oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang...

19
STRUKTUR SASTRA PADA CERITA WAYANGPURWA: ALTERNATIF PENGEMBANGANNYA oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta Abstract Lately there has been widespread anxiety in various circles concerning decreasing appreciation from the audience at wayang purwa (traditional Javanese leather puppet play) performances. In anticipation of that, many dalangs (puppet masters) often make innovations by collaborating with such other arts as comedy acts and campur sari singing. Dalangs in Yogyakarta, however, generally oppose such innovations. In their case, what needs to be done is to work on the literary structure, among others, more intensively. In various wayang performances what often happens is the use of a monotonous performing style, including that in delivering various literary elements. However, there are some cases of wayang stories of interest to be discussed as examples of those having potentials for further development such as the story of the death of Samba, Arimba, or Salya and that of Dewi Sawitri's loyalty to her beloved. Such stories develop somewhat differently from many others. Another shortcoming of the usual wayang purwa performance is that the story elements are allowed to remain distant nom elements in the audience's life. It hinders a process of intensive appreciation. The solution is to find a story that allows a comparison between a wayang story and realities in people's life, especially in developing the structure of characterization, plot, and setting related to atmosphere. Key Words: wayang purwa, literary structure A. Pendahuluan Cerita wayang purwa pada dasamya merupakan cerita lisan yang disampaikan oleh dalang dalam suatu pergelaran. Dalam hal ini Teeuw ( 1983: 31) menyatakan bahwa menikmati cerita wayang berarti pula 139 -- - --

Transcript of oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang...

Page 1: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

STRUKTUR SASTRA PADA CERITA WAYANGPURWA:ALTERNATIF PENGEMBANGANNYA

oleh Afendy WidayatFBS Universitas Negeri Yogyakarta

AbstractLately there hasbeen widespread anxiety in various circles

concerning decreasing appreciation from the audience at wayangpurwa (traditional Javanese leather puppet play) performances. Inanticipation of that, many dalangs (puppet masters) often makeinnovations by collaborating with such other arts as comedy actsand campur sari singing. Dalangs in Yogyakarta, however,generally oppose such innovations. In their case, what needs to bedone is to work on the literary structure, among others, moreintensively. In various wayang performances what often happens isthe use of a monotonous performing style, including that indelivering various literary elements. However, there are some casesof wayang stories of interest to be discussed as examples of thosehaving potentials for further development such as the story of thedeath of Samba,Arimba, or Salya and that of Dewi Sawitri's loyaltyto her beloved. Such stories develop somewhat differently frommany others. Another shortcoming of the usual wayang purwaperformance is that the story elements are allowed to remain distantnom elements in the audience's life. It hinders a process of intensiveappreciation. The solution is to find a story that allowsa comparisonbetween a wayang story and realities in people's life, especially indeveloping the structure of characterization, plot, and settingrelated to atmosphere.

Key Words: wayangpurwa, literary structure

A. PendahuluanCerita wayang purwa pada dasamya merupakan cerita lisanyang

disampaikan oleh dalang dalam suatu pergelaran. Dalam hal ini Teeuw(1983: 31) menyatakan bahwa menikmati cerita wayang berarti pula

139

-- - --

Page 2: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

140

menikmati pergelaran itu oleh seorang dalang. Setiap pembaca ataupenonton wayang, dituntut untuk banyak tahu tentangberbagai konvensiyang ada dalam sastra wayang. Hal ini dikarenakan bagian cerita yangsatu (dalam lakon wayang) sangat berkaitan erat dengan bagian ceritayang lain di dalam reportoar keseluruhan cerita wayang. Dengan katalain cerita atau lakon wayang merupakan cerita yang telah mapan dalamsuatu tradisi panjang pagelaran wayang purwa. Oleh karena itu pulaberbagai konven~i yang ada menjadi ikatan sangat kuat dan ketat,termasuk konvensi-konvensiyang berlaku dalamstruktur sastranya.

Pada kenyataannya akhir-akhir ini telah terjadi semacamkeresahan pecinta pewayangan yang dikarenakan degradasi apresiasipewayangan, baik secara kwantitatif maupun kwalitatif. Tidakmengherankan bila saat ini banyak dalang yang berusaha melakukanrevitalisasi wayang dengan berbagai cara yang inovatif, khususnyadalang-dalang di luar gaya Yogyakarta (baca: Surakarta dan Pesisiran).Dalang-dalang seperti Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono dariSurakarta, misalnya, mengakomodir pelawak-pelawak dan ataupenyanyi serta grup-grup kesenian lain seperti campursari, dang-dut,atau grup band, untuk mengisi acara-acara selinganseperti dalam adeganLimbukan (adegan setelahjejer I), Gara-gara (adegan Panakawan), danadegan Cantrik (adegan Tokoh Cantrik setelah kesatria menghadapPendeta atau Begawan). Bahkan Ki Enthus Susmono(dalang Pesisiran),secara inovatif mengadakan perubahan-perubahan teatrikal, misalnyaKi Enthus sebagai dalang, dengan tangannya memukuli wayang tokohRahwana yang dimainkannya.

Sejumlahdalang "sepuh" (dalang tua)gaya Yogyakarta menolakuntuk mengadakan perubahan spektakuler seperti di atas, dengan alasanmempertahankan "pakem". Pada saat Konperensi Bahasa Jawa III diYogyakarta, misalnya, Ki Timbul Hadi Prayitna menyatakan bahwahendaknya perubahan-perubahan yang ada tidak melenceng jauh darigaris "pakem" yang sudah ada. Ki Hadi Sugito dari Kulon Progo jugapemah menyatakan untuk memilih tidak laku dari pada harus menerima

DIKSI Vo/.ll, No.1, Januari 2004

Page 3: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

141

peleeehan-peleeehan akibat perubahan-perubahan itu. Hal inidinyatakan setelah bersitegang dengan Yati Pesek, tokoh pelawak, yangseeara bersama-sama dimuneulkan (ditanggap) di kantor sekretariatsurat kabar harianKedaulatan Rakyat, di Kalasan, Yogyakarta.

