PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator :...

227
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research 1 Denpasar, 05-07 November 2015 BUKU NASKAH LENGKAP PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII ―LEADING INTERNAL MEDICINE TO BEST CARE OF PATIENT: BASED ON NOVEL RESEARCH‖ Inna Grand Bali Beach Sanur, 05 - 07 November 2015 Editor: Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM, FINASIM Prof. Dr. dr. IDN Wibawa, SpPD-KGEH, FINASIM Dr. dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM, FINASIM dr. I Nyoman Astika, SpPD-KGer, FINASIM

Transcript of PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator :...

Page 1: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

1 Denpasar, 05-07 November 2015

BUKU NASKAH LENGKAP

PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII

―LEADING INTERNAL MEDICINE TO BEST CARE OF PATIENT:

BASED ON NOVEL RESEARCH‖

Inna Grand Bali Beach Sanur, 05 - 07 November 2015

Editor:

Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM, FINASIM

Prof. Dr. dr. IDN Wibawa, SpPD-KGEH, FINASIM

Dr. dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM, FINASIM

dr. I Nyoman Astika, SpPD-KGer, FINASIM

Page 2: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

2 Denpasar, 05-07 November 2015

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Ilmu Penyakit Dalam merupakan ilmu yang terus berkembang dan memiliki banyak

variasi dalam aplikasi klinis, baik dalam hal teori, prosedur diagnostik, maupun

terapi. Dokter dan tenaga paramedis lainnya memiliki tanggung jawab moral yang

besar untuk dapat memberikan pelayanan di bidang kesehatan yang terbaik bagi

pasien, sehingga klinisi dituntut untuk senantiasa memperbaharui keilmuan dan

keahliannya sesuai standar global.

Tidak hanya ilmu kedokteran yang berkembang, sistem kesehatan pun berbenah

seiring perkembangan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran,

sehingga untuk dapat menghadapi semua tantangan tersebut, kami mengundang

seluruh sejawat baik dokter spesialis penyakit dalam, dokter umum, dan tenaga

kesehatan lainnya untuk memperdalam serta update kembali ilmu yang dimiliki

melalui workshop dan simposium yang diselenggarakan dalam PKB Ilmu Penyakit

Dalam dengan topik Leading Internal Medicine to Best Care of Patient : Based on

Novel Research.

Semoga acara ini memberikan manfaat yang baik bagi kita semua untuk satu

tujuan mulia; memberikan pelayanan kesehatan terbaik untuk pasien.

Om Cantih, Cantih, Cantih, Om

Hormat Saya,

Ketua Panitia PKB XXIII

dr. I Nyoman Astika, SpPD-KGer, FINASIM

Page 3: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

3 Denpasar, 05-07 November 2015

KONTRIBUTOR

Prof. DR. Dr. Ketut Suwitra, SpPD

Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal

Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit

dalam FK UNUD/RSUP Sanglah,

Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. Gde Raka Widiana,

SpPD

Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal

Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit

dalam FK UNUD/RSUP Sanglah,

Denpasar-Bali

DR. Dr. Yenny Kandarini, SpPD

Konsultan Ginjal Hipertensi, Divisi Ginjal

Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit

dalam FK UNUD/RSUP Sanglah,

Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. I B Ngurah Rai, SpP

Konsultan , Divisi Pulmonologi,

Departemen Ilmu Penyakit dalam FK

UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Dr. IGN Bagus Artana, SpPD

Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu

Penyakit dalam FK UNUD/RSUP

Sanglah, Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. Tjok Raka Putra,

SpPD

Konsultan Reumatologi, Divisi

Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit

dalam FK UNUD/RSUP Sanglah,

Denpasar-Bali

Dr. Gede Kambayana, SpPD

Konsultan Reumatologi, Divisi

Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit

dalam FK UNUD/RSUP Sanglah,

Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. K. Tuti Parwati

Merati, SpPD

Konsultan Tropik Infeksi, Divisi Tropik

Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit dalam

FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

DR. Dr. RA Tuty Kuswardhani,

SpPD

Konsultan Geriatri, Divisi Geriatri,

Departemen Ilmu Penyakit dalam FK

UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Dr. I G P Suka Aryana, SpPD

Konsultan Geriatri, Divisi Geriatri,

Departemen Ilmu Penyakit dalam FK

UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Dr. I Nyoman Astika, SpPD

Konsultan Geriatri, Divisi Geriatri,

Departemen Ilmu Penyakit dalam FK

UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. Ketut Suastika, SpPD

Konsultan Endokrinologi Metabolik dan

Diabetes, Divisi Endokrinologi Metabolik

dan Diabetes, Departemen Ilmu Penyakit

dalam FK UNUD/RSUP Sanglah,

Denpasar-Bali

Page 4: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

4 Denpasar, 05-07 November 2015

Prof. DR. Dr. I Made Bakta, SpPD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik,

Divisi Hematologi-Onkologi Medik,

Departemen Ilmu Penyakit dalam FK

UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Dr. I Wayan Losen Adnyana,SpPD

Konsultan Hematologi-Onkologi Medik,

Divisi Hematologi-Onkologi Medik,

Departemen Ilmu Penyakit dalam FK

UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Dr.Ni Made Reni A. Rena, SpPD

Divisi Hematologi-Onkologi Medik,

Departemen Ilmu Penyakit dalam FK

UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. I Wayan Wita, SpJP

Konsultan, Departemen Jantung dan

Pembuluh Darah, FK UNUD/RSUP

Sanglah, Denpasar-Bali

DR. Dr. Ketut Suryana, SpPD

Konsultan Alergi Imunologi, Divisi Alergi

Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit

dalam FK UNUD/RSUP Sanglah,

Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. IDN Wibawa, SpPD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi,

Divisi Gastroenterologi-Hepatologi,

Departemen Ilmu Penyakit dalam FK

UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Dr. Nyoman Purwadi, SpPD

Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi,

Divisi Gastroenterologi-Hepatologi,

Departemen Ilmu Penyakit dalam FK

UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Prof. DR. Dr. I Ketut Rina, SpJP

Konsultan, Departemen Jantung dan

Pembuluh Darah, FK UNUD/RSUP

Sanglah, Denpasar-Bali

DR. Dr. Thomas Eko Purwata, SpS

Konsultan, Departemen Neurologi, FK

UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Page 5: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

5 Denpasar, 05-07 November 2015

Kamis, 05 November 2015

WORKSHOP EFFECT AND ACTION OF LIRAGLUTIDE INJECTION IN DIABETES

07.30 – 08.00 Registration

08.00 – 08.30 Opening Ceremony and Coffe Break

08.30 – 10.30 Effect and Action of Liraglutide Injection in Diabetes

10.30 – 11.30 Discussion

12.00 Closing Ceremony and Lunch

WORKSHOP THE INITIATION OF ARV ON DIFFERENT CASES, WHEN AND HOW?

07.30 – 08.00 Registration

08.00 – 08.30 Opening Ceremony and Coffe Break

08.30 – 10.00 INITIATION OF ARV ON DIFFERENT CASES, WHEN AND HOW?

Case Study

Prof DR dr K. Tuti Parwati, Sp.PD-KPTI

dr. I Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI

dr. I Ketut Agus Somia, Sp.PD-KPTI

dr. Anak Agung Yuli Gayatri, Sp.PD

dr. Ni Made Dewi Dian Sukmawati,Sp.PD

10.00-12.00 DIscussion

12.00 – Finish Closing Ceremony and Lunch

WORKSHOP ALERGI AND IMUNOLOGY

07.30 – 08.00 Registration

08.00 – 08.30 Opening Ceremony and Coffe Break

08.15 – 13.00 Updated Management in Type 1 Alergic Reaction With and Without Shock

DR. dr. Ketut Suryana, Sp.PD KAI

Management of Shock: Focus on Fluid Resuscitation and Acid-Base Disbalance

dr. Putu Andrika, Sp.PD KIC

11.30-12.30 Discussion

13.00 – Finish Closing Ceremony and Lunch

Page 6: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

6 Denpasar, 05-07 November 2015

Jumat, 06 November 2015

07.30-08.00 Registration

08.00-08.15 Opening

08.15-08.45 Plenary Lecture 1

An Overview of Medical Emergency in Thrombosis

Speaker : Prof. DR. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM

Coffee Break

09.00-10.00 Pre Lunch Sympo 1

Neuropathic Pain in Elderly: Role of Pregabalin

Moderator : dr. I Nyoman Astika, SpPD-KGer

The Importance to Manage Neurophatic Pain in Diabetic Elderly Patient

Speaker : Prof. DR. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD)

Pregabalin as the Cornerstone of Treating Neuropathic Pain

Speaker : DR. dr. Thomas Eko Purwata, SpS (K)

10.00-11.00 Pre Lunch Sympo 2

Update in Management of Geriatric Syndrome

Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS

Controversion of Using Antioxidant in Elderly Degenerative Disease

Speaker : dr. IGP Suka Aryana, SpPD-KGer

Nutrional Management in Frailty Elderly

Speaker : dr. I Nyoman Astika, SpPD-KGer

11.00-12.30 Lunch Sympo 1

The Role of Small Airways in Management of Asthma

Moderator: dr. IB Suta, Sp.P

The Role of Small Airways Management in Asthma

Speaker : Prof. DR. dr. IB Ngurah Rai, SpP (K)

Recent Management of Asthma

Speaker : dr. IGN Bagus Artana, SpPD

12.30-13.30 Lunch

13.30-14.30 Post Lunch Sympo 1

Current Issues in Chronic Cardiac Problems

Moderator : dr. IGN Putra Gunadhi, SpJP (K) FIHA

Current Issue in Management of Chronic Stable Angina

Speaker : Prof. DR. dr. I Wayan Wita SpJP (K) FIHA

Optimizing Management of Chronic Heart Failure

DR. dr. I Ketut Rina, SpPD, SPJP (K) FIHA

14.30-15.30 Post Lunch Sympo 2

Recent Management of Hematological Problems

Moderator : DR. dr . Ketut Suega, SpPD-KHOM

Updating in diagnostic of thrombocytopenia

Speaker : dr. I Wayan Losen, SpPD-KHOM)

An Approach to Medical Bleeding

Speaker : dr. Ni Made Renny Anggreni Rena, SpPD

15.30-15.45 Closing

Page 7: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

7 Denpasar, 05-07 November 2015

Sabtu, 07 November 2015

08.15-08.45 Plenary Lecture 2

Update recommendation of Vaccination in Adult

Speaker : Prof. DR. dr. K. Tuti Parwati Merati, SpPD-KPTI

08.45-09.00 Coffee Break

09.00-10.00 Pre Lunch Sympo 3

Combined Drugs use on Hypertension treatment

Moderator : DR. dr. I Wayan Sudhana, SpPD-KGH

The Principal of Drug combination on Hypertension Treatment

Speaker : Prof. DR. dr. I Gde Raka Widiana, SpPD-KGH

Advantage of Valsartan and Amlodipine Combination on Hypertension

treatment

Speaker : Prof. DR. dr. Ketut Suwitra, SpPD-KGH

10.00-11.00 Pre Lunch Sympo 4

Role of Vaccination in Elderly

Moderator: dr. Ni Ketut Rai Purnami, SpPD

Problems Regarding Herpes Zoster Infection in Elderly

DR. dr. RA. Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS

Evidence Based of Herpes Zoster Vaccination in Elderly

Speaker : dr. IGP Suka Aryana, SpPD-KGer

11.00-12.30 Lunch Sympo 2

Use of CCB on Hypertension Treatment : What’s new?

Moderator : dr. Jodi S. Loekman, SpPD-KGH

Role of CCB on treatment of Hypertension

Speaker : Prof. DR. dr. Ketut Suwitra, SpPD-KGH

Long acting nifedipine (GITS system) on treatment of Hypertension

Speaker : DR. dr. Yenny Kandarini, SpPD-KGH

12.30-13.30 Lunch

13.30-14.30 Post Lunch Sympo 3

Update Management of Chronic Hepatitis B

Moderator : dr. IGA. Suryadharma, SpPD-KGEH

Immunobiology Immunotherapy Chronic Hepatitis B

Speaker : Prof. DR. dr. IDN Wibawa, SpPD-KGEH

Strategy Therapy Chronic Hepatitis B

Speaker : dr. Nyoman Purwadi, SpPD-KGEH

14.30-15.30 Post Lunch Sympo 4

Recent update in Rheumatology diseases

Moderator : dr. Pande Kurniari, SpPD

New Issue in Hyperuricemia and Gouty Arthritis

Prof. DR. dr. Tjokorda Raka Putra, SpPD-KR

The Role of ANA-IF and ANA-Profile Examination in SLE

dr. Gede Kambayana, SpPD-KR

15.30-15.45 Closing

Page 8: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

8 Denpasar, 05-07 November 2015

NASKAH LENGKAP

Page 9: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

9 Denpasar, 05-07 November 2015

Pregabalin as the Cornerstone of Treating Neuropathic Pain

Thomas Eko P, Putu Eka Widyadharma

SMF/Bagian Neurologi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Nyeri Neuropatik (NN) merupakan salah satu bentuk nyeri kronik

yang sulit diobati , obat-obatan penghilang rasa sakit dan anti inflamasi non

steroid pada umumnya kurang responsif untuk mengobati NN.

Penatalaksanaan NN masih merupakan tantangan , hanya sekitar

50% pasien yang diobati berkurang rasa nyerinya, itupun nyerinya tidak

hilang total dan seringkali efek samping obat tidak dapat ditoleransi oleh

pasien. Pendekatan terapi NN yang rasional adalah berdasarkan

mekanisme terjadinya NN. Menejemen NN kronik idealnya dilakukan

secara multidisiplin dan berdasarkan guideline (GL) dengan

memperhatikan untung dan ruginya. Obat-obatan untuk NN yang

mempunyai efikasi yang baik berdasarkan bukti klinik adalah analgesik

adjuvan seperti misalnya : anti-konvulsan, anti-depresan, anestesi lokal

dan lain-lainnya.

Pregabalin merupakan anti-konvulsan yang bekerja pada α2-δ

subunit dari voltage gated calcium channel. Mekanisme kerjanya adalah

memodulasi influks kalsium dan mengurangi pelepasan neuro-transmiter

eksitatorik presinap seperti glutamat, substansi P, dan calcitonin gene-

related peptide sehingga dapat mengurangi nyeri. Pregabalin memiliki

efikasi dan keamanan yang baik. Semua organisasi Internasional

merekomendasikan pregabalin sebagai obat lini pertama untuk terapi

farmakologik hampir semua NN, kecuali untuk neuralgia trigeminal obat lini

pertama adalah karbamasepin dan okskarbasepin.

Kata kunci : pregabalin, nyeri neuropatik, menejemen, guideline, terapi

farmakologik

Page 10: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

10 Denpasar, 05-07 November 2015

Pendahuluan

Nyeri Neuropatik (NN) merupakan salah satu bentuk nyeri kronik

yang sangat sulit ditangani, obat-obatan golongan analgesik dan anti

inflamasi non steroid kurang mempan untuk mengobati NN. Nyeri

neuropatik sering membuat frustasi baik pasien maupun dokternya, tidak

jarang terjadi gangguan tidur, kecemasan dan depresi, sebagai akibatnya

kualitas hidup pasien menurun.1 Survei epidemiologi menunjukkan bahwa

banyak pasien NN belum mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.

Hal ini antara lain disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang

diagnosis yang tepat, pemilihan terapi dan efikasi dari obat-obatan untuk

NN.1-3

Gejala klinik NN sangat bervariasi dan individual. Pada penyakit

yang sama gejala kliniknya dapat berubah dari waktu ke waktu dan pada

individu yang satu gejalanya tidak selalu sama dengan individu yang lain,

demikian pula respon pengobatannya sangat individual sehingga hal ini

menyulitkan diagnosis dan terapinya.

Manajemen NN masih merupakan tantangan , hanya sekitar 50%

pasien yang diobati berkurang rasa nyerinya, itupun nyerinya tidak hilang

total dan seringkali efek samping obat tidak dapat ditoleransi oleh pasien.4

Pendekatan terapi NN yang rasional adalah berdasarkan mekanisme

terjadinya NN.

Pregabalin merupakan anti-konvulsan yang bekerja pada α2-δ

subunit dari voltage gated calcium channel. Mekanisme kerjanya adalah

memodulasi influks kalsium dan mengurangi pelepasan neuro-transmiter

eksitatorik presinap seperti glutamat, substansi P, dan calcitonin gene-

related peptide sehingga dapat mengurangi nyeri. Pregabalin memiliki

efikasi dan keamanan yang baik

Manajemen NN kronik idealnya dilakukan secara multidisiplin dan

berdasarkan guideline (GL) dengan memperhatikan untung dan ruginya.

Semua organisasi Internasional merekomendasikan pregabalin sebagai

obat lini pertama untuk terapi farmakologik hampir semua NN, kecuali

untuk neuralgia trigeminal obat lini pertama adalah karbamasepin dan

okskarbasepin.5-8 Nyeri neuropatik pada HIV (Human Immunodeficiency

Virus), Chemotherapy Induced Peripheral Neuropathy dan Lumbasacral

radiculopathy seringkali refrakter terhadap obat-obatan dan sampai

Page 11: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

11 Denpasar, 05-07 November 2015

sekarang masih belum ada obat-obatan yang memberikan hasil yang

memuaskan.9

Definisi Nyeri Neuropatik

Definisi baru dari NN adalah nyeri yang berasal dari lesi atau

penyakit yang mengenai sistem saraf somatosensoris.10 Prevalensi NN

berkisar antara 7-10% pada populasi umum di negara maju.11 Penyakit

yang termasuk NN antara lain : radikulopati servikal dan lumbal, neuropati

diabetik, cancer related neuropathy, neuralgia pasca herpes, HIV-related

painful polyneuropathy, cedera medula spinalis, central post stroke pain,

neuralgia trigeminal, complex regional pain syndrome tipe 2 , nyeri

phantom dan lain-lainnya.12

Pregabalin.

Pregabalin (PGB) adalah substansi yang secara struktural analog

gamma aminobutyric acid (GABA) yang bersifat lipofilik namun secara

fungsional tidak berhubungan dengan neuro-transmitter GABA.13

Berdasarkan bukti klinis PGB bermanfaat untuk mengobati epilepsi,

gangguan psikiatri, fibromialgia dan NN.

Mekanisme kerja

Pregabalin adalah anti-konvulsan yang memiliki afinitas tinggi

terhadap α2-δ subunit dari voltage gated calcium channel dan bertindak

sebagai ligand α2-δ subunit . Terdapat 4 subtipe protein α2-δ, PGB hanya

terikat dengan afinitas yang kuat pada subtipe 1 dan 2. Mekanisme utama

kerjanya adalah memodulasi influks kalsium dan mengurangi pelepasan

neuro-transmiter eksitatorik presinap seperti glutamat, substansi P, dan

calcitonin gene-related peptide sehingga dapat mengurangi nyeri. 13,14

Farmakokinetik

Penelitian menunjukkan bahwa PGB memiliki farmakokinetik linear

yang dapat diramalkan dengan variasi antar subjek yang rendah.13

Pregabalin diabsorbsi secara cepat setelah pemberian oral pada keadaan

puasa. Konsentrasi maksimal dalam plasma dicapai kurang lebih 1 jam

Page 12: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

12 Denpasar, 05-07 November 2015

setelah pemberian dosis tunggal atau ganda dan keadaan steady state

dicapai dalam waktu 24-48 jam setelah pemberian dosis ulangan. 13

Bioavailabilitas PGB secara oral tinggi > 90% dan tidak tergantung

dosis. Rerata waktu paruh PGB adalah 6,3 jam dan tidak tergantung dosis

dan pemberian obat ulangan sehingga menjamin tingkat kepercayaan

dosis-respon dalam praktek klinik. Efek klinik PGB tidak dipengaruhi oleh

makanan sehingga dosis obat tidak dipengaruhi oleh makanan.13,15

Efikasi Pregabalin

Pregabalin terbukti efektif untuk mengurangi skala nyeri,

memperbaiki gangguan tidur dan memperbaiki kualitas hidup penderita

NN. Studi klinik PGB telah dilakukan secara luas pada berbagai macam

penyakit antara lain: radikulopati servikal dan lumbal, neuropati diabetik,

cancer related neuropathy, neuralgia pasca herpes, HIV-related painful

polyneuropathy, cedera medula spinalis, central post stroke pain, neuralgia

trigeminal, complex regional pain syndrome tipe 2 , nyeri phantom dan lain-

lainnya.6 Dari 25 placebo-controlled randomized trials didapatkan 18 studi

PGB dengan dosis 150-600 mg/hari terbukti efektif dalam menurunkan

skala nyeri dan terdapat response gradient dosis ( dosis 600 mg/hari

responnya lebih tinggi daripada 300 mg/hari). Dua trial pada HIV-related

painful polyneuropathy dengan respon plasebo yang tinggi hasilnya negatif.

Gabungan number needed to treat (NNT) adalah 7.7 (95% CI 6,5-9,4)

seperti terlihat pada gambar 1.8

Efikasi PGB dalam mengurangi nyeri pada pasien Painful

Diabetic Neuropathy (PDN) dan PHN telah establish.7,16. Penurunan skala

nyeri sudah dapat terlihat setelah 1 minggu terapi. Perbaikan fungsional

dan kualitas hidup sebagai respon terhadap PGB berhubungan dengan

semakin berkurangnya keluhan nyeri. Studi terbaru juga menunjukkan

bahwa PGB memberikan efek pengobatan yang lebih baik dibandingkan

dengan amitriptilin pada pasien dengan PHN.17 Kombinasi antara PGB dan

Imipramin mempunyai efikasi yang lebih baik daripada obat tunggal.18

Pada HIV-related painful polyneuropathy tidak ada perbedaan yang

bermakna antara PGB dan plasebo dalam menurunkan skala nyeri.19

Page 13: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

13 Denpasar, 05-07 November 2015

Gambar 1 Forest Plot Data dari Pregabalin.

8

NNT = number needed to treat. CPSP = central post-stroke pain. SCI = spinal

cord injury pain. PPN = painful polyneuropathy. FDA= US Food and Drug

Administration. PHN= postherpetic neuralgia. PNI = peripheral nerve injury.

PhRMA = Pharmaceutical Research and Manufacturers of America.

Keamanan Pregabalin

Pada umumnya PGB dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien,

efek samping yang paling sering dilaporkan adalah dizziness, ngantuk,

edema perifer, mulut kering, dan penambahan berat badan, efek samping

meningkat dengan peningkatan dosis.16,20 Disarankan untuk memulai dosis

awal kecil, 2-3 kali 50 mg sehari kemudian dititrasi sesuai dengan efikasi

dan respon pasien.6,15 Dosis maksimum yang dianjurkan pada pasien

dengan klirens kreatinin > 60 ml/menit adalah 300 mg/hari pada pasien

neuropati diabetik, sedangkan untuk neuralgia pasca herpes maksimal 600

mg/hari.21. Number needed to harm (NNH) PGB adalah 13.9 (11,6-17.4).8

Page 14: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

14 Denpasar, 05-07 November 2015

Pregabalin mempunyai kemampuan untuk menembus sawar darah

otak secara cepat, sehingga mampu mempengaruhi aktivitas susunan

saraf pusat. Metabolisme PGB dalam tubuh manusia hanya sedikit ( < 2% )

dan diekskresi dalam bentuk tidak berubah oleh ginjal. Pregabalin tidak

berikatan dengan protein plasma, tidak mengalami metabolism di hati, tidak

menginduksi atau menghambat enzim-enzim hati seperti sitokrom P450

sehingga PGB tidak menimbulkan farmakokinetik interaksi antar-obat.

Ekskresi PGB melalui ginjal sehingga perlu penyesuaian dosis pada pasien

yang mengalami penurunan fungsi ginjal, pada pasien dengan klirens

kreatinin < 60 ml/menit.13,15 Pada pasien dengan klirens kreatinin 30-60

ml/menit , dosis harian dikurangi 50%. Penurunan dosis harian sampai

50% dianjurkan setiap penurunan klirens kreatinin 50%. Tambahan dosis

PGB dianjurkan pada pasien yang menjalani hemodialis kronis. Dosis

harian harus segera segera ditambahkan setelah setiap 4 jam sesi

hemodialysis untuk menjaga konsentrasi plasma PGB stabil dalam rentang

yang diinginkan.15

Menejemen Nyeri Neuropatik

Nyeri neuropatik merupakan salah satu bentuk nyeri kronik yang

sangat sulit ditangani, meskipun pengetahuan kita tentang NN telah

berkembang sangat pesat dengan diketemukannya sistem sinyal multipel

dan peranan sel glia dalam mekanisme NN. Penemuan tersebut membawa

kemajuan dalam terapi tetapi masih banyak pasien NN yang tidak

mendapatkan pengurangan nyeri yang memadai dengan terapi yang ada

pada saat ini.22 Pada NN kronik jarang dapat dilakukan terapi kausal

sehingga pengobatan simtomatis masih merupakan pilihan yang terbaik.7

Menejemen NN kronik idealnya dilakukan secara multidisiplin. Pada

prinsipnya menejemen NN dibagi menjadi terapi farmakologik dan non

farmakologik. Terapi farmakologik sampai saat ini masih merupakan pilihan

utama untuk NN.7 Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang optimal

diperlukan strategi pengobatan pasien NN seperti terlihat pada Tabel 1.

Page 15: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

15 Denpasar, 05-07 November 2015

Tabel 1.Tahapan menejemen terapi farmakologik Nyeri Neuropatik.2,23

Tahap 1

Assesmen nyeri dan tegakkan diagnosis NN, bila ragu-ragu rujuk ke

ahli saraf atau spesialis nyeri.

Bila mungkin cari dan obati kausa NN, bila ragu-ragu rujuk ke spesialis

terkait.

Identifikasi komorbiditas yang relevan (misalnya penyakit jantung,

ginjal, hati, depresi dll.) yang dapat diperberat oleh NN.

Berikan penjelasan diagnosis dan rencana pengobatan pasien.

Berikan penjelasan kepada pasien bahwa pengobatan NN memerlukan

obat dengan awitan yang relatif lambat, berlangsung cukup lama dan

kemungkinan dapat terjadi efek samping.

Tahap 2

Terapi awal penyebab NN bila mungkin.

Terapi awal gejala NN sesuai dengan guideline : TCA/SSNRI dan atau

Gabapentin/Pregabalin.

Pemilihan obat yang dipakai dengan memperhatikan jenis penyakit,

khasiat dan efek samping obat, misalnya pada penderita dengan

gangguan tidur dan cemas, obat pilihan adalah amitriptilin yang

diberikan pada malam hari, kecuali ada kontra indikasi dengan obat

tersebut.

NN perifer terlokalisir : lidokain topikal secara tunggal atau kombinasi

dengan obat lini pertama.

Dimulai dengan dosis rendah dan titrasi setiap beberapa hari.

Dosis dinaikkan sampai dosis optimal bila respon pengobatan kurang

memadai dan efek samping obat dapat ditoleransi penderita.

Untuk pasien NN akut, nyeri kanker, atau eksaserbasi episodik dari

nyeri hebat dipertimbangkan terapi analgesik opiat atau tramadol

secara tunggal atau kombinasi dengan obat lini pertama.

Evaluasi pasien kemungkinan untuk mendapatkan terapi non

farmakologik.

Page 16: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

16 Denpasar, 05-07 November 2015

Tahap 3

Assesmen ulang nyeri dan kualitas hidup pasien

Bila terjadi penurunan nyeri yang memadai (misalnya rata-rata VAS

menjadi ≤ 3/10) dan efek samping obat dapat ditoleransi maka terapi

dilanjutkan.

Bila nyeri berkurang sebagian (misalnya rata-rata VAS menjadi ≥ 4/10)

tambahkan salah satu obat lini pertama dan penambahan obat ini

dilakukan dengan titrasi dosis. Kombinasi obat kemungkinan lebih

efektif daripada obat tunggal meskipun interaksi obat seringkali

menimbulkan masalah.

Untuk nyeri yang bersifat tajam dan menusuk, misalnya neuralgia

trigeminal, maka pengobatan dapat dimulai dengan obat golongan

antikonvulsan seperti karbamasepin atau okskarbasepin, gabapentin,

fenitoin dan lain-lain.

Untuk nyeri yang bersifat tumpul seperti terbakar dan sulit dilokalisir

seperti neuralgia pasca herpes zoster maka pengobatan dapat dimulai

dengan anti depresan seperti amitriptilin, nortriptilin, desipramin,

duloksetin, venlafaksin, dan lain-lain.

Bila respons tidak memadai ( misalnya penurunan skala nyeri < 30% )

ganti obat dengan obat lini pertama yang lain.

Tahap 4

Bila obat tunggal dan kombinasi dari obat golongan lini pertama gagal

pertimbangkan obat lini 2 dan 3 atau rujuk ke spesialis nyeri atau pusat

nyeri multidisiplin.

____________________________________________________________

Keterangan : NN = nyeri neuropatik; TCA = tricyclic antidepressant; SSNRI =

selective serotonin norepinephrine reuptake inhibitor. VAS = visual analog

scale

Guideline (GL)

European Federation Neurological Society (EFNS), Canadian Pain

Society (CPS), Neuropathic Special Interest Group (NeuPSIG) of the

International Association for the Study of Pain (IASP), membuat GL terapi

Page 17: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

17 Denpasar, 05-07 November 2015

farmakologik NN.5-8 , tetapi GL ini mempunyai keterbatasan karena hanya

fokus pada PDN dan PHN.

Terapi NN secara umum berdasarkan bukti klinis dan rekomendasi

klinik terbaru GRADE ( Grading of Recommendations Assesment,

Development, and Evaluation ) dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.8 GRADE

ini didasarkan pada systematic review dan meta-analysis dari seluruh

obat yang dipakai untuk terapi NN baik yang dipublikasi maupun yang

tidak dipublikasi dari Januari 1966 sampai April 2013.8

Tabel 2. Dosis dan rekomendasi terapi nyeri neuropatik berdasarkan

klasifikasi GRADE

Page 18: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

18 Denpasar, 05-07 November 2015

Tabel. 3 Ringkasan Rekomendasi GRADE

Pada semua GL yang dibuat oleh berbagai organisasi Internasional

tersebut diatas pregabalin direkomendasikan sebagai obat line pertama

untuk NN (kecuali pada neuralgia trigeminal).

RINGKASAN

Menejemen NN yang rasional adalah berdasarkan mekanisme

terjadinya NN dan GL yang direkomendasikan oleh beberapa organisasi

Internasional. Pregabalin merupakan anti-konvulsan yang bekerja pada α2-

δ subunit dari voltage gated calcium channel dengan mekanisme kerjanya

adalah memodulasi influks kalsium dan mengurangi pelepasan neuro-

transmiter eksitatorik presinap seperti glutamat, substansi P, dan calcitonin

gene-related peptide sehingga dapat mengurangi nyeri. Pregabalin

memiliki efikasi dan keamanan yang baik

Page 19: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

19 Denpasar, 05-07 November 2015

Semua organisasi Internasional sepakat merekomendasikan

pregabalin sebagai obat lini pertama untuk terapi farmakologik NN, kecuali

untuk neuralgia trigeminal.

Daftar Pustaka

1. Attal N, Lanteri-Minet M, Laurent B, Fermanian J, Bouhassira D.The

specific disease burden of neuropathic pain: Results of a French

nationwide survey. Pain 2011; 152: 2836–43.

2. Dworkin RH, Panarites CJ, Armstrong EP, Malone DC, Pham SV. Is

treatment of postherpetic neuralgia in the community consistent with

evidence-based recommendations? Pain 2012; 153: 869–75.

3. Torrance N, Ferguson JA, Afolabi E, et al. Neuropathic pain in the

community: more under-treated than refractory? Pain 2013; 154: 690–

99.

4. O‘ Connor AB. Neuropathic Pain : a review of the quality of life impact.

Cost and cost effectiveness of therapy.

Pharmacoeconomic.2009;(3):143-9

5. Attal N, Cruccu G, Baron R, Haanpaa M et al, EFNS Guidelines on The

Pharmacological Treatment of Neuropathic Pain, European J of Neurol

2010:17:1113-1123.

6. Attal N, Finnerup NB, Pharmacologic Management of Neuropathic

Pain, Pain Clinical Updates 2010, 28(9).

7. Finnerup NB, Sindrup SH, Jensen TS . The evidence for

pharmacological treatment of neuropathic pain. PAIN 2010;150 : 573–

581

8. Finnerup NB, Attal N., Haroutounian S, McNicol E, Baro R., Dworkin

RH, et al. Pharmacotherapy for neuropathic pain in adults: a systematic

review and meta-analysis. Lancet Neurol. 2015; 162–7

9. Dworkin RH, O‘Connor AB, Audette J et al, Recommendations for the

Pharmacological Management of Neuropathic Pain: An Overview and

Literature Update.Mayo Clin Proc 2010;85(3)(suppl):S3-S14.

10. Treede RD,Jensen TS, Campbell JN, Gruccu G, Dostrovsky JO et al.

Neuropathic pain redefinition and a grading system for clinical and

research purposes. Neurology 2008;70:1630-5

Page 20: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

20 Denpasar, 05-07 November 2015

11. van Hecke O, Austin SK, Khan RA Smith BH, Torrance N. Neuropathic

pain in the general population : a systematic review of epidemiological

studies. Pain 2014:155;654-62

12. Gilron I, Watson CP, Cahill CM, Moulin DE. Neuropathic pain : a

practical guide for the clinician. CMAJ 2006;175:265-75

13. Ben-Menachen E. Pregabalin Pharmacology and Its Relevance to

Clinical Practice. Epilepsia 2004;45;(Suppl.6):13-18

14. Chen SR, Xu Z, Pan HL. Stereospecific Effect of Pregabalin on Ectopic

Afferent Discharged and Neuropathic Pain Induced by Sciatic Nerve

Ligation in Rats. Anesthesiology 2001;95:1473-9

15. Cada DJ, Levien T, Baker DE. Pregabalin, Hospital

Pharmacy.2006;41(2):157-72

16. Freeman R, Durso-Decruz E, Emir B. Efficacy, safety, and tolerability of

pregabalin treatment for painful diabetic peripheral neuropathy: findings

from seven randomized, controlled trials across a range of doses.

Diabetes Care 2008;31:1448–54.

17. Achar A, Chakraborty P, Bisai S. Comparative Study of Clinical Efficacy

of Amytriptiline and Pregabalin in Postherpetic Neuralgia. Acta

Dermatovenerol Croat, 2011; 20(2): 89-94.

18. Jakob VH, Flemming WB, Finnerup N , Brøsen K, Jensen TS, Sindrup

SH. Imipramine and pregabalin combination for painful polyneuropathy:

a randomized controlled trial.Pain 2015;156 : 958–966

19. Simpson DM , Rice ASC, Emir B, Landen J, Semel D, Chew ML, Sporn

J. A randomized, double-blind, placebo-controlled trial and open-label

extension study to evaluate the efficacy and safety of pregabalin in the

treatment of neuropathic pain associated with human immunodeficiency

virus neuropathy Pain 2014;155:1943–1954

20. Kim JS, Bashford G, Murphy TK, Martin A , Dror V, Cheung R. Safety

and efficacy of pregabalin in patients with central post-stroke pain.

Pain 2011;152: 1018–1023

21. Chong MS. Pregabalin in Painful Diabetic Peripheral Neuropathy. Drug.

2004;64(24):2821

22. Jensen TS, Finnerup NB. Management of Neuropathic Pain. In : Mogil

F, editor. Pain 2010 An updated review Refresher Course Syllabus.

Seattle: IASP Press, p 283-9.

Page 21: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

21 Denpasar, 05-07 November 2015

23. Konsensus Nasional 1 Kelompok Studi Nyeri Perdossi. Diagnostik dan

Penatalaksanaan Nyeri Neuropatik. Dalam : Suryamiharja A dkk editor.

Penuntun Penggunaan obat-obat analgesik dan analgesic adjuvant.

Edisi pertama, Airlangga University Press 2011, p 53-60

Page 22: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

22 Denpasar, 05-07 November 2015

KONTROVERSI PENGGUNAAN ANTIOKSIDAN

PADA USIA LANJUT

IGP SUKA ARYANA

Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Pada salah satu teori proses penuaan dinyatakan bahwa radikal

bebas bertanggungjawab terhadap terjadinya proses penuaan yang terjadi

sebagai akibat kerusakan pada tingkat sel maupun jaringan yang

ditimbulkan. Dalam tubuh secara normal terdapat keseimbangan secara

dinamis dan terus menerus antara oxidant/radikal bebas dan antioksidan.

Apabila terjadi peningkatan radikal bebas melebihi kemampuan tubuh

untuk memproduksi antioksidan secara endogen melawan aktifitas radikal

bebas berkontribusi terhadap terjadinya penurunan fungsi sel. Kecepatan

dari kerusakan dan penurunan fungsi sel menjadi dasar dari cepatnya

proses penuaan dan munculnya berbagai jenis penyakit degeneratif.

Walaupun saat ini telah banyak ada suplementasi antioksidan untuk

menghambat proses tersebut tetapi sampai saat ini berbagai penelitian

hasilnya masih belum memuaskan dan sering tidak konsisten. Beberapa

hal yang perlu mendapat perhatian dalam meneliti efektifitas penggunaan

suplementasi antioksidan adalah:1. Pengembangan konsep mekanisme

oksidasi yang menjadi dasar proses penuaan, 2. Tentukan petanda yang

tepat status oxidative damage dan antioksidan, 3. Temukan level dari

therapeutic window sehingga kita tahu dosis suplementasi antioksidan

yang efektif, 4. Perdalam pengetahuan tentang adanya molekul antioksidan

yang dapat berubah menjadi pro-oksidan. Dengan memperhatikan hal

tersebut perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui efektifitas

suplementasi antioxidan baru yang tergolong ensimatik antioksidan seperti

SOD (sodium dismutase). Antioksidan ini diharapkan dapat memberikan

hal yang konsisten untuk menghambat proses penunaan dan mencegah

atau memperlambat munculnya penyakit degenratif.

Page 23: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

23 Denpasar, 05-07 November 2015

PENDAHULUAN

Ada banyak teori yang berusaha menjelas tentang proses penuaan

tetapi belum dapat memuaskan. Teori radikal bebas satu-satunya teori

yang paling mendekati dasar mekanisme proses penuaan tersebut. Teori

ini berkembang yang menyatakan pengaruh radikal bebas akan

dimodifikasi oleh faktor genetik dan lingkungan. Radikal bebas

bertanggung jawab terhadap rusaknya sel dan jaringan akibat proses

oksidasi dari molekul biologi lemak, protein dan asam nukleat. Pada tahun

1972 diketahui bahwa mitokondria bertanggungjawab terhadap reaksi

radika bebas dalam sel. Umur dinyatakan ditentukan oleh lajukerusakan

mitokondria oleh radikal bebas. Mitokondria akan terus menerus

menghasilkan radikal bebas sepanjang hidup mitokondria tersebut sampai

akhirnya DNA mitokondria ini diserang dan dirusak yang mengakibatkan

kematian sel. Sel untuk hidupnya selalu menggunakan oksigen tetapi

membawa konsekuensi menghasilkan radikal bebas Reactive Oxygen

Species (ROS) dan memacu terbentuknya antioksidan endogen untuk

menetralkan efek oksidan tersebut.

Pada proses penuaan sepertinya terjadi ketidakseimbangan antara

produksi radikal bebas dan pertahanan antioksidan dalam sekala besar.

Untuk menghambat proses tersebut maka diperlukan usaha-usaha untuk

menurunkan produksi radikal bebas dan meningkatkan antioksidan yang

ada dalam tubuh. Hal ini yang menjadi landassan banyaknya penelitian

yang mencoba mengevaluasi efektifitas suplementasi antioksidan untuk

menghambat proses penuaan dan mencegah munculnya penyakit

degeneratif sehingga umur harapan hidup menjadi lebih panjang. Studi-

studi di negara barat masih mendapatkan hasil yang tidak konsisten.

OXIDATIVE DAMAGE

Dalam kondisi normal setiap hari ada 1% ROS yang terlepas dari

kontrol pertahanan antioksidan endogen dan inilah yang menumpuk dan

berperan dalam proses penuaan tersebut. Kondisi ini dapat menyebabkan

lebih dari seratus ganguan patologis pada tubuh manusia. Pengukuran

aktifias radikal bebas secara in vivo berbeda dengan praktis analisis dan

merupakan masalah. Kita sudah tidak memakai lagi petanda produk akhir

dari proses kerusakan akibat oksidai tersebut. Kerusakan akibat proses

Page 24: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

24 Denpasar, 05-07 November 2015

oksidasi tersebut sebaiknya menggunakan pengukuran kuantitas asa

nukleat dan kerusakan yang ditimbulkannnya dengan menggunakan Comet

Assay. Comet assay merupakan akhir produk dari peroksidase lipid atau

oksidasi protein.

Radikal bebas adalah suatu molekul atau rantai molekul yang

mengandung satu atau lebih rantai yang tidak berpasangan yang orbit

putaran atomnya berada paling luar sehingga dapat bebas menempel

dengan atao/molekul lain. ROS adalah turunan dari oksigen berupa radical

oksigen sedangkan RNS adalah non reaktif radikal tetapi dapat

mengoksidasi atom/molekul lain dan bersifat sangat mudah menjadi

radikal. Beberapa contoh radikal bebar antara lain: superoxide (O2•-),

hydroxyl (OH-), peroxyl (RO2•), hydroperoxyl (HO2•), alkoxyl (RO•), peroxyl

(ROO•), nitric oxide (NO•), nitrogen dioxide (NO2•) and lipid peroxyl (LOO•)

and non radicals like hydrogen peroxide (H2O2), hypochlorous acid

(HOCl), ozone (O3), singlet oxygen (1Δg), peroxynitrate (ONOO-), nitrous

acid (HNO2), dinitrogen trioxide (N2O3), lipid peroxide (LOOH). Dalam

tubuh kita terdapat sumber radical bebas yang bersumber dari dalam

tubuh (endogen ataupun luar tubuh (exogen).

Gambar 1. Gambar pembentuk reactive oxygen spesies (ROS) dan Reactive

nitrogen species (RNS).

Mereka dapat dihasilkan oleh enzim XO, NADPH oxidase dan lain-

lain atau dengan cara auto oxidation seperti adrenaline, dopamine dan lain-

lain, atau bisa juga dengan pelepasan electron dari mitochondrial.

Penggunaan bahan kimia seperti. doxorubicin, cigarettes lain-lain, katalitik

Page 25: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

25 Denpasar, 05-07 November 2015

free transition metals (e.g. Fe++, Cu+ etc.) dan radiasi dari lingkungan

(seperti. radon, UV, dan lain-lain) dapat pula mengakibatkan tingginya

kadar oksidan tubuh. Molekul oksigen reaktif seperti superoxide (O2,

OOH•), hydroxyl (OH•) dan peroxyl (ROOH•) berperan besar dan penting

sebagai oksidatif stress dalam pathogenesis berbagai penyakit. Radikal

bebas ini dihasilkan oleh:

1. mitochondria (superoxide radical and hydrogen peroxide);

2. phagocytes (generators of nitric oxide and hydrogen peroxide during

the „respiratory burst‟ that takes place in activated phagocytic cells in

order to kill bacteria after phagocytosis);

3. peroxisomes or microbodies (degrade fatty acids and other substances

yielding hydrogen peroxide); and

4. cytochrome P450 enzymes, responsible for many oxidation reactions of

endogenous substrates

Gambar 2. Efek oxidative stress pada semua organ

AKTIFITAS FISIK

Peningkatan produksi radikal bebas selama latihan fisik

disebabkan oleh beberapa faktor, seperti peningkatan katekolamin

sehingga terjadi autooksdiasi, hipoksia dan reoksigenasi otot, asam laktat

Page 26: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

26 Denpasar, 05-07 November 2015

yang memicu pelepasan besi dari myoglobin, dan inflamasi yang terjadi

akibat gangguan fungsi lekosit.Tetapi masih sedikit data yang meneliti

pengaruh akut dan kronik latihan fisik terhadap proses penuaan baik pada

binatang maupun manusia.

Aktifitas fisik dan latihan sangat direkomendasi untuk menjaga

optimalnya kesehatan dan mencegah penyakit degeneratif. Aktifitas fisik

pada usia pertengahan, berhenti merokok, jaga tekanan darah, dan hindari

obesitas adalah faktor yang secara independen berhubungan dengan

penurunan kejadian kardiovaskular dan menurunkan mortalitas secara

keseluruhan. Aktifitas fisik yang teratur dapat mengembalikan komposisi

tubuh usia lanjut dimana masa otot meningkat dan masa lemak berkurang

dan mencegah beberapa penyakit seperti diabetes, hipertensi, kanker dan

osteoporosis. Aktiftas fisik ternyata walaupun menyebabkan produksi

radikal bebas tetapi dilain pihak ternyata memacu proses adaptasi sel

untuk meningkatkan produksi antioksidan endogen. Aktifitas fisik dapat

meningkatkan aktiftas produksi antioksidan endogen baik pad a usia muda

maupu usia lanjut. Walaupun aktifatas antioksidan dapat ditingkatkan

dengan latihan fisik tetapi secara keseluruhan proses penuaan

menyebabkan semakin turunnya aktifitas antioksidan. Aktiftas fisik

mendadak dapat meningkatak aktiftas antioksitas di otot rangka, jantung

dan hati dengan kualitas yang berbeda beda baik untuk golongan enzim

antioksida maupun nonenzimatik antioksidan. Aktifitas latihan fisik secara

batahap dan terus menurun dapat aktifitas enzim antioksidan walaupun

pada otot yang sudah menua.

AGING

Proses penuaan adalah proses alami yang hadapi. Faktor genetik

tidak bisa dipungkiri memang berperan dalam proses penuaan tetapi

mekanismenya ternyata kompleks. Perbedaan umur spesies adalah akibat

faktor genetik tetapi teori ini mengalami evolusi yang menyatakan penuaan

tidak terprogram dan bukan genetik melainkan terjadi akibat akumulasi

kerusakan somatik yang tidak dapat dipertahankan atau diperbaiki. Gen

memang dapat mengontrol level aktifitas seperti aktifitas perbaikan DNA

atau pertahanan dengan mengeluarkan antioksidan. Hal inilah yang

mengontrol umur harapan hidup seseorang. Ada kemungkinan terjadi

Page 27: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

27 Denpasar, 05-07 November 2015

gangguan gen secara perlahan akibat seleksi alam atau respon adaptasi

gen terhadap perubahan lingkungan seperti perubahan kualitas asupan

makanan.

Gambar 3. Pengaruh faktor genetik dan lingkungan terhadap proses penuaan

Radikal bebas berperan dalam sepanjang hidup manusia. Pada

masa embrio radikal bebas berperan dalam merangsang terjadinya

deferensiasi sel dan organ , pada masa pertumbuhan berperan dalam

proses perkembangan dan kematangan sel dan organ hanya pada tahap

selanjutnya radikal bebas berperan dalam proses penuaan dan terjadinya

berbagai penyakit degeneratif. Perbedaan mendasar dari pengaruh radikal

bebas pada masa pertumbuhan dan usia dewasa adalah pada

pemumpukan sisa metabolik, adanya proses remodeling, kerusakan sel

dan akhirnya penyakit seperti terlihat di tabel 1.

Page 28: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

28 Denpasar, 05-07 November 2015

Tabel 1. Perbedaan pengaruh radikal bebas pada usia muda dan

dewasa

Pada 2 dekade terakhir telah banyak penelitian yang mendapatkan

peranan antioxidant dalam kesehatan. Penggunaan terapi antioksidan

maupun diet yang mengandung banyak antioksidan dapat menghambat

perkembangan beberapa penyakit termasuk proses penuaan. Setelah

dilakukan penelitian yang lebih baik ternyata didapatkan terapi antioksidan

maupun diet banyak yang berhasil tetapi banyak pula yang gagal

membuktikannya. Sebagai contoh penelitian tentang asupan nutrisi yang

banyak sayur-sayuran dan buah-buahan dapat menurunkan risiko kanker

akibat peningkatan kadar beta karotein dalam darah. Tetapi terapi

menggunakan suplemen beta karotein ternyata tidak dapat membuktikan

Page 29: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

29 Denpasar, 05-07 November 2015

efek tersebut. Konsumsi sayur dan buah-buahan yang tinggi dapat

menurunkan kadar radikal bebas dalam tubuh yang akan merusak DNA

tetapi terapi suplemen dengan askorbat, vit E, dan beta karotein ternyata

tidak dapat menurunkan kerusakan DNA yang terjadi. Studi terkenal

lainnya adalah CHAOS yang dapat membuktikan bahwa suplemen vit E

sebagai proteksi terhadap kejadian kardiovaskular tetapi hal ini tidak dapat

dibuktikan pada studi GISSI Prevention Trial.

Ada 2 hal yang dapat menjelaskan kontroversi ini yaitu:

1. Efek proteksi yang dimiliki oleh diet tidak sama dengan efek dengan

terapi suplemen.

2. Sebagaian besar radikal bebas memerlukan antioksidan yang bekerja

menurunkan efek oksidan. Kekuatan menurunkan efek oksidan secara

invitro adalah kekuatan total antioksidanya.

Proses keseimbangan antioksidan dan radikal bebas terjadi secara

dinamis dalam tubuh. Rendahnya kadar antioksidan dapat menstimulus

proliferasi sel. BIla oksidasi meningkat dapat terjadi apoptosis sedangkan

bila kadar terlalu tinggi dapat menghentikan apoptosis melalui enzim

caspase.

PERANAN ANTIOKSIDAN

Antioksidan adalah substran yang dapat menghambat atau

memperlambat prose oksidasi. Antioksidan endogen ada dalam bentuk

non- enzymatic (seperti asam urat, glutathione, bilirubin, thiols, albumin,

dan faktor nutrisi: vitamins & phenols) dan enzymatic (seperti superoxide

dismutases, glutathione peroxidases [GSHPx], & catalase). Pada subyek

normal antioxidan endogen menjaga keseimbangan dengan ROS tetapi

ada sekitar 1% yang tidak mampu dinetralkan oleh antioksidan endogen.

Antioksidan nutrisional merupakan sumber antioksidan yang penting

dengan mekanisme yang berbeda dari setiap jenisnya tetapi utamanya

sebagai scavenger radikal bebas: 1) langsung menetralkan, 2) menurunkan

konsentrasi peroxide dan memperbaiki membran yang teroxidasi, 3)

menurunkan produksi ROS, 4) melalui metabolisme lipid, asam lemak

bebas rantai pendek, dan kolesteril ester menetralkan ROS. Kemampuan

antioksidan tubuh dapat diperkirakan dengan mengukur kadar antioksidan

Page 30: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

30 Denpasar, 05-07 November 2015

plasma (mikronutrien, ensim, antioksidan lain), tetapi harus diingat bahwa

hal tersebut hanyalah kandungan dalam aliran darah belum tentu sama

dengan di tingkat sel dan jaringan. Hal lain yang harus diwaspai adalah

ternyata pemberian anti oksidan nutrisional ada risiko menjadi pro-oksidan.

Beberapa studi telah membuktikan hal tersebut terjadi. Antioksidan

suplementasi harus digunakan berhati-hati, sebaiknya digunakan pada saat

ada kecurigaan adanya radikal bebas yang berlebih baik oleh karena

paparan lingkungan maupun penyakit.

Antioksidan nutrisional sering diindikasikan untuk meningkatkan

status kesehatan dan memperpanjang umur harapan hidup. Tetapi masih

sangat jarang studi yang membuktikan efek proteksi micronutrien atau

antioksidan nutrisional secara spesifik. Ternyata juga masih belum jelas

dapat dibuktikan bahwa manfaat diet yang tinggi sayur dan buah-buahan

untuk kesehatan dapat digantikan oleh suplementasi antioksidan.

Beberapa kendala penting yang dihadapi untuk dapat membuktikan

peranan antioksidan dalam proses penuaan adalah masih sedikitnya

leteratur tentang bagaimana mekanisme kerja dari oksidan dan bagaimana

mengevaluasi petanda keberhasilan terapi antioksidan. Terapi antioksidan

mungkin perlu diberikan lebih awal. Perbedaan studi antara observasional

dan uji klinis akan menyebabkan perbedaan lama paparan terhadap diet

antioksidan. Hal penting lainnya adalah studi pada percobaan binatang

yang walaupun studinya berbasis mekanisme biologi tetapi bila diterapkan

pada manusia akan terjadi prubahan atau translasi hasil. Antioxidan

memiliki dosis terapi (therapeutic window) secara sendiri-sendiri, dan

pemberian kombinasi mungkin akan mengubah therapeutic window. Dosis

terapi belum dapat dipastikan, dosis yang berlebih malah dapat

menimbulkan efek yang berlawanan.

Adanya antioksidan baru memberikan harapan suplementasi ini

bekerja lebih baik. Hampir semua studi sebelumnya menggunkan

antioksidan nutrisional yang tergolong non-enzimatic antioxidant.

Antioksidan ini berpotensi menjadi pro-oksidan sedangkan antioksidan

yang tergolong ensimatik diharapkan bekerja lebih baik dan tidak menjadi

pro-oksidan di dalam tubuh. Belum banyak studi yang meneliti tentang

antioksidan yang tergolong ensimatik. Salah satu contoh yang saat ini ada

adalah golongan sodium dismutase (SOD). SOD tergolong juga sebagai

Page 31: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

31 Denpasar, 05-07 November 2015

antioksidan primer dan endogen. Studi yang baik sangat diperlukan untuk

menguji efektifitas antioksidan ini. Hal yang harus disiapkan adalah 1)

harus memahami mekanisme dasar dari proses penuaan, 2) bagaimana

hubungan saling terkaitnya antar antioksidan yang berbeda, 3) hubungan

antara faktor antioksidan dan pro-oksidan, 4) patogenesis oksidasi

menimbulkan kerusakan sel dan penyakit, dan 5) ditemukannya petanda

oksidan dan antioksidan yang dapat dipercaya berperan dalam proses

yang sesungguhnya.

DAFTAR RUJUKAN

1. Fusco D, Colloca G, Monaco MLR, Cesari M, Effects of antioxidant

supplementation on the aging process, Clinical Interventions in Aging

2007:2(3) 377–387

2. T. B. L. Kirkwood, Understanding Ageing From An Evolutionary

Perspective. Blackwell Publishing Ltd Journal of Internal Medicine 2008:

263; 117–127

3. Couteur DGL, McLachlan AJ, Quinn JJ, Simpson SJ, and Cabo R,

Aging Biology and Novel Targets for Drug Discovery. J Gerontol A Biol

Sci Med Sci. 2012 February;67A(2):168–174

4. Kregel KC and Zhang HJ. An integrated view of oxidative stress in

aging: basic mechanisms, functional effects, and pathological

considerations. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 2007; 292:

R18–R36

5. Cutler RG. Antioxidants and aging. Am J Clin Nutr 199 l;53:373S-9S.

6. Mandal S, Yadav S , Yadav S, Nema RK. Antioxidants: A

Review.Journal of Chemical and Pharmaceutical Research, 2009, 1

(1):102-104.

7. Jones DP. Radical-free biology of oxidative stress. Am J Physiol Cell

Physiol 295: C849–C868, 2008.

8. Shinde A , Ganu J , Naik P. Effect of Free Radicals & Antioxidants on

Oxidative Stress: A Review. Journal of Dental & Allied Sciences

2012;1(2):63-66

9. Pham-Huy LA, He H, Pham-Huy C. Free Radicals, Antioxidants in

Disease and Health. Int J Biomed Sci 2008;4(2):89-96.

Page 32: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

32 Denpasar, 05-07 November 2015

10. J.G. Scandalios. Oxidative Stress: Molecular Perception And

Transduction Of Signals Triggering Antioxidant Gene Defenses.

Brazilian Journal of Medical and Biological Research (2005) 38: 995-

1014.

11. Stephens NG, Parsons A, Schofield PM, et al. Randomised controlled

trial of vitamin E in patients with coronary disease: Cambridge Heart

Antioxidant Study (CHAOS). Lancet 1996; 347: 781–86.

12. GISSI-Prevenzione Investigators. Dietary supplementation with n-3

polyunsaturated fatty acids and vitamin E after myocardial infarction:

results of the GISSI-Prevenzione trial. Lancet 1999; 354: 447–55.

