Pengamatan Pasang Surut Air Laut

24
1 PENGAMATAN PASANG SURUT AIR LAUT DI PELABUHAN BITUNG SEBAGAI PREDIKSI AWAL TERJADINYA EL NIÑO DAN LA NIÑA (TIDAL OBSERVATIONS IN PORT BITUNG AS EARLY PREDICTION EL NIÑO DAN LA NIÑA) Riyadi, S.Si, M.Si Kasie Data dan Informasi Stasiun Geofisika Manado (email : [email protected]) Telp. 085240488045 ABSTRACT North Sulawesi marine waters are in a strategic position for national and international shipping, as it relates directly to the Pacific Ocean. Nowaday, not available data and information that can reveal variations in sea level in marine waters of North Sulawesi province in relation to the phenomenon of climate anomaly called El Niño and La Niña. This information is deemed important into useful knowledge for society when certain variations in sea level could mark the arrival of El Niño or La Niña. From data analysis concluded that the onset of La Niña is characterized by sea level began to rise, and also in contrast Keywords : North Sulwesi, sea level, El Niño, La Niña ABSTRAK Perairan laut Sulawesi Utara berada pada posisi yang strategis untuk pelayaran nasional maupun internasional, karena berhubungan langsung dengan Samudera Pasifik. Saat ini belum tersedia data dan informasi yang dapat mengungkapkan variasi muka laut di perairan laut wilayah Provinsi Sulawesi Utara dalam kaitannya dengan fenomena anomali iklim yang disebut El Niño dan La Niña. Informasi ini dipandang penting menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat ketika variasi muka laut tertentu dapat menandai datangnya fenomena El Niño atau La Niña. Dari analisa data disimpulkan bahwa awal terjadinya La Niña ditandai dengan muka laut yang mulai naik, begitu pula sebaliknya. Kata kunci : Sulawesi Utara, muka laut, El Niño, La Niña PENDAHULUAN Di perairan laut, gerakan pasang surut pada lokasi-lokasi tertentu tidak hanya tergantung pada gaya tarik bulan dan matahari saja, tetapi juga ditentukan oleh gaya friksi; rotasi bumi (gaya coriolis); resonansi gelombang yang disebabkan oleh bentuk, luas, kedalaman, topografi bawah air serta hubungan perairan tersebut dengan laut di

description

Berisi ulasan tenteng kajian pasang surut air laut

Transcript of Pengamatan Pasang Surut Air Laut

  • 1

    PENGAMATAN PASANG SURUT AIR LAUT DI PELABUHAN BITUNG

    SEBAGAI PREDIKSI AWAL TERJADINYA EL NIO DAN LA NIA

    (TIDAL OBSERVATIONS IN PORT BITUNG AS EARLY PREDICTION

    EL NIO DAN LA NIA)

    Riyadi, S.Si, M.Si Kasie Data dan Informasi Stasiun Geofisika Manado

    (email : [email protected]) Telp. 085240488045

    ABSTRACT

    North Sulawesi marine waters are in a strategic position for national and

    international shipping, as it relates directly to the Pacific Ocean. Nowaday, not

    available data and information that can reveal variations in sea level in marine waters

    of North Sulawesi province in relation to the phenomenon of climate anomaly called

    El Nio and La Nia. This information is deemed important into useful knowledge

    for society when certain variations in sea level could mark the arrival of El Nio or

    La Nia. From data analysis concluded that the onset of La Nia is characterized by

    sea level began to rise, and also in contrast

    Keywords : North Sulwesi, sea level, El Nio, La Nia

    ABSTRAK

    Perairan laut Sulawesi Utara berada pada posisi yang strategis untuk pelayaran

    nasional maupun internasional, karena berhubungan langsung dengan Samudera

    Pasifik. Saat ini belum tersedia data dan informasi yang dapat mengungkapkan

    variasi muka laut di perairan laut wilayah Provinsi Sulawesi Utara dalam kaitannya

    dengan fenomena anomali iklim yang disebut El Nio dan La Nia. Informasi ini

    dipandang penting menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat ketika

    variasi muka laut tertentu dapat menandai datangnya fenomena El Nio atau La Nia.

    Dari analisa data disimpulkan bahwa awal terjadinya La Nia ditandai dengan muka

    laut yang mulai naik, begitu pula sebaliknya.

    Kata kunci : Sulawesi Utara, muka laut, El Nio, La Nia

    PENDAHULUAN

    Di perairan laut, gerakan pasang surut pada lokasi-lokasi tertentu tidak hanya

    tergantung pada gaya tarik bulan dan matahari saja, tetapi juga ditentukan oleh gaya

    friksi; rotasi bumi (gaya coriolis); resonansi gelombang yang disebabkan oleh bentuk,

    luas, kedalaman, topografi bawah air serta hubungan perairan tersebut dengan laut di

  • 2

    sekitarnya (lautan terbuka/laut bebas dengan laut tertutup/laut terisolir). Selain itu,

    terdapat faktor-faktor non-astronomi yang mempengaruhinya, seperti tekanan

    atmosfer, angin, densitas air laut, penguapan dan curah hujan (Hicks, 2006).

    Sistem iklim di bumi mencakup tidak saja atmosfer dan daratan, tapi juga

    lautan dan es/salju, dimana interaksi komponen sistem ini sangat kompleks dan dapat

    memunculkan fenomena anomali iklim. Fenomena anomali yang dikenal sebagai El

    Nio menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang, dan

    sebaliknya La Nia menyebabkan curah hujan meningkat. Implikasi kedua fenomena

    ini, menurut Irawan (2006) dapat dilihat dari penurunan produksi pangan, sedangkan

    secara meteorologis ditunjukkan oleh Southern Oscillation Index (SOI) dan

    perubahan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik (World Meteorology

    Organization, 1999). Berkurang atau bertambahnya curah hujan ini sangat tergantung

    pada kuat dan lemahnya anomali iklim tersebut. Adanya intensitas hujan yang

    berbeda di satu pihak, dan timbulnya fenomena anomali iklim itu sendiri di pihak

    lain, berpeluang menandai variasi muka laut.

