Pendekatan Sindrom Aproach

13
VALIDASI PEMERIKSAAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL SECARA PENDEKATAN SINDROM PADA KELOMPOK WANITA BERPERILAKU RISIKO TINGGI Endang R. Sedyaningsih Mamahit*, Eko Rahardjo*, Between Lutam*, Chatra Oktarina*, Sinurtina Sihombing*, Sjahrial Harun* ABSTRACT VALIDATION OF THE SYNDROMICAPPROACH FOR THE MANAGEMENT OF SEXUALLY TRANSMITTED INFECTIONS IN WOMEN WITH HIGH RISK BEHA VIOUR Accurate and adequate treatment of STIs is a critical component of STI-control activities to reduce transmission and sequelaes. On the other hand, chronic shortage in skilled staff and laboratory equipment in many countries necessitate the use of clinical skills more in order to diagnose and differentiate STIs. For these places, the WHO has recommended and prcduced a protocol of it syndromic approach management of STIs in place of treatment by -etiology. Since 1997 the Indonesia Ministry of Health has been conducting national training on this method. However, the syndromic approach for vaginal discharge is known to be problematic since differentiation among cervicitis, vaginitis, and even normal condition is difJicult. The main objective of this study is to determine the sensitivity, specificity and positive predictive value of the syndromic approach management of women with signs andor symptoms of abnormal vaginal discharge. The sample population were women with high risk sexual behaviors in East Java and North Sulawesi provinces. The laboratory tests using DNA hybridization probe technique (the PACE 2 test, Gen-Probe, San Diego, CaliJ) for Neisseria gonorrhoeae and Chlamydia trachomatis were used as gold standard. In addition, we also compared the clinical approach widely used by clinicians (mainly at hospitals) with laboratory results. A total of 439 participants was recruited purposively (230from E. Java and 209from N.Sulawesi). In E.Java, the sensitivity, spec$city, and predictive value of the syndromic managementfor vaginal discharge are 31%, 83%) and 59%, respectively, and in N Sulawesi 49%, 56%, and 40%,respectively. The clinical approach did not show better results. In E.Java the sensitivity, specflcity, andpositive predictive value are 13%, 89%, and 50%, res- pectively, while in N Sulawesi they are 42%, 61 %, and 39%, respectively. As a conclusion, the current form of syndromic management has little use for STI screening among high risk women. Further studies by adding more criteria to the syndromes are needed to improve this method. Key words: syndromic approach, sexually transmitted infections, Gen-Probe. * Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit, Badan Litbangkes, Depkes & Kesos RI. Bul. Penelit. Kesehat. 28 (3&4) 2000 460

description

,,,,

Transcript of Pendekatan Sindrom Aproach

Page 1: Pendekatan Sindrom Aproach

VALIDASI PEMERIKSAAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL SECARA PENDEKATAN SINDROM

PADA KELOMPOK WANITA BERPERILAKU RISIKO TINGGI

Endang R. Sedyaningsih Mamahit*, Eko Rahardjo*, Between Lutam*, Chatra Oktarina*, Sinurtina Sihombing*, Sjahrial Harun*

ABSTRACT

VALIDATION OF THE SYNDROMICAPPROACH FOR THE MANAGEMENT OF SEXUALLY TRANSMITTED INFECTIONS IN WOMEN

WITH HIGH RISK BEHA VIOUR

Accurate and adequate treatment of STIs is a critical component of STI-control activities to reduce transmission and sequelaes. On the other hand, chronic shortage in skilled staff and laboratory equipment in many countries necessitate the use of clinical skills more in order to diagnose and differentiate STIs. For these places, the WHO has recommended and prcduced a protocol of it syndromic approach management of STIs in place of treatment by -etiology. Since 1997 the Indonesia Ministry of Health has been conducting national training on this method. However, the syndromic approach for vaginal discharge is known to be problematic since differentiation among cervicitis, vaginitis, and even normal condition is difJicult.

The main objective of this study is to determine the sensitivity, specificity and positive predictive value of the syndromic approach management of women with signs andor symptoms of abnormal vaginal discharge. The sample population were women with high risk sexual behaviors in East Java and North Sulawesi provinces. The laboratory tests using DNA hybridization probe technique (the PACE 2 test, Gen-Probe, San Diego, CaliJ) for Neisseria gonorrhoeae and Chlamydia trachomatis were used as gold standard. In addition, we also compared the clinical approach widely used by clinicians (mainly at hospitals) with laboratory results.

A total of 439 participants was recruited purposively (230from E. Java and 209from N.Sulawesi). In E.Java, the sensitivity, spec$city, and predictive value of the syndromic management for vaginal discharge are 31%, 83%) and 59%, respectively, and in N Sulawesi 49%, 56%, and 40%,respectively. The clinical approach did not show better results. In E.Java the sensitivity, specflcity, andpositive predictive value are 13%, 89%, and 50%, res- pectively, while in N Sulawesi they are 42%, 61 %, and 39%, respectively. As a conclusion, the current form of syndromic management has little use for STI screening among high risk women. Further studies by adding more criteria to the syndromes are needed to improve this method.

Key words: syndromic approach, sexually transmitted infections, Gen-Probe.

* Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit, Badan Litbangkes, Depkes & Kesos RI.

