8/4/2019 Please SIGN-On the Civil Society Petition to STOP the Land Grabbing Bill in Indonesia

1/3

* >> ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- >> * >> >> Dear

Friends, >> >> Please sign on the petition to stop the land grabbing bill in Indonesia. >> Below are the overview and the petition letter (*tersedia dalam

Bahasa >> Indonesia*). You can send your support through email of >> karamtanah@gmail.com, >>

mentioning your NAME, ORGANIZATION/INDEPENDET, and COUNTRY until 30th of >> September 2011 24.00 PM Jakarta time (GMT+7). Thank you. >> >>

>> >> Best, >> >> >> >> Secretariat of >> >> Peoples Coalition Anti Land Grabbing >> >> >> >> * >>

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- >> * >> >> *Dalam

Bahasa Indonesia (available in English-below)* >> >> *PETISI MASYARAKAT SIPIL* >> >> *PENOLAKAN RUU PENGADAAN TANAH UNTUK

PEMBANGUNAN* >> >> >> >> *Gambaran* >> >> Saat ini, DPR RI sedang membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Pengadaan >> Tanah untuk

Pembangunan yang diajukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. >> RUU ini mencakup pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum dan

>> kepentingan usaha swasta. RUU ini ditargetkan untuk disahkan pada tahun 2011 >> ini, karena merupakan salah satu prasyarat penting untukmempelancar >> penyediaan tanah bagi proyek pembangunan, sesuai dengan Masterplan >> Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

(MP3EI) 2011-2025 >> yang telah diluncurkan pada awal tahun ini oleh Presiden RI. Hal ini adalah >> karena dianggap bahwa salah satu kendala

pembangunan adalah sulitnya >> memperoleh tanah untuk proyek, dan kebijakan yang ada dinilai kurang cukup. >> Namun, Pembangunan yang berkeadilan

dan demokratis, harus memperhatikan >> situasi, kondisi dan kepentingan rakyat Indonesia di atas kepentingan usaha >> swasta. >> >> Secara substansi,

RUU ini tidak jauh berbeda dengan Perpres No. 36 tahun >> 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan >> bagi

Kepentingan Umum, yang ditolak sebagian besar masyarakat sipil >> karena dinilai menjadi alat penggusuran tanah-tanah rakyat, serta tidak >> memberikan

perlindungan terhadap masyarakat korban, termasuk perempuan. >> Praktik pengadaan tanah di Indonesia masih banyak menyisakan persoalan >> hingga

kini. Permasalahan di dalam praktik pengadaan tanah selama ini, >> antara lain adalah penggusuran paksa, praktik kolusi pertanahan terkait >> bukti hak

atas tanah, inventarisasi dan identifikasi obyek pengadaan tanah >> secara sepihak, penetapan kompensasi secara sepihak, hingga tidak >> terlibatnya

masyarakat terkena dampak dalam penetapan obyek pengadaan tanah. >> Sedangkan, pelanggaran HAM yang kerap terjadi dalam praktik pengadaan tanah

>> di antaranya intimidasi, penganiayaan, penembakan, hingga penangkapan warga >> yang berujung pada kriminalisasi, dengan melibatkan aparat negara.

Hal ini >> berdampak nyata terhadap hilangnya sumber-sumber kehidupan, dan ancaman >> terhadap keberlangsungan hidup masyarakat, khususnya

perempuan, di mana >> perempuan lah yang kemudian harus memikirkan keberlanjutan rumah tangga, >> keluarga dan anak-anaknya, terkait tempat

tinggal, penyediaan makanan, air >> bersih dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Keberlanjutan praktik-praktik >> tersebut akan semakin memiskinkan

masyarakat Indonesia. >> >> Masyarakat sipil di Indonesia telah dan sedang melakukan berbagai >> perlawanan dan penolakan terhadap pengesahan RUU

tersebut. Salah satunya >> dengan 10 hari aksi pengumpulan tanda tangan petisi penolakan yang akan >> dikirimkan kepada para anggota DPR RI yang

rencananya akan bersidang pada >> Oktober tahun ini. Dukungan (petisi terlampir) dapat diberikan melalui email >> ke karamtanah@gmail.comdengan menyebutkan NAMA, ORGANISASI/INDEPENDENT, ASAL DAERAH DAN/ATAU >> NEGARA. Batas waktu

penandatanganan (pemberian dukungan) hingga 30 September >> 2011, pukul 24.00 WIB (GMT+7).** >> >> >> >> >> >> *KOALISI RAKYAT ANTI

