Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...
Transcript of Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks ...
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication e-ISSN 2721-0162
Corresponding author: Abdul Wahid; e-mail: [email protected] Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication Volume 1 Issue 2 2020 © The Author(s) 2020. Published by Department of Communication Science Universitas Brawijaya. All right reserved. For permissions, please e-mail: [email protected]
ARTIKEL ORISINAL
Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks,
Penggunaan, dan Komunikasi Partisipatif
Abdul Wahida
aPusat Kajian Media, Literasi, dan Kebudayaan; Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang
The use of religious terms such as 'kafir' is seen as a form of radicalism because it discriminates
against other groups; both Muslim and non-Muslim groups. Radicalism can encourage intolerant
behavior and violence. In political contexts such as elections, mass groups often use these calls
to discriminate against other groups that are considered to have different views. This study was
conducted to find out how "kafir" are used and how participatory communication as a means of
resistance. This study was conducted using a survey method for Muslim and non-Muslim students
in Malang City. This study states, the context of "kafir" occurs in different ways. In social
relations, kafir is used in a joke. But t is also considered tend to discrimination, especially when
associated with conservative organizations and fundamentalist movements. When "kafir" are
used discriminatively, respondents have the awareness to reject using the term. Forms of
participatory communication are done through informal discussion forums rather than formal
spaces.
Keywords: kafir, participatory communication, discrimination, radicalism.
Penggunaan istilah keagamaan seperti ‘kafir’ dipandang sebagai bentuk radikalisme karena
mendiskriminasikan kelompok lain; baik kelompok muslim maupun non-muslim. Radikalisme
dapat mendorong perilaku intoleran dan kekerasan.. Dalam konteks politik seperti pemilu,
kelompok massa seringkali menggunakan panggilan tersebut untuk mendiskriminasikan
kelompok lain yang dianggap memiliki pandangan berbeda. Studi ini dilakukan untuk
mengetahui bagaimana “kafir” digunakan dan bagaimana komunikasi partisipatif sebagai
sarana perlawanan. Studi ini dilakukan dengan metode survei pada mahasiswa muslim dan non-
muslim di Kota Malang. Studi ini menyebutkan, penggunaan “kafir” digunakan dalam konteks
berbeda. Dalam hubungan sosial, penyebutannya lebih dekat dengan konteks bercanda. Kafir
juga dipandang melahirkan tindakan diskriminatif terutama ketika dihubungkan dengan
organisasi dan gerakan konservatif. Saat “kafir” digunakan secara diskriminatif, responden
memiliki kesadaran untuk menolak penggunaannya . Bentuk komunikasi partisipatif dilakukan
melalui forum diskusi informal daripada ruang-ruang formal.
Kata Kunci: kafir, komunikasi partisipatif, diskriminasi, radikalisme.
Radikalisme bukan hanya selalu terkait dengan kekerasan berlatar agama, tetapi juga
pada bentuk pemikiran tunggal (homogen) yang menganggap benar keyakinannya sendiri
dan menyalahkan kelompok lain (Almakin, 2017; BNPT, 2018). Penyebutan “kafir” pada
kelompok lain merupakan bentuk cara pandang tunggal yang dapat mendorong pada
tindakan diskriminatif. Dalam konteks politik seperti pemilu, kelompok massa seringkali
menggunakan panggilan tersebut untuk mendiskriminasikan kelompok lain yang dianggap
Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks, Penggunaan, dan Komunikasi Partisipatif
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92
80
memiliki pandangan berbeda. Ekspresi ini banyak ditemukan dalam konteks Pilkada DKI
Jakarta 2017 dan Pemilu 2019 lalu.
Kondisi ini direspon Nahdlatul Ulama (NU) pada Munas 2019. NU merekomendasikan
untuk mengganti kata ‘kafir’ menjadi muwattinun untuk menyebut non-muslim. Alasannya
adalah penyebutan ‘kafir’ pada kelompok non-muslim mendorong sikap diskriminatif. Label
sebagai ‘kafir’ dianggap menghilangkan hak dasar warga negara untuk mendapatkan
perlindungan rasa aman. Kerap kali, pelabelan kafir ini sebagai awal kemunculan tindak
persekusi dan kekerasan yang mencirikan paham radikal. Beberapa ciri yang bisa dikenali
dari sikap dan paham radikal menurut BNPT adalah: intoleran (tidak mau menghargai
pendapat & keyakinan orang lain), fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang
lain salah), eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya) dan revolusioner
(cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).
Beberapa penelitian menyebutkan, radikalisme berbasis agama mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun (Wahid Institute, 2016; Infid, 2016; Setara Institute, 2012). Meski
beberapa peneliti pada awal reformasi melihat Gerakan kelompok radikal mulai melemah
(Van Bruinessen, 2002; Fealy, 2004), kini kelompok radikal kian menguat (Fadlan, &
Saputra, 2017). Peningkatan ini disebabkan perubahan keadaan sosial politik, terutama
paska orde Baru (Lovita, 2017; Van Bruinessen, 2013). Sedangkan aspek lain yang dianggap
berpengaruh adalah keadaan politik timur tengah (Qodir, 2008), penilaian terhadap
kegagalan modernisme di negara mayoritas Islam (Eliaz, 2008), kemiskinan (Asrori, 2015),
mode Pendidikan ekslusif (Maulana, 2017) dan sikap pemerintah yang tidak kunjung
menyelesaikan persoalan keagamaan (Wahid Institute, 2016). Sedangkan Human Right
Watch (2013) mengatakan, radikalisme tidak lepas dari pengaruh aktor politik lokal, partai
politik, maupun aturan diskriminatif pada minoritas. Secara umum, penyumbang
menguatnya radikalisme adalah politik populisme, streotype terhadap minoritas dan
kecenderungan kelompok mayoritas menuntut privilese atas posisinya sebagai mayoritas
(Jainuri, 2016; Nu.or.id, 2018). Gerakan radikal ini kian mudah menyebar melalui media
sosial dengan terminologi kliktivisme (Akhyar, 2017). Lim (2005) juga menyebut, internet
dijadikan sebagai sarana penyebaran radikalisme karena dianggap sebagai situs pertarungan
politik dan budaya.
