Official PDF , 178 pages

178
38417 Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized

Transcript of Official PDF , 178 pages

Page 1: Official PDF , 178 pages

38417

Pub

lic D

iscl

osur

e A

utho

rized

Pub

lic D

iscl

osur

e A

utho

rized

Pub

lic D

iscl

osur

e A

utho

rized

Pub

lic D

iscl

osur

e A

utho

rized

Page 2: Official PDF , 178 pages

THE WORLD BANK OFFICE JAKARTAJakarta Stock Exchange Building Tower II/12th Fl.Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53Jakarta 12910Tel: (6221) 5299-3000Fax: (6221) 5299-3111Website: http://www.worldbank.org/id

THE WORLD BANK 1818 H Street N.W.Washington, D.C. 20433, U.S.A.Tel: (202) 458-1876Fax: (202) 522-1557/1560Email: [email protected]: http://www.worldbank.org

Dicetak pada bulan Desember 2006

Page 3: Official PDF , 178 pages

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Page 4: Official PDF , 178 pages
Page 5: Official PDF , 178 pages

iii

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Ucapan Terima Kasih

Analisa Belanja Publik Aceh (Aceh Public Expenditure Analysis - APEA) ini adalah hasil kerjasama antara Bank Dunia dan universitas-universitas di Aceh, yaitu Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry (Banda Aceh), Universitas Malikul Saleh, dan Politeknik (Lhokseumawe). Laporan ini disusun oleh tim inti yang dipimpin Oleksiy Ivaschenko, Ahya Ihsan dan Enrique Blanco Armas, bersama Cut Dian Rahmi dan Eleonora Suk Mei Tan. Tim inti juga terdiri dari Patrick Barron, Cliff Burkley, John Cameron, Taufi q C. Dawood, Guy Janssen, Rehan Kausar, Harry Masyrafah, Sylvia Njotomihardjo, Peter Rooney, dan Chairani Triasdewi. Syamsul Rizal (Universitas Syiah Kuala) menjadi koordinator mitra universitas, dan Djakfar Ahmad menyelenggarakan sosialisasi kepada pemerintah provinsi dan daerah. Wolfgang Fengler memberikan pengawasan dalam proses APEA dan penyusunan laporan ini.

Andrew Steer (Country Director), bersama Victor Bottini (Resident Representative in Aceh), Joel Hellman (Chief Governance Advisor and Aceh Coordinator), dan Scott Guggenheim (Lead Social Development Specialist) memberikan bimbingan secara keseluruhan sepanjang proses ini.

Tim besar yang turut membantu penyusunan laporan ini terdiri dari Nasruddin Daud dan Ir. Sufi i; komentar yang berharga disampaikan oleh Owen Podger; dari Bank Dunia: Francisco Javier Arze del Granado, Andre Bald, Maulina Cahyaningrum, Ahmad Zaki Fahmi, Alicia J. Hetzner, Indra Irnawan, Bambang Suharnoko, Juliana Wilson, Bastian Zaini; dan tim-tim universitas berikut:

Universitas Syiah Kuala (Banda Aceh). Razali Abdullah, Zinatul Hayati, Teuku M. Iqbalsyah, Fadrial Karmil, Yahya Kobat, Jeliteng Pribadi, Yanis Rinaldi, Agus Sabti, Yunus Usman, and Teuku ZulhamIAIN Ar-Raniry (Banda Aceh). Fakhri YacobUniversitas Malikul Saleh (Lhokseumawe). Wahyudin Albra, Jullimursyida Ganto, and Andria Zulfa Politeknik Lhokseumawe (Lhokseumawe). Riswandi and Indra Widjaya

Foto-foto dibuat oleh Kristin Thompson kecuali “Polindes di Kecamatan Padang Tiji, Kab. Pidie” oleh staf World Bank.

Data APBD dikumpulkan dan diolah oleh Nova Idea, Sidra Muntahari, Ridwan Nurdin, Cut Yenizar, Miftachuddin, dan Akhiruddin (GeRAK). Survei Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh dilaksanakan oleh tim Local Government Support Program (LGSP) (USAID) yang dipimpin oleh Philip Schwehm dan Andrew Urban. Peter Rooney mengkoordinir pelaksanaan ini dari Bank Dunia. Governance and Decentralization Survey (GDS) di 10 kabupaten di Aceh dilaksanakan oleh Bank Dunia dan dikoordinir oleh Daan Pattinasarany. Peer reviewers dilakukan oleh Islahuddin dan Raja Masbar (Universitas Syiah Kuala); dan John Clark dan Kai Kaiser (Bank Dunia).

Akhir kata, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pejabat Gubernur Pemerintah Aceh, Dr. Ir. Mustafa Abubakar, M.Si, para staf beliau, serta staf di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, yang dipimpin oleh Amin Subekti atas dukungannya bagi prakarsa APEA. Tim penasehat Gubernur serta staf BRR menyampaikan komentar-komentar yang berharga selama proses ini. Dukungan keuangan disediakan oleh Decentralization Support Facility dan Singapore Trust Fund.

Page 6: Official PDF , 178 pages

iv

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Akronim, Singkatan, dan Istilah

Adat Kebiasaan sosial atau tradisi

ADB Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank)

AMDAL Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Environment Impact Permit)

AMM Aceh Monitoring Mission

APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Regional Government Budget)

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (State Budget)

APEA Analisis Pengeluaran Publik Aceh (Aceh Public Expenditure Analysis)

ARI Acute Respiratory Infection

AusAid Australian Agency for InterNasional Development

Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Regional Development Planning Agency)

Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Nasional Development Planning Agency)

BAKORNAS Badan Koordinasi Nasional (Nasional Disaster Management Board)

BCG Bacillus of Calmette and Guerin

BKN Badan Kepegawaian Negara (State Personnel Agency)

BOS Bantuan Operasional Sekolah (Block grant from central government to schools to cover primary and junior school operational costs)

BPD Bank Pembangunan Daerah (Regional Development Bank)

BPHTB Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Land and Building Transfer Fee)

BPK Badan Pemeriksa Keuangan (Audit Board)

BPN Badan Pertanahan Nasional (Nasional Land Agency)

BPR Bank Perkreditan Rakyat (Rural Credit Bank)

BPS-SK Badan Pusat Statistik – Statistik Keuangan (Financial Statistics from Indonesian Nasional Statistics Offi ce)

BQ Baitul Qiradh (Syariah Financial Cooperative)

BRA Badan Reintegasi Aceh (Reintegration Agency for Aceh)

BRR Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (Rehabilitation and Reconstruction Agency)

CDA Community-Driven Adjudication

CDD Community-Driven Development

CFAN Coordination Forum for Aceh and Nias

CoHA Perjanjian Penghentian Permusuhan (Cessation of Hostilities Framework Agreement)

CoSA Committee on Security Arrangements

CPI Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index)

CSO Civil Society Organization

Dana Otsus Dana Otonomi Khusus (Special Autonomy Fund)

DAK Dana Alokasi Khusus (Earmarked Grant)

D&L Damage and Loss

DAU Dana Alokasi Umum (General Allocation Grants)

DBH Dana Bagi Hasil (Revenue-Sharing)

DBHDR Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (Revenue-Sharing Reforestation Fund)

DDR Perlucutan Senjata, Demobilisasi dan Reintegrasi (Disarmament Demobilization and Reintegration)

Page 7: Official PDF , 178 pages

v

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Dinas Pengelola Sub-Proyek Provinsi/Kabupaten/Kota (Regional Sector Offi ce)

DIPA Daftar Isian Proyek Anggaran (Issuance of Spending Authority)

DOM Daerah Operasi Militer (Military Operational Area)

DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Provincial House of Representatives/Regional Parliaments)

DPT3 Combined Vaccination against Diphtheria: Pertussis-whooping Cough-tetanus

DSCR Debt Service Coverage Ratio

EEZ Zona Ekonomi Ekslusif (Exclusive Economic Zone)

ERTR Emergency Response and Transitional Recovery

ETESP Earthquake and Tsunami Emergency Support Project

FGD Focus Group Discussions

FIRM Financial Intermediation and Mobilization

FM Financial Management

GAM Gerakan Aceh Merdeka (Free Aceh Movement)

GCF Gross Capital Formation

GDP Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product)

GDS Universitas Gajah Mada

GER Tingkat Partisipasi Sekolah Bruto (Gross Enrollment Rate)

GeRAK Gerakan Rakyat Anti Korupsi (People’s Movement for Anti Corruption)

GOI Pemerintah Indonesia (Government of Indonesia)

GRDP Produk Domestik Bruto Daerah (Gross Regional Domestic Product)

ha hektare

HDI Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)

IAIN Institut Agama Islam Negeri (State Islamic Institute)

IDHS Indonesian Demographic and Health Survey

IDP Pengungsi (Internally Displaced Person)

ILO Organisasi Buruh Internasional (InterNasional Labour Organisation)

IMR Infant Mortality Rate

INPRES Instruksi Presiden (Presidential Instruction)

IOM InterNasional Organization for Migration

IPTEK Ilmu Pengetahuan dan Teknologie (Science and Technology)

IRD InterNasional Relief and Development

JPK–Gakin Jaminan Pemeliharaan Kesehatan-Keluarga Miskin (Government Health Insurance for Poor Households)

JPK-MM Jaminan Pemeliharaan Kesehatan-Masyarakat Miskin (Government Health Insurance for the Poor)

KDK Komite Darurat Kemiskinan

Kepmen Keputusan Menteri (Ministerial Decree)

Keppres Keputusan Presiden (Presidential Decision)

KERAP Pemilihan Anggota Komite Rehabilitasi Permukiman (Elected Local Committee that is In Charge of and Monitors Reconstruction)

Kesbanglimas Kesatuan Kebangsaan dan Perlindungan Masyarakat (Regional Agency in Charge of Social and Political Life in the Community)

km kilometer

Page 8: Official PDF , 178 pages

vi

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

LG Pemerintah Lokal (Local Government)

LGSP Local Government Support Program

LOGA Law on Government in Aceh

MCFD Million Cubic Feet per Day

MDF Multi-Donor Fund

MoE Departemen Lingkungan Hidup (Ministry of Environment)

MoF Departemen Keuangan (Ministry of Finance)

MoNE Departemen Pendidikan Nasional (Ministry of Nasional Education)

MoRA Departemen Agama (Ministry of Religious Aff airs)

MoU Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding)

MPW Departemen Pekerjaan Umum (Departemen PUs)

NAD Nangroe Aceh Darussalam (Provinsi of Aceh (formal name)

NBFI Lembaga Keuangan Bukan Bank (Nonbank Financial Institution)

NGO Lemabaga Swadaya Masyarakat (Non-Governmental Organization)

O&M Operasional & Pemeliharaan (Operations and Maintenance)

OCHA Offi ce for the Coordinator of Humanitarian Aff airs

PAD Pendapatan Asli Daerah (Own-Sumber Revenue)

PBB Pajak Bumi dan Bangunan (Land and Building Tax)

PDAM Perusahaan Daerah Air Minum (Local Water Supply Enterprise)

PEACH Public Expenditure Analysis Capacity Harmonization

Perpu Peraturan Pemerintah Penggati Undang-undang (Regulation In Lieu of Law)

Perda Peraturan Daerah (Regional Regulation)

Pesantren Sekolah Islam (Islamic school)

PFM Pengelolaan Keuangan Publik (Public Financial Management )

PLN Perusahaan Listrik Negara (The Nasional Electricity Company)

PMU Program Management Unit

PODES Potensi Desa BPS (Village Potential Survey)

Polindes Pos Persalinan Desa (Village Maternity Post)

Posko Pos Kordinasi (Coordination Post)

Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat (Community Health Center at Subdistrict Level)

Posyandu Pusat Pelayanan Terpadu (Integrated Health Services Unit)

Pustu Puskesmas Pembantu (Subcommunity Health Center)

Qanun Peraturan Daerah (istilah yang digunakan di Aceh)

RALAS Proyek Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan Aceh (Reconstruction for Aceh Land Administration Project)

Renja KL Rencana Kerja Kementrian/Lembaga (Ministry Work Plan)

Renstra Rencana Strategis (Strategic Plan)

Renstra KL Rencana Strategi Kementrian/Lembaga (Ministry Strategic Plan)

Renstra SKPD Rencana strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Dinas Work Plan Budget)

RKP Rencana Kerja Pemerintah (Government Annual Work Plan)

RKP-D Rencana Kerja Pemerintah Daerah (Regional Government Annual Work Plan)

SD Sekolah Dasar (Primary School)

Page 9: Official PDF , 178 pages

vii

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

SDI Surface Distress Index

SDO Subsidi untuk Daerah Otonom (Subsidy for Autonomous Region)

SE Usaha Kecil (Small Enterprise)

SIKD Sistem Informasi Keuangan Daerah (Regional Finance Information System)

SME Usaha Kecil/Menengah (Small/Medium Enterprise)

SMP Sekolah Menengah Pertama (Junior High School)

SPADA Support for Poor and Disadvantage Area

STR Student Teacher Ratio

Susenas Survei Sosial Ekonomi Nasional (BPS Nasional Socioeconomic Survey)

Syariah Hukum Islam/Shari’a (Islamic Law)

TA Technical Assistance

UGM Universitas Gajah Mada

UNDP United Nations Development Programme

UNICEF United Nations Children’s Fund

USAID United States Agency for InterNasional Development

WB Bank Dunia (World Bank)

WBOJ Kantor Bank Dunia di Jakarta (World Bank Offi ce Jakarta)

WUA Water Users Association (Keujruen Blang)

Page 10: Official PDF , 178 pages

viii

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Daftar Isi

Ringkasan Eksekutif xiii

1. Kondisi Ekonomi dan Sosial di Aceh 1

Konteks Sejarah 2

Konfl ik dan Dampaknya terhadap Pembangunan 4

Dampak Bencana Tsunami 26 Desember 2004 6

Perekonomian Aceh 7

Kemiskinan dan Kondisi Sosial 11

2. Aliran Dana dan Proses Anggaran 15

Proses Anggaran 21

Format Anggaran Baru 22

3. Penerimaan dan Pembiayaan 25

Penerimaan 26

Pembiayaan dan Pinjaman 46

Rekomendasi 48

4. Pengeluaran 51

Sekilas tentang belanja pemerintah Aceh 52

Belanja Rutin vs. Belanja Pembangunan 54

Belanja pada Program Rekonstruksi 59

Rekomendasi 64

5. Analisis Sektoral serta Rekomendasi 65

Kesehatan 66

Pendidikan 76

Infrastruktur 88

6. Kapasitas Pemerintah Kabupaten/kota untuk Mengelola Dana Anggaran 97

Desentralisasi: beban kerja pemerintah kabupaten/kota telah meningkat dari segi kuantitas dan kualitas

98

Dampak Konfl ik dan Tsunami terhadap Administrasi Kabupaten/Kota 98

Kapasitas Administratif Secara Umum Masih Lemah 99

Pemerintah kabupaten/kota tidak berinvestasi dalam meningkatkan kapasitas kabupaten/kota 102

Persepsi Para Pimpinan Kabupaten/Kota dan Masyarakat tentang Isu-isu Utama dalam Proses Anggaran

104

Rekomendasi 104

Apendiks A. Isu-isu Utama dan Rekomendasi 108

Apendiks B. Gambar dan Tabel 111

Apendiks C. Catatan Metodologi 119

Apendiks D. Apendiks Statistik 124

Kotak

Kotak 1. Poin utama Undang-undang Pemerintahan Aceh, UU 11/2006 3

Kotak 2. Pengelolaan dan alokasi Dana Otonomi Khusus dari UU No. 18/2001 40

Page 11: Official PDF , 178 pages

ix

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar

Gambar 1. Sumber daya fi skal Aceh menunjukkan peningkatan tajam, 1999–2006 xiii

Gambar 2. Aceh memiliki pendapatan per kapita tertinggi ketiga xiii

Gambar 3. Aceh menduduki peringkat keempat termiskin, dan kemungkinan menjadi lebih tinggi setelah tsunami

xiv

Gambar 4. Kebutuhan dan komitmen untuk rekonstruksi (milyar AS$, akhir Juni 2006) xv

Gambar 5. Undang-undang Pemerintah Aceh yang baru memberikan tambahan pendapatan yang besar untuk Aceh meski produksi gas menurun

xvi

Gambar 6. Pemerintah daerah memiliki kemampuan pengelolaan keuangan publik yang lemah xviii

Gambar 1.1. Struktur perekonomian Aceh, 2004 8

Gambar 1.2. PDB per kapita dan kemiskinan di kabupaten penghasil minyak/gas, tahun 2004 8

Gambar 1.3. Pertumbuhan ekonomi Aceh vs. rata-rata nasional 9

Gambar 1.4. PDB per kapita, pembelanjaan publik, dan jumlah penduduk miskin per provinsi, 2004 9

Gambar 1.5. PDB per kapita, pembelanjaan publik dan kemiskinan di kabupaten-kabupaten Aceh, 2004 10

Gambar 1.6. Perkembangan tingkat kemiskinan di provinsi Aceh, 1990–2004 (%) 12

Gambar 1.7. Tren IHK (CPI) di Banda Aceh dan daerah-daerah lain 12

Gambar 2.1. Aliran dana di Aceh 17

Gambar 2.2. Pengaturan bagi hasil non-pajak untuk pemerintah provinsi dan daerah 19

Gambar 2.3. Alokasi Otonomi Khusus 20

Gambar 2.4. Format anggaran lama vs. baru 23

Gambar 3.1. Penerimaan Aceh sebelum dan sesudah desentralisasi, dan setelah tsunami, 1999–2006 26

Gambar 3.2. Penerimaan pemerintah daerah di Aceh naik pesat setelah desentralisasi, 1994-2006 26

Gambar 3.3. Pendapatan per kapita Aceh termasuk yang tertinggi di Indonesia 27

Gambar 3.4. Aceh memiliki alokasi terbesar ketiga dari bagi hasil sumber daya alam, 2004 29

Gambar 3.5. Kabupaten/kota di Aceh memiliki tingkat disparitas pendapatan per kapita yang besar, 2004 29

Gambar 3.6. Alokasi migas per kapita antara kabupaten/kota di Aceh, 2004 30

Gambar 3.7. Hubungan antara DAU per kapita dan tingkat kemiskinan di kabupaten-kabupaten di Aceh, 2004–05

30

Gambar 3.8. Proyeksi pendapatan Aceh tahun 2008 dengan dan tanpa alokasi DAU 2% 31

Gambar 3.9. Kepekaan harga minyak terhadap bagi hasil sumber daya alam (triliun Rp) 31

Gambar 3.10. PAD per kapita antar pemerintah daerah di Aceh, 2004 34

Gambar 3.11. Bagi hasil pajak pemerintah provinsi dan daerah di Aceh 35

Gambar 3.12. Komposisi bagi hasil pajak provinsi, 1999–2004 36

Gambar 3.13. Komposisi bagi hasil pajak pemerintah daerah, 1999–2004 36

Gambar 3.14. Bagi hasil pajak per kapita antara pemerintah daerah di Aceh, 2004 36

Gambar 3.15. Kecenderungan bagi hasil sumber daya alam di Aceh, 1994–2005 37

Gambar 3.16. Sumber daya alam per kapita antar kabupaten/kota di in Aceh, 2004 37

Gambar 3.17. Dana otsus Aceh sebagai persentase terhadap total pendapatan 38

Gambar 3.18. Produksi gas PT. Arun LNG di Aceh 38

Page 12: Official PDF , 178 pages

x

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 3.19. Tren alokasi DAU untuk NAD 40

Gambar 3.20. DAU per kapita untuk provinsi-provinsi di Indonesia, 2006 41

Gambar 3.21. Alokasi DAU kepada pemerintah daerah di Aceh, 2006 42

Gambar 3.22. Alokasi DAU per kapita antar pemerintah daerah di Aceh, 2006 42

Gambar 3.23. Tren alokasi DAK untuk Aceh, 2001–06 43

Gambar 3.24. DAK per kapita antar pemerintah daerah di Aceh, 2006 43

Gambar 3.25. Alokasi spasial pembelanjaan dekonsentrasi pemerintah daerah di Aceh, 2004 44

Gambar 3.26. Komposisi dana reintegrasi Aceh, 2005–07 46

Gambar 3.27. Surplus/defi sit pemerintah daerah di Aceh, 1994–2005 (%total pembelanjaan) 46

Gambar 3.28 Batas pinjaman dengan dan tanpa pembatasan tunggakan untuk Aceh 48

Gambar 4.1 Belanja publik di Aceh pra dan pasca desentralisasi, dan setelah tsunami 52

Gambar 4.2 Porsi belanja pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota di Aceh 53

Gambar 4.3 Komposisi sektoral dan kelembagaan dari belanja pembangunan di Aceh, 2004 (Rp Milyar) 54

Gambar 4.4. Porsi belanja pemerintah provinsi 55

Gambar 4.5. Porsi belanja pemerintah kabupaten/kota 55

Gambar 4.6. Kebutuhan rekonstruksi vs. sumber daya yang dialokasikan dan dijanjikan di Aceh 60

Gambar 4.7. Distribusi sektoral dana rekonstruksi (juta AS$) 60

Gambar 4.8. Alokasi dana dibandingkan dengan kebutuhan minimum inti, per sektor, bulan Juni 2006 (AS$ juta)

61

Gambar 4.9. Pembiayaan dibandingkan dengan kebutuhan geografi s 61

Gambar 4.10. Anggaran BRR dan pencairan, 2005 dan 2006 62

Gambar 4.11. Pencairan oleh BRR tahun 2005 dan anggaran tahun 2006 (Rp. Milyar) 63

Gambar 4.12. Penyaluran anggaran BRR di Aceh menurut kabupaten/kota, tahun 2005 dan 2006 63

Gambar 5.1. Polindes di Kecamatan Padang Tiji, Kab. Pidie 67

Gambar 5.2. Jumlah bidan umum dan swasta per 10.000 penduduk dan luas kilometer persegi yang dilayani

67

Gambar 5.3. Jumlah bidan dan dokter di perkotaan vs. pedesaan per 10.000 penduduk 68

Gambar 5.4. Sumber-sumber pengeluaran bidang kesehatan 70

Gambar 5.5. Persentase pengeluaran bidang kesehatan pemerintah daerah, 2004 71

Gambar 5.6. Pengeluaran kesehatan per kapita daerah menurut provinsi, 2004 71

Gambar 5.7. Belanja bidang kesehatan dari total belanja daerah, 2001–05 72

Gambar 5.8. Pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin pemerintah kabupaten/kota (kanan) dan provinsi (kiri)

73

Gambar 5.9. Total pengeluaran rutin bidang kesehatan yang dirinci untuk pegawai atau gaji, barang dan lainnya (persentase dan Rp milyar)

73

Gambar 5.10. Pengeluaran bidang kesehatan kabupaten/kota per kapita dan persentase dari total pengeluaran, 2004 dan 2005

74

Gambar 5.11. Tren angka partisipasi bruto untuk pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah di Aceh, 1999–2006

76

Gambar 5.12. GER sekolah menengah pertama dan jarak ke sekolah per pemerintah daerah, 2005 77

Page 13: Official PDF , 178 pages

xi

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 5.13. Jumlah murid per tingkat pendidikan, negeri vs. swasta, 2004–05 78

Gambar 5.14. Kondisi Ruang Kelas (%), 2005 79

Gambar 5.1.5. Variasi per kabupaten, rasio guru: kelas (SD negeri), Tahun 2005–06 79

Gambar 5.16. Komposisi belanja pendidikan di Aceh, Tahun 2005 (%) 81

Gambar 5.17. Belanja pendidikan perkapita pemerintah daerah per provinsi, tahun 2004 82

Gambar 5.18. Perkiraan sumber daya Aceh untuk pendidikan, Tahun 2006–11 83

Gambar 5.19. Porsi belanja pendidikan daerah dalam keseluruhan belanja daerah (harga tetap tahun 2006) 83

Gambar 5.21. Belanja Spesifi kasi belanja pendidikan rutin (Rp. Milyar) 85

Gambar 5.22. Tren belanja prasarana pembangunan daerah di Aceh, 1994–2005 92

Gambar 5.23. Rata-rata belanja pembangunan dalam subsektor-subsektor, 2003–05 92

Gambar 5.24. Belanja infrastruktur daerah (pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota) 92

Gambar 5.25. Komposisi rata-rata belanja rutin tahun 2001–04 (%) 93

Gambar 6.1. Belanja rutin dan jumlah pemerintah kabupaten/kota di Aceh, 1994–2004 102

Tabel

Tabel 1.1. Evolusi pengaturan fi skal antar-pemerintah untuk Aceh 3

Tabel 1.2. Tahapan konfl ik dan korban jiwa 4

Tabel 1.3. Indikator kemajuan rekonstruksi (per April 2006) 6

Tabel 2.1. Pengaturan dana bagi hasil dan dana otonomi khusus Aceh 18

Tabel 3.1. Komposisi pendapatan pemerintah provinsi dan daerah di Aceh, 1999–2006 (milyar Rp) 27

Tabel 3.2. Persentase berbagai sumber pendapatan terhadap total pendapatan daerah di Aceh, 1997–2005

28

Tabel 3.3. Komposisi PAD provinsi di Aceh 32

Tabel 3.4. Komposisi PAD pemerintah daerah di Aceh 33

Tabel 3.5. Bagi hasil pajak pemerintah provinsi dan daerah di Aceh (milyar Rp) 35

Tabel 3.6. Persentase dana otsus terhadap total pendapatan dan total transfer di Aceh Utara, 2003–05 (milyar Rp)

39

Tabel 3.7. Bagian dana dekonsentrasi terhadap total pendapatan daerah, 1999–2005 44

Tabel 3.8 Pemerintah daerah Aceh telah mengumpulkan cadangan yang signifi kan (milyar Rp) 47

Tabel 3.9 Catatan pinjaman pemerintah daerah dan PDAM di Aceh, 2004 (milyar Rp) 48

Tabel 4.1 Belanja publik secara keseluruhan pra dan pasca desentralisasi di Aceh 53

Tabel 4.2. Struktur belanja rutin daerah di Aceh, 1999–2005 55

Tabel 4.3. Belanja pembangunan daerah per sektor di Aceh, 1999–2005 56

Tabel 4.4. Komposisi belanja daerah berdasarkan format anggaran yang baru (belanja aparatur dan belanja publik) di Aceh, 2003–05

58

Tabel 4.5. Rencana Belanja vs. Realisasi di Aceh, 2002–03 59

Tabel 5.1. Perbandingan cakupan imunisasi (%) 69

Tabel 5.2 Pengeluaran kesehatan rata-rata bulanan rumah tangga di seluruh kuintil pendapatan (%) 70

Tabel 5.3. Belanja kesehatan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, 2005 72

Tabel 5.4. Kualifi kasi Guru di Provinsi Aceh, Tahun 2005–06 (%) 78

Page 14: Official PDF , 178 pages

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

RINGKASAN EKSEKUTIFxii

Tabel 5.5. Jumlah sekolah yang hancur per kabupaten, tahun 1998–Juni 2003 80

Tabel 5.6 Belanja pendidikan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, tahun 2005 (harga konstan 2006)

84

Tabel 5.7. Alokasi sumber daya dana pendidikan (belanja riil, Rp Milyar) 86

Tabel 5.8. Perincian belanja provinsi, tahun 2002–06 86

Tabel 5.9. Tingkat partisipasi pendidikan per kuintil penghasilan, tahun 2004 87

Tabel 5.10 Indikator infrastruktur Aceh dibandingkan dengan rata-rata nasional, beberapa tahun (%) 89

Tabel 5.11. Jaringan jalan di Aceh, 2004 90

Tabel 5.12. Belanja prasarana Aceh: Provinsi vs. Kab/Kota, 2001–05 (harga konstan tahun 2006) 91

Tabel 6.1. Hasil survei PFM di 9 lokasi di Aceh (%) 100

Tabel 6.2. Tingkat pendidikan pegawai pemerintah di Aceh, 2003 (%) 101

Tabel 6.3. Bagian investasi modal untuk bangunan, peralatan, dan kendaraan, 2003–06 103

Tabel 6.4. Belanja untuk mengembangkan sumber daya manusia dari total anggaran pemerintah kabupaten/kota, 2003–06 (%)

103

9

Page 15: Official PDF , 178 pages

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

RINGKASAN EKSEKUTIF xiii

Ringkasan Eksekutif

Sejak tahun 1999, sumber daya fi skal Aceh telah meningkat tajam. Setelah desentralisasi dan otonomi khusus, jumlah anggaran yang dikelola langsung oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota Aceh naik beberapa kali lipat. Di samping itu, setelah terjadinya bencana tsunami bulan Desember 2004, Aceh menerima bantuan dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya dari pemerintah Indonesia dan masyarakat internasional. Pada tahun 2006, total dana yang mengalir ke Aceh diperkirakan sebesar Rp 28,5 triliun (AS$3,1 milyar). Sebagian besar sumber daya ini berasal dari program rekonstruksi (Rp. 16,4 triliun). Belanja daerah juga meningkat pesat dan diperkirakan akan mencapai Rp. 12,2 triliun pada tahun 2006 (gambar 1).

Gambar 1. Sumber daya fi skal Aceh menunjukkan peningkatan tajam, 1999–2006

3.22.6 2.9

1.8

6.1 8.3

1.0

16.4

0

5

10

15

20

25

30

1999 2002 2006

Triliu

n R

upia

h

Dekonsentrasi Provinsi Kab/Kota Anggaran rekonstruksi

Anggaran rekonstruksi

0.6

1.5

Sumber: perkiraan staf Bank Dunia (harga konstan 2006) berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BRR.

Dengan kekayaan ini, Aceh memiliki kesempatan untuk mengurangi tingkat kemiskinannya dan memperbaiki pelayanan publik. Aceh adalah provinsi terkaya ketiga dari segi pendapatan per kapita setelah Papua dan Kalimantan Timur (gambar 2). Pendapatan Aceh tercatat dua kali angka rata-rata nasional dan peringkat relatifnya terhadap provinsi lain akan semakin kuat dengan pelaksanaan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA No. 11/2006) yang baru pada tahun 2008.

Gambar 2. Aceh memiliki pendapatan per kapita tertinggi ketiga

-

1

2

3

4

Pap

ua

Kaltim

NA

D

Riau

Kalteng

Maluku

Go

rontalo

Bang

ka Belitung

Jamb

i

Sulteng

Bali

Kalsel

NT

T

Sulut

Sum

bar

Beng

kulu

Sulsel

DI Yo

gyakarta

Sum

sel

Sum

ut

NT

B

Lamp

ung

Jatim

Jateng

Banten

Jabar

Juta

Rup

iah

Provinsi Kab/kota

Aceh

Sumber: SIKD/Depkeu, perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan APBD 2004.

Page 16: Official PDF , 178 pages

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

RINGKASAN EKSEKUTIFxiv

Pada saat yang sama, Aceh masih merupakan provinsi termiskin keempat di Indonesia (gambar 3). Pada tahun 2004 diperkirakan 1,2 juta penduduk Aceh (28,5 persen total penduduk) hidup di bawah garis kemiskinan (Rp 130.000 atau sekitar AS$14 per kapita per bulan). Dengan demikian, tingkat kemiskinan di Aceh hampir dua kali lipat tingkat kemiskinan rata-rata Indonesia (16,7 persen). Sebesar 13 persen penduduk Aceh lainnya menjadi rentan terhadap kemiskinan setelah bencana tsunami.

Gambar 3. Aceh menduduki peringkat keempat termiskin, dan kemungkinan menjadi lebih tinggi setelah tsunami

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

Pro

v. P

apua

Pro

v. M

aluk

u

Pro

v. G

oro

ntal

o

Pro

v. N

AD

Pro

v. N

TT

Pro

v. N

TB

Pro

v. B

eng

kulu

Pro

v. L

amp

ung

Pro

v. S

ulte

ngg

Pro

v. S

ulte

ng

Pro

v. J

awa

Ten

gah

Pro

v. S

umse

l

Pro

v. J

awa

Tim

ur

Pro

v. D

IY

Ave

rag

e

Pro

v. S

umut

Pro

v. S

ulse

l

Pro

v. K

alb

ar

Pro

v. J

amb

i

Pro

v. M

aluk

u U

tara

Pro

v. J

awa

Bar

at

Pro

v. R

iau

Pro

v. K

altim

Pro

v. S

umb

ar

Pro

v. K

alte

ng

Pro

v. B

ang

ka B

elitu

ng

Pro

v. S

ulaw

esi U

tara

Pro

v. B

ante

n

Pro

v. K

alse

l

Pro

v. B

ali

Pro

v. D

KI J

akar

ta

Rentan terhadap kemiskinan pasca tsunami

Sumber: perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS, 2004.

Pelaksanaan Nota Kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, memberikan kesempatan baru untuk membangun Aceh yang lebih baik serta memberikan layanan ke daerah-daerah yang terkena dampak konfl ik. Konfl ik 30 tahun antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memakan korban sekitar 15.000 jiwa, membuat ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal dan menyebabkan kerusakan prasarana dan sarana umum maupun swasta. Konfl ik juga menghalangi penyediaan pelayanan publik dasar di daerah-daerah yang paling parah terkena dampak konfl ik. Pelaksanaan Kesepakatan Helsinki sejauh ini berjalan sesuai rencana dan memberi kesempatan bagi Aceh untuk membangun kembali masyarakat yang damai dan meraih kemakmuran ekonomi.

Penerimaan Dan Pengeluaran

Selama 6 tahun terakhir, Aceh telah menerima arus masuk pendapatan daerah yang belum pernah terjadi sebelumnya, di samping program rekonstruksi terbesar di dunia berkembang. Tingkat sumber daya keuangan Aceh yang tinggi itu tidak akan berubah dalam tahun-tahun mendatang, dan justru akan meningkat. Ada tiga faktor penyebab kenaikan tersebut:

1. Aceh merupakan salah satu daerah penerima utama manfaat desentralisasi. Sejak tahun 1999, pendapatan daerah Aceh, yang dikelola oleh pemerintah provinsi dan daerah, meningkat dari Rp 2,4 triliun pada tahun 1999 menjadi 11,2 triliun di tahun 2006. Ada beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan yang luar biasa ini, termasuk pengalihan tanggung jawab pemerintahan pada tahun 2001, pemberlakuan status otonomi khusus Aceh tahun 2002, dan kenaikan tajam pembagian Dana Alokasi Umum (DAU) pada tahun 2006.

Page 17: Official PDF , 178 pages

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

RINGKASAN EKSEKUTIF xv

2. Antara tahun 2005–2009, pembelanjaan untuk rekonstruksi akan nyaris melipatgandakan angka belanja daerah Aceh. Portofolio rekonstruksi total adalah kurang lebih Rp 45 triliun, yang terdiri dari sekitar 1500 proyek yang tengah dijalankan oleh lebih dari 250 institusi. Total pembelanjaan untuk upaya rekonstruksi diperkirakan akan melebihi 70 triliun rupiah pada tahun 2009.

3. Mulai tahun 2008, undang-undang Pemerintahan Aceh yang baru (UU No. 11/2006) akan mengalokasikan tambahan dana sebesar 4 triliun rupiah melalui dana otonomi khusus (otsus) yang akan mencapai total 5 triliun rupiah pada tahun 2011. dengan menurunnya pendapatan dari migas, dana otsus kemungkinan akan menjadi sumber terpenting kedua dari pendapatan Aceh, yang arti pentingnya kurang lebih sama dengan dana otsus di Papua.

Dana rehabilitasi dan rekonstruksi memberi Aceh peluang untuk membangun kembali provinsi yang lebih baik. Kerusakan fi sik dan kerugian yang disebabkan oleh bencana tsunami dan gempa bumi di Nias (28 Maret 2005) diperkirakan bernilai AS$ 4,9 milyar, yang masih perlu ditambahkan paling tidak AS$ 1,2 milyar lagi karena faktor infl asi. Pada bulan Juni 2006, proyek dan program senilai AS$ 4,9 milyar telah dialokasikan untuk upaya rekonstruksi. Sebesar AS$ 3,1 milyar lagi telah dijanjikan, sehingga nilai total program rekonstruksi menjadi AS$ 8 milyar. Dengan dana tambahan ini, Aceh dan Nias akan memperoleh kesempatan untuk “membangun kembali dengan lebih baik” dan melakukan investasi dalam proyek dan program-program yang memiliki dampak jangka panjang pada perekonomian dan kehidupannya (gambar 4).

Gambar 4. Kebutuhan dan komitmen untuk rekonstruksi (milyar AS$, akhir Juni 2006)

GOI (1.2 )

Penilaian KehilanganDan Kerusakan

(4.5) NGOs (1.7 )

NIAS (0.4 )

DONORS (2.0 )

Inflasi (1.2)GOI ( 1.5)

- Peningkatan fasilitas di wilayahterkena tsunami dan gempa bumi

- Reintegrasi pasca konflikdan program pembangunan NGOs (0.4 )

pinjaman lunak (0.7)

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Kebutuhan Program

Mily

ar U

SD

Komitmentnamun belumdilakukan(3.1)

Telah dialokasikan kedalamproyektertentu(4.9)

Membangun Kembali(6.1)

Membangun kembali lebih baik(1.9)

hibah(0.5)DONORS

Sumber: BRR/perkiraan staf Bank Dunia.

Pendapatan daerah Aceh akan semakin meningkat. Undang-undang baru Aceh menetapkan kembali penyediaan dana otsus. Dengan dana tersebut, pendapatan Aceh diperkirakan akan meningkat dari 11,2 triliun rupiah menjadi hampir 16,7 triliun rupiah pada tahun 2011 (gambar 5). Dana otsus dan alokasi DAU yang lebih tinggi hingga tahun 2028 akan lebih dari cukup untuk menutupi berkurangnya dana dari sumber daya alam karena menipisnya cadangan minyak dan gas bumi. Alokasi sumber daya yang besar untuk 20 tahun ke depan tersebut kiranya dapat dimanfaatkan untuk menyediakan layanan yang lebih baik serta menciptakan sektor produksi yang lebih kuat.

Page 18: Official PDF , 178 pages

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

RINGKASAN EKSEKUTIFxvi

Gambar 5. Undang-undang Pemerintah Aceh yang baru memberikan tambahan pendapatan yang besar untuk Aceh meski produksi gas menurun

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Triliu

n R

upia

h (h

arga

kon

stan

200

6)

Total penerimaan dengan dana otsus ($60/brl) Total penerimaan tanpa dana otsus ($60/brl)

Tambahan Pendapatan dari UUPA no. 11/2006

Sumber: perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu..

Karena besarnya sumber daya keuangan yang masuk setelah desentralisasi, pembelanjaan daerah pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota juga telah meningkat tajam. Pemerintah daerah Aceh rata-rata telah mengelola lebih dari 2/3 total pembelanjaan publik. Sebelum desentralisasi, hampir 60 persen pembelanjaan dilakukan oleh pemerintah pusat, sehingga peran pemerintah daerah untuk memberikan layanan dan pembangunan daerah menjadi terbatas. Meningkatnya biaya administratif sebagai akibat dari pertambahan jumlah kabupaten/kota di Aceh menghabiskan sumber daya daerah tambahan dengan porsi yang tidak sebanding. Pembelanjaan rutin kini menjadi 60 persen dari keseluruhan anggaran pemerintah kabupaten/kota.

Pelayanan Publik

Aceh memiliki sumber daya untuk memerangi kemiskinan, namun masih belum mencapai banyak kemajuan. Sayangnya, begitu pendapatan Aceh mulai meningkat tajam pada tahun 2001, tingkat kemiskinannya belum berubah, tetap 30 persen meski daerah lain mengalami penurunan drastis hingga di bawah 20 persen. Konfl ik yang semakin parah pada tahun 2001 dan 2002 turut menjadi penyebab tingginya tingkat kemiskinan ini. Di dalam wilayah Aceh, daerah-daerah yang memiliki pendapatan tinggi tidak terbebas dari kemiskinan. Aceh Utara, daerah penghasil minyak dan gas bumi dan sangat terimbas konfl ik, adalah kasus yang paling ekstrim. Kabupaten ini memiliki sumber daya fi skal terbesar dan juga memiliki salah satu tingkat kemiskinan yang tertinggi.

Aceh bukan hanya memiliki tingkat kemiskinan yang sangat tinggi tetapi juga layanan masyarakat yang sangat buruk. Dalam bidang kesehatan dan pendidikan, masalah struktural jangka panjang yang sangat menonjol mengalahkan tantangan jangka pendek pasca tsunami. Rekonstruksi telah berjalan dengan baik dalam sektor-sektor ini. Sebagian besar fasilitas sekolah telah direhabilitasi atau sedang direkonstruksi. Meskipun demikian, kurang dari separuh fasilitas sekolah dasar terpelihara dengan baik, dan sebagian besar guru tidak memiliki kualifi kasi yang dipersyaratkan oleh undang-undang. Banyak bidan dan guru yang pindah dari daerah pedesaan yang kurang aman ke perkotaan, sehingga salah satu tantangan utama adalah memberikan insentif bagi mereka agar mau kembali ke daerah terpencil.

Page 19: Official PDF , 178 pages

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

RINGKASAN EKSEKUTIF xvii

Kesehatan

Pembelanjaan pemerintah daerah untuk kesehatan praktis tidak naik sejak tahun 2002. Proporsi pembelanjaan kesehatan yang dikeluarkan untuk gaji terus naik. Aceh termasuk provinsi yang memiliki jumlah dokter dan juru rawat yang terbanyak di Indonesia dan sejumlah besar fasilitas perawatan kesehatan. Meskipun demikian, stafnya sering kali tidak hadir, pasokan listrik tidak dapat diandalkan, aliran air langka, dan obat-obatan yang diperlukan tidak tersedia. Anggaran untuk biaya operasional non-gaji sangat rendah, hingga memperburuk layanan kesehatan yang sudah kurang. Fokus pemerintah adalah memperbaiki atau membangun fasilitas, antara lain karena semakin banyaknya kabupaten yang ingin membangun fasilitas baru, meski beberapa fasilitas terlalu jarang digunakan untuk bisa dipertahankan.

Pendidikan

Aceh memiliki jumlah guru yang cukup, namun kesenjangan antar daerah tetap sangat besar. Para guru lebih menyukai daerah perkotaan daripada pedesaan, sehingga menimbulkan kesenjangan yang serius di daerah pedesaan. Dari pada menambah jumlah guru, pemerintah daerah sebaiknya mengembangkan sistem insentif dan sanksi yang sesuai yang akan memberikan pendidikan bermutu yang terjangkau oleh semua rakyat Aceh. Meskipun pembelanjaan daerah untuk pendidikan meningkat 4 kali lipat pada tahun 2002, sejak itu alokasi untuk anggaran pendidikan menunjukkan penurunan. Sebagian besar dana itu dihabiskan untuk pembelanjaan pendidikan rutin. Buruknya kondisi fasilitas pendidikan dan kurangnya perlengkapan dan materi yang tersedia di sekolah menjadi masalah utama. Aceh memiliki angka pembelanjaan pendidikan per kapita tertinggi di Indonesia (Rp 457.000 dibandingkan angka rata-rata nasional yaitu Rp 196.000), sehingga fokus pada mutu semakin mendesak.

Infrastruktur

Bencana tsunami tahun 2005 memperparah kesulitan dalam bidang infrastruktur yang sudah lama ada. Namun di beberapa subsektor, pencapaian Aceh sudah hampir setara dengan rata-rata nasional. Angka sambungan listrik rumah tangga dan kepadatan jalan lebih tinggi dari rata-rata nasional, tetapi sambungan air rumah tangga, sanitasi pribadi dan infrastruktur irigasi jauh di bawah rata-rata nasional. Dua per tiga rumah tangga di Aceh sudah mendapat sambungan listrik, tetapi pasokan sering terputus di banyak daerah di provinsi ini.

Pembelanjaan untuk infrastruktur meningkat dengan signifi kan setelah desentralisasi tetapi menurun sejak 2002. Gaji menghabiskan sebagian besar pembelanjaan rutin anggaran infrastruktur, sementara pengeluaran operasional dan pemeliharaan hanya memiliki porsi yang sangat kecil. Setelah tsunami, banyak pemerintah daerah yang semakin mengurangi investasi infrastrukturnya dengan harapan pemerintah pusat, donor dan NGO akan mengambil alih proyek rekonstruksi.

Kapasitas Pemerintah Daerah untuk Mengelola Keuangan Daerah

Pada tahun-tahun belakangan ini, peran, tanggung jawab dan beban kerja pemerintah daerah telah meningkat tajam. Meskipun demikian, kombinasi keterampilan dan insentif bagi para pejabat dan pegawai daerah untuk melaksanakan tugas-tugas mereka belum disetarakan dengan tanggung jawab mereka yang bertambah. Survei Pengelolaan Keuangan Publik di 9 kabupaten menunjukkan bahwa kemampuan rata-rata pemerintah daerah setempat tidak cukup untuk mengemban tugas-tugas baru ini (gambar 6). Di beberapa kabupaten, terutama Nagan Raya dan Aceh Jaya, kapasitas pengelolaan keuangan daerah sangat rendah.

Page 20: Official PDF , 178 pages

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

RINGKASAN EKSEKUTIFxviii

Gambar 6. Pemerintah daerah memiliki kemampuan pengelolaan keuangan publik yang lemah

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Pengadaan PemeriksaanInternal

PengelolaanAset

PengelolaanKas

Pembukuan& Pelaporan

Perencanaan &Penyusunan

Anggaran

KerangkaPeraturanDaerah

EksternalAudit

Hutang Publik &Investasi

Sumber: Survei Pengelolaan Keuangan Publik, skor rata-rata untuk 9 kabupaten/kota yang disurvei, 2006.

Sebagian besar pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam mengelola arus dana yang bertambah. Sejak desentralisasi, pembelanjaan personil telah melebihi investasi modal untuk pelayanan publik. Pembelanjaan pembangunan dipusatkan pada aparat pemerintah, hingga merugikan bidang-bidang lain di mana dana itu jauh lebih dibutuhkan. Bertentangan dengan kebutuhan-kebutuhan yang teridentifi kasi, pemerintah daerah hanya menghabiskan sedikit dana untuk pelatihan, sementara sebagian besar investasi modalnya adalah untuk bangunan, kendaraan dan perlengkapan. Alokasi dana untuk administrasi umum perlu diteliti. Reorientasi pembelanjaan menuju pengembangan kapasitas staf yang sudah ada amat sangat diperlukan.

Agenda Pelaksanaan

Para penyusun kebijakan di Aceh dapat mengadakan banyak perubahan agar dapat mengelola sumber dayanya yang sangat besar dengan lebih baik. Ketiga reformasi yang terpenting berkaitan dengan (a) perbaikan alokasi sumber daya, (b) perbaikan pengelolaan sumber daya, dan (c) perbaikan analisis data untuk memberikan informasi terhadap alokasi dan pengelolaan sumber daya.

1. Perbaikan Alokasi Sumber Daya

Pembelanjaan untuk pembangunan perlu ditingkatkan, bukan dikurangi. Sumber daya pemerintah provinsi dan daerah yang melimpah adalah kunci untuk memperbaiki kehidupan masyarakat Aceh. Pemerintah provinsi dan daerah Aceh termasuk daerah yang memperoleh manfaat utama desentralisasi dan otonomi khusus. Meskipun demikian, pemerintah daerah masih belum terjun sepenuhnya untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi rakyat Aceh. Di tahun 2005, sebagian besar pemerintah daerah memangkas porsi pembelanjaan pembangunan mereka sebagai respon atas tambahan dana dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) dan para donor.

Pembelanjaan untuk aparat pemerintah terlalu tinggi. Pemerintah daerah menghabiskan sebagian besar anggaran daerahnya untuk belanja pegawai, sehingga merugikan pembelanjaan untuk pembangunan. Pembelanjaan untuk aparat pemerintah terus naik, bahkan setelah pertambahan jumlah kabupaten/kota mulai stabil. Kecenderungan ini harus diteliti. Tidak ada indikasi bahwa tambahan pembelanjaan untuk aparat pemerintah telah menghasilkan pengelolaan sumber daya fi skal yang lebih baik. Pembelanjaan publik harus diperuntukkan bagi

Page 21: Official PDF , 178 pages

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

RINGKASAN EKSEKUTIF xix

kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan yang dapat memperbaiki pemberian layanan dan kesejahteraan sosial serta menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial jangka panjang, bukan aparatur.

Pembelanjaan di masa mendatang oleh pemerintah pusat untuk fungsi-fungsi yang telah didesentralisasi hendaknya dikurangi. Tanpa menyertakan pendanaan untuk rekonstruksi sekalipun, pemerintah pusat masih memberikan kontribusi lebih dari 30 persen investasi di Aceh. Sebagian besar investasi ini adalah untuk fungsi-fungsi yang telah terdesentralisasi. Pembelanjaan pemerintah pusat dapat diarahkan dengan baik melalui dana alokasi khusus (DAK). Yang dapat dijadikan fokus antara lain daerah yang tertinggal, kegiatan yang menjadi prioritas nasional, serta kegiatan yang memiliki skala ekonomi yang besar.

Keputusan (re-)alokasi strategis yang terkait dengan dana rekonstruksi harus diambil sekarang. Pada bulan Juni 2006, dana rekonstruksi yang dialokasikan adalah AS$ 4,9 milyar. Pada tahap rekonstruksi yang masih cukup awal ini, sumber utama dana skala besar yang masih dapat diprogram telah terbatas. Kesenjangan keuangan yang tersisa harus segera diatasi. BRR memiliki jumlah dana fl eksibel yang terbesar untuk mengatasi kesenjangan ini. Kesenjangan tersebut paling mencolok dalam bidang transportasi serta di kawasan-kawasan di selatan Meulaboh (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan), di sekitar Lhokseumawe (Aceh Timur, Aceh Tamiang) dan Nias.

2. Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya

Kemampuan pemerintah daerah untuk mengelola keuangannya perlu ditingkatkan. Menurut survei Pengelolaan Keuangan Publik, kemampuan pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya fi skal termasuk paling rendah di bidang perencanaan dan penyusunan anggaran, pembukuan dan pelaporan, audit eksternal, pengelolaan hutang publik, dan investasi. Selain itu, ada kesenjangan yang mencolok dalam hal kemampuan pemerintah daerah di berbagai kabupaten. Untuk beberapa indikator, ada beberapa kabupaten yang ternyata memiliki tingkat kemampuan yang sangat rendah. Jika ingin memberikan manfaat kepada rakyat Aceh dari sumber daya keuangan yang bertambah di kawasan ini, masalah kurangnya kapasitas harus segera ditangani.

Proses perencanaan dan penyusunan anggaran pemerintah daerah memerlukan perbaikan yang signifi kan. Sebagian besar pemerintah daerah sangat terlambat melakukan pengesahan anggarannya, seringkali sampai enam bulan setelah tahun anggaran berjalan. Penundaan ini membuat pelaksanaan proyek menjadi tertunda. Untuk mulai melaksanakan proyeknya pada permulaan setiap tahun anggaran, pemerintah daerah harus mempercepat proses pengesahan anggarannya. Selain itu, anggaran yang ada seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya, terutama dalam sektor pendidikan dan kesehatan.

3. Perbaikan Kualitas Data

Ada kebutuhan yang mendesak untuk memperbaiki pengumpulan dan pengolahan data. Kurangnya data dan rendahnya kualitas membuat penyusunan program dan anggaran sangat sulit. Data yang akurat juga diperlukan untuk penyusunan kebijakan, pemantauan dan evaluasi yang berdasarkan bukti. Pengumpulan dan pengolahan data hendaknya digabungkan dengan identifi kasi indikator yang sesuai, yang pada gilirannya dapat memberikan informasi untuk penyusunan kebijakan dan program.

Untuk pemantauan rekonstruksi, sistem pemantauan padat karya telah terbukti lebih unggul dari sistem informasi teknologi tinggi dengan sistim pemasukan data sendiri (self entry). Sistem informasi Recovery Aceh-Nias (RAN) Database belum memberikan hasil yang berarti, termasuk dalam hal janji utamanya yaitu melacak uang. Alasan utamanya adalah lemahnya metodologi untuk mengkategorisasikan dana, terbatasnya kendali mutu dan analisis data, dan sistem IT yang terlalu canggih hingga sulit memasukkan dan mencari data inti. Satu-satunya sistem pelacakan yang dapat digunakan memiliki pendekatan yang jauh lebih “berteknologi rendah,” yang didasarkan pada tindak lanjut sistematis dengan instansi-instansi utama digabungkan dengan penekanan yang kuat pada analisis data.

Page 22: Official PDF , 178 pages

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

RINGKASAN EKSEKUTIFxx

Page 23: Official PDF , 178 pages

1Kondisi Ekonomi dan Sosial di Aceh

Page 24: Official PDF , 178 pages

KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH2

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Konteks Sejarah

Provinsi Aceh, yang sebelumnya dikenal sebagai Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), terletak di ujung utara pulau Sumatera. Aceh dikelilingi oleh jalur perdagangan penting yaitu Selat Malaka di utara dan timur, Provinsi Sumatera Utara di selatan, dan Samudera Hindia di barat. Provinsi ini meliputi daerah seluas 57.365 km2 dan berpenduduk kurang lebih 4 juta jiwa. Saat ini Aceh terdiri dari 17 kabupaten dan 4 kota. Ibu kotanya adalah Banda Aceh.

Agama Islam sudah masuk ke Aceh pada abad ke-9 dan tetap merupakan agama yang paling dominan. Sekitar 98,7 persen penduduk Aceh adalah pemeluk agama Islam (BPS 2002). Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah negeri perdagangan Aceh yang kuat. Pada tahun 1300-an, kerajaan besar Samudra Pasai, yang terletak dekat Lhokseumawe sekarang, terkenal sebagai pusat perdagangan dan studi agama Islam. Karena kedudukannya sebagai pusat pembelajaran agama Islam, Aceh diberi julukan Serambi Mekah. Syariah Islam telah digunakan sebagai dasar hukum kerajaan-kerajaan di Aceh dan dilaksanakan dalam sistem pemerintahan Aceh.

Kerajaan Aceh didirikan pada awal abad ke-16 dan mulai meraih ketenaran setelah penaklukan Malaka oleh bangsa Portugis pada tahun 1511. Zaman keemasan kerajaan ini datang pada awal abad ke-17 di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda, yang menjadikan Aceh salah satu kekuatan militer dan perdagangan yang paling penting di kawasan ini. Pada tahun 1820, Aceh adalah pemasok separuh cadangan lada dunia. Kerajaan yang kuat dan kaya ini memelihara hubungan dengan kekuatan-kekuatan asing termasuk Kekaisaran Ottoman, Perancis, Inggris Raya dan Amerika Serikat. Ketika Belanda bermaksud menguasai Aceh pada tahun 1874, rakyat Aceh memulai perang gerilya yang berlanjut sampai tahun 1912.

Tidak diduduki setelah Perang Dunia II, Aceh memainkan peranan penting dalam memberikan dukungan dana kepada pemerintah republik Indonesia selama perjuangan merebut kemerdekaan. Sebagai pengakuan atas jasanya bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia, Aceh dijadikan daerah otonomi pada tahun 1949. Selama sisa masa pemerintahan Soekarno, daerah ini bergolak. Pada tahun 1950, daerah yang baru memperoleh status otonomi ini dimasukkan ke provinsi Sumatera Utara hingga pecah pemberontakan pertama Aceh. Dipimpin oleh Daud Beureueh, pemberontakan ini menyebabkan penetapan kembali Aceh sebagai provinsi (1957) dan status daerah otonomi pada tahun 1959. Namun otonomi yang lebih besar tidak melindungi Aceh dari kemerostan ekonomi yang parah pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Soekarno.

Di bawah pemerintahan Orde Baru, kondisi di Aceh tidak membaik.1 Kekayaan sumber daya alam di satu pihak dan kemiskinan yang berlanjut di pihak lain membuat rakyat Aceh semakin merasa diperlakukan tidak sama oleh pemerintah pusat. Pemerintah tidak menyikapi ketidakseimbangan sosial dan ekonomi yang berlarut-larut itu, dan suatu gerakan pemberontakan/separatis lain yang dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pun dimulai pada tahun 1976 di bawah kepemimpinan Hasan Tiro. Pergulatan antara Pemerintah Indonesia dan GAM ini berlanjut sampai tahun 2005.

Sebagai bagian untuk merespon perkembangan ini, di samping desentralisasi di tingkat nasional, Aceh memperoleh status Otonomi Khusus berdasarkan Undang-undang No. 18/2001. Undang-undang ini dimaksudkan untuk menyikapi masalah-masalah penting yang berkaitan dengan ketidaksetaraan dan keadaan ekonomi yang buruk di Aceh serta menawarkan otonomi yang lebih besar kepada Aceh untuk mengelola sumber daya dan fungsi-fungsi pemerintahannya. Tiga poin utama otonomi khusus Aceh adalah:

1. Porsi pendapatan yang diperoleh dari minyak dan gas yang lebih besar 2. Pemilihan langsung gubernur dan kepala pemerintah daerah (bupati/walikota) 2

3. Pemberlakuan Syariah Islam.

Nota kesepahaman (MOU) Helsinki 2005 adalah upaya terbaru untuk mengakhiri konfl ik 30 tahun ini. MOU ini menawarkan peluang yang sangat besar bagi rakyat Aceh untuk memperbaiki kinerja ekonomi

1 Orde Baru adalah masa pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto antara tahun 1966–98.

2 Ini diposisikan sebagai pemilu langsung pertama pada tingkat daerah di Indonesia sebelum disahkannya UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pemilihan langsung kepala pemerintahan daerah akan dilaksanakan secara nasional.

Page 25: Official PDF , 178 pages

KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH 3

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

masyarakatnya, mencapai taraf hidup yang lebih baik, dan beralih menuju sistem pemerintahan yang baik. Butir utama dari kesepakatan ini adalah bahwa Aceh diperbolehkan membentuk partai politik lokal yang sejalan dengan peraturan di tingkat nasional. Pemerintah pusat juga menyanggupi untuk memberikan porsi pendapatan yang lebih besar dari sumber daya alam dan alokasi khusus dari DAU (Kotak 1). UU No. 11/2006 yang menetapkan ketentuan ini disahkan pada bulan Agustus 2006. Pengaturan fi skal berdasarkan undang-undang yang lama dan yang baru diberikan pada Tabel 1.1.

Kotak 1. Poin utama Undang-undang Pemerintahan Aceh, UU 11/2006

Pemerintahan/PolitikHak menggunakan simbol-simbol daerah termasuk bendera, lambang dan lagu kebangsaanHak membentuk partai politik lokalPerlindungan kebudayaan lokal dan pembentukan Wali Nanggroe

Fiskal/EkonomiHak memperoleh 70 persen pendapatan dari migas, hidrokarbon dan sumber-sumber daya alam lainnyaPengelolaan bersama sumber daya migas antara pemerintah provinsi dan pusat, dan transparansi alokasi bagi hasil, yang diaudit oleh auditor independenTambahan pendapatan dari 2 persen alokasi DAU nasional selama 15 tahun dan 1 persen untuk 5 tahun berikutnya.

•••

Tabel 1.1. Evolusi pengaturan fi skal antar-pemerintah untuk Aceh

Bagi hasilUU 33/2004

(alokasi nasional)

UU 18/2001 (Otonomi Khusus)

UU 11/2006 tentang

Pemerintahan Aceh

Pusat Provinsi Pusat Provinsi Pusat Provinsi

Bagi hasil pajak

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 10 90 10 90 10 90

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 20 80 20 80 20 80

Pajak Penghasilan (PPh) 80 20 80 20 80 20

Bagi hasil non-Pajak

Kehutanan 20 80 20 80 20 80

Pertambangan 20 80 20 80 20 80

Perikanan 20 80 20 80 20 80

Panas bumi 20 80 20 80 20 80

Pendapatan bersih minyak bumi (non-pajak) 85 15 30 70 30 70

LNG (non-pajak) 70 30 30 70 30 70

Dana otonomi khusus (tambahan pendapatan dari total alokasi DAU, 2% selama 15 tahun dan 1% selama 5 tahun)

2

Sumber: UU No. 18/2001, UU No. 33/2004, dan UU No. 11/2006.

Page 26: Official PDF , 178 pages

KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH4

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Konfl ik dan Dampaknya terhadap Pembangunan

Dampak dan biaya konfl ik

Konfl ik antara GAM dan Pemerintah Indonesia terjadi dalam beberapa tahap. Tahap pertama tidak menimbulkan dampak yang berarti di Aceh, dan GAM masih memiliki kekuatan politik atau militer yang sedikit. Saat timbulnya kembali konfl ik pada tahun 1989, GAM sudah lebih terlatih dan bersenjata lebih baik. Sebagai respon, pemerintah menyatakan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM). Perubahan ini mengakibatkan dikirimnya pasukan tentara dan polisi dalam jumlah yang besar. Pasukan ini tetap berada di provinsi ini sampai ditarik kembali pada akhir tahun 2005 sebagai hasil dari MOU. Fasa terakhir adalah yang paling parah. Ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat di Jakarta menyebar bahkan sampai ke daerah perkotaan. Dari tahun 1999 sampai penandatanganan kesepakatan damai pada tahun 2005, kontak senjata antara GAM dan militer sering terjadi (Tabel 1.2). Sebuah studi Bank Dunia yang didasarkan pada pemantauan konfl ik dan surat kabar-surat kabar menunjukkan bahwa meskipun kontak antara GAM dan militer berkurang setelah tsunami, perang terus berlanjut.3 Banyak pakar dan pengamat Aceh sependapat bahwa konfl ik ini didorong terutama oleh dua masalah, yaitu hubungan pusat-daerah yang sulit antara Jakarta dan Aceh, dan perasaan dikucilkan atau dieksploitasi dalam hal pemanfaatan sumber daya alamnya.

Tabel 1.2. Tahapan konfl ik dan korban jiwa

Tahapan I: 1976–1979 II: 1989–1991 III:1999–2005

Peristiwa utama

Berdirinya GAM

DOMJeda

kemanusiaan: 2000–01

COHA: Des 2002–May

2003

Darurat militer/ keadaan daruratMei 2003 – Mei

2005

MoU Aug. 2005

Korban 100 2,000–10,000 5,000

Kekuatan GAM

25–200 200–750 15,0 00–27,000

Sumber: perkiraan staf Bank Dunia.Catatan: COHA = Cessation of Hostilities Framework Agreement (Kesepakatan Penghentian Permusuhan)

Tidak diragukan lagi, konfl ik memiliki pengaruh yang kuat di Aceh. Meskipun demikian, ukuran yang akurat mengenai biaya dan dampak konfl ik Aceh sulit diperkirakan. Pada umumnya, data tidak disimpan secara sistematis, dan banyak yang hilang akibat tsunami. Di antara informasi yang tersedia, keakuratan pun dapat menjadi masalah. Meskipun demikian, artikel di media dan wawancara yang diadakan dalam studi-studi terdahulu cukup memberikan gambaran mengenai dampak dan biaya konfl ik. Dampak dan biaya tersebut dapat digolongkan ke dalam lima kategori, yaitu (1) korban jiwa, (2) dampak sosial, (3) tidak adanya pemerintah yang berjalan, (4) dampak ekonomi, dan (5) dampak fi skal operasi militer.

1. Korban jiwa. Dampak terbesar konfl ik ini adalah korban jiwa yang jatuh. Jumlahnya diperkirakan sekitar 15.000 orang selama jangka waktu 30 tahun. Organisasi hak asasi manusia dan surat kabar secara rutin melaporkan adanya korban konfl ik bahkan selama masa Kesepakatan Penghentian Permusuhan (COHA).

2. Dampak sosial. Konfl ik yang berkepanjangan ini memperparah dampak negatif krisis moneter tahun 1997 terhadap tingkat kemiskinan di Aceh. Sementara daerah-daerah lain lambat laun mulai pulih dari krisis tersebut, keadaan di Aceh justru semakin buruk. Tingkat kemiskinan naik hampir dua kali lipat dari 14,8 persen pada tahun 1999 menjadi 29,8 persen pada tahun 2002.

Sistem pendidikan menjadi sasaran dan tujuan khusus. Sekolah sering digunakan militer sebagai barak

3 Barron dan Daud 2005.

Page 27: Official PDF , 178 pages

KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH 5

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

sementara dalam upaya memburu GAM, dan militer mengklaim bahwa GAM juga menggunakan sekolah-sekolah sebagai pangkalan sementara. Menurut perkiraan sementara pihak, antara tahun 1998-2002 ada 60 guru yang tewas dan 200 guru diserang. Dalam tahun-tahun DOM dan darurat militer, 57 sekolah dan 122 rumah dinas guru dibakar atau dihancurkan. Selama setengah tahun pertama 2003, sekitar 880 sekolah dilaporkan hancur atau rusak.4 Akibatnya, sistem pendidikan di sebagian besar wilayah Aceh praktis terhenti.

3. Tidak adanya pemerintahan yang berjalan. Pada masa puncak kekuatan GAM, cukup luas wilayah Aceh yang berada di bawah pengaruh atau kendali GAM. Strategi GAM adalah melumpuhkan pemerintah setempat dan menggantikan lembaga-lembaga ini dengan lembaga GAM/Aceh. GAM konon telah menjalankan berbagai fungsi pemerintahan di banyak daerah, seperti menarik pajak, menyelenggarakan dan mendaftarkan akad nikah, dan mengeluarkan perijinan. Pernyataan dari pemerintah maupun GAM menunjukkan bahwa pada puncak fasa ketiga GAM, pemerintah daerah sempat lumpuh di beberapa bagian Aceh. Paling tidak di basis GAM di bagian-bagian Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur, pemerintah setempat nyaris tidak berjalan. Pegawai pemerintah tidak masuk kerja karena takut diserang. Pada tahun 2001, Gubernur Aceh konon mengatakan bahwa sampai pertengahan 2001 baru seperenam anggaran Aceh untuk tahun tersebut telah dibelanjakan, karena konfl ik – dan sebagian besar digunakan untuk penegakan hukum.5

4. Dampak ekonomi. Dampaknya terhadap perekonomian provinsi sangatlah besar, yaitu perekonomian secara keseluruhan mandek. Selama fasa terakhir konfl ik, kesulitan ekonomi meningkat dengan memburuknya situasi keamanan. Investor mundur, dan tempat-tempat usaha, terutama di sekitar ladang gas, tutup atau mengurangi produksi. Di Aceh Timur dan Aceh Utara, perkebunan kelapa sawit menghentikan operasinya pada tahun 2003.6 Para nelayan dilarang melaut tanpa ijin dari pemerintah. Tahun 1990, Aceh memberikan kontribusi 3,6 persen kepada PDB Indonesia. Kontribusi ini anjlok menjadi 2,2 persen di tahun 2001 di masa puncak konfl ik, terutama karena berkurangnya kontribusi dari ladang minyak dan gas bumi.

5. Dampak fi skal operasi militer. Beberapa penuturan mengenai konfl ik menunjukkan adanya pembelanjaan anggaran yang besar oleh pemerintah, terutama selama tahun-tahun darurat militer. Beberapa minggu sebelum pembicaraan antara Pemerintah Indonesia dan GAM terhenti, dari hanya 6000 tentara pada awal tahun 1990an, kekuatan angkatan darat di Aceh telah ditambah menjadi sekitar 30.000 orang dan polisi menjadi 12.000 orang. Rasio personil militer terhadap penduduk naik dari 1:570 pada awal 1990-an menjadi 1:80, atau 12,5 orang untuk setiap 1,000 orang penduduk pada puncak konfl ik. Rasio nasional adalah 1:1000. Data jumlah tentara yang ditarik setelah MOU mengisyaratkan bahwa pada saat perjanjian damai ada lebih dari 50.000 orang tentara dan polisi di Aceh.