PERAMPASAN TANAH KARAM TANAH* >> >> (KPA, WALHI, IHCS, Bina Desa, KIARA, UPC, SPI, Sawit Watch, API, AMAN, >> SAINS, JKPP, HuMA,

PERGERAKAN, PRP, ABM, SMI, Epistema Institue, RACA >> Institute, KAU, Solidaritas Perempuan, JATAM,PPI, SHI, IHI, YLBHI, >> KontraS, LBH Jakarta, PBHI

Jakarta, KPOP, FPBJ, SPKAJ, FPPI, SALUD, REPDEM, >> IGJ, KpSHK, AGRA, FMN, PUSAKA) >> * >> * >> >> *PETISI MASYARAKAT SIPIL* >> >>

*PENOLAKAN RUU PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN* >> >> * * >> >> Kepada Yth. >> >> *Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia* >> >> * * >> >> Kami, yang bertanda tangan, ingin menyampaikan keprihatinan yang mendalam >> mengenai Rancangan Undang-

undang (RUU) tentang Pengadaan Tanah untuk >> Pembangunan yang diajukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan saat ini >> sedang dalam proses

pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik >> Indonesia. Menurut hemat Kami, RUU ini tidak akan belaku efektif untuk >> menyelenggarakan

pembangunan yang adil dan demokratis, karena sejumlah >> prasayarat belum tersedia, antara lain: 1) Pengakuan formal terhadap hak-hak >> masyarakat

belum diberikan dan dilaksanakan secara penuh; 2) Penataan ruang >> belum dibuat partisipatif, integratif dan dilaksanakan secara konsisten; >> 3) akses

masyarakat terhadap informasi pada badan-badan publik belum >> terpenuhi; 4) tidak adanya mekanisme keberatan yang dapat diakses publik >> dengan

mudah; dan 5) belum terciptanya peradilan yang bersih dan independen. >> Pengesahan RUU ini akan semakin melanggengkan praktik-praktik pelanggaran

>> HAM terhadap masyarakat, masyarakat adat, termasuk perempuan, yang >> merupakan kelompok rentan di dalam konstruksi jender patriarki yang masih

>> berlaku di Indonesia. Keprihatinan Kami didasarkan pada berbagai alasan, >> antara lain: >> >> >> >> *Pertama*, Sebagian besar tanah-tanah

masyarakat di Indonesia hanya >> sedikit yang memiliki dokumen hukum lengkap. Tahun 2004 tercatat, dari >> 85 juta bidang tanah (belum termasuktanah-tanah yang berada di kawasan >> hutan dan kawasan yang dikuasai oleh masyarakat adat), baru 26 juta bidang >> yang bersertifikat atau 30

persennya. Pada tahun 20052008 bertambah 13 >> juta sertifikat, sehingga sampai dengan tahun 2008, masih 60 persen yang >> belum bersertifikat.

Sedangkan, dasar ganti kerugian adalah bukti >> sertifikat. Keadaan ini jelas akan mempertajam potensi konflik agraria yang >> sudah banyak terjadi.

Apalagi di dalam RUU tersebut tidak ada pengakuan yang >> hakiki atas hak masyarakat adat maupun tanah komunal atau tanah adat. Selain >> itu, RUU ini

tidak mencantumkan ketentuan terkait perlindungan >> tanah-tanah produktif alih fungsi lahan, padahal Indonesia merupakan >> negara agraris. Dengan

tidak adanya ketentuan ini maka sangat potensial >> sekali RUU ini nantinya mengkonversi atau mengusur tanah-tanah pertanian >> produktif milik rakyat

atau petani kecil dengan dalih pembangunan >> kepentingan umum. Artinya RUU ini sama sekali tidak memiliki pertimbangkan >> analisis historis-sosiologis

bahwa Indonesia adalah negara agraris yang >> rakyatnya hidup dari tanah-tanah pertanian. >> >> >> >> *Kedua*, Praktik pengadaan tanah di Indonesia

masih banyak menyisakan >> persoalan dan konflik hingga kini. Data KPA, menunjukan sepanjang tahun >> 2010 terjadi 106 konflik agraria di berbagai

wilayah Indonesia. Luas lahan >> yang disengketakan mencapai 535,197 hektar dengan melibatkan 517,159 KK yang >> berkonflik. Posisi sebagian besar

rakyat yang tidak dilindungi hak atas >> tanahnya, mekanisme pembebasan tanah yang bersifat otoriter/memaksa, serta >> manipulasi makna kepentingan

umum, merupakan catatan buruk pemerintah >> dalam pengaturan dan pengadaan tanah, karena selalu memakan korban. Berdasarkan >> data kasus LBH

Jakarta, terkait penggusuran di wilayah perkotaan, terjadi >> kenaikan korban penggusuran dari 1883 KK pada 2006 menjadi 6000 KK pada >> tahun 2007.

