Nilai dan Karakter Buda ya Indonesia

13
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/326580891 Nilai dan Karakter Budaya Indonesia Conference Paper · July 2017 DOI: 10.6084/m9.figshare.6855116 CITATIONS 0 READS 9,341 1 author: Some of the authors of this publication are also working on these related projects: BPPS DIKTI View project Program Penelitian Strategis Nasional, Dikti, 2010 View project Hasanuddin Hasanuddin Universitas Andalas 12 PUBLICATIONS 1 CITATION SEE PROFILE All content following this page was uploaded by Hasanuddin Hasanuddin on 24 July 2018. The user has requested enhancement of the downloaded file.

Transcript of Nilai dan Karakter Buda ya Indonesia

Page 1: Nilai dan Karakter Buda ya Indonesia

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/326580891

Nilai dan Karakter Budaya Indonesia

Conference Paper · July 2017

DOI: 10.6084/m9.figshare.6855116

CITATIONS

0READS

9,341

1 author:

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

BPPS DIKTI View project

Program Penelitian Strategis Nasional, Dikti, 2010 View project

Hasanuddin Hasanuddin

Universitas Andalas

12 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Hasanuddin Hasanuddin on 24 July 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.

Page 2: Nilai dan Karakter Buda ya Indonesia

1

NILAI DAN KARAKTER BUDAYA1

Oleh Hasanuddin2

Pendahuluan Dialog Budaya Nasional dengan tema Kebudayaan sebagai Strategi

Penguatan Jati Diri Bangsa, yang diselenggarakan Balai Pelestarian Nilai

Budaya Aceh ini sangat penting dan mendesak. Hal itu semakin menarik

karena diadakan di Aceh. Ada pesan penting yang luar biasa yang hendak

disiarkan secara nasional oleh penyelenggara dialog ini. Tentu perlu

ditanyakan, “Mengapa penting dan mendesak, dan mengapa Aceh?

“Penting” saya kira karena sudah “bukan lagi” isyarat bahwa

Indonesia telah mengalami “kemunduran” budaya dalam segala aspek

kehidupan. “Mendesak” karena bila tidak segera diperbaiki secara

sungguh-sungguh dan strategis maka yang terjadi “bukan lagi” ancaman

tapi kenyatan kian derasnya arus gerusan terhadap budaya Indonesia itu.

Lalu, mengapa Aceh? Saya kira lagi, salah satunya, karena di Acehlah

(terletaknya Sabang), yakni “Titik Nol” keindonesiaan (paling barat

Indonesia), di samping titik lainnya (Merauke di Papua Barat, paling timur

Indonesia), yang menunjukkan suatu rentang panjang dan luasnya

Indonesia, yang bineka tetapi tunggal ika.

Namun, persisnya apa sih persoalan kita Indonesia saat ini?

Seperti sebagian sejalan dengan pernyataan yang disuarakan oleh

penyelenggara dialog budaya nasional ini, pokok soal pertama adalah

kebijakan yang mengabaikan sehingga meminggirkan budaya dan

kebudayaan. Kedua, realitas faktual Indonesia yang “bineka” tetapi secara

sadar atau tidak sadar, dibijaki untuk diingkari demi “tunggal ika” dan

akibatnya jati diri Indonesia yang “plural” tergiring menjadi “singular”; relasi

antar satuan (etnik, kelompok keagamaan, dan satuan lainnya) diwarnai

prasangka, sentimen dan konflik—yang mungkin tanpa disadari dan

dikehendaki—memiliki andil menggagalkan “proyek” multikulturalisme;

yaitu Indonesia yang aneka warna dalam suatu harmoni.

1 Disampaikan dalam Dialog Budaya Nasional dengan tema: Kebudayaan sebagai

Strategi Penguatan Jati Diri Bangsa, diselenggarakan Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh, Tanggal 5-8 Juli 2017, di The Padee Hotel, Jl. Soekarno-Hatta, Keutapang, Banda Aceh.

2 Penulis adalah Lektor Kepala pada Program Studi Sastra Minangkabau, Ketua Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.

Page 3: Nilai dan Karakter Buda ya Indonesia

2

Sistem Nilai adalah Budaya itu Sendiri

Kita sering berdebat mendefinisikan kata “budaya”. Budaya sering disempitkan maknanya sebagai kesenian sehingga disebut “seni budaya”. Padahal, budaya atau kultur (culture) dapat didefinisikan dalam berbagai sudut, yaitu: (1) secara deskriptif adalah budaya totalitas komprehensif yang menyusun keseluruhan hidup manusia; (2) secara historis budaya adalah warisan yang turun-temurun; (3) secara normatif budaya adalah aturan hidup dan gugus nilai; (4) secara psikologis budaya adalah piranti pemacahan masalah yang membuat orang bisa hidup dan berinteraksi; (5) secara struktural budaya adalah abstraksi yang berbeda dari perilaku konkret; dan (6) budaya lahir dari interaksi antar manusia dan terwariskan kepada generasi berikutnya (Sutrisno, 2005:9).

