positive correlation between malondialdehyde serum with melasma ...
Transcript of positive correlation between malondialdehyde serum with melasma ...
TESIS
KADAR MALONDIALDEHID SERUM
BERKORELASI POSITIF DENGAN MELASMA AREA
AND SEVERITY INDEX
A. A. I. A. NINDYA SARI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
TESIS
KADAR MALONDIALDEHID SERUM
BERKORELASI POSITIF DENGAN MELASMA AREA
AND SEVERITY INDEX
A. A. I. A. NINDYA SARI
NIM 0914088202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
KADAR MALONDIALDEHID SERUM
BERKORELASI POSITIF DENGAN
MELASMA AREA AND SEVERITY INDEX
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik (Combined Degree)
Program Pascasarjana Universitas Udayana
A. A. I. A. NINDYA SARI
NIM 0914088202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 13 MEI 2014
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K),
FINSDV
NIP. 19520101 198003 1 003 NIP. 19530811 198102 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS
NIP 19461213 197107 1 001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP 19590215 198510 2 001
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 13 Mei 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana, No. : 1331/UN.14.4/HK/2014, Tanggal 9 Mei 2014
Ketua : Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV
Sekretaris : Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV
Anggota :
1. dr. I Gusti Ayu Sumedha Pindha, Sp.KK(K)
2. dr. I Gusti Ketut Darmada, Sp.KK(K)
3. Dr.dr. A.A.G.P. Wiraguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama : dr. Anak Agung Istri Agung Nindya Sari
NIM : 0914088202
Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Combine-Degree)
Judul : Kadar Malondialdehid Serum Berkorelasi Positif
dengan Melasma Area and Severity Index
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010
dan Peraturan Perundang-undang yang berlaku.
Denpasar, 9 Mei 2014
Yang membuat pernyataan,
(dr. A. A. I. A. Nindya Sari)
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
karunia-Nya maka tesis inidapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K),
FINSDV, FAADV sebagai pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah
memberikan bimbingan dan saran dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Terima
kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr. dr. Made Wardhana,
SpKK(K), FINSDV, sebagai pembimbing II yang telah memberikan bimbingan
dan saran kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para
penguji karya akhir ini, yaitu dr. I.G.A. Sumedha Pindha, SpKK(K), dr. I.G.K.
Darmada, Sp.KK(K) serta Dr.dr.A.A.G.P. Wiraguna, Sp.KK(K), FINSDV,
FAADV yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga
karya akhir ini dapat terwujud.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu astawa, Sp.OT(K), M.Kes. yang telah
memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan
Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis I di
Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,
Sp.S(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree, Prof. Dr. dr.
Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Saraswati, M.Kes, Kepala
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV dan
Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (PPDS I) Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Dr. dr. Made
Wardhana, SpKK(K), FINSDV atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.
Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Laboratoriun Prodia Denpasar,
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam menggunakan
prasarana dan sarana laboratorium untuk kelancaran penelitian ini. Tidak lupa
pula penulis mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya untuk semua kepala Divisi dan staf Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar,
atas segala bimbingan dan dorongan yang diberikan selama penulis menempuh
pendidikan, juga untuk semua dosen Pascasarjana Program Magister Ilmu
Biomedik Combined Degree, atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis
sehingga membantu penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid atas bimbingannya
berkaitan dengan analisis statistika dalam penelitian ini serta dr. I Dewa Ayu
Supriantini, M.Biomed, SpKK atas bimbingan dan sarannya.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan sejawat PPDS I
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin atas pengertian, bantuan dan kerjasama yang
baik selama masa pendidikan ini.Begitu pula untuk seluruh tenaga paramedis dan
non medis poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah yang telah membantu dan
memberikan dukungan berupa suasana kerja yang baik sehingga memungkinkan
penulis menyelesaikan pendidikan.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua
orang tua yang telah membesarkan, memberikan kasih sayang yang tulus dan
adik-adik serta Bapak, Ibu mertua yang selalu memberi semangat kepada penulis
hingga pendidikan ini dapat diselesaikan. Akhirnya penulis sampaikan terima
kasih kepada suami tercinta dr. I.G.N. Arta Pasca Suputra serta anakku tersayang
I.G.N. Agung Satria Suniantara atas segala pengertian, kesabaran dan
pengorbanannya selama ini serta semangat yang tiada hentinya selama penulis
menjalani program pendidikan ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada keluarga, sahabat serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya
satu persatu yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat kepada
penulis sampai tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan
penyelesaian karya akhir ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini sangat jauh dari
sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis tetap mohon petunjuk kearah
perbaikan sehingga hasil yang tertuang dalam karya akhir ini dapat bermanfaat
bagi ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan.
Denpasar, 25 April 2014
A. A. I. A. Nindya Sari
ABSTRAK
KADAR MALONDIALDEHID SERUM BERKORELASI POSITIF
DENGAN MELASMA AREA AND SEVERITY INDEX
Melasma adalah gangguan hiperpigmentasi yang terjadi pada kulit di daerah
paparan sinar matahari. Kondisi ini seringkali memberikan dampak yang besar
akibat lesi wajah yang sangat jelas dan dapat mempengaruhi psikologi seseorang,
menurunkan fungsi sosial, produktivitas serta hilangnya rasa percaya diri.
Penyebab melasma tidak diketahui, meskipun faktor-faktor etiologi multipel
berpengaruh baik eksogen maupun endogen. Faktor etiologi yang paling
signifikan adalah radiasi ultraviolet. Radiasi ultraviolet dapat menyebabkan
peroksidasi lipid pada membran seluler, menghasilkan radikal bebas dan
menyebabkan stimulasi pada melanosit untuk memproduksi melanin yang
berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya melasma. Malondialdehid (MDA)
adalah produk akhir peroksidasi lipid di dalam tubuh, yang merupakan biomarker
dari stres oksidatif.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan studi cross
sectional. Jumlah subyek melasma yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
adalah 51 orang sedangkan jumlah subyek bukan melasma adalah 29 orang. Pada
subyek melasna dan bukan melasma dilakukan pengambilan darah vena sebagai
bahan pemeriksaan kadar MDA dan pada subyek melasma dilakukan
penghitungan nilai MASI.
Pada penelitian ini didapatkan adanya korelasi positif sangat kuat antara
kadar MDA serum dengan nilai MASI (r = 0,913; p < 0,001). Hasil penelitian
juga menunjukkan adanya perbedaaan bermakna rerata kadar MDA pada subyek
dengan melasma dibandingkan subyek bukan melasma dengan nilai p < 0,001.
Kata kunci: MDA, MASI, melasma
ABSTRACT
POSITIVE CORRELATION BETWEEN MALONDIALDEHYDE SERUM
WITH MELASMA AREA AND SEVERITY INDEX
Melasma is a common acquired hypermelanotic disease developing especially
in the sun-exposed areas of the face. Melasma causes a very disturbing cosmetic
problem. Etiology and pathogenesis has not been completely understood.
However, some factors external and internal have been blamed for pathogenesis.
The ultraviolet exposure is considered as a major factor for melasma where sun
light can cause peroxidation of lipid in cellular membranes leading to generation
of free radicals which could stimulate melanogenesis. Malondialdehyde (MDA) is
one end-product of lipid peroxidation and therefore can be used as an indicator of
free oxygen radicals mediated tissue damage.
This study is observational analytic cross-sectional study. The number of
melasma subject that qualify inclusion and exclusion criteria were 51 people,
while non-melasma subjects were 29 people. Blood sample taken from the
melasma and non-melasma subject to know the level of MDA serum, while
examination of MASI score was done on melasma subject only.
This study suggests that there is a positive correlation between the serum
MDA levels with MASI score (r = 0.913 , p < 0.001). This study shows that there
were significant difference between MDA level average on melasma subject and
non-melasma subject with p-value p < 0,001.
Keywords: MDA, melasma, MASI
.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM…………………………………………………………………………
PRASYARAT GELAR…………………………………………………………………….
LEMBAR PERSETUJUAN………………………………………………………………..
PENETAPAN PANITIA PENGUJI………………………………………………………..
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……………………………………………..
UCAPAN TERIMA KASIH………………………………………………………………..
ABSTRAK………………………………………………………………………………….
ABSTRACT…………………………………………………………………………….......
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………………
DAFTAR TABEL………………………………………………………………………….
DAFAR SINGKATAN…………………………………………………………………….
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………….
i
ii
iii
iv
v
vi
ix
x
xi
xv
xvi
xvii
ix
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………..
Latar Belakang………………………………………………………………
Rumusan Masalah……………………………………………………………
Tujuan Penelitian……………………………………………………………
1
1.1 1
1.2 4
1.3 4
1.3.1Tujuan umum…………………………………………………………..
1.3.2Tujuan khusus………………………………………………………….
4
4
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………………..
1.4.1 Manfaat teoritis………………………………………………………..
1.4.2 Manfaat praktis…………………………………………………………
5
5
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA………………………………………………………...
Melasma………………………………………………………………………
6
2.1 6
2.1.1 Definisi…………………………………………………………………
2.1.2 Epidemiologi……………………………………………………………
2.1.3 Biosintesis Melanin…………………………………………………….
2.1.4 Etiopatogenesis melasma………………………………………………
6
6
7
8
2.1.4.1 Faktor eksternal……………………………………………….. 9
2.1.4.2 Faktor internal…………………………………………………. 15
2.1.5 Gambaran klinis……………………………………………………….
2.1.6 Pemeriksaan penunjang………………………………………………..
2.1.7 Penilaian derajat melasma…………………………………………….
2.1.8 Penatalaksanaan………………………………………………………..
16
17
19
20
2.1,8.1 Aspek pencegahan……………………………………………... 21
2.1.8.2 Aspek pengobatan……………………………………………...
2.1.8.3 Antioksidan dalam terapi melasma…………………………….
22
24
2.2
Reactive Oxygen Species (ROS), Stres Oksidatif dan Malondialdehid
(MDA)……………………………………………………………………….
2.2.1 Reactive Oxygen Species (ROS)………………………………………
2.2.2 Stres Oksidatif…………………………………………………………
2.2.3 Malondialdehid (MDA)………………………………………………..
Hubungan Stres Oksidatif dan Melasma……………………………………..
25
2.3
25
27
29
31
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 34
3.1 Kerangka Berpikir…………………………………………………………… 34
3.2 Konsep………………………………………………………………………. 35
3.3 Hipotesis…………………………………………………………………….. 35
BAB IV METODE PENELITIAN…………………………………………………. 36
4.1 Rancangan Penelitian………………………………………………………… 36
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………………………… 37
4.3 Penentuan Sumber Data……………………………………………………… 37
4.3.1 Populasi target………………………………………………………….
4.3.2 Populasi terjangkau…………………………………………………….
37
37
4.3.2.1 Kriteria inklusi…………………………………………………. 37
4.3.2.2 Kriteria eksklusi……………………………………………….. 37
4.3.3 Tehnik pengambilan sampel……………………………………………
4.3.4 Besar sampel……………………………………………………………
38
38
4.4 Variabel Penelitian…………………………………………………………… 39
4.4.1 Definisi operasional variabel………………………………………….. 39
4.5 Bahan Penelitian…………………………………………………………….. 40
4.6 Instrumen Penelitian…………………………………………………………. 41
4.6.1 Alat-alat………………………………………………………………... 41
4.6.2 Reagen…………………………………………………………………. 41
4.7 Prosedur Penelitian………………………………………………………….. 42
4.7.1 Alur penelitian…………………………………………………………. 42
4.7.2 Pengambilan data………………………………………………………. 44
4.7.2.1 Pengambilan spesimen………………………………………… 44
4.7.2.2 Pemeriksaan kadar MDA……………………………………… 44
4.8
Analisis Data…………………………………………………………………. 45
BAB V HASIL PENELITIAN……………………………………………………….
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian……………………………………………….
5.2 Uji Normalitas dan Homogenitas Data………………………………………
5.3 Rerata Kadar MDA Serum Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, Pola dan Tipe
Melasma……………………………………………………………………….
5.4 Korelasi antara Kadar MDA Serum dengan Nilai MASI……………………..
5.5 Kadar MDA Serum pada Subyek Melasma dan Bukan Melasma…………….
BAB VI PEMBAHASAN………………………………………………………………
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian……………………………………………….
6.2 Kadar MDA Serum Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, Pola dan Tipe
Melasma………………………………………………………………………
6.3 Korelasi Kadar Malondialdehid Serum dengan Melasma Area and Severity
Index………………………………………………………………………………….....
6.3 Kadar MDA Serum pada Subyek dengan Melasma dan Bukan Melasma……
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………....
7.1 Simpulan………………………………………………………………………...
47
47
50
51
53
54
56
56
59
61
64
66
66
7.2 Saran……………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………...
LAMPIRAN………………………………………………………………………………..
66
67
73
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Biosintesis melanin…………………………………………………….. 8
2.2 Mekanisme hiperpigmentasi yang diinduksi sinar UV..…………….. 11
3.1 Bagan kerangka konsep penelitian....................................................... 35
4.1 Rancangan cross-sectional .................................................................. 36
4.2
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
Protokol penelitian ..............................................................................
Distribusi pasien perempuan dan laki-laki pada sampel penelitian….
Distribusi kelompok umur (tahun) sampel penelitian.........................
Distribusi pola melasma pada sampel penelitian................................
Distribusi tipe melasma pada sampel penelitian..................................
Scatter plot korelasi antara kadar MDA serum dengan MASI...........
Box plot kadar MDA serum pada subyek melasma dan bukan
melasma..................................................................................................
43
48
49
49
50
54
55
DAFTAR TABEL
Hal.
2.1 Biomarker Kerusakan Oksidatif……………………………………. 29
5.1 Karakteristik subyek penelitian………. …………………………….. 47
5.2 Hasil uji normalitas data untuk korelasi...……….…………………… 50
5.3
5.4
Hasil uji normalitas data untuk beda rerata…………………………...
Rerata kadar MDA serum berdasarkan jenis kelamin, umur, pola dan
tipe melasma…………………………………………………………..
50
52
5.5
5.6
Korelasi antara kadar MDA serum dengan nilai MASI……………
Beda rerata kadar MDA serum pada subyek melasma dan bukan
melasma………………………………………………………………
53
54
DAFTAR SINGKATAN
CPD : Cyclobutan pyrimidine dimmer
DAG : Diacetyl glycerol
DHI : Dihidroksiindol
DHICA : 5,6-dihydroxyindole-2-carboxylic acid (DHICA)
DNA : Deoxyribonucleic Acid
DOPA : Dihidroksiphenylalanin
HPHT : Hari Pertama Haid Terakhir
IPL : Intense pulsed light
KB : Keluarga Berencana
L-DOPA : 3,4 Dihidroksiphenylalanin
LT : Lekotrien
MASI : Melasma Area and Severity Index
MDA : Malondialdehid
MED : Minimal Erythema Dosage
MSH : Melanin Stimulating Hormon
NCAP : N-acetyl-4-S-cysteaminylphenol
O2 : singlet oksigen
O2•- : superoksida
•OH : radikal hidroksil
H2O2 : hidrogen peroksida
PABA : Para Amino Benzoic Acid
PLC : Phospholipase-C
pH : power of hydrogen
PG : Prostaglandin
PUFA : Poly Unsaturated Fatty Acid
ROS : Reactive Oxygen Species
SPF : Sun Protecting Factor
TBA : Thiobarbituric acid
TS : Tabir Surya
TYR : Tirosinase
UVA : Ultraviolet A
UVB : Ultraviolet B
UVR : Ultraviolet Radiation
YAG : Yttrium Aluminium Garnet
DAFTAR LAMPIRAN
Hal.
Lampiran 1 Ethical Clearance …………………………………………. 73
Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian ……………………………………….. 74
Lampiran 3 Penjelasan Penelitian ............................................................ 75
Lampiran 4 Pernyataan Persetujuan Mengikuti Penelitian ..................... 77
Lampiran 5 Formulir Penelitian …………………………………........... 78
Lampiran 6 Melasma Area and Severity Index (MASI)………………... 81
Lampiran 7 Data Sampel Penelitian …………………………………… 82
Lampiran 8 Hasil SPSS Penelitian ………………………………........... 85
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Melasma atau disebut masyarakat dengan flek merupakan kelainan kulit
hiperpigmentasi yang banyak dijumpai dan sangat menonjol di masyarakat,
karena dapat memberikan penampilan yang kurang baik bagi penderita terutama
kaum perempuan. Kondisi ini seringkali memberikan dampak yang besar akibat
lesi wajah yang sangat jelas dan dapat mempengaruhi psikologi seseorang,
menurunkan fungsi sosial, produktivitas serta hilangnya rasa percaya diri. Seorang
perempuan yang menderita flek sedikit saja pada wajah akan berusaha kemana-
mana dan mencoba obat apa saja untuk menghilangkannya.