Sedangkan, data Komnas Perempuan tahun 2010 mencatat 395 >> perempuan yang menjadi korban penggusuran. Permasalahan di dalam praktik >>

pengadaan tanah selama ini, antara lain adalah penggusuran paksa, praktik >> kolusi pertanahan terkait bukti hak atas tanah, inventarisasi dan >>

identifikasi obyek pengadaan tanah secara sepihak, penetapan kompensasi >> secara sepihak, hingga tidak terlibatnya masyarakat terkena dampak dalam >>

penetapan obyek pengadaan tanah. Sedangkan, pelanggaran HAM yang kerap >> terjadi dalam praktik pengadaan tanah di antaranya intimidasi,penganiayaan, >> penembakan, hingga penangkapan warga yang berujung pada kriminalisasi, >> dengan melibatkan aparat negara. Hal ini berdampak nyata

terhadap hilangnya >> sumber-sumber kehidupan, dan ancaman terhadap keberlangsungan hidup >> masyarakat, khususnya perempuan, di mana

perempuan lah yang kemudian harus >> memikirkan keberlanjutan rumah tangga, keluarga dan anak-anaknya, terkait >> tempat tinggal, penyediaan

makanan, air bersih dan kebutuhan rumah tangga >> lainnya. Keberlanjutan praktik-praktik tersebut akan semakin memiskinkan >> masyarakat Indonesia.

>> >> >> >> *Ketiga*, RUU ini merupakan bagian dari paket reformasi regulasi >> pembangunan infrastruktur di Indonesia bagi proses keterbukaan

pasar dan >> pelibatan peran swasta, dengan konsep pengadaan tanah untuk pembangunan >> demi kepentingan umum dan kepentingan usaha swasta.

Sedangkan, pengertian >> dan kriteria kepentingan umum tidak dijelaskan di dalam RUU tersebut. RUU >> ini seperti berdalih seolah-olah proyek yang

didorong adalah untuk >> kepentingan umum, padahal proyek tersebut tidak lebih hanya untuk >> kepentingan swasta, seperti proyek infrastruktur yang

sepenuhnya dibiayai, >> dimiliki, dikelola dan diperuntukan bagi kepentingan swasta, bahkan asing. >> Antara lain, proyek jalan tol, bendungan, pelabuhan,

bandara, sarana dan >> prasarana telekomunikasi, transportasi, air minum, sampai pada pertanian >> skala besar seperti *Food Estate.* yang selama ini

terbuka untuk swasta >> dan asing. RUU ini menjadi alat pendukung dari pengembangan investasi >> atas nama pembangunan, melalui eksploitasi sumber

daya alam dan >> industrialisasi oleh swasta. Yang mana berbanding terbalik dengan semangat >> mengatasi perubahan iklim, karena berdampak pada

percepatan pemanasan global >> akibat alih fungsi lahan dan industrialisasi. Kebijakan ini sekaligus >> dimaksudkan untuk memudahkan investor asing

menguasai sektor-sektor >> strategis melalui pembangunan infrastruktur di Indonesia. Kebijakan ini >> dinilai tidak memihak kepada masyarakat yang justru

menjadi rentan terhadap >> penggusuran dan menjadi target kriminalisasi. Bahkan, di dalam Naskah >> akademik RUU ini disebutkan bahwa keberatan

masyarakat atas pengadaan >> tanah untuk sebuah pembangunan dikategorikan sebagai kendala atau >> hambatan. Hal ini sangat jelas bahwa RUU inimemang lebih mengakomodir >> kepentinan sektor swasta. >> >> >> >> *Keempat*, RUU ini juga dinilai sarat dengan pesanan asing. Beberapa >>

dokumen menyebutkan bahwa RUU ini didorong oleh ADB dan Bank Dunia. Sejak >> tahun 2005, Bank Dunia, *Asian Development Bank (ADB)* dan *Japan

Re: [ASEANcats] [URGENT ACTION]: Please SIGN-ON th...