Terlepas dari pro dan kontra, permasalahan yang mooeul adalahketika disadari bahwa wayang gaya Yogyakarta itu tidak lagi diminatioleh masyarakatnya. Haruskah gaya Yogyakarta "tut wuri handayani"terhadap garapan-garapandari tradisi lain?

Dalam tulisan ini dibahas kemungkinan yang dapat dilakukanoleh tradisi Yogyakartakhususnya, maupoo tradisi-tradisi lainnya, yaknimelalui penggarapan struktur sastra seeara lebih intensif. Hal ini bukanberarti bahwa selama ini tidak pernah dilakukan dalam tradisipewayangan, namun justru tulisan ini meneoba menoleh,membandingkan beberapa lakon yang pernah ada, terutama beberapasanggit (gaya atau versi eerita yang disampaikan oleh dalang tertentu)yang seeara umum dapat dikatakan sebagai garapan yang lebih menarik,yakni pada kisah kematian Duma, kisah kematian Samba, kisahkematian Arimba, kisah kematian Salya, dan kisah kesetiaan DewiSawitri.

B. Keadaan Struktur Cerita Wayang Purwa Saat ini1. Penokohan dan Alur yang Stereotif dan Lakon-lakon

KekecualiannyaPenokohan dalam sastra wayang sesoogguhnya merupakan

salah satu unsur sastra yang relatiflebih menonjol dari unsur-oosur yanglain. Setidak-tidaknya, hal ini tampak pada tuntutan tradisi kepadamasyarakatnya ootuk mengenal dahulu siapa-siapa tokoh-tokoh wayangyang ditampilkan oleh dalang. Orang harus mengenal dahulu siapaGathutkaea sebelum ia melihat lakon "Alap-alapan Pregiwa Pregiwati"(Perkawinan Gathutkaea), atau bahkan lakon "Laire Gathutkaca"(kelahiran Gathutkaea), atau lakon garapam "Banjaran Gathutkaca"(biografi Gathutkaea). Hal ini disebabkan oleh konvensi dalam tradisi

Struktur Sastra pada Cerita Wayang Purwa (Afendy widayat)

---- --

Page 4: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

142

pewayangan, bahwa setiap tokoh cenderung memiliki perwatakan yangstatis dalam pemunculannya pada berbagai lakon. Apabila terjadipenyimpangan pemerian oleh seorang dalang atau penulis tentang tokohwayang tertentu, maka penonton atau pembaca akan memberikan reaksisebagai tindakan koreksi (Wibisono, 1987:8).

Dalam sastra tradisional (baca: wayang), tokoh memang tidakdibangun atas perkembangan logis dari kejiwaan pelaku-pelakunya,tetapi atas dasar perkembangan kejadian menurut penuturannya.Personalitas dibentuk untuk melancarkan kejadian, sedangkan kejadian-kejadian tidak mempengaruhi personalitas. Jadi para pelakunya tidakmengalami perkembangan kejiwaan, hanya mengalami perkembangankejadian. Sastra di sini bertindak sebagai simbol dari pikiran kolektif,tanpa memberi kebebasan kepada perkembangan personalitas tokoh-tokohnya. Perwatakan tokoh-tokoh itu menurut pola sebuah karaktersosial, bukan karaktcr individual. Dengan perkataan lain pikiran kolektifsecara apriori telah menentukan sejumlah tipe ideal bagi tokoh-tokohcerita(Kuntowijoyo, 1984: 127-129).

Dengan kata lain, tokoh-tokoh dalam wayang merupakan tokohtipologis yang telah terbentuk perwatakannya sebelum munculnyalakon-lakon baru (terutama dewasa ini, yang memunculkan banyakcerita baru yang sering disebut lakon carangan). Jadi usia tokoh-tokohyang bersangkutan tidak pernah diperhitungkan sebagai faktor penentuperkembangan perwatakan. Hampir setiap tokoh dalam wayang purwalahir dengan perwatakan yang sama dengan karakter ketika dewasanyaatau bahkan sebelum kematiaruiya. Sebagai contoh konkrit yangmewakili kondisi itu adalah lakon kelahiran Bima (lakon BimaBungkus), yang menceritakan bahwa ketika lahir, Bima telahmengenakan berbagai atribut dan pakaiannya, sebagai simbolisasi dariperwatakannya.

Di Jawa, cerita wayang purwa, seperti telah disinggung di atas,pada dasarnya merupakan cerita lisan yang disampaikan dalam suatupertunjukan. Dengan kata lain, idealnya, cerita dalam satu lakon atau

DIKSI Vol.II, No.1, Januari 2004

Page 5: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

143

sekali pertunjukan lebih eksis dibanding dengan riwayat hidup tokoh-tokohnya secara keseluruhan. Dengan demikian walaupun dari segicerita keseluruhan, tokoh-tokoh tersebut bersifat stereotipe, namunsecara fragmentaris (baca: tiap-tiap lakon pertunjukan), masihmemungkinkan penggarapan-penggarapan tertentu sehingga menjadilebih menarik. Dalam hal ini penggarapan itu bisa dipandang sebagai"sanggit" yang menjadi hak setiap dalang.

