NILAI KELONG DAN IMPLEMENTASINYA DALAM ...NILAI KELONG DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN...
Transcript of NILAI KELONG DAN IMPLEMENTASINYA DALAM ...NILAI KELONG DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN...
NILAI KELONG DAN IMPLEMENTASINYA
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
MAKASSAR
The Value of Kelong and Its Implementation
in Makassar Society
TESIS
S Y A M S U D
NIM 105040912614
PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2016
NILAI KELONG DAN IMPLEMENTASINYA
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
MAKASSAR
TESIS
Oleh:
S Y A M S U D
NIM 105040912614
PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2016
NILAI KELONG DAN IMPLEMENTASINYA
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
MAKASSAR
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister
Program Studi
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun dan Diajukan oleh
S Y A M S U D Nomor Induk Mahasiswa: 105040912614
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2016
HALAMAN PENGESAHAN PERBAIKAN
NILAI KELONG DAN IMPLEMENTASINYA
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
MAKASSAR
Yang disusun dan diajukan oleh
SYAMSUD
NIM: 105 04 09 126 14
Setelah seminarkan pada tanggal 1 Oktober 2016 kemudian diperbaiki dan diperikasa serta
diteliti ulang, maka tesis ini telah memenuhi persyaratan
untuk diajukan di depan penguji.
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Anshari, M. Hum. Dr. Sitti Aida Azis, M. Pd.
Mengetahui
Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi
Universitas Muhammadiyah Makassar Pendidikan Bahasa Indonesia
Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M., M. Pd. Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum.
NBM: 988 463 NBM:
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI
Judul : Nilai Kelong dan Implementasinya Dalam
Kehidupan Masyarakat Makassar
Nama : Syamsud
NIM : 10 504 09 126 14
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Telah diuji dan dipertahankan di depan Panitia Penguji Tesis pada Tanggal 23 Desember 2016
dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan dan dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Makassar.
Makassar, 23 Desember 2016
TIM PENGUJI:
Prof. Dr. Anshari, M. Hum.
(Ketua/Pembimbing/Penguji)
………………………….
Dr. Sitti Aida Azis, M. Pd.
(Sekretaris/Penguji)
………………………….
Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M., M. Pd.
(Penguji)
………………………….
Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum.
(Penguji)
………………………….
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Syamsud
NIM : 105 04 09 126 14
Program Studi : Bahasa dan Sastra Indonesia
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan
hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, Desember 2016
Yang menyatakan,
Syamsud
ABSTRAK
SYAMSUD. 2016. Nilai Kelong dan Implementasinya dalam Kehidupan Masyarakat Makassar.
Tesis (dibimbing oleh Anshari dan Sitti. Aida Azis).
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan Nilai Kelong dan Implementasinya dalam Kehidupan
Masyarakat Makassar. Teknik analisis data dalam penelitian ini dengan cara mengidentifikasi,
mengklasifikasi, menganalisis, mengiterpretasikan, dan mendeskripsikan nilai kelong dan
implementasinya dalam kehidupan masyarakat Makassar.
Berdasarkan hasil analisis data disimpulkan bahwa terdapat data pada kelong Makassar yang
memuat abbulo sibatang accera sitongka-tongka, sipakatau, dan sirik na pacce yang
implementasinya masih dapat ditemukan dalam acara pernikahan, pesta ada, dan acara resmi
pemerintah.
Abbulo sibatang accera sitongka-tongka merupakan budaya masyarakat Makassar yang
memiliki arti persatuan dan kesatuan. Terkhusus acara resmi pemerintah, budaya abbulo
sibatang accera sitongka-tongka tidak lagi terlalu tampak.
Secara konsepsi sipakatau merupakan titik sentral budaya Makassar yang bersumber pada tau
atau manusia. Sifat sipakatau inilah yang membuat tatanan kehidupan masyarakat Makassar bisa
terkendali, yang muda menghormati yang tua dan yang tua menghargai yang muda.
Siri na pacce adalah falsafah hidup orang Makassar yang tidak bisa diremehkan. Menjadi
pegangan hidup baik di kampung sendiri maupun di rantauan. Keberadaan pacce dalam
masyarakat dan diri seseorang mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa
mementingkan diri sendiri dan golongan. Hal tersebut adalah salah satu konsep yang membuat
suku Makassar mampu bertahan dan disegani. Pacce merupakan sifat belas kasih dan perasaan
menanggung beban dan penderitaan orang lain. Saling meringankan beban seperti pepatah ringan
sama dijinjing berat sama dipikul.
Implementasi sirik na pacce seperti yang terkandung dalam kelong masih bisa ditemukan
sekarang ini, khususnya dalam acara pernikahan, pesta adat, dan acara resmi pemerintahan.
Dari hasil penelitian ini, disarankan agar penting kiranya penelitian karya sastra lokal, khususnya
sastra Makassar seperti ini perlu dilakukan untuk menggali dan mengetahui sastra lokal yang
memuat pesan-pesan leluhur yang sarat makna yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari dan bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya agar budaya masyarakat Makassar
tetap hidup.
Khususnya peneliti sastra dan pelaku sastra ada baiknya lebih mengede-pankan mengkaji sastra
lokal dan mengeksposnya hingga masyarakat luas tahu, dapat memperkaya khazanah kesastraan
Indonesia dan untuk menunjukkan pada dunia kekayaan budaya bangsa tercinta ini.
Kata-Kata Kunci: Kelong, Nilai, Implementasi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah rabbil alamin yang telah
memberikan taufik dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis ini berjudul Nilai Kelong dan Implementasinya dalam Kehidupan Masyarakat
Makassar. Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, pada Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Makassar. Dengan keberadaan tesis ini dapat menambah
perbendaharaan keilmuan penulis sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni.
Keberhasilan penulis menyelesaikan tesis ini, memang melalui berbagai macam kesulitan
dan hambatan yang kesemuanya itu dapat diatasi dengan ketekunan, kesabaran, dan kerja keras
yang disertai doa, dan lebih utama adalah bantuan dari berbagai pihak yang tidak dapat dibalas
penulis kecuali ucapan terima kasih. Oleh karena itu, melalui kesempatan yang baik ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Anshari, M. Hum. Pembimbing I, dan
Dr. Sitti Aida Azis, M. Pd. Pembimbing II yang telah bersedia memberikan bimbingan, saran,
arahan, dan dorongan sejak penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.
Terima kasih pula penulis sampaikan kepada seluruh dosen di lingkup Program
Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar
yang telah memberikan ilmu dan pengabdiannya kepada penulis. Dr. Abd. Rahman Rahim, M.
Hum, Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang senantiasa
memberikan dorongan dan motivasi. Prof. Dr. H. M. Ide Said DM., M. Pd. Direktur Program
Pascasarja-na Universitas Muhammadiyah Makassar beserta staf yang senantiasa memberikan
bantuannya, Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar yang sudi menerima dan memberi
kesempatan penulis untuk melanjutkan pendidikan di universitas yang dipimpinnya.
Ucapan terima kasih terkhusus kepada orang tua, istri tercinta, dan ananda Muh. Nur
Jayadi Syamsud dan Muh. Nur Azhari Syamsud serta teman-teman seperjuangan Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar khususnya Angkatan 2014.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa tesis ini sifatnya masih
sangat sederhana, namun penulis sudah berusaha semaksimal mungkin menyempurnakannya.
Oleh karena itu, penulis senantiasa mengaharapkan saran dan kritikan yang bersifat konstruktif
demi kesempurnaan tesis ini, semoga bantuan dan partisipasinya mendapat rida dan pahala dari
Allah Swt. Amin.
Makassar, Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………..………….i
HALAMAM PENGESAHAN ………………………………………………… .ii
SURAT KETERANGAN PERBAIKAN TESIS ……………………………… iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ………………………………………… iv
ABSTRAK ……………………………………………………………………… v
ABSTRACT …………………………………………………………………… vi
KATA PENGANTAR ………………………………………………………… vii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… ix
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1
A. Latar Belakang …………………………………………………… 1
B. Fokus Penelitian …………………………………………………… 9
C. Tujuan Penelitian …………………………………………………… 9
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………….. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR …. ………… 12
A. Tinjauan Pustaka …………………………………………………… 12
1. Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya ……………………….. 12
2. Konsep Dasar Kelong ………………………………………… 17
3. Implementasi …………………………………………………. 19
4. Pengertian Sastra ……………………………………………… 19
5. Sastra Makassar ………………………………………………. 23
6. Masyarakat Makassar ………………………………………… 41
7. Pranata Adat Masyarakat Makassar …………………………… 45
8. Nilai-nilai Kultural Masyarakat Makassar ………………………… 54
9. Pendekatan Nilai Kultural Sastra Kelong ……………………… . 56
B. Kerangka Pikir ………………………………………………………. 63
BAB III METODE PENELITIAN …………………………………………… 65
A. Jenis Penelitian …...…………………………………………………… 65
B. Desain Penelitian ……………………………………………………… 66
C. Data dan Sumber Data ………………………………………………… 66
D. Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………. 67
E. Pengecekan dan Keabsahan Data ……………………………………… 68
F. Teknik Analisis Data …………………………………………………… 69
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………………… 70
A. Penyajian Hasil Data …………………... ……………………………….70
1. Nilai Kelong dalam Kehidupan Masyarakat …………………….. 70
a. Abbulosibatang Accera sitongka-tongka …………………… 71
b. Sipakatau …………………………………………………… 77
c. Sirik napacce ……………………………………………….. 81
2. Implementasi Nilai Kelong dalam Masyarakat Makassar ………… 87
B. Pembahasan ……………... ………………………………………… .. 101
1. Abbulosibatang Accera sitongka-tongka ………………………. 101
2. Sipakatau ……………………………………………………… 101
3. Sirik napacce …………………………………………………. . 102
C. Implementasi Nilai Kelong dalam Masyarakat Makassar ………… 103
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………… 107
A. Simpulan …………………………………………………………… 107
B. Saran ………………………………………………………………… 109
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 111
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS ………………………………… 114
Lampiran-Lampiran ……………………………………………………… 116
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemahaman masyarakat terhadap budaya daerah saat ini masih sangat rendah, bahkan
memprihatinkan hampir di semua lapisan masyarakat, walaupun telah dipahami bahwa bangsa
Indonesia terdiri atas berbagai etnik, dan berbagai kultur. Berbagai macam etnik dan kultur
merupakan aset bangsa yang perlu dipelihara, dilestarikan, dan dipertahankan sebagai suatu
identitas bangsa, di tengah keterbukaan budaya dan sosial sebagai dampak modernisasi yang
menggelobal.
Pemahaman dan penggalian nilai budaya lokal merupakan suatu langkah untuk
membangun kelestarian budaya sekaligus turut menyokong ketahanan dan kelestarian budaya
nasional. Keanekaragaman budaya lokal perlu ditumbuh-kembangkan agar dapat memperkaya
khazanah budaya bangsa sehingga pada gilirannya akan tumbuh menjadi budaya nasional bangsa
Indonesia. Sekaligus menjadi aset kekayaan budaya bangsa Indonesia. (Latif, 2012: 1).
Kenyataan menunjukkan bahwa budaya lokal telah dikesampingkan serta mengalami
distorsi, terutama budaya lokal masyarakat yang komunitasnya relatif sedikit. Hal Ini
ditunjukkan dengan adanya penyeragaman budaya secara nasional. Ditambah lagi dengan
kebijakan yang belum memadai atau berpihak pada perlindungan dan pengembangan budaya
daerah, termasuk budaya daerah Makassar.
Salah satu budaya daerah Makassar yang terdapat di Sulawesi Selatan khususnya suku
Makassar adalah bahasa Makassar (Mangkasarak). Bahasa ini dipergunakan di berbagai kegiatan
misalnya; lembaga pendidikan, perdagangan, pertanian, politik, pemerintahan, dan kebudayaan.
Bahasa Makassar memiliki lambang dan aksara tersendiri yang disebut aksara lontarak, yang
diperkenalkan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke IX Daeng Matanre Daeng Manguntungi
Tumapa‟risi‟ Kallonna (Daeng Pamatte) .Pemberian nama lontarak ini menurut para ahli
lontarak berasal dari “ Huruf sa {◊} atau huruf belah ketupat, yang diambil dari lambang
kebesaran orang Makassar adalah lasugi. Lontarak berasal dari segi empat diartikan bahwa
manusia berasal dari empat unsur yakni : tanah, air, angin, dan api”. Naskah kuno yang ditulis
dengan aksara lontarak diberi nama sesuai dengan isi atau masalah yang diuraikan di dalamnya.
( Bantang, 2008: 6).
Naskah dapat dilihat sebagai hasil budaya yang merupakan hasil cipta sastra. Oleh karena
itu, hasil cipta sastra yang terdapat dalam teks merupakan suatu sarana penyimpanan dan
penyampaian pesan. Pesan yang disampaikan melalui teks ini mengemban fungsi tertentu, baik
berupa nilai-nilai, norma yang berlaku pada masyarakat tertentu, adat-istiadat, petunjuk, hukum,
dan hasil budaya yang lain. Baik bagi orang yang hidup pada zamanya itu maupun bagi generasi
berikutnya karena sastra tidak dibatasi zaman, ruang, dan waktu. Sastra dapat menembus batas
zaman, waktu, dan ruang. Sastra merupakan salah satu alat yang dapat menghubungkan
informasi dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu zaman ke zaman berikutnya, dan
dari daerah tertentu ke daerah lainnya.
Naskah yang terdapat di penjuru nusantara mengandung isi yang beraneka ragam.
Keanekaragaman isi naskah itu memuat berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang
mengandung aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, agama atau kepercayaan, bahasa, adat-
istiadat, dan keindahan (sastra). Demikian padatnya isi teks naskah klasik ini yang dapat memuat
catatan tentang berbagai aspek kehidupan manusia termasuk nilai kultural masyarakat yang
memiliki kebudayaan daerah.
Peninggalan budaya berupa naskah merupakan dokumen bangsa yang sangat tinggi
nilainya dan menarik untuk dikaji atau ditelaah oleh peneliti kebudayaan. Karena memiliki
beberapa kelebihan di antaranya, dapat memberikan informasi yang luas jika dibandingkan
dengan peninggalan yang lain, misalnya bangunan, candi, kuburan, dan benda kuno.
Naskah peninggalan nenek moyang masa lalu dapat berfungsi sebagai kebudayaan yang
berisi berbagai data dan informasi yang memuat berbagai aspek kehidupan manusia, baik dari
segi sejarah, sosial budaya, tata pergaulan, adat-istiadat, norma yang berlaku, maupun silsilah
masyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Selain sumber informasi sosial budaya, naskah tersebut
juga memberikan informasi mengenai gaya bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat
di mana sastra itu lahir. Gaya bahasa khusus yang yang dipergunakan dalam naskah atau sastra
klasik yang berbeda dengan bahasa sehari-hari dalam bahasa linguistik disebut bahasa arkhais.
Naskah-naskah ini berupa benda (budaya) dengan tulisan tangan menggunakan aksara
huruf daerah atau aksara Serang (tulisan Arab Melayu). Naskah tersebut merupakan tulisan yang
bermakna. Mengandung makna, ide, gagasan, dan berbagai macam pengetahuan alam semesta
menurut persepsi budaya masyarakat yang bersangkutan. Misalnya ajaran moral, kepercayaan
(agama), filsafat, adat-istiadat, dan unsur-unsur lain yang mengandung nilai-nilai luhur menurut
masyarakat setempat.
Nilai (ajaran) luhur dari suatu masyarakat bahasa memberikan corak tertentu terhadap pola
tingkah laku sosial mereka. Selanjutnya, pola tingkah laku itu menciptakan pola situasi menurut
waktu dan tempat tertentu. Nilai-nilai sosial dan budaya tersebut menciptakan bentuk-bentuk
hubungan serta peran antar anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. “Bentuk-bentuk
situasi sosial yang terjadi serta ketentuan-ketentuan peran antaranggota masyarakat yang
mengambil peran di dalamnya inilah yang memberikan petunjuk untuk penggunaan bahasa,
pemilihan kata dalam peristiwa kebahasaan (speech event), serta laku pertuturan (speech acts)
seseorang” (Yatim, 1983: 23).
Selanjutnya, perlu disadari pula bahwa nilai-nilai sosial-budaya bukanlah suatu aturan
yang statis, melainkan suatu perpaduan antara kebiasaan dan penerimaan secara suka rela yang
telah berlangsung turun-temurun yang mengikuti perubahan serta penyesuaian yang terjadi
menurut kondisi dan waktu pada masyarakat setempat di mana nilai-nilai itu dianut atau tumbuh.
Nilai-nilai yang terjalin dalam untaian sejarah, pengaruh alam dan lingkungan hidup, serta
pandangan dan sikap hidup masyarakat yang bersangkutan.
Hal yang kurang mendukung penggalian makna dan upaya memasyarakatan nilai-nilai
luhur yang terdapat di dalam naskah sastra Kelong adalah kurangnya kesadaran tentang arti dan
peranan naskah tersebut, dalam pembangunan nasional secara keseluruhan. Bahkan ada
kencenderungan makin terpinggirkannya nilai-nilai budaya daerah ini di tengah arus globalisasi
informasi dan komunikasi yang semakin terbuka.
Pengungkapan nilai budaya yang terkandung dalam naskah sastra Kelong, perlu
diangkat kepermukaan agar masyarakat, terutama generasi muda dapat mengetahui dan
mencintai budaya yang terkandung dalam naskah tersebut. Pada saatnya nanti mereka mampu
menjadikan penyaring terhadap budaya asing yang belum tentu lebih baik dan lebih
menguntungkan generasi penerus bangsa.
Indikasi terjadinya persaingan budaya asing dengan budaya lokal, adalah adanya
kecenderungan tenggelamnya kearifan nilai budaya lokal. Fenomena ini perlu mendapat
perhatian dari semua pihak agar khazanah budaya lokal masyarakat Makassar tidak punah.
Tinggal menyisakan nama, karena punahnya nilai-nilai budaya berarti kekayaan budaya yang ada
di dalamnya akan ikut punah.
Selain hal tersebut, yang dapat menghambat penggalian, pelestarian, dan pemahaman
kepada masyarakat terhadap nilai-nilai sosial budaya yang terdapat dalam naskah Kelong
diantaranya adalah; (1) jumlah orang yang dapat menulis atau membaca naskah klasik sangat
kurang, (2) jumlah ahli bahasa atau ahli sastra yang dapat memahami dan mengungkap nila-nilai
yang terdapat dalam naskah klasik sangat terbatas sehingga penggalian nilai-nilai luhur yang
terdapat dalam naskah sangat lamban, (3) naskah-naskah yang telah ditransliterasi dan diter-
jemahkan pun sangat kurang peminat dan pembacanya. Masyarakat lebih cenderung membaca
buku-buku yang berisi ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, di daerah-daerah pemilik
naskah itu sendiri minat generasi muda untuk membaca atau menerjemahkan naskah sangat
kurang. Orang yang mampu membaca dan memahami isinya pun semakin kurang karena usianya
yang semakin tua, (4) banyak naskah yang lepas dari pemiliknya karena hilang, rusak, atau dijual
kepada orang asing yang kemudian dibawa ke negaranya untuk diperjualbelikan karena harganya
yang relatif tinggi atau menjadi koleksi pribadi, (5) masih banyak naskah disimpan di rumah
penduduk bukan untuk dibaca melainkan disimpan sebagai benda pusaka yang dianggap
memiliki kekuatan gaib, dianggap sebagai warisan leluhur yang turun-temurun dan tidak bisa
dipindahtangankan untuk disimpan dan dipelihara oleh seseorang yang bukan keturunan
pemiliknya.
Kelong yang merupakan warna lokal sastra Makassar, selalu mengundang petualangan
imajinasi. Juga memberi harapan untuk tetap mempertahankan khas nusantara sebagai kesatuan
yang penuh dengan aneka kebudayaan tradisional masyarakat. Warna lokal itu memberi
keragaman sebagai mozaik kultural di dalam ranah kebudayaan nusantara.
Fungsi kelong sebagai salah satu karya sastra Makassar, tidak terlepas dari fungsi-fungsi
sastra pada umumnya. Menurut Finnegan (dalam Hakim 1998: 7), bahwa hal yang terpenting
dalam memahami tujuan dan fungsi karya sastra lisan adalah hubungannya dengan kepercayaan,
agama, pengalaman, dan lambang-lambang. Lebih jauh Hakim (1998: 7) mengemukakan bahwa
secara umum kelong Makassar memunyai fungsi merekam peristiwa dan pengalaman masa
lampau dan masa kini – dan juga masa kini karena sifat sastra yang mampu membayangkan
kehidupan yang akan datang – kelong selain dapat menimbulkan kesenangan dapat juga
memberikan pengetahuan dan pengalaman yang sangat berharga bagi kehidupan.
Dalam Kelong, banyak hal yang dapat diungkapkan, tidak saja sebatas budaya tetapi juga
mengenai nilai dan makna kultural kehidupan masyarakat Makassar. Naskah Kelong
mengandung falsafah hidup atau ajaran yang mendalam dan menurut penulis perlu diteliti,
diapresiasi dan diimplementasikan dalam konteks kehidupan sekarang. Di tengah semakin
tenggelamnya nilai-nilai karakter budaya lokal bangsa ini.
Sekarang ini masyarakat telah berada dalam belenggu peradaban pasar, produk-produk
budaya global yang digerakkan oleh pasar terus mendesak. Dan mulai menenggelamkan budaya
lokal. Seperti yang dikemukakan oleh Sutarto (2004: 1), bahwa peradaban pasar tidak hanya
mengubah gaya hidup lokal menjadi global, tetapi juga mewarnai, perkembangan, ketahanan dan
nasib berbagai produk kebudayaan dan peradaban yang berlabel lokal.
Kelong adalah salah satu jenis sastra lisan Makassar yang perlu dipertahankan
kelestariannya karena banyak mengandung nilai-nilai yang sangat berguna dalam kehidupan
umat manusia, khususnya masyarakat Makassar.
Kelong dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, tidak terlepas dari dua pandangan
yang bersifat dikotomis satu sama lainnya. Pertama, pandangan yang beranggapan bahwa kelong
semata-mata hanya memberikan hiburan, memberi kenikmatan batin, atau hanya sesuatu yang
bersifat indah dan menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya. Kedua, pandangan yang
beranggapan bahwa kelong itu bermanfaat, mendidik karena mengandung nilai-nilai kebenaran
dan kebaikan, mengajarkan moral yang baik. Sehubungan dengan kedua pandangan itu. Teew
berpendapat bahwa fungsi kelong sebagai sastra daerah haruslah bisa memberi nikmat, mengajar,
dan menggerakkan masyarakat untuk tetap menghidupkan fungsi-fungsi sastra pada umumnya.
