PENGGUNAAN SINGLE ECONOMIC ENTITY DOCTRINE OLEH...
Transcript of PENGGUNAAN SINGLE ECONOMIC ENTITY DOCTRINE OLEH...
PENGGUNAAN SINGLE ECONOMIC ENTITY DOCTRINE OLEH KPPU
DALAM KASUS HAK SIAR BARCLAYS PREMIER LEAGUE
(LIGA UTAMA INGGRIS) MUSIM 2007-2010
(Analisis Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ABDULATIEF ZAINAL
NIM: 1112048000023
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H/2018 M
i
PENGGUNAAN SINGLE ECONOMIC ENTITY DOCTRINE OLEH KPPU
DALAM KASUS HAK SIAR BARCLAYS PREMIER LEAGUE
(LIGA UTAMA INGGRIS) MUSIM 2007-2010
(Analisis Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ABDULATIEF ZAINAL
NIM: 1112048000023
Pembimbing:
Pembimbing I Pembimbing II
Syafrudin Makmur, S.H., M.H. Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.
NUPN. 9920112680
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H/2018 M
iv
ABSTRAK
Abdulatief Zainal. NIM 1112048000023. PENGGUNAAN SINGLE
ECONOMIC ENTITY DOCTRINE OLEH KPPU DALAM KASUS HAK SIAR
BARCLAYS PREMIER LEAGUE (LIGA UTAMA INGGRIS) MUSIM 2007-2010
(Analisis Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008). Program Studi Ilmu Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1439 H/2018 M. viii + 69 halaman.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan tentang penggunaan Single
Economic Entity (SEE) Doctrine oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) saat menyelesaikan sengketa persaingan usaha yang melibatkan pelaku
usaha baik yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan di wilayah
hukum negara Republik Indonesia. Untuk itu, peneliti akan membahas salah satu
sengketa persaingan usaha yang melibatkan para pelaku usaha tersebut dan dalam
penyelesaiaannya KPPU menggunakan pendekatan SEE Doctrine. Adapun
sengketa yang dimaksud adalah putusan Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008
tentang Hak Siar Barclays Premier League (Liga Utama Inggris) Musim 2007-
2010. Selanjutnya, akan diuraikan analisis peneliti atas pertimbangan KPPU
ketika menggunakan SEE Doctrine terhadap putusan tersebut berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum doktrinal atau
penelitian hukum normatif. Dalam penelitiannya, peneliti menggunakan
pendekatan perundangan-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus
(case approach). Perundang-undangan yang digunakan berupa Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Adapun
kasus yang digunakan adalah putusan Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007 tentang
dugaan Pelanggaran oleh Kelompok Usaha Temasek dan putusan Perkara Nomor:
03/KPPU-L/2008 tentang Hak Siar Barclays Premier League (Liga Utama
Inggris) Musim 2007-2010.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan dan penerapaan SEE
Doctrine yang dilakukan oleh KPPU dalam menyelesaikan putusan Perkara
Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang Hak Siar Barclays Premier League (Liga
Utama Inggris) Musim 2007-2010 tidak tepat dan berpotensi untuk menimbulkan
ketidakadilan bagi para pihak yang terlibat dalam putusan perkara tersebut.
Kata kunci: Ekstrateritorial, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),
Perseroan Terbatas, Perusahaan Grup, Perusahaan Anak,
Perusahaan Induk, Single Economic Entity (SEE) Doctrine.
Pembimbing : Syafrudin Makmur, S.H., M.H.
Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.
Daftar Pustaka : 1968 s.d. 2016
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat
dan anugrah dari-Nya sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita,
Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang
lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar
bagi seluruh alam semesta.
Skripsi yang berjudul “Penggunaan Single Economic Entity Doctrine
oleh KPPU dalam Kasus Hak Siar Barclays Premier League (Liga Utama
Inggris) Musim 2007-2010 (Analisis Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008)”
peneliti susun untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Hukum
(S.H.) pada Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari
bimbingan, dukungan, nasihat, dan motivasi yang peneliti dapatkan dari berbagai
pihak di sekitar peneliti. Oleh karenanya, peneliti ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
vi
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. dan Drs. Abu Tamrin., S.H.,
M.Hum. Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Syafrudin Makmur, S.H., M.H. dan Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. Dosen
pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya
dalam memberikan bimbingan kepada peneliti;
4. Pengelola Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan pengelola
Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan berbagai macam fasilitas kepada peneliti
dalam rangka melakukan studi kepustakaannya;
5. Ayahanda Syah Johan Zainal, Ibunda Rita Elana, dan kakak Putri M. Denison
tercinta yang selalu memberikan kasih sayang dan dukungannya kepada
peneliti. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan nikmat-Nya
kepada Ayah, Ibu, dan kakak yang peneliti cintai;
Demikian yang dapat peneliti sampaikan, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi para pihak yang membacanya dan berkontribusi bagi kemajuan
hukum perusahaan dan hukum persaingan usaha di Indonesia menuju ke arah
yang lebih baik lagi.
Ciputat, 1 Januari 2018
Peneliti
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .............................. 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................................ 8
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .................................................... 8
F. Kerangka Teori dan Konseptual............................................................ 9
G. Metode Penelitian................................................................................ 10
H. Sistematika Penulisan.......................................................................... 13
BAB II: TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN GRUP
A. Pengertian Perusahaan Grup ............................................................... 16
B. Karakteristik Perusahaan Grup ........................................................... 19
C. Jenis-jenis Perusahaan Grup ............................................................... 23
viii
D. Pembentukan dan Pembubaran Perusahaan Grup ............................... 26
BAB III: SINGLE ECONOMIC ENTITY DOCTRINE: KONSEP DAN
PENGGUNAANNYA DI INDONESIA
A. Konsep Single Economic Entity Doctrine ........................................... 33
B. Pengertian Single Economic Entity Doctrine ...................................... 36
C. Faktor-faktor Single Economic Entity Doctrine .................................. 37
D. Penggunaan Single Economic Entity Doctrine di Indonesia ............... 40
BAB IV: PENGGUNAAN SINGLE ECONOMIC ENTITY DOCTRINE
OLEH KPPU DALAM PUTUSAN PERKARA NOMOR:
03/KPPU-L/2008 TENTANG HAK SIAR BARCLAYS PREMIER
LEAGUE (LIGA UTAMA INGGRIS) MUSIM 2007-2010
A. Hubungan Para Terlapor ..................................................................... 50
B. Pertimbangan KPPU ........................................................................... 55
C. Putusan KPPU ..................................................................................... 58
D. Analisis ................................................................................................ 59
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 65
B. Saran .................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak saat reformasi digulirkan, persaingan usaha menjadi salah satu
instrumen ekonomi dalam perkembangan sistem ekonomi Indonesia. Hal ini
ditunjukkan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(selanjutnya disebut sebagai UU Anti Monopoli).
Memberlakukan UU Anti Monopoli sebagai landasan kebijakan
persaingan (competition policy), merupakan bentuk perhatian negara dalam
menjunjung nilai-nilai persaingan usaha yang sehat sebagai pilar dalam sistem
ekonomi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut sebagai UUD 1945).1
Melalui UU Anti Monopoli, maka diharapkan terciptanya efisiensi terhadap
ekonomi pasar dengan mencegah monopoli dan mengatur persaingan yang sehat
dan demokrasi.2
Sehubungan dengan diberlakukannya UU Anti Monopoli, negara
membentuk suatu komisi yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan undang-
undang tersebut. Pembentukan ini didasari pada ketentuan yang tertuang dalam
1 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia - Cet. Ke-2 (Jakarta:
Kencana, 2009), h. 73.
2 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia - Cet. Ke-1 (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 105.
2
UU Anti Monopoli dan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang
Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Komisi yang diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(selanjutnya disebut sebagai KPPU) merupakan lembaga independen yang
memiliki kewenangan sangat besar. Kewenangan tersebut meliputi kewenangan
dalam wilayah yudikatif, seperti penyidikan, penuntutan, konsultasi, memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara persaingan usaha.3 Besarnya kewenangan serta
peran multifungsi dan keahlian yang dimiliki oleh KPPU, menjadikannya sebagai
lembaga yang tepat untuk mempercepat proses penanganan perkara dan
menyelesaikan sengketa persaingan usaha.4
Tidak hanya memiliki kewenangan sebagaimana diuraikan di atas, KPPU
juga berwenang untuk menghukum dan memberikan sanksi pelaku usaha yang
terbukti melanggar ketentuan UU Anti Monopoli. Berdasarkan ketentuan undang-
undang ini, KPPU dapat menerapkan sanksi administratif dan sanksi pidana
terhadap para pelaku usaha yang terbukti telah melanggar ketentuan UU Anti
Monopoli dan menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat. Adapun sanksi
administratif yang dimaksud berupa perintah kepada pelaku usaha untuk
menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan
menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, sedangkan sanksi pidananya berupa
pidana denda dan pidana kurungan.
3 Andi Fahmi Lubis, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks (Indonesia:
KPPU, 2009), h. 311.
4 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya di Indonesia)
– Cet. Ke-1 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 264.
3
Bermodalkan kewenangan yang dimilikinya, KPPU telah berhasil
menghukum sejumlah pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU Anti
Monopoli. Dalam perjalanannya menghukum pelaku usaha yang melakukan
tindakan monopoli dan menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, KPPU
menggunakan berbagai macam pendekatan, seperti pendekatan yuridis dan
pendekatan ekonomi. Melalui kedua pendekatan tersebut, KPPU melakukan
analisis untuk mengetahui apakah telah terjadi atau tidak indikasi pelanggaran UU
Anti Monopoli oleh pelaku usaha.5
Selain menggunakan pendekatan yuridis dan ekonomi, KPPU juga
menggunakan doktrin-doktrin hukum persaingan usaha yang telah digunakan
secara internasional. Salah satu doktrin yang digunakan oleh KPPU adalah Single
Economic Entity Doctrine (selanjutnya disebut sebagai SEE Doctrine).
SEE Doctrine adalah suatu doktrin yang memandang hubungan
perusahaan induk (holding company) dan perusahaan anak (subsidiary company)
di mana perusahaan anak tidak memiliki independensi untuk menentukan arah
kebijakan perusahaan sebagai satu kesatuan entitas ekonomi.6 Melalui SEE
Doctrine perusahaan induk dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan
yang dilakukan oleh perusahaan anak dalam satu kesatuan ekonomi, meskipun
5 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia – Cet. Ke-1, h. 107.
6 Alison Jones and Brenda Sufrin, EC Competition Law, Text, Cases, and Materials (New
York: Oxford University Press, 2004), h. 123.
4
perusahaan induk beroperasi tidak dalam yurisdiksi hukum persaingan usaha suatu
negara, sehingga hukum persaingan usaha dapat bersifat ekstrateritorial.7
Penggunaan SEE Doctrine dalam menyelesaikan sengketa persaingan
usaha di Indonesia, dilatarbelakangi oleh keberadaan para pelaku usaha yang
melakukan kegiatannya di Indonesia, namun pelaku usaha ini tidak didirikan dan
tidak berkedudukan di dalam wilayah hukum negara Indonesia itu sendiri.
Adapun pelaku usaha yang dimaksud adalah suatu perusahaan induk dan
perusahaan anak dalam konstruksi perusahaan grup. Dalam hal ini, perusahaan
induk yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia memiliki kemampuan
untuk menjalankan kegiatan usaha melewati anak perusahaannya yang didirikan
dan berkedudukan di wilayah Indonesia.
Dengan tidak didirikan dan tidak berkedudukan di dalam wilayah hukum
negara Indonesia, maka para pelaku usaha sebagaimana diuraikan di atas tidak
berada dalam yurisdiksi hukum persaingan usaha Indonesia. Dengan kata lain,
KPPU tidak memiliki kewenangan untuk menjangkau para pelaku usaha tersebut.
Dalam rangka mengantisipasi hal ini, maka KPPU mulai menggunakan SEE
Doctrine untuk memperluas kewenangannya dalam menyelesaikan perkara
persaingan usaha yang melibatkan para pelaku usaha yang memiliki hubungan
induk dan anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup.
Sehubungan dengan uraian di atas, penggunaan SEE Doctrine oleh KPPU
untuk pertama kalinya secara eksplisit diterapkan dalam putusan Perkara Nomor:
7 Andi Fahmi Lubis, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, h. 126.
5
07/KPPU-L/2007 tentang dugaan Pelanggaran oleh Kelompok Usaha Temasek.
Selain dalam putusan tersebut, KPPU juga menggunakan SEE Doctrine dan
menerapkannya dalam putusan Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang Hak
Siar Barclays Premier League (Liga Utama Inggris) Musim 2007-2010.
Meskipun dalam menyelesaikan kedua sengketa persaingan usaha tersebut
KPPU menggunakan pendekatan SEE Doctrine, namun terdapat perbedaan
kondisi yang melatarbelakangi KPPU untuk menggunakan doktrin tersebut.
Dalam putusan Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007 tentang dugaan Pelanggaran
oleh Kelompok Usaha Temasek, kondisi yang melatarbelakangi penggunaan
pendekatan SEE Doctrine dikarenakan para terlapor merupakan perusahaan induk
bersama-sama dengan perusahaan anak yang memiliki hubungan perusahaan grup.