    Permasalahan yang teridentifikasi dari uraian sebelumnya adalah bahwa hingga

    kini belum tersedia data dan informasi yang dapat mengungkapkan variasi muka laut

    di perairan laut wilayah Provinsi Sulawesi Utara dalam kaitannya dengan fenomena

    anomali iklim yang disebut El Nio dan La Nia. Informasi ini dipandang penting

    menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat ketika variasi muka laut

    tertentu dapat menandai datangnya fenomena El Nio atau La Nia.

    Pasang surut terjadi karena adanya gerakan dari benda-benda angkasa yaitu

    rotasi bumi pada sumbunya, peredaran bulan mengelilingi bumi dan peredaran bulan

    mengelilingi matahari. Matahari dan Bulan mempunyai massa yang cukup besar

    sehingga walaupun jaraknya dengan Bumi relatif jauh tetapi pengaruh gaya

    gravitasinya masih dirasakan di Bumi. Pengaruh dari benda angkasa yang lainnya

    sangat kecil dan tidak perlu diperhitungkan karena jarak yang sangat jauh (Zakaria,

    2009). Keadaan pasang surut di suatu tempat dilukiskan oleh konstanta harmonik.

    Sehingga yang dimaksud dengan analisis harmonik pasang surut adalah suatu cara

    untuk mengetahui sifat dan karakter pasang surut di suatu tempat dari hasil

  • 3

    pengamatan pasang surut dalam kurun waktu tertentu. Pengamatan pasang surut

    idealnya selama 18,6 tahun (Pugh, 1987).

    Secara umum persamaan gelombang pasang surut (pasut) yang terukur dari data

    pengamatan pasut dalam suatu periode (X t dapat dirumuskan sebagai berikut:

    X t Zot Tt St

    dimana, Zotadalah rata-rata permukaan air atau Mean Sea Level (MSL), Ttadalah

    pasut yang disebabkan oleh faktor astronomi, dan Stadalah residu pasut atau

    komponen non pasut akibat faktor meteorology.

    Gerakan dari benda angkasa tersebut di atas akan mengakibatkan terjadinya

    beberapa macam gaya pada setiap titik di bumi ini, yang disebut gaya pembangkit

    pasang surut. Masing-masing gaya akan memberikan pengaruh pada pasang surut dan

    disebut komponen pasang surut, dan gaya tersebut berasal dari pengaruh matahari,

    bulan atau kombinasi keduanya (Ali et al., 1994).

    Gaya Pembangkit Pasang Surut

    Hukum Newton yang mengemukakan tentang teori kesetimbangan pasang dan

    surut, yaitu pada air laut terjadi akibat adanya gaya tarik Bulan dan Matahari terhadap

    Bumi. Dinyatakan bahwa Matahari dan Bulan membangkitkan medan gaya di

    sekeliling bumi, dimana arah dan besarnya gaya berubah-ubah secara periodik sesuai

    dengan posisi kedua benda langit itu terhadap bumi.

    Sekarang perlu diketahui besarnya gaya tarik benda-benda angkasa yang

    tampak pada Gambar 1. Gaya tarik antara 2 (dua) benda angkasa masing-masing

    dengan massa m1 dan m2 dengan jarak antara R sedang kedua benda tersebut tidak

    bergerak.

    Gambar 1. Gaya tarik benda angkasa dengan massa berbeda (Pariwono, 1987)

  • 4

    Besarnya gaya tarik :

    = 122

    Bila m2 bergerak mengelilingi m1 seperti halnya bulan mengelilingi bumi, maka

    terdapat gaya sentrifugal. Dengan adanya gaya-gaya sentrifugal, gaya tarik menjadi :

    = 123

    2

    dengan : F = gaya gravitasi (Newton)

    k = konstanta gravitasi (6,673 x 1011 Nm2/kg2)

    m1 = massa bumi (kg)

    m2 = massa bulan (kg)

    R = jarak bumi dengan bulan (m)

    a = radius bumi (m)

    Rumus di atas digunakan untuk membandingkan gaya tarik Bulan terhadap Bumi dan

    gaya tarik Matahari terhadap Bumi, seperti diketahui bahwa:

    Massa Matahari = 319.500 x massa Bumi

    Massa Bulan = 0,0125 x massa Bumi

    Jarak Matahari = 11.600 x diameter Bumi

    Jarak Bulan = 30 x Diameter Bumi.

    Jadi :

    33 600.11

    319500:

    30

    0125,0

    MataharitarikGaya

    bulantarikGaya

    = 2,26 : 1

    Gambar 2 menunjukkan bahwa amplitudo akibat gaya tarik Bulan = 2,26 kali

    amplitudo akibat gaya tarik Matahari. Sedangkan periode harmonik Matahari adalah

    12 jam dan Bulan 12,42 jam.

    Gambar 2. Perbedaan sinusoida pasang surut Matahari

    dengan pasang surut Bulan (Defant, 1958)

    -4.00

    -2.00

    0.00

    2.00

    4.00

    -1 4 9 14 19 24

    Ele

    vasi

    mu

    ka la

    ut

    (me

    ter)

    Waktu (jam)

    Grafik pasut yang dipengaruhi oleh Bulan dan Matahari

    Matahari

  • 5

    Pengaruh dari Bulan dan Matahari yang dapat diuraikan dari data pengamatan

    pasang surut dengan menggunakan analisis harmonik. Unsur-unsur ini pula yang

    digunakan untuk melakukan prediksi pasang surut di waktu yang akan datang.

    Perubahan deklinasi Matahari dan Bulan, serta variasi siklis posisi terhadap Bumi,

    menghasilkan komponen yang sangat harmonik, yang masing-masing berkontribusi

    pada pasang surut di sembarang waktu dan tempat.