Dalam hal alur wayang, keadaannya tidak jauh berbeda, yakniseperti yang dinyatakan oleh Singgih Wibisono (1987: 8), bahwa alurwayang terikat oleh konvensi stereotipe, yakni terutama dalamhubungannya dengan struktur adegan yang ada. Dangan kata lain alurwayang dari pentas yang satu ke pementasan lainnya juga relatif statisatau monoton. Alur dalam pertunjukan wayang jarang mendapatperhatian khusus untuk dikembangkan oleh dalang menuju penggarapanyang kreatif danmenarik.

Secara fragrnentaris,sebenamya terdapat sejumlah lakon yang didalamnya berisi perkembangan alur akibat perkembangan psikologistokoh-tokohnya, sehingga merupakan lakon-Iakon yang dapatdikategorikan kekecualian.

a. Kisah KematianDurnaSuatu contohpenggarapan kejiwaan tokoh, terdapat dalam lakon

yang populer dalam tradisi pewayangan Yogyakarta, yakni kisahkematian Dang Hyang Drona atau Pendita Duma dalam perang besarBaratayuda, yang termasuk dalam lakon Rubuhan. Pada sanggit KiTimbul Hadi Prayitna (Yogyakarta) cerita kematian Duma, didahuluioleh peristiwa kematian Gajah Hestitama. Ketika itu Duma diangkatsebagai senapati oleh pihak Korawa. Para Pandawa tidak ada yangsanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guruyang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"atau penjelmaan Dewa Wisnu, yang juga menjadi pendamping paraPandawa dalam Baratayuda tersebut, membuat strategi untuk

Struktur Sastra pada Cerita Wayang.Purwa (Afendy widayat)

Page 6: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

144

melemahkan Duma. Yang menarik adalah bahwa strategi Kresnatersebut menyangkut kondisi psikologis Duma, yakni Duma dibuatbingung. Duma yang selama hidupnya hanya memiliki putra satu, yakniAswatama, tentu saja sangat menyayangi dan mendambakankeselamatan putranya itu. Kresna yang sangat tahu keadaan ini justrumenyebarkan berita bohong, yakni bahwa yang baru saja mati di medanlaga, bukanlah gajah Hestitama, melainkan Aswatama. Dalam hal iniKresna berharap Duma akan menerima berita itu sebagai berita yangbenar, yakni gugumya Aswatama. Pada akhimya memang Dumamenjadi putus asa, dan hilang kekuatannya, hingga dapat dibunuh olehTrusthajumna (bdk. Radyomardowo, 1969: 117).

b. Kisah Kematian TirtanataSedikit berbeda dengan kisah kematian Duma, pada peristiwa

kematian Tirtanata atau Jayadrata, kepala Tirtanata yang telahterpenggal dari tubuhnya, dapat dihidupkan oleh ayahnya, yakniBegawan Sempani.Pada sanggit Ki Timbul Hadi Prayitna (Yogyakarta),kepala itu dihidupkan dengan cara dibacakan mantra, sehingga dapatmenggelinding dengan menggigit sejenis pisau kecil (Jw, cis) untukmembunuh musuh-musuhnya. Pada akhir kalimat mantra yangdiucapkan Begawan Sempani, terdapat kata-kata yang tidak bolehterbalik pengucapannya dan harns sesering mungkin diucapkan, yaknifrasa "urip, ora mati" (hidup, tidak mati). Karena Kresna tahu bahwaSempani itu sudah terlalu tua, maka para Panakawan (Gareng, Petrukdan Bagong) disuruh agar mengganggu pengucapan mantra Sempani.Akhimya pengucapan mantra itu terbalik dan berbunyi "mati, ora urip"(mati, tidakurip). Pada saat itulah kepala Tirtanatamati di medan laga.

c. Kisah Kematian Samba

Cerita lain yang juga menekankan aspek psikologis yang tidakkalah menariknya adalah kisah kematian Samba yang dikenal denganlakon Samba Sebit. Lakon ini pemah ditayangkan oleh TVRI

DIKSI Vol.1l. No.1, Januari 2004

Page 7: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

- -- -- --- -- - -----

145

Yogyakarta dalam bentuk pakeliran padat oleh dalang dari STSISurakarta. Kisah ini menceritakan kematian Samba~yakni putra PrabuKresna dengan Dewi Jembawati~yang dibunuh oleh Suteja atau Sitijaatau Prabu Boma Narakasura~yakni putra Kresna dengan Dewi Pertiwi.Kisah ini bermula ketika Dewi Hagnyanawati yang mempakan istriSuteja saling jatuh cinta dengan Samba (Konon Hagnyanawati adalahreinkamasi atau titisan Yadnyawati~sedang Samba adalah reinkamasidewa Darmadewa. Keduanya adalah suami istri). Hal itu membuatSuteja marah hingga akhimya adik tirinya itu hams dibunuh. Dalamlakon ini~sesungguhnya Suteja berada dalam posisi yang sangat sulit~karena hatinya mendua antara rasa sayang kepada adiknya~yakni Sambaitu~dan rasa benci karena Samba telah merebut istrinya.