Hubungan ini dibuktikan dengan adanya kepemilikan saham mayoritas oleh
perusahaan induk terhadap perusahaan anak yang di mana melalui kepemilikan
saham tersebut menjadikan perusahaan induk memiliki kemampuan untuk
mengendalikan anak perusahaannya.
Sebaliknya, dalam putusan Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang Hak
Siar Barclays Premier League (Liga Utama Inggris) Musim 2007-2010, para
terlapor tidak memiliki hubungan induk dan anak perusahaan dalam konstruksi
perusahaan grup. Ketiadaan hubungan ini dibuktikan dengan tidak ditemukan
adanya bukti kepemilikan saham mayoritas serta adanya bukti pengendalian yang
dilakukan oleh masing-masing terlapor. Meskipun tidak ditemukan adanya
hubungan tersebut, KPPU tetap menggunakan SEE Doctrine untuk memperluas
yurisdiksinya terhadap para terlapor.
6
Tidak ditemukannya hubungan induk dan anak perusahaan dalam
konstruksi perusahaan grup dan tetap digunakannya SEE Doctrine oleh KPPU
terhadap para terlapor dalam putusan Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang
Hak Siar Barclays Premier League (Liga Utama Inggris) Musim 2007-2010,
menjadi alasan yang melatarbelakangi peneliti tertarik untuk melakukan analisis
secara mendalam dalam bentuk sebuah skripsi yang berjudul: PENGGUNAAN
SINGLE ECONOMIC ENTITY DOCTRINE OLEH KPPU DALAM KASUS
HAK SIAR BARCLAYS PREMIER LEAGUE (LIGA UTAMA INGGRIS)
MUSIM 2007-2010 (Analisis Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008)
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berbagai masalah yang ditemukan dari judul ini antara lain:
a. Penggunaan SEE Doctrine oleh KPPU dalam putusan Perkara Nomor:
03/KPPU-L/2008 tentang Hak Siar Barclays Premier League (Liga Utama
Inggris) Musim 2007-2010;
b. Ketiadaan hubungan perusahaan induk dan perusahaan anak dalam
konstruksi perusahaan grup antara para terlapor dalam putusan Perkara
Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang Hak Siar Barclays Premier League
(Liga Utama Inggris) Musim 2007-2010;
c. Implikasi penggunaan SEE Doctrine oleh KPPU dalam putusan Perkara
Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang Hak Siar Barclays Premier League
(Liga Utama Inggris) Musim 2007-2010.
7
2. Pembatasan Masalah
Pada penelitian ini, peneliti membatasi penelitian yang hanya akan membahas
dan menguraikan pertimbangan dan ketepatan penggunaan SEE Doctrine oleh
KPPU dalam putusan Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang Hak Siar
Barclays Premier League (Liga Utama Inggris) Musim 2007-2010.
3. Perumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Apa pertimbangan KPPU menggunakan SEE Doctrine dalam putusan
Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang Hak Siar Barclays Premier
League (Liga Utama Inggris) Musim 2007-2010?
b. Apakah penggunaan SEE Doctrine oleh KPPU dalam putusan Perkara
Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang Hak Siar Barclays Premier League
(Liga Utama Inggris) Musim 2007-2010 tepat untuk dilakukan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan
wawasan kepada masyarakat luas dan pihak terkait mengenai pertimbangan dan
ketepatan penggunaan SEE Doctrine oleh KPPU dalam menyelesaikan sengketa
persaingan usaha. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Untuk mengetahui pertimbangan KPPU dalam menggunakan SEE
Doctrine terkait dengan putusan Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008
tentang Hak Siar Barclays Premier League (Liga Utama Inggris)
Musim 2007-2010;
8
2. Untuk mengetahui ketepatan penggunaan SEE Doctrine oleh KPPU
dalam putusan Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang Hak Siar
Barclays Premier League (Liga Utama Inggris) Musim 2007-2010.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
wawasan dalam segi keilmuan yang berkaitan dengan eksistensi SEE Doctrine
dalam kajian hukum persaingan usaha dan eksistensi perusahaan grup dalam
kajian hukum perusahaan di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi
masukan bagi KPPU dalam hal penggunaan SEE Doctrine untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa persaingan usaha yang ada serta menjadi
masukan bagi Pemerintah dalam mereformulasi ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan hukum persaingan usaha dan hukum perusahaan di
Indonesia.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang
berkaitan dengan penelitian yang kita jalankan sekalipun arah tujuan yang diteliti
berbeda. Peneliti menemukan beberapa sumber kajian lain yang telah lebih dahulu
membahas hal yang berkaitan dengan penelitian ini, di antaranya adalah:
1. Gina Aprilitasari/ Penerapan Doktrin Single Economic Entity dalam
Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Studi Komparasi Antara
9
Amerika, Eropa, dan Singapura)/ Fakultas Hukum - Ilmu Hukum,
Universitas Indonesia, 2010. Skripsi ini menjelaskan tentang
penerapan doktrin Single Economic Entity dalam hukum persaingan
usaha di Indonesia yang selanjutnya dikomparasikan dengan penerapan
doktrin Single Economic Entity di negara lainnya seperti Amerika,
Eropa, dan Singapura. Metodologi penelitian yang digunakan adalah
metode yuridis normatif dan pendekatan perbandingan atau komparasi.
2. Ainun Ringe Angelina/ Urgensi Pengaturan Single Economic Entity
Doctrine dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Sehubungan
dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN/ Fakultas Hukum - Ilmu
Hukum, Universitas Indonesia, 2015. Skripsi ini menjelaskan tentang
urgensi pengaturan Single Economic Entity Doctrine dalam hukum
persaingan usaha di Indonesia dan dampak dari pengaturan Single
Economic Entity Doctrine dalam hukum persaingan usaha di Indonesia
terkait Masyarakat Ekonomi ASEAN. Metodologi penelitian yang
digunakan adalah metode yuridis normatif.
F. Kerangka Teori dan Konseptual
Untuk menganalisis ketepatan penggunaan SEE Doctrine oleh KPPU
dalam putusan Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang Hak Siar Barclays
Premier League (Liga Utama Inggris) Musim 2007-2010, maka teori yang akan
peneliti gunakan adalah sebagai berikut:
10
1. Legal Entity
Teori ini menjelaskan tentang suatu perkumpulan/organisasi yang oleh
diperlakukan seperti seorang manusia, yaitu sebagai pengemban hak
dan kewajiban, dapat memiliki kekayaan, dan dapat menggugat dan
digugat di muka pengadilan.
2. Separate Legal Entity
Teori ini menjelaskan tentang pemisahan kewenangan dan tanggung
jawab pemegang saham terhadap perusahaannya tempat di mana
sahamnya berada.
3. Single Economic Entity
Teori ini akan dilihat dari penggunaannya di Uni Eropa dan Amerika
Serikat dalam rangka menyelesaikan sengketa persaingan usaha yang
melibatkan pelaku usaha yang didirikan atau melakukan kegiatan
usaha di luar wilayah teritorial masing-masing negara tersebut.
G. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini,
maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum doktrinal atau
penelitian hukum normatif. Pada penelitian hukum jenis ini, hukum
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan
11
(law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.8
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum klinis (clinical legal research). Penelitian hukum jenis ini berusaha
untuk menemukan apakah hukumnya bagi suatu perkara in-concreto.
Penelitian diawali dengan mendeskripsikan legal facts, kemudian mencari
pemecahannya melalui analisis yang kritis terhadap norma-norma hukum
positif yang ada, dan selanjutnya menemukan hukum in-concreto untuk
menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.9
3. Pendekatan Penelitian
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum
doktrinal atau penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang digunakan di
dalam penelitian hukum ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach) dan pendekatan kasus (case approach).
4. Sumber dan Kriteria Data Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti akan menggunakan beberapa sumber
dan data penelitian sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,
artinya mempunya otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari
8 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum - Cet. Ke-6
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 118.
9 Ibid., h. 125-126.
12
peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.10 Adapun
bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
4. Putusan Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007 tentang dugaan
Pelanggaran oleh Kelompok Usaha Temasek;
5. Putusan Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang Hak Siar Barclays
Premier League (Liga Utama Inggris) Musim 2007-2010.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum berupa semua publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Adapun
bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk
skripsi, tesis, disertasi hukum, dan jurnal-jurnal hukum. Di samping itu
juga, kamus-kamus hukum dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan.11
10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi - Cet. Ke-9 (Jakarta: Prenada
Media Group, 2014), h. 181.
11 Ibid., h. 195-196.
13
c. Bahan Non-Hukum
Bahan non-hukum merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk
atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan, di mana studi
kepustakaan merupakan metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian
ini. Melalui studi kepustakaan, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum non-hukum akan dikumpulkan serta
diklasifikasikan menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara
komprehensif.
6. Teknik Pengolahan Data
Data yang diperoleh dengan studi kepustakaan akan peneliti uraikan dan
hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penelitian yang lebih
sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa
teknik pengolahan data dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan
dari satu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret
yang dihadapi. Selanjutnya data yang tersedia akan dianalisis secara kritis dan
mendalam untuk menjawab masalah hukum yang telah dirumuskan dalam
perumusan masalah.
H. Sistematika Penulisan
Penelitian dan penyusunan skripsi ini berdasarkan pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
14
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012” dengan sistematika penulisan yang
terbagi ke dalam 5 (lima) bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab
sesuai dengan pembahasan dan permasalahan yang diteliti. Adapun urutannya
sebagai berikut:
BAB I Dalam bab pertama, peneliti akan membahas mengenai
Pendahuluan yang memuat: Latar Belakang Masalah,
Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah, Tujuan
Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian
Terdahulu, Kerangka Teori dan Konseptual, Metode
Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Dalam bab kedua, peneliti akan membahas mengenai
Tinjauan Umum Perusahaan Grup yang memuat:
Pengertian Perusahaan Grup, Karakteristik Perusahaan
Grup, Jenis-jenis Perusahaan Grup, dan Pembentukan dan
Pembubaran Perusahaan Grup.
BAB III Dalam bab ketiga, peneliti akan membahas mengenai
Konsep dan Penggunaan Single Economic Entity Doctrine
di Indonesia yang memuat: Konsep Single Economic Entity
Doctrine, Pengertian Single Economic Entity Doctrine,
Faktor-faktor Single Economic Entity Doctrine, dan
Penggunaan Single Economic Entity Doctrine di Indonesia.
15
BAB IV Dalam bab keempat, peneliti akan membahas mengenai
Penggunaan Single Economic Entity Doctrine oleh KPPU
dalam putusan Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang
Hak Siar Barclays Premier League (Liga Utama Inggris)
Musim 2007-2010 yang memuat: Hubungan Para Terlapor,
Pertimbangan KPPU, Putusan KPPU, dan Analisis.
BAB V Dalam bab kelima, peneliti akan membahas mengenai
Kesimpulan dan Saran. Bab ini merupakan bab terakhir dan
bab penutup dari skripsi ini. Oleh karenanya, peneliti
menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian dan
memberikan beberapa saran yang dianggap perlu.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN GRUP
A. Pengertian Perusahaan Grup
Perusahaan grup adalah bentuk usaha1 selain bentuk-bentuk usaha yang
terdapat di Indonesia, seperti Persekutuan Perdata (Maatschap)2, Firma
(Vennootschap Onder Firma)3, Persekutuan Komanditer (Commanditaire
Vennootschap)4, dan Perseroan Terbatas (Naamloze Vennootschaap) (selanjutnya
disebut sebagai Perseroan)5.
1 Bentuk usaha adalah organisasi usaha atau badan usaha yang menjadi wadah penggerak
setiap jenis usaha. Organisasi atau badan usaha tersebut diatur atau diakui oleh Undang-Undang
baik bersifat perseorangan, persekutuan atau badan hukum. Lihat Kurniawan, Hukum Perusahaan:
Karakteristik Badan Usaha Berbadan Hukum dan Tidak Berbadan Hukum di Indonesia
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2014), h. 21.
2 Persekutuan Perdata (Maatschap) adalah perjanjian antara dua orang atau lebih yang
saling mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan dengan maksud untuk
membagi keuntungan (manfaat) yang terjadi karenanya. Lihat Agus Sardjono, dkk, Pengantar
Hukum Dagang (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 28.
3 Firma adalah setiap persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan
dengan nama bersama, kongsi, kerja sama. Lihat Abdul R. Saliman, dkk, Hukum Bisnis Untuk
Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus (Jakarta: Kencana, 2005), h. 107.
4 Persekutuan Komanditer adalah persekutuan dengan setoran uang, barang atau tenaga
sebagai pemasukan para sekutu, dibentuk oleh satu orang atau lebih anggota aktif yang
bertanggung jawab secara renteng, di satu pihak dengan satu atau lebih orang lain sebagai pelepas
uang. Lihat Farida Hasyim, Hukum Dagang (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 144.
