Official PDF , 133 pages
-
Upload
duongthuan -
Category
Documents
-
view
225 -
download
4
Transcript of Official PDF , 133 pages
$- BANK DONIA I THE WORLD BANK 0 The Asia Foundation ~ CdtbrollngFiftyY«~rs ~
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Mernperbaiki Iklirn Usaha di Jawa Tirnur
Pandangan Pelaku Usaha
-BANK DUNIA I THE WORLD BANK 0 The Asia Foundation .e. C.lt&r41ingfijiyY<m >!1oo
Memperbaiki lklim Usaha di Jawa Timur
.DAFTARISI
KATA PENDAHULUAN
UCAPAN TERIMAKASIH
DAFTAR SINGKATAN
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
RINGKASAN EKSEKUTIF
I. LATAR BEI.AKANG DAN TUJUAN
II. METODOLOGI Desk Study Survey Kelompok Diskusi Terfokus Studi Kasus
III. PROFII. EKONOMI JAWA TIMUR Percumbuhan dan Lapangan Kerja Perincian Geografis Perincian Sektoral Ekspor Jawa Timur
IY. KONDISI INVESTASI DAN PERDAGANGAN ANTAR DAERAH DI JAWA TIMUR Kinerja lnvestasi di Jawa Timur Perizinan lnfrastruktur Fisik Pajak dan Rescribusi Keamanan Perburuhan
V. RANTAI NILAI KOMODITAS KayuJad Tembakau Tebu dan Gula Kopi Garam Udang Ternak Sapi Tekscil
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Rekomendasi Umum Rekomendasi Sektoral
LAMPIRANI Kondisi Koordinasi Amar Pemerimah lokal di Jawa Timur
Daftar Puscaka
3
15 16 17 19 1 ro
111
I1S
119 121 121 122 124
I2S 126 129 131 135
137 139 142 145 147 I 50 I 52
ISS I 56 I 65 172 177 184 192 198 1105
1111 1112 1113 1116
1119
1130
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
KATA PENDAHULUAN
Ketika desentralisasi di Indonesia berjalan dan pemerintab daerab mulai memikul tanggung jawab yang semaltin meningkat dalam pembangunan di daerab mereka, ditemulran banyalmya contoh-contoh positif di seluruh Indonesia dari upaya-upaya untuk meningkatkan kerjasama ekonomi antar pemerintah setempat dan melibatkan partisipasi sektor swasta di dalam pembuatan kebijakan. Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu di an tara conroh-conroh tersebur.
Laporan ini adalah hasil serangkaian kegiatan untuk menyikapi hambatan-hambatan perdagangan dan investasi serta memudahkan permulaan rencana pembangunan jangka panjang PropinsiJawa Timuryang dlseburStrategic Infrastructure and Development Reform Program (SIDRP). SIDRP didasatkan atas empat program utama di bidang infrastrulttur, pembangunan ekonomi lokal, pemberantasan kemiskinan, dan rata pemerintahan (governance). Pemerintah propinsi Jawa Timur, yang menyadati pentingnya perbaikan lingkungan usaba bagi pembangunan daerab, telab memprakarsai SID RP sebagai suaru kesempatan unruk melibarkan sektor swasta. Bank Dunia dan Ihe Asia Foundation mendukung prakarsa ini dan kami sangat senang dapat membanru pemerintah dalam proses yang penting ini. Di samping langkah awal ini, Bank Dunia saar ini sedang bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengidentifikasi proyek-proyek infrasrrukrur yang akan diberi dukungan, dan Ihe Asia Foundation secara akrif mengadvokasikan pengurangan hambatan-hambatan perdagangan dalam negeri serta birokrasi yang dihadapi oleh sektor swasta.
Masultan dati sektor swasta, mulai dati pengusaba mikro sampai dengan perusabaan besat, talt terhingga nilainya dalam memba:nru pemerintah unruk merumuskan kebijakan ekonomi yang tepat. Laporan ini mengandung sejumlah ilusrrasi dari perspektif sektor swasta mengenai hambatan-hambatan pertumbuhan yang mereka hadapi, termasuk infrastruktur apa yang menghambat perrumbuhan dan akses terhadap pasar, pe~aturan-peraruran apa yang menjadi hambaran bagi perdagangan dalam negeri, dan bagaimana merumuskan banruan pemerintab dengan cara yang lebih baik. The Asia Foundation dan Bank Dunia ber~a-sama melaltulran dialog dengan sekitat 650 pelaltu usaba di seluruh Jawa Timur untult memperoleh pandangan-pandangan tersebut. Kami percaya babwa masulran-masulran ini altan digabungkan ke dalam rencana-rencana tindakan SIDRP untuk memperbaiki iklim usaha di Jawa Timur. Rekomendasi-rekomendasi ini juga penting bagi pemerintab daerab (kotalkabupaten) di Jawa Timur unrult mengembangkan lingkungan usaba dalam rangka penciptaan lapangan kerja dan menarik invesrasi.
Pada tanggal I Juni 2004, Bank Dunia dan The Asia Foundation, bekerja sama dengan pemerintab propinsi Jawa Timur telab menyelenggataltan Forum umuk lklim lnvestasi yang Kondusif, Perdagangan dan Persiapan SIDRP Jawa Timur. Forum tersebut dibuka oleh Gubernur Imam Utomo dan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Dorodjatun Kuntjoro-Jaltti. Pemerintab-pemerintab daerab dan perusabaan lokal dati 38 kota dan kabupaten, lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta lembaga donor lainnya ikut hadir unruk membahas temuan-temuan laporan ini, menegaskan komitmen untuk bekerja sama an tar pemerintahan lokal untuk mengurangi hambatan perdagailgan dalam negeri, dan memilih waltil-waltil sektor swasta yang altan menjadi anggota kelompok-kelompok kerja di dalam SIDRP.
Bank Dunia dan tim Ihe Asia Foundation dengan rulus ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sekror swasta yang telab ikur mengambil bagian dalam pembabasan bagi waltru dan pandangan-pandangan mereka yang sangat berharga. Kami mengakui bahwa waktu" adalah menenrukan bagi usaha-usaha yang dinamis, dan kami berharap babwa sumbangan berkelanjutan mereka kepada proses SIDRP serta tempat-tempat dialog kebijaltan lainnya altan menghasilkan iklim investasi yang disempurnakan serta kemajuan daerah.
Erin Thebault Weiser, Direktur Program Ekonomi The Asia Foundation
P.S. Srinivas Koordinator Keuangan & Sektor Swasta Bank Dunia, Indonesia
5
UCAPAN TERIMA KASIH
Laporan ini disusun oleh suatu tim inti yang dipimpin oleh Bido A. Budiman (The Asia Foundation) dan Megawati Sulistyo (Bank Dunia), dan beranggotakan: Frida Rustiani, R. Alam Surya Putra, Haryunani Kumoloraras, Harry Seldadyo, Indra N. Fauzi, dan Ferry D. Latief. Dukungan produltsi dilakultan oleh Siti Aisyah Purnamasari.
Karni ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pengusaha di seluruhJawa Timuryang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk ikut mengambil bagian di dalam wawancara perorangan, diskusi kelompok terfokus serta survey iklim usaha.
Ucapan terima kasih khusus kepada Department For International Development (DFID) dan U.S Agenry for
International Development (USAID) untuk dukungan pendanaan bagi proyek ini.
Karni berterima kasih kepada rekan kami Andre Bald (Bank Dunia) untuk mereview laporan ini.
Penyunting: Erin Thebault Weiser dan Megawati Sulistyo
DISCLAIMER
Laporan ini adalah hasil tulisan dari staf Bank Dunia dan The Asia Foundation, namun, pendapat, temuan, interpretasi serta kesimpulan didalamnya adalah pandangan para pengusaha di Jawa Timur dan bukan merupakan pandangan Bank Dunia dan The Asia Foundation.
6
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
DAFTAR SINGKATAN
APEKSI Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia
APKASI Asosiasi Pemerintah Kabupaten Selurub Indonesia
APTR Asosiasi Petani Tebu Rakyat
BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Baltorwil Badan Koordinasi Wilayah
BKPM Badan Koordinasi Penanaman Modal
BPS Badan Pusat Statistik
BPDE Badan Pengelolaan Daya Elektronik
BPP Direktorat Jenderal Pembinaan Produksi Perkebunan
BPN Badan Pertanahan Nasional
BUMN Badan Usaha Milik Negara
DAU Dana Alokasi Urn urn
DLLAJ Dinas Lalu Limas dan Angkutan Jalan Raya
DPKK Dana Pengembangan Ketrampilan Tenaga Kerja
DPOD Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
DPPM Dinas Penanaman dan Perizinan Modal
FGD Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terfokus)
GDP Produk Domestik Bruto
GPP Golongan Pengusaha Pabrik
PDRB Produk Domestik Regional Bruto
HAKI Halt Atas Kekayaan lntelekrual
HO Undang-undang Gangguan
HPH Halt Pengelolaan Hutan
ITKA lzin Tenaga Kerja Asing
lUI lzin Usaha Industrial
IUT Izin Usaha Tetap
KPH Kesatuan Pemangkuan Hutan
MoU Nota Kesepahaman
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
7
DAFTAR SINGKATAN
UPT Unit Pelayanan Terpadu
PAD Pendapatan Asli Daerah
PBB Pajak atas Bumi dan Bangunan
PDRB Produk Domestik Regional Bruto
PDP Perusahaan Daerah Perkebunan
Perda Peraturan Daerah
PG Perusahaan Gula Milik Daerah
PLN Perusahaan Listrik Negara
PMA/PMDN Penanaman Modal Asing I Domestik
PTPN Perusahaan Terbatas Perkebunan Negara
P3GI Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia
SIDRP Strategic Infrastructure and Development Reform Program
[Program Infrastruktur Strategis dan Pembaharuan Pembangunan]
SIPA Surat Izin Pemakaian Air
SIUP Surat Izin Usaha Perdagangan
SKM Sigaret Kretek Mesin
SKT Sigaret Kretek Tangan
SKSHH Surat Keterangan Sah Hasil Hutan
SME Small Medium Enterprises [Usaha Kecil dan Menengah = UKM]
SOE State Owned Enterprises [Badan Usaba Milik Negara = BUMN]
SPAP Surat Perintah Alokasi Pembelian
SPM Sigaret Putih Mesin
SPT Sigaret Putih Tangan
SPP Surat Perintah Pembelian
SIP Surat Izin Pembelian
UMR Upah Minimum Regional
PPN Pajak Pertambahan Nilai
8
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
DAFTAR TABEL
Tabell.l
Tabel2.1
Tabel2.2
Tabel2.3
Tabel3.1
Tabel3.2
Tabel3.3
Tabel4.1
Tabel4.3
Tabel5.1
Tabel5.2
Tabel5.3
Tabel5.4
Tabel5.5
Tabel5.6
Tabel5.7
Tabel5.8
Tabel5.9
Tabel6.1
Indikator Pembangunan Jawa Timur
Metoda Pengumpulan Data dan Jenis serta Sumber Informasi
Responden berdasarkan Nilai Perputaran Usahal Tahun
Jumlah Tenaga Kerja Responden (N = 1 03)
Sektor Ekonomi di Masing-masing Kabupaten dan Kota menurut Koridor
Tingkat Kaitan ke Belakang dan ke Depan
Nilai Ekspor dan Impor Jawa Timur 1997-2002
Biaya untuk Memperoleh Izin (dalarn ribuan Rp)
Upah Minimum Kabupaten-Kota(UMK) di Jawa Timur,
2003 dan 2004 (Rp/bulan)
Kapasitas Industri Pengolahan Kayu dan Produk Hutan Lainnya
serta Pemanfaatannya
Luas Perkebunan dan Produksi Tembakau di Lima Daerah Produksi Terbesar
di Jawa Timur, 2000 - 2002
Ekspor dan Impor Tembakau di Indonesia, 1990- 2000
Produksi dan Nilai EksporTanarnan Kopi Indonesia, 1996-2001
Harga Ekspor Kopi
Distribusi Kopi Berdasarkan Daerah di Jawa Timur, 1998
Produksi Gararn di Indonesia
Daerah Penghasil Garam dan Produksi Gararn di Jawa Timur, 2003
Industri Gararn Beryodium di Jawa Timur
Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) di Jawa Timur
9
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Jawa Timur Gambar 2.1 Struktur FGD Gambar 3.1 Perbandingan Angka Pertumbuban Ekonomi, 1998-2002 Gambar 3.2 Sumbangan terhadap PDRB menurut Sektor Gambar 3.3 Pertumbuban Ekonomi menurut Sektor Gambar 3.4 Distribusi Sektoral PDRB Jawa Timur, 2002 Gam bar 3.5 PDRB menurut Sektor Usaha di Kota dan Kabupaten di Jawa Timur Gambar 3.6 Sektor Ekonomi Di Jawa Timur dengan Keterkaitan
ke Depan dan ke Belakang yang Relatif Kuat Gambar 3.7 Nilai Eksport Komoditas Utama: non-Migas Jawa Timur Gambar 3.8 Nilai Ekspor Jawa Timur ke 5 Negara Mitra Dagang Utama, 1997-2001 Gam bar 4.1 Persetujuan Investasi Asing di Jawa Timur, 1997-2002 Gambar 4.2 Persetujuan Investasi Dalam Negeri di Jawa Timur (1997- 2002) Gambar 4.3 Pelaku Usaha Yang Seruju bahwa Iklim Usaha di Kota/ Kabupaten
Mereka Mendukung (o/o) Gambar 4.4 Pelaku Usaha Yang Seruju bahwa Pemerintah Lokal mereka memudahkan
perizirian usaha (o/o) Gambar 4.5 Persepsi Pelaku Usaha mengenai Infrastruktur Qalan, Transportasi, Listrik, Air)
Gambar 4.6 Persepsi-persepsi para Pelaku Usaha tentang Pungutan Gambar 4.7 Indeks Kondusifitas Keamanan . Gam bar 4.8 Kondisi Pasar Tenaga Kerja, 2000 Garnbar 5.1 Perbandingan Nilai Keluaran Industri dan Nilai Ekspor
(Kayu dan Barang Produk Kehuranan Lainnya) Gambar 5.2 Rantai Distribusi Usaha Perkayuan di Jawa Timur Garnbar 5.3 Proses Validasi SKSHH Gambar 5.4 Produksi Tembakau Gambar 5.5 Rantai Produksi Gula Gambar 5.6 Rantai Produksi Kopi
Gambar 5.7 Proses pemetikan sarnpai dengan sortiran biji kopi di Indonesia Gambar 5.8 Produksi Garam Garnbar 5.9 Rantai Produksi Gararn. Garnbar 5.10 Ekspor Hasil Perikanan Jawa Timur 1999-2002 Garnbar 5.11 Rantai Produksi Udang Gambar 5.12 Perubahan da!an', Populasi Ternak Sapi di Jawa Timur Gambar 5.13 Rantai Produksi Ternak Sapi Gambar 5.14 Rata-rata Harga Eceran Daging Sapi di Daerah-Daerah
Pedesaan Jawa Timur (Rp/kg) Gam bar 5.15 Rantai Produksi Tekstil
10
117 123 126 127 127 128 129 134
136 136 139 140 141
143
145 149 I 51 148 I 57
I 58 160 167 173 I80 181 187 188 192 193 199 199 1102
1 1o6
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
RINGKASAN EKSEKUTIF
Apakah pemerintah daerah memahami dengan baik lingkungan usaha di daerah kami? Ini
merupakan pertanyaan yang berulang kali ditanyakan oleh sektor swasta, tidak saja di Jawa Timur akan tetapi juga di seluruh Indonesia, terutama dalam tahun-tahun terakbir ketika oronomi daerah berjalan.
Sektor swasta adalah mesin pertumbuhan ekonomi, dan sesuai dengan itu merupakan shareholder kunci
serta stakeholder dalam lingkungan usaha. Jawa Timur beruntung telah memiliki pertumbuhan yang
man tap yang dimungkinkan dihasilkan pertumbuhan oleh sektor swastanya yang sangat dinamis. Akan tetapi, supaya dapat memberikan hasil-hasil optimal dalam pertumbuhan dan penciptaan
lapangan kerja, banyak lagi yang perlu dilakukan untuk mendukung lingkungan yang ramah usaha.
Dukungan tersebut, seperti ditemukan oleh kajian lapangan kami di daerah yang berbeda-beda di
JawaTimur.
Persaingan yang semakin meningkat tidak dapat dihindari; tantangannya ialah untuk memiliki daya saing. Daya saing di dalam lingkungan usaha memiliki banyak faktor kunci dari sumber daya alam,
infrastr~tur, peraturan pemerintah serta akses terhadap modal dan keamanan. Dalam tulisan ini kami memusatkan perhatian pada kondisi-kondisi infrastruktur (jalan raya, listrik, air) dan
peraturan-peraturan pemerintah (terutama pemerintah daerah), serta faktor-fakror lain - seperti
akses terhadap pendanaan - juga tercatat. Jawa Timur, dengan jumlah penduduk sekitar 35 jura orang, tak pelak lagi memiliki platform untuk menjadi suatu daerah dengan daya saing besar. Sekror
pertanian yang berkembang dengan baik, sumber-sumber daya alam yang berlimpah seperti gas
bumi cair di Selat Madura, dan akses terhadap pelabuhan !aut (Tanjung Perak) merupakan salah satu keunggulan komparatifnya. Di samping itu, propinsi ini juga merupakan lokasi sejumlah
industri besar. Namun demikian Jawa Timur tidak kebal dalam menghadapi tantangan-tantangan di dalam lingkungan usaha- baik dari faktor internal maupun eksternal.
Titik pandang dari sektor swasta merupakan substansi inti laporan ini. Tim kami telah melakukan
konsultasi dengan sekitar 650 pengusaha Iimas daerah di propinsi Jawa Timur mulai dari petani
dan nelayan sampai usaha kecil, menengah dan besar. Diskusi kelompok terfokus (FGD) dan wawancara mendalam dilakukan selama beberapa bulan di berbagai lokasi di seluruh daerah; dan
dilengkapi dengan penelitian dan survei. Kami menggunakan pendekatan sekroral untuk memberi ilustrasi praktis kepada masalah-masalah yang diangkat, dan analisis rantai.perdagangan bermanfaat
untuk menguraikan berbagai perspektif dari pelaku usaha hulu sampai hilir.
Tanda-tanda adanya hambatan infrastruktur telah muncul di berbagai bidang. Jalan-jalan sempityang mulai mengarah pada kemacetan, gangguan listrik dan kekurangan air merupakan keluhan-keluhan
utama. Pada saat ini upaya-upaya yang ada masih mampu berjalan akan tetapi pada pertumbuhan
II
ke depan akan mehghadapi risiko akibat kendala-kendala infrastruktur. Air, misalnya, sering
kali mengalami kekurangan pasokan bagi usaha-usaha pertanian eli Madiun, Situbondo, Ngawi,
Ponorogo, Madura, dan air yang tercemar telah mempunyai dampak yang merugikan terhadap pembudidayaan perikanan, khususnya eli Tuban. Bahkan ibu kota Surabaya mempunyai masalah
dengan air bersih.
Banyaknya peraturan daerah yang perlu ditinjau kembali. Dalam hal peraturan daerah, ada dua jenis yang menimbulkan keberatan dari sektor swasta. Pertama ialah peraturan-peraturan yang
membebankan pajak dan pungutan tambahan kepada pelaku usaha. Kedua ialah peraturan
peraturan yang menciptakan persaingan tidak adil baik eli tengah sektor swasta, maupun antara pemerintah daerah dan sektor swasta. Kasus untuk jenis kedua diilustrasikan oleh para petani kopi
eli Jember eli mana pemerintah daerah menelirikan suatu PDP (Perusaliaan Daerah Perkebunan) dan menerbitkan Surat Edaran kepada semua unit kerja eli lingkungan pemerintah daerah untuk membeli kopi hanya dari PDP tersebur.
Seringkali b'tmtuan pemerintah dengan maksud baik tidak mencapai hasil-hasil yang diinginkan akibat kurangnya konsultasi dengan para pihak-pihak yang berkepentingan. Keadaan ini berulang
kali eliilustrasikan eli bidang pertanian pada saat pemerintah memberi bantuan kepada para petani
mulai dari benih sampai dengan peralatan, yang pada akhirnya tidak digunakan oleh para penerima oleh karena bantuan terse bur tidak memenuhi kebutuhan mereka akibat kurangnya konsultasi, dan
kadang-kadang karena nepotisme dalam pengadaannya. Contoh lainnya yang lebih luas misalnya
ketika sektor swasta telah memberikan pandangan~pandangan mereka tentang salah satu usulan SIDRP (Strategic Inftastructure and Development Reform Program) untuk pembangunan terminal
pertanian. Para perusahaan -mengakui bahwa ini merupakan prakarsa yang bagus, namun apabila berlokasi eli Sidoarjo seperti elirencanakan, maka akan terlalu jauh dari para produsen yang notabene merupakan pihak pertama yang ingin elibantu.
Masalah-masalah pungutan ilegal dan keamanan cukup jelas, namun tidak demikian halnya dengan pemecahannya. Sejak tahun 1998, suatu peternakan udang eli Tuban telah kehilangan sampai dengan 50% dari produksinya oleh karena penjarahan, dan para petani kopi terpaksa memanen
tanaman mereka lebih awal- membiarkan mutu dan harga yang lebih rendah- untuk menghindari keadaan seperti itu. Tentang pungutan ilegal berbagai contoh diberikan oleh sektor swasta pada
setiap diskusi mengenai jenis, metoda, jumlah dan pihak penerima pembayaran-pembayaran tersebut. Pelaku usaha sepakat dalam merekomendasikan penegakan hukum, namun mereka
· pesimis bahwa ini metupakan pemecahan realistis, mengingat dalam banyak hal masalahnya berada di pihak penguasa.
Memperbaiki fongsi koordinasi antar pemerintah daerah adalah penting, terutama untuk meningkatkan perdagangan dalam negeri. Akses kepada pasar merupakan kebutuhan dasar bagi pelaku usaha baik
skala besar maupun kecil. · Pada lamp iran laporan ini kami telah menyusun informasi tentang forum-
12
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
forum pemerinrah daerah yang ada di Jawa Timur. Ada berbagai forum kelompok dan beberapa kooperasi bilateral, misalnya antara Surabaya dan Sidoarjo. Forum-forum ini hendaknya didorong
untuk memperluas isu-isu di luar masalah sosial dan politik, tetapi juga mencakup investasi dan
perdagangan. Belum lam~ ini Jawa Timur telah memprakarsai suatu forum tentang UPT (Unit
Pelayanan Terpadu) untuk berbagi praktek-praktek terbaik dalarn perizinan usaha.
Forum untuk Iklim Investasi dan Perdagangan jawa Timur yang diadakan pada tanggall ]uni 2004 hendaknya digunakan sebagai titik awal ke arab dialog publik-swasta yang lebih baik dan lebih teratur untuk memecahkan isu-isu tersebut. Laporan ini mengangkat beberapa isu awal, dan karni berharap
bahwa laporan ini dapat menyajikan pemaharnan yang bermanfuat, khususnya bagi pemerintah propinsi dan pemerinrah daerah di Jawa Timur dalarn upaya mereka unrukmeningkatkan lingkungan
usaha di daerah mereka.
13
1 I LATAR BELAKANG DAN TUJUAN
LATAR BELAKANG DAN TUJUAN
Laporan ini menyajikan hasil penelitian yang diadakan oleh Bank Dunia dan The Asia Foundation
ugtuk mengidentilikasikan hambatan-hambatan terhadap perdagangan dan investasi di Jawa Timur.
Kegiatan ini diprakarsai oleh Bank Dunia dan The Asia Foundation, dengan beberapa tujuan pen
ring: (i) untuk mendukung partisipasi sektor swasta di dalam proses perencanaan publik berkai
tan dengan bantuan potensial Bank Dunia bagi proyek-proyek infrastruktur; (ii) untuk memberi
kesempatan kepada sektor swasta untuk mengurarakan keluhan-keluhan mereka kepada pemerin
tah daerah dan membuat rekomendasi-rekomendasi untuk memperbaiki iklim investasi; dan (iii)
untuk mendorong peningkatan koordinasi antara pemerintah daerah dalam memicu perdagangan
antar d~erah. Peranan Tim Asia Foundation I Bank Dunia ialah mengidentilikasikan hambatan
hambatan terhadap perdagangan dan investasi dan untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan untuk
memperkenalkan suatu proses berkelanjutan dan dapat diulangi tentang bagaimana pemerintah
daerah dapat bekerja sama dengan sektor swasta dalam menciptakan iklim usaha yang kondusi£
Kegiatan ini dilaksanakan dengan menyesuaikan beberapa aktifitas kegiatan Strategic Infrastruture and Development Reform Program (SIDRP) Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Proyek SIDRP mem
punyai dua tahap, yaitu: pertama ialah pembentukan suatu visi strategis, yang secara konkrit akan
diikuti dengan rencana-rencana ·pembangunan regional yang dikoordinasikan oleh Pemerintah
Propinsi Jawa Timur dan didukung oleh ke-38 pemerintah daerah di propinsi tersebur. Kedua ialah
proyek-proyek investasi oleh lembaga-lembaga donor, seperti Bank Dunia maupun donor-donor
lainnya. Penelitian yang disajikan di sini bermuara pada tahap persiapan SIDRP: menetapkan visi
strategis dan rencana-rencana pembangunan regional. Adalah sangat penting bahwa suara sektor
swasta, sebagai stakeholder dalam proyek ini, diwakili di dalam kelompok-kelompok kerja diketuai
oleh pemerintah di bidang pembangunan perekonomian dan infrastruktur daerah.
Di samping itu hambatan-hambatan terhadap perdagangan antar daerah telah meningkat sejak di
perkenalkannya otonomi daerah sebagai akibat peraturan-peraturan daerah baru dengan maksud
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Dalam laporan yang dipusatkan pada Jawa Timur
ini, hambatan-hambatan terhadap perdagangan dalam negeri ditemukan merupakan hambatan be
sar terhadap pertumbuhan usaha. Tim Asia Foundation dad Bank Dunia mengangkat isu tersebut
melalui laporan ini dan di dalam suatu Forum Jawa Timur yang diselenggarakan pada bulan Juni
2004 sebagai bagian proyek ini. Forum tersebut telah menghadirkan 400 pejabat pemerintah (kota,
kabupaten dan propinsi) serta pelaku usaha. Hasil forum tersedia dalam bahasa Indonesia'. Ham
batan-hambatan terhadap perdagangan dan investasi yang disoroti dalam temuan-temuan peneli
tian juga dibahas dalam talk show di radio dan dalam lokakarya-lokakarya tingkat kabupaten yang
disponsori oleh The Asia Foundation.
Fomm jawa nmur untuk Iklim !nvmasi dan Pmlagangan yang Kondt~.sif dan Pmyiapan SJDRP, Bank Dunia dan The Asia Foundation
16
Memperbaiki lklim Usaha di ]awa Timur
Gambar 1. PetaJawa Timur
• P. Bawean
.._ __ ./ LautJawa
SAMUDRA INDONESIA
Koridor-koridor perdagangan
17
PETA JAWA TIMUR INDONESIA
KEP. KANGEAN ... •
Rata-rata tahun pendidikan sekolah 2002
Penduduk tanpa akses terhadap sarana keseharan % 2002
Penduduk tanpa akses terhadap air bersih % 2002
Penduduk tanpa akses terhadap sanitasi %2002
Rumah tangga dengan lantai tanah 2002 (%)
Balita kurang gizi. (%)
Penduduk 2003
Angka perrumbuhan penduduk 2000 -2003
Latar Belakang dan Tujuan
Tabell.I Indikator-Indikator Pembanguan Jawa Timur
Jawa Timur
226,957
6,443
3.4
2.8
6.5
22.2
36.7
31.5
Indonesia
1,539,579
7,262
4.07
2.6
7.1
23.1
44.8
25.0
Peringkat (30 Prov)
2
14
21
13
3
25
9
4
18
t
t t
t
t
t
t
t
Jawa Timur dibandingkan
195,762 (2001)
5,593 (2001)
3.5 (2001)
2.8 (2001)
4,989 (2002)
5.9 (1999)
17.1 (1999)
43.0 (1999)
31.9 (1999)
Sumber: Statistik Indonesia (BPS 2003). dan Laporan Pembangunan Manusia lndonesiat 2004 (BPS, BAPPENAS, UNDP 2004)
18
Versus Periode Terakhir
t 16 13
t 15 11
t -2 5
t -3 9
t 6 17
10 10
t 30 7
t -15 -14
-1 n/a
12
2 I METODOLOGI Desk Study
Survey
Oiskusi Kelompok Terfokus
Studi Kasus
METODOLOGI
Kegiatan pengumpulan data dilakukan mulai bulan Oktober 2003 sampai dengan bulan
Maret 2004 dan mencakup semua kota dan kabupaten di Jawa Timur. Pilihan metodologi
didasarkan atas jenis-jenis informasi dan data yang dicari serta sumber-sumber informasi
yang tersedia. Jenis-jenis informasi yang dicari serta metoda-metoda yang digunakan dapat
dilihat pada Tabel berikut ini.
Tabel2.1 Metoda-Metoda Pengumpulao Data dao Jenis-Jenis serta Sumber-Sumber Informasi
Informasi umum tenrang kondisi
kondisi usaha di daerah dan me-
penelitian, statistik-statistik, kliping
surat kabar, dan Internet
Data primer yakni responden meru
pakan pelaku usaha yang dipilih secara
Survey (Total responden = 103
orang)
kanisme koordinasi antar pemerintah acak/random serta perwakilan aparat
daerah pemerintah dari forum-forum koordi-
Informasi tentang hambatan-ham
batan perdagangan dan investasi di sektor-sektor
Studi Kasus
nasi ada
Pelaku usaha sebagai key informan, yang Diskus Kelompok
sengaja dipilih berdasarkan sektor yang terfokus (FGD) (Total = 7 FGD
sarna = 527
lnforman kunci dari beberapa unsur Wawancara mendalarn (Total
baik pelaku usaha dan pelaku lainnya informan kunci = 59 orang)
yang mendukung kegiatan usaha sepeni
pengelola kawasan industri atau kope-
rasi yang sengaja dipilih berdasarkan
inlormasi kbusus dibutubkan
20
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Desk Study
Kegiatan utama dalam metode ini adalah mengumpulkan semua data sekunder yang terkait
dengan ekonomi di Jawa Timur. Sumber data sekunder yang dihimpun dalam kegiatan ini yakni :
• Hasil-hasil penelitian, makalah-makalah seminar baik yang ditulis oleh LSM, lembaga pene
litian maupun donor-donor asing mengenai Jawa Timur
• Data-data resmi dari pemerintah baik pusat seperti BPS maupun daerah seperti Kota,
Kabupaten maupun Provinsi Dalam angka, PDRB masing-masing Kota dan Kabupaten,
peraturan-perturan pemerintah daerah.
• Informasi dari media massa baik surat kabar, a tau media elektronik termasuk internet.
Data-data sekunder tersebut terutama digunakan untuk memetakan kondisi-kondisi ekonomi di
Jawa Timur pada tingkat makro.
Survey
Survey dilakukan selama bulan Oktober 2003 sampai dengan Januari 2004. Informasi utama yang
dikumpulkan melalui kegiatan survey ini adalah pertama mengenai persepsi pelaku usaha terhadap
beberapa aspek yakni perizinan, infrastruktur, pungutan dan aspek keamanan usaha. Kedua yakni
informasi mengenai efektivitas koordinasi yang terjadi antar pemerintah Kota dan Kabupaten dan
juga dengan pemerintah provinsi di Jawa Timur.
Informasi mengenai persepsi pelaku usaha dijaring melalui daftar pertanyaan (kuesioner), semen
tara mengenai efektivitas koordinasi dilakukan melalui wawancara berdasarkan daftar pertanyaan
terbuka yang telah disiapkan sebelumnya.
Adapun responden dari survey ini adalah 103 responden dari unsur pelaku usaha yang berasal dari
11 sektor. Adapun karakteristik responden adalah sebagai berikut :
2Sektor-scktor tcrscbm adalah agrobisnis, Jasa non pcrdagangan, industri kayu, kcmjinan, logam, indw;tri mabnan dan indw;tri dalam katagori lain, pcrdaganga.n,
pcrtambang:m, industri tcksril dan jasa tr:msporrasi.
21
Merodologi
Dari Tabel 2.2 di atas maka jelas babwa mayoritas
responden (49.9%) dalam studi ini memiliki omset
kurang dari 500 juta rupiab. Sementara itu, melihat
jumlab tenaga kerja, survey ini juga menunjukkan
babwa mayoritas responden (79.6%) mempunyai
kurang dari 100 orang tenaga kerja. Dengan demiki
an, melihat omset usaba serta jumlab tenaga kerja
mereka, mayoritas responden dalam survey ini berada
dalam kategori pengusaba kecil dan menengab.
Sementara itu, informasi mengenai efektivitas koor
dinasi an tar pemerintab di Jawa Timur diperoleh dari
beberapa sumber yang mewakili beberapa forum
koordinasi. Forum-forum tersebut dapat dibedakan
dalam dua kelompok yakni pertama forum yang
berada di bawab koordinasi pemerintab propinsi dan
Tabel 2.2 Responden menurut Nilai Omset Usahal Tahun
Omset Usaha (Rp) Persentase
Lebih dari I milyar 32 o/o
500 juta- I milyar 14,6 o/o
I 00 juta- 500 juta 37,2 o/o
Kurang dari I 00 juta 12,6 o/o
Total 100%
Tabel 2.3 Jumlah Karyawan Respond en
Jumlah Karyawan Persentase
Lebih dari 100 orang 20,4 o/o
20-99 orang 44,6 o/o
5- 19 orang 35 o/o
Total I 00%
kedua adalab forum yang merupakan prakarsa pemerintab Kota dan Kabupaten di Jatim. Fo~um kategori pertama ada 4 yakni Badan Koordinasi Wilayab (Bakorwil), Dinas Perindustrian dan
Perdagangan, Biro Kerjasama dan Hukum serta Badan Pengelolaan Dana dan Elektronik (BPDE).
Sementara forum kategori kedua diantaranya APEKSI dan forum-forum bilateral.
Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussions)
Diskusi kelompok terfokus (FGD) dilakukan terhadap pelaku usaba yang ada di Jawa Timur. Peser
ta FGD seluruhnya berjumlab 527 pelaku usaba baik mikro sampai menengab yang terbagi dalam
7 kali FGD. Pada setiap kali FGD peserta yang hadir adalab merupakan pelaku usaba dari be
berapa wilayab di sekitar tempat FGD dilaksanakan. Seluruh peserta merupakan pelaku usaba dari
beberapa sekror usaba yang cukup menonjol pada wilayab tersebut. Para peserta kemudian dibagi
dalam kelompok-kelompok berdasarkan sektor. Sehingga dapat secara mendalam mendiskusikan
persoalan dalam pengembangan usaba mereka pada masing-masing sektor.
Diskusi pada setiap sektor dimulai dengan menguraikan rantai tata niaga pada komoditas tertentu.
Kemudian dilanjutkan dengan merinci persoalan yang dihadapi oleh pelaku usaba pada setiap ran
tai bisnis. Berdasarkan rincian masalab tersebut kemudian secara partisipatif dibuat kesepakatan
mengenai prioritas masalab yang sangat mendesak untuk diatasi. Diskusi umumnya ditutup dengan
mencoba menjaring gagasan dari para pelaku usaba peserta diskusi mengenai solusi-solusi terhadap
masalab-masalab terutama yang menjadi prioritas utama.
22
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Ti-mur
Gambar 2.1 Struktur-struktur Diskusi FGD
Penjelasan Umum Maksud dan Tujuan FGD
Problem pacta Setiap Rantai pacta Rantai Bisnis
• .
