Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

38
“PENDOSA”: KEKRISTENAN DAN PERUBAHAN KEBUDAYAAN MASYARAKAT MASIHULAN, SERAM UTARA Diny Starina Rinto, 1206204651 Abstract This paper focus on discussion about Christianity and cultural change in Masihulan society, North Seram. Religion as one of the elements of universal culture, has its own role in a society, one of which is as a regulator of the moral life of society. Attempting to fulfill this role, religion can also act as the agent of cultural change. At Masihulan society, Christianity not only manage their moral life, but also gradually lead them to change. Through the path of Christianity, people of Masihulan assess their past life as a sinful life and repentance is the only way to save them from the punishment for their sin. Sinfulness that is so inherent in their imagination about themselves in the past encourage them to leave the customs which regarded as things that made them sinned and begin to use a new form of culture with a framework that refers to Protestant Christianity. Latar Belakang Seluruh warga masyarakat desa—atau yang biasa disebut dengan negeri 1 - Masihulan menganut agama Kristen Protestan. Gereja Protestan Maluku (GPM) “Rehobot” Jemaat Masihulan adalah satu-satunya rumah ibadah yang mereka miliki. Bangunan gereja ini telah berdiri sejak tahun 2000. Dinding yang terbuat dari kayu dan atap yang terbuat dari daun sagu mencitrakan kesederhanaan bangunan gereja ini. Ketiadaan listrik di 1 Pada umumnya masyarakat yang tinggal di Pulau Seram menggunakan kata negeri untuk menggantikan penggunaan kata desa.

description

Membahas kekristenan dan pengaruhnya pada perubahan kebudayaan yang terjadi pada masyarakat Masihulan, Seram Utara. Tulisan ini menunjukkan, pada umumnya, bagaimana keterkaitan antara moral, agama, dan kebudayaan.

Transcript of Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

Page 1: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

“PENDOSA”:KEKRISTENAN DAN PERUBAHAN KEBUDAYAAN MASYARAKAT

MASIHULAN, SERAM UTARADiny Starina Rinto, 1206204651

AbstractThis paper focus on discussion about Christianity and cultural change in Masihulan society, North Seram. Religion as one of the elements of universal culture, has its own role in a society, one of which is as a regulator of the moral life of society. Attempting to fulfill this role, religion can also act as the agent of cultural change. At Masihulan society, Christianity not only manage their moral life, but also gradually lead them to change. Through the path of Christianity, people of Masihulan assess their past life as a sinful life and repentance is the only way to save them from the punishment for their sin. Sinfulness that is so inherent in their imagination about themselves in the past encourage them to leave the customs which regarded as things that made them sinned and begin to use a new form of culture with a framework that refers to Protestant Christianity.

Latar Belakang

Seluruh warga masyarakat desa—atau yang biasa disebut dengan negeri1-

Masihulan menganut agama Kristen Protestan. Gereja Protestan Maluku (GPM)

“Rehobot” Jemaat Masihulan adalah satu-satunya rumah ibadah yang mereka

miliki. Bangunan gereja ini telah berdiri sejak tahun 2000. Dinding yang terbuat

dari kayu dan atap yang terbuat dari daun sagu mencitrakan kesederhanaan

bangunan gereja ini. Ketiadaan listrik di negeri Masihulan membuat pelaksanaan

ibadah harus didukung dengan mesin pembangkit listrik. Namun, kondisi ini tidak

menjadi hambatan bagi masyarakat untuk melaksanakan ibadah.

Pada ibadah tanggal 14 Juni 2015, yang merupakan ibadah pertama saya

saat berada di Masihulan, sang pendeta mengumumkan berlakunya sasi atas sopi.

Sasi adalah sebuah mekanisme pengontrol moral masyarakat berbentuk larangan

atas sesuatu yang bila dilanggar akan melahirkan konsekuensi tertentu. Adapun,

sopi adalah minuman keras yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Masihulan

1 Pada umumnya masyarakat yang tinggal di Pulau Seram menggunakan kata negeri untuk menggantikan penggunaan kata desa.

Page 2: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

dan masyarakat Pulau Seram pada umumnya. Berlakunya sasi atas sopi berarti

masyarakat tidak diperbolehkan mengonsumsi dan mengedarkan atau

memperjual-belikan sopi.

R: Sekarang katong mau menyatakan bahwa mulai sekarang berlaku sasi atas sopi! Seng ada lay yang boleh minum deng memperjual-belikan sopi!

R: Sekarang saya mau menyatakan bahwa mulai sekarang berlaku sasi atas sopi! Tidak ada lagi yang boleh minum dan memperjual-belikan sopi!

(Catatan Lapangan, 14 Juni 2015)

Segera setelah keputusan dilontarkan, saya melakukan observasi atas

respon jemaat yang ada di sana. Terdengar sayup-sayup beberapa orang yang

saling berbisik dan berbincang, ada juga yang menggelengkan kepalanya. Selain

itu, terlihat juga beberapa orang yang tertunduk murung dan kecewa menanggapi

hal ini. Sempat saya berpikir akan kemungkinan terbukanya ruang diskusi, tetapi

yang terjadi hanyalah pemberian keputusan dari satu pihak. Saya bertanya-tanya

mengapa tidak ada seorang-pun yang berani memberikan tanggapan, bahkan

kepala negeri dan tetua adat yang memegang peran penting dalam kehidupan

masyarakat Masihulan hanya terdiam, seolah-olah tidak memiliki daya untuk

menggugat keputusan ini.

Berakhirnya ibadah hari minggu tanggal 14 Juni 2015 bersamaan dengan

dimulainya sasi atas sopi. Berlakunya sasi atas sopi menjadi awal hidup baru yang

penuh tantangan bagi mereka yang terikat candu atas minuman beralkohol

tersebut. Ketetapan sasi sopi ini juga berat bagi para pedagang yang memperoleh

pendapatan dari kegiatan jual-beli sopi.

Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang tetua adat2 yang bernama

Zakharias Limehuwey (68 tahun), diketahui bahwa keputusan untuk

memberlakukan sasi sopi dihasilkan melalui serangkaian proses panjang yang

melibatkan peran penting institusi adat, pemerintahan, gereja, dan pendidikan.

Ada pihak yang menentang keputusan ini, namun, ada pula yang mendukungnya.

Pada dasarnya, keputusan untuk mengeluarkan sasi atas sopi ini dihasilkan atas

respon sebagian besar warga yang geram atas kekacauan yang dibuat oleh “para

pemabuk”. Sebelum berlakunya sasi atas sopi, beberapa kelompok warga yang

2 Tetua Adat adalah orang yang berperan sebagai penjaga adat istiadat yang diwariskan secara turun temurun.

Page 3: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

tidak bisa mengendalikan diri karena telah terkena efek alkohol yang terkandung

dalam sopi sering mengganggu ketentraman, bukan hanya di dalam tetapi juga di

luar negeri Masihulan. Dengan tujuan untuk mengontrol “para pemabuk” tersebut,

wacana atas sasi sopi yang telah muncul sejak akhir tahun 2014 ini diwujudkan

dalam bentuk nyata.

Pada masyarakat Masihulan, pada dasarnya, otoritas untuk menentukan

atau memberlakukan sasi dimiliki oleh institusi adat, yang memegang peranan

penting hampir di seluruh aspek kehidupan masyarakat Masihulan. Akan tetapi,

sasi sopi ini diberlakukan oleh institusi gereja. Berdasarkan hal ini, pertanyaan

yang muncul ialah kenapa institusi gereja-dan bukannya adat-yang dipilih sebagai

institusi yang berwenang untuk memberlakukan sasi sopi? Fenomena ini

menyiratkan besarnya pengaruh kekristenan dalam kehidupan masyarakat

Masihulan. Hal ini mendorong saya melakukan penelitian mengenai kekristenan

dan pengaruhnya pada kehidupan masyarakat Masihulan.

