PENERAPAN KEWENANGAN KEJAKSAAN RI SEBAGAI PENYIDIK TINDAK...
-
Upload
hoangquynh -
Category
Documents
-
view
218 -
download
0
Transcript of PENERAPAN KEWENANGAN KEJAKSAAN RI SEBAGAI PENYIDIK TINDAK...
i
PENERAPAN KEWENANGAN KEJAKSAAN RI SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG TINDAK PIDANA
ASALNYA KORUPSI
APPLICATION OF THE PROSECUTORIAL AUTHORITY OF THE REPUBLIC INDONESIA AS AN INVESTIGATOR OF MONEY
LAUNDERING PREDICATE OFFENSES ARE CRIMINAL ACTS OF CORRUPTION
Tjetjep Saepul Hidayat, Aswanto, Ansori Ilyas
Bagian Kosentrasi Hukum Kepidanaan Universitas Hasanuddin
Alamat Korespodensi : Tjetjep Saepul Hidayat Kantor : Cabang Kejaksaan Negeri Makassar di Pelabuhan Alamat : Jl. Pelabuhan Makassar No. HP : 081340379601 e-mail : [email protected]
ii
LEMBAR PERSETUJUAN ARTIKEL JURNAL
PENERAPAN KEWENANGAN KEJAKSAAN RI SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG TINDAK PIDANA
ASALNYA KORUPSI
Tjetjep Saepul Hidayat
Pembimbing I Tanda Tangan Tanggal Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., D.FM. ______________ Pembimbing II Dr. Ansori Ilyas, S.H., M.H. _______________
Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H.
iii
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai penerapan kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia dalam melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi berhubungan dengan efektifitas dalam pelaksanaan kewenangan tersebut yang baru berjalan relatif masih muda yaitu sekitar satu tahun lebih. Pencucian uang merupakan suatu kejahatan luar biasa yang begitu besar dampak negatifnya dan dilihat dari modus operandinya yang melibatkan transaksi perbankan bahkan sampai lintas negara juga banyak menggunakan peralatan berteknologi tinggi, dan banyak melibatkan orang-orang yang terpelajar serta telah menjadi kejahatan yang serius yang teroganisir yang untuk itu dituntut pengetahuan lebih dari para jaksa untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Spesifikasi penelitian ini bersifat deskripsi analitis, guna memperoleh gambaran yang menyeluruh dan sistematis. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif empiris, yaitu tipe penelitian yang meneliti tentang produk hukum melalui studi kepustakaan terutama berkisar pada hubungan peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya yang dilengkapi dengan teori-teori hukum yang mengaitkannya dengan realita dalam praktik penegakan hukum di masyarakat. Hasil penelitian menggambarkan bahwa penerapan kewenangan penyidikan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan dalam pelaksanaanya belum efektif dan optimal dikarenakan beberapa hambatan baik internal maupun eksternal diantaranya goodwill dari pemerintah yang masih setengah hati, sumber daya yang kurang, lembaga PPATK sebagai unit intelijen keuangan yang dirasa masih kurang kuat, dan peraturan perundang-undangan yang belum mengatur secara jelas dan lengkap terutama mengenai mekanisme pembuktian terbalik. Kata kunci : kewenangan, pencucian uang, korupsi
ABSTRACT
This study discusses application of authority of the Republic of Indonesia Prosecutor on investigations
criminal law of money laundering predicate offenses are criminal acts of corruption which have effectiveness in authority of that crime and relatively has been running at around one year. Money laundering is a the extra ordinary crime that have biggest negative impacts and operandi modus are involving banking transactions even cross-country with using many high-tech equipment, and many educated people involved and this is becoming a serious organized crime that resource more knowledge our prosecutor to investigate criminal law of money laundering. Specification this study is analytical description, in order to describe systematically and comprehensive. Method of approach in this study used an empirical normative, type of research this study are literature data crime of the law and relationship with legislation of laws which completely by legal theories related to reality in practice law enforcement in community. The results was illustrated the application authority in investigation criminal origin to money laundering which originally from crime of corruption committed by prosecutor, in implementation not effective and optimal yet because of some obstacle from internal and external such as the goodwill of the government which is still half-hearted, less resources, weakness of PPATK agencies as financial intelligence unit, and not yet have legislation of law set clear and complete, especially regarding the mechanism of reversed burden of proof.
