Perbedaan Self-Regulated Learning Ditinjau Dari Goal ...
Transcript of Perbedaan Self-Regulated Learning Ditinjau Dari Goal ...
i
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan self-regulated learning ditinjau dari
goal orientation (mastery goal dan performance-avoid goal) pada mata pelajaran bahasa
inggris diSMA Negeri 5 Ambon. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Subjek
penelitian berjumlah 78 siswa yang dibagi menjadi dua kelompok (39 siswa untuk kelompok
mastery goal dan 39 siswa untuk kelompok performance goal). Teknik sampling yang
digunakan adalah random sampling. Data penelitian diambil menggunakan skala self-
regulated learningdan skala goal orientation. Skala self-regulated learning terdiri dari 42
item dan 37 item dinyatakan lolos seleksi daya diskriminasi item dengan koefisien alpha
cronbachnya 0,918. Skala goal orientation terdiri dari 11 item mastery goal yang semuanya
lolos seleksi daya diskriminasi item dan 9 item performance goal yang semuanya lolos
seleksi daya diskriminasi item dengankoefisien alpha cronbach sebesar 0,933 untuk iitem
mastery goal dan 0,897 untuk item performance goal. Berdasarkan uji perbedaan
menggunakan teknik uji bedapearson product moment diperoleh nilai t = 0.528 dengan nilai
signifikansi atau p = 0,326. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan self-
regulated learning antara siswa mastery goal dengansiswa performance goal. Berdasarkan
hasil uji analisis menunjukkan bahwa self-regulated learningsiswa mastery goal dan siswa
performance goalsama-sama berada pada kategori sedang, sehingga tidak terdapat perbedaan
antara kedua kelompok tersebut.
Kata Kunci : Self-Regulated Learning, Goal Orientation (Mastery Goal, Performance-Avoid
Goal)
ii
ABSTRACT
This study aims to determine differences in self-regulated learning in terms of goal
orientation (mastery goals and performance-avoid goal) of English lesson at SMAN 5
Ambon. This research is quantitative. Samples are 78 students (39 students for mastery goal
group and 39 students for performance goal group). The sampling technique uses random
sampling. The data taken by using a scale of self-regulated learning and goal orientation
scale.Self-regulated learning scale consists of 42 items and 37 items passed the selection item
discrimination power and the cronbach alpha coefficient is 0.918.Goal orientation scale
consists of 11 items mastery goals were all passed the selection item discrimination power
and 9 items of performance goals that are all passed the selection item discrimination power
with Cronbach alpha coefficient is 0.933 for item mastery goal and 0.897 for performance
goal. Based on thet-testPearson product moment t = 0528 values obtained with significant
value p = 0.326. These results indicate that there is no difference between the self-regulated
learning student mastery goal with student performance goal. Based on the test results of the
analysis indicated that the self-regulated learning students' mastery goals and performance
goals students alike are in the middle category, so there is no difference between the two
groups.
Keywords: Self-Regulated Learning, Goal Orientation (Mastery Goal, Goal Performance-
Avoid).
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pendidikan bisa dikatakan sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia,
karena memiliki peran yang sangat menentukan bagi perkembangan dan
perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan negara.
Pendidikan sebagai salah satu institusi sosial memainkan peranan yang penting
dalam penyediaan tenaga kerja pakar, teknis, dan profesional. Pendidikan juga dapat
membentuk sikap, nilai serta pola pikir seperti keterbukaan terhadap perubahan,
inovasi, serta penggunaan sains dan teknologi dalam bidang kerja dan kehidupan
sehari-hari (Sidin, Long , Abdullah , & Mohamed 2001).
Upaya pemerintah untuk memajukan usaha pendidikan diaplikasikan dalam
berbagai cara seperti yang tertuang dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas), mengenai strategi dan pertahanan
untuk memperbaiki mutu kualitas pendidikan (Ali, 2007). Dalam pasal tersebut
dipaparkan bahwa penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dilakukan dalam tiga
tahap yaitu pendidikan dasar (SD, SMP, MTs atau bentuk lain yang sederajat);
pendidikan menengah (SMA, MA, SMK, dan MAK, atau bentuk lain yang
sederajat); dan pendidikan tinggi (diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor).
Untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan tersebut permerintah juga menyusun
program pendidikan dan perangkat mata mata pelajaran yang disebut kurikulum.Di
dalam kurikulum terdapat berbagai mata pelajaran yang sesuai dengan masing-
masing jenjang pendidikannya.
Seiring dengan berkembangnya kurikulum pendidikan di Indonesia, maka
tingkat kesulitan proses belajar juga semakin meningkat sehingga menuntut siswa
2
untuk lebih mengasah kemampuannya dalam belajar. Barry (2005) menjelaskan
bahwa kesiapan peserta didik (siswa) untuk menerima mata pelajaran juga sangat
menentukan keberhasilan proses penyelenggaran pendidikan. Namun dewasa ini,
sering kali ditemukan peserta didik (siswa) yang mengalami kesulitan dalam
mengikuti proses belajar, khususnya pada mata pelajaran tertentu yang dianggap
mereka sangat sulit. Salah satu mata pelajaran yang sering dianggap sulit oleh peserta
didik (siswa) adalah mata pelajaran Bahasa Inggris (Kompasiana, 2014). Mata
pelajaran Bahasa Inggris merupakan salah satu mata pelajaran wajib dalam
kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Bahasa Inggris memiliki peran penting
dalam dunia pendidikan karena digunakan sebagai bahasa komunikasi internasional,
bahasa ilmu pengetahan, teknologi, dan dipakai di hampir semua bidang
kehidupan.Banyak siswa mengeluhkan kesulitan dalam mengerjakan soal-soal
Bahasa Inggris dalam ujian nasional tahun 2014 (Okezone, 2014). Nadliroh (2013)
menjelaskan bahwa siswa SMA sering kali mengalami kesulitan dalam menulis text
report dalam Bahasa Inggris. Kesulitan yang sering dialami oleh siswa SMA terdapat
pada penguasaan kemampuan dasar yaitu, writing dan speaking. Oleh karena itu
pengaturan diri dalam pembelajaran mata pelajaran Bahasa Inggris perlu
ditingkatkan agar siswa dapat mencapai tujuan belajar.
Siswa yang mampu mengatur dirinya sendiri cenderung akan mengatur jam
belajar serta memilih strategi-strategi yang dapat menunjang prestasi akademiknya.
