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan (PISMP) di Institut Pendidikan Guru (IPG) memberikan tumpuan terhadap program praktikum bagi memberi peluang

Page 316: Proceeding jilid 2

727

kepada guru pelatih mengaplikasikan segala teori pengajaran kepada konteks sebenar di dalam bilik darjah.

Latihan keguruan di IPG memerlukan guru pelatih menjalani praktikum sebanyak tiga kali iaitu Praktikum 1 (4 minggu pada semester 5), praktikum 2 (8 minggu pada semester 6) dan praktikum 3 (12 minggu pada semester 7). Struktur pengajian PISMP yang melibatkan pelbagai peringkat dalam praktikum ini akan memantapkan kebolehan dan keyakinan guru pelatih untuk menjadi guru yang berkualiti pada masa akan datang dan seterusnya dapat melahirkan pelajar-pelajar yang cemerlang dalam aspek akademik, rohani dan sahsiah yang bersesuaian dengan matlamat Falsafah Pendidikan Kebangsaan (Azhar, Abdul Hafiz, Azmi, Kamarul Azmi & Mohd Ismail, 2007; Kementerian Pelajaran Malaysia, 2006).

Ketika program praktikum dijalankan, penekanan latihan keguruan diberikan kepada aspek perancangan pengajaran dan pelaksanaan pengajaran, amalan refleksi, sikap dan sahsiah, nilai dan amalan profesionalisme keguruan, pengetahuan dan kefahaman, dan kemahiran pengajaran seperti yang telah digariskan dalam Standard Guru Malaysia (SGM, 2010). Penglibatan pensyarah penyelia untuk membimbing guru pelatih melalui program mentoran praktikum dari aspek bimbingan pengajaran sangat diperlukan (Abdul Malek & Siti Zohora 2001; Tiwi 2004). Melalui program mentoran praktikum, seseorang pensyarah penyelia dan guru pembimbing berpeluang untuk membimbing guru pelatih dari aspek pengetahuan kandungan mata pelajaran, perancangan pengajaran dan memupuk nilai-nilai profesionalisme keguruan dengan melaksanakan peranan mereka sebagai mentor kepada guru pelatih (Meor Ibrahim & Norziana 2010; Zuria 2010). PERNYATAAN MASALAH

Sehingga kini terdapat pelbagai masalah telah dikenal pasti dihadapi oleh guru pelatih ketika mereka menjalani praktikum. Antaranya adalah seperti tahap kesediaan dan pengetahuan pedagogi guru pelatih dikatakan kurang memuaskan (Abdul Razak & Ahmad Shukri, 2002; Hazil,1995); minat, sikap, pengetahuan dan kemahiran mengajar yang sederhana (Baharin, 2006; Halimah, 2006; Shariff, Baharuddin, Mohd Ghani & Baharin, 1994); keyakinan diri mereka dalam menyampaikan isi pelajaran juga dikatakan masih rendah (Hashim & Mohd Daud, 2001); prestasi guru pelatih ketika praktikum kurang memuaskan (Kementerian Pengajian Tinggi Malaysia & Kementerian Pelajaran Malaysia, 2005); dan kurangnya usaha guru pelatih belajar untuk mengajar dan memperbaiki pengajaran (Zakaria, Soaib, Abdul Rasid & Yahya, 2001).

Masalah praktikum seterusnya didapati siswa guru hanya melakukan penulisan refleksi berada pada tahap deskriptif (Noor Azlan & Shph. Aklima, 2010); mengalami gangguan emosi (Zahidah, 2009); masalah penggunaan IT (Almahdi, 2006; Doering, Johnson & Dexter, 2003; Graf & Stebnicki, 2002; Shahizan Hassan, Mohd Azlan, Abdul Razak, & Wan Hussein, 2006); guru-guru pembimbing lebih memberikan tumpuan sepenuhnya terhadap tugas rutin di sekolah (Flores, 2001; Foo & Tan, 2002).

Bimbingan pengajaran pensyarah dan guru pembimbing yang menjadi pelaksana dasar dalam konteks praktikum, lebih memberikan kesan kepada pembentukan kualiti siswa guru, khususnya dalam aspek perancangan dan

Page 317: Proceeding jilid 2

728

pelaksanaan pengajaran (Hasriani 2007). Melalui program mentoran praktikum, pensyarah dan guru pembimbing akan dapat menggunakan segala sumber yang ada untuk membimbing siswa guru mewujudkan persekitaran pembelajaran yang kondusif dan seterusnya dapat menyerlahkan potensi masing-masing terutamanya dalam aspek amalan pengajaran (Adibah 2002; Baharin 2006; Mahyuddin & Mardiyah 2008).

Berdasarkan proses yang dilalui oleh siswa guru ketika menjalani praktikum, maka program praktikum di sekolah akan menguji semangat, kesabaran, daya usaha serta ketahanan fizikal dan mental guru pelatih dalam usaha mereka untuk menjadi guru yang berkualiti (Ebmeier 2003; Hensley, Smith & Thomson 2003; Pollard 2001). Walaupun mungkin tidak sampai mengalami kejutan budaya, namun cabaran-cabaran yang dihadapi jika gagal ditangani dan tidak mendapat bimbingan yang sewajarnya, maka guru pelatih akan menghadapi tekanan (Mei L.W 2008; Mohd Nor & Ismail 2008). Masalah tersebut akan menjadikan siswa guru kurang bersemangat, rendah diri, mudah berputus asa dan bersikap negatif terhadap program praktikum (Azizah 2006; Hayes 1991; Ivylenda 2007). Tanpa bimbingan daripada pensyarah penyelia dan guru pembimbing, kestabilan emosi siswa guru akan tergugat (Mohd Sahandri 2003; Nor Hasniza 2006; Zainudin 2006).

Oleh kerana siswa guru merupakan bakal guru yang diharapkan menjadi penggerak dan peneraju utama sistem pendidikan negara, maka sewajarnyalah IPG mampu melatih bakal guru yang benar-benar berkualiti dan dapat melahirkan murid yang diharapkan memenuhi matlamat Falsafah Pendidikan Kebangsaan (Fatimah 2002; KPM 1999). Dengan adanya kajian terhadap amalan bimbingan pengajaran pensyarah penyelia dan guru pembimbing dalam program mentoran praktikum, adalah diharapkan bimbingan pengajaran pensyarah penyelia dan guru pembimbing kepada siswa guru dalam aspek perancangan pengajaran, pelaksanaan pengajaran, amalan refleksi, dan sikap dan sahsiah akan dapat dipertingkatkan.

Oleh yang demikian, kajian ini dilakukan berdasarkan penggunaan instrumen bimbingan (PR1) yang digunakan oleh pensyarah penyelia dan guru pembimbing untuk membimbing siswa guru dalam program mentoran praktikum sangat relevan dan bertepatan dengan transformasi pendidikan serta perubahan taraf maktab perguruan kepada IPG bagi melahirkan siswa guru yang benar-benar berkualiti seperti yang dihasratkan oleh KPM. TINJAUAN LITERATUR

Program praktikum memberikan peluang kepada siswa guru untuk mengaplikasikan pengetahuan, menguji teori-teori dan akhirnya mengubahsuai kefahaman mereka berdasarkan kepada perbincangan secara profesional dengan pensyarah ketika program mentoran praktikum dilaksanakan (Jamaluddin, Ahmad, Abdul Rahim & Muainah, 2006; Norasmah, Mohammed Sani & Zamri, 2007; Norani & Mohd Azhar, 2008).

Program mentoran praktikum diperlukan kerana pendidikan kini lebih bersifat dinamik dan global serta memerlukan guru yang bersedia meningkatkan kualiti dan mutu pendidikan secara berterusan (BPG, 2010; Campbell et.al.,2001; Nor Asimah, 2010; SGM, 2010). Siswa guru yang terlibat dalam program mentoran

Page 318: Proceeding jilid 2

729

praktikum akan dapat meningkatkan kualiti pembelajaran hasil peningkatan kemahiran dan kualiti pengajaran melalui bimbingan penyelia (Burke, 2002; Duke et.al., 2006; Huling, Leslie, Resta & Virgina, 2001; L.L Hean, 2005).

Proses bimbingan dalam program mentoran praktikum memerlukan jalinan kerjasama dan perkongsian pintar antara pensyarah dan siswa guru demi menghasilkan bakal guru yang benar-benar berkualiti (BPG, 2009; Glickman, 2001; Johnston, 1994). Permuafakatan yang mantap dan berstruktur ini dapat membantu perkembangan sistem latihan keguruan terutamanya dari segi peningkatan profesionalisme siswa guru (Abdul Malek & Siti Zohora, 2001; Hashim & Mohd Daud, 2001; Kamaruddin, Hazil & Baharuddin, 1985; Ralph, 2000).

Dalam konteks latihan keguruan praperkhidmatan di IPG, bimbingan pengajaran sering dikaitkan dengan penyeliaan pengajaran yang bertujuan untuk memudahkan pencapaian matlamat yang bersesuaian dengan kebolehan siswa guru (Furlong & Maynard, 1995; Glickman, Gordon, & Ross, 2001; Murray & Harvey, 2001). Kejayaan bimbingan dan penyeliaan pengajaran melibatkan proses pengaruh sosial untuk mengurus, mengarah dan memotivasikan siswa guru (Page, 2002; Park, & Henkin, 2005; Southworth, 2002; Suseela, 2005).

Siswa guru mengharapkan mereka memperoleh bimbingan pengajaran yang sewajarnya bagi mencapai objektif pelajaran yang telah dirancang (Byron, 1990; Ebmeier & Nicklaus, 1999; Gless, 2006). Ketika memberikan bimbingan pengajaran, pensyarah penyelia perlulah melakukan pemerhatian dan penyeliaan terhadap pengajaran siswa guru bagi melihat kekuatan dan kelemahan untuk tujuan penambahbaikan (Bahagian Pendidikan Guru, 2010).

Bimbingan pengajaran dalam praktikum memerlukan pensyarah menyelia dan membimbing siswa guru sebelum, semasa dan selepas setiap sesi pengajaran (Abu Hassan, 1995; Hamzah, 1996; Swain, 1995; Oven, 2001). Semasa melaksanakan penyeliaan, pensyarah perlu mencatat kelemahan dan kekuatan siswa guru serta memberikan bimbingan dan tunjuk ajar berasaskan penyeliaan klinikal bagi meningkatkan mutu pengajaran (Fowler, 1999; Handal & Lauvas, 1987; Wright, 1992; Ying, 2002). TUJUAN KAJIAN

Kajian ini bertujuan untuk mengkaji kepuasan siswa guru terhadap bimbingan pengajaran pensyarah penyelia dan guru pembimbing dalam program mentoran praktikum Fasa II di Institut Pendidikan Guru Kampus Ilmu Khas, Kuala Lumpur. Tumpuan kajian difokuskan dalam aspek 7 aspek utama yang terdapat instrumen bimbingan pengajaran iaitu perancangan pengajaran, pelaksanaan pengajaran, kemahiran pengajaran dan pembelajaran, amalan refleksi, sikap dan sahsiah, dan nilai profesionalisme keguruan. OBJEKTIF KAJIAN 1. Untuk mengenal pasti aspek amalan pedagogi yang paling tinggi dalam

kalangan siswa guru mengikut pengkhususan pengajian semasa praktikum Fasa ll dilaksanakan.

2. Untuk mengenal pasti kekuatan dan kelemahan amalan pedagogi siswa guru dalam aspek perancangan pengajaran, pelaksanaan pengajaran, kemahiran

Page 319: Proceeding jilid 2

730

pengajaran dan pembelajaran, amalan refleksi, sikap dan sahsiah, dan nilai profesionalisme keguruan semasa praktikum Fasa II dilaksanakan.

REKA BENTUK KAJIAN

Pengkaji telah menggunakan pendekatan kajian kuantitatif sebagai kaedah utama kajian. Pendekatan kuantitatif dipilih kerana pengkaji telah menggunakan kaedah pengumpulan melalui instrumen soal selidik sebagai rujukan utama yang diperoleh daripada 101 orang siswa guru yang terlibat dalam kajian ini. Dalam kajian ini pengkaji telah memilih sampel yang terdiri daripada siswa guru semester 6 yang mengikuti 4 bidang pengkhususan pengajian. INSTRUMEN KAJIAN

Bagi mencapai objektif kajian, satu set instrumen set soal selidik telah digunakan. Instrumen ini adalah ubah suai daripada instrumen bimbingan praktikum (PR1) dan instrumen penilaian praktikum (PR2) yang telah dibina oleh Institut Pendidikan Guru Malaysia (IPGM, 2013) untuk dijadikan panduan oleh pensyarah penyelia dan guru pembimbing semasa memerhatikan pengajaran siswa guru di dalam kelas dan dijadikan asas untuk rujukan sewaktu mengadakan perbincangan dengan siswa guru selepas tamat sesuatu sesi pengajaran dan pembelajaran. Setiap item dijawab berdasarkan menggunakan Skala Likert dengan 1. Sangat tidak setuju (STS); 2. Tidak setuju (TS); 3. Kurang setuju (KS); 4. Setuju (S); dan 5. Sangat setuju (SS). KESAHAN DAN KEBOLEHPERCAYAAN

Sebelum menjalankan kajian, instrumen yang dibina telah diuji kesahan dan kebolehpercayaan setiap item yang diuji. Bagi tujuan kesahan, pengkaji telah menjalankan kesahan kandungan dengan merujuk instrumen tersebut kepada 5 orang pensyarah penyelia yang bertujuan untuk memantapkan isi kandungan item yang dibina. Teguran dan pandangan daripada 5 orang pensyarah ini telah diambil kira dalam pemurnian dari segi penggunaan bahasa, kejelasan maksud dan isi kandungan setiap item yang dibina.

Instrumen yang telah diuji kesahannya itu diuji pula kepada 30 orang siswa guru semester 5 untuk menguji kebolehpercayaan item yang dibina. Pengkaji telah menjalankan ujian pada 5 Mac 2014. Setelah menguji kebolehpercayaan instrumen kajian ini, pengkaji mendapati bahawa realibiliti instrumen adalah 0.963. Oleh yang demikian, item yang dibina telah digunakan untuk tujuan kajian ini. Setelah diperbaiki dari segi struktur ayat dan bahasa, pada 19 MAC 2014 iaitu dua minggu selepas kajian rintis, pengkaji telah menjalankan uji semula instrumen tersebut yang dijawab oleh kumpulan siswa guru yang sama.

Setelah diuji semula 70 item bagi instrumen berkenaan, didapati cronbach's alpha adalah pada 0.918. Pengkaji mendapati bahawa cronbach's alpha tersebut menghampiri 1.00 dan ini bermakna kesemua item tersebut boleh digunakan oleh pengkaji untuk mengukur setiap konstruk yang terdapat dalam kajian ini. ANALISIS DATA DAN PERBINCANGAN HASIL KAJIAN

Data-data yang diperoleh dianalisis dengan berpandukan program `Statistical Package for the Social Science (SPSS) Version 20.0. Pengkaji

Page 320: Proceeding jilid 2

731

melaksanakan pentaksiran skor min berasaskan pentaksiran oleh Nunnally & Bernstein (1994), dengan mengintepretasikan min amalan bimbingan dalam kajian ini seperti yang berikut:

Jadual 1 Jadual penentuan min

BIL NILAI MIN ARAS 1 4.01 hingga 5.00 Tinggi 2 3.01 hingga 4.00 Sederhana Tinggi 3 2.01 hingga 3.00 Sederhana Rendah 4 1.00 hingga 2.00 Rendah

Sumber: Nunnally, J. C. & Bernstein 1994

Analisis deskriptif yang melibatkan min, peratus dan sisihan piawai telah digunakan untuk menganalisis; a) aspek amalan pedagogi yang paling tinggi dalam kalangan siswa guru semasa praktikum Fasa ll mengikut pengkhususan pengajian; dan b) kekuatan dan kelemahan amalan pedagogi siswa guru dalam tujuh aspek kajian semasa menjalani praktikum Fasa II.

Jadual 2 Bilangan Sampel Kajian Mengikut Bidang Pengkhususan Bil Bidang Pengkhususan N Peratus 1 Pendidikan Khas 33 25.6 2 Pendidikan Muzik 23 17.8 3 Pengajian Sosial 41 31.8 4 Pengkhususan B.Inggeris 32 24.8 Keseluruhan 129 100.0

Berdasarkan Jadual 2, bilangan sampel paling ramai adalah yang mengikuti

pengajian dalam pengkhususan Pendidikan Pengajian Sosial iaitu 31.3% (41 orang), manakala yang ke dua terbanyak adalah yang mengikuti pengajian dalam pengkhususan Pendidikan Khas dengan catatan 25.6% (33 orang). Ini diikuti dengan sampel yang mengikuti pengajian dalam pengkhususan Bahasa Inggeris dan Pendidikan Muzik, masing-masing mencatatkan sebanyak 24.8% (32 orang) dan 17.8% (23 orang).

Jadual 3 Amalan Pedagogi Siswa Guru Mengikut Bidang Pengkhususan

Bidang Pengkhususan Pendidikan

Khas Pendidikan Muzik

Pengajian Sosial

Bahasa Inggeris

Seluruh

min sp. min sp. min sp. min sp. min sp. Pengetahuan & Kefahaman

4.41 .31 4.08 .33 4.10 .34 4.06 .37 3.97 .49

Perancangan Pengajaran

4.08 .42 4.04 .45 4.01 .43 3.96 .41 4.02 .42

Page 321: Proceeding jilid 2

732

Pelaksanaan Pengajaran

4.00 .66 3.95 .37 4.01 .39 4.14 .41 4.02 .42

Kemahiran Pengajaran & Pembelajaran

4.00 .36 3.98 .36 4.06 .36 4.19 .32 4.06 .36

Amalan Refleksi

3.93 .52 3.92 .46 3.95 .50 4.07 .50 4.10 .34

Sikap dan Sahsiah

3.91 .47 3.91 .45 3.94 .45 4.04 .39 3.96 .44

Nilai Profesionalisme Keguruan

3.97 .48 3.99 .47 3.98 .44 4.02 .39 4.01 .39

Berdasarkan Jadual 3, pengkaji bincangkan dapatan kajian terhadap amalan pedagogi yang paling tinggi mengikut bidang pengkhususan pengajian. Dapatan kajian menunjukkan bahawa amalan pedagogi yang paling tinggi bagi siswa guru yang mengikuti pengajian pengkhususan Pendidikan Khas dan Pendidikan Muzik adalah dalam aspek pengetahuan dan kefahaman dengan masing-masing mencatatkan min 4.41 (sp=.31) dan 4.08 (sp=.33). Seterusnya bagi siswa guru yang mengikuti pengajian pengkhususan Pengajian sosial amalan pedagogi yang paling tinggi juga adalah dalam aspek pengetahuan dan kefahaman dengan min 4.10 (sp=.34). Sementara itu bagi siswa guru yang mengikuti pengajian dalam pengkhususan Bahasa Inggeris pula amalan pedagogi yang paling tinggi adalah dalam aspek kemahiran pengajaran dan pembelajaran dengan min 4. 19 (sp=.34).

Berdasarkan Jadual 3, dapatan kajian juga menunjukkan bahawa amalan pedagogi dalam aspek amalan refleksi, sikap dan sahsiah dan nilai profesionalisme keguruan cuma berada pada tahap sederhana tinggi bagi 3 bidang pengkhususan iaitu Pengkhususan Pendidikan Khas, Pendidikan Muzik dan Pengajian Sosial dengan min antara 3.01 – 4.00 sahaja. Sebaliknya bagi siswa guru yang mengikuti pengajian pengkhususan B.Inggeris pula mencatatkan tahap tinggi dalam enam aspek amalan pedagogi dengan min melebihi daripada 4.01, kecuali dalam aspek perancangan pengajaran yang mencatatkan min 3. 96 (sp=.41).

Berdasarkan Jadual 3, dapatan kajian menunjukkan bahawa secara keseluruhannya amalan pedagogi siswa guru yang paling tinggi adalah dalam aspek amalan reflkesi dengan catatan min 4.10 (sp=.33) dan diikuti dengan amalan kedua tertinggi dalam aspek kemahiran pengajaran dan pembelajaran dengan catatan min 4.06 (sp=.36). Seterusnya amalan pedagogi yang juga berada pada tahap tinggi adalah dalam aspek perancangan pengajaran dengan catatan min 4.02 (sp=.42); pelaksanaan pengajaran dengan min 4.14 (sp=.41); dan nilai profesionalisme keguruan dengan catatan min 4.01 (sp=.39). Dapatan kajian keseluruhannya juga menunjukkan bahawa amalan pedagogi dalam aspek sikap dan sahsiah serta pengetahuan dan kefahaman berada pada tahap sederhana

Page 322: Proceeding jilid 2

733

tinggi dengan masing-masing mencatatkan min 3.95 (sp=.43) dan min 3.97 (sp=.49).

Seterusnya pengkaji kemukakan dapatan kajian bagi menjawab objektif ke dua kajian iaitu untuk mengenal pasti kekuatan dan kelemahan amalan pedagogi siswa guru dalam aspek pengetahuan dan kefahaman, perancangan pengajaran, pelaksanaan pengajaran, kemahiran pengajaran dan pembelajaran, amalan refleksi, sikap dan sahsiah, dan nilai profesionalisme keguruan mengikut konstruk kajian.

Jadual 4 Analisis Amalan Pedagogi Dalam Aspek Pengetahuan dan Kefahaman

Bil

Amalan Pedagogi( Pengetahuan dan Kefahaman)

N

min sp 1 Memahami dengan jelas setiap elemen yang

terkandung dalam Falsafah Pendidikan Kebangsaan 3.55 .76

2 Membentuk kualiti diri guru berdasarkan Falsafah Pendidikan Guru

3.63 .82

3 Melaksanakan pembelajaran masteri dalam aktiviti pengajaran

3.42 .69

4 Melaksanakan pendekatan pengajaran koperatif dengan berkesan

3.98 .94

5 Memilih strategi pengajaran yang bersesuaian dengan minat murid

4.29 .79

6 Menggunakan pengetahuan dalam aspek kecerdasan pelbagai untuk memperkembangkan potensi murid

4.37 .76

7 Melatih murid belajar sendiri melalui pendekatan pengajaran konstruktivisme

3.54 .77

8 Mengetahui kandungan sukatan pelajaran yang diajar 4.06 .90 9 Mengaplikasikan ilmu psikologi dalam konteks

sebenar bilik darjah 4.36 .74

10 Mengetahui perubahan kurikulum yang dilaksanakan dalam KSSR

4.49 .66

Berdasarkan Jadual 4, dapatan kajian menunjukkan bahawa terdapat 5

kekuatan amalan siswa guru dalam aspek pengetahuan dan kefahaman kerana terdapat 5 item amalan pedagogi dalam aspek berkenaan berada pada min melebihi 4.01 iaitu berada pada tahap tinggi. Kekuatan pertama adalah mengetahui perkembangan dan perubahan kurikulum yang dilaksanakan dalam KSSR (item 10) dengan catatan min 4.49 (sp=.66). Dapatan kajian ini juga menunjukkan bahawa siswa guru menggunakan pengetahuan dalam aspek kecerdasan pelbagai untuk memperkembangkan potensi murid (item 6) dengan catatan min 4.37 (sp=.76). Seterusnya dapatan kajian menunjukkan bahawa siswa guru tahu untuk mengaplikasikan ilmu psikologi dalam konteks sebenar (item 9) dengan catatan min 4.36 (sp=.74). Dapatan kajian seterusnya juga membuktikan bahawa siswa guru tahu untuk memilih strategi pengajaran yang sesuai dengan minat murid dengan catatan min 4.29 (sp=.79).

Page 323: Proceeding jilid 2

734

Berdasarkan Jadual 4, dapatan kajian juga menunjukkan bahawa terdapat kelemahan amalan pedagogi siswa guru dalam aspek pengetahuan dan kefahaman kerana terdapat 5 item amalan pedagogi dalam aspek berkenaan yang juga berada pada min kurang daripada 4.01 iaitu hanya berada pada tahap sedarhana tinggi dengan min cuma berada pada 3.01 – 4.00. Dapatan kajian membuktikan bahawa siswa guru lemah dalam aspek pendekatan pengajaran yang mana didapati bahawa siswa guru tidak mengetahui untuk melaksanakan pembelajaran masteri dalam aktiviti pengajaran (item 3) dengan catatan min 3.42 (sp=.69); melatih murid belajar sendiri melalui pendekatan pengajaran konstruktivisme (item 7) dengan catatan min 3.54 (sp=.77); dan melaksanakan pendekatan pengajaran koperatif dengan berkesan (item 4) dengan catatan min 3.98 (sp=.94). Dapatan kajian ini juga menunjukkan bahawa siswa guru lemah dalam memahami dengan jelas setiap elemen yang terkandung dalam Falsafah Pendidikan Kebangsaan (item 1) dengan catatan min 3.55 (sp=.76). Seterusnya dapatan kajian menunjukkan bahawa siswa guru lemah dalam pengetahuan cara membentuk kualiti diri guru berdasarkan Falsafah Pendidikan Guru (item 2) dengan catatan min 3.63 (sp=.82).

Jadual 5 Analisis Amalan Pedagogi Dalam Aspek Perancangan Pengajaran

Bil Amalan Pedagogi (Perancangan Pengajaran) N min sp

1 Merancang hasil pembelajaran dengan tepat berdasarkan sukatan pelajaran

3.68 .74

2 Memberikan penekanan terhadap aspek perancangan set induksi sebelum memulakan pengajaran

4.05 .69

3 Merancang strategi pengajaran dan pembelajaran yang sesuai

3.64 .93

4 Merancang sumber pengajaran yang menarik perhatian murid

4.33 .69

5 Perancangan penerapan nilai-nilai murni sesuai dengan tajuk pelajaran

4.40 .69

6 Menitikberatkan aspek KBKK dalam perancangan pengajaran

4.01 .72

7 Merancang agihan masa sesuai dengan aktiviti pembelajaran

3.74 .96

8 Perancangan aktiviti pembelajaran yang menarik minat murid

4.19 .74

9 Merancang latihan yang sesuai untuk menguji pencapaian murid

4.20 .79

10 Merancang penutup pengajaran yang sesuai dengan tajuk pelajaran

3.95 .66

Berdasarkan Jadual 5, dapatan kajian menunjukkan bahawa terdapat 6

kekuatan amalan siswa guru dalam aspek perancangan pengajaran kerana terdapat 6 item amalan pedagogi dalam aspek berkenaan berada pada min melebihi 4.01 iaitu berada pada tahap tinggi. Kekuatan pertama adalah dapat

Page 324: Proceeding jilid 2

735

merancang penerapan nilai-nilai murni sesuai dengan tajuk pelajaran (item 5) dengan catatan min 4.40 (sp=.69); dan merancang sumber pengajaran yang menarik perhatian murid (item 4) dengan catatan min 4.33 (sp=.69). Dapatan kajian ini juga menunjukkan bahawa siswa guru dapat merancang latihan yang sesuai untuk menguji pencapaian murid (item 9) dengan catatan min 4.20 (sp=.69); dan merancang aktiviti pembelajaran yang menarik minat murid (item 8) dengan catatan min 4.19 (sp=.74). Seterusnya dapatan kajian menunjukkan bahawa siswa guru memberikan penekanan terhadap aspek perancangan set induksi sebelum memulakan pengajaran (item 2) dengan catatan min 4.05 (sp=.69 ); dan menitikberatkan aspek KBKK dalam perancangan pengajaran (item 6) dengan catatan min 4.01 (sp=.72).\Berdasarkan Jadual 5, dapatan kajian juga menunjukkan bahawa terdapat kelemahan amalan pedagogi siswa guru dalam aspek pengetahuan dan kefahaman kerana terdapat 4 item amalan pedagogi dalam aspek berkenaan yang juga berada pada min kurang daripada 4.01. Dapatan kajian membuktikan bahawa siswa guru menghadapi kesukaran merancang strategi pengajaran dan pembelajaran yang sesuai (item 3) dengan catatan min 3.64 (sp=.93); merancang hasil pembelajaran dengan tepat berdasarkan sukatan pelajaran (item 1) dengan catatan min 3.68 (sp=.74); dan merancang agihan masa sesuai dengan aktiviti pembelajaran (item 7) dengan catatan min 3.74 (sp=.96). Selain itu dapatan kajian ini juga menunjukkan bahawa siswa guru lemah dalam merancang penutup pengajaran yang sesuai dengan tajuk pelajaran (item 10) dengan catatan min 3.95 (sp=.66).

Jadual 6 Analisis Amalan Pedagogi Dalam Aspek Pelaksanaan Pengajaran

Bil Amalan Pedagogi (PelaksanaanPengajaran) N min sp

1 Semua hasil pembelajaran tercapai 3.83 .80 2 Set induksi yang dilaksanakan berjaya menarik

perhatian murid 4.47 .59

3 Sumber yang digunakan semasa melaksanakan pengajaran menarik minat murid

4.36 .70

4 Setiap langkah pengajaran dapat dilaksanakan dengan berkesan

3.68 .98

5 Menerapkan nilai-nilai murni yang sesuai ketika melaksanakan pengajaran

3.53 .90

6 Menekankan aspek KBKK semasa melaksanakan aktiviti pengajaran dan pembelajaran

4.23 .61

7 Melibatkan semua murid dalam aktiviti yang dilaksanakan

4.32 .71

8 Menggunakan teknik penyoalan dengan betul dalam pelaksanaan pengajaran

3.68 .98

9 Mengetahui cara menguruskan bilik darjah dengan berkesan

3.58 .92

10 Memberikan fokus kepada intonasi suara semasa melaksanakan pengajaran

4.23 .61

Berdasarkan Jadual 6, dapatan kajian menunjukkan bahawa terdapat 5 kekuatan amalan siswa guru dalam aspek perancangan pengajaran kerana

Page 325: Proceeding jilid 2

736

terdapat 5 item amalan pedagogi dalam aspek berkenaan berada pada min melebihi 4.01 iaitu berada pada tahap tinggi. Kekuatan pertama adalah set induksi yang dilaksanakan berjaya menarik perhatian murid (item 2) dengan catatan min 4.47 (sp=.59); dan sumber yang digunakan semasa melaksanakan pengajaran menarik minat murid (item 3) dengan catatan min 4.36 (sp=.70). Dapatan kajian juga menunjukkan bahawa siswa guru dapat melibatkan semua murid dalam aktiviti yang dilaksanakan (item 7) dengan catatan min 4.32 (sp=.71); dan menekankan aspek KBKK semasa melaksanakan aktiviti pengajaran dan pembelajaran (item 6) dengan catatan min 4.23 (sp=.61). Seterusnya dapatan kajian menunjukkan bahawa siswa guru memberikan fokus kepada intonasi suara semasa melaksanakan pengajaran (item 10) dengan catatan min 4.23 (sp=.61 ).

Berdasarkan Jadual 6, dapatan kajian juga menunjukkan bahawa terdapat kelemahan amalan pedagogi siswa guru dalam aspek pengetahuan dan kefahaman kerana terdapat 5 item amalan pedagogi dalam aspek berkenaan yang juga berada pada min kurang daripada 4.01. Dapatan kajian membuktikan bahawa siswa guru menghadapi kesukaran untuk menerapkan nilai-nilai murni yang sesuai ketika melaksanakan pengajaran (item 5) dengan catatan min 3.53 (sp=.90); kurang mengetahui cara menguruskan bilik darjah dengan berkesan (item 9) dengan catatan min 3.58 (sp=.92); tidak boleh menggunakan teknik penyoalan dengan betul dalam pelaksanaan pengajaran (item 8) dengan catatan min 3.68 (sp=.98); dan setiap langkah pengajaran dapat dilaksanakan dengan berkesan (item 4) dengan catatan min 3.68 (sp=.98). Dapatan kajian ini juga menunjukkan bahawa siswa guru lemah dalam mencapai hasil pembelajaran kerana item 1 menunjukkan bahawa semua hasil pembelajaran tercapai hanya mencatatkan min 3.83 (sp=.80) sahaja.

Jadual 7 Analisis Amalan Pedagogi Dalam Aspek Kemahiran Pengajaran & Pembelajaran

Bil Amalan Pedagogi (Kemahiran Pengajaran & Pembelajaran)

N min sp

1 Menyampaikan isi pelajaran dengan jelas 4.10 .61 2 Mengaitkan isi pelajaran dengan konteks

kehidupan seharian murid 4.02 .64

3 Menerapkan nilai murni pada masa yang sesuai ketika melaksanakan pengajaran

3.66 .90

4 Berkebolehan menggunakan sumber pengajaran dengan berkesan

4.43 .60

5 Mengintegrasikan ICT dalam aktiviti pengajaran dan pembelajaran

4.47 .69

6 Berkemahiran meningkatkan motivasi murid semasa proses pengajaran dan pembelajaran

4.13 .69

7 Mengurus disiplin murid dengan berkesan semasa melaksanakan pengajaran

3.67 .93

8 Bertutur dengan intonasi yang sesuai semasa mengendalikan aktiviti pengajaran dan pembelajaran

4.32 .57

9 Berkemampuan mengambilkira perbezaan individu dalam kalangan murid ketika

4.23 .72

Page 326: Proceeding jilid 2

737

melaksanakan pengajaran dan pembelajaran 10 Mengemukakan soalan yang mencabar untuk

merangsang pemikiran murid 3.98 .62

Berdasarkan Jadual 7, dapatan kajian menunjukkan bahawa terdapat 7

kekuatan amalan siswa guru dalam aspek kemahiran pengajaran dan pembelajaran kerana terdapat 7 item amalan pedagogi dalam aspek berkenaan berada pada min melebihi 4.01 iaitu berada pada tahap tinggi. Kekuatan pertama adalah dapat mengintegrasikan ICT dalam aktiviti pengajaran dan pembelajaran (item 5) dengan catatan min 4.47 (sp=.59); dan berkebolehan menggunakan sumber pengajaran dengan berkesan (item 4) dengan catatan min 4.43 (sp=.60). Dapatan kajian ini juga menunjukkan bahawa siswa guru dapat bertutur dengan intonasi yang sesuai semasa mengendalikan aktiviti pengajaran dan pembelajaran (item 8) dengan catatan min 4.32 (sp=.57); dan berkemampuan mengambilkira perbezaan individu dalam kalangan murid ketika melaksanakan pengajaran dan pembelajaran (item 9) dengan catatan min 4.23 (sp=.72). Seterusnya dapatan kajian menunjukkan bahawa siswa guru berkemahiran meningkatkan motivasi murid semasa proses pengajaran dan pembelajaran (item 6) dengan catatan min 4.13 (sp=.69 ); menyampaikan isi pelajaran dengan jelas (item 1) dengan catatan min 4.10 (sp=.61 ); dan yang terakhir adalah dapat mengaitkan isi pelajaran dengan konteks kehidupan seharian murid (item 2) dengan catatan min 4.02 (sp=.64 ).

Berdasarkan Jadual 7 dapatan kajian juga menunjukkan bahawa terdapat kelemahan amalan pedagogi siswa guru dalam aspek kemahiran pengajaran dan pembelajaran kerana terdapat 3 item amalan pedagogi dalam aspek berkenaan yang juga berada pada min kurang daripada 4.01. Dapatan kajian membuktikan bahawa siswa guru menghadapi kesukaran untuk menerapkan nilai-nilai murni yang sesuai ketika melaksanakan pengajaran (item 3) dengan catatan min 3.66 (sp=.90); sukar mengurus disiplin murid dengan berkesan semasa melaksanakan pengajaran (item 7) dengan catatan min 3.67 (sp=.93); dan yang terakhir juga mengalami kesukaran dalam mengemukakan soalan yang mencabar untuk merangsang pemikiran murid (item 10) dengan catatan min 3.98 (sp=.62).

Jadual 8 Analisis Amalan Pedagogi Dalam Aspek Amalan Refleksi Bil Amalan Pedagogi ( Amalan Refleksi ) N

min sp 1 Mengetahui format penulisan refleksi yang betul 3.86 .61 2 Tahu tujuan penulisan refleksi 4.22 .72 3 Membuat penulisan refleksi secara berkesan 3.95 .62 4 Menggunakan catatan refleksi untuk tujuan

penambahbaikan 4.05 .70

5 Mengetahui kelemahan pengajaran melalui catatan refleksi

3.92 .68

6 Tindakan susulan yang telah diambil dalam penambahbaikan sangat berkesan

4.13 .62

7 Menyediakan catatan refleksi secara berterusan 3.88 .57 8 Menulis catatan refleksi sekadar untuk disemak

oleh pihak pentadbir sahaja 4.19 .66

Page 327: Proceeding jilid 2

738

9 Amalan refleksi banyak membantu menjayakan pengajaran yang dilaksanakan

4.13 .63

10 Membuat refleksi dengan berkesan selepas sesuatu pengajaran

4.30 .55

Berdasarkan Jadual 8, dapatan kajian menunjukkan bahawa terdapat 6 kekuatan amalan siswa guru dalam aspek amalan refleksi kerana terdapat 6 item amalan pedagogi dalam aspek berkenaan berada pada min melebihi 4.01 iaitu berada pada tahap tinggi. Kekuatan pertama adalah dapat membuat refleksi dengan berkesan selepas sesuatu pengajaran (item 10) dengan catatan min 4.30 (sp=.55); dan tahu tujuan penulisan refleksi (item 2) dengan catatan min 4.22 (sp=.72). Dapatan kajian ini juga menunjukkan bahawa siswa guru bukan menulis catatan refleksi sekadar untuk disemak oleh pihak penyelia sahaja (item 8) dengan catatan min 4.19 (sp=.66); dan amalan refleksi banyak membantu menjayakan pengajaran yang dilaksanakan (item 9) dengan catatan min 4.13 (sp=.63). Seterusnya dapatan kajian menunjukkan bahawa siswa guru telah berjaya melaksanakan tindakan susulan melalui amalan refleksi kerana tindakan susulan yang telah diambil dalam penambahbaikan masih sangat berkesan (item 6) dengan catatan min 4.13 (sp=.62 ); dan ini disokong pula dengan dapatan bahawa siswa guru dapat menggunakan catatan refleksi untuk tujuan penambahbaikan (item 4) dengan catatan min 4.05 (sp=.70 ).

Berdasarkan Jadual 8, dapatan kajian juga menunjukkan bahawa terdapat kelemahan amalan pedagogi siswa guru dalam aspek amalan refleksi kerana terdapat 4 item amalan pedagogi dalam aspek berkenaan yang juga berada pada min kurang daripada 4.01. Dapatan kajian membuktikan bahawa siswa guru tidak mengetahui format penulisan refleksi yang betul (item 1) dengan catatan min 3.86 (sp=.61); menyediakan catatan refleksi secara berterusan (item 7) dengan catatan min 3.88 (sp=.57); mengetahui kelemahan pengajaran melalui catatan refleksi (item 5) dengan catatan min 3.92 (sp=.68) dan yang terakhir juga mengalami kesukaran membuat penulisan refleksi secara berkesan (item 3) dengan catatan min 3.95 (sp=.62).