Bul. Penelit. Kesehat. 28 (3&4) 2000 460

Page 2: Pendekatan Sindrom Aproach

Validasi pemeriksaan infeksi menular seksual . . . . . . . . . .. Endang R. Sedyaningsih-Mamahit et al

PENDAHULUAN

Infeksi Menular Seksual (IMS) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia,') termasuk di ~ndonesia.~ '~) Kebutuhan akan adanya program penanggulangan IMS yang efektif semakin dirasakan semenjak dibuktikan bahwa IMS merupakan faktor risiko independen untuk penularan HIV. Penyakit-penyakit seperti gonore, klamidia, sifilis, dan chancroid ternyata dapat meningkatkan risiko enularan HIV P melalui hubungan seksuaL4> )

Metode pendekatan sindrom adalah cara penatalaksanaan IMS dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) lainnya yang direkomendasikan oleh WHO untuk negara-negara berkembang dengan fasili- tas laboratorium yang tidak selalu dapat ditemukan. Yang termasuk IMS adalah trikomoniasis, gonore serta klamidia, sedang yang termasuk ISR lain adalah bakteriosis vaginalis1BV dan kandidiasis. Dengan metode pendekatan sindrom, diagnosis dibuat berdasarkan keluhan dan tanda (duh tubuh uretra laki-laki, duh tubuh vagina wanita, ulkus genital, nyeri perut bawah wanita, pembengkakan skrotum, bubo inguinal, vegetasi genital, dan konjungtivitis neonatorum), serta anamnesis faktor risiko (pasangan seksual >1 dalam 1 bulan terakhir, berhubungan seksual dengan penjaja seks dalam 1 bulan terakhir, mengalami satdlebih episode IMS dalam 1 bulan terakhir, dan perilaku pasangan seksual berisiko tinggi).6) Pengobatan yang diberikan bersifat presumtif---tidak menunggu hasil labora- torium--dan mencakup terapi beberapa infeksi yang patut diduga menjadi penyebabnya (misalnya penderita dengan diagnosis duh tubuh vagina diberi pengobatan untuk IMS yaitu klamidia, gonore, dan trikomoniasis, serta untuk ISR lain yaitu kandidiasis dan BV).~)

Sejalan dengan itu pula sejak tahun 1997 Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM-PL) telah melakukan pelatihan berskala nasional mengenai metode pendekatan sindrom ini.6) Mengingat metode tersebut sementara ini dianggap paling sesuai dengan situasi di Indonesia dan akan dipergunakan seterusnya, maka dianggap perlu untuk membandingkan ketepatan metode pendekatan sindrom dari waktu ke waktu dengan metode baku emas, yakni uji laboratorium (Gen-Probe untuk gonore dan klamidia, dan sediaan langsung dan pewarnaan untuk trikomonas, kandida dan BV).

Selain itu, ada pula metode penatalaksanaan lain yang biasa dilakukan oleh para klinisi, biasanya dilakukan di rumah-rumah sakit. Metode Pendekatan Klinis adalah cara penatalaksanaan IMSIISR lainnya dengan memperhatikan keluhan dan tanda yang lebih teliti daripada metode Pendekatan Sindrom. Misalnya, dinilai-pula konsistensi, warna, dan bau dari duh tubuh. Pada wanita digunakan spekulurn untuk menilai keadaan vagina, serviks, dll., s e r t eb i l a perlu-dilakukan pemeriksaan dalam. Diagnosis yang ditegakkan biasanya sudah lebih menjurus ke arah etiologi, misalnya kandidiasis, trikomoniasis, BV (pada penelitian ini ketiganya digolongkan ke dalam vaginitis saja) serta diagnosis servisitis (umumnya infeksi gonore atau non-gonore).

Studi validasi ini akan meng- hasilkan angka sensitivitas dan spesivisitas dari metode pendekatan sindrom yang diterapkan pada kelompok wanita berperilaku risiko tinggi. Hasil studi diharapkan dapat menjadi dasar bagi penyempurnaan pelaksanaan metode tersebut di Indonesia.

Bul. Penelit. Kesehat. 28 (3&4) 2000

Page 3: Pendekatan Sindrom Aproach

Validasi pemeriksaan infeksi menular seksual . . . . . . . . . .. Endang R. Sedyaningsih-Mamahit et al

BAHAN DAN CARA KERJA peserta penelitian, dimintakan persetujuan tertulis (informed consent). Peserta

Penelitian ini merupakan sebuah dianamnesis untuk pengisian data studi yang membandingkan satu metode demografis, kemudian diminta masuk ke diagnostik dengan dua metode lainnya. kamar pemeriksaan. Penelitian dilakukan di daerah uji coba program Pemeriksaan IMS Berkala Ditjen Pemeriksaan Fisik PPM-PL, yaitu di Provinsi Jawa Timur dan Sulawesi Utara bersamaan dengan dilaksanakannya program tersebut, yaitu antara bulan September 1999 s.d Maret 2000. Sarnpel yang diambil adalah sebanyak 439 orang dari populasi penjaja seks perempuan (PSP) di lokalisasi serta pekerja perempuan lain yang dianggap berisiko tinggi tertular IMS (pekerja bar, karaoke, dll.). PSP yang hamil, sedang mengalami perdarahan vagina yang banyak, atau yang menderita karsinoma serviks tidak diikutgertakan sebagai sampellsubyek penelitian.

Jumlah sampel dihitung berdasarkan prevalensi Chlamydia trachomatis di kalangan PSP di Surabaya dan Manado yaitu berkisar antara 20-22%, dengan asumsi bahwa metode yang dipakai (pendekatan sindrom atau klinis) mempunyai sensitivitas paling tidak 50%. Untuk mendapatkan presisi * 15% dengan 95% confidence interval, diperlukan sampel minimal sebesar 384 orang.7)

Manajemen dan analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Epi-Info.