“Dalam kegelapan”: Masihulan sebelum Menganut Kristen Protestan

“Dalam kegelapan”, begitulah imajinasi masyarakat Masihulan mengenai

kehidupan para leluhurnya di masa lampau. Masa lampau yang dibayangkan di

sini ialah saat sebelum masyarakat Masihulan menganut agama Kristen Protestan.

Pada saat itu, masyarakat Masihulan dibayangkan hidup “dalam kegelapan”

karena sering melakukan kejahatan, yang kini dengan dasar kepercayaan sebagai

penganut agama Kristen Protestan dipahami sebagai dosa.

Z: Dulu katong hidup dalam kegelapan. Seng tau mana benar mana salah. Bunuh orang, perang.. Belum tau dosa, toh. Tapi kan sekarang beda, seng sama lay[...] Dulu, datuk-datuk lay suka bikin dosa, kalo ada orang lewat di hutan, angtua suka bunuh dong. Biar dong seng ada salah, datuk-datuk bunuh dong.”3

Z: Dahulu kita hidup dalam kegelapan. Tidak tahu mana benar mana salah. Bunuh orang, perang.. Belum tau dosa, kan. Tapi sekarang beda, tidak sama lagi[...] Dahulu, datuk-datuk juga suka berbuat dosa, kalau ada orang-orang yang lewat di hutan,

3 Kutipan saat wawancara tanggal 15 Juni 2015 pukul 18.00 W.I.T dengan seorang tetua adat, informan Zakharias Limehuwey.

Page 4: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

beliau suka bunuh mereka. Walaupun mereka tidak salah, datuk-datuk bunuh mereka.

(Catatan lapangan, 15 Juni 2015)

Imajinasi “dalam kegelapan” yang digunakan untuk menggambarkan

kehidupan masyarakat di masa lampau didasarkan pada logika agama Kristen

Protestan yang mengasosiasikan “dosa” dengan “kegelapan”. Berdasarkan

keyakinan bahwa hanya dengan kepercayaan pada Yesus Kristus—dalam hal ini

berarti seseorang harus menganut agama Kristen Protestan—seseorang dapat

“diselamatkan” dan “hidup dalam terang”, maka orang-orang yang belum percaya

pada Yesus Kristus merupakan orang-orang yang “belum selamat” dan “hidup

dalam kegelapan”. Dengan demikian, para leluhur Masihulan yang sering

melakukan dosa dibayangkan masih hidup “dalam kegelapan” dan “belum

selamat” karena mereka tidak percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan yang

harus mereka sembah. Pada saat ini, kehidupan masyarakat, meliputi adat istiadat

dan sistem kepercayaan didasarkan pada kerangka moral tradisional.

Jauh sebelum menganut agama Kristen Protestan, masyarakat Masihulan

menganut kepercayaan lokal yang disebut dengan Lante Takule yang memiliki arti

tanah dan langit. Pada masa itu, masyarakat Masihulan percaya bahwa ada

kekuatan lain yang lebih besar dari kekuatan manusia. Kekuatan tersebut adalah

kekuatan alam, yang disimbolkan dengan tanah dan langit. Tanah dipercaya

sebagai “sumber lahirnya manusia” dan langit diyakini sebagai “yang menaungi

tanah”. Dengan demikian, masyarakat percaya pada kekuatan alam yang terlihat

dari persembahan yang diberikan pada gua batu besar dalam hutan. Seorang tetua

adat, Simon Limehuwey (85 tahun) mengatakan bahwa tidak diketahui secara

pasti sejak kapan kepercayaan ini dianut, namun yang pasti kepercayaan ini telah

dimiliki sejak masyarakat Masihulan beranjak dari Nunusaku4.

Dalam perkembangannya, masyarakat negeri Masihulan meyakini

keberadaan roh atau yang biasa disebut setan5 dalam kehidupan mereka sehari-

4 Nunusaku dianggap sebagai dasar waktu yang menandakan “awal dari segala awal”. Hal ini dikarenakan mereka percaya bahwa mereka berasal dari Nunusaku. Dalam konteks sejarah negeri Masihulan, perjalanan mereka beranjak dari Nunusaku mengacu pada pemahaman mereka yang menjadikan Nunusaku sebagai masa atau periode awal kehidupan manusia.5 Kata ini diucapkan dengan pelafalan huruf akhir “n” yang berbunyi “ng” sehingga bila diucapkan, kata ini terdengar seperti “setang”.

Page 5: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

hari. Roh atau setan tersebut adalah roh leluhur atau nenek moyang masyarakat

Masihulan yang telah mati. Masyarakat Masihulan percaya bahwa roh leluhur

yang mereka sebut sebagai setan masih hidup di sekeliling mereka, tinggal di

batu-batu dan pohon-pohon besar. Hal ini dikarenakan pada saat itu, mayat-mayat

orang yang sudah mati diletakkan di bawah pohon-pohon atau batu-batu besar,

ditutup dengan tikar sampai mayatnya membusuk dan berubah menjadi tulang-

belulang. Masyarakat Masihulan percaya bahwa roh para leluhur ada untuk

memberikan kekuatan dan perlindungan bagi mereka. Selain itu, roh leluhur juga

memberikan pertolongan saat perang agar masyarakat dapat memenangkannya.

Pada masa lampau, masyarakat Masihulan, khususnya kaum laki-laki

memiliki kewajiban mengumpulkan kepala manusia sebagai persembahan pada

roh leluhur atau setan. Hal ini dilakukan untuk memberikan “makan” pada roh

leluhur atau setan. Masyarakat Masihulan percaya bahwa dengan memberikan

“makan”, roh leluhur atau setan akan selalu memberikan perlindungan dan

kekuatan pada mereka saat perang. Persembahan kepala manusia ini tidak dapat

digantikan dengan kepala binatang karena roh leluhur hanya mau memakan

kepala manusia. Dengan demikian, sistem kepercayaan menjustifikasi

pembunuhan dan pemenggalan kepala manusia sebagai hal yang benar dan harus

dilakukan untuk mempertahankan negeri.

Kehidupan masyarakat Masihulan yang “berdosa” juga disebabkan oleh

perang. Pada zaman dahulu, dalam usaha mempertahankan diri dan wilayahnya,

negeri Masihulan harus berperang dengan negeri lain. Dalam hal ini, masyarakat

mengatakan bahwa negeri Masihulan terkenal sebagai negeri yang kuat dan hebat

dalam berperang karena mereka dapat memenangkan seluruh peperangan dengan

negeri lain di masa lampau. Bukan hanya itu, negeri Masihulan dulu juga terkenal

sebagai negeri “pembunuh”. Banyak negeri lain yang datang minta pertolongan

pada negeri Masihulan untuk memberikan perlindungan atau membantu mereka

saat berperang dengan negeri lainnya.

Z: Dulu katong pung nenek moyang, Datuk-datuk masih hidup dalam kegelapan[...] Katong dulu suka perang, perang deng orang dari mana saja. Dari Nunusaku, katong perang deng negeri-negeri lain. Perang perang terus! Ooooh, barang, dulu katong cari-cari tempat tinggal, toh? Turun dari Nunusaku lalu terus jalan terus, kalo mau tempatin wilayah tapi su ada orang

Page 6: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

ya katong perang dulu, siapa menang dia dapa. Lalu pindah tempat lay[...] Bakudapa deng orang, bunuh! Pokonya bunuh, bunuh terus, perang terus! Katong pung Datuk-datuk paling jahat. Oh! Ada orang di hutan seng salah, angtua bunuh. Biar seng ada alasan jua. Oh, pokonya paling jahat!6

Z: Dulu nenek moyang kami, datuk-datuk masih hidup dalam kegelapan[...] Kami dulu suka perang, perang dengan orang dari mana saja. Dari Nunusaku, kami perang dengan negeri-negeri lain. Perang perang terus! Ooooh, memang, dulu kami mencari-cari tempat tinggal, kan? Turun dari Nunusaku lalu berjalan, kalau ingin menempati wilayah yang sudah ditempati orang ya kami harus perang dulu, siapa menang dia dapat. Lalu pindah tempat lagi[...] Bertemu dengan orang, bunuh! Pokonya bunuh, bunuh terus, perang terus! Datuk-datuk paling jahat. Oh! Kalau ada orang di hutan, biarpun tidak bersalah, beliau bunuh. Walaupun tidak ada alasan juga. Oh, pokoknya paling jahat!