Berdasarkan uraian tersebut, kelong perlu digali sehingga tampak nilainya dalam
masyarakat, dan terimplementasi nilai tersebut dalam kehidupan masyarakat seperti pada prosesi
pernikahan, pesta adat, dan acara resmi yang bersifat lokal. Untuk itu ditetapkan judul dalam
penelitian ini adalah Nilai Kelong dan Implementasinya dalam Kehidupan Masyarakat Makassar.
B. Fokus Penelitian
Bertolak dari latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut.
1. Nilai yang terdapat dalam Kelong pada kehidupan masyarakat Makassar adalah: (a) abbulo
sibatang accera sitongka-tongka, (b) assipa-katau, (c) sirik napacce?
2. Implementasi nilai Kelong dalam kehidupan masyarakat Makassar dalam tatanan sosial
kemasyarakatan adalah: (a) prosesi pernikahan, (b) pesta adat, (c) acara resmi kenegaraan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui nilai apa sajakah yang terdapat dalam Kelong pada kehidupan masyarakat
Makassar dalam: (a) abbulo sibatang accera sitongka-tongka, (b) assipakatau, (c) sirik
napacce?
2. Mendeskripsikan implementasi nilai Kelong dalam kehidupan masyarakat Makassar
dalam: (a) prosesi pernikahan, (b) pesta adat, (c) acara resmi kenegaraan?
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut :
1. Manfaat Teoretis :
a. Memperoleh gambaran nilai yang terkandung dalam Kelong.
b. Untuk menambah wawasan pengetahuan dan pemahaman serta implementasi nilai
yang terkandung dalam Kelong.
2. Manfaat Praktis :
a. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pengetahuan tentang nilai yang akan disampaikan kepada anak didiknya dalam
upaya pembinaan dan pengembangan budaya lokal, khususnya budaya Makassar
serta dapat menjadi referensi mata pelajaran muatan lokal bahasa daerah Makassar
di sekolah. Guru dapat lebih memahami nilai budaya yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat pada anak didiknya.
b. Bagi siswa, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang
nilai budaya lokal yang hidup dan berkembang di masyarakat. Dapat menambah
kecintaan dalam mempelajari dan melestarikan budaya nenek moyang sebagai
warisan yang sangat berharga.
c. Bagi masyarakat etnis Makassar, penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber
informasi nilai dalam masyarakat Makassar yang diwariskan para pendahulu,
yang patut dipelihara dan dilestarikan. Khususnya generasi muda diharapkan
dapat memahami, mencintai, dan melestarikan budaya lokal yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.
d. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai bahan referenasi bagi calon peneliti yang ingin
mengembangkan atau memperdalam kajian mengenai Sastra Makassar Kelong.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka
Pada bagian ini dibahas konsep yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan.
Konsep-konsep yang dimaksud dapat dilihat pada uraian berikut.
1. Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya
Suatu penelitian dapat mengacu pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya. Hal itu dapat dijadikan sebagai titik tolak atau acuan dalam penelitian. Oleh sebab
itu, tinjauan terhadap penelitian tedahulu sangat penting untuk mengetahui relevansinya.
Penelitian Sitti Hajrah (2010), yang berjudul Nilai-nilai Pendidikan dalam Sastra Bugis
Klasik, bertujuan mengungkapkan nilai-nilai pendidikan di dalam cerita Pau-paunna Arung
Maceko-e, Pau-paunna Buaja-e Sibawa Tedong-e, Pau-paunna Latarenrek.
Hasil yang diperoleh bahwa usaha mengangkat sastra daerah, tidak berarti sengaja
memunculkan dan menonjolkan sifat kedaerahan. Akan tetapi, penelusuran dan pengkajian ini
dilakukan untuk mengangkat salah satu unsur budaya daerah yang merupakan kekayaan bangsa
yang sudah terbentuk dan terbina sejak dahulu secara tradisi. Selain itu, pengungkapan sastra
daerah yang memunyai nilai-nilai luhur, sampai sekarang ini, masih kurang tergali untuk
diwujudkan. Kenyataan menunjukkan bahwa minat masyarakat Bugis, terutama generasi
mudanya, masih sangat kurang terhadap sastra daerahnya. Sementara di pihak lain, orang yang
menguasai sastra daerah hanyalah orang-orang tertentu saja, seperti orang yang berusia lanjut,
yang jumlahnya sangat sedikit (Sabariah, 1997: 213-214).
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah kata yang
mengandung nilai pendidikan yang terdapat dalam cerita rakyat Bugis Pau-paunna Arung
Maceko-e, Pau-paunna Buaja-e Sibawa Tedong-e, Pau-paunna Latarenrek. Sumber data
penelitian adalah kumpulan cerita sastra Bugis klasik yang telah diterjemahkan ke dalam bentuk
tulisan, yang menyangkut aspek-aspek berikut; moral, kemanusiaan, falsafah hidup, dan budaya.
Dari hasil penelitian penulis menyimpulkan nilai pendidikan yang terdapat dalam cerita
Pau-paunna Arung Maceko-e, Pau-paunna Buaja-e Sibawa Tedong-e, Pau-paunna Latarenrek.
Mencakup aspek moral, aspek kemanusiaan, aspek falsafah hidup, dan aspek nilai-nilai
pendidikan. Oleh sebab itu, penelitian sastra daerah Bugis perlu dikembangkan agar tetap
menjadi warisan kepada generasi etnis Bugis khususnya dan masyarakat Sulawesi Selatan pada
umumnya.
Lain halnya, penelitian Muhammad Ali (2010), yang berjudul Kelong dalam Perspektif
Hermeneutika. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan a) struktur kelong, b)
fungsi kelong, dan c) nilai kelong. Jenis penilitian ini adalah kualitatif. Peneliti sebagai
instrument kunci. Klasifikasi data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut; menelaah
teks kelong yang telah ditranskrip oleh peneliti, menelaah hasil penelitian dan tulisan yang
berkaitan dengan budaya dan sastra Makassar, melakukan wawancara mendalam dengan tokoh
dan pakar budaya, dengan menggunakan alat tulis, perekam, wawancara, dan kaji dokumen.
Hasil penelitian yang dilakukan Ali (2010) ditemukan struktur kelong yang meliputi
struktur makro, super struktur, dan struktur mikro. Sebagaimana dikemukakan oleh Van Dijk,
bahwa ia melihat suatu wacana terdiri atas berbagai struktur atau tingkatan yang masing-masing
bagian saling mendukung.
Struktur makro merupakan makna global atau umum dari suatu teks yang dapat dipahami
dengan melihat topik (tema) dari suatu teks (tematik). Tema-tema wacana ini bukan hanya isi
tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa. Jadi, struktur makro suatu kelong merupakan makna
global/umum dari teks kelong yang dapat dipahami dengan melihat berbagai topik yang
ditampilkan. Topik-topik yang ditampilkan merupakan realitas masyarakat etnik Makassar dalam
bertindak, bersikap, dan bertingkah laku. Realitas yang ditampilkan tersebut terikat oleh norma-
norma kehidupan ummat manusia secara universal. Berbagai amanat dan pesan disampaikan
yang berhubungan dengan tata kehidupan masyarakat Makassar.dalam menjalani hidup dan
kehidupannya. Contoh penerapan budaya siri na pacce dalam kelong berikut.
Sirik pakcea ri katte
kontu balla ia benteng
ia pattongkok
ia todong jari rinring
Artinya
Malu pedih pada kita
ibarat tiang pada rumah
juga atap
dia juga menjadi dinding
Super struktur, sebagaimana yang dikatakan Van Dijk (1998), bahwa teks yang bersifat
mikro dan makro di samping mempresentasikan marjinalisasi suatu komunitas dalam wacana
naratif, juga menggambarkan nilai-nilai masyarakat tertentu yang dipahami oleh kognisi penulis.
Kelong sebagai wacana yang menyajikan ideologi tertentu juga menampilkan super struktur yang
terdiri atas tampilan awal, tampilan tengah, dan tampilan akhir.
Struktur mikro. Menurut Eryanto (2001) bahwa struktur mikro adalah struktur yang
mengkaji makna yang dapat diamati dengan menganalisis kata (diksi) atau pilihan kata (stilistik)
dan bentuk kalimat (sintaksis). Dalam pandangan Van Dijk (1998) bahwa segala teks dapat
dianalisis dengan menggunakan elemen tersebut di atas, semua elemen merupakan suatu
kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya.
Dari segi aspek nilai kelong ditemukan nilai religius siri na pacce, nilai filosofis siri na
pacce, nilai etis siri na pacce, dan nilai estetis siri na pace. Jelas sekali ungkapan siri na pacce,
ini mewarnai segala aspek nilai-nilai kehidupan orang Makassar. siri na pacce, ini banyak
terimplementasi ke dalam kelong baik secara tersurat maupun secara tersirat.
Keberadaan kelong dalam sastra lisan Makassar mendeskripsikan pola kehidupan
masyarakat etnik Makassar dalam bersikap, bertindak, dan bertingkah laku. Kelong memiliki
struktur, nilai, dan fungsi.
Peneliti menyarankan agar pengambil kebijakan pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan,
khususnya daerah yang menggunakan bahasa Makassar menjadikan hasil penelitian ini sebagai
salah satu materi pelajaran bidang bahasa, sastra daerah dan budaya (muatan local) di berbagai
jenjang pendidikan. Khususnya pada jenjang pendidikan dasar.
Sementara penelitian Hakim (2007) yang berjudul Tafsir Kelong bertujuan untuk: (1)
mendeskripsikan nilai-nilai moral yang terdapat dalam kelong Makassar; (2) mendeskripsikan
nilai-nilai religius yang terdapat dalam kelong Makassar; (3) mendeskripsikan pesan-pesan yang
terdapat dalam kelong Makassar; (4) mendeskripsikan kontribusi nilai kelong Makassar terhadap
siswa usia pendidikan dasar.
Menurut Hakim (2007) kurang diminatinya kelong Makassar oleh generasi muda dan
orang tua pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, rendahnya
penyebaran/sosialisasi kelong dari generasi tua (tau toa) ke generasi muda (tau lolo), hingga ke
anak-anak (tau caddi). Hal ini berdampak pada kurangnya minat generasi muda untuk
mempelajari kelong. Kedua, adanya intervensi kebudayaan luar yang begitu kuat dan
mengalahkan kebudayaan lokal. Ketiga, sastra lisan kelong yang ada, belum dieksplorasi
dengan baik, sehingga masyarakat kurang tertarik. Dengan demikian diperlukan kebijakan
pemerintah agar sastra lisan diajarkan secara berkesinambungan di lembaga-lembaga pendidikan
formal, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Pemerintah melalui Dinas Pendidikan
perlu melakukan pembinaan dan pengembangan terprogram secara kontinyu agar kelong dalam
pemahaman apresiasi dapat diajarkan secara wajib di masing-masing sekolah.Selama ini dalam
pelajaran Bahasa Daerah Makassar hanyalah materi sebatas kemampuan kebahasaan, tidak
menyentuh ruang-ruang apresiasi sastra daerah.
Di samping itu, lemahnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra lokal karena
hilangnya kebiasaan-kebiasaan lokal yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat. Salah satu penyebab hilangnya kebiasaan-kebiasaan local, karena adanya kebijakan
pemerintah pusat melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Undang-Undang ini, ibarat mesin penggilas bagi kehidupan kebudayaan lokal. Dengan Undang-
Undang ini pula, desa-desa tidak lagi mengenal konsep wanua, konsep borik, tetapi semua telah
diseragamkan menjadi konsep lurah, yang pada akhirnya berdampak pada tercabuknya
kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
Dengan melihat beberapa hasil penelitian sebelumnya, maka penulis berkesimpulan
bahwa terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah sama-sama ingin
menggali potensi-potensi budaya daerah (lokal) dari pengaruh kebudayaan asing. Perbedaannya
ada yang mengkaji cerita Pau-paunna Arung Maceko-e, Pau-paunna Buaja-e Sibawa Tedong-e,
Pau-paunna Latarenrek. Ada pula yang mengkaji Kelong dalam Perspektif Hermeneutika,
sehingga menemukan struktur kelong, penerapan budaya siri na pacce dalam kelong. Peneliti
lain mengkaji tafsir kelong dan kontribusi nilai kelong Makassar terhadap siswa usia pendidikan
dasar. Sementara penulis sekarang tertarik untuk mengkaji nilai kelong dan implementasinya
dalam kehidupan masyarakat Makassar.
2. Konsep Dasar Kelong
Kelong merupakan salah satu jenis karya sastra Makassar yang sangat tua. Bagi
masyarakat Makassar, kelong mendapat tempat tersendiri karena segala perasaan suka dan duka
yang dialami oleh masyarakatnya disampaikannya melalui kelong. (Basang dan Salmah Djirong,
1997; 20)
Menurut Basang dan Salmah Djirong (1997: 19), bentuk kelong dapat dibandingkan
dengan pantun, yang masing-masing teridiri atas empat baris dalam satu bait. Namun, demikian,
terdapat juga perbedaan antara lain;
1. Kelong tidak mementingkan sajak, akan tetapi tidaklah berarti bahwa di dalam kelong tidak
terdapat sajak sama sekali.
2. Tidaklah menjadi syarat bagi kelong bahwa baris pertama dan kedua merupakan sampiran,
seperti pada pantun.
3. Ditinjau dari sudut kesatuan suara yang terdapat pada tiap-tiap baris, yang kalau diteliti
lebih jauh kesatuan suara itu terwujud pula dalam kesatuan sintaksis yang berupa kata atau
kelompok kata, maka kelong itu tergolong ke dalam puisi. Jika ditinjau dari segi jumlah
suku kata tiap baris maka kelong berpola suku kata 8. 8. 5.8
Contoh
Kuminasaiko sunggu
Kutinjakiko matekne
Manna pucuknu
Tangkennu mateknengaseng
Artinya
Saya inginkan engkau sejahtera
Saya nazarkan engkau bahagia
Biar pucukmu
Rantingmu bahagia selalu
3. Implementasi
Implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai
pelaksanaan atau penerapan. Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan rencana yang
telah disusun dengan cermat dan rinci. Implementasi tidak hanya sebatas aktivitas tetapi suatu
kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan dengan serius dan mengacu pada norma-norma
tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.
Usman, (2002: 70). Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau
adanya mekanisme suatu sistem. Bukan sekadar aktivitas, tetapi suatu kegiatan terencana dan
untuk mencapai tujuan kegiatan.
Dalam penelitian ini Implementasi merupakan penerapan atau pelak-sanaaan nilai kelong
dalam kehidupan masyarakat Makassar.
4. Pengertian Sastra
Kata kesusastraan berasal dari bahasa sansekerta. Kata kesusastraan terbentuk dari kata
susastra yang mendapat imbuhan ke-an. Susastra berarti tulisan atau karangan yang indah dan
baik, imbuhan ke-an bermakna segala hal atau sesuatu yang berhubungan dengan sastra. Kata
kesusastraan dapat diartikan sebagai segala nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang
indah.
Sastra adalah ciptaan manusia, baik tulisan maupun lisan yang dapat menimbulkan rasa
senang. Dalam Theory of Literature karangan Rene Wellek dan Austin Warren dalam Teori
Kesusastraan dinyatakan ciri-ciri atau sifat-sifat kesusastraan antara lain; Fiction (rekaan),
Imagination (daya angan), dan invention (daya cipta) (Wellek dan Warren,1995: 12 -15).
Wellek dan Warren, (1995: 110) menerangkan keterkaitan sastra dengan masyarakat,
bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan manusia, tetapi keliru kalau dianggap
mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan proses penciptaan karya sastra
selain dipengaruhi oleh situasi dan kondisi masyarakat, juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
dalam diri penulis. Kondisi tersebut dapat berupa cara pandang seorang penulis terhadap dunia
dan masyarakat secara utuh baik dari segi negative maupun positif. Oleh karena itu karya sastra
dikatakan sebagai hasil cipta manusia yang merupakan hasil imajinasi dan refleksi seorang
penulis dari suatu hal yang ia rasakan, ia lihat, ia dengar, dan yang terjadi dalam masyarakat.
Dengan demikian jelaslah bahwa ada hubungan yang erat antara sastrawan, sastra dan
masyarakat. Sastra itu hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sehingga
perkembangan dan kelestarian suatu karya sastra, khususnya sastra daerah sangat dipengaruhi
oleh seberapa tinggi kecintaan masyarakat terhadap sastra daerah itu sendiri.
Selain itu, karya sastra merupakan pengungkapan ide dari hasil pengamatan kehidupan
sastrawan atau kehidupan sekitarnya. Karya sastra adalah kehidupan buatan atau kehidupan
rekaan sastrawan tentang kehidupan di sekitarnya. Kehidupan di dalam karya sastra adalah
kehidupan yang diwarnai oleh sikap atau pandangan penulisnya baik yang dipengaruhi oleh latar
belakang pendidikan, agama, sosial dan sebagainya. Oleh karena itu, kebenaran atau kenyatan
dalam karya sastra tidak mungkin sama dengan kehidupan nyata di sekitar kita. Kebenaran di
dalam karya sastra adalah kebenaran pikiran (hayal) bukan kebenaran konkret yang disaksikan
oleh indra namun kebenaran yang lebih cenderung bersifat imajinasi.
Karya sastra adalah pengungkapan hidup dan kehidupan yang dipadu dengan daya
imajinasi dan kreasi seorang pengarang serta dukungan pengalaman dan pengamatannya atas
kehidupan nyata.
Sesungguhnya karya sastra, khususnya kelong memiliki kemampuan yang dapat
memengaruhi perasaan penikmatnya. Sastra dapat memberikan pengaruh yang amat besar
terhadap cara orang berpikir mengenai hidup, baik dan buruk, benar dan salah, dan cara
hidupnya sendiri serta bangsanya. Selain itu juga dengan apresiasi masyarakat terhadap kelong
dapat mengetahui pikiran dan perasaan seseorang. Hal itu tidak mengherankan karena karya
sastra lahir sebagai perwujudan gejolak nurani sastrawan dalam berhadapan dengan hidup dan
kehidupan ini.
Sastra ialah seni pertunjukan dalam kata-kata dan memiliki kekuatan untuk menghibur
dengan adanya kata-kata yang menjadi komponen penting sastra juga memiliki potensi mengajar.
Karya sastra sebagai hasil kreatif yang memiliki sifat-sifat imajinatif karena menggunakan kata-
kata yang indah dan gaya bahasa serta gaya cerita yang menarik dan dapat dinilai baik, bila
perpaduannya harmonis antara isi, bahasa dan cara mengungkapkannya. (Ariani, 2016: 1).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan tentang pengertian sastra. Sastra adalah
karya imajinatif yang menggunakan media bahasa yang nilai atau unsur estetikanya dominan.
Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Ia terikat
oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai
mediumnya, dan bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran
kehidupan, mencakup hubungan antara masyarakat, antara masyarakat dengan masyarakat,
antara masyarakat dengan perorangan, antara manusia dan antara peristiwa dan batin seseorang.
Yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau
masyarakat.
Sastra sebagai bagian hidup masyarakat, khususnya kesusastraan tradisional, merupakan
salah satu bentuk pengungkapan nilai-nilai kesenian tradisional yang diharapkan dapat
menjadikan manusia semakin menjadi manusia. (Hakim, 2007; 5).
Karya sastra tidak hanya berfungsi sebagai media alternatif yang dapat menghubungkan
kehidupan manusia masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang, tetapi juga dapat
berfungsi sebagai bahan informasi masa lalu yang berguna dalam upaya merancang peradaban
manusia ke arah kehidupan yang lebih baik (Tang, 2008: 1). Sastra merupakan alat menyampai
informasi dari satu zaman ke zaman yang lain, dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya. Sastra
dapat menembus batas zaman, generasi, dan wilayah, tidak ada pembatas antara satu generasi ke
generasi berikutnya begitu juga zaman dan daerah atau negara.
Sesuatu yang disampaikan oleh sastrawan dalam karyanya adalah tentang manusia dan
segala macam perilakunya. Kehidupan manusia tersebut diungkapkan lengkap dengan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, karya sastra dapat menambah kekayaan batin
setiap individu dalam kehidupannya. Karya sastra mampu menjadikan manusia memahami
dirinya dengan kemanusiannya. Kehidupan dalam karya sastra adalah kehidupan yang telah
diwarnai dengan sikap penul;isnya, pendidikan penulis, keyakinan, dan sebagainya.
5. Sastra Makassar
Karya sastra merupakan wujud ungkapan perasaan pengarang. Jika dilihat dari sifatnya,
maka karya sastra merupakan karangan fiksi atau nonilmiah. Seperti juga karangan lain, karya
sastra dibuat pengarang dengan maksud untuk mengkomunikasikan atau menyampaikan sesuatu
kepada pembacanya. Hanya karena sifat dasarnya yang berbeda dengan karangan lain, sesuatu
yang dikomunikasikan juga berbeda.
Karya sastra merupakan hasil perpaduan harmonis antara kerja perasaan dan pikiran.
Sastra merupakan pancaran emosi yang dikendalikan oleh pikiran-pikiran yang agung. Karya
sastra bukan hanya mementingkan isi dan bentuknya, tetapi karya sastra selalu berusaha
memadukan kedua unsur tersebut dalam kesatuan yang kental. Karya sastra selalu bersifat etis
dan estetis. Oleh karena sifat sastra yang demikian, mempunyai kemampuan yang lebih keras
dan kuat mempengaruhi perasaan-perasaan penikmatnya.
Setiap yang terjadi dalam kehidupan ini terkandung nilai atau hikmah yang dapat diambil
manfaatnya. Untuk dapat mengambil atau menangkap nilai-nilai tersebut, diperlukan kepekaan
dan kearifan. Bagi masyarakat awam, hal yang tidak berarti, bisa menjadi sengat berarti bagi
pengarang. Sesuatu yang dianggap tidak berarti oleh masyarakat pada umumnya itu diolah oleh
pengarang kemudian diwujudkan kembali dalam bentuk karya sastra.
Junaedie, (1992: 165). Karya sastra memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai hiburan dan di
lain sisi berusaha memberikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan. Sehubungan dengan
nilai yang terdapat dalam karya sastra, betapa pun rumit dan sederhananya karya sastra di
dalamnya selalu mengandung fungsi. Karya sastra “Betapa pun sederhananya dan betapa pun
rumitnya ia senantiasa memuat dua hal yaitu, (1) keindahan dan kenikmatan, dan (2) ide,
gagasan, dan ajaran.
Di kalangan orang Makassar, sejak dahulu telah mengenal bahasa berirama atau sastra.