5 Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas yang dimaksud dengan Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan adalah
badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
17
Dalam perkembangan terkini, perusahaan grup menjadi salah satu bentuk
usaha yang banyak dipilih oleh para pelaku usaha di Indonesia.6 Hal ini
dibuktikan, dengan ditemukannya keberadaan 300 perusahaan grup sebelum krisis
tahun 1998 terjadi yang di mana perusahaan grup tersebut memiliki 9.766 unit
bisnis.7
Adapun bentuk usaha yang banyak dipilih oleh perusahaan grup di
Indonesia adalah perusahaan grup berbentuk Perseroan. Ini dikarenakan Perseroan
sebagai bentuk usaha memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh bentuk usaha
lainnya. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari statusnya sebagai badan hukum,
merupakan wujud atau entitas yang terpisah dan berbeda dari pemiliknya dalam
hal ini adalah pemegang saham, dan terbatasnya tanggung jawab pemegang saham
terhadap Perseroan itu sendiri. Karakteristik inilah yang menjadikan Perseroan
sebagai bentuk usaha yang paling ideal bagi perusahaan grup.8 Oleh karenanya,
uraian tentang perusahaan grup di Indonesia selanjutnya tidak bisa terlepas dan
difokuskan terhadap perusahaan grup yang terdiri dari berbagai Perseroan.
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dikatakan bahwa keberadaan
perusahaan grup di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Walaupun
demikian, keberadaannya sampai saat ini masih belum mendapatkan pengakuan
6 Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 1.
7 Hugh Patrick, “Corporate Governance and the Indonesian Financial System: A
Comparative Perspective”, artikel diakses pada 1 September 2017 dari
https://www8.gsb.columbia.edu/apec/sites/apec/files/files/discussion/hpatrick3.PDF
8 Titi Maria, Liability Aspects of Corporate Group Structures: A Primer for Indonesian
Legal Practitioners (Jakarta: PT. Tatanusa, 2004), h. 98.
18
secara yuridis, seperti halnya Persekutuan Perdata yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie)
(selanjutnya disebut sebagai KUH Perdata), Firma dan Persekutuan Komanditer
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van
Koophandel voor Indonesie) (selanjutnya disebut sebagai KUHD) serta Perseroan
Terbatas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut sebagai UU Perseroan Terbatas).
Ketiadaan pengakuan secara hukum terhadap eksistensi perusahaan grup,
menjadikan perusahaan grup sebagai bentuk usaha yang tidak memiliki pengertian
resmi yang diberikan oleh negara. Oleh karenanya, pengertian perusahaan grup
yang akan diuraikan selanjutnya merupakan pengertian yang bersumber pada
pendapat beberapa ahli hukum, yaitu:
“Perusahaan grup adalah suatu tatanan yang timbul dari pembentukan
sejumlah perusahaan yang secara yuridis merupakan beberapa subjek
hukum yang mandiri, sedangkan secara ekonomis merupakan suatu
kesatuan ekonomis. Tatanan yang sedemikian itulah yang di Indonesia
dikenal sebagai perusahaan grup”.9
Selain pengertian di atas, perusahaan grup selanjutnya diartikan secara
lebih komprehensif oleh Sulistiowati sebagai berikut:
“Perusahaan grup merupakan susunan induk dan anak perusahaan yang
berbadan hukum mandiri yang saling terkait erat sehingga induk
perusahaan memiliki kewenangan untuk menjadi pimpinan sentral yang
mengendalikan dan mengkoordinasikan anak-anak perusahaan bagi
9 Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1995), h. 64.
19
tercapainya tujuan kolektif perusahaan grup sebagai kesatuan
ekonomi”.10
B. Karakteristik Perusahaan Grup
Berdasarkan kedua uraian sebelumnya, terlihat adanya beberapa
karakteristik yang dimiliki oleh perusahaan grup. Karakteristik tersebut adalah
adanya susunan induk dan anak perusahaan, adanya pengendalian induk terhadap
anak perusahaan, dan perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi. Berikut ini
akan diuraikan masing-masing karakteristik tersebut:
1. Perusahaan Induk (Holding Company) dan Perusahaan Anak
(Subsidiary Company)
Perusahaan induk atau holding company adalah perusahaan yang
memiliki atau mengendalikan satu atau lebih perusahaan lain sehingga
memungkinkan untuk mengatur kebijakan perusahaan tersebut melalui
hak suara yang dimilikinya11, sedangkan perusahaan anak atau
subsidiary company adalah perusahaan yang sebagian atau seluruh
sahamnya dimiliki oleh perusahaan lain.12
Selain melalui kepemilikan saham, suatu perusahaan juga dikatakan
sebagai perusahaan anak apabila terdapat perusahaan lain yang
memiliki kemampuan untuk mengontrol susunan direksi perusahaan
10 Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, h. 23.
11 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary – Revised Fourth Edition (ST. Paul,
Minn.: West Publishing Co., 1968), h. 865.
12 Lawrence S. Clark, dkk, Law and Business: The Regulatory Environment - Fourth
Edition (United States of America: McGraw-Hill, 1994), h. 471.
20
tersebut.13 Dengan demikian, perusahaan induk merupakan perusahaan
yang memiliki sebagian atau seluruh saham perusahaan anak dan
memiliki kemampuan untuk mengendalikan serta mempengaruhi
kebijakan anak perusahaannya.
Hubungan kepemilikan disertai pengendalian antara perusahaan induk
dengan perusahaan anak inilah yang pada akhirnya membentuk
perusahaan grup. Sebagaimana dijelaskan oleh M C Oliver dan Enid A
Marshall bahwa perusahaan grup hadir ketika terdapat 2 (dua) atau
lebih perusahaan yang memiliki hubungan sebagai induk dan anak
perusahaan satu sama lainnya.14
2. Pengendalian Perusahaan Induk terhadap Perusahaan Anak
Pengendalian yang dilakukan oleh perusahaan induk terhadap
perusahaan anak disebabkan oleh beberapa hal seperti adanya
kepemilikan saham di anak perusahaan, Rapat Umum Pemegang
Saham (selanjutnya disebut sebagai RUPS), dan penempatan anggota
direksi dan/atau dewan komisaris di anak perusahaan.
Melalui kepemilikan sahamnya perusahaan induk memiliki hak suara
untuk mengendalikan anak perusahaannya melalui berbagai
mekanisme pengendalian seperti melalui RUPS. Dalam RUPS induk
13 E.R. Hardy Ivamy, Topham and Ivamy’s Company Law - Sixteenth Edition (London:
Butterworth & Co., 1978), h. 272.
14 M C Oliver and Enid A Marshall, Company Law – Twelfth Edition (London: Pitman
Publishing, 1994), h. 166.
21
perusahaan dapat mengatur dan menetapkan kebijakan-kebijakan
bisnis anak perusahaannya yang dapat mendukung pencapaian tujuan
perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi.
Selain melalui RUPS, kepemilikan atas saham anak perusahaan juga
menjadikan induk perusahaan memiliki kewenangan untuk
menempatkan anggota direksi dan/atau komisaris anak perusahaan.
Penempatan ini merupakan bentuk pengendalian secara tidak langsung
yang dilakukan oleh induk perusahaan terhadap kegiatan operasional
anak perusahaannya.15
3. Perusahaan Grup sebagai Kesatuan Ekonomi
Sesungguhnya, konsep perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi
adalah konsep perusahaan grup yang dilihat dari sisi ekonomi bukan
dari sisi hukum. Secara ekonomi konsep ini bermakna bahwa
perusahaan grup secara keseluruhan di mana di dalamnya terdapat
perusahaan induk dan perusahaan anak dianggap merupakan suatu
kesatuan.
Karena merupakan suatu kesatuan ekonomi, maka perusahaan grup
dipimpin oleh induk perusahaan yang berfungsi sebagai pimpinan
15 Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, h. 96-
97.
22
sentral untuk mengarahkan setiap kegiatan usaha anggota perusahaan
grupnya demi mendukung kepentingan ekonomi perusahaan grup.16
Berbeda dengan sisi ekonomi yang memandang perusahaan grup
sebagai satu kesatuan, secara hukum induk perusahaan dan anak
perusahaan yang tergabung dalam perusahaan grup diakui sebagai
subjek hukum17 yang mandiri.
Pengakuan tersebut menjadikan induk dan anak perusahaan sebagai
subjek hukum mandiri berhak melakukan perbuatan hukum sendiri,
sedangkan fakta pengendalian induk terhadap anak perusahaan melalui
kepemilikan saham, RUPS, dan penempatan direksi dan/atau dewan
komisaris pada anak perusahaan menjadi bukti bahwa perusahaan grup
dikelola sebagai kesatuan ekonomi.
Pada akhirnya, pengendalian induk terhadap anak perusahaan dalam
perusahaan grup telah menimbulkan dualitas pada anak perusahaan,
yaitu sebagai badan hukum yang mandiri dan badan usaha yang tunduk
di bawah kendali induk perusahaan.18
16 Munir Fuady, Hukum Perusahaan (Dalam Paradigma Hukum Bisnis) (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2002), h. 134.
17 Subjek Hukum adalah sesuatu yang bertindak sebagai pendukung hak dan kewajiban
(memiliki hak dan kewajiban). Lihat Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana Fathoeddin, Aspek
Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2010), h. 4.
18 Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, h. 21.
23
C. Jenis-jenis Perusahaan Grup
Terdapat 2 (dua) cara untuk mengetahui jenis-jenis perusahaan grup yang
ada di Indonesia saat ini. Kedua cara tersebut adalah dengan melihat variasi usaha
dan penggolongan perusahaan induk dalam perusahaan grup. Selanjutnya, akan
dijelaskan terlebih dahulu jenis-jenis perusahaan grup dilihat dari variasi
usahanya. Adapun penjelasan tersebut akan diuraikan sebagai berikut:19
1. Grup Usaha Vertikal
Dalam grup usaha vertikal, jenis usaha dari masing-masing perusahaan
masih tergolong serupa. Misalnya ada anak perusahaan yang
menyediakan bahan baku, ada yang memproduksi bahan setengah jadi,
bahan jadi, dan ada pula yang bergerak di bidang ekspor-impor.
Dengan demikian, suatu kelompok usaha menguasai suatu jenis
produksi dari hulu ke hilir. Contoh perusahaan grup yang termasuk ke
dalam grup usaha jenis ini adalah Grup Astra.
2. Grup Usaha Horizontal
Dalam grup usaha horizontal, jenis usaha dari masing-masing anak
perusahaan tidak ada kaitan satu sama lainnya. Dengan kata lain,
terjadi penganekaragaman jenis usaha yang dilakukan oleh masing-
masing anak perusahaan. Adapun contoh perusahaan grup yang
termasuk ke dalam jenis grup usaha ini adalah Grup Summa.
19 Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2002), h. 18-19.
24
3. Grup Usaha Kombinasi
Dalam grup usaha kombinasi, jenis usaha dari masing-masing anak
perusahaan ada yang memiliki keterkaitan dalam suatu mata rantai
produksi dari hulu ke hilir dan ada yang tidak memiliki kaitan satu
sama lainnya. Sehingga dalam grup tersebut terdapat kombinasi antara
grup vertikal dengan grup horizontal. Contoh perusahaan grup yang
termasuk ke dalam jenis grup usaha ini adalah Grup Salim.
Berdasarkan keterangan sebelumnya, selain dilihat dari variasi usahanya,
jenis-jenis perusahaan grup juga dapat dilihat dari penggolongan perusahaan
induk dalam perusahaan grup. Penggolongan tersebut dilakukan dengan
menggunakan berbagai kriteria berupa keterlibatannya dalam berbisnis,
keterlibatannya dalam pengambilan keputusan, dan keterlibatannya dalam
kepemilikan saham. Berikut ini akan diuraikan masing-masing kriteria tersebut:20
1. Keterlibatan Perusahaan Induk dalam Berbisnis
Dintinjau dari keterlibatannya dalam berbinis, maka perusahaan induk
dapat digolongkan menjadi perusahaan induk semata-mata dan
perusahaan induk beroperasi. Perusahaan induk semata-mata adalah
jenis perusahaan induk yang kehadirannya dimaksudkan hanya untuk
memegang saham dan mengontrol anak perusahaannya. Dengan
demikian, perusahaan jenis ini secara de facto tidak melakukan bisnis
dalam praktik.
20 Munir Fuady, Hukum Perusahaan (Dalam Paradigma Hukum Bisnis), h. 95-103.
25
Berbeda dengan perusahaan induk semata-mata, perusahaan induk
beroperasi di samping bertugas memegang saham dan mengontrol
anak perusahaannya, perusahaan ini juga melakukan aktifitas bisnisnya
sendiri.
2. Keterlibatan Perusahaan Induk dalam Pengambilan Keputusan
Ditinjau dari keterlibatannya dalam pengambilan keputusan
perusahaan anak, maka perusahaan induk dapat digolongkan menjadi
perusahaan induk investasi dan perusahaan induk manajemen.
Perusahaan induk investasi merupakan perusahaan induk yang
memiliki saham pada anak perusahaan, tanpa turut terlibat mencampuri
masalah manajemen dari anak perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu,
kewenangan mengelola bisnis dan pengambilan keputusan sepenuhnya
atau sebagian besar berada pada anak perusahaan.
Berbeda dengan perusahaan induk investasi, pada perusahaan induk
manajemen, keterlibatan perusahaan induk terhadap perusahaan anak
tidak hanya sebagai pemegang saham pasif semata-mata, tetapi
perusahaan induk juga turut terlibat mencampuri masalah manajemen
perusahaan anak dan memonitor pengambilan keputusan bisnis yang
dilakukan oleh perusahaan anak.
