PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG...

24
Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS 206 PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis 1 [email protected] Abstrac A study of the laws about Sharia banking in Indonesia can be examined completely through the fatwas from the National Sharia Board of the Indonesia Council of Ulama (DSN-MUI). This is important because the suitability of the Sharia practice of Islamic banking based on the fatwa. Fatwas are essentially non-binding but become binding once absorbed into national law. Therefore, when Indonesia discusses and compiles Islamic banking laws then the discussion materials refer to the fatwas from the DSN-MUI. The results of research into the Bank Indonesia regulations and Law No. 21 2008 about Islamic banking, show that the majority of fatwas were absorbed into Islamic banking laws and regulations. Even the names and legal terms follow the terms used in the fatwas. Only some of the fatwas could not be absorbed into the legislation as they were in opposition to existing banking regulations. Kata Kunci: Penyerapan, Fatwa, Syariah, Fiqih dan Undang-undang 1 Dosen Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam – Program Pascasarjana Universitas Indonesia

Transcript of PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG...

Page 1: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

206

PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

M.Cholil Nafis1

[email protected]

Abstrac

A study of the laws about Sharia banking in Indonesia can be examined completely through the fatwas from the National Sharia Board of the Indonesia Council of Ulama (DSN-MUI). This is important because the suitability of the Sharia practice of Islamic banking based on the fatwa. Fatwas are essentially non-binding but become binding once absorbed into national law. Therefore, when Indonesia discusses and compiles Islamic banking laws then the discussion materials refer to the fatwas from the DSN-MUI. The results of research into the Bank Indonesia regulations and Law No. 21 2008 about Islamic banking, show that the majority of fatwas were absorbed into Islamic banking laws and regulations. Even the names and legal terms follow the terms used in the fatwas. Only some of the fatwas could not be absorbed into the legislation as they were in opposition to existing banking regulations. Kata Kunci: Penyerapan, Fatwa, Syariah, Fiqih dan Undang-undang

1 Dosen Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam – Program Pascasarjana Universitas Indonesia

Page 2: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

207

MUKADDIMAH Kajian terhadap fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) khususnya mengenai fiqh mu‘amalah maliyyah (hukum ekonomi syariah) tidak dapat dipisahkan dengan tradisi fatwa2 ulama salaf dalam bidang fiqh. Mereka telah mengemukakan dan memberi jawapan masalah menurut landasan agama pada zamannya. Secara umum, fatwa bertujuan untuk menjelaskan tentang hukum syara’ yang berhubungan dengan permasalahan yang tidak dapat dirujuk kepada nash (al-Quran dan al-Sunnah) atau tidak dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh.3 Pada mulanya, fatwa di Indonesia sepenuhnya dikeluarkan oleh ulama secara perseorangan dan hal ini berlaku hingga awal abad ke-20.4 Pada separuh kedua abad ke-20, beberapa fatwa telah pun mulai dikeluarkan oleh para ulama secara berkelompok. Pada tahun 1926,

2 Dalam bahasa Arab, kata fatwa adalah

bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamaknya adalah fatawa. Orang yang memberi fatwa disebut mufti, sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti.

3 Ahmad Hidayat Buang (2004), Analisis Fatwa-Fatwa Syariah di Malaysia, dalam: Fatwa di Malaysia, Kuala Lumpur: Jabatan Syariah dan Undang-Undang Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, h. 163.

4 Deliar Noer (1995), Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, c. VII. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, h. 9.

para ulama tradisionalis5 telah membentuk organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan mulai mengeluarkan fatwa untuk para pengikutnya melalui6 sebuah lajnah yang dinamakan Lajnah Bahth al-Masa’il. Mereka mengeluarkan fatwa untuk pertama kalinya pada tahun tersebut pada saat diresmikan Nahdlatul Ulama (NU) itu. Sedangkan, para ulama modernis,7 yang memiliki pendirian

5 Ulama tradisionalis adalah istilah yang

masyhur di Indonesia yang merujuk kepada ulama yang mempunyai corak pemikiran bermazhab kepada salah satu mazhab yang empat, iaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali serta lebih berorientasi kepada adat setempat. Bahkan, istilah ini lebih masyhur penggunaannya yang ditujukan kepada para ulama dari organisasi Nahdltul Ulama.

6 Lajnah Bahtsul Masail adalah panitia ad hoc yang selanjutnya menjadi lembaga dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang berfungsi sebagai suatu forum yang mengkaji tentang masalah-masalah keagamaan (Islam). Lajnah ini menghimpun, mengkaji dan memutuskan masalah-masalah yang menuntut kepastian hukum dalam bidang fiqh berdasarkan kepada pandangan empat mazhab iaitu Hanafi, Maliki, Shafi‘i dan Hanbali. Ahmad Zahro (2004), Lajnah Bahtsul MasÉil 1926-1999: Tradisi Intelektual NU, c. I. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta, h. 5.

7 Ulama Modernis adalah organisasi mayarakat Islam yang merujuk kepada ulama yang mempunyai corak pemikiran bahwa ijtihad dapat dirujuk terus kepada al-Quran dan al-Hadith tanpa terikat kepada beberapa Mazhab Fiqh tertentu. Istilah ini lebih dikenali untuk merujuk

Page 3: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

208

ijtihad secara langsung merujuk kepada al-Quran dan al-Sunah, telah membentuk organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912 dan mengklaim diri sebagai organisasi Islam beraliran puritan-modernis.8 Pada awalnya Muhammadiyah tidak memberi penekanan dalam persoalan fatwa, namun pada tahun 1927, organisasi itu telah membentuk panitia khasus yang diberi nama Majelis Tarjih. Tugas utama majelis ini adalah mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan keagamaan (agama Islam) secara umum, dan menetapkan hukumnya secara khusus berlandaskan syariat Islam.9 Pada perkembangan berikutnya, dalam tahun 1975, telah dibentuk sebuah majelis yang dinamakan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Majelis ini beranggotakan para ulama dari pelbagai kalangan, baik dari ulama kalangan tradisionalis maupun dari pihak modernis. Melalui perhimpunan tersebut, mereka telah bersama-sama dalam menetapkan dan mengeluarkan fatwa. Sejak pembentukannya pada tahun 1975 hingga sekarang, MUI telah menetapkan

kepada para ulama Indonesia dari organisasi Muhammadiyah

8 Suaidi Asya’ari, “Ijtihad-Based Politics: The Muhammadiyah Political Participation In Post-Soeharto Indonesia”, dalam Jurnal Studia Islamika, Volume 15, N0 1, 2008, h. 27-97

9 Lihat Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah (t.t.), Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, c. III. Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

dan mengeluarkan banyak fatwa, baik berkaitan dengan ritual keagamaan, pernikahan, kebudayaan, politik, ilmu pengetahuan, pengobatan maupun fatwa dalam transaksi ekonomi. Sebahagian besar daripada fatwa-fatwa tersebut telah dihimpunkan dalam Kumpulan Fatwa Majlis Ulama Indonesia,10Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia11dan Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majalis Ulama Indonesia.12 Dalam perkembangan berikutnya, MUI yang berperanan sebagai payung lembaga-lembaga keagamaan (Islam) di Indonesia menganggap perlunya untuk membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN).13 Tugas utama DSN ini adalah 10 Mohammad Atho' Mudzhar, Fatwa-Fatwa

Majelis Ulama Indonesia, Soedarso Soedarsono (terj.), Jakarta: INIS, h.5.

11 Diterbitkan oleh Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen agama RI 2003.

12 Diterbitkan atas kerjasama Dewan Syariah Nasional MUI dengan Bank Indonesia 2006.

13 Dewan Syariah Nasional (DSN) didirikan pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi Loka karya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga yang mandiri (autonomi) di bawah Majlis Ulama Indonesia yang dipimpin oleh Ketua Umum MUI dan Sekretaris Umum (ex-officio). DSN digerakkan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua dan sekretaris serta beberapa anggota. Muhammad Syafi'i Antonio (2001), Bank Syariah, dari Teori ke Praktik, c. I. Jakarta: Gema Insani Pres bekerja sama dengan Tazkia Cendekia, h. 32.