Penentuan Subyek Penelitian

Sebelurn diperiksa, calon subyek penelitian mendapatkan penjelasan mengenai penelitian ini, keuntungan dan jenis pemeriksaan yang akan dilakukan. Dari setiap PSP yang bersedia menjadi

Pada pemeriksaan pertama, dokterlbidan yang telah dilatih metode Pendekatan Sindrom menanyakan keluhan dan mengkaji faktor risiko subyek penelitian. Kemudian kepada subyek penelitian dilakukan pengarnatan dan palpasi dengan posisi litotomi (tidak dilakukan pemeriksaan dengan spekulum). Dokter menetapkan diagnosis berdasarkan Pendekatan Sindrom.

Setelah dokter . tersebut mening- galkan ruangan, digantikan oleh dokter kedua yang belum pernah dilatih Pendekatan Sindrom. Ia memeriksa dan mendiagnosis secara klinis (dengan spekulum). Setelah diagnosis ditetapkan, diambil duh vagina dan serviks untuk konfirmasi laboratorium. Pengobatan diberikan secara cuma-cuma sesuai penatalaksanaan Pendekatan Sindrom (pengobatan presumtif yang tidak menunggu hasil laborat~rium).~)

Pemeriksaan Laboratorium

Duh vagina diambil untuk dibuat preparat Gram dan diperiksa terhadap adanya clue cell (sebagai indikator adanya BV) dan candida (pseudohifa danlatau blastospora). Duh dari forniks posterior diambil untuk dibuatkan preparat basah dengan larutan NaCl 0,9%. Diperiksa langsung terhadap adanya Trichomonas vaginalis.

Bul. Penelit. Kesehat. 28 (3&4) 2000

Page 4: Pendekatan Sindrom Aproach

Validasi pemeriksaan infeksi menular seksual . . . . . . . . . .. Endang R. Sedyaningsih-Mamahit et a1

Pemeriksaan sediaan langsung dan pewarnaan Gram adalah metode standar untuk mendiagnosis adanya infeksi trikomonas dan kandida.') Sedangkan untuk BV, adanya clue cell saja sebenarnya belum mencukupi. Metode standar adalah adanya 3 dari 4 gejaldtanda sebagai berikut: a) keputihan yang menutupi dinding vagina; b) ditemukan clue cell dengan pemeriksaan mikroskop; c) pH vagina >4,5; d) duh vagina berbau amis ikan sebelum atau sesudah ditetesi KOH 1 o % . ~ ) Pada penelitian ini, walaupun tidak memakai kriteria lengkap, adanya clue cell dengan pewarnaan Gram dianggap lebih valid daripada diagnosis pendekatan sindrom.

Duh serviks diambil untuk diperiksa dengan teknik Gen-Probe (PACE 2 test, San Diego, Calif.) terhadap Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis. Karena pemeriksaan kultur tidak dilakukan, maka pemeriksaan Gen-Probe dianggap sebagai baku emas.

Pemeriksaan Gen-Probe menggu- nakan DNA probe yang bersifat chemiluminescent (zat kimia yang bersinar). Probe ini akan membentuk hibrida dengan suatu 16s rRNA sekuens dari klamidia. Setelah hibrida DNA- rRNA terbentuk, ia diserap ke dalam butiran-butiran magnit dan reaksi chemiluminescent yang terjadi dideteksi secara kuantitatif dengan luminometer. Selain praktis, pemeriksaan ini mem- punyai nilai sensitivitas dan spesivisitas yang cukup tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan baku emas kultur (nilai sensitivitas untuk pemeriksaan gonore sekitar 93%;') klarnidia berkisar antara 77-94%,'0) dan nilai spesivisitas untuk pemeriksaan gonore sekitar

9 ~ % ; ~ ) klamidia berkisar antara 96- 100%)'~'.

HASIL PENELITIAN

Telah dilaksanakan pemeriksaan IMS secara pendekatan sindrom dan klinis, serta pengambilan spesimen pada 230 PSP di Kabupaten Jember dan Tulungagung, Jawa Timur (Jatim), dan 209 PSP dan pekerja bar di kota Bitung dan Manado, Sulawesi Utara (Sulut). Perbandingan beberapa karakteristik subyek penelitian Jawa Timur dan Sulawesi Utara dapat dilihat pada Tabel 1.

Umur rata-rata subyek penelitian di kedua provinsi sama, yaitu 25 tahun. Hanya rentang umur di Jatim (15-39 tahun) sedikit lebih kecil daripada di Sulut (1 4--45 tahun). Perbedaan bermakna tampak pada tingkat pendidikan; subyek penelitian di Jatim pada umumnya berpendidikan setingkat SD, sedangkan di Sulut setingkat SMU.

Perbedaan juga terlihat pada status perkawinan. Subyek penelitian Jatim umumnya berstatus j anda (>75%), sedangkan pekerja bar di Sulut terutama berstatus menikah (47,4 %) atau belum menikah (39,2 %).

Dalam studi ini, seluruh subyek penelitian di setiap lokasi penelitian diusahakan untuk diperiksa seluruhnya. Karena itu, tidak semua subyek penelitian mempunyai keluhan ataupun tanda: hanya 20% subyek penelitian di Jatim dan 46% di Sulut yang ketika diperiksa mempunyai sekurangnya satu keluhan (keputihdsakit waktu buang air kecillsakit perut bawahf perdarahan vagina d d a t a u sulit hamil) (Tabel 2).

Bul. Penelit. Kesehat. 28 (3&4) 2000

Page 5: Pendekatan Sindrom Aproach

Validasi pemeriksaan infeksi menular seksual . . . . . . . . . .. Endang R. Sedyaningsih-Mamahit et al

Tabel 1. Perbandingan Beberapa Karakteristik Subyek Penelitian Jawa Timur dan Sulawesi Utara.

Tabel 2. Proporsi Keluhan Subyek Penelitian.