Kemampuan mengatur diri dalam pembelajaran, disebut dengan self-regulated
learning (SRL)(Zimmerman dalam Chen, 2002). SRL merupakan kemampuan
individu dalam pemantauan diri, pengaturan, dan pengendalian yang diarahkan oleh
tujuan belajar dan kondisi lingkungan.SRL berada pada penentuan tujuan,
3
perencanaan, dan memonitor diri yang menjadi aspek penting bagi prestasi anak dan
remaja (Schunk, Pintrich, & Meece, 2008). Siswa yang memiliki SRL tinggi akan
lebih memilih kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang cita-citanya. Bukti konkrit
siswa harus memilih hal yang dapat menunjang cita-citanya adalah pada saat siswa
menduduki bangku SMA.Siswa dituntut untuk mulai memilih jurusan seperti Ilmu
Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial atau Bahasa.Hal tersebut menunjukkan
bahwa siswa SMA seharusnya memiliki kemampuan SRL. Hasil dari penelitian
Pujiati (2010) dan Widiyastuti (2012) menunjukkan bahwa sebagian siswa belum
memiliki SRL yang optimal dengan menunjukkan perilaku terlambat datang ke
sekolah, tidak menyelesaikan tugas-tugas sekolah, mencontek pada saat ulangan,
kurang memanfaatkan fasilitas perpustakaan, tidak tuntasnya nilai KKM, rendahnya
keinginan untuk meminta perbaikan nilai, tidak memiliki jadwal belajar rutin, dan
belajar saat akan ujian dengan metode SKS.SRL selalu mengarah pada beberapa
tujuan, yang terangkum dalam beberapa tahap yang mencakup (1) memiliki dan
menentukan tujuan belajar, (2) membuat perencanaan dan (3) memilih strategi
pencapaian tujuan (Markus dan Wurf, dalam Deasyanti dan Anna 2007).
Salah satu penyebab perbedaan tingkat SRL siswa adalah perbedaan tujuan
belajar jangka panjang pada masing-masing siswa. Tujuan belajar (goal orientation)
merupakan kriteria yang digunakan siswa untuk memonitor dan memilih strategi
dalam proses belajar (Zimmerman 1989). Pintrich & Schunk (dalam Dedy & Wahyu,
2007) menjelaskan bahwa goal orientation merupakan pola keyakinan yang
mengarahkan pada cara yang berbeda dalam pendekatan penggunaan dan respon
terhadap prestasi. Goal orientation dikembangkan secara khusus untuk menjelaskan
cara belajar anak dan performance dalam menjalankan tugas-tugas akademiknya.
4
Menurut Schunk, Pintrich dan Meece (2008) siswa dengan tujuan dan efikasi diri
dalam mencapai keinginannya cenderung akan terlibat dalam kegiatan yang dia
percaya dapat menunjang keinginannya tersebut dengan memperhatikan proses,
berlatih mengingat informasi, berusaha dan bertahan. Ketika individu tidak memiliki
komitmen untuk mencapai tujuan maka dia tidak akan bekerja maksimal dan tidak
memiliki keinginan untuk berprestasi (Schunk, Pintrich & Meece, 2008). Di dalam
goal orientation terdapat dua karakteristik yang membedakan cara belajar dan
performance anak, antara lain: mastery goal dan performance goal. Mastery goal
adalah orientasi siswa untuk menguasai materi pelajaran, sedangkan performance
goal adalah orientasi siswa untuk mendapatkan hasil yang baik Pintrich & Schunk
(dalam Mattern, 2005).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa individu yang menggunakan
mastery goal sebagai tujuan belajarnya cenderung menggunakan strategi belajar yang
lebih efektif, lebih menyukai tantangan dan memiliki efikasi diri yang tinggi dari
pada individu yang menggunakan performance goal sebagai tujuan belajar (Ames,
1992; Elliot & Dweck, 1988; dan Wolters, 2004).Performance goal sendiri dipahami
sebagai bentuk perilaku maladaptive dalam belajar (Mattern 2005).Performance goal
orientation terbagi menjadi dua kategori yaitu performance-approach goal
orientation, yang didefinisikan sebagai keinginan menunjukan kompetensi yang
dimiliki dan menghindari penilaian negative dari orang lain, sedangkan performance-
avoid goal orientation didefinisikan sebagai keinginan individu untuk menghindari
situasi yang bisa menyangkal kompetensinya dan menghindari evaluasi negatif
(Walle, Brown, Cron, & Slocum, 1999). Sejumlah penelitian menghasilkan temuan
bahwa terdapat perbedaan outcome atau hasil belajar dari performance-approach dan
5
performance avoid. Performance-approach goal orientation lebih menghasilkan
outcomes yang positif dalam belajar seperti meningkatkan kemampuan belajar dan
menunjukan kemampuan terbaiknya dalam situasi pembelajaran, sedangkan
performance-avoid goal orientation lebih menghasilkan outcomes yang negatif
seperti penggunaan strategi belajar yang tidak dalam, menurunkan kemampuan
belajar, perilaku belajar yang merugikan (self-handicapping behavior), dan merusak
motivasi instrinsik dalam belajar. (Church, 2001; Harackiewicz, J. M, Barron, K. E,
Tauer, J. M, Carter, S. M, & Elliot, A.J. 2000), Barron & Harackiewicz, (2001)
menjelaskan bahwa penggunaan mastery-goal orientation dan performance-
approach dapat meningkatkan hasil pembelajaran yang positif bagi siswa.
Beberapa peneliti telah melakukan kajian mendalam mengenai pentingnya goal-
orientation untuk meningkatkan self-regulated learning. Penelitian yang dilakukan
oleh Matuga (2009) menghasilkan temuan bahwa goal-orientation berpengaruh
secara signifikan terhadap efektifitas self-regulated learning. Hasil penelitian
tersebut diperkuat oleh Bell dan Kozlowsky (dalam Puspitasari, 2013) yang
menghasilkan temuan bahwa learning-goal orientation berhubungan positif dan
signifikan dengan self-regulated learing siswa dalam belajar. Sama halnya dengan
Neuville, Frenay & Bourgeois (2007) yang menyimpulkan bahwa goal orientation
memberikan efek secara langsung terhadap self-regulated learning strategies.
Sedangkan VandeWalle, Brown, Cron, & Slocum (1999) menjelaskan bahwa
individu dengan performance goal orientation memiliki perkembangan kemampuan
yang lebih rendah dari pada individu yang memilikimastery goal orientation.
Selanjutnya, Puspitasari, Purwanto, & Noviyani (2013) menyimpulkan bahwa tingkat
self-regulated learning pada kriteria tinggi lebih didominasi oleh siswa dengan
6
mastery goal orientation dari pada siswa dengan performance goal orientation. Oleh
karena itu goal orientation merupakan salah satu faktor penting dalam penggunaan
self-regulated learning secara efektif dalam proses pembelajaran siswa.