13. Fraga CG, Motchnik PA, Wyrobek AJ, Rempel DM, Ames BN. Smoking

and low antioxidant levels increase oxidative damage to sperm DNA.

Mutat Res 1996; 351: 199–203.

14. Benzie IF, Strain JJ. Ferric reducing/antioxidant power assay: direct

measure of total antioxidant activity of biological fluids and modified

version for simultaneous measurement of total antioxidant power and

ascorbic acid concentration. Meth Enzymol 1999; 299: 15–27.

15. Joe Beckman. The ABC‘s of the Reactions between Nitric Oxide,

Superoxide, Peroxynitrite and Superoxide Dismutase. Oxygen'99: 1;13

16. Barry Halliwell. The antioxidant paradox. Lancet 2000; 355: 1179–80

17. Sujogya Kumar Panda. Assay Guided Comparison for Enzymatic and

Non-Enzymatic Antioxidant Activities with Special Reference to

Medicinal Plants. http://dx.doi.org/10.5772/50782

Page 33: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

33 Denpasar, 05-07 November 2015

Nutritional Management in Frailty Elderly

I Nyoman Astika

Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Frailty merupakan sekumpulan gejala yang sering ada pada usia

tua dan memiliki peranan besar dalam meningkatkan risiko morbiditas

termasuk risiko jatuh, ketidakmampuan, ketergantungan, kebutuhan untuk

rawat inap hingga mortalitas pada pasien usia tua. Kesulitan lain yang

dihadapi pada frailty terkait peningkatan risiko rawat inap akhirnya dapat

meningkatkan isolasi sosial dan menurunkan kualitas hidup pasien usia

tua(1).

Estimasi prevalensi dari sindrom ini adalah 7% diantara penduduk

laki-laki dan perempuan yang berumur 65 tahun atau lebih, dan mencapai

25-40% pada yang berumur 80 tahun atau lebih. Suatu studi melaporkan

bahwa prevalensi frailty pada masyarakat sangat bervariasi (berkisar 4,0-

59,1%). Prevalensi keseluruhan dari frailty yang dilaporkan adalah 10,7%.

Prevalensi untuk frailty fisik adalah 9,9% dan 13,6% untuk prevalensi frailty

dengan fenotipe luas. Prevalensi meningkat seiring dengan usia dan lebih

tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (2).

Data di Indonesia, didapatkan dari penelitian oleh Setiati dkk,

kondisi pre-frail sebesar 71,1 % sedangkan frailty sebesar 27,4% (3).

Melihat tren epidemiologi yang meningkat demikian tajam, terapi

dan pencegahan terhadap frailty merupakan tantangan besar yang harus

segera mendapatkan perhatian penting. Untuk mengetahui penyebab dan

bagaimana perjalanan dari frailty sendiri sangat penting untuk bagi para

klinisi untuk mencari faktor risiko yang terkait sehingga dapat dilakukan

manajemen dan pencegahan yang tepat(4).

Sarkopenia merupakan suatu penurunan massa otot, kekuatan dan

terganggunya kemampuan otot itu sendiri. Sarkopenia memiliki hubungan

yang signifikan terhadap perkembangan dari frailty itu sendiri. Kondisi

Page 34: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

34 Denpasar, 05-07 November 2015

malnutrisi sendiri termasuk penyebab utama kondisi sarkopenia, baik under

nutrisi atau over nutrisi(4).

Oleh karena patogenesis malnutrisi dan frailty yang terkait dan

seringnya gejala ini muncul secara bersama-sama maka diperlukan

manajemen nutrisi yang baik untuk mencegah ataupun terapi pada frailty

itu sendiri.

Definisi Frailty

Frailty merupakan status klinis dimana terjadi peningkatan

kerentanan akibat suatu proses penuaan dan kemunduran sistem fisiologis.

Saat ini belum ada baku emas yang dapat digunakan untuk menegakkkan

diagnosis frailty. Frailty secara operasional didefinisikan oleh Fried dkk

sebagai pertemuan tiga dari lima kriteria fenotipik : (1) penurunan berat

badan secara progresif, (2) kecepatan berjalan melambat, (3) kekuatan

cengkeraman tangan menurun, (4) keletihan atau daya tahan menurun,

dan (5) tingkat aktivitas fisik yang rendah. Apabila seseorang menunjukkan

tiga gejala atau lebih disebut ―frailty‖, apabila hanya menunjukkan satu atau

dua gejala disebut ―pre-frailty‖, sedangkan tidak menujukkan gejala apapun

disebut ―tak frailty‖. Ketiga level tersebut tergantung pada usia, kondisi

penyakit kronis, fungsi kognitif, dan gejala depresif (4)

Patofisiologi Frailty

Menurut Ferrucci dan Ruggiero, diperlukan energi dalam jumlah

besar untuk mempertahankan ekuilibrium homeostatik. Sejumlah energi ini

dinamakan laju metabolisme basal. Bukti terkini menunjukkan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi laju metabolisme basal tidak hanya

faktor-faktor fisiologis tetapi juga komponen patologis. Selain energi

minimum yang diperlukan untuk homeostasis, terdapat kuota energi

tambahan untuk menyeimbangkan homeostasis tidak stabil yang

disebabkan oleh patologi. Energi ekstra ini dapat kita sebut dengan ―usaha

homeostatik‖. Pada individu yang sehat usaha homeostatik ini dapat

diabaikan, namun ia akan meningkat dengan perburukan status kesehatan.

Peningkatan kebutuhan energi ini dapat mengurangi persediaan energi

yang ada untuk kebutuhan aktivitas fisik dan kemampuan kognitif.

Page 35: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

35 Denpasar, 05-07 November 2015

Dikatakan gangguan ini terjadi pada tingkat mitokondria dimana terjadi

pembelahan sel (5).

Peningkatan beban kerja akan menyebabkan individu merasa lelah.

Ambang dimana lelah mulai dirasakan dipengaruhi oleh faktor-faktor

biologis (inflamasi, stress oksidatif, hormonal, metabolisme anaerob),

fisiologis dan psikologis. Efesiensi aktivitas fisik dan kognitif juga

mempengaruhi kegiatan yang dapat dilakukan sebelum seorang individu

merasa kelelahan. Jika ambang batas lelahnya rendah, ia cenderung tidak

beraktivitas. Pada jangka panjang keadaan lebih banyak diam ini akan

mengurangi energi total yang dapat diproduksi dan memicu penurunan

fungsi fisik secara progresif. Pada akhirnya respon homeostatik akan

menjadi sangat tidak efisien sehingga mekanisme homeostatik normal tidak

akan kembali dan muncul mekanisme lain yang kurang kuat dan efisien.

Menurut pendekatan ini fenotip dari kerapuhan mewakili status ekuilibirium

terbaik yang mungkin pada individu spesifik pada berbagai fungsi fisiologis

(5). Beberapa patofisiologi frailty dapat dilihat pada skema di bawah ini :

Gambar 1. Peranan disfungsi mitokondria pada frailty (6)

Page 36: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

36 Denpasar, 05-07 November 2015

Gambar 2. Etiologi dan Risiko Frailty (7)

Sarkopenia

Sarkopenia atau kehilangan massa otot akibat proses penuaan

diduga merupakan manifestasi utama dari kerapuhan. Seorang geriatri

dikatakan sarkopenik jika massa tubuhnya di bawah dua standar deviasi

jika dibandingkan dengan rata-rata pada sampel individu muda yang sehat

. Sarkopenia akan terjadi secara fisiologik setelah usia sekitar 35 tahun.

Jika diperberat oleh berbagai penyakit dan undernutrisi kronik, kehilangan

massa otot dapat mencapai lebih dari 50% dan diganti jaringan ikat atau

lemak. Hilangnya massa otot ini akan menyebabkan penurunan kekuatan

dan toleransi olahraga, kelemahan, kelelahan dan penurunan kemampuan

untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari (8)

Derajat sarkopenia bervariasi pada penderita usia lanjut dan

tergantung pada banyak faktor, antara lain: olahraga, berbagai penyakit

akut dan kronik, obat-obatan, sekresi hormon pertumbuhan dan faktor-

faktor neuroendokrin. Penderita lanjut usia dengan jumlah jaringan otot

yang paling sedikit akan merupakan penderita yang lebih rapuh terhadap

berbagai morbiditas lain (9)

Stress oksidatif merupakan mekanisme utama yang terlibat dalam

patogenesis sarkopenia; otot yang menua menunjukkan kerusakan

oksidatif pada DNA, protein dan lipid. Ambilan nutrien antioksidan dan

antiinflamasi yang tidak adekuat (khususnya selenium, vitamin E,

Page 37: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

37 Denpasar, 05-07 November 2015

karotenoid, dan PUFA) berkontribusi terhadap kejadian sarkopenia dan

penurunan fungsi fisik pada geriatri(10).

Nutrisi pada Geriatri (11)

Kebutuhan nutrisi mengalami perubahan seiring bertambahnya

usia. Pada geriatri perubahan ini dapat berkaitan dengan proses penuaan

normal, kondisi medis, atau gaya hidup. Nutrisi merupakan determinan

penting pada status kesehatan lansia. Penilaian status nutrisi merupakan

hal yang penting untuk mencegah berbagai penyakit akut dan kronis dan

juga untuk kesembuhan. Seiring bertambahnya usia terjadi berbagai

perubahan pada tubuh yang dapat mempengaruhi status nutrisi seorang

lansia. Masalah yang umumnya terjadi adalah kehilangan densitas tulang

yang meningkatkan risiko osteoporosis. Sarkopenia juga adalah suatu

perubahan yang terkait usia. Kehilangan massa otot berkibat pada

meningkatnya massa lemak. Kehilangan massa otot ini dapat terjadi juga

pada mereka yang sehat, yang menunjukkan bahwa perubahan metabolik

terjadi merupakan sesuatu yang universal. Terjadi penurunan kekuatan,

fungsional, daya tahan, dan penurunan total air kandungan air tubuh.

Beberapa perubahan terjadi di sepanjang sistem pencernaan. Terdapat

penurunan sekresi asam lambung yang menghambat penyerapan besi dan

vitamin B12, penurunan produksi saliva yang memperlambat peristaltik dan

konstipasi, disregulasi nafsu makan dan rasa haus. Perubahan sesnsoris

mempengaruhi nafsu makan dalam banyak hal. Sebagai contoh, hilangnya

daya penglihatan membuat masak dan makan lebih sulit, daya perasa dan

penciuman yang menurun membuat makanan menjadi lebih tawar dan

tidak menarik sehingga nafsu makan semakin menurun, asupan nutrisi

berkurang dan timbul berbagai masalah kesehatan.

Malnutrisi merupakan penyebab dan juga konsekuensi dari masalah

kesehatan. Malnutrisi terdiri dari undernutrition (gizi kurang) , overnutrition

(gizi lebih), atau specific nutrient-related deficiencies (defisiensi nutrisi

spesifik). Malnutrisi pada pasien tua seringkali underdiagnosed sehingga

diperlukan edukasi lebih jauh mengenai status nutrisi pada pasien lansia.

Malnutrisi pada geriatri akan memperberat masalah kesehatan lain ,

seperti sistem imun yang lemah yang meningkatkan risiko infeksi;

lambatnya pemulihan luka; dan kelemahan otot, yang akan menyebabkan

Page 38: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

38 Denpasar, 05-07 November 2015

jatuh dan fraktur. Sebagai tambahan, malnutrisi akan mengakibatkan

kehilangan nafsu makan lebih jauh sehingga membuat masalah yang ada

menjadi lebih sulit.

Sebagian besar pasien geriatri memiliki risiko lebih tinggi untuk

terjadinya malnutrisi jika dibandingkan dengan populasi dewasa.

Diperkirakan 2%-16% geriatri memiliki masalah defisiensi nutrisi dalam

protein dan kalori. Jika defisiensi vitamin dan mineral diikutkan dalam

estimasi ini, malnutrisi pada geriatri dapat mencapai angka 35%. Pasien

geriatri yang sakit berat, yang memiliki demensia atau kehilangan berat

badan adalah yang paling rentan terhadap akibat buruk malnutrisi.

Malnutrisi sering disebabkan oleh kombinasi dari berbgai faktor. Faktor-

faktor sosial kemiskinan, ketidakmampuan berbelanja, ketidakmampuan

menyiapkan dan memasak makanan, ketidakmampuan makan sendiri,

hidup sendiri, isolasi sosial, atau kurangnya jaringan pendukung social,

kegagalan memesan makanan sesuai budaya. Faktor-faktor psikologis

seperti alkoholisme, kehilangan, depresi , demensia, fobia kolesterol,

mual/muntah: antibiotik, opiat, digoksin, teofilin, OAINS, anoreksia:

antibiotik, digoksin , berkurangnya cita rasa: metronidazol, calcium channel

blockers, ACE inhibitor, metformin, mudah kenyang: antikolinergik,

simpatomimetik , berkurangnya kemampuan makan: sedatif, opiat,

psikotropik, disfagia: suplemen potasium, NSAIDs, bifosfonat, prednisolon.

konstipasi: opiat, suplemen besi, diuretic, diare: laksans, antibiotic,

Hipermetabolisme: tiroksin, efedrin.

Penyebab kurangnya berat badan pada orang tua sering diingkat

sebagai MEALS ON WHEELS, yaitu

• Medications (digoxin, theophylinne, psychotropica)

• Emotions (depression)

• Alcoholism, anorexia tardive

• Late-life paranoia

• Swallowing problems

• Oral problems

• No money (poverty)

• Wandering (dementia)

• Hyperthyroidism, Hyperparathyroidism

• Entry problems (malabsorption)

Page 39: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

39 Denpasar, 05-07 November 2015

• Eating problems

• Low-salt, low-cholesterol diet

• Shopping problems

9D penyebab kurangnya asupan makanan dan penurunan berat

badan pada geriatri: Depresi, drug, demensia, disfagia, disgeusia,disfungsi,

diare. Yang tersering adalah depresi, gastrointestinal (ulkus peptikum atau

gangguan motilitas) dan kanker.

Gambar 4. Masalah nutrisi dan hubungannya dengan frailty (12)

Manajemen Nutrisi pada Frailty

Malnutrisi merupakan kondisi umum yang terjadi pada proses

penuaan, sama halnya dengan frailty. Oleh karena perubahan yang terjadi

pada komposisi tubuh pada usia lanjut, yaitu kehilangan massa otot tubuh,

kehilangan kekuatan otot, sarkopenia dan meningkatnya massa lemak,

populasi geriatri sangat rentan terhadap risiko malnutrisi. Selain itu

penyakit akut dan kronik juga berperan sebagai faktor predisposisi untuk

terjadinya gangguan makan, menurunnya nafsu makan. Kondisi anoreksia

sendiri merupakan faktor risiko awal terjadi frailty. Faktor lain yang

bertanggung jawab atas perkembangan malnutrisi adalah penurunan berat

badan lebih dari 5% pada bulan sebelumnya atau lebih dari 10% dalam 6

Page 40: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

40 Denpasar, 05-07 November 2015

bulan terakhir, kondisi berat badan berlebih atau kurang yang signifikan (

20% ), meningkatnya catabolisme, meningkatnya kehilangan nutrisi ( diare,

malabsobsi ), riwayat operasi pada saluran pencernaan, radioterapi, obat-

obatan, ketergantungan alkohol, penurunan albumin serum dan penurunan

jumlah limfosit pada darah pelifer (13).

Pada usia lanjut, terdapat perubahan pada traktus gastrointestinal

dan perubahan lain yang meningkatkan terjadinya anoreksia pada penuaan

(gambar 4)

Gambar 3. Patogenesis terjadinya anoreksia akibat penuaan (14)

Kuosioner dasar yang tervalidasi pada geriatri untuk mendiagnosis

malnutrisi adalah MNA (Mini Nutritional Assessment). Versi lengkapnya

memuat 18 pertanyan yang memuat pengukuran antropometrik, penilaian

umum, diet, dan self assessment. Selama analisis MNA dan frailty pada

geriatri, terdapat perbedaan statistik signifikan antara risiko malnutrisi dan

terjadinya sindrom frailty. Terdapat risiko malnutrisi pada 2,2% pasien non-

frail, 12,2% pada pre-frail dan 46.9% pasien frail (p < 0.001).

Piramida makanan sehat yang disarankan untuk geriatri disebut

sebagai ―Modified Food Pyramid‖ yang terdiri dari

• 8 gelas

Page 41: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

41 Denpasar, 05-07 November 2015

• Ca, vitamin D, dan B12 yang adekuat

• Karbohidrat kompleks pada dasar piramid

• Protein dengan lemak hidrogenasi sebagian dan tersaturasi ada di atas

piramid sedangkan lemak monounsaturated dan polyunsaturated

omega-3 fats ada di bawah.

• Ikan, kacang, minyak sayur harus dikonsumsi lebih banyak dari

daripada daging merah dan mentega.

Diet mediterranean terkenal sebagai diet sehat dimana pasien yang

menjalani diet ini memiliki insiden frailty yang lebih rendah setelah follow up

selama 6 tahun. Diet ini terinspirasi dari pola makan populasi di Yunani,

Italia Selatan dan Spanyol. Prinsip diet ini adalah konsumsi minyak zaitun

yang tinggi, kacang-kacangan, sereal, sayur dan buah-buahan, konsumsi

ikan sedang sampai tinggi dan konsumsi produk susu sedang (yoghurt dan

keju)(12).

Manajemen nutrisi yang baik dapat menghindarkan seorang geriatri

dari terjadinya demensia . Beberapa nutrisi yang disarankan antara lain

omega 3 (DHA), vitamin A, C, D, E (14). Asupan mikronutrien pada geriatri

yang harus diperhatikan adalah

• Besi- besi yang berlebihan akan bertindak sebagai prooksidan. Besi

hanya diberikan jika memang terdapat anemia defisiensi besi.

Rekomendasi asupan perhari pada wanita di atas usia 51 tahun

menurun, yaitu 8 mg (15).

• Seringkali terjadi defisiensi vitamin B12 karena asam lambung yang

menurun. Asam lambung yang menurun sering disebabkan gastritis

atrofi yang merupakan kondisi inflamasi kronik pada geriatri. Defisiensi

B12 akan menyebabkan anemia pernisiosa, kerusakan saraf dan

kemunduran kognitif. Rekomendasi asupan perhari 2ug/ hari. B12 di

suplemen akan diabsorpsi lebih baik daripada di makanan (16).

• Insufisiensi kalsium dan vitamin D akan meningkatkan risiko

osteoporosis. Insufisiensi ini terjadi karena beberapa hal : penurunan

absorpsi kalsium di usus, berkurangnya kapasitas ginjal dalam

meretensi kalsium, kurangnya pajanan terhadap sinar matahari,

penurunan kemampuan kulit mensintesis vitamin D, penurunan

kemampuan ginjal mengbah vitamin D menjadi 1,25-dihydroxyvitamin

D. Rekomendasi asupan kalsium perhari 1200 mg setelah usia 50

Page 42: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

42 Denpasar, 05-07 November 2015

tahun pada wanita women, 1200 mg setelah usia 70 pada laki laki.

Asupan vitamin D yang disarankan adalah 20u/hari untuk usia di atas

70 tahun (17).

Penelitian juga menunjukkan bahwa defisiensi mikronutrien dan

beta karoten serum yang rendah merupakan faktor risiko signifikan untuk

frailty (18) ditemukan perbedaan konsentrasi mikronutrien (vitamin D, A, E,

B6, B12, folat, zinc, dan selenium) yang signifikan antara pasien frail dan

non-frail .

Diet efektif dengan memperhatikan kebutuhan protein, mikronutrien,

disertai dengan program latihan yang efektif memberikan perbaikan

signifikan pada frailty yang diukur dengan perbaikan massa, kekuatan otot

dan performa klinis. Pada beberapa literatur, didapatkan kebutuhan protein

yang disarankan berupa 10–20 g protein perhari, ada juga yang

menyarankan asam amino esensial 12 gram/hari atau 6 gram/hari, dan

metabolit leusin HMB ,3 gram /hari dimana ketiga sudi ini memberikan hasil

yang sama baiknya. Untuk vitamin D, pemberian suplementasi pada studi

digunakan bolus 100.000 U diikuti dengan suplemen perminggu 50.000 U

selama 8 minggu atau 400 IU perhari selama 9 bulan dimana keduanya

memberikan hasil yang sama baik (19).

Secara keseluruhan, piramida makanan sehat yang disarankan

untuk geriatri disebut sebagai ―Modified Food Pyramid‖ yang terdiri dari

(20):

• 8 gelas

• Ca, vitamin D, dan B12 yang adekuat

• Karbohidrat kompleks pada dasar piramid

• Protein dengan lemak hidrogenasi sebagian dan tersaturasi ada di atas

piramid sedangkan lemak monounsaturated dan polyunsaturated

omega-3 fats ada di bawah.

• Ikan, kacang, minyak sayur harus dikonsumsi lebih banyak dari

daripada daging merah dan mentega.

Daftar Pustaka

1. Xue Q. The Frailty Syndrome: Definition and Natural History. Clin

Geriatr Med. 2011:27(1); 1-15

Page 43: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

43 Denpasar, 05-07 November 2015

2. Qu, T., et al., 2009. Upregulated Monocytic Expression Of CXC

Chemokine Ligand 10 (CXCL-10) And Its Relationship With Serum

Interleukin-6 Levels In The Syndrome Of Frailty. Cytokine. 46(3): 319–

324

3. Setiati S, Seto E, Sumantri S. Frailty profile of elderly outpatient in Cipto

Mangunkusumo Hospital Jakarta. In press. 2013.

4. Dorner T, Lackinger C. Haider S, et al. Nutritional Intervention and

Physical Training in Malnourished Frail Community-dwelling Elderly

Persons Carried out by Trained Lay ―buddies‖: Study Protocol of a

Randomized Controlled Trial. BMC Public Health. 2013:13;1232;1471-

2458.

5. Weiss Carlos O, Capolla Anne R, et al. Resting Metabolic Rate Among

Old-Old Women With and Without Frailty: Variability and Estimation of

Energy Requirements. J Am Geriatr Soc. 2012; 60(9): 1695–1700.

6. Fried LP Watson, J Ferruci, Luigi. Frailty. In: Halter Jeffrey B, Ouslander

Joseph G, Tinetti Mary E, Studenski Stephanie, High Kevin E, Asthana

Sanjay eds Hazzard‘s Geriatric Medicine and Gerontology. 6th ed. New

York: MCGraw-Hill; 2009. pp 631-646.

7. Morley JE, Kim MJ, Haren MT, et al. Frailty and the aging male. Aging

Male 2005;8:135–40.

8. Morley JE, Baumgartner RN, Roubenoff R, et al. Sarcopenia. J Lab Clin

Med 2001;137: 231–43.

9. Janssen I, Heymsfield SB, Ross R. Low relative skeletal muscle mass

(sarcopenia) in older persons is associated with functional impairment

and physical disability. J Am Geriatr Soc 2002;50:889–96

10. Amarya Shilpa , Singh Kalyani, Sabharwal Manisha. Changes during

aging and their association with malnutrition. Journal of Clinical

Gerontology & Geriatrics. 2015:6; 78-84.

11. Jaroch A, Kedziora K. Nutritional Status of Frail Elderly. Prog Health

Sci. 2014;4;2;145-149

12. Walston J. Frailty. J Am Geriatr Soc. 2006;54:991-1001.

13. Tanvir A, Haboubi N. Assesment and Management of Nutrition in Older

People and Its Importance to Health. Clinical Interventions in Aging.

2010:5;2017-216.

Page 44: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

44 Denpasar, 05-07 November 2015

14. M. Hasan Mohajeri, Barbara Troesch, Peter Weber. Inadequate supply

of vitamins and DHA in the elderly: Implications for brain aging and

Alzheimer-type dementia. Nutrition. 2015:31;261-275

15. Hui Sian Tay, Roy L. Soiza. Systematic Review and Meta-Analysis:

What Is the Evidence for Oral Iron Supplementation in Treating

Anaemia in Elderly People? Drugs and Aging. 2015: 32; 149-158

16. Karen Appold. Dangers of Vitamin B12 Deficiency. Aging Well.

2012:5;30

17. Smit E, Winters-Stone K, Loprinzi P, Tang A, Crespo C. Lower

Nutritional Status and Higher Food Insufficiency in Frail Older US

Adults. Br J Nutr. 2013: 110(1);172-8

18. Shardell M, Hicks G, Miller R, Kritchevsky S, Andersen D, Bandinelli S,

Cherubini A, Ferrucci L. Association of Low Vitamin D Levels with the

Frailty Syndrome in Men and Women. J Gerontol A Biol Sci Med Sci.

2009 Jan;64(1):69-75

19. Hayley J Denison, Cyrus Cooper, Avan Aihie Sayer, Sian M Robinson.

Prevention and optimal management of sarcopenia: a review of

combined exercise and nutrition interventions to improve muscle

outcomes in older people. Clinical Interventions in Aging. 2015:10; 859–

869

20. Lichtenstein A, Rasmussen H, Yu W, Epstein K, Russell R. Modified

MyPyramid for Older Adults. The Journal of Nutrition. 2008: 138; 5–11.

Page 45: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

45 Denpasar, 05-07 November 2015

Hubungan Kelainan Saluran Nafas Kecil dengan

Keluhan Respirasi dan Karakteristik Klinis Asma

IB Ngurah Rai, IGN Bagus Artana

Divisi Paru, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Asma terjadi pada berbagai belahan dunia serta berbagai kalangan

dan status social ekonomi. Hingga saat ini asma masih menjadi salah satu

penyakit non-infeksi dengan prevalensi tertinggi. Perkiraan global terbaru

dari Global Asthma Network menunjukkan bahwa sebanyak 334 juta orang

menderita asma di seluruh dunia. Angka ini diperkirakan akan terus

meningkat. Sementara di Indonesia berdasarkan RISKESDAS 2013,

prevalensi asma didapatkan 4,5% dari seluruh penduduk Indonesia. Asma

menduduki peringkat pertama dari kategori prevalensi penyakit kronik tidak

menular.1,2

Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai oleh inflamasi

saluran napas kronik. Hal tersebut didefinisikan sebagai riwayat gejala

respirasi seperti mengi, sesak napas, berat di dada dan batuk yang

bervariasi dari waktu ke waktu serta intensitasnya, disertai variasi nilai

hambatan aliran udara ekspirasi. Asma biasanya berhubungan dengan

hiper-responsivitas saluran udara, serta berhubungan dengan inflamasi

jalan nafas kronik. Kedua kondisi ini biasanya selalu didapatkan, walaupun

pasien sudah tidak merasakan gejala asmanya serta dengan fungsi paru

normal. Kondisi hiper-responsivitas dan inflamasi jalan nafas ini dapat

dikendalikan dengan pemberian obat yang sesuai.1

Secara tradisional, asma dikaitkan dengan kelainan yang terjadi

pada saluran nafas besar. Belakangan ini para ahli di dunia mulai melirik

kelainan saluran nafas kecil pada patofisiologi asma. Hal ini terlihat dari

peningkatan jumlah penelitian mengenai saluran nafas kecil pada asma

sejak tahun 2009, dimana artikel ilmiah dengan topik ini meningkat dari

kurang dari seratu menjadi 200 artikel lebih. Konsep tradisional ini diuji

Page 46: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

46 Denpasar, 05-07 November 2015

dengan banyaknya bukti ilmiah yang menunjukkan abnormalitas jalan

nafas kecil berperan dalam ekspresi klinis asma secara umum.3

Konsep mengenai peranan saluran nafas kecil pada asma memang

masih baru dan masih banyak mengalami tentangan dari beberapa ahli.

Tetapi dengan banyaknya bukti klinis yang telah dipublikasi baik dari

tatanan review keilmuan maupun penelitian klinis, maka perkembangan

peran jalan nafas kecil pada asma ini penting untuk dipahami. Berikut ini

kami uraikan mengenai saluran nafas kecil serta pengaruhnya pada gejala

dan karakteristik klinis kontrol asma.

Kelainan Saluran Nafas Kecil pada Asma

Secara tradisional, asma telah dianggap sebagai penyakit yang

dominan melibatkan saluran udara besar. Sekitar satu dekade terakhir,

konsep ini sedang diuji dimana semakin banyak bukti telah menunjukkan

bahwa kelainan pada saluran udara kecil juga berkontribusi terhadap

ekspresi klinis asma. Saluran udara kecil dapat dipengaruhi oleh

peradangan, remodeling, dan perubahan-perubahan di jaringan sekitarnya.

Semua proses ini berkontribusi pada terjadinya disfungsi jalan nafas kecil.

Banyak ahli telah menulis review tentang disfungsi jalan nafas kecil dan

perannya dalam memperburuk kontrol asma, meningkatkan jumlah

serangan asma serta nocturnal asthma, perburukan hiper-responsivitas

bronkus, serta respons fase lambat alergi.3

Keterlibatan saluran udara kecil dalam patogenesis asma dan

penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) telah diperdebatkan untuk waktu

yang lama. Namun, definisi yang tepat dari penyakit saluran napas kecil

masih kurang jelas dan tidak ada biomarker atau parameter fungsional

yang dapat diterima secara luas untuk menilai kelainan saluran napas

kecil.4

Saluran udara kecil didefinisikan sebagai saluran udara dengan

diameter internal <2mm dan tanpa tulang rawan (Gambar 1). Meskipun

saluran udara kecil sedikit kontribusinya pada resistensi jalan nafas pada

orang sehat, beberapa penelitian yang menggunakan teknik pengukuran

invasive untuk menilai resistensi saluran napas telah menunjukkan bahwa

saluran udara kecil adalah lokasi utama untuk terjadinya hambatan aliran

Page 47: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

47 Denpasar, 05-07 November 2015

udara pada asma dan PPOK. Tetapi masalahnya, jalan nafas kecil sampai

saat ini terbukti masih sulit untuk dieksplorasi dan dipelajari.4,5

Gambar 1. Saluran Nafas Manusia.

Sebagian besar penelitian patologi yang dilakukan pada subyek

asma menggunakan teknik otopsi jaringan yang dikumpulkan dari pasien

asma akut yang fatal. Penelitian-penelitian ini menunjukkan adanya

sumbat-luminal yang luas akibat eksudat muko-inflamasi dan hyperplasia

sel-sel goblet pada epitel jalan nafas besar dan kecil. Penebalan dinding

jalan nafas dengan peningkatan massa otot polos dan infiltrasi sel-sel

Page 48: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

48 Denpasar, 05-07 November 2015

inflamasi oleh limfosit T dan eosinofil juga didapatkan pada saluran udara

besar dan kecil.5

Studi post-mortem juga juga menunjukkan bahwa diding luar jalan

nafas kecil merupakan lokasi inflamasi utama (terutama oleh sel-sel

eosinophil). Bahkan pada kasus asma berat dan fatal, inflamasi meluas

hingga ke jaringan alveoli sekitarnya dan area perivaskular. Hilangnya

alveolar attachment juga didapatkan pada otopsi pasien asma yang fatal.

Kondisi ini berkorelasi positif dengan inflamasi sel mast dan eosinofilik,

yang menguatkan dugaan peranan sel-sel inflamasi ini pada kerusakan

alveoli. Hilangnya alveolar attachment menurunkan elastic recoil dan

mengakibatkan penutupan jalan nafas premature.6

Gangguan pada matriks ekstraseluler juga didapatkan pada kasus

asma yang fatal. Hal ini berkontribusi pada terjadinya fibrosis jalan nafas

akibat peningkatan jumlah dan fungsi transforming growth factor-β.

Perubahan molekul-molekul matriks pada otot polos jalan nafas juga akan

memperburuk bronkokonstriksi serta memperberat efek eksudat muko-

inflamasi pada obstruksi bronkus.5,6

Satu hal penting yang menjadi catatan pada studi-studi post-

mortem ini adalah kenyataan bahwa pasien-pasien yang diikutkan pada

studi patologi ini meninggal akibat serangan asma yang fatal dan tidak

mendapat terapi. Hal ini menyulitkan dalam melihat bagaimana efek

pemberian terapi pada jalan nafas kecil serta proses remodeling yang

terjadi. Selain itu, pasien-pasien tersebut kemungkinan mengalami asma

yang fatal akibat asma yang tidak terkontrol. Hal ini yang masih

menyulitkan para ahli untuk mengekstrapolasi temuan pada jalan nafas

kecil ini kepada pasien asma secara umum.5,7

Penelitian tentang pathogenesis pada pasien-pasien asma masih

sangat sedikit, tidak sebanyak pada kasus PPOK. Sebagian besar

terkendala pada teknik dalam menemukan kelainan jalan nafas kecil yang

sebagian masih invasif. Para ahli belakangan ini mencoba mengeksplorasi

peranan jalan nafas kecil pada pasien asma dengan menggunakan teknik

pemeriksaan yang lebih non-invasif. Beberapa pemeriksaan yang

dilakukan antara lain pengukuran ventilasi, air-trapping, nitric oxide (NO)

alveolar, impedans respirasi, serta beberapa teknik imaging khusus.4,5

Page 49: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

49 Denpasar, 05-07 November 2015

Niric Oxide (NO) belakangan ini diusulkan sebagai penanda

keterlibatan jalan nafas kecil pada asma. Penelitian oleh Battaglia, dkk.

merupakan salah satu tonggak awal penggunaan NO untuk tujuan

tersebut. Battaglia, dkk. menggunakan single breath nitrogen washout pada

pasien asma ringan. Para peneliti ini menyimpulkan bahwa NO ekshalasi

memiliki hubungan yang positif dengan fungsi jalan nafas kecil. Pada

perkembangannya, penyempurnaan pemeriksaan NO ini masih terus

dilakukan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang fungsi jalan

nafas kecil pada asma.5,8

Selain menggunakan teknik NO, pemeriksaan faal paru dapat pula

digunakan untuk menilai kelainan pada jalan nafas kecil. Pengembangan

tes fungsi paru untuk menilai kelainan pada jalan nafas kecil telah maju

pesat. Obstruksi pada jalan nafas kecil mempengaruhi distribusi gas saat

ventilasi dan mengakibatkan penutupan jalan nafas kecil yang disertai oleh

air-trapping. Pemeriksaan fungsi paru yang digunakan untuk menilai

kelainan jalan nafas kecil dibagi menjadi tes yang mengukur aliran udara,

resistensi jalan nafas, inhomogenitas distribusi ventilasi, penutupan jalan

nafas, dan air-trapping.5

Pengukuran aliran udara pada jalan nafas kecil menggunakan

angka forced expiratory flow saat 50% kapasitas vital (FEF 50%) dan saat

25%-75% kapasitas vital (FEF 25%-75% ). Pengukuran resistensi jalan

nafas menggunakan impulse oscillometry (IOS). Obstruksi jalan nafas kecil

berhubungan dengan peningkatan resistensi, khususnya pada frekuensi

yang lebih rendah (frequency-dependence resistance). Distribusi ventilasi

yang tidak homogeny dapat diukur dengan tes multiple-breath nitrogen

washout dan single breath nitrogen washout (SBNW) setelah inhalasi

oksigen 100%.4,5,9

Air-tapping dan penutupan jalan nafas dinilai dengan pengukuran

flow-volume paru statis dan dinamis. Penurunan FVC dapat menunjukkan

adanya air-trapping. Tes provokasi dengan metacholin juga dapat

menggambarkan adanya air-trapping, yaitu konsentrasi provokasi yang

menimbulkan penurunan FEV1 20% (PC20).Rasio FVC/SVC (forced vital

capacity/Slow inspiratory vital capacity) juga dapat menjadi penanda kolaps

jalan nafas kecil. Sedangkan untuk menilai volume paru statis yang

berhubungan dengan air-trapping dan hiperinflasi paru, dapat dilihat dari

Page 50: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

50 Denpasar, 05-07 November 2015

functional residual capacity, residual volume (RV), total lung capacity

(TLC), dan rasio RV/TLC.4,5

Beberapa teknik imaging seperti high resolution CT (HRCT) scan

dan MRI dengan inhalasi gas hiperpolarisasi dapat digunakan secara tidak

langsung untuk mengevaluasi tanda-tanda obstruksi jalan nafas kecil

(inhomogenitas ventilasi dan air-trapping) yang berhubungan dengan

proses remodeling.

Masing-masing pemeriksaan tersebut memiliki kelebihan dan

kekurangan (Tabel 1). Hingga saat ini tidak ada jenis pemeriksaan dan

manuver yang dapat memenuhi semua hal yang diperlukan untuk

mendiagnosis, menilai derajat, serta memonitor kelainan jalan nafas kecil

pada praktek klinis sehari-hari. Kombinasi pemeriksaan yang paling solid

dan sensitif adalah alveolar exhaled NO dan pengukuran air-trapping

dengan CT scan. Tetapi tetap saja ada kekurangannya, dimana teknik ini

tidak tersedia luas dan belum tentu dapat diakses oleh semua pasien.5

Tabel 1. Overview Beberapa Tes untuk Menilai Obstruksi Jalan Nafas Kecil5

Jenis Tes Kemampuan mendeteksi abnormalitas jalan nafas

kecil

Reprodusibilitas Beban bagi pasien

ΔFVC pada PC20

Berhubungan dengan:

Derajat kelainan

MCh-induced air trapping (CT scan)

maximal airway response (gas trapping)

reprodusibilitas dapat dibandingkan dengan PC20

Reprodusibilitas dalam 1-minggu baik

Bronchial challenge test cukup melelahkan melakukan manuver FVC 2X memakan waktu cukup lama (20-60 menit)

FVC/SVC deteksi dan monitor kelainan jalan nafas kecil pada bronkiolitis obliterans setelah transplantasi paru

reprodusibilitas 1minggu buruk

non-invasif murah dan cepat (5 menit)

FEF 25%-75% berkaitan dengan:

air trapping(CT scan)

FEF 25%-75% sering normal bila FEV1/FVC ≥75%

variasi antar subyek 5% pada orang sehat

non-invasif murah tidak memakan waktu (5 menit)

Impulse oscillometry

berhubungan dengan:

FEF 25%-75%

MCh-induced air-trapping with CT scan

reprodusibilitas sedang

non-invasif relative murah relative memakan waktu (30 menit)

Page 51: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

51 Denpasar, 05-07 November 2015

SBNW test: closing volume

berkaitan dengan: NO alveolar pada asma berat closing volume meningkat pada pasien yang sering mendapat serangan

reprodusibilitas dalam 1 minggu buruk

non-invasif, cepat relative murah sulit dikerjakan bila tanpa flow restrictor

MCh-induced air-trapping with CT scan

berkaitan dengan: ΔFVC pada PC20

FEF 25%-75% and FEF 50% bronchial NO RV/TLC

reprodusibilitas dalam 6 minggu baik

paparan radiasi relative mahal makan waktu lama (70 menit)

RV/TLC berhubungan dengan: NO alveolar pada asma berat air trapping (CT scan)

reprodusibilitas cukup

non-invasif cukup memakan waktu (30 menit)

Alveolar and bronchial NO

Alveolar NO berkaitan :

RV/TLC dan closing volume pada asma berat

heterogenisitas ventilasi pada asma stabil

bronchial NO berkaitan dengan air trapping (CT scan)

koefisien intrakelas tinggi (95%-99%) reprodusibilitas harian baik

non-invasif cukup memakan waktu (20 menit)

Beberapa waktu belakangan diperkenalkan teknologi

Hydrofluoroalkane (HFA) yang menjanjikan penetrasi lebih dalam. Sebuah

device HFA pressurised-MDI dapat mengantarkan partikel obat dengan

MMAD yang lebih kecil secara signifikan, sehingga dapat mengantarkan

partikel obat melewati jalan nafas besar dan kecil> Hal tersebut secara

signifikan meningkatkan deposisi obat pada jalan nafas perifer.

Keberhasilan teknologi HFA mencapai jalan nafas kecil menyisakan

satu pertanyaan lagi mengenai keuntungan klinis pemberian obat yang

mencapai jalan nafas kecil. Berbagai penelitian dilakukan untuk menjawab

masalah tersebut. Salah satunya adalah penelitian Goldin, et al. yang

membandingkan efikasi beclomethasone propionate dengan tenologi HFA

(HFA-BDP) dengan obat yang sama dengan teknologi standar (CFC-BDP)

dengan metode HRCT scan. Penelitian ini membuktikan setelah 4 minggu

pengobatan, HFA-BDP memberikan efikasi yang lebih baik dibandingkan

CFC-BDP.11

Page 52: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

52 Denpasar, 05-07 November 2015

Berbagai penelitian lain yang dilakukan relatif serupa dengan

penelitian oleh Goldin, et al. tadi, tetapi dengan metode pengukuran atau

metode penelitian yang berbeda. Verbanck, et al. menggunakan metode

penelitian switch-over antara obat dengan teknik ekstra-fine (HFA) dengan

DPI standar. Penelitian oleh Juniper, et al. menggunakan kuesioner

kualitas hidup (Asthma Quality of Life Questionnaire-AQLQ). Hasil-hasil

penelitian tersebut konsisten menunjukkan keunggulan obat dengan

partikel ekstra-fine (HFA) dalam hal efikasi dan kualitas hidup pasien

asma.5

Ringkasan

Asma merupakan penyakit saluran nafas yang dapat diderita oleh

setiap orang di seluruh dunia. Peranan kelainan jalan nafas kecil pada

asma makin menarik perhatian para ahli. Para ahli menemukan hubungan

kelainan jalan nafas kecil dengan status control pasien asma dan

karakteristik klinisnya. Temuan ini mengarahkan tatalaksana asmma

menuju era baru, yaitu era partikel ekstra-fine. Penggunaan teknologi

ekstra-fine (HFA) ini terbukti memberikan perbaikan kontrol asma yang

lebih baik pada kasus asma.

Daftar Pustaka

1. FitzGerald JM, Bateman ED, Boulet L-P, et al. Global Initiative for

Asthma (GINA) Global Strategy for Asthma Management and

Prevention (2015 update).

2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (RISKERDAS)

2013.

3. van der Wiel, ten Hacken NH, Postma DS, van den Berge M. Small-

airways dysfunction associates with respiratory symptoms and clinical

features of asthma: a systematic review. .J Allergy Clin Immunol.

2013;131(3):646-57.

4. Burgel PR. The role of small airways in obstructive airway diseases. Eur

Respir Rev 2011; 20(119):23-33.

Page 53: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

53 Denpasar, 05-07 November 2015

5. van den Berge M, ten Hacken NHT, Cohen J. Small Airway Disease in

Asthma and COPD: Clinical Implications. CHEST 2011; 139(2): 412 –

423

6. Contoli M, Kraft M, Hamid Q, et al. Do small airway abnormalities

characterize asthma phenotypes? In search of proof. Clin Exp Allergy.

2012;42(8):1150-60.

7. Bakakos P, Loukides S, Kostikas K. The great expectations of small

airways. PNEUMON. 2012;25(1):15-20.

8. Contoli M1, Bousquet J, Fabbri LM, et al. The small airways and distal

lung compartment in asthma and COPD: a time for reappraisal. Allergy.

2010;65(2):141-51.

9. Usmani OS. Small Airways Dysfunction in Asthma: Evaluation and

Management to Improve Asthma Control. Allergy Asthma Immunol Res.

2014;6(5):376-388.

10. Postma DS, Brightling C, Fabbri L, et al. Unmet needs for the

assessment of small airways dysfunction in asthma: introduction to the

ATLANTIS study. Eur Respir J 2015; 45: 1534–1538.

11. Goldin JG, Tashkin DP, Kleerup EC, et al. Comparative effects of

hydrofluoroalkane and chlorofluorocarbon beclomethasone dipropionate

inhalation on small airways: assessment with functional helical thin-

section computed tomography. J Allergy Clin Immunol 1999; 104:

S258–S267.

Page 54: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

54 Denpasar, 05-07 November 2015

Manajemen Asma Jangka Panjang pada Pelayanan Kesehatan

Primer : Mengacu pada Konsensus GINA 2015

IGN Bagus Artana, IB Ngurah Rai

Divisi Paru, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Asma merupakan penyakit saluran nafas kronik yang sering terjadi

dan menimpa semua lapisan masyarakat. Kejadian asma berkisar antara

1-18% dari jumlah populasi pada berbagai negara. Asma terjadi pada

berbagai belahan dunia, baik negara maju atau negara berkembang.

Hingga saat ini asma masih menjadi salah satu penyakit non-infeksi

dengan prevalensi tertinggi. Perkiraan global terbaru dari Global Asthma

Network mendapatkan sebanyak 334 juta orang menderita asma di seluruh

dunia. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat.1,2

Selain tingginya prevalensi, asma juga memiliki dampak sosio-

ekonomi yang besar pula. Pasien asma, terlebih yang tidak terkontrol, akan

mengalami penurunan produktifitas yang signifikan. Mereka akan sering

tidak masuk sekolah atau kerja akibat asma yang dideritanya. Selain itu,

biaya yang dikeluarkan untuk penanganan asma juga sangat tinggi. Global

Initiative for Asthma (GINA) memperkirakan sekitar 1-2 persen dari seluruh

pembiayaan kesehatan suatu Negara dialokasikan untuk penanganan

asma.1,3

Asma ditandai oleh dua variabel utama, yaitu variabel episode

berulang dari beberapa gejala, seperti mengi, sesak napas, dada terasa

berat dan / atau batuk, serta variabel hambatan aliran udara ekspirasi.

Gejala dan hambatan aliran udara tersebut bervariasi bila dilihat dari waktu

dan intensitasnya. Variasi ini sering dipicu oleh faktor-faktor seperti

olahraga, alergen atau paparan iritasi, perubahan cuaca, atau infeksi virus

pernapasan. Gejala dan hambatan aliran udara tersebut dapat sembuh

secara spontan atau setelah diberikan obat-obatan, dan kadang-kadang

dapat absen selama beberapa minggu atau bulan pada suatu waktu. Di sisi

lain, pasien dapat mengalami episode eksaserbasi dari asma yang

Page 55: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

55 Denpasar, 05-07 November 2015

mungkin mengancam jiwa dan membawa beban yang signifikan untuk

pasien dan masyarakat.1

Asma biasanya berhubungan dengan hiper-responsivitas saluran

udara akibat rangsangan langsung atau tidak langsung, serta berhubungan

dengan inflamasi jalan nafas kronik. Kedua kondisi ini biasanya selalu

didapatkan, walaupun pasien sudah tidak merasakan gejala asmanya serta

dengan fungsi paru normal. Kondisi hiper-responsivitas dan inflamasi jalan

nafas ini dapat dikendalikan dengan pemberian obat yang sesuai.

Berdasarkan RISKESDAS 2013, prevalensi asma di Indonesia

didapatkan 4,5% dari seluruh penduduk Indonesia. Asma menduduki

peringkat pertama dari kategori prevalensi penyakit kronik tidak menular.

Apabila diproyeksikan dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun

2013 yang berjumlah lebih dari 248 juta jiwa, maka jumlah pasien asma di

Indonsia lebih dari 11 juta jiwa.4 Angka tersebut merupakan jumlah yang

sangat banyak untuk ditangani oleh dokter, khususnya spesialis terkait

yang kebanyakan terdistribusi di kota-kota besar. Untuk itulah, berikut ini

akan kami sampaikan dasar-dasar manajemen asma dengan acuan

consensus GINA tahun 2015.

Diagnosis dan Asesmen Asma

Asma secara umum dikenal memiliki karakteristik gejala dan

hambatan aliran udara yang variabel dan episodik. Hal inilah yang menjadi

dasar dalam mendiagnosis asma. Diagnosis asma didapatkan dengan

mengidentifikasi kedua kondisi karakteristik tersebut. Gejala respirasi yang

sering dihubungkan dengan asma adalah mengi, sesak nafas, dada terasa

berat, atau batuk. Gejala-gejala tersebut memiliki karakteristik tersendiri

untuk mendukung diagnosis asma. Semakin banyak gejala yang ditemukan

pada pasien akan makin menguatkan dugaan kearah asma, terutama pada

kasus dewasa. Sementara itu, kronologis gejala yang biasanya memburuk

saat malam hari atau dini hari serta bervariasi intensitasnya juga

mendekatkan kita pada diagnosis asma. Karakteristik lain adalah pencetus

keluhan dan gejala tersebut yang sangat beragam mulai dari infeksi virus

(flu), olah raga, pajanan alergen, perubahan cuaca, gas iritan, atau bahkan

tertawa yang terlalu keras.(Gambar 1)1

Page 56: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

56 Denpasar, 05-07 November 2015

Variabel kedua yang harus dibuktikan selain gejala yang episodik di

atas adalah hambatan aliran udara ekspirasi yang bervariasi dari waktu ke

waktu serta tingkat keparahannya. Hal ini memerlukan pemeriksaan fungsi

paru yang dilakukan pada pasien saat sedang eksaserbasi dan dalam

konsisi asma yang stabil. Pemeriksaan tes fungsi paru memerlukan alat

spirometri yang khusus dan dilakukan oleh petugas terlatih. Hal inilah yang

sering menjadi kendala dalam menegakkan diagnosis asma, khususnya di

fasilitas kesehatan primer.

Pada konsensus GINA, pemeriksaan tes fungsi paru dapat

dilakukan dengan pemeriksaan peakflow-meter yang lebih sederhana dan

mudah untuk dilakukan oleh petugas kesehatan di perifer.1,5

Konfirmasi untuk hambatan aliran udara ekspirasi yang bervariasi dapat

dilakukan dengan berbagai cara pemeriksaan. Pada prinsipnya, semakin

lebar variasi fungsi paru yang didapatkan, makin meyakinkan diagnosis

yang didapatkan. Berikut ini beberapa tes yang direkomendasikan oleh

GINA tahun 2015 serta hasil positif dari pasien dewasa:1

Bronchodilator (BD) reversibility test positif :

Peningkatan FEV1 >12% dan >200 mL dari baseline, 10–15 menit

setelah inhalasi albuterol 200–400 mcg atau obat ekuivalennya

Variabilitas hasil PEF dua kali sehari yang eksesif selama 2 minggu :

Variabilitas PEF diurnal rata-rata >10%

Peningkatan fungsi paru signifikan setelah pengobatan dengan anti-

inflamasi selama 4 minggu :

Peningkatan FEV1 >12% dan >200mL (atau PEF >20%) dari baseline

setelah terapi 4 minggu, tanpa infeksi saluran nafas

Exercise challenge test positif :

Penurunan FEV1 >10% dan 200mL dari baseline

Bronchial challenge test positif :

Penurunan FEV1 ≥20% dari baseline dengan dosis methacholin atau

histamine standar atau penurunan ≥15% dengan rangsangan

hiperventilasi terstandar, salin hipertonis, atau manitol

Variasi fungsi paru yang eksesif antara kunjungan ke dokter :

Variasi FEV1 >12% dan >200mL antara kunjungan, tanpa adanya

infeksi saluran nafas

Page 57: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

57 Denpasar, 05-07 November 2015

Gambar 1. Bagan Diagnosis Asma

1

Setelah diagnosis asma ditegakkan, pada setiap pasien asma harus

dilakukan beberapa asesmen tambahan. Asesmen dilakukan dalam hal

status kontrol asma (symptom control dan risiko outcome yang buruk di

masa yang akan datang), masalah terapi, serta asesmen komorbiditas.

Page 58: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

58 Denpasar, 05-07 November 2015

Ketiga hal ini harus selalu dinilaisejak awal pasien didiagnosis menderita

asma serta setiap kali pasien datang untuk pemeriksaan rurin.1,6,7

Menilai status kontrol asma merupakan hal yang sangat penting

dalam menentukan keberhasilan terapi asma. Kontrol asma memiliki dua

bagian utama, yaitu penilaian gejala dan risiko untuk outcome buruk dalam

jangka panjang. Penilaian gejala asma mencakup segala keluhan yang

berhubungan dengan penyakit asma (mengi, sesak nafas, dada terasa

berat, dan batuk) serta pengaruh gejala tersebut dalam kehidupan sehari-

hari pasien (beban medis dan psiko-sosial dan ekonomi). Symptom control

yang buruk sangat berhubungan dengan peningkatan risiko eksaserbasi

asma. Secara umum, penilaian symptom control dilakukan dengan

menanyakan segala keluhan dan kondisi yang berkaitan dengan asma

dalam 4 minggu terakhir dengan satuan hari dalam seminggu (Tabel 1).

Beberapa kuesioner seperti Asthma Control Questionnaire (ACQ) atau

Asthma Control Test (ACT), dapat diberikan pada pasien untuk membantu

menilai symptom control ini.6,7

Tabel 1. Asesment kontrol asma menurut GINA 20151

Hal yang dialami pasien dalam 4 minggu

terakhir

Terkontrol Terkontrol

sebagian

Tidak

terkontrol

Gejala asma siang hari >2X/minggu tidak ada

yang dialami

1-2 variabel 3-4 variabel

Terbangun malam hari akibat asma

Penggunaan obat pelega >2X/minggu

Hambatan aktivitas akibat asma

Sedangkan asesmen faktor risiko outcome asma yang buruk

didapat dengan menilai faktor risiko eksaserbasi, faktor risiko hambatan

aliran udara menetap, serta faktor risiko efek samping pengobatan. Selain

itu, data mengenai FEV1 saat memulai terapi serta pengecekan rutin setiap

3-6 bulan sangat ideal dalam melengkapi penilaian risiko outcome asma ini

secara komprehensif.1

Page 59: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

59 Denpasar, 05-07 November 2015

Faktor risiko independen yang dapat dimodifikasi untuk terjadinya

eksaserbasi antara lain gejala asma yang tidak terkontrol, penggunaan β2

agonis kerja cepat (short-acting β2 agonist/SABA) dosis tinggi (>200 dosis-

kanister sebulan), penggunaan inhalasi kontikosteroid (inhaled

corticosteroid/ICS) yang tidak adekuat dari segi kepatuhan atau teknik

penggunaan inhaler, FEV1 rendah (<60% prediksi), masalah psikologis dan

sosio-ekonomi mayor, pajanan rokok atau allergen, faktor komorbid

(obesitas, rhino-sinusitis, alergi makanan), eosinophilia (sputum atau

darah), kehamilan. Faktor utama lain yang meningkatkan risiko eksaserbasi

adalah riwayat intubasi atau dirawat di ruang intensif akibat asma serta

riwayat eksaserbasi berat ≥ sekali setahun. Faktor risisko mendapatkan

hambatan aliran udara menetap adalah terapi tanpa ICS, pajanan yang

menetap (asap rokok, bahan kimia dan pajanan dari tempat kerja), FEV1

awal yang rendah, hipersekresi mukus kronik, eosinophilia sputum atau

darah.1,8

Sedangkan faktor risiko timbulnya efek samping obat dapat dibagi

menjadi dua, yaitu sistemik dan lokal. Faktor risiko sistemik antara lain

konsumsi kortikosteroid oral yang sering, ICS dosis tinggi dan/atau sangat

poten, konsumsi obat lain yang bersifat inhibitor sitokrom P450. Sementara

faktor risiko lokal antara lain teknik penggunaan inhaler yang tidak tepat

serta penggunaan ICS dengan dosis tinggi atau poten.1,7

Asma sering didiagnosis sekunder, dimana pasien datang mencari

pertolongan kesehatan akibat masalah kesehatan selain asma dan

diagnosis asma akhirnya dapat digali. Beberapa kelainan yang sering

didapatkan bersama asma ini dikenal sebagai komorbid asma. Kelainan-

kelainan tersebut antara lain rhinitis, rhino-sinusitis, gastroesophageal

reflux, obesitas, obstructive sleep apnea, depresi dan ansietas. Kelainan-

kelainan tersebut selain dapat menjadi tempat masuknya diagnosis asma

juga berperan pada outcome dan status kontrol yang buruk dari pasien

asma.1

Penatalaksanaan Asma

Tujuan penatalaksanaan asma jangka panjang adalah 1). untuk

mencapai asma dengan status gejala yang terkontrol dan mempertahankan

tingkat aktivitas pasien tetap normal disertai dengan 2). meminimalisasi

Page 60: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

60 Denpasar, 05-07 November 2015

risiko eksaserbasi di masa yang akan datang, risiko menderita hambatan

aliran udara menetap, serta risiko mengalami efek samping pengobatan.

Kedua tujuan penatalaksaan tersebut penting untuk dikomunikasikan

dengan pasien untuk meningkatkan keberhasilan.