    Posisi-posisi relatif dan orientasi dari Bumi dan Bulan tidak konstan, tapi

    berbeda-beda tergantung kepada jumlah lingkaran orbit yang berinteraksi. Sejauh

    pengertian sederhana dari mekanisme pergerakan-pasang surut, hanya dua lingkaran

    orbit memiliki efek signifikan terhadap pasang surut yaitu deklinasi dan orbit ellips

    Bulan. Unsur utama pembangkit pasang surut diidentifikasi ada sembilan unsur

    (Defant, 1961) yang disajikan pada Tabel 1.

    Tabel 1. Unsur utama pembangkit pasang surut

    Unsur Periode (jam) Kecepatan

    sudut (0/jam)

    Sifat dan disebabkan oleh

    M2 12.42 28.9841 Harian ganda: bulan orbit lingkaran dan equatorial orbit

    S2 12.00 30.0000 Harian ganda: Matahari orbit lingkaran dan equatorial orbit

    K2 11.97 30.0821 Harian ganda: deklinasi bulan dan deklinasi matahari

    N2 12.66 28.4397 Harian ganda: orbit bulan yang eliptis

    K1 23.93 15.0411 Harian ganda: deklinasi bulan dan deklinasi matahari

    O1 25.82 13.9430 Harian ganda: deklinasi bulan

    P1 24.07 14.9589 Harian ganda: deklinasi matahari

    M4 6.21 57.9682 quarter diurnal: perairan dangkal

    MS4 6.20 58.9841 quarter diurnal: perairan dangkal, interaksi M2 dan S2

    Sinergi Tiga Gelombang Pasang

    Gelombang pasang merupakan sinergi dari tiga fenomena yang terjadi serentak

    yaitu :

    1. Pasang tertinggi yang terjadi setiap 18,6 tahun sekali pada bulan baru sehingga

    bumi segaris lurus dengan bulan dan matahari pada jarak terdekat (perigeum),

  • 6

    sehingga kombinasi gravitasi keduanya mampu mengangkat air hingga mencapai

    pasang maksimal.

    2. Gelombang Kelvin yakni gelombang di samudra atau atmosfir yang

    mengimbangi gaya coriolis (gaya akibat rotasi bumi). Gaya ini mengarah dari

    masing-masing kutub ke equator dengan tendensi ke timur dengan kecepatan

    tetap, hingga membentur pantai atau saling berbenturan dengan gelombang

    Kelvin dari arah yang berlawanan di equator.

    3. Gelombang swell, yaitu gelombang akibat tiupan angin dengan skala yang lebih

    besar dari pada riak (ripples). Angin terjadi karena perbedaan pemanasan.

    Perbedaan pemanasan ini antara lain diakibatkan oleh perbedaan liputan awan

    (Hicks, 2006).

    Sinergi tiga kekuatan ini (pasang surut, rotasi bumi, dan angin) yang masing-

    masing pada kondisi maksimum, menghasilkan gelombang yang maksimum pula.

    Ketika gelombang ini bertemu topografi dasar laut yang melandai di dekat pantai,

    puncak gelombang ini akan tampak membesar, sehingga ketika menghantam pantai

    dapat menimbulkan bencana.

    Fenomena Iklim

    Iklim dalam pengertian klasik adalah rata-rata keadaan atmosfer yang diamati

    sebagai cuaca dalam periode waktu terbatas (seperti musim) untuk sejumlah tahun

    yang berbeda termasuk siklus harian, bulan, musim, tahun, dekade atau perioda yang

    lebih panjang. Variabel iklim yang sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan

    adalah suhu, curah hujan, angin, kelembaban dan keadaan awan (Ratag, 2006).

    Karena suhu adalah salah satu parameter dari iklim dengan begitu berpengaruh pada

    iklim bumi, terjadilah perubahan iklim secara global (IPCC, 2007). Gambar 3

    memperlihatkan trend kenaikan suhu global pada beberapa tahun terakhir (IPCC,

    2007).

  • 7

    Gambar 3. Trend peningkatan anomali suhu global periode tahun 1860 2000 (Sumber : IPCC, 2007)

    Iklim Normal

    Curah hujan di wilayah Indonesia didominasi oleh adanya pengaruh beberapa

    fenomena, antara lain sistem monsoon Asia-Australia, El Nio, sirkulasi timur barat

    (Walker Circulation) dan utara selatan (Hadley Circulation) serta beberapa sirkulasi

    karena pengaruh lokal. Variabilitas curah hujan di Indonesia sangatlah kompleks dan

    merupakan suatu bagian dari variabilitas monsoon. Monsoon dan pergerakan ITCZ

    (intertropical convergence zone) berkaitan dengan variasi curah hujan tahunan dan

    semi-tahunan di Indonesia (Ratag, 2008), sedangkan fenomena El Nio dan dipole

    mode berkaitan dengan variasi curah hujan antar tahunan di Indonesia.

    Pola umum curah hujan di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh letak

    geografis. Tjasyono (2004) secara rinci membagi pola umum hujan di Indonesia yang

    diuraikan sebagai berikut:

    1. Pantai sebelah barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak

    daripada pantai sebelah timur.

    2. Curah hujan di Indonesia bagian barat lebih besar daripada Indonesia bagian

    timur. Sebagai contoh, deretan pulau-pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang

    dihubungkan oleh selat-selat sempit, jumlah curah hujan yang terbanyak adalah

    Jawa Barat.

  • 8

    3. Curah hujan juga bertambah sesuai dengan ketinggian tempat. Curah hujan

    terbanyak umumnya berada pada ketinggian antara 600900 m di atas

    permukaan laut.

    4. Di daerah pedalaman, di semua pulau musim hujan jatuh pada musim pancaroba.

    Demikian juga halnya di daerah-daerah rawa yang besar. Saat mulai turunnya

    hujan bergeser dari barat ke timur seperti :

    a. Pantai barat pulau Sumatera sampai ke Bengkulu mendapat hujan terbanyak

    pada bulan November.

    b. Lampung-Bangka yang letaknya ke timur mendapat hujan terbanyak pada

    bulan Desember.

    c. Jawa bagian utara, Bali, NTB, dan NTT pada bulan Januari Februari.