Kajian dan penelitian yang dipaparkan mendukung kesimpulan bahwa goal
orientation memiliki peran penting dalam efektifitas self-regulated learning, dan
terdapat perbedaan antara mastery goal dan performance goal. Oleh karena itu
penulis bermaksud untuk melakukan penelitian terkait dengan perbedaan self-
regulated learning ditinjau dari goal orientation pada mata pelajaran Bahasa Inggris
di SMA Negeri 5 Ambon.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Self-Regulated Learning
Zimmerman (dalam Chen, 2002) menyatakan bahwa self-regulated learning
adalah individu yang aktif secara metakognitif, motivasional, dan behavioral
merupakan peserta aktif dalam proses belajar mereka sendiri. Schunkdan
Zimmerman (dalam Susanto, 2006), menyatakan bahwa self-regulated learning
dapat dipahami sebagai penggunaan suatu proses yang mengaktivasi pemikiran,
perilaku dan affect (perasaan) yang terus-menerus dalam upaya untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dalam
penelitian ini penulis menggunakan definisi self-regulated learing menurut
Zimmerman (dalam Chen, 2002) yang menyatakan bahwa self-regulated
learningadalah individu yang aktif secara metakognitif, motivasional, dan behavioral
merupakan peserta aktif dalam proses belajar mereka sendiri.
7
Aspek-aspek Self-Regulated Learning
Zimmerman dan Martinez-Pons (1990) menyatakanbahwa ada 3 aspek dari self-
regulated learning, yaitu: metakognitif, motivasi, dan perilaku.
a. Metakognitif adalah kemampuan individu dalam merencanakan,
mengorganisasikan atau mengatur, menginstruksikan diri, memonitor dan
melakukan evaluasi dalam aktivitas belajar.
b. Motivasi merupakan pendorong (drive) yang ada pada diri individu yang
mencakup persepsi terhadap efikasi diri, kompetensi otonomi yang dimiliki
dalam aktivitas belajar. Motivasi merupakan fungsi dari kebutuhan dasar
untuk mengontrol dan berkaitan dengan perasaan kompetensi yang dimiliki
setiap individu.
c. Perilaku (behavioral) merupakan upaya individu untuk mengatur diri,
menyeleksi, dan memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan
yang mendukung aktivitas belajar.
Faktor-faktor Yang Memengaruhi Self-regulated Learning
Thoresen dan Mahoney (dalam Zimmerman, 1989) memaparkan dari
perspektif sosial-kognitif, bahwa keberadaan self-regulated learning ditentukan
oleh tiga faktor, yaitu:
a. Faktor pribadi (Person). Persepsi self-efficacy siswa tergantung pada masing-
masing empat tipe yang mempengaruhi pribadi seseorang: pengetahuan siswa
(students knowledge), proses metakognitif, tujuan dan afeksi (affect).
Pengetahuan self-regulatedlearning harus memiliki kualitas pengetahuan
prosedural dan pengetahuan bersyarat (conditional knowledge).Pengetahuan
prosedural mengarah padapengetahuan bagaimana menggunakan strategi,
8
sedangkanpengetahuan bersyarat merujuk pada pengetahuan kapan dan
mengapa strategi tersebut berjalan efektif. Pengetahuan self-regulated
learning tidak hanya tergantung pada pengetahuan mahasiswa, melainkan
juga proses metakognitif pada pengambilan keputusandan performa yang
dihasilkan. Proses metakognitif melibatkan perencanaan atau analisis tugas
yang berfungsi mengarahkan usaha pengontrolan belajar dan mempengaruhi
timbal balik dari usaha tersebut. Pengambilan keputusan metakognitif
tergantung juga pada tujuan (goals) jangka panjang siswa untuk belajar.
b. Faktor perilaku (Behavior). Tiga cara dalam merespon berhubungan dengan
analisis self-regulated learning: observasi diri (self-observation), penilaian diri
(self-judgment), dan reaksi diri (self-reaction). Meskipun diasumsikan bahwa
setiap komponen tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam proses pribadi
yang tersembunyi (self), namun proses dari luar diri individu juga ikut
berperan. Setiap komponen terdiri dari perilaku yang dapat diamati, dilatih
dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, self-observation, self-judgment,
dan self-reaction dikategorikan sebagai faktor perilaku yang
memengaruhiself-regulated learning.
c. Faktor lingkungan (Environment). Setiap gambaran faktor lingkungan
diasumsikan berinteraksi secara timbal balik dengan faktor pribadi dan
perilaku. Ketika seseorang dapat memimpin dirinya, faktor pribadi digerakkan
untuk mengatur perilaku secara terencana dan lingkungan belajar dengan
segera. Individu diperkirakanmemahami dampak lingkungan selama proses
penerimaan dan mengetahui cara mengembangkan lingkungan melalui
penggunaan strategi yang bervariasi. Individu yang menerapkanself-regulation
9
biasanya menggunakan strategi untuk menyusun lingkungan, mencari bantuan
sosial dari guru, dan mencari informasi.
Goal Orientation
Goal orientation didefinisikan sebagai tujuan atau alasan dari keterlibatan dalam
perilaku mencapai tujuan (Pintrich, 2003). Goal orientation merefleksikan standar
yang digunakan siswa dalam mengukur performa atau kesuksesan mereka, yang
kemudian memeberikan arahan, dorongan, serta cara mencapai apa yang diinginkan.
Pada penelitian ini definisi operasional goal orientation mengacu pada (Ames dan
Archer 1998, dalam Schunk, Pintrich, dan Meece 2008) yang mengatakan Goal
orientation menentukan bagaimana seseorang berusaha untuk mencapai hasil yang
diinginkannya. Kemudian menurut Maehr dan Midgley (1991 dalam Shunck,
Pintrich, dan Meece 2008) ada tiga karakteristik goal orientation yaitu :
1. Task Focused / Mastery Goal
Karakteristik siswa dengan task focused suka belajar dari pekerjaan rumahnya
bahkan bila dia membuat banyak kesalahan, alasan siswa mengerjakan pekerjaan
sekolah karena siswa ingin belajar hal baru, dan alasan terakhir siswa adalah siswa
ingin menjadi lebih baik.
2. Performance-approach
Siswa dengan performance approach memiliki karakteristik adalah ingin
menunjukkan pada guru, bahwa dia lebih pintar dari siswa lain; siswa ingin
melakukan hal yang lebih baik daripada siswa lain di kelas; siswa akan merasa
sangat baik bila siswa tersebut menjadi satu-satunya siswa yang dapat menjawab
pertanyaan guru di kelas.
10
3. Performance-avoid
Karakteristik siswa dengan performance avoid, di mana siswa sangat penting tidak
terlihat bodoh di kelas, alasan siswa mengerjakan tugasnya agar orang lain tidak akan
berpikir bahwa siswa itu bodoh, alasan siswa menghindari tugasnya agar siswa tidak
terlihat tidak bisa mengerjakannya.
