NILAI MORAL DAN INTERTEKSTUALITAS PADA NOVEL LASKAR ...
Transcript of NILAI MORAL DAN INTERTEKSTUALITAS PADA NOVEL LASKAR ...
i
NILAI MORAL DAN INTERTEKSTUALITAS PADA NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA DAN
ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO
MORAL VALUES AND INTERTEKSTUALITY IN THE NOVEL
LASKAR PELANGI WRITTEN BY ANDREA HIRATA AND THE POOR PROHIBITED TO SCHOOL
WRITTEN BY WIWID PRASETYO
TESIS
Oleh
ASMIANINGSI Nomor Induk Mahasiswa : 04.08.901.2013
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR MAKASSAR
2015
ii
NILAI MORAL DAN INTERTEKSTUALITAS PADA NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA DAN
ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO
MORAL VALUES AND INTERTEKSTUALITY IN THE NOVEL
LASKAR PELANGI WRITTEN BY ANDREA HIRATA AND THE POOR PROHIBITED TO SCHOOL
WRITTEN BY WIWID PRASETYO
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun dan Diajukan oleh
ASMIANINGSI Nomor Induk Mahasiswa : 04.08.901.2013
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR 2015
iii
TESIS
NILAI MORAL DAN INTERTEKSTUALITAS PADA NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA DAN
ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO
Yang disusun dan diajukan oleh
ASMIANINGSI Nomor Induk Mahasiswa : 04.08.901.2013
Telah diuji di depan Dewan Penguji
Pada tanggal 16 Oktober 2015
Menyetujui Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Abdul Rahman Rahim, M.Hum. Dr. Andi Sukri Syamsuri, M.Hum
Mengetahui Direktur Program Pascasarjana Ketua Prodi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Prof. Dr. H.M. Ide Said D.M., M.Pd. Dr.Abdul Rahman Rahim, M.Hum NBM. 988 463 NBM.
iv
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI
Judul : Nilai Moral dan Intertekstualitas pada Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo
Nama : Asmianingsi NIM : 04.08.901.2013 Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Telah diuji dan dipertahankan di depan Panitia Penguji Tesis pada Tanggal 16 Oktober 2015 dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan dan dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Makassar, 10 November 2015
TIM Penguji :
Dr. Abdul Rahman Rahim, M.Hum. ….………………………..
( Pembimbing I) Dr. Andi Syukri Syamsuri, S.Pd., M.Pd. ….……………………….. (Pembimbing II) Prof. Dr. H.M. Ide Said D.M., M.Pd. ….……………………….. (Penguji) Dr. Munirah, M.Pd ….………………………..
(Penguji)
v
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Asmianingsi
Nomor Pokok : 04.08.901.2013
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apa bila di kemudian hari terbukti atau
dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya
orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, November 2015
Yang menyatakan,
Asmianingsi
vi
ABSTRAK
Asmianingsi. 2015. Nilai Moral dan Intertekstualitas pada Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo, dibimbing oleh: Abdul Rahman Rahim dan Andi Sukri Syamsuri.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikannilai moral terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan, serta terhadap Tuhan dalam novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo, (2) menganalisis keterjalinan teks antara Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo.
Desain penelitian yang digunakan adalah desain deskriptif kualitatif yang diterapkan untuk menganalisis Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo. Pendekatan analisis yang digunakan adalah pendekatan sosiologisastra dan intertekstualitas. Data dalam penelitian ini adalah kutipan-kutipan yang terdapat di dalam kedua novel yang mendukung fakta moral dan keterjalinan teks. Data dikumpulkan dengan teknik membaca dan mencatat. Teknik analisis data melalui tiga kegiatan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat nilai moral yang terkandung di dalam kedua novel tersebut yaitu nilai moral terhadap diri sendiri, nilai moral terhadap orang lain atau lingkungan, dan nilai sosial terhadap Tuhan. Pada novel Laskar Pelangi, nilai moral terhadap diri sendiri meliputi nilai integritas, ikhlas, tanggung jawab, kepemimpinan, perjuangan hidup, dan kesungguhan menuntut ilmu. Nilai moral terhadap orang lain atau lingkungan meliputi nilai persahabatan dan tolong menolong. Untuk nilai moral terhadap Tuhan, nilai yang ditemukan yaitu nilai keimanan yang teguh, akhlak mulia, serta disiplin dan taat beribadah. Seperti halnya dalam novel LP, novel Orang Miskin Dilarang Sekolah juga ditemukan ketiga nilai moral tersebut. Nilai moral terhadap diri sendiri dalam novel OMDS yaitu menerima takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan (nrimo), gita bekerja, jujur, mawas diri, tanpa pamrih, dan ikhlas. Nilai moral terhadap orang lain atau lingkungan yaitu nilai sopan santun dan peduli terhadap sesama. Nilai moral terhadap Tuhan dalam novel OMDS yaitu kepercayaan terhadap hal-hal yang baik di luar dari kemampuan manusia dan Tuhan.Ada keterjalinan tema, amanat, dan gaya penokohan antara novel LP dan OMDS.
Kata kunci: intertekstualitas, nilai moral, novel.
vii
viii
MOTO
Sedikit pengetahuan yang berperan bernilai jauh lebih baik dari
banyak pengetahuan namun terputus. (Khalil Qibran)
Ikhlas dan keteguhan hati adalah kunci dari kesuksesan. (Penulis)
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur senantiasa tercurahkan ke hadirat
Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis mampu menyelesaikan tesis yang berjudul “Nilai Moral dan
Intertekstualitas pada Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan
Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo”. Salam serta
salawat kepada Nabi Muhammad saw. sebagai pandu teladan bagi umat
manusia. Karya ilmiah berupa “Tesis” ini merupakan wujud dedikasi penulis
terhadap dunia pendidikan khususnya dalam ilmu sastra. Semoga hasil
penelitian ini mampu menambah khazanah ilmu pengetahuan dan
wawasan keilmuan bagi para pembaca.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yaitu
Dr. Abdul Rahman Rahim, M.Hum. danDr. Andi Syukri Syamsuri, M.Hum.
yang telah mendidik dan membimbing peneliti dalam menyelesaikan
penelitian ini. Ucapan yang sama kepada Rektor Universitas
Muhammadiyah Makasar Dr. H. Irwan Akib, M.Pd., Direktur Program
Pascasarjana Prof. Dr. H.M. Ide Said D.M., M.Pd., Ketua Program Studi
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Dr. Abdul Rahman Rahim, M.Hum., Dosen dan Staf Tatausaha Program
Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Ucapan terima kasih terkhusus penulis sampaikan kepada kedua
orang tua tercinta, saudara terkasih. Ucapan yang sama kepada rekan-
x
rekan mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Angkatan 2013.
Akhir kata, penulis mengharapkan apresiasi terhadap hasil penelitian
ini serta mampu memberikan manfaat sesuai dengan harapan.
Makassar, 16 Oktober 2015
Asmianingsi
xi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ....................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ........................................................... v
ABSTRAK ................................................................................................ vi
ABSTRACT................................................................................................. vii
MOTO....................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ................................................................................ xi
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang Penelitian ..................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................... 8
A. Tinjauan Hasil Penelitian ....................................................... 8
B. Tinjauan Teori dan Konsep ................................................... 15
C. Kerangka Pikir ....................................................................... 56
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 58
A. Pendekatan Penelitian .......................................................... 58
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 58
C. Teknik Pengumpulan Data.................................................... 59
D. Teknik Analisis Data .............................................................. 60
E. Pengecekan Keabsahan Temuan ......................................... 62
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 64
A. Hasil Penelitian
1. Nilai Moral dalam Novel Laskar Pelangi ..................... 64
2. Nilai Moral dalam Novel Orang Miskin
Dilarang Sekolah ........................................................ 71
xii
3. Hubungan Intertekstual Novel LP dan OMDS ............ 81
B. Pembahasan
1. Nilai Moral dalam Novel Laskar Pelangi ..................... 88
2. Nilai Moral dalam Novel Orang Miskin
Dilarang Sekolah ........................................................ 93
3. Hubungan Intertekstual Novel LP dan OMDS ............ 98
BAB V SIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 102
A. Simpulan........................................................................... 102
B. Saran ................................................................................ ̀ 103
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 104
RIWAYAT HIDUP.................................................................................... 106
LAMPIRAN :
A. Biografi Andrea Hirata........................................................... 108
B. Karya-Karya Andrea Hirata................................................... 110
C. Sinopsis Novel Laskar Pelangi.............................................. 111
D. Biografi Wiwid Prasetyo......................................................... 115
E. Karya-Karya Wiwid Prasetyo................................................. 117
F. Sinopsis Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah.................... 119
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Teks Halaman
1. Biografi Andrea Hirata........................................................... 108
2. Karya-Karya Andrea Hirata................................................... 110
3. Sinopsis Novel Laskar Pelangi.............................................. 111
4. Biografi Wiwid Prasetyo......................................................... 115
5. Karya-Karya Wiwid Prasetyo................................................. 117
6. Sinopsis Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah.................... 119
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Karya sastra yang berbentuk prosa dan puisi merupakan hasil
pengungkapan jiwa pengarang yang dipengaruhi oleh kehidupan peristiwa
serta pengalaman hidup yang telah dilaluinya. Hal itu karena pengarang
merupakan anggota masyarakat yang hidup dan berhubungan dengan
orang-orang di sekitarnya sehingga dalam proses penciptaan sebuah
karya sastra, lingkungan hidup akan selalu mempengaruhi seorang
pengarang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa karya sastra
merupakan cerminan dari kondisi masyarakatnya. Pencerminan nilai-nilai
tersebut antara lain terlihat dari penjabaran penulis prosa atau puisi dan
perkataan maupun perbuatan tokoh yang terdapat dalam prosa. Nilai-nilai
yang tercermin dalam karya sastra mencakup banyak aspek, antara lain
nilai budaya, nilai agama, nilai sosial, dan nilai moral. Nilai-nilai tersebut
terdapat dalam semua karya sastra termasuk prosa berbentuk novel.
Penulisan karya sastra khususnya novel tidak terlepas dari unsur-
unsur yang membangun karya sastra tersebut. Adapun unsur-unsur yang
membangun karya sastra tersebut adalah unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari
2
dalam, sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun karya
sastra dari luar.
Novel sebagai sebuah media komunikasi yang di dalamnya
terdapat proses komunikasi banyak mengandung pesan baik itu pesan
sosial, pesan moral maupun pesan keagamaan. Novel memang perlu
mengandung pesan moral maupun agama. Karena karya sastra tidak
hanya ditulis dengan tujuan sastra (estetik) semata, tetapi juga nonsastra,
misalnya pengajaran moral, yang mengkritik tentang kepincangan moral
bangsa.
Novel yang mengandung nilai-nilai moral adalah novel yang
ceritanya menyangkut aspek-aspek kehidupan sosial, mengandung
pengajaran tentang tingkah laku yang baik, itu akan lebih mudah diterima
oleh masyarakat pembaca. Karena mereka seolah-olah berada di tengah-
tengah cerita. Bila seseorang sedang membaca, apalagi kisahnya hampir
sama dengan yang dialaminya, bisa jadi pembaca tersebut akan
menangis dan tertawa sendiri.
Besar kemungkinan lahirnya sebuah karya sastra besar seperti
novel itu dilatarbelakangi oleh motivasi pengarang untuk menyampaikan
pesan berdasarkan pengalaman pribadinya. Novel “Laskar Pelangi” Karya
Andrea Hirata dan “Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwit Prasetyo
misalnya, kehadiran kedua novel ini tampaknya cukup memberi warna
jagad sastra dan pernovelan di Indonesia. Di tengah euforia novel yang
3
kebanyakan bertema metropop, novel ini bagaikan oase di tanah kering.
Novel yang bercerita tentang kehidupan.
Novel LP merupakan novel perdana dari Andrea Hirata yang
memiliki banyak nilai pendidikan yang dapat dipetik. Hal ini dikarenakan
novel LP menyoroti dunia pendidikan yang dikemas sangat menarik dan
sarat dengan nilai kehidupan yang bermanfaat bagi pembacanya.
Membaca novel LP juga dapat menimbulkan kepedulian terhadap
masyarakat di sekitarnya dengan melakukan berbagai hal untuk
mengubah dan memperbaiki kehidupan. Mengacu pendapat tersebut tak
heran jika dalam waktu singkat, LP menjadi bahan pembicaraan para
penggemar novel. Hal ini disebabkan LP menyuguhkan sebuah cerita
yang dikemas sangat menarik oleh pengarangnya. Novel ini mengisahkan
semangat anak-anak Kampung Gantung Kabupaten Belitong Timur yang
tak mengenal menyerah dalam berjuang meraih cita-cita. Mereka adalah
sekumpulan anak yang dijuluki Laskar Pelangi yang hidup serba
kekurangan dan penuh keterbatasan. Akan tetapi, segala keterbatasannya
itu tidak sedikit pun menyurutkan niat mereka dalam belajar dan kemauan
keras mengubah nasib. Isi novel LP menegaskan bahwa kemiskinan
bukanlah hambatan seseorang meraih kesuksesan asalkan tetap
mempunyai cita-cita dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
mencapai cita-citanya.
Hal tersebut juga senada dengan tema yang diusung oleh novel
OMDS karya Wiwid Prasetyo. Pengarang secara lugas
4
mendemonstrasikan pikiran-pikiran sosialnya secara kritis dalam bentuk
tertulis. Pendidikan adalah hal utama yang menjadi sorotan pengarang.
Banyak pesan moral yang patut untuk kita dalami untuk memahami
kondisi sosial yang terjadi di sekitar kita.
Setelah kemunculan novel LP yang fenomenal ini, kontan saja
dunia sastra banyak diramaikan dengan kemunculan novel-novel sejenis,
yakni novel bertemakan pendidikan. Kisah Ikal yang diceritakan dengan
lincah oleh Andrea Hirata telah menginspirasi jutaan orang. Banyak
pengarang terinspirasi untuk menulis kisah-kisah sejenis, seperti novel
Perahu Kertas oleh Dewi Lestari, Negeri Lima Menara oleh A Fuadi, Ma
Yan oleh Sanie B. Kuncoro, Sang Pelopor, Titian Sang Penerus, Jejak
Sang Perintis oleh Alang-alang Timur dan masih banyak lagi. Salah satu
pengarang yang juga terinspirasi dari novel LP adalah Wiwid Prasetyo.
Beberapa karya Wiwid yang sudah terbit antara lain Orang Miskin
Dilarang Sekolah, Sup Tujuh Samudra, Chicken Soup Asma’ul Husna,
Miskin Kok Mau Sekolah…?!, Idolaku Ya Rasulullah Saw…!, Demi Cintaku
pada-Mu, Aha, Aku Berhasil Kalahkan Harry Potter, The Chronicle of
Kartini, dan Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu. Salah satu
karya Wiwid yang menarik adalah novel yang berjudul Orang Miskin
Dilarang Sekolah (OMDS). Novel yang terbit pertama kali pada tahun
2009 ini, kini di tahun 2011 sudah mencapai cetakan keenam dan oleh
Diva Press diberikan gelar nasional best seller. Novel ini mengangkat
tema yang sama dengan novel LP, yakni masalah pendidikan yang diramu
5
dengan persahabatan, cinta, dan fenomena sosial, khususnya masalah
kemiskinan. Tak kalah dengan novel LP, novel OMDS juga sarat dengan
muatan nilai pendidikan. Novel OMDS menceritakan kegigihan seorang
anak yang berasal dari golongan miskin yang berjuang untuk dapat
mengenyam pendidikan. Novel OMDS mempunyai banyak kemiripan
dengan novel LP. Wiwid (2010) mengaku terinspirasi setelah membaca
novel LP hingga kemudian ia bertekad untuk membuat karya yang sejenis.
Kemiripan-kemiripan antara dua novel tidak hanya ditemui pada
novel LP dan OMDS saja. Dalam khazanah sastra Indonesia tidak jarang
ditemui banyak karya dalam berbagai genre yang mempunyai kemiripan.
Hal ini bukan berarti bahwa karya yang lahir kemudian merupakan hasil
penjiplakan dari karya sebelumnya. Kelahiran suatu karya sastra tidak
dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya satra yang mendahuluinya
yang pernah diserap oleh sang sastrawan. Jadi, pada mulanya sastrawan
dalam menciptakan karyanya melihat, meresapi, dan menyerap teks-teks
lain yang menarik perhatiannya, baik yang dilakukan secara sadar
maupun tidak sadar. Ia menggumuli konvensi sastranya, konvensi
estetiknya, gagasan yang tertuang dalam karya itu, kemudian
mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri.
Pengkajian terhadap dua karya sastra atau lebih tersebut sering disebut
dengan pengkajian sastra dengan pendekatan intertekstualitas.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti melakukan penelitian dengan
judul “Intertekstualitas, dan Nilai Moral pada Novel Laskar Pelangi Karya
6
Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid
Prasetyo”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, rumusan
masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah nilai moral terhadap diri sendiri, orang lain atau
lingkungan, serta terhadap Tuhan dalam novel Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid
Prasetyo?
2. Bagaimana keterjalinan teks antara novel Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan nilai moral terhadap diri sendiri, orang lain atau
lingkungan, serta terhadap Tuhan dalam novel Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid
Prasetyo.
2. Mendeskripsikan keterjalinan teks antara novel Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid
Prasetyo.
7
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang akan dicapai, diharapkan dapat memberi
manfaat bagi pembaca secara teori, maupun secara praktis. Uraian
manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Secara Teoretis
Hasil penelitian novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan Orang
Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo ini diharapkan bisa
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, serta wawasan keilmuan
pembaca khususnya dalam bidang studi karya sastra melalui
pendekatan kritik sastra dan menambah wawasan budaya, seni, dan
moral.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta dapat
digunakan sebagai referensi mengenai cerminan perilaku dalam
menjalankan hidup, keluarga, bermasyarakat dengan aspek moralitas
yang terkandung dalam karya sastra.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Hasil Penelitian
Penelitian tentang intertekstualitas dan aspek moralitas dalam
karya sastra telah banyak dilakukan. Beberapa peneliti telah melakukan
kajian untuk mengetahui kedua aspek tersebut secara terpisah. Penelitian
yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang relevan dengan
penelitian yang dilakukan dalam upaya menyusun tesis ini dan berkaitan
dengan masalah yang diteliti adalah sebagai berikut.
Nur Cahyo Wahyu Broto, (2009) dengan judul “Aspek Moralitas dan
Nilai Budaya Cerita Bersambung “Janggrung” karya Sri Sugiyanto (Suatu
tinjauan kritik sastra ekspresif).
Latar belakang dari penelitian ini adalah : (1) Cerbung Jawa
merupakan hasil karya pengarang Jawa modern yang telah menjadi satu
genre sastra dalam khazanah kesusastraan Jawa baru, (2) Adanya
penyimpangan moralitas yang dilakukan para tokohnya dalam cerbung ini
yang menarik untuk diangkat dari segi moralitas, (3) melalui pendekatan
kritik sastra dapat diungkapkan nilai budaya dan nilai estetik dalam
cerbung, sikap budaya pengarang terhadap kesenian Janggrung,
relevansi cerbung Janggrung dalam konteks masa kini, nilai estetik
cerbung Janggrung sebagai karya sastra.
9
Masalah yang dibahas dalam penelitian cerbung ini mencakup lima
hal yakni, (1) struktur yang membangun pada cerbung karya Sri Sugiyanto
yang berjudul Janggrung yang meliputi : tema, alur, penokohan, latar, dan
amanat, (2) nilai moralitas dan nilai budaya dalam cerbung Janggrung (3)
Nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita bersambung Janggrung. (4)
relevansi cerbung Janggrung dalam konteks masa kini, (5) nilai estetik
cerbung Janggrung.
Penelitian ini bertujuan (1) mendeskripsikan struktur yang
membangun dari cerbung karya Sri Sugiyanto tersebut, (2)
mendeskripsikan aspek kritik sastra cerbung karya Sri Sugiyanto tersebut
yang di dalamnya moralitas dan nilai budaya (3) sikap budaya pengarang
terhadap kesenian Janggrung (4) mendiskripsikan relevansi cerbung
Janggrung dalam konteks masa kini (5) mendiskripsikan nilai estetik
cerbung Janggrung sebagai karya sastra. Hasil penelitian yang akan
dicapai, diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca secara
teoretis, maupun secara praktis.
Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini terdiri atas dua hal,
yaitu (1) Secara teoretis hasil penelitian cerita bersambung Janggrung
karya Sri Sugiyanto ini diharapkan bisa memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan, khususnya dalam bidang studi karya sastra melalui
pendekatan kritik sastra dan menambah wawasan budaya, seni, dan
moral. (2) Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca
serta dapat digunakan sebagai referensi mengenai cerminan perilaku
10
dalam menjalankan hidup, keluarga, bermasyarakat dengan aspek
moralitas yang terkandung dalam karya sastra. Pendekatan yang
dilakukan adalah pendekatan struktural dan pendekatan kritik sastra.
Pendekatan struktural diambil karena cerbung merupakan bentuk karya
sastra yang di dalamnya mengandung unsur-unsur pembangun seperti
tema, alur, penokohan, latar, dan amanat. Di samping itu, pendekatan
kritik sastra digunakan untuk mengetahui kegiatan atau perbuatan mencari
dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan
penafsiran sistematik yang dinyatakan secara tertulis. Bentuk penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif kualitatif, yaitu data-data yang
dikumpulkan berupa kata-kata dalam kalimat.
Sumber data dari penelitian ini adalah cerita bersambung dengan
judul Janggrung karya Sri Sugiyanto yang dimuat dalam majalah Panjebar
Semangat dari nomor 13 tanggal 26 Maret 2005 sampai dengan nomor 38
tanggal 17 September 2005. Penelitian ini ada dua yaitu data primer dan
data sekunder. Data berupa unsur-unsur intrinsik serta aspek kritik sastra
dalam teks cerita bersambung “Janggrung” karya Sri Sugiyanto. Data
sekunder dalam penelitian berupa buku-buku referensi yang menunjang,
hasil wawancara serta biografi dari pengarang. Teknik pengumpulan data
yang dilakukan untuk mencapai tujuan dari penelitian ini adalah dengan
menggunakan studi pustaka yaitu mengumpulkan data-data dari sumber
tertulis. Wawancara digunakan untuk mengetahui biografi pengarang.