Orang Makassar menggunakan sebagai bahasa sehari-hari, salah satu contoh apabila seorang
calon mempelai laki-laki akan meminang seorang perempuan dicarilah orang yang mampu
bersilat lidah dan melontarkan bahasa-bahasa kiasan agar pinangannya diterima pihak wanita.
Sama halnya seorang ibu yang akan menidurkan anaknya dalam buaian, diperdengarkanlah
Kelong yang penuh harapan.
Kelong yang dituturkan agar anak mendengarkan irama lagu dan merasuki pikiran anak
tersebut, pantun atau kelong masih sering diucapkan orang tua. Kelong yang penuh pesan, kelong
yang berisi pendidikan, kelong yang berisi petuah, namun kelong seperti ini sekarang banyak
dilupakan generasi muda, terpinggirkan oleh sastra yang datang dari barat. Macam-macam
sastra Makassar, yaitu:
a. Kelong
Kelong sebagai salah satu bentuk kesusastraan Makassar, di dalamnya mengandung
renungan dan kearifan yang tergambar melalui kesatuan dan kepadatan makna. Kesatuan dan
kepadatan makna tersebut, setidaknya dapat dilihat di dalam fungsi-fungsi sastra pada umumnya.
Kelong sebagai karya sastra Makassar yang sudah sangat tua, bagi masyarakat Makassar,
kelong mendapat tempat tersendiri karena segala perasaan suka dan duka yang dialami oleh
masyarakatnya disampaikan melalui kelong.
Secara umum, kelong mempunyai lima fungsi, yaitu: (1) kelong sebagai media
pendidikan; (2) kelong sebagi media hiburan; (3) kelong sebagai pembangkit semangat juang; (4)
kelong sebagai media komunikasi, dan (5) kelong sebagai produk dan pelestari budaya.
(1) Kelong sebebagai Media Pendidikan
Sebagai salah satu produk dan perekam budaya di satu sisi sekaligus sebagai bagian dari
kekayaan rohani disisi lain, kelong dapat berperan sebagai sarana untuk mempertinggi budi
pekerti masyarakat. Salah satu peranannya adalah sebagai media pendidikan. Nilai-nilai
pendidikan yang dituangkan di dalamnya, sebagai garis besarnya dapat dipilah menjadi dua
macam, yakni pertama, nilai pendidikan yang bersifat keagamaan. kedua, nilai pendidikan yang
bersifat sosial kemasyarakatan.
(2) Kelong sebagai Media Hiburan
Salah satu fungsi kelong yang sangat menonjol adalah sebagai media hiburan. Fungsi hiburan
yang dimaksudkan adalah munculnya suasana senang dan tentram yang disebabkan oleh
penyampaian kelong. Baik yang didengarkan dengan iringan musik tertentu maupun yang
disampaikan secara biasa. Biasanya kelong disampaikan pada acara-acara tertentu, misalnya
pesta perkawinan, naik rumah baru, dan sunatan. Kelong yang disampaikan pada acara-acara
seperti itu adalah kelong yang diiringi dengan alat musik tertentu, misalnya kelong yang berjudul
Anging Mammirik dan yang berjudul Sulawesi Pakrasanganta Adapun kelong yang disampaikan
secara biasa (tanpa alat musik dan kadang-kadang tidak didendangkan) lazimnya disampaikan
pada waktu istrahat setelah melaksanakan suatu pekerjaan. Selain itu, kelong demikian biasa
digunakan sebagai bumbu pembicaraan untuk menghidupkan suasana, yang kadang diikuti
dengan gelak tawa yang riang gembira.
Salah satu kelong yang sangat popular di kalangan muda-mudi, terutama di desa adalah kelong
Battu ratema ri bulang. Kelong ini termasuk kelong tekne pakmaik atau kelong gembira. Ketika
berkumpul di malam hari menikmati indahnya bulan purnama. Kelong ini biasa dinyanyikan
oleh para muda-mudi. Dalam suasana santai, akrab dan cenderung kocak itu, mereka benar-benar
memanfaatkan kelong sebagai sarana hiburan.
Berikut ini adalah Kelong Battu ratema ri bulang;
Battu ratemak ri bulang
Makkutaknang ri bintoeng
Apa kananna
Bunting lompojako sallang
Battu ratemak ri bulang
Suro ciniki limangku
Lima patannung
Karemeng padawa-dawa (Basang, 1988: 25)
Artinya
Aku datang dari bulan
Bertanya kepada bintang
Apa katanya
Aengkau akan kawin ramai
Aku datang dari bulan
Memperlihatkan tanganku
Tangan penenun
Jemari pandai memasak
Kelong di atas sering pula dinyanyikan secara bergantian oleh kalangan muda-mudi. Caranya,
bait pertama didendangkan oleh remaja putra kemudian disambut oleh remaja putri pada bait
kedua. Suasana gembira seperti ini sekaligus dimanfaatkan oleh mereka untuk saling bertemu
dan mengungkapkan isi hatinya.
(3) Kelong sebagai Pembangkit Semangat Juang
Semangat juang yang dimaksudkan dan tulisan ini tidak hanya terbatas pada suasana perang.
Tetapi semangat juang dalam arti yang seluas-luasnya. Misalnya dalam bidang usaha,
membekali diri dengan ilmu pengetahuan, bahkan di dalam menghadapi liku-liku kehidupan di
dunia ini, semangat juang sangat dibutuhkan. Tanpa semangat juang, usaha apapun yang
dilakukan pasti tidak akan membawa hasil yang maksimal. Kenyataan telah membuktikan bahwa
hanya dengan semangat yang disertai dengan kesadaran yang tinggi dan keterampilan yang
memadai serta doa seseorang akan dapat berhasil dari usahanya.
Berikut kelong pembangkit semangat juang;
Takungjunga bangun turuk
Naku guncirik gulingku
Kualleanna
Tallanga natowaliya
Artinya
Takkan kuturutkan alunan arus
Kemudi telah kupasang
Aku lebih baik tenggelam
Dari pada surut kembali
(4) Kelong sebagai Media Komunikasi
Kelong sebagai media komunikasi merupakan sarana penyampai informasi kepada orang lain.
Informasi itu dapat berupa petuah misalnya hal-hal apa saja yang harus dilakukan seseorang dan
hal-hal apa saja yang seharusnya dihindari. Informasi dapat pula berupa gambaran luapan
perasaan cinta sang pemuda yang perlu diketahui dan ditanggapi oleh sang gadis.
Kelong dalam kapasitasnya sebagai media komunikasi ada yang bersifat langsung dan ada pula
yang tidak langsung. Yang dimaksud dengan komunikasi langsung adalah informasi yang
dituangkan lewat kelong dan memerlukan tanggapan secara spontan dari pendengar atau
pembaca pada waktu yang bersamaan. Kelong yang seperti itu biasanya berisi luapan perasaan
cinta kepada seseorang.
Sementara komunikasi tak langsung dari kelong adalah informasi yang dituangkan dalam kelong
dapat ditanggapi oleh siapa saja dan dimana saja, tetapi tidak secara spontan. Tanggapan
terhadap informasi yang tertuang dalam bentuk komunikasi seperti itu memerlukan rentetang
waktu yang cukup jauh. Isinya antara lain, menyangkut masalah pendidikan pada umumnya.
Kajian-kajian terhadap nilai-nilai yang tertuang dalam kelong tersebut.
Salah satu contoh bentuk komunikasi langsung dalam kelong dapat dilihat pada kelong berikut;
Pemuda : Nampako makcuklak lebong
Nakurompong-rompong memang
Lompoko naik
Kutambai pakrompongku
Pemudi : Apa kicinik rinakke
Nakke lekleng kodi-kodi
Inakke tuna
Nakke cakdi simbolengku
Pemuda : Mannu lekleng mannu kodi
Manna cakdi simbolengnu
Tiktik matangku
Kalakbusang pangngaingku
Artinya
Pemuda : Sejak adik tumbuh seperti rebung
Adik telah kupagar
Semoga adik cepat besar
Pagarku semakin kuperkuat
Pemudi : Apa yang kakak lihat pada diriku
Aku miskin dan tidak cantik
Aku orang biasa
Sanggulku pun kecil
Pemuda : Walaupun hitam dan tidak cantik
Walaupun kecil sanggulmu
Adiklah titik pandanganku
Dan sasaran kasih sayangku
Kelong di atas menggambarkan arus komunikasi timbal balik antara seorang pemuda dengan
seorang gadis. Perasaan cinta yang bergejolak di dalam hati sang pemuda dilahirkan dalam
bentuk kelong. Sang gadis pun langsung menyatakan isi hatinya lewat sebuah kelong pula.
(5) Kelong sebagai Produk dan Pelestari Budaya
Kelong merupakan produk sekaligus sebagai perekam budaya. Disebut produk budaya
karena kelong merupakan hasil perenungan batin atau pemikiran yang cemerlang dari kelompok
etnis Makassar yang berisi berbagai hal yang cukup bermanfaat di dalam kehidupan. Apa yang
dituangkan dalam kelong tentu merupakan refleksi atau potret serta gambaran pengalaman
penciptanya yang diwarnai oleh lingkup budayanya. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa untuk mengetahui pandangan dan falsafah hidup, pengetahuan, serta pemikiran
orang-orang Makassar terhadap sesuatu. Kelong merupakan sesuatu hal yang dapat
mengungkapkan hal tersebut.
Dari hal itu, fungsi kelong dikatakan sebagai produk budaya dan disisi lain merupakan
perekam budaya dalam masyarakat. Dalam kapasitasnya sebagai pelestari budaya baik berupa
pengalaman, pandangan, dan falsafah hidup maupun yang lain-lain. Terekam dalam bentuk
karya sastra berupa kelong Makassar. Sehingga perlu untuk tetap menggali dan mengapresiasi
kelong sebagai pelestari budaya.
Menurut adat kebiasaan pada suku Makassar pada acara perkawinan, pihak laki-laki yang
melamar perempuan. Pada acara melamar dipilih orang tua yang arif dan bijaksana, sopan, dan
pandai membalas kelong dari pihak perempuan. Dalam acara meminang ini diadakan silat kata
dengan berbalas kelong antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan yang masing-masing
pihak diwakili oleh seorang bijak dan pandai.
Contoh kelong meminang
Niaka anne ammempo
Angngerang kasi asiku
Sabak niakna
Hajakku lakupabattu
Artinya:
Kamilah datang meghadap
Membawa kemiskinanku
Adanya hajat
Inginlah kusampaikan
Saat ini pertunjukan kelong sisila-sila memang semakin menurun, karena tergeser oleh
alat musik modern. Padahal alat musik sisila ini menarik untuk ditonton dan ditelaah isinya,
karena kandungan syairnya banyak mengandung nasihat dan ajakan yang sangat berguna untuk
dijadikan pedoman dalam kehidupan.
Kelong sisila-sila dinyanyikan berbalas pantun antara perempuan dengan pemain kecapi,
dan juga ada kalanya untuk menghangatkan suasana penonton atau pendengar, biasa berbalas
syair dengan pemain kecapi. Berbalas pantun atau kelong sisila-sila, biasanya banyak
mengandung nasihat mengajak para pendengar untuk berbuat kebaikan atau syair-syair yang
bermakna sangat dalam.
b. Sinrilik
Sinrilik adalah suatu cerita yang tersusun rapi, dengan bahasa yang berirama tersusun
secara puitis biasanya dilagukan oleh ahlinya, yakni seorang pasinrilik dan diringi dengan
sebuah instrumen gesek yang disebut kesok-kesok atau kerek-kerek gallang (rebab) (Bantang,
2008: 8). Lantunan irama dan lagu cerita yang dibawakan pasinrili tersusun baik, seorang
pasinrili mampu menuturkan cerita sepanjang malam yang penuh imajinasi, dan membuat orang
terpukau karena tingkahnya.
Sinrilik tergolong dalam dalam prosa berirama sastra lisan Makassar. Sinrilik merupakan
suatu teks cerita yang dibawakan secara puitis dan berirama serta dimainkan oleh seorang ahli
atau juru cerita yang dinamakan pasinrilik. (Anshari. 2011: v).
Kemampuan dan keberhasilan seorang dalang atau pasinrilik, didukung unsur cerita yang
menarik serta alat yang digunakan pemain musik mampu meng-hanyutkan pikiran pendengar
begitu pula suasana yang semakin hidup. Sinrilik merupakan salah satu jenis kesenian tutur
yang sangat popular di kalangan orang Makassar.
Sinrilik dapat dianggap suatu manifestasi berpikir bagi orang Makassar. Se-bagai suatu
etnis yang pada masa lampau, pernah mempunyai masa kejayaan yang memuncak, sehingga
mampu menghidupkan nilai-nilai budaya yang tinggi, dan etika yang kuat sampai sekarang.
Norma-norma itu masih melekat dalam alur cerita sinrilik.
Sinrilik merupakan salah satu sumber nilai bagi orang Makassar (Gowa) hal ini tampak
jelas dalam fungsinya sebagai sumber informasi yang baik, serta dapat mempengaruhi
masyakatnya dengan cepat. Sebagai hiburan dan sumber informasi, Sinrilik mempunyai
tantangan di masa yang akan datang. Apabila seorang penutur (pasinrilik) tidak sanggup menata
kembali materi-materi yang dibawakan dalam cerita, begitu pula penampilan penuturnya sendiri.
Apabila isi dan penampilan pasinrtilik tidak mampu diperbaiki atau ditata sesuai dengan
kebutuhan pendengar maka jenis sastra ini akan ditinggalkan oleh pendengar dan generasi muda
khususnya, lebih memilih cerita yang sumbernya dari barat. Dengan demikian, sastra daerah
semakin dilupakan dan ditinggalkan.
Perkembangan dan perjalanan sinrilik memang banyak yang menceritakan tentang
hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, selain itu, sinrilik juga
merupakan media penyampaian berita pada masyarakat dan pemerintah. Sinrilik yang dibumbui
dengan cerita yang menarik, pasti memikat masyarakat pendengar untuk menyimak isinya,
maksud, dan kandungan dari sinrilik tersebut. Sinrilik terbagai menurut isinya. Misalnya: tentang
cinta Sinrilik I Baso Mallarangang, tentang perjuangan Sinrilik Kappala Tallung Batua, Sinrilik
Perang Makassar, tentang agama Sinrilik Syeh Yusuf Al-Mahasin, dll.
Sastra sinrilik selain sebagai seni tradisi pertunjukan rakyat juga sebagai seni sastra prosa
liris. Sebagai seni pertunjukan, aspek dramaturgi menjadi bagian yang sangat penting dalam
tradisi penuturan sinrilik. Sebagai penutur sinrilik (pasinrilik, naskah atau teks cerita,
pendampingan, penonton, dan alat musik pengiring. Sebagai seni sastra prosa liris, aspek
fiksionalitas menjadi bagian yang sangat penting dalam cerita sinrilik, seperti alur, tokoh dan
penokohan, latar, sudut pandang penceritaan, perwatakan, dan gaya bahasa.
Perkembangan tradisi penuturan sinrilik termasuk lamban dan cenderung mengalami
kemunduran. Kelangkaan pasinrilik, minat generasi muda yang sangat minim, dan intensitas
pertunjukan tradisi penuturan yang sangat kurang merupakan beberapa indikator yang
menunjukkan bahwa perhatian masyarakat etnis Makassar terhadap seni sastra lisan sangat
rendah dan kurang menggembirakan. (Anshari, 2011: 396)
c. Rupama atau Dongeng
Rupama adalah bentuk teater tutur yang selalu dilantunkan oleh seorang ibu atau nenek-
nenek ketika mengajak anak atau cucunya tidur, atau diceritakan menjelang sang anaknya atau
cucunya tidur. Rupama menggunakan bahasa tutur yang baik, berisi petuah atau nasihat agar
anak yang mendengar dongeng (rupama) itu dapat menangkap dan mengambil contoh sifat-sifat
yang baik dari cerita tersebut sehingga anak yang mendengarkan diharapkan dapat meniru
sifat yang baik dan menjauhi sifat yang tidak baik. Contoh sifat yang tidak baik biasa dikiaskan
dengan pantangan (kasipalli). Pantangan adalah sistem melarang anak untuk tidak melakukan
hal-hal yang tidak baik atau dilarang, atau cara mendidik untuk menuntun anak menanamkan
sifat yang baik dan disiplin.
Seorang parupama, memang harus menghapal alur cerita yang akan disajikan, mampu
menyajikan dalam bahasa lisan yang menarik, bahkan kadang-kadang harus disisipi lakon yang
lucu. Atau si parupama membawakannya dengan lagu.
Rupama tidak lagi populer di kalangan masyarakat Makassar walaupun masyarakat yang
tinggal di pedesaan masih ada yang selalu mendendangkan anak cucunya. Rupama zaman
sekarang tergeser dengan beberapa tayangan khusus anak-anak di televisi sehingga sang anak
lebih senang melihat tayangan-tayangan khusus anak-anak tersebut dibandingkan mendengarkan
rupama yang disampaikan oleh orang tuanya atau neneknya.
Namun demikian, kalau rupama ini diolah dan digarap dengan baik, akan membangkitkan
minat anak-anak untuk mengikuti cerita-cerita yang disajikan oleh parupama. Di sini dituntut
kemampuan parupama dalam menyampaikan cerita, misalnya kemampuan menyusun alur cerita,
kemampuan berakting, diksi, dan kemampuan memilih tema cerita sesuai dengan perkembangan
kemajuan zaman. Tidak hanya menceritakan kura-kura dan moyet, kancil dan buaya, I Nojeng
tetapi mampu memilih cerita-cerita yang lucu lainya.
d. Aru
Aru adalah jenis karya sastra Makassar yang berisi kalimat-kalimat sumpah setia yang
penuh keberanian yang diucapkan oleh salah seorang tubarani, atau wakil dari salah seorang
gallarang di hadapan raja. Susunan kalimatnya ringkas dan mengandung makna kesetiaan
masyarakat yang diwakili oleh tubaraninya.
Orang yang akan menyampaikan sumpah (aru) atau ikrar di hadapan raja adalah orang
pilihan dari kelompok masyarakat yang disebut tubarani untuk mengucapkan sumpah setia.
Orang yang terpilih umumnya mempunyai vokal yang lantang, wajah yang seram, berani
menantang wajah sang raja. Yang terpilih ini juga merupakan suatau kehormatan dan
kebanggaan tersendiri karena bisa berhadapan langsung dengan raja dan petinggi kerajaan.
Pada saat tampil di hadapan raja, pembawa aru harus menampakkan wajah yang setia
kepada seorang raja, loyalitas, dan dedikasi yang tinggi. Badan harus tegap, sambil mencabuk
keris (badik) pembawa aru menyampaikan arunya dan mempermainkan keris (badiknya) sesuai
apa yang diucapkan oleh pembawa aru itu. Untuk lebih memahaminya, berikut ini salah satu
versi Aru dari berbagaiversi yang ada.
ARU TUBARANINA GOWA
Bismillahi Rahmani Rahim
Atta …. Karaeng
Tabek kipammopporang mamak
Ridallekang labbiritta
Risakri karatuanta
Ri empoang matinggita
Inakke mine karaeng
Lambarak tatassaklakna gowa
Nakareppekangi sallang Karaeng
Pangngulu ri barugaya
Nakatepokangi sallang Karaeng
Pasorang attangnga parang
Inai-naimo sallang Karaeng
Tamappattojengi-tojenga
Tamappi adaki adaka
Kusalagai sirinna
Kuisarak parallakkenna
Berangja kunipatebba
Pangkulu kunisoeyang
Ikau angin Karaeng
Naikambe lekok kayu
Mirikko anging
Namarunang lekok kayu
Iya sani madidiyaji nurunang
Ikau jeknek Karaeng
Naikambe batang mammanyu
Solongko jeknek
Namammanyu batang kayu
Iya sani sompo bonangpi kianyu
Ikau jarung Karaeng
Naikambe banning panjaik
Takleko jarung
Namminawang banning panjaik
Iya sani lambusukpi nakontu tojeng
Makkanamamaki mae, Karaeng
Naikambe mappakjari
Mannyabbu mamaki mae Karaeng
Nai kambe mappakrupa
Punna sallang takammaya
Aruku ridallekanta
Pangkai jerakku
Tinra bate onjokku
Pauwang anak ri boko
Pasang anak tanjari
Tumakkanaya Karaeng
Natana rupai janjinna
Sikammajinne aruku ridallekanta
Dasi na dasi nana tarima pangngaruku
Salama ……
Artinya
Bismillahi Rahmani Rahim
Sungguh …. Karaeng
Maafkan aku
Di haribaanmu yang mulia
Di sisi kebesaranmu
Di tahtamu yang agung
Akulah ini karaeng
Satria dari Tanah – Gowa
Akan memecahkan kelak
Hulu di keris arena
Akan mematahkan kelak
Gagang tombak di tengah gelanggang
Barang siapa jua
Yang tak membenarkan kebenaran
Yang menentang adat budaya
Kuhancurkan tempatnya berpijak
Kululuhkan ruang geraknya
Aku ibarat parang yang ditetakkan
Kapak yang diayungkan
Engkau ibarat angin Karaeng
Aku ini ibarat daun kayu
Berhembuslah wahai angin
Kurela gugur bersamamu
Hanya sanya yang kuning kau gugurkan
Engkau iabarat air, Karaeng
Aku ini ibarat batang kayu
Mengalirlah wahai air
Kurela hanyut bersamamu
Hanya sanya di air pasang kami hanyut
Engkau ibarat jarum, Karaeng
Aku ini ibarat benang kelindang
Menembuslah wahai jarum
Kan kuikut bekas jejakmu
Bersabdalah wahai Karaeng
Aku akan berbuat
Bertihtahlah wahai Karaeng
Aku akan berbakti
Bilamana kelak janji ini tidak kutepati
Sebagaimana ikrarku di hadapanmu
Pasak pusaraku
Coret namaku dalam sejarah
Sampaikan pada generasi mendatang
Pesankan pada anak cucu
Apabila hanya mampu berikrar, Karaeng
Tapi tidak mampu berbuat bakti
Demikianlah ikrarku dihadapanmu
Semoga Tuhan mengabulkanNya
Amien….
e. Paddoangan
Masyarakat Makassar mengenal dua kepercayaan kekuatan magis yang ber-kembang.
Dalam hal ini ada yang disebut magis putih dan magis hitam. Paham ini berkembang di tengah
masyarakat Makassar, khusunya orang awam. Magis putih dimiliki oleh dukun untuk mengobati
segala macam penyakit, sedangkan magis hitam digunakan untuk mencelekai orang lain. Oleh
karena itu, di sinilah diperlukan magis putih (paddoangan) untuh mengobati orang yang terkena
magis hitam. Selain itu, magis putih (paddoangan) dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya untuk kecantikan, untuk keselamatan, dan lain-lain.