Beberapa penelitian tersebut banyak mengulas tentang genealogi radikalisme, cara
kerjanya, serta latar sosial yang menjadikan radikalisme dapat berkembang pesat sampai
sekarang. Tulisan ini berfokus pada bagaimana persepsi masyarakat pada istilah “kafir”
dalam kehidupan sosialnya. Tulisan ini berupaya untuk melihat bagaimana radikalisme yang
diekspresikan melalui beberapa istilah seperti ‘bid’ah, sesat, dan kafir’ dan dipahami oleh
masyarakat. Penyebutan istilah ini membawa konsekuensi munculnya dua kelompok biner
sebagai; yang paling benar dan dengan demikian kelompok lain sebagai yang salah. Pada
titik ini, perlu upaya untuk melakukan studi mengenai bagaimana kelompok muslim dan
non-muslim memaknai kafir dalam pengalaman di dunia sosialnya.
Studi ini dilakukan pada mahasiswa di perguruan tinggi Kota Malang melalui metode
survei deskriptif. Responden yang dilibatkan dalam penelitian ini sebanyak 348 mahasiswa
melalui teknik random sampling. Dari jumlah responden tersebut, terdiri dari mahasiswa
muslim (266 responden) dan non-muslim (82 responden). Instrumen yang digunakan dalam
A. Wahid
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92
81
penelitian ini terdiri dari tiga indikator: persepsi pada penggunaan “kafir”, persepsi tindakan
diskriminatif, dan keterlibatan komunikasi partisipatif.
Studi radikalisme di Indonesia
Istilah gerakan islam radikal harus didefininisikan secara hati-hati. Greg Fealy (2004, p. 105)
mencirikan gerakan Islam radikal dengan: pertama upaya menerapkan ajaran Islam literal
berbasis pada Alquran secara tekstual, kedua, gerakan yang menggunakan sikap reaktif
melalui bahasa, gagasan, atau tindak kekerasan fisik pada kelompok yang dianggap berbeda.
Sedangkan Vedi R. Hadiz (2004) melihat istilah tersebut merujuk pada kelompok yang
mengandaikan negara Islam dan penegakan hukum Syariah. Istilah ini juga sering
dipadankan dengan “fundamentalisme”, “militan”, atau secara sederhana pada istilah
“Islamis”. Studi yang dilakukan Martin Van Bruinessen (2002) tentang genealogi islam
radikal di Indonesia pasca-kejatuhan rezim orde baru mengungkapkan bagaimana akar
sejarah gerakan radikalisme di Indonesia. Pada penelitian tersebut disebutkan, selama masa
kepresidenan singkat Abdurrahman Wahid, kelompok radikal itu sering menguasai jalanan.
Bahkan aparat dinilai tidak mampu atau tidak mau untuk menahan karena kekerasan tersebut
dibiayai oleh kelompok kepentingan militer dan sipil, dan digunakan untuk alat perebutan
kekuasaan antara faksi elit yang bersaing. Van Bruinessen menelusuri bahwa radikalisme
pasca-rezim Soeharto dapat ditelusuri ke dua Gerakan politik Islam di tahun 1940-an (Darul
Islam dan Partai Masyumi) dan sejumlah Gerakan Islam jaringan Islam transnasional. Selain
itu, Bruinessen juga melacak transformasi gerakan islam radikal pada kemunculan gerakan
dakwah di kampus pada 1980-an, pemberdayaan Islam di tahun-tahun terakhir rezim
Suharto, serta jalannya politik Islam selama kejatuhan Suharto dan pemilu 1999. Pada
perkembangan selanjutnya, Van Bruinessen (2013) mengidentifikasi mengapa
kecenderungan konservatisme kembali menguat di Indonesia. Van Bruinessen menawarkan
dua penjelasan atas konservatisme ini. Pertama menguatnya arus demokrasi yang dikaitkan
dengan memudarnya Islam Liberal di Indonesia dan kedua akibat menguatnya pengaruh
Timur Tengah di Indonesia. Bahkan gerakan radikalisme tidak hanya mewujud dalam
organisasi gerakan baru, tapi juga telah merasuk pada tubuh ormas Islam yang sudah mapan
seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah.
Pada riset yang lain, Zuly Qodir (2008) juga menelusuri perkembangan gerakan radikal
di Indonesia. Gerakan radikalisme tidak lepas dari perkembangan situasi politik di timur
tengah, terutama di Saudi Arabia, Yordania, dan Syiria. Kelompok radikal berusaha
mengembangkan paham khilafah yang sasaran utamanya adalah mengganti sistem
pemerintahan di bawah satu kepemimpinan Islam. Meski ditolak keras di negara-negara
Arab, gerakan radikal justru tumbuh subur di Indonesia. Gerakan radikal ini menurut Qodir
tidak lepas dari adanya institusi pendidikan seperti Institut Pertanian Bogor (IPB). Gerakan
dari kampus ini selanjutnya bertransformasi melalui partai politik PKS dan organisasi HTI.
Meski dengan gerakan berbeda, keduanya berusaha membawa agenda politik untuk
menjadikan Indonesia menjadi negara Islam.
Data di atas menunjukkan gejala menguatnya radikalisme di Indonesia. Menurut laporan
Wahid Institute, kekerasan terhadap kebebasan beragama meningkat disebabkan dua hal:
pertama karena peristiwa politik dan kedua pemerintah yang belum menyelesaikan kasus
Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks, Penggunaan, dan Komunikasi Partisipatif
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92
82
kekerasan sebelumnya. Sedangkan hasil studi Ahmad Asrori (2015) menyebutkan, terdapat
tiga faktor yang menjadi penyebab munculnya radikalisme ini, yaitu perkembangan dunia
global, penyebaran paham wahabisme, dan kemiskinan.
Ahmad Nur Fuad (2007, p. 16) berpendapat, gerakan fundamentalisme Islam di
Indonesia kontemporer dilakukan dalam berbagai bentuk. Beberapa di antaranya mencoba
mendirikan negara Islam, sedangkan yang lain mencoba menerapkan aturan syariah di level
individu maupun masyarakat di luar kontrol negara. Meski demikian, Fuad mengangap
gerakan ini belum sukses mentranformasikan lanskap politik muslim Indonesia berdasarkan
gagasan ideologi yang mereka yakini. Beberapa studi telah dilakukan sebagai upaya
menelusuri akar radikalisme ini. Anzar Abdullah (2016) telah melakukan studi terhadap
gerakan radikalisme dalam perspektif sejarah Islam. Hasil studi Abdullah menyebutkan,
gerakan radikalisme di Islam telah muncul di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib melalui
pemberontakan Khawarij. Gerakan radikal Khawarij ini dinilai sebagai cikal bakal lahinya
organisasi Islam radikal kontemporer yang sama-sama tidak mengenal kompromi dan
dialog.