Jenis-jenis Goal Orientation
1. Mastery Goal
Mastery goal orientation merefleksikan fokus dalam belajar, menguasai
tugas sesuai dengan standar pribadi, mengembangkan keterampilan-keterampilan
baru, meningkatkan kompetensi, berusaha mencapai sesuatu yang menantang,
dan berusaha memperoleh pemahaman (Schunk, Pintrich, & Meece, 2008).
Siswa yang fokus pada mastery goal akan terkait dengan peningkatan
kompetensi belajar, cenderung termotivasi secara intrinsik, mencari tantangan
dan lebih kuat dalam menghadapi kesulitan (Dweck, 1999; Miller & Nichols,
1996, dalam Gibbs & Poskitt, 2010). Siswa yang memiliki mastery goalakan
terfokus pada pembelajaran, penguasaan tugas dengan dengan standar pribadi,
mengembangkan keterampilan baru, meningkatkan kompetensi dirinya, mencoba
untuk menaklukan sesuatu yang menantang, dan berusaha mendapatkan
pemahaman atau insight (Schunk, Pintrich, & Meece, 2008).
2. Performance Goal
Performance goal orientation merefleksikan fokus pada demostrasikan
kompetensi atau kemampuan dan bagaimana kemampuan tersebut dinilai oleh
orang lain; misalnya dengan melampaui standar performa normatif, berusaha
11
menjadi pribadi yang lebih baik dari orang lain, tidak ingin terlihat bodoh, dan
mencari perhatian orang lain berdasarkan performa yang diberikan (Ames, 1992;
Dweck & Leggett, 1988; Midgley et al., 1998; Pintrich 2000).
Selain itu performance goal pada siswa juga dikatakan sebagai keinginan
untuk menunjukkan kemampuan yang tinggi atau hanya untuk menyenangkan
guru (Schunk, Pintrich, & Meece, 2008). Goal orientation jenis ini digambarkan
sebagai penilaian terhadap kesuksesan yang mengacu pada membandingkan
kinerja diri dengan kinerja orang lain (Gibbs & Poskitt, 2010). Siswa dengan
performance goal cenderung berfokus pada pembuktian kemampuan mereka dan
lebih termotivasi oleh motivasi ekstrinsik (Dweck, 1999; Miller, Greene,
Montalvo, Ravindran, & Nichols, 1996 dalam Gibbs & Poskitt, 2010). Walle
dalam Pradiantie (2012) membagi performance goal ke dalam dua kategori yaitu
performance-approach goal orientation, dan performance-avoiding goal
orientation. Performance-approach goal orientation adalah keinginan
menunjukkan kompetensi dan menghindari penilaian negatif dari orang lain, dan
Performance-avoiding goal orientation adalah keinginan individu menghindari
situasi yang bisa menyangkal kompetensinya dan menghindari penilaian negatif
dari orang lain. Dalam penelitian ini penulis berfokus untuk mengukur
performance-avoiding goal pada siswa.
12
Perbedaan self-regulated learning ditinjau dari goal orientation (mastery goal
dan performance-avoid goal) pada mata pelajaran Bahasa Inggris di SMA
Negeri 5 Ambon
Dalam proses pembelajaran tentunya siswa sebaiknya menggunakan strategi
yang tepat dalam belajar agar proses belajar dapat berlangsung dengan maskimal.
Penggunaan strategi yang tepat dalam belajar dapat tercapai apabila siswa memiliki
SRL yang optimal dan mampu menerapkannya dalam proses belajar (Markus &
Wurf dalam Deasyanti & Anna, 2007). Siswa yang memiliki SRL yang tinggi
cenderung mampu untuk mengatur dirinya sendiri, terkait dengan pengaturan jam
belajar, pemilihan strategi belajar, perencanaan dan penetapan tujuan belajar
(Zimmerman dalam Chen, 2002).Pentingnya SRL dalam proses belajar ditunjukan
oleh Entwistle (dalam Saputra, 2005) yang menyampaikan bahwa kemajuan
akademik yang dicapai bergantung pada pola perilaku dan kemandirian belajar (self-
regulation learning). Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian Pujiati
(2010) dan Widiyastuti (2012) yang menghasilkan temuan bahwa sebagian siswa
belum memiliki SRL yang optimal dengan menunjukan perilaku terlambat datang ke
sekolah, tidak menyelesaikan tugas-tugas sekolah, menyontek pada saat ulangan,
kurang memanfaatkan fasilitas perpustakaan, tidak tuntasnya nilai KKM, rendahnya
keinginan untuk meminta perbaikan nilai, tidak memiliki jadwal belajar rutin, dan
belajar saat akan ujian saja.
Setiap siswa memiliki tingkat SRL yang berbeda satu sama lain (Zimmerman
1989).Salah satu penyebab tingkat SRL siswa adalah perbedaan tujuan belajar jangka
panjang pada masing-masing siswa. Tujuan belajar (goal orientation) merupakan
13
kriteria yang yang digunakan siswa untuk memonitor dan memilih strategi dalam
proses belajar (Zimmerman 1989). Hal itu disebabkan karena SRL selalu mengarah
pada beberapa tujuan, yang terangkum dalam beberapa tahap antara lain yaitu (1)
memiliki dan menentukan tujuan belajar, (2) membuat perencanaan dan (3) memilih
strategi pencapaian tujuan (Markus dan Wurf, dalam Deasyanti dan Anna 2007).
Goal orientation merefleksikan standart yang digunakan siswa dalam mengukur
performa atau kesuksesan mereka yang kemudian memberikan arahan, dorongan,
serta cara mencapai apa yang diinginkan dalam proses belajarnya (Mahesa, 2013).
Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa individu yang menggunakan mastery
goal sebagai tujuan belajarnya cenderung menggunakan strategi belajar yang lebih
efektif, lebih menyukai tantangan dan memiliki efikasi diri yang tinggi dari pada
individu yang menggunakan performance goal sebagai tujuan belajar (Ames, 1992;
Elliot & Dweck, 1988; dan Wolters 2004). Hasil tersebut didukung oleh penelitian
VandeWalle, Brown, Cron, & Slocum (1999) menjelaskan bahwa individu dengan
performance goal orientation memiliki perkembangan kemampuan yang lebih
rendah dari pada individu yang memiliki mastery goal orientation.Sama halnya
dengan penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari, Purwanto, & Noviyani (2013)
menyimpulkan bahwa tingkat self-regulated learning pada kriteria tinggi lebih
didominasi oleh siswa dengan mastery goal orientation dari pada siswa dengan
performance goal orientation. Oleh karena itu goal orientation merupakan salah satu
faktor penting dalam penggunaan self-regulated learning secara efektif dalam proses
pembelajaran siswa.