Page 4: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

209

untuk menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah, mengeluarkan fatwa berkenaan dengan jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan Syariah, dan mengawasi seluruh lembaga kewangan syariah, termasuk juga bank Syariah.14 Hal ini bertujuan untuk memberi kepastian dan jaminan hukum Islam dalam masalah keuangan syariah, khususnya perbankan syariah yang telah mendapat peluang beroperasi sejak disahkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.15 Istilah "ekonomi syariah atau bank syariah" sebenarnya adalah istilah khusus yang ada di Indonesia dan tidak dijumpai di negara-negara lain. Di tempat lain, lembaga itu disebut "ekonomi Islam atau bank Islam (Islamic bank)".16 Di antara kandungan undang-undang itu ialah membenarkan bank konvensional beroperasi melalui sistem perkongsian bagi hasil (profit-sharing). Kemudian pada zaman reformasi, muncul perubahan dalam undang-undang itu melalui penggubalan Undang-undang Nomor 10

14 Keputusan Dewan Syariah Nasional

Majelis Ulama Indonesia Nombor 01 Tahun 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (PD DSN-MUI) IV. Tugas dan Wewenang.

15Ibid., h. 223. 16 Dawam Rahardjo (2004), Menegakkan

Syari'at Islam di Bidang Ekonomi, dalam pengantar buku Ir. Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Kewangan, c. II. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, h. xx.

Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nombor 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan. Pada 18 Jun 2008 Undang Undang Perbankan Syariah (UU PS) rasmi disahkan oleh parlemen dan diundangkan pada tanggal 16 Juli 2008, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 94 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867.

URGENSI FIQH ISLAM Fiqh merupakan hasil pemikiran dari interaksi antara teks dengan konteks. Menurut Muhammad Kamāluddīn Imām, kajian dalam bidang fiqh akan terus berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan realitas kehidupan di bawah bimbingan wahyu.17Untuk itu, fiqh Islam dapat menjadi cermin perilaku kehidupan umat Islam dan peradaban sosial masyarakat muslim pada masa tertentu.18 Oleh sebab kedudukan fiqh yang menonjol, maka tidak heran apabila terdapat pandangan yang menyatakan bahwa, jika peradaban Islam bolehdiungkapkan dengan salah satu produknya, maka dapat dinamakan sebagai peradaban fiqh sebagaimana bangsa Yunani yang disamakan dengan peradaban filsafat. Bahkan menurut

17 Muhammad Kamaluluddin Imām

(1998M/1418H), Nazhriyah al-Fiqh fi al-Islām, Beirut: al-Mu'assasah al-Jāmi’ah li al-Dirāsāt wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, h. 15

18 Mannā’ al-QaÏÏān (1984 M/1404H), al-Tasyrī‘ wa al-Fiqh fi al-Islām Tārīkhan wa Manhajan, c. 3. Kaherah: Maktabah Wahbah, h. 9-10.

Page 5: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

210

Gibb, kegiatan dan pemikiran yang menonjol pada masa permulaan Islam adalah dalam bidang hukum19 bukan dalam bidang pemikiran.20 Oleh sebab itu, banyak di kalangan pengkaji Islam yang membuat kesimpulan bahwa tidak mungkin Islam difahami dengan baik tanpa pengetahuan secara komprehensif tentang fiqh.21 Pelaksanaan hukum Islam (fiqh) dianggap sebagai bentuk ketundukan kepada Allah SWT. Hal ini karena, fiqh tidak hanya mengatur hal-hal yang berhubungan dengan ritual semata, akan tetapi ia juga mengatur seluruh aspek kehidupan manusia mulai dari hubungan peribadinya dengan Tuhan, hubungan dengan dirinya sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat, serta hubungan dengan orang yang bukan muslim dan di luar dari negaranya

19 Kata “Hukum” berasal dari bahasa Arab

Hukm, bentuk jamaknya adalah ahkām, yang berarti “putusan” (judgement, verdict, decision), “ketetapan” (provision), “perintah” (command), “pemerintahan” (government), “kekuasaan” (authority, power), “hukuman” (sentence) dan lain-lain. (Hans Wehr, (1980), A dictionary of modern written Arabic, London: Macdonald & Evans Ltd., h. 196)

20 H. A. R. Gibb (1962), Mohammadenism, New York: Oxford University Press, h. 88-89.

21 Daniel S. Lev (1972), Islamic Courts in Indonesia, Berkeley: University of Calofornia Press, h. 228, ia mengatakan: "but for many devout Muslims, traditional and modernist, Islam without law is imaginable."

sendiri.22 Dengan kata lain, melalui fiqh, umat Islam berusaha untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak Allah dan mendapat keredaan-Nya, karena tujuan akhir dari ilmu fiqh adalah untuk mencapai keridhaan Allah SWT dengan pelaksanaan syariat-Nya23. Dalam Islam, fiqh mempunyai dua fungsi, pertama sebagai hukum positif dan kedua sebagai standard moral. Hukum positif adalah merujuk kepada berfungsinya seperti hukum-hukum positif lainnya dalam mendapatkan legitimasi dari badanjudikatif (perundangan). Manakala perananfiqh sebagai standard moral adalah merujukkepada tidak semua hukum fiqh mendapat justifikasi dan legitimasi peradilan. Hal ini seperti hukum mubah, makruh dan bahkan hukum wajib serta haram pun tidak boleh sepenuhnya berada di bawah kuasa peradilan untuk menetapkan sesuatu hukum.24 Menurut Ziya Gokalp, fiqh di samping bersifat diyani25(keagamaan) dengan arti

22 Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy

(2001), Pengantar Hukum Islam, c. II. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, h. 30-48.

23 A. Djazuli (2005), Ilmu Fiqh, c. V. Jakarta: Orba Sakti, h. 31.

24 Nirwan Syafrin (2005), “Konstruk Epistemologi Islam, Telaah Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh”, Jurnal Telaah Utama Islam, Kuala Lumpur: ISTAC-IIUM, THN II, No. 5/ April-Jun, h. 37.

25Diyani adalah kata sifat dari kata diyanah. Manakala kata diyanah adalah bentuk masdar (infinitive noun) dari kata kerja

Page 6: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

211

sangat bergantung kepada ketaatan individu yang menjadi subjek hukum, dan juga bersifat qadla’ dengan arti berhubungan dengan permasalahan perundangan dan pengaturan (tadbiri). Pada masa yang sama, sesuatu masalah boleh bersifat diyanidan qadha'i pada suatu keadaan.26 Menurut Musthāfā Ahmad al-Zaqā’, ketentuan hukum muamalah mempunyai dua pertimbangan yaitu; [1] Pertimbangan qadha'i dan [2] Pertimbangan diyani.Mahkamah (al-Qadha’) mengadili perbuatan atau kebenaran sesuai dengan kenyataan zhahir. Sedangkan diyani hanya memutuskan sesuai dengan kenyataan dan hakiki. Sehingga permasalahan yang sama dapat berbeza ketentuan dan hukumnya antara qadha’i dan diyani.27 Terdapat dua istilah yang digunakan untuk menunjukkan hukum Islam, yaitu Syariat Islam dan Fiqh Islam. Di dalam buku-buku hukum Islam berbahasa Inggris, Syariat Islam disebut Law, sedangkan fiqh Islam disebut Islamic jurisprudence. Di Indonesia, syariat Islam sering disebut dengan istilah hukum syari’at atau hukum syarak, begitu juga

(fi‘il) dana, yadinu yang antara lain bermakna patuh (thā‘ah), soleh (wara‘). Maka kata qadha’i adalah kata sifat dari kata qadha’ yang bermakna keputusan pengadilan atau mahkamah.