Penelusuran tentang gerakan radikalisme lain dilakukan oleh Giora Eliaz (2004), sarjana
lulusan Australian National University melalui buku berjudul Islam in Indonesia,
Modernism, Radicalism, and the Middle East Dimension. Eliaz menyebutkan, gerakan
radikalisme di Indonesia tidak lepas dari konteks global yang melatarinya. Gerakan Islam
modern di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari Muhammad Abduh, Jamal Al-Din Al-
Afgani,dan Muhammad Rashid Rida. Riset lain menyebut, radikalisme dianggap sebagai
respon terhadap gagalnya modernisme di negara-negara Islam (Jahroni, 2004, p. 584). Hasil
riset ini juga menyebutkan, karakteristik pelaku radikalisme di antaranya adalah anak muda,
memiliki pemahaman sempit tentang agama, suka menyebarkan pesan yang mengandung
kebencian, menolak kebebasan orang lain, dan mendukung gerakan radikal lain.
Laporan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) pada 2016
terkait persepsi dan sikap generasi muda terhadap gerakan radikalisme menyebutkan 29,1
persen responden mengatakan radikalisme dilakukan karena pemahaman agama yang tidak
tuntas. Hasil survey INFID 2016 secara umum menjelaskan, generasi muda memiliki
identitas personal melalui internalisasi nilai-nilai agama. Kemudahan akses informasi di
media sosial dianggap mudah memengaruhi sikap dan pandangan generasi muda dalam
beragama.
Beberapa studi menjelaskan mengenai strategi atau taktik serta peran berbagai pihak
dalam upaya mengatasi pemahaman radikal. Studi Ahmad Darmadji (2011) menyebutkan,
tindak kekerasan yang sering ditemui di media massa turut serta menjadi model bagi tindak
kekerasan di generasi muda. Untuk itu, orang tua dapat memerankan sebagai model pertama
yang memberikan penjelasan pada anak untuk berperilaku prososial dan menjauhkan dari
perilaku kekerasan. Perilaku prososial ini diyakini dapat menjadi nilai perlawanan pada
tindak kekerasan. Penelitian Abu Rokhmad (2012) menyebutkan, lembaga pendidikan juga
tidak kebal dari pengaruh ideologi radikal. Hal ini disebabkan karena kurangnya
pengetahuan keagamaan, proses belajar agama tidak dipantau secara langsung oleh lembaga
pendidikan, dan adanya buku ajar yang mendorong siswa membenci agama atau bangsa lain.
A. Wahid
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92
83
Sumber rujukan agama dan pemahaman istilah kafir
Radikalisme selalu dicirikan dengan cara pandang eksklusif yang mewujud pada bahasa
maupun tindak kekerasan. Cara pandang ini tidak dapat dilepaskan dari bagaimana
penggunaan bahasa tersebut dipelajari, dipahami, dan digunakan dalam kehidupan sosial.
Artinya, rujukan dalam memelajari agama merupakan faktor penting untuk melihat
bagaimana kelompok lain ditempatkan. Penelitian ini menyebutkan, mayoritas responden
mendapatkan pemahaman tentang keagamaan dari institusi pendidikan. Sebanyak 35%
respoden mengaku menjadikan institusi pendidikan sebagai ruang utama untuk memelajari
agama. Selain itu, para responden juga mengakui mendapatkan pelajaran keagamaan dari
kegiatan keagamaan lain (17%), tokoh agama (16%), internet (12%), orang tua (14%), media
massa (4%), serta literatur lain (2%). Data ini dapat dipahami bahwa tokoh agama tidak
diihat sebagai otoritas utama yang dirujuk untuk memelajari agama. Bahkan, sebagian
responden hanya memelajari agama dari internet tanpa melakukan pendalaman pada tokoh
agama maupun literatur utama dalam agama.
Diagram 1. Rujukan memelajari agama
Sumber: Data survei penggunaan kata “kafir” pada mahasiswa Kota Malang 2019, N=348
Rujukan memelajari agama yang tidak tepat memungkinkan penggunaan istilah dalam
agama dan praktik yang bias, termasuk penggunaan istilah “kafir”. Pada kehidupan sehari-
hari, responden mengakui memiliki pengalaman dan pemahaman berbeda dalam
menggunakan istilah kafir. Perbedaan ini terdapat pada respon yang didapatkan dari
responden muslim dan non-muslim. Responden muslim mengakui, sebagian besar mereka
pernah mendapat penjelasan dari definisi “kafir” sebelumnya. Sebanyak 92% respoden
muslim mengaku dapat mengerti definisi istilah tersebut setelah membaca dan mendapat
penjelasan dari berbagai sumber. Sedangkan sebanyak 8% responden muslim sisanya
mengaku tidak pernah mendapatkan atau mendengar penjelasan tentang definisi “kafir”.
Peristiwa yang paling banyak dijadikan sebagai rujukan untuk mendapatkan pengertian atau
penjelasan definisi “kafir” tersebut diperoleh dari pelajaran di pendidikan (23%), tokoh
agama (21,8%), pertemuan atau acara keagamaan (17,4%), media sosial dan situs blog
35%
12%17%
2%
4%
14%
16%
Sumber rujukan memelajari agama
Institusi Pendidikan
Internet
Kegiatan Keagamaan
Literatur
Media Massa
Orang Tua
Tokoh Agama
Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks, Penggunaan, dan Komunikasi Partisipatif
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92
84
(14,3%), orang tua (11,6%), media massa (9,4%), serta peristiwa lainnya (2,5%). Hal ini
menunjukkan responden mengakui bahwa peristiwa keagamaan (tokoh agama dan ritual
keagamaan) serta institusi pendidikan memiliki peranan yang besar dalam memberikan
pemahaman pada responden dalam mendapatkan penjelasan tentang definisi “kafir” ini.