1 of 3 9/27/11 6:26 AM

8/4/2019 Please SIGN-On the Civil Society Petition to STOP the Land Grabbing Bill in Indonesia

2/3

Bank >> for International Cooperation (JBIC)* telah berperan dalam mengarahkan >> kebijakan pembangunan di Indonesia, melalui penyediaan pendanaan

bagi >> pembangunan infrastruktur serta bantuan teknis untuk perubahan regulasi. >> Hal ini dilakukan melalui skema utang untuk *Program Pembangunan

>> Reformasi Sektor Infrastruktur,** *yang mendorong pemerintah melakukan >> berbagai reformasi kebijakan untuk menguatkan peran swasta melalui

skema >> *Public Private Partnership* (PPP) dan kebijakan liberalisasi. Dampaknya >> adalah penguatan utang atas nama pembangunan, baik utang

publik maupun utang >> swasta yang dijamin oleh publik. >> >> >> >> Atas dasar keprihatian tersebut, *KAMI MENDESAK DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

>> REPUBLIK INDONESIA UNTUK SEGERA MENGHENTIKAN PEMBAHASAN DAN MENOLAK >> PENGESAHAN RUU PENGADAAN TANAH UNTUK

PEMBANGUNAN INI, SERTA MENDORONG UNTUK >> TERLAKSANANYA REFORMA AGRARIA SEJATI, dengan Agenda :* >> >> 1. Merombak struktur

penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria yang >> sudah sangat timpang saat ini. >> >> 2. Menyelesaikan seluruh konflik dan sengketa agraria yang

telah, >> sedang dan masih terjadi sejak masa Orde Baru hingga sekarang tanpa >> terkecuali dan berpegang pada prinsip-prinsip keadilan serta

mengedepankan >> kepentingan rakyat. >> >> 3. Mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat atas tanah dan >> sumber daya alam. >> >> 4.

Melakukan perombakan, perubahan, dan sejumlah perbaikan terhadap >> sistem hukum agraria dan peraturan-peraturan yang mengatur penguasaan dan >>pengelolaan sumber-sumber daya alam agar lebih berpihak pada rakyat >> Indonesia. >> >> >> >> Demikian kami sampaikan keprihatinan dan tuntutan

Kami. Kami berharap >> Bapak/Ibu, selaku perwakilan rakyat, dapat mempertimbangkan keprihatinan >> kami dan mengambil keputusan yang tepat bagi

seluruh rakyat Indonesia. >> Terima kasih atas perhatian dan kerja samanya. >> >> >> >> *Jakarta, September 2011* >> >> Yang bertanda tangan: >>

>> * >> ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ >> * >> >>

*In English (tersedia dalam Bahasa Indonesia-di atas)* >> >> * * >> >> *CIVIL SOCIETY** PETITION* >> >> *STOP THE LAND GRAB BILL* >>

>> >> >> At this moment, the House of Representatives of Indonesia is discussing >> the bill of Land Acquisition for Development which has been submitted

by >> the Government of the Republic of Indonesia. This bill includes the >> provision of land acquisition for development for the public interest and >>

private business interests. The bill is targeted to be enacted in 2011, >> because it is one of the important prerequisites to smooth the process of >> land

provision for development projects, in accordance with the Master plan >> for Acceleration and Expansion Indonesia Economic Development (MP3EI) >>

2011-2025 which was launched earlier this year by the President. This bill >> is based on the assumption that one of the constraints in development >>

project is the difficulty to obtain land for the project, and the existing >> policies are considered less adequate. However, a just and democratic >>

development should pay attention to the situation, conditions and interests >> of the people of Indonesia over the interests of private business. >> >> In

substance, this bill is not much d ifferent from the Presidential >> Regulation. No. 36 year 2005 and Presidential Regulation No. 65 year 2006on Land

Acquisition for Development for the Public Interest, which have been >> rejected by most of the civil society as it is considered an instrument of >> eviction

people's lands, and does not provides protection for the affected >> people, including women. The practice of land acquisition in Indonesia is >> still left

many problems until now. Problems in the practice of land >> acquisition, among others; forced evictions, practices of collusion related >> to proof of land

rights, unilaterally inventory and identification of land, >> unilaterally determining compensation, no involvement of communities >> affected in the

determination of the object of land acquisition. Meanwhile, >> human rights abuses that often occurs in the practice of land acquisition >> includes

intimidation, beatings, shootings, even the arrest of citizens that >> led to the criminalization, by involving the state apparatus. These are >> significantly

affected to the loss of livelihoods, and the threat to the >> survival of society, particularly women, who later have to think about the >> sustainability of

household, family and children, the shelter, provision of >> food, clean water and other household needs. The sustainability of such >> practices will further

impoverish the people of Indonesia. >> >> Civil society in Indonesia has been conducting variety >> activities to resist and reject the ratification of the Bill.