(Catatan lapangan, 25 Juni 2015)

Dalam perjalanan hidupnya, mulai dari awal mula terbentuknya negeri di

Nunusaku hingga kini, masyarakat Masihulan telah melakukan banyak perang,

pembunuhan dan penggal kepala. Pada saat itu, merenggut nyawa orang lain

bukanlah hal yang akan menimbulkan rasa bersalah pada mereka. Hal ini

dikarenakan dalam kerangka moral tradisional mereka, pembunuhan bukanlah

suatu bentuk kejahatan bagi mereka. Dengan demikian, pada masyarakat

Masihulan yang “dalam kegelapan”, dosa mewujud terutama dalam bentuk

pembunuhan, perang dan penggal kepala. Namun, pada saat ini, mereka tidak

memahami hal tersebut sebagai dosa karena segala tindakan atau aktivitas serta

penilaian atas hal tersebut dijustifikasi oleh kerangka moral tradisional mereka.

Pelaksanaan “kerangka moral tradisional” mengacu pada bagaimana

kehidupan moral masyarakat Masihulan dijalankan sesuai dengan latar belakang

budaya yang dimiliki. Penggunaan istilah “kerangka moral tradisional” ditujukan

untuk membedakan kerangka moral ini dengan kerangka moral Kristen.

Pelaksanaan kerangka moral Kristen merupakan sebuah bentuk perubahan radikal

pada masyarakat karena kedua kerangka moral ini berbeda secara kontradiktif satu

dengan yang lain. Hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam adalah bagaimana

6 Dikutip dari wawancara dengan Zakharias Limehuwey, pada tanggal 25 Juni 2015 pukul 09.00 W.I.T.

Page 7: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

masyarakat dapat beralih dari satu kerangka moral ke kerangka moral baru yang

sebenarnya bertolak-belakang dengan yang sebelumnya.

Menuju Terang: Konversi Masyarakat Masihulan

Dalam perkembangannya, masyarakat Masihulan harus berhadapan

dengan berbagai peristiwa dalam kehidupan mereka yang menjadi pemicu bagi

perubahan. Terdapat beberapa peristiwa pemicu yang mendorong masyarakat

Masihulan melakukan konversi. Peristiwa-peristiwa ini disebut mereka sebagai

“masa sulit” karena membuat mereka berada dalam suatu kondisi yang tidak dapat

mereka tangani. Pada saat ini, masyarakat berjalan menuju perubahan, yang

mengikuti episode—apa yang Sahlins (1992) sebut sebagai “humiliation”.

Sebelumnya, tidak ada persoalan yang tidak dapat ditangani oleh masyarakat

Masihulan. Humiliation, menurut Sahlins (1992) dapat menuntun masyarakat

pada suatu perubahan yang radikal karena masyarakat mulai membenci apa yang

mereka miliki sebelumnya, yakni apa yang selalu mereka anggap sebagai hal yang

baik. Dalam hal ini, masyarakat Masihulan berusaha meninggalkan kerangka

moral yang “lama” karena dianggap sebagai hal yang buruk dan membuat mereka

berada pada “masa sulit”.

Peristiwa pemicu yang pertama ialah ketika masyarakat mengalami

persoalan pertumbuhan penduduk yang bersifat stagnan. Menurut perkiraan para

tetua adat, sejak terbentuknya negeri Masihulan di Nunusaku, jumlah penduduk

tidak pernah mencapai lebih dari 300 jiwa, selalu berkisar di antara 200 sampai

300 jiwa dengan perkiraan 30 sampai 40 jumlah kepala keluarga. Hal ini menarik

karena meskipun tidak memiliki catatan atau dokumentasi mengenai jumlah

penduduk, masyarakat Masihulan dapat mengetahui pertumbuhan penduduk yang

bersifat stagnan. Selain itu, beberapa kelompok marga asli “menghilang” karena

tidak memiliki keturunan untuk meneruskan marga. Kedua fenomena ini terlihat

dari beberapa hal. Pertama, banyak perempuan yang mandul sehingga tidak bisa

memiliki keturunan. Kedua, banyak bayi yang mati tidak lama setelah dilahirkan.

Ketiga, banyak kegagalan yang terjadi saat proses melahirkan yang menyebabkan

sang ibu atau anaknya mati. Keempat, apabila ada bayi yang berhasil dilahirkan,

Page 8: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

ia berjenis kelamin perempuan sehingga tidak bisa menjadi penerus marga yang

disandang sang ayah.7

Persoalan pertumbuhan penduduk yang bersifat stagnan dan hilangnya

beberapa kelompok marga menjadi signifikan dalam kaitannya dengan

pembentukan status negeri/desa secara administratif. Meskipun telah dialami

sejak masa awal terbentuknya negeri, persoalan ini menjadi signifikan sejak tahun

1910, tepatnya ketika pihak kolonial Belanda mulai menjajah wilayah Seram

khususnya bagian utara dan melakukan pencatatan penduduk yang tinggal di sana.

Pada saat itu, pihak kolonial Belanda berusaha membuat pengelompokkan

masyarakat secara administratif. Salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk

dapat dikategorikan sebagai negeri secara administratif adalah memiliki jumlah

penduduk minimal 300 jiwa.

Oleh karena tidak dapat memenuhi syarat tersebut, masyarakat Masihulan

tidak dapat memperoleh status negeri secara administratif. Hal ini tentunya

membuat masyarakat merasa tertekan karena mereka tidak dapat memperoleh apa

yang diyakini telah dimiliki sejak dahulu. Masyarakat Masihulan yang telah

terbentuk sebagai negeri tersendiri sejak dari Nunusaku, bahkan dikenal sebagai

negeri yang kuat, hebat, ditakuti dan dihormati tidak diakui sebagai sebuah negeri

secara administratif oleh pihak yang selama ini asing dalam kehidupan mereka.

Pada saat ini, masyarakat berada dalam kebingungan untuk mencari

penjelasan mengenai hal tersebut. Masyarakat tidak dapat memahami hal tersebut

sebagai hukuman yang diberikan oleh roh leluhur atau setan atas “dosa” karena

pembunuhan dan penggal kepala bukan merupakan sebuah “dosa” bagi mereka.

Dalam kerangka moral tradisional, pembunuhan dan penggal kepala bukanlah

suatu hal yang salah atau buruk melainkan sebaliknya, dipahami sebagai sutau hal

yang baik dan harus dilakukan untuk mempertahankan negeri. Hal ini

menyebabkan munculnya kebuntuan bagi kerangka moral tradisional untuk

menjelaskan persoalan ini. Jika demikian, maka masyarakat terjebak dalam

kebingungan untuk menjelaskan siapa yang memberikan hukuman ini dan kenapa

hukuman ini diberikan. Dalam usaha mencari penjelasan atas persoalan

pertumbuhan penduduk negeri yang stagnan dan “menghilang”nya beberapa

7 Hal ini dikarenakan masyarakat Masihulan menganut sistem kekerabatan patrilineal sehingga keturunan diambil dari garis keturunan ayah atau laki-laki.

Page 9: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

kelompok marga asli, masyarakat Masihulan tiba pada pemahaman bahwa setiap

darah yang tertumpah atas pembunuhan yang mereka lakukan akan menuntut

ganti rugi dengan mengambil darah keturunan mereka. “Darah menuntut, toh?