Kita juga sering memahamkan bahwa budaya adalah perilaku berulang sehingga menjadi lazim, semua kebiasaan, semua yang ditradisikan, dan lainnya. Oleh karena itu, kita seringkali membuat frase yang seolah-olah benar: “budaya korupsi”, “budaya kekerasan”, “budaya jalanan”, “budaya nyontek”, “budaya maling”, dan lan-lain. Saya sangat cenderung kepada pemahaman Daoed Joesoef yang menyatakan budaya adalah sistem nilai yang dihayati. Nilai adalah sesuatu yang “diyakini baik” dan menjadi standar perilaku dan segala sesuatu yang mencirikan budaya adalah kebudayaan (Joesoef, 1996:10). Jadi, tidak semua perilaku berulang, kelaziman, kebiasaan, dan tradisi adalah budaya.

Nilai itu meliputi: (1) sesuatu yang berbentuk atau berwujud dan dapat disentuh (tangible) yang dalam istilah lainnya dapat disebut sebagai benda budaya seperti bangunan (bersejarah), karya seni, dan benda budaya lainnya; (2) sesuatu yang tidak berbentuk dan tidak dapat disentuh (intangible) seperti adat-istiadat, tradisi, kebiasaan normatif, moral, etika, harga diri, kepercayaan, disiplin, gagasan, pegangan hidup, nalar, semangat ilmiah, ilmu pengetahuan, dan lain-lain (Joesoef, 1996:10).

Nilai didefinisikan Lonner & Malpass, Kluchohn, dan Rokeach sebagai keyakinan umum tentang cara bertingkah laku yang diinginkan dan yang tidak diinginkan serta tujuan atau keadaan akhir (eksistensi) yang diinginkan atau yang tidak diinginkan (secara pribadi atau sosial). Geertz Hofstede (dalam Dananjaya, 1986) berpendapat bahwa nilai merupakan suatu perasaan yang mendalam yang dimiliki oleh anggota masyarakat yang akan sering menentukan perbuatan atau tindak tanduk perilaku anggota masyarakat (Dayakisni & Yuniardi, 2004: 49-50).

Rokeach memandang nilai sebagai keyakinan yang relatif stabil, yang duwujudkan secara instrumental atau terminal. Nilai instrumental terdiri atas nilai moral (tentang cara bertingkah laku secara interpersonal) dan nilai kompetensi atau aktualisasi diri. Pelanggaran atas nilai moral mendatangkan rasa bersalah karena mengabaikan norma-norma yang berlaku, sedangkan pelanggaran nilai kompetensi mendatangkan perasaan malu karena ketidakmampuan diri. Nilai terminal adalah nilai

Page 4: Nilai dan Karakter Buda ya Indonesia

3

sebagai tujuan akhir, baik yang diarahkan pada pribadi maupun sosial (Dayakisni & Yuniardi, 2004: 52-53).3 Dalam kerangka kebudayaan yang dibuat Koentjaraningrat, yang menjadi wujud inti atau ruh kebudayaan adalah “nilai budaya” (Koentjaraningrat, 1998: 11-13). Wujud-wujud yang lain, yaitu: ide atau pikiran, perilaku dan kebudayaan fisik baru diakui sebagai budaya apabila merepresentasikan “nilai budaya” itu. Dengan demikian, nilai itulah budaya dan budaya itu adalah sistem nilai.

A = SISTEM NILAI

B = SISTEM IDE

C = SISTEM PERILAKU

D = SISTEM MATERI

A B C D

BAHASA

ORGANISASI

SOSIAL

TEKNOLOGI

PENGETAHUAN

& PENDIDIKAN

EKONOMI

RELIGI

KESENIAN

Karakter Budaya (Indonesia) Budaya adalah fakta sosial bukan fakta individual. Budaya sebagai sistem

nilai adalah diciptakan, memanfaatkan potensi creating values manusia,

dan kemudian diikuti sebagai pedoman berinteraksi dengan Tuhan,

sesama manusia dan dengan alam lingkungan. Interaksi memerlukan

adaptasi-adaptasi sesuai dengan tantangan kontekstual. Oleh karena

tantangan kontekstual yang kompleks dan bebrbeda satu kelompok sosial

dengan kelompok sosial yang lain (agraris, maritim, perdagangan, dan

lainnya) maka budaya menjadi jati diri sekaligus faktor pebeda diri dan

“yang lain”, dan itu seyogianya menjadi pondasi bagi multikulturalisme.