-Usulan Solusi (Rekomendasi)
Kegiatan pengumpulan data melalui metode focus group discussion ini dilakukan sebanyak 7 kali di
Jawa Timur. Tempat FGD ditentukan berdasarkan (a) sebaran wilayab (b) jarak tempub. Jangkauan
area asal peserta per FGD dibatasi paling banyak 5 kota!kabupaten dan jarak tempub asal peserta
ke tempat FGD maksimal 3 Jam. Peserta diskusi yang hadir merupakan pelaku usaba dari wilayab
sekitar pelaksanaan diskusi tersebut. Adapun 7 titik yang dimaksud adalab sebagai berikut :
• FGD 1 mencakup Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten dan Kota Pasuruan , dan Kabupaten
dan Kota Mojokerto3;
• FGD 2 mencakup Kabupaten dan Kota Kediri, Kabupaten Tulung Agung, Kabupaten
Nganjuk, dan Kabupaten Jombang; • FGD 3 mencakup Kabupaten dan Kotamadaya Malang, Kabupaten dan Kota Blitar, dan
Kota Baru;
• FGD 4 mencakup Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Bangkalan, dan
Kabupaten Sumenep;
• FGD 5 mencakup Kota Surabaya, Kabupaten Gresik dan Kabupaten Lamongan;
• FGD 6 mencakup Kabupaten ]ember, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Situbondo, Kabu
paten Bondowoso, dan Kabupaten Banyuwangi;
• FGD 7 mencakup Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Ngawi
dan Kabupaten Magetan;
3Kom merujuk pada wilayah perkotaan dan Kabupaten merujuk pada wilayah pedesaan
23
Metodologi
Studi Kasus
Pengumpulan informasi melalui indepth interview didasarkan atas pertimbangan bahwa masih terdapat "beberapa informasi yang sulit untuk digali melalui kegiatan survey, desk study maupun focus
group discussion. Informasi yang belum tergali melalui metode sebelumnya tenitama menyangkut
informasi yang sangat spesifik pada setiap sektor serta yang sifatnya relatif sensitif khususnya bagi informan.
lndepth interview dilakukan terhadap sek:itar 6 sampai 10 orang informan pada setiap indepth
interview. Total jumlah key infonnan pada kegiatan ini adalah 59 orang. Adapun indepth interview
dilakukan di daerah sebagai berikut:
• Wawancara mendalam 1 mencakup Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, dan Kabu-paten Pasuruan
• Wawancara mendalam 2 mencakup Kabupaten Pacitan; • Wawancara mendalam 3 mencakup Kabupaten Trenggalek;
• Wawancara mendalam 4 mencakup Kabupaten Tuban; • Wawancara mendalam 5 mencakup Kabupaten Bojonegoro;
Pengamatan yang lebih mendalam juga dilakukan dengan secara langsung peneliti mengikuti jalur pengiriman barang. Upaya mengikuti jalur pengiriman barang ini terutama di lakukan untuk
mendapatkan gambaran secara nyata mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pelaku
usaha dalam jalur perdagangan ini. Adapun jalur yang diikuti yakni Malang menuju Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya yang mengangkut kayu.
24
3 I PROFIL EKONOMI JAWA TIMUR Pertumbuhan & Lapangan Kerja
Perincian Geogra
Perincian Sektoral
Ekspor Jatim
PROFIL EKONOMI JAWA TIMUR
Pertumbuhan dan Lapangan Kerja
Jawa Timur merupakan pusat kunci pertumbuhan di kawasan Timur Indonesia, karena ia
memenuhi peranan sebagai pintu gerbang untuk perdagangan antara kawasan barat dan ka
wasan timur Indonesia. Dengan penduduk berjumlah sekitar 35 jura (BPS, 2003), propinsi Jawa Timur merupakan penyumbang besar kepada PDB nasional, dengan 196,5 trilyun ru
piah (harga-harga sekarang untuk tahun 2001) per tahun, atau lebih dari 13% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Angka pertumbuhan ekonomi Jawa Timur sangat mirip dengan angka keseluruhan nasional. Pada tahun 1998, dimana dampak krisis mencapai puncaknya, pertumbuhan ekonomi indo
nesia minus, demikian pula Jatim. Bahkan pada saat itu kondisi pertumbuhan ekonomi di Jatim lebih buruk. Tahun 1999 dan seterusnya gerak pertumbuhan mengalami kenaikan dan
sejak tahun 2000 cenderung stabil walaupun tidak terlalu tinggi.
Grafik 3.1 Pertumbuhan EkonomiJawa TmlurTabun 1998-2002
10,---------------------------------__..,_ Nasional
5r-------~==~~~~====~~==~~----0+-----~7~~-.-----.-----.-----.
1998 f999 2000
-5 +----//--H---------10+---.hr----------------------------
-15 +--;;'It-------------•
---..- Jawa Timur
2001 2002
-20~---------------------------------
Sumber: CBS, 2002
Melihat kontribusi persekror terhadap PRDB Jawa Timur, dapat dilihat bahwa pangsa sektor pertanian telah menurun selama lima tahun terakhir, sementara pangsa sekror industri meningkat dengan mantap. Sektor jasa juga menunjukkan kenaikan, dan merupakan pe
nyumbang terbesar terhadap PRDB.
26
c "' r:n c "' ..c E " t/1
~ 2
c "' ..c " ..c E " t: ., 0..
60
50
40
30
20
10
0
1983
15
10
5
0
-5
-10
-15
-20
-25
1983
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gamhar 3.2 Sumbangan terhadap PRDB menurut Sektor
Jasa
---+----- lndustri
-- Pertanian
_.._ -----.._ ..........__/ -
_.- __./
1988 1993 1998 2003
Gambar 3.3 Pertumbuhan Ekonomi menurut Sektor
Jasa
---------- lndustri
-- Pertanian
1988 1993 1998 2003
Sumber: BPS, berbagai edisi
Sektor Jasa, yang mengelompokkan hotel, restoran, niaga, transportasi dan komunikasi, memberi
peranan yang semakin penting kepada Jawa Timur di kawasan timur Indonesia. Tidak kurang dari
lima hotel berbintang lima terdapat di sini, di samping sejumlah besar hotel berbintang empat dan
berbintang tiga, yang semuanya memberi sumbangan kepada nilai tambah sektor ini.
27
Profil Ekonomi Jawa Timur
Perdagangan, bersama-sama dengan transportasi dan komunikasi, juga mempunyai peranan yang
sangat penting dalam ekonomi Jawa Timur. Sekitar 9% dari total nilai ekspor Indonesia dilakukan melalui pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya (Panggabean, dkk., 2003). Demikian pula, Bandara
Juanda tidak saja melayani penerbangan dalam negeri ke kawasan barat dan kawasan timur Indonesia, tetapi juga menfasilitasi paling sedikit 35 penerbangan internasional setiap minggu. Bandara
tersebut juga sedang mengalami perluasan besar.
Ketiga sektor tersebut di atas menunjultkan asimetri di dalam jumlah tenaga kerja yang dipeker
jakannya. Pada tahun 1999, dari seluruh angkatan kerja Jawa Timur sebesar 17.554.632, 46,18
persen bekerja di bidang pertanian, 22,32% di bidang industri, 12,70% di bidang jasa dan 8,80%
di bidang perdagangan4•
Gambar 3.4 Distribusi Sektoral PRDB Jawa Timur, 2002
6%
• Pertanian
• Transpotasi & komunikasi
• Listrik, gas dan air bersih
• lndustri Pengolahan
- Jasa- jasa -
- Perdagangan, hotel dan restoran
\\\' Konstruksi
R1 Pertambangan & penggalian
D Keuangan, persewaan & jasa perhubungan
9%
Sumber: Data PDRB dio!ah, BPS, Jawa Timur, 2002
Jika kita melihat perbandingan pada Gambar 3.4 diatas, ada dua aspek yang jelas di dalam pola sek
toral. Pertama, ada sektor yang memberi sumbangan rendah terhadap nilai tambah kepada PRDB akan tetapi mempekerjakan angkatan kerja yang besar, yaitu: pertanian. · Berlawanan dengan itu ada sektor-sektor lain yang memberi sumbangan nilai tambah relatif tinggi namun mempekerjakan jumlah angkatan kerja relatif rendah, yaitu: sektor-sektor industri dan jasa.
4hctp:l/cnglish.d-infokom-jatim.go.idleastjava.asp, di download pada unggall Desember 2003.
28
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
•
Perincian Geografis
Dalam arti spasial, juga ada ketidakimbangan dalam distribusi ekonomi. Lebih dari 20% ekonomi
Jawa Timur terpusat di Surabaya, dan jika kita memperluas ini dengan mencakup daerah pinggi
ran kota Surabaya, atau yang disebut daerah "Gerbangkertasusila" (Gresik, Bangkalan, Mojokerto,
Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan), hampir 40 persen dari ekonomi propinsi tersebut terpusat
dalam daerah ini.
Gambar 3.5 PRDB menurut Sektor Usaha di Kota dan Kabupaten di Jawa Timur
Kota Blitar • Kota Mojokerto • Kota Pasuruan • Pacitan • Trenggalek • Kota Madiun • Pamekasan • Kota Probolinggo • Madiun • Magetan -Bondowoso -Bangkalan -Sam pang -Ngawi -Ponorogo -Situ bon do -Nganjuk -Blitar -Sumenep -Bojonegoro -Lumajang -Lamongan -Jombang -Mojokerto -Probolinggo
Tulungagung
Kediri
Tuban
Banyuwangi
Jember
Kota Malang
Malang <= Pasuruan ~ c. Gresik => .c Sidoa~o ., ~
] Kota Kediri 0 Kota Surabaya ~
0 2000000 4000000 6000000 8000000 10000000 12000000 14000000 milyarRp
Sumber: Jawa 1imur BPS
29
Profit Ekonomi Jawa Timur
Dalam arti sektoral-spasial, ekonomi Jawa Timur dapat digolongkan ke dalam empat koridor, masing-masing dengan ciri-ciri yang berbeda. Ini ditunjukkan pada peta di bab pertama. Koridor pertama mencakup daerab-daerab Blitar, Kota Blitar, Gresik, Malang, Kota Malang, Mojokerto, Kota
Mojokerto, Pasuruan, Kota Pasuruan, Sidoarjo, dan Kota Surabaya. Koridor kedua mencakup
Jombang, Kediri, Kota Kediri, Madiun, Kota Madiun, Magetan, Nganjuk, Pacitan, Trenggalek, Ponorogo, dan Tulungagung. Koridor ketiga terdiri dari Banyuwangi, Bondowoso, Lumajang,
Jember, Probolinggo, Kota Probolinggo, dan Sirubondo. Koridor keempat termasuk Bangkalan,
Bojonegoro, Lamongan, Ngawi, Pamekasan, Sampang, Sumenep, dan Tuban. Suatu analisis yang menggunakan metoda LQ (location quotient) yang dilakukan oleh tim SIDRP menunjukkan babwa
masing-masing koridor mempunyai sektor-sektor ekonomi dinamis yang berbeda-beda.
Tabel3.1 Sektor-sektor ekonomi di masing-masing Kabupaten dan Kota menurut Koridor
KABUPATEN/KOTA A B c D E F G H I J K L M N 0 p u R s T u v w X y
fifclri'd'iif''i~· ,g~· . ,: ll / . c: 9'•:: ·, ·> Iii<· ~ ' . J:~.i m.i•l f\~: {; : :f
<· .··• ;:~-~o"V'o_;t!,_ ·- ~;~,;;. .. ct
'·"' ( ..
1. Blitar + + + + + + +
2. Blitar IKota} + + + + + +. + + + +
3. Gresik + + + + + + + +
4. Malang + + + + + + +. + + + +
5. Malang (Kota} + + + + +. + + +
6. Mojokerto + + + + + + + + +
7. Mojokerto IKota} + + + +. + + +
8. Pasuruan + + + + + + + + +
9. Pasuruan IKota} + + + + + + + + +
10. Sidoarjo + + + + + + + + +
11. Surabaya IKota} + + + + + + + + +. + + +
~~~~l!'@:ij•> I'! . . ··:. :,., .
1. Jombang + + + + + + + + +
2. Kediri + + + + + + + + +
3. Kediri IKota} +
4. Madiun + + + + + +
5. Madiun IKota} + + + +. + + + +
6. Magetan + + + + + +
7. Nganjuk + + + + + + +
8. Pacitan + + + + + + +
9. Trenggalek + + + + + + +
1 0. Ponorogo + + + + + +
11. Tulungagung + + + + + +
30
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
A Tanaman Pangan f Minyak dan Gas K Pengolahan Kayu p Mesin-mesin u Hotei-Restoran Bumi
B Tanaman Perkebunan G Non Minyak dan Gas
L Kertas Q Jndustri lainnya v Transportasi Bumi
c Ternak H Mineral M Kimia R listrik, Gas dan Air w Komunikasi
D Produk-produk Pengolahan Makanan N Semen s Konstruksi X Jasa Keuangan kehutanan
E Perikanan J Tekstil 0 Logam T Niaga y Jasa-jasa lain
Sumber: SIDRP
Perincian Sektoral
Sektor Pertanian
Pertumbuhan maupun sumbangan sektor pertanian dalam PDRB masih rendah. Namun demikian,
Jawa Timur tetap merupakan satu salah lumbung pangan utama Indonesia. Hal ini dimungkinkan
oleh karena kebanyakan tanah pertanian di propinsi ini digunakan untuk tanaman pangan,
khususnya padi.
31
Profil Ekonomi Jawa Timur
Di samping tanaman pangan, sub-sektor perikanan juga cukup penting. Jawa Timur memiliki
potensi di bidang perikanan !aut (penangkapan ikan) dan di bidang budidaya perikanan, baik di
daerab rawa maupun di laban yang lebih kering. Panjang garis pantai yang cukup besar di tiga dari
empat koridor menunjukkan sumber daya alam !aut yang berlimpab. Potensial ini juga didukung
oleh adanya tempat pelelangan ikan (TPI) ukuran besar, di Brondong (Lamongan) dan Muncar
(Banyuwangi). Pembudidayaan air payau secara intensif, terutama untuk udang, gurame dan ban
deng, kebanyakan dilakukan sepanjang pantai utara (antara Tuban dan Banyuwangi), walaupun
juga terdapat sejumlab kecil pembudidayaan udang intensif di daerab Malang Selatan. Perikanan
sepanjang pantai selatan tidak dieksploitasikan secara penuh akibat kurangnya pembangunan di
daerab ini.
Sektor Industri
Walaupun pertumbuhan di sektor industri pengolaban menunjukkan kecenderungan menurun,
sektor ini tetap sangat penting dalam sumbangannya kepada PDB Jawa Timur. Peranan menon
jol dari sektor industri pengolaban diakibatkan oleh jumlab tinggi industri besar di Jawa Timur,
seperti industri logam dan mesin, industri rokok, industri pengolaban pangan dan industri kimia.
Kebanyakan industri pengolaban skala besar di Jawa Timur adalab Badan Usaba Milik Pemerintab
(BUMN) atau Perusabaan Penanaman Modal Asing/Domestik (PMNPMDN).
Industri besar ini terse bar di ban yak lokasi di Jawa Timur, walaupun sebagian besar berlokasi dekat
Surabaya (Gresik, Pasuruan, Mojokerto, dan Sidoarjo). Alasan begitu banyak industri besar berlo
kasi dekat Surabaya ialab babwa infrastruktur yang tersedia untuk mendukung kegiatan-kegiatan
seperti itu relatif!ebih baik.
Peranan strategis sektor industri pengolaban ialab kemampuannya untuk memacu pertumbuhan
lebih luas di dalam ekonomi Jawa Timur dan menciptakan lapangan kerja. Potensi ini dimung
kinkan hila dilihat babwa kaitan-kaitan ke belakang dan ke depan dari sektor industri pengolaban
relatiflebih kuat daripada sektor-sektor lainnya. Hasil-hasil suatu analisis masukan-keluaran (in
put-output atau /-0) menunjukkan babwa beberapa kategori industri pengolaban memiliki kaitan
ke belakang dan ke depan yang cukup tinggi.
32
Memperbaiki lklim Usaha di Jawa Timur
Tabd 3.2 Tingkat Kaitan ke Bdakang (Backward) dan ke Depan (Foreward)
~.;J I, -
~[fu ' ~ ...... ] I ""''-• w I ~ ~)}rfffu I ---
1 Beras 0,76 0,81
2 Tanaman pangan 0,85 0,79
3 Tanaman pertanian lainnya 0,79 0,85
4 Ternak beserta produk-produknya 1,11 0,92
5 Kehutanan 0,89 0,73
6 Perikanan 0,74 0,80
7 Pertambangan dan penggalian 1,19 1,073
8 Industri makanan dan minuman 1,03 1,18
9 Industri-industri lain 2,43 1,5
10 Penyulingan minyak mentah 1,10 1,38
11 Listrik, gas dan air minum 0,93 1,18
12 Konstruksi 0,68 1,33
13 Perdagangan 1,18 0,98
14 Restoran dan Hotel 0,85 1,21
15 Transportasi dan komunikasi 1,46 1,01
16 Lembaga-lembaga keuangan dan jasa 0,86 0,91
17 Pemerintahan umum 0,67 0,68
18 Jasa-jasa 0,79 0,98 Sumber: Pendekatan Masukan-Keluaran (Input- Output) Sektor-Sektor, BPS 2003, diolah
Sektor perindustrian di Jawa Timur relatif memiliki kaitan lebih kuat ke belakang (hulu) dan ke
depan (hilir) daripada sektor-sektor lainnya. Ini mengindikasikan bahwa perubahan-perubahan di dalam sektor industri pengolahan akan mempengaruhi secara signifikan pembangunan sektor-sek
tor lain. Yaitu, pertumbuhan di sektor industri akan memberi efek kelimpahan positif, oleh karena akan diikuti oleh pertumbuhan di sekror~sekror lain, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.6
33
Profil Ekonomi Jawa Timur
Gam bar 3.6 Sektor-sektor Ekonomi di Jawa Timur dengan Kaitan Relatif Kuat ke de pan dan ke belakang
Transportasi dan Komunikasi
Restoran dan Hotel
Perdagangan
Konstruksi
Ustrik, gas dan air
Minyak olahan
lndustri lainnya
Makanan & Minuman
Pertambangan
Peternakan
Sumber: Pendekatan Masukan-Keluaran Sektor-Sekfor, BPS 2003, diolah
I I
I I
I I
I I I
I I I
I
I I I
• Keterikatan Kebelakang • Keterikatan Kedepan
Berdasarkan analisis yang menggunakan indeks LQ menunjukkan bahwa pembangunan sektor industri tetap terjadi di pusat-pusat pertumbuban seperti Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto,
dan Gresik. Hal ini dapat diharapkan berperan penting dalam mendorong pertumbuban ekonomi di daerah ini secara lebih luas.
Sektor Jasa
Sejak ktisis ekonomi tahun 1998, sektor perdagangan, hotel dan restoran telah menunjukkan angka
pertumbuban tertinggi di Jawa Timur. Nilai tambah paling besar di sektor ini berasal dari subsektor perdagangan. Pertumbuban pesat di sektor ini akibat hambatan-hambatan masuk yang relatif rendah ke dalam sub-sektor tersebut, oleh karena tidak begitu padat modal seperti sektor manufaktur.
Kebanyakan pertumbuban di sektor perdagangan berlokasi di daerah-daerah perkotaan. Selama beberapa tahun terakhir konstruksi pusat-pusat perbelanjaan dan ruko, sebagai tempat perdagangan,
sangat pesat. Di Surabaya, dalam tiga tahun terakhir telah terjadi pembangunan sejumlah
hypermarket dan supermall, seperti Indogrosir, Tunjungan Plaza IY, Giant, Pakuwon Supermal dan Trade City Mal, maupun Carrefour.
Dalam arti ruang, daerah-daerah berstatus kota mendominasi sektor perdagangan: kota-kota Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, Mojokerto, Pasuruan dan Probolinggo. Di daerah-daerah ini bangunan pusat perbelanjaan dan rumah-toko juga cukup pesat. Ini mengindikasikan bahwa para
pelaku usaha mempunyai harapan positif ten tang prospek-prospek sektor perdagangan.
34
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Sektor perdagangan di kota-kota tersebut kebanyakan dijalankan oleh usaha kecU dan menengah
(UKM). Lingkungan usaha di kota-kota tampaknya mendukung UKM dengan tiga cara: permintaan tinggi mengingat konsentrasi penduduk, fasilitas infrastruktur lebih baik daripada eli daerah perkotaan atau pedesaan, akses terhadap sumber-sumb~r pembiayaan (formal) lebih baik, dan hambatan-hambatan untuk masuk ke sektor informal rendah.
Peranan sektor perdagangan sangat penting, terutania dalam menarik pembangunan sektor-sektor lainnya. Ini terbukti oleh analisis masukan-keluaran yang menunjukkan bahwa kaitan-kaitan
dengan sektor-sektor hulu relatif tinggi. Sektor ini mempunyai peranan penting di dalam proses penyaluran barang yang dihasilkan oleh sektor-sektor lain.
Ekspor Jawa Timur
Sesudah mengalami defisit perdagangan pada tahun 1997, ekspor-ekspor Jawa Timur mulai
meningkat kembali pada tahun 1998. Akan tetapi,.pada tahun 2002 nUai ekspor Jawa Timur kembali menurun dengan 6,71% dariUS$ 5,77 milyar pada tahun 2001 menjadi US$ 5,38 milyar
pada tahun 2002. Menurut data BPS untuk tahun 2002, nilai ekspor Jawa Timur mencapai 9,4% dari total ekspor nasional sebesar US$ 57,16 milyar. Selama kurun waktu 1999-2002, rata-rata
sumbangan ekspor Jawa Timur terhadap total nasional mencapai 9,58%.
Tabel 3.3 Nilai Ekspor dao lmpor Jawa Timur 1997-2002
~~- -- _ _j~~~~=f-'(lJG1\~-, __ '~ -
' _I
1997 4.236.613.055 6.47 7.334.143.528 28,58
1998 5.335.308.251 25.93 3.761.954.797 -48,71
1999 4.655.601.739 -12.74 3.655.786.735 -2,82
2000 5.766.242.301 23.86 4.862.534.635 33,01
2001 5.770.579.896 0.08 4.542.947.899 -6,57
2002 5.383.203.943 -6.71 5.046.115.459 11,08
Sumber: Jawa 11mur BPS
Komoditas-komoditas yang memberi sumbangan terbesar kepada ekspor Jawa Timur ialah produk pulp, kertas, furniture dan produk kayu olahan, serta produk alat-alat listrik. Walaupun sumbangan
mebel dan produk hasil olahan kayu terhadap ekspor Jawa Timur tetap cukup tinggi, pertum
buhan produk-produk tersebut relatif menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kenyataannya menurut data dari kantor Bank Indonesia yang ada di Surabaya, kayu lapis menciut
dengan 6,70% pada triwulan ketiga tahun 2003 dibandingkan dengan kurun waktu yang sama
pada tahun sebelumnya.
35
US$ ribu
700,000
600,000
500,000 '
400,000
300,000
I 200,000
I i
100,000
Profil Ekonomi Jawa Timur
Gambar 3.7 Nilai Ekspor Komoditas Utama Non-Minyak dan Gas Jawa Timur
-'• Kayu olahan
IJ n Karet Pakaian Kayu Tekstil
jadi gergaji
lk Kopi
'; • i
., --
•• • -: i i
I . ' ; I
ffi]' ·~
Udang Kerajinan Besi Minyak
Sumber: Statistik Ekonomi dan Finansial Propinsi Jawa limur, Kantor Surabaya, Bank Indonesia
• 1997 .----1 1998 '-__j
• 1999
• 2000
LJ 2001
D 2002
I
I
Tujuan-tujuan mama ekspor Jawa Timur adalah mitra dagang terutama Indonesia: Jepang, Ameri
ka Serikat, Singapura, Hongkong, dan Komunitas Eropa. Berdasarkan kapasitas produksi yang
ada dan peluang-peluang pasar, potensi ekspor Jawa Timur masih dapat dikembangkan, terutama
ke negara-negara Eropa, Afrika, Amerika Latin dan negara-negara Timur Tengah. Akan tetapi ini
bukan merupakan pasar-pasar yang mudah untuk dimasuki produk-produk akibat srandar-standar
perdagangan internasional tertentu· yang cukup sulit umuk dipenuhi, seperti standar-srandar mutu
dan larangan-larangan umuk memakai bahan kimia tertentu dalam produk-produk pertanian.
Gambar 3.8 Nilai Ekspor Jawa Timur ke 5 NegaraMitra DagangTerutama, 1997-2001
US$ ribu
14 • Jepang
12 • USA
10 • Singapura
• Hong kong
8 D lnggris
6
4
2
0
1997 1998 1999 2000 2001
Sumber: Statistik Ekonomi dan Finansial Propinsi Jaw a limur, Kantor Surabaya, Bank Indonesia 2003
36
4 I KONDISI INVESTASI DAN PERDAGANGAN
ANTAR DAERAH DI JAWA TIMUR
Kinerja Investasi
di Jawa Timur
Perizinan
lnfrastruktur Fisik
Pungutan
Kearn an an
Perburuhan
KONDISI INVESTASI DAN PERDAGANGAN ANTAR DAERAH DI JAWA TIMUR
Ketika desentralisasi dimulai, pemerintah daerah mulai mengeluarkan regulasi baru untuk
menambah penghasilan asli daerah (PAD). Dalam perkembangannya, upaya-upaya ini mulai dikritisi berbagai pihak, mengingat banyaknya regulasi yang hanya bertujuan meningkatkan PAD
justru merugikan masyarakat khususnya kalangan pengusaha, Sehingga, ketika desentralisasi b~rjalan, banyak perda yang dibatalkan. Walaupun desentralisasi adalah sebuah komitmen
politik yang strategis keberadaannya untuk mendukung pengembangan usaha, namun saat ini
sebagai tahap awal pelaksanaannya banyak hal tercatat sebagai sesuaru yang perlu diwaspadai.
Ray5, misalnya, mencatat em pat isu di bawah desentralisasi yang cenderung melemahkan
persaingan usaha sehat. Yang pertama di antaranya ialah problem dalam penyusunan regulasi yakni lemah dalam identifikasi masalah; kurang mengembangkan alternatif; lemahnya efektivitas
review terhadap regulasi lokal dan kurang partisipati£ Kedua masih banyak masalah dalam regulasi lokal itu sendiri yakni lemahnya pemanfaatan retribusi; retribusi pada perizinan usaha kecil. Ketiga distorsi-distorsi perdagangan yang muncul. Keempat kelemahan dalam menjaga netralitas kompetisi.
Jawa Timur juga menghadapi persoalan yang sama dalam mengembangan iklim usaha yang sehat. Sentralisasi selama ini memang telah membuat inisiatif pemerintah daerah menjadi tidak
berkembang dan cenderung hanya sebagai operator pembangunan yang hanya menjalankan perintah dalam hal ini dari pemerintah pusat. Pada saar desentralisasi ini dimana inisiatif daerah
diperkenankan, maka ban yak hal yang harus segera berubah, namun perubahan ini masih berjalan dengan sangat lambat. Sementara tuntutan masyarakat berkembang dengan sangat cepat.
5oavid Ray, Hasil-hasil konperensi bertema ~ Desentra/isasi, &gulatory Refomi and 1/Je Business Climate," pp. 3-17, PEG-USAID, Jakarra, Agustus 2003
38
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Kinerja Investasi di Jawa Timur
Kecenderungan investasi di Jawa Timur relatif konsisten dengan yang berlaku di Indonesia secara
menyeluruh untuk persetujuan-persetujuan pasca krisis untuk penanaman modal asing (PMA) dan
penanaman modal dalam negeri (PMDN)), kecuali untuk tahun 2000.
Gambar 4.1 Persetujuan-persetujuan lnvestasi Asing di Jawa Timur, 1997-2002
Perkembangan Persetujuan PMA Berdasarkan Jumlah Proyek
2000
800
~ ~
--.
•
1600
1200
400
0
1997 1998 1999 2000 2001 2002
Sumber: BKPM 2003, dlolah --------- Jatim
Perkembangan Persetujuan PMA Berdasarkan Nilai lnvestasi
US$ Juta
40
30
20
10
0
'\
\ \___
.__________
1997 1998
------- Nasional
-- ~
1999 2000 2001 2002
Pada tahun 2000, investasi modal asing dan dalam negeri menunjukkan kecenderungan yang
sangat berbeda dalam arti jumlah proyek. Terjadi peningkatan tajam dalam jumlah investasi asing
dan dalam negeri di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan di Jawa Barat. Namun trend ini tidak
tercermin di dalam nilai investasi oleh karena proyek-proyek rata-rata lebih kecil.
Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam data persetujuan investasi ini ialah bahwa baik jumlah
proyek dan nilai investasi, baik unruk investasi asing maupun domestik, harus dibandingkan dengan
investasi-investasi nyata. Data Bappenas6 menyebutkan bahwa secara nasional realisasi investasi
sejak tahun 2000 sampai dengan 2003 persentasenya mengalami penurunan dibandingkan dengan
persetujuan baik untuk PMA maupun PMDN, yang cukup drastis yakni 94% pada tahun 2000,
58.8% pada tahun 2001, 25,2% pada tahun 2002 dan 21% pada tahun 2003.
~Bisnis Indonesia, 5 Fcbruari 2004
39
Kondisi lnvesrasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
Grunbar 4.2 Persetujuan-Persetujuan Investasi Dalam Negeri di Jawa Timor (1997- 2002)
Perkembangan Persetujuan PMDN Berdasarkan Jumlah Proyek Perkembangan Persetujuan PMDN Berdasarkan Nilai lnvestasi
1997 1998 1999 2000 2001 2002 1997 1998 1999 2000 2001 2002
---+--- Jatim -------- Nasional ---+--- Jatim -------- Nasional
Sumber: BKPM 2003, diolah
Ada persepsi yang berbeda antara para pelaku usaba mengenai iklim usaba di berbagai daerab di
Jawa Timur. Misa:lnya, sekitar 70% responden di Surabaya menyatakan babwa iklim usaba di wilayab mereka cuktip mendukung, sedangkan hanya 45% dari pelaku usaba di Kabupaten Malang
menyatakan pendapat yang sama7• Kajian KPPOD8 menunjukkan babwa Kabupaten Gresik dan Kabupaten Sidoarjo diperingkat masing-masing nomor 17 dan 21 dalam peringkatan tabun 2003
untuk 200 kotalkabupaten.
7 Survey oleh 11m PSD bekerja sarna dengan Bank Dunia dan The Asia Foundation. 8 Regional Investment Attractivmm: A Survry of Business Prruption, Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (Regional Auronomy Watch), 2003.
40
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 4.3 Persentase Pelaku Usaha Yang Menyatakan Setuju pada Bahwa Iklim Usaha di Kota/Kabupatennya Mendukung lnvestasi dan Pertumbnban Usaha (%)
Kt Probolinggo
Kb Malang
Kt Kediri
Kb Bonodowoso
Kt Malang
Kt Surabaya
Kt Blitar
Kb Lumajang
Kb Situbondo
Kb Gresik
Kb Nganjuk
Kb Tuban
Kb Trenggalek
Kb Lamongan
Kb B~ngkalan
Kb Jember
Kb Sampang
Kb Pamekasan
Kb Kediri
Kb Sumenep
Kb Banyuwangi
Kb Tulungagung
Kb Ponorogo
Kb Madiun
Kt Madiun
Kb Ngawi
Kb Magetan
Kb Bojonegoro
Kb Pacitan
H L H _l
I
L
H _L I H I
H I H _l
H I H I
0 10 20 30 Kt : kota Kb : kabupaten
Sumber: Survey oleh lim PSD, 2004
I _L
I _j_
_j_ I _[ I I I
I_ _[ I I I I _j_
I _[ I I I
40 50 60 70 80 90
41
100
Kondisi lnvestasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
Perizinan
Aspek perizinan pada dasarnya terkait dengan dua aspek yang saling terkait saru sama lain. Yang
pertama menyangkut kebijaltan dan regulasi perizinan dan yang kedua menyangkut institusi pelayanan perizinan. Dalam hal kebijaltan atau regulasi perizinan nampaknya sebelum dan setelab
desentralisasi wajab kebijaltan perizinah di Indonesia tidalt banyalt berubab. Beberapa studi baik
yang dilaltultan oleh tim PSD sendiri maupun yang dilaltukan oleh lembaga lain, menunjukkan kesimpulan yang cultup sejalan. Walaupun umumnya regulasi mengenai perizinan telab diserabkan
dari pemerintab pusat kepada pemerintab daerab, namun dalam pralttek di lapangan umumnya
.pemda masih lebih banyaltmenggunaltan regulasi lama dari pemerintab pusat, ketimbang melaltultan perubaban yang sesuai dengan kebutuhan pelaltu usaba ditempatnya. Yang berubab secara cultup
menonjol dalam perizinan hanyalab menyangkut retribusi yang ditetapkan secara bebas oleh masing
masing daerabnya. Sayangnya perubaban itupun bultan sebuab perubaban yang positif, melainkan cenderung lebih membebani masyaraltat.
Sementara perubaban yang cultup berarti baru terjadi pada sisi institusi pelayanan perizinan. Unit-unit Pelayanan Terpadu (UPT) telab dibentult di sejumlab daerab di Jawa Timur. Dibuat melalui Surat Edaran Menteri yang diterbitkan pada tabun 1999, UPT merupaltan kantor yang
dapat mensentralisasikan permohonan, pengurusan atau persetujuan izin-izin tergantung pada tingkat wewenangnya. Di antaranya terdapat di Kabupaten Sidoarjo9, Kota Malang, Kabupaten
Banyuwangi, Kabupaten Magetan dan Kota serta Kabupaten Kediri. Walaupun lembaga-lembaga
tersebut tidalt secara konsisten menyedialtan pelayanan yang efisien, namun masyarakat sudab
mulai merasaltan kemudaban yang meningkat. Suatu evaluasi UPT di 6 kabupaten menunjultkan
babwa jumlab usaba yang diresmikan telab meningkat sesudab perkembangan UPT dan walttu pengurusan serta biaya tidalt resrni telab meningkat dalam UPT yang menerima bantuan teknis dari luar10• Hal ini mungkin menyebabkan persepsi- para pelaltu usaba terhadap layanan-layanan tersebut agalt membaik.
9oi Sidoarjo, adanya UPT tdah mengurangi waktu pengurusan sebesar 40% dan biaya sebesar 30%. 10Di!akukan oleh bmimtt: ofTichno/ogy Transfi!T for SME, dibiayai oleh Asia Foundation
42
Kb Gresik
Kt Malang
Kb Probolinggo
Kb Bondowoso
Kb Kediri
Kt Surabaya
Kb Tulungagung
Kb Lumajang
Kb Banyuwangi
KbTuban
Kb Situbondo
Kl Kediri
Kb Malang
Kb Lamongan
Kb Madiun
Kb Bangka\an
Kb Jember
Kb Sampang
Kb Nganjuk
Kb Sumenep
Kb Ponorogo
Kb Trengga\ek
Kb Pamekasan
Kt Madiun
Kb Ngawi
Kb Magetan
Kb Bojonegoro
Kb Pacitan
Kt Blitar
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 4.4 Para Pelaku Usaba Yang Setuju babwa Pemerintab Lokal Mereka Memudabkan. Perizinan Usaba (%)
_l
1 I 1
1 I I
1
1
1 I
1 I
1
1 I
1 I
1 I I I
i I
1
i
1
I
I I _L
L I
0 25 50 75 Kt : kota Kb : kabupaten
Sumber: Persepsi Para Pelal::u Usaha, Survey PSD, 2004
I
100
Dian tara institusi pelayanan perizinan satu atap yang paling menonjol kinerjanya adalah Kabupaten
Sidoarjo. Lembaga pelayanan perizinan yang statusnya dinas yakni Dinas Penanaman Modal dan
Perizinan (DPPM) saar ini merupakan satu-satunya layanan perizinan yang bersertifikat ISO 9000.
Hal ini mencerminkan bagaimana layanan mereka sudah distandarisasi, sehingga masyarakar dapat
memperoleh pelayanan yang baku dan jelas. Hal ini jelas menguntungkan baik bagi pelaku usaha
yang mengurus izin usaha biasa maupun bagi para investor.
43
Kondisi Investasi dan Perdagangan An tar Daerah di Jawa Timur
Cara lain untuk mengurangi hainbatan-hambatan peraturan ialah pembemukan kawasan-kawasan
industri. Beberapa kawasan industri, seperti SIER, PIER dan NIP, mempunyai lembaga-lembaga
otonomi yang menyediakan layanan perizinan investasi kepada para pelaku usaha di dalam kawasan
kawasan tersebut. Dengan demikian, para pelaku usaha tidak lagi perlu ke Jakarta atau Surabaya
untuk mengurus izin investasi mereka.