Hal yang menarik adalah perkembangan alur yang dibangunketika Suteja membunuh Samba dengan cara mencabik-cabik ataumemotong-motong bagian-bagian tubuh Samba satu-persatu. Setiapmau memotong atau mencabik suatu bagian tubuh Samba~didahuluioleh perasaan sayang yang luar biasa yang kemudian disusul oleh rasabenci yang juga luar biasa. Perasaan sayang yang muncul dari lubukhatinya selalu menimbulkan penyesalan yang dalam pada tindakannyamemotong atau menyobek bagian tubuh Samba~ tetapi kemudianperasaan tersebut selalu terkalahkan oleh rasa benci yang sengajadikobarkan oleh kedua abdinya~Togog dan Mbilung~sehingga menjaditega memotong sedikit demi sedikit tubuh Samba (bdk. DepartemenP&~ t.t.: 405)

d. Kisah KematianArimbaPerkembangan alur yang dibangun dengan konsep psikologis

juga terdapat dalam lakon Gathutkaca Sungging atau Arimba Lena.Menemt sanggit Ki Hadi Sugita (Yogyakarta)~ diceritakan ketikaGathutkaca sakit keras dan belum terobati~ibunya yakni Arimbi~datangmenghadap Kresna untuk menanyakan mengapa Gathutkaca sakit danapa obatnya. Sedikit demi sedikit Kresna mulai membeberkan situasi

Struktur Sastra pada Cerita Wayang Purwa (Afendy widayat)

Page 8: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

146

kehidupan politik di sekitar keluarga Arimbi, namun Kresna memintaArimbi untuk tidak marah. Kresna bercerita bahwa saudara Arimbi,yakni Arimba ingin menguasai selurub Pringgandani, yakni hak warisanmilik Gathutkaca. Dari sinilah Arimbi sebenamya mulai marah, namunkarena ia telah berjanji kepada Kresna untuk tidak marah, maka rasamarahnya sedapat mungkin ditahan agar tidak diketahui Kresna.Kemudian sedikir demi sedikit Kresna menceritakan kembali perihalsakitnya Gathutkaca yang memang dibuat sakit oleh Arimba. Olehkarena cerita Kresna itu, sedikit demi sedikit kemarahan Arimbimeningkat. Hal yang menarik dalam perkembangan alumya adalahkemarahan Arimbi yang ditahan-tahan agar tidak diketahui Kresna,menimbulkan perkembangan kondisi fisik tubuh Arimbi. Hal ini terjadikarena konon sebelum pemikahannya dengan Bima, kecantikan Arimbiitu merupakan hasil polesan yang dilakukan oleh Puntadewa, dari wujudsemula yakni raksasa perempuan (raseksi, Jw). Pada mulanya bulu-bulupanjang dan lebat di kulit Arimbi mulai muncul. Lalu Kresna mulaibercerita kembali sehingga kuku-kuku Arimbi yang hitam dan panjangmulai muncul. Kresna bercerita kembali sehingga gigi taring (siyung,Jw) yang panjang mulai muncul. Kresna bercerita kembali sehinggamata Arimbi mulai menyala. Dan seterusnya hingga akhimya tubuhArimbi gemetaran dan memunculkan suara khas raksasa yang marah(ngerik, Jw). Cerita ini berakhir setelah Arimbi merasa malu di hadapanKresna karena tubuhnya telah berubah menjadi raksasa sehinggamelarikan diri tanpapamit.

e. Kisah Kematian SalyaSebelum Salya gugur dalam medan pertempuran, pada sanggit

Ki Timbul Hadi Prayitna, didahului dengan kisah kematian Kama(Karna Tandhing).Ketika itu Salya sebagai sais kereta Kama, sengajamenarik tali kendali kuda agar senjata Kama tidak tepat sasaranmengenai Arjuna. Hal ini diketahui oleh Aswatama yang akhimyadilaporkan kepada DUfYUdana.Salya menjadi malu, baik kepada raja,

DIKSI Vol.ll, No.1, Januari 2004

Page 9: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

147

kepada semua yang hadir, maupun pada diri sendiri. Untuk menutupiperasaannya, Salya memohon ijin pada raja Duryudana untuk menepisdakwaan Aswatama dengan nada marah. Beberapa kali kemarahanSalya ini dipenggal oleh Duryudana agar tidak memarahi Aswatama,ketika itu juga Salya meminta ijin untuk terns mencurahkan rasamarahnya. Kemarahan itu semakin memuncak dan berakhir denganmenampol Aswatama. Kemudian Salya mempersilahkan Duryudanamemilih antara dirinya dengan Aswatama. Siapa yang dipilih bolehtinggal dan yang tidak harns meninggalkan bumi Astina. AkhimyaAswatama pergi meninggalkan Astina dan masuk ke dalam hutan.Sedang Salya ingin membuktikan kesetiaannya pada Duryudana denganmemohon ijin untuk menjadi senapati perang. Alur kemarahan Salyaitulah yang mernpakan perkembangan alur psikologis yang sangatmenarik.

f. Kisah Kesetiaan Sawitri

Masalah yang sedikit berbeda terdapat dalamperkembangan aluryang diciptakan melalui kondisi dialogis kausal, yakni perkembanganalur melalui tawar menawar yang menjebak, karena berbagai alasanyang tidak dapat diabaikan sehingga berakhir dengan kesuksesan dipihak yang menawar. Hal semacam ini terjadi pada lakon pemikahanBambang Setiawan dan Dewi Sawitri. Cerita ini dimulai ketika PrabuAswapati mendapat petunjuk Dewa Narada bahwa menantunya,Setiawan, akan meninggal tepat satu tahun setelah pemikahannyadengan Sawitri. Aswapati segera memberi tahu Sawitri akan hal itu.Maka Sawitri mulailah bertapa memohon karunia dewata. Apa yangditetapkan dewa kemudian terjadi, yakni kematian Setiawan setelahsetahun pemikahannya. Batara Yama menyuruh Sawitri agar merawat(mengubur atau membakar) jenasah suaminya. Namun Sawitrimenjawab bahwa ia akan tetap bertapa sambil menunggui jenasahsuaminya. Batara Yamamenaruh iba, lalu berjanji akan memberi apapunyang diinginkan Sawitri, asal tidak minta suaminya hidup. Sawitri

Struktur Sastra pada Cerita Wayang Purwa (Afendy widayat)

- --

Page 10: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

,- -

148

memohon agar mertuanya yang telah buta dan kehilangan kekuasaannyasebagai raja, agar diijinkan kembali untuk dapat melihat dan menjadiraja. Batara Yamamenilai Sawitri sebagai menantu yang budiman, makadiberinya hadiah yakni diperbolehkan minta apapun asal tidak mintasuaminya hidup. Sawitri memohon agar diberi putra 100 orang danhidup di kerajaan yang adil makmur. Batara Yama akan mengabulkanpermohonan itu asal sawitri mau pulang. Sawitri bertanya bagaimana iaakan berputra 100orang bila ia tak bersuami, padahal ia telah bersumpahbahwa tidak akan bersuami lagi selain dengan Setiawan.Akhimya DewaYamadipati menghidupkan kembali suami Sawitri yakni Setiawan(Mulyono, 1983:22-27).