Bila membicarakan Budaya Indonesia berarti kita harus membicarakan sistem nilai yang dihayati (oleh bangsa Indonesia sebagai kolektif-komunal) dan nilai itu adalah sesuatu yang diyakini baik dan menjadi standar perilaku dalam kehidupan berbangsa. Kalau begitu, dapatkah dikatakan representasi Budaya Indonesia adalah Pancasila, yang dirumuskan oleh kolektif-komunal—bukan personal—sebagai sistem nilai yang dihayati oleh Bangsa Indonesia? Bila ya, mengapa ternyata Pancasila pada sepanjang sejarah NKRI mengalami berbagai perlakuan:

3 Konsep nilai instrumental ini sejalan dengan konsep “budi” (nilai moral) dan “harga diri”

(nilai kompetensi atau aktualisasi diri) dalam Budaya Minangkabau.

Page 5: Nilai dan Karakter Buda ya Indonesia

4

dikonstruksi, didekonstruksi, direkonstruksi, dimonopoli dalam tafsir, dipinggirkan, dan (sekarang) dirindukan kembali? Apakah rindu yang dirasakan anak bangsa Indonesia hari ini adalah wujud dari sebuah kesadaran budaya?

Untuk itu, kita perlu menapaktilasi kembali realitas deskriptif atau des sein Budaya Indonesia (bagaimana apa adanya) dan untuk selanjutnya merumuskan realitas preskriptif atau des solen (bagaimana seharusnya ada) Budaya Indonesia itu.

Realitas deskriptif Budaya Indonesia Realitas deskriptif Indonesia adalah kebinekaan, sebagai representasi dari karakter subbudaya atau etnik yang berbeda-beda. Dari karakter tersebutlah Indonesia wujud sebagai satuan negara-bangsa yang plural atau majemuk, terdiri dari sekitar 1340 suku bangsa; 546 bahasa; 6 pemeluak agama, dan ratusan sistem religi. Interaksi pluralitas Indonesia itu diidentifikasi Ardika sebagai akar multikulturalisme yang secara arkeologis telah dimiliki sejak 2000-2500 tahun yang lalu. Melalui temuan artefaktual, pada periode itu telah terjadi kontak antara masyarakat Nusantara dengan koleganya dari India (Asia Selatan), Vietnam, dan China. Demikian pula melalui perdagangan rempah-rempah, dari abad kesatu sampai abad ke-17, Nusantara telah mendapat pengaruh kebudayaan asing dari India (Hindu Budha), Arab (Islam), dan Eropa (Kristen Katolik dan Protestan). Adaptasi kebudayaan-kebudayaan asing tersebut ke dalam kebudayaan asli terus berlangsung dan memperkaya kemultikulturan Indonesia (Ardika, 2004: 3-11).

Realitas kemajemukan mendahului kehendak untuk bersatu dalam sebuah NKRI, bhinneka mendahului tunggal ika, tidak sebaliknya (Gonggong, 2002a: 164-165). Hanya saja, menejemen kebangsaan selama ini belum berhasil menempatkan kebhinnekaan sebagai kekayaan, tapi justru pernah memperlakukannya sebagai ancaman (SARA). Menurut Anhar Gonggong, corak manajemen kebangsaan itu diwarnai feodalistik, otoriter, sentralistik dan diskriminatif, baik sebagai warisan dari kerajaan-kerajaan tradisional di Nusantara maupun warisan kolonialis Belanda. Corak seperti itu mengalahkan tatanan masyarakat merdeka yang hendak diwujudkan, yaitu tatanan masyarakat yang berorientasi ke masa depan, ke kehidupan bersama yang egaliter, sejahtera, dan demokratis (Gonggong, 2002b:158-159).

Persoalan budaya bangsa hingga hari ini adalah persoalan realitas dan perlakuan yang salah atasnya. Kemajemukan dan kearifan multikultural telah berakar cukup lama tetapi terciderai; kesalahan perlakuan mengakibatkan kebinekaan bukan menjadi pemerkaya budaya bangsa melainkan sebaliknya menjadi faktor pemicu konflik dan pemecah belah. Jadi, persoalan aktual kebangsaan sejak kemerdekaan NKRI adalah prihal “mengelola perbedaan”. Perbedaan adalah fitratullah,

Page 6: Nilai dan Karakter Buda ya Indonesia

5

karenanya kita menjadi plural. Dalam dinamika pluralitas, sesungguhnya konflik adalah lumrah bahkan niscaya. Peran kearifan manajemen perbedaan dan konflik justru disini. Jejaring konflik mesti dipandang sebagai pendorong perkembangan masyarakat. Oleh karena itu konflik perlu dimenej sedemikian rupa agar senantiasa berada dalam harmoni atau kesetimbangan yang dinamis, dan diarahkan bagi berlangsungnya perkembangan masyarakat dalam mekanisme dialektik.

