PENGARUH HEAT MOISTURE TREATMENT TERHADAP LAJU RETROGRADASI PADA...
Transcript of PENGARUH HEAT MOISTURE TREATMENT TERHADAP LAJU RETROGRADASI PADA...
PENGARUH HEAT MOISTURE TREATMENT
TERHADAP LAJU RETROGRADASI PADA GEL PATI SAGU
(Metroxylon sp.) DAN PATI AREN (Arenga pinnata)
SKRIPSI
FILDA NURRIA AGUSTIFA M.A.
F24080070
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ii
THE INFLUENCE OF HEAT MOISTURE TREATMENT
AGAINST THE RATE OF SAGO (Metroxylon sp.) AND SUGAR
PALM (Arenga pinnata ) STARCHES GEL RETROGRADATION
Filda Nurria Agustifa M.A., Dede R. Adawiyah
Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology and Engineering,
Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 16002, Bogor, West Java, Indonesia.
Phone: +62852 366 25150, e-mail: [email protected]
ABSTRACT
Starch is a carbohydrate reserves that are found in various plants and is the second largest
source of carbohydrates after cellulose. One starch derived from palm. As for example of the palm
starch sources is sago (Metroxylon sp) and sugar palm (Arenga pinnata). Native starch usually has a
limited functional properties for a specific process. Modification of starch is usually done to improve
the functional properties of starch for a particular purpose. Physical modification such as heat
moisture treatment (HMT) has the potential to increase the functional properties of native starch. The
purpose of this research was to study the effects of HMT on the rate of starch retrogradasi through the
rate of sineresys, the changing textural properties, water content and water activity (aw) during
storage. Modification of HMT performed with the method of autoclaving at a temperature of 60
minutes 120oC to sago starch and 90 minutes for arenga starch where previously made starch
moisture content of 20%. The rate of sineresis was measured by using centrifuge method, whereas the
characteristics of the texture was measured by using texture analyzer. Further analysis was the
measurement of water content of starch gels using the oven method and measurement of water activity
(aw) using the aw meters. Result of RVA measurement show that HMT can increase the gelatinization
temperature, lower breakdown and increasing the setback. This research proved that HMT increases
the rate of sineresis of sago and arenga starch gel and can make the texture more rigid. In addition,
modification of HMT also increases the fragility of the gels and the moisture content was decreases.
Decreasing in aw also occur due to the influence of the HMT. The value of the lowest aw occurred at
Sagu HMT starch gel although the rate of decline in the value of the highest aw occurs in the sagu
alami starch. Based on the results of the study it can be concluded that the Sagu HMT starch sensitive
to heat treatment compared to Aren HMT starch, sagu alami and arenga starch. This is apparent from
the highest of increasing a rate of syneresis, increasing in the rate of the elastic modulus, the highest
of declining the rate of the strains value, and the highest of the rate of gel moisture content
decreasing.
Keywords: syneresis, textural properties, moisture content, and water activity
iii
Filda Nurria Agustifa M.A. F24080070. Pengaruh Heat Moisture Treatment terhadap Laju
Retrogradasi pada Gel Pati Sagu (Metroxylon sp.) dan Pati Aren (Arenga pinnata). Di bawah
bimbingan Dede R. Adawiyah.2013.
RINGKASAN
Pati adalah salah satu cadangan karbohidrat yang ditemukan dalam berbagai tanaman dan
merupakan sumber karbohidrat terbesar kedua setelah selulosa. Pati salah satunya berasal dari
tumbuhan palm. Pati ini diperoleh dari bagian empulur. Adapun contoh tumbuhan palm yang
merupakan sumber pati adalah sagu (Metroxylon sp) dan aren (Arenga pinnata). Pati alami (belum
dimodifikasi) biasanya memiliki sifat fungsional yang terbatas untuk proses tertentu. Modifikasi pati
biasanya dilakukan untuk meningkatkan sifat fungsional dari pati untuk tujuan tertentu. Modifikasi
fisik seperti heat moisture treatment (HMT) berpotensi untuk meningkatkan sifat fungsional dari pati
alami. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh HMT terhadap laju retrogradasi pati
melalui tingkat sineresis, perubahan sifat tekstural, kadar air, dan aktivitas air (aw) selama
penyimpanan. Modifikasi HMT dilakukan dengan metode autoclaving pada suhu 120oC selama 60
menit untuk pati sagu dan 90 menit untuk pati aren dimana sebelumnya kadar air pati dijadikan 20%
(Adawiyah, 2012). Sebelumnya karakteristik pasta pati selama pemanasan (pasting property) perlu
diketahui terlebih dahulu dengan menggunakan rapid visco analyzer (RVA). Selanjutnya untuk
mengetahui laju sineresis digunakan metode centrifuge, sedangkan untuk mengetahui karakteristik
terkstur digunakan analisis dengan menggunakan alat texture analyzer. Analisis selanjutnya adalah
pengukuran kadar air gel pati dengan menggunakan metode oven dan pengukuran aktivitas air (aw)
dengan menggunakan aw meter.
Data pengukuran RVA menunjukkan bahwa modifikasi HMT dapat meningkatkan suhu awal
gelatinisasi, menurunkan breakdown dan meningkatkan setback. Penelitian ini membuktikan bahwa
HMT meningkatkan laju sineresis gel pati aren dan pati sagu dan juga mengakibatkan tekstur gel pati
sagu dan pati aren lebih rigid. Hal ini ditunjukkan dengan semakin tingginya laju peningkatan
modulus elastis antara pati sagu dan aren alami dengan pati sagu dan aren HMT. Selain itu modifikasi
HMT juga meningkatkan kerapuhan gel pati (menurunnya laju penurunan nilai strain gel pati sagu
dan pati aren), dan penurunan kadar air gel pati. Penurunan aw juga terjadi akibat pengaruh HMT.
Nilai aw terendah terjadi pada gel pati sagu HMT walaupun laju penurunan nilai aw tertinggi terjadi
pada pati sagu alami.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pati sagu HMT sensitif terhadap
perlakuan panas dibandingkan pati aren HMT, pati sagu alami, pati aren alami. Hal ini terlihat dari
laju peningkatan sineresis yang tinggi, laju peningkatan modulus elastis tertinggi, laju penurunan nilai
strain tertinggi, dan laju penurunan kadar air gel tertinggi.
iv
PENGARUH HEAT MOISTURE TREATMENT TERHADAP LAJU
RETROGRADASI PADA GEL PATI SAGU (Metroxylon sp.) DAN PATI AREN
(Arenga pinnata)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
FILDA NURRIA AGUSTIFA M.A.
F24080070
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
v
Judul Skripsi : Pengaruh Heat Moisture Treatment terhadap Laju Retrogradasi pada Gel Pati Sagu
(Metroxylon sp.) dan Pati Aren (Arenga pinnata)
Nama : Filda Nurria Agustifa M.A.
NIM : F24080070
Menyetujui,
Pembimbing
(Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si.)
NIP. 19680505 199203.2.002
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.)
NIP. 19680526 199303.1.004
Tanggal Ujian Sarjana: 16 Januari 2013
vi
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Heat
Moisture Treatment terhadap Laju Retrogradasi pada Gel Pati Sagu (Metroxylon sp.) dan Pati
Aren (Arenga pinnata) dan Pati Aren adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen
Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi
ini.
Bogor, Januari 2013
Yang membuat pernyataan
Filda Nurria Agustifa M.A.
F24080070
vii
©Hak cipta milik Filda Nurria Agustifa M.A., tahun 2013
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,
fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
viii
BIODATA PENULIS
Filda Nurria Agustifa M.A. Lahir di Jember, 12 Agustus 1990 dari Ayah Dedi
Mohamad Nurahmadi dan ibu Utiek Rachmatillah, sebagai putri pertama dari
dua bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2008 dari SMA Negeri
1 Jember dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi
Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi
Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai
macam kegiatan diluar perkuliahan. Selama tingkat persiapan bersama,
penulis bergabung dalam Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan
Bersama (DPM TPB) sebagai bendahara Komisi 2 (Advokasi dan
Kesejahteraan Mahasiswa). Selain itu penulis juga terdaftar sebagai pengurus Lembaga Dakwah
Kampus (LDK) Al Hurriyyah IPB, Departemen Syi’ar serta terlibat dalam kegiatan asrama TPB IPB
sebagai salah satu pengurus. Pada perkuliahan tingkat selanjutnya (semester 3 dan 4) penulis aktif
dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM Fateta) sebagai sekretaris
Departemen Sosial dan Lingkungan serta masih tergabung dalam kepengurusan LDK Al Hurriyyah
IPB. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan untuk menjadi moderator dalam Lomba Cepat
Tepat Ilmu Pangan (LCTIP) XVIII yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Dan
Teknologi Pangan (Himitepa) IPB. Pada periode 2010-2011 penulis aktif dalam Forum Bina Islami
Fakultas Teknologi Pertanian (FBI Fateta) sebagai sekretaris umum serta berkesempatan menjadi
Asisten Pendidikan Agama Islam TPB. Pada bulan Maret 2011 penulis berkesempatan untuk
mempresentasikan paper dalam ajang The 2nd
Annual Indonesian Scholars Conference in Taiwan di
Asia University, Taichung, Taiwan. Pada periode 2011-2012 penulis aktif dalam Badan Eksekutif
Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) IPB sebagai Sekretaris Kementerian Kebijakan Kampus
dan pada bulan Oktober 2012 penulis diamanahkan untuk menjadi Menteri Kebijakan Kampus BEM
KM IPB. Selain itu pada tahun 2012 penulis tergabung dalam kepengurusan Ikatan Mahasiswa
Muslim Peduli Pangan Dan Gizi (IMMPPG) Nasional sebagai Dewan Penasehat Divisi Ilmiah. Pada
tahun yang sama penulis berkesempatan untuk menjadi pembicara dalam Leadership Training 2012
Program Pembinaan Akademik dan Multi Budaya Asrama TPB IPB. Selain dalam kegiatan
organisasi, penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan diantaranya Panitia Pelaksana Pemilihan
Raya Wilayah TPB, Panitia Lokakarya Kemahasiswaan Keluarga Mahasiswa IPB, Panitia Masa
Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) angkatan 46, Koordinator divisi Acara Panitia The
Future Today, Sekretaris Divisi PJAK Techno-F 2010, serta beberapa kepanitiaan lainnya. Selain
kepanitiaan, penulis juga berkesempatan mengikuti beberapa seminar dan pelatihan diantaranya
Seminar Pangan Nasional, Seminar Nasional Festival Ilmuwan Muslim 2011, Pelatihan
Kepemimpinan Pemuda, dan beberapa seminar dan pelatihan lainnya. Selain organisasi, pelatihan, dan
seminar, penulis juga menyalurkan hobi dengan menulis artikel dengan berbagi tema di blog pribadi
dengan alamat greenlightcivilization.wordpress.com
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Alloh SWT atas karunia-Nya sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian dengan judul Pengaruh Heat Moisture Treatment terhadap
Laju Retrogradasi pada Gel Pati Sagu (Metroxylon sp.) dan Pati Aren (Arenga pinnata) dan Pati Aren
ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast sejak bulan Juni sampai
Oktober 2012.
Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini penulis ingin
menyampaikan penghargaan dan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Ayah, ibu, serta adik tersayang (Much. Haris Nurriansyah M.A.) atas doa serta dukungan
selama ini. Terima kasih atas nasehat terbaik yang telah diberikan serta dukungan moril dan
materil yang tak dapat digantikan oleh apapun.
2. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si sebagai pembimbing utama skripsi. Terima kasih atas
arahan, bimbingan, saran, serta nasehat yang telah diberikan hingga akhirnya skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik.
3. Dr. Nur Wulandari, S.TP, M.Si dan Dian Herawati, S.TP, M.Si sebagai penguji. Terima
kasih atas saran serta ilmu yang diberikan.
4. Dr. Ir. Achmad, MS sebagai pembina utama Pondok Pesantren Mahasiswi Al Iffah. Terima
kasih atas nasehat terindah serta bimbingan terbaik yang telah diberikan sehingga penulis
dapat senantiasa termotivasi untuk menjadi ilmuwan muslim yang tangguh serta berusaha
untuk seimbang dalam setiap aktivitas yang disertai niat yang lurus karena Alloh.
5. Bapak Gatot, Ibu Rubiyah, Bapak Rozak, Mb Fera, Mas Edy, Mas Yeris yang telah
membantu penulis selama pelaksanaan penelitian di Laboratorium ITP dan Seafast Center.
Terima kasih atas ilmu, saran, serta nasehat yang telah diberikan selama ini sehingga penulis
dapat senantiasa termotivasi untuk terus bermanfaat bagi orang lain.
6. Ika Resmeilana, S.Hut, M.Si atas segala ilmu dan nasehat yang diberikan selama ini.
7. Ernawati, S.Pi; Khusnul Khotimah, SP; dan Nurina Rachma A, S.TP atas segala bentuk
dukungan dan motivasi untuk terus menjadi insan yang lebih baik.
8. Imtizal Suprayitno, SP dan Warastin Puji Mardiasih, SP, M.Si atas segala dukungan dan
nasehat selama penulis menjalankan tugas akademik di IPB.
9. Rekan satu bimbingan, Nur Sofia Wadhani Yahya, yang telah bersedia menjadi teman
berbagi selama ini.
10. Rekan-rekan Dewan Metamorph DPM TPB 45, BEM Fateta Kabinet Merah Saga, Forum
Bina Islami Fateta, dan LDK Al Hurriyyah IPB yang telah mengisi hari-hari penulis selama
menuntut ilmu di IPB.
11. Rekan-rekan Kementerian Kebijakan Kampus BEM KM IPB yang selama ini telah
bekerjasama serta saling mendukung untuk menjalankan amanah dengan baik. Terima kasih
atas segalanya sehingga rasa kekeluargaan ini semakin dekat.
12. Rekan-rekan pimpinan BEM KM IPB Kabinet Berkarya yang telah saling mendukung dan
memotivasi terutama untuk penyelesaian tugas akhir.