26 Ziya Gokalp (1959), Turkish Nationalism and Western Civilization, New York: Columbia University Press, h. 200.

27 Mustāfā Ahmad al-Zarqā’ (1966), al- Madkhal fī al-Fiqh al-‘Am, Beirut: Dar al-Fikr, h. 58-59.

fiqh Islam sering disebut dengan istilah hukum fiqh atau kadang-kadang disebut dengan fiqh Islam. Dalam praktiknya, sering kali kedua-dua istilah tersebut dirangkum dalam kata hukum Islam tanpa menjelaskan apa yang dimaksudkan. Ini dapat difahami karena kedua-duanya mempunyai hubungan dan kaitan yang sangat erat. Kedua-dua istilah tersebut boleh dibedakan, akan tetapi tidak mungkin dipisahkan. Di mana syariat adalah landasan fiqh, sebagaimana fiqh adalah pemahaman tentang syariat.28 Di Malaysia, istilah syariah Islam, hukum Islam dan hukum syarak hampir sama dengan istilah yang digunakan di Indonesia.29 Perbedaan syariah dengan fiqh adalah jika syariah merupakan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran dan al-Hadīts, maka fiqh merupakan hasil pemahaman dan interpretasi para mujtahid terhadap teks-teks al-Quran dan al-Hadits serta hasil ijtihad mereka terhadap peristiwa-peristiwa yang hukumnya tidak ditemukan di dalam al-Quran dan al-Hadīts. Kedua-dua istilah ini dalam bahasa non-Arab

28 Daud Ali (2004), Hukum Islam, c. 10.

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, h. 49. 29 Kesimpulan ini dirujuk dari buku

suntingan Ahmad Hidayat Buang (2004), Fatwa Di Malaysia. Kuala Lumpur: Jabatan Syariah dan Undang-Undang, Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya,

Page 7: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

212

disebut juga dengan “hukum Islam” dan “Islamic law”30. Menurut Joseph Schacht, hukum Islam sangat berbeda dari sistem-sistem hukum yang lain31. Ini karena, hukum Islam (fiqh) adalah hasil interaksi nilai normatif dengan realitas kehidupan yang berpedoman pada wahyu dan berasaskan akal. Sedangkan menurut Anderson, inilah ciri khusus yang membedakan hukum Islam dari sistem hukum yang lainnya32. Dari segi pelaksanaansyariah dan fiqh, A. Zaki Yamani menyatakan bahawa syariah harus diikuti dari A sampai Z, sedangkan fiqh tidak wajib diikuti dari A sampai Z karena, kemungkinan terdapat beberapa asas dan kaidah fiqh yang sangat sesuai digunakan hanya dalam keadaan masa lampau, tetapi tidak sesuai lagi untuk masa sekarang. Perlu ditegaskan bahwa dalam syariah terdapat asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Islam yang sifatnya abadi. Sedangkan dalam fiqh, kaidah-kaidah yang ada tidak bersifat abadi.33 Oleh sebab itu, menurut Roger Garaudy, di dalam hukum Islam tidak ada 30Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (2002), j.

I, Jakarta: PT. Ichtiar Van Hoeve, h.., h. 245.

31 J. Schacht (1964), An Introduction to Islamic Law, Oxford: Clarendom Press, h. 1.

32 Anderson (1956), Islamic Law in the Muslim World, New York: New York University Press, h. 2-4.

33 Ahmad Zaki Yamani (t.t.), Islamic Law and Contemporary Issues, Takoma Park, N. Y.: The Crescent Publications, h. 5-14.

immobilisme(sifat beku). Sebagai hukum yang bersumber dari wahyu Allah SWT, maka hukum Islam mengandung nilai abadi yang tidak bertentangan dengan kehidupan yang kreatif dan abadi, bahkan di dalam hukum Islam (fiqh) terkandung sifat itu34. Oleh yang demikian, karakter fiqh adalah bersifat fleksibel yang mampu mengikuti dan menghadapi era globalisasi.35 Menurut Muhammad Utsman Syabir, muamalah dalam Islam mengandung sifat tetap dan fleksibel. Sifat tetap (baku) adalah terhadap prinsip syariah, sedangkan sifat fleksibel dapat dirujuk kepada saranan, alat dan tradisi.36

PENYERAPAN HUKUM ISLAM KE DALAM HUKUM NASIONAL Pada saat memimpin pemerintahan, Nabi Muhammad saw. tidak saja bertindak sebagai pembawa wahyu melainkan menjadi pemimpin negara, sehingga nilai-nilai undang-undang Islam boleh diaplikasikan bagi perlembagaan. D. B. Macdonald memperkatakan bahawa, "Di sini, Madinah

34 Roger Garaudy (1982), Mencari Agama,

diterjemahkan oleh H. M. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang, h. 86.

35 Amir Syarifuddin (2005 M/1426 H.), Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, c. 2. Banten: PT Ciputat Press, h. 4.

36 Muhammad Utsman Syabir (2001 M./1422), Al-mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah fi al-Fiqh al-Islami, c. 4 Urdun: Dar an-Nafais, h. 26

Page 8: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

213

telahpun terbentuk negara Islam pertama dan telah diletakkan asas-asas politik bagi undang-undang Islam".37Piagam Madinah adalah perlembagaan negara Islam yang pertama dalam mencapai kepakatan atau konsensus bagi mencapai matlamat bersama. Objektifnya untuk mentadbir dan mempersatukan rakyat sebagai umat yang satu (Ummatan WÉhidah). Di antaranya, mengandungi prinsip umat, persatuan, keadilan, keamanan dan penguatkuasaan undang-undang.38 Setelah pemerintahan Nabi saw. Terdapat berbagai-bagi masalah yang berhubungkait dengan undang-undang negara dan undang-undang Islam. Maka diperlukan model kanun undang-undang yang telah sedia ada, supaya ianya tidak bercanggahanatau bertentangan dengan undang-undang.39Usaha-usaha mengkodifikasi hukum Islam telah dipelopori oleh Ibn al-Muqaffa‘ (m.147H./757), Setiausaha Negara Kerajaan Bani ‘Abbasiyah (132H./750-656./1258 M.) lagi, yaitu pada masa undang-undang Syariah berada di tahap perkembangan awal. Kepada Ibn al-Muqaffa‘, 37 Muhammad Dhiauddin Rais (2001), “An

NaÐriyÉt as SiyÉsah al IslÉmiyah”, Jakarta: Gema Insani Press, cet. I, h.6.

38 Prinsip persamaan dan keadilan yang termaktub dalam Piagam Madinah pasal 13, 15, 16, 22, 23, 24, 37, 40.

39 Abdullah @ Alwi Haji Hasan (2007), Ijtihad Dan Peranannya Dalam Perharmonian Pengamalan Undang-Undang Syariah di Dunia Islam Masa Kini, Jurnal Syariah, Jil. 15 Bil. 2, Julai-Dis 2007, h. 2-3.

pemerintah hendaklah menggubal undang-undang dengan mengeluarkan dikri pentadbiran, untuk mengkodifikasi secara lengkap undang-undang bagi mewujudkan keselarasan dan keseragamannya, dan dengan itu boleh diamalkan di mahkamah di seluruh negara. Para khalifah pula hendaklah membuat semakan terhadap undang-undang berkenaandari masa ke masa.40 Amalan yang dilakukan pada masa Dinasti Abbasiyah mencakupi pelbagai bidang perundangan, termasuk jenayah, percukaian dan pengurusan hartanah.41 Walaupun asas syariah berdasarkan kepada wahyu yang bersifat pasti (qath’i), tetapi masih banyak ruang diberi keleluasankepada manusia untuk menggunakan pikiransecara bebas untuk mencapai kesempurnaan tata perundangan tentang masalah yang secara langsung dibicarakan oleh teks. Para fuqaha’ dan Mufti telah menjadi pelopor untuk eksplorasi dan pengembangannya sesuai dengan kemajuan zaman dan keadaan yang dihadapi umat Islam42. Dalam proses pengembangan norma-norma perundangan masa kini pula, otoritas

40 N.J. Coulson (1964), A Histori of Islamic Low, Edinburgh: Edinburgh University Press. H. 52. 41 J. Schacht (1997), An Introduction to Islamic Law, London: Oxord University Press, h. 15 42 Wael .B. Hallaq (2001), Authority,

Continuity and Change in Islamic Law, Cambridge: Cambridge University Press, h. 214

