PENGARUH MEDIA TANAM DAN ZAT PENGATUR TUMBUH … · konvensional dengan anakan dan kultur jaringan...

66
PENGARUH MEDIA TANAM DAN ZAT PENGATUR TUMBUH SITOKININ (BA) TERHADAP PERBANYAKAN TUNAS PISANG RAJA BULU (Musa paradisiaca L. ) DARI CACAHAN BONGGOL GUSTI EMAN AYU SASMITA JATI A240800185 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

Transcript of PENGARUH MEDIA TANAM DAN ZAT PENGATUR TUMBUH … · konvensional dengan anakan dan kultur jaringan...

PENGARUH MEDIA TANAM DAN ZAT PENGATUR

TUMBUH SITOKININ (BA) TERHADAP PERBANYAKAN

TUNAS PISANG RAJA BULU (Musa paradisiaca L. ) DARI

CACAHAN BONGGOL

GUSTI EMAN AYU SASMITA JATI

A240800185

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013

ABSTRACT

Banana is the important and the highest production of Indonesian fruits.

The propagation of banana using corm pieces known as the cheap and effective

method, that also gives diseases resistance to shoots. Furthermore, this research

aimed to determine the effect of growing media types and doses of BA to increase

the healthy shoots and to make the propagation of Raja bulu banana from corm

pieces faster. Research used Randomize Complete Block Design (RKLT) with

two factors. The first factor were cytokines (BA) with four dosages (A1:10 ppm,

A2:10 ppm, A3:20 ppm, and A4:30 ppm). The second factor was growing media

composition consisting of B1: soil, B2: husk charcoal, B3: husk charcoal + soil,

B4: and husk charcoal + cow manure. The results showed that no interaction

between media and cytocines, except from dead corm percentage at 9 weeks after

planting. The media's treatment only affected the variable number of buds on the

hump, number of roots, number of root corms, number of roots of the root corms,

and the dead corm percentage. The most number of buds on the hump was

obtained from the husk charcoal + cow manure media at 2 weeks after planting.

The highest of roots on 9 weeks after planting, the highest of root corms on

7 weeks after planting, and the highest of roots of the root corms on 9 weeks after

planting were obtained from the husk charcoal media. The highest dead corm

percentage was obtained from the soil media at 9 weeks after planting. Cytokines

BA did have no significant influence to plantain bud multiplication of Raja bulu

banana from corm pieces.The pests and diseases in the soil were reduced by using

of husk charcoal + cow manure media. Hence, it was suggested to use husk

charcoal + cow manure media without application of cytokines to produce Raja

bulu banana’s shoots.

RINGKASAN

GUSTI EMAN AYU SASMITA JATI. Pengaruh Media Tanam dan Zat

Pengatur Tumbuh Sitokinin (BA) terhadap Perbanyakan Tunas Pisang Raja

Bulu (Musa Paradisiaca L.) dari Cacahan Bonggol. (Dibimbing oleh Dr. Ir.

SOBIR, Msi dan ENDANG GUNAWAN, SP, MSi)

Buah-buahan merupakan komoditas penting untuk memenuhi kebutuhan

gizi masyarakat. Buah pisang memiliki tingkat permintaan yang tinggi baik di

dalam maupun di luar negeri. Kebutuhan akan tersedianya bibit pisang yang

berkualitas dalam jumlah banyak, murah, cepat dan dapat diaplikasikan oleh

petani menuntut adanya teknologi budidaya yang dapat membantu dalam upaya

pembibitan tanaman pisang. Beberapa teknologi terdahulu seperti pembibitan

konvensional dengan anakan dan kultur jaringan memiliki beberapa kelemahan

sehingga perlu dikembangkan teknologi budidaya yang dapat mengatasi

kelemahan-kelemahan tersebut. Perbanyakan bibit pisang menggunakan cacahan

bonggol dengan bantuan zat pengatur tumbuh dan media tanam yang sesuai

menjadi salah satu teknologi yang sedang dikembangkan

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jenis media, dosis sitokinin BA,

dan interaksi keduanya dalam perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan bonggol

untuk menghasilkan bibit yang sehat dalam jumlah banyak, cepat, murah, dan

dapat diaplikasikan oleh petani. Penelitian dilaksanakan di Kebun Penelitian IPB

Tajur, Bogor, selama 3 bulan, yaitu pada bulan April 2012 – Juli 2012.

Penelitian menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT)

dua faktor, yaitu: pemberian BA dan jenis media tanam dengan masing-masing

empat taraf perlakuan sehingga akan didapatkan 16 kombinasi perlakuan. Taraf

media tanam terdiri dari tanah (B1), arang sekam (B2), arang sekam + tanah (B3),

dan arang sekam + pupuk kandang sapi (B4).Taraf dosis BA, yaitu: 0 ppm (A1),

10 ppm (A2), 20 ppm (A3), dan 30 ppm (A4). Setiap perlakuan terdiri atas tiga

ulangan sehingga terdapat 48 satuan unit penelitian.

Pengamatan dilakukan dari 2-33 HST (1–9 MST) dengan mengamati

5 tanaman contoh per unit perlakuan. Peubah yang diamati yaitu: jumlah tunas

tiap bonggol, jumlah bonggol bertunas, jumlah tunas dari bonggol bertunas,

jumlah tunas yang dapat dipanen, jumlah tunas majemuk, tinggi bibit, jumlah

daun bibit, jumlah akar, jumlah bonggol berakar, jumlah akar dari bonggol

berakar, waktu muncul tunas ke permukaan, periode pertumbuhan tunas hingga

panen, waktu muncul akar, dan persentase bonggol mati.

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa tidak ada interaksi antara media dan

sitokinin, kecuali pada persentase bonggol mati. Perlakuan media tanam

memberikan pengaruh yang nyata terhadap perbanyakan tunas pisang Raja bulu

dari cacahan bonggol. Perlakuan media hanya berpengaruh pada peubah jumlah

tunas di bonggol, jumlah akar, jumlah bonggol berakar, jumlah akar dari bonggol

berakar, dan persentase bonggol mati. Sitokinin BA tidak memberikan pengaruh

terhadap perbanyakan tunas pisang Raja bulu dari cacahan bonggol.

Hasil uji lanjut BNT untuk interaksi perlakuan menghasilkan persentase

bonggol mati tertinggi pada perlakuan sitokinin BA 10 ppm + media tanah

terhadap jumlah bonggol mati pada 9 MST, yaitu sebanyak 10%. Perlakuan media

terhadap jumlah tunas di bonggol menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang

nyata pada taraf 1% untuk 2 MST. Jumlah tunas rata-rata di bonggol yang

tertinggi diperoleh dari perlakuan media arang sekam + pupuk kandang sapi, yaitu

sebanyak 0.3 pada 2 MST, sementara media media arang sekam dan media arang

sekam + tanah memberikan jumlah tunas rata-rata di bonggol yang terendah, yaitu

0.05 pada 2 MST. Jumlah akar rata-rata yang tertinggi diperoleh dari perlakuan

media arang sekam, yaitu sebanyak 3.117 pada 9 MST, sementara media tanah

memberikan jumlah akar rata-rata yang terendah, yaitu 1.833 pada 9 MST. Media

arang sekam memberikan hasil bonggol berakar dan jumlah akar dari bonggol

berakar tertinggi, sementara media tanah memberikan hasil terendah pada peubah

tersebut. Persentase bonggol mati rata-rata yang tertinggi diperoleh dari perlakuan

media tanah, yaitu sebanyak 5.417% pada 9 MST, sementara media arang sekam

dan arang sekam + pupuk kandang sapi memberikan persentase bonggol mati

rata-rata yang terendah, yaitu 1.250% pada 9 MST.

Faktor lain yang ikut mempengaruhi hasil penelitian seperti adanya hama

dan penyakit yang menyerang dan faktor lingkungan yang mempengaruhi

perkembangan tanaman. Media tanah menghasilkan jumlah tunas di bonggol

cukup baik, namun rawan akan hama dan penyakit yang ada di tanah. Media arang

sekam baik untuk perakaran tetapi masih kurang kandungan hara. Media

campuran tanah + arang memberikan hasil yang kurang optimum untuk jumlah

akar dan tunas di bonggol. Media campuran arang sekam + pupuk kandang sapi

merupakan media terbaik untuk perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan

bonggol karena menghasilkan jumlah akar dan jumlah tunas yang baik, selain itu

media ini juga dapat membantu meminimumkan kerusakan akibat penularan

penyakit tular tanah.

i

PENGARUH MEDIA TANAM DAN ZAT PENGATUR

TUMBUH SITOKININ (BA) TERHADAP PERBANYAKAN

TUNAS PISANG RAJA BULU (Musa paradisiaca L.) DARI

CACAHAN BONGGOL

Skripsi sebagai salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

GUSTI EMAN AYU SASMITA JATI

A240800185

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013

ii

Pembimbing I

Prof. Dr. Ir. Sobir, MSi

NIP. 19640512 198903 1 002

Pembimbing II

Endang Gunawan, SP, MSi

NIP. 19770314 200810 1 001

Judul : PENGARUH MEDIA TANAM DAN ZAT PENGATUR

TUMBUH SITOKININ (BA) TERHADAP

PERBANYAKAN TUNAS PISANG RAJA BULU

(Musa paradisiaca L.) DARI CACAHAN BONGGOL

Nama : GUSTI EMAN AYU SASMITA JATI

NIM : A24080185

Menyetujui,

Mengetahui,

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura

Fakultas Pertanian IPB

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr

NIP. 19611101 198703 1 003

Tanggal Lulus :

iii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur pada tanggal 01

Agustus 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan

Almarhum Bapak Cecep Yanurianto dan Ibu Niluh Chandra Widjayati.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Sidokumpul II,

Gresik pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 01

Gresik selama tiga tahun dan menamatkan pendidikan menengah atas di SMA

Negeri 01 Gresik pada tahun 2008. Kemudian pada tahun yang sama penulis

diterima sebagai mahasiswa jurusan Agronomi dan Hortikultura Fakultas

Pertanian di Institut Pertanian Bogor pada tahun akademik 2008/2009 melalu jalur

SNMPTN.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai organisasi yang

dimulai sejak TPB sebagai anggota organisasi daerah (OMDA) Himasurya Plus

(Himpunan Mahassiwa Surabaya Gresik Mojokerto dan Sidoarjo) dan anggota

organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Panahan. Pada tahun kedua di IPB,

penulis juga berkesempatan aktif sebagai sekretaris umum selama 2 tahun

berturut-turut pada organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Di departemen

penulis bergabung dengan AGROHOTPLATE sebagai anggota divisi PSDM dan

menjadi penerima hibah Program Kreativitas Mahasiswa di bidang percobaan

pada tahun 2010/2011. Penulis juga menjadi asisten praktikum biologi bagi

mahasiswa TPB pada semester ganjil 2010/2011. Selain itu penulis aktif dalam

berbagai kegiatan kepanitiaan yang diadakan oleh departemen, BEM A, dan

mengikuti berbagai seminar serta mengajar sebagai guru bagi siswa SD-SMP di

luar kampus.

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat

dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi yang ber-

judul “Pengaruh Media Tanam dan Zat Pengatur Tumbuh Sitokinin (BA)

terhadap Perbanyakan Tunas Pisang Raja Bulu (Musa Paradisiaca L.) dari

Cacahan Bonggol” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Pertanian di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Istitut

Pertanian Bogor.

Penulis bermaksud menyampaikan terima kasih kepada:

1. Mama, Almarhum Ayah, Sita, Hera, dan seluruh keluarga yang telah memberi

semangat dan doa yang tiada henti-hentinya kepada penulis.

2. Dr. Ir. Sobir, MSi dan Endang Gunawan, SP, MSi. Selaku dosen pembimbing

skripsi yang telah memberikan saran, bimbingan, dan arahan selama proses

pembuatan skripsi.

3. Ir. Megayani S. Rahayu, MS selaku dosen pembimbing akademik.

4. Dr. Ni Made Armini, MS selaku dosen penguji sidang.

5. Dr Ir Dhamayanti Adidharma selaku dosen PTN yang membantu kelancaran

pembutan skripsi.

6. SEAMEO BIOTRAP dan PKHT atas izin percobaan dan bantuan fasilitas

selama penulis melakukan percobaan, tidak lupa penulis ucapkan terima kasih

terutama kepada Bapak Ibram, Mas Awang, Bu Yuyun, dan Mas Agus yang

telah banyak membantu selama pelaksanaan percobaan di lapang.

7. Keluarga besar Departemen Agronomi dan Hortikultura terutama dosen yang

telah memberikan pelajaran berharga selama penulis melaksanakan studi di

IPB.

8. Teman-teman seperjuangan di lapang: Firza dan Ana, terima kasih atas

bantuan, semangat, kebersamaan, kekompakannya, suka dan dukanya.

9. Sahabat-sahabatku: Ayu, Imanda, Agis, Fani, Rizqa, Desy, Dara, Juju, Lulu,

Sailormoon Teams (Yunita, Riany, Indra, Gita, Indah, Akfia, Indira, dan

Febry), Meyrinda, Gita, Nia, Fira, Fathin, Alma, Septy, Ray, Sule, Hilal,

Yusak, Aries, Pipit, teman-teman Indigenous 45 dan AGH seluruhnya,

v

keluarga besar UKM PANAHAN IPB, teman-teman OMDA HIMASURYA+,

teman-teman kostan sekalian (special:Mbk Alisa, Mbk Ade, Mbk Wely dan

Wulan), serta seluruh bimbingan Dr. Ir. Sobir, MSi dan Endang Gunawan, SP,

MSi.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan khususnya di bidang pertanian.