Data yang telah terkumpul dianalisis dengan teknik analisis interaktif yang
11
berpijak pada empat tahap, yaitu (1) Deskripsi data, (2) Analisis data, (3)
Interpretasi data, (4) Evaluasi data.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa cerbung
karya Sri Sugiyanto yang berjudul Janggrung memiliki unsur-unsur
pembangun seperti tema, alur, penokohan, latar, serta amanat yang saling
terkait secara utuh. Kedua, mengungkapkan nilai moral dan budaya yang
terkandung di dalam cerbung Janggrung, yang. Ketiga, mengungkapkan
sikap budaya pengarang atas keprihatinannya tentang seni tari yang
diselingi dengan asumsi negatif. Keempat, mengungkapkan relevansi seni
tari Janggrung dengan keadaan sekarang yang dahulunya selalu diiringi
asumsi buruk dan sekarang apakah masih keadaan tersebut berlangsung.
Kelima, mengungkapkan nilai estetik dalam cerbung Janggrung karya Sri
Sugiyanto yang bersangkutan dengan indah tidaknya karya sastra hasil
dari Sri Sugiyanto.
Andika Patria (2013) dengan judul “Nilai Moral dalam Novel Sang
Pencerah Karya Akmal Nasery Basral dan Implikasinya pada
Pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Atas”.
Analisis terhadap aspek moral cukup penting karena menyangkut
kepribadian seseorang dalam masyarakat. Aspek moral ini bisa dikaji
salah satunya dalam sebuah novel, dalam hal ini novel Sang Pencerah.
Apa saja dan bagaimana nilai moral dalam novel Sang Pencerah serta
implikasinya dalam pembelajaran sastra merupakan suatu permasalahan
dalam penelitian ini. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah
12
mendeskripsikan nilai moral dalam novel Sang Pencerah serta
implikasinya pada pembelajaran sastra di SMA.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan
intertekstual. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Sang
Pencerah karya Akmal Nasery Basral. Sedangkan data dalam penelitian
ini adalah kutipan-kutipan dalam novel Sang Pencerah yang
mengungkapkan nilai moral.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa novel Sang Pencerah
mengandung nilai moral, yaitu 1) nilai moral terhadap Tuhan Yang Maha
Esa yang ditunjukkan dengan beriman, bertakwa, bertawakal, bersyukur,
berdoa, serta bertobat; 2) nilai moral terhadap diri sendiri yang tercermin
dalam sikap dan perilaku jujur, bertanggung jawab,bergaya hidup sehat,
disiplin, kerja keras, percaya diri, berjiwa wirauasaha, berpikir logis, kritis,
kreatif, inovatif, mandiri, ingin tahu, serta cinta ilmu; 3) nilai moral terhadap
sesama manusia yang meliputi sikap sadar akan hak dan kewajiban diri
dan orang lain, patuh pada aturan sosial, menghargai karya dan prestasi
orang lain, santun, serta demokratis; 4) nilai moral terhadap lingkungan
yang ditunjukkan dengan sikap peduli dengan orang yang membutuhkan
bantuan; dan 5) nilai moral terhadap bangsa yang ditunjukkan dengan
sikap nasionalis serta menghargai keberagaman. Nilai-nilai moral tersebut
terkait dengan teks Alquran dan Hadis Nabi.
13
Implikasi hasil penelitian ini berupa pembelajaran sastra di SMA
dengan meninjau silabus KTSP mata pelajaran bahasa Indonesia pada
jenjang SMA kelas XI.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitri Wulandari (2011) dengan judul
Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang
Sekolah Karya Wiwid Prasetyo (Kajian Intertekstualitas dan Nilai
Pendidikan). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) struktur
novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah; (2) persamaan
dan perbedaan struktur novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang
Sekolah; (3) kajian intertekstualitas antara novel Laskar Pelangi dan
Orang Miskin Dilarang Sekolah; dan (4) nilai pendidikan novel Laskar
Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan
menggunakan pendekatan intertekstualitas yang sebelumnya didahului
dengan pendekatan struktural. Sumber data adalah novel Laskar Pelangi
dan Orang Miskin Dilarang Sekolah. Sampel dalam penelitian ini diambil
dengan teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data
menggunakan teknik analisis dokumen. Teknik analisis data yang
digunakan adalah analisis mengalir. Teknik validitas data yang digunakan
adalah teori trianggulasi. Hasil temuan penelitian dengan kajian
intertekstualitas menunjukkan bahwa kedua novel tersebut: (1) struktur
kedua novel terdiri atas tema, sudut pandang, penokohan, latar, alur, dan
amanat; (2) persamaan struktur kedua novel tersebut berupa tema. Kedua
14
novel mempunyai tema yang sama yakni pendidikan. Amanat, kedua
novel mengamanatkan untuk berani bercita-cita dan berusaha keras
mewujudkan citacita tersebut. Terkait dengan alur, kedua novel
menggunakan alur maju.
Penokohan dalam kedua novel memiliki persamaan yakni pada
teknik karakterisasi. Baik itu Laskar Pelangi maupun Orang Miskin
Dilarang Sekolah karakter tokoh tidak selalu digambarkan secara
gamblang dan terperinci tetapi dapat diketahui dari dialog antartokoh dan
deskripsi pengarang secara langsung.
Secara fisiologis, tokoh utama dalam kedua novel memiliki jenis
kelamin yang sama yakni laki-laki (Ikal dan Faisal). Secara psikologis
tercermin watak tokoh utama yaitu berkemauan keras. Perbedaan kedua
novel terletak pada sudut pandang. Laskar pelangi menggunakan sudut
pandang persona pertama “Aku”, sedangkan Orang Miskin Dilarang
Sekolah menggunakan sudut pandang campuran. Latar cerita dalam novel
Laskar Pelangi di Pulau Belitong, Sumatera Selatan, sedangkan novel
Orang Miskin Dilarang Sekolah berlatar di Semarang, Jawa Tengah; (3)
dari hasil kajian intertekstualitas dapat disimpulkan bahwa novel Laskar
Pelangi merupakan hipogram, sedangkan novel Orang Miskin Dilarang
Sekolah merupakan teks transformasi; dan (4) nilai pendidikan yang
terkandung di dalam novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang
Sekolah yaitu: nilai pendidikan religius, sosial, moral, dan kebudayaan.
15
Kesamaan yang tampak dari penelitian-penelitian di atas dengan
penelitian ini terletak pada aspek yang dikaji yaitu nilai moral dan
intertekstualitas yang terdapat dalam karya sastra. Letak perbedaannya
yaitu penelitian ini mengkaji aspek moral dan nilai budaya dengan
menggunakan pendekatan intertekstualitas dan pragmatik.
B. Tinjauan Teori dan Konsep
1. Hakikat Nilai Moralitas dalam Karya Sastra
Nilai merupakan sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan. Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan
yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak khusus
kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan, dan perilaku (Nurdin, 2005:
209). Djahiri menyatakan bahwa nilai adalah suatu jenis kepercayaan
yang letaknya berpusat pada sistem kepercayaan seseorang tentang
tindakan seseorang sepatutnya atau tidak sepatutnya, atau tentang
sesuatu yang berharga dan yang tidak berharga untuk dicapai (dalam
Gunawan, 2012: 31). Nilai adalah sesuatu yang dipentingkan manusia
sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau yang buruk
sebagai abstraksi, pandangan, atau maksud dari berbagai pengalaman
dengan seleksi perilaku yang ketat (Sulaeman, 1998: 19).
Selanjutnya, bahwa nilai adalah hal yang terkandung dalam diri
(hati nurani) manusia yang lebih memberi dasar pada prinsip akhlak yang
merupakan standar dari keindahan dan efisiensi atau keutuhan kata hati.
16
Nilai merupakan suatu patokan dalam mempertimbangkan baik dan
buruknya seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Jadi, nilai
merupakan istilah yang digunakan untuk memberi batasan terhadap
aktivitas manusia dengan nilai/hukum baik atau buruk, benar atau salah
(dalam Asmaran, 1994:8).
Nilai berfungsi untuk membentuk cara berpikir dan tingkah laku
secara ideal dalam masyarakat. Sejak kecil seseorang dididik oleh orang
tua maupun lingkungan sekitarnya tentang baik buruk, benar salah, bagus
jelek, serta sopan dan tidak sopan secara terus menerus sehingga
membentuk cara pandang dan sikap hidup ideal dalam masyarakat. Nilai
yang terdapat dalam karya sastra tergantung pada persepsi dan
pengertian yang diperoleh pembaca melalui karya sastra. Tidak semua
persepsi dan pengertian yang diperoleh seperti yang diharapkan. Nilai ini
hanya dapat diperoleh pembaca jika karya yang dibaca menyentuh
perasaannya. Suatu nilai dapat dikatakan baik dan berterima apabila nilai
tersebut dapat menghasilkan suatu perilaku yang berdampak positif.
Kata moral berasal dari bahasa Latin, yaitu mores yang berarti tata
cara dalam kehidupan atau adatistiadat. Moral sebagai hal-hal yang
berhubungan dengan nilai-nilai susila. Selain itu, moral juga berhubungan
dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.
Kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai
manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat
dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok
17
ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang
(Budiningsih, 2008: 24).
Moral dalam pengertian filsafat merupakan suatu konsep yang telah
dirumuskan oleh sebuah masyarakat untuk menentukan suatu kebaikan
atau keburukan. Oleh karena itu, moral merupakan suatu norma tentang
kehidupan yang telah diberikan kedudukan istimewa dalam kegiatan atau
kehidupan sebuah masyarakat (Semi, 2012: 89). Ukuran moral berkaitan
dengan hati nurani dan norma. Hati nurani menyediakan ukuran subjek,
norma pada ukuran objek, dengan kata lain; hati nurani memberitahukan
kepada mana yang benar, norma diberikan untuk menunjukkan kepada
semua orang mana yang benar itu (Hadiwardoyo, 1990: 15).
Istilah lain dari moral adalah akhlak. Akhlak adalah sistem nilai
yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di atas bumi. Sistem nilai
yang dimaksud adalah ajaran Islam, dengan Alquran dan Hadis Nabi
sebagai sumber nilainya serta ijtihad sebagai metode berpikir Islami. Pola
sikap dan tindakan yang dimaksud mencakup pola-pola hubungan dengan
Allah, diri sendiri, sesama manusia, dan dengan alam/lingkungan (Nurdin,
1995: 205). Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, tujuan penelitian
ini adalah mendeskripsikan nilai-nilai moral yang terkandung dalam novel
serta mengaitkannya dengan teks Alquran dan Hadis Nabi. Kata moral
juga sering disinonimkan dengan etika, berasal dari kata ethos dalam
bahasa Yunani yang berarti adat atau kebiasaan baik yang tetap.
18
Etika ialah studi tentang cara penerapan hal yang baik bagi hidup
manusia yang mencakup dua aspek, yaitu 1) disiplin ilmu yang
mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya; dan 2) nilai-nilai hidup nyata
dan hukum tingkah laku manusia yang menopang nilai-nilai tersebut
(Zuriah, 2007: 17).
Etika bermakna sekumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak, tata cara (adat, sopan santun) nilai mengenai benar dan
salah tentang hak dan kewajiban yang dianut oleh suatu golongan atau
masyarakat. Dengan demikian, ada persamaan antara etika dan moral.
Namun, terdapat perbedaan antara keduanya. Etika lebih bersifat teori,
sedangkan moral lebih banyak bersifat praktik. Menurut pandangan para
ahli filsafat, etika memandang tingkah laku perbuatan manusia secara
umum, sedangkan moral secara lokal.
Moral dalam karya sastra mencerminkan pandangan hidup
pengarang yang bersangkutan, oleh sebab itu moral dalam karya sastra
dapat dipandang sebagai amanat, pesan, massage yang ingin
disampaikan kepada pembaca. Secara umum moral menunjuk pada
pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Moral dalam karya sastra
biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan,
pandangan tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin
disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2013: 429-430).
19
Selanjutnya bahwa moral dalam karya sastra biasanya
dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran
moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan),
lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Hal tersebut merupakan
“petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal
yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah
laku, dan sopan santun pergaulan. Bersifat praktis sebab “petunjuk” nyata,
sebagai model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan tingkah
laku tokoh-tokohnya (Nurgiantoro, 2013: 430).
Sebuah karya sastra yang bernilai tinggi adalah karya sastra yang
mengandung moral yang tinggi, yang dapat mengangkat harkat umat
manusia. Karya sastra yang diciptakan oleh seorang penulis tidak semata-
mata mengandalkan bakat dan kemahiran berekspresi, tetapi lebih dari itu,
seorang penulis melahirkan karya sastra karena juga memiliki visi,
aspirasi, itikad baik, dan pejuangan sehingga karya sastra yang dihasilkan
memiliki nilai tinggi (Semi, 2012: 89—90).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai moral
adalah segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan manusia yang
diperoleh melalui proses pengubahan sikap dan tingkah laku menjadi lebih
baik. Sementara itu, nilai moral dalam karya sastra adalah semua hal yang
dapat dicontoh dan diambil manfaatnya dari karya sastra untuk kebaikan
pembaca agar dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Pembaca
20
diharapkan mampu mengambil manfaat dengan menyimpulkan pesan
yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya.
a. Sastra dan Pembentukan Karakter
Unsur moral dalam karya sastra berkaitan dengan fungsi sastra
bagi pembentukan karakter pembaca, terutama peserta didik dalam
konteks pembelajaran sastra di sekolah. Pembacaan dan
pembelajaran sastra bermuara pada afeksi. Aspek afektif berkaitan
dengan menyukai atau mencintai sastra. Sastra berperan
menggerakkan hati dan perasaan. Sastra memberi manfaat bagi
kehidupan manusia. Sastra dapat memberi rasa senang, kesenangan
yang menghibur serta memuaskan batin pembaca.
Setiap karya sastra mengandung unsur moral dan nilai-nilai
yang dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran bagi pendidikan
dan pembentukan karakter. Sastra mempunyai peran sebagai salah
satu alat pendidikan yang seharusnya dimanfaatkan dalam dunia
pendidikan. Sastra dapat diyakini mempunyai andil yang cukup besar
dalam usaha pembentukan dan pengembangan kepribadian anak. Jika
dimanfaatkan secara benar dan dilakukan dengan strategi yang benar
pula, sastra mampu berperan dalam pengembangan manusia yang
seutuhnya dengan cara yang menyenangkan.
Berkaitan dengan pembagian Bloom tentang adanya ranah
kognitif, afektif, dan psikomotoris dalam dunia pendidikan, Thomas
Lickona menyaratkan ada tiga hal yang mesti terlibat di dalamnya.
21
Ketiga hal yang dimaksud itu adalah komponen karakter yang baik
yang mesti dimiliki untuk menjadi seseorang yang berkarakter, yaitu
pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral
(moral feeling), dan perbuatan moral (moral action). Ketiga komponen
tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain untuk membentuk
sebuah kesatuan yang padu yang berwujud seseorang yang memiliki
karakter yang baik (Nurgiyantoro, 2013:437).
Pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang
moral (moral feeling), dan perbuatan moral (moral action) harus
dibangun dan dikembangkan demi terwujudnya tujuan pendidikan
karakter. Agar memiliki pengetahuan yang memadai tentang moral,
perlu dipahamkan pengetahuan tentang moral (moral knowing) yang
terkait dengan ranah kognitif. Komponen ini meliputi kesadaran moral,
pengambilan keputusan, dan pengetahuan diri. Selanjutnya
membangkitkan ranah afektif dengan menanamkan perasaan tentang
moral (moral feeling). Komponen ini meliputi kata hati, rasa percaya
diri, empati, cinta kebaikan, pengendalian diri dan kerendahan hati.
Secara logika, pemahaman dan perasaan tentang moral yang baik
akan mendorong psikomotorik seseorang untuk melakukan perbuatan
moral (moral action) yang meliputi kompetensi, kemauan, dan
kebiasaan bertindak.
Konsep manusia berkarakter, baik yang memiliki pemahaman,
perasaan, dan mau berperilaku yang mencerminkan nilai-nilai moral
22
yang diyakininya sebagaimana dikemukakan, dapat dicari dan
ditemulakan aplikasinya dalam cerita fiksi. Cerita fiksi berisi ideologi,
idealisme, dan pandangan hidup pengarang yang tercermin dalam
perilaku tokoh. Cerita fiksi menampilkan model kehidupan dengan
mengangkat tokoh-tokoh cerita sebagai pelaku kehidupan itu. Sebagai
seorang manusia, tokoh-tokoh tersebut diberi bekal sifat, sikap, watak,
dan seorang manusia biasa. Berbagai aspek kehidupan dapat
dipahami dan dipelajari melalui segala yang diperankan oleh tokoh
tersebut, termasuk berbagai motivasi yang dilatari oleh keadaan sosial
budaya tokoh itu.
Terdapat banyak karya fiksi yang menawarkan lebih dari satu
pesan moral. Hal tersebut masih bisa ditambah dari pertimbangan dan
atau penafsiran dari pihak pembaca yang juga dapat berbeda-beda.
Jenis pesan moral dalam karya sastra bergantung pada keyakinan
pengarang yang bersangkutan.
Jenis pesan moral dapat mencakup masalah-masalah yang
bersifat tidak terbatas yang dapat pula mencakup persoalan hidup dan
kehidupan manusia. Ajaran-ajaran moral itu dapat dibedakan ke dalam
persoalan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan
manusia dengan sesama manusia dalam lingkup sosial, hubungan
manusia dengan alam sekitar, dan manusia dengan Tuhannya.
Persoalan manusia dengan dirinya sendiri dapat bermacam-
macam jenis dan intensitasnya. Hal itu tidak lepas dari kaitannya
23
dengan persoalan hubungan antarsesama dan dengan Tuhan.
Persoalan dapat dihubungkan dengan masalah seperti eksistensi diri,
rasa percaya diri, takut, rindu, dan lebih bersifat ke dalam diri dan
kejiwaan seorang individu (Nurgiyantoro, 2013: 326).
Lebih luas, Kemendiknas mengelompokkan nilai-nilai moral
dalam pembentukan karakter, yaitu (1) nilai moral terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, (2) nilai moral terhadap diri sendiri, (3) nilai moral
terhadap sesama manusia, dan (4) nilai moral terhadap lingkungan,
serta (5) nilai moral terhadap Bangsa (Kemendiknas, 2010:16). Secara
rinci, kelima nilai yang harus ditanamkan kepada siswa tersebut adalah
sebagai berikut.
1) Nilai Moral terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Nilai moral dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha
Esa berkaitan dengan pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang
yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan
dan/atau ajaran agamanya. Dalam penelitian ini, nilai moral dalam
hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa secara khusus
dideskripsikan sebagai moral/akhlak kepada Allah. Akhlak kepada
Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang
seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada
Tuhan sebagai Khalik karena manusia diciptakan atas kehendak-
Nya. Titik tolak akhlak kepada Allah adalah pengakuan dan
kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Wajib bagi manusia
24
untuk mematuhi serta berterima kasih atas segala pemberian-Nya
(Masyhur, 1994: 17). Beberapa di antara akhlak kepada Allah
adalah sebagai berikut (Gunawan, 2012: 8).
a) Beriman
Beriman yaitu meyakini bahwa Allah itu sungguh-
sungguh ada. Dia memiliki sifat kesempurnaan dan sunyi dari
sifat kelemahan juga yakin bahwa Ia sendiri memerintahkan
untuk diimani, yakni: Malaikat-Nya, Kitab yang diturunkan-Nya,
Rasul dan Nabi-Nya, hari kiamat, dan qadha yang telah
ditetapkan.
b) Bertakwa
Takwa berarti melaksanakan segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangannya. Dengan kata lain, takwa dapat
memelihara diri agar selalu berada pada garis dan jalan-Nya
yang lurus.
c) Bertawakal
Bertawakal adalah berserah diri kepada Allah serta
meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya tempat bergantung
bagi setiap manusia ketika berharap suatu manfaat dan
menghindari kemudaratan. Dengan kata lain, bertawakal kepa
da Allah berarti menyerahkan segala urusan kepada-Nya,
setelah melakukan usaha semaksimal mungkin (Masyhur, 1994:
37).
25
d) Bersyukur
Bersyukur yaitu berterima kasih atas segala nikmat yang
diberikan Allah dan merasakan cukup atas pemberian-Nya.
Bersyukur bisa dilakukan dengan tiga cara. Yang pertama,
dengan lisan, yaitu mengucap Alhamdulillah sebagai rasa
syukur. Kedua, dengan cara melakukan segala yang
diperintahkan Allah. Ketiga, dengan memanfaatkan harta di
jalan Allah (Masyhur, 1994: 34—35).
e) Berdoa
Berdoa adalah memohon atau meminta pertolongan
kepada Allah swt. serta mengharap rahmat dari-Nya. Sebaik-
baik lisan adalah lisan yang selalu basah dengan mengingat
Allah. Lisan yang mengingat Allah itu diwujudkan dengan cara
berdoa kepada Allah karena berdoa itu merupakan ibadah.
f) Bertobat
Tobat berarti sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan
yg salah atau jahat), memohon ampun kepada Allah, serta
kembali dengan sebenar-benarnya.
2) Nilai Moral terhadap Diri Sendiri
Keberadaan manusia di alam ini berbeda bila dibandingkan
dengan makhluk lain, totalitas dan integritasnya selalu ingin
merasakan selamat dan mendapat kebahagiaan yang lebih besar.