Konsensus GINA 2015 lebih menekankan lagi konsep manajemen

asma berbasis control (The control-based asthma management) dengan

alur lingkaran seperti pada Gambar 2. Dengan prinsip manajemen ini,

penatalaksanaan farmakologis dan non-farmakologis terus menerus

disesuaikan dalam suatu siklus yang melibatkan aspek asesmen, terapi,

serta review respons terhadap terapi. Beberapa strategi alternatif lain untuk

menyesuaikan terapi yang dapat dipilih terutama pada kasus asma yang

sulit ditangani antara lain dengan prinsip Sputum-guided treatment serta

Fractional concentration of exhaled nitric oxide (FENO).1

Gambar 2. The control-based asthma management cycle

1

Obat-obat yang digunakan dalam penatalaksanaan asma dibagi

menjadi tiga kategori umum, yaitu kontroler (controller medication), pelega

Page 61: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

61 Denpasar, 05-07 November 2015

(reliever medication), serta terapi tambahan (add-on therapy) untuk pasien

asma berat. Kontroler digunakan secara rutin untuk mengurangi inflamasi

jalan nafas, mengontrol gejala, dan mengurangi risiko eksaserbasi dan

penurunan fungsi paru dimasa depan. Pelega diberikan untuk meredakan

gejala terutama saat serangan asma dialami oleh pasien. Add-on therapy

dipertimbangkan pada kasus-kasus dengan gejala persisten atau

tambahan pada terapi pelega saat terjadi serangan, contohnya terapi untuk

menangani faktor risiko serangan asma.1,5

Pemberian terapi kontroler inisial harian yang regular sebaiknya

mulai diberikan segera setelah diagnosis dan asesmen pasien asma

ditegakkan untuk memberikan outcome terbaik. Pendekatan terapi

farmakologis yang digunakan memakai prinsip stepwise approach

(pendekatan bertingkat). Setelah terapi awal diberikan, manajemen

menggunakan metode siklus the control-based asthma management cycle

seperti yang telah dijelaskan di atas. Kontroler disesuaikan naik atau turun

setiap dua sampai tiga bulan berdasarkan tingkatan (step) yang dibutuhkan

pasien (Gambar 3). Bila respons terapi tidak optimal setelah pemberian

terapi 2-3 bulan, maka dokter harus melakukan review, menilai, serta

memperbaiki faktor-faktor yang menghambat pencapaian target terapi

pasien sebelum meningkatkan step terapi.

Beberapa faktor yang dikaitkan dengan tidak adekuatnya respons

terapi pasien antara lain teknik inhaler yang kurang tepat, buruknya

kepatuhan, pajanan polutan yang persisten, komorbid yang belum

diidentifikasi, atau diagnosisnya bukan asma.1,9

Selain penatalaksanaan farmakologis, pendekatan non-

farmakologis juga sangat diperlukan untuk menjamin tercapainya tujuan

manajemen asma jangka panjang. Beberapa hal yang dapat dilakukan

antara lain henti rokok dan melindungi pasien dari efek ETS (environment

Tobacco Smoke) serta menghindari pajanan polutan dan gas berbahaya

dari lingkungan maupun allergen atau polutan indoor. Pasien juga

diupayakan tetap aktif melakukan aktivitas fisik untuk memperbaiki

kebugaran kardiopulmonal (hati-hati pada pasien asma yang dicetuskan

latihan/exercise induced asthma). hal lain yang sifatnya membantu antara

lain latihan pernafasan, diet dengan mengkonsumsi makanan yang sehat,

mengendalikan emosi, serta menghindari konsumsi obat-obat lain yang

Page 62: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

62 Denpasar, 05-07 November 2015

dapat memperburuk asma (misalnya pada kasus asma dan alergi obat).

Beberapa tidakan medis seperti bronchial thermoplasty, immunotherapy,

serta vaksinasi dapat dipertimbangkan sesuai dengan kasus yang

dihadapi.1

Gambar 3. Stepwise approach untuk mengontrol gejala dan meminimalisasi

risiko1

Sebagian besar kasus asma seharusnya dapat ditangani pada

fasilitas kesehatan primer. Klinisi terutama yang bertugas pada fasilitas

kesehatan primer diharapkan mampu memilah dan memutuskan kapan

Page 63: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

63 Denpasar, 05-07 November 2015

suatu kasus asma dirujuk. Beberapa kasus di bawah ini sebaiknya dirujuk

untuk memberikan penanganan yang tepat dan adekuat :1,9

Kasus kecurigaan asma yang sulit ditegakkan diagnosisnya setelah

mengikuti skema diagnosis di atas, sebaiknya dirujuk untuk ditelusuri

lebih mendalam dengan berbagai penunjang diagnosis yang lebih maju.

Kasus yang memiliki karakteristik asma dan PPOK (Asthma-COPD

Overlap Syndrome/ACOS).10,11

Kasus asma kerja

Pasien asma yang tetap tidak terkontrol setelah terapi step 4 adekuat.

Atau pasien dengan serangan asma berulang

Pasien dengan riwayat near-fatal asthma attack (riwayat perawatan ICU

atau intubasi) dan anafilaksis

Pasien dengan efek samping terapi atau memerlukan terapi

kortikosteroid sistemik jangka panjang

Pasien dengan komplikasi atau sub-tipe asma, misalnya aspirin-

exacerbated respiratory disease atau allergic bronchopulmonary

aspergillosis. Serta asma pada berbagai populasi khusus dan kondisi

komorbid

Ringkasan

Asma merupakan penyakit yang dapat mengenai seluruh lapisan

masyarakat. Asma di Indonesia masih menduduki peringkat pertama

penyakit non-infeksi terbanyak. Asma membawa dampak yang besar dari

segi medis, psiko-sosial, serta ekonomi. Klinisi pada fasilitas kesehatan

primer diharapkan mampu melakukan manajemen asma yang tepat dan

optimal, sehingga menghindarkan pasien asma dari berbagai risiko

outcome buruk baik akibat asmanya maupun efek samping obatnya.

Konsensus GINA tahun 2015 telah memberikan panduan manajemen

asma jangka panjang yang jelas dan dapat diaplikasi pada pasien asma di

Indonesia.

Page 64: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

64 Denpasar, 05-07 November 2015

Daftar Pustaka

1. FitzGerald JM, Bateman ED, Boulet L-P, et al. Global Initiative for

Asthma (GINA) Global Strategy for Asthma Management and

Prevention (2015 update).

2. World Asthma Prevalence (WHO). Available at http//www.who.int.

Accessed: 15 October 2015.

3. National Heart Lung and Blood Institute N. Global initiative for asthma.

Global strategy for asthma management and prevention. NHBLI/WHO

workshop. 1995:NIH Publication no. 95-3659.

4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (RISKERDAS)

2013.

5. Levy ML, Fletcher M, Price DB, Hausen T, Halbert RJ, Yawn BP.

International Primary Care Respiratory Group (IPCRG) Guidelines:

diagnosis of respiratory diseases in primary care. Prim Care Respir J

2006;15:20-34.

6. Reddel HK, Taylor DR, Bateman ED, et al. An official American

Thoracic Society/European Respiratory Society statement: asthma

control and exacerbations: standardizing endpoints for clinical asthma

trials and clinical practice. Am J Respir Crit Care Med 2009;180:59-99.

7. Bateman ED, Reddel HK, Eriksson G, et al. Overall asthma control: the

relationship between current control and future risk. J Allergy Clin

Immunol 2010;125:600-8.

8. Chung KF, Wenzel SE, Brozek JL, et al. International ERS/ATS

Guidelines on Definition, Evaluation and Treatment of Severe Asthma.

Eur Respir J 2014;43:343-73.

9. Montnemery P, Hansson L, Lanke J, et al. Accuracy of a first diagnosis

of asthma in primary health care. Fam Pract 2002;19:365-8.

10. Hardin M, Silverman EK, Barr RG, et al. The clinical features of the

overlap between COPD and asthma. Respir Res 2011;12:127.

11. Partridge MR, Dal Negro RW, Olivieri D. Understanding patients with

asthma and COPD: insights from a European study. Prim Care Respir J

2011;20:315-23

Page 65: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

65 Denpasar, 05-07 November 2015

Current Issues in The Optimal Management of

Stable Angina Pectoris in Daily Practice

I Wayan Wita

Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana – RSUP Sanglah Denpasar

Stable Angina Pectoris as a manifestation of Stable Coronary Artery

Disease (CAD) or Chronic Ischemic Heart Disease (IHD) is a worldwide

significant clinical burden. Stable angina is a clinical syndrome

characterized by discomfort in the chest, jaw, shoulder, back, or arms,

typically elicited by exertion or emotional stress and relieved by rest or

nitroglycerin. In countries with high CAD rates, angina is prevalent in

30,000 to 40,000 per one million population. Angina is more than twice as

common as in middle-aged men than in middle-aged women. The

prevalence of angina increases sharply with age. Prevalence of 2-5% in

men aged 45-54 years increases to 11-20% in men aged 65-74 years.

Prevalence of 0.5-1% in women aged 45-54 years increases to 10-14% in

women aged 65-74 years. Annual incidence of uncomplicated angina

pectoris is estimated at around 0.5% in western general populations aged

over 40.

A changing scenario of stable angina pectoris:

• Increase in general population life expectancy (1 in 3 men and women

aged over 65 years have some form of cardiovascular disease including

angina),

• Significant increase in risk factors such as obesity, lipids, smoking,

diabetes, etc. (incidence of CAD has been shown to rise by as much as

55% among adult diabetic patients),

• Increase in revascularization procedures (resistant and recurrent

angina),

• Frequent comorbidities (30% of primary care practice CAD patients

have an altered cardiac function.

Page 66: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

66 Denpasar, 05-07 November 2015

Symptoms and signs of stable angina pectoris

Characteristics of discomfort related to myocardial ischaemia (angina

pectoris):

The discomfort caused by myocardial ischaemia is usually located in

the chest, near the sternum, may be felt anywhere from the epigastrium

to the lower jaw or teeth, between the shoulder blades or in either arm

to the wrist and fingers.

The discomfort is usually described as pressure, tightness, or

heaviness, sometimes strangling, constricting, or burning.

The duration of the discomfort is brief, not more than 10 min in the

majority of cases, and more commonly even less.

An important characteristic is the relation to exertion (exercise), specific

activities, or emotional stress or other exacerbating or relieving factors

Symptoms classically deteriorate with increased levels of exertion, such

as walking up an incline or against a breeze, and rapidly disappear

within a few minutes, when these causal factors abate.

The discomfort is usually described as pressure, tightness, or

heaviness, sometimes strangling, constricting, or burning.

Exacerbations of symptoms after a heavy meal or first thing in the

morning are classical features of angina.

Buccal or sublingual nitrates rapidly relieve angina, and a similar rapid

response may be observed with chewing nifedipine capsules.

Physical examination

Important to assess the presence of hypertension, valvular heart

disease, hypertrophic obstructive cardiomyopathy. Should include the

assessment of body mass index (BMI) and waist circumference, evidence

of non-coronary vascular disease and other signs of comorbid conditions.

Diagnosis and assessment

Clinical assessment,

Laboratory tests,

Specific cardiac investigations (non-invasive or invasive)

to confirm the diagnosis of ischaemia

Page 67: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

67 Denpasar, 05-07 November 2015

to identify or exclude associated conditions or precipitating

factors for risk stratification

to evaluate the efficacy of treatment

Goals in the management of stable angina pectoris

• To improve prognosis (mortality reduction)

o Modification of risk factors

o Medical treatment : Aspirin, Lipid-lowering therapy, ACE-

Inhibitors

• To decrease anginal symptoms

o Medical treatment

o Revascularization procedures (PTCA, CABG)

Disease management consisted of preventive treatments to prolong

life expectancy and symptomatic treatments to improve symptoms and

quality of life. The treatment of chronic ischemic heart disease in 2004 are

still largely based on classic ―hemodynamic‖ agents: growing number

revascularization procedures worldwide. However, a large fraction of

patients remain symptomatic and at risk for major adverse cardiac events

after PCI or CABG. No new drug approved by FDA for angina since 25

years.Traditional therapies for demand-induced ischemia present major

limitations. Classic haemodynamic agents (Nitrates, -blockers, Ca-channel

blockers, Potassium Channel activators) all are expected to increase

coronary blood flow and decrease myocardial oxygen consumption. None

of these agents have been clearly shown to prevent myocardial infarction or

CV death in chronic IHD. All have relevant limitations (side-effects and

contraindications).The aim of treatment are: to control risk factors, to

stabilize coronary plaque; to improve symptoms and QOL; to reduce

myocardial ischaemia, to prevent coronary events and prolong life

expectancy.Therapeutic resources for the control of myocardial ischemia in

IHD are percutaneous coronary intervention, coronary artery by-pass

surgery and medical therapy. Cardiac metabolism as a new therapeutic

approach in coronary patients.

Page 68: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

68 Denpasar, 05-07 November 2015

Some reason to use metabolic agent for stable angina pectoris:

High anti-anginal and anti-ischemic efficacy;

Superiority of the beta-blocker and metabolic agent combination over

the beta-blocker with long acting nitrates/calcium channel blocker

combination;

Additional benefits in case of including metabolic agents in treatment of

patients with LV dysfunction of ischemic etiology. Ranolazine, a

metabolic agent that is thought to inhibit fatty acid oxidation and the

slow sodium channel, improves exercise tolerance and is currently

approved for chronic effort angina.The drug is effective in reducing

symptoms and improving exercise capacity and its role as an

antiarrhythmic and glycometabolic agent is currently under

investigation. Trimetazidine is another metabolic agent, also free of

hemodynamic effects, widely used as an antianginal in Europe.

Long-term therapy improves survival in patients with LV dysfunction;

Use of metabolic agents before Coronary Artery By past Graft (CABG)

and PCI allows reducing ischemic reperfusion injury during surgery;

Good tolerability;

Pharmaconomic trials confirm economic advantage of metabolic agent

therapy.

Role of education in risk-factor modification

Risk-factor modification is a critical component of the integrative

management of chronic stable angina as emphasized by the following

mnemonic modified from the American College of Cardiology (ACC)–

American Heart Association (AHA) guidelines:

A = Aspirin and angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor

B = β-blocker and blood pressure (BP)

C = Cigarette smoking and cholesterol

D = Diet and diabetes

E = Education and exercise

Page 69: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

69 Denpasar, 05-07 November 2015

Conclusion

1. Stable angina pectoris (IHD) is a common disease with unmet

therapeutic needs.

2. The treatment of patients should be directed towards the control of risk

factors, stabilization of coronary plaques and improvement of symptoms

3. Full optimized medical therapy and cardiac rehabilitation are

complementary and may represent an alternative to revascularization

for most patients with CAD

4. In patients with chronic stable angina hemodynamic agents do not have

an additive effect.

5. Modification of cardiac metabolism is a new therapeutic target

6. Metabolic agent reduces myocardial ischemia by shifting the energy

substrate of the ischemic heart and improves myocardial contractility in

hybernated areas of myocardium thus improving functional capacity

7. Metabolic agent should be used routinely for the treatment of all

patients with ischemic heart disease.

Page 70: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

70 Denpasar, 05-07 November 2015

Optimazing Management of Heart Failure

I Ketut Rina

Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana – RSUP Sanglah Denpasar

ABSTRACT

Heart failure (HF) can be defined as failure of the heart to deliver

oxygen at a rate commensurate with the requirements of the metabolizing

tissues, in any case. Clinically, as a syndrome in which patients have

typical symptoms (e.g. breathlessness, ankle swelling, and fatigue) and

signs (e.g. elevated jugular venous pressure, pulmonary crackles, and

displaced apex beat) resulting from an abnormality of cardiac structure or

function.

HF incidence increases with age, rising from approximately 20 per

1000 individuals 65 to 69 years of age to >80 per 1000 individuals among

those ≥85 years of age. Although survival has improved, the absolute

mortality rates for HF remain approximately 50% within 5 years of

diagnosis.

Diagnosis is based on : Symptoms and signs (General diagnostic

tests in patients with suspected HF, Essential initial investigations:

echocardiogram, electrocardiogram, and Routine laboratory tests and

Natriuretic peptides, Chest X-ray, others.

Approach Considerations for HF includes a number of non-

pharmacologic, pharmacologic, and invasive strategies to limit and reverse

the manifestations of HF.

HF is a chronic disease needing lifelong management. However,

with treatment, signs and symptoms of heart failure can improve, and the

heart sometimes becomes stronger. Treatment may help you live longer

and reduce your chance of dying suddenly. All patients with chronic HF

require monitoring. This monitoring should include : a clinical assessment

of functional capacity, fluid status, cardiac rhythm (minimum of examining

the pulse), cognitive status and nutritional status a review of medication,

Page 71: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

71 Denpasar, 05-07 November 2015

including need for changes and possible side effects serum urea,

electrolytes, creatinine and eGFR.

DEFINISI GAGAL JANTUNG (GJ)

Gagal Jantung (GJ) merupakan kejadian dari kegagalan jantung

untuk memenuhi kebutuhan oksigen guna metabolisme jaringan. Secara

klinik sindrom ini ditandai dan gejala : sesak nafas, pembengkakan di kaki,

dan rasa capek/lelah, peningkatan JVP, ada ronkhi di paru, dan apek

jantung bergeser ke kiri., sebagai akibat dari kelainan/kerusakan struktur

jantung dan fungsinya. Diagnosa yang tepat seringkali sulit dilakukan,

karrena gejala dan tanda dari GJ hampir sama dengan penyakit lainnya.

Terminasi GJ sangat bervariasi, beberapa dihubungkan dengan

fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVK), waktu perjalanan GJ, berat ringannya

petanda GJ. Yang penting didalam menentukan hubungan GJ dengan FE

dengan menggunakan USG (echocardiografi), dan ini dianggap penting

karena bisa menggambarkan prognosis GJ, disamping juga dengan teknik

radionuklir. Dan di dalam istilah ini bisa dibagi menjadi GJ dengan Fraksi

Ejeksi (FE) normal, dan dengan FE yang rendah .

EPIDEMIOLOGI

Pada sebuah studi di Amerika, didapatkan pada umur > 40 th, 20%

berisiko GJ. Insiden ini meningkat sesuai dengan peningkatan umur,

sekitar 20/1000 pada umur 65 – 69 th dan meningkat menjadi > 80/1000

diumur >85 th. Tendensi ini juga terjadi di Asia seperti di Jepang.

Walaupun perbaikan dari GJ jantung meningkat ,namun

mortalitasnya juga masih tinggi sekitar 50% setelah 5 th terdiagnosis.

Seperti yang diutarakan ARIC bahwa kematian setelah rawat inap di RS

berturutan 30 hari – 1 tahun, - 5 tahun adalah 10,4% - 22% - 42,3%. Dan

pada populasi lain dilaporkan berturutan untuk masa hidup GJ dengan

stage A, - B, - C, - D adalah 97% - 96% - 75% - dan 20% pada penderita

dengan FE rendah, namun tidak demikian yang dengan FE yang normal.

Diagnosis GJ

Penegakan diagnosis GJ didasarkan tanda dan gejala, dengan

ditambahkan pemeriksaan echocardiografi, elektrokardiografi (EKG),

Page 72: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

72 Denpasar, 05-07 November 2015

laboratorium rutin, Natriuretik peptide dan foto polos dada. Rekomendasi

pemeriksaan laboratorium termasuk DL, UL, BUN, kreatinin, gula darah,

lipid profil, dan jika diperlukan tambahkan tes FH, tes FT, Fungsi ginjal,

EKG 12 lead. Biomarker yang direkomendasikan adalah BNP or N-terminal

pro-B-type natriuretic peptide (NT-proBNP), atau jika diperlukan Troponin T

atau I. Pemeriksaan imaging jantung yang non invasive : foto polos dada,

echocardiografi. Dan yang invasive : untuk monitoring hemodinamik

dengan kateterisasi ke arteri pulmonal, intra kardiak (jantung kiri atau

jantung kanan), biopsi endomiokardial.

PENDEKATAN PENGOBATAN

Pengobatan GJ dapat dengan beberapa komponen harus dilakukan

secara komprehensif, seperti komponen non farmakologik, farmakologik,

dan invasive guna perbaikan fungsi dari jantung. Pengobatan non

farmakologik termasuk pembatasan garam, batasi minum air, aktifitas fisik

yang memadai, mengatur berat badan. Farmakologis dipergunakan

diuretika, vasodilator, agen inotropik, antikoagulan, beta-bloker, digoxin,

and ifabradin. Terapi invasif termasuk : intervensi elektrofisiologik seperti :

cardiac resynchronization therapy (CRT), pacu jantung, dan implantable

cardioverter-defibrillators (ICDs); coronary artery bypass grafting (CABG),

percutaneous coronary intervention (PCI); valve replacement or repair; dan

ventricular restoration.

Jika GJ sudah fase akhir , dan sudah mendapat terapi maksimal,

dengan prognosis yang sangat buruk , dipertimbangkan transplantasi

jantung, namun sebagai jembatan untuk tindakan ini, perlu didahului

dengan mechanical circulatory devices seperti : ventricular assist devices

(VADs) dan total artificial hearts (TAHs).

Pertimbangan pengobatan yang diperlukan : bahwa GJ

memerlukan pengobatan seumur hidup, yang bertujuan untuk perbaikan

gejala dan tanda, dan mencegah untuk terjadi kematian mendadak.

Pengobatan yang dberikan baik pengobatan tunggal ataupun kombinasi

antara lain :

Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors.

Angiotensin II receptor blockers.

Beta blockers.

Page 73: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

73 Denpasar, 05-07 November 2015

Diuretics.

Aldosterone antagonists.

Inotropes.

Digoxin .

Juga mungkin nitrat,, statin, anti koagulan, anti thrombosis.

Oksigen

Pembedahan dan device, diperlukan untuk beberapa kasus antara

lain : Coronary bypass surgery, Heart valve repair or replacement,

Implantable cardioverter-defibrillators (ICDs), Cardiac resynchronization

therapy (CRT), or biventricular pacing. Heart pumps. Heart transplant.

Pada keadaan GJ yang sangat membebani penderita dan dengan

keadaan yang sangat buruk dan telah mendapatkan penanganan yang

optimal, ada pertimbangan untuk euthanasia, namun perlu persiapan yang

sangat tepat dan mendapat persetujuan bersama sesuai dengan hukum

legal, medikal dan persetujuan dari keluarga.

DAFTAR RUJUKAN

1. Sakata Y, Shimokawa H. Epidemiology of Heart Failure in Asia.

Circulation Journal Vol.77, Sept 2013.

2. Fonarow G C, Stevenson LW, Walden J A, Livingston N A, Steimle A

E, Hamilton MA, Moriguchi,J; Tillisch J H, Woo M A. Impact of a

Comprehensive Heart Failure Management Program on Hospital

Readmission and Functional Status of Patients With Advanced Heart

Failure FREE . J Am Coll Cardiol. 1997;30(3):725-732.

3. HF Treatments and drugs Mayo . By Mayo Clinic Staff

4. Yancy C W. , Jessup M , Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Drazner MH.

ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure 2013. A

Report of the American College of Cardiology Foundation/American

Heart Association. Task Force on Practice Guidelines

Page 74: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

74 Denpasar, 05-07 November 2015

Pendekatan Penderita Dengan Trombositopenia

Wayan Losen Adnyana, Ketut Suega, Made Bakta

Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar

Abstak

Trombositopenia merupakan kelainan hematologi yang umum

dijumpai dengan gejala klinik yang bervariasi. Jumlah platelet yang rendah

dapat merupakan manifestasi awal dari suatu infeksi, seperti HIV dan virus

Hepatitis C atau mungkin mencerminkan aktivitas gangguan yang

mengancam jiwa seperti pada penyakit mikroangiopati trombotik.

Identifikasi yang benar dari penyebab trombositopenia sangat penting

untuk penanganan yang tepat dari pasien tersebut. Dalam tinjauan pustaka

ini, akan diuraikan evaluasi sistematis pada orang dewasa dengan

trombositopenia. Pendekatan ini menunjukkan perbedaan yang jelas antara

pasien rawat jalan yang sering tanpa gejala yang kadang-kadang

memerlukan waktu relatif panjang dengan pemeriksaan canggih dan

penderita dengan trombositopenia berat yang akut yang datang ke bagian

gawat darurat atau di unit perawatan intensif yang membutuhkan intervensi

segera dengan hanya beberapa tes diagnostik saja.

Kata kunci: trombositopenia, evaluasi sistematis

Pendahuluan

Trombositopenia didefinisikan sebagai suatu hitung platelet

dibawah 2,5 persentil terbawah dari distribusi hitung platelet normal. Hasil

dari NHANES III menyokong batasan lama dimana 150 x 109 /L merupakan

batas bawah normal. Namun demikian, hitung platelet antara 100 s/d 150 x

109 /L jika stabil lebih dari 6 bulan tidak menunjukkan suatu penyakit, dan

menggunakan batas nilai 100 x 109/L lebih sesuai untuk mengidentifikasi

kondisi patologis. Tambahan lagi, saat ini di banyak negara barat, batas

terbawah nilai normal platelet adalah l50 x 109/L.1

Relevansi dari trombositopenia pada setiap individu bervariasi dan

tergantung pada manifestasi klinis. Karena platelet memainkan peran

dalam menjaga integritas dinding pembuluh darah, trombositopenia

Page 75: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

75 Denpasar, 05-07 November 2015

berhubungan dengan kerusakan hemostasis primer. Perdarahan spontan

secara klinis tidak akan kentara sampai jumlah platelet mencapai level

antara 10-20 x 109/L. Bagaimanapun, adanya trombositopenia dapat

memperburuk perdarahan akibat pembedahan atau trauma atau

menghalangi pemberian terapi pada beberapa kondisi (seperti pada

pemberian terapi antivirus hepatitis C atau kemoterapi kanker). Pada

situasi yang lain, jumlah platelet yang rendah merupakan satu-satunya

manifestasi awal dari penyakit dasar, yang mana mempunyai risiko yang

lebih tinggi dari trombositopenia itu sendiri (seperti pada infeksi HIV atau

myelodisplastic syndromes) atau merupakan sebuah penanda yang

penting dari aktivitas penyakit (sebagai contoh thrombotic

microangiopathy). Menegakkan penyebab dari trombositopenia kadang

mudah, tapi terkadang juga cukup sulit. Kasus-kasus ini terutama pada

pasien yang masuk rumah sakit, dengan trombositopenia bersama

kelainan multi sistem dengan berbagai mekanisme. Sebaliknya pada kasus

rawat jalan, dengan trombositopenia terisolasi asimtomatis, diagnosis dan

penyebab spesifik biasanya mudah (table 1). Trombositopenia dalam

kehamilan perlu mendapatkan perhatian khusus karena terdapat

kemungkinan adanya konsekuensi pada janin. Pendekatan secara

struktural untuk mendiagnosis trombositopenia perlu dilakukan seperti

pemahaman terhadap gejala klinis, data-data dari laboratorium dan

penunjang medis lainnya.1,2

Mekanisme trombositopenia

Mekanisme utama penurunan jumlah platelet adalah penurunan

produksi atau peningkatan penghancuran platelet. Contoh yang khas,

misalnya pada kegagalan sumsum tulang (sebagai contoh, anemia

aplastik, MDS, dan chemotherapy-induced thrombocytopenia), sedangkan

peningkatan penghancuran terlihat pada kondisi seperti pada DIC dan

thrombotic microangiopaty. Dua mekanisme yang jarang adalah

sekuestrasi platelet dan hemodilusi. Sekuestrasi dari platelet, terlihat pada

congestive splenomegaly karena hipertensi portal, yang ditandai dengan

redistribusi platelet dari sirkulasi ke splenic pool. Hemodilusi terlihat pada

pasien-pasien dengan perdarahan masif yang mendapatkan koloid,

kristaloid atau produk darah rendah platelet. Saat ini diketahui bahwa pada

Page 76: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

76 Denpasar, 05-07 November 2015

banyak kasus trombositopenia, seperti pada ITP dan infeksi oleh virus

Hepatitis C, banyak mekanisme yang berkontribusi pada perkembangan

trombositopenia.2,3

Peran dari anamnesis dan pemeriksaan fisik

Riwayat penyakit dahulu dapat diperoleh informasi yang berharga

dan mendukung kearah penegakan diagnosis. Hal-hal yang perlu

diinvestigasi termasuk adanya riwayat trombositopenia dalam keluarga

(tidak umum mendiagnosis kongenital trombositopenia pada orang

dewasa); waktu manifestasi perdarahan (baru, kronis, atau berulang);

sejarah penyakit, yang berhungan dengan penyakait autoimun, infeksi atau

keganasan; riwayat kehamilan; obat-obatan dan riwayat vaksinasi; riwayat

berpergian (contoh, malaria, demam berdarah); riwayat tranfusi; riwayat

transplantasi organ; alcohol dan minuman yg mengandung unsur kina;

kebiasaan makan; dan factor resiko terhadap infeksi retroviral dan

hepatitis. Riwayat trombositopenia berulang, dengan nilai platelet yang

kembali normal dalam beberapa hari, dapat diinvestigasi mengarah pada

drug-induced thrombocytopenia. Mengumpulkan riwayat kesehatan secara

rinci tidak selalu bisa dilakukan seperti pada pasien-pasien yang tidak

sadar atau kondisi yang berat yang dirawat diruang HCU. Namun dalam

kasus tersebut trombositopenia hampir selalu merupakan suatu kejadian

akut dan riwayat penyakit dan paparan obat (misalnya heparin dan

antibiotik) seharusnya tersedia dalam catatan pasien.4

Pemeriksaan fisik harus fokus pada lokasi dan keparahan risiko

perdarahan dan kelainan lain yang dapat membantu dalam diagnosis dari

trombositopenia seperti adanya kelainan organomegali atau tulang. Pasien

dengan trombositopenia biasanya mengalami pendarahan mukokutaneous.

Perdarahan jaringan lunak sendi atau luas menunjukkan adanya kelainan

koagulasise perti terjadi pada DIC. Adanya suatu iskemia ekstremitas dan

nekrosis kulit, meningkatkan kecurigaan dari adanya heparin -induced

thrombocytopenia (HIT).4

Page 77: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

77 Denpasar, 05-07 November 2015

Tabel 1. Kondisi klinik dan penyebab trombositopenia paling sering1,4

Pasien rawat inap

Pasien rawat jalan Penyakit

multisystem/ICU Pasien Jantung

Kehamilan / pasca

kehamilan

ITP

DITP

Infeksi

o HIV

o Virus hepatitis C

o Helicobacter pylori

o CMV

o Infeksi virus lainnya

yang baru terjadi

Penyakit jaringan ikat

o Lupus erytematosus

sistemik

o Artritis reumatoid

o Sindrom

antiphospholipid

Vaksinasi

Sindrom

myelodisplastik

Trombositopenia

kongenital

Jenis immunodefisiensi

yang sering terjadi

Infeksi

TTP/HUS

DITP

DIC

Penyakit hati

HIT

MAS

Kelainan

sumsum tulang

CIT

HIT

Bypass jantung

Inhibitor

GPIIb/IIIa

DITP lainnya

Dilusional

GT

ITP

Sindrom HELLP

Preeklamsia

Abruptio plasenta

TTP/HUS

TTP/HUS merupakan thrombotic thrombocytopenic purpura/hemolytic

uremic syndrome; MAS, macrophage activation syndrome (termasuk

sindrom hemophagocytic); CIT, chemotherapy-induced thrombocytopenia;

HELLP, hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet.

Peran laboratorium

Langkah 1: Observasi hapusan darah tepi

Pada era pengobatan berbasis gen dan pemeriksaan berbasis

molekuler, pemeriksaan hapusan darah tepi tetap masih merupakan suatu

pemeriksaan terpenting yang membimbing kita dalam pendekatan

diagnosis trombositopenia (gambar 1). Semua dari ketiga turunan sel-sel

darah harus dinilai dengan cermat (table 2). Ketika kita menjumpai pasien

Page 78: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

78 Denpasar, 05-07 November 2015

dengan trombositopenia pada pasien dengan sakit berat, informasi yang

segera kita perlukan untuk mengetahui apakah hal tsb merupakan suatu

thrombotic mikroangiopathy (yang ditunjukkan oleh fragmentasi dari RBC)

atau acute leukemia (blast). Bahkan penundaan singkat dalam penegakan

diagnosis dapat berakibat fatal pada pasien jika terapi yang pantas

diberikan dengan segera.4,5

Langkah 2: Investigasi tambahan

Mengingat trombositopenia dapat merupakan suatu hasil akhir dari

mekanisme patologis sering tidak berdiri sendiri, terutama pada acute care

setting, banyak penyebab dari trombositopenia dapat diidentifikasi, evaluasi

laboratorium awal harus mencakup pemeriksaan fungsi hati dan ginjal,

skrining pembekuan darah dengan D-dimers, dan pengukuran lactate

dehydrogenase.4,5

Pemeriksaan berikutnya harus didasarkan temuan klinis dan

hapusan darah tepi. Tidak ada tes tunggal baik hematologi ataupun

biokimiawi yang mampu memberi kesimpulan untuk mengetahui

mekanisme trombositopenia. Jika penyebab dari trombositopenia tidak

jelas, suatu aspirasi sumsum tulang/BMP harus dilakukan untuk

menyingkirkan kelainan utama yang berasal dari sumsum tulang.

Reticulated platelet atau equivalent immature platelet fraction dapat

membantu dalam membedakan antara suatu trombositopenia karena

kegagalan sumsum tulang (presentase kecil) dengan trombositopenia

akibat penghancuran berlebih (persentase tinggi), meskipun spesifisitas

dari tes tersebut belum divalidasi. Bukti terbatas menyarankan bahwa

glycocalicin plasma dan kadar trombopoietin dapat meningkatkan spesifitas

dari reticulated platelet pada trombositopenia karena peningkatan

penghancuran platelet.4,5

Isolated thrombocytopenia

Definisi dari isolated thrombocytopenia sebagai jumlah platelet yang

rendah tanpa disertai kelainan pada RBC dan WBC serta tidak ada tanda

dan gejala penyakit sistemik. Hitung platelet yang rendah selama evaluasi

rutin pada penderita asimtomatik merupakan alasan umum untuk merujuk

pada rumah sakit oleh dokter umum. Namun demikian, pasien dengan

Page 79: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

79 Denpasar, 05-07 November 2015

trombositopenia yang berat dapat datang ke IRD dengan perdarahan

mukokutaneus dan perdarahan dalam. Isolated thrombocytopenia

mempunyai diferensial diagnosis yang sedikit (table 1). Dua etiologi

terpenting adalah ITP dan drug-induced thrombocytopenia (DITP).4,6

ITP

Meskipun ITP adalah penyebab paling umum dari terisolasi

trombositopenia, tidak ada tes sensitif atau cukup spesifik untuk

mengkonfirmasi diagnosis ini, yang tetap menjadi patokan adalah

menyingkirkan penyebab lain. Tidak ada konsensus tentang pemeriksaan

yang harus dilakukan, bervariasi antar negara bahkan bervariasi antar

pusat pemeriksaan di suatu negara.

Dalam praktek klinik sehari-hari, banyak yang mengikuti

rekomendasi yang ditetapkan dari International Consensus Report dalam

penegakkan diagnosis dan pengelolaan dari ITP (tabel 3), meskipun

rekomendasi ini tidak didukung dengan bukti-bukti yang kuat. Perlu juga

dilakukan pemeriksaan USG abdomen (untuk menyingkirkan manifestasi

penyakit hati kronis dengan hipersplenisme dan adanya pembesaran

kelenjar getah bening perut-panggul) dan rontgen dada (untuk

menyingkirkan limfadenopati mediastinum dan TBC tanpa gejala). Tes

antiplatelet antibodi sangat tidak sensitif, meskipun spesifisitasnya

mendekati 90%. Antibodi ini juga mungkin berguna dalam membedakan

ITP dari DITP. Peranan biopsi dan aspirasi sumsusm tulang pada pasien

dengan trombositopenia terisolasi masih tetap kontroversial.2,6

Menurut Internasional Consensus Raport pada pasien dengan umur

lebih dari 60 tahun dengan trombositopenia terisolasi mungkin memerlukan

pemeriksaan lanjutan karena trombositopenia ini bisa merupakan tanda

awal dari sindrom myelodysplastic. Sebaliknya, berdasarkan konsensus

ASH, untuk pasien ITP pada umur berapapun tidak memerlukan

pemeriksaan sumsusm tulang asalkan pada pemeriksaan fisik,

pemeriksaan darah lengkap dan hapusan darah tepi tidak menunjukkan

kemungkinan lain selain ITP.2,4,6

Page 80: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

80 Denpasar, 05-07 November 2015

DITP

Banyak obat-obatan yang terkait trombositopenia. Oleh karena

memiliki pathogenesis serta perjalanan penyakit yang bersifat khusus, HIT

akan dibicarakan terpisah. Mekanisme patofisiologi dari DITP diakibatkan

oleh obat tergantung antibodi yang bereaksi dengan epitope yang baru

terbentuk akibat obat pada glikoprotein platelet. Pasien dengan DITP

biasanya memperlihatkan trombositopenia sedang sampai dengan berat

dan manifestasi perdarahan yang bervariasi. Penurunan jumlah platelet

biasanya terjadi dalam 2-3 hari (kadang beberapa jam) setelah

mengkonsumsi obat atau setelah 1-3 minggu setelah memulai minum obat

baru. Ketika obat tersebut dihentikan, trombositopenia biasanya membaik

dalam 5-10 hari setelah penghentian obat.6,7

Secara klinis, DITP biasanya sering sulit dibedakan dengan ITP,

dan hanya berdasarkan penggalian riwayat secara akurat dapat membantu

dalam proses diagnostik. Jika pasien baru mengkonsumsi obat untuk

pertama kali, diagnosis DITP dapat dipertimbangkan. Kecurigaan DITP

Page 81: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

81 Denpasar, 05-07 November 2015

dipertimbangkan apabila pasien memiliki episode trombositopenia dengan

perbaikan yang berlangsung cepat. Terkadang diagnosis menjadi suatu

tantangan oleh karena bahan yang menimbulkan trombositopenia tidak

hanya berupa obat, tapi bisa juga makanan ataupun minuman, seperti

misalnya walnut, susu sapi, jus cranberry, tonikum (yang mengandung

quinine), serta beberapa produk herbal. 6,7

Diagnosis DITP seringkali berdasarkan data empiris, berdasarkan

atas perbaikan trombosit setelah obat dihentikan atau setelah tidak

mengkonsumsi makanan atau minuman tertentu. Diagnosis laboratorium

meliputi drug dependent antiplatelet Abs dengan metode seperti flow

cytometry, tes platelet immuofluorescence, ELISA, dan

immunoprecipitation Western blotting. 6,7

Trombositopenia pada pasien yang dirawat di rumah sakit

Trombositopenia sering menyertai pasien yang dirawat di rumah

sakit yang dirawat karena medis maupun bedah. Suatu studi menunjukkan

bahwa trombositopenia didapatkan pada 1% pasien dewasa yang

menjalani perawatan di rumah sakit karena penyakit yang akut, dengan

manifestasi perdarahan kurang dari 30%. Trombositopenia lebih sering

terjadi pada ruang perawatan ICU, ditemukan pada 8% - 68% pasien baru

masuk, serta 13% - 14% pada pasien yang sudah menjalani rawat inap.

Beberapa penyebab trombositopenia yang sering adalah sepsis, DIC, obat,

serta operasi bypass jantung dan kondisi-kondisi ini sering bersamaan

dengan kondisi akut lainnya. Oleh karena sering terjadi maka kemungkinan

DITP selalu harus dipertimbangkan. Frekuensi terjadinya DITP pada pasien

dengan kondisi kritis sekitar 20 %. Antibiotik pada keadaan seperti ini

menjadi etiologi tersering. Tes deteksi drug dependent antiplatelet Abs

tidak selalu tersedia, menghabiskan banyak waktu, dan tidak cukup sensitif

dalam algoritme diagnosis untuk manajemen pasien dengan

trombositopenia berat. Keputusan untuk menghentikan obat yang

berpotensi sebagai penyebab pada beberapa kasus seringkali hanya

berdasarkan kriteria klinis.5

Page 82: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

82 Denpasar, 05-07 November 2015

Heparin induced thrombocytopenia

HIT terjadi pada 0,5% - 5% pasien yang mendapatkan heparin,

tergantung pada populasi pasien. Pada pasien yang mendapatkan terapi

heparin, terjadi penurunan trombosit ≥ 50% dibandingkan dengan baseline

atau total jumlah platelet < 100 x 109/L dengan baseline normal.

Trombositopenia biasanya sedang, dengan median jumlah platelet berkisar

antara 50 - 80 x 109/L dan jumlah nadir jarang di bawah dari 20 x 109/L.

Manifestasi klinis meliputi thrombosis vena atau arterial, lesi kulit nekrotik di

tempat penyuntikan heparin, atau reaksi sistemik akut setelah penyuntikan

heparin bolus IV. Tidak mungkin dapat memprediksi mana pasien yang

akan mengalami komplikasi tersebut. Terkadang HIT relatif jarang terjadi

pada pasien ICU, jumlahnya < 1% pasien dengan trombositopenia.7

HIT biasanya terjadi setelah 5 - 10 hari mendapat heparin. Onset

awal HIT (kadang beberapa jam setelah pemberian heparin pertama)

terjadi pada sekitar 30% kasus. Pasien tersebut memiliki riwayat

penggunaan heparin 3 bulan sebelumnya, sehingga memiliki Abs yang

berinteraksi heparin-PF4 complex. Ada pula HIT yang memiliki delay onset,

yang terjadi bebrapa hari setelah heparin tersebut dihentikan.7

HIT merupakan kedaruratan klinis, dimana pada beberapa keadaan

hanya berdasarkan atas penemuan klinis. Sehingga secara sederhana

tidak ada waktu untuk menunggu hasil pemeriksaan heparin-PF4 Ab.

Sebagai tambahan bahwa Abs tersebut ternyata dapat terlihat pada pasien

yang mendapat terapi heparin yang tidak memiliki sindrom klinis HIT. Klinisi

disokong oleh clinical scoring system yang berdasarkan atas tes

probabilitas HIT, salah satunya yaitu 4Ts: Trombositopenia, Thrombosis,

Timing, serta penyebab lain trombositopenia (tabel 4). Pada pasien yang

dicurigai kuat HIT, terapi heparin harus dihentikan serta terapi antikoagulan

lain diberikan sampai keluar hasil tes konfirmasi. Walaupun gold standard

untuk tes diagnostik HIT adalah C Serotonin release assay, ini hanya

tersedia pada bebrapa tempat layanan yang memiliki fasilitas

komprehensif. Commercial enzyme immunoassay tersedia secara luas dan

sangat sensitif (> 90%).7

Page 83: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

83 Denpasar, 05-07 November 2015

Tabel 2. Aspek morfologi dari pemeriksaan darah tepi untuk diagnosis

trombositopenia4

Platelet

Platelet clumping

Platelet clumping disebabkan EDTA-dependent platelet autoantibodies

merupakan penyebab utama trombositopenia artifactual. Terjadi pada 1:1000

dewasa normal dan tidak terkait dengan perdarahan atau thrombosis

Ukuran platelet dan granularitas

Platelet yang besar mengarah pada makro trombositopenia herediter. Platelet

besar dengan warna abu pada pewarnaan Wright- Giemsa menunjukkan gray

platelet syndrome, suatu makrotrombositopenia autosomal dominant yang

berkaitan dengan kecenderungan untuk terjadi perdarahan yang terjadi karena

ketiadaan atau kekurangan α granules.

Pada trombositopenia yang terjadi karena destruksi perifer, platelet yang besar

biasanya terlihat pada platelet dengan ukuran normal.

Pada trombositopenia yang terjadi karena penurunan produksi platelet (misalnya,

setelah kemoterapi) platelet berada pada ukuran normal. Pada sindrom

myelodisplastik, platelet memiliki ukuran yang bervariasi, dapat terlihat giant

platelet serta seringkali hipogranular. Pada sindrom Wiskott Aldrich, serta X

linked thrombocytopenia, keduanya disebabkan oleh mutasi WAS gen, platelet

menjadi kecil.

WBCs

Sel leukemik

Kelainan malignansi hematologi (leukemia dan lymphoma) biasanya berkaitan

dengan trombositopenia, yang hampir tidak pernah ditemukan terisolasi.

Abnormalitas lain dari WBC, meliputi inklusi leukosit

Abnormalitas WBC sering terjadi pada banyak kondisi (neutrophilia,

lymphocytosis, leukopenia, dan lain sebagainya) dan mungkin berkaitan

dengan trombositopenia. Adanya hipolobulated neutrophils (Pelger-Huet

anomaly) mengindikasikan adanya sindrom myelodisplastik. Granule gelap

(granulasi toksik) yang ditemukan pada neutrofil mengindikasikan adanya

kondisi sepsis. Limfosit atipikal mengindikasikan adanya infeksi virus. Adanya

inklusi WBC (Dohle like bodies) harus diinvestigasi secara hati-hati ketika

platelet bentuknya besar (MYH9-related congenital makrotrombositopenia)

Page 84: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

84 Denpasar, 05-07 November 2015

RBCs

Schistocytes

Adanya fragmen RBC yang diketahui sebagai schistocytes mengindikasikan

adanya trombotik mikroangiopati (TTP/HUS) atau DIC

Ukuran serta gambaran morfologi

Mikrospherocytes mengindikasikan adanya Evans syndrome, tapi dapat juga

terlihat dengan schistocytes pada mikroangiopati trombotik. Makrositosis (dan

hipersegmentasi neutrofil) mengindikasikan adanya defisiensi B12 dan folat.

Dacryocytes (bentuk sel teardrop) mengindikasikan myelofibrosis. Nucleated

RBCs mengindikasikan adanya anemia hemolitik, myelofibrosis, atau suatu

proses infiltrasi ke BM.

Parasit

Adanya parasit intraseluler (misalnya malaria) merupakan diagnosis dari infeksi

Tabel 3. Evaluasi laboratorium dasar dari pasien yang diduga ITP

berdasarkan atas International Consensus Report2

Hitung darah lengkap dan retikulosit

Hapusan darah tepi

Pengukuran kadar Ig kuantitatif

Pemeriksaan BM (pada pasien usia > 60 tahun)

Blood Group (Rh)

Direct antiglobulin test

Helicobacter pylori

HIV*

HCV*

* Direkomendasikan atas dasar panel mayoritas untuk pasien dewasa

berdasarkan atas lokasi geografik.

Page 85: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

85 Denpasar, 05-07 November 2015

Tabel 4. Pretes 4T probabilitas heparin-induced trombositopenia7

4T

Poin-poin*

2 1 0

Trombositopenia

Waktu penurunan

jumlah platelet

Thrombosis dan

sequele yang lain

Penyebab lain

trombositopenia

Penurunan jumlah

platelet >50% dan

nilai terendah dari

platelet >20x109/L

Onset yg jelas

antara hari ke 5

dan 10 atau

penurunan platelet

≤1 hari (sebelum

paparan heparin

dalam 30 hari)

Thrombosis

baru;nekrosis kulit;

reaksi sistemik

akut setelah bolus

iv unfractionated

heparin

Tidak didapatkan

Penurunan jumlah

platelet 30-50%

atau nilai terendah

dari platelet 10-

19x109/L

Konsisten dengan

penurunan pada

hari 5-10, tapi

tidak jelas ;onset

setelah hari ke 10;

atau penurunan

≤1hari ( paparan

heparin sebelum

30-100 hari)

Thrombosis yg

progresif atau

berulang; non-

necrotizing

erythematous skin

lesion

Mungkin ada

Penurunan

jumlah platelet

<30% atau nilai

terendah dari

platelet

<10x109/L

Penurunan

jumlah platelet

<4 hari tanpa

riwayat paparan

baru

Tidak ada

Pasti ada

Skor pretes probabilitas: 6-8, tinggi; 4-5, sedang; 0-3, rendah. Diadaptasi

dari Lo et al.

*0, 1, atau 2 untuk setiap kategori dengan skor maksimal 8.

Page 86: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

86 Denpasar, 05-07 November 2015

DIC

DIC adalah koagulopati konsumtif yang merupakan komplikasi dari

beberapa penyakit. Hal ini ditandai dengan aktivasi koagulasi intravaskular

dengan pembentukan trombus mikrovaskular, trombositopenia, penurunan

faktor pembekuan, perdarahan yang bervariasi, dan kerusakan organ

target. Manifestasi DIC dapat merupakan kondisi akut atau dengan

perjalanan kronis. The Internasional Society on Thrombosis and

Haemostasis (ISTH) mengklasifikasikan DIC menjadi overt (decompesated

hemostatic system) dan non-overt (compensated hemostatic system).7,8

Akut DIC umumnya dijumpai pada sepsis berat dan syok septik,

setelah trauma (terutama neurotrauma), setelah operasi, sebagai

komplikasi obstetri (misalnya solusio plasenta, emboli cairan ketuban, dan

preeklamsia), setelah transfusi darah ABO-yang tidak kompatibel, dan

sebagai komplikasi leukemia promyelocytic akut. Koagulopati konsumtif

dalam kasus-kasus ini adalah parah dan menyebabkan manifestasi

perdarahan (misalnya, perdarahan mukokutan dan darah mengalir dari

luka) dan sering dengan kerusakan organ-organ (misalnya, ginjal dan hati).

Tidak ada tes laboratorium tunggal untuk diagnosis yang akurat dan tepat

dari DIC. Komite ISTH telah mengusulkan scoring system dengan

menggunakan parameter dalam tabel 5 dimana nilai ≥ 5 adalah overt DIC.

Kronis DIC lebih sering dijumpai pada tumor padat dan di aneurisma aorta

besar, biasanya disertai dengan beberapa kelainan klinis atau laboratorium

DIC. Kadar fibrinogen sedikit menurun, atau dalam batas normal atau

bahkan meningkat. Trombosit mungkin cukup rendah atau normal dan

tingkat D-dimer meningkat ringan.8

Trombositopenia pada pasien jantung

Beberapa mekanisme dapat menyebabkan trombositopenia pada

pasien yang menjalani operasi jantung terbuka. Cardiopulmonary bypass

dapat mengakibatkan penghancuran trombosit secara mekanik, hemodilusi

di sirkuit bypass, dan kerusakan platelet akibat obat. Penyebab yang lebih

jarang yaitu sepsis, pompa balon intra-aorta dan purpura setelah transfusi.

Jumlah nadir trombosit biasanya terlihat pada hari kedua atau ketiga

setelah operasi, dengan platelet akan meningkat dengan cepat setelah itu.4

Page 87: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

87 Denpasar, 05-07 November 2015

Trombositopenia yang berat dijumpai pada 0,1% - 2% dari pasien setelah

terpapar oleh inhibitor GPIIb / IIIa (misalnya, abciximab, tirofiban, atau

eptifibatide) selama intervensi koroner perkutan. Penurunan dari platelet

akibat DITP ini adalah onset yang cepat, biasanya dalam waktu beberapa

jam setelah operasi. Hal ini disebabkan oaleh adanya Abs terhadap

neoepitopes pada molekul GPIIb / IIIa. Biasanya trombositopenia akan

membaik dalam 10 hari.4

HIT merupakan penyebab penting dari trombositopenia pada pasien

yang menjalani operasi jantung. Ini terjadi pada 1% - 3% dari pasien yang

mendapat heparin lebih dari satu minggu setelah operasi dan 10% dari

pasien dengan implantasi di ventrikel jantung. Kita harus hati-hati

menggunakan interpretasi tes untuk HIT karena tingginya proporsi palsu

positif. Bahkan dalam 10 hari pertama setelah operasi jantung, 25% - 70%

dari pasien positif terhadap heparin-PF4 Abs dan hanya 4% - 20% memiliki

kelainan berdasarkan serotonin assay.4,5

Trombositopenia pada kehamilan

Sebanyak 6 % - 15 % wanita pada akhir kehamilannya mempunyai

jumlah trombosit < 150 x 109/L, namun hanya sekitar 1% wanita

mempunyai jumlah trombosist < 100 x 109/L. Penyebab paling umum dari

trombositopenia pada wanita hamil adalah gestational (GT; 70%),

preeklamsia (21%), dan ITP (3%). GT terlihat di pertengahan kedua sampai

trimester ketiga kehamilan dan pada periode ini jumlah trombosist pada

kehamilan secara fisiologis bervariasi secara ekstrim. Tidak ada patokan

minimal dari jumlah trombosit pada GT, tetapi jumlah trombosit < 70 x

109/L, sebaiknya dipertimbangkan penyebab lainnya. Tidak ada tes

laboratorium yang dapat memeastikan dari GT dan diagnosis tetap

didasarkan atas menyingkirkan diagnosis lainnya. Hal yang dapat

mendukung diagnosis GT adalah tidak ada riwayat trombositopenia

(kecuali selama kehamilan sebelumnya), dan trombositopenia harus

membaik secara spontan dalam waktu 1 - 2 bulan setelah melahirkan.

Selain itu janin atau bayi yang lahir tidak menderita trombositopenia.9

ITP terjadi pada 1 - 2 di 1000 kehamilan, merupakan penyebab

paling umum dari trombositopenia terisolasi di trimester pertama atau awal

trisemester kedua. Sekitar sepertiga kasus didiagnosis pertama kali selama

Page 88: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

88 Denpasar, 05-07 November 2015

kehamilan, sedangkan dua pertiga terjadi sebelum kehamilan. Eksaserbasi

ITP selama kehamilan atau dalam periode postpartum sangat bervariasi.

Sekitar setengah dari pasien dengan diagnosis ITP sebelumnya mengalami

penurunan trombosit ringan sampai progresif selama kehamilan.2,9

Tabel 5. Skor diagnosis untuk diagnosis overt DIC8

Parameter

Poin-poin

0 1 2 3

Jumlah platelet

Peningkatan

FDP (fibrin

degradation

product)

Protombin time

diatas batas

normal

Level

fibrinogen

>100 x 109/L

tidak ada

peningkatan

< 3 detik

> 1g/L

<100 x

109/L

>3 detik

< 1g/L

<50 x 109/L

peningkatan

sedang

> 6 detik

Peningkatan

besar

Total skor 5 atau lebih menandakan overt DIC. Skor kurang dari 5

menandakan non-overt DIC/ DIC derajat rendah

Membedakan trombositopenia karena ITP atau GT dengan

mengunakan kondisi klinik yang relevan, karena kehamilan dengan ITP

mungkin disertai trombositopenia neonatal yang berat (9% - 15% dari

kasus), risiko perdarahan intrakranial neonatal (1% - 2%). Pada wanita

yang tidak memiliki riwayat ITP, jumlah trombosit di bawah 100 x 109/L

pada awal kehamilan dan terus menurun selama kehamilan lebih konsisten

dengan ITP dibandingkan dengan GT. Keadaan akan menjadi lebih sulit

apabila trombosit yang rendah tersebut dideteksi pada trisemester ketiga.

Sekali lagi, tidak ada batas yang jelas seberapa rendah dari jumlah

trombosit di GT, dan menjadi lebih sulit apabila jumlah trombosit berkisar

antara 50 - 70 x 109/L dengan diagnosis masih belum jelas. Mengetahui

diagnosis yang tepat dari trombositopenia pada tahapan kehamilan akan

Page 89: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

89 Denpasar, 05-07 November 2015

menyebabkan perubahan kecil dalam management kehamilan, meskipun

masih memungkinkan terjadinya trombositopenia pada neonatus. Apabila

jumlah trombosit < 50 x 109/L dengan tanpa komplikasi kehamilan,

diagnosis ITP harus dipertimbangkan sampai dapat disingkirkan. Setiap

kondisi trombositopenia harus dinilai berdasarkan atas kontek klinik seperti

di dunia kedokteran pada umumnya.2,6,9

Kesimpulan

Jumlah trombosit yang rendah bisa dihasilkan dari berbagai kondisi

dan dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme. Ditemukannya

penyebab trombositopenia sangat penting untuk pengelolaan yang benar

dari pasien, seperti pada leukemia akut promyelocytic, heparin-induced

thrombocytopenia, atau thrombotic thrombocytopenic purpura/hemolytic

uremic syndrome. Pendekatan awal untuk menentukan penyebab

trombositopenia didasarkan pada riwayat pasien, penyakit yang mendasari,

penggunaan obat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan dari hapusan darah

tepi. Penyebab dua penurunan jumlah trombosit yang umum selain

kelainan hematologi atau penyakit multisistem adalah ITP dan DITP.