Pemerintah membiayai operasi tersebut sebagian besar dari dana pemerintah pusat. Dana provinsi digunakan untuk menambah sumber daya pemerintah nasional serta membiayai kebutuhan kesejahteraan sosial (penampungan sementara, makanan, untuk kaum pengungsi). Antara tahun 2002-2005, ada sekitar 55.000 orang yang mendapat bantuan dari pemerintah dalam bentuk diyat sebagai korban konfl ik. Pemerintah membelanjakan hampir AS$ 12 juta untuk menutupi pengeluaran ini. Pada bulan Februari 2006, Pemerintah Aceh membentuk Badan Reintegrasi Aceh (BRA). BRA diharapkan akan menjadi badan utama yang mengkoordinir program-program pasca konfl ik pemerintah dan donor. Lembaga ini telah mulai memproses usulan-usulan dari GAM dan orang-orang yang terimbas konfl ik.

4 Schulze 2004.

5 Aspinall 2003, 2005.

6 R. Sukma 2004.

Page 28: Official PDF , 178 pages

KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH6

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Dampak Bencana Tsunami 26 Desember 2004

Pada tanggal 26 Desember 2004, gempa bumi terjadi di 150 km lepas pantai Aceh.7 Tidak lama kemudian, tsunami pun melanda, dan dalam waktu beberapa menit saja telah menyapu bersih 800 km daerah pesisir Aceh. Sekitar 170.000 orang tewas, dan kurang lebih 500.000 jiwa lagi kehilangan tempat tinggal.

Bencana alam ini menyebabkan kehancuran sosial, ekonomi dan lingkungan yang sangat dahsyat terhadap wilayah-wilayah yang memang sudah miskin. Musibah ini juga membangkitkan respon yang belum pernah terjadi sebelumnya baik dari tingkat nasional maupun internasional, di mana LSM dan donor memberikan kontribusi pendanaan untuk rekonstruksi dalam jumlah yang memecahkan rekor. Sebelum tsunami sekalipun, sekitar sepertiga penduduk Aceh hidup dalam kemiskinan. Setelah bencana ini, ratusan ribu lagi menjadi rawan kemiskinan dan bergantung pada bantuan pangan.

Kerusakan dan kerugian fi sik diperkirakan bernilai AS$ 4,9 milyar. Sektor produksi saja diperkirakan mengalami kerugian sebesar AS$ 1,2 milyar. Lebih dari setengah kerugian tersebut diderita oleh sektor perikanan, sedangkan sisanya terbagi antara pertanian dan produksi. Program cash-for-work yang dibiayai oleh banyak donor dan NGO telah memainkan peran yang vital dalam menyediakan jaring pengaman dan menghidupkan kembali perekonomian. Seiring makin banyaknya proyek pembangunan rumah dan diluncurkannya aktivitas pekerjaan rutin lainnya, program ini berangsur-angsur mulai dihapuskan. Karena tekanan pada harga akibat upaya rekonstruksi pasca tsunami, harga-harga naik lebih tajam di provinsi ini daripada di tingkat nasional. Lonjakan harga ini sangat terasa di Banda Aceh, di mana infl asi setahun (year-on-year) bulan Desember 2005 mencapai 41 persen.

Setelah awal yang lambat, sejak September 2005 laju rekonstruksi mulai meningkat tajam. Kemajuan yang lebih cepat dari perkiraan telah dicapai dalam hal mengembalikan anak-anak ke sekolah, memulihkan jaringan perawatan kesehatan, menggantikan kapal ikan, dan memulihkan kembali tanah pertanian serta tambak-tambak. Kemajuan juga tampak di sektor perumahan yang sangat penting itu. Sampai akhir April sekitar 47.500 rumah dilaporkan telah selesai atau hampir selesai dibangun (Tabel 1.3). Setiap bulan dibangun sekitar 3.500-5000 rumah. BRR telah menetapkan sasaran yang ambisius, yaitu membangun 78.000 rumah baru pada tahun 2006. Sasaran ini hanya dapat dicapai jika laju pembangunan dipercepat.

Tabel 1.3. Indikator kemajuan rekonstruksi (per April 2006)

Indikator Kerusakan/ kebutuhan Pemulihan Kembali Sumber

Perumahan 120,000 47,489 UN habitat

Sekolah 2,006 260 BRR Survey

Guru 2,500 2,400 BRR

Fasilitas kesehatan 127 113 BRR

Jalan 3,000 490 BRR

Jembatan 120 41 BRR

Pelabuhan 14 2 (complete) BRR

Bandar udara 11 5 BRR

Kapal ikan 7,000 6,160 BRR

Tambak 20,000 7,111 BRR Survey

Sawah dan perkebunan 60,000 37,926 BRRSumber: data BRR, 2006

Banyak kebutuhan masih belum terpenuhi. Tempat penampungan transisi, khususnya, masih menjadi masalah yang parah. Sekitar 15.000 sampai 20.000 keluarga masih tinggal di tenda-tenda, dan 25.000 sampai 30.000 keluarga lagi ditampung di barak. Tidak adanya fasilitas pengangkutan yang memadai di sepanjang pantai barat Aceh

7 Bagian ini didasarkan pada laporan “Aceh and Nias One Year after the Tsunami: The Recovery Eff ort and Way Forward” (BRR dan mitra-mitra internasional), Desember 2005.

Page 29: Official PDF , 178 pages

KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH 7

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

memperparah kesulitan pengiriman material rekonstruksi ke daerah-daerah yang kurang terlayani. Mata pencaharian juga menjadi keprihatinan besar. Angka pengangguran untuk kaum perempuan khususnya mencapai 21 persen, 50 persen lebih tinggi dari angka rata-rata nasional untuk perempuan. Angka pengangguran untuk kaum laki-laki jauh lebih rendah tetapi tetap signifi kan pada 7 persen, dan kemungkinan dapat naik kembali apabila kegiatan konstruksi sudah berkurang.

Meski skala kehancuran demikian hebat, Aceh kini memiliki kesempatan untuk membenahi diri dari wilayah Indonesia yang terisolasi dan terimbas konfl ik menjadi provinsi yang berkembang dengan baik dan pusat ekonomi yang penting bagi negara ini. Yang menjadi tantangan adalah “membangun kembali dengan lebih baik,” bukan hanya dari segi infrastruktur tetapi juga dalam pemanfaatan sumber daya yang ada untuk kesejahteraan rakyat provinsi ini. Untuk mencapai hal itu, Aceh dan Nias perlu mengatasi masalah-masalah struktural jangka panjang agar dapat terus tumbuh dan mengentaskan kemiskinan.

Pemerintah daerah masih belum sepenuhnya ikut serta dalam rekonstruksi dan hendaknya memainkan peran yang lebih penting. Pemerintah daerah dan provinsi Aceh termasuk penerima utama manfaat desentralisasi. Dengan meningkatnya pengalihan wewenang dari pemerintah pusat, ditambah pendapatan yang lebih tinggi dari migas, wilayah Aceh akan dapat membelanjakan lebih dari AS$ 1 milyar pada tahun 2006 untuk program rutin, di samping proyek rekonstruksi yang ada. Pada tahun 2005, dengan mengantisipasi penggantian dari BRR dan para donor, pemerintah daerah justru memotong porsi pembelanjaan modalnya sebagai respon terhadap bencana tsunami (dari sekitar 50 persen sebelum tsunami menjadi 42 persen setelah tsunami). Secara umum, pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas yang diperlukan untuk menanggapi krisis seperti ini. Porsi yang lebih besar dan volume mutlak pembelanjaan untuk aparat pemerintah daerah yang bertambah dengan mengorbankan pembelanjaan untuk pembangunan seperti ini mengkhawatirkan. Satu lagi masalah yang sangat mendesak adalah persepsi umum akan kurangnya kemampuan pemerintah daerah untuk memanfaatkan sumber daya publik yang bertambah itu secara efektif.

Meningkatkan kontribusi keuangan pemerintah daerah dalam proses rekonstruksi adalah amat penting. Pemerintah daerah memiliki sumber daya besar yang belum dimanfaatkan, yaitu lebih dari AS$ 5 milyar yang berasal dari total pendapatan selama tahun 2006-09 jika harga minyak tetap pada tingkatnya sekarang. Lebih penting lagi, pemerintah provinsi dan daerah juga akan bertanggung jawab atas semua infrastruktur rekonstruksi setelah amanat BRR berakhir pada tahun 2009 nanti. Sangatlah penting melibatkan pemerintah daerah sekarang dalam setiap proyek infrastruktur skala besar baru. Penggunaan program dana padanan (matching funds) – seperti Fasilitas Pembiayaan Infrastruktur MDF yang baru – akan menjadi kesempatan yang baik untuk meningkatkan keterlibatan pemerintah setempat dalam proyek infrastruktur. Proses anggaran 2007 akan memberikan tanda yang penting tentang kesiapan pemerintah provinsi dan daerah untuk memainkan peran yang lebih kuat dalam proses rekonstruksi. Pemantauan dan evaluasi pembelanjaan pemerintah daerah akan penting untuk memastikan bahwa dana publik dibelanjakan dengan semestinya.

Perekonomian Aceh

Struktur Perekonomian Aceh

Perekonomian Aceh sangat tergantung pada produksi minyak dan gas bumi, yang menyumbangkan sekitar 40 persen dari PDB provinsi. Namun produksi ini mempekerjakan kurang dari 10 persen angkatan kerjanya. Kabupaten-kabupaten penghasil migas adalah Aceh Timur, Aceh Utara dan Aceh Tamiang. Aceh Utara menyumbangkan 80 persen produksi migas keseluruhan. Sebaliknya, sektor pertanian menyumbangkan 24 persen PDB provinsi ini (Gambar 1.1) tetapi mempekerjakan lebih dari separuh angkatan kerja.

Page 30: Official PDF , 178 pages

KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH8

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 1.1. Struktur perekonomian Aceh, 2004

Jasa10%

Perhubungan & Komunikasi 5%

Perdagangan, Restoran & Hotel 12%

Konstruksi 4%

Pengolahan (Non-Migas) 4%

Listrik, Gas & Air 0%

Pengolahan (Migas) 14%

Pertambangan (Minyak) 26%

Penggalian 1%

Pertanian24%

Sumber: BPS 2004.

Dalam sejarahnya, sektor migas hanya memberikan dampak positif yang sedikit bagi kesejahteraan ekonomi kebanyakan masyarakat Aceh. Di masa lalu, sebagian besar perolehan dari bagi hasil sumber daya alam ditahan oleh pemerintah pusat. Sumber daya yang tersedia dialokasikan dengan sangat tidak optimal. Sebagai contoh, Aceh Utara yang kaya minyak, dengan PDB per kapita 2,6 kali rata-rata nasional, memiliki jumlah penduduk miskin 34,2 persen, yaitu dua kali lipat rata-rata nasional (Gambar 1.2).

Gambar 1.2. PDB per kapita dan kemiskinan di kabupaten penghasil minyak/gas, tahun 2004

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

Indonesia AcehTamiang

Provinsi Aceh Aceh T imur Aceh Utar a0.05.010.015.020.025.030.035.040.0

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

0.05.010.015.020.025.030.035.040.0

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

0.05.010.015.020.025.030.035.040.0

PRDB Per Kapita (kali rata-rata Nasional)Tingkat Kemiskinan, %

Sumber: BPS, perhitungan staf Bank Dunia.

Pertumbuhan ekonomi dan PDB per kapita Aceh

Sejak tahun 1970-an, laju pertumbuhan Aceh tertinggal dari laju pertumbuhan rata-rata nasional kecuali untuk waktu yang singkat pada awal tahun 1980-an. Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, Aceh sangat merasakan dampak krisis moneter tahun 1997-98, yang mengakibatkan laju pertumbuhan negatif selama empat tahun berturut-turut. Sejak tahun 2001, perekonomian Aceh sudah mulai pulih kembali (Gambar 1.3). Bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, perekonomian Aceh termasuk stagnan. Salah satu alasannya mungkin adalah konfl ik berkepanjangan yang telah merenggut vitalitas perekonomian wilayah tersebut. Meskipun demikian, terdapat banyak juga alasan struktural, seperti diversifi kasi ekonomi yang tidak cukup, tidak adanya modernisasi, dan letak banyak daerah yang jauh dari pasar.

Page 31: Official PDF , 178 pages

KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH 9

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 1.3. Pertumbuhan ekonomi Aceh vs. rata-rata nasional

-4

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

1971-75 1976-80 1981-85 1986-90 1991-95 1996-00 2001-04

NAD

Nasional

Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia.

Meskipun demikian, Aceh termasuk salah satu provinsi terkaya di Indonesia dari segi PDB per kapita. Per tahun 2004, PDB per kapita tahunan Aceh adalah 9,8 juta rupiah, atau sekitar AS$ 1.090. Aceh menduduki peringkat sebagai provinsi terkaya kelima, tetapi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak keempat (Gambar 1.4). Fakta bahwa dua provinsi terkaya dari segi PDB per kapita (Aceh dan Papua) memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak kiranya mengundang keprihatinan. PDB per kapita yang tinggi sebagai hasil dari eksploitasi sumber daya alam di Aceh maupun Papua tidak memberikan manfaat bagi kaum miskin di wilayah tersebut.

Gambar 1.4. PDB per kapita, pembelanjaan publik, dan jumlah penduduk miskin per provinsi, 2004

38

28

3

12

12

32

(0.5)

-

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

-5.0

0.0

5.0

10

.0

15

.0

20

.0

25

.0

30

.0

35

.0

40

.0

PRDB Per kapita tahunan(juta Rupiah)

Bel

anja

Dae

rah

tahu

nan

per

kap

ita

(Jut

a R

upia

h)

Papua

Aceh

Maluku

Kalimantan T imur

JakartaRiau

Sumber: BPS.Catatan: Besar lingkaran-lingkaran di atas mewakili tingkat penduduk miskin.

PDB per kapita sangat bervariasi antar kabupaten/kota Aceh. Sebagai contoh, di Aceh Tenggara dan Simeulue, PDB per kapita per tahun masing-masing adalah 3,1 dan 3,3 juta rupiah. Sebaliknya, Aceh Utara dan Lhokseumawe memiliki PDB per kapita lebih dari 10 kali lipat dari jumlah tersebut (Gambar 1.5). Meskipun demikian, Aceh Utara, dengan tingkat PDB per kapita tertinggi kedua di Aceh, memiliki salah satu jumlah penduduk miskin terbanyak.

Page 32: Official PDF , 178 pages

KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH10

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 1.5. PDB per kapita, pembelanjaan publik dan kemiskinan di kabupaten-kabupaten Aceh, 2004

31

34 15

-

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

3.5

4.0

4.5

5.0

- 10 20 30 40 50 60 70PRDB Per kapita (Juta Rupiah)

Pen

gel

uara

n P

ublik

per

kap

ita

(Jut

a R

upia

h) Sabang

Aceh Utar aLhokseumawe

Sumber: Depkeu, BPS, dan perhitungan staf Bank Dunia.Catatan: Besar lingkaran-lingkaran di atas mewakili tingkat penduduk miskin.

Dampak yang diperkirakan dari gempa bumi dan tsunami bulan Desember 2004 mengisyaratkan adanya kemerosotan ekonomi sekitar 5 persen pada tahun 2005. Dampak total terhadap perekonomian Aceh ini meliputi perkiraan variasi yang substansial antar kabupaten – dari penurunan kira-kira 0,5 persen di Aceh Utara dan Aceh Tamiang ke penurunan lebih dari 50 persen di Simeuleu dan Aceh Jaya (gambar B1 dan B2).8

Perekonomian Aceh: Tantangan dan kesempatan

Prospek ekonomi jangka pendek akan lebih banyak ditentukan oleh kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan fasa rekonstruksi, seperti boom rekonstruksi. Potensi ekonomi jangka panjang daerah ini akan tergantung dari bagaimana menyikapi permasalahan berikut:

Modernisasi perekonomian. Sektor-sektor tradisional, seperti perikanan dan pertanian, memiliki potensi yang baik jika dikembangkan dan dimodernisasi. Sebagai contoh, nelayan Aceh masih mengandalkan perahu kecil dengan daya tangkap yang terbatas. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Aceh mencakup wilayah laut seluas 238.807 km persegi. ZEE memiliki kekayaan ikan yang diperkirakan 1000 kali lebih besar dari kekayaan yang terdapat di air tawar, namun hanya kapal besar yang dapat mencari ikan di perairan tersebut. Menyediakan kapal yang lebih besar, daripada mengganti kapal kecil yang hancur, kiranya akan mendongkrak hasil perolehan. Sektor pertanian juga memiliki potensi yang baik jika dikembangkan hingga lebih dari pertanian gurem. (Perkebunan skala besar memang ada, namun bukan merupakan inti produksi pertanian.) Masih banyak tanah yang sesuai tetapi belum digunakan. Luas totalnya diperkirakan sebesar 293.000 hektar (ha). Pengembangan lahan ini akan memungkinkan perluasan pertanian modern.

Diversifi kasi ekspor. Di Aceh, 98 persen nilai ekspor diperoleh dari gas alam cair dan kondensat. Hanya 2 persen diperoleh dari hasil pertanian dan industri. Kopi adalah komoditi ekspor pertanian nomor satu: 98 persen dari total ekspor pertanian. Diversifi kasi ekspor memberikan peluang yang baik untuk mendorong pertumbuhan, tetapi itu bukanlah tugas yang mudah. Potensi diversifi kasi yang ada untuk kakao, vanilla dan nilam terbatas oleh produksi yang berskala kecil dan hasil keluaran yang tidak tentu.

Memaksimalkan kesempatan kerja selama proses rekonstruksi dan sesudahnya. Diperkirakan ada 318.000 orang warga Aceh mencari kerja atau tidak bekerja. Proyek konstruksi skala besar mulai menggeliat, dan membutuhkan sekitar 200.000 orang pekerja selama puncak upaya rekonstruksi di pertengahan 2006. Untuk memaksimalkan keuntungan lapangan pekerjaan untuk penduduk Aceh diperlukan beberapa kebijakan.

8 Untuk metodologi perkiraan dampak tsunami terhadap PDB pada tingkat pemerintah daerah, lihat “Aceh and Nias One Year after the Tsunami: The Recovery Eff ort and Way Forward,” Desember 2005.

Page 33: Official PDF , 178 pages

KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH 11

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Menurut International Labour Organisation (ILO), kebijakan-kebijakan ini meliputi9:

1. Mengatur pasar tenaga kerja (menjembatani permintaan dan penawaran untuk pekerjaan)2. Meningkatkan potensi kerja warga dengan cara menyediakan pelatihan keterampilan dan kejuruan3. Mempekerjakan warga melalui investasi infrastruktur padat karya. Kebijakan ini hendaknya diimbangi

dengan strategi untuk mempromosikan kerja mandiri dan pengembangan kewiraswastaan.

Pengembangan alat pengolah (processing units) di tingkat kabupaten/kota. Petani kecil di Aceh umumnya menjual bahan mentah, karena fasilitas pengolahan setempat masih belum ada. Karena itu, petani kecil tidak memperoleh manfaat dari berbagi nilai tambah besar yang umumnya dihasilkan dari pengolahan. Produsen setempat juga tidak terorganisir dengan rapi dan kurang mengetahui potensi pasar penuh produk mereka. Pengembangan usaha pengolahan setempat akan menguntungkan bagi produsen setempat.

Memastikan pemulihan ekonomi menjaga kelangsungan lingkungan hidup. Pembangunan ekonomi harus menyertakan kebijakan lingkungan hidup yang sehat. Sekitar 74,6 persen wilayah Aceh terdiri dari daerah hutan. Hutan hujan ini, yang kaya akan kayu dan satwa liar, sangat terancam kepunahan. Dua puluh perusahaan telah diberi ijin untuk mengeksploitasi sekitar 1,6 juta hektar lahan yang digolongkan sebagai hutan produksi. Meningkatnya permintaan akan kayu, yang didorong oleh kebutuhan rekonstruksi pasca tsunami, sudah mulai memperparah eksploitasi hutan secara liar.

Menjajaki peluang investasi. Iklim bisnis yang transparan dan stabil dapat meningkatkan minat investor terhadap peluang investasi yang beraneka ragam di wilayah ini. Sektor-sektor potensial antara lain zona pelabuhan bebas Sabang, penangkapan ikan dan perikanan, pariwisata, hotel dan restoran, industri cetakan (molding), industri peternakan, pengembangan perkebunan, dan hutan wisata.

Kemiskinan dan Kondisi Sosial

Kemiskinan tersebar luas di Provinsi Aceh bahkan sebelum bencana gempa bumi dan tsunami tanggal 26 Desember 2004. Pada tahun 2004 diperkirakan 1,2 juta orang (28,5 persen jumlah penduduk) di Aceh hidup di bawah garis kemiskinan, yaitu dengan penghasilan Rp 129.615, atau sekitar AS$14, per kapita per bulan.10 Bahkan sebenarnya, jumlah warga yang hidup dalam kemiskinan mutlak di kawasan ini hampir dua kali lebih besar daripada angka untuk Indonesia secara keseluruhan (16,7) sehingga menjadikan Aceh salah satu provinsi termiskin (Gambar 1.6). Bencana tsunami tanggal 26 Desember 2004 memperparah kemiskinan di wilayah ini. Diperkirakan ada sekitar 325.000 lagi warga Aceh yang kini rawan kemiskinan. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa perkiraan bertambahnya kemiskinan itu tidak memperhitungkan dampak bantuan pangan, program cash-for-work, dan mekanisme lainnya yang membantu mengangkat kesejahteraan masyarakat.11 Tingkat kemiskinan antar kabupaten di Aceh menunjukkan perbedaan spasial yang signifi kan. Perbedaan ini telah semakin mencolok akibat dampak tsunami. Di kabupaten-kabupaten yang paling parah terkena dampak tsunami, lebih dari 50 persen penduduknya kemungkinan akan hidup dalam kemiskinan (gambar B3).

9 Internasional Labour Organization, 2005.

10 Garis kemiskinan mewakili nilai uang dari paket makanan umum yang menyediakan 2100 kalori per hari ditambah pembelanjaan non-makanan yang diperlukan.

11 Untuk metodologi perkiraan dampak tsunami terhadap kemiskina, lihat “Aceh and Nias One Year after the Tsunami: The Recovery Eff ort and Way Forward” 2005.

Page 34: Official PDF , 178 pages

KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH12

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 1.6. Perkembangan tingkat kemiskinan di provinsi Aceh, 1990–2004 (%)

0

5

10

15

20

25

30

35

1990 1993 1996 1999 2002 2003 2004

%

Sumber: BPS

Infl asi

Kenaikan biaya hidup yang besar akan mempengaruhi daya beli penduduk Aceh. Sejak tsunami, harga-harga di daerah yang terkena dampak tsunami telah naik lebih tajam dari tingkat rata-rata nasional karena masuknya dana bantuan dan program cash-for-work ke wilayah tersebut. Terbatasnya transportasi berarti permintaan akan barang dan material (yang terkait dengan upaya rekonstruksi) telah menyebabkan meningkatnya ongkos pengangkutan yang lebih tinggi dan karenanya menaikkan harga-harga secara umum. Kenaikan yang paling drastis terjadi di Banda Aceh. Infl asi tahunan (year on year) pada bulan Desember 2005 mencapai 41 persen di Banda Aceh, 23 persen di Medan, dan 18 persen di Lhokseumawe, bila dibandingkan dengan 17 persen di seluruh Indonesia (Gambar 1.7).

Gambar 1.7. Tren IHK (CPI) di Banda Aceh dan daerah-daerah lain

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

Jan-

04

Feb

- 04

Ma r

-04

Ap

r-0

4

Ma y

- 04

J un -

04

J ul-

04

Au g

-04

Se p

-04

Oc t

-04

No

v -0

4

De c

-04

J an-

05

F eb

- 05

Ma r

- 05

Ap

r-0

5

Ma y

- 05

J un -

05

J ul-

05

Au g

-05

Sep

- 05

Oc t

-05

No

v -0

5

De c

- 05

J an -

06

F eb

-06

Ma r

- 06

Ap

r-0

6

Ma y

-06

J un -

06

Nasional Banda Aceh Lhokseumawe Medan

inflasi %, tahunan

Banda Aceh

Sumber: BPS, perhitungan staf Bank Dunia.

Banyak rumah tangga di Aceh sudah dan akan memperoleh manfaat dari kenyataan bahwa fasa rekonstruksi mendorong kenaikan upah pekerja bangunan. Meskipun demikian, infl asi yang ikut bertambah menihilkan manfaat ini. Tahun 2005, upah mengalami kenaikan paling tidak 40 persen-50 persen di antara semua kategori pekerja bangunan. Meskipun demikian, efek bersihnya tidak jelas karena harga barang konsumsi juga naik. Setelah boom konstruksi, infl asi upah yang berlebihan akan mengurangi daya saing Aceh di dalam maupun luar negeri. Infl asi tidak dapat diubah dengan mudah, tetapi pemantauan harga-harga dan pola konsumsi adalah perlu untuk memahami dampaknya terhadap taraf hidup.

Page 35: Official PDF , 178 pages

KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH 13

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Mata pencaharian

Perikanan, pertanian dan usaha kecil sejak dulu telah menjadi pilar utama yang menunjang penghidupan rakyat Aceh. Meskipun demikian, sektor-sektor ini menghadapi berbagai tantangan yang berhubungan dengan dampak bencana alam serta berubahnya struktur ekonomi. Satu hal yang penting adalah, pemulihan kembali mata pencaharian lebih dari sekedar membangun kembali aset-aset fi sik. Meskipun penggantian aset memang sangat penting, tantangan prioritasnya adalah menyediakan dukungan penghidupan untuk pemulihan kembali masyarakat yang terimbas secara berkelanjutan. Selama tahun-tahun sebelum tsunami, seiring menurunnya industri perkotaan dan berbasis jasa, angkatan kerja Aceh telah kembali ke sektor pertanian dan perikanan secara signifi kan. Jika faktor-faktor dasar yang menyebabkan perubahan komposisi sektoral perekonomian tersebut tidak disikapi, maka penghasilan rumah tangga akan menurun secara signifi kan seiring menipisnya sumber-sumber daya yang dialokasikan untuk rekonstruksi.

Tekanan untuk segera memulihkan basis aset menyebabkan kurangnya perhatian terhadap mutu. Sebagai contoh, pada sektor perikanan, penyedia bantuan bermaksud menyerahkan perahu sebanyak mungkin dan sesegera mungkin, menyebabkan pengiriman banyak perahu kecil yang murah. Kurangnya konsultasi dan koordinasi dengan nelayan stempat serta mutu konstruksi yang rendah telah menyebabkan perahu itu banyak ditinggalkan karena tidak sesuai dengan kondisi setempat.

Pertanian dan perikanan perlu segera dimodernisasi. Sebelum bencana sekalipun, kedua sektor ini ditandai dengan banyaknya petani dan nelayan kecil yang praktis hanya berproduksi untuk konsumsi mereka sendiri atau pasar terdekat. Pengolahan dan pengemasan umumnya dilakukan di luar daerah. Kedua sektor perlu dimodernisasi melalui teknologi baru, pendanaan, dan layanan pengembangan usaha; dan skala produksi juga perlu ditingkatkan.

Penciptaan Lapangan Kerja

Dampak tsunami terhadap lapangan pekerjaan tidak separah yang diduga sebelumnya, tetapi bencana itu telah menyebabkan perubahan besar terhadap susunan dan struktur angkatan kerja. Meskipun angka pengangguran naik menyusul bencana tersebut, keikutsertaan angkatan kerja pulih dengan cepat.. Keikutsertaan laki-laki dewasa dalam angkatan kerja telah kembali ke angka sebelum tsunami, dan keikutsertaan perempuan dan kaum muda (usia 15-24 tahun) telah banyak bertambah. Sumber tenaga kerja yang belum termanfaatkan ini dapat membantu dicapainya pertumbuhan dan pemulihan ekonomi dengan lebih cepat. Semakin banyaknya remaja yang mencari pekerjaan daripada mendaftar ke sekolah mengurangi peluang mereka untuk memperoleh pelatihan dan pendidikan, yang akan memungkinkan mereka memperoleh pekerjaan dengan upah yang lebih baik dalam jangka panjang.

Kebutuhan rekonstruksi telah mengakibatkan boom konstruksi. Pekerjaan konstruksi di Aceh ditaksir bernilai antara AS$ 100-150 juta per bulan selama 2 tahun mendatang, dibandingkan dengan kurang dari AS$ 10 juta per bulan pada tahun 2003. Untuk memenuhi kebutuhan ini, ILO memperkirakan bahwa akan diperlukan sekitar 200.000 pekerja terampil (tukang kayu, tukang batu), serta pekerja tidak terampil dalam jumlah yang signifi kan. Di samping itu, boom konstruksi akan menciptakan pasar sekunder yang besar untuk barang dan jasa. Meskipun demikian, boom konstruksi tetap tidak akan menyediakan lapangan kerja yang cukup untuk semua yang menganggur. Sensus pasca bencana terakhir menunjukkan bahwa hampir 20 persen angkatan kerja (lebih dari 300.000 orang) aktif mencari pekerjaan atau tidak bekerja. Angka tertinggi dijumpai pada golongan usia 15-24 tahun, di mana hampir 25 persen dari mereka mencari pekerjaan. Memperbaiki potensi kerja warga setempat melalui pelatihan keterampilan adalah kunci. Pelatihan keterampilan harus digerakkan oleh permintaan dan dikaitkan dengan pekerjaan yang ada di pasar, dengan fokus pada pelatihan siklus pendek untuk pekerja yang pasti akan direkrut.

Page 36: Official PDF , 178 pages

KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH14

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Page 37: Official PDF , 178 pages

2Aliran Dana dan Proses Anggaran

Page 38: Official PDF , 178 pages

KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH16

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, Aceh menerima pendanaan dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan (transfer antar-pemerintah), dan dana dekonsentrasi dari pemerintah pusat dan provinsi. Pendapatan asli daerah dihasilkan oleh daerah itu sendiri, sebagian besar dari pajak dan pungutan setempat. Transfer antar-pemerintah adalah dana publik yang memberikan dimensi transfer vertikal dan horisontal. Transfer vertikal adalah pendistribusian kembali pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah, sedangkan transfer horisontal adalah pendistribusian pendapatan antar pemerintah kabupaten.

Setelah desentralisasi diterapkan pada tahun 2001, Dana Alokasi Umum (DAU) menjadi sumber pendapatan utama di Aceh. Bersama dengan dana bagi hasil dan DAK, DAU menggantikan transfer antar pemerintah yang sebelumnya yaitu SDO (Subsidi Daerah Otonomi) dan Inpres (Instruksi Presiden). Transfer tersebut terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Arus transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah diuraikan pada Gambar 2.1.

Dana Bagi Hasil

Dana bagi hasil adalah pendapatan pajak dan non-pajak (sumber daya alam) yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah. Tujuan dana bagi hasil adalah mengurangi ketidakseimbangan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah.12 Undang-undang No. 33/2004 adalah dokumen pokok yang mengatur perimbangan keuangan pusat/daerah. UU tersebut menetapkan persentase pendapatan yang akan dibagi antara pusat dan daerah serta proses distribusinya, yaitu dana ditransfer langsung ke rekening pemerintah daerah.

Berdasarkan Undang-undang No. 18/2001, sebagai daerah otonomi khusus, di samping alokasi pembagian nasonal standar dari pendapatan pajak dan non-pajak, Aceh memperoleh bagian tambahan dari pendapatan migasnya. Undang-undang Pemerintahan Aceh No. 11/2006 yang baru, yang akan menggantikan UU No. 18/2001, akan memberikan pengaturan serupa. Peraturan perundang-undangan tambahan yang mengatur pembagian pendapatan ini adalah peraturan daerah Aceh Qanun No. 4/2002. Qanun tersebut menguraikan proses transfer bagi hasil termasuk pajak bumi dan bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dana-dana ini ditransfer langsung ke pemerintah provinsi dan daerah. Pembagian hasil untuk pajak penghasilan dan dana otonomi khusus ditransfer oleh pusat ke provinsi, dan provinsi bertanggung jawab mentrasfernya ke pemerintah daerah.

Undang-undang Pemerintahan Aceh yang baru, UU No. 11/2006, memberi Aceh dana otonomi khusus yang baru, yaitu 2 persen alokasi DAU tambahan mulai tahun 2008. Dana otonomi khusus ini akan dialokasikan untuk program-program pembangunan yang diselenggarakan oleh provinsi. Selain itu, Aceh masih berhak menerima pembagian hasil tambahan dari minyak dan gas bumi. UU No. 11/2006 juga menetapkan bahwa sekurang-kurangnya 30 persen dari pembagian hasil tambahan ini digunakan untuk pendidikan. Sisanya yang 70 persen dialokasikan untuk program-program pembangunan pada tingkat pemerintah provinsi dan daerah.

12 Keputusan Menteri KMK No. 344/2001 juga menjadi kunci pelaksanaan bagi hasil.

Page 39: Official PDF , 178 pages

KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ACEH 17

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 2.1. Aliran dana di Aceh

P E M E R I N T A HP U S A T

PAD

Transfer langsung70 persen total bagi hasil (Pemda dan Provinsi), DAU, lain-lain

Bagi hasil untuk sumber daya alam, DAK, pajak penghasilan, dan dana

dekonsentrasi

P E M E R I N T A H D A E R A H

Otsus, DAK, pajak penghasilan dan bagi hasil pajak provinsi

P R O V I N S I

Pendidikan30% total bagi hasil (Pemerintah provinsi & daerah)

PAD

Sumber: UU No. 18/2001 dan Qanun 4/2002.

Bagi hasil pajak

Pembagian pendapatan pajak antara pemerintah pusat dan daerah berbeda-beda menurut pajaknya. Pembagian antara pusat dan daerah adalah 10 persen-81 persen untuk pajak bumi dan bangunan (PBB), 20 persen-80 persen untuk bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan 80 persen-20 persen untuk pajak penghasilan (Tabel 2.1).

Pengaturan umum alokasi antara pemerintah provinsi dan daerah adalah 20 persen untuk provinsi dan 80 persen untuk pemerintah daerah, kecuali untuk pajak penghasilan. Pembagian pajak penghasilan adalah 40 persen untuk provinsi dan 60 persen untuk pemerintah daerah. Distribusi pembagian pajak penghasilan kepada pemerintah daerah berdasarkan faktor-faktor seperti penduduk dan luas wilayah diatur dengan Keputusan Gubernur. Sebelum desentralisasi, pajak penghasilan dikelola dan dipungut seluruhnya oleh pemerintah pusat. Sekarang pemerintah daerah menerima bagian 20 persen dari pajak ini. Perluasan basis pajak penghasilan berpotensi mengangkat pendapatan pemerintah daerah dari pajak penghasilan. Meskipun pajak bumi dan bangunan (PBB) dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) masih diatur oleh pemerintah pusat, pendapatan dari kedua pajak ini kini ditransfer seluruhnya ke pemerintah daerah.13

Pemerintah daerah kini berhak menerima pembagian pajak tambahan dari provinsi. Berdasarkan kesepakatan pembagian pajak yang telah direvisi, pemerintah daerah kini menerima 30 persen dari 2 pajak provinsi, yaitu pajak kendaraan dan bea balik nama. Sebelum desentralisasi, pemerintah daerah hanya berhak menerima sebagian dari pajak bahan bakar provinsi, jumlah yang kini dikurangi dari 90 persen menjadi 70 persen. Administrasi pajak air bawah tanah dan air permukaan telah dialihkan ke provinsi, dengan pengaturan pembagian 70 persen untuk pemerintah daerah.

13 UU No. 34/2004 menyebutkan bahwa 90 persen PBB diberikan kepada pemerintah daerah: 16,2 persen kepada provinsi, 64,8 persen kepada pemerintah daerah, dan 9 persen untuk administrasi. 10 persen yang dikuasai oleh pemerintah pusat ditransfer kembali ke pemerintah daerah: 6,5 dibagi rata antar pemerintah daerah dan 3,5 persen dibagikan ke pemerintah daerah yang berkinerja terbaik. Untuk BPHTB, 16 persen masuk ke kas provinsi dan 64 persen ke pemerintah daerah. Sisanya yang 20 persen dibagi rata antar pemerintah daerah.

Page 40: Official PDF , 178 pages

ALIRAN DANA DAN PROSES ANGGARAN18

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Bagi hasil non-pajak (sumber daya alam)

Undang-undang nomor 33/2004 mengatur lebih banyak lagi jenis bagi hasil sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah. Sebelum ini, bagi hasil sumber daya alam hanya mencakup kehutanan dan pertambangan. Alokasi umum untuk pemerintah pusat dan daerah untuk pendapatan non-pajak adalah 20 persen-80 persen. Pendapatan migas adalah dua pengecualian yang penting. Setiap daerah menerima persentase pendapatan migas dan reboisasi yang berbeda-beda. Yang paling signifi kan untuk Aceh adalah alokasi minyak dan gas bumi, yang masing-masing 85-15 dan 70-30. Peraturan perundang-undangan otonomi khusus memberi Aceh tambahan 55 persen lagi untuk minyak dan 40 persen untuk gas. Jadi Aceh menerima 70 persen pendapatan minyak dan gas bumi yang dihasilkan di Aceh.14

Tabel 2.1. Pengaturan dana bagi hasil dan dana otonomi khusus Aceh

Bagi hasil Pemerintah pusat Daerah Provinsi

Semua kabupaten

/kota

Kabupaten/kota

penghasil

Pemerintah daerah non-

penghasil

Bagi hasil pajak

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 10 81 16.2 64.8Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

20 80 16 64

Pajak Penghasilan (PPh) 80 20 8 12

Bagi hasil non-pajak

Kehutanan: sewa lahan (IHPH) 20 80 16 64

Kehutanan: sewa sumber daya (PSDH) 20 80 16 64 32 32

Reboisasi 60 40 40

Pertambangan: sewa lahan 20 80 16 64

Pertambangan: Royalti 20 80 16 64 32 32

Perikanan 20 80 80

Pendapatan bersih minyak (non-pajak) ** 30 15 3 12 6 6

Dana otonomi khusus 55 22 33 13.75 19.25

LNG (nonpajak) 30 30 6 24 12 12

Dana otonomi khusus 40 16 24 10 14

Panas bumi 20 80 16 64 32 32

Bagi hasil pajak lainnya (pajak provinsi)

Pajak kendaraan bermotor, pajak kendaraan di atas air, bea kepemilikan kendaraan bermotor/di atas air

100 70 30

Pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak pemakaian air (bawah tanah dan permukaan)

100 30 70

Sumber: UU No. 18/2001, UU No. 33/2004, dan Qanun No. 4/2002 yang dihimpun oleh staf Bank Dunia. Catatan: ** = Pembagian antara pemerintah provinsi dan daerah ditetapkan oleh Qanun.

Alokasi sumber daya alam antara pemerintah provinsi dan daerah juga mengikuti rumus 20-80. Untuk pendapatan yang dihasilkan dari sewa sumber daya kehutanan, pertambangan, minyak dan gas bumi, alokasi 50-50 lagi dari alokasi 80 persen untuk pemerintah daerah disediakan bagi kabupaten penghasil dan non-penghasil (pemerintah daerah) di mana pemerintah daerah-daerah non-penghasil itu harus membagi rata bagian yang 50 persen itu sesama mereka. Adapun untuk pendapatan yang tidak mengikuti alokasi 50-50 dari alokasi 80 persen, sumber daya harus dibagi rata antar sesama pemerintah daerah (Gambar 2.2). Metode penggunaan rumus alokasi menurut UU No. 18/2001 adalah sebagai berikut: Dengan menggunakan bagi hasil dari minyak sebagai contoh,

14 UU No. 33/2004 menetapkan bahwa sampai tahun 2009, bagi hasil migas antara pusat dan daerah masing-masing adalah 85-15 untuk minyak dan 70-30 untuk gas bumi. Mulai tahun 2009, porsi minyak dan gas yang menjadi bagian pemerintah pusat akan menjadi 84,5 persen dan 69,5 persen, dan untuk daerah 15,5 persen dan 30,5 persen (di mana 0,5 persen akan dialokasikan untuk sektor pendidikan).

Page 41: Official PDF , 178 pages

ALIRAN DANA DAN PROSES ANGGARAN 19

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

daerah-daerah berbagi 15 persen pendapatan dari minyak bumi. 30 persen dari alokasi untuk daerah dialokasikan untuk pendidikan. Selebihnya dapat dialokasikan dengan bebas oleh pemerintah provinsi dan daerah. Provinsi menerima 20 persen dari sisa tersebut; 40 persen diberikan kepada pemerintah daerah penghasil; dan 40 persen ke pemerintah daerah non-penghasil.

Gambar 2.2. Pengaturan bagi hasil non-pajak untuk pemerintah provinsi dan daerah

BAGI HASIL NON-PAJAK

Kehutanan: sewa lahanPertambangan: sewa lahan

••

Pemerintah daerah: 80%(dibagi rata)

Provinsi: 20%

Kehutanan: sewa sumber dayaPertambangan: RoyaltiMinyak bumi (non-pajak)Gas (nontax)

••••

Pemerintah daerah: 80% - 40% untuk pemerintah daerah

penghasil.- 40% dibagi rata untuk

pemerintah daerah non-penghasil.

Provinsi: 20%

Sumber: UU No. 11/2006, UU No. 18/2001, Qanun No. 4/2002

Dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Aceh

Sesuai dengan UU No. 18/2001, dana otsus untuk Aceh terdiri dari bagi hasil tambahan, yaitu 55 persen dari minyak dan 40 persen dari gas bumi, di samping pembagian nasional (masing-masing 15 persen dan 30 persen untuk minyak dan gas bumi). Dana ini ditransfer setiap triwulan ke provinsi dan diatur oleh provinsi. Bagian tersebut dihitung berdasarkan pendapatan dari lifting (pengiriman atau ekspor), bukan produksi keseluruhan dari eksplorasi. 30 persen dana ini dialokasikan untuk pendidikan. Sisanya dialokasikan oleh pemerintah daerah, yaitu 40 persen untuk provinsi, 25 persen untuk pemerintah daerah penghasil minyak, dan 35 persen untuk pemerintah daerah non-penghasil minyak. Separuh transfer ke daerah non-penghasil dibagi rata sementara sisanya dialokasikan berdasarkan formula. Dana ini memberikan fl eksibilitas alokasi dan fl eksibilitas pembelanjaan yang lebih luas kepada pemerintah daerah (Gambar 2.3).

Page 42: Official PDF , 178 pages

ALIRAN DANA DAN PROSES ANGGARAN20

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 2.3. Alokasi Otonomi Khusus

Dana Otonomi Khusus100%

30% Pendidikan

40% Provinsi

25% PemdaPenghasil

Minyak

25% Pemdanon

Penghasil

70%Keputusan sendiri

Sumber: Qanun 4/2002.

UU No. 11/2006 memberi Aceh tambahan 2 persen dari dana alokasi umum (DAU) nasional selama 15 tahun, mulai tahun 2008. Pada tahun 2023 alokasi ini akan dikurangi menjadi 1 persen dari DAU nasional sampai tahun 2028. Menurut undang-undang tersebut, dana ini dimaksudkan untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, memberdayakan masyarakat, mengentaskan kemiskinan, dan membiayai pendidikan, kesehatan serta sektor sosial. Dana otsus akan dikelola oleh pemerintah provinsi Aceh. Undang-undang baru ini telah merubah defi nisi dana otsus. Istilah dana otsus kini hanya digunakan untuk dana yang diterima dari alokasi 2 persen DAU nasional. Nama “dana otonomi khusus” dari tambahan bagi hasil migas itu telah berubah menjadi “dana bagi hasil migas”.

Bagi hasil pajak lainnya

Pemerintah daerah berhak memperoleh bagian dari pendapatan pajak provinsi. Pemerintah daerah menerima 30 persen dari pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air provinsi serta bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air; dan 70 persen dari pajak bahan bakar kendaraan bermotor dan pajak pemakaian air (bawah tanah dan permukaan).

Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah hibah tidak bersyarat (block grant) yang dirancang untuk menyamakan kemampuan fi skal pemerintah-pemerintah daerah. DAU ditransfer setiap bulan dan langsung dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dana ini dialokasikan berdasarkan rumus nasional yang terdiri dari kesenjangan fi skal dan alokasi dasar. Kesenjangan fi skal diperoleh dari selisih antara kebutuhan fi skal dan kemampuan fi skal masing-masing daerah. Kebutuhan fi skal memperhitungkan berbagai variabel seperti penduduk, luas wilayah, produk domestik bruto daerah (PDB daerah) per kapita, dan indeks pembangunan manusia. Kemampuan fi skal diukur dari pendapatan asli daerah dan porsi bagi hasil daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan pembelanjaan anggaran untuk gaji pegawai negeri sipil di daerah terkait.

DAU dibagikan ke daerah dengan perbandingan 10 persen untuk provinsi dan 90 persen untuk pemerintah daerah.15 Alokasi DAU antar pemerintah daerah diperoleh dengan mengalikan bobot setiap pemerintah daerah dengan jumlah total DAU untuk semua pemerintah daerah. Bobot itu sendiri ditentukan dari perbandingan kesenjangan fi skal pemerintah daerah yang bersangkutan dengan total kesenjangan fi skal semua pemerintah daerah.

Dana Alokasi Khusus (DAK)

Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah hibah bersyarat yang mencerminkan prioritas nasional yang disediakan untuk membiayai kebutuhan khusus daerah-daerah yang tidak tercakup dalam rumus DAU. DAK tidak dapat digunakan

15 Berdasarkan Peraturan Pemerintah PP 55/2005.

Page 43: Official PDF , 178 pages

ALIRAN DANA DAN PROSES ANGGARAN 21

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

untuk penelitian, administri, maupun perjalanan dinas. Sumber DAK adalah anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN). Kecuali untuk daerah-daerah yang memiliki kemampuan keuangan terbatas, suatu daerah harus menyediakan dana pendamping (matching grant) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sebesar minimal 10 persen dari anggaran proyek. DAK ditransfer setiap triwulan berdasarkan perkembangan proyek. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, DAK ditransfer langsung ke pemerintah provinsi dan daerah. Di Aceh, Qanun No. 4/2002 menetapkan bahwa DAK ditransfer oleh pemerintah daerah ke provinsi, yang selanjutnya bertanggung jawab membagikannya kepada pemerintah-pemerintah daerah. Mulai tahun 2003, DAK mencakup beberapa sektor seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan sarana pemerintah (untuk pemerintah daerah yang baru terbentuk).

Dana Dekonsentrasi dan Darurat

Di samping ketiga jenis transfer yang disebutkan di atas, daerah juga menerima dana dekonsentrasi (Dekon) dari pemerintah pusat.16 Dana dekon dapat dianggap sebagai pendapatan untuk pemerintah provinsi dan daerah, karena pelaksanaannya yang sebenarnya adalah di daerah.17 Dana tersebut ditransfer ke provinsi berdasarkan prioritas pemerintah pusat dalam bentuk pembelanjaan untuk pembangunan yang tidak termasuk pembelanjaan rutin/berulang instansi-instansi vertikal di daerah tersebut untuk proyek non-fi sik. UU No. 33/2004 menyebutkan bahwa provinsi dapat meminta dana darurat dari pemerintah pusat untuk membiayai kebutuhan luar biasa dan mendesak, seperti bencana alam, yang tidak dapat ditutup oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Meskipun program ini dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan daerah, dana dekon tidak dicatat dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), melainkan dalam anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN). Pemerintah provinsi dan daerah melaporkan pembelanjaan mereka, dan bertanggung jawab langsung ke pemerintah pusat.

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Undang-undang desentralisasi yang direvisi telah memberikan kesempatan kepada pemerintah - pemerintah daerah untuk memperluas basis pendapatannya, terutama dari pajak. UU No. 33/2004 memungkinkan pajak daerah, pungutan daerah, pendapatan dari badan usaha milik daerah, dan pendapatan daerah lainnya yang memenuhi ketentuan. Di Aceh, UU No. 18/2001 menambahkan satu komponen lagi yaitu zakat sebagai salah satu sumber pendapatannya.18 Secara keseluruhan, pengaturan tentang pajak daerah didasarkan pada UU No. 34/2000 dan peraturan-peraturan pemerintah (PP 65/2001 dan 66/2001) tentang pajak dan pungutan daerah.

Proses Anggaran

Ada lima peraturan perundang-undangan yang mengatur proses anggaran dan akuntabilitasnya, yaitu UU No. 17/2003, UU No. 15/2004, UU No. 32/2004, UU No. 33/2004, dan Keputusan Menteri No. 29/2002. Proses anggaran dimulai pada bulan Januari tahun sebelumnya dengan disusunnya rencana kerja daerah (RKPD) oleh pemerintah daerah untuk dijadikan dasar kebijakan umum anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Pada pertengahan Juni, pemerintah daerah mengajukan kebijakan umum APBD kepada DPRD. Dalam minggu pertama bulan Oktober, pemerintah daerah mengajukan rancangan APBD kepada DPRD dalam bentuk peraturan daerah (Perda). DPRD bersama dengan pemerintah daerah hendaknya menyepakati rancangan APBD paling tidak satu bulan sebelum dimulainya tahun anggaran (gambar B4).

16 Perincian pengaturan untuk dana dekonsentrasi ditetapkan dalam UU No. 33/2004.

17 Dana dekonsentrasi adalah pembelanjaan pembangunan pemerintah pusat di daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi atau daerah sebagai bagian dari tanggung jawab departemen teknis. Tujuan utamanya adalah membiayai fungsi-fungsi dan kegiatan pemerintah pusat yang terkait dengan prioritas nasional dengan membiayai aset non-fi sik (dekonsentrasi) dan aset fi sik (tugas pembantuan).

18 Zakat adalah jumlah uang yang wajib dibayarkan oleh setiap pemeluk agama Islam dewasa yang waras, bebas dan mampu, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menunjang orang-orang dari golongan tertentu (fakir miskin dan mereka yang membutuhkan). Jumlah uang yang perlu dibayarkan adalah 2,5 persen dari penghasilan orang yang bersangkutan, yang dapat dibayarkan setiap bulan atau pun setiap tahun..

Page 44: Official PDF , 178 pages

ALIRAN DANA DAN PROSES ANGGARAN22

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Evaluasi anggaran dimulai dengan pemaparan pelaksanaan anggaran semester pertama dan perkiraan semester kedua kepada DPRD pada akhir bulan Juli tahun anggaran tersebut. Ketika tahun anggaran berakhir, pelaksanaan APBD diperiksa oleh BPK dan laporan pemeriksaannya disampaikan kepada DPRD dalam waktu 2 bulan setelah APBD diterima. Terakhir, kepala daerah mengajukan rancangan Perda dan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD untuk disetujui, selambat-lambatnya enam bulan setelah akhir tahun anggaran yang bersangkutan (gambar B5).

Pada prakteknya, proses anggaran seringkali tidak mengikuti rencana waktu yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Suatu studi tahun 2005 tentang kemampuan pemerintah daerah di 10 kabupaten yang terkena tsunami menunjukkan bahwa untuk menerima persetujuan anggaran dari DPRD diperlukan waktu rata-rata 4 bulan. Menurut ketentuan, anggaran seharusnya diajukan ke DPRD bulan Oktober dan disetujui oleh DPRD sebelum tahun anggaran yang baru dimulai. Di beberapa kabupaten, anggaran diajukan setelah tahun anggaran baru dimulai dan baru disetujui pada bulan Juni. Simeulue dan Banda Aceh melaporkannya pada bulan Agustus 2005. Tertundanya pengajuan dan persetujuan anggaran umum terjadi di Aceh sebelum tsunami, yang menunjukkan perlunya peningkatan koordinasi antara eksekutif dan legislatif untuk memenuhi rencana waktu proses anggaran.

Perencanaan anggaran dari bawah (bottom up) dan proses anggaran yang tepat waktu diperlukan guna mencapai tujuan dan sasaran pembangunan daerah. Beberapa masalah utama penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang perlu ditanggapi adalah:

Ketidaksetaraan antara dana alokasi dan hasil pembangunan di berbagai daerah.Kurangnya korelasi antara rencana pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, program pembangunan daerah, dan rencana strategis.Kesenjangan sektoral dan geografi s: Alokasi dana publik lintas sektoral maupun antar daerah hendaknya memenuh kebutuhan masyarakat.

Format Anggaran Baru

Keputusan Menteri. 29/2002 (Kepmen 29) merubah format anggaran pemerintah daerah. Format anggaran yang baru ini khususnya merubah struktur pembelanjaan, sementara struktur pendapatan relatif tetap sama. Format pendapatan yang baru tidak memasukkan sisa kas (carry over) dan rekening pinjaman, dan mengikuti struktur anggaran gabungan yang menggolongkan pembelanjaan menjadi aparat pemerintah dan pembelanjaan publik. Di samping itu, format anggaran yang baru memiliki rekening pinjaman yang terpisah, yang mencakup semua transaksi pinjaman, cadangan, dan arus keuangan lainnya seperti transfer dari/ke dana cadangan dan penjualan/perolehan aset keuangan (Gambar 2.4).19 Yang termasuk butir-butir pendapatan yang kini dipertimbangkan sebagai arus masuk penyedia biaya adalah pinjaman dan sisa (carry over) dari tahun sebelumnya. Dari pembelanjaan-pembelanjaan yang dianggap membiayai arus keluar, terdapat sisa yang diteruskan ke tahun berikutnya dan pembayaran modal pinjaman.

19 Format anggaran yang baru diadopsi oleh pemerintah provinsi dan daerah Aceh tahun 2003. Pada tingkat nasional, format anggaran diadopsi oleh 197 dari 334 pemerintah daerah yang mengajukan anggaran kepada Depkeu pada tahun 2003.

••

Page 45: Official PDF , 178 pages

ALIRAN DANA DAN PROSES ANGGARAN 23

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 2.4. Format anggaran lama vs. baruFormat Lama Format Baru

1. Pendapatan 1. Pendapatan

- Sisa kas (carry-over) dari tahun sebelumnya

- Pendapatan Asli Daerah - Pendapatan Asli Daerah

- Dana Perimbangan - Dana Perimbangan

- Pinjaman Daerah

- Pendapatan lain - Pendapatan Lain

2. Pembiayaan

2. Pembelanjaan 3. Pembelanjaan

2.1. Pembelanjaan Rutin 3.1. Pembelanjaan Aparat

- Administrasi Umum

- Operasional dan Perawatan

- Modal

2.1. Pembelanjaan Pembangunan 3.2. Pembelanjaan Publik

- Administrasi Umum

- Operasional dan Perawatan

- Modal

Sumber: Analisis Pembelanjaan Publik Papua, Pemerintah Daerah Papua, dan Bank Dunia 2005.

Format pembelanjaan yang baru ini mempengaruhi struktur anggaran daerah secara signifi kan karena meningkatkan fokus pada penerima manfaat dan bukan program/proyek. Berdasarkan struktur yang baru tersebut, pembelanjaan untuk kegiatan/program yang menguntungkan masyarakat luas akan dilaporkan sebagai pembelanjaan publik, sementara pembelanjaan untuk program-program yang dialokasikan untuk aparat pemerintah akan dilaporkan sebagai pembelanjaan aparat. Diharapkan bahwa dengan format baru ini, duplikasi anggaran kegiatan atau proyek dapat dihindari dan analisis yang lebih baik dapat dilakukan. Meskipun demikian, jika tidak diberikan panduan yang jelas mengenai cara menggolongkan pos-pos berdasarkan format anggaran baru ini, analisis keuangan dan pembelanjaan publik dapat menjadi bermasalah, dan hasil yang optimum mungkin tidak tercapai.

Page 46: Official PDF , 178 pages

ALIRAN DANA DAN PROSES ANGGARAN24

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Page 47: Official PDF , 178 pages

3Penerimaan dan Pembiayaan

Page 48: Official PDF , 178 pages

ALIRAN DANA DAN PROSES ANGGARAN26

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Penerimaan

Gambaran keseluruhan penerimaan Aceh

Aceh adalah salah satu penerima manfaat utama desentralisasi dan dana daerah; antara tahun 1999-2006, total penerimaan daerah naik lebih dari 5 kali lipat. Seperti halnya di bagian lain Indonesia, penerimaan pemerintah daerah Aceh naik secara signfi kan sejak peraturan desentralisasi tahun 1999. Kenaikan tambahan bagi pendapatan daerah datang ketika Aceh memperoleh status Otonomi Khusus pada tahun 2001. Setelah bencana tsunami tahun 2004, Aceh menerima dana rekonstruksi dan rehabilitasi yang besar dari masyarakat dan donor di dalam maupun luar negeri. Tahun 2006, alokasi dana untuk rekonstruksi dan rehabilitasi diperkirakan mencapai sekitar AS$ 1,8 milyar (16 triliun rupiah). Pendapatan Aceh sebelum dan sesudah desentralisasi, dan sesudah tsunami, serta tren pendapatan pemerintah daerah di Aceh digambarkan pada Gambar 3.1 dan Gambar 3.2.

Gambar 3.1. Penerimaan Aceh sebelum dan sesudah desentralisasi, dan setelah tsunami, 1999–2006

3

9 11

5

11

2 1

2

1

0

5

10

15

20

25

30

35

1999 2002 2006

Tri

liun

Rup

iah

Dekonsentrasi/pusat Anggaran rekonstruksi Pemerintah daerah

Donors & NGOs

BRR ke provinsi

BRR ke kab/kota

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu, BPS-SK, dan BRR. Data riil (harga konstan 2006).

Gambar 3.2. Penerimaan pemerintah daerah di Aceh naik pesat setelah desentralisasi, 1994-2006

-

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

19

94

19

95

19

96

19

97

19

98

19

99

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

_pla

n

20

06

_pla

n

Mily

ar R

upia

h

Harga Konstan 2006 Harga Berlaku

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS-SK.

Dari segi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), Aceh termasuk salah satu provinsi terkaya di Indonesia, terlebih lagi dalam perhitungan per kapita. Meskipun penduduk Aceh hanya 4,1 juta jiwa, provinsi ini menerima pendapatan 8,4 triliun rupiah pada tahun 2004. Sebagai perbandingan, Jawa Timur, yang berpenduduk

Page 49: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 27

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

lebih dari 37 juta jiwa, menerima 18 triliun rupiah. Dari segi pendapatan per kapita, Aceh termasuk dalam ketiga daerah teratas di Indonesia, hanya kalah dari Papua dan Kalimantan Timur (Gambar 3.3).

Gambar 3.3. Pendapatan per kapita Aceh termasuk yang tertinggi di Indonesia

0

1

2

3

4

Pro

p. P

ap

ua

Pro

p. K

alim

an

tan T

imu

r

Pro

p. A

ce

h

Pro

p. R

iau

Pro

p. K

alim

an

tan Te

ng

ah

Pro

p. M

alu

ku Uta

ra

Pro

p. M

alu

ku

Pro

p. G

oro

nta

lo

Pro

p. B

an

gka B

elitu

ng

Pro

p. Ja

mb

i

Pro

p. S

ula

we

si Ten

ga

h

Pro

p. B

ali

Pro

p. K

alim

an

tan S

ela

tan

Pro

p. S

ula

we

si Ten

gg

ara

Pro

p. N

usa Te

ng

ga

ra Tim

ur

Pro

p. S

ula

we

si Uta

ra

Pro

p. S

um

atra B

ara

t

Pro

p. B

en

gku

lu

Pro

p. S

ula

we

si Se

lata

n

Pro

p. K

alim

an

tan B

ara

t

Pro

p. Y

og

yaka

rta

Ind

on

esia

Pro

p. S

um

atra S

ela

tan

Pro

p. S

um

atra U

tara

Pro

p. N

usa Te

ng

ga

ra Ba

rat

Pro

p. L

am

pu

ng

Pro

p. Ja

wa T

imu

r

Pro

p. Ja

wa T

en

ga

h

Pro

p. B

an

ten

Pro

p. Ja

wa B

ara

t

Juta

Rup

iah

Provinsi Kab/kota

Aceh

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu, 2004.

Kenaikan pendapatan daerah Aceh sebagian besar berasal dari dana perimbangan (transfer), yang naik lebih dari 3 kali lipat secara riil dari tahun 1999 sampai 2006, dari 2,2 triliun rupiah menjadi 10,4 triliun (Tabel 3.1). Peran transfer antar pemerintah selama ini signifi kan terhadap anggaran pemerintah daerah baik sebelum maupun sesudah desentralisasi. Dari tahun 1997 sampai 2000, transfer merupakan 91 persen total pendapatan di Aceh, suatu angka yang tetap tinggi setelah desentralisasi, yaitu rata-rata 87 persen. Provinsi Aceh menerima bagi hasil non-pajak yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan pemerintah daerah, terutama sejak tahun 2002. Pelaksanaan Otonomi Khusus pada tahun 2002 berarti bahwa dana bagi hasil non-pajak yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan ditransfer ke rekening provinsi. Meskipun demikian, komposisi pendapatan keseluruhan menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki sumber daya yang lebih banyak baik sebelum maupun sesudah pelaksanaan desentralisasi.

Tabel 3.1. Komposisi pendapatan pemerintah provinsi dan daerah di Aceh, 1999–2006 (milyar Rp)

1999 2002 2006 (proyeksi)

Prov. Kab/Kota Total Prov. Kab/Kota Total Prov. Kab/Kota Total

PAD 78 107 185 160 146 306 148 133 281

Bagi hasil pajak 49 203 252 72 260 333 108 473 582

Bagi hasil non-pajak

18 8 26 2,078 1,335 3,413 2,006 2,156 4,161

SDO 98 779 877

INPRES 353 732 1,085

DAU 260 3,583 3,842 461 4,560 5,021

DAK 0.34 122 12 0 593 593

Lain-lain 44 653 697 147 341 488

Total 596 1,829 2,425 2,615 6,098 8,713 2,870 8,255 11,125Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS-SK. Data riil (harga konstan 2006).

Page 50: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN28

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Sumber pendapatan Aceh yang terpenting adalah DAU dan bagi hasil. Sejak tahun 2001, sumber-sumber pendanaan ini menyumbangkan rata-rata 44 persen dan 41 persen dari total pendapatan. Kenaikan pendapatan dari sumber-sumber lain setelah desentralisasi mungkin disebabkan oleh pengaturan bagi hasil pajak yang baru antara pemerintah pusat, provinsi dan daerah. Pendapatan Asli Daerah adalah sumber dana terkecil dan hanya menyumbangkan 4 persen dari total pendapatan. Kecilnya pangsa pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan tersebut menandakan bahwa pemerintah daerah masih perlu memperbaiki efektivitas dan efi siensi sistem pengumpulannya. Meskipun demikian, walaupun masih merupakan penyumbang terkecil, pendapatan asli daerah juga telah mengalami peningkatan yang berarti dari tahun 1999-2006.

Tabel 3.2. Persentase berbagai sumber pendapatan terhadap total pendapatan daerah di Aceh, 1997–2005

1997 1998 1999 2000% rata-

ratapra.des.

2001 2002 2003 2004 2005% rata-

rata pasca des.

Pendapatan Asli Daerah

10 10 8 6 8 3 4 3 5 4 4

Bagi Hasil 18 17 11 8 14 29 43 45 44 45 41

SDO 39 39 36 31 36

INPRES 33 33 45 55 42

DAU 63 44 33 37 42 44

DAK 1 1 3 3 3 2

Lain-lain 0.15 0.02 0.02 0.10 0.07 4 8 16 11 6 9

Total transfer 90 90 92 94 91 93 88 81 84 90 87

Total pendapatan 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS-SKCatatan: * = pada tahun 2003, jumlah “pendapatan lain-lain” sangat tinggi. Mungkin bahwa sebagian jumlah itu adalah bagi hasil. Maka diasumsikan bahwa 15 persen saham dari “pendapatan lain” dialokasikan untuk bagi hasil.

Dalam hal bagi hasil sumber daya alam, Aceh menerima alokasi terbesar ketiga. Hanya tiga provinsi yang menerima bagi hasil sumber daya alam dalam jumlah yang sangat besar. Kedua provinsi yang lain adalah Kalimantan Timur dan Riau (Gambar 3.4). Dari total 4,6 triliun rupiah bagi hasil di tahun 2004, sekitar 4 triliun disumbangkan oleh porsi sumber daya alam. Hanya 561 milyar rupiah berasal dari pembagian pajak. Setelah pelaksanaan otonomi khusus, volume bagi hasil sumber daya alam di Aceh meningkat dari 26 milyar rupiah pada tahun 1999 menjadi 3,4 triliun pada tahun 2002, dan lebih dari 4 triliun rupiah pada tahun 2004, yang berarti naik lebih dari 100 kali lipat.

Page 51: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 29

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 3.4. Aceh memiliki alokasi terbesar ketiga dari bagi hasil sumber daya alam, 2004

0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000

DI YogyakartaBanten

BaliGorontaloBengkulu

Nusa Tenggara TimurSulawesi Utara

Sulawesi TengahSulawesi Tenggara

Kalimantan BaratMaluku

Jawa TengahJawa Timur

Sumatera BaratSumatera UtaraIrian Jaya Barat

Sulawesi SelatanMaluku Utara

DKI JakartaKalimantan Tengah

Bangka BelitungJambi

Nusa Tenggara BaratPapua

Kalimantan SelatanLampung

Kepulauan RiauJawa Barat

Sumatera SelatanNADRiau

Kalimantan Timur

Milyar rupiah

Sumber: Depkeu; perkiraan staf Bank Dunia, harga berlaku

Disparitas dan ketidaksetaraan fi skal

Meskipun Aceh termasuk daerah yang memiliki pendapatan per kapita tertinggi, disparitas pembagian pendapatan per kapita antar pemerintah daerah cukup signifi kan. Pada tahun 2004, salah satu kabupaten terkaya (Kota Sabang) memiliki pendapatan (per kapita) hampir 6 kali lipat dari kabupaten termiskin (Kab. Bireuen) (Gambar 3.5).

Gambar 3.5. Kabupaten/kota di Aceh memiliki tingkat disparitas pendapatan per kapita yang besar, 2004

0 500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000 4,500 5,000

Bireuen

Pidie

Aceh Tamiang

Aceh Tengah

Aceh Timur

Kota Banda Aceh

Aceh Besar

Aceh Jaya*

Kota Langsa

Aceh Selatan

Aceh Tenggara

Aceh Barat

Aceh Barat Daya

Nagan Raya

Kota Lhokseumawe

Aceh Utara

Gayo Lues

Kota Sabang

Ribu Rupiah

Bagi has i l per kapi ta Pendapatan (selain bagi hasil per kapita)

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu.Catatan: Data tersedia untuk 18 dari 21 pemerintah daerah.* = data tahun 2003.

Page 52: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN30

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Seperti halnya di daerah-daerah lain Indonesia, kabupaten-kabupaten di Aceh mengalami ketidaksetaraan yang signifi kan dalam hal alokasi pendapatan dari minyak dan gas bumi. Alokasi pendapatan migas tahun 2004 menunjukkan bahwa sebagai kabupaten penghasil, Kab. Aceh Utara menerima lebih dari 15 kali lipat alokasi pendapatan migas Aceh Pidie, yang merupakan kabupaten non-penghasil (Gambar 3.6). Namun demikian, daerah-daerah non-penghasil lainnya, seperti Kota Sabang, menerima alokasi per kapita pendapatan migas yang besar.

Gambar 3.6. Alokasi migas per kapita antara kabupaten/kota di Aceh, 2004

0 100 200 300 400 500 600 700

Kab. Aceh Pidi e

Kab. Bi reuen

Kab. Aceh Besar

Kab. Aceh Tengah

Kota Banda Aceh

Kab. Aceh Tamiang

Kab. Aceh Selata n

Kab. Aceh Tenggara

Kab. Aceh Bara t

Kab. Aceh Singki l

Kota Lhokseumawe

Kota Langs a

Kab. Aceh Timur

Kab. Aceh Raya

Kab. Aceh Barat Daya

Kab. Aceh Jaya

Kab. Simeuleu

Kab. Gayo Lue s

Kota Sabang

Kab. Aceh Utar a

Ribu rupiah

Sumber: Depkeu, perkiraan staf Bank Dunia.