Melasma berasal dari bahasa Yunani, ‘melas’ yang berarti hitam adalah
hipermelanosis ireguler berwarna coklat terang sampai coklat gelap pada daerah
yang sering terpapar sinar matahari seperti wajah, terutama di dahi, kedua pipi,
hidung, di atas bibir, dagu dan kadang-kadang leher (Baumann dan Saghari,
2009). Melasma merupakan kelainan kulit hiperpigmentasi yang lebih sering
terjadi pada perempuan daripada laki-laki, terutama pada usia produktif dan
berkulit gelap (tipe IV-VI berdasarkan klasifikasi Fitzpatrick) (Lee et al., 2006).
Pola distribusi lesi terbagi menjadi tiga yaitu sentrofasial yang mengenai dahi,
hidung, atas bibir dan dagu (63%), malar yang mengenai hidung dan pipi (21%)
serta mandibular (16%) (Baumann dan Saghari, 2009).
Melasma sering dijumpai pada wanita Hispanik, Asia dan Afrika-Amerika
(Ortonne et al., 2009). Angka prevalensi yang pasti pada setiap negara belum
diketahui. Di Amerika Serikat sendiri kira-kira 5 sampai 6 juta individu menderita
melasma. Di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia diperkirakan
sekitar 0,25%-4% kejadian melasma dari seluruh pasien yang datang ke spesialis
kulit (Lin et al., 2009; Lee et al., 2006). Angka insiden melasma di RS. Dr. Moh.
Hoesin/ FK Unsri Palembang adalah 6,48%, prevalensi 5,47% (Argentina et al.,
2012). Jumlah kejadian melasma di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah
tahun 2009-2011 didapatkan 487 kasus baru melasma (485 perempuan, 2 laki-
laki) dengan insiden 7,91% dari seluruh kunjungan baru (Armini et al., 2012).
Penyebab melasma bersifat multifaktorial, mulai dari faktor genetik,
paparan sinar matahari, perubahan hormonal baik akibat kehamilan maupun
pemberian kontrasepsi oral atau pengobatan hormon, pemakaian kosmetika, obat
fotosensitizer, anti kejang sampai faktor ras. Patogenesisnya belum diketahui
secara pasti (Shweta et al., 2011).
Radiasi ultraviolet (UV) penting dalam patogenesis melasma. Paparan
radiasi UV yang terus-menerus pada kulit dapat menghasilkan reactive oxygen
species (ROS) dan ini meningkatkan stres oksidatif secara signifikan pada sel.
Generasi radikal bebas yang dihasilkan oleh stres oksidatif berinteraksi dengan
semua komponen penting dalam sel seperti lipid, protein, DNA, karbohidrat dan
enzim. Interaksi dengan lipid pada membran plasma menghasilkan peroksidasi
lipid pada membran seluler yang melepaskan diacylglycerol (DAG) kemudian
mengaktivasi protein kinase C beta (PKC-β) untuk menstimulasi melanogenesis
dan kemudian menstimulasi melanogenesis oleh aktivasi tirosinase (Park dan
Yaar, 2012 ; Shweta et al., 2011).
Malondialdehid (MDA) adalah produk akhir lipid peroksidase. Kadar
MDA dalam eritrosit dan plasma telah digunakan sebagai marker kerusakan
jaringan yang dihasilkan dari radikal bebas in vivo. Pada beberapa penelitian oleh
Ismailov dan Galdava serta Seckin et al. didapatkan kadar MDA serum lebih
tinggi secara signifikan pada kelompok melasma dibandingkan kelompok kontrol.
Penelitian tersebut menunjukkan peningkatan kadar MDA pada pasien melasma
dapat dihasilkan dari peningkatan stres oksidatif dan kerusakan jaringan (Ismailov
dan Galdava, 2004; Seckin et al., 2013).
Derajat keparahan melasma ditentukan berdasarkan nilai Melasma Area
and Severity Index (MASI). Derajat melasma pada masing-masing daerah (dahi,
regio malar kanan, regio malar kiri, dan dagu) dinilai berdasarkan 3 variabel :
persentase total area terlibat (A), tingkat kegelapan (D), dan homogenitas (H)
(Bhor dan Pande, 2006). Penelitian sebelumnya oleh Hamadi et al. (2009)
menunjukkan korelasi positif yang kuat antara kadar MDA serum dengan nilai
MASI. Pada penelitian ini didapatkan korelasi positif yang signifikan kuat antara
rendahnya nilai MASI dan rendahnya kadar MDA (r=0,78, p<0,01). Penelitian
yang dilakukan oleh Seckin et al. tidak berhasil menunjukkan hubungan yang
bermakna (nilai p > 0,05) antara stres oksidatif dengan MASI (Seckin et al.,
2013).
Berdasarkan data–data tersebut, maka peneliti ingin mengetahui hubungan
antara stres oksidatif, yang akan diukur dengan markernya yaitu MDA, dengan
derajat keparahan melasma berdasarkan Melasma Area and Severity Index
(MASI).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat korelasi positif antara kadar MDA serum dengan
Melasma Area and Severity Index (MASI) pada subyek melasma?
2. Apakah kadar MDA serum pada subyek melasma lebih tinggi
dibandingkan dengan bukan melasma?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui korelasi antara kadar MDA serum dengan Melasma Area and
Severity Index (MASI) pada subyek melasma.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui korelasi antara kadar MDA serum dengan Melasma
Area and Severity Index (MASI) pada subyek melasma.
2. Untuk mengetahui kadar MDA serum pada subyek melasma.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
1. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang korelasi antara kadar
MDA serum dengan Melasma Area and Severity Index (MASI) pada
subyek melasma.
2. Mengetahui peran stres oksidatif dalam etiopatogenesis penyakit melasma.
1.4.2 Manfaat praktis
1. Dengan penghitungan Melasma Area and Severity Index (MASI) dapat
memperkirakan kadar MDA.
2. Sebagai dasar pertimbangan pemberian antioksidan dalam terapi melasma.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Melasma
2.1.1 Definisi
Melasma atau sering disebut juga kloasma adalah gangguan kulit yang sering
terlihat pada wanita usia produktif. Gangguan kulit ini bersifat kronik dan sering
menyebabkan frustasi pada pasien dan juga dokternya karena sangat sulit untuk
ditangani (Baumann dan Saghari, 2009; Lin et al., 2009). Melasma adalah
gangguan kulit hiperpigmentasi yang menjadi masalah utama di Asia diantara
gangguan pigmentasi kulit yang lain (Lee et al., 2006).
Melasma berasal dari bahasa Yunani, ‘melas’ yang berarti hitam,
merupakan kelainan kulit hiperpigmentasi didapat yang sering terjadi, ditandai
dengan adanya makula coklat terang hingga gelap yang ireguler (Bandyopadhyay,
2009). Melasma sering dijumpai di daerah yang terpapar sinar matahari seperti
atas bibir, hidung, pipi, dagu, dahi dan terkadang pada leher (Baumann dan
Saghari, 2009).
2.1.2 Epidemiologi
Penelitian epidemiologi menyebutkan bahwa melasma umumnya terjadi pada ras
kulit gelap (tipe IV-VI berdasarkan klasifikasi Fitzpatrick), dengan paparan
radiasi ultraviolet yang berlebihan, walaupun gangguan ini dapat terjadi pada
semua ras. Melasma sering dijumpai pada wanita Hispanik, Asia dan Afrika-
Amerika (Ortonne et al., 2009). Angka prevalensi yang pasti pada setiap negara
belum diketahui. Di Amerika Serikat sendiri kira-kira 5 sampai 6 juta individu
menderita melasma. Di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia
diperkirakan sekitar 0,25%-4% kejadian melasma dari seluruh pasien yang datang
ke spesialis kulit (Lin et al., 2009; Lee et al., 2006). Melasma lebih sering
dijumpai pada perempuan dibanding laki-laki, angka prevalensinya lebih dari 40%
pada perempuan dan 20% pada laki-laki. Biasanya mengenai wanita umur 30-50
tahun (Lee et al., 2006). Hubungan yang kuat antara melasma dan hormon
ditunjukkan dengan meningkatnya insiden melasma pada kehamilan, pada kasus
ini melasma diistilahkan juga dengan chloasma atau mask of pregnancy.
Penggunaan pil KB atau terapi sulih hormon estrogen, gangguan fungsi ovarium
atau tiroid, dan tumor-tumor ovarium juga berhubungan dengan onset melasma
(Lin et al., 2009).
2.1.3 Biosintesis melanin
Dua tipe melanin disintesis dalam melanosom, yaitu eumelanin dan feomelanin.
Eumelanin gelap, berwarna hitam kecoklatan dan tidak larut, sedangkan
feomelanin terang, berwarna kuning kemerahan dan dapat larut. Melanin
merupakan tiruan indol dari DOPA dan dibentuk dalam melanosom melalui
rangkaian langkah-langkah oksidatif, pH melanosom mempengaruhi aktivitas
enzim melanogenik dan polimerasi melanin. Sintesis dari 2 tipe melanin tersebut
melibatkan langkah katalisis rate-limiting, dimana asam amino tirosin dioksidasi
oleh enzim tirosinase (disebut juga tyrosine oxidase, DOPA oxydase,
monophenol, L-DOPA: oxygen oxydoreductase) menjadi L-DOPA, suatu reaksi
yang dikenal sebagai Raper-Mason Pathway (lihat gambar 2.1) (Park dan Yaar,
2012).
Gambar 2.1. Biosintesis melanin Biosintesis melanin. Biosintesis ini dimulai dari asam amino tirosin yang dikonversikan menjadi L-DOPA
(3,4 dihdroksifenilalanin) pada tahap biosintesis melanin terbatas yang dikatalisis tirosinase. Setelah itu L-
DOPA diubah menjadi DOPA kuinon oleh beberapa enzim. DHI (5,6-dihidroksiindol) dan DHICA dibentuk
untuk menghasilkan eumelanin hitam atau coklat. Melalui penggabungan glutation atau sistein, DOPAquinon
dapat membentuk feomelanin (Park dan Yaar, 2012).
Warna kulit manusia, rambut dan mata ditentukan oleh proporsi kedua tipe
melanin ini. Klasifikasi tipe kulit berdasarkan reaksi yang terjadi bila terpapar
sinar matahari dalam waktu yang sama dibagi menjadi tipe I-VI berdasarkan
Fitzpatrick. Tipe I-II orang Kaukasia, tipe III-IV orang Mongoloid, tipe IV-V
orang Polinesia dan tipe VI orang Negro (Baumann dan Saghari, 2009).
2.1.4 Etiopatogenesis melasma
Warna coklat atau coklat kehitaman yang bertambah dikulit pada melasma
disebabkan bertambahnya melanin di epidermis. Jumlah melanin yang bertambah
ini dapat disebabkan karena peningkatan produksi melanosom, bertambahnya
ukuran melanosom, meningkatnya melanisasi melanosom, peningkatan transfer
melanosom ke keratinosit, dan lebih lamanya melanosom di keratinosit (Park
dan Yaar, 2012).
Patofisiologi melasma belum diketahui, teori paling banyak berasal dari
faktor-faktor risiko yang diketahui (Lin et al., 2009). Banyak faktor yang menjadi
penyebab meningkatnya pigmentasi kulit pada melasma. Berikut adalah faktor
eksternal dan internal yang menyebabkan melasma. Faktor eksternal antara lain:
paparan sinar matahari, penggunaan kontrasepsi hormonal, obat-obatan dan
kosmetika. Faktor internal antara lain: genetik, hormonal, kehamilan dan ras.
Hasil penelitian di Singapura, dari 205 pasien dengan melasma, 55 (26,8%)
karena paparan sinar matahari, 25 (12,1%) karena kehamilan, dan 27 (13,1%)
karena kontrasepsi oral sebagai faktor pencetus. Ada riwayat dalam keluarga yang
menderita melasma sebanyak 21 (10,2%) pasien. Penelitian di Thailand
menyatakan 34% wanita dengan melasma mengkonsumsi kontrasepsi oral, tetapi
kira-kira setengah dari mereka mempunyai melasma sebelum mulai
mengkonsumsi obat-obat kontrasepsi oral. Hal tersebut menunjukkan bahwa pil
kontrasepsi atau kehamilan tidak signifikan memberikan kontribusi pada melasma
(Lee et al., 2006).
2.1.4.1 Faktor eksternal
a) Paparan sinar UV
Paparan sinar ultraviolet mempunyai hubungan yang kuat dengan melasma,
ditunjukkan dengan lokasi melasma yang biasanya merupakan daerah yang
terpapar sinar matahari pada wajah. Baik UVA dan UVB berperanan dalam
patoogenesis ini (Lin et al., 2009). Penelitian di Thailand menyebutkan bahwa
72% dari pasien melasma yang diteliti, karena paparan sinar matahari. Pathak
melaporkan bahwa sinar matahari mengeksaserbasi semua melasma (Lee et al,
2006). Melasma paling sering ditemukan di Timur Tengah, Karibia atau Asia
dengan paparan sinar matahari yang tinggi. Pada kenyataannya melasma
ditemukan sedikit pada bulan-bulan musim dingin ketika paparan sinar matahari
berkurang (Baumann dan Saghari, 2009).
Efek langsung : radiasi sinar UV (UVR) akan mencetuskan beberapa
reaksi biologik pada kulit kita. Foton-foton dari sebagian besar sinar UV A akan
diserap oleh prekursor-prekursor melanin (termasuk cellular Chromophores),
sehingga menjadi fotosensitizer dan menyebabkan terbentuknya radikal bebas,
yang akan meningkatkan aktifitas tirosinase dan memacu proses melanogenesis
(Park dan Yaar, 2012). Sinar UV B akan diabsorpsi langsung oleh DNA seluler
sehingga terbentuk lesi-lesi DNA. Sistim perbaikan kerusakan DNA juga
diaktifkan terutama protein p53 yang menekan tumor (tumor suppressor p53).
UVR juga mempengaruhi lipid (komponen membran sel), yang akan melepaskan
diasilgliserol (DAG) yang mengaktifkan enzim tirosinase, sehingga terjadi
peningkatan melanogensis. Efek tidak langsung: UVR merangsang sintesa dan
sekresi faktor-faktor parakrin keratinosit. Melanosit beradaptasi dengan
meningkatkan jumlah dan perubahan fungsinya. Ini semua merupakan
perlindungan alami terhadap pajanan sinar matahari (Park dan Yaar, 2012). Dalam
produksi kemokin dan induksi respon inflamasi, ROS merupakan mediator yang
penting (gambar 2.2) (Costin dan Hearing, 2007). Respon inflamasi diharapkan
akan efektif pengaturannya, apabila ada keseimbangan antara radikal bebas dan
antioksidan (Kang et al., 2011).
Gambar 2.2 Mekanisme hiperpigmentasi yang dinduksi sinar UV
Respon tanning dipengaruhi oleh proses pengaturan kompleks yang terdiri dari efek langsung
UVR pada melanosit dan efek tidak langsung melalui pelepasan keratinocyte-derived factor
(Costin dan Hearing, 2007).