Penyebab penurunan jumlah trombosit pada kehamilan yang paling sering

adalah GT. Pada pasien dirawat di rumah sakit dan sakit kritis, diagnosis

trombositopenia sering menjadi tantangan karena adanya beberapa

kemungkinan penyebab, termasuk obat-obatan dan infeksi. Pemeriksaan

sumsum tulang dengan aspirasi dan biopsi diperlukan pada pasien dengan

trombositopenia berat atau mengalami perburukan tanpa diketahui

penyebabnya. Trombositopenia pada kehamilan memerlukan perhatian

khusus karena kemungkinan efek buruk terhadap janin.

Daftar rujukan

1. Rodeghiero F, Stasi R, Gernsheimer T, et al. Standardization of

terminology, definition and outcome criteria in immune

thrombocytopenic purpura of adults and children: report from an

working grup. Blood 2009;113(11):2386-2393.

2. Provan D, Stasi R, Newland AC, et al. International concensus report

on the investigation and management of primary immune

thrombocytopenia. Blood 2010;115(2):168-186.

Page 90: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

90 Denpasar, 05-07 November 2015

3. Neunert C, Lim W, Crowther M, Cohen A, Solberg L Jr, Crowthwer MA.

The American Society of Hematology 2011 evidence-based practice

guidline for immune thrombocytopenia. Blood 2011;117(16);4190-4207.

4. Roberto Stasi. How to approach thrombocytopenia. Blood

2013;196(4):1568-1575.

5. Hui P, Cook DJ, Lim W, Fraser GA, Arnold DM. The frequency and

clinical significance of thrombocytopenia complication critical illness:

systematic review. Chest 2014;139(2):271-278.

6. Gorge JN, Aster RH. Drug induced thrombocytopenia: pathogenesis,

evaluation and management. Haematology Am Soc Hematol Educ

Program 2009;2009:153-158.

7. Rousan TA, Aldoss IT, Cowley BD Jr, et al. Recurrent acute

thrombocytopenia in the hospitalized patient: sepsis, DIC, HIT or

antibiotic-induced thrombocytopenia. Am J Hematol 2013;85(1):71-74.

8. Taylor FB Jr, Toh CH, Hoot WK, Wada H, Levi M. Towards definition,

clinical and laboratory criteria and scoring system for disseminated

intravascular coagulation. Thromb Haemost 2001;86(5):1327-1330.

9. `Bockendedt PL. Thrombocypenia in pregnancy. Haematol Oncol Clin

North Am 2011;25(2):29-33.

Page 91: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

91 Denpasar, 05-07 November 2015

Pendekatan Penderita Dengan Perdarahan

Ni Made Renny A.R, Ketut Suega, I Made Bakta

Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Hemostasis merupakan sistem yang bekerja untuk tetap

mempertahankan sistem sirkulasi tetap tertutup serta mencegah terjadinya

pengeluaran darah dari vaskuler. Sistem ini melibatkan beberapa

komponen yaitu vaskuler, platelet dan protein koagulasi. Adanya gangguan

terhadap komponen hemostasis akan mengakibatkan munculnya

gangguan hemostasis. Secara umum gangguan hemostasis dapat dibagi

menjadi 2 yaitu gangguan yang diturunkan (inherited) dan gangguan yang

didapat (acquired). Perdarahan merupakan keluarnya darah dari sistem

sirkulasi. Perdarahan dapat muncul secara internal yaitu bila darah keluar

dari vaskuler di dalam tubuh atau secara eksternal bila darah keluar dari

vaskuler dan mengalir melalui lubang-lubang yang ada di dalam tubuh

seperti mulut, hidung, telinga, uretra, vagina atau anus, atau melalui

robeknya kulit. Perdarahan dapat muncul akibat suatu kejadian traumatik

atau karena suatu penyakit dasar medis atau karena kombinasi dari

keduanya. Medical bleeding adalah suatu terminologi yang digunakan pada

perdarahan yang terjadi didasari oleh penyakit medis tertentu. Hingga saat

ini evaluasi diagnostik pada penderita dengan perdarahan masih

merupakan tantangan yang cukup besar bagi para klinisi. Tidak sedikit

penderita dengan gangguan perdarahan meskipun ringan, terkadang

memiliki permasalahan diagnostik yang kompleks. Karena itu, para klinisi

hendaknya memahami patofisiologi, evaluasi klinis, penatalaksanaan

secara umum gangguan perdarahan. Proses anamnesis, pemeriksaan fisik

yang cermat memegang peranan yang sangat penting, begitu pula hasil

pemeriksaan laboratorium juga akan sangat membantu dalam penegakkan

diagnosis gangguan perdarahan.

Kata kunci: Pendekatan, gangguan perdarahan, hemostasis

Page 92: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

92 Denpasar, 05-07 November 2015

PENDAHULUAN

Sistem hemostasis dalam keadaan normal akan mempertahankan

darah berada dalam vaskuler dan dalam bentuk cair. Tapi perlu diketahui

bahwa hemostasis bersifat relatif, karena meskipun pembuluh darah,

trombosit dan faktor koagulasi dalam keadaan normal, dapat terjadi

perdarahan akibat proses patologis setempat. Semua perdarahan spontan

merupakan suatu keadaan patologis kecuali perdarahan selama

menstruasi. Perdarahan yang terjadi akibat kerusakan pembuluh darah dan

trombosit disebut kelainan hemostasis primer, sedangkan bila pada faktor

koagulasi disebut kelainan hemostasis sekunder.

Kegagalan sistem hemostatik merupakan salah satu tantangan

penting dalam dunia kedokteran klinis. Seringkali dibutuhkan tindakan

penanganan segera yang harus dilakukan dalam konteks data klinis dan

laboratorium yang sangat minimal. Gangguan sistem hemostasis dapat

timbul di setiap cabang kedokteran dan dapat mempersulit berbagai

gangguan medis, bedah maupun obstetrik. Oleh karenanya pemahaman

mengenai gangguan hemostasis adalah hal yang sangat penting, terutama

dalam situasi akut. 1-4

Pemeriksaan pada penderita dengan gangguan perdarahan

merupakan kasus yang rutin dilakukan pada praktis klinis. Beberapa

diantaranya seringkali disertai dengan permasalahan diagnostik yang rumit.

Untuk menentukan letak kelainan hemostasis diperlukan anamnesis yang

teliti, pemeriksaan fisik dan evaluasi manifestasi klinik perdarahan yang

cermat serta pemeriksaan laboratorium yang tepat.

Anamnesis yang baik sering dapat memberikan petunjuk yang

penting dalam menentukan sebab perdarahan. Perdarahan yang bersifat

diturunkan biasanya muncul sejak usia anak-anak. Riwayat perdarahan

yang tidak normal pada keluarga menyokong adanya kecurigaan kelaianan

hemostasis bawaan. Manifestasi klinis kelainan hemostasis sangat

bervariasi, bisa berupa perdarahan ke dalam kulit atau jaringan dan dapat

juga berupa darah keluar dari tubuh.

Ada kalanya kelainan hemostasis primer maupun sekunder tidak

menunjukkan gejala klinis perdarahan, sehingga seseorang baru diketahui

mengidap kelainan hemostasis setelah timbul komplikasi akibat trauma

atau suatu tindakan atau setelah dilakukan pemeriksaan penyaring

Page 93: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

93 Denpasar, 05-07 November 2015

hemostasis. Manifestasi klinis perdarahan yang timbul biasanya erat

hubungannya dengan jenis dan derajat kelainan uji hemostasis. Misalnya

petekia terjadi pada penderita dengan kelainan trombosit atau vaskuler,

sedangkan hematoma terjadi pada umumnya karena kekurangan faktor

koagulasi. Namun tidak jarang juga hasil laboratorium dapat menimbulkan

salah interpretasi, seperti misalnya pada penderita dengan defisiensi faktor

XII akan terlihat pemanjangan tes APTT tetapi penderita tidak mengalami

perdarahan, sebaliknya penderita dengan defisiensi vitamin C (Scurvy)

akan memberikan gejala diathesis hemoragik dengan tes skrining yang

relatif normal. Oleh karenanya diagnosis gangguan hemostasis yang akurat

sangat tergantung dari keterampilan para klinisi saat memeriksa pasien. 4-6

HEMOSTASIS NORMAL

Hemostasis adalah mekanisme untuk menghentikan dan mencegah

perdarahan. Dalam proses hemastosis terjadi 3 reaksi yaitu reaksi vaskuler

berupa vasokonstriksi pembuluh darah, reaksi seluler yaitu pembentukan

sumbat trombosit dan reaksi biokimiawi yaitu pembentukan fibrin. Faktor-

faktor yang memegang peranan dalam proses hemostasis adalah

pembuluh darah, trombosit dan faktor pembekuan darah. Selain itu faktor

lain yang juga mempengaruhi hemostasis adalah faktor ekstravaskuler,

yaitu jaringan ikat sekitar pembuluh darah dan keadaan otot. 5,6

Sistem Vaskuler

Sebagai langkah awal dalam proses hemostasis, peran sistem

vaskuler dalam mencegah perdarahan meliputi proses kontraksi pembuluh

darah (vasokonstriksi) serta aktivasi trombosit dan pembekuan darah. Saat

pembuluh darah mengalami luka, maka akan terjadi vasokonstriksi yang

mula-mula secara reflektoris dan kemudian akan dipertahankan oleh faktor

lokal seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT, serotonin), dan epinefrin.

Vasokonstriksi ini akan menyebabkan pengurangan aliran darah pada

daerah yang luka. Pada pembuluh darah kecil hal ini mungkin dapat

menghentikan perdarahan, sedangkan pada pembuluh darah besar masih

diperlukan sistem lain seperti trombosit dan pembekuan darah. Selanjutnya

saat endotel mengalami jejas lapisan di bawahnya seperti serat kolagen,

serat elastin dan membrana basalis terbuka sehingga terjadi aktivasi

Page 94: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

94 Denpasar, 05-07 November 2015

trombosit yang menyebabkan adesi trombosit dan pembentukan sumbat

trombosit. Di samping itu terjadi aktivasi faktor pembekuan darah baik jalur

intrinsik maupun jalur ekstrinsik yang menyebabkan pembentukan fibrin.5-7

Sistem Trombosit

Peran trombosit dalam hemostasis adalah pembentukan dan

stabilisasi sumbat trombosit atau yang dikenal dengan nama sumbat

hemostasis primer. Pembentukan sumbat trombosit terjadi melalui

beberapa tahap yaitu adhesi trombosit, agregasi trombosit dan sekresi.

Saat pembuluh darah luka, maka sel endotel akan rusak sehingga

jaringan ikat di bawah endotel akan terbuka. Hal ini akan menceruskan

adhesi trombosit yaitu suatu proses dimana trombosit melekat pada

permukaan asing terutama serat kolagen. Adhesi trombosit sangat

tergantung pada protein plasma yang disebut faktor von Willebrand's (vWF)

yang disintesis oleh sel endotel dan megakariosit. Faktor ini berfungsi

sebagai jembatan antara trombosit dan jaringan subendotel. Di samping

melekat pada permukaan asing, trombosit akan melekat pada trombosit

lain dan proses ini disebut sebagai agregasi trombosit. Agregasi trombosit

mula-mula dicetuskan oleh ADP yang dikeluarkan oleh trombosit yang

melekat pada serat subendotel. Agregasi yang terbentuk disebut agregasi

trombosit primer dan bersifat reversibel. Trombosit pada agregasi primer

akan mengeluarkan ADP sehingga terjadi agregasi trombosit sekunder

yang bersifat irreversibel. Disamping ADP, untuk agregasi trombosit

diperlukan ion kalsium dan fibrinogen. Agregasi trombosit terjadi karena

adanya pembentukan ikatan diantara fibrinogen yang melekat pada dinding

trombosit dengan perantara ion kalsium. Mula-mula ADP akan terikat pada

reseptornya di permukaan trombosit dan interaksi ini menyebabkan

reseptor untuk fibrinogen terbuka sehingga memungkinkan ikatan antara

fibrinogen dengan reseptor tersebut. Kemudian ion kalsium akan

menghubungkan fibrinogen tersebut sehingga terjadi agregasi trombosit.

Selain itu akan terjadi aktifasi enzim fosfolipase A2 sehingga fosfolipid yang

terdapat pada dinding trombosit akan dipecah dan melepaskan asam

arakhidonat. Asam arakhidonat akan diubah oleh enzim siklo-oksigenase

menjadi prostaglandin G2 (PGG2) yang kemudian akan diubah menjadi

prostaglandin H2 (PGH2) oleh enzim peroksidase. PGH2 akan diubah oleh

Page 95: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

95 Denpasar, 05-07 November 2015

enzim tromboksan sintetase menjadi tromboksan A2 (TxA2) yang akan

merangsang agregasi trombosit. TxA2 akan segera diubah menjadi bentuk

tidak aktif TxB2. Di dalam sel endotel akan terjadi proses yang sama, akan

tetapi PGH2 akan diubah oleh enzim prostasiklin sintetase menjadi

prostasiklin (PGI2) yang mempunyai efek berlawanan dengan TxA2.

Selama proses agregasi, terjadi perubahan bentuk trombosit dari

bentuk cakram menjadi bulat disertai dengan pembentukan pseudopodi.

Akibat perubahan bentuk ini maka granula trombosit akan terkumpul di

tengah dan akhirnya akan melepaskan isinya. Proses ini disebut sebagai

reaksi pelepasan (sekresi) dan memerlukan adanya energi. Zat agregator

lain seperti trombin, kolagen, epinefrin dan TxA2 dapat menyebabkan

reaksi pelepasan. Tergantung zat yang merangsang, akan dilepaskan

bermacam-macam substansi biologik yang terdapat di dalam granula padat

dan granula alfa. Trombin dan kolagen menyebabkan pelepasan isi granula

padat, alfa dan lisosom. Dari granula padat dilepaskan ADP, ATP, ion

kalsium, serotonin, epinefrin dan norepinefrin. Dari granula alfa dilepaskan

fibrinogen, vWF, F.V, platelet faktor 4 (PF4), beta tromboglobulin (PTG).

Sedangkan dari lisosom dilepaskan bermacam-macam enzim hidrolase

asam.

Masa agregasi trombosit akan melekat pada endotel, sehingga

terbentuk sumbat trombosit yang dapat menutup luka pada pembuluh

darah. Walaupun masih permeabel terhadap cairan, sumbat trombosit

mungkin dapat menghentikan perdarahan pada pembuluh darah kecil.

Tahap terakhir untuk menghentikan perdarahan adalah pembentukan

sumbat trombosit yang stabil melalui pembentukan fibrin. 1,5-7

Sistem Pembekuan Darah

Proses selanjutnya setelah terbentuk sumbat hemostasis primer

adalah proses pembekuan darah yang terdiri dari rangkaian reaksi

enzimatik yang melibatkan protein plasma yang disebut sebagai faktor

pembekuan darah, fosfolipid dan ion kalsium. Faktor pembekuan darah

dinyatakan dalam angka Romawi yang sesuai dengan urutan

ditemukannya.

Page 96: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

96 Denpasar, 05-07 November 2015

Teori yang banyak dianut untuk menerangkan proses pembekuan

darah adalah teori cascade atau waterfall yang dikemukakan oleh Mac

Farlane, Davie dan Ratnoff. Menurut teori ini tiap faktor pembekuan darah

diubah menjadi bentuk aktif oleh faktor sebelumnya dalam rangkaian reaksi

enzimatik. Faktor pembekuan beredar dalam darah sebagai prekursor yang

akan diubah menjadi enzim bila diaktifkan. Enzim ini akan mengubah

prekursor selanjutnya menjadi enzim. Jadi mula-mula faktor pembekuan

darah bertindak sebagai substrat dan kemudian sebagai enzim.

Proses pembekuan darah dimulai melalui dua jalur yaitu jalur

intrinsik yang dicetuskan oleh aktivasi kontak dan melibatkan F.XII, F.XI,

F.IX, F.VIII, HMWK, PK, platelet factor 3 (PF3) dan ion kalsium, serta jalur

ekstrinsik yang dicetuskan oleh tromboplastin jaringan dan, melibatkan

F.VII, ion kalsium. Kedua jalur ini kemudian akan bergabung menjadi jalur

bersama yang melibatkan F.X, F.V, PF.3 trombin dan fibrinogen.

Jalur intrinsik meliputi fase kontak dan pembentukan kompleks

aktivator F.X. Adanya kontak antara F.XII dengan permukaan asing seperti

serat kolagen akan menyebabkan aktivitas F.XII menjadi F.XIIa. Dengan

adanya kofaktor HMWK, F.XIIa akan mengubah prekalikrein menjadi

kalikrein yang akan meningkatkan aktivasi F.XII selanjutnya dengan

adanya kofaktor HMWK. Di samping itu kalikrein akan mengaktifkan F.VII

menjadi F.VIIa pada jalur ekstrinsik, mengaktifkan plasminogen menjadi

plasmin pada sistem fibrinolitik, serta mengubah kininogen menjadi kinin

yang berperan dalam reaksi inflamasi. Jadi aktivasi F.XII disamping

mencetuskan pembekuan darah baik jalur intrinsik maupun jalur ekstrinsik,

juga mencetuskan sistem fibrinolitik dan kinin (gambar 2). Reaksi

selanjutnya pada jalur intrinsik adalah aktivasi F.XI menjadi F.XIa oleh

F.XIIa dengan HMWK sebagai kofaktor. F.XIa dengan adanya ion kalsium

akan mengubah F.IX menjadi IXa. Reaksi terakhir pada jalur intrinsik

adalah interaksi nonenzimatik antara F.IXa, PF.3, F.VIII dan ion kalsium

membenruk kompleks yang mengaktifkan F.X. Walaupun F.IXa dapat

mengaktifkan F.X, tetapi dengan adanya PF.3, F.VIII dan ion kalsium maka

reaksi ini akan dipercepat. 1,2,5

Jalur ekstrinsik terdiri dari reaksi tunggal di mana F.VII akan

diaktifkan menjadi F.VIIa dengan adanya ion kalsium dan trombo-plastin

jaringan yang dikeluarkan oleh pembuluh darah yang luka. Akhir-akhir ini

Page 97: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

97 Denpasar, 05-07 November 2015

terbukti bahwa aktivasi F.VII menjadi F.VIIa dapat terjadi dengan adanya

kalikrein. Hal ini membuktikan adanya hubungan antara jalur intrinsik dan

ekstrinsik. Selanjutnya F.VIIa yang terbentuk akan mengaktifkan F.X

menjadi F.Xa.

Jalur bersama meliputi pembentukan prothrombin converting

complex (protrombinase), aktivasi protrombin dan pembentukan fibrin.

Reaksi pertama pada jalur bersama adalah perubahan F.X menjadi F.Xa

oleh adanya kompleks yang terbentuk pada jalur intrinsik dan atau F.VIIa

dari jalur ekstrinsik. F.Xa bersama F.V, PF.3 dan ion kalsium membentuk

prothrombin converting complex yang akan mengubah protrombin menjadi

trombin. Trombin merupakan enzim proteolitik yang mempunyai beberapa

fungsi yaitu mengubah fibrinogen menjadi fibrin, mengubah F.XIII menjadi

F.XIIIa, meningkatkan aktivitas F.V dan F.VIII, merangsang reaksi

pelepasan dan agregasi trombosit. Pada reaksi selanjutnya trombin akan

mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer. Seperti kita ketahui

fibrinogen terdiri dari 3 pasang rantai polipeptida yaitu 2 alfa, 2 beta dan 2

gama. Trombin akan memecah rantai alfa dan beta pada N-terminal

menjadi fibrinopeptida A, B dan fibrin monomer. Fibrin monomer akan

segera mengalami polimerisasi untuk membentuk fibrin polimer. Mula-mula

fibrin polimer yang terbentuk bersifat tidak stabil karena mudah larut oleh

adanya zat tertentu seperti urea, sehingga disebut fibrin polimer soluble.

Dengan adanya F.XIIIa dan ion kalsium, maka fibrin polimer soluble akan

diubah menjadi fibrin polimer insoluble karena terbentuk ikatan silang

antara 2 rantai gama dari fibrin monomer yang bersebelahan. Aktivasi

F.XIII menjadi F.XIIIa terjadi dengan adanya trombin. 1,2,5-7

Fibrinolisis

Fibrinolisis adalah proses penghancuran deposit fibrin oleh sistem

fibrinolitik sehingga aliran darah akan terbuka kembali. Sistem fibrinolitik

terdiri dari tiga komponen utama yaitu plasminogen yang akan diaktifkan

menjadi plasmin, aktivator plasminogen dan inhibitor plasmin. Aktivator

plasminogen adalah substansi yang dapat mengaktifkan plasminogen

menjadi plasmin. Menurut asalnya dibedakan menjadi aktivator intrinsik,

ekstrinsik dan eksogen. Aktivator intrinsik terdapat di dalam darah seperti

F.XIIa dan kalikrein. Aktivator ekstrinsik terdapat pada endotel pembuluh

Page 98: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

98 Denpasar, 05-07 November 2015

darah dan bermacam-macam jaringan, disebut tissue plasminogen

activator (t-PA). Sedangkan aktivator eksogen contohnya adalah urokinase

yang dibentuk ginjal dan diekskresi ke dalam urin, dan streptokinase yang

me-rupakan produk streptokokus beta hemolitikus. Aktivator plasminogen

merupakan enzim proteolitik, kecuali streptokinase yang akan mengikat

plasminogen membentuk kompleks streptokinase-plasminogen yang

mempunyai aktivitas sebagai aktivator plasminogen. t-PA mempunyai

afmitas tinggi terhadap fibrin dan ikatan ini akan meningkatkan aktivasi

plasminogen menjadi plasmin. Inhibitor plasmin adalah substansi yang

dapat menetralkan plasmin dan disebut sebagai antiplasmin. Bermacam-

macam antiplasmin terdapat di dalam plasma, seperti alfa-2 plasmin

inhibitor, alfa-2 makroglobulin, alfa-1 antitripsin dan AT. Yang kerja-nya

paling cepat adalah alfa-2 plasmin inhibitor.

Akhir-akhir ini dikenal juga inhibitor yang bekerja terhadap aktivator

plasminogen yang disebut plasminogen activator inhibitor (PAI), yang diberi

nomor urut oleh International Committee on Thrombosis and Haemostasis.

PAI-1 atau endothelial cell-type PAI adalah suatu glikoprotein yang

disintesis oleh sel endotel. Di samping itu PAI-1 juga disintesis oleh kultur

sel hati, sel melanoma, fibroblast paru-paru, sel fibrosarkoma, sel

granulosa dan sel otot polos. Di dalam trombosit inhibitor ini juga

ditemukan di dalam granula alfa dan akan dikeluarkan pada proses

pelepasan. PAI-1 bekerja menghambat urokinase dan t-PA. Kadar PAI-1

yang tinggi dijumpai pada beberapa keadaan seperti trombosis vena

profunda, penyakit jantung koroner dan pasca bedah, sehingga diduga

PAI-1 ikut berperan dalam peningkatan risiko trombosis pada keadaan-

keadaan ini. PAI-2 disintesis oleh plasenta dan bereaksi dengan t-PA

maupun urokinase. Inhibitor ini juga ditemukan pada granulosit, monosit

dan makrofag. PAI-3 ditemukan dalam urin dan identik dengan inhibitor

terhadap protein C aktif. Inhibitor lain adalah protease nexin I yang

ditemukan dalam fibroblast, sel otot jantung dan epitel ginjal.

Sistem fibrinolitik dicetuskan oleh adanya aktivator plasminogen

yang akan memecah plasminogen menjadi plasmin. Aktivasi plasminogen

terjadi melalui tiga jalur yang berbeda yaitu jalur intrinsik, jalur ekstrinsik

dan jalur eksogen. Jalur intrinsik melibatkan F.XII, prekalikrein dan HMWK.

Aktivasi F.XII menjadi F.XIIa yang akan mengubah prekalikrein menjadi

Page 99: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

99 Denpasar, 05-07 November 2015

kalikrein dengan adanya HMWK. Kalikrein yang terbentuk akan

mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin, juga mengubah F.XII menjadi

F.XIIa. Pada jalur ekstrinsik aktivator yang terdapat di dalam jaringan atau

endotel pembuluh darah akan di-lepaskan ke dalam darah bila terdapat

amin vasoaktif dan protein C. Seperti kita ketahui sebagian besar

plasminogen terikat pada fibrin dan sebagian lagi terdapat bebas di dalam

plasma. Apabila plasminogen tersebut diaktifkan, akan terbentuk plasmin

bebas dan plasmin yang terikat fibrin. Plasmin bebas akan segera

dinetralkan oleh antiplasmin. Apabila plasmin bebas terdapat dalam jumlah

berlebihan sehingga melebihi kapasitas antiplasmin, maka plasmin bebas

tersebut akan memecah fibrinogen, F.V dan F.VIII. Plasmin merupakan

enzim proteolitik yang akan memecah fibrin menjadi fragmen-fragmen yang

disebut fibrin degradation products (FDP). Mula-mula terbentuk fragmen X

yang pada proses selanjutnya akan dipecah menjadi fragmen Y dan D.

Fragmen Y akan dipecah oleh plasmin menjadi fragmen D dan E. Pada

umumnya FDP merupakan inhibitor pem-bekuan darah terutama fragmen

Y yaitu dengan cara menghambat kerja trombin dan menghambat

polimerisasi fibrin. Selain itu FDP juga mengganggu fungsi trombosit. Pada

proses selanjutnya FDP akan dibersihkan dari sirkulasi darah oleh hati dan 1,2,5-7

Mekanisme Koagulasi Menurut Teori yang Direvisi

Teori mengenai mekanisme koagulasi dan fibrinolisis selalu

mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan hasil penelitian.

Kenyataan menunjukkan bahwa defisiensi F XII, prekallikrein dan high

molecular weight kininogen tidak menimbulkan gejala perdarahan,

sebaliknya defisiensi F XI dapat menimbulkan perdarahan terutama pada

tempat dengan aktivitas fibrinolitik lokal yang tinggi seperti saluran kemih,

hidung dan rongga mulut. Perdarahan akibat defisiensi F XI relatif lebih

ringan dibandingkan defisiensi F VIII atau F IX, menunjukkan bahwa

peranan F XI hanya sebagai tambahan dalam pembentukan trombin.

Osterud dan Rapaport melaporkan bahwa kompleks F VII dengan faktor

jaringan (tissue factor=TF) dapat mengaktifkan F IX, sedang Gailani dan

Broze melaporkan bahwa trombin dapat mengaktifkan F XI. Berdasarkan

kenyataan dan laporan tersebut di atas, beberapa peneliti mengemukakan

Page 100: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

100 Denpasar, 05-07 November 2015

revisi teori mengenai mekanisme koagulasi dan fibrinolisis. Menurut teori

yang direvisi, aktivasi koagulasi dimulai melalui jalur ekstrinsik.

Sekitar 1% sampai 2% dari molekul F VII telah beredar dalam

keadaan aktif sebagai F Vila, namun ekspresinya tidak efisien dan tidak

dapat dihambat oleh antitrombin. Jika TF masuk ke dalam sirkulasi maka F

Vila akan terpapar dan akan terbentuk kompleks VIIa-TF. Kompleks ini

akan mengaktifkan F X menjadi F Xaj juga dapat mengaktifkan F IX

menjadi F IXa. Pada kadar TF yang tinggi, aktivasi F X terutama terjadi

melalui kompleks F VIIa-TF, sedangkan pada kadar TF yang rendah

aktivasi F X melalui F IXa-F Villa lebih menonjol. Aktivasi F X melalui jalur F

IXa-F Villa lebih efisien 50 kali lipat dibandingkan dengan yang melalui jalur

F VIIa-TF. Setelah sejumlah kecil F Xa terbentuk, jalur ekstrinsik segera

dihambat oleh tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Mula-mula TFPI

membentuk kompleks dengan F Xa yang selanjutnya mengikat kompleks F

VIIa-TF sehingga terbentuk kompleks kuartener. Sekali hal ini terjadi, maka

F Xa hanya akan terbentuk melalui kompleks F IXa-F Villa.

Melalui reaksi yang tidak efisien, F Xa akan menghasilkan trombin

dalam jumlah kecil. Trombin yang terbentuk ini akan mengaktifkan

sejumlah kecil F V dan F VIII menjadi F Va dan F Villa. Aktivasi kedua

kofaktor ini sangat penting untuk pembentukan intrinsic: tenase yaitu

kompleks F IXa-F Villa yang mengubah F X menjadi F Xa dan

protrombinase yaitu kompleks F Xa-F Va yang mengubah pro trombin

menjadi trombin. Adanya kofaktor ini akan meningkatkan aktivitas katalisa

sampai 105 - 106 kali.

Trombin juga dapat mengaktifkan trombosit, memecah

fibrinopeptida A dan fibrinopeptida B dari molekul fibrinogen. Di dalam

bekuan darah, pembentukan trombin berlangsung terus. Sebagian besar

trombin terbentuk setelah ada bekuan dan pembentukan trombin di dalam

bekuan terutama melalui jalur intrinsik yaitu melalui aktivasi F XI oleh

trombin. Aktivasi F XI terjadi pada permukaan bekuan oleh trombin yang

terikat fibrin. Meski-pun hanya sejumlah kecil F XIa terbentuk, hal ini akan

menimbulkan amplifikasi terhadap pembentukan kompleks tenase dan

prothrombinase sehingga terjadi peningkatan sekunder pembentukan

trombin. Kadar trombin yang tinggi ini diperlukan untuk menghambat

fibrinolisis yaitu melalui aktivasi TAFI (thrombin activatable fibrinolytic

Page 101: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

101 Denpasar, 05-07 November 2015

inhibitor) dan inaktivasi single chain urokinase plasminogen activator (scu-

PA).

Trombin juga mengaktifkan protein C menjadi activated protein C

(APC) dengan bantuan kofaktor trombomodulin. Substrat utama APC

adalah F Va. Dengan dipecahnya F Va pada Arg506 dan Arg 306 oleh APC

maka fungsi protrombinase berakhir. Selain F Va, F Villa juga rneru-pakan

substrat untuk APC, tetapi reaksi ini secara biologis kurang relevan karena

sifat inheren F VIII yang tidak stabil. Protein S berfungsi sebagai kofaktor

APC dalam inaktivasi F Va dan F Villa. APC juga berfungsi profibrinolitik,

karena dengan inaktivasi F Va dan F Villa maka berarti pembentukan

trombin dihambat sehingga aktivasi TAFI juga dihambat.

Dengan demikian trombin mempunyai 2 fungsi yaitu prokoagulan

dan antikoagulan yang disebut thrombin paradox. Mekanisme kerja trombin

tergantung kadarnya. Secara in vivo, aktivasi koagulasi yang terus me-

nerus padatingkat basal menghasilkan trombin kadar rendah akan

mengakibatkan hambatan koagulasi oleh APC. Aktivasi koagulasi oleh

paparan TF akan menghasilkan trombin kadar tinggi yang dapat mengatasi

efek antikoagulan oleh APC dan mengaktifkan TAFI sehingga bersifat

antifibrinolitik. 1,2,5-7

Page 102: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

102 Denpasar, 05-07 November 2015

Gambar 1. Skema pembekuan darah 1

KLASIFIKASI GANGGUAN HEMOSTASIS

Pembagian klasifikasi gangguan hemostasis seperti terlihat pada

tabel, dibagi menjadi gangguan yang diturunkan (inherited) dan gangguan

yang didapat (acquired).1,8 Pembagian lain juga dapat dikelompokkan

berdasarkan komponen hemostasis yang mengalami gangguan. Seperti

terlihat pada gambar 2.10

Page 103: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

103 Denpasar, 05-07 November 2015

Tabel 1. Klasifikasi gangguan hemostasis 9

Major

types

Disorders Examples

Acquired Thrombocytopenia Autoimmune and alloimmune, drug-induced,

hypersplenism, hypoplastic (primary,

suppressive, myelophthisic), DIC, thrombotic

thrombocytopenic purpura

Liver diseases Cirrhosis, acute hepatic failure, liver

transplantation, thrombopoietin deficiency

Renal failure

Vitamin K deficiency Malabsorption syndrome, hemorrhagic

disease of the newborn, prolonged antibiotic

therapy, malnutrition, prolonged biliary

obstruction

Hematologic

disorders

Acute leukemias (particularly promyelocytic),

myelodysplasias, monoclonal gammopathies,

essential thrombocythemia

Acquired antibodies

against coagulation

factors

Neutralizing antibodies against factors V, VIII,

and XIII, accelerated clearance of antibody-

factor complexes, e.g., acquired von

Willebrand disease, hypoprothrombinemia

associated with antiphospholipid antibodies

Disseminated

intravascular

coagulation

Acute (sepsis, malignancies, trauma, obstetric

complications) and chronic (malignancies,

giant hemangiomas, missed abortion).

Drugs Antiplatelet agents, anticoagulants,

antithrombins, and thrombolytic,

myelosuppressive, hepatotoxic, and

nephrotoxic agents

Vascular Nonpalpable purpura ("senile," solar, and

factitious purpura), use of corticosteroids,

vitamin C deficiency, child abuse,

Page 104: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

104 Denpasar, 05-07 November 2015

thromboembolic, purpura fulminans; palpable-

purpura (Henoch-Schönlein, vasculitis,

dysproteinemias), amyloidosis

Inherited Deficiencies of

coagulation factors

Hemophilia A (factor VIII deficiency),

hemophilia B (factor IX deficiency),

deficiencies of fibrinogen factors II, V, VII, X,

XI, and XIII and von Willebrand disease

Platelet disorders Glanzmann thrombasthenia, Bernard-Soulier

syndrome, platelet granule disorders.

Fibrinolytic disorders α2-Antiplasmin deficiency, plasminogen

activator inhibitor-1 deficiency

Vascular Hemorrhagic telangiectasias

Connective tissue

disorders

Ehlers-Danlos syndrome

EVALUASI KLINIS

Melakukan evaluasi klinis terhadap penderita perdarahan atau

dengan riwayat perdarahan dibutuhkan ketrampilan para klinisi serta

dilengkapi dengan pengetahuan yang luas, sistematik dan efektif dalam

menegakkan suatu diagnosis. Evaluasi klinis mencakup anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Dalam melakukan anamnesis hendaknya secara cermat

dan teliti menanyakan tentang keluhan perdarahan yang dialami saat ini

maupun riwayat perdarahan sebelumnya, riwayat keluarga dengan

perdarahan, pemakaiaan obat-obatan tertentu yang akan memperberat

kondisi perdarahan.

Gambaran klinis perdarahan dapat dipakai sebagai petunjuk yang

akan menuntun kita menegakkan diagnosis kelainan perdarahan. Pada

umumnya perdarahan akibat kelaianan trombosit akan muncul dalam

bentuk perdarahan kulit (petechie), sedangkan kelainan pembekuan darah

dapat muncul dalam bentuk klinis perdarahan dalam. Hal tersebut seperti

tercantum pada tabel berikut . 6,7,9,10

Page 105: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

105 Denpasar, 05-07 November 2015

Page 106: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

106 Denpasar, 05-07 November 2015

Tabel 2. Manifestasi Klinis Terkait dengan Gangguan Hemostasis Spesifik 9

Clinical Manifestations Hemostatic Disorders

Mucocutaneous bleeding Thrombocytopenias, platelet dysfunction, von

Willebrand disease

Cephalhematomas in newborns,

hemarthroses, hematuria, and

intramuscular, intracerebral and

retroperitoneal hemorrhages

Severe hemophilias A and B, severe

deficiencies of factor VII, X, or XIII, severe

type 3 von Willebrand disease,

afibrinogenemia

Injury-related bleeding and mild

spontaneous bleeding

Mild and moderate hemophilias A and B,

severe factor XI deficiency, moderate

deficiencies of fibrinogen and factors II, V, VII,

or X, combined factors V and VIII deficiency,

α2-antiplasmin deficiency

Bleeding from stump of umbilical

cord and habitual abortions

Afibrinogenemia, hypofibrinogenemia,

dysfibrinogenemia, or factor XIII deficiency

Impaired wound healing Factor XIII deficiency

Facial purpura in newborns Glanzmann thrombasthenia, severe

thrombocytopenia

Recurrent severe epistaxis and

chronic iron deficiency anemia

Hereditary hemorrhagic telangiectasias

EVALUASI LABORATORIUM

Perdarahan mungkin diakibatkan oleh kelainan pembuluh darah,

trombosit atau sistem pembekuan darah. Bila gejala perdarahan

merupakan kelaianan bawaan, hampir selalu penyebabnya adalah salah

satu dari 3 faktor tersebut di atas kecuali penyakit von Willebrand.

Sedangkan pada kelainan perdarahan yang didapat, penyebabnya

mungkin bersifat multipel. Oleh karena itu pemeriksaan penyaring

hemostasis harus meliputi pemeriksaan vaskuler, trombosit, koagulasi.

Biasanya pemeriksaan hemostasis dilakukan sebelum operasi.

Beberapa klinisi membutuhkan pemeriksaan hemostasis untuk semua

penderita pre operasi, tetapi ada juga membatasi hanya pada penderita

Page 107: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

107 Denpasar, 05-07 November 2015

dengan riwayat gangguan hemostasis. Yang paling penting adalah

anamnesis riwayat perdarahan. Walaupun hasil pemeriksaan penyaring

normal, pemeriksaan hemostasis yang lengkap perlu dikerjakan jika ada

riwayat perdarahan.

Pemeriksaan hemostasis dapat digolongkan atas pemeriksaan

penyaring dan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan penyaring terdiri dari:10 -

14

1. Percobaan pembendungan

2. Masa perdarahan

3. Hitung trombosit

4. Masa protrombin plasma (Prothrombin time, PT)

5. Masa tromboplastin parsial teraktivasi (Activated partial thromboplastin

time, APTT)

6. Masa thrombin (Thrombin time, TT)

1. Percobaan Pembendungan (Rumpel Leede)

Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan dinding kapiler darah

dengan cara mengenakan pembendungan kepada vena, sehingga tekanan

darah di dalam kapiler meningkat. Dinding kapiler yang kurang kuat akan

menyebabkan darah keluar dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya

sehingga Nampak titik merah kecil pada permukaan kulit, titik itu disebut

petekia.

Untuk melakukan percobaan ini mula-mula dilakukan

pembendungan pada lengan atas dengan memasang tensimeter pada

pertengahan antara tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Tekanan itu

dipertahankan selama 10 menit. Jika percobaan ini dilakukan sebagai

lanjutan masa perdarahn, cukup dipertahankan selama 5 menit. Setelah

waktunya tercapai bendungan dilepaskan dan ditunggu sampai tanda-

tanda stasis darah lenyap. Kemudian dipersiksa adanya petekia di kulit

lengan bawah bagian voler, pada daerah dengan garis tengah 5cm kira-

kira 4cm dari lipat siku.

Pada orang normal, tidak atau sedikit sekali didapatkan petekia.

Hasil positif bila terdapat lebih dari 10 petekia. Seandainya di daerah

tersebut tidak ada petekia tetapi jauh di distal ada, hasil percobaan ini

positif juga.

Page 108: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

108 Denpasar, 05-07 November 2015

Jika pada waktu dilakukan pemeriksaan masa perdarahan sudah

terjadi petekia, berarti percobaan pembendungan sudah positif hasilnya

dan tidak perlu dilakukan.

Walaupun percobaan pembendungan ini dimaksudkan untuk

mengukur ketahana kapiler, hasil tes ini ikut dipengaruhi juga oleh jumlah

dan fungsi trombosit. Trombositopenia sendiri dapat menyebabkan

percobaan ini berhasil posistif.

2. Masa Perdarahan

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai kemampuan vascular dan

trombosit untuk menghentikan perdarahan.

Prinsip pemeriksaan ini adalah menentukan lamanya perdarahan

pada luka yang mengenai kapiler. Terdapat 2 macam cara yaitu cara Ivy

dan Duke.

Pada cara Ivy, mula-mula dipasang tensimeter dengan tekanan 40

mmHg pada lengan atas. Setelah dilakukan tindakan antisepsis dengan

kapas alcohol, kulit lengan bawah bagian voler diregangkan lalu dilakukan

tusukan dengan lanset sedalam 3 mm. stopwatch dijalankan waktu darah

keluar. Setiap 30 detik darah dihisap dengan kertas saring. Setelah darah

tidak leuar lagi, stopwatch dihentikan. Nilai normal berkisar antara 1-6

menit.

Pada cara Duke, mula-mula dilakukan tindakan antisepsis pada

anak daun telinga. Dengan lanset, dilakukan tusukan pada tepi anak daun

telinga. Stopwatch dijalankan waktu darah keluar. Setiap 30 detik, darah

dihisap dengan kertas saring. Setelah darah tidak keluar lagi, stopwatch

dihenttikan. Nilai normal berkisar antara 1-3 menit. Cara Duke sebaiknya

hanya dipakai untuk bayi dan anak kecil dimana sukar atau tidak mungkin

dilakukan pembendungan.

Pemeriksaan masa perdarahan merupakn suatu tes yang kurang

memuaskan karena tidak dapat dilakukan standardisasi tusukan baik

mengenai dalamnya, panjangnya, lokalisasinya maupun arahnya sehingga

korelasi antara hasil tes ini dan keadaan klinik tidak begitu baik. Perbedaan

suhu kulit juga dapat mempengaruhi hasil tes ini.

Pada pemeriksaan ini tusukan harus cukup dalam, sehingga salah

satu bercak darah pada kertas saring mempunyai diameter 5 mm ata lebih.

Page 109: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

109 Denpasar, 05-07 November 2015

Masa perdarahan yang kurang dari 1 menit juga disebabkan tusukann yang

kurang dalam. Dalam hal seperti ini, percobaan dianggap batal dan perlu

diulang.

Hasil pemeriksaan menurut cara Ivy, lebih dapat dipercaya dari

pada cara Duke, karena pada cara Duke tidak diadakan pembendungan

sehingga mekanisme hemostasis kurang dapat dinilai. Apabila pada cara

Ivy perdarahan berlangsung lebih dari 10 menit dan hal ini diduga karena

tertusuknya vena, perlu dilakukan pemeriksaan ulang pada membuktikan

adanya suatu kelainan dalam mekanisme hemostasis. Tindakan

selanjutnya adalah mencari letak kelainan hemostasis dengan

mengerjakan pemeriksaan-pemeriksaan lain.

3. Hitung Trombosit

Hitung trombosit dapat dilakukan dengan cara langsung dan tak

langsung. Cara langsung dapat dilakukan dengan cara manual,

semiotomatik dan otomatik.

Pada cara manual, mula-mula darah diencerkan dengan larutan

pengencer lalu diisikan ke dalam kamar hitung dan jumlah trombosit

dihitung di bawah mikroskop. Untuk larutan pengencer dapat dipakai

larutan Rees Ecker atau larutan ammonium oksalat 1%. Cara manual

mempunyai ketelitian dan ketepatan yang kurang baik, karena trombosit

kecil sekali sehingga sukar dibedakan dari kotoran kecil. Lagi pula

trombosit mudah pecah dan cenderung saling melekat membentuk

gumpalan serta mudah melekat pada permukaan asing. Oleh karena itu

alat-alat yang dipaki harus betul-betul bersih dan larutan pengencer harus

disaring lebih dahulu. Sebagai bahan pemeriksaan dipakai darah dengan

antikoagulan sodium ethylendiamine tetraacetate yang masih dalam batas

waktu yang dijinkan artinya tidak lebih dari 3 jam setelah pengambilan

darah.

Pada cara semi otomatik dan otomatik dipakai alat electronic

particle counter sehingga ketelitiannya lebih baik dari pada cara manual.

Akan tetapi cara ini masih mempunyai kelemahan, karena trombosit yang

besar (giant thrombocyte) atau beberapa trombosit yang menggumpal tidak

ikut terhitung, sehingga jumlah trombosit yang dihitung menjadi lebih

rendah.

Page 110: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

110 Denpasar, 05-07 November 2015

Pada cara tak langsung, jumlah trombosit pada sediaan hapus

dibandingkan dengan jumlah eritrosit kemudian jumlah mutlaknya dapat

diperhitungkan dari jumlah mutlak eritrosit.

Karena sukarnya dihitung, penilaian semi kuantitatif tentang jumlah

trombosit dalam sediaan hapus darah sangat besar artinya sebagai

pemeriksaan penyaring. Pada sediaan hapus darah tepi, selain dapat

dilakukan penilaian semi kuantitatif, juga dapat diperiksa morfologi

trombosit serta kelainan hematologi lain. Bila sediaan hapus dibuat

langsung dari darah tanpa antikoagulan, maka trombosit cenderung

membentuk gumpalan. Jika tidak membentuk gumpalan berarti terdapat

gangguan fungsi trombosit.

Dalam keadaan normal jumlah trombosit sangat dipengaruhi oleh

cara menghitungnya dan berkisar antara 150.000-400.000 per ul darah.

Pada umunnya, jika morfologi dan fungsi trombosit normal,

perdarahan tidak terjadi jika jumlah trombosit lebih dari 100.000/ul. Jika

fungsi trombosit normal, pasien dengan jumlah trombosit di atas 50.000/ul

tidak mengalami perdarahan kecuali terjadi trauma atau operasi. Jumlah

trombosit kurang dari 50.000/ul digolongkan trombositopenia berat dan

perdarahan spontan akan terjadi jika jumlah trombosit kurang dari

20.000/ul.

4. Masa Protrombin Plasma (prothrombin time PT)

Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah

melalui jalur ekstrinsik dan jalur bersama. Dibandingkan dengan aPTT, PT

lebih sensitif untuk mengetahui defisiensi faktor yang memerlukan vitamin

K. Hasil pemeriksaan akan sangat bervariatif dan tergantung tromboplastin

yang digunakan dengan harga normal berkisar 10 -12 detik. Apabila hal ini

dipergunakan untuk memonitor penderita pengguna warfarin, maka

sensitivitas tromboplastin tersebut harus distandarisasi yang kita kenal

dengan nama International Normalized Ratio (INR).

5. Waktu parsial tromboplastin teraktivasi (activated partial

tromboplastin time/aPTT)

Tes ini mengukur jalur intrinsik dan jalur bersama (F XII, XI, IX, X,

V) dan memerlukan contact surface material seperti kaolin. Harga normal

Page 111: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

111 Denpasar, 05-07 November 2015

tergantung pada reagennya yang digunakan, antara 25 – 38 detik. Hasil tes

ini akan memanjang bila terdapat defisiensi faktor intrinsik dan jalur

bersama. Tes ini lebih sensitif untuk keberadaan antikoagulan dalam darah

seperti heparin, antikoagulan antifosfolipid.

6. Waktu thrombin (thrombin time/TT)

Tes ini menilai langkah terakhir dari hemostasis, yaitu konversi

fibrinogen menjadi fibrin. Harga normal antara 9 – 35 detik tergantung pada

pengenceran oleh thrombin. Pemanjangan dari TT relihat pada penderita

dengan kadar fibrinogen yang rendah atau disfibrinogenemia serta kadar

yang tinggi dari FDP. Sensitif untuk kelainan hati dan DIC.

LANGKAH-LANGKAH DIAGNOSIS PENDERITA DENGAN

PERDARAHAN 7

Evaluasi klinik penderita dengan perdarahan dapat dilakukan

dengan pendekatan yang disebut 5 step algorithm. Pendekatan ini juga

dapat merupakan dasar untuk rencana tatalaksana, termasuk keputusan

untuk memberikan terapi komponen darah.

Langkah pertama : apakah ada masalah dengan trombosit pasien ?

Masalah tentang trombosit dapat diketahui secara kasar dalam

hubungannya dengan penyakit tertentu. Penderita dengan kerusakan

sumsum tulang akibat anemia aplastic, keganasan hematologic, atau pada

paparan dengan obat terutama kemoterapi akan ditemukan dengan

trombositopenia akibat berkurangnya produksi. Trombositopenia dapat juga

dijumpai pada destruksi trombosit di perifir akibat proses imunologik seperti

pada penyakit autoimun dan penyakit limfoproliferatif. Abnormalitas dari

fungsi trombosit dapat bersifat herediter atau akibat paparan obat-obatan.

Salah satu tanda penting dari gangguan trombosit adalah berupa petekhie.

Tergantung pada beratnya trombositopenia, petekhie dapat terlokalisir

hanya pada tangan atau kaki atau bahkan dapat meluas kesemua tubuh

dan organ. Gejala lainnya dapat berupa easy bruising, perdarahan mukosa,

epistaksis, menometroragia dan adanya oozing dari pembuluh darah kecil

selama operasi.

Page 112: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

112 Denpasar, 05-07 November 2015

Skrining tes untuk kecurigaan adanya gangguan trombosit adalah

pemeriksaan jumlah trombosit dan BT apabila jumlah trombosit dalam

batas normal. Tendensi adanya perdarahan pada penderita

trombositopenia tidak hanya ditentukan oleh jumlah trombositnya.

Meskipun pada orang normal hanya menunjukkan perdarahan minimal

pada kadar trombosit 10.000/uL akan tetapi penderita dengan keganasan,

komplikasi kehamilan, sepsis yang sedang berlangsung, dapat dijumpai

perdarahan walaupun jumlah trombositnya masih sekitar 20.000/uL. Hal ini

menunjukkan adanya kombinasi antara peranan fungsi disamping jumlah

trombosit serta adanya kebutuhan yang meningkat akan trombosit akibat

kerusakan dari sel endotel. Hal ini dapat dilihat pada kasus dengan trauma

dan pembedahan, dimana perdarahan abnormal dapat terjadi pada kadar

trombosit sekitar 50.000 u/L.

Secara klinik disfungsi trombosit dapat diketahui dengan BT. Tes ini

kurang sensitive sehingga jarang digunakan sbagai tes skrining rutin. Pada

penderita dengan sepsis, uremia atau mendapat obat yang menghambat

fusngi trombosit dengan tes ini akan memberikan hasil yang abnormal.

Pemeriksaan BT pada kasus-kasus seperti ini akan mengacaukan

penilaian. Oleh karena itu pemeriksaan BT sebaiknya hanya digunakan

pada pasien dengan dugaan adanya defek herediter dari fungsi trombosit

seperti pada penyakit von Willebrand. 7, 14,15

Langkah kedua: apakah pasien mempunyai gangguan koagulasi yang

herediter defisiensi faktor tunggal ?

Koagulopati herediter dapat diketahui dari presentasi kliniknya.

Pada pasien dengan defisiensi faktor VIII dan factor IX ( hemophilia A dan

B ) yang berat, akan muncul dengan riwayat perdarahan yang berulang

yang dialami sejak baru lahir dan selama masa anak dan remaja. Apabila

defisiensi tidak terlalu berat, pasien baru akan mengalami perdarahan

apabila mendapat trauma atau operasi. Tidak seperti pasien dengan

gangguan trombosit, penderita dengan gangguan protein koagulasi

biasanya muncul dengan hemartrosis, hematom, perdarahan dari

pembuluh darah besar.

Page 113: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

113 Denpasar, 05-07 November 2015

Pemeriksaan PT dan aPTT merupakan tes skrining yang cukup

bernilai untuk mendeteksi adanya kelainan itu. Sebaiknya penilaian ini

dilakukan secara berpasangan selalu antara PPt dan aPTT. Apabila PT

memanjang secara bermakna dan aPTT normal, pasien yang

bersangkutan mungkin menderita defisiensi factor VII. Namun apabila

aPTT sangat memanjang dan PT normal maka terjadi gangguan pada jalur

instrinsik, utamanya factor VIII dan IX. Penilaian ini hanya akan berlaku

benar apabila didukung oleh klinik pasien yang sesuai, pasien tidak sedang

mendapat obat antikoagulan, pasien tidak dengan penyakit liver atau yang

mengalami konsumtif koagulopati (DIC). Pemeriksaan PT sangat sensitive

untuk penilaian jalur bersama (common pathway). Oleh karena itu pada PT

yang memanjang dan aPTT normal dapat juga dijumpai pada pasien yang

mendapat terapi warfarin atau dengan penyakit liver. Sebaliknya aPTT

lebih sensitif untuk mendeteksi adanya heparin dan antikoagulan patologik

yang beredar dalam darah. SEmua kemungkinanini harus mendapatkan

pertimbangan sebelum menyimpulkan adanya kelainan yang bersifat

tunggal . 7,16

Langkah ketiga: apakah pasien mempunyai kelainan faktor multiple?

Baik warfarin maupun penyakit liver akan menyebabkan gangguan

factor yang multiple yang melibatkan jalur ekstrinsik dan jalur bersama.

Pada penyakit liver juga dapat ditemukan gangguan produksi fibrinogen

baik jumlahnya ataupun fungsinya . sehingga perlu untuk selalu

mengevaluasi fungsi liver pada penderita dengan perdarahan. Jenis dari

perdarahannya juga ikut memberi petunjuk penting, dimana perdarahan

yang sering dijumpai adalah kombinasi antara easy bruising, purpura yang

luas, perdarahan mukosa atau saluran makan. Pada penderita dengan

penyakit liver yang berat tidak jarang muncul dengan perdarahan saluran

makan atas yang sangat dramatic. Pemeriksaan laboratorium yang dapat

dilakukan disini adalah PT, aPTT, TT, fibrinogen assay. Seperti telah

diutarakan, PT sangat sensitive untuk penurunan kadar dari factor-faktor

yang tergantung pada vitamin K, yaitu VII, IX, X, V, protrombin. Disini akan

dijumpai pemanjangan dari PT dengan aPTT yang relative normal. Akan

tetapi pada kasus dengan fungsi liver yang sangat jelek maka akan terjadi

Page 114: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

114 Denpasar, 05-07 November 2015

pemanjangan sari PT, aPTT, TT. Hal ini oleh karena adanya

disfibrinogenemia dan FDP yang dapat menghambat fungsi thrombin. 7,16,17

Langkah keempat: Apakah ada anti koagulan yang beredar dalam

darah?

Pemberian antikoagulan akan dapat menimbulkan perdarahan.

Pemberian heparin ataupun antikoagulan jenis lain sebagai terapi

thrombosis baik vena maupun arteri sering kita jumpai terutama penderita

yang dirawat di ruang intensif. Jika kontrolnya kurang, maka akan dapat

mengakibatkan pemanjangan aPTT dan TT. Selain itu keberadaan anti

koagulan patologik seperti antibody antifosfolipd juga harus diwaspadai.

Hal ini akan mengakibatkan pemanjangan aPTT jauh melebihi PT.

Munculnya inhibitor terhadap faktor VIII dan IX juga dapat menyebabkan

perdarahan abnormal. Adanya antibody antifosfolipid maupun inhibitor

dapat diketahui dengan cara melakukan pemeriksaan aPTT ulangan dan

mencampurkan dengan plasma normal, perbandingan 1:1. Apabila hasil

tes aPTT terkoreksi dengan baik parsial ataupun total, berarti kemungkinan

keberadaan antikoagulan dapat disingkirkan. 7,16,17

Langkah kelima: apakah pasien dengan koagulopati konsumtif?

Biasanya muncul pada pasien dengan kondisi DIC. Pada pasien

dengan koagulopati konsumtif biasanya muncul perdarahan sistemik.

Pemeriksaan laboratorium yang bisa dilakukan adalah hitung platelet, PT,

aPTT, TT, fibrinogen assay, tes untuk FDP, hapusan darah tepi untuk

melihat fragmentasi eritrosit, d-dimer, AT III dan α2-antiplasmin yang

memberikan informasi tentang pembentukan klot dan fibrinolisis . 7,16,17

RINGKASAN

Pendekatan diagnosis dan penatalaksanaan penderita dengan

perdarahan masih merupakan tantangan bagi para klinisi. Banyaknya

kasus perdarahan dengan penyebab, manifestasi klinis dan hasil

laboratorium yang bervariasi menuntut para klinisi untuk mengambil

keputusan yang sistematis dan efektif dalam bekerja. Evaluasi klinis seperti

pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan teliti serta

menganalisa data laboratorium yang ada sangat dibutuhkan. Gangguan

hemostasis dapat dikelompokkan menjadi gangguan yang didapat dan

Page 115: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

115 Denpasar, 05-07 November 2015

diturunkan. Berdasarkan komponen yang terganggu dapat dikelompokkan

menjadi 3 yaitu gangguan pada vaskuler, platelet dan faktor koagulasi.

Algoritme ―5 langkah‖ dapat membantu klinisi untuk menentukan penyebab

perdarahan. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan baik untuk

penapisan maupun pemeriksaan spesifik.