Sulut 209

19% lokalisasi 81% bar 25 tahun

14--45 tahun

1 (0,5%) 3 1 (14,8%) 55 (26,3%) 102 (48,8%) 18 (8,6%) 2 (1%)

99 (47;4%) 82 (39,2%) 26 (12,4%)

2 (1%)

1 anak 0--6 anak

Karakteristik N

Tempat kerja

Umur rata-rata Rentang umur

Pendidikan Tidak sekolah SD SMP SMA AkademiIUniversitas Tak ada data

Status perkawipan Menikah Tidak menikah Janda Tak ada data

Jumlah anak Rata-rata Rentang jumlah

Bul. Penelit. Kesehat. 28 (3&4) 2000

Jatim 230

100% lokalisasi

25 tahun 1 5--39 tahun

19 (8,3%) 102 (44,3%) 61 (26,5%) 34 (14,8%) 3 (1,3%) 1 1 (4,8%)

12 (5,2%) 31 (13,5%) 176 (76,5%) 11 (4,8%)

1 anak 0--4 anak

Sulawesi Utara 209

96 (46% ) 56 (26,8%) 14 ( 6,7%) 26 (12,4%) 8 (3,8%) 12 (5,7%)

Keluhan N

Mempunyai keluhan Keputihan Sakit waktu buang air kecil Sakit perut bawah Perdarahan dari vagina Merasa sulit untuk hamil

Jawa Timur 230

46 (20% ) 36 (15,7%) 15 ( 6,5%) 36 (15,7%) 2 ( 0,9%) 17 ( 7,4%)

Page 6: Pendekatan Sindrom Aproach

Validasi pemeriksaan infeksi menular seksual . . . . . . . . . .. Endang R. Sedyaningsih-Mamahit et a1

Pada pemeriksaan fisik, dijumpai 0,9%, BV 17,8%, I?. gonorrhoeae: 38,7%, keadaan yang sedikit berbeda, yaitu 27,4% dan C. trachomatis 16,1%. Sedang di di Jatim dan 47,8% subyek penelitian di Sulut prevalensi 7'. vaginalis ditemukan Sulut ternyata mempunyai sekurangnya sebesar 17,7%, kandidiasis 9,1%, BV: satu tanda (fluor albus 1 vesikel di genitalia 22,5%, It gonorrhoeae 23%, d m C. eksterna/ulkus/erosi di vagina, danlatau trachomatis 24,9%. kutil di vagina) (Tabel 3).

Diagnosis klinis untuk IMSIISR Dengan pemeriksaan laboratorium, yang ditelaah ialah servisitis (radang

ditetapkan prevalensi beberapa IMS dan serviks) d m vaginitis (radang vagina). infeksi saluran reproduksi (ISR) lain pada Proporsi servisitis ditemukan sebesar subyek penelitian di Jatim dan Sulut 12,2% di Jatim dan 39,7% di Sulut, d m (Tabel 4). Di Jatim ditemukan prevalensi vaginitis sebesar 15,2% di Jatim dan T. vaginalis sebesar 7,4%, kandidiasis 29,7% di Sulut (Tabel 4).

Tabel 3. Proporsi Tanda Klinis pada Saat Pemeriksaan.

Tabel 4. Proporsi Infeksi T. vaginalis, Candidiasis, BV, N. gonorrhoeae, C. trachomatis, Hasil Diagnosis Klinis dan Diagnosis Sindrom.

Gejala

Fluor albus Vesikel/papel pada genitalia eksterna Ulkus/erosi di vagina Kutil di vagina

I 1 Jawa Tirnur I Sulawesi Utara I I C Subvek Penelitian / S~esimen I 230 I 209 I

Jawa Timur 230

63 (27,4%) 2 ( 0,9%) 2 ( 0,9%) 13 ( 5,7%)

Sulawesi Utara 209

100 (47,8%) 4 ( 1,9%) 38 (18,2%) 6 ( 2,9%)

I C. trachomatis (Gen-Probe) 1 37 (16,1%) 1 52 (24,9%)

Trichomonas vaginalis Gram (-) diplokokus (intra-extra) Candidiasis Clue cell (Bakterial Vaginosis) T. vaginalis danlatau candidiasis danlatau BV Ngonorrhoeae (Gen-Probe)

Ngonorrhoeae &I C. trachomatis 1 102 (44,3%) 1 78 (373%) I I Jenis diagnosis klinis I I I

17 ( 7,4%) 16 ( 7,0%)

2 ( 0,9%) 41 (17,8%) 54 (23,5%) 89 (38,7%)

37 (17,7%) 39 (18,7%) 19 ( 9,1%) 47 (22,5%) 89 (42,6%) 48 (23,0%)

I Jenis diagnosis sindrom I I I

Vaginitis Servisitis

I Diagnosis duh tubuh 54 (23,s %) I 96 (46 %)

I Diagnosis nyeri perut bawah 23 (10 %) I 8 ( 3,s %) 1

1

35 (15,2%) 28 (12,2%)

IMS: T. vaginalis, N. gonorrhoeae dan C. trachomatis

--

62 (29,7%) 83 (39,7%)

Bul. Penelit. Kesehat. 28 (3&4) 2000

Page 7: Pendekatan Sindrom Aproach

Validasi pemeriksaan infeksi menular seksual . . . . . . . . . . . Endang R. Sedyaningsih-Mamahit et al

Sedangkan diagnosis pendekatan sindrom yang ditelaah adalah duh tubuh vagina. Proporsinya ditemukan sebesar 23,8% di Jatim dan 46% di Sulut (lihat Tabel 4). Diagnosis ini di Jatim dibuat oleh bidan dan di Sulut dilakukan oleh dokter umurn, keduanya telah sama-sama dilatih menggunakan metode Pendekatan Sindrom.