Perbedaan tingkat self-regulated learning antara siswa yang memiliki mastery
goal dengan siswa yang memiliki performance goal disebabkan karena siswa
14
mastery goal lebih mementingkan proses belajar dengan berusaha memahami dan
menguasai materi pelajaran yang akan membuat tingkat self regulated learning siswa
tinggi. Selain itu siswa yang memiliki mastery goal cenderung mencari tantangan,
menggunakan strategi pembelajaran efektif yang lebih tinggi, seperti strategi
metakognitif, pelaporan dan sikap terhadap sekolah yang lebih positif, dan memiliki
tingkat self-efficacy yang lebih tinggi (kepercayaan pada kemampuan diri untuk
berhasil dalam situasi tertentu). Sedangkan pada siswa yang memiliki performance
goal cenderung bergantung pada hal-hal diluar dirinya seperti menghadapi dorongan
dari luar, menghindari hukuman, atau berusaha keras demi mendapatkan pujian dari
orang lain. Siswa yang memiliki performance goal juga menggunakan stategi belajar
yang kurang baik seperti mengulang, mengopi bahan, dan mengingat kata demi kata
serta memandang gurunya sebagai hakim atau pemberi reward dan pemberi
punishment (hukuman) (Omrod 2010). Hal ini memungkinkan bahwa siswa dengan
mastery goal memiliki tingkat SRL yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa
dengan performance goal.
Dari pemaparan di atas diketahui bahwa goal orientation memegang peran
penting dalam mengoptimalkan SRL untuk menjadikan proses belajar yang lebih
efektif dan maksimal. Selain itu, goal orientation merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan perbedaan SRL pada siswa dalam proses belajar. Oleh karena itu
penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai perbedaan self-regulated learning
ditinjau dari goal orientation.
Hipotesis
Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah penulis kemukakan, maka dibuat
suatu hipotesis penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang siginifikanself-
15
regulated learningpada mata pelajaran Bahasa Inggris antara siswa yang
menggunakan mastery goal orientation dengan siswa yang menggunakan
performance-avoiding goal orientation. Siswa yang menggunakan mastery goal
memiliki self-regulated learning yang lebih tinggi pada mata pelajaran Bahasa
Inggris dibandingkan siswa yang menggunakan performance-avoiding goal.
METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 5 Ambon.
Sedangkan sampel dalam penelitian ini berjumlah 78 siswa kelas X SMA Negeri 5
Ambon yang dihitung berdasarkan formula yang digunakan untuk penarikan sampel
dalam penelitian (Supramono dan Utami, 2004), yaitu:
Keterangan:
n= jumlah sampel
N= ukuran Populasi
d= presentase kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan
sampel
Dengan demikian jumlah sampel yang diambil dari penilitian ini adalah sebesar 78
sampel, yang berasal dari:
= 340
340(0,1)2+1
= 77,2777777
= 78
n= N
Nd2 + 1
16
Prosedur Sampling
Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah random
sampling.Sampel dalam penelitian ini berjumlah 78 siswa dari total jumlah siswa
kelas X yaitu sebanyak 340 siswa dengan taraf signifikansi yang dikehendaki sebesar
10% menurut Nomogram Harry King (Sugiyono, 2013).
Pengukuran
Terdapat dua instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini. Instrumen yang pertama yaitu Motivated Strategies for Learning
Questionnaire (MSLQ) yang digunakan untuk mengukur self-regulated learning.
MSLQ merupakan instrument yang dikembangkan berdasarkan teori Zimmerman
dan Martinez-Pons (1990) oleh Wolters, Karabenick, dan Pintrich (2003) melalui
tiga dimensi self-regulated learning yaitu metakognitif, motivasi, dan perilaku.
Instrumen ini memiliki 42 item kuisioner dimana dalam penelitian ini MLSQ akan
dimodifikasi dan diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia.Berdasarkan pengujian alat
ukur yang telah dilakukan oleh Pintrich. Et, al. (2003) diketahui bahwa instrument
MSLQ memiliki tingkat koefisien reabilitas sebesar 0,88 untuk skala general
cognitive strategy dan 0,63 untuk skala self-regulation.
Instrumen yang ke dua yaitu Patterns of Adaptive Learning Scales (PALS) yang
digunakan untuk mengukur goal orientation. PALS dikembangkan oleh Midgley et.
al., (2000) berdasarkan teori yang dikemukakan Maehr dan Midgley (1991 dalam
Shunck, Pintrich, dan Meece 2008) yang membagi tiga karakteristik goal orientation
yaitu task focused/mastery goal, performance-approach goal dan performance-
avoiding goal. Dalam penelitian ini penulis hanya mengukur dua aspek yaitu mastery
goal dan performance-avoiding goal. Alat ukur ini memiliki 11 item kuisioner pada
17
aspek mastery goal dan 9 item kuisioner pada aspek performance-avoiding goal.
Untuk kepentingan penelitian penulis mengadaptasi dari instrumen PALS dan akan
menerjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Berdasarkan pengujian alat ukur yang
dilakukan oleh Midgley (1998) diketahui bahwa tingkat reabilitas instrument PALS
berkisar pada tingkat 0,63 untuk skala mastery goal dan 0,67 untuk skala
performance goal yang berarti alat ukur ini sangat layak digunakan untuk penelitian.
Pengelompokan antara siswa yang memiliki mastery goal dan siswa yang memiliki
performance avoid goal dengan cara membandingkan kriteria pada masing-masing
karaktersitik goal orientation siswa dibagi menjadi tiga bagian yaitu tinggi, sedang,
dan rendah Puspitasari, Purwanto, Noviyani, (2013). Setelah mengklasifikasikan
siswa sesuai dengan kriterianya pada keduakarakteristik goal orientation tersebut,
diambil kriteria keputusan sebagai berikut :
1. Siswa dikatakan kelompok mastery goal, apabila kriteria mastery goal lebih
dominan atau lebih tinggi daripada kriteria performance avoid goal
2. Siswa dikatakan kelompok performance avoid goal, apabila kriteria performance
avoid goal lebih dominan atau lebih tinggi daripada kriteria mastery goal
3. Siswa dikatakan tidak terbedakan atau tidak termasuk ke dalam
kelompokmastery goal maupun performance avoid goal, apabila kriteria kedua
kelompok memiliki hasil yang sama.
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Uji Seleksi Item dan Reliabilitas
Self-Regulated Learning
Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas Skala self-
regulated learning yang terdiri dari 42 item, diperoleh item yang gugur sebanyak 5
item dengan koefisien korelasi item totalnya bergerak antara 0,322-0,772.Sedangkan
teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah menggunakan teknik koefisien
Alpha Cronbach, sehingga dihasilkan koefisien Alpha pada Skala self-regulated
learning sebesar 0,918. Hal ini berarti Skala self-regulated learning reliabel.