Jadual 9 Analisis Amalan Pedagogi Dalam Aspek Sikap dan Sahsiah

Bil Amalan Pedagogi ( Sikap dan Sahsiah ) N min sp

1 Menunjukkan kesungguhan dalam melaksanakan setiap tugasan

4.10 .61

2 Mampu mengawal emosi walaupun dalam keadaan yang tertekan

4.02 .64

3 Menunjukkan sikap yang prihatin terhadap keperluan murid

3.66 .90

4 Berusaha membantu murid menguasai tajuk pelajaran yang dipelajari

4.43 .60

5 Tidak berputus asa kerana gagal meningkatkan kualiti pengajaran dan pembelajaran

4.47 .59

6 Rasa bersalah apabila gagal mencapai objektif pengajaran dan pembelajaran

4.13 .59

7 Bersikap profesional ketika berbincang dengan 3.67 .93

Page 328: Proceeding jilid 2

739

pihak penyelia 8 Berasa yakin untuk mendapatkan khidmat

nasihat daripada penyelia 4.32 .57

9 Bersikap terbuka apabila menerima teguran daripada penyelia

4.22 .72

10 Peka terhadap persekitaran bilik darjah 3.98 .62

Berdasarkan Jadual 9, dapatan kajian menunjukkan bahawa terdapat 7 kekuatan amalan siswa guru dalam aspek sikap dan sahsiah kerana terdapat 7 item amalan pedagogi dalam aspek berkenaan berada pada min melebihi 4.01 iaitu berada pada tahap tinggi. Kekuatan pertama adalah tidak berputus asa kerana gagal meningkatkan kualiti pengajaran dan pembelajaran (item 5) dengan catatan min 4.47 (sp=.59); dan ini diikuti dengan siswa guru berusaha membantu murid menguasai tajuk pelajaran yang dipelajari (item 4) dengan catatan min 4.43 (sp=.60). Dapatan kajian ini juga menunjukkan bahawa siswa guru berasa yakin untuk mendapatkan khidmat nasihat daripada penyelia (item 8) dengan catatan min 4.32 (sp=.57); dan bersikap terbuka apabila menerima teguran daripada penyelia (item 9) dengan catatan min 4.22 (sp=.62). Seterusnya dapatan kajian menunjukkan bahawa siswa guru rasa bersalah apabila gagal mencapai objektif pengajaran dan pembelajaran (item 6) dengan catatan min 4.13 (sp=.59 ); dan ini disokong pula dengan dapatan bahawa siswa guru menunjukkan kesungguhan dalam melaksanakan setiap tugasan (item 1) dengan catatan min 4.10 (sp=.61 ). Kekuatan terakhir adalah siswa guru mampu mengawal emosi walaupun dalam keadaan yang tertekan (item 2) dengan catatan min 4.02 (sp=.64).

Berdasarkan Jadual 9, dapatan kajian juga menunjukkan bahawa terdapat kelemahan amalan pedagogi siswa guru dalam aspek sikap dan sahsiah kerana terdapat 3 item amalan pedagogi dalam aspek berkenaan yang juga berada pada min kurang daripada 4.01. Dapatan kajian membuktikan bahawa siswa guru menunjukkan sikap yang prihatin terhadap keperluan murid (item 3) dengan catatan min 3.66 (sp=.90); bersikap profesional ketika berbincang dengan pihak penyelia (item 7) dengan catatan min 3.67 (sp=.93); dan yang terakhir peka terhadap persekitaran bilik darjah (item 10) dengan catatan min 3.98 (sp=.62).

Jadual 10 Analisis Amalan Pedagogi Dalam Aspek Nilai

Profesionalisme Keguruan Bil Amalan Pedagogi (Nilai Profesionalisme

Keguruan) N min sp

1 Menunjukkan kemahiran interpersonal yang baik semasa berinteraksi di sekolah

3.80 .74

2 Menunjukkan penampilan diri yang sesuai dengan profesion keguruan

4.43 .58

3 Tidak menunggu arahan penyelia untuk melaksanakan tugas pengajaran dan pembelajaran

4.31 .68

4 Menggunakan kemahiran berkomunikasi dengan berkesan semasa mengendalikan pengajaran dan pembelajaran

3.68 .98

Page 329: Proceeding jilid 2

740

5 Memberi alasan kesuntukan masa apabila menghasilkan kerja yang berkualiti rendah

3.51 .90

6 Memberikan sumbangan dengan rela hati untuk meningkatkan pencapaian murid

4.26 .61

7 Bijak menguruskan beban kerja sepanjang menjalankan tugas

4.24 .69

8 Menunjukkan teladan yang baik kepada murid 3.61 .96 9 Mengemukakan banyak idea untuk meningkatkan

mutu perkhidmatan 3.56 .90

10 Perkembangan profesionalisme guru meningkat setelah menerima teguran daripada penyelia

4.16 .61

Berdasarkan Jadual 10, dapatan kajian menunjukkan bahawa terdapat 5

kekuatan amalan siswa guru dalam aspek nilai profesionalisme keguruan kerana terdapat 5 item amalan pedagogi dalam aspek berkenaan berada pada min melebihi 4.01 iaitu berada pada tahap tinggi. Kekuatan pertama adalah dapat menunjukkan penampilan diri yang sesuai dengan profesion keguruan (item 2) dengan catatan min 4.43 (sp=.58); dan tidak menunggu arahan penyelia untuk melaksanakan tugas pengajaran dan pembelajaran (item 3) dengan catatan min 4.31 (sp=.68). Dapatan kajian ini juga menunjukkan bahawa siswa guru memberikan sumbangan dengan rela hati untuk meningkatkan pencapaian murid (item 6) dengan catatan min 4.26 (sp=.61); dan bijak menguruskan beban kerja sepanjang menjalankan tugas (item 7) dengan catatan min 4.24 (sp=.69); dan yang terakhir adalah perkembangan profesionalisme guru meningkat setelah menerima teguran daripada penyelia (item 10) dengan catatan min 4.162 (sp=.61 ).

Berdasarkan Jadual 10 dapatan kajian juga menunjukkan bahawa terdapat kelemahan amalan pedagogi siswa guru dalam aspek nilai profesionalisme keguruan kerana terdapat 5 item amalan pedagogi dalam aspek berkenaan yang juga berada pada min kurang daripada 4.01. Dapatan kajian membuktikan bahawa siswa guru memberikan alasan kesuntukan masa apabila menghasilkan kerja yang berkualiti rendah (item 5) dengan catatan min 3.51 (sp=.90); mengemukakan banyak idea untuk meningkatkan mutu perkhidmatan (item 9) dengan catatan min 3.56 (sp=.90); menunjukkan teladan yang baik kepada murid (item 10) dengan catatan min 3.61 (sp=.96); menggunakan kemahiran berkomunikasi dengan berkesan semasa mengendalikan pengajaran dan pembelajaran (item 4) dengan catatan min 3.68 (sp=.98); dan yang terakhir menunjukkan kemahiran interpersonal yang baik semasa berinteraksi di sekolah (item 1) dengan catatan min 3.80 (sp=.74). RUMUSAN DAN CADANGAN

Secara keseluruhannya kajian ini mendapati bahawa secara amalan pedagogi siswa guru semasa program praktikum Fasa II, 2014 yang paling tinggi adalah dalam aspek amalan refleksi manakala empat aspek lagi iaitu kemahiran pengajaran dan pembelajaran, pelaksanaan pengajaran, perancangan pengajaran dan nilai profesionalisme keguruan turut berada pada tahap tinggi. Sementara itu dua aspek lagi iaitu pengetahuan dan kefahaman, dan sikap dan sahsiah hanya

Page 330: Proceeding jilid 2

741

berada pada tahap sederhana tinggi. Oleh yang demikian, setiap siswa guru yang terlibat haruslah berusaha untuk mendapatkan bimbingan daripada pensyarah penyelia dengan lebih mendalam agar mereka boleh meningkatkan tahap kompetensi dalam aspek pengetahuan dan kefahaman, dan sikap dan sahsiah ke tahap yang tinggi.

Selain itu secara keseluruhannya min setiap konstruk kajian juga berada pada tahap yang tinggi. Ini membuktikan bahawa siswa guru sangat berpuas hati terhadap bimbingan pengajaran yang dilaksanakan oleh pensyarah penyelia dan guru pembimbing, khususnya dalam lima aspek bimbingan yang berada pada tahap tinggi tersebut. Namun begitu terdapat beberapa aspek yang masih boleh dibuat penambahbaikan oleh pensyarah penyelia dan guru pembimbing yang perlu diteliti mengikut pengkhususan siswa guru masing-masing. Pengkaji turut mencadangkan agar siswa guru dapat menyesuaikan diri dengan budaya di sesebuah sekolah untuk membolehkan mereka memahami tugas sebenar sebagai seorang pendidik.

Pengkaji turut mencadangkan agar setiap pensyarah penyelia dan guru pembimbing yang terlibat dalam program mentoran praktikum perlu saling berhubung secara profesional dalam usaha mengesan kelemahan siswa guru dan seterusnya mencadangkan penambahbaikan yang bersesuaian. Siswa guru turut dicadangkan agar sentiasa melakukan refleksi kendiri dalam usaha untuk membentuk diri menjadi guru yang berkualiti dan berusaha membawa penampilan diri yang bersesuaian dengan profesion keguruan.

Oleh kerana kajian ini terhad kepada empat pengkhususan pengajian siswa guru sahaja, maka adalah dicadangkan agar kajian dilakukan oleh pengkaji yang lain untuk melibatkan semua kursus pengajian di institusi latihan keguruan. Di samping itu satu kajian yang menyeluruh dan turut melibatkan guru pembimbing perlu dilaksanakan untuk melihat impak amalan dan pendekatan bimbingan pengajaran yang diamalkan oleh pensyarah penyelia dan guru pembimbing. Selain itu adalah dicadangkan agar skop panduan yang standard dapat dibentuk dan seterusnya digunakan oleh pensyarah penyelia dan guru pembimbing bagi meningkatkan impak bimbingan yang diberikan kepada siswa guru. DAFTAR RUJUKAN Abd Rahim & Abd. Aziz Yusof. (2006). Perubahan dan kepimpinan. Sintok:

Universiti Utara Malaysia. Abdul Malek Tahir & Siti Zohora Yassin. (2001). Persepsi guru pelatih terhadap

pementoran mentor (guru pembimbing) sekolah semasa praktikum: Maktab Perguruan Batu Lintang.

Abdul Rafie Mahat. (2002). Ucap utama seminar nasional pengurusan & kepimpinan pendidikan ke 11. Anjuran Institut Aminuddin Baki, Kementerian Pendidikan Malaysia. Genting Highlands, 16-19 Disember.

Abdul Razak Abd Manaf & Ahmad Shukri Abdul Hamid. (2002). Tinjauan terhadap permasalahan dan penilaian ke atas komponen latihan praktikum 1 program pengurusan kerja sosial. Laporan Penyelidikan. Sekolah Pembangunan Sosial, Universiti Utara Malaysia.

Abdul Shukor Abdullah. (2004). Ucap utama seminar nasional pengurusan & kepemimpinan pendidikan ke 12. Seminar nasional pengurusan dan

Page 331: Proceeding jilid 2

742

kepemimpinan pendidikan ke 12. Anjuran Institut Aminuddin Baki, Kementerian Pendidikan Malaysia. Genting Highlands, 14-17 Julai.

Abu Hassan Kassim. (1995). Penyelia dan penyeliaan pengajaran guru pelatih: Perancangan dan penyampaian pengajaran: Fakulti Pendidikan, Universiti Teknologi Malaysia. Johor Bahru.

Almahdi Mohammad Almahdi Ahmed. (2006). Identifying student and organization matching pattern using data mining technique for practicum placement. Unpublished master’s thesis: Universiti Utara Malaysia.

Azhar Muhammad, Abdul Hafiz Abdullah, Azmi Shah Suratman, Kamarul Azmi Jasmi & Mohd Ismail Mustari. (2007). Tahap profesionalisme guru-guru pelatih Pendidikan Islam dalam latihan praktikum: Universiti Teknologi Malaysia.

Bahagian Pendidikan Guru. (2010). Standard guru Malaysia. Kementerian Pelajaran Malaysia.

Baharin Abu & Suzana Mamat @ Muhammad. (2009). Pengetahuan etika profesion perguruan dalam kalangan guru pelatih 4SPH: Fakulti Pendidikan UTM. Fakulti Pendidikan, Universiti Teknologi Malaysia.

Baharin Abu. (2006). Tahap kesediaan pedagogi guru pelatih fakulti pendidikan, UTM dalam latihan mengajar. Kertas kerja dibentang dalam Kolokium Fakulti Pendidikan, UTM: Fakulti Pendidikan, UTM, Johor.

Burke, K. (2002). Mentoring guidebook exploring teaching strategies. US of America: Pearson Education, Inc.

Byron, M. (1990). Teacher acceptance of a peer training programme. Educational Research. 32. 66 – 71.

Campbell, J. et al. (2001). Students’ perceptions of teaching and learning: The influence of students’ approaches to learning and teachers’ approaches to teaching. Teachers and Teaching: Theory and Practice. 7(2). 173-187.

Doering, A., Johnson, M., & Dexter, S. (2003). Using asynchronous discussion to support pre-service teachers’ practicum experiences. TechTrends, 47(1), 52-55.

Duke, L., Karson, A., & Wheeler, J. (2006). Do mentoring and induction program have greater benefits for teachers who lack preservice training? Jurnal of Public & International Affairs-Princeton. 17, pg.61-82.

Ebmeier, H. & Nicklaus, J. (1999). The impact of peer and principal collaborative supervision on teachers' trust, commitment, desire for collaboration, and efficacy. Journal of Curriculum and Supervision, 14(4), 351–378.

Flores, M. A. (2001). Person and context in becoming a new teacher. Journal of Education for Teaching, 27(2): 135-148.

Foo Say Fooi & Tang Keow Ngang. (2002). Kepimpinan pengajaran pengetua / guru besar dan kepuasan guru. Jurnal Pengurusan dan Kepimpinan Pendidikan. 10(02), 35-48.

Fowler, J. (1999). The handbook of clinical supervision: Your questions answered. Wiltshire: Mark Allen Publishing Limited.

Furlong, J., & Maynard, T. (1995). Mentoring student teachers: The growth of professional knowledge. London: Routledge.

Gless, J. (2006). Designing mentoring programs to transform school cultures. in B. Achinstein and S. Z. Athanases (Eds), Mentors in the Making: Developing

Page 332: Proceeding jilid 2

743

New Leaders for New Teachers. New York: Teachers College Press, 165–175.

Glickman, C .D., Gordon, S. P. & Ross-Gordon, J. M. (2001). Supervision and instructional leadership: A Developmental Approach. Ed ke-4. Boston: Allyn and Bacon.

Graf, N. M., & Stebnicki, M. A. (2002). Using e-mail for clinical supervision in practicum: A qualitative analysis. Journal of Rehabilitation, 68(3), 41-49.

Halimah Harun. (2006). Minat, motivasi dan kemahiran mengajar guru pelatih. Jurnal Pendidikan Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Hamzah Md. Omar et al. (1996). Peranan guru pendamping terhadap guru pelatih Maktab Perguruan Tuanku Bainun semasa praktikum 1/95. Seminar Penyelidikan Pendidikan. Bahagian Pendidikan Guru. Pualu Pinang. 9 - 12 Dis.

Handal, G. & Lauvas, P. (1987). Promoting reflective teaching: Supervision in action. London: Open University Press.

Hapidah Mohamed, Roselan Baki, Nadzeri Hj.Isa, Mohd.Sahandri Gani Hamzah & Abd.Ghani Taib. (2002). Kualiti pengajaran dan pembelajaran: Satu kajian retrospektif. Seminar Penyelidikan Pendidikan. Institut Bahasa Melayu Malaysia. Kuala Lumpur.

Hashim Othman, & Mohd. Daud Hamzah. (2001). Latihan mengajar kendalian sekolah: penerokaan komponen-komponen kecekapan mengajar guru pelatih pra-siswazah. Kertas kerja dibentang dalam Conference on Challenges and Prospects in Teacher Education, Concorde Hotel, Shah Alam, pada 16-17 Julai 2001.

Hasriani Adjeng. (2007). Faktor yang mempengaruhi keyakinan guru pelatih matematik semasa latihan mengajar. Kajian Ilmiah Yang Tidak Diterbitkan. Universiti Teknologi Malaysia, Skudai.

Hazil Abd Hamid. (1995). Penyeliaan dan peningkatan prestasi pelatih latihan mengajar dalam perspektif pembentukan objektif dan proses bimbingan. Bengkel Penyelarasan Penyeliaan Latihan Mengajar Penyelia-penyelia Bersekutu UTM/MRSM. Langkawi. 1 – 5 November 1995.

Huling, Leslie, Resta & Virgina. (2001). Teacher mentoring as professional development.: Eric Digest.

Irfan Naufal Umar & Noor Hazita Ahmad. (2011). Trainee Teachers’ Critical Thinking In An Online Discussion Forum: A Content Analysis. Malaysian Journal Of Learning and Instruction. MJLI Vol. 7, 75-91

Ivylenda Rubbin Guribah. (2007). Tinjauan masalah serta cabaran oleh guru pelatih sains Universiti Teknologi Malaysia (UTM) yang telah menjalani latihan mengajar bagi sesi 2006/2007. Kajian Ilmiah Yang Tidak Diterbitkan. Universiti Teknologi Malaysia.

Jamaluddin Ramli, Ahmad Johari Sihes, Abd Rahim Hamdan & Muainah Ismail. (2006). Bimbingan guru pembimbing terhadap guru pelatih dalam latihan mengajar. Skudai Johor: Universiti Teknologi Malaysia

Jemaah Nazir Sekolah. (2001). Pernyataan dasar standard tinggi kualiti pendidikan (SKTP). Kuala Lumpur: Jemaah Nazir Sekolah. Kementerian Pelajaran Malaysia.

Page 333: Proceeding jilid 2

744

Johnston, S. (1994). Conversations with student teachers - enhancing the dialogue of learning to teach. Teaching and Teacher Education, 10(1), 71-82.

Kamaruddin Hussin, Hazil Abdul Hamid & Baharuddin Aris. 1985. Laporan kajian bimbingan dalam penyeliaan latihan mengajar Universiti Teknologi Malaysia. Kajian Ilmiah yang Tidak Diterbitkan. Universiti Teknologi Malaysia.

Kamilah Abd Samat. (2009). Persediaan guru pelatih Pendidikan Islam untuk menjalani latihan mengajar. Kajian Ilmiah Yang Tidak Diterbitkan. Universiti Teknologi Malaysia.

Kantha Kumar Ramasamy. (1997). Kajian persepsi guru pelatih mengenai kualiti dan keberkesanan bimbingan praktikum 1 kursus perguruan asas Institut Perguruan Darul Aman. Kertas Kerja dibentangkan dalam Seminar Penyelidikan Pendidikan di Bahagian Pendidikan Guru.

Kementerian Pelajaran Malaysia. (2006). Pelan Induk Pembangunan Pendidikan 2006–2010. Putrajaya: Kementerian Pelajaran Malaysia.

Kementerian Pendidikan Malaysia. (2003). Garis panduan praktikum latihan perguruan praperkhidmatan. Kuala Lumpur: Bahagian Pendidikan Guru.

Kementerian Pengajian Tinggi Malaysia & Kementerian Pelajaran Malaysia. (2005). Penilaian latihan mengajar dalam program pendidikan guru di Malaysia. Pulau Pinang: Jawatankuasa Penyelarasan Pendidikan Guru (JPPG) Malaysia, Pusat Pengajian Ilmu Pendidikan, Universiti Sains Malaysia.

Khairuddin Zakaria. (1997). Tahap bimbingan guru pembimbing, pensyarah penyelia dan pengurusan sekolah ke atas guru pelatih praktikum 2. Jurnal Wacana Pendidikan. Maktab Perguruan Pasir Panjang.198-212

Landel, H.K. (1997). Management by menu. London: Wiley & Son Inco. Lim Khong Chiu, Nor Idayu Mahat, Shahizan Hassan, Abdul Razak Chik, Mohd

Azlan Yahya. (2010). Penilaian Terhadap Prestasi Pelajar dan Pengurusan Program Praktikum Universiti Utara Malaysia, Universiti Utara Malaysia. Malaysian Journal Of Learning and Instruction. MJLI Vol. 7,133-164.

Lim Lee Hean. (2005). Leadership mentoring in education: The Singapore Practice Singapore: Marshall Cavendish.

Mei, L. W. (2008). Bimbingan oleh guru pembimbing kepada guru pelatih UTM. Kajian Ilmiah Yang Tidak Diterbitkan. Universiti Teknologi Malaysia.

Meor Ibrahim Kamaruddin & Norziana Anuar. (2010). Tinjauan terhadap tahap penyeliaan guru pembimbing terhadap guru pelatih semasa menjalani latihan mengajar, Fakulti Pendidikan, Universiti Teknologi Malaysia.

Murray-Harvey, R. (2001). How teacher education students cope with practicum concerns. The Teacher Education, 37(2), 117-132.

Noor Azlan Ahmad Zanzali & Sh. Aklima Nadia Syed Alwi. (2010). Persepsi guru pelatih matematik UTM terhadap penulisan reflektif semasa latihan mengajar. Fakulti Pendidikan, Universiti Teknologi Malaysia.

Nor Asimah Zakaria. (2010). Keberkesanan bimbingan guru pembimbing terhadap latihan mengajar guru pelatih UPSI, Universiti Pendidikan Sultan Idris, Proceedings of the 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI. Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010.

Page 334: Proceeding jilid 2

745

Norani Mohd Nor & Mohd Azhar Ayob. (2008). Persepsi guru pelatih terhadap penyeliaan latihan mengajar oleh guru pembimbing dan penyelia UTM semasa menjalani latihan mengajar. Fakulti Pendidikan, Universiti Teknologi Malaysia.

Norasmah Othman, Mohammed Sani Ibrahim & Zamri Mahamod. (2007). Penyelidikan pendidikan guru novis. Profesionalisme guru novis: Model Latihan.Ed.Kedua, m.s 1-24. Fakulti Pendidikan UKM, Bangi.

Ralph, E. G. (2000). Aligning mentorship style with beginning teachers' development: Contextual supervision. The Alberta Journal of Educational Research, XLVI(4), 311-326.

Shahizan Hassan, Mohd Azlan Yahya, Abdul Razak Chik, & Wan Husin Wan Ishak. (2006). Online student placement system (OPSP). Laporan Penyelidikan, Pusat Praktikum, Universiti Utara Malaysia.

Shariff Omar, Baharuddin Aris, Mohd. Ghani Awang, & Baharin Abu. (1994). Penilaian penyeliaan terhadap prestasi guru pelatih UTM dalam latihan mengajar. Kertas kerja dibentang dalam Seminar Jawatankuasa Latihan Keguruan Antara Universiti Ke9, UKM, Bangi, Selangor.

Southworth, G. (2002). Instructional leadership in schools: Reflections and empirical evidence. School Leadership & Management, Vol. 22, No. 1.

Subramaniam, S. (1995). Usaha untuk meningkat profesion keguruan. Kertas kerja dibentangkan dalam Seminar Pendidikan Kebangsaan UTM, Johor, 18-19 Disember.

Suseela Malakolunthu. (2005). Supervisory practices for teacher development: Challenges and constraints. Universiti Malaya. Jurnal Pendidikan. 2005.

Swain, G. (1995). Clinical supervision-the principles and process. London: College Hill Press Ltd.

Wright, S. (1992). In Swain, G. 1995. Clinical supervision-the principles and process. London: College Hill Press Ltd.

Yahya Don & Yaakob Daud. (2011). Kompetensi Emosi dan Kepemimpinan Transformasional di Sekolah berkesan dan Sekolah Kurang Berkesan Universiti Utara Malaysia. Malaysian Journal Of Learning and Instruction. MJLI Vol. 8,151-181

Ying, B. P. (2002). Amalan reflektif ke arah peningkatan profesionalisme diri guru. Jurnal Pendidkan IPBA. 3(2), 102- 109.

Zahidah Abd Samad. (2009). Tekanan di kalangan guru pelatih Matematik semasa menjalani latihan mengajar. Kajian Ilmiah Yang Tidak Diterbitkan. Universiti Teknologi Malaysia.

Zainudin Abu Bakar. (2006). Clinical supervision in the Malaysian teaching practicum context. Dissertation: University of Bristol, UK.

Zakaria Kasa, Soaib Asimirin, Abdul Rasid Jamian & Yahya Othman. (2001). Persepsi pelatih terhadap latihan mengajar. Suara Pendidik (23), 20-30.

Page 335: Proceeding jilid 2

746

BUILDING AUTHORITY IN LEARNING

Pupun Nuryani Universitas Pendidikan Indonesia E-mail: [email protected]

Abstract The paper entitled "Building Authority in Learning " is an attempt to explain the importance of authority in education. Preparation of this paper was based on the authority crisis affecting the implementation of learning that do not support learners in achieving education goals. There are several things that must be done to build authority teacher in learning , namely by building affection towards learners , a belief that learners will be adults , maturity , identification of learners, and educational responsibilities. With the authority of learning , teachers can implement ( 1 ) a high commitment to carry out the duties and responsibilities as a teacher and educator of the students , ( 2 ) a sincerely internal motivation, when carrying out the tasks of teaching in his life , (3 ) sense of humor , made the class interesting and fun , mastering teaching materials , have an ability to explain well , take the time to help the students , being fair / honest and open to students , treat students as adults , ( 4 ) have a good relationship with the student , able to consider any students condition and feelings , and to be fair and do not discriminate against students. Role to establish the authority of the teacher, one needs to understand the pedagogic. Through understanding of pedagogical, teachers can understand the phenomenon of education systematically, provide clues and directions about which should be implemented in educating, avoiding mistakes in the practice of educating and also a chance to get to know yourself and making improvements. Keywords: Building Authority in Learning PENDAHULUAN

Latar Belakang Kegagalan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan

terjadi karena berbagai faktor, bisa terjadi karena faktor sarana dan prasarana tidak memadai dan tidak menunjang terhadap terjadinya pembelajaran, faktor lingkungan yang tidak mendukung terhadap terjadinya pembelajaran yang nyaman dan aman, serta faktor gurunya sendiri yang tidak memahami landasan-landasan pendidikan sehingga berdampak terhadap suasana belajar yang tidak menyenangkan, pembelajaran tidak nyaman dan terjadinya komunikasi yang tidak efektif. Sebagaimana jamal Ma’mur Asmani (2013) menjelaskan Tidak semua siswa yang tidak bergairah belajar adalah anak bodoh. Kondisi tidak/kurang bergairah dalam belajar adalah gejala umum yang dialami siswa. Namun banyak kemungkinan yang menyebabkan kondisi ini diantaranya adalah siswa tidak tertarik dengan cara guru mengajar, siswa merasa bosan atau jemu, siswa mengantuk karena malam sebelumnya kurang tidur, dan sebagainya.

Page 336: Proceeding jilid 2

747

Kasus-kasus yang terjadi di lapangan sebagai dampak dari kekurangpahaman guru terhadap landasan-landasan pendidikan meninbulkan krisis kewibawaan dan berdampak fatal terhadak peserta didik, misalnya ada peserta didik yang takut terhadap guru dan tidak dapat berkomunikasi dengan guru, ada peserta didik yang benci terhadap guru, terjadinya a moral dan asulila pada peserta didik seperti terjadinya tawuran, melanggar terhadap aturtan-aturan yang berlaku dan masih banyak bentuk perilaku yang lainnya sehingga tujuan pendidikan yang diharapkan baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikiotor tidak tercapai. Semua ini terjadi karena adanya krisis kewibawaan dalam pendidikan.

Upaya pendidikan untuk mengatasi krisis kewibawaan perlu ada pemahaman dan kesadaran dari pihak guru khususnya untuk membangun kewibawaan dalam pelaksanaan pembelajaran. Pembelajaran secara formal dimulai sejak anak mengenal sekolah yaitu Sekolah dasar. Dengan demikian guru di Sekolah Dasar sebagai dasar peletak penanaman kepercayaan peserta didik terhadap guru, guru betul-betul dituntut untuk menegakkan kewibawaan dalam pembelajaran.

Guru sebagai pengajar mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar. Mengajar bukanlah suatu kegiatan yang mudah, hal ini memerlukan pengetahuan dan praktik mengajar yang baik. Oleh karena itu guru perlu memahami pegagogik, sebagaimana Sudarwan Danim dan Khairil (2013) menjelaskan :

Ilmu Paedagogi sangat diperlukan untuk menjadi pedoman dalam mengajar. Dalam Paedagogi, mengajar bukan hanya sebatas memiliki ilmu dan menyampaikan ilmu tersebut, namun terdapat seni Paedagogi untuk mengajar. Perlu diperhatikan juga cara menyampaikan ilmu tersebut, interaksi, improvisasi, dan ekspresi. Intinya, kegiatan pembelajaran sesungguhnya merupakan kombinasi antara ilmu dan seni.Selain itu, tidak hanya mempelajari teori Paedagogi, namun harus mengetahui dan mempelajari praktik Paedagogi. Dengan kata lain, tidak sekadar harus dipahami, melainkan juga mengetahui bagaimana cara mengaplikasikannya. Paedagogi dapat memfasilitasi dan menjadi pedoman bagi calon guru dan juga guru ataupun pengajar.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka fokus utama makalah ini memaparkan beberapa hal yaitu : 1. Bagaimana membangun kewibaan dalam pembelajaran 2. Bagaimana peran guru dalam menciptakan pembelajaran yang efektif

Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah : 1. Peserta seminar mendapatkan gambaran cara membangun kewibawaan dalam

pembelajaran 2. Peserta seminar memperoleh informasi tentang peran guru dalam menciptakan

pembelajaran yang efektif PENTINGNYA PEDAGOGIK DALAM PENDIDIKAN

Secara etimologis pedagogik dapat diartikan sebagai ilmu mendidik anak. Ada dua alasan yang melandasi perlunya pedagogik dalam pendidikan. Pertama, pedagogik sebagai suatu sistem pengetahuan tentang pendidikan anak diperlukan, karena akan menjadi dasar bagi praktek mendidik anak. Selain itu

Page 337: Proceeding jilid 2

748

bahwa pedagogik akan menjadi standar atau kriteria keberhasilan praktek pendidikan anak. Kedua, manusia memiliki motif untuk mempertanggungjawabkan pendidikan bagi anak-anaknya, karena itu agar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, praktek pendidikan anak memerlukan pedagogik sebagai landasannya agar tidak terjadi dengan asal-asalan.

Kegunaan pedagogik bagi pendidik antara lain untuk memahami fenomena pendidikan secara sistematis, memberikan petunjuk tentang yang seharusnya dilaksanakan dalam mendidik, menghindari kesalahan-kesalahan dalam praktek mendidik juga sebagai ajang untuk mengenal diri sendiri dan melakukan koreksi demi perbaikan bagi diri sendiri. Pedagogik sebagai ilmu sangat dibutuhkan oleh guru. Tugas guru bukan hanya mengajar untuk menyampaikan, atau mentransformasikan pengetahuan kepada peseta didik di sekolah, melainkan guru mengemban tugas untuk mengembangkan kepribadian peserta didiknya secara terpadu. Guru mengembangkan sikap mental anak, mengembangkan hati nurani atau kata hati anak, sehingga ia(anak) akan sensitif terhadap masalah-masalah kemanusiaan, harkat derajat manusia, dan menghargai sesama manusia. Begitu juga guru harus mengembangkan keterampilan anak, keterampilan hidup di masyarakat yang mampu untuk menghadapi segala permasalahan hidupnya. Pedagogik berkaitan erat dengan cita-cita hidup (Agama, budaya, politik, hukum), ilmu kehidupan, filsafat, pendidikan sekolah maupun luar sekolah. MEMBANGUN KEWIBAWAAN DALAM PEMBELAJARAN

Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menurut gagne, Briggs, dan wager (1992), pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa (Paulina Pannen, 2001). Istilah pembelajaran mengacu pada segala kegiatan yang berpengaruh langsung terhadap proses belajar siswa. Jadi ciri utama pembelajaran adalah meningkatkan dan mendukung proses belajar siswa, adanya interaksi dan saling keterkaitan antara komponen-komponen yang ada dalam pembelajaran ( tujuan, materi, kegiatan, dan evaluasi pembelajaran).

Kewibawaan merupakan syarat mutlak agar peserta didik dapat menerima pengaruh langsung dari guru dalam proses pembelajaran. Kewibawaan adalah Kekuatan pribadi pendidik yang diakui dan diterima secara sadar dan tulus oleh anak didik, sehingga dengan kebebasannya anak didik mau menuruti pengaruh positif dari pendidik. Kewibawaan terjadi karena adanya beberapa faktor yang harus dibangun oleh guru. Sebagaimana M.J. Langeveld (1980 : 40-65) menjelaskan faktor-faktor yang menentukan kewibawaan dalam pembelajaran , yaitu guru hendaknya membangun : 1. Kasih sayang terhadap anak

Dalam pembelajaran bantuan guru terhadap peserta didik didasari oleh kasih sayang. Dengan dasar kasih sayang, guru dalam membantu peserta didik betul-betul dilaksanakan dengan ikhlas tanpa pamrih, guru dapat melayani dan membatunya apapun yang terjadi pada peserta didik.

2. Kepercayaan bahwa anak akan dewasa

Page 338: Proceeding jilid 2

749

Apabila guru percaya bahwa peserta didik akan dewasa, maka pembelajaran bisa berpusat pada siswa. Guru akan memberi banyak kesempatan kepada peserta didik untuk mengekplorasi pengetahuan secara langsung. Guru lebih banyak memerankan peran tutwuri handayani.

3. Kedewasaan Salah satu ciri guru yang dewasa mempunyai prinsip dan nilai-nilai yang stabil dan benar-benar diimlpementasikan dalam kehidupannya

4. Identifikasi terhadap anak didik Apa yang dilakukan guru dalam pembelajaran sedapat mungkin berdasarkan pada kondisi peserta didik sehingga tidak terjadi mistreatment. Guru memberi pelayanan dan perlakuan secara tepat sesuai dengan kondisi peserta didik.

5. Tanggung jawab pendidikan Apa yang dilakukan guru dalam pembelajaran dapat dipertanggungjawabkan dan diarahkan pada tujuan pembelajaran yang diharapkan. Ketika ada peserta didik yang menyimpang dari tujuan pendidikan yang diharapkan, maka guru yang bertangngung jawab tidak akan membiarkannya peserta didik tersebut, akan tetapi dengan sepenuh hati akan membimbingnya hingga peserta didik dapat mencapai tujuan tersebut.

Dengan dibangunnya 5 aspek tersebut oleh guru berdampak terhadap peserta didik menjadi patuh terhadap guru. Kepatuhan peserta didik terhadap guru /pendidik dalam hubungan kewibawaan ditentukan oleh (M.J. Langeveld, 1980) : 1. Kemampuan anak didik dalam menyadari “diri/aku” dan memahami bahasa 2. Kepercayaan anak didik kepada pendidik 3. Identifikasi 4. Imitasi dan simpati 5. Kebebasan anak untuk menentukan sikap, perbuatan dan masa depannya

Apabila kewibawaan tidak ada dalam pembelajaran, maka perintah, ajaran, petunjuk, dan tindakan lainnya dari guru, dituruti peserta didik hanya sebatas pengaruh ketertarikan peserta didik pada gurunya saja, sehingga kepenurutannya tidak didasari kebebasan untuk menentukan sikapnya dan akhirnya peserta didik tidak menjadi dewasa. PERAN GURU DALAM MENCIPTAKAN PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF

Guru dalam melaksanakan pembelajaran dituntuk untuk memiliki berbagai pengatehuan dan keterampilan profesional. 7 keterampilan profesional yang harus dikuasai oleh guru agar berhasil dalam pembelajaran, yaitu keterampilan merencanakan instruksional dan menetapkan tujuan, keterampilan mengembangkan pengajaran yang tepat, keterampilan manajemen kelas, keterampilan motivasional, keterampilan komunikasi, keterampilan asesmen, dan keterampilan teknologi (Jamal Ma’mur Asmani, 2013). Guru dituntut untuk memiliki: 1. Komitmen yang tinggi untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai

pengajar dan pendidik para siswa. 2. Motivasi internal yang bersifat tulus ikhlas, ketika melaksanakan tugas-tugas

pengajaran dalam hidupnya. 3. Rasa humor, membuat kelas menarik dan menyenangkan, menguasai materi

pengajaran, mampu menjelaskan dengan baik, menyediakan waktu untuk

Page 339: Proceeding jilid 2

750

menolong siswa, bersikap fair/jujur san terbuka pada siswa, memperlakukan siswa sebagai orang dewasa.

4. Hubungan yang baik dengan siswa, mampu mempertimbangkan perasaan siswa, dan bersikap adil dan tidak membeda-bedakan siswa.

Peran guru sangat membantu dan menentukan sekali bagi pembentukan kepribadian, cita-cita, dan visi misi yang menjadi impian hidup peserta didiknya di masa depan.Dengan demikian guru harus berkualitas yang menpunyai ciri bersifat ideal, inovatif, dan motivator yang unggul bagi peserta didiknya. Ada enam kriteria guru masa depan (ideal), yaitu belajar sepanjang hayat, literate sains dan teknologi, menguasai bahasa Inggris dengan baik, terampil melaksanakan penelitian kelas, rajin menghasilkan karya tulis ilmiah, dan mampu mendidik peserta didik berdasarkan filosofi kontruktivisme dengan pendekatan kontekstual Jamal Ma’mur Asmani, 2013).

Fungsi dan tugas guru dalam melaksanakan perannya sebagai pembelajar adalah sebagai berikut (Jamal Ma’mur Asmani, 2013) : 1. Educator (pendidik)

Tugas pertama guru adalah mendidik peserta didik sesuai dengan materi pelajaran yang diberikan kepadanya.

2. Leader (pemimpin) Guru juga seorang pemimpin kelas. Karena itu, ia harus bisa menguasai, mengendalikan, dan mengarahkan kelas menuju tercapainya tujuan pembelajaran yang berkualitas. Sebagai seorang pemimpin, guru harus terbuka, demokratis, egaliter, dan menghindari cara-cara kekerasan.

3. Fasilitator Sebagai fasilitator, guru bertugas memfasilitasi peserta didik untuk menemukan dan mengembangkan bakatnya secara pesat. Menemukan bakat peserta didik bukan persoalan mudah, ia membutuhkan eksperimentasi maksimal, latihan terus menerus, dan evaluasi rutin.

4. Motivator Sebagai seorang motivator, seorang guru harus mampu membangkitkan semangat dan mengubur kelemahan peserta didik bagaimanapun latar belakang hidup keluarganya, bagaimanapun kelam masa lalunya, dan bagaimanapun berat tantangannya.

5. Administrator Sebagai seorang guru, tugas administrasi sudah melekat dalam dirinya, dari mulai melamar menjadi guru, kemudian diterima dengan bukti surat keputusan yayasan, surat instruksi kepala sekolah, dan lain-lain. Urusan yang ada di lingkup pendidikan formal biasanya memakai prosedur administrasi yang rapid an tertib.

6. Evaluator Sebaik apapun kualitas pembelajaran, pasti ada kelemahan yang perlu dibenahi dan disempurnakan. Di sinilah pentingnya evaluasi seorang guru. Dalam evaluasi ini, guru bisa memakai banyak cara, dengan merenungkan sendiri proses pembelajaran yang diterapkan, meneliti kelemahan dan kelebihan, atau dengan cara yang lebih objektif, meminta pendapat orang lain, misalnya kepala sekolah, guru yang lain, dan peserta didiknya.

Page 340: Proceeding jilid 2

751

Tugas guru dalam melaksanakan pembelajaran tidak hanya sekadar transfer of knowledge (memindah ilmu pengetahuan) dari sisi luarnya saja, tapi juga transfer of value (memindah nilai) dari sisi dalamnya. Perpaduan dalam dan luar inilah yang akan mengokohkan bangunan pengetahuan, moral, dan kepribadian peserta didik dalam menyongsong masa depannya.

Mengingat tugas guru selain mengajar juga mendidik, maka guru harus memerankan: 1. ing ngarso sung tulodo , keteladanan dari seorang guru menjadi harga mati

yang tidak bisa ditawar-tawar. Keteladanan adalah suatu yang dipraktikan, diamalkan bukan hanya dikhutbahkan, diperjuangkan, diwujudkan, dan dibuktikan (Jamal ma’mur Asmani, 2013). Keteladanan adalah perilaku yang sesuai dengan norma, nilai, dan aturan yang ada dalam agama, adat istiadat, dan aturan negara.