Telah diketahui bahwa IMS pada perempuan sering tanpa gejala ataupun tanda. Tabel 5 memperlihatkan proporsi

tanpa gejala dan tanpa tanda dari setiap jenis infeksi. Dalarn tabel ini hasil pemeriksaan dari kedua area penelitian digabungkan.

Ketika ketepatan diagnosis klinis dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium, diperoleh nilai sensitivitas yang kurang dari 50%. Untuk servisitis berturut-turut di Jatim dan Sulut didapatkan nilai sensitivitas 13,7% dan 42,3%, spesivisitas 89,1% dan 61,8%, dan PPV 50% dan 39,8% (Tabel 6).

Tabel 5. IMS dan ISR Lain Tanpa Gejala dan Tanpa Tanda di Kalangan PSP/ Pekerja Bar di Jawa Timur dan Sulawesi Utara.

Jenis Infeksi I Jumlah (Proporsi) I Trikomoniasis

Tanpa gejala Tanpa tanda

54 orang 30 (55,6%) 27 (50%)

Candidiasis Tanpa gejala Tanpa tanda

2 1 orang 11 (52,4%) 8 (38,1%)

Bakterial vaginosis Tanpa gejala Tanpa tanda

Gonore Tanpa gejala Tanpa tanda

Klamidia Tanpa gejala Tanpa tanda

88 orang 67 (76,1%) 50 (56,8%)

135 orang 86 (63,7%) 82 (60,7%)

89 orang 58 (65,2%) 54 (60,7%)

Bul. Penelit. Kesehat. 28 (3&4) 2000

Page 8: Pendekatan Sindrom Aproach

Validasi pemeriksaan infeksi menular seksual . . . . . . . . . .. Endang R. Sedyaningsih-Mamahit et al

Tabel 6. Ketepatan Diagnosis Klinis Dibandingkan dengan Pemeriksaan Labora- torium di Jawa Timur dan Sulawesi Utara.

Pada analisis, ketepatan diagnosis Ternyata metode pendekatan sindrom pun duh tubuh vagina yang dilakukan secara menghasilkan sensitivitas yang rendah pendekatan sindrom dibandingkan dengan (Jatim 3 1,4% dan 35,2%; Sulut 48,7% d m hasil pemeriksaan laboratorium Gen-Probe 53,9%), spesivisitas sedangkan (Jatim (untuk gonore dan klamidia), dan hasil 82,8% dan 80,1%; Sulut 55,7% dan 60%), pemeriksaan laboratorium lainnya (untuk dan nilai PPV rendah (Jatim 59,2% dan BV, trikomoniasis dan kandidiasis). 35,2%; Sulut 39,6% dan 50%) (Tabel 7).

Tabel 7. Ketepatan Diagnosis Pendekatan Sindrom Dibandingkan dengan Pemerik- saan Laboratorium di Jawa Timur dan Sulawesi Utara.

Sensitivitas

Spesivisitas

PPV

NPV

nilai p

RR

Dl Klinis VAGINITIS

infeksi kandida &I trikomonas &I BV

Bul. Penelit. Kesehat. 28 (3&4) 2000

Dl Klinis SERVISITIS

infeksi gonore &/ klaunidia

JATIM P : 23,5%

29,6%

89,2%

45,7%

80,5%

< 0,05

2,7

Sensitivitas

Spesivisitas

PPV

NPV

nilai p

RR

JATIM P : 44,3%

13,7%

89,1%

50%

56,4%

> 0,05

1,3

SULUT P : 42,6%

3 5,9%

' 75%

5 1,6%

6 1,2%

> 0,05

1,4 Y

SULUT P : 37,3%

42,3%

61,8%

39,8%

64,3%

> 0,05

1,1

D l DUH TUBUH VAGINA

Infeksi galnore &/ klami dia

JATIM P : 44,3%

3 1,4%

82,8%

59,2%

60,2%

< 0,05

1,8

infeksi kandids~ &/ trikomonas &I BV

SULUT P : 37,3%

48,7%

55,7%

39,6%

64,6%

> 0,05

1,1

JATIM P : 23,5%

35,2%

80,1%

35,2%

80,1%

< 0,05

1 8

SULUT P : 42,6%

53,9%

60%

50%

63,7%

> 0,05

44

Page 9: Pendekatan Sindrom Aproach

Validasi pemeriksaan infeksi menular seksual , Endang R. Sedyaningsih-Mamahit et al

PEMBAHASAN

Walaupun diagnosis IMS dengan pemeriksaan laboratoriurn merupakan cara yang paling ideal, metode ini mempunyai kelemahan utama yakni tingginya biaya yang dibutuhkan, baik biaya awal maupun pemeliharaan. Hal ini membuat cara ini jarang dapat dilakukan di negara berkembang. Di lain pihak, metode Pendekatan Sindrom tidak memerlukan biaya tambahan di luar peralatan dasar yang telah dimiliki oleh sebuah Puskesmas. Sayangnya, metode yang relatif mudah ini ternyata mempunyai kelemahan dalam sensitivitas, spesivisitas, dan nilai prediksi positif (PPV), terutama bila diterapkan pada perempuan.8) Karena itu, dari waktu ke waktu dan dari satu lokasi ke lokasi lain, perlu dilakukan upaya validasi.

Dalam studi ini, pemeriksaan Gen- Probe digunakan sebagai baku emas untuk mendeteksi adanya Ngonorrhoeae dan C. trachomatis. ISR lain (trikomoniasis, kandidiasis, dan BV) diperiksa dengan cara langsung dan pewarnaan. Diagnosis klinis yang tidak memerlukan banyak biaya tambahan di atas peralatan pemeriksaan baku Puskesmas, juga dipakai untuk perbandingan.