Bogor, 9 Januari 2013

Penulis

vi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR .............................................................................. viii

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... x

PENDAHULUAN .................................................................................. 1

Latar Belakang ............................................................................ 1

Tujuan Percobaan ........................................................................ 3

Hipotesis ...................................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4

Tanaman Pisang .......................................................................... 4

Pisang Rajabulu ........................................................................... 5

Syarat tumbuh ............................................................................. 5

Pembibitan ................................................................................... 5

Perbanyakan dengan Bonggol (Mini Bit) .................................... 6

Media Tanam ............................................................................... 6

Zat Pengatur Tumbuh Sitokinin .................................................. 8

BAHAN DAN METODE ....................................................................... 11

Tempat dan Waktu ...................................................................... 11

Bahan dan Alat ............................................................................ 11

Metode Percobaan ....................................................................... 11

Pelaksanaan Percobaan ............................................................... 12

Pengamatan ................................................................................. 14

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 16

Hasil ............................................................................................ 16

Pembahasan ................................................................................. 30

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 41

Kesimpulan ................................................................................. 41

Saran ........................................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 42

LAMPIRAN ............................................................................................ 48

vii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh media dan sitokinin

terhadap pertumbuhan dan perkembangan bibit pisang .............. 19

2. Pengaruh jenis media terhadap rata-rata jumlah tunas di

cacahan bonggol pisang pada 2 minggu setelah tanam............... 20

3. Pengaruh jenis media terhadap rata-rata jumlah akar

cacahan bonggol pisang pada 9 minggu setelah tanam............... 26

4. Interaksi perlakuan antara jenis media dan konsentrasi

sitokinin terhadap persentase cacahan bonggol pisang mati

pada 9 minggu setelah tanam ...................................................... 29

viii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Struktur kimia BAP ..................................................................... 10

2. Anakan dan bonggol pisang yang digunakan dalam percobaan . 13

3. Hama dan penyakit yang menyerang cacahan bonggol dan

bibit pisang selama percobaan .................................................... 18

4. Pertumbuhan rata-rata jumlah tunas di cacahan

bonggol pisang periode 1-9 MST ............................................... 21

5. Total jumlah cacahan bonggol pisang bertunas periode

1-9 MST ...................................................................................... 21

6. Rata-rata jumlah tunas dari cacahan bonggol pisang

bertunas pada periode 1-9 MST .................................................. 21

7. Rata-rata jumlah tunas panen dari cacahan bonggol pisang

periode 1-9 MST ......................................................................... 22

8. Tunas tunggal dan tunas majemuk .............................................. 23

9. Rata-rata jumlah tunas majemuk di cacahan bonggol

pisang periode 1-9 MST .............................................................. 23

10. Rata-rata tinggi bibit pisang dari cacahan bonggol pisang

periode 1-9 MST ......................................................................... 24

11. Rata-rata jumlah daun bibit pisang dari cacahan bonggol

periode 1-9 MST ......................................................................... 25

12. Rata-rata jumlah akar cacahan bonggol pisang periode

1-9 MST ...................................................................................... 26

13. Pengaruh media terhadap total jumlah cacahan bonggol

pisang berakar periode 1-9 MST ................................................. 26

14. Jumlah total cacahan bonggol pisang berakar periode 1-9 MST 27

15. Pengaruh media terhadap rata-rata jumlah akar dari cacahan

bonggol pisang berakar periode 1-9 MST .................................. 27

16. Rata-rata jumlah akar dari cacahan bonggol pisang berakar

periode 1-9 MST ........................................................................ 27

17. Rata-rata waktu muncul tunas, periode pertumbuhan tunas

hingga panen, dan waktu muncul akar pada cacahan bongggol

pisang .......................................................................................... 28

ix

18. Persentase total cacahan bonggol pisang mati periode

1-9 MST ...................................................................................... 29

19. Rayap Macrotermes sp. Family Termitidae, rayap pada

cacahan bonggol, dan Gejala bonggol berlubang dan rapuh

oleh rayap selama percobaan ...................................................... 40

x

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Layout percobaan pengaruh media tanam dan zat pengatur

tumbuh sitokinin (BA) terhadap perbanyakan tunas pisang

Raja bulu dari cacahan bonggol .................................................. 49

2. Rata-rata suhu dan kelembaban di Kota Bogor selama bulan

April – Juni 2012 ........................................................................ 50

3. Pelaksanaan percobaan pengaruh media tanam dan zat

pengatur tumbuh sitokinin (BA) terhadap perbanyakan tunas

pisang Raja bulu dari cacahan bonggol ...................................... 50

4. Pemanenan bibit pisang dari cacahan bonggol ............................ 51

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Buah-buahan adalah salah satu kelompok komoditas pertanian yang penting

di Indonesia. Buah-buahan memiliki tingkat permintaan yang tinggi. Permintaan

domestik terhadap komoditas buah-buahan cukup tinggi, ditandai dengan

banyaknya buah-buahan impor yang banyak di pasar modern maupun tradisional

Indonesia. Nilai ekspor buah-buahan pada tahun 2008 menunjukkan kenaikan

ekspor sebesar 10.81% (BPS, 2008). Perkembangan ekspor buah-buahan

Indonesia pada tahun 2011 dapat mencapai 66,777.905 ton (BPS, 2011). Pisang

merupakan salah satu komoditas tanaman buah dengan tingkat permintaan yang

tinggi karena memiliki banyak manfaat. Konsumsi buah pisang penduduk

Indonesia pada tahun 2008 baru mencapai 7,728 kg per kapita setahun (BPS, 2008)

sementara jumlah impor buah pisang ke Indonesia pada tahun 2005 rata-rata dapat

mencapai 590,364 ton (BPS, 2005).

Tingkat produksi buah pisang di Indonesia berada di atas komoditas buah-

buahan lainnya. Produksi pisang pada tahun 2010 mencapai 5,755,073 ton. Hasil

produksi ini lebih rendah daripada produksi tahun 2009 yang dapat mencapai

6,373,533 ton. Dibandingkan dengan produksi buah-buahan lain di Indonesia pada

tahun 2010, pisang menempati urutan pertama diikuti buah jeruk (2,028,904 ton),

nanas (1,406,445 ton), dan mangga (1,287,287 ton) (BPS, 2010). Tingkat

produksi yang tinggi ini terdiri dari berbagai macam jenis pisang yang ada di

Indonesia.

Produktivitas pisang yang dikembangkan di masyarakat masih rendah,

seperti produktivitas buah pisang di Lampung hanya 10-15 ton/ha sementara

potensi produktivitasnya dapat mencapai 35-40 ton/ha. Kendala produksi pisang

tersebut dapat disebabkan oleh teknik budidaya yang kurang tepat serta tingginya

gangguan hama dan penyakit. Kendala tersebut dapat diatasi dengan penerapan

teknologi teknik budidaya, penggunaan varietas unggul dan perbaikan varietas

(Mulyani et al., 2008). Produksi buah pisang akan terus ditingkatkan oleh

Departemen Pertanian dengan mengadakan kegiatan pengembangan kawasan

tanaman buah pada tahun 2012 (Deptan, 2012), sehingga perlu adanya pengadaan

2

bibit pisang bernilai ekonomi tinggi yang sehat dalam jumlah banyak, cepat,

murah, dan dapat dikembangkan oleh petani.

Salah satu teknologi teknik budidaya yang dikembangkan untuk

meningkatkan produktivitas pisang adalah penggunaan bibit unggul. Masyarakat

pada umumnya menggunakan anakan pisang untuk perbanyakan tetapi

mendapatkan bibit yang sehat tidak mudah karena ketersediaannya yang terbatas.

Kultur jaringan muncul sebagai solusi pembibitan konvensional yang dapat

menghasilkan bibit unggul bebas hama dan penyakit dengan jumlah banyak dalam

kurun waktu tertentu. Pembibitan pisang melalui kultur jaringan ternyata memiliki

kelemahan, yaitu adanya variasi somaklonal yang sering muncul, harga bibit

mahal, dan tidak banyak petani yang mampu melakukannya.

Perbanyakan pisang dengan cacahan atau pecahan bonggol merupakan salah

satu teknologi pembibitan yang mulai banyak dikembangkan. Kelebihan bonggol

pisang antara lain, dapat menghasilkan bibit pisang dengan jumlah yang lebih

banyak serta lebih sehat dibandingkan dengan anakan pisang. Bonggol pisang

juga lebih murah dan mudah diaplikasikan ke petani daripada penggunaan teknik

kultur jaringan. Pencacahan bonggol diharapkan dapat memecah dormansi mata

tunas sehingga lebih banyak tunas dapat dihasilkan dari satu bonggol. Percobaan

dalam pembibitan pisang menggunakan cacahan bonggol masih tergolong sedikit,

apalagi penggunaannya dalam kombinasi jenis media tanam dan zat pengatur

tumbuh.

Media tanam merupakan salah satu faktor penentu kualitas pertumbuhan

tanaman. Media tanam yang baik dapat memberikan cukup hara, air, udara, dan

tempat bertumpunya akar dengan baik. Tanah adalah media tanam bagi tumbuhan

darat (Hardjowigeno, 2010). Arang sekam bersifat remah dan berpori sehingga

baik untuk absorbsi air maupun sinar matahari karena berwarna hitam. Pupuk

kandang sapi merupakan bahan organik yang baik untuk menambah hara,

memperbaiki sifat fisik tanah, dan biologi tanah (Hartatik dan Widowati, 2006).

Beberapa percobaan menyebutkan bahwa pemberian berbagai zat pengatur

tumbuh (ZPT) penting dalam perbanyakan tanaman karena mampu merangsang

pembentukan akar maupun tunas (Sitawati, 1989). Pemberian ZPT ini dapat

diaplikasikan pada kondisi laboratorium maupun lapangan. ZPT yang digunakan

3

untuk menumbuhkan tunas adalah dari golongan sitokinin. Sitokinin yang paling

banyak digunakan dalam kultur jaringan, yaitu: kinetin, benziladenin (BA atau

BAP), dan zeatin (Zulkarnain, 2009).

Tujuan Percobaan

Menentukan jenis media, dosis sitokinin BA, dan interaksi antar keduanya

dalam perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan bonggol untuk menghasilkan

bibit sehat dalam jumlah banyak, cepat, murah, dan dapat diaplikasikan oleh

petani.

Hipotesis

1. Terdapat jenis media tanam terbaik untuk perbanyakan pisang Raja bulu dari

cacahan bonggol.

2. Terdapat dosis BA terbaik untuk meningkatkan jumlah dan kecepatan tumbuh

tunas pisang Raja bulu dari cacahan bonggol.

3. Terdapat satu kombinasi perlakuan terbaik antara media tanam dan dosis BA

untuk perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan bonggol.

4

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman pisang

Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia

Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika

(Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah (Menegristek, 2000). Nenek moyang

pisang adalah M. Acuminata Colla, diploid dan berbiji yang merupakan nenek

moyang dari segala jenis pisang meja yang ada sekarang. Terjadi persilangan

secara alami terus-menerus dengan jenis pisang M. Balbasiana Colla yang juga

diploid. Persilangan tersebut membentuk pisang jenis baru (tetraploid, triploid,

dan sebagainya) yang lebih tahan panas dan beberapa penyakit. Taksonomi pisang

yang dikenal sekarang masih belum jelas karena kebanyakan merupakan hasil

hibrida dari M. Acuminata Colla dengan kromosom A dan M. Balbasiana Colla

dengan kromosom B (Ashari, 2006).

Menurut Simmonds (1959) tanaman pisang diklasifikasikan sebagai berikut:

divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, keluarga

Musaceae, genus Musa, dan spesies Musa spp. Genus Musa terbagi menjadi

empat golongan berdasarkan lokasi, yaitu Australimusa, Callimusa, Eumusa, dan

Rhodochlamys. Australimusa memiliki jumlah kromosom sepuluh, tersebar di

daerah Queensland hingga Filipina, terdapat sekitar lima hingga enam spesies

yang kebanyakan dimanfaatkan untuk diambil serat dan buahnya. Callimusa

memiliki jumlah kromosom yang sama dengan Australimusa, tersebar di daerah

dataran Indochina hingga Indonesia, terdapat sekitar lima hingga enam spesies

yang kebanyakan dimanfaatkan sebagai ornamental atau pisang hias. Eumusa

memiliki jumlah kromosom sebelas, tersebar di daerah India Selatan hingga

Jepang dan Samoa, terdapat sekitar sembilan hingga sepuluh spesies yang

kebanyakan dimanfaatkan untuk disayur, diambil buah, dan seratnya.

Rhodochlamys memiliki jumlah kromosom yang sama dengan Eumusa, tersebar

di daerah india hingga Indochina, terdapat sekitar lima hingga enam spesies yang

kebanyakan pemanfaatannya sama dengan Callimusa sebagai pisang hias.

5

Pisang Raja bulu

Pisang Raja bulu merupakan jenis pisang yang bernilai ekonomi tinggi.

Menurut PKBT (2005) pisang Raja bulu merupakan jenis pisang dengan genom

AAB. Bentuk buahnya silindris melengkung dengan warna daging buah kuning

kemerahan. Umur tanam hingga panen mencapai 10-12 bulan sementara umur

berbunga hingga panennya 2.5-3 bulan. Bobot tandan berkisar 10-12.5 kg, jumlah

sisir/tandang 5-7 sisir, dan rata-rata jumlah buah/sisir 14-15 buah. Panjang buah

dapat mencapai 12-17 cm, bobot 170-180 gram/buah dengan diameter buah ± 4.40

cm. Derajad kemanisan mencapai 28-30obrix dengan pH 5.2-5.4 dan indeks

glikemiks 54%.