26
3. Keterlibatan Perusahaan Induk dalam Kepemilikan Saham
Ditinjau dari keterlibatannya atas kepemilikan saham di perusahaan
anak, maka perusahaan induk digolongkan menjadi perusahaan induk
afiliasi, perusahaan induk subsidiari, dan perusahaan induk kombinasi.
Besarnya kepemilikan saham perusahaan induk atas perusahaan anak,
menjadi faktor yang membedakan antara perusahaan induk afiliasi
dengan perusahaan induk subsidiari. Dalam perusahaan induk afiliasi,
besarnya saham yang dimiliki oleh perusahaan induk tidak sampai
51%, sedangkan dalam perusahaan induk subsidiari, besarnya saham
yang dimiliki perusahaan induk adalah 51% atau lebih.
Perusahaan induk selanjutnya adalah perusahaan induk kombinasi,
yakni kombinasi antara perusahaan induk afiliasi dan perusahaan induk
subsidiari. Dalam hal ini, perusahaan induk memiliki saham pada
beberapa anak perusahaan sekaligus, di mana besarnya kepemilikan
saham tersebut ada yang tidak sampai 51% dan ada yang 51% atau
lebih.
D. Pembentukan dan Pembubaran Perusahaan Grup
Pada dasarnya, setiap perusahaan dapat membentuk perusahaan grup
dengan melakukan perbuatan hukum21 tertentu. Perbuatan hukum yang dimaksud
terdiri atas tindakan berupa menjalin kerja sama dengan perusahaan lain dan
dengan mengalokasikan sebagian kegiatan usaha kepada anak perusahaan.
21 Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan subjek hukum (manusia atau badan hukum)
yang akibatnya diatur oleh hukum, karena akibat itu bisa dianggap sebagai kehendak dari yang
melakukan hukum. Lihat R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.
291.
27
Dalam hal ini, tindakan menjalin kerja sama dengan perusahaan lain dapat
dilakukan melalui mekanisme pengambilalihan dan kerja sama usaha patungan,
sedangkan untuk tindakan mengalokasikan sebagian kegiatan usaha kepada anak
perusahaan dapat dilakukan dengan mendirikan anak perusahaan serta melakukan
pemisahan usaha.22 Adapun perbuatan hukum tersebut selanjutnya akan diuraikan
sebagai berikut:
1. Pengambilalihan (Akuisisi)
Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan
hukum23 atau perorangan untuk mengambil alih baik seluruh ataupun
sebagian besar saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya
pengendalian terhadap Perseroan tersebut.24
Dengan mengambilalih seluruh atau sebagian besar saham Perseroan,
tidak serta-merta mengakibatkan Perseroan yang diambil alih
sahamnya menjadi bubar ataupun berakhir, namun Perseroan tersebut
tetap eksis dan valid seperti sediakala.25
Maka dari itu, konsekuensi yuridis perbuatan hukum pengambilalihan
hanya sampai pada beralihnya pengendalian atas Perseroan yang
22 Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, h. 72.
23 Badan Hukum adalah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa (yang bukan manusia)
yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia. Lihat Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar
Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 124.
24 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
25 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 509.
28
diambil alih sahamnya kepada pihak yang mengambil alihnya.
Beralihnya kepemilikan hak atas pengendalian suatu Perseroan inilah
yang mendasari lahirnya keterkaitan induk dan anak perusahaan dalam
perusahaan grup.26
2. Kerja Sama Usaha Patungan (Joint Venture)
Istilah kerja sama usaha patungan merupakan terjemahan dari kata
joint venture contract atau joint venture agreement. Menurut Peter
Mahmud, joint venture adalah suatu kontrak antara dua perusahaan
untuk membentuk suatu perusahaan baru. Perusahaan baru inilah yang
kemudian disebut perusahaan joint venture.27
Pada perjanjian ini, kedua belah pihak yang bekerja sama akan menjadi
pemegang saham dan induk perusahaan atas perusahaan joint venture.
Oleh sebab itu, setiap anak perusahaan yang terbentuk dari kerja sama
tersebut menjadi jointly controlled entitites atau entitas di bawah
pengendalian bersama para pihak yang membentuknya.28
3. Pendirian Perseroan
Pada hakikatnya, suatu perusahaan berbadan hukum dapat
mengalokasikan sebagian kegiatan usahanya dengan mendirikan anak
26 Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, h. 74.
27 Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers,
2008), h. 206.
28 Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, h. 75.
29
perusahaan berbentuk Perseroan. Ketentuan mengenai pendirian suatu
Perseroan oleh badan hukum lainnya telah diatur dalam UU Perseroan
Terbatas yang menyatakan bahwa Perseroan didirikan oleh 2 (dua)
orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa
Indonesia.29
Dalam ketentuan tersebut, kata “orang” dipandang sebagai subjek
hukum dalam arti luas, sehingga orang adalah orang perorangan
ataupun badan hukum.30 Dengan demikian, UU Perseroan Terbatas
telah memberikan legitimasi bagi badan hukum untuk mendirikan
badan hukum lainnya seperti Perseroan.
Konsekuensi dari diizinkannya pembentukan Perseroan oleh badan
hukum lainnya adalah timbulnya hubungan induk dan anak perusahaan
dalam perusahaan grup antara badan hukum yang mendirikan terhadap
Perseroan yang didirikan melalui kepemilikan saham.31
4. Pemisahan
Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan
untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan
pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada dua Perseroan atau
29 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
30 Kurniawan, Hukum Perusahaan: Karakteristik Badan Usaha Berbadan Hukum dan
Tidak Berbadan Hukum di Indonesia, h. 60.
31 Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, h. 76.
30
lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum
kepada satu Perseroan atau lebih.32
Pemisahan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pemisahan murni
dan pemisahan tidak murni. Pemisahan murni adalah pemisahan yang
mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena
hukum kepada dua Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan
dan Perseroan yang melakukan Pemisahan tersebut berakhir karena
hukum, sedangkan pemisahan tidak murni adalah pemisahan yang
mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena
hukum kepada satu Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan,
dan Perseroan yang melakukan Pemisahan tersebut tetap ada.33
Dalam hal ini, hubungan induk dan anak perusahaan dalam perusahaan
grup terjadi ketika terdapat satu Perseroan yang bertindak sebagai
induk perusahaan yang mengendalikan satu atau lebih Perseroan lain
yang merupakan hasil dari pemisahan itu sendiri.34
Pembubaran perusahaan grup terjadi ketika hilangnya hubungan
pengendalian yang dilakukan oleh induk perusahaan terhadap anak perusahaan.
Hubungan pengendalian tersebut berakhir saat induk perusahaan maupun anak
perusahaan dibubarkan karena alasan tertentu. Adapun alasan dibubarkannya
32 Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
33 Pasal 135 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
34 Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, h. 78.
31
suatu induk dan anak perusahaan berbentuk Perseroan menurut UU Perseroan
Terbatas disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:35
1. Berdasarkan keputusan RUPS;
2. Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar
telah berakhir;
3. Berdasarkan penetapan pengadilan;
4. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan
tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
5. Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam
keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
6. Karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan
Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Upaya pembubaran seperti yang diuraikan di atas, tidak dengan sendirinya
menghilangkan status badan hukum yang dimiliki oleh induk atau anak
perusahaan. Dalam hal ini, pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris yang
dimiliki oleh induk atau anak perusahaan masih tetap ada. Bahkan, RUPS masih
tetap berfungsi mengambil keputusan sepanjang hal itu berkenaan dengan proses
pembubaran atau likuidasi.36
Sehubungan dengan masalah itu, ketika suatu pembubaran terjadi, hal
tersebut wajib diikuti dengan adanya likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau
kurator serta adanya perbuatan hukum yang diperlukan untuk membereskan
35 Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
36 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, h. 544.
32
seluruh urusan Perseroan dalam rangka likuidasi.37 Dengan kata lain, suatu
perusahaan induk atau perusahaan anak terlebih dahulu harus menjalani proses
likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator hingga proses likuidasi
tersebut selesai dilakukan. Setelah proses likuidasi selesai dilakukan, maka
perusahaan induk atau perusahaan anak definitif bubar sejak tanggal likuidator
atau kurator memberitahukan kepada Menteri dan mengumumkan hasil akhir
proses likuidasi dalam Surat Kabar.38
37 Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
38 Pasal 152 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
33
BAB III
SINGLE ECONOMIC ENTITY DOCTRINE:
KONSEP DAN PENGGUNAANNYA DI INDONESIA
A. Konsep Single Economic Entity Doctrine
SEE Doctrine merupakan doktrin yang lahir sebagai akibat dari globalisasi
dan semakin berkembangnya konstruksi perusahaan grup yang berpotensi
menciptakan kondisi persaingan usaha tidak sehat di suatu negara. Karena dengan
konstruksi perusahaan grup, perusahaan yang didirikan di luar wilayah yurisdiksi
hukum persaingan usaha suatu negara dapat melakukan kegiatan usaha melalui
anak perusahaannya yang didirikan serta berkedudukan di negara lain dan
memonopoli pasar tempat di mana anak perusahaan tersebut melakukan kegiatan
usahanya.
Dengan kata lain, perusahaan yang didirikan di negara yang berbeda
dengan anak perusahaannya, tidak terjangkau oleh hukum persaingan usaha
negara tempat di mana perusahaan anak menjalankan kegiatan usaha apabila
terbukti perusahaan tersebut telah menyebabkan kondisi persaingan usaha tidak
sehat. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka lahirlah doktrin yang menjadikan
hukum persaingan usaha bersifat ekstrateritorial, yaitu Intracorporate Conspiracy
Doctrine di Amerika Serikat dan SEE Doctrine di Uni Eropa.
Amerika Serikat merupakan negara pertama yang menjadikan hukum
persaingan usahanya bersifat ekstrateritorial. Pendekatan yang digunakan dan
dikenal di Amerika Serikat adalah Intracorporate Conspiracy Doctrine atau
sering disebut Intraenterprise Conspiracy Doctrine. Doktrin ini melihat pada
34
tindakan konspirasi yang dilakukan antara perusahaan induk dan perusahaan anak.
Konspirasi tersebut dapat diartikan sebagai konspirasi dalam satu perusahaan
yang dilakukan oleh divisi, pegawai, atau direktur perusahaan itu sendiri.1
Meskipun istilah yang digunakan berbeda, namun pada dasarnya prinsip
Intracorporate Conspiracy Doctrine dan SEE Doctrine tidaklah berbeda. Hal ini
dikarenakan, keduanya sama-sama melihat hubungan antara induk dan anak
perusahaan sebagai suatu entitas ekonomi tunggal dan menjadikan hukum
persaingan usaha bersifat ekstrateritorial. Dalam hal ini, sengketa-sengketa
persaingan usaha di negara Amerika Serikat yang penyelesaiannya menerapkan
doktrin tersebut terdapat pada kasus American Banana Co. v United Fruit Co. in
1909, US v Alumunium Co. of America in 1945, dan American Needle, Inc v
National Football League in 2009.
Berbeda halnya dengan Amerika Serikat yang tidak mengenal istilah SEE
Doctrine, di Uni Eropa SEE Doctrine merupakan doktrin yang dikenal dan
digunakan serta diterapkan dalam menyelesaikan berbagai sengketa persaingan
usahanya, seperti kasus Imperial Checimal Industries Ltd v Commission
(Dyestuffs Case Law) dan A. Ahlstrom OSAKEYHTIO and others v Commission in
1988 (Woodpulp Case Law).2
Sebagai suatu doktrin, SEE Doctrine tidak hanya digunakan dan
diterapkan oleh negara-negara tersebut. Akan tetapi, SEE Doctrine juga digunakan
1 Dhifla Wahyuni, “Single Economic Entity Menurut Hukum Persaingan Usaha di
Indonesia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat”, (Tesis S2 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia,
2009), h. 41.
2 Kurnia Toha, “Extraterritorial Applicability of Indonesia Business Competition Law as
an Efforts Dealing Asean Single Market”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 15, No. 1 (Januari 2015):
h. 22.
35
dan diterapkan dalam hukum persaingan usaha di negara lainnya seperti negara
Afrika Selatan dan negara Singapura.
Di negara Afrika Selatan, penggunaan dan penerapan SEE Doctrine
didasari atas The Competition Act No. 89 of 1998 (Chapter 2) Section 4 (5). Sama
halnya dengan negara Amerika Serikat dan Uni Eropa, doktrin ini sudah
digunakan dan diterapkan oleh negara Afrika Selatan dalam menyelesaikan
beberapa kasus persaingan usaha di antaranya, Bulmer (SA) (Pty) Ltd v Distillers
Corporation (SA) Ltd, Patensie Sitrus Beherend vs The Competition Commission,
dan Loungefoam (Pty) Ltd and Others v Competition Commission South Africa
and Others.3
Sehubungan dengan uraian di atas, di negara Singapura, penggunaan dan
penerapan SEE Doctrine didasari atas The Competition Act (Chapter 50B) Section
34. Dalam hal ini, ketentuan yang dimuat dalam Section 34 merupakan ketentuan
yang mengikuti pengaturan dalam United Kingdom Competition Act 1998
(Chapter 1) dan Treaty of Functioning of the European Union (Article 101).