Keyword : authority, money laundering, corruption
1
PENDAHULUAN
Tindak pidana pencucian uang adalah berkaitan dengan latar belakang dari perolehan
sejumlah uang yang sifatnya gelap, haram, atau kotor kemudian sejumlah uang kotor yang
diperolehnya tersebut dikelola dengan aktivitas-aktivitas tertentu seperti membentuk usaha,
mentransfer atau mengkonversikan ke bank atau valuta asing sebagai langkah untuk
menghilangkan latar belakang darimana uang tersebut diperoleh.
Secara umum, money laundering merupakan metode untuk menyembunyikan,
memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak
pidana, tindak pidana ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatan lainnya
yang merupakan aktivitas tindak pidana. Melihat pada definisi di atas, maka money
laundering atau pencucian uang pada intinya melibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang
disamarkan atau disembunyikan asal-usulnya sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi
bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal. Melalui money laundering pendapatan
atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi aset
keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal.
Mengingat pelaku tindak pidana pencucian uang umumnya berasal dari kalangan
masyarakat dengan tingkat intelektual yang tinggi, memiliki kekuasaan baik sosial, politik
maupun ekonomi, dan didukung dengan jaringan yang luas, maka pelaku dapat dengan mudah
memperhitungkan secara cermat berbagai kemungkinan yang terjadi berkaitan dengan
kejahatan yang dilakukannya. Tujuannya untuk mengaburkan atau menutupi agar
perbuatannya tidak terbongkar dan diperiksa oleh aparat penegak hukum.
Oleh karena itu dalam undang-undang tindak pidana pencucian yang terbaru
ditambahkan pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik
dugaan tindak pidana pencucian uang, dimana diatur bahwa penyidikan tindak pidana
pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum
acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut undang-
undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Tujuan penulisan ini untuk mengetahui bagaimana penerapan dan pelaksanaan
kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana pencucian uang (money laundering)
yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi (predicate crime) apakah sudah
efektif dan apa saja yang menjadi faktor-faktor penghambatnya.
2
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan di Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Lokasi
penelitian ini dipilih berdasarkan pertimbangan ketersediaan data yang cukup lengkap dan
memadai untuk disajikan ke dalam bentuk informasi yang akurat. Data sekunder diperoleh
dari perpustakaan Fakultas Hukum dan Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, dan
Perpustakaan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.
Metode Pengumpulan Data
Data penelitian yang ada dikumpulkan oleh penulis dengan teknik sebagai berikut:
yang pertama studi dokumen yaitu melakukan penelitian terhadap dokumen-dokumen yang
erat kaitannya dengan masalah penerapan pidana tambahan berupa uang pengganti dan
efektifitasnya pada perkara tindak pidana korupsi, guna memperoleh landasan teoritis dan
informasi dalam bentuk ketentuan formal serta data melalui dokumen-dokumen resmi yang
ada dan yang kedua wawancara, yaitu pengumpulan data dalam bentuk tanya jawab langsung
dengan responden, dalam hal ini jaksa yang menangani bidang tindak pidana khusus.
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yang normatif-empirik, yaitu tipe
penelitian yang meneliti tentang produk hukum dan mengaitkannya dengan realita empiris.
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis untuk memberikan gambaran
yang menyeluruh mengenai kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan tindak pidana
pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi dan efektifitasnya.
Metode pengumpulan data dengan Studi dokumen yaitu melakukan penelitian terhadap
dokumen-dokumen dan Wawancara, yaitu pengumpulan data dalam bentuk tanya jawab
langsung dengan responden, dalam hal ini jaksa yang pada bidang tindak pidana khusus.
HASIL
Data hasil penelitian dianalisis dengan metode analisis data kualitatif, yaitu data yang
terkumpul baik data primer maupun sekunder disusun dan dianalisa secara kualitatif dengan
menginterpretasikan, menguraikan, menjabarkan dan menyusun secara sistematis logis sesuai
dengan tujuan penelitian. Perolehan data yang berasal dari data sekunder, baik bahan hukum
primer maupun bahan hukum sekunder, dianalisis dengan metode analisis kualitatif. Analisa
Kualitatif adalah tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa
yang dinyatakan responden secara lisan dan tulisan dan juga perilaku yang nyata yang diteliti
3
dan dipelajari pernyaaan nara sumber terhadap masalah yang diteliti. Tujuan analisis ini
adalah untuk mendapatkan pandangan-pandangan baru yang selanjutnya diharapkan mampu
memberikan solusi baru terhadap masalah yang mungkin timbul dalam praktek. Bahwa pada tahun 2011 kasus tindak pidana korupsi yang ditangani Kejaksaan Tinggi Jawa
Barat cukup banyak yaitu tahap penyelidikan sebanyak 22 kasus dan tahap penyidikan sebanyak 29
kasus. Sedangkan kasus tindak pidana pencucian uang yang pidana pokoknya tindak pidana
korupsi yang disidik oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat pada tahun 2011sangatlah sedikit
yaitu hanya ada 1 kasus yaitu sampai pada tahap penyelidikan saja.