One of them is >> this 10 days of action to sign on the rejection petition that will be >> send to the members of the House of Representatives which is

scheduled to >> convene in October this year. Support (petition attached) can be send via >> email to karamtanah@gmail.comby mentioning NAME, ORGANIZATION / INDEPENDENT, REGION OF ORIGIN AND / OR >> COUNTRY. The deadline for

the signing (of support) is until 30 September >> 2011, 24.00 pm (GMT +7). >> >> >> >> >> >> *PEOPLEs COALITION ANTI LAND GRABBING

KARAM TANAH* >> >> (KPA, WALHI, IHCS, Bina Desa, KIARA, UPC, SPI, Sawit Watch, API, AMAN, >> SAINS, JKPP, HuMA, PERGERAKAN, PRP, ABM, SMI,

Epistema Institue, RACA >> Institute, KAU, Solidaritas Perempuan, JATAM,PPI, SHI, IHI, YLBHI, >> KontraS, LBH Jakarta, PBHI Jakarta, KPOP, FPBJ, SPKAJ,

FPPI, SALUD, REPDEM, >> IGJ, KpSHK, AGRA, FMN, PUSAKA) >> * >> * >> >> *Civil Society Petition*** >> >> *NO to The** Land Acquisition For

Development** Bill* >> >> * * >> >> *Dear Members of the House of Representatives of the Republic of >> Indonesia**,* >> >> * * >> >> We, the

undersigned, would like to express our deep concern about the Bill >> on Land Acquisition for Development which was submitted by the Government >> of

the Republic of Indonesia and currently in the process of discussion >> in the House of Representatives of the Republic of Indonesia. On our >> opinion, this

bill will not be effective to conduct a fair and democratic >> development, because a number of prerequisite is not yet available, among >> others: 1) Theformal recognition of community rights have not been awarded >> and implemented in full; 2) The arrangement of space has not yet >> participatory,

integrative and implemented consistently; 3) public access to >> information on public bodies have not been fulfilled; 4) the absence of >> objection

mechanism that can be easily accessible for the public, and 5) a >> clean and independent judiciary has not yet available. Endorsement of >> this Bill will

further perpetuate the practices of human rights violations >> against communities, indigenous peoples, including women, who are >> particularly vulnerable

in the patriarchal construction of gender that is >> still apply in Indonesia. Our concerns are based on a variety of reasons, >> among others: >> >> >> >>

*First*, the majority of the public lands in Indonesia only a few that >> have complete legal documents. In 2004, from 85 million parcels of land (not >>

including lands in forest areas and areas dominated by indigenous peoples), >> only 26 millions or 30 percent that were already certified. In the year >>

2005-2008 there were added 13 million certificates, so by 2008, there were >> still 60 percent that has not been certified. Meanwhile, the base of >>

compensation is proof of certification. This situation will clearly sharpen >> the potential of agrarian conflicts that has been going on a lot. Especially >> in the

Bill there is no intrinsic recognition of indigenous rights and >> communal land or customary land. In addition, this Bill does not include >> provision related

to the protection of productive land, whereas Indonesia is >> an agrarian country. In the absence of this provision, this Bill have the >> potential to convert or

rules out productive agricultural lands owned by the >> people or small farmers on the pretext of development for the public >> interest. This means that this

Bill does not consider the >> historical-sociological analysis that Indonesia is an agricultural country >> where the people live from agriculture lands. >> >>

>> >> *Second*, the practice of land acquisitions in Indonesia is still left >> many problems and conflicts until this day. The Consortium of Agrarian >>

Reforms (KPA) data shows that throughout the year 2010, there was 106 >> agrarian conflicts occurred in various parts of Indonesia. The disputed land >>

area reaches 535.197 hectares, involving 517.159 household in the >> conflict. The position of the majority of people who their rights to land >> are not

protected, land acquisition mechanisms that are authoritarian >> /coercive, and manipulation of the meaning of 'public interest', is the >> government's poor

record in regulates and land acquisition, because it >> always victimize the people. Based on data from Legal Aid Institution ( >> LBH) Jakarta, on cases

related to evictions in urban areas, there is a >> huge increase from 2006 where 1883 families evicted to 6,000 households in >> 2007. Meanwhile, the