Secara umum ditemukan adanya perbedaan pada karakteristik pendidikan dan status perkawinan antara subyek penelitian di Jatim dan Sulut. Status janda pada sebagian besar PSP di Jatim juga ditemukan di bekas lokalisasi Kramat Tunggak ~akarta") dan lokalisasi di ~ u ~ a n ~ . 12) Namun demikian, subyek penelitian Jatim memang berasal dari lokalisasi dan bukan pekerja bar seperti di Sulut, sehingga ada kemungkinan bias yang terjadi disebabkan oleh tempat kerja.

Karena studi ini berupaya melibatkan seluruh populasi di setiap lokasi penelitian (pemeriksaan secara skrining), maka hanya sedikit persentasi PSPlpekerja bar yang mengemukakan keluhannya (lihat Tabel 2). Terlepas dari apakah subyek penelitian merasakan adanya keluhan atau tidak, secara klinis ditemukan beberapa tanda abnormal pada sebagian subyek penelitian (Tabel 3).

Prevalensi gonore dan klamidia di Jatim (kabupaten Jember dan Tulungagung) pada studi ini tidak jauh berbeda dengan prevalensi IMS serupa di kalangan PSP di Surabaya (Jatim) pada tahun 1998.13) Ketika itu diperoleh prevalensi gonore sebesar 32% (pada studi ini 38,7%) dan klamidia 20% (studi ini: 16,1%). Sedangkan di Sulut, dibandingkan dengan studi di lokasi PSP dan bar-bar di Manado pada tahun 1998, hanya gonore yang menunjukkan perbedaan mencolok (6% di tahun 1998 dan 23% di tahun 2000); sedangkan klamidia menunjukkan hasil yang tak jauh berbeda (22% di tahun 1998 dan 24,9% di tahun 2000.'~) Kisaran angka 15--30% ini cukup konsisten dengan prevalensi gonore dan klamidia di kalangan PSP di tempat-tempat lain di Indonesia. 12,14)

Selain kedua IMS di atas, prevalensi trikomonas di Jatim pada studi ini (7,4%) dan studi tahun 1998 (5%)13) juga memperlihatkan nilai yang tidak jauh berbeda dengan hasil studi AusAID (4,9%).12'

Hasil penelitian ini menguatkan pengetahuan bahwa IMS pada perempuan sering tanpa gejala maupun tanda.'7'2) Bila dianalisis per jenis infeksi, maka tampak >60% infeksi gonore danlatau klamidia terjadi tanpa gejalaltanda (Tabel 5).

Bul. Penelit. Kesehat. 28 (3&4) 2000

Page 10: Pendekatan Sindrom Aproach

Validasi pemeriksaan infeksi menular seksual Endang R. Sedyaningsih-Mamahit et a1

Padahal kedua IMS ini dapat menim- bulkan komplikasi yang berat pada si penderita, seperti penyakit radang panggul, nyeri kronik, dan kemandulan.')

Pada studi ini ditemukan perbedaan proporsi diagnosis pendekatan sindrom yang cukup besar antara Jatim dan Sulut. Peran keterampilan dan pengalaman pemeriksa memegang andil yang cukup besar. Dari analisis lebih lanjut tampak bahwa pemeriksa di Sulut (dokter) menghasilkan diagnosis yang sedikit lebih sensitif namun kurang spesifik dibanding- kan dengan pemeriksa di Jatim (bidan) (Tabel 7).

Baik di Jatim maupun di Sulut, subyek penelitian juga diperiksa dan dibuat diagnosisnya secara klinis oleh satu atau dua orang dokter umum yang berpengalaman. Diagnosis klinis untuk IMS/ISR yang ditelaah ialah servisitis (radang serviks) dan vaginitis (radang vagina). Servisitis dapat disebabkan oleh gonore atau klamidia atau keduanya; sedangkan vaginitis dapat disebabkan oleh trikomonas atau candida atau BV. Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis, obsewasi, observasi dengan spekulum, palpasi, penginderaan hidung dan (bila perlu) periksa dalam. Jadi merupakan kesimpulan dari adanya sekumpulan gejala dan tanda.

Pada perbandingan antara diagnosis klinis (servisitis dan vaginitis) dengan pemeriksaan laboratorium, tampak bahwa diagnosis klinis servisitis dan vaginitis mempunyai validitas rendah (Tabel 6). Pengetahuan dan pengalaman para klinisi tentunya berperan sangat penting dalam ha1 ini. Demikian juga pemeriksaan klinis tak dapat menjadi prediktor adanya IMS, karena nilai PPV nya hanya kira-kira setengah dari yang dinilai positif.

Telah disampaikan pada bagian Bahan dan Cara Kerja pada artikel ini, bahwa adanya clue cell pada pewarnaan Gram saja bukanlah cara standar untuk mendiagnosis BV. Penelitian ini sengaja tidak menggabungkan 3 kriteria yang lain, karena akan berarti menggabungkan pengenalan klinis dan laboratorium (walaupun dalam praktek sehari-hari, kombinasi pengenalan klinis dan laboratorium inilah yang sesungguhnya ideal dilakukan). Karena itu, walau adanya clue cell lebih spesifik daripada diagnosis duh tubuh vagina, pewarnaan Gram tetap tidak tepat untuk digunakan sebagai penentu sensitivitas dan spesivisitas metode diagnosis BV yang lain. Hal ini menyebabkan bagian tabel sensitivitas- spesivisitas 6 dan 7 yang khusus untuk vaginitis perlu diinterpretasikan secara hati-hati.