2. Unsur-unsur Struktur Cerita Wayang yang Jauh dengan DuniaKehidupan Penonton

Kelemahan lain yang ada pada wayang purwa adalah kenyataanbahwa berbagai unsur cerita di dalamnya merupakan cerita di alam lainyang sering kali tidak bisa diterima oleh logika masyarakatpenontonnya. Dengan kata lain dunia dalam cerita wayang dibiarkanterpisah jauh dari dunia kehidupan penontonnya. Unsur-unsur ceritayang ada dibiarkan seperti dalam ceritanya, tanpa diusahakan adanyajembatan agar pola pikir dan pengalaman penonton dapat berjalinan.Sebagai contoh unsur cerita yang mengetengahkan aji-ajian dankesaktian, misalnya, tidak mampu dicema oleh penonton karena bersifatsupranatural. Hal ini sebenamya merupakan hasil dari tidak terjadinyapenghayatan penonton karena tidak biasa melihat atau menemukanpengalaman seperti yang ada dalam wayang. Kondisi seperti ini tentuperlu diupayakan atau dijembatani agar terjadi keberterimaan logikamasyarakat, sehingga dalam penghayatan ketika menonton wayangdapat lebih intensif.

Yang menjadi permasalahan adalah mau dan mampukah dalangmeninjau kembali berbagai lakon (baik yang telah ada maupun denganmembuat carangan barn) danmempertimbangkan pemikiran-pemikiran

DIKSI Vol.n. No.1. Januari 2004

Page 11: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

149

logis dan atau realistis tentang perkembangan alur serta perkembangankejiwaan tokoh-tokohnya. Di bawah ini diberikan beberapa contoh yangdapat diacu.

C. Pengembangan Struktur Cerita Wayang: Suatu Alternatif1.PengembanganAlurCerita .

Di atas telah disinggung bahwa dalam wayang purwa relatiftidak terjadi perkembangan kejiwaan tokoh-tokohnya. Namun demikiansecara fragmentaris dalam suatu lakon, hal itu terjadi. Pada dasamyacerita-cerita pada lakon-lakon wayang purwa juga menyajikan berbagaipermasalahan yang secara logis tidak mungkin terlepas dari kondisipsikologis tokoh-tokohnya, yakni kesedihan, kemarahan, kebahagiaan,ketakutan, dan sebagainya. Bahkan kondisi-kondisi tersebut sebenarnyatelah disadari sejak awal. Hal ini terbukti dengan adanya iringan-iringantertentu untuk menunjang keadaan tertentu. Misalnya keadaan sedihyang selalu didukung oleh su/uk t/utur (surem-surem diwangkarakingkin .dst.).

Bagian perkembangan alur akibat perkembangan psikologistokoh-tokohnya seperti pada lakon-lakon di atas, kemungkinan dapatdiacu untuk mengembangkan bentuk-bentuk cerita yang lebih menarikpada lakon-lakon lainnya, tanpa harns meninggalkan pakem, dalam artitidak merusak karakteristik tokoh-tokoh pewayangan, karena ketikasuatu lakon selesai karakter tokoh-tokohnya kembali lagi seperti semula.Sebagai contoh karakter dasar tokoh Bima adalah gagah berani, tetapipada kasus tertentu Bima ~uga pemah memiliki perasaan takut yangmendalam, misalnya sebelum peristiwa gugumya Sengkuni. KononSengkuni pemah mandi minyak Tala.Bagian tubuhyang terkena minyakTala itu tidak dapat terlukai, sehingga Sengkuni menjadi sakti. KetikaBima tidak mampu melukai tubuh Sengkuni, Bima menjadi takut sekali(gila, Jw) kepadanya. Demikian pula pada kisah sebelum kematianDuryudana. Ketika itu Bima melihat Duryudana dalam keadaan sangatpritih (versi lain: bedumut) karena lama bersembunyi di air laut, di

Struktur Sastra.pada Cerita Wayang Purwa (Afendy widayat)

- --

Page 12: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

__.____ _. _._.. ____ _ .u. .__. ... __.___ . _h_ .--- . --- . - - ..-

150

bawahpohonganggang,sehinggaBimamenjaditakutsekali(gi/a,Jw)(Radyomardowo, 1969: 125-126).

Dari cerita peristiwa kematian Duma dan kematian Tirtanata diatas, dapat disimpulkan bahwa keduanya memfokuskan pada ucapanatau kata-kata tertentu yang dapat dipergunakan untuk menggerakkancerita selanjutnya.Hal seperti ini tentu saja dapat dikenakan pada tokoh-tokoh lain. Sebagai contoh Ki Hadi Sugita (Yogyakarta) pemahmenggunakanpenyelewengan kata untuk menolak lamaran secara halus.Pada lakon-lakonpemikahan, biasanya terdapat utusan raja dari Sabrang(seberang, luar Tanah Jawa) yang ikut melamar putri raja di Jawa.Dtusan itu dijawab bahwa lamarannya diterima dan pemikahannya akandilaksanakan pada "tangga/ sanga te/as, wu/an Jumadi/awas" (tanggalsembilan habis, bulan Jumadilawas). Dtusan tersebut pada awalnyamenyambut gembirajawaban tersebut, karena mengira sebagai "tangga/sanga/as, wulan Jumadilawaf' (tanggal sembilan belas, bulanJumadilawal). Setelah di luar istana utusan tersebut baru menyadaribahwa tanggal sangate/as wu/an Jumadi/awas tidak pemah ada, dengankata lain lamarannya ditolak.