Katong su ambil dong pung nyawa, dong ambil katong pung keturunan.”8 Melalui

kutipan tersebut, terlihat bahwa “darah ganti darah” atau “nyawa ganti nyawa”

yang terangkum dalam “darah menuntut” adalah inti penjelasan yang mereka

bentuk untuk memahami fenomena tersebut.

“Darah menuntut” adalah sebuah penjelasan yang dihasilkan sendiri oleh

masyarakat Masihulan tanpa menyadari bahwa hal ini dapat membawa perubahan

besar dalam kehidupan mereka karena inti penjelasan ini sangat bertentangan

dengan sistem kepercayaan masyarakat Masihulan itu sendiri. Di satu sisi, sistem

kepercayaan masyarakat Masihulan terhadap roh leluhur atau “setan” mendukung

pembunuhan yang dilakukan untuk mempertahankan negeri. Di sisi lain,

penjelasan “darah menuntut” memberikan tekanan agar pembunuhan dihentikan.

“Darah menuntut” memperkenalkan masyarakat Masihulan pada rasa bersalah

karena memberikan penjelasan bahwa suatu tindak kejahatan dapat mendatangkan

hukuman yang merugikan seluruh negeri.

Persoalan pertumbuhan penduduk ini berubah menjadi motivasi awal

untuk melakukan perubahan karena masyarakat mulai membenci atau

menyalahkan kerangka moral tradisional sebagai penyebab masyarakat

mengalami permasalahan dalam pertumbuhan penduduk yang stagnan dan

hilangnya kelompok marga. Dengan demikian, masyarakat telah mengalami

perubahan pandangan mengenai apa yang sebelumnya dianggap baik dan harus

dilakukan menjadi sesuatu yang buruk dan harus ditinggalkan. Perubahan

pandangan ini, kemudian mewujud dalam perubahan secara radikal dengan

meninggalkan praktik-praktik yang sebelumnya dilakukan secara masif.

Peristiwa pemicu yang kedua adalah ketika masyarakat Masihulan ditekan

oleh penjajahan yang dilakukan oleh Belanda. Pada tahun 1910, ketika Belanda

melakukan pencatatan penduduk dan pengelompokan masyarakat, hukum belum

bisa diterapkan karena Belanda harus berperang terlebih dahulu dengan negeri

8 Kutipan tersebut memiliki arti sebagai berikut, “Darah menuntut, kan? Kami sudah ambil nyawa dia, dia ambil nyawa keturunan kami.” Kutipan dari wawancara dengan Adelci Asomate pada tanggal 17 Juli 2015.

Page 10: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

Masihulan. Butuh waktu lama bagi pihak kolonial Belanda untuk menaklukkan

masyarakat Masihulan karena keahlian mereka dalam berperang. Kekalahan

negeri Masihulan pada tahun 1930 menyebabkan masyarakat, sejak saat itu, harus

tunduk di bawah pemerintahan dan hukum kolonial Belanda. Penerapan hukum

formal pada masyarakat Masihulan menjadi suatu tekanan bagi mereka karena hal

ini akan melukai harga diri mereka yang sejak dahulu dikenal sebagai negeri yang

ditakuti dan dihormati negeri lainnya.

Peristiwa pemicu lainnya adalah ketika masyarakat mengalami tekanan

karena keberadaan aktivis RMS (Republik Maluku Selatan) yang memiliki tempat

persembunyian di wilayah pedalaman hutan, yang terletak dekat dengan negeri

Masihulan. RMS memiliki markas besar di Pulau Ambon dan di Pulau Seram.

Dituduh sebagai sebuah gerakan separatis, pemerintah Indonesia pada saat itu,

yakni Soekarno mencoba membubarkan RMS. Pemburuan yang dilakukan

terhadap RMS dilakukan sejak tahun 1950 dan mencapai puncaknya pada tahun

1963, ketika Soumokil, pemimpin RMS, berhasil ditangkap di Seram Utara.

Menurut para tetua adat, pengejaran terhadap RMS sejak tahun 1955 terpusat di

Seram Utara, tepatnya di dekat wilayah perkampungan masyarakat Masihulan.

Pada saat itu, para aktivis RMS melarang masyarakat Masihulan masuk ke

wilayah hutan karena dianggap mengancam keselamatan mereka. Para aktivis

RMS ini takut tempat persembunyiannya terbongkar oleh masyarakat Masihulan

yang pergi ke hutan. Hal ini membuat masyarakat Masihulan kesulitan dalam

mencari bahan makanan. Di sisi lain, para tentara juga memberikan tekanan pada

masyarakat Masihulan yang menurut mereka “mencurigakan”. Saat itu,

masyarakat Masihulan dituduh memberikan bantuan pada para aktivis RMS.

Padahal, menurut penuturan para tetua adat, masyarakat Masihulan tidak akan

berani membongkar tempat persembunyian RMS ke tentara. Di sisi lain, mereka

tidak berani memberikan bantuan pada para aktivis RMS. Posisi masyarakat

Masihulan pada saat ini netral namun tertekan dari dua pihak, militer dan RMS.

Pada saat ini, masyarakat ada di bawah tekanan, masyarakat kehilangan

daya untuk dapat mempertahankan status negeri sebagai negeri yang kuat, hebat,

tak terkalahkan, ditakuti dan dihormati. Setelah pimpinan RMS berhasil

ditangkap, tepatnya pada tahun 1963, para aktivis RMS yang berada di hutan

Page 11: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

ditangkap dan dibawa oleh pihak militer. Mulai saat itu, tekanan yang diberikan

oleh pihak RMS dan militer berakhir. Pada tahun yang sama, konversi pertama

dilakukan oleh seorang warga Masihulan bernama Alexander Limehuwey. Dalam

perkembangannya, konversi ini mendorong terjadinya konversi massal secara

bertahap hingga mencapai puncaknya pada tahun 1966, yakni ketika seluruh

warga masyarakat Masihulan telah dibaptis dan menjadi “orang percaya”.

Pengalaman dijajah oleh pihak kolonial Belanda dan tekanan yang

diberikan oleh RMS dan Militer menjadi sebuah tamparan yang menyakitkan,

yang melukai segenap harga diri yang dimiliki masyarakat Masihulan. Mengacu

pada Sahlins (1992), seluruh peristiwa ini dapat dikatakan sebagai humiliation

yang kemudian mengantarkan masyarakat pada perubahan karena mereka tidak

mau lagi mempertahankan apa yang mereka miliki sebelumnya, yang membuat

mereka melakukan apa yang “baik”—dalam hal ini, kerangka moral tradisional.

Mereka berusaha mencari penjelasan yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa-

peristiwa tersebut; alasan mengapa hal ini harus terjadi dalam kehidupan mereka.

Usaha inilah yang menuntun mereka menuju jalan perubahan sekaligus

mendorong mereka melakukan konversi.

Pada masyarakat Masihulan, konversi dilakukan secara bertahap. Satu per

satu warga masyarakat Masihulan terdorong melakukan konversi menjadi

penganut agama Kristen Protestan setelah seorang warga, yakni Alexander

Limehuwey resmi dibaptis pada tahun 1963. Henry Gooren (2010)9

mendefinisikan konversi sebagai “... a comprehensive personal change of

religious worldview and identity, based on both self-report and attribution by

others.” Pada waktu itu, tidak ada misionaris yang bertugas di Masihulan,

masyarakat masih tergabung dalam jemaat gereja negeri Rumah Olat, yang

letaknya berdekatan dengan negri Masihulan. Sejak Alexander Limehuwey

dibaptis, jumlah warga Masihulan yang ikut dibaptis terus bertambah hingga

akhirnya seluruh warga Masihulan resmi dibaptis dan dibentuk menjadi satu

kesatuan jemaat sendiri pada tahun 1966. Keputusan untuk melakukan konversi

didasarkan pada pilihan mereka sendiri, tidak ada paksaan dari pihak luar.