Contoh paddoangang untuk menghalau pencuri
Bismillahirrahmanirrahim
Ikau palukka bangngiya
Katutuimi tubunu
Katutui tallasa’nu
Numange ammempo ri balla’nu
Numangngu’rangi
Ri sahada mula taunu
Barakka laa ilaaha illallaah
Artinya
Dengan nama Allah yang Pengasih Lagi Maha Penyayang
Wahai kamu pencuri malam
Peliharalah tubuhmu
Jaga kehidupanmu
Duduklah di rumahmu
Untuk merenung
Pada penyaksian awal lahirmu
Berkat Allah
f. Paruntuk Kana
Paruntuk kana termasuk salah satu bentuk sastra Makassar klasik yang masih tumbuh di
kalangan orang Makassar, Walaupun telah banyak ditinggalkan oleh kaum remaja. Paruntuk
kana dapat diartikan sebagai ungkapan. Bentuk sastra ini sangat umum dipakai oleh kalangan
masyarakat untuk menggambarkan kehalusan budi pemakainya. Artinya orang-orang yang
mempunyai perasaan dan budi pekerti yang halus dapat menggunakan kata-kata kias atau
paruntuk kana dengan baik.
Contoh Paruntuk kana
Naseleki sirunna
suami yang menangani uang belanja
Assipak kaluara
Senang bergotong royong
Pakammi siring balla
pelamas
Baine pallabusu
Istri yang suka belanja melewati pendapatan suami.
g. Pasang
Pasang salah satu bentuk sastra Makassar yang dalam bahasa Indonesia dapat dipadankan
dengan petuah atau wasiat orang tua yang berisi petunjuk yang dapat dijadikan petunjuk atau
pedoman dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Petunjuk dalam berbagai kehidupan
yang dimaksud adalah bidang keagamaan dan pendidikan moral, bidang sosial kemasyarakatan,
ekonomi dan kesejahteraan rumah tangga. Salah satu contoh pendidikan moral adalah kejujuran
yang harus dimiliki oleh penegak hukum.
Contoh pasang
Pasang I Mangngadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingngaloang
Limai passala kapanrakanna se’reya kalompowang.
Punna teanamo naero nipakainga karaeng maggauka.
Nganre ngasengmi soso’ pabbicaraya.
Punna majai gau’ lompo rilalang pa’rasanganga.
Punna tenamo tumangasseng ri lalang pa’rasanganga.
Punna tenamo nakamaseyangi atanna karaeng maggauka.
Artinya:
Bilamana raja yang memerintah tidak mau dinasihati.
Bilamana pejabat kerajaan sudah sama makan sogok.
Bila terlampau banyak kejadian besar dalam negeri.
Jikalau tidak ada lagi cerdik pandai dalam negeri.
Jika raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.
Iyapanakulle nialle parewa se’rea tau, niyappi naballaki annanga passala:
1. Angngassengpi ri gau’-gau’ adaka
2. Baji’ pangngampei ri tau jaiya
3. Sabbarapi ri gau antabaiai
4. Mallapi ri karaeng se’reya
5. Mangngasengpi ri sesena rapanga
6. Mangngasengpi ri tujuanna bicaraya
Artinya, Seseorang dapat diangkat pemimpin bila mengetahui:
1. Mengenal seluk-beluk ketentuan adat
2. Berprilaku terpuji terhadap yang dipimpinnya
3. Tabah menghadapai musibah
4. Bertaqwa pada Tuhan yang Maha Esa
5. Mendalami undang-undang (ketatanegaraan)
6. Mengetahui seluk-beluk pelaksanaan hukum.
6. Masyarakat Makassar
Istilah masyarakat oleh para ahli sosiologi di Indonesia masih tetap digunakan secara luas.
Dalam beberapa tulisan tentang masyarakat Indonesia, dapat dilihat istilah itu digunakan untuk
society sekaligus untuk kata community.
Dari sekian banyak pengertian yang diberikan terhadap istilah masyarakat (society,
community), ada dua hal yang menjadi unsur utama terbentuknya masyarakat. (1) adanya
wilayah tempat sejumlah orang hidup di atasnya. (2) ada-nya elemen-elemen kehidupan bersama
yang mereka saling memengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya. Adapun elemen-elemen
yang dimaksud adalah sikap (menner), tradisi (tradition), dan cara berbahasa (model of speech)
(Yatim, 1983: 30).
Masyarakat Makassar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sekelompok orang yang
mendiami suatu wilayah yang saling berhubungan satu dengan lainnya, yaitu wilayah Barat
semenanjung Sulawesi Selatan.
Wilayah yang dimaksud meliputi kabupaten: Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng,
Selayar, Kota Makassar, Maros, dan sebagian Kabupaten Pangkep. Percepatan persebaran
penduduk yang terjadi sekarang membuat masyarakat Makassar keluar wilayah Sulawesi Selatan
bahkan menyebar keseluruh pulau di Indonesia. Migrasi penduduk erat kaitannya dengan profesi
mereka baik yang turun-temurun maupun karena pilihannya masing-masing, etnis Makassar
yang berdiam di luar Sulawesi Selatan masih tetap menjaga elemen kesatuannya.
“Elemen-elemen masayarakat Makassar terdapat dalam tradisi, sikap, dan bahasa yang
membedakan dengan masyarakat etnis lainnya. Dalam beberapa tulisan, kelompok masyarakat
ini disebut suku Makassar”, Mattulada (dalam Mulya, 2004: 3). Walaupun demikin dalam
pembicaraan sehari-hari kedua suku besar yang bermukim di Sulawesi Selatan, suku Bugis dan
suku Makassar, lebih lazim disebut suku Bugis-Makassar. Karena dalam kenyataan, memang
tidak banyak hal yang berbeda. Perbedaan yang menonjol hanya bahasa yang digunakan. Oleh
karena itu, sebutan dengan masyarakat Makasar lebih sering dikaitkan dengan penutur bahasa
Makassar dalam pengertian yang lebih bersifat sosiolinguistik.
“Bahasa Makassar mempunyai variasi dialek (ragam lokal), yakni dialek Lakiung, dialek
Turatea, dialek Bantaeng, dialek Konjo, dan dialek Selayar” (Palenkahu, 1970: 10). Dialek
Lakiung berlokasi pada lima kabupaten dan kotamadya. Kelima kabupaten tersebut yakni
Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar, Kota Makassar, Kabupaten Maros, dan Kabupaten
Pangkajene Kepulauan. “Jumlah penuturnya cukup besar, meliputi 74% dari seluruh penutur
bahasa Makassar” (Yatim, 1983: 31, dalam Mulya, 2005: 4).
Masyarakat Makassar pada umumnya memiliki mata pencaharian bertani dan berladang
serta berlayar. Mereka berlayar baik sebagai pedagang antarpulau di nusantara Indonesia maupun
nelayan penangkap ikan. Dari pengaruh perkembangan dunia saat ini, menjadikan lapangan
pekerjaan berkembang pula. Banyak di antara mereka selain mengikuti pekeerjaan utama orang
tua mereka bertani dan berlayar, ada pula yang mencari lapangan pekerjaan yang baru. Ada
bekerja sebagai pegawai, menjadi prajurit, bekerja di industri, pariwisata baik sebagai karyawan
biasa maupun sebagai pimpinan perusahaan. Dengan kata lain, mobilitas kehidupan masyarakat
Makassar tidaklah kurang giatnya dibandingkan dengan kelompok etnis masyarakat lainnya yang
ada menghuni wilayah Indonesia.
Masyarakat Makasassar memegang teguh falsafah hidup sirik na pacce. Kata sirik secara
harfiah berarti “malu” atau “kehormatan”. Rasa dan nilai kehormatan ini ditanam, dipelihara, dan
dikembangkan oleh setiap individu dalam bermasyarakat baik hubungannya kepada sesama
individu maupun hubungannya dengan masyarakata di mana etnis Makassar hidup. Prinsip ini
ditanamkan dalam keluarga dan dijadikan pegangan di mana pun etnis Makassar berdomisili.
Seorang harus menjaga kehormatan dan nama baik keluarga.
Kata Pacce secara harfiah berarti “pedih” memunyai nilai tersendiri dan selalu mengiringi
sikap sirik. Dengan sikap hidup yang berdasarkan pacce ini, masyarakat Makassar
mengembangkan sikap saling menghargai antarsesama manusia yang tidak memandang etnis dan
agama. Menjunjung tinggi sikap perikemanusiaan dalam kehidupan, makna kata pacce dalam
kehidupan sehari-hari tidak hanya ditujukan kepada manusia saja akan tetapi dapat
diperuntukkan kepada seluruh makhluk. Kata siri na pacce harus seiring dan saling melengkapi
sebagai pengontrol dalam bersikap atau bertindak.
Pada penelitian ini masyarakat Makassar yang dijadikan objek penelitian adalah masyarkat yang
berdomisili di kabupaten Gowa sebagai daerah yang pernah jadi kerajaan. Daerah ini merupakan
salah satu daerah tempat tinggal keluarga bangsawan keturunan kerajaan Gowa.
Masyarakat Makassar adalah sekelompok masyarakat yang hidup bersama sejak lama,
turun-temurun dan secara spontanitas memiliki sifat dan kebiasaan yang bersifat tradisi. Dengan
kata lain, orang Makassar memiliki sifat tradisional dalam kehidupannya sehari-hari yang tepat
terjaga dan dipertahankan. Sifat-sifat tradisional tersebut masih tetap eksis dan dinggap baik dan
perlu dilestarikan.
Masyarakat tradisonal adalah masyarakat yang masih memegang adat dan kebiasaan lama
secara teguh dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian tidak ada sekelompok masyarakat
pun yang mempertahankan kebiasaan lama (budaya) tanpa mendapatkan tanganngan dan
pengarauh budaya dari luar. Namun demikian, masyarakat yang tetap teguh mempertahankan
budayanya tetap tidak terkalahkan dengan kelompok masyarakat pembawa budaya baru.
Dalam pergaulan dengan dunia luar, masyarakat Makassar pada dasarnya adalah
masyarakat yang sangat terbuka. Suku Makassar dapat menerima gagasan-gagasan baru yang
datang dari luar apabila gagasan itu dianggap baik dan bagus untuk dikembangkan dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, agama Islam diterima dan diajarkan oleh raja Gowa yang
akhirnya kerajaan Gowa terkenal dengan kerajaan besar di nusantara yang menyebarkan agama
Islam dengan pesat. Hal ini terjadi setelah raja Gowa dan raja Tallo memutuskan memeluk
agama Islam dan secara spontan masyarakat yang ada pada dua kerajaan tersebut perlahan-lahan
memeluk agama Islam. Kerajaan Gowa bahkan menjadi pusat pengembangan agama Islam baik
secara politis dan militer, maupun dalam usaha pemantapan ajaran Islam dalam
mengintegrasikannya ke dalam adat-istiadat kehidupan masyarakat.
7. Pranata Adat Masyarakat Makassar
Adat adalah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama sudah ada, merupakan tradisi
dalam masyarakat yang bermaksud mengatur tata tertib masyarakat. Masyarakat Makassar
mengenalnya dengan istilah panngadakkang. Dalam lontarak diungkapkan: Iyya nanigesaraki
adak biasana tumabuttaya tammattikami balloka, tanaik tonganngami jukuka, sala tongi asea.
Artinya: “Jika adat kebiasaan dirusak, maka tuak berhenti menetes, ikan menghilang, dan padi
pun tidak jadi”. Dengan kata lain melanggar adat berarti melanggar kehidupan manusia dan
akibatnya bukan saja dirasakan yang bersangkutan, melainkan dirasakan pula oleh masyarakat
sekitarnya.
Komponen adat-istiadat atau pangngadakkang terdiri atas adak dan rapang. Setelah
syariat Islam diterima sebagai kebiasaan atau pangngadakkang maka dikenal pula pranata sarak
sebagai komponen ketiga. Adak adalah kaidah dan nilai kemasyarakatan yang meliputi tertib
pribadi dan tertib sosial yang bersifat umum.
Sarak adalah hal-hal yang menyangkut kaidah dan nilai dalam urusan keagamaan seperti;
urusan nikah, talakrujuk, kematian, dan kegitaan Islam yang lainnya. Adak dan sarak membentuk
satu kesatuan dalam pangngadakkang dimulai dari lingkungan rumah tangga, keluarga lalu
disosialisasikan dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat. Dari hubungan sosial
kemasyarakatan inilah tercermin bagaimana pranata sosial masyarakat Makassar dibina dan
dilestarikan.
Keseluruhan sistem norma itu dalam masyarakat Makassar biasanya disebut istilah
pangngadakkang. Pangngadakkang menjadi pedoman dalam bertingkah laku atau berbuat
sehari-hari baik dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat. Oleh kerena itu, seseorang yang
akan melakukan suatu kegiatan akan mengembalikan pada kebiasaan atau adat yang berlaku
pada masyarakat di mana orang itu berada. Adat merupakan penentu baik tidaknya sesuatu itu
dilakukan. Punna panngadakkang tena eroku tena kulleku. “Jika sudah menyangkut ketentuan
adat, tidak berlaku kemampuangku”.
Adat sebagai kebudayaan, menggariskan ketentuan bagi segenap sikap dan tingkah laku
yang diketahui , dimiliki dan dipertahankan sebagai milik bersama. Mereka yang mematuhinya
akan memperoleh penghargaan dan akan memperoleh hukuman bagi yang melanggarnya
(Rahim, 1985: 124-142)
Nilai pangngadakkang ditemukan dalam metafora bahasa Makassar. Misalnya (1) Tau
tanngasseng pangngadakkang, artinya orang yang tahu adat. Metafora ini digunakan untuk
menggambarkan seseorang dalam pergaulan sosialnya tidak dapat menyesuaikan diri dengan
adat-istiadat setempat. (2) Tau ammallaki pangngadak-kang. Artinya orang yang memiliki dan
mengetahui adat. Metafora semacam ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tahu
secara tepat mengenai waktu, tempat, dan suatu atauran.
a. Parewa Adak (Jabatan Adat)
Berbicara tentang adat adalah berbicara tentang kekuasaan. Adat terbagi dua kategori,
yaitu kekuasaan yang digunakan dalam kehidupan adak Gowa dengan istilah kekuasaan yang
digunakan dalam adak karaeng palilik (penguasan negeri kecil yang berada di bawah
kekuasaan kerajaan Gowa). Kategori yang kedua adalah kekuasaan yang digunakan dalam
jabatan adak secara khusus berlaku dalam pusat pemerintahan kerajaan Gowa.
Selanjutnya, Yatim (1983) mengutip pendapat Mattulada (1977) bahwa dalam kehidupan
adat feodalisme masyarakat Makassar terdapat dua macam kepemimpinan. Pertama
kepemimpinan pamminawanngang tojeng (pemerintahan murni). Kepemimpinan semacam ini
ditemukan di desa-desa yang menurunkan gelar yang berbeda menurut sejarah desa masing-
masing. Gelar penguasa desa yang terdapat dalam kerajaan Gowa pada fase perkembanganya
adalah sebagai berikut :
(1) Gallarang, misalnya Gallarang Mangasa, Gallarang Tombolo.
(2) Anrong guru, misalnya Anrong guru Moncong Balang, Anrong guru Lempanganng.
(3) Daeng, misalnya Daeng Pallangga, Daeng Paku.
(4) Batang Banoa, misalnya Batang Banoa Bajeng.
(5) Jannang, misalnya Jannang Gentungan, Jannang Data.
(6) Aruk, misalnya aruk Pao.
Kedua kepemimpinan pamminawanngang tunipinawang (penguasa). Kepe-mimpinan ini
berkembang di pusat kerajaan dan lebih bersifat fungsional. Ada dua jenis jabatan yang
dikembangkan di pusat pemerintahan kerajaan, yakni (1) jabatan eksekutif dipegang sendiri oleh
keluarga bangsawan Gowa. Dan (2) jabatan legislatif dipegang oleh keluarga bate.
Dari keseluruhan jabatan di pusat pemerintahan kerajaan, yang tersisa pada akhir
kehidupan kerajaan Gowa disebutkan sebagai berikut :
(1) Sombaya (raja Gowa)
(2) Tumakbicara Butta (mangkubumi)
(3) Tumailalang Toa ( Penasihat Utama)
(4) Tumailalang Lolo (penasihat muda)
(5) Tukkajannang Anak Burakne (panglima perang)
(6) Paccallaya (ketua dewan legislatif)
(7) Bate Salapang (sembilang bate yang menjadi dewan legislatif).
Dalam kehidupan di masyarakat adat dan feodalisme, dikenal tiga lapisan masyarakat
yang telah berkembang sejak lama. Ketiga lapisan itu adalah :
(1) Karaeng, dalam arti harfiah “raja” dalam hal ini dimaksudkan adalah bangsawan/penguasa.
(2) Tumaradeka, secara harfiah berarti “orang merdeka” yaitu lapisan masyarakat menengah.
(3) Ata, yang berarti “abdi atau hamba” yaitu lapisan bawah atau masyarakat jelata.
Lapisan masyarakat ini bersifat sosial, maka mobilitasnya tampak jelas dalam
perkembangan riwayat kehidupan pribadi-pribadi. Darah bangsawan dapat dijajaki berdasarkan
riwayat keturunan seseorang. Keluarga yang sangat dekat dengan penguasa yang memegang
jabatan kekuasaan, maka sudah barang tentu orang yang dekat itu keturunan bangsawan atau
darah bangsawanannya lebih dari penguasa. Hal lain yang menjadi penanda pada lapisan ini
adalah warisan kepemilikan harta atau tanah, keturunan bangsawan lebih menguasai harta
kekayan kepemilikan tanah dibandingkan lapisan masyarakat yang lainnya.
Keturunan bangsawan dapat turun starata sosialnya di masyarakat sebagai akibat dari
beberapa peristiwa sosial. Misalnya perkawinan, seorang keturunan bangsawan yang kawin
dengan wanita tumaradeka atau ata yang derajat sosialnya dalam masyarakat lebih rendah maka
anak yang lahir dari hasil perkawinan tersebut derajat sosialnya turun, karena antara bapak dan
ibu derajat sosialnya tidak sama.
Tentang peranan dan jabatan adat feodalisme, darah bangsawanlah yang menjadi keriteria
utama dalam penunjukan seseorang dalam memangku jabatan atau kekuasaan, sekalipun hal ini
bukan merupakan syarat satu-satunya. Keutaman-keutamaan yang dimaksud adalah :
(1) Cerak (darah), berarti keturunan atau kebangsawanan,
(2) Kabaraniang (keberanian, kepahlawanan), rela berkorban untuk kepentingan orang banyak,
dan
(3) Pakkalumannyanngang (kekayaan) harta yang dimiliki (Mattulada, 1985 )
b. Parewa Sarak (Jabatan Syariat)
Raja Gowa ke-14 I Manga‟ngi Daeng Manrabbia menerina Islam pada hari Jumat tanggal
20 September 1605 M (9 Jumadil Awal 1015 H) dari Khatib tunggal Abdul Makmur atau yang
lebih dikenal dengan Datok ri Bandang. Sejak itulah kerajaan Gowa resmi sebagai kerajaan
Islam sehingga rajanya diberi gelar Islam Sultan Alauddin. Selain raja Gowa, raja Tallo I
Mallingkaan Daeng Manyonri, paman raja sekaligus pabbicara butta (mangkubumi) kerajaan
Gowa menerima Islam pada malam Jumat. Kemudian beliau diberi gelar Islam Sultan Awwalul
Islam. Datok ri Bandang bersama dua orang temannya, Datok Sulaeman dan Datok ri Tiro yang
berasal dari Minangkabau pada saat itu berada di Aceh diundang oleh raja Gowa dan masyarakat
Makassar datang mengajarkan agama Islam di Sulawesi.
Dalam waktu kurang dari enam tahun, semua raja besar dan kecil di Sulawesi Selatan
sudah berhasil diislamkan oleh ketiga Datok tersebut atas dukungan kekuatan dan kekuasaan raja
Gowa. Meskipun terjadi perang dengan raja-raja Bugis yang menolak ajaran pengislaman karena
kesalahpahaman, raja Gowa senantiasa menyebarkan Islam menurut prinsip dakwah islamiyah.
Penerimaan agama Islama sebagai agama kerajaan yang kemudian dianut oleh seluruh
rakyat berjalan tanpa rintangan yang berarti. Hal itu kemungkinan disebabkan karena jauh
sebelum raja Gowa dan Tallo memeluk agama Islam. Mattulada (1988: 34) menyatakan bahwa
zaman pemerintahan Tunijallo, Raja Gowa XII, yang memerintah dari tahun 1565-1590, raja ini
telah mendirikan mesjid bagi pedagang yang beragama Islam di Manngallekana, tempat
kediaman pedagang itu di Makassar.
Pengislaman yang dilakukan oleh kerajaan Gowa terhadap raja-raja kecil di Sulawesi
Selatan berjalan tanpa kendala yang cukup berarti. Hal ini disebabkan karena adanya
perjanjian yang pernah disepakati terlebih dahulu, yaitu barang siapa yang menemukan jalan
yang lebih baik, ia akan memberitahukan jalan yang baik itu kepada raja-raja sekutunya.
Perkembangan agama Islam sebagai agama baru di Gowa membutuhkan kelembagaan
baru yang disebut sarak, dihubungkan dengan kata syariah (Mattulada, 1985). Dengan demikian,
lembaga dalam kehidupan tradisonal dikenal dengan istilah adak, setelah masuknya Islam ini
maka istilah adak ini diistilahkan dengan sarak. Pelaksanaan kekuasaan pemerintahan kerajaan
didampingi pula oleh pimpinan keagamaan.
Pegawai sarak mempunyai kedudukan sendiri dalam masyarakat. Mereka mengatur hal-
hal yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah, pelaksanaan hukum Islam, perkawinan,
perceraian, kematian, pembagian harta warisan dan lain-lain yang berkaitan dengan hal
keagamaan. Pejabat tertinggi dalam lembaga sarak ini disebut kadi yang berkedudukan di pusat
pemerintahan kerajaan. Selanjutnya, pada perkembangannya sesuai dengan tuntutan kebutuhan
dan banyaknya urusan agama maka kadi ini berkedudukan di setiap distrik. Di desa lembaga
sarak dipegang oleh imam desa dan dibantu oleh imam masjid.
Istilah lain dalam keagamaan yang ada dalam masyarakat adalah anrong guru (guru
besar). Saat ini istilah anrong guru masih dikenal luas di masyarakat adalah anrong guru tarekak
(guru besar dalam ilmu tarikat). Di Gowa istilah yang sangat popular dan berpengaruh di
masyarakat adalah tarikat khalwatiah. Tarikat ini bukan saja berkembang di Gowa bahkan
hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan dan bahkan sampai di luar wilayah Sulawesi pun ajaran
ini banyak dianut oleh masyarakat Islam.