    5. Di Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Tengah, musim

    hujannya berbeda, yaitu bulan Mei-Juni. Pada saat itu, daerah lain sedang

    mengalami musim kering.

    6. Di Sulawesi bagian tengah, utara dan Maluku Utara puncak musim penghujan,

    yaitu bulan Nov-Peb.

    Rata-rata curah hujan di Indonesia untuk setiap tahunnya tidak sama. Namun masih

    tergolong cukup banyak, yaitu rata-rata 2000 3000 mm/tahun. Begitu pula antara

    tempat yang satu dengan tempat yang lain rata-rata curah hujannya tidak sama

    (Tjasyono, 2007).

    Tjasyono (2004) lebih jauh menyatakan iklim di Indonesia dapat dibagi

    menjadi 3 pola iklim utama dengan melihat pola curah hujan selama setahun. Pola

    curah hujan di wilayah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pola monsoon, pola

    ekuatorial dan pola lokal. Pola monsoon dicirikan oleh bentuk pola hujan yang

    bersifat unimodal (satu puncak musim hujan yaitu sekitar Desember). Selama enam

    bulan curah hujan relatif tinggi (biasanya disebut musim hujan) dan enam bulan

    berikutnya rendah (biasanya disebut musim kemarau). Dalam kondisi normal suhu

    muka laut di Samudera Pasifik bagian barat sedikit lebih tinggi dari pada bagian

    timur, diilustrasikan pada Gambar 4.

  • 9

    Gambar 4. Kondisi iklim normal

    Musim kemarau berlangsung dari April sampai September dan musim hujan

    dari Oktober sampai Maret. Pola equatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk

    bimodal, yaitu dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan

    Oktober saat matahari berada dekat equator. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola

    hujan unimodal (satu puncak hujan) tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan

    pada tipe monsoon. Menurut Tjasyono (2007), wilayah Indonesia di sepanjang garis

    khatulistiwa sebagian besar mempunyai pola hujan equatorial, sedangkan pola hujan

    monsoon terdapat di pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, dan sebagian Sumatera.

    Sedangkan salah satu wilayah mempunyai pola hujan lokal adalah Ambon (Maluku).

    El Nio

    El Nio, menurut sejarahnya adalah sebuah fenomena yang teramati oleh para

    penduduk atau nelayan Peru dan Ekuador yang tinggal di pantai sekitar Samudera

    Pasifik bagian timur menjelang hari natal (Desember). El Nio adalah fenomena alam

    dan bukan badai, secara ilmiah diartikan dengan meningkatnya suhu muka laut di

    sekitar Pasifik tengah dan timur sepanjang ekuator dari nilai rata-ratanya dan secara

    fisik tidak dapat dilihat (Stewart, 2008).

    Fenomena ini mengakibatkan perairan yang tadinya subur dan kaya akan ikan

    (akibat adanya upwelling atau arus naik permukaan yang membawa banyak nutrien

    dari dasar) menjadi sebaliknya. Pemberian nama El Nio pada fenomena ini

    disebabkan oleh karena kejadian ini seringkali terjadi pada bulan Desember. El Nio

  • 10

    (bahasa Spanyol) sendiri dapat diartikan sebagai anak lelaki. Di kemudian hari para

    ahli juga menemukan bahwa selain fenomena menghangatnya suhu permukaan laut,

    terjadi pula fenomena sebaliknya yaitu mendinginnya suhu permukaan laut akibat

    menguatnya upwelling. Kebalikan dari fenomena ini selanjutnya diberi nama La Nia

    (juga bahasa Spanyol) yang berarti anak perempuan. Fenomena ini memiliki periode

    2-7 tahun (Aldrian, 2008).

    El Nio akan terjadi apabila perairan yang lebih panas di Pasifik tengah dan

    timur meningkatkan suhu dan kelembaban pada atmosfer yang berada di atasnya.

    Kejadian ini mendorong terjadinya pembentukan awan yang akan meningkatkan

    curah hujan di sekitar kawasan tersebut (diilustarasikan seperti pada Gambar 5).

    Bagian barat Samudra Pasifik tekanan udara meningkat sehingga menyebabkan

    terhambatnya pertumbuhan awan di atas lautan bagian timur Indonesia, sehingga di

    beberapa wilayah Indonesia terjadi penurunan curah hujan yang jauh dari normal.

    Gambar 5. Kondisi El Nio

    Suhu permukaan laut di Pasifik tengah dan timur menjadi lebih tinggi dari biasa

    pada waktu-waktu tertentu, walaupun tidak selalu. Keadaan inilah yang menyebabkan

    terjadinya fenomena El Nio. Tekanan udara di kawasan equator Pasifik barat

    menurun, lebih ke barat dari keadaan normal, menyebabkan pembentukkan awan

    yang lebih dan hujan lebat di daerah sekitarnya. Kejadian ini tidak terjadi secara

    tunggal tetapi berlangsung secara berurutan pasca atau pra La Nia. Anomali ini

  • 11

    merupakan fenomena cuaca skala global dan mempengaruhi kondisi iklim di berbagai

    tempat. Dampaknya terhadap kondisi cuaca global:

    a. Angin pasat timuran melemah.

    b. Sirkulasi Monsoon melemah.

    c. Akumulasi curah hujan berkurang di wilayah Indonesia, Amerika tengah dan

    selatan bagian utara, cuaca di daerah ini cenderung lebih dingin dan kering.

    d. Potensi hujan terdapat di sepanjang Pasifik ekuatorial tengah dan barat serta

    wilayah Argentina, cuaca cenderung hangat dan lembab.