Syarat tumbuh

Pisang membutuhkan iklim panas terutama di daerah tropis. Tanaman

pisang membutuhkan matahari penuh dan peka terhadap angin kencang. Curah

hujan bulanan yang dibutuhkan antara 200-220 mm. Kapasitas lapang tidak boleh

di bawah 60-70% sehingga pengairan dianjurkan pada musim kemarau. Tanah

yang baik adalah tanah gembur, kaya bahan organik (3%), berdrainase baik, dan

pH antara 4.5-8.5 sedangkan pH optimumnya 6.0 (Ashari, 2006).

Pembibitan

Salah faktor yang menentukan keberhasilan usaha tani pisang adalah

tersedianya bibit yang berkualitas, yaitu bibit yang bebas hama penyakit dan

sehat. Jumlah bibit juga harus mencukupi dan jenis pisangnya sesuai dengan yang

diinginkan. Untuk menyediakan bibit pisang adalah dengan memanfaatkan

rumpun pisang sehat. Bibit bisa diperoleh dari tunas, anakan, bonggol dan bit

yang diperbanyak secara tradisional maupun kultur jaringan. Teknologi

perbanyakan dengan kultur jaringan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan besar

karena biaya investasi awal yang sangat mahal dan belum dapat memenuhi

kebutuhan varietas lokal yang beragam jumlahnya. Sehingga pembibitan secara

6

sederhana dipandang masih layak diterapkan. Ada 3 macam cara perbanyakan

bibit pisang secara sederhana dengan memanfaatkan bagian rumpun pisang, yaitu:

perbanyakan pisang dengan anakan, perbanyakan pisang dengan bit

anakan/minibit, dan bonggol dari tanaman yang telah dipanen

(Mulyani et al., 2008).

Perbanyakan dengan bonggol (mini bit)

Pada produksi buah pisang hanya boleh disisakan dua anakan dalam

budidayanya, sehingga anakan lain yang dibuang, bonggolnya dapat digunakan

untuk perbanyakan bibit. Perbanyakan dengan bonggol (mini bit) merupakan

perbanyakan pisang yang didapatkan dari anakan yang telah dipisahkan dari

rumpun kemudian diinduksi lebih dahulu untuk menghasilkan tunas aksilar (tunas

samping). Titik tumbuh anakan dipotong untuk menghilangkan dominasi apikal

sehingga merangsang pertumbuhan mata tunas samping. Anakan ini kemudian

disebut bonggol yang akan ditanam hingga tumbuh tunas di permukaannya.

Tunas-tunas baru hasil cacahan bonggol akan dipisahkan dan dipindahkan pada

polybag dengan media tanam yang kemudian diletakkan di bawah naungan hingga

siap dipasarkan (Santoso, 2008).

Media tanam

Media tanaman adalah media tumbuh bagi tanaman yang dapat memasok

sebagian unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Media tanaman (media

tumbuh) merupakan salah satu unsur penting dalam menunjang pertumbuhan

tanaman secara baik. Sebagian besar unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman

didapatkan melalui media tanaman yang selanjutnya diserap oleh perakaran dan

digunakan untuk proses fisiologis tanaman (BBPP, 2010). Media memiliki tiga

fungsi yang primer: pertama untuk menyediakan unsur hara, kedua menyimpan

air, dan ketiga sebagai tempat berpegang dan bertumpunya akar sehingga tanaman

tetap tegak. Media tanam yang baik menentukan kualitas tanaman. Dengan media

7

perakaran yang baik, dapat diwujudkan bibit tanaman yang juga baik

(Harjadi, 1996).

Syarat media tanam yang baik antara lain: (1) memiliki sifat fisik remah

untuk memudahkan akar berkembang serta untuk aerasi dan drainase yang baik;

(2) tidak mengandung bahan-bahan beracun; (3) tingkat kemasaman sesuai

dengan toleransi tanaman; (4) tidak mengandung hama dan penyakit; (5) memiliki

daya pegang air yang cukup, selain itu media tanam yang baik juga harus mudah

didapat, murah, dan tidak berdampak negatif pada tanaman (Ashari, 2006).

Tanah

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat mendukung

pertumbuhan tanaman, sehingga merupakan alat produksi pertanian. Untuk

menjamin pertumbuhan yang maksimal, diperlukan keseimbangan, faktor-faktor

pertumbuhan tanaman yang terdapat pada tanah, mineralogi tanah, mikrobiologi

tanah, kesuburan tanah, genesa klasifikasi tanah, morfologi tanah, konservasi

tanah, dll (Hidayat, 2001). Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan keras yang

melapuk atau dari bahan yang lebih lunak seperti abu vulkan atau bahan endapan

baru. Bahan-bahan tersebut bercampur dengan sisa-sisa bahan organik dan

organisme yang hidup di atas maupun di dalamnya. Selain itu di dalam tanah

terdapat pula udara dan air (Hardjowigeno, 2010). Media campuran tanah dan

pasir baik untuk pertumbuhan vegetatif dan cocok dikembangkan untuk

pembibitan pisang susu asal bonggol pada lokasi lahan kering di Sambelia,

Lombok Timur, NTB (Tri et al., 2006).

Arang sekam

Arang sekam merupakan hasil pengolahan limbah padi (sekam padi) dengan

cara diasapi hingga menjadi arang berwarna hitam. Menurut Wuryaningsih dan

Darliah (1994), karakteristik arang sekam sangat ringan, kasar, berpori, dan

efektif mengabsorbsi sinar matahari karena warnanya yang hitam. Arang sekam

sudah umum digunakan dalam komposisi media tanam. Di sisi lain penggunaan

arang sekam saja tanpa media lain tidak dianjurkan karena sifat fisik arang sekam

tidak memungkinkan tanaman dapat tegak sempurna. Media arang sekam

8

mempunyai kelebihan antara lain: harganya relatif murah, bahannya mudah

didapat, ringan, sudah steril, dan mempunyai porositas yang baik. Kekurangannya

yaitu: jarang tersedia di pasaran, yang umum tersedia hanya bahannya

(sekam/kulit gabah) saja, dan hanya dapat digunakan dua kali (BBPP, 2010).

Pupuk kandang kotoran sapi

Pupuk kandang kotoran sapi berasal dari kotoran sapi. Pupuk ini biasanya

berbentuk padat. Pupuk kandang sapi memiliki kadar serat yang tinggi seperti

selulosa, hal ini sesuai dengan parameter C/N rasio yang cukup tinggi >40.

Tingginya kadar C mengharuskan adanya pengkomposan dalam penggunaan

pupuk kandang sapi hingga rasio C/N di bawah 20. Pemanfaatan pupuk kandang

sapi secara langsung berkaitan dengan kadar air yang tinggi. Kadar air yang tinggi

akan menyebabkan kebutuhan tenaga kerja lebih banyak serta proses pelepasan

amoniak masik berlangsung (Hartatik dan Widowati, 2006). Penggunaan

campuran komposisi media tanam tanah + pasir + arang sekam memeberi hasil

yang tidak berbeda nyata dengan komposisi media tanam tanah + pasir + pupuk

kandang sapi, tetapi hasil keduanya lebih baik dibandingkan dengan media tanam

tanah saja (Asmarawati, 2011).

Zat Pengatur Tumbuh Sitokinin

Tumbuhan mengandung senyawa-senyawa yang mendorong inisiasi

proses-proses biokimia yang akhirnya mengakibatkan pembentukan organ dan

aspek-aspek tumbuh lainnya. Senyawa-senyawa ini digolongkan dalam

kelompok-kelompok auksin, giberelin, sitokinin, dan fenolik, selain itu juga ada

etilen dan asam absisik. Ada senyawa untuk mengatur pertumbuhan disebut

fitohormon yang mendorong inisiasi reaksi-reaksi biokimia dan perubahan-

perubahan komposisi kimia dalam tumbuhan (Prawiranata, 1981).

Menurut Sitawati (1989) pemberian berbagai zat pengatur tumbuh (ZPT)

penting dalam perbanyakan tanaman karena mampu merangsang pembentukan

akar maupun tunas. Prawiranata (1981) menyatakan bahwa ZPT sitokinin

memainkan peranan dalam sebagian fase dari metabolisme asam nukleik atau

9

metabolisme protein sehingga sitokinin penting dalam berbagai fase tumbuh dan

perkembangan. Beberapa senyawa dengan aktivitas sitokinin telah dapat diisolasi

dari sejumlah tumbuhan dan telah dapat dikenali, misalnya zeatin, ribosilzeatin,

dan rebosilzeatin dengan gugusan fosfat. Sitokinin berpengaruh sangat luas pada

proses-proses fisiologis dalam tumbuhan. Aktivitas utamanya adalah pendorong

pencacahan sel, penghambat sel meristem pada akar, membantu perkembangan

teratur dari embryo pada perkembangan biji, mendorong pembesaran sel dari

lempeng daun dan kotiledon, menghambat perombakan klorofil pada daun yang

dipetik dan reaksi-reaksi degradatif lainnya, serta menghambat penuaan pada

tumbuhan utuh.

Jenis sitokinin yang sering dipakai adalah BA (Benzyl Adenine) dan BAP

(Benzyl Amino Purine), dikarenakan efektifitasnya tinggi, harganya murah, dan

bisa disterilisasi (Andriana, 2005). Pada percobaan mikropropagasi Curcuma

xanthorhyz menunjukkan bahwa media kultur pada percobaan pertama yang

menggunakan 1.5 ppm BA dan 0.1 NAA memiliki jumlah tunas terbanyak tetapi

induksinya lambat. Pada percobaan kedua diketahui bahwa induksi tunas optimum

terdapat pada konsentrasi 3 ppm BA dengan menghasilkan 5 tunas dalam 2 bulan

sehingga mikropropagasi yang terbaik adalah dengan menggunakan ½ MS media

padat dengan penambahan 3 ppm BA dan 0.1 NAA (Wardiayati, 2012). Interaksi

antara BA dan kultivar krisan berpengaruh nyata terhadap waktu inisiasi tunas

secara in vitro. Konsentrasi BA juga berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah

tunas kultivar krisan yang terbentuk. Jumlah tunas terbanyak didapatkan dari

perlakuan BA 6.66 ìM dengan jumlah tunas 8.71, sedangkan jumlah tunas terkecil

didapatkan dari perlakuan tanpa BA (kontrol) (Syaifan, 2010).

Inisiasi tunas mikro pisang Raja bulu terbanyak didapatkan dari media

padat yang mengandung BAP 9 mg/l + IAA 1 mg/l sementara untuk eksplan

anakan dipadatkan dari media BAP 7 mg/l + IAA 3 mg/l (Ernawati et al., 2005).

Perlakuan terbaik untuk pertumbuhan mata tunas aksilar tanaman aglaonema

Pride of Sumatera, yaitu perlakuan 10 mg/l BAP + 2 mg/l 2,4-D karena

menghasilkan jumlah dan panjang mata tunas aksilar tertinggi (Agung, 2011). BA

memiliki susunan formula molekul C12H11N5 dengan struktur kimia sebagai

berikut:

10

Gambar 1. Struktur Kimia 6BA

11

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Tajur, Bogor.

Pembuatan larutan perlakuan BA dilakukan di Laboratorium Pusat Kajian

Hortikultura Tropika (PKHT), Bogor. Analisis organisme penyakit tanaman

dilakukan di Klinik Tanaman Depeartemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

IPB. Percobaan dilaksanakan pada bulan April 2012 – Juli 2012.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah bonggol yang berasal

dari anakan pedang pisang Raja bulu yang diambil dari Kebun Percobaan IPB

Tajur, Bogor. Media tanam yang digunakan, yaitu: tanah, arang sekam, dan pupuk

kandang sapi. Pembuatan larutan perlakuan BA menggunakan sitokinin BA,

NaOH 4%, dan aquades. Pestisida yang digunakan adalah dithane M-45 dan agrep

dengan dosis masing-masing 2 g/l. Bahan lainnya, yaitu: polybag hitam ukuran

20 cm x 20 cm, dan bahan laboratorium. Alat yang digunakan, yaitu: pisau atau

cutter, ember, sarung tangan, masker, gembor, alat pertanian, alat laboratorium,

dan alat tulis.

Metode Percobaan

Percobaan ini menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak

(RKLT) dua faktor, yaitu: pemberian BA dan jenis media tanam dengan masing-

masing empat taraf perlakuan sehingga akan didapatkan 16 kombinasi perlakuan.

Taraf media tanam terdiri dari tanah (B1), arang sekam (B2), arang sekam + tanah

(B3), dan arang sekam + pupuk kandang sapi (B4). Taraf dosis BA, yaitu: 0 ppm

(A1), 10 ppm (A2), 20 ppm (A3), dan 30 ppm (A4).

Tiap perlakuan terdiri atas tiga ulangan sehingga terdapat 48 satuan

percobaan. Masing-masing satuan percobaan terdiri atas 20 pecahan bonggol

dengan berat rata-rata 1-2 gram, sehingga populasi pisang Raja bulu seluruhnya

12

adalah 960 bonggol. Perlakuan diatur pada bedengan dengan pengambilan

contoh sebanyak 5 cacahan bonggol.

Model statistika untuk rancangan yang diajukan adalah:

Yij = µ + βi + Bj + Ak + (AB)ijk + εijk

Yijk = Pertumbuhan tanaman dari komposisi media ke-i dan dosis BA ke-j

µ = Nilai rataan umum hasil pengamatan

βi = Pengaruh aditif dari ulangan ke-i (i = 1, 2, 3,)

Bj = Pengaruh media pada faktor pertumbuhan ke-j (j = 1, 2, 3, 4, 5)

Ak = Pengaruh aditif dari dosis BA ke-k (k = 1, 2, 3, 4, 5)

(AB)ijk = Pengaruh interaksi media ke-j dan dosis BA ke-k

εijk = Pengaruh acak dari komposisi media ke-j dan dosis BA ke-k

Data analisis mengunakan analisis ragam (uji F) pada taraf 5%. Apabila

hasilnya berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut BNJ dan BNT untuk melihat

perbandingan rata-rata tiap peubah yang diamati antar lokasi

(Gomez dan Gomez, 2007).