Realitas Preskriptif: Karakter (berbasis) Budaya Setiap budaya memiliki karakter yang menjadi penciri identitas atau jati diri masyarakat pendukung budaya itu dan sekaligus sebagai pembeda terhadap “yang lain”. Kemajemukan budaya mengisyaratkan adanya keberagaman karakter dan identitas atau jati diri subbudaya. Dengan kata lain, karakter masyarakat pendukung budaya tertentu ditentukan oleh budaya bersangkutan. Akan terdapat aneka karakter budaya, yang direpresentasikan oleh manusia pendukung budaya itu, dan hal itu mewarnai interaksi lintas budaya atau lintas subbudaya. Persoalan kita, mau diapakan realitas nilai yang berbeda dan menentukan perbedaan karakter pada masing-masing masyarakat pendukungnya itu?

Menyadari bahwa secara fitrati realitas deskriptif keindonesiaan adalah pluralitas, kebinekaan, dan perbedaan, maka diperlukan sistem nilai atau budaya yang mampu mengayomi pengelolaan perbedaan dan kebinekaan itu. Hal itu sudah sangat disadari oleh the founding father kita yang memang sangat brilliant. Itulah dia Pancasila, yang sejatinya “diberi peran”4 sebagai dasar dan pemberi arah bagi pengelolaan perbedaan demi harmoni budaya bangsa tersebut. Dari sistem nilai tersebut diturunkan sistem norma-sistem norma sebagai landasan operasional yang mengatur dan mengarahkan tata perilaku dalam interaksi antar anak bangsa dalam segala aspek kehidupannya. Sistem-sistem norma itulah UUD 1945, UU, sistem pendidikan nasional, sistem hukum nasional, dan lainnya. Persoalan kita, sistem nilai berbangsa tersebut mengalami berbagai perlakuan: dilahirkan, dikubur, dikultuskan, dipinggirkan, diotak-atik (diamandemen dan sebagainya). Bagaimana preskripsi, des solen, atau semestinya budaya bangsa itu ada? Ada tiga preskripsi yang saya tonjolkan dalam makalah ini, sebagai berikut.

1. Pluralitas menuju multikulturalitas Pluralitas keindonesiaan yang kaya, sebagaimana digambarkan di atas, semestinya dikelola dan dikembangkan menuju satu kesatuan masyarakat

4 Kata “diberi peran” saya maksudkan agar Pancasila tidak diperlakukan sebagai “klitab

suci” yang mono tafsir atau monopoli tafsir ada pada tangan penguasa, tetapi tidak pula selayaknya produk pikIr individual yang naïf sehingga boleh diperlakukan sesuai kepentingan kelompok tertentu.

Page 7: Nilai dan Karakter Buda ya Indonesia

6

multikultural. Patut disadari bahwa pluralitas berbeda dari multikulturalitas. Masyarakat plural (plural society) adalah dasar bagi berkembangnya tatanan masyarakat multikultural (multicultural society). Masyarakat plural memiliki unsur-unsur dengan ciri-ciri budaya yang berbeda satu sama lain, namun masing-masing hidup dalam dunianya sendiri-sendiri. Hubungan antar berbagai unsur yang berbeda itu juga ditandai oleh corak hubungan yang dominatif, dan karena itu juga diskriminatif, walau wujud diskriminatif itu umumnya sangat tersamar. Berbeda dari itu, masyarakat multikultural ditandai oleh interaksi aktif di antara masyarakat dan budaya yang plural itu, dalam kedudukan yang sejajar dan setara, sehingga dengan demikian tercipta keadilan di antara berbagai unsur budaya atau subbudaya yang berbeda itu (Lubis, 2006:166).