Mengingat infeksi vagina kurang bahayanya dibandingkan dengan infeksi serviks, maka meskipun luput terobati, darnpaknya tidak terlalu besar bagi si penderita. Lain - halnya dengan infeksi serviks yang dapat menimbulkan komplikasi serius.

Hasil studi ini agak berbeda dengan yang ditemukan oleh studi prevalensi IMS di NTT, Bali, dan Sulset oleh AusAID (1999-2000).'~) Studi ini mendapatkan sensitivitas dan spesivisitas diagnosis servisitis di kalangan PSP di NTT sebesar 46 dan 64% dibandingkan dengan hasil laboratorium gonore d d a t a u klamidia. Walau demikian, dengan nilai PPV dan NPV yang di atas 50%, diagnosis klinis servisitis merupakan indikator yang cukup baik untuk infeksi gonore danlatau klamidia.

Dalam studi AusAID ini, diagnosis klinis vaginitis lebih rendah nilai

Bul. Penelit. Kesehat. 28 (384) 2000

Page 11: Pendekatan Sindrom Aproach

Validasi pemeriksaan infeksi menular seksual . . . . . . . . . .. Endang R. Sedyaningsih-Mamahit et a1

validitasn a dibandingkan dengan servisitis.') Pada studi tersebut, untuk trikomonas dipakai test biakan (kultur), sedangkan untuk BV dan kandida dipakai test pewarnaan.

Diagnosis berdasarkan metode pendekatan sindrom, dalam ha1 ini diagnosis duh tubuh vagina, ternyata umumnya mempunyai sensitivitas dan PPV <50% atau sedikit di atas 50% (Tabel 7). Sedangkan NPV berkisar antara 40- 60%. Dilihat dari nilai OR dan nilai p, tampak bahwa duh tubuh vagina bukan merupakan indikator yang tepat untuk menduga hasil laboratorium untuk jenis IMS klamidia dadatau gonore, juga tidak tepat untuk BVJkandidal trikomonas.

Hasil studi ini konsisten dengan hasil studi IMS di kilangan PSP di NTT oleh AUSAID.'~) Studi tersebut menemukan sensitivitas yang sangat kecil (4%) dan PPV 35,7% dari adanya keluhan keputihan dibandingkan dengan hasil laboratorium. Keluhan keputihan ternyata merupakan indikator yang buruk untuk menduga adanya infeksi gonore dadatau klamidia.

Kekeliruan yang dibuat bila pengobatan dilakukan berdasarkan diagnosis metode klinis dan Pendekatan Sindrom meliputi over-treatment, artinya mengobati orang yang sebetulnya tidak menderita IMSIISR, dan under-treatment, artinya orang yang terinfeksi luput untuk diobati. Contohnya pada infeksi serviks (gonore dadatau klamidia) di Jatim (lihat Tabel 6): prevalensinya 44,3%, berarti terdapat 102 PSP yang menderita sekurangnya satu jenis infeksi serviks. Dengan cara klinis dapat diobati 28 kasus. Namun dari 28 orang ini, hanya 14 orang yang benar-benar terinfeksi, sisanya 14 orang mengalami over-treated. Sebalik-

nya, dari 202 orang yang dinyatakan sehat, ternyata 88 orang menderita gonore dadatau klamidia dan luput diobati.

Demikian juga, dengan Pendekatan Sindrom diobati 54 orang (Tabel 7); namun ternyata yang terinfeksi hanya 40 orang dan sisanya 14 orang over-treated (mereka tidak sakit). Sebaliknya, dari 176 orang yang dinyatakan sehat, 82 orang sebenarnya menderita infeksi.

Kesalahan over-treatment masih dapat ditolerir, karena kerugian yang ditimbulkannya hanyalah pemborosan obat. Namun kesalahan yang kedua lebih berat dampaknya, karena ha1 ini berarti metode klinis dan pendekatan sindrom tidak efektif untuk memutus rantai infeksi IMSJISR.

Dalam studi ini subyek penelitian diambil dari tempat-tempat terbatas, yaitu PSP dan pekerja bar perempuan di beberapa kota di provinsi Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Subyek penelitian ini tentu tidak mewakili seluruh PSP dan pekerja bar di provinsi Jatim ataupun Sulut. Sehingga perlu berhati-hati untuk menggeneralisasi hasil studi ini pada kalangan PSP di seluruh Jatim dan Sulut.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Prevalensi IMSIISR di kalangan perempuan berisiko tinggi di beberapa tempat di Jatim dan Sulut tidak berbeda jauh dengan prevalensi IMSJISR di kalangan perempuan berisiko tinggi di tempat-tempat lain di Indonesia.

Bul. Penelit. Kesehat. 28 (3&4) 2000

Page 12: Pendekatan Sindrom Aproach

Validasi pemeriksaan infeksi menular seksual . . . . . . . . . .. Endang R. Sedyaningsih-Mamahit et al

2. Dibandingkan dengan studi prevalensi di kalangan perempuan berisiko tinggi di Jatim dan Sulut tahun 1998, prevalensi IMSIISR di tahun 2000 tidak jauh berubah, bahkan ada yang meningkat (gonore di Manado). Hal ini menunjukkan belum adanya dampak dari upaya intervensi di kalangan perempuan berisiko tinggi di kedua provinsi tersebut. Selain itu, ha1 ini juga dapat disebabkan oleh pergantian PSPIpekerja bar yang sangat cepat.

3. Metode pendekatan sindrom tanpa spekulum tidak dapat digunakan untuk melakukan skrining IMSIISR di kalangan perempuan berisiko tinggi. Cara ini selain menyebabkan pem- borosan pemberian obat (pengobatan kepada yang tidak memerlukan), juga tidak efektif untuk memutus rantai penularan IMSIISR lain (yang terinfeksi luput dideteksi dan diobati).