Reaktivitas individu terhadap sinar UV bergantung pada warna kulit
konstitutif serta tipe kulit yang diturunkan secara genetik. Insiden melasma pada
wanita–wanita memakai kontrasepsi oral di Amerika Serikat adalah 29%, ini lebih
rendah dibandingkan dengan wanita – wanita yang memakai kontrasepsi oral di
Australia yaitu sebanyak 50 %. Hal ini disebabkan oleh faktor sinar matahari
(Costin dan Hearing, 2007).
b) Aksi obat-obatan, bahan kimia, dan lain-lain
Banyak obat-obatan yang dapat menstimulasi hiperpigmentasi kulit
manusia seperti antibiotika tertentu (sulfonamid dan tetrasiklin), diuretik, obat-
obatan anti inflamasi non steroid, penghilang nyeri dan beberapa obat psikiatri
(Costin dan Hearing, 2007). Beberapa mekanisme yang terlibat dalam perubahan
pigmentasi kulit yang diinduksi obat-obatan. Mekanisme tersebut antara lain:
peningkatan sintesis melanin, sintesis lipofuscin, endapan bahan obat-obatan dan
hiperpigmentasi pasca inflamasi. Sebagai contoh phenothiazine, khususnya
chlorpromazine, bereaksi dengan melanin untuk membentuk kompleks obat-
pigmen. Perbedaannya dengan melanin, kompleks chlorpromazine-melanin tidak
dimetabolisme oleh tubuh. Pada penghentian penggunaan chlorpromazine dan
phenothiazine yang terkait, pigmentasi kadang-kadang menghilang pelan-pelan,
tetapi lebih sering permanen. Pigmentasi biru-abu-abu pada daerah kulit terpapar
sinar matahari tampak dalam persentasi kecil pada pasien-pasien yang mendapat
resep chlorpromazine dosis tinggi untuk waktu yang panjang (Anstey, 2010).
Banyak obat-obatan menginduksi hipermelanosis dengan perubahan pasca
inflamasi tidak spesifik. Pigmentasi yang mengikuti fixed drug eruption termasuk
jenis ini. Obat-obatan yang lain menginduksi pigmentasi lebih langsung, pada
kasus arsenic disebabkan oleh kombinasi yang kerap dengan kelompok
sulphydryl pada sel-sel epidermis dan peningkatan aktivitas tirosinase (Anstey,
2010). Produk merkuri menginaktifkan TYR mungkin dengan menggantikan
tembaga pada tempat ensimatik protein (Costin dan Hearing, 2007).
Beberapa bahan kemoterapi juga dapat menyebabkan hiperpigmentasi,
yang paling sering antara lain: cyclophosphamide, 5-fluorouracil, doxorubicin,
daunorubicin, dan bleomycin (Costin & Hearing, 2007). Obat-obat sitostatik
topikal yang menyebabkan hiperpigmentasi lokal antara lain: carmustine,
mechlorethamine dan fluorouracil (Anstey, 2010). Mekanismenya belum
diketahui tetapi dapat melibatkan toksisitas langsung, menstimulasi melanosit
dan/atau inflamasi (Costin dan Hearing, 2007).
Obat anti epilepsi tertentu (terutama hidantoin) juga dapat menyebabkan
hiperpigmentasi kulit. Penggunaan jangka waktu lama menginduksi warna
kecoklatan pada wajah dan leher, mirip dengan kloasma pada kehamilan, yang
menghilang beberapa bulan setelah obat tersebut dihentikan (Costin dan Hearing,
2007, Anstey, 2010). Hal tersebut menunjukkan penggunaan hidantoin berefek
langsung pada melanosit, menginduksi pemecahan granul melanin pada kulit, juga
peningkatan pigmentasi pada epidermis basal (Anstey, 2010).
Sekitar 25% pasien yang mendapatkan kloroquin atau hidrokloroquin
untuk beberapa tahun mengalami pigmentasi abu-abu kebiruan pada wajah dan
leher, kadang-kadang pada tungkai bawah dan lengan bawah. Bila terapi
dilanjutkan, daerah tersebut menjadi lebih gelap, khususnya bercak oval pada
betis, dengan ukuran yang lebih besar, dapat berkembang menjadi hitam kebiruan.
Bercak juga menjadi lebih berpigmen pada daerah yang terpapar sinar (Anstey,
2010). Kloroquin dapat berikatan dengan melanin dan dapat menyebabkan
hiperpigmentasi kulit. Penelitian berbeda telah menemukan melanin pada dermis
pasien yang sedang menjalani pengobatan dengan kloroquin (Costin dan Hearing,
2007).
Levodopa sering digunakan untuk mengobati penyakit Parkinson, juga
menginduksi hiperpigmentasi kulit. DOPA biasanya diubah menjadi melanin,
dalam melanosom, sehingga terapi dengan DOPA (diaplikasikan sebagai terapi
levodopa) mungkin meningkatkan biosintesis melanin, mungkin terjadi dengan
oksidasi ekstraseluler, meskipun kepustakaan belum mempunyai bukti kuat untuk
mendukung hipotesis ini (Costin dan Hearing, 2007).
Beberapa penulis menyatakan melasma paling sering tampak pada wanita
muda yang menggunakan kontrasepsi oral (Baumann dan Saghari, 2009).
Pengaruh kontrasepsi oral dihubungkan dengan perubahan warna kulit pada pipi,
dahi dan hidung yang mirip dengan kloasma pada penggunanya. Pemeriksaan
mikroskopis pada epidermis memperlihatkan peningkatan melanogenesis dan
adanya melanosit besar (Costin dan Hearing, 2007). Penghentian kontrasepsi
jarang membersihkan pigmentasi dan dapat berakhir bertahun-tahun setelah
penghentian tersebut (James et al., 2006). Jarangnya melasma pada pasien wanita
monopaus yang mendapat terapi sulih hormon estrogen dan fakta bahwa laki-laki
dapat terkena menunjukkan estrogen sendiri tidak sebagai agen penyebab.
Penelitian dengan mikroskop cahaya, ultrastruktur dan imunofluoresensi, kondisi
ini masih menjadi teka-teki (Anstey, 2010). Pengukuran β-melanocyte-stimulating
hormone plasma adalah normal (Marks dan Miller, 2006).
Kosmetika atau bahan-bahan topikal lain berperan penting juga untuk
terjadinya melasma. Penelitian yang dilakukan oleh Kariosentono di RSU
Muwardi Surakarta, ditemukan bahwa terjadinya melasma akibat pemakaian
kosmetika sebesar 15%. Kosmetika yang mengandung parfum (minyak bergamot,
metoksisitroners, minyak ylang-ylang, minyak kenanga, minyak yasmin), zat
warna tertentu (Sudan III, brilliant lake red yang mengandung Sudan I dan
anilin), dan bahan pengawet akan merangsang melanogenesis apabila terpajan
sinar UV (Kariosentono, 2009).
2.1.4.2 Faktor internal
a) Hormonal
Hiperpigmentasi kadang-kadang tampak selama kehamilan dan kondisi ini disebut
melasma, kloasma atau mask of pregnancy. Kondisi ini terjadi terutama pada pipi,
di atas bibir, dagu dan dahi. Penelitian terbaru menunjukkan daerah
hiperpigmentasi yang tampak pada melasma menunjukkan peningkatan deposisi
melanin pada epidermis dan dermis. Jumlah melanosit tidak mengalami
peningkatan pada area tersebut, tetapi melanosit lebih besar, lebih dendritik dan
menunjukkan peningkatan melanogenesis yang memproduksi khususnya
eumelanin. Selama kehamilan (khususnya pada trimester ketiga), peningkatan
kadar estrogen, progesteron dan MSH sering ditemukan berhubungan dengan
melasma (Miot et al., 2010). Hormon estrogen paling jelas pengaruhnya dalam
meningkatkan sintesis melanin. Estrogen meningkatkan jumlah melanin dalam
sel, sedangkan progesteron menyebabkan peningkatan penyebaran melanin dalam
sel (Jang et al., 2010), ditambah lagi jumlah sel melanosit terbanyak di daerah
wajah dan merupakan daerah yang menerima paparan sinar matahari langsung
maksimal, ini semua bertanggung jawab menentukan lokasi melasma
(Soepardiman, 2009). Pada wanita menopaus yang diberikan terapi estrogen
jarang sekali terjadi melasma, hal ini mendasari dugaan bahwa estrogen bukanlah
faktor penyebab (Shweta et al., 2011).
b) Faktor genetik dan ras
Sekitar 20-70% pasien melasma mempunyai riwayat keluarga dengan melasma.
Morfologi melanosit, struktur matriks melanosom, aktivasi tirosinase, tipe sintesis
melanin di bawah pengaruh genetik (Kang et al., 2011).
Melasma banyak dijumpai pada golongan hispanik dan kulit berwarna
gelap. Orang-orang berkulit coklat seperti India, Ceylon, Pakistan, Filipina dan
dari negara-negara Timur Tengah cenderung menderita melasma pada usia muda
(Perez et al., 2011).
C) Hiperpigmentasi pasca inflamasi
Keadaan peradangan atau inflamasi setempat pada kulit misalnya dermatitis
atopik, fixed drug eruption, urtikaria pigmentasi dan dermatitis lainnya, akne,
trauma fisik dan radiasi, menyebabkan aktifnya mediator inflamasi seperti
metabolit asam arakidonat yaitu prostaglandin (PG) EI, E2, G2; thromboxane B2,
lekotrien (LT) C4 dan D4, serta pelepasan histamin. Semua ini dapat memicu
melagonesis lebih aktif (Soedarwoto, 2009).
2.1.5 Gambaran klinis
Melasma tampak sebagai makula coklat muda sampai coklat tua, hitam biru, dan
biru berbatas tegas dengan tepi tidak teratur, terutama di pipi, dahi, hidung,
lengkungan alis mata, atas bibir, dagu dan kadang-kadang di leher, serta lengan
atas, biasanya simetris (Soepardiman, 2009).
Hiperpigmentasi dapat berbentuk liniar ( “streaming” down the cheeks)
atau gutata. Lesi dapat tunggal, tetapi sering berupa makula yang multipel. Warna
lesi melasma umumnya coklat terang sampai coklat gelap. Berdasarkan gambaran
klinis letak lokasi melasma dibedakan tiga pola/bentuk melasma (Soepardiman,
2009) :
1. Pola sentrofasial : meliputi daerah pipi bagian medial, dahi, hidung,
pelipis, diatas bibir dan dagu.
2. Pola malar : meliputi pipi bagian lateral dan hidung.
3. Pola mandibular : meliputi mendibula dan sekitarnya.
Pola sentrofasial merupakan bentuk melasma yang terbanyak didapatkan yaitu
sekitar 63% kasus, disusul dengan pola malar sekitar 21%, dan terakhir pola
mandibular 16% (Baumann dan Saghari, 2009).
2.1.6 Pemeriksaan penunjang
Pembantu diagnosis melasma dapat dilakukan dengan pemeriksaan
histopatologik, pemeriksaan mikroskop elektron, pemeriksaan dengan sinar Wood
(Soepardiman, 2009).
Berdasarkan pemeriksaan histopatologik terdapat tiga tipe melasma (Park dan
Yaar, 2012; Soepardiman, 2009) :
1. Tipe epidermal : deposit melanin terutama terdapat di lapisan basal dan
suprabasal, kadang-kadang di seluruh stratum spinosum sampai stratum
korneum.
2. Tipe dermal : deposit melanin didalam melanofag, disekitar pembuluh
darah dermis bagian atas dan tengah.
3. Tipe campuran : deposit melanin di epidermis dan dermis.
Penilaian secara histopatologik ini paling tidak disukai oleh penderita oleh karena
harus dibuat sayatan biopsi dimuka (Soepardiman, 2009).
Demikian juga dengan pemeriksaan mikroskop elektron, dibutuhkan pula
biopsi kulit. Pada pemeriksaan mikroskop elektron ini adalah gambaran
ultrastruktur melanosit dalam lapisan basal memberi kesan aktivitas melanosit
meningkat (Soepardiman, 2009).
Pemeriksaan pembantu diagnosis yang lainnya adalah dengan sinar
Wood. Lampu Wood merupakan suatu alat yang dapat menyaring sinar UV
dengan panjang gelombang antara 340 – 400 nm, dengan suatu filter dari nikel
oksida dan silika sehingga dihasilkan panjang gelombang 365 nm. Alat ini secara
klinis dapat membedakan pigmentasi epidermal atau dermal dan membantu
mengetahui luasnya pigmentasi epidermal atau dermal, kecuali pada tipe kulit V
dan VI. Pemakaian lampu Wood ini dilakukan di ruangan gelap. Fenomena ini
disebabkan oleh sifat optik kulit yang pada setiap lapisan kulit sinar akan
dipantulkan kembali kepermukaan, dihamburkan, atau diserap oleh jaringan. Sinar
yang dipancarkan oleh lampu Wood diserap oleh melanin (Shweta et al., 2011).
Berdasarkan pemeriksaan dengan sinar Wood, klasifikasi melasma ada empat tipe
yaitu :
1. Tipe epidermal : dengan sinar matahari terlihat gambaran kontras atau
yang berbeda jelas antara melasma dan kulit sekitarnya. Lesi melasma
berwarna coklat terang. Dengan lampu Wood melasma akan berwarna
gelap dan berbatas tegas, sedangkan kulit normal terlihat lebih terang.
2. Tipe dermal : pada tipe ini sinar matahari yang diserap melanin
dihamburkan dan dipancarkan kembali sehingga lesi tampak berwarna biru
atau abu-abu kebiruan dan tidak terlihat batas jelas antara kulit melasma
dan kulit normal, sedangkan dengan lampu wood melasma tampak kurang
jelas.
3. Tipe campuran : dengan sinar matahari lesi berwarna coklat gelap,
sedangkan dengan lampu wood ada bagian yang berbatas tegas dan ada
yang tidak. Kulit tipe V dan VI sering dengan melasma tipe campuran.
4. Tipe yang tidak jelas (indeterminate) : dengan lampu Wood lesi menjadi
tidak jelas, sedangkan dengan sinar biasa lesi jelas terliihat. Tipe ini sukar
dinilai karena terjadi pada warna kulit yang gelap (kulit tipe V dan VI).
Penilaian melasma dengan menggunakan sinar Wood ini mempunyai keuntungan
karena mudah dilakukan, murah biayanya , dan cepat hasilnya (Shweta et al.,
2011).
2.1.7 Penilaian derajat melasma
Derajat melasma ditentukan berdasarkan nilai Melasma Area and Severity Index
(MASI). Derajat melasma pada masing-masing daerah (dahi, regio malar kanan,
regio malar kiri, dan dagu) dinilai berdasarkan 3 variabel : persentase total area
terlibat (A), tingkat kegelapan (D), dan homogenitas (H) (Bhor dan Pande, 2006).
Persentase total area terlibat (A) terbagi menjadi : 0 = tidak ada ; 1 =
<10% area, ; 2 = 10-29% area ; 3 = 30-49% area ; 4 = 50-69% area ; 5 = 70-89%
area ; dan 6 = 90-100% area. Tingkat kegelapan melasma (D) dibandingkan
dengan kulit normal dan dinilai dengan skala dari 0 sampai 4 : 0 = warna kulit
normal tanpa bukti hiperpigmentasi ; 1 = hampir terlihat hiperpigmentasi ; 2 =
hiperpigmentasi ringan ; 3 = hiperpigmentasi moderat ; 4 = hiperpigmentasi berat
(Taylor, 2007).
Homogenitas hiperpigmentasi (H) juga dinilai dengan skala 0 sampai 4 : 0
= warna kulit normal tanpa adanya hiperpigmentasi ; 1 = terdapat titik-titik
hiperpigmentasi (specks) ; 2 = area kecil (small patchy) dengan diameter < 1,5 cm
; 3 = area yang terlibat dengan diameter > 2 cm ; 4 = kulit yang terlibat sama
tanpa daerah yang jernih (Bhor dan Pande, 2006).
Nilai MASI dihitung dengan jumlah tingkat kegelapan (D) dan
homogenitas (H) dikalikan dengan nilai numerik area yang terlibat (A) dan
dengan persentase keempat daerah wajah (10-30%). Nilai total MASI : Dahi 0.3
(D+H)A + malar kanan 0.3 (D+H)A + malar kiri 0.3 (D+H)A + dagu 0.1 (D+H)A
(Taylor, 2007).
2.1.8 Penatalaksanaan
Pengobatan melasma memerlukan waktu yang cukup lama. Perlu kerja sama
yang baik antara penderita dan dokter yang menanganinya oleh karena penyakit
melasma ini bersifat khronis dan residif. Pengobatan yang sempurna adalah
pengobatan kausal, maka penting mencari etiologinya. Seperti telah disebutkan
diatas bahwa banyak faktor yang saling mempengaruhi sebagai penyebab
melasma, sehingga penatalaksanaan melasma harus meliputi beberapa aspek,
yaitu : aspek pencegahan dan pengobatan (Situm, et al., 2011).