National Commission on Women in the 2010 records 395 >> women who became victims of eviction. Problems in the land acquisition >> practices are, among

others; forced evictions, practices of collusion >> related to proof of land rights, inventory and procurement object >> identification of land unilaterally,

unilaterally determining compensation, >> up to no involvement of communities affected by land acquisition in the >> determination of the object. Meanwhile,

human rights abuses that often occur >> in the practice of land acquisition include intimidation, beatings, >> shootings, and the arrest of citizens that led to

the criminalization, by >> involving the state apparatus. This is significantly affects to the loss of >> livelihoods, and the threat to the survival of society,

particularly women, >> where women who later have to think about the sustainability of household, >> family and children, shelter, provision of food, clean

water and other >> household needs. The sustainability of such practices will further >> impoverish the people of Indonesia. >> >> >> >> *Third*, this

Bill is part of Indonesia infrastructure development >> regulation reform package for the process of open market and the involvement >> of private

participation, with the concept of land acquisition for >> development on behalf of public interest and private business interests. >> Meanwhile, the meaning

and criteria of public interest are not described in >> the bill. The bill is like arguing as if the project is on behalf of the >> public interest, even though the

project is no more only for private >> interests, such as infrastructure projects that are fully financed, owned, >> managed and intended for private interests,

even foreign party. Among other >> things, highway projects, dams, ports, airports, telecommunication >> facilities and infrastructure, transportation,

drinking water, to the >> large-scale agriculture such as the Food Estate, which have been open to >> private and foreign companies. This bill becomes a tool

to support the >> investments on behalf of development, through the exploitation of natural >> resources and industrialization by the private sector. Which isinversely >> proportional to the spirit of addressing the climate change, because it >> affects the acceleration of global warming due to land use and >>

industrialization. This policy is also intended to facilitate foreign >> investors to easily control strategic sectors through infrastructure >> development in

Re: [ASEANcats] [URGENT ACTION]: Please SIGN-ON th...

2 of 3 9/27/11 6:26 AM

8/4/2019 Please SIGN-On the Civil Society Petition to STOP the Land Grabbing Bill in Indonesia

3/3

Indonesia. This policy is not protecting the community that >> would become vulnerable to eviction and target of criminalization. In fact, >> the academic

text of the bill stated that 'the public objection for >> acquisition of land for a project is classified as and obstacle or hindrance >> '. It is very clear that this

bill is more accommodating the interest of >> private sector. >> >> >> >> *Fourth*, the Bill also loaded with foreign 'interest'. Some documents >>

mentioned that the bill was driven by the ADB and World Bank. Since 2005, >> the World Bank, Asian Development Bank (ADB) and Japan Bank for >>

International Cooperation (JBIC) has been playing an important role in >> directing the development policy in Indonesia, through the provision of >> funding

for infrastructure development and technical assistance for >> regulatory changes. This is done through a debt scheme for "Development >> Program for

Infrastructure Sector Reform"," which push the government to >> conduct various policy reforms to strengthen the role of the private sector >> through

Public Private Partnership (PPP) and liberalization policy. The >> outcome is the strengthening of the debt on the name of development, both >> public debt

and private debt guaranteed by the public. >> >> >> >> On the basis of these concerns, WE URGE THE HOUSE OF REPRESENTATIVES OF >> THE

REPUBLIC OF INDONESIA TO IMMEDIATELY HALT AND REJECT THE ENDORSEMENT OF THE >> BILL OF LAND ACQUISITION FOR DEVELOPMENT, AND URGE

THE IMPLEMENTATION OF >> GENUINE AGRARIAN REFORM, with Agenda: >> >> 1. To remodel the structure of land tenure and agrarian resources that >>has been so imbalance and far from justice at this time. >> 2. To resolve the conflict and agrarian disputes had been, is and >> still happening since the

Soehartos period until now without any >> exception and hold on to the principles of justice and promotes the >> interests of the people. >> 3. To

recognizes and respect the rights of indigenous peoples over >> land and natural resources. >> 4. To conduct reforms, changes, and a number of

improvements on the >> agrarian laws and regulations governing the control and management of >> natural resources to be more in favor of the people of

Indonesia. >> >> >> >> Thereby our concerns and demands. We hope that you, as the representative >> of the people, may consider our concerns and

take the right decisions for >> all the people of Indonesia. Thank you for your attention and cooperation. >> >> >> >> Jakarta, September 2011 >> >>

The undersigned: >> >> >> >> >> >> >> >> >> >> --

Re: [ASEANcats] [URGENT ACTION]: Please SIGN-ON th...

3 of 3 9/27/11 6:26 AM