Selain mengikuti ketentuan yang dimuat dalam peraturan tersebut, The
Competition Appeal Board di negara Singapura dalam mengambil keputusannya
juga mempertimbangkan keputusan-keputusan pengadilan negara Inggris dan Uni
Eropa yang menangani sengketa hukum persaingan usaha.4
3 Neil Mackenzie, dkk, “The Single Economic Entity Doctrine in South Africa and its
Implications for Competition Policy”, artikel diakses pada 1 Oktober 2017 dari
http://www.compcom.co.za/wp-content/uploads/2014/09/The-Single-Economic-Entity-Doctrine-
in-SA.PDF
4 Ethel Lin and Joanne Yong, “The Single Economic Entity Doctrine in Competition
Law”, The Singapore Law Gazette (Juni 2016): h. 25.
36
B. Pengertian Single Economic Entity Doctrine
SEE Doctrine menurut David J. Feeney dalam artikelnya yang berjudul,
“The European Commission's Extraterritorial Jurisdiction Over Corporate
Mergers” adalah “Where a parent company exerts influence on the actions of its
subsidiary, the two entitites considered as one”.5 Terjemahan bahasa Indonesia
atas pengertian ini adalah ketika suatu induk perusahaan menggunakan
pengaruhnya untuk mempengaruhi tindakan anak perusahaan, maka keduanya
dianggap sebagai entitas ekonomi tunggal.
Pengertian tersebut selanjutnya diperkaya oleh Alison Jones dan Brenda
Sufrin yang mengartikan SEE Doctrine sebagai berikut:
“Companies belonging to the same group and having the status of parent
and subsidiary may have distinct legal personalities. If a subsidiary enjoys
no economic independece or have the status of parent company and
subsidiary and form an economic unit within which the subsidiary has no
real freedom to determine its course of action on the market they are
treated, as a single economic entity”.6
Terjemahan bahasa Indonesia atas pengertian sebagaimana diuraikan di
atas, yaitu perusahaan yang termasuk ke dalam suatu kelompok usaha dan
memiliki status induk dan anak perusahaan dimungkinkan untuk memiliki
kepribadian hukum yang berbeda. Jika anak perusahaan tidak menikmati
kemandirian status ekonomi atau memiliki status perusahaan induk dan anak
perusahaan dan membentuk unit ekonomi di mana anak perusahaan tidak
5 David J. Feeney, “The European Commission's Extraterritorial Jurisdiction Over
Corporate Mergers”, artikel diakses pada 1 Oktober 2017 dari
http://readingroom.law.gsu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1972&context=gsulr
6 Alison Jones and Brenda Sufrin, EC Competition Law: Text, Cases, and Materials
(United States: Oxford University Press, Inc, 2008), h. 141.
37
memiliki kebebasan untuk menentukan tindakannya di pasar, maka mereka
diperlakukan sebagai suatu entitas ekonomi tunggal.
Alison Jones dan Brenda Sufrin selanjutnya menjelaskan bahwa terdapat 2
(dua) akibat hukum dari diterapkannya SEE Doctrine. Pertama, perusahaan dapat
bertanggung jawab atas tindakan entitas lain dalam unit ekonomi (seperti anak
perusahaan ditemukan melanggar ketentuan perjanjian) meskipun perusahaan
tersebut tidak berpartisipasi dalam pelanggaran. Kedua, doktrin ini
memungkinkan aturan hukum persaingan usaha untuk diterapkan terhadap
perusahaan yang berada di luar wilayah yurisdiksi aturan tersebut.7
C. Faktor-faktor Single Economic Entity Doctrine
Berikut ini adalah faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan untuk
mengetahui apakah antara perusahaan yang satu dengan perusahaan lainnya
menjadi bagian dari suatu entitas ekonomi tunggal:8
1. Kepemilikan (Ownership)
Ketika suatu perusahaan memiliki sebagian atau seluruh saham
perusahaan lainnya, maka kedua perusahaan tersebut dianggap menjadi
bagian dari entitas ekonomi yang sama. Anggapan ini didasarkan atas
pemikiran bahwa perusahaan anak akan dikendalikan oleh perusahaan
induk yang memilikinya untuk diarahkan ke arah yang paling
menguntungkan kedua perusahaan tersebut. Dengan kata lain, kedua
7 Alison Jones and Brenda Sufrin, EU Competition Law: Text, Cases, and Materials
(United States: Oxford University Press, Inc, 2011), h. 137-139.
8 Universitas Osloensis, “EU Antitrust Fines and the Single Economic Entity”, artikel
diakses pada 1 Oktober 2017 dari
https://www.duo.uio.no/bitstream/handle/10852/34033/156015.pdf?sequence=4
38
perusahaan akan melakukan kegiatan usaha untuk kepentingan
individu yang sama, sehingga keduanya bertindak di pasar sebagai
entitas tunggal yang lebih besar.
Dalam hal ini, faktor kepemilikan dijadikan sebagai pertimbangan
apabila kepemilikannya diikuti dengan kemampuan untuk
menginstruksikan anak perusahaan. Oleh karenanya, semakin sedikit
kepemilikan disertai pengendalian yang dimiliki oleh perusahaan
induk terhadap perusahaan anak, maka akan semakin mudah untuk
membuktikan bahwa keduanya bukan bagian dari entitas ekonomi
yang sama.
2. Kemandirian Ekonomi (Economic Independence)
Tingkat kemandirian ekonomi antara kedua perusahaan akan menjadi
kunci saat mengevaluasi apakah kedua perusahaan tersebut menjadi
bagian dari entitas ekonomi yang sama. Sebuah perusahaan yang
finansialnya bergantung kepada perusahaan lain, maka kemungkinan
besar perusahaan tersebut harus mengikuti instruksi dari perusahaan
lain ketika membuat suatu keputusan.
Meskipun demikian, bukan berarti perusahaan yang tidak mendukung
kemampuan finansial perusahaan lain tidak memiliki kemampuan
untuk mengendalikan suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan,
mengendalikan suatu perusahaan dapat dilakukan dengan berbagai cara
dan tidak terbatas pada mendukung kemampuan finansial suatu
perusahaan lainnya. Dengan kata lain, sebuah perusahaan yang
39
mendukung perusahaan lain secara finansial akan selalu menjadi
bagian dari entitas ekonomi yang sama, sedangkan perusahaan tanpa
ikatan finansial dimungkinkan menjadi bagian dari entitas ekonomi
yang sama.
3. Tingkat Instruksi yang Diberikan (The Degree of Instructions Given)
Ini akan menarik untuk dicatat apakah induk perusahaan telah
memberikan instruksi kepada anak perusahaan, terlepas apakah anak
perusahaan mematuhi atau tidak mematuhi instruksi tersebut. Karena
sesungguhnya instruksi menunjukkan sejauh mana perusahaan induk
menganggap dirinya berhak untuk menginstruksikan anak
perusahaannya.
Ketika perusahaan induk tidak memberikan instruksi kepada
perusahaan anak, maka perusahaan induk menganggap dirinya tidak
memiliki hak untuk memberikan instruksinya. Tidak adanya
pemberian instruksi dari induk perusahaan kepada anak perusahaan
dapat menjadi bukti bahwa kedua perusahaan tersebut tidak menjadi
bagian dari entitas ekonomi yang sama.
4. Kepatuhan kepada Instruksi (Obedience to Instructions)
Tingkat kepatuhan perusahaan anak terhadap instruksi yang diberikan
oleh perusahaan induk merupakan salah satu faktor penting untuk
mengevaluasi apakah kedua perusahaan tersebut menjadi bagian dari
entitas ekonomi yang sama.
40
Sama halnya dengan faktor sebelumnya, faktor ini memberikan
gambaran bagaimana anak perusahaan memandang hubungan antara
dirinya dengan perusahaan induk. Ketika anak perusahaan
menjalankan instruksi yang diberikan oleh induk perusahaan, maka
anak perusahaan telah memandang bahwa dirinya terikat untuk
mematuhi instruksi tersebut.
D. Penggunaan Single Economic Entity Doctrine di Indonesia
Pada dasarnya, SEE Doctrine tidak hanya digunakan dan diterapkan oleh
negara-negara yang telah diuraikan sebelumnya. Dalam hal ini, negara Indonesia
merupakan salah satu negara yang turut menggunakan dan menerapkan SEE
Doctrine dalam menyelesaikan sengketa persaingan usaha yang terjadi di dalam
negaranya. Penggunaan dan penerapan doktrin ini dilakukan oleh komisi bernama
KPPU yang bertugas dan bertanggung jawab untuk mengawasi pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli
dan menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU sendiri adalah komisi negara dan lembaga penegak hukum
independen terhadap praktik persaingan usaha dan pemberi saran kebijakan
persaingan usaha di Indonesia. Keberadaan KPPU diamanatkan oleh Pasal 30 ayat
(1) jo. Pasal 34 ayat (1) UU Anti Monopoli. Selanjutnya, KPPU dibentuk dengan
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan
Usaha yang ditetapkan pada tanggal 8 Juli 1999.9
9 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia - Cet. Ke-1 (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 149.
41
Sebagaimana diuraikan di atas, KPPU merupakan lembaga independen
yang di mana independensi KPPU tidak hanya terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan pemerintah, melainkan juga dari pengaruh pihak lain, seperti lembaga
kemasyarakatan atau kelompok masyarakat yang memegang kekuasaan keuangan
atau ekonomi. Kemandirian KPPU yang termuat dalam UU Anti Monopoli adalah
hak istimewa yang diperlukan agar KPPU dapat melaksanakan amanat UU Anti
Monopoli secara efisien.10
Tanpa diiringi dengan kemandirian tersebut, KPPU tidak dapat
memainkan perannya sebagai lembaga yang menjamin adanya kepastian hukum
dalam menjalankan usaha yang berpedoman kepada ketentuan UU Anti
Monopoli. Selain itu, KPPU juga tidak dapat menjalankan perannya untuk
memberikan kepastian hukum bahwa setiap pelaku usaha memiliki kesempatan
yang sama dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia.11 Oleh karenanya,
KPPU berkewajiban untuk memelihara independensinya dan tidak membuka
dirinya terhadap pengaruh dari luar.
Seperti yang diketahui, bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya,
KPPU menggunakan berbagai macam pendekatan, seperti pendekatan yuridis dan
pendekatan ekonomi. Dengan menggunakan kedua pendekatan tersebut, maka
KPPU memiliki kemampuan untuk mengetahui apakah para pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan usahanya telah melanggar ketentuan yang tertuang dalam
UU Anti Monopoli.
10 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 140.
11 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia - Cet. Ke-1, h. 150-151.
42
Sehubungan dengan uraian tersebut, adapun yang dimaksud dengan
pendekatan yuridis terdiri dari pendekatan per se illegal dan pendekatan rule of
reason. Pendekatan per se illegal adalah pendekatan yang menyatakan setiap
perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih
lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Yahya Harahap, bahwa per se illegal artinya
“sejak semula tidak sah”, oleh karenanya perbuatan tersebut merupakan suatu
perbuatan yang “melanggar hukum”. Selanjutnya dikatakan, bahwa suatu
perbuatan itu dengan sendirinya telah melanggar ketentuan yang sudah diatur, jika
perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan dalam UU Anti Monopoli tanpa ada
suatu pembuktian.12 Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal biasanya
meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu serta pengaturan
harga penjualan kembali.13
Berbeda halnya dengan pendekatan per se illegal, pendekatan rule of
reason adalah pendekatan yang diterapkan terhadap tindakan-tindakan yang tidak
bisa secara mudah dilihat ilegalitasnya tanpa menganalisis akibat tindakan itu
terhadap kondisi persaingan. Dengan demikian, dalam pendekatan ini diperlukan
adanya upaya untuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti latar belakang
12 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum (II) (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1997), h. 28.
13 Andi Fahmi Lubis, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks (Indonesia:
KPPU, 2009), h. 55.
43
dilakukannya tindakan, alasan bisnis dibalik tindakan itu, dan lain sebagainya.14
Selain perbedaan tersebut, pendekatan rule of reason juga memungkinkan pihak
pengadilan untuk melakukan interpretasi terhadap UU Anti Monopoli.15
Pendekatan selanjutnya yang digunakan oleh KPPU selain pendekatan
yuridis adalah pendekatan ekonomi. Pendekatan ini terdiri dari beberapa metode,
seperti relevant market (pasar terkait), market power (kekuatan pasar), barrier to
entry (hambatan masuk pasar) dan pricing strategy (strategi harga) yang
diberlakukan oleh pelaku usaha.16 Melalui pendekatan ekonomi, maka KPPU
dapat menentukan masalah kegiatan ekonomi pelaku usaha, seperti apakah
kegiatan ekonomi pelaku usaha itu berpengaruh kepada tingkat persaingan dan
apakah kegiatan ekonomi pelaku usaha itu akan mengakibatkan kondisi
perekonomian semakin memburuk.17
Pada dasarnya, pendekatan-pendekatan sebagaimana telah diuraikan di
atas baik pendekatan yuridis maupun pendekatan ekonomi, merupakan
pendekatan yang digunakan oleh KPPU untuk melakukan analisis dan mengetahui
apakah telah terjadi atau tidak indikasi pelanggaran ketentuan UU Anti Monopoli
yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Dengan kata lain, kedua pendekatan
14 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia - Cet. Ke-1, h. 110.
15 Alum Simbolon, “Pendekatan yang Dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Menentukan Pelanggaran dalam Hukum Persaingan Usaha”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM
No. 2, Vol. 20 (April 2013): h. 195.