2. Pembuka jendela dunia, Guru adalah salah satu jendela melihat dunia bagia anak didiknya, selain kedua orang tuanya, televise, internet, dan lain-lain. Guru masih memegang peranan sentral dalam membukakan pikiran siswa untuk melihat dunia yang berkembang dengan cepat dan dinamis. Guru tidak hanya membuka jendela dunia, tapi sekaligus menyeleksi, memfilter, dan memberikan informasi terbaik kepada murid-muridnya. Dalam perannya sebagai pembuka jendela dunia bagi murid-muridnya, memahami globalisasi adalah salah satu tugas utama guru untuk membentengi anak didiknya dari dampak negative budaya global. Setelah memahami globalisasi, seorang guru harus memberikan penilaian objektif mengenai baik buruknya globalisasi, konstruktif dan destruktifnya, serta kiat-kiat mengambil manfaatnya secara maksimal dan menjauhi kerusakannya seminimal mungkin. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah salah satu hal positif yang bisa ditiru dari Barat ( Jamal Ma’mur Asmani, 2013) .

3. Masa depan ( guru ideal), guru ideal harus mendengarkan aspirasi murid agar perilakunya disenangi murid. Harmonisasi hubungan guru-murid sangat penting untuk efektivitas pembelajaran yang dinamis dan progresif (Jamal Ma’mur asmani, 2013).

Dengan memainkan peranannya dalam pembelajaran, guru diharapkan dapat melaksakan pembelajaran yang unggul, dimana siswa termotivasi belajar secara berkelanjutan, terutama berkaitan dengan cara peserta didik berpikir, bertindak dan merasa. Adapun ciri-ciri pembelajaran yang unggul mempunyai karakteristik sebagai berikut ( Sudarwan danim, H. Khaeril, 2013) : 1. Keahlian pokok:

a. Memilki pengetahuan tentenag materi pelajaran secara menyeluruh b. Menguasai materi lebih jauh dari sekedar yang tertuang dalam buku teks

standar c. Meneliti dan mengembangkan pikiran-pikiran penting d. Mendalami secara kontinu mata pelajaran, menganalisis sifat dan cakupan

materi pelajaran, dan mengevaluasi kualitas e. Mengikuti perkembangan secara teraturdalam mata pelajaran terkaitdan

pengembangan intelektual bidang lain yang menunjang f. Memiliki minat yang kuat dalam isu-isu yang lebih luas demi pengembangan

intelektual yang mengagumkan.

Page 341: Proceeding jilid 2

752

2. Ahli pedagogis: a. Menetapkan tujuan-tujuan pembelajaran yang sesuai dan mampu

mengkomunikasikannya dengan jelas. b. Menunjukan sikap positif dan percaya terhadap siswa, dan secara kontinu

bekerja untuk mengatasi kendala yang mungkin menghambat proses belajar c. Mengevaluasi dan menilai siswa secara adil dan cepat d. Mendorong siswa berpikir dan memberdayakan diri untuk menemukan

kretivitas mereka sendiri e. Mempromosikan berbagai ide, ekspresi dan pendapat terbuka yang

beragam dengan tetap menjaga suasana integritas, kesopanan dan rasa hormat

f. Memandu siswa berhasil dalam belajar melalui eksplorasi proses pemecahan masalah secara kreatif dan kritis

g. Mempromosikan penemuan siswa h. Menjadikan proses belajar dan mengajar merupakan proses ilmiah i. Menunjukan komitmen yang kuat j. Memberikan umpan balik secra teratur k. Menemukan cara yang unik dan kreatif untuk mengajar

3. Komunikator yang unggul : a. Menunjukan kemampuan komunikasi lisan dan tulisan yang efektif b. Menunjukan kemampuan berorganisasi danketerampilan perencaan yang

baik c. Membantu siswa belajar menggunakan keterampilan berkomunikasi yang

efektif d. Memanfatkan alat pembelajaran secara tepat dan efektif e. Menggunakan bahasa sebagai jembatan budaya

4. Mentor yang berpusat pada siswa : a. Menjadikan dan membuat belajar siswa sebagai prioritas tertinggi b. Menyediakan waktu secara ikhlas untuk meningkatkan motivasi belajar

siswa c. Membantu siswa menghubungkan pengelaman pembelajaran dan

memfasilitasi pengembangan pengetahuan dirinya d. Menanamkan keinginan pada siswa untuk belajar seumur hidup e. Membantu siswa memahami kepribadiannya

5. Asesor yang sistematis dan berkelanjutan : a. Menciptakan lingkungan yang mengundang umpan balik siswa yang

membangun untuk perbaikan pembelajaran b. Menyesuaikan gaya belajar untuk mencapai suatu tujuan belajar siswa yang

berhasil c. Mengakui keterbatasan dan kekurangan diri, menerima realitas keterbukaan

dan daya kritis siswa serta belajar dari mereka d. Mendukung upaya pengujian untuk mengetahui keberhasilan kegiatan

pembelajaran SIMPULAN

Kewibawaan merupakan syarat mutlak dalam pendidikan. Salah satu penyebab terjadinya kegagalan pencapaian tujuan pendidikan karena adanya krisis kewibawaan. Dengan demikian, guru perlu membangun kewibaan sehingga

Page 342: Proceeding jilid 2

753

terjadi suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyanangkan. Dengan membangun kewibawaan dalam pembelajaran dapat terciptanya interaksi pedagogik . Dengan adanya kewibawaan, guru dapat melaksanakan tugas, peran dan fungsinya sebagai pengajar dan pendidik secara efektif. DAFTAR RUJUKAN Asmani, M.J. (2013) Tips menjadi Guru Inspiratif, kreatif, dan Inovatif. Diva press Danim, S., & Khaeril H. (2013). Pedagogi, Andragogi, Hentagogi. Bandung:

Alfabeta. Depdiknas RI. (2003). Undang-Undang no.20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional. Jakarta : Depdiknas. Imam, B. S. (1987). Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: Fakultas

Ilmu Pendidikan (FIP)-KIP. Panen, P. Mls., dkk. (2001). Belajar dan Pembelajaran l. Universitas terbuka. Purwanto, Ng. (1995). Ilmu Pendidikan Teoritis dan Sistematis. Bandung: Remaja

Rosdakarya. Sadulloh, U, dkk. (2010). Pedagogik Ilmu Mendidik. Bandung: Alfabeta. Syaripudin, T., & Kurniash. (2009) Pedagogik Teoritis Sistematis. Bandung:

Percikan Ilmu

Page 343: Proceeding jilid 2

754

PERENCANAAN MUTU SEKOLAH DASAR (REKAYASA ULANG MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH)

Zoya Febrina Sumampow Universitas Negeri Manado

E-mail: [email protected]

Abstract Elementary School (SD) is an educational unit that is of great importance in educating the nation. The success of students in secondary education and higher education is largely determined by its success in following elementary school. Therefore the primary school should be qualified. SD quality is determined by the quality of the school principal, teacher quality, quality of students, as well as facilities and infrastructure, including the curriculum and the learning process. There are three missions that must be carried by the primary schools, namely: Conducting the process of education, socialization process and the process of transformation. Through the education process of the students are expected to be among the educated (educated person). Through the process of socialization, the students are expected to achieve mental and social maturity, and through the transformation process of the students are expected to have a wide range of science and technology, including the nation's culture. In this modern era, school-based management is not enough anymore in the management of education and learning, because it can not achieve all of the components that exist in the school. Therefore, the school management needs to be reengineered, so that the utilization of all the components of the schools in order to achieve the goal can be realized. One of engineering that is the Department of the Ministry of Education which has a lot to give commands and instructions will change its function to be a "director" and "facilitator" of the school. By doing so, schools have the opportunity to package and implement programs according to their own abilities. Keywords: Elementary School. School-Based Management, Reengineered. PENDAHULUAN

Sekolah Dasar (SD) merupakan satuan pendidikan yang sangat urgent keberadaannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa karena SD merupakan dasar dari semua pendidikan. Keberhasilan anak didik pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sangat ditentukan oleh keberhasilannya dalam mengikuti pendidikan di sekolah dasar. Oleh karena itu keberadaan sekolah dasar harus bermutu. Mutu SD yang harus dikelola menyangkut mutu kepala sekolah, mutu guru, mutu anak didik, serta sarana dan prasarana termasuk kurikulum dan proses pembelajaran. Komponen-komponen ini harus dikelola secara terpadu dan tidak dapat dipisah-pisahkan karena semua komponen tersebut saling terkait. Tidak ada satu komponen diabaikan ataupun berdiri sendiri dalam penyelenggaraan pendidikan di jenjang SD.

Sultani dalam Sulhayat Tahir (2010) menuliskan bahwa ada tiga misi yang harus diemban oleh sekolah dasar: Melakukan proses edukasi, proses sosialisasi dan proses transformasi. Dengan proses edukasi anak didik diharapkan menjadi

Page 344: Proceeding jilid 2

755

orang yang terdidik (educated person). Dengan proses sosialisasi, anak didik diharapkan mencapai kedewasaan mental dan sosial, dengan proses transformasi anak didik diharapkan memiliki berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk budaya bangsa. Berdasarkan pendapat tersebut maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa SD yang bermutu adalah yang mampu berfungsi sebagai wadah edukasi, sosialisasi, dan transformasi, sehingga mampu mengantarkan peserta didik menjadi yang terdidik, memiliki kedewasaan mental dan sosial, memiliiki ilmu pengetahuan dan teknologi.

Untuk mewujudkan harapan-harapan di atas, pemerintah telah berusaha untuk selalu dapat meningkatkan mutu pendidikan SD, diantaranya: menetapkan kriteria untuk menentukan kepala sekolah, meningkatkan pendidikan guru melalui UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dimana Guru harus menyelesaikan jenjang pendidikan D4 dan atau S1, meningkatkan kesejahteraan guru melalui Sertifikasi Guru, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru melalui pelatihan-pelatihan, melakukan perubahan kurikulum dari waktu ke waktu, memberikan kesempatan anak didik untuk berkompetisi dalam berbagai lomba mata pelajaran yang dilaksanakan tiap tahun dari tingkat sekolah sampai tingkat internasional, melengkapi sekolah-sekolah dengan berbagai fasilitas seperti computer, laboratorium, dan buku-buku pelajaran, merenovasi gedung sekolah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), membantu proses penyelenggaraan pembelajaran melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Namun, kenyataannya masih banyak SD yang mutunya di bawah rata-rata baik dilihat dari segi penyelenggaraan pembelajaran maupun dari segi hasil belajar anak didik. Tak dapat dipungkiri, hal ini terjadi karena sebagian dari komponen-komponen sekolah kurang melaksanakan tugasnya secara professional sehingga mutunyapun jauh dari perhatian. Mengapa demikian?

Berdasarkan observasi dan membaca beberapa hasil penelitian masih ditemui berbagai hambatan di lapangan, terutama berkenaan dengan peningkatan manajemen mutu. Dari pihak kepala sekolah hambatan itu bisa ditemui antara lain : secara operasional, kepala sekolah belum memiliki kriteria baku bagi manajemen mutu sekolah, karena dalam serial buku pedoman peningkatan mutu dari Kemendiknas belum tertuang secara eksplisit bagaimana cara yang perlu dilakukan sekolah dalam meningkatkan mutu sekolah agar dapat memuaskan para pelanggan.

Di era modernisasi sekarang ini, manajemen berbasis sekolah masih di rasa kurang cukup lagi dalam pengelolaan pendidikan dan pembelajaran karena tidak dapat mencapai keseluruhan komponen yang ada di sekolah. Untuk itu, perlu ada rekayasa ulang manajemen sekolah agar Sekolah Dasar yang pada hakekatnya merupakan segala proses pendayagunaan semua komponen yang dimiliki sekolah dalam rangka mencapai tujuan secara efisien dapat terwujud sesuai harapan. Para pakar administrasi pendidikan mengklarifikasi komponen-komponen tersebut menjadi beberapa susunan substansi pendidikan, yaitu: kurikulum, pembelajaran, kesiswaan, kepegawaian, sarana dan prasarana, keuangan, lingkungan masyarakat dan layanan teknis, proses pendayagunaan semua komponen guru dan tenaga TU, buku paket, gedung, alat peraga dan komponen lainnya seperti yang sudah diuraikan sebelumnya.

Untuk mencapai sasaran ini, mutu sekolah dasar perlu direncanakan dengan melakukan rekayasa ulang manajemen sekolah ke arah Manajemen

Page 345: Proceeding jilid 2

756

Berbasis Sekolah. Dalam perencanaan, tentu perlu melibatkan komunitas sekolah agar setiap orang yang berada dalam organisasi sekolah dapat melakukan peningkatan mutu secara terus menerus. Perencanaan mutu sekolah dasar yang dimaksudkan lebih jelas dikemukan pada bagian berikut. REKAYASA ULANG MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

MBS merupakan salah satu upaya pemberdayaan sekolah. Dalam MBS, pembuatan keputusan untuk sebagian besar berbasis pada kemampuan internal sekolah dan pada potensi masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang dimaksudkan di sini terutama adalah orang tua murid atau anggota masyarakat yang memiliki kemampuan sosial, ekonomi, dan kultural tertentu serta peduli terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah, juga kelompok masyarakat lain, seperti kalangan profesional yang memiliki perhatian tinggi terhadap pendidikan dan proses belajar anak didik.

Menurut Fullan dalam Sudarwan Danim (2008), selama MBS secara kontinu diposisikan sebagai proses pembuatan keputusan untuk melakukan reformasi yang berbasis pada kemampuan intenal sekolah, sebuah keyakinan akan tumbuh bahwa strategi baru ini dapat menjadi instrumen peningkatan kinerja sekolah (improved school performance). Peningkatan kinerja sekolah sangat mungkin merupakan harapan yang tidak realistis kalau MBS diterjemahkan sebatas bagi penciptaan keseimbangan otoritas antara sekolah dan instansi di atasnya, apalagi sekadar mengalihkan tugas instansi di atasnya ke tingkat sekolah. Pelaksanaan MBS dan kinerja komunitas sekolah dalam meningkatkan prestasi belajar siswa sangat mungkin menjadi dua sisi yang tidak bersentuhan jika beberapa faktor dominan berupa peningkatan prestasi tersebut tidak tampak, seperti mutu guru, mutu siswa sebagai masukan, lingkungan belajar yang menyenangkan, kebanggaan anak terhadap sekolah, disiplin sekolah dan disiplin belajar, ketersediaan sumber-sumber belajar, partisipasi orang tua dalam membimbing anaknya di rumah.

Aplikasi MBS bukan sekadar berbagi kewenangan antara Dinas Diknas dan sekolah, melainkan sebagai upaya memberi kesempatan kepada sekolah untuk memberdayakan diri dan masyarakat di sekitarnya hingga ke titik optimal. Ini berarti akan terjadi sebuah proses rekayasa ulang atas strategi dan praktik-praktik manajemen sekolah. Salah satu bentuk dari rekayasa itu adalah bahwa Dinas Diknas yang selama ini banyak memberi komando dan petunjuk akan berubah fungsinya menjadi "direktur" dan "fasilitator" sekolah. Dengan begitu, sekolah-sekolah memiliki peluang untuk mengemas program-program dan mengimplementasikannya menurut kemampuannya sendiri. Perubahan pola manajemen sekolah dari format konvensional ke MBS meniscayakan adanya restrukturisasi (restructuring) atau rekayasa ulang (reengineering) sekolah secara kelembagaan.

Proses rekayasa ulang dilakukan dengan menempuh beberapa langkah. Tilwar dalam Long Range Planning No. 2 dan No. 6 (1993) sebagaimana dikutip Sudarwan danim (2008), berpendapat bahwa proses rekayasa ulang itu ditempuh melalui enam langkah, yaitu mendefinisikan visi, perumusan rencana, analisis bisnis, desain ulang bisnis, implemenlasi, dan pengukuran. Bennis dan Mische dalam Sudarwan Danim (2008) mengemukakan bahwa rekayasa ulang itu

Page 346: Proceeding jilid 2

757

dilakukan dengan menempuh lima langkah, yaitu menciptakan visi dan menetapkan tujuan, patok-duga dan mendefinisikan keberhasilan, menginovasi proses, mentransformasikan organisasi, serta memantau proses rekayasa ulang. PELIBATAN KOMUNITAS SEKOLAH DALAM PERENCANAAN MUTU

Transisi dari sistem manajemen sekolah secara sentralisasi ke pola manajemen pendidikan secara desentralisasi atau MBS memerlukan waktu cukup panjang. Perubahan bentuk ini menghendaki restrukturisasi praktik-praktik administratif dan perbaikan sikap mental komunitas sekolah. Kunci restruktuisasi ini adalah apakah sekolah secara individu dapat mengembangkan tim yang unggul dan dapatkah mereka menjalankan tanggung jawabnya?

Menurut Cohen, mendesentralisasikan dan menstrukturisasi ulang manajemen sekolah tidaklah mudah. Kerja keras komunitas sekolah diperlukan pada tingkat organisasi, antara lain dalam menyusun perencanaan yang benar-benar akan efektif. Satu persoalan esensial bagi sekolah dalam menyusun perencanaan adalah bahwa banyak guru yang tidak menyadari dan memahami makna perencanaan sekolah secara keseluruhan, serta pemecahan masalah adalah sebagian dari perannya. Mereka telah terkondisi untuk percaya bahwa pekerjaannya tidak lebih adalah mengajar di kelas, di samping menyelenggarakan aktivitas ekstrakurikuler.

Mengikuti alur pikir tersebut berarti pekerjaan petama kepala sekolah ketika menerapkan MBS adalah meyakinkan sebanyak mungkin guru bahwa mereka mempunyai kewajiban, kesempatan, dan tantangan untuk terlibat dalam aneka bentuk perencanaan dan pemecahan masalah yang sampai sekarang dikerjakan oleh administrator. Para guru harus yakin dan menerima realitas bahwa mereka adalah kelompok pendorong bagi proses perubahan. Oleh karena itu, kesiapan mereka untuk menyumbang pada perubahan sangat penting. Beberapa strategi yang diduga efektif diterapkan agar warga sekolah siap terlibat dalam pemecahan masalah secara sinergis di antaranya sebagai berikut: 1.. Mencari dan menentukan komunitas sekolah, terutama guru, yang

mau menyediakan waktu dan energi untuk membahas masalah mereka dan masalah di lingkungan sekolahnya;

2.. Mencari guru-guru yang tidak pernah pesimis dan tidak pula menyerah begitu saja pada keadaan;

3. Mencari guu dan staf yang dapat dimotivasi dengan satu pandangan 4. Kepala sekolah membangun kesadaran internal bahwa program-

program pada masa lampau tidak membuahkan hasil yang baik dan karenanya perlu perumusan perencanaan ulang;

5. Mencari siapa saja yang memahami bahwa sekolah adalah sistem yang kompleks dan norma dalam kelompok kerja adalah kunci produktivitas dan perubahan;

6. Mencari siapa saja yang percaya bahwa pasti ada cara yang lebih baik untuk mengatasi kesulitan yang ada dan akan berhasil melampauinya;

7. Mencari siapa saja yang mengetahui bahwa perkembangan sekolah akan

Page 347: Proceeding jilid 2

758

membutuhkan energi ekstra dan bahwa perubahan akan membutuhkan keterampilan yang mereka tidak memiliki, tetapi dapat dipelajari.

PERENCANAAN MUTU SEKOLAH DASAR KE ARAH MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Perencanaan sekolah merupakan penggambaran masa depan dari sosok institusi sekolah yang dikehendaki oleh warganya. Setiap sekolah harus mempunyai rencana pengembangan. Rencana pengembangan sekolah merupakan rencana yang komprehensif untuk mengoptimalkan pemanfaatan segala sumber daya yang ada dan yang mungkin diperoleh guna mencapai tujuan yang diinginkan di masa datang (Buku 2 MPMBS, Depdiknas, 2002). Dalam konteks MBS, bagaimana proses perencanaan peningkatan mutu sekolah (school improvement planning) yang baik? Perencanaan peningkatan mutu sekolah memfokus dan memandu prestasi siswa dan etos pembelajaran dari staf pada tingkat unitnya. Peningkatan kinerja sekolah melalui "perencanaan peningkatan mutu sekolah" dapat dilakukan dengan menggunakan siklus atau spiral, serta langkah kerja sepeti disajikan pada tabel beikut ini.

Tabel 1.

Langkah Kerja Peningkatan Mutu Sekolah

Tahap Kegiatan Deskripsi 1. Me-review

arah strategis kebijakan pendidikan dan agenda perbaikan pendidikan pada umumnya

a. Perluasan dan pemerataan kesempatan mendapatkan pendidikan yang bermutu

b. Peningkatan kemampuan akademik dan profesional tenaga kependidikan.

c. Peningkatan kesejahteraan tenaga pendidikan.

d. Peningkatan anggaran pendidikan dengan efisiensi pengelolaan.

e. Melakukan pembaruan sistem pendidikan dan sistem manajemen sekolah.

f. Melakukan reformasi dan diversifikasi kurikulum.

g. Mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan.

h. Meningkatakan mutu penelitian dan pengembangan di bidang pendidikan.

Tahap Kegiatan Deskripsi i. Merangsang pertumbuhan dan peningkatan

mutu pendidikan luar sekolah. Dan lain-lain.

2 Menelaah dan menyempurnakan kembali statement

a. Contoh rumusan visi : Beretos Kerja Tinggi untuk keunggulan Akademik dan Vokasional.

b. Misi merupakan rumusan tugas kewajiban, dan rancangan aktivitas riil jangka panjang

Page 348: Proceeding jilid 2

759

tentang visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah

untuk mewujudkan visi. Contoh rumusan misi: (1) menumbuhkan semangat kerja dan bersiplin tinggi pada kalangan kepala sekolah, guru, staf tata usaha, laboran, dan siswa; (2) menumbuhkan semangat keunggulan akademik bagi seluruh warga sekolah; (3) menumbuhkan semangat keunggulan vokasional bagi seluruh warga sekolah; (4) menerapkan manajemen partisipatif pada seluruh warga sekolah.

c. Tujuan sekolah mencerminkan apa yang ingin dicapai dalam jangka waktu menengah, misalnya, lima tahun. Contoh rumusan tujuan sekolah: (1) pada tahun 2011 angka ketidakhadiran guru kurang dari 0,005%; (2) pada tahun 2011 angka ketidakhadiran siswa kurang dari 0,005%; (3) pada tahun 2011 terjadi peningkatan rerata skor minimal +2,50; (4) pada tahun 2011, menjadi juara lomba keterampilan di tingkat provinsi.

d. Sasaran sekolah merupakan cerminan apa yang ingin dicapai pada skala jangka pendek, misalnya, satu tahunan. Contoh rumusan sasaran untuk tahun 2011 adalah (1) rerata penurunan angka membolos pada kalangan guru dan siswa sebesar 0,08%, (2) rerata peningkatan skor hasil belajar +0,05, (3) memiliki kelompok minat berketerampilan yang mampu menjadi juara di tingkat provinsi.

3. Melakukan evaluasi diri (self-assessment) dan analisis

Analisis internal antara lain terfokus pada: a. Keunggulan yang ingin dibangun dan

dipelihara; b. Sumber keunggulan; c. Karakteristik sumber daya; d. Dll.

Tahap Kegiatan Deskripsi SWOT untuk

menentukan posisi sekolah

Analisis eksternal antara lain terfokus pada: a. Kecenderungan orientasi politik; b. Kapasitas Negara dalam menyediakan

anggaran; c. Kemajuan teknologi dan teknologi informasi;

Dll. 4 Mengidentifik

asi kebutuhan

a. Prestasi belajar siswa. b. Perbaikan iklim belajar. c. Disiplin guru dan siswa.

Page 349: Proceeding jilid 2

760

dan/atau peluang peningkatan

d. Keterlibatan keluarga dalam proses belajar siswa.

e. Peningkatan partisipasi dan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah.

f. dll. 5 Perumusan

strategi dan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut

a. Merumuskan dan meninjau kembali aturan disiplin kerja kepala sekolah dan guru, serta disiplin belajar siswa.

b. Merencanakan program belajar tambahan. c. Mengaktifkan kelompok diskusi guru

sebidang. d. dll.

6 Melakukan kegiatan monitor dan evaluasi untuk mengukur perkembangan secara periodik dari implementasi program

a. Indikator aspek-aspek yang akan dimonitor dan dievaluasi tersebut dikembangkan dari fokus monitoring dan evaluasi itu, misalnya, indikator disiplin kerja guru, disiplin belajar siswa, proses pembelajaran yang bermutu, daya dukung pembelajaran, hasil belajar, dan lain-lain.

b. Kegiatan monitor dan evaluasi dapat dilakukan melalui; (1) angket, (2) studi dokumentasi, (3) observasi dan observasi partisipatif, (4) wawancara, (5) pemotretan, dan lain-lain.

7 Melakukan analisis data, mengumumkan, dan menyampaikan laporan kemajuan itu kepada masyarakat

a. Analisis data untuk mengetahui apakah (1) visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah telah sesuai dengan kondisi dan lingkungannya; (2) tujuan dan sasaran yang diajukan benar-benar realistis; (3) proses kerja dan tujuan dan/atau sasaran yang ditetapkan dapat dicapai.

b. Penyusunan laporan harus memuat: (1) deskripsi umum sekolah; (2) program-

Tahap Kegiatan Deskripsi dan pihak-

pihak lain yang berkepentingan

c. program sekolah; (3) deskripsi data, peningkatan kinerja manajemen sekolah, prestasi akademik dan vokasional sebelum dan setelah MPMBS, pertanggungjawaban keuangan; (4) simpulan; dan (5) rekomendasi. Laporan hasil monitor dan evaluasi disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, seperti Komite Sekolah, Dinas Diknas, Depdiknas, dan sebagainya.

Page 350: Proceeding jilid 2

761

SIMPULAN Bagaimanapun bentuk implementasi MBS, yang penting adalah tidak

keluar dari kesejatiannya, di mana setiap unsur yang terlibat di dalam program harus ada kesadaran untuk mencapai tujuan bersama, yaitu peningkatan proses dan hasil belajar siswa. Dinas Diknas harus mampu mendemonstrasikan dukungan yang kuat bagi pelaksanaan MBS. Pada tahap awal perlu dibentuk komisi di tingkat Dinas Diknas Kabupaten/Kota untuk menginisiasi proses demokratisasi pembuatan keputusan, termasuk pelimpahan kewenangan pembuatan keputusan dari Dinas Diknas ke sekolah. Subjek inti dari komisi ini dapat terdiri dari staf di tingkat Kabupaten/Kota, perwakilan masyarakat, pakar, aktivis LSM, alumni, guru-guru senior, dan lain-lain.

Satu hal yang tidak kalah pentingnya dalam mendukung keterlaksanaan MBS di sekolah Dasar adalah melibatkan LPTK khususnya Program Studi PGSD sebagai penghasil guru SD melalui program kemitraan Pengarusutamaan MBS di PGSD. DAFTAR RUJUKAN Depdiknas. (2002). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Buku 1-4).

Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. (2010). Panduan Penyusunan Proposal Hibah Manajemen Berbasis

Sekolah Program Studi PGSD (MBS-PGSD). Yogyakarta: Derektorat Ketenagaan Ditjen Dikti

Kaufman, R. (1988). Planning Educational System. Lancaster, PA: Technomic. Nanang, F., & Mohammad, A. (2010). Mendongkrak Mutu Sekolah Dasar,

http://massofa.wordpress.com/2008/01/24/medongkrak-mutu-sekolah-dasar Sallis, E. (1993). Total Quality Management In Education, terjemahan oleh Ahmad

Ali Riyadi, Dr. 2008, IRCiSoD, Jogyakarta. Sudarwan,D. (2008). Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke

Lembaga Akademik, Jakarta: PT Bumi Aksara Sulhayat, T. (2010). Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, Tulisan dimuat

dalam Harian Kabar Indonesia, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, pada tgl 5 Maret 2010, www.edubenchmark.com.

Sayidiman, S. (2002). Peningkatan Mutu Guru Sekolah Dasar, Makalah, Sayidiman Suryohadiprojo Blog, one.indoskripsi.com/click/129/.

Page 351: Proceeding jilid 2

762

PEDAGOGI PERSEKOLAHAN INDONESIA

Dharma Kesuma Universitas Pendidikan Indonesia

E-mail: [email protected] Abstract This paper is an attempt to contribute to improve our understanding of pedagogy schooling Indonesia. Starting with the 2013 curriculum, taxonomy or competency framework pedagogy schooling Indonesia be: cognitive, affective, psychomotor, metacognition, and a scientific approach. Competencies that will be studied in this paper are three competencies: faith of Almighty God, self-control, and scientific. Keywords: pedagogy, competencies PENDAHULUAN

Pedagogi persekolahan Indonesia sejak Kurikulum 1975 dari segi kompetensi bertumpu pada kompetensi ranah: kognitif, afektif, dan psikomotor. Diasumsikan Tujuan Pendidikan Nasional yang ingin dicapai melalui pedagogi persekolahan tersebut dapat dicapai melalui kerangka kerja yang disediakan oleh taksonomi kognitif, afektif, dan psikomotor tersebut. Dimulai dengan Kurikulum 2013, taksonomi atau kerangka kerjanya bertambah dengan dimasukkannya metakognisi dan pendekatan saintifik Dengan demikian maka kerangka kerja/taksonomi kompetensi pedagogi persekolahan Indonesia menjadi: kognisi, afeksi, psikomotor, metakognisi, dan pendekatan saintifik. Dan, sama halnya, diasumsikan bahwa Tujuan Pendidikan Nasional dapat dicapai melalui kerangka kerja kompetensi-kompetensi tersebut. Asumsi ini perlu dipertanyakan, dikaji, untuk mempertajam pemahaman kita tentang pedagogi persekolahan Indonesia.

KOMPETENSI-KOMPETENSI PENDIDIKAN NASIONAL DAN BEBERAPA MASALAHNYA

Kompetensi-kompetensi Pendidikan Nasional Indonesia terdapat dalam dokumen kurikulum persekolahan Indonesia, juga, dokumen yang ‘lebih tinggi’ statusnya, yaitu, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Tidak semua dokumen tersebut yang terkait dengan kompetensi akan dikaji di sini. Penulis langsung menyoroti tiga kompetensi: beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa pengendalian diri, dan saintifik. Rasionalnya, kompetensi yang pertama ini perlu dikaji karena penulis berkali-kali menemukan guru Pendidikan Agama Islam yang mengembangkan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajran, lesson plan) dengan memanfaatkan taksonomi kognitif Bloom. Taksonomi Bloom dirancang untuk pengembangan kognisi individu.

‘Pengendalian diri’ adalah sebuah rumusan yang terdapat dalam dokumen undang-undang pendidikan Indonesia, tetapi tidak terdapat eksplisit dalam rumusan tujuan pendidikan nasional Indonesia. Adapun pendekatan saintifik diharapkan sebagai pendekatan pembelajaran, dengan demikian, karena digunakan terus-menerus, pendekatan ini akan menghasilkan terbangunnya kompetensi-kompetensi saintifik pada para siswa.

Page 352: Proceeding jilid 2

763

Beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, disingkat menjadi kompetensi beriman. Kompetensi beriman ini terdapat dalam rumusan tujuan pendidikan nasional (UU RI No. 20 Tahun 2003). Sudah beberapa semester melalui perkuliahan Telaah Kurikulum dan Perencanaan Pembelajaran, penulis bersama para mahasiswa penulis mendiskusikan penerapan taksonomi kognitif Bloom, afektif Krathwohl, kerangka kerja afektif Lickona, dan pendekatan saintifik dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang disusun para mahasiswa untuk 5 mata pelajaran yang ada di SD (kecuali Pendidikan Agama Islam), penulis memunculkan sejumlah pertanyaan, hipotesis, atau simpulan. Beberapa pertanyaan tersebut: Apakah isi (content) beriman sama dengan isi berpengetahuan? Jika sama, maka beriman isinya adalah pengetahuan (knowledge). Ini tidak mungkin. Kata ‘beriman’ mengasumsikan sesuatu yang berbeda dari pengetahuan. Pengetahuan diperoleh melalui pendekatan saintifik. Beriman tidak mungkin, sekurang-kurangnya secara menyeluruh, diperoleh melalui pendekatan saintifik.

Dalam sains, belief diperoleh setelah melalui observasi. Benar-tidaknya pengetahuan, batu ujinya adalah observasi (Loosee, 1972). Belief itu muncul karena kebenaran empirik. Tetapi benar tidaknya proposisi religius tidak sepenuhnya dapat diuji melalui observasi. Dengan demikian, beriman adalah tidak sama dengan berpengetahuan.

Pengendalian diri. Kompetensi pengendalian diri terdapat dalam definisi pendidikan sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang R.I. No. 20 Tahun 2003. Tetapi ia secara eksplisit tidak terdapat dalam rumusan tujuan pendidikan nasional. Pengendalian diri, penulis menyimpulkan setara atau berkaitan erat atau bahkan identik dengan konsep mutakhir tentang kompetensi, di antaranya: Bandura dengan self-eficacy, Marzano dengan metacognitive thinking dan self-system thinking, Freire dengan praxis, Hacker dkk. dengan metacognition. Metacognition sebetulnya sama dengan awareness atau consciousness. Dalam bahasa Indonesia adalah metakognisi atau kesadaran. Dalam pedagogi persekolahan Indonesia baru dikembangkan melalui Kurikulum 2013. Tetapi ia terdapat dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003.

Pedagogi metakognisi dalam Kurikulum 2013 masih belum belum jelas statusnya, karena diberlakukan mulai pada jenjang SMA, dan untuk SMP dan SD tidak diberlakukan. Metakognisi, sama halnya dengan kognisi, adalah

Keterampilan Kognisi: Bloom & Pendekatan

Kemampuan Karakter:

Krathwohl &

Keterampilan fisik /

Psikomotor

Gambar.1 Teori-Teori Kompetensi Kurikulum 2013

Page 353: Proceeding jilid 2

764

kemampuan natural pada manusia normal, diduga kuat ia bersifat innate (bawaan, inherent) pada manusia. Jadi, mengapa tidak dikembangkan untuk anak usia SD dan SMP? Di negara-negara maju metakognisi diterapkan juga pada anak-anak usia tersebut. Di samping itu, atau masalah lainnya, metakognisi dalam Kurikulum 2013 diperlakukan sebagai sebuah bagian dari knowledge (pengetahuan, isi), bukan keterampilan, sebagaimana diagram

Seharusnya metakognisi adalah sebuah keterampilan. Marzano & Kendall (2008) memperlakukan metakognisi sebagai keterampilan atau kecakapan. Disajikan melalui tabel di bawah ini.

Tabel 1. Taksonomi Marzano & Kendall

DOMAINS OF KNOWLEDGE

LEVEL OF PROCESSING 1

Retrieval (Cognitiv

e System)

2 Comprehensio

n (Cognitive System)

3 Analysis (Cognitiv

e System)

4 Knowledg

e Utilization (Cognitive System)

5 Metacognitiv

e System

6 Self-Syste

m

Information

Mental Procedure

Psychomotor Procedure

[

(Sumber: Marzano & Kendal, 2008) Kesalahan seperti ini, tidak membedakan keterampilan/proses dengan isi

bersifat khas. Dimulai dengan Bloom 1956 sendiri, level 1-nya adalah knowledge, yang adalah kata benda (noun). Keterampilan/kecakapan/proses seharusnya adalah kata kerja (verb). Ini sudah dikoreksi oleh Bloom 2001 (Anderson dkk. 2001). Level 1-nya menjadi berbunyi remembering, bukan lagi knowledge. Di Indonesia juga diduga kesalahan ini terjadi. Kasus metakognisi di atas memperlihatkannya, metakognisi adalah pengetahuan dan bukan keterampilan. Juga, dalam hal kognisi, tulisan-tulisan yang ada kurang menggambarkan kognisi sebagai terdiri atas keterampilan/proses dan isi/pengetahuan/kowledge.

Gambar 2. Diagram Klasifikasi Pengetahuan

PENGETAHUAN

Pengetahuan faktual

Pengetahuan konseptual

Pengetahuan prosedural

Pengetahuan metakognisi

Page 354: Proceeding jilid 2

765

Pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik dalam Kurikulum 2013 diadopsi untuk digunakan dalam KBM (Kegiatan Belajar-Mengajar). Jika digunakan secara terus-menerus, pendekatan saintifik akan membentuk kompetensi saintifik (pola kerja/berpikir) pada para siswa. Sayangnya, banyak guru belum mengetahui indikator-indkator keberhasilan siswa dalam memanfaatkan pendekatan saintifik ini. USULAN SOLUSI

Kompetensi beriman. Banyak solusi atas masalah pendidikan sudah tersedia dalam literatur dari bangsa-bangsa Barat. Khusus tentang kompetensi beriman ini literaturnya bersifat langka. Seperti kita ketahui, riset-riset pendidikan dari universitas-universitas di negara Barat tidak fokus pada kompetensi beriman. Kompetensi beriman adalah ciri khas pendidikan Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, kementerian pendidikan dan LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidik) Indonesia diharapkan melakukan riset untuk mengembangkan sebuah pedagogi untuk mengembangkan keimanan para siswa. Barangkali di lembaga-lembaga pendidikan khusus keagamaan (pesantren dan yang sejenis), pedagogi keimanan sudah dipraktikkan, hanya saja model tertulis atau eksplisitnya yang berbasis riset belum banyak dikerjakan orang.

Pengendalian diri. Ini adalah sebuah konsep kompetensi yang terdapat dalam undang-undang pendidikan kita tetapi tidak terdapat eksplsiit dalam rumusan tujuan pendidikan nasional kita; dan dampaknya kurang disadari dalam penyelenggaraan KBM di persekolah Indonesia. Pedagogi-nya perlu dibangun dan dipelajari bersama para guru. Juga, metakognisi utamanya adalah keterampilan/kecakapan, bukan pengetahuan.

Pendekatan saintifik. Penerapannya di sekolah perlu dilengkapi dengan indikator-indikatornya. Tanpa indikator atau definisi operasional, pemahaman kita akan sebuah konsep bersifat intuitif, kurang disadari, akibatnya distorsi lebih mungkin. DAFTAR RUJUKAN Anderson, L. W., dkk. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing. A

Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. Abridged Edition. New York: Longman Inc.

Losee, J. (1972). A Historical Introduction to the Philosophy of Science. London: Oxford University Press.

Marzano, R.J., & Kendall, J.S. (2008). Designing & Assesing Educational Objectives: Applaying The New Taxonomy. California: Corwin Press.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Cognition

Level of Processing (C1-6)

Domains of Knowledge

Gambar 3. Diagram Kognisi

Page 355: Proceeding jilid 2

766

SOS! WHY DO WE NEED TO STUDY LITERATURE, MADAM?

Nil Farakh Sulaiman IPGK Pendidikan Teknik Negeri Sembilan

E-mail: [email protected] Abstract Literature seems to always be a course that most often befuddles rather than captivates student teachers of TESL major at the Institutes of Teacher Education. Facing “literary inadequacy” due to lack of exposure to literary critical analysis at the upper secondary and preparatory levels aggravates the problem. Hence, the suitability of offering a literature course at the beginning of an undergraduate programme was investigated, utilising the CIPP evaluation model developed by Stufflebeam (1971). 73 theory-based self-constructed items were administered to 120 respondents of three TESL major cohorts via a cross-sectional survey research design. Reliability value for each construct using Cronbach Alpha was computed and the overall reliability value 0.959 was obtained, indicating that the research instrument was reliable to fulfil the purpose of the study. Findings and discussion underline the significance of offering the course in the first semester of TESL major programme as well as the importance of learning literature in the 21st century. Keywords: CIPP evaluation model, literature in the 21st century, literary competence BACKGROUND OF THE STUDY

TESL undergraduate programme of Institutes of Teacher Education (ITEs) in Malaysia offers an array of courses which include content and pedagogical knowledge such as linguistics, literature, ELT Methodology, phonetics and phonology, the teaching of the four language skills, ESL classroom management, ELT resources, assessment, curriculum studies, as well as action research. Apart from these major courses, TESL major students are also required to take up Language Arts as their first elective package. Both major and elective courses equip student teachers to be future English language teachers that are able to teach the English Language Standard Primary School Curriculum (KSSR) Module which is currently imperative at primary schools in Malaysia.