Setiap manusia memiliki kewajiban moral terhadap dirinya sendiri
26
agar ia selamat, bahagia, masa kini dan mendatang. Jika kewajiban
tersebut tidak dipenuhi, maka akan mendapat kerugian dan
kesuitan (Gunawan, 2012:10). Dengan demikian, kewajiban
manusia terhadap dirinya sendiri adalah sebagai berikut.
a) Jujur
Jujur merupakan perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya
dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri
dan pihak lain.
b) Bertanggung Jawab
Bertanggung jawab merupakan sikap dan perilaku
seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya
sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya),
negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
c) Bergaya Hidup Sehat
Bergaya hidup sehat merupakan segala upaya untuk
menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup
yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat
mengganggu kesehatan.
d) Disiplin
Disiplin merupakan tindakan yang menunjukkan perilaku
tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
27
e) Kerja Keras
Kerja keras merupakan perilaku yang menunjukkan
upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-
baiknya.
f) Percaya Diri
Percaya diri merupakan sikap yakin akan kemampuan
diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan
dan harapannya.
g) Berjiwa Wirausaha
Berjiwa wirausaha merupakan sikap dan perilaku yang
mandiri dan pandai atau berbakat mengenali produk baru,
menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk
pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur
permodalan operasinya.
h) Berpikir Logis, Kritis, Kreatif, dan Inovatif
Berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif berarti berpikir
dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa
yang telah dimiliki.
i) Mandiri
Mandiri merupakan sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
28
j) Ingin Tahu
Ingin tahu merupakan sikap dan tindakan yang selalu
berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
k) Cinta Ilmu
Cinta ilmu merupakan cara berpikir, bersikap dan berbuat
yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan
yang tinggi terhadap pengetahuan.
3) Nilai Moral dalam Hubungannya dengan Sesama
a) Sadar akan Hak dan Kewajiban Diri dan Orang Lain
Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
merupakan sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa
yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta
tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.
b) Patuh pada Aturan-aturan Sosial
Patuh pada aturan-aturan sosial merupakan sikap
menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan
masyarakat dan kepentingan umum.
c) Menghargai Karya dan Prestasi Orang Lain
Menghargai karya dan prestasi orang lain merupakan
sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan
menghormati keberhasilan orang lain.
29
d) Santun
Santun merupakan sifat yang halus dan baik dari sudut
pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.
e) Demokratis
Demokratis merupakan cara berpikir, bersikap dan bertindak
yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
4) Nilai Moral terhadap Lingkungan
Nilai moral dalam hubungannya dengan lingkungan
ditunjukkan dengan sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang
lain dan masyarakat yang membutuhkan.
5) Nilai Moral terhadap Bangsa
Nilai-nilai moral dalam hubungannya dengan kebangsaan
ditunjukkan dengan cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan
diri dan kelompoknya.
a) Nasionalis
Nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap dan
berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
30
b) Menghargai Keberagaman
Menghargai keberagaman merupakan sikap memberikan
respek/hormat terhadap berbagai macam hal baik yang
berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.
2. Hakikat Sastra
a. Pengertian Sastra
Sastra dimaknai sebagai karya lisan atau tertulis yang memiliki
berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan
dalam isi, dan ungkapannya (Ensiklopedi Sastra, 2007: 716).
Pengungkapan makna sastra sulit dilakukan penelaah dengan tepat.
Hal ini dikarenakan sastra berkaiatan dengan lingkungan dan
kebudayaan pada zaman tertentu.
Pengertian sastra menurut Sumarjo dan Saini (1986: 2) adalah
ungkapan spontan dari rasa yang mendalam. Sastra juga merupakan
ungkapan ekspresi pikiran dalam bahasa, sedangkan yang dimaksud
pikiran adalah pandangan, ide-ide, perasaan dan semua kegiatan
mental manusia. Di dalam sastra terkandung segala aspek kehidupan
yang dipikirkan, dirasakan, dan dialami manusia. Dalam hal ini
penghayatan dibutuhkan untuk memahami karya.
Sejalan dengan pengertian itu, Wellek dan Warren (1990: 11)
memaknai sastra adalah segala sesuatu yang tertulis dan tercetak.
Sastra juga merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas
pengertiannya dari fiksi. Sastra adalah suatu bentuk dan hasil
31
pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan
kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai bahan
pokoknya. Sebagai karya kreatif sastra harus mampu melahirkan suatu
kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan
manusia, serta menjadi wadah penyampaian ide-ide.
Rahmanto (1988: 10) menuturkan bahwa sastra merupakan
kumpulan sejumlah bentuk bahasa yang khusus, yang digunakan
dalam berbagai pola sistematis untuk menyampaikan keseluruhan
perasaan dan pikiran. Penggunaan bahasa dianggap sebagai bahan
pokok dalam sastra. Estetika yang dikandung sastra dapat ditentukan
dari bahasa yang digunakan pengarang. Dari beberapa batasan yang
diutarakan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa
unsur sastra. Unsur pertama adalah isi sastra yang berupa pikiran,
perasaan, pengalaman, semangat, dan kepercayaan. Unsur kedua
adalah ekspresi atau ungkapan untuk menyampaikan isi sastra. Unsur
ketiga adalah bentuk. Unsur isi tadi dapat diekspresikan keluar dalam
berbagai segi bentuk. Unsur keempat adalah bahasa. Bahasa adalah
bahan utama dalam mewujudkan ungkapan yang indah.
Teori-teori yang disampaikan di atas mengacu pada kesimpulan
bahwa sastra adalah wujud nyata mengenai gambaran perasaan
pengarang yang disimbolkan dengan cara estetis dan kreatif serta
penyampaiannya menggunakan sarana bahasa. Sastra memiliki tiga
unsur utama yaitu isi yang berupa ide pengarang, ekspresi yang
32
berupa bahasa yang disampaikan pengarang, dan bentuk yang berupa
prosa, puisi, atau drama. Hal ini akan dipaparkan pada sub bab
selanjutnya.
b. Jenis Sastra
Pendefinisian sastra sulit dilakukan karena sastra terikat dengan
budaya masyarakat pada zaman tertentu. Di dalam pelaksanaan
berkarya, sastra terbagi dua yaitu sastra dan non sastra (Ensiklopedi
Sastra, 2007: 716). Teks nonsastra umumnya dipakai dalam
komunikasi praktis dan dimanfaatkan untuk komunikasi yang tidak
mengandung estetis. Misalnya komunikasi di dalam ruang presentasi,
komunikasi di pasar atau pun komunikasi pada harian cetak.
Sejalan dengan hal itu, Sumarjo dan Saini (1986: 17)
mengungkapkan bahwa sastra dibagi ke dalam dua kelompok yaitu
sastra imajinatif dan sastra nonimajinatif. Sastra imajinatif dapat
digolongkan pada puisi dan prosa. Pada bagian prosa sastra ini terbagi
pula ke dalam fiksi dan drama. Berbeda dengan sastra imajinatif,
sastra non imajinatif ditandai dengan minimnya penggunaan kata-kata
khayali dan kata-kata denotatif yang menonjol. Penerapan kedua
syarat tersebut dapat terlihat pada karya ilmiah, esai, kritik, dan lain-
lain.
Fiksi dimaknai oleh Nurgiyantoro (2009: 2) sebagai hasil dari
imajinasi juru cerita baik lisan maupun juru cerita tulis. Dalam
menciptakan karya, pengarang menggabungkan imajinasi dengan
33
pengalaman yang diperolehnya. Selain menggabungkan pengalaman,
pengarang juga harus memiliki banyak kosa kata, sehingga karya yang
dihasilkan kaya makna dan bahasa. Ciri sastra fiksi adalah bersifat
khayali, konotatif, dan mengandung daya estetis. Sedangkan untuk
karya sastra non-fiksi adalah bersifat faktual, denotatif, dan tidak
menuntut syarat estetika.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa jenis sastra terbagi dua yaitu sastra imajinatif dan
non imajinatif. Setiap kandungan yang dimiliki karya tersebut berbeda
satu sama lain. Karya nonimajinatif berupa ciptaan yang berasal dari
fakta seperti esai, kritik, biografi, dan lain-lain sedangkan sastra
imajinatif berupa ciptaan berasal khayalan yang direka manusia seperti
puisi, prosa, dan drama.
3. Hakikat Novel
a. Pengertian Novel
Novel merupakan salah satu jenis prosa dengan isi yang lebih
luas dibanding cerpen sebagai bentuk prosa lain. Novel dimaknai
sebagai sebuah karya prosa fiksi yang cukupannya tidak terlalu
panjang tetapi tidak terlalu pendek. Pengertian tidak terlalu panjang
diartikan bahwa panjangnya novel hingga ratusan halaman dan tanpa
aturan.
Pengertian tidak terlalu pendek juga dimaksudkan karena
pengarang cerita menyampaikan beberapa konflik dan tokoh dengan
34
pemaparan secara mendalam. Novel adalah salah satu istilah dalam
bahasa Inggris. Waluyo dan Wardani (2009: 8) menuturkan bahwa
kata novel berasal dari kata novellus yang berarti baru. Jadi
sebenarnya memang novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang
paling baru. Dalam Ensiklopedi Sastra (2007: 546) pengertian novel
didefinisikan sebagai bentuk prosa rekaan panjang, menyuguhkan
tokoh-tokoh, dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara
tersusun. Novel mengandung cerita rekaan yang berisi konflik untuk
mengubah nasib tokoh.
Urian di atas dapat diacu sebagai pemaknaan novel yaitu salah
satu jenis sastra berbentuk prosa panjang yang terkandung di
dalamnya imajinasi pengarang untuk menceritakan tokoh secara luar
biasa sehingga menimbulkan konflik dan menyebabkan perubahan
nasib terhadap para pelakunya.
b. Struktur Novel
Novel merupakan sebuah totalitas yang bersifat artistik. Sebagai
salah satu bentuk totalitas, fiksi memiliki , unsur-unsur yang saling
berkaitan satu sama lain . Tiap potongan cerita saling berkaitan
dengan potongan cerita sebelum dan sesudahnya. Perpaduan inilah
yang kemudian menjadi satu wujud utuh dan kemudian disebut novel.
35
Stanton (2007: 22) mengungkapkan ada tiga fakta cerita fiksi
yaitu, karakter, alur, dan latar. Ketiga bagian tersebut berfungsi
sebagai catatan imajinatif dari cerita. Penggunaan struktur faktual
tersebut membantu penulis menciptakan karya dari sudut pandang
berbeda.
kepaduan unsur intrinsik membuat sebuah novel berwujud.
Sebuah novel tak akan berdiri jika tidak memiliki salah satu unsur
intrinsik yaitu tema, sudut pandang, alur, amanat, penokohan, dan latar
(setting). Keberartian enam unsur tersebut dapat dibuktikan melalui
analisis unsur intrisik yang selalu mengungkapkan enam unsur
tersebut dalam menelaah sastra.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disintesiskan bahwa unsur
intrinsik dibutuhkan untuk mewujudkan karya sastra berupa prosa.
Unsur intrinsik yang mencakup alur, penokohan dan latar adalah
bagian struktur faktual novel sedangkan tema, sudut pandang dan
amanat adalah unsur yang diketahui setelah membaca keseluruhan
cerita.
Unsur intrinsik terdiri dari tema, alur, penokohan, latar, dan
sudut pandang. Penjelasan mendalam mengenai unsur intrinsik
tersebut, terpapar pada subbab di bawah ini.
a. Tema
Keraf menyatakan bahwa tema berasal dari kata tithnai
(bahasa Yunani) yang berarti menempatkan, meletakkan. Jadi
36
menurut ahli, tema berarti sesuatu yang telah diuraikan atau
ditempatkan. Dalam tema terkandung sikap pengarang terhadap
subjek atau pokok cerita. Pengertian spesifik mengenai tema
terdapat pada ensiklopedia sastra bahwa tema merupakan
gagasan, ide, atau pokok persoalan yang menjadi dasar cerita .
Tema dipaparkan secara samar-samar dan dapat ditemukan
setelah membaca keseluruhan cerita.
Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita
(Ismawati, 2013: 72). Penemuan tema akan diperoleh jika pembaca
telah menyelesaikan keseluruhan cerita. Kehadiran konflik, situasi,
dan peristiwa tertentu tidak lepas dari keterkaitannya dengan tema.
Isi seluruh cerita dipahami melalui kesimpulan yang dihadirkan oleh
tema. Stanton mengungkapkan bahwa tema merupakan aspek
cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia;
sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat . Proses
penemuan tema berusaha menyingkirkan beberapa makna lain dan
memilih makna tertentu sebagai tema utama. Temuan tema dalam
prosa akan membuat pembaca mengetahui alasan pengarang
mencipta karya. Tema memberi fokus dan kedalaman makna hidup
pada pengalaman yang diutarakan.
Upaya untuk menemukan tema dalam sebuah karya fiksi
dapat dilakukan dengan menyimpulkan isi seluruh cerita, tidak
cukup dengan mengetahui potongpotongan bagian tertentu saja
37
namun diperlukan secara keseluruhan. Eksistensi atau kehadiran
tema terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita, inilah yang
menyebabkan kemungkinan kecil terjadinya pelukisan langsung.
Hal ini menyebabkan sulitnya menafsirkan tema.
Dari berbagai pandangan mengenai pengertian tema
tersebut dapat disimpulkan bahwa tema adalah maksud
keseluruhan cerita yang ingin disampaikan pengarang. Ungkapan
tema suatu karya dapat berbeda karena pengarang tidak
menggambarkan tema secara langsung. Hal terpenting dalam
memaknai tema bukan ketepatan menemukannya namun
bagaimana penerapan pengalaman manusia itu dapat dijadikan
sebagai pelajaran hidup bagi pembaca.
b. Alur atau Plot
Alur berasal dari bahasa Inggris yaitu plot dan di Prancis alur
dinamai intrique. Pengertian alur adalah jalinan peristiwa di dalam
karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Keterkaitan peristiwa
dihubungkan oleh waktu dan sebab akibat (Ensiklopedi Sastra
Indonesia, 2007:43). Rangkaian peristiwa dalam alur dijalin dengan
cermat hingga menggerakkan konflik ke arah klimaks atau
penyelesaian. Setiap peristiwa berperan penting dalam menempati
posisinya sebagai peristiwa awal, menaik, menurun, dan
penyelesaian.
38
Plot merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah
cerita. Istilah ini umumnya selalu berkaitan dengan peristiwa
kausal. Peristiwa ini menyebabkan dampak dari peristiwa lain yang
tidak dapat terabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan
karya (Stanton, 2007: 26). Setiap peristiwa mengalami keterkaitan
dan menjalankan tahap-tahap yang telah ditentukan. Konflik tidak
dapat muncul lebih dulu dibanding Pengenalan terhaadap cerita.
Suatu kisah tidak dapat dimengerti seutuhnya tanpa adanya
pengetahuan terhadap cerita yang dihubungkan oleh alur (Stanton,
2007: 28). Pembaca dibuat penasaran karena alur mengalir.
Keingintahuan terhadap kejadian selanjutnya adalah dampak yang
dihasilkannya.
Abrams (dalam Wahyuningtyas dan Santoso, 2011: 6)
mengungkapkan bahwa plot merupakan struktur peristiwa-
peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan
penyajian berbagai peristiwa untuk mencapai efek emosional dan
efek artistik tertentu. Tahapan-tahapan peristiwa terjalin dalam
suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku yang muncul dalam
karya sastra.
Pada prinsipnya alur cerita terdiri atas tiga bagian, yaitu : (1)
alur awal, terdiri dari paparan (eksposisi), rangsangan (inciting
moment), dan penggawatan (rising action); (2) alur tengah, terdiri
atas pertikaian (conflict), perumitan (complication), dan klimaks
39
atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri dari
perleraian (falling action), dan penyelesaian (denouement). Alur
cerita tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1 : Plot Prosa Fiksi
(Adelstein & Pival dalam Waluyo dan Wardani, 2009: 19)
Exsposition atau eksposisi paparan awal cerita. Pengarang
mulai memmperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-
tokoh cerita. Inciting moment adalah peristiwa mulai terjadinya
problem-problem yang ditampilkan pengarang kemudian
ditingkatkan mengarah pada peningkatan problem. Rising action
adalah peningkatan adanya permasalahan yang dapat
meningkatkan konflik. Complication adalah konflik yang terjadi
semakin genting. Permasalahan sebagai sumber konflik sudah
Conflict falling
Exposition
Rising action
Inciting moment
Complication
Climax
Falling action
Denouement
40
saling berhadapan. Climax adalah puncak dari terjadinya konflik
cerita yang berasal dari peristiwa-peristiwa yang terjadi
sebelumnya. Falling action adalah peredaan konflik cerita.
Denouement adalah penyelesaian yang dipaparkan oleh pengarang
dalam mengakiri penyelesaian konflik yang terjadi.
Berpedoman pada paparan di atas dapat dipahami bahwa
alur atau plot adalah rangkain peristiwa yang saling memiliki
keterkaitan satu sama lain dimulai dari bagian pengenalan hingga
tahap penyelesaian. Kedudukan masing-masing peristiwa mutlak
yang berarti tidak dapat diubah sesuai keinginan pembaca. Alur
yang baik akan mendorong pembaca untuk mencari tahu terhadap
kejadian selanjutnya.
c. Tokoh dan Penokohan
1) Tokoh
Tokoh adalah pelaku yang terdapat dalam sebuah cerita,
novel atau cerita fiksi. istilah tokoh untuk menunjuk pada
orangnya, pelaku cerita, sedangkan watak, perwatakan, dan
karakter menunjuk sifat dan sikap para tokoh yang ditafsirkan
para pembaca. Tokoh dalam prosa berbentuk novel umumnya
menggunakan pelaku cerita lebih banyak di banding tokoh yang
muncul dalam cerita pendek. Tokoh dihadirkan dengan karakter
yang lebih spesifik untuk menguatkan cerita.
41
Kedudukan peran dalam sebuah cerita tokoh dapat
terbagi menjadi dua, yaitu protagonis dan antagonis (Waluyo
dan Wardani, 2009: 28). Tokoh protagonis adalah tokoh yang
mendukung jalannya cerita yang memiliki karakter baik atau
jahat. Tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh
protagonis yang menentang arus cerita dapat pula mendapat
peran baik atau jahat.
Jenis tokoh selain yang disebutkan di atas adalah tokoh
sentral, andalan, bawahan, tokoh bulat dan tokoh pipih. Tokoh
sentral merupakan tokoh yang mendominasi keseluruhan cerita.
Tokoh ini selalu ditonjolkan dan menjadi pusat penceritaan.
Kebalikan dari jenis tokoh ini adalah tokoh sampingan atau
bawahan yang kehadiran jarang dimunculkan dalam cerita.
Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang diandalkan dalam
pengisahan. Tokoh tambahan adalah tokoh-tokoh yang
dijadikan latar belakang saja dan dianggap tidak penting.
(Waluyo, 2011: 19-20)
Dari paparan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
tokoh adalah pelaku yang muncul dalam novel. Pelaku memiliki
watak bervariasi yang menempati posisi sebagai pendukung
42
atau penentang cerita. Fungsi tersebut menjadikan cerita yang
dikisahkan menjadi menarik.
2) Penokohan
Penokohan dalam cerita rekaan tidak dapat dilepaskan
hubungannya dengan tokoh. Istilah tokoh menunjukan pada
pelaku cerita, sedangkan penokohan menunjukan pada sifat,
watak atau karakter yang melengkapi dari tokoh tersebut.
Penokohan adalah penujukkan mengenai penempatan tokoh-
tokoh tertentu dengan watak tertentu pada sebuah cerita
(Nurgiantoro, 2013: 165).
Pendapat yang serupa juga dipaparkan oleh Stanton
(2007: 33) bahwa karakter merujuk pada dua konteks berbeda.
Pertama, karakter merujuk pada individu yang muncul dalam
cerita. Kedua, karakter dimaknai sebagai percampuran dari
berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari
individu-individu tersebut. Sifat tokoh dipengaruhi oleh motivasi
dasar yang dilakukan secara spontan dan mungkin tanpa
disadari muncul dalam adegan atau dialog tertentu.
Ada beberapa cara pengarang untuk menggambarkan
watak tokohtokohnya, meliputi: (1) penggambaran secara
langsung; (2) secara langsung dengan diperindah; (3) melalui
pernyataan oleh tokohnya sendiri; (4) melalui dramatisasi; (5)
melalui pelukisan terhadap keadaan sekitar pelaku; (6) melalui
43
analisis psikis pelaku; dan (7) melalui dialog pelaku-pelakunya
(Waluyo dan Wardani, 2008: 32).
Dari pengertian di atas dapat disintesiskan bahwa
penokohan adalah gambaran watak tokoh yang berisi berbagai
kepentingan, keinginan, ambisi dan prinsip moral. Karakter
dapat ditemukan melalui penggambaran langsung atau melalui
penuturan tokoh. Tokoh yang memiliki karakter baik tidak
selamanya dianggap sebagai tokoh pendukung (protagonis),
demikian pula sebaliknya tokoh yang berperan jahat tidak dapat
dianggap sebagai tokoh penentang (antagonis).
d. Latar atau Setting
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa
dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa
yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor dan waktu
(Stanton, 2007: 35). Kemunculan latar terkadang membuat
pembaca jenuh. Hal ini terjadi jika deskripsi yang ditulis pengarang
terlalu panjang sedangkan pembaca ingin segera sampai pada inti
cerita.