16 L. Budi Kagramanto, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan
Usaha) (Surabaya: Srikandi, 2008), h. 219.
17 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia - Cet. Ke-1, h. 107.
44
tersebut adalah pendekatan yang digunakan untuk menilai dan menyimpulkan
suatu pokok perkara persaingan usaha (aspek materiil).
Penggunaan kedua pendekatan di atas tentunya berbeda dengan
penggunaan pendekatan doktrin seperti SEE Doctrine yang di mana
penggunaannya oleh KPPU bertujuan untuk mengetahui serta memperluas
yurisdiksi KPPU dalam rangka menjangkau serta meminta pertanggungjawaban
para pelaku usaha yang berada di luar wilayah yurisdiksi KPPU itu sendiri (aspek
formil).
Dengan digunakannya pendekatan SEE Doctrine, maka KPPU dapat
menentukan hubungan antara induk perusahaan dengan anak perusahaan di mana
anak perusahaan tidak mempunyai independensi untuk menentukan arah
kebijakan perusahaannya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa
implikasi dari digunakannya doktrin ini adalah pelaku usaha tersebut dapat
dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha
lain dalam satu kesatuan ekonomi, meskipun pelaku usaha yang pertama
beroperasi di luar yurisdiksi hukum persaingan usaha Indonesia, sehingga hukum
persaingan usaha Indonesia dapat bersifat ekstrateritorial.18
Penggunaan SEE Doctrine di Indonesia oleh KPPU untuk pertama kalinya
secara eksplisit digunakan untuk menyelesaikan putusan Perkara Nomor:
07/KPPU-L/2007 tentang dugaan Pelanggaran oleh Kelompok Usaha Temasek.
Selain putusan perkara tersebut, sengketa persaingan usaha yang dalam
penyelesaiannya menggunakan pendekatan SEE Doctrine adalah putusan Perkara
18 Verry Iskandar, “Akuisisi Saham oleh Perusahaan Terafiliasi dalam Perspektif Hukum
Persaingan Usaha”, Jurnal Persaingan Usaha Komisi Pengawas Persaingan Usaha Edisi 5 (Juni
2011): h. 22-23.
45
Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang Hak Siar Barclays Premier League (Liga
Utama Inggris) Musim 2007-2010.
Mengingat putusan Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang Hak Siar
Barclays Premier League (Liga Utama Inggris) Musim 2007-2010 merupakan
objek penelitian yang akan dibahas di bab selanjutnya, maka putusan perkara yang
akan diuraikan secara singkat saat ini adalah putusan Perkara Nomor: 07/KPPU-
L/2007 tentang dugaan Pelanggaran oleh Kelompok Usaha Temasek.
Pada akhir tahun 2002 divestasi Indosat yang dimenangkan oleh STT,
anak perusahaan yang sahamnya 100% dikuasai oleh Temasek, menyebabkan
industri telekomunikasi seluler di Indonesia mengalami struktur kepemilikan
silang. Hal ini disebabkan karena sebelum divestasi tersebut, saham Telkomsel
yang merupakan operator seluler terbesar di Indonesia telah dimiliki oleh
Temasek melalui anak perusahaannya yaitu Singtel dan SingTel Mobile, sehingga
secara tidak langsung Kelompok Usaha Temasek telah menguasai pasar seluler
Indonesia dengan menguasai Telkomsel dan Indosat secara tidak langsung.
Adanya kemampuan pengendalian yang dilakukan oleh Kelompok Usaha
Temasek terhadap Telkomsel dan Indosat menyebabkan melambatnya
perkembangan Indosat sehingga tidak efektif dalam bersaing dengan Telkomsel
yang berakibat tidak kompetitifnya pasar industri seluler di Indonesia.
Perlambatan perkembangan Indosat ditandai dengan pertumbuhan BTS
yang secara relatif menurun dibanding dengan Telkomsel dan XL yang
merupakan dua operator besar lainnya di Indonesia. Struktur kepemilikan silang
Kelompok Usaha Temasek menyebabkan adanya price-leadership dalam industri
46
telekomunikasi di Indonesia. Telkomsel sebagai pemimpin pasar kemudian telah
menetapkan harga jasa telekomunikasi seluler secara eksesif.
Konsekuensi dari eksesif profit adalah operator menikmati eksesif profit
dan konsumen mengalami kerugian (consumer loss). Perhitungan yang dilakukan
Majelis Komisi menunjukkan kerugian yang dialami oleh konsumen layanan
telekomunikasi seluler di Indonesia sejak tahun 2003 sampai dengan 2006
berkisar dari Rp. 14,76498 Triliun sampai dengan Rp. 30,80872 Triliun. Namun,
sesuai dengan ketentuan UU Anti Monopoli, Majelis Komisi dalam perkara ini
tidak berada pada posisi yang berwenang menjatuhkan sanksi ganti rugi untuk
konsumen.
Selanjutnya, selama sidang berlangsung, Majelis Komisi tidak
menemukan adanya bukti-bukti bahwa Telkomsel telah membatasi perkembangan
teknologi dalam industri seluler di Indonesia sehingga tidak melanggar Pasal 25
ayat (1) huruf b UU Anti Monopoli. Berdasarkan fakta dan bukti yang diperoleh
selama Sidang Majelis, pada 19 November 2007 Majelis Komisi memutuskan:
1. Menyatakan bahwa Temasek Holdings, Pte. Ltd. bersama-sama
dengan Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., STT
Communications Ltd., Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd, Asia
Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia Communication Limited,
Indonesia Communication Pte. Ltd., Singapore Telecommunications
Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 27 huruf a UU Anti Monopoli;
47
2. Menyatakan bahwa PT. Telekomunikasi Selular terbukti secara sah
dan meyakinkan melanggar Pasal 17 ayat (1) UU Anti Monopoli;
3. Menyatakan bahwa PT. Telekomunikasi Selular tidak terbukti
melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf b UU Anti Monopoli;
4. Memerintahkan kepada Temasek Holdings, Pte. Ltd., bersama-sama
Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., STT Communications
Ltd., Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd, Asia Mobile Holdings
Pte. Ltd., Indonesia Communication Limited, Indonesia
Communication Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Ltd., dan
Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd untuk menghentikan tindakan
kepemilikan saham di PT. Telekomunikasi Selular dan PT.Indosat,
Tbk. dengan cara melepas seluruh kepemilikan sahamnya di salah satu
perusahaan yaitu PT. Telekomunikasi Selular atau PT.Indosat, Tbk.
dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak putusan ini
memiliki kekuatan hukum tetap;
5. Memerintahkan kepada Temasek Holdings, Pte. Ltd., bersama-sama
Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., STT Communications
Ltd., Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd, Asia Mobile Holdings
Pte. Ltd., Indonesia Communication Limited, Indonesia
Communication Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Ltd., dan
Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd untuk memutuskan perusahaan
yang akan dilepas kepemilikan sahamnya serta melepaskan hak suara
dan hak untuk mengangkat direksi dan komisaris pada salah satu
48
perusahaan yang akan dilepas yaitu PT. Telekomunikasi Selular atau
PT.Indosat, Tbk. sampai dengan dilepasnya saham secara keseluruhan
sebagaimana diperintahkan pada diktum di atas;
6. Pelepasan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada diktum di
atas dilakukan dengan syarat, seperti untuk masing-masing pembeli
dibatasi maksimal 5% dari total saham yang dilepas dan pembeli tidak
boleh terasosiasi dengan Temasek Holdings, Pte. Ltd. maupun pembeli
lain dalam bentuk apa pun;
7. Menghukum Temasek Holdings, Pte. Ltd., Singapore Technologies
Telemedia Pte. Ltd., STT Communications Ltd., Asia Mobile Holding
Company Pte. Ltd, Asia Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia
Communication Limited, Indonesia Communication Pte. Ltd.,
Singapore Telecommunications Ltd., dan Singapore Telecom Mobile
Pte. Ltd masing-masing membayar denda sebesar Rp.
25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor
ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di
bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank
Pemerintah dengan kode penerimaan 423491 (Pendapatan Denda
Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
8. Memerintahkan PT. Telekomunikasi Selular untuk menghentikan
praktek pengenaan tarif tinggi dan menurunkan tarif layanan selular
49
sekurang-kurangnya sebesar 15% (lima belas persen) dari tarif yang
berlaku pada tanggal dibacakannya putusan ini;
9. Menghukum PT. Telekomunikasi Selular membayar denda sebesar Rp.
25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor
ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di
bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal
Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank
Pemerintah dengan kode penerimaan 423491 (Pendapatan Denda
Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha). 19
19 Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Buku Penjelasan Katalog
Putusan KPPU Periode 2000 – September 2009 (Indonesia: Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Republik Indonesia, 2009), h. 58-60.
50
BAB IV
PENGGUNAAN SINGLE ECONOMIC ENTITY DOCTRINE OLEH KPPU
DALAM PUTUSAN PERKARA NOMOR: 03/KPPU-L/2008
TENTANG HAK SIAR BARCLAYS PREMIER LEAGUE
(LIGA UTAMA INGGRIS) MUSIM 2007-2010
A. Hubungan Para Terlapor
Pada dasarnya, putusan Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008 berawal dari
laporan yang diterima oleh KPPU mengenai adanya dugaan pelanggaran Pasal 16
dan Pasal 19 huruf a UU Anti Monopoli yang dilakukan oleh PT Direct Vision
(selanjutnya disebut sebagai PTDV), Astro All Asia Networks, Plc (selanjutnya
disebut sebagai AAAN), ESPN STAR Sports (selanjutnya disebut sebagai ESS),
dan All Asia Multimedia Networks, FZ-LLC (selanjutnya disebut sebagai
AAMN) berkaitan dengan Hak Siar Barclays Premier League (Liga Utama
Inggris) Musim 2007-2010.
Bahwasanya peneliti tidak akan membahas ataupun menguraikan
mengenai duduk perkara maupun dugaan pelanggaran terhadap UU Anti
Monopoli yang dilakukan oleh para terlapor. Namun, peneliti akan memfokuskan
pembahasannya dalam menguraikan hubungan yang dimiliki oleh para terlapor,
yaitu AAAN, AAMN, dan PTDV dalam perkara ini. Hal ini disebabkan,
hubungan ketiganya berkaitan langsung dengan objek penelitian yang peneliti
lakukan, yakni penggunaan SEE Doctrine oleh KPPU dalam putusan Perkara
51
Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang Hak Siar Barclays Premier League (Liga
Utama Inggris) Musim 2007-2010.
Dalam perkara ini, SEE Doctrine digunakan oleh KPPU untuk menilai
serta mengetahui hubungan antara para terlapor tersebut yang mana
penggunaannya berimplikasi terhadap status ketiganya yang dianggap telah
membentuk satu kesatuan entitas ekonomi. Sebelum peneliti menjelaskan lebih
jauh mengenai hubungan antara para terlapor, maka peneliti akan menjelaskan
terlebih dahulu mengenai identitas masing-masing terlapor. Adapun identitas para
terlapor akan diuraikan sebagai berikut:
1. AAAN merupakan badan usaha yang berbentuk badan hukum berupa
perseroan terbuka, yang terdaftar di Inggris dan Wales dan melakukan
kegiatan usaha di Malaysia berdasarkan The Company Act 1985,
Memorandum and Article of Association of Astro All Asia Networks,
Plc tanggal 22 Juli 2003, yang sahamnya dimiliki oleh Grup Usaha
Tegas sebesar 42%, Khazanah sebesar 20%, government trust
Pemerintah Malaysia sebesar 10%, dan publik sebesar 28%, saat ini
berkedudukan di All Asia Broadcast Centre, Technology Park
Malaysia, Lebuhraya Puchong Sungai Besi, 57000 Kuala Lumpur,
Malaysia, merupakan induk perusahaan yang memiliki berbagai anak
perusahaan yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang usaha
televisi berbayar, penyiaran radio, produksi dan distribusi content TV,
serta sejumlah bisnis lainnya di bidang media;
52
2. AAMN merupakan badan usaha yang berbentuk badan hukum berupa
perseroan, yang didirikan pada bulan April 2006 di Dubai, Uni Emirat
Arab, yang sahamnya dimiliki 100% oleh AAAN, saat ini
berkedudukan di Dubai World Center Lantai 6, Dubai, Uni Emirat
Arab, dan memiliki kantor Cabang di All Asia Broadcast Centre,
Technology Park Malaysia, Lebuhraya Puchong Sungai Besi, 57000
Kuala Lumpur, Malaysia, melakukan kegiatan usaha utama untuk
memperoleh content, membuat channel televisi berbahasa Indonesia
dan berbahasa Malaysia untuk disuplai kepada operator televisi
berbayar yang dioperasikan oleh Astro baik di PTDV di Indonesia,
MBNS di Malaysia maupun “Kristal Astro” di Brunei Darussalam dan
melakukan kegiatan usaha sekunder berupa pengadaan dekorder untuk
disuplai ke PTDV di Indonesia;
3. PTDV merupakan badan usaha yang berbentuk badan hukum berupa
Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-
undangan Negara Republik Indonesia, dengan Anggaran Dasar yang
perubahan terakhirnya dibuat berdasarkan Akta Nomor 119 oleh
Notaris Sutjipto, S.H., yang sahamnya dimiliki oleh PT Ayunda Prima
Mitra sebesar 49% dan Silver Concord Holdings Limited sebesar 51%
dimana PT Ayunda Prima Mitra dimiliki oleh PT Broadband
Multimedia, Tbk (sekarang PT First Media, Tbk) yang merupakan
salah satu anak perusahaan Lippo Group, saat ini berkedudukan di
Gedung Citra Graha Lantai 9, Jalan Jenderal Gatot Subroto Kavling
53
35-36 Jakarta 12950, Indonesia, melakukan kegiatan usaha dalam
bidang penyelenggaraan televisi berbayar berdasarkan Surat Dirjen
Postel Nomor 14 Februari 2005 mengenai izin penyelenggaraan jasa
telekomunikasi multimedia televisi berbayar, dan melakukan kegiatan
usaha sejak 28 Februari 2006 di wilayah Indonesia dengan
menggunakan merek dagang “ASTRO”.