Goal Orientation
1. Mastery Goal
Perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas kelompok mastery goal yang
terdiri dari 11 item, diperoleh semua item valid dengan koefisien korelasi item
total bergerak antara 0,628-0,824, dan koefisien Alpha pada kelompok mastery
goal sebesar 0,933 yang artinya kelompok tersebut reliabel.
2. Performance avoid Goal
Perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas kelompok performance goanl
yang terdiri dari 9 item, diperoleh semua item valid dengan koefisien korelasi
item total bergerak antara 0,491-0,869, dan koefisien Alpha pada kelompok
performance avoid goal sebesar 0,897 yang artinya kelompok tersebut reliabel.
Hasil Analisis Deskriptif
Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal, dan standar
deviasi sebagai hasil pengukuran skala self-regulated learningpada mata pelajaran
Bahasa Inggris antara siswa yang menggunakan mastery goal orientation dengan
19
siswa yang menggunakan performance-avoiding goal orientationdapat dilihat pada
tabel di bawah ini:
Tabel Statistik Deskriptif
Skala Interval Kategori MGO PGO Mean SD Max Min
f % f %
SRL 111 ≤ x < 148 Tinggi 18 46,15 15 38,46
111.77
15.300
62
144 74 ≤ x < 111 Sedang 20 51,29 24 61,54
37 ≤ x < 74 Rendah 1 2,56 0 0
Jumlah 39 100 39 100
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar siswa yang masuk dalam
kelompok mastery goal memiliki tingkat self-regulated learning yang tergolong
sedangyaitu 20 siswa atau sebesar 51,29%. Begitu juga dengan siswa yang termasuk
dalam kelompok performance goal orientation yang sebagian besar siswanya
memiliki tingkat self-regulated learning yang tergolongsedang yaitu dengan jumlah
24 siswa atau sebesar 61,54%, yang dimana skor paling rendah adalah 62, skor paling
tinggi adalah 144, dan rata-ratanya sebesar 111,77 dengan standar deviasi 15,300.
Analisis Data
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif
komparasi. Penelitian ini akan dilakukan di lingkungan sekitar SMA Negeri 5
Ambon penulis akan membagikan angket yang berisi dua instrumen (MSLQ dan
PALS) yang nantinya akan diisi oleh siswa SMA Negeri 5 Ambon yang telah
memenuhi kriteria sebagai sampel penelitian.Data yang sudah terkumpul nantinya
akan dianalisis dengan menggunakan aplikasi SPSS 16.0.
Perbedaan dari dua kelompok sampel, akan diukur menggunakan uji beda. Uji
beda yang dilakukan mengunakan pendekatan independentsampel t-test dengan
tujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rata-rata antara dua kelompok
sampel yang tidak berhubungan (Sugiyono, 2013).
20
Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas. Uji
normalitas dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
MG PG
N 39 39
Normal Parametersa Mean 111.77 108.62
Std. Deviation 15.300 12.758
Most Extreme
Differences
Absolute .124 .072
Positive .093 .049
Negative -.124 -.072
Kolmogorov-Smirnov Z .774 .448
Asymp. Sig. (2-tailed) .587 .988
Pada Skala self-regulated learningpada kelompok mastery goal orientation
diperoleh nilai K-S-Z sebesar 0,774 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar
0,587 (p>0,05). Sedangkan pada skor self-regulated learningpada kelompok
performance goal orientationmemiliki nilai K-S-Z sebesar 0,448 dengan probabilitas
(p) atau signifikansi sebesar 0,988. Dengan demikian kedua jenis kelompok
berdistribusi normal.
Sementara dari hasil uji homogenitas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel Uji Homogenitas
Test of Homogeneity of Variances
SLR
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
.403 1 76 .528
Dari tabel di atas dapat dilihat nilai signifikansi dari uji homogenitas dari
sampel self-regulated learningpada kelompok mastery goal orientation dan self-
21
regulated learningpada kelompok performance goal orientation sebesar 0.528.
Karena signifikansi 0,909 > 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini
bersifat homogen atau memiliki varians yang sama.
Uji-t
Dari perhitungan uji-t, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel Hasil Uji-t self-regulated learning pada kelompok mastery goal
orientationself-regulated learning pada kelompok performance avoid goal
orientation
Independent Samples Test
Levene's Test
for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. T df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
S
R
L
Equal variances
assumed .403 .528 .989 76 .326 3.154 3.190 -3.199 9.507
Equal variances
not assumed .989 73.623 .326 3.154 3.190 -3.203 9.510
Hasil perhitungan uji beda (uji-t), diperoleh nilai t-hitung adalah sebesar 0,528
dengan signifikansi = 0,326 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan antara self-regulated learningpada kelompok mastery goal orientation
dan kelompok performance avoidgoal orientation.
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisa data penelitian mengenai perbedaan self-regulated
learning ditinjau dari goal orientation (mastery goal dan performance avoid goal)
pada mata pelajaran Bahasa Inggris di SMA Negeri 5 Ambon dengan menggunakan
program SPSS versi 16.0, diperoleh t-hitung sebesar 1, 989 dengan signifikansi 0,
22
326 > 0,05 yang artinya Ho diterima dan H1 ditolak. Dapat disimpukan bahwa tidak
terdapat perbedaan self-regulated learning antara siswa yang menggunakan mastery
goalorientation dengan siswa yang menggunakan performance avoid goal
orientation. Penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh
Matuga (2009) menghasilkan temuan bahwa goal-orientation berpengaruh secara
signifikan terhadap efektifitas self-regulated learning. Hasil penelitian tersebut
diperkuat oleh Bell dan Kozlowsky (dalam Puspitasari 2013) yang menghasilkan
temuan bahwa learning-goal orientation berhubungan positif dan signifikan dengan
self-regulated learing siswa dalam belajar.Sama halnya dengan Neuville, dkk. (2007)
yang menyimpulkan bahwa goal orientation memberikan efek secara langsung
terhadap self-regulated learning strategies. Sedangkan VandeWalle, dkk.(1999)
menjelaskan bahwa individu dengan performance goal orientation memiliki
perkembangan kemampuan yang lebih rendah dari pada individu yang memiliki
mastery goal orientation.Selanjutnya, Puspitasari, dkk. (2013) menyimpulkan bahwa
tingkat self-regulated learning pada kriteria tinggi lebih didominasi oleh siswa
dengan mastery goal orientation dari pada siswa dengan performance goal
orientation.
