PENGARUH TERAPI STEROID INTRANASAL PADA...
Transcript of PENGARUH TERAPI STEROID INTRANASAL PADA...
PENGARUH TERAPI STEROID INTRANASAL PADA PENDERITA RINITIS ALERGI DI MAKASSAR. TINJAUAN PADA ASPEK; TRANSPOR
MUKOSILIAR, PERBAIKAN KLINIS DAN KUALITAS HIDUP
IMPACT OF THE INTRANASAL STEROID, BASED ON ASPECT NASAL MUCOCILIARY TRANSPORT, CLINICAL SYMPTOMS, AND QUALITY OF
LIFE IN PATIENTS WITH ALLERGIC RHINITIS IN MAKASSAR
Widyana Mulyamin, Aminuddin Azis, Abdul Qadar Punagi
Bagian THT-KL, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin,Makassar
Alamat Korespondensi :
Widyana Mulyamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 081241288038 Email : [email protected]
ABSTRAK
Penanganan rinitis alergi sebagai penyakit yang dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup, produktivitas kerja, prestasi di sekolah, gangguan dalam fungsi psikologis dan telah menghabiskan biaya besar dengan gejalanya yang berulang sehingga diperlukan pengobatan yang efektif.Tujuan penelitian ini adalah menilai pengaruh terapi steroid intranasal pada penderita rinitis alergi di Makassar pada aspek; transpor mukosiliar,perbaikan klinis dan kualitas hidup. Penelitian ini dilakukan uji klinik terbuka dengan membagi 42 penderita rinitis alergi menjadi 2 kelompok , yaitu 22 penderita diberikan terapi steroid intranasal dan 20 penderita sebagai kontrol positif diberikan terapi steroid intranasal dan cetirizine oral. Pemeriksaan uji sakarin bertujuan untuk menilai transpor mukosiliar dilakukan sebelum terapi, minggu kedua dan minggu keempat setelah terapi. Pemeriksaan skor VAS bertujuan untuk menilai gejala klinis dan kualitas hidup penderita dilakukan sebelum terapi dan setiap minggu selama 4 minggu setelah terapi. Data dianalisis menggunakan uji Wilcoxon, T- Test dan Mann Whitney. Penelitian menunjukkan terjadi perbaikan transpor mukosiliar ,gejala klinis dan kualitas hidup secara signifikan (p<0,05) pada kedua kelompok terapi. Perbaikan lebih besar terjadi pada kelompok kombinasi steroid intranasal dan cetirizine oral dibandingkan dengan steroid intranasal, namun tidak ada perbedaan efektifitas secara signifikan (p>0,05) antara kedua terapi.Kesimpulan terapi steroid intranasal efektif memperbaiki transpor mukosiliar, menurunkan gejala klinis, memperbaiki kualitas hidup penderita rinitis alergi di Makassar.
Kata kunci : Rinitis Alergi, Steroid Intranasal, Skor VAS, Transpor Mukosiliar
ABSTRACT
Treatment for this rhinitis of allergy that can make quality of life become worse, not productive on work, school prestige, disorder in psychology function and also waste the big amount financial because of recurren symptom need the more effective treatment..The study aims at evaluating the impact the therapy effectiveness of Intranasal Steroid towards aspects nasal mucociliary transport, clinical symptoms and quality of life in patients with allergic rhinitis (AR) in Makassar. The research was conducted as an open clinical trial with 42 patients divided into 2 groups 22 patients were given intranasal steroid, while the other 20 patients as a positive control were given intranasal steroid and cetirizine oral. The saccharin test in evaluating time of nasal mucociliary transport was examined before the therapy,and in the second and fourth week after the therapy,while the VAS score in evaluating clinical symptoms were examined before the therapy and in every week during 4 weeks after the therapy. The data were analyzed by using Wilcoxon, T- Test,and Mann Whitney Tests. The results revealed that there was a significant improve of nasal mucociliary transport, clinical symptoms and quality of life (p<0,05) in both therapy groups. A Greater improve occurred in the group with the therapy intranasal steroid and cetirizine oral, but there was no significant difference (p> 0.05) in the effectiveness of the two therapies. Conclusion the intranasal steroid can improve nasal mucociliary transport, clinical symptoms and quality of life in patients with allergic rhinitis in Makassar.