9 Lihat Gooren, Henry, 2010, “Religious Conversion and Disaffiliation”, USA: Palgrave Macmillan.

Page 12: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

Simon Limehuwey mengatakan bahwa Alexander Limehuwey-lah yang

mendorong masyarakat untuk dibaptis. Hal ini dikarenakan ia adalah bagian dari

masyarakat sehingga ia tahu persoalan yang dihadapi masyarakat dan apa yang

dibutuhkan masyarakat. Melalui Alexander Limehuwey, masyarakat menemukan

jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai peristiwa-peristiwa berat yang

telah mereka lewati. Sebagai orang pertama yang menjadi penganut agama

Kristen Protestan, Alexander Limehuwey memberikan penjelasan atas persoalan

tersebut melalui kerangka agama Kristen. Melalui Alexander Limehuwey,

masyarakat Masihulan memiliki kesadaran bahwa mereka telah sangat berdosa

dan peristiwa-peristiwa berat tersebut adalah hukuman Tuhan agar mereka mau

bertobat. Dorongan atau motivasi yang ditumbuhkan oleh Alexander Limehuwey

menjadi lebih efektif dibandingkan misionaris-misionaris lokal yang berusaha

masuk karena ia adalah bagian dalam pergumulan yang dihadapi masyarakat.

Terdapat banyak argumen mengenai alasan dibalik keputusan konversi.

Tidak sedikit yang berargumen bahwa keputusan untuk melakukan konversi

dilatarbelakangi oleh motif ekonomi (e.g. Cecilia Mariz, 1994; Sheldon Annis,

1987). Adapun, David Martin (1991: 82–83), dalam Evangelicalism and

entrepreneurship, menyatakan “People don’t convert for economic gains. But

when they come they are happy to thank the Lord for his blessings”. Selain itu,

beberapa studi etnografis menunjukkan bahwa ada konversi yang dilakukan

dengan didasarkan pada motif peningkatan posisi sosial dan memperoleh

keuntungan pribadi (e.g. Smilde, 2007). Dalam konversi masyarakat Masihulan,

motivasi untuk melakukan konversi; atau meminjam bahasa Smilde (2007), to

believe (untuk percaya), ialah murni untuk memperoleh “keselamatan atas dosa”.

Masyarakat Masihulan memutuskan untuk melakukan konversi ke agama Kristen

Protestan karena agama ini mampu memenuhi kebutuhan masyarakat; mampu

menolong masyarakat keluar dari bayang-bayang dosa dengan janji “keselamatan

atas dosa” yang menjadi inti ajarannya.

Kekristenan dan Perubahan Kebudayaan di Masihulan

Mengadopsi suatu bentuk kepercayaan, dengan tujuan apapun, bukanlah

persoalan yang sederhana. Smilde (2007) menyatakan bahwa ada hubungan yang

Page 13: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

kompleks antara kepercayaan dengan tujuan yang dimiliki seseorang untuk

mengadopsi kepercayaan tersebut. Konversi akan membawa tiap orang yang

melakukannya pada transformasi diri sesuai dengan ideologi semiotik10

kepercayaan yang dipilih. Konversi akan menuntun tiap “orang yang percaya”

berjalan pada sebuah tatanan moral yang baru, yang menurut Robbins (2004),

dapat menggantikan tatanan moral sebelumnya. Robbins berpendapat bahwa

besarnya pengaruh kekristenan dalam perubahan kebudayaan suatu masyarakat ini

disebabkan oleh tuntutan perubahan radikal yang ada dalam inti ajaran agama

Kristen. Agama Kristen Protestan adalah agama yang fokus pada perubahan

radikal individu sebagai usaha untuk memperoleh “keselamatan atas dosa”.

Dengan demikian, kita telah mengetahui bagaimana kekristenan mempengaruhi

terjadinya perubahan kebudayaan suatu masyarakat.

Sejak kedatangan saya di Masihulan awal bulan Juni hingga pertengahan

bulan Agustus 2015, saya melihat masyarakat Masihulan adalah masyarakat yang

religius. Saya mengamati kehidupan religius masyarakat dan mendapati mereka

sebagai penganut agama Kristen Protestan yang taat beribadah serta menjalankan

nilai-nilai yang ada dalam agama Kristen Protestan. Hal ini terlihat dari beberapa

hal. Pertama, keaktifan dalam kegiatan gereja yang tinggi. Berdasarkan hasil

observasi, saya melihat tingginya tingkat keaktifan seluruh warga dalam

mengikuti ibadah hari minggu; ibadah pelayanan kategorial yang terbagi dalam

kategori anak, remaja, dewasa, ibu dan ayah; serta ibadah sektoral (wilayah).

Kedua, kecenderungan mereka mengasosiasikan mitologi dan cerita

sejarah dengan kisah-kisah di Alkitab. Sejak awal kedatangan saya, setiap kali

saya berusaha menggali sejarah kehidupan masyarakat Masihulan, mereka

berusaha mengaitkannya dengan kisah-kisah Alkitab. Seperti misalnya, sejarah

kehidupan mereka yang berasal dari Nunusaku dikaitkan dengan kisah nabi Nuh

dalam Alkitab kitab Kejadian. Masyarakat percaya bahwa Nunusaku adalah

tempat tertambatnya bahtera Nuh, yang dalam Alkitab dikisahkan tertambat di

pegunungan Ararat. Selain itu, kisah perpisahan patasiwa dengan patalima

dipercaya terkait dengan kisah perpisahan Abraham dan Lot pada Alkitab.

10 Ideologi semiotik mengacu pada semiotic ideology dalam tulisan Webb Keane (2007), Christian Moderns Freedom and Fetishin the Mission Encounter hal 61-67.

Page 14: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

Ketiga, intensitas “perbincangan religius” yang tinggi dalam kehidupan

masyarakat sehari-hari. Saya melihat masyarakat cukup sering melakukan

“perbincangan religius” yang pasti ada, terselip, di dalam perbincangan-

perbincangan mereka sehari-hari. Suatu hari, ketika saya sedang berkumpul untuk

melakukan gugur cengkeh11 dengan beberapa warga lain di rumah Zakharias

Limehuwey, seorang warga yang ada di sana, Dortje Limehuwey menegur

anaknya, Yusuf Patalatu, yang diketahui telah melanggar sasi sopi. “Se seng takut

dosa kah? Se pikir Tuhan seng tau? Se bisa parlente katong tapi katong seng bisa

parlente Tuhan. Tuhan tau samua! Se lihat nanti Tuhan hukum se, pukul se!”12

Hal ini memicu tanggapan warga lainnya, mendukung Dortje Limehuwey dengan

“perbincangan religius” membicarakan betapa mengerikannya hukuman dari

Tuhan yang bisa membawa kematian pada manusia, betapa berdosanya Yusuf

Patalatu karena telah melanggar sasi sopi yang dibuat gereja, dan tuntutan agar

Yusuf Patalatu mau bertobat.

Keempat, perubahan pandangan mengenai hal yang baik dan buruk.

Seperti misalnya, dahulu pembunuhan adalah hal yang dianggap baik dan menjadi

seorang kapitan adalah hal yang membanggakan tetapi sekarang pandangan itu

berubah menjadi hal yang buruk dan memalukan. Hal ini juga terlihat dari

perubahan pandangan pada penggal kepala, pembangunan rumah adat, dan

pemujaan terhadap roh leluhur atau setan dari yang sebelumnya dianggap baik

dan harus dilakukan menjadi hal yang buruk dan harus ditinggalkan.