Multikulturalisme memandang identitas (seseorang atau suatu kelompok) dan perbedaaan (dengan seseorang atau kelompok lain) bukanlah kategori yang berlawanan, keduanya sama-sama saling memerlukan, secara dialektis saling berhubungan, tidak ada pemahaman diri tanpa pemahaman “yang lain”. Hanya melalui interaksi dengan orang lain seseorang benar-benar mengetahui apa yang berbeda dan khas pada dirinya. Bahkan, semua kebudayaan lahir dari interaksinya dengan “yang lain” (Fay, 2002:338-341). Dalam masyarakat multikultur, kelompok-kelompok minoritas seringkali berpikir pada dua pilihan antara “assimilasionisme” (penyatuan) dan “separatisme” (pemisahan). Pilihan mereka adalah “kesamaan” (berusaha untuk tidak bisa dibedakan dengan kaum mayoritas) atau “perbedaan” (berusaha mempertahankan atau mengekalkan apa yang membedakan mereka sebagai kaum minoritas). Akan tetapi sesungguhnya ada alternatif ketiga yakni “interaksionisme”, yaitu suatu pandangan penempatan hubungan diri dengan “yang lain” secara dialektis. Interaksionisme juga sebuah etika, yang memaksa kita untuk tidak mencari identitas baru di luar perbedaan-perbedaan sosial kultural, tetapi “di dalam”-nya. Pertukaran kultural maupun sosial tidak harus menyebabkan penghapusan perbedaan (seperti pada assimilasionisme) ataupun pelestariannya (seperti pada separatisme), tetapi melakukan tantangan diri, pembelajaran dan pertumbuhan yang terus menerus (Fay, 2002:345). Persamaan dan perbedaan, dalam perjumpaan antara diri dengan “yang lain”, pilihannya bukanlah saling mangadopsi satu sama lain melainkan mempertahankannya pada titik ketegangan yang dinamis. Konsep rekruitabilitas, berupa “kapasitas seseorang untuk mendapatkan perhatian orang lain dan kapasitas dirinya untuk memperhatikan orang lain,” agaknya cukup pas, karena mengaktualisasikan tiga manfaat, yaitu: (1) meningkatkan kemungkinan komunikasi dialogis (menyimak dan merespon orang lain), (2) meningkatkan pemahaman diri sendiri melalui apresiasi terhadap orang lain, dan (3) mengembangkan imajinasi moral

Page 8: Nilai dan Karakter Buda ya Indonesia

7

dalam hal mengetahui kekhasan sendiri dan menyadari kesalingter-hubungannya dengan orang lain (Fay, 2002:345-351).

Dalam dinamika hubungan dialektik itu, menurut Brian Fay, diperlukan “sikap hormat atas perbedaan.” Sikap hormat atas perbedaan itu bukan dalam arti “penerimaan”, sebab pengertian itu menekankan pada toleransi yang kadangkala berhasil dan kadangkala tidak. Hal itu disebabkan karena hal-hal yang dihargai dapat mengeras menjadi perbedaan, menjadi “orang lain” yang permanen, perbedaan absolut yang tidak dapat didamaikan, yang kemudian justru akan mengarah kepada intoleransi. “Penerimaan perbedaan” juga menghalangi interaksi, dialog, dan pembelajaran bersama. Oleh karena itu, “rasa hormat” seyogianya juga dipahami dalam arti kemauan untuk mendengar, keterbukaan pada kemungkinan untuk belajar, merespon, bahkan mengeritik bila perlu.

Konsep yang tepat untuk pengertian “sikap hormat”, menurut Brian Fay, adalah engagement (pelibatan). Konsep engagement tercurah pada pemahaman sifat-sifat perbedaan tersebut. Pemahaman perbedaan dimulai dari upaya mempelajari dan menjelaskan perbedaan: mengapa berbeda, bagaimana perbedaan itu berkembang, dan bagaimana hubungannya dengan kita? Mempelajari dan menjelaskan perbedaan membuka kemungkinan untuk mengetahui keterbatasan atau kekurangan masing-masing dan menuntun agar saling menghargai kelebihan satu sama lain. Dengan begitu, terlibat, mempertanyakan, dan mempelajari lebih mampu menangkap sifat sinergis interaksi multikultural murni (Fay, 2002:355-356).

Jadi, Budaya masyarakat Indonesia mesti dikembangkan dari masyarakat dan budaya plural menjadi masyarakat dan budaya multikultural. Bila tidak, maka yang akan terus menjadi pekerjaan rumah kita adalah sentimen, konflik, separatisme, dan disintegrasi.