Nurgiyantoro (2005: 216) memaparkan hal yang hampir
serupa bahwa latar adalah segala keterangan petunjuk, pengacuan
yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya
peristiwa dalam cerita. Suasana termasuk bagian dari latar dengan
menggambarkan peristiwa luar biasa yang dihadapi tokoh dalam
44
arus cerita. Kedudukan latar dapat pula menggambarkan kondisi
psikis yang dialami tokoh cerita.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar
merupakan suatu keadaan terjadinya peristiwa yang berkaitan
dengan waktu, ruang, dan suasana dalam cerita. Latar memiliki
pengaruh kuat dalam proses menghayati cerita yang sedang
dibaca. Pembaca akan merasa melihat peristiwa melalui latar yang
dipaparkan pengarang.
e. Sudut Pandang Pengarang (Point of View)
Sudut pandang merupakan salah satu unsur fiksi yang
penting dan menentukan. Stanton (2007: 53) memaknai sudut
pandang sebagai pusat kesadaran tempat kita memahami setiap
peristiwa dalam cerita. Hubungan dan posisi merujuk pada hal
berbeda yang terjadi dalam cerita. Dengan memahami posisi
pencerita, pembaca juga dapat memahami subjektivitas atau
objektivitas yang digunakan pengarang.
Barnet (1963: 38) mengungkapkan sudut pandang terbagi
dua yaitu participant (or first person) dan non participant (or third
person). Kedua bagian ini kemudian dibagi dalam subbagian yaitu,
participant (first person) mencakup (a) narrator as major character;
dan (narrator is a minor character) dan nonparticipant (third person)
mencakup (a) omniscient; (b) selective omniscient; dan objective.
45
Shipley (dalam Waluyo dan Wardani 2008: 38) menyebutkan
adanya 2 jenis point of view, yaitu internal point of view dan
external point of view. Internal point of view terdiri dari dua macam,
yaitu: (1) tokoh yang bercerita; (2) pencerita menjadi salah seorang
pelaku; (3) sudut pandang akuan; (4) pencerita sebagai tokoh
sampingan dan bukan tokoh hero. Sementara untuk gaya eksternal
ada dua jenis, yaitu; (1) gaya diaan; (2) penampilan gagasan dari
tokoh-tokohnya.
Menurut Nurgiyantoro sudut pandang merupakan sudut
cerita dikisahkan (Wahyuningtyas dan Santosa 2011: 8). Dua
metode penceritaan dalam pusat pengisahan yaitu, metode aku
dan metode diaan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang
pengarang yaitu cara pandang pengarang untuk dapat menjelaskan
dan menyampaikan sebuah cerita agar dapat dipahami pembaca.
Merujuk beberapa pendapat di atas dapat di atas dapat
disimpulkan bahwa sudut pandang adalah cara pengarang
memosisikan diri di dalam kisah. Pengarang dapat berkedudukan
sebagai orang pertama atau orang ketiga dan memandang cerita
secara objektif atau subjektif.
4. Pengertian Sosiologi Sastra
Secara etimologi, sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan
sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti
bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berararti sabda,
46
perkataan, perumpamaan). Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal usul
dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, atau ilmu yang mempelajari
keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat yang
sifatnya umum, rasional, dan empiris (Ratna, 2003:1). Sedangkan Wellek
(Faruk, 2003:4) mengungkapkan ada tiga jenis pendekatan yang berbeda
dalam sosiologi sastra yaitu sosiologi pengarang yang
mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang
menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra, sosiologi karya
sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri, dan sosiologi sastra
yang memasalahkan pembaca dan pengaruh social karya sastra.
Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literatue,
Swingewood (Faruk,2003:1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang
ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai
lembaga-lembaga dan proses proses sosial. Selanjutnya dikatakan,
bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana
masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa
masyarakat itu bertahan hidup. Sedangkan Ratna, (2010:60 )
mengungkapkan dasar filosofis pendekatan sosiologi adalah adanya
hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Dan hubungan-
hubungan tersebut disebabkan oleh : a) karya sastra dihasilkan oleh
pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, c)
pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d)
hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.
47
Dalam pandangan Wolff (Faruk, 2003:3) mengatakan bahwa
sosiologi merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan
dengan baik, terdiri atas sejumlah studi-studi empiris dan berbagai
percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya
hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan
dengan hubungan sastra dengan masyarakat.
Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra
tidak dalam kekosongan sosial, Kehidupan sosial akan menjadi pemicu
lahirnya karya sastra, karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang
mampu merefleksikan zamannya (Endraswara, 2003:77). Karena karya
sastra diciptakan untuk cermin kehidupan masyarakat dengan
perkembangan zaman pada saat ini, dan bagaimana kita menyikapinya
dalam lapisan kehidupan sosial.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
sosiologi sastra merupakan pemahaman terhadap karya sastra dengan
mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya. Atau sebagai
pemahaman terhadap totalitas karya sastra yang disertai dengan aspek-
aspek kemasyarakatannya yang terkandung di dalamnya. Dan terlihat
jelas bahwa karya sastra (novel) tidak terlepas dari unsure-unsur
sosiologis karena memang sebuah karya sastra (novel) akan tercipta dari
suatu masyarakat.
Watt dalam Damono, 1978:3-4) mengemukakan bahwa dalam
sosiologi yang terutama harus diteliti adalah sebagai berikut :
48
a. Konteks sosial pengarang, bagaimana pengarang mendapatkan
mata pecaharian, profesionalisme dalam kepengarangan, dan
masyarakat yang dituju.
b. Sastra sebagai cermin masyarakat, dan menampilkan fakta-fakta
sosial dalam masyarakat.
c. Genre sastra sering merupakan suatu kelompok tertentu.
d. Seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan
sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial.
Dengan demikian terlihat jelas bahwa karya sastra tidak terlepas
dari unsure-unsur sosiologis karena sebuah karya sastra akan tercipta dari
suatu masyarakat.
5. Pendekatan Sosiologi Sastra
Menurut Ratna (2010:60) bahwa dasar filosofis pendekatan
sosiologi adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan
masyarakat. Hubungan yang dimaksud disebabkan oleh karya sastra
dihasilkan oleh pengarang, pengarang itu sendiri adalah anggota
masyarakat, pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam
masyarakat dan hasil karya sastra itu dimanfatkan kembali oleh
masyarakat. Pendekatan sosiologi merupakan pendekatan yang
menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman
mulai dari masyarakat ke individu.
Endraswara (2003:77) menyatakan asumsi dasar penelitian
sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial,
49
kehidupan sosial akan menjadi lainnya karya sastra. Wolff (Faruk, 2003:3)
mengatakan bahwa sosiologi merupakan suatu disiplin yang tanpa bentuk,
tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri atas sejumlah studi-studi empiris
dan berbagai percobaan pada teori yang lebih general yang masing-
maasing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya
berurusan dengan hubungan antara seni atau kesusastraan dengan
masyarakat.
Sosiologi sastra merupakan suatu ilmu interdisipliner (lintas
disiplin), antara sosiologi dan ilmu sastra. Mulanya dalam konteks
sosiologi maupun ilmu sastra, sosiologi merupakan suatu disiplin ilmu
yang agak terabaikan. Di samping itu, dari segi historis juga karena
sosiologi sastra merupakan disiplin ilmu yang relatife baru berbeda
dengan sosiologi pendidikan yang sudah dikenal lebih dulu. Sedangkan
menurut (Damono,1978:20-21) mengatakan bahwa sosiologi terhadap
karya sastra terbagi menjadi dua jalur utama. (1) pandangan yang
kemudian dikenal sebagai positivisme, usaha untuk mencari hubungan
antara sastra dan beberapa faktor seperti iklim, geografi dan ras. Dalam
pandangan ini menyatakan bahwa tak ada ukuran mutlak dalam penilaian
sastra, penilaian sepenuhnya tergantung kepada waktu, tempat, dan
fungsinya. (2) menolak sikap empiris ini. Untuk pandangan ini sastra
bukanlah sekedar pencerminan masyarakatnya, sastra merupakan usaha
manusia untuk menemukan makna dunia yang semakin kosong dari nilai-
50
nilai sebagai akibat adanya pembagian kerja. Pendekatan ini
menomorsatukan nilai diantara aspek-aspek lain dalam penelaah sastra.
6. Pendekatan Intertekstualitas Sastra
Karya sastra tidak pernah lahir dari kekosongan budaya. Pradopo
(dalam Wulandari, 2011:67) menyatakan bahwa kelahiran suatu karya
sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang
mendahuluinya, yang pernah diserap oleh sang sastrawan. Mengacu
pendapat di atas dapat dimaknai bahwa karya sastra yang kemudian,
harus dikaitkan dengan karya sastra yang mendahuluinya. Dalam hal ini
pada mulanya sastrawan dalam menciptakan karyanya melihat, meresapi,
dan menyerap teks-teks lain yang menarik perhatiannya, baik yang
dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Ia menggumuli konvensi
sastranya, konvensi estetiknya, gagasan yang tertuang dalam karya itu,
kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya
sendiri.
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya
ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Menurut A.
Teeuw (dalam Wulandari, 2011:68) “karya sastra itu merupakan respon
pada karya sastra yang terbit sebelumnya”. Burhan Nurgiyantoro (2005:
51) memberikan contoh, sebelum para pengarang Balai Pustaka menulis
novel, di masyarakat telah ada hikayat dan berbagai cerita lisan lainnya
seperti pelipur lara. Sebelum para penyair Pujangga Baru menulis puisi-
puisi modernnya, di masyarakat telah ada berbagai bentuk puisi lama.
51
Kemudian, sebelum Chairil Anwar dan kawan-kawan seangkatannya
menulis puisi dan prosa, di masyarakat juga telah ada puisi-puisi modern
ala Pujangga Baru, begitu seterusnya. Dari sini terlihat adanya kaitan
mata rantai antara penulisan karya sastra dengan unsur kesejarahannya.
Ratna (2003:184.) memberikan pengertian intertekstualitas dalam kajian
intertekstualitas, setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar
belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-
sungguh mandiri; dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak
dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan,
kerangka; tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladani teks lain
atau mematuhi kerangka yang telah diberikan lebih dulu, tetapi dalam arti
bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah
ada memainkan peranan yang penting: pemberontakan atau
penyimpangan mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki
atau pun disimpangi”. Senada dengan Nyoman Kutha Ratna, Suwardi
Endraswara juga menyatakan bahwa secara garis besar penelitian
intertekstualitas memiliki dua fokus: pertama, meminta perhatian tentang
pentingnya teks yang terdahulu (prior text). Tuntutan adanya otonomi teks
sebenarnya dapat menyesatkan gagasan sebuah karya memiliki arti
karena dalam hal-hal tertentu telah dituliskan lebih dahulu oleh pengarang
lain. Kedua, intertekstualitas akan membimbing peneliti untuk
mempertimbangkan teks terdahulu sebagai penyumbang kode yang
memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikansi. Dari dua fokus ini,
52
tampak bahwa karya sastra sebelumnya berperan dalam sebuah
penciptaan. Lebih lanjut Suwardi (dalam Wulandari, 2011:72)
mengungkapkan bahwa pada dasarnya, baik studi interteks maupun
sastra bandingan akan mencari dua hal, yaitu: (1) affinity (pertalian,
kesamaan) dan atau paralelisme serta varian teks satu dengan yang lain;
(2) pengaruh karya sastra satu kepada karya lain atau pengaruh sastra
pada bidang lain dan sebaliknya.
Karya sastra yang baru dipandang sebagai tulisan sisipan atau
cangkokan pada kerangka karya sastra pendahulunya. Karya sastra yang
dijadikan kerangka bagi penulisan karya yang berikutnya disebut
hipogram. Istilah tersebut sering diterjemahkan menjadi latar, yaitu dasar
bagi penciptaan karya lain walaupun mungkin tidak secara eksplisit. Karya
pendahulu yang melatari atau menjadi hipogram karya berikutnya inilah
yang menjadi fokus penelitian intertekstualitas. Melalui penjajaran karya
sastra yang satu dengan karya sastra yang lain yang menghipogrami,
maka karya sastra yang bersangkutan dapat dipahami secara penuh.
Kristeva (dalam Endraswara,2003:131) mengatakan bahwa
munculnya intertekstualitas sebenarnya dipengaruhi oleh hakikat teks
yang di dalamnya terdapat teks lain . Hal ini mengisyaratkan bahwa unsur
teks yang masuk ke teks lain itu dapat saja hanya setitik saja. Karya itu
diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dan karya-
karya yang lain. Kristeva (dalam Nurgiyantoro, 2005:52–53)
mengungkapkan bahwa tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-
53
kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks
lain. Hal itu berarti bahwa tiap teks yang lebih kemudian mengambil unsur-
unsur tertentu yang dipandang baik dari teks (-teks) sebelumnya, yang
kemudian diolah dalam karya sendiri berdasarkan tanggapan pengarang
yang bersangkutan. Dengan demikian, walau sebuah karya sastra berupa
dan mengandung unsur ambilan dari berbagai teks lain, karena telah
diolah dengan pandangan dan daya kreativitas sendiri, dengan konsep
estetika dan pikiran-pikirannya, karya yang dihasilkan tetap mengandung
dan mencerminkan sifat kepribadian penulisnya”.
Senada dengan Kristeva, Ratna (2010: 172 – 173) juga
mengatakan bahwa interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara
satu teks dengan teks yang lain . Teks itu sendiri secara etimologis berarti
tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna
terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan
transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-
hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Teks-teks yang
dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre,
interteks memberikan kemungkinan yang seluasluasnya bagi peneliti
untuk menemukan hipogram. Pradopo (dalam Sangidu, 1995: 151) juga
mendefinisikan bahwa intertekstual merupakan ringkasan pengetahuan
yang memungkinkan teks mempunyai arti. Menurutnya, arti suatu teks
tergantung pula teks-teks lain yang diserap dan yang ditransformasi. Oleh
karena itu, hubungan intertekstual atau hubungan antarteks karya sastra
54
dipandang penting untuk memperjelas maknanya sebagai karya sastra
sehingga memudahkan pemahamannya, baik pemahaman makna teks
maupun makna dan posisi kesejarahannya. Hubungan antarteks tersebut
dapat berupa hubungan karya-karya sastra sejaman, hubungan karya-
karya sastra yang mendahului, dan hubungan karya-karya sastra yang
kemudian. Dengan perkataan lain, hubungan antarteks tersebut dapat
berupa hubungan karya-karya sastra masa lampau, hubungan karya-
karya sastra masa kini, dan hubungan karya-karya sastra masa depan.
Hubungan kesejarahan ini dapat berupa penerusan tradisi atau
konvensi sastra sehingga karya sastra tidak begitu saja lahir, melainkan
sebelumnya sudah ada karya sastra lain yang tercipta berdasarkan
konvensi dan tradisi sastra suatu masyarakat yang bersangkutan. Kristeva
(dalam Wulandari, 2011: 87–88) menjelaskan ciri-ciri intertekstualitas
sebagai berikut: (1) kehadiran fisikal suatu teks dalam teks lainnya; (2)
pengertian teks bukan hanya terbatas pada cerita tetapi juga mungkin
berupa teks bahasa; (3) adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan
perseimbangan dan pemisahan antara suatu teks dengan teks yang telah
terbit lebih dulu; dan (4) dalam membaca buku teks, pembaca tidak hanya
membaca teks itu saja tapi harus membacanya secara berdampingan
dengan teks-teks yang lainnya, sehingga interpretasi pembaca terhadap
bacaannya tidak dapat dilepaskan dari teks-teks lain.
Studi intertekstualitas menurut Frow (dalam Endraswara, 2003:131)
didasarkan beberapa asumsi kritis: (1) Konsep intertekstualitas menuntut
55
peneliti untuk memahami teks tak hanya sebagai isi, melainkan juga aspek
perbedaan dan sejarah teks, (2) teks tak hanya struktur yang ada, tetapi
satu sama lain juga saling memburu, sehingga terjadi perulangan atau
transformasi teks, (3) ketidakhadiran struktur teks dalam rentang teks
yang lain namun hadir juga pada teks tertentu merupakan proses waktu
yang menentukan, (4) bentuk kehadiran struktur teks merupakan
rentangan dari yang eksplisit sampai yang implisit. Teks boleh saja
diciptakan ke bentuk lain: di luar norma ideolog dan budaya, di luar genre,
di luar gaya dan idiom, dan di luar hubungan teks-teks lain, (5) hubungan
teks satu dengan yang lain boleh dalam rentang waktu lama, hubungan
tersebut bisa secara abstrak, hubungan interteks juga sering terjadi
penghilanganpenghilangan bagian tertentu, (6) pengaruh mediasi dalam
interteks sering memengaruhi juga pada penghilangan gaya maupun
norma-norma sastra, (7) dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan
proses interpretasi, (8) analisis intertekstualitas berbeda dengan
melakukan kritik melainkan lebih terfokus pada konsep pengaruh.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa intertekstualitas
merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sejumlah teks,
dengan cara membandingkan dan menemukan hubungan-hubungan
bermakna antara teks yang ditulis lebih dulu (hipogram) dengan teks
sesudahnya (teks transformasi).
56
C. Kerangka Pikir
Penelitian ini mengkaji aspek moralitas yang terdapat dalam novel
Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah. Nilai moralitas yang
akan dikaji yaitu (1) nilai moral terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) nilai
moral terhadap diri sendiri, (3) nilai moral terhadap sesama manusia atau
lingkungan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi
sastra. Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari
orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada
pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya
sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra
itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang
cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan
yang diacu oleh karya sastra. Selanjutnya, kedua novel tersebut dianalisis
untuk mengetahu adanya keterkaitan teks melalui kajian intertekstualitas.
Berdasarkan uraian kerangka pikir di atas dapat digambarkan
dalam bagan berikut ini:
57
Gambar 2 : Bagan Kerangka Pikir
Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya
Wiwid Prasetyo
Nilai Moral dalam Novel Laskar Pelangi Karya
Andrea Hirata dan Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid
Prasetyo
Temuan
Keterkaitan Antar Teks Novel Laskar Pelangi Karya
Andrea Hirata dan Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid
Prasetyo
Pendekatan Intertekstualitas
1. Nilai Moral Tuhan 2. Nilai Moral Diri Sendiri 3. Nilai Moral Sesama dan
Lingkungan
58
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif deskriptif dengan menganalisis novel Laskar Pelangi
Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid
Prasetyo dengan menelaah nilai-nilai moral dan keterjalinan teks antar
kedua novel yang terdapat di dalamnya dengan menggunakan analisis
pendekatan sosiologi sastra dan pendekatan intertekstualitas.
B. Data dan Sumber Data
1. Data
Data penelitian ini adalah nilai moralitas dan keterkaitan antar teks
yang terdapat dalam teks naratif novel Laskar Pelangi Karya Andrea
Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo.
Sejumlah data tersebut diyakini dapat menggambarkan sejumlah
masalah yang dikaji dalam penelitian ini.
2. Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah:
a. Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin
Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo
59
b. Biografi pengarang
c. Artikel-artikel yang terkait dengan novel Sang Pencerah karya
Akmal Nasery Basral
C. Teknik Pengumpulan Data
Fokus pengamatan penelitian ini adalah nilai moralitas dan
keterjalinan teks yang terdapat dalam teks naratif novel Laskar Pelangi
Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid
Prasetyo. Sesuai dengan karesteristik data penelitian yang melekat pada
dokumen yang berbentuk novel, maka langkah-langkah dalam
mengumpulkan data dilakukan dengan beberapa teknik, seperti membaca,
mencatat, dan mengistimasi.
Langkah pertama dilakukan dengan membaca secara saksama dan
berulang terhadap novel tersebut. Melalui langkah ini peneliti melakukan
pengodean secara parsial terhadap data yang diyakini sebagai data yang
dapat mewakili kebutuhan secara representatif.
Kegiatan awal di atas, disusul dengan kegiatan pencatatan
terhadap semua data ke dalam kartu data (korpus) untuk menghindari
hadirnya data yang tidak terkendali, maka peneliti mengadakan eliminasi
terhadap data yang tidak sesuai dengan pokok persoalan yang dikaji.
Eliminasi data dilakukan dengan mengiliminasi sejumlah data berdasarkan
keyakinan peneliti sebagai instrument kunci dalam penelitian ini.
60
D. Teknik Analisis Data
Teknik analilisis data yang digunakan untuk menganalisis novel
Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah
karya Wiwid Prasetyo menggunakan metode dialektik Goldmann.
Goldmann mengembangkan sebuah metode yang disebutnya sebagai
metode dialektik dengan dua pasang konsep. Keseluruhan-bagian dan
pemahaman-penjelasan (Faruk, 2012:129).
Metode dilektik Goldmann bekerja secara timbal balik dari bagian
keseluruhan dari teks sastra ke masyarakat, ke pandangan dunia
pengarang dan sebaliknya. Ia dapat dimulai dari mana saja dan
berlansung terus menerus sampai ditemukan koherensi total antara
struktur karya sastra dengan material historis subjek yang melahirkan
karya sastra (Sangidu, 2004:29).
Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis data
adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang
Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo dengan menggunakan
analisis sosiologi sastra. Analisis dilakukan dengan membaca dan
memahami kembali data yang sudah diperoleh. Selanjutnya,
mengelompokkan teks-teks yang berkaitan dengan topik kajian.
61
2. Menganalisis latar belakang sejarah atau peristiwa sosial yang menjadi
latar belakang lahirnya novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan
Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo.
3. Menganalisis latar belakang sosial budaya karya sastra terkait dengan
proses penciptaan karya sastra oleh pengarang (Andrea Hirata dan
Wiwid Prasetyo) dilakukan dengan membaca dan memahami kembali
data yang diperoleh, selanjutnya mengelompokkan teks-teks yang
mengandung fakta-fakta moral dan keterjalinan teks.
Teknik analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi
secara bersama-sama yaitu, reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan. Verifikasi teknik analisisnya menggunakan model analisis
interaktif dan berupa kegiatan yang bergerak terus pada ketiga alur
kegiatan proses penelitian. Kegiatan analisis interaktif dapat digambarkan
sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Reduksi Data Penyajian
Data Penarikan Kesimpulan
Gambar 3 : Skema Komponen Analisis Data Model Interaktif
62
Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa pada
saat pengumpulan data, peneliti selalu membuat reduksi data dan
sajian data. Data yang berupa catatan yang terdiri dari bagian
deskripsi dan refleksinya adalah data yang telah digali dan dicatat.