Kelima, hal yang saya pahami sebagai tindakan “melupakan adat”. Hal ini

terlihat melalui keputusan masyarakat untuk tidak lagi menggunakan kain berang

—yang dahulu merupakan pakaian kebanggaan yang melambangkan keberanian

—sebagai pakaian sehari-hari. Menurut penuturan seorang tetua adat, kain berang

ditinggalkan karena dianggap sebagai lambang pembunuhan. Hal ini juga terlihat

melalui keputusan untuk tidak lagi membangun rumah adat atau baileo. Sejak

11 Kegiatan menggugurkan buah cengkeh dari tangkainya. Kegiatan ini cukup sering dilakukan tiap musim panen. Semakin banyak hasil panen maka semakin banyak orang yang bekerja untuk menggugurkan buah cengkeh dari tangkainya. Dalam kegiatan ini, warga biasa bertukar cerita dan lelucon yang mereka sebut dengan mop sambil menyantap roti atau makanan lainnya dan meminum kopi.12 Kutipan tersebut berarti “kamu tidak takut dosa kah? Kamu pikir Tuhan tidak tahu? Kamu bisa menipu kami, tapi kita tidak bisa menipu Tuhan. Kamu lihat nanti Tuhan hukum kamu, pukul kamu!”

Page 15: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

menganut agama Kristen Protestan, adat istiadat diasosiasikan dengan dosa karena

pelaksanaan adat istiadat, seperti pemenggalan kepala bagi persembahan yang

diletakkan di rumah adat atau baileo merupakan hal yang menyebabkan

masyarakat berdosa. Dosa ini begitu besar sehingga menjadi dosa turunan yang

harus ditanggung oleh masyarakat Masihulan masa kini.

Kontradiksi antara kerangka moral baru, yakni Kristen dengan kerangka

moral yang telah ada sebelumnya membuat masyarakat terjebak dalam

kebingungan untuk memilih kerangka mana yang akan menjadi acuan dalam

kehidupan sehari-hari. Robbins (2004) menjelaskan fenomena serupa pada

masyarakat Urapmin. Sebagai jalan keluar, masyarakat Urapmin melakukan apa

yang Robbins sebut sebagai inkorporasi. Hal ini menjelaskan proses perubahan

kebudayaan yang terjadi di Urapmin. Menurutnya, inkorporasi terjadi ketika “one

group takes over the institutions of another group and makes them their own”.

Rasa berdosa yang begitu melekat dalam imajinasi mengenai kehidupan di

masa lampau dan ketakutan terhadap hukuman yang mungkin diterima atas dosa-

dosa yang diperbuat membuat kekristenan memegang peran dominan dalam

kehidupan masyarakat Masihulan. Kejahatan masa lampau yang dilakukan oleh

para leluhur diterjemahkan sebagai dosa yang menyelimuti kehidupan masyarakat

Masihulan sampai saat ini. Dengan demikian, kekristenan menjadi suatu jalan

masuk yang menuntun masyarakat Masihulan untuk menemukan suatu wujud

kehidupan moral yang baru. Adat, yang sejak semula menjadi dasar kerangka

moral masyarakat Masihulan seolah-olah kehilangan daya untuk dapat terus

mempertahankan otoritasnya. Pengampunan dosa, yang menjadi salah satu hal

yang diutamakan dalam kekristenan, merupakan satu cara masyarakat

"melupakan" bayang-bayang dosa atas kejahatan masa lalu. Di sisi lain, bayang-

bayang kehidupan masa lalu yang “gelap” itu juga menjadi sebuah ingatan yang

selalu diaktifkan kembali dalam rangka memenuhi usaha menjaga tatanan moral

mereka.

Joel Robbins (2004) mengungkapkan bahwa kekristenan telah menjadi

sebuah jalan masuk bagi kehadiran tatanan moral yang baru, yang mampu

menggeser nilai-nilai yang telah ada sebelumnya. Konversi yang dilakukan oleh

masyarakat Masihulan mendorong mereka merubah jalan hidup mereka. Menurut

Page 16: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

Henri Gooren (2010)13, pada dasarnya, seluruh konversi dilakukan dengan

formula yang sama yakni I was living in sin, but now I’m saved; I was lost, but

now I’m found (dahulu saya hidup dalam dosa tapi sekarang telah diselamatkan;

dahulu saya hilang tapi kini telah ditemukan). Konversi menuntun seseorang pada

sebuah transformasi diri melalui sebuah proses yang Snow dan Machalek sebut

dengan biographical reconstruction.14 Orang yang menjalani pengalaman

konversi secara harfiah merekonstruksi kehidupan mereka, memberi makna baru

terhadap peristiwa lama dan menempatkan penekanan yang berbeda pada "plot"

yang lebih besar dari kisah hidup mereka.15

Christian eschatology in many, though not all, of its forms also focuses on a rupture in time—here in the future rather than in the past. And finally, with the demand for conversion, Christianity tends to call for a rupture in the personal history of those living in the present. (Robbins, 2011)

Melalui kutipan tersebut kita dapat mengetahui bahwa konversi

memberikan tuntutan yang berkaitan dengan pembagian waktu dalam sejarah.

Webb Keane (2007), menyebutkan “sense of history” sebagai bagian dari

konversi. Hal ini dikarenakan konversi agama Kristen Protestan menekankan

adanya transisi masa lalu, masa kini, dan masa depan. Argumen utamanya ialah

bahwa konversi memiliki sifat historis karena di dalamnya terdapat pemisahan

antara “yang lalu” dan “yang sekarang”. Ia mengatakan bahwa “sense of history”

bukanlah suatu hal yang abstrak atau hal yang hanya ada dalam imajinasi kita. Hal

tersebut nyata karena diproduksi melalui praktik, tulisan, dan benda-benda yang

konkrit, yang memiliki implikasi historis, tergantung pada ideologi semiotik yang

dimiliki.

Dalam imajinasi masyarakat yang hidup pada masa kini, waktu ketika

seluruh warga Masihulan resmi dibaptis adalah waktu “keselamatan”. Hal ini

didasarkan pada keyakinan bahwa ketika mereka dibaptis, mereka “diselamatkan”

untuk tidak lagi hidup “dalam gelap”. Pembagian waktu ini menunjukkan transisi

13 Dalam Anderson, Allan (et al., ed), 2010, Studying Global Pentecostalism: Theories and Methods, Berkeley: University of California Press.14 Snow, David A. and Richard Machalek, 1983, “The Convert as a Social Type,” in Sociological Theory,ed. Randall Collins, San Francisco: Jossey-Bass, 259–89. 15 Henri Gooren, 2010, Religious Conversion and Disaffiliation: Tracing Patterns of Change in Faith Practices, New York: Palgrave Macmillan.

Page 17: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

kehidupan moral dari “yang lama” menuju ke “yang baru”, yang terlihat dari

perubahan pandangan serta identifikasi religius yang mempengaruhi perubahan

dalam banyak hal lainnya.

Masuknya agama ke dalam suatu masyarakat secara khusus dapat

mengakibatkan terjadinya perubahan tatanan moral dan perubahan kebudayaan

masyarakat pada umumnya. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara agama,

moralitas dengan kebudayaan. Dalam bukunya, Robbins (2004) menekankan

pentingnya pengetahuan mengenai moralitas suatu masyarakat untuk mendukung

pemahaman kita mengenai fenomena perubahan kebudayaan yang terjadi di

masyarakat tersebut. Perubahan kebudayaan yang terjadi pada masyarakat

Masihulan berkaitan dengan masuknya agama Kristen Protestan dalam kehidupan

masyarakat. Sejak injil masuk dan diterima, agama Kristen Protestan digunakan

sebagai kerangka pengaturan kehidupan moral masyarakat Masihulan. Perubahan

kebudayaan terlihat dalam beberapa hal. Salah satunya adalah perubahan posisi

adat dalam struktur kehidupan masyarakat. Otoritas adat yang sebelumnya

memegang peranan penting dalam segala aspek kehidupan, khususnya dalam

aspek moral masyarakat, melemah ditekan oleh otoritas gereja. Hal ini terlihat

dari dominasi gereja terhadap hampir seluruh usaha pelaksanaan kehidupan moral

masyarakat Masihulan.