Two major courses offered in the Semester One (1) of the TESL undergraduate programme are Introduction to Linguistics and Literature in English while the Language Arts package offers Children’s Literature. Children’s Literature is a pedagogical course where student teachers are brought to venture into the interesting and magical world of children’s literature via its pedagogical principles of teaching young learners, elements of children’s literature, and exploring and exploiting stories, poetry and drama in the primary ESL classrooms. On the contrary, TSL3023 Literature in English exists at the other hemisphere. Focusing on the tradition of close reading of prescribed literary texts, student teachers are not only expected to intelligently identify the appropriate theories of literary criticism to apply to the texts but also able to rationalise the selection by linking the textual evidences with the theoretical tenets.

Page 356: Proceeding jilid 2

767

Specifically, TSL3023 Literature in English focuses on theories of literary criticism, and critical analysis of short stories, novels, plays and forms of poetry. The learning objectives articulate that student teachers should (1) demonstrate an understanding of theories of literary criticism; (2) analyse short stories, poems, plays and novels based on various theories of literary criticism; (3) discuss themes in selected Malaysian and other Asian plays and novels; (4) and analyse the differences that historical perspective, literary form and culture generate (Buku Panduan Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan dengan Kepujian, 2013). The texts prescribed are (1) five short stories from American, English, Australian, African and Asian cultures; (2) two postcolonial plays from Asian and Malaysian contexts; (3) two postcolonial novels from Malaysian and American contexts; (4) and forms of poetry such as lyrical, sonnets, ballads, epics, haiku and limericks. The various schools of poststructuralist literary theory learned are Feminism, Marxism, New Historicism, Psychoanalysis, Postcolonialism, Postmodernism and Queer theory.

Literature in the 21st Century. The study of literature remains relevant to students till this day, indeed more so than ever before. In an online article entitled Literature in the 21st Century (2014), Professor Tommy Koh, an Ambassador-At-Large at Singapore Ministry of Foreign Affairs considered the study of literature as one of his life best investments due to three reasons. Firstly, reading is a joyful, educational and liberating experience where one is transported from his circumstances into another world, another time and another civilization and this unlocks the door to the treasury of the world. Likewise, Sidhu (2003) denoted that when one gets excited through literature, this will motivate him to read on despite the linguistic difficulties. Ganakumaran (2003) posited that literature may assist in promoting the reading habit among students. Secondly, reading literature helps one to think, write and speak clearly where clarity of thought and expression is a virtue which should be cultivated. Thirdly, reading literature gives one a better understanding of human nature and the complexity of the human condition. It makes one less judgemental and more sympathetic. On the same note, his third reason is clearly articulated in the Malaysia Education Blueprint 2013-2025 (2013) as one of the system aspirations to be achieved i.e. “Unity” – an education system that gives children shared values and experiences by embracing diversity (E-9).

Literary Criticism in the 21st Century. On the notion of the significance of literary criticism in the 21st century, Yaqoob (2011) suggested that reader-based poststructuralist methods of analysis train students to make efforts to bring change into their cognitive structures and see the world from multiple perspectives. Using these theories as teaching tools enables students to pose challenge to conventions, reject assumptions and established meanings and work out alternate solutions. Accordingly teaching methodologies and pedagogies are supported and recommended in this regard include critical pedagogy, feminist pedagogy, experiential learning, task-based learning, cognitive learning and social cognitive learning. These pedagogies prepare students to see the world from multiple perspectives and critically evaluate conventional practices and assumptions and work to bring social change. Students are enabled to develop insight and see how knowledge is constructed and social reality is interpreted and represented.

Literary Competence. Literary competence comes in varied definitions, thus broaden the scope of its interpretations. In general, literary competence can

Page 357: Proceeding jilid 2

768

be defined as the ability to master the rules of literary communication which include attitudes and motivation, e. g. the readiness to read a text several times and to accept the contract of conceiving a text as fictional (Pieper, 2011). Culler (1975), and Schmidt (1982, as cited in Witte, Janssen & Rijlaarsdam, 2006) used the term literary competence by analogy with Chomsky’s linguistic competence, in order to describe the literary system. Coenen (1992, as cited in Witte, Janssen & Rijlaarsdam, 2006) was the first who tried to systematically define literary competence – a reader who is literary competent is able to communicate with and about literature, at least able to construct coherence. This might regard coherence within a text to enhance comprehension and interpretation, describing similarity and variation between texts, relating text and world, relating personal judgement about the literary work to that of other readers. The literary competent reader’s attitude to literature is defined by a certain willingness to invest in reading and a certain open-mindedness regarding to deviant perspectives and frames of reference. These characteristics of literary competence defined by Coenen (1992) were used as the working definition for this study.

Statement of the Problem. Many students who struggle with literature often ask why do they need to study literature and how is it important for them to learn literature in this high-tech 21st century. Indeed, literature seems to always be a course that most often befuddles rather than captivates student teachers of TESL major at Institutes of Teacher Education. Facing “literary inadequacy” due to lack of exposure to literary critical analysis at the upper secondary (Ghazali, Setia, Muthusamy & Jusoff, 2009; Aziz & Nasharudin, 2010) and preparatory levels aggravates the problem. Respondents of this study are student teachers of TESL major who learnt small L (as opposed to big L) at their secondary and preparatory levels. At secondary level, literature is merely taught as comprehension texts (Yunus & Suliman, 2014), little emphasis on higher order thinking skills (Sidhu et, al., 2010) and teachers are still very much conducting activities which are more of the lower levels of the Bloom’s Taxanomy such as the knowledge and understanding levels (Suliman & Yunus, 2014). Analysis of literary texts is usually done by highlighting the occurrences of basic literary elements in prescribed texts such as metaphor, personification, onomatopoeia, symbolism etc. The functions of why such literary elements are used by authors are not deeply explored by secondary school teachers. Surface level analysis as such is however, enough to ensure that students are able to answer the literature component in the Malaysian Certificate of Education (SPM).

On this note, TESL major students in Semester One are considered “raw and immature” to a course which demands them to employ appropriate theories of critical criticism to prescribed literary texts. Moreover, the content of TSL3023 Literature in English is usually offered as a few major courses at most universities in Malaysia such as The Elements of English Literature, Literature and Language, Literature of Malaysia and Singapore in English, Women’s Literature, Literature and Popular Culture (Department of English, Faculty of Arts and Social Science, University of Malaya, n.d.). To make matters worse, the content should be completed within 45 face-to-face contact hours. Many lecturers also deem that this course is suitable for TESL major but should be offered at later semesters of the programme.

Page 358: Proceeding jilid 2

769

Research Purpose. Considering the abovementioned predicament, this study sought to evaluate the suitability of offering TSL3023 Literature in English in Semester One for TESL Major undergraduate programme at an Institute of Teacher Education in Malaysia. This purpose was evaluated through the perspective of student teachers via context, input, process and product evaluations of the CIPP evaluation model developed by Stufflebeam (1971). More specifically, the environment that the course took place, the student teachers’ perceptions in terms of course content, teaching methods, materials and assessment dimensions of the course and student teachers’ perceptions of their own competencies were aimed to be examined. By means of this study, the researcher’s ultimate aim is to suggest relevant adaptations that may contribute to the improvement of the TESL programme structure and curriculum.

Research Questions. Hence, this study aimed to answer one primary question: to what extent does TSL3023 Literature in English suitable to be offered in Semester One for TESL major student teachers? This major research question is further guided by sub-questions which were built based on the Context-Input-Process-Product (CIPP) evaluation model. This study however reports only the Input-Process-Product evaluation findings. The sub-questions are as follows:

Input 1. Do the lecturers possess suitable qualities to teach this course? 2. Is this course suitable to be offered in Semester One? 3. Are all the prescribed texts suitable to be taught within 45 contact

hours? 4. Is the course content suitable to improve student teachers’ literary and

personal development? Process

5. Are the teaching methods used in this course suitable? 6. Are the extra materials used during lessons suitable? 7. Are the existing assessments suitable?

Product 8. How do the student teachers perform in the final exam? 9. Do student teachers possess the attributes of literary competence after

completing this course?

Stufflebeam’s Context-Input-Process-Product Model (1971) This model is one of the educational evalution models which is commonly

employed in evalution studies today. Stufflebeam’s CIPP model is consistent with system theory and, to some degree, with complexity theory: it is flexible enough to incorporate the studies that support ongoing programme improvement as well as summative studies of a completed programme’s outcomes (Fryer & Hemmer, 2012). The researcher decided to apply this model in this study based on its theoretical basis against the course’s complexity as well as researcher’s evaluation needs.

Frye and Hemmer (2012) viewed that Stufflebeam intended CIPP evaluation Model to focus on programme improvement instead of proving something about the programme. The CIPP approach consists of four complementary sets of evaluation studies (context-input-process-product) that allow evaluators to consider important but easily overlooked programme dimensions. Taken together,

Page 359: Proceeding jilid 2

770

CIPP components accommodate the ever-changing nature of most educational programmes as well as educators’ interest for program-improvement data (Frye & Hemmer, 2012). The first three elements of the CIPP model are useful for improvement-focused (formative) evaluation studies, while the Product approach, the fourth element, is very appropriate for summative (final) studies. The usefulness of the CIPP model across a variety of educational and non-educational evaluation settings has been thoroughly documented (Stufflebeam & Shinkfield 2007).

METHOD

Research Design. Describing the current status of the course was the aim of this evaluation study. Accordingly, the cross-sectional survey research design was chosen among the other types of descriptive research methods as the most suitable one. In cross-sectional studies, the purpose of the research is descriptive and generally in the form of a survey. There is usually no hypothesis, but the aim is to describe a subgroup within the population with respect to a set of factors. In addition, a cross-sectional study allows a researcher to find the prevalence of the outcome of interest, for subgroups within the population at a given time-point (Levin, 2006).

Participants. Participants were 120 PISMP TESL major students from three cohorts of 2011, 2012 and 2013 intakes – 6PISMP (Cohort 2011; N = 37; 30.8%), 4PISMP (Cohort 2012; N = 45; 37.5%), and 2PISMP (Cohort 2013; N = 38; 31.7%). 77.5% (N = 93) of the participants were female while its counterpart made up 22.5% (N = 27). Ethnicity, and the main language of communication were not considered in this study. Participants were the population of the TESL major student teachers who had taken up TSL3023.

Instrumentation. A theory-based self-constructed questionnaire of 73 items in nine constructs (Table 1) was utilised in this study. The composition of the items are as follows: (i) 73 items (positively worded) rated on a six-point Likert Scale with 1 signifies “Extremely Disagree” and 6 indicates “Extremely Agree”; (ii) the range of possible scores for all the items is between 73 and 438 with a high score indicative of highly agreeing with the items; and (iii) the items are essentially statements representing the four evaluation dimensions in the Stufflebeam’s CIPP evaluation Model (1971) – Context Evalution contains 8 items, Input Evaluation 32 items, Process Evalution 18 items and Product Evaluation 15 items.

The medium of communication of the questionnaire was English language due to the fact that all the participants were TESL major student teachers. Descriptive statistics was used to analyze the data collected via the questionnaire.

Procedure. A pilot study was not executed prior to the actual data collection because the Language Department decided that all students that had taken up the course should participate. Actual data collection was done from 10th until 17th July 2013 and administered during class hour to ensure high return rate (100% return rate). Missing data were imputed with the mean of the respective item and detected via frequency analysis. Offending outliers were detected via stem-and-leaf plot and no discernible pattern could be traced, hence all respondents were retained in the analysis.

Page 360: Proceeding jilid 2

771

DATA ANALYSIS & RESULTS The researcher used descriptive statistics to describe the identified features

of the data in the study. The percentages, means and standard deviations for all the items were presented based on the composite score range calculated. The six-point likert scale was collapsed into three parts of composite scores (summated scales) according to each construct - low, medium and high. Such calculation was done because the items for each construct have relatively high internal consistency (Table 1) i.e. above .7 for a social science research. Pallant (2011) accepted the internal consistency of .6 for a newly-built instrument. The descriptive statistics are presented according to the sub-research questions (Table 2). For the purpose of this paper, only the analyses of Input-Process-Product evaluations are presented to adhere to the seminar theme.

Internal Consistency and Validity. Table 1 below shows the Cronbach’s Alpha values for each construct. All values are above .7 except for Context evaluation (.672) and the overall value is .959, indicating that the research instrument is reliable to fulfil the purpose of the study. As for the validity of the instrument, the questionnaire was examined by two experts; one in the TESL field and another in the evaluation field, prior to the administration onto the population.

Table 1. Alpha Coefficient Reliability for each construct

Domain Construct No. of

Item Alpha Value

Context 1. The teaching and learning environment in the campus 8 .672

Input (α = .943)

2. The qualities of lecturers 10 .934 3. The suitability of offering the course in Semester One 5 .891

4. The texts prescribed 4 .765 5. Contents contribute to personal development 13 .946

Process (α = .895)

6. Teaching methods 6 .813 7. Materials for the course 7 .863 8. Assessment 5 .834

Product 9. Literary Competence 15 .949 Total Construct 73 .959

Descriptive Statistics. Table 2 reports the levels of agreeableness of the

respondents for the suitability of offering TSL3023 Literature in English in Semester One. The highest percentage(s) for each sub-research questions are highlighted and will further discuss in Findings and Discussion.

Page 361: Proceeding jilid 2

772

Table 2. Levels of Agreeableness of the respondents for the suitability of offering

TSL3023 Literature in English in Semester 1, PISPM TESL Major % based on

Composite Score Range

Research Question Low Medium High Mean S.D

INPUT 1. Do the lecturers

possess suitable qualities to teach this course?

0 6.6 93.4 55.05 5.99

2. Is this course suitable to be offered in Semester 1?

0 23.3 76.7 24.92 3.86

3. Are all the prescribed texts suitable to be taught within 45 contact hours (15 weeks)?

0 37.5 62.5 18.95 3.28

4. Is the course content suitable to improve student teachers’ literary and personal development?

0 7.6 92.4 68.92 7.72

PROCESS 5. Are the teaching

methods used in this course suitable?

0 7.5 92.5 32.04 3.28

6. Are the extra materials used during lessons suitable?

0 7.5 92.5 37.36 4.22

7. Are the existing assessments suitable?

0 8.3 91.7 26.73 2.99

PRODUCT 8. How do the

student teachers perform in the final exam?

(only the

8.3 51.7 40.0

Page 362: Proceeding jilid 2

773

percentage result based on frequency) 9. Do student

teachers possess the attributes of literary competence after taking this course?

0 6.7 93.3 78.87 8.37

FINDINGS AND DISCUSSION

This section discusses the findings based on all the sub-research questions against the CIPP evaluation dimensions as shown in Table 2.

Highlights of Analysis of Input Evaluation. All the constructs in this domain are perceived highly (> 60%) by student teachers. Nearly 95% (93.4%) of the respondents perceived that the lecturers who teach this course posses suitable qualities and more than 90% agreed that the course content is suitable to improve their literary and personal development. Two items in the “qualities of lecturers” however are perceived lowly i.e. good ICT knowledge (mean = 5.08, S.D. = .885) and always available for face-to-face discussions (mean = 5.47, S.D. = .849). This shows that lecturers for this course are requested to equip themselves with better ICT knowledge and more available for students to meet outside of class for face-to-face discussions. Student teachers prefer lecturers to utilise ICT in teaching is expected for they are the Millennium youths. They also prefer their lecturers to continue guiding them outside of class hour due to what has been mentioned earlier; they are still “raw and immature” to a course which demands them to employ appropriate theories of critical criticism to literary texts. A recent means to fulfil both needs is by using Google Classroom, a new tool in Google Apps for Education which was introduced by Google and publicly released in August 2014 (Google for education: Introducing classroom, 2014). Google Classroom provides a platform where lecturers “can make announcements, ask questions and comment with students in real time and this improving communication inside and outside of class”.

As for the “suitability to offer this course in Semester One”, nearly 80% (76.7%) agreed with this construct with the highest perceived item profession as an English teacher (mean = 5.38, S.D. = .676), giving the idea that they need to learn this course as it is needed by the profession. Pertaining to the construct “the text prescribed”, respondents’ agreeableness is split into two i.e. high (62.5%) and medium (37.5%). Novels (mean = 4.40, S.D. = 1.212) and plays (mean = 4.46, S.D. = 1.222) are less popularly perceived compared to other genres. This two genres use longer texts to be read compared to short stories and poems. The reasons why respondents did not prefer these genres warrant further investigation.

For the construct “contents contribute to personal development”, more than 90% (92.4%) agreed. This course is deemed as suitable to improve respondents’ literary and personal development but group work activities during class is not perceived to develop their leadership skills (mean = 4.97, S.D. = .916).

Highlights of Analysis of Process Evalution. All the constructs in this component are perceived higher (> 90%) than the Input Evalution constructs.

Page 363: Proceeding jilid 2

774

These results show that respondents agreed that the teaching methods, the extra materials used and the existing assessments are suitable for this course.

Respondents appreciate lecturer’s guidance while completing tasks/assignment (mean = 5.65, S.D. = .575), but they do not prefer lecturing style method (mean = 5.03, S.D. = .839). Reading materials preferred are lecture notes (mean = 5.50, S.D. = .698) and materials downloaded from the Internet (mean = 5.43, S.D. = .718). These findings are concurrent with the findings from the “input evaluation” where respondents requested their lecturers to equip themselves with ICT knowledge and always available for face-to-face discussions outside of class.

All types of assessment for this course such as project work, reflective writing, class presentation and final semester examination are deemed suitable but the lowest mean is the final semester examination. Respondents perceived lowly for final semester examination reflects the content (mean = 5.27, S.D. = .857) and final semester examination helps me learn better (mean = 5.20, S.D. = .875). This result shows that respondents were in favour of assessment for learning (formative) when taking this course. This is supported by the highest perceived item project work helps me better understand how to apply the theory (mean = 5.47, S.D. = .673).

Highlights of Analysis of Product Evaluation. Nearly 95% (93.35%) of the respondents agreed that they possess the attributes of literary competence after taking this course. Highly perceived items include able to recognise values and attitudes of characters in a literary text (mean = 5.40, S.D. = .614), able to recognise the themes of a text (mean = 5.40, S.D. = .640) and able to develop sensitivity towards others through literature (mean = 5.38, S.D. = .676). Lowly perceived items include able to develop linguistic ability through literature (mean = 5.09, S.D. = .767), able to make critical judgement (mean = 5.17, S.D. = .792) and able to understand both implicit and explicit meanings of words/ phrases in a text (mean = 5.21, S.D. = .732). These results subtly convey that after taking up this course, some literary competence in the respondents have been improved such as the ability to recognise values and attitutes in characters, and ability to have empathy towards others. This course however, less successful to improve students’ critical judgement and linguistic ability. The finding is clearly portrayed in their performance in the final examination whereby 51.7% (N = 62) scored B while only 40% (N = 48) scored A. Nobody however, failed this course.

Overall major findings. The main research question for this study is: to what extent does TSL3023 Literature in English suitable to be offered in Semester One for TESL major student teachers? Results show that respondents perceived highly all the constructs of the CIPP model, indicating that this course is suitable to be taught in Semester One of the PISMP TESL major. Respondents perceived this course as important for their teaching profession, lecturers are required to use ICT in class, guidance and face-to-face discussion are appreciated, practised more assessment for learning, and short stories and poems are more preferable than novels and plays. Respondents also perceived that they have gained some aspects of literary competence after taking up this couse but need to further improve their linguistic ability and critical judgement. IMPLICATIONS AND CONCLUSION

Literary study and literary criticism are still relevant in the 21st century

Page 364: Proceeding jilid 2

775

education. As such, this course is suitable to be offered in the TESL undergraduate programme of ITEs as it is important for student teachers’ teaching profession although literature for primary education inclines towards appreciating the Language Arts. Literature lecturers of the 21st century need to equip themselves with the current digital technology in order to fulfil the needs of the 21st century learners. Current pedagogical tools for 21st century learners such as flipped classroom, BYOD (Bring Your Own Device), and the most recent, Google classroom warrant further exploration by lecturers in order to be relevant to the way young generation of 21st century constructing knowledge as well as interpreting and making meaning to literature. Gore and Begum (2012) suggested that language teachers have to constantly update their knowledge, look for new methodology, and learn to use technology for pedagogical purposes. Besides the high-tech teaching tools, the poststructuralist literary theory may also be an effective pedagogigal tool to teach literature in the 21st century (Yaqoob, 2011). These literary theories have great potential for making learners critical readers and creative explorers, which is the fundamental aim of 21st century pedagogies such as critical pedagogy, cognitive learning, social cognitive learning etc.

Assessment is vital in an education process. Being in the 21st century, the type of assessment should favourably incline towards assessment for learning, as opposed to merely of learning. Assessment for learning places its first priority in its design and practice to serve the purpose of promoting students’ learning. It thus differs from assessment designed primarily to serve the purposes of accountability, or of ranking, or of certifying competence (Black, 2004, as cited in Florenz & Sammons, 2013). Lecturers who use assessment for learning are better prepared to meet the diverse students’ needs through differentiation and adaptation of teaching to raise students’ achievement levels as well as to achieve greater equity of student outcomes (OECD/ CERI International Conference, n.d.).

Above all, the main significance of studying literature in the 21st century is about educating young generation to appreciate what it means to be human, and what is important for us as a person as we relate to the world around us. Through the prescribed multicultural short stories, novels, plays and poems, students explore different contexts which deal with what it means to live and to live well together. This notion is extremely pertinent in the digital high-tech borderless world of the 21st century. LIST OF REFERENCES Aziz, M. A.& Nasharudin, S. N. S. (2010). An investigation on approaches to teach

literature in the ESL classroom: a case study of SMK Taman Desa Skudai, Johor Bahru. Universiti Teknologi Malaysia Institutional Repository.

Department of English, Faculty of Arts and Social Sciences, University of Malaya. (n.d.). English studies stream. Retrieved from engfass.um.edu.my/images/english/doc/.../English_Studies_Stream.pdf

Florez, M.T. & Sammons, P. (2013). Assessment for learning: Effects and impact. University of Oxford: CfBT Education Trust.

Frye, A.W. & Hemmer, P.A. (2012). Program evalution models and related theories: AMEE Guide No. 67. Medical Teacher, 34: e288-e299

Ganakumaran, S. (2003). Literature programmes in Malaysian schools: A historical overview. In Ganakumaran Subramaniam (Ed.), Teaching of

Page 365: Proceeding jilid 2

776

literature in ESL/ EFL contexts. Petaling Jaya: Sasbadi Sdn. Bhd. Ghazali, S. N., Setia, R., Muthusamy, C. & Jusoff, K. (2009). ESL students’

attitude towards texts and teaching methods used in literature classes. English Language Teaching Journal, Vol. 2, Num. 4, 51 – 56.

Google for Education: Introducing Classroom. (2014). Retrieved from https://classroom.google.com/

Gore, V. & Begum, S. (2012). Role of a teacher in 21st century. The criterion: An International Journal in English, Vol. 3, Issue 3.

Institut Pendidikan Guru Malaysia. (2013). Buku panduan Program Ijazah Sarjana Muda Perguruan dengan Kepujian. (2013). IPGM, Kementerian Pendidikan Malaysia.

Levin, K.A. (2006). Study design III: Cross-sectional Studies. Evid Based Dent, 2006; 7(1). 24-25

Literature in the 21st century. (2014). Retrieved from http://singteach.nie.edu.sg/issue47-people01/ Issue 47, March/April 2014.

Ministry of Education Malaysia. (2013). Malaysia Education Blueprint 2013-2025. Putrajaya: Ministry of Education Malaysia.

OECD/ CERI International Conference: Learning in the 21st Century: Research, Innovation and Policy. (n.d.). Assessment for learning: Formative assessment. Retrieved from www.oecd.org/

Pallant, J. (2011). A step by Step guide to data analysis using SPSS. 4th edition. Australia :Allen & Unwin.

Pieper, I. (2011). Items for a description of linguistic competence in the language of schooling necessary for teaching and learning literature (end of compulsory education) – An approach with reference points. Language Policy Division, Council of Europe: Strasboug

Sidhu, G. K. (2003). Literature in the Language Classroom: Seeing Through the Eyes of Learners. In Ganakumaran Subramaniam (Ed.), Teaching of literature in ESL/EFL contexts. Petaling Jaya: SasbadiSdn. Bhd.

Sidhu, G. K., Chan, Y. F. & Kaur, S. (2010). Instructional practices in teaching literature: Observations of ESL classrooms in Malaysia. English Language Teaching Journal, Vol. 3, Num. 2, 54 – 63.

Stufflebeam, D. & Shinkfield, A. (2007). Evaluation theory, models, & applications. San Francisco: Jossey Bass/John Wiley & Sons, Inc.

Suliman, A. & Yunus, M. M. (2014). A glimpse on the re-introduction of English Literature in Malaysian secondary schools. International Journal of Languages and Literatures. June 2014, Vol. 2, No. 2, 151-164

Witte, T., Janssen, T., & Rijlaarsdam, G. (2006). Literary competence and the literature curriculum. A paper presented at the International Colloquium Mother Tongue Education in a Multicultural World: Case Studies and Networking for Change (Sinaia – Romania, June 22 to 25, 2006).

Yaqoob, M. (2011). Reader and text: Literary theory and teaching of literature in the twenty first century. International Conference on Languages, Literature and Linguistics IPEDR vol.26.

Yunus, M. M. & Suliman, A. (2014). Information and communication technology (ICT) tools in teaching and learning literature component in Malaysian secondary schools. Asian Social Science, Vol. 10, Num. 7.

Page 366: Proceeding jilid 2

777

ANALISIS TAKSONOMI BLOOM DALAM PENILAIAN VOKASIONAL: CADANGAN SATU TAKSONOMI BARU

Norhazizi Lebai Long & Ramlee Mustapha

Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjong Malim, Perak, Malaysia E-mail: [email protected]

Abstrak Taksonomi merupakan kajian tentang prinsip-prinsip istilah, peraturan, dan amalan dalam pengelasan organisma berdasarkan persamaan dan perbezaan antara sifat organisma hidup. Dalam bidang pendidikan, taksonomi adalah model yang biasa digunakan untuk menganalisis bidang pendidikan. Taksonomi Bloom banyak memberi penekanan terhadap aspek kognitif atau pengetahuan. Bloom mengklasifikasikan objektif pendidikan dalam domain kognitif kepada enam kategori, iaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan penilaian. Taksonomi Bloom sering digunakan oleh guru untuk menentukan hasil pembelajaran yang diingini, menentukan proses pembelajaran yang perlu dilakukan, dan menentukan alat penilaian yang sesuai dengan objektif pembelajaran yang telah ditetapkan. Kelemahan utama taksonomi Bloom disebabkan kurangnya penumpuan terhadap domain afektif dan psikomotor. Penilaian vokasional merupakan proses menentukan kepentingan, kebolehan individu serta bakat dan kemahiran bagi mengenal pasti kekuatan vokasional, keperluan dan potensi kerjaya. Ia adalah satu komponen utama dalam kurikulum vokasional. Bagaimanapun, Taksonomi Bloom tidak mencukupi untuk mengklasifikasi domain vokasional. Oleh itu, tujuan kajian ini adalah untuk membincangkan kekurangan taksonomi Bloom dalam mengklasifikasikan domain vokasional dan mencadangkan satu taksonomi yang baharu. Kata kunci: Taksonomi Bloom, penilaian vokasional, kognitif, afektif, psikomotor PENGENALAN

Taksonomi menyediakan rangka kerja yang berguna untuk pembangunan objektif secara tepat supaya dapat mencerminkan tahap pembelajaran. Perkataan taksonomi diambil dari bahasa Yunani tassein yang bermaksud "untuk mengklasifikasikan" dan nomos yang bermaksud "peraturan". Taksonomi boleh ditakrifkan sebagai pengelompokan suatu hal berdasarkan kepada kperingkat tertentu. Taksonomi yang lebih tinggi bersifat lebih umum dan taksonomi yang lebih rendah bersifat lebih spesifik (Partha & Kholia, 2010). Taksonomi untuk pendidikan biasanya bermula dengan tahap asas dan berkembang ke tahap yang lebih kompleks. Linn dan Gronlund (2000) menyatakan bahawa taksonomi berguna dalam pembangunan objektif. Penggunaan taksonomi dalam pendidikan banyak digunakan terhadap penetapan objektif dalam sesuatu kurikulum dan penilaian (Howard, 1968).

Penilaian pula merujuk kepada sebarang aktiviti untuk mengukur tingkah laku pembelajaran murid dalam pelbagai aspek, sama ada secara formal atau tak formal, dengan sistematik; berdasarkan hasil pembelajaran yang telah ditetapkan dalam sukatan pelajaran. Penilaian vokasional adalah proses menentukan minat,

Page 367: Proceeding jilid 2

778

kebolehan individu dan bakat dan kemahiran untuk mengenal pasti kekuatan vokasional, keperluan dan potensi kerjaya. Penilaian vokasional boleh menggunakan pelbagai teknik (misalnya, ujian) atau pendekatan nonstandardized (misalnya, temu bual, pemerhatian). Penilaian vokasional adalah sebahagian daripada proses bimbingan vokasional dan biasanya penentuan dalam bidang kerjaya. Ia boleh digunakan untuk menentukan potensi seseorang, kandungan program latihan vokasional, atau pekerjaan atau keupayaan untuk menyesuaikan diri dengan persekitaran kerja yang berbeza (Perry, 2011). TAKSONOMI

Perkataan taksonomi berasal dari bahasa Yunani tassein iaitu untuk mengklasifikasi dan nomos yang bermaksud peraturan. Taksonomi bermaksud klasifikasi yang berhirarki dari sesuatu atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Setiap perkara yang bergerak, benda diam, tempat, dan kejadian, hingga kepada kemampuan berfikir boleh diklasifikasikan menurut beberapa skim taksonomi. Dalam bidang psikologi dan pendidikan, taksonomi merujuk kepada peringkat perubahan tingkahlaku dalam proses pengajaran dan pembelajaran (Fredericks, 2005). Dalam pendidikan, taksonomi telah dicipta untuk mengelaskan tujuan dan hasil pendidikan. Asas utama taksonomi ialah apa yang pendidik mahu pelajar ketahui yang boleh disusun dalam hierarki daripada rendah ke tahap yang lebih kompleks. Tahap difahami sebagai berturut-turut, sehingga satu tahap mesti dikuasai sebelum peringkat seterusnya boleh dicapai (Huitt, 2011).

Taksonomi juga penting dalam penilaian. Taksonomi Bloom selalu digunakan dalam pembinaan soalan-soalan ujian dalam sesuatu kurikulum. Walaubagaimanapun, taksonomi ini banyak mengkhusus kepada domain kognitif seperti Taksonomi Bloom (1956). Ketiadaan satu kerangka taksonomi yang mantap menjadi kesukaran kepada guru vokasional untuk membina dan menilai objektif serta hasil pembelajaran vokasional. Berbeza dengan pendidikan akademik atau pendidikan liberal, pendidikan vokasional banyak melibatkan domain psikomotor. Klasifikasi objektif pendidikan adalah sangat penting dalam bidang latihan vokasional. Ini adalah kerana pendidikan vokasional menggalakkan pemerolehan kemahiran, pengetahuan dan sikap yang diperlukan untuk kerjaya profesional (UNESCO, 2011). TAKSONOMI BLOOM

Taksonomi Bloom ini telah diperkenalkan oleh Benjamin S.Bloom (1956). Taksonomi Bloom dapat memudahkan perancangan ujian pencapaian, memberi definisi yang standard untuk menerang dan mengelaskan hasil pembelajaran serta digunakan sebagai asas dalam menyatakan tingkah laku yang dikehendaki oleh pelajar. Menurut Marzano (2007), teori ini mempunyai tiga domain objektif iaitu domain kognitif, afektif dan psikomotor tetapi Bloom banyak membangukan domain kognitif. Kandungan domain kognitif dalam taksonomi Bloom merangkumi klasifikasi secara hierarki dan kumulatif. Domain kognitif mengasaskan perubahan tingkahlaku merujuk kepada kriteria perkembangan kognitif scara berurutan mengikut aras kompleksiti. Kognitif adalah perkara yang melibatkan proses penanggapan, pembinaan konsep, penaakulan, penilaian dan penyelesaian masalah (Baharom et al., 2007)

Page 368: Proceeding jilid 2

779

KELEMAHAN TAKSONOMI BLOOM

Kelemahan Taksonomi Bloom dalam mengklasifikasikan kompetensi dalam bidang vokasional merupakan isu utama pengkaji. Bloom bersama rakannya merupakan orang pertama yang mempelopori penemuan klasifikasi objektif pendidikan. Walaubagaimanapun mereka tidak berjaya menyusun domain psikomotor yang akhirnya dilakukan oleh Simpson pada tahun 1967 dan Harrow pada tahun 1972 (Winkel, 1987). Kurangnya penekanan terhadap domain psikomotor yang merupakan domain utama dalam pendidikan vokasional adalah kelemahan utama Taksonomi Bloom. Kebanyakan model pengajaran memberi tumpuan kepada domain kognitif dan bukan domain afektif atau psikomotor (Sperber, 2005). Dalam aktiviti penilaian pula, kaedah penilaian menggunakan satu klasifikasi atau pemeringkatan tahap penilaian dalam Taksonomi Bloom. Namun model taksonomi Bloom ini belum berupaya untuk pelajar berfikir secara kritis dan penyelesaian masalah (Asikin, 2003). Lahtinen (2005) menyatakan bahawa Taksonomi Bloom hanya tertumpu pada domain kognitif menyebabkan kesukaran untuk pembelajaran sesetengah pelajar dalam subjek sains komputer seperti pengaturcaraan untuk kali pertama.

Mata pelajaran vokasional lebih menekankan pada domain psikomotor, sedangkan mata pelajaran akademik lebih menekankan pada domain kognitif. Harrow (1976) mengemukakan taksonomi untuk domain psikomotor. Banyak pendidik memfokuskan kepada pembelajaran kognitif dan afektif, tetapi sama pentingnya untuk mengajar kemahiran psikomotor (Gagne, 1975). Sungguhpun proses membangunkan taksonomi yang telah dilakukan dalam pelbagai disiplin (Sokal & Sneath 1963, Eldredge & Cracraft 1980) dalam biologi; Bailey (1994), dalam sains sosial tetapi tidak banyak yang ditulis mengenai taksonomi ini dalam bidang vokasional. McGregor (2007) juga menyatakan bahawa kehendak institusi pendidikan menekankan pada penguasaan pelajar mengenai pelbagai kemahiran berfikir seperti berfikir kritis, berfikir kreatif, dan kemampuan penyelesaian masalah. Garba (1993) dalam kajian beliau mengenai perkembangan berkaitan alat untuk menilai projek-projek praktikal dalam kerja kayu di peringkat teknikal menggunakan model Simpson untuk mengelaskan objektif pembelajaran dan proses penilaian. Begitu juga, Yalams (2001) menggunakan model Simpson dalam kajian beliau terhadap pembangunan penilaian proses kerja logam di peringkat teknikal. Walau bagaimanapun, di dapati bahawa model ini tidak jelas mengenai tahap kompleksiti kemahiran, jadi model itu tidak dapat dikatakan mempunyai inklusif kebolehgunaan dalam menentukan domain psikomotor untuk

Page 369: Proceeding jilid 2

780

pendidikan vokasional. Menurut Ferris dan Aziz (2005) pula, pelajar dalam bidang pemesinan kayu memerlukan lebih daripada demonstrasi praktikal dan nota kuliah; mereka perlu membangunkan kemahiran psikomotor dan kognitif mereka yang membolehkan mereka untuk mengendalikan mesin dengan selamat. PSIKOMOTOR

Bidang pendidikan vokasional merupakan komponen pengajaran dan pembelajaran melibatkan kognitif dan psikomotor. Dengan kemasukan pelbagai pengaruh ke dalam dunia pendidikan (misalnya teori/konsep baru dan teknologi) pendidikan vokasional terus mengalami perkembangan dalam pelbagai jenis konsep dengan ciri-ciri terkini. Menurut Thompson (1973), pendidikan vokasional adalah pendidikan yang menyediakan pengalaman, rangsangan visual, kesedaran afektif, maklumat kognitif atau kemahiran psikomotor. Kemahiran psikomotor memainkan peranan utama di dalam meningkatkan kompetensi seseorang individu. (Sanchez-Ruiz; Edwards & Sarrias,2006) Menurut Simpson (1972) bidang psikomotor merupakan mata pelajaran yang lebih berorientasikan pada gerakan dan menekankan pada reaksi - reaksi fizikal, penyelarasan dan penggunaan bidang kemahiran motor. Pembangunan kemahiran ini memerlukan latihan dan ianya diukur dalam bentuk kelajuan, ketepatan, jarak, prosedur-prosedur dan teknik-teknik dalam perlaksanaan. Reigeluth (1999) pula menyatakan teori psikomotor memberi tumpuan kepada pelbagai bahagian kemahiran fizikal dan kognitif yang diperolehi dalam koordinasi antara satu sama lain. Hasilnya, ia terdiri daripada aspek-aspek fizikal, emosi, kognitif dan aspek sosial pembelajaran. Matlamat utama teori ini adalah untuk menggalakkan pembangunan kemahiran psikomotor untuk semua keadaan.

Selamat (2000) pula menyatakan pembelajaran yang berkesan, cekap dan bermakna adalah mempunyai unsur berteraskan aktiviti atau “belajar melalui membuat” iaitu hands-on. Kemahiran psikomotor merupakan salah satu kemahiran hands-on. Pencapaian terhadap kemahiran psikomotor ini diperolehi dengan menjalani latihan dan praktikal. Psikomotor juga ditafsirkan sebagai kemahiran motor. CADANGAN PEMBANGUNAN TAKSONOMI BARU

Cadangan pembangunan taksonomi ini berdasarkan teori, model dan konsep yang berkaitan dengan paradigma vokasional. Teori utama yang digunakan adalah teori kognitif oleh Bruner (1966) dan Ausubel (1977) di samping teori psikomotor oleh Dave (1970), Simpson (1972) dan Harrow (1972) bagi membentuk suatu taksonomi yang baru. Selain itu model atau domain utama berpandukan kepada beberapa teori yang berkaitan juga telah dijadikan asas dalam kajian ini. Domain Pengetahuan

Pengetahuan ialah pengabungan set sintatik dan simantik yang boleh digunakan bagi menerangkan sesuatu (Bench-Capon, 1990). Pengetahuan didefinisikan sebagai persepsi yang jelas mengenai sesuatu, pemahaman, pembelajaran, pengalaman praktikal, kemahiran, pengecaman, himpunan maklumat tersusun yang boleh diguna untuk menyelesaikan masalah, serta kebiasaan terhadap bahasa, konsep, idea, fakta-fakta, perhubungan antara fakta, maklumat dan kebolehan menggunakan semua ini dalam memodelkan aspek-aspek yang berbeza dalam persekitaran.