    Dampaknya terhadap kondisi cuaca Indonesia menyebabkan curah hujan di sebagian

    besar wilayah Indonesia berkurang, tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat

    tergantung dari intensitas El Nio tersebut. Namun karena posisi geografis Indonesia

    yang dikenal sebagai benua maritim, maka tidak seluruh wilayah Indonesia

    dipengaruhi oleh fenomena ini. El Nio pernah menimbulkan kekeringan panjang di

    Indonesia. Curah hujan berkurang dan keadaan bertambah menjadi lebih buruk

    dengan meluasnya kebakaran hutan dan asap yang ditimbulkannya (Tjasyono dan

    Harijono, 2007).

    La Nia

    Dalam bahasa latin La Nia berarti gadis cilik. Fenomena ini merupakan suatu

    kondisi dimana terjadi penurunan suhu muka laut di kawasan timur equator di lautan

    Pasifik (diilustrasikan pada Gambar 13). La Nia tidak dapat dilihat secara fisik,

    periodenya pun tidak tetap.

    Gambar 6. Kondisi La Nia

  • 12

    Meskipun rata-rata La Nia terjadi setiap tiga hingga tujuh tahun sekali dan dapat

    berlangsung 12 hingga 36 bulan, fenomena ini tidak mempunyai periode tetap

    sehingga sulit diperkirakan kejadiannya pada enam hingga sembilan bulan

    sebelumnya. La Nia adalah sesuatu yang alami dan telah mempengaruhi wilayah

    Samudra Pasifik selama ratusan tahun (Wells, 2012).

    Pada saat terjadi La Nia angin pasat timur yang bertiup di sepanjang Samudera

    Pasifik menguat (sirkulasi Walker bergeser ke arah barat). Sehingga massa air hangat

    yang terbawa semakin banyak ke arah Pasifik barat. Akibatnya massa air dingin di

    Pasifik timur bergerak ke atas dan menggantikan massa air hangat yang berpindah

    tersebut, hal ini biasa disebut upwelling. Dengan pergantian massa air itulah suhu

    permukaan laut mengalami penurunan dari nilai normalnya. La Nia umumnya

    terjadi pada musim dingin di belahan Bumi utara khatulistiwa (Ratag, 2006).

    METODOLOGI PENELITIAN

    Sesuai tujuan, pengumpulan data pasang surut dilakukan Pelabuhan Samudera

    Bitung seperti pada Gambar 7.

    Gambar 7. Peta lokasi penelitian

  • 13

    Radar gauges adalah alat yang dilengkapi dengan pemancar pulsa radar

    (transmitter), penerima pulsa radar (receiver), serta jam berakurasi tinggi. Pada

    sistem ini, radar memancarkan pulsa-pulsa gelombang radio ke permukaan laut.

    Pulsa-pulsa tersebut dipantulkan oleh permukaan laut dan diterima kembali oleh

    radar. Sistem radar ini dapat mengukur ketinggian radar di atas permukaan laut

    dengan menggunakan waktu tempuh dari pulsa radar yang dikirimkan ke permukaan

    laut, dan dipantulkan kembali ke radar. Contoh radar gauges dapat dilihat pada

    Gambar 8.

    Gambar 8. Sensor jenis radar (Sumber : TWS, 2013)

    Bahan yang digunakan adalah data sekunder dari hasil pengamatan pasang

    surut tiap jam hasil rekaman alat Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional

    (BAKOSURTANAL) yang dipasang di Pelabuhan Samudera Bitung (1987 s/d 2011).

    Data sekunder digunakan untuk menentukan elevasi permukaan air laut berupa MSL

    (Mean Sea Level). Selain itu, data pengamatan unsur-unsur iklim (curah hujan, suhu)

    dari tahun (1987 s/d 2011) dari BMKG dihimpun untuk melihat kecenderungan

    perubahan iklim (El Nio dan La Nia). Data kondisi perbedaan suhu muka laut

    bulanan yang dilaporkan oleh NOAA untuk periode 1987 2011 di daerah Nio 3.4

    (50N-5

    0S, 120

    0-170

    0W) seperti tampak pada Gambar 9 juga dikumpulkan untuk

    melihat indikasi adanya El Nio dan La Nia.

  • 14

    Gambar 9. Peta pembagian daerah El Nio (index oceanic) dalam pengamatan anomali suhu muka

    laut. (Sumber : NOAA, 2013)

    Analisis Data

    Fenomena El Nio dan La Nia dapat ditentukan dari 5 parameter yaitu gejala

    meteorologi dan klimatologi yang meliputi anomali suhu muka laut, indeks osilasi

    selatan (IOS), yaitu mengukur perbedaan/selisih tekanan udara di Australia dengan

    Tahiti/Kepulauan Hawaii dan anomali angin pasat (Irawan, 2006; Haryanto, 1998).

    Ada pula fenomena yang ditandai dengan gejala oseanografi yaitu variasi muka laut

    dan arus lintas Indonesia. Anomali adalah penyimpangan atau perbedaan atau variasi

    dari nilai rata-ratanya (dalam satu bulan).

    Teknik analisis data untuk mengidentifikasi fase El Nio dan La Nia , dengan

    menggunakan data perbedaan suhu di daerah Nio 3.4. Fase El Nio terjadi ketika

    perbedaan suhu bulanan mencapai lebih dari 0.50C di atas rata-rata normalnya. Begitu

    pula sebaliknya, fase La Nia terjadi pada saat perbedaan suhunya mencapai lebih

    dari 0.50C di bawah rata-rata normalnya. Selanjutnya dari data tersebut dibuat grafik

    yang menunjukkan periode terjadinya La Nia dan El Nio.

    Secara deskriptif, data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan

    gambar dengan bantuan Program Excel. Penentuan mean sea level bulanan yang

    dipengaruhi oleh faktor astronomis dan lokal (meteorologis) dengan perhitungan

    aritmatik.