2. Perayaan Multikulturalitas Indonesia. Pemahaman atas definisi kebudayaan Indonesia selama ini adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah, yang memenuhi rasa identitas, kebanggan, dan solidaritas kebangsaan. Pertanyaannya adalah, apakah yang bermakna pada semua subbudaya itu hanyalah puncak? Apakah kriteria puncak itu, fisik; sistem; perilaku; atau nilainya? Bagaimana dengan akar dan batangnya? Dengan segenap keberadaannya, tidak dapatkah setiap subbudaya itu memenuhi rasa identitas dan solidaritas kebangsaan kita yang menjunjung prinsip kebhinnekaan? Dimana esensi kebhinnekaan kita? Bukankah pengkategorian seperti itu tidak mengarah kepada penyeragaman, dominasi mayoritas, dan diskriminasi minoritas? Tidakkah yang menguatirkan para peneliti bahasa, kesenian, dan budaya kita adalah kepunahan suatu subbudaya, dan karena itu perlu penggalian, pendokumentasian, pelestarian atau revitalisasi? Dengan demikian,

Page 9: Nilai dan Karakter Buda ya Indonesia

8

tidaklah mengada-ada kalau pengertian kebudayaan Indonesia itu perlu diredefinisi.

Kebudayaan nasional Indonesia mesti dipahami sebagai keseluruhan sistem perilaku dan karyacipta segenap warganya, yang multikultural, yang merefleksikan sistem nilai yang beragam sesuai akar budaya masyarakat lokal yang beragam itu. Sistem perilaku dan karyacipta yang terputus dari akar kultural lokal tentulah bukan budaya Indonesia. Pengakuan dan perlakuan yang memadai atas kepemilikan budaya yang multikultural itu oleh bangsa ini jelas adalah kewajiban negara dan segenap warganya. Apabila kewajiban tersebut telah ditunaikan, tentu bangsa Indonesia tidak lagi kecolongan dengan klaim kepemilikan negara lain atas unsur dari subbudaya kita.

Jadi, ada tiga basis budaya Indonesia, yakni (1) budaya lokal dan (2) budaya nasional, dan (3) budaya global. Budaya lokal adalah akar tunggang budaya Indonesia, budaya nasional adalah sistem nilai yang merekat aneka budaya lokal dalam tatanan kesetimbangan dinamik-dialektik, dan budaya global menjadi bagian kontekstual yang niscaya diakomodasi dan diasimilasi secara cerdas, strategis, dan bijak. Kaidah yang mesti dipegang teguh adalah pemertahanan keberagaman bukan penyeragaman. Semua budaya lokal (daerah) wajib dijaga dan dipelihara keberlangsungan hidupnya, dan budaya nasional dikreasi untuk menjaga harmoni dinamik (berkemajuan) tatanan lintas subbudaya, dan budaya global dijadikan orientasi untuk mampu setara secara transnasional.

3. Peneguhan identitas subbudaya

Kunci kebhinnekaan adalah perbedaan. Perbedaan ditunjukkan oleh identitas-identitas subbudaya yang khas pada dirinya dan berbeda dengan “yang lain”. Oleh karena itu, untuk merayakan perbedaan diperlukan langkah-langkah peneguhan identitas subbudaya-subbudaya yang berakar pada kearifan-kearifan lokal yang khas. Semua itu seyogianya menjadi landasan bagi pengembangan budaya dan peradaban masyarakat bersangkutan.

Semangat peneguhan identitas subbudaya perlu dipupuk, akan tetapi bukan dalam arti menumbuhkan sikap primordialisme. Budaya primordial adalah pondasi berdirinya sebuah bangsa besar yang disebut Indonesia. Politik kebudayaan yang seyogianya disuburkan adalah peneguhan akar, penguatan batang, peningkatan kualitas bunga dan buah bagi seluruh subbudaya yang diarahkan untuk terbangunnya dengan kokoh “taman budaya kebangsaan” yang indah dan bermakna. Taman yang indah adalah sebuah mozaik, kebermaknaannya adalah pada aneka warna bukan pada kesewarnaan, yang dinamis dan berkualitas.

Untuk mendukung proyek “taman budaya kebangsaan” itu, budaya mesti menjadi basis pembangunan karakter. Karakter tidak bersifat genetis, tidak bisa diwariskan, tidak bisa dibeli dan tidak bisa ditukar. Karakter harus dibangun dan dikembangkan secara sadar hari demi hari

Page 10: Nilai dan Karakter Buda ya Indonesia

9

melalui suatu proses yang tidak instan. Karakter bukanlah sesuatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah lagi seperti sidik jari. Disinilah peran budaya, sebagai sistem nilai, menjadi basis pembangunan karakter. Setiap subbudaya membangun karakter kelompok masing-masing. Dalam tataran inter subbudaya, Budaya Indonesia lah yang menjadi basis pembangunan karakter, yakni Karakter Indonesia. Oleh sebab itu, proyek pembangunan budaya (sistem nilai) tidak dapat tidak, harus menjadi prioritas utama, yang akan melahirkan manusia Indonesia yang berkarakter sesuai sistem nilai tadi.