Page 370: Proceeding jilid 2

781

Kemahiran Motor

Kemahiran ialah suatu tindakan, tugas atau corak tindak balas yang tertentu.Menurut Singer (1980), kemahiran motor ialah pergerakan otot-otot atau pergerakan badan untuk melakukan sesuatu pergerakan yang diingini. Manakala Maier (1989) berpendapat bahawa kemahiran ialah kebolehan mengeluarkan suatu corak perlakuan yang berhubung dengan persekitaran tertentu. Menurut Arasoo (1989), kemahiran motor ialah kebolehan mengeluarkan suatu corak unsur perlakuan yang berhubung dengan persekitaran tertentu. Perkembangan motor terbahagi kepada dua jenis iaitu perkembangan motor halus dan perkembangan motor kasar. Comptom (2010) turut mengatakan kemahiran motor halus dan motor kasar juga untuk melakukan aktiviti kreatif seperti menari, drama dan seni. Domain Motor Kasar

Motor kasar pula adalah untuk mengawal kumpulan otot besar yang membolehkan kanak-kanak mendapatkan sesuatu di sekitarnya, seperti merangkak, berdiri dan berjalan. Kemahiran motor kasar melibatkan anggota badan atau seluruh badan. Menurut Haliza et. al. (2008), antara kepentingan motor kasar adalah untuk membina otot-otot kaki dan tangan dan membina koordinasi yang melibatkan (i) mata dan kaki, (ii) tanagn dan kaki, (iii) leher dan kepala, dan (iv) otot-otot pada keseluruhan anggota badan. Aktiviti yang melibatkan motor kasar adalah berjalan naik dan turun tangga, melompat, dan menangkap bola (Kail, 2010). Domain Motor Halus

Kemahiran motor halus didefinisikan sebagai koordinasi pergerakan otot-otot kecil pada sebahagian anggota badan iaitu keselarasan di antara jari-jari tangan dengan mata seperti perlakuan menjentik, memegang, mengentel dan sebagainya. Ia merupakan kemahiran yang melibatkan pengawalan otot-otot kecil pada tangan, pergelangan tangan, jari-jari tangan, kaki, jari kaki, bibir dan lidah (Maier,1989). Menurut Haliza et. al. (2008), antara kepentingan perkembangan motor halus adalah untuk membina otot-otot tangan dan jari, membina koordinasi mata, jari dan tangan. Contoh aktiviti motor halus adalah menggunting atau mengoyak kertas dan menampal pada kertas yang disediakan, bermain dengan bongkah atau blok binaan dan mewarna bentuk, corak dan objek. Menurut Cooper (2010) dalam ‘ Knowledge and Understanding of the World ’, kemahiran motor halus diperlukan untuk mengendalikan peralatan teknikal, membuat dan mengukur. Domain Visualisasi

Menurut Mohd Daud (2004),visualisasi didefinasikan sebagai keupayaan membayangkan rupabentuk dan memutarkan bayangan tersebut dari pelbagai arah. Keupayan ini merupakan satu lagi pendekatan pembelajaran yang patut diserapkan ke dalam diri pelajar agar mereka dapat mencari jalan keluar kepada permasalahan dalam mengulangkaji pelajaran. Dengan adanya keupayaan tambahan seperti visualisasi ini, pelajar tidak hanya menggunakan memori ingatan sepenuhnya untuk menghafal fakta-fakta tetapi dengan visualisasi ia dapat membantu pelajar dalam menjalankan proses imaginasi. Bertoline (1998), mentakrifkan visualisasi sebagai kebolehan seseorang untuk membina, memanipulasi dan mentafsirkan imej-imej dalam minda. Berdasarkan takrifan tersebut, seseorang yang sedang membayangkan sesuatu bentuk, corak atau

Page 371: Proceeding jilid 2

782

objek tertentu walaupun belum pernah melihatnya secara fizikal dikatakan mempunyai sebahagian kebolehan visualisasi. Kajian-kajian terdahulu mendapati kemahiran visualisasi mempunyai hubungan yang rapat dengan domain teknikal, vokasional, matematik, dan pekerjaan berbanding kebolehan lisan (Koch, 2006; Bertoline & Wiebe, 2003; Gillespie, 1995; McGee, 1979). Hal ini kerana domain seperti teknikal, vokasional dan kejuruteraan terlibat secara langsung dengan komunikasi grafik melalui aktiviti-aktiviti reka bentuk, lukisan kejuruteraan, teknikal atau geometri. Domain Penyelesaian masalah

Menurut ahli psikologi Gestalt (1967), pemikiran atau proses penyelesaian masalah ialah pencarian kaitan antara satu aspek.Masalah dengan aspek yang lain dan akibatnya ialah kefahaman structural. Di mana kebolehan bagaimana memahami semua masalah dapat disepadukan bagi memenuhi syarat-syarat matlamat. Ini memerlukan pengorganisasian semula elemen-elemen masalah kepada bentuk baru supaya dapat diselesaikan. Penyelesaian Masalah boleh didefinisikan sebagai satu proses kognitif di mana maklumat digunakan sebagai usaha mencari cara-cara yang sesuai bagi mencapai sesuatu matlamat. Torrance & Torrance (1973), mendefinisikan penyelesaian masalah sebagai proses seseorang itu menjadi peka terhadap masalah dan ini melibatkan seseorang individu itu cuba mencari penyelesaian membuat andaian dan mengubah hidup. Domain Inventif

Komponen utama terhadap kemahiran abad ke-21 adalah kemahiran berfikir inventif. Oleh itu, pendidikan abad ke-21 perlu menyediakan pelajar dengan kemahiran-kemahiran abad ke-21 dengan mengukur pengetahuan diskrit untuk kemampuan berfikir kritis, menganalisis masalah dan mengumpulkan informasi, komunikasi kolaborasi, kreativiti dan inovasi yang diperlukan untuk kemajuan di masa hadapan. Pemikiran Inventif merupakan pengaplikasian pemikiran kritis dan kreatif; dan hal ini menjadikan pemikiran inventif sebagai kemahiran berfikir kritis dan kreatif yang berdimensi baharu (Barak & Mesika, 2007; Barak, 2009; NCREL, 2003; Kamisah, Shaiful Hasnan & Arba’at, 2009; Maria & Kamisah, 2010a,) kerana pemikiran inventif ini banyak melibatkan proses-proses dan usaha-usaha kognisi yang kritis dan kreatif untuk meneliti dan mempelajari pengetahuan baharu termasuk usaha-usaha untuk memecahkan dan menyelesaikan masalah yang dihadapi secara berkesan “tanpa bergantung kepada banyak usaha lain” (Sokol, Oget, Sonntag & Khomenko, 2008). NCREL (2003), menegaskan terdapat enam dimensi atau kemahiran yang saling melengkapi Pemikiran Inventif: Penyesuaian Diri dan Pengurusan Kesukaran (Adaptability and Managing Complexity); Pengarahan Kendiri (Self Direction); Keberanian Mengambil Risiko (Risk Taking); Sifat Ingin Tahu (Curiosity); Kreativiti (Creativity); dan terakhir, Pemikiran Aras Tinggi dan Penaakulan yang Baik (Higher Order Thinking and Sound Reasoning) (NCREL, 2003). Pelajar perlu menguasai kesemua dimensi tersebut supaya mereka mampu mengatasi masalah/cabaran dengan lebih baik kerana kemahiran-kemahiran tersebut amat penting dalam kehidupan masyarakat serta keperluan pekerjaan abad ini (NCREL, 2003; Barak, 2009). RUMUSAN

Kajian ini bertujuan untuk membangunkan taksonomi yang melibatkan domain kognitif dan domain psikomotor. Oleh itu beberapa domain telah

Page 372: Proceeding jilid 2

783

dicadangkan untuk melengkapkan taksonomi ini. Taksonomi Bloom akan memberi tumpuan kepada penilaian kognitif sahaja. Penilaian vokasional boleh membantu pelajar menentukan hala tuju mereka dalam program vokasional. Kerangka konsep kajian menerangkan teori-teori, model-model, kosep-konsep dan terma-terma yang digunakan bagi pembangunan taksonomi pendidikan dalam bidang vokasional ini. Kerangka dibina berdasarkan kepada kesesuaian dan kekurangan yang ada dalam sistem pendidikan vokasioal itu sendiri. Ini disebabkan oleh kurangnya kajian terhadap pembangunan taksonomi terutama dalam bidang vokasional. DAFTAR RUJUKAN Arasoo, V.T. (1989). Pembelajaran Kemahiran Motor Dalam Pendidikan Jasmani

dan Sukan. Malaysia: Siri Pendidikan Fajar Bakti Baharom Mohamad et al.2007. Psikologi Pendidikan dalam PTV. Fakulti

Pendidikan Teknikal, Universiti Tun Hussein Onn Malaysia. Barak, M. dan Mesika, P. (2007). Teaching methods for Inventive problem-solving

in Junior High School. Thinking Skills and Creativity2, 19–29. Barak, M. (2009). Idea focusing versus idea generating: A course for teachers on

inventive problem solving. Innovations in Education and Teaching International.46(4), hlm. 345-356.

Bertoline, G. R. (1998). Visual science: An emerging discipline. Journal for Geometry and Graphics, 2 (2), 181-187.

Bertoline, G. R., & Wiebe, E. N. (2003). Technical graphics communication. (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Bloom, B. (1956). Taxonomy of educational objectives. Book 1: Cognitive domain. London: Longman Group Ltd.

Carl P.Gabbard (2004). Lifelong Motor Development. 4th Ed. New York: Pearson Teoh Hsien-Jin (2007). Kesulitan Pembelajaran. Akhbar Utusan Malaysia

Cooper, L., Johnston, J., Rotchell, E. & Woolley, R. (2010). Knowledge and Understanding of the World. London: Continuum

De Bono, E. 1970. Lateral Thinking For Management. New York: Mc Graw-Hill. Ferris, T.L.J., Aziz, S.M. (2005). "A psychomotor skills extension to Bloom's

taxonomy of education objectives for engineering education", Proceedings of iNEER Conference for Engineering Education and Research, 1-5 March, Tainan, Taiwan, paper W14.

Gallhue, L. D. dan Ozmun, (2006). Understanding Motor Development. 6th Ed. New York. Mc Graw Hill Companies.

Garba, L. N. (1993). Development of an instrument for evaluating practical project in woodwork. Unpublished doctorial dissertation, University of Nigeria, Nsukka, Enugu State.

Haliza Hamzah, Joy N.Samuel, RafidahKastawi (2008). PerkembanganKanak-kanak untuk ProgramPerguruan Pendidikan Rendah Pengajian Empat Tahun . Kuala Lumpur: Kumpulan Budiman Sdn.Bhd.

Kail, R. (2010). Child and their development. 5th Edition. New Jersey: Pearson International Edition. Kamisah Osman, Shaiful Hasnan Abdul Hamid, Arba’at Hassan. (2009). Standard

setting: Inserting domain of the 21st Century Thinking Skills into the existing

Page 373: Proceeding jilid 2

784

science curriculum in Malaysia, World Conference Education Science 2009, Procedia Social and Behavioral Sciences 1, 2573–2577.

Koch, D. S. (2006). The effects of solid modeling and visualization on technical problem solving. Unpublished Dissertation. Virginia State University Blacksburg, Virginia.

Maria Abdullah dan Kamisah Osman. (2010a). Scientific inventive thinking skills among primary students in Brunei, Procedia Social and Behavioral Sciences 7©, hlm. 294–301.

McGregor, D.. (2007). Developing thinking, developing learning: A guide to thinking skills in education. Maidenhead, Uk: Open University Press: McGraw-Hill International.

Metiri Group & NCREL. (2003). EnGauge 21st century skills: Literacy in the digital age. Chicago, IL: NCREL.

Mohd Daud Hamzah. (2004). Sedutan Dapatan Projek Pendidikan di Simunjan: Ketrampilan Berfikir dan Motivasi Pembelajaran. Universiti Sains Malaysia.

NCREL. (2003). 21st century skills: literacy in the digital age. North Central Regional Educational Laboratory (NCREL). Retrieved 2 October, 2014 from http://www.ncrel.org/engauge/skills/skills.htm

Perry, D. (2002). The Basics of Vocational Assessment A Tool for Finding the Right Match Between People with Disabilities and Occupations. Available at: http://www.ilo.org/public/english//region/asro/bangkok/ability/download/voc_assessment.pdf

Partha, & Kholia. (2010). Indian integrated plant taxonomic information system: A conceptual framework. DESIDOC Journal of Library & Information Technology, 30(3), 35-42.

Singer, R. N.,(1980). Motor Learning and Human Performance: An Application to Motor Skills and Movement Behavior. Macmillan Publications, 3rd Edition.

Sokol, A., Oget, D., Sonntag, M., & Khomenko. N. (2008). The development of inventive thinking skills in the uppersecondary language classroom. Thinking Skills and Creativity, 3, 34–46. http://dx.doi.org/10.1016/j.tsc.2008.03.001

T.J.M. Bench-Capon, (1990). Knowledge Representation: An Approach to Articial Intelligence. Academic Press, San Diego, CA.

Torrance, E.P. (1974). Torrance Tests of creative thinking, Figural Form A. Bensenville, IL:scholastic Testing Service.

Torrance, E. P. & Torrance, P. (1973). Is creativity teachable? Bloomington, IN: Phi Delta Kappa. Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary. 1985. Massachusetts: Meriam Webster. Yalams, S. M. (2001). Development and validation of metal work process

evaluation scheme. Unpublished doctorial dissertation, University of Nigeria, Nsukka, Enugu State.

Page 374: Proceeding jilid 2

785

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AMALAN KITAR SEMULA DALAM KALANGAN PELAJAR SEKOLAH MENENGAH DI MAJLIS

PERBANDARAN AMPANG JAYA

Kalsom Binti Badrus, Chin Yoon Poh, En. Mohd. Aqsa Bin Hj. Hussin Dan Pn. Siti Salmiah Binti Mohd. Alias

E-mail: [email protected]

Abstrak Kementerian Pelajaran Malaysia telah menerapkan Pendidikan Alam Sekitar merentasi kurikulum bagi mendedahkan para pelajar akan peri pentingnya alam sekitar kepada kehidupan manusia. Kajian yang dijalankan ke atas pelajar sekolah menengah dI Zon Ampang ini bertujuan untuk mengenalpasti faktor-faktor utama yang mempengaruhi mereka melibatkan diri dalam program kitar semula. Hasil kajian mendapati peratusan bagi pengetahuan tentang kitar semula sangat tinggi iaitu 93.1% dan amalan kitar semula di kalangan responden pula adalah 76.4%. Hal ini dibuktikan apabila didapati seramai 69.7% responden telah menjual barangan kitar semula kepada individu yang datang membeli di kawasan perumahan atau menghantar sendiri ke pusat kitar semula yang berdekatan. Ujian Crosstabulation yang dijalankan pula menunjukkan amalan kitar semula responden dipengaruhi oleh latar belakang bapa, iaitu bapa yang bekerja sendiri (82%), bapa yang tidak bersekolah (78%) dan bapa yang berpendapatan kurang daripada RM 1000 (82%). Secara keseluruhannya, tahap pengetahuan dan amalan kitar semula dalam kalangan pelajar-pelajar di Zon Ampang adalah tinggi. Faktor-faktor seperti guru dan media didapati sangat mempengaruhi amalan kitar semula di kalangan pelajar berbanding ibubapa dan rakan sebaya. Berdasarkan dapatan kajian, amalan kitar semula dalam kalangan pelajar sangat memuaskan dan kejayaan program ini dapat dicapai dalam jangkamasa beberapa tahun akan datang. Namun, untuk merealisasikan objektif program kitar semula ini di kalangan masyarakat di luar sekolah, pengkaji mengharapkan pihak KPKT dapat mewartakan dan melaksanakan Akta Pengurusan Sisa Pepejal secepat mungkin.

PENDAHULUAN Kadar penghasilan sampah sarap oleh setiap individu semakin meningkat

akibat daripada perubahan sosioekonomi dan teknologi. Pengalihan masuk konsep pemodenan dari luar yang merangsangkan industri pembungkusan telah memburukkan lagi keadaan. Hal demikian telah menyebabkan kadar penghasilan bahan buangan pepejal meningkat secara geometrik contohnya di Kuala Lumpur (Mohd. Nasir Hassan et al. 2000). Peningkatan kadar pertumbuhan dan penumpuan populasi pada sesuatu kawasan bandar merupakan penyebab utama kadar penghasilan dan jenis bahan buangan (Jamaluddin Jahi 2000a; 2000b; 2001). Manakala penyumbang utama bagi sisa pepejal ini adalah sampah sarap yang dapat dikelaskan kepada bahan buangan domestik dan industri (Jamaluddin Jahi 1996).

Page 375: Proceeding jilid 2

786

1.1 Persoalan Kajian Kajian ini bertujuan untuk: 1.1.1 Mengkaji kesedaran dan amalan kitar semula pelajar pelajar-

pelajar di sekolah di bawah pentadbiran MPAJ.

1.1.2 Mengkaji faktor-faktor (guru, ibubapa, media atau rakan sebaya) dan seterusnya mengenalpasti faktor mana yang sangat mempengaruhi amalan kitar semula di kalangan pelajar.

1.2 Kepentingan Kajian Hasil kajian ini adalah seperti berikut: 1.2.1 Memberi idea kepada pihak KPM, pihak PBT, pihak kerajaan dan

pihak swasta di dalam membentuk program atau strategi yang dapat meningkatkan kesedaran serta penglibatan pelajar-pelajar dalam Program Kitar Semula yang sedang dan akan dijalankan pada masa hadapan.

1.2.2 Menyusun strategi yang lebih berkesan dalam menambah keperluan, tahap kecekapan dan keberkesanan perkhidmatan serta pengurusan yang sedia ada di pihak KPKT, KPM, JAS, PBT, AFSB, dan program serta aktiviti di sekolah-sekolah. 1.2.3 Menjadi rujukan tambahan bagi memantapkan lagi kempen yang akan dilaksanakan di masa akan datang. 2.0 Kajian Literatur

Terdapat banyak kajian yang telah dijalankan menunjukkan rata-rata masyarakat yang terdiri daripada suri rumah, pekerja-pekerja di sektor kerajaan dan swasta, bekerja sendiri ataupun pelajar sekolah tidak berminat untuk mengamalkan kitar semula. Kenyataan ini disokong olch Seri Sarina Dewi (2005). Hasil kajiannya menunjukkan sebanyak 71 daripada 75 orang responden di daerah Kuantan yang langsung tidak mengamalkan kitar semula di mana mereka tidak mengasingkan sampah di rumah bagi memudahkan kitar semula. Hanya 29% sahaja responden yang mengasingkan sampah di rumah. Dapatan beliau menunjukkan walaupun tahap pengetahuan mereka terhadap kitar semula adalah memuaskan namun tahap amalan mereka amatlah mengecewakan.

Di Malaysia, kajian menggunakan kaedah kandungan trak telah dijalankan oleh Nazeri (2002). Kajian yang dijalankan di tapak pelupusan sisa pepejal di Taman Beringin, Kuala Lumpur ini dikendalikan oleh Alam Flora Sendirian Berhad (AFSB). Data kajiannya turut terdapat dalam laporan Penilaian Impak Alam Sekitar (EIA) bagi sisa insinerasi di Kg. Bohol oleh MAB Consultant Sdn. Bhd. Data lengkap berkaitan komposisi dan ciri-ciri sisa pepejal isi rumah yang telah diubahsuai ditunjukkan pada Jadual 1.

Jadual 1.1 Pembahagian sisa buangan pepejal yang dihasilkan oleh rakyat Malaysia

Page 376: Proceeding jilid 2

787

Sumber : KPKT 2005

Jadual 1.1, jelas menunjukkan tersedianya bahan-bahan kitar semula dalam aliran sampah isirumah.Terdapat banyak pembaziran bahan-bahan yang boleh dikitar semula dibuang begitu sahaja ke tapak-tapak pelupusan. Untuk mengelakkan pembaziran ini daripada terus berlaku, pelbagai strategi perlulah dirangka dan dilaksanakan seperti penggunaan semula, menukarkan bahan dalam bentuk tenaga dan mengamalkan kitar semula agar dapat membantu perancangan praktik kitar semula isirumah yang lebih berkesan. REKA BENTUK KAJIAN

Kajian ini menggunakan kaedah deskriptif. Instrumen kajian ini terdiri daripada empat bahagian Bagi borang soal selidik, ia terbahagi kepada 4 bahagian iaitu bahagian A, B, C dan D. Di bahagian A, responden dikehendaki mengisi butir-butir peribadi iaitu latar belakang pelajar dan status sosioekonomi mereka, Terdapat 6 soalan berkaitan dengan latar belakang responden seperti jantina, umur, taraf pendidikan, pekerjaan, bilangan isi rumah dan pendapatan ketua keluarga. Manakala bahagian B pula, soalan yang dikemukakan bertujuan untuk menguji tahap kesedaran pelajar tentang kitar semula. Dalam bahagian C, ia bertujuan untuk mengkaji sejauhmana amalan kitar semula mereka. Dalam bahagian D pula, pengkaji ingin melihat sejauhmanakah guru, ibu bapa, media dan rakan sebaya mempengaruhi amalan kitar semula pelajar.

Kaedah pengumpulan data dibuat dengan menggunakan data primer. Untuk memperolehi data-data primer, teknik pengumpulan data dijalankan melalui pemerhatian dan soal selidik. Fokus kawasan kajian penyelidik adalah tertumpu di Mukim Ampang. Terdapat 9 buah sekolah menengah di kawasan kajian. Jumlah keseluruhan pelajar di 9 buah sekolah di dalam tingkatan satu dalam Zon Ampang adalah seramai 3630 orang. Pengkaji mengambil sampel seramai 10% daripada jumlah populasi tersebut (Krejcic & Morgan 1970). Sampel seramai 360 orang pelajar murid tingkatan satu.sahaja diambil memandangkan surat kebenaran yang diperoleh daripada Jabatan Pendidikan Selangor tidak menggalakkan sampel diambil daripada pelajar yang menduduki peperiksaan PMR dan SPM. Borang soal selidik diedarkan sebanyak 360 set soalan mengikut nombor rawak (Abd. Rahim M. Noor), untuk mengkaji tahap pengetahuan dan amalan kitar semula di kalangan mereka. ANALISIS DATA 4.1 ANALISIS CIRI-CIRI SOSIOEKONOMI RESPONDEN 4.1.1 Taraf Pendidikan Ketua Keluarga

KOMPONEN KOMPOSISI BERAT

Kertas 8.6 Sisa buangan dari rumah 42.4 Besi 5.5 Kaca 4.6 Plastik 25.9 Lain-lain 13.0

Page 377: Proceeding jilid 2

788

Hasil daripada kajian, didapati hampir 2/3 daripada ketua keluarga responden mempunyai taraf pendidikan yang tinggi sekurang-kurangnya peringkat sekolah menengah. Sebanyak 221 orang bersamaan 61.4 % berkelulusan sekolah menengah, 25% berkeluliusan kolej/universiti, dan hanya 11.1% berpendidikan sekolah rendah dan selebihnya sebanyak 2.5% tidak pernah bersekolah.

Rajah 4.1.1 Tahap pendidikan ketua keluarga Sumber : Kerja Lapangan 2006

4.1.2 Pekerjaan Ketua Keluarga

Kajian yang dijalankan menunjukkan jenis pekerjaan ketua keluarga yang paling banyak adalah bekerja sendiri, iaitu sebanyak 131 orang bersamaan 36.4%. Sektor swasta pula mencatat peratusan kedua terbesar iaitu 33.6% (121 orang). Manakala 26.1% bersamaan 94 ketua responden adalah bekerja dalam sektor kerajaan. Pekerjaan di sektor kerajaan ini termasuklah sebagai tentera, guru, pegawai kesihatan, pegawai tadbir dan sebagainya. Kajian juga mendapati 3.9% iaitu seramai 14 orang daripada ketua keluarga tidak mempunyai pekerjaan.

Rajah 4.1.2 Pekerjaan ketua keluarga responden Sumber : Kerja Lapangan 2006

4.1.3 Pendapatan sebulan Ketua Keluarga Jumlah pendapatan yang dikaji ialah antara bawah RM1000 hingga lebih

RM3000. Daripada Jadual 4.1, dapat dilihat bahawa pendapatan yang paling banyak adalah pada julat pendapatan RM1001 – RM3000, iaitu 179 dengan peratusan sebesar 50%.

kolej/universiti, 25%

tidak bersekolah,

2.5%pendidikan

sekolah rendah, 11.1%

kelulusan sekolah

menengah, 61.4%

Sektor Swasta

121(34%)Tiada

Pekerjaan 14(4%)Bekerja

Sendiri 131( 36%)

Sektor Kerajaan 94(

26%)

Page 378: Proceeding jilid 2

789

Jadual 4.1 Pendapatan Ketua Keluarga Pendapatan Frekuensi Peratusan Kurang RM1000 104 29 RM1001 – RM3000 179 50 RM3001 ke atas 75 21

Sumber : Kerja Lapangan 2006

4.2 KESEDARAN TENTANG KITAR SEMULA DI KALANGAN PELAJAR Hasil soal-selidik yang telah dijalankan menunjukkan sebanyak 96.1%

responden pernah dengar tentang program kitar semula dan 3.9% tidak pernah mendengar tentang kitar semula ini biasanya terdiri daripada pelajar bukan Melayu. Mereka mungkin melihat tong kitar semula dan sebagainya namun mereka tidak memahami atau tidak pernah mendengar istilah ‘kitar semula’.

Terdapat juga responden yang memperolehi maklumat tentang kitar semula ini lebih daripada satu cara. Kebanyakan responden yang pernah mendengar tentang program kitar semula ini biasanya mengetahui daripada media elektronik iaitu samada televisyen, radio ataupun internet. Ini ditunjukkan oleh peratus yang tinggi iaitu sebanyak 71.9%. Kebanyakan daaripada mereka mengetahuinya daripada iklan kitar semula yang sering ditunjukkaan di televisyen. Ada juga responden yang menccadangkan iklan baru yang lebih menarik dari Pihak Kementerian Perumahan daan Kerajaaan Tempatan (KPKT) untuk memberi lebih kesedaran dan dapat menarik perhatian pelajar.

Sejumlah 55.3% responden lagi mengetahui maklumat tentang kitar semula daripada sistem penddidikan iaitu melalui sekolah dan seminar. Tidak dinafikan bahawa sekolah memainkan peranan yang penting dalam menyebarkan sesuatu maklumat berhubug dengan kitar semula. Biasanya ianya diterapkan melalui aktiviti kurikulum dan ko-kurikulum. 48.3% pula mengetahui program kitar semula ini melalui surat khabar, majalah dan risalah. 4.44% melalui perbualan bersama jiran ddan kawan-kawan. Selebihnya, 7.8% responden meendapat maklumat mengenai program kitar semula melalui penerangan dari pihak MPAJ. Ini ditunjukkan dalam Rajah 4.1.3

Sumber: Kerja Lapangan 2006 91.3% daaripada responden memberikan jawapan yang betul terhadap penyataaan ‘Kitar Semula adalah proses yang

Media Elektronik

71.9%Media Cetak 55.3%Sekolah

48.3% Orang Awam 14.4%

MPAJ 7.8%0

1020304050607080

Page 379: Proceeding jilid 2

790

melibatkan usaha mengumpul, memproses dan mengguna semula bahan buangan yang dianggap sampah’. Manakala 6.9% lagi memberikan jawapan yang salah. Ini bermakna mereka tidak mengetahui apa yang dimaksudkan dengan kitar semula. 84.2 peratus daripada responden menyedari kewujudan tong kitar semula yang disediakan oleh Pihak Majlis Perbandaran Ampang Jaya di sekitar Zon Ampang dan kawasan sekolah mereka. Manakala selebihnya iaitu 15.8% responden tidak menyedari kehadiran tong-tong kitar semula walaupun ianya telah diwujudkan sejak 4 tahun dahulu.

Apa yang membanggakan, dapatan menunjukkan seramai 294 iaitu 83.3% responden dapat memberikan jawapan yang betul apabila memadankan warna tong kitar semula dengan jenis sampah yang betul. Iaitu tong yang berwarna coklat adalah untuk kaca, tong biru adalah untuk kertas dan tong jingga adalah untuk barangan plaastik/tin aluminium/ tin keluli. Ini jelas menunjukkan dapatan yang diperolehi ini adalah bertentangan dengan dapatan-dapatan kajian terdahulu terhadap masyarakat amnya. Kajian yang dijalankan Sri Sarina Dewi ((2005) terhadap penglibatan masyarakat dalam kitar semula di Kuantan menunjukkan hanya 20% daripada responden memberikan jawapan yang betul mengenai warna tong kitar semula yang digunakan dalam program ini. 349 iaitu 96.9% daripada responden bersetuju amalan kitar semula ini akan dapat mengurangkan jumlah sampah sarap dibuang ke tapak pelupusan dan membantu menyelesaikan masalah pengurusan sisa pepejal. Selebihnya iaitu hanya 11 orang responden mewakili 3.1% shaja yang tidak bersetuju amalan kitar semula itu sangat baik untuk pengurangan sampah sarap ke tapak pelupusan. AMALAN KITAR SEMULA DI KALANGAN PELAJAR

Daripada 360 orang responden yang menjawab soal-selidik ini, 275 orang atau 76.4 peratus daripada mereka mengakui mengambil berat tentang permasalahan sampah. Mereka mengasingkan sampah dan mengamalkan kitar semula semasa di sekolah dan di rumah. Hanya 23.6 peratus sahaja iaitu 85 orang responden sahaja yang tidak mengamalkan kitar semula. Dapatan ini agak memberangsangkan kerana rata-rata kajian di kalangan masyarakat mendapati meeka tidak mengamalkan kitar semula tetapi kajian ke atas pelajar adalah sebaliknya. Kajian yang dijalankan oleh Agamuthu pada tahun 2001 menunjukkn tahap pengetahuan di kalangan rakat Malaysia adalah tinggi iaitu sebanyak 82% namun tahap amalan adalah amat menyedihkan di mana hanya segelintir golongan yang didapati berbuat demikian.

Rajah 4.1.4 Amalan kitar semula responden terhadap bahan buangan. Sumber : Kerja Lapangan 2006

Tidak Kitar Semula

85 (23.60%)

Amalan Kitar Semula

275 (76.40%)

Page 380: Proceeding jilid 2

791

Antara faktor-faktor yang menyebabkan pelajar mengitar semula adalah atas

dasar kesedaran yang ada dalam diri mereka sendiri untuk mengamalkan kitar semula, dapat mengurangkan sampah sarap, selain sebagai sumber pendapatan sampingan dan peluang perniagaan. Berdasarkan kajian, 39% daripada responden iaitu 108 orang mengamalkan kitar semula disebabkan kesedaran untuk menjaga alam sekitar, 30% iaitu 82 orang sebagai sumber pendapatan sampingan, 82 orang responden lagi atau 30% berpendapat dapat mengurangkan sampah sarap dan 3 orang responden mewakili 1% lagi sebagai peluang menceburi bidang perniagaan.

Rajah 4.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi amalan kitar semula

Sumber : Kerja Lapangan 2006

Bagi responden yang tidak mengitar semula pula, ianya disebabkan oleh faktor-faktor seperti tiada pembeli di sekitar kawasan perumahan mereka, tiada ruang di rumah, atau program kitar semula ini langsung tidak memberi keuntungan dari segi kewangan terhadap mereka. Namun begitu, alasan utama mereka kurang memberi kerjasamaa dalam program ini berdasarkan kajian, adalah disebabkan oleh merekaa tidak berminat. Ini juga mungkin disebabkan ruang kawasan rumah yang terhad di samping mereka tidak tahu bahan yang boleh dikitar semula dan bagaimana hendak memulakan proses pengasingan daan penyimpanan bahan tersebut. Sebanyak 45 peratus atau 38 daripada 85 orang responden mengakui alasan ini, manakala alasan kedua tertinggi yang mereka berikan adalah tiada pembeli di kawasan perumahan mereka. Iaitu sebanyak 37% mewakili 31 daripada 85 orrang responden bersetuju dengaan penyataan ini. Selebihnya disebabkan alasan-alasan seperti tiada program kitar semula di sekolah di kawasan perumahan mereka dan juga program ini tidak menguntungkan.

Dapat Mengurangka

n Sampah 30%

Peluang Perniagaan

1%

Kesedaran menjaga alam

39%

Pendapatan Sampingan

30%

Page 381: Proceeding jilid 2

792

Rajah 4.1.6 Faktor-faktor responden tidak mengamalkan kitar semula

Sumber : Kerja Lapangan 2006 Sebanyak 50.8 peratus responden mengakui memasukkan sampah ke

dalam tong-tong kitar semula yang terdapat di sekolah atau di kawasan perumahan yaang telah disediakan oleh pihak Majlis Perbandaran Ampang Jaya. Manakala selebihnya iaitu 49.2 peratus lagi mengakui mereka tidak memasukkan plastik, tin, kertas dan kaca ke dalam tong kitar semula.

Namun demikian, bilangan responden yang menghantar sendiri barangan yang dirasakan boleh dikitar semula ke sekolah atau pusat-pusat kitar semula berdekatan adalah kurang memberangsangkan. Ini dibuktikan daripada kajian soal-selidik yang dijalankan di mana hanya 37.2 peratus daripada responen yang menghantar sendiri barangan ke pusat-pusat kitar semula. Ini mungkin disebabkanpusat-pusat kitar semula yang terdapat di Zon Ampang ddi bawah pentadbiran MPAJ adalah terhad di mana hanya terdapat 3 buah pusat komuniti bagi pengumpulan barangan kitar semula. Tambahan pula kedudukannya agak jauh, tiada sokongan dari keluargaa, tiada kenderaan dan malas untuk meenghantar sendiri barangan kitar semulaa ini.

Didapati sebanyak 69.7% daaripada responden menjual barangan kitar semula kepada individu yang datang membeli di kawasan perumahan mereka. Ini memudahkan responden untuk meenjual barangan tersebut bagi mendapatkan wang tambahan hasil jualan. Ianya dilihat sebaagai satu bentuk rangsangan tersendiri bagi pelajar-pelajar melakukan kegiatan tersebut kerana bayaran yang diterima bagi bahaan kitar semulaa ini menguntungkan pihak pembeli daan juga penjual (Irina Safitri 2003).

Walau bagaimanapun, hanya 42.5% responden bersetuju semua ahli keluarga sentiasa mengamalkan kitar semula walau di mana mereka berada. Manakala 207 daripada 360 responden iaitu 57.5% lagi tidak bersetuju dengan penyataan tersebut.

HUBUNGAN AMALAN KITAR SEMULA DENGAN STATUS PEKERJAAN KETUA KELUARGA.

Bagi mengetahui hubungan antara amalan kitar semula responden dengan status pekerjaan ketua keluarga mereka, analisa bagi soalan 13 telah dibuat.

Tidak Berminat

45%

Tiada Program

Kitar Semula 12%

Tidak Tahu Bahan Kitar

Semula 2%

Tiada Pembeli37%

Tiada ruang di rumah

2%

Tidak Menguntungkn

2%

Page 382: Proceeding jilid 2

793

Cross-tabs telah dijalankan bagi melihat perhubungan tersebut. Keputusan ditunjukkan dalam Jadual 4.2

Jadual 4.2 Hubungan amalan kitar semula dengan status pekerjaan ketua keluarga responden

Mengasingkan sampah dan kitar semula Ya %) Tidak (%)

Bekerja Sendiri 108 82 23 18 Sektor Kerajaan 72 77 22 23 Sektor Swasta 85 70 36 30 Tiada Pekerjaan 10 71 4 29 Jumlah 275 76 85 24

Sumber : Kerja Lapangan 2006

Hasil daripada ujian cross-tabs yang telah dijalankan, jelas membuktikan bahawa tahap amalan di kalangan responden sangat tinggi tidak kira walau apapun latarbelakang status pekerjaan ketua keluarga mereka di mana 76 peratus daripada responden mengamalkan konsep kitar semula di mana mereka mengasingkan sampah dan mengamalkan kitar semula di sekolah dan di rumah masing-masing. Jika dilihat daripada status pekerjaan ketua keluarga mereka, setiap sektor pekerjaan menunjukkan peratusan yang tinggi iaitu melebihi 70 peratus. Data menunjukkan responden yang datang dari latar belakang ketua keluarga yang bekerja sendiri mencatatkan peratusan yang sangat tinggi iaitu 82%, diikuti dengan sektor kerajaan, ketua keluarga tiada pekerjaan dan dari ketua keluarga yang bekerja di sector swasta. Walaubagaimanapun,respondenyang ketua keluarganya bekerja di sektor swasta merupakan mereka yang paling ramai tidak mengasingkan sampah dan tidak mengitar semula.

Pakar sosiolagi juga telah banyak melihat pengaruh status sosioekonomi dan demografi terhadap perilaku masyarakat terhadap alam sekitar. Kajian yang dilakukan oleh Derksendan Gartrell (1993), menunjukkan kaitan yang sangat kecil antara keduanya dan cenderung menyatakan bahawa ‘latar belakang lebih merupakan sebagai mediator bukan sebagai salah satu factor yang menyebabkan kitar semuladilakukan.Manakala kajianyang dilakukan oleh Vinig dan Ebreo (1990), menunjukkan bahawa penduduk melakukan kitar semula disebabkan kemudahan mereka mendapatkan maklumat dan tersedianyabahankitar semula daripada barangan yang mereka gunakan. Kajian Margai(1997)terhadap komuniti di kawasan berpendapatan rendah di bahagian timur Harlem, New York, Amerika Syarikat pula menunjukkan salah satu sebab kurangnyapenyertaan mereka dalam kegiatan kitar semula ada disebabkan kurangnya kemudahan tong-tong kitar semula di kawasan tersebut. Hasil kajian tersebut jelas menunjukkan bahawa kemudahan lebih berpengaruh untuk menentukan penyertaan kitar semula dalam setengah komuniti berbanding faktor sosioekonomi contohnya status pekerjaan ketua keluarga responden.

Page 383: Proceeding jilid 2

794

HUBUNGAN AMALAN KITAR SEMULA DENGAN TARAF PENDIDIKAN KETUA KELUARGA

Bagi mengetahui hubungan antara amlan kitar semula responden dengan taraf pendidikan ketua keluarga mereka, analisa bagi soalan13 telah dibuat. Cross-tabs telah dijalankan bagi melihat perhubungan tersebut. Keputusan ditunjukkan dalam Jadual 4.3

Jadual 4.3 Hubungan amalan kitar semula dengan taraf pendidikan bapa responden

Mengasingkan sampah dan kitar semula Ya %) Tidak (%)

Tidak Bersekolah 7 78 2 22 Sekolah Rendah 29 73 11 27 Sekolah Menengah 171 77 50 23 Kolej/Universiti 68 76 22 24 Jumlah 275 76 85 24

Sumber: Kerja Lapangan 2006

Hasil daripadaujian cross-tabs yang telah dijalankan, didapati 76 peratus pelajar mengasingkan sampah dan mengamalkan kitar semula dalam kehidupan seharian mereka.Jika dilihat daripada taraf pendidikan ketua keluarga responden, jelas menunjukkan peratus yang tinggi iaitu melebihi 70 peratus. Data menunjukkan responden yang datang dari latar belakang ketua keluarga yang tidak bersekolah mencatatkan peratus yang sangat tinggi iaitu 78%, diikuti dengan pendidikan sekolah menengah, kolej/university dan ketua keluarga berpendidikan sekolah rendah. Responden yang paling ramai tidak mengasingkan sampah dan tidak mengitar semula datang dari mereka yang ketua keluarganya berpendidikan sekolah rendah. HUBUNGAN AMALAN KITAR SEMULA DENGAN PENDAPATAN KETUA KELUARGA

Bagi mengetahui hubungan antara amalan kitar semula responden dengan pendapatan ketua keluarga mereka, analisabagi soalan 13 telah dibuat. Cross-abs telah dijalankan bagi melihat hubungan tersebut. Keputusan ditunjukkan dalam Jadual 4.4.