  • 15

    =1

    =1

    Dengan ketentuan:

    = rata-rata tinggi pasang surut (m) n = jumlah data

    xi = data pasut ke-i

    Penentuan mean sea level bulanan yang dipengaruhi oleh faktor astronomis

    dihitung dengan metode least square. Proses penentuan komponen harmonik pasut

    dilakukan melalui dua tahapan, yaitu analisis harmonik pasut dan pemilihan

    komponen harmonik pasut. Analisis harmonik pasut dimaksudkan untuk

    mendapatkan amplitudo (dalam meter) dan fase (dalam derajat) dari setiap komponen

    harmonik pasut. Pemilihan komponen harmonik pasut dimaksudkan untuk memilih

    beberapa komponen harmonik pasut yang akan digunakan dalam penentuan bilangan

    Formzal. Proses analisis harmonik pasut diawali dengan merubah terlebih dahulu

    satuan data pasut dari milimeter (mm) menjadi meter, kemudian data pasut

    dikelompokkan berdasarkan urutan waktu pengamatan setiap jam. Selanjutnya proses

    dilanjutkan dengan memasukkan data pasut yang telah dikelompokkan ke dalam

    program excel sehingga didapatkan amplitude (dalam meter) dan fase (dalam derajat)

    serta mean sea level (MSL) setiap stasiun pasut.

    Metode analisis harmonik dirumuskan sebagai berikut (Forrester, 1983) :

    = 0 +( )

    1

    dapat ditulis dalam bentuk lain

    = 0 +

    1

    [cos() . cos() + (). ()]

  • 16

    n

    nn

    nnn

    n

    inn

    n

    inni

    nnn

    nnn

    A

    Barctgg

    BAHdan

    tBtAZhtmenjadi

    gHB

    gHAmisalkan

    22

    11

    0 )sin()cos(

    )sin(

    )cos(

    Besarnya hasil perhitungan hti akan mendekati elevasi pengamatan pasut ht , jika

    2 =[ ]2 =

    Fungsi 2 akan minimum bila memenuhi hubungan:

    2

    0=

    2

    =

    2

    = 0, dengan n = 1, k

    Dari persamaan terkait diperoleh sebanyak 2k + 1 persamaan sehingga dapat

    ditentukan besaran Zo, An dan Bn.

    Dengan dasar analisis harmonik pasut sesuai metode least square maka akan

    diperoleh amplitudo serta fase dari komponen harmonik pasut, yang prosedurnya

    melalui beberapa tahapan (Hasibuan et al., 2009). Menentukan besaran Zo, An dan Bn

    melalui persamaan matrik sebagai berikut:

    9

    9

    2

    2

    1

    1

    0

    9911

    191911111

    .....)sin()cos(.....)sin()cos(1

    .................1

    )sin()cos(....)sin()cos(1

    ...

    B

    A

    B

    A

    B

    A

    Z

    tttt

    tttt

    ht

    ht

    xxxxx

    Dari persamaan matrik tersebut dapat diperoleh komponen harmonik

    diantaranya, yaitu:

  • 17

    Komponen: Z0 M2 S2 K2 N2 K1 O1 P1 M4 MS4

    H(m): ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Secara umum, hasil pengolahan dan analisis data yang telah dikerjakan

    memungkinkan tercapainya tujuan penelitian ini. Keseluruhan hasil yang diperoleh

    selanjutnya akan diuraikan dalam tiga topik bahasan mencakup variasi muka laut,

    identifikasi El Nio dan La Nia, dan hubungan antara pasang surut air laut dengan

    fenomena iklim.

    Variasi Muka Laut

    Hasil analisis dengan metode least square menunjukkan bahwa muka laut rata-

    rata bulanan bervariasi selama periode tahun 1987-2011 antara 1301 mm dan 1682

    mm. Data hasil analisis berdasarkan metode least square selanjutnya ditampilkan

    secara deskriptif seperti pada Gambar 10. Dapat dilihat bahwa selang periode 1987-

    1989 muka laut rata-rata bulanan adalah bervariasi dengan kecenderung meningkat.

    Kecenderungan yang sama terjadi pada tahun 1992 tetapi dengan tingkat peningkatan

    yang relatif lebih rendah dibandingkan periode 1987-1989. Muka laut rata-rata

    bulanan pada periode 1994-1995 juga bervariasi dengan kecenderungan penurunan

    dari bulan ke-4 hingga bulan ke-14, kemudian perlahan meningkat.

    Berdasarkan data IPCC (2007), kenaikan suhu permukaan bumi terindikasi

    mencapai sekitar 0.40C dalam dekade tahun 1980 sampai 2000. Hal ini

    mengakibatkan sebagian es di kutub mencair sehingga berimplikasi terhadap naiknya

    muka laut. Aldrian (2008) menyatakan bahwa pemanasan global berakibat juga

    semakin kuatnya frekuensi dan intensitas siklon tropis dan mengakibatkan

    panjangnya ekor dari siklon yang terjadi. Peristiwa pemanasan iklim global

    merupakan akibat dari eksplorasi energi dari dalam perut bumi untuk dipakai di muka

    bumi dan sisa energi dibuang ke atmosfir dalam bentuk gas gas rumah kaca serta

    energi berlebih. Gas rumah kaca tersebut juga menyerap energi radiasi matahari dan

    menyimpannya di atmosfir.

  • 18

    Gambar 10. Variasi muka laut rata-rata bulanan di perairan pelabuhan Samudera

    Bitung, selama periode 1999-2011

    Dalam Gambar 11 menunjukkan, batas musim penghujan ditandai dengan

    jumlah curah hujan di atas 150 mm sedangkan musim kemarau ditandai dengan

    jumlah curah hujan di bawah 150 mm. Musim penghujan berlangsung selama 8 bulan

    yakni November hingga Juni, sedangkan musim kemarau berlangsung selama 4 bulan

    dari bulan Juli sampai Oktober. Rata-rata curah hujan bulanan minimum adalah

    1200

    1300

    1400

    1500

    1600

    1700

    1 3 5 7 9 11131517192123252729313335

    Ele

    vasi pasut (m

    m)

    Bulan

    Variasi muka laut selama 1987-1989

    1200

    1300

    1400

    1500

    1600

    1700

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11Ele

    vasi pasut (m

    m)

    Bulan

    Variasi muka laut selama 1992

    1200

    1300

    1400

    1500

    1600

    1700

    1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21

    Ele

    vasi pasut (m

    m)

    Bulan

    Variasi muka laut selama 1994-1995

    1200

    1300

    1400

    1500

    1600

    1700

    1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23E

    levasi pasut (m

    m)

    Bulan

    Variasi muka laut selama 1999-2000

    1200

    1300

    1400

    1500

    1600

    1700

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38

    Ele

    vasi pasut (m

    m)

    Bulan

    Variasi muka laut selama 2008-2011

  • 19

    terjadi pada bulan September, dan ini bersesuaian dengan fakta dimana variasi muka

    laut cenderung rendah pada bulan tersebut.