Pelaksanaan Percobaan

Pembutan larutan perlakuan BA

Larutan NaOH 4% dibuat dengan cara melarutkan 4 gram NaOH dengan

100 ml aquades. Larutan perlakuan BA dibuat dengan melarutkan 0.6 mg BA

dengan larutan NaOH 4% dan ditambahkan aquades hingga mencapai volume 1

liter.

Persiapan media

Bedengan diolah dan disiapkan dengan perbandingan 1:1 (v/v/v) untuk

media campuran. Bedengan berukuran 1 x 50 meter dibuat sesuai layout

percobaan dengan jarak antar perlakuan 30 cm dalam tiap perlakuan (Lampiran 3).

Masing-masing perlakuan berisi bonggol dengan jarak tanam 5 cm x 5 cm tiap

cacahan bonggol.

13

Perbanyakan

Anakan yang digunakan merupakan anakan pedang dan rebung dengan

berat 1–2 kg, tinggi 40-150 cm dan berdiameter 7-12 cm, sehat, tidak terserang

hama dan penyakit, bentuk pertumbuhan normal, dan tidak cacat. Anakan diambil

dari rumpunnya menggunakan linggis dengan hati-hati agar tidak rusak. Anakan

dibersihkan dari tanah dan akar, kemudian dipotong hingga tidak ada titik

tumbuhnya sama sekali. Bonggol dicuci bersih menggunkan air, dibelah menjadi

empat hingga delapan bagian dengan berat masing-masing 1-2 gram, kemudian

cacahan bonggol dipotong bagian lancipnya agar tidak bergoyang sehingga lebih

mudah ditanam di lahan. Cacahan bonggol dicelupkan ke dalam larutan fungisida

dithane-M45 5 g/l dan bakterisida agrep 5 g/l. Setelah dikeringanginkan segera

direndam dalam larutan perlakuan BA selama 20–30 menit kemudian ditanam

pada bedengan (Lampiran 3).

Gambar 2. Anakan dan bonggol pisang yang digunakan dalam percobaan; anakan

pedang (a), anakan rebung (b) dan bonggol yang telah dipotong titik

tumbuhnya (c).

Pemeliharaan

Pemeliharaan selama percobaan yang dilakukan adalah penyiraman, penyiangan,

dan pengendalian hama penyakit yang dilakukan secara manual. Aplikasi

penyiraman dengan air dilakukan setiap dua hari sekali dengan dosis sesuai

kapasitas lapang pada masing-masing komposisi media.

c

a

b

14

Panen dan pindah tanam

Panen tunas dilakukan setelah memenuhi kriteria panen, yaitu: tunas

muncul akar dan minimal terdapat dua daun yang telah terbuka lebar. Bonggol

dibongkar secara berlahan-lahan kemudian dipotong sekecil mungkin mendekati

tunas yang akan dipanen dengan menyertakan sedikit akarnya. Potongan

membujur dari permukaan atas bonggol sampai dasar sebanyak tunas yang

tumbuh memenuhi kriteria panen. Setelah dipotong langsung pindahkan ke dalam

ember yang berisi larutan fungisida. Polybag 20 cm x 20 cm disiapkan dengan

media tanam berisi campuran tanah, sekam dan pupuk kandang sapi dengan

perbandingan 1:1:1 (v/v/v). Tunas yang telah dipanen ditanam dalam polybag

yang diberi 5 gram pupuk NPK pada 5 cm di sekitar akar kemudian siram dengan

larutan fungisida. Bibit dipindahkan ke tempat yang teduh dengan paranet

berintensitas 65% (Lampiran 4).

Pengamatan

Pengamatan dimulai 2–33 HST (Hari Setelah Tanam) atau sama dengan

1–9 MST (Minggu Setelah Tanam). Peubah yang diamati antara lain:

1. Jumlah tunas di bonggol.

Jumlah tunas yang muncul dari bonggol dihitung 2 hari sekali.

2. Jumlah Bonggol Bertunas

Jumlah bonggol yang mengeluarkan tunas dari setiap satuan percobaan

dihitung 2 hari sekali.

3. Jumlah Tunas dari Bonggol Bertunas

Rata–rata jumlah tunas dari bonggol yang mengeluarkan tunas dihitung

2 hari sekali.

4. Jumlah tunas yang dapat dipanen.

Jumlah tunas yang dapat dipanen sesuai dengan kriteria panen.

5. Jumlah tunas majemuk.

Jumlah tunas di bonggol yang berjumlah lebih dari satu dan

bergerombol dihitung 2 hari sekali.

15

6. Tinggi bibit

Pengukuran tinggi bibit diukur dari permukaan tanah hingga titik

tumbuh bibit diukur selama 1 bulan dari pindah tanam ke polybag.

7. Jumlah daun pada bibit

Jumlah daun yang dimiliki bibit pisang selama 1 bulan dari pindah

tanam ke polybag.

8. Jumlah akar.

Jumlah akar yang muncul dari bonggol dihitung 2 hari sekali.

9. Jumlah Bonggol Berakar

Jumlah bonggol yang mengeluarkan akar dari setiap satuan percobaan

dihitung 2 hari sekali.

10. Jumlah Akar dari Bonggol Berakar

Rata–rata jumlah akar dari bonggol yang mengeluarkan akar dihitung 2

hari sekali.

11. Waktu munculnya tunas ke permukaan.

Waktu munculnya tunas diukur mulai dari 2 HST satu kali untuk setiap

bonggol pada tiap perlakuan.

12. Waktu muncul tunas ke permukaan tanah hingga siap panen

Waktu muncul tunas ke permukaan tanah hingga siap panen dihitung

saat pertama kali tunas muncul hingga memenuhi kriteria panen.

13. Waktu munculnya akar.

Waktu munculnya akar diukur mulai dari pertama kali akar muncul dari

setiap bonggol pada tiap perlakuan.

14. Persentase bonggol mati.

Persentase bonggol mati pada saat percobaan dihitung 2 hari sekali.

16

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kondisi Umum

Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Tajur, Bogor. Lahan

yang digunakan untuk percobaan merupakan lahan bekas pembibitan nanas

dengan media tanam sekam dan paranet 65%. Percobaan dilakukan pada bulan

April 2012 dan berakhir pada bulan Juli 2012. Kondisi cuaca pada saat percobaan

rata-rata sebagai berikut: curah hujan berkisar 227.7 mm/bulan dengan temperatur

25.520-26.38

0C, kelembaban udara 84%, dan intensitas penyinaran matahari

sebesar 254.7 cal/cm2

(Lampiran 2). Masing-masing pH dari perlakuan media,

yaitu: media tanah sebesar 5.1, media arang sekam sebesar 4.9, media arang

sekam + tanah sebesar 4.8, dan media arang sekam + pupuk kandang sapi sebesar

4.8. Greenhouse tempat menyimpan bibit pisang yang telah dipanen ditutupi

dengan paranet 65% dan atap fiber.

Curah hujan yang cukup tinggi menyebabkan masa persiapan percobaan

membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal ini menimbulkan beberapa kesulitan

seperti adanya bonggol anakan yang membusuk dan beberapa prosedur persiapan

percobaan yang menjadi terganggu. Pada saat pengamatan ditemukan beberapa

bonggol membusuk di lapangan kemudian mati pada pengamatan ke-17 (34 HST)

(Gambar 3). Pada pengamatan di Greenhouse beberapa bibit mengalami nekrosis

di bagian ujung, sisi pinggir dan tengah daunnya. Nekrosis terjadi dengan gejala

awal daun menguning hingga coklat dan mengering (Gambar 3). Terdapat bibit

yang mengalami nekrosis dengan gejala serangan yang tinggi pada seluruh daun

yang dimiliki hingga mengakibatkan kematian (Gambar 3). Menurut hasil

identifikasi diakhir pengamatan, gejala ini disebabkan oleh nematoda Radopholus

similis (Gambar 3). Nematoda tersebut hidup di dalam tanah yang lembab dan

merusak jaringan akar sehingga mengakibatkan gejala defisiensi hara pada

daunnya (Mustika, 2003). Nematoda ini biasanya berinteraksi sinergis dengan

cendawan Fusarium oxysporum dan Rhizoctonia solani yang kemungkinan besar

17

cendawan-cendawan ini yang lebih banyak menimbulkan kerusakan pada tanaman

(Feakin, 1971).

Terdapat serangan hama dengan gejala bonggol berlubang (Gambar 3).

Hama penyebab berlubangnya bonggol tersebut tidak dapat ditemukan, namun

serangan dengan gejala tersebut diduga disebabkan oleh kumbang penggerek

pisang (Cosmopolites sordidus) (Gambar 3). Hama ini berasal dari Asia Tenggara,

tetapi telah tersebar ke semua areal penanaman pisang. Larvanya dari hama ini

menggerek bonggol dan menjadi pupa di lorong-lorong yang dibuatnya. Sebagian

besar jaringan bonggol akan rusak, akibatnya akan menurunkan kemampuan

pengambilan air dan hara, juga kemampuan tertancapnya tanaman. Serangga

dewasanya meletakkan telur pada jaringan-jaringan bonggol atau di sekitarnya

(Hanum, 2008). Pengendalian khusus terhadap hama kumbang penggerek pisang

tidak dilakkan.

Gulma yang tumbuh pada lahan percobaan tidak mengganggu pertumbuhan

tanaman. Pengendalian tetap dilakukan dengan cara manual, yaitu mencabut dan

membuang dari lingkungan tumbuh bibit agar tidak terjadi persaingan yang dapat

merugikan atau menghambat pertumbuhan bibit dalam hal persaingan unsur hara,

cahaya dan air.

18

Gambar 3. Hama dan penyakit yang menyerang cacahan bonggol dan bibit pisang

selama percobaan; bonggol yang membusuk (a), gejala nekrosis pada

daun pisang (b), bibit pisang yang mati (c), bonggol yang terserang

kumbang penggerek pisang (d), hama penggerek pisang

(Cosmopolites sorsidus), dan nematoda Radopholus similis (f).

Rekapitulasi Sidik Ragam

Rekapitulasi hasil sidik ragam dari data yang diperoleh disajikan pada

Tabel 1. Interaksi antara perlakuan media tanam dengan konsentrasi BA hanya

terdapat pada persentase bonggol mati 9 MST. Perlakuan media tanam

berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas di bonggol pada 2 MST, peubah

jumlah akar pada 5–6 MST dan 8–9 MST, jumlah akar dari bonggol berakar

5 MST dan 9 MST, serta persentase bonggol mati pada 6–9 MST. Selain itu,

perlakuan media berpengaruh nyata pada peubah jumlah akar 3–4 MST, jumlah

bonggol berakar 7 MST, serta jumlah akar dari bonggol berakar 3 MST dan

6 MST. Perlakuan sitokinin tidak memberikan pengaruh yang nyata pada setiap

peubah.

a b c

d e f

19

Tabel 1. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh media dan sitokinin terhadap

pertumbuhan dan perkembangan bibit pisang.

No. Peubah Pengamatan

Interaksi

Sitokinin

dan

Media

Media Sitokinin

1 Jumlah Tunas di Bonggol 1 MST

dan 3 - 9 MST tn tn tn

Jumlah Tunas di Bonggol 2 MST tn ** tn

2 Jumlah Bonggol Bertunas 1 - 9 MST tn tn tn

3 Jumlah Tunas dari Bonggol Bertunas

1 - 9 MST tn tn tn

4 Jumlah Tunas Panen tn tn tn

5 Jumlah Tunas Majemuk tn tn tn

6 Tinggi Bibit tn tn tn

7 Jumlah Daun Bibit tn tn tn

8 Jumlah Akar 1 - 2 MST dan 7 MST tn tn tn

Jumlah Akar 3 - 4 MST tn * tn

Jumlah Akar 5 - 6 MST

dan 8 - 9 MST tn ** tn

9 Jumlah Bonggol Berakar 1-6 MST

dan 8 - 9 MST tn tn tn

Jumlah Bonggol Berakar 7 MST tn * tn

10 Jumlah Akar dari Bonggol Berakar

1 - 2 MST, 4 MST, dan 7 - 8 MST tn tn tn

Jumlah Akar dari Bonggol Berakar

3 MST dan 6 MST tn * tn

Jumlah Akar dari Bonggol Berakar

5 MST dan 9 MST tn ** tn

11 Waktu Tunas Muncul tn tn tn

12 Waktu Tunas Muncul Hingga Panen tn tn tn

13 Waktu Akar Muncul tn tn tn

14 Persentase Bonggol Mati 1 - 5 MST tn tn tn

Persentase Bonggol Mati 6 - 8 MST tn ** tn

Persentase Bonggol Mati 9 MST ** ** tn

Keterangan: seluruh data merupakan hasil transformasi ; (tn) tidak

berpengaruh signifikan; (*) berpengaruh nyata pada taraf 5%; (**)

berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%.

20

Tunas

Terdapat tiga peubah tunas yang diamati, yaitu: jumlah tunas di bonggol,

jumlah bonggol bertunas, dan jumlah tunas dari bonggol bertunas. Interaksi

perlakuan terhadap peubah tunas tidak ada. Hasil uji lanjut BNJ untuk perlakuan

media terhadap jumlah tunas di bonggol (Tabel 2) yang menunjukkan bahwa

perlakuan media arang sekam + pupuk kandang sapi memberikan hasil rata-rata

yang tertinggi, sementara media arang sekam dan arang sekam + tanah

memberikan hasil rata-rata yang terendah terhadap jumlah tunas di bonggol pada

2 MST. Perlakuan sitokinin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap

jumlah tunas di bonggol. Pertumbuhan rata-rata jumlah tunas disajikan pada

Gambar 4. Pengaruh media dan sitokinin terhadap jumlah bonggol yang bertunas

tidak berpengaruh nyata, begitu pula dengan pengaruh media dan sitokinin

terhadap rata–rata jumlah tunas dari bonggol yang bertunas. Total jumlah cacahan

bonggol pisang bertunas disajikan pada Gambar 5 dan rata-rata jumlah tunas dari

cacahan bonggol pisang bertunas disajikan pada Gambar 6.