Christianity is a religion that focuses a good deal of attention on the need for radical change and, I will argue, grounds the possibility for such change in ideas about the ways the transcendent realm can sometimes influence the mundane. That Christianity emphasizes the importance of radical change is true in several respects. (Robbins, 2011)

Kristen adalah agama yang fokus kepada perubahan yang radikal, Robbins

(2011) katakan. Hal ini berkaitan dengan argumen Webb Keane (2007) mengenai

“sense of history” pada konversi. Dalam hal ini, Keane menekankan perhatian

khusus pada historical agency yang menurutnya adalah hal yang umum dalam

proselytization atau penyebaran agama. Perubahan radikal seseorang setelah

konversi dilakukan dengan mengacu pada pembagian waktu, “masa lalu”, “masa

kini” serta “masa depan” sebagai dasar identifikasi transformasi diri. Diri di

“masa lalu” tidaklah sama dengan diri di “masa kini”, seseorang yang telah

dibaptis dan menjadi “orang percaya” harus menunjukkan perubahan diri yang

Page 18: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

signifikan. Perubahan yang dimaksud di sini adalah perubahan seseorang

“menjadi lebih baik” sesuai dengan jalan kekristenan yang dilaluinya. Meyer

(1998) mengatakan “converts may identify the temporality of individual

transformation with that of whole societies,or sharply distinguish the two”. Pada

masyarakat yang homogen seperti Masihulan, perubahan terjadi tidak hanya pada

individu tetapi pada masyarakat secara keseluruhan karena setelah konversi

dilakukan oleh semua warga masyarakat, kini kerangka pikir yang digunakan tiap

orang sama, yakni kekristenan. Dengan demikian, sesuai dengan yang T. O.

Beidelman (1982) katakan, “missionary views about the process of conversion

ultimately amount to theory of social change”, kita dapat melihat bahwa konversi

membuka jalan terhadap perubahan sosial.

Manusia yang berdosa, inilah dasar identifikasi masyarakat Masihulan

terhadap diri mereka di masa lampau. Mereka berdosa karena menjalankan adat

istiadat yang penuh dengan dosa. Kesadaran ini mendorong mereka untuk

merubah kebudayaan yang dimiliki. Masyarakat Masihulan yang hidup masa kini

cenderung “melupakan” adat istiadat mereka di masa lampau. Hal ini dilakukan

untuk menolong mereka melakukan transformasi diri yang penuh dari manusia

berdosa di masa lampau menuju manusia baru di masa kini yang hidup sesuai

dengan kehendak Allah. Perubahan diri yang radikal, seperti yang telah

disebutkan Robbins (2011), ialah tuntutan yang harus dipenuhi agar

“keselamatan” itu benar-benar diperoleh. Tanpa perubahan diri yang radikal, yang

dalam kekristenan dipahami sebagai pertobatan, manusia masih hidup dalam

dosa. Sebelum memenuhi tuntutan pertobatan, manusia tidak akan sepenuhnya

bebas dari dosa. Rumusan keyakinan dalam agama Kristen ini mendorong

masyarakat Masihulan “meninggalkan adat” dan hidup dengan kerangka

kekristenan. Selama masyarakat belum bisa meninggalkan adat istiadat,

masyarakat masih berdosa karena adat istiadatlah yang mendorong mereka

melakukan pembunuhan dan memberikan justifikasi atas hal tersebut. Keyakinan

Kristen menolak justifikasi atas tiap bentuk kejahatan yang dilakukan manusia.

Kejahatan sekecil apapun adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak

Allah, yang dikenal dengan nama dosa.

Page 19: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

Telah disebutkan sebelumnya, bahwa sejak dibaptis, masyarakat

Masihulan tidak lagi membangun rumah adat (baileo). Dahulu, rumah adat

(baileo) adalah hal yang penting bagi masyarakat karena sistem kepercayaan

mereka dahulu menuntut persembahan kepala manusia agar roh leluhur atau setan

dapat terus memberikan perlindungan dan kekuatan pada masyarakat. Di satu sisi,

keberadaan rumah adat (baileo) menuntut masyarakat terus melakukan

pembunuhan agar roh leluhur atau setan dapat “makan”. Di sisi lain, keberadaan

rumah adat (baileo) juga memberikan perlindungan dan kekuatan pada

masyarakat. Sistem kepercayaan ini tentu saja bersifat kontradiktif dengan

kepercayaan Kristen. Tuntutan pertobatan dalam agama Kristen mendesak

masyarakat meninggalkan sistem kepercayaan lokal yang “berdosa” ini.

“Meninggalkan” rumah adat (baileo) juga berarti “meninggalkan” sistem

kepercayaan terhadap roh leluhur atau setan, ritual tarian kahua atau maru-maru,

tindakan pembunuhan untuk mengumpulkan kepala manusia, dan yang terpenting

ialah meninggalkan perlindungan dan kekuatan yang diberikan oleh roh leluhur

atau setan terhadap masyarakat Masihulan. Janji keselamatan yang ditawarkan

agama Kristen rupanya lebih menarik bagi mereka sehingga membuat mereka

memutuskan untuk meninggalkan adat istiadat ini.

“Meninggalkan adat” juga terlihat dari ditinggalkannya kain berang yang

dulu merupakan pakaian laki-laki yang membawa kebanggaan tersendiri bagi

yang memakainya. Selain itu, hal ini juga terlihat dari perubahan pandangan

terhadap hal yang membanggakan, yakni gelar Kapitan, menjadi hal yang

memalukan. Perubahan pandangan atas hal yang baik dan buruk atau hal yang

membanggakan dan memalukan ini disebabkan karena masyarakat

mengasosiasikan adat istiadat dengan dosa. Keputusan untuk “meninggalkan

adat” didasarkan pada pandangan bahwa kehidupan dalam adat istiadat adalah

kehidupan yang penuh dosa sehingga harus ditinggalkan untuk memperoleh

keselamatan dari Allah.

Hal yang menarik ialah perubahan ini tidak hanya mendorong masyarakat

“meninggalkan adat” tetapi juga mengubah struktur pemerintahan yang ada di

masyarakat. Sebelum dibaptis dan berjalan dalam jalan pertobatan, masyarakat

memiliki struktur pemerintahan yang didominasi oleh otoritas adat. Akan tetapi,

Page 20: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

otoritas ini kini tergeser oleh otoritas gereja. Hal ini dapat terlihat dari kasus sasi

sopi. Sasi adalah mekanisme larangan yang sebelumnya dipegang oleh otoritas

adat. Dalam kasus sasi sopi, otoritas adat tunduk pada otoritas gereja karena sasi

ini dipegang oleh gereja. Hal ini menarik, karena menunjukkan dampak

perubahan yang lebih besar dari perubahan kebudayaan masyarakat Masihulan.

Setelah berbicara mengenai perubahan yang terjadi pada kebudayaan

kebudayaan masyarakat Masihulan. Kita juga harus berbicara mengenai

kontinuitas yang ada pada masyarakat. Dibalik berbagai perubahan yang terjadi

sebagai dampak kuatnya kekeristenan dalam masyarakat, saya juga melihat

terdapat kontinuitas yang terjadi beriringan dengan perubahan-perubahan tersebut.

Meskipun masyarakat Masihulan memutuskan untuk “meninggalkan

adat”, sebenarnya mereka tidak benar-benar melakukan itu. Masyarakat

Masihulan masih percaya pada kekuatan roh leluhur atau setan yang ada di sekitar

mereka. Menggeser kepercayaan kepada Yesus Kristus tidak berarti kepercayaan

kepada roh leluhur atau setan menghilang sama sekali. Awalnya saya berasumsi

bahwa masyarakat telah sepenuhnya meninggalkan sistem kepercayaan mereka.

Rupanya kenyataan yang terjadi berbeda, masyarakat masih mempercayai

keberadaan roh leluhur atau setan. Hanya saja kini roh leluhur atau setan berada

pada posisi subordinat, di bawah kekuatan Allah. Mereka menyadari bahwa roh

leluhur atau setan tidak memiliki kekuatan sebesar Allah sehingga mereka tidak

lagi menyandarkan kehidupan mereka pada kekuatan roh leluhur atau setan.