Sedangkan pada Kejaksaan Agung kasus tindak pidana korupsi yang ditangani pada
tahun 2011 jumlahnya cukup banyak cukup banyak yaitu tahap penyelidikan sebanyak 112 kasus
dan tahap penyidikan sebanyak 96 kasus.
Sedangkan kasus tindak pidana pencucian uang yang pidana pokoknya tindak pidana
korupsi yang disidik oleh Kejaksaan Agung pada tahun 2011 jumlahnya masih sangat sedikit
yaitu hanya ada 1 kasus pada tahap penyelidikan dan 1 kasus penyidikan.
Kemudian hasil analisis dari PPATK tersebut disampaikan ke aparat penegak hukum
yang salah satunya yaitu Kejaksaan pada tahun 2011 yaitu ada 114 laporan.
Beberapa kasus yang menjadi pembahasan ada empat yaitu yang pertama kasus atas
nama tersangka Lydiawati Salim yang laporannya berasal dari Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) No. S-3365/1.01.1/PPATK/09/10/SR tanggal 03 September
2011 yang ditindaklanjuti dengan menerbitkan Surat Perintah Penyilidikan Kepala Kejaksaan
Tinggi Jawa Barat No. Print-337/O.2/Fd.1/09/2011 tanggal 05 September 2011.
Bahwa berdasarkan hasil penyilidikan diperoleh kesimpulan bahwa Transaksi valas
(dolar amerika) oleh Lydiawati Salim menggunakan dana pribadi atau pinjaman dan bukan
dana yang berasal dari kejahatan termasuk tindak pidana korupsi, sehingga dengan sendirinya
tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi karena dananya bukan uang
Negara. Atas kasus tersebut Tim Penyilidik menyarankan agar penyelidikan kasus ini
dihentikan.
Dilihat dari kasus atas nama tersangka Lydiawati Salim di atas yang dalam
penanganannya oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dihentikan sampai tahap penyelidikan saja
ini menunjukan bahwa laporan hasil analisis dari PPATK belum tentu laporan tersebut adalah
perbuatan tindak pidana pencucian uang karena analisis yang dilakukan oleh PPATK hanya
sebatas analisis keuangan saja dan tidak ditindak lanjuti untuk ditelusuri asal usul kekayaan
yang dicurigai tersebut. Bahwa pelaksanaan analisis oleh PPATK dilaksanakan dengan
mendapatkan data/informasi dari Penyedia Jasa Keuangan/PJK saja.
4
Yang Kedua kasus PT. Elnusa tetapi pada tahap penyidikannya dilakukan oleh polri,
yang kemudian oleh tim kejaksaan Tinggi Jawa Barat dilimpahkan ke pengadilan dengan
dakwaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang tetapi yang dapat
dibuktikan oleh penuntut umum hanya dakwaan tindak pidana korupsinya saja sedangkan
kasus pencucian uangnya tidak dapat dibuktikan. Dimana Majelis Hakim pada Pengadian
Tipikor Bandung dalam putusan Nomor : 73/Pid.Sus/TPK/PN.Bdg tanggal 13 Pebruari 2012,
menyatakan bahwa : Terdakwa Santun Nainggolan terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana korupsi berlanjut yang diberlakukan secara bersama-sama
dan menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap terdakwa Santun Nainggolan dengan pidana
penjara selama 8 (delapan) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (Satu miliar
rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan
selama 6 (enam) bulan; serta membayar uang pengganti sebesar Rp. 5.921.812.059,00 (lima
miliar Sembilan ratus duapuluh satu juta delapan ratus duabelas ribu limapuluh Sembilan
rupiah) yang jika tidak membayar uang pengganti untuk paling lama dalam waktu 1 (satu)
bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hokum tetap, maka harta bendanya
dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Putusan majelis
hakim itu lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum yang sebelumnya menuntut
terdakwa Santun Nainggolan 12 (dua belas) tahun penjara dan denda Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliyar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan. Serta uang pengganti sebesar Rp.