Keywords : Allergic rhinitis, intranasal steroid, nasal mucociliary transport, VAS score.
PENDAHULUAN
Rinitis alergi (RA) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi
hipersensitivitas tipe 1 yang diperantarai oleh adanya lg E (Gell & Comb tipe I) ditandai dengan
trias gejala yaitu bersin-bersin, rinore encer, obstruksi nasi dan disertai juga oleh gejala lain
seperti gatal pada hidung, mata, tenggorok, dan telinga.(Bousquet, 2001).
Meskipun RA bukan suatu penyakit yang mengancam jiwa namun secara signifikan berdampak
pada penurunan kualitas hidup penderitanya, penurunan produktivitas kerja, prestasi di sekolah,
gangguan dalam fungsi psikologis seperti depresi dan sosial.(Rolan dkk, 2001; Virant, 2000;
Efiaty 2010) dan telah menghabiskan biaya besar untuk pengobatan karena gejalanya yang
berulang. Sehingga dalam penanganan rinitis alergi perlu mempertimbangkan biaya pengobatan
dan kualitas hidup penderita.( Efiaty 2010; Saurabach 2004)
Hidung berfungsi sebagai penyaring dan pertahanan lini pertama yang terdiri dari silia
epitel torak berlapis semu (pseudostratified columnar epithelium), kalenjar mukus dan palut
lendir (mucous blanket) yang membentuk sistem pertahanan tubuh yang disebut sistem transpor
mukosiliar. Keberhasilan sistem mukosiliar sebagai suatu mekanisme pertahanan lokal hidung
tergantung dari transpor mukosiliar. Agar terjaga pertahanan tersebut, transpor mukosiliar harus
baik.(Ballenger 1994; Efiaty 2010; Syahrizal 2009)
Gangguan mukosa hidung, inflamasi kronik dan udem dapat mengganggu pergerakan
silia dan kualitas sekret sehingga mengganggu transpor mukosiliar (TMS) secara lokal. Bila
sistem ini terganggu maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa
dan menimbulkan penyakit seperti rinosinusitis. (Ballenger, 1994; Soetjipto, 2007;Bestari, 2011)
Pada penderita RA, terjadi pelepasan mediator dan sitokin seperti histamin, leukotrien,
prostaglandin, Platelet Activating Factor (PAF) dan akumulasi sel inflamasi, menyebabkan
mukosa hidung mengalami edema dan inflamasi kronik, yang akan menyebabkan rinore dan
obstruksi nasi. Pada keadaan ini pergerakan silia dan kualitas sekret terganggu menyebabkan
transpor mukosiliar nasal terganggu dan menimbulkan menumpukan sekret.(Prasit 1995;
Schuhl 1995 ; Sumarwam 2000; Roos 1999)
Penanganan rinitis alergi pada dasarnya adalah mengatasi gejala rinitis alergi akibat
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) dan Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL). Penanganan
medikamentosa dengan pemberian antihistamin dan dekongestan belum sepenuhnya memuaskan
dan sering terjadi kekambuhan karena hanya mengatasi RAFC.(Sumarwan, 2000). Pilihan terapi
medikamentosa lain yang dapat mengatasi gejala alergi pada RAFC maupun RAFL adalah
dengan steroid (Durham, 1997).Karena pemakaian jangka panjang pada steroid oral memiliki
efek yang merugikan seperti osteoporosis, gangguan axis hipotalamus pituitary adrenal yang
mengganggu perkembangan (Surnaman, 2000) sehingga diperlukan pengobatan yang lebih aman
yaitu penggunaan steroid intranasal. (Demoly, 2001; Bousquet, 2001)
Pengobatan terapi steroid intranasal dapat menurunkan RAFC dan RAFL, menurunkan
edema, inflamasi kronik dan memulihkan cedera epitel, sehingga epitel silia dapat berfungsi
kembali menjadi normal, memulihkan aliran mukosiliar hidung ,mengantarkan sekret ke
nasofaring, mengembalikan fungsi drainase dan ventilasi menjadi normal. Secara tidak langsung
dapat memperbaiki gejala klinik dan meningkatkan kualitas hidup penderita. (Bousquet,
2001,May dkk 2008)