Page 9: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

214

mengesahkan undang-undang diserahkan kepada institusi legislatif dan dilakukannya melalui mekanisme pengkodifikasian (taqnin). Pembentukan institusi legislatif ini adalah berdasarkan sistem perundangan dari Barat, yaitu pemerintahan sistem parlemen.43 Asas-asas pengharmonian undang-undang Syariah melalui pengundangan oleh badan legislatif dan pengkodifikasiannya telah dilakukankan oleh para pakar hukum Islam modernis, dengan mengemukakan beberapa metode. Di antaranya ialah melalui kaidah takhayyur dan talfiq,44siyasah syar’iyyah, maslahah (kepentingan awam), dan pentafsiran ulang terhadap nash-nash al-Qur’an dan hadits yang menjadi sumber perundangan. Penafsiran ulang ini dicirikan sebagai pola ijtihad baru, atau dikenal juga dengan neo-ijtihad (ijtihad dalam pola baru).45 Sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi.46 Sepanjang telaah tentang 43 Kema A Faruki (1391/1971), The

Evolution of Islamic Constitutional and practice, Karachi Dacca: National Publishing House Ltd. H. 206

44 Peminjaman secara bebas dari pelbagai sumber atau mazhab secara tidak eksklusif pada salah satu mazhab

45 N.J. Coulson, op. Cit., h. 182-217 46Ramly Hutabarat, (2005), Kedudukan

Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta :

sejarah hukum di Indonesia, nampak bahwa sejak berabad-abad yang lalu, hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam. Terbukti banyak ulama yang menerbitkan buku soal jawab, yang isinya adalah pertanyaan dan jawaban mengenai hukum Islam yang membahas berbagai masalah keagamaan. Pada masa VOC (Syarikat Oost Indische Compagnie atau Gabungan Syarikat Belanda Hindia Timur) undang-undang Belanda tidak dapat dilaksanakan, VOC harus memperhatikan undang-undang yang sudah ada dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari.47 Selanjutnya Pemerintah Belanda melakukan kajian tentang hukum Islam, akhirnya Pemerintah Belanda mengkodifikasikannya ke dalam Compendium Freijer.48Pemerintah Belanda pada masa itu menjadikan kompendium itu sebagai panduan dasar para hakim bagi menyelesaikan perkara-perkara yangberhubungan dengan masyarakat bumiputera dan hanya diberlakukan di Pulau Jawa dan Madura.49 Pada abad ke-19, para pakar undang-undang di Hindia Belanda telah mengakui

Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, h. 61

47Supomo-Djokosutono (1955), Sejarah Hukum Politik Adat, Kuala Lumpur: Djambata, h. 22 48 Ibid. h. 26 49 Yusril Ihza Mahendra, Hukum Islam dan

Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional Indonesia, http://yusril.ihzamahendra.com /comment-page-3.html, 5/12/2007

Page 10: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

215

dan menerima keberadaan undang-undang Islam. Pengakuan ini diperkatakan oleh Solomon Keyzer (1823-1868) dan Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845-1927). Mereka mengatakan bahawa bagi penduduk yanng beragama Islam, mereka dikenakan undang-undang untuk mengikut syariah. Teori ini dikenal sebagai receptio in complexu. Ini bermakna bahawa undang-undang yang diterima umat Islam di Indonesia tidak saja sebagian saja dari undang-undang Islam tetapi keseluruhan undang-undang tersebut dalam satu bentuk undang-undang yang sempurna.50 Terdapat tiga teori yang diperkenalkan berhubungan dengan pelaksanan undang-undang Islam di Indonesia. Dua teori pertama diperkenalkan oleh Pemerintah Belanda dan satu teori terkini dikemukakan oleh tokoh ilmuan Indonesia. Teori yang paling akhirlah yang merupakan teori sanggahan dan termasuk teori yang menggagalkannya. Ketiga teori itu secara tartibnya adalah; Receptio in Complexu, Receptie Theorie, dan Receptio a contrario. Teori Receptio in Complexu merupakan teori yang dibentangkan oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg(1845-1927). Teori ini mempunyai arti bahwa undang-undang diberlakukan sesuai dengan keyakinan agama yang belaku di masyarakat. Oleh karena itu, jika seseorang

50 Muhammad Daud Ali (1968), Bangunan-

Bangunan Islam, Jakarta: Bintang, h. 4

beragama Islam maka sudah semestinya undang-undang Islam-lah yang berlaku baginya, demikian sebaliknya bagi agama lain. Artinya, teori ini boleh dipadankan dengan istilah "teori penerimaan secara sempurna".51 Receptie Theorie atau teori resepsi merupakan teori yang diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936). Karena menyanggah terhadap teori Receptio in Complexu. Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh pakar undang-undang adat Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933) dan Betrand Ter Haar (1892-1941). Teori resepsi awalnya berarti bahwa undang-undang Islam baru diakui dan dilaksanakan sebagai undang-undang jika ketentuan adat telah menerimanya. Di sini dapat difahami bahwa undang-undang Islam kedudukannya di bawah ketentuan adat. Oleh karenanya, jika didapati undang-undang Islam dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat pada hakikatnya bukan undang-undang Islam, melainkan undang-undang adat. Artinya, teori ini dapat disamakan dengan "teori penerimaan".52 Teori Resepsi ini mendapat tentangan dari tokoh pemikir Islam Indonesia. menurut Hazairin (1906–1975), teori resepsi adalah “teori Iblis”, karena bertujuan untuk menghapus hukum Islam. Kemudian

51 Ibid 52 Muhammad Daud Ali (2004), Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, cet XII, h. 242-243

Page 11: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

216

Hazairinmengemukakan teori receptie exit, bahawa teori ini harus exit (keluar) dari teori hukum nasional Indonesia karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 serta bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits.53 Sajuti Talib (1929-1990) mengembangkan teori receptie exit dengan nama teoriReceptio a contrario. Teori ini lebih dikenal sebagai teori yang menggagalkan karena teori ini bertujuan untuk menyanggah dan menggagalkan teori receptie theorie Christian Snouck Hurgronje di atas. Keberadaan teori ini justru menagaskan bahwa ketentuan adat harus berada di bawah undang-undang Islam dalam kedudukannya dan harus sejalan dengan ketentuan Islam. Artinya, ketentuan adat dapat berjalan apabila telah diakaui oleh hukum Islam.54Dari ketiga teori ini nampakbahwa upaya untuk menghalangi kemajuan yang cepat bagi berlakunya hukum Islam adalah teori kedua, yaitu receptie theorie. Bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sebagai undang-undang manakala telah diaku oleh ketentuan adat 55. Teori receptie exit yang selanjutnya dikembangkan pada teori receptio a contrario adalah lebih bersesuai dengan

53 Hazairin (1974) Tujuh Serangkai Tentang Hukum, Jakarta Tintamas, h. 116 54 Hazairin (1981), Demokrasi Pancasila, Jakarta: Bina Aksara, h. 4. 55 Sajuti Thalib (1985), Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, Jakarta: Bina Aksara, h. 58-63

keadaan dan budaya masyarakat Indonesia. Karena hukum Islam adalah undang-undang yang hidup dan berlaku di masyarakat karena majoritas penduduknya beragama Islam. Walaupun hukum Islam yang diserap kepada undang-undang nasional bukan hanya sumber-sumber hukum agama saja melainkan juga berdasarkan maslahah umum. Dalam perspektif ilmu Ushul Fiqh, sebuah adat (tradisi) perlu dipertimbangkan ke dalam hukum Islam manakala tidak ada sumber yang sah dan kuat yang terdapat pada nash syara ' dan tidak bertentangan dengan nash al-Quran dan al-Hadith. Dengan mendeklarasikan Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan berlakunya Undang-undang Dasar 1945, maka peratauran perundang-undangan di Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini telah memberi dasar pokok dan kebijakan politik undang-undang untuk pembangunan bidang agama (hukum agama). Dasar Negara yang pertama adalahKetuhanan Yang Maha Esa pada hakikatnya mengandung amanat bahwa tidak boleh terdapat produk undang-undang nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama. Pasal 29 UUD 1945 menguatkan tentang jaminan yang sebaik-baiknya oleh Pemerintah dan penguasa dan pejabat negara bagi setiap penduduk, agar mereka dapat malaksanakan keyakinannya dan beribadah mengikut setiap agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui dan menjunjung tinggi keberadaan agama