Tabel 3. Evaluasi penderita dengan perdarahan 7

Langkah Gangguan Hemostasis Pemeriksaan Penunjang

Langkah 1 Gangguan Platelet ?

Trombositopeni atau

Defek fungsi trombosit

Hitung platelet

Waktu perdarahan

Langkah 2 Defisiensi Faktor

Koagulasi tunggal?

Faktor VII, VIII, IX, X, V,

XI, fibrinogen

PT, PTT

Langkah 3 Defisiensi Faktor

Koagulasi multiple?

Defisiensi vitamin K,

penyakit hati, terapi

warfarin

PT,PTT,TT

Fibrinogen assay

Langkah 4 Antikoagulan di

sirkulasi?

Heparin, antibody faktor

VIII atau IX, lupus

antikoagulan

PTT dengan 1:1 mix

TT

Langkah 5 Koagulopati konsumtif?

TTP, HUS, vasculitis,

sepsis, komplikasi

obstetri, trauma, penyakit

hati

Penapisan DIC:

Hitung platelet

PT,PTT,TT

Fibrinogen, AT III,

α2-antiplasmin, d dimer,

hapusan darah tepi

Page 116: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

116 Denpasar, 05-07 November 2015

DAFTAR RUJUKAN

1. Rodgers GM, Lehman CM. The Diagnostic approach to the bleeding

disorders. In: Pine JW, Paraskevas F, Greer JP, Rodgers GM, Arber

DA, Glader BG, et al,. editors. Disorders of Hemostasis. 13th ed.

Baltimore: Lippincott Williams&Wilkins, 2014, p 1043-57.

2. Disorders of Coagulation, Platelets, and vessel wall. In: Marder VJ,

William CA, Bennet JS, Schulman S, White GC, editors. Hemostasis

and Thrombosis. Basic Principles & Clinical Practice. 6th ed.

Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 2013, p641-7.

3. Quiroga T, Mezzano D. Is my patient a bleeder? A diagnostic

framework for mild bleeding disorders. American Society of

Hematology. Hematology 2012, p 466-74.

4. Isbister JP, Pittigglio DH. Gagal Hemostatik. Dalam: Kartini A, Hartawan

B, Mander LI, editor. Hematologi Klinik. Pendekatan Berorientasi

Masalah. Cetakan I. Jakarta: Hipokrates; 1999, p140-65.

5. Tambunan KL, Marcel, Syafrizal, Zubairi, Muthalib, Harryanto.

Pendekatan Diagnosis Klinis Kelainan Hemostasis. Dalam: Setiabudy

RD, editor. Hemostasis dan Trombosis. Edisi keempat. Jakarta: FKUI;

2009, p 16-33.

6. Saito H. Normal hemostatic mechanism. In: Ratnoff OD, Forbes CD,

editors. Disorders of Hemostasis. 3rd ed. Philadelpia:W.B Saunders

Company, 1996, p 23-52.

7. Hillman RS, Ault KA. Clinical Approach to Bleeding Disorders. In:

Hematology Clinical Practice. 3rd ed. New York: McGraw-Hill 2002, p

308-16.

8. Triplett DA. Coagulation and Bleeding Disorders: Review and Update.

Clinical Chemistry 2000: 46:8(B), p 1260-1269.

9. Williams WJ. Classification and Clinical Manifestations of disorders of

hemostasis. In: Williams WJ, Beutler E, Erslev AJ, Lichtman MA,

editors. Haematology. 7th ed. New York: McGraw-Hill, 2007,p.1338-70.

10. Jawarkar AV. Laboratory Approach to Bleeding Disorders. Available at

www.pathologybasics.wix.com. Access on October 2015.

11. Goodninght SH, Hathaway WE. Evaluation of Bleeding Tendency in the

outpatient Chid and Adukt. In Seils A, McCullough K, Edmonson KG,

Page 117: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

117 Denpasar, 05-07 November 2015

editors. Disorders of Hemostasis and Thrombosis. A Clinical Guide. 2nd

ed. Lancaster: McGraw-Hill, 2001, p 58-69.

12. Karnath BM. Easy Bruising and Bleeding in the Adult Patient: A Sign of

Underlying Disease. Hospital Physician. Jan 2005;p 35-9.

13. Hayward CPM. Diagnosis and Management of Mild Bleeding Disorders.

Hematology 2005;p423-8.

14. Ballas M, Kraut EH. Bleeding and Bruising: A Diagnostic Work-up. Am

Fam Physician 2008:77(8);p 1117-24.

15. Bowie EJW, Owen CA. Clinical and laboratory diagnosis of hemorraghic

disorders. In: Ratnoff OD, Forbes CD, editors. Disorders of Hemostasis.

3rd ed. Philadelpia:W.B Saunders Company, 1996, p 53-78.

16. Mehta AB, Hoffbrand AV. Normal Haemostasis. In: Haematology at a

Glance. 2nd ed. Oxford: Blackwell Science Ltd 2005, p68-77.

17. Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Platelets, Blood Coagulation and

Haemostasis. In: Essential Haematology. 5th ed. Oxford: Blackwell

Science Ltd, 2006, p 264-277

Page 118: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

118 Denpasar, 05-07 November 2015

. UPDATE REKOMENDASI IMUNISASI PADA DEWASA

Tuti Parwati Merati

Divisi Ilmu Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Vaksinasi bukanlah hanya untuk bayi dan anak-anak. Dengan

bertambahnya usia menjadi dewasa dan usia lanjut, tidak berarti kebutuhan

untuk imunisasi berhenti. Tanpa memandang usia, kita semua perlu daya

tahan tubuh yang kuat untuk menjaga tubuh dari berbagai penyakit yang

serius dan bahkan fatal. Pada orang dewasa, imunisasi dapat membantu

untuk mencegah seseorang terkena penyakit dan menularkan penyakit

yang berakibat kondisi kesehatan yang buruk, sakit-sakitan, biaya

pengobatan membengkak dan tidak dapat menjaga keluarga. Mungkin

saja vaksinasi yang diperoleh saat kanak-kanak masih tetap bertahan

sepanjang waktu, tapi masih ada risiko ancaman penyakit infeksi baru baik

new/emerging and reemerging infectious diseases. Disamping itu dengan

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran saat ini pembuatan

vaksin terus berkembang untuk beberapa penyakit infeksi yang

sebelumnya belum ada vaksinnya atau ada pembaharuan dari vaksin yang

sudah ada.

Perlu diketahui bahwa setiap tahun, the Advisory Committee on

Immunization Practices (ACIP) memperbaharui jadwal imunisasi dewasa

yang direkomendasikan untuk memastikan bahwa jadwal imunisasi

sekarang adalah jadwal yang sesuai untuk kondisi terbaru saat ini dan

dengan vaksin yang telah berlisensi. Karena itu kita perlu mengenal update

dari rekomendasi imunisasi pada dewasa.

Update rekomendasi vaksinasi pada dewasa

Semua orang dewasa perlu mendapat vaksin influenza setiap

tahun dengan vaksin terbaru yang ada. Dalam rekomendasi baru,

pemberian vaksin influenza direvisi untuk memberikan informasi lebih detail

dalam pemilihan vaksin dan cara pemberiannya. Live attenuated influenza

vaksin (LAIV) di setujui untuk diberikan hanya untuk orang sehat yang tidak

Page 119: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

119 Denpasar, 05-07 November 2015

hamil, usia 2 – 49 tahun. Untuk usia 18 – 64 tahun dapat diberikan produk

vaksin influenza inaktif (IIV) intra muskuler atau intradermal, termasuk

vaksin rekombinan (RIV3). Untuk usia 65 tahun atau lebih, dapat diberikan

dosis standar IIV, dosis tinggi IIV atau RIV3.

Setiap orang dewasa seharusnya mendapat vaksinasi tetanus,

diphteri dan pertussis (Tdap) bila sebelumnya dia tidak pernah

mendapatkannya, terutama untuk mencegah pertussis. Selanjutnya setiap

10 tahun perlu mendapat booster vaksin tetanus dan diphteri. Disamping

itu untuk wanita hamil, vaksinasi Tdap diberikan setiap dia hamil, sebaiknya

pada kehamilan 27 – 36 minggu.

Vaksinasi varicella diberikan dua dosis selama periode dewasa

usia 19 – lebih dari 65 tahun. Vaksin lain yang diperlukan pada orang

dewasa, akan ditentukan dari beberapa faktor antara lain usia, gaya hidup,

kondisi kesehatan, pekerjaan, perjalanan internasional dan riwayat

vaksinasi sebelumnya dan indikasi lainnya. Vaksin tersebut adalah vaksin

hepatitis A, hepatitis B, hemofilus influenza tipe B (Hib), meningococal,

vaksin pneumococal, vaksin human papiloma virus (HPV) dan vaksin

herpes zoster (VZV). Disamping itu rekomendasi juga memberi catatan

informasi tambahan mengenai vaksin khusus termasuk untuk wisatawan.

Untuk vaksin tetanus, difteri, dan pertusis aselular (Tdap) dan

vaksin tetanus, difteri (Td) ada catatan dalam rekomendasi yang baru.

Vaksin Tdap dianjurkan khusus untuk orang yang berhubungan dekat

dengan bayi usia kurang dari 12 bulan (misalnya, orang tua, kakek nenek,

dan petugas perawatan anak) dan mereka yang belum menerima Tdap

sebelumnya. Namun, pada tahun 2011, ACIP merekomendasikan wanita

hamil secara khusus diberikan vaksinasi Tdap dalam kehamilan usia lebih

20 minggu kehamilan. Orang dewasa lainnya yang berhubungan dekat

dengan bayi usia kurang dari 12 bulan tetap dianjurkan untuk menerima

dosis satu kali vaksin Tdap.

Rekomendasi terbaru untuk human papillomavirus (HPV) dan

hepatitis B berdasarkan rekomendasi yang dibuat pada pertemuan ACIP

bulan Oktober 2011. Rekomendasi vaksin HPV telah diperbarui untuk

memberikan vaksinasi rutin dari laki-laki usia 11-12 tahun, dan untuk laki-

laki usia 13-21 tahun. Vaksin HPV juga dianjurkan untuk pria yang

sebelumnya tidak divaksinasi. usia 22-26 tahun yang

Page 120: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

120 Denpasar, 05-07 November 2015

immunocompromised, atau yang dites positif human immunodeficiency

virus (HIV), atau yang berhubungan seks dengan pria (LSL). Sebelumnya,

rekomendasi hanya untuk perempuan usia 19 – 26 . Vaksin herpes zoster

yang telah disetujui oleh Food and Drugs Administration (FDA) dipakai

sejak 2006 dan direkomendasikan untuk diberikan pada usia 60 tahun

atau lebih.

Rekomendasi vaksin hepatitis B untuk dewasa usia kurang dari 60

tahun yang menderita diabetes, diberikan segera setelah didiagnosis

diabetes. Untuk orang dewasa dengan diabetes yang berusia 60 tahun

atau lebih vaksinasi hepatitis B dianjurkan berdasarkan kebutuhan

kemungkinan pasien dalam pemantauan glukosa darah, kemungkinan

tertular hepatitis B, dan kemungkinan respon kekebalan terhadap

vaksinasi.

Catatan untuk vaksin campak, gondok, rubella (MMR)

disederhanakan untuk fokus hanya pada penggunaan rutin vaksin pada

orang dewasa, informasi tentang penggunaan vaksin untuk pengendalian

wabah telah dihapus. Informasi tambahan diberikan tentang penggunaan

vaksin konjugasi quadrivalent meningokokus (MCV4) dan vaksin

polisakarida meningokokus (MPSV4) untuk usia tertentu dan kelompok

risiko, tentang vaksin varicella, dan vaksin pneumokokus polisakarida

(PPSV).

Referensi

1. CDC: 24/7 Saving lives, Protecting people. www.cdc.gov/vaccines

2. Recommended Adult Immunization Schedule — United States, 2015

http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm6104a9.htm

3. Adults schedule vaccination di

http://www.cdc.gov/vaccines/recs/schedules/adult-schedule.htm

4. Pernyataan ACIP untuk vaksin tertentu di

http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/acip-list.htm

Page 121: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

121 Denpasar, 05-07 November 2015

Gambar 1. Recommended Adult Immunization Schedule — United States,

2015 Sumber: http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm6104a9.htm

Page 122: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

122 Denpasar, 05-07 November 2015

Gambar 2. Recommended Adult Immunization Schedule — United States,

2015 Sumber: http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm6104a9.htm

Page 123: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

123 Denpasar, 05-07 November 2015

Prinsip Terapi Obat Kombinasi Pada Hipertensi

I Gde Raka Widiana

Divisi Ginjal dan Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana – RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Enam studi klinik terkendali besar menunjukkan bahwa diperlukan

dua atau lebih obat anti hipertensi untuk mencapai taget tekanan darah

tang diinginkan. JNC-8 menganjurkan bahwa obat kombinasi yang

diresepkan terpisah atau kombinasi tetap dapat diberikan bila TD awal

diatas 20/10 mmHg tekanan darah target. Hindari kombinasi ACE-inhibitor

dengan ARB. Terapi kombinasi dengan obat (pil) tunggal dapat

meningkatkan ketaatan pasien terhadap terapi jangka panjang dan seumur

hidup. Keberhasilan kendali tekanan darah sangat tergantung ketaatan

pasien terhadap pengobatan. Faktor yang meningkatkan ketaatan terapi

adalah efek samping. Terapi kombinasi ini selain dapat menurunkan

tekanan darah secara lebih efektif, jangka panjang melindungi organ target

dengan lebih baik.

Strategi Terapi Hipertensi

Pada enam studi uji klinik acak terkendali dilaporkan dua atau lebih

obat diperlukan untuk mencapai TD target yang perlu dicapai. Pada studi

Hypertension Optimal Treatment (HOT) study, misalnya sebanyak 68%

subyek penelitian memerlukan lebih dari satu obat, 41% subyek

mendapatkan felodipine plus satu ACE inhibitor, dan 28% mendapatkan

felodipine plus satu beta-blocker. Pada studi UKPDS, 29% subyek

memerlukan 3 obat atau lebih untuk mencapai TD <150/85 mmHg 9 tahun

setelah randomisasi1.

JNC-7 menganjurkan modifikasi gaya hidup sebagai intervensi awal

sebelum memberikan terapi obat antihipertensi berdasarkan derajad

hipertensi dan adanya compelling indication. Sebagian besar pasien

hipertensi memerlukan dua obat atau lebih untuk mencapai target TD.

Tambahan obat ke dua harus dipertimbangkan pemberiannya bila terapi

tunggal dengan dosis adekuat gagal mencapat target TD. Bila TD lebih dari

Page 124: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

124 Denpasar, 05-07 November 2015

20/10 mmHg di atas target, perlu dipertimbangkan terapi awal dengan dua

obat secara langsung dengan resep terpidah atau kombinasi dosis tetap

dalam satu obat. Diuretika tipe tiazid harus diberikan sebagai obat

antihipertensi untuk sebagian besar pasien sebagai terapi tunggal atau

kombinasi. Pada kondisi risiko tinggi tertentu yang merupakan indikasi

mendesak, maka obat antihipertensi klas lain (ACE-I, Penyekat beta,

CCB, ARB) dapat diberikan 2.

JNC-8 (rekomendasi 6) merekomendasikan, pada populasi berkulit

hitam umumnya, termasuk pasien DM, terapi antihipertensi awal harus

menyertakan diuretika tiazid, calcium channel blocker (CCB), angiotensin-

converting enzyme inhibitor (ACEI), or angiotensin receptor blocker (ARB).

(Moderate Recommendation – Grade B). Pada rekomendasi 7, JNC-8

merekomendasikan, pada populasi berkulit hitam umumnya, termasuk

pasien DM, terapi antihipertensi awal harus menyertakan diuretika tiazid

atau calcium channel blocker (CCB), angiotensin-converting enzyme

inhibitor (ACEI), or angiotensin receptor blocker (ARB). (Rekomendasi

sedang – Grade B). (Untuk populasi berkulit hitam: Moderate

Recommendation – GradeB; untuk pasien berkulit hitam dengan DM:

rekomendasi lemah– Grade C). Pada rekomendasi 9, dinyatakan bahwa

tujuan utama terapi hipertensi adalah untuk mencapai dan

mempertahankan target TD. Bila target TD ini tidak dapat dicapai dalam

satu bulan terapi, peningkatan dosis dari terapi obat awal dan ditambahan

obat ke dua dari salah satu klas yang direkomendasikan pada rekomendasi

6, yakni thiazide-type diuretic, CCB,ACEI, or ARB. Klinisi harus selalu

menilai TD dan menyesuaikan rejim terapi sampai target TD dicapai. Bila

target TD tak dapat dicapai dengan dua obat, tambahkan dan sesuaikan

dosis obat ke tiga dari daftar obat yang sesuai. ACEI dan ARB jangan

dipakai bersama-sama pada satu pasien. Apabila target TD tak dapat

dicapai karena terdapat kontraindikasi terhadap pemakaian obat-obat ini

atau diperlukan lebih dari 3 obat untuk mencapai taget TD, maka obat

antihipertensi dari klas lain dapat digunakan. Rujuk ke dokter spesialis

hipertensi, bila taget TD tak dapat dicapai dengan menggunakan strategi

tersebut di atas atau untu manajemen pasien yang sulit dimana konsultasi

klinis tambahan (Expert Opinion – Grade E)3. Strategi pemilihan obat anti

hipertensi dapat dilakukan dengan tiga pendekatan: 1) dimulai dengan satu

Page 125: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

125 Denpasar, 05-07 November 2015

obat sampai dosis maksimun, bila gagal mencapai target tekanan darah

yang diinginkan, baru ditambahkan obat ke dua; 2) dimulai dengan satu

obat walaupun belum mancapai dosis maksimun, dan belum mencapai

target tekanan darah baru ditambah kan obat ke dua, dan 3) langsung

dimulai dengan dua obat kombinasi yang diberikan secara terpisah atau

dalam satu obat kombinasi 4.

ESH/ESC 2013, menganjurkan kombinasi dua obat antihipertensi

dengan dosis tetapi dalam satu tabel karena mengurangi jumlah tablet

yang diminum sehingga meningkatkan ketaatan, yang ternyata rendah

pada pasien hipertensi.

Gambar 1. Kombinasi antihipertensi yang dianjurkan oleh ESH/ESC 2013.

Garisputus-putus menunjukkan kombinasi yang kurang dianjurkan, garis

hijau menunjukkan kombinasi yang dianjurkan, dan garis merah adalah

kombinasi yang tidak dianjurkan5.

ASH/ISH Hypertension Guidelines 2013, menganjurkan bila pasien

hipertensi yang belum diobati memiliki TD sedikitnya 20/10 mmHg di atas

TD taget perlu dipertimbangkan segera memulai terapi dengan dua obat 6.

Page 126: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

126 Denpasar, 05-07 November 2015

Pemilihan jenis obat antihipertensi dilakukan dengan

mempertimbangkan compelling indication (WHO/ESH, 2003) seperti

melihat pada tabel 1.

Tabel 1. Pemilihan jenis obat antihipertensi dilakukan dengan

mempertimbangkan compelling indication (WHO/ESH, 2003) 2.

British Society of Hypertension menganjurkan obat antihipertensi

pertama yang dipakai pada pasien muda berumur kurang dari 55 tahun

atau ras bukan hitam adalah obat tunggal ACEI atau angiotensin

receptor blockers (ARB) atau beta blockers, dan pasien tua berumur 55

tahun atau lebih, atau ras hitam adalah obat tunggal CCB atau diuretika

(step 1). Bila dengan obat tunggal tersebut di atas gagal mencapai target

tekanan darah yangdiinginkan, maka langkah selanjutnya (step 2), maka

tambahan obat kedua dapat diberikan. Pada pasien muda berumur

kurang dari 55 tahun atau ras bukan hitam, obat tambahan ke dua yang

Page 127: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

127 Denpasar, 05-07 November 2015

diberikan adalah obat pasangannya (ACEI atau ARB atau beta blockers)

dan pada pasien tua berumur 55 tahun atau lebih, atau ras hitam adalah

obat tunggal tambahan ke dua yang diberikan adalah obat pasangannya

(CCB atau diuretika ). Pada langkah selanjutnya (step 3), bila tekanan

darah yang diinginkan tidak tercapai maka tambahan obat yang dipilih

adalah salah satu dari tiga obat (ACEI atau ARB, CCB atau diuretika ).

Bila gagal mencapai target tekanan darah, maka tambahan obat ke

empat adalah alpha receptor blockers atau spirololacton atau

diuretika)7,8, lihat gambar 1.

Pemilihan kombinasi obat ini sangat tergantung dari indikasi

kelainan organ target (sesuai dengan compelling indication) efek

samping yang muncul dan harga yang dapat dijangkau pasien. Efek

batuk dan penurunan fungsi ginjal secara akut dan hiperkalemia adalah

efek samping yang dikhawatirkan pada ACE-I, sementara efek batuk ini

dapat diatasi dengan obat ARB yang bekerja pada sistem sama yakni

sistem renin angiotensin aldosteron.

Diuretika murah harganya, namun demikian efek samping yang

perlu diwaspadai adalah kelainan elektrolit hipokalemia dan

hipomagnesemia serta kontraksi volume cairan tubuh. Calcium channel

blockers dapat meyebabkan edema perifer (tungkai), sakit kepala akibat

vasokonstriksi venula, sehingga mengakibatkan ekstravasasi di kapiler.

Disisi lain keuntungan obat yang bekerja pada sistem rennin

angiotensin aldosteron, seperti ACE-I dan ARB adalah proteksi penurunan

fungsi ginjal, karena dapat menurunkan tekanan darah intraglomeruler.

Efek ini disebabkan oleh pengaruh vasodilatasi yang lebih besar pada vas

eferen dibandingkan vas aferen. Di sisi lain, kondisi ini diperlukan untuk

melindungi fungsi ginjal pada penyakit ginjal diabetik atau pasien dengan

proteinuria.

Sedangkan, obat CCB sering meningkatkan proteinuria. Kondisi ini

dapat dimaknai sebagi meningkatnya tekanan intraglomeruler yang

merugikan. Efek ini disebabkan oleh efek vasodilatasi yang lebih besar

pada vas afferent dibandingkan vas eferen oleh CCB. Efek yang tidak

diinginkan pada ginjal khususnya meningkatnya tekanan darah

intraglomeruler dapat diimbangi dengan efek penurunan tekanan darah

intraglomeruler oleh obat ACE-I atau CCB. Di lain pihak efek edema oleh

Page 128: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

128 Denpasar, 05-07 November 2015

CCB dapat diimbangi oleh vasodilatasi venula pada sirkulasi perifer

sehinga efek samping edema dapat ditekan. Menurunnya risiko efek

samping obat kombinasi ACE-I dan CCB ini selain dapat meningkatkan

efek penurunan fungsi ginjal secara akut sebagai efek samping jangka

pendek, namun kedua obat ini memberikan efek perlindungan ginjal jangka

panjang.

Gambar 2. Diagram langkah-langkah terapi hipertensi berdasarkan British

Society of Hypertension,2003

Ketaatan pasien terhadap terapi obat antihipertensi jangka panjang

ditingkatkan sehingga perlindungan organ target menjadi lebih baik.

Namun, efek gagal ginjal akut harus dihindari, dan hal ini dapat ditekan

dengan kombinasi dengan obat CCB.

Pada prinsipnya terapi hipertensi adalah seumur hidup, sehingga

factor-faktor penentu keberhasilan terapi hipertensi adalah: 1) efek

penurunan tekanan darah yang cepat dan intensif; 2) memberikan ketaatan

terapi yang lebih baik. Terapi yang lebih sederhana (misalnya sekali sehari

Page 129: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

129 Denpasar, 05-07 November 2015

dengan obat tunggal dapat meningkatkan ketaatan pasien), dan 3) dapat

memberikan perlindungan perlindungan organ target yang lebih baik 9-11.

Kesimpulan

Efek jangka panjang terhadap perlindungan organ oleh kontrol

tekanan darah tergantung dengan ketaatan terapi antihipertensi dan target

penurunan tekanan darah. Efek samping obat sangat menentukan ketaatan

terapi obat anthipertensi. Keberhasilan pengobatan dapat menekan

morbiditas dan mortalitas pasien hipertensi. Terapi kombinasi dalam satu

pil, selain memiliki efek potensiasi terhadap penurunan tekanan darah, juga

mengimbangi efek samping satu obat oleh obat lainnya

Daftar Pustaka

1. King P, Peacock I and Donnelly R. The UK Prospective Diabetes Study

(UKPDS): clinical and therapeutic implications for type 2 diabetes. Br J

Clin Pharmacol. 1999 Nov; 48(5): 643–648.doi: 10.1046/j.1365-

2125.1999.00092.x).

2. Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo Jr JL, Jones DW et

al. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. U.S.

DEPARTMENT OF HEALTH AND HUMAN SE RVICES. National

Institutes of Health National Heart, Lung, and Blood Institute. NIH

Publication No. 03-5233 December 2003.

3. James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Dennison-Himmelfarb

C, Handler C, et al. Evidence-Based Guideline for the Management of

High Blood Pressure in AdultsReport From the Panel Members

Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8).

JAMA. 2014;311(5):507-520. doi:10.1001/jama.2013.284427.

4. Paul A, Suzanne O, Barry L C, Cushman, WC, Cheryl Dennison-

Himmelfarb RN, Handler J, 2014 Evidence-Based Guideline for the

Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel

Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8).

JAMA. doi:10.1001/jama.2013.

Page 130: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

130 Denpasar, 05-07 November 2015

5. Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, Redán J, Zanchetti A, Böhm M, et

al. Practice guidelines for the management of arterial hypertension of

the European Society of Hypertension (ESH) and the European Society

of Cardiology (ESC): ESH/ESC Task Force for the Management of

Arterial Hypertension. Journal of Hypertension 2013. 31:1281-1357.

6. Weber M et al. The Journal of Clinical Hypertension. 2013. 1-13.

7. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, et al and the

National High Blood Pressure Education Program Coordinating

Committee. The Seventh Report of the Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood

Pressure. The JNC 7 Report. JAMA. 2003;289(19):2560-2571.

doi:10.1001/jama.289.19.2560.

8. Brown MJ. Better blood pressure control, how to combine drugs.J Hum

Hypertens 2003;17:81-86.; 2007.

9. Guidelines for the management of hypertension‖ J Hypertens.

2007;25:1105–1187.J Hypertens. 2009;27:2121-2158.

10. Gupta AK, Arshad S, and Poulte NR. Compliance, safety, and

effectiveness of fixed-dose combinations of antihypertensive agents a

meta-analysis. Hypertension 2010; 55:399-407

11. Makani H, Bangalore S, Romero J, Wever-Pinzon O, Messerli FH.

Effect of renin-angiotensin system blockade on calcium channel

blocker-associated peripheral edema. Am J Med. 2011;124(2):128–135.

Page 131: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

131 Denpasar, 05-07 November 2015

Problems Regarding Herpes Zoster in Elderly

RA Tuty Kuswardhani

RS PTN Universitas Udayana

Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Epidemiologi

Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak

dipengaruhi oleh musim dan tersebar merata di seluruh dunia, angka

kesakitan meningkat dengan peningkatan usia. Di negara maju seperti

Amerika, penyakit ini dilaporkan sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34%

setahun sedangkan di Indonesia lebih kurang 1% setahun. Herpes Zoster

terjadi pada orang yang pernah menderita varisela sebelumnya karena

varisela dan Herpes Zoster disebabkan oleh virus yang sama yaitu virus

varisela zoster. Setelah sembuh dari varisela, virus yang ada di ganglion

sensoris tetap hidup dalam keadaan tidak aktif dan aktif kembali jika daya

tahan tubuh menurun1,2

Herpes zoster ditemukan pada lebih kurang 20% dewasa sehat dan

lebih kurang 50% pada orang dengan imunokompromais yang pernah

terinfeksi VZV. Kebanyakan kasus berumur lebih dari 45 tahun dan

insidennya meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Insiden herpes

zoster pada individu kurang dari 50 tahun ratio insidennya 2,5/1000, pada

individu lebih tua (60-79 tahun) adalah 6,5/1000, sedangkan pada usia di

atas 80 tahun meningkat menjadi 101/1000. Herpes zoster sangat jarang

ditemukan pada anak-anak usia di bawah 10 tahun, dengan insiden 0,74

per 1000 anak. Adanya herpes zoster pada anak disebabkan infeksi

primer VZV selama tahun-tahun pertama kehidupan atau infeksi intra uteri

dari ibu selama kehamilan2,3

Diperkirakan lebih dari 90% orang dewasa di Amerika membawa

virus varisela zoster dan berisiko untuk mengalami herpes zoster. Kejadian

herpes zoster meningkat seiring penambahan umur. Hal ini diduga

diakibatkan oleh penurunan respon sistem imun yang dimediasi sel seiring

penambahan umur. Suatu studi menunjukkan bahwa kejadian reaktivasi

Page 132: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

132 Denpasar, 05-07 November 2015

VVZ pada keseluruhan populasi sebesar 0,3%, sedangkan pada populasi

berumur lebih dari 80 tahun ditemukan 1%. Pada studi berbasis populasi

lainnya dilaporkan insiden reaktivasi VVZ sebesar 0,5% pada populasi

berumur lebih dari 75 tahun. Pada studi ketiga, insiden meningkat menjadi

1% pada orang yang berumur lebih dari 65 tahun. Onset kedua dari

penyakit muncul dalam 6% pada individu lebih tua, sering setelah interval

lebih dari 1 dekade. Insiden terjadinya komplikasi, seperti postherpetic

neuralgia, juga meningkat seiring peningkatan umur1,2,3

Reaktivasi VVZ lebih umum terjadi pada seseorang dengan infeksi

HIV dibandingkan dengan populasi umum. Suatu study menunjukkan

reaktivasi VZV sebesar 3% pada pasien dengan serologi HIV positif

dibandingkan dengan pasien serologi HIV negatif sebesar 0,2%. Reaktivasi

VVZ secara signifikan lebih umum terjadi pada wanita dibanding laki-laki,

khususnya pada lanjut usia. Insiden reaktivasi VVZ dilaporkan lebih tinggi

pada ras Kaukasia dibanding non Kaukasia. Pada studi Geriatrik, 3,4%

subjek ras Kaukasian mengalami herpes Zoster dibandingkan dengan

1,4% pada ras Afrika-amerika3,4

Etiologi dan Patogenesis

Herpes Zoster disebabkan oleh infeksi virus varisela Zoster dan

tergolong virus berinti DNA, virus ini berukuran 140-200 nm, yang termasuk

subfamili Alfa herpes viridae. Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus

replikasi, pejamu, sifat sitotoksik dan sel tempat hidup laten diklasifikasikan

kedalam 3 subfamili yaitu alfa, beta dan gamma. VVZ dalam subfamili alfa

mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi primer pada sel epitel yang

menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi oleh

virus herpes alfa biasanya menetap dalam bentuk laten didalam neuron

dari ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan

kekambuhan secara periodik. Secara in vitro virus herpes alfa mempunyai

jajaran pejamu yang relatif luas dengan siklus pertumbuhan yang pendek

serta mempunyai enzim yang penting untuk replikasi meliputi virus spesifik

DNA polimerase dan virus spesifik deoxypiridine (thymidine) kinase yang

disintesis di dalam sel yang terinfeksi3,4

Page 133: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

133 Denpasar, 05-07 November 2015

Gambar 1. Struktur Virus Herpes Zooster

Beberapa subtipe dari herpes zoster membutuhkan terapi antivirus

intravena. Pengobatan Herpes Zoster melibatkan saraf kranial kelima, hal

tersebut dapat menyebabkan luka pada kornea dan panophthalmitis

sekunder serta kaburnya pengelihatan. Tanda-tanda karakteristik Herpes

Zoster adalah vesikula di ujung hidung dan sensasi-benda asing pada

mata. Sindrom Ramsay Hunt merupakan Herpes Zoster bagian dari

ganglion geniculate, yang terletak di genu saraf ketujuh. Hal ini ditandai

dengan ipsilateral facial palsy mirip dengan Bell palsy dan dapat

menyebabkan ketulian. Vesikel berkembang di meatus auditori eksternal,

pada pinna dan kadang-kadang di langit-langit yang lunak.

Glossopharingeus dan zoster vagal mempengaruhi jugularis dan petrosus

ganglia yang berdekatan dan sering terlibat secara bersamaan, meskipun

keterlibatan ganglial individu juga dapat terjadi sendiri3,4,5

Penyebarluasan Herpes Zoster melibatkan lebih dari 3 dermatom

atau memiliki lebih dari 20 lesi diluar dermatom. Hal tersebut

mempengaruhi pasien dengan limfoma non-Hodgkin atau infeksi HIV. Hal

tersebut juga bermanifestasi sebagai vesikel umum, papulovesicles, atau

erosi. Penyebarluasan Herpes Zoster dapat melibatkan organ internal,

menyebabkan hepatitis, pneumonitis, meningoencephalitis, myelitis, atau

motorik radiculopathy5

Page 134: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

134 Denpasar, 05-07 November 2015

Pathogenesis dari PHN

Pathogenesis dari PHN ditandai dengan kerusakan saraf di

sumsum tulang belakang dan ganglion serta saraf perifer. Fibrosis tercatat

di akar ganglion, akar saraf dan saraf perifer pada resolusi tahap akut.

Kerusakan saraf utama dapat aktif secara langsung dan menjadi

hypersensitive pada rangsangan perifer5,6

Gejala Klinis

Gejala klinis Herpes Zoster timbul 3 sampai 5 hari setelah gejala

awal ditandai dengan bercak makulopapupar pada saraf dermatom

sensoris dan vesikel mengandung VZV. Timbul pustul kemudian ulkus

dengan krusta pada 7 sampai 10 hari berikutnya dan dapat bertahan

sampai 30 hari pada fase akut.. Pada akhir proses penyembuhan, muncul

hiperpigmentasi post inflamasi sepanjang dermatom yang terkena5,6,7

Tanda khas dari adanya destruksi neuronal akibat VZV adalah kulit

yang sangat sensitif pada dermatom yang terkena (1). Gejala prodormal

biasanya bertahan beberapa hari, meskipun beberapa laporan kasus

mendapatkan gejala tersebut dapat bertahan beberapa minggu sampai

bulan. Pada akhirnya virus akan menginfeksi sel pada dermis dan

epidermis, menghasilkan bercak yang khas. Dalam 3 sampai 5 hari

setelah gejala awal, bercak makulopapupar akan timbul pada saraf

dermatom sensoris di sebelah ganglia yang terlibat, biasanya mengenai T1

sampai L2 dan dermatom V1. Vesikel-vesikel tersebut mengandung VZV.

Dalam 7 sampai 10 hari berikutnya, bercak tersebut berubah menjadi

pustul dan ulkus dengan krusta, scabbing, atau keduanya, yang dapat

bertahan sampai 30 hari pada fase akut. Pada akhir proses penyembuhan,

muncul hiperpigmentasi post inflamasi sepanjang dermatom yang

terkena5,6

Neuralgia post herpetika (NPH) didefinisikan sebagai nyeri herpes

zoster yang berlangsung selama lebih dari 30 hari setelah dimulainya

penyembuhan kulit. NPH merupakan sekuele herpes zoster yang paling

sering dan paling berat pada pasien dengan sistem imun yang baik NPH

mengenai 8% sampai 70% pasien dan insiden serta durasinya meningkat

sesuai usia pasien (3) Pada satu penelitian, kurang dari 1% pasien dengan

zoster yang berusia kurang dari 40 tahun mengalami NPH, dibandingkan

Page 135: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

135 Denpasar, 05-07 November 2015

dengan 18% pasien berusia lebih dari 75 tahun. Sebagai tambahan, setiap

10 tahun penambahan usia berkaitan dengan peningkatan insiden kelainan

ini secara proporsional6,7

Persentase pasien berusia lebih dari 50 tahun dengan nyeri pada

grup plasebo mencapai 54% pada 3 bulan dan 35% pada 6 bulan setelah

bercak. Alodinia, atau nyeri yang timbul setelah rangsangan yang tidak

nyeri, merupakan komponen paling berat dari penyakit ini. Pasien dengan

alodinia akan nyeri dengan sentuhan ringan seperti memakai baju. Tipe

nyeri ini menimbulkan rasa lelah kronis, gangguan tidur, depresi, anoreksia,

penurunan berat badan dan isolasi social6,7

Diagnosis

Nyeri merupakan gejala yang paling umum dari Herpes Zoster dan

didahului ruam pada kulit dalam hitungan hari sampai minggu. Kebanyakan

pasien merasakan sensasi seperti terbakar atau dysesthesias. Ruam ini

terbatas pada satu dermatom, tetapi dapat mempengaruhi dua atau tiga

dermatom didekatnya. Beberapa pasien memiliki vesikel yang tersebar

beberapa tempat, jauh dari dermatom yang terjangkit dan ini tidak memiliki

arti prognostik. Penyebaran herpes zoster untuk organ visceral sangat

jarang terjadi di individu imunologis utuh, meskipun beberapa pasien

dengan vaskulitis dan myelitis telah dilaporkan. Komplikasi herpes zoster

termasuk okular dan merupakan manifestasi neurologis, superinfeksi

bakteri dari kulit dan neuralgia postherpetic. Herpes zoster juga dapat

mengakibatkan peradangan meningeal dan ensefalitis klinis9

Terkadang, VZV reaktivasinya mempengaruhi motor neuron di

jaringan dan batang otak tulang belakang yang mengakibatkan motor

neutrofil ropathies. Kemungkinan VZV multilokal lopathy pada pasien

dengan perubahan status mental atau focal neurologic selama atau setelah

herpes zoster. Mengevaluasi pasien dengan hemiparesis yang diikuti

dengan herpes zoster oftalmikus dalam beberapa minggu atau bulan untuk

kemungkinan VZV terkait sistem saraf pusat vasculitis. Herpes zoster

oftalmikus adalah komplikasi serius terkait dengan reaktivasi VZV di

ganglion trigeminal. Sindrom dimulai dengan sakit kepala dan demam

diikuti dengan erupsi vesikular sepanjang dermatitis trigeminal matome dan

dapat menyebabkan conjunctivitis, episkleritis dan lid droop. Sebagian

besar pasien akan terus berkembang menjadi keratitis. Diagnosis yang

Page 136: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

136 Denpasar, 05-07 November 2015

cepat dan pengobatan sangat penting untuk mencegah hilangnya

penglihatan. VZV juga sebagai penyebab patogen dari nekrosis retina akut

di pasien imunokompeten. Pasien biasanya mengeluh penglihatan kabur

dan sakit disekitar mata dan dapat menunjukkan iridosiklitis akut, vitritis,

necrotizing retinitis dan oklusif vaskulitis retina.8,9

Pada kasus dengan presentasi tidak khas diperlukan tes diagnosis

secara laboratoris untuk memastikan diagnosis. Virus sulit diisolasi dari

swab lesi, pemeriksaan imunofluoresensi lebih sensitif dan terpercaya.

Spesimen dari lesi vesikel awal memberikan nilai diagnosis yang lebih baik

dibandingkan lesi yang sudah berpustul atau berkrusta. Deteksi antigen

VZV secara imunofluoresensi pada vesikel atau spesimen lain (seperti

biopsi jaringan atau cairan serebrospinal) merupakan tes terbaik karena

cepat (dalam hitungan jam), sensitif dan spesifik (sampai 90%) . Kultur VZV

lebih lambat dan kurang sensitif (40%), namun tetap merupakan standar

pada diagnosis virologis.8,9

Pewarnaan Tzanck dapat mengarahkan diagnosis infeksi VZV jika

ditemukan sel raksasa multinukleus dan inklusi intranuklear, namun teknik

ini tidak dapat membedakan VZV dan infeksi virus herpes simpleks.

Deteksi DNA oleh PCR sangat sensitif (hampir 100%) dan spesifik dan

sangat berguna pada spesimen yang tidak biasa atau kasus yang tidak

khas.8

Penatalaksanaan

Pengobatan untuk herpes zoster terdiri dari dua cara yaitu, non

farmakologi dan terapi obat. Banyak pasien hanya memerlukan dasar

intervensi untuk mengurangi risiko infeksi dan meminimalkan rasa sakit.

Orang lain mungkin memerlukan terapi antiviral oral atau intravena untuk

mempercepat penyembuhan dan mengurangi rasa sakit. Untuk pasien

dengan infeksi herpes zoster berat, dapat dipertimbangkan untuk rawat

inap dan terapi dengan parenteral untuk terapi antivirus. Hal ini penting

untuk pasien dengan okular atau visceral involment8,9

Terapi Non Farmakologi

Beberapa intervensi dasar dapat mengurangi risiko infeksi dan

meringankan gejala1,2,10. Pasien harus dianjurkan untuk:

Page 137: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

137 Denpasar, 05-07 November 2015

Menjaga agar lesi bersih (sabun dan air) dan kering untuk mengurangi

risiko superinfeksi bakteri.

Terapkan kompres (air, garam, larutan Burrow) dan ganti pelindung untuk

mengurangi gejala-gejala.

Melindungi lesi dengan steril, oklusif, ganti nonadherent.

Kenakan pakaian longgar untuk meningkatkan kenyamanan.

Terapi Farmakologi

Terapi antivirus mempercepat penyembuhan kulit lesi dan

mengurangi durasi nyeri, mungkin dengan batas tingkat kerusakan

dilakukan pada saraf sensorik oleh replikasi VZV dan dengan

memperpendek durasi pembentukan lesi baru. Penggunaan krim topikal

atau salep, temasuk kortikossteroid topikal, acyclovir atau famciclovir. Tiga

obat antivirus oral yang disetujui FDA untuk pengobatan herpes zoster

pada pasien imunokompeten: acyclovir, valacyclovir dan famciclovir.

Valacyclovir dan Famciclovir disukai dalam praktek sehari hari karena

memiliki cara pemberian dosis yang mudah dan meningkatkan

farmakokinetik dibandingkan dengan Asiklovir. Valasiklovir dan Famsiklovir

terapi ini setara untuk pengobatan herpes zoster ,Valacyclovir dengan

biaya efektif10,11,12

Acyclovir

Acyclovir serum tiga sampai lima kali lipat lebih tinggi efektifitasnya

daripada yang dicapai dengan Acyclovir oral. Dalam kontrol plasebo,

Valacyclovir dan Acyclovir setara dalam hal mempercepat proses

penyembuhan kulit pada pasien herpes zoster. Acyclovir ( 800 mg po 5 x/

hari ) selama 7-10 hari. Acyclovir efektif mengurangi durasi pelepasan

virus, memperpendek pembentukan lesi baru, dan mempercepat peristiwa

penyembuhan kulit. Banyak studi telah membuktikan bahwa terapi Asiklovir

mengurangi frekuensi akhir inflamasi komplikasi okular dari 50% -60%

menjadi 20% -30%. Sistemik terapi antivirus telah digantikan antivirus

topikal persiapan untuk mengobati komplikasi okular dari herpes zoster

ophthalmicus12,13

Page 138: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

138 Denpasar, 05-07 November 2015

Valacyclovir

Valacyclovir paling cepat memperpendek durasi nyeri zoster dan

durasi postherpetic neuralgia pada orang dewasa. Perawatan dalam tujuh

hari Valacyclovir (1 gr po tid) disarankan12,13

Famciclovir

Famciclovir secara signifikan unggul dengan plasebo dalam

mengurangi durasi pelepasan virus, membatasi durasi pembentukan lesi

baru, mempercepat penyembuhan kulit dan, khususnya pada pasien yang

lebih tua dari 50 tahun, mengurangi durasi neuralgia postherpetik.

Perawatan dalam tujuh hari Famsiklovir (500 mg po tid) disarankan,

meskipun rejimen lainnya telah terbukti efektif sehubungan dengan

penyembuhan kulit dan resolusi nyeri akut. Saraf kranial yang paling sering

terkena herpes zoster adalah oftalmik dari trigem. Pasien dengan herpes

zoster oftalmikus harus ditangani dengan terapi antivirus bahkan jika lesi

selama lebih dari 72 jam. Dalam ketiadaan terapi antivirus apapun, sekitar

50% pasien dengan kondisi ini akan mengalami komplikasi ocular12,13

Analgesik narkotik

Ketika nyeri neuralgia Herpes Zoster semakin parah dan pasien

yang kulitnya terkena ruam relatif memiliki rasa sakit yang parah. Nyeri ini

tidak boleh diabaikan dan harus segera diatasi. Upaya sedini mungkin

untuk melemahkan nyeri akut dapat mencegah sakit dan mengurangi risiko

post herpetic neuralgia12,13

Edukasi dan Prevensi untuk Pasien

Imunisasi

Saat ini vaksin untuk Herpes Zoster telah tersedia, pasien dengan

imunokompeten yang berusia 60 tahun dan lebih tua harus diberi

imunisasi.

Mempersiapkan pasien secara psikologis untuk mengelola sakit

kronis dan menyarankan mereka untuk menatalaksanai pengendalian nyeri

yang adekuat12

Simpulan

Page 139: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

139 Denpasar, 05-07 November 2015

Insiden herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan usia.

Insiden terjadinya komplikasi, seperti postherpetic neuralgia, juga

meningkat seiring peningkatan umur. Herpes Zoster disebabkan oleh

infeksi virus varisela zoster dan terjadi akibat reaktivasi virus yang dorman

pada infeksi primer. Diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis adanya lesi

sesuai dermatome yang disertai nyeri dan didukung oleh pemeriksaan

penunjang dengan pewarnaan tzanck, kultur VVZ, ataupun deteksi DNA

dengan PCR. Penatalaksanaan herpes zoster dapat dilakukan dengan

pendekatan farmakologis dan nonfarmakologis. Saat ini telah tersedia

vaksin untuk herpes zoster untuk pasien imunokompeten yang berusia 60

tahun atau lebih.

Daftar Pustaka

1. Hasan T, Donald L.; Best Practice Guide Vaccination programmes in

Older People. British Geriatrics Society. 2011.

2. American Geriatric Society. A Pocket Guide To Common Immunizations

For The Older Adult ( ≥ 65 years). Available at :

http://www.americangeriatrics.

org/files/documents/AGS_PocketGuide.pdf. 2015.

3. Gnann JW, Whitley RJ. Herpes Zoster. N Engl J Med 2012; 347(5):

340-346

4. Schmader K. Herpes Zoster in the Elderly: Issues Related to Geriatrics.

Clin Infect Dis 1999; 28: 736-739

5. Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Diagnostic and

Therapiutic Consideration. Altern Med Rev 2006; 11: 102-113.

6. Straus SE, Oxman MN. Varicella and herpes zoster. In: Freedberg IM,

Eisen AZ, Wolff K, et al., eds. Fitzpatrick‘s dermatology in general

medicine, 6th ed. New York: McGraw-Hill, 2006; 2427–50.

7. Cohen K, Salbu R, Frank J, Israel I. Presentation and Management of

Herpes Zoster (Shingles) in the Geriatric Population. Pharmacy and

Health Outcomes. 2008; 201:38;217-27.

8. Cohen JI. Herpes Zoster. Clinical Practice. 2013

9. Shaikh S, Ta CN. Evaluation and management of herpes zoster

ophthalmicus. Am Fam Physician 2002;66:1723–1730

Page 140: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

140 Denpasar, 05-07 November 2015

10. Greenberg S.A. Immunizations for Older Adults. Hartford Institute for

Geriatric Nursing, New York University College of Nursing. Hardfordgin.

Available at : http://consultgerirn.org/uploads/File/trythis/try_this_21.pdf.

2012

11. Opstelten W, van Essen G, Schellevis F, et al. Gender as an

independent risk factor for herpes zoster: A population-based

prospective study. Ann Epidemiol 2006;16:692–695

12. Straus SE, Oxman MN. Varicella and herpes zoster. In: Freedberg IM,

Eisen AZ, Wolff K, et al., eds. Fitzpatrick‘s dermatology in general

medicine, 6th ed. New York: McGraw-Hill, 2006; 2427–50.

13. Scheinfeld NS. Skin Disorders in Elderly Persons: Identifying Viral

Infections. 2007.

Lampiran

Kategori Histori dan Pemeriksaan Fisik untuk Penyakit Herpes Zoster13

Kategori Histori Kategori Pemeriksaan

Fisik

Catatan

Histori varicella sebelumnya Herpes zoster tidak dapat

berkembang tanpa infeksi

VZV primer sebelumnya.

Proporsi orang dewasa

Amerika yang seropositif

untuk VZV mencapai

100%. Namun, beberapa

orang dewasa seropositif

tidak akan dapat

memberikan

riwayat varicella

sebelumnya

Histori Gejala constitutional Pasien mengeluh sakit

kepala, fotofobia, dan

malaise, tapi demam yang

signifikan jarang terjadi

Histori Nyeri Pasien mengeluh gatal

atau kesemutan ringan

Page 141: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

141 Denpasar, 05-07 November 2015

hingga parah yang

mendahului

perkembangan lesi kulit

dengan 1-5 hari (atau

kadang-kadang minggu)

Pemeriksaan Fisik Tanda vital: suhu Pasien dengan herpes

zoster menderita demam

ringan, peningkatan suhu

yang signifikan biasa

terjadi.

Pemeriksaan fisik Pemeriksaan kulit: bintil

merah pada kulit

Perubahan kulit dimulai

dengan eritematosa ruam

makulopapular diikuti

dengan munculnya

vesikel secara jelas.

Pembentukan vesikel

baru biasanya terjadi

selama 3-5 hari, diikuti

oleh lesi pustulation dan

scabbing. kulit lesi

sembuh dalam 2-4

minggu, sering

meninggalkan jaringan

parut kulit secara

permanen serta

perubahan pigmentasi.

Bintil pada kulit, muncul

disertai segmen dan

dipersarafi oleh ganglion

sensorik tunggal.

Tumpang tindih lesi ke

dermatom yang

berdekatan terjadi di 20%

dari pasien. Dermatom

yang paling sering terlibat

adalah dada,

diikuti oleh tengkorak

(terutama trigeminal),

Page 142: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

142 Denpasar, 05-07 November 2015

lumbar, dan serviks.

Pemeriksaan fisik Pemeriksaan kulit:

selulitis

Superinfeksi bakteri dari

lesi kulit terkadang dapat

terjadi

Pemeriksaan fisik Pemeriksaan HEENT Sindrom berhubungan

dengan herpes zoster dari

saraf kranial termasuk

herpes zoster oftalmikus

(divisi pertama dari saraf

trigeminal) dan Sindrom

Ramsay Hunt (ganglion

geniculate dari CN VII,

dengan vesikel telinga

menyebabkan

menurunnya rasa pada

anterior dua pertiga dari

lidah, dan ipsilateral

kelumpuhan wajah).

Vesikel di luar hidung

(tanda Hutchinson)

biasanya terlihat pada

pasien dengan keratitis

VZV

Pemeriksaan fisik Pemeriksaan syaraf Allodynia (nyeri yang

dipicu oleh sentuhan

ringan) dapat terjadi pada

dermatom. Berbagai

komplikasi neurologis

dapat terjadi selama

herpes zoster akut,

termasuk vaskulopati,

mielitis, tengkorak dan

perifer

palsi saraf, serta

polyradiculitis

Page 143: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

143 Denpasar, 05-07 November 2015

EFIKASI DAN KEAMANAN VAKSINASI HERPES ZOSTER PADA

USIA LANJUT

IGP Suka Aryana

Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar

PENDAHULUAN

Proses penuaan berhubungan dengan penurunan kekebalan dapat

mengakibatkan usia lanjut semakin mudah terkena penyakit infeksi dan

penurunan respon terhadap vaksinasi. Penurunan kekebalan tubuh akibat

penuaan terjadi baik pada system kekebalan yang alami maupun yang

didapat. Keadaan ini dikenal dengan nama immunosenescence dengan

berbagai konsekuensi klinis yang terjadi. Di masa mendatang akan terjadi

ledakan populasi usia lanjut. Beberapa penyakit infeksi akan mengalami

peningkatan pula seperti infeksi influenza, pneumonia, herpes zoster dan

beberapa penyakit infeksi lainnya. Di lain pihak usaha untuk pencegahan

dengan vaksinasi untuk menurunkan kejadian infeksi tersebut menjadi

tantangan. Efikasi vaksinasi pada usia lanjut akan menurun dibandingkan

dengan usia dewasa. Pemahaman tentang manifestasi klinis dan

konsekuensi dari immunosenescence terutama dalam menentukan

petanda dari penurunan dari fungsi imun pada kondisi pasien usia lanjut

dengan kerapuhan dan hubungannya dengan mobiditas dan mortalitas

sangat dibutuhkan.

Herpas Zoster adalah penyakit yang yang sering terjadi pada usia

lanjut akibat reaktifasi dari virus varisela. Manifestasi klinis berupa ras

vesicular yang unilateral dan lokasinya terbatas pada satu dermatom

sebagai ciri khasnya. Klinis akan disertai dengan adanya nyeri seoanjang

dematom tersebut. Nyeri secara terus menurus akan menetap dapat

seminggu, sebulan bahkan sampai beberapa tahun untuk kasus yang

berat. Hal ini akan menurunkan kualitas hidup pasien usia lanjut kita.

Komplikasi nyari yang serius ini kita sebut sebagai Postherpetic Neuralgia

(PHN). Studi menunjukan rerata nyeri menetap kurang lebih sekitar 90 hari

setelah penyembuhan ras di kulit. Komplikasi serius dapat terjadi kebutaan

pada optalmik zoster, superinfeksi bakteri pada kulit, dan herpes zoster

Page 144: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

144 Denpasar, 05-07 November 2015

diseminata. Komplikasi yang serius biasanya terjadi pada pasien yang

kekebalannya menurun.

Pengobatan antiviral sangat diperlukan baik untuk pasien dengan

kekbalan menurun maupun yag sehat. Oral antiviral sebaiknya diberikan

lebih awal mempunyai prognosis lebih baik. Terapi antiviral sebaiknya

mulai diberikan dalam waktu 3 hari setelah muncul lesi kulit. Lama terapi

diberikan seminggu dan bila terjadi Herpes Zoster yang serius, pasien

dengan kekebalan menurun dan adanya komplikasi neurologis dapat

diberikan antiviral intra vena. Tantangan dalam penanganan Herpes zoster

tidak saja akibat virusnya tetapi juga adanya komorbiditas yang lain yang

berkontribusi terhadap tingginya morbiditas dan mortalitas pasien herpes

Zoster. Disamping proses penuaan, penurunan kekebalan akibat penyakit

keganasan, HIV, obat imunosupresif meningkatkan risiko terinfeksi herpes

zoster hamper 10 kali lipat.

Program vaksin menjadi program penting untuk menurunkan

kejadian herpes zoster pada kelompok berisiko terutama pada usia lanjut.

Program Vaksin Varisela yang dilakukan pada anak-anak secara bermakna

dapat menurunkan kejadian infeksi varisela tetapi tidak herpes zosternya,

walaupun herpes zoster adalah reaktivasi dari infeksi virus varisela

sebelumnya. Di Amerika program vaksin varisela yang dilakukan secara

universal ternyata tidak mengubah insiden dari infeksi herpes zoster. Hal ini

menunjukan bahwa kejadian infeksi herpes zoster disebabkan oleh factor

lain. Studi terus dikembangkan termasuk mengetahui kemungkinan

vaksinanasi virus varisela meningkatkan kejadian infeksi zoster.

Dikembangkannya vaksin herpes zoster menjadi jawaban terhadap

masalah ini. Vaksin herpes zoster telah mendapat ijin untuk didistribusikan

sejak tahun 2006 oleh badan resmi seperti Food and drug Administration

(FDA), European Medicine Agency (EMEA), Australia Therapeutic Goods

Administration (TGA), vaksin tersebut mulain banyak digunakan termasuk

di Asia. Vaksin direkomendasikan untuk populasi umur lebih dari 50 tahun

(Austria dan Swedia, 60 tahun (Amerika, Kanada, Korea dan Thailand, 60-

79 tahun (Australia) dan 70-79 tahun (Inggris).