Penelitian Bestari (2011) melaporkan tentang penurunan TMS pada deviasi septum
karena adanya kelainan struktur dan sumbatan hidung. Penelitian Syahrizal (2009) melaporkan
adanya penurunan TMS pada rinosinusitis kronik dan mengalami perbaikan setelah dilakukan
bedah sinus endoskopi fungsional. Penelitian Prasit,dkk (1995) menyatakan adanya penurunan
TMS pada rinitis alergi musiman (seasonal). Penelitian Iswadi (2006) menyatakan adanya
penurunan TMS pada penderita rinosinusitis kronik di Makassar dengan kontrol orang normal.
Penelitian Zhu (2009) pada mukosa nasal hewan coba yang sudah teradiasi dan
mengalami cedera berat melaporkan efek steroid intranasal memperbaiki mukosa dan bersifat
radioprotektor. Penelitian Lui, dkk (2011) dan Tan, dkk (2012) pada tikus melaporkan efek
steroid intranasal dapat memulihkan kondisi inflamasi mukosa hidung pada rinitis alergi, serta
memperbaiki silia mukosa hidung yang telah rusak tanpa menyebabkan atropi mukosa
Dari beberapa penelitian yang diajukan sebelumnya, penelitian tentang pengaruh steroid
intranasal terhadap pasien RA yang ditinjau pada aspek kuantitatif melalui uji sakarin terhadap
pengobatan yang dilakukan dan penggunaan skor VAS dalam penilaian klinis yang belum pernah
diteliti khususnya di Makassar, menjadi terasa penting.
Pengaruh steroid intranasal terhadap transpor mukosiliar pada penderita RA sangat
bermanfaat dalam mengetahui perkembangan pengobatan. Hal ini menjadi dasar perlunya
dilakukan sehingga dapat meminimalkan biaya pengobatan dan meningkatkan kualitas hidup
penderita. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh terapi steroid intranasal pada rinitis
alergi pada aspek transpor mukosiliar, perbaikan klinis dan kualitas hidup.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Bagian THT subdivisi alergi imunologi RS. Wahidin
Sudirohusodo Makassar diambil mulai bulan Juli 2012 sampai Desember 2012. Jenis penelitian
yang digunakan adalah clinical trial dan pre test dan post test design, studi analitik dengan
pengamatan secara longitudinal.
Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh penderita rinitis alergi yang menjalani terapi steroid intranasal
di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar.Sampel penelitian ini adalah penderita rinitis alergi
sedang berat yang diambil dengan cara consecutive sampling (non probability sampling)
memenuhi kriteria inklusi dan bersedia mengikuti penelitian dan menyelesaikan penelitian
sampai akhir.
Pada penelitian ini jumlah sampel sebanyak 42 orang. Pasien secara berurut
dimasukkan dalam kelompok penelitian sebanyak 22 orang dan kelompok kontrol positif
sebanyak 20 orang. Kriteria Inklusi adalah Semua penderita yang didiagnosis rinitis alergi
berusia 17 – 60 tahun dengan hasil prick test positif, bebas obat antibiotik, antihistamin,
kortikosteroid dan dekongestan minimal 7 hari, tidak pernah mendapat imunoterapi, tidak ada
gangguan pengecapan, bersedia mengikuti prosedur penelitian dan kooperatif. Kriteria Eksklusi
adalah ada septum deviasi berat, pernah mendapat terapi steroid intranasal, rinitis Alergi ARIA
WHO intermitten ringan, tumor sinonasal dan tumor nasofaring, polip nasi, riwayat operasi
hidung, dermatografism (+), perbedaan skor VAS > 1 cm pada pemeriksaan VAS I dan
II.Penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Biomedis pada Manusia, Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Metode Pengumpulan Data
Semua penderita yang datang dicatat umur, jenis kelamin, riwayat alergi, riwayat
penggunaan antihistamin, keluhan penderita dicatat dalam lembar kuisioner yang telah disiapkan.