Berpijak pada dua bagian data tersebut, peneliti menyususn
rumusan pengertiannya secara singkat berupa pokok-pokok temuan
yang penting, yang disebut reduksi data. Kemudian dilakukan
penyusunan sajian data berupa cerita sistematis dan logis dengan
suntingan peneliti supaya makna peristiwanya menjadi lebih jelas
dipahami. Berdasarkan sajian data dilakukan penarikan kesimpulan
sementara dilakukan verifikasi.
Apabila simpulan dirasa kurang karena rumusan data dalam
sajian data, maka peneliti kembali melakukan pengumpulan data
untuk mencari pendukung simpulan yang telah dikembangkan
sebagai usaha pendalaman data. Begitu berulang-ulang samapai
mendapatkan simpulan yang memuaskan.
E. Pengecekan Keabsahan Temuan
Keabsahan data dapat dijamin dengan teknik triangulasi. Menurut
Patton (dalam Sutopo, 2002: 78), ada empat macam teknik triangulasi,
yaitu triangulasi data, triangulasi peneliti, triangulasi metodologis, dan
triangulasi teoritis. Dalam penelitian ini digunakan jenis model triangulasi,
yakni trianggulasi data. Penggunaan model tringulasi ini karena relevan
63
dengan objek penelitian telaah pustaka berupa novel. Data yang
diperoleh selanjutnya akan diajukan kepada triangulator untuk diperiksa
dan mencocokkan data yang sesuai dengan objek kajian. Triangulator
yang dipilih dalam penelitian ini ada dua yaitu Dr. Sitti Aida Azis, M.Pd.
yang merupakan Dosen S-1 dan S-2 Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia di Universitas Muhammadiyah Makassar dan Tahir, S,Pd. yang
merupakan Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA sekaligus sebagai
penulis sastra.
64
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
I. Laskar Pelangi
A. Nilai Moral
Menurut Ratna (2010:60) bahwa dasar filosofis pendekatan
sosiologi adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan
masyarakat. Hubungan yang dimaksud disebabkan oleh karya sastra
dihasilkan oleh pengarang, pengarang itu sendiri adalah anggota
masyarakat, pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam
masyarakat dan hasil karya sastra itu dimanfatkan kembali oleh
masyarakat. Pendekatan sosiologi merupakan pendekatan yang
menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman
mulai dari masyarakat ke individu.
Lebih luas, Kemendiknas mengelompokkan nilai-nilai moral dalam
pembentukan karakter, yaitu (1) nilai moral terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, (2) nilai moral terhadap diri sendiri, (3) nilai moral terhadap sesama
manusia, dan (4) nilai moral terhadap lingkungan, serta (5) nilai moral
terhadap Bangsa (Kemendiknas, 2010:16).
65
Adapun nilai moral tersebut tergambar dalam novel Laskar Pelangi
karya Andrea Hirata. Nilai moral berkaitan dengan tingkah laku atau
karakter seseorang sekali pun perilaku tersebut dibentuk oleh lingkungan
sekitar. Nilai moral yang akan dibahas dalam analisis ini akan dikaitkan
dengan latar belakang asal tempat yang terjadi dalam novel berupa
sejarah, budaya dan tradisi atau fenomena sosial yang terjadi pada saat
itu, dengan adanya hal tersebut akan membentuk beberapa nilai moral
yang dimiliki para tokoh dalam novel. Berikut ini pembahasan mengenai
nilai moral berdasarkan aspeknya masing-masing:
1. Nilai Moral Terhadap Tuhan
a. Keimana kepada Tuhan YME
Sebagaimana telah diceritakan di atas, selain mendapat
pelajaran sekolah anggota LP juga dididik untuk memiliki akhlak
mulia, memiliki tatakrama dan sopan santun yang tinggi, serta
diajari tentang keimanan. Hal ini terlihat ketika ada seorang murid
bernama Mahar telah melenceng akal sehatnya dengan
mempercayai paranormal dan perdukunan. Namun, dengan penuh
kesabaran dan mencoba bersikap tegas Bu Mus menasihati Mahar,
teman-temannya juga ikut mengingatkan. Berikut kutipannya :
“…. Klenik, ilmu gaib, takhayul, paranormal, semuanya dekat dengan pemberhalaan. Syirik adalah larangan tertinggi dalam Islam” (h. 350) “…. Camkan ini anak muda, tidak ada hikmah apapun dari kemusyikan yang akan kau dapat dari praktik klenik itu adalah kesesatan yang semakin lama, semakin dalam, karena syirik itu berlapis-lapis” (h.351)
66
“…. Jangan kau campuradukan imajinasi dan dusta, kawan. Tak taukah engkau, kebohongan adalah pantangan kita…..” (h. 186)
b. Akhlak Mulia
Novel memang memberikan bacaan yang menarik, dalam
novel LP etika guru dan murid sehari-hari digambarkan sangat
indah, mereka sangat menjaga etika sesuai dengan ajaran agama,
dan hal ini menjadi contoh bagi para pembaca.
“…. Ibunda guru tak mungkin tertawa lepas, karena agama melarangnya” (h. 107) “…. Azan magrib menggema dipantulkan tiang-tiang rumah panggung orang Melayu. Kami diajari untuk tak bicara jika azan berkumandang” (h. 162) “…. Melawan guru sama hukumannya dengan melawan orang tua, durhaka” (h. 351)
c. Disiplin Beribadah
Sikap disiplin memang sangat penting dalam segala
aspek kehidupan. Anggota LP diajarkan untuk memiliki rasa
disiplin yang tinggi, terutama dalam menjalankan ibadah, hal ini
selalu disampaikan oleh Bu Muslimah tanpa bosan. Berikut
kutipannya:
“…. Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu menasihati kami.
2. Nilai Moral terhadap Diri Sendiri
67
a. Integritas dan Keikhlasan
Dua sosok guru tersebut di mata muridnya anggota LP
sangat dicintai. Keikhlasan mereka dalam mengajar dan mendidik
anggota LP yang memiliki karakter berbeda membuat guru-guru
tersebut menjadi panutan dan teladan bagi muridnya LP. Kedua
guru tersebut ikhlas memberikan seluruh ilmu yang mereka punya
dengan segala keterbatasan tanpa digaji. Hal ini terlihat dari kutipan
:
“…. Pa Harfan memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, ketekunan, keinginan kuat mencapai cita-cita. Beliau bisa meyakinkan kami bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama.” (h. 24) “…. Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik karena kesadaran pribadi.” (h. 30)
Bukan hanya kedua guru itu yang memiliki integritas yang
tinggi, melainkan hal ini juga tertular pada murid-muridnya. Mereka
sangat menjaga martabat sekolah mereka walaupun miskin. Ini
terlihat ketika Mahar dan teman-teman bandnya diminta untuk
mengisi acara partai politik yang diupah dengan jam tangan plastik.
Berikut kutipannya :
“…. Kita tidak akan pernah menjadi bagian dari segerombolan penipu! Sekolah kita adalah sekolah Islam, bermartabat. Kita tidak akan menjual kehormatan kita demi sebuah jam tangan plastik murahan.” (h. 152)
Kutipan-kutipan di atas menunjukan konsistensi dan
keteguhan baik yang dilakukan guru maupun murid.
68
b. Tanggung Jawab dan Kepemimpinan
Rasa tanggung jawab dan kepemimpinan ini diperlihatkan
Bu Mus dengn mendididk murid-muridnya dengan sepenuh jiwa
dan raga. Bu Mus juga mengajarkan anak didiknya agar memiliki
rasa tanggung jawab yang besar dalam hidup.
“…. Barang siapa yang kami tunjuk sebagai amir dan telah kami tetapkan gajinya, maka apapun yang ia terima selain gajinya itu adalah penipuan. Dan Al Qur’an mengingatkan bahwa kepemimpinan seseorang akan dipertanggungjawabkan nanti di akhirat” (h. 71)
Namun, disela-sela pembicaraannya Bu Mus juga
menyampaikan kepada para siswanya agar jangan takut menerima
amanah itu dan harus selalu istiqamah. Berikut kutipannya :
“…. Memegang amanah sebagai pemimpin memang berat, tapi jangan khawatir banyak orang yang akan mendoakan . Tidakkah Ananda sering mendengar di berbagai upacara petugas sering mengucap doa : ‘Ya Allah lindungilah para pemimpin kami? Jarang sekali kita mendengar doa :‘ Ya Allah lindungilah anak buah kami….” (h. 73)
c. Perjuangan dan Kegigihan Dalam Menuntut Ilmu
Sebenarnya seluruh anggota LP memiliki pengalaman
sendiri-sendiri dalam meraih cita-citanya. Namun, dalam novel LP
tokoh Lintang menjadi sorotan tersendiri demi memuaskan dahaga
ilmunya. Hal ini menjadi bagian penting bagi pembaca, dan
mempunyai pelajaran yang amat berarti. Berikut kutipannya :
“…. Aku tak bisa melintas. Seekor buaya sebesar pohon kelapa tak mau beranjak, menghalang ditengah jalan. Tapi lebih dari setengah perjalanan sudah, aku tak mau
69
pulang gara-gara buaya bodoh ini, tak ada kata bolos dalam kamusku..” (h. 87 88) “…. Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan, namun tak sehari pun ia pernah bolos.” (h. 93)
Hal seperti itu juga ditunjukan oleh Ikal - setelah 12 tahun
kemudian - yang harus belajar keras demi mendapatkan beasiswa
Uni Eropa.
“…. ketika ada pengumuman beasiswa dari negara asing aku banyak membaca, aku membaca sambil makan, sambil minum, menyortir surat, tiduran, mendengarkan golek, di angkot, di dalam jamban, mencuci, sambil dimarahi pelanggan, sambil menimba air, dan membuat resume bacaan dalam kertas kecil. Itulah yang diajarkan Lintang padaku…” (h. 458)
Yang paling mengesankan adalah ketika nilai rapor Mahar
dan Flo anjlok, mereka yang sama-sama percaya pada hal-hal
yang berbau mistik meminta bantuan kepada dukun senior yang
terkenal sakti bernama Tuk Bayan Tula agar nilai mereka bisa
bagus lagi dan lulus pada ujian akhir tanpa harus belajar dan
membaca buku. Namun, jawaban dari dukun tersebut amat
mengejutkan, berikut kutipannya :
“Inilah pesan Tuk Bayan Tula untuk kalian berdua :’ kalau ingin lulus, buka buku belajar !!!!” (h. 424)
Ini menarik, karena pesan tersebut datang dari seorang
dukun atau paranormal yang terkenal kehebatannya. Hal ini juga
menunjukan kepada kita bahwa dalam mencapai apapun harus ada
usaha terlebih dahulu.
70
3. Nilai Moral Terhadap sesama manusia dan lingkungan
a. Persahabatan
Tidak diragukan lagi jika berbicara tentang persahabatan.
Persahabatan kesepeluh anggota LP ini ditengah keterbatasan
mereka yang memiliki nasib yang sama, karakter yang berbeda-
beda, namun kekuatan persahabatan mereka yang dilandasi
kesabaran menjadi harga paling penting bagi perjalanan hidup
mereka.
“…. Aku benar-benar bertekad mendapat beasiswa karena itu adalah tiket untuk meninggalkan hidupku yang terpuruk. Bahkan lebih dari itu aku merasa berhutang pada Lintang, A Ling, Pa Harfan, Bu Mus, Laskar Pelangi dan sekolah Muhammadiyah” (h.460) “…. Harun dengan semangat bercerita tentang kucingnya yang berbelang tiga, baru melahirkan tiga ekor yang semua berbelang tiga dan lahir pada tanggal tiga. Setiap hari, berulang kali, puluhan kali, sepanjang tahun dari SD sampai SMP. Namun, Sahara dengan setia mendengar” (h. 77)
b. Tolong Menolong
Meskipun kehidupan anggota LP keadaannya sangat
terbatas, namun mereka tidak rendah diri, karena mereka
mempunyai guru yang sungguh-sungguh membimbing mereka ke
arah yang benar. Berikut kutipannya :
“…. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh di dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyakbanyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.” (h. 24)
71
II. Nilai Moral dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya
Wiwid Prasetyo
A. Nilai Moral
Nilai moral berkaitan dengan tingkah laku atau karakter seseorang
sekalipun perilaku tersebut dibentuk oleh lingkungan sekitar.Berkaitan
dengan tujuan dari pendekatan pragmatik yang berfungsi terhadap
keberadaan masyarakat maka hadirlah nilai pendidikan sehingga dapat
dijadikan teladan untuk masyarakat. Adapun nilai moral tersebut
tergambar dalam Novel OMDS karya Wiwid Prasetyo.
1. Nilai Moral terhadap Tuhan
Nilai moral terhadap Tuhan yang tercermin dalam novel ini
yaitu percaya terhadap kekuatan luar biasa selain diri sendiri. Cerita
dalam novel OMD Sini mengambil latar tempat di Semarang, Jawa
Tengah. Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga
sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya,
meskipun terkadang tradisi dan budaya ini bertentangan dengan
ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Memang ada beberapa tradisi dan
budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa
harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga yang
masih bertentangan. Masyarakat Jawa yang tidak memegang
ajaran Islam dengan kuat akan lebih menjaga warisan leluhur
mereka dengan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari,
72
meskipun bertentangan dengan ajaran yang seharusnya mereka
anut.
Seperti kutipan berikut:
“…. Sal, nanti malam Pak Cokro akan datang untuk mengobatimu” Kata-kata ayah seperti pertanda agar aku segera keluar dari tempat ini, apa pun risikonya” (h. 173)
“…. Sejak dulu, sampai usiaku sekarang 10 tahun, ia sudah tersohor sebagai tabib pengobatan. Ia seringkali mengobati pasien dengan air yang disemburkan dari mulutnya. Sebelumnya, ia berkumur-kumur dengan air kembang setaman, dirapalkan mantra, barulah molekul-molekul air berubah” (h. 173)
Dari kutipan tersebut dapat kita lihat bahwa memang
masyarakat Semarang dalam novel masih mempercayai dukun
sebagai orang pertama yang dapat menolong mereka. Hal tersebut
menjadi sebuah tradisi. Dukun yang dipercayai masyarakat pun
selalu mengaitkan dengan hal-hal gaib seperti mempercayai
adanya kekuatan yang datang dari makhluk halus.
“…. Pak Cokro mengatakan semua ini atas bisikan gaib dari penunggu Kampung Genteng, genderuwo yang menghuni di pohon munggur di dekat lapangan yang di sebelahnya ada kamar mandi terbuka dan biasa digunakan untuk mandi para tukang becak” (h.173)
Pak Cokro yang dikenal sebagai seorang dukun tersebut
mendapatkan ilmunya bukan dari proses belajar seperti umumnya
dilakukan semua orang, melainkan melalui proses bertapa atau
semedi di hari tertentu.
“…. Tetapi, bukan itu yang membuatnya hebat, konon Pak Cokro mewarisi ilmunya setelah bertapa di Gunung Srandil dan Kemukus. Hanya dengan bertapa, tanpa
73
perlu susah payah belajar seperti anak sekolah, konon ia sudah mendapat ilmu yang selama ini dicarinya” (h. 173)
Selain dengan semedi, mereka pun mempercayai bahwa
ritual yang digunakan masyarakat selalu diperkuat dengan
menyuguhkan berbagai macam sesajen yang diserahkan kepada
makhluk gaib. Seperti pada kutipan berikut:
“…. Setelah semedinya di malam satu Suro, lelaki yang pernah nikah sekali dengan penjual jamu gendong, kemudian bercerai ini mendapat wangsit untuk membebaskan Kampung Genteng dari bau Gedong Sapi, sebab genderuwo yang beranak-pinak di pohon munggur itu konon juga terganggu baunya, mereka yang biasanya makan kemenyan yang berbau wangi, kini malah makan bau busuk” (h. 173)
Kutipan-kutipan tersebut semakin memperkuat keterkaitan
antara kenyataan sebenarnya masyarakat Jawa dengan cerita yang
ada dalam novel yaitu mengenai adanya tradisi mistik pada
masyarakat Jawa. Maka dari itu Pak Cokro menjadi satu-satunya
warga Kampung yang diagung-agungkan oleh penduduk sehingga
menjadikan ia seorang yang besar kepala.
“…. Namanya akan semakin membumbung, sepertinya kepalanya mendadak membesar. Ya, meskipun Pak Cokro sudah dibilang bisa membaca, namun itu tak mengubah sifatnya yang gandrung sanjungan, gila hormat, karena ia punya kemampuan baru yang jarang dimiliki oleh orang-orang tua di Kampung Genteng” (h.173)
Faktor utama yang menyebabkan tokoh Pak Cokro menjadi
seorang yang sombong dan besar kepala adalah karena ia menjadi
satu-satunya orang yang memiliki ilmu kebatinan sehingga ia
disegani oleh masyarakat dan menjadikannya haus akan
74
sanjungan. Cerminan nilai moral terhadap Tuhan seperti terlihat di
atas merupakan tradisi yang dipegang oleh masyarakat Islam
Kejawen. Mereka mengaku Islam dan percaya akan adanya Tuhan,
tetapi mereka lebih mempercayai hal gaib dan mistik disbanding
mempercayai Tuhan mereka sendiri, dengan kata lain bahwa
mereka lebih memegang teguh tradisi yang telah turun temurun
sehingga mereka mengabaikan kepercayaan terhadap Tuhan.
Masyarakat islam kejawen menyimpulkan bahwa mereka yang
tidak menyukai hal-hal klenik dianggap tidak setia pada tradisi
mereka yang telah lama turun temurun semenjak nenek moyang
mereka. Hal tersebut tergambar pula melalui salah satu kutipan
dalam cerita, perhatikan kutipan berikut:
“…. Siapa yang tak percaya dengan berita ini dianggap
aneh, maka orang-orang terpelajar dan terdidik yang tak menyukai
hal-hal klenik dianggap tak setia pada tradisi, dituduh kebarat-
baratan, dan anti pada adat istiadat nenek moyang. Banyak yang
tak tahan berada di Kampung Genteng ini kemudian pindah
kelingkungan yang lebih beradab, jauh dari klenik dan syirik” (h.
173)
Dari beberapa nilai moral yang telah dibahas, maka dapat
kita ketahui bahwa keterkaitan antara kehidupan masyarakat Jawa
pada aslinya dengan kehidupan yang terdapat dalam novel telah
melahirkan dan membentuk beberapa nilai moral. Novel karya
75
Wiwid Prasetyo ini secara tersirat menghadirkan beberapa etika
Jawa dalam cerita bersinggungan dengan latar cerita yaitu di
Semarang, Jawa Tengah dan terlebih pengarang merupakan
seseorang yang berasal dari Semarang, sehingga beliau tidak
melepaskan prinsip-prinsip Jawa dalam karyanya.
2. Nilai Moral terhadap Diri Sendiri
a. Menerima segala apa yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan
Nilai moral terkait dengan sikap menerima segala apa yang
sudah ditakdirkan Tuhan tergambar melalui tokoh dari ayah ketiga
anak alam yang memiliki sifat nrimo. Hal ini sesuai dengan karakter
asli orang Semarang, Jawa Tengah. Semarang adalah bagian dari
Jawa Tengah.
“... Anehnya, ditindas sedemikian rupa seperti sapi perah yang kerap mereka kerjai setiap hari, mereka sama sekali tak pernah memberontak, mereka bahkan sudah tak terpikir untuk mencari pekerjaan lain selain pekerjaannya sekarang (h.77)
Dari kutipan di atas, jelas terlihat bahwa karakter ayah ketiga
anak alam itu benar-benar pasrah dengan keadaan, tidak terbesit
dalam pikiran mereka untuk mencari pekerjaan yang lebih baik
walaupun mereka ditindas. Mereka menyadari akan kemampuan
mereka sehingga mereka tidak memaksakan kehendak untuk
meraih sesuatu yang tidak mungkin diraihnya. Ketika semua orang
berusaha mencari pekerjaan yang lebih layak untuk dirinya dan
76
keluarganya, mereka justru tak berniat sedikit pun untuk mengubah
hidup mereka.
Demikianlah profil mengenai orang Semarang dengan
karakter nrimo. Bersinggungan dengan sikap nrimo, maka
masyarakat Semarang lebih terlihat bahagia dan seolah tidak
memiliki beban sekalipun mereka mengalami perekonomian
yangsulit.. Perhatikanlah kutipan berikut:
“…. Sesampai di sana, aku melihat teman-teman tak membawa perbekalan lengkap seperti itu, mereka tak punya barang- barang bawaan seperti punyaku, mereka tak punya tas karena tidak sekolah, tak punya jaket karena tak punya uang untuk membeli jaket, bahkan ketika musim hujan tiba, mereka justru hujan-hujanan keliling Kampung Genteng dengan meneror orang-orang kampung dengan candaan mereka yang kelewat batas, berteriak-teriak seperti orang gila, berada di bawah kerpus rumah yang airnya terus mengalir ke bawah, mereka bayangkan diri mereka berada di bawah air terjun (h.31)
Dari kutipan di atas, dapat terlihat bagaimana ketiga anak
alam Itu begitu bahagia menjalani kehidupan dan sangat menikmati
masa kecilnya seolah mereka tidak memiliki beban khususnya
masalah ekonomi yang sangat jauh dari kata berkecukupan.
Namun, sangat berbeda dengan Faisal, ia berasal dari keluarga
yang berkecukupan dan anak rumahan yang justru tidak
menemukan masa kecilnya seperti ketiga temannya tersebut.
b. Pekerja keras atau giat bekerja
Walaupun masyarakat Jawa, khususnya warga Semarang
memiliki sifat nrimo terhadap keadaan, namun ternyata masyarakat
77
Jawa atau warga Semarang khususnya terkenal dengan sifatnya
yang pekerja keras.