Dalam kaitan itu, sebagai kesatuan multikultural yang kaya Indonesia perlu dibangun atas dasar kesadaran dan etik multikulturalisme. Etik itu dapat dirumuskan ke dalam tiga sub-nilai, yaitu: (a) peneguhan identitas subbudaya melalui pendidikan muatan lokal sebagai basis pengembangan karakter, (b) penghormatan dan penumbuhan minat dan kesadaran untuk memahami dan belajar tentang (dan dari) sub-sub budaya “yang lain”, dan (c) penumbuhan kesadaran bahwa keberagaman budaya adalah potensi dan khasanah yang patut disyukuri, dihargai, dan dipelihara (Bagus, 2003; Blum, 2000)

Untuk mewujudkan kebermaknaan hidup dalam multikulturalitas Indonesia tersebut, implementasinya perlu dikawal dengan sistem hukum yang adil dan beradab. Sistem hukum yang adil dan beradab akan terlahir dari kebijakan pemerintah yang berbasis pada partisipasi politik seluruh komponen masyarakat subbudaya. Dengan begitu, esensi multikultural yang bebas dari etnosentrisme, yang menghormati hak-hak untuk berbeda secara budaya, dan menjunjung emansipasi budaya-budaya kecil dan minoritas dalam tataran “duduk sama rendah berdiri sama tinggi”, akan dapat diwujudkan. Tanpa sistem hukum yang adil dan beradab, sulit dibayangkan harmoni multikultural itu dapat direalisasikan.5

PENUTUP

Nilai adalah budaya atau budaya adalah sistem nilai yang dihayati. Budaya memiliki karakter sehingga menjadi plural atau majemuk. Realitas deskriptif Indonesia dibangun di atas kemajemukan itu. Kemajemukan yang dikehendaki bukanlah sekadar masyarakat plural (plural society) tetapi masyarakat multikultural (multicultural society). Oleh sebab itu, realitas preskriptif budaya Indonesia adalah perayaan multikulturalitas dan peneguhan identitas atau jati diri sub-sub budaya yang kaya itu melalui pendidikan budaya lokal sendiri dan budaya “yang lain”. Multikulturalisme Indonesia mestilah melahirkan “taman budaya kebangsaan” yang indah dan bermakna, berupa sebuah mozaik, kebermaknaannya adalah pada aneka warna (bukan pada kesewarnaan), yang dinamis dan berkualitas.

5 Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang

Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Page 11: Nilai dan Karakter Buda ya Indonesia

10

DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I Wayan. 2004. “Bukti-Bukti Arkeologi Terbentuknya Akar Multikulturalisme” Dalam I Wayan Ardika dan Darma Putra (Ed.) Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik, Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Balimangsi Press.

Bagus, I Gusti Ngurah. 2003. “Hidup Bersama dan Etik Multikultural: Peluang dan Tantangannya dalam Hidup Berbangsa”. Dalam Martono, dkk (Peny.) Hidup Berbangsa & Etika Multikultural. Surabaya: Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur.

Blum, Lawrence A. 2001. “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar-Ras: Tiga Nilai Yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multukultural” Dalam L. May, S. Collins-Chobanian, dan K. Wong (Peny.) Etika Terapan I, Sebuah Pendekatan Multikultural (Terj). Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Dananjaya, A.A. 1986. Sistem Nilai Manajer Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Binaan Pressindo.

Dayakisni, Tri dan Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Pres

Fay, Brian. 2002. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Jendela.

Gonggong, Anhar. 2002a. Indonesia, Demokrasi, dan Masa Depan. Jogjakarta: Komunitas Ombak.

Gonggong, Anhar. 2002b. Menengok Sejarah Konstitusi Indonesia. Jogjakarta: Ombak dan Media Presindo.

Joesoef, Daoed. 1996. Era Kebudayaan: Pemberdayaan Manusia dalam Perkem-bangan Zaman. Tulisan dalam buku Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi oleh Onny S, Prijono. Jakarta: Center for Strategic and Internasional Studies.

Koentjaraningrat. 1998. Pengantar Antropologi, Pokok-Pokok Etnografi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. `

Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern, Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.

Sutrisno, Muji. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Page 12: Nilai dan Karakter Buda ya Indonesia

11

Beberapa artikel pemakalah yang relevan

Hasanuddin. 2007. “Identitas Minang Rantau di Bali: Perspektif

Multikulturalisme”. Dipublikasikan oleh UNHI dalam: Dharmasmrti,

Jurnal Ilmu Agama & Kebudayaan UNHI, Vol. V, No. 9, ISSN:

1693-0304, 42-54.