Meskipun demikian, roh leluhur atau setan tetap diasosiasikan kepada dosa. Hal

ini membuat adanya dualisme dalam sistem kepercayaan masyarakat Masihulan.

Kekuatan Allah dalam kekristenan dipahami sebagai kekuatan baik sedangkan

kekuatan roh leluhur atau setan dipahami sebagai kekuatan jahat. Keberadaan roh

leluhur atau setan adalah alasan terjadinya sakit-penyakit atau hal buruk yang

menimpa masyarakat. Masyarakat percaya bahwa roh leluhur atau setan masih

ada di sekitar mereka untuk mengawasi mereka, namun roh leluhur atau setan

juga seringkali mengganggu masyarakat dengan memberikan sakit-penyakit dan

masalah pada masyarakat. Roh leluhur atau setan seringkali mengganggu

masyarakat tanpa alasan yang jelas atau hanya iseng-iseng. Sementara itu, Allah,

Page 21: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

sebagai kekuatan baik adalah sosok yang menggantikan peran roh leluhur atau

setan dalam memberikan perlindungan dan kekuatan pada masyarakat.

Melalui penjabaran di atas terlihat bahwa kekristenan di Masihulan

menuntun masyarakat pada perubahan kebudayaan secara radikal. Dalam

perubahan kebudayaan ini terdapat transformasi yang terlihat dalam keputusan

masyarakat untuk “meninggalkan adat”. Perubahan radikal pada masyarakat

sangat terlihat dari ditinggalkannya penggal kepala sebagai hal yang dulu selalu

dilakukan sebagai simbol kekuatan dan usaha untuk mempertahankan negeri.

Selain itu, melemahnya posisi roh leluhur atau setan dalam sistem kepercayaan

masyarakat juga berdampak pada bergesernya posisi institusi adat karena

otoritasnya kini dipegang oleh institusi gereja. Melalui tabel berikut kita dapat

memahami bagaimana pengaruh kerangka moral Kristen pada perubahan

kebudayaan di Masihulan. Hal menarik yang perlu diperhatikan ialah meskipun

masyarakat telah mengalami perubahan kebudayaan secara radikal, namun tetap

terdapat kontinuitas yang menunjukkan bahwa perubahan radikal ini tidak bersifat

menyeluruh.

Kebudayaan

MasihulanKristen Protestan

Transformasi dan

Kontinuitas

Roh leluhur atau setan Yesus KristusStratifikasi Kekuatan

Supranatural

Otoritas adat Otoritas gereja Otoritas gereja

Ritual tari kahua atau

maru-maruTidak ada ritual Perubahan fungsi ritual

Justifikasi atas

pembunuhanPembunuhan adalah dosa

Meninggalkan aktivitas

pembunuhan

Rumah adat Tidak ada rumah adat Tidak ada rumah adat lagi

Penggal kepala

merupakan hal yang

Penggal kepala adalah dosa sehingga harus

Meninggalkan aktivitas penggal kepala

Page 22: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

baik dan harus

dilakukan ditinggalkan

Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa perubahan kebudayaan

adalah hal yang tidak dapat dihindarkan dari pertumbuhan kekristenan yang cepat

dan kuat dalam suatu masyarakat. Dalam konteks masyarakat Masihulan,

perubahan ini dipicu oleh tuntutan “pertobatan” yang haru dipenuhi masyarakat

sebagai penganut agama Kristen Protestan. Masyarakat harus melakukan

pertobatan agar terbebas dari dosa dan dapat menerima “keselamatan atas dosa”.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa identifikasi diri sebagai “pendosa”

dan pengaktifan kembali ingatan-ingatan akan dosa di “masa lalu” menjadi

dorongan bagi pertumbuhan kekristenan di Masihulan. Dalam perkembangannya,

hal ini kemudian mendorong terjadinya perubahan kebudayaan secara radikal

pada masyarakat Masihulan.

Kesimpulan

Masuknya agama Kristen Protestan dalam kehidupan masyarakat

Masihulan menyebabkan terjadinya perubahan secara radikal pada beberapa aspek

kebudyaan masyarakat. Perubahan ini dilakukan dengan meninggalkan penggal

kepala, perang, pembunuhan, ritual tari kahua atau maru-maru, pembangunan

rumah adat (baileo), dan adat inisiasi (cidaku) yang dahulu dianggap sebagai hal

yang baik dan harus dilakukan tapi kini dianggap sebagai dosa. Agama Kristen

meyakini adanya hukuman atas dosa dan tidak satupun manusia yang dapat luput

dari hal ini, kecuali dengan memperoleh “keselamatan atas dosa”. Sementara itu,

“keselamatan atas dosa” ini hanya dapat dilakukan jika manusia telah benar-benar

meninggalkan dosa, yang dapat juga dipahami sebagai tuntutan untuk melakukan

perubahan yang radikal dengan mengikuti kerangka moral Kristen.

Identifikasi diri sebagai pendosa dan bayang-bayang keberdosaan yang

kuat membuat masyarakat takut akan menerima hukuman atas dosa. Perubahan

radikal ini dilakukan sebagai obsesi masyarakat Masihulan untuk memperoleh

“keselamatan atas dosa”. “Meninggalkan adat” adalah suatu strategi untuk

Page 23: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

memenuhi obsesi ini. Masyarakat Masihulan, yang sebelumnya memiliki prestise

yang tinggi atas status negeri yang terkenal sebagai negeri yang kuat, tak

terkalahkan, ditakuti dan dihormati karena kemampuannya dalam berperang,

membunuh dan berburu kepala manusia, kini menganggap hal tersebut sebagai

hal yang memalukan karena menunjukkan betapa berdosanya kehidupan para

leluhur mereka di masa lampau.

Daftar Pustaka

Anderson, Allan (et al., ed). 2010. Studying Global Pentecostalism: Theories and

Methods. Berkeley: University of California Press.

Annis, Sheldon. 1987. God and Production in a Guatemalan Town. Austin:

University of Texas Press.

Beidelman, T.O. 1982. Colonial Evangelism: A Socio-Historical Study of an East

African Mission at the Grassroots. Bloomington: Indiana University Press.

Comaroff, John L., and Jean Comaroff. 1997. Of Revelation and Revolution: The

Dialectics of Modernity dalam South African Frontier Vol. 2. Chicago: University

of Chicago Press.

Gooren, Henry. 2010. Religious Conversion and Disaffiliation. New York:

Palgrave Macmillan.

Keane, Webb. 2007. Christian Moderns Freedom and Fetishin the Mission

Encounter. California: University of California Press.

Mariz, Cecilia. 1994. Coping with Poverty: Pentecostals and Christian Base

Communities in Brazil. Philadelphia: Temple University Press.

Martin, David. 1990. Tongues of Fire: The Explosion of Protestantism in Latin

America. Oxford: Basil Blackwell.

Meyer, Birgit. 1998."Make a Complete Break with the Past": Memory and Post-

colonial Modernity in Ghanaian Pentecostalist Discourse dalam Journal of

Religion in Africa 34(3):316-49.

Smilde, David. 2007. Reason to believe: cultural agency in Latin American.

California: University of California Press.

Page 24: Pendosa: Kekristenan Dan Perubahan Kebudaan Masihulan, Seram Utara

Snow, David A. and Richard Machalek, 1983, “The Convert as a Social Type,” in

Sociological Theory, ed. Randall Collins, San Francisco: Jossey-Bass, 259–89.

Turner, Victor. 1966. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. New

York: Cornell University Press.

Robbins, Joel. 2004. Becoming Sinners: Christianity and Moral Torment in a

Papua New Guinea Society. London: University of California Press.

Robbins, Joel. 2011. "Trancendence and the Anthropology of Christianity:

Language, Change and Individualism," dalam Journal of the Finnish

Anthropological Society 37(2): 5-23.