13. Rekan-rekan Pengurus Pusat serta Dewan Penasehat IMMPPG Nasional atas segala bentuk
kerjasama serta berbagi ilmu dan pengalaman.
14. Rekan-rekan Kabinet Althoffunnisa Pondok Pesantren Mahasiswi Al Iffah atas bantuannya
untuk bekerjasama menjalankan amanah. Terima kasih atas kesediaannya untuk berbagi ilmu
dan pemikiran selama ini.
15. Rekan-rekan ITP 45 yang telah memberi banyak motivasi, dukungan, ilmu, serta kenangan
selama kuliah dan penelitian.
16. Rekan-rekan alumni SMA Negeri 1 Jember 2008, terutma kelas XII IA 2, yang telah
memberikan motivasi dan kenangan terbaik.
ii
17. Seluruh saudara yang berada di Jakarta, Bogor, Cirebon, Surabaya, Jember yang tidak dapat
disebut satu persatu yang telah memberikan doa dan dukungan pada penulis terutama
dukungan moril untuk penyelesaian tugas akhir ini.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang
nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan.
Bogor, Januari 2013
Filda Nurria Agustifa M.A.
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ......................................................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN .............................................................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG .................................................................................................................. 1
B. TUJUAN PENELITIAN ............................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................................... 3
A. SAGU ........................................................................................................................................... 3
B. AREN ............................................................................................................................................ 3
C. PATI SAGU DAN PATI AREN ................................................................................................... 4
D. GELATINISASI PATI ................................................................................................................. 6
E. RETROGRADASI PATI .............................................................................................................. 7
F. MODIFIKASI PATI DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE TREATMENT .............................. 8
III. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................................................... 9
A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ..................................................................................... 9
B. BAHAN DAN ALAT ................................................................................................................... 9
C. METODE PENELITIAN .............................................................................................................. 9
1. Heat Moisture Treatment (HMT) .............................................................................................. 9
2. Analisis profil gelatinisasi dengan metode Rapid Visco Analyzer ............................................10
3. Persiapan Sampel Gel ...............................................................................................................11
4. Gel Sineresis (Charoenrein et al.,2008) ....................................................................................14
5. Analisis Tekstur (Adawiyah, 2012) ..........................................................................................15
6. Pengukuran Aktivitas Air (aw meter) ........................................................................................15
7. Pengukuran Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995) ..............................................................15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................................................17
A. KARAKTERISTIK PATI SAGU DAN AREN HMT .................................................................17
1. Kadar Air ..................................................................................................................................17
2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties) ...................................................17
B. LAJU SINERESIS GEL ..............................................................................................................18
C. TEKSTUR ....................................................................................................................................20
1. Karakteristik Tekstur Gel Pati (Alami Dan HMT) pada Hari Ke-0 ..........................................21
2. Perubahan Tekstur Gel Pati Sagu dan Pati Aren Selama Penyimpanan ...................................22
3. Korelasi Laju Sineresis dengan Perubahan Tekstur..................................................................26
D. KADAR AIR GEL .......................................................................................................................27
E. AKTIVITAS AIR (aw) .................................................................................................................28
V. SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................................................30
A. SIMPULAN .................................................................................................................................30
B. SARAN ........................................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................................31
LAMPIRAN ..........................................................................................................................................33
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Karakteristik gelatinisasi pati sagu dan pati aren......................................................................5
Tabel 2. Profil Gelatinisasi pati sagu dan pati aren.................................................................................5
Tabel 3. Pasting properties pati sagu dan pati aren...............................................................................17
Tabel 4. Laju sineresis pati selama tujuh hari penyimpanan.................................................................19
Tabel 5. Hasil pengukuran tekstur gel pati sagu dan pati aren pada hari ke-0......................................21
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Mekanisme gelatinisasi pati..................................................................................................7
Gambar 2. Diagram alir proses modifikasi pati Heat Moisture Treatment.........................................10
Gambar 3. Hasil pengukuran pasting properties dengan menggunakan RVA.....................................11
Gambar 4. Diagram alir proses persiapan gel untuk analisis tekstur, kadar air, dan aw.......................13
Gambar 5. Diagram alir proses persiapan gel untuk analisis tingkat sineresis.....................................14
Gambar 6. Kurva Kompresi dari gel pati aren dan pati sagu modifikasi HMT....................................15
Gambar 7. Tingkat sineresis pati selama tujuh hari penyimpanan.......................................................18
Gambar 8. Kompresi uniaxial dari gel..................................................................................................20
Gambar 9. Kurva kompresi uniaxial pati sagu alami dan HMT hingga strain 90% pada hari ke-0 (a)
dan kurva kompresi pati aren alami dan HMT hingga strain 90% pada hari ke-0
(b).....................................................................................................................................21
Gambar 10. Kurva Kompresi pati sagu alami dan HMT hingga strain 90% pada hari ke-7 (a) dan
kurva kompresi pati aren alami dan HMT hingga strain 90% pada hari ke-7
(b).....................................................................................................................................22
Gambar 11. Perubahan breaking stress selama tujuh hari penyimpanan pada gel pati sagu dan pati
aren (alami-HMT)............................................................................................................23
Gambar 12. Perubahan breaking strain selama tujuh hari penyimpanan pada gel pati sagu dan pati
aren (alami-HMT)............................................................................................................23
Gambar 13. Perubahan modulus elastisitas selama tujuh hari penyimpanan pada breaking
point.................................................................................................................................23
Gambar 14. Perubahan maximum force selama tujuh hari penyimpanan
pada strain 90%................................................................................................................24
Gambar 15. Perubahan adhesive force selama tujuh hari penyimpanan
pada strain 90%................................................................................................................25
Gambar 16. Hubungan antara laju sineresis dan modulus elastis gel pati sagu dan pati aren (alami-
HMT)...............................................................................................................................36
Gambar 17. Hubungan antara laju sineresis dan nilai strain gel pati sagu dan pati aren (alami-
HMT)............................................................................... ................................................27
Gambar 18. Perubahan nilai kadar air selama masa penyimpanan.......................................................28
Gambar 19. Perubahan nilai aktivitas air (aw) selama penyimpanan....................................................29
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Syarat mutu pati sagu SNI 3729-2008...............................................................................34
Lampiran 2. Hasil Pengukuran RVA Pati Aren Alami Ulangan 1.........................................................34
Lampiran 3. Hasil Pengukuran RVA Pati Aren Alami Ulangan 2.........................................................36
Lampiran 4. Hasil Pengukuran RVA Pati Sagu Alami Ulangan 1.........................................................37
Lampiran 5. Hasil Pengukuran RVA Pati Sagu Alami Ulangan 2.........................................................38
Lampiran 6. Hasil Pengukuran RVA Pati Aren HMT Ulangan 1..........................................................39
Lampiran 7. Hasil Pengukuran RVA Pati Aren HMT Ulangan 2..........................................................40
Lampiran 8. Hasil Pengukuran RVA Pati Sagu HMT Ulangan 1..........................................................41
Lampiran 9. Hasil Pengukuran RVA Pati Sagu HMT Ulangan 2..........................................................42
Lampiran 10. Rata-Rata Hasil Pengukuran Tingkat Sineresis...............................................................43
Lampiran 11. Rata-Rata Hasil Analisis Tekstur dengan Menggunakan Texture Analyzer....................44
Lampiran 12. Rata –rata penghitungan modulus elastis.........................................................................45
Lampiran 13. Rata-Rata Hasil Pengukuran Kadar Air...........................................................................46
Lampiran 14. Rata-Rata Hasil Pengukuran Aktivitas Air (aw)...............................................................47
Lampiran 15. Input Pati Yang Digunakan Untuk Mengetahui Pasting Property Pati Sagu Dan Pati
Aren dengan Menggunakan RVA dan Hasil Pengukuran Pasting Property Pati Aren dan
Pati Sagu dengan menggunakan RVA...............................................................................48
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pati adalah salah satu cadangan karbohidrat yang ditemukan dalam berbagai tanaman dan
merupakan sumber karbohidrat terbesar kedua setelah selulosa. Pati yang disimpan dalam organ
tanaman sebagai butiran merupakan sumber energi penting untuk nutrisi manusia. Ditinjau dari
aspek fungsional, pati juga digunakan sebagai ingredient dalam pengolahan pangan untuk
membangun karakter khusus seperti thickening, penstabil dispersi, dan pembentuk gel dan films.
Pati salah satunya berasal dari tumbuhan palm. Pati ini diperoleh dari bagian empulur. Adapun
contoh tumbuhan palm yang merupakan sumber pati adalah sagu (Metroxylon sp) dan aren
(Arenga pinnata).
Pati alami (belum dimodifikasi) biasanya memiliki sifat fungsional yang terbatas untuk
proses tertentu seperti sebagai pengembang adonan dan memperbaiki kualitas tekstur. Modifikasi
pati biasanya dilakukan untuk meningkatkan sifat fungsional dari pati untuk tujuan tertentu.
Modifikasi fisik seperti heat moisture treatment (HMT) berpotensi untuk meningkatkan sifat
fungsional dari pati alami. Perlakuan ini biasanya aman, lebih murah dan cara yang lebih
ekologis daripada modifikasi kimia. HMT akan mengubah sifat fisikokimia dari pati seperti
peningkatan suhu gelatinisasi, pelebaran kisaran suhu gelatinisasi, mengurangi swelling power
dari granula dan amylose leaching, dan peningkatan stabilitas termal (Zavareze dan Dias, 2011).
Penurunan swelling power dari granula pati dan amylose leaching serta peningkatan dalam
stabilitas panas dan shear dari pati HMT dapat mendukung sifat-sifat yang diinginkan dalam
pembuatan mi (Homdok dan Noomhorm, 2007). Pukkahuta dan Varavinit (2007) melaporkan
bahwa sampel pati sagu HMT dengan kadar air 20% dan diautoclave pada suhu 110oC dan 120
oC selama satu jam dapat mentransformasikan kristal tipe C menjadi tipe A. Selain menggunakan
metode autoclaving, proses HMT juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode oven
sebagaimana yang dilakukan oleh France et al. (1995). HMT dengan menggunakan metode oven
ini dilakukan pada suhu 100oC selama 16 jam.
Studi yang dilakukan oleh Adawiyah (2012) menunjukkan bahwa periode pemanasan
HMT yang optimal pada pati sagu adalah selama 60 menit dan 90 menit pada pati aren dengan
menggunakan autoclave pada suhu 120oC yang diputuskan berdasarkan karakteristik reologi
terutama nilai dari storage modulus (G’). Pada pengukuran storage modulus dengan
menggunakan rheometer diketahui bahwa nilai storage modulus tertinggi pati aren terjadi pada
waktu pemanasan 90 menit dan pati sagu 60 menit. Nilai storage modulus menggambarkan
elastisitas suatu bahan serta kemampuan bahan dalam menyimpan energi. Semakin tinggi nilai
storage modulus maka elastisitas bahan tersebut semakin tinggi. Selain itu perlakuan HMT pada
pati sagu dan pati aren dapat mengubah profil gelatinisasi, sifat reologi, dan swelling power.
Karakteristik lain yang perlu dikonfirmasi adalah sifat retrogradasi. Cooking atau
contohnya irreversibel swelling atau bahkan gangguan granula pati, tergantung pada perlakuan
yang diterapkan. Perilaku gelatinisasi pati saat pendinginan dan penyimpanan, umumnya disebut
sebagai retrogradasi, sangat menarik bagi para ilmuan dan ahli teknologi pangan karena sangat
mempengaruhi kualitas, penerimaan dan umur simpan dari makanan yang mengandung pati
(Biliaderis,1990; Karim et al.,2000). Retrogradasi pati adalah istilah untuk perubahan yang
terjadi saat gelatinisasi pati dari yang awalnya berwujud amorpous menjadi berwujud kristal
(Gudmundsson,1994). Perubahan selama retrogradasi ditampakkan oleh sifat reologinya
(meningkatnya firmness atau rigidity), kristalinitas dan water holding capacity (syneresis) atau
2
penuaan (aging) (Biliaderis, 1990; Gudmundsson, 1994). Dampak retrogradasi terhadap produk
berbasis pati bisa diinginkan atau, lebih sering, tidak diinginkan. Retrogradasi kadang-kadang
dimanfaatkan untuk memodifikasi struktur, sifat mekanik atau organoleptik dari produk tertentu
berbasis pati (Karim et al.,2000).
Studi yang dilakukan oleh Adebowale et al. (2005) menunjukkan bahwa modifikasi
dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dapat meningkatkan kecenderungan pati untuk
mengalami retrogradasi (meningkatkan setback). Pada penelitian ini, laju retrogradasi pati dilihat
dari perubahan sifat tekstural, aktivitas air (aw), kadar air, dan tingkat sineresis.
B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh modifikasi pati fisik Heat Moisture
Treatment (HMT) terhadap laju retrogradasi pati melalui tingkat sineresis, perubahan sifat
tekstural, kadar air, dan aktivitas air selama penyimpanan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SAGU
Sagu (Metroxylon sp.) diduga berasal dari Maluku dan Papua. Hingga saat ini belum ada
data yang mengungkapkan sejak kapan awal mula sagu ini dikenal. Di wilayah Indonesia bagian
Timur, sagu sejak lama dipergunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya
terutama di Maluku dan Papua. Jumlah curah hujan yang optimal bagi pertumbuhan sagu antara
2.000 – 4.000 mm/tahun, yang tersebar merata sepanjang tahun. Sagu dapat tumbuh sampai pada
ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl), namun produksi sagu terbaik ditemukan sampai
ketinggian 400 m dpl. Suhu optimal untuk pertumbuhan sagu berkisar antara 24,50 – 29oC dan
suhu minimal 15oC, dengan kelembaban nisbi 90% (Haryanto dan Pangloli, 1992). Sagu dapat
tumbuh baik di daerah 100 LS - 150 LU dan 90 – 180 darajat BT, yang menerima energi cahaya
matahari sepanjang tahun. Sagu dapat ditanam di daerah dengan kelembaban nisbi udara 40%.