Suatu survey misalnya, menunjukkan bahwa di 7 kota yang dicakup tingkat pemegang Surat Izin
Usaha Perdagangan (SIUP) adalah lebih dari 50%. Ini secara signifikan lebih tinggi daripada rata
rata angka pemegang izin secara nasional yaitu 14,8%11 •
Namun demikian praktek-praktek birokrasi dan korupsi dalam bentuk pungutan liar tetap
menghantui pelayanan perizinan. Para pelaku usaha tetap harus membayar biaya tambahan untuk
memperoleh izin-izin tertentu. Pada umumnya para pelaku usaha tidak bisa menghindar dari
pungutan liar hila mereka mengajukan permohonan untuk izin, karena tanpa membayar biaya
biaya tambahan tersebut akan sulit bahkan tidak mungkin baginya untuk memperoleh izin-izin
yang diperlukan. Tabel 4.1 menunjukkan biaya-biaya tidak resmi yang dibayar untuk sejumlah
izin-izin yang diperlukan yang secara nominal diterbitkan tanpa dikenakan biaya.
Tabel4.1 Biaya-biaya untuk memperoleb lzin (dalam ribuan Rp)
Kabupaten Gresik 100- 250 75 25- 100 -Kabupaten ]ember 50-350 60 - -Kabupaten Pamekasan 20-250 25 100 -Kabupaten Pasuruan 25- 100 - - 1.500
Kota Surabaya 100- 750 150 - -Kabupaten Tulungagung - 500 - -
Sumber: Survey REDI, 2004 Catatan: SIUP "' Surat lzin Usaha Perdagangan, TOP "' Tanda Daftar Perusahaan, ETPIK "' Eksportir Terdaftar untuk Produk lndustri Kehutanan, SP/MD "' Sertifikat/Lisensi untuk lndustri Pangan
Namun demikian baru-baru ini muncul sebuah kebijakan baru dari pemerintah pusat melalui
Keputusan Presiden (Keppres) no 29 tahun 2004 mengenai pengaturan pelayanan perizinan investasi
baik bagi investor asing maupun investor domestik. Kebijakan ini pada dasarnya menarik kembali
kewenangan yang telah diberikan pemerinrah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal pelayanan
perizinan bagi kegiatan investasi. Pemerintah pusat dalam hal ini Badan Koordinasi Penanaman
. Modal (BKPM) akan melayani perizinan investasi dalam satu atap. Kebijakan ini dikeluarkan karena
banyak investor yang mengeluh kerumitan yang dihadapi dalam mengurus perizinan investasi.
Akan tetapi hal ini tidak akan mempengaruhi UKM yang mewakili bagian terbesar usaha-usaha
dalam negeri.
11Sratisrik Indusui Kedl, BPS, 2002
44
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Dalam Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) yang diadakan oleh Tim PSD di berbagai daerab di
Jawa Timur, isu perizinan muncul paling menonjol di sektor perkayuan. Keluban-keluban ini berkaitan dengan izin-izin sumber kayu dan timbul secara konsisten di selurub Jawa Timur. Oleh
karena itu dapat disimpulkan babwa perizinan untuk komoditas kayu secara mendesalt memerlukan
pembabaruan-pembabaruan mendasar. Penjelasan yang lebih terinci dapat dilihat dalam uraian
rantai usaba perkayuan dalam bab berikut.
lnfrastruktur Fisik
Kebutuban-kebutuhan infrastruktur di Jawa Timur berbeda-beda selurub sektor, daerab, dan an tara
daerab perkotaan dan daerab pedesaan, baik dalam arti mutu maupun kuantitas. Pelaltu usaba diminta ten tang pendapat-pendapat mereka mengenai tersedianya dan kondisi jalan, telekomunikasi,
listrik, air dan transportasi yang mempengarubi usaba mereka. Pengamatan umum terhadap
jawaban kuesioner pelaltu usaba menunjukkan babwa infrastruktur yang ada dianggap memadai, dan diskusi lebih lanjut melalui diskusi kelompok terfokus mengungkapkan adanya kesenjangan
kesenjangan serius dalam infrastruktur merupaltan kendala yang mengancam pertumbuban usaba
dan pembangunan di Jawa Timur pada umumnya.
Gambar 4.5 Persepsi-persepsi para Pelaku Usaba tentang lnfrastruktnr Qalan, Telekomunikasi, Listrik, Air, Transportasi)
6%
• Baik
• Sangat baik
• Buruk
D Sangat buruk
1m Cukup
Sumber: Survey PSD, 2004
45
Kondisi lnvestasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
Kendala-kendala khusus yang diutarakan oleh para pelaku usaha dirangkum sebagai berikut.
Jalan: pembangunan infrastruktur jalan masih terkonsentrasi pada pusat-pusat pemerintahan daerah dan sedikit sekali menjangkau desa-desa atau daerah pedalaman yang lain. Padahal pusat-pusat
produksi umumnya berada di pedesaan atau di pedalaman. Kasus komoditas kayu dan perikanan menunjukkan hal ini. Jalan di Jawa Timur tercatat 27.232,27 km yang terdiri dari 1.899,21 km jalan negara, 1.439,18 km jalan provinsi, 21.935,45 km jalan kotalkabupaten dan 931,45 km adalah jalan kecamatan dan 63,07 km adalah jalan to!. Oleh karena itu proporsi terbesar adalah
jalan yang dipelihara oleh kota dan kabupaten. Kondisi jalan yang buruk meningkatkan biaya
dan waktu yang diperlukan untuk membawa hasil produksi ke pasar, dan untuk bahan yang ridak tahan lama keterlambatan mengurangi mutu dan harga jualnya. Realisasi Jalur Lintas Selatan dan
jembatan Suramadu (untuk menghubungkan Surabaya dan Madura) sangat ditunggu oleh usaha
usaha, terutama yang berasal dari Madura dan bagian selatan Jawa Timur. Sehubungan dengan pembangunan jembatan Suramadu ada kekhawatiran bahwa pembangunan jembatan terse but tidak
akan didukung oleh infrastruktur jalan yang memadai, yang menghubungkan Madura bagian utara
dengan bagian selatan.
Air bersih: Di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Timur, termasuk Kota Surabaya, air merupakan masalah berat dan mempunyai dampak negatif pada sektor swasta. Konon Jawa Timur tidak lama
lagi akan mengalami krisis air bersih. Ini akibat penggundulan hutan yang berat dan ekstraksi air tanah yang tersebar luas, terutama untuk kegiatan industri. Data statistik menunjukkan bahwa
pemakaian air tanah bagi industri di Mojokerro naik 53% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Krisis air ini merupakan ancaman sedemikian rupa sehingga lebih dari 30.000 hektar sawah irigasi tidak dapat dipanen sebagaimana semestinya12• Wilayah-wilayah sekitar Madura dan bagian selatan
Jawa Timur merupakan daerah-daerah yang memerlukan perhatian serius karena merupakan wilayah
yang paling menderita konsekuensi krisis air. Jaringan irigasi buruk dan pasokan air diidentifikasikan sebagai isu-isu kunci oleh petani tembakau di Madura, dan petani kopi dan tebu di seluruh Jawa
Timur. Pencemaran yang meningkat dan sungai-sungai yang dangkal dituduh sebagai penyebab mutu air yang buruk, yang telah menjadi masalah bagi pembudidaya ikan dan udang. Pelaku usaha
mengusulkan langkali-langkah yang perlu diambil segera bagi upaya reboisasi, pengurukan sungai dan tindakan-tindakan hukum terhadap para pencemar industrial.
Listrik: Walaupun pasokan dan mutu tenaga listrik cukup memadai, namun pelaku usaha merasa bahwa tingkat optimal sudah tercapai dan diperlukan investasi baru. Pemadaman listrik sekarang
menjadi rutin termasuk bagi sektor industri. Kekurangan listrik tidak unik bagi Jawa Timur,
akan tetapi mengingat kepemimpinan propinsi ini di .bidang produksi, pemadaman listrik yang meningkat selama riga tahun terakhir jelas merugikan. Isu lain berkaitan dengan pemadaman listrik ialah bahwa hal tersebut sering dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Banyak usaha besar
melakukan investasi dalam pembangkit tenaga listrik sendiri untuk melakukan kompensasi, akan terapi usaha-usaha yang kecil tidak mampu mengarnbil pilihan mahal tersebut. Industri-industri
l2Jakarm Post, 26 April2004
46
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
kecil yang terletak di wilayah-wilayah pedesaan juga menyebut akses jatingan yang buruk sebagai
masalah dan mereka merasa bahwa tatiflistrik terlalu mahal.
Pelabuhan: Kehadiran pelabuhan di Jawa Timur menentukan bagi kegiatan ekonomi. Pelabuhan
terbesat kedua di Indonesia, Tanjung Perak di Surabaya, secata strategis berfungsi sebagai pintu
gerbang untuk kegiatan perdagangan ke dan dati Jawa Timur. Pelabuhan-pelabuhan lain di pesisir Jawa Timur, terutama di bagian selatan, juga cukup berarti untuk pembangunan ekonomi khususnya
di sektor perikanan. Akan tetapi penggunaan pelabuhan di pesisir Jawa Timur selain Tanjung
Perak kurang optimal oleh katena keterbatasan satana yang tersedia, atau telah menjadi terlalu
padat seperti halnya Banyuwangi di mana terjadi kekurangan tempat sandat dan satana pengolahan
pendukung. Kekt)rangan-kekurangan lain termasuk kemampuan ruang coldstorage, depo bahan
bakat, pergudangan dan akses jalan raya.
Pungutan-pungutan
Untuk menciptakan kondisi persaingan dalam perdagangan antar daerah diperlukan perhatian
serius dati pemerintah-pemerintah lokal. Fakta menunjukkan bahwa 80,66% pelaku usaha di Jawa Timur dalam survey tersebut memasukkan bahan baku, baik dati Jawa Timur sendiri atau dari luar
propinsi. Hal yang sama berlaku untuk keluatan. Sebanyak 83,3% pelaku usaha yang merupakan responden survey tersebut mengatakan bahwa pasat mereka berlokasi di luat kota atau kabupaten
tempat kediaman mereka13 sehingga pentingnya perdagangan antat daerah menjadi jelas.
Hambatan-hambatan perdagangan antat daerah mempunyai berbagai bentuk. Misalnya, insps:ksi
barang ber)ebihan dan pungutan liar merupakan praktek-praktek yang pada umumnya dihadapi
oleh pata pelaku usaha hila mereka mengirim batang masuk atau keluat daerahnya masing-masing. Keadaan ini tidak saja menaikkan biaya tetapi juga menambah waktu yang dihabiskan di jalan.
Kejahatan, seperti penjarahan dan perampokan juga sering terjadi. Di bawah ini cuplikan dati
catatan-catatan lapangan Tim PSD yang menyertai perjalanan pengiriman batang dati Malang ke
Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Pihak pengusaha bisa meminta jasa pengawalan polisi dari Polda atau Polres. Pengawalan ini
secara resmi bebas biaya, tetapi biasanya pelaku pengusaha memberi imbalan dengan membayar
sejumlah uang, baik yang ditetapkan maupun tidak. ]asa pengawalan juga diberikan oleh para
pengada jasa pengawalan resmi seperti Securicor.
jasa pengawalan lain, yang disebut jasa pengawalan "tidak resmi" termasuk Gajah Oling (Ga-Ol),
Ikatan Payung Madura (IPAMA), Aremania, RST dan lain-lain. Gajah Oling merupakan jasa
l3survey REDI, 2004:21-23
47
Kondisi lnvestasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
pengawalan terbesar di ]awa Timur. Ga-Ol adalah organisasi jasa pengawalan yang mengeluarkan
kartu anggota kepada supir-supir truk. Kartu-kartu anggota tersebut menunjukkan bahwa Ga
Ol dibentuk oleh Koperasi Pembekalan dan Angkutan dari Kodam V Brawijaya (Bek-ang Dam
V!Brawijaya) beralamat di Kalisosok, Surabaya. Keanggotaan Ga-Ol mewajibkan pembayaran
iuran anggota sebesar Rp. 30.000 sampai Rp 35. 000 per bulan.
Biaya-biaya tidak resmi lainnya yang diamati langsung di lapangan adalah untuk angkutan
sayur ke pelabuhan !aut. Begitu mobil truk memasuki pintu gerbang pelabuhan Tanjung Perak,
si pengemudi harus membayar kepada seorang polisi pungutan tidak resmi sebesar Rp. I 0. 000
setelah membayar tiket masuk resmi. Begitu meliwati pintu gerbang, mobil truk harus berhenti
sebentar di pos KP3 atau KPLP dan menyerahkan Rp. IO.OOO lagi kepada petugas di sana.
Penulis bahkan menyaksfkan seorang petugas KP3 mengejar sebuah mobil truk untuk menagih
biayanya karena si pengemudi truk terburu-buru membeli tiket untuk kapal yang sudah mau
berangkat. (Sumber: Catntanlapangan Tim PSD, 2004}
Pungutan-pungutan merupakan persoalan penting seperti di daerah lain di Indonesia untuk semua
sektor dan khususnya oleh para pelaku usaha di Jawa Timur. Pungutan-pungutan liar merupakan
manifestasi praktek-praktek korupsi yang telah lama menghantui kegiatan ekonomi di Indonesia.
Walaupun pemerintah pusat telah menerbitkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
tentang penyelenggaraan negara bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), masih sedikit sekali
akuntabilitas dari pihak para pegawai pemerintah. Korupsi di semua saluran peradilan yang
bertanggungjawab atas pengusutan kasus membuat praktek ini sulit untuk dibasmi.
Kedua, pungutan-pungutan tersebut telah diresmikan melalui surat-surat keputusan, biasanya dalam
bentuk biaya dan pajak, dengan alasan pendapatan asli daerah yang rendah. Pungutan-pungutan
resmi terhadap masyarakat ini telah menjadi alternatif pengerahan dana yang paling populer hagi
pemerintah daerah. Yang ironis, pungutan-pungutan ini tidak saja terjadi pada tingkat kota dan
kabupaten tetapi bahkan pada tingkat desa di mana pemerintah dilevel bawah ( desa, kelurahan)
meniru tingkat-tingkat pemerintah yang lehih tinggi dalam menciptakan peraturan-peraruran haru
yang mewajibkan pembayaran pungutan.
Contoh-contoh Pungutan Pemerintah Desa:
Knsus (I): Mengangkut kayu dari sumbernya di Rejo ke Kamolan, melewati tiga desa. ]ika kayunya diangkut dengan mobil pick-up, dikenakan pungutan Rp. 2.500 setiap perjalanan; jika menggunak~n L300, Rp 5. 000 setiap perjalanan; dan jika menggunakan truk, Rp I 0. 000 per truk per perjalanan.
48
Memperbaiki lklim Usaha di Jawa Timur
Kasus (2): Mengangkut kayu dari Karang Rejo - Mungguran - Mendo Agung, dikenakan Rp 2. 000 per 5 kilometer per pick-up per perjalanan. (Sumba, Catatnn !apnngan Tim PSD. 2004)
Ketiga, praktek-praktek tata pemerintahan yang buruk ditandai dengan adanya pungutan- resmi
yang disertai dengan pungutan liar akibat kebijakan yang lebih besar dan tingkat akuntabilitas yang
rendah dari pihak aparat pemerintah. Oleh karenanya, dengan menciptakan punguran resmi baru
juga bisa menimbulkan pungutan tidak resmi lebih bany¥.
Gambar 4.6 Persepsi-persepsi para Pelaku Usaha tentang Pungntan (Skala -2: menjadi lebih buruk dan 2 menjadi lebih baik)
Sumber: REDI (2003) dalam Ray, Decentralization, Regulatory Reform and the Business Climate, PEG, USAID, 2003 diolah
II Pungutan Liar
II Pungutan Formal
Survey di atas menunjukkan persepsi para pelaku usaha di berbagai daerah. Para pelaku usaha di
Sulawesi Utara menyatakan bahwa pungutan resmi menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Demikian
pula para pelaku usaha di Jawa Timur merasa bahwa pungutan resmi sekarang lebih buruk dari
dulu. Akan tetapi Jawa Timur mempunyai peringkat yang jauh lebih tinggi daripada daerah-daerah
lain untuk persepsi masyarakat bahwa pungutan tidak resmi mulai berkurang. Hal ini konsisten
dengan temuan-temuan laporan ini.
Sekalipun persepsi terhadap pungutan liar nampaknya mengalami perbaikan, namun perhatian
mengenai penanganan pungutan ini masih tetap perlu mendapat perhatian, karena walaupun
frekuensinya mengalami penurunan, namun intensitasnya cenderung mengalami kenaikan. Dua
bentuk pungutan liar yang terjadi secara menonjol di wilayah Jawa timur adalah pertama punguran
di jalan raya atau dalam kegiatan pengiriman barang dan kedua adalah sumbangan pihak ketiga
yang dilakukan secara represif dan kadang menggunakan atribut militer.
49
Kondisi lnvestasi dan Perdagangan An tar Daerah di Jawa Timur
Contoh kasus pungutan di jalan : Kasus (I) : Pada pengangkutan kayu dari Trenggalek- Surabaya dengan menggunakan truk tronton untuk satu kali pengangkutan per truk biaya untuk membayar pungutan tidak resmi disepanjangjdlan adalah kurang lebih Rp 50. 000,-. Selain yang harian ada juga biaya yang harus dikeluarkan yang sifotnya bulanan yakni sekitar 2,5- 4 juta rupiah untuk 4 pos ( disebutkan ada polsek, polres, kecamatan sampai satuan sabhara}
Kasus (2} : pengiriman kayu dari kecamatan Dongko - Probolinggo harus mengeluarkan dana sekitar Rp. I 00. 000,-. Pos-pos yang diketahui harus setor yakni Polsek Dongko, Perhutani di Krangan lalu pospos lain di sepanjang Blitar dan Malang. (Sumba, Catatan Lapangan Tim PSD, 2004)
Studi lain menyebutkan bahwa pungutan terhadap pengusaha di Jawa Timur mencapai angka
rata-rata 4,93 juta per tahun14• Angka ini jauh lebih tinggi daripada rata-rata pungutan pada
tahun yang sama di Sulawesi Selatan, yang mencapai Rp 949.000,-. Akan tetapi jauh lebih rendah
daripada di Sumatra Utara dan Jawa Barat, di mana jumlah rata-rata mencapai Rp 7,5 juta lebih
per tahun. Menurut kajian tersebut, dari total pungutan tersebut persentase terbesar dibayar untuk
dua jenis pungutan, yaitu: preman dan kegiatan sosial/masyarakat. Jenis pungutan kedua sangat
lazim di Indonesia. Kelompok-kelompok masyarakat meminta perusahaan untuk memberi uang
bagi kegiatan sosial atau masyarakat, seperti perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan. Pembayaran
pembayaran ini sukarela dan sesuai dengan sumbangan perusahaan di negara-negara lain.
Kearn an an
Jawa Timur tidak mengalami gangguan politik sebanyak di Jakarta. Kerusuhan atau unjuk rasa
skala besar yang terjadi di Jakarta - sebagai rujukan untuk keadaan politik di Indonesia - hanya
mempunyai dampak kecil atas keadaan di Jawa Timur, kecuali di Surabaya. Pergantian Gubernur
Jawa Timur pada pertengahan tahun 2003 tidak disertai unjuk rasa masal sebagaimana biasanya.
Akan tetapi masalah-masalah keamanan yang mengganggu kalangan usaha memang ada, dan
hanya 57,3% dari responden dalam survey ini merasa bahwa tingkat keamanan sekarang kondusif
terhadap usaha.
14Medium Size Study, Makalah Diskusi, Center for Economic and Social Studies (CESS), 2003;17
so
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 4.7 Indeks Kondusifitas Keamanan
Gresik
Jember
Surabaya
Malang
Tulungagung
Pasuruan
Pamekasan 3.5
0 2 3 4
Sumber: SuNey REDI, 2004
Tim PSD menemukan bahwa banyak kasus pencurian terjadi di sektor perikanan dan di sektor
sektor pertanian, kbususnya di bidang kehutanan. Pencurian di sekror tambak ikan, kebanyakan
di tambak udang, dapat dikategorikan sebagai perampokan karena selalu disertai dengan kekerasan. Seorang pelaku usaha tambak udang dari daerah Mojokerto melaporkan bahwa kerugiannya akibat
perampokan mencapai lebih dari 30%, atau ekuivalen Rp 25 juta, untuk setiap panen.
Pencurian di sekror perikanan lepas pantai kebanyakan dilakukan oleh nelayan asing. Beberapa faktor memungkinkan hal ini. Pertama, polisi perairan (penjaga pantai) tidak efektif karena
jumlahnya tidak memadai untuk wilayah yang harus dijaga dan mereka juga tidak mempunyai perlengkapan yang cukup. Juga, nelayan lokal tidak bisa berlayar jauh ke !aut karena mereka
umumnya menggunakan perahu nelayan kecil, dan dengan demikian lahan penangkapan ikan mereka terbatas pada wilayah yang relatif kecil, hanya em pat sampai enam millepas pantai setiap
kali mereka melaut.
Untuk komoditas kayu, pencurian yang terjadi lebih rumit dan cenderung sistematis, melibatkan
berbagai lembaga resmi sehingga lebih sulit untuk dibasmi. Dampak langsung pencurian ini ialah bahwa para pedagang kayu di sektor hilir kesulitan memperoleh bahan baku. Diperkirakan bahwa
para pengusaha merugi Rp. 200 sampai Rp. 300 juta karena mereka tidak mampu memenuhi
pesanan dari pasar ekspor15.
Masalah-masalah keamanan, kbususnya di kawasan industri dan tambak ikan, telah memaksa para pelaku usaha untuk mencari bantuan kbusus dari petugas keamanan, dalam hal ini pihak kepolisian.
Para pelaku usaha yang meminta polisi untuk perlindungan ekstra mengatakan bahwa secara teknis
hal tersebut memiliki dampak positif, dalam arti bahwa tingkat pencurian dan perampokan telah
15Agence France Presse, 16 Maret 2004
51
Kondisi Invesrasi dan Perdagangan An tar Daerah di Jawa Timur
menurun. Akan retapi bantuan keamanan rersebur melibatkan biaya rambaban besar. Seorang
pemilik rambak udang mengarakan babwa ia harus mengeluarkan sampai Rp 5 jura setiap panen
untuk pengamanan polisi. Seorang pengusaba di PIER, kawasan indusrri, mengarakan babwa ia:
harus membayar anrara Rp 1 jura dan Rp 3 jura setiap bulan.
Buruh
Kondisi perburuhan di Jawa Timur berbeda dari daerab ke daerab. Tim PSD mengamati babwa
gangguan perburuhan paling sering rerjadi di wilayab-wilayab perindusrrian seperti Kabuparen Sidoarjo, Kora Surabaya, Kabuparen Mojokerto, dan Kabuparen Pasuruan. Gangguan perburuhan
relab menyebabkan sejumlab perusabaan mengurangi arau menunda kegiaran mereka, dan beberapa relab memilih unruk memindabkan kegiaran mereka keluar Indonesia16. Pada umumnya, para
pelaku usaba mengeluh rentang kesuliran untuk memperoleh buruh sesuai dengan kebutuhan
mereka, semenrara juga ada permintaan kuar dari lingkungan sekirarnya untuk pekerjaan bagi renaga kerja lokal. Di lain pihak, para pekerja umumnya melihar rarif upab minimum yang ridak
memadai serta kegagalan unruk melibatkan para pekerja dalam perumusan kebijakan perusabaan sebagai sumber-sumber masalab perburuhan.
Para pekerja tidak puas karena mereka merasa babwa ukuran kenaikan upab minimum masih rerlalu rendab. Para pelaku usaba, di lain pihak, merasa babwa kenaikan biaya buruh secara slgnifikan
mengancam kemampuan mereka untuk bisa bersaing. Upab Minimum (UMK) unruk rabun 2004
mulai berlaku sejak ranggal 1 Januari 2004 melalui Surar Kepurusan Gubernur Jawa Timur No. 188/273/KPTS/013/2003. Kora Surabaya mempunyai UMK paling tinggi, disusul oleh kora
kora dan kabuparen-kabuparen berdekaran seperri Gresik, Sidoarjo, Mojokerto dan Pasuruan. Kabuparen Bondowoso mempunyai UMK paling rendab. Kenaikan UMK dari rabun 2003 ke rabun 2004 sekirar 2 sampai 6 persen, masih di bawab angka-angka inflasi untuk masing-masing kora/kabuparen.
I6Lapomn Tim Sektor Swasta, Surabaya, Bank Dunia, 2003
52
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tabel4.3 Upab Minimum Regional (UMK) di Jawa Timur, 2003 dan 2004 (Rp/bulan)
1 Kota Surabaya 516.750 550.700 20 Kab Madiun 281.000 320.000
2 Kab Gresik 516.500 550.550 21 Kab Mageran 292.500 321.530
3 Kab Sidoarjo 516.500 550.550 22 Kab Ngawi 288.700 323.600
4 Kora Mojokerto 478.500 488.000 23 Kab Ponorogo 282.000 315.000
5 Kab Mojokerto 516.500 550.550 24 Kab Pacitan 289.000 320.975
6 KotaMalang 497.100 548.000 25 Kota Blitar 301.100 331.210
7 Kab Malang 497.100 548.000 26 Kab Blitar 295.000 317.200
8 Kota Baru 497.100 548.000 27 Kab Trenggalek 274.000 316.500
9 Kota Pasuruan 430.000 450.000 28 Kab T ulunggagung 332.500 349.000
10 Kab Pasuruan 513.000 550.550 29 Kab Bojonegoro 287.500 331.000
11 Kota Probolinggo 445.000 461.000 30 Kab Banyuwangi 319.400 356.000
12 Kab Probolinggo 443.750 456.000 31 Kab Sarnpang 300.700 330.000
13 KabJombang 398.000 426.500 32 Kab Lumajang 292.700 321.000
14 Kora Kediri 415.000 480.000 33 KabJember 384.000 397.606
15 Kab Kediri 415.000 480.000 34 Kab Bondowoso 300.000 310.000
16 Kab Nganjuk 335.000 354.000 35 Kab Situbondo 311.000 348.500
17 Kab Larnongan 328.450 380.743 36 Kab Parnekasan 400.000 430.000
18 KabTuban 322.500 345.000 37 Kab Sumenep 360.000 400.000
19 KoraMadiun 305.000 325.000 38 Kab Bangkalan 390.000 440.000
Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kantor Jawa 1imur
Dinamika yang terjadi antara pertumbuhan ekonomi dan peraturan ketenagakerjaan telah mempunyai dampak signifikan atas kondisi perburuhan di Jawa Timur. Pada tahun 2000, angka-
angka pengali.gguran, yang mencakup para pencari pekerjaan, mereka yang belum ditempatkan dan
mereka yang di PHK, masih sangat tinggi. Kenaikan-kenaikan UMK telah sedikit berdampak pada
keadaan perburuhan di Jawa Timur, seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
53
Kondisi lnvestasi dan Perdagangan An tar Daerah di Jawa Timur
Gambar 4.8 Kondisi Bursa Tenaga Kerja Tabun 2000
350 • Pencari Kerja
300 • Penempatan
250 • Penghapusan
Ill Belum ditempatkan
200 "" Perrnintaan
150 • Dipenuhi
100 Penghapusan Lowongan
50 li Sisa Lowongan
0
Sumber: Dinas Tenaga Kerja Jawa llmur
Usaha-usaha yang mempunyai kaitan dengan pariwisata di Bali bernasib lebih baik. Misalnya,
industri tekstil di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Yogya merupakan pemasok terbesar untuk produk
tekstil di Bali. Ketika krisis ekonomi sangat mengganggu kegiatan ekonomi di kebanyakan daerah
di Indonesia, Bali (sarnpai pem''bom'' an bulan Oktober 2002) tetap memetik keuntungan signifikan
dari arus wisatawan yang meningkat dan peredaran dolar yang bernilai lebih tinggi daripada
sebelumnya. Situasi ini berdarnpak langsung terhadap industri-industri lain di Jawa dan daerah
sekitarnya yang mendukung industri pariwisata di Bali dan Lombok.
54
5 I MATA RANTAI KOMODITAS Kayu Jati
Tembakau
Tebu dan Gula
Kopi
Garam
Udang
Ternak Sapi
Tekstil
MATA RANTA! KOMODITAS
Masalah-masalah yang diuraikan di bah-bah sebelumnya dihadapi oleh para pelaku usaha pada um
umnya. Dalam bah ini kami akan memperdalam beberapa mata rantai komoditas, dengan tujuan
menunjukkan secara lebih khusus jenis-jenis masalah yang dihadapi oleh para pelaku usaha pada setiap tahap sepanjang rantai produksi dan distribusi. Komoditas-komoditas tersebut dipilih untuk
penelitian mendalam atas dasar dua kriteria, yairu: pentingnya bagi ekonomi regional dan kompleksitas lebih besar permasalahannya dibandingkan dengan komoditas-komoditas lain.
Sejumlah komoditas tersebut, altibat kepentingan strategis sejarah dan dipersepsi bagi ekonomi, ditandai oleh intervensi negara yang signifikan. Badan-badan Usaha Milik Negara, kendali-kendali
harga untuk masukan dan keluaran, dan monopoli/ monopsoni tetap mempengaruhi lingkungan usaha untuk komoditas-komoditas seperti gula, tembakau dan garam. Di samping itu, Indonesia
mempertahankan kebijakan swasembada untuk sejumlah bahan pangan pokok yang telah menimbulkan hambatan-hambatan perdagangan. Distorsi-disrorsi yang diciptakan oleh kebijakan-kebi
jakan tersebut merupakan hambatan signifikan terhadap pertumbuhan dan perlu disikapi dalam
upaya-upaya pembaharuan kebijakan. Akan tetapi, mereka tidak ditinjau secara terperinci di sini. Informasi berikut adalah dari perspektif para pelaku usaha daripada memheri tinjauan menyeluruh
kebijakan untuk setiap sekror.
KAYUJATI
Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut: Bojonegoro, Tuban, Ngawi, Kediri, Kabupaten Malang, Banyuwangi, ]ember, Bondowoso, Probolinggo, Situbondo.
Kapasitas produksi industri kayu dan produk hutan Indonesia termasuk yang paling tinggi di dunia.
Pada tahun 1996, Indonesia menduduki tempat ke sebelas dalam kapasitas produksi industri kayu. Akan tetapi, karena pasokan kayu menurun kapasitas ini berkurang (lihat Tabel5.1). Hal inl berkai
tan erat dengan aras-aras tinggi pembabatan hutan dan penyelundupan kayu gelondongan untuk ekspor yang sangat sulit dikendalikan. Loebis dan Schmitz17 dalam kajian mereka menemukan
bahwa laju kehilangan hutan di Indonesia telah dipercepat; pada tahun 1998 dilaporkan bahwa d?Ii 1 juta hektar per tahun, angka ini telah naik menjadi 2 juta hektar per tahun sejak tahun 1996.
17 Lienda Loeb is dan Huberr Schimcz, dalam "java Furniture Mttkers: W'inners or losers .from GWbtt!ization", IDS. Sussex, Sept 2003
56
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tabel5.1 Kapasitas Industri Pengolaban Kayu dan Produk Huran Lainnya serta Penggunaannya
~(QK®!illill:l) ~®iJ) ---- ------ ------
1996 1.363 50
1997 1.371 57,4
1998 1.373 45,4
1999 1.373 47
Sumber: BPS, diolah
Sejak tahun 1997 kayu-kayu dati luat Jawa termasuk impor mulai memasuki pasat kayu di Jawa Timur. Ada kecenderungan bahwa jumlah kayu dari luar Jawa itu semakin meningkat. Pada hampir
seluruh FGD yang dilakukan, peserta kbususnya dati sisi hilir rantai bisnis yang ada menyatakan
bahwa sekatang mereka lebih banyak menggunakan kayu dati luat Jawa termasuk import. Hal ini terutama dirasakan oleh pelaku usaha usaha yang berada di Jawa Timur bagian utata. lni terjadi
katena di Jatim bagian utata ini hampir tidak memiliki hutan kayu lagi, sehingga cenderung tergan
tung pada kayu dari luar Jawa.
Nilai output dan nilai ekspor barang kayu dan hasil huran lainnya seperti tampak pada grafik di bawah ini. Pada dasatnya sumber kayu yang dihasilkan di Indonesia pada umumnya berasal dari
4 katego~i yakni rumah tangga, usaha kecil, sedang dan besat. Dati nilai outputnya rumah tangga menempati tingkat tertinggi. Namun dalam hal ekspor, usaha besar mendominasi kegiatan ekspor.
Hal ini menunjukkan bahwa industri kayu dari usaha rumah tangga, kecil dan sedang ditujukan
untuk mengisi pasar dalam negeri.
15%
Gambar 5.1 Perbandingan Nilai Keluaran Industri dan Nilai Ekspor (Kayu dan Benda Produk Huran Lainnya)
Disrribusi nilai total keluar (%)
31%
• Rumah Tangga fd Usaha Menengah
D Usaha Besar • Usaha Kecil
Sumber: StatistiK lndustri, BPS, 2000, diolah
57
I
I
I
I
Mata Rantai Komoditas
Sumber kayu utama di Jawa Timur terdiri dati hutan rakyat, Perhutani (perusabaan milik
negata), kayu dari !uat Jawa, dan kayu impor !uat negeri. Definisi hutan rakyat ialab kayu yang ditanam di atas tanab milik perorangan, biasanya menggunakan luas tanab kecil. Pata pemilik hutan rakyat pada umumnya usaba rumab tangga dan usaba kecil. Kayu dati luar Jawa biasanya berasal
dati kategori pelaku usaba besat. Di bawab ini suatu ilustrasi rantai distribusi komoditas kayu di
JawaTimur.
Gambar 5.2 Rantai Distribusi Usaha Kayu diJawa Timor
I ~ UKM Pedagang Sawmill lndustri mebel Konsumen
(dibawah 50 hdmuo) Pertama diJatim Akhir
~ Perhutani I Pedagang Kedua
Industri mebel /f'\ di luar Jatim
I PTP I PabrikKayu
Olahan (Probolinggo, Surabaya)
LuarJawa I
I Pabrik Kertas
Import • (PT. Tjiwi Kimia)
Berikut beberapa masalab yang dihadapi oleh pata pelaku usaba di sektor industri kayu.
ISU-ISU
PENCURIAN KAYU DAN PEMBABATAN HUTAN
Menipisnya ketersediaan baban baku kayu khususnya untuk jati mendominasi FGD diberbagai wilayah. Menipisnya ketersediaan baban baku kayu ini terutama disebabkan terjadinya pencurian
dan penjaraban kayu yang tidak terkontrol. Pemerintab dan apatat keamanan sudab saat ini tidak
mampu mengatasi masalab pencurian dan penjataban kayu yang dilakukan melalui penebangan
!iat. Tingginya tingkat pencurian kayu seperti yang disebut pada bagian terdabulu dimungkinkan katena disinyalir adanya keterlibatan 'orang dalam' (atau bahkan militer). Apalagi setelab reformasi digulirkan, pada saat itu masyarakat umum seakan berlomba-lomba untuk menebang hutan, den
gan alasan sebagai kompensasi atas perampasan tanah dimasa lalu. Pada saat itu jelas penebangan kayu !iat dihutan mengalami peningkatan yang sangat tajam.
58
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Modus pencurian kayu secara urn urn dilakukan dalam dua cara yakni pencurian secara tebang lang
sung dan kemudian diselundupkan kewilayah-wilayah tertentu melalui penadah-penadah yang ada.
Dalam kasus ini maka kayu yang diperdagangankan termasuk dalam perdagangan ilegal. Modus
kedua yakni kayu-kayu yang ditebang secara liar kemudian dibuatkan surat izinnya. Sehingga kayu
kayu kemudian menjadi sah secara hukum. Dengan demikian ketika kayu tersebut dijual, maka
transaksi perdagangannya menjadi sah. Hal ini sangat terkait dengan proses pemberian izin baik
izin penebangan maupun pengangkutan kayu yang sangat reman terhadap proses korupsi sehingga
memungkinkan dikeluarkan izin-izin yang seharusnya tidak dapat dikeluarkan. Metoda kedua ini
dapat diatasi jika pemerintah lokal tegas tentang memberantas korupsi.
Pencurian dan penjarahan kayu ini secara langsung berakibat pada semakin menggundulnya hutan.
Sementara itu kemampuan pemerintah dalam melakukan penanaman kembali hutan-hutan selama
ini sangat terbatas dan jauh tertinggal dengan percepatan penggundulan hutan.