11.000.000.000,00 (Sebelas Miliyar rupiah) dan apabila terpidana tidak membayar uang
pengganti paling lama 1 (satu) bulan. Ini menunjukan penuntut umum masih kesulitan dalam
membuktikan kasus tindak pidana pencucian uangnya dikarenakan dalam tuntutanya tidak
melakukan penuntutan kasus pencucian uang berbeda sebelumnya dalam dakwaan
menyertakan dakwaan pencucian uangnya.
Yang ketiga kasus dalam penempatan/pencairan dana milik Pemerintah Kabupaten
Batu Bara di Bank Mega cabang Jababeka yang berkas tersebut dipisah (splitzing) menjadi
beberapa berkas perkara yang salah satunya atas nama tersangka Fadil Kurniawan yang
disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Undang-Undang No 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25
Tahun 2003 jo. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kasus tersebut pada tahap
penyidikan dilakukan oleh tim dari kejaksaan agung dengan mendakwakan kasus tindak
5
pidana korupsi sebagai tindak pidana asalnya dan kasus tindak pidana pencucian uang. dan
Di sidang PengadilanTipikor Jakarta (tingkat pertama) majelis hakim memutus terbukti untuk
dakwaan pertama tentang korupsi dan terbukti juga untuk dakwaan kedua kasus pencucian
uangnya, dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp. 1 Miliar subsidair 5 bulan kurungan
serta diwajibkan membayar uang pengganti Rp. 5,83 Miliar. Dengan sebelumnya Penuntut
Umum menuntut terdakwa Fadil Kurniawan dengan 14 tahun penjara. Atas putusan
Pengadilan Tipikor tersebut Terdakwa Fadil Kurniawan mengajukan banding, dan sampai
saat tulisan ini dibuat sedang berlangsung proses banding. Dalam kasus ini tim penuntut
umum mendakwakan kumulatif kasus korupsi dan pencucian uang dan dalam proses
persidangan penuntut umum juga berhasil membuktikan kedua kasus tersebut baik korupsi
sebagai pidana asalnya maupun pencucian uang sebagai kasus lanjutan dari kasus korupsi ini
menunjukan keberhasilan jaksa dari mulai tahap penyidikan sampai ke tahap penuntutan.
Yang keempat kasus Bahasyim Assifie, yang terakhir menjabat sebagai Kepala Kantor
Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII, yang memiliki harta berupa uang sekitar Rp.
65 Miliyar dalam rekeningnya. Kasus tersebut pada tahap penyidikan dilakukan oleh Polri
yang kemudian di serahkan kejaksaan untuk dilakukan penuntutan dengan dakwaan
Kumulatif yaitu melanggar UU Tipikor dan UU Pencucian Uang, mulai dari tingkat
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi sampai ke Mahkamah Agung terdakwa Bahasyim
terbukti melanggar kasus tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
Seperti diketahui MA menghukum Bahasyim lewat putusan kasasi pada tanggal 31
Oktober 2010 lalu. Perkara dengan nomor 1454 K/Pid.sus/2011 diputus oleh Ketua Majelis
Hakim Agung Djoko Sarwoko dan anggota majelis hakim adhoc Leopold Hutagalung dan
MS Lumme. MA dalam putusannya ini meluruskan penerapan hukum yang dibuat oleh
Pengadilan Tinggi Jakarta karena Pengadilan Tinggi Jakarta mencampurkan 2 perkara dalam
satu vonis. Bahwa menurut Djoko Sarwoko dalam putusan tersebut adalah hukuman untuk
vonis korupsi dan pencucian uang dipecah. Untuk Korupsi dipidana 6 tahun penjara dengan
denda Rp. 500 juta dan pencucian uang selama 6 tahun dengan denda Rp. 500 juta.