Jabatan parewa sarak tidaklah harus dipegang oleh lapisan atas (bangsawan) saja. Jabatan
ini boleh dipegang oleh golongan menengah, dan bahkan golongan rendahan atau ata, yang
diutamakan pada jabatan ini adalah yang mempunyai pengetahuan agama yang luas. Misalnya
penjaga masjid yang diutamakan adalah yang mempunyai pengetahuan agama.
c. Demokrasi Dalam Pembicaraan
Dikemukakan oleh H.D. Mangemba (dalam Muhtamar, 2007: 30) Sejak zaman dahulu
orang Makassar mengenal demokrasi dalam bertutur, hal ini dapat dilihat dari pembicaraan Raja
Gowa dengan beberpa anggota kabinetnya mengenai soal-soal pemerintahan. Raja Gowa ketika
itu adalah Tumenanga Ri Katangka berbicara dengan Tumailalang Toa Karaeng Buakana, dan
Tumailalang Lolo Karaengta Pabbundukang. Fungsi Tumailalang Toa (juru bicara Raja) adalah
sebagai perantara sombaya (Raja Gowa) dengan Tumailalang Lolo (juru bicara rakyat) sebagai
wakil rakyat. Dari pembicaraan raja Gowa dapatlah disimak kalimat raja Gowa “Ada tiga hal
yang dapat kuperlihatkan kepada orang gowa”. Dari perkataan itu Tumailalang lolo tidak
menerima kalimat baginda. Sebab ucapan itu dianggap diktator dengan pemakaian kata ku
(kupaccinik-kang/kuperlihatkan). Sebagai tanda tidak setuju Baginda mengeluarkan buah
pikirannya, maka Tumailalang lolo pun mengeluarkan tali pengikat kerisnya di hadapan Raja
Gowa, hal itu dilakukan karena tumailalang belum diberikan kesempatan untuk berbicara, belum
ditanya Tumailalang toa. Namun belum diberikan kesempatan berbicara tumailalang lolo tetap
memperlihatkan kesopanannya dalam pertemuan, ia tidak berdiri dan tidak meninggalkan tempat
pertemuan.
Oleh sebab itu Tumailalang segera bertanya kepada Raja Gowa hal apa yang pernah
diperlihatkan kepada orang Gowa. Maka Raja Gowa pun menyambung pembicaraannya
“Pertama-tama kumasukkan Islam, kedua kubuatkan pengairan, ketiga kubikinkan jalan besar”
(Muhtamar, 2007: 32). Mendengar perkatan Raja Gowa Tumailalang Toa kepada Karaeng
Pabbundukang (Tumailalang Lolo) “Bagaimana pendapat orang Gowa tenatang perkataan
Baginda”? Tumailang lolo menjawab “Cuma yang bisa dikatakan orang Gowa adalah ada tiga
perkara yang tidak boleh dikerjakan sendiri, pertama jinjingan berat, kedua junjungan berat,
ketiga pandangan berat”.
Setelah Raja Gowa mendengar pendapat dari Tumailalang Lolo berbeda dari apa yang
diharapkan, maka Raja Gowa tahu bahwa apa yang diucapkannya salah dalam bertutur.
Wajahnya lemas dan memalingkan mukanya kepada Tumailalang Toa, melihat raut wajah Raja
Tumailalang Toa tentu siap membela kehormatan Raja Gowa karena salah dalam berbicara.
Namun demikian Tumailalang Toa tidak menengur Tumailalang Lolo, Tumailalang Toa hanya
mengatakan “Tetapi Tumailalang Lolo, ada tiga macam perkara tidak dirasakan dan tidak
dilakukan tetapi didapati keburukannya. Pertama orang selalu menjatuhkan nasib baik orang lain,
kedua orang selalu cemburu dengan nasib-takdir seseorang, dan ketiga iri hati kepada kedudukan
seseorang” (Muhtamar, 2007: 33).
Dari percakapan antara Raja dengan Tumailalang dan Tumailalang Lolo (juru bicara raja
dan juru bicara rakyat) maka dapatlah disimpulkan betapa demokratis orang Makassar dalam
berbicara dan menjunjung tinggi etika dalam bertutur. Etika dalam berdialog dijunjung tinggi
dan kalimat yang digunakan dalam berbicara mengandung perkataan tinggi dan bukan sekadar
kalimat emosi belaka yang sifatnya menghujat atau mencela lawan bicara, sekalipun lawan
bicara kedudukannya lebih rendah. Hak untuk menyampaikan aspirasi atau hak bicara sangat
dihormati dan dijunjung tinggi.
8. Nilai-Nilai Kultural (Budaya) Masyarakat Makassar
Secara singkat nilai dapat dikatakan sebagai hasil penilaian/pertimbangan “baik atau tidak
baik” terhadap sesuatu kemudian dipergunakan sebagi dasar alasan untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Sesuatu dikatakatan memiliki nilai apabila sesuatu mempunyai kegunaan
(nilai kebenaran), nilai keindahan, dan nilai religius.
Suatu yang mempunyai nilai itu tidak hanya yang berwujud benda atau material saja tetapi
juga yang berwujud benda abstrak. Bahkan benda abstrak pun dapat mempunyai nilai yang
sangat tinggi dan mutlak bagi manusia.
Manusia menjadikan nilai sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalam melakukan suatu
perbuatan. Dalam pelaksanaannya, nilai-nilai ini dijabarkan dalam bentuk kaidah atau ukuran
dalam bertindak. Nilai merupakan patokan suatu keharusan (perintah), anjuran, larangan dan
sebagainya. Nilai ini terbentuk melalui proses kesadaran dan keyakinan bagi seseorang atau
sekelompok orang, dengan demikian nilai tidak dapat dipaksakan dengan seseorang atau
sekelompok orang untuk menerima atau menolak.
Nilai merupakan hal yang dihargai atau dihormati, ingin diraih dan dianggap sebagai
sesuatu yang berharga atau bernilai. Poerwadarminta (2007: 677) Nilai adalah keadaan isi yang
memiliki sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Bertolak dari definisi
ini, maka dalam sastra kelong banyak mengandung nilai yang perlu dijaga dan dilestarikan.
Norma adalah petunjuk yang harus dilakukan serta larangan yang patut dijauhi dan
ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Norma merupakan pedoman manusia dalam menata
kehidupan bermasyarakat berdasarkan alasan tertentu yang disertai sanksi. Seseorang atau
sekelompok masyarakat yang melanggar norma yang berlaku dalam masyarakat akan menerima
sanksi apabila melanggar norma yang disepakati tersebut. Sanksinya bermacam-macam sesuai
dengan tingkat pelanggaran, misalnya dikucilkan dalam masyarakat, atau dibuang.
Penjelajahan yang telah dilakukan pada mitos Tumanurung telah mengung-kapkan
beberapa nilai yang dijakan patokan dasar pembentukan budaya Makassar. Nilai-nilai diciptakan
dan disepakati oleh nenek moyang mereka dan akhirnya menjadi suatu kepercayaan
(kebudayaan masyarakat Makassar). Kepercayaan itu secara turun-temurun diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Dalam mewariskan kepercayaan itu mereka menasihatkan
melalui lontarak. Nilai-nilai lain yang diwariskan nenek moyang atau orang tua dahulu
khususnya masyarakat Makassar adalah keberanian mempertahankan hak, harga diri, dan
keadilan.
9. Pendekatan Nilai Kultural Sastra Kelong
Dalam menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalam sastra Sastra Kelong maka
pendekatan yang digunakan mengacu pada teori nilai budaya yang dikemukakan oleh
Koentjaraningrat (1988 dalam Hakim, 1993: 23-24). Teori ini berasumsi bahwa nilai budaya
adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau disebut adat. Nilai budaya adalah lapisan paling
abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah nilai-nilai yang mengopsesikan hal-hal
yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Selajutnya, ia mengemukakan bahwa suatu
sistem nilai budaya terdiri dari konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar
warga masyarakat melalui hal-hal yang harus dan mereka anggap sangat bernilai dalam
kehidupan. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman
tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia yang tingkatannya lebih konkret
seperti aturan-aturan khusus, hukum, norma semuanya berpedoman kepada sistem nilai budaya
itu. Nilai budaya yang dapat mendorong pembangunan nilai tahan penderitaan, kerja keras,
toleransi terhadap pendirian atau kepercayaan orang lain, serta gotong-royong.
Perlu pula ditambahkan bahwa nilai-nilai yang dipilih tidaklah harus dianggap bahwa
hanya itu saja yang terdapat dalam sebuah karya sastra atau hanya nilai itu saja yang termuat
dalam budaya daerah yang melatarbelakangi karya sastra tersebut. Akan tetapi yang diangkat
hanyalah puncak-puncak nilai atau nilai yang mewarnai isi karya sastra. Selain itu, yang hendak
ditonjolkan adalah peranannya dalam mengendalikan kehidupan etnis masyarakat tertentu
sehingga memberikan corak tertentu pada kebudayaan etnis tersebut. Dengan mengangkat niali-
nilai tertentu tidaklah berarti hendak mempersoalkan nilai baik buruknya suatu karya sastra akan
tetapi yang ingin dijelaskan adalah makna masing-masing nilai yang akan dijadikan sebagai
rujukan tindakan sosial dan kultural yang termuat dalam karya sastra.
Beberapa aspek falsafah hidup dan sikap mental masyarakat yang terdapat dalam kelong
Makassar, yang diharapkan menjadi pegangan adalah (1) abbulo sibatang accera sitongka-
tongka, (2) assipakatau, (3) sirik napacce.
a. Abbulo sibatang accera sitongka-tongka
Abbulo sibatang artinya seperti satu batang bambu kita bekerja terus sama-sama akan kita
dapati kesenangan. “Bekerja dengan jujur dan bersatu akan menghasilkan pekerjaan yang tak
terhenti sebagai tugas memberi kesenangan dan keberuntungan”.
Ungkapan ini selalu dikumandangkan dalam pertemuan-pertemuan oleh berbagai pihak
dalam usaha melaksanakan sesuatu pekerjaan atau kewajiban bersama untuk dinikmati bersama
oleh seluruh warga masyarakat.
Sebagai contoh seseorang atau beberapa orang saja yang mengerjakan sesuatu atau
menghadapi sesuatu diantara banyak orang dan orang lain tinggal menonton pasti hasilnya tidak
ada dan bukan milik bersama, maka haruslah dihimpun semua lapisan masyarakat dan
bergotong-royong melakukan suatu tugas dengan kejujuran, maka pasti berhasil dan hasilnya
akan merupakan hasil bersama karena tugas itu dikerjakan dengan jujur sehingga memberikan
keberuntungan. Yang ikut bersatu bekerja dia pulalah yang menikmati hasilnya. Ungkapan ini
sangat bermanfaat sekali dalam menggalakkan suatu usaha terutama dalam pembangunan karena
yang akan menikmati adalah seluruh yang ikut melaksanakan tersebut dan akan mendapat
kepuasan bersama.
b. Sipakatau
Sesungguhnya budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun
kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Kalau menelusuri
secara mendalam, sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai “tau” (manusia),
dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial amat dijunjung tinggi keberadaannya.
Dari konsep tau inilah sebagai esensi pokok yang mendasari pandangan hidup orang
Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu
dimanifestasikan melalui sikap budaya “sipakatau”. Artinya saling memahami dan
menghargai secara manusiawi.
Dengan pendekatan sipakatau, maka kehidupan orang Makassar dapat mencapai
keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan
sewajarnya sesuai hakikat martabat manusia. Seluruh perbedaan sosial tercairkan, tak ada
perbedaan antara kaya dan miskin, pimpinan dan bawahan, turunan bangsawan dan rakyat
biasa, dan sebagainya. Yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya yang dilandasi
sikap budaya sipakatau.
Sikap budaya sipakatau dalam kehidupan orang Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi
Sirik na Pacce. Dengan menegakkan prinsip Sirik na Pacce secara positif, berarti seseorang
telah menerapkan sikap Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan. Tanpa sikap
Sipakatu, manusia akan menjadi seperti binatang yang kejam terhadap sesamanya, kehilangan
sikap kemanusiaannya.
Sipakatau dalam hidup kekerabatan, menjadi salah satu faktor Pembina struktur dan
tatakrama pergaulan kemasyarakatan. Hanya dalam lingkungan orang-orang yang menghayati
dan mampu mengamalkan sikap hidup Sipakatau yang dapat secara terbuka saling menerima
hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.
Sipakatau dalam kegiatan ekonomi, sangat mencela adanya kegiatan yang selalu hendak
“annunggalengi” (egois) atau menopoli lapangan hidup yang terbuka secara kodrati bagi
setiap manusia. Azas sipakatau akan menciptakan iklim yang terbuka untuk saling
“sikatallassi” (saling menghidupi), tolong menolong, dan bekerjasama membangun
kehidupan ekonomi masyarakat secara adil dan merata.
Sipakatau menjadi etika pergaulan orang Makassar yang patut diaktualisasikan di segala
sektor kehidupan. Di tengah pengaruh budaya asing yang cenderung menenggelamkan
panghargaan atas sesama manusia, maka sikap Sipakatau merupakan sesuatu kendali moral
yang harus senantiasa menjadi landasan. Hal ini meningkatkan budaya Sipakatau juga
merupakan tuntutan dalam kehidupan berbangsa sesuai dengan azas Pancasila, terutama Sila
Ketiga yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab.
c. Sirik napacce
Sirik na pace merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik dipergunakan untuk
membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya, sedangkan
pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan.
Sering kita dengar ungkapan suku Makassar yang berbunyi “Punna tena siriknu, paccenu
seng paknia” (kalau tidak ada sirikmu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila sirik
napacce sebagai pandangan hidup tidak dimiliki seseorang, akan dapat berakibat orang
tersebut bertingkah laku melebih tingkah laku binatang karena tidak memiliki unsur
kepedulian sosial, dan hanya mau menang sendiri.
Di kalangan orang-orang Bugis Makassar dikenal pula kelong (Syair) untuk menyatakan
sesuatu dengan perasaan. Kelong dapat melahirkan ekses-ekses sirik dan pace. Kelong-kelong
yang erat kaitannya dengan Siriknapacce antara lain sebagai berikut:
Takunjunga bangung turu
Nakugunciri gulingku
Kualleanna
Tallanga natoalia
Artinya
Semula kuperturutkan arus mengalir
Kemudi kutancapkan
Dan kupilihlah
Lebih baik tenggelam dari pada surut kembali tanpa hasil
Kusoronna biseangku
Kucampa’na sombalakku
Tamammelakka
Punna teai labuang
Artinya
Kudayung sampanku laju
Kukembangkan layar
Pantang berbelok kearah lain
Kecuali arah pantai berlabu
Kelong tersebut di atas melambangkan orang-orang Makassar yang pantang menyerah
menghadapi tantangan-tantangan betapapun wujudnya, karena masyarakat menyerah
menghadapi tantangan dinilai oleh orang Makassar sebagai sirik.
Dengan demikian, dapatlah dibayangkan betapa besar pengaruh nilai-nilai yang
terkandung dalam kelong, khususnya nilai sirik itu, bagi sikap mental orang-orang Bugis –
Makassar pada umumnya.
Dalam hal-hal mencapai tujuan, orang-orang Makassar berpegang semboyan
“Kualleanna Tallanga natoalia” (sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai),
semboyan ini memanifestasikan bahwa orang-orang Makassar itu tabah menghadapi
tantangan-tantangan hidup. Tabah menghadapi segala jenis cobaan-cobaan yang datang
bertubi-tubi menimpa. Hal ini erat pula hubungannya dengan perjuangan-perjuangan hidup
orang Bugis Makassar sebagai pelaut ulung.
Angngasseng tonja labba boyo
Pace tanaebbak lading
Tena garringku
Namalantang pakrisikku
Artinya:
Daku nikmati tawarnya labu
Pedis tak tergores pisau
Ku tak menderita penyakit
Namun betapa pedihnya terasa menusuk jauh dilubuk hati
Pada umumnya jika orang Makassar telah bersyair (Kelong) seperti yang tersebut di atas,
lazimnya disusul dengan rasa pace (rasa pedih yang mendalam, sebab disinggung
kehormatannya). Alasannya, jika hal itu mengandung aspek-aspek sirik maka
penyelesaiannya otomatis : darah sebagai tebusan ketersinggungan (pacce) tersebut. Jadi,
pacce sebagai aspek yang hakiki dari pada sirik itu, bukan berarti kesetiakawanan dalam
membela kehormatan (sirik), melainkan ia mengandung pula makna; kepedihan yang tiada
taranya, karena martabat harkat diri yang tersinggung. Ia tersayat-sayat menjangkau jauh ke
dalam lubuk hati. Itulah hakikat dasar apa yang disebut pace. Sebagai perwujudan lajut dari
pada sirik tersebut.
B. Kerangka Pikir
Hal yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah sastra Makassar Kelong. Adapun
objek yang diamati adalah aspek nilai yang terdapat dalam sastra Makassar Kelong. Nilai yang
ditemukan dianalisis dan pada akhirnya melahirkan temuan yang berwujud kesimpulan mengenai
nilai yang diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat Makassar. Penelitian ini mengacu
pada telaah pendekatan teori hermeutika yang dikemukakan oleh F.D.E. Schleiermacher (1768 –
1834) tentang interpretasi dan analisis nilai sebuah teks dalam karya sastra Kelong dan teori
Koentjaraningrat(1988) tentang analisis nilai budaya.
Budaya adalah adat dan kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang
tetap dipertahankan keberadaannya karena dianggap masih relevan dengan perkembangan zaman
oleh masyarakat penganutnya. Kebiasaan-kebiasaan tersebut memuat norma, etika, hukum,
larangan, dan perintah. Bagi masyarakat yang menaati norma yang berlaku dipandang terhormat
oleh masyarakat begitu juga sebaliknya bagi orang yang melanggar aturan atau etika, dan
larangan dianggap tidak baik bahkan dikucilkan dari masyarakat. Di mana orang yang melanggar
tersebut hidup atau berdomisili.
Untuk lebih jelasnya, kerangka pikir penelitian ini digambarkan seperti bagan berikut.
Bagan Kerangka Pikir
Sastra Makassar
Kelong
Nilai
Implementasi
Abbulo sibatang accera
sitongka-tongka
Sipakatau
Sirik napacce
Pesta Pernikahan
Pesta Adat
Acara Resmi
Kenegaraan
Analisis
Temuan
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Pradopo (1995:
159) mengemukakan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah penelitian yang tujuan
mendeskripsikan secara tepat sifat-sifat suatu individu, gejala yang terjadi atau nyata. Begitu
juga, Moleong (1999: 3) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif sebagai penelitian yang tidak
mengadakan perhitungan yang mencirirkan penelitian kualitatif sebagai latar alamiah, teaori
dasar, deskriptif lebih mementingkan proses dari pada hasil, adanya batas yang ditentukan oleh
fokus, adanya criteria khusus untuk keabsahan data, desain yang bersifat sementara, dan hasil
penelitian dirundingkan dan disepakati bersama.
Endraswara (2004: 5) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang
dilakukan dengan tidak mengutamakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman
penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris. Beberapa ahli
beranggapan bahwa penelitian jenis ini menekankan catatan deskriptif atau deskripsi kalimat
yang rinci, lengkap dan mendalam, yang menggambarkan situasi sebenarnya guna mendukung
penyajian data. Oleh karena itu, penelitian kualitatif secara umum sering disebut sebagai
pendekatan kualitatif.
Pemilihan penelitian kualitatif dalam tulisan ini, didasarkan pada sasaran yang ingin
dicapai penulis, yaitu mendeskripsikan nilai kelong dari teks Kelong yang dianalisis dan
implementasinya dalam kehidupan masyarakat Makassar.
B. Desain Penelitian
Desain penelitian adalah suatu proses yang sistematis untuk memecahkan masalah dengan
dukungan data sebagai landasan dalam mengambil kesimpulan. Adapun desain penelitian penulis
dalam melaksanakan penelitian adalah sebagai berikut: langkah pertama dengan pemahaman
terhadap hasil penelitian yang relevan dengan judul penelitian, dengan maksud peneliti dapat
melaksanakan penelitian dengan maksimal, dilanjutkan dengan mengadakan studi kepustakaan
(teks kelong), mengidentifikasi nilai kelong, dan mengidentifikasi implementasi kelong dalam
kehidupan masyarakat Makassar.. Data dalam penelitian ini berupa teks karya sastra Kelong
dianalisis dan dideskripsikan secara kualitatif.
C. Data dan Sumber Data
1. Data
Data Penelitian ini adalah sejumlah teks Kelong yang sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia.
Kelong Makassar tersebut dipilih karena di dalamnya terkandung nilai kejujuran, kesopanan,
kedisiplinan, kebenaran, nilai sosial, dan tata nilai dalam bersosialisasi di masyarakat.
2. Sumber Data
Sumber data diperoleh melalui penelitian pustaka. Sumber data yang berupa pustaka
meliputi buku-buku, jurnal, dan naskah hasil penelitian yang berkaitan dengan pendeskripsian
nilai kutural Kelong dan implementasinya dalam kehidupan masyarakat Makassar. Sumber data
yang berupa pustaka , di antaranya meliputi: Kelong dalam Sastra Makassar (1986), Ungkapan
Tradisional yang Ada Hubungannya dengan Sila-Sila Dalam Pancasila (1991), Masa Depan
Warisan Luhur Kebudayaan Sulsel (2007), Sastra Makassar (2008), Manusia Makassar (2007),
Tafsir Kelong (2007).
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data penelitian ini dilakukan melalui :
1. Dokumentasi
Penelitian kepustakaan dilakukan dengan membaca, mengutip ungkapan/ cerita, menelaah
karya Sastra Makassar Kelong dan mencatat bagian-bagian yang relevan dengan nilai dan makna
kultural (budaya).
2. Teknik wawancara
Teknik wawancara dilakukan untuk memeriksa dan menguji kebenaran data tertulis yang
diperoleh melalui penelitian pustaka. Setelah data tertulis dicek kebenarannya lalu dicek
bagaimana implementasinya dalam kehidupan masyarakat. Wawancara akan dilakukan di
beberapa wilayah, meliputi; daerah perkotaan, daerah pengunungan dan daerah pesisir.
3. Pencatatan
Teknik ini digunakan untuk mencatat data-data yang ada atau yang muncul, baik dalam
penelitian lapangan maupun dalam penelitian pustaka.
E. Pengecekan Keabsahan Data
Pengecakan keabsahan data dilakukan dengan ketekunan pengamatan, triangulasi,
pengecekan sejawat, peninjauan kembali catatan lapangan, dan keikut-sertaan peneliti dengan
mengacu kepada wawancara, pengamatan, dan catatan lapangan (Moleong, 2002). Ketentuan
pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan
dengan persoalan yang sedang dicari dan kemudian merincinya.