Page 145: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

145 Denpasar, 05-07 November 2015

IMMUNOSENESCENCE

Perubahan sistem imun akibat penuaan (immunosenescence )

terjadi pada sistem imun alami dan didapat serta perubahannya meliputi

jumlah dan fungsi dari sistem imun tersebut (tabel1)

Tabel 1. Perubahan sistem imun akibat proses penuaan

Sistem imun alami Sistem imun didapat

Sitokin Proinflamasi (status inflamasi

subklinis)

Netrofil (jumlah, pagositosis tetap tetapi

produksi superoxide, kemotaksis,

apoptosis, dan tranduksi sinyal

menurun)

Makrofag (jumlah tetap, tetapi

pagositosis, produksi superoxide,

kemotaksis, apoptosis, produksi sitokin

dan tranduksi sinyal menurun)

Sel Natural Killer (tranduksi sinyal,

respon terhadap sitokin, produksi

sitokin dan aktifitas sitotoksik menurun)

Sel dendritic (jumlah plastositoid tetap,

tetapi jumlah total dan myeloid sel

dendritik darah perifer, sel dendritik

timus, jumlah dan migrasi sel

Langerhans, serta produksi IL 12 oleh

dendritik di darah perifer menurun)

Sel T

1. Involusi timus,

2. Penurunan Naïve CD45RA+CD28+,

CD8, kemampuan replikasi, respon

terhadap antigen dan efektor

memori CD4, serta

3. Peningkatan memori CD45RA-

CD28, CD8+, efektor

CD45RA+CD28-, end stage

deffentited effector T cells, Produksi

IL4 oleh CD8, central memory CD4)

Sel B

1. Penurunan Naïve sel B, diversitas

respon antibody, class switching and

somatic recombinantion TCR

repertoire.

2. Peningkatan efektor sel B

Imunitas alami adalah elemen kunci system imun yang mencegah

masuknya bahan pathogen ke dalam tubuh, dan memberikan instruksi

kepada imunitas didapat untuk membentuk bahan humoral khusus dan

memacu respon imunitas seluler. Sistem imun alami terdiri system seluler

seperti sel makrofag, sel natural killer, dan netrofil sebagai pertahanan lini

pertama terhadap infeksi bakteri dan virus. Fungsi sel ini menurun

Page 146: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

146 Denpasar, 05-07 November 2015

sehingga meningkatkan risiko infeksi pada saluran cerna, kulit, dan

pneumonia baik karena bakteri maupun virus pada usia lanjut.

Immunosenescence juga mengakibatkan penuruunan respon terhadap

vaksin influenza dari 70-90% pada dewasa sehat menjadi 17-53% pada

usia lanjut.

Perubahan sistem imun alami ternyata didapatkan pada reseptor

yang disebut toll-like receptors (TLR) yang ada pada permukaan makrofag

berfungsi mendeteksi adanya antigen (bakteri/virus) kemudian

menyampaikan sinyal yang memacu produksi berbagai protein yang

bersifat antibacterial sehingga memacu proses inflamasi.

Immunosenescence mengakibatkan perubahan ekspresi dan fungsi dari

TLR sehingga terjadi dysregulasi sitokin inflamasi dan sekresi kemokin

sehingga usia lanjut gagal mengekspresi gejala klasik pada beberapa

penyakit infeksi. Disamping itu imunosenescence juga mengakibatkan

gangguan fungsi TLR dalam memberikan instruksi kepada system

imunitas didapat sehingga respon menjadi tidak adekuat.

Proses penuaan menyebabkan penurunan jumlah sel T naïve oleh

timus yang mungkin disebabkan oleh perubahan pada mikroenviromen

pada timus sehingga terjadi gangguan timopoisis. Satu elemen penting

yang berperan dalam proses ini adalah interleukin 7 (IL 7). IL 7 yang

berinteraksi dengan resetor di timus untuk memacu pembentukan sel T.

Penurunan kadar IL 7 mengakibatkan penurunan ukuran dan hasilan dari

timus. Saat ini telah dilakukan studi dengan injeksi IL 7 dengan tujuan

menghambat atropi timus dan memacu produksi sel T, tetapi masih belum

efektif karena didapatkan banyak IL 7 tidak memcapai timus secara

optimal.

RESPON IMUNITAS TERHADAP VAKSIN

Vaksin beserta bahan tambahannya akan sebagai antigen dalam

tubuh dan memicu system imun. Antigen akan diambil oleh antigen

presentating cells (APC) seperti sel makrofag dan sel dendritic. Respon

imunitas local akan memacu pematangan sel dendritic. Pada tempat

tersebut akan terbentuk kompleks peptide, sedang sel dendritic akan

bermigrasi ke jaringan limfonodi untuk memacu aktivasi dan ekspansi dari

klonal naïve sel T CD4+ dan CD8+. Aktivasi dan diferensiasi dari naïve sel

Page 147: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

147 Denpasar, 05-07 November 2015

B dirangsang oleh antigen dan sel T CD4+ helper. Naïve sel B kemudian

berdiferensiasi menjadi sel B memori dan sel B secreting antibody. Sel B

memori dan sel T dalam darah dan limfonodi akan terus bekerja sepanjang

meraka masih hidup di sumsum tulang.

Gambar 1. Perbedaan imunitas usia muda dan usia lanjut

Page 148: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

148 Denpasar, 05-07 November 2015

Gambar 2. Respon imunitas terhadap vaksin

Page 149: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

149 Denpasar, 05-07 November 2015

Untuk meningkatkan respon imunitas vaksin pada usia lanjut

diperlukan beberapa intervensi khusus seperti memberikan boosting,

meningkatkan dosis vaksn, atau menambahkan bahan tambahan/adjuvant

untuk meningkatkan respon APC dan memacu aktifitas sel B lebih lama.

Gambar 3. Respon imunitas terhadap vaksinasi pada usia lanjut.

VAKSIN HERPES ZOSTER

Vaksin Herpes Zoster mengandung 19.400 plaque-forming units

(PFU) memiliki potensi setara dengan satu formula vaksin MMR (ProQuad)

dan diperkirakan mempunyai potensi 14 kali lebih kuat dibandingkan

dengan vaksin varisela yang monovalen. Penggunaan vaksin herpes zoster

memiliki kontraindikasi seperti adanya reaksi anafilaksis atau alergi dengan

gelatin, neomisin, atau dengan imunodefisiensi berat seperti HIV, leukemia,

limpoma, atau malignansi lain yang berefek pada gangguan di system

limfatik dan sumsum tulang, serta pasien yang mendapatkan obat

imunosupresif seperti kortikosteroid dosis tinggi, kemoterapi serta wanita

hamil.

Page 150: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

150 Denpasar, 05-07 November 2015

Penggunaan vaksin Herpes Zoster dengan vaksin lain

Penggunaan vaksin Herpes Zoster dengan vaksin lain seperti

vaksin influenza inaktif pada pasien berumur 50 tahun atau lebih tidak

menunjukan adanya penurunan imunogenitas kedua vaksin. Meskipun

studi penggunaan vaksin herpes zoster secara simultan dengan vaksin

pneumococcal polysaccharide menunjukan penurunan secara signifikan

antibody virus herpes Zoster, sebuah studi kohort retrospektif pada lebih

dari 76.000 resipien menunjukan menunjukan efikasi herpes zoster tidak

menurun pada penggunaan bersamaan dengan vaksin pneumococcal

polysaccharide.

Lama Proteksi

Data yang meneliti tentang lamanya proteksi setelah vaksin herpes

zoster sangat sedikit. Pada studi SPS median waktu survei untuk

mengetahui efektifitas vaksin hanya 3,12 years.

Hasil dari Short-Term

Persistence Study (STPS) mengindikasikan kemungkinan proteksi

sepanjang tahun. Studi STPS fase 3, sebuah randomized, placebo-

controlled, double-blind trial pada 12 senter di Amerika, STPS re-enrolled

7320 vaksin and 6950 placebo resipien dari 38 546 subjek yang

sebelumnya ada pada studi SPS dan setelah diikuti selama 7 tahun

didapatkan hasil yang menjanjikan. Pada awalnya, penurunan kejadian

herpes zoster didapatkan secara bermakna pada kelompok vaksin (RR:

0.53, 95%CI: 0.38-0.74). Pada STPS efikasi vaksin didapatkan

61.1%(95%CI: 51.1–69.1) pada tahun 0.0–4.9 menjadi 50.1%(95%CI:

14.1–71.0) pada tahun ke 3.3–7.8. Efikasi vaksin mencegah PHN

didapatkan menurun dari 66.5% (95%CI: 47.5–79.2) pada tahun 0.0–4.9

menjadi 60.1%(95%CI: −9.8 to 86.7)pada tahun 3.3–7.8, dan Efikasi vaksin

mencegah insiden herpes zoster menurun dari 51.3% (95%CI: 44.2–57.6)

pada tahun 0.0–4.9 menjadi 39.6%(95%CI: 18.2– 55.5) pada tahun ke

3.3–7.8.

Studi ini dilengkapi dengan melihat herpes zoster burden of illness

(HZBOI) yaitu skoring yang melihat derajat beratnya penyakit akibat dari

herper zoster tersebut. Studi lanjutan untuk melengkapi STPS, disebut the

long-term persistence study (LTPS) mengevaluasi lamanya proteksi

terhadap kejadian herpes zoster, PHN dan HZBOI. Total subyek penelitian

Page 151: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

151 Denpasar, 05-07 November 2015

6.867 yang telah divaksin pada studi SPS. Rerata umur pada LTPS adalah

74.5 tahun dan median follow-up ~3.9 tahun. Plasebo yang digunakan

adalah placebo yang sebelumnya ontrol was not available in the LTPS;

data from prior placebo recipients were use. LTPS dianalissis berdasarkan

data yang telah terkumpul setelah 7-10 tahun dilakukan vaksinasi pada

studi SPS. Efikasi vaksin didapatkan sebesar 21% (95% CI: [11 to 30%])

untuk insiden Herpes Zoster, 35% (95% CI: [9 to 56%]) untuk insiden PHN

dan 37% (95% CI: [27 to 46%]) untuk HZ BOI.

EFIKASI DAN KEAMANAN VAKSINASI HERPES ZOSTER

Efikasi

Tantangan mengenai bagaimana efikasi dan keamanan vaksin

herpes zoster pada usia lanjut menjadi hal yang sangat penting untuk

dikaji. Studi SPS (Shingles Prevention Study) adalah sebuah studi

randomized double-blinded placebo-controlled dimulai November 1998,

dengan jumlah sampel 38,546 usia 60 tahun ke atas di 22 senter di

Amerika. Semua sampel diikuti secara aktif sampai bulan September 2003

berapa jumlah kasus baru Herpes Zoster yang muncul. Rerata lama waktu

diikuti 3.13 tahun, 95% mengikuti studi secara lengkap sampai akhir studi,

1% mengalami lost to follow up dan 4% meninggal selama masa studi.

Kurang dari 7% sampel berumur 80 tahun atau lebih sehingga secara

statistik powernya kurang kuat untuk dilakukan evaluasi pada kelompok

tersebut. Kejadian Herpes zoster dikonfirmasi dengan menggunakan

PCR(93%), kultur virus (1%), atau dievaluasi oleh panel yang terdiri dari 5

spesialis yang ahli dibidang Herpes (6%). Pasien yang telah terdiagnosis

Herpes Zoster diikuti sedikitnya selama 182 hari untuk dievaluasi kondisi

luaran seperti kondisi umum dan derajat nyeri yang diderita. Hasil yang

didapatkan adalah bahwa penurunan insiden Herpes Zoster pada

kelompok vaksin pada 42 hari (RR: 0.29; 95%CI: 0.13-0.68). Secara umum

efikasi untuk mencegah kejadian herpes Zoster adalah sebesar 51,3%

(5,42 kasus/1000 orang pertahun : 11,12 kasus/1000 orang pertahun; p

<0.001). Efikasi vaksin mencegah PHN sebesar 66,5% (27 : 80 kasus;

p<0.001) menunjukan penurunan yang sangat bermakna dengan nilai

relative risk PHN pada kelompok vaksin dibandingkan dengan plasebo

Page 152: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

152 Denpasar, 05-07 November 2015

(RR: 0.34, 95% CI: 0.22-0.52). Bila dilihat dari nilai illness score Herpes

Zoster (terdiri dari insiden, derajat berat, lamanya nyeri dan rasa tidak

nyaman akibat herpes zoster) didapatkan memiliki efikasi pencegah

sebesar 61.1% (95% CI 51.1-69.1). Pada studi ini juga didapatkan bahwa

efikasi vaksin akan menurun seiring dengan peningkatan usia yaitu dari

64% pada umur 60–69 tahun menjadi 38% pada usia 70 tahun atau lebih.

Efikasi vaksin mencegah PHN didapatkan stabil yaitu 66% pada usia 60–

69 tahun dan 67% pada 70 tahun atau lebih.

Studi RCT lain dilakukan pada individu imunokopeten 22.439

berumur 50–59 tahun Amerika utara dan Eropa didapatkan efikasi vaksin

sebesar 69.8% (95% CI: 54.1–80.6) dalam hal mencegah kejadian Herpes

Zoster. Insiden Herpes Zoster didapatkan 1,99/1000 orang pertahun pada

kelompok vaksin vs 6,57/1000 orang pertahun pada kontrol (RR: 0,31

(95%CI: 0,2-0,5, p<0.0001)

Keamanan

Studi RCT lebih kecil mencoba melihat keamanan dan imunogenik

dibandingkan antara vaksin formula potensi tinggi dan rendah. Hasilnya

tidak ada risiko bermakna terjadi herpes zoster pada kelompok potensi

tinggi (RR 2.55, 95% CI: 0.012-52.99).

Laporan data setelah distribusi

vaksin dari 76.000 orang yang telah dilakukan vaksin dibandingkan dengan

227.000 orang tidak divaksin yang berumur 60 tahun atau lebih

menunjukan bahwa efektifitas vaksin mencegah kejadian herpes zoster

sebesar 55% (95% CI 52- 58%). Insiden Herpes Zoster sebesar 6,4 per

1000 orang pertahun pada kelompok vaksin (95% CI: 5,9-6,8), dan 13 per

1000 orang pertahun pada kelompok tidak divaksin (95% CI: 12.6-13.3).

Sebagai hasil tambahan lain adalah efektifitas mencegah kejadian herpes

zoster optalmikus sebesar 63% dan mencegah kejadian masuk rumah sakit

sebesar 65%.

Banyak studi yang telah dilakukan menunjukan keamanan

penggunaannya pada usia lanjut sehingga mendapatkan ijin untuk

didistribuskan diseluruh Negara di dunia. Studi SPS yang melibatkan

38.500 subyek dengan insiden satu atau lebih efek samping yang serius

setelah observasi 42 hari setelah vaksin didapatkan < 0.1% pada kelompok

vaksin dibandingkan dengan placebo. Pada substudi khusus tentang

Page 153: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

153 Denpasar, 05-07 November 2015

adverse event vaksin, risiko serius dalam waktu 42 hari setelah vaksin

didapatkan 1.9% pada kelompok vaksin dan 1.3% pada plasebo (risk

difference: 0.7 (95%CI: 0.1 to 1.3)). Laporan kejadian varicella-like rash

pada lookasi injeksi 0.1% vs 0.04%; risk difference: 0.07 (95% CI: 0.02 to

0.13) dan HZ like-rash 0.1% vs 0.2%; risk difference: -0.10 (95%CI:- 0.18 to

-0.03). Adverse events pada lokasi injeksi secara bermakna lebih banyak

pada kelompok vaksin disbanding dengan placebo 48.3% and 16.6%; risk

difference 31.7, 95% CI: 28.3 – 32. Manifestasi klinis yang sering muncul

pada lokasi injeksi vaksin berupa eritema, nyeri, rasa tebal dan bengkak.

Angka mortalitas antara kelompok vaksin dan placebo adalah sama

sebesar 4,1%.

Beberapa studi lain juga mendapatkan hasil yang serupa. Kerzner

et al melakukan studi randomized dengan memberikan vaksin Herpes

Zozter and flu secara konkomitan dan sekuensial pada populasi umur 50

tahun atau lebih kemudian diamati adanya adverse events (AE)dalam

waktu 28 hari setelah vaksin. Secara umum hasilnya bahwa AE didapatkan

sedikit lebih tinggi pada kelompok yang diberikan vaksin secara

konkomitan dibandingkan secara tersendiri walaupun perbedaannya tidak

bermakna. Adverse event pada lokasi suntikan didapatkan 44.7% vs 38.3%

(vaksin concomitant vs nonconcomitant) dan kejadian lebih banyak pada

kelompok umur 50-59 vs umur 60 atau lebih (53.6% and 40.3%).

MacIntyre melakukan sebuah studi randomized placebo-controlled

trial pada populasi umur 60 tahun atau lebih mendapatkan bahwa

pemberian vaksin herpes zoster dan pneumococcal polysaccaride baik

secara concomitant ataupun non- concomitant tidak terdapat perbedaan

bermakna AE dalam waktu 28 hari setelah vaksin.

Gilderman et al menbandingkan vaksin yang di refrigerated

(n=182) vs frozen (n=185) vaksin herpes zoster pada pupolasi umur 50

tahun atau lebih. Efek pada lokasi suntikan didapatkan 35.6% vs 46.4%

(refrigerated vs frozen). Tidak ada efek samping yang serius pada studi ini.

Sutradhar et al membandingkan keamanan pada 2 kelompok umur

yaitu 50-59 tahun dan ≥ 60 tahun. Tidak dijumpai efek samping yang

serius, efek pada lokasi suntikan 51% vs 34% sedangkan efek sistemik

didapatkan 5.8% vs 2.9%. Jadi efek samping lebih banyak dijumpai pada

usia yang lebih muda.

Page 154: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

154 Denpasar, 05-07 November 2015

Mills et al mengevaluasi keamanan vaksin herpes zoster selama

28 hari setelah vaksin pada 101 subyek yang sebelumnya mempunyai

riwayat herpes Zoster. Kejadian AE pada lokasi vaksin didapatkan lebih

tinggi pada kelompok vaksin yaitu 45.9% vs placebo 4.2%. Tidak dijumpai

efek samping sistemik yang serius pada studi ini.

Data survey Post-licensure mendapatkan hasil yang lebih baik

karena secara statistic mempunyai power yang lebih kuat untuk suatu studi

RCT. Data terbaik dilakukan di Amerika dengan jumlah sampel 192,000

vaksin zoster yang diberikan kepada populasi berumur 60 tahun atau lebih.

Berbagai risiko dan efek samping diteliti pada periode waktu 1-14, 15-28,

dan 29-42 hari. Risiko alergi bermakna didapatkan pada periode 1-7 hari

setelah vaksin (RR 2.32, 95%CI: 1.85 2.91). Risiko relative alergi pada hari

1-7 didapatkan 3-4 kali lebih tinggi pada usia 50-59 dibandingkan dengan

60 tahun atau lebih. Dari medical report didapatkan > 80% kejadian reaksi

inflamasi lokalis berupa kemerahan, bengkak dan nyeri. Tidak dijumpai

risiko kejadian yang serius seperti strok, serangan jantung, meningitis,

ensefalitis,ensefalopati, Ramsay-Hunt Syndrome atau Bell‘s Palsy dalam

waktu 42 hari setelah vaksin.

KESIMPULAN

Banyak data epidemiologi telah dipublikasi tentang kejadian herpes

zoster. Tetapi sebagian besar data masih dari negara yang pendapatan

perkapita negaranya tinggi dan medium. Belum banyak data yang

dipublikasikan dari negara dengan pendapatan rendah. Kejadian herpes

zoster tentu akan sangat tinggi pula karena adanya kejadian HIV yang

tinggi, umur harapan hidup yang mulai meningkat, sarana pengobatan, ras

dan banyak lagi factor yang lain. Program vaksin varisela dengan sekala

besar yang telah dilakukan di Amerika, Australia di duga akan berdampak

pada peningkatan kejadian Herpes Zoster. Berbagai factor yang

berpengaruh terhadap kejadian herpes zoster menjadi sangat menarik

untuk diteliti lebih jauh lagi. Efikasi dan keamanan vaksin Herpes zoster

telah diteliti dalam sekala besar di beberapa Negara maju . Hasil

menunjukan bahwa vaksin sangat aman dan efektif mencegah kejadian

herpes zoster, PHN, dan komplikasi serius lain dari herpes zoster. Belum

ada data yang menunjukan lama waktu proteksi dari vaksin virus herpes

Page 155: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

155 Denpasar, 05-07 November 2015

zoster. Data yang ada hanya menjunkan jangka pendek saja. Diperkirakan

kemampuan proteksi yang dimiliki vaksin herpes zoster sekitar 10-15

tahun. Masih dibutuhkan data tentang cost effective vaksin herpes zoster

pada Negara dengan pendapatan sedang dan rendah.

DAFTAR RUJUKAN

1. Oxman MN, Zoster Vaccine: Current Status and Future Prospects, CID

2010;51(2):197–213

2. Bader MS, Immunization for the Elderly, Am J Med Sci

2007;334(6):481–486

3. Aspinall R, Del Giudice G, Effros RB, Loebenstein BG and Sambhara

S, Challenges for vaccination in the elderly, Immunity & Ageing 2007,

742-51

4. Weinberger B, Brandstetter DH, Schwanninger A, Weiskopf D, and

Loebenstein BG, Biology of Immune Responses to Vaccines in Elderly

Persons, CID 2008:46;1078-84

5. Loebenstein BG, Bella SD, Iorio AM, Michel JP, Pawelec G and Solana

R, Immunosenescence and vaccine failure in the elderly,Aging Clin

Exp Res 2009; 21: 201-209

6. Dorrington MG and Bowdish DME, Immunosenescence and novel

vaccination strategies for the elderly, Frontier in Immonology

2013:4;171-82

7. Kudesia G, Partridge S, Farrington CP, Soltanpoor N,Changes in age

related seroprevalence of antibody to varicella zoster virus: impact on

vaccine strategy, J Clin Pathol 2002;55:154–155

8. Oxman MN, Levin MJ, Johnson GR, Schmader KE, Straus SE, Gelb

LD, A Vaccine to Prevent Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia in

Older Adults, N Engl J Med 2005;352:2271-84

9. Weller TH. Varicella and herpes zoster: changing concepts of the

natural history, control, and importance of a not-so-benign virus. N Engl

J Med 1983;309(22):1362–1368.

10. Weller TH. Varicella and herpes zoster: changing concepts of the

natural history, control, and importance of a not-so-benign virus. N Engl

J Med 1983;309(23):1434–1440.

Page 156: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

156 Denpasar, 05-07 November 2015

11. Straus SE, Reinhold W, Smith HA, et al. Endonuclease analysis of viral

DNA from varicella and subsequent zoster infections in the same

patient. N Engl J Med 1984;311(21):1362–1364.

12. Gilderman LI, Lawless JF, Nolen TM, et al. A double-blind, random-

ized, controlled, multicenter safety and immunogenicity study of a

refrigerator-stable formulation of Zostavax. Clin Vaccine Immunol 2008;

15(2):314–319.

13. Sutradhar SC, Wang WW, Schlienger K, et al. Comparison of the levels

of immunogenicity and safety of Zostavax in adults 50 to 59 years old

and in adults 60 years old or older. Clin Vaccine Immunol 2009;

16(5):646–652.

Page 157: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

157 Denpasar, 05-07 November 2015

Long Acting Nifedipine on Treatment of Hypertension

Yenny Kandarini

Divisi Ginjal dan Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana – RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Hipertensi merupakan masalah kesehatan dunia, prevalensi

hipertensi yang meningkat, disertai dengan penyakit lain yang

menyertainya akan meningkatkan risiko kejadian kardiovaskuler dan

penyakit ginjal. Hipertensi biasanya tidak menimbulkan gejala yang

spesifik, sehingga menyebabkan banyak penderita hipertensi yang tidak

diobati, dari pasien hipertensi yang mendapat pengobatan, hanya sekitar

10-20% yang mencapai target kontrol tekanan darah. Diperkirakan

prevalensi hipertensi akan semakin meningkat sehingga memberikan

dampak pada kesehatan masyarakat.1,2

Dari berbagai kelas antihipertensi yang ada guideline Eropa terbaru

merekomendasikan 5 golongan obat sebagai terapi awal yaitu ACE-

inhibitor, ARB, diuretic thiazide dosis rendah, CCB atau -blocker.

Nifedipene kerja panjang yang merupakan kelas CCB merupakan kelas

obat antihipertensi yang dapat dipilih sebagai lini pertama penatalaksanaan

hipertensi. Berikut akan dibahas mengenai peranan Long Acting Nifedipine

pada penatalaksanaan hipertensi.3,4

Klasifikasi Hipertensi

Terdapat beberapa klasifikasi hipertensi yang dipakai antara lain:

Klasifikasi Tekanan Darah menurut ESH/ESC, 2013 dan klasifikasi tekanan

darah pada dewasa menurut JNC-75, seperti tampak pada tabel di bawah

ini.

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah (TD) pada Dewasa (JNC-7)5

Klasifikasi TD SBP (mm Hg) DBP (mm Hg)

Normal <120 dan <80

Prehipertensi 120-139 atau 80-89

Hipertensi Stadium 1 140-159 atau 90-99

Hipertensi Stadium 2 ≥160 atau ≥100

Page 158: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

158 Denpasar, 05-07 November 2015

Inisiasi Terapi Hipertensi

Sebagaian besar guideline hipertensi merekomendasikan

tatalaksana farmakologi pada pasien dengan TD140/90 mmHg yang

belum mencapai target TD yang diinginkan dengan modifikasi gaya hidup.

Beberapa bukti menunjukkan bahwa pengobatan tekanan darah >160/100

mmHg dapat menurunkan kejadian stroke, infrak jantung, gagal jantung

dan kematian.4-8 Terbukti bahwa terapi tekanan darah >140/90 mmHg

khususnya pada pasien yang berisiko tinggi sangat bermanfaat. Hal yang

berbeda didapat pada JNC-8 yang menyatakan bahwa batas inisiasi terapi

adalah 140/90 mmHg untuk dewasa umur <60 tahun tetapi

merekomendasikan batasan yang lebih rendah yaitu pada usia >60 tahun.9

Target Terapi Hipertensi

Target terapi hipertensi tergantung dari umur dan penyakit

penyerta. Tabel berikut ini menunjukkan perbandingan dari berbagai

guideline mengenai target tekanan darah dan pemilihan awal obat

hipertensi.

Tabel 2. Perbandingan target dan pemilihan obat antihipertensi dari berbagai

guideline.4

Guideline Population Goal BP,

mmHg

Intitial Drug Treatment

Options

2014

Hypertension

Guideline

Populasi umum ≥ 60

thn

< 150/90 Bukan orang kulit hitam:

thiazide-type diuretic, ACEI,

ARB, atau CCB; Orang kulit

hitam: thiazide-type diuretic

atau CCB

Populasi Umum <

60 thn

< 140/90

Diabetes < 140/90 thiazide-type diuretic, ACEI,

ARB, or CCB

PGK < 140/90 ACEI, ARB

ESH/ESC 2013 Bukan usia lanjut

populasi umum

< 140/90 Diuretik, -blocker, CCB,

ACEI, ataur ARB

Usia lanjut populasi

umum <80 thn

< 150/90

Populasi umum ≥ 80

thn

< 150/90

Page 159: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

159 Denpasar, 05-07 November 2015

Diabetes < 140/85 ACEI atau ARB

PGK tanpa

proteinuria

< 140/90 ACEI atau ARB

PGK + proteinuria < 130/90

CHEP 2013 Populasi umum < 80

thn

< 140/90 Thizide, -blocker (Umur < 60

th), ACEI (bukan orang kulit

hitam), atau ARB Populasi Umum ≥

90 thn

<150/90

Diabetes <130/80 ACEI atau ARB dengan risiko

kardiovaskuler ACEI, ARB,

thiazide, or DHPCCB tanpa

risiko kardiovaskuler

PGK < 140/90 ACEI atau ARB

ADA 2013 Diabetes < 140/80 ACEI atau ARB

KDIGO 2012 PGK tanpa

proteinuria

≤ 140/90 ACEIatau ARB

PGK + proteinuria ≤ 130/80

NICE 2011 Populasi umum < 80

thn

< 140/90 < 55 thn : ACEI atau ARB

Populasi umum ≥ 80

thn

<150 /90 ≥ 55 thn atau orang kukit

hitam : CCB

ISHIB 2010 Orang kulit hitam,

Risiko rendah

< 135/85 Diuretik or CCB

Kerusakan organ

sasaran atau risiko

kardiovaskuler risk

< 130/80

Pilihan Terapi Inisial

Terapi farmakologi hipertensi diawali dengan pemakaian obat

tunggal. Tergantung level TD awal, rata-rata monoterapi menurunkan TD

sistolik sekitar 7-13 mm Hg dan diastole sekitar 4-8 mmHg Terdapat

beberapa variasi dalam pemilihan terapi awal pada hipertensi primer.

Sebelumnya guideline JNC VII merekomendasikan thiazide dosis rendah.

JNC VIII saat ini merekomendasikan ACE-inhibitor, ARB, diuretic thiazide

dosis rendah, atau CCB untuk pasien yang bukan ras kulit hitam. Di lain

pihak guideline Eropa terbaru merekomendasikan 5 golongan obat sebagai

Page 160: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

160 Denpasar, 05-07 November 2015

terapi awal yaitu ACE-inhibitor, ARB, diuretic thiazide dosis rendah, CCB

atau -blocker berdasarkan indikasi khusus (Gambar 1).5

Guideline UK NICE memakai pendekatan berbeda, menekankan

etnik dan ras merupakan faktor determinan penting dalam menentukan

pilihan obat awal pada hipertensi. Hal ini selanjutnya diadaptasi oleh

guideline JNC VIII. Rasionalisasi dari konsep ini adalah RAAS bersifat lebih

aktif pada usia muda jika dibandingkan pada usia tua dan ras kulit hitam.

Jadi guidelina UK. NICE merekomendasikan ACE-inhibitor atau ARB pada

usia <55 tahun, bukan ras kulit hitam sedangkan CCB untuk untuk usia >55

tahun (bukan ras kulit hitam) dan ras kulit hitam dengan semua rentang

usia. Batasan untuk rekomendasi ini adalah: (1) diuretics thiazide lebih

dipilih dibandingkan CCB untuk kondisi gagal jantung atau pasien dengan

risiko tinggi untuk mengalami gagal jantung; (2) ACE inhibitor atau ARB

tidak digunakan pada wanita hamil, dalam kondisi ini -blocker lebih

dipilih.5

Pengobatan antihipertensi dengan terapi farmakologis dimulai saat

seseorang dengan hipertensi tingkat 1 tanpa faktor risiko, belum mencapai

target TD yang diinginkan dengan pendekatan nonfarmakologi.

Kombinasi dua obat dosis rendah direkomendasikan untuk kondisi

TD >20/10 mmHg di atas target dan tidak terkontrol dengan monoterapi.

Secara fisiologis konsep kombinasi 2 obat (dual therapy) cukup logis,

karena respon terhadap obat tunggal sering dibatasi oleh mekanisme

counter aktivasi. Sebagai contoh kehilangan air dan sodium oleh thiazide

akan dikompensasi oleh RAAS sehingga akan membatasi efektivitas

thiazide dalam menurunkan tensi.

Kombinasi 2 golongan obat dosis rendah yang direkomendasikan

adalah penghambat RAAS+diuretic dan penghambat RAAS+CCB. Penting

harus diingat jangan menggunakan kombinasi ACEI dan ARB pada 1

pasien yang sama.

Jika target TD tidak bisa dicapai menggunakan 2 macam obat

antihipertensi dalam rekomendasi di atas atau karena kontra indikasi atau

dibutuhkan lebih dari 3 obat untuk mencapai target TD, obat antihipertensi

dari kelas lain dapat digunakan. Rujukan ke spesialis hipertensi dapat

diindikasikan untuk pasien yang target TD tidak dapat dicapai dengan

Page 161: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

161 Denpasar, 05-07 November 2015

menggunakan strategi di atas atau untuk pengelolaan pasien yang

kompleks yang memerlukan tambahan konsultasi.4

Guideline JNC VIII merekomendasikan kombinasi ACE-inhibitor

atau ARB dengan CCB dan atau thiazid. Konsep ini sama dengan guideline

UK. yang pertama merekomendasikan kombinasi ACE-inhibitor atau ARB

dengan CCB (A+C).

Tabel 3. Indikasi Spesifik Pemilihan Obat Awal Pada Hipertensi1.

Kondisi Obat

Kerusakan organ asimptomatik

Hipertrofi ventricular kiri ACEI, antagonis kalsium, ARB

Aterosklerosis asimptomatik Antagonis kalsium, ACEI

Mikroalbuminuria ACEI, ARB

Gangguan ginjal ACEI, ARB

Kejadian kardiovaskular

Riwayat stroke Setiap zat efektif menurunkan TD

Riwayat infark miokrad BB, ACEI, ARB

Angina pektoris BB, Antagonis kalsium

Gagal jantung Diuretik, BB, ACEI, ARB, Antagonis

Mineralokortikoid

Aneurisma aorta BB

Fibrilasi atrial, pencegahan Pertimbangkan ARB, ACEI, BB atau

antagonis mineralkortikoid

Fibrilasi atrial, pengendalian

denyut ventrikel

BB, antagonis kalisum nonhidropiridin

Penyakit arteri perifer ACEI, Antagonis kalsium

Lainnya

Hipertensi sistolik terisolasi

(usia lanjut)

Diuretik, Antagonis kalisum

Sindrom metabolik ACEI, ARB, Antagonis kalsium

Diabetes mellitus ACEI, ARB

Kehamilan Methyldopa BB, Antagonis kalsium

Kulit hitam Diuretik. Antagonis Kalsium

ACE = angiotensin-converting enzyme; ARB = angiotensin reseptor

blocker; BB = beta=blocker

Page 162: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

162 Denpasar, 05-07 November 2015

Obat-obat Antihipertensi

Terkait pengobatan hipertensi, berdasarkan JNC-8 2014 terdapat 4

kelas pengobatan yang direkomendasikan berdasarkan bukti ‗RCT‘

(Randomized Clinical Trial): ACEI atau ARB, CCB atau diuretika. Semua

golongan obat antihipertensi di atas direkomendasikan sebagai

pengobatan awal hipertensi dan terbukti secara signifikan menurunkan TD.

Jenis pengobatan yang sama juga direkomendasikan oleh ESH/ESC 2013

bahkan bisa dilakukan kombinasi antara ke 4 obat tersebut.

Gambar di bawah ini menunjukkan algoritme penatalaksanaan

hipertensi berdasarkan Guideline UK. NICE2.

Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi Esensial, Terapi Awal dan

Kombinasi (Guideline UK. NICE)2

Umur

< 55 thn

Umur > 55 thn atau orang kulit hitam atau Afrika atau Karibia pada semua umur

A C1

A + C1

A + C + D

Resistant hypertension A + C + D + pertimbangkan pemberian diuretic lebih lanjut

atau -blocker atau -blocker Pertimbangkan untuk mencari saran dari ahlinya

Langkah 1

Langkah 2

Langkah 4

Langkah 3

Keterangan : A = ACE inhibitor atau angiotensin II receptor blocker (ARB) C = Calcium Channel Blocker (CCB) D = Thiazide-like diuretic

Page 163: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

163 Denpasar, 05-07 November 2015

Nifedipine kerja panjang

Nifedipine kerja pendek banyak dipakai untuk terapi hipertensi dan

angina. Nifedipine adalah suatu dihydropyridine CCB yang bekerja sebagai

vasodilator pembuluh darah. Pada awalnya nifedipine dipasarkan dalam

bentuk kerja singkat atau immediate-release capsule formulation.

Nifedipine kerja singkat banyak mempunyai efek samping dan

kemungkinan berbahaya bagi pasien, sehingga dikembangkan formula

baru yang memperpanjang masa kerja obat. Modified-release formulations

memperpanjang masa kerja dari nifedipine dan saat ini banyak dipakai.

Penambahan mekanisme controlled-release pada nifedipine akan

memberikan beberapa keuntungan yaitu : mempertahankan efek

antihipertensinya, memperbaiki kepatuhan pasien karena pemberian satu

kali sehari.10

Mekanisme Kerja Nifedipine Kerja Panjang

Di dalam saluran gastrointestinal air masuk ke dalam tablet

Nifedipine kerja panjang dengan teknologi GITs (GastroIntestinal

Therapeutik System) dengan sistem osmotik melalui membran semi-

permeable sehingga lapisan pendorong mengembang dan lapisan

nifedipine membentuk suspensi. Suspensi nifedipine didorong oleh lapisan

pendorong keluar melalui lubang yang dibuat oleh laser secara stabil

selama 16-18 jam untuk memberikan kontrol tekananan darah selama 24

jam.

Melihat sistem kerja tersebut maka Nifedipine teknologi GITS-nya

menjadi unik dan lebih baik daripada nifedipine biasa yaitu: Pelepasan obat

stabil, fluktuasi TD rendah, kerusakan organ target minimal, pemakaian 1 x

sehari (T/P ratio = 0,81-1,07)

Penelitian Klinis Nifedipine kerja panjang dalam terapi Hipertensi

Nifedipine yang merupakan kelas CCB dihydropyridine sudah

dipakai secara luas pada terapi hipertensi dan penyakit kardiovaskuler

lainnya. Penambahan mekanisme The gastrointestinal therapeutic system

(GITS) memperpanjang efek anti hipertensi dan sudah banyak diteliti dalam

penelitian-penelitian klinis. Penelitian-penelitian yang membuktikan bahwa

Page 164: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

164 Denpasar, 05-07 November 2015

Nifedipine GPT sefektif dalam menurunkan TD termasuk pada kombinasi

dengan beberapa ARBs yaitu:

1. INSIGHT (International Nifedipine GITS Study Intervention as a Goal in

Hypertension Treatment). Penelitian ini merupakan randomized control

trial yang melibatkan 6,321 pasien hipertensi yang berumur antara 55–

80 tahun. Pada penelitian ini nifedipine GITs 30–60mg/day (n=3,157)

dibandingkan dengan co-amilozide (hydrochlorothiazide 25–50g/day +

amiloride 2.5–5mg/day (n=3,164). Didapatkan hasil yang sama efektif

dalam pencegahan komplikasi kardio dan cerebrovaskuler. 11

2. ADVANCE COMBI (Controlled Release Nifedipine and Valsartan

Combination Therapy in Patients with Essential: The ADalat CR/OROS

and VAlsartaN Cost-Effectiveness Combination), penelitian ini ditujukan

untuk membandingkan efikasi & keamanan terapi kombinasi (nifedipine

GITS vs amlodipine) dengan Valsartan pada 505 pasien hipertensi

esensial. Penelitian dilakukan selama 16 minggu, ganda-buta, ‗parallel-

arm,‘ acak. Dimana hasilnya terapi kombinasi Nifedipine GITS–superior

(34.0/20.1 mmHg) & (30/10 mmHg) dibandingkan terapi kombinasi

dengan amlodipine dalam penurunan TD.

3. NICE COMBI (The NIfedipine and CandEsartan Combination).

Kombinasi Nifedipine OROS dengan candesartan terbukti dapat

menurunkan TD sebesar 13/8 mmHg. Pada penelitian ini kombinasi

dosis rendah antara nifedipine CR (GITS) dan candesartan lebih baik

daripada candesartan up-titrated monotherapy dalam control tekanan

darah dan proteksi renal pada pasien dengan hipertensi esensial.12

Pada penelitian ini juga didapatkan terapi kombinasi candesartan &

nifedipine CR (GITS) denagn dosis standar lebih efektif daripada

meningkatkan dosis candesartan monoterapi dalam menurunkan

tekanan darah dan memperbaiki UAE dan mempertahankan LFG.

Kombinasi angiotensin II receptor blocker and long-acting calcium

channel blocker sangat disarankan pada pasien hipertensi yang

disertai dengan albuminuria.12

4. TALENT (STudy EvALuating the Efficacy of Nifedipine GITS–

Telmisartan combination in Blood Pressure Control), kombinasi

Nifedipine OROS dengan telmisartan terbukti dapat menurunkan TD

sebesar 10/5 mmHg

Page 165: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

165 Denpasar, 05-07 November 2015

Ringkasan

Penurunan tekanan darah sangat penting dalam menurunkan risiko

mayor kejadian kardiovaskuler pada pasien hipertensi. Beberapa penelitian

mengindikasikan bahwa penyakit komorbiditas seperti diabetes, dan

kerusakan target organ seperti LVH dan CKD mengindikasikan pemilihan

klas obat yang spesifik dalam terapi hipertensi. Pemilihan obat awal terapi

hipertensi dan kombinasi obat antihipertensi memerlukan pemahaman

yang menyeluruh baik jenis-jenis obat antihipertensi, mekanisme kerja

maupun efek samping yang bisa timbul. Long acting nifedipine suatu

formulasi baru dari nifedipine yang mempertahankan efek

antihipertensinya, menurunkan efek samping dan meningkatkan kepatuhan

pasien karena pemberian satu kali sehari. Penelitian klinis menunjukkan

bahwa Long acting nifedipine dapat dipertimbangkan dalam pemilihan obat

antihipertensi baik sebagai terapi tunggal maupun kombinasi.

Daftar Pustaka

1. Ezzati M, Lopez AD, Rodgers A, Vander Hoorn S, Murray CJ. Selected

major risk factors and global and regional burden disease. Lancet 2002;

360(9343):1347-1360.

2. James PA. Oparil S, Cushman WC, Dennison-Himmerlfarb C, Handler

J, dkk. 2014. Evidence-based guideline for the management of high

blood pressure in adults: report form the panel members appointed to

the Eight Joint National Committee (JNC 8). JAMA 2014:311(5):507-20.

3. Mancia G, De Backer G, Dominiczak A; Management of Arterial

Hypertension of the European Society of Hypertension; European

Society of Cardiology. 2007 Guidelines for the management of arterial

hypertension: The Task Force for the Management of Arterial

Hypertension of the European Society of Hypertension (ESH) and of the

European Society of Cardiology (ESC). J Hypertens 2007;25:1105e87.

4. Johnson RJ, Feehally J, Floege J. 2015. Comprehensive Clinical

Nephrology. 5th edition. Elseiver Saunders; Philadelpia

5. JAMA. Special Communication 2014 Evidence – Based Guideline For

the Management of High Blood Pressure in Adults Report from the

Page 166: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

166 Denpasar, 05-07 November 2015

Panel Members Appointed to the Eight Joint National Committee (JNC

8). JAMA, 2014, 311(5).507-520.

6. Huan Y and Townsend RR. Evaluation and Management of

Hypertension. In: Gilbert SJ, Weiner DE, Gipson DS, Perazella MA and

Tonelli M. National Kidney Foundation‘s Primer on Kidney Disease. 6th

ed. China. Elzeiver Sanduers.2014. pp;590-600.

7. InaSH, 2014. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2014.

Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia. Jakarta.

8. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. Eventh report of the Joint

National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and

Treatment of High Blood Pressure. Hypertension 2008 2003; 42

(6):1206-52.

9. Kaplan NM and Victor RG. 2015. Kaplan‘s CLinical Hypertension. 11th

Edition. Wolters Kluwer; Philadelphia:179-193.

10. Shimamoto K, Kimoto M, Matsuda Y, Asano K and Kajikawa M. Long-

term safety and efficacy of high-dose controlled-release nifedipine (80

mg per day) in Japanese patients with essential hypertension.

Hypertension Research (2015) 38, 695–700.

11. Brown MJ, Palmer CR, Castaigne A, de Leeuw PW, Mancia G,

Rosenthal T, Ruilope LM. Morbidity and mortality in patients

randomised to double-blind treatment with a long-acting calcium-

channel blocker or diuretic in the International Nifedipine GITS study:

Intervention as a Goal in Hypertension Treatment (INSIGHT). Lancet

2000; 356: 366–72.

12. Hasebe N, Kikuchi K; NICE Combi Study Group. Controlled-release

nifedipine and candesartan low-dose combination therapy in patients

with essential hypertension: the NICE Combi (Nifedipine and

Candesartan Combination) Study. J pertens. 2005 Feb;23(2):445-53.

Page 167: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

167 Denpasar, 05-07 November 2015

Imunobiologi dan Imunoterapi Hepatitis B Kronis

IDN Wibawa, Putu Prathiwi Primadharsini

Divisi Gastroenterohepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana -- RSUP Sanglah Denpasar

Abstract

Until recently there are only two options available to manage

chronic hepatitis B infection. Nucleoside and nucleotide analogues such as

entecavir and tenofovir are generally safe and sufficiently effective to

control hepatitis B virus infection. Interferon has both antiviral and immune

modulatory effects against HBV. Problems related to interferon therapy are

low response rate, considerable side reactions, and the parenteral route of

administration

However, while the drug is off, the virus is back to their effective

replication stage; relapses after drug cessation are common. Therefore, we

need future drug/s that can demonstrate off-treatment efficacy—in other

words, eradication of latent hepatitis B virus DNA (covalently closed circular

[ccc]-DNA) in the hepatocytes. One of the choices that can meet these

criteria is immunotherapeutic strategy.

By immunotherapeutic approaches, which designed to either boost

the HBV-specific T-cell component of the immune response or to directly

stimulate the intrahepatic innate response, HBV-infected hepatocytes may

also be targeted.

Pendahuluan

Virus hepatitis B (VHB) telah menginfeksi 350 juta orang di seluruh

dunia.1 Pada dasarnya terdapat lima hambatan untuk penyembuhan

fungsional infeksi VHB kronis: stabilitas intrinsik VHB yaitu adanya ccc-

DNA, supresi tidak lengkap terhadap replikasi virus, pergantian sel inang

VHB, adanya reservoir VHB atau infeksi ekstrahepatik. Untuk

penyembuhan fungsional, terdapat empat pendekatan terapi (secara

tunggal atau dalam kombinasi) untuk mencapai tujuan tersebut. Pertama,

terapi kombinasi dengan anti-virus yang mentarget beberapa tahapan yang

Page 168: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

168 Denpasar, 05-07 November 2015

berbeda dari replikasi VHB. Hal ini akan meningkatkan efikasi antivirus dan

mencegah munculnya virus yang resisten terhadap obat. Kedua, eliminasi

atau penekanan fungsional terhadap cccDNA VHB. Ketiga, stimulasi

respon imun bawaan (innate) intrahepatik. Dan keempat, pemulihan respon

imun adaptif spesifik VHB.2

Meskipun terdapat obat antivirus poten seperti analog

nucleoside/nukleotida (NAs) dan pegylated interferon-α terhadap infeksi

VHB kronis, respon virologi menetap (SVR=Sustained Virological

Response) yaitu hilangnya HBsAg dan serokonversi anti-HBs jarang

dicapai. Kekurangan NAs disebabkan oleh tidak jelasnya durasi optimum

serta dibutuhkan terapi dalam jangka panjang. Sedangkan pegylated

interferon-α memiliki efek samping yang signifikan dan tolerabilitasnya

rendah.3

Tabel 1. Obat Masa Depan untuk infeksi virus hepatitis B kronis.4

Page 169: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

169 Denpasar, 05-07 November 2015

Pendekatan imunobiologi terapi terbaru untuk infeksi VHB kronis

Hampir setiap tahap dalam siklus hidup VHB dapat dijadikan target

terapi untuk mengatasi infeksi VHB4 (Gambar 1). Beberapa golongan obat

yang merupakan bakal calon obat di masa datang untuk mengatasi infeksi

VHB kronik telah dikembangkan (Tabel 1). Termasuk dalam obat ini adalah

obat yang masih dalam tahap penelitian preklinik sampai fase III. Obat

penghambat entry virus, penghambat capsid, imuno-modulator, vaksin

terapeutik, RNA interference, dan lainnya termasuk sederetan obat yang

masih dalam tahap penelitian.4

Gambar 1. Siklus hidup virus hepatitis B sebagai target dari terapi

antivirus.4

NAs menghambat replikasi VHB dengan kuat dan memiliki lebih

sedikit efek samping dibandingkan terapi berbasis interferon, tetapi

biasanya NAs tidak mencapai penekanan virus berkelanjutan. Kegagalan

ini tercerminkan oleh kegigihan cccDNA yang tak tersentuh oleh reverse

Page 170: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

170 Denpasar, 05-07 November 2015

transcriptase inhibitor. Eliminasi cccDNA membutuhkan pergantian

hepatosit terinfeksi sehingga menginduksi sel CD8+ spesifik-VHB

fungsional yang secara khusus dapat membunuh hepatosit yang terinfeksi

virus. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling menjanjikan

untuk menyembuhkan infeksi VHB kronis.5

Berdasarkan konsep imunobiologi infeksi VHB terdapat beberapa

cara pendekatan terapi infeksi VHB kronik seperti penghambatan langsung

(DNA/RNA/Protein), meningkatkan kekebalan adaptif spesifik-VHB,

meningkatkan kekebalan bawaan (Gambar 2).1

Gambar 2. Skema representasi dari strategi baru terapi virus hepatitis B. (a)

penghambatan langsung (DNA/RNA/Protein); (b) meningkatkan kekebalan adaptif

spesifik-HBV; (c) meningkatkan kekebalan bawaan. Ab, antibodi; APC, antigen-

presenting cell; CAR, reseptor antigen chimeric; cccDNA, DNA melingkar kovalen

tertutup; DC, sel dendritik; HBV, virus hepatitis B; IFN, interferon; LTb, limfotoksin-

b; NTCP, sodium taurokolat cotransporting polipeptida; TALEN, transcription

activator-like effector nucleases; TLR, toll-like receptor.1

Page 171: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

171 Denpasar, 05-07 November 2015

Untuk meningkatkan respon sel T CD8+ spesifik-HBV, diperlukan

imunisasi pada pasien dengan infeksi VHB kronis. Tiga pendekatan efektif

yang dapat menghidupkan kembali respon sel T CD8+ spesifik-HBV adalah

dengan memblokir jalur sinyal yang secara negatif mengatur respon sel T

CD8+ spesifik-HBV (misalnya kematian sel terprogram [PD]-1, cytotoxic T-

lymphocyte antigen [CTLA]-4, immunoglobulin sel-T [Tim]-3), dengan

merangsang sel penyaji antigen profesional [pAPC] (misalnya anti-CD40,

Toll-like receptor [TLR]) dan cytokine signaling, dan dengan mengarahkan

kembali sel-T perifer dengan reseptor sel-T aviditas tinggi (TCR).5

Gambar 3. Kemungkinan target untuk modulasi respon imun bawaan pada

infeksi VHB.3

Penggunaan agonis TLR untuk stimulasi respon imun bawaan pada

hepatosit yang terinfeksi VHB adalah pendekatan imunoterapi yang sangat

menjanjikan. Efek dari obat antivirus seperti interferon-α mungkin

ditingkatkan dengan pengiriman langsung obat ke sel yang terinfeksi VHB

melalui TCR-like antibodies yang berfungsi sebagai pengangkut.

Sebaliknya, pendekatan terapi terhadap target ini mungkin membantu

untuk membatasi efek samping obat. Terlepas dari efek langsung pada

Page 172: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

172 Denpasar, 05-07 November 2015

hepatosit yang terinfeksi, pemulihan fungsi sel NK oleh blokade sitokin

penghambat seperti IL-10 dapat digunakan untuk modulasi respon imun

bawaan terhadap VHB3 (Gambar 3).

Terdapat beberapa mekanisme yang terlibat dalam kelelahan sel T

selama infeksi VHB kronis, yaitu jumlah virus (atau antigen) yang tinggi,

hilangnya sel T helper CD4+, sitokin penekan/supresor IL-10 dan TGF-β

dan sel Dendrit (DCs), serta sel T-reg, yang merupakan sumber utama dari

sitokin imunosupresif IL-10 dan TGF-β. Semua faktor ini mampu

mempromosikan kelelahan sel T selama infeksi VHB kronis6 (Gambar 4).

Gambar 4. Mekanisme berkontribusi terhadap kelelahan dari sel T CD8 +

spesifik VHB.6

Page 173: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

173 Denpasar, 05-07 November 2015

Gambar 5. Perkembangan hirarkis kelelahan sel-T selama persistensi infeksi

virus.6

Pada infeksi virus kronis, kelelahan sel-T adalah suatu kondisi yang

sangat jelas ditandai dengan hilangnya fungsi sel-T secara bertahap dan

progresif. Sebagai akibat peningkatan antigen atau viral load, ekspresi

reseptor coinhibitory seperti PD-1, TIM-3, CTLA-4 dan CD244 (2B4) akan

sangat meningkat pada permukaan sel T yang kelelahan, dan sangat erat

kaitannya dengan berkurangnya respon sel T. Selanjutnya, secara hirarkis,

sel T yang kelelahan tersebut kehilangan kapasitas proliferasi dan fungsi

efektor, termasuk terganggunya produksi sitokin seperti IL-2, TNF-α dan

IFN-γ. Pada akhirnya, dalam tahap kelelahan berat, sel T spesifik-virus

dapat sepenuhnya hilang, menyebabkan hilangnya respon sel-T spesifik-

virus6 (Gambar 5).

Pendekatan imunoterapi infeksi VHB menahun

Sel T yang kelelahan, merupakan target sejumlah jalur sinyal

dimana melalui sel tersebut, reseptor inhibisi/penghambat dapat

mengirimkan sinyal penekan untuk menghambat respons fungsional dan

proliferasi selama infeksi VHB kronis. Data yang ada mendukung bahwa

reseptor penghambat termasuk PD-1, CTLA-4, TIM-3 dan CD244

Page 174: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

174 Denpasar, 05-07 November 2015

mengambil bagian dalam mekanisme imunoregulasi kelelahan sel-T. Oleh

karena itu, pemulihan fungsi sel-T yang kelelahan tampaknya dapat

menjadi efektif dengan kesalahan dalam pemblokiran reseptor penghambat

atau secara bersamaan memblokir beberapa molekul penghambatan.

Selain itu, memblok sitokin penghambat seperti IL-10 atau TGF-β

juga dianggap sebagai pendekatan yang bermanfaat untuk modulasi fungsi

sel-sel T. Setelah blokade antibodi, kemampuan sel T untuk berproliferasi

dan mengeluarkan sitokin dapat dipulihkan pada pasien yang terinfeksi

VHB kronis. Berdasarkan temuan ini, pendekatan immunoterapeutik layak

dieksplorasi lebih baik untuk pengobatan anti-virus pasien VHB.6

Terdapat imunoterapi berbasis adenovirus baru sebagai

pendekatan pengobatan terkini (novel) untuk hepatitis kronis B (HKB).

Sampai saat ini, imunoterapi VHB telah dijelaskan pada tingkat praklinis

dan klinis dengan keterbatasan atau tidak ada keberhasilan. Terapi kelas

baru (novel) VHB sudah termasuk HBsAg dalam mayoritas, antigen core

dalam beberapa dan hanya satu coding untuk polimerase VHB.

Imunoterapi VHB dapat menginduksi sel T fungsional pada VHB tikus

transgenik, biasanya tikus transgenik untuk antigen VHB tunggal, tetapi

efek pada parameter virus telah jarang dilaporkan setelah pemberiannya,

terutama pada kadar HBsAg di sirkulasi darah.7

Gambar 6. Imunoterapi untuk pengobatan VHB dicapai dengan pemulihan

kelelahan sel T.6

Page 175: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

175 Denpasar, 05-07 November 2015

TG1050 adalah salah satu imunoterapi VHB dalam satu entitas

tunggal yang dapat mengatasi tiga antigen/domain VHB, termasuk

polymerase. TG1050 menginduksi persistensi respon sel T spesifik-VHB

multifungsi hingga 400 hari setelah suntikan tunggal. Setelah injeksi

tunggal maupun beberapa kali suntikan, TG1050 dapat "mendidik" sel T

fungsional di lingkungan VHB kronis dan menampilkan aktivitas antivirus

yang signifikan dan terus-menerus, khususnya dampak pada kadar HBsAg.

TG1050 adalah satu-satunya imunoterapeutik VHB berbasis adenovirus

yang saat ini direncanakan untuk pengujian di klinik. TG1050 selanjutnya

akan diuji di klinik dikombinasikan dengan NAs untuk pengobatan HKB dan

bertujuan untuk meningkatkan angka kesembuhan. Jika berhasil, TG1050

akan membawa paradigma pengobatan baru untuk pasien dengan HKB.7

TG1050 menunjukkan serokonversi HBsAg pada model tikus terinfeksi

VHB persisten.8

Selain TG 1050, masih terdapat kandidat obat lain yang tergolong

imunoterapi yaitu vaksin terapeutik GS-4774 yang merupakan suatu

rekombinan, heat-killed, vaksin rekayasa genetik yang berbasis ragi untuk

mengekspresikan antigen spesifik VHB yaitu HBs, HBc, dan HBx. Pada

percobaan dengan partisipan individu sehat hasilnya aman dan dapat

ditoleransi.9

Gambar 7. Intervensi terapeutik yang dapat mencapai pengendalian virus

pada infeksi VHB.5

Page 176: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

176 Denpasar, 05-07 November 2015

Di samping aktivasi imun respon humoral untuk membatasi

penyebaran VHB, suatu paradigma baru berupa vaksinasi terapeutik telah

diperkenalkan yaitu induksi respon sel T multi-spesifik dan multi-fungsional

terhadap antigen VHB utama. Suatu vaksin ideal oleh karenanya, pertama

harus menginduksi antibodi penetralisir dan pada tahap kedua sel T.