Alokasi DAU antar pemerintah daerah seharusnya mengurangi ketidaksetaraan yang timbul karena bagi hasil. Pada kenyataannya, sebagai hibah, DAU tidak menyinggung ketidakseimbangan pendapatan antar kabupaten. Untuk menutupi ketidakseimbangan, daerah-daerah yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi seharusnya menerima transfer DAU yang lebih tinggi. Saat ini praktis tidak ada hubungan antara tingkat kemiskinan dan jumlah DAU yang diterima kabupaten. Daerah yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi tidak menerima transfer yang jauh lebih tinggi dari daerah-daerah yang memiliki tingkat kemiskinan lebih rendah (Gambar 3.7).

Gambar 3.7. Hubungan antara DAU per kapita dan tingkat kemiskinan di kabupaten-kabupaten di Aceh, 2004–05

0

500,000

1,000,000

1,500,000

2,000,000

2,500,000

3,000,000

3,500,000

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Tingkat Kemiskinan 2004

Kota Sabang

DA

U p

er k

apita

200

5

Sumber: perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu dan BPS.

Page 53: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 31

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Proyeksi Pendapatan

Menurut UU Pemerintahan Aceh, yang disahkan bulan Agustus 2006, pada tahun 2008 nanti Aceh akan mulai menerima pendapatan tambahan. Sumber baru pendapatan ini adalah 2 persen dari alokasi DAU nasional selama 15 tahun disusul dengan 1 persen dari alokasi DAU nasional selama 5 tahun berikutnya (sampai 2028). Dana tambahan ini dimaksudkan untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, serta pemberdayaan sektor ekonomi, pendidikan, sosial dan kesehatan. Undang-undang baru ini juga merevisi bagi hasil migas antara pemerintah pusat dan daerah. Aceh akan terus menerima 70 persen dari pendapatan migas. Tetapi dana dari pendapatan sumber daya alam mungkin akan turun, karena berkurangnya produksi minyak dan gas bumi. Dengan memperhitungkan dana tambahan tersebut, pendapatan Aceh diproyeksikan akan meningkat mulai tahun 2008. Pendapatan diperkirakan akan naik menjadi 14 triliun rupiah lebih pada tahun 2009. Dana tambahan 2 persen dari alokasi DAU akan sedikit menutupi pendapatan yang menurun dari produksi minyak dan gas bumi (Gambar 3.8).

Gambar 3.8. Proyeksi pendapatan Aceh tahun 2008 dengan dan tanpa alokasi DAU 2%

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Triliu

n R

upia

h (h

arga

kon

stan

200

6)

Total penerimaan dengan dana otsus ($75/brl) Total penerimaan dengan dana otsus ($60/brl)Total penerimaan dengan dana otsus ($50/brl) Total penerimaan dengan dana otsus ($60/brl)

Tambahan Penerimaan UUP A No 11/2006

Proyeksi

Angka sebenarnya

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD/Depkeu dan PT Arun LNG.

Karena minyak dan gas bumi adalah sumber daya alam utama Aceh, pendapatan bagi hasil akan berkurang menjadi hampir 4 triliun rupiah pada tahun 2007 dan akan merosot tajam menjadi 3,5 triliun rupiah atau kurang dari itu setelah tahun 2009 (Gambar 3.9). Penurunan ini akan ditutupi oleh DAU yang terus bertambah serta pendapatan lainnya.

Gambar 3.9. Kepekaan harga minyak terhadap bagi hasil sumber daya alam (triliun Rp)

0

1

2

3

4

5

2006 2007 2008 2009 2010 2011

Tri

liun

Rup

iah

Bagi has i l dengan A S$ 50/bare l Tambahan AS$10 Tambahan AS$15

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD/Depkeu dan PT Arun LNG.

Page 54: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN32

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Seperti daerah-daerah lain di Indonesia, Aceh belum mengalami peningkatan PAD setelah desentralisasi fi skal. Pajak besar tetap menjadi bagian pemerintah pusat. Sebagai contoh, pajak bumi dan bangunan (PBB), yang di negara lain sudah banyak didesentralisasi, masih dipungut oleh pemerintah pusat dan kemudian ditransfer ke provinsi. Sebelum desentralisasi, PAD menyumbangkan kurang dari 6 persen terhadap pendapatan pemerintah kabupaten/kota dan 19 persen dari total pendapatan provinsi.

PAD provinsi bertambah setelah desentralisasi namun mengalami penurunan tajam pada tahun 2005. Menyusutnya PAD pada tahun 2005 adalah akibat dari bencana tsunami, yang mempengaruhi banyak basis pajak potensial dan menghambat pengumpulan pajak. Kenaikan PAD setelah desentralisasi terutama digerakkan oleh perluasan basis pajak oleh pajak kendaraan bermotor dan penambahan pajak pemakaian air bawah tanah dan permukaan. Di antara PAD provinsi, pajak provinsi secara konstan menjadi penyumbang utama, dengan nilai lebih dari 2/3 total PAD. Kategori “PAD lain yang memenuhi ketentuan” (jasa giro dan sumbangan pihak ketiga), yang merupakan penyumbang terbesar kedua, telah banyak meningkat sejak desentralisasi (tabel 3.3).20

Tabel 3.3. Komposisi PAD provinsi di Aceh

Pendapatan asli daerah

1999 2002 2003 2004 2005

Milyar Rp % Milyar

Rp % Milyar Rp % Milyar

Rp % Milyar Rp %

Pajak Provinsi 70,216 90 125,400 78 141,322 84 212,663 70 132,673 81

Retribusi 4,017 5 5,615 4 5,349 3 5,929 2 3,249 2

Laba dari BUMD 171 0 2,388 1 2,545 2 2,818 1 2,610 2

PAD lainnya 3,563 5 26,585 17 19,155 11 83,807 27 24,527 15

Total 77,967 100 159,988 100 168,371 100 305,207 100 163,060 100Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD/Depkeu dan basis data Desentralisasi Bank Dunia. Data riil (harga konstan 2006).

Bea balik nama kendaraan bermotor adalah penyumbang utama pajak provinsi. Pada tahun 2004 bea balik nama kendaraan bermotor menyumbangkan 46% dari pajak provinsi keseluruhan, disusul oleh pajak kendaraan bermotor (31 persen) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (20 persen). Pajak lampu jalan memainkan peran besar dalam hal pajak pemerintah daerah di Aceh. Pajak lampu jalan menyumbangkan lebih dari 70 persen pajak setempat, disusul dengan pajak hotel dan restoran, dan pajak pengangkatan dan pengolahan sumber daya tambang tipe C.

PAD pemerintah daerah naik setelah desentralisasi, tetapi menurun pada tahun 2004 dan 2005 akibat konfl ik dan tsunami. Komposisi PAD pemerintah daerah juga berubah setelah desentralisasi. Sebelum desentralisasi, pajak daerah menyumbangkan lebih dari 70 persen total PAD pemerintah daerah. Peran pajak daerah dalam total pengumpulan pajak berkurang setelah desentralisasi sementara “PAD lain yang memenuhi ketentuan” semakin penting (Tabel 3.4).

20 Sumbangan pihak ketiga dapat berupa hibah dari donor, NGO, atau swata yang disumbangkan langsung ke pemerintah daerah, dan kontribusi dari kontraktor sejumlah 5 persen dari nilai proyek. Jasa giro dapat mengenakan pajak atas transaksi perbankan dan bunga bank dari simpanan pemerintah daerah.

Page 55: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 33

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel 3.4. Komposisi PAD pemerintah daerah di Aceh

Pendapatan asli daerah

1999 2002 2003 2004 2005

Rp mio % Rp mio % Rp mio % Rp mio % Rp mio %

Pajak Daerah 76,879 72 42,319 29 37,207 21 45,587 23 44,273 26

Retribusi 29,846 28 42,841 29 32,393 18 41,093 21 39,588 24

Laba dari BUMD 212 0.20 3,824 3 2,862 2 5,118 3 6,433 4

PAD Lainnya 0 0 56,535 39 108,022 60 104,503 53 77,976 46

Total 106,938 100 145,519 100 180,484 100 196,302 100 168,269 100

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD/Depkeu dan basis data Desentralisasi Bank Dunia. Data riil (harga konstan 2006).

Kecilnya kontribusi pajak daerah terhadap PAD mungkin dikarenakan rendahnya tingkat tarif. Beberapa kabupaten dan kota telah mulai melakukan penyesuaian tingkat tarif dengan merevisi peraturan-peraturan daerah yang sudah ketinggalan jaman. Penyesuaian tarif ini telah diterapkan di beberapa pemerintah daerah, seperti Kab. Aceh Tamiang, Kab. Aceh Timur, Kota Langsa, Kab. Bener Meriah, dan Kab. Aceh Tengah. Pengumpulan pajak telah naik seiring membaiknya keamanan dan iklim investasi sejak penandatanganan perjanjian damai.

UU No. 18/2001 secara resmi mencantumkan zakat sebagai sumber PAD bagi pemerintah provinsi dan daerah. Namun pada prakteknya, zakat belum disertakan sebagai PAD dalam anggaran mereka karena 4 alasan:

1. Banyak pemerintah daerah masih belum membentuk badan penyelenggara zakat (Baitul Mal).2. Masyarakat tidak yakin apakah pajak yang mereka bayar itu disalurkan dengan semestinya kepada ke-8

asnaf (penerima zakat menurut hukum Islam)3. Badan penyelenggara zakat tidak memiliki sumber daya, informasi dan teknologi.4. Apakah zakat seharusnya dicatat oleh pemerintah daerah sebagai bagian dari pendapatan pemerintah

masih belum jelas. Menurut syariah Islam, zakat seharusnya tidak menjadi pendapatan pemerintah. Meskipun demikian, Pemerintah Daerah Aceh mengakui zakat sebagai pendapatan pemerintah.

Sejauh ini, pengelolaan dan administrasi zakat dijalankan oleh organisasi-organisasi Islam individu, kantor pemerintah daerah, BUMD, dan perusahaan swasta. Pemerintah daerah pada umumnya mengumpulkan zakat sebagai 2,5 persen dari gaji bulanan pegawai pemerintah.

Terdapat tingkat disparitas PAD per kapita yang tinggi antar pemerintah daerah. Kota Sabang memiliki PAD per kapita lebih dari 15 kali lebih tinggi daripada Kab. Pidie. Pemerintah daerah yang memiliki PAD per kapita lebih tinggi tampaknya cenderung merupakan wilayah kota. Hasil temuan ini dapat mengisyaratkan bahwa struktur pajak dan pungutan daerah yang ada saat ini menguntungkan daerah perkotaan (Gambar 3.10). Konfl ik antara GAM dan Pemerintah RI telah menjadi penghambat besar bagi pertumbuhan PAD di wilayah ini. Konfl ik tersebut sangat membatasi semua kegiatan ekonomi, sehingga berdampak negatif bagi PAD secara keseluruhan. Konfl ik juga menghalangi pejabat pemerintah untuk memungut pajak.

Page 56: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN34

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 3.10. PAD per kapita antar pemerintah daerah di Aceh, 2004

0

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

Kota Sabang

Kab. Aceh

Utara

Kota Lhokseumawe

Kota Banda

Aceh

Kab. Gayo

Lues

Kab. Aceh Barat

Kab. Aceh Tenggara

Kab. Aceh Tengah

Kab. Aceh Barat Daya

Kab. Nagan Raya

Kab. Aceh Selatan

Kota Langsa

Kab. Aceh Tamiang

Kab. Aceh Besar

Kab. Aceh Timur

Kab. Bireuen

Kab. Pidie

Kab. Aceh

Jaya*

Pajak Daerah Restribusi Keuntungan BUMD Penerimaan Lainnya

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD/Depkeu dan basis data Desentralisasi Bank Dunia.Catatan: * = data tahun 2003.

Pembentukan kabupaten baru juga menimbulkan masalah dalam hal pembagian sumber-sumber PAD antara pemerintah daerah lama dan baru. Alasannya ada tiga. Pertama, ada pembagian pengelolaan aset dan administrasi pajak yang tidak jelas antara pemerintah daerah yang lama dan baru. Pemerintah daerah yang lama masih mengumpulkan pajak, sementara secara administratif aset-aset ini telah diberikan kepada dan terletak di wilayah pemerintahan daerah yang baru. Sebagai contoh, Kabupaten Aceh Tamiang yang baru dibentuk itu belum menerima bagian labanya yang ditahan dari pengoperasian PDAM21 dan pengelolaan sarang burung walet dari kabupaten asalnya (Aceh Barat), meskipun kegiatan tersebut dan pengelolaannya berada di wilayah Kab. Aceh Tamiang. Kedua, pemerintah daerah yang baru dibentuk seringkali kekurangan kemampuan administrasi dan pengumpulan pajak. Ketiga, pembentukan kabupaten baru telah menjauhkan pemerintah daerah semula dari sumber-sumber PAD yang potensial.

Bagi Hasil Pajak

Aceh menerima pendapatan yang meningkat dari bagi hasil pajak setelah desentralisasi dan pendapatannya diperkirakan akan naik dalam tahun mendatang. Antara tahun 1999-2001, pendapatan bagi pemerintah provinsi dan daerah dari bagi hasil pajak naik 60 persen. Sejak tahun 2001, pendapatan dari bagi hasil pajak berfl uktuasi, kemungkinan besar akibat dari kondisi keamanan yang tidak stabil. Bencana tsunami adalah satu lagi alasan menurunnya pendapatan bagi hasil pajak pada tahun 2005. Bencana tersebut merusak atau menghancurkan ribuan rumah dan usaha, yang semuanya merupakan sumber pajak bumi dan bangunan yang potensial, dan bea balik nama perumahan. Pendapatan provinsi dari bagi hasil pajak turun dari 81 milyar rupiah pada tahun 2003 menjadi 56 milyar rupiah pada tahun 2005. Pendapatan bagi hasil pajak pemerintah daerah mengalami kenaikan yang relatif besar pada tahun 2003 dan 2004. Meskipun demikian, jumlah itu menurun secara signifi kan dari sekitar 484 milyar rupiah pada tahun 2004 menjadi kurang dari 30 milyar rupiah pada tahun 2005 (Gambar 3.11).

21 Perusahaan Daerah Air Minum

Page 57: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 35

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 3.11. Bagi hasil pajak pemerintah provinsi dan daerah di Aceh

0

100

200

300

400

500

600

1999 2001 2002 2003 2004 2005

Juta

rup

iah

Provinsi Kabupaten/Kota

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu/SIKD (harga konstan 2006).

Meskipun pemerintah daerah telah menikmati pendapatan yang lebih tinggi dari bagi hasil pajak setelah desentralisasi, kontribusi bagi hasil pajak terhadap total pendapatan telah menurun selama tahun-tahun terakhir. Sebelum desentralisasi, bagi hasil pajak menyumbangkan lebih dari 8 persen total pendapatan provinsi; tahun 2005, bagi hasil pajak tersebut tercatat di bawah 2 persen. Demikian pula, kontribusi bagi hasil pajak bagi pendapatan pemerintah daerah turun dari 11 persen di tahun 1999 menjadi 6 persen di tahun 2005. Penurunan ini dapat dijelaskan dari kenaikan dana alokasi umum (DAU) pemerintah pusat ke pemerintah daerah pasca desentralisasi yang sangat menonjol (Tabel 3.5)

Tabel 3.5. Bagi hasil pajak pemerintah provinsi dan daerah di Aceh (milyar Rp)

Tahun

Provinsi Pemerintah daerah

Bagi hasil

pajak

Total pendapatan

Bagi hasil pajak terhadap total

pendapatan(%)

Bagi hasil

pajak

Total pendapatan

Bagi hasil pajak terhadap total

pendapatan(%)

1999 49 596 8.2 203 1,829 11.1

2001 77 961 8.0 327 5,515 5.9

2002 72 2,615 2.8 260 6,098 4.3

2003 81 3,103 2.6 318 7,019 4.5

2004 77 3,473 2.2 484 6,956 7.0

2005 56 3,376 1.7 343 5,705 6.0Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu/SIKD (harga konstan 2006)..

Dalam sejarahnya, PBB adalah sumber pendapatan bagi hasil pajak yang terpenting bagi provinsi. Sebelum desentralisasi, PBB merupakan hampir 90 persen dari total bagi hasil pajak provinsi. Sejak desentralisasi, kontribusi dari pajak penghasilan telah meningkat sampai kira-kira sepertiga total pendapatan bagi hasil pajak, yang juga meningkatkan pendapatan provinsi dan mengimbangi arti penting PBB (Gambar 3.12). PBB juga merupakan sumber terpenting pendapatan bagi hasil pajak bagi pemerintah daerah di Aceh. Pada tahun 1999, PBB merupakan hampir 90 persen dari total bagi hasil pajak. Perannya memang telah menurun sejak desentralisasi, namun PBB masih menyumbangkan lebih dari dua per tiga total bagi hasil pajak.

Page 58: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN36

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 3.12. Komposisi bagi hasil pajak provinsi, 1999–2004

Gambar 3.13. Komposisi bagi hasil pajak pemerintah daerah, 1999–2004

0%

20%

40%

60%

80%

100%

1999 2001 2002 2003 2004

(PBB) (BPHTB ) ( PPh ) Pembagian pajak lainnya

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

1999 2001 2002 2003 2004

(PBB) (BPHTB ) ( PPh )

Pajak bahan bakar Pembagian pajak lainnya

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu.

Terdapat disparitas yang besar antar kabupaten/kota di Aceh dalam bagi hasil pajak per kapita. Pidie memiliki bagi hasil pajak per kapita terkecil, yaitu 15 kali lebih rendah dari Sabang (Gambar 3.14). Peraturan daerah (Qanun No. 4/2002) tidak menyebutkan mekanisme pembagian yang jelas untuk bagi hasil pajak antar kabupaten/kota di Aceh. Satu-satunya panduan mengenai distribusi ditetapkan untuk bagi hasil pajak penghasilan. Distribusi bagi hasil pajak dari pajak bumi dan bangunan serta hak milik tanah dan bangunan tidak disebutkan. Pembagian itu tampaknya lebih menguntungkan daerah perkotaan dan kabupaten penghasil minyak dan gas bumi.

Gambar 3.14. Bagi hasil pajak per kapita antara pemerintah daerah di Aceh, 2004

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

Kab. Pidi eKab. Aceh Besar

Kab. Aceh Tengah Kab. Aceh Jaya*

Kab. Aceh Barat DayaKab. Aceh Tenggara

Kab. Aceh SelatanKota Banda Aceh

Kab. Gayo LuesKab. Aceh Bara t

Kab. Bir euenKota Langsa

Kab. Aceh Utar aKab. Aceh Timur

Kab. Aceh TamiangKota Loksumaw eKab. Nagan Raya

Kota Sabang

Ribu Rupiah

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS.Catatan: * = data tahun 2003.

Bagi hasil sumber daya alam (non-pajak)

Sebelum desentralisasi pajak, bagi hasil sumber daya alam yang diterima oleh pemerintah provinsi dan daerah sangat terbatas, baik dalam hal jumlah maupun jenis pendapatan. Sebelum desentralisasi, rata-rata bagi hasil dari sumber daya alam hanyalah 1,1 persen dari total pendapatan. Jumlah ini meningkat tajam setelah desentralisasi dan perluasan jenis sumber daya yang tercakup, hingga mencapai 4 triliun rupiah, atau 39 persen dari total pendapatan tahun 2004 (Gambar 3.15).

Page 59: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 37

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 3.15. Kecenderungan bagi hasil sumber daya alam di Aceh, 1994–2005

-

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Mily

ar R

upia

h

Provinsi Kab/kota

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu. Data bersifat riil (harga konstan 2006).

Perluasan jenis bagi hasil telah merubah komposisi bagi hasil sumber daya alam dan para penerima manfaatnya di Aceh. Sewa sumber daya hutan, yang dulunya merupakan kontributor utama bagi hasil sumber daya alam, telah digantikan oleh minyak dan gas bumi sebagai kontributor utama. Porsi sewa sumber daya kehutanan telah menurun secara signifi kan dari rata-rata 64 persen sebelum tahun 2001 menjadi 0,2 persen setelah desentralisasi. Sebaliknya, minyak dan gas bumi telah menjadi sumber utama bagi hasil dari sumber daya alam dengan pangsa rata-rata 26 persen untuk minyak dan 50 persen untuk gas bumi (Gambar B6).

Semua pemerintah daerah di Aceh menerima bagi hasil yang lebih tinggi dari sumber daya alam setelah desentralisasi. Rata-rata tertimbang per tahun untuk pemerintah daerah menunjukkan kenaikan dari 1,1 milyar rupiah menjadi 69 milyar rupiah. Sebagai daerah penghasil, Aceh Utara menjadi penerima utama bagi hasil sumber daya alam setelah desentralisasi, sementara Aceh Barat sebelumnya merupakan penerima manfaat terbesar (tabel B1). Sabang memiliki bagi hasil sumber daya alam per kapita tertinggi di antara pemerintah-pemerintah daerah di Aceh, disusul oleh Aceh Utara dan Gayo Lues. Seperti halnya pada bagi hasil pajak dan pendapatan asli daerah, bagi hasil sumber daya alam per kapita menunjukkan disparitas yang lebar antar pemerintah daerah (Gambar 3.16).

Gambar 3.16. Sumber daya alam per kapita antar kabupaten/kota di in Aceh, 2004

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1,000

Kab. Aceh Tengah

Kab. Bireuen

Kab. Pidie

Kota Banda Aceh

Kota Langs a

Kab. Aceh Besar

Kab. Aceh Tamiang

Kab. Aceh Selatan

Kab. Aceh Tenggara

Kab. Aceh Barat

Kota Loksumaw e

Kab. Aceh Timur

Kab. Aceh Barat Daya

Kab. Aceh Jaya*

Kab. Gayo Lues

Kab. Aceh Utara

Kota Sabang

Ribu Rupiah

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depkeu dan BPD.Catatan: *=data tahun 2003.

Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus)

Aceh mendapatkan manfaat yang besar dari status otonomi khusus dalam hal bagi hasil minyak dan gas yang lebih tinggi. Secara keseluruhan, Aceh menerima 70 persen bagi hasil dari minyak dan gas bumi, yang jauh di atas pengaturan pembagian nasional. Program khusus ini dipandang sebagai upaya untuk menyelesaikan konfl ik

Page 60: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN38

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

berkepanjangan di wilayah itu. Meskipun undang-undang otonomi yang lama disahkan pada tahun 2001, Aceh mulai menikmati pendapatannya yang besar dari migas pada tahun 2002. Rata-rata sekitar 70 persen pendapatan ini berasal dari bagi hasil gas; yang 30 persen lagi berasal dari bagi hasil minyak.

Dana otsus, salah satu sumber pendapatan utama Aceh, telah meningkat secara stabil sejak tahun 2003. Akumulasi dana otsus yang dialokasikan ke Aceh dari tahun 2002-05 mencapai 6,7 triliun rupiah dari segi nominal.22 Pada tahun pertama, alokasi tersebut mencapai 1,3 triliun rupiah, yang sangat mengangkat pendapatan pemerintah daerah. Alokasi tersebut menurun pada tahun 2003, tetapi naik kembali sesudah itu, hingga mencapai 2,2 triliun rupiah pada tahun 2005. Sebagai akibatnya, pangsanya dalam total pendapatan pemerintah daerah juga naik dari 27 persen di tahun 2002 menjadi 30 persen di tahun 2005 (Gambar 3.17).

Gambar 3.17. Dana otsus Aceh sebagai persentase terhadap total pendapatan

0

5

10

15

20

25

30

35

2002 2003 2004 2005

%

% minyak terhadap total pendapatan % gas terhadap total pendapatan

Sumber: Berbagai Keputusan Menkeu (KMK 241/2002, KMK 237/2003, KMK 275/2004, Keputusan Gubernur Aceh 2005).

Dengan menurunnya produksi migas di masa mendatang, maka ada kemungkinan bahwa pendapatan dari sumber ini akan turun.23 Diperkirakan bahwa volume produksi gas di Aceh Utara akan turun menjadi hanya 7 kargo/tahun pada tahun 2014 (Gambar 3.18). Aceh akan terus memperoleh manfaat dari sumber-sumber pendapatan lainnya. Meskipun demikian, sangatlah penting bahwa pemerintah provinsi dan daerah di Aceh mengadakan alokasi strategis pembelanjaan publik untuk mengantisipasi penurunan pendapatan tersebut dari dana otsus.

Gambar 3.18. Produksi gas PT. Arun LNG di Aceh

0

50

100

150

200

250

19

94

19

95

19

96

19

97

19

98

19

99

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

*

20

06

*

20

07

*

20

08

*

20

09

*

20

10

*

20

11

*

20

12

*

20

13

*

20

14

*

Ka

rgo

/tah

un

Sumber: PT. Arun LNG, 2004.Catatan: Angka dari tahun 2005 dan seterusnya adalah perkiraan. Angka diukur dalam kargo. 1 kargo = 9.82 MCFD (juta kaki kubik per hari).

22 Jumlah ini hanya mengacu pada dana otsus dan di luar dana yang diterima Aceh melalui bagi hasil sumber daya alam yang “normal” antara pemerintah pusat dan daerah.

23 Produksi gas alam dimulai pada tahun 1978 dengan tingkat produksi 250 MCFD. Produksi tertinggi dicapai pada tahun 1994 sebesar 2200 MCFD, sama dengan 224 kargo. Produksi terendah adalah pada tahun 2001 dengan hanya 51 kargo. Setelah 27 tahun, diperkirakan 90 persen lebih sumber daya alam gas telah dieksploitasi. Pada awal tahun 2005, produksi mencapai MCFD. Proyeksi PT Arun NGL menunjukkan kecenderungan menurun, sampai 100 MCFD pada tahun 2018.

Page 61: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 39

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Sistem desentralisasi nasional tahun 1999 dirancang untuk memberdayakan pemerintah daerah. Sebaliknya, peraturan perundang-undangan otonomi khusus memberikan hampir 40 persen sumber daya fi skal kepada pemerintah provinsi. Maka provinsi seharusnya lebih bertanggung jawab atas alokasi sumber dayanya serta lebih tanggap terhadap kebutuhan layanan publik. Dana otsus meningkatkan pendapatan di daerah-daerah penghasil. Kab. Aceh Utara, sebagai kabupaten penghasil utama migas, telah menerima pendapatan tambahan yang signifi kan dari dana otsus. Setelah pelaksanaan undang-undang otonomi khusus, dana ini mewakili rata-rata 41 persen dari total pendapatan Kab. Aceh Utara dan 61 persen dari total transfer (Tabel 3.6). Meskipun demikian, kecenderungan yang menurun saat ini berarti bahwa Kab. Aceh Utara harus menggunakan dananya dengan cara yang strategis dan efi sien sambil mencari sumber alternatif untuk membiayai pembelanjaannya di masa depan.

Tabel 3.6. Persentase dana otsus terhadap total pendapatan dan total transfer di Aceh Utara, 2003–05 (milyar Rp)

2003 2004 2005

Minyak 160 135 120

Gas bumi 370 209 332

Total 530 343 452

% of total transfer 72 50 62

% total pendapatan 35 30 58Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Aceh Utara, Depkeu, dan perhitungan staf Bank Dunia.Catatan: Dana otsus tahun 2002 dicatat pada tahun 2003 karena tertundanya transfer dari pemerintah pusat ke provinsi.

Lima tahun setelah berjalannya otonomi khusus, masih ada beberapa tantangan yang menyangkut transfer dan alokasi dana otsus. Pemerintah pusat belum menyediakan data yang dapat diandalkan mengenai biaya produksi maupun eksplorasi minyak dan gas bumi. Tanpa data ini, pemerintah daerah tidak dapat menghitung pembagian hasil dengan akurat. Kurangnya transparansi pemerintah pusat mengenai biaya-biaya lain seperti ongkos pengelolaan dan pajak juga membatasi akurasi perhitungan bagi hasil. Pemerintah daerah seringkali mengalami penundaan transfer dana otsus. Penundaan tersebut mengganggu arus kasnya dan mengganggu pelaksanaan program-program pembangunan. Dana bagi hasil seharusnya ditransfer setiap triwulan, dimulai dengan triwulan pertama sekitar bulan Desember sampai Februari tahun berikutnya. Meskipun demikian, penundaan sangat umum terjadi. Sebagai contoh, transfer Kab. Aceh Utara untuk bulan Maret 2006 baru diterima bulan Juni. Transfer dan alokasi dana otsus di masa mendatang perlu dibenahi, terutama dalam kaitannya dengan kebutuhan rekonstruksi yang mendesak serta pelaksanaan MOU Helsinki (Kotak 3.1.).

Page 62: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN40

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Kotak 2. Pengelolaan dan alokasi Dana Otonomi Khusus dari UU No. 18/2001

Skema distribusi yang ada sekarang lebih banyak menguntungkan daerah penghasil dan memperlebar disparitas fi skal yang ada antar pemerintah daerah. Kedua variabel yang digunakan dalam rumusnya, yaitu jumlah penduduk dan luas wilayah, tidak mengatasi ketidaksetaraan atau pun mewakili kebutuhan riil di wilayah tersebut. Indikator yang relevan untuk mengidentifi kasi kebutuhan fi skal seperti tingkat kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia (IHD), produk domestik regional bruto (PDRB) dan kemampuan fi skal tidak disertakan.

Transparansi dan akuntabilitas juga menjadi tantangan dalam pengelolaan dana otsus. Penundaan transfer pendapatan migas sering terjadi. Penundaan tersebut membatasi perencanaan, pengelolaan fi skal, dan arus kas di tingkat daerah serta mengganggu program-program pembangunan. Pemerintah daerah tidak memiliki akses ke informasi terinci mengenai produksi migas dan biayanya. Di tingkat daerah, sistem pelaporan anggaran tidak memisahkan dana otsus dari sumber-sumber pendapatan lainnya, yang menciptakan kesulitan dalam mengukur penggunaan efektif dan evaluasi dampak dana tersebut. Banyak warga Aceh berpendapat bahwa dana otsus selama ini tidak dikelola dan dibelanjakan dengan baik. Sebagai contoh, tidak adanya kejelasan peraturan tentang pembelanjaan pendidikan memungkinkan pengalihan dana dari layanan publik.

Pembagian dana DAU tambahan yang dimulai tahun 2008 nanti masih dalam pembahasan. Aceh dapat menggunakan pengalaman dari pembagian dana otsus untuk memperbaiki alokasi sumber dana tambahan tersebut:

1. Menutup disparitas fi skal antar kabupaten dengan jalan menaikkan porsi alokasi rumus dan memperbaiki rumus yang digunakan untuk pembagian. Rumus tersebut hendaknya transparan, sederhana, dan menggunakan variabel yang lebih relevan dan mewakili kebutuhan di daerah yang bersangkutan.

2. Memperbaiki akuntabilitas, arus informasi, serta sistem pengelolaan dan evaluasi; dan mengurangi penundaan. Membentuk rekening dan sistem pelaporan yang terpisah untuk dana otsus dalam anggaran pemerintah daerah.

3. Mengklarifi kasi defi nisi yang tidak jelas dalam peraturan untuk memperbaiki alokasi dan pemantauan serta evaluasi.

Dana Alokasi Umum (DAU)

DAU menjadi sumber pendapatan utama di Aceh setelah sistem desentralisasi diperkenalkan pada tahun 2001. Dari alokasi nasional, Aceh menerima 5 triliun rupiah pada tahun 2006, atau sekitar 3,4 persen dari alokasi nasional. Kontribusi rata-rata DAU bagi pendapatan total di Aceh pasca desentralisasi adalah 44 persen. Dalam pelaksanaannya, alokasi DAU ke Aceh mengalami penurunan pada tahun 2002 dan 2003 tetapi naik secara signifi kan pada tahun 2006 (Gambar 3.19). Kenaikan yang tajam pada tahun 2006 tersebut mencerminkan pelaksanaan alokasi DAU nasional yang meningkat menjadi 26 persen pendapatan bersih domestik dan penanggungan 100 persen gaji pegawai negeri sipil, sesuai amanat UU No. 33/2004.

Gambar 3.19. Tren alokasi DAU untuk NAD

2000

2500

3000

3500

4000

4500

5000

5500

2001 2002 2003 2004 2005 2006

Mily

ar R

upia

h

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depkeu (harga konstan 2006).

Page 63: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 41

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Rumus untuk DAU diperbaiki pada tahun 2002, ketika bagi hasil disertakan dalam perhitungan kemampuan fi skal. Sebagai akibatnya, banyak wilayah yang kaya sumber daya menerima DAU yang lebih rendah dari tahun sebelumnya. Meskipun demikian, di Aceh, pada tahun 2002 terdapat 10 pemerintah daerah yang menerima alokasi DAU yang sama dengan yang diterimanya tahun 2001. Alokasi DAU pada tahun 2002 dibuat dengan ketentuan “hold harmless”.24 Alokasi DAU dari tahun 2003-2005 mengikuti konsep dan proses yang serupa. Satu-satunya modifi kasi adalah komponen yang agak berbeda yang digunakan dalam rumusnya, atau ditambahnya bobot beberapa komponen (seperti gaji pegawai negeri sipil).

Pada tahun 2006 Aceh diuntungkan oleh alokasi DAU dan pembagian per kapita yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Dalam perhitungan per kapita, Aceh menerima 1,2 milyar rupiah, lebih dari dua kali lipat alokasinya untuk tahun 2001 (Gambar 3.20).

Gambar 3.20. DAU per kapita untuk provinsi-provinsi di Indonesia, 2006

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

4,000

4,500

Ba

nte

n

Jaw

a Ba

rat

Ria

u

Jaw

a Tim

ur

Jaw

a Ten

ga

h

La

mp

un

g

Su

ma

tera S

ela

tan

Su

ma

tra Uta

ra

Ind

on

esia

Nu

sa Ten

gg

ara B

ara

t

D I Y

og

yaka

rta

Ka

lima

nta

n Tim

ur

Ke

pu

lau

an R

iau

Ba

li

Su

law

esi S

ela

tan

Ka

lima

nta

n Se

lata

n

Jam

bi

Nu

sa Ten

gg

ara T

imu

r

Su

ma

tra Ba

rat

Ka

lima

nta

n Ba

rat

Ac

eh

Su

law

esi U

tara

Ke

pu

lau

an B

an

gka B

elitu

ng

Su

law

esi Te

ng

ah

Be

ng

kulu

Su

law

esi Te

ng

ga

ra

Go

ron

talo

Ma

luku

Ma

luku U

tara

Ka

lima

nta

n Ten

ga

h

Pa

pu

a

Pa

pu

a Ba

rat

Rib

u R

upia

h

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu.

Semua pemerintah daerah, kecuali Aceh Utara, menerima kenaikan besar alokasi DAU pada tahun 2006. Sebagai daerah yang kaya sumber daya, Kab. Aceh Utara hanya menerima alokasi “hold harmless” pada tahun 2006. Rata-rata alokasi DAU di Aceh naik 67 persen pada tahun 2006 (gambar B7). Di dalam wilayah Aceh, alokasi DAU berbeda-beda antar pemerintah daerah. Kab. Aceh Pidie menerima alokasi terbesar yaitu 390 milyar rupiah, disusul Kab. Aceh Besar dan Kab. Bireun yang masing-masing lebih dari 300 milyar rupiah. Meskipun ada alokasi “hold harmless” tersebut, Aceh Utara masih tetap menerima sumber daya DAU yang cukup besar (Gambar 3.22).

24 Berdasarkan ketentuan “hold harmless” ini, pemerintah provinsi atau daerah tidak akan menerima alokasi lebih rendah dari alokasi tahun sebelumnya.

Page 64: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN42

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 3.21. Alokasi DAU kepada pemerintah daerah di Aceh, 2006

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

Kab. SimeulueKota Sabang

Kab. Aceh Jay aKota Lhokseumaw e

Kab. Aceh Barat Daya

Kab. Aceh Singki lKab. Gayo Lues

Kota LangsaKab. Mener Mera h

Kab. Aceh TamiangKab. Nagan RayaKab. Aceh Utar a

Kab. Aceh TenggaraKab. Aceh Bara t

Kab. Aceh TengahKab. Aceh Timur

Kab. Aceh Selata nKota Banda Aceh

Kab. Bir euen

Kab. Aceh BesarKab. Aceh Pidi e

Milyar Rupiah

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu.

Perbedaan antar pemerintah daerah lebih besar lagi dalam perhitungan per kapita. Aceh Utara, Aceh Timur dan Pidie termasuk memiliki tingkat kemiskinan tertinggi pada tahun 2004 (30-35 persen). Namun kabupaten-kabupaten itu menerima alokasi terkecil (Gambar 3.22). Sabang menerima alokasi lebih dari 5 juta rupiah, lebih dari dua kali lipat alokasi Kab. Gayo Lues, yang menerima alokasi per kapita tertinggi kedua.

Gambar 3.22. Alokasi DAU per kapita antar pemerintah daerah di Aceh, 2006

0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000

Kab. Aceh Utar a

Kab. Aceh Timu r

Kab. Aceh Pidi e

Kab. Aceh Tamiang

Kab. Bireuen

Kota Banda Aceh

Kab. Aceh Singki l

Kota Lhokseumaw e

Kab. Aceh Tengah

Kab. Aceh Tenggara

Kab. Aceh Selata nKota Langsa

Kab. Aceh Bara t

Kab. Aceh Besar

Kab. Aceh Barat Daya

Kab. Nagan Raya

Kab. Mener Mera h

Kab. Aceh Jaya

Kab. Simeulue

Kab. Gayo Lues

Kota Sabang

Ribu Rupiah

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu dan BPS.

Dana Alokasi Khusus (DAK)

Undang-undang otonomi khusus No. 18/2001 memberikan prioritas kepada Aceh dalam hal alokasi DAK. Alokasi DAK Aceh telah naik secara signifi kan, tetapi kontribusinya bagi pendapatan keseluruhan masih tetap kecil. Pada tahun 2006 Aceh menerima alokasi DAK sebesar 593 milyar rupiah, atau hampir 10 kali lipat alokasinya tahun 2001 (Gambar 3.23). Kenaikan yang tajam pada tahun 2006 itu antara lain disebabkan oleh perluasan sektor-sektor yang disertakan dalam alokasi DAK.

Page 65: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 43

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 3.23. Tren alokasi DAK untuk Aceh, 2001–06

0

100

200

300

400

500

600

700

2001 2002 2003 2004 2005 2006

Mily

ar R

upia

h

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu. Data riil (harga konstan 2006).

Dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, Aceh termasuk 10 provinsi teratas dalam hal alokasi DAK, baik dari segi angka mutlak maupun per kapita. Pada tahun 2006, alokasi Aceh sebesar 593 milyar rupiah sama dengan Rp 147.000 per kapita (gambar B9). Di dalam wilayah Aceh, alokasi DAK berbeda-beda antar kabupaten/kota. Kab. Pidie menerima alokasi tertinggi, yaitu lebih dari 40 milyar rupiah, disusul oleh Kab. Bireuen, Kab. Aceh Utara dan Kab. Aceh Timur. Kesamaan unsur yang dijumpai di semua kabupaten dengan alokasi DAK tertinggi tersebut adalah bahwa semuanya adalah bekas “pusat” konfl ik (gambar B10). Dari segi per kapita, sekali lagi, alokasi terbesar adalah untuk Sabang, disusul oleh kabupaten-kabupaten lainnya yang memiliki jumlah penduduk sedikit (Gambar 3.24).

Gambar 3.24. DAK per kapita antar pemerintah daerah di Aceh, 2006

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000

Kab. Aceh Utar a

Kab. Aceh Pidi e

Kota Banda Aceh

Kab. Bir euen

Kab. Aceh Tamiang

Kab. Aceh Timur

Kab. Aceh Tengah

Kota Lhokseumaw e

Kab. Aceh Tenggara

Kab. Aceh Selata n

Kab. Aceh Besar

Kab. Aceh Bara t

Kota Langsa

Kab. Aceh Singki l

Kab. Nagan Raya

Kab. Aceh Barat Daya

Kab. Mener Mera h

Kab. Aceh Jaya

Kab. Gayo Lues

Kab. Simeulue

Kota Sabang

Ribu Rupiah

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depkeu dan BPS.

Pada tahun 2001 dan 2002, DAK lebih banyak digunakan untuk reboisasi.25 Tahun 2003, alokasi DAK diperluas untuk mencakup infrastruktur, pendidikan, kesehatan, sarana pemerintah, pertanian, perikanan, dan lingkungan hidup. Sejak tahun 2003, infrastruktur telah menjadi fokus utama DAK, tetapi alokasi infrastruktur itu sendiri telah menurun selama tahun-tahun terakhir. Pada tahun 2003, infrastruktur menghabiskan sampai 50 persen dana non-reboisasi DAK, tetapi pada tahun 2006 angka itu telah menurun menjadi 30 persen. Pendidikan dan kesehatan menyusul infrastruktur, dengan rata-rata masing-masing 25 persen dan 18 persen. Pada tahun 2004, sektor perikanan juga menerima bagian dari DAK non-reboisasi. Tahun 2006, pertanian menerima 10 persen DAK non-reboisasi.

25 Dana pemulihan dibagikan sebagai berikut: 40 persen ke daerah penghasil, dan 60 persen ke pemerintah pusat untuk melaksanakan kegiatan reboisasi di seluruh negeri, terutama di daerah non-penghasil sumber daya alam.

Page 66: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN44

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Dana Dekonsentrasi dan Darurat

Persentase dari dana dekonsentrasi dan darurat terhadap total pendapatan di Aceh turun dari 57 persen pada tahun 1999 menjadi sekitar 15 persen pada tahun 2002 dan bertahan pada angka ini (Tabel 3.7). Perbedaan tipis sejak tahun 2002 dapat dijelaskan dari kenaikan penerimaan daerah di Aceh.

Tabel 3.7. Bagian dana dekonsentrasi terhadap total pendapatan daerah, 1999–2005

Pendapatan

1999 2002 2003 2004 2005

Milyar Rp % Milyar

Rp % Milyar Rp % Milyar

Rp % Milyar Rp %

Pendapatan Daerah 2,425 433 8,713 85 10,122 83 10,433 87 9,081 83

Dana Dekonsentrasi 3,178 56.7 1,522 15 2,124 17 1,602 13 1,873 17

Total Pendapatan Daerah + Dana Dekonsentrasi

5,604 100 10,235 100 12,245 100 12,035 100 10,954 100

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BAPPEDA NAD. Data riil (harga konstan 2006).

Alokasi dana dekonsentrasi di Aceh tidak mencapai warga termiskin. Di satu pihak, Kab. Gayo Lues yang baru dibentuk (kabupaten termiskin keenam) menerima alokasi per kapita tertinggi. Di lain pihak, daerah-daerah yang lebih dekat ke ibukota Banda Aceh, yaitu Kab. Aceh Besar dan Kota Sabang, termasuk dalam lima besar alokasi per kapita. Adalah masuk akal bahwa alokasi per kapitanya yang tinggi itu mencerminkan fakta bahwa ketiga pemerintah daerah ini memiliki infrastruktur “sentral” utama yang lebih banyak, seperti pelabuhan nasional dan bangunan pemerintah. Selain itu juga, Kab. Simeulue (pulau yang terletak di pantai barat Aceh) memiliki alokasi per kapita yang hampir empat kali lebih rendah dari Kab. Aceh Besar. Kabupaten yang termiskin, Nagan Raya, menerima alokasi per kapita tiga kali lebih rendah dari Kota Banda Aceh yang memiliki jumlah penduduk termiskin terendah di Aceh (Gambar 3.25).

Gambar 3.25. Alokasi spasial pembelanjaan dekonsentrasi pemerintah daerah di Aceh, 2004

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

Gayo L

ues

Banda A

ceh

Saban

g

Aceh B

esar

Simeu

leu

Aceh

Singkil

Nagan

Raya

Aceh

Teng

ah

Lhoks

eum

awe

Aceh

Barat

Daya

Aceh

Teng

gara

Aceh

Bar

at

Aceh

Sela

tan

Lang

sa

Aceh

Timur

Bireue

n

Aceh

Jaya

Aceh

Pidie

Aceh

Utara

Aceh

Tam

iang

Dan

a D

eko

nsen

tras

i

Juta

Rup

iah

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Tin

gka

t K

emis

kina

n %

Dana Dekonsentrasi Per-Kapita Tingkat Kemiskinan

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari BAPPEDA NAD dan BPS.

Page 67: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 45

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Salah satu sumber pendapatan lain untuk pemerintah provinsi dan daerah adalah dana darurat. 26 Seperti halnya dana dekonsentrasi, dana darurat digolongkan sebagai pendapatan pemerintah daerah karena pembelanjaan yang sebenarnya dilaksanakan di daerah. Dana ini disediakan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan disediakan bagi pemerintah provinsi dan daerah untuk kebutuhan darurat dan dalam situasi darurat. Pemerintah pusat mengalokasikan 5 persen anggaran tahunan nasional untuk dana darurat ini. UU No. 33/2004 mendefi nisikan bencana alam berskala nasional atau krisis yang dapat dipecahkan sebagai kebutuhan darurat. Presiden menyatakan bencana alam sebagai bencana alam nasional, seperti bencana tsunami tanggal 26 Desember 2004. Sebaliknya, krisis yang dapat dipecahkan pada tingkat pemerintah provinsi dan daerah dievaluasi oleh pemerintah pusat dan DPR. Di Aceh, anggaran pemerintah provinsi dan daerah tidak menunjukkan adanya data dana darurat dalam rekening pendapatannya. Yang paling mungkin adalah, pemerintah pusat membelanjakan anggaran langsung ke daerah melalui badan penanggulangan keadaan darurat nasional, misalnya BAKORNAS. Jadi jumlah ini tidak dicatat dalam anggaran daerah. Sebagai respon terhadap bencana tsunami, pemerintah pusat mendirikan kantor BAKORNAS di Aceh untuk menyediakan bantuan keuangan selama masa pemberian bantuan darurat sebelum Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) dibentuk.

Pendapatan yang berhubungan dengan proses perdamaian

Penandatanganan MOU Helsinki meliputi penyediaan dana untuk dialirkan ke Aceh guna mendukung proses perdamaian. Setelah kesepakatan damai, pemerintah pusat mencairkan 200 milyar rupiah (AS$ 21,5 juta) untuk memperkuat proses perdamaian di Aceh pada tahun 2005. Pemerintah mencadangkan 600 milyar lagi (64,5 juta rupiah) dalam APBN 2006.27 Pemerintah pusat diharapkan akan mengalokasikan sekitar 700 milyar rupiah (AS$ 97,8 juta) pada tahun 2007. Dana tersebut dialokasikan untuk menunjang reintegrasi, terutama untuk membantu mantan pejuang GAM kembali ke masyarakat. Pada tahun 2005, Kantor Wakil Presiden Republik Indonesia mengalokasikan 50 milyar rupiah (AS$ 5,4 juta) untuk mendukung reintegrasi. Selain itu, Komisi Eropa (EC) menyediakan 4 juta euro (AS$ 5,2 juta) di bawah Mekanisme Reaksi Cepatnya, untuk membantu mantan tahanan politik dan pejuang GAM untuk berintegrasi kembali dengan kehidupan sipil. 28 Komisi Eropa juga mengalokasikan dana sehubungan dengan Misi Pemantauan Aceh (AMM), yang dibentuk pada bulan September 2005 untuk menjaga kelanjutan reintegrasi serta memantau pelaksanaan MOU. Pada tanggal 20 Desember 2005, EC menyetujui bantuan senilai 15,9 juta euro (AS$ 22,2 juta) untuk Aceh guna mendukung proses perdamaian yang sedang berjalan. 29

Baik pemerintah pusat maupun provinsi telah secara proaktif memperkuat proses perdamaian di Aceh. Pada tanggal 11 Februari 2006, Gubernur Aceh mendirikan Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Badan ini menyediakan bantuan pemberdayaan ekonomi kepada mantan GAM dan dana kompensasi bagi korban konfl ik. Komitmen pemerintah RI untuk melaksanakan MOU Helsinki di Aceh dapat dilacak dengan mudah dalam alokasi anggaran untuk reintegrasi. Pemerintah RI sejauh ini telah mencadangkan jumlah paling banyak untuk mendanai kebutuhan reintegrasi, yaitu sekitar 82 persen dari total dana yang dijanjikan dari tahun 2005-2007 (Gambar 3.26). Komitmen para donor saat ini selama 3 tahun (2005-07) berjumlah AS$ 35 juta. Donor terbesar antara lain EC, JICA, dan USAID.

26 Sekitar 50 persen dana dekonsentrasi dilaksanakan oleh provinsi dan tidak dapat dipecah-pecah oleh pemerintah daerah. Data yang digunakan dalam gambar ini adalah dana yang dialokasikan kepada pemerintah daerah saja.

27 Republika 2006. 28 Uni Eropa, Siaran Pers September 2005. Aceh: Commission releases €4 million to support the peace process.

29 Uni Eropa, Siaran Pers, 20 December 2005, European Commission provides additional €15.85 million assistance for Aceh peace process. www.delidn.cec.eu.int/en/newsroom/2005-PI13EN.pdf

Page 68: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN46

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 3.26. Komposisi dana reintegrasi Aceh, 2005–07

APBN82%

Kantor Wakil Presiden2%

Donor16%

Sumber: perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan matriks donor EU dan perkiraan BRA.

Pembiayaan dan Pinjaman

Di bawah format anggaran yang lama, analisa pembiayaan dihitung berdasarkan surplus dan defi sit anggaran bersih.30 Sebelum desentralisasi, seperti halnya kebanyakan pemerintah daerah di Indonesia, pemerintah daerah di Aceh sering menghasilkan defi sit anggaran dari tahun ke tahun. Selama tahun 1994-1998, pemerintah daerah di Aceh mencatat defi sit rata-rata sebesar 4 persen total pembelanjaan (Gambar 3.27). Hanya pada tahun 1999 pemerintah daerah di Aceh memperoleh sedikit surplus.

Gambar 3.27. Surplus/defi sit pemerintah daerah di Aceh, 1994–2005 (%total pembelanjaan)

-10

-5

0

5

10

15

20

25

30

19941995

19961997

19981999

20002001

20022003

20042005_1

Per

sen

Sumber: Depkeu dan perhitungan staf Bank Dunia.

Setelah desentralisasi fi skal, pemerintah daerah Aceh menghasilkan surplus yang besar. Pada tahun 2005, surplus pemerintah provinsi mencapai lebih dari 1,5 triliun rupiah. Pemerintah daerah juga menghasilkan surplus yang cukup besar sampai tahun 2005, ketika mereka mengalami defi sit kecil yaitu kira-kira 0,3 triliun rupiah. Pemerintah daerah menggunakan anggaran mereka untuk rekonstruksi pasca tsunami, khususnya untuk membiayai pembangunan kembali bangunan-bangunan dan infrastruktur pemerintah. Pada akhir tahun 2005, pemerintah provinsi dan daerah di Aceh telah mengumpulkan cadangan yang signifi kan yaitu sebesar 2,7 triliun rupiah (Tabel 3.8).

Penting untuk dicatat bahwa pengumpulan cadangan seringkali disebabkan oleh tertundanya transfer bagi hasil migas dari pemerintah pusat. Penundaan ini memperlambat pelaksanaan proyek dan pencairan. Jumlah yang belum dicairkan tercatat sebagai surplus dalam anggaran provinsi dan diteruskan ke tahun anggaran berikutnya.

30 Surplus/defi sit anggaran bersih tidak memperhitungkan pinjaman, pembayaran kembali, dan sisa dari tahun-tahun sebelumnya serta ke tahun berikutnya.

Page 69: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 47

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel 3.8 Pemerintah daerah Aceh telah mengumpulkan cadangan yang signifi kan (milyar Rp)

2001 2002 2003 2004 2005*

Provinsi 57 170 928 1,198 1,627

Kab/Kota 199 48 436 188 (397)

Total provinsi dan kab/kota 256 218 1,364 1,387 1,230

Sisa tahun sebelumnya 95 365 725 1,584 1,447

Cadangan pada akhir periode 351 583 2,089 2,971 2,677Sumber: Depkeu dan perhitungan staf Bank Dunia. Catatan: * = angka rencana anggaran.

UU No. 33/2004 memperbolehkan pemerintah daerah untuk meminjam langsung dari sumber dalam negeri dan tidak langsung dari sumber internasional atas persetujuan Departemen Keuangan. Sumber pinjaman dalam negeri berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lainnya, bank, lembaga non-bank, dan penempatan obligasi daerah. Peraturan pemerintah tentang pinjaman daerah (PP 54/2005) menyediakan rangkaian pengaturan mengenai batas pinjaman serta ketentuan bagi pemerintah daerah. Pinjaman kumulatif dari pemerintah pusat dan daerah tidak boleh melebihi 60 persen PDB berjalan.31 Pemerintah daerah harus mengikuti empat persyaratan pinjaman yaitu:

1. Pinjaman daerah kumulatif tidak boleh lebih dari 75 persen total pendapatan anggaran umum tahun sebelumnya.

2. Rasio penutupan pembayaran hutang (DSCR) setidak-tidaknya 2,5 persen.3. Pinjaman pemerintah daerah tidak ada yang tertunggak.4. Pinjaman disetujui oleh DPRD. Di samping pinjaman, UU No. 11/2006 menetapkan bahwa pemerintah

Ach berhak menerima hibah tidak bersyarat dari sumber-sumber internasional dengan diketahui oleh pemerintah pusat dan DPRD.

Pemerintah provinsi Aceh telah memiliki sejarah meminjam sejak tahun 1981. Pemerintah daerah yang memiliki catatan pinjaman adalah Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh Utara, dan Banda Aceh. Data Depkeu tahun 2004 menunjukkan bahwa pemerintah daerah di Aceh memiliki transaksi pinjaman yang lebih besar bila dibandingkan dengan pemerintah provinsi. Sebagian besar transaksi dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) pemerintah daerah. PDAM provinsi tidak melakukan transaksi pinjaman. Sekitar 55 persen total pinjaman dilakukan oleh pemerintah daerah; sisanya yang 45 persen adalah oleh PDAM (Tabel 3.9).

31 Pinjaman kumulatif pemerintah pusat dan daerah sama dengan total pinjaman pemerintah pusat dikurangi pinjaman yang diberikan kepada pemerintah daerah, ditambah total pinjaman pemerintah daerah dikurangi pinjaman yang diberikan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah lain.

Page 70: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN48

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel 3.9 Catatan pinjaman pemerintah daerah dan PDAM di Aceh, 2004 (milyar Rp)

Jumlah pinjaman

Pembayaran yang harus dilakukan

Total tunggakan

Total terhutang

Pemerintah

Provinsi 24 46 36 17

Kab/kota 25 65 44 11

Total pemerintah 50 111 80 28

PDAM

Provinsi - - - -

Kab/kota 41 50 50 41

Total PDAM 41 50 50 41

Total 90 161 130 69Sumber: Depkeu.

Karena total jumlah pinjaman telah naik cukup signifi kan sejak tahun 2001, pemerintah Aceh perlu mulai lebih memperhatikan transaksi-transaksi pinjamannya. Jumlah pinjaman telah meningkat dari 55 milyar rupiah pada tahun 2001 menjadi 90 milyar rupiah pada tahun 2004. Kenaikan itu semata-mata berasal dari pemerintah daerah, karena jumlah pinjaman provinsi tidak mengalami kenaikan. Meski ada kecenderungan untuk menambah pinjaman, jumlah pinjaman kumulatif Aceh masih di bawah banyak provinsi lain di Indonesia, dan di bawah rata-rata nasional (Gambar B11).

Untuk mengantisipasi kecenderungan lebih besarnya pinjaman di masa mendatang, penting bahwa pemerintah daerah memperhitungkan batas pinjaman yang ditetapkan oleh undang-undang. Simulasi batas pinjaman menunjukkan bahwa jika tunggakan diperhitungkan, maka tidak ada pemerintah daerah di Aceh yang memiliki catatan pinjaman yang dapat mengadakan transaksi pinjaman lagi. Pembatasan tunggakan memiliki dampak yang signifi kan bagi batas pinjaman karena pemerintah daerah yang memiliki angka tunggakan tinggi tidak boleh meminjam(Gambar 3.28). Dengan pembatasan seperti ini sekalipun, pemerintah daerah di Aceh masih dapat meminjam sampai total 500 milyar rupiah.

Gambar 3.28 Batas pinjaman dengan dan tanpa pembatasan tunggakan untuk Aceh

-

500

1,000

1,500

2,000

2,500

Pinjaman Batas dengan pembatasan tunggakan

Batas tanpa pembatasantunggakan

Mily

ar R

upia

h

Prov Kab/kota

Sumber: perhitungan staf Bank Dunia.

Page 71: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN 49

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Rekomendasi

1. Mengembangkan koordinasi yang lebih baik antara provinsi, pemerintah daerah, BRR dan BRA dalam mengelola rekonstruksi, reintegrasi dan pembangunan jangka panjang. Desentralisasi fi skal dan otonomi khusus telah memperbaiki kemampuan fi skal pemerintah provinsi dan daerah di Aceh. Selain itu, arus uang masuk yang sangat besar dari dalam dan luar negeri untuk membiayai rekonstruksi dan reintegrasi menaikkan total pendapatan beberapa kali lipat bila dibandingkan dengan apa yang diterima Aceh pada tahun 1999. Program pembangunan yang terpadu akan memperbaiki pelaksanaannya dan mengatasi kesenjangan geografi s dan sektoral antar pemerintah daerah di Aceh.

2. Memperbaiki transparansi dan akuntabilitas alokasi dan distribusi dana otsus serta pencatatannya dalam anggaran pemerintah daerah. Pemerintah daerah di Aceh prihatin bahwa perhitungan dan alokasi dana otsus dari pemerintah pusat tidak transparan. Pemerintah daerah tidak memiliki akses terhadap informasi terinci tentang produksi minyak dan gas bumi serta biayanya. Penundaan yang tidak perlu dalam mentransfer dana otsus akan memperbaiki pengelolaan keuangan serta arus kas dan pelaksanaan program-program pembangunan yang dibiayainya. Pemerintah daerah sendiri hendaknya memperbaiki kapasitas pengelolaan keuangan dan transparansinya dalam mengelola dan membelanjakan dana otsus. Di masa lalu, pemerintah daerah tidak konsisten mencatat dana otsus dalam anggarannya.

3. Memperbaiki pengelolaan dana otsus. Tujuan, kriteria pembagian, dan pengelolaan dana harus disebutkan dengan jelas dalam peraturan daerah (Qanun). Ada dua masalah yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan dana, yaitu (1) penghapusan disparitas fi skal antar kabupaten, dan (2) perbaikan akuntabilitas, arus informasi, dan sistem pengelolaan dan evaluasi dana, antara lain dalam rangka mengurangi penundaan. Peraturan yang ada sekarang (Qanun No. 4/2002) tampaknya kurang jelas, sehingga memungkinkan fl eksibilitas yang terlalu besar dalam hal pemanfaatan dana otsus. Akibatnya, sejumlah besar pendapatan dari dana otsus telah diarahkan untuk tambahan pembelanjaan rutin dan aparat pemerintah.

4. Memperbaiki sistem pajak daerah guna memperbaiki pengerahan pendapatan asli daerah pemerintah daerah. Rejim pajak daerah tampaknya memihak pemungutan pajak di daerah perkotaan. Pendelegasian pengumpulan pajak yang lebih banyak kepada pemerintah daerah dapat menaikkan insentif untuk membenahi pengumpulan pajak, seperti pajak bumi dan bangunan (PBB). Permasalahan ini harus diputuskan pada tingkat nasional. Setelah pembentukan pemerintah daerah baru, pemerintah provinsi hendaknya menyediakan bimbingan tentang administrasi pajak kepada pemerintah daerah baru dan lama yang bersangkutan dan memberikan bantuan kepada kabupaten yang baru terbentuk dalam hal administrasi dan pemungutan pajak. Penunjukan dan pengelolaan sumber-sumber pajak dengan jelas dapat memperbaiki pengumpulan pajak dan akuntabilitas. Berakhirnya konfl ik juga memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk memperbaiki pungumpulan pajak dan memperluas basis pajaknya.

5. Memperbaiki alokasi transfer antar-pemerintah. Transfer dari pemerintah pusat dan provinsi (misalnya DAU, DAK, dana otsus, pembagian pajak) dan dana dekonsentrasi hendaknya menyikapi ketidakseimbangan fi skal horizontal antar kabupaten/kota di Aceh. Ada bukti bahwa kabupaten yang berpenduduk sedikit menerima pangsa dana yang tidak sebanding dan indikator seperti letak yang terpencil atau tingkat kemiskinan tidak cukup dimasukkan dalam perhitungan.

6. Memperbaiki proses perencanaan dan penyusunan anggaran di tingkat daerah, di mana kepemimpinan pemerintah provinsi dan bupati memegang peran kunci. Sangatlah penting bagi pemerintah daerah untuk mempercepat proses persetujuan anggarannya agar dapat mulai melaksanakan proyek-proyeknya pada awal setiap tahun pajak. Penyesuaian anggaran yang sebenarnya dengan kebutuhan yang diidentifi kasi hendaknya diperbaiki.

Page 72: Official PDF , 178 pages

PENERIMAAN DAN PEMBIAYAAN50

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Page 73: Official PDF , 178 pages

4Pengeluaran

Page 74: Official PDF , 178 pages

52 PENGELUARAN

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Sekilas tentang belanja pemerintah Aceh

Setelah desentralisasi, porsi daerah dalam pembelanjaan pemerintah di Indonesia meningkat hingga lebih dari 30 persen. Pada masa lalu, pemerintah daerah hanya mengelola 17 persen dari total belanja yang dikeluarkan di daerah.32 Kenaikan tersebut mencerminkan transformasi dari fungsi pemberian layanan utama dan pengalihan sekitar dua pertiga dari tenaga kerja pemerintah pusat ke daerah.

Secara keseluruhan belanja publik di Aceh meningkat cukup besar dalam tahun-tahun belakangan ini. Peningkatan ini didorong oleh penerimaan tambahan yang diperoleh dari transfer antar pemerintahan setelah desentralisasi dan dari tambahan dana bagi hasil minyak dan gas alam sebagai akibat pemberian status otonomi khusus. Total belanja mencapai lebih dari Rp. 25 Triliun pada tahun 2006, termasuk pembiayaan rekonstruksi (Gambar 4.1.). Pembelanjaan publik di Aceh diperkirakan meningkat cukup besar dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Apabila sumber daya dikelola dan dibelanjakan secara efektif, penduduk Aceh memiliki peluang besar untuk mendorong pembangunan ekonomi daerah.

Gambar 4.1 Belanja publik di Aceh pra dan pasca desentralisasi, dan setelah tsunami

3.22.6 2.9

1.8

6.1 8.3

1.0

16.4

0

5

10

15

20

25

30

1999 2002 2006

Triliu

n R

upia

h

Dekonsentrasi Provinsi Kab/Kota Anggaran rekonstruksi

Anggaran rekonstruksi

0.6

1.5

Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu, BPS-SK/BPS, dan BRR. Catatan: Anggaran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk tahun 2006 diproyeksikan dengan menggunakan pertumbuhan rata-rata setelah desentralisasi. Data riil (harga konstan 2006).

Pada tahun 2005 pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Aceh membelanjakan dana sebesar Rp. 7,5 Triliun dan mengelola alokasi tambahan dari kementerian lini sebesar Rp. 1,9 Triliun. Baik pengeluaran pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota meningkat cukup besar setelah desentralisasi tahun 1999 dan otonomi khusus tahun 2001 (Tabel 4.1).33

32 Bank Dunia 2002.

33 Desentralisasi tahun 1999 berlaku pada tahun 2000, dan status otonomi khusus tahun 2001 berlaku pada tahun 2002.

Page 75: Official PDF , 178 pages

53PENGELUARAN

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel 4.1 Belanja publik secara keseluruhan pra dan pasca desentralisasi di Aceh

TahunDekonsentrasi Provinsi Kab/kota Total

Rp Milyar % Rp Milyar % Rp Milyar % Rp Milyar

1994 2,264.8 48.0 1,192.5 25.3 1,260.1 26.7 4,717.3

1995 3,416.8 55.9 1,153.0 18.9 1,537.1 25.2 6,106.8

1996 2,344.2 45.3 1,238.2 24.0 1,587.0 30.7 5,169.5

1997 3,919.3 56.0 1,272.4 18.2 1,808.0 25.8 7,000.2

1998 2,228.5 53.3 536.4 12.8 1,419.5 33.9 4,184.4

1999 3,178.4 57.6 583.0 10.6 1,755.8 31.8 5,517.3

2000 3,318.7 50.9 539.9 8.3 2,662.0 40.8 6,520.6

2001 1,916.8 24.3 849.1 10.8 5,126.7 65.0 7,892.6

2002 1,521.8 15.4 2,321.9 23.6 6,015.2 61.0 9,858.8

2003 2,123.5 21.2 1,594.3 15.9 6,309.2 62.9 10,027.0

2004 1,601.7 16.2 1,630.1 16.5 6,670.6 67.4 9,902.4

2005 1,873.3 19.9 1,358.2 14.4 6,198.0 65.7 9,429.5Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS-SK/BPS.Catatan: Data merupakan angka yang sebenarnya (harga konstan 2006).

Terjadi perubahan yang cukup besar dalam pembagian belanja publik di Aceh antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebelum desentralisasi, pemerintah pusat memainkan peran penting dalam pembangunan daerah. Pada tahun 1999, hampir 60 persen pembelanjaan dilaksanakan oleh pemerintah pusat, dengan hanya menyisakan peran terbatas bagi pemerintah daerah dalam penyediaan layanan dan pembangunan daerah. Proses perencanaan dan penganggaran diawali setelah ada persetujuan oleh pemerintah pusat. Setelah desentralisasi, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memiliki wewenang lebih besar atas alokasi anggaran mereka. Rata-rata, setelah desentralisasi, pemerintah daerah di Aceh mengelola lebih dari dua pertiga dari jumlah total belanja publik. Pemerintah kabupaten/kota mengelola lebih dari 60 persen dari belanja publik; pemerintah provinsi mengelola hampir 20 persen dari total belanja (Tabel 4.2).

Gambar 4.2 Porsi belanja pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota di Aceh

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

%

Dekonsentrasi Pusat Provinsi Kab/Kota

Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS-SK/BPS.

Page 76: Official PDF , 178 pages

54 PENGELUARAN

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Status otonomi khusus meningkatkan wewenang provinsi dalam mengendalikan pendanaan pemerintah daerah. Dana otonomi khusus ditransfer langsung dari pusat kepada provinsi, dan dari provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota. Pada tahun 2002, total belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan nilai yang dicapai pada tahun 2001; porsi belanja pemerintah provinsi dalam total pengeluaran fi skal meningkat hingga sekitar 24 persen.

Walaupun memliliki peran yang lebih kecil dalam belanja daerah setelah desentralisasi, pemerintah pusat tetap membelanjakan dana yang cukup besar di daerah. Belanja pemerintah pusat ditujukan untuk mendanai proyek-proyek yang digolongkan sebagai prioritas nasional. Pada tahun 2004, pemerintah pusat sendiri menanggung lebih dari 30 persen dari belanja pembangunan. Data tersebut menunjukkan bahwa pemerintah pusat tetap mengeluarkan belanja untuk fungsi-fungsi yang sebagian besar telah didesentralisasi.34 Pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota memiliki pola belanja yang serupa. Pemerintah pusat melakukan pembelanjaan terutama pada lima sektor, yang, pada umumnya, juga diprioritaskan oleh pemerintah daerah, yaitu prasarana, pendidikan, pembangunan daerah, kesehatan, dan pertanian. Selain kelima sektor tersebut, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memfokuskan belanja pada administrasi dan aparat pemerintah.