2.1.8.1 Aspek pencegahan
Konseling yang baik perlu dilakukan pada pasien melasma. Pasien perlu
diterangkan bahwa pengobatan melasma memerlukan kesabaran, ketekunan,
disiplin, kerjasama yang baik antara pasien dan dokter, memerlukan waktu yang
cukup lama dan perlu kontrol secara teratur, termasuk biaya perawatan (Sheth dan
Pandya, 2011).
Pencegahan terhadap timbulnya atau bertambah berat serta kambuhnya
melasma adalah melindungi kulit terhadap paparan sinar matahari langsung.
Pasien diharuskan menghindari pajanan langsung sinar ultra violet terutama antara
pukul 09.00-16.00. Jika keluar rumah sebaiknya memakai payung atau topi yang
lebar serta kaca mata pelindung. Pemakaian tabir surya (TS) selama dan sesudah
pengobatan, diperlukan untuk memperoleh hasil yang maksimal. TS yang ideal
yaitu yang berspektrum luas, diterima secara kosmetik dan tidak menimbulkan
gangguan kulit. Pemakaian tabir surya sebaiknya 30 menit sebelum terpajan sinar
matahari, oleskan merata dan dibiarkan mengering sebelum memakai make up.
Pasien perlu disarankan untuk menghindari atau menghilangkan semua faktor
yang dapat merangsang timbulnya hiperpigmentasi antara lain menghindari obat-
obatan, kontrasepsi sistemik (oral, injeksi, implant) yang dapat menimbulkan
hiperpigmentasi atau bahan yang dapat menimbulkan iritasi, kosmetika yang
wangi dan atau mengandung bahan pewarna (Baumann, et al., 2009).
2.1.8.2 Aspek pengobatan
A. Pengobatan topikal :
1. Hidrokuinon : merupakan bahan pemutih yang paling banyak dipakai.
Hidrokuinon menghambat tirosinase dan mempunyai efek toksik
terhadap melanosit (melanositotoksik). Derivat hidroquinon antara lain
mequinol dan arbutin. (Scherdin et al., 2010).
2. Retinoid : antara lain tretinoin, mempunyai kemampuan keratolitik. Cara
kerja retinoid juga menghambat enzim tirosinase, dispersi butir-butir
pigmen di keratinosit, serta mempercepat hilangnya pigmen akibat
akselerasi epidermal turnover (Situm et al., 2011).
3. Asam Azeleat : adalah asam lemak jenuh C9 dikarboksilat yang
menghambat secara kompetitif enzim tirosinase dan bekerja secara
selektif pada melanosit abnormal (hiperaktif) (Kim et al., 2012).
4. Kortikosteroid topikal : Mekanisme kerja kortikosteroid adalah
menghambat sintesis mediator-mediator seperti prostaglandin dan
leukotrien yang berefek pada melanogenesis (Gupta et al., 2006).
5. N-acetyl-4-S-cysteaminylphenol (NCAP): suatu phenolic yang
menghambat aktivitas enzim tirosinase, bahan ini kurang iritatif dan lebih
stabil dibandingkan dengan hidrokuinon (Shweta et al., 2011).
6. Asam Kojik : suatu metabolit jamur yang diproduksi oleh Aspergillus
oryzae. Asam menghambat tirosinase dengan melepaskan tembaga
(Shweta et al, 2011; Situm et al., 2011). .
Melasma tipe epidermal paling berhasil diterapi dengan kombinasi
hidroquinon, steroid dan tretinoin (Majid, 2010). Formula Kligman’s yang
diperkenalkan pada tahun 1975 (hidroquinon 5%, tretinoin 0,1% dan
dexametason 0,1%) telah digunakan secara luas (Pratchyapruit et al., 2011).
Formula ini walaupun efektif, namun mempunyai banyak efek samping
(Rajaratnam et al., 2010). Formula baru dengan efek samping yang kurang
berat adalah hidroquinon 2%, tretinoin 0,05%, betametason valerat 0,1%,
satu kali seminggu selama 10 hari atau kombinasi hidroquinon 4%, tretinoin
0,05%, fluosinolon asetonid 0,01% tidak menyebabkan atrofi kulit atau
penipisan, rosasea atau hipopigmentasi (Arellano et al., 2011; Grimes et al.,
2010).
B. Pengobatan dengan tindakan khusus (menggunakan alat) :
1. Laser : Singkatan dari Light Ampliification by the Stimulated Emission of
Radiation. Penetrasi sinar laser bervariasi dalam kedalamannya sehingga
mempunyai efek berbeda pada setiap jaringan, tergantung panjang
gelombangnya. Penggunaan laser resurfasing erbium:YAG memberikan
perbaikan pada melasma, tetapi karena efek hiperpigmentasi pasca
inflamasi direkomendasikan hanya untuk melasma refrakter (Kroon et al.,
2011).
2. Pengelupasan kimiawi (chemical peeling) : Bahan-bahan yang umumnya
dipakai antara lain adalah fenol 88%, asam trikloroasetat 25% - 50%,
pasta resorsinol, larutan Jessner (asam salisilat 14 gr, resorsinol 14 gr,
asam laktat 85% 14 gr, ethanol sampai 100 cc), dan asam alfa hidroksi
20% - 70% (asam glikolat) (Kodali et al, 2010. Bahan –bahan ini semua
dapat menyebabkan pengelupasan kulit (Kumar dan Thappa, 2010).
3. Intense pulsed light therapy (IPL) : pilihan terapi yang efektif untuk
melasma epidermal, tetapi proteksi terhadap sinar matahari jangka panjang
dan krim pemutih semestinya digunakan setelah terapi pada pasien dengan
melasma campuran (Goldman et al., 2011).
4. Dermabrasi: dermabrasi bukan merupakan modalitas terapi standar karena
efek samping seperti hiperpigmentasi post inflamasi, milia, pruritus,
pembentukan keloid, meskipun pada beberapa penelitian melasma dapat
disembuhkan tanpa kekambuhan (Situm et al., 2011).
2.1.8.3 Antioksidan dalam terapi melasma
Antioksidan antara lain alpha tocopherol, vitamin C (asam askorbat),
methimazole, hydrocoumarin, thioctic acid dan phenol/catechol. Secara umum
antioksidan memberikan efek hipopigmentasi melalui interaksi dengan o-quinone
yang melawan polimerisasi melanin, atau dengan copper pada tempat aktif
tirosinase.Antioksidan dapat mengatur proses signaling dengan mengambil ROS
pada kulit. Sebagai contoh, alpha tocopherol dan derivatnya dapat mengatur
melanogenesis, berefek pada peroksidasi lipid membran dan meningkatkan
kandungan glutathione intraseluler. Asam askorbat sebagai antioksidan berefek
pada melanogenesis dengan mengurangi dopaquinine menjadi DOPA, mencegah
produksi radikal bebas dan menyerap radiasi ultraviolet (Shweta et al., 2011;
Handog et al., 2009).
Banyak penelitian menunjukkan suplementasi vitamin efektif melindungi
kulit terhadap paparan sinar matahari, yang menjadi masalah adalah penentuan
dosis. Dosis vitamin yang digunakan secara umum lebih tinggi daripada yang
dikonsumsi dari diet sehari-hari. Selain itu, kombinasi antioksidan yang berbeda
memberikan efek yang sinergis. Vitamin C dapat mengaktifkan antioksidan lain
seperti vitamin E melalui pengaktifan kembali ɑ-tokoferol dari radikal tokoferol.
Vitamin E yang diberikan 400 IU/hari secara oral selama 6 bulan tidak signifikan
meningkatkan proteksi terhadap UV. Asupan vitamin C secara oral
memperlihatkan bioavaibilitas sempurna tercapai pada dosis 200 mg/hari.
Sedangkan untuk pemakaian secara topikal, kadar vitamin C di kulit meningkat
20-40 kali lipat. Penelitian dengan 12 orang sukarelawan, vitamin C diberikan 500
mg/hari selama delapan minggu, tidak mempunyai efek terhadap eritema yang
diinduksi sinar UV (Pandel et al., 2013).
2.2 Reactive Oxygen Species (ROS), Stres Oksidatif dan Malondialdehid
(MDA)
2.2.1 Reactive Oxygen Species (ROS)
Reactive oxygen species adalah molekul yang mengandung oksigen, bersifat
sangat reaktif, yang secara alami didapatkan dalam jumlah kecil akibat dari reaksi
metabolik tubuh, dan dapat bereaksi serta merusak biomakromolekul seperti lipid,
protein, atau DNA (Wu dan Cederbaum, 2003). Istilah ROS digunakan untuk
mendeskripsikan beberapa molekul dan radikal bebas yang berasal dari molekul
oksigen (Turrens, 2010). Radikal bebas adalah suatu spesies atau senyawa
independen yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada
orbital atom atau molekulnya. Keadaan ini menyebabkan senyawa tersebut sangat
reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul
yang berada di sekitarnya sehingga mengakibatkan kaskade rantai reaksi dan
memicu kerusakan sel dan penyakit (Gabrielli et al., 2012).
Macam-macam ROS adalah sebagai berikut (Kooter, 2004) :
1. Radikal ion superoksida (O2•-).
2. Radikal Peroksil (•OOH).
3. Hidrogen Peroksida (H2O2).
4. Radikal Hidroksil (•OH).
5. Oksigen Singlet (O2).
ROS akan terbentuk setiap saat dalam berbagai kegiatan, bahkan ketika kita
sedang bernafas. Radikal bebas dapat terbentuk melalui 2 cara, yaitu secara
endogen (sebagai respon normal proses biokimia intrasel maupun ekstrasel,
misalnya rantai respirasi, fagositosis, sintesis prostaglandin dan sistim sitokrom
P450 dan secara eksogen (misalnya merokok, sinar ultraviolet, obat-obatan,
pestisida, pelarut industri, polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui
kulit) (Kumar, 2011 ; Winarsi, 2007).
Kadar ROS yang rendah penting untuk fungsi fisiologi normal, seperti
misalnya ekspresi gen, pertumbuhan sel dan pertahanan terhadap infeksi. Aktivasi
makrofag dan netrofil merupakan bentuk mekanisme pertahanan tubuh terhadap
serangan infeksi mikroorganisme. Enzim oksidase dan oksigenase akan
membentuk berbagai senyawa radikal bebas dan ROS, termasuk asam hipoklorit
(HOCI), yang akan menyerang dan menghancurkan virus atau bakteri. Namun di
sisi lain, terbentuknya senyawa radikal tersebut sangat berbahaya, karena juga
berpotensi menyerang sel tubuh (Kunwar dan Priyadarsini, 2011 ; Winarsi, 2007).
ROS bersifat toksik terhadap sel karena dapat bereaksi dengan
makromolekul, seperti lipid, protein, dan DNA (Wu dan Cederbaum, 2003).
Target yang paling rentan adalah asam lemak tidak jenuh (Poly Unsaturated Fatty
Acids/ PUFA). Kerusakan oksidatif pada senyawa lipid terjadi ketika radikal
bebas bereaksi dengan senyawa PUFA. Jembatan metilen yang dimiliki PUFA
merupakan sasaran utama bagi radikal bebas, yang akan membentuk radikal alkil,
peroksil, dan alkoksil. Reaksi berantai yang ditimbulkan oleh peroksidasi lipid
bersifat sangat merusak, dan menyebabkan baik efek secara langsung maupun
secara tidak langsung. Selama terjadi kerusakan oleh peroksidase lipid, akan
dilepaskan produk-produk toksik yang dapat merusak pada area yang jauh dari
area terbentuknya reaksi peroksidasi lipid, bertindak sebagai second messenger.
Bentuk radikal asam lemak tersebut adalah diena terkonjugasi, termasuk di
dalamnya hidroperoksida, alkohol, aldehid, ataupun alkana (Winarsi, 2007).
2.2.2 Stres Oksidatif
Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara prooksidan
dengan antioksidan. Hal ini disebabkan oleh pembentukan ROS yang melebihi
kemampuan sistem pertahanan antioksidan, atau menurun atau menetapnya
kemampuan antioksidan. Pada kondisi fisiologis, antioksidan sebagai sistem
pertahanan dalam tubuh dapat melindungi sel dan jaringan melawan ROS ini
(Winarsi, 2007).
Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
antioksidan enzimatis (misalnya Superoksida Dismutase/SOD, katalase, dan
glutation peroksidase), dan antioksidan non-enzimatis (misalnya tokoferol,
karotenoid, dan asam askorbat). Menurut Belleville-Nabet (1996), secara
fisiologis terdapat dua sistem pertahanan tubuh, yaitu :
1. Sistem pertahanan preventif, yang dilakukan oleh kelompok antioksidan
sekunder atau disebut juga dengan antioksidan non-enzimatis. Dalam hal
ini, terbentuknya ROS dihambat dengan cara pengkelatan metal atau
dirusak pembentukannya, sehingga tidak akan bereaksi dengan komponen
seluler.
2. Sistem pertahanan melalui pemutusan reaksi radikal berantai, yang
dilakukan oleh kelompok antioksidan primer atau antioksidan enzimatis.
Pada kondisi–kondisi tertentu, terjadi masalah ketika produksi ROS
melebihi eliminasinya, yang bisa disebabkan karena produksi berlebihan selama
terjadi trauma atau karena kerusakan sistem antioksidan alami. Keadaan dimana
terjadi ketidakseimbangan antara ROS dan antioksidan, disebut dengan stres
oksidatif (Sies, 1997).
Sebuah postulat ‘Teori Radikal Bebas’ menyatakan bahwa, dengan
terakumulasinya kerusakan akibat radikal bebas dan stres oksidatif, maka
sejumlah proses biokimia dan proses seluler mulai berjalan secara ‘tidak normal’
(DeHaven, 2007).
Radikal bebas selain memiliki reaktivitas yang sangat tinggi, juga bersifat
tidak stabil dan berumur sangat singkat (Winarsi, 2007). Oleh karena itu, maka
pengukuran stres oksidatif dilakukan berdasarkan pengukuran biomarker dari
kerusakan oksidatif pada makromolekul seperti lipid, protein, dan DNA. Secara
tidak langsung, stres oksidatif juga dapat diukur dengan mengestimasi kapasitas
pertahanan antioksidan pada serum, plasma, atau cairan tubuh lainnya (Deverts,
2007).
Berikut ini tabel yang menunjukkan biomarker daripada kerusakan
oksidatif pada makromolekul :
Tabel 2.1. Biomarker Kerusakan Oksidatif (Deverts, 2007)
Biomarker Availabilitas
1. Peroksidasi lipid
Malondialdehid (MDA)
Plasma, serum, saliva, urine,
kondensat ekshalasi nafas
2. Oksidasi Protein
Karbonil protein
Plasma, serum
3. Oksidasi DNA
8-hidroksi-2-deoksiguanosin
Plasma, serum, urine
2.2.3 Malondialdehid (MDA)
Oksidasi lipid merupakan hasil kerja radikal bebas yang diketahui paling awal dan
paling mudah pengukurannya, sehingga reaksi ini paling sering dilakukan untuk
mempelajari stres oksidatif (Winarsi, 2007).
Malondialdehid (MDA) adalah senyawa dialdehida yang merupakan
produk akhir peroksidasi lipid dalam tubuh. MDA merupakan indikator
peroksidasi lipid (Fuchs et al, 2001). Senyawa ini memiliki tiga rantai karbon,
dengan rumus molekul C3H4O2. MDA dapat bereaksi dengan komponen
nukleofilik atau elektrofilik. Aktivitas non-spesifiknya, MDA dapat berikatan
dengan berbagai molekul biologis seperti protein, asam nukleat dan
aminofosfolipid secara kovalen (Winarsi, 2007).
MDA merupakan produk oksidasi asam lemak tidak jenuh oleh radikal
bebas. MDA juga merupakan metabolit komponen sel yang dihasilkan oleh
radikal bebas, sehingga konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya
proses oksidasi dalam membran sel. Status antioksidan yang tinggi biasanya
diikuti oleh penurunan kadar MDA (Winarsi, 2007).