“…. Sepagi itu, mereka telah melakoni hidup dengan susah payah, kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, tetapi mereka sama sekali tak mengeluh dengan nasib mereka yang selalu di bawah (h.31)
Sikap tersebut melahirkan prinsip nrima ing pandu yakni
menerima segala yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Namun
demikian, tidak berarti nrima ing pandum ini diisi dengan bermalas-
malasan, tanpa mau berusaha. Hal itu dibuktikan dengan ketekunan
dan kesungguhan mereka dalam bekerja. Sikap pekerja keras yang
dimiliki masyarakat Jawa telah melekat dan menjadi prinsip hidup
mereka. Walaupun sikap nrimo sering disalahartikan oleh
kebanyakan orang yang menganggap hanya bermalas-malasan,
namun masyarakat Jawa menyeimbangkan persepsi tersebut
dengan bekerja keras, karena sikap pekerja keras tersebut
merupakan salah satu prinsip dari masyarakat Jawa.
c. Jujur dan Mawas Diri (Urip Samadya)
Masyarakat Jawa dapat mengukur sejauh mana kemampuan
yang mereka miliki dan tidak memaksakan kehendak, istilah
tersebut dikenal dengan istilah urip samadya. Sikap urip samadya
menjauhkan seseorang dari perbuatan yang menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan yang diinginkannya. Hal tersebut
merupakan sebuah prinsip yang harus dipegang teguh oleh
masyarakat Jawa. Berdampingan dengan sikap jujur sebagai etika
78
yang harus dipegang teguh, hal tersebut tercermin dalam ungkapan
Jawa jujur bakal mujur yang berarti orang jujur akan beruntung.
Masyarakat Jawa memiliki keyakinan yang kuat bahwa siapa saja
yang bersikap jujur maka ia akan memperoleh keberuntungan.
Maka dari itu, banyak dari masyarakat Jawa yang menerapkan
prinsip tersebut karena mereka ingin mendapatkan keberuntungan
dalam hidup.
“…. Apa tidak ada toleransi sedikit pun…?”kata perempuan itu sambil membuka dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas lima puluh ribuan, disorongkan pelan-pelan ke arah Bu Mutia, tanpa diketahui oleh orang tua murid yang lain” (h. 31)
Prinsip tersebut jika tidak dilandasi sikap ikhlas maka akan
melahirkan sikap pamrih. Tokoh Bu Mutia dalam cerita mencoba
memegang teguh janjinya sebagai guru untuk tidak melakukan
praktik suap seperti terlihat dalam kutipan. Sikap jujur dan tidak
mencoba menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadi
tersebut sepantasnya dijadikan contoh untuk masyarakat saat ini.
Namun, pada kenyataannya masih banyak sekali saat ini yang
memakmurkan praktik tersebut.
d. Tanpa Pamrih (Sepi ing pamrih), Ikhlas (rame ing gawe)
Sikap dasar dari mayarakat Jawa menandai watak yang
luhur adalah kebebasan dari pamrih,sepi ing pamrih. Manusia telah
memiliki sikap sepi ing pamrih apabila mereka sebagai manusia
telah memegang teguh prinsip tepaselira, yakni sikap toleransi dan
79
peduli terhadap sesama. Manusia itu sepi ing pamrih apa bila ia
tidak lagi perlu gelisah terhadap dirinya sendiri, dengan arti lain
bahwa ia mampu mengontrol hawa nafsu terhadap sesuatu dan
ingin memilikinya dengan sikap pamrih tersebut.
“…. Empat orang panitia dari Dinas menyalamiku sambil tangannya menempelkan sepucuk amplop. Naluriku mengatakan isinya uang, dan aku mencoba menolaknya. Bagaimanapun juga pahala lebih berarti daripada sekadar uang. Aku tak mau niat tulusku dilumuri oleh pujian manusia yang berupa materi atau pun ucapan sanjungan” (h.31)
Sikap Sepi ing pamrih akan telah dilandasi rasa ikhlas,
sehingga sikap tersebut akan melahirkan jiwa sosial yang sangat
tinggi, baik terhadap orang lain mapun terhadap lingkungan
sekitar. Melalui tokoh Faisal tersebut, jelas terlihat ketika Faisal
berusaha menolak amplop tersebut yang sudah dipastikan isinya
adalah uang. Namun, Faisal sangat ikhlas membantu mengajar
tanpa mengharapkan apa pun. Prinsip masyarakat Jawa tersebut
tercermin melalui tokoh Faisal. Nilai Moral terhadap Sesama
Manusia
3. Nilai Moral terhadap Sesama atau Lingkungan
a. Sopan santun atau mundhuk-mundhuk
Adat istiadat atau kebiasaan yang menjadi latar novel ini
yaitu adat istiadat masyarakat Jawa (Semarang).
“…. Ketika aku berpapasan dengan murid-muridku yang rata- rata sudah beruban dan berjenggot, mereka kemudian memperlihatkan sikapnya yang mundhuk-mundhuk dengan badan mencoba dibungkukkan sedikit
80
sambil melewatiku. Ayah menasihatiku untuk jangan suka diperlakukan oleh murid-muridku dengan cara yang aneh seperti itu. Kata ayah, kita ini manusia dan punya kedudukan sama di mata Tuhan, hanya ketakwaan yang akan membedakannya” (h. 415)
Kutipan di atas memberkan pelajaran penting tentang
bagaimana seharusnya kaum muda menghormati yang tua. Kutipan
tersebut juga memberikan informasi mengenai adat istiadat orang
Jawa. Meskipun yang muda lebih berilmu, tetapi tetap harus
menghormati yang lebih tua. Seperti yang dinasihatkan ayah Faisal
kepada Faisal agar jangan suka diperlakukan mundhuk-mundhuk
oleh muridnya yang lebih tua, karena sikap mundhuk-mundhuk
layaknya hanya diterapkan dari yang muda kepada yang tua. Jika
dilihat dari sisi kebudayaan, maka setiap kelompok sosial tertentu
memiliki kebudayaan tertentu pula. Sikap mundhuk-mundhuk dalam
masyarakat Jawa sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan. Tidak
hanya sikap mundhuk-mundhuk ketika berjalan seperti dalam
cerita, tetapi sikap mundhuk- mundhuk diterapkan pula melalui tutur
bicara. Apabila seorang yang lebih muda berbicara dengan yang
lebih tua, maka yang lebih muda harus menggunakan bahasa Jawa
yang lebih halus.
b. Jiwa sosial terhadap sesama
Hal ini terkait dengan sikap rukun yang dimiliki masyarakat Jawa.
Dengan adanya sikap rukun dan peduli terhadap sesama, maka
81
akan menjaga ketentraman dan hubungan baik antarsesama.
Seperti tokoh Faisal seperti kutipan berikut:
“…. Aku memenuhi janjiku untuk jadi tentor bagi orang-orang tua yang tak pernah sekolah sehingga sulit membaca. Maka, sore ini aku sudah mengayuh sepeda ku ke kelurahan, kira-kira dua kilo meter dari tempat tinggalku” (h. 205)
Masyarakat Jawa memegang teguh bahwa rukun
merupakan sebuah kondisi untuk mempertahankan kondisi
masyarakat yang harmonis, tentram, aman, dan tanpa perselisihan.
Masyarakat Jawa berusaha sebisa mungkin menjaga kerukunan
dalam lingkungannya, setiap individu harus selalu berusaha
mementingkan sosial yang lebih luas dan bukan pribadinya sendiri.
Kerukunan dengan alam dan lingkungan masyarakat oleh
masyarakat Jawa dipandang mampu membawa ketenteraman,
kenyamanan, dan kedamaian hidup. Dengan demikian akan
mampu mewujudkan kesejahteraan bersama dalam dinamika
hidup sehari-hari.
C. Hubungan Intertekstual Novel LP dan OMDS
Pembicaraan hubungan intertekstual antara novel LP karya Andrea
Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo adalah mengenai kesamaan
tema di antara keduanya. Kedua novel sama-sama mengangkat masalah
pendidikan yaitu perjuangan orang miskin dalam meraih pendidikan guna
mewujudkan cita-cita mereka. Masalah perjuangan orang miskin dalam
82
meraih pendidikan lebih dahulu diangkat dalam LP (2008) oleh Andrea
Hirata. Masalah perjuangan orang miskin dalam meraih pendidikan
kemudian diangkat lagi oleh Wiwid Prasetyo dalam karyanya OMDS
(2010). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Wiwid Prasetyo
meneruskan tema yang ditawarkan oleh Andrea Hirata, yakni mengenai
pendidikan dan segala permasalahannya.
Novel LP merupakan sebuah novel memoar kehidupan masa kecil
Andrea Hirata. LP menceritakan kehidupan masyarakat Melayu Belitong
yang hidup di bawah garis kemiskinan. Perekonomian Belitong yang pada
saat itu dipegang mutlak oleh PN Timah yang tidak membagi kekayaan
sedikit pun untuk masyarakat Melayu Belitong kecuali menjadi buruh kasar
di perusahaan tersebut. Diceritakan kehidupan sekumpulan anak yang
dijuluki Laskar Pelangi dalam upaya mewujudkan cita-cita di tengah
himpitan masalah ekonomi. Dalam novel ini diceritakan berbagai macam
kesulitan yang harus dihadapi demi mendapat pendidikan. Hal ini diwakili
oleh tokoh Lintang. Ia merupakan seorang anak miskin yang harus bekerja
untuk bisa tetap sekolah. Ia harus menempuh jarak delapan puluh
kilometer pulang pergi untuk dapat menikmati sekolah.
Pada masa Andrea Hirata menulis LP, 4 tahun kemudian OMDS
terbit yakni di tahun 2009. Begitu halnya dengan LP, novel OMDS juga
merupakan sebuah novel memoar kehidupan masa kecil Wiwid Prasetyo.
Wiwid Prasetyo menulis novel ini karena ia terinspirasi setelah membaca
83
novel LP. Ia kemudian mengumpulkan remah-remah ingatan masa
kecilnya, dan menulis novel serupa, yakni Novel OMDS.
Apabila dalam LP digambarkan hegemoni PN Timah yang
menguasai perekonomian di Belitong, maka dalam novel OMDS hegemoni
perekonomian dipegang oleh seorang pemilik peternakan sapi terbesar di
Semarang. Apabila dalam LP terdapat sekumpulan anak yang dijuluki
Laskar Pelangi, maka dalam novel OMDS digambarkan kehidupan
sekumpulan anak yang dijuluki Anak Alam di sebuah Kampung di
Semarang. Ayah ketiganya bekerja sebagai buruh di peternakan sapi
tersebut. Mereka harus bekerja serabutan untuk bisa sekolah, karena
memang orang tua mereka tidak memungkinkan untuk membiayai
sekolahnya. Mereka matia-matian memperjuangkan sekolahnya demi
meraih cita-cita, untuk bisa keluar dari jerat kemiskinan ini.
Subtema pada kedua novel adalah percintaan. Di dalam novel LP
percintaan terjadi antara Ikal dan Aling. Ikal jatuh cinta pertama kali ketika
kegiatan membeli kapur tulis di toko Sinar Harapan. Di sana ia melihat
kuku-kuku cantik. Ia terpesona melihat keelokan kuku-kuku tersebut dan
ingin melihat wajah pemilik kuku-kuku cantik itu. Ketika melihat A Ling, Ikal
langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, dan ternyata selama ini A
Ling pun juga memperhatikannya.
Dalam novel OMDS percintaan terjadi antara Pambudi dan Kania.
Pambudi dan Kania adalah teman sekelas di SD Kartini. Pambudi jatuh
cinta kepada Kania karena jiwa pemberani Kania. Kania dengan berani
84
membela ketiga Anak Alam yang sedang diolok-olok teman sekelas. Dari
peristiwa ini Pambudi menaruh simpati terhadap Kania. Pambudi
mengutarakan cintanya kepada Kania, dan Kania pun tidak menolaknya.
Subtema yang lain adalah persahabatan. Di dalam novel LP
persahabatan yang terjalin yaitu antara kesepuluh anggota Laskar Pelangi
dan Flo. Diceritakan dalam novel ini sebuah jalinan persahabatan di
antara sepuluh orang anak yang dijuluki Laskar Pelangi, karena kebiasaan
mereka melihat pelangi secara bersama-sama. Kesepuluh anak tersebut
yaitu Ikal, Lintang, Mahar, Sahara, Harun, A Kiong, Kucai, Trapani,
Samson, dan Syahdan. Kesepuluh anak ini bersahabat sejak pertama
masuk SD. Sebuah persahabatan yang indah. Semua individu punya
karakteristik tertentu. Lintang Si jenius, Samson Si Pria perkasa, Trapani
Si pria flamboyan, Kucai yang oportunis dan bermulut besar, Sahara yang
temperamental, Harun Si Pria santun dan murah senyum, Mahar sang
seniman, A Kiong yang sangat naif, Syahdan yang tak punya sense of
fashion, serta Ikal yang memang berambut Ikal.
Dalam novel OMDS persahabatan yang terjalin yakni antara ketiga
Anak Alam (Pambudi, Yudi, dan Pepeng) dan Faisal. Meskipun
mempunyai status sosial ekonomi yang berbeda, mereka tetap bersahabat
dengan baik. Faisal yang rendah hati, mempunyai kepedulian yang tinggi,
suka menolong, dan bertekad kuat. Pambudi si gigi kelinci dan berambut
jagung yang mempunyai jiwa pemimpin, seorang pribadi yang dewasa,
polos, apa adanya, keras kepala dan bertekad kuat. Yudi yang berwajah
85
lucu bertahi lalat, berambut ikal dan mempunyai kecacatan tubuh, yakni
kulitnya albino, putih pucat seperti sapi, banyak bintik-bintik merah seperti
kulit babi. Pepeng yang berwajah aneh dan merupakan pribadi yang
polos. Mereka rela berkorban satu sama lain dan setia kawan. Faisal yang
berasal dari keluarga mampu, selalu memikirkan nasib teman - temannya
dan mengusahakan pendidikan untuk teman - temannya tersebut.
Terkait dengan tokoh dan penggambarannya dalam novel LP
mempunyai kesamaan dengan tokoh serta cara penggambaran tokoh
dalam OMDS. Teknik karakterisasi kedua novel menggunakan teknik yang
sama yaitu menggunakan metode langsung dan metode tidak langsung.
Baik itu LP maupun OMDS karakter tokoh tidak selalu digambarkan
secara gamblang dan terperinci, tetapi dapat diketahui dari dialog
antartokoh dan deskripsi pengarang secara langsung.
Baik novel LP maupun OMDS sama-sama mengisahkan sebuah
persahabatan di antara tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh utama dalam LP
antara lain sepuluh anggota Laskar Pelangi (Ikal, Lintang, Mahar,
Syahdan, kucai, Borek, A Kiong, Sahara, Trapani, dan Harun) serta Flo;
sedangkan dalam OMDS persahabatan terjadi antara anak alam
(Pambudi, Yudi, dan Pepeng) serta Faisal dan Kania. Dari deskripsi itu
terlihat bahwa baik novel LP maupun OMDS samasama menceritakan
sebuah jalinan persahabatan. Tokoh utama yang menjadi bahan
perbandingan yaitu tokoh Ikal dan Faisal. Secara fisiologis, tokoh utama
dalam kedua novel memiliki jenis kelamin yang sama yakni laki-laki (Ikal
86
dan Faisal). Secara psikologis tercermin watak tokoh utama) yaitu
berkemauan keras. Keduanya memiliki kemauan yang keras dalam
bercita-cita dan mewujudkan cita-citanya itunya. Keduanya tidak mudah
menyerah dengan nasib. Keduanya senantiasa berusaha melakukan yang
terbaik demi mewujudkan mimpi-mimpinya.
Ditinjau dari aspek sosiologis, watak dari tokoh utama dalam kedua
novel tersebut yaitu sama-sama punya jiwa sosial dan kepedulian yang
tinggi terhadap sesama. Tokoh Ikal dalam novel LP digambarkan sangat
menaruh perhatian dan peduli dengan keadaan Lintang. Ia sangat prihatin
dengan kondisi Lintang, ia terpaksa putus sekolah karena perekonomian
keluarganya yang tidak memungkinkan. Ikal sangat menyayangkan hal ini,
karena Lintang adalah seorang yang superjenius yang harus memupus
mimpinya karena keadaan. Sedangkan dalam novel OMDS tokoh Faisal
sangat peduli dengan nasib ketiga anak alam (Pambudi, Yudi, dan
Pepeng). Ia memperjuangkan nasib ketiga anak alam agar bisa sekolah.
Karena sekolah adalah jembatan untuk bisa mewujudkan cita-cita.
Amanat yang diperoleh dari kedua novel ini mempunyai persamaan
yaitu untuk jangan takut bermimpi dan bercita-cita serta harus berusaha
keras untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu bagaimana pun terbatasnya
keadaan. Dari novel LP, pesan ini diperoleh dari tokoh Lintang. Ia berasal
dari keluarga nelayan miskin yang tinggal di pesisir Desa Tanjong
Kelumpang. Jarak antara rumah ke sekolahnya delapan puluh kilometer
pulang pergi yang ditempuhnya dengan bersepeda. Kemiskinan dan jarak
87
rumah dan sekolah yang sangat jauh tidak mengendurkan semangatnya
untuk menuntut ilmu. Di tengah kemiskinan yang melandanya, ia tetap
bersemangat dan bercita-cita menjadi matematikawan.
Sedangkan dari novel OMDS, pesan ini diperoleh dari ketiga Anak
Alam yakni Pambudi, Yudi, dan Pepeng. Ketiganya berasal dari keluarga
miskin. Bapaknya bekerja sebagai buruh di sebuah peternakan sapi.
Ketiganya tetap berkemauan bersekolah walaupun hal ini mengharuskan
mereka belajar sambil bekerja untuk membiayai sekolahnya. Keterbatasan
tidak menghambat langkah mereka dalam menggapai mimpi. Alur novel
LP dan OMDS mempunyai persamaan yaitu sama-sama menggunakan
alur maju atau progresif. Plot ini dimulai dari tahap eksposition, Inciting
moment, ricing action, complication, climax, dan denouement. Pengarang
menyusun peristiwa-peristiwa yang ada berdasarkan hubungan sebab-
akibat (kausalitas).
Pradopo (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 133) menyatakan
prinsip dasar intertekstualitas:
“Karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram. Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran berkarya. Hipogram tersebut bisa sangat halus dan juga sangat kentara. Dalam kaitan ini, sastrawan yang lahir berikut adalah reseptor dan transformator karya sebelumnya. Dengan demikian, mereka selalu menciptakan karya asli, karena dalam mencipta selalu diolah dengan pandangannya sendiri, dengan horison dan atau harapannya sendiri”.
Mengacu pendapat di atas, maka jelaslah sekarang bahwa LP
merupakan sebuah karya hipogram, yaitu karya yang melatarbelakangi
88
penciptaan karya selanjutnya. Sementara itu, OMDS disebut dengan
karya transformasi karena mentransformasikan teks-teks yang menjadi
hipogramnya.
B. Pembahasan
I. Laskar Pelangi
A. Nilai Moral
Kemendiknas mengelompokkan nilai-nilai moral dalam
pembentukan karakter, yaitu (1) nilai moral terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, (2) nilai moral terhadap diri sendiri, (3) nilai moral terhadap sesama
manusia, dan (4) nilai moral terhadap lingkungan, serta (5) nilai moral
terhadap bangsa (Kemendiknas, 2010:16).
Adapun nilai moral tersebut tergambar dalam novel Laskar Pelangi
karya Andrea Hirata. Nilai moral berkaitan dengan tingkah laku atau
karakter seseorang sekalipun perilaku tersebut dibentuk oleh lingkungan
sekitar. Nilai moral yang dibahas dalam analisis ini akan dikaitkan dengan
latar belakang asal tempat yang terjadi dalam novel berupa sejarah,
budaya dan tradisi atau fenomena sosial yang terjadi pada saat itu, dengan
adanya hal tersebut akan membentuk beberapa nilai moral yang dimiliki
para tokoh dalam novel. Berikut ini pembahasan mengenai nilai moral
berdasarkan aspeknya masing-masing:
1. Nilai moral terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Nilai moral dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha
Esa berkaitan dengan pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang
89
yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan
dan/atau ajaran agamanya. Dalam penelitian ini, nilai moral dalam
hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa secara khusus
dideskripsikan sebagai moral/akhlak kepada Allah. Akhlak kepada
Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang
seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada
Tuhan sebagai Khalik karena manusia diciptakan atas kehendak-
Nya.
a. Bertakwa
Takwa berarti melaksanakan segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangannya. Dengan kata lain, takwa dapat
memelihara diri agar selalu berada pada garis dan jalan-Nya
yang lurus.
Dalam Novel LP Hal ini terlihat ketika ada seorang murid
bernama Mahar telah melenceng akal sehatnya dengan
mempercayai paranormal dan perdukunan. Namun, dengan
penuh kesabaran dan mencoba bersikap tegas Bu Mus
menasihati Mahar, teman-temannya juga ikut mengingatkan.
b. Akhlak mulia
Berakhlak mulia di novel LP, sangat dijunjung tinggi
terlihat pada saat anak-anak LP selalu diberikan wejangan-
wejangan olek Bu Mus bahwa melawan guru sama halbya
durhaka pada orang tua.
90
c. Disiplin Beribadah
Disiplin sangat penting dalam segala aspek kehidupan,
terutama dalam beribadah. Bu Mus sebagai guru dari anak-
anak LP selalu menyampaikan tanpa rasa bosan bahwa
disiplin beribadah merupakan kunci dari sebuah
keberhasilan dan bisa mendapatkan pahala yang banyak.
2. Nilai Moral terhadap Diri Sendiri
Keberadaan manusia di alam ini berbeda bila dibandingkan
dengan makhluk lain, totalitas dan integritasnya selalu ingin
merasakan selamat dan mendapat kebahagiaan yang lebih besar.