Kelembaban yang optimal untuk pertumbuhannya adalah 60% (Sangihe, 2010).
Batang sagu merupakan komponen hasil utama pada tanaman sagu. Tepung sagu
diperoleh dari empulur sehingga pengolahan hasilnya cukup berat dan memerlukan alat yang
khusus pula. Sagu mempunyai banyak kegunaan dimana hampir semua bagian tanaman
mempunyai manfaat tersendiri. Batangnya dapat dimanfaatkan sebagai tiang atau balok jembatan,
daunnya sebagai atap rumah, pelepahnya untuk dinding rumah, dan acinya sebagai sumber
karbohidrat (bahan pangan) dan untuk industri (Haryanto dan Pangloli, 1992).
B. AREN
Pohon Aren atau enau (Arenga pinnata) merupakan pohon yang menghasilkan bahan-
bahan industri. Hampir semua dari bagian fisik pohon ini dapat dimanfaatkan, misalnya: akar
(untuk obat tradisional dan peralatan), batang (untuk berbagai macam peralatan dan bangunan),
daun muda atau janur (untuk pembungkus atau pengganti kertas rokok yang disebut dengan
kawung) (Iswanto, 2009). Aren (Arenga pinnata) termasuk suku Arecaceae (pinang-pinangan),
merupakan tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae) yaitu biji buahnya terbungkus daging buah.
Batang aren tidak berduri, tidak bercabang, tinggi mencapai 25 m, diameter 65 cm (mirip pohon
kelapa). Pohon ini dalam pertumbuhannya berguna sebagai perlindungan erosi terutama tebing-
tebing sungai dari bahaya tanah longsor maupun unsur pereduksi (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan, 1998).
Di Indonesia tanaman aren dapat tumbuh baik dan mampu berproduksi pada daerah-
daerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500-800 m diatas permukaan laut. Tanaman aren
banyak terdapat mulai dari pantai timur India sampai ke Asia Tenggara. Di Indonesia tanaman ini
banyak hampir terdapat hampir di seluruh wilayah Nusantara (Iswanto, 2009).
Pemanfaatan tanaman aren diantaranya sebagai penghasil nira. Nira aren dihasilkan dari
penyadapan tongkol (tandan) bunga, baik bunga jantan maupun bunga betina. Akan tetapi
biasanya, tandan bunga jantan yang dapat menghasilkan nira dengan kualitas baik dan jumlah yang
banyak. Hasil dari air aren dapat diolah menjadi gula aren, tuak, cuka. minuman segar dan
bietanol. Selain itu tanaman aren juga dapat menghasilkan tepung aren yang dapat diperoleh dari
batang pohon aren. Batang aren yang tidak ekonomis untuk diambil niranya inilah yang biasanya
ditebang oleh petani untuk diambil patinya. Kolang-kaling juga salah satu hasil dari pemanfaatan
pohon aren. Kolang kaling dapat diperoleh dari inti biji buah aren yang setengah masak. Tiap buah
4
aren mengandung tiga biji buah. Buah aren yang setengah masak, kulit biji buahnya tipis, lembek
dan berwarna kuning inti biji (endosperm) berwarna putih agak bening dan lembek, endosperm
inilah yang diolah menjadi kolang-kaling.
C. PATI SAGU DAN PATI AREN
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua
fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak
larut disebut amilopektin. Amilosa memiliki struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa,
sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari
berat total (Winarno, 2008). Pati salah satunya berasal dari tumbuhan palm. Pati ini diperoleh
dari bagian empulur. Adapun contoh tumbuhan palm yang merupakan sumber pati adalah sagu
(Metroxylon sp) dan aren (Arenga pinnata).
Pati sagu merupakan hasil ekstraksi empulur pohon sagu (Metroxylon sp) yang sudah tua
(berumur 8-16) tahun. Komponen terbesar yang terkandung dalam sagu adalah pati. Pati sagu
tersusun atas dua fraksi penting yaitu amilosa yang merupakan fraksi linier dan amilopektin yang
merupakan fraksi cabang (Ahmad and Williams, 1999). Menurut Flach (1983) seperti yang
dikutip oleh Saripudin (2006), empulur batang sagu mengandung 20.2-29 persen pati, 50-66
persen air, dan 13.8-21.3 persen bahan lain atau ampas. Dihitung dari berat kering, empulur
batang sagu mengandung 54-60 persen pati dan 40-46 persen ampas. Sedangkan Adawiyah
(2012) melaporkan bahwa jumlah pati yang terkandung dalam sagu sebanyak 93.76% (berat
kering).
Pati sagu biasa digunakan untuk memproduksi kerupuk, tepung hunk kwee, bubuk
puding, pembuatan dextrin, biskuit, dan makanan tradisional lain di Asia Tenggara (Flach,
1983). Sebagaimana pati yang lain, pati sagu dapat dikatakan tasteless. Adapun data proksimat
pati sagu menurut Ahmad et al. (1999) diantaranya kadar air 10.6-20.0%, kadar abu 0.06-0.43%,
kadar amilosa 24-31%, kadar lemak (kasar) 0.10-0.13%, kadar protein (kasar) 0.13-0.25%, dan
kadar serat 0.26-0.32%. Syarat mutu pati sagu berdasarkan SNI 3729-2008 disajikan dalam
Lampiran 1. Flach (1983) mengemukakan bahwa pati sagu mengandung amilosa 27% dan
amilopektin 73%. Sedangkan menurut Adawiyah (2012) pati sagu memiliki kadar amilosa
sebesar 36.55%. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan
derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah,
lengket, dan cenderung sedikit menyerap air. Sedangkan semakin besar kandungan amilosa maka
pati akan bersifat lebih kering, kurang lekat, dan cenderung menyerap air lebih banyak. Adapun
karakteristik gelatinisasi pati sagu hasil pengukuran dengan menggunakan DSC menurut
Adawiyah (2012) disajikan dalam Tabel 1 dan pasting properties hasil pengukuran dengan
menggunakan RVA disajikan dalam Tabel 2. Tabel 1 memperlihatkan suhu onset (To), suhu
puncak (Tp), suhu conclusion (Tc), range (Tc-To) yang menunjukkan kestabilan kristalin, dan
entalpi transisi (∆H) yang merupakan parameter mengenai jumlah rantai glukan dengan DP
tinggi (DP>12).
5
Tabel 1. Karakteristik gelatinisasi pati sagu dan pati aren
Parameter gelatinisasi Rata-rata ± sd
Pati Sagu Pati Aren
To (oC) 58.10 ± 0.28 62.99 ± 0.12
Tp (oC) 67.33 ± 0.21 67.69 ± 0.07
Tc (oC) 79.36 ± 0.88 74.60 ± 0.42
Range (Tc-To) (oC) 21.26 ± 0.79 11.61 ± 0.49
∆H (J/g) 16.35 ± 0.24 15.40 ± 0.25
Rata-rata dan standard deviasi dari lima replikasi
Sumber: Adawiyah (2012)
Tabel 2. Profil Gelatinisasi pati sagu dan pati aren
Parameter pasting property Rata-rata
Pati Sagu Pati aren
Suhu gelatinisasi (oC) 67.30 67.70
Viskositas puncak (Pa.s) 2.225 2.469
Suhu viskositas puncak (oC) 75.45 74.75
Viskositas minimum (Pa.s) 1.077 0.996
Viskositas akhir (Pa.s) 3.272 3.370
Range gelatinisasi (oC) 8.150 7.050
Breakdown (Pa.s) 1.148 1.472
Setback total (Pa.s) 2.195 2.374
Nilai rata-rata dari dua replikasi
Sumber: Adawiyah (2012)
Sumber pati dari tumbuhan palm lainnya adalah aren (Arenga pinnata). Menurut
Kementerian Negara Riset dan Teknologi Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, pati aren dapat diperoleh dengan melakukan ekstraksi pada batang
aren. Produk ini digunakan untuk pengolahan makanan, pakan, kosmetika, bahan baku industri
kimia dan pengolahan kayu. Pendayagunaan pati aren untuk pangan manusia merupakan usaha
diversifikasi pangan. Kelebihan pati aren adalah ketersediannya kontinyu dan mudah diperoleh
dengan harga yang relatif murah.
Secara keseluruhan batang tanaman aren mengandung pati 2,83-11,51 g pati kering/100 g
empulur (Nur Alam dan Saleh, 2006). Adawiyah (2012) menyebutkan bahwa kandungan pati
dalam aren sebesar 92.67%. Untuk memperoleh pati pada batang aren, maka dilakukan
penebangan terhadap tanaman aren itu sendiri. Penebangan bisa jadi dilakukan terhadap pohon
aren dengan beragam umur (fase pertumbuhan). Pati dari batang aren dengan umur yang berbeda
akan memiliki sifat-sifat yang berbeda, sehingga berbeda pula kecocokannya untuk membuat mi
pati (starch noodle). Perbedaan tersebut terletak pada kandungan amilosanya (Alam dan Saleh,
2009). Kandungan amilosa pati aren sebesar 37.01% (Adawiyah, 2012). Kandungan amilosa dan
amilopektin berpengaruh terhadap sifat gel yang dihasilkan. Sifat ini akan berpengaruh terhadap
tekstur produk yang menggunakan pati tersebut (Sukatiningsih, 2012). Penelitian yang dilakukan
oleh Adawiyah (2012) menunjukkan bahwa pati aren memiliki karakteristik gelatinisasi yang
berbeda dibandingkan pati sagu walaupun suhu puncak gelatinisasinya tidak jauh berbeda
(67,33oC untuk pati sagu dan 67,69
oC untuk pati aren) seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1.
Sedangkan profil gelatinisasi pati aren dapat dilihat pada Tabel 2. Pada tabel tersebut terlihat
6
bahwa suhu gelatinisasi pati aren dan pati sagu tidak jauh berbeda (67,30oC untuk pati sagu dan
67,70oC untuk pati aren) akan tetapi nilai breakdown dan setback antara pati aren dan pati sagu
memiliki nilai yang berbeda, dalam hal ini pati aren memiliki nilai breakdown dan setback lebih
tinggi dibandingkan pati sagu.
D. GELATINISASI PATI
Pati dalam jaringan tanaman memiliki bentuk granula yang berbeda-beda. Dengan
mikroskop, jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran, letak helium yang
unik, dan juga dengan sifat birefrigent yaitu sifat granula pati yang dapat merefleksikan cahaya
yang terpolarisasi (Winarno, 2008). Pati mentah yang dilarutkan dalam air dingin tidak mampu
menyerap air secara maksimal. Pati dapat menyerap air secara maksimal jika suspensi air
dipanaskan pada suhu antara 55oC-65
oC. Proses gelatinisasi pati adalah proses mengembangnya
pati karena penyerapan pelarut secara maksimal sehingga pati tidak mampu kembali pada
kondisi semula (Winarno, 2008).
Penyerapan air akan bertambah besar jika granula pati disuspensikan dalam air berlebih
dan dipanaskan. Air akan masuk ke dalam daerah amorphous dalam granula pati dan
menyebabkan terjadinya pembengkakan granula. Pembengkakan ini menimbulkan tekanan pada
daerah kristalin yang terdiri dari molekul amilopektin dan merusak susunan double helix yang
ada. Kerusakan double helix amilopektin dapat mengganggu susunan kristalin bahkan dapat
menghilangkan kristalinitasnya. Selama pemanasan granula pati akan terus menyerap air sampai
granula pecah dan molekul amilosa akan keluar sehingga mengakibatkan ketidakteraturan
struktur granula, peningkatan viskositas suspensi pati, dan hilangnya sifat birefringent pati.
Perubahan ini dikenal dengan sebutan gelatinisasi pati dan sifatnya tidak dapat balik (Roder et
al., 2005).
Menurut Fennema (1996), suhu gelatinisasi pati adalah titik suhu saat sifat
birefringent pati mulai menghilang dan menurut Roder et al. (2005), suhu gelatinisasi pati adalah
suhu saat mulai terjadi perubahan tidak dapat balik. Suhu gelatinisasi tidak selalu tepat pada satu
titik tetapi berupa kisaran suhu karena populasi granula pati memiliki ukuran yang bervariasi.
Gelatinisasi pati terjadi pada kisaran suhu pemanasan tertentu yang sesuai dengan karakteristik
masing-masing pati.
Harper (1981) menjelaskan mekanisme gelatinisasi sebagaimana digambarkan dalam
Gambar 1.
7
Gambar 1. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981)
E. RETROGRADASI PATI
Retrogradasi adalah suatu proses penggabungan kembali komponen pati membentuk
suatu kristal atau biasa dikenal dengan proses rekristalisasi. Beberapa perubahan sifat reologi
yang terjadi karena proses retrogradasi antara lain adalah meningkatnya kekerasan atau
kerapuhan. Selama penyimpanan, retrogradasi dapat terlihat dari hilangnya sifat pengikatan air
dan terbentuk kembali fraksi kristalin. Ada dua proses yang terjadi, pertama adalah rigidity dan
crystallinity gel yang berkembang secara cepat untuk membentuk kristal kembali, hal ini terjadi
pada amilosa. Kedua, gel yang berkembang secara perlahan terjadi pada amilopektin (Billiaderis,
1990). Tingkat gelatinisasi pati dan laju retrogradasi secara signifikan berpengaruh pada tekstur
dan umur simpan tepung (Feam dan Russel, 1982). Retrogradasi pati secara alami terbentuk
tergantung asal pati, jumlah amilosa, suhu penyimpanan dan bahan additif (Chang dan Liu,
1991; Ward et al., 1994).