Dua fungsi utama yang didesentralisasi, pendidikan dan kesehatan, sebagian besar telah menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Namun demikian, pemerintah pusat dan provinsi juga menghabiskan porsi yang hampir sama untuk pendidikan dan porsi yang cukup besar untuk sektor kesehatan (Gambar 4.3). Untuk menghindari tumpang tindih dan ketidakefi sienan dalam alokasi anggaran, karena pemerintah daerah telah memiliki pemahaman yang lebih baik tentang prioritas daerah, anggaran belanja di masa mendatang yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat untuk fungsi-fungsi yang sebagian besar telah didesentralisasi harus dihentikan.

Gambar 4.3 Komposisi sektoral dan kelembagaan dari belanja pembangunan di Aceh, 2004 (Rp Milyar)

0 200 400 600 800 1,000 1,200 1,400

Pariwisata & Telekomunikasi

Kependudukan & Keluarga Berencana

Ketenagakerjaan

Lingkungan & Tata ruang

Industri, Perdagangan & Usaha Daerah

Pertambangan & Energi

Pertanian & Kehutanan

Kesehatan & Kesejahteraan Masyarakat

Pembanguanan Daerah Perumahan

Pendidikan & Kebudayaan

Transport, Irigasi & Sumber daya air

Aparatur & Adm. Keuangan

Kab/Kota Provinsi Dekonsentrasi

Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari BPS-SK/BPS dan SIKD/Depkeu. Data merupakan angka yang sebenarnya (harga konstan 2006).

Belanja Rutin vs. Belanja Pembangunan

Analisis belanja didasarkan pada klasifi kasi format lama yang terdiri dari belanja rutin dan belanja pembangunan. Klasifi kasi format lama tersebut meliputi jangka waktu yang lebih panjang, dan informasi anggaran baru dalam format baru dapat dipetakan ke dalam format lama. Namun demikian, tidak mungkin dilakukan hal sebaliknya. Dengan demikian, analisis pra dan pasca desentralisasi dapat dilakukan hanya dengan menggunakan format lama.

Sebelum desentralisasi, hampir 70 persen belanja pemerintah provinsi diperuntukkan bagi anggaran rutin. Sebagian besar dari belanja ini disebabkan oleh tanggung jawab pemerintah provinsi untuk membayar gaji pegawai negeri sipil. Pada tahun 2002 Aceh menerima sumber daya tambahan yang cukup besar sebagai akibat otonomi

34 Fungsi yang didesentralisasi meliputi kesehatan, pendidikan, pekerjaan umum, lingkungan, komunikasi, pertanian, industri dan perdagangan, penanaman modal, tanah, koperasi, sumber daya manusia, dan layanan prasarana.

Page 77: Official PDF , 178 pages

55PENGELUARAN

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

khusus, porsi belanja pembangunan dalam total belanja provinsi meningkat secara besar-besaran. Saat ini, belanja rutin dan pembangunan masing-masing mencapai kurang lebih 25 persen dan 75 persen (Gambar 4.4).

Gambar 4.4. Porsi belanja pemerintah provinsi Gambar 4.5. Porsi belanja pemerintah kabupaten/kota

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2001 2002 2003 2004 2005

%

Rutin Pembangunan

0

10

20

30

40

50

60

70

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2001 2002 2003 2004 2005

%

Rutin Pembangunan

Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS-SK/BPS.

Sama halnya, sebelum desentralisasi, pemerintah kabupaten/kota melakukan pengeluaran agak lebih pada belanja rutin dan mungkin akan tetap melakukan hal yang sama. Pada tahun 2005, hampir 60 persen fari belanja pemerintah kabupaten/kota adalah berupa belanja rutin (gambar 4.5). Pengeluaran rutin yang besar terjadi sebagian karena pengalihan gaji pegawai negeri sipil kepada pemerintah daerah pasca desentralisasi. Jumlah pemerintah kabupaten/kota yang bertambah akibat desentralisasi juga menambah pengeluaran administrasi. Belanja rutin telah meningkat lebih dari tiga kali lipat dari angka sebelum desentralisasi, sehingga melebihi pengeluaran pembangunan. Pengeluaran Aceh untuk pegawai telah meningkat dalam jumlah nyata namun tetap konstan pada sekitar 70 persen dari seluruh belanja rutin (Tabel 4.2). Angka ini sama dengan angka rata-rata di Indonesia (72 persen) tetapi jauh lebih tinggi dari produksi minyak dan gas bumi provinsi lain (Papua, Riau, Kalimantan Timur). Sejak tahun 2003, bantuan keuangan dan pengeluaran yang tidak diharapkan telah meningkat secara nyata. Tabel 4.2. Struktur belanja rutin daerah di Aceh, 1999–2005

Belanja Rutin

1999 2002 2003 2004 2005

Milyar Rp % Milyar Rp % Milyar Rp % Milyar Rp % Milyar Rp %

Pegawai 826.3 68.0 2,348.7 67.7 2,805.5 68.9 3,098.4 69.9 2,686.4 67.4

Barang &Jasa 122.0 10.0 402.3 11.6 444.1 10.9 499.3 11.3 516.7 13.0

Operasional & Perawatan

27.8 2.3 116.6 3.4 115.5 2.8 100.1 2.3 91.2 2.3

Perjalanan Dinas 22.1 1.8 52.4 1.5 87.1 2.1 83.4 1.9 104.5 2.6

Lain-lain 109.2 9.0 279.8 8.1 26.4 0.6 0.0 0.0 0.0 0.0

Bantuan Keuangan & Pengeluaran tak terduga

106.9 8.8 269.1 7.8 593.2 14.6 650.7 14.7 586.4 14.7

Total 1,214.3 100.0 3,469.0 100.0 4,071.7 100.0 4,431.9 100.0 3,985.3 100.0Sumber: Kalkulasi Staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS-SK/BPS. Data riil (harga konstan 2006).

Belanja pembangunan daerah di Aceh meningkat empat kali lipat sejak tahun 1999–2002, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2003–2004. Penurunan tersebut disebabkan setidaknya sebagian oleh peningkatan intensitas konfl ik sejak tahun 2003.35 Sebelum desentralisasi, pemerintah daerah melakukan investasi sebagian besar pada prasarana. Pascadesentralisasi, aparat pemerintah, pendidikan, dan prasarana tetap merupakan prioritas utama pemerintah daerah. Namun demikian, bagian dari anggaran pembangunan yang dikeluarkan untuk

35 Menyusul perubahan dalam bentuk anggaran pemerintah kabupaten/kota, data tahun 2003 dan 2004 telah disesuaikan menurut kategori rutin dan pembangunan. Namun demikian, masih terbuka kemungkinan adanya kesalahan data yang besar.

Page 78: Official PDF , 178 pages

56 PENGELUARAN

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

aparat pemerintah meningkat, sementara bagian untuk prasarana menurun (Tabel 4.3). Setelah desentralisasi, pengeluaran untuk prasarana meningkat, tetapi kembali menurun tajam tak lama setelah itu. Porsinya dalam total belanja juga menurun. Tabel 4.3. Belanja pembangunan daerah per sektor di Aceh, 1999–2005

Sektor

1999 2001 2003 2004 2005

Milyar Rp % Milyar

Rp % Milyar Rp % Milyar

Rp % Milyar Rp %

Aparat Pemerintah 138.9 12.4 403.9 13.3 1,142.6 29.8 1,464.9 37.9 1,239.8 34.7

Pertanian 65.2 5.8 286.8 9.5 216.8 5.7 197.8 5.1 202.5 5.7

Mineral dan Energi 2.9 0.3 5.7 0.2 16.7 0.4 16.4 0.4 12.6 0.4

Industri dan perdagangan

38.7 3.4 276.9 9.1 58.5 1.5 44.2 1.1 51.6 1.4

Tenaga Kerja 0.2 0.0 4.9 0.2 16.4 0.4 27.9 0.7 24.0 0.7

Kesehatan, Sosial, Kesejahteraan

134.9 12.0 258.8 8.5 265.9 6.9 283.1 7.3 237.8 6.7

Pendidikan dan Kebudayaan

139.8 12.4 494.6 16.3 1,060.6 27.7 879.7 22.7 748.3 21.0

Lingkungan dan Perencanaan Tata Ruang

39.5 3.5 83.5 2.8 27.1 0.7 38.5 1.0 40.7 1.1

Keluarga Berencana dan Kependudukan

3.2 0.3 5.8 0.2 7.0 0.2 23.1 0.6 12.9 0.4

Prasarana 561.2 49.9 1,211.0 39.9 1,020.0 26.6 893.2 23.1 1,000.7 28.0

Pengangkutan, Air dan irigasi

350.8 31.2 781.3 25.8 795.5 20.8 641.2 16.6 863.3 24.2

Pariwisata dan telekomunikasi

10.4 0.9 21.6 0.7 11.1 0.3 13.0 0.3 9.7 0.3

Perumahan dan Permukiman

200.0 17.8 408.1 13.5 213.5 5.6 239.0 6.2 127.7 3.6

Total 1,124.6 100.0 3,031.9 100.0 3,831.7 100.0 3,868.7 100.0 3,570.9 100.0

Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BPS-SK/BPS. Data menurut harga konstan 2006.

Sejak tahun 2003, pengeluaran pembangunan untuk aparat pemerintah merupakan prioritas belanja tertinggi bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Porsi sektor ini dalam total belanja pembangunan telah meningkat secara terus menerus, dari sekitar 12 persen pada tahun 1999 hingga hampir 40 persen pada tahun 2004. Peningkatan jumlah pemerintah kabupaten/kota mungkin meningkatkan belanja untuk bidang prasarana dan pengawasan pemerintah.

Pada tahun 2002 diperkenalkan konsep baru tentang penganggaran berbasis kinerja, dan format penganggaran pemerintah disatukan ke arah pendekatan manajemen pembelanjaan yang lebih terintegrasi.36 Format anggaran yang baru ditandai oleh pergeseran dari pendekatan berbasis program/proyek (pemisahan antara belanja rutin dan pembangunan) menjadi pendekatan berbasis penerima manfaat (pemisahan antara belanja untuk aparat pemerintah dan belanja untuk pelayanan publik). Pemerintah daerah di Aceh telah menerapkan format anggaran yang baru tersebut secara luas pada tahun 2003. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang melaporkan anggaran mereka kepada Depkeu semuanya menggunakan format anggaran yang baru. Perubahan ini memungkinkan penilaian atas jumlah anggaran belanja pemerintah daerah yang dialokasikan untuk proyek-proyek yang memberi manfaat bagi masyarakat dan aparat pemerintah.

36 Perubahan ini diatur dengan Keputusan Kementerian Dalam Negeri No. 29/2002 (Kepmen 29).

Page 79: Official PDF , 178 pages

57PENGELUARAN

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Pada tahun 2003 pemerintah provinsi dan kabupaten/kota telah mengalokasikan lebih dari 50 persen dari anggaran mereka untuk pelayanan publik mereka (tabel 4.4). Porsi dari, serta total alokasi untuk, pelayanan publik menurun pada tahun 2004 dan 2005. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mengalokasikan sekitar 35 persen untuk belanja aparat pada tahun 2003 dan meningkatkannya hingga 40 persen pada tahun 2005.

Page 80: Official PDF , 178 pages

58 PENGELUARAN

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabe

l 4.4

. Kom

posi

si b

elan

ja d

aera

h be

rdas

arka

n fo

rmat

ang

gara

n ya

ng b

aru

(bel

anja

apa

ratu

r dan

bel

anja

pub

lik) d

i Ace

h, 2

003–

05

Bela

nja

2003

2004

2005

Prov

insi

Kab/

Kota

Tota

lPr

ovin

siKa

b/Ko

taTo

tal

Prov

insi

Kab/

Kota

Tota

l

Mily

ar R

p %

Mily

ar R

p %

Mily

ar R

p %

Mily

ar

Rp

%M

ilyar

Rp

%

Mily

ar

Rp

%M

ilyar

Rp

%

Mily

ar

Rp

%M

ilyar

Rp

%

Peng

elua

ran

Apar

at

553.

034

.72,

197.

334

.92,

750.

334

.860

6.8

37.2

2,56

9.5

38.5

3,17

6.3

38.3

555.

040

.92,

469.

839

.83,

024.

740

.0

Adm

inist

rasi

Um

um

362.

422

.71,

646.

626

.12,

009.

025

.438

1.4

23.4

1,88

0.1

28.2

2,26

1.4

27.2

328.

924

.21,

929.

031

.12,

257.

929

.9

Mod

al

86.5

5.4

259.

54.

134

6.0

4.4

80.0

4.9

284.

54.

336

4.5

4.4

96.9

7.1

295.

04.

839

1.9

5.2

Ope

rasio

nal &

Pe

mel

ihar

aan

104.

16.

529

1.2

4.6

395.

35.

014

5.5

8.9

404.

96.

156

0.4

6.6

129.

29.

524

5.8

4.0

375.

05.

0

Peng

elua

ran

Publ

ik

1,03

7.0

65.0

3,50

3.6

55.6

4,54

0.7

57.5

1,02

0.4

62.6

3,45

3.2

51.8

4,47

3.6

53.9

790.

858

.23,

154.

250

.93,

945.

052

.2

Adm

inist

rasi

Um

um

33.3

2.1

1,41

6.9

22.5

1,45

0.3

18.4

20.9

1.3

1,49

8.8

22.5

1,51

9.7

18.3

12.1

0.9

1,12

8.8

18.2

1,14

0.9

15.1

Mod

al

460.

328

.91,

046.

916

.61,

507.

219

.145

7.6

28.1

1,01

5.2

15.2

1,47

2.8

17.7

332.

524

.51,

151.

718

.61,

484.

219

.6

Ope

rasio

nal &

Pe

mel

ihar

aan

543.

434

.11,

039.

816

.51,

583.

220

.054

1.8

33.2

939.

214

.11,

481.

017

.844

6.2

32.9

873.

614

.11,

319.

817

.5

Peng

elua

ran

dilu

ar d

ugaa

n 4.

20.

314

5.5

2.3

149.

61.

92.

80.

214

2.2

2.1

145.

01.

712

.40.

996

.21.

610

8.6

1.4

Bant

uan

Keua

ngan

& P

orsi

Peng

elua

ran

457.

073

457.

05.

850

5.7

7.6

505.

76.

147

7.8

7.7

477.

86.

3

Tota

l pen

gelu

aran

m

odal

54

6.8

34.3

1,30

6.4

20.7

1,85

3.2

23.5

537.

633

.01,

299.

719

.51,

837.

222

.142

9.4

31.6

1,44

6.7

23.3

1,87

6.1

24.8

Tota

l1,

594.

310

0.0

6,30

3.4

100.

07,

897.

710

0.0

1,63

0.1

100.

06,

670.

610

0.0

8,30

0.6

100.

01,

358.

210

0.0

6,19

8.0

100.

07,

556.

210

0.0

Sum

ber:

Kalk

ulas

i Ban

k D

unia

ber

dasa

rkan

dat

a da

ri D

atab

ase

Des

entr

alis

asi B

ank

Dun

ia d

an S

IKD

/Dep

keu.

Dat

a m

erup

akan

ang

ka y

ang

sebe

narn

ya (h

arga

kon

stan

200

6).

Page 81: Official PDF , 178 pages

59PENGELUARAN

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Sama seperti yang terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia, pemerintah kabupaten/kota di Aceh tidak selalu mampu merealisasikan pembelanjaan sesuai dengan rencana. Realisasi belanja pembangunan dan belanja rutin lebih rendah dibandingkan dengan alokasinya. Pemerintah kabupaten/kota di Aceh mengeluarkan anggaran belanja yang lebih kecil dari rencana untuk semua mata anggaran rutin, terutama pada operasional dan pemeliharaan (OdanM) (Tabel 4.5). Secara keseluruhan pada tahun 2003, belanja rutin menyimpang dari yang direncanakan lebih dari 10 persen. Belanja pembangunan menyimpang sebesar lebih dari 40 persen. Realisasi anggaran belanja yang rendah tersebut dapat mengindikasikan rendahnya daya serap pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, keterlambatan transfer dana bagi hasil dari sumber daya alam mungkin turut andil dalam rendahnya tingkat realisasi tersebut. Karena kebutuhan akan investasi dan program pembangunan di Aceh meningkat, perlu dipastikan bahwa pemerintah kabupaten/kota meningkatkan daya serap mereka, terutama untuk belanja pembangunan.

Tabel 4.5. Rencana Belanja vs. Realisasi di Aceh, 2002–03

2002 2003

Rencana Realisasi % perbedaan Rencana Realisasi %

perbedaan

Pegawai 1,570 1,160 (35.4) 871 797 (9.23)

Barang dan Jasa 162 137 (17.7) 98 85 (15.09)

Operasional dan Pemeliharaan

50 36 (39.0) 22 18 (25.42)

Perjalanan Dinas 21 20 (9.1) 15 13 (19.24)

Lain-lain 306 128 (139.5) - - -

Total Rutin 2,109 1,480 (42.4) 1,006 913 (10.23)

Total Pembangunan 1,154 1,088 (6.1) 1,264 883 (43.26)Sumber: Kalkulasi Staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu.Catatan: Data pemerintah kabupaten/kota berdasarkan sampel nonacak dari tujuh Pemkab/kot di Aceh yang menyerahkan data rencana dan realisasi pada tahun 2002-03. Ketujuh Pemkab/kot tersebut adalah Aceh Besar, Aceh Tenggara, Aceh Utara, Pidie, Aceh Barat, Banda Aceh, dan Langsa.

Belanja pada Program Rekonstruksi

Rekonstruksi setelah tsunami dan gempa bumi menimbulkan arus uang masuk yang cukup besar ke Aceh dan Nias. Pada akhir bulan Juni 2004, dana sebesar AS$4,9 Milyar telah dialokasikan untuk rekonstruksi dalam bentuk berbagai macam proyek dan program. Jumlah ini lebih dari separuh dari total yang diperkirakan untuk program rekonstruksi tetapi belum cukup memenuhi seluruh kebutuhan rekonstruksi saat ini. Namun demikian, kenaikan infl asi akan meningkatkan biaya program rekonstruksi sebesar kurang lebih 40 persen, atau AS$1,2 Milyar. Selisih antara jumlah total dana yang dijanjikan untuk rekonstruksi dan pembangunan sebesar AS$8 Milyar, dan jumlah total biaya sebesar AS$6,1 Milyar, menyisakan sumber daya tambahan sebesar sekitar AS$1,9 Milyar yang dapat diinvestasikan untuk program pembangunan jangka panjang (Gambar 4.6).

Page 82: Official PDF , 178 pages

60 PENGELUARAN

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 4.6. Kebutuhan rekonstruksi vs. sumber daya yang dialokasikan dan dijanjikan di Aceh

GOI (1.2 )

Penilaian KehilanganDan Kerusakan

(4.5) NGOs (1.7 )

NIAS (0.4 )

DONORS (2.0 )

Inflasi (1.2)GOI ( 1.5)

- Peningkatan fasilitas di wilayahterkena tsunami dan gempa bumi

- Reintegrasi pasca konflikdan program pembangunan NGOs (0.4 )

pinjaman lunak (0.7)

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Kebutuhan Program

Mily

ar U

SD

Komitmentnamun belumdilakukan(3.1)

Telah dialokasikan kedalamproyektertentu(4.9)

Membangun Kembali(6.1)

Membangun kembali lebih baik(1.9)

hibah(0.5)DONORS

Sumber: Estimasi staf BRR/Bank Dunia, Juni 2006.

Kecenderungan dan kesenjangan sektoral

Sektor prasarana dan sosial telah mendapat alokasi tertinggi. Total dana untuk kedua sektor tersebut adalah sebesar AS$2,7 Milyar – atau 75 persen – dari portofolio rekonstruksi yang ada saat ini sebesar AS$4,9 Milyar. Perumahan merupakan sektor terdepan dengan dana sebesar AS$1,1 Milyar, yang disusul oleh transportasi, kesehatan, pendidikan, dan prasarana masyarakat (Gambar 4.7). Perumahan telah menjadi fokus utama bagi BRR dan LSM-LSM, yang disusul oleh sektor-sektor seperti pengembangan pemerintah kabupaten/kota (BRR) dan kesehatan serta mata pencaharian (LSM). Para donor memusatkan perhatian pada pendidikan dan transportasi.

Gambar 4.7. Distribusi sektoral dana rekonstruksi (juta AS$)

0 200 400 600 800 1000 1200

Lingkungan

Pengendali banjir dan irigasi

Pertanian dan Peternakan

Perikanan

Air dan Sanitasi

Infrastruktur Lainnya

Industri Perdagangan dan UKM

Pemerintah & administrasi

Agama, Budaya & Masyarakat

Pendidikan

Kesehatan

Transpor

Perumahan

Juta Dolar AS

GOI Donors NGOs

Sumber: Estimasi staf Bank Dunia, Juni 2006.

Kesenjangan pembiayaan yang tajam masih tetap terjadi di seluruh sektor dan wilayah. Walaupun dana yang mencukupi telah dijanjikan untuk mendukung rehabilitasi dan rekonstruksi, alokasi dana yang ada saat ini bahkan tidak akan dapat memenuhi kebutuhan minimum pada beberapa sektor dan di beberapa wilayah. Sektor terpenting adalah transportasi yang memiliki kesenjangan ketiadaan pembiayaan yang besar (Gambar 4.8).

Page 83: Official PDF , 178 pages

61PENGELUARAN

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 4.8. Alokasi dana dibandingkan dengan kebutuhan minimum inti, per sektor, bulan Juni 2006 (AS$ juta)

-400

-300

-200

-100

0

100

200

300

400

Kes

ehat

an

MA

syar

akat

, Bud

aya,

Aga

ma

Usa

ha/e

kono

mi

Pen

didi

kan

Pem

erin

taha

n &

Adm

inis

tras

i

Per

umah

an

Air

& S

anita

si

Per

tani

an &

pet

erna

kan

Per

ikan

an

infra

stru

ktur

lain

nya

Kom

unik

asi

Ene

rgy

Ling

kung

an

Pen

gend

alia

n B

anjir

, Irig

asi

Tran

spor

Juta

Dol

ar A

S

Defis it

Surplus

20% inflasi

Sumber: Staf BRR/Bank Dunia.

Dalam hal kesenjangan wilayah, daerah di sekitar Banda Aceh dan Aceh Besar memiliki sumber daya lebih dari cukup untuk membangun kembali, sementara daerah lain, seperti sebagian besar daerah Pantai Barat, Selatan Meulaboh, dan Pantai Timurlaut Aceh (Kab. Aceh Timur dan Aceh Tamiang), tidak memiliki sumber daya yang mencukupi (Gambar 4.9).

Gambar 4.9. Pembiayaan dibandingkan dengan kebutuhan geografi s

ACEH UTARA

ACEH TENGGARA

BENER MERIAH

ACEH TENGAH

SIMEULUE

LHOKSUMAWE (KOTA)

LANGSA (KOTA)

BANDA ACEH (KOTA)

SABANG (KOTA)

67

54

43

41

122

43

84

39

53

66

72

6870

65

125

197

79

ACEH SINGKIL

ACEH SELATAN

ACEH TIMUR

ACEH BARAT

ACEH BESAR

PIDIE BIREUEN

ACEH BARAT DAYA

GAYO LUES

ACEH TAMIANGNAGAN RAYA

ACEH JAYA

NIAS SELATAN

NIAS

31

68

Financing-to-Needs Ratio (% )Diatas 125100 sampai 12575 sampai 10050 sampai 75Dibawah 50Tidak tersedia

Sumber: Catatan konsep BRR dan kalkulasi staf Bank Dunia, Desember 2005.Catatan: Kebutuhan penduduk Aceh Singkil mungkin lebih tinggi karena kerusakan dan kerugian akibat gempa bumi tanggal 28 Maret 2005.

Page 84: Official PDF , 178 pages

62 PENGELUARAN

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Penyaluran dana telah mengalami peningkatan yang cukup besar sejak bulan September 2005 dan mencapai jumlah AS$1,5 Milyar pada bulan Juni 2006. Meskipun terjadi kenaikan, penyaluran dana untuk membangun Aceh kembali, tetap di bawah harapan. Tingkat penyaluran dari pihak-pihak utama sangat bervariasi. Hingga akhir bulan Juni 2006, LSM-LSM telah menyalurkan 46 persen komitmen mereka, donor 22 persen, dan BRR 29 persen. Angka penyaluran ini menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku menghadapi kesulitan besar dalam menyalurkan dana yang telah mereka janjikan. Total program untuk seluruh periode rekonstruksi (2005-09) mencapai AS$8,0 Milyar. Jumlah ini menunjukkan angka penyaluran tahunan rata-rata sekitar AS$1,8 Milyar, atau AS$150 juta/bulan. Angka penyaluran saat ini masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan untuk “membangun kembali dengan lebih baik” dengan sukses dalam jangka waktu yang telah disepakati.

Dibandingkan dengan anggaran tahun 2005, anggaran BRR tahun 2006 meningkat sebesar 50 persen. Diantara sektor-sektor tersebut, sektor prasarana mengalami kenaikan alokasi terbesar. Dengan dana sebesar Rp. 4,6 Triliun yang tersedia dari sisa anggaran tahun 2005 dan anggaran 2006, sektor prasarana (termasuk perumahan) merupakan fokus pelaksanaan proyek tahun 2006 ( 0).

Gambar 4.10. Anggaran BRR dan pencairan, 2005 dan 2006

2000 1000 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

Perumahan & Infrastruktur

Kelembagaan

Perekonomian

Kesehatan & Pendidikan

Agama Sosial & budaya

Nias Sekret. Komunikasi &Keuangan

Perencanaan % Program

Milyar RupiahAnggaran 2005 Pencairan 2005 Anggaran 2006 Pencairan 2006

Sumber: BRR.

BRR merupakan pelaku rekonstruksi utama. Portofolio BRR sekitar dua kali lipat pelaku utama lainnya (Palang Merah). Total komitmen pemerintah termasuk BRR untuk jangka waktu 5 tahun program rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh adalah sekitar AS$2,4 Milyar. Anggaran sekitar AS$800 juta untuk tahun 2007 memberi BRR peluang untuk mengembangkan posisinya dalam pendanaan rekonstruksi. BRR hanya akan menyisakan AS$500 juta untuk dibelanjakan selama tahun 2008-09. Hingga akhir bulan September 2006, BRR telah membelanjakan sekitar Rp. 4,2 Triliun (gambar 4.11). Pembelanjaan tersebut setara dengan 31 persen dari total anggaran tahun 2005 dan 2006. Sejak bulan Juni 2006, BRR telah menyalurkan 62,73 persen dari alokasi anggarannya untuk tahun 2005 (Rp. 3,96 Triliun). Sejak bulan September, BRR hanya melakukan pembelanjaan sebesar 18 persen dari alokasi anggaran untuk tahun 2006 (Rp. 9,6 Triliun). Pola penyaluran tampaknya menunjukkan bahwa BRR tidak akan mampu menyalurkan seluruh anggarannya pada tahun 2006.

Page 85: Official PDF , 178 pages

63PENGELUARAN

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 4.11. Pencairan oleh BRR tahun 2005 dan anggaran tahun 2006 (Rp. Milyar)

-

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

4,000

4,500

OctNov

Des Jan

Feb

Mar

chApril

May

June

July

Agustus

Septe

mber

Mily

ar R

upia

h

Bulanan Kumulatif

Sumber : BRR.

Pencairan nampaknya tidak merata di seluruh sektor dan bahkan lebih tidak merata lagi di seluruh wilayah. Lhokseumawe, Kab. Pidie, Kab. Nagan Raya, and Kab. Aceh Tenggara mencapai tingkat penyaluran sebesar 20 persen atau lebih tinggi. Kab. Aceh Tamiang, Kab. Aceh Singkil, dan Kab. Gayo Lues memiliki angka Penyaluran paling rendah: dibawah 5 persen (gambar 4.12).

Gambar 4.12. Penyaluran anggaran BRR di Aceh menurut kabupaten/kota, tahun 2005 dan 2006

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

KA

B. A

CE

H T

IMU

R

KO

TA L

AN

GS

A

KO

TA L

HO

KS

UM

AW

E

KA

B. B

IRE

UN

KA

B. A

CE

H B

ES

AR

KA

B. P

IDIE

KO

TA B

AN

DA

AC

EH

KA

B. S

IME

ULU

E

NA

NG

GR

OE

AC

EH

DA

RU

SS

ALA

M

SU

MA

TE

RA

UT

AR

A

KA

B. A

CE

H J

AYA

KA

B. A

CE

H B

AR

AT

KA

B. N

I A

S

KA

B. A

CE

H U

TA

RA

KO

TA S

AB

AN

G

KA

B. N

AG

AN

RA

YA

KA

B. A

CE

H T

EN

GA

H

KA

B. N

IAS

SE

LA

TAN

KA

B. A

CE

H T

EN

GG

AR

A

KA

B. A

CE

H B

AR

AT

DA

YA

KA

B. B

EN

ER

ME

RIA

H

KA

B. A

CE

H T

AM

IAN

G

KA

B. G

AY

O L

UE

S

KA

B. A

CE

H S

ING

KIL

KO

TA M

EU

LAB

OH

Mei (anggaran 2005)Juli (anggaran 2006 (25 wilayah)

Penyaluran oleh Daerah*

*25 daerah untuk anggaran 2006

Sumber: BRR.

Tingkat pencairan yang relatif rendah pada proyek-proyek BRR disebabkan oleh kombinasi antara masalah struktural dan masalah spesifi k. Pelaporan, garis tanggung jawab dan pertanggungjawaban yang tidak jelas; staf yang tidak mencukupi dan ketiadaan insentif; prosedur pengadaan yang rumit; dan meningkatnya biaya hidup dan operasional yang tidak tercakup dalam DIPA tahun 2005 (Daftar Isian Pengeluaran Anggaran) merupakan

Page 86: Official PDF , 178 pages

64 PENGELUARAN

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

beberapa masalah struktural yang terjadi di Aceh. Rumitnya dan kurangnya persiapan dan pengawasan atas proyek-proyek, serta tidak tersedianya pelatihan bagi manajer proyek, merupakan beberapa masalah spesifi k yang harus diperhatikan.

Rekomendasi

Saat ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi Aceh untuk “membangun kembali dengan lebih baik” setelah tsunami dan konfl ik berkepanjangan yang membawa dampak yang menghancurkan. Dana rekonstruksi dalam jumlah besar, ditambah APBD dalam jumlah besar, memungkinkan Aceh untuk mengatasi masalah-masalah kemiskinan struktural, meningkatkan pembangunan ekonomi daerah, dan meningkatkan kualitas penyediaan layanan publik. Namun demikian, pertanggungjawaban dan transparansi pemerintah daerah harus ditingkatkan guna memastikan pengelolaan dan pembelanjaan sumber daya publik dikelola yang efektif.

Saat ini adalah waktu yang tepat untuk membuat keputusan strategis tentang (re-) alokasi dana rekonstruksi. Hingga akhir tahun 2006, lebih dari AS$6 Milyar––sekitar 75 persen dari total dana––diperkirakan akan dialokasikan. Pada bagian awal dari tahap rekonstruksi ini, meskipun terdapat sumber daya yang tersedia dalam jumlah yang sangat besar, sangat sedikit pelaku yang masih memiliki dana yang “dapat diprogram” dalam jumlah yang besar. Kesenjangan pendanaan yang masih terjadi perlu diatasi dengan segera. Dana yang mencukupi telah dijanjikan seluruhnya untuk mendukung rehabilitasi dan rekonstruksi. Namun demikian, di beberapa bidang penting, alokasi dana yang telah diprogram oleh pemerintah pusat dan para donor bahkan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan minimum, terutama transportasi. Beberapa daerah juga masih mendapatkan dana yang sangat kurang memadai, terutama Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Timur, Aceh Tamiang, and Nias.

Pembelanjaan pemerintah pusat di masa mendatang untuk sebagian besar fungsi-fungsi yang didesentralisasi harus dihentikan karena pemerintah daerah memiliki pemahaman yang lebih baik tentang prioritas daerah tersebut sehingga dapat menghindari tumpang tindih dan ketidakefi sienan dalam alokasi anggaran. Belanja pemerintah pusat dapat diarahkan secara lebih baik melalui dana alokasi khusus (DAK) yang berfokus pada daerah tertinggal dan kegiatan-kegiatan yang bekaitan dengan prioritas nasional dan yang dapat menghasilkan penghematan yang besar.

Berbagai tingkatan pemerintahan harus meneliti dengan seksama kecenderungan peningkatan pengeluaran pada belanja rutin dan belanja pembangunan aparat pemerintah secara keseluruhan. Penelitian secara seksama tersebut penting terutama karena adanya indikasi yang menunjukkan bahwa peningkatan belanja aparat pemerintah belum menghasilkan pengelolaan sumber daya fi skal yang lebih baik. Belanja publik harus ditujukan untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan yang dapat memperbaiki penyediaan layanan dan kesejahteraan masyarakat dan menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial jangka panjang.

Untuk meningkatkan pelaksanaan program, realisasi anggaran belanja pemerintah kabupaten/kota harus ditingkatkan. Realisasi belanja pembangunan dan rutin pada umumnya jauh lebih rendah daripada belanja yang dianggarkan. Realisasi pembelanjaan yang rendah disebabkan oleh beberapa faktor yang perlu diperhatikan, seperti daya serap yang rendah dari pemerintah kabupaten/kota dan penundaan persetujuan anggaran dan transfer pendapatan, terutama pembagian hasil sumber daya alam.

Dengan pertimbangan keadaan yang kompleks dan luasnya cakupan pekerjaan yang sedang dilaksanakan oleh BRR, maka fl eksibilitas daur belanja BRR harus ditingkatkan, sehingga memungkinkan BRR untuk menggunakan anggaran yang belum dibelanjakan pada tahun-tahun berikutnya. Fleksibilitas ini perlu dikombinasikan dengan peningkatan kemampuan BRR untuk melakukan perencanaan program dan pengawasan.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Page 87: Official PDF , 178 pages

5Analisis Sektoral serta Rekomendasi

Page 88: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI66

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Bab ini membahas tentang sektor-sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Masing-masing analisis sektor disertai dengan rekomendasi.

Kesehatan

Akses terhadap sarana perawatan kesehatan utama di Aceh secara umum lebih baik dari pada di bagian lain Indonesia. Menurut survei Podes (Survei Potensi Desa BPS), pada tahun 2005 Aceh memiliki 277 puskesmas, 705 pustu (puskemas pembantu), 427 praktek dokter swasta, 1.078 praktek bidan swasta, 4.247 posyandu (pos pelayanan terpadu), dan 2,765 polindes (pondok bersalin desa).37 Menurut Survei Kesehatan dan Gizi UNICEF38, kira-kira 25 persen desa di Provinsi Aceh tidak memiliki sarana kesehatan ditempat. Akan tetapi, survei ini kemungkinan memiliki perkiraan yang terlalu tinggi tentang kebutuhan sarana kesehatan karena terdapat banyak desa kecil di Aceh yang mana jumlah penduduknya dan jaraknya ke desa-desa yang lebih besar menunjukkan tidak cukupnya alasan untuk memiliki sarana kesehatan tersebut. Dibandingkan dengan rata-rata nasional, rata-rata sarana kesehatan di Aceh melayani jumlah penduduk yamg lebih sedikit (14.577 vs. 26.789 jiwa) dan memiliki wilayah layanan yang lebih kecil (200 vs. 242 km2).

Penyebaran rumah sakit yang tidak merata menciptakan kebutuhan-kebutuhan yang tidak perlu di beberapa kabupaten/kota. Sebagian besar rumah sakit (20 dari 37) terkonsentrasi di 4 kota (Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa, dan Sabang) sementara 5 kabupaten/kota masih belum memiliki satu rumah sakit pun. Karena kecilnya jumlah penduduk di sebagian besar kabupaten/kota serta jarak ke kabupaten/kota lainnya yang memiliki rumah sakit, rumah sakit per kabupaten/kota mungkin bukan merupakan indikator yang tepat. Aceh memiliki profi l layanan kesehatan yang relatif sama dengan profi l layanan kesehatan Indonesia: rumah sakit per penduduk (0,89 vs. 0,77 per 100.000 penduduk), penduduk per tempat tidur rumah sakit (1.703 vs. 1.641), dan wilayah layanan rumah sakit (1.500 vs. 1.200 km2).

Sarana perawatan kesehatan umumnya tersedia, tetapi sebagian besar tidak berfungsi. Sebagai contoh, di Kab. Bireuen, hanya 19 persen polindes yang kondisinya baik atau wajar. Selebihnya sebanyak 81 persen polindes tidak dapat memberikan pelayanan, yang mana tidak berfungsinya disebabkan kurangnya perawatan dan diperburuk oleh konfl ik dan tsunami (gambar 5.1).39 Dengan tidak adanya penyedia kesehatan di lokasi, unit kesehatan keliling harus meningkatkan akses terhadap perawatan pengobatan resmi di desa-desa. Jumlah unit-unit tersebut meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Teorinya, unit-unit keliling tersebut dapat meningkatkan akses penduduk terhadap perawatan kesehatan. Namun, dalam kenyataannya, banyak desa yang tidak dilayani oleh puskesmas keliling; dan walaupun suatu desa dilayani, puskesmas keliling hanya memberikan layanan pada hari-hari yang tidak tentu (GDS).40

37 Ketidakkonsistenan data yang besar ditemukan antara dinas-dinas kesehatan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Jumlah sarana yang dilaporkan oleh dinas kesehatan provinsi jauh lebih besar dari yang dilaporkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota. Data dinas kesehatan kabupaten/kota lebih dapat diandalkan, tetapi informasi ke seluruh 21 dinas tidak tersedia.

38 UNICEF 2005.

39 Dinas kesehatan Kabupaten/kota Bireuen, 2004. Bireuen mungkin tidak merupakan pengecualian. Staff dinas kesehatan Aceh Utara, Lhokseumawe, dan Pidie melaporkan kondisi sarana yang serupa.

40 Survei Pemerintahan dan Desentralisasi, 2006. Penjelasan tentang metodologi terdapat dalam lampiran survei B7.

Page 89: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 67

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 5.1. Polindes di Kecamatan Padang Tiji, Kab. Pidie

Sumber: Staf Bank dunia, 6 Juni, 2006.

Jumlah tenaga kesehatan di Aceh relatif besar dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain. Dengan jumlah 11 bidan per 10.000 penduduk, jumlah bidan per kapita di Aceh merupakan yang tertinggi di Indonesia (Gambar 5.2). Seorang bidan di Aceh melayani rata-rata wilayah kurang lebih 12 km2, sementara di provinsi-provinsi lain kecuali Kepulauan Riau dan DKI Jakarta, seorang bidan memiliki wilayah layanan dua kali lipat dari wilayah itu. Jumlah dokter juga agak lebih tinggi di Aceh dibandingkan di daerah lain di Indonesia (2 vs. 1.8 per 10.000). Hal yang sama juga berlaku untuk tenaga kesehatan lainnya (5 vs. 3.6 per 10,000) (tabel D20 dan D21 dalam lampiran statistik D).

Gambar 5.2. Jumlah bidan umum dan swasta per 10.000 penduduk dan luas kilometer persegi yang dilayani

0

2

4

6

8

10

12

NA

D

Pap

ua

Ben

gku

lu

Mal

uku

Mal

uku

Sul

awes

i

NT

T

Sul

awes

i

Sum

ater

a

Kal

iman

tan

Sul

awes

i

Sum

ater

a

Kal

iman

tan

Jam

bi

Sum

ater

a

Go

ront

alo

Kal

iman

tan

Sul

awes

i

Bal

i

Kal

iman

tan

Ban

gka

Lam

pun

g

Jaw

a

Jaw

a T

imur

Ria

u

NT

B DI

Jaw

a B

ara

t

Ban

ten

0

50

100

150

200

250

Rasio bidan Wilayah Pelayanan

Sumber: Podes 2005.

Penyedia pelayanan kesehatan lebih memilih wilayah perkotaan dari pada wilayah perdesaan. Berbeda dengan kondisi rata-rata di Indonesia, distribusi bidan di Aceh agak cenderung lebih banyak di wilayah-wilayah perkotaan (Gambar 5.3). Temuan ini didukung oleh bukti subjektif dari GDS dan dinas-dinas kesehatan kabupaten/kota yang menyatakan bahwa, selama masa konfl ik, para bidan meninggalkan wilayah perdesaan dan pindah ke wilayah perkotaan. Standar hidup yang rendah dan konfl ik merupakan salah satu alasan yang diberikan atas pindahnya penyedia pelayanan kesehatan ke wilayah perkotaan. Dokter juga cenderung lebih banyak di wilayah-wilayah perkotaan tetapi tidak terlalu berbeda dengan kondisi rata-rata di Indonesia.

Page 90: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI68

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 5.3. Jumlah bidan dan dokter di perkotaan vs. pedesaan per 10.000 penduduk

11.3

3.1

5.93.6

10.7

4.10.60.9

0

2

4

6

8

10

12

Bidan Aceh BidanIndonesia

Dokter Aceh DokterIndonesia

Perkotaan Pedesaan

Sumber: Podes 2005.

Penggunaan layanan kesehatan di Aceh relatif lebih tinggi. Angka penggunaan sarana kesehatan (swasta dan umum) adalah 194 per 1.000 penduduk, lebih tinggi dari rata-rata nasional yaitu 154 per 1.000. Kelahiran yang dibantu oleh penyedia layanan kesehatan yang berkualifi kasi juga relatif tinggi. Di Aceh, 75 persen kelahiran dibantu oleh bidan yang berkualifi kasi atau dokter dibandingkan dengan tingkat rata-rata nasional sebesar 61 persen. Sebagian besar penduduk menggunakan layanan perawatan kesehatan umum. Di Aceh, 77 persen dari total kunjungan rawat jalan adalah ke sarana-sarana umum, sementara rata-rata untuk Indonesia jauh lebih rendah yaitu 46 persen. Perbandingan data dari Podes (dokter dan bidan) menunjukkan bahwa tidak banyak penyedia layanan kesehatan di Aceh yang benar-benar swasta.

Penggunaan layanan Puskesmas sangat bervariasi di Aceh. Puskesmas menerima rata-rata 230 pasien rawat jalan per minggu (GDS),41 atau 360 menurut survei Universitas Gajah Mada (UGM).42 Akan tetapi, terdapat variasi yang sangat besar di antara puskesmas-puskesmas di Aceh yang berkisar antara 0 sampai lebih dari 6.500 pasien rawat jalan per minggu. Hampir sepertiga dari sarana tersebut menerima kurang dari 100 kunjungan per minggu, atau 20 kunjungan per hari. Suatu pengkajian harus dilakukan untuk memahami mengapa sarana-sarana ini menyediakan sedikit pelayanan dan apakah perawatan atas tiap-tiap sarana tersebut mencukupi.

Dalam banyak hal, mutu layanan perawatan kesehatan dapat ditingkatkan. Banyak sarana berada di bawah standar minimum yang dapat diterima. Survei GDS memperlihatkan bahwa 5 dari 34 puskesmas tidak memiliki sarana air bersih; 12 puskesmas tidak memiliki genset sendiri sehingga sering mengalami mati lampu, dan 1 puskesmas tidak dilengkapi sambungan listrik. Dari 34 puskesmas yang disurvei, di masing-masing puskesmas paling sedikit 1 jenis obat tidak tersedia. Selain itu, rata-rata 2–3 dari 13 obat-obatan dasar tidak tersedia atau sudah habis persediaannya selama 3 bulan terakhir. Setengah dari puskesmas tersebut tidak mempunyai paling sedikit 1 dari 4 vaksin utama. Ketidakhadiran tenaga kesehatan merupakan hal yang lumrah dalam sistem kesehatan publik. Studi yang dilakukan pada tahun 2004 menemukan bahwa 40 persen penyedia layanan kesehatan di Indonesia tidak berada di tempat selama jam kerja resmi. Berdasarkan bukti subjektif, tampaknya keadaan di Aceh tidak berbeda.43

Pencapaian di bidang Kesehatan

Indikator pencapaian bidang kesehatan secara keseluruhan di Aceh tampaknya lebih buruk dari pada rata-rata nasional. Berbagai sumber digunakan untuk membandingkan informasi dari sumber-sumber yang tersedia (dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota, SUSENAS, BPS, dan UNICEF). Terdapat banyak alasan (kerusakan karena tsunami, kesulitan dalam pengumpulan data karena konfl ik) yang mengakibatkan kurang akuratnya data dalam sektor kesehatan. Cakupan imunisasi di Aceh lebih rendah dari tingkat rata-rata nasional. Semua sumber data menunjukan bahwa angka imunisasi tuberkulosa (Bacillus of Calmette dan Guerin-BCG), DPT3 (gabungan vaksinasi untuk mencegah dipteri: pertussis -batu reja -tetanus), dan campak berada di bawah rata-rata nasional (tabel 5.1).44

41 GDS mencakup 34 puskesmas di 6 kabupaten/kota.

42 Survei sarana UGM (Universitas Gajah Mada) memuat data andal penggunaan 165 puskesmas di seluruh bagian provinsi.

43 Smeru 2004.

44 Survei kesehatan dan survey UNICEF, September 2005.

Page 91: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 69

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel 5.1. Perbandingan cakupan imunisasi (%)

Aceh(UNICEF 2005)

(%)

Aceh (Dinas Kesehatan 2004) (%)

Aceh(SUSENAS 2004)

(%)

Indonesia(SUSENAS 2002–03)

(%)

BCG 62 36.4 76.2 90.2

DPT 3 48 33.3 21.1 43.2

Polio 3 n.a. n.a. 6.6 12.8

Campak 49 31.8 76.5 84.2Sumber: UNICEF 2005, Dinas Kesehatan 2004, dan Indonesian Demographic and Health Survei (IDHS) 2002–03.

Data dari survei UNICEF yang dilakukan di Aceh setelah tsunami memperlihatkan pencapaian kesehatan yang lebih buruk di Aceh dari pada bagian lain Indonesia. Survei tersebut dilaksanakan pada bulan Maret dan September 2005 di 18 kabupaten/kota di provinsi Aceh yang mencerminkan kejadian penyakit pada anak-anak di bawah enam tahun dan wanita hamil. Fakta bahwa kedua survei dilakukan setelah tsunami agak mempengaruhi analisis tersebut. Survei menunjukkan bahwa, di Aceh, 37 persen anak-anak menderita penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan 38 persen menderita demam. Persentase ini lebih tinggi dari tingkat rata-rata nasional, di mana 6.3 persen dari anak-anak menderita ISPA dan 20 persen menderita demam. Indikator kejadian gizi buruk juga lebih buruk di Aceh, di mana 44 persen dari anak-anak memiliki berat badan yang kurang, dibandingkan dengan 26 persen di Indonesia.45

Dampak konfl ik dan tsunami terhadap sistem kesehatan dan pencapaian bidang kesehatan

Selama konfl ik, walaupun sarana kesehatan bukan merupakan sasaran––sebagaimana halnya sekolah–– prasarana kesehatan sangat rusak parah. Selama minggu pertama pemberlakuan undang-undang keadaan darurat pada tahun 2003, tiga puskesmas pembantu dan 35 klinik bidan desa dibakar di Kab. Bireuen dan Kab. Pidie. Angka tersebut merupakan tambahan dari 8 puskesmas, 19 puskesmas pembantu, dan 7 unit keliling yang hancur di provinsi tersebut di tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, dari tahun 1999 sampai 2004, 20 staf perawatan kesehatan tewas, dan 29 staf kesehatan di 20 kabupaten/kota menjadi korban kekerasan. Sebagai akibat dari konfl ik tersebut, banyak bidan meninggalkan pos mereka dan tinggal di perkotaan. Konfl ik telah sangat membebani sistem perawatan kesehatan karena banyaknya jumlah pengungsi, akses yang terbatas terhadap layanan-layanan di wilayah-wilayah konfl ik, dan meningkatnya kebutuhan terhadap perawatan khusus. Selain itu, selama konfl ik, banyak pekerja kesehatan pindah dari wilayah pedesaan ke wilayah perkotaan, sehingga menyebabkan sangat sedikitnya penyediaan layanan kesehatan di wilayah-wilayah pedesaan. Bahkan walaupun konfl ik telah berakhir, para penyedia layanan kesehatan tersebut belum kembali ke pos mereka. Di beberapa desa, layanan telah terhenti, sebaliknya di daerah lain, layanan tersedia pada jam-jam yang tidak teratur tergantung pada penyedia layanan. Penduduk desa sering tergantung pada penyedia layanan yang ada di tempat yang lebih jauh.

Tsunami menyebabkan kerusakan yang besar terhadap sarana-sarana kesehatan dan sumber daya manusia. Gempa bumi dan tsunami yang terjadi tanggal 26 Desember mengakibatkan kerusakan yang parah pada sektor kesehatan, merusakkan atau menghancurkan 8 rumah sakit, 41 puskesmas, 59 pustu, 44 posyandu, and 240 polindes. Dinas kesehatan provinsi juga rusak parah, disertai banyaknya data yang hilang. Banyak tenaga kesehatan profesional yang tewas. Kekurangan tenaga kesehatan tersebut telah ditangani dengan menyediakan tenaga pengganti yang jumlahnya hampir dua kali lipat jumlah penyedia layanan kesehatan. Kurang lebih 1,306 staf kesehatan baru, termasuk 222 dokter dan 162 bidan, direkrut segera setelah kejadian tersebut untuk menggantikan staf yang tewas. Sebagian besar tenaga kerja baru dipekerjakan oleh LSM, dan bekerja di pos-pos layanan kesehatan sementara dan tidak digaji oleh pemerintah.

Tsunami membuat 500,000 orang kehilangan tempat tingal. Sebagian besar terpaksa pindah ke kamp-kamp pengungsi. Hal ini menimbulkan masalah kesehatan khusus. Sampai bulan Juli 2006, lebih dari 50.000 orang masih tinggal di kamp-kamp pengungsi. Kamp-kamp pengungsi mengalami kekurangan air bersih dan

45 Abreu 2005.

Page 92: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI70

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

memiliki sarana sanitasi yang buruk. Walaupun terdapat persepsi ancaman yang lebih besar terhadap indikator nutrisi kesehatan, kajian yang dilakukan baru-baru ini oleh UNICEF tidak menunjukan perbedaan yang besar dalam hal limbah, kekurangan gizi akut global, hambatan pertumbuhan, kekurangan berat badan, dan anemia di antara anak-anak yang hidup di kamp-kamp pengungsi dan bukan pengungsi.46 Permulihan sedang berlangsung, tetapi berjalan lebih lama dari yang diperkirakan. Pada bulan Juli 2006, 25 persen dari prasarana kesehatan yang rusak telah dibangun kembali. Proyek-proyek pembangunan dan rehabilitasi delapan rumah sakit telah selesai dilaksanakan; 13 lagi sedang berlangsung. Setengah dari puskesmas dan pustu yang rusak saat ini sedang dibangun kembali.

Belanja bidang kesehatan vs. mutu perawatan kesehatan dan pencapaian bidang kesehatan

Pada tahun 2005 total pengeluaran bidang kesehatan hampir Rp. 700 milyar, sebagian besarnya berasal dari provinsi dan kabupaten/kota. Pengeluaran bidang kesehatan sebagian besar telah terdesentralisasi; 60 persen dari pengeluaran bidang kesehatan dilakukan oleh provinsi dan kabupaten/kota. Belanja kesehatan dari saku (out-of-pocket) rumah tangga, swasta hampir sepertiga dari jumlah total yaitu lebih dari Rp. 200 milyar.47 Belanja pemerintah pusat melalui APBN hanya menyumbang 9 persen dari jumlah belanja tersebut (Gambar 5.4).

Gambar 5.4. Sumber-sumber pengeluaran bidang kesehatan

9.4%

10.4%

49.3%

30.9%APBN (2005)

Provinsi (2005)

Kab/kota (2005)

Pengeluaran Rumah tangga (2004)

Sumber: SIKD dan SUSENAS 2004.

Keluarga miskin memiliki persentase pengeluaran perawatan kesehatan yang lebih besar dari keluarga kaya. Akan tetapi, keluarga kaya melakukan pengeluaran yang lebih banyak secara riil. Rata-rata, rumah tangga di Aceh menghabiskan Rp. 3.504 per bulan untuk kesehatan, atau 2,0 persen dari total pengeluarannya (SUSENAS 2004) (Tabel 5.2). Angka tersebut relatif rendah dibandingkan dengan rata-rata keluarga Indonesia, yang menghabiskan Rp 7.722 atau 3,7 persen dari total pengeluarannya untuk kesehatan per bulan. Sedikitnya persentase atas layanan kesehatan swasta yang relatif mahal dan rendahnya biaya puskesmas mungkin turut mempengaruhi pengeluaran kesehatan swasta yang relatif rendah di Aceh.

Tabel 5.2 Pengeluaran kesehatan rata-rata bulanan rumah tangga di seluruh kuintil pendapatan (%)

Paling Miskin 2 3 4 Paling

Kaya Rata-rata

Pengeluaran kesehatan rumah tangga Aceh (Rp) 2,616 2,439 2,959 3,187 6,320 3,504

Bagian dari total pengeluaran rumah tangga (%) 2.1 1.7 1.8 1.8 2.3 2.0

Pengeluaran kesehatan rumah tangga Indonesia (Rp) 3,399 4,249 5,403 7,381 18,179 7,724

Bagian dari total pengeluaran rumah tangga (%) 2.9 3.0 3.2 3.5 4.7 3.7

Sumber: SUSENAS 2004.

46 UNICEF 2005.

47 Data pengeluaran rumah tangga dari SUSENAS 2004 digunakan untuk mengetahui pengeluaran 2005.

Page 93: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 71

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Pada tahun 2004 berdasarkan persentase dari total belanja, belanja bidang kesehatan di Aceh merupakan yang terendah di Indonesia. Pemerintah daerah secara rata-rata menghabiskan 7 persen dari anggaran pengeluaran mereka untuk kesehatan, sementara pemerintah daerah di Aceh menghabiskan sedikit di atas 5 persen (Gambar 5.5).

Gambar 5.5. Persentase pengeluaran bidang kesehatan pemerintah daerah, 2004

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Gor

onta

lo

Jaw

a Te

ngah

Kal

iman

tan

Sel

atan

Ben

gkul

u

Sum

atra

Uta

ra

Nus

a Te

ngga

ra B

arat

Sul

awes

i Ten

gah

Jaw

a Ti

mur

Nus

a Te

ngga

ra T

imur

Yogy

akar

ta

Bal

i

Sum

atra

Bar

at

Jaw

a B

arat

D K

I Ja

kart

a

Rat

a-ra

ta n

asio

nal

Jam

bi

Kal

iman

tan

Bar

at

Ban

ten

Pap

ua

Kal

iman

tan

Teng

ah

Sul

awes

i Sel

atan

Mal

uku

Ban

gka

Bel

itung

Lam

pung

Ria

u

Sum

atra

Sel

atan

Kal

iman

tan

Tim

ur

Ace

h

Sul

awes

i Uta

ra

Sul

awes

i Ten

ggar

a

Mal

uku

Uta

ra

(% d

ari j

umla

h pe

ngel

uara

n)

Sumber: Staf WB, SIKD, 2004.

Sebaliknya, pengeluaran daerah bidang kesehatan per kapita di Aceh lebih tinggi dari rata-rata Indonesia. Pengeluaran bidang kesehatan per kapita pemerintah daerah di Aceh lebih kurang Rp 78.000, jauh di atas rata-rata Indonesia yaitu Rp. 51.000 (Gambar 5.6).

Gambar 5.6. Pengeluaran kesehatan per kapita daerah menurut provinsi, 2004

0

50

100

150

200

250

Pap

ua

Kal

iman

tan

Tim

ur

Go

ront

alo

Kal

iman

tan

Ten

gah

DK

I Jak

arta

Ria

u

Mal

uku

Sul

awes

i Ten

gah

NA

D

Kal

iman

tan

Sel

atan Bal

i

Ben

gku

lu

Jam

bi

NT

T

Sum

ater

a B

ara

t

Ban

gka

Bel

itung

DI Y

og

yaka

rta

Kal

iman

tan

Bar

at

Sul

awes

i Sel

atan

Sum

ater

a U

tara

Nas

iona

l

NT

B

Sul

awes

i Ten

gg

ara

Sul

awes

i Uta

ra

Mal

uku

Uta

ra

Sum

ater

a S

elat

an

Jaw

a T

eng

ah

Jaw

a T

imur

Lam

pun

g

Jaw

a B

ara

t

Ban

ten

Rp

('0

00

)

Sumber: Staf Bank Dunia.Catatan: Data untuk DKI Jakarta tidak tersedia

Page 94: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI72

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Setelah desentralisasi, pengeluaran kesehatan daerah meningkat secara mencolok, tetapi persentasenya dari total pengeluaran daerah tidak berubah banyak (Gambar 5.7). Sebagai akibat dari status otonomi khusus, pengeluaran kesehatan meningkat secara mencolok lebih kurang 50 persen, tetapi persentasenya terhadap total belanja yang dialokasikan untuk bidang kesehatan tetap antara 5 persen dan 7 persen.

Gambar 5.7. Belanja bidang kesehatan dari total belanja daerah, 2001–05

342

545 539444

508

6%

7%6%

5%

6%

0

100

200

300

400

500

600

2001 2002 2003 2004 2005

Rp

(Mily

ar R

p.)

0%

1%

2%

3%

4%

5%

6%

7%

Sumber: Perkiraan staf Bank dunia staff berdasarkan data Depkeu (harga konstan 2006).

Pemerintah kabupaten/kota mengeluarkan anggaran belanja yang lebih besar untuk bidang kesehatan dibandingkan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Setelah desentralisasi, persentase belanja provinsi terhadap total belanja bidang kesehatan masyarakat berkurang sementara belanja bidang kesehatan pemerintah daerah meningkat. Pada tahun 2005 hanya 15 persen dari total belanja bidang kesehatan masyarakat disumbangkan oleh provinsi, dibandingkan dengan 71 persen dari kabupaten/kota dan 14 persen dari pusat. Rincian yang serupa juga berlaku untuk belanja rutin dan pembangunan (Tabel 5.3).

Tabel 5.3. Belanja kesehatan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, 2005

Pusat Provinsi Kabupaten/kota Total

Milyar Rp % Milyar

Rp % Milyar Rp % Milyar

Rp %

Total 99 13.6 88 15 420 71.3 607 100

Pembangunan 23 11.9 34 18 135 70.2 192 100

Rutin 77 14.5 54 13.6 285 71.9 416 100

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia (harga konstan 2006).

Belanja rutin meningkat sedangkan belanja pembangunan menurun. Tren ini meningkatkan persentase belanja rutin untuk bidang kesehatan. Sejak desentralisasi, belanja rutin daerah meningkat lebih dari dua kali lipat dari Rp. 152 milyar menjadi 339 milyar, sebagian besar karena peningkatan dalam belanja rutin kabupaten/kota. Belanja pembangunan menurun. Pada tahun 2001 pengeluaran pembangunan Rp. 21 milyar lebih tinggi dari pada tahun 2005 (Gambar 5.8). Sebagai hasil dari kedua kecenderungan ini, persentase belanja rutin meningkat dari 45 persen pada tahun 2001 menjadi 67 persen pada tahun 2005. Di antara kabupaten/kota, terdapat variasi yang besar dalam hal belanja rutin vs. belanja pembangunan. Kab. Langsa memiliki persentase belanja rutin yang relatif lebih tinggi (sampai dengan 79 persen dari total belanja bidang kesehatan kabupaten), sementara Kab. Aceh Barat Daya mengeluarkan anggaran belanja yang relatif lebih tinggi untuk pembangunan (44 persen). Bagian belanja rutin yang meningkat digunakan untuk gaji penyedia layanan kesehatan. Persentase gaji dari total belanja meningkat dari 33 persen pada tahun 2001, atau 74 persen dari belanja rutin, menjadi 54 persen, atau 83 persen dari belanja rutin, pada tahun 2004 (Gambar 5.9).

Page 95: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 73

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 5.8. Pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin pemerintah kabupaten/kota (kanan) dan provinsi (kiri)

0

100

200

300

400

500

2001 2002 2003 2004 2005

Milyar Rp. rutin Pembangunan

0

100

200

300

400

500

2001 2002 2003 2004 2005

Milyar Rp. rutin Pembangunan

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu (harga konstan 2006).

Biaya operasional terlalu kecil untuk menjamin tersedianya layanan yang bermutu. Pada tahun 2004 hanya Rp 0,8 juta (2 persen dari total belanja bidang kesehatan) digunakan untuk biaya operasional. Sarana Puskesmas menerima alokasi yang kecil untuk biaya operasional, yang selalu lebih kecil dari alokasi anggaran yang diminta. Sebagai akibatnya, tidak terdapat sumber daya yang cukup untuk mengoperasikan puskesmas secara penuh. Sebagai contoh, karena kurangnya dana, puskesmas keliling sering tidak beroperasi, dan digunakan sebagai ambulan.

Gambar 5.9. Total pengeluaran rutin bidang kesehatan yang dirinci untuk pegawai atau gaji, barang dan lainnya (persentase dan Rp milyar)

113 237 256 239

2436 44 38

0%

20%

40%

60%

80%

100%

2001 2002 2003 2004

Personel Barang Operasional Perjalanan Lain

Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan pada data Depkeu (harga konstan 2006).

Sebagian besar pemerintah daerah di Aceh menghabiskan lebih banyak dana untuk bidang kesehatan dibandingkan rata-rata kabupaten/kota lain secara nasional. Walaupun, secara proporsi, kabupaten/kota di Aceh menghabiskan dana yang hampir sama untuk bidang kesehatan, belanja kesehatan per kapitanya sangat bervariasi. Sabang menghabiskan 33 kali lebih banyak per orang dibandingkan kabupaten/kota yang baru dibentuk, Langsa. Belanja kesehatan kabupaten/kota berkisar antara 1.5 persen dan 13.0 persen dari total belanja (Gambar 5.10).

Page 96: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI74

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 5.10. Pengeluaran bidang kesehatan kabupaten/kota per kapita dan persentase dari total pengeluaran, 2004 dan 2005

0

100

200

300

400

500

600S

aban

g

Ace

h Ta

mia

ng*

Sim

elue

Ace

h B

esar

Ace

h T

eng

gar

a*

Ace

h B

arat

Ace

h U

tara

Lho

kseu

maw

e*

Ace

h B

arat

Day

a*

Ace

h T

eng

ah

Nag

an R

aya

Bire

uen

Ace

h T

imur

Ace

h S

elat

an*

Ind

one

sia

Ace

h S

ing

kil

Pid

ie

Ban

da

Ace

h

Ace

h Ja

ya

Lang

sa*

Rp

('0

00

)

0

2

4

6

8

10

12

14

%

per kapita Persentase dari total

Sumber: Perhitungan staf Bank dunia staff berdasarkan data Depkeu (harga konstan 2006)Catatan: * = kabupaten/kota untuk mana data 2005 tidak tersedia dan data 2004 digunakan.

Kebijakan Perawatan Kesehatan

Kartu kesehatan, yang diganti dengan JPK Gakin (jaminan pelayanan kesehatan untuk keluarga miskin) pada tahun 2005, berdasarkan peraturan Gubernur Aceh, dan JPK-MM (jaminan pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin) semuanya dimaksudkan untuk mengurangi biaya saku sendiri (out-of-pocket cost). JPK-Gakin memberi hak kepada keluarga miskin untuk mendapatkan layanan rawat inap dan rawat jalan kelas tiga. Peraturan gubernur tahun 2002 memberikan hak kepada seluruh penduduk Aceh untuk mendapatkan layanan puskesmas tanpa dipungut bayaran. Dana bantuan langsung JPK-MM bertujuan untuk “meningkatkan akses (untuk masyarakat miskin) dan mutu layanan perawatan kesehatan dengan mengurangi biaya kesehatan saku sendiri (out-of-pocket).”48 Gabungan dari kebijakan-kebijakan ini mungkin turut berperan atas rendahnya belanja kesehatan swasta yang dilakukan oleh masyarakat Aceh.

Sebagian besar puskesmas tidak memungut biaya, tetapi tidak semua puskesmas mengetahui peraturan tersebut. Hasil GDS 2 menunjukkan bahwa 67 persen dari pasien puskesmas tidak membayar ongkos untuk mendapatkan layanan. Selebihnya 33 persen membayar antara Rp. 1.000 sampai Rp.400.000.49 Enam puluh sembilan persen dari puskesmas melaporkan tidak mengenakan biaya apapun untuk layanan rawat jalan, sementara selebihnya mengenakan antara Rp. 200 sampai Rp 6.000. Kurangnya kepatuhan terhadap peraturan gubernur tersebut mungkin disebabkan oleh terbatasnya penyebaran informasi tentang peraturan tersebut. Delapan puluh persen dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan hampir 40 persen staf puskesmas tidak mengetahui tentang peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tarif puskesmas. Belum ada tambahan dana yang diberikan kepada puskesmas untuk mengganti pendapatan yang hilang, menyebabkan ketatnya anggaran operasi. Sebelum tahun 2002, puskesmas diperbolehkan untuk menyimpan 20 persen dari biaya layanan yang dikumpulkan, yang dapat digunakan untuk insentif staf dan dana operasional. Jumlah pendapatan yang dikumpulkan melalui biaya, berbeda-beda berdasarkan penggunaan: puskesmas dengan “rata-rata” 350 pasien per minggu dan biaya Rp. 1.500 akan menerima pendapatan tahunan dari retribrusi sebesar Rp. 5,2 juta. Kurangnya dana penggantian, secara rata-rata dapat mengurangi 10 persen dari pendapatan puskesmas.

48 Manlak Depkes, 2005 Sejak Juli 2005 pemerintah pusat menyediakan subsidi langsung dalam bentuk block grant ke puskesmas. Block grant JPK-MM dialokasikan untuk kegiatan 4 puskesmas: Layanan Kesehatan Dasar, Paket Layanan Kelahiran, Sumber Daya Manajamen dan Operasional, serta Nutrisi, Rehabilitasi dan Revitalisasi. Puskesmas yang berpartisipasi dalam program tersebut harus menandatangani Perjanjian Penyediaan Bantuan yang menyepakati penggunaan sumber dana sesuai dengan pedoman yang tegas..

49 Biaya yang tinggi timbul ketika layanan rawat inap diperlukan.

Page 97: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 75

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Keterlambatan pencairan dana bantuan berpengaruh pada pemberian layanan. Puskesmas melaporkan terjadinya keterlambatan dalam pencairan dana bantuan JPK-MM. Tidak semua puskesmas dapat menalangi biaya layanan kesehatan dan, sebagai akibatnya, terdapat gangguan dalam penyediaan layanan kesehatan. Setelah dana masuk ke rekening puskesmas, dana tersebut tetap belum dapat dikeluarkan karena peraturan tentang penggantian biaya puskesmas tidak jelas. Hak-hak lain seperti pemberian layanan kebidanan secara gratis telah dibayar oleh pasien dan dengan demikian tidak dapat dengan mudah dikembalikan. Kepala Puskesmas tidak memiliki wewenang untuk menetapkan kembali alokasi dana sehingga dana tersebut tetap tidak bisa digunakan sampai ada informasi lebih lanjut dari dinas kesehatan kabupaten/kota. Dana bantuan dari pemerintah pusat merupakan langkah mundur dari desentralisasi karena menggantikan wewenang kabupaten/kota. Sejak desentralisasi, pemerintah kabupaten/kota bertanggungjawab untuk mengelola sektor kesehatan publik. Program dana bantuan dari pemerintah pusat mengesampingkan wewenang kabupaten/kota, dan sehingga bertentangan dengan tujuan desentralisasi. Dana bantuan langsung untuk mempertahankan tersedianya layanan kesehatan pada tingkat minimum sambil meningkatkan kapasitas pemerintah daerah mungkin dikarenakan pemerintah pusat menyadari bahwa pemerintah-penerintah daerah tidak dapat menyediakan layanan minimum. Akan tetapi, hal ini tampaknya bukan maksud dari JPK-MM (atau BOS, bantuan serupa untuk sektor pendidikan). Program-progam peningkatan kapasitas kelembagaan untuk pemerintah daerah yang menunjukkan maksud ini tidak didapati.