Jadual 4.4 Amalan kitar semula dengan pendapatan ketua keluarga

Mengasingkan sampah dan kitar semula Ya %) Tidak (%)

Kurang RM1000 85 82 19 18 RM1000- RM3000 139 78 40 22

Page 384: Proceeding jilid 2

795

RM3000 ke atas 51 66 26 34 Jumlah 275 76 85 24

Sumber :Kerja Lapangan 2006

Hasil daripada ujian cross-tabs yang telah dijalankan, didapati 76 peratus pelajar mengasingkan sampah dan mengamalkan kitar semula dalam kehidupan seharian mereka. Jika dilihat daripada pendapatan bapa responden, jelas menunjukkan peratus yang tinggi 82%. Data menunjukkan respondenyang dating dari latar belakang bapa yang berpendapatankurang daripada RM1000 mencatatkan peratusan yang sangat tinggi, diikuti dengan pendapatan di antara RM1000 hingga RM3000 dan pendapatan RM3000 ke atas. Responden yang paling ramai tidak mengasingkan sampah dan tidak mengitar semula datangnya dari mereka yang bapanya berpendapatan RM3000 ke atas.

ANALISA TABURAN BAGI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AMALAN KITAR SEMULA RESPONDEN

Penganalisasan purata min setiap item berdasarkan empat aspek utama iaitu peranan guru, ibu bapa,media dan rakan sebaya. Taburan purata min dan kaitan antara purata min dengan setiap pembolehubah ditunjukkan pada Jadual 4.5 dan 4.6.

Jadual 4.5 Taburan purata min

Tahap Min Sangat Tinggi 4.21 - 5.00 Tinggi 3.41 – 4.20 Sederhana 2.61 – 3.40 Rendah 1.81 – 2.60 Sangat Rendah 1.00 – 1.80

Jadual 4.6 Hubungan purata min dengan setiap pembolehubah

Tahap Min Sangat Tinggi 4.21 - 5.00 Tinggi 3.41 – 4.20 Sederhana 2.61 – 3.40 Rendah 1.81 – 2.60 Sangat Rendah 1.00 – 1.80

Secara keseluruhan amalan kitar semula responden dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti media dan guru-guru berbanding ibu bapa dan rakan sebaya. Memandangkan pelajar banyak meluangkan masa bersama guru-guru di sekolah dan usia remaja yang sememangnya gemar menonton televisyen, mendengar radio, melayari internet, membaca suratkhabar, risalah dan majalah. Kedua-dua factor ini mengamalkan kitar semula di rumah mahupun di sekolah.

Page 385: Proceeding jilid 2

796

IMPLIKASI DAN CADANGAN Hakikatnya semakin maju sesebuah negara itu semakin bertambah

keupayaannya untuk menghasilkan sampah sarap. Satu penyelesaiaan pengurusan sampah sarap yang cekap dan berkesan antaranya kaedah kitar semula. Kesedaran dan amalan ini perlulah diterapkan bermula dari akar umbinya lagi. Oleh itu golongan pelajar adalah kumpulan sasarannya. Bermula dari sukatan pelajaran yang digubal oeh PPK, aktiviti ko-kurikulum, program kerjasama antara KPKT, JAS, MPAJ, AFSB, dan galakan daripada ibu bapa dan guru memainkan peranan yang sangat penting dalam memberi kesedaran dan menanamkan semangat untuk mengamalkan kitar semula. di sekolah khususnya dan di rumah amnya.Hasil daripada soal selidik yang telah dijalankan mendapati kebanyakan responden akan mengitar semula sekiranya terdapat kemudahan disediakan bagi memudahkan mereka mengumpulkan bahan kitar semula. Berdasarkan analisis soal-selidik sebanyak 69.7 peratus daripada responden yang menjual barangan kitar semula kepada individu yang datang membeli di kawasan perumahan mereka tetapi hanya 37.2% sahaja yan^ menghantar sendiri barangan yang dirasakan boleh dikitar semula ke sekolah atau pusat-pusat kitar semula berdekatan Ini menunjukkan disebabkan status responden sebagai pelajar yang tidak mempunyai kenderaan, maka lebih mudah bagi mereka untuk menjual barangan kitar semula kepada peraih yang datang ke rumah. Tambahan pula pusat-pusat kitar semula yang terdapat di Zon Ampang di bawah pentadbiran MPAJ adalah terhad. Hanya terdapat 3 buah pusat komuniti bagi pengumpulan barangan kitar semula dan kedudukannya pula agak jauh, ditambah pula dengan kurangnya sokongan dari keluarga dan malas untuk menghantar sendiri barangan kitar semula ini. Terdapat dua kaedah pengumpulan bahan kitar semula iaitu kaedah kutipan dan kaedah menghantar bring in system'. Kaedah kutipan merupakan kaedah yang paling tinggi tahap penyertaan isirumah berbanding kaedah lainnya. Namun kaedah ini memakan belanja yang mahal untuk kos menyediakan fasiliti lori (Irina Safitri et al. 2003). Ini menunjukkan kaedah kutipan lebih beijaya untuk menggalakkan masyarakat khususnya para pelajar melibatkan diri dalam program kitar semula berbanding kaedah penghantaran ke pusat-pusat kitar semula. Kenyataan ini disokong oleh kajian Derksen dan Gartrell (1993) yang mendapati tumpuan harus diutamakan kepada fasiliti-fasiliti kutipan kerbsid atau kutipan khas bagi bahan kitar semula dari rumah ke rumah bagi menggalakkan lagi penyertaan isirumah dalam kegiatan kitar semula. Mereka mendapati sistem penghantaran bahan kitar semula ke pusat pengitaran awam menyukarkan dan kurang memberi galakan kepada isirumah melakukan kitar semula berbanding sekiranya tersedia kutipan kerbsideKajian juga mendapati amalan kitar semula di kalangan responden sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti media dan guru-guru diikuti dengan faktor ibubapa dan rakan sebaya. Ini kerana guru adalah insan yang paling hampir dengan pelajar selain ibu bapa mereka. Tingkah laku dan personaliti seseorang guru boleh mempengaruhi pelajar. Seseorang pelajar yang meminati gurunya secara tidak langsung akan meminati subjek yang diajar oleh guru tersebut (Zaliha Ismail dan Norlaila Zakaria 1996). Oleh itu, sebagai model utama yang menjadi tontonan dan ikutan setiap pelajar di sekolah, guru seharusnya memperlihatkan tingkah laku yang cemerlang, bermotivasi dan memperbanyakkan lagi aktiviti di sekolah untuk memupuk kesedaran dan menggalakkan penyertaan pelajar dalam program kitar semula.

Page 386: Proceeding jilid 2

797

Ee (1996) menyatakan guru sebagai contoh dan teladan kepada pelajarnya perlulah bersikap baik dan merupakan agen perubahan masyarakat. Guru memotivasikan pelajar supaya mereka sentiasa mempunyai dorongan yang kuat untuk belajar dan bercita-cita memperolehi pencapaian yang baik. Guru juga boleh menggalakkan keinginan untuk menyelidik dengan mengadakan projek-projek yang relevan dengan topik yang diajar dan seterusnya akan diamalkannya dalam kehidupan seharian.

Di Malaysia, ungkapan seperti 'stakeholder' dan 'partnership' menggambarkan satu pendekatan di mana terangkum di dalamnya pihak-pihak berkepentingan dengan orang awam yang terlibat dalam perancangan alam sekitar. Program yang dilaksanakan samaada oleh kerajaan pusat melalui KPKT atau Pihak Berkuasa Tempatan (PBT) tidak akan mendatangkan hasil seperti yang diinginkan sekiranya pihak-pihak yang terlibat seperti KPKT, KPM, JAS, AFSB,MPAJ, TESCO dan masyarakat amnya dan pelajar-pelajar khasnya tidak terlibat secara langsung. Oleh itu penglibatan pihak industri dan masyarakat merupakan komponen yang sangat penting. Kepincangan wujud sekiranya kedua-dua komponen penting ini tidak memainkan peranan mereka. Berikut adalah beberapa cadangan yang mungkin boleh dipraktikkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam memastikan keberkesanan program kitar semula di Malaysia secara amnya dan MPAJ, khususnya. Antara cadangan tugas dan tanggungjawab pihak yang berkaitan dengan program kitar semula adalah seperti berikut.

5.3.1 Kerajaan Tempatan

Adalah lebih baik sekiranya terdapat satu bentuk peraturan, dasar atau akta yang lebih menjurus kepada konsep 3R {reduce, reuse dan recycle). Jika terdapat satu rang undang-undang berkaitan kitar semula, dijangka penglibatan masyarakat di dalam kempen kitar semula ini lebih menyeluruh. Dalam akhbar Berita Harian (2006), kerajaan akan memperkenalkan Akta Pengurusan Sisa Pepejal yang bertujuan mewajibkan orang ramai mematuhi peraturan dan perundangan khusus berhubung pelupusan sampah dan barangan kitar semula. Kerajaan juga telah mempromosikan budaya kitar semula ini di media elektronik seperti iklan-iklan di televisyen dan radio.Usaha ini adalah satu pendekatan yang baik dan perlu diteruskan. Ini kerana golongan pelajar adalah kumpulan sasaran yang sangat tepat dalam memupuk kesedaran dan amalan kitar semula. Iklan ini sebenamya secara halus cuba menyedarkan masyarakat terutamanya pelajar-pelajar mengenai amalan kitar semula yang ternyata mudah dilakukan. 5.3.2 Masyarakat

Namun ianya tidak mustahil sekiranya semua agensi yang berkaitan seperti KPKT, KPM, JAS, PBT dan AFSB, serta masyarakat dan pelajar khususnya memberikan komitmen dalam usaha untuk menjayakan program ini. Bermula dari sukatan pelajaran yang digubal oleh Pusat Perkembangan Kurikulum (PPK), aktiviti ko-kurikulum, galakan guru, ibubapa, rakan sebaya dan pihak media memainkan peranan yang sangat penting dalam menanamkan semangat untuk mengamalkan kitar semula di rumah dan di sekolah. Apa yang perlu dilakukan kini

Page 387: Proceeding jilid 2

798

adalah mengkaji keperluan pelajar serta menyediakan keperluan yang sepatutnya wujud. Contohnya menyediakan kemudahan bagi memudahkan mereka mengumpul dan menjual bahan kitar semula. Tumpuan harus diutamakan kepada fasiliti-fasiliti kutipan kerbsid atau kutipan khas bagi bahan kitar semula dari rumah ke rumah bagi menggalakkan lagi penyertaan para pelajar dalam kegiatan kitar semula. Oleh yang demikian, amalan kitar semula ini perlulah dijadikan sebahagian daripada gaya hidup pelajar-pelajar IPGKIK bandar bagi menjamin penggunaan sumber semulajadi secara mampan demi menjamin kesinambungan kehidupan bagi generasi akan datang.

DAFTAR RUJUKAN Abdul Rahim Md. Noor. 1999. Kaedah menganalisis data berkomputer. Kuala

Lumpur: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd. Berita Harian 2006. 20 Ogos. Chamhuri Siwar, Amzad Hossain 7 Norshamleeda Chamhuri. 2000. Waste

Recycling and scavenging; Review of concepts and practices for waste minimization in Malaysia. Kertas kerja National Seminar on environmental Management Issues and Challenges in Malaysia. Program Pengurusan Persekitaran. Pusat Pengajian Siswazah Bnagi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 25-26 Julai.

Derksen, L. & Gartrell, J. !993. The social context of recycling. American Sosiological Review 58 (6): 434-442.

Ee Ah Meng. 1996. Pendidikan di Malaysia I : Falsafah pendidikan guru dan sekolah. Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd.

Irina Safitri & Chamhuri Siwar. 2003. Profil pengitar semula isirumah di Malaysia Prosiding Seminar Kebangsaan Pengurusan Persekitaran 2003, hlm. 723-726. Program Pengurusan Persekitaran. Pusat Pengajian Siswazah. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.

Jamaluddin Md Jahi 2000a. Environmental issues and management challenges in Malaysia: Facing the new millennium. Kertas kerja National Seminar On Environment Issues And Challenges in Malaysia. Program Pengurusan Persekitaran. Pusat Pengajian Siswazah. Bangi: Universiti Kebangsaaan Malaysia. 25-26 Julai.

Jamaluddin Md Jahi 2000b. Pengurusan alam sekitar di Malaysia: Isu dan cabaran. Dlm. Jamaluddin Md Jahi (pnyt.) Pengurusan persekitaran di Malysia: Isu dan cabaran. hlm. 9-29. Bangi: Pusat Pengajian Siswazah, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Jamaluddin Md Jahi 2001. Pengurusan alam sekitar di Malaysia: Dari Stockholm ke Rio de Janerio dan seterusnya. Siri syarahan Perdana. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.

Krejcic & Morgan. educational & Psychology Management, volume 30(3) pg 607-610, 1970. National Education Association dlm. K&M. Kemeterian Perumahan dan Kemajuan Tempatan. 2005. Pelan Kajian Strategik Sisa Pepejal Kebangsaan. Bilangan 3.

Margai, F.L. 1997. Analyzing changes in waste reduction behaviour in a low-income urban community following a public outreach program. Envioroment and Behaviour 29(6): 769-792.

Page 388: Proceeding jilid 2

799

Mohd. Nasir Hassan, Theng, L. C. Mizanur, Mohd. Nazeri Salleh & Muhamad Awang. 2000. Solid waste managemant- What’s the Malaysian position. Kertas kerja National Seminar on Enviroment Issues and Challenges in Malaysia. Program Pengurusan Persekitaran. Pusat Pengajian Siswazah. Bnagi: Universiti Kebangsaan Malaysai.

Seri Sarina Dewi Suhaimin 2005. Pengurusan kitar semula dan tahap [englibatan awam di Daerah Kuantan, Pahang. Projek Penyelidikan, Sarjana Pengurusan Persekitaran, Pusat Pengajian Siswazah, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Vining, J. & Ebreo, A. 1990. What makes a recycle? A comparison of recyclers and non-recyclers. Enviroment and Behaviour 22: 55-73

Zaharuddin Abd. Razak. 2003. Tahap kesedaran dan kecenderungan kitar semula (Kajian Kes Bandar Kuala Berang). Latihan Ilmiah. Jabatan Sains Alam Sekitar. Universiti Putra Malaysia.

Zaliha Ismail & Norlaila Zakaria. 1996. Guru pembentuk generasi berilmu dan berakhlak, bagaiman cara dan kenapa? Jurnal Pendidikan sempena Hari guru ke 25: 59-75.

Page 389: Proceeding jilid 2

800

ANALISIS KECURANGAN AKADEMIK DALAM KALANGAN GURU PELATIH PERGURUAN DI MALAYSIA

Ramlan Bin Mustapha, Che Lah Bin Che Mamat & Fauzi Bin Hassan

IPG Kampus Tengku Ampuan Afzan, Kuala Lipis Pahang E-mail: [email protected]

Abstrak Kecurangan akademik semakin meningkat dan menjadi cabaran dalam dunia akademik. Peningkatan dari masa kesemasa dicatatkan hasil kajian diseluruh dunia. Kajian ini memberi sedikit sebanyak gambaran tentang aktiviti kecurangan akademik dalam kalangan guru pelatih perguruan IPGM diseluruh Malaysia. Rasionalnya, kajian ini dilakukan dalam kalangan guru pelatih adalah kerana guru menjadi sanjungan masyarakat dengan ketinggian nilai etika dan integriti dalam mendidik anak bangsa dan masyarakat amnya. Kajian berdasarkan kaedah tinjauan ini melibatkan 435 guru pelatih seluruh Malaysia. Hasil dapatan menujukkan 57% peratus pelatih perguruan melakukan kecurangan akademik sekurang-kurangnya sekali. Aspek kecurangan akademik paling dominan adalah plagisrime bahan rujukan dalam menyelesaikan tugasan dan kerja kursus. Kata kunci: Kecurangan akademik, Plagiat, Guru Pelatih Perguruan

PENDAHULUAN Kecurangan akademik bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia akademik.

Banyak kajian telah dilakukaakn oleh penyelidik terutamanya didunia barat, apabila Mc Cabe mula membuat analisis kecurangan akademik dalam kalangan mahasisiwa di Amerika bermula tahun 70an lagi. Dapatan kajian Baird (1980) menunjukkan bahawa trend kecurangan akademik berlaku dengan giat dalam kalangan mahasiswa dan hasil analisisnya mendapati hampir 60% pelajar melakukan kecurangan akademik. Perkara ini menjadi perbahasan yang signifikan bahawa selama berdekad isu ini semakin berleluasa dalam kalangan mahasiswa (McCabe, Trevino & Butterfield, 2001).

Dalam memacu negara kearah pendidikan tinggi yang lebih sistematik, berintegriti dan berdaya saing berbanding dengan negara serantau mahupun negara maju, isu-isu yang melibatkan integriti dalam akademik menjadi polemik dan isu yang harus di ambil berat oleh semua pihak. Isu seperti plagiarisme, kecurangan akademik dan sebagainya perlu diperbaiki dan diambil berat agar ianya tidak menjejaskan integriti dalam akademik seterusnya merencatkan suasana pembangunan pendidikan tinggi di Malaysia.

Kecurangan akademik menjadi isu global dan setiap tahun peningkatannya dilihat semakin serius (Sevari, Ebarhimi, 2011; Kalhori, 2014). Kebanyakkan institusi pengajian tinggi, mahupun institusi pendidikan mengambil berat tentang isu kecurangan akademik yang semakin berleluasa (Mc Cabe dan Trevino, 2007; Park, 2003; Rajesh dan Jacqualine, 2008). Banyak dapatan kajian yang telah dijalankan menggambarkan peningkatan yang agak serius berkaitan isu ini, begitu

Page 390: Proceeding jilid 2

801

juga dalam kalangan pelajar-pelajar di Asia (Hadijah, Norashikin, Nusrah, Fauziah & Normala, 2013).

Kebanyakkan pengkaji menyatakan persetujuan mereka bahawa isu kecurangan akademik semakin menjadi isu yang kritikal dalam dunia akademik. Dewasa ini, semakin ramai pelajar ataupun mahasiswa melakukan pelbagai bentuk kecurangan akademik samaada dalam ujian kelas, tugasan dan sebagainya (Bolin, 2004). Isu kecurangan akademik, kurang nilai integriti dalam pendidikan dan penipuan dalam akademik tidak terbatas di institusi pengajian awam sahaja malahan di pusat pengajian swasta juga menghadapi masalah yang sama (Anitsal, Anitsal dan Elmore, 2009). DEFINISI ISTILAH

Kecurangan akademik (academic dishonesty) boleh didefinisikan sebagai apa sahaja perlakuan yang melibatkan ketidak jujuran atau kecurangan dalam akademik sama ada meniru, membeli tugasan, menciplak dan mencetak tanpa kebenaran hasil karya orang lain (Latisha, Surina, 2012). Stuber, Wisely & Hoggart (2009) mendefinisikan kecurangan akademik sebagai menipu dalam ujian, memplagiat, mencetak, mengambil peluang secara tidak adil, menyalin rekod dan mengakses hak orang lain tanpa kebenaran. Rajesh Iyer, Jacqueline (2008) menyatakan bahawa kecurangan akademik sebagai perilaku yang menyalahi etika akademik seperti mengambil atau menyalin tugasan individu lain dengan niat untuk meniru, plagiat untuk mendapatkan manafaat akademik.

Dalam konteks kajian ini, kecurangan akademik menjuruskan kepada segala bentuk perilaku yang menyimpang atau ketidak jujuran seperti mencetak, plagiat, akses maklumat tanpa kebenaran pemilik asal, meniru dan mencetak tugasan orang lain tanpa kebenaran yang sah. PERNYATAAN MASALAH

Kecurangan akademik menjadi kebimbangan sejagat dan setiap tahun banyak penyelidikan telah dijalankan samaada di institusi pengajian tinggi awam mahupun swasta (Saveri Karim & Ebrahimi, 2011). Adalah menjadi kebiasaan kecurangan akademik berlaku di Institusi pengajian tinggi kini (Beck, 2014). Pensyarah biasanya menahan atau menangkap pelajar meniru dalam peperiksaan mahupun mencetak maklumat yang diperolehi daripada pelbagai sumber dalam penulisan tugasan “assignment” (Barizah, Suhaiza, Suaniza, 2010). Isu Plagiarisme dalam pendidikan dapat dilihat daripada pelbagai perspektif, penyalinan dokumen, atau atur cara tanpa memberi kredit boleh dianggap sebagai kecurangan akademik (Spinellis et al., 2007).

Terdapat juga kajian lain yang menguatkan lagi hujah akademik yang menunjukkan masalah kecurangan akademik dalam kalangan pelatih pendidikan di institusi pengajian tinggi di Malaysia seperti kajian (Arief Salleh, Ahmad Muhyiddin Hassan, Azmi Shah, M. Masir & Nurazmallail Marni, 2008), serta kajian (Hairulliza Mohdi Judi, Syahanim Mohd Salleh, Norijah Husin & Sufian Idris, 2012) tentang pengawasan aktiviti mencegah plagiat pengaturcaraan di Malaysia. Lebih mengejutkan lagi, kajian (Norsiha & Nurliyana, 2013) mendapati bahawa 82% pelajar institusi pengajian tinggi di Malaysia pernah terlibat dengan kecurangan akademik dan kajian (Diekhoff, La Beff, Shinora & Yusukawa,2009) mendapati dalam kajian mereka di Jepun 55% pelajar IPT meniru dalam kertas kajian dan 85% pelajar meniru dalam peperiksaan.

Page 391: Proceeding jilid 2

802

Selain itu, (Demoera & Jindrova, 2013) melaporkan, bahawa The Center for Academic Integrity (CAI) mendapati bahawa lebih 75% pelajar-pelajar kolej dan pengajian tinggi akan melakukan kecurangan akademik paling kurang sekali dalam pengajian mereka. Laporan The Josephian Institutes of Ethics in California, mendapati 72% pelajar di pengajian tinggi mengaku melakukan kecurangan akademik seperti meniru dalam peperiksaan dan sebagainya (Koul, 2012). Manakala data semasa masih menunjukkan bahawa peratusan aktiviti kecurangan akademik masih melebihi paras 70% dalam kalangan pelajar pengajian tinggi (Whitley, 1998). Laporan (Mc Cabe, Butterfield, & Trevino, 2002) menyatakan bahawa fenomena kecurangan akademik ini berada diparas amaran “Alarming rate”, dan ditambah lagi dengan skandal di Duke University Faqua School of Business pada tahun 2007 yang melibatkan seramai 34 siswazah dihukum kerana melakukan kecurangan akademik secara berkumpulan (Briggs, Workman & York, 2013).

Berdasarkan kajian ini, dapatlah disimpulkan bahawa masalah kecurangan akademik ini berlaku dikebanyakkan institusi pengajian tinggi. Namun persoalan yang tergambar adalah, adakah pelatih perguruan di IPGM terlibat dengan gejala ini? Maka pengkaji cuba untuk memenuhi jurang (gap) literature dengan melakukan tinjauan masalah ini dalam kalangan mahasisiwa di IPG di seluruh Malaysia.

SOROTAN LITERATUR

Isu kecurangan akademik menjadi polemik yang besar dalam dunia pendidikan (Josien, Broderick, 2013). Memang tidak dapat dinafikan telah banyak kajian yang dijalankan terhadap isu kecurangan akademik ini. Salah satu kajian paling awal dilakukan oleh (Baird, 1980) mendapati bahawa 75% pelajar peringkat siswazah pernah melakukan kecurangan akademik. Pada tahun 1997 Mc Cabe & Trevino melaporkan bahawa 13% hingga 70% pelajar akan melakukan kecurangan akademik disepanjang pengajian mereka. Pada tahun 2005, (McCabe,2005; Josien & Broderick, 2013) melaporkan bahawa 70% daripada 50,000 pelajar ijazah sarjana muda dalam lingkungan tahun 2002 hingga 2005 pernah meniru dan melakukan kecurangan akademik dan data ini dikumpul daripada 60 kampus diseluruh dunia.

Perlakuan tidak beretika seperti kecurangan akademik samaada meniru, mencetak tugasan orang lain termasuk plagiat sudah menjadi kebiasaan pada masa kini (Center for Academic Integrity, 1999). Kajian yang dilakukan oleh Domeova & Jindrova (2013) keatas laporan yang dibuat oleh (CAI) menyokong data tersebut yang mendapati bahawa lebih 75% daripada pelajar-pelajar pengajian tinggi melakukan kecurangan akademik. Dapatan kajian juga menunjukkan, walaupun sebahagian besar pelajar (66.4%) tahu dan faham akan tindakan yang mungkin dikenakan kepada mereka, namun kecurangan akademik tetap berlaku.

Galloway (2014) dalam kajian beliau terhadap 4316 mahaiswa pengajian tinggi mendapati hampir 93% peratus mahasiswa pernah melakukan kecurangan akademik sekurang-kurang sekali. Dapatan kajian beliau juga menunjukkan bahawa pelajar di institusi pengajian lebih kecil kurang terlibat dengan aktiviti kecurangan akademik berbanding dengan institusi pengajian yang lebih besar. Berdasarkan sampel kajian yang dipilih menunjukkan bahawa 33% pelajar di

Page 392: Proceeding jilid 2

803

peringkat atas dilaporkan melakukan kecurangan dengan pelbagai cara, manakala 40% dilaporkan melakukan kecurangan akademik sekurang-kurang sekali. Pelajar menyatakan antara penyebab utama gejala ini berlaku disebabkan oleh pihak pentadir kurang menitik beratkan aspek keburukan dan kesan sampingan aktiviti kecurangan akademik.

Kajian (Jurdi, Hage & Henry, 2012) terhadap 321 responden di beberapa universiti di Canada mendapati bahawa separuh daripada pelajar terlibat dengan aktiviti kecurangan akademik. Lebih daripada separuh daripada mereka terlibat sekurang-kurangnya satu daripada tingkahlaku kecurangan akademik. Dalam kajian ini, pembolehubah penting dikaji ialah faktor demografi, keagamaan, dan karektristik akademik. Dapatan penting kajian menunjukkan faktor demografi menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kecurangan akademik. Keputusan ujian regressi menunjukkan nilai (β = 0.210, p < 0.050). Manakala aspek paling memberi kesan dan hubungan yang tertinggi adalah aspek kerakteristik etika akademik, seperti persepsi terhadap kepentingan akademik mencatatkan nilai (β = 0.203, p < 0.001), kemampuan akademik (β = 0.153, p < 0.001) dan strategi pembelajaran secara mendalan mencatat nilai (β = 0.134, p < 0.050).

Shu Ching Yang (2012) dalam kajiannya terhadap 586 pelajar siswazah di Taiwan, mendapati bahawa pelajar perempuan lebih banyak terlibat berbanding dengan pelajar lelaki. Ini menunjukkan bahawa pelajar lelaki lebih faham tentang etika kesalahan terhadap tingkahlaku kecurangan akademik. Kajian juga mendapati bahawa pelajar peringkat sarjana adalah golongan yang paling tinggi terlibat dengan kecurangan akademik berbanding dengan pelajar peringkat doktor falsafah (Phd).

Kajian Hadijah, Norashikin, Nusrah dan Fauziah (2013) terhadap 610 pelajar perniagaan di kebanyakan universiti awam di Malaysia, mendapati bahawa kebanyakan pelajar terlibat dengan aktiviti kecurangan akademik kerana kebanyakan pensyarah tidak memberi peringatan terhadap tingkahlaku tersebut (academic dishonesty). Dapatan juga menunjukkan bahawa faktor tugasan yang tidak releven dengan subjek dan juga pengaruh rakan (peer influence) memberi kesan kepada kecurangan akademik dalam kalangan mereka.

Selain itu, Kajian Harris, (2011) menunjukkan bahawa terdapat beberapa faktor penting yang menyumbang kepada kecurangan akademik dalam skop pendidikan di Malaysia. Faktor yang menyumbang ialah seperti faktor institusi, kemudahan internet dan sikap kendiri. Paling mengejutkan, data menujukkan bahawa faktor kemudahan internet menjadi faktor terpenting kepada kecurangan akademik iaitu mencatat jumlah 89.8%. Hasil analisis regressi menunjukkan bahawa faktor kemudahan internet menjadi faktor paling kuat iaitu mencatat nilai β = 0.21, t =3.31 (p < 0.00) diikuti oleh faktor institusi mencatat nilai β = 0.21, t =3.18 (p < 0.00).

Kajian Latisha & Surina (2012) keatas 100 orang pelajar diploma di Universiti awam di Malaysia mendedahkan bahawa kebanyakan pelajar faham dan berpengetahuan tentang undang-undang institusi terhadap isu kecurangan akademik. Kajian juga menyatakan bahawa pengaruh dan tekanan rakan-rakan (peer pressure) dan budaya kolektif (collective culture) memberi kesan secara langsung kepada kecurangan akademik di IPTA Malaysia.

Kajian yang dilakukan oleh Imran dan Nordin (2013) keatas 250 orang mahasiswa di tiga buah universiti awam di Malaysia dengan menggunakan teori

Page 393: Proceeding jilid 2

804

TPB menunjukkan bahawa kesemua faktor yang dikaji adalah signifikan dan mempunyai hubungan yang positif. Kesemua komponen model yang dikaji menunjukkan secara statistiknya memberi kesan yang signifikan terhadap niat untuk melakukan (intention) dan juga kecurangan akademik itu sendiri (atual behaviour) dengan jumlah varians antara (69% - 75%). Hasil analisis statistik kajian menunjukkan bahawa nilai chi square 2.17, nilai p = .115, RMSEA .071 dan Comparative Fit Index (CFI) .999. Berdasarkan analisis ini, ianya jelas menunjukkan hubungan yang signifikan dan positif berdasarkan model yang digunakan (critical ratio value > 1.96, pada tahap nilai alpha p < .001).

Berdasarkan sorotan literatur diatas, dapatlah dirumuskan bahawa, fenomena kecurangan yang semakin meluas berlaku ini, menuntut perhatian semua pihak. Pengkaji juga merasakan analisis kecurangan akademik di peringkat IPGM perlu dilakukan memandangkan IPGM sebagai sebuah insitusi pengajian Tinggi yang sentiasa terlibat dengan penganugerahan Ijazah melihat, apakah sudut dan jumlah nisbah kecurangan akademik di peringkat IPGM dan kampus-kampus diseluruh Malaysia.

Objektif Kajian

Secara umumnya kajian ini dijalankan untuk meninjau persepsi guru-guru pelatih IPG terhadap kecurangan akademik. Objektif kajian ini adalah seperti berikut:

1. Mengenalpasti tahap pengamalan fenomena kecurangan akademik dalam kalangan pelatih IPGM.

Persoalan Kajian Soalan berikut digunakan pengkaji sebagai landasan kajian ini:

1. Apakah tahap pengamalan fenomena kecurangan akademik dalam kalangan pelatih IPGM?

Signifikan kajian.

Berdasarkan perkembangan semasa, terlalu banyak isu yang dikaitkan dengan kecurangan akademik yang mempunyai hubungan yang signifikan dengan perlakuan pelajar-pelajar yang terbabit secara khusus dengan akademik. Kajian-kajian yang dijalankan sebelum ini menunjukkan nisbah yang sangat tinggi iaitu seperti Norsiha & Nurliyana (2013) menyatakan 80% pelajar di Malaysia melakukan kecurangan akademik. Disamping itu laporan(Center for Academic Integrity, 1999) menunjukkan lebih 70% pelajar pengajian tinggi terlibat dengan kecurangan akademik dan ini dikuatkan lagi dengan laporan Domeova & Jindrova (2013) keatas laporan yang dibuat oleh (CAI) menyokong data tersebut yang mendapati bahawa lebih 75% daripada pelajar-pelajar pengajian tinggi melakukan kecurangan akademik. Berdasarkan kepada fenomena ini, ianya boleh menjadi isu yang sangat besar dan mencabar integriti dan kualiti sesuatu institusi. Adakah kualiti yang disediakan oleh sesebuah institusi pendidikan itu benar-benar berkualiti atau sebaliknya.

Metodologi kajian

Kajian ini secara dasarnya menggunakan kaedah kuantitatif. Kaedah kuantitatif diguna pakai untuk menggambarkan sifat semata (expost Facto) yang sedang berlangsung pada ketika kajian dilakukan dan dapat membuat tafsiran

Page 394: Proceeding jilid 2

805

yang tepat (Mohd Nasir, 2003). Kaedah deskriptif kuantitatif dapat memberi gambaran fenomena-fenomena, menunjukkan hubungan, menguji hipotesis, membuat ramalan dan mendapatkan makna dari implikasi dari sesuatu masalah yang ingin dipecahkan (Sukarmin, 2010).

Kajian tinjauan bermatlamat untuk mengumpul maklumat mengenai aspek yang hendak dikaji dan bersesuaian dengan tujuan kajian dijalankan. Kajian tinjauan ini biasa dijalankan dalam penyelidikan pendidikan (Mohd. Majid 2005). Seterusnya, Sekaran & Bougie (2010) menjelaskan sekiranya kajian ini dirancang dan dijalankan mengikut amalan-amalan piawai, ia boleh menghasilkan suatu keputusan yang mempunyai kebolehpercayaan yang tinggi. Menurut Mohd. Majid (2005), penyelidikan deskriptif merupakan penyelidikan yang bermatlamat untuk menerangkan sesuatu fenomena yang sedang berlaku dan ia dilaksanakan untuk mendapatkan maklumat mengenai sesuatu peristiwa yang sedang berlaku.

Kaedah ini dipilih berdasarkan kepada analisis data kuantitatif boleh dilaksanakan dengan mudah menggunakan program komputer seperti IBM SPSS. Walau bagaimanapun, pengkaji perlu memahami cara memperoleh keputusan analisis kajian, kerana ianya penting dan dapat membantu pengkaji memahami logik di sebalik angka-angka yang dihasilkan oleh program komputer (Chua Yan Piaw, 2006).

Responden Kajian dan Instrumentasi kajian.

Populasi kajian ini ialah mahasiswa IPGM yang berada di beberapa IPG kampus di seluruh Malaysia. Instrumen yang digunakan dalam kajian ini adalah borang soal selidik. Borang soal selidik telah direka bentuk adalah berdasarkan kepada kajian lepas. Instrumen kajian di adaptasi daripada Academic Integrity Survey (Mc Cabe, 2010).

Jadual 1: Taburan populasi

No IPGK

Jumlah Responden

1 IPG kampus Keningau Sabah 35 2 IPG Kampus Kota Bharu, Kelantan 28 3 IPG Kampus Sarawak Miri, Sarawak 39 4 IPG Kampus Gaya, Sabah 35 5 IPG Kampus Sultan Mizan K.Terengganu 24 6 IP Bahasa-Bahasa Antarabangsa, Kuala Lumpur 39 7 IPG Kampus Tengku Ampuan Afzan Pahang 60 8 IPG Kampus Sultan Abdul Halim Kedah 33 9 IPG Kampus Rajang Sarawak 35 10 IPG Kampus Temenggung Ibrahim, Johor 38 11 12

IPG Kampus Tungku Bainun, Pulau Pinang IPG Kampus Darul Aman Jitra Kedah

35 34

Jumlah keseluruhan: 435 orang

PERSAMPELAN Kaedah ini menggunakan kaedah persampelan convenience sampling.

Kaedah ini dipilih berdasarkan kesesuaian dan kemudahan untuk mendapatkan

Page 395: Proceeding jilid 2

806

maklumbalas daripada responden kajian. Kaedah ini juga dilihat menyamai dengan penyelidik terdahulu yang menggunakan pelajar Institusi pengajian tinggi (IPTA) sebagai responden kajian contohnya (Ballantine, Larres, Mulgrew, 2014: Mei Wah, William, Neil, 2012: Maria, Carlo, Fida & Marinella, 2013) dan kebanyakan pengkaji terdahulu menggunakan pelajar IPTA sebagai responden kajian. Manakala pengkaji tempatan menggunakan guru pelatih perguruan sebagai responden seperti (Wan Zah Ali, Habshah, Tan, 2012: Norshiha Saidin & Nurliyana, 2013: Latisha & Surina, 2012: Hadijah, Norashikin, Nusrah, Fauziah & Normala, 2013). Penggunaan kaedah ini sesuai di gunakan kepada populasi yang seragam (homogenous) seperti pengajian tinggi termasuk IPGM yang merupakan IPTA manakala guru pra perkhidmatan yang berfokus kepada program Ijazah Sarjana Muda Keguruan.

Analisis Data Kajian

Data yang diperoleh daripada set soalan kajian akan diproses diperingkat asas menggunakan program IBM SPSS versi 20.0. Analisis statistik diskriptif digunakan untuk mendapat min, mod (kekerapan) dan sisihan piawai tentang latar belakang responden.

Jadual 2: Tahap penilaian min.

Tahap Nilai min Rendah 1.000-2.000 Sederhana 2.001-3.000 Sederhana tinggi Tinggi

3.001-4.000 4.001- 5.000

Sumber: Latip (2006) Reliabiliti alat kajian

Reliabiliti bermakna darjah kesesuaian dan keyakinan terhadap pengukuran sesuatu alat kajian dan ia semestinya mempunyai ciri-ciri kestabilan, konsistensi, keramahan dan ketepatan (Kerlinger, 1986) dalam (Yoes Amirudin, 2007). Kajian ini akan menggunakan model Cronbach’s alpha untuk mengukur realibiliti atau kebolehpercayaan alatan kajian yang digunakan dalam kajian ini.

Pemilihan ini adalah berasaskan kepada model Cronbach Alpha merupakan satu metodologi realibiliti atau kebolehpercayaan ketekalan sesuatu alat ukuran yang menggunakan jawapan tidak dikitomi dan ianya amat sesuai digunakan ke atas alat ukuran yang mempunyai lebih daripada skala Likert 5 point (Yoes Amirudin, 2007). Nilai-nilai Cronbach’s Alpha nanti akan diinterpretasi melalui penilaian yang dibuat oleh Hair, Babin, Money & Samouel (2003) yang merangkumi dalam jadual 3.2 di bawah

Jadual 3 : Interpretasi nilai pekali Cronbach’s Alpha

Julat Pekali Cronbach’s Alpha Kekuatan Realibiliti < 0.6 Lemah

Page 396: Proceeding jilid 2

807

0.6 ke < 0.7 Sederhana < 0.7 ke < 0.8 Baik < 0.8 ke < 0.9 Sangat baik 0.9 Cemerlang Di dalam kajian ini, pengkaji menggunakan reliabiliti untuk mengukur

ketepatan data (goodness of data). Menurut Sekaran & Bougie (2010 reliabiliti di gunakan untuk mengukur sejauh mana konsistensi alat ukur yang diukur menggukan konstruk yang dibentuk. Hasil daipada ujian yang dijalankan nilai kebolehpercayaan atau reliabiliti mendapati nilai alpha Cronbach bagi item keseluruhan item adalah α = .768. Maka reliabiliti kajian menepati keesahannya berdasarkan darjah kesesuaian dan keyakinan terhadap alat pengukuran yang mempunyai ciri-ciri kestabilan, konsistensi, keramahan dan ketepatan (Kerlinger, 1973). Terdapat pelbagai pendapat bagi menentukan nilai kebolehpercayaan berdasarkan tinjauan literatur. Nunally (1978) berpendapat bahawa nilai kebolehpercayaan adalah melebihi 0.70 untuk menentukan internal consistency. Selain itu, Carmines dan Zeller (1979) menyatakan bahawa nilai kebolehpercayaan adalah 0.70 atau lebih. Namun, skala baru menunjukkan bahawa nilai 0.60 adalah boleh dipertimbangkan dan diterima (Nunally dan Bernstein, 1994).

Dapatan Kajian Jadual: 4. Analisis demografi

jantina Jumlah % Lelaki 34% Perempuan 66%

Responden kajian terdiri daripada 435 pelatih perguruan IPGK seluruh

Malaysia Analisis deskriptif mengenai profil responden dalam bahagian ini merujuk kepada jantina sahaja berdasarkan instrumen yang telah diberikan. Analisis yang lengkap mengenai profil responden ditunjukkan dalam jadual 3. 34 peratus responden adalah lelaki manakala 66 peratus responden adalah perempuan.