Luas hutan yang berada dibawah pengelolaan Perhutani Bojonegoro adalah 50.145,5 ha (termasuk hutan lindung). lni merupakan 95% dari seluruh areal hutan kayu yang ada di Kabupaten Bojonegoro. Dari luas tersebut hutan yang gundul sekitar 20%-nya yakni sekitar 11. 000 ha pada tahun 2001. Diperkirakan saat ini luas hutan yang gundul semakin meluas. Sementara itu kemampuan pemda melalui perhutani dalam melakukan penghijauan sangat lambat. Rata-rata hanya mampu sekitar 1.011 ha!tahun (tahun 2003). Padahal penggundulan hutan setiap tahun diperkirakan jauh di atas angka tersebut. (FGD, Tim PSD, 2004)
Hal lain yang juga kurang mendukung percepatan proses penghijauan kembali hutan-hutan yang
gundul ini karena rendahnya keterlibatan aktif masyarakat dalam upaya semacam ini.
PERIZINAN
Perizinan di sektor kayu merupakan isu yang rumit. Ada dua jenis izin yang paling banyak mendapat
keluhan dati para pengusaha kayu yakni Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) 18 dan Lisensi yang berupa Surat Perintah Alokasi Pembelian (SPAP), Surat Perintah Pembelian (SPP) dan
Surat Ijin Pembelian (SIP) 19•
18Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 132/Kpts-Il/2000 tentang Pemberlakukan surat keterangan sahnya hasil huran (SKSHH) sebagai pengganti dokumen surat angkutan kayu bulat (SAKB), surat angkutan kayu loan (SAKO) dan surat angkutan hasi! hutan bukan kayu (SAHHBK).
19Usensi rersebut dibedakan berdasarkan volume pembelian kayu per tahun, secara rind dapat diuraikan sebagai berikut (a) SPAP surat ijin ini dikduarkan oleh Perhurani Pusat umuk pembelian kayu per tahun sebanyak diatas 2000 M3 (b) SPP surar ijin ini dikduarkan oleh Perhutani Propinsi umuk pembelian kayu per rahun sebanyak anrara 600- 900 M3 (c) SIP surat ijin ini dikeluarkan oleh Perhutani Kabupaten umuk pembelian kayu per tahun paling banyak 700 M3
59
Mata Rantai Komodiras
SKSHH pada dasarnya memberi kepastian hukum akan asal usul kayu yang sah. Pihak yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SKSHH adalah Pemda melalui Dinas Perkebunan atau
Kehutanan setempat. Namun demikian dalam kenyataannya sebagaimana diulas diatas bahwa surat ini malah digunakan untuk melegalkan barang-barang curian. Dengan kata lain banyak sekali
kayu hasil pencurian itu dengan mudah mendapatkan SKSHH. Artinya dengan surat ini kayu curian tersebut menjadi sah di pasar. Akibatnya para pengusaha yang mendapatkan kayu secara sah
merasa dirugikan, karena harus bersaing dengan kayu-kayu ilegal (yang dilegalkan) dengan harga yang lebih murah, sehingga kompetisi menjadi super ketat. Di Bojonegoro Diperkirakan jurnlah
kayu ilegal yang berhasil mendapatkan SKSHH mencapai 14.000 m3 dalam tahun 2003. (FGD, Tim PSD, 2004).
Gambar 5.3 PROSES PENERBITAN SKSHH lzin Pengangkutan!perdagangan Kayu Nasional
Snrat keputusan dirjen pengolaban hasil kehutanan no.82/KPTS VI-EDAR/2002
- Penebangan Pohon - Perusahaan
menerbitkan Laporan Hasil Produksi (LHP)
LHP harus disahkan oleh tim khusus yang . terdiri dari :
I. Dinas Kehutanan (Prop atau Kabupaten) 2. Pemerintah Daerah bagian Ekonomi 3. Komisi B DPRD 4. Dinas Pendapatan Daerah
1 Selanjutnya tim akan melakukan survey lapangan dan akan menganalisa tentang
spesifikasi kayu tebangan, area tebangan, dll
1 Diterbitkan Berita Acara yang telah mendapat
tanda tangan persetujuan
1 LHP dengan dilarnpiri Berita acara diajukan ke petugas pengesah LHP di Dinas Kehutanan ybs,
untuk mendapat pengesahan
Nom: PSDH (ProuUi Sumbrr DllJ4 HuMn) adalah mribusi hasil kayu olahan
60
1---+
P2SKSHH akan menerbitkan
t perusahaan mengajukan permohonan
SKSHH dengan dilarnpiri bukti pembayaran kepada pejabat penerbit
SKSHH
PP 34/99, SK MehHut 6887/2002
t Setelah melakukan pembayaran restribus PSDH perusahaan akan mendapat bukti
pembayaran
t Perusahaan akan membayar restribusi PSDH melalui rekening ke Kas daerah
PP 34/02, PP 74/99, SK Men Perindustrian 51 0/MPP/Kep/2002
t Setelah LHP disetujui maka Dinas
Kehutanan ybs akan menerbitkan surat pembayaran restribusi PSDH
Memperbaiki Iklim Usaha di JaWa Timur
Standar-standar pelaksanaan UU Kehutanan tentang SKSHH menimbulkan suatu dilema. Di
satu pihak, peraturan ini dibuat sedemikian terperinci sehingga seharusnya menutup semua peluang
untuk penyimpangan, sedangkan di lain pihak tingginya perincian standar-standar tersebut men
ciptakan kompleksitas dalam pelaksanaan sehingga sebenarnya menciptakan peluang bagi korupsi.
Misalnya, sehubungan dengan dimensi dan berat kayu gelondongan, SKSHH memperinci berat
dan dimensi kayu gelondongan yang boleh diangkur dan diperdagangkan; akan tetapi, oleh karena
tidak ada teknologi standar untuk pemotongan kayu, maka sulit untuk mengukur secara tepat be
rat dan dimensi-dimensi yang diperinci di dalam SKSHH. Perbedaan ini antara berat dan dimensi
yang diperinci di dalam SKSHH dan jumlah-jumiah yang sebenarnya diangkut berarti bahwa men
gangkur kayu dari satu tempat ke tempat yang lain tunduk pada banyak pungutan, baik dari pihak
kepollsian dan dari DLLAJ.
Kelemahan dalam kebijakan perizinan yang dilakukan melalui SKSHH ini adalah tidak membe
dakan antara kayu-kayu yang berasal dari PT Perhutani atau perusahaan-perusahaan besar pemilik
HPH dengan kayu-kayu yang ditebang dari hutan rakyat. Kayu yang berasal dari hutan rakyat yang
dimaksud adalah kayu yang ditanam ditanah yang umumnya tidak luas millk rakyat sendiri. Wa
laupun ditanam di tanah milik sendiri namun bila rakyat sebagai pemilik lahan hendak menebang
kayunya sendiri sangat sulit karena secara regulasi keberadaan kayu ini dipersamakan dengan kayu
negara.
Izin yang kedua yakni SPAP/SPP/SIP adalah izin yang dikeluarkan menyangkur cara mendapatkan
atau membeli kayu. Saat ini ada dua cara mendapatkan atau membeli kayu dari Perhutani yakni me
lalui lelang dan lisensi. Lelang hanya berlaku untuk pembelian dalam jumlah yang besar. Sementara
untuk pembelian jumlah kecil dilakukan melalui lisensi. Sehingga bagi para pelaku usaha terutama
pengusaha kecil maka pembelian kayu dari Perhurani dilakukan melalui llsensi. Adapun lisensi yang
dimaksud yakni SPAP yang dikeluarkan oleh Pusat, SPP dikeluarkan oleh unit di tingkat provinsi
dan SIP dikeluarkan oleh KPH di tingkat Kabupaten. Perbedaan SPAP, SPP dan SIP adalah berkai
tan dengan jumlah pembelian kayu.
Sebagaimana juga dengan SKSHH surat izin ini juga tidak terlepas dari praktek-praktek korupsi
yang membuat pengurusan surat ini menjadi sulit dan mahal, dan hanya bisa cepat bila membayar
sejumlah uang suap kepada pihak pemberi izin.
Seorangpeserta dari Bojonegoro menuturkan: ': .. Kalau mau membayar 1,5 juta mengurus lisensi maka
izin akan keluar di bawah jam 12. Tapi kalau cuma berani membayar 25.000 maka izin baru akan
keluar di atas jam 2 atau baru besok siang lagi ... " (FGD, Tim PSD, 2004)
Kebijakan perizinan lain yang juga membatasi suplai kayu adalah kebijakan moratorium20 yakni
kebijakan cegah tebang. Pada dasarnya kebijakan ini ditujukan bagi langkah pengamanan terhadap
2°Keputusan Menreri Kehutanan No 127/kpts~V/2001 Tentang Penghentian sementara {moratorium) kegiatan penebangan dan perdagangan ramin (gonytylus spp)
61
Mata Rantai Komoditas
keberadaan kayu dihutan khususnya kayu rarnin agar tidak habis dalarn waktu yang singkat. Narnun
disisi lain kebijakan ini secara langsung juga telah menyebabkan PT Perhutani juga mengalami pembatasan dalarn penebangan kayu. Narnun karena ada unsur permainan serta lemahnya komrol
terhadap pelaksanaan kebijakan ini, maka kebijakan ini narnpaknya kurang efektif untuk mencegah
penebangan hutan.
Izin lain yang juga mempengaruhi transaksi kayu terutarna ekspor kayu adalah menyangkut
kebijakan izin ekspor untuk beberapa jenis hasil hutan seperti kayu lapis dan rotan sebagaimana
dituangkan dalarn Surat Keputusan Menperindag tentang ketentuan ekspor bahwa masih ada surat izin tertentu yang menjadi persyaratan ekspor hasil hutan sebagai berikut:
62
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Di sektor hilir, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) bagi para pengrajin kayu cukup penting
karena bisa melindungi mereka dari penipuan dan peniruan. Namun demikian HAKI cukup sulit
diperoleh selain lama dan mahal, juga tidak jelas harus mengurus kemana. Akibatnya design banyak dijiplak pihak lain, terutama pengrajin mebel dan furnitur serta kerajinan kayu lainnya. Kalaupun
HAKI diperoleh tetap sulit mendapatkan perlindungan terhadap pembajakan hasil karya sendiri
Izin lain yang juga cukup mahal dan karenanya sulit diperoleh adalah Izin lokasi lahan kayu terutama
yang dipedalaman dirasakan cukup mahal dan harganya disamakan dengan lahan yang berada didekat jalan raya. Rata-rata izin lokasi mengalami peningkatan yang cukup tinggi, belum lagi ditambah dengan pungutan. Berikut ini pengalaman seorang petani kayu jati yang membatalkan
rencananya dikarenakan terlalu mahal.
Petani di Kabupaten Kediri yang memiliki 4 hektar tanah. fa merencanakan untuk menanaminya
dengan semaian kayu jati emas. Modal yang diperlukan untuk menanam semaian tersebut ialah
sekitar Rp 25 juta per hektar, jadi seluruh biaya untuk membangun empat hektar ialah Rp 100
juta. Ketika ia mencoba mengurus izin lokasi, ia diminta membayar Rp 50 juta per hektar,
dengan total Rp 200 juta. Angka ini adalah basil tawar menawar, oleh karena harga yang
diminta pada awalnya adalah Rp 350 juta untuk empat hektar . (FGD, Tim PSD. 2004)
INFRASTRUKTUR
Jenis-jenis infrastruktur yang mempunyai dampak signifikan terhadap kegiatan usaha berkaitan
dengan kehutanan di Jawa Timur adalah sebagai berikut:
]aringan Telepon: Jaringan telepon cukup terbatas dan jarang mencapai desa-desa, kendati kebanyakan huran rakyat terletak di wilayah pedesaan. Ini berarti bahwa proses penjualan kayu
sering tidak efisien karena komunikasi antara pedagang/ pembeli dan para pemasok memerlukan
kunjungan fisik.
]aringan jalan pedesaan: Wilayah huran atau pusat produksi kayu pada umumnya terletak di wilayah pedesaan. Akibarnya, kondisi jalan pedesaan, terutama dari huran ke jalan kabupaten dan
jalan propinsi mempunyai dampak besar atas usaha perkayuan. Saat ini, banyak jalan desa dalam kondisi buruk, yang berarti bahwa proses transportasi memakan waktu lama dan biaya transportasi
menjadi lebih tinggi. Lagi pula di wilayah Bojonegoro di mana banyak produsen kerajinan kayu dan mebel berlokasi, kebanyakan jalan cukup sempit. Hal ini membuat sulit bagi truk untuk
memasuki pusat produksi kerajinan, yang berarti bahwa para pengusaha harus mengeluarkan biaya
lebih banyak untuk transportasi.
63
Mata Rantai Komoditas
Untuk pengangkuta_n 103 kayu bisa dilakukan dengan sekali angkut dengan menggunakan truk
dengan biaya Rp 100.000,-. Namun karena kondisi )alan yang tidak memungkinkan maka
kendaraan yang dapat menjangkau pedalaman hutan kayu hanya mobil pick up. Pick up hanya
mampu mengangkut kayu sekitar 33, karena itu perlu bolak-balik sampai 3-4 kali. Biaya pick
up untuk sekali pengangkutan sekitar 40. 000-60.000. Oleh karena itu total biaya untuk
pengangkuta 103 kayu dengan pick up sekitar Rp 200. 000,. Dan ini artinya dua kali lipat lebih
banyak dan tiga kali lipat lebih lama. (FGD, Tim PSD, 2004)
]aringan listrik terbatas terutama yang memasuki desa-desa. Kalaupun jaringan listrik sarnpai
didesa masih ada beberapa persoalan menyangkut infrastruktur listrik yakni perr:ima menyangkut
pemerataan, seringkali pengusaha besar atau orang-orang yang dekat dengan aparat desa, dengan mudah mendapatkan saluran listrik, narnun bagi masyarakat lain sangat sulit. Persoalan lain yang
juga ditemukan dalarn distribusi saluran listrik adalah telah terjadinya praktek penggelapan yang dilakukan oleh aparat desa, dimana terdapat masyarakat yang sudah menyetorkan sejumlah uang
untuk penyarnbungan listrik, narnun pihak PLN menyatakan tidak menerima setoran tersebut, sehingga listrik batal disalurkan.
MANAJEMEN PERTANAHAN
Di Jawa Timur bagian selatan, pasokan kayu terbatas terutarna merupakan altibat daerah hutan yang terbatas. Para peserra mengatakan bahwa banyak pesanan kayu ditempatkan kepada para
petani, pedagang dan operator penggergajian kayu, tetapi tidak ada lagi tanah yang tersedia untuk
dikonversikan menjadi hutan produksi kayu. Sebenarnya ada sebagian besar tanah milik negara yang tidak dikelola dengan baik, akan tetapi akses terhadap tanah itu tidak tersedia.
PAJAK DAN RETRIBUSI
Retribusi untuk SKSHH dirasakan terlalu tinggi,misalnya di Surabaya tarif SKSHH ialah Rp
5000/m3. Pajak berlapis ganda masih ditemukan di banyak daerah, dan dirasakan sebagai beban berat. Di Trenggalek, misalnya, pajak-pajak berikut - Pajak Kendaraan, PPN, Pajak Penghasilan
dan Pajak untuk Penerimaan Tertahan - dikenakan kepada obyek yang sarna, mobil. Di dalarn satu
FGD, seorang pengusaha penggergajian mengatakan bahwa ia menghabiskan Rp 500 juta dalarn satu tahun untuk mengurus semua dokumen tersebut.
PUNGUTAN-PUNGUTAN LIAR
Pungutan liar dikemukakan di harnpir setiap FGD yang diselenggarakan. Untuk komoditas kayu,
pungutan-pungutan liar yang dikeluhkan oleh para peserta diskusi mencakup yang berikut:
64
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
• Pungutan-pungutan dari desa, RT, RW, hansip, dan "sumbangan-sumbangan'' kepada pihak
pihak lain seperti kepolisian setempat, dsb.
Kasus-kasus contoh pungutan oleh Pemerintah Desa:
Kasus {1): Mengangkut kayu dari Sumber Rejo ke Kamolan, meliwati tiga desa. ]ika kayu itu
diangkut dengan pickup, dikenakan punguian Rp. 2.500 per perjalanan~ jika menggunakan
L300 pungutannya Rp 5. 000 per perjalanan, dan jika memakai truk pungutannya Rp 10. 000
per truk per perjalanan.
Kasus (2): Mengangkut kayu dari Desa Karang Rejo - Mungguran - Mendo Agung: dinilai Rp
2. 000 per 5 kilometer per pickup per perjalanan.
• Pungutan-pungutan di pelabuhan !aut
• Pungutan liar dalarn pengurusan SKSHH; bisa mencapai 20% dari harga kayu
• Pungutan-pungutan di jalanan, khususnya dari pihak polisi
Kasus-kasus contoh pungutan di jalanan:
Kasus {1): Mengangkut kayu dari Trenggalek ke Surabaya menggunakan truk gandengan, biaya
per perjalananper truk untuk pungutan-pungutan tidak resmi sepanjang seluruh perjalanan
mencapai sekitar Rp 50.000. Di samping pungutan-pungutan "harian" terse but, ada biaya-bi
aya lain bersifot bulanan, sekitar Rp 2,5 )uta sampai Rp 4 )uta untuk em pat pos ( disebut Polisi
Sektor, Polisi Resort dan polisi unit sabharat).
Kasus (2): Di dalam pengiriman kayu dari kecamatan Dongko ke Probolinggo, sekitar Rp.
100.000 harus dikeluarkan. Pos-pos di mana diketahui harus dilakukan pembayaran termasuk
Polisi Sektor Dongko, Perhutani di Krangan, dan pos-pos lain antara Blitar dan Malang.
• Pungutan "door to door': Ban yak kelompok menarik pungutan seperti itu termasuk pejabat
desa, polisi, militer dan sebagainya. Seorang operator usaha mebel, misalnya, harus mengalo
kasikan sekitar Rp 250.000 sarnpai 300.000 per bulan untuk pungutan-pungutan seperti itu.
Jumlah-jumlah tersebut biasanya naik menjelang hari raya besar seperti Lebaran, Natal dan
Tahun Baru.
TEMBAKAU
Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut: Bojonegoro, Sumenep,
Kediri, Malang, Banyuwangi, Jember.
Tembakau merupakan komoditas yang terutama digunakan dalarn produksi rokok, akan tetapi
selintas nasional industri ini memberi pekerjaan kepada jutaan orang, dengan efek pengganda di
65
Mata Rantai Komoditas
dalam rantai usaha pembudidayaan tembakau, pengolahan, pencetakan, periklanan, perdagangan,
transportasi dan penelitian21 •
Industri ini juga memberi sumbangan cukup besar terhadap penerimaan negara. Cukai atas produk
tembakau pada tahun 1998 memberi penerimaan sebesar Rp. 7,5 trilyun, atau 4,47 persen dari total penerimaan negara; lima tahun kemudian pada tahun 2003, jumlah ini naik menjadi Rp. 27,9
trilyun, atau 7,54 persen dari total penerimaan negara22 •
Tanaman tembakau merupakan tanaman perkebunan yang cukup lama dikembangkan oleh pemerintahan kolonial Belanda sejak tahun 1800-an. Tanaman ini mulai berkembang pada awal tahun
1900an, dengan pasar utama ke Eropa dan Amerika. Tanaman ini kemudian menjadi tradisi perke
bunan di Jawa Timur dengan hasil tembakau jenis Virginia dan Besuki Naa Oogst (BNO) sebagai bahan rokok kretek dan cerutu.
Tembakau dan industri rokok merupakan industri unggulan di Jawa Timur. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim, 2002, jumlah industri tembakau di Jatim tercatat 435 perusahaan
dari total 807 industri tembakau nasional, dan em pat di antaranya merupakan perusahaan dengan modal asing (PMA). Tak kurang dari lima kabupaten di Jawa Timur yakni Bojonegoro, }ember, Probolinggo, Pamekasan dan Sumenep menjadi penghasil tembakau utama baik untuk industri
rokok dalam negeri maupun ekspor.
]ember
Sumenep
Pamekasan
JawaTimur
Tabel 5.2 Luas Tanaman dan Produksi Tembakau di Kelima Daerab Produksi Terbesar di Jawa Timur, 2000 - 2002
14.603 12.022 12.713 11.367 13.093
17.070 12.655 18.806 17.801 11.893
9.556 11.219 11.228 13.455 12.569
19.381 12.617 23.784 15.389 23.790
30.488 18.347 39.565 18.174 39.570
125.996 98.381 149.538 107.361 149.409 Diolah dari: "Jawa limur dalam Angl::a, 2002"
11.768
13.080
14.813
15.564
18.400
108.515
Tembakau yang dihasilkan oleh daerah-daerah tersebut menjadi bahan baku utama untuk industri
rokok, yang terse bar di seluruh Jawa Timur. Perusahaan-perusahaan rokok terbesar, seperti Gudang
Garam di Kediri, Sampoerna di Surabaya, dan Bentoel Prima, Philip Morris dan Rothmans dari Pall Mall Indonesia di Malang, menjadi industri hasil tembakau yang memberikan dampak ekonomi yang besar di Jawa Timur.
21 Kompas, 31 Agusrus 2000 22Analisis Dasar-Dasar Makro dan Mikro umuk Kebijakan Cukai Tembakau di Indonesia, Oirektorat Jenderal Bea dan Cukai dan Badan Analisis Fiskal (BAF), Departe-
men Keuangan, 2004 66
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Secara umu~ rantai bisnis industri hasil tembakau adalah sebagai berikut :
Gambar 5.4 Rantai Produksi Tembakau
L P~mhibitan · J -----... Penanaman J -----... Pan en - I Digulung/Dieram I
~ Gudang Pabrik Rokok Dibungkus I.._ I Dilembabkan I ..__ Dirajang I
Produksi Rokok Pabrik Rokok Kecil
c==_·~~--~--~~--~---K_o_n_s_um __ ~n J
Dari rantai bisnis diatas, bisnis tembakau sendiri melibatkan petani, pemilik lahan, pedagang dan
pabrik rokok. Sementara pasca pengolahan, bisnis hasil tembakau melibatkan pelaku yang berbeda yakni industri kertas dan pengemasan, perdagangan dan distribusi, periklanan bahkan industri hi
buran dan olah raga.
Dari pemain yang terlibat, petani yang paling reman terhadap perubahan kebijakan dan perubahan lingkungan bisnis yang ada. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga-harga kepada para petani ter
masuk biaya masukan (pupuk, bibit dan masukan-masukan lain yang kebanyakan diperoleh dari
BUMN), dan tingkat permintaan, yang dipengaruhi antara lain oleh kebijakan cukai. Hasil-hasil suatu survey petani tembakau menunjukkan bahwa mereka mempunyai persepsi agak negatif ten
tang kebijakan cukai tembakau yang ditetapkan oleh pemerintah23 •
ISU-ISU
KOMPONEN BIAYA DAN MASALAH HARGA
Seperti dibicarakan di atas, para petani menghadapi risiko produksi yang tinggi. Setiap perubahan dalam komponen biaya produksi akan mempengaruhi penghasilan petani. Komponen-komponen
biaya dalam usaha penanaman tembakau termasuk yang berikut: (1) biaya sewa tanah, (2) biaya buruh, (3) biaya persiapan lahan, (4) biaya pupuk, (5) bibit dan bahan kimia, (6) biaya perawatan,
(7) biaya panen, (8) biaya pemrosesan, dan (9) biaya pemasaran24.
23Brahmamio dkk., dalam studi Departemen Keuangan PSPK-BAF, menyarakan bahwa biaya cukai tembakau yang meningkat terus akan menjadi beban bagi para perani, oleh karena kenaikannya akan dipikul o\eh peranilmenggerogoti harga-harga perani (52,8%), tar if cukai yang dinaikkan dan ridak disertai kebijakan temang harga tembakauakan menekan harga tembakau (36,3%), dan sisanya menyatakan bahwa cukai tembakau yangdinaikkan rdah mengurangi permimaan unruk tembakau. 24Laporan Akhir dari Kajian ten rang Alternatif Cukai Tembakau, 2004, FE-UNDIP. 2003
67
Mata Rantai Komoditas
Sementara itu, hasil FGD mencatat bahwa petani tidak memiliki akses langsung kepada gudang pabrik rokok. Hasil produksi berupa daun tembakau dari petani dijual ke tengkulak kecil yang
membeli dengan sistem tebasan atau borongan. Tengkulak kecil kemudian menjual tembakau bo
rongon ke pedagang besar yang biasa disebut bos. Selanjutnya bos melakukan proses pengeringan daun tembakau tersebut. Tembakau kering yang dihasilkan kemudian dijual ke gudang, dimana
sebagian besar gudang dimiliki (terdapat keterkaitan) oleh pabrik rokok.
Pedagang atau tengkulak menerima sub-pesanan (DO) dari pedagang/perantara besar, yang meneri
ma DO dari gudang atau pabrik rokok. Para perantara yang memegang sub-DO, agar mendapat
harga yang lebih baik, seringkali langsung bertransaksi dengan gudang. Berbagai pungutan gelap
terjadi pada tahap ini, seperti di pintu penerimaan tembakau, timbangan, dan pemeriksaan mutu
tembakau . Kenyataan bahwa beberapa pedagang mempunyai akses khusus kepada para wakil pabrik rokok, dengan berbagai fasilitas yang mereka sediakan, menciptakan persaingan tidak seimbang an
tara para pedagang tembakauz'.
Permainan harga berikutnya muncul ketika terdapat keadaan suplai tembakau oleli petani melebihi
permintaan gudang pabrik rokok. Pabrik rokok maupun dinas pertanian/perkebunan di daerah sebenarnya telah berperan dalam menginformasikasn kebutuhan tembakau untuk periode tertentu
kepada petani. Hal ini untuk mencegah anjloknya harga tembakau di tingkat petani. Namun tidak
jarang informasi rencana kebutuhan tembakau yang kemudian menggambarkan perkiraan harga yang menarik untuk jenis dan kualitas tertentu, malah mendorong petani untuk menanan tem
bakau. Akibatnya, ketika datang masa panen suppry tembakau melimpah melebihi permintaan gudang, maka harga tembakau di tingkat petani menjadi rendah.
Dalam arti persaingan jangka panjang, petani tembakau juga akan mengalami ancaman harga untuk bersaing di pasar internasional. Cina merupakan salah satu pesaing potensial terbesar. Tembakau
dari Cina mempunyai harga lebih rendah dan para produsen mempunyai produktivitas sepuluh kali lebih besar. Produksi tembakau di Cina bisa mencapai 2000 kilogram per hektar26, dibandingkan dengan 200 kilogram per hektar di Indonesia.
l5Fasiliras~fasilitas yang diberikan cennasuk infonnasi temang harga dan mum tembakau yang diinginkan oleh gudang pabrik rokok. Beberapa gudang, acau pengusaha yang berrindak aras nama para pabrikan rokok, bahkan menyediakan pinjaman kepada para pedagang dengan maksud membdi tembakau dari para perani. {RED!, 2003)
26Kompas, 12 Aguscus 2002
68
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tabel5.3 Ekspor dao lmpor Tembakau di Indonesia, 1990- 2000
1990 17.401 58.612 26.546 41.963
1991 22.403 57.862 28.542 58.430
1992 32.365 80.949 25.108 64.547
1993 37.259 66.014 30.226 76.995
1994 30.926 53.261 40.321 100.217
1995 21.989 61.456 47.953 104.474
1996 33.240 85.623 45.060 134.153
1997 42.281 104.743 47.108 157.767
1998 49.960 147.552 23.219 108.464
1999* 37.096 91.833 37.345 128.021
2000** 29.050 77.708 27.283 85.844
Sumber: Direktorat Jendral Pembinaan Produksi Perkebunan Catatan: *l Data sementara .. l Data perkiraan
STANDAR MUTU
Penetapan standar pada produk tembakau oleh pabrik rokok menyebabkan tidak semua hasil tem
bakau petani dapat dijual dengan harga yang bagus. Begitu pula dengan penetapan standar tem
bakau untuk ekspor ke mancanegara. Standar mutu sangat ditentukan oleh pilihan jenis tembakau,
teknik processing dan kadar tar dan nikotin.
Pada pabrik rokok besar yang memiliki gudang sendiri, dalarn melakukan pengendalian kualitas
tembakau, biasanya mereka melakukan treatment tertentu pada saat menyimpan tembakau digu
dang. Tembakau biasanya disimpan selarna tiga hingga lima tahun. Tembakau yang telah disimpan
tersebut diyakini dapat menghasilkan cita rasa yang lebih nikmat. Oleh sebab itu, perubahan harga
tembakau dan tarif cukai, bagi pabrik besar tidak menimbulkan masalah yang berarti.
Standar lain ialah terkait dengan ketentuan kesehatan yang ditetapkan oleh WHO. Berdasarkan PP
no 81 tahun 1999, pemerintah menetapkan kadar nikotin dan tar bahwa pada sebatang rokok yang
diperjualbelikan di wilayah Indonesiatidak boleh melebihi batas kadar maksimum untuk nikotin
1,5 mg dan tar 20 mg. Narnun hingga saat ini rata-rata kadar nikotin dan tar untuk Sigaret K.retek
Tangan (SKT) sebesar 3 mg dan 60 mg, Sigaret K.retek Mesin (SKM) sebesar 2,5 mg dan 50 mg.Bila
69
Mara Rantai Komoditas
terjadi penetapan kadar nikotin dan tar secara ketat pada jenis rokok sigaret maka dampaknya ke
pada petani akan sangat besar. Hal ini dikarenakan pangsa pasar rokok sigaret baik tangan maupun
mesin menguasai 87 o/o total produksi rokok, semen tara rokok putib dengan standar nikotin dan tar
yang lebih rendah menguasai 13 o/o sisanya. Umuk memenuhi ketemuan tersebut, perlu dilakukan
program jangka panjang oleh Departemen Pertanian serta pembinaan teknis untuk menurunkan
kadar nikotin dan tar, serta diiringin dengan penyesuaian teknologi processing tembakau dengan
mutu yang standar.
CUKAI
Setiap kenaikan biaya cukai atas produk tembakau selalu mempengaruhi pabrik-pabrik rokok,
petani tembakau, pedagang tembakau, pengecer rokok, dan konsumen. Tarif cukai yang diperki
rakan atas produk tembakau mengikuti rumus yang sangat rumit, mengandung komponen-kompo
nen Golongan Pengusaha Pabrik (GPP) dan Jenis Produk Tembakau, termasuk sigaret kretek mesin
(SKM), sigaret kretek tangan (SKT), sigaret putih mesin (SPM), variasi-variasi tradisional seperti
kelemek dan klobot, sigaret putih tangan (SPT), cerutu, tembakau irisan, dan sebagainya. Penilaian
cukai kemudian digunakan sebagai dasar untuk pemerintah dalam menetapkan harga jual eceran •
(HJE) dalam Rupiah per rokok.
Permasalahan pemalsuan pita cukai rokok tidak hanya berdampak pada negara, seperti yang dike
luhkan oleh Kanwil Bea Cukai Jawa timur, namun cuka berdampak pada persaingan produk rokok.
Produsen rokok skala menengah di Malang mengeluhkan adanya pemalsuan pita cukai rokok, kare
na hal ini kemudian menyebabkan produk pengusaha ini harus bersaing secara tidak sehat dengan
produsen rokok yang memalsukan pita cukai rokok atau membeli pita cukai rokok palsu.
Di Tulungagung, pabrik-pabrik rokok mengeluh tentang kesulitan untuk mendapatkan pita cukai
rokok pada bulan-bulan tertentu (seperti menjelang Lebaran). Tanpa pita cukai, pabrik-pabrik
itu tidak bisa menjual rokok yang mereka produksikan dan rokok itu menumpuk di gudang. (FGD.
Tim PSD, 2004}
INFRASTRUKTUR
Petani tembakau dan pengusaha rokok sangat memberikan perhatian pada kualitas jalan dan infra
struktur dasar yang sangat berpengaruh pada bisnis ini. Petani di pulau Madura merasakan bahwa
infrastruktur fisik khususnya jalan masih kurang mendukung. Kondisi jalan pada jalur utara ke
selatan dianggap sempit dan tidak ada alternatif lain. Selain itu kondisinya dalam keadaan kurang
baik.
70
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Petani dan pengusaha di Madura merespon positif pembangunan Jembatan SURAMADU, karena
hal ini akan memperlancar transportasi bisnis dari dan ke Madura. Sebagai dampak adanya pem
bangunan jembatan tersebut, kelancaran arus bisnis tentu akan mengakibatkan padatnya jalur lalu
lintas barat ke timur di sisi selatan sekarang. Kepadatan ini harus diantisipasi dengan memperlebar
jalur yang ada serta membuka jalur di sisi utara, yang kemudian diteruskan dengan jalur peng
hubung utara ke selatan.
Sebagai tanaman perkebunan pada jumlah yang luas dan dapat ditanaman pada jenis lahan tertentu,
kebutuhan tanaman tembakau memerlukan ketersediaan air yang cukup. Bagi petani tembakau di
Madura, ketersediaan air untuk keperluan tanaman tembakau telah mengalami penurunan, me
ngingat sedikitnya sumber air di pulau ini. Menurut petani, disamping air untuk irigasi perkebu
nan, petani juga memerlukan air bersih utuk kebutuhan rumah tangga.
Infrastruktur lain yang diperlukan oleh petani tembakau ialah adanya balai atau unit pengujian dan
standarisasi mutu tembakau. Adanya infrastruktur ini nantinya akan memberikan informasi yang
lebih jelas tentang jenis dan mutu bibit dan standarisasi pengolahan tembakau.
PERIJINAN
Di tingkat petani, lahan yang digunakan untuk budidaya tanaman tembakau selama ini sedikit
sekali yang bersertifikat. Petani menginginkan adanya kemudahan untuk mengurus sertifikat tanah.
Pengurusan sertifikat tanah saat ini maslh sangat rumit, hal ini mengakibatkan terhambatnya kebu
tuhan petani untuk memperoleh sertifikat yang nantinya dapat digunakan sebagai jaminan dalam
mengajukan pinjaman ke bank. Sementara itu para pedagang tembakau mengeluh tentang kurang
nya kejelasan dalam persyaratan untuk memperoleh surat izin usaha perdagangan (SIUP).
PUNGUTAN
Pabrik rokok, seperti dijelaskan diatas, untuk dapat memasarkan produknya sangat tergantung pada
pita cukai yang diperoleh. Disamping tarif cukai rokok semakin naik, pengusaha juga mengalami
kesulitan untuk mendapatkan pita cukai sesuai jumlah yang diharapkan. Bahkan untuk mem
peroleh pita cukai, pengusaha mengalami punguran sebagaimana yang dialami pengusaha rokok
dari Tulungagung dan Malang.
Disamping itu pula, pengusaha juga dibebani pungutan dengan bentuk sumbangan wajib yang
biasanya dipungut pada waktu-waktu dan acara tertentu. Pungutan berupa retribusi, terjadi pada
pengusaha rokok dalam mengantar dan memasarkan produknya yang diangkut pada mobil box
yang terdapat logo atau gambar produk. Pengenaan retribusi reklame pada angkutan barang terjadi
di Blitar dan Nganjuk.
71
Mata Rantai Komodiras
Sementara itu, petani di Pamekasan dan Sumenep telah lama mengeluhkan praktek pungutan beru
pa pengambilan sampel tembakau secara gratis yang dilakukan oleh oknum tengkulak atau petugas gudang pabrik rokok dalam jumlah besar. Sebenarnya petani di dua kabupaten ini telah mengu
sulkan kepada pibak Pemkab masing untuk membuat Perda yang mengatur tentang rata niaga
tembakau di daerah tersebur yang juga memasukkan aturan pengambilan sampel temabakau yang tidak merugikan petani. Petani di Madura juga mengeluhkan pungutan yang dikenalnya sebagai
jenis "pajak", yang dikenakan kepada petani tembakau dengan tarif flat rate kepada petani tembakau sebagai tarif rata-rata.
TEBU DAN GUIA
Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikur: Malang, Sidoarjo, Magetan, Kediri, Tulungagung.
Tebu, bersama-sama dengan tembakau, merupakan salah satu tanaman perkebunan terbesar di Jawa
Timur. Tanaman ini pertama-tama diperkenalkan pada masa kolonial Belanda. Mulanya tebu ditanam di lembah-lembah sungai besar di Jawa; kemudian pembudidayaannya menyebar juga ke
daerah dataran tinggi. Pada awal abad ke 20, Hindia Belanda merupakan pengekspor gula kedua di dunia, sesudah Kuba. Oleh karena gula merupakan komoditas penting, pemerintah kolonial
bahkan mendirikan stasiun penelitian perkebunan gula di Pasuruan, yang sekarang dikenal sebagai
Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Lembaga ini sebagaian besar didanai oleh BUMN Perkebunan Gula (PG).