Adapun beberapa fenomena yang terjadi akibat retrogradasi menurut Swinkle (1995)
antara lain: meningkatnya viskositas, terbentuknya lapisan tak larut pada pasta panas,
terbentuknya endapan partikel pati yang tidak larut, terbentuknya gel, dan keluarnya air dari
pasta (sineresis). Lebih lanjut Swinkle (1995) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi
peristiwa retrogradasi adalah tipe pati, konsentrasi pati, prosedur pemasakan, suhu, waktu
penyimpanan, pH, prosedur pendinginan, dan keberadaan komponen lain. Peristiwa retrogradasi
lebih mudah terjadi pada suhu rendah dengan konsentrasi pati tinggi. Kecepatan retrogradasi
optimum pada pH 5-7 dan menurun pada pH dibawah atau diatas rentang pH tersebut.
Retrogradasi tidak terjadi pada pH diatas 10 dan saling lambat pada pH dibawah 2.
Granula pati tersusun dari amilosa
(berpilin) dan amilopektin (bercabang)
Masuknya air merusak kristalinitas
amilosa dan merusak helix. Granula
membengkak/mengembang.
Adanya panas dan air menyebabkan
pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi
keluar dari granula
Granula hanya mengandung amilopektin,
rusak dan terperangkap dalam matriks
amilosa membentuk gel
8
Fraksi pati yang berperan pada peristiwa retrogradasi adalah fraksi amilosa. Fraksi
amilosa yang terlarut dapat berikatan satu sama lain membentuk agregat yang tidak larut air.
Dalam larutan (konsentrasi pati rendah), agregat amilosa akan membentuk endapan. Tetapi pada
dispersi yang lebih terkonsentrasi (konsentrasi pati lebih tinggi), agregat amilosa akan
memerangkap air dan membentuk gel. Jenis pati juga berpengaruh terhadap laju retrogradasi.
Pati serealia lebih cepat mengalami retrogradasi dibandingkan pati kentang atau tapioka. Swinkle
(1995) menjelaskan bahwa hal ini desebabkan tingginya kadar amilosa pati serealia, ukuran
molekul amilosa kecil (DP 200-1200), dan tingginya kandungan lemak. Tingginya kandungan
lemak dapat mendorong terjadinya retrogradasi.
F. MODIFIKASI PATI DENGAN TEKNIK HEAT MOISTURE
TREATMENT
Menurut Collado dan Corke (1999) dan Collado et al. (2001) Heat Moisture Treatment
(HMT) didefinisikan sebagai modifikasi fisik yang melibatkan perlakuan pemanasan pati pada
kadar air terbatas (< 35% b/b) pada suhu 80-120°C, selama beberapa waktu yang berkisar antara
15 menit sampai 16 jam. Modifikasi HMT dapat mengubah karakteristik pati karena selama
proses modifikasi terbentuk kristal baru atau proses rekristalisasi dan penyempurnaan struktur
kristalin pada granula pati (Kulp dan Lorenz 1981). Perlakuan ini menyebabkan perubahan fisik,
berupa perubahan profil gelatinisasi (Collado dan Corke 1999; Collado et al. 2001; Adebowale
2005; Purwani et al. 2006), perubahan karakteristik termal melalui pengujuan dengan DSC
(Differential Scanning Calorymetry) (Collado dan Corke 1999), perubahan swelling power
(Collado dan Corke 1999; Collado et al. 2001), dan perubahan kelarutan (Collado dan Corke
1999).
Energi yang diterima oleh pati selama pemanasan berlangsung kemungkinan dapat
melemahkan ikatan hidrogen inter dan intra molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula
pati. Kondisi ini memberikan peluang kepada air untuk mengimbibisi granula pati. Jumlah air
yang terbatas menyebabkan pergerakan maupun pembentukan interaksi antara air dan molekul
amilosa atau amilopektin juga terbatas sehingga tidak menyebabkan adanya peningkatan
kelarutan pati di dalam air selama pemanasan berlangsung. Dengan kata lain, keberadaan air
yang terbatas selama pemanasan yang dilakukan pada modifikasi HMT belum mampu membuat
pati mengalami gelatinisasi yang ditunjukkan dengan masih terjaganya integritas granula pati
termodifikasi HMT yang dilihat melalui studi difraksi sinar X (Lawal dan Adebowale 2005;
Vermeylen et al. 2006).
Studi yang dilakukan oleh Adebowale et al. (2005) menunjukkan bahwa modifikasi
dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dapat mengubah profil gelatinisasi pati sorgum
merah, yaitu dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati,
menurunkan viskositas panas pasta, meningkatkan breakdown, meningkatkan viskositas akhir,
dan meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi (meningkatkan setback).
Selain itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Adawiyah (2012), modifikasi dengan
teknik heat moisture treatment (HMT) dapat menggeser puncak gelatinisasi ke suhu yang lebih
tinggi dan mengurangi enthalpy gelatinisasi dari pati sagu dan pati aren.
Modifikasi HMT dapat dilakukan dengan metode oven ataupun metode autoclaving.
Perbedaan dari kedua metode ini adalah terletak pada pemberian tekanan dan tingginya suhu
pemanasan. Pada metode oven pemanasan dapat dilakukan hingga suhu 100oC sedangkan pada
metode autoclaving pemanasan dapat dilakukan hingga mencapai 120oC karena dipengaruhi oleh
pemberian tekanan tinggi dimana tekanan berbanding lurus dengan suhu.
9
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2012 sampai dengan Oktober 2012. Adapun
laboratorium yang digunakan selama penelitian antara lain Pilot Plant South East Asia Food
Agricultural Science and Technology (Seafast) Center IPB, L1 Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fateta-IPB, Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, Laboratorium Biokimia Pangan
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta-IPB, serta Laboratorium Mikrobiologi South East
Asia Food Agricultural Science and Technology (Seafast) Center IPB.
B. BAHAN DAN ALAT
Bahan utama yang digunakan, yaitu pati sagu yang diperoleh dari industri kecil
pengolahan pati, Bogor, Jawa Barat dan pati aren yang diperoleh dari Sukabumi, Jawa Barat.
Selain itu bahan lain yang digunakan adalah akuades.
Alat-alat yang digunakan untuk modifikasi pati dengan HMT adalah loyang, botol
semprot, gelas ukur, neraca analitik, plastik HDPE ukuran 35x20, retort, oven pengering,
blender kering, ayakan 60 mesh. Alat yang digunakan untuk persiapan gel antara lain neraca
analitik, sudip, gelas piala ukuran 250 ml, gelas pengaduk, botol semprot, gelas ukur ukuran 100
ml dan 10 ml, waterbath, karet gelang, plastik PP, aluminium voil, silinder plastik dengan
diameter dalam 2,8 cm dan tinggi 2 cm, dan refrigerator. Alat yang digunakan untuk keperluan
analisis pati alami dan pati modifikasi HMT adalah texture analyzer (TA-XT, Stable Mycro
System, UK), Rapid Visco Analyzer (RVA) (RVA Tecmaster 2061904 TMA), aw meter, kertas
tissue, kertas saring, neraca analitik, oven pengering, cawan petri, sudip, desikator, tabung
centrifuge, centrifuge (low speed centrifuge TDZ5-WS), cawan, dan pipet tetes.
C. METODE PENELITIAN
1. Heat Moisture Treatment (HMT)
Heat Moisture Treatment dilakukan berdasarkan parameter optimum yang diperoleh
Adawiyah (2012) yaitu menggunakan metode autoclaving yang dimodifikasi. Kadar air awal pati
sagu dan pati aren diukur terlebih dahulu. Kemudian untuk menjadikan kadar air pati menjadi
20% dilakukan penghitungan dengan menggunakan neraca massa sehingga diperoleh banyaknya
pati yang ditimbang dan banyaknya air yang harus ditambahkan. Kadar air pati dijadikan 20% (b/v
berat basah) dengan mencampurkan sejumlah air terukur ke dalam 500 gram pati, baik pati sagu
atau pati aren, selama 15 menit. Setelah itu pati lembab ditempatkan ke dalam plastik HDPE
ukuran 35x20 dan dibiarkan selama 1 jam sebelum autoclaving pada suhu 120oC selama 60 menit
untuk pati sagu dan 90 menit untuk pati aren. Setelah itu plastik HDPE yang berisi pati
didinginkan di suhu ruang. Pati dikeluarkan dari dalam plastik HDPE dan ditempatkan di atas
loyang untuk dikeringkan pada suhu 45oC selama satu malam (17 jam) di oven pengering. Setelah
dilakukan pengeringan, pati kering didinginkan di suhu ruang selama 15 menit kemudian diblender
untuk menghaluskan gumpalan pati kering. Pati yang telah diblender kemudian disaring dengan
menggunakan ayakan 60 mesh dan kemudian dimasukkan ke dalam plastik PP untuk disimpan.
Adapun diagram alir proses modifikasi heat moisture treatment (HMT) dapat dilihat pada Gambar
2.
10
Gambar 2. Diagram alir proses modifikasi pati Heat Moisture Treatment
2. Analisis profil gelatinisasi dengan metode Rapid Visco Analyzer
Metode yang dilakukan untuk mengetahui pasting properties dari pati sagu dan pati aren
adalah dengan menggunakan alat Rapid Visco Analyzer (RVA) (RVA Tecmaster 2061904 TMA).
Sampel ditimbang sebanyak ±3 g kemudian dilarutkan dalam ±25 g akuades (tergantung dari kadar
air bahan). Selanjutnya dilakukan siklus pemanasan dan pendinginan dengan pengadukan konstan.
Sampel dipanaskan hingga suhu 50 o
C dan dipertahankan selama 1 menit. Sampel dipanaskan
kadar air awal pati aren dan pati
sagu diukur, metode oven
Sejumlah air + pati (baik pati aren maupun pati sagu)
hingga kadar air pati 20%, diaduk 15 menit
Pati lembab ditempatkan dalam plastik HDPE,
didiamkan selama 1 jam
Autoclaving, 120oC, 60 menit untuk pati sagu dan 90
menit untuk pati aren
Pendinginan, suhu ruang, 30 menit
Pengeringan, 45oC, satu malam (17 jam)
Pendinginan, suhu ruang, 15 menit
Penghalusan gumpalan pati, blender
Pengayakan, 60 mesh
Pati modifikasi HMT
11
hingga suhu 50 o
C hingga 95 o
C, lalu suhu 95 o
C dipertahankan selama 5 menit. Sampel
didinginkan hingga suhu 50 o
C dengan kecepatan 6 o
C/menit, lalu suhu 50oC dipertahankan selama
3 menit. Hasil pengukuran dengan alat ini diantaranya adalah suhu awal gelatinisasi, viskositas
maksimum (peak viscosity), viskositas pada suhu 95 o
C, viskositas setelah 95 o
C dipertahankan,
viskositas pada suhu 50 o
C, dan viskositas setelah suhu 50 o
C dipertahankan. Data yang diperoleh
dari analisis ini adalah suhu gelatinisasi, peak viscosity (PV) atau viskositas maksimum,
breakdown viscosity (BDV), setback viscosity (SV), dan final viscosity (FV) atau viskositas akhir
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Hasil pengukuran pasting properties dengan menggunakan RVA
3. Persiapan Sampel Gel
Sebelum proses persiapan sampel gel dilakukan, kadar air awal pati sagu dan pati aren (baik
pati alami maupun pati modifikasi) diukur terlebih dahulu. Kemudian untuk membuat gel pati 10%
(berat kering) dilakukan penghitungan dengan menggunakan neraca massa sehingga diperoleh
banyaknya pati yang ditimbang dan banyaknya air yang harus ditambahkan. Adapun contoh
penghitungan dengan menggunakan neraca massa adalah sebagai berikut:
Kesetimbangan komponen padatan (solid): Banyaknya air dalam suspensi:
(100%-7,67%)A = 10%C 50 gram – 5,42 gram = 44,58 gram
92,33%A = 10% x 50 = 44,58 ml
92,33A = 500
A = 5,42
Minimum
viscosity
Breakdown
viscosity
Peak
viscosity
Pasting
temperature Final
viscosity
Setback
viscosity
pencampuran
air
air air
solid solid
Pati sagu (ka 7,67%) Suspensi pati sagu (10% berat kering);
50 gram
A B C
12
Jadi, pati sagu yang harus ditambahkan adalah sebanyak 5,42 gram ke dalam 44,58 ml aquades.
Sampel pati yang tersedia ditambahkan dengan sejumlah air destilata sehingga dihasilkan
10% (berat kering) (b pati padat/v air) suspensi pati (massa suspensi 50 gram). Campuran pati dan
air tersebut diaduk pada suhu ruang selama 5 menit dilanjutkan dengan pemanasan
berkesinambungan pada suhu 80oC (pada waterbath) selama 30 menit. Proses pemanasan tersebut
didahului dengan proses pengadukan dalam waterbath selama 2 menit untuk pati alami dan 5
menit untuk pati modifikasi Heat Moisture Treatment sampai pati mencapai suhu awal gelatinisasi
kemudian didiamkan hingga total waktu 30 menit. Setelah proses pemanasan, sampel tersebut
dituangkan ke dalam silinder plastik dengan diameter dalam 2,8 cm dan tinggi 2 cm kemudian
didinginkan pada suhu ruang (±29oC) dan silinder ditutup dengan aluminium foil. Sampel gel pati
kemudian disimpan dalam refrigerator pada suhu 7oC selama 0-7 hari. Pengukuran parameter
retrogradasi (tekstur, aktivitas air, kadar air, dan tingkat sineresis) dilakukan setiap hari selama
tujuh hari penyimpanan. Diagram alir persiapan gel untuk untuk analisis tekstur, kadar air, dan aw
dapat dilihat pada Gambar 4.
Pembuatan gel yang digunakan untuk mengukur tingkat sineresis dilakukan dengan
membuat gel dalam gelas piala. Sampel pati 10% (b pati padat/v air) yang tersedia ditambahkan
dengan sejumlah air destilata dipanaskan pada suhu 80oC (pada waterbath) dan diaduk selama 2
menit untuk pati alami dan 5 menit untuk pati modifikasi Heat Moisture Treatment. Kemudian
suspensi pati dituangkan ke dalam tabung centrifuge berukuran 15 ml sebanyak 9 ml dan
dipanaskan dalam waterbath selama 30 menit. Tabung centrifuge tersebut diangkat dan
didinginkan pada suhu ruang. Sampel gel pati kemudian disimpan dalam refrigerator pada suhu
7oC selama 0-7 hari. Diagram alir proses persiapan gel untuk analisis tingkat sineresis dapat dilihat
pada Gambar 5.