Triangulasi adalah teknik yang diperlukan dalam pemeriksaan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data ini untuk keperluan pengecekan sebagai pembanding terhadap data
itu. Keikutsertaan peneliti memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang
dikumpulkan.
Untuk mencapai derajat kepercayaan suatu informasi dapat diperoleh melalui waktu dan
alat yang berbeda. Hal ini dicapai dengan: (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan
data hasil wawancara, (2) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa
yang dikatakan secara pribadi, (3) membandingkan apa dikatakan tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatan sepanjang waktu, (4) membandingkan keadaan dan prespektif
seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan, (5) membandingkan hasil wawancara
dengan isi dokumen yang berkaitan (Patton, 1987). Pemeriksaan melalui teman sejawat adalah
cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan
rekan-rekan sejawat.
F. Teknik Analisis Data
Adapun langkah-langkah dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi dan mengklasifikasi nilai kultural Sastra Makassar Kelong dalam
kehidupan masyarakat Makassar.
2. Menganalisis nilai-nilai dan makna kultural yang terkandung dalam Sastra Makassar
Kelong dalam kehidupan masyarakat Makassar.
3. Menginterpretasi nilai dan makna kultural sastra Makassar Kelong dan kehidupan
masyarakat Makassar kemudian mendeskripsikan dalam bentuk laporan penelitian dengan
mengacu pada hermeutika F.D.E.Schleiermacher (1768-1834) tentang interpretasi dan
analisis makna sebuah teks dan pendekatan Koentjaraningrat (1984) tentang analisis nilai
budaya.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Sebagaimana telah dipaparkan pada rumusan masalah dan metode analisis data, maka
pada bab ini akan menampilkan penelitian yang akan mengacu pada fokus penelitian. Untuk
lebih jelasnya dipaparkan sebagai berikut;
1. Nilai Kelong dalam Kehidupan Masyarakat
Karya sastra merupakan pengungkapan ide dari dari hasil pengamatan sastrawan atau
kehidupan sekitarnya dengan menggunakan media bahasa untuk menyampaikan maksud dan
tujuannya, meski bersifat imajinatif. Dalam bahasa Makassar, syair atau lagu disebut kelong
sehingga kelong menjadi bagian dari kesusastraan dan budaya Makassar yang mengandung unsur
renungan dan kearifan melalui kesatuan makna yang ditampilkan. Bagi masyarakat Makassar
kelong mendapat tempat tersendiri karena segala perasaaan suka dan duka yang dialami oleh
masyarakatnya disampaikan melalui kelong.
Nilai budaya adalah konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dalam
kehidupan. Nilai budaya secara konvensional disepakati oleh para pemiliknya sebagai acuan dan
pedoman untuk mengatur interaksi sosial dalam mencapai tujuan mulia yang terkait dengan
peningkatan kualitas hidup dan kemanusiaan.
Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam kelong yang
masih memiliki relevansi dengan kehidupan sekarang ini. Setelah dilakukan penelitian
mendalam, maka ditemukan unsur budaya Makassar yang dalam kelong di antaranya:
a. A’bulo Sibatang Accera Sitongka-tongka
Abbulo sibatang accera sitongka-tongka artinya bersifat seperti satu batang bambu,
bekerja bersama sebagai wujud persatuan untuk saling membantu. Ada pula yang
mengartikannya sebagai musyawarah mufakat dalam memutuskan suatu perkara. Namun,
intinya adalah sifat saling membantu satu sama lain agar pekerjaan terasa ringan.
Persatuan dan kesatuan merupakan kekuatan utama untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Di Sulawesi Selatan, khusunya Makassar budaya gotong-royong sebagai bentuk
persatuan masyarakat telah lama berkembang, bahkan seorang penyair, yaitu Sahabuddin Nappu
menulisnya dalam sebuah buku yang memuat kelong Makassar.
Abbulo si batag accera sitongka-tongka bukan hanya dimanifestasikan dalam dunia
nyata, misalnya dengan gotong-royong. Tetapi, semangat tersebut ditransfer ke dalam karya
sastra, salah satunya seperti yang disinggung sebelumnya, yakni kelong. Dalam kelong segala
bentuk unek-unek akan dipaparkan dengan bahasa yang mengandung unsur keindahan dan
makna yang dalam. Seperti kutipan kelong berikut ini:
KL. 1.1
Aule sunggu minasa
Benteng kayuko ikau
Ukrangi tongi
Rapannu benteng buloa (Nappu, 1986: 89)
Terjemahan
Aduhai Sungguminasa
Tiang kayulah engkau
Ingat juga sesamamu tiang, tiang bambu
Kutipan tersebut menunjukkan suatu keteguhan janji agar tidak saling melupakan. Hal itu
merupakan bentuk persatuan dalam persahabatan yang diibaratkan tiang kayu dengan tiang
bambu sama-sama memiliki fungsi yang sama, yakni sebagai tiang rumah agar sebuah rumah
bisa berdiri kokoh. Menopang segala isinya agar rumah tetap aman.
Benteng kayuko ikau. Ukrangi tongi rapannu benteng bulua (tiang kayulah engkau, ingat
juga sesamamu tiang, tiang bambu) kelong tersebut dapat ditafsirkan bahwa meskipun derajat
seseorang berbeda, walaupun kedudukan seseorang dalam masyarakat berbeda tetapi fungsinya
sama, yakni saling memelihara agar tatatan masyarakat bisa aman dan damai.
Dalam kelong tersebut kita diingatkan pula bahwa persatuan perlu dijaga demi kebaikan
bersama, meski ada perbedaan. Tetapi, dalam hal persatuan dan kesatuan tugas semua orang
sama, yakni saling membantu meringankan beban orang lain, saling bahu membahu menciptakan
rasa nyaman dalam masyarakat.
Pada kelong lain, abbulo sibatang digambarkan dalam bentuk kesetian, hidup bersama
mati pun bersama. Sebuah gambaran persatuan yang kokoh, saling menopang satu sama lain agar
tidak pernah terpisah. Bahkan, dalam kelong tersebut, si aku, sebagai orang pertama yang
digambarkan menginstruksikan agar jika mati ia rela satu kubur berdua.
Hal tersebut menunjukkan bahwa persatuan yang dianut masyarakat Makassar tidak
hanya ingin diwujudkan dalam dunia ini saja, tetapi persatuan tersebut ingin diwujudkan hingga
keakhirat, sebagaimana kutipan berikut ini:
KL. 1.2
Jammengkik ki rua jammeng
Sekre kuburu ki julu
Napara sayuk
Anrong tamalassukangta (Nappu, 1986: 110)
Terjemahan
Mati kita bersama
Satu kubur kita berdua
Agar sedih
Ibu yang memelihara kita
Pada kutipan kelong tersebut, menggambarkan bagaimana sebuah rasa bersama tidak
dapat dipisahkan, bahkan rela mati bersama agar tidak berpisah. Hal tersebut merupakan
gambaran persatuan yang kokoh. Dalam budaya Makassar persatuan seperti kelong tersebut
masih dijunjung tinggi sebagai suatu kesatuan budaya yang mempererat hubungan dalam
masyarakat.
Jammmengki ki rua jammeng yang memiliki arti mati kita bersama adalah wujud
kerelaan untuk menanggung derita bersama. Hal ini sangat tepat dalam penerapan budaya
abbulu sibatang accera sitongka tongka. Rela mati demi persatuan, demi sebuah hubungan yang
baik.
Persatuan bukan hanya rela mati bersama, tetapi rasa sakit seseorang harus ditanggung
bersama. Pada kelong yang lain diungkapkan rasa kebersamaan dalam penderitaan sangat dijaga.
Penderitaan sering melahirkan rasa pacce (iba) dalam diri seseorang. Untuk lebih jelasnya
kelong yang merangkum rasa persatuan dalam bentuk penderitaan. Berikut kutipan datanya:
KL. 1.3
Pakrisiknu pakrisikku
Simpunnu simpungku todong
Ruaki anak
Tangkasiaki tinroa (Nappu, 1986: 136)
Terjemahan
Susahku susahmu
Risauku risaumu
Kami berdua tak merasakan tidur
Pakrisiknu pakrisikku merupakan gambaran yang tidak bisa dinafikkan adalah wujud
sebuah rasa kebersamaan yang teguh antara dua anak yang tidak bisa merasakan tidur nyenyak
karena susah. Tetapi, sedalam apapun rasa susah itu, keduanya tetap saling menjaga. Saling
mendukung satu sama lain dengan berbagi rasa susah atau derita. Sehingga penderitaan atau rasa
susah itu bisa berkurang dan teratasi.
Berdasarkan kelong tersebut, terungkap bahwa rasa sakit seseorang bisa membuat rasa
kebersamaan dan persatuan erat. Rasa susah atau penderitaan yang dialami orang kedua pada
kelong tersebut menjadi rasa susah pula si aku yang digambarkan sebagai orang pertama. Ini
menunjukkan bahwa persatuan antara orang kedua (kamu) dan orang pertama (aku) terjalin
dengan sangat baik.
Dewasa ini, sangat sulit kita temukan seseorang yang rela menanggung penderitaan atau
kesusahan orang lain menjadi kesusahannya. Pada umumnya yang banyak adalah mengambil
keuntungan dari penderitaan orang lain untuk kebahagian dirinya sendiri. Tetapi dalam kelong
tersebut berbanding terbalik.
Hal tersebut terjadi pula pada kelong lain yang menggambarkan seorang pelaut yang
berpesan kepada temannya. Bahwa jika sama-sama berlayar mengarungi samudera, sebaiknya
jaraknya jangan terlalu berjauhan agar bisa saling menjaga. Jika ada satu kapal yang bemasalah,
maka kapal yang lain bisa membantunya. Jika tersesat maka akan tersesat bersama. Itulah makna
abbolu sibatang. Berangkat bersama maka harus pula pulang bersama.
Jika ada yang menderita, maka yang lain menanggung pula deritanya. Jika ada pekerjaan
yang berat, maka wajib saling membantu meringankan pekerjaan tersebut. Untuk lebih jelasnya
mengenai pentingnya kebersamaan, berikut kutipan datanya:
KL. 1.4
Ponta sallang makrambangeng
Teaki sikabellai
Nanrokik kamma
Sirolle sombalatta (Nappu, 1986: 142)
Terjemahan
Bila kita sama-sama berlayar kelak
Jangan kita berjauh-jauhan
Aku harapkan layar kita saling berkaitan
Berdasarkan kelong tersebut terungkap suatu pesan bahwa dalam sebuah pelayaran
mengarungi lautan. Ada baiknya kapal yang digunakan para pelaut saling berdekatan. Agar bisa
saling memantau keadaan masing-masing, bisa saling membantu jika ada yang kesusahan.
Kelong tersebut adalah sebuah pesan agar tetap menjaga kebersamaan dalam keadaan
apapun. Kebersamaan atau persatuan sangat penting dalam kehidupan ini. Dengan adanya
kebersamaan beban bisa berkurang.
Rasa persatuan bagi masyarakat Makassar bukan hanya persatuan yang menunjukkan
kebersamaan dalam mengarungi hidup yang bahagia, tetap juga dalam kematian masyarakat
Makassar yang telah merasa senasib rela mati bersama sebagai wujud persatuan dan kesatuan
dalam kehidupan masyarakat Makassar. Untuk lebih jelasnya berikut kutipan datanya:
KL. 1.5
Pungku sallang takring jammeng
Tikring lingkamu ri anja
Pakamma lalo
Niaka ri minasangku (Nappu, 1986: 142)
terjemahan
Kalau tiba-tiba mati,
Kembali ke akhirat
Samakanlah aku
Apa yang ada dalam cita-citamu
Kelong tersebut merupakan amanah, bahwa jika ada si aku meninggal, kembali keakhiran
sebaiknya diperlakukan dengan baik sesuai dengan cita-cita semua orang. Agar rasa persatuan
dan kebersamaan tidak hilang begitu saja oleh kematian.
Bentuk abbolu sibatang accera sitongka-tongka adalah keteguhan dalam memegang
janji. Bagi masyarakat Makassar ketika janji telah diikrarkan pantang untuk diingkari.
Masyarakat Makassar menjadikan ucapan sebagai tali kekang yang harus dipegang. Sebab
percaya bahwa manusai kata-katanyalah yang dipegang.
Janji adalah sebuah harga mati yang harus ditepati. Masyarakat Makassar hanya
memegang kata-kata orang lain. Mengingkari janji berarti sebuah perilaku yang tidak terpuji
yang harus dibuang jauh-jauh. Jika ada yang berani berjanji atau bersumpah dalam suatu perkara,
hal tersebut akan dianggap sebagai orang jujur. Untuk lebih jelasnya mengenai janji berikut
kutipan datanya:
KL. 1.6
Risabbinu sabbi tonja
Ri teani tea tonja
Ri mammonenu
Tope mallonjoki tonja (Nappu, 1986: 143)
Terjemahan
Engkau bersumpah, akupun bersaksi
Engkau tak mau, akupun tak ingin
Bila engkau mati
Akupun akan menyusul
Kelong tersebut mengungkapkan keteguhan dalam memegang janji. Janji merupakan
harga mati yang harus ditepati. Bagi manusia, hanya kata-katanyalah dipegang. Tidak ada yang
lain. Sehingga, orang yang mengingkari janjinya akan dianggap orang yang tidak bisa dipercaya.
Pada kutipan kelong tersebut, si aku akan bersumpah jika orang kedua (engkau) bersumpah. Ia
rela menjadi saksi, sebab orang yang berani bersumpah adalah orang dianggap jujur.
Si aku bahkan rela mati, jika si engkau bersumpah. Sebab sumpah menandakan suatu
kesetian untuk mengarungi semua rintangan kehidupan dalam bentuk persatuan dan kesatuan
yang tak akan lekang oleh waktu. Hal tersebut menunjukkan pentingnya arti sumpah dalam
persatuan yang ingin diwujudkan, tentu yang dimaksud kelong tersebut bukan sumpah palsu.
Sebab sumpah palsu hanya untuk orang-orang yang pecundang.
b. Sipakatau
Budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun kurang
teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Hakekat inti kebudayaan
Makassar itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai tau (manusia), yakni
manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial, amat dijunjung tinggi keberadaannya.
(Mattulada.1989: 4).
Cara dalam menggunakan konsep tentang budaya Makassar yang lebih menekankan pada
wujud kebudayaan dan isi kebudayaan, maka konsep tau inilah sebagai esensi yang mendasari
hidup orang Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan
itu dimanifestasikan dalam budaya sipakatau yang artinya saling memahami dan menghargai
secara manusiawi. Oleh karena itu, menurut (Mattulada. 1989; 4) maka sikap budaya Makassar
disebut sipakatau.
Kelong Makassar merupakan karya sastra yang sarat makna, yang memuat pesan-pesan
leluhur, salah satunya adalah sipakatau. Dalam masyarakat Makassar menyapa seseorang dengan
namanya saja dianggap tidak sopan. Daeng, merupakan panggilan hormat kepada orang yang
lebih tua. Berikut ini merupakan bentuk budaya sipakatau yang terdapat dalam kelong.
KL. 2.1
Deang teaki masusa
Teaki bussang pakmaik
Bunga ejaya
Tenapa mannyero kana (Nappu, 1986: 101)
Terjemahan
Kanda jangan bersusah
Janganlah bersedih hati
Si bunga merahh
Belum ada yang lamar (Nappu, 1986: 23)
Kata daeng, pada kelong di atas merupakan perwujudan dari budaya sipakatau yang
dianut masyarakat Makassar sejak dulu hingga sekarang ini. panggilan daeng merupakan bentuk
penghargaan kepada orang yang lebih tua. Bagi seorang perempuan, daeng biasa digunakan
untuk menyapa para laki-laki, khususnya pasangan hidupnya, yaitu suami. Pada kelong di atas
menceritakan tentang seorang perempuan yang mencoba meyakinkan kekasihnya agar tidak
bersedih karena si perempuan tersebut belum ada yang lamar, sehingga kesempatan untuk
bersatu dengan yang dipanggil daeng terbuka cukup lebar.
Penghargaan si perempuan kepada si lelaki dalam kelong tersebut cukup tinggi. Dalam
budaya Makassar memanggil seseorang dengan namanya saja dianggap tidak sopan. Sementara
panggilan daeng merupakan pengganti nama sesorang yang dianggap lebih memanusiakan
manusia sehingga maasih terus dipertahankan hingga sekarang ini.
Sudah seharusnya sesama ciptaan Allah SWT., saling menghormati dan saling
mengingatkan satu sama lain agar tidak terjerumus ke dalam hal yang menyesatkan. Pada kelong
Makassar terdapat nasehat agar sesama manusia yang notebenenya berasal dari satu pintu jangan
sampai saling melupakan, berikut kutipan datanya:
KL. 2.2
Parannu tuni pakjari
Lonnu sunggumo ikau
Teaki makring
Ninanro langkaluppai
Terjemahan
Sesamamu ciptaan Tuhan
Walau engkau bahagia
Jangan mau dibiarkan melupakan
Pada kelong tersebut terungkap wujud sipakatau yang dalam karena telah melibatkan
Tuhan yang memuat nasehat agar sesama manusia harus saling menghargai sebagai ciptaan
Tuhan, tidak membedakan satu sama lain, tidak saling melupakan. Saling memanusiakan adalah
bagaiamana cara agar bisa tidak ada satu pihak yang melupakan, jika hal tersebut terjadi, kadar
sipakatau akan berkurang seperti yang digambarkan dalam kelong tersebut.
Daeng merupakan panggilan penghormatan dalam masyarakat Makassar, meski pada
banyak situasi, daeng lebih banyak disematkan kepada orang pinggiran yang kurang beruntung
secara ekonomi. Namun, panggilan daeng tetap dibutuhkan seperti yang terungkap dalam kelong
tersebut untuk melestarikan budaya sipakatau.
Pada kelong yang lain terdapa kata karaeng yang merupakan gelar bangsawan
masyarakat Makassar. Karaeng memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat.
KL. 2.3
Sanging karaeng mammempo
Sanging daeng makja jareng
Tabek karaeng
Lamakkelong atayya (Nappu, 1986: 151)
Terjemahan
Seluruh bangsawan bersila
Seluruh daeng berpajang
Maaf tuanku
Hamba akan bernyanyi
Pada kutipan tersebut digambarkan pada sebuah pertemuan, para bangsawan dan daeng
telah hadir. Si aku meminta maaf kepada mereka dengan menggunakan panggilan kareang atau
bisa diartikan tuan untuk menghargai orang yang dianggap lebih tua atau yang dituakan.
Karaeng merupakan gelar kebangsawanan Makassar, dalam kehidupan sehari-hari karaeng
menempati posisi sebagai tokoh masyarakat yang harus dihormati.
Kata hamba menjadi pasangan yang pas dalam berhadapan dengan para daeng dan
karaeng. Si aku dalam kutipan tersebut berperan sebagai penyanyi. Ia menghormati para tamu
yang datang dengan meminta izin agar bisa bernyanyi. Meminta izin sebelum melakukan sesuatu
adalah bentuik menghargai orang lain yang disebut sipakatau.
c. Sirik na Pacce
Sirik na pacce merupakan titik sentral dari kebudayaan Sulawesi Selatan, khususnya
Makassar. Dalam kelong Makassar, sirik na pacce banyak ditampilkan agar budaya tersebut bisa
mengalir hingga ke generasi selanjutnya sehingga para generasi penerus tersebut tidak buta akan
budayanya sendiri.
Bagi masyarakat Makassar sirik adalah harga yang tidak bisa ditawar. Mereka rela
menantang segala rintangan jika siriknya akan hilang. Sirik telah menjadi denyut kehidupan
masyarakat. Dalam kelong digambarkan bahwa seseorang rela memanjat pohon kelapa meski
tingginya seperti layang-layang yang sedang terbang jika sirik akan hilang.
Keberadaan sirik tidak bisa dilepaskan dari aktivitas hidup masyarakat Makassar. Sirik
adalah titik sentral dari kebudayaan Sulsel secara umum, Makassar secara khusus, sehingg
apapun yang terjadi sirik perlu ditegakkan. Untuk lebih jelasnya mengenai sirik, berikut kutipan
datanya:
KL. 3.1
Manna tinggi kalukua
Manna kamma layang-layang
Kuambik tonji
Punna sirik latappela (Nappu, 1986: 124)
Terjemahan
Walau tinggi pohon kelapa
Walau bagaikan layang-layang
Akan kupanjat juga
Kalau saya dipermalukan
Si aku dalam kelong tersebut, menggambarkan dirinya sebagai orang yang berani
menantang segala aral jika sirik-nya hilang atau diinjak-injak. Sirik bagi masyakarat Makassar
adalah harga mati yang harus ditegakkan, tidak peduli apapun yang akan terjadi sebab
kehilangan harga diri bagi masyarakat Makassar adalah kematian sesungguhnya.
Kehilangan sirik (harga diri) menjadikan seseorang akan merasa tidak lagi layak hidup.
sirik tidak pernah berpisah dari pacce yang bisa diartikan iba atau kasihan jika tidak ada sirik
maka rasa paccelah yang harus ada. Rasa pacce sangat penting dalam kehidupan ini, pacce
melihat penderitaan sesama sehingga harus membantu, yang kuat membantu yang lemah, yang
kaya membantu yang miskin, sehingga siklus kehidupan bisa berjalan dengan baik
Pada kelong yang lain, pacce digambarkan dalam penderitaan seseorang sehingga orang
lain merasa prihatin, yakni dalam kelong tersebut berperan sebagai aku menganggap bahwa rasa
sakit kamu atau orang kedua merupakan rasa sakitnya pula. Sehingga, rasa pacce si aku tumbuh
untuk mengurangi beban rasa sakit kamu (orang kedua). untuk lebih jelasnya berikut kutipan
datanya:
KL. 3.2
Pakrisik bajik nijulu
Simpung bajik niruai
Namanna pacce
Pakrisik nakke tommamo (Nappu, 1986: 141)
Terjemahan
Sedih pedih indah dibagi
Derita elok dibagi dua
Agar walau pedih
Terserah pada kita berdua
Pakrisik baji nijulu, kutipan tersebut menggambarkan bahwa rasa sedih juga akan terasa
indah atau ringan jika dibagi. Seperti pepatah “berat sama dipikul ringan sama dijinjing”. Rasa
pedih akan berkurang jika ditanggung bersama. Dalam kutipan ini, rasa pacce-lah yang dominan
daripada sirik. Tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa kelahiran rasa pacce tidak bisa lepas dari rasa
sirik atau malu seseorang, yakni malu melihat orang lain menderita sehingga harus dibantu.