Pemeriksaan rinoskopi anterior untuk menyingkirkan adanya septum deviasi berat, polip atau
tumor kavum nasi. Lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan tes alergi. Bila sudah terdiagnosis,
penderita diperiksa tes fungsi pengecapan, bila normal dilanjutkan pemeriksaan uji sakarin.
Penderita juga dilakukan pemeriksaan skor VAS. Prosedurnya yaitu pemeriksa pertama
melakukan pengukuran VAS dengan meminta penderita memberikan tanda silang pada formulir
skala pengukuran VAS sesuai dengan gatal hidung, rinore, bersin dan obstruksi nasi yang
dikeluhkan (VAS I). Nol artinya tidak ada keluhan , 10 artinya keluhannya terlalu berat. Lima
belas menit kemudian pemeriksa kedua melakukan pengukuran VAS dengan prosedur yang
sama dengan pemeriksa pertama (VAS II). Bila terdapat perbedaan nilai VAS > 1 cm penderita
dikeluarkan dari penelitian. Hasil pemeriksaan dicatat dalam format penelitian yang telah
tersedia.Penilaian VAS dilakukan sebelum terapi steroid intranasal minggu pertama, kedua,
ketiga kemudian 1 bulan setelah terapi. Pemantauan dilakukan pada penderita rinitis alergi
dengan memonitoring ketat setiap 3 hari.
Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh, dikelompokkan sesuai tujuan dan jenis data, lalu dilakukan
analisis univariat dan Uji t-test related dan Mann Whitney U untuk membandingkan nilai rerata 2
kelompok yang berpasangan untuk analisis waktu transpor mukosiliar. Perbaikan klinis dan
kualitas hidup menggunakan uji Wilcoxon.Pengolahan data dengan komputerisasi menggunakan
α 0,05
HASIL
Penelitian ini dilakukan pada 42 penderita rinitis alergi yang datang berobat ke
poliklinik THT RSWS dari bulan Juli – Desember 2012 sesuai kriteria inklusi dan eksklusi, 22
orang pada kelompok terapi steroid intranasal tunggal (SI) dan 20 orang pada kelompok terapi
kombinasi steroid intranasal dengan cetirizine oral (CO) sebagai kontrol positif.
Pada tabel 1 memperlihatkan dari 42 sampel penderita rinitis alergi waktu transpor
mukosiliar yang paling singkat adalah 8,83 menit sedangkan yang paling lama adalah 21,68
menit. Pada table 4 terlihat rerata waktu transpor mukosiliar pada penderita rinitis alergi sebesar
14,45 menit dengan standar deviasi 2,81 menit.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa hasil terapi SI di peroleh nilai p (uji Paired Sample
Tests, signifikan p<0,05) untuk masing-masing TMS sebesar p=0,000. Hal ini menunjukkan
terapi dengan SI efektif dalam memperbaiki transpor mukosiliar pada penderita rinitis alergi.
Tabel 3 memperlihatkan bahwa hasil terapi SI dengan cetirizine oral di peroleh nilai p (uji
Paired Sample Tests, signifikan p<0,05) untuk masing-masing TMS sebesar p=0,000. Hal ini
menunjukkan terapi dengan SI dengan cetirizine oral efektif dalam memperbaiki transpor
mukosiliar pada penderita rinitis alergi.