Tabel 2. Pengaruh jenis media terhadap rata-rata jumlah tunas di cacahan

bonggol pisang pada 2 minggu setelah tanam.

Media 2 MST

Tanah 0.133 ab

Arang sekam 0.050 b

Arang sekam + Tanah 0.050 b

Arang sekam + Pupuk Kandang Sapi 0.300 a

Hasil Uji F **

(kk transformasi: 13.041%)

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan

memberikan hasil yang berbeda nyata menurut uji BNJ taraf 5%.

21

Gambar 4. Pertumbuhan rata-rata jumlah tunas di cacahan bonggol pisang periode

1-9 MST.

Gambar 5. Total jumlah cacahan bonggol pisang bertunas periode 1-9 MST.

Gambar 6. Rata-rata jumlah tunas dari cacahan bonggol pisang bertunas pada

periode 1-9 MST.

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ju

mla

h T

un

as

di

Bo

ng

go

l

MST

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ju

mla

h B

on

gg

ol

Ber

tun

as

MST

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

1.8

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ju

mla

h T

un

as

da

ri B

on

gg

ol

Ber

tun

as

MST

22

Jumlah Tunas Panen

Tunas yang dipanen merupakan tunas yang telah memenuhi kriteria panen,

yaitu: memiliki akar dan terdapat minimal dua daun yang telah terbuka lebar

sehingga dapat dijadikan bibit. Interaksi perlakuan terhadap jumlah tunas panen

tidak ada. Perlakuan jenis media dan sitokinin tidak memberikan pengaruh yang

nyata terhadap jumlah tunas panen pada setiap minggunya. Panen dilakukan lima

kali selama masa penelitan. Panen pertama dilakukan pada 4 MST dengan jumlah

perlakuan terpanen sebanyak dua, panen kedua dan ketiga dilakukan pada 6 MST

dengan jumlah perlakuan terpanen sebanyak tiga belas. Panen keempat dilakukan

pada 7 MST dengan jumlah perlakuan terpanen sebanyak sepuluh. Panen kelima

dilakukan pada 8 MST dengan jumlah perlakuan terpanen sebanyak tiga belas.

Secara umum tunas dapat dipanen setelah berumur satu bulan setelah tanam. Rata-

rata jumlah tunas panen dari cacahan bonggol pisang disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Rata-rata jumlah tunas panen dari cacahan bonggol pisang periode

1-9 MST.

Jumlah Tunas Majemuk

Terdapat tunas majemuk sebanyak 3.958% dari total bonggol yang

ditanam selama masa percobaan. Sebanyak 10 tunas majemuk didapatkan dari

perlakuan sitokinin 0 ppm pada 9 MST. Masing-masing dua dari perlakuan media

tanah serta media arang sekam. Sisanya, masing-masing tiga dari perlakuan media

0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0.12

0.14

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ju

mla

h T

un

as

Pa

nen

MST

23

arang sekam + tanah serta media arang sekam + pupuk kandang sapi. Tunas

majemuk merupakan tunas di bonggol yang berjumlah lebih dari satu dan tumbuh

bergerombol (Gambar 8). Interaksi perlakuan terhadap jumlah tunas majemuk

tidak ada. Perlakuan media dan sitokinin tidak memberikan pengaruh yang nyata

terhadap jumlah tunas majemuk pada setiap minggunya. Menurut uji statistik

perlakuan media dan sitokinin tidak menyebabkan munculnya tunas majemuk.

Rata-rata jumlah tunas majemuk di cacahan bonggol pisang disajikan pada

Gambar 9.

Gambar 8. Tunas tunggal (atas) dan tunas majemuk (bawah)

Gambar 9. Rata-rata jumlah tunas majemuk di cacahan bonggol pisang periode

1-9 MST.

0

0.05

0.1

0.15

0.2

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ju

mla

h T

un

as

Ma

jem

uk

MST

24

Tinggi Bibit

Tinggi bibit didapatkan dari rata–rata tinggi tunas yang memenuhi kriteria

panen dan telah dipindahtanamkan ke greenhouse. Interaksi perlakuan terhadap

rata-rata tinggi bibit pisang tidak ada. Perlakuan media dan sitokinin tidak

memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi bibit pada setiap minggunya.

Secara umum perlakuan media dan sitokinin tidak menaikkan tinggi bibit. Rata-

rata tinggi bibit pisang dari cacahan bonggol pisang disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Rata-rata tinggi bibit pisang dari cacahan bonggol pisang periode

1-9 MST.

Jumlah Daun Bibit

Sama halnya dengan tinggi bibit, jumlah daun pada bibit didapatkan dari

rata–rata jumlah daun tunas yang memenuhi kriteria panen dan telah

dipindahtanamkan ke greenhouse. Interaksi perlakuan terhadap rata-rata jumlah

daun bibit pisang tidak ada. Perlakuan media dan sitokinin tidak memberikan

pengaruh yang nyata terhadap rata-rata jumlah daun bibit pisang pada setiap

minggunya. Secara umum perlakuan media dan sitokinin tidak meningkatkan

jumlah daun pada bibit. Rata-rata jumlah daun bibit pisang dari cacahan bonggol

disajikan pada Gambar 11.

0

1

2

3

4

5

6

1 2 3 4

Tin

gg

i B

ibit

(cm

)

MST

25

Gambar 11. Rata-rata jumlah daun bibit pisang dari cacahan bonggol periode

1-9 MST.

Akar

Terdapat tiga peubah akar yang diamati, yaitu: jumlah akar, jumlah

bonggol berakar, dan jumlah akar dari bonggol berakar. Interaksi perlakuan

terhadap ketiga peubah akar tidak ada. Hasil uji lanjut BNJ untuk perlakuan media

terhadap jumlah akar pada 9 MST dapat dilihat pada Tabel 3. Perlakuan media

arang sekam memberikan hasil rata-rata yang tertinggi, sementara media tanah

memberikan hasil rata-rata yang terendah terhadap jumlah akar pada akhir

percobaan. Pada Gambar 13 disajikan bahwa jumlah bonggol berakar paling

tinggi berasal dari media arang sekam, begitu pula dengan rata–rata jumlah akar

dari bonggol yang berakar (Gambar 15). Sitokinin tidak berpengaruh nyata

terhadap jumlah akar, jumlah bonggol berakar, dan jumlah akar dari bonggol

berakar pada setiap minggunya. Rata-rata jumlah akar cacahan bonggol pisang

disajikan pada Gambar 12, jumlah total cacahan bonggol pisang berakar disajikan

pada Gambar 14, dan rata-rata jumlah akar dari cacahan bonggol pisang berakar

disajikan pada Gambar 16.

1.35

1.4

1.45

1.5

1.55

1.6

1.65

1 2 3 4

Ju

mla

h D

au

n B

ibit

MST

26

Tabel 3. Pengaruh jenis media terhadap rata-rata jumlah akar cacahan

bonggol pisang pada 9 minggu setelah tanam.

Media 9 MST

Tanah 1.833 b

Arang sekam 3.117 a

Arang sekam + Tanah 2.750 ab

Arang sekam + Pupuk Kandang Sapi 1.867 b

Hasil Uji F **

(kk transformasi: 15.925%)

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan

memberikan hasil yang berbeda nyata menurut uji BNJ taraf 5%.

Gambar 12. Rata-rata jumlah akar cacahan bonggol pisang periode 1-9 MST.

Gambar 13. Pengaruh media terhadap total jumlah cacahan bonggol pisang

berakar periode 1-9 MST.

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ju

mla

h A

ka

r

MST

0

2

4

6

8

10

12

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ju

mla

h B

on

gg

ol

Ber

ak

ar

MST

Tanah Arang sekam

Arang sekam + Tanah Arang sekam + Pupuk kandang sapi

27

Gambar 14. Jumlah total cacahan bonggol pisang berakar periode 1-9 MST.

Gambar 15. Pengaruh media terhadap rata-rata jumlah akar dari cacahan bonggol

pisang berakar periode 1-9 MST.

Gambar 16. Rata-rata jumlah akar dari cacahan bonggol pisang berakar periode

1-9 MST.

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ju

mla

h B

on

gg

ol

Ber

ak

ar

MST

0

1

2

3

4

5

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ju

mla

h

Ak

ar

da

ri B

on

gg

ol

Ber

ak

ar

MST

Tanah Arang sekam

Arang sekam + Tanah Arang sekam + Pupuk kandang sapi

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ju

mla

h A

ka

r d

ari

Bo

ng

go

l

Ber

ak

ar

MST

28

Waktu Muncul Tunas, Periode Petumbuhan Tunas hingga Panen, dan

Waktu Muncul Akar

Waktu yang diamati pada percobaan ini, yaitu: waktu muncul tunas,

periode pertumbuhan tunas hingga dipanen, dan waktu muncul akar. Interaksi

perlakuan terhadap ketiga peubah waktu tidak ada. Perlakuan media dan sitokinin

tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap ketiga peubah waktu terhadap

waktu muncul tunas, periode pertumbuhan tunas hingga dipanen, dan waktu

muncul akar. Perlakuan media dan sitokinin tidak mempengaruhi cepat atau

lambatnya tunas dan akar muncul dari bonggol, serta tidak mempengaruhi periode

pertumbuhan tunas hingga dipanen. Rata-rata waktu muncul tunas, periode

pertumbuhan tunas hingga panen, dan waktu muncul akar disajikan pada

Gambar 17.

Gambar 17. Rata-rata waktu muncul tunas, periode pertumbuhan tunas hingga

panen, dan waktu muncul akar pada cacahan bongggol pisang.

Persentase Bonggol Mati

Interaksi perlakuan 9 MST dapat dilihat pada Tabel 4. Pada 9 MST

kombinasi perlakuan tanah dan sitokinin BA 10 ppm menunjukkan hasil tertinggi

untuk persentase bonggol mati. Hasil uji lanjut BNJ untuk perlakuan media

terhadap persentase bonggol mati dapat dilihat pada Tabel 4. Perlakuan media

tanah memberikan hasil rata-rata yang tertinggi, sementara media arang sekam

28.7

12.58

4.44

0

5

10

15

20

25

30

35

Waktu Muncul Tunas Periode Pertumbuhan

Tunas hingga Panen

Waktu Muncul Akar

Wa

ktu

(H

ari

Set

ela

h T

an

am

)

29

dan media arang sekam + pupuk kandang sapi memberikan hasil rata-rata yang

terendah terhadap persentase bonggol mati pada 9 MST. Persentase bonggol mati

diakibatkan oleh adanya hama dan penyakit pada media tanam, yaitu: nematoda

Radopholus similis (57.69%), rayap Macrotermes sp. (26.92%), dan penggerek

bonggol (15.38%). Persentase total cacahan bonggol pisang mati disajikan pada

Gambar 18.

Tabel 4. Interaksi perlakuan antara jenis media dan konsentrasi sitokinin

terhadap persentase cacahan bonggol pisang mati pada 9 minggu

setelah tanam.

Perlakuan

Persentase bonggol mati (%)

Tanah Arang

sekam

Arang

sekam +

Tanah

Arang sekam

+ Pupuk

Kandang Sapi

BA 0 ppm 3.33 bc 0.00 c 8.33 ab 3.33 bc

BA 10 ppm 10.00 a 0.00 c 0.00 c 0.00 c

BA 20 ppm 3.33 bc 5.00 abc 0.00 c 1.67 c

BA 30 ppm 5.00 abc 0.00 c 5.00 abc 0.00 c

Rata-rata 5.42 A 1.25 B 3.33 AB 1.25 B

Keterangan : angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada baris dan kolom yang sama

pada tiap faktor tidak berbeda nyata pada uji lanjut BNT taraf 5% (kolom

jenis media dan baris konsentrasi sitokinin); angka yang diikuti huruf besar

yang sama pada baris rata-rata persentase bonggol mati (%) yang sama

pada tiap faktor tidak berbeda nyata pada uji lanjut BNJ taraf 5%.

Gambar 18. Persentase total cacahan bonggol pisang mati periode 1-9 MST.

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Per

sen

tase

Bo

ng

go

l M

ati

(%

)

MST

30

Pembahasan

Interaksi perlakuan media dan sitokinin hanya terdapat pada persentase

bonggol mati. Perlakuan media hanya memberikan berpengaruh nyata pada

jumlah akar, jumlah bonggol berakar, jumlah akar dari bonggol berakar, jumlah

tunas di bonggol, dan persentase bonggol mati. Perlakuan sitokinin tidak

berpengaruh nyata terhadap seluruh peubah, yaitu: jumlah akar, jumlah bonggol

berakar, jumlah akar dari bonggol berakar, jumlah tunas di bonggol, jumlah

bonggol bertunas, jumlah tunas dari bonggol bertunas, jumlah tunas panen,

jumlah tunas majemuk, pesrsentase bonggol mati, tinggi bibit, jumlah daun pada

bibit, waktu muncul akar, waktu muncul tunas, dan waktu muncul tunas hingga

panen. Interaksi antar perlakuan media dan sitokinin tidak ada, kecuali pada

persentase bonggol mati. Hal ini diduga disebabkan oleh perlakuan sitokinin yang

tidak berpengaruh nyata pada seluruh peubah pengamatan.