Page 12: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

217

termasuk undang-undang dan perlembagaannya. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang PembentukanPeraturan dan Perundang-undangan meletakkan kekuasaan tertinggi adalah Undang-undang Dasar 1945 yang juga menjadi sumber undang-undang.56Artinya, undang-undang dasar itu adalah merupakan sumber dalam mengambil dan merujuk perundang-undangan dalam merumuskan kaedah-kaedah hukum positif.57Di Indonesia, selain Hukum Islam dalam definisi shariahyang menjadikannya sebagai sumber hukum perundang-undangan, juga hukum adat, hukum warisan Kolonial Pemerintahan Belanda yang sesuai dengan asas keadilan dan sudah diterima dan dipakai oleh masyarakat, sehingga dijadikan sebagaisumber dalam merumuskan kaedah hukum positif.58

56 Sumber Hukum: Menurut ahli sosiologi,

sumber hukum ialah faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif, misalnya keadaan-keadaan ekonomi, pandangan agama, saat-saat psikologis. Penyelidikan tentang faktor tersebut meminta kerja sama dari pelbagai ilmu pengetahuan, terutama antara sejarah hukum, agama, ekonomi, psikologi dan falsafah. Lihat L.J. Van Apeldoom, (1985), Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht, diterjemahkan oleh Soeharso dengan tajuk: Pengantar ilmu Hukum, cet. Ke 22, Pradnya Paramita, ,. h. 76

57 Yusril Ihzamahendra, op. cit., h. 5 58Ibid.

Sebagaimana halnya pada zaman penjajahanBelanda, telah ada Compendium Frijer, maka pada masa Orde Baru juga telahdirumuskanKompilasi Hukum Islam(KHI), walau dasarnya hanya atas arahan Presiden.59 Kompilasi Hukum Islam terdiri dari tiga buku, yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan dan buku III tentang perwakafan. Dalam rangka pelaksanaan KHI tersebut Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 yang meminta seluruh institusi Departemen Agama RI untuk menerapkannya. Isi pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam selain mengandung hukum Islam yang telah meresap ke dalam hukum masyarakat muslim, ia juga mengandung hal-hal baru yang ”bercorak Indonesia”.60

Penyerapan Fatwa ke dalam Undang-Undang Perbankan Syariah di Indonesia Fatwa merupaka suatu alternatif hukum yang diperlukan untuk memberi jawaban tentang masalah kehidupan dari perspektif agama, baik untuk masyarakat maupun pemerintah. Karenanyaya, sifat fatwa tidak mengikat kepada masyarakat. Bahkan orang yang meminta fatwa

59 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991

tanggal 10 Jun 1991. 60Muhammad Daud Ali (2004) Hukum Islam,

op.cit., h. 336

Page 13: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

218

(mustafti) dapat mencari pendapat yang kedua (second opinion) jika tidak yakin atau tidak dapat menerima dengan isi fatwa. Namun berbeda halnya dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang berkenaan dengan produk keuangan syariah, khususnya tentang perbankan syariah. Sebab posisi fatwa MUI tentang perbankan syariah telah diakui oleh peraturan perundang-udangan di Indonesia sebagai sumber untuk menentukan dan jaminan kesesuaian syariah. Penyerapan aspirasi umat Islam yang tergabung dalam wadah MUI mengenai fiqh muamalah, khususnya perbankan Syariah dimulai dari sebuah seminar tentang bunga bank dan perbankan pada 18-20 Agustus 1990 di Cisarua Bogor Jawa Barat. Kemudian hasil seminar dibahas lebih mendalam di Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta pada 22-25 Agustus 1990. Hasil Musyawarah tersebut terdapat beberapa rekomendasi yang dicanangkan untuk segera membentuk kelompok kerja agar membentuk bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja yang dimaksudkan disebut Tim Perbankan MUI yang bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.61 Penyerapan fatwa fiqh muamalah ke dalam Peraturan Perundangan dimulai

61 Muhammad Syafi’i Antonio (2001), Bank

Syariah dari Teori ke Praktek, c. VII. Jakarta: Gema Insani, h. 25-26.

dari Pasal 6 huruf m, Undang-undang Nombor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.62 Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya sama sekali tidak menggunakan istilah bank Islam atau bank Syariah sebagaimana digunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam Undang-Undang Perbankan Indonesia. Pasal tersebut hanya menyebut “menyediakan pembiayaan bagi pelanggan berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP)”. Dalam Pasal 5 ayat (3) PP nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum juga disebutkan frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil” dan di dalam penjelasannya disebutkan frasa “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Begitu juga dalam Pasal 6 ayat (2) PP nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat yang hanya menyebutkan frasa “Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil”. Kesimpulan bahawa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakaan istilah bagi bank Islam atau bank Syariah yaitu dirujuk kepada penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut, disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalah

62 Lembaran Negara Tahun 1992 Nombor 31,

Tambahan Lembaran Negara Nombor 3472.

Page 14: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

219

berdasarkan Syariah dalam melakukan kegiatan dan operasi bank. Kemudian, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan telah diganti dengan Undang-undang Nombor 10 Tahun 1998.63 Pasal 1 angka 4, 12 dan 13 menyebutkan entitas perbankan Islam secara tegas. Di situ perbankan Islam disebut dengan istilah bank Syariah atau bank berdasarkan prinsip Syariah. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, khususnya Pasal 1 ayat 1164 dan Pasal 1265 hampir menyamakan definisi pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah dengan kredit (angsuran). Bedanya, dalam kredit, hasil diperoleh dengan pemberian

63 Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790.

64 Dalam UU Nomor 10/1998 tentang Perbankan Pasal 1 ayat (11); Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antarbank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

65 Dalam UU Nomor 10/1998 tentang Perbankan Pasal 1 ayat (12); Pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tuntutan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antar bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan sistem upah atau bagi hasil.

bunga sedangkan dalam pembiayaan berdasarkan prinsip syariah hasil diperoleh dengan dikenakan upah (ujrah atau fee) atau bagi hasil. Kata “angsuran” diganti dengan kata “pembiayaanberdasarkan prinsip Syariah”, kata “pinjam-meminjam” dihilangkan, kata “peminjam untuk melunasi hutangnya” diganti dengan “pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tuntutan tersebut”, dan akhirnya kata “bunga” diganti dengan “upah atau bagi hasil”. Selebihnya sama titik dan komanya.66 Bank Syariah telah keluar dari definisi pembiayaan yang disusun oleh Undang-undang. Peraturan Bank Indonesia (PBI) bersikap ganda, kadang kala menggunakan paradigma “akad fiqh adalah prinsip”, dan kadang kala menggunakan paradigma “akad fiqh adalah jenis perjanjian”. Sehingga pada tahun 2000 BI masih konsisten menggunakan paradigma “prinsip”, yaitu dalam PBI 2/7/2000tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Bedasarkan Syariah67, dan PBI 2/8/2000 tentang Pasar

66 Koreksi tentang inkonsistensi PBI ini juga

dipaparkan oleh Adi Warman A Karim, Kegamangan Regulasi Perbankan Syariah, Republika Online, 28hb Jun 2004

www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=165023&kat_id=15&kat_id1=&kat_id2=

67 Pasal 1 ayat (7); Pasar Uang Antarabank Berdasarkan Prinsip Syariah yang untuk selanjutnya disebut PUAS adalah kegiatan

Page 15: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

220

Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah68, namun pada tahun 2003 timbul keraguan. Kadangkala BI menggunakan paradigma “prinsip”, yaitu pada PBI 5/7/2003 tentang Kualita Aktiva Produk Bagi Bank Syariah, dan PBI 5/9/2003 tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produk Bagi Bank Syariah pada Pasal 1 ayat (5), (6), dan (7).69 Di PBI yang sama

pembiayaan jangka pendek dalam rupiah antara peserta pasar berdasarkan prinsip Mudharabah. Pasal 9 menyebutkan; sertifikatpengelolaanMudharabah Antarbank yang untuk selanjutnya disebut sertifikat IMA adalah sertifikat yang digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dana dengan prinsip Mudharabah;

68Pasal 1 ayat (4) menyatakan: Pasar Wang Antarabank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang untuk selanjutnya disebut PUAS adalah kegiatan pelaburan jangka pendek dalam rupiah antara peserta pasar berdasarkan prinsip mud�ārabah. Pada Pasal 1 ayat (6) menyebutkan: Sijil Pelaburan mud�ārabah Antarabank yang untuk selanjutnya disebut Sijil IMA adalah sijil yang digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dana dengan prinsip mud�ārabah.