Rekomendasi

1. Tiga bidang prioritas untuk meningkatkan pemberian layanan kesehatan adalah (1) menyederhanakan sistem informasi kesehatan, (2) meningkatkan alokasi belanja untuk pemeliharaan dan operasi, dan (3) mengkaji kapasitas sumber daya manusia yang ada di dinas kesehatan pemerintah daerah. Pengeluaran kesehatan publik sebagai bagian dari total pengeluaran relatif rendah di Aceh, tetapi pengeluaran kesehatan per kapita relatif tinggi. Dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Indonesia, belanja kabupaten/kota untuk bidang kesehatan, yang menyumbang 71 persen dari belanja bidang kesehatan, termasuk rendah. Sumbangan swasta dari rumah tangga merupakan bagian yang besar dari total belanja kesehatan. Sumber daya publik yang dialokasikan untuk bidang kesehatan dan dana yang tersedia melalui upaya rekonstruksi memberikan peluang untuk semakin meningkatkan sistem perawatan kesehatan di Aceh.

2. Sementara fokus saat ini adalah pada kuantitas sarana dan penyedia layanan kesehatan, fokus tersebut seharusnya diarahkan pada peningkatan mutu layanan. Kombinasi antara pengeluaran harus ditingkatkan untuk mengatasi ketidakhadiran, insentif yang rendah untuk bekerja di wilayah-wilayah pedesaan, serta kondisi yang buruk dan tidak adanya dana operasi di banyak sarana kesehatan. Meningkatnya jumlah kabupaten/kota dan desa telah menimbulkan permintaan sarana kesehatan yang tidak tepat. Perhatian harus dialihkan dari pembangunan sarana baru yang menjadi fokus saat ini. Pemeliharaan telah diabaikan, dan biaya operasi kadang-kadang terlalu kecil untuk dapat digunakan. Layanan akan menjadi lebih baik dengan belanja pemeliharaan dan operasional yang lebih tinggi.

3. Pemetaan yang tepat tentang sarana perawatan kesehatan, pemeliharaannya, dan sumber daya manusia merupakan hal yang penting sebelum memutuskan untuk membangun lebih banyak layanan perawatan kesehatan. Sejak desentralisasi, jumlah puskesmas dan pustu meningkat. Walaupun terdapat jumlah yang tinggi atas penyedia kesehatan publik dan swasta, sumber daya manusia tidak selalu cukup untuk secara benar mengelola sarana baru tersebut. Sebagai akibatnya, peralatan yang tersedia di sarana kesehatan hanya minimalis, dan lingkungan kerja yang tidak mendukung staf perawatan kesehatan mengakibatkan mereka meninggalkan pos-posnya.

4. Sistem informasi manajemen data perlu dibangun kembali untuk mendukung penentuan prioritas alokasi anggaran kesehatan. Lembaga-lembaga kesehatan pemerintah memiliki data yang berlimpah, yang tampaknya dikumpulkan tidak dengan tujuan yang jelas. Akibatnya, mutu data kurang diperhatikan. Perbandingan berbagai sumber data dalam lingkungan dinas kesehatan memperlihatkan adanya ketidakkonsistenan. Selain itu, sebagai akibat dari konfl ik dan tsunami, banyak data yang hilang.

Page 98: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI76

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Oleh karena itu, pendataan terhadap prasarana kesehatan, sumber daya manusia, dan layanan sangat sulit. Tidakadanya arus data yang terlembaga antara kabupaten/kota dan provinsi membuat mutu data semakin rendah. Verifi kasi data yang selayaknya tidak memungkinkan, dan verifi kasi belum mendapatkan perhatian yang layak.

5. Belanja pemerintah pusat seharusnya hanya untuk tugas-tugas yang tersentralisasi saja. Subsidi pemerintah pusat (bantuan dana) ke puskesmas merupakan tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota. Alokasi belanja pemerintah pusat di daerah-daerah sangat tidak dapat diprediksikan. Pemerintah kabupaten/kota tidak dapat bergantung pada bantuan tersebut, yang pengoperasiannya berdasarkan pada peraturan-peraturan yang terus berubah. Perlu diperhatikan bahwa kabupaten/kota tampaknya menyesuaikan belanja mereka sehubungan dengan hal di atas, tidak memegang tanggung jawab penuh untuk bidang-bidang yang merupakan tanggung jawab mereka.

6. Mobilitas penyedia layanan kesehatan harus difasilitasi untuk meningkatkan efektifi tas layanan kesehatan. Pada tingkat desa, penyedia bergantung pada transportasi mereka sendiri. Penyediaan transportasi untuk staf perawatan kesehatan, khususnya bidan-bidan di lapangan, penting untuk meningkatkan layanan mereka. Tanpa dukungan puskesmas, penyediaan perawatan pra kelahiran, bantuan selama melahirkan, perawatan setelah melahirkan, imunisasi, dan sosialisasi tentang informasi terbaik dan praktek tebaik bergantung pada bidan.

Pendidikan

Sistem pendidikan dan pencapaian-pencapaian bidang pendidikan

Data Dinas Pendidikan Provinsi menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir angka partisipasi pendidikan di Aceh meningkat dengan pasti. Antara tahun 2000 dan 2004, angka partisipasi bruto pendidikan tingkat sekolah dasar (SD) meningkat sedikit dari 111 persen menjadi 118 persen; angka partisipasi bruto pendidikan tingkat sekolah menengah pertama (SMP) meningkat dari 67 persen menjadi 80 persen; dan angka partisipasi bruto pendidikan tingkat sekolah menengah atas (SMA) dari 57 persen menjadi 72 persen (Gambar 5.11). Perbandingan terhadap angka partisipasi bruto pendidikan tingkat nasional (Gross Enrollment Rates/GER) sepanjang waktu menunjukkan bahwa Aceh memiliki angka partisipasi pendidikan yang relatif tinggi. Pada tahun 2004 angka GER nasional umtuk tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas adalah masing-masing 107 persen, 82 persen, dan 54 persen.50

Gambar 5.11. Tren angka partisipasi bruto untuk pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah di Aceh, 1999–2006

0

20

40

60

80

100

120

140

99/00 00/01 2001/02 2002/ 2003/04 2004/05 2005/06

GER (%)

GER SD GER SM P GER SM A

Sumber: Departemen Pendidikan Nasional dan data penduduk BPS, berbagai tahun.

50 Rancangan Analisis Pengeluaran Publik terhadap sector pendidikan, 2006.

Page 99: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 77

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tren angka partisipasi pendidikan lebih dapat diandalkan dari pada tingkat partisipasi pendidikan, yang tampak terlalu tinggi perkiraannya.51 Kajian atas data dinas pendidikan dan data penduduk BPS perlu dilakukan untuk membuat perkiraan yang andal tentang angka partisipasi pendidikan. Tiga sumber yang berbeda (BPS, Dinas Pendidikan, dan SUSENAS) tentang jumlah pendaftaran murid SD tahun 2004–05 (baik swasta maupun umum) berbeda dari 523.228 sampai 579.804 murid. Data dinas agama tampaknya tidak terlalu berbeda, dimana GER berkisar antara 118 persen sampai dengan 127 persen.52 Masalah data lainnya mencakup ketidakkonsistenan antara jumlah murid SD yang lulus pada tahun 2004–05 dengan jumlah murid SD yang terdaftar di tingkat akhir tahun tersebut.

Angka partisipasi pendidikan netto dan bruto tingkat sekolah dasar menunjukan akses yang selayaknya ke sekolah-seolah dasar, tetapi tetap ada perbedaan yang besar antara kabupaten/kota; Kab. Aceh Jaya tampak di bawah rata-rata. Podes 2005 menunjukkan bahwa terdapat 1.033 taman kanak-kanak dan 3.560 sekolah dasar di provinsi Aceh. Dibandingkan dengan rata-rata nasional, angka partisipasi netto pada tingkat pendidikan dasar di Aceh agak lebih tinggi: 93 persen pada tahun 2004. Hanya 4 kabupaten/kota yang berada di bawah rata-rata nasional: Kab. Aceh Barat Daya, Kab. Nagan Raya, Kab. Aceh Barat, dan Kab. Aceh Jaya (gambar B12). Angka GER yang lebih besar dari 90 persen untuk tingkat pendidikan tertentu menunjukkan bahwa jumlah agregat tempat untuk murid mendekati jumlah yang dipersyaratkan untuk akses umum bagi kelompok usia resmi.53 Partisipasi pendidikan tingkat menengah tampak lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Terdapat sedikit variasi dalam angka pendaftaran di antara kabupaten/kota. Banda Aceh berada di luar jalur dengan GER 140 persen, mungkin karena masuknya murid yang tidak terdaftar di kota tersebut setelah tsunami. GER kabupaten/kota lainnya bervariasi antara 80 persen dan 115 persen. Jarak rata-rata ke sekolah menengah pertama di luar desa adalah 5 km, tetapi di Kab. Aceh Jaya para murid harus mencapainya dengan rata-rata 16 km. Jarak ke SMP dan GER SMP tidak mempunyai korelasi yang signifi kan. (Gambar 5.12).

Gambar 5.12. GER sekolah menengah pertama dan jarak ke sekolah per pemerintah daerah, 2005

0

4

8

12

16

20

Ban

da

Ace

h

Nag

an R

aya

Lang

sa

Sim

eulu

e

Lho

kseu

maw

e

Ace

h Ja

ya

Ace

h B

arat

Sab

ang

Ace

h S

elat

an

Pid

ie

Ben

er M

eria

h

Bire

uen

Ace

h

Ace

h T

eng

ah

Ace

h B

arat

Ace

h T

amia

ng

Ace

h U

tara

Ace

h B

esar

Ace

h S

ing

kil

Ace

h T

imur

Gay

o Lu

es

km

0

40

80

120

160

GE

R

Jarak GER

Sumber: Podes 2005, Dinas Pendidikan Provinsi, dan Sensus.

Sekolah-sekolah negeri biasanya lebih disukai karena biayanya rendah, peralatan yang lebih baik, dan mutu yang lebih baik. Akan tetapi, beberapa sekolah negeri mempunyai kursi yang terbatas. Kurang dari 10 persen murid bersekolah di sekolah swasta (Gambar 5.13). Sekolah negeri dan swasta memiliki kurikulum, jam belajar dan persyaratan ujian nasional yang sama. Sekolah-sekolah swasta diinginkan ketika sekolah-sekolah negeri tidak tersedia, ketika sekolah negeri telah mencapai batas pendafataran maksimum, dan jika memang ada rumah tangga yang mampu menyekolahkan anak mereka di sekolah yang mahal, dengan mutu pendidikan yang lebih baik. SMA Anak Bangsa di Banda Aceh dan SMA Yapena di Lhokseumawe adalah contoh sekolah swasta dengan mutu yang lebih baik. Biaya yang tinggi memungkinkan sekolah-sekolah tersebut mempekerjakan guru-guru yang bermutu dan membeli buku-buku yang bagus dan peralatan yang bermutu.

51 Jumlah murid di sekolah kelompok usia 7–12 (2005) dari dinas pendidikan melebihi jumlah anak dengan kelompok usia yang sama dalam sensus penduduk.

52 “Rangkuman Data Pendidikan” and “Data Kebutuhan Guru” Dinas Pendidikan Provinsi, Aceh Dalam Angka, dan Departemen Pendidikan Nasional.

53 Lembaga Statistik UNESCO, “Indikator-indikator Pendidikan.” 2003

Page 100: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI78

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 5.13. Jumlah murid per tingkat pendidikan, negeri vs. swasta, 2004–05

0 100 200 300 400 500 600

SD/MI

SMP/MTsN

SMA/MA

siswa ('000)

Negeri

Swasta

Sumber: Dinas Pendidikan Provinsi.

Undang-undang pendidikan No. 19/2005 yang baru mengharuskan para guru untuk memiliki pendidikan sarjana strata satu, akan tetapi di seluruh Aceh hanya 37 persen guru yang memenuhi persyaratan ini.54 Pada tingkat sekolah dasar, antara 13 sampai dengan 28 persen guru memenuhi persyaratan ini (Tabel 5.4.). Kualifi kasi guru di Aceh lebih rendah dari tingkat rata-rata nasional, yaitu: masing-masing 55 persen dan 73 persen guru memiliki kualifi kasi minimal yang disyaratkan untuk pendidikan tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama (SMP). Guru-guru pada sekolah agama rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada guru-guru pada sekolah non-agama. Meskipun guru-guru pada sekolah agama memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi (58 persen–75 persen vs. 50 persen), data Biro Pendidikan Provinsi memperlihatkan prestasi siswa yang sama untuk kedua jenis sekolah dalam ujian nasional. Guru-guru sekolah menengah pertama lebih memenuhi kualifi kasi daripada guru-guru sekolah dasar. Kualifi kasi tertinggi didapati pada tingkat pendidikan sekolah menengah atas (SMA).

Tabel 5.4. Kualifi kasi Guru di Provinsi Aceh, Tahun 2005–06 (%)

SD MI SMP MTs SMA/MA

Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri SwastaNegeri + swasta

D1 44 50 26 34 13 16 5 13 2

D2 37 26 43 26 9 6 3 4 1

D3 6 8 6 12 32 27 19 26 19

Sarjana strata satu atau lebih tinggi 13 15 25 28 46 51 73 58 77

Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Sumber: Biro Pendidikan Provinsi NAD.

Tingkat ketidakhadiran guru relatif tinggi. GDS, yang meliputi 72 orang guru di Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat, mengindikaskan bahwa 30 persen guru-guru tidak hadir selama jam sekolah, dikarenakan terlibat dalam tugas-tugas di luar sekolah, sakit atau melakukan urusan pribadi. Berdasarkan suatu kajian yang dilakukan terhadap 147 sekolah di Indonesia didapati bahwa 19 persen dari guru-guru mangkir.55 Pengajaran yang bermutu menjadi terhambat oleh buruknya kondisi gedung sekolah. Hampir seperempat (23 persen) dari ruangan kelas sekolah dasar dapat dikategorikan rusak parah dan memerlukan rekonstruksi menyeluruh. Hanya 44 pesen ruangan kelas sekolah dasar di Aceh yang dianggap dalam kondisi baik, sementara 33 persen lainnya mengalami rusak ringan dan memerlukan perbaikan sebagian. (Gambar 5.14). Meskipun kondisi umum dari pendidikan yang lebih tinggi jauh lebih baik, lebih dari 1 dari 10 ruangan kelas harus direnovasi secara menyeluruh.

54 Biro Pendidikan Provinsi, NAD.

55 SMERU 2004.

Page 101: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 79

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 5.14. Kondisi Ruang Kelas (%), 2005

44

74

85

33

12

4

23

14

11

0 20 40 60 80 100

SD

SMP

SMA

Kondisi Baik Rusak Ringan Rusak Berat

Sumber: Dinas Pendidikan Provinsi, NAD.

Kelangkaan buku sekolah menghambat proses pendidkan. Survei GDS menunjukkan bahwa sekitar seperempat dari sekolah-sekolah di Aceh memiliki sebuah buku bahasa Indonesia dan sebuah buku matematika per siswa. Selebihnya rata-rata memiliki buku yang memadai untuk dipergunakan oleh 45 persen dari siswa. Persoalan yang sama juga dihadapi oleh daerah lainnya di Indonesia.

Guru-guru lebih menyukai daerah perkotaan, sehingga menimbulkan kebutuhan yang tidak semestinya di daerah pedesaan. Rasio guru-kelas sebesar 1:3 cukup memadai untuk memenuhi standar layanan minimal. Data per kabupaten mengindikasikan bahwa jumlah guru jauh lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan di daerah pedesaan. (Gambar 5.15). Masalah ini masih tetap ada di tahun-tahun belakangan ini.

Gambar 5.1.5. Variasi per kabupaten, rasio guru: kelas (SD negeri), Tahun 2005–06

0

0.5

1

1.5

2

2.5

Kot

a B

anda

Ace

h

Kot

a Lh

ok S

eum

awe

Ace

h B

esar

Kot

a S

aban

g

Kot

a La

ngsa

Bire

uen

Ace

h B

arat

Ace

h Ta

mia

ng

Pid

ie

Ace

h Te

ngah

Rec

omm

ende

d

Ace

h

Ace

h Te

ngga

ra

Nag

an R

aya

Sim

eulu

Abd

ya

Ace

h S

elat

an

Ace

h Ti

mur

Ace

h U

tara

Ben

er M

eria

h

Ace

h S

ingk

il

Gay

o Lu

es

Ace

h Ja

ya

Sumber: Biro Pendidikan Provinsi, NAD.

Standar layanan minimal tidak selalu mencerminkan kebutuhan daerah dan meningkatkan inefi siensi dalam alokasi sumber daya manusia. Kebutuhan guru diperhitungkan berdasarkan jumlah guru per sekolah. Menurut aturan standar layanan minimal, setiap sekolah dasar harus memiliki sedikitnya 6 orang guru kelas, seorang guru olah raga dan seorang guru agama. Berdasarkan aturan tersebut, dibutuhkan 5.654 orang guru tambahan untuk sekolah dasar (SD). Rasio siswa guru (STR) untuk sekolah dasar di Aceh sudah setengah dari STR yang ditargetkan, yaitu 40:1, sebagaimana diindikasikan dalam standar layanan minimal. Mengalokasikan guru tambahan hanya meningkatkan inefi siensi penggunaan sumber daya manusia yang telah ada. Peningkatan jumlah guru hanya diperlukan apabila jumlah siswa bertambah secara singinifi kan. Tingkat partisipasi pendidikan tingkat sekolah dasar yang hampir sempurna dan menurunnya tingkat kelahiran tidak menunjukkan adanya kebutuhan tersebut di masa yang akan datang. Pengelompokan kembali sekolah di daetah yang secara geografi s memungkinkannya dan pengajaran multitingkat di daerah terpencil akan sangat mengurangi kebutuhan akan guru.

Page 102: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI80

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Dampak konfl ik dan tsunami terhadap sistem pendidikan dan pencapaian-pencapaiannya

Konfl ik yang berkepanjangan telah menimbulkan kerusakan parah terhadap prasarana pendidikan. Hilangnya sumber daya manusia, banyaknya siswa yang sementara putus sekolah dan tertundanya pelaksanaan kebijakan merupakan kemunduran utama dalam sektor layanan pendidikan. Antara bulan Agustus 1998 sampai dengan bulan Agustus 2001, 369 gedung sekolah dibakar, 70 persen di antaranya adalah gedung sekolah dasar. Keadaan yang bahkan jauh lebih buruk lagi terjadi selama periode darurat militer yang dimulai pada tahun 2003 (Tabel 5.5).

Tabel 5.5. Jumlah sekolah yang hancur per kabupaten, tahun 1998–Juni 2003

Kabupaten

Periode Agustus 1998–Agustus 2001 Periode Darurat Militer, 19 Mei–18 Juni 2003

SD SMP SMA and SMK SD SMP SMA and

SMK Total

Pidie 28 15 6 219 29 4 301

Bireuen 7 1 1 119 11 5 144

Aceh Utara 66 26 14 3 1 1 111

Aceh Timur 17 5 4 37 8 7 78

Aceh Tengah 36 5 1 0 0 0 42

Aceh Barat 13 9 3 6 2 0 33

Aceh Selatan 65 18 6 0 0 0 89

Kabupaten lainnya 11 8 4 41 14 3 81

Total 243 87 39 425 65 20 879Sumber: Bappeda dan Departemen Pendidikan NAD.

Banyak anak yang kehilangan tempat tinggal akibat konfl ik dan tinggal di kamp-kamp pengungsi berhenti sekolah paling tidak untuk sementara waktu. Menurut Kanwil Departemen Pendidikan NAD pada tahun 2003 jumlah pengungsi mencapai sekitar 41.000 jiwa, termasuk 16.352 orang siswa (sekitar satu persen dari seluruh siswa). Proses pendidikan menjadi terganggu dan banyak siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama gagal mengkuti ujian akhir.56 Guru-guru juga menjadi korban dan banyak dari mereka pindah ke perkotaan. Pemerintah memperlihatkan komitmen untuk menyediakan tenda-tenda sementara dan membangun kembali sekolah-sekolah yang rusak. Pada tahun 2003, anggaran sebesar Rp.40 Milyar (sekitar AS$4,4 juta) dialokasikan untuk rekonstruksi dan bantuan kemanusiaan lainnya. Dalam anggaran pendidikan sebesar 30 persen yang telah disetujui, belanja disesuaikan untuk pengalihan dana dari biaya nonfi sik menjadi untuk pembangunan prasarana pendidikan darurat.

Gempa bumi dan tsunami pada tangal 26 Desember 2004 memakan korban hampir 2.500 guru dan puluhan ribu siswa. Dilaporkan lebih dari 2.000 sekolah rusak parah atau hancur. Akan tetapi, banyak sekolah yang kondisinya sudah buruk akibat konfl ik atau kurangnya pemeliharaan. Misalnya di Kab. Bireuen, hanya 25 persen dari kerusakan yang diakibatkan oleh tsunami atau gempa bumi. Rekonstruksi sedang berjalan. Guru-guru telah direkrut untuk menggantikan mereka yang menjadi korban, akan tetapi sebagian besar dari sekolah yang rusak masih perlu untuk dibangun kembali. Sampai dengan bulan April 2006, 2.400 dari 2.500 guru yang meninggal telah mendapatkan pengganti. Dua ratus enam puluh sekolah telah dibangun kembali dan 104 sekolah lainnya sedang dalam tahap pembangunan. Sekitar 1.500 masih perlu untuk direhabilitasi setelah diperolehnya komitmen bantuan untuk bencana tsunami. Sayangnya, upaya rekonstruksi kurang terkoordinasi dengan baik. Akibatnya, terjadi rekonstruksi yang tumpang tindih di perkotaan dan kesenjangan yang besar di pedesaan.

56 Serambi Indonesia, 26 Mei 2003.

Page 103: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 81

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tsunami untuk sementara waktu mengganggu proses pendidikan, akan tetapi sebagian besar anak-anak pada akhirnya dapat bersekolah kembali. Menurut sensus penduduk bulan Oktober 2005 di Aceh, 95 persen dari anak-anak yang berusia 7–12 tahun telah bersekolah, yang tidak berbeda dengan tingkat partisipasi pendidikan sebelum tsunami. Dampak dari tsunami terhadap kelangsungan pendidikan dan tingkat kelulusan siswa dapat diketahui hanya setelah masalah-masalah yang terkait dengan data seperti yang disebutkan pada bagian awal dari bab ini telah diselesaikan.

Tsunami banyak memakan korban anak balita berusia 0-4 tahun, yang akan menyebabkan perubahan dalam penyebaran siswa. Perbandingan dasar antara sensus penduduk tahun 2005 dengan proyeksi penduduk tahun 2005 mengindikasikan penurunan sebesar 7 persen dalam jumlah anak-anak dalam kelompok 0-4 tahun dan penurunan sebesar 3 persen dalam kelompok umur 5-9 tahun. Hal ini berarti bahwa jumlah anak yang pada awalnya diperkirakan akan memasuki pendidikan dasar selama empat tahun berikutnya akan menurun sekitar 40.000 siswa. Perbandingan antara jumlah pendaftaran siswa baru dengan proyeksi yang dibuat sebelum terjadinya tsunami memperlihatkan penurunan dalam jumlah partisipasi pendidikan; yaitu 114.410 siswa vs prediksi sebanyak 126.510.57 Dengan demikian, menurunnya jumlah siswa dalam satu kelas pada awalnya untuk SD dan kemudian untuk SMP perlu diantisipasi. Jumlah dana bantuan yang dialokasikan untuk sektor pendidikan pasca tsunami dapat digunakan untuk program-program peningkatan mutu pengajaran dan menciptakan pendidikan dengan mutu yang lebih baik di Aceh pada waktu yang akan datang.

Belanja Bidang Pendidikan vs. Mutu Pendidikan dan Pencapaian Bidang Pendidikan

Belanja bidang pendidikan di Aceh mencakup belanja yang berasal dari pemerintah pusat (APBN), pemerintah daerah (APBD I + II), dan rumah tangga swasta. Pada tahun 2005, seluruh belanja pendidikan berjumlah Rp.8 Triliun. Pengeluaran publik untuk pendidikan, apabila tidak didefi nisikan secara berbeda, termasuk belanja oleh biro-biro agama dan kebudayaan. Pemerintah kabupaten/kota merupakan pembelanja terbesar dengan sekitar Rp.1,2 Triliun atau 46 persen dari keseluruhan belanja. Kemudian diikuti oleh belanja pusat sebesar 655 Milyar (APBN dan BOS memberikan kontribusi 24 persen dari belanja). Kontribusi swasta dari rumah tangga tidak boleh diabaikan; swasta memberikan kontribusi sebesar Rp.340 Milyar untuk belanja pendidikan secara keseluruhan (Gambar 5.16).

Gambar 5.16. Komposisi belanja pendidikan di Aceh, Tahun 2005 (%)

21

3

13

1746

APBN

BOS

APBD (P rov)

APBD (Kab/kota)

Pengeluaran Rumah Tangga (2004)

Sumber: SIKD Depkeu, BOS Depdiknas, dan SUSENAS 2004.

Belanja swasta memberikan kontribusi yang cukup besar dalam belanja bidang pendidikan secara keseluruhan. Dengan tetap menggunakan data SUSENAS Tahun 2004 yang telah disesuaikan untuk tahun 2005, terdapat indikasi bahwa kontribusi swasta untuk bidang pendidikan menambah jumlah sekitar Rp.340 Milyar ke dalam jumlah belanja bidang pendidikan. Analisis atas data dari Survei Pemerintahan dan Desentralisasi memperlihatkan bahwa belanja swasta untuk SMP dan SMA terutama ditujukan untuk pembelian buku-buku, alat tulis dan transportasi apabila diperlukan, sementara biaya pendaftaran dan SPP nampaknya merupakan bagian kecil dari belanja.

57 Biro Pendidikan Provinsi, Tahun 2005.

Page 104: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI82

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Aceh memiliki belanja pendidikan perkapita tertinggi kedua dari semua provinsi di Indonesia. Bersama dengan Papua, provinsi Aceh mengeluarkan belanja yang jauh lebih banyak untuk bidang pendidikan per jumlah penduduknya dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Belanja pendidikan perkapita sebesar Rp.457.000 adalah lebih dari dua kali rata-rata belanja pendidikan nasional sebesar Rp.198.000 (Gambar 5.17).

Gambar 5.17. Belanja pendidikan perkapita pemerintah daerah per provinsi, tahun 2004

0

100

200

300

400

500

600

Pap

ua

NA

D

Gor

onta

lo

Sul

awes

i Uta

ra

Sum

ater

a B

arat

Kal

iman

tan

Teng

ah

Sul

awes

i Ten

gah

Pro

vins

i R

iau

DI Y

ogya

kart

a

Bal

i

Kal

iman

tan

Tim

ur

Kal

iman

tan

Sel

atan

Ben

gkul

u

Sul

awes

i Ten

ggar

a

NTT

Ban

gka

Bel

itung

NTB

Kal

iman

tan

Bar

at

Sum

ater

a U

tara

Sul

awes

i Sel

atan

Jam

bi

Mal

uku

Nat

iona

l

Jaw

a Te

ngah

Sum

ater

a S

elat

an

Mal

uku

Uta

ra

Lam

pung

Jaw

a Ti

mur

Jaw

a B

arat

DK

I Jak

arta

Ban

ten

Rp

('000

)

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia.

Undang-undang Otonomi Aceh No. 11/2006 yang baru menetapkan alokasi dana untuk pendidikan. Sedikitnya 30 persen dari dana bagi hasil tambahan harus dialokasikan untuk belanja pendidikan di Aceh. Sedikitnya 20 persen dari keseluruhan belanja pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus dialokasikan untuk pendidikan. Undang-undang yang baru ini menjamin alokasi pendapatan yang stabil untuk sektor pendidikan tanpa ketergantungan pada pendapatan minyak dan gas, sehingga dinas pendidikan dapat melakukan perencanaan untuk jangka pendek. Perkiraan pendapatan sampai dengan tahun 2011 mengindikasikan bahwa sekitar Rp.2 Triliun akan tersedia untuk pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Aceh untuk pendidikan selama 5 tahun mendatang (Gambar 5.18.).

Page 105: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 83

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 5.18. Perkiraan sumber daya Aceh untuk pendidikan, Tahun 2006–11

0

500

1000

1500

2000

2500

2006 2007 2008 2009 2010 2011

Mily

ar R

p.

30% dari tambahan bagi hasil20% dari penerimaan lainnyatotal anggaran Pendidikan

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia.

Secara kuantitas, belanja bidang pendidikan daerah meningkat empat kali lipat setelah desentralisasi, akan tetapi kemudian menurun secara perlahan. Meskipun demikian, porsi belanja pendidikan dari keseluruhan belanja daerah masih di atas 25 persen. Sebelum penetapan otonomi khusus, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota masing-masing mengelola Rp.70 Milyar dan Rp.491 Milyar. Pada tahun 2002, sumber daya daerah bertambah hingga mencapai Rp.440 Milyar dan Rp.1,8 Triliun, akan tetapi kemudian turun secara perlahan masing-masing menjadi Rp.319 Milyar dan Rp.1,7 Triliun, pada tahun 2005. Porsi belanja pendidikan meningkat secara drastis setelah undang-undang otonomi Aceh dilaksanakan untuk pertama kali pada tahun 2002, 34 persen dari belanja provinsi dan kabupaten/kota dialokasikan untuk pendidikan. Sejak itu, porsinya menurun, akan tetapi tetap di atas 25 persen sejalan dengan Undang-undang Otonomi yang baru. (Gambar 5.19. ). Belanja oleh dinas pendidikan telah meningkat sejak desentralisasi; sebagian besar belanja merupakan kontribusi pemerintah kabupaten/kota. Sepertinya penurunan belanja pendidikan provinsi setelah tahun 2004 disebabkan oleh janji pemerintah pusat untuk meningkatkan belanja melalui program BOS yang dimulai pada bulan Juli 2005.58

Gambar 5.19. Porsi belanja pendidikan daerah dalam keseluruhan belanja daerah (harga tetap tahun 2006)

696

2,790 2,8762,545

2,11211%

34% 33%

27%25%

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

2001 2002 2003 2004 2005

Mily

ar R

p.

0%

10%

20%

30%

40%

Pengeluaran Pendidikan Presentase Pengeluaran Pendidikan

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia.

Belanja rutin sebagian besar merupakan belanja kabupaten/kota, sementara belanja pembangunan hampir terbagi rata antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota membelanjakan 74 persen dari keseluruhan belanja rutin; pemerintah pusat menambah 24 persen; dan kontribusi provinsi hampir tidak signifi kan. Dengan 34 persen, 29 persen, dan 37 persen, tingkat pemerintahan yang berbeda memberikan kontribusi yang hampir sama kepada belanja pembangunan di bidang pendidikan (Tabel 5.6.).

58 BOS adalah dana alokasi umum dari pemerintah pusat kepada sekolah-sekolah untuk menutupi biaya operasional SD dan SMP. Sekolah-sekolah menandatangani surat perjanjian (LoA) tentang Pemberian Bantuan yang mana sekolah-sekolah tersebut harus mematuhi peraturan tentang formulir pendaftaran, buku teks dan bahan, biaya untuk pelatihan, ujian dan biaya lainnya. Besarnya dana alokasi umum tersebut didasarkan atas banyaknya siswa dan tingkat pendidikan, yaitu: Rp. 235,000 per siswa SD dan Rp.324.500 per siswa SMP.

Page 106: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI84

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel 5.6 Belanja pendidikan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, tahun 2005 (harga konstan 2006)

Pusat Provinsi Kab/Kota Total

Milyar Rp % Milyar Rp % Milyar Rp % Milyar Rp %

Total 813 27.8 341 11.7 1771 60.5 2,925 100

Pembangunan 370 33.9 313 28.7 407 37.3 1,090 100

Rutin 443 24.1 28 1.5 1364 74.3 1,835 100Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia.

Porsi belanja Rutin dari keseluruhan belanja pendidikan semakin meningkat, sehingga meninggalkan sedikit ruang untuk belanja pembangunan. Porsi belanja rutin terus meningkat sejak tahun 2002. Mulai tahun 2003 dan seterusnya, lebih dari 60 persen dari keseluruhan belanja pendidikan daerah merupakan belanja rutin. Di tahun 2005, dua pertiga dari belanja pendidikan daerah adalah untuk pembelanjaan rutin. (Gambar 5.20).

Gambar 5.20. Belanja rutin dan pembangunan pemerintah provinsi (kiri) dan pemerintah kabupaten/kota (kanan) (Milyar Rp, harga konstan 2006)

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

2001 2002 2003 2004 2005

Mily

ar R

p.

Total Rutin Total Pembangunan

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

2001 2002 2003 2004 2005

Mily

ar R

p.

Total Rutin Total Pembangunan

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia..

Hampir semua belanja rutin dialokasikan untuk gaji para guru. Pada penghujung tahun 2004, 93 persen dari belanja rutin adalah untuk gaji, sedikit lebih rendah dari rata-rata nasional (96 persen). Akibatnya, belanja barang dan operasional untuk bidang pendidikan mendapatkan porsi yang sangat kecil dibanding keseluruhan belanja. Pada tahun 2003 dan 2004, kurang dari AS$ 10 juta dibelanjakan untuk kedua bidang tersebut di atas. (Gambar 5.21.).

Page 107: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 85

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 5.21. Belanja Spesifi kasi belanja pendidikan rutin (Rp. Milyar)

339 1335 1621 1551

12 59 80 102

0%

20%

40%

60%

80%

100%

2001 2002 2003 2004

Pembayaran Hutang

Lain-lain

Perjalanan Dinas

Operasional & Pemeliharaan

Barang

Gaji

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia. Data rill (harga konstan 2006)

Undang-undang tentang Guru yang baru (No. 19/2005) akan meningkatkan belanja untuk gaji guru pada tahun-tahun mendatang. Undang-undang ini menetapkan bahwa para guru di semua tingkatan sekolah harus memiliki ijazah akta empat atau ijazah sarjana; mengharapkan agar semua guru memiliki sertifi kat dalam waktu 10 tahun, dan memberikan insentif khusus bagi guru-guru yang mengajar di daerah konfl ik dan daerah bencana alam.59 Undang-undang tersebut dapat meningkatkan jumlah guru di daerah terpencil dan mengurangi tingkat kemangkiran. Undang-undang tentang guru yang baru ini tentunya akan menambah kebutuhan fi skal atas sumber daya untuk pendidikan karena guru yang memiliki pendidikan lebih baik akan menerima gaji pokok yang lebih tinggi. Undang-undang tersebut akan bermanfaat bagi pendidikan hanya apabila jumlah guru yang ada sekarang dibatasi dan dimanfaatkan secara lebih efi sien. Pemerintah kabupaten/kota rata-rata membelanjakan porsi yang sangat signifi kan dari keseluruhan belanja mereka untuk bidang pendidikan. Hanya empat kabupaten/kota memberikan anggaran belanja di bawah 20 persen dari keseluruhan belanja mereka untuk pendidikan (Gambar B8). Terdapat variasi yang signifi kan dalam alokasi dana pendidikan di keempat kabupaten/kota tersebut. Sebagian besar, akan tetapi tidak semua, kabupaten/kota berpedoman kepada undang-undang otonomi (untuk mengontribusikan paling sedikit 30 persen dari belanja kabupaten/kota untuk pendidikan). Antara tahun 2002 dengan 2005, porsi yang cukup besar dari dana pendidikan dialokasikan untuk lembaga-lembaga pemerintah yang tidak berkaitan dengan pendidikan umum. Kecenderungan ini telah berganti pada tahun-tahun belakangan ini. Pelatihan untuk pejabat pemerintah yang tidak berkaitan dengan pendidikan didanai melalui dana pendidikan (tertinggi pada tahun 2002 sebesar 14 persen) (tabel 5.7.). Qanun no. 23/2002 menetapkan penggunaan dana pendidikan hanya untuk pendidikan umum, jadi belanja yang tidak berkaitan dengan pendidikan melanggar peraturan daerah Aceh.60

59 Pasal 29, UU 19/2005.

60 Dana pendidikan harus dialokasikan untuk (1) pendidikan pramadrasah, (2) pendidikan dasar, (3) SMA dan sekolah kejuruan, (4) pendidikan pada dayah, (5) pendidikan tinggi, (6) pendidikan nonformal, (7) sekolah khusus, (8) dewan pendidikan provinsi (dikenal sebagai Majelis Pendidikan Daerah), (9) dana perwalian pendidikan, (10) beasiswa, (11) R&D dalam pendidikan, dan (12) perpustakaan dan ruang baca sekolah.

Page 108: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI86

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel 5.7. Alokasi sumber daya dana pendidikan (belanja riil, Rp Milyar)

2002 % 2003 % 2004 % 2005 % 2006 %

Biro Pendidikan Provinsi 220,6 32 245,2 35 243,4 34 193,7 39 161,8 34

Departement dan instansi lainnya 96.5 14 62.4 9 62.3 9 53.7 11 7.2 2Komite perpusatakaan dan pendidikan

3.0 0 3.3 0 2.7 0 3.0 1 2.8 1

Universitas dan pusat pelatihan 51.2 7 56.0 8 57.7 8 48.8 10 59.4 12

Biro Pendidikan Kabupaten/Kota 279.7 40 262.1 37 264.5 37 196.0 40 228.3 48

Dana Warisan Pendidikan 49.0 7 70.0 10 70.0 10 0.0 0 0.0 0

Lainnya 0.0 0 2.0 0 5.0 1 0.0 0 20.5 4

Total Dana Pendidikan 700.0 700.0 721.4 491.0 480.0Sumber: Dinas Pendidikan NAD ”Perbandingan Alokasi Dana Pendidikan Tahun 2002–2006.” Catatan: Tahun 2005 dan 2006 merupakan rencana anggaran.

Pada tahun 2004 dan 2005, porsi yang besar dari anggaran belanja provinsi ditujukan untuk pendidikan dasar (SD dan SMP). Meskipun porsi belanja pendidikan yang dibelanjakan untuk pendidikan umum selalu di atas 50 persen, porsi tersebut secara khusus sangat tinggi masing-masing sebesar 79 persen dan 86 persen pada tahun 2004 dan 2005. Pada tahun 2006, alokasi untuk pendidikan umum menurun sedikit menjadi 66 persen karena meningkatnya alokasi untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi atau IPTEK dan untuk bidang anggaran baru yaitu, “Pengembangan Pendidikan Islam” dan “Manajemen Pendidikan” (Tabel 5.8).

Tabel 5.8. Perincian belanja provinsi, tahun 2002–06

2002 % 2003 % 2004 % 2005 % 2006 %

Pendidikan dasar dan prasekolah 82 37 56 23 139 54 122 64 107 66

Pendidikan menengah pertama dan menengah atas

41 18 64 26 64 25 42 22

Pendidikan tinggi 10 5

Pendidikan ekstrakurikuler /pendidikan nonformal /pendidikan untuk anak sekolah dini

45 20 48 20 48 18 23 12 21 13

Sinkronisasi dan koordinasi pengembangan pendidikan

36 16 57 23

Penelitian dan pengembangan IPTEK 7 3 19 8 8 3 4 2 8 5

Pengembangan pendidikan Islam dan pengembangan dayah

12.7 8

Manajemen pendidikan 13 8

Total provinsi 221 100 244 100 259 100 189 100 162 100Sumber: Biro Pendidikan Provinsi, NAD.

Belanja pemerintah untuk tingkat pendidikan yang lebih rendah lebih berpihak pada masyarakat miskin. Tingkat partisipasi pendidikan untuk tingkat SD rata-rata sama dan hampir tidak berbeda di antara semua kelompok penghasilan. Perbedaan pada tingkat partisipasi pendidikan meningkat seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Tingkat partisipasi pendidikan tingkat SMP dari kuantil penghasilan yang paling miskin di Aceh adalah 10 persen lebih rendah dari tingkat partisipasi pendidikan dari kuintil penghasilan tertinggi. Untuk SMA, perbedaannya meningkat sampai 25 persen. Setengah dari seluruh anak-anak dari kuintil penghasilan paling rendah terdaftar di SMA dibandingkan dengan tiga perempat dari seluruh anak-anak dari kuintil penghasilan paling tinggi (Tabel 5.9).

Page 109: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 87

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel 5.9. Tingkat partisipasi pendidikan per kuintil penghasilan, tahun 2004

Kunitil Penghasilan SD SMP SMA

Paling Miskin 95 76 50

2 96 78 59

3 96 80 61

4 96 84 70

Paling Kaya 95 86 75

Sumber: Susenas 2004.

Proses Penyusunan Anggaran Pendidikan

Proses penyusunan anggaran pendidikan masih tetap menggunakan proses dari atas ke bawah (top-down). Proses penyusunan anggaran dalam era desentralisasi belum secara signifi kan berubah dari masa yang lalu. Teorinya, sistem perencanaan dari bawah ke atas (bottom-up) diberlakukan mulai dari proposal oleh kepala sekolah, musyawarah untuk memberikan masukan masyarakat dan kemudian diteruskan kepada pemerintah kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Dalam kenyataannya, terdapat bukti yang sangat kuat tentang penerapan proses perencanaan dari atas ke bawah (GDS).

Pada semua tingkatan, para penyusun rencana pendidikan terhambat oleh informasi keuangan yang tidak lengkap. Para tenaga pendidikan, baik guru-guru maupun kepala sekolah, telah terbiasa untuk menunggu pembiayaan dari pemerintah, keterlambatan dalam pencairan dana, dan ketidakpastian tentang hak-hak mereka. Hal ini menghambat perencanaan dini dan kemungkinan pengawasan (checks and balances). Dinas pendidikan kabupaten/kota tidak tahu pasti tentang dukungan keuangan yang akan mereka terima dari sumber provinsi dan pusat sampai mereka menerima uang tersebut. Pada waktu yang bersamaan, para pemangku kepentingan di tingkat provinsi kekurangan data dari kabupaten/kota karena tidak semua kabupaten/kota mengirimkan data tentang keuangan dan pendidikan mereka ke tingkat provinsi. Lambatnya pencairan sumber dana secara drastis mengurangi dampak aliran keuangan. Sumber dana sering mengalami keterlambatan dalam pencairan yang bervariasi antara beberapa bulan sampai dengan setengah tahun yang mengakibatkan pembatalan pos anggaran atau penundaan dalam pelaksanaan proyek.

Rekomendasi

1. Momentum yang dimiliki oleh Aceh harus digunakan untuk meningkatkan partisipasi pendidikan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Undang-undang otonomi yang baru menjamin alokasi minimal untuk bidang pendidikan dan sumber dana yang ada untuk rekonstruksi setelah tsunami menciptakan peluang untuk secara drastis meningkatkan pendidikan di Aceh. Tingkat rata-rata partisipasi pendidikan untuk jenjang SD hampir 100 persen, sementara untuk jenjang pendidikan yang lebih tingggi memiliki tingkat rata-rata partisipasi yang lebih rendah. Peningkatan akses ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi harus lebih diperhatikan, dari mana tingkat pengembalian (rate of return) yang lebih signifi kan dapat dapat diperoleh.

2. Pemerintah harus memprioritaskan mutu pendidikan. Data yang ada saat ini mengindikasikan bahwa tingkat rata-rata partisipasi pendidikan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat rata-rata nasional, akan tetapi terdapat masalah yang jelas berkenaan dengan kurangnya pemeliharaan dan kurangnya prasarana.

3. Dinas pendidikan memiliki data yang melimpah, akan tetapi data yg berkualitas tidak banyak. Identifi kasi dan pengumpulan masukan (keuangan) utama, proses dan indikator pencapaian sangat penting untuk perencanaan. Pada tingkat kabupaten/kota, meskipun disyaratkan oleh peraturan yang baru tentang proses penganggaran, pengambilan kebijakan dan perencanaan anggaran jarang

Page 110: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI88

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

menggunakan data (Kepmendagri No. 29/2002). Tanpa data dasar, perencanaan yang baik tidak mungkin untuk dilakukan. Pemerintah provinsi tidak memiliki wewenang untuk meminta informasi dari pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian, laporan dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi jarang ada dan mutunya buruk, dan ini merupakan masalah yang secara jelas mempengaruhi mutu laporan provinsi. Pelaksanaan sistem pendidikan ”satu atap” di mana baik pendidikan nonkeagamaan maupun pendidikan keagamaan akan masuk dalam dinas pendidikan mulai tahun 2008, akan memberikan peluang untuk meningkatkan pengumpulan data dan pengambilan kebijakan berdasarkan data.

4. Penyusunan rencana anggaran dan program pendidikan harus didasarkan pada indikator kinerja, bukan pada standar layanan pendidikan minimum. Standar layanan minimum harus mencerminkan kebutuhan kabupaten/kota dan harus layak, baik secara praktis maupun secara fi nansial. Target untuk mematuhi peraturan tentang “9 orang guru per sekolah” akan semakin mengurangi rasio murid-guru, yang menimbulkan beban keuangan tambahan pada sistem tanpa peningkatan efi siensi. Aturan “9 orang guru” tersebut juga akan membatasi fl eksibilitas pemerintah kabupaten/kota untuk memberikan solusi lainnya untuk masalah penyediaan tenaga kependidikan. Solusi dapat mencakup pelaksanaan pengelompokan kembali di perkotaan dan pengajaran multitingkat di pedesaan.

5. Untuk memastikan pemerataan guru, kebijakan penempatan pegawai negeri harus dievaluasi kembali. Meskipun dinas pendidikan mengetahui pendistribusian guru-guru yang jelas tidak merata antara perkotaan dan pedesaan, dinas pendidikan belum melakukan upaya yang nyata untuk mendistribusikan kembali para guru-guru tersebut. Teorinya, undang-undang tentang guru yang baru akan meningkatkan insentif untuk mengajar di daerah terpencil dan daerah konfl ik. Akan tetapi, dalam kenyataannya, pedesaan tetap menderita kekurangan guru-guru yang memenuhi syarat.

6. Lebih banyak sumber dana harus dialokasikan untuk pemeliharaan. Porsi sumber daya pendidikan yang dibelanjakan untuk pemeliharaan tidak signifi kan dibandingkan dengan porsi yang dibelanjakan untuk gaji para guru. Undang-undang tentang guru yang baru mungkin akan mengakibatkan meningkatnya porsi belanja yang ditujukan untuk gaji para guru.

7. Dalam kenyataannya, wewenang belanja tetap berada di pusat. Program BOS telah meningkatkan wewenang pusat. Porsi yang besar dari belanja pendidikan kabupaten/kota seperti sumber daya keuangan dari DAK, telah dialokasikan, dan pemerintah provinsi serta kabupaten/kota tidak memiliki wewenang untuk menggunakan uang untuk apa yang mereka anggap perlu. Perencanaan dari bawah ke atas dalam pendidikan dengan peran serta lebih besar dari semua pemangku kepentingan, termasuk para orang tua, komite sekolah dan pemerintah kabupatan/kota harus ditingkatkan.

8. Pencairan sumber keuangan secara tepat waktu dan informasi dini dan akurat tentang besaran dana dan waktu pencairan sangat penting. Para penyusun rencana di tingkat kabupaten/kota harus memiliki informasi yang tepat waktu tentang sumber keuangan yang tersedia bagi mereka sehingga mereka dapat menggunakan sumber dana tersebut secara efi sien.

Infrastruktur

Bahkan sebelum tsunami bulan Desember 2004, kondisi infrastruktur di Aceh telah buruk karena kurangnya investasi pemerintah dan swasta. Bencana alam melumpuhkan sektor yang kondisinya telah buruk tersebut. Prasarana listrik, air dan sanitasi serta transportasi Aceh yang tidak memadai sebelum bencana tsunami merupakan pertanda yang jelas tentang kurangnya pembangunan ekonomi di daerah yang kaya akan sumber daya tersebut.

Selain investasi besar dalam bidang industri, termasuk minyak dan gas bumi, pupuk alam dan semen, swasta hanya melakukan sedikit investasi langsung dalam infrastruktur. Pemerintah daerah telah berperan dan masih berperan sebagai investor utama dalam pembangunan infrastruktur. Volume belanja infrastruktur daerah telah meningkat secara nyata dari Rp.452 Milyar pada tahun 1999 menjadi Rp.1.188 Milyar pada tahun 2002. Pembangungan infrastruktur di Aceh berada di bawah tingkat nasional pada banyak aspek. Jumlah desa yang telah

Page 111: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 89

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

dialiri listrik dan rumah tangga yang memiliki sambungan telepon atau sanitasi pribadi dan pengelolaan limbah semuanya masih di bawah rata-rata nasional. Sebaliknya, tingkat penyediaan listrik dan kepadatan jalan secara signifi kan lebih tinggi daripada rata-rata nasional. (Tabel 5.10).

Tabel 5.10 Indikator infrastruktur Aceh dibandingkan dengan rata-rata nasional, beberapa tahun (%)

Aceh Indonesia

Rumah tangga yang memiliki akses terhadap listrik 73.0 68.7

Desa-desa tanpa listrik 7.7 7.3

Sambungan telepon 6.2 12.2

Lahan beririgasi sebagai % dari lahan subur 52.8 54.6

Sanitasi oleh swasta 34.2 52.2

Pengelolaan limbah 3.7 8.5

Kepadatan jalan (km/1000 orang)* 7 1.7

Kondisi jalan baik** 55 49Sumber: Podes 2005.Catatan: * = Bappeda 2004. ** = 2002.

Bencana tsunami dan gempa bumi meluluhlantakkan prasarana umum dan layanannya. Bencana tsunami dan gempa bumi menimbulkan kerusakan yang parah pada jaringan air dan sanitasi; jalan-jalan provinsi, kabupaten, kota dan jalan-jalan desa; saluran pembuangan; serta sarana listrik dan komunikasi serta lahan beririgasi dan prasarana irigasi. Konfl ik secara langsung merusak beberapa aset prasarana dasar dan berdampak secara tidak langsung kepada prasarana-prasarana lain. Banyak keterampilan penting yang diperlukan untuk melaksanakan proyek tidak tersedia di Aceh. Akuntabilitas dan transparansi tidak dapat dijamin. Korupsi menjadi masalah yang besar dan banyak sumber dana yang diperuntukkan untuk kegiatan operasi rutin dan pemeliharaan tidak tepat sasaran.

Listrik

Sekitar 27 persen dari rumah-rumah tangga di Aceh tidak memiliki sambungan listrik. Kondisi tersebut di atas terjadi meskipun berdasarkan fakta bahwa 92 persen dari 5.800 desa-desa di Aceh dilaporkan telah mendapat aliran listrik (Podes 2005). Pada umumnya, rumah tangga tidak mendapat aliran listrik karena karena rumah tangga tersebut tidak mampu membayar biaya penyambungan yang tinggi. Selain itu, pemadaman listrik merupakan hal biasa di Aceh dan bahkan terjadi lebih sering lagi terjadi setelah tsunami yang menyebabkan rusaknya prasarana. Aceh memiliki pembangkit listrik dan kapasitas transmisi yang tidak memadai dan konfl ik yang terjadi telah merusak sebagian dari pasokan listrik. Sebagian besar listrik berasal dari Sumatera Utara atau dari pembangkit listrik tenaga diesel kecil (yang mahal). Perusahaan listrik negara, PLN, memperkirakan bahwa konfl ik telah merusak sebanyak 35 unit pembangkit listrik. Sekitar 6.751 kilowatt kapasitas atau 9 persen telah hilang dari kapasitas sebesar 71.500 kilowatt sebagai akibat dari konfl ik.

Jalan dan Transportasi

Jalan merupakan moda angkutan dominan di Aceh. Jaringan jalan terdiri atas jalan nasional (1.716 km), jalan provinsi (1.572 km), dan jalan kabupaten dan jalan desa (15.340 km). Kepadatan jalan di Aceh lebih tinggi daripada rata-rata nasional, yaitu 0,5 km/km2, atau sekitar 7,0 km/1.000 orang. Kepadatan jalan rata-rata nasional adalah 0,3 km/km2, atau 1,7 km/1.000 orang. Jalan-jalan tersebut mendukung kegiatan transportasi yang fl eksibel secara relatif. Akan tetapi, karena jalan-jalan kabupaten dan desa merupakan sebagian besar dari jaringan jalan yang ada (82 persen), tekanan keuangan diarahkan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk memelihara jaringan jalan daerah. Tidak memadainya sumber dana dan buruknya alokasi sumber dana sering berakibat kepada pemeliharaan yang tidak memadai dan memburuknya jalan kabupaten.

Page 112: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI90

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Sebelum tsunami, sekitar 25 persen jaringan jalan dikategorikan dalam kondisi yang buruk. Untuk masing-masing jalan nasional/provinsi/kabupaten, porsi jalan yang berada dalam kondisi buruk adalah 31 persen, 46 persen, and 20 persen. (Tabel 5.11). Tidak seimbangnya pembangunan jalan antara wilayah barat dengan wilayah timur dari provinsi Aceh, di mana industri minyak dan gas berada; buruknya kondisi jalan; dan tidak memadainya anggaran untuk pemeliharaan jalan menyebabkan biaya transportasi swasta dan publik relatif tinggi.

Tabel 5.11. Jaringan jalan di Aceh, 2004

Tipe jalanKondisi baik Kondisi sedang Kondisi buruk Panjang keseluruhan

km % km % km % km %

Nasional 127 7.4 1,052 61.3 538 31.3 1,716.27 100

Provinsi 199 12.6 646 41.1 727 46.2 1,571.66 100

Kabupaten 2,995 19.5 9,410 61.3 2995 19.5 15,339.37 100

Total 3,320 17.8 11,108 59.4 4259 22.8 18,687.30 100

Sumber: BAPPEDA..

Sektor transportasi mengalami kerusakan yang signifi kan sebagai akibat dari tsunami. Jalan di pesisir barat yang menghubungkan Banda Aceh dengan Meulaboh (250km) mengalami kerusakan terparah. Di Banda Aceh sendiri, jalan perkotaan sekunder sepanjang 380 km rusak parah. Secara keseluruhan, hampir 3.000 km jalan tidak dapat dilalui. Di pesisir timur, tsunami berdampak lebih kecil. Akan tetapi, truk dan tingginya volume lalu lintas yang membawa bahan-bahan serta persediaan untuk rekonstruksi telah memperburuk kondisi jalan.

Irigasi

Konfl ik merusak sistem irigasi. Sebelum tsunami, Aceh memiliki sekitar 465.000 ha lahan yang subur61 termasuk di dalamnya hampir seluas 267.000 ha (60 persen) telah beririgasi. Tujuh puluh persen proyek-proyek irigasi adalah proyek skala menengah sampai besar. Hanya 25 persen tercakup dalam skema kecil sampai menengah (150–500 ha), dan lima persen tercakup dalam skema kecil sampai sangat kecil (<150 ha). Rasio lahan yang mendapatkan irigasi terhadap lahan yang subur di Aceh sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Jaringan irigasi dan sumber air rusak karena konfl ik. Beberapa kanal irigasi dirusak dengan sengaja untuk menyebabkan banjir dan merusak lahan pertanian. Pemeliharaan irigasi, rehabilitasi, dan kegiatan perbaikan harus ditunda karena pertimbangan keamanan. Lahan irigasi dan lahan subur lainnya rusak parah akibat tsunami. Selain hilangnya tanaman dan ternak, kerugian juga disebabkan karena endapan yang terjadi, genangan air laut, salinitas, kerusakan terhadap irigasi, prasarana drainase, dan jalan-jalan di tengah lahan. Skala kerusakan yang sebenarnya (wilayah lahan yang terkena dampak dan mengalami penurunan produktivitas) dan tingkat pemulihan tidak diketahui dan sulit untuk ditentukan.

Aceh tertinggal jauh dari provinsi lainnya dalam melaksanakan reformasi irigasi seperti mengalihkan tanggung jawab kepada Perhimpunan Pengguna Air setempat (WUA). Kelompok pengguna air tradisional (Keujruen Blang) bertanggung jawab untuk menentukan periode tanam dan pola penanaman, dan mengelola penggunaan air dalam jaringan irigasi. Menurut Dinas Sumber Daya Air Aceh, sedikitnya 1.125 WUA telah dibentuk. Akan tetapi, tingkat tanggung jawab yang telah dialihkan oleh pemerintah kepada kelompok tersebut belum dapat dipastikan.

Air dan Sanitasi

Sebelum tsunami, akses ke layanan air dan sanitasi formal di Aceh masih rendah. Hanya 9 persen rumah tangga terhubung dengan pipa pasokan air dari PDAM (perusahaan daerah air minum), dibandingkan dengan rata-

61 Mencakup tanah olahan dengan atau tanpa irigasi tetapi tidak mencakup rawa-rawa.

Page 113: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 91

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

rata nasional sebesar 17 persen.62 Sebagian besar penduduk mendapatkan air dari sumur-sumur yang dibangun baik dengan dana mereka sendiri, atau oleh masyarakat/desa yang mempunyai akses ke pembiayaan proyek. Selama tahun-tahun konfl ik, banyak rumah tangga mendapatkan air dari tanker-tanker militer. Semua sanitasi perkotaan dan pedesaan di Aceh berada ditempat, khususnya dalam bentuk septic tank dan WC Lubang, yang seringkali dibangun dekat dengan sumur. Sebelum tsunami, Aceh memiliki sarana pengumpulan endapan kotoran yang terbatas, tidak ada pengolahan air limbah, dan tidak ada sistem selokan perkotaan di Aceh. Hal serupa juga ditemukan di bagian Indonesia lainnya, di mana hanya 1 persen penduduk terhubung ke sistem selokan.63

Jaringan air dan sanitasi Aceh yang sebelumnya tidak mencukupi, termasuk instalasi pengolahan, jaringan pipa, tanker air, dan sumur air, mengalami kerusakan parah akibat tsunami dan gempa bumi. Tsunami sendiri merusak hampir 17.000 dari 28.000 sambungan pipa yang terdapat di kabupaten/kota Banda Aceh. Satu-satunya tempat pengolahan endapan kotoran di Banda Aceh hancur. Drainase kabupaten/kota tidak efektif akibat pergerakan tanah yang diakibatkan oleh gempa bumi. Sebagian besar sumur-sumur dangkal dan daerah tangkapan air yang merupakan sumber air utama bagi penduduk setempat terkontaminasi dan mengandung garam.

Belanja Infrastruktur

Pemerintah kabupaten/kota memainkan peranan besar dalam belanja infrastruktur di Aceh. Setelah desentralisasi dan otonomi khusus, tanggung jawab atas sebagian besar layanan-layanan infrastruktur umum dialihkan kepada pemerintah daerah (Tabel 5.12). Akan tetapi, total belanja infrastruktur oleh pemerintah daerah menurun.

Tabel 5.12. Belanja prasarana Aceh: Provinsi vs. Kab/Kota, 2001–05 (harga konstan tahun 2006)

Rutin Pembangunan Total belanja

Provinsi Kab/Kota

TotalPendapatan

% dari total belanja Provinsi Kab/Kota Total

Pendapatan% dari total

belanja

2001 47 24 70 5.6 86 1,105 1,190 94.4 1,260

2002 47 87 134 8.3 354 1,123 1,477 91.7 1,611

2003 39 80 118 10.4 228 788 1,015 89.6 1,134

2004 39 90 129 12.5 237 668 905 87.5 1,035

2005 33 80 113 11.1 250 661 911 88.9 1,025

Sumber: Perkiraan Staf Bank Dunia.

Setelah desentralisasi dan otonomi khusus, belanja pembangunan daerah untuk infrastruktur meningkat tinggi hampir mencapai Rp. 1,5 Triliun pada tahun 2002 akan tetapi telah menurun dalam beberapa tahun belakangan. Belanja infrastruktur meningkat dalam harga konstan dari rata-rata Rp. 596 Milyar sebelum 1999 sampai hampir sebesar Rp. 1.150 Milyar setelah desentralisasi (Gambar 5.22).

62 Plummer, 2005

63 ibid

Page 114: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI92

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar 5.22. Tren belanja prasarana pembangunan daerah di Aceh, 1994–2005

0

200

400

600

800

1,000

1,200

1,400

1,600

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Mily

ar R

p.

Sumber: Perhitungan Staf Bank Dunia. Data riil (harga konstan 2006)

Pos-pos belanja pembangunan untuk pekerjaan umum (air dan irigasi, jalan) mengambil sebanyak tiga perempat dari total belanja pembangunan infrastruktur, senilai lebih dari Rp. 700 Milyar pada tahun 2005 (Gambar 5.23).

Gambar 5.23. Rata-rata belanja pembangunan dalam subsektor-subsektor, 2003–05

1%

21%

7%

72%

Sektor Pekerjaan umum (Air dan irigasi)

Sektor Transportasi (termasuk telekomunikasi)

Sektor perumahan, pembangunan daerah, dan pemukiman

Energi (listrik)

Sumber: Perkiraan Staf Bank Dunia (harga konstan 2006).

Belanja rutin, yang mencakup biaya gaji dan biaya-biaya operasional lainnya, tetap relatif konstan sejak tahun 2002, tetapi belanja pembangunan menurun. Rata-rata belanja rutin selama tahun 2002–05 diperkirakan sebesar Rp. 120 Milyar, atau 11 persen dari belanja total infrastruktur yang mengindikasikan komitmen pemerintah provinsi untuk membangun jaringan infrastruktur. Akan tetapi, selama periode yang sama, belanja pembangunan menurun lebih dari Rp. 500 Milyar (Gambar 5.24). Penurunan anggaran pembangunan kemungkinan disebabkan oleh bertambah buruknya konfl ik antara GAM dan Pemerintah Indonesia (GOI), yang mencapai puncaknya pada tahun 2003 setelah pemberlakuan hukum darurat militer.

Gambar 5.24. Belanja infrastruktur daerah (pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota)

0

200

400

600

800

1,000

1,200

1,400

1,600

2001 2002 2003 2004 2005

Mily

ar R

p.

Rurin Pembangunan

Sumber: Data Bank Dunia. Data dalam harga konstan 2006.

Biaya rutin terutama terdiri atas gaji, dengan sedikit perhatian untuk memelihara aset yang sudah ada. Data menunjukkan bahwa secara rata-rata selama tahun 2001–04, gaji merupakan bagian terbesar belanja rutin,

Page 115: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 93

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

yaitu 76%. Dalam jangka waktu yang sama, biaya operasional dan pemeliharaan termasuk rendah, yaitu 7 persen (Gambar 5.25).

Gambar 5.25. Komposisi rata-rata belanja rutin tahun 2001–04 (%)

76%

2% 2%

7%

13%Biaya gaji

Belanja barang

Biaya operasional dan pemeliharaan

Biaya perjalanan

Lainnya

Sumber: Perkiraan Staf Bank Dunia.

Tiga masalah utama yang dihadapi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota terkait dengan belanja prasarana adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sepertinya tidak memprioritaskan belanja infrastruktur berdasarkan kebutuhan kabupaten/kota. Aceh tidak memiliki pola belanja infrastruktur tertentu yang berasal dari kebutuhan kabupaten/kota. Sebagian besar belanja dibagi antara pekerjaan umum dan transportasi.64

2. Kapasitas bervariasi antara unit-unit pemerintah kabupaten/kota. Jumlah staf umumnya memadai, akan tetapi gabungan antara keterampilan dan motivasi belum cukup. Kurangnya keahlian teknis untuk melakukan perencanaan proyek, implementasi, pengawasan, dan pemeliharaan perlu diatasi.

3. Kehadiran BRR kemungkinan menjadi penyebab pemerintah kabupaten/kota untuk mengeluarkan anggaran yang lebih sedikit untuk pembangunan dan lebih banyak untuk belanja rutin. Akan tetapi, mengingat mandat BRR yang sementara serta pengalihan semua aset kepada pemerintah kabupaten/kota dan provinsi dari BRR, akan ada kebutuhan pembangunan dan pemeliharaan yang signifi kan untuk sektor infrastruktur di tingkat pemerintah kabupaten/kota.

Belanja Rekonstruksi untuk Prasarana dan Peran Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR)

Pendanaan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur datang dari Pemerintah Indonesia, yang menyalurkan sejumlah besar dana melalui BRR dan pemerintah-pemerintah kabupaten/kota, dan melalui para donor multilateral, bilateral, dan LSM-LSM. Sektor-sektor infrastruktur dan sosial telah mendapatkan alokasi sumber daya yang terbesar. Akan tetapi, jumlah “surplus” yang terlihat dalam total dana yang tersedia untuk membangun kembali kebutuhan-kebutuhan minimum menyembunyikan kekurangan dalam sektor-sektor utama. Sektor infrastruktur menunjukkan defi sit sebesar AS$653 juta dari dana yang tersedia untuk rekonstruksi. Kurangnya pendanaan yang cukup untuk sektor transportasi jelas merupakan masalah yang kritis karena jaringan transportasi yang efi sien sangat penting untuk pemberian bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi dan untuk seluruh pembangunan ekonomi.

Terdapat perbedaan yang signifi kan dalam ketersediaan dana antar daerah di Aceh. Daerah-daerah yang dekat dengan Banda Aceh (Banda Aceh Kota dan Aceh Besar) memiliki sumber dana yang lebih dari cukup untuk membangun kembali, akan tetapi daerah-daerah lainnya sangat kekurangan dana. Infl asi sekarang ini adalah salah satu masalah besar yang dihadapi upaya rekonstruksi, dengan biaya pekerja konstruksi meningkat 40 persen–50 persen selama tahun 2005. Mendanai kesenjangan kritis dalam sektor infrastruktur kemungkinan akan ditanggung oleh Pemerintah Indonesia melalui BRR dan pemerintah-pemerintah kabupaten/kota. Banyak LSM akan menyelesaikan tugas rekonstruksi mereka pada akhir tahun 2006 dan sepertinya tidak akan memberikan komitmen

64 Sebaliknya, Papua mengalokasikan hampir 90 persen anggaran prasarana untuk pembangunan transportasi.

Page 116: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI94

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

lebih lanjut. Sama halnya dengan itu, para donor bilateral dan multilateral lainnya kemungkinan akan melanjutkan pendanaan proyek-proyek yang telah mereka danai sebelumnya dan akan berkonsentrasi pada sektor perumahan, pendidikan, kesehatan, dan mata pencaharian. Penting agar BRR mempertahankan keterlibatan pemerintah-pemerintah kabupaten/kota dan provinsi setiap waktu karena mereka bertanggung jawab secara langsung untuk operasi dan pemeliharaan prasarana saat ini dan selanjutnya. Beberapa proyek prasarana besar mencakup jalan-jalan besar dan sistem drainasi skala besar berada di luar kapasitas badan-badan dan LSM-LSM internasional. Oleh karena itu, keterlibatan lebih dalam dari pemerintah-pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam pembiayaan prasarana sangat penting. Selain itu, alokasi sumber dana pemerintah saat ini sepertinya tidak cukup untuk memelihara aset.