13
Gambar 4. Diagram alir proses persiapan gel untuk analisis tekstur, kadar air, dan aw
Gel pati (analisis tekstur,
kadar air, dan aw)
Penyimpanan, 7oC, 0-7 hari
Pemanasan, pengadukan awal(2 menit untuk pati
alami dan 5 menit untuk pati modifikasi Heat
Moisture Treatment), 80oC, 30 menit
Pencetakan, silinder plastik (d= 2,8 cm, t= 2 cm)
Sampel pati + air destilata hingga terbentuk suspensi
pati 10%, diaduk 5 menit, suhu ruang
kadar air awal pati aren dan
pati sagu (pati alami dan
pati modifikasi HMT)
diukur, metode oven
14
Gambar 5. Diagram alir proses persiapan gel untuk analisis tingkat sineresis
4. Gel Sineresis (Charoenrein et al.,2008)
Pengukuran tingkat sineresis pati akan dilakukan menggunakan metode centrifuge
(Charoenrein et al., 2008) dengan sedikit modifikasi. Gel pati dalam tabung centrifuge 15 ml
didiamkan pada suhu ruang selama 15 menit setelah diambil dari refrigerator. Tabung berisi pati
tersebut kemudian dimasukkan ke dalam centrifuge (low speed centrifuge TDZ5-WS) dengan
kecepatan 3500 rpm selama 15 menit pada suhu 25oC. Setelah dilakukan centrifuge, liquid yang
terpisah dari gel diambil dengan menggunakan pipet tetes kemudian ditimbang. Prosentase
sineresis dapat dihitung sebagai berikut:
Bobot liquid yang terpisah dengan gel
% Sineresis = x 100
Total bobot gel sebelum disentrifus
Gel pati (analisis tingkat
sineresis)
Penyimpanan, 7oC, 0-7 hari
Pemanasan, 80oC, 30 menit
Pemanasan, pengadukan awal (2 menit untuk pati
alami dan 5 menit untuk pati modifikasi Heat
Moisture Treatment), 80oC
Penuangan ke dalam tabung centrifuge 15 ml, 9 ml
Sampel pati + air hingga diperoleh suspensi pati 10%,
diaduk 5 menit, suhu ruang
kadar air awal pati aren dan
pati sagu (pati alami dan
pati modifikasi HMT)
diukur, metode oven
15
5. Analisis Tekstur (Adawiyah, 2012)
Sebelum pengukuran, sampel gel pati disimpan pada suhu ruang selama 15-30 menit.
Analisis tekstur dilakukan dengan tes kompresi sederhana (uniaxial compression) menggunakan
texture analyzer (TA-XT, Stable Mycro System, UK) dilengkapi dengan loadsel 25 kg dan
piringan dengan diameter 75mm. Dalam tes kompresi, gel pati ditekan dengan kecepatan konstan
yaitu 1mm/s hingga 90% dari saat ketegangan itu dicapai, dimana ketegangan (strain)
didefinisikan sebagai rasio dari deformasi tinggi awal sampel (%). Kecepatan pre-test dan post-test
adalah 2 mm/s dan trigger force sebesar 0,05 N. Stress dihitung sebagai daya dibagi dengan
penampang sampel awal. Breaking point ditentukan oleh penurunan pertama beban dan local
minimum point ditetapkan sebagai peningkatan beban pertama setelah breaking point dalam kurva
load-time. Adhesive force ditentukan oleh negative force maksimum setelah piringan ditarik dari
sampel (Gambar 6).
Gambar 6. Kurva Kompresi dari gel pati aren dan pati sagu modifikasi HMT
6. Pengukuran Aktivitas Air (aw meter)
Pengukuran aktivitas air dilakukan dengan menggunakan aw meter. Sebelum dilakukan
pengukuran, permukaan gel dikeringkan dengan kertas tissue kemudian sampel dipotong-potong
diatas kertas saring dan ditempatkan ke dalam cawan petri. Sejumlah sampel dimasukkan ke dalam
wadah sampel kemudian wadah sampel ditutup dan ditunggu beberapa saat. Nilai aktivitas air akan
terbaca pada layar.
7. Pengukuran Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak ± 1-2 g ditimbang lalu dimasukkan dalam cawan yang telah diketahui
beratnya. Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 105oC selama 3 jam atau sampai diperoleh
bobot konstan, lalu dimasukkan dalam desikator selama 15 menit lalu didinginkan dan ditimbang.
Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung
dengan menggunakan rumus berikut ini:
Breaking point
Maximum force
Adhesive force
16
dimana:
a = berat cawan dan sampel awal (g)
b = berat cawan dan sampel akhir (g)
c = berat sampel awal (g)
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK PATI SAGU DAN AREN HMT
1. Kadar Air
Salah satu parameter yang dijadikan standard syarat mutu dari suatu bahan atau produk
pangan adalah kadar air. Kadar air merupakan nilai yang menunjukkan kandungan air yang
terdapat dalam suatu produk atau bahan (pangan). Analisis kadar air dilakukan dengan
menggunakan metode oven. Hasil pengukuran awal menunjukkan bahwa pati sagu memiliki kadar
air 12,96% dan pati aren memiliki kadar air 7,84%. Hal ini sesuai dengan SNI 3729-2008
(Lampiran 1) tentang syarat mutu pati sagu bahwa kadar air pati sagu maksimal 13%. Setelah
dilakukan modifikasi heat moisture treatment (HMT) ternyata kadar air pati sagu dan pati aren
mengalami perubahan yaitu kadar air pati sagu sebesar 7,67% dan pati aren sebesar 7,93%.
Pada hakikatnya proses pemanasan dapat melemahkan ikatan hidrogen yang terjadi antara
molekul amilosa dan amilopektin. Akibatnya hal ini memberikan peluang pada molekul air untuk
mengimbibisi granula. Pada kondisi ini granula pati tidak pecah karena air yang ditambahkan
untuk proses modifikasi HMT sedikit (penambahan air hingga kadar air pati 20%). Adanya
penambahan air ini menyebabkan jumlah air yang masuk ke dalam matriks bertambah. Ketika
proses pemanasan ini dilanjutkan dengan proses pengeringan, maka air terikat tersebut ikut
menguap bersama dengan air bebas yang ada dalam bahan pangan tersebut, dalam hal ini pati sagu
dan pati aren. Akibatnya kadar air dalam pati berkurang dari kondisi semula.
2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)
Metode yang digunakan untuk mengetahui pasting properties pati aren dan pati sagu (baik
alami maupun modifikasi) dilakukan dengan menggunakan alat rapid visco analyzer (RVA) (RVA
Tecmaster 2061904 TMA). Data yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada
Tabel 3 (grafik hasil pengukuran pasting properties pati sagu dan aren (alami-HMT) dengan
menggunakan alat rapid visco analyzer (RVA) dapat dilihat pada Lampiran 2-Lampiran 9)
Tabel 3. Pasting properties pati sagu dan pati aren
Parameter pasting properties Pati Aren Pati Sagu
Alami HMT Alami HMT
Suhu awal gelatinisasi (oC) 71,68 79,95 72,50 80,30
Viskositas puncak (cP) 6415,00 3312,00 6450,00 4003,00
Viskositas minimum (cP) 2148,50 1954,50 2399,00 2138,00
Viskositas akhir (cP) 3886,50 4547,00 3515,00 4327,50
Breakdown 4266,50 1357,50 4051,00 1865,00
Setback 1738,00 2592,50 1116,00 2189,50
Hasil pengukuran merupakan rata-rata dua replikasi analisis
Berdasarkan data pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa modifikasi pati heat moisture
treatment (HMT) mempengaruhi pasting property pati alami. Data tersebut menunjukkan bahwa
HMT dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi, menurunkan viskositas puncak, meningkatkan
viskositas akhir, menurunkan breakdown, dan meningkatkan setback. Menurut Adebowale et al.
18
(2005) peningkatan breakdown pada sorghum merah menunjukkan turunnya stabilitas selama
pemanasan dimana viskositas puncak meningkat setelah modifikasi HMT. Pada penelitian kali ini
diketahui bahwa proses modifikasi HMT dapat menurunkan breakdown pati aren dan pati sagu.
Hal ini dapat diartikan bahwa modifikasi HMT dapat meningkatkan stabilitas pati aren dan pati
sagu selama pemanasan. Fakta ini diperkuat dengan nilai viskositas puncak yang menurun. Selain
itu Adebowale et al. (2005) juga menjelaskan bahwa HMT dapat meningkatkan setback yang
mengindikasikan bahwa HMT dapat meminimalisir deformasi gel dimana hal tersebut juga berarti
bahwa HMT juga meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi.
Apabila antara pati aren dibandingkan dengan pati sagu terlihat bahwa pati aren memiliki
viskositas akhir dengan nilai lebih tinggi dibandingkan dengan pati sagu. Hal ini menunjukkan
bahwa pati aren aren memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati
sagu. Adawiyah (2012) melaporkan bahwa kandungan amilosa pada pati aren sebesar 37,01% dan
pati sagu sebesar 36,55%. Kandungan amilosa pada kedua jenis pati ini tidak berbeda secara
signifikan (p>0,05).
B. LAJU SINERESIS GEL
Sineresis adalah keluarnya air dari suatu gel pati. Menurut Winarno (2008) pada pati yang
dipanaskan dan telah dingin kembali, sebagian air masih berada di bagian granula yang
membengkak, air ini mengadakan ikatan yang erat dengan molekul-molekul pati pada permukaan
butir-butir pati yang membengkak. Sebagian air pada pasta yang telah dimasak tersebut berada
dalam rongga-rongga jaringan yang terbentuk dari butir pati dan endapan amilosa. Bila gel
tersebut disimpan selama beberapa hari pada suhu rendah, air tersebut dapat keluar dari bahan.
Menurut Gudmundsson (1994) pada penyimpanan suhu rendah, kristalitas pati terbentuk tidak
sempurna karena pati memiliki suhu peleburan yang lebih rendah dibandingkan pembentukannya
pada suhu yang lebih tinggi.
Perubahan tingkat sineresis pati dapat diketahui dengan menggunakan metode centrifuge.
Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa selama penyimpanan dari hari ke-0 hingga
hari ke-7 tingkat sineresis pati mengalami peningkatan. Gambar 7 memperlihatkan perubahan
tingkat sineresis pati sagu alami, pati aren alami, pati sagu HMT, dan pati aren HMT selama tujuh
hari penyimpanan (data mentah hasil pengukuran tingkat sineresis dapat dilihat pada Lampiran 10)
Gambar 7. Tingkat sineresis pati selama tujuh hari penyimpanan
hari ke-
19
Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui laju tingkat sineresis pati selama tujuh hari
penyimpanan. Laju tingkat sineresis tersebut dapat dilihat dari persamaan y=ax+b dengan a
sebagai laju tingkat sineresis sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Laju sineresis pati selama tujuh hari penyimpanan
Jenis Pati Laju tingkat sineresis
R2
(v= %sineresis/hari)
pati sagu alami 1,1268 0,9338
pati aren alami 0,5077 0,9314
pati sagu HMT 3,7649 0,9727
pati aren HMT 1,7456 0,9734
Berdasarkan Gambar 7 dan Tabel 4 dapat dibandingkan antara pati sagu dan pati aren. Data
tersebut menunjukkan bahwa laju sineresis pati sagu lebih tinggi dibandingkan pati aren. Menurut
Adawiyah (2012) jumlah pati yang terkandung dalam sagu (93.76%) lebih tinggi dibandingkan
aren (92.67%). Swinkle (1995) menjelaskan bahwa peristiwa retrogradasi lebih mudah terjadi pada
suhu rendah dengan konsentrasi pati tinggi. Dengan demikian laju sineresis pati sagu lebih tinggi
dibandingkan pati aren karena pati sagu memiliki konsentrasi pati lebih tinggi dibandingkan pati
aren. Tingginya konsentrasi pati ini semakin mempermudah terjadinya retrogradasi, dalam hal ini
sineresis.
Gambar 7 dan Tabel 4 memperlihatkan bahwa selama tujuh hari penyimpanan, laju sineresis
pati modifikasi HMT lebih tinggi dibandingkan dengan pati alami. Menurut Kulp dan Lorenz
(1981) seperti yang disitasi oleh Olayinka et al. (2006), modifikasi HMT dapat merubah
karakteristik pati karena selama proses modifikasi terbentuk kristal baru atau terjadi proses
rekristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati. Selain itu proses HMT juga
dapat meningkatkan asosiasi rantai pati antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin pada area
amorphous serta meningkatkan kekompakan material di dalam granula akibat adanya tekanan dan
interaksi. Karim et al. (2000) menjelaskan bahwa selama penyimpanan di suhu rendah, molekul
pati yang tergelatinisasi mengalami reasosiasi, akan tetapi bentuknya tidak sempurna sebagaimana
keberadaannya dalam pati alami (sebelum tergelatinisasi). Berdasarkan penjelasan tersebut telah
jelas bahwa laju sineresis pati modifikasi HMT lebih tinggi dibandingkan pati alami karena selama
proses modifikasi HMT, asosiasi rantai pati antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin pada
area amorphous meningkat. Kondisi ini diperkuat dengan selama penyimpanan di suhu rendah,
molekul pati yang tergelatinisasi mengalami reasosiasi. Akibatnya molekul air yang terlepas dari
matriks amilosa dan amilopektin semakin banyak, sehingga laju sineresisnya pun semakin tinggi.
Data tersebut memperlihatkan bahwa HMT memberikan efek yang lebih signifikan terhadap laju
retrogradasi pati sagu dibandingkan pati aren. Gambar 7 menunjukkan bahwa laju retrogradasi pati
sagu HMT meningkat tajam dibandingkan pati aren. Hal ini membuktikan bahwa pati sagu lebih
sensitif terhadap perlakuan panas dibandingkan dengan pati aren.