Berdasarkan Laporan Tim Pemeriksa, AAAN berencana untuk melakukan
investasi di PTDV melalui anak-anak perusahaannya berdasarkan suatu Joint
Venture Agreement yang sampai saat ini belum disepakati. Anak-anak perusahaan
AAAN yang terkait dengan rencana investasi di PTDV antara lain adalah
MEASAT Broadcast Network Systems Sdn. Bhd. (selanjutnya disebut sebagai
MBNS), AAMN, Astro Nusantara International B.V. (selanjutnya disebut sebagai
ANI), dan Astro Nusantara Holdings B.V. (selanjutnya disebut sebagai ANV).
Joint Venture Agreement berupa Subscription and Shareholders
Agreement tahun 2005 antara PTDV dan AAAN didukung oleh Channel Supply
Agreement antara AAMN dan PTDV, Technical Agreement antara MBNS dan
PTDV, Set Up Box Supply antara AAMN dan PTDV, dan IT Service and
Broadcast Service Control antara MBNS dan PTDV yang dimana sampai
dibuatnya Laporan Tim Pemeriksa ini seluruh perjanjian tersebut belum disepakati
oleh para pihak.
Pada awalnya, AAAN berencana melakukan investasi saham berupa equity
di PTDV sebesar 51% melalui Astro Overseas Limited yang terdiri dari ANI dan
54
ANV, namun berdasarkan ketentuan dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Pasal 28 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga
Penyiaran Berlangganan, modal yang berasal dari badan hukum asing dibatasi
maksimal hanya sebesar 20%, sehingga sampai saat Laporan Tim Pemeriksa ini
dibuat, belum tercapai kesepakatan mengenai Subscription and Shareholders
Agreement di antara para pemegang saham dengan calon investor.
Untuk mematuhi ketentuan mengenai pemilikan saham asing maksimal
sebesar 20% tersebut, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah
memberi persetujuan penanaman modal di PTDV sebesar 20% melalui Astro
Overseas Limited, yaitu ANH sebesar 10% dan ANI sebesar 10%, namun rencana
tersebut belum disetujui di antara para pemegang saham dengan calon investor.
Atas dasar uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya
sampai saat Laporan Tim Pemeriksa ini dibuat tidak ada hubungan induk dan anak
perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup antara AAAN dan AAMN dengan
PTDV. Ini dibuktikan dengan belum disetujuinya seluruh perjanjian sebagaimana
telah diuraikan di atas. Implikasi dari tidak adanya persetujuan terhadap seluruh
perjanjian tersebut adalah tidak adanya kepemilikan saham baik langsung maupun
tidak langsung oleh AAAN ataupun AAMN di PTDV. Dalam hal ini, hubungan
induk dan anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup adalah hubungan
yang hanya dimiliki oleh AAAN dengan AAMN yang dimana AAMN merupakan
salah satu anak perusahaan dari AAAN.
55
B. Pertimbangan KPPU
Digunakannya pendekatan SEE Doctrine terhadap para terlapor, yaitu
AAAN, AAMN, dan PTDV merupakan hasil penilaian dan kesimpulan yang
dicapai oleh Majelis Komisi yang pertimbangannya didasarkan pada beberapa
aspek.
Adapun aspek yang dimaksud terdiri dari aspek yuridis dan aspek
sosiologis. Setelah mempertimbangkan kedua aspek ini, Majelis Komisi
memutuskan untuk menggunakan pendekatan SEE Doctrine dan menyimpulkan
bahwa ketiga terlapor tersebut telah membentuk satu kesatuan entitas ekonomi
atau entitas ekonomi tunggal.
Secara yuridis, Majelis Komisi melihat apakah AAAN dan AAMN yang
merupakan badan usaha berbentuk badan hukum yang tidak didirikan dan
berkedudukan di Indonesia, dapat dikualifikasikan sebagai pelaku usaha sebagai
mana diatur dalam UU Anti Monopoli.
Pasal 1 butir 5 dan Konsideran huruf c UU Anti Monopoli menjadi
ketentuan hukum yang dijadikan tumpuan oleh Majelis Komisi untuk menentukan
hal tersebut. Dalam hal ini, definisi pelaku usaha menurut Pasal 1 butir 5 UU Anti
Monopoli adalah sebagai berikut:
“Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,
baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian, menyelenggarakan
berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”.
56
Selain ketentuan Pasal 1 Butir 5 UU Anti Monopoli sebagaimana
diuraikan di atas, ketentuan hukum yang selanjutnya dijadikan tumpuan oleh
Majelis Komisi adalah Konsideran huruf c UU Anti Monopoli yang menyatakan
bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi
persaingan yang sehat dan wajar.
Oleh karena itu, sebagai suatu prinsip umum dalam hukum persaingan,
UU Anti Monopoli memiliki yurisdiksi atas kondisi persaingan di dalam wilayah
hukum Negara Republik Indonesia, tanpa memandang siapa pun dan di mana pun
pelaku usaha yang menyebabkan dampak terhadap kondisi persaingan tersebut.
Terminologi “yang melakukan kegiatan” ataupun “yang berusaha di
Indonesia” tidak serta menunjukkan bahwa pelaku usaha tersebut harus berada
dalam pasar bersangkutan. Suatu perusahaan dapat melakukan kegiatan usaha di
negara lain melalui pendirian atau akuisisi terhadap perusahaan yang telah ada di
suatu negara tanpa secara langsung melakukan kegiatan di dalam pasar
bersangkutan negara tersebut. Dengan kata lain, suatu pelaku usaha dapat
mempengaruhi kondisi persaingan di dalam suatu pasar bersangkutan tanpa
melakukan sendiri kegiatan usaha di pasar bersangkutan.
Secara sosiologis, hasil penemuan Tim Pemeriksa dijadikan dasar oleh
Majelis Komisi untuk menentukan hubungan induk dan anak perusahaan antara
AAAN dan AAMN dengan PTDV. Berdasarkan hasil penemuan ini, Majelis
Komisi berpendapat bahwa meskipun belum ada hubungan induk dan anak
perusahaan secara tegas antara AAAN dan AAMN dengan PTDV melalui
57
kepemilikan saham, namun AAAN dan AAMN telah menunjukkan penguasaan
dan kendali secara nyata terhadap PTDV. Adapun hasil penemuan Tim Pemeriksa
akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:
1. AAAN berencana melakukan investasi di PTDV melalui anak
perusahaannya yaitu ANH BV dan ANI BV;
2. Bahwa dalam rangka investasi di PTDV tersebut, AAAN telah
mendirikan AAMN untuk menjadi channel and content supplier bagi
PTDV;
3. Dalam rangka investasi tersebut, AAAN melalui anak perusahaannya,
yaitu MBNS memberikan dukungan dalam hal pemberian lisensi
penggunaan merek ASTRO, dukungan secara teknis serta IT Service
and Broadcast Service Control kepada PTDV;
4. Mengacu pada ketentuan mengenai penanaman modal asing, rencana
penanaman modal yang dilakukan oleh AAAN dan AAMN adalah
bertujuan untuk melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik
Indonesia;
5. Dalam BAP PL AAMN dinyatakan bahwa PTDV beroperasi seolah-
olah Joint Venture Agreement telah dilaksanakan. Joint Venture
Agreement tersebut memungkinkan AAAN untuk merekomendasikan
satu orang untuk duduk di jajaran direksi di PTDV;
6. Direktur Keuangan (Finance) PTDV, yaitu Sean Dent,
direkomendasikan oleh AAAN.
58
C. Putusan KPPU
Berdasarkan fakta dan bukti yang diperoleh selama Sidang Majelis,
Majelis Komisi memutuskan:
1. Menyatakan bahwa ESS dan AAMN terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 16 UU Anti Monopoli;
2. Menyatakan bahwa PTDV dan AAAN tidak terbukti melanggar Pasal
16 UU Anti Monopoli;
3. Menyatakan bahwa PTDV, AAAN, dan AAMN tidak terbukti
melanggar Pasal 19 huruf a dan c UU Anti Monopoli;
4. Menetapkan pembatalan perjanjian antara ESS dengan AAMN terkait
dengan pengendalian dan penempatan hak siar Barclays Premiere
League musim 2007-2010 atau AAMN memperbaiki perjanjian
dengan ESS terkait dengan pengendalian dan penempatan hak siar
Barclays Premiere League musim 2007-2010 agar dilakukan melalui
proses yang kompetitif di antara operator TV di Indonesia;
5. Memerintahkan AAMN untuk menjaga dan melindungi kepentingan
konsumen TV berbayar di Indonesia dengan tetap mempertahankan
kelangsungan hubungan usaha dengan PTDV dan tidak menghentikan
seluruh pelayanan kepada pelanggan sampai adanya penyelesaian
hukum mengenai status kepemilikan PTDV.
59
D. Analisis
Berdasarkan uraian di atas serta pembahasan yang telah dijelaskan di bab-
bab sebelumnya, peneliti berpendapat bahwasanya penggunaan SEE Doctrine oleh
KPPU terhadap para terlapor, yakni AAAN, AAMN, dan PTDV tidaklah tepat.
Untuk mempertanggungjawabkan pendapat tersebut, maka selanjutnya akan
dijelaskan beberapa alasan yang melatarbelakangi peneliti sampai pada
kesimpulan bahwa penggunaan SEE Doctrine oleh KPPU dalam putusan ini
merupakan suatu kekeliruan.
Adapun alasan-alasan yang dimaksud oleh peniliti, yaitu tidak ditemukan
adanya hubungan induk dan anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup
antara ketiga terlapor tersebut dan tidak terpenuhinya faktor-faktor yang menjadi
pertimbangan untuk mengetahui apakah antara terlapor yang satu dengan terlapor
lainnya telah membentuk satu kesatuan entitas ekonomi atau entitas ekonomi
tunggal.
Seperti yang telah diuraikan oleh peneliti di bab-bab sebelumnya, bahwa
terdapat beberapa karakteristik dan faktor-faktor yang harus dipenuhi untuk
dijadikan pertimbangan dalam rangka mengetahui hubungan antara perusahaan
yang satu dengan perusahaan lainnya. Berikut ini adalah karakteristik dan faktor
yang dimaksud oleh peneliti:
1. Kepemilikan dan Hubungan Induk dan Anak Perusahaan
Tanpa adanya suatu kepemilikan secara nyata, maka antara perusahaan
yang satu dengan perusahaan lainnya bukanlah satu kesatuan entitas
60
ekonomi yang sama. Dalam hal ini, AAAN dan AAMN merupakan
badan usaha berbentuk badan hukum yang tidak memiliki kepemilikan
saham atas PTDV. Tidak adanya kepemilikan berupa saham terhadap
PTDV dibuktikan dengan dimilikinya saham PTDV oleh PT Ayunda
Prima Mitra sebesar 49% serta Silver Concord Holdings Limited
sebesar 51%. Selain itu, sampai saat Laporan Tim Pemeriksa dibuat,
seluruh perjanjian antara AAMN yang merupakan anak perusahaan
AAAN dengan PTDV tidak ada yang disepakati.
Dengan dimilikinya seluruh saham PTDV oleh perusahaan lain dan
dengan tidak disepakatinya seluruh perjanjian antara AAAN dan
AAMN dengan PTDV, maka secara hukum PTDV bukanlah anak
perusahaan AAAN dan AAMN, melainkan anak perusahaan PT
Ayunda Prima Mitra dan Silver Concord Holdings Limited.
Ketiadaan faktor kepemilikan berupa saham oleh AAAN dan AAMN
dan dimilikinya saham PTDV oleh perusahaan lain, pada akhirnya
membuktikan bahwasanya AAAN dan AAMN tidak memiliki
hubungan induk dan anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan
grup dengan PTDV.
2. Kemandirian Ekonomi
Sebagai badan usaha berbentuk badan hukum, PTDV dalam
menjalankan kegiatan usahanya memiliki kemandirian ekonomi sesuai
dengan Anggaran Dasar Perusahaan PTDV dimana pengurus PTDV
61
bertanggung jawab sepenuhnya kepada pemegang sahamnya, yakni PT
Ayunda Prima Mitra dan Silver Concord Holdings Limited.
Perlu dinyatakan kembali, bahwa faktor kemandirian ekonomi suatu
perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya merupakan kunci
untuk mengevaluasi apakah perusahaan yang bersangkutan telah
membentuk satu kesatuan entitas ekonomi yang sama dengan
perusahaan lainnya.