Selain itu, beberapa sumber lain yang diakui dapat memberikan definisi istilah kafir ini
adalah kitab suci Alquran, buku, diskusi dengan teman, serta literatur dan penelitian ilmiah.
Sentimen “kafir”: latar dan konteks penggunaannya
Beberapa penelitian mengaitkan gerakan keagamaan kontemporer dengan isu radikalisme
dan toleransi (Lovita, 2017; Setara Institute, 2018, Wahid Institute, 2017). Beberapa
penelitian tersebut bahkan menuding radikalisme tumbuh subur pada beberapa kampus
ternama di Indonesia. Penelitian ini berupaya untuk melihat konteks bagaimana penggunaan
kata “kafir”dengan melibatkan mahasiswa kota Malang. Dari data di lapangan disebutkan,
sebagian besar responden mengaku pernah mendengar “kafir” dalam kehidupan sehari-hari.
Sebanyak 89% responden mengaku pernah mendengar “kafir” dan sisanya sebanyak 11%
mengaku tidak pernah mendengar kata tersebut saat berinteraksi dalam kehidupan sosialnya.
Penggunaan kata kafir diakui responden ditemukan pada beberapa latar sosial seperti
kegiatan keagamaan, media sosial, dan media massa. Konteksnya juga berbeda; ada yang
menyebutkan dalam nada bercanda maupun
Pada konteks penggunaannya, penyebutan kafir diakui banyak ditemukan dalam
kegiatan keagamaan. Responden juga mengakui, mereka mendengar penggunaan kata kafir
di media sosial, media massa lain seperti televisi, radio, koran, dan majalah. Sedangkan
berdasarkan nada penggunaannya, mayoritas responden atau sebanyak 75% mengaku
mendengar penggunaan kata kafir dalam konteks bercanda dan sisanya melihat penggunaan
“kafir” tersebut bernada menghina.
Diagram 2. Pengalaman non-muslim dan muslim dipanggil “kafir” oleh kelompok lain
Sumber: Data survei penggunaan kata “kafir” pada mahasiswa Kota Malang 2019. Non-muslim N=82,
Muslim N=266
Berdasarkan data survei, responden juga pernah memilik pengalaman pernah dipanggil
“kafir” oleh orang lain dalam kehidupan sosialnya. Jika membandingkan antara kelompok
muslim dan non-muslim, terlihat mahasiswa non-muslim memiliki pengalaman dipanggil
75%
25%
Pengalaman pernah dipanggil kafir oleh orang lain
Tidak Pernah
Pernah54%
; 46%
Non-muslim Muslim
A. Wahid
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92
85
sebagai “kafir” lebih banyak daripada kategori responden yang berlatar muslim. Sebanyak
46% responden non-muslim mengaku pernah dipanggil “kafir” sedangkan dari responden
muslim sebanyak 25% memiliki pengalaman yang sama.
Jika melihat konteks panggilan “kafir” yang ditujukan pada responden, terlihat panggilan
tersebut digunakan dalam konteks panggilan yang berbeda. Bagi responden muslim yang
pernah dipanggil “kafir”, sebagian besar mengaku panggilan tersebut terjadi di tempat kerja
atau kampus saat berinteraksi dengan teman sejawatnya. Hal ini diakui oleh 91 persen
responden muslim. Sedangkan latar penggunaan yang lain terjadi pada interaksi di media
sosial (25%), kegiatan atau ritual keagamaan (7%), interaksi dengan tetangga (1%), dan
lainnya sebanyak 4 persen. Dari data sebagaimana yang terlihat pada diagram berikut ini,
memperlihatkan bagaimana interaksi sosial di lingkungan kampus atau tempat kerja masih
menjadi ruang yang sering digunakan untuk mereproduksi panggilan “kafir” pada orang lain.
Berdasarkan nada panggilan “kafir” yang dialami oleh responden muslim, sebagian besar
nada panggilan yang dipersepsikan adalah bercanda. Sebagian besar responden, yaitu
sebanyak 81% mahasiswa mempersepsikan panggilan tersebut dalam konteks bercanda.
Sedangkan sebagian yang lain mengakui panggilan tersebut bernada nasihat keagamaan
(9%) serta ada juga yang mempersepsikan sebagai panggilan yang bernada menghina, yaitu
sebanyak 10 persen.
Jika konteks peristiwa yang dialami oleh mahasiswa muslim yang dipanggil “kafir”
didominasi di ruang kerja atau interaksi antar teman di kampus, konteks peristiwa yang
dialami oleh mahasiswa non-muslim sedikit menyebar dan tidak terpusat pada kampus saja.
Berdasarkan data di lapangan, mahasiwa non-muslim mengaku pernah dipanggil “kafir” di
kampus atau tempat kerja sebesar 63 persen saat berinteraksi dengan temannya. Selain itu,
61 persen responden juga mengakui mereka sering pernah dipanggil “kafir” saat berinteraksi
di media sosial dan 18 persen sisanya terjadi saat berinteraksi dengan tetangga.
Berdasarkan pengalaman dari mahasiswa non-muslim tersebut, nada panggilannya
dipersepsikan secara berbeda. Sebanyak 37 persen responden mengaku, mereka
mempersepsikan panggilan tersebut dalam konteks menghina, sebanyak 26 persen
mempersepsikannya sebagai dalam konteks bercanda. Sedangkan sisanya melihatnya
sebagai panggilan biasa tanpa ditujuka untuk menghina dan membercandakan panggilan
“kafir” tersebut untuk mereka. Meski demikian sebagian besar responden mengaku
terganggu saat mereka dipanggil “kafir” dalam berbagai interaksi di dunia sosialnya. Data
survei menyebutkan, sebanyak 55 persen responden non-muslim merasa terganggu saat
dipanggil kafir. Sedangkanya 45% sisanya merasa tidak terganggu dan menganggpnya
sebagai panggilan yang biasa untuk yang lumrah digunakan untuk menyebut mereka sebagai
kelompok yang ada di luar keyakinan agama Islam.
Kelompok non-muslim mengakui, sebutan untuk orang lain yang memiliki keyakinan
berbeda dalam agama mereka juga dinyatakan secara spesifik, terutama dari kelompok
agama Kristen dan Katolik. Sebanyak 27 persen responden menyatakan mereka memiliki
panggilan spesifik pada kelompok lain di luar kepercayaannya. Panggilan ini di antaranya
adalah Bani Ismail, Domba tersesat, infidel, pagan, Non-Kristen, Non-Nasrani, Saudara
sepupu, Saudara terpisah, Domba di luar kandang, dan istilah lain.
Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks, Penggunaan, dan Komunikasi Partisipatif
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92
86
Sentimen “kafir” pada ormas
Selain data tentang pengalaman responden pada penggunaan kata “kafir” digunakan dalam
kehidupan sosial mereka, data di survei ini juga mendapatkan persepsi responden terhadap
beberapa organisasi masyarakat dan gerakan yang diasosiasikan dengan Islam pada beberapa
tahun belakangan. Responden ditanya mengenai persepsi mereka pada istilah “kafir” ketika
diasosiasikan dengan beberapa organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, FPI, HTI (Ormas yang dilarang pemerintah), dan gerakan 212.
Secara umum, responden menilai bahwa organisasi kemasyarakatan seperti FPI, HTI,
dan gerakan 212 sebagai organisasi atau gerakan yang sering melakukan tindakan
diskriminatif. Sedangkan NU dan Muhammadiyah dipandang sebagai organisasi
kemasyarakatan yang lebih moderat karena sesuai dengan ajaran agama.
Diagram 3. Setimen mahasiswa muslim terhadap istilah “kafir” yang diasosiasikan dengan ormas
Sumber: Data survei penggunaan kata “kafir” pada mahasiswa Kota Malang 2019
Beberapa Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan gerakan Islam seperti NU,
Muhammadiyah, FPI, HTI (ormas yang telah dilarang pemerintah), dan gerakan 212 sangat
dekat dengan organisasi yang menggunakan label “Islam”. Berdasarkan diagram tersebut
dapat dilihat bahwa mayoritas responden mahasiswa muslim memiliki persepsi bahwa FPI,
212, dan HTI sebagai kelompok atau gerakan masyarakat berbasis keagamaan yang
diskriminatif, sedangkan mereka menilai NU dan Muhammadiyah sebagai kelompok atau
gerakan masyarakat berbasis keagamaan yang sesuai dengan ajaran agama. Kelompok atau
gerakan masyarakat berbasis keagamaan yang dinilai paling diskriminatif adalah FPI
(65,4%), HTI (60,5%), dan 212 (64,6%). Hal ini juga sejalan dengan persepsi mahasiswa
yang melihat penggunaan “kafir” dalam konteks agama hanya dinilai tepat digunakan sesuai
dengan ajaran agama oleh tiga kelompok tersebut dengan persentase antara 12-13 persen.
Sedangkan kelompok yang dinilai paling sesuai dengan ajaran agama adalah NU (61,2%)
dan Muhammadiyah (55,2%). Sebaliknya, terdapat juga mahasiswa yang melihat NU dan
11% 9,3%
65,4%60,5%
64,6%61,2%
55,2%
13% 12% 12,7%
3% 4% 1,5% 2% 2%
24,4%31,2%
20%25,5%
20,3%
0
50
100
150
200
NU Muhammadiyah FPI HTI 212
Sentimen mahasiswa muslim terhadap ormas/gerakan
Diskriminatif Sesuai dengan ajaran agama Tidak pernah Tidak tahu
A. Wahid
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92
87
Muhammadiyah sebagai ormas yang dinilai diskriminatif dalam menggunakan kata “kafir”,
yaitu sebanyak 9,3% (Muhammadiyah) dan 11% (NU).
Diagram 4. Persepsi mahasiswa non-muslim pada ormas yang diasosiasikan dengan istilah “kafir”
Sumber: Data survei penggunaan kata “kafir” pada mahasiswa Kota Malang 2019
Sejalan dengan hasil survei pada kelompok mahasiswa muslim, persepsi mahasiswa non-
muslim pada organisasi kemasyarakatan tersebut juga sama. Mayoritas responden
mahasiswa non-muslim memiliki persepsi bahwa FPI, 212, dan HTI sebagai kelompok atau
gerakan masyarakat berbasis keagamaan yang diskriminatif dengan masing-masing
persentase sebesar 63,76% (FPI), 51,62% (HTI), dan 212 sebesar 60,73%. Hal ini juga
sejalan dengan persepsi mahasiswa yang melihat penggunaan “kafir” dalam konteks agama
hanya dinilai tepat digunakan sesuai dengan ajaran agama oleh tiga kelompok tersebut
dengan persentase yang sangat kecil, yaitu FPI (2,4%), HTI (7%), dan 212 (2,4%).
Sedangkan NU dan Muhammadiyah dinilai sebagai kelompok atau gerakan masyarakat
berbasis keagamaan yang sesuai dengan ajaran agama (31,7%; NU dan 29%;
Muhammadiyah) dan sebagian kecil lainnya (12-13%) melihat kedua ormas ini dinilai
sebagai yang diskriminatif.
Persepsi, tindakan, dan komunikasi partisipatif
Sub-bab ini berisi tentang bagaimana penggunaan kata “kafir” dalam kehidupan sosialnya.