Setiap manusia memiliki kewajiban moral terhadap dirinya sendiri
agar ia selamat, bahagia, masa kini dan mendatang. Jika kewajiban
tersebut tidak dipenuhi, maka akan mendapat kerugian dan
kesuitan (Gunawan, 2012:10). Didalam Novel LP banyak ditemukan
nilai moral terhadap diri sendiri, antara lain :
a. Integritas dan keiklasan
Dalam melakukan sesuatu, harus disertai dengan rasa
keiklasan dan integritas, begitu pula dalam Novel LP, Hal ini
ditunjukan dari Pak Harfan dan Bu Muslimah. Mereka berdua
merupakan sosok guru yang memiliki integritas dan dedikasi
yang tinggi. Mereka bukan hanya mengajarkan murid-muridnya
untuk pintar dalam pelajaran sekolah, melainkan juga mendidik
mereka dengan akhlak dan budi pekerti yang baik, yang akan
91
mereka amalkan di kemudian hari. Dua sosok guru tersebut di
mata muridnya anggota LP sangat dicintai. Keikhlasan mereka
dalam mengajar dan mendidik anggota LP yang memiliki
karakter berbeda membuat guru-guru tersebut menjadi panutan
dan teladan bagi muridnya LP. Kedua guru tersebut ikhlas
memberikan seluruh ilmu yang mereka punya dengan segala
keterbatasan tanpa digaji
b. Tanggung Jawab dan Kepemimpinan
Bertanggung jawab merupakan sikap dan perilaku
seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya
sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, social, dan budaya),
negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Hal ini diperlihatkan ketika mengadakan pemilihan ketua
kelas. Saat itu, Kucai ingin mundur dari jabatan sebagai ketua
kelas, namun nasihat Bu Mus mengurungkan niatnya dan
Kucai pun menjadi lebih bertanggung jawab pada kelas
dipimpinnya.
Nasihat yang disampaikan Bu Mus ini merupakan pesan
moral yang amat penting bagi pembaca, terutama dalam
penerapan dalam menuntut ilmu dan pendidikan.
c. Perjuangan dan Kegigihan dalam Menuntut Ilmu
92
Lintang adalah siswa sekaligus anggota LP yang
memiliki kecerdasan yang luar biasa, tidak sombong dan rendah
hati. Lintang adalah anak miskin, namun dalam keterbatasannya
ia memiliki otak yang encer. Tidak ada kata ‘bolos’ dalam
hidupnya meskipun harus menempuh perjalanan sejauh 40
kilometer menuju sekolahnya, bahkan dihadang seekor buaya
sekalipun.
Perjuangan lintang dalam menuntut ilmu sangat harus
dicontoh terutama untuk anak-anak yang sedang menuntut
pendidikan yang memang fasilitasnya sudah memadai, dan
harus menyadari bahwa masih banyak anak-anak di luar sana
yang ingin bersekolah, tetapi karena beberapa faktor tidak dapat
mengecap bangku pendidikan.
3. Nilai Moral dalam Hubungannya dengan Sesama atau
Lingkungan
a. Persahabatan
Dalam Novel LP, persahabatan merupakan hal yang
sangat penting. Dapat dilihat bahwa Ikal misalnya, yang
tertantang meraih pendidikan yang tinggi demi melunasi
hutangnya pada Lintang si anak cerdas kebanggaan sekolah
yang tak mampu ia bantu ketika si genius itu terpaksa
meninggalkan sekolah dan cita-citanya.
93
Atau Sahara yang selalu sabar mendengarkan cerita dari
Harun yang memiliki keterbelakangan mental. Mereka memiliki
ikatan emosi yang unik seperti persahabatan kura-kura dan
tupai.
b. Tolong menolong
Dalam Novel LP, anak-anak LP selalu diajarkan agar
dapat menolong dan membantu serta memberikan manfaat
kepada orang lain sesuai kemampuan mereka. Bahkan, nasihat
guru-guru tersebut menjadi prinsip bagi anggota LP hingga
dewasa.
III. Nilai Moral dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya
Wiwid Prasetyo
Nilai moral berkaitan dengan tingkah laku atau karakter seseorang
sekalipun perilaku tersebut dibentuk oleh lingkungan sekitar.Berkaitan
dengan tujuan dari pendekatan pragmatik yang berfungsi terhadap
keberadaan masyarakat Adapun nilai moral tersebut tergambar dalam
novel OMDS karya Wiwid Prasetyo.
1. Nilai Moral terhadap Tuhan
Kebudayaan yang diangkat dalam novel ini pun merupakan
kebudayaan masyarakat Jawa yakni budaya atau yang dikenal
dengan Islam Kejawen. Masyarakat Jawadi Semarang yang
menganut Islam Kejawen dikenal sangat kental dengan dunia
94
mistik atau kebatinan, seperti adanya semedi, kemenyan,
sesajen, kondangan, ruwatan, jugadukun. Sebagian masyarakat
Jawa kuno atau Jawa masih sangat kental melakukan adat ini,
seperti masih sangat percaya terhadap dukun, yang diyakini
sebagai “orang pintar” yang dipercaya menjadi perantara antara
manusia dengan alam gaib. Dukun sering dimintai pertolongan,
entah untuk pengobatan, ataupun mengusir roh halus. Namun,
tetap ada dua kubu, yang percaya dan tidak percaya dengan hal-
hal semacam ini. Penggambaran mengenai kepercayaan warga
terhadap dukun tercermin melalui tokoh ayah Faisal yang
mempercayai Pak Cokro sebagai dukun yang mampu mengobati
anaknya yang dituduh amnesia.
Pak Cokro selalu menjadi orang pertama yang dianggap
mampu mengobati segala macam penyakit. Salah satu kebudayaan
masyarakat Jawa yaitu kepercayaan masyarakat warga Semarang
terhadap sesepuh atau dukun yang bernama Pak Cokro tersebut
sudah menjadi tradisi dan mengakar di kalangan masyarakat.
Faktor utama yang menyebabkan tokoh Pak Cokro menjadi
seorang yang sombong dan besar kepala adalah karena ia menjadi
satu-satunya orang yang memiliki ilmu kebatinan sehingga ia
disegani oleh masyarakat dan menjadikannya haus akan
sanjungan. Cerminan nilai moral terhadap Tuhan seperti terlihat di
atas merupakan tradisi yang dipegang oleh masyarakat Islam
95
Kejawen. Mereka mengaku Islam dan percaya akan adanya Tuhan,
tetapi mereka lebih mempercayai hal gaib dan mistik dibanding
mempercayai Tuhan mereka sendiri, dengan kata lain bahwa
mereka lebih memegang teguh tradisi yang telah turun temurun
sehingga mereka mengabaikan kepercayaan terhadap Tuhan.
Masyarakat Islam kejawen menyimpulkan bahwa mereka yang
tidak menyukai hal-hal klenik dianggap tidak setia pada tradisi
mereka yang telah lama turun - temurun semenjak nenek moyang
mereka.
2. Nilai Moral terhadap Diri Sendiri
a. Menerima segala apa yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan
Di kalangan masyarakat, tercipta stereotip tentang perangai
orang Jawa yang begitu halus, sopan, dan pasrah menjalani
hidup atau nrimo. Karakter dari ayah ketiga anak alam yang
nrimo, menerima keadaan begitu saja terlihat dari pekerjaan
mereka sebagai budak dari Yok Bek. Mereka tidak mau
berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik, dan mereka tidak
ingin mencari masalah dengan Yok Bek jika mereka berhenti
bekerja, maka dari itu mereka pasrah dengan pekerjaan yang
mereka miliki.
Seperti yang tergambar dalam novel melalui tokoh
Pambudi, Yudi, dan Pepeng, walaupun status ekonomi
96
mereka rendah sehingga mengakibatkan mereka tidak
bersekolah dan mereka sendiri yang harus bekerja membantu
perekonomian keluarga, namun mereka tetap terlihat bahagia
layaknya seorang anak yang menikmati masa kecilnya dan tidak
menjadikan kemiskinan sebagai beban
b. Pekerja Keras atau Giat Bekerja
Dalam kehidupan orang Jawa, kerja keras merupakan hal
yang snagat penting ditandai dalam Novel OMDS, Jika mereka
telah memiliki pekerjaan maka mereka akan tekun dan giat
dengan pekerjaan yang digelutinya, walaupun pekerjaan mereka
masih relatif rendah dibanding kota besar lainnya seperti
Jakarta. Seperti yang dialami ayah dari Pambudi, Yudi, dan
Pepeng, ayah ketiga anak alam itu hanya bekerja sebagai
peternak sapi pada seorang warga berkebangsaan Cina
bernama Yok Bek, namun mereka giat bekerja dan patuh
pada majikannya.
c. Jujur dan Mawas Diri
Pengarang novel OMDS ini banyak sekali menerapkan
prinsip Jawa dalam kepribadian masing-masing tokoh. Salah
satu tokoh yang memegang prinsip urip samdadya dan jujur ini
bisa dilihat dari penokohan Bu Mutia, seorang guru yang
sangat jujur dan menjauhkan diri dari perbuatan menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan yang ia inginkan. Hal tersebut
97
tergambar ketika salah satu wali murid mengeluarkan uang
suap agar anaknya naik kelas, namun ia menolaknya demi
prinsip yang ia pegang teguh.
d. Tanpa Pamrih (Sepi ing pamrih), Ikhlas (rame ing gawe)
Masyarakat Jawa memegang teguh prinsip tersebut
bahwa dalam melakukan apa pun harus dilandasi rasa ikhlas
tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Sekalipun mereka
seorang pekerja keras namun mereka ikhlas, maka lahirlah
prinsip sepi ing pamrih, rame ing gawe. Seperti tergambar
melalui tokoh Faisal, sekalipun ia sebagai tenaga pengajar
pembantu di kampungnya, namun ia tidak mengharapkan
imbalan apa pun karena ia memiliki jiwa toleransi yang tinggi.
Nilai Moral terhadap Sesama Manusia
Apabila seseorang telah memegang teguh prinsip sepi
ing pamrih, rame ing gawe maka orang tersebut tidak lagi
mengejar kepentingan- kepentingan individualnya tanpa
memperhatikan keselarasan keseluruhan. Ia telah berada di
tempat yang tepat dalam kosmos. Sikap tersebut muncul tidak
lain hanyalah sebagai wujud memenuhi kewajiban-kewajiban
sebagai sesama manusia.
3. Nilai Moral terhadap Sesama
a. Sopan santun atau mundhuk-mundhuk
98
Adat istiadat adalah perilaku turun temurun dari generasi
ke generasi sebagai warisan sehingga kuat intergrasinya
dengan pola-pola perilaku masyarakatnya. Masyarakat Jawa
dikenal dengan sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi
adab kesopanan, budi pekerti yang luhur, bertutur dan
bertingkah laku yang halus, menghormati yang tua dan
menyayangi yang muda. Seperti tokoh Faisal yang selalu
menerapkan pada siswanya untuk selalu menghormati yang
lebih tua darinya dan mencintai dan menghargai yang lebih
muda.
b. Jiwa Sosial terhadap Sesama
Jiwa sosial yang digambarkan dalam cerita disampaikan
melalui tokoh Faisal yang memiliki jiwa peduli terhadap
lingkungannya. Ia membantu mengajar warga kampung untuk
dapat membaca dan menulis.
C. Hubungan Intertekstualitas Novel Laskar Pelangi dan Novel Orang
Miskin Dilarang Sekolah
Karya sastra tidak begitu saja lahir, tetapi sebelumnya sudah ada
karya sastra lain yang tercipta berdasarkan konvensi budaya masyarakat
yang bersangkutan. Dengan demikian, karya sastra itu meneruskan
konvensi yang sudah ada ataupun menyimpangi meskipun tidak
seluruhnya. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu karya kreatif yang
menghendaki adanya kebaruan, namun tentu tidak baru sama sekali
99
karena apabila sama sekali menyimpang dari konvensi, ciptaan itu tidak
akan dikenal ataupun tidak dapat dimengerti oleh masyarakatnya.
Mengenai konvensi sastra yang disimpangi atau diteruskan, dapat berupa
konvensi bentuk formalnya ataupun isi pikiran, masalah, dan tema yang
terkandung di dalamnya.
Novel “Laskar Pelangi” dan “Orang Miskin Dilarang Sekolah”
memiliki beberapa kesamaan atau intertekstualitas. Kesamaan kedua
novel tersebut terletak pada tema cerita, latar belakang cerita, serta
amanat yang disampaikan di dalam novel tersebut.
Kesamaan tema pada kedua novel tersebut yaitu sama-sama
mengangkat masalah perjuangan orang miskin dalam meraih pendidikan
guna mewujudkan cita-cita mereka. Masalah perjuangan orang miskin
dalam meraih pendidikan lebih dahuludiangkat dalam LP (2008) oleh
Andrea Hirata. Masalah perjuangan orang miskindalam meraih pendidikan
kemudian diangkat lagi oleh Wiwid Prasetyo dalamkaryanya OMDS
(2010). Dengan demikian. dapat dikatakan bahwa WiwidPrasetyo
meneruskan tema yang ditawarkan oleh Andrea Hirata, yakni
mengenaipendidikan dan segala permasalahannya.
Terkait dengan tokoh dan penggambarannya dalam novel LP
mempunyaikesamaan dengan tokoh serta cara penggambaran tokoh
dalam OMDS. Teknikkarakterisasi kedua novel menggunakan teknik yang
sama yaitu menggunakanmetode langsung dan metode tidak langsung.
Baik itu LP maupun OMDS karaktertokoh tidak selalu digambarkan secara
100
gamblang dan terperinci, tetapi dapatdiketahui dari dialog antartokoh dan
deskripsi pengarang secara langsung.
Amanat yang diperoleh dari kedua novel ini mempunyai persamaan
yaituuntuk jangan takut bermimpi dan bercita-cita serta harus berusaha
keras untukmewujudkan mimpi-mimpi itu bagaimana pun terbatasnya
keadaan. Dari novelLP, pesan ini diperoleh dari tokoh Lintang. Ia berasal
dari keluarga nelayanmiskin yang tinggal di pesisir Desa Tanjong
Kelumpang. Jarak antara rumah ke sekolahnya delapan puluh kilometer
pulang pergi yang ditempuhnya denganbersepeda. Kemiskinan dan jarak
rumah dan sekolah yang sangat jauh tidakmengendurkan semangatnya
untuk menuntut ilmu. Di tengah kemiskinan yangmelandanya, ia tetap
bersemangat dan bercita-cita menjadi matematikawan.
Novel OMDS, pesan ini diperoleh dari ketiga Anak Alamyakni
Pambudi, Yudi, dan Pepeng. Ketiganya berasal dari keluarga
miskin.Bapaknya bekerja sebagai buruh di sebuah peternakan sapi.
Ketiganya tetapberkemauan bersekolah walaupun hal ini mengharuskan
mereka belajar sambilbekerja untuk membiayai sekolahnya. Keterbatasan
tidak menghambat langkahmereka dalam menggapai mimpi.Alur novel LP
dan OMDS mempunyai persamaan yaitu sama-samamenggunakan alur
maju atau progresif. Plot ini dimulai dari tahap eksposition,Inciting
moment, ricing action, complication, climax, dan denouement.
Pengarangmenyusun peristiwa-peristiwa yang ada berdasarkan hubungan
sebab-akibat(kausalitas).
101
Pradopo (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 133) menyatakan
prinsipdasar intertekstualitas:
“Karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannyadengan teks lain yang menjadi hipogram. Hipogram adalah karya sastraterdahulu yang dijadikan sandaran berkarya. Hipogram tersebut bisasangat halus dan juga sangat kentara. Dalam kaitan ini, sastrawan yanglahir berikut adalah reseptor dan transformator karya sebelumnya. Dengandemikian, mereka selalu menciptakan karya asli, karena dalam menciptaselalu diolah dengan pandangannya sendiri, dengan horizon dan atauharapannya sendiri”.
Mengacu pendapat di atas, maka jelaslah sekarang bahwa LP
merupakansebuah karya hipogram, yaitu karya yang melatarbelakangi
penciptaan karyaselanjutnya. Sementara itu, OMDS disebut dengan karya
transformasi karenamentransformasikan teks-teks yang menjadi
hipogramnya.
102
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Nilai moral yang terkandung di dalam novel Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata terbagi menjadi tiga yaitu nilai moral terhadap diri
sendiri, nilai moral terhadap orang lain atau lingkungan, dan nilai sosial
terhadap Tuhan. Nilai moral terhadap diri sendiri meliputi nilai
integritas, ikhlas, tanggung jawab, kepemimpinan, perjuangan hidup,
dan kesungguhan menuntut ilmu. Nilai moral terhadap orang lain atau
lingkungan meliputi nilai persahabatan dan tolong menolong. Untuk
nilai moral terhadap Tuhan, nilai yang ditemukan yaitu nilai keimanan
yang teguh, akhlak mulia, serta disiplin dan taat beribadah. Seperti
halnya dalam novel LP, novel OMDS juga ditemukan ketiga nilai moral
tersebut. Nilai moral terhadap diri sendiri dalam novel OMDS yaitu
menerima takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan (nrimo), giat
bekerja, jujur, mawas diri, tanpa pamrih, dan ikhlas. Nilai moral
terhadap orang lain atau lingkungan yaitu nilai sopan santun dan peduli
terhadap sesama. Nilai moral terhadap Tuhan dalam novel OMDS
yaitu kepercayaan terhadap hal-hal yang baik di luar dari kemampuan
manusia dan Tuhan.
103
2. Ada keterjalinan tema antara novel LP dan OMDS. Kedua novel sama-
sama mengangkat masalah pendidikan yaitu perjuangan orang miskin
dalam meraih pendidikan guna mewujudkan cita-cita mereka. Amanat
yaitu sama-sama mengenai jangan takut bermimpi dan bercita-cita dan
harus berusaha keras untuk mewujudkan semuanya. Sedangkan gaya
penokohan sama-sama menggunakan teknik penggambaran tokoh
secara langung dan tak langsung. Masalah perjuangan orang miskin
dalam meraih pendidikan lebih dahulu diangkat dalam LP (2008) oleh
Andrea Hirata. Masalah perjuangan orang miskin dalam meraih
pendidikan kemudian diangkat lagi oleh Wiwid Prasetyo dalam
karyanya OMDS (2010). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
Wiwid Prasetyo meneruskan tema yang ditawarkan oleh Andrea
Hirata, yakni mengenai pendidikan dan segala permasalahannya.
B. Saran
Setelah mengetahui kandungan nilai moral yang terdapat di dalam
novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang
Sekolah, penulis merekomendasikan kedua novel tersebut agar para
pemabaca dan penikmat sastra dapat membacanya. Di samping itu,
keterjalinan antarteks novel tersebut dapat membimbing pembaca untuk
memahami fenomena sosial secara kritis dari sudut pandang penulis dari
permasalahan yang diangkat.
104
DAFTAR PUSTAKA
Barnet. 1963. An Introduction to Literature: Fiction/ Poetry/ Drama. Boston: Little. Brown.
Broto, Nur Cahyo Wahyu. 2009. Aspek Moralitas dan Nilai Budaya Cerita Bersambung “janggrung” Karya Sri Sugiyanto (Suatu Tinjauan Kritik Sastra Ekspresif). Tesis. Tidak diterbitkan. Surakarta: UNS.
Budiningsih, Asri. 2008. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Damono, Sapardi Djoko.1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. 2007. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widiyatama.
Faruk, R. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik Sampai Post-Moderenisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faruk, R. 2012. Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hadiwardoyo, Al Purwa. 2010. Moral dan Masalahnya. Jakarta: Kanisius.
Kemendiknas. 2010. Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Direktorat PSMP Kemdiknas.
Koentjaraningrat. 1984. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Kotler, P dan Keller K. L. 2009. Manajemen Pemasaran. Jakarta: PT Indeks.
Masyhur, Effendi. 1994. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam. Hukum Nasional dan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Naringgoyudo. 2013. Kearifan Budaya Lokal Masyarakat Suku Batak. Medan: Kompas Medan
Nurdin, Syafruddin. 2005. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum Cipuat. Quantum Teaching. Bandung: UPI
105
Nurgiantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nurgiantoro, Burhan. 2009. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra (Edisi Cetakan Kedua). Yogyakarta: BPFE.
Nurgiantoro, Burhan. 2013. Pengkajian Sastra (Edisi Revisi). Jakarta: Gramedia Utama.
Patria, Andika. 2015. Nilai Moral dalam Novel Sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Atas. Tesis. Tidak diterbitkan. Unilam.
Prasetijo, R dan Ihalauw, J. 2005. Perilaku Konsumen. Yogyakarta: Andi Offset.
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. a. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. b. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, M. Atar. 2012. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa.
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra, Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat .Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Setiadi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Bandung: Alfabeta.
Soekanto, Soerjono. 1983. Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soelaeman, M. Munandar. 2005. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: PT Refika Aditama.
Stanton. Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
106
Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif - Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Tim Penyusun. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Bahasa.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan Diterjemahkan oleh Melani Budianto. Jakarta: Gramedia.
Wulandari, Putri. 2011. Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo (Kajian Intertekstualitas dan Nilai Pendidikan). Tesis. Surakarta. UNS
Zuriah, Nurul. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
107
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Asmianingsi. Lahir di Mario Kabupaten Sidenreng
Rappang, Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Januari
1987, anak pertama dari dua bersaudara pasangan
Bripka Ambo Sakka dan Armin Basir. Penulis mulai
menempuh pendidikan Sekolah Dasar (1992-1998),
Sekolah Menengah Pertama (1998-2001), Sekolah
Menengah Kejuruan (2001-2004).