Pada tabel 4, untuk perbandingan berdasarkan TMS, terlihat hasil uji Mann Whitney U
pada minggu kedua setelah terapi didapatkan nilai uji p yang signifikan (signifikansi p<0,05)
pada kedua kelompok sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil
terapi antara kelompok terapi dengan SI maupun kelompok terapi SI dan CO dalam
memperbaiki transpor mukosiliar dapat dilihat pada penurunan TMS terbesar pada minggu kedua
dengan penurunan nilai median selisih terbesar yakni dari 14,33 menjadi 9,34.
Nilai uji perbedaan hasil terapi pada akhir terapi yaitu minggu keempat antara kelompok
terapi SI dengan kelompok terapi SI dan CO menunjukkan hasil uji statistik yang tidak signifikan
atau tidak bermakna perubahannya (uji signifikansi Mann Whitney U, p>0,05). Dengan demikian
tidak ada perbedaan hasil terapi antara kelompok terapi SI dengan kelompok terapi SI dan CO
dalam memperbaiki transpor mukosiliar pada akhir terapi, walaupun secara umum terlihat
penurunan gejala klinis yang lebih baik ditunjukkan oleh hasil terapi pada kelompok terapi SI
dan CO.
Tabel 5, terlihat bahwa ada penurunan skor median yang signifikan terutama dalam 2
minggu pertama dengan nilai p<0,05. Melalui uji Wilcoxon terlihat penurunan skor VAS yang
signifikan pada semua gejala RA terutama gejala beringus encer pada minggu pertama dan mulai
berangsur menurun pada minggu kedua. Hal ini disebabkan karena fase Lambat dari reaksi alergi
yang menyebabkan sekresi mukus yang berkepanjangan.
Pada minggu ketiga dan keempat penurunan skor VAS tidak signifikan lagi karena
gejala- gejala yang terjadi sudah membaik dan konstan sehingga tidak menunjukkan perbedaan
bermakna pada kedua kelompok dengan p=1,000. Melalui uji Wilcoxon sebelum terapi sampai
minggu keempat setelah terapi menunjukkan perbaikan klinis yang signifikan (p<0,05) pada
masing- masing kelompok walaupun secara umum terlihat penurunan gejala masih lebih baik
pada kelompok terapi SI dan CO.
PEMBAHASAN
Selama kurun waktu kurang lebih enam bulan sejak bulan Juli sampai dengan Desember
2012, telah dilakukan penelitian mengetahui pengaruh terapi steroid intranasal terhadap transpor
mukosiliar melalui uji sakarin serta perbaikan klinis dan kualitas hidup melalui skor VAS pada
penderita rinitis alergi di Makassar. Terapi Steroid Intranasal efektif secara signifikan dalam
perbaikan transpor mukosiliar pada minggu kedua dan perbaikan gejala klinis, kualitas hidup di
minggu pertama setelah terapi pada penderita rinitis alergi di Makassar.
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai keberhasilan dalam
pengobatan antara lain efektifitas, kemudahan dalam pemakaian obat dan penerimaan pasien
terhadap kemungkinan efek samping obat. Sehingga Kami melakukan pemantauan pemakaian
obat secara ketat dan teratur pada pasien setiap 3 hari. Adapun kemungkinan efek samping
minimal sebagaimana telah dilakukan penelitian terhadap keamanan steroid intranasal.( Talango
2010).
Berdasarkan penelitian Iswadi (2006) terdapat gangguan transpor mukosiliar pada
penderita rinosinusitis kronik di Makassar dengan nilai waktu transpor mukosiliar yang diperoleh
mencapai rerata 16,87 menit. Pada penelitian ini didapatkan rerata waktu transpor mukosiliar
penderita rinitis alergi di Makassar adalah 14,45 menit dengan standar deviasi 2,81. yang berarti
range waktu transpor mukosiliar penderita rinitis alergi di Makassar adalah 11,64 - 17,26 menit.