Vaksin berbasis protein dan dikombinasi dengan adjuvant poten,

tampaknya sangat cocok untuk priming pada vaksinasi prime-boost dan

terutama untuk menginduksi antibodi. Adjuvan berbasis aluminium

hendaknya dihindari oleh karena menginduksi respon imun tipe Th2, yang

akan sangat susah dirubah. Sesudah pengurangan viremia dan

antigenemia, vaksin vector seperti MVA (modified vaccinia virus Ankara) -

atau vaksin berbasis adenovirus yang menyandi antigen VHB adalah paling

efisien untuk menginduksi sitotoksik sel T limfosit spesifik-VHB.10

Suatu pemahaman yang lebih komprehensif terhadap fase respon

pejamu terhadap invasi VHB, pemicu potensial terhadap flare hati, dan

mekanisme molekuler yang mendasari persistensi infeksi serta

imunopatologinya akan sangat membantu menata strategi terapeutik di

masa yang akan datang. Pendekatan sinergis memacu respon imun

pejamu dengan intervensi imunoterapi spesifik dan supresi viral load

secara efektif akan sangat dibutuhkan untuk pemberantasan VHB

berkelanjutan.11

Idealnya, baik respon imun bawaan dan adaptif harus dipicu oleh

vaksinasi terapeutik spesifik-VHB yang menghasilkan imunitas kuat dan

multi-spesifik sel T dan sel B terhadap beberapa antigen HBV. Vaksinasi

terapeutik untuk infeksi VHB kronis bertujuan untuk mengatasi efek

imunosupresif dimediasi oleh muatan antigen tinggi, lingkungan hati

tolerogenik, tetapi juga disfungsi sel-T diinduksi, misalnya oleh peningkatan

aktivitas Treg.12

Ringkasan

Interaksi antara pejamu, terutama sistem imunnya, dengan virus

hepatitis B serta peran beberapa faktor lingkungan sangat menentukan

kerusakan patologis pada hati seorang individu yang terinfeksi VHB.

Peranan obat antivirus NAs dan interferon terpegilasi untuk eradikasi virus

masih jauh dari harapan kita.

Page 177: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

177 Denpasar, 05-07 November 2015

Upaya untuk menemukan formula obat terbaru dalam rangka

eradikasi VHB masih terus berlangsung. Salah satu opsi pendekatan

terapeutik yang menjanjikan adalah imunoterapi. Sel hepatosit terinfeksi

VHB mungkin juga menjadi target terapi dengan pendekatan imunoterapi

yaitu baik dengan meningkatkan respon imun komponen sel T spesifik-

VHB atau merangsang langsung respon imun innate (bawaan) intrahepatik.

Dengan memahami mekanisme seluler dan molekuler bagaimana

VHB menghindari respon imun pejamu maka pada akhirnya akan

membantu pengembangan strategi imunoterapi terbaru untuk terminasi

infeksi VHB menahun.

Daftar Bacaan

1. Bertoletti A, Rivino L. Hepatitis B: future curative strategies. Curr Opin

Infect Dis 2014;27:528–534.

2. Chang JH, Guo F, Zhao XS, Guo JT. Therapeutic strategies for a

functional cure of chronic hepatitis B virus infection. Acta

Pharmaceutica Sinica B 2014;4(4):248–257.

3. Grimm D, Heeg M, Thimme R. Hepatitis B virus: from immunobiology to

immunotherapy. Clin Sci 2013;124:77–85.

4. Minami M. Future therapy for hepatitis B virus infection. Clin J

Gastroenterol 2015;8:167–171.

5. Isogawa M, Tanaka Y. Immunobiology of hepatitis B virus infection.

Hepatol Res 2015;45:179–189.

6. Ye B, Liu X, Li X, Kong H, Tian L, Chen Y. T-cell exhaustion in chronic

hepatitis B infection: current knowledge and clinical significance. Cell

Death and Disease 2015 (6), e1694;1-10.

7. Martin P, Dubois C, Jacquier E, Dion S, Mancini-Bourgine M, Godon O,

et al. TG1050, an immunotherapeutic to treat chronic hepatitis B, induce

robust T cells and exerts an antiviral effect in HBV-persistent mice. Gut

2014;0:1-11.

8. Lelu K, Evlachev A, Kratzer R, Dion S, Mancini-Bourgine M, Godon O,

et al. TG1050, a novel immunotherapeutic to treat chronic hepatitis B

can control HBsAg and provoke HBsAg seroconversion in HBV

persistent mouse models. J Hepatol. 2015;62:S205 (Abstract O031).

Page 178: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

178 Denpasar, 05-07 November 2015

9. Gaggar A, Coeshott C, Apelian D, Rodell T, Brain R, Armstrong BR,

Shen G, et al. Safety, tolerability and immunogenicity of GS-4774, a

hepatitis B virus-specific therapeutic vaccine, in healthy subjects: a

randomized study. Vaccine. 2014;32:4925–31.

10. Kutscher S, Bauer T, Dembek C, Sprinzl M and Protzer U. Design of

therapeutic vaccines: hepatitis B as an example. Microbial

Biotechnology 2012; 5(2): 270–282.

11. Nebbia G, Peppa D, Maini MK. Hepatitis B infection:current concept

and future challenges. Q J Med 2012; 105:109–113.

12. Kutscher S, Bauer T, Dembek C, Sprinzl M, Protzer U.Design of

therapeutic vaccines: hepatitis B as an example..Microbial

Biotechnology 2012; 5(2): 270–282.

Page 179: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

179 Denpasar, 05-07 November 2015

CHRONIC HEPATITIS B THERAPY

Nyoman Purwadi

Divisi Gastroenterohepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana – RSUP Sanglah Denpasar

ABSTRACT

It is estimated that 350 million of individuals are infected by hepatitis

B virus (HBV) worldwide. Major advances have been made in the treatment

of chronic hepatitis B (CHB) during the past several years. While increased

available therapeutic agents improve efficacy of HBV treatment, it is also

CHB is one of the important public health problems worldwide. Major

advances have been made in the treatment of CHB during the past several

years.

Clinical presentation of chronic HBV infection can be quite different

ranging from inactive carrier status to HBV-cirrhosis or hepatocellular

carcinoma (HCC). Understanding the spectrum and clinical presentation of

chronic HBV infection is prerequisite for optimizing HBV treatment. Chronic

HBV infection is defined as positive HBsAg for > 6 months that has been

traditionally classified as the following subgroups.

Chronic Hepatitis B (CHB)

CHB is characterized by positive HBsAg for greater than 6 months,

serum HBV DNA ≥1 x 106 copies/ml, and persistent or intermittent elevation

of serum ALT/AST. A liver biopsy in most of these patients shows chronic

hepatitis. Depending on HBeAg status, these patients can be further

classified as following two subgroups:

1) HBeAg-positive CHB

Patients with HBeAg-positive CHB present with positive HBsAg and HBeAg

in serum that is associated with active HBV replication, infectivity, and

hepatic inflammation. Depending on the mode of HBV transmission,

spontaneous seroconversion from HBeAg to anti-HBe is variable. Most

patients underwent seroconversion remain sustained remission of HBV

infection that is associated with normal transaminases and a low or

Page 180: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

180 Denpasar, 05-07 November 2015

undetectable level of serum HBV DNA although serum HBsAg may remain

positive.

2) HBeAg-negative CHB

Patients with HBeAg-negative CHB present with positive HBsAg, but

negative HBeAg in serum that is associated with active HBV replication,

elevated transaminases, and hepatic inflammation. Pathologically, it is

secondary to mutant viral infection in HBV pre-core or pre-core promoter

region. The prevalence of HBeAg-negative CHB varies worldwide from

14% to 33%. In patients with HBeAg-negative CHB, approximately half of

the patients had serum HBV DNA < 105 copies/ml. HBeAg-negative CHB

is usually progressive and less responsive to HBV treatment.

HBV-cirrhosis

Approximately 20% of patients with CHB develop HBV-cirrhosis.

Although HBV-cirrhosis represents a continued progression of CHB, we

classify it as a different subgroup because of different treatment approach.

HBV load varies in this group of patients although it is usually low. Like

those with CHB, patients with HBV-cirrhosis can be either HBeAg or anti-

HBe positive. Although thrombocytopenia, splenomegaly, and

hypoalubuminemia are indicative of cirrhosis, a liver biopsy provides

histological diagnosis. Patients with HBV-cirrhosis can be compensated or

decompensated. The later presents with esophageal bleeding, ascites,

hepatic encephalopathy, severe hyperbilirulinemia, and/or coagulopathy.

Those with decompensated HBV-cirrhosis should be referred for liver

transplant evaluation.

The ultimate goal of CHB therapy is the prevention of cirrhosis,

hepatic decompensation and/ or HCC. This goal can be achieved if HBV

replication can be suppressed in a sustained manner, thus leading to

biochemical remission, HBe seroconversion in HBeAg-positive patients,

histological improvement and prevention of cirrhosis and its complications.

Several studies have demonstrated that undetectable or low levels of HBV

DNA are associated with a lower risk to develop cirrhosis. Loss of HBsAg

from serum with or without seroconversion to anti-HBs is considered the

ideal end-point of therapy, as it is associated with remission of chronic

hepatitis B activity and an improved long-term outcome. The loss of HBsAg,

Page 181: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

181 Denpasar, 05-07 November 2015

however, is infrequently achieved with currently available anti-HBV agents.

Hence, a more realistic end-point is the induction of a sustained or

maintained virological response. It must be emphasized that a complete

eradication of HBV infection is impossible to achieve due to the persistence

of the so-called covalentlyclosed-circular DNA (cccDNA), the

transcriptionally active HBV mini-cromosome in the nucleus of infected

hepatocytes; that is to say, that an HBV infected patient can be ―cured‖ but

the HBV infection cannot be eradicated and continues to persist as an

occult infection.

The indications for treatment are generally the same for both

HBeAg-positive and HBeAg-negative CHB. This is based mainly on the

combination of three criteria:Serum HBV DNA levels, Serum ALT levels,

Severity of liver disease. Patients should be considered for treatment when

they have HBV DNA levels above 2000 IU/ml, serum ALT levels above the

upper limit of normal (ULN) and severity of liver disease assessed by liver

biopsy (or non-invasive markers once validated in HBV infected patients)

showing moderate to severe active necroinflammation and/or at least

moderate fibrosis using a standardised scoring system . In patients who

fulfil the above criteria for HBV DNA and histological severity of liver

disease, treatment may be initiated even if ALT levels are normal.

Indications for treatment may also take into account age, health status,

family history of HCC or cirrhosis and extrahepatic manifestations.

At the present time, several drugs are licensed for the treatment of

HBV infection: interferon alfa, lamivudine, and the nucleotide analogue

adefovir dipivoxil. Several newer nucleside analogues, such as entecavir,

emtricitabine, and telbivudine, are in various phases of

study. Adefovir, tenofovir, and entecavir have been shown to have antiviral

activity against lamivudine resistant as well as wild-type HBV both in vitro

and in vivo.

Page 182: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

182 Denpasar, 05-07 November 2015

Rekomendasi Terbaru pada Hiperurisemia dan Artritis Gout

Tjokorda Raka Putra

Divisi Reumatologi dan Alergi-Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Penyakit gout adalah kelainan patologis yang terjadi akibat

penumpukan kristal urat pada organ tubuh akibat hiperurisemia. Diagnosis

utama adalah mendapatkan kristal urat dalam jaringan. Diberikan

rekomendasi terbaru dalam diagnosis dan penanganan gout.

Tujuan penanganan gout adalah menurunkan kadar AU darah

sampai dalam batas normal, agar tidak terbentuk kristal urat, dengan

edukasi, diet dan medikamentosa. Penanganan medisinal memberikan

obat penurunan AU pada hiperuersemia yang telah menimbulkan kelainan

patologis atau gout, akibat penumpukan kristal urat, seperti AG,

pembentukan tofus, nefropati urat akut atau batu urat. Pada

hiperurisemnia asimptomatis sebaiknya tidak diberikan pengobatan, hanya

penanganan medis rutin dan perlu pemantauan berkesinambungan.

Alopurinol merupakan obat pilihan pertama obat penurun AU darah.

Pilihan lainnya adalah obat urikosurik (benzbromarone, probenesid) atau

feboxostat. Pilihan lain, uricase dengan monoterapi pada gout berat apabila

gagal atau ada kontraindikasi pemakaian obat lainnya. Pemakaian obat

penurun AU dimulai dengan dosis rendah dan ditingkatkan bertahap

sampai kadar AU darah tercapai normal, kecuali uricase. Pemakaian obat

penurun AU dipelukan edukasi tentang resiko dan penanganan serangan

akut serta pentingnya pemakaian obat profilaktis dengan kolkhisin (dosis

sampai 1,2 mg), atau apabila ada kontraindikasi atau terjadi intoleran bisa

memakai OAINS atau dengan kortikosteroid dosis rendah.

Pada AG akut pengobatan utama adalah dengan kolkhisin dosis

rendah (sampai 2 gram sehari), OAINS dan atau kortikosteroid dalam

bentuk intra-artikuler, oral atau intramuskuler, tergantung penyakit penyerta

atau resiko sefek sampingnya .

Page 183: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

183 Denpasar, 05-07 November 2015

Dalam keadaan tertentu, terjadi gout refrakter dengan berbagai

penyebab. Penanganan utama adalah memberikan edukasi kepada

pasien, betapa pentingnya menurunkan kadar AU menjadi normal, guna

menghindari kerusakan organ sistemik. Menentukan penyebab untuk

memberikan penanganan yang menyeluruh adalah sangat penting. Pada

alergi obat alopurinol dapat dicoba desensitisasi atau pemakaian obat

oxypurinol. Pada intoleransi obat alopurinol dan keadaan penyakit

gangguan fungsi ginjal yang tidak efektif dengan alopurinol dan diberikan

obat febuxostat atau uricase.

Pendahuluan

Gout adalah kelainan patologis pada jaringan organ akibat

terbentuk dan penumpukan kristal urat pada penderita hiperurisemia,

dengan manifestasi klinis dapat berupa Artritis Gout, kelainan ginjal dan

kelainan organ lainnya.

Hiperurisemia telah menjadi masalah kesehatan utama di

masyarakat, karena menyebabkan kerusakan fungsi organ tubuh, akibat

pembentukan kristal urat. Kristal urat mengaktifkan pengeluaran berbagai

mediator keradangan sehingga menyebabkan keradangan organ dan

kelainan patologis organ. Kelainan patologis yang mungkin terjadi pada

seorang dengan hiperurisemia yang disebut gout, antara lain berupan

Artritis Gout (AG), batu ginjal, nefropati ginjal, dan kelainan lainnya seperti

hipertensi, atau kelainan kardiovaskuler. Kelainainan pada ginjal sering

menyebabkan gangguan fungsi ginjal yang bersifat permanen. Diagnosis

utama untuk penyakit gout adalah, mendapatkan kristal urat pada organ

tersebut. Namun dalam prakteknya, menemukan kristal urat sering sulit

untuk dikerjakan.

Penanganan gout bertujuan untuk menurunkan kadar asam urat

(AU) darah sampai dalam batas normal, sehingga tidak terbentuk kristal

urat dalam jaringan dan tidak menyebabkan kerusakan fungsi organ.

Target penurunan kadar AU darah adalah 6 mg atau kurang. Pada artritis

kronis dan pembentukan tofus, perlu penurunan kadar AU darah sampai 5

mg% agar pengecilan tofus terjadi lebih cepat. Penanganan gout secara

umum dengan memberikan edukasi, program diet dan penanganan

medisinal dengan obat penurun AU.

Page 184: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

184 Denpasar, 05-07 November 2015

Pada dekade ini, penyakit gout telah merupakan isu yang sangat

populer di masyarakat, namun para dokter masih belum sempurna dalam

membuat diagnosis dan penanganannya. Dalam makalah ini disampaikan

rekomendasi terbaru pada Hiperurisemia dan Artritis Gout berdasarkan

pada evidence terakhir dan juga disampaikan penanganan gout refrakter

yang sering didapatkan dalam praktek.

Patogenesis dan Manifestasi Klinis Gout

Gout adalah kelainan akibat peningkatan kadar AU di dalam darah,

yang disebut hiperurisemia. Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi

peningkatan kadar AU darah diatas normal. Batasan pragmatis yang sering

dipergunakan untuk hiperurisemia adalah suatu keadaan dimana terjadi

peningkatan kadar AU serum yang bisa mencerminkan adanya kelainan

patologi pada organ. Kadar AU serum diatas 7 mg% pada laki dan 6 mg%

pada perempuan dipergunakan sebagai batasan hiperurisemia (WHO,

1992 ; Cohen et al, 1994; Kelley & Wortmann, 1997).

Hiperurisemia dapat terjadi karena peningkatan metabolisme atau

produksi AU (overproduction), karena penurunan pengeluaran AU dalam

urin (underexcretion), atau gabungan keduanya. Penyebab hiperurisemia

dan gout dapat dibedakan atas hiperurisemia primer, sekunder dan

idiopatik. Hiperurisemia primer adalah hiperurisemia tanpa disebabkan

penyakit atau penyebab lain, sering karena faktor genetik. Hiperurisemia

sekunder adalah hiperurisemia disebabkan karena penyakit lain, misalnya

penyakit keganasan dan penurunan fungsi ginjal. Hiperurisemia idiopatik

adalah hiperurisemia yang tidak jelas penyebabnya (Schumacher Jr, 1992;

Kelley & Wortmann, 1997).

Tidak semua orang dengan hiperurisemia akan menimbulkan

kelainan patologis. Sering didapatkan pada seorang hiperurisemia tidak

terjadi pembentukan kristal urat pada jaringan dan tanpa menimbulkan

kelainan patologis, keadaan ini disebut hiperurisemia asimptomatis. Pada

hiperurisemia dengan pembentukan kristal urat dan sering dalam bentuk

monosodium urat, akan menimbulkan kelainan patologis pada organ dan

keadaan ini disebut gout. Keadaan ini terjadi, diperkirakan karena orang

tersebut mempunyai faktor genetik, faktor The Gouty Diatheis. Dengan

konsep ini dapat dijelaskan kenapa orang dengan hiperurisemia tidak

Page 185: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

185 Denpasar, 05-07 November 2015

menimbulkan kelainan dan pada orang lain terjadi kelainan patologis gout.

(Kelly WN et al, 1997).

Pembentukan kristal urat merupakan faktor yang penting

menyebabkan kelainan patologis organ. Kerusakan organ dan tempat

penumpukan kristal urat tersering adalah pada tulang rawan, tulang epifise,

jaringan periartikuler, ginjal dan pada organ lainnya. Disamping faktor

kadar dan lama hiperurisemia berlangsung, yang merupakan penyebab

terjadi kelainan patologis organ, juga tergantung pada lokasi organ

tersebut. Pada ibu jari kaki kemungkinan pembentukan kristal urat sangat

tinggi akibat temperatur relatif rendah, disamping karena resiko trauma

pada daerah tersebut. Keradangan pada sendi pangkal ibu jari kaki

merupakan tanda yang penting pada AG akut, disebut podagra. (Kelly WN

et al, 1997),

Pembentukan kristal urat akan menyebabkan pengeluaran berbagai

mediator keradangan, terutama inflamasom dan IL-1, serta berbagai

mediator lainnya, bersama aktivasi sel radang sehingga terjadi proses

keradangan akut pada organ tempat penumpukan kristal urat. Kelainan

patologis yang mungkin terjadi pada seorang dengan hiperurisemia yang

disebut gout antara lain AG atau Artritis Pirai, Batu Ginjal, Nefropati Ginjal

dalam bentuk Nefropati Urat yang sering menimbulkan gagal ginjal kronis

atau Nefropati Asam Urat yang sering menimbulkan gagal ginjal akut, dan

kelainan lain seperti hipertensi, atau kelainan kardiovaskuler. AG

berdasarkan stadiumnya di klasifikasikan dalam AG stadium akut,

interkrtitik dan kronis dengan pembentukan tofus. AG Akut, serangan

sering pada sendi ibu jari kaki, sendi metatarso-falangeal I, disebut

podagra. AG Interkritik adalah stadium diantara dua serangan akut, tanpa

ada keradangan pada sendi, namun kadar AU tetap tinggi. AP Kronis, telah

terjadi kerusakan pada sendi dan sering dengan pembentukan tofus.

Dalam praktek klinis, telah banyak disampaikan berbagai

rekomendasi dalam diagnosis dan penanganan gout dalam beberapa

literatur terbaru untuk bisa mencegah kerusakan berlanjut akibat

pembentukan kristal urat pada jaringan.

Page 186: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

186 Denpasar, 05-07 November 2015

Rekomendasi dalam Diagnosis Gout

Diagnosis AG yang biasa dipergunakan adalah berdasarkan kriteria

“The American Rheumatism Association, Sub Commitee on Classification

Criteria for Gout” (1997), yaitu : Terdapat kristal urat pada cairan sendi, dan

atau terdapat kristal urat pada topi yang secara kimiawi atau secara

mikroskop cahaya dengan tehnik polarisasi. Apabila tidak bisa menemukan

kristal urat, diagnosis dilakukan dengan mempergunakan kriteria, dengan

memenuhi paling sedikit 6 butir dari 12 kriteria, yaitu 1. Peradangan

memuncak dalam waktu sehari, 2.Serangan artritis akut lebih dari satu kali,

3.Artritis monoartikuler, 4.Kemerahan sekitar sendi, 5.Nyeri atau

pembengkakan sendi metatarso-falangeal I. 6.Serangan pada sendi

metatarso-falangeal I unilateral, 7.Serangan pada sendi tersal unilateral,

8.Dugaan adanya topi, 9.Hiperurikemia, 10.Foto sendi terlihat

pembengkakan asimetris, 11.Foto sendi terlihat kista subkortikal tanpa

erosi, dan 12. Pada kultur cairan sendi tidak didapatkan pertumbuhan

kuman (Becker & levinson, 2005).

Dalam suatu penelitian terakhir, penelitian multinasional

berdasarkan evidence dibuat rekomendasi dalam membuat diagnosis gout.

Menemukan kristal urat pada jaringan adalah rekomendasi utama untuk

membuat diagnosa gout. Apabila tidak mungkin dilaksanakan, maka

dibantu dengan tanda klinis klasik, yaitu adanya podagra, tofus, dan respon

baik dengan obat kolkhisin, atau adanya tanda petanda imaging.

Hiperurisemia sendiri tidak kuat dalam menentukan diagnosis gout. (Sivera

F, et al.2014) Respon baik dengan pengobatan dengan kolkisin dosis

rendah merupakan diagnosis penting untuk artritis karena kristal, bukan

hanya pada artritis karena kristal urat. Petanda imaging canggih, bisa

dipergunakan dengan ultrasonografi dan dual-energy CT (Sivera F, et

al.2014).

Pada diagnosis penyakit gout atau hiperurisemia juga

direkomendasikan untuk menentukan fungsi ginjal dan menentukan resiko

untuk menderita penyakit jantung koroner (Sivera F, et al.2014).

Rekomendasi dalam Penanganan Gout

Secara umum tujuan penanganan gout adalah mencapai kadar AU

darah dalam batas normal, dengan memberikan edukasi, program diet dan

Page 187: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

187 Denpasar, 05-07 November 2015

penanganan medisinal, sehingga tidak terjadi kerusakan organ permanen

akibat penumpukan kristal dan tidak berlanjut menyebabkan komplikasi

organ. Target penurunan AU darah adalah mencapai kadar AU 6 mg atau

kurang. Pada artrtitis Gout kronis dengan pembentukan tofus, perlu dicapai

penurunan kadar AU darah sampai kadar 5 mg%, agar terjadi pengecilan

tofus secara cepat (Terkeltaub AR, 2011).

Edukasi adalah dengan memberikan pengertian pada penderita

bahwa kadar AU perlu dinormalkan, walaupun tidak menimbulkan

serangan akut. Hindari faktor pencetus seperti diet tinggi purin, trauma

lokal pada sendi, kelelahan, pemakaian obat diuretika, keadaan yang

menyebabkan penurunan atau peningkatan kadar AU darah secara

mendadak.

Program diet dengan memberikan anjuran asupan diet rendah

purin, banyak minum air putih lebih 2 liter sehari dan program penurunan

berat badan pada penderita gemuk. Program diet ini dilakukan seumur

hidup, walaupun kadar AU darah telah normal. Makanan merupakan faktor

penting dalam penanganan hiperurisemia sehingga perlu mengkonsumsi

makanan rendah purin, protein dan fruktosa. Namun makanan rendah purin

hanya akan menurunkan AU darah sampai 1 mg%. Menghindari komsumsi

alkohol merupakan penanganan standar pada hiperurikemia (Kelly

WN,1997).

Penanganan medicinal, memberikan obat penurun AU pada

hiperurisemia yang telah menimbulkan kelainan patologis atau gout, akibat

penumpukan kristal urat, seperti AG, pembentukan tofus, nefropati urat

akut atau batu urat. Pada hiperurisemia asimptomatis sebaiknya tidak

diberikan pengobatan, hanya penanganan medis rutin dan bila perlu

pemantauan fungsi ginjal secara ketat, kecuali diketahui hiperurikemia

overproduksi yang diperkirakan karena faktor keturunan atau kemungkinan

besar akan terjadi nefropati urat (Kelly WN,1997). Rekomendasi terakhir,

tetap tidak dianjurkan pemberian obat-batan untuk menurunkan kadar AU

pada Hiperurisemia Asimptomatis (Sivera F, et al.2014). Obat-obatan yang

sering dipakai untuk menurunkan kadar AU darah, yang disebut obat

penurun AU adalah alopurinol, menurunkan produksi dan obat urikosurik,

meningkatkan ekskresi AU melalui urin.

Page 188: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

188 Denpasar, 05-07 November 2015

Alopurinol adalah obat penghambat enzim xanthin oxidase. Pada

metabolisme purin, enzim xanthin oxidase yang berfungsi sebagai katalisat

oksidasi dari hiposantin menjadi santin, selanjutkan santin akan menjadi

AU. Alopurinol menghambat produksi AU sehingga menurunkan kadar AU

darah, dan merupakan obat relatif aman untuk kecuali alergi alopurinol,

serta merupakan obat pilihan pertama, karena jarang ada kontraindikasi

dibandingkan obat urikosurik. (Kelly WN,1997), Indikasi alopurinol adalah

1. Hiperurisemia karena overproduksi, yaitu ekskresi AU urine per 24 jam

1000 mg atau lebih, nefropati urat, batu ginjal atau pencegahan sebelum

pemakaian obat sitostatika. 2. Intoleran atau efek yang belum optimal dari

pemakaian obat urikosurik, pada gout dengan insufisiensi ginjal (GFR 60

mg /menit) atau alergi terhadap obat urikosurik. Pada penurunan fungsi

ginjal perlu penyesuaian dosis alopurinol (Kelley & Wortmann, 1997).

Rekomendasi terakhir, menganjurkan pemakaian alopurinol pada

gangguan fungsi ginjal ringan sampai sedang dimulai dengan dosis rendah

(50-100mg) perhari dan dapat dinaikkan dosis untuk mencapai kadar AU

yang diinginkan dengan pemantauan ketat terhadap efek samping. Dapat

diberikan feboxostat atau benzbromarone sebagai obat alternatif tanpa

dosis penyesuaian (Sivera F, et al.2014).

Diperkirakan 5 sampai 10%, alopurinpol menyebabkan keluhan efek

samping pada saluran cerna berupa mual dan muntah, transaminitis, dan

berbagai efek samping pada sentral, serta 2 % penderita terjadi alergi obat

alopurinol berupa efloresensi kulit berupa rash dan makulopapuler, dengan

keluahan awal berupa pruritus (Terkeltaub AR, 2011). Penderita yang

alergi allopurinol dapat diberikan febuxostat, yang juga merupakan

penghambat enzim xanthin oxidase peroral yang tidak dikeluarkan melalui

ginjal sehingga relatif aman untuk gangguan fungsi ginjal (Field, TR, 2008).

Rekomendasi terakhir menyatakan bahwa alopurinol merupakan

obat pilihan pertama untuk menurunkan AU darah. Pilihan lainnya adalah

obat urikosurik (benzbromarone, probenesid) atau feboxostat. Uricase bisa

sebagai pilihan lain dan pemberian monoterapi pada gout berat apabila

gagal atau ada kontraindikasi pemakaian obat lainnya. Pemakaian obat

penurun AU dimulai dengan dosis rendah dan ditingkatkan bertahap

sampai target kadar AU darah tercapai, kecuali uricase (Sivera F, et

al.2014).

Page 189: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

189 Denpasar, 05-07 November 2015

Febuxostat merupakan obat golongan selektif inhibitor terhadap

xantin oksidase yang menempati saluran ke molybdenum-pterin yang

merupakan bagian aktif dari enzim. Tidak seperti alopurinol dan oxypurinol,

obat ini tidak memiliki struktur seperti purin. Farmakokinetik obat ini hanya

sedikit mengalami metabolisme dengan oksidasi dan glukoronidasi di hati

dan ekskresi melalui ginjal. Obat ini tidak mempengaruhi metabolisme

pirimidin. Di Amerika, obat ini digunakan 40 mg per hari dan bila kadar AU

tidak normal setalah pemakaian 2 minggu, dosis dapat dinaikkan sampai

80 mg sehari. Di Eropa, obat ini digunakan sampai dosis 80 sampai 120

mg sekali sehari. Efek samping febuxostat meliputi rash kurang dari 2 %,

dan peningkatan enzim di hati, diare, artralgia. Dengan hambatan xantin

oksidase oleh obat ini, maka potensial untuk berinteraksi dengan

azathioprine, 6-mercaptopurin dan teofilin (Terkeltaub AR,2011).

Pada saat ini, ada obat baru untuk menurunkan AU darah, yang

disebut uricase. Uricase adalah enzim yang mengubah AU menjadi

allantoin yang larut dalam air dan dikeluarkan pada urin. Uricase adalah

enzim akhir yang berperan dalam metabolisme purin pada binatang

mamalia non primata atau primata tingkat rendah, sehingga tidak

menghasilkan AU sebagai metabolisme akhir purin. Pada manusia dan

primata tingkat tinggi enzim ini diduga telah menghilang bersama dengan

perjalanan evolusinya. Pada tahun 2009, FDA menganjurkan pemakaian

recombinan fungal enzyme rasburicase, untuk mencegah hiperurikemia

pada Tumor Lysis Syndrome, namun sangat immunogenik, menimbulkan

rekasi alergi berat. Pada tahun 2010 dihasilkan poly etthylene-glycol-

conyugated uricase (pegloticase) yang dapat menurunkan faktor

imunogenik dan dicoba untuk menurunkan kadar AU darah. Pemberian

masih dalam bentuk intravena dan harganya mahal, serta tidak

sepenuhnya menghilangkan efek samping alergi, sehingga perlu persiapan

khusus untuk pemberian pegloticase (Terkeltaub AR, 2011).

Obat urikosurik adalah obat yang meningkatkan ekskresi AU

melalui urin, dengan mengadakan kompetisi dengan urat melalui tubular

brush border transporter, yang menyebabkan hambatan reabsorpsi AU

pada tubulus. Pemakaian obat ini perlu dilakukan pemeriksaan kadar AU

urine 24 jam, guna melihat kontraindikasi obat. Obat urikosurik antara lain

probenesid, sulfinpirason, benzbromarone, azanpropason dan asam

Page 190: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

190 Denpasar, 05-07 November 2015

salisilat dosis tinggi, lebih dari 5 gr/hari. (Kelly WN,1997; Becker &

Levinson, 2005). Pemakaian obat ini hanya diberikan pada penderita usia

kurang 60 tahun, fungsi ginjal normal (kliren kreatinin lebih dari 80 ml/mn),

kadar AU urin 24 jam kurang dari 700 mg 24 jam dengan diet biasa dan

tidak ada riwayat batu ginjal (Schumacher, 1992; Kelly WN,1997). Hati-hati

pemakaian obat ini karena dapat menyebabkan nefropati asam urat akut

karena terjadi peningkatan kadar AU dalam urin (Schumacher, 1992). Perlu

dilakukan alkalinisasi urine untuk mencegah kristalisasi AU dalam urin,

mencegah pembentukan kristal urat pada tubulus ginjal dan pembentukan

batu pada saluran kencing, serta disarankan untuk minum cairan lebih

dari 2 liter perhari.

Dalam penanganan gout, pemberian obat penurun AU dengan

alopurinol atau obat urikosurik perlu dikombinasi dengan kolkhisin dosis

rendah untuk mencegah kekambuhan serangan artritis. Diberikan dosis

0,6-1,2 sehari sampai 1-2 bulan setelah serangan akut membaik atau

beberapa bulan pada orang yang sering mengalami serangan akut

(Agudelo & Wise, 2001). Ada yang menganjurkan memberikan kolkhisin

sampai 6 bulan setelah kadar AU normal dan setelah topus telah mengecil

(Terkeltaub AR, 2011). Dapat diberikan juga OAINS atau prednison dosis

rendah untuk mencegah kekambuhan artritis akut (Roothschild BM, 2013),

namun pemakain OAINS dosis rendah sebagai obat pencegahan tidak ada

evidencenya dan kortikosteroid dosis rendah sebaiknya dihindari.

Kemungkinan antagonis IL-1 dimasa mendatang mungkin dapat

dipergunakan (Terkeltaub AR, 2011).

Rekomendasi terakhir menyatakan juga, bahwa pada pemakaian

obat penurun AU diperlukan edukasi tentang resiko dan penanganan

serangan akut serta pentingnya pemakaian obat profilaksis dengan

kolkhisin (dosis sampai 1,2 mg), atau apabila ada kontraindikasi atau

terjadi intoleran bisa dipergunakan OAINS atau dengan kortikosteroid dosis

rendah. Lama pemakaian obat profilaksis bersifat individual (Sivera F, et

al.2014).

Disamping medikamentosa perlu diperhatikan beberapa hal lain

yang terkait dengan penanganan hiperurisemia antara lain makanan,

kegemukan, komsumsi alkohol, dan keadaan lain yang menyertai seperti

hipertrigliseridemia, dan hipertensi, yang perlu mendapatkan penanganan.

Page 191: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

191 Denpasar, 05-07 November 2015

Demikian juga rekomendasi terakhir menyatakan, pasien perlu menjalani

pola hidup sehat, termasuk menurunkan kelebohan berat badan, olah raga

teratur, hindari merokok, menghindari alkohol berkelebihan dan komsumsi

gula (Sivera F, et al.2014).

Penanganan pada AG tergantung stadium penyakit, pada AG Akut

tujuan utama pengobatan adalah menghilangkan secepat mungkin keluhan

nyeri dan keradangan sendi dengan penanganan medikamentosa, berbeda

dengan penanganan pada stadium interkritik dan stadium kronis. Berbagai

pilihan obat dapat dipergunakan pada AG akut, antara lain dengan obat

anti-inflamasi non steroid (OAINS), kolkhisin dan kortikosteroid injeksi lokal

atau hormon adreno kortikotropin. OAINS merupakan obat pilihan pertama

pada pengobatan AG akut, sedangkan kolkhisin dapat sebagai penambah.

Apabila kolkhisin dan OAINS tidak efektif atau merupakan kontraindikasi

maka digunakan obat kortikosteroid. Kortikosteroid injeksi lokal diberikan

terutama pada sendi besar setelah melakukan aspirasi. Obat penurun AU,

alopurinol atau obat urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut,

karena akan terjadi penurunan kadar AU darah secara cepat yang

menyebabkan keradangan sendi bertambah berat. Pada penderita yang

telah rutin mendapatkan obat penurun AU sebaiknya obat tersebut tetap

diberikan ( Terkeltaub AR, 2005).

Rekomendasi terakhir, pada penanganan AG akut adalah dengan

pemberian kolkhisin dosis rendah (sampai 2 gram sehari), OAINS dan atau

kortikosteroid dalam bentuk intra-artikuler, oral atau intramuskuler,

tergantung penyakit penyerta atau resiko efek sampingnya (Sivera F, et

al.2014).

Obat anti-inflamasi non steroid sebagai obat antiinflamasi

disebabkan karena efek hambatan pada jalur cyclooxygenase (COX) dan

jalur lypooxygenase dalam metabolisme asam arakhidonat. Asam salisilat

atau aspirin merupakan obat yang pertama sebagai OAINS, dikatakan

menghambat siklooksigenase melalui hambatan kedua isoenzim COX-1

dan COX-2. Secara umum OAINS dikatakan dapat memodulasi berbagai

peran lain dalam proses keradangan, (Brooks, 1998). Berbagai jenis

OAINS dapat digunakan pada AG. Perlu hati-hati pemakaiannya pada usia

lanjut, insufisiensi renal atau keadaan dehidrasi (Terkeltaub AR, 2005).

Page 192: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

192 Denpasar, 05-07 November 2015

Kolkhisin merupakan ekstrak pohon colchicum autumnale, yang

berefek sebagai kartartik dan digunakan sebagai pengobatan gout sejak

600 SM. Kolkhisin merupakan obat yang efektif dan relatif spesifik untuk

pengobatan APA dan merupakan obat pilihan yang telah lama digunakan.

Perlu diperhatikan efek samping yang terjadi. Efek utama kolkhisin adalah

menghambat fungsi neutrofil yaitu dengan menghambat khemotaksis,

fagositosis, adhesi dan pengeluaran berbagai mediator. Kolkhisin

menyebabkan peningkatkan cyclic adenosis monophosphate (cAMP) yang

menyebabkan penekanan fungsi adhesi dan kemotaksis neutrofil. Kolkhisin

akan menekan aktivitas mikrotubuli dalam mengoptimalkan aktivitas 15

lipooksigenase, yang penting dalam metabolisme AA. Hambatan aktivitas

mikrotubuli juga menyebabkan gangguan motilitas leukosit, sehingga

menyebabkan hambatan khemotaksis, fagositosis dan perlekatan sel

leukosit. Kolkisin juga menghambat induksi kristal urat terhadap aktivitas

tirosin kinase neutrofil, sehingga terjadi hambatan pada enzim PLA2 dan

produksi LTB4. Kolkhisin juga menghambat pengeluaran mediator IL-1 dan

IL-8, menghambat proses migrasi dan fagositosis neutrofil. Efek lain dari

kolkhisin adalah menghambat reseptor atau respons TNF pada makrofag

dan endotel, serta menghambat pengeluaran histamin dari sel mast

(Terkeltaub AR, 2001). Pemakaian kolkhisin dosis tinggi pada AG akut

telah ditinggalkan karena memberikan efek samping. Pemberian dosis

kecil, 0,6 mg peroral dua atau tiga kali sehari dan sering digabung dengan

OAINS cukup baik mengatasi serangan akut. Karena kolkisin dikeluarkan

melalui urin dan empedu maka pada pasien dengan oliguri, insufisiensi

ginjal (kliren kreatinin kurang dari 10mL/mn), gangguan fungsi hati dan

obtruksi empedu harus dipilih pengobatan lain. Pada penderita gagal

jantung, depresi sumsum tulang, pemakaian obat khemoterapi dan infeksi

berat akan cenderung menimbulkan efek toksis. Pada keadaan ini perlu

penurunan dosis atau diberikan pengobatan dengan obat lain. Pada usia

lanjut perlu penurunan dosis sampai 50% (Terkeltaub AR, 2005).

Manifestasi gejala keracunan kolkhisin pada pemberian oral tersering

berupa keluhan gastrointestinal. Keluhan jarang berupa neuropati, miopati,

alopesia, depresi sumsum tulang, syok dan efek pada produksi dan

gangguan fungsi sperma yang masih kontroversi. Keluhan gastrointestinal

berupa kram perut, mencret, mual dan muntah (Terkeltaub AR, 2005).

Page 193: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

193 Denpasar, 05-07 November 2015

Pada AG stadium interkritik dan kronis, tujuan pengobatan adalah untuk

menurunkan kadar AU darah sampai kadar normal guna mencegah

kekambuhan. Penurunan kadar AU darah dilakukan dengan pemberian diet

rendah purin dan pemakaian obat allopurinol atau dengan obat urikosurik.

Dalam rekomendasi terakhir dinyatakan target penurunan kadar AU

darah hingga mencapai dibawah 6 mg% dan memonitor adanya serangan

akut, serta pengecilan tofus. Pada AG kronis dengan pembentukan tofus

target penurunan kadar AU darah hingga dibawah 5 mg%, dan operasi

dilaksanakan untuk menghilangkan tofus dengan indikasi khusus, misalnya

pada tofus yang menyebabkan penekanan saraf tepi, penekanan mekanis

dan terjadi infeksi (Sivera F, et al.2014).

Dalam penanganaan gout secara standar sering tidak tercapai

tujuan utama, menurunkan kadar AU mencapai kadar normal, sehingga

proses pembentukan kristal urat dan kerusakan organ terus berlanjut.

Keadaan ini disebut gout refrakter.

Penanganan Gout Refrakter

Berbagai penyebab diduga sebagai penyebab gout refrakter, antara

lain intoleran atau alergi obat allopurinol, adanya kelainan ginjal sehingga

tidak memungkinkan pemakaian obat urikosurik, pemakaian obat lain yang

menyebabkan peningkatan kadar AU, ketidak patuhan akan diet rendah

purin, dan kepatuhan penderita untuk memeriksakan kadar AU secara

teratur. Pada AG interkritik, kadar AU darah masih tetap diatas normal,

namun penderita tidak mengalami keluhan. Kedaan ini sering tidak disadari

oleh penderita, yang dikemudian hari akan berlanjut menjadi kronis dan

akan merusak organ sistemik, terutama pada ginjal dan berakhir dengan

gagal ginjal kronis.

Tujuan penanganan gout refrakter adalah membuat kadar AU darah

tetap dalam kadar normal sehingga bisa mengecilkan atau menghilangkan

tofus yang telah terjadi, serta mencegah kerusakan berlanjut pada organ

lainnya akibat penumpukan kristal urat.

Page 194: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

194 Denpasar, 05-07 November 2015

Page 195: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

195 Denpasar, 05-07 November 2015

Secara umum, penanganan gout refrakter terpenting adalah

memberikan edukasi secara lengkap, manfaat penurunan kadar AU sampai

batas normal apapun penyebabnya. Faktor penyebab dari gout refrakter

perlu ditelusuri secara jelas agar bisa memberikan penanganan secara

lengkap. Penggunaan obat lainnya yang menyebabkan peningkatan AU

darah perlu dihindari, misalnya pemakaian obat diuretika golongan tiasid

pada gout dengan hipertensi. Kepatuhan penderita untuk melaksanakan

pantang makanan tinggi purin dan kepatuhan untuk memeriksakan kadar

AU darah secara teratur walaupun tidak mengalami serangan artritis perlu

dimengerti oleh pasien agar kadar AU benar-benar terkontrol dalam batas

normal.

Pada kedaan intoleran terhadap alopurinol dapat diganti dengan

obat febuxostat. Pada keadaan alergi alopurinol ringan berupa rash dapat

dicoba dengan desensitisasi alopurinol, tetapi pada alergi berat atau

disebut mayor hypersentivity syndrome, seperti Steven Johnson Syndrome

tidak dianjurkan desensitisasi. Oxypurinol, yang merupakan metabolit

alopurinol sering masih dapat dipergunakan pada keadaan hipersensitif

alopurinol, namun reaksi silang masih mungkin terjadi (Terkeltaub AR,

2011). Pada kedaan ini feboxostat atau uricase dapat dipergunakan

Pada kelainan ginjal, pemakaian alopurinol perlu penyesuaian dosis

dan pemakaian obat urikosurik merupakan kontraindikasi, sehingga target

penurunan kadar AU darah untuk mencapai kadar normal menjadi tidak

mudah. Pada kedaan ini dapat diberikan obat febuxostat.

Pemakaian obat lain yang menyebabkan peningkatan kadar AU.

Pada penderita hipertensi, pemakaian tiasid dapat diganti dengan golongan

antihipertensi losartan yang mempunyai efek urikosurik, meningkatkan

ekskresi AU melalui ginjal (Roothschild BM, 2013).

Daftar Pustaka

1. Becker MA & Levinson DJ, 2005. Clinical Gout and pathogenesis of

hyperuricaemia. In Arthritis and Allied Conditions, A textbook of

Rheumatology. 14th Ed, Vol two.Editor WJ Koopman, Baltimore:

Williams & Wilkins a Wavelry comp, 2281-2328.

Page 196: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

196 Denpasar, 05-07 November 2015

2. Cohen MG, Emmerson BT, 1994. Crystal arthropathies. In

Rheumatology.Editor JH Klippel, PA Dippe, St Louis Baltimore: Mosby.

3. Field, TR, 2008, Gout. Manual Rheumatology ang Outpatient

Orthopedic Disorders.Fifth Ed. Ed : Paget SA, Beary JF, Gibofsky A

and Sculco TP, Lippincott Williams & Wilkins. 328-336.

4. Kelley WN, Wortmann RL, 1997. Gout and Hyperuricemia. In Textbook

of Rheumatology, Fifth Edition, Editor WN Kelley, S Ruddy, ED Harris,

CB Sledge, Philadelphia: WB Saunder Comp, 1314-1350.

5. Roothschild BM, 2013. Treatment of Chronic Gout.Medscape Refrences.

6. Schumacher Jr HR, 1992. Hiperuricaemia and Gout. In Rheumatology

APLAR 1992, Proceding of the 7th APLAR Congress of Rheumatology,

13th-18th September 1992, Bali, Indonesia, Edit.: A.R.Nasution,

J.Darmawan and Harry Isbagiao, New York, Edinburgh, London,

Merbourne and Tokyo: Churchill Livingstone, 293-243.

7. Sivera F, et al.2014. Multinational evidence-based recommendation for

the diagnosis and management of Gout : integreting systemic literature

review ang expert opinion of a broad panel of rheumatologist in the 3e

initiative. Ann Rheum Dis.73:328-335.

8. Terkeltaub AR.,2005. Pathogernesis and treatment of cristal-induced

inflamation. In Artritis and Allied Conditions, A textbook of

Rheumatology. 15th Ed, Vol.2. Editor WJ Koopman, L.W. Moreland,

Lippincot Williams & Wilkins a Wavelry comp,2357-2372.

9. Terkeltaub AR, 2011. The management of Gout and hyperuricemia. In

Rheumatology. Fith Ed. Editor Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS,

Weinblatt ME, Weisman MH. Mosby Elsevier. Philadelphia, 1867-1874.

10. WHO, 1992. Rheumatic diseases, Report of a WHO Scientific

Group,Geneva, 55-58.

Page 197: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

197 Denpasar, 05-07 November 2015

Peranan ANA IF dan ANA-Profile Dalam Pendekatan Penderita Dengan Lupus Erytematosus Sistemik

Gede Kambayana

Divisi Reumatologi dan Alergi-Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Kemajuan dalam pemeriksaan immunologi untuk penunjang

diagnosis penyakit reumatik autoimmun dalam sepuluh tahun terakhir

sangat menggembirakan, dengan adanya pemeriksaan ANA IF sangat

membantu dalam menegakkan diagnosis penyakit reumatik autoimun,

sehingga diagnosis dapat ditegakkan lebih dini.

Identifikasi keberadaan dan pola pengecatan ANA dengan IFM

menggunakan sel HEp2 merupakan langkah awal yang penting dalam

diagnosis Autoimun Reumatik Disease (ARD). Deteksi lanjutan dari

autoantibodi spesifik dan profilnya sangat membantu dalam menegakkan

diagnosis LES, khususnya antibodi anti-dsDNA dan/atau anti-Sm, atau

menunjukkan ARD lain seperti SSc bila ACA atau anti-Sd 70 ditemukan.

Pengukuran anti-dsDNA memiliki dua kegunaan dalam aplikasi

klinis. Pertama, kadar yang tinggi memiliki spesifisitas lebih dari 90%untuk

diagnosis LES. Kedua, peningkatan kadar harus memperingatkan klinisi

akan kemungkinan keparahan penyakit, dan tingginya kadar (khususnya

berkaitan dengan kadar komplemen serum yang rendah) menunjukkan

peningkatan risiko nefritis lupus atau vaskulitis. Antibodi yang lain tidak

menunjukkan kaitan dengan aktivitas penyakit

Pendahuluan

Autoantibodi relatif mudah ditemukan pada seseorang tanpa disertai

penyakit otoimun. Tentunya hal tersebut harus ditunjang oleh sensitivitas

pemeriksaan labaoratorium yang tinggi. Apabila demikian maka

autoantibodi dapat ditemukan secara universal sebagai mekanisme normal di

dalam badan terhadap produk sel. Dengan kata lain otoantibodi dapat

Page 198: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

198 Denpasar, 05-07 November 2015

merupakan hal fisiologik. Dari sudut pemeriksaan laboratorium, adanya

anggapan demikian menimbulkan dua hal yang dapat menjadi hambatan dalam

terapan imunologik klinik. Dasarnya adalah, pertama, otoantibodi dapat

ditemukan dalam serum orang normal tanpa manifestasi penyakit. Umumnya

autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit. Oleh karenanya,

lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (mark-ers) proses patologik

daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau turun dapat

berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi terapi.

Kompleks (oto)antigen dan otoantibodilah yang akan memulai rangkaian penyakit

autoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi baru

dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit reumatik

autoimun apabila ia berperan dalam proses patologiknya.

Autoantibodi yang terbentuk terhadap suatu antigen dapat dimiliki oleh

sejumlah penyakit yang berbeda dan yang demikian itu dikenal sebagai

antibodi yang tidak spesifik. Salah satunya yang dapat dikelompokkan pada

autoantibodi ini adalah anti nuclear antibody (ANA). Ditemukannya satu jenis

antibodi terhadap satu jenis penyakit reumatik otoimun saja merupakan

harapan dari banyak ahli. Namun hal ini masih jauh dari kenyataan karena

adanya tumpang tindih berbagai penyakit yang mendasarinya, serta besarnya

kemaknaan klinis suatu otoantibodi. Sayangnya disinilah letak kebanyakan

keterbatasan pemeriksaan otoantibodi.

Antinuklear Antibodi (ANA)

Antinuklear antibodi merupakan suatu kelompok autoantibodi yang

spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective

tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, mixed connective tissue

diasease (MCTD) dan sindrom Sjogren's primer. ANA pertama kali ditemukan

oleh Hargraves pada tahun 1948 pada sumsum tulang pasien SLE. Dengan

perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas ANA

yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan La/SS-

B.ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA

digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue

disease.Dengan pemeriksaan yang baik, 99% pasien SLE menunjukkan

pemeriksaan yang positif, 68% pada pasien sindrom Sjogrens dan 40% pada

pasien skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70

Page 199: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

199 Denpasar, 05-07 November 2015

tahun.

Selama lebih dari 40 tahun identifikasi ANA dilakukan dengan

menggunakan mikroskop fluoresen (IFM) dengan memakai berbagai jenis

substrat. Awalnya digunakan jaringan tikus, seperti ginjal dan liver, namun

saat ini telah dipakai lapisan sel manusia, khususnya sel epitel (HEp-2) yang

berasal dari karsinoma laring. Sel HEp-2 memiliki keuntungan dimana

nukleus dan nukleolusnya terlihat cukup jelas dan saat sel membelah akan

mempresentasikan antigen yang hanya diekspresikan selama stadium

tertentu dari siklus sel sehingga dikenali sebagai pola khas dengan

penggunaan IFM. Sel Hep-2 mudah dikultur di laboratorium dan telah tersedia

dalam bentuk slide yang dipasarkan oleh perusahaan komersial. Meskipun

sampai saat ini pemeriksaan ANA dengan metoda IFM dianggap sebagai

baku emas.

Usaha untuk memperbaiki standardisasi tes ANA telah dilakukan

dengan memperkenalkan metoda enzyme-linked immunoabsorbent assays

(ELISA) yang dikembangkan secara komersial. Beberapa metoda menggunakan

antigen ekstrak nukleus utuh (whole nuclear extract) yang dilekatkan pada

cawan ELISA, sedang beberapa yang lain menggunakan antigen sintetis yang

spesifik. Metoda ELISA memiliki sensitivitas yang tinggi untuk deteksi ANA.

Kerugiannya adalah beberapa metoda ELISA yang menggunakan antigen

spesifik tidak dapat mendeteksi antigen seluler yang belum diketahui,

sedangkan ELISA yang menggunakan ekstrak nukleus utuh adalah sulit

untuk memonitor pengikatan antigen yang berbeda pada cawan ELISA.

Oleh karena itu IFM tetap menjadi tespilihan yang menggunakan sel HEp2

untuk beberapa waktu (Jearn et al, 2009).

Hasil tes ANA dengan titer tinggi, misalnya melebihi 1:320, pada

keadaan klinis yang sesuai, seperti wanita muda yang datang dengan

tanda-tanda rambut rontok, ruam malar, poliartralgia, dan leukopenia, maka

interpretasinya menjadi mudah. Namun hasil tes ANA positif selain

dijumpai pada pasien LES dapat ditimbulkan karena pengaruh terapi obat,

pada usia tua, infeksi kronis, penyakit liver kronis dan bahkan pada orang

sehat dan keluarga tingkat pertama dari pasien lupus asimptomatik. Lebih

jauh, hasil tes ANA sangat bervariasi tergantung pada substrat dan metode

yang digunakan untuk deteksi serta kehandalan pemeriksanya. Saat ini,

Page 200: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

200 Denpasar, 05-07 November 2015

metoda yang paling banyak digunakan adalah IFM dengan substrat sel

HEp-2 .

Tes ANA positif telah ditemukan pada kebanyakan pasien dengan

ARD sistemik, namun frekuensi dan titer tertinggi dijumpai pada pasien

LES. Titer itu sendiri tidak memberi kepentingan prognosis, namun

dilaporkan titer yang lebih tinggi lebih signifikan dalam membuat diagnosis

penyakit. Pada beberapa kasus, ANA dapat positif bahkan sebelum

diagnosis LES dibuat. Evaluasi pada sekumpulan sampel beku yang

diambil pada lebih dari 5 juta anggota militer USA ditemukan ANA positif

(titer ≥1:120) pada 101 dari 130 pasien yang terdiagnosis LES hingga 9,2

tahun setelahnya. Lebih jauh, studi ini melaporkan adanya beberapa

autoantibodi spesifik lainnya sebelum onset LES yakni antibodi anti-DNA,

antifosfolipid, anti-Ro/SSA, dan anti-La/SSB yang muncul lebih awal

daripada anti-Sm dan anti-nuclear RNP. Oleh karena itu keberadaan dan

pola pengecatan ANA positif saja tidak cukup untuk menentukan adanya

lupus atau ARD lain.

Identifikasi Profile Anti nuclearAntibodi

Deteksi autoantibodi spesifik dibutuhkan dengan tes yang lebih

spesifik. Adanya antibodi terhadap dsDNA dan/atau Sm sangat

bergunauntuk mengkonfirmasi diagnosisLES, meskipun hasil negatif tidak

berarti menyingkirkan LES. Karena autoantibodi ini jarang ditemukan pada

ARD lain, anti-dsDNA dan anti-Sm sangat berguna untuk membedakan

pasien dengan LES dengan ARD lain, seperti SS (berkaitan dengan anti-

Ro dan/atau anti-La) atau SSc (ACA dan/atau anti-Sci 70). Pasien lupus

dengan antibodi terhadap dsDNA dan/atau Sm memiliki peningkatan yang

signifikan terjadinya ruam malar, hipokomplenemia, keterlibatan renal dan

kelainan hematologi. Sedangkan pasie dengan anti-Ro dan/atau anti-La

memiliki ruam lupus dan fotosensitivitas yang lebih berat.

Antibodi spesifik yang memiliki kekuatan diagnostik paling tinggi

yang ditemukan pada pasien LES adalah antibodi terhadap dsDNA.