Tidak adanya perbedaan self-regulated learning ditinjau dari goal orientation
antar dua kelompok siswa dimungkinkan ada beberapa faktor yang memengaruhi
antara lain :Faktor pribadi (Person). Persepsi self-efficacy siswa tergantung pada
masing-masing empat tipe yang mempengaruhi pribadi seseorang: pengetahuan
siswa (students knowledge),proses metakognitif, tujuan dan afeksi (affect)
(Zimmerman, 1989). Keempat tipe ternyata tidak nampak pada siswa SMA Negeri 5
Ambon, yang dimana menurut Kepala Sekolah dan guru BK nya bahwa saat guru
23
memberikan pembelajaran di kelas rata-rata siswa hanya diam dan tidak memberikan
pendapat jika diminta oleh guru, atau ketika guru menanyakan materi pelajaran,
siswa tidak mampu menjawab ataupun ketika memberikan jawaban mengatakan
bahwa tidak tahu jawabannya. Selain itu, proses berpikir siswa dalam memahami dan
menangkap materi yang disampaikan oleh guru masih belum maksimal atau dengan
kata lain mereka lama dalam memahami dan menangkap materi yang disampaikan
oleh guru. Kemudian kebanyakan siswa SMA Negeri 5 Ambon juga tidak memiliki
tujuan belajar yang baik dan pembawaan belajar mereka di sekolah juga kurang
maksimal. Mereka kebanyakan datang ke sekolah duduk mendengar materi dari guru
dan kemudian jika jam pulang sekolah mereka langsung pulang, padahal siswa yang
baik dalam belajar adalah siswa-siswa yang mampu aktif dalam belajarnya, namun
hal ini tidak ditemukan pada siswa SMA Negeri 5 Ambon. Dari apa yang
disampaikan oleh kepala sekolah dan guru BK, ternyata juga sesuai dengan yang
penulis observasi langsung proses pembelajaran siswa di kelas, bahwa para siswa
SMA Negeri 5 Ambon masih memiliki pengetahuan dalam belajar yang minim, cara
berpikir untuk menghubungkan teori dengan praktik atau pengetahuan yang mereka
miliki sebelumnya dengan yang mereka peroleh melalui proses pembelajaran di kelas
yang masih belum maksimal, danbelum memiliki tujuan yang pasti dari proses
belajar yang mereka alami serta perasaan bahagia ketika mengikuti proses
pembelajaran yang masih kurang.
Hal ini bertolak belakang dengan yang di ungkapkan oleh Zimmerman (1989)
bahwa pengetahuan self-regulated learning harus memiliki kualitas pengetahuan
prosedural dan pengetahuan bersyarat (conditional knowledge). Pengetahuan
proseduralmengarah pada pengetahuan bagaimana menggunakan strategi, sedangkan
24
pengetahuan bersyarat merujuk pada pengetahuan kapan dan mengapa strategi
tersebut berjalan efektif. Pengetahuan self-regulated learning tidak hanya tergantung
pada pengetahuan siswa, melainkan juga poses metakognitif pada pengambilan
keputusan dan performa yang dihasilkan. Proses metakognitif melibatkan
perencanaan atau analisis tugas yang berfungsi mengarahkan usaha pengontrolan
belajar dan mempengaruhi timbal balik dari usaha tersebut. Pengambilan keputusan
metakognitif tergantung juga pada tujuan (goals) jangka panjang siswa untuk
belajar. Faktor yang kedua yaitu perilaku (Behavior). Tiga cara dalam merespon
berhubungan dengan analisis self-regulated learning: observasi diri (self-
observation), penilaian diri (self-judgment), dan reaksi diri (self-reaction).
Meskipun diasumsikan bahwa setiap komponen tersebut dipengaruhi oleh
berbagai macam proses pribadi yang tersembunyi (self), namun proses dari luar
diri individu juga ikut berperan. Setiap komponen terdiri dari perilaku yang
dapat diamati, dilatih dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, self-
observation, self-judgment, dan self-reaction dikategorikan sebagai faktor perilaku
yang memengaruhi self-regulated learning. Faktor yang ketiga yaitu lingkungan
(Environment). Hal ini terbukti ketika ada jadwal mata pelajaran yang tidak terisi
(jam kosong) para siswa SMA Negeri 5 Ambon tidak bisa belajar mandiri atau ke
perpustakaan. Mereka hanya bermain di kelas atau keluar ke kantin padahal belum
waktunya untuk istirahat.Selain itu, ketika jam pulang sekolah para siswa SMA
Negeri 5 Ambon tidak langsung pulang ke rumah. Mereka malah bepergian dengan
teman-teman sekelasnya. Hal inilah yang menyebabkan siswa yang bearada dalam
kategori mastery goal dan performance goal tidak memiliki perbedaan yang spesifik
dalam menjalankan belajarnya di sekolah, sehingga berpengaruh pada self-regulated
25
learning-nya pula. Selain itu, yang menyebabkan kedua kelompok tidak memiliki
perbedaan, dikarenakan kondisi belajar anak di rumah, dimana jika anak pulang
sekolah biasanya orangtuanya tidak mempedulikan waktu belajar di rumah, sehingga
anak setelah pulang sekolah mereka kemudian pergi meninggalkan rumah sampai
larut malam baru kembali pulang ke rumah untuk melangsungkan tidur. Hal inilah
yang menyebabkan konsentrasi siswa dalam belajar yang menurun, sehingga nampak
bahwa siswa dalam meregulasi dirinya dalam belajar juga berkurang.
Setiap gambaran faktor lingkungan diasumsikan berinteraksi secara timbal
balik dengan faktor pribadi dan perilaku. Ketika seseorang dapat memimpin
dirinya, faktor pribadi digerakkan untuk mengatur perilaku secara terencana dan
lingkungan belajar dengan segera. Individu diperkirakan memahami dampak
lingkungan selama proses penerimaan dan mengetahui cara mengembangkan
lingkungan melalui penggunaan strategi yang bervariasi. Individu yang menerapkan
self-regulation biasanya menggunakan strategi untuk menyusun lingkungan,
mencari bantuan sosial dari guru, dan mencari informasi Thoresen dan Mahoney
(dalam Zimmerman, 1989). Ketiga penjelasan di atas sangat berkaitan dengan
kenyataan yang terjadi ketika penulis melakukan penelitian di sekolah, didapati
bahwa kesadaran diri siswa untuk mengatur diri dalam belajar sangat kurang.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan self-regulated learningpada
mata pelajaran Bahasa Inggris antara siswa yang menggunakan mastery goal
26
orientation dengan siswa yang menggunakan performance-avoiding goal
orientation.
Saran
Setelah penulis melakukan penelitian dan pengamatan langsung dilapangan serta
melihat hasil penelitian yang ada, maka berikut ini beberapa saran yang penulis
ajukan:
1. Bagi subjek penelitian. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan bagi
subjek penelitian (siswa) agar lebih bisa untuk belajar mandiri dan meningkatkan
self-regulated learning mereka ketika tidak ada guru di kelas, maupun ketika
berada di rumah.
2. Bagi Sekolah dan guru. Hendaknya pihak sekolah terutama bagi para guru agar
dapat memperhatikan serta mengontrol kegiatan belajar siswa di kelas serta
meningkatkan self-regulated learning siswa.