Media tanah pada percobaan ini cenderung liat. Jumlah tunas di bonggol

memberikan hasil yang cukup baik pada media tanah, hal ini dapat disebabkan

oleh hara yang terkandung dalam tanah mendukung terbentuknya tunas baru

walaupun masih belum optimum, sementara jumlah akar yang dihasilkan rendah

pada tanah dengan tekstur liat. Partikel tanah liat bermuatan negatif sehingga aktif

bermuatan listrik dan menarik ion–ion yang bermuatan positif, seperti: H+, K

+,

Ca++

, Mg++

, dll (Harjadi, 1996). Penambahan bahan organik dapat memperbaiki

struktur dan menambah hara pada media tanah sehingga dapat meningkatkan

jumlah akar dan tunas di bonggol.

Media arang sekam dapat digunakan dua kali (BBPP, 2010). Media arang

sekam yang digunakan dalam percobaan ini merupakan media bekas pembibitan

nanas, namun kualitas jumlah tunas di bonggol dan jumlah akar menunjukkan

hasil yang cukup baik. Persentase bonggol mati pada media arang sekam pun

paling rendah diantara perlakuan media lainnya. Menurut Douglas (1985)

keuntungan arang sekam sebagai media adalah tingginya hasil pertanaman dengan

kualitas baik, meminimumkan kerusakan karena penyakit, hampir 100% dalam

penggunaan, dan ekonomis dalam penggunaan air. Media ini menghasilkan

jumlah tunas yang terendah bersamaan dengan media campuran tanah + arang

sekam. Hal ini kemungkinan karena kurangnya hara tersedia untuk pembentukan

31

tunas. Valentino (2012) menyatakan bahwa kekurangan dari arang sekam adalah

cenderung miskin hara.

Media campuran tanah + arang sekam memberikan hasil terendah untuk

jumlah tunas di bonggol dan hasil yang cukup baik untuk jumlah akar. Media

tanah + arang sekam dapat digunakan untuk mengurangi penyakit tular tanah

karena menghasilkan persentase bonggol mati terbanyak kedua setelah media

tanah. Pemilihan jenis tanah sebagai campuran media harus dipertimbangkan

karena teksturnya dapat mempengaruhi kandungan hara yang tersedia dapat

mempengaruhi pertumbuhan jumlah tunas di bonggol serta pertumbuhan akar.

Menurut Harjadi (1996) bila salah dalam penggunaan tanah maka tanaman

menjadi kurang produktif.

Pengaruh media arang sekam + pupuk kandang sapi menghasilkan jumlah

tunas di bonggol yang tinggi dan jumlah akar yang cukup baik. Kemungkinan

besar disebabkan oleh kandungan hara yang cukup tersedia bagi pertumbuhan

bonggol pisang. Miller dan Donahue (1990) menyatakan bahwa rata-rata bahan

kering jenis pupuk kandang mengandung 3% N, 0.8% P (1.8% P2O5),

2% K (2.4% K2O), 25% karbon organik, dan bermacam-macam sejumlah unsur-

unsur lain yang penting untuk pertumbuhan tanaman, sedangkan Sutedjo (1994)

menyatakan bahwa pupuk kandang sapi mengandung 0.40% N, 0.20% P2O5, dan

0.10% K2O. Menurut Rismunandar (2001) pada umumnya tanaman pisang

membutuhkan zat mineral tertentu dalam jumlah yang banyak, yaitu kalium,

diikuti nitrogen dan kapur (CaO), kemudian fosfat.

Perlakuan sitokinin yang tidak memberikan pengaruh terhadap seluruh

peubah pengamatan dapat disebabkan oleh jenis sitokinin, konsentrasi, dan teknik

aplikasi yang kurang tepat. Menurut Abidin dan Lontoh (1984) pada pemakaian

praktis perlu diperhatikan sifat–sifat zat tumbuh yang digunakan, cara pemberian,

dan konsentrasinya untuk jenis–jenis tanaman yang akan dibiakkan agar

memberikan respon pada tanaman seperti yang diharapkan.

Jenis sitokinin tertentu akan memberikan pengaruh yang berbeda pada

setiap jenis tanaman. Hal ini dapat disebabkan oleh struktur molekul kimia yang

berbeda–beda pada setiap jenis sitokinin. Struktur kimia sitokinin adalah turunan

adenine (BAP/BA, kinetin, zeatin) dan turunan fenilurea (TDZ). Adenine dan

32

TDZ mempunyai respon fisiologi yang sama, yaitu: berperan dalam regulasi

pembelahan sel, diferensiasi dan pertumbuhan jaringan, organ serta biosintesis

klorofil (Gaba, 2005). Kecocokan penggunaan jenis sitokinin terhadap jenis

tanaman tertentu akan memberikan hasil yang diinginkan. Menurut Fratini dan

Ruiz (2002) efektivitas sitokinin pada tanaman lentil (Lensculinaris medik)

memberikan hasil bahwa dalam menginduksi tunas di kultur jaringan, efektivitas

TDZ > BA > kinetin > zeatin, sementara untuk pemanjangan tunas berlaku

sebaliknya TDZ < BA < kinetin < zeatin.

Kesalahan teknik aplikasi yang salah dapat memberikan pegaruh yang

buruk pada tanaman. Perendaman sitokinin dapat dilakuan lebih lama agar

meresap hingga ke jaringan atau sel bonggol pisang. Abidin dan Lontoh (1984)

menemukan bahwa lama perendaman bonggol pisang dengan IBA selama 16 jam

lebih baik daripada 24 jam terhadap waktu munculnya tunas, saat daun mulai

membuka, persentase tumbuh, tinggi tanaman, lingkar batang, dan indeks luas

daun. Cacahan bonggol yang terlalu basah saat ditanam di lahan dengan media

yang tidak disterilkan terlebih dahulu akan memudahkan tanaman terserang

penyakit lewat bekas sayatan pada bonggol. Pada daerah yang terdapat penyakit

cendawan pisang dalam tanah, penggunaan cacahan bonggol sebagai bibit

merupakan cara yang kurang baik karena potongan bonggol yang terluka mudah

menjadi sarang penyakit cendawan (IKAPI, 1985). Teknik aplikasi yang kurang

tepat dapat mempengaruhi daya serap tanaman terhadap zat pengatur tumbuh.

Hasil percobaan Rabani (2009) menunjukkan bahwa penyemprotan pada bonggol

pisang diduga menjadi salah satu penyebab kurangnya respon bonggol terhadap

BA pada teknik toping. Jika zat pengatur tumbuh tidak terserap dengan baik maka

hasil yang diinginkan tidak akan didapatkan.

Konsentrasi sitokinin dapat ditinjau kembali. Abidin dan Lontoh (1984)

menemukan bahwa semakin besar taraf IBA maka semakin lambat saat keluarnya

tunas dari bonggol pisang Hasil percobaan Rabani (2009) menunjukkan bahwa

perlakuan pemberian BA pada taraf konsentrasi 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm tidak

meningkatkan hasil perbanyakan benih pisang dengan teknik toping pada jenis

klon pisang yang berasal dari anakan maupun kultur jaringan. Bonggol pisang

diduga memproduksi sitokinin secara endogen sehingga perlakuan dengan

33

konsentrasi sitokinin yang rendah (0 ppm dan 10 ppm) masih dapat menghasilkan

sejumlah tunas yang tidak berbeda jauh dengan konsentrasi sitokinin yang tinggi

(20 ppm dan 30 ppm). Menurut Hendaryono (1994) mata tunas yang dorman

menghasilkan sitokinin dan ujung akar merupakan tempat penting biosintesis

sitokinin. Bonggol pisang pada dasarnya terdiri dari jaringan parenkim yang

mengandung zat tepung. Bagian pinggir bawah bonggol merupakan tempat

tumbuhnya akar dan bagian pinggir atas merupakan tempat tunas muda akan

muncul (Simmonds, 1959). Dalam kondisi normal tanpa perlakuan, hormon–

hormon pertumbuhan terdapat dalam jumlah yang cukup untuk memunculkan

akar dan tunas pada bonggol pisang.

Pengaruh media terhadap jumlah tunas di bonggol terlihat sangat nyata di

awal percobaan. Jumlah tunas di bonggol terbanyak terdapat pada media arang

sekam + pupuk kandang sapi. Hal ini dapat dikarenakan media arang

sekam + pupuk kandang sapi menyediakan hara dengan jumlah yang lebih dari

media lain untuk menghasilkan tunas. Pupuk kandang adalah sumber beberapa

hara seperti nitrogen, fosfor, kalium, dan lainnya. Nitrogen adalah salah satu hara

umum yang dibutuhkan tanaman yang dapat diperoleh dari pupuk kandang

(Hartatik dan Widowati, 2006). Media arang sekam + pupuk kandang sapi

menghasilkan jumlah tunas terbanyak, walaupun jumlah akar yang dihasilkan

tidak begitu tinggi. Hasil tersebut cukup baik karena menurut Simmond (1959)

bonggol yang sehat memiliki 2–300 akar serta hasil percobaan

Abidin dan Lontoh (1984) menunjukkan bahwa beberapa bibit cacahan bonggol

ada yang belum membentuk akar walaupun sudah mempunyai tunas setinggi 3 cm.

Bonggol pisang terbungkus oleh bekas lapisan daun yang saling

menumpuk dengan jarak yang pendek. Bekas ini membentuk lingkaran dan berisi

banyak mata tunas yang posisinya saling tidak beraturan. Tunas tumbuh dari

bagian tengah hingga atas dari bonggol. Tunas akan tumbuh dekat dan mendekati

permukaan tanah hingga akhirnya muncul dan tumbuh di atas permukaan tanah.

Masing–masing tunas akan kesulitan untuk tumbuh jika terdapat tunas lain di

dalam tanah dalam satu bonggol. Setiap tunas yang telah mencapai permukaan

akan mengalami perubahan pada jaringannya. Masing-masing pangkal daun

berhubungan dengan tunas, beberapa dari mereka akan tumbuh dan jarang

34

terdapat lebih dari tiga atau empat tunas terlihat muncul tanpa mikroskop dalam

satu bonggol (Simmonds, 1959).

Jumlah tunas yang muncul di bonggol mencapai setengah dari total yang

ditanam dan jumlah yang dapat dipanen hanya sedikit selama dua bulan

percobaan. Jumlah ini masih dapat bertambah karena banyak tunas dan bibit

pisang di lapangan yang belum terhitung akibat keterbatasan waktu percobaan.

Menurut Simmonds (1959) masing–masing tunas akan kesulitan untuk tumbuh

jika terdapat tunas lain di dalam tanah dalam satu bonggol. Hasil percobaan

Rabani (2009) menunjukkan bahwa tunas yang belum tumbuh menjadi bibit

diduga terjadi karena persaingan dengan tunas lain dalam pertumbuhannya.

Tunas majemuk akan tumbuh seperti tunas tunggal lainnya, namun seiring

pertumbuhannya beberapa tunas akan mati dan yang lainnya akan tumbuh dengan

baik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh persaingan cadangan makanan dalam

pertumbuhannya. Tunas yang dapat bertahan kebanyakan berkisar dua hingga tiga

tunas dengan kecepatan tumbuh yang berbeda–beda. Masing–masing tunas akan

kesulitan untuk tumbuh jika terdapat tunas lain di dalam tanah dalam satu bonggol

(Simmonds, 1959). Tunas majemuk ini jika memenuhi syarat untuk dipanen

menjadi bibit, akan sulit dalam menjalankan prosedur pemanenannya. Letak tunas

yang saling berdekatan satu dengan yang lain membuat pemisahan tunas yang

memenuhi syarat dan yang tidak menjadi sulit, jika tidak berhati–hati maka akan

menggangu dan merusak pertumbuhan tunas yang belum siap panen. Kesulitan

juga didapatkan ketika akan menyertakan sedikit akar untuk tunas yang akan

dipindahkan karena letak akar yang berjauhan dengan tunas tersebut. Terdapat

bibit yang terdiri dari dua tunas karena tidak jika dipisahkan justru akan merusak

bibit tersebut. Terbentukanya tunas majemuk ini diduga disebabkan oleh

pemecahan dormansi mata tunas yang hampir bersamaan dan berdekatan dalam

satu bonggol serta adanya proliferasi tunas, walaupun jumlahnya sangat sedikit.

Pemecahan dormansi mata tunas dapat terjadi karena pencacahan bonggol atau

dikarenakan pengaruh sitokinin. Terdapatnya tunas majemuk pada perlakuan

sitokinin 0 ppm dapat dikarenakan yang adanya sejumlah sitokinin di dalam

media tanam. Menurut Hanafiah (2007) akar tanaman akan menyerap nutrisi dari

tanah baik berupa ion-ion organik (N, P, K, dan lain-lain), senyawa organik

35

sedehana, serta zat-zat pemacu tumbuh, seperti vitamin, hormon, dan asam-asam

organik. Bahan organik tanah dan aktivitas mikroba dapat menghasilkan zat

pengatur tumbuh dalam tanah. Hal ini diduga juga berlaku dengan perlakuan

media lainnya.

Perlakuan tidak berpengaruh pada tinggi dan jumlah daun pada bibit

pisang yang telah dipindahkan ke greenhouse. Hal ini menunjukkan bahwa setiap

perlakuan media dan sitokinin dalam percobaan ini memberikan pengaruh yang

hampir sama untuk tinggi dan jumlah daun bibit pisang. Perlakuan khusus pada

bibit setelah dipindahtanamkan ke greenhouse tidak ada, sehingga diduga menjadi

salah satu peneyebab dari tidak adanya respon lanjutan dari perlakuan. Hasil

percobaan Rabani (2009) menunjukkan bahwa jenis klon berpengaruh sangat

nyata terhadap tinggi benih pisang dengan teknik toping yang dipanen 5-8 MST.