69Pasal 1 ayat (5) menyatakan: Pembiayaan adalah penyediaan dana dan atau tuntutan berdasarkan akad mudarabah dan atau Musharakah dan atau pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip perkongsian; ayat (6) menyatakan: Mudarabah adalah perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembahagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya; ayat (7) menyatakan: Musharakah adalah perjanjian di antara para pemilik dana/modal untuk

dan yang lain disebutkan dengan menggunakan paradigma “jenis perjanjian”, yaitu di PBI 5/3/2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah , PBI 5/7/2003 dan PBI 5/9/2003 Pasal 1 ayat (8), (9), (10), (11), dan (12).70

mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembahagian keuntungan di antara pemilik dana/modal berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.

70Pasal 1 ayat (8) menyatakan: Piutang adalah tuntutan yang timbul dari transaksi jual beli dan atau sewa berdasarkan akad murabahah, salam, istisna’ dan atau ijarah; ayat (9) menyatakan: Murabahah adalah perjanjian jual beli antara bank dan pelanggan di mana bank Syariah membeli barang yang diperlukan oleh pelanggan dan kemudian menjualnya kepada pelanggan terbabit sebesar harga perolehan ditambah dengan margin/keuntungan yang disepakati antara bank Syariah dan pelanggan; ayat (10) menyatakan: Salam adalah perjanjian jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran harga terlebih dahulu; ayat (11) menyatakan: Istisna’ adalah perjanjian jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual; ayat (12) menyatakan: Ijarah adalah perjanjian sewa menyewa suatu barang dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa; ayat (13) menyatakan: Qard adalah penyediaan dana atau tuntutan antara bank Syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam melakukan pembayaran cash atau secara ansuran dalam jangka waktu tertentu. Koreksi tentang inkonsistensi PBI ini juga dipaparkan oleh

Page 16: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

221

Penyebutan Syariah lebih tegas lagi apabila model urus niaga juga terdapat dalam Undang-undang tersebut. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (13) Undang-undang Nombor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Pasal ini memberi batasan pengertian prinsip Syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah. Dalam Undang-undang ini ia kelihatan kurang sempurna dan tidak selaras antara satu Pasal dengan Pasal yang lain, seperti antara Pasal 12 dengan Pasal 13. Pasal 12 membatasi pembiayaan pada praktik perkongsian, sedangkan dalam Pasal 13 menjelaskan model pembiayaan selain perkongsian adalah pembiayaan ijarah atau ijarah wa al-iqtina‘. Memang, pada ketika penetapan undang-undang ini, DSN-MUI baru dibentuk dan ditubuhkan serta belum mengeluarkan fatwa lagi. Meskipun begitu undang-undang ini telah mendapat bantuan penyelesaian hukum dari MUI. Penyerapan hukum muamalah Islam ke dalam Peraturan Perundangan di Indonesia memerlukan kerja maksimal. Hal ini karena, tidak mudah mengangkat akad-akad fiqh yang lazimnya dilakukan di sektor nyata ke dalam peraturan (regulasi) sektor perbankan. Usaha ini

Adi Warman A Karim, 28hb Jun 2004, op.cit.

memerlukan ketelitian dan perincian untuk menjaga kekukuhan regulasi yang disusun dan ditetapkan. Dalam praktik pelaksanaan perbankan Syariah, Bank Indonesia telah banyak mengeluarkan peraturan sebagai panduan pelaksanaan prinsip-prinsip syariah. PrinsipSyariah mengenai penghimpunan keuangan dan pengelolaannya, Bank Indonesia telah mengeluarkan peraturan Nomor 7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan keuangan dan pengelolaannya bagi bank yang melaksanakan perniagaan berdasarkan prinsip syariah. Kemudian peraturan ini ditarik kembali dengan peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan keuangan dan pengelolaannya serta jasa-jasa Bank syariah. Penarikan kembali ini dilakukan untuk menyesuaikan upaya praktik dan pelaksanaan dengan keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Selanjutnya Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nombor 10/14/DPbs 2008 tentang pelaksanaan prinsip syariah bagi aktivitas penghimpunan keuangan dan pengelolaannya serta jasa-jasa Bank Syariah. Surat Edaran ini menetapkan secara teknis tentang pelaksanaan perniagaan perbankan sesuai dengan prinsip syariah. Sebab peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 ini hanya mengandungi secara umum tentang perniagaan perbankan berdasarkan prinsip syariah. Surat edaran ini dikeluarkan

Page 17: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

222

untuk mengikuti perkembangan dan syarat fatwa yang dikeluarkan oleh DSN. Kemudian PBI ini disesuaikan dengan peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 Pelaksanaan Prinsip Syariah bagi aktivitas penghimpunan keuangan dan pengelolaannyaserta jasa Bank Syariah untuk menyesuaikan kepada undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penbankan. Undang-undang ini memberi aturan secara teknis tentang kepatuhan syariah dalam upaya mengembangkanperbankan adalah kewajiban untuk mengikuti fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang di berwenang, yaitu fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Selama ini, industri perbankan Syariah berlandaskan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang mengatur regulasi perbankan Syariah dan perbankan konvensional. Namun, selepas itu, regulasi khusus diperlukan untuk mengatur perbankan Syariah saja. Hal ini karena bank Syariah sudah berjalan selama 16 tahun, namun dasar hukumnya baru disahkan pada 18 Juni 2008. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah71 memberi aturan yang lebih jelas dan lebih khusus tentang usaha perbankan Syariah.

71 Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2008 Nombor 94.

Undang-undang Perbankan Syariah memuat 13 bab dan 70 pasal, di antaranya memuat ketentuan tentang tata cara pendirian bank Syariah yang harus meminta izin Bank Indonesia; Bank Syariah juga diharuskan mencantumkan kata “Syariah” setelah bank; Bank konvensional boleh berubah menjadi bank Syariah, tetapi sebaliknya, bank Syariah tidak dapat berubah menjadi bank konvensional; Keharusan Unit Usaha Syariah (UUS) dari sebuah bank berubah status menjadi bank yang secara penuh beroperasi secara Syariah, apabila aset Unit Usaha Syariah ini telah mencapai 50 persen dari bank induknya; Dalam hal terjadi penggabungan bank Syariah dengan bank lain, maka bank hasil penggabungan atau harus menjadi bank Syariah; Bank Syariah tidak boleh melakukan jual beli saham di pasar modal secara langsung; Melarang bank Syariah melakukan perdagangan yang mengandung riba, maysir, ataupun jual beli yang mengandunggharar Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan Syariah, undang-undang ini juga menyebut aturan yang berkaitan dengan kepatuhan Syariah (Syariah compliance). Otoritas kepatuhan Syariah (Syariah compliance) berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dijalankan secara teknis oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Kemudian pengamalan hasil fatwa DSN dijalankan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang dibentuk dalam setiap bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Sedangkan untuk merealisasikan fatwa yang dikeluarkan

Page 18: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

223

MUI ke dalam Peraturan Bank Indonesia, maka di dibentuk Komite Perbankan Syariah (KPS).72 Fatwa Majelis Ulama Indonesia hampir seluruhnya sudah terserap ke dalam Undang-undang Perbankan Syariah, sehingga fatwa tersebut menjadi dasar dalam perumusan dan pelaksanaan undang-undang tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam pasal yang menempatkan MUI sebagai rujukan pelaksanaan Undang-undang. Pasal 1 ayat (12) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ini menyebutkanbahawa prinsip Syariah adalah berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki hak dalam penetapan fatwa dalam bidang Syariah.73 Bahkan dalam Pasal 26 ayat (2) dan (3) dengan tegas disebutkan bahawa MUI memiliki hak untuk menetapkan fatwa kepatuhan syariah, dan kemudian diserap ke dalam Peraturan Bank Indonesia melalui proses Komite Perbankan Syariah (KPS).74

72 Penjelasan atas Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

73 Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang Syariah

74Undang-undang Republik Indonesia Nombor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ayat (2) Prinsip Syariah sebagimana dimaksudkan pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia. (3) Fatwa sebagaimana dimaksudkan pada

Dari jumlah keseluruhan fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI terserap ke dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan undang-undang perbankan, meskipun terdapat beberapa fatwa diadaptasi dan dirangkumkan menjadi satu peraturan Keuangan Syariah, namun fatwa nomor 30/DSN-MUI/ VI/2002 tentang Pembiayaan Rekening Koran Syariah dan fatwa nomor 55/DSN-MUI/ VI/2007 tentang Pembiayaan Rekening Koran Syariah Musharakah belum dapat diterjemahkan menjadi peraturan perbankan karena sulit untuk diterapkan dalam dunia perbankan berkenaan dengan peraturan tentang kerahasiaan bank.75

ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia

75Wawancara dengan Hasanuddin, naib setiausaha DSN-MUI pada 09 Desember 2007.