Penyebutan “kafir” pada kelompok lain dapat mengarah pada tindakan diskriminatif karena
secara tidak langsung dapat meminggirkan kelompok lain. Survei ini melibatkan dua
kelompok yaitu muslim dan non-muslim dalam pengalamannya menggunakan istilah kafir
yang ditujukan pada kelompok lain. Survei ini melihat bagaimana persepsi mereka saat
disebut kafir, bagaimana tindakan merespon panggilan tersebut, dan sikap aktif atau
partisipasi mereka pada tindakan selanjutnya. Aspek persepsi ditujukan pada kelompok
mahasiswa ketika diasosiasikan dengan panggilan “kafir”. Pada aspek tindakan, responden
diarahkan untuk menjawab pertanyaan yang mengarah pada perlakuan kelompok responden
pada kelompok lain. Kelompok mahasiswa muslim diberkan pertanyaan yang mengarah
12% 13,4%
76,8%
62%
73%
31,7% 29%
2,4%7%
2,4%4,8% 3,6%1%
2%
1%
51,2% 53,6%
19,5%
28%23%
0
10
20
30
40
50
60
70
NU Muhammadiyah FPI HTI 212
persepsi mahasiswa non-muslim pada ormas/gerakan
Diskriminatif Sesuai dengan ajaran agama Tidak pernah Tidak tahu
Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks, Penggunaan, dan Komunikasi Partisipatif
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92
88
pada kemungkinan tindakan yang akan mereka lakukan saat berhadapan dengan kelompok
non-muslim atau minoritas lain. Sedangkan pada kelompok responden non-muslim diajukan
pertanyaan yang mengandaikan mereka bertindak terhadap kelompok muslim. Pada aspek
komunikasi partisipatif, item pertanyaan yang diajukan pada responden menyangkut
kebersediaan mereka terlibat aktif dalam melawan tindakan diskriminatif. Item pertanyaan
yang diajukan pada kelompok muslim dan non-muslim pada aspek komunikasi partisipatif
ini berlaku sama. Hal ini ditujukan untuk mengetahui seberapa besar tingkat pertisipasi
responden dalam merespon atau melawan tindakan diskriminatif jika terjadi pada
lingkungan mereka. Selanjutnya, masing-masing pertanyaan diberikan skor berdasarkan
tingkat persetujuan yang diberikan oleh responden pada masing-masing kategori. Melalui
skala likert, pertanyaan akan diberikan skor dengan rentang 1-5. Beberapa pertanyaan yang
bersifat favorable dan unfavorabel diagregasikan terlebih dahulu sebelum dihitung skor yang
diperoleh pada masing-masing item pertanyaan.
Persepsi mahasiswa muslim dan non-muslim pada penggunaan “kafir”
Penggunaan kata “kafir” dalam kehidupan sehari-hari dapat mengarah pada peminggiran
kelompok minoritas. Pada bagian ini, semakin masyarakat mendukung penggunan atau
penyebutan “kafir” dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan masyarakat memiliki
persepsi yang negatif. Hal ini dapat diartikan sebagai bentuk peminggiran pada kelompok
lain yang dianggap berbeda dalam konteks sosial. Sebaliknya, semakin masyarakat tidak
mendukung atau menolak penggunaan kata “kafir” pada kelompok lain mengartikan
masyarakat memiliki persepsi positif. Hal ini dapat diartikan sebagai bentuk kesadaran
masyarakat pada pentingnya menjaga asas persamaan pada kelompok minoritas dalam
kehidupan sosial.
Dari hasil analisa, diperoleh gambaran bahwa mahasiswa muslim di Kota Malang masih
cenderung menolak penggunaan atau penyebutan “kafir” dalam kehidupan mereka sehari-
hari. Hal ini ditunjukkan melalui data bahwa sebanyak 91% mahasiswa muslim memiliki
persepsi positif dan hanya 9% yang memiliki persepsi negatif. Hal ini dapat diartikan bahwa
mayoritas responden tidak menggunakan panggilan tersebut secara diskriminatif pada
kelompok lain.
Tidak jauh berbeda dengan data yang diperoleh dari kelompok muslim, persepsi
penggunaan kata “kafir” dalam kehidupan sehari-hari bagi kelompok non-muslim juga
memiliki kecenderungan yang sama. Mayoritas responden memiliki persepsi positif, yaitu
sebanyak 89% responden. Sedangkan sebagian kecil responden lainnya tampak memiliki
persepsi negatif, yaitu sebanyak 11%. Hal ini menunjukkan, mayoritas responden non-
muslim tidak mendukung penggunaan kata “kafir” dalam kehidupan sehari-hari karena
dianggap tidak tepat digunakan dan dapat mengarah pada tindakan diskriminatif.
“Kafir” dan tindakan diskriminatif
Selanjutnya, penggunaan kata “kafir” yang dinyatakan pada orang lain juga seringkali dilihat
sebagai bentuk tindakan diskriminatif. Responden diberikan pertanyaan yang mengarah
pada beberapa bentuk tindakan diskriminatif pada kelompok lain yang memiliki keyakinan
berbeda. data survey menunjukkan skor diskriminasi mahasiswa muslim berada pada
A. Wahid
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92
89
kategori rendah. Mayoritas responden, yaitu 79% menyatakan menghindari penggunaan
istilah kafir untuk merendahkan orang lain. Sedangkan 21% sisanya berada pada kategori
sedang yang menggunakannya dalam konteks bercanda dengan teman. Hal ini menunjukkan,
mayoritas mahasiswa muslim memperlakukan kelompok non-muslim tidak diskriminatif.
Pada bagian lain, tindakan diskriminasi juga ditanyakan pada kelompok non-muslim.
Responden yang memiliki latar non-muslim disajikan pertanyaan yang memberikan
gambaran tentang kemungkinan tindakan yang dilakukan oleh kelompok non-muslim pada
muslim. Berikut dinamika hasil penelitian pada aspek tindakan diskriminatif yang dilakukan
oleh kelompok non-muslim terhadap muslim. Berdasarkan hasil survey, diskriminasi pada
kelompok mahasiswa non-muslim sebanyak 87% berada pada kategori rendah. Sedangkan
13% sisanya berada pada kategori sedang. Hal ini mengartikan bahwa mahasiswa non-
muslim bersikap toleran pada kelompok lain di luar keyakinannya.
Partisipasi melawan diskriminasi
Pada data yang didapatkan di lapangan, terlihat persepsi dan tindakan responden pada
penggunaan kata “kafir” yang diskriminatif tidak ditemukan tinggi. Artinya, mahasiswa di
Kota Malang sangat toleran dalam menempatkan kelompok lain di luar keyakinannya. Meski
ditemukan juga sebagian responden yang menggunakan panggilan “kafir” pada kelompok
lain, tapi nada penggunaannya dalam konteks bercanda dan dilakukan pada teman yang
sudah dikenal.
Namun demikian, praktik intoleransi di masyarakat tidak bisa dibaca secara terpisah.
Beberapa praktik kekerasan yang berlatar agama masih banyak ditemukan di ruang-ruang
komunikasi; baik pada interaksi di dunia sosial maupun termediasi melalui media sosial. Hal
ini ditunjukkan dengan data yang dilarsir oleh Setara Institute pada 2018 lalu yang
menempatkan peringkat kota toleran di Indonesia.