Kadar MDA serum didapatkan dengan metode yang berdasarkan reaksi
dengan thiobarbituric acid (TBA) pada suhu 90-1000C. Pada reaksi tes TBA,
MDA atau MDA-like substances bereaksi bersama untuk memproduksi pigmen
merah muda yang mengabsorbsi sinar dengan panjang gelombang 532 nm. Reaksi
terbentuk pada pH 2-3 dengan suhu 900C selama 15 menit. Sampel dicampur
dengan dua volume dingin 10% (w/v) asam trikloroasetik untuk mengendapkan
protein. Endapan tersebut dipisahkan dengan sentrifugasi, dan supernatant
direaksikan dengan volume yang sama 0,67% (w/v) TBA dalam air mendidih
selama 10 menit. Setelah didinginkan, absorbs dibaca dengan panjang gelombang
523 nm. Hasilnya dinyatakan dengan μmol/L sesuai dengan grafik standar, yang
dipersiapkan dengan dilusi serial dari 1,1,3,3-tetramethoxypropane (Seckin et al.,
2013).
Penelitian yang menganalisa hubungan MDA dengan jenis kelamin dan
usia, mendapatkan hasil bahwa dengan analisa varian menunjukkan tidak ada
interaksi dengan jenis kelamin dan usia, tetapi analisa berbeda menunjukkan efek
independen jenis kelamin (p = 0,03), tetapi tidak usia (p = 0,11). Perokok
mempunyai konsentrasi rata-rata MDA yang sedikit lebih timggi daripada bukan
perokok (p = 0,05). Korelasi positif juga ditunjukkan antara MDA serum dengan
konsumsi alkohol mingguan. Pada kehamilan normal terdapat peningkatan stres
oksidatif, peroksidasi lipid pada sirkulasi darah maternal dan jaringan plasenta,
disertai pula dengan peningkata antioksidan (Nielsen et al., 1997).
2.3 Hubungan Stres Oksidatif dan Melasma
Melasma merupakan bentuk epidermal melanotic hyperpigmentation namun
penelitian pada akhir-akhir ini membuktikan bahwa terjadi peningkatan aktivitas
dan jumlah melanosit pada penderita melasma (Kang et al, 2011).
Sintesis melanin dapat terjadi karena pajanan sinar matahari secara
langsung maupun tidak langsung. Efek oksidatif radiasi ultraviolet berkontribusi
dalam aktivasi melanogenesis. Radiasi ultraviolet dapat memproduksi reative
oxygen species (ROS) pada kulit yang dapat menginduksi melanogenesis dengan
aktivasi tirosinase sebagai enzim yang lebih menyukai radikal anion superoksida
(O2-) lebih dari O2. Agen redoks dapat juga mempengaruhi pigmentasi kulit
melalui interaksi dengan tembaga (copper) sebagai lokasi aktif tirosinase atau O-
quinon untuk menghalangi polimerasi oksidatif intermediat melanin (Gillbro dan
Olsson, 2011).
Faktor lain yang berperan pada timbulnya melasma adalah faktor lokal
yaitu pemakaian kosmetika. Beberapa bahan yang ada dalam kosmetika wajah
seperti pewangi, mulai dari benzyl alcohol sampai lavender oil, juga hidroquinon,
antiseptik, PABA dan berbagai pengawet bersifat sebagai photo sensitizer yang
dapat meningkatkan pembentukan ROS dan memicu aktivitas melanosit.
Hidroquinon yang banyak digunakan sebagai pemutih kulit, selain dapat
menyebabkan hipermelanosis, justru berperan sebagai sumber ROS yang dapat
merusak sel dan DNA, sehingga pada pasien yang diberi obat pemutih kadang-
kadang dapat terjadi reaksi sebaliknya, kulit menjadi lebih hitam. Penggunaan
pemutih untuk mencegah sintesis melanin dapat menghilangkan fungsi proteksi
melanin dan pada tingkat seluler terjadi kerusakan DNA yang apabila mekanisme
repair tidak berhasil, sangat berisiko menghasilkan gen mutan yang akhirnya
menimbulkan keganasan atau kanker kulit (Kariosentono, 2009).
Penelitian kasus kontrol oleh Ismailov dan Galdava mendapatkan hasil
peningkatan kadar malondialdehid (MDA) pada pasien melasma dibandingkan
dengan kontrol (p < 0,05). Kadar yang tinggi lipid peroksidase mengurangi
proteksi antioksidan pada pasien dengan melasma (Ismailov dan Galdava, 2004).
Penelitian oleh Hamadi et al. (2009) menunjukkan korelasi positif yang
kuat antara kadar MDA serum dengan nilai MASI. Pada penelitian ini kadar MDA
dan nilai MASI diukur sebelum pemberian terapi melatonin suatu antioksidan
kuat. Kemudian kadar MDA diukur setelah 45, 90 dan 120 hari terapi. Nilai
MASI diukur kembali setelah 15 dan 120 hari terapi. Pada penelitian ini
didapatkan korelasi positif yang signifikan kuat antara penurunan nilai MASI dan
penurunan kadar MDA (r=0,78, p<0,01). Hal ini semakin menguatkan bukti
peranan stres oksidatif dimana MDA sebagai salah satu indikatornya dalam hal
timbulnya dan parahnya derajat melasma yang diukur menggunakan MASI
(Hamadi et al., 2009).
Penelitian oleh Seckin dan kawan-kawan mengukur kadar MDA serum 50
orang penderita melasma dan 50 sukarelawan sehat. Diagnosis melasma secara
klinis dan dievaluasi berdasarkan Melasma Area Severity Index (MASI).
Penelitian tersebut mendapatkan hasil rata-rata skor MASI adalah 21,54 ± 8,84,
kadar MDA serum lebih tinggi secara signifikan (p < 0,001) pada penderita
melasma dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan telah terganggu dan
stres oksidatif meningkat pada melasma. Hal ini meningkatkan pengertian tentang
etiologi dan patogenesis melasma dan pengobatannya (Seckin et al, 2013).
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Melasma adalah gangguan hiperpigmentasi yang terjadi pada kulit di daerah
paparan sinar matahari. Gangguan pigmentasi yang tampak pada melasma
disebabkan oleh jumlah melanin yang berlebihan. Hal ini dapat terjadi karena
peningkatan produksi melanin oleh melanosit yang disebut dengan
hiperpigmentasi melanotik atau dengan peningkatan jumlah melanosit yang
disebut dengan hiperpigmentasi melanositik.
Penyebab melasma tidak diketahui, meskipun faktor-faktor etiologi multipel
berpengaruh baik eksogen maupun endogen. Faktor etiologi yang paling
signifikan adalah radiasi ultraviolet. Penyebab yang lain antara lain: hormon-
hormon sex wanita, kontrasepsi oral, kosmetik, obat-obat fototoksik dan anti
kejang, disfungsi ovarium, disfungsi hepatik, disfungsi tiroid, defisiensi nutrisi
dan faktor genetik.
Banyak bukti menunjukkan bahwa radiasi ultraviolet sangat penting dalam
patogenesis melasma. Radiasi ultraviolet dapat menyebabkan peroksidasi lipid
pada membran seluler, menghasilkan radikal bebas dan menyebabkan stimulasi
pada melanosit untuk memproduksi melanin yang berlebihan sehingga
menyebabkan terjadinya melasma. Malondialdehid (MDA) adalah produk akhir
peroksidasi lipid di dalam tubuh, yang merupakan biomarker dari stres oksidatif.
3.2 Konsep
Gambar 3.1
Bagan kerangka konsep penelitian
3.3 Hipotesis
1. Kadar MDA serum berkorelasi positif dengan Melasma Area and Severity
Index (MASI) pada subyek melasma.
2. Kadar MDA serum lebih tinggi pada subyek melasma dibandingkan
dengan bukan melasma.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Subjek diambil dari
penderita yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah
Denpasar.
Gambar 4.1 Rancangan cross-sectional
Gambar 4.1 Rancangan cross-sectional
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi RSUP Sanglah
Denpasar, mulai Maret 2014 hingga April 2014. Penelitian juga akan melibatkan
Laboratorium Prodia Denpasar, sebagai laboratorium rujukan pemeriksaan kadar
MDA.
POPULASI
SAMPEL
Melasma ----------- Bukan Melasma
Kadar MDA Kadar MDA
Nilai MASI
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Populasi target
Semua penderita dengan melasma.
4.3.2 Populasi terjangkau
Penderita melasma yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi
Kosmetik RSUP Sanglah, Denpasar pada bulan Maret 2014 hingga April 2014.
4.3.2.1 Kriteria inklusi
a. Semua penderita melasma yang berkunjung di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Sanglah Denpasar.
b. Warga Negara Indonesia (WNI).
c. Penderita adalah laki-laki dan perempuan.
d. Keadaan umum baik.
e. Bersedia untuk mengikuti penelitian dan menandatangani lembar informed
consent.
4.3.2.2 Kriteria eksklusi
a. Subyek adalah seorang perokok.
b. Subyek adalah seorang wanita hamil.
c. Subyek sedang menderita penyakit sistemik yang kronis.
d. Subyek sedang menderita penyakit peradangan kronis pada kulit.
e. Subyek sedang mengkonsumsi antioksidan dalam satu bulan terakhir
4.3.3 Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling, yaitu pengunjung
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar periode Maret 2014 hingga
April 2014, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dijadikan subjek
penelitian sampai memenuhi jumlah sampel yang diperlukan.
4.3.4 Besar sampel
Penentuan besar sampel penelitian dengan menggunakan rumus Ronald Fisher’s
classis z transformation sebagai berikut (Dahlan, 2008; Madiyono, et al., 2010) :
Pada penelitian ini menggunakan koefisien korelasi (r = 0,4), interval
kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95% (α = 0,05; Zα = 1,645), dan power
penelitian sebesar 80% (β = 0,20; Zβ = 1,282). Berdasarkan perhitungan dengan
menggunakan rumus di atas, maka jumlah sampel minimal (n) yang diperlukan
untuk rancangan ini adalah 51 orang.
4.4 Variabel Penelitian
1. Variabel tergantung : melasma.
2. Variabel bebas : malondialdehid (MDA).
3. Variabel kontrol :.kehamilan, perokok, penyakit sistemik yang kronis,
peradangan kronis pada kulit, penggunaan obat antioksidan
4.4.1 Definisi operasional variabel
1. Melasma adalah hipermelanosis ireguler berwarna coklat terang sampai
coklat gelap pada daerah yang sering terpapar sinar matahari seperti wajah,
terutama di dahi, kedua pipi, hidung, di atas bibir, dagu dan kadang-
kadang leher. Diagnosis melasma ditegakkan berdasarkan gambaran klinis
dan pemeriksaan penunjang berupa lampu Wood. Kedalaman lesi dapat
ditentukan dengan lampu Wood dimana lesi epidermal akan tampak
semakin jelas bila terkena sinar lampu Wood sedangkan lesi dermal akan
tampak semakin tidak jelas, dan tipe campuran merupakan campuran dari
keduanya.
2. Malondialdehid (MDA) adalah produk akhir peroksidasi lipid di dalam
tubuh, yang merupakan biomarker dari stres oksidatif, dimana kadar MDA
satuannya μM/L, ditentukan dengan melakukan pemeriksaan
spektrofotometrik dari bahan sampel plasma yang diambil dari pembuluh
darah vena subyek penelitian sebanyak 6 cc.
3. Melasma Area and Severity Index (MASI) adalah derajat keparahan
melasma ditentukan berdasarkan skor Melasma Area and Severity Index
(MASI) yang diperkenalkan pertama kali oleh Kimbrough-Green et al.
Derajat melasma pada masing-masing daerah (dahi, regio malar kanan,
regio malar kiri, dan dagu) dinilai berdasarkan 3 variabel : persentase total
area terlibat (A), tingkat kegelapan (D), dan homogenitas (H)
4. Bukan melasma adalah individu yang tidak memiliki tanda-tanda
melasma..
5. Kehamilan adalah keadaan terkandungnya janin dalam tubuh seorang
wanita yang ditandai dengan terhentinya menstruasi selama 6 minggu
berturut-turur dihitung berdasarkan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT).
6. Perokok adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi
rokok 5 batang per hari dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan
empat minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui teknik wawancara.
7. Penyakit sistemik yang kronis adalah subjek sedang menderita penyakit
kardiovaskular, diabetes melitus, penyakit keganasan, yang diperoleh
melalui teknik wawancara.
8. Peradangan kronis pada kulit adalah suatu kelainan pada kulit yang timbul
karena proses peradangan yang kronis seperti psoriasis, vitiligo, dermatitis
atopi dan akne, yang diperoleh melalui teknik wawancara.
9. Pengguna antioksidan adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah
mengkonsumsi antioksidan dalam kurun waktu lebih dari atau sama
dengan empat minggu sebelumnya, diperoleh melalui teknik wawancara.
4.5 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah vena dari subjek
penelitian.
4.6 Instrumen Penelitian
4.6.1 Alat-alat
1. Lampu Wood.
2. Kamera digital.
3. Sarung tangan.
4. Tourniket.
5. Spuit.
6. Spektrofotometer.
7. Kuvet spektrofotometer dengan panjang jalur optik 1cm.
8. Water bath atau heat block untuk mengontrol suhu pada 45oC ± 1oC.
9. Tube disposable dan stopper (kaca atau polietilen).
10. Micro-centrifuge.
4.6.2 Reagen
1. Reagen R1 : N-metil-2-phenylindole dalam acetonitrit.
2. Reagen R2 : asam hidroklorit terkonsentrasi.
3. Standart MDA : 1,1,3,3-tetramethoxypropane (TMOP) dalam tris-HCl.
4. Butylated Hydroxytoluene (BHT) dalam acetonitrit.
5. Probucol dalam metanol.
6. Metanol
4.7 Prosedur Penelitian
4.7.1 Alur penelitian
1. Penderita yang datang berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi
Kosmetik RSUP Sanglah Denpasar dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya kriteria inklusi dan
eksklusi.
a. Anamnesis meliputi : identitas, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu (dermatitis kontak karena kosmetik,
epilepsi, dan keganasan), riwayat pengobatan, riwayat penyakit
keluarga, dan riwayat sosial.
b. Pemeriksaan fisik, meliputi : tanda-tanda vital, status general, dan
status dermatologi.
2. Penderita yang telah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, diminta untuk menandatanagani
informed consent sebagai persetujuan keikutsertaan dalam penelitian.
Sedangkan penderita yang tidak memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
dikeluarkan dari subjek penelitian.
3. Pemeriksaan tipe melasma, dengan menggunakan lampu Wood.
4. Pemeriksaan nilai MASI.
5. Pengambilan darah vena subjek penelitian.
6. Pemeriksaan kadar MDA.
Gambar 4.2. Protokol penelitian
DATA PENELITIAN
Nilai MASI
Kadar MDA
Populasi target
Semua penderita melasma
Populasi terjangkau
Semua penderita melasma yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Sanglah Denpasar periode Maret 2014-April 2014
Sampel penelitian
Pemeriksaan nilai MASI
Pengambilan darah vena
Analisis statistik
Kriteria inklusi
Kriteria eksklusi
Informed consent
4.7.2 Pengambilan data
Prosedur pengukuran kadar MDA meliputi pengambilan spesimen penelitian dan
pemeriksaan kadar MDA yang akan dilakukan di Laboratorium Prodia Denpasar.
4.7.2.1 Pengambilan spesimen
Spesimen yang diambil adalah darah yang diambil dari vena lengan subjek
penelitian, dengan prosedur sebagai berikut :
1. Lengan subjek diikat dengan tourniket dan subjek diminta menggenggam
tangannya untuk memudahkan identifikasi vena.
2. Desinfeksi daerah sekitar vena yang dituju dengan menggunakan alkohol
swab.
3. Penusukan vena yang dituju dengan menggunakan spuit yang telah
tersedia, hingga tampak darah mengalir dalam spuit.
4. Melepas tourniket pada lengan, dan subjek dapat membuka genggaman
tangannya.
5. Menutup bekas tusukan dengan menggunakan plester.
4.7.2.2 Pemeriksaan kadar MDA
Pemeriksaan kadar MDA dilakukan di Laboratorium Prodia Denpasar,
dengan prosedur sebagai berikut :
1. Menambahkan 10 μL probucol pada masing-masing tube assay.
2. Menambahkan 20 μL sampel atau standart pada tube assay tersebut.
3. Menambahkan 640 μL reagen R1 yang telah dilarutkan ke dalam masing-
masing tube.