Page 19: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

224

4.10. penyerapan fatwa DSN-MUI menjadi peraturan 2000-2008

Fatwa Nomor Jumlah Persen Keterangan Terserap menjadi

Peraturan dan undng-undang

1, 1– 29 31 – 54 56 – 64

63 96.92 Dapat diterjemahkan ke dalam bahasa peraturan

Tidak terserap menjadi peraturan

30 dan 55

2 3.08 Belum dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Peraturan

Penetapan MUI menjadi satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan fatwa fiqhmuamalah, khususnya dalam praktik perbankan Syariah. Ia bukan sesuatu yang baru disebabkan sejak bank Syariah dipraktikkan di Indonesia, fatwa MUI telah menjadi pedoman dalam kepatuhan atau sistem Syariah. Jadi, Undang-undang ini hanya menguatkan kedudukan MUI dalammemberi bimbingan dan dukungan terhadap perkembangan dan kemajuan perbankan Syariah di Indonesia. Sebelum Undang-undang Perbankan Syariah disahkan, praktik ekonomi Syariah berada di bawah bimbingan dan pengawasan MUI. Bahkan jika lembaga yang memiliki otoritas mengeluarkan fatwa tidak disebutkan secara tegas adalah MUI, maka akan terjadi ketidakjelasan atau keraguan dalam fatwa itu yang seharusnya diterima dan dipatuhi oleh para pelaku ekonomi Syariah. Hal ini karena, di Indonesia banyak terdapat organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam yang masing-masing berhak mengeluarkan fatwa. Peranan MUI lainnya disebutkaun, bahwa undang-undang perbankan Syariah adalah keharusan bank Syariah dan bank konvensional yang memiliki Unit Usaha

Syariah untuk mengangkat Dewan PengawasSyariah (DPS). DPS diangkat oleh musyawarah umum pemegang saham atas persetujuan Majelis Ulama Indonesia.76 Dalam praktiknya, DPS bertugas memberikan nasihat dan persetujuan agar praktik perbankan senantiasa sesuai dengan prinsip Syariah yang sudah termuat dalam fatwa MUI. Selain itu, DPS bertugas melakukan pengawasan terhadap kepatuhan syariah (syariah compliance). Pengaturan ini merupakan penyesuaian dengan ketentuan Pasal 109 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang Perbankan Syariah mengatur secara tegas perbedaan antara asas yang terdiri dari prinsip Syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian dengan jenis dan kegiatan usaha

76 Bagian ketiga: Dewan Pengawas Syariah,

Pasal 32 ayat (1) menyatakan: Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di bank Syariah dan bank umum konvensional yang memiliki UUS. Ayat (2) menyatakan: Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) diangkat oleh Musyawarah Umum Pemegang Saham atas rekomen Majelis Ulama Indonesia.

Page 20: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

225

yang terdiri dari beberapa akad. Dasar prinsip Syariah adalah kegiatan usaha yangtidak mengandung unsur: riba,77maysir,78gharar,79 haram80 dan zalim.81 Asas demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi Syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, kesamaan dan kemanfaatan. Asas kehati-hatian adalah pedoman pengelolaan bank yang wajib diikuti untuk mewujudkan perbankan yang sehat, kuat dan efisien sesuai dengan peraturan perundang-undangan.82

77 Riba adalah penambahan pendapatan

secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mensyaratkan pelanggan Penerima jasa mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman kerana berjalannya waktu (nasi’ah). Lihat penjelasan Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nombor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

78Maysir adalah transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan. Ibid.

79Gharar adalah transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam Syariah.

80 Haram adalah transaksi yang objeknya dilarang dalam Syariah. Ibid.

81 Zhalim adalah transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. Ibid.,

82 Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia tentang Perbankan Syariah.

Asas prinsip Syariah dalam Undang-undang Perbankan Syariah semuanya diserap dari fatwa MUI. Hal ini seperti prinsip Syariah yang merupakan penyerapan nilai dasar Syariah secara umum dan tegas ditetapkan dalam fatwa Nomor: 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Reksadana Syariah, dan fatwa Nomor 40/DSN-MUI /X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal. Penyerapan bahan fatwa ke dalam Undang-undang dilakukan dengan cara menyiapkan beberapa jenis usaha menjadi prinsip Syariah. Seperti jenis penawaran palsu (bay‘ al-Najsh), menjual sesuatu yang belum dimiliki (bay‘ al-ma‘dum), menggunakan informasi orang dalam untuk mengambil keuntungan (Insider trading), menimbulkan informasi yang menyesatkan, dan penimbunan (ihtikar) dengan prinsip Syariah yang melarang gharar. Hal ini seperti larangan berlaku maksiat dalam usaha dimasukkan ke dalam undang-undang menjadi larangan usaha terhadap objek yang tidak boleh diperjual belikan, sehingga kata “haram” di sini tidak hanya mengenai proses usaha sebagaimana dicanangkan dalam sebagian besar fatwa MUI, namun juga mengenai objek yang diperdagangkan83.

83 Lihat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)

tentang Perbankan Syariah, Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: S-32/MK.011/2008.

Page 21: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

226

Penyerapan fatwa MUI ke dalam undang-undang terdiri dari kegiatan penghimpunan dana, penyaluran pembiayaan, jual beli dan jasa. Undang-undang perbankan Syariah yang mengatur tentang penghimpunan dana adalah serapan dari fatwa tentang Giro,84 Tabungan85 dan Deposit86 dengan menggunakan akad wadi’ah danmudharabah. sebagaimana undang-undang yang mengatur tentang penyaluran dana dan pembiayaan adalah serapan dari fatwa tentang musharakah,87murabahah,88salam,89istisna’,90ijarah,91ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik92 dan al-qard.93 Sedangkan undang-undang yang mengatur tentang jasa adalah serapan dari fatwa tentang

84 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:

01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro. 85 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:

02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan. 86 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:

03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito. 87 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:

08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musharakah.

88 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.

89 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam.

90 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Istisna’.

91 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.

92 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.

93 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qard.

wakalah,94 kartu kredit95 dan letter of credit.96 Demikian juga undang-undang yang mengatur tentang jual beli adalah serapan dari fatwa tentang murabahah, salam dan istisna’. Penjelasan tentang jenis-jenis urus niaga tersebut merujuk kepada fatwa DSN-MUI dengan sedikit perubahan ayat tetapi isinya tetap seperti sedia ada.97 Undang-undang Perbankan Syariah Pasal 20 juga mengatur mengenai usaha penyertaanmodal (musyarakah),98 pasar modal,99 pasaruang,100 dan perdagangan surat

94 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:

11/DSN-MUI/IV/2001 tentang Wakalah. 95 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:

54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card dan Fatwa Nomor: 42/DSN-MUI/V/2004 tentang Syariah Chargr Card.

96 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 34/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah; Fatwa Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah dan fatwa Nomor: 57/DSN-MUI/V/2007 tentang Letter of Credit (L/C) dengan akad Kafalah bi al-Ujrah.

97 Undang-undang Perbankan Syariah Pasal 19.

98 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musharakah.

99 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.

100 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 37/DSN-MUI/X/2002 tentang Pasar Wang Antarabank Berdasarkan Prinsip Syariah.