Selain itu, data di lapangan juga menyebutkan bahwa beberapa organisasi masyarakat
dan gerakan yang diasosiasikan dengan gerakan keagamaan dinilai diskriminatif. Salah satu
bentuk diskriminasi yang dilihat responden adalah penggunaan kata “kafir” untuk
mendelegitimasi kelompok lain. Kelompok organisasi dan gerakan keagamaan ini adalah
FPI, HTI (organisasi yang kini dilarang pemerintah), dan 212. Mayoritas responden, baik
dari kelompok muslim maupun non-muslim melihat ketiganya sebagai organisasi yang
dinilai diskriminatif dalam menggunakan panggilan “kafir” pada kelompok lain di luar
keyakinannya.
Pada titik ini, praktik kekerasan dalam bentuknya yang sederhana dilakukan melalui
bahasa verbal seperti panggilan “kafir” tentu harus direspon secara aktif oleh masyarakat.
Komunikasi tidak hanya dilakukan dengan perspektif linier yang memandang
disampaikannya pesan dari satu aktor pada aktor yang lain. Tapi proses pemaknaan dalam
komunikasi juga harus diberikan ruang lebar untuk memberikan kebebasan pada komunikan
(audience, pendengar, kelompok penerima pesan) dalam memberikan makna. Pemberian
ruang pada komunikan untuk memaknai pesan yang sampai pada mereka menjadi penting,
terutama sebagai bentuk partisipasi warga negara untuk memberikan perspektif yang
berbeda pada konten yang memiliki tafsir tunggal, seperti halnya panggilan “kafir” yang
bersifat diskriminatif.
Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks, Penggunaan, dan Komunikasi Partisipatif
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92
90
Pada survei ini, responden juga diberikan pertanyaan mengenai kemungkinan
keterlibatan mereka dalam tindakan-tindakan komunikatif yang diskriminatif. Tingkat
keterlibatan dalam komunikasi partisipatif mengartikan bahwa responden memiliki
kesadaran untuk memberikan arti secara aktif pada praktik-praktik komunikasi yang
diskriminatif. Pada bagian partisipasi ini, beberapa indikator akan ditanyakan pada
responden yaitu pada aspek: keterlibatan aktif di di media sosial (berupa update status,
berkomentar/balas komentar, dsb) dengan tujuan membela seseorang/sekelompok orang
yang dilabeli kafir, argumentasi dengan dengan pihak yang melabeli orang/kelompok
dengan sebutan kafir, nasihat tentang dampak buruk dari menggunakan istilah kafir dalam
kehidupan sosial, diskusi secara informal, Pendapat langsung di depan publik mengenai
ketidaksepakatan terhadap penggunaan istilah 'kafir' dalam kehidupan bersosial dan media
sosial, serta keterlibatan dalam mediasi.
Berdasarkan data di lapangan, tingkat kebersediaan responden dalam komunikasi
partisipatif untuk melawan tindakan diskriminatif terlihat serupa antara responden muslim
dan non-muslim. Pada responden muslim, mayoritas terlihat masih belum mau melibatkan
diri secara langsung pada beberapa tindakan komunikatif yang bertujuan untuk melawan
diskriminasi. Hal ini terlihat sebagaimana pada diagram di bawah ini yang menyebutkan
bahwa responden muslim mayoritas memiliki tingkat partisipasi sedang, yakni sebesar 75%.
Hanya 24% responden muslim yang mengaku akan melibatkan diri secara aktif dalam
tindakan-tindakan komunikatif yang dinilai mendiskriminasikan kelompok minoritas dan
kelompok lain. Sedangkan 1% sisanya berada di posisi rendah atau mereka tidak mau
berpartisipasi secara aktif pada peristiwa-peristiwa diskriminatif.
Pada kelompok responden non-muslim, data yang didapatkan di lapangan juga sama
seperti yang ditemukan pada kelompok responden non-muslim. Sebanyak 75% responden
non-muslim berada pada kategori sedang, 24% berada pada kategori tinggi, dan 1% sisanya
mengaku tidak ingin terlibat dalam bentuk-bentuk komunikasi aktif untuk menolak gagasan
diskriminatif dan radikal. Dua data tersebut menunjukkan, mayoritas responden, baik
muslim maupun non-muslim seakan-akan memilih menghindari konflik dan tidak terlibat
pada urusan orang lain.
Secara lebih detil, dinamika mahasiswa yang mengaku terlibat dalam beberapa tindakan
komunikatif dapat dilihat sebagaimana pada diagram di bawah ini. Pada aspek keterlibatan
responden dalam hal membicarakan/berdiskusi secara non-formal, mendapatkan persetujuan
tinggi baik dari responden kelompok muslim (61%) maupun non muslim (57%). Mereka
mengaku mau terlibat secara aktif untuk berdiskusi secara non-formal terhadap dampak
buruk dari penggunaan istilah 'kafir' dalam kehidupan sosial. Keterlibatan dalam diskusi
informal tampak lebih tinggi daripada aspek yang lain seperti komentar di media sosial,
beradu argumen, menasehati orang lain secara langsung, pendapat terbuka di ruang publik,
dan melakukan mediasi. Bahkan, keterlibatan responden dalam proses mediasi antar
kelompok yang berkonflik mendapatkan persetujuan yang sangat rendah, hanya 11% pada
kelompok muslim dan 13% pada kelompok non-muslim.