Secara nasional, produksi gula dalam negeri mengalami penurunan hila dibandingkan dengan
produksi tahun 1930 yang mampu mencapai riga jura ton. Dari total produksi nasional yang mencapai 1, 7 jura ton saar ini, kebutuhan gula Indonesia harus dipenuhi dengan impor gula hingga
mencapai 1,5 jura ton pertahun27• Dari total produksi gula secara nasional, 41 o/o -nya atau sekitar 700 ribu ton gula diproduksi oleh 33 pabrik gula di Jawa Timur28•
Produksi gula di Jawa Timur meningkat teratur antara tahun 1999 dan 2002. Peningkatan ini, menurut data dari Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan (BPP) dari Departemen Perta
nian, disebabkan oleh peningkatan luas tanah yang ditanami tebu, disertai oleh perbaikan produktivitas tanaman tebu, yang mencapai lima ton per hektar.
Secara umum, rantai produksi gula dalam negeri dan rantai distribusi adalah sebagai berikut:
27Kompas, 25 Juli 2003 28Kompas, 22Juli 2002
72
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 5.5 Rantai Produksi Gula
Pabrik Gula
Giling Pabrik Gula
Pasokan bibit sebagian besar berasal dari penangkaran bibit oleh PG dan P3GI, sebagian kecil
dihasilkan oleh petani penangkar. Bibit yang berasal dari P3GI dan penangkar ditanarn pada !a
han petani, sedangkan bibit yang dihasilkan oleh PG ditanarn pada lahan milik PG dan petani di
wilayah operasi PG tersebut. Menurut Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) di wilayah PTPN XI
Jawa Timur, lahan perkebunan tebu yang dimiliki petani berkisar 35 hingga 60 persen dari total lahan tebu di wilayah operasi PG. Hanya sebagian kecil hasil panen tebu digiling oleh pengusaha
untuk dijadikan gula merah, sementara sebagian besar lainnya digiling di PG.
Bagi hasil panen tebu petani yang digiling oleh PG, petani memperoleh 66 persen gula dan PG
memperoleh 34 persen sisanya. Dari bagian petani tersebut, sepersepuluh atau sekitar 6,6 persen oleh PG diberikan secara in-natura berupa gula, sedangkan 59,4 persen dilelang yang melalui tim
lelang APTR.
Di Jawa Timur, sekitar 75-90 persen kebutuhan tebu ke pabrik gula dipasok dari petani. Jadi pabrik
gula sangat menggantungkan kinerja mesin produksi yang terpasang betul-betul pada produktivitas tebu yang ditanarn petani. Menurut kalangan pabrik gula, untuk dapat bersaing dengan gula
impor, petani harus marnpu meningkatkan produktivitas tebunya minimial mencapai 8,5 ton perhektarnya29.
ISU-ISU
PRODUKTIVITAS PETANI
Menurut data dari Direkrorat Jendral BPP, produktivitas tanarnan tebu di Jawa Timur saat ini hanya kalah dengan produktivitas tanarnan tebu di Larnpung yang rata-rata perhektar lahan marnpu
menghasilkan 7,8 ton gula. Produktivitas lahan tebu di Jawa Timur ini sebenarnya dapat ditingkat
kan apabila petani dalarn penanarnan tebu melakukannya dengan manajemen yang baik.
29Kompas, 26 Mei 2003
73
Mara Rantai Komoditas
Pemilihan bibit, pengolahan lahan, pemupukan, teknik tebang dan sistem irigasi menjadi fak
ror yang dapat mengurangi produktivitas tebu. Salah satu yang paling besar berpengaruh dalam
produktivitas dan randemen tebu adalah cara pengeprasan tebu (ratoon) yang dilakukan hingga 12
kali kepras. Padahal untuk menghasilkan tebu yang bagus dengan rendemen yang tinggi, penge
prasan dilakukan maksimal dua kali untuk tebu yang sama.
Salah satu sebab pemangkasan berlebihan ialah bahwa persiapan tanaman baru masih tetap dilakukan dengan cara tradisional dan padat tenaga kerja. Biaya persiapan lahan yang tepat sangat tinggi,
sekitar Rp 15-16 juta per hektar3°. Banyak petani menyatakan bahwa trakror terlalu mahal bagi
mereka. Oleh karena itu dilakukan pemangkasan berjumlah besar oleh karena mempersiapkan tanaman baru tidak layak dari segi keuangan. Ukuran lahan yang kecil, yang rata-rata kurang dari 0,25
hektar per petani, juga meningkatkan biaya produksi untuk masing-masing lahan31 . Fakror-faktor
ini membuat banyak petani memilih menanam tanaman lain daripada tebu, yang memperparah
kekurangan bahan baku yang dialami oleh pabrik-pabrik gula.
EFISIENSI PABRIK GULA
Perbaikan produktivitas perlu dilakukan darimulai sekror hulu sampai hilir dari komoditas tebu ini. Artinya dari mulai teknologi yang digunakan di kebun tebu sampai pengolahan tebu di pabrik gula.
Pabrik gula di Jawa termasuk Jawa Timur pada umumnya sangat tidak efisien. Mesin-mesin yang
digunakan di PG adalah mesin yang sama yang telah dipakai sejak 80 tahun yang lalu. Untuk dapat memenuhi target Pemerintah bahwa tahun 2007 industri gula nasional harus mampu memproduksi
gula minimal mencapai tiga jura ton, diperlukan restrukturisasi pabrik gula dengan melakukan
peremajaan mesin-mesin lama yang ada.
Dari kapasitas terpasang, penggunaan mesin-mesin di pabrik gula di Jawa Timur sekitar 70-75
persen, sisanya merupakan idle capacity. Dari tingkat penggunaan kapasitas tersebut, menurut pihak pabrik gula tingkat efisiensi proses produksi mencapai 80-90 persen. Idle capacity yang pada mesin-mesin PG terjadi disebabkan pasokan tebu oleh petani tidak mencukupi keburuhan maksimal
pabrik sesuai kapasitas terpasang. Namun menurut petani, tidak cukupnya pasokan ke pabrik, selain disebabkan jumlah basil panen tidak maksimal, juga disebabkan manajemen produksi di pabrik
gula yang kurang efisien. Sistem antrian giling yang panjang hingga mencapai 30 jam setelah tebang
merupakan hal yang merugikan petani, karena hal ini dapat mengakibatkan turunnya rendemen
tebu hingga 50 persen. Untuk menghindari terus menurunnya rendemen gula karena terlalu lama
mengantri, sebagian petani memilih untuk pindah ke pabrik gula lain yang memungkinkan segera
giling.
3°Kompas, 3 Juni 2002
3I Kompas, 26 Mei 2003 74
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Diketahui bahwa PG yang ada saat ini tidak ejisien dalam produksinya. Ketidakejisienan PG
tidak hanya disebabkan oleh mesin giling yang berusia lama, namun juga disebabkan struktur
manajemen yang terlalu gemuk dan tidak leluasa karena keputusan yang sangat sentralistik
oleh direksi PTPN Ketidakefisienan PG ini mendorong munculnya gagasan pabrik gula mini
(PGM).
PGM telah diujicoba oleh petani tebu di wilayah Kabupaten Malang. Prinsip PGM ialah
meningkatkan produktivitas tanaman tebu, meningkatkan ejisensi produksi gula petani, serta
mengurangi waktu antri giling tebu petani, sehingga tidak mengurangi rendemen tebu. Dengan
nilai investasi yang rendah, petani berharap PGM dapat mengundang pemerintah atau pihak
swasta untuk membangun pabrik ini dan bank dalam melakukan pembiayaan. (FGD, Tim PSD,
2004)
JMPOR GULA DAN GULA SELUNDUPAN
Impor gula dilakukan karena produksi gula di dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan to
tal nasional. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya babwa secara nasional, Indonesia harus mengim
por sekitar 1,5 juta ton gula setiap tabun dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri dalam
negeri. Namun gula impor yang masuk ke dalam negeri seringkali melebihi kebutuhan nasional.
Kelebihan impor terjadi baik karena pengadaan impor secara legal maupun karena illegal atau pe
nyelundupan.
Kebijakan impor gula diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.643 rabun 2002 tentang Tata Niaga Impor Gula. Kebijakan ini melindungi petani tebu Indo
nesia terhadap pihak pesaing asing yang memiliki efisiensi lebih tinggi dan harga lebih.rendab. Ijin impor diterbitkan selama harga dalam negeri untuk gula dianggap cukup tinggi. Misalnya, dengan
biaya produksi dasar untuk gula Rp. 3.100 per kg, para petani menjual kepada pedagang dalam
kisaran Rp. 3.400 - Rp. 3.450 per kg. Dengan harga ini, pemerintab bisa membuka impor gula
pasir putih. Akan tetapi bila harga di tingkat petani kurang dari Rp. 3.100 per kg, pemerintab tidak mengizinkan impor gula pasir putih.
Surat Keputusan Menteri No. 643/2002 memberi ijin impor kepada pabrik-pabrik gula (yang
menggiling gula produksi dalam negeri), pedagang gula terdaftar (yang juga menyalur gula produksi dalam negeri), dan suatu perusabaan dagang, PT. PPL Para petani tebu mempertanyakan keputusan
Menteri Perdagangan dan Industri untuk mengangkat PT. PPI sebagai importir gula. Penunjukkan PT. PPI yang bukan Importir Produsen (IP) Gula maupun ImportirTerdaftar (IT) Gula yang baban
bakunya sedikitnya 75 persen berasal atau bekerjasama dengan petani, dikhawatirkan akan merusak
tata niaga.
75
Mata Rantai Komoditas
Petani tebu menilai koordinasi aparat Bea cukai dan kepolisian terhadap pelaksanaan Kebijakan
Tata Niaga Impor Gula belum maksimal. Pintu-pintu penyelundupan gula seperti pulau Madura
dan pelabuhan lain di sisi utara Jawa Timur diharapkan memperoleh pengawasan yang ketat.
PAJAK DAN PUNGUTAN
Aneka pungutan yang dialami petani tebu, dirasakan sangat memberatkan. Pungutan terjadi mulai
panen, angkut, giling hingga hasil giling. Pungutan pada saat panen terjadi berupa retribusi hasil
perkebunan. Bersama purigutan ini, petani tebu di wilayah Madiun dan sekitarnya juga dikenai pungutan parkir antri giling. Sebelumnya petani telah dikenai pungutan jalan desa sebesar Rp.
25.000/rit oleh pihak Pemerintah Desa. Bahkan pada kasus di ]ember dan Situbondo, petani tebu
dikenai pungutan Desa berupa pungutan untuk pemeliharaan jalan desa dan pungutan hasil panen. Oleh karenanya kebanyakan petani menggiling tebu di pabrik milik negara, pembayaran pungutan
pungutan tersebut kadang-kadang dilakukan langsung kepada perusahaan milik negara.
Di Madiun, petani tebu dipungut oleh PG langsung melalui potongan hasil tebu dan DO setiap
kuitalnya sebesar Rp. 27,5, yang dibagi kedalam (a) sebesar Rp. 1 0/kw untuk retribusi jalan ke
Pemda, (b) sebesar Rp. 7,5/kw untuk pengamanan polisi dan (c) sebesar Rp. 1 Olkw untuk iuran
APTR (FGD, Tim PSD, 2004)
Sementara itu PG mengeluhkan pengenaan pajak PPN untuk sewa lahan dan sewa jasa angkut hasil
tebangan. Pengenaan PPN ini mengakibatkan biaya yang mesti ditanggung membengkak 10%.
KURANGNYA SUMBERAIR
Salah satu aspek infrastruktur yang sangat memprihatinkan petani tebu ialah ketersediaan sumber
dan saluran air. Saluran-saluran irigasi ke lahan-lahan petani saat ini tidak begitu baik oleh karena tidak dirawat dengan baik. Untuk mendapatkan air yang cukup para petani mengambil dari s;,mur,
yang kemudian dipompa untuk mengairi lahan tebu mereka.
Dalam hal kesulitan dengan tersedianya air di bekas karesidenan Madiun petani atau asosiasi petani harus mendapat air dengan memompa dari kedalaman 80 sampai 300 meter untuk setiap 100 hek
tar. Hal ini juga akibat perubahan prioritas pemakaian air dari mata air, yang sebelumnya dialoka
sikan kepada perkebunan tetapi telah digeser untuk air minum. Para petani tebu di Situbondo juga
menyebut perlunya infrastruktur pengairan lahan. Air saat ini disediakan dengan bantuan pompa air, tetapi diharapkan bahwa Waduk Samir yang direncanakan akan dibangun dalam waktu dekat.
Kesulitan memenuhi kebutuhan air untuk produksi juga dialami oleh pabrik gula (PG). Suplai
air ke PG saat ini untuk produksi didapatkan dari sungai dan pompa air bawah tanah yang
dialirkan melalui jaringan pipa air milik pabrik. Karena pemanfoatan air permukaan dan
76
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
air bawah tanah tersebut, PG dikenai retribusi Eksplorasi dan Pemeliharaan (EP) air sebesar
50 juta rupiah kepada ]asa Tirta setiap bulan. Namun demikian, PG tetap harus melakukan
pemiliharaan atau bahkan perbaikan sendiri bila terjadi kerusakan pada jaringan air tersebut.
(FGD. Tim PSD. 2004)
KEAMANAN
Setiap kali menjelang musim panen, para petani selalu siap untuk kemungkinan kebakaran di !a
han tebu mereka. Kebakaran menghancurkan antara 5 sampai 10 persen laban tebu. Para petani mengakui babwa eli samping kebakaran yang diakibatkan oleh sebab-sebab alami, kadang-kadang
kebakaran juga disebabkan oleh persaingan usaba atau tindakan kriminal. Para petani hanya bisa
mengantisipasikan kebakaran dan gangguan keamanan lain di laban tebu dengan meningkatkan pengawasan dan pemantauan bersama dengan para petani lainnya.
Kasus keamanan lain ialah praktek pungutan dikemas dalam bentuk biaya keamanan untuk
penyaluran gula. Para pedagang gula di Madiun mengatakan bahwa mereka harus membayar
Rp. 300.000 per bulan kepada suatu kelompok tertentu yang beroperasi dalam penyaluran bahan
pokok. (FGD. Tim PSD. 2004)
KOPI
Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerab-daerab berikut: Keeliri, Malang, Blitar,
Surabaya, Gresik, Jember, Bondowoso, Probolinggo, Situbondo.
Tanaman kopi sudab lama dibudidayakan baik melalui perkebunan rakyat maupun perkebunan
besar. Namun demikian, luas laban perkebunan kopi eli Indonesia cenderung berkurang. Jika pada pada rabun 1992 luas yang ditanami mencapai 1.333.898 hektar, pada awal tabun 1997 angka ini telab berkurang sampai dengan 154.005 hektar menjadi 1.179.843 hektar saja32• Sementara itu,
meskipun terjadi pengurangan laban perkebunan, namun dalam hal produksi mengalami nilai yang
hampir stabil yakni an tara 27,5 ribu ton hingga 30 ribu ton per rabun.
32www.bi.go.id
77
Mata Rantai Komoditas
Tabe15.4 Tingkat Produksi dan Nilai Ekspor Taoamao Kopi Indonesia, 1996- 2001
1996 28.500 17.059
1997 30.600 26.133
1998 28.500 36.453
1999 27.493 24.189
2000 29.500 22.773
2001 *) 28.681 n.a.
Sumber-sumber; www.bi.go.id dan www.dprin.go.id •) := Perkiraan sejak September 2001
Dari data di atas dapat dilihat bahwa kendati tingkat produksi kurang lebih stabil, nilai ekspor
kopi mengalami penurunan pada tahun 1999 dan 2000. Sebagai perbandingan, pada tahun 1998 nilai ekspor naik secara signifikan walaupun tingkat produksi turun dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan merosotnya nilai Rupiah terhadap dolar AS. Hargaharga jual kopi yang diterima oleh semua pelaku di pasar kopi telah tampak berf!uktuasi di jangka
panjang, ak:ibat kondisi-kondisi pasokan dan permintaan di pasar internasional. Khususnya untuk Indonesia, saat ini harga-harga yang diterima oleh para produsen sangat dipengaruhi oleh depresiasi
Rupiah terhadap dolar AS.
Tabe1 5.5 Harga Ekspor Kopi (FOB33 dalam AS $/kg)
3,73 3,31
2,15 3,06
Sumber: Depanemen Perindustrian dan Perdagangan, 1998
2,07 1,64
Dinamika perdagangan komoditas kopi di tingkat nasional terhadap kopi dunia, juga berpengaruh
pada kondisi komoditas kopi di Jawa Timur. Sebaran kopi di Jawa Timur terdapat di 26 kabupaten/
kota dari total 38 kabupaten/kota yang ada.
33 Freigbt 011 Board. Nilai elcspor kedka dirempatkan di atas kapal, uuck a tau pesawat terbang unruk meninggalkan suaru negara. FOB dengan demikian mencakup biaya produksi dan rransponasi ke pelabuhan embarkasi, terapi ddak rennasuk biaya pengapalan dan asuransi umuk mengamarnya ke rujuan-rujuannya di luar negeri. Free on Board dikomraskan dengan cost, insurance and freight (CIF), yaitu nilai barang pada saar tiba di pelabuhan asing, yang termasuk biaya pengapalan dan asuransi. (Black, Dictionary of Economics, Oxford, 2002)
78
------··-·-
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tahel5.6 Distrihusi Kopi menurut Daerah di Jawa Timur, 1998
Sumber: www.bi.go.id
Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa sumbangan terbesat terhadap komoditas kopi di Jawa Timur
berasal dati lima kabupaten, yaitu: Jember, penyumbang terbesat, disusul oleh kabupaten-kabupaten
Banyuwangi, Malang, Bondowoso, dan Kediri.
Komoditas kopi di Jawa Timur, telah tumbuh dan berkembang melalui usaha perkebunan
rakyat, perkebunan besar milik pemerintah (Baik dikelola PT. Perkebunan Nusantata yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah seperti di Jember) dan perkebunan
besar milik swasta nasional atau asing. Perkebunan rakyat umumnya bercirikan usaha skala kecil
dan pengelolaan dilakukan secara tradisional sehingga produktivitasnya rendah. Sementata itu,
perkebunan besar dikelola dengan skala usaha yang lebih besat dengan pengelolaan yang lebih modern dan berteknologi tinggi.
79
Mata Rantai Komoditas
Karenanya, hasil kopi dari perkebunan rakyat di beberapa wilayah di Jawa Timur umumnya
diperdagangkan kepada berbagai pihak tetapi umumnya kepada pengepul. Pengepul biasanya adalah
pedagang lokal atau pedagang dari wilayah lainnya yang sering mendatangi petani-petani yang ada
di desa-desa. Umumnya pengepul mengarnbil secara langsung hasil panenan petani.
Survey yang dilaksanakan oleh Asosiasi Eksportir Kopi Jawa memperoleh data yang menunjukkan bahwa para petani biasanya menjual tanarnan mereka sebagai berikut:
• 69% kepada pedagang perantara (yang biasanya keliling dari desa ke desa) • 27% kepada pengepullokal (biasanya berlokasi di kecarnatan)
• 3% kepada industri (dalarn hal ini oleh karena para petani kopi tersebut dibina oleh eksportir atau perusahaan), dan
• 1 o/o kepada eksportir.
Selain menjual hasil kopinya kepada pengepul, beberapa petani juga menjual kepada PTPN atau Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) khususnya petani yang ada di Jember. Petani di daerah lain,
menjual ke perkebunan besar. Artinya bahwa meskipun PTPN dan perkebunan besar memiliki
lahan pengelolaan produksi tanarnan kopi sendiri, narnun mereka juga masih menarnpung hasil panen kopi petani.
Sementara iru, kisaran harga antara petani hingga pada rantai industri hingga eksportir mengalarni ·
perbedaan harga antara Rp. 500,- sarnpai Rp. 1.000,- setiap rantai yang ada, kecuali harga perdagangan dari PTPN ke industri sebagaimana tergarnbar sebagai berikut:
Gambar 5.6 Rantai Produksi Kopi
5000/kg ~5500/kg Pedagang 6000/kg p I Besar
11 8250/kg t 6000/kg
6000/kg 5000/kg • I Industri
10%
t
Distributor
80
--------------------
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Pedagang besar dan pihak perkebunan besar milik pemerintah biasanya melakukan peran reprocessing
biji kopi yang berasal dari petani. Pengolahan ini ditujukan untuk meng~rangi kadar air dan
melakukan sortasi kopi. Proses pemetikan hingga sortasi biji kopi oleh petani menjadi hal yang
penting, karena sangat mempengaruhi harga. Sebagaimana yang terjadi pada kasus dihadapi oleh
petani kopi dari Madiun, Ngawi dan Ponorogo.
Gambar 5.7 Proses mulai dari pemetikan sampai penyortiran biji kopi di 3 kabupaten: Madiun, Ngawi dan Ponorogo
Biji basab -.....+ I Pengeringan I -.....+ Biji kering I ~ I Penyortiran
L
Catatan:
Fermentasi ] ~ Cud & pengeringan oleh sinar matahari
Dikeringkan oleh --~ I Biji sinar matahari
Ada tif?l proses yang umumnya digunakan oleh para
pecani umuk menjual biji kopi:
_____.. = Proses yag umumnya digunakan
--------7 = Proses Alternadf I
--+ = Proses Alrernatif 2
j
Walaupun petani menanam kopi jenis Arabica dan Robusta yang termasuk kualitas terbaik dengan harga jual tinggi, namun bila proses petik dan sortasinya melalui alternatif 1 dan 2 maka harga
jualnya akan rendah. Untuk kopi jenis Arabica kualitas I antara Rp. 7.000,- sampai Rp. 8.000,dan kualitas II antara Rp. 6.000,- sampai Rp. 7.000,- Sementara itu, itu jenis kopi robusta, petani
banyak menjual yang kualitas I yakni antara Rp. 7.000,- sampai Rp. 8.000,-.
ISU-ISU
INFRASTRUKTUR
Bagi petani kopi setidaknya ada 2 jenis infrastruktur yang merupakan ~p.asalah yang cukup serius yakni pertama, banyaknya jalan yang rusak. Menurut petani yang ada di Jember, Madiun, Ngawi dan Bondowoso, jalan dari desa menuju ke kecamatan sangat jelek. Dalam pandangan mereka,
pemerintah tidak memperhatikan kondisi jalan menuju ke sentra produksi. Padahal jalan menuju
ke kecamatan merupakan proses penting dalam distribusi. basil produksi mereka.
Di Banyuwangi ada upaya masyarakat secara swadaya untuk memperbaiki kondisi jalan yang
jelek. Menurut petani, dengan melakukan perbaikan jalan, petani diuntungkan karena biaya
operasional telah turun hingga 20 %. (FGD, Tim PSD, 2004)
81
Mara Rantai Komoditas
Kedua, masalah ketersediaan air. Kasus ini banyak terjadi di 3 wilayah: Madiun, Ngawi dan Ponorogo
kbususnya ketika musim kemarau. Bahkan eli Ponorogo, irigasi kurang banyak disediakan oleh
pemerintah daerahnya. Sementara bagi petani di Madiun, pengairan yang tersedia masih dianggap belum cukup.
PERSAINGAN DAR! PEMER!NTAH
Ketika desentralisasi, berbagai regulasi dibuat oleh pemerintah setempat. Khususnya dalam hal
pemasaran, pemerintah daerah dianggap petani tidak membanru menyediakan sarana pemasaran produk. Pemerintah daerah bahkan menjadi pesaing bagi pengusaha kopi bubuk. Sejauh ini Pemda ]ember mendirikan PDP (Perusahaan Daerah Perkebunan) yang melakukan penanaman
kopi hingga proses produksi menjadi kopi bubuk. Sebagai informasi yang diberikan oleh petani eli ]ember, diduga bahwa saat ini pemerintah daerah melakukan ,persaingan yang tidak sehat" dengan
cara memberikan surat edaran kepada aparat pemerintah dan instansinya (mulai dari tingkat lurah hingga dinas) untuk mengkonsumsi kopi DPD. Akibat surat edaran ini, sulit bagi pengusaha
kopi bubuk untuk memasarkan produknya ke instansi pemerintah. Oleh karenanya, kebijakan ini
merupakan hambatan bagi petani untuk memasarkan produknya.
PELAYANAN PEMERINTAH YANG KURANG MEMADAI
Para peserta FGD merasa bahwa pembinaan yang diberikan kepada para petani kopi oleh pemerintah
lokal tidak banyak membantu. Hal ini diidentifikasi dari frekuensi penyuluhan yang rendah serta tenaga penyuluh dianggap tidak memiliki kemampuan teknis tentang pemberantasan hama kopi. Di
]ember, petugas penyuluh bahkan dajari oleh kelompok tani untuk penanganan hama. Disamping
iru, pemda dianggap tidak mau melakukan koordinasi dengan instansi teknis yang paham tentang permasalahan kopi. Meskipun di daerah ini telah berdiri Pusat penelitian Kopi dan Coklat yang
merupakan instansi pemerintah pusat, namun pemerintah tidak pernah melibatkan Puslit ini dalam program penanganan kopi.
Kedua, yang menjadi masalah bagi petani adalah kebijakan pengadaan bib it unggul. Pengadaan bib it unggul oleh pemerintah biasanya melalui rekanan tanpa melibatkan petani untuk prosesnya. Bahkan
dialog untuk program pemberian bibit tersebut tidak dilakukan. Oleh karenanya, dalam program
penyediaan bibit unggul seringkali tidak sesuai dengan kondisi lahan yang ada. Bahkan pemberian
bibit unggul tanpa diberi penjelasan detail tentang pemberantasan hama yang kemungkinan menyerang.
" ... program bibit unggul yang seringkali diberikan oleh pemerintah daerah tanpa didiskusikan
dengan petani. Pemerintah umumnya menggunakan rekanan kontraktor yang tidak paham
tentang pertanian. Seringkali bibit yang diberikan justru bukan bibit unggul tapi nggak tau
jenisnya ... "(FGD. Tim PSD. 2004)
82
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Hambatan lain menyangkut ketersediaan teknologi yang sesuai terutama untuk penyiraman.
Kasus yang dialami petani Jember memperlibatkan bahwa bantuan teknologi yang diberikan
oleb pemerintah daerah ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Seorang peserta FGD
menururkan bahwa pemerintah daerah Ponorogo pernah memberikan bantuan mesin pemecah biji
kopi dengan cara memodifikasi dari mesin poles beras. Tetapi ternyata mesin pemecah beras tidak
bisa direplikasi untuk kopi. Akibatnya, ketika peralatan tersebut diberikan kepada petani, biji kopi
menjadi pecah. Lain lagi masalah petani Ngawi yang memerlukan informasi tentang alat pengupas
biji kopi. Hingga saat ini, pemerintah daerah tidak menyediakan informasi yang memadai tentang
teknologi untuk pengolahan biji kopi.
PENYIMPANGAN PENENTUAN HARGA
Hal lain yang terkait dengan pelayanan pemerintah adalah pelayanan oleb perusahaan milik
negara seperti Perbutani. Kasus permainan timbangan basil panen oleb perbutani banyak dialami
oleb petani Bondowoso. Petani Bondowoso banyak yang menggunakan lahan Perbutani untuk
menanam kopi. Pola yang diberikan adalah bagi basil panen antara petani dengan pengelola. 113
untuk perbutani dan 2/3 untuk pengelola. Untuk menentukan berapa nilai 1/3-nya, biasanya pibak
Perbutani menaksir terlebib dahulu sebelum dipanen. Sebingga ketika petani menyetorkan basil
panenan 113-nya, mereka sudah mempersiapkan berapa kilo yang akan diserorkan sesuai dengan
taksiran perbutani. Tetapi sesampai di perbutani, petani merasa bahwa basil timbangannya selalu
tidak sesuai dengan basil timbangan dari rumah mereka. Hal ini tidak saja dialami oleb satu orang
petani, tetapi bampir semuanya. Karena kekurangan nilai setoran, maka petani diminta menyerorkan
kekurangannya dalam bentuk uang ke perugas penimbangan perbutani yang disesuai dengan barga
kopi yang berlaku.
MODAL
Kelompok petani yang lain dari Jember, Madiun, Ngawi, Banyuwangi, Ponorogo dan Bondowoso
menyatakan sulitnya mengurus kredit dibank dikarenakan adanya persyaratan sertifikat tanah
sebagai jaminan. Petani umumnya banya memiliki pethok D. Untuk mengurus pethok D menjadi
sertifikat, petani menyatakan kesulitan, selain biaya yang tidak transparan, lamanya penyelesaian
juga menjadi persoalan serius di BPN (Badan Pertanahan Nasional). Bahkan menurut petani, untuk
memperlancar proses pengeluaran sertifikat, mereka barus menyogok minimal Rp. 50.000,- per
meja. Apabila tidak ada uang sogok tersebut, maka wakru penyelesaian akan lama bingga paling
cepat 3 bulan. Karena sulitnya mendapatkan kredit formal, petani menggunakan cara lain untuk
mendapatkan kredit :
83
Mata Rantai Komoditas
Berbagai cara dilakukan oleb petani untuk mengatasi masalab financial. Biasanya petani
mengijonkan basil panennya ke pengepul. Dengan sistem ini, petani banya mendapatkan 50- 70
% dari barga pasaran. Cara yang lain adalab dengan meminjam ke nyonya kecik yakni meminjam
ke seseorang (biasanya perempuan, sebingga dipanggil nyonya) sejumlab uang tertentu. Apabila
telab panen, akan dibayar dengan basil produksi. Namun barga jual basil panen, ditentukan oleb
si nyonya (pemberi pinjaman)(FGD. Tim PSD. 2004)
KEAMANAN
Tindak kejahatan yang muncul dan cukup meresahkan petani adalah penjarahan kopi yang siap
panen oleh kelompok tertentu, pencurian dan penebangan. Banyaknya petani yang takut dengan
kondisi ini, mengakibatkan petani lebih suka untuk memetik kopi pada kondisi biji masih hijau
(petbik ijo). Karena apabila tidak dipetik, maka petani akan kehilangan basil panennya. Akibat "petbik ijo" inilah, harga jual rendah karena muru yang kurang baik. Sementara iru, di Banyuwangi
menurut peserta yang ada, hampir tidak terjadi pencurian dan penjarahan.
GARAM
Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari: Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Sektor garam sinonim dengan Madura dan Jawa Timur yang pada umumnya sebagai produsen garam nasional terbesar. Garam berperan penting dalam kehidupan masyarakat mereka. Walaupun
sektor ini telah ada sejak lama, tekoik-tekoik produksi masih tetap didasarkan atas cara tradisional yang berproduktivitas rendah.
Di bawah pemerintahan kolonial Belanda, produksi garam diatur oleh suatu kebijakan yang disebut "Zoutmonopolie-Ordonnantie 1941" yang menetapkan beberapa daerah di Indonesia termasuk
pulau Jawa dan Madura sebagai wilayah monopoli pemerintah dalam produksi garam. Artinya,
bahwa pembuatan garam rakyat berdasarkan UU tersebut merupakan perbuatan yang dilarang. Produksi garam di wilayah tersebut hanya dilakukan oleh pemerintah saja melalui perusahaan
yang ada. Perusahaan tersebut, yaitu Perusahaan Garam Negara dan Soda Negara tidak mampu memproduksikan jumlah-jumlah cukup untuk memenuhi permintaan nasional. Untuk mengatasi
produksi garam yang tidak memadai, pemerintah pasca kemerdekaan menerbitkan UU Darurat
No. 25 tahun 1957 tentang Penghapusan Monopoli Garam dan Produksi Garam oleh Rakyat34•
UU Darurat tersebut dimaksud untuk meningkatkan produksi garam nasional. Pada tahun 1959, UU Darurat tersebut ditetapkan sebagai UU Nomor 13 tahun 1959.
3-ir.embaran Negara tahun 1957 No. 82
84
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Saar ini, Indonesia memiliki ladang garam seluas 25.383 hektar dengan total produksi 1,7 jura ton. Sementara itu, kebutuhan nasional pada tahun 2002 saja mencapai 2,8 jura ton dengan total
pertumbuhan kebutuhan 8,4 o/o35. Diperkirakan pada tahun 2004 keburuhan garam nasional
mencapai 3,3 jura ton. Sementara itu, produksi garam nasional tidak dapat memenuhi kebutuhan yang ada meskipun di Indonesia telah ada perusahaan produksi garam yakni PT. Garam. Produksi
PT. Garam hanya berkisar an tara 250.000 - 300.000 ton/tahun dengan luas lahan sekitar 5 ribu hektar.
Ada 22 propinsi di Indonesia yang memproduksi garam. Propinsi Jawa Timur adalah produsen
nasional garam terbesar. Diperkirakan bahwa propinsi tersebut menyumbang 70% bahan baku garam yang diproduksi di Indonesia, dan untuk garam mengandung yodium propinsi tersebut
menyumbang 45% dari total produksi nasional. 30% sisa produksi garam disebarkan di antara 21 propinsi lain, seperti tampak pada Tabel berikut:
Tabel 5.7 Produksi Gararo di Indonesia
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan Kabupaten Sampang
35Kompas, edisi 19 Marer 2003 ~ Promi11tah Kaji Stimulus Untuk Industri Gamm"
85
Mata Rantai Komoditas
Dari total permintaan garam 40% eliserap sebagai garam untuk konsumsi dan 60% sisanya sebagai
garam untuk industri. Garam industri digunaltan dalam berbagai industri, yaitu: 76% untuk
industri soda, 15% untuk pengeboran minyalt, dan 9% untuk jenis-jenis industri lainnya seperti
kulit, kosmetika, sabun dan es. Dari permintaan garam untuk konsumsi 72% digunaltan sebagai
maltanan, sedangkan sisanya merupaltan baban tambaban dalam industri pangan36•
Di Jawa Timur, produksi lokal oleh rumah tangga atau produsen sektor informal melimpab. Menurut
data Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan Kabupaten Sampang, garam di Jawa
Timur lebih dari cukup untuk memenuhi permintaan lokal. Mereka memperkiraltan permintaan
konsumsi garam eli Jawa Timur sekitar 172.754 ton per rabun, sedangkan tingkat produksi mencapai
1.100.000 ton per rabun.
Tabel 5.8 Luas Laban Garam dan Produksi Garam di Jawa Timur, 2003
'f .·.·.· ... ··.:i_ria. !Jan .. ·.· g. ·• ' ' '···(j
PT. Garam
Garam Rakyat
Sumenep, Pamekasan, Sam pang
Sumenep, Pamekasan, Tuban, Lamongan, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan
Sumber: Dmas Penndustnan, Perdagangan dan Pertambangan Kabupaten Sampang
5.116 Ha 400.000 ton I tabun
14.007 Ha 700.000 ton I rabun
Dari total produksi 1.100.000 ton di Jawa Timur, hanya 55% dip roses lebih ian jut menjaeli garam
mengandung yoelium. Sisanya 45% merupaltan baban baltu garam yang lazim eligunakan di dalam
industri. Sumbangan terbesar kepada produksi garam yodium berasal dari Surabaya dan Pamekasan.
Surabaya hanya memproses garam mentab menjadi garam beryoelium. Produksi garam mentab
Jawa Timur kebanyakan berasal dari kabupaten-kabupaten eli pulau Madura khususnya di Sam pang,
Pamekasan dan Sumenep. Sumbangan Madura kepada produksi garam Jawa Timur diperkiraltan 70% dari total produksi Jawa Timur.
36http:l/suhar)avanasuria. tripod. com
86
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tabel5.9 Industri Garam Beryodium di Jawa Timur
Kota Surabaya 5 280
Kab. Pamekasan 3 220
Kab. Sidoarjo 3 36,5
Kab. Gresik 5 32,2
Kota Pasuruan 9 14,75
Kab. Pasuruan 4 5.862
Kab. Malang 5 4,26
Kab. Probolinggo 2 2
Kab. Lumajang 1 1,2
2 0
39 596,772
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan Kabupaten Sampang
Berdasarkan FGD yang dilakukan di Madura, produsen gararn terdiri dari 2 pihak yakni gararn·
rakyat, yaitu yang dikelola dan diproduksi oleh masyarakat secara individu, dan PT. Gararn. PT.
Gararn merupakan BUMN selain memproduksi gararn juga memasarkan garam.