Konflik batin seperti pada diri Sitija dalam cerita kematianSamba, dapat diacu untuk lebih menekankan konflik batin pada tokoh-tokoh lain dalam berbagai cerita lain, karena pada dasamya ceritawayang, khususnya reportoar Mahabharata, merupakan perselisihanantar saudara. Pada reportoar Ramayana, kiranya dapat dikembangkanuntuk peperangan antara pengikut atau prajurit Gunawan Wibisanadengan prajurit Alengka lainnya yang kemungkinan bersaudara. Olehkarena itu cerita kematian Kumbakama yang tragis dan memilukan,akan lebih menarik lagi bila dimulai dengan konflik batin Kumbakamayang selalu ingat masa-masa kebersamaannya dengan wibisanasemenjakkecil.

Dari peristiwa perkembangan fisik Arimbi pada cerita ArimbaLena juga dapat diacu untuk kemungkinan mengembangkan ceritaserupa dari tokoh-tokoh seperti Semar, Kresna, Puntadewa, Samba,

DIKSI Vo/.ll. No.1, Januari 2004

Page 13: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

-- .- - - - -. -- -------._---

151

Gathutkaca, dsb. Semar adalah tokoh manusia buruk rupa yang menjadiabdi para kesatria, namun sekaligus merupakan penjelmaan dewa yangtampan, yakni Sang Hyang Ismaya. Kresna adalah titisan Wisnu yangmampu ber-tiwikrama atau berubah wujud menjadi raksasa yang sangatbesar. Demikian juga Puntadewa, juga dapat berubah wujud menjadiraksasa yang sangat besar. Samba adalah cucu Jembawan, seekor kerayang menjadi Resi atau Begawan. Oleh karena itu tentu saja masihmewarisi sifat-sifat kakeknya yang kera itu. Hal ini terbukti denganpenggambaran wayang Samba pada daerah tertentu yang masihmemiliki ekor (Departemen P&K, t.t.: 377). Gathutkaca mungkin jugamewarisi kondisi fisik ibunya, Arimbi, yang raksasa itu. Tidakberlebihan bila pada lakon tertentu Gathutkaca digambarkan berbululebt danbertaring.

Pada cerita kematian Salya seperti sanggit Ki TimbulHadiprayitna, sebenamya masih memungkinkan dikembangkan dengancara mengembangkan penokohan Aswatama, yakni dibuat beranimempertahankan alasan-alasannya, sehingga terjadi perang mulutdengan Salya. Dengan demikian akan menjadi perdebatan yang lebihdramatik. Hal semacam inijuga perlu dikembangkan pada setiap adeganjejeran, karena pada dasamya, setiap jejeran berisi dialog ataumusyawarah. Hanya saja selama ini kemauan dan perintah raja telahdianggap selesai untuk selalu disetujui dan dilaksanakan. Padahal,sebenamya berbagai ide boleh saja datang dari tokoh abdi atau kerabatraja yang kemudian diusulkan kepada raja, dan perlu ditentang olehtokoh-tokoh lain dengan mengembangkan logika. Bahkan ide dari rajapun perlu dikembangkan untukkemungkinan dijadikanperdebatan logisdalam adeganjejeran.

Cerita Sawitridi atasmasih mungkindikembangkan tuntutannyakepada dewa sebelum dikabulkan permintaannya agar BambangSetiawan hidup kembali. Misalnya Sawitri bisa saja mohon agardiajarkan menjadi wanita yang dapat membanggakan danmembahagiakan suaminya seumur hidupnya. Sawitri juga mungkin

Struktur Sastra pada Cerita WayangPurwa (Afendy widayat)

- ---

Page 14: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

--

152

memohon agar diberi benda-benda tertentu yang menjadi kesenangansuaminya, Bambang Setiawan,dsb.

D. Penggarapan Wayang ke Arab Dunia Kebidupan PenontonSelama ini cerita wayang seakan-akanjauh di luar realita. Hal ini

dikarenakan cerita wayang hanya menampilkan cerita istanasentris, daridunia lain, dan lebih menekankan pada simbolisasinya. Di samping itucerita wayang juga berisi tentang berbagai kejadian yang luar biasa biladipandang dari realita kondisi pada saat ini, seperti ajian-ajian tertentu,kemampuan untuk terbang, masuk ke dalam bumi, dan sebagainya. Disatu sisi kondisi ini memang menjadi trade mark cerita wayang. Namundi sisi yang lain jelas membuat penonton atau pembaca berada di luarsuasana emosional cerita. Dengan demikian bila dulu ada penontonwayang yang ikut menangis ketika tokoh wayang yang disukainyasedang bersedih (pada prasasti Balitung abad X disebut-sebut adanyapenonton yang bersedih, atau asekel, dalam lakon Bimaya Kumara),sekarang kemungkinan seperti itu sangat keci!. Hal ini dikarenakan,sekali lagi, penonton berada di luar suasana emosionallakon wayang.Oleh karena itu harns diusahakan atau dibangun suasana emosionalcerita yang dapat dihayati secara maksimal oleh penonton. Salah satucaranya adalah dengan membuat cerita wayang lebih logis dan realistis,atau setidak-tidaknya menghadirkan cerita-cerita yang dapat diterimaoleh logika penonton. Dalam hal ini tidak harns logis dalam arti eksak,yang penting terdapat acuan realita terkini yang masih dapat dihayatipenonton di luar khasanah wayang. Dengan kata lain sastra wayangjangan dipisahkan dengan kondisi sosial budaya saat ini. Hal ini antaralain dapat dilakukan dengancara sebagaiberikut.