Hal ini menyatakan pada sampel penderita rinitis alergi di Makassar dapat menjadi kronis yang
dapat menyumbat ostium sinus dan menyebabkan rinosinusitis kronik bila tidak ditangani segera
dan tepat. Sehingga perlu mendapatkan pengobatan yang tepat dan efektif.
Steroid intranasal secara lokal menekan sel-sel yang berperan dalam proses inflamasi di
mukosa hidung selain eosinofil seperti APC, makrofag, limfosit, sel mast, basofil dan struktur sel
di mukosa hidung, endotel kapiler dan sel kelenjar pada rinitis alergi dan akhirnya dapat
menurunkan RAFC dan RAFL, menurunkan edema, inflamasi kronik dan memulihkan cedera
epitel, sehingga epitel silia dapat berfungsi kembali menjadi normal, memulihkan aliran
mukosiliar hidung ,mengantarkan sekret ke nasofaring, mengembalikan fungsi drainase dan
ventilasi menjadi normal. Sehingga seperti yang terlihat pada akhir penelitian, dimana di sini
terjadi perbaikan klinis dan kualitas hidup, perbaikan transpor mukosiliar pada kedua kelompok.
Hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa terjadi perbaikan klinis dan kualitas hidup
secara efektif pada kedua kelompok terapi, namun tidak ada perbedaan efektifitas yang
bermakna diantara keduanya. Demikian pula terjadi perbaikan transpor mukosiliar yang
signifikan pada kedua kelompok setelah terapi dan tidak ada perbedaan bermakna di antara
kedua kelompok tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian dapat dibuat kesimpulan bahwa waktu transpor mukosiliar rerata
pada penderita rinitis alergi di Makassar adalah 14,45 menit dengan standar deviasi 2,81 menit.
Terapi Steroid Intranasal efektif secara signifikan dalam perbaikan transpor mukosiliar pada
minggu kedua dan perbaikan gejala klinis, kualitas hidup di minggu pertama setelah terapi pada
penderita rinitis alergi di Makassar.
Berdasarkan penelitian ini maka dapat disarankan bahwa uji sakarin dan skor VAS
dapat dijadikan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pengobatan dalam terapi steroid
intranasal pada penderita rinitis alergi . Keterbatasan penelitian ini adalah singkatnya waktu
follow up setelah dilakukannya terapi, dilain pihak pengobatan rinitis alergi memerlukan waktu
follow up yang cukup lama dan disarankan untuk penelitian selanjutnya agar melakukan evaluasi
terapi dengan rentang waktu yang lebih frekuen.
DAFTAR PUSTAKA
Alimah, Y,. Hubungan Jumlah Eosinofil Mukosa Hidung Dengan Gejala Rinitis Alergi Sesuai Klasifikasi Aria WHO 2001.(2005). Karya Akhir Pendidikan Dokter Spesialis I THT, Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.
Ballenger JJ. Clinical anatomy and physiology of the nose and paranasal sinuses. Dalam : Ballenger JJ, Snow JB, editors. Otolaryngology head and neck surgery. 15th ed.(2005). Baltimore, Philadelphia, Hongkong, London, Munich, Sydney, Tokyo : William and Wilkins:p.3-18.
Bestari, J.K., Transpor Mukosiliar pada Deviasi Septum.(2011).Bagian THT-KL, Universitas USU, Medan.
Bousquet. Visual Analog Scales Can Assess the Severity of Rhinitis Graded according to ARIA guidelines. (2007).University Hospital and INSERM U454, Montpellier, France.367-72.
Bousquet. Visual Analog Scales can assess the severity of Rhinitis Graded according to ARIA Guidelines. (2007) Bousquet M, Bullinger M, Fayol C, Marquis P, ValentinB, Burtin B.Assesment Of Quality Of Life Patients With Perenial Allergic Rhinitis With The French Versions Of The SF-36 Health Status Questionaire. J Allergic Clin Immunol .94:8-182.