Jumlah daun dan peningkatannya pada tanaman pisang ditentukan oleh umur dan

jenis klonnya (Suhardiman, 2004). Umur bibit pisang pada percobaan ini hampir

sama dan jenis klon yang digunakan pun sama, sehingga menghasilkan tinggi dan

jumlah daun yang hampir sama untuk semua perlakuan.

Perlakuan media memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah akar,

seperti jumlah akar, jumlah bonggol berakar, dan jumlah akar dari bonggol

berakar. Perlakuan media sekam memberikan hasil terbaik. Suri (2000)

menyatakan bahwa arang sekam baik untuk dijadikan media karena teksturnya

yang remah, bahan organiknya tinggi, dan mudah didapat. Valentino (2012)

menambahkan bahwa arang sekam mudah mengikat air, mudah menggumpal dan

memadat sehingga mempermudah pertumbuhan akar tanaman. Menurut

Rismunandar (2001) akar tanaman pisang merupakan akar serabut yang keluar

dari umbi bagian samping dan tumbuh mendatar hingga 4–5 meter, sedangkan

yang dari bagian bawah akan tumbuh ke bawah dengan kedalaman 75–150 cm.

Dengan tekstur sekam yang demikian akan baik untuk perkembangan perakaran

pisang yang dangkal.

Perlakuan media tanah memberikan hasil paling rendah terhadap jumlah

akar, jumlah bonggol berakar, dan jumlah akar dari bonggol berakar. Tanaman

pisang yang membutuhkan tanah yang gembur dan kaya bahan organik untuk

tumbuh akan menghasilkan akar yang kurang baik dengan kondisi tanah di

36

lapangan dengan tekstur liat. Tanah dengan tekstur liat tinggi akan sulit ditembus

oleh akar – akar muda tanaman pisang, selain itu jika bonggol ditanam terlalu

dalam di tanah liat maka mata tunas akan sulit menembus permukaan tanah

(IKAPI, 1985). Tanah liat yang pori–porinya penuh terisi air akan kekurangan

oksigen dan dapat menghambat pertumbuhan akar (Harjadi, 1996). Penyebaran

akar tanaman pisang menjadi kurang optimal pada tanah padat, lapisan tanah

kedap air, dan tanah liat (Suhardiman, 2004).

Jumlah akar mengalami peningkatan tetapi tidak stabil. Penurunan ini

dapat diakibatkan oleh serangan nematoda Radopholus similis yang merusak akar,

jika tingkat serangan parah bonggol pisang tidak akan dapat menghasilkan akar

baru sehingga lama–kelamaan akan mati. Penyebab turunnya jumlah akar juga

dapat disebabkan oleh gangguan berupa intensitas pembongkaran bonggol yang

tinggi saat pengamatan yang dapat menghambat pertumbuhan tunas pisang.

Jumlah akar yang menurun akibat intensitas pembongkaran ini akan naik lagi

dua–tiga minggu kemudian. Akar merupakan bagian penting tumbuhan untuk

pembentukan tunas. Pada percobaan ini, struktur morfologi yang pertama kali

muncul pada mayoritas bonggol saat ditanam adalah akar. Setelah akar cukup

banyak untuk mengumpulkan kebutuhan tanaman, maka tunas akan muncul dan

dapat tumbuh dengan baik. Menurut Hartman et al. (1990) dalam perbanyakan

vegetatif melalui stek pertumbuhan akar merupakan faktor awal yang sangat

penting selama pertumbuhan tanaman. Valentino (2012) menambahkan bahwa

tumbuh kembang akar sebagai salah satu unsur vital tanaman sangat dipengaruhi

oleh media tumbuh. Semakin baik kualitas tempat tumbuh, maka semakin baik

akar yang berkembang yang kemudian mendukung pekembangan bagian lain dari

tanaman seperti batang, daun, dan sebagainya.

Waktu muncul tunas, periode pertumbuhan tunas hingga panen, dan waktu

muncul akar memberikan hasil tidak nyata pada seluruh perlakuan. Hal ini

menunjukkan bahwa setiap perlakuan media dan sitokinin dalam percobaan ini

memberikan pengaruh yang hampir sama untuk setiap peubah waktu pada

bonggol pisang. Rata–rata waktu muncul tunas cukup lama, yaitu berkisar

27–28 hari (3–4 MST). Menurut Zaedin (1985) dalam jangka waktu 1–2 MST

tunas akan mulai keluar dari bonggol dan setelah 4–6 MST dengan tinggi tunas

37

20–30 cm sudah dapat dipindahkan sebagai bibit. Hasil percobaan Rabani (2009)

menunjukkan bahwa benih pisang dengan teknik toping dapat dipanen pada

5– 6 MST. Pada percobaan ini pemanenan dilakukan rata–rata pada 6 MST. Tunas

yang belum dapat dipanen menyebabkan periode pertumbuhan tunas hingga

panen menjadi lebih lama. Simmonds (1959) dan Rabani (2009) menyatakan

bahwa tunas yang belum tumbuh menjadi bibit diduga terjadi karena persaingan

dengan tunas lain dalam pertumbuhannya. Rata–rata kemunculan akar dari

percobaan ini cukup baik, yaitu berkisar 3-4 hari. Penyebaran perakaran dimulai

15 hari setelah tanam, berjumlah 14–20 akar sepanjang 10–50 cm dan

pembentukan akar berlangsung sampai tanaman berumur 75–90 hari

(Suhardiman, 2004).

Interaksi perlakuan media dan sitokinin terhadap persentase bonggol mati

terdapat pada 9 MST. Interaksi yang baru muncul pada 9 MST diduga karena

sitokinin membutuhkan waktu untuk bereaksi. Interaksi yang menunjukkan hasil

tertinggi didapatkan dari perlakuan media tanah, hal ini diduga karena adanya

penularan penyakit black had topling disease. Perlakuan media yang tidak

terdapat tanah dalam perlakuannya, hasil interaksi cenderung rendah. Sementara

pada perlakuan sitokinin sulit untuk melihat pada konsentrasi berapa sitokinin

berperan dalam matinya bonggol karena hasil uji yang tidak nyata.

Perlakuan media juga memberikan pengaruh yang sangat nyata pada

persentase bonggol mati. Media tanah merupakan perlakuan yang memberikan

hasil persentase bonggol mati tertinggi, sementara media arang sekam serta media

arang sekam + pupuk kandang sapi menghasilkan persentase bonggol mati

terendah. Di lapangan ditemukan tiga gejala matinya bonggol, yaitu: bonggol mati

karena adanya bekas penggerek, bonggol busuk, dan karena keropos. Penyebab

kematian bonggol ini dikarenakan adanya organisme pengganggu tanaman yang

habitatnya berada dalam media tanam, sehingga pemilihan media penting untuk

menghasilkan bibit pisang yang sehat dari cacahan bonggol. Kematian bonggol ini

kemungkinan saling berkaitan satu sama lain. Terlihat gejala terserangnya

bonggol oleh penggerek Cosmopolites sordidus dan ditemukannya nematoda

Radopholus similis yang dapat menyebabkan patogen lain merusak ke bonggol

sampai mengakibatkan kematian, sehingga timbul gejala lain seperti serangan

38

rayap yang sebenarnya hanya memakan jaringan mati tanaman sehingga bonggol

keropos.

Bonggol mati karena penggerek Cosmopolites sordidus dapat disebabkan

oleh terowongan yang dibuat oleh larva dan merupakan tempat untuk masuknya

patogen lain seperti Fusarium, sehingga dapat menyebabkan kerusakan dan

busuknya jaringan bonggol pisang. Pada serangan berat, bonggol pisang dipenuhi

lubang gerekan yang kemudian menghitam dan membusuk. Kerusakan yang

diakibatkan oleh hama ini menyebabkan tanaman muda mati, lemahnya sistem

perakaran, transportasi zat makanan terhambat, daun menguning, dan ukuran

tandan berkurang sehingga produksi menurun (Direktorat Perlindungan

Hortikilturan, 2012).

Bonggol mati karena busuk diakibatkan oleh nematoda Radopholus similis

dimana penyebarannya melalui media yang tidak steril dan bibit yang sudah telah

terserang sebelumnya. Nematoda yang masuk ke bagian–bagian tanaman dapat

melukai jaringan tanaman secara luas sehingga mengakibatkan busuk pada

jaringan tersebut. Busuknya bonggol ini kemungkinan juga disebabkan oleh

organisme lain yang masuk ketika nematoda merusak (Mustika, 2003). Penyakit

yang disebabkan oleh nematoda Radopholus similis adalah black had topling

disease. Gejala penyakit ini mulai terlihat pada akar yang rusak hingga mati

sehingga tanaman tidak mampu mensuplai hara. Akar pisang yang awalnya

berwarna putih akan berubah menjadi kuning kemudian menghitam dan mati.

Pada bonggol akan ditemukan tanda–tanda kerusakan berwarna hitam diikuti

garis–garis merah. Tanaman yang terserang tidak akan merespon pemupukan,

pengairan, atau perlakuan budidaya lainya. Daun pisang akan mengalami klorosis

karena defisiensi hara yang disebabkan oleh kerusakan akar akibat nematoda

(Feakin, 1971). Nematoda Radopholus similis (Burrowing Nematoda) hidup di

dalam tanah yang menyerang epidermis akar, rambut akar, sel–sel korteks atau

sel–sel di dekat stele. Radopholus similis merupakan endoparasit migrator yang

dapat berpidah dari akar sakit ke akar yang sehat. Masuknya Radopholus similis

dapat melalui luka. Radopholus similis dapat menjadi patogen penyebab penyakit

dan sebagai organisme yang membuat tanaman menjadi lebih mudah terserang

oleh patogen lainnya (Mustika, 2003). Serangan nematoda dapat dikurangi dengan

39

merendam bahan tanam dalam air hangat selama 15-20 menit atau menggunakan

akarisida dan nematosida sesuai dosis dan aplikasi pemakaian.

Bonggol mati karena keropos kemungkinan besar disebabkan oleh

serangan nematoda Radopholus similis yang menyebabkan jaringan bonggol rusak

dan rayap memakan bagian yang rusak tersebut sehingga terlihat seakan-akan

bonggol keropos seperti terserang rayap. Rayap ini merupakan jenis

Macrotermes sp. Family Termitidae ditemukan yang pertama kali ditemukan di

bonggol pada 1 MST (Gambar 19). Rayap bukan merupakan hama penting

tanaman pisang karena biasanya rayap hanya memakan jaringan–jaringan rusak

atau mati pada tanaman. Terdapat bonggol berlubang dan rapuh yang merupakan

gejala serangan rayap ditemukan pertama kali pada 4 MST (Gambar 19).

Terdapatnya gejala serangan rayap merupakan salah satu indikasi bahwa bonggol

telah terserang oleh nematoda Radopholus similis sejak 1–4 MST yang membuat

jaringannya rusak atau mati sehingga diserang oleh rayap.

Lingkungan juga berpengaruh terhadap pembibitan pisang dari cacahan

bonggol. Pisang membutuhkan matahari penuh dengan curah hujan bulanan antara

200–220 mm dan pH antara 4.5-8.5, dengan pH optimumnya 6.0 (Ashari, 2006).

Menurut Sunarjono (2003) tanaman pisang merupakan tanaman dengan tipe iklim

basah. Suhu yang dibutukan berkisar antara 22o–35

oC dengan suhu optimal 26

o–

30oC. Mulyanti et al. (2008) menyatakan bahwa curah hujan yang baik paling

tidak 100 mm/bulan, sementara suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 27oC

dan suhu maksimumnya 38oC. Curah hujan pada saat percobaan cukup tinggi

berkisar 227.7 mm/bulan. Pada saat persiapan percobaan beberapa bonggol yang

merupakan bahan tanam banyak mengalami kebusukan. Bonggol anakan

sebaiknya ditanam satu minggu setelah diambil dari tanah dan disimpan di tempat

yang teduh dan kering sehingga akan terhindar dari kebusukan karena curah hujan

yang tinggi. Suhu rata–rata di lapangan saat percobaan adalah 26.1oC dengan

kelembaban udara 84%, intensitas penyinaran matahari sebesar 254.7 cal/cm2, dan

pH masing-masing media berkisar 4.8-5.1 memberikan lingkungan yang cukup

baik bagi pertumbuhan bibit pisang di lapangan selama percobaan.

Pada percobaan pembibitan pisang dengan cacahan bonggol ini dapat

menghasilkan rata-rata hingga tiga tunas untuk setiap bonggolnya, tergantung

40

ukuran bonggol. Dari tunas yang tumbuh dapat dipanen satu hingga dua bibit

pisang dalam kurun waktu dua bulan. Anakan pohon pisang dapat mencapai

2-4 anakan dalam waktu 6 bulan (Tri et.al, 2006). Dari jumlah tersebut, jika

dijadikan bibit hanya akan menghasilkan 2 bibit pisang dari anakan dalam waktu

6 bulan, sementara dengan menggunakan cacahan bonggol akan didapatkan

3-6 bibit siap tanam dalam waktu 6 bulan. Dibandingkan dengan kultur jaringan

metode ini tergolong murah dan mudah dilakukan oleh petani karena menurut

percobaan ini cukup membutuhkan media yang baik dalam aplikasinya, walaupun

dari segi jumlah dan kecepatan produksi kultur jaringan masih lebih unggul.