Rekomendasi

1. BRR perlu untuk melibatkan pemerintah-pemerintah kabupaten/kota dan provinsi lebih lanjut sebagai para pemilik dari proyek-proyek yang didanai. Kepemilikan tidak hanya akan membantu mengembangkan keterampilan dan kapasitas pemerintah kabupaten/kota akan tetapi juga akan memastikan bahwa pemerintah kabupaten/kota dan provinsi terlibat secara langsung dalam pemeliharaan dan perawatan aset-aset yang baru direkonstruksi. Untuk meningkatkan kepemilikan pemerintah kabupaten/kota, direkomendasikan agar para pemerintah kabupaten/kota diminta untuk ikut membiayai proyek-proyek infrastruktur dengan BRR dan LSM-LSM lainnya apabila mungkin. Idealnya, pemerintah-pemerintah kabupaten/kota akan menanggung bagian biaya proyek-proyek prasarana yang meningkat dalam tahun-tahun mendatang sejak tahun 2007.

2. Berbagai tingkat pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) seharusnya meningkatkan iklim investasi yang menguntungkan untuk menarik investasi sektor swasta dalam bidang infrastruktur. Iklim yang menguntungkan memerlukan penanganan masalah-masalah jangka panjang, seperti manajemen publik yang transparan dan reformasi hukum yang sangat dibutuhkan. Pemerintah harus mendorong sektor swasta untuk mengambil beberapa proyek rekonstruksi dan rehabilitasi yang utama.

3. Hambatan-hambatan terhadap kapasitas penyerapan teknis dan kelembagaan pemerintah kabupaten/kota harus diatasi. Kapasitas pemerintah kabupaten/kota yang rendah membatasi realisasi peningkatan belanja meskipun pendanaan sudah tersedia. Proyek-proyek bantuan teknis oleh para donor dan badan-badan lainnya penting untuk membantu memastikan bahwa pemerintah kabupaten/kota telah siap dan memiliki kapasitas untuk melaksanakan proyek-proyek kualitas tinggi. Kapasitas pelaksanaan mereka harus dipertahankan setelah tahun 2009 saat proses rekonstruksi telah selesai. Rencana pembangunan infrastruktur perlu disosialisasikan sampai ke tingkat kecamatan sehingga koordinasi semakin meningkat dan tanggung jawab dialihkan secara efi sien.

4. Pemeliharaan aset infrastruktur yang sudah ada dan yang sedang dibuat harus dijamin. Pemeliharaan merupakan prioritas utama untuk menjamin kesinambungan dan untuk menghindari kerusakan prasarana yang sudah ada yang baru saja dibangun. Sebagai landasan, keseimbangan optimal diperlukan antara belanja rutin (pemeliharaan) dan belanja pembangunan. Keseimbangan tersebut memerlukan strategi bagi pemerintah kabupaten/kota dan provinsi untuk memegang kepemilikan atas semua proyek yang akan diserahkan kepada mereka setelah rekonstruksi yang didanai oleh donor selesai dilaksanakan.

5. Untuk membuat belanja infrastruktur lebih efektif, pemerintah kabupaten/kota dan BRR perlu menyusun rencana jangka panjang untuk pembangunan prasarana di provinsi tersebut. Rencana kerja sama ini akan memerlukan koordinasi yang lebih baik antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Dalam jangka pendek sampai menengah, BRR akan menjadi pemandu rekonstruksi dan pembangunan prasarana di daerah tersebut. Akan tetapi, dalam jangka menengah, pemerintah kabupaten/kota harus mengembangkan kapasitas mereka sebagai pembuat peraturan dan perencana, sebagai investor di sub-sektor prasarana tertentu, dan yang paling penting, sebagai pembuat kebijakan. Adalah

Page 117: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI 95

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

berguna untuk mengembangkan kerangka fi skal dan belanja jangka menengah yang akan menentukan pagu belanja untuk jangka menengah –baik untuk belanja modal maupun belanja rutin dalam operasional dan pemeliharaan. Kerangka tersebut perlu merinci belanja dalam jangka waktu yang lebih panjang sesuai dengan perkiraan pendapatan.

6. BRR dan pemerintah daerah harus memperkuat sistem pemantauan dan evaluasi. Delapan belas bulan pertama dari rehabilitasi dan rekonstruksi mungkin menghasilkan infrastruktur yang lebih efektif dari segi biaya dan berkesinambungan apabila sistem-sistem MandE lebih pasti. Sektor tersebut harus merancang sistem MandE yang dapat diterapkan dan dimanfaatkan oleh semua proyek di segala tingkat pelaksanaan: dari tingkat nasional sampai tingkat kabupaten.

Page 118: Official PDF , 178 pages

ANALISIS SEKTORAL SERTA REKOMENDASI96

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Page 119: Official PDF , 178 pages

6 Kapasitas Pemerintah Kabupaten/kota untuk Mengelola Dana Anggaran

Page 120: Official PDF , 178 pages

KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN98

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Desentralisasi: beban kerja pemerintah kabupaten/kota telah meningkat dari segi kuantitas dan kualitas

Pemerintah kabupaten/kota perlu meningkatkan keterampilan stafnya saat ini. Kebutuhan akan staf tambahan kurang diperlukan. Desentralisasi telah mengubah jenis pekerjaan pemerintah kabupaten/kota. Staf mungkin memerlukan pelatihan baru atau tambahan untuk melaksanakan tanggung jawab baru tersebut. Desentralisasi tidak hanya menggeser jenis pekerjaan pemerintah kabupaten/kota akan tetapi menambah jumlah administrator (melalui mutasi) dan sumber daya yang tersedia. Dengan demikian, mengelola desentralisasi seharusnya tidak memerlukan staf tambahan. Otonomi khusus menyediakan sumber daya keuangan tambahan, dan staf baru mungkin diperlukan untuk mengelola dana tersebut.

Desentralisasi menambah beban kerja pemerintah kabupaten/kota, akan tetapi pengalihan sumber daya manusia tambahan dan sumber daya lain menjamin bahwa beban kerja administratif tetap sama. Desentralisasi memberikan kendali atas keuangan pemerintah kabupaten/kota dan pelayanan umum daerah kepada pemerintah-pemerintah kabupaten/kota. Undang-undang desentralisasi menetapkan bahwa instansi-instansi pemerintah pusat di tingkat daerah harus bergabung dengan instansi-instansi terkait dari pemerintah daerah. Dengan demikian, semua aset dan staf dari instansi-instansi sebelumnya dialihkan kepada pemerintah daerah. Sementara terdapat pengalihan tanggung jawab yang besar kepada pemerintah kabupaten/kota, pengalihan sumber daya dan staf juga telah menjamin bahwa para staf pemerintah kabupaten/kota tidak melakukan tambahan pekerjaan. Mereka hanya bekerja di bawah wewenang yang berbeda.

Desentralisasi memerlukan perbaikan keterampilan administratif pada tingkat kabupaten/kota karena jenis pekerjaan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota telah berubah. Sebelum desentralisasi, pemerintah kabupaten/kota hanyalah perwakilan dan pelaksana kebijakan dan program-program pemerintah pusat (GTZ 2003). Dengan desentralisasi, tugas baru pemerintah kabupaten/kota adalah untuk menganalisa kebutuhan dan mengidentifi kasi prioritas untuk daerah mereka, yang memerlukan keterampilan yang lebih baik serta staf yang terlatih. Para administrator pemerintah kabupaten/kota perlu mengembangkan kapasitas dan pengalaman mereka dalam perumusan kebijakan dan alokasi sumber daya secara efektif.

Dampak Konfl ik dan Tsunami terhadap Administrasi Kabupaten/Kota

Konfl ik memiliki dampak yang besar terhadap operasi pemerintah kabupaten/kota, khususnya di daerah pedesaan. Diperkirakan bahwa pada puncak operasinya, GAM berhasil mengendalikan antara 70 sampai 80 persen Provinsi Aceh, termasuk pemerintah kabupaten/kotanya, melalui intimidasi pegawai negeri sipil di semua tingkat pemerintah. Dilaporkan bahwa lebih dari setengah kepala desa berada di bawah kendali GAM, dan hampir tidak ada satu pun kabupaten memiliki administrasi yang berfungsi secara penuh.

Tidak ada penilaian terperinci atas dampak dari konfl ik yang berkepanjangan di Aceh terhadap kapasitas keuangan publik. Bukti subjektif sepertinya mendukung hipotesis bahwa tingginya intensitas konfl ik dan/atau keberadaan GAM menghambat fungsi-fungsi pemerintah karena adanya larangan perjalanan. Para administrator tidak dapat tinggal di desa-desa; para supervisi tidak dapat memeriksa pelaksanaan; dan informasi perencanaan tidak dapat dikumpulkan. Konfl ik tersebut juga menyebabkan beban keuangan yang besar untuk mengganti prasarana layanan publik, meskpun gedung-gedung administratif jarang diserang dan sebagian besar tidak mengalami kerusakan akibat konfl ik.

Menurut BRR, 5.266 pegawai negeri sipil meninggal karena tsunami. Sebagian besar korban adalah staf yang memberikan layanan umum dan para pekerja tambahan. Hanya sedikit administrator yang meninggal. Dalam lima bulan setelah tsunami, semua korban tsunami yang memegang posisi pemerintahan administratif telah diganti. Sebagian besar korban berada di tingkat eselon rendah, yang relatif berlebihan jumlahnya dalam hirarki pemerintah

Page 121: Official PDF , 178 pages

KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN 99

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

kabupaten/kota.65 Meskipun demikian, beberapa kepada kabupaten/kota mengatakan bahwa mekanisme pemilihan pejabat tidak jelas dan transparan, mempengaruhi baik kualitas maupun motivasi para staf.

Tsunami menyebabkan kerusakan yang parah terhadap infrastruktur fi sik, akan tetapi tidak pada tingkat administrasi kabupaten/kota. Hancurnya struktur fi sik pemerintah di 10 kabupaten sampel terpusat terutama pada kantor-kantor kecamatan. Sekali lagi, prasarana layanan publik menderita kerusakan yang lebih parah dibandingkan gedung-gedung yang digunakan oleh administrasi. Beberapa instansi administratif terkait dari Kab. Simeulue, Kota Banda Aceh, dan Kab. Aceh Singkil rusak. Yang mengalami kerusakan lebih parah adalah Kab. Aceh Jaya, yang mana semua kantor instansi administratif terkait hancur. Instansi-instansi administratif pemerintah terkait di kabupaten-kabupaten lain sebagian besar tidak mengalami kerusakan.

Pemerintah kabupaten/kota cukup responsif dalam tahap tanggap darurat, akan tetapi kurang proaktif dalam proses rekonstruksi. Di tiga kabupaten yang terkena dampak terbesar (Kab. Aceh Besar, Kab. Simeulue, dan Kab. Aceh Jaya), masyarakat melihat bahwa para bupati memobilisasi penduduk untuk membantu dalam evakuasi korban dan untuk membersihkan kabupaten mereka. Akan tetapi, pemerintah kabupaten/kota lalai untuk mengumpulkan informasi tentang kebutuhan para penduduknya dan dalam mengembangkan strategi rekonstruksi yang jelas. Mereka malah menyatakan harapannya bahwa rekonstruksi dilakukan terutama oleh tingkat pemerintahan yang lebih tinggi atau masyarakat internasional.

Kapasitas Administratif Secara Umum Masih Lemah

Dalam menghadapi peningkatan dana yang besar dan wewenang untuk mengelola dana tersebut, kapasitas pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola dana publik secara efi sien masih tidak mencukupi. Penilaian ini diindikasikan dari hasil Survei Pengelolaan Keuangan Publik (PFM),66 yang menilai kapasitas pengelolaan keuangan pemerintah kabupaten/kota, kerangka peraturan, dan pertanggungjawaban.67 Survei PFM tidak mengukur perlengkapan dan prasarana yang tersedia secara menyeluruh, akan tetapi pejabat pemerintah mengatakan bahwa kurangnya perlengkapan kerja menghambat proses perencanaan dan penganggaran. Secara umum bangunan yang ada dianggap memadai dan tidak disebutkan sebagai hambatan administrasi. Nilai rata-rata keseluruhan untuk pengelolaan dana publik dari 9 pemerintah kabupaten/kota yang disurvei adalah 41 persen (Tabel 6.1). Dua nilai tertinggi diperoleh Kab. Aceh Utara (71 persen) dan Kota Banda Aceh (59 persen), sementara nilai yang paling rendah didapatkan oleh Kab. Aceh Jaya (19 persen). Di Aceh, secara rata-rata, nilai tertinggi diperoleh untuk pengadaan dan audit internal (masing-masing 58 persen dan 52 persen). Akan tetapi, sistem menanggapi dan menyelesaikan keluhan terkait dengan proses pengadaan di pemerintah kabupaten/kota masih lemah (33 persen). Kemudian, hampir semua pemimpin yang diwawancarai mengidentifi kasi bahwa pengadaan adalah kegiatan yang paling rentan terhadap kurangnya transparansi.

65 Temuan ini didasarkan pada survei bersama Bank Dunia/LSM lokal yang berfokus pada 6 sampel instansi pemerintah (pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, perencanaan, pertanian, dan perikanan) di 10 pemerintah kabupaten/kota (Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Singkil, Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara). Dalam 58 instansi terkait yang dinilai, terdapat total 3.869 pegawai pemerintah, atau rata-rata 67 staf per kantor.

66 Survei PFM dilaksanakan dalam dua tahap di Aceh pada bulan Mei dan September 2006. Kerangka PFM dikembangkan oleh Bank Dunia dan Departemen Dalam Negeri Pemerintah Indonesia.

67 Kerangka dan metodologi PFM serta penilaian dan bidang-bidang strategis dibahas secara mendetil dalam lampiran B.

Page 122: Official PDF , 178 pages

KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN100

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel 6.1. Hasil survei PFM di 9 lokasi di Aceh (%)

Bidang strategis

Nagan Raya

Aceh Barat

Aceh Jaya

Aceh Besar

Aceh Timur

Aceh Utara Biruen Pidie

Banda Aceh

Rata-rata nilai untuk 9 Pemlok

Kerangka Peraturan

12 8 20 56 56 56 56 56 48 29

Perencanaan dan Penganggaran

25 26 25 42 51 74 47 36 53 34

Pengelolaan Kas

23 50 14 48 34 57 36 48 70 41

Pengadaan 60 69 33 62 63 79 71 71 67 58

Akuntansi 19 22 11 59 52 74 41 41 59 34

Audit Internal 67 61 11 67 78 78 44 67 56 52

Utang dan Investasi Publik

13 50 0 38 50 63 13 0 50 30

Manajemen Aset

41 64 14 45 36 68 36 50 41 41

Audit Eksternal dan Pengawasan

0 0 11 67 33 67 33 33 67 29

Rata-rata 33 42 19 53 52 71 45 47 59 41Sumber: Survei PFM 2006.

Nilai terendah diperoleh untuk manajemen utang dan investasi, audit eksternal, dan kerangka peraturan (masing-masing 30 persen, 29 persen, dan 29 persen). Secara terperinci, hasil dari PFM menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten/kota memiliki kerangka peraturan yang lemah untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi publik (39 persen), untuk mengelola dana publik secara efektif (41 persen), dan untuk menegakkan peraturan dan struktur organisasi (33 persen). Audit eksternal lemah karena audit eksternal secara rutin (42 persen) dan pengawasan independen yang efektif (32 persen) masih kurang. Sebagai ilustrasi, semua pemerintah kabupaten yang disurvei (kecuali Nagan Raya dan Singkil) menyebutkan bahwa anggaran mereka adalah dokumen publik dan tersedia bagi setiap pihak yang berkepetingan. Akan tetapi, akses ke anggaran kabupaten tanpa wewenang tingkat tinggi masih terbatas.

Pemerintah kabupaten/kota juga lemah dalam perencanaan dan penganggaran serta dalam akuntansi dan pelaporan. Jalur yang paling lemah dalam proses perencanaan dan penganggaran adalah hubungan antara anggaran dan rencana jangka menengah (15 persen). Konsistensi antara perencanaan partisipatif dari bawah ke atas (bottom-up), perencanaan pemerintah kabupaten/kota, dan anggaran juga lemah (26 persen). Temuan ini mengindikasikan penggunaan dana ad hoc dibandingkan strategi yang koheren. Kapasitas akuntansi dan pelaporan untuk manajemen kas masih lemah (masing-masing 34 dan 41 persen). Secara umum, para pemimpin menyebutkan bahwa proses mendapatkan masukan dari masyarakat dalam sidang terbuka untuk merumuskan rencana-rencana proyek kebupaten dianggap sebagai formalitas. Para pemimpin tersebut menganggap bahwa instansi terkait telah mengembangkan serangkaian rencana proyek yang akan mereka usulkan dan dimasukkan dalam anggaran kabupaten.

Tantangan utama terhadap pemerintah kabupaten/kota yang teridentifi kasi adalah kapasitas dari staf yang tersedia, bukan jumlah staf. Desentralisasi dan otonomi khusus telah meningkatkan kebutuhan akan administrator dengan kualifi kasi lebih baik, bukan jumlah yang lebih banyak. Survei PFM mendukung klaim tersebut secara empiris. Pemerintah kabupaten/kota sering kekurangan peralatan kerja untuk bekerja secara efektif, khususnya, dalam proses perencanaan dan penganggaran. Dalam wawancara, staf kabupaten menekankan bahwa

Page 123: Official PDF , 178 pages

KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN 101

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh data yang akurat dari lapangan karena terbatasnya sumber daya. Tingkat kualifi kasi pejabat pemerintah di Aceh cukup baik dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Kajian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan para pegawai pemerintah di Aceh lebih tinggi dari rata-rata nasional, meskipun hal ini tidak berlaku terhadap tingkat pendidikan yang lebih tinggi (S2) (Tabel 6.2). Distribusi kualifi kasi staf di antara kabupaten-kabupaten relatif seimbang. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa perbedaan. Staf di kota memiliki tingkat pendidikan yang paling tinggi diikuti oleh staf pemerintah di kabupaten lama dan staf di kabupaten baru (Tabel B2).

Tabel 6.2. Tingkat pendidikan pegawai pemerintah di Aceh, 2003 (%)

<SLTA SLTA DIPLOMA S1 S2 S3

Rata-rata di Indonesia 5.41 41.13 25.06 26.07 2.14 0.19

Aceh 4.39 37.38 23.46 32.76 1.86 0.16 Sumber: Perhitungan Staf Bank Dunia berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Nasional (BKN).

Belanja pembangunan untuk aparatur pemerintah terus meningkat bahkan ketika belanja untuk infrastruktur menurun. Pada tahun 1999, tingkat belanja pembangunan untuk sektor administratif sekitar seperempat dari tingkat dana yang dialokasikan untuk infrasturktur. Sampai tahun 2003, belanja untuk sektor administratif telah melebihi belanja infrastruktur dan terus meningkat. Setelah tahun 2002, belanja pembangunan untuk aparatur pemerintah terus meningkat meskipun belanja pembangunan secara keseluruhan menurun.68 Sebagaimana tercatat, prasarana layanan publik yang rusak akibat konfl ik dan tsunami lebih banyak dibandingan prasarana administratif. Oleh karena itu, pergeseran keseluruhan investasi modal ke aparatur administratif berlawanan dengan kebutuhan yang teridentifi kasi.

Pemekaran kabupaten: Sebab dan akibat

Sejak awal desentralisasi, jumlah kabupaten (pemerintah kabupaten/kota) dan kecamatan di Provinsi Aceh telah meningkat. Sebelum desentralisasi, terdapat 10 pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Sampai tahun 2003, jumlah tersebut meningkat sampai angka 21. Selain itu, terdapat pertumbuhan jumlah kecamatan dalam kabupaten. Kecuali satu kota (Sabang), semua pemerintah kabupaten/kota telah meningkatkan jumlah kecamatan dalam wilayahnya. Sebagai akibatnya, jumlah kecamatan di Provinsi Aceh hampir berlipat ganda dari 140 pada tahun 1999 menjadi 235 pada tahun 2005.

Menjamurnya kabupaten dan kecamatan tidak diperlukan dan memerlukan banyak biaya, meningkatkan biaya administratif dan gaji. Pemekaran badan administrasi terutama disebabkan oleh perburuan rente (rent-seeking) dan dimungkinkan akibat adanya celah dalam hukum. Kapasitas staf di dalam kabupaten yang baru didirikan lebih rendah dibandingkan kabupaten yang telah didirikan sebelumnya. Pemekaran struktur administratif semakin menurunkan kapasitas pemerintah kabupaten/kota yang sebelumnya sudah rendah. Sebaliknya, desentralisasi dan otonomi khusus telah meningkatkan kebutuhan akan adanya para administrator berkualifi kasi tinggi. Sementara pemerintah kabupaten/kota membenarkan struktur administratif tambahan dengan kebutuhan geografi s dan layanan pemerintah yang meningkat, peluang untuk mengangkat birokrat baru dan mendapatkan alokasi tambahan dari pusat merupakan penyebab sebenarnya dari pemekaran tersebut. Pembentukan struktur administratif baru melalui prakarsa parlemen memungkinkan adanya tambahan kabupaten tanpa pemeriksaan yang sesuai.

Belanja rutin yang terus meningkat dibandingkan dengan belanja pembangunan sebagian besar disebabkan oleh peningkatan jumlah pemerintah kabupaten/kota dan kecamatan. Hal tersebut menyebabkan bertambahnya jumlah struktur pemerintah dan terciptanya posisi eselon baru. Data menunjukkan adanya hubungan yang dekat antara tren belanja rutin dan jumlah pemerintah kabupaten/kota (Gambar 6.1). Pemekaran pemerintah kabupaten/kota dimulai pada tahun 1998, akan tetapi awalnya tidak menimbulkan peningkatan yang berarti dalam

68 Belanja pembangunan untuk aparatur mewakili investasi dalam prasarana fi sik dan peralatan untuk operasi administrasi pemerintah. Belanja tersebut mencakup pembelian gedung kantor pemerintah untuk administrasi pemerintah umum dan kendaraan untuk kepala kabupaten dan instansi-instansi.

Page 124: Official PDF , 178 pages

KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN102

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

belanja rutin. Sejak penerapan desentralisasi – dan pengalihan wewenang dan dana kepada pemerintah-yang berlangsung pada tahun 2000, pengeluaran belanja rutin mulai meningkat secara signifi kan.

Gambar 6.1. Belanja rutin dan jumlah pemerintah kabupaten/kota di Aceh, 1994–2004

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Mily

ar R

p.

0

5

10

15

20

25

Belanja Rutin Kab/Kota Jumlah Kab/Kota

Sumber: Staf Bank Dunia. Semua data bersifat ril (harga konstan tahun 2005).

Pendirian satu kabupaten baru mengurangi penyediaan layanan pemerintah. Survei PFM menunjukkan bahwa kapasitas pemerintah dalam kabupaten yang baru didirikan lebih lemah dibandingkan yang ada di dalam kabupaten yang telah ada sebelumnya. Pemisahan daerah perkotaan dari daerah pedesaan menjadi kota dan kabupaten diperbolehkan dengan dalil bahwa kota memiliki kebutuhan layanan yang berbeda dibandingkan dengan kabupaten. Sebaliknya, survei PFM menunjukkan bahwa kabupaten memiliki kapasitas yang lebih rendah setelah berpisah dari pusat-pusat perkotaan.

Pendirian kabupaten/kabupaten baru dengan prakarsa parlemen melanggar persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang. Undang-Undang No. 129/2000 tentang pemisahan dan penggabungan daerah mengatur tentang persyaratan dan proses untuk mendirikan kabupaten-kabupaten baru, termasuk persetujuan kabupaten asal. Ketetapan ini mengimbangi pemerintah kabupaten/kota yang sedang berkembang. Aplikasi untuk penciptaan kabupaten baru diajukan kepada parlemen untuk ditetapkan sebagai undang-undang nasional. Selain itu, undang-undang tersebut menetapkan bahwa kabupaten yang baru harus terdiri atas sedikitnya tiga kecamatan.69 Akan tetapi, terdapat metode alternatif untuk membentuk pemerintah kabupaten/kota baru, yaitu melalui prakarsa parlemen. Pendekatan ini sepertinya memungkinkan mereka yang mendukung pembentukan pemerintah kabupaten/kota baru untuk menghindari persyaratan yang diwajibkan agar memperoleh persetujuan dari pemerintah kabupaten/kota awal. Bukti yang subjektif mengindikasikan bahwa metode ini kurang transparan dibandingkan metode pertama.70

Pemerintah kabupaten/kota tidak berinvestasi dalam meningkatkan kapasitas kabupaten/kota

Berlawanan dengan kebutuhan yang teridentifi kasi, pemerintah kabupaten/kota hanya mengeluarkan dana yang sedikit untuk pelatihan. Sebaliknya, sebagian besar dari investasi modal mereka dialokasikan untuk bangunan, peralatan, dan kendaraan. Sementara survei PFM telah mengidentifi kasikan pengembangan keterampilan sebagai prioritas, pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan hanya sebagian kecil dari total anggaran mereka untuk pelatihan. Secara rata-rata, pemerintah kabupaten kota menggunakan sekitar 25 persen dari total anggaran mereka untuk belanja investasi modal. Di antara jenis-jenis investasi modal, bagian terbesar digunakan untuk bangunan-bangunan. Dari sekitar 25 persen anggaran untuk investasi modal (gabungan aparatur

69 Pemerintah Indonesia, 2000.

70 Kasus khusus yang mengacu pada bupati Riau terdahulu (yang saat ini merupakan sebuah provinsi), yang merupakan pemrakarsa utama untuk pendirian Provinsi Riau.

Page 125: Official PDF , 178 pages

KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN 103

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

dan layanan umum), pemerintah kabupaten/kota menggunakan setengah dari jumlah tersebut untuk bangunan, peralatan, dan kendaraan. Belanja investasi modal untuk bangunan-bangunan mendominasi dari tiga jenis belanja tersebut. Bangunan menempati sepertiga dari semua belanja modal, meskipun tidak diidentifi kasi sebagai kebutuhan prioritas. Belanja peralatan dan kendaraan masing-masing mencapai 11 dan 8 persen (Tabel 6.3).

Tabel 6.3. Bagian investasi modal untuk bangunan, peralatan, dan kendaraan, 2003–06

Tahun

Belanja modal

sebagai % APBD

Bangunan, peralatan, dan

transportasi sebagai % belanja modal

Bangunan sebagai % belanja

modal.

Peralatan sebagai % belanja modal

Transportasi sebagai % belanja

modal

2003 20.52 55.34 30.08 13.28 11.98

2004 22.85 56.63 39.63 9.79 7.21

2005 28.10 48.12 32.03 10.16 5.93

2006 28.80 48.42 31.97 9.92 6.53

Rata-rata 25.07 52.13 33.43 10.79 7.91 Sumber: Perkiraan Staf Bank Dunia.

Secara rata-rata, pemerintah kabupaten/kota mengeluarkan kurang dari 1,5 persen total anggaran mereka untuk belanja pembangunan sumber daya manusia. Kapasitas yang lemah diidentifi kasi oleh survei PFM dan meningkatnya kebutuhan akan staf dengan kualifi kasi tinggi setelah desentralisasi mengindikasikan agar investasi dalam pengembangan staf perlu dilakukan. Mengingat sampel yang terbatas dari kajian ini, hasilnya menunjukkan bahwa, meskipun staf di kabupaten baru memiliki kapasitas administratif yang lebih rendah, kabupaten-kabupaten tersebut tidak mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk pengembangan kapasitas sumber daya manusia mereka (Tabel 6.4).

Tabel 6.4. Belanja untuk mengembangkan sumber daya manusia dari total anggaran pemerintah kabupaten/kota, 2003–06 (%)

Tahun

Rata-rata pelatihan sebagai % APBD (semua pemerintah kabupaten/

kota)

Rata-rata pelatihan sebagai % APBD

(pemerintah kabupaten/kota lama)

Rata-rata pelatihan sebagai % APBD

(pemerintah kabupaten/kota baru)

2003 0.91 1.09 0.58

2004 1.07 1.11 0.97

2005 1.54 1.42 1.74

2006 1.55 1.40 1.75

Rata-rata 1.27 1.26 1.26Sumber: Perkiraan Staf Bank Dunia.

Pemerintah kabupaten/kota baru mengeluarkan biaya yang sedikit lebih besar untuk investasi modal dibandingkan pemerintah kabupaten/kota lama. Hasil yang ada mengindikasikan bahwa pemerintah kabupaten/kota baru memiliki biaya pendirian yang besar, sebagaimana diindikasikan oleh belanja yang relatif lebih tinggi di kabupaten/kota baru untuk investasi modal dalam bangunan, peralatan, dan kendaraan sebagai proporsi total anggaran pemerintah kabupaten/kota. Lebih banyak belanja peralatan dan kendaraan dikeluarkan untuk administrasi dan bukan layanan publik. Secara rata-rata, administrasi menyerap sekitar 43 persen investasi modal untuk peralatan dan 70 persen investasi modal untuk kendaraan. Mengingat kebutuhan yang ada dalam bidang pendidikan dan kesehatan, belanja tersebut sangat sulit dipenuhi.

Page 126: Official PDF , 178 pages

KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN104

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Persepsi Para Pimpinan Kabupaten/Kota dan Masyarakat tentang Isu-isu Utama dalam Proses Anggaran

Mekanisme dengar pendapat standar tidak menjamin partisipasi masyarakat yang memadai dalam proses anggaran.71 Seluruh pimpinan kabupaten/kota menyatakan bahwa mereka telah mengumpulkan pendapat masyarakat melalui mekanisme dengar pendapat standar (Musrenbang). Namun demikian, beberapa pimpinan kabupaten/kota menyatakan bahwa Musrenbang tidak efektif karena para pimpinan desa yang berpartisipasi di dalam dengar pendapat di tingkat kecamatan tidak mengetahui bagaimana menetapkan kebutuhan mereka. Sebagian besar proyek yang diajukan oleh para pimpinan desa lebih mengarah kepada “keinginan daripada kebutuhan mereka yang sebenarnya.”

Masalah transparansi tetap ada dalam birokrasi pemerintah kabupaten/kota. Dari 10 kabupaten/kota yang dikunjungi, para tokoh masyarakat di 8 kabupaten/kota menyinggung masalah yang berkaitan dengan transparansi dalam pemerintahan kabupaten/kota. Praktik-praktik pengadaan proyek-proyek pemerintah telah diidentifi kasi sebagai bidang yang paling rentan terhadap kurangnya transparansi. Dalam beberapa kasus, kurangnya transparansi dikatakan telah mempengaruhi keseluruhan birokrasi.

Rekomendasi

1. Instansi-instansi perencanaan (Bappeda provinsi dan kabupaten/kota) harus memeriksa dengan teliti alokasi dana untuk administrasi umum. Perluasan sistem dan struktur pemerintahan memiliki dampak serius terhadap struktur anggaran pemerintah daerah. Perluasan telah mengalihkan belanja dari penyediaan layanan publik ke administrasi umum. Meskipun terdapat peningkatan belanja untuk administrasi umum, kapasitas pemerintah daerah tetap lemah.

2. Akan lebih bijaksana apabila pemerintah provinsi dan nasional mencegah terciptanya kabupaten-kabupaten baru. Menjamurnya kabupaten nampaknya telah mengurangi kapasitas untuk pengelolaan dana anggaran. Terciptanya kabupaten-kabupaten baru juga menimbulkan penurunan tingkat penghematan (dis-economies of scale), meningkatkan biaya untuk penambahan personil, peralatan dan gedung diatas biaya investasi untuk layanan masyarakat. Dengan demikian, proses penyaringan pembentukan kabupaten baru perlu dilakukan secara lebih transparan.

3. BRR, para donor dan pemerintah provinsi harus memberikan prioritas tertinggi kepada pengembangan kapasitas pemerintah kabupaten/kota. Ancaman utama terhadap penggunaan sumber daya masyarakat yang efi sien disebabkan oleh kurangnya kapasitas untuk pengelolaan keuangan dan kurangnya transparansi dan pertanggungjawaban di semua tingkat. Namun, dengan kondisi pemerintah kabupaten/kota telah memberikan investasi yang besar untuk administrasi umum tetapi dengan dampak positif yang kecil, kapasitas mereka harus ditingkatkan, terutama untuk perencanaan, penganggaran, transparansi, dan pertanggungjawaban untuk meningkatkan alokasi dana masyarakat.

4. Pemerintah kabupaten/kota harus harus melengkapi kerangka hukum untuk memastikan bahwa sumber daya mereka dialokasikan secara strategis, bertanggung jawab dan transparan. Apabila kerangka hukum telah siap, audit eksternal dapat digunakan untuk memastikan bahwa pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab. Pemerintah kabupaten/kota harus menetapkan kerangka kerja peraturan dan mekanisme perencanaan partisipatif yang sesuai serta prosedur pembukuan dan pelaporan yang akurat dan tepat waktu. Di samping itu, mereka harus mempersiapkan dan melaksanakan mekanisme pemantauan dan pengawasan yang independen dan transparan.

5. Investasi tambahan untuk aparat administratif harus secara nyata menghasilkan peningkatan

efi siensi yang selayaknya. Apabila peningkatan efi siensi tidak mendukung untuk dilakukannya investasi,

71 Hasil-hasil yang disajikan di sini didasarkan atas contoh 10 kabupaten yang terkena dampak tsunami tetapi dinilai cukup untuk mewakili semua provinsi di Aceh.

Page 127: Official PDF , 178 pages

KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN 105

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

sumber daya harus dialihkan kepada layanan masyarakat. Keuntungan dari menginvestasikan dana publik untuk meningkatkan layanan masyarakat nampaknya lebih besar daripada pembangunan gedung-gedung baru untuk administrasi umum.

Page 128: Official PDF , 178 pages

KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK MENGELOLA DANA ANGGARAN106

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Page 129: Official PDF , 178 pages

Apendiks

Page 130: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 108

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Ape

ndik

s A

. Isu

-isu

Uta

ma

dan

Reko

men

dasi

Bab

Isu

Uta

ma

Reko

men

dasi

Uta

ma

Inst

itusi

Ter

kait

Pros

es A

ngga

ran Ku

rang

nya

disip

lin a

ngga

ran.

Pro

ses a

ngga

ran

serin

gkal

i tid

ak m

emat

uhi b

atas

wak

tu y

ang

dite

tapk

an o

leh

pera

tura

n pe

rund

ang-

unda

ngan

, seh

ingg

a m

engh

amba

t pel

aksa

naan

pr

ogra

m-p

rogr

am p

emba

ngun

an se

cara

tepa

t wak

tu.

Ting

katk

an k

apas

itas p

eren

cana

an d

an p

enga

ngga

ran

dina

s mel

alui

du

kung

an te

knis,

dan

ting

katk

an k

oord

inas

i ant

ara

dina

s dan

Bad

an

Pere

ncan

aan

dan

Pem

bang

unan

Dae

rah

(BAP

PED

A).

Parle

men

kab

upat

en/k

ota,

pem

erin

tah

kabu

pate

n/ko

ta, p

ara

dono

r

Ketid

akse

suai

an a

ntar

a da

na y

ang

dial

okas

ikan

den

gan

hasil

pe

mba

ngun

an li

ntas

dae

rah.

Kes

enja

ngan

sekt

oral

dan

geo

grafi

s

teta

p ad

a.

Das

arka

n al

okas

i ang

gara

n at

as d

ata

yang

dap

at d

iper

caya

, yan

g m

enga

rahk

an a

gar a

loka

si se

ktor

al d

an g

eogr

afi s

terfo

kus p

ada

sekt

or-s

ekto

r den

gan

hasil

rend

ah d

an w

ilaya

h-w

ilaya

h ya

ng le

bih

terb

elak

ang.

Tin

gkat

kan

kual

itas d

ata.

Pem

erin

tah

kabu

pate

n/ko

ta, B

PS, p

ara

dono

r

Pene

rim

aan

Kapa

sitas

pem

erin

tah

daer

ah d

alam

men

gelo

la su

mbe

r dan

a pu

blik

mas

ih te

rlalu

lem

ah u

ntuk

men

anga

ni p

enin

gkat

an

pend

apat

an p

ublik

yan

g be

sar

Ting

katk

an k

apas

itas p

emer

inta

h da

erah

dal

am m

enge

lola

sum

ber

dana

pub

lik, t

erut

ama

pere

ncan

aan,

pem

buku

an, d

an a

udit

ekst

erna

l. Tin

gkat

kan

koor

dina

si an

tara

pem

erin

tah

prov

insi,

dae

rah,

BR

R, d

an B

RA se

hubu

ngan

den

gan

reko

nstr

uksi,

rein

tegr

asi,

dan

pem

bang

unan

jang

ka p

anja

ng.

Pem

erin

tah

daer

ah, p

emer

inta

h ka

bupa

ten/

kota

BRR

, BRA

, dan

par

a do

nor

Kete

rlam

bata

n tr

ansf

er d

an k

etid

akte

pata

n al

okas

i dan

a ot

onom

i kh

usus

, dita

mba

h ku

rang

nya

info

rmas

i ten

tang

pro

duks

i min

yak

dan

gas,

men

gura

ngi k

eefe

ktifa

n da

na.

Ting

katk

an tr

ansp

aran

si, p

emba

gian

info

rmas

i, da

n pe

rtan

ggun

gjaw

aban

ata

s alo

kasi

dan

dist

ribus

i dan

a ot

onom

i kh

usus

, dan

ting

katk

an k

etep

atan

wak

tu tr

ansf

er.

Pem

erin

tah

pusa

t

Prov

insi

men

erim

a 40

% d

ari d

ana

oton

omi k

husu

s; 21

ka

bupa

ten/

kota

yan

g be

rtan

ggun

g ja

wab

ata

s lay

anan

m

asya

raka

t men

erim

a 60

% si

sany

a.

Sera

hkan

wew

enan

g ya

ng le

bih

besa

r unt

uk m

enga

was

i dan

a ot

onom

i khu

sus k

epad

a pe

mer

inta

h ka

bupa

ten/

kota

den

gan

men

ingk

atka

n ba

gian

mer

eka.

Pro

vins

i har

us m

enga

was

i dan

m

enge

valu

asi p

engg

unaa

nnya

.

Pem

erin

tah

daer

ah

Terd

apat

per

beda

an fi

skal

yan

g sig

nifi k

an (p

enda

pata

n pe

r ka

pita

) ant

ar k

abup

aten

/kot

a. T

rans

fer a

ntar

pem

erin

taha

n tid

ak

men

gura

ngi p

erbe

daan

ini.

Ting

katk

an d

istrib

usi p

enda

pata

n an

tar k

abup

aten

/kot

a (D

AU,

DAK

), de

ngan

mem

perh

itung

kan

kem

iskin

an d

an d

ana

bagi

has

il da

ri m

inya

k da

n ga

s. Re

visi

form

ula

untu

k al

okas

i pen

dapa

tan

anta

r ka

bupa

ten/

kota

.

Pem

erin

tah

nasio

nal d

an p

rovi

nsi

(dist

ribus

i pen

dapa

tan,

alo

kasi

uang

pr

ovin

si da

n pe

mer

inta

h pu

sat)

Pend

apat

an a

sli d

aera

h (P

AD) t

etap

kec

il se

tela

h di

laku

kann

ya

dese

ntra

lisas

i. Pe

misa

han

pem

erin

tah

kabu

pate

n/ko

ta te

lah

men

cipt

akan

mas

alah

dal

am d

istrib

usi s

umbe

r-sum

ber P

AD

anta

ra p

emer

inta

h ka

bupa

ten/

kota

lam

a da

n ba

ru.

Laku

kan

anal

isis t

erha

dap

pote

nsi p

enda

pata

n su

mbe

r mili

k se

ndiri

da

n uk

ur k

eefe

ktifa

n pe

mun

guta

n pa

jak.

Lak

ukan

ana

lisis

terh

adap

at

uran

stru

ktur

paj

ak k

abup

aten

/kot

a sa

at in

i unt

uk m

engi

dent

ifi ka

si su

mbe

r-sum

ber p

ajak

lain

yan

g po

tens

ial.

Pem

erin

tah

prov

insi

dan

kabu

pate

n/ko

ta,

para

don

or

Peng

elua

ran

Alok

asi f

ungs

iona

l tid

ak se

lalu

men

jadi

yan

g pa

ling

efi s

ien.

Pe

mer

inta

h ka

bupa

ten/

kota

men

gelu

arka

n se

mak

in b

anya

k ba

gian

dar

i bel

anja

kes

elur

uhan

unt

uk b

elan

ja ru

tin. A

para

t pe

mer

inta

h te

lah

men

jadi

prio

ritas

pen

gelu

aran

tert

ingg

i unt

uk

pem

erin

tah

prov

insi

dan

kabu

pate

n/ko

ta.

Perik

sa d

enga

n te

liti k

ecen

deru

ngan

pen

ingk

atan

pen

gelu

aran

unt

uk

bela

nja

rutin

kes

elur

uhan

dan

unt

uk b

elan

ja p

enge

mba

ngan

apa

rat

pem

erin

tah.

Teta

pkan

bat

as-b

atas

yan

g je

las u

ntuk

ini.

Pem

erin

tah

prov

insi

dan

kabu

pate

n/ko

ta

Page 131: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 109

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Terd

apat

per

beda

an y

ang

besa

r ant

ara

angg

aran

yan

g di

renc

anak

an d

an re

alisa

sinya

. Pem

erin

tah

kabu

pate

n/ko

ta ti

dak

dapa

t men

gelu

arka

n da

na se

baga

iman

a ya

ng d

irenc

anak

an.

Penj

elas

an y

ang

tepa

t: ku

rang

nya

pere

ncan

aan

dan

peng

elol

aan

angg

aran

, ket

erla

mba

tan

dala

m tr

ansf

er p

enda

pata

n da

ri pe

mer

inta

h pu

sat d

an p

rovi

nsi,

tidak

stab

ilnya

kea

man

an.

Laku

kan

anal

isis u

ntuk

mem

aham

i den

gan

lebi

h ba

ik k

esen

jang

an

anta

ra a

ngga

ran

yang

dire

ncan

akan

dan

real

isasin

ya. P

enin

gkat

an

kete

pata

n w

aktu

tran

sfer

dar

i pem

erin

tah

pusa

t dan

pro

vins

i ke

pem

erin

tah

kabu

pate

n/ko

ta a

kan

men

ingk

atka

n re

alisa

si.

Pem

erin

tah

pusa

t, pr

ovin

si, d

an

kabu

pate

n/ko

ta, p

ara

dono

r

Kese

njan

gan

fi nan

sial y

ang

besa

r ant

ara

reko

nstr

uksi

sekt

oral

dan

da

erah

teta

p ad

a.Ti

ngka

tkan

efi s

iens

i alo

katif

dan

a re

kons

truk

si de

ngan

mem

berik

an

foku

s pad

a ke

senj

anga

n ge

ogra

fi s d

an se

ktor

al y

ang

terid

entifi

kas

iBR

R, p

emer

inta

h ka

bupa

ten/

kota

, par

a do

nor

Rend

ahny

a an

gka

pem

baya

ran

dala

m p

roye

k-pr

oyek

reko

nstr

uksi

(teru

tam

a BR

R)

Ting

katk

an lin

i pel

apor

an, t

angg

ung

jaw

ab, d

an p

erta

nggu

ngja

wab

an.

Ting

katk

an p

ersia

pan

dan

peng

awas

an p

roye

k; s

erah

kan

TA k

epad

a pa

ra m

anaj

er p

roye

k. S

eder

hana

kan

pros

edur

pen

gada

an.

Berik

an

fl eks

ibili

tas d

alam

men

gelu

arka

n an

ggar

an ta

huna

n BR

R.

BRR,

pem

erin

tah

pusa

t, da

n Pa

rlem

en

Pem

erin

tah

pusa

t ter

us m

enge

luar

kan

dana

unt

uk fu

ngsi-

fung

si ya

ng se

bagi

an b

esar

terd

esen

tral

isasi

di d

aera

h, se

hing

ga

men

enta

ng d

esen

tral

isasi.

Cega

h pe

ngel

uara

n da

na d

i kem

udia

n ha

ri ol

eh p

emer

inta

h pu

sat

untu

k fu

ngsi-

fung

si ya

ng se

bagi

an b

esar

terd

esen

tral

isasi.

Targ

etka

n pe

ngel

uara

n pe

mer

inta

h pu

sat m

elal

ui d

ana

alok

asi k

husu

s.Pe

mer

inta

h na

siona

l

Kese

hata

n

Sist

em in

form

asi k

eseh

atan

di A

ceh

lum

puh

dise

babk

an o

leh

konfl

ik d

an ts

unam

i.Ba

ngun

kem

bali

siste

m in

form

asi m

anaj

emen

dat

a un

tuk

men

duku

ng p

enen

tuan

prio

ritas

alo

kasi

angg

aran

kes

ehat

an.

Pem

erin

tah

prov

insi

dan

kabu

pate

n/ko

ta,

BPS,

par

a do

nor

Fasil

itas p

eraw

atan

kes

ehat

an u

mum

nya

ters

edia

, tet

api s

ebag

ian

besa

r tid

ak b

erfu

ngsi

kare

na k

uran

gnya

pem

elih

araa

n da

n st

af.

Kaitk

an k

onst

ruks

i fas

ilita

s-fa

silita

s bar

u de

ngan

pen

ilaia

n ke

butu

han;

tin

gkat

kan

pem

enuh

an k

ebut

uhan

-keb

utuh

an y

ang

terid

entifi

kas

i de

ngan

sum

ber d

aya.

Pem

erin

tah

prov

insi

dan

kabu

pate

n/ko

ta

Tena

ga k

eseh

atan

rela

tif b

esar

apa

bila

dib

andi

ngka

n de

ngan

pr

ovin

si-pr

ovin

si la

in d

i Ind

ones

ia te

tapi

tida

k te

rdist

ribus

i sec

ara

mer

ata

di se

luru

h pr

ovin

si, se

bagi

an d

iseba

bkan

ole

h ko

nfl ik

.

Berik

an in

sent

if ya

ng p

anta

s kep

ada

para

tena

ga k

eseh

atan

unt

uk

kem

bali

ke w

ilaya

h-w

ilaya

h pe

desa

an.

Pem

erin

tah

prov

insi

dan

kabu

pate

n/ko

ta

Pend

idik

an

Page 132: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 110

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Peng

elua

ran

dana

Ace

h un

tuk

pend

idik

an ti

nggi

dan

aka

n re

latif

tin

ggi a

pabi

la d

iban

ding

kan

deng

an p

rovi

nsi-p

rovi

nsi l

ain

di

Indo

nesia

. Nam

un d

emik

ian,

pen

gelu

aran

yan

g le

bih

tingg

i tid

ak m

enun

jukk

an p

enin

gkat

an y

ang

besa

r pad

a ha

sil-h

asil

pend

idik

an.

Ting

katk

an a

loka

si da

na p

endi

dika

n. T

ingk

atka

n M

&E p

engg

unaa

n da

na p

endi

dika

n da

n da

mpa

knya

.Pe

mer

inta

h pr

ovin

si da

n ka

bupa

ten/

kota

Kual

itas p

enga

jara

n te

rham

bat o

leh

kond

isi g

edun

g-ge

dung

se

kola

h ya

ng b

uruk

dan

kur

angn

ya p

eral

atan

bel

ajar

-men

gaja

r. Se

bagi

an b

esar

alo

kasi

fung

siona

l dib

erik

an u

ntuk

gaj

i gur

u.

Ting

katk

an b

agia

n su

mbe

r dan

a ya

ng d

igun

akan

unt

uk

pem

elih

araa

n fa

silita

s pen

didi

kan.

Ber

ikan

inse

ntif

yang

pan

tas u

ntuk

m

enga

tasi

dist

ribus

i gur

u ya

ng ti

dak

mer

ata.

Pem

erin

tah

prov

insi

dan

kabu

pate

n/ko

ta

Terd

apat

stan

dar l

ayan

an m

inim

um te

tapi

tida

k se

suai

de

ngan

keb

ijaka

n in

form

asi.

Stan

dar l

ayan

an m

inim

um ti

dak

haru

s men

cerm

inka

n ke

butu

han

daer

ah d

an m

enin

gkat

kan

ketid

akefi

sie

nan

alok

asi s

umbe

r day

a m

anus

ia.

Kant

or p

endi

dika

n pr

ovin

si da

n ka

bupa

ten/

kota

har

us m

enga

dapt

asi

stan

dar l

ayan

an p

endi

dika

n m

inim

um a

gar l

ayak

seca

ra p

rakt

ik d

an

fi nan

sial.

Pem

erin

taha

n pr

ovin

si da

n ka

bupa

ten/

kota

Kant

or p

endi

dika

n ke

banj

iran

data

, tet

api k

ekur

anga

n da

ta y

ang

berk

ualit

as. I

dent

ifi ka

si da

n pe

ngum

pula

n in

dika

tor m

asuk

an,

pros

es, d

an h

asil

(fi na

nsia

l) ut

ama

pent

ing

untu

k pe

renc

anaa

n.

Perb

aiki

sist

em in

form

asi p

endi

dika

n.Pe

mer

inta

h pr

ovin

si da

n ka

bupa

ten/

kota

, pa

ra d

onor

Pras

aran

a/in

fras

truk

tur

Alok

asi y

ang

rend

ah u

ntuk

ope

rasi

dan

pem

elih

araa

n te

lah

men

gaki

batk

an b

uruk

nya

pem

elih

araa

n pr

asar

ana

publ

ik d

an

mem

buru

knya

pen

yedi

aan

laya

nan

mas

yara

kat.

Ting

katk

an a

loka

si an

ggar

an u

ntuk

pra

sara

na, d

enga

n m

embe

rikan

fo

kus p

ada

pem

elih

araa

n pr

asar

ana

umum

.Pe

mer

inta

h pr

ovin

si da

n ka

bupa

ten/

kota

Sete

lah

bera

khirn

ya m

anda

t BRR

tahu

n 20

09, p

emer

inta

h ka

bupa

ten/

kota

per

lu m

emas

tikan

kel

angs

unga

n da

n pe

mel

ihar

aan

reko

nstr

uksi

pras

aran

a.

Unt

uk m

enin

gkat

kan

kepe

mili

kan

proy

ek, B

RR p

erlu

lebi

h m

elib

atka

n pe

mer

inta

h ka

bupa

ten/

kota

dal

am p

eran

cang

an d

an

pela

ksan

aan

proy

ek. P

roye

k-pr

oyek

yan

g di

biay

ai b

ersa

ma

dapa

t m

enin

gkat

kan

kepe

mili

kan

dan

mel

anca

rkan

tran

sisi.

Sera

hkan

TA

untu

k m

empe

rsia

pkan

pem

erin

tah

kabu

pate

n/ko

ta d

an m

enga

tasi

ham

bata

n-ha

mba

tan

kapa

sitas

pen

yera

pan

tekn

is da

n in

stitu

siona

l.

BRR

dan

pem

erin

tah

kabu

pate

n/ko

ta

Ting

katk

an ik

lim in

vest

asi y

ang

baik

unt

uk m

enar

ik in

vest

asi s

ekto

r sw

asta

kep

ada

pras

aran

a/in

frast

rukt

urPe

mer

inta

h pr

ovin

si da

n ka

bupa

ten/

kota

Kapa

sita

s pe

mer

inta

h ka

bupa

ten/

kota

Kapa

sitas

dan

ket

eram

pila

n pe

mer

inta

h ka

bupa

ten/

kota

per

lu

ditin

gkat

kan.

Dal

am m

enan

gani

pen

ingk

atan

aru

s mas

uk d

ana

yang

bes

ar d

an k

ewen

anga

n un

tuk

men

gelo

lany

a, k

apas

itas

pem

erin

tah

kabu

pate

n/ko

ta u

ntuk

men

gelo

la d

ana

mas

yara

kat

seca

ra e

fi sie

n le

mah

, khu

susn

ya y

ang

berh

ubun

gan

deng

an

audi

t eks

tern

al d

an k

eran

gka

huku

m.

Ting

katk

an k

apas

itas p

emer

inta

h ka

bupa

ten/

kota

dal

am P

FM.

Berik

an in

sent

if ya

ng p

anta

s kep

ada

para

pej

abat

pem

erin

tah

kabu

pate

n/ko

ta u

ntuk

men

jala

nkan

tang

gung

jaw

ab y

ang

men

ingk

at.

Pem

erin

tah

prov

insi

dan

kabu

pate

n/ko

ta,

para

don

or

Men

jam

urny

a ke

cam

atan

mem

akan

bia

ya ti

nggi

dan

tida

k pe

rlu,

sert

a m

enin

gkat

kan

biay

a ad

min

istra

tif d

an p

erso

nil.

Pem

erin

tah

prov

insi

dan

nasio

nal

haru

s m

ence

gah/

mem

bata

si te

rcip

tany

a ka

bupa

ten/

kota

bar

u.Pe

mer

inta

h na

siona

l dan

pro

vins

i

Mek

anism

e de

ngar

pen

dapa

t sta

ndar

tida

k m

enja

min

par

tisip

asi

mas

yara

kat y

ang

cuku

p da

lam

pro

ses a

ngga

ran.

Ting

katk

an tr

ansp

aran

si da

lam

per

enca

naan

ang

gara

n un

tuk

mem

astik

an b

ahw

a pr

opos

al m

asya

raka

t dim

asuk

kan

ke d

alam

an

ggar

an. P

erku

at k

apas

itas m

asya

raka

t mad

ani k

abup

aten

/kot

a da

lam

mem

anta

u an

ggar

an.

Pem

erin

tah

prov

insi

dan

kabu

pate

n/ko

ta,

para

don

or

Page 133: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 111

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Apendiks B. Gambar dan Tabel

Gambar B1. Distribusi PDB per kapita per wilayah di Aceh, tahun 2004

SIMEULUE

ACEH TENGGARA

ACEH TENGAH

BENER MERIAH

ACEH UTARA

LHOKSUMAWE (KOTA)

LANGSA (KOTA)

BANDA ACEH (KOT A)

SABANG (KOTA)

2.6

5.9

46.4

30.6

8.4

5.5

2.2

2.8

4.9

9.2

ACEH SINGKI L

ACEH SEL ATAN

ACEH TIMU R

ACEH BARAT

ACEH BESAR

PIDIE BIREUEN

ACEH BARAT D AYA

GAYO LUES

ACEH TAMIANGNAGAN R AYA

ACEH J AYA

3.3

7.9

5.1

5.0

3.8 6.1

7.0

7.24.5

4.1

NIAS SEL ATAN

NIAS3.5

3.6

PDB Daerah Tahunan per kapita (Juta Rp)

20 sampai 4715 sampai 2010 sampai 155 sampai 100 sampai 5

Sumber: Data BPS, dipetakan oleh staf Bank Dunia.

Gambar B2. Estimasi penurunan PDB per kabupaten, tahun 2005 (%),

SIMEULUE

ACEH TENGGARA

ACEH TENGAH

BENER MERIAH

ACEH UTARA

LHOKSUMAWE (KOTA)

LANGSA (KOTA)

BANDA ACEH (KOT A)

SABANG (KOTA)

56.0

18.2

0.2

0.6

0.7

36.0

23.9

27.9

32.4

4.2

ACEH SINGKI L

ACEH SEL ATAN

ACEH TIMU R

ACEH BARAT

ACEH BESAR

PIDIE BIREUEN

ACEH BARAT D AYA

GAYO LUES

ACEH TAMIANGNAGAN R AYA

ACEH J AYA

1.9

1.6

33.2

14.4

5.5 3.4

2.4

0.534.1

86.4

NIAS SEL ATAN

NIAS20.6

19.2

Penurunan PDB

50 sampai 9020 sampai 5010 sampai 205 sampai 10Dibawah 5Tidak ada penurunanTidak ada data

Sumber: estimasi staf Bank Dunia.

Page 134: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 112

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar B3. Tingkat kemiskinan di seluruh kabupaten/kota di Aceh (%)

Panel A. Tingkat kemiskinan sebelum bencana

ACEH TENGGARA

ACEH TENGA H

BENER MERIAH

ACEH UTARA

SIMEULUE

LHOKSUMAWE (KOTA)

LANGSA (KOTA)

BANDA ACEH (KOT A)

SABANG (KOTA)

29.9

35.2

35.9

35.7

34.3

31.6

27.9

27.6

28.9

8.9

34.2

15.0

15.3

30.0

28.0

25.2

32.4

23.9

29.3

31.5

ACEH SINGKI L

ACEH SEL ATAN

ACEH TIMU R

ACEH BARAT

ACEH BESAR

PIDIE BIREUEN

ACEH BAR AT DAYA

GAYO LUES

ACEH TAMIANGNAGAN R AYA

ACEH J AYA

NIAS SEL ATAN

NIAS

19.2

20.6

Jumlah rakyat miskin sebelum bencana (%)

Diatas 4535 sampai 4525 sampai 3515 sampai 25Dibawah 15Tidak ada data

Panel B. Tingkat kemiskinan pasca bencana, tahun 2004

SIMEULUE

ACEH TENGGARA

ACEH TENGAH

BENER MERIAH

ACEH UTARA

LHOKSUMAWE (KOTA)

LANGSA (KOTA)

BANDA ACEH (KOT A)

SABANG (KOTA)

72.7

36.0

23.9

27.9

32.4

14.2

15.1

34.9

15.7

35.8

ACEH SINGKIL

ACEH SEL ATAN

ACEH TIMU R

ACEH BARAT

ACEH BESAR

PIDIE BIREUEN

ACEH BARAT D AYA

GAYO LUES

ACEH TAMIANGNAGAN R AYA

ACEH J AYA

30.6

31.6

74.7

44.1

41.6 32.5

30.2

25.776.4

86.2

NIAS SEL ATAN

NIAS

52.5

53.1

Jumlah rakyat miskin pasca bencana (%)

Diatas 4535 sampai 4525 sampai 3515 sampai 25Dibawah 15Tidak ada

Sumber: BPS (data aktual tahun 2004) dan staf Bank Dunia (estimasi angka kemiskinan pasca bencana).

Page 135: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 113

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar B4. Proses penyusunan anggaran

Juni : Pemerintah daerah menyerahkan kebijakan umum APBD kepada parlemen daerah (DPRD Komite anggaran eksekutif

Oktober-November : Diskusi rancangan Perda tentang APBD

Januari-Mei: Penyusunan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) sebagai dasar kebijakan umum anggaran pemerintah daerah

September-Oktober:Evaluasi proposal anggaran badan-badan terkait dan penyusunan rancangan peraturan daerah (Perda) tentang APBD

Minggu Pertama Oktober:Pemerintah daerah menyerahkan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD

Dikusi kebijakan umum tentang APBD

Kebijakan umum tentang APBD disetujui

September-OktoberBadan-badan lini di daerah menyusun program-program kerja dan estimasi-estimasi anggaran untuk tahun berikutnya

November-Desember:APBD disetujui

Desember : APBD tersusun melalui persetujuan peraturan daerah

Juli-Agustus:Pemerintah daerah dan DPRD membahas prioritas dan batas anggaran

Menjadi referensi badan-badan lini di daerah

Sumber: DG Keseimbangan Anggaran dan Fiskal-Menteri Keuangan berdasarkan Undang-undang No. 17/2003, Undang-undang No. 15/2004, Undang-undang No. 32/2004, Undang-undang No. 33/2004, Keputusan Menteri No. 29/2002.

Gambar B5. Evaluasi anggaran

Juli : Realisasi semester pertama dan estimasi semester kedua yang diajukan kepada DPRD

Pemerintah daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD yang telah direvisi kepada DPRD untuk disetujui selambat-lambatnya tiga bulan sebelum akhir tahun anggaran yang bersangkutan

Realisasi APBD diserahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya tiga bulan setelah akhir tahun anggaran yang bersangkutan

BPK harus mengaudit realisasi APBD dalam jangka waktu dua bulan setelah menerima laporan APBD

Kepala daerah menyerahkan rancangan Perda tentang laporan pertanggungjawaban APBD kepada DPRD untuk disetujui selambat-lambatnya enam bulan setelah akhir tahun anggaran yang bersangkutan

Sumber: Undang-undang No. 15/2004, Undang-undang No. 17.2003, PP No. 58/2005, PP No. 56/2005.

Page 136: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 114

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar B6. Komposisi dana bagi hasil sumber daya alam, sebelum dan pasca desentralisasi, tahun 1994–2005 (% dana bagi hasil sumber daya alam keseluruhan)

0%

20%

40%

60%

80%

100%

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2001 2002 2003 2004 2005

Sewa Sumber Daya Kehutanan (IHH)/(PSDH) Sewa Lahan Kehutanan (IHPH) Sewa Lahan PertambanganRoyalti Pertambangan Biaya eksplorasi pertambangan Biaya Perusahaan PerikananBiaya sumber daya perikanan Minyak GasState land right issue Lain-lain

Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Menteri Keuangan.

Gambar B7. Perubahan alokasi DAU, tahun 2005–06 (%)

Kab. Aceh Utara

Kab. Simeulue

Kab. Aceh Singkil

Kab. Aceh Selatan

Kab. Aceh Tenggara

Kab. Bener Meriah

Kab. Aceh Tengah

Kota Banda Aceh

Kota Langsa

Kota Lhokseumawe

Kab. Aceh Timur

Kab. Aceh Barat

Kab. Aceh Besar

Kab. Aceh Pidie Kab. Bireuen

Kab. Aceh Barat Daya

Kab. Gayo Lues

Kab. Aceh TamiangKab. Nagan Raya

Kab. Aceh Jaya

Kota Sabang

Perubahan alokasi DAU, tahun 2005-06 (%)160 sampai 606 (1)

80 sampai 160 (1)60 sampai 80 (11)50 sampai 60 (4)20 sampai 50 (3)

No change (hold harmless) to 20 (1)

Sumber: Kalkulasi Menteri Keuangan dan staf Bank Dunia.

Page 137: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 115

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar B8. Belanja bidang pendidikan (termasuk kebudayaan) persentase dari total belanja kabupaten/kota di beberapa kabupaten/kota tertentu di aceh (2005 dan 2004)

0

10

20

30

40

50

Ban

da

Ace

h

Pid

ie

Bire

uen

Ace

h S

elat

an *

Ace

h T

eng

gar

a *

Lang

sa *

Ace

h B

esar

Ace

h Ta

mia

ng *

Ace

h B

arat

Day

a *

Ace

h T

eng

ah

Ace

h B

ara

t

Lho

kseu

maw

e *

Ace

h U

tara

Nag

an R

aya

Ace

h U

tara

Ace

h T

imur

Ace

h Ja

ya

Sab

ang

Sim

elue

Ace

h S

ing

kil

%

Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia.

Gambar B9. DAK per kapita di seluruh provinsi di Indonesia, tahun 2006

-50,000

100,000150,000200,000250,000300,000350,000400,000450,000

Banten

Jawa B

arat

Jawa T

imur

Jawa T

engah

Riau

D I Y

og

yakarta

Lamp

ung

Sum

atera Selata

n

Sum

atra Utara

Kep

ulauan Riau

Bali

Nusa T

engg

ara Bara

t

Jamb

i

Kalim

antan Tim

ur

Kalim

antan Bara

t

Sulaw

esi Selata

n

Kalim

antan Selata

n

Sum

atra Bara

t

Nusa T

engg

ara Tim

ur

Sulaw

esi Teng

ah

Sulaw

esi Utara

Nang

gro

e Aceh D

arussalam

Go

rontalo

Sulaw

esi Teng

gara

Kep

ulauan Bang

ka Belitung

Beng

kulu

Kalim

antan Teng

ah

Maluku

Maluku U

tara

Pap

ua

Pap

ua Bara

t

Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data Menteri Keuangan.

Page 138: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 116

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar B10. Alokasi DAK di antara pemerintah kabupaten/kota di Aceh, tahun 2006

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Kota LhokseumaweKota Langs a

Kab. Gayo Lue sKota Banda Aceh

Kab. Aceh TenggaraKab. Aceh Jaya

Kab. Nagan RayaKab. Aceh Tengah

Kab. Aceh Bara tKab. Simeuleu

Kab. Aceh SingkilKab. Aceh Barat Daya

Kab. Aceh TamiangKota Sabang

Kab. Aceh Selata nKab. Bener Meriah

Kab. Aceh BesarKab. Aceh TimurKab. Aceh Utar a

Kab. Bi reuenKab. Pidi e

MIlyar Rupiah

Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data Menteri Keuangan.

Gambar B11. Pinjaman seluruh provinsi di Indonesia (% terhadap PDRB), tahun 2004

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

Maluku

Sulsel

Kalsel

Beng

kulu

Bali

Sulut

DK

I Jakarta

Sum

sel

Sum

ut

Jamb

i

Jateng

Banten

Jatim

Kalb

ar

Sultra

Sum

bar

Maluku U

tara

Go

rontalo

Sulteng

DI Y

og

yakarta

NT

B

NA

D

Jabar

Lamp

ung

Pap

ua

Kaltim

Kep

. Bang

ka Belitung

Kalteng

NT

T

Riau

pers

en P

DR

B

Sumber: Kalkulasi Menteri Keuangan dan staf Bank Dunia.

Page 139: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 117

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Gambar B12. Angka partisipasi pendidikan SD bersih tingkat kabupaten/kota, tahun 2005

80

85

90

95

100

Sab

ang

Ben

er M

eria

h

Ace

h S

elat

an

Ace

h Ta

mia

ng

Lang

sa

Gay

o Lu

es

Ace

h U

tara

Ace

h p

rovi

nce

Ace

h B

esar

Ban

da

Ace

h

Pid

ie

Ace

h T

eng

gar

a

Ace

h S

ing

kil

Ace

h T

imur

Ace

h T

eng

ah

Sim

eulu

e

Lho

kseu

maw

e

Bire

uen

Ace

h B

arat

Day

a

Nag

an R

aya

Ace

h B

arat

Ace

h Ja

ya

Sumber: Sensus Aceh oleh BPS tahun 2005.

Tabel B1. Daerah yang menerima manfaat dana bagi hasil sumber daya alam, per daerah (Jutaan Rupiah)

Rata-rata tahunan pradesentralisasi

Rata-rata tahunan pasca desentralisasi

Aceh Barat 3,820 74,903

Aceh Besar 245 53,412

Aceh Selatan 1,988 83,208

Aceh Singkil - 298

Aceh Tengah 1,632 35,801

Aceh Tenggara 487 60,460

Aceh Timur 2,004 162,592

Aceh Utara 332 469,233

Aceh Bireuen - 55,501

Pidie 169 73,510

Simeulue - 16,419

Kota Banda Aceh 225 53,113

Kota Sabang 117 52,052

Kota Langsa - 22,680

Kota Lhokseumawe - 35,519

Aceh Barat Daya - 31,125

Gayo Lues - 31,063

Aceh Tamiang - 39,331

Nagan Raya - 13,549

Aceh Jaya - 17,875

Sumber: Kalkulasi Menteri Keuangan dan staf Bank Dunia.

Page 140: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 118

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel B2. Kualifi kasi staf pemerintahan di Aceh, tahun 2003

<SLTA(% staf kab/

kota)

SLTA(% staf kab/

kota)

Diploma (% staf kab/

kota)

S1 (% staf

kab/kota)

S2 (% staf

kab/kota)

Total staf ( %)

Keseluruhan 3.77 31.22 20.78 25.17 0.57

Aceh Selatan* 4.03 39.46 26.99 28.72 0.79 4.84

Aceh Tenggara 5.62 50.05 20.42 22.88 1.02 4.37

Aceh Timur 8.28 39.34 24.24 27.91 0.23 4.47

Aceh Tengah 3.53 38.77 29.90 27.34 0.45 6.36

Aceh Barat 3.29 40.16 26.64 29.25 0.63 5.00

Aceh Besar 2.78 34.75 24.81 36.43 1.20 8.71

Banda Aceh 3.34 33.36 14.46 41.06 6.98 18.48

Pidie 6.59 32.66 27.40 32.86 0.49 10.67

Aceh Utara 6.72 39.53 24.76 28.84 0.15 5.86

Simeuleu 2.88 47.53 24.74 24.45 0.40 1.65

Aceh Singkil 2.64 42.42 19.74 34.24 0.97 2.17

Bireuen 4.57 33.35 30.19 31.62 0.26 7.04

Aceh Barat Daya 4.15 33.27 33.75 27.87 0.96 1.97

Gayo Lues 4.91 43.18 24.78 26.10 1.03 1.30

Aceh Tamiang 3.72 35.80 28.89 31.25 0.33 2.87

Nagan Raya 4.27 41.88 28.70 24.74 0.40 2.12

Aceh Jaya 4.75 39.55 28.21 27.21 0.28 1.34

Sabang 6.27 43.36 17.20 32.29 0.88 2.06

Langsa 3.32 39.90 19.99 35.58 1.17 4.08

Lhokseumawe 2.82 39.33 17.16 38.81 1.85 4.63 Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Nasional (BKN)Catatan: * = Staf pemerintahan dengan gelar doktor belum dimasukkan. Banda Aceh memiliki dua universitas negeri pada tahun 2003 (UNSYIAH dan IAIN), dan data yang disajikan mencakup para staf pengajar universitas sebagai staf pemerintahan yang cenderung memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi . Data Banda Aceh menunjukkan bahwa jumlah staf pemerintahan yang memiliki tingkat pendidikan setingkat pasca sarjana (S2) tinggi dikarenakan hal ini.