Demoly P. WHO Recommendation In The Treatment of Allergic Rhinitis. (2001). Dalam : Simposium Current and Future Approach in The Treatment of Allergic Rhinitis. Jakarta,:2-3.
Durham S.R; Mechanisms and treatment of allergic rhinitis, in Rhinology Scott-Brown’s Otolaryngology 6th Ed, edited by Mackay I.S, Bull T.R.(2006).Butterworth Heinemann, Oxford.1-16
Efiaty, A, Rinitis Alergi : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi Keenam. (2010).Balai Penerbit FKUI, Jakarta.128-134
Iswadi, Perbandingan waktu transpor mukosiliar penderita rhinitis kronik dengan orang normal di Makassar.(2006). Karya akhir, Universitas Hasanuddin. Makassar.
Lui dkk.The effect of the fluticasone propionate to the dynamic process of the nasal mucosal remodeling in allergic rhinitis of the rats model. (2011).Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, the Second Affiliated Hospital, Nanchang University, Nanchang,China
May JR, Smith PH. Allergic Rhinitis in Pharmacotheray a Pathophysiologic Approach, seventh edition, Chapter 98. (2008).The McGrawHill Company.p.1565-74.
Mygind N, Nielson LP, Hoffmann HJ, Shukla A, Blumberga G, Dahl R et al. Mode Of Action Of Intranasal Corticosteroids. (2003).J Allergy Cliln Immunol 108 Suppl:16-24
Prasit dkk. A Prelimanary Study of Nasal Mucocilliary Clearance in Smokers, Sinusitis and Allergic Rhinitis Patients.(2003).Asian Pasific Journal of Allergy and Imunology.p.191-121.
Rolan P, Mc Cluggage CM, Sciinneider GW; Evaluation and Management of Allergic Rhinitis : a guide for family physicians. (2004).Texas Academy of Family Physicians.1-15.
Roos K : The pathogenesis of infective rhinosinusitis, In Rhinosinusitis : Current issues in diagnosis and managenent, Round table series 67, Ed.(2005). Lund V & Corey J, Royal society of medicine press ltd.
Saurabach, B., Nonallergic & Allergic Rhinitis : Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology Head and Neck Surgery.(2004).McGraw Hill, Boston, 278-82
Schuhl. Nasal mucociliary clearance in perennial rhinitis. (2003).Allergologic Unit, Dermatology Clinic, Clinical Hospital, Montevideo, Uruguay.
Soetjipto, Damayanti, Mangunkusumo,E. Buku ajar Ilmu Kesehatan THT, edisi ke-6, (2007).FKUI.118-112.
Sumarwan I, Patofisiologi dan Prosedur Diagnostik Rinitis Alergi. Dalam : Simposium Current and Future Approach In The Treatment Of Allergic Rhinitis.(2005). Jakarta.: 1-2.
Sumarwan I, Strategi Rasional Pengelolaan Rinitis Alergis Perenial : Ditinjau Dari Aspek Mediator, Sitokin dan Molekul Adhesi. Makalah Simposium Allergic and Quality Of Life : Their Clinical Implications In 21st Century. (2003).Fakultas Kedokteran Unpad, Bandung.:17.
Suprihati, Patofisiologi Rinitis Alergi, Simposium Nasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta Rinitis Alergi. (2006).Malang.
Syahrizal, Perbandingan Waktu Transportasi Mukosiliar hidung pada penderita rinosinusitis kronis sebelum dan sesudah dilakukan endoskopi fungsional.(2009). Bagian THT Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.
Tan dkk. The Effect of Intranasal Steroid on Nasal Mucosa in Rat Models of Allergic Rhinitis.(2012). the First Affiliated Hospital of Guangxi Medical University, Nanning,China.
Talango, Rita. Perbandingan Efektifitas Kombinasi Flutikason Furoat Intranasal dan Loratadin Oral dengan Flutikason Furoat Intranasal Tunggal Berdasarkan Kadar Eosinofil Mukosa Hidung Dan Gejala Klinis Penderita Rinitis Alergi.(2010).Universitas Hasanuddin FK UNHAS, Makassar.