1. Tokob Abdi dan Cantrik Menjembatani Jarak Antara Penon tondan Wayang

Dalam wayang purwa tokoh-tokoh abdi, yakni Panakawan(Semar, Gareng, Petruk, Bagong), abdi Sabrangan (Togog, Mbilung),

DIKSI Vo/.ll. No.1. Januari 2004

Page 15: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

. -- --..

153

para emban (Limbuk dan Cangik, abdi keputren), dan Cantrik (para abdiatau murid Pandita, Begawan, atau Resi), memiliki kedudukan yangistimewa dalam hubungannya dengan penonton wayang. Hal inidikarenakan eksistensi mereka yang netral, longgar, atau fleksibel.Artinya, mereka memiliki kebebasan tampil dalam berbagai kontekspembiearaan, baik dalam hubungannya dengan tema eerita atau lakon,maupun berbieara tentang berbagai hal di luar konteks eerita. Haltersebut tidak pemah mendapatkan kritik negatif, yakni dieap sebagaidigresi atau penyimpangan alur. Oalam hubungannya dengan penonton,mereka bebas bieara dalam konteks sosial yang ada di lingkunganmasyarakat penontonnya, baik dalam hubungannya dengan eerita ataumasalah wayang, maupun tidak sama sekali. Oengan demikiansesungguhnya tokoh-tokoh tersebut dapat menjembatani jarak antarakonteks pewayangan dengan konteks sosial dalam masyarakatpenontonnya. Oi Bali hal semaeam di atas tampak ketika tokoh-tokohpanakawan hams menterjemahkan bahasa arkais (bahasa Jawa kuna)yang dipergunakan tokoh-tokoh atasan mereka yang terhormat atau suei,ke dalam bahasa sehari-hari bahasa Bali. Hal semaeam ini di Jawa dapatdipergunakan untuk menjelaskan berbagai hal dalam wayang yangterlalu jauh dari jangkauan kondisi masyarakat penontonnya. MisalnyaGareng dan Petruk dapat menjelaskan tentang apa itu aji Paneasona,yang menyebabkan tidak dapat mati yang didapatkan oleh Oasamukaketika berguru kepada Subali. Ajian ini didapatkan melalui pertapaandalam waktu yang panjang. Gareng dan Petruk atau Togogdan Mbilungbisa saja menjelaskan pada penonton dengan mengambil eontohperguruan-perguruan bela diri yang ada pada masyarakat penonton saatini. Pada saat ini masih terdapat kemampuan-kemampuan di luarkewajaran (supranatural) yang diajarkan oleh berbagai perguruan beladiri, baik dengan eara mengolah fisik maupun dengan berpuasa, danbahkan bertapa. Hal semaeam ini kiranya akan membuka kembaliwawasan penonton untuk menyadari dan ikut merasakan berbagai halyang terdapat dalampewayangan.

Struktur Sastra pada Cerita WayangPurwa (Afendy widayat)

- -- --

Page 16: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

---

154

Tokohpara abdi tersebut juga bisa menjelaskan setting tempat diistana tertentu dengan membandingkan pada acuan istana KasunananSolo atau Mangkunegaran, atau Kasultanan Yogyakartaatau KadipatenPakualaman, ataubangunan-bangunan megah lainnya.

2. Pemerian Unsur-unsur Cerita yang Lebih Realistis danMemasyarakat

Selama ini berbagai hal yang ada dalam cerita wayang lebihditekankan pada cerita secara stereotipe, tidak banyak diperikan secaradetil denganmengacu pada kondisi yang ada pada masyarakat penonton.Bila tokoh Citrkasa dan Citraksi bersenjatakan pedang, tidak pemahterjadi menggores kulit kesatria Pandawa, dsb. Di satu sisi bentuk-bentuk stereotipe tersebut telah menjadi ciri kekhasan wayang yangharns dipertahankan. Di sisi lain hal ini tentu saja juga menyebabkanterjadinyajurang pemisah antara wayang dengan penonton. Oleh karenaitu bila hendak mempertahankan bentuk-bentuk yang klise itu,konsekwensinyajuga harns diberikanjembatan sebagai penjelas kepadapenontonnya. Misalnya, diceritakan Gathutkaca yang tingkatkemampuannya setidak-tidaknya sebanding dengan guru-gurupersilatan, sehingga pedang Citraksa dan Citraksi memang tidakmengenai kulitnya. Contoh lain, deskripsi ke-adiluhung-an suasanaistana atau gapurakedhaton,yang selama ini lebihbanyak menggunakanbahasa "rinengga" yang arkais, dapat diselingi dengan bahasa Jawayang relatif lebih komunikatif dan dengan menggunakan bahasa jawabarn. Sebenamya hal semacam ini telah dilakukan oleh beberapa dalang,namun intensitasnya masih rendah. Misalnya, almarhum Ki Nartasabdamembuat tokohBimatertawa.

Di samping hal-hal di atas, yang lebih harns ditekankan adalahacuan dalang untuk selalu membandingkan dengan situasi sosial budayamasyarakat penontonnya, realita yang ada, dan atau logis. Dengandemikian misalnyadeskripsi ke-adiluhung-an istana dapat dibandingkandengan mengacu kondisi istana Yogyakarta saat ini, atau bangunan-

DIKSI Vol.l1. No.1. Januari 2004

Page 17: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

155

bangunan megah lainnya. Dengan demikian diharapkan penonton lebihtertarik untuk menyimak berbagai deskripsi yang disampaikan dalangyang sesungguhnya memangmenarik.