Page 22: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

227

berharga.101 Perdagangan surat berharga jangka pendek dan jangka panjang yang disebutkan adalah Undang-undang yang belum difatwakansecara khusus oleh MUI. Walaupun demikian, secara garis kasarnya, jenis-jenis usahanya telah ditetapkan dalam fatwa-fatwa MUI. Meskipun sebagian fatwa-fatwa MUI tidak secara jelas termaktub dalam lampiran Undang-undang, namun secara isi fatwa-fatwa MUI benar-benar telah terserap ke dalam Undang-undang. Hal ini dapat dilihat dari jenis usaha yang disebutkan Undang-undang dan ketentuan yang menyebutkan bahwa praktik kesesuaian Syariah adalah mengikuti fatwa MUI.102 Undang-undang Perbankan Syariah juga mengatur penyelesaian sengketa. Pembahasanini termasuk pasal yang paling sulit dibandingkan dengan pasal-pasal yang lainnya. Pertentangan terjadi disebabkan persepsi pemerintah yang menganggap bahwa sengketa perbankan Syariah adalah masalah bisnis, bukan masalah agama sehingga mesti diselesaikan melaluiPeradilan Umum. Sementara menurut Undang-undang Peradilan Agama Nomor 3 Tahun 2006103 tentang Perubahan Undang-undang Nombor 7 Tahun 1989 tentang

101 Undang-undang Perbankan Syariah Pasal

20. 102 Undang-undang Perbankan Syariah Pasal

26 ayat (1) dan (2). 103(Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 22,

Tambahan Lembaran Negara 4611).

Peradilan Agama104 Pasal 49 memberikan hak penyelesaian sengketa perbankan Syariah kepada otoritas Peradilan Agama. Kemudian Undang-undang ini dirubah yg kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Demikian juga banyak bantahan dan usulan dari masyarakat agar pemerintah tidak melanggar Undang-undang.105 Akhirnya disepakati dengan cara kompromi, bahwa sengketa perbankan Syariah diselesaikan oleh peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan atau peradilan sesuai isi akad.106 Titik kompromi terletak pada Pasal 55 ayat (2), dalam hal para pihak telah sepakat bahwa sengketa sebagaimana dimaksudkanpada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. Dalam penjelasan pasal ini diterangkan bahwa yang dimaksudkan dengan “penyelesaian dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah musyawarah, perantara perbankan, melaluiBadan Arbitrase

104 (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1989 Nombor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400).

105 Surat-surat bantahan dan cadangan agar sengketa diselesaikan melalui Peradilan Agama disampaikan oleh beberapa MUI Provinsi di Indonesia, Fakulti Hukum UI, Nahdlatu Ulama Jawa Timur dan Riau, dan lainnya. Lihat dokumentasi Depkumham RI tahun 2007 dan 2008

106 Isi akad dapat disepakati apakah penyelesaian sengketa dengan Peradilan Agama atau Peradilan Umum, sehingga sengketa diselesaikan sesuai isi kesepakatan akad.

Page 23: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

228

Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga Arbitrase lain, atau melalui peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Kompromi ini telah memenuhi keinginan pemerintah yang menginginkan penyelesaian sengketa melalui Peradilan Umum, juga memenuhi keinginan masyarakat yang ingin menegakkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan memenuhi keinginan untuk melaksanakan fatwa MUI yang menetapkanbahwa penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase Nasional apabila tidak mencapai kata sepakat melalui musyawarah atau perundingan yang diadakan. Kemudian Mahkamah Agung Republik Indonesia mengaluarkan peraturan Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Peraturan ini memberi panduan yang sesuai dalam menyelesaikan dan memutuskan masalah ekonomi syariah harus disesuaikan kepada prinsip syariah107. Prinsip ini tertulis dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang terdapat dalam lampiran keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut Undang-undang Perbankan Syariah berpegang teguh pada prinsip Syariah, simbolik Syariah dan tidak boleh

107 Pasal 1. Hakim pengadilan dalam

lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah mempergunakan sebagai pedoman prinsip syariah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

“murtad” dalam bermuamalah. Dalam hal berpegang teguh dengan prinsip syariah, Undang-undang menegaskan bahwa dalam hal bank konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50 persen dari total nilai aset bank induknya atau 15 tahun sejak berlakunya Undang-undang ini, maka bank umum konvensional tersebut wajib melakukan pemisahan UUS tersebut menjadi bank umum Syariah.108 Simbolik Syariah terlihat dari ketentuan yang menyatakan: Setiap bank Syariah yang mendapat izin dari Bank Indonesia untuk melakukan usaha sebagai bank Syariah wajib mencantumkan dengan jelas kata “Syariah” pada penulisan banknya.109 Dalam hal bank Syariah tidak boleh “murtad”, artinya perbankan yang sudah mempraktikkan mu‘amalah shar‘iyyahdalam dunia perbankan dilarangmempraktikkan lagi perbankan konvensional yang berdasarkan bunga110 Pada saat terjadi penggabungan antara beberapa bank Syariah atau antara bank Syariah dengan konvensional, maka bank tersebut harus menjadi bank Syariah.111

108 Undang-undang Nomor 21 tentang

Perbankan Syariah Pasal 68 ayat (1). 109 Undang-undang Nomor 21 tentang

Perbankan Syariah Pasal 5 ayat (4). 110 Undang-undang Nomor 21 tentang

Perbankan Syariah Pasal 5 ayat (7) dan (8). 111 Undang-undang Nomor 21 tentang

Perbankan Syariah Pasal 17 ayat (2).

Page 24: PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...PENYERAPAN FATWA KE DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA M.Cholil Nafis1

Jurnal Middle East and Islamic Studies, Volume 3 Nomor 6 Juli – Desember 2014 MEIS

229

KESIMPULAN Bermula dari uraian data dan analisis prinsip Syariah yang diformat dalam bentuk fatwa-fatwa fiqh muamalah Majelis Ulama Indonesia dan dipraktikkan di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) lalu diformalkan secara rasmi melalui hukum nasional, maka dapat disimpulkan bahawa ciri hukum Islam, khasnya fiqh muamalah maliyah, bersifat transendental dan rasional

Kajian terhadap fatwa fiqh muamalah Majlis Ulama Indonesia dilihat dari sudut cara berfatwa dan penyerapannya ke dalam Peraturan Perundangan dapat diklasifikasikan kepada beberapa kesimpulan besar. di antaranya adalah tahapan praktik ekonomi Syariah di Indonesia yang terdiri dari tiga periode: pertama, ‘asr al-Ta’sis (periode rintisan), kedua, ‘asr al-Tatbiq (periode aplikasi) dan ketiga, ‘asr al-Taqnin (periode penyerapan ke dalam Peraturan Perundangan). Sebenarnya setiap tahap, secara tegas tidak terpisah antara satu periode dengan periode berikutnya, akan tetapi hal ini dilakukan untuk memudahkan kajian tentang perkembangan ekonomi Syariah di Indonesia.

‘Asr al-Ta’sis (periode rintisan) dimulai pada tahun 1992, yaitu ketika MUI melakukan kajian tentang bunga dan perbankan, sempai

pada awal tahun 1999. Di mana pada saat itu dirumuskan pendirian bank Syariah dan konsep bank berdasarkan prinsip Syariah. Sepanjang periode ini, MUI tidak mengeluarkan sama sekali fatwa-fatwa tentang fiqh muamalah. Sedangkan ‘Asr al-Tatbiq (periode aplikasi) dimulai pada tahun 2000 hingga tahun 2007. Pada periode ini MUI banyak memproduksi fatwa-fatwa fiqh muamalah untuk dijadikan pedoman dan dipraktikkan oleh Lembaga Keuangan Syariah. Adapun ‘Asr al-Taqnin (periode penyerapan fatwa ke dalam Peraturan Perundangan) dimulai sejak MUI berhasil mendorong pengesahan Undang-undang yang khusus mengatur bank Syariah. Meskipun sebenarnya penerapan dan proses penyerapan fatwa ke dalam Peraturan Perundangan telah pun dimulai sejak MUI menjadi perintis ekonomi Syariah di Indonesia.

Penyerapan fatwa MUI ke dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 dapat diserap secara utuh. Lembaga MUI melalui fatwanya ditentukan oleh Undang-undang tersebut sebagai yang berhak untuk menentukan kepatuhan Syariah. Namun ada sebagian fatwa yang tidak dapat diserap ke dalam peraturan perundang-undangan karena bertentangan dengan peraturan perbankan, seperti fatwa tentang rekening koran Syariah.