Apabila ditinjau berdasarkan data pasting property hasil pengukuran dengan menggunakan
RVA, ternyata pati aren memiliki kecenderungan yang lebih mudah untuk mengalami retrogradasi
dibandingkan dengan pati sagu. Hal ini dapat dilihat dari nilai setback pati aren lebih tinggi
dibandingkan pati sagu (Tabel 3). Selain itu apabila dilihat dari nilai breakdown, ternyata nilai
breakdown pati aren lebih tinggi dibandingkan dengan pati sagu dimana hal tersebut menunjukkan
bahwa pati sagu (nilai breakdown rendah) memiliki stabilitas terhadap panas yang lebih tinggi
dibandingkan pati aren. Fakta tersebut menunjukkan suatu anomali karena berdasarkan data yang
20
dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 7, pati sagu memiliki kecenderungan untuk mengalami
retrogradasi yang lebih mudah dibandingkan pati aren. Selain itu pati sagu juga sangat sensitif
terhadap perlakuan panas dibandingkan dengan pati aren. Hal ini dilihat dari efek HMT terhadap
perubahan laju retrogradasi pati sagu yang meningkat tajam dibandingkan dengan pati aren.
Menanggapi fakta tersebut muncul dugaan yang dihubungkan dengan derajat polimerisasi.
Menurut studi yang dilakukan oleh Vandeputte et al. (2002) rantai amilopektin panjang (derajat
polimerisasi tinggi) memungkinkan untuk membentuk double helices lebih mudah dan lebih cepat
sehingga hal ini juga mempermudah terjadinya retrogradasi. Berdasarkan studi tersebut diduga
bahwa pati sagu memiliki rantai amilopektin yang panjang (derajat polimerisasi tinggi)
dibandingkan pati aren. Sehingga walaupun menurut Adawiyah (2012) kandungan amilosa pada
kedua jenis pati ini tidak berbeda secara signifikan (p>0,05) dan menurut hasil pengukuran RVA
pada penelitian ini yang cenderung lebih mudah untuk mengalami retrogradasi adalah pati aren,
akan tetapi karena diduga derajat polimerisasi pati sagu lebih tinggi dibandingkan pati aren maka
pati yang lebih mudah mengalami retrogradasi adalah pati sagu.
C. TEKSTUR
Pengukuran tekstur gel pati sagu dan pati aren dilakukan selama penyimpanan mulai dari hari
ke-0 hingga hari ke-7. Variabel dasar yang diperhatikan dalam pengukuran tekstur ini adalah force,
distance, stress dan strain. Menurut Kilcast (2004) strain merupakan pengukuran deformasi
(perubahan bentuk) pada titik bidang dalam suatu objek. Strain mengukur perubahan unit dari
bentuk atau ukuran dari sebuah objek dengan memperhatikan ukuran awal. Variabel lainnya yaitu
distance yaitu jarak penekanan dari tinggi awal, stress adalah besarnya tekanan yang diberikan
pada gel. Stress disebabkan karena adanya eksternal force. Sedangkan force dianggap sebagai
variabel eksternal karena force mengukur pada permukaan objek. Proses kompresi ditunjukkan
pada Gambar 8.
L0 L
Gambar 8. Kompresi uniaxial dari gel (Kilcast, 2004)
F : gaya yang diberikan selama proses
kompresi (N)
A0 : luas awal penampang (m2)
L0 : tinggi awal gel (m)
Stress (Pa) : σ = F/A0
Strain (%) : ɛ = ((L0-L)/ L0) x 100%
Distance (m): ∆L= L0-L
Force (F) or Stress (σ)
Force (F) or Stress (σ)
A0
21
Pada pengukuran tekstur gel juga dilakukan penghitungan modulus elastis (E) atau biasa
disebut modulus Young yang merupakan besarnya nilai stress (σ) terhadap strain (ɛ).
Penghitungan modulus elastis dilakukan untuk mengetahui perubahan rigiditas gel selama
penyimpanan. Adapun formula yang digunakan untuk menghitung modulus elastis adalah sebagai
berikut
σ F/A0
ɛ ∆L/L0
1. Karakteristik Tekstur Gel Pati (Alami Dan HMT) pada Hari Ke-0
Analisis tekstur gel pati, baik pati alami maupun pati modifikasi HMT, pati sagu maupun pati
aren, menggunakan texture analyzer (TA-XT, Stable Mycro System, UK). Pengukuran tekstur pati
dilakukan untuk mengetahui perubahan karakteristik tekstur selama penyimpanan dari hari ke-0
hingga hari ke-7 serta untuk mengetahui pengaruh modifikasi HMT terhadap tekstur gel pati.
Adapun hasil pengukuran tekstur gel pati aren dan pati sagu (baik pati alami maupun HMT) hari
ke-0 (sebelum penyimpanan) dapat dilihat pada Gambar 9 (a dan b) dan datanya dapat dilihat pada
Tabel 5.
(a) (b)
Gambar 9. Kurva kompresi uniaxial pati sagu alami dan HMT hingga strain 90% pada hari
ke-0 (a) dan kurva kompresi pati aren alami dan HMT hingga strain 90% pada
hari ke-0 (b).
Tabel 5. Hasil pengukuran tekstur gel pati sagu dan pati aren pada hari ke-0
Jenis Pati Perlakuan Breaking Point Max. Force pada
strain 90% (N)
Adesive
Force (N) Strain (%) Stress (Pa)
Sagu Alami 57,0871 19358,4 77,2408 -10,38
HMT 25,6509 6050,05 34,4821 -8,65
Aren Alami 58,8233 30001,7 99,3092 0
HMT 45,4625 31608,6 66,5433 0
Hasil pengukuran merupakan rata-rata dari 5 replikasi analisis
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa sebelum dilakukan penyimpanan terlihat
bahwa modifikasi HMT berpengaruh terhadap tekstur gel pati aren dan pati sagu. Tabel 5
menunjukkan bahwa nilai strain gel pati HMT lebih rendah dibandingkan dengan pati alami. Hal
E= =
22
ini menunjukkan bahwa HMT meningkatkan kerapuhan gel pati aren dan pati sagu. Selain
berpengaruh pada kerapuhan gel, modifikasi HMT juga berpengaruh pada rigiditas dari gel pati
aren dan pati sagu. Sebelum penyimpanan dilakukan, ternyata gel pati HMT memiliki rigiditas
lebih rendah dibandingkan dengan gel pati alami. Fakta ini dapat dilihat dari menurunnya nilai
maximum force pati aren dan pati sagu setelah dilakukan modifikasi HMT. Pengaruh lain dari
HMT adalah modifikasi HMT dapat meningkatkan nilai adhesive force dengan kata lain HMT
dapat mengurangi kerekatan atas gel pati sagu.
Perbandingan antara pati aren dan pati sagu pada pengukuran tekstur kali ini adalah dilihat
dari nilai strain dan maximum force, pati sagu lebih rapuh dan lebih lunak (rigiditas lebih rendah)
dibandingkan pati aren. Selain itu pati sagu juga lebih lengket dibandingkan pati aren. Hal ini
dapat dilihat dari adanya nilai adhesive force pada pati sagu sedangkan pati aren tidak memiliki
nilai tersebut.
2. Perubahan Tekstur Gel Pati Sagu dan Pati Aren Selama Penyimpanan
Tekstur gel pati sagu dan pati aren mengalami perubahan selama penyimpanan. Hasil
pengukuran menunjukkan adanya perbedaan karakteristik tekstur antara pati aren dan pati sagu,
baik pati alami maupun pati modifikasi HMT (Gambar 10 (a) dan (b)).
(a) (b)
Gambar 10. Kurva Kompresi pati sagu alami dan HMT hingga strain 90% pada hari ke-7
(a) dan kurva kompresi pati aren alami dan HMT hingga strain 90% pada
hari ke-7 (b)
Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa breaking point dan maximum force pati aren
(baik alami maupun modifikasi HMT) lebih tinggi dibandingkan pati sagu. Hal ini menunjukkan
bahwa gel pati aren tidak mudah mengalami deformasi dibandingkan gel pati sagu. Setelah
dilakukan penyimpanan selama 0-7 hari dapat dilihat bahwa terjadi perubahan karakteristik tekstur
gel pati dari hari ke hari (Gambar 11,12,13,dan 14). Adapun data hasil pengukuran dengan
menggunakan texture analyzer dapat dilihat pada Lampiran 11 sedangkan data-data penghitungan
modulus elastis dapat dilihat pada Lampiran 12.
23
Gambar 11. Perubahan breaking stress selama tujuh hari penyimpanan pada gel pati sagu
dan pati aren (alami-HMT)
Gambar 12. Perubahan breaking strain selama tujuh hari penyimpanan pada gel pati sagu
dan pati aren (alami-HMT)
Gambar 13. Perubahan modulus elastisitas selama tujuh hari penyimpanan pada breaking
point
24
Gambar 14. Perubahan maximum force selama tujuh hari penyimpanan pada strain
90%
Representasi perubahan karakteristik tekstur gel pati aren dan pati sagu dapat dilihat pada
Gambar 13 yang menunjukkan perubahan modulus elastisitas breaking point pada gel pati aren
dan pati sagu selama tujuh hari penyimpanan. Modulus elastisitas merupakan rasio nilai breaking
stress terhadap breaking strain. Gambar 13 menunjukkan bahwa modulus elastisitas pati aren dan
pati sagu (baik pati alami maupun HMT) semakin meningkat selama penyimpanan. Laju
peningkatan modulus elastisitas tertinggi terjadi pada gel pati sagu HMT dilanjutkan dengan pati
aren HMT, pati aren alami, dan pati sagu alami. Peningkatan modulus elastis ini menunjukkan
bahwa selama penyimpanan, tekstur gel pati semakin rigid.
Karakteristik gel pati lainnya dapat dilihat pada Gambar 12. Pada gambar tersebut terlihat
bahwa strain dari gel pati sagu dan pati aren (baik alami maupun HMT) mengalami penurunan.
Penurunan nilai strain menunjukkan bahwa gel tersebut semakin rapuh karena semakin mudah
mengalami deformasi. Apabila kedua konstanta (strain dan modulus elastis) tersebut digabungkan
maka dapat dikatakan bahwa selama tujuh hari penyimpanan karakter gel pati aren dan pati sagu
semakin rigid akan tetapi semakin rapuh.
Perihal kekerasan gel, pati aren lebih keras dibandingkan dengan pati sagu. Kekerasan gel
dapat dilihat dari nilai maximum force pati aren yang lebih tinggi dari pati sagu (Gambar 10).
Selama penyimpanan, kekerasan gel pati sagu lebih cepat mengalami penurunan dibandingkan
dengan pati aren. Sedangkan pada pati modifikasi HMT, laju peningkatan kekerasan pati sagu
lebih cepat dibandingkan pati aren (Gambar 12). Selain tingkat kekerasan gel, ada hal menarik lain
yang perlu diperhatikan yaitu adhesiveness yang ditunjukkan dengan adanya adhesive force pada
kurva kompresi pati sagu sedangkan pada pati aren adhesive force tidak ditemukan (Gambar 10).
Adhesiveness menggambarkan daya rekat yang dibutuhkan untuk menarik lempeng kompresi dari
bahan. Perubahan adhesive force pati sagu dapat dilihat dari Gambar 15. Adanya adhesive force
pada pati sagu menunjukkan bahwa pati sagu cenderung lebih lengket terhadap lempeng kompresi
dibandingkan pati aren.
Berdasarkan parameter pengukuran tekstur yang ada (strain, stress, maximum force, adhesive
force, dan modulus elastis, maka yang paling relevan dijadikan acuan dalam memutuskan hasil
pengukuran tekstur adalah modulus elastis. Dipilihnya modulus elastis sebagai parameter acuan
karena modulus elastis sendiri merupakan rasio antara nilai stress dan strain. Selain itu nilai
modulus elastis dapat menunjukkan perubahan tekstur selama penyimpanan dimana semakin lama
25
tekstur gel semakin rigid (ditunjukkan dengan meningkatnya nilai modulus elastis). Sedangkan
untuk parameter lainnya nilainya bervariasi dan tidak relevan. Pada Gambar 11 terlihat bahwa nilai
breaking stress pati sagu dan pati aren HMT serta pati aren alami mengalami peningkatan selama
penyimpanan sedangkan pada pati sagu alami mengalami penurunan. Pada Gambar 14 dapat
diketahui bahwa nilai maximum force pati alami menurun sedangkan pati HMT meningkat.
Sedangkan nilai strain masih cukup relevan untuk dijadikan acuan pengukuran akan tetapi nilai
strain biasanya dilengkapi dengan nilai stress. Karena nilai stress tidak relevan untuk digunakan,
maka yang digunakan adalah nilai modulus elastis yang merupakan rasio antara nilai stress dan
strain.
Perubahan karakteristik tekstur gel pati aren dan pati sagu selama penyimpanan berkaitan
dengan terjadinya retrogradasi, dalam hal ini sineresis, pada pati aren dan pati sagu selama
penyimpanan. Semakin lama tingkat sineresis dari gel pati sagu dan pati aren semakin meningkat,
dengan kata lain air yang terlepas dari matriks amilosa-amilopektin semakin banyak. Dengan
demikian ikatan komponen amilosa dan amilopektin semakin kuat sehingga gel pati pun menjadi
semakin rigid. Tidak dapat dipungkiri bahwa kerapuhan suatu gel pati dipengaruhi oleh
keberadaan air yang berikatan dengan komponen pati. Apabila semakin banyak air yang keluar
maka gel tersebut akan semakin rapuh sehingga akan mudah mengalami deformasi ketika diberi
tekanan.