Pengolahan garam rakyat umumnya menggunakan teknologi yang sangat sederhana. Tahap yang
dilakukan cukup melalui pengeringan lahan yang kemudian dilanjutkan dengan pengairan dan
baru kemudian penjemuran. Proses produksi gararn ini dilakukan dengan cara menguapkan air !aut
dalarn petak-petak lahan. Air !aut yang diuapkan sarnpai kering mengandung setiap liternya 7 mineral
(CaS04, MgS04, MgCL2, KCL, NaBr, NaCI dan air). Proses penguapan hingga pengeringan ini
yang mempengaruhi kualitas gararn rakyat. Dari proses yang ada telah menghasilkan 3 jenis kualitas
gararn rakyat: pertarna, Kl (kualitas 1) untuk gararn dengan kualitas paling baik. Pada kualitas ini,
proses pengairan hingga penjemuran paling tidak memburuhkan waktu 30 hari. Yang kedua, adalah
K2 (kualitas 2) untuk gararn dengan kualitas sedang. Kualitas sedang diproduksi dengan waktu 15
hari dari proses pengairan hingga penjemuran. Sedangkan K3 (ku;uitas 3) untuk gararn dengan
kualitas terjelek diproduksi hanya dalarn waktu 7 hari. Berikut ini adalah proses pengolahan garam
rakyat:
Pengeringan Lahan {1 liari)
Gambar 5.8 Produksi Garam
Pengairan (7-10 hari)
87
Penjemuran {3 hari)
Garam Rakyar
Mara Rantai Komoditas
Produk garam yang telah dihasilkan oleh rakyat tersebut, tidak serta merta didistribusikan ke
masyarakat, namun memerlukan proses lebih lanjut yang lebih rumit untuk menyesuaikan standar
mutu garam konsumsi. Khususnya yang menyangkut ketersediaan kandungan zat yodium dalam garam konsumsi. Sehuhungan dengan itu, proses pengolahan garam selanjutnya dikelola oleh PT.
Garam dan industri pengolahan garam lainnya, mengingat aktifitas ini membutuhkan teknologi
yang lebih tinggi. Oleh sebab itu rantai perdagangan garam rakyat hanya tersalurkan pada setidaknya
3 kelompok saja yakni : PT. Garam, pedagang dan ind~stri sebagaimana terlihat dalam gambar
berikut.
Gambar 5.9 Rantai Produksi Garam
Pedagang 1-1 lndustri
Kelompok pedagang dalam rantai tersebut, umumnya merupakan perusahaan perdagangan garam rakyat yang akan disalurkan kepada industri pengolahan lainnya. Perusahaan ini umumnya tidak
melakukan pengelolaan garam rakyat menjadi garam konsumsi. Sementara itu, kelompok industri
yang menerima pasokan dari para pedagang dan PT. Garam, hergerak dalam berbagai produk an tara lain industri soda, kulit, sabun, tekstil dan minyak serta kosmetik. Sedangkan yang merupakan
produk turunan an tara lain salt cake.
ISU-ISU
GARAMIMPOR
Garam merupakan salah satu komoditi yang dianggap mempunyai kepentingan strategis dan
karenanya dilakukan proteksi atas tara niaga. Menurut data yang ada, produksi garam nasional tidak pernah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan nasional. Karena itu pemerintah telah melakukan
berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan garam nasional. Salah satu diantaranya ialah mengimpor
garam dari negara-negara lain. Saat ini garam diimpor dari riga negara, yaitu India, Australia, dan
Yordania. Jumlah paling besar diimpor dari India. Akan tetapi kehijakan impor garam tersebut menimbulkan serangkaian masalah untuk para petani garam, terutama di Jawa Timur. Data produksi
yang ada menunjukkan bahwa propinsi Jawa Timur mempunyai produksi garam berlimpah, namun pemerintah menerapkan kehijakan impor tanpa melakukan dialog dengan para petani.
88
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
" .... . Hingga saat ini saja, masih berton-ton garam disini ( di Pamekasan, red) belum bisa terjual.
Kok pemerintah tiba-tiba membuat kebijakan impor. Padahal disini stoknya masih banyak. Apa
pemerintah tidak tahu itu .... "!FGD. Tim PSD. 2004!
Masalah impor garam seperti disebut di atas menjadi isu yang cukup serius pada tahun 2002 dan 2003.
Seperti disebut lebih dulu, pasar garam terdiri dari pasar untuk garam konsumsi dan untuk garam
industri. Garam untuk industri memerlukan kadar NaC! 99%, sedangkan garam untuk konsumsi
memerlukan kadar NaC! minimal 95%. Para petani garam biasanya hanya mampu memproduksi
garam dengan kadar NaC! 95% sampai 97%. Akibatnya, untuk memenuhi permintaan garam
industri, pemerintah tetap perlu impor dari negara-negara lain, khususnya Australia dan Yordania.
Akan tetapi pada tahun 2002-2003 pemerintah Indonesia juga mengimpor garam dari India,
walaupun mutunya sama dengan garam lokal. Ini merugikan garam dalam negeri oleh karena
harga pasar garam lokal ialah Rp. 55.000,- - Rp. 75.000,- sedangkan garam India Rp. 40.000,
Pada tahun 2003 pemerintah Indonesia merekomendasikan penghentian impor garam dari India
mengingat persediaan dalam negeri memadai. Akan tetapi impor dari Australia tetap dilanjutkan.
PENENTUAN HARGA GARAM RAKYAT
Selain masalah yang terkait dengan kebijakan impor yang belum tuntas, beberapa waktu yang lalu,
pemerintah setempat di wilayah Madura berinisitif untuk melakukan MoU (Memorandum of
Understanding) antara Pemerintah Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten
Sumenep beserta 9 perusahaan garam di Madura untuk mengatur harga dasar garam rakyat. Seperti
dijelaskan di atas, garam yang dihasilkan oleh garam rakyat, hampir sebagian besar ditampung dan
diolah kembali oleh perusahaan industri. Saat ini menurut mereka ada 9 kelompok perusahaan
industri garam antara lain PT. Garam, PT. Garindo dan PT. Budiono Madura Bangun Persada.
Ketiga perusahaan tersebut merupakan perusahaan terbesar yang menampung penjualan hasil
garam rakyat. Ke sembilan perusahaan ini secara efektif mewakili suatu kartel dan dikenal sebagai
"kelompok 9".
Persoalan harga, selama ini tidak bisa dilepaskan dari hubungan antara petani garam dengan
perusahaan industri. Menurut petani garam, selama ini tidak ada harga dasar yang ditentukan an tara _
pemerintah, petani dan perusahaan industri. Saat ini yang ada hanyalah harga pasar. Harga pasar
yang ada saat ini hanya ditentukan oleh perusahaan industri37 • Oleh karenanya, inisiatif3 pemerintah
daerah di Madura tersebut untuk menyusun MoU merupakan langkah yang tidak tepat. Meskipun
dalam rencana Mo U terse but terdapat 3 nama perwakilan kelompok petani, menurut petani, posisi
tawar mereka sangat rendah sebagaimana pendapat salah satu peserta FGD.
" ... .. Bagaimana kita tahu bisa dialog kalau yang dominan hanya pemerintah dan kelompok 9
(sebutan perusahan yang akan melakukan MoU karena jumlahnya 9 perusahaan, red). Petani
37Harga pasar garam saat ini K-1 harga dasarnya Rp. 75.000,- per ton. K-2 adalah Rp. 65.000,-/ con dan K-3 adalah Rp 55.000,-fton.
89
Mara Rantai Komoditas
hanya disodori MoU yang sudah jadi tanpa melakukan dialog sebelumnya. Bahkan penentuan
perwakilan kelompok tani saja kami tidak tahu ... "(FGD. TimPSD. 2004)
INFRASTRUKTUR
Pelabuhan yang kurangmemadai, pelabuhan merupakan infrastrukrur yang cukup penting dalam distribusi garam khususnya petani dari Pamekasan dan Sumenep. Petani dari kedua wilayab ini ban yak
mendistribusikan garamnya ke luar pulau Jawa an tara lain Sumatra dan Kalimantan. Sementara iru,
petani dari Sampang, lebih banyak mendistribusikan garamnya ke wilayab pulau Jawa. Sehingga, pelabuhan tidak menjadi masalab karena selama ini bisa diatasi dengan menggunakan jalur darat
dan pelabuhan Madura- Surabaya yang sangat memadai.
Pelabuhan yang menjadi hambatan adalab pelabuhan Pamekasan. Pelabuhan dikabupaten ini
memiliki kedalaman yang sangat dangkal yakni hanya 100 meter. Oleh karenanya, petani di Pamekasan banyak mengirimkan garamnya melalui pelabuhan di Kalianget Sumenep. Hanya saja,
biaya akan bertambab karena harus menambab biaya transportasi darat untuk mengangkur garam
dari Pamekasan ke Sumenep. Biaya yang bertambab per kg-nya adalab Rp. 25,-.
Sebenarnya, ada jarak terdekat yang bisa ditempuh oleh petani garam hila memasarkan produknya
ke luar pulau. Yakni dengan menggunakan pelabuhan Sejati milik PT. Garam. Biaya tempuh menuju pelabuhan ini per kg-nya adalab Rp. 15,-. Hanya saja, penggunaan dermaga milik PT. Garam ini dianggap cukup birokratis, sebagaimana disampaikan oleh salab seorang pengusaba:
" .... .f(ami pernah beberapa kali bersama dengan Dinas Perindag mengajukan peminjaman
kepada PT. Garam, namun seringkali ditolak. Padahal saat itu kami mengalami kesulitan
distribusi penjualan. Oleh karenanya, kami terpaksa menggunakan dermaga Kalianget yang
jaraknya mempengaruhi ongkos transport kami .. " (FGD. Tim PSD, 2004}
Pada bulan Okrober 200338 , petani melalui Dinas Perindustrian Perdagangan dan perrambangan Kabupaten Sampang pernab mendapatkan perserujuan dari pihak PT. Garam untuk penggunaan
dermaga. Hanya saja, surat perserujuan tersebut justru menghambat perdagangan yang ada. Dalam surat tersebut antara lain disebutkan babwa :
" ...... Pada prinsipnya kami ridak berkeberatan dengan penggunaan Dermaga oleh saudara dengan catatan sebagai berikur :
1. Garam tidak dimuat untuk pengiriman ke Sumatera Utara.
2. Apabila ada kerusakan dermaga akibat dari pemakaian ini maka biaya perbaikan akan
dibebankan kepada saudara
3. Dikenakan beban biaya pemuatan ( muat garam) pada setiap pengiriman garam
38Surat Direktur Utama PT. Garam kepada Kepala Dinas Perindusrrian Perdagangan dan Pe~bangan Kabupaten Sampang pada ranggal 8 Oktober 2003
90
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Dari persyaratan yang ada diatas, latangan unruk mengirim gatam ke Sumatra Utata merupakan
persyaratan yang memberatkan. Hal ini dianggap sebagai cata unruk menghalangi petani menjual gatam ke Sumatra Utata. Penjualan garam Madura ke Sumatra Utata lebih disukai karena harga
jualnya cukup tinggi. Hatganya berkisat antata Rp. 225.000,-lton sampai Rp. 300.000,-/ton.
Di sisi yang lain, pelabuhan yang ada di Sumenep sendiri juga masih dianggap kurang mendukung
terutama katena tingkat kedalaman yang belum memadai. Daya muat pelabuhan hanya sebatas
3.000 ton saja. Apabila muatan melebihi, maka kapal yang akan memuat garam harus berada di
posisi tengah. Sehingga biaya pengangkuran akan bertambah katena harus menggunakan perahu untuk mengangkur gatam dati pelabuhan ke tengah !aut dimana kapal bersandat. Biaya angkut
dengan menggunakan kapal mencapai Rp. 25,- per kg.
Masalah jalan yakni jalan dari ladang garam menuju jalan raya (jalan umum). Di ketiga
wilayah (Pamekasan, Sampang dan Sumenep) jalan dari ladang gatam menuju jalan raya tidak ada. Akibarnya, petani akan mengeluatkan tambahan biaya tenaga kerja untuk mengangkur gatam dati
ladang mereka ke jalan raya. Biaya angkut unruk tenaga kerja pengangkutan ini cukup tinggi yakni mencapai Rp. 50.000/ton. Biaya ini dirasa cukup tinggi sehingga keuntungan petani sangat rendah.
Sementata itu, hatga jual hanya mencapai Rp. 55.000,-- Rp. 75.000,- I ton.
PERIZINAN DAN PEMBERIAN LABEL
Para peserta dati ketiga daerah tersebur mengatakan bahwa perizinan bukan merupakan masalah.
Selama ini, beberapa pengusaha dapat dengan mudah mendapatkan surat izin. Misalnya saja, ada salah seorang pengusaha dari Sumenep yang telah mendapatkan SIUP hanya dengan waktu 1 hati
saja. Demikian juga untuk mendapatkan surat jalan dari Deperindag untuk mengiriman gatam ke luat pulau. Masalah yang muncul justru adalah persoalan labeling atau kemasan garam yang dikirim ke luar daerah khususnya Sumatra Utara. Umumnya kemasan gatam yang dikirim oleh petani dalam
bentuk karungan ini tidak berlabel (bermerek). Pada Bulan September 2003, 1.738 ton gatam milik
petani di Sumenep disita oleh Po ida Jatim. Alasan yang disampaikan oleh pihak Po ida adalah gatam tersebur tidak memenuhi standat mutu pemerintah dan melanggar UU perlindungan konsumen
katena tidak mencantumkan label pada kemasan39• Sementara itu, dalam anggapan petani UU
perlindungan konsumen hanya berlaku untuk produk jadi atau produk akhir yang akan diserap oleh konsumen akhir. Sementata itu, produk yang mereka distribusikan adalah produk setengah jadi,
yang akan diolah kembali oleh perusahaan di Sumatra Utata. Oleh karenanya, tanpa menggunakan label atau merek sebenatnya tidak melanggat UU Perlindungan konsumen. Isu ini menunjuk pada
tidak adanya kejelasan dalam peraturan tersebut.
39Harian Surya edisi 7 Nopember 2003
91
Mara Rantai Komoditas
PROSES PEMBUATAN KEBIJAKAN
Proses konsultasi publik oleh pemerintah kepada petani hampir tidak pernah dilakukan. Meskipun
pemerintah daerah sedang menyusun draft Nota kesepakatan Bersama antara pemerintah Sam pang,
Pamekasan dan Sumenep serta 9 perusahaan dan petani dari 3 daerah, namun selama ini petani
merasa tidak dilibatkan dalam proses perumusan draft tersebur. Yang menjadi masalah kemudian,
petani yang menjadi perwaltilan dalam draft nota kesepakatan tersebut tidak dikenal sebagai petani
melainkan sebagai pedagang.
Masalah yang kedua, menyangkut kebijakan impor garam. Petani merasa bahwa kebijakan tersebut
tidakmelalui tahapan penelitian maupun pemantauan yang detail atas produksi garam nasional. Oleh
karenanya, petani merasa bahwa kebijakan ekonomi pemerintah baik pusat maupun daerah kurang
melibatkan sektor swasta khususnya pengusaha kecil menengah dalam perencanaan, pengambilan
keputusan maupun pengawasannya.
UDANG
Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut: Sampang, Pamekasan,
Sumenep, Tuban, Lamongan, Gresik, Malang, Banyuwangi.
Ekspor perikanan Jawa Timur cukup stabil secara keseluruhan. Sampai dengan tahun 2002, data
berikur ini menunjukkan peningkatan teratur dalam volume penjualan dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya.
Gamhar 5.10 Ekspor Produk Perikanan Jawa Timur, 1999-2002
600 ---e-- volume Outa ton)
500 /
/ 400
-- ---- nilai (milyar US$)
300
200
100 I---===~:_ ____ _
0 1999 2000 2001 2002
Sumber: Dinas Perikanan Propinsi Jawa limur
92
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Sektor perikanan masih menyumbang culmp besar terhadap perekonomian di Jawa Timur. Sektor
ini menyumbang sebesar 820 milyar rupiah atau sekitar 1,35% dari PDRB Jatim pada akhir tahun
2002. Daerah peyumbang terbesar dari produksi ikan ini adalah Lamongan, Gresik dan Trenggalek
masing-masing sebesar 70 ribu ton, 58 ribu ton dan 57 ribu ton dalam tahun yang sama.
Terdapat 4 kelompok pelaku usaha dalam rantai bisnis udang yakni : o Kelompok pertama adalah pelaku usaha yang bergerak di budi saya pembenihan, baik
pembenihan alam yang sifatnya hanya penangkapan di !aut lepas saja, serta pembenihan
buatan yang dilakukan di tambak-tambak.
o Kelompok kedua adalah pelalm budi daya udang atau dengan kata lain pembesaran udang
o Kelompok ketiga adalah pedagang udang dari mulai kelompok pengepul sampai dengan para
ekspotir. o Kelompok keempat adalah kelompok pendukung kegiatan budi daya udang seperti industri
pakan dan obat.
Nelayan Udang Laut
Gambar 5.11 Rantai Produksi Udang
I /;)J
Pedag,ang Benlh
Petani Tambak Tradisional
(tata-ratad ha)
- '
Petani Tambak teknologi Tinggi (tata-tatad ha)
c_ _____ L~• 'I -Pe-n-ge-pul-,--, •+---'1~-__j
Agen
Nelayan Lobster
Yang membedakan para petani tradisional dari petani tambak intensif ialah reknologi
pembudidayaan udang, terutama dalam penggunaan pakan dan obar-obaran. Para petani tradisional biasanya mempunyai usaha kecil yang tidak banyak menggunakan reknologi khusus dalam
membudidayakan udangnya.
93
Mata Rantai Komoditas
ISU-ISU
FLUKTUASI HARGA DALAM EKSPOR
Para pelaku budi daya udang seringkali menghadapi fluktuasi harga yang sangat tajam. Yang paling merasakan dampak negatif dari ketidakstabilan harga ini terutama dirasakan oleh pihak petani
petambak sebagai produsen awal udang, sekaligus konsumen akhir industri pakan ikan. Menurut
petani tambak harga penurunannya bahkan sampai dengan 50%. Sememara itu pihak eksportir
yang juga merasakan dampak negatif dari fluktuasi harga ini walaupun tidak separah di tingkat petani petambak, juga sulit untuk menghindari situasi seperti ini, karena secara langsung harus
menghadapi beberapa hal pasar internasional40:
1 Adanya aturan-aturan imernasional mengenai larangan penggunaan obat kimia, anti biotik, keharusan penggunaan label-label tertentu dan lain-lain menyebabkan pasar imernasional
semakin menyempit.
2 Muncul produk-produk dari negara lain dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang lebih rendah
3 Di sisi lain kondisi suplai udang dari nelayan Indonesia kualitasnya banyak yang tidak memenuhi standar internasional. Disamping itu suplainya kian hari kian menurun.
Di Tuban, sekitar 5 tahun yang lalu seorang pengusaha eksportir dapat mengirim ikan sampai
sekitar 60 kontainerlbulan. Saat ini hanya dapat mengirim 20-25 kontainer ikan. (FGD, Tim
PSD, 2004)
4 Terutama untuk lobster jaringan bisnis internasional yang ada sangat terbatas, sehingga ketergantungan pedagang Madura terhadap eksportir di Surabaya terutama menjadi sangat
tinggi. Nelayan maupun pedagang di Madura belum ada yang dapat berhubungan dengan
buyer secara langsung. Sehingga para pedagang ikan di Madura harus mengikuti harga yang ditetapkan oleh pedagang besar arau pabrik atau eksportir di Surabaya. Padahal harga yang mereka patok seringkali tidak stabil, sehingga pedagang kecil Madura seringkali kesulitan
menghadapinya.
PERJZINAN
Keluhan ini disampaikan oleh eksportir udang yang mengalami adanya pungutan ganda kepada
objek yang sama yakni air. Pungutan tersebut berbentuk retribusi air yang ditarik oleh pemerintah provinsi dan Surat Izin Penggunaan Air (SIPA) yang ditarik oleh Pemda seperti rerjadi di Tuban. Di
Bojonegoro dan Pacitan, pungutan ganda melalui perizinan juga muncul dalam bentuk penerbitan
4°Hasil Diskusi Kelompok Fokus, Tim PSD, 2004
94
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Surat Kelayakan Produksi (SKP) serta Surat Pengolahan Ikan (SPI). Kedua jenis izin tersebut pada
intinya merupakan pungutan berbenruk retribusi dalam pengolahan ikan.
KEAMANAN
Penjarahan tambak udang oleh masyarakat yang ada disekitar tempat tambak berada terjadi pada
setiap kali panen. Kejadian ini terjadi terus menerus sejak krisis Juni 98. Pada setiap kali panen
kehilangan yang terjadi bias mencapai 50%. Pengusaha kemudian mencoba mengatasi hal ini
dengan meminta banruan dari pihak aparat kepolisian.
Di Tuban untuk pengamanan selama masa panen selama sekitar 7 sampai 10 hari pihak
pemilik tambak harus mengeluarkan biaya sekitar 50.000 orangloranglhari, sehingga total biaya
pengamanan sampai dengan selesai melakukan pemanenan yakni sebesar 3. 000. 000 rupiah. (FGD,
Tim PSD, 2004)
Keamanan dalam pengantaran barang dari Jawa Timur ke Jakarta juga cukup rawan terutama dari
gangguan pungutan liar yang biasanya dilakukan oleh aparat kepolisian di jalanan. Seorang pengepul
menceritakan bahwa rata-rata dalam saru kali pengantaran paling sedikit perlu menyediakan
uang sekitar 50.000 rupiah untuk membayar pungutan liar. Semenrara seorang eksportir udang
menceritakan bahwa dia harus membayar biaya pengawalan truk-truk miliknya sebanyak 3.000.000
rupiah per bulan.
Sementara iru ketersediaan benih maupun udang di !aut lepas terancam karena adanya pencurian
besar-besaran oleh kapal-kapal besar milik nelayan asing. Pencurian seperti ini cukup sering terjadi.
Hal ini diketahui karena keberadaan kapal-kapal asing terse but kerap terlihat oleh para nelayan tadi.
Sejauh ini upaya menanggulangi 111asalah pencurian ikan dilaut lepas sangat terbatas bahkan pada
wilayah tertentu tidak nampak sama sekali.
INFRASTRUKTUR
Secara fisik komoditas udang ini sangat mudah rusak (perishable) sehingga kondisi infrastruktur
sangat signifikan pengaruhnya terhadap kualitas udang. Beberapa kondisi infrastruktur berikut ini
menunjukkan bagaimana pengaruhnya terhadap komoditas ini.
Sumber-snmber air. Unruk pembudidaya tambak udang, baik produsen udang kecil maupun
pembudidaya udang, air kebanyakan diperoleh dari sungai dan kana! di wilayah Tuban. Namun
saat ini kondisi sungai/kanal tersebut tidak lagi dapat menyalurkan air secara baik, baik dalam
hal kuantitas maupun kualitas. Para pelaku usaha menyatakan bahwa kemungkinan besar hal ini
disebakan oleh dua hal yakni
95
Mara Rantai Komodiras
(1) terjadinya pendangkalan dasar sungai/kanal yang terjadi sejak dari hulu sungai/kanal sampai dengan bagian hilirnya.
(2) terjadinya pencemaran air yang semakin parah yang bersumber dari limbah industri dan
sampah rumah tangga yang menyebabkan tingginya tingkat kegagalan panen udang.
Pencemaran air ini juga terjadi sejak dari hulu sungai/kanal.
Kerusakan terhadap lingkungan fisik juga mempunyai dampak luar biasa atas pembudidayaan
udang, yang sangat dipengaruhi oleh mutu air. Di antara penyebab-penyebab kemerosotan mutu air yang diungkapkan dalam FGD-FGD terdapat:
• Kegiatan pengeboran minyak lepas pantai. Misalnya, dua perusahaan pengeboran minyak
beroperasi dua millepas pantai Bangkalan, yang berada di dalam wilayah penangkapan ikan para nelayan di daerah ini. Kegiatan pengeboran telah menyebabkan pencemaran air cukup
serius selama lima tahun terakhir. Para petani dan nelayan mengatakan bahwa produksi
mereka turun sebanyak 30%.
• Banyak penangkapan ikan masih dilakukan dengan menggunakan born atau bahkan formalin.
Para nelayan biasanya mendapat formalin dari pemasok atau pembeli mereka di Surabaya. Ini tidak saja membunuh atau merusak banyak sekali telur ikan dan ikan kecil, tetapi juga
merusak terumbu karang yang begitu penting sebagai tempat ikan berkembang biak.
• Kerusakan lingkungan hidup juga dirasakan dengan penciutan huran bakau, yang tersisa kurang dari separuhnya. Padahal huran-hutan tersebut mempunyai peranan penting dalam penyediaan mutu air yang baik untuk udang di perairan sekitarnya.
Transportasi Jalan dan Antar Pulau. Para pedagang di sektor hilir udang sering mengeluh tentang
transportasi jalan. Misalnya pada ruas Tuban-Babat menuju Surabaya sekitar 3 kilometer, dimana kondisi jalan menyempit dan bergelombang. Sehingga menyebabkan kemacetan pada jam-jam
tertentu. Menurut peserta diskusi tingkat kecelakaan di ruas ini rata-rata 12 kali dalam 1 minggu. Jarak tempuh Tuban-Surabaya saat ini ditempuh dalam 2-3 jam. Idealnya paling lambat hanya1,5 jam.
Bagi petani udang di Pacitan infrastruktur jalan yang mendesak untuk dilakukan perbaikan adalah jalan-jalan desa terutama yang menuju ke pantai dalam keadaan tidak beraspal. Kondisi
ini tidak memungkinkan mobil untuk masuk ke dalam areal pelabuhan, sehingga ikan-ikan harus
dipikul menunju jalan raya. Hal ini menyebabkan meningkatkan biaya untuk ongkos angkut juga memperlambat masa jual ikan sehingga sangat besar kemungkinan bahwa kualitas ikan menurun
akibat lamanya waktu yang diburuhkan untuk membawa ikan ke jalan raya.
96
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Bagi para pedagang dari Madura henih atau hihit rnaupun produk akhir hanyak sekali dihasilkan
o\eh pulau-pulau kecil disekitat Madura. Namun dernikian keheradaan transportasi pengangkutan
dati pulau-pulau ini ke Madura rnaupun keluar Madura seperti ke Surahaya dan Bali sangat terhatas.
Yang ada hanya perabu-perabu kecil yang tidak rnerniliki kernampuan herlayar jauh. Keterhatasan
ini sangat sering rnenirnbulkan kerugian pada tingkat petani katena selain harang rusak habkan
kadang-kadang tidak terangkut. Sehagai contoh dati pulau Sepeken ke Bali dihutuhkan waktu
sampai 9 jam, padabal untuk rnendapatkan ikan segar waktu yang ideal yang dihutuhkan sehaiknya
kurang dati 4 jam.
Kapasitas Pelabuhan. Di Pacitan, Tuhan, Bojonegoro dan Banyuwangi pelahuhan yang ada hanya
dapat didatati oleh kapal kecil. Dengan kapasitas seperti itu rnaka kapal besat tidak dapat berlabuh.
Para pengepul atau pedagang ikan rneyakini kalau kapal hesar hisa herlabuh rnaka dinamika
ekonorni disekitat wilayab ini akan rneningkat katena hal ini akan signifikan terhadap volume ikan
yang diperjual helikan rnelalui pelahuhan ini.
Selain sernpit fasilitas lain yang ada di pelahuhan juga terhatas. Fasilitas lain yang dirasakan oleh para
pengguna pelahuhan diantaranya gudang terutama untuk ikan dan es, tern pat untuk penampungan
BBM. Di Pacitan rnisalnya hila rnereka rnernhutuhkan solar rnaka rnereka harus pergi keternpat
porn hensin terdekat yang jaraknya sekitar 5 km. Jumlab solar yang dapat dihelipun terhatas hanya
dalam beberapa tengki saja. Kesulitan rnendapatkan solar ini rnakin terasa hila rnendekati hari raya
atau rabun haru.
Pernab ada usulan untuk rnengundang investor untuk rnernhangun porn hensin di TPI, namun hagi
calon investor hal ini rnasih helum rnungkin diwujudkan rnengingat cukup hanyak hal yang perlu
dipenuhi oleh seorang investor''. Selain adanya porn nelayan juga berharap jika dirnungkinkan
adanya ternpat penampungan BBM disekitat pelahuhan ini.
TEKNOLOGI
Penelitian dan Pengernhangan. Para petani rnerasa habwa ada hanyak rnasalab (seperti penyakit,
kadar garam yang sesuai, teknologi pasca-panen) yang sernakin rnernhuruk dan yang rnernhutuhkan
pernecaban teknis. Para peserta rnengatakan habwa rnasalab-rnasalab seperti ini sedang rnernhuruk
sebah tidak ada lernhaga untuk rnenjalankan penelitian dan rnengernhangkan teknologi perikanan,
yang dapat dijadikan acuan hagi para petani. Berkaitan dengan ini adalab kurangnya petugas teknis
atau konsultan di lapangan yang dapat rnernherikan keterangan tentang hagairnana rnenangani
herbagai rnasalab herkaitan dengan ikan.
41Untuk memenuhi kebutuhan van bakar bagi nelayan bisa dilakukan dengan membuka SPBBN (Srasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Nelayan). Jenis minyak yang disalurkan di srasiun ini hany:a solar. Beberapa ketentuan pembukaan SPBBN, diamarany:a, (l) unruksatu SPBBN diperlukan biay:a invesrasi senilai 300-500 Juta Rupiah diluir tanah (2) Lokasi harus dekat dengan pantai (3) akan diberikan alokasi tenentu sesuai dengan kebutuhan riil nelayan (4) mempunyai tanah senifikat hak milikseluas minimal 800 m2 dengan panjang bagian depan 40 m (S) ada rekomendasi dari kantor Menteri Perikanan & Kelautan (6) pemilik bisa PT, perorangan a tau koperasi.
97
Mata Rantai Komoditas
Penyakit udang, terutama bagi petani empang, merupakan masalah yang perlu penangan~ khusus
guna mencari pemecahan yang sangat dibutubkan. Pengembangan teknologi di bidang ini juga
diharapkan.
Kapasitas Cold Storage Yang Terbatas. Saar ini umumnya pedagang perantara a tau eksportir memiliki
kapasitas coldstrorage an tara 10-15 ton. Kapasitas sebesar itu tidak sehanding dengan permintaan
udang yang mencapai 20 sampai 30 ton per bulan. Apalagi pada kenyataannya coldstorage terse but
tidak saja digunakan hanya untuk udang melainkan untuk penyimpanan hasil perikanan lainnya.
Penggunaan Perahu Ked!. Umumnya produktivitas petani di Jawa Timur rendah. Terdapat dua hal
yang diperkirakan menjadi penyebab hal ini yakni :
1. Penggunaan perahu 'kecil' dimana kapasitasnya sangat terbatas telah mempersempit fohing ground nelayan. Saar inl daya jangkau perahu nelayan hanya bisa maksimun 6 jam sekali
berlayar. sehingga tidak dapat berlayar lebih jaub ketengah pantai.
2. Penggunaan minyak tanah yang dicampur oli sebagai ganti solar yang dirasakan terlalu mahal
oleh nelayan telah menyebabkan tingkat residu yang dibuang ke !aut semakin tinggi sehingga
pencemaran yang terjadi semakin parah serta dapat memperpendek umur mesin kapal.
TERNAKSAPI
Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut ini: Bojonegoro, Sumenep,
Kediri, Malang, Banyuwangi, Jember, Trenggalek, Pacitan, Tuban.
Jumlah ternak sapi di Jawa Timur sekitar tahun 2002 tercatat sekitar 2,51 jura ekor Qawa Timur
Dalam Angka, 2002) yang tersebar di berbagai tempat terutama pada beberapa kantung produksi
yakni Trenggalek, Jember, Daerah pesisir Selatan Jatim Bojonegoro, Pacitan, Tuban, serta Malang
dan wilayah-wilayah disekitarnya. Adapun perkemhangan jumlah ternak sapi potong sejak 1996 adalah sebagai berikut :
98
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Bagan 5.12 Perubahan dalamJumlah Ternak Sapi diJawa Timur
3.4
1996 2000 2001 2002 Sumber: Jawa limur dalam Angl<a, 1997 dan 2002
Jumlah ternak sapi potong secara keseluruhan di Jawa Timur dalam periode 1996 sampai dengan 2002 menunjukkan penurunan. Posisi pada tahun 2002 dengan jumlah ternak sekitar 2.515.439
ekor dan jika diasumsikan berat rata-rata sapi tersebur adalah 300 kg per ekor, maka jumlah total produksi daging sapi adalah sekitar 0,7 jura ton. Sementara posisi daging impor secara nasional
tahun 200242 adalah sekitar 4,4 jura ton. Dengan demikian perbandingan produksi daging sapi Jawa Timur terhadap daging sapi impor nasional pada tahun 2002 adalah 1: 6,3.
Adapun rantai bisnis sapi potong di Jawa Timur seperti pada gambar berikut ini, menunjukkan
setidaknya ada 4 katagori pelaku usaha yakni pertama peternak pembibit (yang menghasilkan bibit
sapi), peternak penggemukan sapi, pedagang dan industri rumah pemotongan hewan (RPH). Pada setiap kelompok pelaku usaha ini problem maupun peluang usaha yang dihadapi berbeda-beda.
Bagan 5.13 Rantai Produksi dari Temak Sapi
I - Peternak
1 ~ (sekaligus
1 penjual sapi)
l Pedaganf, (ke
l_f seluruh atim dan Jakarta)
- I Peternak
I I
Pasar !aka!
Barga rata-rata eceran daging sapi potong (Rp/Kg)
42Sumber: http://www.bi.go.id/sipukllm/indlsapi_potong/aspek_pcmasaran.h[Jll
99
I: , ;ru>.I'f:.· (Pehrsaliicin) :·· :
:' .. ·· '}!U>Hk··• (perbrangari)
'··. -- -
Mata Rantai Komoditas
Pada umumnya baik peternak pembenihan maupun peternak penggemukan sapi adalah rumah
tangga-rumah tangga petani. Rata-rata kepemilikan sapi per rumah tangga di ]ember, Lumajang, Bojonegoro dan sekitarnya adalah sekitar 2 sampai 3 ekor. Namun demikian karena umumnya
peternak sapi di daerah ini mengembangkan usaha peternakan sapi berdasarkan sistem bagi hasil,
artinya ada sapi-sapi milik orang lain yang dipelihara oleh peternak lainnya, maka rata-rata peternak
sapi ini memelihara sekitar 3 sampai 5 ekor sapi.
Berdasarkan sistem bagi hasil ini peternak dapat dikelompokkan dalam 2 katagori yakni penggaduh yang memelihara sapi milik orang lain atau ditambah dengan miliknya sendiri. Dan
peternak pengusaha, yakni yang memberikan sapinya unruk dipelihara pihak lain den~ rata-rata
kepemilikan sapi sebanyak 5-10 ekor unruk pengusaha sedang dan 10-20 ekor unruk pengusaha besar. Pembahasan berikur ini menguak problematik persapian di Jawa Timur berdasarkan katagori
di atas.
ISU-ISU
KURANGNYA LAYANAN DUKUNGAN
Pada tahap awal industri sapi, kualitas bib it sapi menjadi titik krusial yang menentukan keberhasilan
produksi lanjut, baik pada masa penggemukan maupun sisi perdagangannya. Pada tahap ini nampaknya dukungan institusi penelitian dan pengembangan sangat lemah. Sehingga tidak mudah bagi peternak sapi untuk menemukan bib it sapi dengan kualitas yang baik. Para peternak penggemuk membeli bib it -bibit ·sapi dari pasar lokal. Disana tidak ada standar tertentu atau teknologi tertentu
yang bisa mendeteksi tingkat kesehatan sa pi. Sehingga pemilihan bib it sapi dilakukan oleh peternak
penggemuk sapi berdasarkan perkiraan fisik saja. Akibatnya menurut para peserra FGD baik di ]ember, Bojonegoro, Malang menyampaikan bahwa pencapaian berat sapi hanya mencapai 80%
dari yang diperkirakan.
Kondisi bib it sa pi yang seperti ini kemudian semakin kurang kondusifkarena padasaat penggemukan
kelemahan yang sama juga terjadi yakni tidak adanya dukungan R&D yang memadai pada tahap ini. Bahkan yang lebih parah lagi petugas di tingkat kecamatan yang sangat krusial keberadaannya
dalam budi daya penggemukan sapi, selain terbatas jumlahnya juga masih dirasa kurang trampil.