Page 141: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 119

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Apendiks C. Catatan Metodologi

C.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah anggaran tahunan yang dialokasikan dan/atau dibelanjakan oleh pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Anggaran tersebut terdiri atas dua kategori: yang berupa rencana (diajukan untuk mendapat persetujuan DPRD) dan realisasi (pengeluaran aktual atau laporan pertanggungjawaban kepala daerah). Rentang waktu data adalah dari tahun 1994 sampai dengan 2006 dari berbagai sumber. Untuk periode 1994–99, data disediakan oleh BPS. Untuk periode 2000–04, data diambil dari Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) milik Depkeu. Data untuk tahun 2005 diperoleh dari pemda tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Aceh. Angka-angka untuk tahun 2006 merupakan angka-angka perkiraan.

Sejak desentralisasi, pemerintah daerah wajib mengajukan data APBD kepada Departemen Keuangan (SIKD) secara tepat waktu. Pemerintah pusat dapat mengenakan sanksi berupa penundaan pencairan DAU apabila pemerintah daerah tidak mengajukan data tersebut secara tepat waktu. Akan tetapi, banyak pemerintah daerah yang tidak mengajukan APBD-nya ke Depkeu. Pada tahun 2003, 334 dari total 370 pemerintah daerah yang ada di Indonesia mengajukan laporan APBD-nya ke Depkeu. Di Aceh, hanya 10 dari 20 pemda yang mengajukan laporan APBD pada tahun 2003, dan 12 dari 21 pemda pada tahun 2004. Depkeu melengkapi kekurangan data SIKD dengan mengumpulkan data langsung dari pemerintah daerah tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.

Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang pendapatan dan belanja pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Aceh, data yang tidak tersedia untuk kabupaten-kabupaten dan tahun-tahun tertentu dibuat perkiraannya dengan menggunakan porsi PDRB dari pemda-pemda yang bersangkutan sebagai faktor infl asi. Nilai yang sebenarnya untuk rentang waktu tersebut dihitung berdasarkan perkiraan CPI untuk tahun 2006.

C.2 Proyeksi Pendapatan Aceh (2006–11) dan Sensitivitas Simulasi Harga Minyak

Proyeksi ini didasarkan pada beberapa asumsi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan fi skal, tingkat infl asi, dan harga minyak, yang terkait dengan perkiraan anggaran pemerintah pusat. Simulasi harga minyak didasarkan pada 3 skenario harga minyak sbb: rendah(AS$50/barel), sedang (AS$60/barel), dan tinggi (AS$75/barel).

Dana bagi hasil dari sumberdaya alam dan Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dua komponen utama pendapatan yang menggunakan harga minyak dan simulasi sensitivitas. Porsi tertimbang diberikan untuk pendapatan migas di Aceh dengan menggunakan data produksi gas. Untuk DAU, diasumsikan bahwa Aceh menerima bagian sebesar 3 persen dari alokasi reguler DAU nasional (alokasi tahunan rata-rata). Alokasi tambahan sebesar 2 persen akan ditambahkan mulai tahun 2008 berdasarkan UU No. 11/2006 yang baru dikeluarkan. Untuk komponen-komponen pendapatan lainnya, yang terdiri atas PAD, Dana Alokasi Khusus, dan pendapatan lainnya, perkiraannya didasarkan pada asumsi pertumbuhan sebesar 5 persen.

C.3 Simulasi Pinjaman

Tujuan dari simulasi ini adalah untuk melihat kemampuan untuk menerima pinjaman dan pagu pinjaman pemerintah daerah di Aceh. Simulasi ini didasarkan pada UU No. 33/2004 tentang Keseimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan PP No. 54/2005 tentang Pinjaman Daerah.

Peraturan tersebut menetapkan bahwa pemerintah daerah harus memenuhi persyaratan berikut ini untuk mendapatkan pinjaman jangka menengah dan jangka panjang: (1) sisa pinjaman pemerintah daerah ditambah jumlah pinjaman yang ingin diperoleh tidak lebih dari 75 persen dari pendapatan umum dalam APBD tahun sebelumnya; (2) rasio perkiraan kemampuan keuangan pemerintah daerah untuk melunasi pinjaman tersebut sekurang-kurangnya 2,5; (3) pemerintah daerah tidak memiliki tunggakan pembayaran hutang yang berasal dari pemerintah pusat, dan (4) pinjaman tersebut disetujui oleh DPRD.

Page 142: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 120

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Berdasarkan peraturan tersebut, simulasi batas maksimum pinjaman untuk Pemda Aceh pada tahun 2004 tercapai dengan cara:

1. Mengalikan pendapatan umum pemerintah daerah pada tahun 2003 dengan 0,75. Pendapatan umum terdiri atas semua komponen pendapatan kecuali dana alokasi khusus (DAK), dana darurat, pinjaman-pinjaman lama, dan pendapatan lainnya.

2. Menghitung rasio kemampuan keuangan pemerintah daerah, dengan rumus sebagai berikut: DSCR: = {PAD + ( DBH – DBHDR ) + DAU} – belanja wajib ≥ 2.5 Pokok pinjaman + bunga + biaya-biaya lain

DSCR: Rasio Kemampuan Pembayaran Utang PAD: Pendapatan Asli Daerah DAU: Dana Alokasi Umum DBH: Dana Bagi Hasil DBHDR: Dana Bagi Hasil dari Dana Reboisasi Belanja wajib: Biaya Pegawai dan DPRD

3. Mendapatkan jumlah tunggakan utang pemerintah daerah.

Akhirnya, terdapat dua jenis batas maksimum: (1) batas pinjaman yang berkaitan dengan tunggakan utang, apabila pemerintah daerah tidak diperbolehkan mencari pinjaman karena masih memiliki tunggakan, dan (2) batas pinjaman yang tidak berkaitan dengan tunggakan utang, yang diperoleh dari jumlah minimum antara poin 1 dan poin 2 di atas.

C.4 Estimasi Pembiayaan Rekonstruksi Estimasi pembiayaan untuk rekonstruksi dibuat berdasarkan dua parameter utama:

1. Kebutuhan

Seluruh kebutuhan untuk rekonstruksi didasarkan pada Penilaian Kerusakan dan Kerugian yang dilakukan pada bulan Januari 2005 dan disesuaikan setelah terjadinya gempa bumi di Nias dan perkiraan infl asi. Untuk Nias, perkiraan kebutuhan dilakukan secara terpisah dengan menggunakan data dari penilaian kerusakan yang dilakukan InterNasional Organization for Migration (IOM) dan BRR setelah terjadinya gempa bumi pada tanggal 28 Maret 2005 dan mengaplikasikan Metodologi Kerusakan dan Kerugian untuk Aceh.

Kebutuhan minimum inti meupakan bagian dari Penilaian Kerusakan dan Kerugian serta Rencana Induk. Kebutuhan-kebutuhan inti didefi nisikan sebagai (1) penggantian secara penuh atas semua kerusakan sektor publik (sesuai dengan penilaian kerusakan dan kerugian); (2) pembiayaan kebutuhan sektor swasta seperti perumahan, pertanian, dan perikanan sampai dengan batasan yang ditentukan dalam Rencana Induk; (3) pembiayaan parsial untuk kerusakan lingkungan, yang hanya dapat diatasi sampai dengan tingkat yang sangat terbatas oleh upaya-upaya pihak luar, dan (4) penyesuaian infl asi dengan mempertimbangkan kecenderungan-kecenderungan harga terakhir.

Kebutuhan minimum inti merupakan dasar untuk pelaksanaan analisis sektoral yang menunjukkan kesenjangan sektoral dana yang tersedia dan kebutuhan sektoral.

2 Dana pembiayaan Angka-angka keuangan didasarkan pada pelaksanaan dan difokuskan pada lembaga-lembaga pelaksana. Pembiayaan dikategorikan berdasarkan sektor-sektor dalam Penilaian Kerusakan dan Kerugian: sektor sosial, prasarana dan perumahan, sektor-sektor produktif, dan lintas sektoral, yang masing-masingnya terdiri atas beberapa sub-sektor.

Angka-angka pembiayaan mencakup kegiatan-kegiatan yang sedang berlangsung serta proyek-proyek yang telah disetujui yang mencakup daerah-daerah yang terkena dampak tsunami maupun tidak.

Dana tersebut terdiri atas komitmen, alokasi, dan pencairan dana. Yang dimaksud dengan komitmen adalah dana yang telah dijanjikan oleh para donor, LSM, dan Pemerintah Indonesia. Alokasi dana adalah dana yang telah dialokasikan untuk proyek-proyek tertentu. Sementara pencairan dana adalah dana yang

Page 143: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 121

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

telah dikeluarkan untuk berbagai proyek (pencairan dana oleh donor), belanja aktual adalah belanja yang dikeluarkan untuk kegiatan-kegiatan proyek (belanja Pemerintah Indonesia) dan dana-dana yang telah dikeluarkan untuk proyek-proyek secara langsung atau telah ditransfer ke lembaga-lembaga pelaksana (pencairan dana oleh LSM).

C.5 Dampak Tsunami pada PDB di Tingkat Kabupaten

Perkiraan dampak pada PDB di tingkat kabupaten dibuat dengan langkah-langkah sebagai berikut72 :

Membuat estimasi nilai kerusakan di tingkat kabupaten. Karena estimasi kerusakan hanya mencakup kerusakan pada sektor-sektor non-produktif, para penyusun terlebih dahulu menggunakan penilaian Kerusakan dan Kerugian agregat untuk memperkirakan rasio kerusakan pada sektor-sektor produktif (termasuk 50 persen kerusakan pada infrastruktur) terhadap kerusakan pada sektor-sektor non-produktif. Mereka kemudian menggunakan perkiraan rasio tersebut (25 persen) untuk mendapatkan nilai moneter dari kerusakan pada sektor-sektor produktif, per kabupaten. Penilaian Kerusakan dan Kerugian agregat untuk sektor-sektor produktif menunjukkan bahwa kerusakan (termasuk 50 persen dari kerusakan infrastruktur) adalah sebesar AS$670 juta (352 + 318), dan kerugian (selama 4 tahun) adalah sebesar AS$952 juta (termasuk 50 persen dari kerugian infrastruktur). Dengan memperkirakan bahwa 40 persen dari kerugian akan ditanggung selama tahun pertama, angka-angka tersebut menunjukkan bahwa setiap $1 dari kerusakan (konsep stock) akan berubah menjadi $0,57 kerugian (konsep fl ow) selama tahun pertama setelah terjadinya bencana. Dengan mengaplikasikan rasio tersebut pada estimasi-estimasi yang telah diperoleh sebelumnya tentang kerusakan sektor produktif per kabupaten, para penyusun mendapatkan estimasi kerugian sektor produktif per kabupaten, yang kemudian dibandingkan dengan besaran PDB tahun 2004 per kabupaten.

C.6 Data Kemiskinan

Data estimasi kemiskinan dari tahun 1992 sampai dengan 2004 berasal dari BPS. Simulasi dilakukan untuk memperkirakan dampak tsunami pada tingkat kemiskinan di Aceh. Perkiraan tersebut tidak memperhitungkan efek-efek penurunan yang ditimbulkan oleh program-program mata pencaharian dan kesejahteraan pasca tsunami.

Elastisitas kemiskinan untuk tahun 2004 yang berkaitan dengan pertumbuhan digunakan untuk memperkirakan tingkat kemiskinan pada tahun 2005. Estimasi kerusakan akibat tsunami digunakan untuk memperkirakan kerugian sebagai suatu persentase dari PDB per kabupaten/kota. Elastisitas kemiskinan diperoleh dengan menggunakan analisis penurunan antara estimasi kerugian PDB dan angka kemiskinan. Elastisitas tersebut dan persentase perubahan PDB tahun 2004 digunakan untuk memperkirakan angka kemiskinan pasca tsunami berdasarkan angka kemiskinan tahun 2004.

C.7 Survei Pemerintahan dan Desentralisasi (Governance and Decentralization Survey - GDS)

Survei Pemerintahan dan Desentralisasi (GDS) 2, setelah pelaksanaan GDS 1+ pada tahun 2002, adalah survei yang dilaksanakan di 132 kabupaten/kota dan 31 provinsi di Indonesia antara bulan Mei sampai dengan Agustus 2006. Survei tersebut berupaya untuk memberikan masukan untuk pengukuran tingkat penyediaan layanan publik pasca desentralisasi dan kecenderungan-kecenderungan pada beberapa sektor, termasuk kesehatan, pendidikan, infrastruktur dasar, layanan administratif, dan kepolisian. Selain itu, survei tersebut bertujuan untuk melihat hubungan-hubungan insentif lokal yang berlaku serta pembiayaan sarana kesehatan dan pendidikan yang

72 Metodologi ini diambil dari laporan “Aceh dan Nias atu Tahun setelah Tsunami: Upaya Pemulihan dan Langkah Ke Depan,” BRR dan Mitra Internasional, 2005.

••

Page 144: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 122

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

mengatur penyediaan layanan-layanan tersebut.

Sembilan puluh kabupaten dan kota dipilih secara acak di seluruh Indonesia. Data dari 5 kabupaten/kota di Aceh (Aceh Barat, Aceh Besar, Aceh Singkil, Banda Aceh, dan Simeulue) digunakan dalam laporan ini. Pengalaman masyarakat tentang pemberian layanan dan pemerintahan dikaitkan dengan perspektif dari para pejabat pemda, sarana kesehatan dan pendidikan, serta para pengambil kebijakan di tingkat kabupaten/kota. Sampelnya mencakup 298 KK responden dari 60 dusun dengan menggunakan sampel acak berdasarkan Probability Proportional to Size (PPS), dan responden dari 30 SD, 15 SMP, dan 14 puskesmas.

C.8 Kerangka Kerja PFM: Bidang-bidang Strategis, Keluaran, dan Indikator

Kerangka Kerja PFM dikembangkan oleh Bank Dunia dan Departemen Dalam Negeri untuk menilai kemampuan manajemen keuangan pemerintah daerah. Kerangka kerja tersebut dibagi menjadi sembilan bidang strategis yang penting untuk manajemen keuangan publik yang efektif oleh pemerintah kabupaten/kota: (1) Kerangka Hukum, (2) Perencanaan dan Penganggaran, (3) Manajemen Kas, (4) Pengadaan, (5) Akunting dan Pelaporan, (6) Audit Internal, (7) Utang dan Investasi, (8) Manajemen Aset, dan (9) Audit Eksternal dan Pengawasan.

Masing-masing bidang strategis dibagi menjadi 1 sampai 5 keluaran, dan daftar-daftar indikator dibuat untuk masing-masing keluaran. Keluaran-keluaran tersebut merupakan prestasi yang diharapkan dalam masing-masing bidang strategis tersebut, dan indikator-indikator tersebut digunakan untuk menilai bagaimana kinerja pemerintah kabupaten/kota dalam bidang tersebut. Harus dipahami bahwa praktik-praktik terbaik internasional belum digunakan sebagai dasar untuk keluaran-keluaran tersebut, karena, dalam praktiknya, kesenjangan antara praktik-praktik tersebut dan realitas yang ada saat ini terlalu lebar untuk mendapatkan hasil-hasil yang baik.

Para responden diminta untuk menjawab “ya” atau “tidak” untuk setiap pernyataan yang dinyatakan dalam setiap indikator. Jawaban positif dijumlahkan untuk setiap keluaran, dan skor dihitung sesuai dengan persentase jawaban “ya”. Beberapa bidang strategis memiliki indikator yang lebih banyak dari bidang strategis lainnya; oleh karena itu, bidang-bidang tersebut memiliki bobot yang lebih besar dalam hasil secara keseluruhan. Contohnya, perencanaan dan penanggaran memiliki 49 indikator, namun utang dan investasi pemerintah hanya memiliki 8 indikator. Bidang-bidang lain yang memiliki bobot yang besar antara lain adalah pengadaan (41 indikator) dan manajemen kas (31 indikator).

10%

21%

15%

21%

10%

7%

3%

9%4%

Kerangka hukum

Perencanaan dan anggaranManajemen Kas

Pengadaan

Akuntansi dan Laporan

Audit internal

Hutang dan Investasi PublikManajemen Aset

Audit dan pengawasan eksternal

Pembobotan bidang-bidang strategis berdasarkan jumlah indikator

Sumber: Penyusun.

Page 145: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 123

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Lokasi-lokasi survey

Kerangka kerja PFM di Aceh dilaksanakan dalam dua tahapan. Tahapan pertama, yang dipimpin oleh LGSP-USAID, mencakup 5 kabupaten/kota di Aceh (Kota Banda Aceh, Kab. Aceh Besar, Kab. Aceh Jaya, Kab. Aceh Barat, dan Kab. Nagan Raya) dan 2 kabupaten di Nias (Kab. Nias dan Kab. Nias Selatan). Semua lokasi survei di Aceh mengalami kerusakan yang sangat parah karena bencana tsunami yang terjadi di bulan Desember 2004; kedua kabupaten di Nias mengalami kerusakan yang sangat parah karena gempa bumi yang terjadi di bulan Maret 2005. Tahapan kedua, yang dilaksanakan oleh Bank Dunia, mencakup empat kabupaten/kota di Aceh (Kab. Pidie, Kab. Bireuen, Kab. Aceh Utara, dan Kab. Aceh Timur).

Para peneliti yang terlibat berasal dari universitas-universitas terkemuka dengan latar belakang yang kuat dalam bidang akuntansi dan keuangan daerah. Universitas Sumatera Utara mengirimkan peneliti untuk Nias; Universitas Hasanudin mengirimkan peneliti ke Aceh Barat dan Nagan Raya, Pidie, serta Bireuen; Universitas Andalas menangani Aceh Jaya, Aceh Utara, dan Aceh Timur; dan Institut TARI serta Universitas Syiah Kuala menangani Banda Aceh dan Aceh Besar.

Metodologi

Hasil-hasil yang diperoleh melalui wawancara dan diskusi grup fokus (FGD) dengan perwakilan pemerintah daerah di instansi-instansi terkait. Instansi-instansi tersebut antara lain adalah BAPPEDA, departemen keuangan; DPRD, dinas pendapatan daerah; kantor perbendaharaan negara setempat; instansi pekerjaan umum; dan lembaga pengawas setempat. Untuk memastikan keakuratan data, jawaban “ya” harus didukung dengan dokumentasi yang terkait dan/atau yang diperiksa secara silang kepada responden tambahan.

Hasil interpretasi

Sebuah skor diberikan untuk setiap bidang strategis dan lokasi survei, dan skor kerseluruhan diberikan kepada masing-masing lokasi survei. Untuk keperluan perbandingan dan evaluasi, skor-skor dari bidang-bidang strategis dapat diperingkatkan sesuai dengan kategori-kategori yang ditunjukkan di bawah ini.

Skor Keseluruhan (%)

80–100 Sempurna/sangat amat diterima

60–79 Sangat bagus/dapat diterima secara substansial

40–59 Diterima/cukup dapat diterima

20–39 Sedang/dapat diterima sebagian

0–19 Rendah/tidak dapat diterima

Page 146: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 124

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Apendiks D. Apendiks Statistik

Pendapatan

Tabel D1. Komposisi penerimaan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Aceh (harga konstan 2006)

Pendapatan

1999 2001 2002 2003 2004 2005

Rp milyar % Rp

milyar % Rp milyar % Rp

milyar % Rp milyar % Rp

milyar %

PAD 185 7.6 194 3.0 306 3.5 349 3.4 502 4.8 331 3.6

DBH Pajak 252 10.4 404 6.2 333 3.8 399 3.9 561 5.4 399 4.4

DBH Non pajak (SDA)

26 1.1 1,453 22.4 3,413 39.2 2,618 25.9 4,034 38.7 3,681 40.5

SDO 877 36.2

INPRES 1,085 44.8

DAU 4,059 62.7 3,842 44.1 3,368 33.3 3,891 37.3 3,825 42.1

DAK 78 1.2 122 1.4 284 2.8 262 2.5 269 3.0

Lain-lain 0 0.0 288 4.5 697 8.0 3,104 30.7 1,184 11.3 576 6.3

Total 2,425 100 6,475 100 8,713 100 10,122 100 10,433 100 9,081 100

Tabel D2. Komposisi penerimaan pemerintah provinsi Aceh (harga konstan 2006)

Pendapatan 1999 2001 2002 2003 2004 2005

Rp milyar % Rp

milyar % Rp milyar % Rp

milyar % Rp milyar % Rp

milyar %

PAD 78 13.1 95 9.9 160 6.1 168 5.4 305 8.8 163 4.8

DBH Pajak 49 8.2 77 8.0 72 2.8 81 2.6 77 2.2 56 1.7

DBH Non pajak (SDA) 18 3.0 324 33.7 2,078 79.5 1,045 33.7 2,808 80.9 2,808 83.2

SDO 98 16.5

INPRES 353 59.3

DAU 319 33.2 260 9.9 124 4.0 117 3.4 336 10.0

DAK 13 1.4 0 0.0 6 0.2 0 0.0 1 0.0

Lain-lain 0 0.0 133 13.8 44 1.7 1,679 54.1 166 4.8 12 0.3

Total 596 100 961 100 2,615 100 3,103 100 3,473 100 3,376 100

Page 147: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 125

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel D3. Komposisi penerimaan pemerintah kabupaten/kota di Aceh (harga konstan 2006)

Pendapatan

1999 2001 2002 2003 2004 2005

Rp milyar % Rp

milyar % Rp milyar % Rp

milyar % Rp milyar % Rp

milyar %

PAD 107 5.8 98 1.8 146 2.4 180 2.6 196 2.8 168 2.9

DBH Pajak 203 11.1 327 5.9 260 4.3 318 4.5 484 7.0 343 6.0

DBH Non pajak (SDA) 8 0.4 1,129 20.5 1,335 21.9 1,573 22.4 1,226 17.6 873 15.3

SDO 779 42.6

INPRES 732 40.0

DAU 3,740 67.8 3,583 58.7 3,244 46.2 3,774 54.2 3,489 61.2

DAK 65 1.2 122 2.0 279 4.0 262 3.8 268 4.7

Lain-lain 0 0.0 155 2.8 653 10.7 1,425 20.3 1,018 14.6 564 9.9

Total 1,829 100 5,515 100 6,098 100 7,019 100 6,960 100 5,705 100

Page 148: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 126

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabe

l D4.

Kom

posi

si p

ener

imaa

n pe

mer

inta

h pr

ovin

si d

an k

abup

aten

/kot

a di

Ace

h, 2

004

(per

kap

ita d

an %

dar

i pen

dapa

tan

tota

l)

No.

Kab/

kota

PAD

DBH

paj

akD

BH n

on p

ajak

DAU

DA

Kla

in-la

inTo

tal

Rp %

Rp %

Rp %

Rp %

Rp %

Rp %

Rp

1Pr

ov. A

ceh

48,5

278.

812

,185

2.2

446,

497

80.9

18,6

163.

4-

-26

,367

4.8

552,

193

2Ka

b. A

ceh

Bara

t34

,035

2.8

55,8

924.

619

4,92

016

724,

869

59.6

60,1

854.

914

7,22

512

.11,

217,

126

3Ka

b. A

ceh

Besa

r15

,940

1.6

26,9

942.

715

8,71

716

634,

284

64.1

23,4

832.

413

0,85

613

.299

0,27

4

4Ka

b. A

ceh

Sela

tan

19,6

941.

848

,105

4.3

184,

679

16.4

688,

720

61.3

45,7

424.

113

6,02

712

.11,

122,

967

5Ka

b. A

ceh

Sing

kil

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

720,

736

-53

,018

n.a

n.a

n.a

n.a

6Ka

b. A

ceh

Teng

ah

24,8

733

30,4

133.

755

,302

6.7

551,

340

66.4

29,0

483.

513

9,07

516

.883

0,05

1

7Ka

b. A

ceh

Teng

gara

25,9

422.

346

,506

4.1

188,

744

16.8

727,

638

64.6

50,4

434.

587

,474

7.8

1,12

6,74

7

8Ka

b. A

ceh

Tim

ur12

,268

1.4

87,5

6410

250,

864

28.5

461,

114

52.4

34,9

284

33,2

533.

887

9,99

2

9Ka

b. A

ceh

Uta

ra78

,029

585

,498

5.5

405,

642

26.2

410,

153

26.5

14,2

400.

955

3,62

735

.81,

547,

188

10Ka

b. B

ireue

n12

,097

1.6

61,7

458.

210

1,31

113

.545

7,86

660

.831

,287

4.2

88,2

0811

.775

2,51

3

11Ka

b. P

idie

11,5

211.

521

,610

2.8

104,

945

13.6

492,

703

63.7

23,7

753.

111

8,75

915

.477

3,31

3

12Ka

b. S

imeu

leu

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

1,26

0,24

2-

100,

351

n.a

n.a

n.a

n.a

13Ko

ta B

anda

Ace

h39

,618

4.1

51,9

325.

410

9,81

311

.361

4,20

863

.447

,894

4.9

104,

918

10.8

968,

383

14Ko

ta S

aban

g19

1,26

74

391,

211

8.2

902,

356

192,

817,

157

59.4

193,

057

4.1

246,

982

5.2

4,74

2,03

1

15Ko

ta L

angs

a17

,843

1.6

75,8

436.

812

2,64

511

640,

407

57.3

79,3

357.

118

1,16

716

.21,

117,

240

16Ko

ta L

hoks

eum

awe

67,8

875

286,

713

21.2

205,

981

15.3

688,

446

5168

,503

5.1

32,2

212.

41,

349,

751

17Ka

b. A

ceh

Bara

t Day

a24

,400

1.9

46,3

023.

730

5,06

324

.372

7,59

057

.949

,385

3.9

103,

830

8.3

1,25

6,56

9

18Ka

b. G

ayo

Lues

38,8

772.

154

,253

2.9

404,

766

21.8

1,25

7,28

167

.780

,657

4.3

22,5

111.

21,

858,

345

19Ka

b. A

ceh

Tam

iang

17,8

122.

210

3,31

712

.817

6,22

021

.940

2,11

550

79,5

579.

925

,362

3.2

804,

383

20Ka

b. N

agan

Ray

a20

,800

1.5

318,

980

23.7

00

879,

670

65.3

49,3

193.

778

,120

5.8

1,34

6,88

8

21Ka

b. A

ceh

Jaya

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

1,15

0,72

7 n

.a

68,7

85 n

.a

n.a

n

.a

n.a

22Ka

b. B

ener

Mer

iah

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

Ra

ta-r

ata

(kab

upat

en/

kota

)38

,406

2.6

105,

463

7.7

241,

998

17.4

815,

363

58.3

59,1

504.

413

1,15

410

.71,

334,

339

M

inin

um

(kab

upat

en/

kota

)11

,521

1.4

21,6

102.

755

,302

6.7

402,

115

26.5

14,2

400.

922

,511

1.2

752,

513

M

aksi

mum

(kab

upat

en/

kota

)19

1,26

75.

039

1,21

123

.790

2,35

628

.52,

817,

157

67.7

193,

057

9.9

553,

627

35.8

4,74

2,03

1

Page 149: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 127

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel D5. Komposisi PAD Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Aceh, 2004 (per kapita dan % dari total PAD)

No Kabupaten/KotaPajak Daerah Retribusi

daerahLaba dari

BUMD PAD lainnya Total

Rp % Rp % Rp % Rp % Rp

1 Prov. Aceh 33,811 69.7 943 1.9 448 0.9 13,325 27.5 48,527

2 Kab. Aceh Barat 7,379 21.7 12,372 36.4 1,541 4.5 12,743 37.4 34,035

3 Kab. Aceh Besar 2,410 15.1 1,608 10.1 25 0.2 11,898 74.6 15,940

4 Kab. Aceh Selatan 3,478 17.7 5,028 25.5 1,920 9.7 9,268 47.1 19,694

5 Kab. Aceh Singkil n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a

6 Kab. Aceh Tengah 3,644 14.7 15,559 62.6 278 1.1 5,392 21.7 24,873

7 Kab. Aceh Tenggara 4,377 16.9 9,481 36.5 0 0 12,085 46.6 25,942

8 Kab. Aceh Timur 838 6.8 8,433 68.7 58 0.5 2,938 23.9 12,268

9 Kab. Aceh Utara 5,735 7.3 1,906 2.4 2,111 2.7 68,277 87.5 78,029

10 Kab. Bireuen 4,177 34.5 2,712 22.4 630 5.2 4,579 37.8 12,097

11 Kab. Pidie 3,290 28.6 4,853 42.1 264 2.3 3,114 27 11,521

12 Kab. Simeuleu n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a

13 Kota Banda Aceh 21,585 54.5 14,543 36.7 0 0 3,491 8.8 39,618

14 Kota Sabang 17,195 9 22,440 11.7 12,285 6.4 139,342 72.9 191,267

15 Kota Langsa 10,854 60.8 4,259 23.9 0 0 2,730 15.3 17,843

16 Kota Lhokseumawe 48,400 71.3 2,443 3.6 0 0 17,044 25.1 67,887

17 Kab. Aceh Barat Daya 4,221 17.3 1,117 4.6 4 0 19,058 78.1 24,400

18 Kab. Gayo Lues 8,620 22.2 21,794 56.1 8,426 21.7 37 0.1 38,877

19 Kab. Aceh Tamiang 4,269 24 4,963 27.9 0 0 8,580 48.2 17,812

20 Kab. Nagan Raya 4,995 24 1,013 4.9 0 0 14,792 71.1 20,800

21 Kab. Aceh Jaya n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a

22 Kab. Bener Meriah n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a

Rata-rata (kabupaten/kota) 9,145 26.3 7,913 28.0 1,620 3.2 19,728 42.5 38,406

Mininum (kabupaten/kota) 838 6.8 1,013 2.4 0 0.0 37 0.1 11,521

Maksimum (kabupaten/kota) 48,400 71.3 22,440 68.7 12,285 21.7 139,342 87.5 191,261

Page 150: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 128

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel D6. Alokasi DAU per kabupaten/kota di Aceh (harga berlaku, Milyar Rupiah)

No Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006

1 Prov. Aceh 165.8 172.4 76.1 76.1 271.1 460.9

2 Kab. Aceh Barat 174.8 174.8 76.3 115.7 139.5 229.5

3 Kab. Aceh Besar 167.0 167.0 192.2 192.2 192.2 322.7

4 Kab. Aceh Selatan 137.1 137.5 114.3 126.3 145.7 244.9

5 Kab. Aceh Singkil 88.0 101.5 93.3 106.0 117.8 174.7

6 Kab. Aceh Tengah 146.1 146.1 149.7 158.7 120.3 239.2

7 Kab. Aceh Tenggara 130.6 130.6 89.1 117.3 149.2 215.4

8 Kab. Aceh Timur 220.5 180.1 139.0 143.9 159.0 244.4

9 Kab. Aceh Utara 245.6 199.9 149.1 199.9 199.9 199.9

10 Kab. Bireuen 138.9 138.9 154.0 159.1 183.7 308.1

11 Kab. Pidie 233.0 233.0 221.8 233.0 242.1 391.5

12 Kab. Simeuleu 87.3 87.3 79.7 90.0 105.4 149.3

13 Kota Banda Aceh 138.0 138.0 134.5 145.1 160.4 266.7

14 Kota Sabang 79.9 79.9 77.8 80.3 92.7 149.8

15 Kota Langsa 57.5 62.6 85.5 104.8 184.3

16 Kota Lhokseumawe 62.7 87.3 95.5 108.1 168.5

17 Kab. Aceh Jaya 41.9 77.7 100.0 157.4

18 Kab. Nagan Raya 64.9 94.9 116.3 189.4

19 Kab. Aceh Barat Daya 47.6 80.5 103.2 171.5

20 Kab. Gayo Lues 58.9 85.7 112.2 179.3

21 Kab. Aceh Tamiang 52.5 92.0 120.7 188.7

22 Kab. Bener Meriah 57.7 185.0

Total 2,152.4 2,207.1 2,162.4 2,555.5 3,101.9 5,020.9

Page 151: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 129

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel D7. Alokasi DAK (non-reboisasi) per kabupaten/kota di Aceh (harga berlaku, Milyar Rp)

No Kabupaten/kota 2003 2004 2005 2006

1 Prov. Aceh - - - -

2 Kab. Aceh Barat 9.2 9.7 13.1 26.7

3 Kab. Aceh Besar 7.0 8.4 11.4 32.5

4 Kab. Aceh Selatan 10.9 8.5 14.5 27.8

5 Kab. Aceh Singkil 3.6 7.8 11.2 26.8

6 Kab. Aceh Tengah 12.5 8.4 11.8 25.8

7 Kab. Aceh Tenggara 10.2 8.5 11.7 24.4

8 Kab. Aceh Timur 8.4 10.9 16.0 37.8

9 Kab. Aceh Utara 4.4 6.9 11.6 37.9

10 Kab. Bireuen 4.8 10.9 10.5 38.5

11 Kab. Pidie 8.7 9.0 14.7 41.4

12 Kab. Simeuleu 10.2 7.2 11.2 26.8

13 Kota Banda Aceh 8.4 6.7 7.7 22.6

14 Kota Sabang 9.6 5.5 7.7 27.5

15 Kota Langsa 3.4 10.8 8.3 21.7

16 Kota Lhokseumawe 3.7 9.5 7.1 18.9

17 Kab. Aceh Jaya 8.6 5.5 11.6 25.3

18 Kab. Nagan Raya 8.8 5.5 11.7 25.8

19 Kab. Aceh Barat Daya 8.7 5.5 12.2 26.9

20 Kab. Gayo Lues 8.2 5.5 10.4 22.5

21 Kab. Aceh Tamiang 9.1 5.5 11.3 27.1

22 Kab. Bener Meriah 0.0 0.0 4.0 28.3

Total 158.5 156.1 229.6 592.8

Page 152: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 130

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel D8. Alokasi dana otsus per kabupaten/kota di Aceh, 2005

No Kabupaten/kota Total (Rp milyar)

Persentase dari total alokasi

(%)Per kapita

1 Prov. Aceh 613.7 40.0 151,987.91

2 Kab. Aceh Barat 25.4 1.7 153,958.61

3 Kab. Aceh Besar 31.6 2.1 145,544.94

4 Kab. Aceh Selatan 29.9 2.0 157,092.35

5 Kab. Aceh Singkil 27.1 1.8 177,637.93

6 Kab. Aceh Tengah 29.4 1.9 153,334.39

7 Kab. Aceh Tenggara 30.0 2.0 176,239.76

8 Kab. Aceh Timur 50.7 3.3 163,801.53

9 Kab. Aceh Utara 362.9 23.7 748,871.68

10 Kab. Bireuen 31.5 2.1 89,488.19

11 Kab. Pidie 41.2 2.7 85,613.36

12 Kab. Simeuleu 21.2 1.4 294,186.02

13 Kota Banda Aceh 21.8 1.4 91,057.15

14 Kota Sabang 14.7 1.0 506,384.32

15 Kota Langsa 18.7 1.2 139,011.75

16 Kota Lhokseumawe 19.4 1.3 138,495.34

17 Kab. Aceh Barat Daya 21.2 1.4 188,656.52

18 Kab. Gayo Lues 30.2 2.0 438,895.34

19 Kab. Aceh Tamiang 38.2 2.5 167,625.11

20 Kab. Nagan Raya 27.7 1.8 245,414.37

21 Kab. Aceh Jaya 26.2 1.7 316,241.08

22 Kab. Bener Meriah 21.4 1.4 208,970.66

Total 1,534.3 100.0 379,970.03

Page 153: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 131

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel D9. Penerimaan pemerintah provinsi dan Kabupaten/kota di seluruh provinsi, 2004 (per kapita dan % dari total penerimaan)

No. ProvinsiPAD DBH Pajak DBH Non-pajak DAU DAK lain-lain Total

Rp % Rp % Rp % Rp % Rp % Rp % Rp

1 Aceh 86,549 4.9 107,759 6.1 483,166 27.2 642,198 36.1 45,715 2.6 413,599 23.2 1,778,986

2Sumatra Utara

145,001 20.8 77,819 11.2 2,834 0.4 393,023 56.5 15,085 2.2 61,710 8.9 695,470

3Sumatra Barat

136,874 15.4 62,431 7.0 5,676 0.6 604,964 67.9 29,897 3.4 50,746 5.7 890,588

4 Riau 204,576 12.0 322,471 18.9 710,567 41.6 383,356 22.5 3,238 0.2 83,209 4.9 1,707,417

5 Jambi 166,317 15.1 188,398 17.1 52,882 4.8 608,092 55.1 32,924 3.0 54,704 5.0 1,103,317

6Sumatra Selatan

100,942 13.5 104,962 14.1 151,793 20.4 336,155 45.1 9,486 1.3 42,220 5.7 745,557

7 Bengkulu 93,261 10.5 60,230 6.8 2,057 0.2 648,438 73.3 32,155 3.6 47,926 5.4 884,067

8 Lampung 75,442 13.5 45,582 8.2 28,265 5.1 369,281 66.1 13,088 2.3 27,303 4.9 558,960

9 D K I Jakarta 734,914 55.7 468,471 35.5 10,254 0.8 105,974 8.0 0 0.0 0 0.0 1,319,613

10 Jawa Barat 114,608 25.3 64,217 14.2 12,774 2.8 225,048 49.6 3,415 0.8 33,485 7.4 453,546

11 Jawa Tengah 96,379 19.6 36,304 7.4 1,204 0.2 301,870 61.3 15,118 3.1 41,487 8.4 492,362

12 Yogyakarta 173,029 22.2 48,866 6.3 626 0.1 483,380 62.1 14,161 1.8 58,671 7.5 778,734

13 Jawa Timur 122,103 23.8 49,982 9.8 1,116 0.2 286,731 56.0 7,182 1.4 45,035 8.8 512,148

14Kalimantan Barat

99,908 12.5 64,387 8.0 6,694 0.8 565,040 70.4 28,077 3.5 38,052 4.7 802,158

15Kalimantan Tengah

135,680 8.6 170,960 10.8 55,879 3.5 1,099,225 69.5 68,860 4.4 50,171 3.2 1,580,776

16Kalimantan Selatan

168,376 16.9 105,761 10.6 57,821 5.8 569,181 57.1 31,467 3.2 64,113 6.4 996,718

17Kalimantan Timur

427,553 13.8 961,871 31.1 929,190 30.0 610,365 19.7 17,070 0.6 151,458 4.9 3,097,507

18Sulawesi Utara

118,171 13.0 64,947 7.1 2,808 0.3 615,764 67.8 34,971 3.8 72,028 7.9 908,689

19Sulawesi Tengah

86,512 8.2 78,031 7.4 5,529 0.5 793,850 75.5 39,819 3.8 48,342 4.6 1,052,083

20Sulawesi Selatan

114,872 13.9 78,705 9.5 4,690 0.6 549,653 66.4 31,027 3.7 49,168 5.9 828,115

21Sulawesi Tenggara

87,964 9.3 67,071 7.1 7,516 0.8 683,761 72.2 45,583 4.8 54,716 5.8 946,611

22 Bali 336,746 32.5 70,267 6.8 1,370 0.1 516,754 49.9 21,202 2.0 88,887 8.6 1,035,227

23Nusa Tenggara Barat

71,988 11.4 37,293 5.9 39,555 6.3 424,152 67.2 21,763 3.4 36,708 5.8 631,459

24Nusa Tenggara Timur

80,868 8.7 51,390 5.5 1,553 0.2 715,162 76.9 34,399 3.7 46,629 5.0 930,002

25 Maluku 121,420 8.8 105,688 7.7 16,312 1.2 1,029,428 74.5 52,631 3.8 55,707 4.0 1,381,185

26 Papua 185,034 5.3 307,043 8.9 48,901 1.4 1,818,923 52.5 189,410 5.5 916,479 26.4 3,465,790

27Maluku Utara

55,832 4.0 141,752 10.2 80,664 5.8 957,822 68.9 87,149 6.3 67,188 4.8 1,390,407

28 Banten 139,777 29.1 110,537 23.0 416 0.1 197,225 41.0 4,045 0.8 29,089 6.0 481,090

29Bangka Belitung

212,176 18.1 97,082 8.3 87,272 7.4 634,647 54.0 43,472 3.7 100,183 8.5 1,174,831

30 Gorontalo 103,448 8.4 62,964 5.1 8,085 0.7 929,284 75.3 66,589 5.4 63,874 5.2 1,234,244

Nasional 149,994 19.4 102,534 13.3 53,035 6.9 388,104 50.2 17,046 2.2 61,829 8.0 772,542

Minimum 55,832 4.0 36,304 5.1 416 0.1 105,974 8.0 0 0.0 0 0.0 453,546

Maksimum 734,914 55.7 961,871 35.5 929,190 41.6 1,818,923 76.9 189,410 6.3 916,479 26.4 3,465,790

Page 154: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 132

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel D10. Pendapatan Asli Daerah (PAD) provinsi dan kabupaten/kota, 2004 (per kapita dan % dari total PAD)

No ProvinsiPajak Daerah Retribusi

DaerahLaba dari

BUMD PAD lainnya Total

Rp % Rp % Rp % Rp % Rp

1 Aceh 43,459 50.2 5,680 6.6 1,166 1.3 36,244 41.9 86,549

2 Sumatra Utara 116,487 80.3 18,959 13.1 1,629 1.1 7,926 5.5 145,001

3 Sumatra Barat 88,113 64.4 16,487 12.0 12,103 8.8 20,171 14.7 136,874

4 Riau 140,782 70.9 19,256 9.7 8,599 4.3 30,024 15.1 198,661

5 Jambi 105,610 71.0 22,588 15.2 4,009 2.7 16,597 11.2 148,804

6 Sumatra Selatan 71,500 70.8 9,838 9.7 2,754 2.7 16,850 16.7 100,942

7 Bengkulu 61,594 71.5 15,227 17.7 2,339 2.7 7,041 8.2 86,201

8 Lampung 56,831 75.3 10,753 14.3 1,631 2.2 6,227 8.3 75,442

9 D K I Jakarta 628,334 85.5 48,351 6.6 11,664 1.6 46,565 6.3 734,914

10 Jawa Barat 85,664 74.7 16,297 14.2 3,073 2.7 9,574 8.4 114,608

11 Jawa Tengah 61,486 63.8 23,295 24.2 1,278 1.3 10,319 10.7 96,379

12 Yogyakarta 121,314 70.1 29,314 16.9 9,079 5.2 13,323 7.7 173,029

13 Jawa Timur 87,630 74.0 19,592 16.5 2,612 2.2 8,660 7.3 118,494

14 Kalimantan Barat 75,548 75.6 11,343 11.3 852 0.9 12,216 12.2 99,959

15 Kalimantan Tengah 7,268 13.8 19,166 36.4 1,071 2.0 25,203 47.8 52,708

16 Kalimantan Selatan 121,600 72.2 14,286 8.5 6,000 3.6 26,490 15.7 168,376

17 Kalimantan Timur 235,530 63.3 74,573 20.1 28,165 7.6 33,600 9.0 371,868

18 Sulawesi Utara 77,812 65.8 20,480 17.3 4,207 3.6 15,673 13.3 118,171

19 Sulawesi Tengah 49,051 79.7 5,630 9.1 163 0.3 6,694 10.9 61,537

20 Sulawesi Selatan 72,896 63.5 23,570 20.5 6,176 5.4 12,229 10.6 114,872

21 Sulawesi Tenggara 47,743 54.1 18,969 21.5 5,590 6.3 15,882 18.0 88,184

22 Bali 274,930 81.6 32,653 9.7 12,865 3.8 16,297 4.8 336,746

23 Nusa Tenggara Barat 41,756 58.0 12,992 18.0 5,303 7.4 11,937 16.6 71,988

24 Nusa Tenggara Timur 25,020 30.9 16,784 20.8 5,420 6.7 33,644 41.6 80,868

25 Maluku 54,388 44.8 16,748 13.8 893 0.7 49,390 40.7 121,420

26 Papua 63,620 37.3 21,289 12.5 12,699 7.4 72,847 42.7 170,455

27 Maluku Utara 28,848 51.9 9,794 17.6 0 0.0 16,973 30.5 55,615

28 Banten 115,569 82.7 17,402 12.4 1,272 0.9 5,534 4.0 139,777

29 Bangka Belitung 146,780 69.2 22,715 10.7 1,164 0.5 41,517 19.6 212,176

30 Gorontalo 44,439 43.0 33,081 32.0 5,246 5.1 20,682 20.0 103,448

Nasional 107,801 73.3 20,356 13.8 4,004 2.7 14,968 10.2 147,129

Minimum 7,268 13.8 5,630 6.6 0 0.0 5,534 4.0 52,708

Maksimum 628,334 85.5 74,573 36.4 28,165 8.8 72,847 47.8 734,914

Page 155: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 133

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

BELANJA

Tabel D11. Belanja pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan pemerintah pusat (dekonsentrasi) di Aceh (harga konstan, 2006)

Pengeluaran1999 2001 2002 2003 2004 2005

Rp milyar % Rp

milyar % Rp milyar % Rp

milyar % Rp milyar % Rp

milyar %

Kabupaten/Kota

Rutin 985 56.1 2,537 49.5 3,000 49.9 3,672 58.2 4,027 60.4 3,632 58.6

Pembangunan 771 43.9 2,590 50.5 3,016 50.1 2,637 41.8 2,644 39.6 2,566 41.4

Total 1,756 100.0 5,127 100.0 6,015 100.0 6,309 100.0 6,671 100.0 6,198 100.0

Provinsi

Rutin 229 39.3 407 48.0 469 20.2 400 25.1 405 24.9 353 26.0

Pembangunan 354 60.7 442 52.0 1,853 79.8 1,194 74.9 1,225 75.1 1,005 74.0

Total 583 100.0 849 100.0 2,322 100.0 1,594 100.0 1,630 100.0 1,358 100.0

Total daerah 2,339 42.4 5,976 75.7 8,337 84.6 7,903 78.8 8,301 83.8 7,556 80.1

Dana Dekonsentrasi 3,178 57.6 1,917 24.3 1,522 15.4 2,124 21.2 1,602 16.2 1,873 19.9

Total 5,517 100.0 7,893 100.0 9,859 100.0 10,027 100.0 9,902 100.0 9,430 100.0

Page 156: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 134

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel D12. Belanja rutin dan pembangunan per kabupaten/kota di Aceh, 2004 (Rp milyar, per kapita, dan % dari total belanja)

No Kabupaten/kota

Rutin Pembangunan Total

Total (Rp

milyar)

Per kapita %

Total (Rp

milyar)Per kapita % Rp

milyar Per kapita

1 Prov. Aceh 263 64,416 24.9 796 194,760 75.1 1,060 259,176

2 Kab. Aceh Barat 117 722,378 59.4 80 492,854 40.6 197 1,215,233

3 Kab. Aceh Besar 177 583,125 66.0 91 300,281 34.0 268 883,406

4 Kab. Aceh Selatan 135 722,010 63.3 78 418,342 36.7 213 1,140,352

5 Kab. Aceh Singkil n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a n.a

6 Kab. Aceh Tengah 187 648,933 61.5 117 405,418 38.5 303 1,054,351

7 Kab. Aceh Tenggara 103 609,773 56.2 80 474,436 43.8 182 1,084,209

8 Kab. Aceh Timur 202 648,596 77.3 60 190,824 22.7 262 839,419

9 Kab. Aceh Utara 299 613,303 40.7 435 891,983 59.3 734 1,505,286

10 Kab. Bireuen 176 503,010 65.4 93 266,355 34.6 269 769,365

11 Kab. Pidie 284 600,030 76.1 89 188,934 23.9 374 788,963

12 Kab. Simeuleu 63 876,469 47.2 70 979,685 52.8 133 1,856,155

13 Kota Banda Aceh 161 675,154 74.8 54 227,456 25.2 215 902,611

14 Kota Sabang 77 2,710,870 59.5 53 1,843,998 40.5 130 4,554,868

15 Kota Langsa 80 594,839 59.6 54 402,600 40.4 134 997,439

16 Kota Lhokseumawe 133 957,396 70.2 56 406,904 29.8 189 1,364,300

17 Kab. Aceh Barat Daya 71 633,224 54.8 58 522,295 45.2 129 1,155,519

18 Kab. Gayo Lues 69 1,011,914 51.5 65 953,448 48.5 134 1,965,363

19 Kab. Aceh Tamiang 98 428,137 60.0 65 285,813 40.0 163 713,950

20 Kab. Nagan Raya 83 748,658 55.9 66 591,736 44.1 149 1,340,394

21 Kab. Aceh Jaya n.a n.a n.a 0 n.a n.a n.a n.a

22 Kab. Bener Meriah n.a n.a n.a 0 n.a n.a n.a n.a

Rata-rata (kabupaten/kota) 140 793,768 61.1 83 546,853 38.9 232 1,340,621

Minimum (kabupaten/kota) 63 428,137 40.7 0 188,934 22.7 129 713,950

Maksimum (kabupaten/kota) 299 2,710,870 77.3 435 1,843,998 59.3 734 4,554,868

Page 157: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 135

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabe

l D13

. Bel

anja

Rut

in p

er k

lasi

fi kas

i eko

nom

i dan

kab

upat

en/k

ota

di A

ceh,

200

4 (p

er k

apita

dan

% d

ari t

otal

bel

anja

rutin

)

No

Kabu

pate

n/ko

taPe

gaw

aiBa

rang

Ope

rasi

dan

pe

mel

ihar

aan

Perj

alan

an

dina

sLa

in-la

inBi

aya

tak

terd

uga

Pens

iun

dan

bant

uan

Bant

uan

keua

ngan

Tota

l

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp

1Pr

ov. A

ceh

42,

648

66.2

1

3,39

7 20

.8

5,0

05

7.8

2,9

13

4.5

00.

0 4

52

0.7

0 0.

0 0

0.0

64,

416

2Ka

b. A

ceh

Bara

t 5

33,7

93

73.9

4

4,74

8 6.

2 14

,348

2.

0 9

,816

1.

4 0

0.0

9,0

14

1.2

0 0.

0 11

0,66

1 15

.3

722

,378

3Ka

b. A

ceh

Besa

r 4

58,6

54

78.7

2

9,28

6 5.

0 10

,567

1.

8 5

,230

0.

9 0

0.0

3,8

31

0.7

0 0.

0 7

5,55

6 13

.0

583

,125

4Ka

b. A

ceh

Sela

tan

457

,885

63

.4

85,

219

11.8

20

,445

2.

8 1

4,55

7 2.

0 0

0.0

5,3

50

0.7

0 0.

0 13

8,55

3 19

.2

722

,010

5Ka

b. A

ceh

Sing

kil

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n.

a n

.a

n.a

n.a

n.

a n

.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n

.a

n.a

6Ka

b. A

ceh

Teng

ah

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n.

a n

.a

n.a

n.a

n.

a n

.a

n.a

n.a

n.

a n

.a

n.a

n

.a

7Ka

b. A

ceh

Teng

gara

443

,941

72

.8

40,

306

6.6

164

0.

0 1

,168

0.

2 21

0.0

15,8

70

2.6

0 0.

0 10

8,30

3 17

.8

609

,773

8Ka

b. A

ceh

Tim

ur 4

16,0

37

64.1

7

3,21

0 11

.3

12,6

36

1.9

15,

046

2.3

00.

0 23

,712

3.

7 0

0.0

107,

955

16.6

6

48,5

96

9Ka

b. A

ceh

Uta

ra 4

59,3

34

74.9

5

4,98

4 9.

0 9

,099

1.

5 6

,528

1.

1 0

0.0

60,3

07

9.8

0 0.

0 2

3,05

1 3.

8 6

13,3

03

10Ka

b. B

ireue

n 4

18,7

90

83.3

4

4,93

2 8.

9 6

,064

1.

2 8

,035

1.

6 0

0.0

6,8

30

1.4

0 0.

0 1

8,35

9 3.

6 5

03,0

10

11Ka

b. P

idie

433

,365

72

.2

48,

473

8.1

7,9

77

1.3

2,5

19

0.4

00.

0 39

,056

6.

5 0

0.0

68,

639

11.4

6

00,0

30

12Ka

b. S

imeu

leu

628

,624

71

.7

116

,953

13

.3

20,2

65

2.3

44,

660

5.1

00.

0 0

0.0

0 0.

0 6

5,96

7 7.

5 8

76,4

69

13Ko

ta B

anda

Ace

h 5

67,8

15

84.1

8

5,81

1 12

.7

12,9

24

1.9

6,4

89

1.0

00.

0 0

0.0

0 0.

0 2

,116

0.

3 6

75,1

54

14Ko

ta S

aban

g 1

,551

,199

57

.2

602

,763

22

.2

96,1

68

3.5

103,

094

3.8

00.

0 5

,688

0.

2 0

0.0

351

,959

13

.0

2,71

0,87

0

15Ko

ta L

angs

a 3

86,7

63

65.0

7

6,21

3 12

.8

10,2

65

1.7

19,

309

3.2

00.

0 15

,894

2.

7 0

0.0

86,

395

14.5

5

94,8

39

16Ko

ta L

oksu

maw

e 4

90,4

52

51.2

1

43,6

44

15.0

18

,645

1.

9 1

7,86

6 1.

9 0

0.0

34,9

27

3.6

0 0.

0 2

51,8

60

26.3

9

57,3

96

17Ka

b. A

ceh

Bara

t Day

a 4

05,6

71

64.1

5

2,80

5 8.

3 8

,021

1.

3 1

2,64

9 2.

0 0

0.0

14,8

15

2.3

0 0.

0 1

39,2

64

22.0

6

33,2

24

18Ka

b. G

ayo

Lues

n.a

n.

a n

.a

n.a

n.a

n.

a n

.a

n.a

n.a

n.

a n

.a

n.a

n.a

n.

a n

.a

n.a

n.a

19Ka

b. A

ceh

Tam

iang

258

,128

60

.3

75,

077

17.5

6

,116

1.

4 1

1,60

2 2.

7 0

0.0

27,2

26

6.4

0 0.

0 4

9,98

8 11

.7

428

,137

20Ka

b. N

agan

Ray

a 4

23,6

92

56.6

5

7,35

6 7.

7 11

,589

1.

5 1

5,43

0 2.

1 0

0.0

6,7

25

0.9

0 0.

0 23

3,86

7 31

.2

748

,658

21Ka

b. A

ceh

Jaya

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n.

a n

.a

n.a

n.a

n.

a n

.a

n.a

n.a

n.

a n

.a

n.a

n.

a

22Ka

b. B

ener

Mer

iah

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n.

a n

.a

n.a

n.a

n.

a n

.a

n.a

n.a

n.

a n

.a

n.a

n

.a

Ra

ta-r

ata

(Kab

/kot

a)52

0,88

468

.310

1,98

611

.016

,581

1.8

18,3

752.

01

0.0

16,8

282.

70

0.0

114,

531

14.2

789,

186

M

inin

um (K

ab/k

ota)

258,

128

51.2

29,2

865.

016

40.

01,

168

0.2

00.

00

0.0

00.

02,

116

0.3

428,

137

M

aksi

mum

(Kab

/kot

a)1,

551,

199

84.1

602,

763

22.2

96,1

683.

510

3,09

45.

121

0.0

60,3

079.

80

0.0

351,

959

31.2

2,71

0,87

0

Page 158: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 136

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tab

el D

14. B

elan

ja P

emba

ngun

an p

er s

ekto

r dan

kab

upat

en/k

ota

di A

ceh,

200

4 (p

er ka

pita

dan

% d

ari b

elan

ja p

emba

ngun

an)

No

Kabu

pate

n/ko

ta

App

arat

ur

Pem

erin

tah

Pert

ania

n da

n Ke

huta

nan

Pert

amba

-ng

an

dan

Ener

gi

Perd

agan

gan

dan

Peng

emba

ngan

U

saha

Kete

naga

-ke

rjaa

n

Kese

hata

n da

n Ke

seja

hter

aan

Sosi

al

Pend

idik

an d

an

Kebu

daya

an

Ling

kung

an

dan

Tata

Ru

ang

Pem

bang

unan

D

aera

h da

n Pe

rum

ahan

Tran

spor

tasi

, Air

da

n Ir

igas

i

Kepe

ndud

u-ka

n da

n Ke

luar

ga

Bere

ncan

a

Tele

kom

u-ni

kasi

dan

Pa

riw

isat

aTo

tal

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp

1Pr

ov. A

ceh

68

,379

35

.1

11,

641

6.0

1,4

88

0.8

2,

814

1.4

1,

381

0.7

8

,733

4.

5

60,5

53

31.1

1,02

6 0.

5

- 0.

0

37,0

97

19.0

1,19

0 0.

6

459

0.

2

194

,760

2Ka

b. A

ceh

Bara

t

157,

831

32.0

1

6,74

4 3.

4 3

,959

0.

8

1,57

5 0.

3 3

5,16

8 7.

1

34,5

88

7.0

104

,039

21

.1

9,

266

1.9

-

0.0

129

,684

26

.3

- 0.

0

-

0.0

4

92,8

54

3Ka

b. A

ceh

Besa

r

41,2

78

13.7

1

4,71

3 4.

9 2

,741

0.

9

3,97

8 1.

3

-

0.0

20

,720

6.

9

87,6

01

29.2

439

0.

1 0.

0 1

26,4

12

42.1

1,08

2 0.

4

1,31

6 0.

4

300

,281

4Ka

b. A

ceh

Sela

tan

12

9,92

3 31

.1

25,

279

6.0

0.0

22,

258

5.3

1,

738

0.4

22

,268

5.

3 1

38,7

90

33.2

2,42

6 0.

6

8

03

0.2

74

,857

17

.9

- 0.

0 0.

0

418

,342

5Ka

b. A

ceh

Sing

kil

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n.

a n

.a

6Ka

b. A

ceh

Teng

ah

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n.

a n

.a

7Ka

b. A

ceh

Teng

gara

14

7,71

2 31

.1

17,

867

3.8

- 0.

0

5,79

7 1.

2

-

0.0

23

,413

4.

9 1

35,9

33

28.7

7,63

4 1.

6

- 0.

0 1

26,3

38

26.6

6,54

2 1.

4

3,20

1 0.

7

474

,436

8Ka

b. A

ceh

Tim

ur

101,

459

53.2

6,70

5 3.

5

-

0.0

2

85

0.1

3,

711

1.9

26

,014

13

.6

10

,195

5.

3

6,80

0 3.

6

- 0.

0

34,4

54

18.1

-

0.0

1,

201

0.6

1

90,8

24

9Ka

b. A

ceh

Uta

ra

362,

980

40.7

3

8,55

7 4.

3 5

,104

0.

6

4,33

8 0.

5

1,98

1 0.

2

98,2

76

11.0

1

01,5

44

11.4

4,78

6 0.

5 2

51,7

30

28.2

6,7

75

0.8

12,

205

1.4

3,

707

0.4

8

91,9

83

10Ka

b. B

ireue

n

67,4

65

25.3

2

4,72

6 9.

3

-

0.0

3,

050

1.1

1,

630

0.6

26

,508

10

.0

70

,627

26

.5

- 0.

0

- 0.

0

72,3

49

27.2

-

0.0

- 0.

0

266

,355

11Ka

b. P

idie

64

,778

34

.3

18,

940

10.0

-

0.0

1,

978

1.0

- 0.

0

10,6

66

5.6

64

,234

34

.0

6

08

0.3

23

,345

12

.4

3

,252

1.

7

1,13

2 0.

6

-

0.0

1

88,9

34

12Ka

b. S

imeu

leu

37

0,39

4 37

.8

27,

789

2.8

- 0.

0

5,06

5 0.

5

-

0.0

177

,956

18

.2

170

,216

17

.4

6,

127

0.6

-

0.0

217

,023

22

.2

1,

959

0.2

3,

156

0.3

9

79,6

85

13Ko

ta B

anda

Ace

h

89,2

63

39.2

5,35

2 2.

4

-

0.0

4,

081

1.8

1,

250

0.5

14

,532

6.

4

57,5

93

25.3

6,16

0 2.

7

6

21

0.3

46

,606

20

.5

- 0.

0

1,99

8 0.

9

227

,456

14Ko

ta S

aban

g

830,

359

45.0

7

9,24

6 4.

3

-

0.0

19,

896

1.1

50,

982

2.8

179

,661

9.

7 2

50,3

87

13.6

4

3,31

2 2.

3

- 0.

0 3

54,1

95

19.2

-

0.0

35

,960

2.

0 1

,843

,998

15Ko

ta L

angs

a

205,

607

51.1

2

4,04

2 6.

0

-

0.0

1,

014

0.3

7

15

0.2

1

,328

0.

3

84,0

56

20.9

-

0.0

-

0.0

85

,838

21

.3

- 0.

0

-

0.0

4

02,6

00

16Ko

ta L

hoks

eum

awe

18

9,81

2 46

.6

- 0.

0

-

0.0

1,

794

0.4

- 0.

0

36,5

60

9.0

39

,420

9.

7 3

9,45

5 9.

7

- 0.

0

97,7

97

24.0

2,06

6 0.

5

-

0.0

4

06,9

04

17Ka

b. A

ceh

Bara

t D

aya

18

3,92

5 35

.2

28,

239

5.4

- 0.

0 1

4,25

1 2.

7

-

0.0

41

,619

8.

0 1

29,2

30

24.7

1

0,93

9 2.

1

- 0.

0 1

06,7

03

20.4

-

0.0

7,

389

1.4

5

22,2

95

18Ka

b. G

ayo

Lues

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n.

a n

.a

19Ka

b. A

ceh

Tam

iang

80

,676

28

.2

19,

977

7.0

- 0.

0

767

0.

3

829

0.

3

28,2

13

9.9

68

,017

23

.8

- 0.

0

- 0.

0

85,5

98

29.9

1,73

8 0.

6

-

0.0

2

85,8

13

20Ka

b. N

agan

Ray

a n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n.a

21Ka

b. A

ceh

Jaya

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n.

a n

.a

22Ka

b. B

ener

Mer

iah

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n

.a

n.a

n.

a n

.a

Ra

ta-r

ata

(kab

/kot

a)20

1,56

436

.323

,212

4.9

843

0.2

6,00

81.

26,

534

0.9

49,4

888.

410

0,79

221

.69,

197

1.7

19,7

502.

710

4,52

521

.21,

782

0.3

4,13

80.

452

6,18

4

Min

imum

(kab

/ko

ta)

41,2

7813

.70

0.0

00.

028

50.

10

0.0

1,32

80.

310

,195

5.3

00.

00

0.0

3,25

20.

80

0.0

00.

018

8,93

4

M

aksi

mum

(k

ab/k

ota)

830,

359

53.2

79,2

4610

.05,

104

0.9

22,2

585.

350

,982

7.1

179,

661

18.2

250,

387

34.0

43,3

129.

725

1,73

028

.235

4,19

542

.112

,205

1.4

35,9

602.

01,

843,

998

Page 159: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 137

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabe

l D15

. Bel

anja

Pen

didi

kan,

Kes

ehat

an d

an In

fras

truk

tur p

er b

elan

ja ru

tin &

pem

bang

unan

dan

kab

upat

en/k

ota

di A

ceh,

200

4 (p

er ka

pita

, % d

ari t

otal

sekt

or, d

an %

sekt

or d

ari t

otal

bel

anja

)

No

Kabu

pate

n/Ko

ta

Pend

idik

anKe

seha

tan

Infr

astr

uktu

r

Tota

l Bel

anja

Rutin

Pem

bang

unan

Tota

l Pen

-di

dika

n

% P

en-

didi

kan

terh

adap

To

tal

Bela

nja

Rutin

Pem

bang

unan

Tota

l Ke

se-

hata

n

% K

ese-

hata

n te

rhad

ap

Tota

l Be

lanj

a

Rutin

Pem

bang

unan

Tota

l In

fras

truk

tur

%

Infr

astr

uktu

r te

rhad

ap

Tota

l Bel

anja

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp

1Pr

ov. A

ceh

5,42

8 8.

657

,472

91

.462

,900

24

.310

,170

59

.96,

817

40.1

16,9

87

6.6

6,20

7 14

.137

,662

85

.943

,870

16

.9

2

59,1

76

2Ka

b. A

ceh

Bara

t28

3,15

1 73

.110

4,03

9 26

.938

7,19

0 31

.971

,697

67

.534

,588

32.5

106,

285

8.7

23,3

70

15.1

131,

188

84.9

154,

559

12.7

1

,215

,233

3Ka

b. A

ceh

Besa

r31

0,68

0 78

.485

,613

21

.639

6,29

3 44

.942

,601

68

.719

,430

31.3

62,0

32

7.0

10,0

51

7.3

127,

454

92.7

137,

505

15.6

883

,406

4Ka

b. A

ceh

Sela

tan

296,

196

68.1

138,

790

31.9

434,

986

38.1

44,2

89

69.0

19,8

5831

.064

,148

5.

613

,023

14

.775

,659

85

.388

,683

7.

8

1,1

40,3

52

5Ka

b. A

ceh

Sing

kil

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

6Ka

b. A

ceh

Teng

ah

315,

708

63.5

18

1,25

9 36

.5

496,

968

47.1

39

,460

61

.7

24,4

56

38.3

63

,916

6.

1 7,

405

5.2

136,

156

94.8

14

3,56

1 13

.6

1,05

4,35

1

7Ka

b. A

ceh

Teng

gara

264,

814

66.1

135,

933

33.9

400,

747

37.0

48,0

38

68.4

22,1

9031

.670

,228

6.

514

,721

10

.412

6,33

8 89

.614

1,06

0 13

.0

1,0

84,2

09

8Ka

b. A

ceh

Tim

ur18

1,36

7 94

.710

,195

5.

319

1,56

1 22

.872

,370

73

.626

,014

26.4

98,3

84

11.7

14,1

82

29.2

34,4

54

70.8

48,6

36

5.8

839

,419

9Ka

b. A

ceh

Uta

ra24

3,15

3 70

.510

1,54

4 29

.534

4,69

7 22

.949

,494

72

.418

,825

27.6

68,3

18

4.5

12,4

22

4.6

260,

444

95.4

272,

866

18.1

1

,505

,286

10Ka

b. B

ireue

n31

6,89

6 81

.870

,627

18

.238

7,52

3 50

.435

,097

73

.112

,902

26.9

47,9

99

6.2

11,2

62

13.5

72,3

49

86.5

83,6

11

10.9

769

,365

11Ka

b. P

idie

285,

773

81.8

63,6

13

18.2

349,

387

44.3

46,0

44

84.1

8,71

615

.954

,760

6.

912

,072

31

.226

,597

68

.838

,670

4.

9

7

88,9

63

12Ka

b. S

imeu

leu

34,8

62

17.0

170,

216

83.0

205,

078

11.0

30,5

63

24.8

92,8

8975

.212

3,45

2 6.

711

,853

5.