Sementara pada kutipan lain, yakni Simpung bajik niruai yakni, bahwa derita akan baik
pula jika ditanggung bersama, akan terasa ringan. Ini sangat terkait pula dengan sifat gotong-
royong untuk mengurangi beban sesama. Manusia yang paling baik adalah manusia yang bisa
berguna bagi orang lain dengan cara mengurangi bebannya. Pacce adalah simpul untuk saling
tolong menolong bagi yang terkena musibah kesusahan.
Namanna pacce kata pacce pada kutipan ini dapat diartikan sebagai pedih yang terlepas
dari makna pacce itu sendiri. Pakrisik nakke tommamo merupakan sebuah ikhtiar bahwa sakit
kita berdua yang rasakan jika beban atau masalah bisa dibagi. Pacce datang untuk membungkam
rasa ego manusia dalam hal saling peduli satu sama lain.
Pada kelong lain, orang pertama, aku bertanya kepada orang kedua yakni kamu, pakrisik
tonjako paleng. Pertanyaan tersebut untuk menghilangkan ragu apakah si kamu merasakan sakit
juga seperti aku yang merasakan sakit, jika tidak itu berarti rasa paccenya tidak ada. Ketiadaan
rasa pacce bisa berakibat pada anggapan ketidaksetian. Untuk lebih jelasnya berikut kutipannya:
KL. 3.3
Pakrisi tonjaku paleng
Kamma tonja inakke
Natuju tonji
Jeknek mata paklungannu (Nappu, 1986:
Terjemahan
Apakah engkau sedih juga
Pedih resah seperti aku
Apakah juga digenangi
Airmata bantalmu
Sebuah pertanyaan muncul dalam kelong tersebut. Apakah orang kedua atau kamu yang
dimaksud oleh si aku merasakan sakit seperti yang si aku rasakan atau tidak? Jika tidak lagi
merasakan sakit yang sama, maka bisa dipastikan rasa pacce itu tidak ada. Keberadaan rasa
pacce, khususnya bagi masyarakat Makassar seharusnya menjadi harga yang tidak bisa ditawar,
harus ada dan tumbuh dalam hati setiap orang.
Keberadaan pacce dalam tataran kehidupan masyarakat Makassar melahirkan dampak
positif bagi terciptanya keseimbangan dalam Masyarakat sehingga rasa damai bisa dirasakan
bersama. Sirik na pacce adalah falsafah hidup masyarakat Makassar yang menjadi pedoman
hidup. Bagi anggota masyarakat yang memegang teguh sirik na pacce akan dijadikan sebagai
teladan bagi anggota masyarakat yang lain. Untuk lebih jelasnya sirik na pacce dianggap sebagai
pedoman hidup, berikut kutipan kelong-nya:
KL. 3.4
Sirik paccea ri katte
Ganggangang kaminang bajik
Tena rugina
Assimambalak ri lino (Nappu, 1986: 144)
Terjemahan
Malu pedih bagi kita
Dapat dijadikan pegangan
Dipedomani
Untuk berlayar di dunia ini
Siri na pacce seperti yang digambarkan pada kutipan tersebut telah mejadi pedemona
hidup bagi masyarakat Makassar yang tidak bisa dilepaskan dari sendi kehidupan demi mencapai
tujuan bersama di atas dunia ini. sebagai pedoman hidup, sirik na pacce terus dipelihara dengan
baik dalam oleh masyarakat Makassar sebagai pegangan yang tidak putus.
Sirik na pacce telah tertanam sejak lama dalam kehidupan masyarakat Makassar yang
menjadi motor dalam memelihara kebudayaan dan moral massyarakat. Sirik paccea ri katte
(malu pedih kita) merupakan ungkapan rasa kebersamaan untuk bersatu dalam memelihara sirik
yang merupakan wujud sebuah pertanggungjawaban moral yang tidak bisa disepelekan.
Memelihara budaya sirik na pacce dan mengamalkannya merupakan tanggung jawab moral
sebagai manifestasi secara langsung yang mencerminkan eksistensi kemanusian masyarakat
Makassar.
Ganggangang kaminang bajik, tena rugina, assimambalak ri lino (Dapat
dijadikan pegangan, dipedomani untuk berlayar di dunia ini) kutipan ini menegaskan bahwa sirik
na pacce bagi masyarakat Makassar merupana pedoman paling baik dalam mengarungi hidup di
dunia ini. apalagi sirik na pacce seiring dengan ajaran yang dianut secara dominan masyarakat
Makassar, yakni agama islam. Sehingga, keberadaannya semakin kokoh dalam kehidupan
masyarakat Makassar.
Pada kelong yang lain sirik na pacce diungkapkan lebih tegas lagi dalam kelong bahwa
sirik na pacce bukan hanya sekadar falsafah hidup yang menjadi prinsip masyarakat Makassar,
tetapi telah menjadi denyut nadi masyarakat yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Sirik na
pacce diungkapkan sebagai anggota tubuh yang menopang yang merupakan titik sentral
kehidupan seseorang. Berikut kutipan datanya:
KL.3.5
Sirik paccea ri katte
Ia cerak ia asasi
Ia bukunta
Ia pokok tallasatta ((Nappu, 1986: 145)
Terjemahan
Malu pedih pada kita
Dia darah dia daging
Dia tulang kita
Dia juga batang tubuh kita
Berdasarkan kelong tersebut, terungkap bahwa sirik na pacce telah menjadi pilar
kehidupan bagi masyarakat Makassar. Sirik Paccea ri katte yang artinya “malu pedih pada kita”
kemudian dilanjutkan dengan ia cerak ia asasi yang memiliki arti “ia darah, ia daging”. Kutipan
ini menggambarkan dengan jelas bahwa sirik na pacce bukan hanya semboyan atau simbol
kebudayaan masyarakat Makassar, tetapi lebih dari itu, sirik na pacce adalah sentral dari
kehidupan masyarakat Makassar secara moral.
Ia bukunta (ia tulang kita), kutipan tersebut menerangkan bahwa sirik na pacce telah
dianggap penopang dalam diri seseorang. Jika tidak ada tulang maka sebagai manusia tentu tidak
bisa melakukan apa-apa, tidak bisa berdiri, tidak bisa berjalan bahkan akan sulit untuk hidup.
Kutipan tersebut menjadi sumber kekuatan masyarakat Makassar, menjadi spirit dalam bekerja
agar bisa berdiri dengan tegak tanpa meminta belas kasihan
Ia pokok tallasatta (ia utama, ia juga hidup kita) kutipan tersebut menegaskan betapa
pentingnya perang sirik na pacce dalam sendi kehidupan masyarakat Makassar yang tak lekang
waktu, terus berkembang hingga dewasa ini. Sirik na pacce telah menjadi semangat yang terus
membara untuk menjadikan hidup lebih bermakna dan bermoral.
2. Implementasi Nilai Kelong dalam Kehidupan Masyarakat Makassar
Telah diuraikan sebelumnya bahwa implementasi nilai adalah suatu yang ada, tumbuh
(hidup), dan berkembang dalam masyarakat dan tepat dipertahankan serta dijadikan pedoman
baik tidaknya suatu perbuatan atau tindakan. Baik yang dilakukan secara perorangan maupun
secara berkelompok (organisasi). Institusi atau organisasi yang baik adalah yang memiliki value
atau nilai-nilai yang diyakini baik dan bermanfaat serta ditaati oleh seluruh anggota organisasi.
Nilai ibarat mercusuar yang dijadikan acuan oleh pelaut dalam mengarungi samudera menuju
pulau harapan. Implementasi nilai tersebut adalah perbuatan/tindakan lambusuk (Makassar),
lempuk (Bugis), artinya lurus, yang mengandung makna kejujuran atau taat azas. Kedua adalah
Getteng artinya tegas, yang mengandung makna kejelasan dan ketepatan dalam bersikap atau
tidak ragu-ragu (plin-plan) ketiga Warani artinya berani. Berani karena benar. Benar kalau punya
cita-cita dan bertindak sesuai hati nurani. Hati nurani pasti selalu memihak pada kepentingan
orang banyak. Keempat adalah Kana Tojeng (Makassar), Ada Tongeng (Bugis), artinya selalu
berbicara benar.menyampaikan sesuatu apa adanya.
Para pendahulu kita sebenarnya telah mewariskan falsafah hidup untuk damai, khususnya
di masyarakat Makassar. Falsafah hidup itu biasanya dimunculkan dalam wujud sastra daerah,
misalnya melalui syair kelong.
Seiring dengan perputaran waktu dan perkembangan zaman, kelong yang merupakan media
komunikasi untuk mengungkapkan perasaan suka dan duka bagi masyarakat Makassar perlu
mendapat perhatian sebagai suatu pelestari budaya yang kini hampir tidak mendapat lagi
perhatian dari sebagian kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Makassar. Implementasi
nilai kelong dapat dilihat pada beberapa kegiatan di masyarakat sebagai berikut;
a. Pesta Pernikahan
Di kalangan masyarakat Makassar pesta pernikahan merupakan sesuatu hal sakral dan
menjadi pertanda status sosial seseorang di masyarakat. Appakbunting dalam bahasa Makassar
berarti melaksanakan upacara perkawinan. Dengan demikian perkawinan adalah ikatan timbal-
balik antara dua insan yang berlainan jenis kelamin untuk menjalin sebuah kerjasama dalam
membangun sebuah kehidupan rumah tangga. Perkawinan bukan sekadar menyatukan dua
mempelai dalam hubungan suami istri, tetapi perkawinan merupakan suatu ikatan yang bertujuan
untuk menyatukan dua keluarga besar menjadi semakin erat. Keterlibatan orang tua dan kerabat
dalam pelaksanaan pesta perkawinan tidak dapat diabaikan. Mereka tetap memegang peranan
sebagai penentu dan pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya. Perkawinan perlu dilakukan
dengan sungguh-sungguh menurut agama dan adat yang berlaku di dalam masyarakat. Pesta
perkawinan sangat berkaitan dengan status sosial mereka dalam masyarakat. Semakin meriah
sebuah pesta, semakin mempertinggi status sosial seseorang.
Dalam pesta perkawinan itu biasanya jika keluarga laki-laki merasa tidak mampu untuk
menanggung sendiri permintaan keluarga calon pengantin perempuan. Maka biasanya dari
keluarga laki-laki bersepakat dengan istilah sipaksiriki dan sipakpaccei. Saling membatu dalam
keluarga, saling meringankan beban dalam keluarga. Sehingga yang tadinya uang Panaik atau
uang belanja serta maharnya yang dianggap mahal dan berat akhirnya bisa dipenuhi dengan
kerjasama dan kekompakan dalam keluarga calon mempelai laki-laki. Sehingga niat baik kedua
keluarga dapat dilakukan karena keluarga memiliki rasa kepedulian sosial yang tinggi. Seperti
dalam kelong berikut;
Bunting mangngarrukko naung
Pasolong jeknek matannu
Tenamo antu
Perekanna maloloa ((Nappu, 1986: 97)
Artinya
Pengantin menangislah engkau
Alirkan air matamu
Sudah tidak ada
Jalan untuk kembali muda lagi
Kelong ini mengandung pesan yang sangat dalam kepada pengantin, bahwa masa muda itu
hanya sekali. Oleh karena itu, setiap pasangan betul-betul harus siap untuk mengarungi bahtera
rumah tangga mereka sendiri. Pahit manisnya kehidupan akan mereka lalui. Bisa juga kelong ini
sebagai sindirian bahwa mengapa memang engkau anak muda ingin menjadi pengantin,
mengakhiri masa mudamu. Tidak lain kelong-kelong itu hanya untuk menghibur sang pengantin,
misalnya kelong berikut;
Bajikna bunting berua
Natujua parek baji
Bija ta bija
Battu ngaseng mattimporong ((Nappu, 1986: 97)
Artinya
Berbahagialah pengantin baru
Diselimuti kemesraan
Keluarga atau bukan
Semua berdatangan
Kelong tersebut selain untuk mempelai juga biasanya ditujukan kepada pemuda-pemudi
bahwa betapa bahagianya jika seseorang menjadi pengantin. Semua keluarga akan turut
berbahagia atas prosesi pernikahan yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Namun dalam hal penentuan jodoh, masalah keteguhan pendirian juga diperlukan. Tidak
sedikit orang yang mengalami kegagalan di dalam melangsungkan bahtera kehidupannya,
disebabkan oleh kebingungannya di dalam menentukan calon pendamping atau teman hidup. Hal
ini dapat dilihat pada kelong berikut..
Kuntungku bukbuk pammentek
Kala otereka tappu
Ala cinikku
La makleksok ri maraeng (Nappu, 1986: 121)
Artinya
Lebih baik aku mati
Daripada aku hidup
Daripada pilihanku
Meleset daripada yang lain
Kelong tersebut menggambarkan ikrar atau keteguhan seorang pemuda di dalam menentukan
calon pendampingnya. Keteguhan hati pemuda tersebut tentu didasari suatu keyakinan bahwa
pilihannya memang memenuhi syarat untuk dijadikan teman hidup. Ia rela berkorban dalam
bentuk apa saja agar gadis pujaannya tidak menjadi orang lain. Tentu saja, pemuda tersebut
harus bisa menyakinkan gadis pujaannya bahwa ia benar-benar mencintainya. Dan ikrar tersebut
juga disampaikan lewat sebuah kelong sebagai berikut.
Andi teako batai
Sarennuji takuasseng
Palak palakku
Jammempak nurimaraeng
Sangngali jammengpak sallang
Kukalimbukpi bauttaya
Kunampakkana
Assami ta rinakkena (Nappu, 1986: 148)
Jammengki kirua jamming
Sekre kuburuk kijulu
Napara sayuk
Anrong tumallaksukanta (Nappu, 1986: 110)
Artinya
Dinda janganlah khawatir
Hanya nasib tak kutanggung
Harapanku
Nanti aku meninggal barulah Dinda milik orang lain
Kecuali aku meninggal
Berkalang tanah
Aku akan berkata
Engkau bukan milikku lagi
Kita akan mati bersama
Satu kubur kita berdua
Biarlah bersedih
Ibunda tercinta
Ikrar yang disampaikan pada kelong tersebut di atas, mencerminkan keinginan berkorban
dalam mengantisipasi sederetan tantangan. Pernyataan Jammengpak nu rimaraeng “nanti aku
meninggal barulah Dinda jadi milik orang lain”, jammengki ki rua jammeng “mati berarti mati
bersama”, dan sekre kuburuk nijulu “satu kubur kita bersama” menggambarkan niat yang tulus
dan kesediaan berkorban. Baik niat yang tulus dan kesediaan berkorban, semuanya bertumpu
pada sikap dasar yang tidak ingin bergeser dari cita-cita dan prinsip semula (kontu tojeng).
b. Pesta Adat
Pesta adat tradisional di Sulawesi Selatan, sangat beragam sesuai dengan suku-suku yang ada
di Sulawesi selatan misalnya; Rambu Tuka dan Ma’nene di Tana Toraja, Mappalili di Pankep,
di Bone, di Soppeng, di Wajo, di Gowa. Tudung Ade di Kerajaan Bone, dan Pesta adat Accerak
Kalompoang yang dilaksanakan di Kabupaten Gowa. Salah satunya akan dibahas berikut ini
yakni Accerak Kalompoang.
Accerak Kalompoan merupakan upacara adat untuk membersihkan benda-benda pusaka
peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di Museum Balla Lompoa. Inti dari Upacara ini
adalah allangirik kalompoang, yaitu pembersihan dan penimbangan salokoa (mahkota) kerajaan
Gowa yang dibuat pada abad ke-XIV. Mahkota ini pertama kali dipakai oleh Raja Gowa I,
Tumanurunga, yang kemudian disimbolkan dalam pelantikan Raja-Raja Gowa berikutnya.
Adapun benda-benda kerajaan yang dibersihkan di antaranya; tombak rotan berambut ekor kuda
(panyanggaya barangan), parang besi tua (lasippo), keris emas yang memakai permata
(tatarapang), senjata sakti sebagai atribut raja yang berkuasa (sudanga), gelang emas berkepala
naga (ponto janga-jangaya), kalung kebesaran (kolara), anting-anting emas murni (bangkarak
takroe), dan kancing emas (kancing gaukang). Selain itu ada juga beberapa benda impor yang
tersimpan di Balla Lompoa turut dibersihkan, seperti: kalung dari kerajaan Zulu, Filipina, pada
abad ke-XVI; tiga tombak emas; parang panjang (berang manurung); penning emas murni
pemberian Kerajaan Inggris pada tahun 1814 M; dan medali emas pemberian Belanda.
Pencucian benda-benda pusaka tersebut menggunakan air suci yang diawali dengan
pembacaan surat Al-Fatihah yang dipimpin oleh seorang Anrong Guru. Pelaksanaan upacara ini
tidak hanya disaksikan oleh para keturunan Raja-Raja Gowa, tetapi juga oleh masyarakat umum,
dengan syarat harus berpakaian adat Makassar.
Upacara adat ini pertama kali dilaksanakan oleh Raja Gowa yang pertama kali memeluk
agama Islam, yakni I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin pada
tanggal 9 Jumadil awal 1051 H, bertepatan 20 September 1605 M. Meskipun Raja Gowa ke-XIV
telah memulainya, tapi saat itu upacara ini belum dijadikan sebagai tradisi. Raja Gowa ke XV, I
Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga
Ri Papambatuna, mentradisikan upacara ini pada setiap tanggal 10 Zulhijjah, yakni setiap selesai
shalat Idhul Adha.
Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng
Bontomangngape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana yang bergelar Ayam Jantan
dari timur, memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam upacara ini, yakni penyembelihan hewan
kurban.
Sebelum upacara sakral itu dilaksanakan biasa dirangkaikan dengan acara penjemputan
tamu-tamu baik dari keluarga kerajaan, pemerintahan dan tamu-tamu dari kerajaan se-nusantara
dengan pementasan tari-tarian, angngaru dan persembahan kelong Makassar. Beberapa kelong
yang biasa di tampilkan pada acara adat sebagai berikut.
Kusorongna biseangku
Kucampakna sombalakku
Tamamelokkak
Punna teai labuang
Kuntungku laklasak tembang
Jappok lure sikaranjeng
Kupattungrangi
Lessoka sigigi jangka
Takunjunga banging turuk
Naku guncirik gulingku
Kualleanna
Tallanga natoalia
Manna bukuja kutete
Manna cerakja kulimbang
Mantakle tonja
Ri borik maradekaya
Teako Mallak ri bong
Bata-bata rimaraeng
Manna simambu
Bajikji nipajjallokang
Artinya
Ketika perahuku kudorong
Ketika layarku kupasang
Aku tak akan menggulung (layarku)
Kalau bukan labuhan (tempat berlabu)
Biar aku hancur bagaikan ikan tembang
Busuk seperti ikan teri
Aku bersumpah
Tak akan mundur sigigi sisir
Tidak begitu saja aku ikut angin buritan
Dan aku putar kemudiku
Lebih baik aku pilih tenggelam
Daripada balik haluan
Walau hanya tulang kutiti
Walau harus kulintasi (lautan) darah
Aku tetap menuju
Negeri yang merdeka
Jangan takut pada bom
Khawatir pada meriam
Semambu pun
Dapat dipakai bertempur
Kelong tersebut di atas dapat menjadi pendorong semangat juang para prajurit yang sedang
dihinggapi rasa takut dan ragu-ragu. Karena kelong tersebut merupakan ikrar para pejuang
kerajaan Gowa untuk menyonsong musuh dan berdiri di medan laga menghadapi dan memerangi
penjajah Belanda. Mereka bersumpah tidak akan mundur setapak pun dari bumi kerajaan Gowa.
Mereka rela mati bersimbah darah di dalam membela kehormatan kerajaannya dari pada hidup
terjajah dan tidak bermakna apa-apa. Bagi prajurit, gugur sebagai pahlawan itulah kematian yang
paling indah. Mate nibungai (mati ditaburi dengan bunga) yang baunya harum semerbak
sepanjang masa.
Pada bait ketiga dan keempat kelong tersebut; manna bukuja kutete, manna cerajja
kulimbang (walau hanya tulang kutiti, walau harus melintasi lautan darah) dan teako mallak ri
bong, bata-bata rimariang (jangan takut pada bom, ragu-ragu pada meriam) merupakan
ungkapan keberanian dan kesediaan berkorban. Di dalam kelong tersebut sudah tergambar
bahwa mereka memang sudah siap mati, bahkan rela hancur lebur terkena bom atau meriam.
Jiwa kepahlawan mereka sangat tinggi dan semangat juang yang tak pernah pudar seperti dalam
diri Sultan Hasanuddin yang bergelar ayam jantan dari timur.
Bait-bait kelong di atas laksana air penyejuk di musim kemarau, atau laksana hujan yang
menyirami rumput-rumput yang mulai mengering. Dengan bait-bait kelong seperti itu, mereka
sadar, bangun, dan bangkit membela tanah air yang tercinta. Mereka berjuang, dan berjuang
terus sampai tetes darah yang terakhir hingga cita-cita mereka terwujud. Yaitu tercapainya
negeri yang merdeka, aman, dan makmur. Mantakle tonja ri borik maradekaya „aku tetap
menuju negeri yang merdeka‟.
c. Acara Resmi Pemerintahan
Seiring dengan perkembangan zaman, bangsa Indonesia semakin maju mengikuti arus
informasi dan globalisasi. Banyak yang berubah dari perilaku-perilaku masyarakat dan
pemerintah. Namun, ada satu hal yang harus tetap dilestarikan yaitu budaya bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang menjunjung nilai nilai budaya sebagai pemersatu bangsa. Bangsa Indonesia
sangat menghormati tamu-tamu yang datang. Sehingga dalam acara acara resmi pemerintahan
terkadang penyambutan disuguhi persembahan kesenian daerah. Khusus untuk daerah suku
Makassar, misalnya Tarian, Aru, Ganrang Bulu, Pamancak, Kelong, dan lain-lain.
Kelong yang biasa dipersembahkan dalam acara resmi di Makasar atau di Sulawesi Selatan
diantaranya sebagai berikut.
SULAWESI
Sulawesi pakrasanganta
Butta passolongan ceratta
Anjari tanggongang malompo
Ri katte tumabuttayya
Punna tena kisipaingak
Nakimassing-massing ngukrangi
Tabajik pau-pauanta
Tamakkulle amang boritta
Cinik sai borik bellaya
Bellanamo kamajuanna
Teknenamo julu bangsana
Amang sannang pakrasanganta
Bajikmaki ajjulu ati
Naamang sannang
Sallewangang
Sulawesi pakrasanganta
Artinya
Sulawesi negeri kita
Tanah tumpah darah kita
Menjadi tanggungan besar
Bagi kita selaku penduduk
Kalau kita tidak saling mengingatkan
Masing-masing sadar
Tidak baik berita kita
Tidak aman negeri kita
Lihatlah negeri yang jauh
Telah begitu jauh kemajuannya
Bahagia bangsanya
Aman tentam bangsanya
Sebaiknya kita satu hati
Supaya aman, tenang dan tentram
Sulawesi perkampungan kita.