Dinas Peternakan Bojonegoro menyiapkan mani beku untuk lnseminasi Buatan (IB) dari
sapi berkualitas di Australia, Amerika Serikat dan Selandia Baru. IB ini disuntikkan kepada
sapi betina oleh tenaga mantri hewan yang ditempatkan di desalkecamatan dengan harga Rp.
25.000,- per-dosis. Di ]ember jumlah sapi rata-rata per kecamatan mencapai 2000 ekor. Dengan
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
jumlah sapi betina sekitar 300 ekor. Sedikitnya dibutnhkan satn orang petngas suntik dalam satn
kecamatan agar dapat menangani jumlah tersebut. Saat ini petngas suntik hanya tersedia I orang
untnk sekitar 3-4 kecamatan (FGD, Tim PSD, 2004)
Masalah lain menyangkut Inseminasi Buatan yakni
• Obat untuk IB langka dan hanya ada di beberapa kota saja misalnya di ]ember, sehingga peternak-peternak sapi di wilayah Kab. Lumajang, Kab. Situbondo, Kab. Bondowoso, Kab.
Banyuwangi harus menunggu para petugas untuk membeli obat tersebut ke Jember
• Harga obat untuk IB sebenarnya cukup terjangkau yakni sekitar 50.000 rupiah untuk sekali suntik, narnun tidak ada jarninan bahwa sapi akan harnil.
Petugas kedua yang juga penting kehadirannya di tengah para peternak sapi adalah Petugas Kesehatan. Serupa dengan petugas kawin suntik, petugas kesehatan sapi juga terbatas. Hal ini
berimplikasi pada : • Vaksin untuk sapi distribusinya terbatas walaupun peternak sanggup membeli vaksin
• Tidak dapat menanggulangi sapi yang saltit
• Tidak dapat membantu persalinan sapi terutarna hila terdapat kesulitan kelahiran. • Kesehatan sapi indukan tidak terjarnin • Sulit mendapat bibit sapi yang baik.
Beberapa upaya yang telah dilakukan oleh petani dalam mengatasi masalah mereka adalah :
• Jika sapi saltit banyak diantara peternak yang mencoba menggunakan obat tradisional berupa
jamu-jarnu, atau pergi ke dukun/mantri karnpung dan kalau tidak sembuh juga di jual dengan hargamurah
• Jika petugas suntik tidak ada maka akan dicoba dengan kawin alarn dengan jalan meminjarn
sapi pejantan dari peternak lain dan membayar sejumlah uang jika sarnpai membuahkan keharnilan.
PEMBAYARAN DAN HARGA
Setelah melakukan penggemukan selarna 4-6 bulan, pengusaha mulai menjual sa pi baik untuk pasar
lokal maupun RPH diJakarta. Harga jual pada usia sapi ini sekitar Rp. 4,5-5 juta/ekor. Sebelum sapi dijual, pedagang diwajibkan untuk memeriksakan keadaan sapi dengan biaya Rp. 8.000,perekor. Berikut ini garnbaran mengenai harga eceran rata-rata daging potong diJawa Timur sebagai
berikut:
101
Mara Rantai Komoditas
Bagan 5.14 Harga Eceran Rata-rata Daging Sapi di Wdayah Pedesaan Jawa Timur (Rp/kg)
2004.
2004
1996
1993
1990
1987
Sumber: Sistem lnformasi untuk Perkembangan Usaha Kecil. 61, 2004 dan FGD *Harga Eceran Daging Sapi lmpor
30,000
Banyaknya sapi impor di seluruh Jawa telah secara signifikan menurunkan permintaan atas sapi
Jatim. Menurut seorang peserta FGD di Bojonegoro menyeburkan bahwa penurunan permintaan
secara kuantitas menurun sekitar 70% dalarn 3 tahun terakhir ini. Demikian juga dengan harga
turun 30-50%. Dipasaran di seluruh Jawa harga sapi potong per kg adalah 30.000 rupiah untuk
sapi lokal dan 23.000-24.000 rupiah untuk sapi import khususnya dari Australia, atau lebih murah
sekitar 20%.
Sistem pembayaran dalarn tata niaga sapi umumnya dilakukan secara tidak kontan. Artinya sapi
dibawa terlebih dahulu dan pembayaran dilakukan pada saat sapi sudah terjual. Sistem seperti ini
membuat petani menjadi terikat kepada seorang pedagang tertentu, karena modal usahanya tertahan
pada pembeli sapinya. Hal ini membuat peternak sapi kesulitan modal segar untuk melakukan
pemeliharaan sapi.
Menurut para pedagang sapi, hal tersebut terpaksa mereka lakukan karena RPH dimana mereka
menjual sapinya, juga memberlakukan hal yang sarna, yakni membeli dengan cara tidak kontan.
Sehingga para pedagang sapi ini melakukan hal yang sarna pula terhadap para peternak sa pi. Narnun
hal ini dibantah oleh pihak pengelola RPH, khususnya di Cakung-JaKarta Timur, dimana menurut
keterangan mereka, RPH tidak diperkenankan membeli dengan cara tidak kontan, yang ada hanya
menunda pembayaran sarnpai ada kepastian mengenai kondisi kesehatan sapi yang dijual.
INFRASTRUKTUR
Secara umum para pelaku usaha menyatakan bahwa untuk infrastruktur jalan kondisinya cukup
memadai, walaupun terdapat beberapa ruas yang kondisi jalannya kurang baik seperti ruas Semhoro
Kencong Padang Rejo di ]ember, Bombengsari-Sumber Gedog di Banyuwangi.
102
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Infrastruktur yang masih sangat eliburuhkan bagi pengembangan usaha adalah saluran telpon.
Menurut para pelaku usaha peternakan sapi, telpon sangat membantu petani untuk menghubungi
petugas kesehatan dan suntik kawin, pemesanan obat, mencari informasi harga, maupun informasi
obat-obatan. Saat ini baik jaringan telpon biasa maupun handphone belum menjangkau daerah
daerah sentra-sentra produksi sapi.
IZIN DAN PUNGUTAN
Sejumlah izin diperlukan dalam usaha ternak yang dianggap sebagai beban, yalrni :
• Pengusaha ternak diharuskan memiliki ijin IMB untuk kandang yang dimiliki.
• Pengusaha ternak juga harus memiliki ijin HO dengan masa berlaku selama 5 tahun.
• Pengusaha ternak harus memiliki Ijin Usaha Peternakan
Di samping itu, sejumlah punguran, yang pernah dibatalkan, baru-baru ini elikenakan kembali.
Amara lain punguran-punguran berikut ini telah dikenakan (kembali):
• Pengusaha ternak dikenai PBB untuk kandang yang elidirikan.
• Pengusaha mengeluhkan pungutan oleh pihak desa terhadap kandangyang dielirikan. Besarnya
punguran ialah Rp. 75.000/unit/tahun.
• Pengusaha dikenai punguran oleh pihak desa untuk angkutan ternak yang melintasi jalan
desa. Truk Double elikenai Rp. 5.000 sekali angkur, truk tunggal dikenai Rp. 2.500 sekali
angkur dan pick up elikenai Rp. 1.000 sekali angkur.
• Pengusaha ternak diharuskan membayar restribusi pemeriksaan sapi oleh Petugas dari Pemprop
Jawa Timur yang bertugas di pos perbatasan dengan Jawa Tengah sebesar Rp. 5.000 - 8.000
perekor.
Jenis-jenis punguran yang dibatalkan di Kabupaten Malang melalui Peraturan Daerah No. 11 Tahun
1998 termasuk'3:
• Pajak Potong Hewan dihapuskan tahun 1998 tapi kemudian diberlakukan lagi tahun 2002
• Retribusi kartu ternak 500/ ekor/thn
• Pemeriksanaan kesehatan Ternak di Pasar Hewan, tapi ditingkat lapangan masih berlangsung
pungutan untuk retribusi jenis ini sebesar 400 rupiah per ekor (Semeru, 1999)
Punguran liar, juga masih menghantui perdagangan sapi terutama eli jalan. Pengusaha mengeluhkan
terjadinya punguran oleh polisi terhadap truk angkuran sapi dengan bak terbuka. Pengiriman sapi
melalui jalur selatan yalrni lewat Ngawi seringkali menjadi korban punguran eli daerah Mantingan
(Ngawi - perbatasan dengan Jawa Tengah) dan sepanjang perlintasan di wilayah Jawa Tengah
minimal terjadi 1 kali pungutan dan sebelum masuk to! Cikampek.Bila melalui jalur urara, truk
angkutan sapi akan menjaeli korban pungutan eli Sarang (Rembang- Jawa Tengah), Kandanghaur
Indramayu dan sebelum masuk to! Cikampek.
43Kajian SMERU, 1999
103
Mara Ranrai Komodiras
RUMAH POTONG HEWAN (RPH)
Masalah pada rantai paling ujung dalam bisnis sapi adalah terbatasnya kemampuan rumah potong
hewan (RPH) yang ada di Jawa Timur. Di }ember saat ini terdapat 14 RPH (kapasitas per hati tidak
diketahui). Sementata eli Lumajang terdapat sekitat 7 RPH dengan kapasitas 2-3 ekor per hati per
RPH
Dati hasil pemantailan lapangan, tim menemukan setidaknya ada tiga jenis RPH yakni RPH
perorangan, RPH sedang sebagian besat milik Pemda dan RPH besat 'Cakung' yang ada di Jakarta.
RPH perorangan sebagaimana namanya adalah elimiliki oleh orang perorang. Biasanya kapasitasnya
sangat terbatas yakni kurang dati 5 ekor perhati. RPH perorangan batu elikenal belakangan ini kurang
lebih sejak tahun 2000. Sebelumnya RPH jenis ini tidak diperkenankan atau dengan kata lain tidak
dikeluatkan izinnya oleh pemerintah, elikatenakan pertimbangan keamanan produk. RPH hatus
memiliki standat hygenisasi tertentu sehingga memenuhi persyatatan untuk memotong hewan.
Belakangan ini banyak bermunculan RPH perorangan katena pemda kemuelian mengeluatkan izin
usaha untuk usaha semacam ini. PAD merupakan alasan urama pengeluatan izin semacam ini.
Namun demikian elisinyalir pengawasan kegiatan usaha semacam ini masih sangat lemah.
RPH berikutriya adalah RPH sedang dengan kapasitas sekitat 10 - 20 ekor perhati. Sejauh ini batu
elitemukan satu RPH yang elimiliki oleh perorangan, berlokasi eli Surabaya dengan kapasitas sekitat
40 ekor per hati. PT Abatoir adalah salah satunya, bereliri sejak sekitat 15 tahun yang lalu. Pada 10
tahun yang lalu RPH ini hanya melakukan pemotongan pada sapi-sapi asallokal sekitat Jatim, Bali
dan NTB. Lama kelamaan jumlah ini semakin menurun tercatat pada tahun 1998 sampai saat ini
jumlah sapi impor lebih banyak dibanelingkan sapi lokal yakni 60% sapi impor dan 40% sapi lokal.
Hal ini elisebabkan selain kualitas yang lebih baik, yang paling menentukan adalah harga sapi impor
yang lebih murah.
Hal yang elirasakan menjaeli hambatan usaha RPH semacam ini adalah :
• PPN yang mulai eliberlakukan sejak tahun 2000 sebesat 10%
• Retribusi potong hewan sebanyak Rp 6000/ekor sapi yang masih hidup
• Pungli jumlahnya masih elianggap cukup besat yakni 0,1 % dati omzet usaha
Sebelum tahun 2000 semua sapi potong yang dijual di pasat Jakarta hatus masuk ke RPH besat
yakni RPH Dharma Jaya yang lebih dikenal sebagai RPH Cakung katena terletak di CakungJakarta
Timur. RPH ini adalah BUMN dengan pemilik saham terbesat adalah Pemda DKI. RPH Cakung
dilengkapi dengan fasilitas cold storage, chilling room dan packing serta unit trading sendiri.
Kapasitas terpasang RPH Cakung ini adalah 1000 ekor setiap hati. Pada tahun 1994 rata-rata
kapasitas produksi perhati mencapai 850 ekor per hati. Sejak sekitat 2 tahun yang lalu sampai saat
ini kapasitas produksi RPH Cakung menurun sampai sekitat 250 ekor per hati. Hal ini elisebabkan
banyaknya RPH-RPH perorangan yang menjamur disekitat Jakarta seperti Tangerang, Bekasi dan
104
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Bogor. Jadi kalau menurut pihak RPH Cakung berkurangnya kapasitas pemotongan di usaha ini
bukan karena suplai sapi berkurang, namun lebih karena bermunculannya RPH gelap tadi.
TEKSTIL
Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut ini: Surabaya, Sidoarjo,
Pasuruan, Mojokerto, Kediri, Jombang.
Industri tekstil merupakan industri padat karya dengan upah tenaga kerja murah merupakan keunggulan komparasi dalam mengundang investasi pada industri ini. Sekitar tahun 1975 hingga
tahun 1993 industri tekstil mampu meningkarkan penyerapan tenaga kerja hingga 33 persen dari total angkatan kerja di sektor industri. Dengan peningkatan nilai tambah rata-rata sebesar 17 persen,
kemampuan industri tekstil dalam menyerap tenaga kerja pada peri ode tersebur menunjukan sektor ini cukup dinamis selama dua dasawarsa44•
Pertumbuhan industri tekstil, khususnya industri garmen didorong oleh orientasi ekspor ke manca
negara. Orientasi ekspor saat itu didorong oleh beberapa faktor, yakni melambannya permintaan domestik menyusul berakhirnya era oil boom, keunggulan komparasi pada upah buruh yang murah, tidak digunakannya quota ekspor, adanya insentifberupa subsidi ekspor, subsidi tingkat suku bunga
kredit ekspor dan nilai tukar rupiah yang lebih rendah terhadap mata uang negara tujuan ekspor.
Namun tingginya pertumbuhan industri garmen berhenti pada tahun 1993. Hal ini disebabkan
. munculnya tekanan kompetisi dari negara-negara dengan upah buruh rendah dan menurunnya
daya saing akibat kebijakan upah minimun yang tidak diimbangi dengan peningkatan produktifitas
pekerja.
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) pada setiap rantai bisnisnya memberikan nilai tambah.
Value chain TPT meliputi produk serat !fibre) yang digunakan sebagai bahan baku benang, benang dan bahan tekstil !fabric) seperti kain dan kaos, serta garmen. Menurut data BPS, dari empat TPT diatas, garmen merupakan produk yang memberikan kontribusi besar dalam ekspor TPT Indonesia
yakni sebesar 52,2 persen dari total eksporTPT dan menyerap tenaga"kerja sebesar 10,6 persen dari
total tenaga kerja di sektor manufaktur'5•
Pada umumnya, rantai nilai bagi tekstil adalah sebagai berikut:
44Aswicahyono dan Maidir, lndonesiitn} tatiks and Apparaks Industry : Taki11g a Stand i11 tht Nnv lnumational Compnition, CSI$, 2003 45Survey industri BPS
105
Mata Rantai Komoditas
Bagan 5.15 Rantai Produksi Tekstil
,-------1 Industri
Pemintalan I ln&~~.!:>ar I I ·~~ Imp~ J lr;:::l P=ed=-a:~!~g -Lo-kal----,1
(Polyester, I . . I Rayon, Kapas) ~
Petan1 (Kapas, Coccon)
Industri Bordir
Industri Rajut
Industri Tenun Kecil
Industri Kain
Industri Tekstil lain
Pedagang/ Eksportir
Industri Garmen
'I E-ks-}-or'll r P-a,-:-d_al_am_ne-gr'i I
Pada tahun 2002 produksi rata-rata industri tekstil diJawa Timur mencapai 1,1 juta meter. Angka
produksi ini turun dari sebelumnya sekitar 1,5 juta meter pertahunnya. Akibat serbuan produk
tekstil dari Cina industri tekstil terpukul dalam persaingan tekstil dalam negeri maupun persaingan tekstil untuk ekspor. Secara nasional menurut data Depperindag, ekspor tekstil Indonesia mengalami penurunan sebesar 9 persen dari sekitar 7,8 milyar dollar AS pada tahun 2001 menjadi 7,1 milyar dollar AS pada tahun 200246•
Dalam usaha melindungi para produsen tekstil dalam negeri, Menteri Perindustrian dan Perdagangan
menerbitkan sebuah Surat Keputusan No. 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Prosedur Perdagangan
untuk Impor Tekstil (22 Oktober, 2002), yang menentukan bahwa tekstil hanya dapat diimpor oleh para importir produsen tekstil (IP). Bahan tekstil yang diimpor oleh IP tekstil hanya boleh
digunakan sebagai bahan mentah, atau bahan suplementer dalam proses produksi industri-industri
yang dimiliki oleh IP tekstil, dan tidak diperbolehkan untuk dibeli dan dijual atau ditransfer. SK No. 732 tahun 2002 menyatakan bahwa distribusi tekstil impor ilegal di pasar Indonesia telah
menciptakan suatu perdagangan yang tidak adil dan menyebabkan terjadinya kerugian pada pihak produsen tekstil dalam negeri. Lalu, guna mendukting pengawasan atas negara asal produk tekstil yang masuk ke Indonesia dan perlakuan produk tekstil di negara asalnya, Menteri Perindustrian
dan Petdagangan mengeluarkan Surat Keputusan No. 276/MPP/Kep/4/2003 tentang verifikasi atau pelacakan teknis impor tekstil dan produk tekstil.
46Kompas, 18 Pebruari 2003
106
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
ISU-ISU
INFRASTRUKTUR
Sebagai suatu industri yang boleh dikatakan bekerja non-stop, industri tekstil sangat bergantung
pada pasokan listrik. Para pelaku usaba kbawatir babwa mungkin akan terjadi kcisis liscrik sebagai
akibat penurunan suplai listrik dari stasiun-stasiun pembangkit listrik serta pemeliharaan dan manajemen yang buruk di sub-stasiun PLN. Kekbawatiran ini mempunyai dasar yang kuat, sebab
para pengusaba tekstil mengalami lima sampai delapan kali pemadaman listrik dalam sebulan, sering
tanpa pemberitabuan sebelumnya. Para pengusaba merasa babwa mereka sangat dirugikan dengan pemadaman-pemadaman tersebut.
Menurut data BPS untuk rabun 2001, selurub biaya input dari 179 industri tekstil menengab dan
besar eli Jawa Timur dari listrik dan gas mencapai lebih dari Rp. 97 milyar, atau 8% dari selurub
biaya input industri-industri ini.
Uncuk terus recap beroperasi, pengusaba menyediakan genset sebagai penyedia listrik pengganti
listrik PLN. Penggunaan genset harus eliberitabukan, karena setiap pemakainnya akan dipungut PPJU non PLN oleh pemerintab daerab. Pengenaan PPJU PLN dan non PLN dikelubkan oleh pengusaba karena tidak diiringi dengan penerangan jalan umum eli sekitar industri, sehingga dapat
mengundang gangguan keamanan.
Penggunaan energi liscrik bagi industri semakin lama menjadi semakin mabal dan semakin tidak
mencukupi. Rencana pemerintab untuk menaikkan tarif dasar liscrik secara berkala akan berdampak
pada kenaikan biaya produksi. Uncuk mengatasi kekurangan energi eliluar listrik PLN hendaknya ditambab dan dipercepat instalasi gas ke industri-industri. Penggunaan gas dinilai pengusaba akan
membuat efisiensi biaya produksi.
Infrastruktur lain yang menjadi perhatian pengusaba ialab fasilitas bongkar muat dan pelayanan
Terminal Handling Charge (THC) yang mendukung bongkar muat eli pelabuban Tanjung
Perak, Surabaya. Jumlab fasilitas bongkar muat yang terseelia berjumlab enam, namun dalam melayani pengiriman kontainer, pengusaba hanya dilayani dua fasilitas. Tentu saja ketidak
maksimalan fasilitas yang terseelia, menjadi hambatan bagi pengusaba karena akan menyebabkan biaya tambahan baik untuk pergudangan maupun pembayaran "batas waktu" pemasukan barang ke
pelabuban (closing time) elitambab pengusaba harus menanggung biaya kerusakan barang akibat
tertaban eli pelabuban47•
47Isdijoso, Tam hunan dan Ubaidillah, Prospck Pcrdagangan Domestik yang Bebas Dalam Era Descmralisasi dan Dampaknya atas Penumbuhan Ekonomi Dacrah, CESS, PRISM Project- The Asia Foundation, 2001.
107
Mata Rantai Komoditas
PERIZINAN
Kalangan industri tekstil mengeluhkan ketidak-transparanan birokrasi penzman mengenai persyaratan, wakru dan biaya pengurusan izin. Kasus beberapa industri tekstil PMA yang berada
di Pasuruan dan Mojokerto sangat mengeluhkan ketidakjelasan birokrasi perizinan. Pengurusan
perpanjangan Izin Usaba Industri (IUI), Izin Usaba Tetap (IUT) dan perpanjangan Izin Tenaga Kerja
Asing (TKA) ditetapkan dalam Perda telab diserabkan kepada Pemerintab Daerab. Kenyataannya
Pemda sendiri belum siap dan pengurusan izin-izin tersebut masih harus diselesaikan di Badan Penanaman Modal di Propinsi. Akibatnya pengusaba harus kehilangan waktu serta biaya tambaban
karena tetap harus pada instansi di kabupaten dan propinsi.
Behan ganda akibat tumpang tindih perizinan juga terjadi pada pengadaan alat industri. Pengusaba tekstil di Malang mengeluhkan perizinan berganda untuk pengadaan alat industri (diesel, forklift
dan alat pemadam kebakaran). Behan yang muncul ialab pengusaba harus mengurus perizinan bagi alat yang sama pada subyek perizinan yang berbeda dan seringkali diikuti oleh pungutan dalam
perizinan tersebut. Sebaliknya pada kasus Gresik dan Mojokerto, pengusaba mengaku tidak dikenai biaya perizinan, namun dikenai biaya inspeksi alat tersebut. Diseburkan oleh pengusaba biaya
inspeksi alat pemadam kebakaran sebesar Rp. 3-5 ribu perunit.
Undang-undang no. 34 tabun 2000 tentang Retribusi dan Pajak Daerab membolehkan pengenaan
retribusi pada penerbitan perizinan khusus. Perizinan penggunaan air bawab tanab termasuk dalam perizinan khusus yang dapat dikenakan retribusi. Namun besaran tarif yang tidak transparan
mengakibarkan pengusaba harus menanggung biaya yang lebih besar. Kasus di Mojokerto, untuk mendaparkan air bawab tanab, pengusaba terlebih dulu mendaparkan izin penggunaan air bawab tanab (SIPA) di riga sumur dengan debit masing-masing 860 liter/menit. Untuk mendapatkan izin
tersebut pengusaba dikenakan biaya Rp. 40 jura. Biaya ini tidak termasuk biaya akomodasi perugas
inspeksi dari instansi terkait. Disamping biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh perizinan,
pengusaba masih harus membayar retribusi penggunaan air bawab tanab setiap bulan berdasarkan debit pemakaian.
PAJAK, PUNGUTAN DANTARIF
Dalam diskusi dengan pengusaba tekstil, ditemukan beberapa jenis punguran yang dirasakan
sangat membebani pengusaba. Ketidakjelasan tarif pungutan, misalnya terjadi pada uji tera yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Timur. Pengalaman pengusaba dari Sidoarjo terhadap pengujian alat tera milik usabanya yakni pengujian terhadap 150 unit alat tera, pengusaba dikenakan biaya Rp. 40 juta.
Punguran lain terjadi dalam bentuk iuran DPKK (Dana Peningkatan Ketrampilan Ketenagakerjaan) yang dikenakan tinruk penempatan Tenaga Kerja Asing sebesar US$ 100 perbulan. luran ini
berrujuan untuk meningkatkan ketrampilan tenaga kerja lokal sehingga akan ada alih ketrampilan
108
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
dari tenaga kerja asing kepada tenaga kerja lokal. Narnun seperti yang dikeluhkan pengusaha, hasil
iuran DPKK tidak ada realisasi dalarn bentuk pelatihan sebagaimana tujuan iuran tersebut.
Jenis pungutan berupa retribusi yang berdasar pada pelayanan harus dibayar oleh pengusaha
meskipun pengusaha tidak menerima pelayanan tersebut. Pada retribusi sarnpah yang dikenakan
pada industri, ternyata juga berlaku pada industri yang mengolah sarnpahnya sendiri. Beberapa industri memiliki mesin incenerator sendiri yang dapat digunakan membakar sarnpah di industrinya.
Sarnpah yang dibakar oleh beberapa industri digunakan untuk boiler.
Industri tekstil yang memiliki rantai bisnis yang panjang pada proses produksinya, memungkinkan
industri di tiap rantai bisnis memperoleh bahan baku yang dikenakan PPN (PPN masukan) narnun
hasil produk yang dijual dapat dikenakan PPN (PPN keluaran). Pengusaha dapat mengajukan
restitusi terhadap PPN yang dibayar. Narnun pengurusan restitusi pajak yang dirasakan berbelit,
beberapa pengusaha yang mengeluhkan pengurusan ini terdorong untuk menggunakan bahan baku non-PPN (black market). Pengusaha sebagai pembayar pajak sangat mengharapkan pelayanan dari
petugas pajak yang bersih. Masalah keruwetan pengurusan pajak termasuk restitusi pajak juga dinilai pengusaha disebabkan oleh perugas pajak yang tidak bersih.
Pengusaha juga mengeluhkan pe111eriksaan administrasi di bea cukai. Hal ini disebabkan
ketidakberesan administrasi be a cukai terhadap jenis, spesifikasi dan volume barang yang masuk
melalui pabean. Kasus Indiratex misalnya;perusahaan diharuskan membayar hutang bea masuk
impor kapas pada 2 bulan kemudian setelah closing. Penagihan ini didasarkan pada perbedaan
harga kapas yang diimpor oleh Indiratex dilaporkan lebih rendah terhadap harga kapas yang sama
yang tercantum dalam Depperindag (FGD, Tim PSD, 2004)
Sejak desentralisasi berlangsung, kebijakan pajak bumi dan bangunan menjadi kurang konsisten sehingga sulit bagi para investor untukmemperkirakannya. Pengurusan atas masalah-masalah tanah
telah dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada tahun 2001. Pemerintah daerah kemudian mengembangkan lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan daerah tentang penggunaan tanah, termasuk pajak atas harta tak bergerak nyata. Sayang sekali, di beberapa
kabupaten pajak daerah atas bumi, dan bangtingan (PBB), dinaikkan sarnpai sepuluh kali lipat dari jumlah sebelumnya terutarna mereka yang bertempat di wilayah industri. Sebagai akibarnya,
banyak perusahaan rutup atau pindah keluar dari kawasan tersebut.
"Hampir 13% dari perusahaan tutup atau pindah selama tahun 2002 karena biaya produksi di
sini terlalu tinggi setelah kenaikan PBB". (manaJ,mm PIER)
109
Mata Rantai Komoditas
. Dengan dampak yang begitu dramatis terhadap dunia usaha dan investasi, pemerintah pusat mencabut kembali wewenang untuk memungut pajak atas real estate pada pertengahan
tahun 2003.
KEAMANAN
Masalah keamanan terpenting yang dirasakan pengusaha tekstil ialah penyelundupan produk
tekstil. Serbuan produk Cina secara legal saja telah menyebabkan produk tekstil Jawa Timur turun sebesar 26%48 • Penurunan ini sungguh memberatkan industri tekstil, karena tingkat
kompetisi semakin ketat pada harga, dan ditambah dengan impor ilegal produk tekstil (pakaian bekas) menambah berat industri tekstil. Pengusaha telah menyampaikan keberatan terhadap
maraknya penyelundupan produk tekstil, namun penanganan yang dilakukan aparat keamanan, dinilai pengusaha kurang serius.
Masalah keamanan penting lainnya ialah pemogokan buruh. Sebagai industri padat karya,
industri ini sering menghadapi masalah perburuhan, baik yang berupa kasus normatif
maupun non-normati£ Namun pengusaha mengeluhkan aturan perburuhan dan penanganan kasus perburuharl. seringkali tidak memperhatikan kepentingan perusahaan. Beberapa kasus
perselisihan kerja berujung dengan pemogokan dan ketika dibawa pada tim penyelesaian perselisihan selalu dimenangkan pihak buruh. Pemerintah diharapkan lebih adil dalam menyelesaikan masalah perburuhan.
48Kompas, 5 Mei 2003
110
/
6 I KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan
Rekomendasi Umum
Rekomendasi Sektoral
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Perekonomian Jawa Timur memberikan sumbangan yang signifikan terhadap ekonomi nasional secara keseluruhan dengan nilai harnpir 14% dari PDB. Perekonomian daerah di provinsi ini
didominasi oleh sektor jasa dalarn hal kontribunya terhadap PDRB, walaupun pertanian menyerap
tenaga kerja harnpir 50% dari penduduk. Sesuai dengan keadaan umum di Indonesia, investasi
dalarn perekonomian Jawa Timur sedang mengalarni kemandekan, atau bahkan sedang mengalarni kemerosotan. Angka kemiskinan di provinsi ini yang mencapai lebih dari 20% (menurut data
statistik nasional), menimbulkan keprihatinan yang serius.
Fakror-fakror yang mempengaruhi larnbatnya pertumbuhan dalarn perekonomian di Jawa Timur
antara lain adalah:
• INFRASTRUKTUR: Investasi dalarn infrastruktur sejak krisis moneter telah merosot
secara nasional. Memburuknya keadaan jalan-jalan, listrik, dan pelabuhan-pelabuhan mulai
membawa darnpaknya pada perusahaan-perusahaan di Jawa Timur. Survey menemukan bahwa mayoritas para pelaku bisnis merasa bahwa infrastruktur masih memadai, narnun
di data sektoral karni temukan banyak masalah yang disebabkan karena keadaan jalan yang buruk yang menuju ke pusat-pusat produksi dan daerah-daerah di luar kota, pemasokan air yang buruk untuk industri, dan sarana pelabuhan yang terbatas.
• KEBIJAKAN: Banyak kebijakan yang ada menghalangi perdagangan barang dan jasa atau bahkan menciptakan distorsi pasar. Contohnya adalah pengurusan dan pendirian usaha
baru yang diurusi pemerintah daerah, penetapan harga oleh pemerintah, dan pengenaan
pajak berganda di beberapa sektor. Sektor swasta merasa terus-menerus dikucilkan dari proses pembuatan. kebijakan. Di sarnping itu, dirasakan bahwa tidak adanya transparansi
dan akuntabilitas dalarn layanan pemerintah menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang dibuat dengan tujuan yang baik, mungkin sekali dilaksanakan dengan buruk.
• PUNGUTAN: Sejak oronomi daerah berjalan, upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah (PAD) telah mengakibatkan lahirnya sejumlah besar pajak dan pungutan daerah. Dari perspektif sektor swasta, pungutan-pungutan ini mengakibatkan suatu
ekonomi biaya tinggi yang memperparah kedudukan mereka di pasar global yang memang
sudah mengancarn. Retribusi dan pajak yang tumpang tindih untuk barang/jasa yang sarna dianggap benar-benar membebani. Pungutan-pungutan resmi juga menimbulkan biaya tidak
resmi karena praktek pemerintahan yang lemah. Narnun, mungkin agak mengejutkan, para
112
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
responden merasa bahwa pungutan-pungutan tidak resmi mulai menurun pada waktu yang
bersamaan dengan meningkatnya pungutan resmi secara dramatis.
• KEAMANAN: Dirasakan bahwaadasejumlah persoalan keamanan yangmenandai lingkungan
bisnis di Jawa Timur. Para industri besar melaporkan adanya masalah-masalah yang terkait
dengan pemogokan burub, terutama di daerah pertumbuban utama (Gerbangkertasusila). Di
sektor pertanian, pencurian merupakan masalah yang kronis, dengan dicurinya hasil tanaman
tepat sebelum panen. Di samping itu, pengangkutan barang diganggu oleh pungutan
pungutan liar dan runrutan akan uang perlindungan dari aparat keamanan. Akhirnya,
penebangan pohon dan penangkapan ikan secara ilegal masing-masing mempunyai dampak
terhadap bisnis di sektor kayu dan perikanan.
Banyak dari masalah tersebut melampaui batas-batas administratif dari pemerintah daerah
(kabupaten/kota) yang sekarang inempunyai wewenang untuk membuat sebagian besar kebijakan.
Oleh karenanya, salah satu masalah sangat penting bagi perkembangan perekonomian Jawa Timur
adalah kemampuan pemerintah kabupaten dan kota untuk mengadakan koordinasi dan kerja
sama di dalam memajukan suatu iklim usaha yang sehat, baik antar daerah maupun pada tingkat
provinsi. Penting sekali bagi para pengusaha bahwa kebijakan-kebijakan dan program-program
dirumuskan bagi kerja sama antar-wilayah berguna untuk memajukan suatu iklim investasi yang
positi£ Seperti akan dibahas dalam lampiran, peranan yang dapat dimainkan pemerintah propinsi
di dalam mengkoordinasi dan memfasilitasi kerja sama an tara pemerintah kabupaten-kota belumlah
diupayakan sepenubnya.
Rekomendasi-rekomendasi Umum
Sektor swasta diberikan kesempatan untuk menyampaikan rekomendasi~rekomendasi mereka dalam
menyelesaikan_masalah-masalah yang mereka anggap paling penting pada akhir diskusi-diskusi
kelompok terfokus dan wawancara mendalam. Rekomendasi-rekomendasi ini dikelompokkan ke
dalam suatu perangkat rekomendasi umum yang dapat diterapkan pada semua sektor dan yang
selalu diajukan oleh sektor swasta; dan, kedua, rekomendasi-rekomendasi yang terkait dengan
sektor-sektor tersebut.
lnfrastruktur
Beberapa hal yang secara urn urn diusulkan guna mengatasi kendala yang menghambat perkembangart
Jawa Timur adalah:
113
Kesimpulan dan Rekomendasi
Jalan-jalan • Penyelesaian ]alan Lintas Selatan dan jembatan Suramadu (yang menghubungkan Surabaya
dengan Madura) sedang dinanti-nantikan oleh pelaku usaha, terutama yang dari Madura
dan Jawa Timur bagian Selatan. Di samping iru, berkaitan dengan pembangunan jembatan Suramadu, eliusulkan agar elibangun juga jalan-jalan yang menghubungkan Madura bagian
Utara dengan Madura bagian Selatan.
• Pelaku usaha juga mengharapkan perhatian pemerintah untuk pembangunan jalan-jalan yang menuju ke sentra-sentra produksi yang biasanya berada di pelosok desa, pantai dan gunung.
Telekomunikasi .. Sambungan telepon perlu diperluas eli sekitar pusat-pusat produksi, terutama untuk mencapai
daerah-daerah pedesaan guna membanru para petani dan pengusaha kecil di dalam memperoleh akses yang lebih baik terhadap informasi penting sepertiharga, bahan baku, obat-obatan, pupuk, dan lain-lain.
Listrik
Inv'estasi baru dalam pasokan listrik sangat penting bagi sektor swasta, baik yang besar maupun
yang kecil. Kekurangan listrik bukanlah sesuatu yang unik eli Jawa Timur, namun karena provinsi ·
tersebut merupakan tempat dari banyaknya sarana produksi, pemadaman lisrrik yang makin sering terjaeli dalam masa riga tahun terakhir ini, benar-benar sangat menggangu.
Air
Sektor swasta, terutama di bidang perikanan dan pertanian, sangat terganggu dengan mutu yang buruk dan kecilnya keterseeliaan air. Pembabatan hutan, sungai yang dangkal dan polusi yang dihasilkan industri disebut-sebut sebagai sebab urama terjaelinya masalah ini. Pelaku
usaha mengusulkan adanya langkah-langkah yang mendesak untuk melakukan penghijauan
kembali yang terus menerus, pengurukan sungai dan tindakan hukum terhadap para penyebab polusi indusrri.
Pelabuhan Kegiatan ekonomi di sepanjang garis pantai Jawa Timur bersifat cukup dinamis, namun tidak
didukung sarana pelabuhan yang memadai, khususnya sekitar pesisir Timur dan Selatan.
Pelaku usaha di daerah ini menyarankan dilebarkannya dan eliperdalamnya pantai-pantai guna mengakomodasi perahu yang lebih besar, dan diseeliakannya sarana pendukung lainnya seperti cold storage.