Pada tahun 2004 penulis melanjutkan jenjang (S-1) pada jurusan Ilmu
Pemerintahan di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIP)
Muhammadiyah Sidrap sampai tahun 2008, kemudian melanjutkan
kembali pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan (STKIP)
Muhammadiyah Sidrap pada tahun 2008 sampai tahun 2011. Pada tahun
2013 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang (S-2) dengan memilih
Program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Penulis mengabdi di SMP Negeri 2 Kulo Kecamatan Kulo
Kabupaten Sidenreng Rappang mulai tahun 2006 untuk memperoleh gelar
Magister Pendidikan (M.Pd.) dan menulis tesis dengan judul Nilai Moral
dan Intertekstualitas Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwied Prasetyo.
108
Lampiran 2
a. Biografi Andrea Hirata
Ia adalah Ikal dalam buku “Laskar Pelangi” dan “Sang Pemimpi”.
Kecintaannya pada Pulau Belitong atau Belitung, membuat pria ini begitu
bersemangat dalam menulis buku. Namanya melambung lewat buku
perdananya “Laskar Pelangi”. Pria kelahiran Belitong, Bangka Belitung 24
Oktober 1973, memiliki nama lengkap Andrea Hirata Seman Said Harun.
Anak keempat dari pasangan N.A Masturah (Ibu) dan Seman Said Harun
(Ayah) ini menghabiskan masa kecilnya di Belitung. Si ‘Ikal’ – begitu
panggilan masa kecilnya – mengawali sekolah SD dan SMP
Muhammadiyah di Belitung, kemudian menamatkan SMA di Tanjong
Pandan. Setamat SMA, ia merantau ke pulau Jawa, di sana ia
mendapatkan pekerjaan sebagai tukang sortir pos surat. Dari hasil
pekerjaan tersebut, ia melanjutkan studinya di Fakultas Ekonomi –
Universitas Indonesia, Depok. Seusai meraih gelar sarjana ekonomi, ia
berhasil mendapatkan bea siswa dari Uni Eropa untuk mengambil gelar
master di Universite de Paris Sorbone, Perancis serta sheffield Hallam
University, Inggris.
Meskipun studi mayornya ekonomi, ia amat menggemari sains,
fisika, biologi, astronomi dan sastra ini memiliki kesenangan naik komedi
putar. Setelah selesai S-2, dia pulang ke tanah air, Bangka Belitung. Saat
ini, ia tinggal di Bandung dan bekerja di PT. Telkom sebagai instruktur PT.
109
Telkom pusat, Bandung. Namun, karena kesibukannya, ia mengambil cuti
dua tahun yang lalu.
“Laskar Pelangi” awalnya tidak untuk diterbitkan, ia menulisnya
karena terinspirasi oleh kegigihan dan semangat juang Bu Muslimah di
bidang pendidikan lantas ia hadiahkan kepada guru tercintanya tersebut.
Namun, naskah itu dicuri oleh teman kantor dan kemudian diterbitkan. Tak
disangka ternyata karyanya laku di pasaran dan menjadi best seller.
Menurut Dhipie Kuron, di negeri ini, tidak mudah menulis novel-
novel yang kesemuanya best seller, apalagi merupakan karya-karya
pertama, ditulis seseorang yang tak berasal dari lingkungan sastra, dan
lebih gawat lagi, novel-novel itu sama sekali tidak sejalan dengan trend
pasar. Tetapi hal itu telah dilakukan oleh Andrea Hirata. Melalui Laskar
Pelangi, Andrea Hirata langsung menempatkan dirinya sebagai salah satu
penulis Indonesia yang amat menjanjikan. Laskar Pelangi telah beredar di
luar negeri, bahkan mampu mencapai best seller di Malaysia.Tanggal 14
Desember 2007 Andrea pulang ke Belitung untuk bicara di depan guru
anggota PGRI Belitung Timur dan seluruh siswa SMP dan SMA di
Belitung Barat. Dalam kesempatan itu, ia me-launching program sosial
pendidikan yang ia sebut Laskar Pelangi in Action. Ia memakai dana dari
royalti yang ia terima. Laskar Pelangi telah laku 200 ribu eksemplar, Sang
Pemimpi 120 ribu, dan Edensor 25 ribu. Kini, Laskar Pelangi dalam bentuk
film oleh Mizan Cinema dan Miles Films, yang disutradarai oleh Riri Reza
dan Mira Lesmana.
110
b. Karya-karya Andrea Hirata
Andrea Hirata adalah penulis Indonesia yang berasal dari pulau
Belitong, Propinsi Bangka Belitung. Novel-novel yang ditulisnya
merupakan pengalaman pribadi yang menginspirasinya dalam menulis.
Novel pertamanya adalah “Laskar Pelangi” yang merupakan buku pertama
dari tetralogi novelnya, antara lain : Laskar Pelangi, Sang Pemimpi,
Edensor, dan Maryamah Karpov (yang saat ini sedang ditulis). Novel
kedua dari Tetralogi “Laskar Pelangi” adalah Sang Pemimpi. Berkisah
tentang Ikal (Andrea) dan Arai, yang berani bermimpi untuk mewujudkan
cita-citanya bersekolah ke Sorbone, Perancis. Namun, bukan hanya
bermimpi semata, mereka bekerja keras sebagai kuli paling kasar di
pelabuhan Belitung kemudian hasilnya mereka tabung. Walaupun nakal,
Ikal dan Arai adalah penghuni garda depan di sekolah dan memiliki top
rank di kelas. Meskipun banyak yang bilang mimpi mereka lebih mirip dari
punuk merindukan bulan, tetapi mereka tak patah arang karena Arai
mempunyai keyakinan yang membuat mereka tetap semangat yakni “
bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu”.
Novel ketiga dari tetralogi “Laskar Pelangi” adalah Edensor. Masih
berkisah tentang petualangan Ikal dan Arai di negeri orang. Mereka
berpetualang mengelilingi daratan Eropa dan Afrika dengan menjadi
pengalamen jalanan memakai kostum ikan duyun rancangan temannya di
Amsterdam, Famke. Di sini juga diceritakan tentang keberanian bermimpi,
111
kekuatan cinta, pencarian diri sendiri dan petualangan yang gagah berani,
ke Belanda, Rusia, Siberia, hingga ke daratan Afrika.
Dalam Maryamah Karpov – novel keempat dari tetralogi “Laskar
Pelangi” – Andrea berkisah tentang perempuan dari satu sudut yang amat
jarang diekspos penulis Indonesia dewasa ini.
c. Sinopsis Novel Laskar Pelangi
Diawali saat SD Muhammadiyah, sekolah kampung di Belitong
yang paling miskin, dengan fasilitas yang sangat terbatas membuka
pendaftaran untuk murid baru kelas satu. Hingga detik-detik terakhir hanya
ada 9 orang yang mendaftar di SD tersebut, padahal sekolah tersebut
memerlukan satu orang murid lagi jika tidak ingin sekolah tersebut ditutup.
Namun, ketika kepala sekolah akan memulai dengan pengumuman
pembubaran sekolah, datang satu orang murid lagi dan ia menjadi
penyelamat SD Muhammadiyah di Belitong.
Sepuluh orang anak tersebut yaitu : Ikal, Lintang, Mahar, Sahara,
Samson, A Kiong, Syahdan, Trapani dan Kucai. Mereka menyebut diri
mereka sebagai “Laskar Pelangi”. Nama itu diberikan oleh guru yang
selalu kagumi dan cintai yaitu Bu Muslimah atau Bu Mus. Mereka adalah
siswasiswa yang mempunyai kemauan belajar yang cukup tinggi. Di
bimbing oleh guru yang mereka cintai Ibu Muslimah atau Bu Mus dan Pak
Harfan Effendi sang kepala sekolah SD Muhammadiyah, anggota Laskar
Pelangi dididiknya agar anak-anak penerus bangsa tersebut berkembang.
Pak Harfan dan Bu Mus adalah seorang guru yang memiliki dedikasi yang
112
tinggi dalam pendidikan, bekerja tanpa pamrih dan tanpa digaji. Dengan
hanya memberi 15 kilogram beras, mereka bukan hanya mengajarkan
pelajaran sekolah semata, tetapi juga mendidik anak-anak itu dengan
pelajaran Kemuhammadiyahan tentang akhlak, keimanan, dan sopan
santun dan lain sebagainya.
Pada awal kisah ini diceritakan semua sifat yang terlihat dari
anggota Laskar Pelangi. Misalnya, Sahara yang sifatnya keras kepala, A
Kiong yang selalu ‘setia’ pada Mahar, Samson yang ingin dianggap
sebagai pria jantan, Trapani yang sangat bergantung pada ibunya, atau
Harun yang memiliki keterbelakangan mental. Kecuali Mahar dan Lintang
yang memerlukan bab sendiri.
Lintang, dia merupakan siswa dengan semangat belajar yang
membara. Lintang adalah anak genius didikan alam. Walaupun dia harus
menempuh jarak 80 kilometer untuk dapat pergi dan pulang sekolah, dan
tak jarang diperjalanan dia dapat dicegat buaya atau menghadapi jalanan
yang kurang bersahabat terlebih setelah hujan, karena dia harus melewati
hutan, tetapi itu tak membuat gentar anak dari kuli copra ini.
Sedangkan Mahar, dia merupakan siswa yang kreatif, imajinatif, tak
logis dan sering diremehkan oleh sahabat-sahabatnya sekaligus menjadi
seniman dadakan yang mengangkat derajat sekolah mereka dalam
karnaval 17 Agustus. Dia pernah percaya pada hal-hal yang berbau mistik
dan mendatangi Tuk Bayan Tula seorang paranormal senior di pulau
Lanun. Lalu, ceritapun berlanjut ketika ikal mulai merasakan jatuh cinta
113
pada seorang gadis Tionghoa anak pemilik toko kelontong bernama A
Ling. Hal pertama yang ia lihat dari gadis itu adalah keindahan jari-
jemarinya dan kukunya yang memukau hatinya. Namun sayang mereka
harus berpisah.
Saat beranjak dewasa, “Laskar Pelangi” pun bertambah satu orang
lagi, ia seorang anak petinggi daerah Belitung bernama Flo. Ia ingin
masuk SD kampung demi bertemu Mahar, setelah “Laskar Pelangi”
menyelamatkannya. SD dan SMP Muhammadiyah mulai terangkat
derajatnya saat perayaan karnaval Agustusan yang diketuai oleh Mahar.
SMP Muhammadiyah lebih dikenal lagi ketika diadakan lomba Cerdas
Cermat dengan mengalahkan sekolah Negeri milik PN Timah, dan semua
jawaban dari pertanyaan disapu bersih oleh Lintang.
Namun, kesedihan mulai terasa saat menjelang empat bulan
sebelum menyelesaikan sekolah SMP. Lintang, siswa genius, Robbert
Einstain, Newton, Adam Smith dan Andre Amperenya sekolah
Muhammadiyah harus terhenti langkah, lagi-lagi soal biaya. Ayahnya
wafat, dan dia harus menjadi tulang punggung keluarga menggantikan
ayahnya. Lalu di bagian akhir diceritakan bagaimana nasib-nasib Bu
Muslimah serta Laskar Pelangi setelah 12 tahun kemudian. Bu Muslimah
dan guru-guru muda Muhammadiyah mendapat kesempatan dari
Depdikbud mengikuti Kursus Pendidikan Guru (KPG) lalu diangkat
menjadi PNS. Lainnya hal dengan anggota LP yang memiliki nasib yang
berbeda. Sahara Misalnya, yang akhirnya menikah dengan musuh
114
bebuyutannya A Kiong, yang telah menjadi muallaf. Syahdan yang
mendapat beasiswa dari Jepang bidang Komputer, Kucai yang menjadi
anggota DPRD Belitong, Lintang yang terpaksa menjadi kuli copra, Mahar
yang menjadi penulis artikel di kelurahan, Flo yang sudah berjilbab,
Samson yang menjadi tukang panggul barang, Trapani yang betah
dengan ibunya – setelah keluar dari RSJ -, dan terakhir Ikal, meskipun ia
menjadi tukang sortir surat namun ia mampu menyelesaikan pendidikan
strata satunya di UI dari hasil tersebut, dan berhasil mewujudkan mimpi
sekaligus membayar hutangnya pada sekolah, guru, dan sahabatnya
Lintang meraih beasiswa Uni Eropa di Sorbone - Perancis.
115
d. Biografi Wiwid Prasetyo
Wiwid Prasetyo kerap juga menulis dengan nama Prasmoedya
Tohari, lahir pada 09 November 1981 di Semarang. Alumnus Fakultas
Dakwah IAIN Walisongo, Semarang, tahun 2005 ini sehari-harinya aktif di
Majalah FURQON, PESANTrend, SiDul (majalah anak-anak), serta tabloid
InfoPlus Semarang, baik selaku redaktur maupun reporter. Selain itu, ia
juga peduli terhadap dunia pendidikan, terbukti masih menjadi pengajar di
Bimbingan Belajar SmartKids Semarang. Ia membuktikan seorang penulis
yang pekerja keras, terbukti kurang lebih sekitar 2 tahun saja sudah
menghasilkan lebih dari 25 judul buku baik fiksi maupun nonfiksi.
Berdasarkan pengalaman hidupnya dan kejadian sehari-hari yang
dialaminya, maka dari tangannya lahirlah karya-karya buah dari
perenungannya selama ini dalam dunia yang digelutinya: pendidikan dan
sejarah. Terakhir ia memenangi 10 besar lomba cerpen Galaksi Cinta Diva
Press dari 3529 naskah yang masuk.
Disela-sela kesibukannya, ia masih menyempatkan diri untuk
menulis beberapa karya dalam bentuk buku. Beberapa karyanya yang
sudah terbit adalah Orang Miskin Dilarang Sekolah (DIVA Press, 200),
Sup Tujuh Samudra (Bersama Badiatul Rozikin, DIVA Press,2009),
Chicken Soup Asma ul Husna (Garailmu, 2009), dan Miskin Kok Mau
Sekolah…?! (DIVA Press, 2009), Idolaku Ya Rasulullah Saw…! (DIVA
Press, 2009), Demi Cintaku pada-Mu (DIVA Press, 2009), Aha, Aku
Berhasil Kalahkan Harry Potter (DIVA Press, 2010), The Chronicle of
116
Kartini (DIVA Press, 2010), dan Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu
Menyekolahkanmu (DIVA Press, 2010). Cita-cita Wiwid sederhana, yakni
menjadi seorang pendidik plus penulis di tengah kesibukannya sebagai
redaktur di Majalah FURQON, PESANTrend, SiDul, dan Tabloid InfoPlus,
alumnus Fakultas Dakwah UIN Walisongo Semarang tersebut masih
menyempatkan diri menjadi tentor di Bimbingan Belajar Smart Kids (Anak
Cerdas).
Menurut Wiwid Prasetyo, sector pendidikan dan jagat kepenulisan
merupakan dua matra yang saling berkelindan. Pendidikan tanpa
keterampilan menulis niscaya menjadikan materi pembelajaran hilang
tanpa bekas. Sebaliknya, sekedar paham tulis-menulis tanpa memiliki jiwa
kependidikan menyebabkan proses pembelajaran tak memperoleh saluran
yang tepat. Bagi Wiwid Prasetyo, dunia pendidikan dan dunia kepenulisan
adalah dua dunia yang saling melengkapi. Pendidikan tanpa keahlian
menulis hanya akan menjadikan materi pendidikan hilang tak berbekas,
sementara hanya paham dunia kepenulisantanpa mempunyai jiwa
pendidik menyebabkan pendidikan itu tak mempunyai salurannya yang
tepat. Maka dari itu, ia berusaha menyatukan keduanya. Ia punya mimpi
seandainya seorang pendidik memiliki keahlian menulis, maka generasi
muda kita tidak akan terseret dalam jurang degradasi moral yang teramat
dalam, karena pengaruh tulisan akan membekas dalam jiwa nak-anak
yang pada fitrahnya selalu condong pada kebaikan.
117
e. Karya-Karya Wiwid Prasetyo
Berikut ini adalah karya-karya Wiwid Prasetyo:
i. Novel Pendidikan
a. Orang Miskin Dilarang Sekolah (cetakan ke13) Diva Press Yogya
sekaligus karya perdananya, novel perdananya ini sekaligus juga
diterjemahkan berbahasa Malaysia dengan judul yang sama.
b. Miskin kok Mau Sekolah, Sekolah dari Hongkong, Diva Press
Yogyakarta, 2010.
c. Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu, Diva Press
Yogyakarta, 2010.
d. Sekolah Ayo Sekolah, Diva Press Yogyakarta, 2010.
e. Orang Cacat Dilarang Sekolah, Diva Press Yogyakarta, 2010.
ii. KaryaReligi
a. Demi Cintaku Pada-Mu (Novel religi) Diva Press Yogyakarta, 2010.
b. Hati yang Bercahaya, (novel religi) revisi dari novel Demi Cintaku
Padamu, Diva Press Yogyakarta, 2011.
c. Saat Langit Bercumbu dengan Bumi (Novel Religi) Diva Press
Yogyakarta, 2012.
d. Khidir (Novel Religi) Diva Press Yogyakarta, 2012.
e. Mata Moses (Novel Religi) Diva Press Yogyakarta, 2012.
f. Senyum Tuhan di Barcelona (Novel Religi) Diva Press Yogyakarta,
2012.
g. 99 Hari di Perancis (Novel Religi) Diva Press Yogyakarta, 2012.
118
iii. KaryaNonFiksi
a. Mental Kepepet for Succes (Buku Motivasi) Real Books
Yogyakarta, 2011.
b. The Chicken Soup of Asmaul Husna, Diva Press Yogyakarta, 2010.
c. Mengapa Rezeki ku Melimpah Setelah Menikah? Real Books
Yogyakarta, 2011.
d. 100 Kecerdasan Setan, Diva Press Yogyakarta, 2011.
e. Bismillah, Saya Mantap Menikah, Real Books 2013.
f. Kaya Raya Modal Iman, Real Books 2013.
iv. KaryaAnak
a. Dongeng 30 Mancanegara 2009, Diva Press Yogyakarta, 2010.
b. SupTujuh Samudera 2010, Diva Press Yogyakarta, 2010.
c. Aha, Aku Bunuh Harry Potter 2010, Diva Press Yogyakarta, 2010.
d. Siapakah Allahya? 2011, Diva Press Yogyakarta, 2010.
e. Idolaku Rasulullah SAW 2010, Diva Press Yogyakarta, 2010.
v. NovelSejarah
a. The Chronicle of Kartini, Diva Press Yogyakarta, 2011.
b. Cheng Ho Laksamana Muslim dari Negeri Seberang, Diva Press
Yogyakarta, 2011.
c. Ibrahim Rindu Allah, Diva Press Yogyakarta, 2011.
d. Kilat Mata Ksatria Allah, Diva Press, 2012.
e. Lilin pun Dipadamkannya( biografi Umarbin Abdul Aziz) Real
Books, Yogyakarta, 2012.
119
f. Sinopsis Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid
Prasetyo
Novel ini menceritakan tentang perjuangan anak-anak kampong
Genteng dalam menenmpuh pendidikan. Lika-liku da haling rintangan
yang mereka hadapi untuk bisa mencicipi bangku sekolah yang menurut
sebagian besar warga kampong hanya menghabiskan uang saja, lebih
baik mereka membantu kedua orang tua untuk mencari nafkah untuk
melanjutkan kehidupan. Karena kehidupan mereka berada dibawah garis
kemiskinan. Untuk makan sehari saja mereka kekuarangan, apalagi harus
membiayaisekolah. Sedangkan pekerjaan kedua orang tua mereka
hanyalah seorang pemerah susu sapi, pembersih kandang, dan memberi
makan ternak-ternak milik orang paling kaya di desa mereka. Mereka
adalah Pambudi, Pepeng, dan Yudi. Ketiga anak alam ini yang belum
pernah memakan bangku sekolahan karena ketidakadaan biaya.
Namun, Faisal. Teman ketiga anak alam itu mencoba
mempengaruhi teman-temannya untuk mengikuti jejaknya. Yaitu
bersekolah. Awalnya mereka tidak mau, namun setelah di bujuk dan
mereka sadar ingin sekolah, akhirnya mereka bertiga sepakat untuk
bersekolah, meskipun harus bekerja keras untuk membantu membiayai
sekolah. Sampai berjualan pisang goring di kelas, berjualan Koran, kuli
angkut kelapa dari dini hari sampai waktu sekolah tiba. Sebelumnya
mereka bertiga meremehkan sekolah. Namun setelah mereka bertemu bu
120
Mutia-guru kelas 1 sd- mereka, baru sadar bahwa belajar itu penting.
Karena tanpa ilmu mereka bisa mudah ditipu oleh orang yang lebih pintar.
Di sekolah, salah satu dari anak alam ini menemukan sosok yang
sangat di kaguminya. Kania. Gadis kecil, cantik dan pemberani itu di taksir
oleh Pambudi. Mereka mengira Kania merupakan anak orang berada,
karena cantik, bersih dan pandai. Namun setelah di selidiki oleh Pambudi,
kehidupannya sama dengan keluarganya dan juga teman-temannya. hany
a karena cita-cita, semangat dan keyakinan bisa membuat dia berjalan
dan terus melangah dari kerasnya kehidupan saat ini. Dai itu membuat
Pambudi semakin jatuh hati kepada Kania. Karena selain sebagai wanita
yang hebat, kania juga sosok yang dikaguminya. Karena dengan berilmu,
kita bisa menakklukkan rintangan kehidupan dengan ilmu. Seperti saat
Faisal bercita-cita untuk menciptakan kampungnya agar warganya tidak
terus di perbudak oleh Yok Bek selam hidup mereka. Warga Kampung
Genteng harus berubah.
Pada akhirnya, setelah melalui proses dan tahapan-tahapan yang
tidak mudah, akhirnya para warga Kampung Genteng menjadi sadar akan
pentingnya pendidikan. Bahkan, Pak Cokro, yang dulunya sebagai dukun,
kini mengubah tempat prakteknya menjadi Taman Baca bagi penduduk
Kampung Genteng. Dan Faisal terus melanjutkan pekerjaannya sebagai
guru bantu termuda setiap hari Minggu di Balai Desa tempat tinggalnya.