Virant F.S. Allergic Rhinitis, Immunology and Allergy Clinics of North America Rhinits. Vol. 20 Number 2, edited by Lasley M.Y, W.B.(2005). Saunders Company, Philadelphia, P.264-282
Zhu,Liu. Effects of intranasal corticosteroids on radiated nasal mucosa of guinea pig.(2012). Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, the Second Affiliated Hospital,NanchangUniversity,Nanchang,China.
Tabel 1 TMS ssebelum dan setelah Terapi Pada Total Sampel Rinitis Alergi
TMS Min Max Mean SD
Pra Terapi 8,83 21,68 14,453 2,810
Minggu 2 6,25 18,50 10,341 2,634
Minggu 4 4,17 14,75 7,099 2,502
Tabel 2. TMS sebelum dan Setelah Terapi pada Kelompok Perlakuan
TMS Mean N SD P
Pair 1Vo 14,681 22 3,352 0,000
V2 11,301 22 2,755 0,000
Pair 2V2 11,301 22 2,755 0,000
V4 7,787 22 3,023 0,019
Pair 3V0 14,681 22 3,352 0,000
V4 7,787 22 3,023 0,019
Tabel 3. TMS sebelum dan Setelah Terapi pada Kelompok kontrol
TMS Mean N SD P
Pair 1Vo 14,33 20 2,14 0,000
V2 9,43 20 2,18 0,000
Pair 2V2 9,43 20 2,18 0,000
V4 6,31 20 1,58 0,000
Pair 3V0 14,33 20 2,14 0,000
V4 6,31 20 1,58 0,000
Tabel 4. Perbandingan TMS Sebelum dan Setelah Terapi Sl dan Terapi SI dengan CO.
Kelompok Uji Mann Whitney
N Mean SD P
V0 SI 22 14,68 3,35 0,801
SI+ CO 20 14,33 2,14
V2 SI 22 11,30 2,76 0,005
SI+ CO 20 9,34 2,18
V4 SI 22 7,79 3,02 0,155
SI+ CO 20 6,31 1,58
Tabel 5 Tabel 8.Perbandingan Skor VAS Sebelum dan Setelah Terapi SI dan SI dengan
CO :
Terapi dan Kelompok Terapi
N
Uji Wilcoxon Bersin Berseri Gatal Hidung Beringus Encer Hidung Tersumbat Median p Median P Median p Median P
Minggu1-0
SI 22
0,0 0,002
0,0 0,008
0,0 0,046
0,0 0,008 5,5 4,0 2,5 4,0
SI+CO 20
0,0 0,001
0,0 0,008
0,0 0,025
0,0 0,005 6,0 4,0 3,0 4,5
Minggu2-1
SI 22
0,0 0,001
0,0 0,000
0,0 0,000
0,0 0,000 6,5 8,0 9,5 8,0
SI+CO 20
0,0 0,003
0,0 0,000 0,0 0,000 0,0 0,001 5,0 7,0 8,0 6,5
Minggu3-2
SI 22
0,0 1,000
0,0 1,000
0,0 1,000
0,0 1,000 0,0 0,0 0,0 0,0
SI+CO 20
0,0 1,000
0,0 1,000
0,0 1,000
0,0 1,000 0,0 0,0 0,0 0,0
Minggu4-3
SI 22
0,0 1,000
0,0 1,000
0,0 1,000
0,0 1,000 0,0 0,0 0,0 0,0
SI+CO 20
0,0 1,000 0,0 1,000 0,0 1,000 0,0 1,000 0,0 0,0 0,0 0,0
Minggu4-0
SI 22
0,0 0,000
0,0 0,000
0,0 0,000
0,000
0,0 11,5 0,0
0,000
0,000
11,5 11,5 11,5
SI+CO 20
0,0 0,000 0,0 0,000 0,0 10,5 10,5 10,5 10,5