Hasanuddin. 2008. “Kearifan Lokal Merajut Multikulturalitas, Masyarakat

Minangkabau di Bali”, Dipublikasikan dalam Suastika, Dkk: Isu-Isu

Kontemporer Cultural Studies. Bandung: CV Bintang WarlyArtiks.

ISBN: 978-979-17145-0-1, 55-88.

Hasanuddin. 2009. “Etnisitas dalam Dinamika Kebangsaan, Wacana

Identitas Etnik Melayu Minangkabau di Bali”. Makalah Seminar

Internasional Malindo Nusantara I, Diselenggarakan atas

kerjasama FISIP Universitas Andalas dan Fakulti Sains Sosial dan

Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia, di Bukittinggi, (16-

17 Desember)

Hasanuddin. 2009. “Multikulturalisme dalam konsep Islam” Makalah

Dialog Lintas Agama Peningkatan Wawasan Multikultur bagi Guru

Agama dan Penyuluh Agama Kabupaten/ Kota se-Bali, Program

Peningkatan Kerukunan Umat Beragama Tahun 2009, Kanwil

Depag Propinsi Bali, (07 s.d. 09 Maret)

Hasanuddin. 2009. “Wacana Identitas Etnik Minangkabau di Bali”,

Disertasi Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Hasanuddin. 2010. “Multikulturalisme Dalam bahasa Quran dan hadist

Demi Membangun Kebermaknaan Indonesia” Dalam: Jurnal

Linguistika Kultura (No. 3 2010, ISSN: 1978-6646). Padang:

English Dept. of Andalas University.

Hasanuddin. 2010. “Diaspora dan Identitas Etnik Minangkabau”. Prosiding

Seminar Internasional 1 Forkibastra, Palembang: Forum Kajian

Bahasa dan Sastra (1-2 Juni).

Hasanuddin. 2010. “Kearifan Lokal Mediasi dan Transformasi Konflik

Dalam Seni Tradisi Ulu Ambek Di Sumatera Barat”. Prosiding

Seminar Lisan VII. Pangkal Pinang: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL),

Page 13: Nilai dan Karakter Buda ya Indonesia

12

Pemerintah daerah Bangka Belitung, Badan Pekerja Kongres

Kebudayaan Indonesia Kemenbudpar (19-22 November).

Hasanuddin. 2010. “Wacana Manajemen Konflik dalam Ulu Ambek di

Padang Pariaman”. Dalam Jurnal SALINGKA, Majalah Ilmiah

Bahasa dan Sastra Balai Bahasa Padang (Akreditasi B), (Vol.7,

Nomor 2 Desember). Padang: Balai Bahasa.

Hasanuddin. 2011. “Nasionalisme dalam Wacana Lokal Minangkabau”.

Makalah International Seminar Nasionalism in Indonesia and Other

Southeast Asian Countries”, di Padang (03 Juni)

Hasanuddin. 2011. Kearifan Lokal dan Mediasi Transformasi Konflik di

Sumatera Barat (Working Paper). Diterbitkan oleh: Center of

Strategic Studies for National Resilience) Universitas Andalas.

ISBN: 978-602-99551-1-8

Hasanuddin. 2011. M”enggali Nilai Membangun Hubungan Antar Budaya

dan Bangsa. Persidangan Antarbangsa” (Seminar Internasional)

Hubungan Malaysia-Indonesia, Kuala Lumpur (12-14 Julai)

Hasanuddin. 2012. “Konflik, Mediasi, dan Transformasi; Wacana Kearifan

Lokal Manajemen Konflik Minangkabau”. Orasi ilmiah pada lustrum

KE-6 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Anddalas (07 Maret 1982 -

07 Maret 2012)

Hasanuddin. 2012. “Konflik, Keunikan Warisan Budaya Minangkabau.

Seminar Antar Bangsa Negeri Sembilan”. Tanggal 17 Desember

2012, di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.

Hasanuddin. 2013. “Mengungkap Fakta, Makna, dan Peristiwa tentang

Silat Tradisi Minangkabau” (Bedah Buku Silat Tradisional

Minangkabau, pada 29 Mei) di Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Andalas, Padang

Hasanuddin, dkk. 2014-2015. “Revitalisasi Silat Minangkabau bagi

Penguatan Identitas dan Pembangunan Karakter dalam Mengelola

Kemajemukan Bangsa”. (Laporan Penelitian Strategis Nasional

DP2M Dikti)

View publication statsView publication stats