4. Mencampur dengan memusingkan masing-masing tube.
5. Menambahkan 150 μL reagen R2.
6. Stopper masing-masing tube dan mencampur secara merata.
7. Menginkubasikan pada suhu 45oC selama 60 menit.
8. Men-centrifuge sampel yang keruh (misal 10.000 x selama 10 menit)
untuk mendapatkan supernatan yang jernih.
9. Memindahkan supernatan ke dalam kuvet.
10. Mengukur absorbance-nya pada 586 nm.
4.8 Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis data untuk penelitian observasional
analitik:
1. Analisis statistik deskriptif
Analisis ini dilakukan untuk menggambarkan karakteristik umum subyek
dengan melasma yaitu: jenis kelamin, umur, pola melasma, tipe melasma
dan rata-rata MASI.
2. Uji normalitas dan homogenitas data
Uji normalitas data pada subyek melasma menggunakan uji normalitas
Kolmogorov-Smirnov karena sampel lebih dari 30, sedangkan pada
subyek bukan melasma menggunakan uji Shapiro-Wilk (jumlah sampel
kurang dari 30). Data berdistribusi nomal bila nilai p > 0,05 pada uji
normalitas. Sedangkan uji homogenitas data menggunakan uji Lavene,
varian data berbeda jika nilai p < 0,05.
3. Analisis komparasi
a. Menguji perbedaan rerata kadar MDA serum pada subyek
perempuan dan laki-laki menggunakan uji T tidak berpasangan
(distribusi data normal).
b. Menguji perbedaan rerata kadar MDA serum pada masing-masing
kelompok umur menggunakan metode One-way Anova (distribusi
data normal).
c. Menguji perbedaan rerata kadar MDA serum pada masing-masing
pola melasma menggunakan uji T tidak berpasangan (distribusi
data normal).
d. Menguji perbedaan rerata kadar MDA serum pada masing-masing
tipe melasma menggunakan uji One-way Anova (distribusi data
normal). Analisis dilanjutkan dengan uji Post Hoc metode LSD
untuk mengetahui perbedaan rerata kadar MDA antar kelompok
tipe melasma.
e. Menguji perbedaan rerata kadar MDA serum antara subyek
dengan melasma dengan bukan melasma dianalisis menggunakan
uji Mann-Whitney karena data tidak berdistribusi normal.
4. Analisis korelasi
Untuk mengetahui korelasi antara kadar MDA serum dengan nilai MASI
dilakukan analisis korelasi menggunakan uji Spearman’s rho karena data
tidak berdistribusi normal.
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Data karakteristik subyek dengan melasma dan bukan melasma yang meliputi
jenis kelamin, umur, pola melasma dan tipe melasma disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Karakteristik subyek penelitian
Karakteristik
Melasma Bukan Melasma
n = 51 (%) n =
29
(%)
Jenis kelamin
47 ( 92,2)
4 (7,8)
6 (11,8)
15 (29,4)
21 (41,2)
9 (17,6)
42 (82,4)
9 (17,6)
0 (0)
20 (39,22)
27 (52,94)
4 (7,84)
Perempuan 27 (93,1)
2 (6,9)
5 (17,2)
12 (41,4)
8 (27,6)
4 (13,8)
Laki-laki
Umur
21-30
31-40
41-50
>50
Pola melasma
Sentrofasial -
-
-
-
-
-
-
0,2459 ± 0,05871
Malar
Mandibular
Tipe melasma
Epidermal
Campuran
Dermal
22,5 ± 2,1
0,4737 ± 0,1854
MASI
(Rerata ± SD)
MDA (μM/L)
(Rerata ± SD)
n = jumlah, SD = standar deviasi
Pada penelitian ini digunakan 51 subyek melasma dan 29 bukan melasma.
Pada subyek melasma berdasarkan jenis kelamin didapatkan bahwa perempuan
lebih banyak yaitu 47 orang (92,16%) dibandingkan laki-laki sebanyak 4 orang
(7,84%). Pada subyek bukan melasma didapatkan perempuan sebanyak 27 orang
(93,1%) dan laki-laki sebanyak 2 orang (6,9%) seperti terlihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1 Distribusi pasien perempuan dan laki-laki pada sampel
penelitian
Kelompok umur subyek dengan melasma yang paling banyak adalah 41-
50 tahun sebanyak 21 orang (41,2%). Rerata umur subyek melasma adalah 41,6
tahun, umur minimum adalah 23 tahun dan umur maksimum adalah 56 tahun.
Kelompok umur subyek bukan melasma yang paling banyak didapatkan adalah
31-40 tahun sebanyak 12 orang (41,4%) seperti tampak pada Gambar 5.2 berikut
ini. Rerata umur subyek bukan melasma adalah 39,97 tahun, umur minimum
adalah 22 tahun dan umur maksimum adalah 55 tahun.
74
47
27
6 4 20
20
40
60
80
Total Melasma BukanMelasma
Perempuan
Laki - laki
Gambar 5.2 Distribusi kelompok umur (tahun) sampel penelitian
Pola melasma berdasarkan gambaran klinisnya yang terbanyak adalah
bentuk sentrofasial sebanyak 42 orang (86,27%) dapat dilihat pada Gambar 5.3.
Tipe melasma yang paling banyak ditemukan adalah tipe campuran sebanyak 27
orang (52,94%) dapat dilihat pada Gambar 5.3. Nilai rerata MASI pada subyek
melasma adalah 22,5.
Gambar 5.3 Distribusi pola melasma pada sampel penelitian
0
5
10
15
20
25
30
Total Melasma BukanMelasma
11
6 5
27
1512
29
21
8
13
9
4
21-30
31-40
41-50
>50
0
10
20
30
40
50
Sentrofasial Malar Mandibular
42
9
0
Pola Melasma
Gambar 5.4 Distribusi tipe melasma pada sampel penelitian
5.2 Uji Normalitas dan Homogenitas Data
Pada data penelitian kadar MDA serum dan nilai MASI pada subyek melasma
dilakukan uji normalitas seperti disajikan pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 Hasil uji normalitas data untuk korelasi
p = nilai signifikansi
Berdasarkan tabel 5.2 didapatkan bahwa data kadar MDA tidak berdistribusi
normal karena nilai p < 0,001 (p < 0,05), sedangkan data MASI serum
menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, berdistribusi normal karena nilai p =
0,200 (p > 0,05).
Pada data penelitian kadar MDA serum pada subyek dengan melasma dan
bukan melasma dilakukan uji normalitas data seperti disajikan pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Hasil uji normalitas data untuk beda rerata
No Kadar p
1 MDA pada melasma 0,002
2 MDA pada bukan melasma < 0,001
P = nilai signifikansi
0
5
10
15
20
25
30
Epidermal Campuran Dermal
20
27
4
Tipe Melasma
Berdasarkan data 5.3 didapatkan bahwa data kadar MDA pada subyek melasma
(p = 0,002) dan bukan melasma (p < 0,001) tidak berdistribusi normal (p < 0,05).
Uji homogenitas data menggunakan uji Lavene, varian data berbeda jika nilai p <
0,05.
5.3 Rerata Kadar MDA Serum Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, Pola
dan Tipe Melasma
Data rerata kadar MDA serum berdasarkan jenis kelamin, umur, pola dan tipe
melasma disajikan pada tabel 5.4 berikut ini. Perbedaan rerata kadar MDA serum
berdasarkan jenis kelamin diuji dengan menggunakan uji T tidak berpasangan
sedangkan uji one-way Anova digunakan untuk mengetahui perbedaan rerata
kadar MDA serum berdasarkan kelompok umur. Uji T tidak berpasangan juga
digunakan untuk mengetahui perbedaan rerata kadar MDA serum berdasarkan
pola melasma sedangkan untuk mengetahui perbedaan rerata kadar MDA serum
berdasarkan tipe melasma menggunakan uji one-way Anova.
Tabel 5.4 Rerata kadar MDA serum berdasarkan jenis kelamin, umur, pola dan
tipe melasma
No Karakteristik Kadar MDA Serum (μM/L) P
Rerata ± Simpang Baku IK 95%
1. Jenis kelamin
Perempuan 0,3895 ± 0,18927
0,4117 ± 0,18280
0,3191 ± 0,03390
0,3726 ± 0,17584
0,4241 ± 0,22517
0,4169 ± 0,19220
0,4524 ± 0,14066
0,5733 ± 0,31800
0 ± 0
0,3830 ± 0,06208
0,5359 ± 0,22647
0,5075 ± 0,12685
0,783
Laki-laki
2. Umur (tahun)
21-30 0,394
31-40
41-50
>50
3. Pola melasma
Sentrofasial 0,294
Malar
Mandibular
4. Tipe melasma
Epidermal <0,001
Campuran
Dermal
P = nilai signifikansi
Pada tabel 5.4 terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan kadar MDA serum yang
signifikan pada subyek perempuan (0,3895 ± 0,18927) dan laki-laki (0,4117 ±
0,18280) dengan nilai p = 0,783. Berdasarkan kelompok umur juga tidak
didapatkan adanya perbedaan kadar MDA serum yang signifikan antara masing-
masing kelompok umur dengan nilai p = 0,394. Perbedaan kadar MDA serum
berdasarkan pola melasma juga tidak signifikan dengan nilai p = 0,294. Berbeda
dengan tipe melasma, didapatkan perbedaan kadar MDA serum yang signifikan
pada tipe melasma epidermal (0,3830 ± 0,06208) dengan tipe campuran (0,5359 ±
0,22647) dan tipe dermal (0,5075 ± 0,12685).
5.4 Korelasi antara Kadar MDA serum dengan Nilai MASI
Untuk mengetahui korelasi antara kadar MDA dengan nilai MASI pada
penelitian ini dilakukan uji korelasi Spearman’s rho karena salah satu data tidak
berdistribusi normal yaitu data MDA. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
korelasi positif sangat kuat (r = 0,913; p < 0,001) antara kadar MDA serum
dengan MASI seperti disajikan pada Tabel 5.5, artinya semakin besar kadar MDA
serum diikuti dengan nilai MASI yang semakin tinggi.
Tabel 5.5 Korelasi antara kadar MDA serum dengan nilai MASI
r = nilai korelasi, p = nilai signifikansi, n = jumlah
Gambaran scatter plot hasil korelasi antara kadar MDA serum dengan nilai MASI
disajikan pada Gambar 5.5. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa semakin
tinggi kadar MDA serum maka nilai MASI semakin tinggi
Gambar 5.5 Scatter plot korelasi antara kadar MDA serum dengan MASI
5.5 Kadar MDA Serum pada Subyek Melasma dan Bukan Melasma
Analisis perbedaan rerata kadar MDA serum subyek melasma dan bukan melasma
menggunakan uji Mann-Whitney karena data tidak berdistribusi normal.
Tabel 5.6 Beda rerata kadar MDA serum subyek melasma dan bukan melasma
Variabel Melasma
(n=51)
Bukan melasma
(n=29)
Beda
rerata
p IK 95%
Kadar MDA
(μM/L)
Rerata ± SD
0,4737 ±
0,18594
0,2459 ± 0,5871
0, 2278
P < 0,001
0,172-0,284
n = jumlah, SD = standard deviation, p = nilai signifikansi, IK = interval kepercayaan
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 5.6 didapatkan bahwa beda rerata
kadar MDA serum antara subyek melasma dan bukan melasma pada penelitian ini
adalah 0,2278 μM/L. Rerata kadar MDA pada subyek dengan melasma (0,4737 μM/L)
ditemukan lebih tinggi dibandingkan dengan subyek bukan melasma (0,2459 μM/L).
Setelah dilakukan uji Mann-Whitney didapatkan bahwa kadar MDA serum pada subyek
MASI
r = 0,913, p< 0,001
melasma berbeda secara signifikan dengan subyek bukan melasma dengan nilai p <
0,001. Hasil perbedaan rerata ini ditunjukkan pada Gambar 5.6, tampak bahwa rerata
kadar MDA serum pada kelompok subyek melasma (kanan) lebih tinggi daripada bukan
melasma (kiri).
Gambar 5.6 Box plot kadar MDA serum pada subyek melasma dan bukan
melasma
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Penelitian ini melibatkan 51 subyek melasma yang masuk dalam kriteria inklusi
dan 29 subyek bukan melasma, tidak ada subyek yang hilang dalam penelitian.
Pada subyek melasma dan bukan melasma dilakukan pengambilan darah vena
untuk pengukuran kadar MDA serum serta pemeriksaan nilai MASI pada subyek
melasma.
Pada penelitian ini didapatkan frekuensi yang lebih banyak pada jenis
kelamin perempuan yaitu sebesar 47 orang (92,2%) dibandingkan laki-laki
sebesar 4 orang (7,8%) dengan perbandingan antara perempuan dan laki-laki
adalah 11,75:1. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya.
Penelitian oleh Armini et al. (2012) di RSUP Sanglah Denpasar ditemukan
kejadian melasma selama tahun 2009-2011 didapatkan jenis kelamin perempuan
lebih banyak menderita melasma daripada laki-laki, yaitu perempuan 485 orang
(99,59%) dan 2 orang laki-laki (0,41%). Penelitian ini didukung oleh penelitian
Argentina et al. (2012) di RS. Dr. Moh. Hoesin/ FK Unsri Palembang tahun 2007-
2010, distribusi pasien melasma berdasarkan jenis kelamin, wanita 128 pasien
(98,46%) dan pria 2 orang (1,53%).
Melasma umumnya dijumpai pada perempuan usia reproduksi (child
bearing age), sedangkan pada laki-laki hanya ditemukan 10% kasus (Nicolaidou
et al., 2007. Di Indonesia perbandingan kasus perempuan dan laki-laki adalah
24:1 (Soepardiman, 2009), Pada banyak kasus, terdapat hubungan yang erat
dengan aktivitas hormonal, dimana melasma sering muncul pada kehamilan dan
penggunaan pil kontrasepsi. Faktor lain yang diduga terlibat adalah penggunaan
obat-obatan yang bersifat fofosensitif, tumor ovarium jinak, disfungsi tiroid, dan
kosmetik (Lin et al., 2009).
Berdasarkan kategori umur, pada penelitian ini didapatkan kejadian
melasma lebih banyak pada kelompok rentang umur 41-50 tahun sebanyak 21
orang (41,2%) seperti terlihat pada Tabel 5.1. Rerata umur subyek melasma 41,6
tahun, umur minimum adalah 23 tahun dan umur maksimum 56 tahun. Penelitian
ini didukung oleh penelitian Armini et al. (2012) distribusi umur terbanyak adalah
kelompok umur 41-50 tahun. Penelitian di Turki pada 50 pasien melasma yang
datang ke Dermatology Outpatient Clinic of Gaziosmanpasa University Medical
Faculty selama periode September 2011-September 2012 didapatkan rata-rata
kelompok umur melasma adalah 36,34 ± 7,61 (Seckin et al., 2013). Penelitian
yang dilakukan oleh Ortonne et al. (2009) di sembilan klinik yang tersebar di
seluruh dunia didapatkan rata-rata kelompok umur melasma adalah 42,9 ± 9,6, di
Amerika Serikat 45,0 ± 10,7, di Perancis 41,0 ± 7,46, di Jerman 35,1 ± 7,18, di
Belanda 40,7 ± 8,86, di Meksiko 39,5 ± 7,77, di Italia 41,3 ± 5,91, di Singapura
48,7 ± 6,71, di Korea Selatan 37,5 ± 9,33 dan di Hong Kong 48,7 ± 7,83.
Melasma biasanya mengenai wanita umur 30-50 tahun, namun dapat pula
terjadi pada wanita dewasa muda yaitu wanita usia belasan tahun yang hamil atau
menggunakan kontrasepsi atau dengan riwayat pajanan sinar matahari yang berlebihan
(Lee et al., 2006).
Melasma sering dijumpai pada daerah yang terpapar sinar matahari seperti
atas bibir, hidung, pipi, dagu dan dahi. Paparan sinar matahari sebagai pencetus
yang utama karena dapat menimbulkan peroksidasi lipid pada membran seluler
menghasilkan radikal bebas yang menstimulasi melanogenesis. Selain itu,
keratinosit setelah paparan sinar ultraviolet menghasilkan beberapa mediator
seperti interleukin alfa (IL-alfa) dan endothelin-1 (ET-1) yang menstimulasi
melanogenesis (Seckin et al., 2013 ; Park dan Yaar, 2012).