Diagnosis klinis servisitis ataupun vaginitis ternyata juga tidak cukup baik untuk menduga adanya infeksi gonore dadatau klamidia di serviks, ataupun infeksi kandidaltrikomonasl BV. Dalam ha1 ini, pengetahuan dan pengalaman para klinisinya akan sangat mempengaruhi hasilnya.

5. Subyek penelitian adalah PSP dan pekerja bar perempuan yang diambil dari tempat-tempat terbatas, sehingga perlu berhati-hati dalam menggene- ralisasi hasil studi.

Rekomendasi

1. Metode pendekatan sindrom hendaknya tidak digunakan untuk melakukan skrining IMSIISR di kalangan perempuan berisiko tinggi. Apabila penatalaksanaan IMSIISR dengan cara pendekatan sindrom tetap ingin dipakai

di kalangan perempuan risiko tinggi, perlu dilakukan upaya validasi dari waktu ke waktu serta pemantauan berkala keterampilan petugasnya.

2. Perlu dilakukan penelitian dan analisis berbagai algoritma lain untuk mening- katkan validasi metode pendekatan sindrom untuk IMSIISR, misalnya dengan menggabungkannya dengan indikator lain seperti tes cepat (rapid test semacam dip-stick), hitung polymorphonuclear (PMN), umur, dsb.

3. Perlu dilakukan analisis biaya ketepatan pengobatan pada ketiga metode di atas sebagai bahan pertimbangan lain dalam menentukan metode mana yang akan dijadikan program nasional.

UCAPAN TERIMA KASIH

Tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada Kepala Kanwil Depkes Provinsi Jawa Timur dan Sulawesi Utara beserta seluruh 'jajarannya, Kepala BLK Surabaya dan Manado beserta staf, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung, Jember beserta staf, Kepala Dinas Kesehatan Kodya Manado dan Kota Bitung beserta staf, serta seluruh Kepala dan staf Puskesmas yang terlibat, atas segala dukungan dan bantuannya dalam menyelesaikan penelitian ini. Kami juga berterima kasih kepada para PSP dan pekerja bar di lokasi-lokasi penelitian atas partisipasinya dalarn penelitian ini. Kepada HAPP, kami ucapkan terima kasih atas bantuan teknis dan peralatan,kelengkapan laboratorium yang diberikan. Terakhir kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman di laboratorium Puslitbang Pemberantasan Penyakit atas bantuannya memeriksa spesimen.

Bul. Penelit. Kesehat. 28 (3&4) 2000 471

Page 13: Pendekatan Sindrom Aproach

Validasi pemeriksaan infeksi menular seksual . . .. Endang R. Sedyaningsih-Mamahit et al

DAFTAR RUJUKAN

1 . Wasserheit JN. (1989). The significance and scope of reproductive tract infections among third world women. Int. J. Gynecol. Obstet., Suppl. 3:145-168.

2. Van der Sterren A, Murray A, Hull T. (1995). A history of sexually transmitted diseases in the Indonesian archipelago since 18 1 1 . Working Paper on Demography. Australian National University, Canberra.

3. Iskandar MB, Vickers C, Indrawati S, Qomariyah SN. (1997). Report on the STD control through Family Planning Clinics in Northern Jakarta. Presented in the Indonesia Ministry of Health, Jakarta.

4. Pepin J, Plummer FA, Brunham RC, Piot P, Cameron DW, Ronald AR. (1989). The interaction of HIV infection and other sexually transmitted diseases: an opportunity for intervention. AIDS, 3:3-9.

5. Weir SS, Feldblum PJ, Roddy RE, Zekeng L. (1994). Gonorrhea as a risk factor for HIV acquisition. AIDS, 8: 1605-1608.

6. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal PPM & PLP. (1997). Penatalaksanaan penderita penyakit menular seksual (PMS) dengan pendekatan sindrom: Buku pedoman interaktif. Jakarta.

7. Lwanga SK, Lemeshow S. (1991). Sample size determination in health studies: A practical manual. WHO, Geneva.

8. US Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention ( 1 998). 1998 Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. Atlanta, Georgia.

9. Koumans EH, Johnson RE, Knapp JS, St. Louis ME. (1998). Laboratory tesiting for Neisseria gonorrhoeae by recently introduced nonculture tests: A performance review with clinical and public health consideration. Clinical Infectious Diseases,27: 1 17 1-80.

10. Black CM. (1997). Current methods of laboratory diagnosis of Chlamydia trachomatis infections. Clinical Microbiology Reviews, 160- 1 84.

1 1 . Sedyaningsih-Mamahit ER. (1999). Female commercial sex workers in Kramat Tunggak, Indonesia. Social Science and Medicine, 49 (8): 1101-1 114.

12. Partohudoyo S, Davies S. (2000). Hasil penelitian studi prevalensi PMS di NTT, Bali dan Sulsel. Draft laporan untuk Indonesia HIVIAIDS & STD Prevention and Care Project pada Pertemuan anggota KPA, Jakarta, 25 Mei.

13. Sedyaningsih-Mamahit ER, Rahardjo E. (1998). Hasil pre-testing pemeriksaan PMS berkala pada kelompok risiko tinggi di Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Presentasi pada Pertemuan HAPP-Ditjen P2M-PLP, Bogor, 9- 1 1 Desember.

14. Kaldor J, Sadjimin T, Hadisaputro S. (1999). HIVIAIDS, STDs and related risk behaviour in Indonesia: Report of a consensus workshop.Golden Hotel, Jakarta 27-28 September.

Bul. Penelit. Kesehat. 28 (3&4) 2000