114
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Peraturan
Pelaku usaha melihat adanya dua jenis masalah mengenai peraturan. Pertama, ada peraturan baru
yang muncul pada pemerintah kabupaten-kota paska otonomi daerah menyebabkan ekonomi biaya
tinggi dan meningkatkan ketidakpastjan. Peraturan-peraturan itu berupa pungutan-pimgutan
yang dikenakan pada perusahaan tanpa alasan yang wajar, prosedur dan tarif perizinan yang tidak transparan, disingkatkannya masa berlakunya izin, atau pajak atas barang atau produk yang keluar, masuk atau melintasi suatu daerah. Pemerintah-pemerintah kabupaten-kota harus memulai untuk
meninjau peraturan daerah (perda) yang ada bersikap lebih hati-hati di dalam memperkenalkan
peraturan baru. Peninjauan ini dapat dilakukan dengan melakukan Regulatory Impact Assesment (RIA) atau Penilaian Dampak Kebijakan dengan melibatkan masyarakat, termasuk pelaku usaha ,
di dalam merumuskan peraturan terse but.
Juga ada kasus dimana peraturan daerah bertentangan dengan peraturan pusat. Para pengusaha
merekomendasikan supaya Pemerintah provinsi Jawa Timur memainkan suatu peranan yang lebih aktif di dalam fungsinya sebagai jembatan antara pemerintah-pemerintah d'!erah dan pemerintah
pusat hila timbul masalah-masalah sebagai altibat munculnya peraturan yang bertentangan.
Keamanan
Banyak pengusaha mengeluh bahwa mereka merasa tidak aman di dalam menjalankan usahanya. Jenis gangguan dilakukan oleh preman, kelompok pemuda, aparat keamanan yang menawarkan
perlindungan keamanan, jasa EMKL, atau layanan lain yang tidak diperlukan para pengusaha. Kadang-kadang tawaran ini disertai ancaman, perintangan jalan menuju pabrik, atau tindakan
vandalisme. Jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh perusahaan cukup besar guna melindungi tempat produksi, perkebunan, atau barang-barang mereka dalam pengangkuran. Pesan yang
berulang kali disampaikan sektor swasta adalah bahwa mereka ingin agar pemerintah setempat,
melalui aparat penegak hukum dan keamanan, dengan penegakan akuntabilitas untuk memperketat
perlakuan pihak-pihak yang menciptakan gangguan tersebut.
Akses terhadap Modal Sektor swasta merasa kurang mendapatkan dukungan dari bank-bank dan lembaga keuangan formal
lainnya, terutama bagi pertanian dan usaha kecil. Bahkan meskipun syarat agunan telah dipenuhi,
kredit sering masih tidak disetujui, atau diberikan dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada jumlah yang diminta. Kurangnya kepercayaan oleh pihak bank disebut sebagai kendala utama.
Sektor swasta mengusulkan agar bank-bank melatih staf untuk menilai kelayakan usaha sebagai
faktor penentu bagi persetujuan kredit.
115
Kesimpulan dan Rekomendasi
Rencana-rencana kredit dari pemerintah didasarkan atas ikrikad baik untuk membantu usaha mikro dan usaha kecil. Narnun pelaksanaannya sering kali tidak tepat waktu dan tidak mempunyai sasaran
yang tepat. Suatu mekanisme pengawasan yang lebih efektif dalarn melaksanakan rencana-rencana
pemerintah telah disarankan49•
Dayasaing
Kecenderungan merosotnya daya saing menjadi nyata di harnpir semua komoditas, yang disebabkan mutu produk dan kelemahan produsen setempat dalarn menciptakan nilai tarnbah atau inovasi
produk. Untukmemperbaiki mutu produksetempat, pelaku usaha dari berbagai sektor menyarankan diperlukannya lebih banyak lembaga penelitan dan pengembangan guna mengembangkan teknologi
yang lebih baik rang dapat memperbaiki efisiensi dan inovasi produksi.
Rekomendasi Sektoral
Sektor. Petemakan
Diperlukan pengembangan industri dan fasilitas pendukung di tingkat hulu (pakan ternak, obat
obatan) dan hilir (makanan yang diolah). Juga diperlukan staf lapangan yang terlatih dan yang
mempunyai perlengkapan yang lebih baik guna membantu dalarn pencegahan dan penyembuhan penyakit, bahkan sebelum terjadinya peristiwa flu burung.
Sektor Perikanan
• Memperbaiki mutu dan jumlah lembaga penelitian dan pengembangan yang dikelola
pemerintah untuk mengembangkan teknologi yang khas bagi sektor ini. Di sarnping itu, nelayan dan pengusaha mikro mengusulkan studi banding ke daerah lain untuk membantu
mereka memperbaiki teknik pemrosesan dan mengembangkan pasar yang lebih luas.
• Pembangunan cold storage yang mengakomodasi volume produksi di daerah akan sangat membantu para nelayan untuk menghadapi fluktuasi harga pasar.
Kehutanan
• Para pengusaha menyarnpaikan usul yang kuat agar dilakukan peninjauan kembali Undangundang No. 41 tahun 1999 yang menetapkan adanya perlakuan yang sarna - dalarn hal retribusi, pajak, dan dokumentasi - untuk hutan rakyat dan hutan industri (HPH).
Dalarn praktiknya, hal ini memberatkan usaha kecil yang bekerja di hutan rakyat. Untuk itu disarankan agar izin untuk menebang pohon di hutan rakyat mungkin dapat diberikan pada
tingkat desa atau kecarnatan, bukan di tingkat kabupaten.
49Lebih banyak informasi temangakses terhadap kredic di Jawa Timur dapatdiperoleh dari suaru kajian oleh Don Johnson bagi JBIC yang berjudul" Accm to Crtdit and . Small Firm Growth: Rmtlt From a Survry in EaH java"
116
Memperbaiki Iklim Usaha Jj Jawa ·1 imur
• Pelaku usaha juga mendesak dibukanya dialog antara pemerintah dan polisi untuk
menyelesaikan pungutan-punguran liar yang merajalela di sektor ini, yang terutama disebabkan
adanya perbedaan-perbedaan di dalam pelaksanaan ijin ..
• Mengikursertakan publik di dalam usaha mengendalikan penebangan pohon secara liar.
• Umuk mengatasi kekurangan bahan baku, pemerintah diminta mengambillangkah-langkah
guna memberantas praktik-praktik penebangan pohon secara liar, dan sejalan dengan itu,
dilakukan program penghijauan kembali dengan sistem pemantauan yang baik.
• Mempergunakan hutan-hutan negara yang terbengkalai, dan bermitra dengan komunitas
setempat di dalam membuka daerah-daerah baru ini.
Perkebunan • Para petani di sekror ini, terutama te:mbakau, mendesak agar ada transparansi informasi di
dalam penentuan harga dan kebutuhan tembakau oleh pabrik-pabrik tembakau.
• Revitalisasi industri pemrosesan gula dengan menggantikan mesin tua, serta perbaikan
teknik-teknik penanaman pada tingkat hulu merupakan kunci di dalam memperbaiki
produktivitas.
• Program sertifikasi tanah, dengan p~osedur yang lebih sederhana dan biaya yang lebih rendah,
diusulkan oleh para pengusaha kopi, sebab mereka ingin menjadikannya sebagai agunan
untuk mengakses kredit bank.
• Aparat kepolisian hams menyediakan keamanan yang lebih baik di perkebunan-perkebunan.
Sektor Industri Respondeu dari sekror ini terutama terdiri dari perusahaan menengah sampai besar. Tiga rekomendasi
utama mereka adalah: • Adanya sanksi yang berat dari pihak pemerintah guna memberantas kegiatan penyelundupan,
yang berakibat rusaknya tata niaga seperti pada industri tekstil dan kayu.
• Adanya konsistensi dalam kebijakan buruh dan ketidakberpihakan di dalam menyelesaikan
sengketa buruh akan sangat penting, sebab Jawa Timur merupakan tuan rumah bagi banyak
industri padat karya.
• Menyederhanakan penggantian PPN dan 'membersihkan' pejabat-pejabat pajak yang korup
akan meningkatkan pemasukan pajak bagi pemerintah, di samping memudahkan perusahaan
untuk memenuhi kewajiban pajaknya.
117
LAMPIRAN 1 I Kondisi Koordinasi Antar Pemerintah Lokal di Jawa Timur
KONDISI KOORDINASI ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA
DIJAWA TIMUR
Masalah-masalah yang dikemukakan dalam Bab Rekomendasi dan Kesimpulan menunjukkan
bahwa diperlukan mekanisme koordinasi an tar pemerintah daerah dan juga berbagi pengalaman dalam pelaksanaan program yang lebih baik. Informasi di bawah ini memberikan sekilas
gambaran tentang forum yang sekarang ada untuk kerja sama tersebur. Beberapa di antaranya
merupakan forum koordinasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; sementara yang lainnya merupakan koordinasi antar pemerintah daerah.
Badan-badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil)
Di era desentralisasi, para pejabat pemerintah kabupaten dan kota mempunyai wewenang
yang jaub lebih besar. Dalam konreks ini, salah satu peran pemerintah provinsi adalah unruk menjalankan fungsi koordinasi, teristimewa berkaitan dengan masalah-masalah yang melintasi
batas-batas pemerintah daerah. Dalam usaha menjalankan fungsi ini, pemerintah provinsi Jawa
Timur, melalui Peraturan Daerah (Perda) No.5 tahun 2001, telah membentuk empat Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil). Masing-masing Bakorwil melipuri suatu daerah koordinasi
berbeda, seperti terlihat dalam tabel berikut.
Tabel6.1 Pembagian Bakorwil diJawa Timur
~~ -~·- -~~1 .. _ f:lcJ":ohAllUW_J Kabupaten Bojonegoro Kabupaten Madiun Kabupaten Malang Kabupaten Pamekasan
Kab. Tuban KotaMadiun KotaMalang Kab. Sumenep
Kab. Lamongan Kab. Ponorogo Kab. Pasuruan Kab. Sampang
Kab. Jombang Kab. Ngawi Kota Pasuruan Kab. Bangkalan
Kab. Mojokerto Kab. Magetan Kab. Probolinggo Kab. Gresik
Kora Mojokerto Kab. Pacitan Kota Probolinggo Kab. Sidoarjo
Kab. Kediri Kab. Trenggalek Kab. Lumajang Kota Surabaya
Kora Kediri Kab. Tulungagung KotaBatu
Kab. Blitar Kab. Banyuwangi
Kota Blitar Kab.Jember
Kab. Nganjulr Kab. Situbondo
Kab. Bondowoso
120
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Pemerintah Provinsi Jawa Timur membentuk empat Bakorwil ini dengan maksud menyediakan
koordinasi dengan pemerintah kabupatenlkota, mempermudahkegiatan otonomi, mengkoordinasi
kan potensi daerah, dan menyediakan bahan bagi Gubernur untuk pembuatan kebijakan. Tugas
pokok Bakorwil dapat dilihat secara lebih rind dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 5 tahun 2001 ten tang Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) dan landasan operasionalnya dalam
bentuk Surat Keputusan Gubernur No. 50 tahun 2001. Peraturan tersebut menegaskan bahwa Bakorwil mempunyai tugas utama membantu Gubernur dalam koordinasi, bimbingan, dan pengawasan dari perilaku otonomi provinsi dan otonomi kabupatenlkota.
Untuk menyelenggarakan tugas pokok seperti tersebut di atas, Badan Koordinasi Wilayah
mempunyai fungsi : . • Pelaksana pengkoordinasian, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan otonomi propinsi
di wilayah. • Pelaksana pengkoordinasian, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas dekonsen
trasi dan tugas pembuatan propinsi. • Pelaksana pengkoordinasian, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan otonomi
kabupaten I kota di wilayah.
• Pelaksana pengkoordinasian, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan
kabupatenlkota. • Pelaksanaan perwujudan keterpaduan an tara otonomi provinsi dan otonomi kabupaten I kota
di wilayah. • Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi perkembangan penyelenggaraan otonomi propinsi dan
penyelenggaraan otonomi kabupaten I kota di wilayah.
• Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi perkembangan penyelenggaraan tugas pembantuan
propinsi serta tugas pembatuan kabupaten I kota. • Penyusunan laporan kegiatan badan koordinasi wilayah sebagai masukan gubernur dalam
pengambilan kebijakan
Di sam ping Bakorwil, fungsi koordinasi juga dijalankan oleh dinas teknis Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Fungsi koordinasi setiap dinas teknis bergantung pada tugas dan fungsi dasar dinas-dinas itu. Hasil kajian tentangkoordinasi yang dilakukan oleh Regional Economic Development Institute (REDI,
Institut Pembangunan Ekonomi Wilayah) menunjukkan bahwa tidak pernah dilakukan koordinasi berkaitan dengan hambatan perdagangan antara daerah dan kebijakan investasi. Koordinasi yang
diberikan Bakorwil terutama merupakan koordinasi dalam pembangunan fisik dan koordinasi di
dalam mengantisipasi masalah-masalah sosial, politik, dan lingkungan.
121
Lampiran
Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Komisariat Wilayah IV
Ketika desentralisasi berjalan, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengatasi
masalah hubungan antar daerah. Oleh karenanya, ketika desentralisasi dimulai, beberapa pemerintah
daerah menginisiasi untuk membentuk asosiasi pemerintah daerah yakni Asosiasi Pemerintah Kota
se-Indonesia (APEKSI) dan Asosiasi Pemerintah Kabupaten se-Indonesia (APKASI).
Di Jawa Timur, Asosiasi Pemerintahan Kota Se-Indonesia (APEKSI), diketuai oleh Walikota Surabaya
Bambang DH. Pertemuan dalam forum ini juga bisa bersifat resmi dan bisa juga dalam bentuk
forum yang sifatnya informal, untuk membahas suatu persoalan tertentu. Secara formal, tujuan
dari APEKSI adalah untuk memperjuangkan kepentingan anggota dalam melaksanakan otonomi
daerah, peningkatan peran masyarakat dan dunia usaha sesuai potensi dan keanekaragaman daerah.
Secara rind, tujuan APEKSI terdiri dari;
• Mewakili pandangan dan kepentingan kota-kota di Indonesia kepada pusat serta organisasi
atau lembaga lainnya.
• Secara efisien dan efektif mengelola dan melaksanakan bidang kerja asosiasi guna menghasilkan
perbaikan kualitas pelayanan dan kegiatan warga pada kota-kota di Indonesia.
• Membantu penguatan dan pengembangan kapasitas pemda melalui konsultasi, saran dan
pengembangan struktur yang desentralisasi.
• Memberikan informasi kepada masyarakat dan mengembangkan citra positif mengenai kontribusi pemerintah kota.
• Mengembangkan respon proalnif guna pengembangan isu dan pengelolaan perubahan dalam
memperkuat pengelolaan kota melalui kerja sama antar pemerintahan kota.
• Menjadi perantara dan fasilitator konferensi, musyawarah, rapat pertemuan dan kegiatan
pembelajaran lainnya guna meningkatkan pengetahuan dan pengalaman.
• Membina hubungan dengan asosiasi dan kelompok profesional lain di indonesia dan luar
negeri agar minat dan kepentingan anggota apeksi dalam program-program pembangunan dapat tersalurkan.
• Bekerjasama dengan lembaga donor dan lembaga lainnya untuk mendapatkan dukungan
dalam kerangka pengembangan kapasitas kota.
122
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Dalam forum koordinasi yang ada, APEKSI juga memiliki topik bahasan yang kbas, terutama
terkait dengan persoalan pemerintaban kota. Hal ini berhubungan langsung dengan tujuan pendirian APEKSI yaitu untuk memperjuangkan kepentingan anggota dalam pelaksanaan otonomi.
-Dalam pandangan APEKSI, masalab otonomi tidak lepas dari tiga hal yaitu pembagian kekuasaan,
pendapatan daerab dan sistem administrasi daerab. Dalam pelaksanaannya lebih dikenal dengan
sistem pelimpaban wewenang kepada kabupaten dan kota, diiringi dengan pengaturan personil dan aset, serta peningkatan kemampuan keuangan daerab.
Berangkat dari asumsi seperti itu maka topik atau persoalan yang sering dibicarakan dalam APEKSI adalab sebagai berikut :
• Di tataran peraturan perundangan, masalab yang sering dibicarakan adalab pertentangan antara peraturan perundangan dalam mengatur kewenangan yang sama. Misalnya Keppres
No. 10 Tabun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi di Bidang Pertanaban yang tidak sejalan
dengan aturan perundangan yang ada di atasnya ( UU No. 22 Tabun 1999 dan PP No. 25 Tabun 2000).
• Ma5ih banyaknya aturan bersifat teknis yang belum dibuat oleh pemerintab pusat sehingga membingungkan daerab. Akibatnya muncul beberapa kasus kewenangan yang belum dilimpabkan kepada kota. Misalnyakewenangan untuk pertanaban, kehutanan, perhubungan,
yang belum diterima beberapa kota.
• Sikap pemerintab propinsi yang cenderung enggan melimpabkan wewenangnya kepada
kabupaten dan kota.
• Adanya daerab yang menolak kewenangan yang dilimpahkan kepada mereka dengan alasan
membebani APBD kota.
• Dalam pengaturan personil, yang paling mencolok adalab persoalan eselonisasi pejabat yang
menyulitkan penempatan pada struktur pemerintaban daerab.
• Pada pengelolaan aset, masalab yang sering dibicarakan adalab belum adanya petunjuk pelaksanaan dari pemerintab pusat tentang pengaturan aset kepada pemerintab kota.
• Sehubungan dengan keuangan daerab, masalab yang sedang hangat dibicarakan adalab persoalan Dana Alokasi Umum (DAU). Pemerintab kota memandang babwa indikator yang
dipakai belum memadai. Sebagai alat ukur untuk menentukan bobot DAU yang diterima daerab, indikator ini kurang memperhatikan kondisi kota. Misalnya tidak dimasukkanriya
fungsi-fungsi dalam pengelolaan kota sebagai salab satu indikator. Sebagai akibatnya, banyak
kota yang hanya bisa membiayai pengeluaran rutin saja untuk tabun 2001.
123
Lampiran
• Selain DAU, sehubungan dengan masalah peningkatan pendapatan daerah ini, diperlukan aturan-aturan baru untuk berbagai masalah teknis, seperti pengaturan kontribusi yang
berarti dari perusahaan-perusahaan nasional yang berada di daerah bagi pembangunan kota; pengelolaan unit-unit tertentu sebagai pemasukan daerah (misalnya pengelolaan SIM dan
STNK).
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Koordinator Wilayah Jawa
Timur
Pendeklarasian Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) pada tanggal 30
Mei 2000 bertujuan untuk menciptakan iklim kondusif di dalam penyelenggaraan Pemerintah Kabupaten guna tercapainya kemandirian daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memelihara persatuan dan kesatuan bangsa menuju terwujudnya tujuan nasional.
Pembemukan APKASI juga didasari oleh Kepurusan Menteri Dalam Negeri No. 16 rahun 2000
tentang Pedoman Pembentukan Asosiasi Pemerintah Daerah. Pendeklarasian yang dilaksanakan di
Jakarta tersebut dihadiri oleh 26 Bupati yang mewakili Propinsi masing-masing dan menghasilkan keputusan Pembentukan Pengurus APKASI. Dalam melaksanakan misinya, APKASI bertujuan
menciptakan iklim yang kondusif terhadap pelaksanaan kerjasama antar pemerintah kabupaten
untuk memanfaatkan peluang nasional, regional dan global guna kepentingan kabupaten dalam rangka kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945.
Untuk mewujudkan rujuannya, APKASI berkewajiban dan berhak menunjuk dan menetapkan
perwakilannya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) untuk memperjuangkan kepentingan kabupaten. Untuk mewujudkan tujuannya, APKASI telah menyusun dan menetapkan Konstitusi Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia. Konstitusi ini
ditetapkan pada Musyawarah Nasional I APKASI yang diselenggarakan pada tanggal3- 4 Agustus 2001 di Tenggarong Kabupaten Kurai, Kalimantan Timur.
Tujuan Asosiasi adalah :
• Menetapkan anggota yang mewakili Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia untuk
duduk sebagai anggota Dewan Perrimbangan Otonomi Daerah;
• Memberikan masukan dan pertimbangan secara proaktif terhadap semuakebijakan Pemerintah dan/atau pihak lain yang menyangkut kepentingan Kabupaten;
• Menyediakan pelayanan (penelirian, pelatihan, penyuluhan, konsultasi dan lain-lain) dalam
upaya peningkatan kapasitas pemerintah kabupaten;
124
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
• Menyediakan model instrumen produk hukum pemerintah kabupaten;
• Memfasilitasi kerjasama antar kabupaten, ·antar kabupaten dan kota, antara kabupaten dan
pihak ketiga (swasta), serta antara kabupaten dan negarallembagalbadan di luar negeri;
• Memfasilitasi pertukaran informasi antar pemerintah kabupaten dan/atau pihak lain;
• Memediasi penyelesaian perselisihan antar pemerintah kabupaten, antara kabupaten dan kota;
• Memasyarakatkan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan kabupaten.
Di Jawa Timur terdapat perwakilan APKASI yang tergabung dalam APKASI Korwil Jawa Timur.
Saar ini yang menjabat sebagai koorrlinator wilayah APKASI di Jawa Timur adalah Drs. Samsul Harli Siswoyo, MSi (Bupati ]ember). Dalam bidang perdagangan, APKASI Korwil Jawa Timur pernah
melakukan koordinasi mengenai permasalahan yang dihadapi petani tembakau rli Jawa Timur, yang
dilakukan pada 18 September 2003. Ada 20 kabupaten yang menjarli sentra tembakau terlibat dalam pertemuan ini. Dalam pertemuan tersebilt, sebanyak 20 kabupaten penghasil tembakau se
Jatim sepakat bekerjasama di bidang pertembakauan. Kesepakatan itu tercapai dalam Rakor Asosiasi Pemerintahan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia (APKASI) Korwil Jatim yang membahas masalah
pertembakauan di Pendopo Kabupaten Jember.
Conroh kerjasama yang tlilakukan adalah ketika harga tembakau di beberapa daerah anjlok selama riga tahun terakhir. Menurut Bupati Jember, Drs. Samsul Hat!i Siswoyo, Msi., harg:i. tembakau
anjlok karena tidak adanya kebersamaan dalam menangani masalah tembakau. Selama ini, karena
masing-masing daerah bergerak senrliri-sendiri, maka kemampuan negosiasi petani rendah. Hanya
saja pertemuan itu belum terhlu memberikan harapan positif bagi petani tembakau, seperti
tliungkapkan oleh Muhammad Yunus, pengurus Asosiasi Petani Tembakau Rajang Rengganis (APTRR). Hingga saar ini bel urn diperoleh informasi lain tentang upaya kerja samalkoorrlinasi di
bidang investasi maupun perdagangan yang tlilakukan oleh APKASI.
Koordinasi Bilateral
Kerja sama Kota Surabaya Dan Kabupaten Sidoarjo; sebuah conroh.
Forum koordinasi yang sifarnya bilateral biasanya memiliki tujuan yang terkait langsung dengan
kepentingan pihak-pihak yang melakukan kesepakatan kerjasama. Sebagai conroh, kesepakatan
bersama antara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan Pemerintah Kota Surabaya tentang Kerjasama Pembangunan Antar Daerah.
125
Lampi ran
Kerjasama ini dimaksudkan untuk meningkatkan keterpaduan dalam mengelola berbagai program
pembangunan, mengefisienkan pemanfaatan dan pengembangan potensi yang mempunyai
keterkaitan, memanfaaatkan sumber daya yang ada, maupun hal-hal yang berkaitan dengan letak
geografis. Kerjasama pembangunan an tar daerah ini elilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan
perekonomian dan kesejahteraan rakyat di kedua daerah tersebut.
Beberapa aspek kerjasama dian tara kedua daerah tersebut an tara lain :
• Sinkronisasi perencanaan pembangunan eli wilayah perbatasan, seperti perencanaan
pembangunan jalan di daerah Rungkut (Surabaya) dan Berbek (Sidoarjo).
• Koorelinasi penanganan masalah sosial dan ketertiban (anak jalan, gelandangan, pengemis
dan keamanan) disekitar terminal Bungurasih.
• Kerjasama penataan wilayah investasi, jika ada investasi yang padat modal (capital intensive)
akan diarahkan ke Surabaya, sedangkan untuk investasi yang padat karya (labor intensive)
akan diarahkan ke Sidoarjo.
Efektifitas Forum Koordinasi
Masih banyaknya persoalan yang menghambat kinerja perusahaan di Jawa Timur bisa memberikan
indikasi bahwaiklim usahaeli daerah belumsepenuhnyakondusi£ Konelisi semacamini menimbulkan
pertanyaan sejauh mana efektifitas forum koordinasi di Jawa Timur dalam berperan menciptakan
iklim usaha yang kondusif eli Jatim.
Masing-masing forum koorelinasi yang ada eli Jatim memiliki fokus kegiatan yang terkait dehgan
perekonomian daerah masing-masing. Dari berbagai program kegiatan, forum-forum koorelinasi
tersebut telah mencapai beberapa target, baik yang terprogram maupun insidentil. Forum koorelinasi
yang ada di Bakorwil misalnya, telah memberikan usulan ke pemerintah propinsi untuk menerbitkan
perda tentang aset pemerintah propinsi di daerah.
Bakorwil juga telah melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah, misalnya dalam upaya untuk
mengamankan atau mengantisipasi konflik antar pendukung partai. Bakorwil juga mengusulkan
kepada dinas perikanan di daerah agar menyeeliakan cold storage agar ikan tangkapan nelayan tetap
terjaga kualitasnya. Sebagai perangkat dari pemerintah propinsi, Bakorwil berusaha menyelesaikan
konflik tapa! batas Gunun~ Kelud an tara Pemerintah Kabupaten Keeliri dan Kabupaten Blitar, serta
merigusulkan pembatalan Perda Kabupaten Bojonegoro No. 17 tahun 2001 karena bertentangan
dengan perda propinsi.
!26
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Di an tara berbagai rekomendasi hasil forum koordinasi yang terdapat dalam Bakorwil, hanya ada
beberapa saja yang berhasil direalisasikan. Misalnya pembatalan Perda Kabupaten Bojonegoro No.
17 Tahun 2001. Perda ini bertentangan dengan Keputusan Gubernur Jatim No. 44 Tahun 2001.
Substansi yang bertentangan itu terletak dalam hal tarif yang ditetapkan Kabupaten Bojonegoro
yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tarif yang ditetapkan pemerintah propinsi Jatim. Dalam pasal Bab VII pasal 8, disebutkan struktur dan besarnya tarif, sebagai berikut;
a. Kayu Olahan tujuan Dalam Negeri, sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) per M3 ;
b. Kayu Olahan tujuan Luar Negeri, sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) per M3 ;
c. Kayu dari TPK : - A1/C1, sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) per M3;
- A2/C2, sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) per M3; - A3/C3, sebesar Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah) per M3.
d. Kayu dari bongkaran rumah dan atau jembatan, sebesar Rp 15.000,- (lima belas ribu rupiah)
perM3.
Struktur tarif yang ditetapkan di Perda Kabupaten Bojonegoro ini bertentangan dengan tarif
yang ditetapkan oleh pemerintah propinsi. Dengan alasan ini secara top down, Perda Kabupaten Bojonegoro No. 17 Tahun 2001 dibatalkan.
Forum koordinasi yang berada dalam Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Propinsi Jatim, biasanya melakukan koordinasi terutama pada saat-saat hari besar nasional seperti hari raya
Idul Frtri, hari Natal dan Tahun Baru. Menghadapi momen penting seperti ini Disperindag banyak melakukan koordinasi dengan dinas teknis di tingkat daerah, untuk mengamankan distribusi
barang. Tetapi ketika Disperi~dag mencoba menyentuh masalah kebijakan di tingkat daerah yang
bisa mengganggu kondusifitas iklim usaha, hasilnya tidak efektif karena pemerintah daerah selalu
menggunakan alasan kewenangan daerah untuk melegitimasi kebijakannya.
Biro Hukum Propinsi juga telah berusaha melakukan koordinasi terkait dengan perda bermasalah di tingkat daerah yang banyak dikeluhkan oleh para pengusaha di berbagai sektor di Jatim. Akan tetapi Biro Hukum mengalami kendala karena perda yang terkait dengan pajak dan retribusi
yang membebani masyarakat, merupakan kewenangan pusat dan bukan merupakan kewenangan
propinsi.
Aturan ini bisa kita lihat pada PP No. 20 Tahun 2001 dan Kepmen No. 41 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa pengawasan perda dilakukan langsung oleh menteri dan tidak didistribusikan
kepada gubernur. Tetapi aturan ini tidak efisien karena Menteri Dalam Negeri harus mengurusi
begitu ban yak perda bermasalah di Indonesia. Akibatnya, ban yak perda bermasalah yang terkatung
katung dan tidak jelas kapan akan dicabut.
127
Lamp iran
Menghadapi situasi seperti ini, Biro Hukum Propinsi berusaha melakukan beberapa langkah untuk menyiasati kondisi yang ada. Tindakan yang diambil oleh Biro Hukum untuk menghadapi perda
bermasalah adalah:
• Melakukan pengawasan terhadap perda kabupaten kota dan mendesak mencabut perda yang
bermasalah.
• Kalan daerah tidak mau mencabut perda bermasalah terse but, perda bermasalah tersebut akan
diekspose ke media massa sehingga masyarakat tahu;
• Mendesak menteri untuk mencabut perda bermasalah di tingkat daerah karena Biro Hukum
Propinsi tidak memiliki hubungan hierarkhis dengan pemerintah daerah.
Tetapi langkah-langkah tersebut belum efekti£ Contohnya, sampai saat ini belum terlihat adanya perda-perda bermasalah di Jatim :Yang diangkat oleh Biro Hukum ke media massa. Akibatnya, fungsi
koordinasi perundang-undangan di daerah belum berjalan efekti£
Demikian juga langkah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang memerintahkan untuk mencabut
perda bermasalah di daerah, juga kurang efektif karena pihak daerah, baik eksekutif maupun lagislatif tetap pada pendiriannya untuk tidak mau mencabut perda tersebut dengan alasan UU No.
22 Tahun 1999 memberi daerah kewenangan yang luas ..
Sebagai contoh kasus bisadilihatketikaMendagri Hari Sabarno melalui empatsurat dan duakeputusan menteri mendesak agar DPRD dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gresik membatalkan atau
merevisi enam peraturan daerah (perda) yang telah disahkan. Karena, selain bertentangan dengan kepentingan umum, keenam perda itu juga bertentangan dengan UU yang lebih tinggi.
Surat dan keputusan Mendagri soal desakan pembatalan dan revisi enam perda memang sudah diterima pimpinan DPRD, tetapi ternyata pihak DPRD membalas surat Mendagri tersebut dengan
surat keberatan atas surat dan keputusan Mendagri itu. Alasannya, penyusunan perda di Gresik
sudah berdasarkan pada pertimbangan yang masak dan berdasarkan aturan hukum.
Keenam perda yang dipermasalahkan Mendagri adalah perda No. 39 Tahun 2000 ten tang sumbangan
pihak ketiga. Perda itu, harus dihapus karena bertentangan dengan kepentingan urn urn. Selanjutnya Perda No. 8 Tahun 2002, tentang pelayanan ketenagakerjaan. Perda ini dianggap bertentangan
dengan UU NO. 34 Tahun 2000 tentang pajak dan retribusi. Kemudian perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Retribusi ijin Gangguan dan Perda No. 10 tahun 2001 ten tang pajak parkir. Perda ini bertentangan dengan UU No. 34 tahun 2000 tentang pajak dan retribusi.
128
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Dua perda lainnya, yaitu perda No. 3 tahun 2001 tentang Penataan Ruang dan Perda No. 19 tahun
2001 tentang kepelabuhanan. Kedua perda tersebut dianggap bertentangan dengan UU nomor 21 tahun 1992 tentang pelayaran. Pihak daerah dengan tegas menyatakan keberatannya untuk ·
membatalkan perda bermasalah tersebut. Dalam pandangan daerah, Mendagri harus menghormati
keberadaan UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah.
Sementara itu, efektilitas forum koordinasi bilateral seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan Kota Surabaya masih terbatas. Satu hal positif dari forum koordinasi ini
adalah dalam pembangunan jalan raya di perbatasan yang lebarnya dibicarakan dulu sehingga ada kesamaan Iebar jalan di perbatasan. Selain itu juga ada kerja sama dalam menangani masalah sosial
seperti masalah gelandangan dan pengemis di daerah perbatasan di Terminal Bungurasih.
Forum koordinasi yang ada dalam APEKSI efektilitasnya juga relatif terbatas. Kecenderungannya,
forum ini lebih banyak membicarakan persoalan keterbatasan anggaran pemerintah kota.
Akibatnya,pembicaraan dalam forum koordinasi ini lebih banyak berfokus pada bagaimana
mengembalikan sumber-sumber pendapatan daerah yang dikuasai pusat ke daerah. Misalnya, ada pemikiran bahwa sebaiknya pemasukan dari Pelindo harus dikembalikan ke pemerintah daerah.
Dengan demikian, secara wp.um belum ada forum koordinasi yang secara efektif mampu meningkatkan kondusifitas iklim usaha di Jatim. Faktor utamanya adalah ekses negatif dari otonomi
daerah, terutama terkait langsung dengan dihilangkannya struktur hierarkhi antara pemerintah
propinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Dari sinilah kemudian egoisme daerah muncul, yang
ditandai dengan lahirnya perda-perda bermasalah yang bisa mendisrorsi iklim usaha di Jatim.
129
PUSTAKAACUAN
Buku-buku
Aswicahyono dan Maidir. Jndustri Tekstil dan Gannen Indonesia: Menentukan Sikap dalam Persaingan Internasional yang Baru, Jakarta: CSIS, 2003
Biro Pusat Statisrik, Statistik Industri Kecil. Jakarta, 2002
Biro Pusat Statistik, Survey lndustri. Jakarta, 2000
Black Dictionary of Economics. Oxford, 2002
Center for Economic and Social Studies, Medium Size Study: Discussion Paper, Jakarta: 2003.
Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Badan Analisis Fiskal (BAF), Departemen Keuangan, Ana/isis Dasar-dasar Makro dan Mikro untuk Kebijakan Cukai Tembakau di Imkmesia. Jakarta: 2004
FE-UNDIP. Laporan Akhir Kizjian tentang AltematifCukai Tembakau, 2004, Semarang: 2003
Isdijoso, Brahmantio dkk. "Studi Departemen Keuangan PSPK-BAR Departemen Keuangan.
Isdijoso, Brahman rio, Mangara Tambunan dan Ubaidillah. Prospek Perdagangan Domestik yang Bebas dalam Era Desentralisasi dan Dampaknya Atas Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Jakarta: CESS, PRISM Project - The Asia Foundation, 200 I.
Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah, Daya Tarik /nvestasi Daerah: Survey Persepsi Pengusaha, Jakarta: 2003
Laporan Tim Sektor Swasta, Jakarta, World Bank, 2003
Lembaran Negara No. 82. 1957
Loebis, Linda dan Hubert Schimtz. Java Furniture Makers: Winners or Losers ftom Globalization, Sussex: IDS, 2003.
Ray, David. Prosiding Konforensi: Decentralization, Regulatory Reform and the Business Climate, Jakarta: PEG-USAID, 2003.
Surat Direktur Utama PT. Garam kepada Kepala Dinas Industri, Perdagangan dan Pertambangan Kabupaten Sam pang. 2003
Surat Keputusan Menteci Kehutanan dan Perkebunan No. 132/Kprs-II/2000 tentang Pengenaan SKSHH
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 127/Kpts-V/2001 tentang Moratorium atas kegiatan pemotongan dan perdagangan dalarn ramin
130
Suratkabar
Kompas, 31 Agustus 2002
Kompas, 22 July 2002
Kompas, 23 Juni 2002
Kompas, 12 Agustus 2002
Kornpas, 18 Februari 2003
Kompas, 19 Maret 2003
Kompas, 5 Mei 2003
Kompas, 26 Mei 2003
Kompas, 25 Juli 2003
Harian Surya, 7 November 2003
Bisnis Indonesia, 5 Februari 2004
Agence France Presse, 16 Maret 2004
Jakarta Post, 26 April 2004
Intemet
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Data tentangJawa Timur tersedia di: http://english.d-infokom-jatim.go.idleastjava.asp
Data tentang impor daging tersedia di: http://www.bi.go.id/sipuklim/ind/sapi_potong/aspek_pemasaran.htm
Data tentang industri Garam tersedia di: http://suharjavanasuria.tripod.com
131