Gambar 15. Perubahan adhesive force selama tujuh hari penyimpanan pada strain 90%
Modifikasi HMT dapat mengubah karakteristik tekstur pati alami. Berdasarkan Gambar 12
terlihat bahwa laju penurunan strain pati modifikasi HMT lebih lambat dibandingkan dengan pati
alami. Selain itu pati modifikasi HMT juga meningkatkan laju kenaikan stress pati alami (Gambar
13). Fenomena ini menunjukkan bahwa pati modifikasi HMT tidak mudah mengalami deformasi
dibandingkan pati aren. Parameter lain yang dapat ditinjau lebih lanjut adalah maximum force yang
menggambarkan kekerasan gel dan adhesive force yang menggambarkan daya rekat gel.
Berdasarkan Gambar 15 dapat dilihat bahwa modifikasi HMT dapat mengubah tingkat kekerasan
gel pati alami bahkan mengubah laju kekerasannya yang pada awalnya menurun menjadi
meningkat. Hal yang sama juga terjadi pada adhesive force yang pada awalnya mengalami
kenaikan adhesive force, akibat perlakuan HMT maka gel pati mengalami penurunan adhesive
force selama tujuh hari penyimpanan.
Modifikasi HMT dapat mengubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi
terbentuk kristal baru atau proses rekristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula
pati (Kulp dan Lorenz 1981). Selain itu energi yang diterima oleh pati selama pemanasan
berlangsung kemungkinan dapat melemahkan ikatan hidrogen inter dan intra molekul amilosa dan
26
amilopektin di dalam granula pati. Untuk memperoleh bentuk gel, maka pati diberi perlakuan
pemanasan dengan ditambahkan sejumlah air. Air tersebut memiliki peluang yang lebih besar
untuk mengimbibisi granula pati karena lemahnya ikatan hidrogen tersebut. Akibatnya air yang
masuk (penyerapan air) ke dalam granula pati lebih banyak dibandingkan pati alami. Masuknya air
tersebut merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Hal ini menyebabkan granula
membengkak. Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan meningkat dan amilosa
berdifusi keluar dari granula sehingga granula hanya mengandung amilopektin. Akibat dari
peristiwa tersebut, granula mengalami kerusakan dan terperangkap dalam matriks amilosa
membentuk gel.
Selama proses penyimpanan pada suhu rendah (7oC), terjadilah peristiwa retrogradasi dimana
pada proses tersebut terjadi pembentukan kembali ikatan hidrogen antar molekul amilosa dan
amilopektin. Secara otomatis ikatan hidrogen antara molekul air dan molekul amilopektin
melemah dan digantikan oleh molekul amilosa. Secara perlahan molekul air keluar dari granula
akibatnya semakin lama semakin banyak air yang keluar dari granula. Dengan semakin banyaknya
molekul air yang keluar dari granula maka semakin banyak molekul amilosa yang berikatan
dengan amilopektin sehingga struktur gel yang terbentuk semakin kuat (keras). Akibatnya semakin
lama gel tersebut semakin tidak mudah mengalami deformasi. Struktur gel yang semakin keras
berdampak pada kurangnya kelengketan atas pati tersebut (terjadi pada pati sagu).
3. Korelasi Laju Sineresis dengan Perubahan Tekstur
Sineresis yang terjadi selama penyimpanan memiliki pengaruh terhadap karakteristik tekstur.
Parameter tekstur yang dibandingkan dengan laju sineresis adalah perubahan nilai strain dan
modulus elastis selama penyimpanan. Kedua parameter ini adalah parameter yang paling relevan
dibandingkan dengan parameter lainnya seperti stress dan maximum force. Hal ini terjadi karena
data dari nilai stress dan maximum force cenderung naik dan turun. Adapun korelasi antara laju
sineresis dan dan perubahan nilai strain dan modulus elastis selama tujuh hari penyimpanan
ditunjukkan pada Gambar 16 dan 17.
Gambar 16. Hubungan antara tingkat sineresis dan modulus elastis gel pati sagu dan
pati aren (alami-HMT)
27
Gambar 17. Hubungan antara tingkat sineresis dan nilai strain gel pati sagu dan pati
aren (alami-HMT)
Berdasarkan Gambar 16 terlihat bahwa semakin tinggi tingkat sineresis, maka nilai modulus
elastisnya juga meningkat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat sineresis,
dengan kata lain semakin banyak jumlah air yang keluar dari gel pati, maka tekstur gel pati akan
semakin rigid. Laju peningkatan modulus elastis terhadap tingkat sineresis yang paling tinggi
terjadi pada pati aren alami dengan laju 90,381 sedangkan gel pati yang memiliki nilai linear
tertinggi adalah pati sagu HMT dengan nilai r2 0,9683. Data ini menunjukkan bahwa laju sineresis
tertinggi terjadi pada gel pati aren dengan peningkatan modulus elastis yang linier dengan laju
sineresis.
Gambar 17 menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat sineresis gel pati maka nilai strain
gel pati semakin menurun. Fakta ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat sineresis gel pati
maka gel tersebut akan semakin mudah mengalami deformasi. Laju kemudahan mengalami
deformasi terjadi pada pati aren HMT dengan nilai laju 0,7861. Sedangkan gel pati yang memiliki
nilai linear tertinggi adalah pati sagu HMT dengan nilai r2
0,9909. Data ini menunjukkan bahwa
laju sineresis tertinggi terjadi pada gel pati aren dengan peningkatan nilai strain yang linier dengan
laju sineresis.
D. KADAR AIR GEL
Kadar air merupakan nilai yang menunjukkan kandungan air yang terdapat dalam suatu
produk atau bahan (pangan). Analisis kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven.
Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa selama penyimpanan pada suhu rendah
(7oC) dari hari ke-0 sampai dengan hari ke-7 kadar air gel cenderung mengalami penurunan
(Gambar 17). Kadar air tersebut mengalami penurunan selama penyimpanan suhu rendah karena
selama penyimpanan molekul pati yang tergelatinisasi mengalami reasosiasi. Akibatnya molekul
air terlepas dari matriks amilosa dan amilopektin. Visualisasi dari fenomena ini adalah keluarnya
air dari suatu gel pati atau biasa disebut sineresis. Semakin lama, air yang terlepas dari matriks
amilosa-amilopektin semakin banyak sehingga kadar airnya terus menurun.
Apabila antara gel pati alami dan gel pati modifikasi HMT dibandingkan, maka gel pati
modifikasi HMT mengalami penurunan kadar air yang lebih cepat dibandingkan gel pati alami.
Kecepatan penurunan kadar air ini dipengaruhi oleh laju sineresis pati modifikasi HMT yang lebih
28
tinggi dibandingkan dengan pati alami. Sedangkan apabila antara pati sagu dan pati aren
dibandingkan maka penurunan kadar air pati aren alami lebih cepat dibandingkan pati sagu alami,
sedangkan laju penurunan kadar air pati sagu modifikasi HMT lebih cepat dibandingkan dengan
pati aren modifikasi HMT. Dua hal yang berkebalikan. Hal ini terjadi karena kadar air awal pati
aren lebih rendah (7.84%) dibandingkan pati sagu (12.96%) sehingga laju penurunan kadar air pati
aren tampak lebih cepat dibandingkan pati sagu. Seharusnya laju penurunan kadar air pati sagu
lebih cepat dibandingkan pati aren karena jumlah pati yang terkandung dalam sagu (93.76%) lebih
tinggi dibandingkan aren (92.67%) (Adawiyah, 2012). Semakin tinggi konsentrasi patinya, maka
semakin mudah mengalami retrogradasi. Oleh karena itu berdasarkan data penelitian ini (Gambar
18) dapat terlihat gel pati sagu modifikasi HMT mengalami penurunan kadar air paling cepat. Hal
ini disebabkan selain karena konsentrasi patinya yang tinggi juga karena pengaruh proses
modifikasi HMT yang diterapkan pada pati tersebut. Adapun data hasil pengukuran kadar air dapat
dilihat pada Lampiran 13.
Gambar 18. Perubahan nilai kadar air selama masa penyimpanan
E. AKTIVITAS AIR (aw)
Nilai aw digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem
yang dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi (Syarief dan Halid, 1993). Untuk mengukur
aktivitas air (aw) digunakan aw meter. Selama penyimpanan dari hari ke-0 hingga hari ke-7 nilai aw
dari pati sagu dan pati aren mengalami penurunan (Gambar 19). Data pengukuran aw selama
penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 14.
Hubungan antara penurunan nilai kadar air dengan penurunan nilai aw selama penyimpanan
seharusnya berbanding lurus, akan tetapi hal ini tidak terjadi. Gambar 18 menunjukkan bahwa laju
penurunan kadar air pati modifikasi HMT lebih cepat dibandingkan dengan pati alami dan laju
penurunan kadar air pati aren alami lebih cepat dibandingkan pati sagu alami, sedangkan laju
penurunan kadar air pati sagu modifikasi HMT lebih cepat dibandingkan dengan pati aren
modifikasi HMT, namun pada Gambar 19 terlihat bahwa laju penurunan nilai aw pati alami, dalam
hal ini pati sagu, lebih cepat dibandingkan pati modifikasi HMT. Sedangkan laju penurunan nilai
aw pati sagu alami lebih cepat daripada pati aren alami dan laju penurunan nilai aw pati aren
modifikasi HMT lebih cepat dibandingkan dengan pati sagu modifikasi HMT. Hal ini merupakan
dua hal yang bertolak belakang dan tidak saling mendukung. Kesalahan atas hasil pengukuran
29
yang tidak sesuai dengan yang diharapkan disebabkan oleh berbagai macam faktor diantaranya
tidak sempurnanya penyerapan air pada kertas saring sebelum dilakukan pengukuran kadar air dan
aw. Akibatnya air yang ada pada permukaan gel yang sudah dipotong-potong ikut terukur sehingga
berpengaruh pada tingginya nilai hasil pengukuran nilai aktivitas air (aw). Selain itu pemotongan
gel yang tidak terstandardisasi juga berpengaruh pada hasil pengukuran yang berbeda karena
ukuran gel yang diukur dalam aw meter berbeda-beda.
Gambar 19. Perubahan nilai aktivitas air (aw) selama penyimpanan
30
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Modifikasi pati fisik Heat Moisture Treatment (HMT) memiliki pengaruh terhadap laju
retrogradasi pati melalui tingkat sineresis, perubahan sifat tekstural, kadar air, dan aktivitas air
(aw) selama penyimpanan. Penelitian ini membuktikan bahwa HMT meningkatkan laju sineresis
gel pati aren dan pati sagu, laju sineresis tertinggi terjadi pada gel pati sagu HMT. Modifikasi
HMT juga dapat mengakibatkan tekstur gel pati sagu dan pati aren lebih rigid. Hal ini
ditunjukkan dengan semakin tingginya laju peningkatan modulus elastis antara pati sagu dan
aren alami dengan pati sagu dan aren HMT. Laju peningkatan modulus elastis tertinggi terjadi
pada pati sagu HMT. Selain itu modifikasi HMT juga meningkatkan kerapuhan gel pati. Fakta
dapat ditinjau dari menurunnya laju penurunan nilai strain gel pati sagu dan pati aren. Perubahan
laju penurunan nilai strain tertinggi terjadi pada gel pati sagu HMT. Pengaruh HMT lainnya
adalah terjadi penurunan kadar air gel pati. Laju penurunan kadar air tertinggi terjadi pada gel
pati sagu HMT. Penurunan aw juga terjadi akibat pengaruh HMT. Nilai aw terendah terjadi pada
gel pati sagu HMT walaupun laju penurunan nilai aw tertinggi terjadi pada pati sagu alami.
Berdasarkan kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pati sagu HMT lebih sensitif
terhadap perlakuan panas dibandingkan pati aren HMT, pati sagu alami, pati aren alami. Hal ini
terlihat dari laju peningkatan sineresis yang tinggi, laju peningkatan modulus elastis tertinggi,
laju penurunan nilai strain tertinggi, dan laju penurunan kadar air gel tertinggi.
B. SARAN
Penelitian ini kedepannya dapat dilanjutkan dengan karakterisasi lanjutan untuk mengetahui
lebih lanjut besarnya derajat polimerisasi dari pati sagu dan pati aren. Sehingga dapat diketahui
secara lebih spesifik karakter dari pati aren dan pati sagu. Selain itu pati aren dan pati sagu (baik
alami maupun modifikasi HMT) berpotensi untuk dikembangkan menjadi suatu produk pangan.
Dengan demikian harapannya penelitian inipun dapat berlanjut hingga tahap aplikasi produk,
seperti untuk pembuatan kerupuk, mi basah, atau cookies.
31
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah D.R. 2012. Effect of Heat Moisture Treatment on Physical Properties and Textural Quality
of Food Products from Arenga and Sago Starches. [Final Report]. Jepang. National Agriculture
and Food Research Institute (NFRI)
Adebowale KO, BI Owolabi, OO Olayinka, OS Lawal. 2005. Effects of heat moisture treatment and
annealing on physicochemical properties of red sorgum starch. African J of Biotechnology 4
(9) : 928-933.
Ahmad F.B. dan Williams P.A. 1999. Effect of Sugars on The Thermal and Rheological Properties of
Sago Starch. Biopolymers, 50, 401-412
Alam N., M. S. Saleh. 2009. Karakteristik Pati dari Batang Pohon Aren pada Berbagai Fase
Pertumbuhan. J. Agroland 16 (3): 199-205. ISSN 0854-641X
AOAC [Association of Official Analytical Chemist]. 1995. Official Methods of Analytical of The
Association of Official Analytical Chemist. Washington, DC: AOAC.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. 1998. Buku Panduan Kehutanan
Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan dan Perkebunan Indonesia
Biliaderis, C. G. 1990. Thermal analysis of food carbohydrates. In V. R. Harwalkar & C. Y. Ma (eds),
Thermal analysis of foods (pp 168-213). London: Elsevier.
Charoenrein S., Tatirat O., Muadklay J. 2008. Use of Centrifugation-Filtration for Determination of
Syneresis in Freeze-thaw Starch Gels. Carbohydrate Polymer, 73, 143-147
Collado L.S. and Corke H. 1999. Heat-moisture Treatment Effects on Sweetpotato Starches Differing
in Amylose Content. Food Chem 65 (3): 339-346.