Gambar 19. Rayap Macrotermes sp. Family Termitidae (a), rayap pada cacahan

bonggol (b), dan Gejala bonggol berlubang dan rapuh oleh rayap

selama percobaan(c).

a b c

41

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Media tanam yang berbeda berpengaruh nyata pada peubah jumlah akar,

jumlah tunas di bonggol, dan jumlah bonggol mati. Jumlah tunas di bonggol

terbanyak didapatkan dari media arang sekam + pupuk kandang sapi, jumlah akar

terbanyak didapatkan dari media arang sekam, dan jumlah bonggol mati

terbanyak didapatkan dari media tanah. Jenis media tanam terbaik untuk

perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan bonggol adalah media arang sekam +

pupuk kandang sapi yang menghasilkan jumlah tunas di bonggol terbanyak.

Perbedaan konsentrasi sitokinin BA tidak berpengaruh terhadap semua

peubah pertumbuhan dan perkembangan pisang raja bulu dari cacahan bonggol.

Interkasi perlakuan media dan sitokinin berpengaruh terhadap persentase bonggol

mati pada akhir penelitian dengan perlakuan tertinggi didapatkan dari sitokinin

10 ppm dan media tanah.

Saran

Penggunaan media campuran arang sekam + pupuk kandang sapi

merupakan media terbaik untuk perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan

bonggol karena selain menghasilkan jumlah tunas dan akar yang cukup baik,

media ini juga akan membantu meminimumkan kerusakan akibat penularan

organisme pengganggu tanaman yang berhabitat di dalam tanah, sehingga

menghasilkan bibit yang sehat.

42

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A.S., dan A. P. Lontoh. 1984. Usaha Perbanyakan Tanaman Secara Cepat

dengan Teknik Pembiakan Vegetatif dan Pemakaian Zat Tumbuh. Lapaoran

Percobaan Kelompok. Proyek Peningkatan atau Pengembangan Perguruan

Tinggi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 77 hal.

Agung, L. 2011. Induksi Pertumbuhan Mata Tunas Aksilar Aglaonema Pride of

Sumatra secara In Vitro melalui Penambahan BAP dan 2,4-D. Skripsi.

Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor. Bogor. 36 hal.

Andriana, D. 2005. Pengaruh Konsentrasi BAP terhadap Multiplikasi Tunas dan

Giberelin terhadap Kualitas tunas Pisang FHIA-17 In Vitro. Skripsi.

Program Studi Hortikulturan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bogor. 35 hal.

Ashari, S. 2006. Hortikultura Aspek Budidaya Edisi Revisi. UI Press. Jakarta. 485

hal.

Asmarawati, M. 2011. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh terhadap Pertumbuhan

Bibit Pisang (Musa Paradisiaca L.) Kultivar Kepok Kuning Asal Cacahan

Bonggol (BIT) pada berbagai Media Tanam. Skripsi. Progaram Studi

Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas PGRI Yogyakarta.

Yogyakarta. 11hal.

BBPP. 2010. Media tanaman hidroponik dari arang sekam. www2.bbpp-

lembang.info. [01 Maret 2012]

BPS. 2005. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri (Import). Badan Pusat

Statistik. Jakarta. 161 hal.

____. 2008. Analisa Komoditi Ekspor 2002-2008. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

140 hal.

____. 2010. Produksi buah-buahan di Indonesia 1995-2010. http://www.bps.go.id.

[ 20 Februari 2012].

43

____. 2011. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri; Ekspor. Badan Pusat

Statistik. Jakarta. 116 hal.

Deptan. 2012. Buku pedoman peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu

produk tanaman buah berkelanjutan 2012.

http://www.hortikultura.go.id/home/?q=node/286. [ 20 Februari 2012]

Direktorat Perlindungan Hortikultura. 2012. Penggerek Bonggol.

http://ditlin.hortikultura.go.id. [18 November 2012].

Douglas, J. S. 1985. Advanced Guide to Hydroponics. Pelham Books. London. 61

– 82 p.

Ernawati, A., A. Purwito, dan J. M. Pasaribu. 2005. Perbanyakan tunas mikro

pisang rajabulu (Musa AAB Group) dengan eksplan anakan dan jantung.

Bul. Agron. (33) (2): 31-38.

Feakin, S.D. 1971. Nematodes, p. 77-84. In B.Steele, A.Ward, and S.J. Maclay

(Eds.). Pest Control in Bananas. Pans. London.

Fratini, R., Ruiz MS. 2002. Comparative study of different cytokinin in the

induction of morphogenesis in lentil (Lensculinaris medik). In Vitro Cell

Dev. Biol. Plant. 38:46-51.

Gaba VP. 2005. Plant Growth Regulators in Plant Tissue Culture and

Developmant, p. 87-99. In Trigiano RN, and Gray JD (Eds.). Plant

Development and Biotechnology. CRC Press. New York.

Gomez, K.A. dan A.A. Gomez. 2007. Prosedur Statistika untuk Percobaan

Pertanian (diterjemahkan dari : Statistical Procedures for Agricultural

Research, penerjemah : E. Sjamsudin dan J.S. Baharsjah). Penerbit

Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. 698 hal.

Hanafiah, K. A. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. PT Raja Grafindo Persada.

Jakarta. 360 hal.

44

Hanum, C. 2008. Teknik Budidaya Tanaman. Jilid 2. Direktorat Pembinaan

Sekolah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan

Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. 549 hal.

Harjadi, M.M.S.S. 1996. Pengantar Agronomi. PT Gramedia Pustaka Utama.

Jakarta. 197 hal.

Hardjowigeno, S. 2010. Ilmu Tanah. CV Akademika Pressindo. Jakarta. 288 hal.

Hartatik, W. dan L.D. Widowati. 2006. Pupuk kandang, p.59-82. Dalam R.D.M.

Simanungkalit, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W.

Hartatik (Eds). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Percobaan

dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Hartman, H.T., Davies F.T., and D. E. Kester. 1990. Plant Propagation: Principles

and Practices. 5st ed. Prentice Hall Inc. New Jersey. 759 p.

Hendaryono, Daisy dan Arie W. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Kanisius.

Yogyakarta. 144 hal.

Hidayat, A. 2001. Menyiapkan Media Tanam. Departemen Pendidikan Nasional.

Bandung. 59 hal.

IKAPI. 1985. Bertanam Pohon Buah-buahan 2. Kanisius. Yogyakarta. 79 hal.

Isnaeni, N. 2008. Pengaruh TDZ terhadap Inisiasi dan Multiplikasi Kultivar In

Vitro Pisang Raja bulu (Musa paradisiaca L. AAB Group). Skripsi.

Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor. Bogor. 47 hal.

Menegristek. 2000. Pisang. Kementrian Negara Riset dan Teknologi, Bidang

Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu dan Teknologi. Jakarta. 13 hal.

Miller, R.W. and R.L. Donahue. 1990. Soils an Introduction to Soil and Plant

Growth. Prentice Hall, Inc., Eaglewood Cliffs. New Jersey. 768 p.

45

Mulyanti, N., Suprapto, dan J. Hendra. 2008. Teknologi Budidaya Pisang. Agro

Inovasi. Bogor. 28 hal.

Mustika, I. 2003. Penyakit – penyakit Utama yang Disebabkan oleh Nematoda.

Pelatihan Identifikasi dan Pengelolaan Nematoda Parasit Utama Tanaman.

PKPHT-HPT, IPB. Bogor. 30-63 hal.

PKBT. 2005. Laporan Akhir Riset Unggulan Nasional Pengembangan Buah-

buahan Unggulan Indonesia. IPB.Bogor.

Prawiranata, W., S. Harran, dan P. Tjondronegoro. 1981. Dasar-Dasar Fisiologi

Tumbuhan. Jilid II. Departemen Botani, Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor. Bogor. 224 hal.

Rabani, B. 2009. Aplikasi Teknik Topingpada Perbanyakan Benih Pisang (Musa

paradisiaca L.) dari Benih Anakan dan Kultur Jaringan. Skripsi.

Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut

Pertaninan Bogor. Bogor. 42 hal.

Rismunandar. 2001. Bertanam Pisang. Sinar Baru Algensindo. Bandung. 91 hal.

Santoso, P. J. 2008. Produksi benih pisang dari rumpun in situ. Iptek Hortikultura

4:25-33.

Rizqi, M. 2011. Cosmopolites sordidus (Penggerek Bonggol Pisang).

www.labscorner.org [18 November 2012].

Simmonds, N. W. 1959. Bananas. Longman Ltd. London. 512p.

Sitawati dan N. Soewarno. 1989. Pengaruh panjang turus dan pemberian zat

tumbuh terhadap pertumbuhan turus apel liar (Malus sp.). Agrivita vol.12

no.1:1-3.

Suhardiman, P. 2004. Budidaya Pisang Cavendish. Kanisius. Yogyakarta. 79 hal.

Sunarjono, H. 2003. Ilmu Produksi Tanaman Buah – buahan. Sinar Baru

Algensindo. Bandung. 209 hal.

46

Supramana. 2003. Identifikasi Nematoda Parasit Utama Tumbuhan. Pelatihan

Identifikasi dan Pengelolaan Nematoda Parasit Utama Tanaman. PKPHT-

HPT, IPB. Bogor. 73-88 hal.

Suri, F. V. 2000. Pengaruh Media Tanam dan Larutan Nutrisi Tanaman terhadap

Produksi Stek Mini Kentang (Solanum tuberosum L.). Skripsi. Jurusan

Budi Daya Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

40 hal.

Suriadikarta, D.A. dan R.D.M. Simanungkalit. 2006. Pendahuluan, p.1-10.

Dalam R.D.M. Simanungkalit, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini,

dan W. Hartatik (Eds). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar

Percobaan dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Sutedjo, M. M. 1994. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Citra. IKAPI. Jakarta.

165 hal.

Syaifan, U. 2010. Pengaruh Benzyl Adenine (BA) terhadap Pertumbuhan Eksplan

Dua Kultivar Krisan (Dendranthema grandiflora Tzelev Syn.) secara In

Vitro. Skripsi. Program Studi Agronomi, fakultas Pertanian Bogor. Bogor.

51 hal.

Tri, R. E., Awaludin, A. Susanto. 2006. Pengaruh media terhadap pertumbuhan

bibit pisang susu asal bonggol di Sambelia, Lombok Timur, NTB. BPTP

NTB. Lombok Timur.

____. 2006. Pengaruh asal bibit terhadap pertumbuhan beberapa jenis pisang di

lahan kering. BPTP NTB. Lombok Timur.

Valentino, N. 2012. Pengaruh Pengaturan Kombinasi Media terhadap

Pertumbuhan Anakan Cabutan Tumih [Combretocarpus rotundatus (Miq.)

Danser]. Skripsi. Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut

Pertanian Bogor. Bogor. 47 hal.

Wardiyati, T. et al. 2012. Micropropagation of Curcuma xanthorhyza.

http://tatiekw.lecture.ub.ac.id/2012/03/micropropagation-of-curcuma-

xanthorhyza. [24September 2012]

47

Wuryaningsih, S. dan Darliah. 1994. Pengaruh media sekam padi terhadap

pertumbuhan tanaman hias pot Spathiphyllum. Buletin Percobaan Tanaman

Hias 2(2): 119-129.

Zaedin, O. 1985. Membuat dan Melipatgandakan Bibit Pohon Buah-buahan. PT

Intemasa. Jakarta. 51 hal.

Zulkarnain, H. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta. 249 hal.

48

LAMPIRAN

49

Lampiran 1. Layout percobaan pengaruh media tanam dan zat pengatur tumbuh

sitokinin (BA) terhadap perbanyakan tunas pisang Raja bulu dari

cacahan bonggol.

KELOMPOK

1

KELOMPOK

2

KELOMPOK

3

A4B1

A3B3

A1B4

A2B4

A3B1

A4B4

A2B1

A2B4

A2B3

A2B2

A4B1

A2B4

A4B4

A3B4

A1B1

A3B1

A2B1

A3B4

A1B1

A2B3

A2B2

A4B3

A4B2

A3B3

A1B4

A3B2

A4B3

A3B3

A1B2

A1B3

A1B3

A4B4

A3B1

A1B2

A1B4

A4B2

A4B2

A4B3

A2B1

A3B2

A1B1

A4B1

A2B3

A1B3

A1B2

A3B4

A2B2

A3B2

Keterangan arah mata angin

U

Keterangan:

Media:

B1 : Tanah

B2 : Arang sekam

B3 : Arang sekam + tanah

B4 : Arang sekam + pupuk

kandang sapi

Konsentrasi BA:

A1 : 0 ppm

A2 : 10 ppm

A3 :20 ppm

A4 : 30 ppm

50

Lampiran 2. Rata-rata suhu dan kelembaban di Kota Bogor selama bulan April –

Juni 2012.

Bulan Suhu (°C) RH (%)

Pagi Siang Pagi Siang

April 26.38 32.31 88.15 75.38

Mei 25.52 33.55 88.45 59.19

Juni 25.78 34.67 78.00 58.33

Lampiran 3. Pelaksanaan percobaan pengaruh media tanam dan zat pengatur

tumbuh sitokinin (BA) terhadap perbanyakan tunas pisang Raja bulu

dari cacahan bonggol.

.

Keterangan:

1. Pengolahan tanah.

2. Bonggol dipotong hingga beratnya sekitar 1-2 gram.

3. Bonggol direndam dalam larutan perlakuan, fungisida, dan bakterisida.

4. Bonggol ditanam di lahan dengan jarak tanam 5 cm x 5 cm.

5. Bonggol ditutup dengan media.

1 2 3

4 5

51

Lampiran 4. Pemanenan bibit pisang dari cacahan bonggol.

Keterangan:

1. Pilih tunas yang telah memenuhi kriteria panen.

2. Potong tunas dengan menyisakan sedikit bonggol dan akar.

3. Sisa bonggol ditanam kembali.

4. Bibit siap yang dipindahkan ke polybag.

5. Bibit dipindah ke dalam polybag dengan media tanah, sekam dan pupuk

kandang.

6. Bibit siap salur.

1 2

3 4 6 5