Berdasarkan gambaran klinis, melasma dibagi menjadi tiga bentuk yaitu
bentuk sentrofasial, malar, dan mandibular. Pada bentuk sentrofasial, lesi meliputi
pipi, dahi, hidung, atas bibir, dan dagu (63%). Bentuk malar, lesi mengenai daerah
pipi dan hidung (21%), sedangkan pada bentuk mandibular, lesi mengenai ramus
mandibularis (16%) (Baumann dan Saghari, 2009). Manifestasi tipe klinis yang
diperoleh pada penelitian ini yang terbanyak adalah bentuk sentrofasial 42 orang
(82,4%). Sesuai dengan penelitian Armini et al. (2012) yang mendapatkan hasil
pola melasma terbanyak adalah tipe sentrofasial pada 273 pasien (56,06%), yang
diikuti oleh tipe malar pada 209 pasien (42,92%) dan hanya didapatkan 5 pasien
(1,02%) dengan tipe mandibular. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil
penelitian Argentina et al. (2012) di RS. Dr. Moh. Hoesin Palembang, pola
melasma terbanyak tipe malar 84 pasien (64,61%) sedangkan sentrofasial 10
pasien (7,69%).
Berdasarkan Tabel 5.1 didapatkan tipe melasma yang terbanyak pada
penelitian ini adalah melasma tipe campuran 27 pasien (52,94%), diikuti tipe
epidermal 20 pasien (39,22%) dan tipe dermal 4 pasien (7,84%). Penelitian yang
dilakukan Armini et al. (2012) juga mendapatkan tipe campuran sebagai tipe
melasma terbanyak dijumpai pada 282 pasien (57,90%), diikuti oleh tipe
epidermal pada 179 pasien (36,76%) dan tipe dermal yang dijumpai pada 26
pasien (5,34%). Hal ini sedikit berbeda dengan sebuah penelitian di Singapura
yang menyatakan bahwa lebih dari 2/3 kasus merupakan melasma tipe epidermal
(Goh et al., 1999). Penelitian oleh Al-Hamdi et al. (2008) mendapatkan tipe
melasma terbanyak adalah tipe epidermal sebesar 60,5% (118/196), tipe campuran
sebesar 23,9% (47/196) dan tipe dermal sebesar 15,8% (31/196).
Pemeriksaan dengan lampu Wood digunakan untuk mengetahui tipe
melasma. Melasma tipe epidermal lebih mudah untuk diobati daripada melasma
tipe dermal karena melanin kadarnya lebih tinggi pada kulit sehingga lebih mudah
dicapai oleh obat topikal., Penentuan tipe ini menjadi sulit karena tingginya
jumlah pasien yang mempunyai melasma tipe campuran epidermal/dermal, namun
konsensus menyatakan pasien yang mempunyai melasma epidermal yang
dominan berespon lebih baik terhadap pengobatan daripada yang mempunyai
komponen dermal yang luas (Baumann dan Saghari, 2009).
Rerata nilai MASI dari 51 subyek dengan melasma dalam penelitian ini
adalah 22,5 ± 2,1 tidak jauh berbeda dengan penelitian Seckin et al. (2013) pada
50 subyek dengan melasma mendapatkan rerata nilai MASI adalah 21,54 ± 8,84.
6.2 Kadar MDA Serum Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, Pola dan
Tipe Melasma
Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan rerata kadar MDA serum yang
signifikan berdasarkan jenis kelamin, umur dan pola melasma. Rerata kadar MDA
serum pada subyek perempuan (0,3895 ± 0,18927) dan laki-laki (0,4117 ±
0,18280) dengan nilai p = 0,783. Perbedaan rerata kadar MDA serum berdasarkan
kelompok umur tidak signifikan (nilai p = 0,394), begitu juga beda rerata kadar
MDA serum tidak signifikan berdasarkan pola melasma dengan nilai p = 0,294.
Penelitian Nielsen et al. (1997) yang menganalisa hubungan kadar MDA dengan
jenis kelamin dan usia, mendapatkan hasil bahwa dengan analisa varian
menunujukkan tidak ada interaksi dengan jenis kelamin dan usia. Penelitian ini
juga sesuai dengan penelitian Seckin et al. (2013) yang mendapatkan bahwa tidak
ada perbedaan kadar MDA yang bermakna berdasarkan jenis kelamin, umur dan
pola melasma (p > 0,05).
Pada penelitian ini didapatkan perbedaan kadar MDA serum yang
signifikan pada tipe melasma epidermal (0,3830 ± 0,06208) dengan tipe campuran
(0,5359 ± 0,22647) dan tipe dermal (0,5075 ± 0,12685). Peningkatan kadar MDA
serum pada pasien melasma tipe campuran dan dermal dapat dihasilkan dari
peningkatan stres oksidatif dan kerusakan jaringan (Seckin et al., 2013). Melasma
tipe epidermal lebih mudah diobati daripada tipe dermal karena komponen
epidermal lebih mudah dijangkau pengobatan sedangkan komponen dermal tidak
dapat. Tipe campuran antara epidermal dan dermal juga sering terjadi.
Pemeriksaan dengan lampu Wood untuk mengetahui tipe melasma dapat juga
membantu melihat perluasan melasma ke komponen dermal sehingga dapat
memprediksi respon pasien terhadap pengobatan (Baumann dan Saghari, 2009).
6.3 Korelasi Kadar Malondialdehid Serum dengan Melasma Area and
Severity Index
Pada penelitian ini didapatkan korelasi positif sangat kuat antara kadar MDA
serum dengan nilai MASI seperti disajikan pada Tabel 5.3 dengan hasil r =
0,913 dengan nilai p < 0,001. Hal ini berarti ada hubungan bermakna yang sangat
kuat antara kadar MDA serum dengan nilai MASI, yaitu semakin tinggi kadar
MDA serum maka nilai MASI menjadi semakin tinggi. Tingkat korelasi pada
hasil penelitian ini lebih kuat (r = 0,913) dibandingkan hipotesisnya (r = 0,4).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Hamadi et al.
(2009) yang menunjukkan korelasi positif yang kuat antara kadar MDA serum
dengan nilai MASI. Pada penelitian ini kadar MDA dan nilai MASI diukur
sebelum pemberian terapi melatonin suatu antioksidan kuat. Kemudian kadar
MDA diukur setelah 45, 90 dan 120 hari terapi. Nilai MASI diukur kembali
setelah 15 dan 120 hari terapi. Pada penelitian ini didapatkan korelasi positif yang
signifikan kuat antara penurunan nilai MASI dan penurunan kadar MDA (r=0,78,
p<0,01). Hal ini semakin menguatkan bukti peranan stres oksidatif dimana MDA
sebagai salah satu indikatornya dalam hal timbulnya dan parahnya derajat
melasma yang diukur menggunakan MASI.
Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara prooksidan
dengan antioksidan karena pembentukan ROS yang melebihi kemampuan sistim
pertahanan antioksidan, atau menurun atau menetapnya kemampuan antioksidan.
Stres oksidatif menyebabkan terjadi kerusakan oksidatif terhadap penyusun sel
seperti DNA, protein, lipd dan gula (Winarsi, 2007). Pada lipid akan dihasilkan
peroksidase lipid pada membran seluler yang melepaskan DAG kemudian aktivasi
PKC-β untuk menstimulasi melanogenesis (Park et al., 2012; Shweta et al., 2011).
Malondialdehid (MDA) adalah produk akhir dari peroksidase lipid, dan
merupakan salah satu indikator dari stres oksidatif (Seckin et al., 2013).
Radikal bebas dan ROS dinetralkan oleh sistim antioksidan. Antioksidan
mempunyai efek pencegahan pada produksi radikal bebas yang mencetuskan
sintesis melanin dan efek penyembuhan pada terapi melasma telah dibuktikan
pada banyak percobaan klinis. Semua hasilnya menunjukkan kemungkinan
peranan radikal bebas dalam patogenesis melasma. Sejak vitamin C, A, E dan B3
digunakan pada pengobatan melasma khususnya karena efek antioksidannya, ini
menunjukkan stres oksidatif mempunyai peranan penting dalam terjadinya
melasma. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian in vivo dan in vitro di Jepang
mendapatkan bahwa niasin menurunkan pembentukan pigmen dengan
menghambat transfer melanosit sebesar 35%-68%. Krim yang terdiri dari 5%
niasinamid yang dioleskan dua kali seminggu selama 8 minggu di daerah
hiperpigmentasi pada 18 wanita dengan melasma. Perbaikan yang signifikan
didapatkan pada akhir pengobatan (Seckin et al., 2013). Suatu percobaan
randomized, double blind, placebo-controlled trial, meneliti efek kombinasi
proanthocyanidine oral dengan vitamin A,C,E.yang diberikan pada 60 wanita
Filipina yang melasma. Pengobatan diberikan selama 8 minggu dengan dosis dua
kali per hari. Nilai MASI dihitung pada minggu keempat dan kedelapan. Hasilnya
menunjukkan penurunan nilai MASI yang signifikan dengan pengobatan (p <
0,001) (Handog et al., 2009). Choi et al. membandingkan efek multivitamin
dibandingkan dengan vitamin C saja pada pengobatan melasma. Hasil penelitian
menunjukkan keduanya efektif dalam menurunkan produksi melanin tetapi
multivitamin mempunyai efek yang lebih besar (Choi et al., 2010). Hasil
penelitian Panich et al. pada tahun 2011 menunjukkan vitamin C menghambat
produksi pigmen dengan mencegah produksi nitric oxide (NO) dari radikal bebas
dan dengan menghambat sintesis melanin (Panich et al., 2011). Penelitian double-
blind, placebo controlled clinical trial mengevaluasi efikasi pemberian formula
pemutih baru yang mengandung ferulic acid suatu antioksidan dari tumbuhan
yang poten dan niasinamid (vitamin B3) didapatkan perbaikan signifikan pada
setengah wajah yang diterapi (penurunan hemi-MASI yang signifikan) setelah
minggu keenam dan duabelas (Wang et al, 2014). Suatu penelitian menggunakan
krim silymarin yang mengandung silibinin (antioksidan biologi poten)
mendapatkan hasil penurunan bermakna nilai MASI pada minggu pertama, kedua,
ketiga dan keempat terapi (Altaei, 2012). Penelitian menggunakan tepung ginseng
korea yang terdiri dari ginsenoside dan komponen phenolic yang mempunyai efek
antioksidan untuk pengobatan melasma, didapatkan penurunan nilai MASI setelah
24 minggu sebesar 33,83% (Song et al., 2011).
Hubungan yang bermakna antara kadar MDA serum dengan MASI yang
didapatkan pada penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan
Seckin et al. (2013) yang tidak berhasil menunjukkan hubungan yang bermakna
(nilai p > 0,05) antara kadar MDA serum dengan nilai MASI. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena perbedaan karateristik subyek penelitian.
Penelitian oleh Seckin dilakukan di Turki yang mempunyai empat musim dan
pada tipe kulit II-V, sedangkan penelitian ini dilakukan di Denpasar yang
merupakan daerah tropis dan pada tipe kulit IV-VI. Melasma pada umumnya
ditemukan lebih banyak pada tipe kulit IV,V,VI dan pada penduduk yang tinggal
di daerah tropis. Negara-negara yang dekat dengan khatulistiwa akan mendapat
pajanan sinar matahari yang tinggi yang merupakan faktor pencetus melasma
yang paling penting dan berhubungan dengan terbentuknya lipid peroksidase dan
radikal bebas dalam patogenesis melasma (Shweta et al., 2011).
6.4 Kadar MDA Serum pada Subyek dengan Melasma dan bukan Melasma
Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar MDA serum pada subyek dengan
melasma berbeda secara bermakna dibandingkan subyek bukan melasma dengan
nilai p < 0,001. Kadar MDA serum pada subyek dengan melasma didapatkan
lebih tinggi (0,4737 ± 0,18594 μM/L) dibandingkan subyek bukan melasma
(0,2459 ± 0,5871 μM/L).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya. Pada penelitian
Seckin et al. (2013) didapatkan perbedaan bermakna kadar MDA serum antara
kelompok melasma dengan kelompok kontrol dengan median kadar MDA serum
pada melasma adalah 2,92 (2,48-4,12) μmol/L dan median pada kelompok kontrol
adalah 2,57 (1,97-3,20) μmol/L dengan nilai p < 0,001. Pada penelitian Ismailov
dan Galdava. (2004) didapatkan kadar MDA serum pada pasien melasma berbeda
secara bermakna dibandingkan orang normal. Rerata kadar MDA serum pada
pasien melasma adalah 147,7 ± 5,7 n.mol/ml sedangkan pada orang normal
didapatkan 130,3 ± 2,6 n.mol/ml dengan nilai p < 0,001.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan peningkatan kadar MDA pada
pasien melasma dapat dihasilkan dari peningkatan stres oksidatif dan kerusakan
jaringan. Hubungan antara melasma dan stres oksidatif meningkatkan pemahaman
tentang etiologi-patogenesis melasma dan penanganannya.
Berdasarkan hal-hal yang didapatkan dari penelitian ini, maka penelitian
ini dapat dijadikan dasar bagi penelitian selanjutnya untuk mengetahui kefektifan
pemberian antioksidan pada pasien melasma. Namun penelitian ini masih
mempunyai kelemahan, antara lain tidak meneliti faktor-faktor pencetus yang lain
dari melasma dan faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan MDA. Penelitian
ini dirancang menggunakan metode cross sectional yang memiliki kelemahan
dalam menentukan hubungan sebab akibat antara peningkatan kadar MDA serum
dengan peningkatan nilai MASI. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
lanjutan dengan rancangan kohort prospektif untuk mengetahui hubungan
tersebut.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ini, maka dapat diambil simpulan
sebagai berikut :
1. Terdapat korelasi positif sangat kuat antara kadar MDA serum dengan
nilai MASI pada subyek dengan melasma.
2. Rerata kadar MDA serum pada subyek melasma lebih tinggi dibandingkan
subyek bukan melasma.
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disarankan sebagai
berikut :
1. Pemberian antioksidan dalam penatalaksanaan melasma, dengan terlebih
dahulu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui keefektifan
antioksidan dalam perbaikan stres oksidatif pada penderita melasma.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan sampel yang lebih besar
dengan rancangan kohort prospektif.
Lampiran 3
PENJELASAN DAN FORM PERSETUJUAN PENELITIAN
Judul: Hubungan Kadar Malondialdehid Serum dengan
Melasma Area and Severity Index (MASI)
Peneliti Utama: dr. A.A. I.A. Nindya Sari
Latar Belakang Penelitian:
Melasma atau yang biasa disebut masyarakat dengan flek adalah gangguan
hiperpigmentasi yang terjadi pada kulit di daerah paparan sinar matahari. Kondisi
ini seringkali memberikan dampak yang besar akibat lesi wajah yang sangat jelas
dan dapat mempengaruhi psikologi seseorang, menurunkan fungsi sosial,
produktivitas serta hilangnya rasa percaya diri.
Penyebab melasma tidak diketahui, meskipun faktor-faktor etiologi multipel
berpengaruh baik eksogen maupun endogen. Faktor etiologi yang paling
signifikan adalah radiasi ultraviolet. Radiasi ultraviolet dapat menyebabkan
peroksidasi lipid pada membran seluler, menghasilkan radikal bebas dan
menyebabkan stimulasi pada melanosit untuk memproduksi melanin yang
berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya melasma. Malondialdehid (MDA)
adalah produk akhir peroksidasi lipid di dalam tubuh, yang merupakan biomarker
dari stres oksidatif.
Penelitian sebelumnya menunjukkan peningkatan kadar MDA secara
bermakna pada penderita melasma dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Peningkatan nilai peroksidasi lipid tersebut menurunkan proteksi antioksidan pada
organ pasien. Berdasarkan data–data tersebut, maka peneliti ingin mengetahui
hubungan antara stres oksidatif, yang akan diukur dengan markernya yaitu MDA,
dengan derajat keparahan melasma berdasarkan Melasma Area and Severity Index
(MASI).