Yang menarik dari kasus Bahasyim Assifie di atas adalah kasus tindak pidana
korupsinya adalah penyalahgunaan wewenang dengan menerima suap sebesar Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah) dari pengusaha Kartini Mulyadi sedangkan kasus
tindak pidana pencucian uangnya telah menyita dan menyatakan sebagai uang hasil dari
korupsi sebesar Rp. 65 Miliar jadi ada selisih sekitar Rp. 64 Miliar yang belum dapat
diketahui dari perbuatan korupsi yang mana uang Rp. 64 Miliar tersebut diperoleh, hal
tersebut terjadi karena Hakim menerapkan system pembuktian terbalik murni dimana
6
terdakwa Bahasyim tidak dapat menerangkan asal usul harta sebesar Rp. 64 Miliar tersebut
dan penuntut umum tidak dituntut untuk membuktikan dari hasil perbuatan korupsi yang
mana uang Rp. 64 Miliar tersebut karena penuntut umum hanya membuktikan perbuatan
korupsi penyuapan uang yang sejumlah Rp. 1 Miliar saja. Dari kasus tersebut peran hakim
sangat menentukan akan penerapan sistem pembuktian terbalik murni karena dengan
keputusan tersebut sistem pembuktian terbalik murni atau pembalikan beban pembuktian
murni pertama kali diterapkan dalam sistem peradilan di Indonesia.
PEMBAHASAN
Bahwa seperti diketahui dari data diatas pintu masuk untuk melakukan penyidikan
tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana pokoknya adalah tindak pidana korupsi
adalah pertama dari kasus korupsi sebagai pidana pokoknya yang sedang ditangani oleh
kejaksaan dan yang kedua dari laporan PPATK.
Dari banyaknya kasus korupsi yang ditangani oleh kejaksaan baik di Kejaksaan Tinggi
Jawa Barat maupun Kejaksaan Agung ternyata jumlah perkara kasus tindak pidana pencucian
uang yang pidana pokonya adalah tindak pidana korupsi jumlahnya masih sangat sedikit yaitu
pada tahun 2011 Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Kejaksaan Agung hanya menangani
masing-masing 1 kasus perkara saja. Belum lagi ditambah dengan data yang disampaikan
PPATK bahwa sampai Maret 2012 PPATK telah menyampaikan hasil analisisnya kepada
Kejaksaan sebanyak 117 kasus, yang walaupun data tersebut tidak hanya ditangani terbatas
pada Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat saja karena bisa saja kejaksaan di
daerah lain di seluruh Indonesia yang melakukan penangganan tindak pidana pencucian uang,
tetapi setidaknya menjadi gambaran bahwa di Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi Jawa
Barat saja hanya ada satu yang ditindak lanjuti untuk dilakukan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana pencucian uang.
Apabila dilihat dari data diatas maka penerapan kewenangan kejaksaan dalam
melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah
tindak pidana korupsi dirasakan masih kurang efektif dan optimal dalam arti masih jauh dari
tujuan semula untuk ikut berperan aktif dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang yang tentunya hal tersebut bukan terletak pada lemahnya institusi kejaksaan
dalam melaksanakan kewenangan tersebut tetapi adanya beberapa hambatan yang menjadi
penyebab masih kurangnya penindakan terhadap kasus tindak pidana pencucian uang yang
diantaranya masih kurangnya pemahaman dan pengetahuan dari aparat penegak hukum baik
itu dari kejaksaan maupun dari instansi terkait lainnya yang terkait dengan pencucian uang.
7
Hambatan tersebut dintaranya
Hambatan Internal, yaitu pertama politic will atau kemauan penguasa yaitu pemerintah
yang masih setengan hati dalam melakukan pemberantasan pencucian uang dan kedua masih
jarangnya pelatihan dan pendidikan pencucian uang tertutama bagi jaksa-jaksa di daerah hal
ini mengakibatkan masih banyaknya jaksa yang kurang memahami tentang tindak pidana
pencucian uang.