Jadual 5: Analisis dapatan

No Item

Tidak pernah

Sekali Sekali sekala

Beberapa kali

Banyak kali

Min SP

1 Menyalin hasil kerja orang lain dan kemudian mengatakannya itu hasil kerja anda

49% 21% 22% 4.8% 1.1% 1.85 1.003

Page 397: Proceeding jilid 2

808

2 Mengubah suai atau memalsukan rujukan dalam senarai rujukan tugasan anda

35% 25% 29% 6% 2% 2.16 1.134

3 Mengubah suai atau memalsukan rujukan dalam senarai rujukan tugasan anda

38% 20% 29% 9% 1% 2.16

1.095

4 Menerima bantuan yang tidak sepatutnya daripada kawan ketika menyediakan tugasan

44% 19% 28% 5% 1% 2.00 1.040

5 Membuat tugasan bersama kawan sedangkan pensyarah menyuruh buat tugasan secara individu

25% 19% 37% 10% 5% 2.51 1.156

6 Menyalin beberapa perkataan daripada bahan rujukan tanpa menyatakan rujukan dalam nota kaki

20% 19% 39% 12% 8% 2.70 1.173

7 Menulis tugasan untuk pelajar lain

56% 16% 18% 5% 3% 1.81 1.173

8 Menyalin (copy) pernyataan atau maklumat daripada sumber tertentu tanpa memberi kredit (Quote) kepada penulis asal

35% 19% 26% 10% 7% 2.35 1.273

9 Meniru maklumat daripada pelajar lain ketika

66% 15% 12% 3% 2% 1.61 1.000

Page 398: Proceeding jilid 2

809

peperiksaan atau ujian

10 Membantu rakan lain untuk meniru dalam peperiksaan atau ujian

66% 16% 10% 5% 1% 1.59 .971

Purata : 43.4% 19% 25% 6.9% 3.1% 2.074

1.1018

N = 435

Berdasarkan jadual 4, intepretasi data menunjukkan tahap persepsi guru pelatih IPGK terhadap amalan kecurangan akademik berada pada tahap sederhana iaitu pada nilai min keseluruhan 2.74 dan sisihan piawai 1.1018. Ini menunjukkan tahap amalan kecurangan akademik pelatih masih berada pada tahap sederhana, walaubagaimanapun ianya wujud dengan meluas dalam kalangan pelatih perguruan IPGM. Beberapa item kecurangan akademik menujukkan nilai yang sederhana dan tinggi iaitu item “Mengubah suai atau memalsukan rujukan dalam senarai rujukan tugasan anda” dan “Mengubah suai atau memalsukan rujukan dalam senarai rujukan tugasan anda” dengan keduanya menujukkan nilai min 2.16 dan sisihan piawai 1.134 dan 1.095. Selain itu item yang menunjukkan nilai yang tinggi adalah “Membuat tugasan bersama kawan sedangkan pensyarah menyuruh buat tugasan secara individu” dengan nilai min 2.51 dan sisihan piawai 1.156 manakala item “Menyalin (copy) pernyataan atau maklumat daripada sumber tertentu tanpa memberi kredit (Quote) kepada penulis asal” dengan nilai min 2.35 dan sisihan piawai 1.273. Item yang mencatat nilai tertinggi adalah item “Menyalin beberapa perkataan daripada bahan rujukan tanpa menyatakan rujukan dalam nota kaki” menunjukkan nilai min 2.70 dan sisihan piawai 1.173. Namun demikian, aspek kecurangan akademik lain seperti “Menyalin hasil kerja orang lain dan kemudian mengatakannya itu hasil kerja anda”, “Menulis tugasan untuk pelajar lain” item “Meniru maklumat daripada pelajar lain ketika peperiksaan atau ujian” berada pada tahap rendah iaitu dibawah julat nilai min <2.00.Manakala aspek kecurangan yang paling rendah adalah item “Membantu rakan lain untuk meniru dalam peperiksaan atau ujian” berada pada tahap rendah iaitu dibawah julat nilai min 1.59 dan sisihan piawai .971.

Analisis kekerapan perlakuan kecurangan akademik dalam kalangan guru pelatih menunjukkan amalan guru pelatih berada pada tahap baik. Kebanyakkan pelatih membuat penyataan “tidak pernah” pada kebanyakan item iaitu dengan nilai peratus keseluruhan 43.4%., diikuti dengan pernyataan “sekali” sebanyak 19%. Manakala “sekali-sekala” menunjukkan pada tahap nilai 25%, “beberapa kali” 6.9% dan pernyataan “banyak kali” sebanyak 3.1%.

Perbincangan dan Kesimpulan

Berdasarkan kepada dapatan kajian, kebanyakan aspek kecurangan akademik dalam kalangan pelatih IPGM tidaklah begitu tinggi namun amalan kecurangan akademik berlaku dalam kelangan pelatih. Jika dianalisis kebanyak item yang menunjukkan nilai yang tinggi adalah item yang menjuruskan kepada amalan yang melibatkan kerja kursus atau tugasan (assignment) terutamanya aktiviti plagiarisme. Amalan-amalan mencetak daripada internet, tidak membuat

Page 399: Proceeding jilid 2

810

rujukan dengan tepat, mengambikl bahan daripada orang lain tanpa memberikan penghargaan dan kredit kepada penulis asal dan kaedah penulisan nota kaki yang tidak tepat dilihat memberi nisbah yang besar kepada kecurangan akademik dalam kalangan guru pelatih IPGM. Permasalah ini timbul mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya terutamanya kemudahan dan keboleh aksesan internet yang mudah menyebabkan kebanyakan daripada mereka mengambil jalan mudah untuk menyiapkan tugasan. Dalam dunia moden yang semakin pesat membangun, teknologi IT (Information Technology) seperti internet, laman-laman sosial dan sebagainya menjadi ancaman kepada dunia akademik (Peled, Eshet, Grinautski, 2013). Dapatan kajian ini menyamai kajian yang dijalankan oleh ( Muir, 2006; Lau, Caracciolo, Roddenberry & Scroggins, 2012; Peled et al 2013) mendapati bahawa tahun 1999 sebanyak 10% pelajar menyalin secara “cut and paste” daripada sumber internet, namun menjelang 2005 sebanyak 40% pelajar menggunakan kaedah yang sama dalam menyelesaikan kertas projek mereka. Kajian ini menunjukkan peningkatan yang serius isu kecurangan akademik yang melibatkan penggunaan ICT dalam dunia akademik

Selain itu, kajian ini mengesahkan lagi hasil kajian Harris, (2011) menunjukkan bahawa terdapat beberapa faktor penting yang menyumbang kepada kecurangan akademik dalam skop pendidikan di Malaysia. Faktor yang menyumbang ialah seperti faktor institusi, kemudahan internet dan sikap kendiri. Paling mengejutkan, data menujukkan bahawa faktor kemudahan internet menjadi faktor terpenting kepada kecurangan akademik iaitu mencatat jumlah 89.8%. Hasil analisis regressi menunjukkan bahawa faktor kemudahan internet menjadi faktor paling kuat iaitu mencatat nilai β = 0.21, t =3.31 (p < 0.00) diikuti oleh faktor institusi mencatat nilai β = 0.21, t =3.18 (p < 0.00). Selain itu, Balazs & Laszlo (2013) menyatakan bahawa hasil kajian beliau yang menunjukkan aspek teknologi (digital) mempengaruhi kecurangan akademik dalam kalangan pelajar, hujah ini disokong juga oleh (Thomas et.al, 2007).

Selain itu, aspek lain yang perlu diberi perhatian juga hasil dapatan kajian ini adalah aspek kelakuan petih itu sendiri. Jika dilihat, hasil dapatan kajian menujukkan bahawa hanya 43% sahaja pelatih mengaku tidak melakukan kecurangan akademik, namun selebihnya 57% peratus lagi pelatih membuat pengakuan pernah melakukan kecurangan akademik. Lebih mengejutkan, dapatan menujukkan pelatih membuat pengakuan melakukan kecurangan sekali sekala iaitu sebanyak 25% daripada mereka dan 3.1% daripada mereka mengaku mebuat kecurangan banyak kali selebihnya melakukan sekurang-kurangnya sekali. Nisbah ini, memberikan gambaran bahawa aktiviti ini agak membimbangkan kerana ianya akan berterusan berlaku jika ianya tidak dibendung.

Cadangan dan perbincangan lanjutan

Setelah meneliti hasil dapatan kajian dan juga sorotan literatur, dapatlah dirumuskan dan dicadangkan beberapa aspek sebagai panduan:

1. Pembangunan etika kesedaran dalam kalangan guru pelatih. Perkara ini perlu diberi perhatian kerana pelatih-pelatih perguruan merupakan bakal guru yang akan mendidik dimasa hadapan. Nilai etika dan akhlak yang baik perlu dipupuk agar profesion perguruna menunjukkan nilai integriti yang

Page 400: Proceeding jilid 2

811

tinggi dan dilihat releven. Nurshiha et.al (2013) menyatakan bahawa perilaku kecurangan dan ketidakjujuran dalam kalangan guru pelatih memberi implikasi kepada kelakuan guru itu sendiri dimasa hadapan. Lupton dan Chapman (2002) dan Husu dan Tirri (2003) memberi gambaran bahawa ketidakjujuran akademik dalam profesion perguruan memberikan gambaran yang kuat kepada perlakuan masa hadapan guru itu sendiri. Pihak-pihak berwajib terutamanya pentadbir institusi perlu dari masa kesemasa melakukan pelbagai aspek pembangunan etika dan kesedaran dalam kalangan pelatih, agar nilai dan integriti profesyen perguruan yang menjadi pertaruhan dapat di kekalkan agar lebih releven.

2. Penggunaan software yang boleh mengenalpasti kecurangan akademik. Sebagai sebuah IPTA yang mempunyai integriti yang tinggi penggunaan teknologi software cegah plagiat seperti “Turnitin” yang digunakan dikebanyakan universiti awam di Malaysia adalah dilihat releven dan perlu.

3. Pembangunan nilai-nilai keagamaan dalam kalangan guru pelatih. Perkara Keagamaan dilihat signifikan kerana ianya memberi kesan kepada pertimbangan kelakuan seseorang. Ravinder Koul (2012) dalam kajian beliau terhadap 2123 orang pelajar pengajian tinggi di Thailand dengan menggunakan beberapa pemboleh ubah seperti gender, aspirasi kareer profesional digabungkan dengan materalisma, keagamaan dan matlamat pencapaian keatas keiinginan untuk melakukan kecurangan (willingness to cheat). Dapatan kajian menunjukkan bahawa faktor materialisme dan aspirasi kareer mempunyai hubungan yang positif dengan keiinginan untuk melakukan kecurangan akademik. Kedua-dua faktor ini mempunyai nilai yang signifikan kepada niat untuk melakukan kecurangan dengan nilai (β= .321 dan β = .167). Sementara itu faktor keagamaan (sassana) dan matlamat masteri mempunyai nilai yang tidak signifikan atau negatif dengan niat melakukan kecurangan dengan nilai (β = -.107, β = -.108). Pemboleh ubah paling kuat terhadap niat untuk melakukan kecurangan dalam kajian ini adalah faktor materialisme dan matlamat pencapaian. Ini menunjukkan bahawa semakin tinggi nilai keagamaan semakin kurang kelakuan akademik dalam kalangan mahasiswa. Jadi pembangunan nilai kegamanan dilihat signifikan dan perlu.

RUMUSAN Sebagai rumusan, kajian ini memberi sedikit sebanyak gambaran tentang

aktiviti kecurangan akademik dalam kalangan guru pelatih IPGM secara amnya. Dapatan kajian menyokong dapatan kajian yang dijalankan oleh pengkaji seluruh dunia yang mendapati fenomena kecurangan akademik semakin meningkat dari masa kesemasa. Perhatian yang serius dan signifikan perlu diambil oleh pihak-pihak yang berautoriti dalam menagani isu ini agar ianya tidak mencalarkan nilai integriti profesion perguruan yang disanjung tinggi oleh masyarakat sebagai pendidik anak bangsa yang mempunyai nilai integriti yang tinggi. DAFTAR RUJUKAN Arief Salleh Rosman, Ahmad Mahyuddin Hassan, Azmi Shah Suratman, M. Nasir

Ripin & Nurazmallail Marni. (2008). Persepsi Pelajar Universiti Teknologi Malaysia terhadap Plagiarisme, Jurnal Teknologi UTM, 48 (E), pp 1-14

Page 401: Proceeding jilid 2

812

Abdul Majid Konting. (2005). Kaedah Penyelidikan Pendidikan. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka.

Baird, J.S. Jr. (1980). Current trends in college cheating. Psychology in the Schools17, s: 515-522

Ballentine, J.A, Larres, P.M, Mulgrew, M. (2014). Determinants of Academic Cheating behaviour: The future for Accountancy in Ireland. Accounting Forum, 38 (2014) 55-66.

Beck, V. (2014). Testing a Model to predict online cheating-Much ado about nothing. Active Learning in Higher education, 15(1), 65-75.

Bolin, A. U. (2004). Self- control, perceived opportunity, and Attitudes as Predictors of Academic Dishonesty. The Journal of Psychology, 138(2), 101-114.

Briggs, K., Workman, J.P., York, A.S., (2013). Collaborating to cheat: A Game Theoretic exploration of Academic Dishonesty in Teams. Academy of Management Learning & educations, Vol 12(1), 4-17.

Carmines, E. G., and R. A. Zeller. (1979). Reliability and validity assessment. In Quantitative applications in the social science series Newbury Park, CA: Sage Publications.

Chua Yan Piaw. (2006). Kaedah dan statistik penyelidikan: Asas Statistik penyelidikan buku 2. Kuala Lumpur: McGraw-Hill.

Diekhoff, G.M., LaBeff, E.E., Shinohara, K. & Ysukawa, K. (2009). Collegge Cheating in Japan and the United States.Research in Higher Educations. 40(3), 343-353.

Domeova, L, Jindrova, A. (2013). Unethical Behaviour of the Student of The Czech University of Life Sciences. International Educations Studies; vol 6 (11), 77-85. Doi: 10.5539/ies.v6n11p77.

Galloway, M.K. (2012). Cheating in Advantaged High Schools: Prevalence, Justifications and Possibilities for Change. Ethics and Behaviour, 22(5), 378-399. Doi:10.1080/10508422.2012.679143.

Hadijah Iberahim, Norashikin Hussein, Nusrah Samat & Fauziah Noordin (2013). Academic dishonesty: Why business student participate in these practice? Social and behavioral Sciences.90 (2013). 152-156.

Husu, J. & Tirri, K. (2003) A Case Study Approach To Study One Teachers’ Moral Reflection. Teaching and Teacher Education, 19, 345–357

Imran, A.M. & Nordin, M.S. (2013). Predicting the Underlying Factors of Academic Dishonesty among Undergraduates in Publics Universities: A Path Analysis Approach. Journal of Academic Ethics, 11, 103-120.

Jurdi. H, Hage, H.S, &.Chow, P.H. (2011). Academic Dishonesty in the Canadian Classroom: Behaviour of a sample of University Student. Canadian Jurnal of Higher Education. Vol 41, (3), 1-35

Kalhori, Z., (2014). The Relationship between Teacher–Student Rapport and students Willingnes to Cheat. Social and Behavioral Sciences, 136 (2014). pp 153-158.

Kerlinger, F. N. (1986). Foundations of behavioral research (3rd Ed.). Fort Worth, TX: Holt, Rinehart and Winston.

Page 402: Proceeding jilid 2

813

Koul, R. (2012). Multiple motivational goals, values, and willingness to cheat. International Journal of Education Research, 56(2012), 1-9. Doi: org/10.106/j.ijer.2012.10.002.

Lau, L.K., Caracciolo, B., Roddensberry, & Scroggins, A. (2012). Collegge Students perceptions of Ethics. Journal of Academic and Business Ethics, 5, 1-3.

McCabe, Donald L., Linda Klebe Trevino, and Kenneth D. Butterfield, (2001). Cheating In Academic Institutions: A Decade of Research.Ethics and Behaviors 11(3):219–232

McCabe, D.L., (1997). Individual and contextual influences on academic dishonety, Research in Higher Educations, 38(3), 379-396

McCabe, D.L., (2005).Cheating among Collegge and University Student: A North American perspective, International Journal for Educational Integrity, 1 (1).

Mei Wah.M. Williams & Matthew Neils Willliams. (2012). Academic dishonesty, self Control and General Criminality: Prospective and Retrospective Study Of Academic Dishonesty in a New Zealand university. Ethic and Behaviour, 22(2), 89-112

Muir, S. (2006). Ethics and Internet. MLA Forum, 7(1), 1-7 Mohammad Harris Md. Salleh, (2011). Academic dishonesty: Factors that

contributes plagiarisme In A Technical Collegge in Malaysia, Kolokium Pembentangan Penyelidikan POLIMAS 2011, 1-10.

Nursiha Saidin & Nurliyana Isa. (2013). Investigating Academic Dishonesty among Language Teacher Trainee: The Why and How of Cheating.Procedia-Social and Behavioral Sciences 90 pp. 522-529

Nunnally, J.C. (1978), Psyochometric theory (2nd

. Ed.), McGraw-Hill, New York. Nunally, J. C. & Bernstein, I. H. 1994. Psychometric theory: Third edition. New

York: McGraw Hill. Latisha Asmaak Shafiee & Surina Nayan. (2012). The Net Generation and

Academic Dishonesty in Malaysia. Technology Innovations in Education. pp 181-186.

Lupton, R. A., and Chapman K. J. (2002). Russian And American College Students‘Attitudes, Perceptions, And Tendencies Towards Cheating. Educational Research. 44(1): 17–27

Peled, Y., Eshet, Y. & Grinautski, K.(2013). Perceptions Regarding the Serious of Academic Dishonestys amongst Student- A comparison between Face-to Face and Online Courses. Proceeding of the Chais Conference on Instructional Technologies research, 69-74.

Rajesh Iyer & Jacqueline K.Eastman. (2008). The Impact of Unethical On Academic Dishonesty: Exploring the Moderating Effect of Social Desirability. Marketing Education Review. Vol 18(2). pp 24-33

Saveri Karim & Ebrahimi Ghavam. (2011). The Relationship between Self Control, self-effectiveness, Academic Performance and Tendency toward Academic Cheating: A Case Report of University Survey in Iran. Malaysina Journal of Distance Education, 13(2), pp 1-8.

Sekaran, U., & Bougie, R. (2010). Research Methods for Business. New York: John Wiley & Sons Ltd

Page 403: Proceeding jilid 2

814

Sukarmin (2010) Hubungan Tingkah Laku Kepimpinan Pengajaran Guru Besar dengan Keafiatan Sekolah, Komitmen Organisasi, Efikasi dan Kepuasan Guru Sekolah. PhD thesis, Universiti Utara Malaysia

Shu Ching Yang (2012). Attitudes and Behaviours related to Academic Dishonesty: A Survey of Taiwanese Graduate Students. Ethic and Behaviour, 22(3), 218-237. Doi: 10.1080/10508422.2012.672904.

Spinellis, D.P, Zaharias, A. Vrechopoulus, (2007). Coping with plagiarism and grading load: randomised programming assignment and reflectives grading. Computer Applications in Engineering Educations, 15: pp 115-123

Whitley, B.E., Jr. (1998). Factors associated with cheating among college students: A review. Research in Higher Education, 39(3), 235-274.

Page 404: Proceeding jilid 2

815

REFORMASI PENGEMBANGAN GURU

Sri Aryani STKIP PGRI Sukabumi

E-mail: [email protected]

Abstract Development of teachers is one of the consensus that often receive less attention among researchers, professional development specialists, and policymakers on how to substantially improve the knowledge and skills of teachers. This new consensus demanding the importance of preparing the collegial opportunity to examine how to solve authentic problems that are limited by gaps between expected student achievement objectives with their actual performance. The parties stakeholder in this context, even though it provides a shared view on teacher development, but in reality these views differ radically between schools. Implementation of the model described above consensus sreperti certainly require major changes in the organization of things bapaimana teacher development, how to change the school structure, and how to change the culture and beliefs affect the already established conventional educational processes, especially in pengembangm teachers, and the low status of teachers' professional development among the priorities of education. Keywords: Reform, Development, Teacher PENDAHULUAN

Reformasi pengembangan guru adalah salah satu konsensus yang seringkali kurang mendapat perhatian diantara para peneliti, spesialis pengembangan profesi, dan pembuat kebijakanmengenai bagaimana meningkatkan secara substansial pengetahuan dan skills guru.Konsensus baru ini menuntut pentingnya mempersiapkan kesempatan kolegiah untukmengkaji bagaimana memecahkan masalah-masalah otentik yang dibatasi oleh adanyaketimpangan ariara tujuan prestasi siswa yang diharapkan dengan kinerja mereka secaraaktual. Pihak-pihak stakeholder dalam konteks ini, meskipun sudah memberikan pandanganbersama mengenai pengembangan guru, namun dalam kenyataannya pandangan-pandangantersebut berbeda secara radikal antarsekolah.

Implementasi model konsensus sreperti diuraikan di atas tentu saja menuntut perubahan-perubahan pokok dalam hal-hal bapaimana penyelenggaraan pengembangan guru, bagaimana mengubah struktur sekolah, dan bagaimana mengubah kultur dan keyakinan yang sudah mapan memperrgaruhi proses-proses kependidikan konvensional, khususnya dalam pengembangm guru, dan rendahnya status pengembangan profesi guru di antara prioritas-prioritas kependidikan. Meskipun demikian, perubahan-perubahan yang diharapkan itu tidak dapat diimplementasikan secara efektif kecuali dipahami terlebih dahulu kekuatan-kekuatan yang mendasari konsensus baru tersebut. Untuk merespon masalah-masalah seperti di atas, penting dikaji dan dianalisis terlebih dahulu kekuatan-kekuatan yang mempengaruhinya, dan kemudian

Page 405: Proceeding jilid 2

816

membuat kerangka karakteristik-karakteristik yang esensial pengembangan guru.Untuk kepentingan ini, dapat dilahirkan kajian ilmiah terhadap temuan-temuan dari penelitian-penelitian dan laporan-laporan implementasi kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan pada umumnya, dan khususnya pengembangan profesi guru. REFORMASI PENGEMBANGAN GURU

Model Konsensus Pengembangan Guru Model konsensus yang relatif baru dalam pengembangan guru merupakan

hasil konvergensi dari empat macam perkembangan dalam penyelenggaraan pendidikan (Harley dan Valli dalam Hammond dan Sykes, 1999 128) sebagai berikut: 1. Penelitian tentang pembaharuan/perbaikan sekolah dalam kaitannya dengan

perubahan-perubahan untuk pengembangan guru. 2. Pertumbuh-kembangan agreement bahwa siswa seharusnya diharapkan

mencapaistandar kinerja yang jauhlebih tinggi, sehingga mencakup kecakapan untukmemecahkan masalah-masalah kompleks dan kolaboratif.

3. Penelitian tentang belajar dan mengajar yang secara substansial mencapaikonklusi-konklusi yang berbeda tentang bagaimana manusia belajar danbagaimana implikasinya pada strategi-strategi kontemporer dalam pembelajaran(ins t ructi o n) dan asesmen.

4. Penelitian yang mengkonfirmasikan meluasnya keyakinan diantara para pendidikbahwa strategi-strategi konvensional pengembangan guru adalah tidak efektif danpemborosan, oleh karena itu penting diadopsi cara-cara yang berbeda untukmemfasilitasi kesempatan belajar bagi guru sementara tetap menjalankan tugas-tugasnya sebagai guru (profesional learning).

Dalam uraian-uraian di bawah ini dianalisis masing-masing perkembangan tersebut,namun yang penting dipahami adalah esensi perpaduan dari keempat macam perkembangantersebut sehingga menimbulkan kepentingan yang urgen peningkatan mutu pengetahuan danskill guru. Suatu ha1 yang tidak kalah juga pentingnya dicermati adalah karena ketidak cocokan pendekatan-pendekatan konvensional dalam pengembangan guru, makasangat dibutuhkan reformasi pengembangan guru.

Hubungan antara Pengembangan Guru dan Pembaharuan Sekolah Guru mempengaruhi siswa dalam berbagai macam hal. Berdasarkan hasil

tinjauan yangkomprehensif terhadap temuan-temuan penelitian tentang alternative eksplanasi mengenaiprestasi siswa, jika dibandingkan dengan faktor program, faktor guru jauh mernpengaruhi kinerja siswa jika dihandingkan. Hal ini sesuai dengan pemuan penelitian para ahlii untuk Departemen Pendidikan A.S. pertengahan 1980-an. Guru terbukti memiliki dampak yang lehih besar dibandingkan dengan program, baik bagi siswa-siswa yang memiliki kemampuan rata-rata maupun bagi anak-anak yang merniliki kelainan (Acceptional students), baik bagi kelas-kelas normal maupun kelas-kelas khusus. Hal ini dapat dicermati dalam kutipan di bawah ini sehagaimana kesimpulan Hawley dan Rosenholti (1984):

In virtually every instance in which researchers have examined the factors that account for students performance, teacher to have a greater impact than

Page 406: Proceeding jilid 2

817

program. This is true for average students and exceptional students, fbr normal classrooms and special classrooms. There is an enormous amount of evidence that teachers have a significant impacton efforts to change schools and on the nature of the students’ experience, what ever the formal policies and curricula of a school or classroom might be (Hawley dan Roscnholtz (1984, pp. 3, 7).

Berdasarkan kutipan di atas, lebih jauh dapat ditegaskan bahwa guru memberikan dampak yang signilikan pada upaya-upaya pembaharuan sekolah dan hakikat pengalarnan siswa, jika dibandingkan dengan dampak dan apa pun kebijakan formal dan kurikulum sekolah. Guru perlu memodifikasi kurikulum, haik secara sengaja maupun tidak sengaja. Guru menjadi gerbang yang harus dilalui síswa untuk mendapat akscs pada sumber-sumher belajar yang tersedia dan guru perlu mengalokasikan dan mcngelola waktu siswa, menetapkan dan mengkomunikasikan standar-standar dan harupan-harapan bagi kinerja siswa, dan peranan guru yang lainnya. lntinya adalah bahwa upaya-upaya perbaikan dan pembaruan sekolah menuntut perbaikan pengajaran, dan pada gilirannya menuntut pentingnya pengembangan profesionalisme guru.

Para peneliti perbaikan sekolah menemukan adanya hubungan yang saling mernpengaruhi antara upaya-upaya pengembangan profesi guru dan perbaikan sekolah. Sykes mengemukakan bahwa - .the semiotic relation between profèssional development and school improvement efforts (Hammond Sykes. 1Q99: 129). Kedua proses pengembangan guru dan perbaikan sekolah tersebut memiliki saling-keterkaitan yang dernikian kuat sehingga dampak-dampuknya hampir tidak mungkin diuraikan/dilepaskan satu sama lain.Oleh karena itu, kecil kemungkinan dapat memperbaiki sekolah demi kepentingan anak jika tidak dilipahami terlebih dahulu pentingnya sekolah bukan hanya sebagai tempat bagi guru dalam menjalankan tugastugasnya, tetapi juga sebagai tempat bagi guru untuk belajar. Hal ini terbuktí dari temuan Seymour Sarason (1990)Smylie (1995: 92) yang menyatakan pedapatnya sebagai berikut:

We will fail ... to improve schooling for children until we acknowledge theimportance of schools not only as places for teachers to work but also as places Rnteachers to learn. School improvement can not occur apart from a closely connectedculture of professional development. Convemely, professional development flounderswithout asupportive school environment.

Berdasarkan kutipan di atas dapat ditegaskan bahwa upaya perbaikan sckolah tidak mungkin dapat dilakukan terpisah dari budaya pcngcmbangan profesi guru. Dernikian juga sebaliknya, pengembangan profesi guru akan sulit mencapai kcbcrhasilan tanpa dukungan lingkungan sekolah yang kondusif untuk pengebangan tersebut. lntinya adalah pengembangan guru tidak dapat dilakukan secara terpisah dari pengembangan sekolah. Dalarn konteks lingkungan sckolah sbagai proses-proses organisasi, pcngajan merupakan teknologi inti (core technologies). Artinya, pengajaran itu merupakan inti dari seluruh proses organisasi sekolah. Jika teknologi inti itu tidak berfungsi dengan baik, maka proses-proses organisasional lainnya akan relatif tidak efektif. Berdasarkan karakteristik ini, maka efektifitas organisasi dengan intensif teknologi bergantung pada aspek-aspek: (1) flextbility,adaptiveness, dan changefulness (kelenturan, kcmampuan-menycsuaikan, dan kepenuhan), (2) kualitas informasi tentang tugas-tuggìs yang akan dilakukan dan konsekuensi cara-cara alternatif bagaimana melaksanakan tugas-nigas tcrsebut, dan (3) kecakapan (kompetensi dan

Page 407: Proceeding jilid 2

818

pertimbangan) staf yang bertanggung jawab bagi teknologi inti (dalam hal ini, pengajaran) yang bersangkutan. Pentingnya karakteristik-karakteristik terscbut dapat juga diternukan dalam penelitian-penelitian tentang efektititas sekolah (school effectivenes research). Jika inovasi berakar pada level sekolah, maka setiap anggota kolega mengernbangkan pemahaman bersama (shared understanding) terhadap tujuan, rasional, dan proses-proses yang terlibat dalam inovasi dan keyakinan yang dapat membuat berbeda bagi siswa (Fullan, 1991). Efficacy guru menjadi kuat bilamana guru yang hersangkutan niemiliki kesemputan meliihat pemodelan strategi-strategi baru mempraktekkan strategi-strategi tersebut, dan melihatkan dirinya dalam program-program pelatihan sebaya (peer coaching). mendorong siswa untuk mencoba cara- cara baru dalam belajar, dan menggunakan strategi-strategi baru dalam kegiatan-kegiatan pengajaran secara regular dan dengan cara-cara yang layak. Untuk merealisasikan pengajaran sebagai intensifitas teknologi - teaching as an intensive technology - dalam rangka mencapai keberhasilan siswa dalam belajar hendaknya benar-benar didukung oleh budaya. Senge (1940) nenyatakan bahwa organisasi sckolah yang memiliki karakteristik-karakteristik ini sebagai learning organisations. Hal ini menjadi alasan utama mengapa penting reformasi pengembangan guru. Untuk ini, tuntutan agar sekolab mengembangkan teacher learning (Hawley dan Valu dalam Hammond dan Sykes (1999:131), menjadi sebagai suatu strategi yang etëktif untuk: 1. Meminimalkan kendala-kendala biroknrasi dan aturan-aturan; 2. Memperjelas antara multi tujuan dan prioritas yang sesuai bagi sekolah dan

guru; 3. Mempersiapkan guru, siswa dan administrator ukuran-ukuran kinerja siswa

yang valid dan akurat dan proses-proses yang terkait dengan perbedaan kinerja antarsiswa; dan

4. Menipersiapkan tenaga edukatif, PTK, dan kesempatan untuk belajar secara kolaboraúf. mcmpraktekkan apa yang mereka pelajari, dan mengevaluasi konsekuensi-konsekuensinya dalam pencapaian tujuan-cujuan yang telah ditetapkan

Upaya pcmbaharuan sekolah, sepanjang didcfinisikan sebagai peningkatan maka jabatan mengajar dapat dipandang sebagai suatu tugas yang sederhana juga, yakni rnentransmisikan apa yang diketahui guru dan menjelaskan apa yang tertulis dalam teks (buku ajar). Pandangan tentang mengajar sehagai kegiatan menceritakan (telling) atau mentransinisikan adalah benar apabila harapan prestasi siswa tidak komprehensif.atau bahkan pandangan tcrscbut masuk akal jugabila siswa diharapkan mcncapai level (prestasi dalam aspek terlentu) yang relatif tinggi. Selain ita, apabila mengajar diyakini melibatkan beberapa skill pedagogis teknis dan secara intuitif dapat dirasakan. hal ini dapat dipelajari dalam program-program LPTK yang mcmpersiapkan guru (teacher preparation) bahkan juga pengalaman. Dalam konteks ini, hanya sedikit kehuluhan untuk pengembangan profesi guru secara berkesinambungan (ongoing prolèssional development). Lebih jauh dari kedua pandangan di atas, Borko dan Pumam (1995: 46) menyatakan bahwa konsepsi-kcmsepsi trudisional tentang rnengajar dan belajar menuntut pekerjaan belajar untuk siswa (job of learning to students). banyak

Page 408: Proceeding jilid 2

819

standar yang lebih tinggi bagi belajar siswa muncul seiring dengan semakin majunya perkembangan pengetahuan (have come with advances in knowledge). Bahkan ditegaskan hahwa setiap upaya pembaruan pendidikan menuntut perubahan-perubahan dalam sistem pendidikan yang akan rnembantu siswa mengembangkan pengertian/pemahaman yang kaya dengan konten penting. Berpikir kritis, membangun, dan memecahkan masalah. mensintesis inforrmasi, menciptakan sesuatu yang baru, kreasi. dan cakap dalam mengekspresikannya, dan setelah lulus kelak mereka sudah siap sebagal warga yang bcntanggung jawab dan sebagai pebelajar sepanjang hayat. Sehubungan dengan hal ini, karakter pengetahuan dan skill - intelektual serta sosial - menuntut agar siswa berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi yang multikultural dan dalam perkembangan ekonomi herbasis-infòrmasi. Semua ini menuntut pentingnya didefinisikan dalam batas-batas kriteria yang diharapkan untuk dicapai siswa. Hasil penelitian tentang perkembangan kognitif menyimpuikan bahwa kemampuan dalam linguislik dan berpikir verbal, standard dan sofistikasi sastera, nilai-nilai moral dan presepsi-presepsi yang secara tradisional terkait dengan para elit, semuanya sudah ada dalam benak (jiwa) sebagian besar siswa, Namun demikian, untuk merealisasikan potensi-potensi lersehut, tergantung pada kemauan dan kecakapan guru untuk mendekati fasilitasi helajar dengan cara-cara baru. Semua ini tentu saja menuntut pentingnya pengembarigan professional guru. yakni rnclalui pendekatan perluasan dan pendalaman sistem pengetahuan guru yang relevan untuk merespon tuntutan-tuntutan tersebut. Dengan didasari keyakinan bahwa setiap siswa dapat mencapai level prestasi yang tinggi. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa penting rcformasi pengernhangan guru. Konsekuensinya, pendekatan.’strategi mengajaran konvensioanal (teaching by telling) hendaknya diganti menjacli pendekatan mengajar untuk menumbuhkan pemahaman bagi siswa (teaching for understanding). Penelitian tentang belajar ketentuan penelitian-penelirian teutang belajar memberikan dampak sehingga menggantikan pemahaman fúndamental tentang hagaimana dan mengapa manusia belajar. Alexander dan Murphy mereview penelitian-penelitian yang relevan dan mengidentifikasi lima yang berpusat pada siswa (five learner-centered principles) sehagai berikut:: 1. the knowledge base principle 2. the strategic processing principle 3. The motivation/affect principle 4. the development principle 5. the context principle

Lima prinsip tersebut menuntut pentingnya diupayakan renofasi pengembangan profesi guru. Alasan-alasannya adalab sehagai berikut: 1. Prinsip-prinsip tersebut menuntut perubahan pendekatan daiam mengajar

siswa 2. Prinsip-prinsip tersebut menjelaskan mengapa banyak program

pengembangan guru scbelumnya (konvensional) untuk efektif 3. Prinsip-prinsip tersebut mendukung pengembangan kerjasama dengm pihak

lembaga pendidikan tinggi untuk pengembangan profesi guru.

Page 409: Proceeding jilid 2

820

Pendekatan Konvensional vs. Reformasi Pengembangan Guru Apabila ada suatu bukti yang meyakinkan tentang efektivitas suatu strategi baru pcmbaharuan pendidikari (sekolah), namun biasanyn hanyak tantangan yang ingin mcmpcrtahankan status quo. Keadaan tarik.mcnarik antara pandangan lama dan baru tcntang strategi baru pembaharuan tersebut justru menghasilkan pandangan-pandangan yang kabur tentang upaya pembaharuan tcrsebut, dan bahkan tidak jarang justru menimbulkan terjadi kompromi yang menyepelekan adopsi perubahan-peruhaban haru. Meskipun demikian.Pengembangan profesi (guru) siebagaimana diketahui jarang memiliki kelompok-kelompok yang memperjuangkan hahwa pengembangan guru dapat mempcngaruhi secara substansial perbaikan belajar siswa, Salah satu alasan klasik yang menyatakan bahwa belum ada anggaran untuk rcformasi pengembangan guru. pada dasarnya secara implisit juga rnenyatakan bahwa faktor guru hanya semiliki sedikit pcngaruh pada keberhasilan dan suatu pembaharuan pendidikan/sekolah. Shallow and fragmented (dangkal dan terlepas/tidak mengakar) adalah dua istilah yang digunakan secura umum untuk nienjelaskan pendekatan-pendehitan konvensional untuk pengembangan guru. Fullan (L991: 315) menegaskan bahwa pengembangan guru percuma bcgitu saja ketika guru kembali mengajar dengan pola konvensional. seperti ditegaskan dalam kutipan berikut: Hal ini terutamadisebabkan keberhasilan pelatihan (pengembangan guru) seringk diukur berdasarkan tingkat partisipasi (banyaknya gum sebagat pcscrta). Ketidakpuasan dengan pendekatan ini terbukti dalam retorika perubahan paradigm.schagairnana dapat dilihat dati karakterisasi-karakterisasi yang mengikuti paradigma lama (Sparks, 1995; 2). Dalam konteks pentingnya perubahan paradigma dalam reformasi pengembangan guru, Smylie dan Conyers (1991) memandang perubahan paradigma sebagai suatu kontinum. pendekatan-pendekatan yang menuntut perubahan-peruhahan pendekatan sebagai berikut; (1) deficit-based ta competency-based approaches (pendekatan berbasis-minus kompetensi mcnuju berhasis-kompetcnsi): (2) pendekatan replikasi (pengulangan) menuju pendekatan refleksi; (3) pendekatan belajar secara terpisah menuju belajar bersama (learning separately to learning together), dan (4) dun sentralisasi menuju desentralisasi. Selain berdasarkan banyak literatur tcntang perubahun paradigma pengembangan guru, banyak juga literatur tentang model-model dan hasil pengembangan guru menunjukkan indikasi tentang kelemahan pendekatan-pendekatan konvensional dalam pengembangan guru.Sparks dan Loucks-Horsley (1990) mengemukakan lima model pengembangan guru yang saling berbeda antara satu sama lain. Perbedaan model-model tersebut disebkan oleh adanya perbedaan dalarn asumsi-asumsi dan teori-teori yang mendasari setiap model,demikian juga dengan prosodur-prosedur dan hasil yang diharapkan, berbeda antara satu model dan keempat model lainnya.Dalam prakteknya sering dicapai hasil yang kurang memuaskan.karena model-model tersebut sering mengabaikan beberapa atau seluruhnya dari lima prinsip yang berpusat pada Siswa. Lima model yang dimaksud adalah: 1. Individually guided model rnendorong pengembangan guru pada level

personal. Biasanya guru merancang pengalaman belajarya sendiri, dan juga menentukan sendiri tujuan-tujuannya.

Page 410: Proceeding jilid 2

821

2. Obsereer/arrîessmenr model, guru mendapat feedback pada kinerja mengajar di kelas, biasanya dalam pelatihan-pclatihan sesama kolega:guru (peer coaches).

3. Development/improvement proces. model — guru merancang kurikulum atau terlibat dalani proses-proses perbaikan mutu sekolak, proses pemeeahan-masalah.

4. Training Model, paling acting disamakan dengan pengembangan guru, stung dilakukan dalam scsi tipe-workshop dimana presenternya adalah ahli yang juga berperan menentukan konten dan kegiatan-kegiatan workshop.