Collado L.S., Mabesa L.B., Oates C.G., Corke H. 2001. Bihon-types noodles from heat moisture
treated sweet potato starch. J Food Sci. 66(4): 604-409.
Chang S., dan Liu L. 1991. Retrogradation of rice starches studied by differential scanning
calorimetry and influence of sugars, NaCl and Lipid. J. Food Sci. 56, 564-570
Fearn, T. dan Russel P.L. 1982. A kinetic study of stalling by differential scanning calorimetry. The
effect of loaf specific volume. J. Sci. Food Agric,. 33, 537-548
Fennema O.R. 1996. Food Chemistry. Basel: Marcell Dekker Inc
Flach, M. 1983. The Sago Palm: Domestication Exploitation and Products. Food
and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
France ML, Preto SJR, Ciacco FC, Tavares DQ. 1995. Effect of the Heat Moisture Treatment on the
Enzymatic Susceptibility of Corn Starch Granules. Starch/Starke 47: 233–228.
Gudmundsson, M. 1994. Retrogradation of starch and the role of its components. Thermochimica
Acta, 246, 329-341.
Harper J.M. 1981. Extrusion of Foods. Boston, Florida: CRC Press
Haryanto, B. dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Yogyakarta: Kanisius
Hormdok, R., & Noomhorn, A. (2007). Hydrothermal treatments of rice starch for improvement of
rice noodle quality. LWT, 40, 1723-1731.
Iswanto A.H. 2009. Aren (Arenga pinnata). Departemen Kehutanan. Fakultas Pertanian. Universitas
Sumatera Utara.
Karim, A. A., Norziah, & M. H., Seow, C. C. 2000. Review: methods for the study of starch
retrogradation. Food chemistry, 71, 9-36.
Kilcast D. 2004. Texture in Food. Volume 2: Solid Food. Cambridge England: Woodhead Publishing
Limited
32
Kulp K. dan K Lorenz. 1981. Heat Moisture treatment of Starches. I Physicochem Properties. Cereal
Chemistry, 58: 46-48. Di dalam Olayanka OO, Adebowale KO, Olu-Owolabi BI. 2008. Effect
of Heat-Moisture Treatment on Physicochemical Properties of White Sorghum Stach. Food
Hydrocolloids 22:225-230.
Lawal OS and Adebowale KO. 2005. An Assessment of Changes in Thermal and Physico-chemical
Parameter of Jack Bean (Canavalia ensiformis) Starch Following Hidrothermal Modification.
Eur Food Res Technol 221: 631-638.
Olayanka OO, Adebowale KO, Olu-Owolabi BI. 2006. Effect of Heat-Moisture Treatment on
Physicochemical Properties of White Sorghum Stach. Food Hydrocolloids 22:225-230.
Pukkahuta, C., & Varavinit, S. 2007. Structural transformation of sago starch bu heat moisture
treatment and osmotic-pressure treatment. Starch, 59, 624-631
Purwani EY, Widaningrum, Thahrir R dan Muslich. 2006. Effect of Moisture Treatment of Sago
Starch on Its Noodle Quality. Indonesian J of Agric Sci 7(1):1528-1536.
Roder N., Ellis P.R., dan Butterworth P.J. 2005. Starch Molecular and Nutritional Properties: A
Review. Advance in Molecular Medicine. 1(1): 5-14
Sangihe S. 2010. Budidaya Sagu. http://epetani.deptan.go.id/budidaya/budidaya-sagu-1442 [19
Desember 2012]
Saripudin U. 2006. Rekayasa Proses Tepung Sagu (Metroxylon sp) dan Beberapa Karakternya
[Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor
Sukatiningsih. 2005. Sifat Fisikokimia dan Fungsional Pati Biji Kluwih (Artocarpus Communis
G.Forst). Jurnal Teknologi Pertanian. Vol. 6. No.3: 168-169
Swinkels, J. J. M. 1995. Source of Starch, Its Chemistry and Physics. Di dalam: Beynum V. dan J. A.
Roels (eds). Starch Conversion Tehnology. Marcel Dekker Inc., New York, Basel.
Vandeputte G.E., R. Vermeylen, J. Geeroms, J.A. Delcour. 2003. Rice Starches III Structural Aspect
Provide Insight in Amylopectin Retrogradation Properties and Gel Texture. Journal of Cereal
Science 38: 61-68
Vermeylen RB, Goderis and Declour JA. 2006. An X-ray Study of Hydrothermally Treated Potato
Starch. Carbohydrate Polymers 64(2): 364-375.
Ward K.E.J., Hoseney R.C., dan Seib P.A. 1994. Retrogradation of amylopectin from maize and
wheat starches. Cereal Chem., 71, 150-155
Winarno. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press
Zavarese, E. R., & Dias, A. R. G. 2011. Impact of heat moisture treatment and annealing in starches:
A review. Carbohydrate polymers, 83, 317-328.
33
LAMPIRAN
34
Lampiran 1
Syarat mutu pati sagu SNI 3729-2008
No Jenis Uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan
1.1 Bentuk - Serbuk halus
1.2 Bau -
normal (bebas dari bau
asing)
1.3 Warna - putih, khas sagu
1.4 Rasa - notmal
2 Benda Asing - tidak ada
3
Serangga (dalam segala bentuk
stadia -
tidak ada
dan potongan-potongannya)
4. Jenis pati lain selain pati sagu
tidak ada
5.
Kehalusan, lolos ayakan 100 mesh
(b/b) %
min. 95
6. Kadar Air (b/b) % Maks. 13
7. Kadar Abu (b/b) % Maks. 0.5
8. Kadar Pati % min. 65
9. Kadar Serat Kasar (b/b) % Maks. 0.5
10. Derajat Asam ml NaOH 1 N/100 gr Maks. 4
11. Residu SO2 mg/kg maks. 30
12. Cemaran logam
12.1 Timbal (Pb) mg/kg maks. 1.00
12.2 Tembaga (Cu) mg/kg maks. 10.0
12.3 Raksa (Hg) mg/kg maks. 0.05
13. Cemaran arsen (As) mg/kg maks. 0.50
14. Cemaran mikroba
14.1 Angka lempeng total koloni/g maks. 106
14.2 E.coli AMP/g maks. 10
14.3 Kapang koloni/g maks. 104
35
Lampiran 2
Pati Aren Alami Ulangan 1
Peak 1 Trough Breakdown Final Visc Setback Peak Time Pasting Temp
"STANDARDDUA20121204" 6294 2137 4157 3885 1748 6.07 71.7
36
Lampiran 3
Pati Aren Alami Ulangan 2
Peak 1 Trough 1 Breakdown Final Visc Setback Peak Time Pasting Temp
"STANDARDDUA20121204" 6536 2160 4376 3888 1728 6.07 71.65
37
Lampiran 4
Pati Sagu Alami Ulangan 1
Peak 1 Trough 1 Breakdown Final Visc Setback Peak Time Pasting Temp
"STANDARDDUA20121204" 6409 2349 4060 3401 1052 6.6 72.6
38
Lampiran 5
Pati Sagu Alami Ulangan 2
Peak 1 Trough 1 Breakdown Final Visc Setback Peak Time Pasting Temp
"STANDARDDUA20121204" 6491 2449 4042 3629 1180 6.53 2.4
39
Lampiran 6
Pati Aren HMT Ulangan 1
Peak 1 Trough 1 Breakdown Final Visc Setback Peak Time Pasting Temp
"STANDARDDUA20121204" 3303 1966 1337 4549 2583 7.27 79.75
40
Lampiran 7
Pati Aren HMT Ulangan 2
Peak 1 Trough 1 Breakdown Final Visc Setback Peak Time Pasting Temp
"STANDARDDUA20121204" 3321 1943 1378 4545 2602 7.33 80.15
41
Lampiran 8
Pati Sagu HMT Ulangan 1
Peak 1 Trough 1 Breakdown Final Visc Setback Peak Time Pasting Temp
"STANDARDDUA20121204" 4038 2137 1901 4357 2220 7.2 80.1
42
Lampiran 9
Pati Sagu HMT Ulangan 2
Peak 1 Trough 1 Breakdown Final Visc Setback Peak Time Pasting Temp
"STANDARDDUA20121204" 3968 2139 1829 4298 2159 7.27 80.5
43
Lampiran 10
Rata-Rata Hasil Pengukuran Tingkat Sineresis
hari ke- % Sineresis
sagu alami aren alami Sagu
HMT Aren HMT
0 0 0 3,06 0,82
1 1,065 0,845 9,84 1,205
2 1,615 1,275 15,66 2,3
3 2,645 1,445 18,65 4,22
4 3,965 1,575 20,435 6,39
5 4,44 2,36 24,68 8,08
6 5,555 3,685 27,89 11,005
7 8,915 3,58 31,225 11,98
Hasil pengukuran merupakan rata-rata dari dua replikasi analisis
44
Lampiran 11
Rata-Rata Hasil Analisis Tekstur dengan Menggunakan Texture Analyzer
Hari ke-
Breaking Point Max Force (N)
Stress (Pa) Strain (%)
sagu alami aren alami Sagu
HMT Aren HMT sagu alami aren alami
Sagu
HMT Aren HMT sagu alami aren alami
Sagu
HMT Aren HMT
0 19358,4 30001,7 6050,05 31608,6 57,0871 58,8233 25,6509 45,4625 77,2408 99,3092 34,4821 66,5433
1 18432,2 36385 8625,63 31326,6 51,8125 54,4408 23,345 43,1709 73,9491 93,028 48,5834 67,3061
2 15836,3 32522,3 9617,73 28277 45,0029 52,3833 20,3631 40,2909 73,287 80,2865 63,5391 78,9197
3 16546 34782,9 10439,3 31830,3 42,9717 50,3483 19,375 40,7723 62,1769 80,6673 66,4412 86,0244
4 16681,7 38307,9 11951,7 34003,5 40,2584 50,0917 19,4417 40,3436 50,3131 69,1515 71,1223 87,5363
5 14220 36333 11274,2 35518,5 43,9095 47,1442 17,5939 37,6111 49,1762 70,8958 73,5636 97,8992
6 14011,3 39872,8 10311,4 28104,9 33,8617 45,2658 15,8159 36,1866 51,7672 73,4621 77,6818 87,5658
7 15602,2 37125,6 10862,9 39346,7 32,7184 43,45 15,1419 34,4723 52,7873 78,8563 87,3165 109,532
Hasil pengukuran merupakan rata-rata dari lima replikasi analisis
45
Lampiran 12
Rata –rata penghitungan modulus elastis
hari ke- Modulus Young (E) (Pa)
sagu alami aren alami Sagu HMT Aren HMT
0 339,1028796 510,0308891 235,8611199 695,267528
1 355,7481303 668,3406563 369,4851146 725,641578
2 351,8951001 620,8524472 472,3116814 701,821007
3 385,0441104 690,8455698 538,8025806 780,684435
4 414,3656976 764,7554385 614,7456241 842,84744
5 323,8479145 770,6780474 640,8016415 944,36217
6 413,7801705 880,8592801 651,9641626 776,6659482
7 476,8631718 854,4441887 717,4066663 1141,40049
46
Lampiran 13
Rata-Rata Hasil Pengukuran Kadar Air
hari ke- Kadar Air (%)
sagu alami aren alami Sagu
HMT Aren HMT
0 88,4125 87,94 85,71 87,5575
1 89,105 87,45 83,475 86,4575
2 87,7425 87,2725 82,1225 85,8425
3 88,1375 86,8975 82,02 86,1025
4 88,11 86,935 80,9425 85,4075
5 87,4425 86,785 79,47 85,11
6 87,9625 86,1175 79,27 82,845
7 87,86 85,835 78,8175 83,285
Hasil pengukuran merupakan rata-rata dari dua replikasi analisis
47
Lampiran 14
Rata-Rata Hasil Pengukuran Aktivitas Air (aw)
hari ke- aw
sagu alami aren alami Sagu HMT Aren HMT
0 0,9475 0,96525 0,9415 0,9605
1 0,9365 0,94175 0,95025 0,93925
2 0,94175 0,94025 0,9245 0,9165
3 0,90225 0,93925 0,9425 0,93775
4 0,90475 0,94325 0,9345 0,9225
5 0,90175 0,939 0,93325 0,93375
6 0,913 0,94475 0,9365 0,9275
7 0,875 0,91725 0,91025 0,9275
Hasil pengukuran merupakan rata-rata dari dua replikasi analisis
48
Lampiran 15
Input Pati Yang Digunakan Untuk Mengetahui Pasting Property Pati Sagu Dan Pati Aren Dengan Menggunakan RVA
Jenis pati kadar air (%) bobot sampel (g) bobot air
(g)
aren alami 7,84 3,27 25,23
sagu alami 12,96 3,46 25,04
HMT aren 7,93 3,27 25,23
HMT sagu 7,67 3,26 25,24
Hasil Pengukuran Pasting Property Pati Aren dan Pati Sagu dengan menggunakan RVA
Parameter pasting properties Pati Aren Alami Pati Sagu Alami Pati Aren HMT Pati Sagu HMT
u1 u2 rata-rata u1 u2 rata-rata u1 u2 rata-rata u1 u2 rata-rata
Suhu awal gelatinisasi (oC) 71,7 71,65 71,675 72,6 72,4 72,5 79,75 80,15 79,95 80,1 80,5 80,3
Viskositas puncak (cP) 6294 6536 6415 6409 6491 6450 3303 3321 3312 4038 3968 4003
Viskositas minimum (cP) 2137 2160 2148,5 2349 2449 2399 1966 1943 1954,5 2137 2139 2138
Viskositas akhir (cP) 3885 3888 3886,5 3401 3629 3515 4549 4545 4547 4357 4298 4327,5
Breakdown 4157 4376 4266,5 4060 4042 4051 1337 1378 1357,5 1901 1829 1865
Setback 1748 1728 1738 1052 1180 1116 2583 2602 2592,5 2220 2159 2189,5