Hambatan eksternal yaitu pertama kewenangan PPATK yang masih terbatas yaitu
produk dihasilkan sebatas laporan hasil analisis keuangan perlu dikuatkan lagi dengan
menambah kewenangan penyelidikan. Dengan adanya kewenangan penyelidikan ini PPATK
dapat menghasilkan produk berupa laporan hasil analisis intelijen (analisis hukum) yang telah
dilengkapi dengan pengumpulan bahan keterangan (pul baket) dan pengumpulan data (pul
data), yang kedua bagi Penyedia Jasa Keuangan/PJK belum optimalnya penerapan prinsip
mengenal nasabah/Know Your Customer ketika para setiap orang menempatkan dananya pada
PJK karena setiap PJK adanya ketakutan kehilangan nasabah serta masyarakat sendiri yang
belum memahami dan menerima pemberlakuan prinsip mengenal nasabah tersebut dan yang
ketiga pemahaman pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian dalam upaya
pemberantasan tindak pidana pencucian uang masih sangat kurang karena peraturan
perundang-undangan yang tidak mengatur secara lengkap dan jelas mengenai penerapan
dalam praktek dari tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan. Sistem pembuktian terbalik atau teori pembalikan beban pembuktian dapat dibagi menjadi pembuktian
terbalik absolut atau murni yang mengandung arti bahwa pembuktian ketidakbersalahan terdakwa ada
pada diri terdakwa dan atau penasehat hukumnya. Kemudian pembuktian terbalik terbatas dan
berimbang yang mengandung arti bahwa terdakwa dan penuntut umum saling membuktikan kesalahan
dan ketidak bersalahan dari terdakwa.(Lilik Mulyadi, 2007 : 104)
Yang menjadi permasalahan adalah penerapan asas pembuktian terbalik tersebut
belum diatur secara lengkap mekanisme hukum acaranya sehingga penyidik khususnya
penyidik kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang selalu
menggabungkan berkas perkara dengan tindak pidana asalnya yaitu korupsi dan jaksa tetap
mengacu pada sistem pembuktian negative menurut undang-undang yaitu tetap membuktikan
tindak pidana pencucian uang dengan mengumpulkan minimal dua alat bukti dan juga tetap
membuktkan pidana asalnya yaitu tindak pidana korupsi sedangkan pembuktian terbalik
murni yang termuat dalam undang-undang pencucian uang masih menjadi domain hakim
apakah diterapkan atau tidak oleh hakim dalam tahap pemeriksaan di persidangan.
8
KESIMPULAN DAN SARAN
Kewenangan penyidikan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya
adalah tindak pidana korupsi yang dimiliki oleh kejaksaan yang baru berjalan sekitar satu
tahun lebih belum efektif dan optimal dilaksanakan, seperti diketahui pintu masuk untuk
melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang adalah dari perkara korupsi yang sedang
dilakukan penyidikan oleh kejaksaan dan dari laporan PPATK, sedangkan masih sedikit kasus
perkara pencucian uang yang disidik oleh kejaksaan dibandingkan banyaknya perkara korupsi
yang telah disidik oleh kejaksaan baik di Kejaksaan Agung maupun di Kejaksaan Tinggi Jawa
Barat ditambah lagi dari banyaknya laporan hasil analisis dari PPATK yang diserahkan ke
kejaksaan hal tersebut terjadi dikarenakan masih banyaknya hambatan yang dirasakan
penyidik kejaksaan. Hambatan yang dirasakan penyidik kejaksaan dalam melakukan
penyidikan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana
korupsi bisa dari faktor internal maupun faktor eksternal, terutama masih kurangnya kehendak
baik (goodwill) dari pemerintah dalam hal ini pimpinan instansi penegak hukum, kemampuan
sumber daya yang masih terbatas, penguatan lembaga PPATK dalam menghasilkan produk
laporan hasil analisis yang tidak sebatas analisis keuangan saja, dan peraturan perundang-
undangan yang belum jelas terutama penerapan pembuktian terbalik murni yang dianut oleh
undang-undang pencucian uang belum diatur secara lengkap mekanisme hukum acaranya.
Mengingat kejahatan tindak pidana pencucian uang adalah kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime) yang semakin hari semakin canggih dan teroganisir serta dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai intelektual tinggi maka diperlukan aparat penegak hukum
khusus para jaksa lebih banyak dibekali kemampuan yang lebih dengan seringnya dilakukan
pelatihan dan pendidikan bila perlu mengikuti pelatihan diluar negeri ditambah dibekali
dengan pengetahuan dibidang perbankan. Selain itu Perlu ditambah kewenangan PPATK
sebagai lembaga yang dapat melakukan penyelidikan yustisial tidak lagi sebatas unit
peyelidikan keuangan sehingga produk yang dihasilkan adalah laporan hasil analisis hukum
dimana dapat dipergunakan untuk mencari bukti permulaan yang cukup dan dapat dijadikan
dasar untuk ditingkatkan ke penyidikan oleh instasi penyidik. Juga agar dibuat peraturan yang
lebih jelas lagi tentang pembuktian terbalik murni mulai dari tahap penyidikan sampai
pemeriksaan di pengadilan sehingga tidak terjadi keraguan dari penyidik kejaksaan dalam
menerapkannya dan tidak hanya menjadi domain hakim saja yang menerapkan pembuktian
terbalik murni pada tahap pemeriksaan di pengadilan.
9
DAFTAR PUSTAKA
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik, dan Masalahnya, PT. Alumni, Bandung, 2007.
UU No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.