5. Inquiry model atau new consensus model- berbeda jauh dari empat model sebelumnya; kadang-kadang dinyatakan sebagai model guru-peneliti (teacherrecearcher model) guru dituntut mengidentifikasi satu bidang dari minat instruksional, mengumpulkan data, dan membuat perubahan-perubahan dalam pembelajaran berdasarkan interpretasi data yang sudah dikumpulkan tersebut. (Sparks dan Loucks-Horley. 1990: 235).

Desain Model Pengembangan Guru Sebagai akibat terjadinya konvergensi penelitian tentang belajar dan berkembangnya pemahaman bahwa guru dapat mcmbuat suatu perbedaan kritis dalam apa dan bagaimana siswa belajar, harapan agar semua siswa seharusnya dapat mencapai standar akademis yang lebih tinggi, rancangan yang tidak memadai, dan metode penyampaian (deliren’) yangkurang sesuai, semuanya mempengaruhi perhatian yang besar pada pcntingnya dan karaktcritik-kamktcdstik refbrmasi pengembangan gum secan elektil sehagai kunci keherhasilan perbaikan sekolah. Karena besarnya perhatian pada pengembangan guru tersebut.sehingga sangat mempengaruhi pcrkembangan studi-studi baru tentang pengembangan profesi guru dan beberapa sintesis dan temuan-temuan pcnelitian yang respek pada upaya-upaya pengembangan guru, dan pada gilirannya herkontribusi pada peningkatan mutu pembelajaran siswa. Dalam prakteknya sering dicapai hasil yang kurangmernuaskan karena model-model tersebut sering mengabaikan beberapa atau seluruhnya dan lima prinsip yang berpusat pada siswa. Lima model yang dimaksud adalah: 1. Individually guided model rnendorong pengembangan guru pada level

personal. Biasanya guru meraneang pengalaman belajamya sendiri, dan juga menentukan sendiri tujuan-tujuannya.

2. Obsereer/arrîessmenr model — guru mendapat feedback pada kinerja mengajar di kelas, biasanya dalam pelatihan-pclatihan sesama kolega guru (peer coaches).

3. Development/improvement process. model — guru merancang kurikulum atau terlibat dalani proses-proses perbaikan mutu sekolak, proses pemeeahan-masalah.

4. Training Model — paling acting disamakan dengan pengembangan guru, stung dilakukan dalam scsi tipe-workshop dimana prescntcrnya adalah abli yang juga berperan tuenentukan konten dan kegiaLan-kegiatan workshop.

5. Inquiry model or new consensus model — berbeda jauh dari empat model sebelumnya; kadang dinyatakan sebagai model guru-peneliti (teacher

Page 411: Proceeding jilid 2

822

recearcher model) — guru dituntut mengidentifikasi suatu bidang dari minat instruksional, mengumpulkan data, dan membuat perubahan-perubaban dalani pembelajaran herdasarkan inlerpretasi dari data yang sudah dikumpuikan tersebut.

Prinsip-prinsip Desain Pengembangan Guru secara Efekti Delapan karakteristik pengembangan guru secara efektif yang telah

diidentifikasi di atas scbenarnya lebik mengarah pada pengembangan guru yang esensial bagi pengembangan belajar siswa secara berkelanjutan/berkesinambungan.Prinsip-prinsip yang dimaksud sebenarnya didukung oleh temuan-temuan penelitian tentang belajar. Konsensus pengembangan guru dan prinsip-prinsip belajar sama dengan sekolah yang menekankan berpusat pada siswa (student centered) dalam upaya perbaikan atau peningkatan mutu. pengembangan guru juga diharapkan menekankun pada pendekatan yang berpusat pada siswa. Delapan prinsip disain untuk pengenbangan guru yang dirnaksud adalah sebagai herikut:

Prinsip Satu : Tnjuan dan performan siswa Prlnsip Dua : keterlibatan (partisipasi) guru Prinsip Tiga : Berhasis sckolah Prinsip Empat : Pcmecahan masalab kolaboratlf Prinsip Lima : Continuous and supported (berkesinambungan dan

dukungan) Prinsip Enam : Kaya Informasi (ther informution rich) Prinsip Tujuh : Pemahaman teoretis Prìnslp Delapan : Bagian dan suatu proses perubahan komprehensif

Melalui mengaplikasikan prinsip-prinsip tersehut.maka diharapkan dapat memperluas pengetahuan dan keyakinan guru. rnengembangkan kecakapan-kecakapan reflektif.perhatian yang lebih banyak pada isu-isu motivasi dan perkcmbangan anak, dan membangunhubungan-huhungan social dalam konteks sekolah. Lebih jauh lagi, dapat diharapkanpengembangan professional. SIMPULAN Sesuai dengan prinsip-prinsip disain model pengembangan guru yang eíektif tentu saja mempengaruhi cara-cara yang berbeda dalam membicarakan prinsip-prinsip pengembangan guru yang efektif Selain ¡tu, dapat (dan seharusnya) perbcdaan cara-cara spesifik untuk mengimplementasikan strategi-strategi yang implisit pada prinsip-prinsip tersebut penting dipahami bahwa demikian banyak agreement terhadap elemen-elemen yang esensial dalam pcngcmbanpn profesi guru yang herdarnpak pada peirbaikan belajar siswa. Sebaliknya, tidak kalah pentingnya untuk dicermati.bahwa prinsip-prinsip tersebut tidak luput dari kelemahan-kelemahan. Prinsip-prinsip tcrsebut juga diimptementasikan secara simultan untuk program pcngembangan guru. Beberapa alasan terjadinya ketimpangan antara pcngetahuan dan praktek banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya, praktek-praktek. dan kebiasaan-kebiasaan berpikir yang sudah rnelembaga (institutionalized cultures, practices, and habit of mind), konsen masyarakat terhadap fenomena guru di luar kelas, skeptisisme tentang nilai penetitian, dan kebutuhan untuk berubah: kurangnya pengalaman dengan kesempatan belajar dalarn program in-service scbelumnya; dan keraguan

Page 412: Proceeding jilid 2

823

tentang kelayakan upaya-upaya pembaharuan. Setiap kckurangan ini, tentu saja mesti dipertimbangkan dan dicermati sedernikian rupa sehingga tidak menghambat keberhasilan implementasi dan aplikasi model konsensus reformasi pengembangan guru Dalam kaitan ini mempcrsiapkan sckolah (structuring school) sebagai lembaga pembelajar (learning organizations) adalah penting bagi pengembangan dan pelestarian nilai. DAFTAR RUJUKAN Bigge, M., & lImit, M. P. (1980). Psychological Foundations of Educanon. Third

Edition. New York: I larper & Row Publishers. Bowring-Car,.C. (1997).lÇffrctive Learning in School, School Leadership and

Manage,nem. New York: Pearson Education. Brown, H. D. (199). Tearhing by Principles: An Interactive Approach lo Language

Pedagogy. Englewood cutis, New Jersey: Prentice-Hall. Castetter. W. B. (1996). The Human Resource Function in Educational

Administration. Shth Edition. Englewood Cliffs, New Jersey: Merrill. Darling, L., & Sykes, I. T. G. (1999). Teaching as the Learning Profession, Handbook of Policy and Practice. San Francisco: Jossey-Bass. Dekawati, I. (2010).Manajernen Pengembangan Guru. Disertasi SPs UPI.

Bandung: SPs UPI. Fullan, M. 0. (1991). ¡‘he New Meaning of Educational Change. Second Edition.

New York: Columbia University. Groundwater-Smith, S., Ewing, Robin cian Le Cornu.Rossie. (1998). Teaching:

Challenges and Dilemmas. Victoriæ I larcourt Australia. Hill, W. F. (1990). Learning: A Sun•’ey of Psychological Inlerpretations. 5th Edition.

llarper Collins Publishers. Marsh, C. (2008). Becoming a TeaLher: Knowledge, 5*111v and issues. 4”

Edition. Pearson Education Australia. Merryfield, M. M., Jarehow, E., & Pickert, S. (1997). Preparing Teaachers to

Teach Global Perspectives: A Handbook for Teachers Educators. California: Corwin Press, Irte.

Price, K. (1962). Education and Philosophical Thought. Boston: Allyn and Bacon. Purnomo, S.A. (2003). Reformasi Adminisrrasi dalam Pendidikan. Makalah dalam

Bulletin “Wawusan Tridharrna.” Bandung Kopcrtis Wilayah IV Jawa Barat(-Bantcn).

Senge. P., et. al. (1994). The Fifth Discipline Fieldbook: Strategies and Tools for Building a Learning Organizations. New York: Doubleday.

Page 413: Proceeding jilid 2

824

BUKU TEKS SEBAGAI BAHAN AJAR YANG BERWAWASAN GENDER

Sri Astuti Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta

E-mail: [email protected]

Abstract With the existence of textbooks, students are led to practice or try out the theories that have been learned from the book. The teacher's role is very important and strategic for all educational function. In order to prepare the child towards a democratic life, in which, among others, is characterized by the values of life which is egalitarian, the teacher's role is very important as agents of gender socialization. The lower the education level, the more important this role, because at that time the construction value of the child is still malleable (influenced) .Guru and educational software in schools is still characterized by traditional gender values. As a result, the creation of a learning experience also tends to reinforce traditional gender values which had previously socialized to children. Textbooks gender-oriented character is a book designed for use in class and carefully arranged in the form of learning tools that contain personality, behavior, character, temper, and character are actualized through a series of attitudes (attitudes), behavioral (behaviors), motivation ( motivations), and skills (skills) in a cultural concept that seeks to make a distinction (distinction) in terms of roles, behavior, mentality, and emotional characteristics between men and women is growing in society. Keywords:Textbooks, gender, attitude, character, motivation, mental, emotional,

men, women PENDAHULUAN.

Guru dan perangkat pendidikan di sekolah masih diwarnai oleh nilai gender tradisional. Akibatnya pengalaman belajar yang diciptakannya pun cenderung mengukuhkan nilai-nilai gender tradisional yang telah lebih dahulu disosialisasikan kepada anak. Penelitian yang dilaksanakan Jatiningsih, Setyowati, dan Narwati mengungkapkan bahwa guru dan buku teks yang digunakan di SD tidak mendukung upaya sosialisasi gender yang egalitarian; Guru pun tidak memiliki pemahaman gender yang memadai, bahkan cenderung salah. Seiring dengan itu, sensitivitas dan kesadaran gender serta respon guru terhadap hidden curriculum yang bias gender pun tidak terjadi.

BUKU TEKS BAHAN AJAR

Buku teks adalah buku sekolah, buku pengajaran, buku ajar, atau buku pelajaran yang digunakan di sekolah atau lembaga pendidikan dan dilengkapi dengan bahan-bahan untuk latihan, atau lebih tegasnya buku pegangan siswa. Yang dimaksudkan di sini dalam wujudnya yang nyata adalah buku petunjuk untuk guru, buku pelengkap, dan buku sumber. Buku teks adalah buku pelajaran dalam

Page 414: Proceeding jilid 2

825

bidang studi tertentu, yang merupakan buku standar, yang disusun oleh para pakar dalam bidang itu untuk maksud dan tujuan-tujuan intruksional, yang diperlengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang serasi dan mudah dipahami oleh para pemakainya di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi sehingga dapat menunjang suatu program pengajaran.

Dalam penyusunan buku teks, terdapat tiga aspek yang harus diperhatikan dan dikembangkan yakni (1) aspek kesesuaian materi, (2) aspek penyajian materi, dan (3) aspek bahasa dan keterbacaan. Kualitas buku teks berkenaan dengan pemenuhan prinsip-prinsip penyusunan buku teks. Oleh karena itu, kualitas buku teks akan ditinjau berdasarkan prinsip-prinsip penyusunan buku teks. Menurut Tim Pusat Buku Depdiknas (2004: 24), terdapat tujuh prinsip yang harus diperhatikan dalam menyusun buku teks. Ketujuh prinsip tersebut adalah: 1. mengandung unsur kebermaknaan, 2. memiliki keotentikan, 3.memiliki keterpaduan, 4. memiliki keberfungsian, 5. mengandung performansi komunikatif, 6. mempunyai kebertautan,7. memiliki penilaian.

Ketujuh prinsip ini harus betul-betul diperhatikan ole semua penulis buku teks bahan ajar. Selain itu perlu disosialisasikan bahwa semua penulis buku teks harus sudah berwawasan gender, supaya isi tulisannya tidak gender.

PENDIDIKAN KARAKTER DAN JENDER

Pendidikan Karakter Berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral

universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.

Jender dalam Pendidikan Ritzer dan Goodman (2004) mengelompokkan pandangan tentang jender

berdasarkan peran wanita dari teori feminis modern menjadi empat. Pertama, teori perbedaan jender yang memandang posisi dan pengalaman perempuan dalam kebanyakan situasi berbeda dengan yang dialami laki-laki dalam situasi yang sama. Kedua, teori ketimpangan jender yang memandang posisi wanita dalam kebanyakan situasi tak hanya berbeda, tetapi juga kurang menguntungkan atau tak setara dibandingkan dengan laki-laki. Ketiga, teori penindasan jender situasi wanita harus pula dipahami dari sudut hubungan kekuasaan langsung antara laki-laki dan perempuan. Perempuan “ditindas”, dalam arti dikekang, disubordinasikan,

Page 415: Proceeding jilid 2

826

dibentuk, dan digunakan, serta disalahgunakan oleh laki-laki. Keempat, teori penindasan struktural yang memandang wanita mengalami perbedaan, ketimpangan dan berbagai penindasan berdasarkan posisi total mereka dalam susunan stratifikasi atau vektor penindasan dan hak istimewa, yaitu kelas, ras, etnisitas, umur, status perkawinan, dan posisi global.

Guru berperan penting dalam mengembangkan konstruksi jender anak karena guru merupakan sumber informasi dan model, penentu materi sekolah dan buku teks, pengembang proses pembelajaran, dan pencipta lingkungan kelas atau sekolah. Perilaku dan nilai yang dimiliki anak dapat dipengaruhi oleh contoh yaitu orang dewasa yang dikagumi dan karena itu ia ingin menyerupainya (Kagan dan Lang, 1978:64). Di sekolah, terutama di jenjang pendidikan dasar, guru merupakan model yang sangat penting dalam proses sosialisasi nilai-nilai kehidupan. Pengaruh guru terhadap pembentukan peran seks pada anak bergantung pada jenis hubungan yang ada antara guru dan siswa dan nilai hubungan tersebut (Hurlock, 1986:471). Peran guru dalam menentukan sumber belajar siswa turut mensosialisasikan nilai jender pada anak. Bagi anak, pesan-pesan yang dikemukakan dalam bentuk pelukisan, seperti komik dan gambar dalam buku cerita atau buku-buku sekolah lebih berarti daripada pesan verbal (Hurlock, 1986:467). Kalimat-kalimat yang dibaca anak sejak dini merupakan pemahaman dasar yang dapat berubah menjadi ideologi bila kelak ia dewasa (Murniati, 1992: 28) dan dapat mempengaruhi opini dan sikap anak. Seorang guru yang memiliki sensitivitas jender dan kesadaran terhadap nilai yang diajarkan akan cenderung selektif dalam memilih materi sekolah dan buku teks untuk mengajarkan nilai. Hidden curriculum juga terkandung pada relasi dan interaksi yang diciptakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Guru yang tidak memiliki pengetahuan dan sensitivitas jender akan cenderung berinteraksi secara seksis dengan siswanya. Karena itu kesadaran guru terhadap hidden curriculum penting dalam upaya pendekonstruksian nilai jender yang tradisional. Kesadaran ini menjadi sangat penting, karena pendidikan di sekolah dasar sangat menunjukkan pembakuan peran-peran sosial perempuan dan laki-laki dalam buku teks yang diberikan ( Saptari dan Holzner, 1997).

Buku Teks yang Berkarakter Jender Buku teks memainkan peran utama dalam pengajaran di kelas pada semua

jenjang pendidikan, baik negeri maupun swasta, di sekolah dasar, menengah maupun perguruan tinggi, di seluruh dunia. Beberapa guru beruntung bebas untuk memilih buku teks yang akan mereka gunakan. Hampir setiap guru, jika tidak semua, mempunyai buku teks baik karena disarankan kepada mereka maupun karena keperluan mereka dalam dunia pengajaran. Mengapa guru menggunakan buku teks, dan apa fungsinya? Ada tiga alasan utama yang diyakininya, mengenai penggunaan buku teks oleh para guru. Pertama, karena mengembangkan materi kelas sendiri sangat sulit dan berat bagi guru. Kedua, guru mempunyai waktu yang terbatas untuk mengembangkan materi baru karena sifat dari profesinya itu. Ketiga, adanya tekanan eksternal yang menekan banyak guru .

Berikut ini penulis sajikan beberapa kutipan dari buku teks bahasa Indonesia dari Buku Sekolah Elektronik BSE) untuk SMA kelas 10, yang mengandung nilai-nilai karakter jender berdasarkan sikap dan perannya.

Page 416: Proceeding jilid 2

827

Belakangan ini sering kita lihat di televisi adanya perlombaan layangan, dari yang mungil hingga yang ukuran raksasa. Hal ini pernah diperlombakan di Jepang dan juga di Pulau Bali. Layangan bukan hanya digandrungi anak-anak, tetapi juga oleh orang dewasa. Anak-anak kecil suka main apa saja. Anak perempuan suka bermain boneka. Orang dewasa suka bermain catur. Oleh karena itu, layangan juga dapat dikatakan sebagai sumber ilham pembuatan kapal terbang pada kemudian hari. (Hal. 8).

Kutipan tersebut memunculkan kata perempuan yang berkenaan dengan karakter gender. Berdasarkan kutipan tersebut, kata perempuan akan dianalisis sesuai dengan konteksnya. Analisis penulis menunjukkan bahwa kutipan tersebut berkenaan dengan aspek sikap dan peran. 1. Sikap

Karakter yang ditampilkan melalui paragraf pada tersebut pada kalimat Anak perempuan suka bermain boneka adalah karakter seorang perempuan yang lembut, keibuan, dan penuh kasih sayang. Boneka sebagai simbol mainan anak perempuan mewakili kasih sayang antara anak dan ibunya. Dalam perlakuannya, boneka dipersamakan dengan anak kecil. Anak kecil selalu mendapat belaian dan kasih sayang ibunya. Anak perempuan pun memperlakukan boneka sebagai anaknya. Boneka akan diperlakukan dengan baik. Karakter gender yang dimunculkannya adalah karakter seorang anak perempuan yang feminis dan sesuai dengan kodrat perempuan.

2. Peran Dalam paragraf tersebut perempuan ditampilkan sebagai seorang perempuan yang feminim melalui kalimat Anak perempuan suka bermain boneka. Boneka sangat erat dengan perempuan.

SIMPULAN Buku-buku teks di sekolah melalui kalimat dan gambar-gambarnya masih

sering bias gender dengan memberikan keutamaan kepada laki-laki (patriarkhi). Buku ajar (dan kurikulum) belum berdasarkan peran gender yang seimbang ini akan dapat menyebabkan perempuan tetap tidak mempunyai mentalitas yang produktif Informasi yang bias gender dalam jangka panjang memberikan dampak yang berbeda kepada kesempatan dan perkembangan anak laki-laki dan perempuan. Buku-buku teks yang dibaca anak dapat mempengaruhi sikap dan opini anak Kalimat-kalimat yang dibaca anak bisa berubah menjadi ideologi bila kelak ia dewasa. Semua ini terjadi karena di setiap buku selain tujuan kurikuler juga terkandung tujuan kurikuler tersembunyi (hidden curriculum) yang berupa nilai-nilai yang diharapkan tertanam pada diri siswa. Karena itu guru disarankan dapat memilih buku yang tidak bias gender atau paling tidak dapat memberikan respons yang positif terhadap materi bias gender dalam buku-buku yang terpaksa dipergunakan.

DAFTAR RUJUKAN Darling-Hammond, L. & Sykes, G. (2003). Wanted: National Teacher Supply

Policy for Education, Educational Policy Analysis Achievs. II(33) Available: http/epaa, asu, edu/ epaa/v II(33)

Page 417: Proceeding jilid 2

828

George, R., & Douglas, J. G. (1978). Psychology and Education; An Introduction.

New York: Harcourt Brace Joovanovich Hurlock, E. B. (1978). Child Development. Sixth Edition. New York: Mc. Graw Hill,

Inc. Muniarti, A. N. P. (2004).Getar Gender. Magelang: Indonesia Tera Saptari, R., & Holzner, B. (!995). Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial; Sebuah

Pengantar Studi Perempuan Tim Pusat Buku Depdiknas. (2004). Prinsip-Prinsip Penyusunan Buku Teks.

Depdikbud.

Page 418: Proceeding jilid 2

829

REVITALISASI TRIPUSAT PENDIDIKAN DARI KI HADJAR DEWANTARA

DALAM RANGKA MEMBANGUN KARAKTER BANGSA

Tatang Syaripudin Universitas Pendidikan Indonesia

E-mail: [email protected] Abstract This paper aims to describe the importance of the revitalization of tripusat theory of education of Ki Hadjar Dewantara in order to build the nation's character. Based on the study of literature, it can be understood that various changes in the efforts of national education has not produced the maximum results as expected. We are still facing a multidimensional crisis, especially the crisis of the national character. This problem arises principally because of an error in concept and practice of education itself. Education is reduced to a mere teaching. Along with that also, the phenomenon suggests that the provision of education in various educational institutions still not integrated. Therefore, to overcome this problem, the revitalization of Ki Hadjar Dewantara’s tripusat theory of education is necessary. This work can be done by way of, among others, through: socialization of theory, research or pilot project of application and adaptation of theory to get the model of implementation, education and training for the dissemination of theories and models, as well as applications in schools. Keywords: Tripusat theory of education of Ki Hadjar Dewantara PENDAHULUAN

Pendidikan diselenggarakan dengan maksud agar anak didik hidup berbudaya, adapun esensinya adalah anak didik yang berbudi pekerti luhur atau memiliki karakter yang baik. Sejalan dengan ini, membangun karakter yang baik merupakan salah satu fungsi pendidikan nasional. “Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,” (Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional). Pendidikan telah dan sedang diupayakan, berbagai inovasi juga telah dilakukan. Namun demikian, kita masih menghadapi krisis yang bersifat multi dimensi, khususnya krisis tentang karakter bangsa. Di dalam masyarakat muncul fenomena perilaku yang bertentangan dengan akhlak mulia, seperti: korupsi, pengeroposan nasionalisme dan patriotisme, bahkan ada kelompok masyarakat tertentu yang berkeinginan memisahkan diri dari NKRI, dan sebagainya (Alwasilah, 2009).

Berdasarkan sudut pandang pendidikan, munculnya masalah berupa krisis tentang karakter bangsa seperti dikemukakan di atas tiada lain karena terjadinya kesalahan konsep dan kesalahan dalam praksis pendidikan. Pendidikan yang salah satu sifatnya berfungsi untuk mengembangkan budi pekerti atau karakter anak didik direduksi menjadi pengajaran yang hanya berorientasi mencerdaskan fikiran (Samho dan Yasunari, 2010; Kesuma, 2013; Wardhani, 2010). Bersamaan

Page 419: Proceeding jilid 2

830

dengan ini, praktek pendidikan di dalam keluarga, sekolah dan pergerakan pemuda tidak terpadu.

Dalam perjalanan sejarah pendidikan nasional Indonesia, tercatat bahwa Ki Hadjar Dewantara telah berhasil menemukan dan mengembangkan teori tripusat pendidikan. Beliau juga telah memberikan teladan tentang aplikasi dan keberhasilannya dalam membangun karakter anak-anak bangsa. Tetapi sungguh ironis, belakangan teori pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara hanya dikenal sebagai slogan tanpa dipahami maknanya, bahkan ditinggalkan dan hampir mati. Tilaar (1995, hal. 507) menyatakan:

Sayang sekali, pemikiran dan ajaran Ki Hadjar Dewantara kini nyaris menjadi slogan-slogan tanpa arti. Kita tenggelam dan mengenal teori-teori asing, termasuk pengenalan kita mengenai teori-teori pendidikan. Penguasaan teori-teori asing ini tentu boleh-boleh saja malahan perlu asal janagan lupa bahwa ajaran Ki Hadjar Dewantara mengandung kebijakan-kebijakan pendidikan yang sangat dalam dan lahir dari budaya bangsa Indonesia. Sayang sekali ajaran-ajaran Ki Hadjar Dewantara nyaris tidak diajarkan atau dikaji dan dikembangkan apalagi diterapkan di dalam praktek-praktek pendidikan nasional. Adalah merupakan suatu ironi bahwa di LPTK kita dewsa ini, pemikiran Ki Hadjar Dewantara boleh dikatakan telah dimuseumkan. Hendak ke mana teori dan praktek pendidikan nasional kita akan dibawa?

Apabila dihubungkan dengan fenomena tentang krisis karakter bangsa, maka untuk memperbaiki keadaan karakter bangsa niscaya kita perlu merevitalisasi teori tripusat pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara. Permasalahannya, apa teori tripusat pendidikan tersebut, dan bagaimana upaya merevitalisasinya?

Melalui studi literature, paper ini menjawab permasalahan di atas. Organisasinya meliputi: pendahuluan, konsep tripusat pendidikan, bentuk penyelenggaraan tripusat pendidikan, implikasi tripusat pendidikan terhadap peranan guru dan orang tua anak didik, upaya revitalisasi tripusat pendidikan, simpulan dan rekomendasi.

KONSEP TRIPUSAT ATAU TRISENTRA PENDIDIKAN

Dalam arti luas, pendidikan adalah segala pengalaman hidup yang berpengaruh positif bagi kemajuan seseorang. Pendidikan dapat berlangsung di mana pun dan kapan pun. Selain itu, pengaruh positif dapat diterima seseorang dari siapa pun. Sedangkan dalam arti sempit, pendidikan dalam praktiknya identik dengan schooling, yaitu pengajaran yang bersifat formal dalam kondisi-kondisi yang terkontrol Syaripudin, 2007, hal. 21-22).

Belakangan tampak gejala, umumnya orang memaknai pendidikan dalam arti yang sempit, pembelajaran di sekolah itulah pendidikan. Guru, Orang tua, dan masyarakat kurang intent bekerjasama dalam rangka pendidikan anak-anaknya . Orang tua merasa telah memenuhi tanggung jawabnya ketika anaknya disekolahkan. Padahal, sebagaimana tersurat dalam definisinya, dalam arti yang luas pendidikan bukan hanya pembelajaran formal di sekolah.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, di dalam hidupnya anak-anak ada tiga alam (lingkungan kehidupan) pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya, yaitu: alam keluarga, alam perguruan dan alam pergerakan pemuda. Pendidikan anak pada ketiga alam tersebut idealnya bersifat terpadu.

Page 420: Proceeding jilid 2

831

Itulah yang dimaksud tripusat atau trisentra pendidikan. (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977, hlm. 70; 386; Soejono, 1979, hal. 97).

Alam keluarga adalah pusat-pendidikan yang pertama dan utama atau yang terpenting, sebab sejak timbulnya adab-kemanusiaan sampai sekarang, kehidupan di dalam keluarga selalu mempengaruhi perkembangan budi pekerti setiap orang. Alam perguruan adalah pusat pendidikan yang teristimewa berkewajiban mengusahakan kecerdasan fikiran (perkembangan intellektuil) beserta pemberian ilmu pengetahuan (balai wiyata). Sedangkan alam-pemuda, yaitu pergerakan pemuda-pemuda harus kita akui dan kita pergunakan untuk menyokong pendidikan (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977, hlm. 71-73).

Bentuk Penyelenggaraan Pendidikan berdasarkan Sistem Tripusat Dalam konsep tripusat pendidikan, masing-masing pusat memiliki

kewajibannya sendiri-sendiri dan harus mengakui haknya masing-masing, yaitu: 1. Keluarga: buat mendidik budi pekerti dan laku sosial. 2. Perguruan: sebagai balai-wiyata, yaitu buat usaha mencari dan memberikan

ilmu pengetahuan, disamping pendidikan intellek. 3. Pergerakan-Pemuda: sebagai daerah merdekanya kaum pemuda atau

“Kerajaan Pemuda”, untuk melakukan penguasaan diri, yang amat perlunya buat pembentukan watak (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977, hlm. 74).

Mengingat kewajiban dan hak masing-masing pusat tersebut di atas, dalam konteks pengembangan karakter bangsa, Ki Hadjar Dewantara berupaya memadukannya melalui penyelenggaraan pendidikan dalam lembaga pendidikan berbentuk perguruan yang mana di dalamnya meliputi ashrama atau pondok. Pada tanggal 3 Juli 1922 beliau bersama kawan-kawannya mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa. Hal ini dapat dipahami sebagaimana konsep Ki Hadjar Dewantara bahwa sikap dan tenaga pendidik tidak cukup untuk memudahkan dan sempurnanya pendidikan, melainkan harus didukung oleh suasana atau atmosfir yang sesuai dengan tujuan pendidikan, oleh karenanya ketiga pusat pendidikan – alam: keluarga, perguruan (balai wiyata), dan pergerakan pemuda – perlu dipadukan dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai suatu sistem.

Di dalam perguruan dengan sistem pondok-ashrama, pendidikan keluarga, pendidikan balai wiyata, dan pergerakan pemuda dapat terselenggara secara terpadu. Namun demikian perlu diperhatikan, bahwa perguruan harus berperan sebagai titik pusat dari persatuan ketiga-pusat itu, yakni menjadi perantara antara keluarga dan anak-anaknya dengan masyarakat. Perguruan juga harus senantiasa berperan sebagai balai pertemuan untuk para orang tua, tempat belajar berbagai ilmu pengetahuan , menjadi taman pustaka, tempat belajar kesenian, dsb. Selain itu, segala upaya pergerakannya anak-anak pun harus berlangsung di dalam perguruan. Sistem pondok atau ashrama berbeda dengan “internat”, di dalam sistem pondok-ashrama guru-guru dengan keluarganya hidup bersama-sama dengan anak-anak yang berpondok disitu. Dengan demikian, maka balai wiyata di dalam perguruan dapat menjadi berjiwa (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977, hlm. 70-76).

Page 421: Proceeding jilid 2

832

Barangkali muncul pertanyaan, apakah mungkin perguruan yang banyak anak didiknya mampu menyediakan pondok-ashrama bagi semua anak didiknya? Ki Hadjar Dewantara menyatakan:

Tidak semua anak-anak murid harus berpondok, hanya mereka yang perlu mendapat didikan keluarga yang baik (berhubung dengan keadaan keluarganya sendiri boleh jadi membahayakan pendidikan budi pekerti), dan mereka yang berasal dari tempat-tempat lain, (Ini berarti, bahwa anak-anak itu jika tidak perlu, harus dipangku sendiri oleh ibu-bapaknya masing-masing). … Pondok-ashrama hanya perlu buat anak-anak, yang di dalam hidup keluarganya tidak mendapat pendidikan yang baik, atau yang terpaksa meninggalkan ibu-bapaknya (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977, hlm. 382).

Perguruan (Jawa: paguron) memiliki arti sebagai: pusat studi atau tempatnya orang-orang berguru (maguru, belajar); dengan haluan yang lebih dulu ditentukan (alirannya sudah jelas sesuai alirannya sang guru), dan sekaligus juga rumah pemimpin, para guru dan catrik atau anak didik yang tidak mungkin mendapat didikan dari orang tuanya (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977, hlm. 474).

Perguruan bukan hanya bermaksud mencerdaskan fikiran, tetapi juga mengembangkan karakter, dan kecakapan hidup. Selain itu, perguruan adalah tempat persemaian untuk memelihara serta memajukan kebudayaan bangsa (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977, hlm. 16; 56; 264). Karakteristik perguruan dengan pondok-ashramanya bahwa di dalam pondok-ashrama anak didik harus belajar menolong diri sendiri dan hidup bersahaja, tolong-menolong dengan sesama, mengambil inisiatif dan berdasarkan kesucian menuju ke arah tertib damainya keadaan, semua itu dengan mengingat adat-istiadat dalam kalangan rakyatnya (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977, hlm. 16). Ditinjau dari sudut pedagogik, manfaat perguruan dengan pondok-ashramanya, antara lain yaitu: menciptakan dunia pendidikan, pendidikan menurut pedagogik yang hidup (melalui pergaulan guru-guru dan murid-murid), bukan menurut buku-buku belaka. Anak-anak, lahir maupun batinnya tidak akan terpisahkan dari dunia orang tua dan masyarakatnya. Anak-anak sehari-hari terus merasa anak rakyat, terus insyaf akan kemanusiaan, karena senantiasa hidup dalam dunia kemanusiaan (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977, hlm. 369-370).

Peranan Guru dan Orang Tua Anak Didik Ada beberapa implikasi dari konsep tripusat pendidikan terhadap peranan

guru dan orang tua anak didik. Implikasi bagi peranan guru: pertama, di dalam kelompok guru harus ada guru yang menjadi pemimpinnya.Di samping itu ada guru-guru yang menjadi menjadi pemuka laku, misalnya dalam bida ng olah raga, kesenian, tirakat, keputrian, pramuka, dan sebagainya. Kedua, para guru harus bersatu faham; organisasi perguruan jangan didasarkan pada demokrasi Barat, melainkan harus bersandar pada “leiderschafp” atau pimpinan. Ketiga, Guru-guru didalam dan diluar perguruan terus menjadi ketuanya anak-anak (penuntun laku, penasehat, pengamat-amat dsb.). Di dalam pergerakan pemuda haruslah ada beberapa guru menjadi penasehatnya, sedangkan dalam melakukan langkah sosial pemuda-pemuda itu harus mementingkan laku kesosialan di dalam masyarakatnya sendiri (yaitu masyarakat “ketiga pusat” itu) di atas pekerjaan

Page 422: Proceeding jilid 2

833

social untuk dunia besar (pembatasan dan pemeliharaan diri) (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977, hlm. 75). Keempat, Guru-guru dari “balai wiyata” harus menjadi penasehat untuk sekalian keluarga; memberi pengajaran ilmu dimana perlu, memberi bacaan (surat kabar, kitab-kitab, majalah), dsb. (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977, hlm. 74).

Implikasi konsep tripusat pendidikan terhadap peranan orang tua anak didik antara lain: pertama, kaum ibu-bapa harus membentuk mejelis orang tua, melulu untuk memperhatikan soal pendidikan dan yang berhubungan dengan itu. Namun demikian, organisasi perguruan semata-mata haknya kaum guru dengan majelis-majelisnya yang syah. Kedua, para orang tua anak didik harus berusaha untuk mengadakan fonds-fonds, misalnya fonds sakit buat anak-anak, fonds pengajaran untuk menyokong anak-anak yang tak mampu tetapi pantas disokong, fonds kesenian (kesenian adalah penolak intelektualisme), fonds darmawisata, fonds perayaan dll., yang berguna buat pendidikan anak-anak dan agar tidak memberatkan anggaran belanja perguruan (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977, hlm. 75).

Menyimak uraian di atas, maka jelaslah, bahwa tanggung jawab orang tua belum terwujudkan ketika mereka menyekolahkan anak-anaknya. Demikian pula para guru tidak diharapkan asyik sendiri melaksanakan pendidikan tanpa bekerjasama dengan para orang tua. Antara para guru dan para orang tua mesti bekerjasama dalam rangka penyelenggaraan pendidikan anak-anak atau anak didik mereka.

Upaya Revitalisasi Tripusat Pendidikan Untuk memadukan pengajaran pengetahuan dengan pengajaran

budipekerti, seyogyanyalah kita menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk perguruan dengan sistem pondok-asharamanya. Sistim tersebut dalam sejarah peradaban bangsa kita bukan barang asing (dulu bernama “asrama”, sekarang menjelma menjadi “pondok-pesantren”) (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977, hlm. 16).

Kita tak perlu risau dengan bentuk lembaga pendidikan yang ada dewasa ini, yaitu sekolah. Sekalipun kita tetap menggunakan nama sekolah, yang penting adalah sifat-sifat pendidikan dari perguruan itulah yang perlu kita wujudkan. Hal ini dalam konsep Ki Hadjar Dewantara dikenal dengan prinsip SBII (Sifat, bentuk, isi, dan irama). Menurut beliau, realitas mungkin berubah, tetapi ada sesuatu – yaitu sifat – yang idealnya menetap. Bentuk, isi, dan irama pendidikan mungkin berubah, tetapi idealnya sifat-sifat pendidikannya tidak berubah.

Revitalisasi tripusat pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara di dalam system persekolahan kita kiranya dapat dilakukan melalui strategi sebagai berikut: 1. Sosialisasi pedagogik – khususnya didaktik dan metodik – KHD bagi semua

pemangku kepentingan sampai kepada guru dan para calon guru dalam rangka perubahan mind set bahwa pendidikan seharusnya diselenggarakan secara terpadu pada tripusat pendidikan. Sosialisasi pedagogik – khususnya didaktik dan metodik – dari Ki Hadjar Dewantara perlu dilakukan. Sasarannya adalah para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, para guru, calon guru, dan orang tua anak didik. Bagi pengambil kebijakan pendidikan, para guru, dan orang tua anak didik dapat diselenggarakan melalui berbagai media massa dan informasi atau melalui

Page 423: Proceeding jilid 2

834

kegiatan penyegaran tentang pedagogik. Sedangkan bagi para calon pendidik atau calon guru dapat diselenggarakan melalui mata kuliah dasar profesi (MKDP) Landasan-landasan Pendidikan atau mata kuliah Filsafat Pendidikan.

2. Riset (menyelenggarakan pilot project) tentang penerapan dan adaptasi teori tripusat pendidikan untuk mendapatkan model penyelenggaraannya, baik dalam bentuk perguruan atau pun penyesuaiannya dalam bentuk “sekolah” . Riset tentang penerapan dan adaptasi teori tripusat pendidikan untuk mendapatkan model penyelenggaraannya, baik dalam bentuk perguruan atau pun penyesuaiannya dalam bentuk “sekolah” dapat dilakukan oleh para mahasiswa dalam rangka penulisan skripsi, dan oleh para siswa Sekolah Pascasarjana dalam rangka penulisan tesis dan disertasi. Di samping itu, penyelenggaraan pilot project juga dapat diselenggarakan oleh badan penelitian dan pengembangan pada kementerian pendidikan dan kebudayan.

3. Penyebarluasan teori dan model penyelenggaraan tripusat pendidikan kepada pemangku kepentingan. Hasil riset atau pilot project mengenai aplikasi dan adaptasi teori tripusat pendidikan harus disebarluasskan kepada para pemangku kepentingan. Hal ini diperlukan agar para pengambil kebijakan mendapat input, sehingga dapat mengambil keputusan secara efektif. Bentuknya dapat berupa peraturan atau keputusan pejabat yang berwenang di jajaran kementrerian pendidikan dan kebudayaan dalam rangka memfasilitasi dan mendukung penerapannya dalam skala nasional.

4. Praktik aplikasi. Praktik aplikasi teori tripusat pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara perlu diselenggarakan secara terencana dengan matang. Persiapan sarana, prasarana, dan sumber daya manusianya perlu dipersiapakan sebaik mungkin. Dalam praktiknya, pendampingan dari para ahli pendidikan perlu dilakukan,

DAFTAR RUJUKAN Alwasilah, A.Ch., dkk. (2009). Etnopedagogi sebagai laandasan praktik

pendidikan dan pendidikan guru. Bandung: Rizqi Press. Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. (1977). Karya Ki Hadjar Dewantara:

Bagian pertama “Pendidikan”. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Soejono, Ag. (1979). Aliran baru dalam pendidikan: Bagian ke-2. Bandung: CV. Ilmu.

Syaripudin, T. (2007). Landasan pendidikan. Bandung: Percikan Ilmu. Tilaar, H. A. R. (1995). Pembangunan pendidikan nassional 1945 – 1995, suatu

analisis kebijakan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang “Sistem Pendidikan Nasional”.