    Gambar 11. Grafik curah hujan bulanan di Pelabuhan Samudera Bitung periode 1987 sampai 2011

    Berkaitan dengan curah hujan di Indonesia, kondisinya dapat berbeda-beda

    setiap tahun, namun secara umum masih tergolong banyak yakni secara rata-rata

    berkisar antara 2000-3000 mm/tahun, dan dapat berbeda antara tempat yang satu

    dengan lainnya. Tjasyono (2004) melaporkan bahwa untuk Sulawesi bagian tengah

    dan utara serta Maluku Utara, puncak musim penghujan adalah terjadi sekitar

    Nopember - Pebruari.

    Identifikasi La Nia dan El Nio

    Nilai anomali suhu muka laut yang terjadi di daerah Nio 3.4 (50N-5

    0S, 120

    0-

    1700W) sangat berkaitan erat dengan terjadinya peristiwa El Nio dan La Nia. Data

    hasil pengamatan suhu muka laut yang diperoleh dari NOAA selama periode 1987

    sampai 2011 ditampilkan seperti pada Gambar 12.

    Dari variasi anomali suhu muka laut tersebut dipisahkan anomalinya. Jika

    selisih suhu di daerah tersebut lebih tinggi 0,50C atau lebih dari rata-rata normalnya

    dan berlangsung selama 3 bulan lebih (Stewart, 2008), maka akan terjadi fenomena

    El Nio. Sebaliknya jika selisih suhu di daerah tersebut lebih rendah 0,50C atau lebih

    dari rata-rata normalnya, maka akan terjadi fenomena La Nia.

  • 20

    Gambar 12. Grafik anomali suhu muka laut di daerah Nio 3.4 periode 1987 sampai 2011 yang

    menunjukkan fase El Nio dan La Nia (Sumber: NOAA, 2013)

    Pada Gambar 13 dapat dilihat kecenderungan bahwa pada fase El Nio kondisi

    variasi muka lautnya cenderung rendah dan awal terjadinya El Nio ditandai dengan

    kondisi muka laut yang mulai menurun serta akhir dari fase El Nio kondisi variasi

    muka lautnya mulai naik. Pada fase La Nia kondisi variasi muka lautnya cenderung

    tinggi dan awal terjadinya ditandai dengan kondisi muka laut yang semakin naik serta

    pada akhir fase La Nia kondisi muka lautnya mulai menurun.

    Menurut ICCSR (2010), kenaikan tinggi muka air laut pada saat masa transisi

    antara El Nio dan La Nia disebabkan karena trade wind di Samudera Pasifik

    menguat dan membawa masa air dari Pasifik Timur di sekitar Peru ke daerah perairan

    Indonesia, yang ditandai dengan perpindahan kolam air hangat (warm pool) dari

    Pasifik Tengah ke Laut Indonesia. Periode transisi antara El Nio dan La Nia

    menyebabkan terjadinya kenaikan drastis tinggi muka air laut hingga mencapai 20

    cm. Selain kenaikan tinggi muka air laut yang drastis, kondisi iklim ekstrim

    menyebabkan terjadinya cuaca ekstrim yang berpeluang menimbulkan terjadinya

    gelombang tinggi.

  • 21

    Gambar 13. Variasi muka laut rata-rata bulanan di Pelabuhan Samudera Bitung pada periode normal,

    El Nio dan La Nia selama 1987-2011

    Untuk lebih memahami variasi muka laut pada awal terjadinya La Nia, maka

    dilakukan analisa data harian selang waktu 2 bulan menjelang terjadinya La Nia,

    seperti diperlihatkan pada Gambar 14. Variasi muka laut pada bulan Maret sampai

    April pada tahun 1988 menampilkan kecenderungan naiknya gradien muka laut

    secara signifikan, dimana hal tersebut menandai awal terjadinya La Nia. Hal yang

    sama terjadi pada bulan Juli sampai Agustus 1995 dan bulan Mei sampai Juni 2009,

    walaupun pada periode tersebut tingkat kenaikannya tidak sebesar pada tahun 1988.

    1000

    1200

    1400

    1600

    1800

    Elev

    asi P

    asu

    t (m

    m)

    Bulan

    Variasi Muka Laut Tahun 1987-1989

    El Nino

    Normal

    La Nina

    1000

    1200

    1400

    1600

    1800

    Elev

    asi P

    asu

    t (m

    m)

    Bulan

    Variasi Muka Laut Tahun 1992

    1000

    1200

    1400

    1600

    1800

    Elev

    asi P

    asu

    t (m

    m)

    Bulan

    Variasi Muka Laut Tahun 1994-1995

    1000

    1200

    1400

    1600

    1800

    Elev

    asi P

    asu

    t (m

    m)

    Bulan

    Variasi Muka Laut Tahun 1999-2001

    1000

    1200

    1400

    1600

    1800

    Elev

    asi P

    asu

    t (m

    m)

    Bulan

    Variasi Muka Laut Tahun 2008-2011

  • 22

    Gambar 14. Grafik variasi muka laut harian di Pelabuhan Samudera Bitung yang menandai awal

    terjadinya La Nia

    Dari data variasi muka laut yang tersedia, terdapat satu even yang menandai

    adanya awal kejadian El Nio. Seperti dapat dilihat pada Gambar 15, variasi muka

    laut pada bulan April sampai Mei pada tahun 2009 menandakan kecenderungan

    penurunan yang cukup signifikan.