Kelong lain yang biasa diperdengarkan yakni kelong Anging Mammirik Gubahan Bora
Daeng Irate ;
ANGING MAMMIRIK
Anging mammirik kupasang
Pitujui tontonganna
Tusarroa takkaluppa
Na mangngukrangi
Tutenayya pakrisikna
Battumi anging mammirik
Anging ngerang dinging dinging
Na malantasak ribuku
Mengngerang nakku
Malloklorang jeknek mata
Artinya
Angin berhembus kupesan
Arahkan ke jendelanya
Orang yang sering lupa
Suapaya ingat
Orang yang tak ada salahnya
Datanglah angin berhembus
Angin membawa kesejukan
Dan meresap ke dalam tulang
Membawa rindu
Mengalirkan air mata.
Berikut kelong gubahan Baharuddin Manjia
TULOLONNA SULAWESI
Malabbirik memang tongi
Tulolonna Sulawesi
Mak baju bodo …..mak baju bodo
Mengngingking lipak sakbena
Baju bodo kasa eja
Lipak sakbe curak lakbak
Bunga niguba… bunga niguba
Tak dongkok ri simbolenna
Angkak-angkakna bangkengna
Soe-soena limanna
Kingking lpakna … kingking lipakna
Sakgekangi nicinik
Malakbirik memang tongi
Tulolonna Sulawesi
Mabajik ampe … mabajik ampe
Alusuk ripangngadakkang
Artinya
Gadis Sulawesi memang anggun
Berbaju Bodo….berbaju Bodo
Mengangkat sarung sutranya
Bajo Bodo dari kain sutra merah
Sarung sutra bercorak lebar
Gubahan kembangbtersunting di sanggulnya
Langkah-langkahnya
Ayunan tangannya
Caranya memegang sarung, sungguh indah
Di pandang mata
Gadis Sulawesi sungguh anggun
Sopan santun, serta halus tindak tuturnya
PAKARENA
Ikatte ri Turatea
Adatta marioloa
Pakarenayya
Pakarenayya lakbirik ri panggaukang
Punna niak pakgaukang
Niak paktempo-tempoang
Sukku bajikna
Sukku bajikna punna niak pakarena
Pakarena lekngo-lekngo
Pagangranna mikki-mikki
Papuik-puik
Papuik-puik sakge rapak sulengkana
Artinya
PAKARENA
(Sejenis Tarian Tradisional Makassar)
Kami dari daerah atas
Sejak dulu sudah merupakan adat
Pakarenaya
Anggun pada suatu acara
Jika ada acara
Atau kegiatan tertentu
Sangat sempurna
Jika ada pakarena
Pakarena berlenggok-lenggok
Penabuh gendang menggerak-gerakkan bahu
B. Pembahasan
Hasil analisis kelong Makassar pada penelitian ini ditemukan data yang memuat abbulo
sibatang accera sitongka-tongka, sipakatau, dan sirik na pacce yang hingga kini masih
berkembang dengan baik dalam masyarakat Makassar pegangan prinsip hidup. Kelong
merupakan sastra Makassar yang masih bertahan hingga sekarang ini.
Sebagai karya sastra untuk mengetahui unsur budaya yang terdapat dalam kelong berarti
meneliti kearifan lokal yang terdapat dalam kelong tersebut. Lalu memberi penafsiran agar
masyakarat paham makna yang terkandung di dalamnya.
1. Abbulo sibatang accera sitongka-tongka
Abbolo sibatang accera sitongka-tongka merupakan budaya saling meringankan beban
sesama, wujud persatuan dan kesatuan dalam masyarakat Makassar yang telah berkembang
cukup lama, salah satunya adalah gotong royong dan musyawarah mufakat untuk menghasilkan
dan memutuskan sesuatu yang berpihak kepada kebaikan masyarakat.
Pada penelitian ini ditemukan enam data kelong yang memuat unsur kearifan lokal abbulo
sibatang accera sitongka-tongka yang menegaskan keteguhan dalam mempertahankan persatuan
dan kesatuan sebagai tembok kokoh dalam masyarakat untuk melestarikan budaya dari pengaruh
luar.
2. Sipakatau
Sementara itu, untuk nilai kelong yang mengandung unsur sipakatau ditemukan tiga data
yang menegaskan bahwa salah satu budaya Makassar yang merupakan penopang yang kokoh
dalam masyarakat tidak tergerus zaman dan menjadi bahan sebuah karya sastra, yakni kelong
agar bisa dinikmati dan implementasikan masyarakat masa kini dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Mattulada (1989) bahwa budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang
universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari.
Hakikat inti kebudayaan Makassar itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai
tau (manusia), yang manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial, amat dijunjung tinggi
keberadaannya. Hal inilah yang coba ditawarkan kembali dalam kelong Makassar dengan
memasukkan unsur sipakatau sebagai sarana untuk lebih mengenal dan mengamalkan makna
yang terkandung dalam sipakatau itu sendiri.
3. Sirik napacce
Sedangkan kelong yang dianalisis yang mengandung nilai sirik na pacce berjumlah lima
kelong yang dijadikan data. Sirik na pacce adalah falsafah hidup masyarakat Makassar yang
masih dijunjung tinggi. Apabila seseorang tidak memiliki sifat sirik na pacce, maka orang
tersebut dapat melebihi tingkah laku binatang, sebab tidak memiliki rasa malu, harga diri, dan
kepedulian sosial.
Istilah sirik na pacce sebagai sistem nilai budaya sangat abstrak dan sulit untuk
didefenisikan karena sirik na pacce hanya bisa dirasakan oleh penganut budaya itu. Bagi
masyarakat Makassar, sirik mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan,
hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan
diri dan kehormatannya. Sirik adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan
martabat manusia, sirik adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Makassar dalam berinteraksi
dengan orang lain.
Keberadaan pacce dalam masayarak dan diri seseorang mengajarkan rasa
kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan ini adalah
salah satu konsep yang membuat suku Makassar mampu bertahan dan disegani. Pacce
merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain. Saling
meringankan beban seperti pepatah ringan sama dijinjing berat sama dipikul.
C. Implementasi Nilai Kelong dalam Masyarakat Makassar
Keberadaan kelong Makassar yang memuat unsur budaya abbolo sibatang accera
sitongka-tongka, sipakatau, dan sirik na pacce menjadi modal penting dalam membangun
masyarakat yang bermartabat, memiliki kepedulian sosial yang tinggi dan kesetiakawanan yang
kokoh. Keberadaannya sangat penting dalam menjaga kestabilan tatanan yang ada dalam
masyarakat, khususnya masyarakat Makassar.
Nilai yang terkandung dalam kelong masih bisa ditemukan implementasinya dalam
masyarakat, meski tidak sekokoh dulu karena tergerus oleh budaya modern yang datang
menggempur begitu dahsyat. Namun, bukan berarti gempuran tersebut bisa menghilangkan
secara utuh nilai yang telah terbangun dalam masyarakat secara turun-temurun dalam waktu
yang cukup lama.
Implementasi itu dapat kita lihat dibeberapa kegiatan di dalam masyarakat, misalnya pada
acara pesta perkawinan, pesta adat, dan acara resmi pemerintahan. Dalam pesta pernikahan
masih ada beberapa kelong Makassar yang sering diucapkan oleh orang-orang yang berada di
acara pesta itu. Demikian halnya dalam pesta adat sering di dengar kelong sebagai persembahan
untuk tamu-tamu yang datang atau untuk mengingatkan kembali akan perjuangan orang-orang
terdahulu. Sama halnya dalam acara resmi yang dilaksanakan oleh pemerintah kelong tetap
menjadi bagian dari pengisi acara sebelum acara inti dilaksanakan.
Dalam penelitian ini terdapat tiga fokus utama budaya Makassar, yakni abbulo sibatang
accera sitongka-tongka, sipakatau, dan sirik na pacce. Ketiganya merupakan budaya asli
masyarakat Makassar yang masih dipegang oleh masyarakat penganutnya hingga kini, meski
tidak sekokoh dulu. Namun, nilai tersebut masih sering dipraktekkan dalam berbagai kegiatan, di
antaranya pernikahan, pesta adat dan acara resmi kenegaraan.
Abbulo sibatang accera sitongka-tongka masih sering dijumpai implementasinya dalam
masyarakat Makassar, khususnya pada pesta pernikahan, hal tersebut bisa disaksikan saat
pembuata proses pelamaran hingga pesta usia. Masyarakat akan datang berbondong-bondong
membantu yang punya hajatan. Sedangkan implemtasi abbulo sibatang dan accera sitongka-
tongka dalam pesta adat akan terasa lebih kental karena masyarakat merasa memiliki
kepentingan dalam menyukseskan kegiatan tersebut sehingga akan bergotong royong,
menunjukan rasa persatuan dengan tujan yang sama, yakni acara sukses.
Sementara implementasi dalam acar resmi kenegaraan, abbulo sibatang dan accera
sitongka-tongka mulai tergerus karena biasanya sudah ada satu organisasi atau lembaga yang
menangani hal tersebut, sehingga akses untuk bergotong royong semakin berkurang dalam
melaksanakan kegiatan tersebut.
Implementasi sipakatau yang terkandung dalam kelong Makassar masih bisa pula ditemui
dalam sistem masyarakat Makassar, sipakatau adalah titik sentral secara konsepsi kebudayaan
Makassar yang berpusat pada tau. Dengan adanya rasa sipakatau maka kehidupan masyarakat
Makassar berjalan dengan harmonis. Dalam pesta pernikahan nilai kelong yang mengandung
unsur sipakatau masih bisa ditemukan implementasnya, misalnya panggilan daeng dan permisi
jika ingin melakukan sesuatu
Pada pesta adat, sipakatau masih bisa pula ditemukan meski tidak maksimal, namun tetap
dijaga semangatnya agar terus kokoh dalam menopang aktivitas masyarakat Makassar yang
menjadikan sipakatau sebagai norma nilai yang berlaku dalam masyarakat secara turun temurun
dalam menjaga keharmonisan kehidupan masyarakat yang beragam aktivitas dan derajat.
Sementara dalam acara resmi pemerintahan, nilai sipakatau seperti yang diamanatkan dalam
kelong tidak bekerja lagi maksimal.
Sebagai falsafah hidup masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya dan masyarakat
Makassar pada khususnya, sirik na pacce menjadi nilai yang tidak terpisahkan dari keseharian
masyarakat dalam mengarungi kehidupannya. Implementasi dalam acara pernikahan dan pesta
adat sirik na pacce akan kental. Begitupun saat acara resmi pemerintah, implementasi sirik na
pacce masih bisa ditemukan sebagai sebagai pedoman hidup masyarakat Makassar seperti yang
terkandung dalam kelong Makassar.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Pada penelitian ini, temuan dan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa terdapat data
pada kelong Makassar yang memuat abbulo sibatang accera sitongka-tongka, sipakatau, dan
sirik na pacce yang implementasinya masih dapat ditemukan dalam acara pernikahan, pesta ada,
dan acara resmi pemerintah, sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Abbulo sibatang accera sitongka-tongka merupakan budaya masyarakat Makassar yang
memiliki arti persatuan dan kesatuan. Keberadaan budaya abbulo sibatang accera
sitongka-tongka menjadikan kehidupan bermasyarakat terasa lebih ringan karena
pekerjaan yang berat akan dilakukan dengan gotong royong, perselisihan akan
diselesaikan dengan musyawarah mufakat.
Sebagai karya sastra, kelong makassar tidak lepas dari potret kehidupan
masyarakat Makassar sebagaimana sifat sastra itu sendiri, yakni duplikat dari kehidupan
nyata yang diramu sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga menjadi sebuah karya
sastra yang memiliki peran menyampaikan makna tertentu. Kelong Makassar
mengandung unsur budaya yang telah lama berkembang dalam masyarakat Makassar
yang masih terpelihara hingga dewasa ini. Pada penelitian ini ditemukan tujuh data yang
mengandung unsur abbulo sibatang accera sitongka-tongka yang masih memiliki
implementasi dalam acara pernikahan, pesta adat dan acara resmi pemerintahan.
Terkhusus acara resmi pemerintah, budaya abbulo sibatang accera sitongka-tongka tidak
lagi terlalu tampak.
2. Secara konsepsi sipakatau merupakan titik sentral budaya Makassar yang bersumber pada
tau atau manusia. Sifat sipakatau inilah yang membuat tatanan kehidupan masyarakat
Makassar bisa terkendali, yang muda menghormati yang tua dan yang tua menghargai yang
muda.
Dalam penelitian ini ditemukan empat data yang mengandung unsur sipakatau
yang kemudian dianalisis sehingga dapat ditemukan bahwa implementasi sipakatau dalam
masyarakat Makassar masih lumayan tinggi, khususnya dalam acara pernikahan, pesta
adat, dan acara resmi pemerintah. Di mana yang dituakan, khususnya pejabat atau tokoh
masyarakat diberi tempat khusus sebagai bentuk penghargaan dan pejabat atau tokoh
masyarakat tetap menghargai pula orang lain.
3. Sirik napacce adalah falsafah hidup orang Makassar yang tidak bisa diremehkan. Menjadi
pegangan hidup baik di kampung sendiri maupun di rantauan. Keberadaan pacce dalam
masyarakat dan diri seseorang mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial
tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan. Hal tersebut adalah salah satu konsep yang
membuat suku Makassar mampu bertahan dan disegani. Pacce merupakan sifat belas
kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain. Saling meringankan
beban seperti pepatah ringan sama dijinjing berat sama dipikul.
Implementasi sirik na pacce seperti yang terkandung dalam kelong masih bisa
ditemukan sekarang ini, khususnya dalam acara pernikahan, pesta adat dan acara resmi
pemerintahan. Terdapat lima data yang memuat unsur budaya sirik na pacce yang didapat
dalam penelitian yang ini, yang kesemuanya masih memiliki implementasi dalam
kehidupan masyarakat Makassar.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, dikemukakan beberapa saran di antaranya:
1. Penting kiranya penelitian karya sastra lokal, khususnya Sastra Makassar seperti ini perlu
dilakukan untuk menggali dan mengetahui sastra lokal yang memuat pesan-pesan leluhur
yang sarat makna yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dan bisa
diwariskan kepada generasi selanjutnya agar budaya masyarakat Makassar tetap hidup.
2. Khususnya peneliti sastra dan pelaku sastra ada baiknya lebih mengedepanka mengkaji
sastra lokal dan mengeksposnya hingga masyarakat luas tahu sehingga dapat memperkaya
khazanah kesastraan Indonesia dan untuk menunjukkan pada dunia kekayaan budaya
bangsa tercinta ini.
3. Penelitian sastra khususnya sastra kelong Makassar sangat perlu dilakukan lebih
mendalam dengan pendekatan yang lain, misalnya semiotika, sosiologi sastra atau
menggunakan pendekatan antropologi sastra yang khusus mengkaji budaya suatu daerah
agar makna budaya yang terkandung dalam sebuah karya sastra bisa diimplementasikan,
bukan hanya pada saat ada acara tertentu, tetapi menyeluruh dalam kehidupan masyarakat,
kapan dan di manapun itu.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad. 2010. Kelong dalam Perspektif Hermeneutika. Makassar: STKIP Andi
Matappa Pangkep.
Alwi, Hasan (Ketua Tim Penyunting/dkk). 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Anshari, 2011. Representasi Nilai Kemanusiaan dalam Sinrilik Sastra Lisan Makassar.
Makassar: P3i Press.
Ariani, Farida. 2016. Apresiasi Puisi dan Prosa. Jakarta: (Modul) Guru Pembelajar Direktorat
Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.
Bantang, Sirajuddin. 1988. Sinrilik Kappala Tallung Batuwa (Terjemahan). Jakarta: Balai
Pustaka (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).
Bantang, Sirajuddin. 2008. Sastra Makassar. Makassar: Pustaka Refleksi.
Basang, Djirong dan Salmah Djirong. 1997. Taman Sastra Makassar. Ujung Pandang: CV.
Surya Agung.
Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.
Hajrah, Sitti. 2010. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Sastra Bugis Klasik. Makassar. (Tesis).
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Hakim, Chaeruddin. 2007. Tafsir Kelong Makassar. Makassar: Membumi Publishing.
Hakim, Zainuddin. 1993. Pappasang: Salah Satu Pencerminan Nilai Budaya Makassar.
Makassar: Balai Bahasa (Jurnal Sawerigading).
Kawu, A. Shadiq. 2007. Kisah-Kisah Orang Bijak Sulsel. Makassar: Pustaka Refleksi.
Koentjaraningrat. 1984. Kebidayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia
Latif. 2012. Nilai dan Makna Kultural pada Terjemahan Sinrilik Kappalak Tallung Batua Karya
Sirajuddin Bantang dalam Kehidupan Masyarakat Makassar. Makassar: (tesis)
Universitas Muhammadiyah Makassar.
Limpo, Syahrul Yasin. 1995. Profil Sejarah, Budaya, dan Pariwisata Gowa. Sungguminasa:
Pemerintah Daerah Tingkat II Gowa.
Mardiatmaja, BS. 1987. Pendidikan dan Pendidikan Nilai. Dalam Dick Hartoko (ed).
Memanusiakan Manusia Muda: Tinjauan Pendidikan Humaniora. Yogyakarta:
Kanisius da BPK Gunung Mulia.
Mattulada. 1985. Latoa, Suatu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mattulada. 1988. Keterbukaan dalam Konteks Kebudayaan Makassar. Ujung Pandang
(Makalah).
Moein, A. 1993. Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis – Makassar. Ujung Pandang: Yayasan
Makassar Press.
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya.
Muhtamar, Shaff. 2007. Masa Depan Warisan Luhur Kebudayaan Sulsel. Makassar: Pustaka
Refleksi.
Mulya, Abdul Kadir. 2004. Nilai-Nilai Sosial Budaya Makassar. Makassar: Balai Bahasa
(Jurnal Sawerigading).
Mulya, Abdul Kadir. 2005. Sistem Sapaan Bahasa Makassar. Makassar: Balai Bahasa (Jurnal
Sawerigading).
Nappu, Sahabuddin. 1986. Kelong dalam Sastra Makassar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Proyek Penerbitan Buka Sastra Indonesia dan Daerah.
Poerwadarminta, W.J.S. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai
Pustaka (Pusat Bahasa Departemen Pandidikan Nasional).
Pradopo, Rachmat Djoko.1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah
Makassar. 2014. Pedoman Penulisan Tesis. Makassar: Universitas Muhammadiyah
Makassar.
Rahim, A. Rahman. 1985. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang: Lembaga
Penerbitan Universitas Hasanuddin.
Rahman, Jufri. 2009. Jangan Biarkan Tanganmu Luka. Makassar: Rayhan Intermedia.
Sabariah. 1997. Nilai Religi dalam Elong Ugi dalam Bunga Rampai Hasil Penelitian dan Sastra.
Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa.
Schleiermacher, F.D.E. 1977. Hermeneutics the Handwritten Manuscripts ed. Heinz Kimmerle.
Montana: School Press.
Sumaryono, E. 1999. Hermeutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Sutarto, Ayu. 2004. Pendekatan Kebudayaan. Jember: Kompyawisda bekerja sama dengan
Provinsi Jawa Timur.
Tang, Muhammad Rapi. 2008. Mozaik Dasar Teori Sastra. Makassar: Badan Penerbit
Universitas Negeri Makassar.
Wahid, Sugirah. 1988. Metafora Bahasa Makassar. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin
(Disertasi).
Wahid, Sugirah. 2007. Manusia Makassar. Makassar: Pustaka Refleksi.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. (Alih Bahasa oleh Melani Budianta)
Jakarta: Gramedia.
Yatim, Nurdin. 1983. Subsisten Honorifik Bahasa Makassar Sebuah Analisis Sosiolinguistik.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
RIWAYAT HIDUP
SYAMSUD lahir pada tanggal 1 Januari 1973 di Panyikkokang
Desa Manuju Kecamatan Manuju Kabupaten Gowa Provinsi
Sulawesi Selatan.
Anak pertama dari dua bersaudara. Anak pasangan Abdul Latif (alm.) dan Hj. Halifa.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Inpres Passuakkang Desa Manuju
(1986); pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 2 Limbung Kecamatan
Bajeng (1989); pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Limbung Kecamatan
Bajeng/SMAN 1 Bajeng Unggul- an Jurusan A.1/ Fisika (1992); pendidikan jenjang
S1 (Sarjana) di IKIP Ujung Pandang Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
(1997).
Pada tahun 1997 penulis mendaftar sebagai CPNS di lingkungan Dinas
Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan sehingga pada tanggal 1 Februari 1998
menerima SK CPNS sebagai guru dan ditempatkan di SMU Negeri 1 Jeneponto
ditempatkan pada SMU Negeri 1 Batang Kabupaten Jeneponto. Di Butta Turatea,
sempat pula penulis mengajar di SMA Muhammadiyah Jeneponto.
Setelah dua belas tahun menjadi tenaga pengajar di Kabupaten Jeneponto,
akhirnya pada tahun 2010 penulis mengurus pindah ke kampung halaman di
Kabupaten Gowa dan Alhamdulillah pada tanggal 15 Juli 2010, keluar SK
penempatan tugas baru di Kabupaten Gowa yakni di SMAN 3 Sungguminasa yang
sebelumnya bernama SMA Terpadu Sombaopu. Karena SMAN 3 Sungguminasa
belum memiliki gedung sekolah sendiri sehingga harus menumpang di SMK Negeri
1 Sombaopu. Setahun kemudian, tahun 2011 SMAN 3 Sungguminasa pindah ke
sekolah sendiri tepatnya di jalan Malino.
Tahun 2014 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Magister
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Makassar.
Sejak di IKIP Ujung Pandang penulis aktif di beberapa lembaga
kemahasiswaan yakni pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bahasa dan
Sastra Indonesia (1994-1995), Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) FPBS IKIP
Ujung Pandang (1995-1996). Surat Kabar Kampus (SKK) Profesi IKIP Ujung
Pandang (1993-1997). Selama di Kabupaten Jeneponto, penulis aktif sebagai
pengurus MGMP Bahasa dan Sastra Indonesia Kabupaten Jeneponto.
Saat ini di Kabupaten Gowa, penulis mulai aktif mendata guru-guru bahasa
Indonesia untuk mengaktifkan kembali MGMP bahasa Indonesia yang selama ini
dipandang kurang aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk pembinaan dan
pengembangan kompetensi guru-guru bahasa Indonesia.