Keberadaan anti-dsDNA, khususnya isotip IgG telah digunakan sebagai

marker serologis untuk diagnosis LES selama lebih dari 45 tahun,

Sebanyak 60%-83% pasien lupus ditemukan memiliki antibodi anti-dsDNA

dan pada beberapa pasien ditunjukkan bahwa titer antibodi ini secara

Page 201: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

201 Denpasar, 05-07 November 2015

bermakna berkaitan dengan aktivitas penyakit. Meskipun beberapa

masalah timbul sehubungan dengan variasi metoda yang digunakan untuk

mendeteksi antibodi ini, anti-dsDNA tetap digunakan sebagai kriteria untuk

diagnosis lupus yang dapat dipertanggung jawabkan. Lebih lanjut,

penggunaannya sebagai biomarker potensial telah direncanakan untuk

mempelajari efek terapi baru LES.

Terdapat beberapa metode yang tersedia untuk deteksi anti-

dsDNA. Fan assay (RIA) merupakan metode pemeriksaan anti-dsDNA

yang paling nyata berkaitan dengan diagnosis LES dan merupakan metoda

yang paling konsisten dalam memprediksi terjadinya komplikasi

glomerulonephritis. Metoda lain adalah Crithidia assay, mendeteksi antibodi

anti-dsDNA dengan kemampuannya mengikat kinetoplast dari Crithidia

luciliae, organisme protozoa dengan struktur dsDNA sirkular. Assay ini

membutuhkan teknisi yang terlatih dan teliti untuk menidentifikasi secara

tepat kinetoplast dari nukleus atau badan polar dengan IFM.

Keuntungannya adalah spesifisitasnya lebih baik dalam mendeteksi anti-

dsDNA dibandingkan dengan Farr dan ELISA yang dapat memberikan

hasil positif palsu dengan ssDNA. Namun, metoda ELISA banyak tersedia

di pasaran dan relatif mudah dalam deteksi anti-dsDNA afinitas tinggi

maupun rendah. Diantara berbagai metoda ELISA yang tersedia terdapat

perbedaan yang nyata dalam hal sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediktif

dalam mendiagnosis LES dan menentukan aktivitas penyakit. Assay

Crithidia lebih cocok digunakan untuk diagnosis sedangkan metoda ELISA

untuk monitor aktivitas penyakit.

Penelitian akhir-akhir ini melaporkan bahwa nukleosom merupakan

target anti-dsDNA secara in vivo pada pasien LES. Analisis aktivitas

antibodi terhadap nukleosom dan dsDNA didapatkan bahwa reaktivitas

anti-dsDNA serum hampir selalu berkaitan dengan aktivitas anti-

nukleosom. Pada 80%-90% pasien LES adanya anti-nukleosom menjadi

petanda yang lebih sensitif daripada autoantibodi lain dan titer anti-

nukleosom berfluktuasi sesuai aktivitas penyakit. Meskipun demikian

temuan ini masih belum dilaporkan secara konsisten. Perbedaan

inimungkin timbul karena metode yang berbeda, cara pemurnian

nukleosom, variasi jumlah sampel, dan variasi dalam pengukuran aktivitas

penyakit yang digunakan. Di masa mendatang deteksi anti-nukleosom

Page 202: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

202 Denpasar, 05-07 November 2015

ELISA sangat mungkin menjadi tes imunologis tambahan untuk diagnosis

LES namun hingga saat ini nilai prognosisnya belum dipastikan

sepenuhnya.

Daftar Pustaka

1. Eriksson, C, Kokkonen, H., Johansson, M., Hallmans, G., Wadell, G., Rantapa-Dahlquist, S., 2011. Autoantibodies predate the onset of systemic lupus erythematosus in nothern Sweden. Arthritis Research & Therapy,13:R30.

2. Hoffman, IEA., Peene, I., Meheus, L, Huizinga, TWJ., Cebecauer, L, Isenberg, D., et al, 2004. Specific antinuclear antibodies are associated with clinical features in systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis : 4 ; 63:1155 -1158

3. Jearn, LH., Kim, D., Kim, T., 2009. Limitations of Antinuclear Antibody Tests (HEp-2) Are Overcome with the Autoimmune Target Test (IT-1) in Systemic Lupus Erythematosus. J Rheumatol;36;1833-1834.

4. Malleson, PN., Mackinnon, MJ., Sailer-Hoeck, M. What to do With a Positive ANA Test? 2011. Pediatric Rheumatology journal.

5. Musinovic, IA., Zecevic, LP., Subasic, D., 2010. The incidence of ANA and ETI-ds DNA detected by enzyme immunoassays and indirect immunofluorescent assay (IFA). MEDAHR;64(2).

6. Tampoia, M., Brescia, V., Fontana, A., Zucano, A., Morrom, LF., Pansini, N., 2007. Application of combined protocal for rational request and utilization of antibody assay improves clinical diagnostic in autoimmune rheumatic disease. Arch Pathol Lab Med.;131:112-6.

7. Viilatta, D., Tozzoli, R., Tonuiti, E., and Bizzaro, N., 2007. The laboratory approach to the diagnosis of autoimmune disease. Is it time to change?. Autoimmune Rev, 6,6; 359-385

Page 203: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

203 Denpasar, 05-07 November 2015

Peran Sistem Hemostasis Dalam Atherogenesis dan

Atherothrombosis

I Made Bakta

Divisi Hematologi Onkologi Medis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar

SUMMARY

THE ROLE OF HEMOSTASIS SYSTEM IN ATHEROGENESIS AND

ATHEROTHROMBOSIS

Atherothrombosis defined as atherosclerotic plaque disruption

superimposed thrombosis, is the leading cause of mortality in the world.

Atherothrombosis is a new union concept of atherosclerosis and

thrombosis. Inflammation is the core of an interlated system, homeostasis,

which consist of inflammation, hemostasis, thrombosis, and

atherosclerosis. Hemostasis, beside its essential role in protecting and

maintaining normal blood flow, accumulating data suggest an intimate

cross-talk between hemostasis and inflammation, underscoring the role of

both systems in many complex disease, including atherothrombosis.

Undesrstanding of this new concept will give us a new potential strategy in

management of very important diseases: coronary artery disease, ischemic

stroke, and peripheral artery diasease.

PENDAHULUAN

Atherothrombosis didefinisikan sebagai pecahnya plak (plaque)

atherosklerotik dengan diatasnya ditutupi (superimposed) oleh

thrombosis.1,2 Atherothrombosis adalah penggabungan dua konsep yaitu

atherosklerosis dengan thrombosis, menjadi suatu konsep yang dapat

menerangkan berbagai manifestasi penyakit yang timbul. Atherosklerosis

tanpa penumpukan thrombosis di atasnya tidak akan menimbulkan oklusi

arteri sehingga tidak akan menimbulkan gejala. Atherogenesis yang diikuti

thrombosis (atherothrombosis) mempunyai sifat yang sangat kompleks dan

multifaktorial.3 Konsep atherosklerosis berkembang, dimana titik sentralnya

Page 204: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

204 Denpasar, 05-07 November 2015

adalah keradangan kronik (chronic infllammation) yang berhubungan

dengan atherosklerosis, hemostasis, thrombosis dan karsinogenesis.

Semua proses tersebut dalam keadaan fisiologik adalah suatu proses

homeostasis, guna mempertahankan milleu interna, tetapi apabila berubah

menjadi patologik akan merupakan dasar dari mekanisme berbagai

penyakit. Atherothrombosis adalah suatu penyakit arterial sistemik

(systemic arterial disease) yang mengenai terutama intima dari arteria

sistemik berukuran besar atau medium (large-and medium – sized

systemic arteries), termasuk arteria koronaria, karotis, aorta dan arteri

perifer. Pengertian yang lebih baik terhadap atherothrombosis akan sangat

membantu pemahaman kita tentang berbagai mekanisme penyakit,

terutama penyakit jantung koroner, stroke iskemik, penyakit pembuluh

darah tepi (peripheral vascular disease = PAD), dan berbagai penyakit

lainnya yang merupakan penyebab kematian utama di seluruh dunia.4

Terdapat perkembangan yang sangat pesat dari konsep atherosklerosis,

hemostasis serta thrombosis.

INFLAMASI, ATHEROSKLEROSIS DAN THROMBOSIS

Terdapat hubungan yang sangat erat antara inflamasi,

atherosklerosis dan thrombosis sehingga menimbulkan konsep baru yang

disebut atherothrombosis. Inflamasi kronik merupakan titik sentral dari

mekanisme ini. Komponen inflamasi sangat jelas pada lesi atherosklerosis

dan juga pada proses thrombosis. Terdapat komunikasi timbal balik antar

ketiga komponen ini. Kalau digambarkan dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Interrelasi antara athrerosklerosis, thrombosis, atherothrombosis dan

karsinogenesis, dengan pusatnya adalah inflamsi

Page 205: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

205 Denpasar, 05-07 November 2015

PENYAKIT – PENYAKIT YANG DIDASARI OLEH ATHEROTHROMBOSIS

Atherothrombosis mengenai arteri besar sampai sedang, dimana

proses atherosklerosis menimbulkan plak atherosklerotik pada intima

arteria sehingga menyebabkan penyempitan, apabila disertai ruptur dari

plak tersebut maka akan disertai thrombosis di atasnya (superimposed)

sehingga menjadi atherothrombosis. Atherothrombosis menyebabkan

oklusi parsial atau total arteria tersebut sehingga menyebabkan iskemia

yang dapat disusul dengan nekrosis dari jaringan yang mendapat

vaskularisasi dari arteri tersebut. Penyakit-penyakit kardiovaskuler yang

dapat timbul dari atherothrombosis ini adalah:1

1. Penyakit jantung koroner (coronary artery disease)

a. Angina pectoris (stabil atau tidak stabil)

b. Infark miokard

c. Sudden death

2. Penyakit pembuluh darah otak (cerebro vascular disease)

a. Transient ischemic attack

b. Stroke iskemik

3. Penyakit pembuluh darah perifer (Peripheral artery disease)

a. Claudicatio intermitten

b. Critical limb ischemia

c. Gangrene dan nekrosis

4. Beberapa thrombosis yang lebih jarang seperti: thrombosis arteria

karotis, arteri mesenterium, dan lain-lain.

Gambar 2. Penyakit – penyakit yang timbul karena Atherothrombosis (dikutip dari

Vilez-Gonzales et al, European Heart Journal 2004;25:1197-1207).1

Page 206: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

206 Denpasar, 05-07 November 2015

PATHOGENESIS ATHEROTHROMBOSIS

Kalau kita berbicara mengenai pathogenesis atherothrombosis kita

harus membicarakan pathogenesis athreosklerosis, hemostasis dan

thrombosis. Gabungan dari ketiga pathogenesis ini akan memberikan suatu

entitas baru yang kita sebut sebagai atherothrombosis.

Atherosklerosis

Istilah atherosklerosis pertama kali diperkenalkan oleh Marchand,

yang melihat adanya hubungan degenerasi lemak (fatty degeneration)

dengan kekakuan pembuluh darah (vessel stiffering).5,6 Atherosklerosis

tidak dipandang lagi sebagai suatu gangguan yang disebabkan karena

abnormalitas metabolisme lipid. Sekarang diketahui bahwa proses awal

atherosklerosis adalah proses inflamasi yang terjadi beberapa dekade

sebelumnya. Kelainan yang paling awal dari atherosklerosis adalah

gangguan dari fungsi endotil. Sel endotil mengalami overekspresi molekul

adhesi sebagai respon terhadap aliran yang turbulen pada setting profil

lipid yang kurang baik. Tikus yang diberi diet – atherogenik segera

mengalami overekspresi VICAM-1 (vascular cell adhesion molecule -1).

Kemudian dilanjutkan dengan meningkatnya adhesi sel dan disfungsi

endotil serta rekruitmen sel inflamasi.

Teori tradisional atherosklerosis terdiri dari dua teori: (1) hipotesis

lipid (the lipid hypothesis) dan (2) hipotesis kerusakan endotil menahun (the

chronic endothelial injury hypothesis) (Krakow et al).5 Pada hipotesis lipid,

proses dimulai dari meningkatnya LDL (low density lipoprotein), LDL

melakukan penetrasi pada dinding pembuluh darah, berkumpul pada sel

otot dan makrofag. Dengan adanya sel endotil, LDL mengalami oksidasi.

LDL teroksidasi menjadi lebih atherogenik, merusak endotil dan menarik

monosit-makrofag. Monosit melekat pada endotil dengan berinterkasi

terhadap VCAM-1 (vascular cell adhesion molecules-1). Selanjutnya

bermigrasi melalui endotil dan membran basalis dengan mengeluarkan

ensim matrix metalloproteinase yang akan menghidrolisis matrik jaringan

ikat. Akumulasi monosit yang mengambil lipid berubah menjadi ―foam cell‖.

Sel makrofag berikatan dengan intra-intimal LDL melalui ―scavenger

receptor‖ yang hanya mengenal LDL teroksidasi. Oksidasi menyebabkan

perubahan pada gugus lipid dan liporotein. Komponen lesitin dari LDL

berubah menjadi ―lysolecithin‖ yang bersifat kemotaktik terhadap monosit.

Page 207: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

207 Denpasar, 05-07 November 2015

Makrofag yang mengandung LDL teroksidasi gerakannya menjadi lambat

sehingga menambah akumulasi sel yang penuh mengandung lipid pada

intima.5

The chronic endothelial injury hypothesis diajukan oleh Russel

Ross. Disini dihipotesiskan bahwa kerusakan endotil menyebabkan

hilangnya sel endotil yang mengakibatkan terjadinya kontak platelet

dengan jaringan subendotil, agregasi platelet, pelepasan PDGF (platelet-

derived growth factor) dan timbulnya fakror kemotaktik yang menarik

leukosit yang kemudian akan melepaskan growth factor lain. Growth factor

menginduksi replikasi dan migrasi sel otot polos ke dalam intima yang

mengakibatkan terjadinya ―fibrous plaque‖. Sel otot polos mensintesis dan

melepaskan matrik jaringan ikat yang mengandung kolagen, proteoglycans

dan serat elastis sehingga memperbesar massa dari lesi. Adannya celah

(fissure) dan ruptur plak menyebabkan pembentukan ―platelet fibrin plug‖

yang bergabung dengan lesi. Injuri yang berulang-ulang menimbulkan lebih

banyak proliferasi intimal yang mengakibatkan penyempitan progresif dari

lumen arteri .5

Pada akhir-akhir ini, proses inflamasi dianggap sebagai titik sentral

athreosklerosis. Fase paling awal dari athreosklerosis dimediasi oleh

kaskade inflamasi. Kaskade diaktifkan sebagai respon terhadap injuri

aklibat aliran darah turbulen pada ―setting” profil lipid yang tidak baik.

Binatang yang diberi diit atherogenik dengan cepat mengekspresiskan

VCAM-1., yang merupakan langkah paling awal dari atherosklerosis.

Ekspresi VCAM-1 pada permukaan endotil yang meningkat menyebabkan

rekruitmen monosit dan sel-T ke daerah injuri. Selanjutnya leukosit dan

monosit yang terstimulasi, mengeluarkan monocyte chemoattractan

protein-1 (MCP-1) dan kemokin lain (seperti leucotactin-1) meningkatkan

kaskade inflamasi dengan merekrut leukosit lebih banyak, mengaktifkan

leukosit pada tunica media menyebabkan proliferasi dan migrasi sel otot

polos. Sel otot polos ini menghasilkan monocyte chemotactic factor dan

mensitesis matriks jaringan ikat. Semua ini menyebabkan cytokine-

mediated progression dan oksidasi LDL. Oksidasi LDL menyebabkan

upregulated gen yang bersangkutan dengan kaskade inflamasi seperti

tumor necrosis factor superfamily 14 (LIGHT) yang menyebabkan

upregulasi scavenger receptor dan meningkatkan ekspresi tissue factor

Page 208: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

208 Denpasar, 05-07 November 2015

dan plasminogen activator inhibitor-1, sehingga menghasilkan sel dengan

fenotipe prothrombotik. Inilah yang akan menjadi penghubung untuk

terjadinya thrombosis.5

Vulnerabilitas (vulnerability) dari atherosclerotic plaque

Pecahnya (ruptur) plak merupakan perisitiwa yang menyebabkan

terjadinya thrombosis di atas plak sehingga terjadilah atherothrombosis

yang menimbulkan gejala klinik. Sekitar 75% terjadi karena plaque rupture

dan sisanya karena plaque erosion (Falk & Fuster).7 Prototipe dari plak

yang mudah pecah adalah plak yang mengandung inti nekrotik (necritic

core) yang besar yang mengandung banyak lemak dan ditutupi oleh fibrous

cap yang tipis yang mengalami peradangan. Tanda lain adalah ukurannya

besar, dengan remodelling ekspansif yang menyebabkan obstruksi lumen,

perdarahan pada plak, inflamasi tunica adeventitia dan bintik-bintik

kalsifikasi. Pada erosi plak, permukaan endotil hilang, jarang disertai

remodelling dan inflamasi lebih ringan. Ruptur plak mengelompok pada hot

spots yaitu segmen proksimal dari major coronary artery.7

Fase pembentukan atherosklerosis

Singh, membagi fase patogenesis atherosklerosis menjadi 3 fase:

a. Initiation phase

b. Progression phase

c. Complication phase

Rekruitmen monosit kedalam intima melalui ekspresi adhesion

molecules pada permukaan endotil merupakan fase yang paling awal dari

atherosklerosis. Adhesion molecules yang berperan adalah VCAM-1 dan

ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1). Dalam intima, monosit berubah

menjadi makrofag yang akan menginternalisasi oxidized LDL melalui

scavenger receptors, sel ini disebut sebagai ―foam cell”. Secara

makrokopis akan tampak sebagai suatu ―fatty streak‖.8,9Fatty streak terdiri

dari foam cell diselingi sel otot polos dan proteoglikan.11 Pada progression

phase maka terjadi respon inflamasi disertai respon fibroproliferatif melalui

peran sel otot polos yang menghasilkan matriks ekstraseluler terutama

kolagen yang akhirnya membentuk plak atherosklerotik. Plak

atherosklerotik terdiri dari zone nekrotik yang terdiri dari debris lipid,

Page 209: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

209 Denpasar, 05-07 November 2015

proteoglikans dan kolagen, disertai komponen seluler berupa makrofag, sel

otot polos dan sel-T. Ke arah lumen, plak ini ditutupi oleh suatu penutup

yang disebut fibrous cap. Pada complications phase, plak yang disebut

sebagai thin cap fibroatheroma (TCFA), disebut juga sebagai vulnerable

plaque, mengalami ruptur atau erossi yang menyebabkan terjadinya

pemaparan tissue factor (TF) dan kolagen dengan thrombosit dan

komponen koagulasi sehingga terjadilah thrombosis di atas (superimposed)

plak atheroskelrotik, bentukan ini kita kenal sebagai atherothrombosis.

Propagasi dari thrombus akan menyebabkan oklusi aliran darah, sehingga

timbul iskemia atau nekrosis jaringan di sebelah distal. 8,9

Gambar 3. Rangkaian peristiwa pembentukan lesi atherosklerotik. Dikutip dari:

Sakakura et al. Heart, Lung, and Circulation 2013;22:399-411)11

Page 210: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

210 Denpasar, 05-07 November 2015

Catatan: VCAM-1: vascular-cell adhesion molecule-1; oxLDL: oxidized low

density lipoprotein; MCP-1: macrophage-chemotactic protein-1; MCSF:

macrophage colony stimulating factor; SRA-1: scavenger receptor A;

MMPs: matrix metalloproteinases; ROS: reactive oxygen species; SMC:

smotth muscle cell.

American Heart Association membagi fase atherosklerosis menjadi

5: (1) intimal thickening; (2) fatty streak atau intimal xanthoma; (3)

pathologic intimal thickenng, yang merupakan awal dari fase progresif; (4)

fibroatheroma, yang terdiri dari necrotic core dan ditutup oleh fibrous cap

yang tebal, terdiri dari sel otot polos dalam matriks proteoglycan-collagen;

(5) thin cap fibroatheroma (TCFA), disebut juga sebagai vulnerable plaque,

yaitu necotic core ditutup oleh fibrous cap yang tipis yang terdiri dari

kolagen tipe I dengan sedikit atau tanpa sel otot polos. Skema rangkaian

pembentukan arheroma dapat dilihat pada gambar 3.

Thrombosis

Untuk memahami thrombosis kita harus mengenal konsep tentang

hemostasis. Hemostasis yaitu usaha untuk memelihara supaya darah tetap

dalam keadaan cair sehingga aliran darah normal dalam kondisi fisiologik.

Hemostasis bekerja melalui sistem platelet, koagulasi, antikoagulan, dan

jalur fibrinolitik, semuanya mendukung suatu keseimbangan dinamik

sehingga terjadi aliran darah yang normal. Gangguan keseimbangan ini

menimbulkan keadaan patologik yaitu thrombosis atau perdarahan.4

Hemostasis secara tradisional dibagi menjadi 2 fase: (1)

hemostasis primer; dan (2) hemostasis sekunder. Pada hemostasis primer

thrombosit memegang peran yang menghasilkan sumbat thrombosit

(platelet plug) yang segera menutup injuri vaskuler sehingga perdarahan

segera berhenti. Sedangkan hemostasis sekunder menghasilkan sumbat

fibrin (fibrin plug) yang memperkuat sumbat thrombosit, sehingga pada

akhirnya terjadi stable hemostatic plug. Sistem natural anticoagulant dan

sistem fibrinolitik mencegah terjadinya pembekuan darah berlebihan

melewati daerah yang mengalami injuri. 12,`13

Thrombosit memegang peran terpenting dalam hemostasis primer.

Sekarang diketahui bahwa thrombosit mempunyai bermacam-macam

peran yang bersifat atherogenik, sehingga dianggap sebagai interface

Page 211: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

211 Denpasar, 05-07 November 2015

antara hemostasis, innate immunity dan inflamasi pada atheroskelrosis.4

Keadaan proinflamasi secara sistemik menyebabkan perubahan

(phenotypic switch) sel endotil menjadi lebih atherogenik yang akan

mengekspresikan cell-adhesion molecules, P-selectin dan E-selectin.

Adhesi platelet terjadi karena ikatan reseptor platelet glycoprotein Ibα

dengan faktor von Willebrand, sedangkan adhesi yang kuat dimediasi

melalui integrin β3. Begitu adhesi terjadi maka thrombosit akan

mengekskresikan mediator atherogenik, seperti sitokin, kemokin, growth

factors, adhesuion molecules, dan faktor koagulasi. Upregulasi ekspresi P-

selectin pada permukaan thrombosit dan endotil memperkuat interaksi

dengan P-selectin glycoprotein ligand 1, yang diekspresikan pada

membran leukosit. Ikatan thrombosit dengan leukosit (monosit dan netrofil),

dendritic cells, dan sel progenitor membentuk koagregat yang menunjang

leucocyte activation, adhesion dan transmigrasi leuksoit, suatu proses yang

sangat kritis dalam pembentukan dan progresi plaque.4 Aktivasi thrombosit

meningkatkan pembentukan plak. Thrombosit yang mengeluarkan

adhesive ligands, seperti P-selectin meningkatkan interaksi platelet-endotil,

menstimulasi monosit dan makrofag untuk menghasilkan kemoatraktan

(chemoattractan) atau growth factors. 14,15

Proses koagulasi memegang peran penting dalam

atherothrombosis. Perkembangan hemostasis sekunder (koagulasi)

sangat pesat. Teori kaskade atau teori air terjun (waterfall theory) yang

mengasumsikan proses koagulasi melalui fase-fase seperti air terjun dalam

fase likuid, sekarang sudah ditinggalkan. Sekarang lebih banyak dipakai

teori ―cell-based coagulation theory‖. Proses koagulasi terjadi pada

posfolipid pada permukaan sel, tidak dalam fase cair. Paling akhir diajukan

teori mikropartikel.3

Pembekuan darah terjadi jika tissue factor (TF) (yang dalam

keadaan fisiologik berada pada jaringan subendotil) beredar dalam

sirkulasi, berikatan dengan FVII yang aktif maupun tidak aktif. Kompleks

TF-FVII pada permukaan dari TF bearing–tissue (fibroblast) akan

mengaktifkan faktor X (FXa). FXa bersama dengan kofaktornya yaitu FV

aktif (FVa) (disebut sebagai prothrombinase complex) akan memecah

prothrombin (FII) menjadi thrombin (FIIa), thrombin dapat memecah

fibrinogen menjadi fibrin. Jalur ini disebut sebagai initiation phase atau

Page 212: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

212 Denpasar, 05-07 November 2015

tissue factor pathway atau extrinsic pathway. Dalam keadaan fisiologik,

fibrin yang terbentuk tidak cukup kuat untuk membentuk stable fibrin clot.

Hal ini disebabkan karena tissue factor pathway dengan cepat dihambat

oleh tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Untuk membentuk stable fibrin

clot, maka harus dibuat lebih banyak lagi fibrin, fase pembuatan fibrin

tambahan ini disebut propagation phase atau intrinsic coagulation pathway.

Proses ini terjadi pada permukaan posfolipid dari activated platelet.

Sejumlah kecil thrombin yang terbentuk mempunyai bermacam fungsi,

salah satunya adalah pembentukan FXI aktif (FXIa). FXIa akan memecah

FIX menjadi FIX aktif (FIXa) yang bersama dengan kofaktornya yaitu FVIIIa

membentuk tenase complex yang akan mengaktifkan faktor X. FXa

bersama dengan kofaktornya FVa membentuk prothrombinase complex

yang akan mengaktifkan prothrombin menjadi thrombin. Thrombin

mempunyai kemampuan positive feedback loop dan kemampuan

memecah fibrinogen menjadi fibrin sehingga terbentuklah stable fibrin clot.

Kecepatan pembentukan thrombin pada fase ini meningkat berkali-kali

lipat.17 Gambaran skematik proses koagulasi ini dapat dilihat pada gambar

5.

Gambar 4. Model ―cell-based coagulation‖ pada orang normal (dikutip dari John

Puetz, Drug Designs, Development and Therapy 2010;4:127-137)17

Page 213: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

213 Denpasar, 05-07 November 2015

Patogenesis dan perkembangan atherothrombosis

Apabila terjadi superimposed thrombosis di atas plak atheroma

maka terjadilah atherothrombosis. Terjadinya atherothrombosis ini

mengubah sifat plak atheroma sehingga menyebabkan oklusi arteri, yang

dimanifestasikan dalam bentuk iskemia, infark atau gangren jaringan

disebelah distal atau sudden death. Proses superimposed thrombus di atas

plak dapat diterangkan dengan ―Virchow triad‖, yaitu (1) gangguan pada

dinding pembuluh darah; (2) darah yang mudah mengalami pembekuan

(prothrombostic state); dan (3) gangguan aliran darah. Plak atheroma yang

mudah mengalami thrombosis disebut ―vulnerable plaque‖. Kelainan

patologik yang menginisiasi thrombosis adalah: 55-65% karena plaque

rupture, 30-35% karena plaque erosions, dan 2-7% karena calcified

nodules.11 Plak yang mudah mengalami ruptur adalah plak dengan necortic

core yang besar (> 30%), yang ditutupi oleh fibrous cap yang tipis < 65 µm

yang diinfiltrasi berat oleh makrofag dan limfosit-T. Thrombosis terjadi

akibat ruptur plak dimana isi necrotic core (terutama tissue factor) akan

mengalami kontak dengan thrombosit dan protein koagulasi yang

menyebabkan aktivasi platelet dan sistem koagulasi sehingga terbentuk

thrombus. Sebaliknya pada thrombus yang terbentuk di atas plaque

erosion terjadi thrombus di atas proteoglycan-rich matrix dengan sebagian

besar terdiri sel otot polos dengan sel-sel inflamasi yang sangat sedikit.

Pada calcified nodules terjadi calcified plate yang mempenetrasi lumen,

sehingga terjadi thrombus yang pada umumnya non-oklusif..11 Faktor

kedua dari Virchow triad adalah keadaan hypercoagulable dari darah

(prothrombotic state) yang disebabkan oleh karena faktor herediter atau

faktor yang didapat. Berbagai faktor sistemik seperti peningkatan kolesterol

LDL, merokok, hiperglikemia dihubungkan dengan meningkatnya

thrombogenisitas darah.1 Meningkatnya mikropartikel yang mengandung

tissue factor yang beredar dianggap sebagai faktor yang sangat

meningkatkan thrombogenisitas dara.3 Aliran darah yang mengalami

turbulensi karena adanya plak atheroma memudahkan kontak antara

endotil yang rusak dengan komponen darah.1 Menurut Spronk et al,18

prinsip Virchow triad operasional pada proses atherothrombosis, dengan

komponen kerusakan dinding vaskluer merupakan komponen utama, tetapi

komponen koagulasi darah yang teraktifasi juga memegang peran penting.

Page 214: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

214 Denpasar, 05-07 November 2015

Di bawah ini kami kutipkan dari Fuster et al 7 Virchow triad dari

thrombogenisitas, seperti terlihat pada tabel 1.

Tabel 1. The Virchow Triad of Thrombogenicity7 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Local vessel wall substrate

o Atherosclerosis

Degree of plaque disruption (i.e., erosion, ulceration)

o Vessel wall inflammation

Component of plaque (i.e., lipid core)

Macrophage and generation of microparticles (i.e., tissue factor content)

o Post-interventional vessel wall injury

Plaque disruption after percutaneous transluminal coronary angioplasty,

atherectomy, or stenting.

Injury of smooth-muscle cells (i.e., rich in thrombin)

Rheology

o High shear stress

Severe stenosis (i.e., change in geometry with plaque disruption residual

thrombus)

Vasoconstriction (i.e., serotonine, thromboxane A2, thrombin ,

dysfunctional endothelium )

o Oscillatory shear stress

Bifurcation of arteries, plaque irregularaties,

o Post intervention slow blood flow/local stasis (i.e., dissecting anuerysm)

Systemic factor of circulating blood

o Metabolic or hormonal factors

Dyslipoproteinemia (triglycerides, incraesed low-density lipoprotein, or

oxidized low-density lipoprotein cholesterol, decreased high-density

lipoprotein chlesterrol, lipoprotein (a)).

Diabetes mellitus (i.e., glycosylation)

Cathecholamines (i.e., smoking, stress, coccaine use)

Renin-angiotensin system (i.e., high-renin hypertension)

o Plasma variables of hemostasis

Tissue factor, factor VII, fibrinogen, thrombin generation (fragments 1 and

2),

thrombin activity (fibrinopeptide a), plasminogen activator inhibitor-1,

tissue plasminogen activator)

Infectious (i.e., Chlamydia pneumoniae, cyomegalovirus, Helicobacter

pylory)

Tissue and cellular blood elements (i.e., monocytes and white blood cells)

Dikutip dari: Fuster V et al. J Am Coll Cardiol 2005;46:937-547

Page 215: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

215 Denpasar, 05-07 November 2015

Besarnya (magnitude) proses thrombosis diatas plak yang

mengalami ruptur dipengaruhi oleh elemen yang berbeda yang

menentukan thrombogenitas plak dan darah, yaitu: local shear rate, tissue

factor, apoptotic microparticles, circulating monocyte, dan lain-lain. Proses

atherosklerotik dan thrombosis tampaknya saling tergantung

(interdependent) dan dapat diintegrasikan dengan isitilah

―atherothrombosis‖, suatu istilah yang lebih luas, yang melingkupi baik

komplikasi atherosklerosis maupun thrombosis.1

Progresi dari suatu lesi atherosklerotik menjadi atherothrombosis

dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Progresi dari lesi atherosklerotik menjadi atherothrombosis (Dikutip dari

Moore & Tabas, Cells 2011;145:341-55).10

Konsep terbaru tentang vulnerable plaque menunjukkan bahwa

plaque microrupture berulang, diikuti oleh thrombosis subklinis, merupakan

hal kritis terhdap pertumbuhan plak dan vulenrabibiltasnya. Hal ini sejalan

dengan penemuan klinis bahwa dua pertiga dari thrombus koroner pada

orang yang meninggal tiba-tiba karena penyebab kardiovaskuler

menunjukkan maturasi fase lanjut, yang berarti thrombosis telah terjadi

jauh sebelum terjadi ruptur.4

Page 216: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

216 Denpasar, 05-07 November 2015

PERAN KOMPONEN SISTEM HEMOSTASIS DALAM ATHEROGENESIS

Di luar peran tradisionalnya sebagai pembentuk thrombus pada

plak atherosklerotik, sistem hemostasis mempunyai peran sejak awal

atherogenesis dan berpengaruh terhadap progresi atherosklerosis.

Berbagai data dari binatang percobaan menunjukkan peran dari membran

thrombosit dan sistem koagulasi dalam mengatur progresi atherosklerosis.

Thrombosit mempunyai sifat proinflamasi yang merupakan dasar

patogenesis atherosklerosis. Berbagai protein koagulasi mempunyai peran

pada berbagai proses, seperti disrupsi barier endotil, stres oksidatif,

rekruitmen leukosit, inflamasi, migrasi dan proliferasi vascular smooth-

muscle cells (VSMCs), respon imun, apoptosis thrombosit dan sel lain, dan

angiogenesis. Beberapa dari aksi ini sebagian besar diperantarai oleh

kompleks tissue factor dan faktor VII (TF-VIIa), faktor Xa dan thrombin,

yang ikut serta dalam aktivasi G-protein-coupled protease-activated

receptors (PARs) 1, 2, 3 dan 4. PARs mengalami overeksprsi selama

atherogenesis.4

Berbagai studi awal menunjukkan fungsi penting platelet dalam

atherogenesis. Platelet mempunyai berbagai macam aktivitas atherogenik

sehingga menjadi perantara (interface) antara hemostasis, innate

immunity, dan inflamasi dalam atherosklerosis. Ekspresi molekul adhesi

seperti P-selectin dan E-selectin yang akan menyebabkan adhesi dan

aktivasi platelet. Ikatan platelet dengan leukosit (monosit dan netrofil) sel

dendritik, dan sel progenitor akan membentuk koagregat yang mendukung

lebih lanjut aktivasi, adhesi, serta transmigrasi, suatu proses yang sangat

kritis dalam pembentukan plak. 4

Tissue factor (TF) merupakan transmembrane class II cytokine

receptor, yang merupakan pemicu awal (primary trigger) dari kaskade

koagulasi. Dalam keadaan normal permukaan luminal endotil tidak

mengekspresikan TF, TF tersimpan dalam lapisan di bawah endotil yaitu

pada sel otot polos vaskuler, fibroblast adventitia dan perisit. Konstelasi ini

dikenal sebagai hemostatic envelope, suatu mekanisme untuk mencegah

perdarahan jika terjadi injuri vaskuler, tanpa menimbulkan thrombosis pada

keadaan normal. Dalam lesi atherosklerotik, TF terutama terdapat pada sel

otot polos vaskuler, dan dalam debris dari foam cell pada necrotic core. TF

dijumpai lebih banyak dari plak yang berasal dari penderita infark miokard

Page 217: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

217 Denpasar, 05-07 November 2015

atau angina unstabil dibandingkan dengan angina stabil, ini

mengasosiasikan peran TF pada thrombogenisitas dari plak. Faktor VII

(FVII) terdapat dalam makrofag dan sel otot polos. Kompleks TF-FVIIa

mempunyai bermacam fungsi, mendorong cell signaling, transkripsi gen,

yang pada akhirnya menuju sintesis protein. Aktivasi PAR-2 sangat

esensial dalam TF-FVIIa –induced signaling. TF-FVIIa – induced signaling

mendorong berbagai proses proatherogenik, seperti kemotaksis monosit

dan fibroblast, inflamasi, migrasi dan proliferasi otot polos (vascular

remodelling), angiogenesis, induksi stres oksidatif dalam makrofag dan

apoptosis.4

Faktor X aktif (FXa) menginisiasi intercellular signaling berbagai sel

dalam sistem kardiovaskuler, terutama yang dimediasi melalui PAR-2. FXa-

dependent, PAR-mediated signaling meningkatkan produksi sitokin

proinflamasi, seperti IL-6, IL-8 dan chemokine (C-C motif ligand2 (CCL2)

dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi, seperti E-selectine, ICAM-1,

VCAM-1, bersama dengan upregulasi TF, proliferasi otot polos, dan

pelepasan growth factor (VEGF, PDGF, dan TGFβ), semua ini akan

memberi kontribusi terhadap progresi plak atherosklerotik, yang mengikut

sertakan inflamasi, transmigrasi leukosit dan angiogenesis.4

Thrombin merupakan serine protease yang unik, mempunyai peran

sentral dalam koagulasi. Thrombin mempunyai multifungsi yang

berpengaruh terhadap sistem imun, syaraf, gastrointestinal dan

muskuloskeletal. Thrombin merupakan contoh molekul multifaset dengan

sifat fisiologik yang sangat luas. Dengan mengikat thrombomodulin

menyebabkan aktivasi protein-C, suatu molekul antikoagulan yang poten

dan antiinflamasi. Thrombin dapat mengurangi pelepasan IL-12 dan

mendorong upregulasi IL-10 pada monosit, yang mendorong imunosupresi

dan aksi anti-inflamasi. Sisa-sisa thrombomodulin selama atherogenesis

memungkinkan thrombin meningkatkan proses atherogenik, seperti

disfungsi endotil, barrier disruption, stres aksidatif, inflamasi, aktivasi

platelet dan leukosit, rekruitmen leukosit, migrasi dan proliferasi otot polos

dan angiogenesis, yang mempunyai peran dalam penyakit kardiovaskuler.

Thrombin, FXa, FXIa, FXIIa dan plasmin dapat memecah komplemen C3

dan C5 menjadi bentuk yang aktif, yang menginduksin inflamasi dan

Page 218: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

218 Denpasar, 05-07 November 2015

kemotaksis. Dari keseluruhan data ini dapat disimpulkan terdapat

hubungan erat antara koagulasi dan inflamasi dalam atherosklerosis.4

Hiperfibrinogenemia mempunyai asosiasi kuat dengan penyakit

kardiovaskuler, suatu prediktor independen dari vascular events. Distribusi

fibrinogen dan fibrinogen degradation product (FDP) dalam lesi

atherosklerotik selama proses progresi telah dapat didokumentasikan.

Hiperfibrinogenemia meningkatkan kalsifikasi arteria koronaria dan

meningkatkan ketebalan intima-media. Fibrinogen dapat mempengaruhi

fenotipe plak melalui: peningkatan permeabilitas vaskuler, akumulasi

ekstraseleler LDL cholesterol, pembentukan foam cell, mendorong migrasi

monosit dan sel otot polos, meningkatkan reaktivitas dan agreagasi

platelet, dan meningkatkan inflamasi.4

Contact activation (intrinsic pathway) sekarang dibuktikan tidak

mempuyai peranan dalam hemostasis in vivo, tetapi dianggap mempunyai

peran dalam atherogenesis. Pada percobaan binatang, tikus yang defisien

FXII mendapat proteksi terhadap thrombosis arteri dan stroke. FXII bekerja

terutama melalui sistem kalikrein-kinin. FXII memediasi pembentukan

bradikinin yang berperan dalam vasodilatasi dan permeabilitas vaskuler,

juga mengaktifkan sistem fibrinolitik dan mengaktifkan komponen C3 dan

C5 dan memfasilitasi sintesis tissue-type plasminogen activator, sedangkan

kalikrein mengaktifkan urokinase-type plasminogen activator. Melihat sifat

proangiogenik dan proinflamasi FXII dan plasma kallikrein-kinin system,

stimulasi kronik dari respon ini mungkin dapat meningkatkan lingkungan

proatherogenik intra-arterial.4

Hasil penelitian menunjukkan peran dari anticoagulant pathways

dalam inflmasi vaskuler. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI) cenderung

mengalami overekspresi pada lesi athereosklerotik. TFPI bukan hanya

mengatur aktivitas prokoagulan TF, tetapi juga mengontrol TF-induced

proatherogenic signaling. Pemberian recombinant TFPI pada binatang

percobaan menurunkan ekspresi TNF-α, chemokine, dan

mieloperoksidase. TFPI juga merupakan inhibitor poten metalloproteinases

yang memegang peranan penting pada destabilisasi plak dan komplikasi

atherothrombotik. Kadar TFPI dihubungkan dengan beban atherosklerotik

dan kalsifikasi arteri koronaria. Jalur protein C diketahui bersifat protektif

terhadap vascular gene-expression profiles yang meliputi respon

Page 219: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

219 Denpasar, 05-07 November 2015

antiinflamasi dan juga menstabilkan barier endotil. Penurunan kadar

activated protein C meningkatkan beban atherosklerotik pada tikus. Protein

S, yang dikenal sebagai penghubung hemostasis, inflamasi dan apoptosis,

membentuk kompleks dengan complement system regulator C4b-binding

protein (C4BP), suatu penghambat utama jalur komplemen klasik. Protein

S menurunkan ekspresi scavenger receptor A dan menurunkan uptake dari

LDL cholesterol oleh resptor ini, sehingga menurunkan kandungan lipid

dalam makrofag.4

RINGKASAN

Atherothrombosis didefinisikan sebagai plak atherosklerotik yang

mengalami disrupsi di atasnya ditumpuki (superimposed) oleh thrombus.

Atherothrombosis merupakan penyebab kematian utama di seluruh dunia.

Atherothrombosis merupakan suatu konsep kesatuan baru dari

atherosklerosis dan thrombosis. Inflamasi merupakan inti dari sistem yang

saling berhubungan, yang disebut HOMEOSTASIS. Sistem ini terdiri dari

inflamasi, hemostasis, thrombosis, dan atherosklerosis. Hemostasis,

disamping fungsi utamanya untuk mempertahankan dan memelihara aliran

darah yang normal, data-data yang terkumpul menunjukkan adanya

crosstalk yang erat antara hemostasis dan inflamasi, memberikan

penekanan pada kedua sistem ini dalam perannya pada berbagai penyakit

yang kompleks, termasuk atherothrombosis. Pemahaman terhadap konsep

baru ini akan memberikan strategi baru dalam manajemen dari penyakit-

penyakit yang sangat penting ini: penyakit jantung koroner, stroke iskemik,

dan penyakit arteri perifer.

DAFTAR RUJUKAN

1. Viles-Gonzalez JF, Fuster V, Badimon JJ. Atherothrombosis: a

widespread disease with unpredictable and life-threatening

consequences. European Heart J 2004;25:1197-1207.

2. Meerarani P, Moreno PR, Cimmino G, Badimon JJ. Atherothrombosis:

role of tissue factor. Indian J exprimental Biol 2007;45:103-110

3. Shanstsila P E, Kamphuisen PW, Lip GYH. Circulating microparticles in

cardiovascular disease: implications for atherogenesis and

atherothrombosis 2010;8:2358-68.

Page 220: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

220 Denpasar, 05-07 November 2015

4. Borissoff JI, Spronk HMH, te Cate H. The Hemostatic Systems as a

Modulator of Atherosclerosis. N Eng J Med 2011;364:1746-60.

5. Krakow EF, Ginsberg JS, Crowther MA. Arterial Thromboembolism. In:

Hoffman R, Benz E, Shattil, Furie B, Silberstein LE, McGlave P, Heslop

H (eds). Hematology: basic principles and practice. 5th ed.

Philadelphia: Churchill Livingstone, 2009. pp: 2055-2111.

6. Crowther MA. Pathogenesis of Atherosclerosis. Arterioscler Thromb

Vasc Biol 2015.

7. Fuste V, Moreno PR, Fayad ZA, Corti R, Badimon JJ. Atherothrombosis

and high-risk plaque. Part I. Evolving concepts. J Amer Coll Cardiol

2005;46:937-54.

8. Singh A, Neki NS, Bisht M, Chudhry S, Singh I, Gupta H. Current

advances in understanding the pathogenesis of atherosclerosis and its

clinical implications in coronary artery disease. JIMSA 2012;25:251-

253.

9. Singh RB, Mengi SA, Xu YJ, Arneja AS, Dhalla NS. Pathogenesis of

atherosclerosis: a multifactorial process. Clin Cardiol 2002:7:40-53

10. Moore KJ, Tabas I. Macrophages in the pathogenesis of

atherosclerosis. Cell 2011;145:341- 55.

11. Sakakura K, Nakano M, Otsuka F, Ladich E, Kolodgie FD, Virmani R.

Pathophysiology of atherothrombosis plaque progression. Heart Lung

Circul 2013;22:394-411.

12. Furie B. Pathogenesis of thrombosis. Hematology 2009;255-7.

13. Hoffbrand AV, Moss PAH. Essential Haematology. 6th Ed. West

Sussex UK: Willey-Blackwell, 2011.

14. Freedman JE. Molecular regulation of platelet-dependent thrombosis.

Circulation 2005;112:2725-34.

15. Yamashita A, Asada Y. A rabbit model of thrombosis on atherosclerotic

lesions. J Biomed Biotech 2011;201:1-15.

16. Davi G, Pattrono C. Platelet Activation and Atherothrombosis. N Eng J

Med 2007;357:2482-94.

17. Puetz J. Optimal use of recombinant factor VIIa in the control of

bleeding episodes in hemophilic patients. Drug Designs, Development

and Therapy 2010;4:127-137.

Page 221: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

221 Denpasar, 05-07 November 2015

18. Spronk HMH, van der Vorrt D, ten Cate H. Blood coagulation and the

risk of atherothrombosis: a complex relationship. Thrombosis J 2004;

2:1-10.

Page 222: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

222 Denpasar, 05-07 November 2015

TERAPI NYERI NEUROPATIK PADA PENDERITA DIABETES

USIA LANJUT

Ketut Suastika

Divisi Endokrinologi Metabolik dan Diabetes, Departemen Ilmu Penyakit dalam

FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar-Bali

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa neuropati (tepi) diabetik

adalah ditemukannya gejala dan/atau tanda disfungsi saraf perifer pada

penderita diabetes setelah menyingkirkan penyebab lainnya. Menyisihkan

penyebab lain ini amat penting, mengingat pada penelitian-penelitian

terakhir menunjukkan bahwa sampai 5% penyakit saraf tepi yang

ditemukan pada penderita diabetes bukan disebabkan oleh diabetesnya.

Klasifikasi dan patogenesis neuropati diabetik

Ada berbagai klasifikasi neuropati diabetik, diantaranya adalah

sebagai berikut: (1) Kerusakana saraf progresif dan menetap: polineuropati

diabetic simetris difus (neuropati sensorimotor), neuropati serabut kecil

selektif, neuropati autonomik; (2) neuropati reversible akut: neuropati

femoral (amiotrofi diabetik), kelumpuhan araf kranial (III, VI), neuropati

trunkal and torasik; (3) Pressure palsies: nervus medianus (carpal-tunnel

syndrome), nervus ulnaris, nervus popliteal lateralis (jarang); (4) terkait

pengobatan: ‗neuritis insulin‘. Prevalensi neuropati diabetik cukup tinggi.

Dari beberapa penelitian ditemuakn prevalensinya seperti terlihat pada

Tabel 1. Berbagai jalur dan mekanisme yang terlibat dalam patogenesis

neuropati diabetik, secara skematik dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 223: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

223 Denpasar, 05-07 November 2015

Tabel 1. Prevalensi neuropati diabetik

Prevalensi (%)

Rochester Diabetic Study (n=380)1

Semua penderita dengan polineuropati

DM Tipe 1

DM Tipe 2

Penderita dengan hanya polineuropati simtomatik

DM Tipe 1

DM Tipe 2

Neuropaty impairement scale +7 abnormal test (all

diabetes)

54

45

15

13

20.5

Pittsburg Epidemiology of Diabetes Complications Study

(n=400)2

DM Tipe 1

34

San Luis Valley Diabetes Study (n=297)3

DM Tipe 2

25.8

Data dari 1. Dyck et al.; 2. Maser et al.; 3. Franklin et al. Adopsi dari Zochodone.

Gerstein and Haynes (Eds). Evidence based Diabetes care, 2001.

Diabetes

Nerve glucose

AGE Polyol pathway Free radical

formation activity formation

NO quenching NO generation

Vasoconstriction GLA Diabetes

Endothelin

Blood coagulability Occlusion BM thickening

Diabetes Platelet reactivity of Endothelial Diabetes

Rigid red blood cells endoneurial swelling

capillaries

Nerve hypoxia

Structural damage Nerve conduction

Irreversible neuropathy velocity

Gambar 1. The pathogenesis of diffuse diabetic polyneuropathy

GLA=gamma linelic acid (Pickup and Williams, Textbook of Diabetes, 1997)

Page 224: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

224 Denpasar, 05-07 November 2015

Diagnosis neuropati diabetik

Gejala klinik neuropati diabetic adalah sebagai berikut. Symptoms:

Distal sensory loss (numbness): toes, feet, fingers; Distal paresthesiae

(tingling, prickling, „pins and needle‟): toes, feet, fingers; Pain (burning,

aching, „charley horse‟, shooting pains, electrical-like sharp, worse at night):

fingers, toes, arms, and leg; Weakness (clumsiness, loss of balance,

dragging of the toes, fall): hands, legs; Loss of distal sweating, postprandial

bloating, postural lightheadedness, constipation, diarrhea, hypoglycemic

unawareness, impotence. Signs: Stocking and (or) glove sensory loss,

Loss of ankle and other deep tendon reflexes, Distal weakness (later), Foot

ulcer (Zochodne. Gerstein and Haynes (Eds). Evidence Based Diabetes

Care, 2001). Ada lima prinsip dalam menegakkan diagnosis neuropati

diabetic, yaitu: penderita mempunyai diabetes, hiperglikemia kronik, yang

menonjol adalah polineuropati sensorimotor distal pada tungkai bawah,

mempunyai retinopati atau nefropati kira-kira bersamaan dengan

polineuropati, dan tidak ditemukan penyebab lain dari polineuropati

sensorimotor (Soliman and Gellido. Emedicine March 29, 2002).

Stadium neuropati diabetik dibagi menjadi 4 yaitu: 0. Tidak ada

neuropati: tidak ada keluhan, dan kurang dari dua kelainan pada uji formal

(meliputi uji fungsi autonomic); 1. Neuropati asimptomatik: tidak ada

keluhan tapi ditemukan dua atau lebih kelainan pada uji fungsional; 2.

Neuropati simptomatik: keluhan ringan dengan dua atau lebih kelainan

pada uji fungsional; 3. Disabling neuropathy: keluhan berat, dengan dua

atau lebih kelainan pada uji fungsional.

Terapi neuropati diabetik

Prinsip terapi neuropati diabetik adalah: (1) berdasarkan

mekanisme patogenesis: kendalikan gula darah, aldose reductase inhibitor,

ACE inhibitor, neurotrophins (nerve growth factor, brain-derived

neuropathic factor), thioctic acid (alpha-lipoic acid), protein kinase C

inhibitors, vascular endothelial growth factor, hydroxymethylglutaryl-

Coenzyme A reductase inhibitors; (2) Painful neuropathy: anticonvulsant

(carbamazepine, valproic acid, phenytoin, gabapentin, pregabalin,

lamotrigine, zonisamide), tricyclic antidepressants (amitriptyline,

desipramine, imipramine), selective serotonin reuptake inhibitors

Page 225: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

225 Denpasar, 05-07 November 2015

(citalopram, paroxetine, sertralin, venlafaxine, mexiletine, NMDA (N-methyl-

D-aspartate) receptor antagonist, tramadol, capsalcin, Physical therapies

(transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), acupuncture,

OpsiteTM, isosorbide dinitrate spray, spinal cord stimulation (Malik. Treat

Endocrinol 2003, 2: 389-400). Rekomendasi obat untuk nyeri neuropati

diabetik dari American Academy of Neurology, the American Association of

Neuromuscular and Electrodiagnostic Medicine, and the American

Academy of Physical Medicine and Rehabilitation dapat dilihat pada Tabel

2. Tabel 2. Rekomendasi terapi nyeri neuropati diabetik

Recommended drug and dose Not recommended

Level A Pregabalin, 300–600 mg/d

Level B Gabapentin, 900–3,600 mg/d

Sodium valproate, 500–1,200 mg/d

Venlafaxine, 75–225 mg/d

Duloxetine, 60–120 mg/d

Amitriptyline, 25–100 mg/d

Dextromethorphan, 400 mg/d

Morphine sulphate, titrated to 120 mg/d

Tramadol, 210 mg/d

Oxycodone, mean 37 mg/d, max 120 mg/d

Capsaicin, 0.075% QID

Isosorbide dinitrate spray

Electrical stimulation, percutaneous nerve stimulation

x3–4 weeks

Oxcarbazepine

Lamotrigine

Lacosamide

Clonidine

Pentoxifylline

Mexiletine

Magnetic field

treatment

Low-intensity laser

therapy

Reiki therapy

Evidence-based guideline: Treatment of painful diabetic neuropathy. Report of the

American Academy of Neurology, the American Association of Neuromuscular and

Electrodiagnostic Medicine, and the American Academy of Physical Medicine and

Rehabilitation. Bril V et al. Neurology® 2011; 76: 1758-1765.

Pregabalin

Pregabalin, satu obat analog GABA yang baru mempunyai struktur

dan kerja mirip dengan gabapentin. Obat ini mempunyai efek antiepileptik,

analgesik, dan ansiolitik, namun demikian juga diindikasikan untuk

pengobatan nyeri terkait neuropati diabetes dan neuralgia pasca herpetik.

Pregabalin tidak menunjukkan efek mimetik GABA secara langsung,

namun demikian seperti halnya gabapentin, dia meningkatkan kadar GABA

Page 226: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

226 Denpasar, 05-07 November 2015

neuronal dan menyebabkan peningkatan aktivitas glutamic acid

decarboxylase. Pregabalin dengan dosis 150-600 mg perhari ternyata

dapat memperbaiki skor nyeri. Obat ini ditoleransi baik dinyatakan aman

serta efektif untuk penderita nyeri neuropatik pada penderita diabetes. Efek

samping yang sering ditemukan adalah pusing (dizziness), somnolen, dan

edem perifer (Zareba G. Drugs of Today 2005; 41: 509-516; Freeman R et

al. Diabetes Care 31:1448–1454, 2008). Efek samping ini pada umumnya

ringan sampai sedang dan dapat ditoleransi oleh penderita (Seventer et al.

Curr Med Res Op 2006; 22: 375-384).

Setelah pengalaman penggunaan pregabalin lebih dari satu

dekade, secara umum efek samping obat ini ditoleransi baik.

Penggunaannya dikaitkan dengan efek terhadap sistem saraf pusat dan

sistemik ringan, dan sangat terbatas efeknya terhadap metabolic,

idiosinkrasi atau teratogenik. Efek samping yang paling sering ditemukan

adalah sedasi, pusing, edem perifer dan mulut kering (Toth C. Ther Adv

Drug Saf 2014; 5: 38-56).

Pregabalin yang diberikan untuk nyeri saraf karena nyeri pinggang

bawah pada usia diatas 65 tahun dengan dosis 75 mg/hari, disamping

efektif untuk menurunkan rasa nyeri (73.3%) juga aman diberikan pada

mereka dengan usia lanjut (Sakai Y et al. Asian Spine J 2015; 9: 254-262).

Walaupun obat ini relatif aman untuk penderita usia lanjut, sebaiknya juga

diperhatikan efek yang tidak menyenangkan seperti pusing, penglihatan

kabur, konfusi, atau clumsiness; karenanya mungkin diperlukan

penyesuaian dosis.

Daftar Pustaka

1. Bril V et al. Neurology® 2011; 76: 1758-1765.

2. Freeman R et al. Diabetes Care 31:1448–1454, 2008.

3. Gerstein and Haynes (Eds). Evidence based Diabetes care, 2001.

4. Pickup and Williams. Textbook of Diabetes, 1997.

5. Sakai Y et al. Asian Spine J 2015; 9: 254-262

6. Seventer et al. Curr Med Res Op 2006; 22: 375-384.

7. Soliman and Gellido. E-medicine March 29, 2002.

8. Toth C. Ther Adv Drug Saf 2014; 5: 38-56.

9. Zareba G. Drugs of Today 2005.

Page 227: PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XXIII · Update in Management of Geriatric Syndrome Moderator : DR. dr. RA Tuty Kuswardhani, SpPD-KGer, MARS ... Mekanisme kerjanya adalah memodulasi

PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research

227 Denpasar, 05-07 November 2015