Dalang dituntut untuk mengikuti berbagai isu atau persoalanmutakhir, baik politik maupun masalah budaya lainnya. Pada gilirannyamasalah-masalah ini dapat diketengahkan dalam wayang, tanpa hamsterseret dalam kancah pemihakan dalam kelompok tertentu. Pemerianyang lebih detil, lebih logis dan realistis sebaiknyajuga diusahakan padakondisi-kondisi fisik tertentu dalam wayang. Pada lakon-IakonBaratayudha, hal semacam ini sebenarnya telah banyak dilakukan danmungkin juga masih mampu didetilkan. Misalnya kisah kematianAbimanyu yang tubuhnya penuh luka anak panah dan senjata paraKorawa, kisah kematian Gathutkaca yang sebagian tubuhnya jatuhmenerpa para prajurit Awangga, keadaan yang menggambarkanpotongan-potongan peralatan perang dan tubuh yang hancur sehinggamembuat Duma bingung ketika mencari bangkai Aswatama, dansebagainya. Dalam hubungannya dengan logika, contoh yang jugamenarik adalah sanggit yang dilakukan Ki Sugati (Aim.) (Yogyakarta)dalam lakon Jayadrata (TIrtanata) Gugur. Beberapa dalang lainmenceritakan bahwa Kresna sebagai titisan (reinkarnasi) Wisnumembuat matahari seribu dengan disabdakan, sedang Ki Sugatimenceritakan bahwa Kresna sengaja menutupi matahari dengan senjataCakra sehingga memantulkancahaya seperti seribumatahari.

Dalang secara langsung juga berhak menggambarkan kondisitertentu yang kurang masuk akal dengan membandingkan dengankondisi yang ada dalam masyarakat penontonnya. Misalnya pada lakonGathutkaca Gendhaga, Kresna memasukkan Gathutkaca yang sedangtidur ke dalam gendhaga (peti) tanpa sepengetahuan tokoh-tokoh lain.Hal ini bisa dibandingkan dengan mengacu pada berbagai sulapan yangpernah ditayangkan di ~ seperti yang dilakukan oleh Dedy Colbuser,dsb. Adegan kematian Dursala oleh karena ajian Narantaka yangdimiliki Gathutkaca dapat diselingi dengan mempersilahkan penonton

Struktur Sastra pada Cerita Wayang Purwa (Afendy widayat)

- ---

Page 18: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

156

untuk sering melihat demo perguruan-perguruanbela diri mutakhir yangmampu memecahkan balok es atau mematahkan lempengan besi dengantangan kosong, meniup orang lain yang marah hingga terpental,membaca tulisan hasil tinta dalam keadaan ditutup matanya rapat-rapat.Demikian pula tentang kesaktian para Begawan, kiranya dapatdibandingkan dengan berbagai demo kekuatan supranatural yangdimiliki manusia modem saat ini, seperti demo oleh kelompok Debusdari Banten, Sintren dari Cirebon, nuansa supranatural di TV,seni CobraSiswa dari Jawa Tengah, Reyog dari Ponorogo, dsb., yang semuanya itumenampilkan realita supranatural yang merupakan warisan budayamasa lalu.

F.PenutupStruktur cerita wayang masih dapat dikembangkan melalui

alurnya, atau unsur struktur lainnya, terutama menyangkutperkembangan psikologis tokoh-tokohnya. Pengembangan itu dapatdilakukan melalui sanggit atau versi cerita dalang. Dalang perlumengembangkan kemampuannya dengan mengo1ah danmengembangkan kembali struktur cerita dalam semua lakon yang sudahada.

Daya tarik wayang juga dapat dikembangkan melalui strukturyang berhubungan dengan suasana cerita yang 1ebihdapat diterima olehmasyarakat penontonnya, dengan mempertimbangkan cerita secaralogis dan realistis. Cerita wayang harus dibandingkan dengan mengacupada berbagai keadaan yang relevan yang ada dalam masyarakat. Dalangdituntut untuk selalu mengembangkan wawasannya, baik dalamberbagai isu mutakhir dalam masyarakat maupun berbagai latarbelakang yang ada dalammasyarakat.

DIKSI Vol.l1, No.1, Januari 2004

Page 19: oleh Afendy Widayat FBS Universitas Negeri Yogyakarta · sanggup atau berani melawan Duma, yang notabene merupakan guru yang mereka hormati dan sayangi. Kresna yang merupakan "titisan"

157

DAFTAR PUSTAKA

Dit.Jen. Kebudayaan Departemen P & K. t.t.Ensiklopedi WayangPurwaI (Compendium). Jakarta: Proyek Pembinaan KesenianDirektorat Pembinaan Kesenian

Kuntowijoyo. 1984. "Penokohan dan Perwatakan dalam SastraIndonesia" dalam Andy Zoeltom. ed.. Budaya Sastra. Jakarta:C.V Rajawali

Mulyono, S. 1983. Wayang dan Karakter Wanita. Jakarta: GunungAgung

Radyomardowo, M.B. 1969. Serat Baratajuda. Jogjakarta: B.P.Kadaulatan Rakjat

Teeuw. 1983 Membaca dan Menilai Sastra Jakarta: Gramedia

Wibisono, S. 1987. "Konvensi dan Invensi dalam Sastra Pedalangan",dalam Gatra, Majalah Warta Wayang. No, 16. Jakarta:Senawangi

- - ---