Dalam hal ini, PTDV memiliki kebebasan dan kemandirian ekonomi
dalam menjalankan kegiatan usahanya, tanpa harus bergantung
terhadap AAAN dan AAMN. Ketiadaan ketergantungan finansial
antara PTDV dengan AAAN dan AAMN menunjukkan bahwa PTDV
dengan AAAN dan AAMN bukan merupakan bagian dari entitas
ekonomi yang sama.
3. Tingkat Instruksi yang Diberikan
Berdasarkan analisis yang peneliti lakukan, peneliti tidak menemukan
adanya instruksi yang diberikan oleh AAAN dan AAMN kepada
PTDV dalam menjalankan kegiatan usahanya selama ini. Ketiadaan
instruksi ini menunjukkan bahwa AAAN dan AAMN pada dasarnya
tidak memiliki hak untuk memberikan instruksi terhadap PTDV itu
sendiri.
62
4. Kepatuhan kepada Instruksi
Dengan tidak adanya instruksi yang diberikan kepada PTDV
sebagaimana diuraikan di atas, maka tidak terpenuhinya pula faktor
tingkat kepatuhan PTDV terhadap instruksi yang diberikan baik oleh
AAAN maupun AAMN. Ketiadaan kepatuhan kepada instruksi
menunjukkan bahwa PTDV memandang dirinya tidak terikat baik
terhadap AAAN maupun AAMN.
Tidak terpenuhinya berbagai kriteria dan beberapa faktor sebagaimana
peneliti uraikan di atas merupakan hal yang menentukan apakah telah terjadi
pengendalian secara nyata yang dilakukan oleh AAAN dan AAMN terhadap
PTDV dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Berdasarkan hasil analisis peneliti, unsur pengendalian tersebut nyatanya
tidak dapat ditemukan dikarenakan tidak terpenuhi keempat faktor yang menjadi
pertimbangan apakah suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya telah
membentuk satu kesatuan entitas ekonomi yang sama.
Bahkan, sejak tidak terpenuhinya faktor kepemilikan dan tidak adanya
hubungan induk dan anak perusahaan, maka secara tidak langsung tidak
terpenuhinya pula faktor-faktor lainnya, seperti kemandirian ekonomi, tingkat
instruksi yang diberikan, dan tingkat kepatuhan kepada instruksi yang diberikan.
Ini disebabkan, melalui kepemilikanlah suatu perusahaan dapat melakukan
pengendalian secara nyata terhadap perusahaan yang dimilikinya secara
seluruhnya ataupun sebagian. Pengendalian tersebut dapat dilakukan melalui
63
mekanisme RUPS dan penempatan anggota direksi dan/atau dewan komisaris.
Dalam hal ini, mekanisme RUPS tidak dapat dilakukan oleh AAAN dan AAMN
dikarenakan AAAN dan AAMN bukanlah pemegang saham dalam PTDV,
sehingga AAAN dan AAMN tidak dapat mempengaruhi serta memberikan
instruksi terhadap PTDV dalam menjalan kegiatan usahanya.
Selanjutnya, penempatan anggota direksi yang direkomendasikan oleh
AAAN terhadap PTDV tidak dapat disimpulkan secara sempit bahwa telah terjadi
suatu pengendalian yang dilakukan oleh AAAN terhadap PTDV. Hal ini
mengingat bahwa dua direktur PTDV lainnya merupakan direktur yang ditunjuk
langsung oleh Lippo Group.
Sebagai suatu organ perseroan yang menjalankan pengurusan perseroan
seorang direksi dalam menjalankan tugasnya harus bertanggungjawab kepada
pemegang saham yang mana dalam hal ini pemegang saham tersebut bukanlah
AAAN dan AAMN. Sehingga, dengan ditempatkannya satu direksi yang
direkomendasikan oleh AAAN kepada PTDV tidak serta merta dapat dijadikan
argumentasi utama bahwa telah terjadi pengendalian terhadap PTDV yang
dilakukan oleh AAAN.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka peneliti berpendapat bahwa
penggunaan SEE Doctrine oleh KPPU terhadap para terlapor, yakni AAAN,
AAMN, dan PTDV tidaklah tepat. Meskipun pada akhirnya, AAAN, AAMN, dan
PTDV yang dianggap sebagai entitas ekonomi tunggal dinyatakan tidak
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam UU Anti Monopoli, namun
64
tetap digunakannya doktrin tersebut oleh KPPU dapat menyebabkan terjadinya
ketidakadilan dalam hukum yang dapat merugikan salah satu pihak diantara ketiga
terlapor tersebut.
Adanya potensi menimbulkan ketidakadilan dalam menerapkan suatu
hukum tentunya merupakan hal yang seharusnya dihindari dan tidak dilakukan.
Karena pada dasarnya mengutamakan keadilan dalam hukum merupakan bentuk
menjalankan perintah Allah SWT sebagaimana dituangkan dalam Surat An-Nisa’
ayat 58 dan Surat Al-Ma’idah ayat 8:
يأمركم أن تؤدوا المانات إل ا يع إن الل نعم ى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل إن الل ظكم ب
كان سميعا بصيرا إن الل
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
شهداء بالقسط ول يجرمنكم شنآن قوم على امين لل ا هو أقرب أل تعدلوا اعدلويا أيها الذين آمنوا كونوا قو
خبير بما تعملون إن الل للتقوى واتقوا الل
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah diuraikan peneliti dalam penelitian ini,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan SEE Doctrine oleh KPPU
terhadap para terlapor, yakni AAAN, AAMN, dan PTDV dalam putusan Perkara
Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang Hak Siar Barclays Premier League (Liga
Utama Inggris) Musim 2007-2010 tidaklah tepat.
Hasil analisis peneliti menunjukkan bahwasanya AAAN, AAMN, dan
PTDV tidak membentuk satu kesatuan entitas ekonomi. Sehingga, antara AAAN
dan AAMN dengan PTDV merupakan badan usaha berbentuk badan hukum yang
sama-sama bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan induk dan anak
perusahaan di dalamnya.
Tidak terpenuhinya berbagai faktor dan kriteria yang menjadi
pertimbangan dalam menentukan apakah AAAN dan AAMN dengan PTDV telah
membentuk entitas ekonomi tunggal yang dikaitkan dengan berbagai hasil temuan
serta Laporan Tim Pemeriksa menjadi alasan utama mengapa peneliti merasa
telah terjadi kesalahan penggunaan dan penerapan pendekatan SEE Doctrine oleh
KPPU.
Meskipun pada akhirnya Majelis Komisi memutuskan bahwa AAAN,
AAMN, dan PTDV yang dianggap sebagai satu kesatuan entitas ekonomi tidak
terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam UU Anti Monopoli,
66
namun tetap dinyatakannya ketiga terlapor tersebut sebagai entitas ekonomi
tunggal merupakan salah satu bentuk kesalahan pengimplementasian suatu teori
yang berpotensi untuk mencederai keadilan salah satu atau seluruh pihak yang
bersangkutan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan sebagaimana telah diuraikan di atas, maka
peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1. KPPU melakukan kajian secara lebih mendalam terhadap eksistensi
SEE Doctrine yang digunakan dan mereformulasikan teori tersebut
sesuai dengan hukum di Indonesia dan merekomendasikan hasil
reformulasi teori ini untuk dituangkan secara eksplisit di dalam UU
Anti Monopoli;
2. Pemerintah melakukan revisi terhadap UU Anti Monopoli dan
merekonstruksikan kembali definisi dari pelaku usaha yang di
dalamnya secara eksplisit mengatur mengenai eksistensi pelaku usaha
yang tidak didirikan di wilayah dan berdasarkan hukum negara
Republik Indonesia serta melakukan revisi terhadap UU Perseroan
Terbatas dan memberikan pengakuan yuridis terhadap keberadaan atau
eksistensi dari perusahaan grup, perusahaan holding, dan perusahaan
subsidiary di Indonesia dengan menambahkan ketentuan yang
mengatur masing-masing keberadaan atau eksistensi perusahaan
tersebut secara komprehensif.
67
DAFTAR PUSTAKA
LITERATUR
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2012. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Arrasjid, Chainur. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Black, Henry Campbell. 1968. Black’s Law Dictionary - Fourth Edition. ST. Paul,
Minn: West Publishing Co.
Clark, Lawrence S., Robert J. Aalberts and Peter D. Kinder. 1994. Law and
Business The Regulatory Environment - Fourth Edition. United States of
America: McGraw-Hill.
Fuady, Munir. 2002. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
___________. 2002. Hukum Perusahaan (Dalam Paradigma Hukum Bisnis).
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Harahap, M. Yahya. 1997. Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum
(II). Bandung: Citra Aditya Bakti.
___________. 2013. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika.
Hasyim, Farida. 2014. Hukum Dagang. Jakarta: Sinar Grafika.
Hermansyah. 2009. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia - Cet.
Ke-2. Jakarta: Kencana.
HS, Salim dan Budi Sutrisno. 2008. Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers.
Iskandar, Verry. 2011. Akuisisi Saham oleh Perusahaan Terafiliasi dalam
Perspektif Hukum Persaingan Usaha. Jurnal Persaingan Usaha Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Edisi 5.
Ivamy, E.R. Hardy. 1978. Topham and Ivamy’s Company Law - Sixteenth Edition.
London: Butterworth & Co.
Jones, Alison and Brenda Sufrin. 2004. EC Competition Law, Text, Cases, and
Materials. New York: Oxford University Press.
___________. 2008. EC Competition Law: Text, Cases, and Materials. United
States: Oxford University Press, Inc.
___________. 2011. EU Competition Law: Text, Cases, and Materials. United
States: Oxford University Press, Inc.
Kagramanto, L. Budi. 2008. Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum
Persaingan Usaha). Surabaya: Srikandi.
68
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia. 2009. Buku Penjelasan
Katalog Putusan KPPU Periode 2000 – September 2009. Indonesia:
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia.
Kurniawan. 2014. Hukum Perusahaan: Karakteristik Badan Usaha Berbadan
Hukum dan Tidak Berbadan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Genta
Publishing.
Lin, Ethel and Joanne Yong. 2016. The Single Economic Entity Doctrine in
Competition Law. The Singapore Law Gazette.
Lubis, Andi Fahmi dkk. 2009. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks.
Indonesia: KPPU.
Margono, Suyud. 2013. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Sinar Grafika.
Maria, Titi. 2004. Liability Aspects of Corporate Group Structures: A Primer for
Indonesian Legal Practitioners. Jakarta: PT. Tatanusa.
Marzuki, Peter Mahmud. 2014. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Prenada
Media Group.
Oliver, M C and Enid A Marshall. 1994. Company Law. London: Pitman
Publishing.
Prasetya, Rudhi. 1995. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan
Ulasan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang
Perseroan Terbatas. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Rokan, Mustafa Kamal. 2010. Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya
di Indonesia) - Cet. Ke-1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Saliman, Abdul R., Hermansyah dan Ahmad Jalis. 2005. Hukum Bisnis Untuk
Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus. Jakarta: Kencana.
Sardjono, Agus dkk. 2014. Pengantar Hukum Dagang. Jakarta: Rajawali Pers.
Silondae, Arus Akbar dan Andi Fariana Fathoeddin. 2010. Aspek Hukum dalam
Ekonomi dan Bisnis. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Simbolon, Alum. 2013. Pendekatan yang Dilakukan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Menentukan Pelanggaran dalam Hukum Persaingan
Usaha. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM No. 2, Vol. 20.
Soeroso, R. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao. 2010. Hukum Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia - Cet. Ke-1.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Sulistiowati. 2010. Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
69
Toha, Kurnia. 2015. Extraterritorial Applicability of Indonesia Business
Competition Law as an Efforts Dealing Asean Single Market. Jurnal
Dinamika Hukum Vol. 15, No. 1.
Wahyuni, Dhifla. 2009. Single Economic Entity Menurut Hukum Persaingan
Usaha di Indonesia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Universitas
Indonesia.
DOKUMEN ELEKTRONIK
Feeney, David J. “The European Commission's Extraterritorial Jurisdiction Over
Corporate Mergers”. Artikel diakses pada 1 Oktober 2017 dari
http://readingroom.law.gsu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1972&context
=gsulr.
Mackenzie, Neil, Ingrid Rogers and Stephen Langbridge. “The Single Economic
Entity Doctrine in South Africa and its Implications for Competition
Policy”. Artikel diakses pada 1 Oktober 2017 dari
http://www.compcom.co.za/wp-content/uploads/2014/09/The-Single-
Economic-Entity-Doctrine-in-SA.PDF.
Patrick, Hugh. “Corporate Governance and the Indonesian Financial System: A
Comparative Perspective”. Artikel diakses pada 1 September 2017 dari
https://www8.gsb.columbia.edu/apec/sites/apec/files/files/discussion/hpatr
ick3.PDF.
Universitas Osloensis. “EU Antitrust Fines and the Single Economic Entity”.
Artikel diakses pada 1 Oktober 2017 dari
https://www.duo.uio.no/bitstream/handle/10852/34033/156015.pdf?sequen
ce=4.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Putusan Perkara Nomor. 07/KPPU-L/2007 tentang dugaan Pelanggaran oleh
Kelompok Usaha Temasek.
Putusan Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008 tentang Hak Siar Barclays Premier
League (Liga Utama Inggris) musim 2007-2010