Penelitian ini akan melibatkan 51 orang peserta sukarela yang didiagnosis
melasma dan memenuhi persyaratan penelitian. Setiap pasien akan dinilai derajat
keparahan melasma berdasarkan Melasma Area and Severity Index (MASI) oleh
dokter. Pengambilan sampel darah dilakukan sekali saja oleh petugas
laboratorium yang terlatih sebanyak 6 cc. Peserta penelitian tidak dibebani biaya,
merupakan prosedur yang biasa dilakukan dan tidak ada risiko berbahaya.
Kemungkinan resiko ringan yang terjadi berupa nyeri yang bersifat subyektif pada
pasien yang apabila menimbulkan syok neurogenik sudah disiapkan tenaga medis,
alat dan obat untuk penanganannya sesuai dengan prosedur penanganan syok.
Kami sangat berterima kasih apabila Bapak/Ibu/Saudara berkenan
berpartisipasi dalam penelitian ini. Tidak ada pemaksaan untuk berpartisipasi dan
Bapak/Ibu/Saudara dapat mengundurkan diri dari penelitian ini kapan saja tanpa
syarat atau sanksi apapun. Kami menjamin bahwa bahan dan data yang kami
peroleh tidak akan digunakan untuk kepentingan lain dan terjaga kerahasiaannya.
Data ini mungkin dipublikasikan tanpa mencantumkan identitas
Bapak/Ibu/Saudara.
Bila masih ada hal-hal yang perlu ditanyakan, Bapak/Ibu/Saudara dapat
menghubungi dr. A.A. I.A. Nindya Sari, Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin RS Sanglah Denpasar atau Jalan Trijata no. 17, Denpasar, Bali, HP.
08123844381.
Bersama ini kami sertakan formulir persetujuan mengikuti penelitian.
Lampiran 4
INFORMED CONSENT
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FK UNUD/RS SANGLAH DENPASAR
Saya yang bertanda tangan dibawah ini (penderita):
Nama : .............................................................................
Umur : .............................................................................
Jenis kelamin : ..................................................................
Menerangkan bahwa telah mengetahui tujuan dan tindakan berupa:
Pengambilan sampel darah untuk memeriksa kadar Malondialdehid
(MDA) serum.
Menyatakan tidak keberatan dilakukan tindakan tersebut diatas setelah
mendapatkan keterangan yang cukup tentang tujuan dan akibat yang mungkin
terjadi karenanya dan bersedia ikut dalam penelitian ini.
Denpasar,........................................
Dokter/peneliti Yang memberi pernyataan,
(dr. A.A. I.A Nindya Sari) ( )
LAMPIRAN 5
FORMULIR PENELITIAN
Hubungan Kadar Malondialdehid (MDA) Serum dengan Melasma Area and
Severity Index (MASI)
No. : RM : Tanggal
Nama : Umur:
Alamat :
Pekerjaan :
Suku : Agama :
ANAMNESIS
Keluhan utama:
Kapan keluhan pertama kali muncul: ______________________
Faktor yang mempengaruhi:
- Lama paparan sinar matahari per hari :
- Kosmetik yang digunakan :
- Apakah muncul dalam masa kehamilan ? ya / tidak
- Penggunaan obat-obatan dalam jangka waktu lama:
a. Obat anti hamil ______________
b. Obat anti epilepsi ____________
c. _________________
- Penyakit inflamasi kulit sebelumnya :
Riwayat pengobatan :
Obat yang dikonsumsi dalam 2 minggu terakhir ini?
a. Suplemen antioksidan
b. _________________
Riwayat penyakit dahulu :
Kencing manis / hipertensi / stroke / penyakit jantung / penyakit infeksi
kronis dll.
(bila ada sebutkan jenisnya) : ________________________________
Kebiasaan dalam kehidupan sehari – hari :
Merokok : ya / tidak ( bila ya, jumlah : _______ batang/hari )
Minum minuman beralkohol : ya / tidak
PEMERIKSAAN DERMATOLOGI
Lokasi : lihat gambar lokasi lesi.
Effloresensi :
Distribusi lesi :
-Centro - Facial -Malar -Mandibular
LOKASI LESI
PEMERIKSAAN PENUNJANG : lampu wood
Lokasi lesi :
-Epidermal -Dermal -Lesi campuran
Diagnosis : Melasma tipe ___________
MASI : _________________
Kadar MDA serum : ____
_____________
LAMPIRAN 6
Melasma Area and Severity Index (MASI)
Site involved FOREHEAD RL MALAR LT MALAR CHIN
D
H
TA Ax0,3= Ax0,3= Ax0,3= Ax0,1=
Jumlah
(D+H+TA)
Total Jumlah
SCORE 0 1 2 3 4 5 6
Darkness of
pigment (D)
Severity scale
(scale 0-4)
None Slight Moderate Marked Very marked
Homogeneity
of pigment
(H)
(scale 0-4)
No
pigment
Specks <2 cm
patches
>2 cm
patches
Homogenous
Surface area
involved (A)
<10% 10-29% 30-49% 50-69% 70-
89%
90-
100%
LAMPIRAN 7
DATA SAMPEL PENELITIAN
No Nama Jenis
Kel
Umur Tipe MDA
μM/L
MASI Pola
1 NS P 52 Campuran 0,52 23,7 Sentrofasial
2 NKY P 40 Epidermal 0,58 23,9 Malar
3 PAS P 55 Campuran 0,41 22 Malar
4 Y P 49 Campuran 0,48 23,2 Sentrofasial
5 TBA L 51 Campuran 0,46 22,9 Sentrofasial
6 IGAA P 54 Dermal 0,42 22,6 Sentrofasial
7 IAKA P 45 Campuran 0,53 23,5 Sentrofasial
8 NKTA P 33 Epidermal 0,37 22 Sentrofasial
9 ARN L 38 Campuran 0,72 24,5 Sentrofasial
10 IS P 31 Epidermal 0,43 22,2 Sentrofasial
11 WS P 45 Epidermal 0,41 22,9 Sentrofasial
12 PWS P 41 Campuran 1,28 27,1 Malar
13 NMSA P 40 Dermal 0,64 23,9 Sentrofasial
14 AAW P 48 Campuran 0,76 24,6 Malar
15 NMA P 40 Epidermal 0,35 19,4 Malar
16 NB P 34 Epidermal 0,38 22,3 Sentrofasial
17 NMS P 36 Campuran 0,36 20,2 Sentrofasial
18 MR P 46 Epidermal 0,34 18,2 Malar
19 IDAV P 29 Epidermal 0,34 18,0 Sentrofasial
20 NND P 43 Campuran 0,33 19,7 Sentrofasial
21 IGAM P 35 Campuran 0,83 25,9 Sentrofasial
22 NLGM P 48 Campuran 0,76 24,2 Malar
23 NWR P 42 Campuran 0,40 22,2 Sentrofasial
24 KM P 48 Campuran 0,36 22,1 Sentrofasial
25 DAMS P 35 Campuran 0,47 23,9 Sentrofasial
26 NWSA P 54 Campuran 0,46 23,2 Sentrofasial
27 YH P 44 Epidermal 0,35 21,6 Sentrofasial
28 NMDH P 29 Epidermal 0,34 20 Malar
29 DNMD P 48 Campuran 0,37 22,8 Sentrofasial
30 MS P 47 Dermal 0,38 23,1 Sentrofasial
31 NKM P 55 Campuran 0,41 23,5 Sentrofasial
32 LGSB P 50 Campuran 0,65 24,1 Sentrofasial
33 DMPP P 29 Epidermal 0,32 19 Sentrofasial
34 NK P 37 Epidermal 0,43 21,4 Sentrofasial
35 S P 40 Epidermal 0,36 19,7 Sentrofasial
36 H P 27 Epidermal 0,34 19,9 Malar
37 YS P 28 Campuran 0,40 22,9 Sentrofasial
38 NWRS P 23 Epidermal 0,34 19,5 Sentrofasial
39 NNS P 40 Campuran 0,62 25,6 Sentrofasial
40 NKP P 48 Epidermal 0,44 23,9 Sentrofasial
41 NKW P 47 Campuran 0,37 20,4 Sentrofasial
42 WMA P 56 Campuran 0,98 26,2 Sentrofasial
43 LWA P 43 Campuran 0,43 25,2 Sentrofasial
44 GNH L 33 Epidermal 0,35 20,9 Sentrofasial
45 AE L 43 Epidermal 0,47 25,2 Sentrofasial
46 BW P 49 Dermal 0,59 25,5 Sentrofasial
47 AW P 29 Campuran 0,38 22,1 Sentrofasial
48 LMOR P 54 Epidermal 0,37 22,5 Sentrofasial
49 IAAA P 50 Campuran 0,38 22,9 Sentrofasial
50 NWS P 54 Campuran 0,35 22,3 Sentrofasial
51 EB P 49 Epidermal 0,35 20,5 Sentrofasial
52 IAKUD P 35 0,22
53 GAAS P 38 0,15
54 DAMB P 34 0,16
55 KHH L 42 0,24
56 S P 41 0,18
57 HO P 30 0,29
58 NNSW P 44 0,28
59 AMAS P 23 0,29
60 DAS P 46 0,28
61 AAIM P 55 0,19
62 J P 49 0,30
63 NNU P 54 0,29
64 GAKP P 47 0,19
65 YA P 53 0,28
66 SS P 34 0,29
67 LS L 37 0,23
68 DPE P 48 0,25
69 KA P 55 0,28
70 MM P 40 0,30
71 TA P 31 0,30
72 KSAW P 44 0,25
73 NKM P 38 0,27
74 NGAW P 31 0,15
75 NKDA P 22 0,29
76 DMDA P 38 0,29
77 L P 40 0,31
78 AAIA P 33 0,23
79 DYA P 28 0,26
80 MY P 49 0,08
LAMPIRAN 8
Frequency Table
SEX
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Perempuan 74 92.5 92.5 92.5
Laki-laki 6 7.5 7.5 100.0
Total 80 100.0 100.0
UMUR * melasma Crosstabulation
melasma
Total Tidak Ya
UMUR 21-30 Count 5 6 11
% within UMUR 45.5% 54.5% 100.0%
31-40 Count 12 15 27
% within UMUR 44.4% 55.6% 100.0%
41-50 Count 8 21 29
% within UMUR 27.6% 72.4% 100.0%
>50 Count 4 9 13
% within UMUR 30.8% 69.2% 100.0%
Total Count 29 51 80
% within UMUR 36.3% 63.8% 100.0%
pola * melasma Crosstabulation
melasma
Ya Total
pola SF Count 42 42
% within melasma 82.4% 82.4%
M Count 9 9
% within melasma 17.6% 17.6%
Total Count 51 51
% within melasma 100.0% 100.0%
TIPE
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Normal 29 36.3 36.3 36.3
Epidermal 20 25.0 25.0 61.3
Campuran 27 33.8 33.8 95.0
Dermal 4 5.0 5.0 100.0
Total 80 100.0 100.0
Uji Normalitas Data untuk Korelasi
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
MDA .233 51 .000 .722 51 .000
MASI .107 51 .200* .982 51 .627
Uji Normalitas Data untuk Beda Rerata
Tests of Normality
melasm
a
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
MDA Tidak .202 29 .004 .873 29 .002
Ya .233 51 .000 .722 51 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Rerata Kadar MDA Berdasarkan Jenis Kelamin
SEX N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
MDA Perempuan 74 .3895 .18927 .02200
Laki-laki 6 .4117 .18280 .07463
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
MDA Equal variances assumed .057 .812 -.277 78
Equal variances not assumed -.285 5.904
Independent Samples Test
t-test for Equality of Means
Sig. (2-tailed) Mean Difference
Std. Error
Difference
MDA Equal variances assumed .783 -.02221 .08017
Equal variances not assumed .785 -.02221 .07780
Rerata Kadar MDA Serum Berdasarkan Kelompok Umur
Descriptives
UMUR Statistic Std. Error
MDA 21-30 Mean .3191 .01022
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound .2963
Upper Bound .3419
5% Trimmed Mean .3190
Median .3200
Variance .001
Std. Deviation .03390
Minimum .26
Maximum .38
Range .12
Interquartile Range .05
Skewness -.055 .661
Kurtosis -.158 1.279
31-40 Mean .3726 .03384
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound .3030
Upper Bound .4422
5% Trimmed Mean .3611
Median .3500
Variance .031
Std. Deviation .17584
Minimum .15
Maximum .83
Range .68
Interquartile Range .20
Skewness 1.001 .448
Kurtosis .631 .872
41-50 Mean .4241 .04181
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound .3385
Upper Bound .5098
5% Trimmed Mean .4028
Median .3700
Variance .051
Std. Deviation .22517
Minimum .08
Maximum 1.28
Range 1.20
Interquartile Range .18
Skewness 2.147 .434
Kurtosis 6.753 .845
>50 Mean .4169 .05331
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound .3008
Upper Bound .5331
5% Trimmed Mean .3982
Median .4100
Variance .037
Std. Deviation .19220
Minimum .19
Maximum .98
Range .79
Interquartile Range .18
Skewness 2.227 .616
Kurtosis 6.610 1.191
Rerata Kadar MDA Serum Berdasarkan Pola Melasma
Group Statistics
pola N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
MDA SF 42 .4524 .14066 .02170
M 9 .5733 .31800 .10600
Independent Samples Test
t-test for Equality of Means
Sig. (2-tailed) Mean Difference
Std. Error
Difference
MDA Equal variances assumed .076 -.12095 .06679
Equal variances not assumed .294 -.12095 .10820
Rerata Kadar MDA Serum Berdasarkan Tipe Melasma
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Dependent Variable:MDA
(I) TIPE (J) TIPE
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
LSD Normal Epidermal -.13714* .04153 .001
Campuran -.29006* .03821 .000
Dermal -.26164* .07621 .001
Epidermal Normal .13714* .04153 .001
Campuran -.15293* .04215 .001
Dermal -.12450 .07826 .116
Campuran Normal .29006* .03821 .000
Epidermal .15293* .04215 .001
Dermal .02843 .07655 .711
Dermal Normal .26164* .07621 .001
Epidermal .12450 .07826 .116
Campuran -.02843 .07655 .711
Tamhane Normal Epidermal -.13714* .01765 .000
Campuran -.29006* .04493 .000
Dermal -.26164 .06436 .136
Epidermal Normal .13714* .01765 .000
Campuran -.15293* .04574 .013
Dermal -.12450 .06493 .603
Campuran Normal .29006* .04493 .000
Epidermal .15293* .04574 .013
Dermal .02843 .07696 1.000
Dermal Normal .26164 .06436 .136
Epidermal .12450 .06493 .603
Campuran -.02843 .07696 1.000
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Uji Korelasi
Correlations
MDA MASI
Spearman's rho MDA Correlation Coefficient 1.000 .913**
Sig. (2-tailed) . .000
N 51 51
MASI Correlation Coefficient .913** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 51 51
Correlations
MDA MASI
Spearman's rho MDA Correlation Coefficient 1.000 .913**
Sig. (2-tailed) . .000
N 51 51
MASI Correlation Coefficient .913** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 51 51
Uji Beda Rerata MDA
Descriptives
melasma Statistic Std. Error
MDA Tidak Mean .2459 .01090
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound .2235
Upper Bound .2682
5% Trimmed Mean .2501
Median .2700
MASI
r = 0,913, p< 0,001
Variance .003
Std. Deviation .05871
Minimum .08
Maximum .32
Range .24
Interquartile Range .08
Skewness -1.145 .434
Kurtosis .761 .845
Ya Mean .4737 .02604
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound .4214
Upper Bound .5260
5% Trimmed Mean .4489
Median .4100
Variance .035
Std. Deviation .18594
Minimum .32
Maximum 1.28
Range .96
Interquartile Range .16
Skewness 2.380 .333
Kurtosis 6.796 .656
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
MDA Equal variances assumed 10.881 .001 6.405 78
Equal variances not assumed 8.073 65.475
Independent Samples Test
t-test for Equality of Means
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
MDA Equal variances assumed .15704 .29869
Equal variances not assumed .17150 .28423
Mann-Whitney Test
Ranks
melasm
a N Mean Rank Sum of Ranks
MDA Tidak 29 15.02 435.50
Ya 51 54.99 2804.50
Total 80
Test Statisticsa
MDA
Mann-Whitney U .500
Wilcoxon W 435.500
Z -7.402
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Grouping Variable: melasma