A. Wahid
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92
91
Penutup
Mahasiwa muslim dan non-muslim sama-sama memiliki pengalaman pernah dipanggil dan
memanggil orang lain “kafir”. Nada panggilan tersebut dimaknai sebagai bentuk bercanda
dan bukan diskriminatif. Responden muslim dan non-muslim sama-sama memaknai “kafir”
dalam kategori positif. Persepsi positif ini menandakan mahasiswa tidak memiliki tendensi
untuk mendiskriminasikan kelompok lain di luar keyakinannya. Indeks diskriminasi pada
kelompok muslim dan non-muslim di Kota Malang berada pada kategori rendah. Semakin
rendah indeks diskriminasi menandakan tingginya tingkat toleransi antar penganut
keyakinan, termasuk dalam memahami kata “kafir” dalam kehidupan sosialnya. Tingkat
keterlibatan mahasiswa muslim dan non-muslim dalam komunikasi partisipatif berada pada
kategori sedang dan sebagian lainnya tinggi. Hal ini menandakan kelompok keyakinan
masih belum sepenuhnya memiliki kesadaran tinggi untuk terlibat dalam menangani kasus-
kasus diskriminatif, terutama dalam bentuk verbal panggilan “kafir” Faktor yang paling
dominan dalam komunikasi partisipatif mahasiswa adalah pada aspek keterlibatan di forum
informal. Meski tingkat toleransi di mahasiswa Kota Malang dinyatakan tinggi, hal ini perlu
ditindaklanjuti melalui riset lain yang menekankan pada partisipasi komunitas mendorong
terbentuknya simpul-simpul komunitas yang terhubung satu sama lain. Keterhubungan
komunitas ini menjadikan basis komunikasi partisipatif menjadi kuat dan dapat menjadi
modal penting dalam menangkal bentuk tindakan diskriminatif dan radikal. Model
komunikasi partisipatif harus diarahkan pada bentuk-bentuk komunikasi informal yang
berada di lingkungan mahasiswa. Kajian tentang penggunaan teknologi yang berbasis pada
kesadaran pengguna juga dapat dikaji lebih jauh untuk menumbuhkan kesadaran partisipasi
warga negara secara lebih aktif tidak hanya di dunia sosialnya, tapi juga di dunia sosial yang
termediasi teknologi.
Daftar pustaka
Abdullah, A. (2016). Gerakan radikalisme dalam Islam: Perspektif historis. Addin. 10 (1): 1-28.
Ahyar, M. (2017). Islamic Clicktivism: Internet, Democracy and Contemporary Islamist Activism in
Surakarta. Studia Islamika, Vol. 24, No. 3, 2017
Asrori, A. (2015). Radikalisme di Indonesia: Antara historis dan antropisitas. Kalam: Jurnal Studi
Agama dan Pemikiran Islam. 9 (2): 253-268.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). n.d. Strategi menghadapi paham radikalisme
terorisme – ISIS. URL http://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/12/Strategi-
Menghadapi-Paham-Radikalisme-Terorisme.pdf. Diakses tanggal 24 Juni 2017.
Damayanti, N. P., Thayibi, I., Gardhiani, L. A., & Limy, I. (2003). Radikalisme agama sebagai salah
satu bentuk perilaku menyimpang: Studi kasus Front Pembela Islam. Jurnal Kriminologi
Indonesia. 3 (1): 43-57.
Eliaz, G. (2008). Islam in Indonesia, modernism, radicalism, and the Middle East dimension. Studia
Islamika Volume 15, Number 3, 2008
Fadlan, M.N, & Saputra, R.E. (2017). Document: Islam, Radicalism, Democracy, and Global
Trends in Southeast Asia. Studia Islamika, Vol. 24, No. 3, 2017
Fealy, G. (2004). ISLAMIC RADICALISM IN INDONESIA: The Faltering Revival? Southeast
Asian Affairs, 104-121. Retrieved May 29, 2020, from www.jstor.org/stable/27913255
Fuad, A. N. (2007). Interrelasi fundamentalisme dan orientasi ideologi gerakan Islam kontemporer.
ISLAMICA. 2 (1): 16-26.
Persepsi “Kafir” pada Muslim dan Non-Muslim: Konteks, Penggunaan, dan Komunikasi Partisipatif
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 79-92
92
Hadiz, V.R. (2004). COMMENTARY: Towards a Sociological Understanding of Islamic Radicalism
in Indonesia. Journal of Contemporary Asia Vol. 38, No. 4, November 2008, pp. 638–647
Hadiz, V.R., (2008). Towards a Sociological Understanding of Islamic Radicalism in Indonesia.
Journal of Contemporary Asia 38, 638–647. DOI:10.1080/00472330802311795
Hilmy, M. (2015). Radikalisme agama dan politik demokrasi di Indonesia pasca-orde baru. MIQOT.
XXXIX (2): 407-425.
INFID. Persepsi dan Sikap Generasi Muda terhadap Radikalisme dan Ekstrimisme Kekerasan,
Laporan Survey 6 Kota (Agustus-Oktober 2016)
Jainuri, A. (2016). Radikalisme dan Terorisme: Akar ideologi dan tuntutan Aksi. Malang: Intrans
Publishing
Lestari, S., (2016). Anak-anak muda Indonesia makin radikal? - BBC Indonesia [WWW Document].
URL
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160218_indonesia_radikalisme_ana
k_muda. Diakses tanggal 19 Juni 2017.
Lim, M. (2005). (Rep.) (Alagappa M., Ed.). East-West Center. Retrieved May 29, 2020, from
www.jstor.org/stable/resrep06514
Lindlof, T.R., & Taylor, B.C., (2002). Qualitative Communication Research Methods. California:
Sage Publication
Lovita, L. (2017). Radikalisme Agama di Indonesia: Urgensi Negara Hadir dan Kebijakan Publik
yang Efektif. Jakarta: INFID
Maulana, D. (2017). Document: Exclusivism of Religion Teachers, Intolerance and Radicalism in
Indonesian Public Schools. Studia Islamika, Vol. 24, No. 2, 2017
Moleong, L.J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda
Miles, M.B., Huberman, A.M., & Saldana, J. (2014). Qualitative Data Analysis: A Methods
Sourcebook. California: Sage Publication.
Noor, J. (2011). Metode Penelitian: skripsi, tesis, desertasi, & karya ilmiah. Jakarta: Prenadamedia
Grup.
Qodir, Z. (2008). Gerakan Salafi Radikal dalam Konteks Islam Indonesia. Islamica, Vol. 3 No. 1,
September 2008
Rokhmad, A. (2012). Radikalisme Islam dan upaya deradikalisasi paham radikal. Walisongo. 20 (1):
79-114.
Stith, C.R., (2010). Radical Islam in East Africa. Ann. Am. Acad. Pol. Soc. Sci. 632, 55–66.
DOI:10.1177/0002716210378676
Van Bruinessen, M. (2002). Genealogies of Islamic radicalism in post-Suharto Indonesia. South East
Asia Research, 10(2), 117-154. Retrieved May 29, 2020, from www.jstor.org/stable/43818511
Van Bruinessen, M. (2013). Contemporary Development in Indonesian Islam, Explaining the
“Conservative Turn”. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Wahid Institute. (2016). Year End Report of Religious Freedom in Indonesia. published in the
collaboration of The Wahid Institute and Canada