3. Bagi Orang tua. Disarankan bagi orang tua siswa agar dapat mengontrol kegiatan
belajar anak ketika berada di rumah, karena selain peran guru di sekolah peran
orang tua sangat penting bagi proses perkembangan serta keberhasilan anak dalam
proses belajar.
4. Bagi Peneliti selanjutnya. Peneliti selanjutnya dapat mengukur lebih mendalam
tentang variabel goal orientation dengan membedakan siswa dalam tiga karakteristik,
yaitu mastery goal, performance-approach goal dan performance-avoid goal dan
variabel self-regulated learning.
27
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. (2007). Ilmu dan aplikasi pendidikan. Cetakan kedua. Bandung: PT
IMTIMA.
Ames, C. (1992). Classrooms: Goals, structures, and student motivation. Journal of
EducationalPsychology, 84, 261-271.
Azwar, S. (2012).Penyusunan skala psikologi.Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Barron, K.E., & Harackiewicz, J.M. (2001). Achievement goals and optimal
motivation: Testing multiple goal models. Journal ofEducational Psychology,
80, 706-722.
Chen, C. S. (2002). Self-Regulated Learning Strategies And Achievement In
AnIntroduction To Information Systems Course. Information Technology,
Learning And Performance Journal. Vol 20, No 1, 11-25.
Church, M.A., Elliot, A.J., & Gable, S.L. (2001). Perceptions of classroom
environment, achievement goals, and achievement outcomes. Journal of
Educational Psychology, 93, 43-54.
Deasyanti, &Anna, A. R. (2007).Self regulation learning pada mahasiswa fakultas
ilmu pendidikan universitas negeri Jakarta.Perspektif Ilmu Pendidikan. 16 : 13-
21
Dweck, C. (1999). Self-theories; Their role in motivation, personality and
development. Philadelphia: psychology press.
Elliot, E.S., & Dweck, C.S. (1988). Goals: An approach to motivation and
achievement. Journal ofPersonality and Social Psychology, 54, 5-12.
Gibbs. R, & Poskitt, J. (2010).Student Engagement in The Middle Years of
Schooling (years 7-10): A literature Review
Harackiewicz, J.M., Barron, K.E., Tauer, J.M., Carter, S.M., & Elliot, A.J.
(2000).Shortterm and longterm consequences of achievement goals: Predicting
interest and performance over time. Journal of Educational Psychology, 92,
316-330.
Harahap, F. R. Belajar berbahasa inggris.Diakses pada tanggal 16 September
2014.http://kampus.okezone.com/read/2014/04/16/560/971173/aksen-dalam-un-
bahasa-inggris-bikin-siswa-bingung
Mattern, R. A (2005).College Students’ Goal Orientations and
Achievement.International Journal of Teaching and Learning in Higher
Education 2005, Volume 17, Number 1, 27-32
28
Matuga, J. M. (2009). Self-Regulation, Goal Orientation, and Academic
Achievement of Secondary Students in Online University Courses.Educational
Technology & Society, 12 (3), 4-11.
Midgley.(1998).Adaptive learning. Diaakses pada tanggal tanggal 24 September
2014 darihttp://www.statisticssolutions.com/patterns-of-adaptive-learning-
scales-pals/
Nadliroh.(2013). Diakses pada tanggal 16 September 2014. Dari
https://vidhawords.wordpress.com/
Neuville, S., Frenay, M., & Bourgeois, E. (2007). Task value, self-efficacy and goal
orientations : impact on self-regulated learning, choice and performance among
university students. Psychologica Belgica, 47(1-2), 95-117.
Ormrod, J. E. (2010). Educational Psychology: Developing Learners (7th Edition).
Colorado: Pearson.
Pintrich, P. R. (2000). Multiple goals, multiple pathways: The role of goal orientation
in learning and achievement. Journal of Educational Psychology, 92, 544-555.
Pintrich, P. R. (2003). A Motivational science perspective on the role of student
motivation in learning and teaching contexts.Journal of educational psychology,
4, 667-686.
Pradiantie, R. (2012). Hubungan Antara Self Efficacy Dengan Goal Orientation Pada
Mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara Yang Sedang
Menjalani Skripsi.Tesis(tidak diterbitkan). Universitas Bina Nusantara.
Pujiati, I. N. (2010). Hubungan Antara Efikasi Diri Dengan Kemandirian Belajar
Siswa : Studi Terhadap Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Rajapolah Kabupaten
Tasikmalaya Tahun Ajaran 2010/2011. Skripsi (online). Bandung: UPI.
Puspitasari A., Purwanto E., Noviyani D. I, (2013).Self-regulated learning ditinjau
dari goal orientation.Educational Psychology Journal.Fakultas Psikologi
Universitas Negeri Semarang.
Schunk, H. D, Pintrich, P. R., & Mecce.L.J. (2008). Motivational In Education:
theory, research, and application. Ohio : Pearson Press
Septi (2014).Penghapusn pelajaran bahasa inggris di sekolah.Diunduh pada tanggal
16 September 2014. Dari ///http://edukasi.kompasiana.com/2014/04/28/dilema-
penghapusan-mata-pelajaran-bahasa-inggris-di-sekolah-dasar-650017.html
Sidin, R., Long, J., Abdullah, K., & Mohamed, P. (2001). Pembudayaan sains dan
teknologi: kesan pendidikan dan latihan di kalangan belia di Malaysia. Jurnal
Pendidikan 27 (2001) 35-45.
Sugiyono.(2013). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alphabeta.
Sukadji, S.,& Evita E. S. S. (2001).Sukses di perguruan tinggi.(Edisi Khusus).
Depok: Psikologi Pendidikan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
29
Supramono, dan Utami.I., (2004).Desain Proposal Penelitian Akuntansi dan
Keuangan. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Susanto, H. (2006). Mengembangkan kemampuan self-regulated learing untuk
meningkatkan keberhasilan akademik siswa.Jurnal Pendidikan Penabur.
No.07/th V/Desember 2008, 64-71.
VandeWalle, Brown, Cron, & Slocum (1999). The influence of goal orientation and
self-regulated tactics on sales performance : A longitudinal field test. Journal Of
Applied Psychology,84 (2), 249-259.
Zimmerman, B. J. (1989). A Social Cognitive view of self-regulated academic
learning. Journal of Educational Psychology, 3, 329-339.
Zimmerman, B. J. (2000). Attaining self-regulated learing: a social cognitive
perspective.Dalam Boekarts, M., Pintrich, R. P., & Zeidner, M. Handbook of
self-regulated learing. Pp. 13-39 San Diego, CA: Academik Press
Zimmerman, B. J., & Matinez-Pons, M, (1990). Construct validation of a strategy
model of student self-regulated learning. Journal of Education Psychology, Vol.
80, 284-290.