221

7,02

3 94

.822

8,87

6 12

.3

1,8

56,1

55

13Ko

ta B

anda

Ace

h38

1,72

2 86

.957

,593

13

.143

9,31

6 48

.735

,583

71

.014

,532

29.0

50,1

15

5.6

25,2

94

34.9

47,2

27

65.1

72,5

21

8.0

902

,611

14Ko

ta S

aban

g52

2,06

4 67

.625

0,14

1 32

.477

2,20

5 17

.022

9,20

6 65

.512

0,88

434

.535

0,09

1 7.

794

,367

21

.035

4,19

5 79

.044

8,56

2 9.

8

4,5

54,8

68

15Ko

ta L

angs

a28

3,22

2 77

.184

,056

22

.936

7,27

8 36

.88,

047

85.8

1,32

814

.29,

374

0.9

16,8

87

16.4

85,8

38

83.6

102,

725

10.3

997

,439

16Ko

ta L

hoks

eum

awe

402,

383

91.1

39,4

20

8.9

441,

803

32.4

47,9

75

56.8

36,5

6043

.284

,535

6.

221

,521

18

.097

,797

82

.011

9,31

8 8.

7

1,3

64,3

00

17Ka

b. A

ceh

Bara

t Day

a25

3,80

7 66

.312

9,23

0 33

.738

3,03

7 33

.128

,089

44

.235

,440

55.8

63,5

29

5.5

9,38

2 8.

110

6,70

3 91

.911

6,08

5 10

.0

1,1

55,5

19

18Ka

b. G

ayo

Lues

509,

706

78.0

143,

364

22.0

653,

070

33.2

31,2

36

46.6

35,7

5453

.466

,990

3.

419

,976

7.

624

2,92

3 92

.426

2,90

0 13

.4

1,9

65,3

63

19Ka

b. A

ceh

Tam

iang

178,

886

72.5

68,0

17

27.5

246,

903

34.6

29,0

18

51.0

27,8

5349

.056

,871

8.

06,

706

7.3

85,5

98

92.7

92,3

04

12.9

713

,950

20Ka

b. N

agan

Ray

an.

an.

an.

an.

an.

an.

an.

an.

an.

an.

an.

an.

an.

an.

an.

an.

an.

an.

an.

a

21Ka

b. A

ceh

Jaya

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

22Ka

b. B

ener

Mer

iah

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

Ra

ta-r

ata

(kab

/kot

a)29

7,90

5 72

.6

107,

862

27.4

40

5,76

7 34

.5

52,2

83

63.8

32

,483

36

.2

84,7

66

6.3

19,0

88

14.7

13

1,05

5 85

.3

150,

144

11.1

1,

340,

635

Min

imum

(kab

/kot

a)34

,862

17

.0

10,1

95

5.3

191,

561

11.0

8,

047

24.8

1,

328

14.2

9,

374

0.9

6,70

6 4.

6 26

,597

65

.1

38,6

70

4.9

713,

950

M

aksi

mum

(kab

/kot

a)52

2,06

4 94

.7

250,

141

83.0

77

2,20

5 50

.4

229,

206

85.8

12

0,88

4 75

.2

350,

091

11.7

94

,367

34

.9

354,

195

95.4

44

8,56

2 18

.1

4,55

4,86

8

Page 160: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 138

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel D16. Belanja rutin dan pembangunan pemerintah daerah di seluruh provinsi, 2004 (milyar rupiah, per kapita, dan % dari total belanja)

No ProvinsiRutin Pembangunan Total

Milyar Rp

Per kapita (Rp) % Milyar

RpPer kapita

(Rp) % Milyar Rp Per kapita (Rp)

1 Aceh 3,017 737,896 51.4 2,853 697,709 48.6 5,870 1,435,605

2 Sumatra Utara 5,178 427,072 68.8 2,345 193,424 31.2 7,523 620,496

3 Sumatra Barat 2,698 594,880 70.1 1,150 253,556 29.9 3,848 848,437

4 Riau 4,142 925,620 52.7 3,716 830,468 47.3 7,858 1,756,088

5 Jambi 1,422 541,490 55.4 1,144 435,623 44.6 2,565 977,113

6 Sumatra Selatan 2,480 374,092 53.9 2,118 319,480 46.1 4,597 693,572

7 Bengkulu 920 593,977 69.5 403 260,330 30.5 1,323 854,307

8 Lampung 2,663 376,978 74.3 922 130,589 25.7 3,585 507,567

9 D K I Jakarta 4,023 459,785 37.2 6,784 775,291 62.8 10,807 1,235,077

10 Jawa Barat 10,352 268,103 69.6 4,523 117,134 30.4 14,874 385,237

11 Jawa Tengah 10,564 324,614 72.1 4,097 125,892 27.9 14,661 450,506

12 Yogyakarta 1,661 515,297 69.8 720 223,334 30.2 2,381 738,631

13 Jawa Timur 11,172 306,232 66.1 5,725 156,935 33.9 16,897 463,167

14 Kalimantan Barat 2,070 513,347 65.5 1,090 270,342 34.5 3,161 783,689

15 Kalimantan Tengah 1,480 791,014 51.4 1,397 746,908 48.6 2,877 1,537,921

16 Kalimantan Selatan 1,790 554,561 61.2 1,135 351,767 38.8 2,925 906,328

17 Kalimantan Timur 3,346 1,209,761 43.4 4,368 1,579,195 56.6 7,713 2,788,956

18 Sulawesi Utara 1,412 654,115 75.2 466 215,850 24.8 1,878 869,964

19 Sulawesi Tengah 1,451 644,234 63.5 835 370,678 36.5 2,286 1,014,912

20 Sulawesi Selatan 4,612 551,118 67.8 2,186 261,251 32.2 6,799 812,369

21 Sulawesi Tenggara 1,139 592,311 62.6 681 354,193 37.4 1,820 946,504

22 Bali 2,262 665,739 71.0 926 272,575 29.0 3,188 938,314

23 Nusa Tenggara Barat 1,732 424,046 71.9 676 165,417 28.1 2,407 589,463

24 Nusa Tenggara Timur 2,125 511,213 58.9 1,482 356,716 41.1 3,607 867,930

25 Maluku 1,028 826,121 63.5 591 475,083 36.5 1,619 1,301,204

26 Papua 4,189 2,235,652 50.2 4,153 2,216,103 49.8 8,342 4,451,754

27 Maluku Utara 674 771,693 56.5 519 594,180 43.5 1,192 1,365,873

28 Banten 1,786 195,591 49.7 1,804 197,597 50.3 3,589 393,188

29 Bangka Belitung 582 568,610 60.6 379 370,111 39.4 961 938,721

30 Gorontalo 595 662,687 55.4 480 534,438 44.6 1,074 1,197,126

Nasional 92,561 424,877 60.8 59,667 273,883 39.2 152,228 698,760

Minimum 582 195,591 37.2 379 117,134 24.8 961 385,237

Maksimum 11,172 2,235,652 75.2 6,784 2,216,103 62.8 16,897 4,451,754

Page 161: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 139

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabe

l D17

. Bel

anja

rutin

pem

erin

tah

daer

ah p

er k

lasi

fi kas

i eko

nom

i di s

elur

uh p

rovi

nsi,

2004

(per

kap

ita d

an %

dar

i tot

al b

elan

ja ru

tin)

No

Prov

insi

Pega

wai

Bara

ngO

pera

si d

an

pera

wat

anPe

rjal

anan

di

nas

Lain

-lain

Biay

a ta

k te

rdug

a

Pens

iun

dan

bant

uan

Bant

uan

keua

ngan

Tota

l

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp

1Ac

eh

521,

266

70.6

81,9

4811

.115

,782

2.1

13,0

931.

82

0.0

23,6

713.

20

0.0

82,1

3611

.173

7,89

62

Sum

atra

Uta

ra33

0,56

877

.445

,590

10.7

7,79

71.

88,

487

2.0

00.

03,

104

0.7

00.

031

,527

7.4

427,

072

3Su

mat

ra B

arat

461,

351

77.6

59,5

2110

.014

,291

2.4

11,9

292.

056

0.0

4,55

90.

80

0.0

43,1

737.

359

4,88

04

Riau

477,

586

51.6

175,

695

19.0

42,7

584.

637

,571

4.1

42,2

344.

641

,794

4.5

00.

010

7,98

111

.792

5,62

05

Jam

bi37

8,78

370

.068

,182

12.6

19,7

763.

715

,911

2.9

19,1

293.

512

,924

2.4

190.

026

,767

4.9

541,

490

6Su

mat

ra S

elat

an26

7,87

271

.645

,320

12.1

10,0

862.

711

,044

3.0

00.

08,

069

2.2

00.

031

,701

8.5

374,

092

7Be

ngku

lu44

6,52

975

.262

,836

10.6

15,7

182.

614

,316

2.4

15,7

982.

715

,934

2.7

00.

022

,847

3.8

593,

977

8La

mpu

ng29

2,09

877

.534

,737

9.2

13,5

283.

68,

117

2.2

00.

03,

594

1.0

00.

024

,903

6.6

376,

978

9D

K I

Jaka

rta

378,

658

82.4

71,3

5115

.57,

050

1.5

661

0.1

00.

02,

065

0.4

00.

00

0.0

459,

785

10Ja

wa

Bara

t19

8,37

574

.022

,127

8.3

6,61

82.

54,

208

1.6

3,82

11.

44,

828

1.8

00.

028

,126

10.5

268,

103

11Ja

wa

Teng

ah24

6,44

675

.926

,801

8.3

6,25

61.

93,

457

1.1

687

0.2

5,93

91.

80

0.0

35,0

2810

.832

4,61

412

Yogy

akar

ta42

0,90

481

.733

,581

6.5

8,56

61.

76,

493

1.3

00.

05,

108

1.0

00.

040

,645

7.9

515,

297

13Ja

wa

Tim

ur22

6,27

373

.930

,342

9.9

7,26

22.

44,

098

1.3

2,08

60.

76,

995

2.3

30.

029

,174

9.5

306,

232

14Ka

liman

tan

Bara

t34

7,23

767

.665

,390

12.7

13,2

632.

617

,554

3.4

3,78

40.

727

,161

5.3

00.

038

,958

7.6

513,

347

15Ka

liman

tan

Teng

ah52

4,66

466

.310

4,57

013

.222

,312

2.8

30,7

553.

931

,230

3.9

29,9

653.

80

0.0

47,5

176.

079

1,01

416

Kalim

anta

n Se

lata

n40

5,77

073

.260

,632

10.9

16,9

063.

013

,767

2.5

00.

06,

297

1.1

00.

051

,189

9.2

554,

561

17Ka

liman

tan

Tim

ur54

5,88

045

.122

4,03

018

.543

,544

3.6

57,0

444.

770

,567

5.8

46,4

653.

80

0.0

222,

231

18.4

1,20

9,76

118

Sula

wes

i Uta

ra54

4,02

583

.246

,212

7.1

9,50

51.

515

,700

2.4

00.

09,

612

1.5

00.

029

,062

4.4

654,

115

19Su

law

esi T

enga

h45

9,31

371

.373

,755

11.4

18,6

442.

924

,007

3.7

35,6

485.

519

,415

3.0

40.

013

,448

2.1

644,

234

20Su

law

esi S

elat

an41

8,05

475

.956

,848

10.3

16,8

123.

112

,895

2.3

00.

07,

579

1.4

00.

038

,930

7.1

551,

118

21Su

law

esi T

engg

ara

464,

317

78.4

42,5

417.

215

,759

2.7

20,7

903.

50

0.0

14,9

412.

50

0.0

33,9

635.

759

2,31

122

Bali

478,

706

71.9

50,8

837.

616

,816

2.5

9,88

21.

50

0.0

7,38

01.

10

0.0

102,

073

15.3

665,

739

23N

usa

Teng

gara

Bar

at31

9,61

075

.437

,377

8.8

7,50

91.

89,

423

2.2

168

0.0

2,84

90.

70

0.0

47,1

1011

.142

4,04

624

Nus

a Te

ngga

ra T

imur

377,

825

73.9

41,0

588.

015

,742

3.1

23,0

734.

50

0.0

4,15

40.

80

0.0

49,3

619.

751

1,21

325

Mal

uku

610,

160

73.9

53,5

776.

517

,055

2.1

42,6

115.

238

,330

4.6

26,0

103.

10

0.0

38,3

784.

682

6,12

126

Papu

a1,

112,

037

49.7

331,

904

14.8

88,8

184.

011

2,79

95.

055

,819

2.5

278,

461

12.5

00.

025

5,81

511

.42,

235,

652

27M

aluk

u U

tara

451,

851

58.6

110,

960

14.4

11,2

261.

555

,149

7.1

18,3

772.

456

,646

7.3

00.

067

,484

8.7

771,

693

28Ba

nten

131,

493

67.2

24,1

9812

.48,

019

4.1

3,57

41.

80

0.0

1,93

11.

00

0.0

26,3

7613

.519

5,59

129

Bang

ka B

elitu

ng38

2,12

467

.279

,438

14.0

15,0

352.

628

,876

5.1

00.

05,

651

1.0

00.

057

,485

10.1

568,

610

30G

oron

talo

536,

006

80.9

49,6

857.

512

,664

1.9

25,9

133.

90

0.0

9,04

01.

40

0.0

29,3

784.

466

2,68

7

Nas

iona

l30

3,46

471

.446

,171

10.9

11,1

162.

69,

899

2.3

4,71

91.

110

,599

2.5

10.

038

,908

9.2

424,

877

M

inim

um13

1,49

345

.122

,127

6.5

6,25

61.

566

10.

10

0.0

1,93

10.

40

0.0

00.

019

5,59

1

Mak

sim

um1,

112,

037

83.2

331,

904

19.0

88,8

184.

611

2,79

97.

170

,567

5.8

278,

461

12.5

190.

025

5,81

518

.42,

235,

652

Page 162: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 140

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabe

l D18

. Bel

anja

pem

bang

unan

pem

erin

tah

daer

ah p

er s

ekto

r di s

elur

uh p

rovi

nsi,

2004

(per

kapi

ta d

an %

dar

i tot

al b

elan

ja p

emba

ngun

an)

No

Prov

insi

App

arat

ur

Pem

erin

tah

Pert

ania

n da

n Ke

huta

nan

Pert

amba

ngan

da

n En

ergi

Perd

agan

gan

dan

Peng

em-

bang

an U

saha

Kete

naga

-ke

rjaa

n

Kese

hata

n da

n Ke

seja

hter

aan

Sosi

al

Pend

idik

an d

an

Kebu

daya

an

Ling

kung

an d

an

Tata

Rua

ng

Pem

bang

unan

D

aera

h da

n Pe

rum

ahan

Tran

spor

tasi

, Air

da

n Ir

igas

i

Kepe

ndud

u-ka

n da

n Ke

luar

ga

Bere

ncan

a

Tele

kom

unik

asi

dan

Pari

wis

ata

Tota

l

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp

1Ac

eh

265,

041

38.0

34,6

915.

02,

963

0.4

8,43

41.

22,

468

0.4

49,3

497.

115

3,91

822

.16,

523

0.9

54,6

847.

811

2,60

516

.14,

775

0.7

2,25

70.

369

7,70

9

2Su

mat

ra

Uta

ra48

,426

25.0

9,44

64.

929

90.

21,

792

0.9

496

0.3

13,9

717.

214

,753

7.6

10,1

115.

212

,979

6.7

79,7

5441

.253

70.

385

90.

419

3,42

4

3Su

mat

ra B

arat

64,7

3825

.513

,543

5.3

945

0.4

6,93

42.

780

20.

316

,249

6.4

23,4

989.

37,

950

3.1

23,0

029.

191

,946

36.3

780

0.3

3,16

91.

225

3,55

6

4Ri

au16

7,46

520

.244

,732

5.4

18,1

732.

234

,793

4.2

2,86

20.

365

,896

7.9

135,

512

16.3

11,8

521.

413

8,21

616

.619

7,96

323

.81,

958

0.2

11,0

451.

383

0,46

8

5Ja

mbi

122,

838

28.2

29,1

196.

72,

444

0.6

10,2

152.

31,

559

0.4

36,2

038.

337

,081

8.5

5,40

11.

27,

484

1.7

179,

641

41.2

1,44

50.

32,

191

0.5

435,

623

6Su

mat

ra

Sela

tan

67,3

7121

.19,

369

2.9

3,15

91.

02,

462

0.8

803

0.3

21,5

616.

730

,458

9.5

4,01

71.

31,

045

0.3

175,

575

55.0

1,21

50.

42,

446

0.8

319,

480

7Be

ngku

lu11

5,41

344

.310

,660

4.1

1,18

80.

55,

043

1.9

2,26

60.

913

,680

5.3

26,9

4110

.33,

024

1.2

26,2

2510

.150

,578

19.4

710

0.3

4,60

31.

826

0,33

0

8La

mpu

ng38

,102

29.2

6,83

55.

21,

665

1.3

1,21

30.

944

50.

314

,158

10.8

9,77

27.

52,

359

1.8

16,3

2912

.538

,209

29.3

755

0.6

748

0.6

130,

589

9D

K I

Jaka

rta

188,

007

24.2

14,6

431.

93,

580

0.5

15,5

082.

06,

901

0.9

94,0

5812

.112

6,14

616

.335

,631

4.6

49,7

456.

422

5,17

029

.05,

957

0.8

9,94

51.

377

5,29

1

10Ja

wa

Bara

t34

,580

29.5

4,53

83.

979

50.

72,

482

2.1

843

0.7

11,8

4910

.113

,571

11.6

5,76

44.

95,

985

5.1

35,0

4829

.958

00.

51,

101

0.9

117,

134

11Ja

wa

Teng

ah37

,510

29.8

4,77

83.

844

80.

42,

203

1.7

945

0.8

19,3

9515

.415

,316

12.2

3,73

93.

04,

563

3.6

35,0

5927

.898

20.

895

60.

812

5,89

2

12Yo

gyak

arta

67,7

4030

.38,

154

3.7

00.

02,

598

1.2

1,60

30.

724

,429

10.9

29,5

6113

.23,

910

1.8

960.

080

,572

36.1

2,42

81.

12,

244

1.0

223,

334

13Ja

wa

Tim

ur51

,023

32.5

5,87

03.

737

40.

23,

363

2.1

1,07

80.

714

,229

9.1

22,9

8914

.63,

918

2.5

8,28

15.

343

,459

27.7

1,45

60.

989

40.

615

6,93

5

14Ka

liman

tan

Bara

t67

,689

25.0

14,0

205.

21,

145

0.4

4,15

81.

544

40.

219

,433

7.2

42,7

0915

.82,

561

0.9

35,5

3013

.179

,702

29.5

1,06

20.

41,

889

0.7

270,

342

15Ka

liman

tan

Teng

ah16

1,29

321

.688

,038

11.8

5,51

30.

725

,266

3.4

1,76

70.

246

,860

6.3

89,4

9312

.019

,853

2.7

50,1

276.

725

3,75

034

.01,

869

0.3

3,07

90.

474

6,90

8

16Ka

liman

tan

Sela

tan

97,8

4227

.823

,908

6.8

4,55

61.

33,

794

1.1

1,42

20.

435

,246

10.0

38,6

8911

.05,

584

1.6

37,7

0010

.710

0,78

028

.690

60.

31,

340

0.4

351,

767

17Ka

liman

tan

Tim

ur44

1,98

028

.077

,068

4.9

8,27

40.

516

,138

1.0

5,86

80.

471

,203

4.5

86,4

265.

523

,142

1.5

26,3

951.

781

5,63

251

.64,

315

0.3

2,75

30.

21,

579,

195

18Su

law

esi

Uta

ra13

0,26

660

.410

,708

5.0

326

0.2

1,31

20.

646

30.

211

,472

5.3

15,4

217.

12,

674

1.2

19,6

869.

121

,226

9.8

197

0.1

2,09

91.

021

5,85

0

19Su

law

esi

Teng

ah94

,772

25.6

21,5

035.

82,

777

0.7

8,77

32.

42,

961

0.8

31,9

468.

638

,148

10.3

4,16

41.

168

,869

18.6

93,6

2525

.31,

795

0.5

1,34

60.

437

0,67

8

20Su

law

esi

Sela

tan

97,6

6837

.413

,144

5.0

904

0.3

4,85

91.

91,

212

0.5

23,3

658.

920

,470

7.8

9,48

83.

68,

227

3.1

79,1

0130

.398

10.

41,

832

0.7

261,

251

21Su

law

esi

Teng

gara

178,

554

50.4

13,0

223.

712

,249

3.5

3,49

11.

02,

509

0.7

14,0

824.

025

,103

7.1

5,93

11.

729

,334

8.3

67,8

0219

.163

30.

21,

483

0.4

354,

193

22Ba

li10

0,17

036

.717

,242

6.3

520.

03,

694

1.4

1,28

70.

532

,462

11.9

29,0

6910

.79,

731

3.6

673

0.2

73,1

1326

.81,

589

0.6

3,49

31.

327

2,57

5

23N

usa

Teng

gara

Ba

rat

57,5

4534

.88,

977

5.4

778

0.5

1,80

21.

188

70.

521

,865

13.2

25,4

5215

.41,

939

1.2

13,9

918.

530

,169

18.2

1,29

80.

871

40.

416

5,41

7

24N

usa

Teng

gara

Ti

mur

123,

920

34.7

26,0

507.

36,

121

1.7

6,02

81.

72,

883

0.8

35,2

179.

961

,111

17.1

2,70

30.

824

,041

6.7

62,6

1817

.62,

707

0.8

3,31

70.

935

6,71

6

25M

aluk

u12

2,30

525

.746

,624

9.8

1,37

70.

37,

490

1.6

2,13

40.

430

,211

6.4

39,0

378.

24,

860

1.0

27,2

535.

719

1,05

140

.21,

130

0.2

1,60

90.

347

5,08

3

26Pa

pua

798,

175

36.0

124,

636

5.6

10,2

130.

552

,720

2.4

7,98

50.

420

4,00

99.

236

9,72

216

.715

,448

0.7

58,3

492.

654

5,17

524

.621

,108

1.0

8,56

20.

42,

216,

103

27M

aluk

u U

tara

252,

177

42.4

29,4

905.

06,

007

1.0

8,43

71.

44,

255

0.7

37,4

166.

355

,581

9.4

2,99

70.

526

,875

4.5

164,

641

27.7

2,42

90.

43,

875

0.7

594,

180

28Ba

nten

53,1

3926

.910

,051

5.1

2,72

11.

44,

034

2.0

1,50

80.

815

,500

7.8

32,6

2016

.525

,767

13.0

4,50

72.

345

,503

23.0

1,29

80.

795

00.

519

7,59

7

29Ba

ngka

Be

litun

g11

1,41

730

.119

,017

5.1

6,09

21.

63,

291

0.9

994

0.3

26,8

397.

337

,145

10.0

11,8

853.

255

,919

15.1

95,5

1925

.81,

315

0.4

677

0.2

370,

111

30G

oron

talo

166,

937

31.2

35,5

676.

71,

500

0.3

9,31

01.

72,

024

0.4

75,4

2514

.143

,011

8.0

9,26

01.

733

,320

6.2

154,

675

28.9

1,09

60.

22,

314

0.4

534,

438

N

asio

nal

81,1

8629

.612

,865

4.7

1,88

40.

75,

219

1.9

1,48

40.

524

,969

9.1

35,1

3612

.87,

771

2.8

16,5

826.

183

,250

30.4

1,56

00.

61,

977

0.7

273,

883

Min

imum

34,5

8020

.24,

538

1.9

00.

01,

213

0.6

444

0.2

11,4

724.

09,

772

5.5

1,93

90.

596

0.0

21,2

269.

819

70.

167

70.

211

7,13

4

M

aksi

mum

798,

175

60.4

124,

636

11.8

18,1

733.

552

,720

4.2

7,98

50.

920

4,00

915

.436

9,72

222

.135

,631

13.0

138,

216

18.6

815,

632

55.0

21,1

081.

111

,045

1.8

2,21

6,10

3

Page 163: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 141

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabe

l D19

. Bel

anja

Pem

erin

tah

Dae

rah

untu

k Se

ktor

Pen

didi

kan,

Kes

ehat

an d

an In

fras

truk

tur p

er b

elan

ja ru

tin d

an p

emba

ngun

an d

i sel

uruh

pro

vins

i, 20

04 (p

er ka

pita

, % d

ari t

otal

sekt

or, d

an %

sekt

or d

ari t

otal

bel

anja

)

No

Prov

insi

Pend

idik

anKe

seha

tan

Infr

astr

uktu

r

Tota

l be

lanj

aRu

tinPe

mba

ngun

anTo

tal P

en-

didi

kan

%

Pend

idik

an

dari

Tot

al

Bela

nja

Rutin

Pem

bang

unan

Tota

l Ke

se-

hata

n

% K

ese-

hata

n da

ri T

otal

Be

lanj

a

Rutin

Pem

bang

unan

Tota

l In

fras

truk

tur

%

Infr

astr

uktu

r da

ri T

otal

Be

lanj

a

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp%

Rp

1Ac

eh

306,

638

67.1

150,

569

32.9

457,

208

31.8

50,9

2165

.127

,294

34.9

78,2

145.

420

,389

10.8

168,

415

89.2

188,

803

13.2

1,43

5,60

5

2Su

mat

ra U

tara

206,

559

93.3

14,8

346.

722

1,39

335

.737

,597

72.6

14,1

5427

.451

,752

8.3

14,5

1313

.097

,413

87.0

111,

926

18.0

620,

496

3Su

mat

ra B

arat

296,

327

92.7

23,3

997.

331

9,72

637

.748

,560

76.1

15,2

7023

.963

,830

7.5

21,5

9415

.811

5,30

784

.213

6,90

116

.184

8,43

7

4Ri

au25

4,48

667

.712

1,32

932

.337

5,81

521

.448

,419

44.1

61,4

4155

.910

9,86

06.

335

,965

9.3

351,

103

90.7

387,

068

22.0

1,75

6,08

8

5Ja

mbi

182,

160

86.0

29,6

4814

.021

1,80

821

.740

,064

57.7

29,3

3642

.369

,399

7.1

21,8

5010

.418

7,63

589

.620

9,48

521

.497

7,11

3

6Su

mat

ra S

elat

an15

6,03

685

.227

,036

14.8

183,

072

26.4

22,7

7052

.720

,471

47.3

43,2

416.

213

,581

7.1

177,

820

92.9

191,

401

27.6

693,

572

7Be

ngku

lu24

0,84

190

.126

,435

9.9

267,

276

31.3

58,5

1281

.513

,262

18.5

71,7

758.

424

,719

24.2

77,3

3675

.810

2,05

411

.985

4,30

7

8La

mpu

ng15

9,21

594

.29,

772

5.8

168,

987

33.3

19,0

8558

.813

,365

41.2

32,4

496.

413

,102

19.2

55,1

7180

.868

,273

13.5

507,

567

9D

K I

Jaka

rta

12,6

1510

.211

0,84

989

.812

3,46

410

.09,

621

10.6

81,4

7389

.491

,094

7.4

45,7

8114

.227

6,27

585

.832

2,05

626

.11,

235,

077

10Ja

wa

Bara

t11

9,62

489

.813

,548

10.2

133,

172

34.6

17,6

0161

.511

,030

38.5

28,6

317.

410

,028

19.5

41,3

3480

.551

,362

13.3

385,

237

11Ja

wa

Teng

ah16

8,52

891

.715

,309

8.3

183,

837

40.8

23,7

7855

.818

,838

44.2

42,6

169.

512

,553

24.0

39,7

9276

.052

,345

11.6

450,

506

12Yo

gyak

arta

261,

920

90.0

29,1

1810

.029

1,03

839

.437

,227

65.1

19,9

6634

.957

,193

7.7

24,2

4123

.180

,667

76.9

104,

908

14.2

738,

631

13Ja

wa

Tim

ur13

7,53

386

.221

,986

13.8

159,

519

34.4

24,3

2566

.412

,323

33.6

36,6

477.

913

,473

20.6

51,8

8479

.465

,357

14.1

463,

167

14Ka

liman

tan

Bara

t19

1,18

786

.031

,153

14.0

222,

340

28.4

37,2

3767

.418

,008

32.6

55,2

457.

012

,461

10.0

112,

027

90.0

124,

488

15.9

783,

689

15Ka

liman

tan

Teng

ah25

3,77

479

.565

,449

20.5

319,

223

20.8

64,2

4660

.941

,228

39.1

105,

474

6.9

25,8

437.

730

8,07

492

.333

3,91

721

.71,

537,

921

16Ka

liman

tan

Sela

tan

230,

815

85.6

38,6

8914

.426

9,50

429

.747

,582

61.2

30,1

4838

.877

,730

8.6

19,1

1812

.014

0,21

188

.015

9,32

917

.690

6,32

8

17Ka

liman

tan

Tim

ur21

1,77

173

.875

,114

26.2

286,

885

10.3

98,5

1358

.669

,608

41.4

168,

121

6.0

32,8

373.

784

7,89

796

.388

0,73

431

.62,

788,

956

18Su

law

esi U

tara

317,

162

95.4

15,4

214.

633

2,58

338

.235

,547

76.4

10,9

5123

.646

,498

5.3

19,7

5132

.541

,035

67.5

60,7

867.

086

9,96

4

19Su

law

esi T

enga

h28

0,08

990

.429

,905

9.6

309,

994

30.5

52,3

4864

.528

,763

35.5

81,1

118.

023

,714

12.6

164,

223

87.4

187,

937

18.5

1,01

4,91

2

20Su

law

esi S

elat

an19

9,75

590

.720

,470

9.3

220,

225

27.1

32,9

9860

.921

,143

39.1

54,1

416.

716

,825

16.1

87,6

7283

.910

4,49

712

.981

2,36

9

21Su

law

esi T

engg

ara

231,

094

90.6

24,0

809.

425

5,17

527

.035

,345

75.1

11,7

3024

.947

,075

5.0

19,7

2817

.096

,583

83.0

116,

311

12.3

946,

504

22Ba

li25

9,93

989

.929

,069

10.1

289,

008

30.8

41,5

8257

.430

,910

42.6

72,4

927.

722

,471

23.3

73,8

0676

.796

,278

10.3

938,

314

23N

usa

Teng

gara

Bar

at20

4,25

988

.925

,452

11.1

229,

711

39.0

28,5

8759

.219

,697

40.8

48,2

848.

215

,024

25.3

44,4

5674

.759

,480

10.1

589,

463

24N

usa

Teng

gara

Tim

ur18

5,95

775

.360

,929

24.7

246,

886

28.4

34,7

3751

.532

,684

48.5

67,4

207.

813

,193

12.9

88,9

8587

.110

2,17

811

.886

7,93

0

25M

aluk

u16

4,51

880

.839

,037

19.2

203,

555

15.6

57,3

9967

.427

,731

32.6

85,1

296.

529

,319

11.8

218,

828

88.2

248,

147

19.1

1,30

1,20

4

26Pa

pua

395,

806

53.5

343,

569

46.5

739,

375

16.6

121,

727

39.7

184,

920

60.3

306,

647

6.9

66,8

939.

662

6,37

290

.469

3,26

515

.64,

451,

754

27M

aluk

u U

tara

132,

013

74.0

46,4

8126

.017

8,49

413

.125

,465

55.9

20,1

0744

.145

,572

3.3

16,8

278.

218

9,05

891

.820

5,88

615

.11,

365,

873

28Ba

nten

75,4

7969

.832

,620

30.2

108,

099

27.5

13,5

2049

.014

,093

51.0

27,6

137.

07,

014

12.1

51,0

4487

.958

,058

14.8

393,

188

29Ba

ngka

Bel

itung

202,

681

84.5

37,1

4515

.523

9,82

625

.537

,882

62.0

23,2

2438

.061

,106

6.5

14,5

448.

615

3,75

391

.416

8,29

717

.993

8,72

1

30G

oron

talo

312,

735

87.9

43,0

1112

.135

5,74

629

.741

,643

36.1

73,7

8863

.911

5,43

09.

617

,979

8.7

188,

565

91.3

206,

543

17.3

1,19

7,12

6

N

asio

nal

165,

538

83.4

32,8

7016

.619

8,40

828

.428

,855

59.0

22,4

3143

.751

,286

7.3

16,3

0613

.910

1,05

386

.111

7,35

916

.869

8,76

0

Min

imum

12,6

1510

.29,

772

4.6

108,

099

10.0

9,62

110

.610

,951

18.5

27,6

133.

37,

014

3.7

39,7

9267

.551

,362

7.0

385,

237

M

aksi

mum

395,

806

95.4

343,

569

89.8

739,

375

40.8

121,

727

81.5

184,

920

89.4

306,

647

9.6

66,8

9332

.584

7,89

796

.388

0,73

431

.64,

451,

754

Page 164: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 142

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

INDIKATOR-INDIKATOR SEKTORAL DAN SOSIAL

Tabel D20. Indikator-indikator Layanan Kesehatan di Aceh, 2005 (PODES 2005)

No Kabupaten/kota Jumlah dokter

Rasio dokter/ 10000

penduduk

Jumlah dokter /km2

(wilayah layanan)

Jumlah Bidan

Rasio Bidan /10.000

penduduk

Jumlah bidan /km2 (wilayah

layanan)

1 Kab. Aceh Barat 13 0.9 225.2 127 8.3 23.1

2 Kab. Aceh Besar 74 2.6 40.1 451 16.1 6.6

3 Kab. Aceh Selatan 32 1.6 120.4 139 6.9 27.7

4 Kab. Aceh Singkil 26 1.7 137.5 134 8.8 26.7

5 Kab. Aceh Tengah 21 1.3 205.5 204 12.5 21.2

6 Kab. Aceh Tenggara 36 2.0 116.4 152 8.4 27.6

7 Kab. Aceh Timur 24 0.7 251.7 371 11.1 16.3

8 Kab. Aceh Utara 42 0.9 76.0 468 9.5 6.8

9 Kab. Bireuen 60 1.7 31.7 514 14.4 3.7

10 Kab. Pidie 64 1.3 53.6 715 14.2 4.8

11 Kab. Simeuleu 10 1.2 205.1 96 11.9 21.4

12 Kota Banda Aceh 148 7.5 0.4 124 6.2 0.5

13 Kota Sabang 16 5.1 9.6 37 11.8 4.1

14 Kota Langsa 38 2.9 6.9 134 10.2 2.0

15 Kota Lhokseumawe 119 7.1 1.5 139 8.2 1.3

16 Kab. Aceh Barat Daya 18 1.6 218.2 97 8.5 40.5

17 Kab. Gayo Lues 10 1.5 381.7 59 8.8 64.7

18 Kab. Aceh Tamiang 46 2.0 32.8 237 10.1 6.4

19 Kab. Nagan Raya 7 0.6 817.0 107 9.0 53.4

20 Kab. Aceh Jaya 8 1.3 242.5 56 8.9 34.6

21 Kab. Bener Meriah 8 0.7 181.7 114 10.3 12.8

Total 820 4,475

Rata-rata 39 2.2 159.8 213 10.2 19.3

Minimum 7 0.6 0.4 37 6.2 0.5

Maksimum 148 7.5 817.0 715 16.1 64.7Sumber: BPS, PODES 2005.

Page 165: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 143

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel D21. Indikator-indikator Layanan Kesehatan di seluruh Provinsi, 2005 (PODES 2005)

No Provinsi Jumlah dokter

Rasio dokter/ 10000

penduduk

Jumlah dokter /km2 (wilayah

layanan)

Jumlah Bidan

Rasio Bidan /10.000

penduduk

Jumlah bidan /km2

(wilayah layanan)

1 Prop. Aceh 818 2.0 68 4,471 11.1 12

2 Prop. Sumatra Utara 2,761 2.2 25 7,142 5.8 10

3 Prop. Sumatra Barat 1,013 2.2 43 2,723 5.9 16

4 Prop. Riau 903 1.5 118 1,616 2.7 66

5 Prop. Jambi 537 2.0 94 1,270 4.8 40

6 Prop. Sumatra Selatan 1,002 1.5 97 3,048 4.5 32

7 Prop. Bengkulu 311 1.9 64 1,287 8.1 15

8 Prop. Lampung 710 1.0 50 2,302 3.2 15

9 D K I Jakarta 2,893 3.3 n.a. 907 1.0 n.a.

10 Prop. Jawa Barat 5,531 1.4 6 8,615 2.2 4

11 Prop. Jawa Tengah 5,356 1.6 6 9,973 3.0 3

12 Prop. Yogyakarta 1,307 4.0 2 792 2.4 4

13 Prop. Jawa Timur 6,410 1.7 7 10,294 2.8 5

14 Prop. Kalimantan Barat 494 1.2 301 1,367 3.3 109

15 Prop. Kalimantan Tengah 317 1.7 484 1,125 5.9 137

16 Prop. Kalimantan Selatan 520 1.6 74 1,778 5.5 22

17 Prop. Kalimantan Timur 711 2.5 295 1,152 4.1 182

18 Prop. Sulawesi Utara 937 4.3 16 1,273 5.8 12

19 Prop. Sulawesi Tengah 360 1.6 188 1,541 6.7 44

20 Prop. Sulawesi Selatan 1,659 2.0 38 3,242 3.8 19

21 Prop. Sulawesi Tenggara 306 1.6 123 1,431 7.3 26

22 Prop. Bali 1,378 4.0 4 1,156 3.4 5

23 Prop. Nusa Tenggara Barat 445 1.1 45 1,096 2.6 18

24 Prop. Nusa Tenggara Timur 502 1.2 94 3,077 7.3 15

25 Prop. Maluku 176 1.4 222 1,009 8.0 39

26 Prop. Papua 463 1.8 908 2,084 8.3 202

27 Prop. Maluku Utara 146 1.6 240 712 8.0 49

28 Prop. Banten 1,069 1.1 6 2,018 2.2 3

29 Prop. Bangka Belitung 187 1.8 88 346 3.3 47

30 Prop. Gorontalo 173 1.9 70 374 4.1 33

Total 36,502 78,314

Rata-rata 1,313 2.0 130 2,641 4.9 41

Minimum 146 1.0 2 346 1.0 3

Maksimum 6,410 4.3 908 10,294 11.1 202Sumber: BPS, PODES 2005.

Page 166: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 144

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabe

l D22

. Kel

uara

n da

n In

dika

tor L

ayan

an P

endi

dika

n di

Ace

h, 2

005

No

Kabu

pate

n/ko

ta

Ting

kat

Part

isip

asi

Bers

ih (%

)Ti

ngka

t Par

tisip

asi K

otor

(%)

Jum

lah

Seko

lah

Wila

yah

laya

nan

(Km

2)

Sens

us B

PS

Din

as P

endi

dika

n Pr

ovin

siBP

S, P

OD

ES 2

005

BPS,

PO

DES

200

5

SD

SDSM

PSM

ASD

SMP

SMA

SDSM

PSM

A

1Ka

b. A

ceh

Bara

t90

.713

6.9

91.9

64.1

151

2819

19.4

104.

615

4.1

2Ka

b. A

ceh

Besa

r95

.711

7.3

89.3

58.8

196

5130

15.1

58.2

99.0

3Ka

b. A

ceh

Sela

tan

96.4

157.

010

1.6

52.4

223

4321

17.3

89.6

183.

4

4Ka

b. A

ceh

Sing

kil

94.9

115.

880

.949

.916

430

1621

.811

9.2

223.

5

5Ka

b. A

ceh

Teng

ah

93.9

116.

797

.564

.318

435

1123

.512

3.3

392.

3

6Ka

b. A

ceh

Teng

gara

95.2

111.

195

.460

.817

139

2324

.510

7.4

182.

1

7Ka

b. A

ceh

Tim

ur94

.413

8.5

85.2

46.7

299

5521

20.2

109.

828

7.6

8Ka

b. A

ceh

Uta

ra95

.911

4.7

93.6

56.8

407

7938

7.8

40.4

84.0

9Ka

b. B

ireue

n93

.212

0.4

104.

658

.427

447

296.

940

.565

.6

10Ka

b. P

idie

95.4

117.

510

1.5

67.9

451

9542

7.6

36.1

81.7

11Ka

b. S

imeu

leu

93.8

120.

010

7.8

29.9

108

4013

19.0

51.3

157.

8

12Ko

ta B

anda

Ace

h95

.613

0.1

148.

011

2.0

7922

240.

82.

82.

6

13Ko

ta S

aban

g96

.812

8.1

107.

464

.135

84

4.4

19.1

38.3

14Ko

ta L

angs

a96

.111

1.9

120.

170

.369

2013

3.8

13.1

20.2

15Ko

ta L

oksu

maw

e93

.212

1.5

114.

070

.772

1610

2.5

11.3

18.1

16Ka

b. A

ceh

Bara

t Day

a92

.813

0.2

101.

862

.912

022

1032

.717

8.5

392.

8

17Ka

b. G

ayo

Lues

96.0

127.

080

.146

.877

137

49.6

293.

654

5.3

18Ka

b. A

ceh

Tam

iang

96.2

113.

994

.342

.117

550

228.

630

.268

.6

19Ka

b. N

agan

Ray

a91

.714

7.2

112.

848

.011

124

1051

.523

8.3

571.

9

20Ka

b. A

ceh

Jaya

88.0

189.

510

2.4

42.1

8212

223

.716

1.6

969.

9

21Ka

b. B

ener

Mer

iah

96.6

136.

210

2.1

61.1

112

2813

13.0

51.9

111.

8

Ra

ta-r

ata

94.7

117.

580

.371

.535

6075

737

815

.673

.214

6.6

M

inim

um88

.011

1.1

80.1

29.9

35.0

8.0

2.0

0.8

2.8

2.6

M

aksi

mum

96.8

189.

514

8.0

112.

045

1.0

95.0

42.0

51.5

293.

696

9.9

Page 167: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 145

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel D23. Indikator-indikator Layanan Pendidikan per provinsi, 2005 (PODES 2005)

No ProvinsiWilayah Layanan Sekolah / 10.000 siswa

SD/km2 SMP/km2 SMA/km2 SD SMP SMA

1 Aceh 15.6 73.2 146.6 65.7 27.5 16.4

2 Sumatra Utara 7.7 31.0 65.5 51.8 26.8 18.6

3 Sumatra Barat 10.8 57.0 116.7 66.0 27.4 18.7

4 Riau 31.1 108.9 272.2 52.3 34.4 16.9

5 Jambi 15.9 84.2 198.5 92.0 36.9 20.1

6 Sumatra Selatan 19.9 86.7 195.7 54.6 23.4 13.2

7 Bengkulu 14.2 72.2 155.9 63.2 26.5 14.9

8 Lampung 6.8 25.1 69.6 55.5 30.1 17.2

9 D K I Jakarta n.a. n.a. n.a. 36.7 26.6 20.9

10 Jawa Barat 1.5 7.9 19.3 45.7 18.9 11.6

11 Jawa Tengah 1.4 8.1 25.3 61.7 20.4 11.9

12 Yogyakarta 1.4 6.4 15.3 75.0 33.1 25.4

13 Jawa Timur 1.7 9.0 23.4 72.4 28.2 15.6

14 Kalimantan Barat 36.4 175.4 504.3 72.6 32.4 15.5

15 Kalimantan Tengah 59.4 345.1 908.7 94.1 34.8 18.6

16 Kalimantan Selatan 11.1 57.3 162.6 86.9 35.8 17.2

17 Kalimantan Timur 96.0 351.4 760.0 60.9 37.7 24.5

18 Sulawesi Utara 7.1 27.8 76.1 87.6 47.6 24.0

19 Sulawesi Tengah 25.2 115.7 338.5 92.9 41.0 20.5

20 Sulawesi Selatan 8.1 41.6 97.6 67.5 28.0 17.0

21 Sulawesi Tenggara 18.3 83.7 199.3 72.3 33.4 17.4

22 Bali 2.2 16.6 31.5 45.7 18.9 11.6

23 Nusa Tenggara Barat 5.8 23.3 49.5 61.7 20.4 11.9

24 Nusa Tenggara Timur 10.9 63.7 194.3 75.0 33.1 25.4

25 Maluku 25.4 100.6 232.9 80.0 45.1 25.8

26 Papua 169.7 1,045.8 2,802.8 84.6 35.5 21.3

27 Maluku Utara 32.9 134.6 299.0 60.4 25.8 15.4

28 Banten 1.2 5.3 12.2 42.1 19.8 11.4

29 Bangka Belitung 20.4 102.0 234.6 61.6 23.4 15.4

30 Gorontalo 14.1 75.6 253.4 68.6 68.6 68.6

31 Kepulauan Riau n.a. n.a. n.a. 50.2 50.2 50.2

32 Papua Barat n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. n.a.

Rata-rata 23.2 115.0 291.8 60.4 25.8 15.4

Minimum 1.2 5.3 12.2 36.7 18.9 11.4

Maksimum 169.7 1,045.8 2,802.8 94.1 68.6 68.6Sumber: BPS, PODES 2005.

Page 168: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 146

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabe

l D24

. Ind

ikat

or-in

dika

tor K

elua

ran

Infr

astr

uktu

r di A

ceh

No

Kabu

pate

n/ko

ta

Sara

na L

istr

ik

(%KK

)Sa

mbu

ngan

te

lepo

n (%

KK)

Pers

enta

se

laha

n pe

rtan

ian

(%)

Laha

n pe

rtan

ian

beri

riga

si

(%)

Sani

tasi

Sw

asta

(%

Des

a)

Kepa

data

n Ja

lan

Kabu

pate

n (K

m/1

000

jiwa)

% Ja

lan

Kabu

pate

n de

ngan

Kon

disi

Bai

k

POD

ES 2

005

Dep

arte

men

PU

, 200

2

1Ac

eh B

arat

45.1

0.1

17.0

24.0

27.2

2.7

55.7

2Ac

eh B

esar

68.7

4.5

16.6

62.9

34.4

7.1

34.2

3Ac

eh S

elat

an65

.44.

14.

659

.319

.03.

361

.8

4Ac

eh S

ingk

il75

.23.

514

.351

.728

.4n.

a.n.

a.

5Ac

eh Te

ngah

80.2

4.8

10.7

97.8

22.5

4.3

77.2

6Ac

eh Te

ngga

ra77

.02.

26.

583

.916

.84.

160

.3

7Ac

eh T

imur

75.3

2.9

7.7

36.0

62.4

3.8

61.2

8Ac

eh U

tara

74.2

4.4

16.8

69.9

40.8

4.5

55.7

9Bi

reue

n78

.74.

912

.475

.063

.8n.

a.n.

a.

10Pi

die

74.0

3.1

10.7

83.7

5.3

2.0

64.6

11Si

meu

lue

47.0

8.7

8.9

21.2

45.2

5.7

30.9

12Ba

nda

Aceh

81.4

16.4

4.2

32.6

64.0

n.a.

n.a.

13Sa

bang

86.7

20.9

0.4

0.0

61.1

n.a.

n.a.

14La

ngsa

91.3

18.1

11.8

18.0

98.0

n.a.

n.a.

15Lh

okse

umaw

e95

.537

.118

.838

.389

.7n.

a.n.

a.

16Ac

eh B

arat

Day

a47

.65.

49.

176

.87.

0n.

a.n.

a.

17G

ayo

Lues

74.3

3.8

2.0

86.1

13.4

n.a.

n.a.

18Ac

eh Ta

mia

ng92

.14.

610

.45.

962

.2n.

a.n.

a.

19N

agan

Ray

a55

.31.

48.

336

.823

.8n.

a.n.

a.

20Ac

eh Ja

ya12

.90.

129

.64.

122

.2n.

a.n.

a.

21Be

ner M

eria

h77

.81.

93.

286

.617

.4 n

.a.

n.a

.

Ra

ta-r

ata

73.0

6.2

10.5

52.8

34.2

4.2

55.7

M

inim

um12

.90.

10.

40.

05.

32.

030

.9

M

aksi

mum

95.5

37.1

29.6

97.8

98.0

7.1

77.2

Page 169: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 147

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabe

l D25

. Ind

ikat

or-in

dika

tor K

elua

ran

Infr

astr

uktu

r per

Pro

vins

i

No

Prov

insi

Sara

na L

istr

ik (%

KK)

Sam

bung

an

tele

pon

(%KK

)

Pers

enta

se

laha

n pe

rtan

ian

(%)

Laha

n pe

rtan

ian

beri

riga

si (%

)Sa

nita

si S

was

ta (%

D

esa)

Kepa

data

n Ja

lan

Kabu

pate

n (K

m/1

000

jiwa)

% Ja

lan

Kabu

pate

n de

ngan

Kon

disi

Ba

ik

POD

ES 2

005

Dep

arte

men

PU

, 200

2

1Ac

eh73

.06.

210

.552

.83.

72.

855

.42

Sum

ater

a U

tara

83.4

11.1

1153

.79.

91.

838

3Su

mat

era

Bara

t70

12.6

1066

.817

.42.

545

.64

Riau

59.9

7.7

3.1

27.4

7.2

1.7

50.6

5Ja

mbi

56.1

7.5

6.8

42.8

7.9

2.9

47.5

6Su

mat

era

Sela

tan

56.4

10.3

9.5

17.7

9.1

1.1

48.6

7Be

ngku

lu56

.58.

19.

757

.613

.32.

256

.88

Lam

pung

51.1

6.2

12.8

50.5

5.9

1.3

45.5

9D

K I

Jaka

rta

98.7

64.2

2.3

70.8

95.9

n.a.

n.a.

10Ja

wa

Bara

t76

13.6

30.4

73.3

11.9

0.3

66.2

11Ja

wa

Teng

ah65

.44.

936

.265

.18.

30.

663

.112

D I

Yogy

akar

ta83

.47.

720

.475

.912

.31.

249

13Ja

wa

Tim

ur70

.912

.332

.280

9.5

0.6

65.6

14Ka

liman

tan

Bara

t59

.69.

84.

725

5.8

1.7

38.5

15Ka

liman

tan

Teng

ah57

.113

.64.

931

.12.

92.

934

.816

Kalim

anta

n Se

lata

n70

.78.

815

.316

.27.

31.

760

17Ka

liman

tan

Tim

ur79

.916

.23.

436

.610

.81.

550

.518

Sula

wes

i Uta

ra72

.214

.55.

773

.513

1.7

51.7

19Su

law

esi T

enga

h51

.96.

94.

166

.65.

13.

246

.720

Sula

wes

i Sel

atan

68.3

11.6

13.1

52.1

10.3

1.9

51.6

21Su

law

esi T

engg

ara

48.8

5.5

470

.64

2.1

47.2

22Ba

li 74

.515

.218

.398

.923

.71.

571

.123

Nus

a Te

ngga

ra B

arat

34.4

3.2

20.9

74.7

91.

254

.624

Nus

a Te

ngga

ra T

imur

29.5

3.9

4.4

53.6

3.8

2.7

40.3

25M

aluk

u56

.59.

60.

378

.93.

83.

222

.126

Papu

a38

9.5

0.2

27.8

2.2

6.3

27.5

27M

aluk

u U

tara

52.6

5.9

0.5

60.3

4.7

3.8

9.4

28Ba

nten

79.1

21.7

22.6

53.8

11.7

0.4

67.8

29Ke

pula

uan

Bang

ka B

elitu

ng78

.49.

515

.518

.48.

12.

452

.330

Gor

onta

lo45

.75.

63.

262

.77.

14.

456

.631

Kepu

laua

n Ri

au76

.122

.20.

351

.624

.7n.

a.n.

a.32

Prop

. Pap

ua B

arat

n.a.

n.a.

n.a.

n.a.

n.a

n.a.

n.a.

Ra

ta-r

ata

68.7

12.2

7.1

54.6

8.5

2.1

48.8

M

inim

um29

.53.

20.

216

.22.

20.

39.

4

Mak

sim

um98

.764

.236

.298

.995

.96.

371

.1

Page 170: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 148

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel D26. Jumlah penduduk per kabupaten/kota di Aceh (1999–2005)

No Kabupaten/kota 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

1 Kab. Aceh Barat 479,200 440,239 431,787 423,334 228,149 162,250 165,2582 Kab. Aceh Besar 306,149 288,760 291,562 294,364 302,752 303,019 216,9983 Kab. Aceh Selatan 555,280 261,309 285,940 310,571 167,511 186,860 190,5304 Kab. Aceh Singkil 120,040 124,727 129,416 175,175 147,119 152,5945 Kab. Aceh Tengah 265,079 228,380 251,000 273,621 280,058 287,799 192,0276 Kab. Aceh Tenggara 237,929 211,649 214,154 216,660 168,488 168,309 170,2457 Kab. Aceh Timur 781,669 708,830 589,377 469,925 253,257 312,070 309,6998 Kab. Aceh Utara 589,010 632,200 561,065 489,931 396,755 487,369 484,5929 Kab. Bireuen 340,269 341,615 342,962 352,174 349,350 352,312

10 Kab. Aceh Pidie 638,669 479,410 496,686 513,963 519,205 473,500 481,58711 Kab. Simeulue 57,060 56,097 55,134 76,896 71,449 72,11012 Kota Banda Aceh 206,139 219,070 219,831 220,593 269,942 238,699 239,50113 Kota Sabang 24,610 23,649 23,482 23,315 27,531 28,489 29,07914 Kota Langsa 117,260 117,271 117,283 141,212 134,279 134,24715 Kota Lhokseumawe 141,039 141,054 141,068 156,934 138,679 139,93216 Kab. Aceh Barat Daya 153,893 111,370 112,23017 Kab. Gayo Lues 83,921 68,190 68,78418 Kab. Aceh Tamiang 238,824 228,820 228,08919 Kab. Nagan Raya 153,393 111,519 112,96120 Kab. Aceh Jaya 93,905 79,959 82,78921 Kab. Mener Merah 102,336

Total/Provinsi 4,083,734 4,269,164 4,145,648 4,022,140 4,239,975 4,089,098 4,037,900Sumber: BPS / MoF baseline data for DAU calculation

Tabel D27. Jumlah Penduduk Miskin (%) dan Indeks Pembangunan Manusia per kabupaten/kota di Aceh

No Kabupaten/kota

Jumlah Penduduk Miskin (%) Indeks Pembangunan Manusia

1999 2000 2002 2003 2004 1996 1999 2002

BPS/data dasar Depkeu untuk perhitungan DAU BPS UNDP

1 Kab. Aceh Barat 18.3 15.0 38.1 36.1 35.7 67.1 64.3 65.62 Kab. Aceh Besar 23.2 22.0 33.2 30.5 29.9 68.4 66.8 67.23 Kab. Aceh Selatan 7.5 12.4 28.3 29.4 27.6 64.2 62.1 63.84 Kab. Aceh Singkil n.a 12.4 28.3 29.5 28.9 n.a n.a 62.25 Kab. Aceh Tengah 14.3 13.0 28.4 28.9 27.9 68.3 66 66.76 Kab. Aceh Tenggara 26.4 26.8 29.8 24.2 23.9 67.7 63.9 66.87 Kab. Aceh Timur 20.4 17.7 25.3 31.6 30.0 69.5 65.4 66.78 Kab. Aceh Utara 37.3 18.5 25.5 38.2 34.2 69.5 63.1 65.99 Kab. Bireuen n.a 18.5 25.3 30.0 29.3 n.a n.a 70.5

10 Kab. Aceh Pidie 2.4 2.5 44.0 38.9 35.2 67.8 64.1 67.811 Kab. Simeuleu n.a 15.0 38.1 35.0 34.3 n.a n.a 61.812 Kota Banda Aceh 5.0 3.4 10.3 9.7 8.9 74.2 70.5 71.913 Kota Sabang 22.8 21.6 36.7 32.4 31.5 70.1 63.7 69.514 Kota Langsa 25.3 16.3 15.3 n.a n.a n.a15 Kota Lhokseumawe 16.4 15.0 n.a n.a n.a16 Kab. Nagan Raya 34.7 35.9 n.a n.a n.a17 Kab. Aceh Jaya 32.0 31.6 n.a n.a n.a18 Kab. Aceh Barat Daya 27.9 28.0 n.a n.a n.a19 Kab. Gayo Lues 32.2 32.4 n.a n.a n.a20 Kab. Aceh Tamiang 26.0 25.2 n.a n.a n.a

Aceh 17.4 15.0 29.8 29.8 28.5 69.4 65.3 66

Page 171: Official PDF , 178 pages

APENDIKS 149

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Tabel D28. Jumlah Penduduk Miskin (%) dan Indeks Pembangunan Manusia di seluruh provinsi di Indonesia

No Provinsi

Jumlah Penduduk Miskin (%) Indeks Pembangunan Manusia

1999 2000 2002 2003 2004 1996 1999 2002

BPS/data dasar Depkeu untuk perhitungan DAU BPS UNDP

1 Aceh 17.4 15.0 29.8 29.8 28.5 69.4 65.3 66

2 Sumatera Utara 19.1 17.2 15.8 15.9 14.9 70.5 66.6 68.8

3 Sumatera Barat 16.5 14.2 11.6 11.2 10.5 69.2 65.8 67.5

4 Riau 19.2 12.5 13.6 13.5 13.1 70.6 67.3 69.1

5 Jambi 27.0 28.2 13.2 12.7 12.5 69.3 65.4 67.1

6 Sumatera Selatan 26.5 25.2 22.3 21.5 20.9 68 63.9 66

7 Bengkulu 24.9 21.5 22.7 22.7 22.4 68.4 64.8 66.2

8 Lampung 25.9 30.6 24.1 22.6 22.2 67.6 63 65.8

9 DKI Jakarta 7.7 4.5 3.4 3.4 3.2 76.1 72.5 75.6

10 Jawa Barat 20.6 19.8 13.4 12.9 12.1 68.2 64.6 65.8

11 Jawa Tengah 27.3 28.4 23.1 21.8 21.1 67 64.6 66.3

12 Yogyakarta 23.6 25.4 20.1 19.9 19.1 71.8 68.7 70.8

13 Jawa Timur 26.6 29.8 21.9 20.9 20.1 65.5 61.8 64.1

14 Kalimantan Barat 26.8 27.4 15.5 14.8 13.9 63.6 60.6 62.9

15 Kalimantan Tengah 24.1 14.5 11.9 11.4 10.4 71.3 66.7 69.1

16 Kalimantan Selatan 18.4 14.8 8.5 8.2 7.2 66.3 62.2 64.3

17 Kalimantan Timur 20.0 20.9 12.2 12.2 11.6 71.4 67.8 70

18 Sulawesi Utara 26.1 11.5 11.2 9.0 8.9 71.8 67.1 71.3

19 Sulawesi Tengah 28.8 29.0 24.9 23.0 21.7 66.4 62.8 64.4

20 Sulawesi Selatan 22.8 18.8 15.9 15.9 14.9 66 63.6 65.3

21 Sulawesi Tenggara 26.3 28.5 24.2 22.8 21.9 66.2 62.9 64.1

22 Bali 9.8 8.3 6.9 7.3 6.9 70.1 65.7 67.5

23 Nusa Tenggara Barat 29.1 33.4 27.8 26.3 25.4 56.7 54.2 57.8

24 Nusa Tenggara Timur 36.4 45.3 30.7 28.6 27.9 60.9 60.4 60.3

25 Maluku 44.5 55.8 34.8 32.9 32.1 68.2 67.2 66.5

26 Papua 31.5 52.5 41.8 39.0 38.7 60.2 58.8 60.1

27 Maluku Utara 40.7 44.3 14.0 13.9 12.4 65.8

28 Banten 17.1 9.2 9.6 8.6 66.6

29 Bangka Belitung 10.2 11.6 10.1 9.1 65.4

30 Gorontalo 32.9 32.1 29.3 29.0 64.1

Nasional 23.4 23.6 18.2 17.4 16.7 67.7 64.3 65.8

Page 172: Official PDF , 178 pages

150

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Daftar Pustaka

Aceh Forum. 2006. “Sekilas Aceh.” www.acehforum.or.id/archive/index.php/t-129.html.

Aspinall, E. 2005. “The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh?” Policy Studies 20. East-West Center, Washington, DC.

_____ and H. Crouch. 2003. “The Aceh Peace Process: Why It Failed.” East-West Center, Washington, DC.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2004. Aceh Dalam Angka 2004. Banda Aceh, BPS.

_____. 2005. SPAN: Population Census of Nanggroe Aceh Darussalam.

_____ and InterNasional Partners. 2005. “Aceh and Nias One Year after the Tsunami: The Recovery Eff ort and Way Forward.” Jakarta.

BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) NAD-Nias and World Bank. 2005. “Rebuilding a Better Aceh and Nias: Stocktaking of the Reconstruction Eff ort.” Jakarta.

BAPPENAS, Natural ReSumber Management (NRM), and LPEM FEUI. 2000. “Penerimaan Daerah dari Bagi Hasil Sumber Daya Alam.” Jakarta.

Barron, P., S. Clark, and M. Daud. 2005. “Confl ict and Recovery in Aceh.” World Bank, Jakarta.

Brodjonegoro, B., and J. Martinez-Vazquez. 2002. “An Analysis of Indonesia’s Transfer System: Recent Performance and Future Prospects.” Conference on Can Decentralization Help Build Indonesia? Atlanta.

Burke, Adam and Afnan. 2005. “Aceh: Reconstruction in a Confl ict Environment (Views from Civil Society, Donors and NGOs).” Indonesian Social Development Paper 8. Decentralization Support Facilities, Jakarta.

CGI (Consultative Group on Indonesia). 2003. “Promoting Peaceful Development in Aceh.” Brief for the Consultative Group on Indonesia.

Cohen, M. 1999. “Captive of the Cause.” Far Eastern Economic Review (2 September): 16–18.

Depkes, M. 2005. Operational Manual of the Ministry of Health, Government of Indonesia.

GTZ (Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit) 2003. “Decentralization in Indonesia Since 1999: An Overview.” Support for Decentralization Measures, www.gtzsfdm.or.id/dec_in_ind.htm

Hedman, E.E. 2005. “State of Emergency, a Strategy of War: Internal Displacement, Forced Relocation, and Involuntary Return in Aceh.” Aceh under Martial Law: Confl ict Violence and Displacements, ed. Eva-Lotta E. Hedman. RSC Working Papers 24. University of Oxford. Hofman, B., K.K. Kadjatmiko, and B.S. Suharnoko. 2006. “Evaluating Fiscal Equalization in Indonesia.” World Bank Policy Working Paper WPS 3911.

Indonesia Relief. 2005. “Three Authorities Raise Indonesian Death Toll.” Indonesia Relief, 10/2/2005. www.indonesia-relief.org/

InterNasional Crisis Group. 2001. “Aceh: Why Military Force Won’t Bring Lasting Peace.” ICG Asia Report 17. Jakarta/Brussels.

Page 173: Official PDF , 178 pages

151

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

InterNasional Labour Organization. 2005. “Towards Decent Employment in NAD and Nias.” November.

Jakarta Post. 2002. “Ribus Demonstrate for Riau Island Provinsi.” 1 May.

Kell, T. 1995. “The Roots of the Acehnese Rebellion, 1989–1992.” Cornell Modern Indonesia Project 74. Cornell University, Ithaca.

Lewis, B., and J. Chakeri. 2004. “Development Spending in the Regions.” World Bank Jakarta.

Pemerintah Daerah Papua and World Bank. 2005. “Papua Public Expenditure Analysis: Regional Finance and Service Delivery in Indonesia’s Most Remote Region.”

Pemerintah Indonesia. Keputusan Menteri Keuangan No. 523 tahun 2000 tentang Tata Cara Penganggaran, Penyaluran Dana, Pertanggungjawaban dan Pelaporan Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

_____. 2000. Keputusan Menteri Keuangan No. 556 tahun 2000 tentang Tatacara Penyaluran Dana Alokasi Umum dan Alokasi Khusus.

_____. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 107 tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah.

_____. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

_____. 2001. Keputusan Menteri Keuangan No. 344 tahun 2001 tentang Penyaluran Dana Bagian Daerah dari Sumber Daya Alam.

_____. 2001. Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

_____. 2001. Undang-undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2001 tentang Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

_____.. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 39 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi.

_____.. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah.

_____.. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.

_____. 2002. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun Anggaran 2002.

_____. 2002. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanjan Daerah.

_____. 2002. Keputusan Menteri Keuangan No. 214 tahun 2002 tentang Penetapan Perkiraan Jumlah Dana Bagian Daerah dari Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Alam, Pertambangan Umum serta Perikanan tahun anggaran 2002.

_____. 2003. Keputusan Menteri Keuangan No. 237 tahun 2003 tentang Penetapan Perkiraan Jumlah Dana Bagian Daerah dari Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Alam tahun anggaran 2003.

_____. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Page 174: Official PDF , 178 pages

152

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

_____. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

_____. 2004. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

_____. 2004. Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

_____. 2004. Keputusan Menteri Keuangan No. 275 tahun 2004 tentang Penetapan Perkiraan Jumlah Dana Bagian Daerah dari Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Alam tahun anggaran 2004.

_____. 2005. Keputusan Menteri Keuangan No. 42 tahun 2005 tentang Penetapan Perkiraan Jumlah Dana Bagian Daerah dari Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Alam tahun anggaran 2005.

_____. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 54 tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.

_____. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.

_____. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 56 tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.

_____. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2002. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 4 tahun 2002 tentang Dana Perimbangan Antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Plummer, J. 2005. Anti-Corruption Eff orts in the Post-tsunami Reconstruction of Water and Sanitation Infrastructure and Services in Aceh, Indonesia, paper presented at the World Water Week in Stockholm, April 2005, www.siwi.org/downloads/downswswww.html

Reid, A. 1988. Southeast Asia in the Age of Commerce 1450–1680, Vol. One: The Lands below the Winds. New Haven: Yale University Press.

_____. 1993 Southeast Asia in the Age of Commerce 1450–1680, Vol. Two: Expansion and Crisis. New Haven: Yale University Press.

Republika. 2006. Wapres Tagih Nama 3000 Anggota GAM. 6 Feb. www_republika_co_id.htm

Ricklefs, M.C. 2001. A History of Modern Indonesia Since 1200. 3d ed. Basingstoke: Palgrave.

Ross, M.L. 2003. “ReSumber and Rebellion in Aceh, Indonesia.” Economics of Political Violence. A Yale World Bank Report.

Schulze, K.E. 2004. “(GAM): Anatomy of a Separatist Organization.” East-West Center, Washington, DC.

Serambi Indonesia. 2004. “500 Sekolah Terbakar di NAD Selesai tahun 2005.” 29 Nov.

_____. 2004. “Di Dayah Blang Keudah: Murid Masih Belajar di Ruang Darurat.” 3 Desember.

_____. 2006. “Tujuh Kabupaten Belum Tuntaskan APBD: Diduga akan Rawan KKN.” 5 Jun.

Sherlock, S. 2003. “Confl ict in Aceh: A Military Solution?” Current Issues Brief, Information, Analysis and Advice for the Parliament, Canberra, Australia. www.aph.gov.au/library/pubs/CIB/2002-03/03cib32.pdf.

Page 175: Official PDF , 178 pages

153

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Sidik, M. 2002. “Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal.” Seminar Setahun Implementasi Kebijaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta 2002.

Sukma, R. 2004. “Security Operation in Aceh: Goals, Consequences and Lessons.” Policy Studies 3. East-West Center Washington DC.

UNESCO. 2003. “Education Indicators.” Institute for Statistics. Paris.

U.S. Committee for Refugees. 2001. “Shadow Plays: The Crisis of Refugees and Internally Displaced Peoples in Indonesia.”

World Bank. 2002. “Decentralizing Indonesia.” World Bank Regional Public Expenditure Review Overview Report. World Bank East Asia and Pacifi c Region (EAP), Poverty Reduction and Economic Management (PREM) Unit.

World Bank. 2004. Indonesia: Averting an Infrastructure Crisis: A Framework for Policy and Action.

Page 176: Official PDF , 178 pages

154

ANALISIS PENGELUARAN PUBLIK ACEHPENGELUARAN UNTUK REKONSTRUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

Page 177: Official PDF , 178 pages
Page 178: Official PDF , 178 pages