    Gambar 15. Grafik variasi muka laut harian di Pelabuhan Samudera Bitung yang menandai awal

    terjadinya El Nio

    y = 1.595x + 1410 R = 0.3861

    1300

    1350

    1400

    1450

    1500

    1550

    1600

    1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61

    Elev

    asi p

    asu

    t (m

    m)

    Tgl ke-

    Variasi muka laut bulan Maret-April 1988

    y = 0.3613x + 1455 R = 0.1181

    1300

    1350

    1400

    1450

    1500

    1550

    1600

    1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61

    Elev

    asi p

    asu

    t (m

    m)

    Tgl ke-

    Variasi muka laut bulan Juli-Agustus 1995

    y = 0.0429x + 1513 R = 0.002

    1300

    1350

    1400

    1450

    1500

    1550

    1600

    1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61

    Elev

    asi P

    asu

    t (m

    m)

    Tgl ke-

    Variasi muka laut bulan Mei-Juni 2010

    y = -0.562x + 1583. R = 0.328

    1400

    1450

    1500

    1550

    1600

    1650

    1700

    1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61

    Elev

    asi p

    asu

    t (m

    m)

    Tgl ke-

    Variasi muka laut bulan April-Mei 2009

  • 23

    KESIMPULAN

    Wilayah perairan Provinsi Sulawesi Utara (Pelabuhan Samudera Bitung)

    menunjukkan bahwa pada fase El Nio tinggi muka laut rata-rata (MSL) adalah

    1387 mm atau terdepresi hingga 87 mm dari normalnya dan pada fase La Nia tinggi

    muka laut rata-rata adalah 1525 mm atau terelevasi hingga 51 mm dari normalnya.

    Awal terjadinya El Nio ditandai dengan variasi muka laut yang mulai menurun

    sedangkan awal terjadinya La Nia ditandai variasi muka laut yang mulai naik.

    DAFTAR PUSTAKA

    Aldrian, E. 2008. Meteorologi Laut Indonesia. Penerbit BMG. Jakarta.

    Ali, M., Mihardja, D.K., dan Hadi, S. 1994. Pasang Surut Laut. Institut Teknologi

    Bandung. Bandung.

    Defant, A. 1958. Ebb and Flow. The Tides of Earth, Air, and Water. The University

    of Michigan Press. Michigan.

    Defant, A. 1961. Physical Oceanography. Pergamon Press New York.

    Forrester, W.D. 1983. Canadian Tidal Manual. Departement of Fisheries and Oceans.

    Ottawa.

    Haryanto, U. 1998. Keterkaitan Indeks Osilasi Selatan (SOI) Terhadap Curah Hujan

    DAS Citarum. Tesis Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Hicks, S.D. 2006. Understanding Tides. US Departement of Commerce. National

    Oceanic and Atmosphere Administration. New York.

    Hasibuan, G. P., Pariwono, J.I., dan Manurung, P. 2009. Analisis Surut Astronomis

    Terendah di Perairan Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa

    Menggunakan Superposisi Komponen Harmonik Pasang Surut. Skripsi

    Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR). 2010. Basis Saintifik :

    Analisis dan Proyeksi Kenaikan Muka Air Laut dan Cuaca Ekstrim.

    Bapennas. Jakarta.

    Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC). 2007. Climate Change 2007:

    The Physical Science Basis. Cambridge University Press. Cambridge.

    Irawan, B. 2006. Fenomena Anomali Iklim El Nio dan La Nia : Kecenderungan

    Jangka Panjang dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Pangan. Forum

    Penelitian Agro Ekonomi, Volume 24 No. 1, Juli. Hal 28-45.

    National Oceanic and Atmosphere Administration (NOAA). 2013. Monthly

    Atmospheric & SST Indices. Http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/

    (diakses tanggal : 3 Maret 2013). Pariwono, J.I. 1987. Gaya Penggerak Pasang Surut. Pusat Penelitian dan

    Pengembangan Oseanologi. Jakarta.

  • 24

    Pugh, D.T. 1987. Tides, Surges and Mean Sea Level. John Wiley and Sons.

    Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapore.

    Ratag, M.A. 2006. Pemodelan Sistem Iklim. Badan Meteorologi dan Geofisika.

    Jakarta.

    Ratag, M.A. 2008. Dasar-Dasar Fisika Monsun. Badan Meteorologi dan Geofisika.

    Jakarta.

    Stewart, R.H. 2008. Introduction To Physical Oceanography. Department of

    Oceanography Texas A & M University. Texas.

    Tjasyono, B. 2004. Klimatologi Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung.

    Tjasyono, B. 2007. Meteorologi Indonesia I : Karakteristik dan Sirkulasi Atmosfer,

    Penerbit BMG. Jakarta.

    Tjasyono, B., dan Harijono, S.W.B. 2007. Meteorologi Indonesia II : Awan dan

    Hujan Monsun, Penerbit BMG. Jakarta.

    Tsunami Warning System (TWS). 2013. Observation Data Network.

    (http://stream2.cma.gov.cn/pub/comet/Environment/TsunamiWarningSystems

    /comet/tsunami/warningsystem/print.htm (diakses tanggal 2 Maret 2013)

    Wells, N.C. 2012. The Atmosphere and Ocean, A Physical Introduction Thrid

    Edition. A John Wiley & Sons, Ltd., Publication. University of Southampton,

    UK.

    World Meteorology Organization (WMO). 1999. WMO Statement on the Status of

    the Global Climate In 1999. WMO-No. 913 2000, World Meteorological

    Organization ISBN 92-63-10913-3.

    Zakaria, A. 2009. Teori dan Komputasi untuk Gelombang Angin dan Pasang Surut Menggunakan Php Script. Diktat Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung.