MTV Thn. 2011. Vol. 4
-
Upload
clemens-bhajo -
Category
Documents
-
view
1.056 -
download
2
description
Transcript of MTV Thn. 2011. Vol. 4
Cor Unum Et Anima Una �
Sajian UtamaSang Tunas United
SharingThe Vagabond that always Feels at Home
RefleksiAjarilah Kami berdoaDari Danau galilea Menuju Laut Mati Belajar Dari Sang Beato Yohanes Paulus II
Warta Komunitas
Cerita Dari Tanah MisiSharing Misi Dari Afrika
PuisiMetamorfosis (Mata-Air-Mata -Air(PasrahBerhenti
ProfileTokoh CICM: Theophile VerbistTingkat IPara Kontributor
Cor Unum Et Anima Una�
Sang T
unas
United
Jika Anda berada di pintu gerbang sebuah rumah di kawasan ja-
lan Gotong Royong No. 71, Pondok Bambu, Jakarta Timur pada
hari Jumat malam sekitar pukul 21.00, cobalah hening. Anda
kemungkinan besar akan mendengar suara nyanyian. Tidak begitu
jelas. Tapi sumbernya jelas.
“”
Sajian Utama
Cor Unum Et Anima Una �
Sang T
unas
United
Anda tidak ragu kalau sumber suara itu berasal dari rumah be-sar yang bernomor 71 itu. Di tem-bok pintu gerbangnya ada gambar ayam dan garis-garis renda. Mung-kin Anda tidak tahu, mengapa dan bagaimana artinya. Itu adalah mo-tif budaya Tana Toraja.
Nah, penasaran dengan hen-takan musik dan irama suara yang begitu merdu, Anda boleh mendekat untuk mengetahui lebih lanjut. Dari gerbang depan itu terlihat sebuah pintu rumah yang
cukup lebar. Berjalanlah mendekat pintu itu.
Untuk itu, Anda harus dengan melewati halaman yang cukup luas. Di sebelah kirinya akan meli-hat sebuah lapangan basket yang dihiasi tanaman menjalar. Sejajar dengan itu, terdapat sebuah garasi mobil yang cukup luas. sedangkan disebelah kanan, terdapat sebuah rumah kecil.
Setelah melewati halaman yang cukup luas itu, mendekatlah ke pintu utama. Begitu berada de-pan pintu rumah, Anda tinggal
menekan bel yang berada di sisi kiri pintu. Tidak lama kemudian, pintu dibukakan. Sebuah senyu-man ramah yang akan Anda dapatkan dari seorang pemuda belia. Dia akan menyapa dan mengajak Anda masuk rumah.
Barangkali Anda akan kaget,melihat sebuah halaman yang cukup luas berada di tengah bangunan yang ber-bentuk U tersebut. Tidak kalah mengagetkan, ketika Anda me-lihat begitu banyak pria-pria
muda memadati sebuah pon-dok “Coklat” yang berada di tengah halaman itu. Kini jelaslah bagi Anda, suara nyanyian tadi yang kedengaran samar-samar, ternyata suara para frater CICM yang tengah bernyanyi bersama. Mereka sedang berekreasi ming-guan.
“Kami biasa nyanyi bersama” kata John, frater semester lima di STF Driyarkara ketika ditan-ya tentang kegiatan yang se-dang mereka lakukan. Dia juga menjelaskan, kami tidak hanya
“ Pokoknya Menyenangkan ”
Sajian Utama
Cor Unum Et Anima Una�
bernyanyi bersama, tetapi juga pada kesempatan itu mereka akan bercanda, curhat satu sama lain, dan berdiskusi. Lagi katanya, “ Pokoknya menyenangkan!”
Penasaran dengan aksi seru mereka, Anda boleh bergabung. Begitu mendekat, Anda akan me-nerima serbuan sapaan, “selamat malam!”. Yang lain berkata, “ayo mari nyanyi bersama!”. Yang lain juga berkata, “silakan minum!”. Dia menyilakan Anda minum segelas coca cola yang baru saja dituangkannya. Terlihat juga di atas meja coklat tua itu, bera-gam jenis makanan ringan. Ada gorengan, oreo, crispi, dll.
Sebuah perenunganMenyenangkan ketika berada
bersama mereka. Bisa menyanyi bersama. Berbagi cerita. Sangat lucu juga ketika beberapa orang di antara mereka saling mengadu humor dan teka-teki. Ada juga yang serius dengan permainan catur.
Akan tetapi, mungkin Anda ti-dak “puas” dengan kesan situa-sional tersebut. Wajar Anda bo-leh bertanya, “apa benar mereka sehati-sejiwa? Sejauh manakah mereka menghayati kekompakkan ini dalam kehidupan harian?” Per-tanyaan ini mengandaikan Anda tahu bahwa motto hidup CICM adalah sehati-sejiwa.
Ketika ditanyakan kepada frater Gomes, dia menjawab, “ini salah satu bentuk kongkret semangat sehati-sejiwa”. Juga menurut pria yang belum genap setahun di Skolastikat Sang Tunas ini, motto hidup sehati-sejiwa mudah me-nyatukan mereka sebagai “pen-datang baru” dengan warga ko-munitas yang senior. “kami tidak butuh waktu lama untuk akrab satu sama lain” akunya dengan ra-mah. “Tidak ada pula senioritas!”
Sajian Utama
Cor Unum Et Anima Una �
Oone H heart
&O0ne S soul
Mungkin jawaban itu masih me-mancing Anda untuk lebih tahu tentang hal lain. Tengah Anda ber-pikir, tiba-tiba Anda kaget dengan sebuah panggilan. “Mas Didin, Mas Didin!” begitu seseorang memang-gil. Logatnya kental Jawa, tapi ti-dak fasih. Kentara jika dibuat-buat, bahkan terkesan mengejek. Anda mungkin berpikir, “kok begini! Jan-gan-jangan rasis juga di sini!”
Tidak segera mengekspresikan tanggapan spontan Anda, adalah pilihan bijak. Anda cukup memper-hatikan saja dulu. Nah, perhatikan siapa yang dipanggil. Dari sisi se-buah pondok, salah seorang frater tampak menoleh. Ia tampaknya merespon arah panggilan itu. Pria berhidung mancung, tinggi, dan ramping itu tertawa. Ia segera menanggapinya. “Apa le Kenjo” jawabnya sambil tertawa. Pria yang mengenakan baju Liverpool ini berujar dengan logat bahasa Flores.
Mungkin Anda berpikir, dia dari Flores. Anda salah. “Aku dari Malang” katanya sambil tertawa lepas. “aku sendirian orang Jawa di sini.” Anda mungkin bertanya, bagaimana bisa anda bertahan di sini di tengah perbedaaan kultur? Mungkin lebih ekstrem lagi, Anda bertanya, “Mas, apakah kerasan tinggal di sini?”
Dengarlah jawabannya. “Ga za-man rasis”, serunya dengan nada bercanda. Semua frater tertawa. Menurut dia, belajar filsafat telah memberikan daya kritis untuk berpikir melampaui soal etnis, agama, dan kultur saja. Kita perlu menjalin persaudaraan universal. Apalagi ditambah dan diperteguh prinsip hidup komunitas, yakni hidup dalam one heart and one soul. “philosophy for friendship” jelasnya singkat, padat, dan jelas.
Sajian Utama
Cor Unum Et Anima Una�
Sekarang jam tangan Anda menunjukkan pukul 22.00. Tidak enak ber-tamu hingga larut malam Anda boleh pamitan pulang. Anda tidak pulang ‘kosong’. Anda pulang membawa makna penting, yakni bagaimana seman-gat hidup sehati sejiwa dihayati oleh anggota komunitas Skolastikat Sang Tunas Pondok Bambu?
“Selamat malam juga!” begitu mereka menjawab ucapan pamit Anda. “Lain kesempatan datang lagi ya! Begitu frater Johan, ketua Komunitas, berpesan. Yang lain berpesan, “Jangan malu-malu datang ke sini!”. Tidak ketinggalan juga, “TITI DJ—hati-hati di Jalan”. Anda pun tersenyum.(Afi)
Sajian Utama
Cor Unum Et Anima Una �
Sharing Misi dari
AfrikaBeberapa saat yang lalu, melalui Facebook, saya mendapat permintaan dari frater Melkiades Eric Sanggaria untuk membagikan pengalaman panggilan saya di tanah Misi. Secara spontan, saya bertanya dalam hati “Mau tulis apa ya dan mulainya dari mana ya?” Mungkin sebaiknya saya menuliskan sharing saya ini dalam dua bagian, yakni, pengertian saya tentang Misi dalam konteks Gereja Katolik dan pengalaman pribadi se-lama di misi.
Cerita Dari Tanah Misi
Cor Unum Et Anima Una�
Pengertian Misi dalam konteks Gereja Katolik bagi diri saya
Berbicara tentang Misi, bagi diri saya, ada beberapa pengertian atau konsep :
Kalau saya tidak salah, menurut ajaran Gereja Katolik, setiap orang yang dibaptis di dalam Gereja Katolik, pada dasarnya sudah diandaikan sebagai seorang misionaris, dalam arti saksi Kristus dalam kehidupannya sehari-hari. Begitu pula sebagai CICM, kita yang diutus atau dikirim ke tanah misi un-tuk bekerja di Gereja lokal atau dimanapun kita berada dan bekerja, tugas utama kita adalah tetap sebagai saksi Kristus.
Kalau kita berbicara tentang Misi, hal ini menyangkut uru-san Tuhan dalam karya penyelamatan-Nya. Tuhan telah hadir di tanah Misi sebelum misionaris diutus dan tiba disana untuk bekerja. Jad,i tugas kita sebenarnya ialah diminta untuk ber-partisipasi dalam Misi tersebut. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa Misi CICM itu artinya sama dengan Misi Tuhan, dimana CICM sebagai salah satu dari sekian kongrega-si/tarekat yang ada di Gereja Katolik yang turut ambil ba-gian.
Sebagai Misionaris, tugas yang diemban bisa berbeda dengan tugas lainnya. Hal ini tergantung pada situasi dan kon-disi dimana misionaris itu berada. Jadi para anggota mision-aris dari suatu kongregasi/ tarekat bisa bekerja dan punya tanggung jawab yang berbeda dengan yang lainnya. Perbe-daan itu hendaknya membuat kita satu dan bukan terpecah belah karena menganggap yang satu lebih dari yang lain.
Di dalam Misi, kita bukan saja memberi dan mengajarkan iman kepada umat, tetapi juga menerima dan belajar dari mereka.
Cerita Dari Tanah Misi
Cor Unum Et Anima Una �
Pengalaman pribadi selama di misi
Sebelum sharing pengalaman panggilan di tanah misi, benua Afrika, saya mau mengatakan apa yang pernah di-katakan oleh salah seorang formator saya dulu di Manila mengenai misionaris. Dia mengatakan bahwa kami (saya dan teman-teman di rumah pendidikan) sudah menjadi misionaris meskipun masih kuliah. Jangan pikir kalau menjadi misionaris hanya ketika sudah berada di tanah misi saja. Ala-sannya mengatakan demikian ialah karena sebagai misionaris kita memang memiliki beberapa tugas yang berbeda-beda tergantung dimana kita berada seperti yang telah saya tulis-kan sebelumnya. Kenyataannya memang demikian, kalau kita melihat dimana CICM berada dan berkarya di 4 benua, ada beberapa perbedaan dari satu tempat ke tempat yang lain.
Setelah menyelesaikan kuliah filsafat di Baguio City dan Theologi di Manila, Philippines, saya pergi belajar bahasa Prancis di Belgia selama 5 bulan. Kemudian, saya melanjutkan perjalanan Misi saya di Republik Demokrasi Congo tepatnya di Kasayi Barat dan Timur. Sebelum mendapat penempatan untuk praktek pastoral di paroki CICM, saya mulai belajar salah satu dari 4 bahasa lokal di negara itu yaitu bahasa Tshi-luba (baca : Ciluba).
Sebagai anggota CICM, kita memang tidak luput dari bela-jar bahasa asing. Menurut Konstitusi CICM, setiap anggotanya wajib berbicara dengan bahasa dimana dia berada. Bagi orang Indonesia, belajar bahasa Prancis dan Tshiluba adalah tugas yang tidak mudah. Hal ini karena bahasa Indonesia ti-dak ada hubungan sama sekali dengan kedua bahasa terse-but, baik dari segi asal usul atau rumpun bahasa, tata bahasa maupun perbendaharaan kata.
Dari pengalaman saya belajar bahasa Tshiluba, saya menemukan 2 hal yang menurut saya terasa sulit yaitu pertama:pengucapan kata-katanya dengan tepat dan kedua: penggu-naan peribahasa atau perumpamaan. Ada beberapa kata yang bila diucapkan dengan intonasi yang berbeda mem-punyai arti yg berbeda-beda meskipun kata-kata itu sama penulisannya.
Cerita Dari Tanah Misi
Cor Unum Et Anima Una�0
Contoh : tshilamba (baca : cilamba) = pakaian atau jembatan atau titi,
diulu = surga atau hidung,
ndundu = bola atau karet secara umum, dll.
Sementara dengan belajar bahasa Prancis, saya menemukan ada beberapa kata di dalam bahasa Indonesia yang kemung-kinan berasal dari bahasa Prancis. Alasan saya mengatakan demikian, karena beberapa kata itu pengucapan dan artinya sama, hanya saja cara penulisannya yang berbeda.
Contoh : cadeau (P) > kado = hadiah (I),
klaxon (P) > klakson kenderaan(I),
coup d’état (P) >kudeta (I) etc, dll.
Sesudah belajar bahasa Tshiluba, saya mendapat penempa-tan praktek pastoral di beberapa paroki CICM, antara lain di Tshikapa, Tshilomba dan Mbujimayi. Selama praktek, saya meng-gunakan kesempatan untuk mengetahui bahasa lokal dengan mel-ibatkan diri dalam kegiatan OMK (Orang Muda Katolik). Disamp-ing itu setiap malam saya mempersiapkan bacaan pertama untuk saya bacakan pada pagi hari di setiap Misa harian.
Sesuai dengan program internship/praktek pastoral di Provinsi Kasayi saat itu, sementara praktek saya diperbolehkan mengikrarkan kaul kekal dan ditahbiskan sebagai diakon di dua tempat yang berbeda. Lalu tahbisan imamat saya, diselenggara-kan pada saat saya liburan di Indonesia tahun 2001, tepatnya di Paroki Duren Sawit pada tgl 24 Agustus bersama Antonius Har-noko dan Folata Laia.
Cerita Dari Tanah Misi
Cor Unum Et Anima Una ��
Tempat penugasan saya setelah tahbisan imamat adalah di Tshikapa, Kasayi Barat. Disana saya hidup dan bekerja hampir 10 tahun di Paroki St Vincent de Paul bersama Pas-tor Paroki, Pierre Sonnemans CICM. Bersama pastor paroki ini, kami pernah bekerjasama bertiga dengan Pastor Cosmas Mallisa selama 2 tahun. Kemudian sejak tahun 2006 sesudah tahbisan imamatnya di Paroki St Vincent de Paul, Pastor Ana-nias Dundu juga ditempatkan disana untuk bekerja bersama-sama bertiga.
Di samping paroki St Vincent de Paul, saya juga bekerja di Paroki St Monika, Kadanga, paroki kedua yg diberikan Uskup kepada kami untuk dilayani. Dan kemudian sejak tahun 2006, kepada kami ditambahkan lagi 6 komunitas di dae-rah Ndjindji. Selama disana, tugas saya ialah sebagai pas-tor pembantu dan mengunjungi seluruh komunitas dari kedua paroki dan Ndjindji, yang berjumlah sekitar 60 komunitas. Komunitas-komunitas yang saya kunjungi bervariasi jaraknya, antara 6 km-25 km dan semuanya bisa dijangkau dengan motor trail paroki, Yamaha DT 175 cc. Ada beberapa komu-nitas yang harus ditempuh dengan menyebrangi sungai yang cukup lebar. Karena tidak ada jembatan sampan menjadi satu-satunya sarana penting untuk menyebrangkan saya serta motor yang dibawa.
Selama di Tshikapa disamping mengunjungi semua komuni-tas saya juga setiap tahun mengadakan pertemuan tahunan bagi seluruh ketua komunitas (balami). Tujuan utamanya su-paya sekali setahun sekurang-kurangnya selama 3 hari mereka (semua ketua itu) bisa bertemu, berdoa bersama dan membuat evaluasi tentang kegiatan pastoral mereka. Sung-guh saya merasakan betapa pentingnya keberadaan mereka di komunitas yang jarang dikunjungi oleh pastor. Seingat saya semua komunitas tidak bisa saya kunjungin sekali setahun jadi
Cerita Dari Tanah Misi
Cor Unum Et Anima Una��
ketua komunitas yang mengelolah dan mengkordinasi keg-iatan di komunitas mereka bersama umat disana. Sejak ta-hun 2004 jadwal kunjungan ke komunitas menjadi berkurang karena saya sebagai salah satu penasihat harus ikut rapat provincial sekurang-kurangnya tiga kali setahun.
Tantangan yang saya rasakan selama disana ada bebera-pa :
Pertama : kemiskinan dan penderitaan yang berkepanjangan dari penduduk dan juga umat. Negara yang super kaya dengan tambang dan hutannya tetapi kekayaan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang yang berkuasa. Se-cara global pemerintah tidak memikirkan nasib penduduk dengan semestinya.
Kedua : Kesan saya karena kemiskinan itu, kehadiran Ge-reja Katolikpun yang sudah lebih seabad disana sepertinya hanya berpengaruh sedikit. Di samping itu dengan kurangnya pastor untuk bisa mengunjungi umat secara lebih teratur, tida-klah mengherankan bila banyak umat pindah ke agama lain atau gereja lain atau kelompok doa atau sekte.
Ketiga : bahasa. Kebanyakan umat dari paroki berasal dari suku yang tidak berbicara Tshiluba tetapi Pende dan Cokwe. Hal ini membuat komunikasi terbatas.
Pengalaman yang membahagiakan selama misi di Congo ada beberapa :
Pertama : meskipun umat secara umum hidup sangat seder-hana, mereka masih tetap bersedia berbagi meskipun mereka miliki sedikit. Ini merupakan hal yang terpuji dan patut ditiru.
Kedua : bagi umat yang masih anggota Gereja Katolik, mereka tetap percaya akan penyelengaraan Tuhan dalam hidup mereka sehingga kemiskinan dan penderitaan tidak menghalangi mereka menjadi saksi Kristus.
Ketiga : hidup bersama umat yang sangat sederhana bagi saya menguatkan panggilan saya untuk tetap percaya ke-pada Tuhan dan setia menjadi pelayanNya.
Cerita Dari Tanah Misi
Cor Unum Et Anima Una ��
Tgl 24 Oktober 2010 saya meninggalkan Tshikapa untuk memulai misi baru di Afrika Selatan. Saya tiba di tanah airnya Nelson Mandela pada tanggal 24 Desember 2010. Saya rasa suasana masih baru, tempat baru dan hampir semuanya baru disini jadi belum banyak hal yang bisa saya utarakan selain cuaca yang dingin saat ini karena mau masuk musim dingin.
Satu kesan saya adalah benar bahwa apartheid sudah ti-dak lagi masalah di negara ini namun pemandangan setiap hari masih nyata. Orang-orang masih hidup berkelompok-ke-lompok sesuai dengan warna kulit. Hitam, Putih, Coloured = kawin campur, orang Asia (China, India, Pakistan, Bangladesh, Indonesia dll). Sebagai misionaris CICM yang baru tiba di negara ini tantangan untuk menghadapi diskriminasi bukanlah semudah meminum air putih dikala haus. But anyway life must go on.
Johannes Silalahi, CICM
Boksburg, South Africa.
Cerita Dari Tanah Misi
Cor Unum Et Anima Una��
Kita kerap berdoa, bahkan harus selalu berdoa. Beragam aksi tubuh seperti berlutut, berdiri, bersila, dan sebagainya diperagakanuntuk lebih khusyuk dalam doa. Tidak kurang juga berbagai buku diterbitkan, baik mengenai devosi-devosi maupun cara-cara berdoa.
Dapat saja terjadi, kita memaha-minya dengan baik, bagaimana se-harusnya berdoa. Tapi patut diingat, gejala self-centered atau self-seeking bukan cerita asing dalam berdoa. Kerap dipraktikan kebanyakan orang bahkan tidak pernah menyadarinya.
Gejala seperti terlihat, ketika kita lebih dominan memikirkan apa yang kita inginkan dan tidak punya kes-empatan untuk berpikir, apa yang Allah kehendaki. Terlalu banyak me-nyampaikan permohonan, tetapi tidak memberi waktu bagi Tuhan untuk ber-bicara. Lebih banyak mengucapkan
doa daripada mendengar sabda Al-lah.
Lantas, pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya berdoa. Ter-kait dengan pertanyaan tersebut, kita tidak dapat memisahkan diri dari doa yang diajarkan Yesus sendiri, yakni Doa Bapa Kami. Kita belajar dari doa tersebut. Menempatkannya pada ruang yang tepat dan dipahami se-cara benar. Dengan demikian, apakah yang seharusnya kita pelajari dari doa Bapa Kami?
Pada bagian pertama Doa Bapa Kami dimulai dengan menyampaikan tiga permohonan utama. Yang per-tama adalah menyapa nama Allah. Kemudian, mengundang kehadiran kerajaan Allah. Yang terakhir adalah memasrahkan diri terhadap kehendak Allah. Begitulah pada bagian perta-ma, Allah ditempatkan sebagai pusat gambar. Dialah gambar utama.
Ajarilah Kami Berdoa !
Refleksi
Cor Unum Et Anima Una ��
Jelas bahwa struktur doa yang ter-ungkap pada bagian pertama adalah pertama-tama mengungkapkan memori akan kemuliaan Allah. Disu-sul memori akan tujuan Allah. Diakhiri dengan penerimaan dan kepasrahan terhadap kehendak Allah.
Selanjutnya, pada bagian kedua doa Bapa Kami juga mengungkapkan tiga permohonan. Antara lain adalah menyampaikan kebutuhan saat ini “present need”, mengenangkan dosa “past sin”, dan menginginkan kesuk-sesan dan kebaikan di masa men-datang. Boleh dikatakan, bagian ked-ua ini adalah gambar yang mengintari dan mendukung gambar utama, yakni pribadi Allah sendiri. Dengan kata lain, apabila gambar utama ditem-patkan secara tepat, otomatis sekelil-ingnya juga akan baik.
Selain itu, bagian kedua ini men-egaskan pengakuan akan karya Allah
Trinitas. Wajah kita dihadapkan kepa-da realitas Allah Tritunggal. “Makan-an harian” menegaskan sekaligus mengingat Allah Bapa. Dia adalah pencipta dan penyelenggara kehidu-pan. Sementara, doa untuk pengam-punan merenungkan keberadaan Al-lah Putera sebagai penyelamat umat manusia. Sedangkan doa untuk masa depan tanpa dosa mengingat Allah Roh Kudus. Dengan demikian, tiga per-mohonan ini mengangkat keseluruhan hidup manusia kepada realitas keila-hian, yakni Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus.
Menelaah struktur doa Bapa Kami memberi makna bahwa kita tidak boleh jatuh pada kecendrungan me-musatkan diri. Allah seolah-olah dino-morduakan. Juga pola doa Bapa Kami harus menjadi pola standar bagi doa-doa kita. (JG7)
Refleksi
Cor Unum Et Anima Una��
Theophile Verbist1823 - 1868
Theophile Verbist1823 - 1868
Cor Unum Et Anima Una ��
Theophile Verbist1823 - 1868
Theophile Verbist: Pendiri CICM
Karya misi Congregatio Immaculati Cordis Mariae (CICM) tak dapat dip-isahkan dari profil seorang imam diosesan asal Belgia, Theophile Verbist. Dia adalah pendiri kongregasi CICM pada 149 tahun silam. Berbeda dengan cita-cita luhurnya yang telah mendunia itu, kisah tentang mantan pastor tentara ini tidaklah begitu dikenal luas. Nah, alangkah baik jika kita bertanya, siapakah Theophile Verbist itu?
Pertanyaan itu begitu luas untuk dijawab. Karena itu, kami hanya mencerita-kan riwayat hidupnya terbatas pada kehidupan keluarganya dan karya-kary-anya sebelum mendedikasikan diri sebagai seorang misionaris di Mongolia. Jadi, hanya mengenai kehidupan keluarga dan masa tugasnya sebagai seorang imam diosesan di Belgia-lah yang akan ditulis di sini.
Keluarga Verbist
Theophile Verbist lahir di Antwerp pada 12 Juni 1823. Bersama saudara kembarnya, Edmond, ia menjadi adik bagi Piere (1821) dan Athanase (1822). Setelah itu, ayahnya Guillaume (1787-1854) dan ibunya Catherine Troch me-nambah dua orang adik lagi bagi mereka. Diantaranya, Rene (19826) dan Elisabeth (1832).
Ayahnya, Guillaume semula adalah seorang pekerja kantoran. Kemudian, beralih profesi menjadi seorang sales terbaik di perusahaannya. Karena ulet akhirnya berbisnis mandiri. Pekerjaan terakhir yang digelutinya, menjadi seorang banker pada tahun 1930. Namun, pada akhirnya bisnis keluarganya mengalami kolaps. Itulah suasana yang mengharukan dalam perjalanan kelu-arga Verbist.
Ibunya, Catherina Troch adalah istri kedua dari Guillaume. Istri pertamanya, Chaterine van Honsem telah meninggal beberapa tahun setelah melahirkan Pierre. Di rumah di Antwerp Ibunya dikenal sebagai orang terpelajar dan ber-budaya, sehingga sangat tegas dalam mendidik Verbist dan saudara-sauda-ranya. Ia menanamkan kepada mereka keutamaan-keutamaan dalam bersikap. Selain itu, di rumah mereka terbiasa menggunakan bahasa Perancis. Tetapi mer-eka juga dapat berbahasa Jerman.
Pada umur 7 tahun, Verbist dan Edmond menempuh pendidikan di sekolah Jesuit, Antwerp. Setelah itu, keduanya melanjutkan pendidikannya di Seminari Menegah Mechlin. Di seminari mereka menempuh pendidikan selama 8 tahun. Verbist punya kemampuan akademik yang baik . Ia selalu mendapat hasil yang baik, sehingga mampu menamatkan diri dari seminari.
Profil
Cor Unum Et Anima Una��
Tahun 1842 Verbist berpisah dengan saudara kembarnya Edmond. Setelah menamatkan diri dari seminari menengah, Edmond memutuskan untuk menjadi pengacara, sedangkan Verbist berniat menjadi imam. Akhirnya Verbist menerus-kan pendidikan di Seminari Tinggi Meclin selama tiga tahun. Di seminari tinggi, para seminaris ditanamkan dengan sungguh-sungguh untuk bersikap disiplin, ke-mampuan akademik, dan kesalehan dalam hidup doa. Apalagi keadaan waktu itu, sangat mengintensikan soal kemuliaan Allah dan keselamatan jiwa-jiwa.
Setelah melewati semua tahapan pendidikan menjadi seorang imam, Verbist akhirnya ditahbiskan pada 18 September 1847 oleh Kardinal Sterckx. Saat tahbisan, kedua orang tuanya turut hadir.
Kehalusan Budi dan Kesalehan Rohani
Awal Oktober 1847, imam muda ini ditugaskan sebagai pedamping para seminaris di Meclin. Mendampingi 180-200 anak tidaklah mudah apalagi han-ya oleh sedikit pendamping. Dituntut memiliki sikap sabar,pasrah, dan equanity untuk menghadapi situasi seperti itu. Verbist benar-benar mengilhami keadaan tersebut. Tak heran, para seminaris menjulukinya “Good Mister Verbist”.
Relasi dengan rekan kerjanya di Seminari amat baik. Setelah ditugaskan di tempat lain, ia tetap menjalin kontak dan komunikasi dengan mereka. Bahkan, beberapa orang diantara rekan kerjanya menjadi teman misi dalam CICM di kemudian hari. Sebut saja Alois van Segevelt yang ditugaskan di Seminari pada tahun 1849.
Pada bulan Agustus 1853 dia ditugaskan menjadi pastor militer di Brussel. Di samping itu, ia juga menjabat sebagai rector bagi komunitas Suster Notre Dame de Namur. Menjalani kehidupan sebagai seorang imam di sekolah mili-ter tidaklah begitu menyenangkan. Ia hanya bertugas merayakan misa pada hari minggu. Selebihnya ia tidak terlalu dibutuhkan. Apalagi suasana kala itu, kebanyakan murid dan guru tidak menunjukkan simpati dalam kesalehan hidup religius. Bahkan boleh dibilang menganggap sinis kegiatan agama. Suasana demikian kian sulit tatkala ditetapkan bahwa murid-murid dapat menghadiri ekaristi ketika diminta oleh pastor.
Ternyata dalam kesempatan yang terbatas itu, Verbist mampu menumbuhkan rasa simpatik di kalangan murid dan para guru. Dia dikenal sebagai imam yang menikmati reputasinya sebagai pastor militer dengan berusaha fokus pada apa yang menjadi kewajibannya. Tidak hanya itu, imam berbadan tinggi ini tampak sangat energik dipadu dengan pembawaannya yang begitu ramah, rendah hati, dan jujur sehingga kehadirannya menjadi sangat istimewa. Pada
Profil
Cor Unum Et Anima Una ��
akhirnya ia menjalin relasi yang baik dengan mereka, tidak hanya dalam ling-kungan sekolah, tetapi juga di luar konteks sekolah formal.
Acapkali kehalusan budinya ini digambarkan demikian. Seorang militer jika dipandang dari kejauhan, sudah tampak mengintimidasi. Sebaliknya Verbist ti-dak mengintimidasi siapapun karena keramahannya yang meresapi kata-kata dan bahasa tubuhnya. Memang situasi dunia militer sempat membuat dia agak pediam dan hati-hati. Tetapi hal itu ternyata tidak menguburkan kepribadian-nya yang energik dan bersahabat.
Bahkan terdapat sebuah ungkapan yang selalu dikutip untuk mendefinisikan kepribadiannya. “ Before writing, plunge your pen into your heart. The beautiful feelings of humility and exquisite charity come from your pen, dicatated by your hearth”. Begitulah, Verbist digambarkan secara dominan sebagai orang yang berhalus budi dan tegar dalam segala situasi.
Ketika setelahnya bertugas menjadi pembimbing Suster Notre Dame de Namur, Verbist lagi-lagi menjadi pribadi yang sangat menyentuh orang di seki-tarnya. Ia merayakan misa setiap hari di kapel,kecuali hari Minggu. Ia juga melayani umat di Sablon di samping kesibukannya sebagai pendamping para suster. Setiap kali perayaan ekaristi, ia selalu menyediakan waktu 30 menit-1 jam sebelumnya untuk bermeditasi pribadi. Setelah misa pun, ia menyempatkan diri untuk berdoa lagi. Tidak mengherankan ketika ia dijuluki sebagai “pendoa” oleh para suster.
Itulah tempat terakhir ia bertugas sebelum menyibukkan diri untuk mewujud-kan mimpinya sebagai seorang misionaris. Pada tahun-tahun berikutnya, ia mulai merealisasikan mimpinya sebagai seorang misionaris. Patut diingat, keinginan bermisi bukanlah tumbuh dalam sekejab mata, tetapi telah lama dirindukannya. Akhir hidupnya terjadi pada tahun 1868 di tanah misi, yakni Mongolia.
Amanti Nihil Difficile
Profil
Cor Unum Et Anima Una�0
Biji Sesawi Jatuh ke Tanah
Lama menjadi pendamping rohani bagi para seminaris, kalangan mili-ter, dan para suster ternyata menegakkan mimpi seorang Verbist. Ia tidak tidur lelap dalam mimpi. Tidak pula tenggelam dalam rutinitas. Sebaliknya ia me-nyiapkan agenda karya yang besar dan merealisasikannya dengan menginte-grasikan berbagai pengalamannya. Serpihan pengalaman itulah anak tangga menuju puncak kegemerlapan mimpi yang menjadi kenyataan.
Dari para seminaris ia belajar setia dalam kesalehan hidup doa. Dari kalangan militer ia belajar menjadi tegar, siap siaga, bermental baja dalam menghadapi tantangan. Dari para suster ia menyaksikan kehalusan hati para wanita yang memberikan perhatian, menaruh kasih kepada orang-orang men-derita. Semua itu diintegrasikannya sebagai kekuatan untuk menjadi seorang misionaris.
Dari dialah seharusnya kita belajar. Bukan saja demi merealisasikan cita-cita pribadi, tetapi bagaimana cita-cita kita pada akhirnya memuliakan Tuhan dan mengembangkan kasih pada sesama. Dialah biji sesawi yang jatuh ke tanah yang kemudian bertumbuh dengan subur.
Profil
Cor Unum Et Anima Una ��
Danau Galilea vs Laut Mati…
Melusuri peta Pales-tina zaman Perjanjian Baru, nampak sebuah aliran sungai yang berhulu di Gunung
Hermon. Sungai yang melewati daerah Dekapolis ini membentuk Danau Gali-lea, terus mengalir membentuk Sungai Yordan, berakhir di Laut Mati. Ban-yaknya ikan di danau Galilea serta suburnya daerah Dekapolis yang di-alirinya, sangat menguntungkan bagi perekonomian masyarakat sekitar. Pemandangan ini kontras dengan ke-adaan Laut Mati yang selalu menerima air dari berbagai aliran sungai yang berhilir di sana. Laut Mati berkadar
garam tinggi, tidak ada kehidupan di sana pun tidak memberi manfaat bagi daerah sekitarnya. Laut Mati selalu menerima namun tak mampu berbagi dan memberi manfaat bagi ekosistem di sekitarnya.
Perbandingan di atas dapat men-jadi analogi bagi kehidupan di dalam komunitas. Kita memang dipanggil secara pribadi seperti panggilan Ye-saya namun kita juga dipanggil dalam kesatuan seperti jemaat perdana atau kelompok keduabelas murid. Dalam kebersamaan tentunya kita perlu mem-bangun komunitas sebagai sebuah Pa-guyuban Komunikatif Partisipatif. Sebuah unsur penting dalam komunitas
Dari Danau GalileaMenuju Laut Mati
Refleksi
Cor Unum Et Anima Una��
yang partisipatif ialah inisiatif atau kepekaan untuk berbagi. Kita perlu menggambarkan diri seperti Danau Galilea yang selalu memberikan man-faat bagi ekosistem di sekitarnya. Ia selalu mengalirkan air menuju data-ran rendah di sekitarnya .Walaupun demikian, ia tidak kehabisan airnya, sebaliknya diperkaya karena simbiosis mutualismenya dengan daerah sekitar. Lain halnya dengan pribadi yang dii-baratkan dengan Laut Mati. Ia selalu ingin menerima tanpa punya inisiatif untuk berbagi. Menerima memang hal yang menyenangkan, namun lama-kelamaan kita akan menjadi kerdil, tak berkembang, dan tak berguna bagi sesama di sekitar kita. Yesus bersab-da “ Untuk apa ga-ram yang kehilan-gan asinnya, selain dibuang dan diin-jak-injak orang”. Kita harus exist dalam komunitas den-gan cara berbagi atau partisipasi aktif. Sebuah partisipasi aktif hanya berkembang bila kita punya inisiatif dan sensitifitas terhadap kebutuhan komunitas. Jadi, kita mesti punya rasa, “…tunjukin rasa lo!”
Komunitas Cana: Keragaman yang menyegarkan
Setiap kata dapat dikonstrusi men-jadi sebuah symbol makna. Kisah dari injil Yohanes 2:1-11 tentang pesta di Cana juga dapat menginspirasi kita,
bagaimana membangun sebuah ko-munitas yang “sehati sejiwa”. Komu nitas seharusnya menjadi sebuah keragaman yang menyegarkan: Uni-tatis in Diversitas. Setiap pribadi perlu menyumbangkan rasanya. Bagaimana pesta di Cana menginspirasi kita untuk membangun sebuah komunitas yang “sehati sejiwa”?
Kepedulian…: panitia pesta di Kana kehabisan anggur, itu berarti banyak yang datang ke pesta dan peduli dengan kegembiraan tuan pesta. Yesus dan Maria pun datang
karena kepedulian pada kegembiraan tuan pesta. Ketika anggur habis, pani-tia pesta bingung, malu, cemas dan ta-kut. Maria tahu. Dia peduli. Ia mencoba memberikan solusi, walaupun sebena-rnya belum waktu-
nya bagi Yesus untuk membuat sesuatu yang luar biasa. Bantuan Allah bagi tuan pesta itu hadir lewat sesama yak-ni, Maria dan Yesus.
Sering kali dalam komunitas, kita melihat ada teman yang cuek, murung dan menyendiri, kita diundang untuk peduli. Kalau ada yang lagi suntuk akan menjadi bahagia bila disapa. Kepedulian adalah soal hati: menang-kap gerak keprihatinan dan kegembi-raan orang lain.
Bagaimana pesta di Kana menginspirasi kita untuk membangun se-buah komunitas yang “sehati sejiwa”?
Refleksi
Cor Unum Et Anima Una ��
Kesepenanggungan…: tidak hanya sampai pada merasakan. tetapi kita juga diajak bertindak membantu. Yesus dan Maria menyelamatkan tuan pesta, bukan hanya sebatas mengetahui ma-salahnya, tetapi juga turut merasakan keresahan tuan pesta lalu mencari solusi dari permasalahan yang ada.
Mencintai…: kata Paulus, ada tiga trilogi bagi umat Kristen: iman, hara-pan, dan kasih, dan yang terbesar adalah kasih. Kasih Bunda Maria dan Yesus, membuat mujizat Kana men-jadi ada. Kasih memunculkan kembali sebuah motivasi yang hilang karena keputusasaan. Kasih menguatkan ses-ame bahwa ada orang lain yang men-dukungnya. Kasih akhirnya mengalir-kan kebaikan. Itulah Loving!
Mengubah…: inilah inti kisah Kana: perubahan air menjadi anggur. Inilah juga yang diharapkan. Dalam pesta orang Yahudi, anggur menjadi tanda sukacita. Kehadiran kita dalam se-buah komunitas juga perlu membawah sebuah perubahan, memberi suka cita bagi sesama. Perubahan itu ada bukan karena ide kita yang selalu brilliant yang kita utarakan tetapi lewat solusi praktis yang kita kerjakan. Seperti sebuah mutiara yang terbentuk dari endapan pasir-pasir kasar, inisiatif kita akan selalu memberikan peruba-han. Sekecil apapun perubahan yang anda berikan akan menjadi mutiara indah yang mahal harganya.
Berbagi…: Aku berbagi, maka aku ada, itulah sharing. Perubahan air
menjadi anggur dalam pesta di Kana tidaklah untuk dinikmati oleh panitia pesta sendiri. Panitia berusaha mem-beri yang terbaik demi kegembiraan para tamu. Berbagi adalah wujud nyata dari kebersamaan yang kita semboyankan dengan “sejati sejiwa”. Ibarat cermin, tugas kita memantul-kan cahaya ilahi yang kita terima ke sudut-sudut hati yang paling gelap sekalipun.
Melayani…: Kita seperti para pelayan yang dimintai Yesus untuk menuangkan air ke dalam tempayan untuk diubah menjadi anggur yang lezat. Tuhan membutuhkan kita untuk mengubah wajah dunia menjadi lebih baik (wajah kristus). Rahmat Tuhan se-lalu ada bagi semua orang hanya saja Tuhan ingin agar rahmatnya itu ter-salurkan lewat pelayanan terhadap sesama. Heal the world, to make a bet-ter place, for you and for me and the entire human race. Itulah tujuan akhir dari pelayanan: To make the better world.
Akhirnya semuanya ini dapat lebih mudah dicapai dengan prinsip 3M: Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal-hal kecil, dan Mulai dari sekarang” Selamat memulai!!!
Your brother
Joe Leribun
Refleksi
Cor Unum Et Anima Una��
Who Are You ?
Profil Tingkat satu
Profil
Cor Unum Et Anima Una ��
Who Are You ? Anak bungsu yang berasal dari keluarga campuran, Ia tidak mau disebut seorang yang berasal dari satu suku, maka jika hendak diidentifikasi ia adalah orang Indonesia.
Papa seorang keturunan Belanda, Portugis, Jawa, Ambon bernama Gerardus Felix Mok yang telah meninggal tujuh tahun yang lalu menikahi Mama seorang Batak bernama Agnes Mutiara Florida dikaruniai anak pertama Cakra Antonius Mok dan si bungsu ini.Anak yang lahir 26 Oktober 1990 ini memiliki hobi terha-dap tulisan-tulisan dan bahasa, mulai dari yang sederha-na yaitu puisi sampai novel-terutama pula komik-terkhusus yang berbahasa asing.Ia yang mulai tertarik dengan filsafat beberapa tahun ini mengambil prinsip yang pernah diungkapkan oleh Socrates bahwa orang yang paling bijaksana adalah orang yang mengetahui bahwa ia tidak tahu. Kesibukan-nya sekarang ini hanya berkisar antara gereja, kampus,
Gramedia, meja belajar, ruang fitness, taman hijau, kamar mandi, dan tempat tidur yang ia selalu rindukan.Ia bersama kesebelas saudara lain baru berjuang memulai kehidupan biara di Skolas-tikat Sang Tunas sebagai awal dalam menempuh jalan panggilan ini.Tidak banyak yang dapat dikatakan lagi, hanya suatu permohonan doa dan semangat dalam panggilan ini, semoga Tuhan membimbing kita semuanya seperti mottonya yaitu nor My ways your ways.
Stevanus Pardamean
Hy……My name is Andy. Twenty one years ago, I was born in the village. My village is Samosir. I was the first child of five siblings. My family now, live in Serang. My hobbies are playing basketball, skateboard, adventure, listening music. By the way, before I joined CICM, I have studied in the Semi-nary Stella Maris Bogor (KPA) but that’s only the past, now I have been part of CICM since 2010. If you want to know more about me, come to the CICM monastery.
Andi Situmorang...
Profil
Cor Unum Et Anima Una��
Ketika hari jatuh pada tanggal tujuh bulan De-sember tahun 1990, untuk pertama kalinya aku merasakan betapa indahnya dunia ini. Tepat-nya di sebuah desa yaitu Sepang di Sulawesi Barat, aku terlahir sebagai anak bungsu dari lima bersaudara. Dari orang tua aku diberinya nama Angelinus Fianto Randatiku. Sebuah nama yang cukup indah bagiku. Pendidikan aku jalani di SD 007 Sepang, kemudian SMP Katolik Mes-sawa, dan melanjutkan ke Seminari Petrus Claver Makassar. Di tempat itulah benih panggilan mu-lai muncul dalam diriku, sehingga pada akhirnya memutuskan untuk bergabung bersama tarekat CICM. Bersama rekan-rekan untuk mencoba ber-
mimpi bersama mewujudkan impian sebagai penerus Theophile Verbist. Kini aku pun menjadi penghuni SST Pondok Bambu dan sedang menjalani kuliah di STF Driyarkara semester I. Oh yah, olahraga adalah hobiku khususnya voli, sepak bola, juga basket. Hidup harus terus diperjuangkan. Akhir kata dukungan dari anda sekalian sangat aku butuhkan.
Salam sehati-sejiwa.
Tepatnya 24 Septem-ber milik 1991, sepas-ang suami istri berhasil mengusir keheningan pagi dengan isak tan-gis seorang bayi mungil tanpa cacat yang di-beri nama Deki. Nama ini dilekatkan padanya berdasarkan gabun-gan nama kedua orang tua-nya.Dengan motto, “nikmati hidup apa adanya, dan berjuang untuk menjadi
lebih baik,” ia membera-
nikan diri untuk ber-gabung bersama CICM di Makassar. Misionaris dan juga kekhasan yang dimiliki CICM membuat ia jatuh cinta pada kon-gregasi ini.Pemilik nama lengkap Petrus Vergilius Deki Mau ini merupakan pu-tra asal Timor, tamatan Seminari Santa Ma-ria Immaculata, Lalian. Sepak bola memiliki ni-lai lebih baginya. Terima kasih.
Angelinus Fianto Randatiku
Petrus Virgilius Deki Mau
Profil
Cor Unum Et Anima Una ��
Halo pembaca yang bijaksini, eh, sorry, yang bijaksana maksudku. Sorry kalau kamu tersing-gung, tapi itu hanya sekadar permainan kata agar kamu bisa lebih konsen membaca profil saya. Inilah ceritanya, saya dilahirkan pada tanggal 20 Oktober 1991, di kota Lewoleba. Dimanakah itu? Lewoleba adalah ibu kota kabupaten Lembata yang berada di provinsi NTT. Walaupun itu tempat kelahiran saya, na-mun saya sebenarnya berasal dari Lamalera. Itu loh, tempat penangkapan ikan paus dengan alat tradisional. Saya biasa dipanggil dengan sapaan Kenjo, nama lengkap Yohanes Onekha-la Hariona. Bingungkah? Itulah keunikan nama saya. Tidak hanya nama yang unik tapi juga orangnya. Kalau kamu tidak tahu siapa saya, rugi kamu karena saya selalu membuat orang tertawa. Hobi saya adalah olahraga, melukis, menyanyi, tapi bukan lagu-lagu gereja (sapa yang nanya?). Saya lebih menyukai rock and roll walaupun, saya termasuk “subur” alias suara buruk. Saya juga adalah pendu-kung Barca, walaupun tidak terlalu fanatic. Oh,iya saya lupa nih. Saya lulusan dari Seminari Hokeng dan sekarang saya kuliah di STF Driyarkara Jakarta, se-mester I. Sekian dulu perkenalan dari saya, kalau ingin lebih tahu tentang saya, nyari aja di SST Pondok Bambu. Bye-bye!
Yohanes Onekhala Hariona
Profil
Cor Unum Et Anima Una��
Suasana sepi menyelimuti sunyinya malam. Bintang malam sedang duduk di peraduannya seakan menunggu sesosok insan yang akan datang. Sang dewi malam duduk pula sembari menatap dengan sinarnya yang menerangi bumi. Dari sebuah pondok kumuh, terdengar suara tangisan seorang bayi lelaki yang mampu memecah-kan sunyinya malam. Pondok yang beralas-kan tanah beratapkan alang-alang menjadi saksi bisu kelahiran bayi mungil itu. Bayi itu kemudian diberi nama Carolus Darius Suban Koten. Nama Darius diberikan karena pada saat kelahiran pria ini, bertepatan dengan tanggal lahir Almarhum Uskup Larantuka-Darius Nggawa, SVD. Pria kelahiran 1 Mei 1991 ini biasa disapa Darius. Ia paling ge-mar bermain bola, kendati pun dilihat dari postur tubuh, ia tidak layak disebut pemain bola.Selain pandai menggulingkan si kulit bundar di lapangan hijau, pria dengan ini juga pandai bermain musik dan melukis. Melukis adalah bagian seni dari hidupnya, walaupun alat yang digunakan hanya pensil dan karet penghapus.Pria yang pernah menamatkan pendidikannya di tempat ‘nene Domi’ (sapaan untuk seminari San Dominggo Hokeng) ini bergabung dengan CICM 1 Septem-ber 2010. Ia masuk biara ini karena ia melihat biara ini mampu mengabulkan impian yang diimpikannya.
Carolus Darius Suban Koten
Profil
Cor Unum Et Anima Una ��
Tanggal 5 Desember adalah hari terindah dalam hidupku. Karena pada tanggal itulah pertama kali aku melihat dunia ini. Du-nia yang indah yang kutemukan di tempat kelahiranku desa Suka Maju Sumatera Utara. Romadu Ma-lau adalah nama ter-baik yang diberikan kepadaku. Nama ini begitu manis-madu honey-sweet dan bukanlah kebetulan karena orangnya juga manis dan ganteng abis. ”Kalau mau berke-nalan dengannya datanglah ke CICM, hehe” teman-teman juga memanggilku Chamakh karena aku cukup piawai dalam memainkan si kulit bundar, baik di lapangan hi-jau maupun lapangan futsal. Kalau mau melihat teknik-teknik dan skill-ku dalam bermain bola datanglah ke CICM. Menyanyi dan bermain musik adalah bagian dari hidupku, tanpa musik hidupku terasa kering dan layu. Kalau ingin mendengar suara merduku ala “Leyla” datan-glah ke CICM maka anda akan kaget dan termangu, hehe.
Bunda Maria adalah ibuku. Bunda yang menganugera-hiku bakat-bakat yang unik dan menyenang-kan. Bunda yang selalu mengerti dan mema-hamiku. Bunda yang selalu ada di saat aku ditengah ketiadaan. Bila ingin melihat Bun-daku datanglah ke CICM. Yesus adalah peno-pang hidupku. Tanpa Dia aku tidak ada, tanpa Dia aku remuk-redam, dan tanpa Dia,
aku bukanlah aku yang sekarang ini. Bila ingin bertemu dengan Dia datan-glah ke CICM maka engkau akan merasakan apa yang aku rasakan. Dan yang terakhir, CICM adalah rumah terindahku. Tempat di mana aku bernaung dari teriknya matahari dan dinginnya hujan. Tempat dimana aku bercerita dan bercanda dengan saudara-saudaraku dan tempat di-mana aku dikembangkan menjadi Ro-madu yang manis dan baik hati. Jadi kalau ingin melihat aku lebih jelas dan nyata, sekali lagi, datanglah ke CICM. Dia ada dimana-mana, tetapi, supaya lebih nyata ia ada di Jalan Gotong Royong nomor 71. Datanglah! Aku, saudaraku, ibuku, Tuhanku akan me-nyambutmu dengan gembira hati.
Romadu Malau
Profil
Cor Unum Et Anima Una�0
Hello boys and girls, perkenalkan seseorang yang sudah tidak asing lagi, bernama lengkap Christian Budi Setiawan dan den-gan nama beken X-Tian Boedy’s ini dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 September 1989. Anak ke tiga dari tiga bersaudara ini dulu memiliki cita-cita menjadi anak band dan en-tah tahu mengapa-berubah pikiran 100% ingin men-jadi pengikut Tuhan yang setia, hehehe…Dia tumbuh dan berkembang di dalam keluarganya yang sangat sederhana. Dia memiliki hobi ber-main gitar, dengerin lagu-lagu yang beraliran chada 2(emo-metal),
“Carilah maka kamu akan mendapat, mintalah maka kamu akan diberi, ketoklah maka pintu akan dibukakan bagimu.” Ajaran Yesus ini terus menginspirasi seorang frater muda yang lahir di sebuah pulau kecil di Sulawesi Tenggara yang bernama Pulau Muna pada tanggal 13 Juli 1990. Kalau dilihat dari background-nya sebagai anak bungsu dari Bapak An-ton Dewo dan Ibu Susana Wa Tanda, orang akan memandan-gnya sebagai anak manja. Namun, jan-gan salah, dia anak yang mandiri dan rajin choy, hehe. Dikenal dengan nama
lengkap Beny Fransiskus, alumnus Semi-nari Menengah Santo Petrus Claver ini akrab dipanggil Beny. Berlatar be-lakang sebagai keluarga petani, ia sangat hobi bercocok tanam, maka jangan heran jika ia berencana membuka perkebunan pepaya di SST. “Bekerja keras dan berusaha melakukan yang terbaik” merupakan prinsip menjiwai keseharian frater yang bermimpi bermisi di negeri sakura kelak. Wah,
udah kebanyakan obrol nih, hehe, tetapi kalau masih ingin mengenalnya
lebih lanjut, jangan sungkan untuk mampir dan menemuinya di Biara Skolastikat Sang Tunas CICM, see you, keep smile, pesan frater yang selalu tersenyum ini.
dan menggambar. Dia sangat menyukai emo style untuk setiap penampilannya yang semau-n y a saja. Dia pernah bergabung
ke dalam grup music tetapi setelah enam bulan dijalani dengan pengalaman tampil di beberapa festival music baik pelajar maupun umum akh-irnya dia mengeluarkan diri dan memersiapkan diri untuk masuk seminari. Setelah lulus dari SMA Santo Antonius Jakarta dia mendaftarkan diri di Tarekat CICM guna untuk menjadi orang yang disiplin dan taat pada per-
aturan yang ada. Akhirnya, dia keluar dan bergabung dengan tarekat CICM saat ini. Sekarang dia sedang menjalani tingkat pertama di SST Jakarta.Salam Sehati sejiwa…
Christian Budi Setiawan
Benny Fransiskus
Profil
Cor Unum Et Anima Una ��
Katanya sih, nenek moyangnya berasal dari pulau Jawa. Eh, “si nyong” (cowok) ini malah nyasar di pinggir pulau Flores. Ya, begitulah cerita dari negeri para pendahulunya (nenek moyangnya). Namun, sesungguhnya bahwa cowok yang satu ini berasal dari pulau Lembata, loh. Perangainya lemah lembut, tetapi tetap asyik, sstt, no comment. Cowok dengan nama lengkap Rofinus Kia Lein, dengan sapaan manjanya “No” Gomes ini lahir di Loang (Lembata sana), 14 Juni 1991. Cowok ini adalah anak ke dua dari perkawinan papa dan mamanya. Saya memiliki seorang saudara dan saudari yang cantik, ehem-ehem...Cowok ini hobinya berolahraga, den-gar musik ala reggae dan dangdut, dan juga dancing gitu loh, o iya saya lupa, membaca juga, loh. Cowok lulusan Seminari Hokeng ini ingin sekali bermisi di Spanyol. Ya, tapi gak ada tuh.. jadinya ke Brazil nih... ccuuhuuuyy…(sekalian mau belajar tarian Samba-nya)..hahaha.. Mottonya: “Perubahan itu perlu”, karena dia ingin sekali mengubah wajah dunia ini menjadi wajah Kristus. CICM adalah pilihannya dan tetap hingga akhir hayatnya.. sekarang ini sedang menjalani tingkat pertamanya di SST Jakarta. Apalagi e..ai..sudah dulu e para pembaca sa so lupa mau tulis apalagi ni ka...e..”Go salam ro”-dengan salamku…(aduh..kok malah logatnya).
Nama saya Regilius Luan, biasa dipanggil Aldo. Saya lahir pada tanggal 7 Desem-ber 1991 di suatu daerah terpencil yang dikenal dengan nama Boentuna. Saya merupakan buah cinta yang kedua dari pasangan Edmundus Luan dan Martha Taek. Sejak kecil saya sangat menggemari olahraga. Hingga saat ini pula, saya masih mengge-mari beberapa jenis olah-raga seperti sepak bola, bola volley, dan futsal yang saya anggap bahwa itu merupakan bakat yang dianugerahkan oleh Tuhan. Sejak saya SMP, saya mem-punyai cita-cita menjadi imam. Oleh sebab itu, saya berniat untuk memulai pen-didikan imamat saya di Seminari ST Maria Immaculata Lalian selama 4 tahun. Setelah
lulus 2010, saya segera mendaftarkan diri di CICM guna melanjutkan jenjang untuk mencapai cita-cita saya. Akhirnya saya diterima dan saya berangkat ke Makasar
untuk bergabung dalam TOR CICM. Untuk mengetahui lebih dalam,
silahkan datang aja ke SST Pondok Bambu. Hehe-he……!!!
Rofinus Kia Lein
Regilius Luan
Profil
Cor Unum Et Anima Una��
Rambut keriting gondrong, stylist gak sesuai zaman, tinggi 170, body ku-rus namun ideal, dan selalu terse-nyum kepada semua orang ini siapa yaaahhh? Ciri-ciri ini cocok dengan sosok pria yang mempun-yai nama yang cukup pendek namun mempu-nyai arti yang tersirat. Itulah “DIA”, Dia yang bernama Yohanes Ridwanto Nadap-dap dan akrab disapa Ridwan atau Iwan. Pria ini lahir di Tanjung Priuk, Jakarta pada tanggal 7 Mei 1990. Pria ini meru-pakan anak keenam dari enam bersaudara alias anak bungsu. Sejak kecil, pria ini mempunyai cita-cita menjadi seorang arsitektur, namun berawal dari tugas saat di SMP yaitu, menulis kotbah pastor disertai dengan paraf pastor yang berkotbah, ketertarikan untuk menjadi imam mulai muncul dalam dirinya. Akhirnya setelah lulus SMP, pria ini mendaftarkan diri di Seminari Stella Maris, Bogor. Ketertarikannya ini tidak mengurungkan cita-citanya,
namun dia malah menggabungkannya karena dia mempunyai sosok yang menjadi idolanya yaitu Romo Mangun-wijaya SJ sehingga menguatkan dirin-
ya untuk menyelesaikan pen-didikan di Seminari selama 4 tahun. Ketika di Seminari, pria ini mulai mengenal hobi dari teman-temannya di Seminari dan ia se-dikit mulai menggemari beberapa diantaranya yaitu dunia musik dan olahraga. Setelah ta-mat di seminari, pria yang mempunyai cita-cita menjadi seorang arsitektur sekaligus imam ini dengan segera melanjutkan
pendidikan imamatnya. Pria ini mulai mendaftarkan diri di CICM dan setelah diterima, pria ha-rus segera berangkat ke TOR CICM, Makassar selama 10 bulan dan seka-rang pria ini melanjutkannya kembali di SST, Jakarta. Carilah, Temukanlah, dan tumbuhkanlah adalah motto pria ini yang masih bersemangat meniti ja-lan hidupnya saat ini.
Yohanes Ridwanto Nadapdap
Profil
Cor Unum Et Anima Una ��
Cor Unum Et Anima Una��
Minggu 24 Juli 2011, komu-nitas Skolas-
tikat Pondok Bambu, Jakarta menyambut gembira kedatangan para frater yang baru saja menyelesaikan Tahun Orientasi Rohani (TOR) di Makasar. Setelah menikmati perjalanan yang menyenangkan di udara, terbang bersama Lyon Air dari Hasa-nudin Makasar, akhirnya mereka tiba di Rumah
kehangatan, Skolastikat Sang Tunas CICM, Pondok Bambu, Jakarta Timur. “Wow, frater-nya imut-imut” begitu kata seorang frater tingkat empat tatkala menyambut mereka untuk pertama kalinya. Para frater ini telah melewati satu tahap formatio-nya dan kini akan berjuang ditahap yang baru yakni mengikuti kuliah di STF Driyakara dengan segala tantangannya. Me-mang itulah sebuah perjalanan melewati tahap demi tahap dengan dunia yang unik, tapi
jika dinikmati bersama dalam komunitas maka akan terasa jauh lebih in-dah, bahkan akan terasa terlalu singkat. “Ini baru permulaan cuy”, begitu kata Frater Kenjo sembari tak malu-malu menunjukan senyuman manieztnya yang terselimut di balik giginya yang putih. Semangat Bro! you will never walk alone.
Mulai tanggal 1 Agustus- 31 Agustus 2011,
para frater tingkat tiga menjalankan Work Experience. Work experi-ence adalah sebuah progam yang dibuat tarekat untuk melatih dan mengasah Daya Cinta dan Perhatian para frater terhadap orang-orang kecil, ter-masuk para buruh. Oleh karena itu, para frater dikirim ke beberapa tempat kerja yang seba-gian besar adalah lahan pekerjaan
buruh-buruh kecil atau yang biasa disebut sebagai buruh “kasar”. Mereka berbaur bersama para pekeja tersebut, turut merasakan beratnya pekerjaan mereka di bawah sengatan dan terik matahari. Progam ini dijalankan para frater selama dua minggu penuh. Selama masa tersebut ada beberapa frater yang ha-rus “tinggal di luar semen-tara” alias ngekos karena jarak antara tempat WE dengan Rumah cukup
jauh.. “berat cuy.. tapi sung-guh menyenangkan” begitu kata Frater Didin dengan dialeg jowo-nya yang masih cukup kental. Frater yang agak mirip Peter Crouch ini kebetulan pada tahun ini mendapat kesempatan berbaur dengan para buruh bangunan di Serpong, Tanggerang. Selamat ya buat brothers tingkat tiga. Semangat!
Welcome to the brothers of the First Year
Inilah “ Kami” yang Berbaur Bersama “Mereka”
Cor Unum Et Anima Una ��
halaman setelah menjalani liburan yang cukup panjang. Hari Sabtu tepat pada 13 agustus 2011 mereka semua back home. Tentu saja ada pucuk pucuk ke-nangan indah yang masih membekas di ingatan mereka setelah menikmati masa-masa indah bersama keluarga, sahabat dan kenalan selama liburan. Weitz, bukan berarti kami sedih lho, hehe...” guman Frater Steven,
kenangan indah itu juga ternyata Frater Rufinus Lelang yang juga sangat senang setelah sebulan penuh berpisah, ia kini dapat menyaksikan lagi cakap-cakap Ikan lele kesayangannya di bak be-lakang rumah.
Hari ini, Rabu 17 agustus 2011, seluruh bangsa Indonesia
larut dalam kegembiraan se-raya tak lupa merefleksikan sejenak lika-liku perjalanan bangsa Indonesia selama kurun waktu 66 tahun berlalu. Tak ketinggalan seluruh anggota komunitas Skolas-tikat Pondok Bambu. Seb-agai generasi peduli Tanah air dan Bangsa, komunitas para frater ini juga turut merayakan HUT RI yang
ke-66. Namun, ada nu-ansa yang khas hari ini. Tidak seperti biasanya para Frater melakukan Apel bersama di hala-man depan rumah, kali ini komunitas justru men-gadakan Agape bersama alias makan sambil ber-cerita dan bertukar pikiran tentang quo vadis negara republik kita ini? Nah, di sinilah tempatnya, para frater yang larut dalam kegembiraan dan keber-samaan juga tak lupa
menyampaikan refleksi singkat tentang hara-pan dan tekad dalam membangun Bangsa dan tanah Air dimasa-masa yang akan datang. Pater Rob, seorang pastor Bule kelahiran Belgia yang sudah lama menjadi WNI, dalam refleksinya mengatakan demikian. ”Kalau aku saja dapat mencintai Indonesia, anda pasti lebih.” Yuk, teman-teman mari kita bangun tanah air kita ini mulai dari melakukan hal-hal kecil dan seder-hana. Hidup Indonesia, sekali merdeka tetap merdeka!
Welcome Home bagi frater tingkat dua
Hut RI ke-66. Sekali merdeka Tetap Merdeka!!!
“Aku kembali..setelah sekian lama ... mencari arti.. dari semua yang berikan.. disini kutemu-kan damai di hati.” Be-gitulah kira-kira bunyi sebuah lirik lagu yang dinyanyikan dengan nuansa khas reggae oleh Steven ‘n The Coconout Trees. Ya, lirik ini seakan menggambarkan suasana hati para frater tingkat dua yang baru saja kembali dari kampung
Cor Unum Et Anima Una��
Jika separuh orang-orang di du-nia, khusunya di Amerika Serikat hari ini larut dalam kesedihan
karena memperingati ribuan korban meninggal akibat serangan brutal “bom bunuh diri” 11 september 2000 silam terhadap gedung WTC, umat paroki Bojong justru larut dalam keg-embiraan.
Minggu 11 september 2011, umat paroki Bojong bergem-bira bersama dua orang
konfrater senior CICM, Pastor Gilbert dan Pastor van Rooij. Kedua imam yang telah bersahabat sejak remaja ini merayakan 50 tahun hidup mem-biara, dan 45 tahun hidup imamat mereka. Mereka berdua juga sudah lama berkarya di Indonesia dan telah menjadi bagian dari bangsa Indone-sia. Pastor Gilbert yang juga adalah mantan Provincial CICM Indonesia, kini mengemban tugas sebagi pas-tor Paroki gereja St. Thomas Rasul Bojong, keuskupan Agung Jakarta sedangkan Pastor van Rooij berkarya di keuskupan Makasar. Kegem-biraan itu disempurnakan dalam perayaan ekaristi bersama dengan
nuansa “Inkulturatif”, dimana liturgi diwarnai oleh musik-musik keroncong dan gamelan khas tradisional Jawa. Perayaan ekaristi juga terasa sangat istimewa karena dipimpin langsung oleh Yang Mulia, Bapa Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignasius Suharyo, Pr. Yang Mulia juga didampingi oleh beberapa orang imam dari Tarekat CICM, imam praja dan para Jesuit.Setelah perayaan ekaristi, acara dilanjutkan dengan pemberkatan dan pembukaan secara resmi fungsi gedung pelayanan Pastoral Gereja St. Thomas Rasul Bojong. Mulai difung-sikannya gedung tersebut diharapkan dapat memperlancar segala urusan pelayanan terhadap seluruh umat di paroki Bojong. Begitulah harapan Pastor Gilbert sebagai pastor paroki yang tidak lagi muda. Selamat buat Pastor Gilbert dan Pastor van Rooij. Semoga di usia yang tidak lagi muda tetap bersemangat dalam pelayanan. We pray for you, always.
PAROKI ST.THOMAS RASUL BOJONG, BERGEMBIRA
Cor Unum Et Anima Una ��
Ayo.. Rame-rame kita jalan kaki. Ambil sepatumu.
Ambil tasmu. Jangan lupa bawa air. Kita berjalan tak jemu-jemu. Hem..teman-te-man hari ini seluruh para frater akan jalan-jalan tepatnya ke Monas, tapi bukan untuk berdemo lho...lalu ada apa? Hari minggu pagi, tanggal 25 September 2011 mereka bergabung dalam acara jalan santai dengan rute start dari Monas—Bunda-ran HI, and back to Monas again. Para frater turut mengambil bagian dalam acara yang diselenggara-kan oleh sebuah organisasi kemanusiaan lho, namanya Angkat Citra Orang Papa (ANCOP).
Organisasi ini bertujuan untuk membantu mem-biayai pendidikan anak-anak Indonesia yang kurang mampu, siapa pun dia tanpa ada diskriminasi. Nah, sebagaisolidaritas terhadap mer-eka itu maka diadakanlah jalan santai bersama. Dan ternyata memang ada banyak orang yang terlibat,muda-mudahan mereka itu tidak hanya sekadar terlibat,tetapi sungguh-sungguh menga-malkan cita-cita yang ditu-angkan Oleh Ancop, salah satunya mungkin yang dilakukan beberapa frater
seperti Fr. kenjo, Gomez, Anto, dan beberapa yang lainnya. Mereka ini tergabung dalam rom-bongan peduli lingkungan, dimana ada sampah di sepanjang ada jalan pasti ada Gomez,hehe, maksudnya Fr. Gomez, Fr. Anto, dan Fr. Kenjo. Tin-dakan ini memang patut diteladani sebagai sosok pecinta lingkungan..Acara ini memang sangat menguras tenaga para frater, bahkan salah seorang frater yang tidak mau disebutkan namanya hampir pingsan. Katanya: “Wah capek banget ya, lebih ca-pek dibanding ber-main futsal”. Ya, begitulah mas, kalau tidak biasa berjalan kaki..
Global Walk dalam Rangka Angkat Citra Orang Papa - ANCOP
Cor Unum Et Anima Una��
(Mata)Mencuri wajahmu dengan lirikannya Menatap duniamu yang kian indah
Mnjadikan wajahmu diam dalam benak Begitu dekat, melekat tak bergerak
Dapatkan wajahmu dan bola matamu Tak bergerak
hanya nafasmu dan bibirmu yang tersenyum mengajaku masuki duniamu
Menjadikan kita kekasih(Air)
Basuhi wajah hingga tersadarkan dari tidur Segarkan dada hingga bernafas legah
Pisahkan kita hingga aku tak melihatmu kala itu
Menjadi Mata air pada pertemuan kita
(Mata)Berhulu dua dari duka perpisahan
Membuatnya merah merona Menyibak bening pada langit-langitnya
Bening yang terbendung pada sudut mata Jatuh dari kepasrahan
Tetesannya penuh sesalMenyesakan dada hingga terdiam
Membasahi wajah yang masih berharap Menjadi Air Mata dalam tangisan
Tak terbendung dan terus mengalir
(Air)Air mata itu mengalir mengisahkan duka Tak jauh alirannya hanya sampai ke hati
Sepanjang alirannya menghidupkan suka Sesal tiada bagi mata yang pernah menjatuhkannya
Wajah pasrah kini penuh harap Mata air ini akan selamanya ada
Menjadi Mata Air abadi di lubuk hati Memberi kekuatan bagi yang datang padanya“Bayangan tentang cinta untuk
Dia dan dalam Dia”Kamis,13 Januari 2011
“Metamorfosis” (mata-air-mata-air)
g
Cor Unum Et Anima Una ��
g“Pasrah”
Malam dalam pelukan bintang, dingin kian menyatu dalam tubuhku.Kuikuti lagu jiwa yang mengalun tanpa syair.Sebenarnya ada kata yang ingin kuselipkan pada salah satu nada.Aku takut kata-kataku merusak semua alunan nada yang masih belum berhenti.Tak rela berlalu.Lagu ini akan jadi milikku,nadanya menenangkan.Lagu jiwa hadirkan kisah setiap iramanya adalah cerita.Hidupkan kenangan sebelum kupasrahkan mata terpejam.Tuhan relakan aku!
“Berhenti”
Aku pernah menyerah dengan memalukan.Di tengah jalan yang awalnya baru kemarin dan akhirnya aku
belum tahu.Aku berhenti di tempat yang tak semestinya.
Debu dan kerikil yang tajam kian terasa.Mata memerah.
Panas! Saat kepalaku menjunjung langitBeratnya tak sebanding mimpiku
Semangatku luluh di bawah panas mentari yang menyengatku.Langkah terhenti bersama tubuh yang letih.
Lalu mereka bartanya. “mengapa”?Kau tanyakan Kapan aku lanjutkan langkah itu?
Ada di sebuah saat:Nanti jawabku….
Cor Unum Et Anima Una�0
Baru-baru ini, saya dan teman-teman angkatan menjalani pro-gram live-in di keluarga Muslim. Alhamdulillah, program ini bisa berjalan dengan baik dan menjadi pengalaman yang indah bagi
kami semua. Saya yakin, pengalaman itu adalah anugerah bagi kami semua. Dengan itu, refleksi (yang mendalam) atas pengalaman itu ten-tunya akan sangat berguna bagi perkembangan kepribadiaan saya, tak terkecuali teman-teman yang lain. Terdorong oleh keyakinan itu, saya ingin membagikan buah-buah refleksi saya, dengan harapan bah-wa refleksi ini bisa memberikan manfaat yang nyata bagi kita semua.
“The vagabond
that always feels at Home”
(Suatu refleksi atas Semangat Hidup Lepas Bebas)
Sekilas Tentang Tempat Live-In
Saya dan Frater Robert menjalani program live-in di Kabupaten Ma-ros, tepatnya di keluarga Bapak Sudirman yang menetap di Jln. Poros Maros No. 100. Pada awalnya kami berdua direncanakan untuk menem-pati keluarga yang berbeda. Namun hari berganti hari, salah satu dari kami tak kunjung diantarkan ke keluarga lain yang direncanakan. Dengan demikian, sampai program live-in berakhir, kami berdua tetap menem-pati keluarga yang sama.
Keluarga Bapak Sudirman adalah keluarga yang cukup besar. Ber-sama dengan ibu, mereka tinggal dengan keenam anak mereka (Ilham, Amelia, Irham, Imran, Fatmah, dan Firah). Dapat saya katakan bahwa ke-luarga mereka adalah keluarga yang berkecukupan. Mereka mengelola beberapa usaha yang kiranya mendukung perekonomian keluarga.
Berdasarkan informasi yang saya dapatkan, keluarga Bapak Sudir-man sebelumnya sudah pernah menerima Frater (sekarang sudah menjadi
Refleksi
Cor Unum Et Anima Una ��
romo, yakni Pater Jeremias Lakonawa) untuk menjalani program live-in di keluarga mereka. Dengan begitu, kedatangan kami sebenarnya tidak begitu asing bagi mereka. Selain itu, kesan baik yang ditinggalkan oleh Pater “Mias” (demikian ia akrab di sapa di sana) cukup membantu kami untuk bisa membina komunikasi yang baik, dan akhirnya diterima dengan baik pula di dalam keluarga mereka.
Selama berada di tengah keluarga bapak Sudirman, saya hampir tidak pernah mengalami kesulitan yang berarti. Dalam berkomunikasi, mereka sungguh terbuka dan ramah. Mereka memperlakukan kami bu-kan sebagai tamu, tetapi lebih sebagai anggota keluarga mereka. Mala-han, kami diajak untuk terlibat penuh dalam kegiatan harian mereka.
Dapat saya katakan bahwa secara keseluruhan, saya sangat menik-mati live-in ini. Dari pihak keluarga Bapak Sudirman, saya mendapat-kan penerimaan yang sangat baik. Saya sungguh terkesan dengan kera-matamahan dan penerimaan mereka itu. Hal inilah yang menimbulkan perasaan tidak enak dalam diri saya ketika menyadari bahwa program live-in ini akan segera berakhir dengan sejumlah pekerjaan mereka yang belum rampung.
Selama tiga minggu, saya sungguh menjadi bagian dari mereka. Saya dapat merasakan kebahagian, harapan dan kecemasan mereka. Rasanya begitu sulit untuk meninggalkan kebersamaan itu, apalagi den-gan sejumlah pekerjaan mereka yang belum selesai. Dalam hati yang terdalam, ada kerinduan untuk bisa terlibat lebih jauh. Namun, akhirnya perasaan itu seakan sirna ketika saya menyadari kembali bahwa setiap kebersamaan pasti selalu ada akhirnya. Di samping itu, sebagai calon misionaris religius, saya harus belajar untuk hidup lepas bebas dan be-rani meninggalkan kesenangan sendiri, termasuk rasa betah untuk tinggal di suatu tempat.
Adapun tema permenungan saya pada live-in kali ini adalah bagaimana belajar menghayati semangat hidup lepas bebas. Saya me-nyadari bahwa semangat dan praktek hidup lepas bebas adalah salah satu prasyarat bagi kehidupan seorang misionaris religius. Seorang mis-ionaris religius harus bisa merasa kerasan dan nyaman berada pada
Refleksi
Cor Unum Et Anima Una��
setiap situasi dan kondisi yang ia temui (always at home), dan pada saat yang sama harus juga bersedia meninggalkan kenyamanan itu (ada ke-sadaran bahwa ia adalah seorang “vagabond”). Menurut saya, model kehidupan seperti ini hanya akan bertahan jika dilandasi oleh semangat dan praktek hidup lepas bebas.
Pergulatan sebelum Live-in
Meskipun sebenarnya sudah beberapa kali menjalani program live-in, saya masih saja harus bergulat dengan perasaan gundah dan was-was menjelang keberangkatan. “Mengapa perasaan seperti ini muncul dan mendominasi diri saya?” demikian saya mencoba mengenali aneka perasaan yang muncul. Bukankah saya seharusnya bergembira karena saya akan segera mendapatkan pengalaman baru bersama dengan ke-luarga Muslim?
Kalau boleh jujur, adanya optimisme untuk menemukan pengalaman baru sebenarnya tidak serta-merta melenyapkan perasaan gundah dan was-was dalam diri saya. Ada rasa cemas yakni apakah keluarga nanti-nya akan terbuka dan menerima saya apa adanya? Saya cukup sadar bahwa bila perasaan semacam ini tetap terpelihara, maka saya tentunya tidak akan menikmati live-in ini.
Aneka perasaan ini kemudian saya bawa dalam doa dan dalam kesempatan meditasi pribadi. Dalam kesempatan-kesempatan itu, saya memasrakan diri kepada Tuhan. Saya memohon bimbingan Tuhan, juga keterbukaan hati dan pikiran pada gerakan roh. Di samping itu, dalam kesempatan meditasi dan renungan pribadi tersebut, saya mencoba un-tuk menghidupkan kembali pengalaman live-in yang sudah pernah saya jalani.
Syukur kepada Tuhan, berapa hari sebelum berangkat saya sudah merasa tenang dan lega. Saya yakin bahwa Tuhan telah memegang andil dalam permenungan ini, bahkan telah menjawab segala kecema-sanku. Tuhan tidak membiarkan saya larut dalam perasaan gundah dan was-was, melainkan telah memberi saya kekuatan untuk menikmati live-in yang sudah di depan mata.
Refleksi
Cor Unum Et Anima Una ��
Dapat saya katakan, kelegaan yang dapat saya rasakan itu meru-pakan buah dari kepasrahan diri yang aktif kepada Tuhan. Kepasrahan diri semacam ini telah menumbuhkan kekuatan dan pikiran positif dalam diri saya. Kepasrahan diri yang aktif ini juga telah membantu saya untuk melihat bahwa kecemasan dan kegundahan saya sebenarnya tidak ter-lalu beralasan. Kecemasan dan kegundahan itu muncul karena saya takut dan tidak rela untuk meninggalkan perasaan aman tinggal di komunitas. Ternyata, perasaan aman dan kemudahan yang selama ini saya nikmati di komunitas sedikit banyak telah menimbulkan kelekatan pada rutinitas dan ritme hidup di komunitas. Hal-hal inilah yang membuat saya merasa berat untuk meninggalkan komunitas.
Sampai pada titik ini, saya merasa bahwa poin penting kepasrahan yang aktif adalah pada kekuatan yang memungkinkan saya untuk bisa lepas bebas. Kekuatan ini membantu saya untuk melihat dan menelanjangi kecemasan dan ketakutan dalam mencoba hal-hal baru. Kekuatan ini juga membantu saya untuk belajar melepaskan diri dari kelekatan-keleka-tan yang bisa yang menghalangi perkembangan diri saya. Singkatnya, kepasrahan ini telah mengajarkan saya untuk belajar hidup lepas bebas, yakni suatu kehidupan yang menjadi ciri khas kehidupan religius misioner. Bersedia untuk berpindah-pindah tempat, tetapi selalu merasa nyaman dan bahagia dengan situasi dan kondisi di tempat yang baru.
Hadir pada kenyaataan apa adanya
Syukur kepada Tuhan bahwa pada kesempatan ini saya diberi ke-beranian untuk mengenali pergumulan perasaan yang saya alami, baik sebelum maupun setelah menjalani program live-in. Saya yakin, proses-proses yang telah saya lalui ini tentunya akan bermanfaat bagi perkem-bangan kepribadianku. Rasa syukur dan keyakinan inilah yang mendo-rong saya untuk kemudian mensharingkan refleksi saya ini.
Pertama, cara pandang saya terhadap hal-hal baru cenderung di-pengaruhi oleh kelekatan-kelekatan saya pada sesuatu yang saya nik-mati. Kelekatan-kelekatan ini kerap membuat saya begitu nyaman se-hingga tidak berani meninggalkannya untuk mencoba hal baru yang mungkin lebih bernilai. Karena kelekatan itu, saya terlebih dahulu harus
Refleksi
Cor Unum Et Anima Una��
meyakinkan diri bahwa hal-hal baru akan seindah dengan apa yang telah aku rasakan saat ini.
Saya sadar bahwa kelekatan ini cukup menyulitkan dan meng-halangi perkembangan saya. Permenungan ini telah membawa saya pada kesadaran itu, sekaligus memberi kekuatan untuk belajar hidup lepas bebas. Saya mengalami bahwa belajar menghayati semangat hidup lepas bebas telah cukup membantu saya untuk berpikir positif dan optimis terhadap pengalaman baru. Semangat hidup lepas bebas ini juga cukup membantu saya untuk menikmati setiap kenyataan yang saya alami selama program live-in. Singkatnya, pengalaman berhar-ga selama program live-in tentunya tidak akan pernah aku dapatkan seandainya aku tidak rela meninggalkan comfort zone-ku.
Kedua, selain dipengaruhi oleh kelekatan-kelekatan tertentu, cara pandang saya terhadap sesuatu juga banyak dipengaruhi oleh per-sepsi dan antisipasi atas hal-hal baru yang mungkin saya temui. Per-sepsi dan antisipasi ini terbentuk ketika saya mulai merekah-rekah apa yang harus dan tidak harus saya lakukan selama program live-in. Dengan itu, sebelum berangkat ke tempat live-in saya sebenarnya su-dah terbebani oleh pikiran yang muluk-muluk. Permenungan ini telah membantu saya untuk menyadari bahwa persepsi dan antisipasi itu dapat menjauhkan saya dari sikap yang realistis dan apa adanya. Setelah saya jalani sendiri, keadaan di lapangan justru berbeda jauh dengan persepsi yang saya bentuk. Dengan demikian, antisipasi yang saya pikirkan tidak banyak berguna. Dari pengalaman ini, saya mu-lai belajar untuk berpikir realistis dan meredam kecenderungan untuk hidup dan bekerja pada tataran persepsi. Saya harus berani hadir pada kenyataan apa adanya di lapangan, dan bukan pada apa yang ada dalam persepsi dan konsep pikiranku.
Hidup lepas bebas: berani melepaskan kenyamanan dan kemapanan
Dalam permenungan, saya perlahan-lahan menyadari kenyataan bahwa diri kita selalu dibelenggu oleh banyak hal. Belenggu itu bisa berupa kondisi tertentu di luar, maupun di dalam batin. Apakah kita bisa lepas dan bebas dari kondisi keterbelengguan itu?
Dalam buku yang berjudul Revolusi Batin Adalah Revolusi Sosial, Romo Sudri, SJ menyatakan bahwa cara kita menghadapi kenyataan
Refleksi
Cor Unum Et Anima Una ��
senantiasa dikondisikan oleh pikiran, pengetahuan, konsep, ajaran, dan pengalaman kita. Diri kita juga dikondisikan dan dibentuk oleh ke-pentingan diri, kehendak diri, kesenangan, dan sikap cinta diri. Di samp-ing itu, batin kita juga bisa teperangkap dalam ketergantungan psikolo-gis, misalnya rasa senang, rasa aman, rasa nikmat, rasa terlindungi, rasa pasti, rasa berarti, dan seterusnya.
Selanjutnya, Romo Sudri meyakini bahwa fakta keterbelengguan diri dapat dilampaui dengan pertama-tama mengenal diri kita sendiri. Menurut beliau, diri adalah akar dari segala permasalahan. Diri adalah akumulasi dari pengetahuan, pengalaman, pikiran, perasaan, ke-sadaran, kenikmatan, kesenangan, kepahitan, ketakutan, kegelisahan, dan kelekatan. Dengan terus-menerus mengamati, mengenal, dan me-nerima diri, kita akhirnya semakin menyadari keterbelengguan kita dan mulai belajar untuk menyikapi dan melampauinya. Dalam kerangka pikir ini, pengenalan diri merupakan prasyarat untuk bisa hidup lepas bebas dari kondisi keterbelengguan diri.
Sebelum berangkat ke tempat live-in, saya sudah mengalami per-gulatan yang cukup pelik. Saya merasa cemas, takut dan tidak rela meninggalkan kenyamanan yang saya nikmati dalam komunitas. Saya was-was dengan apa yang akan saya lakukan selama live-in. Saya menjadi tidak tenang dan terbebani. Perasaan ini berangsur-angsur terkendali ketika saya mencoba untuk mengakui menjadi keadaan ini. Saya mencoba merasakan setiap gejolak perasaan yang ada. Saya kemudian membawa semua itu dalam doa dan permenungan pribadi. Akhirnya, yang tersisa adalah kepasrahan. Saya merasakan ke-tenangan dan kekuatan untuk terbuka pada setiap kejutan-kejutan yang terjadi selama live-in.
Saya yakin bahwa pengenalan dan penerimaan diri telah memba-wa saya pada suatu sikap pasrah dan terbuka pada setiap keadaan serta kenyataan yang saya temui. Pengenalan dan penerimaan diri ini juga membantu saya untuk menyadari bahwa saya sebenarnya tidak akan pernah mengendalikan semua keadaan dan realita tersebut. Satu-satunya yang dapat saya kendalikan adalah si-kap saya dalam menghadapi keadaan dan realita itu. Pada titik ini,
Refleksi
Cor Unum Et Anima Una��
hidup saya sebenarnya terbentuk dari setiap cara saya menyikapi re-alitas yang ada. Sikap itu tergantung sepenuhnya pada saya. Dengan demikian, saya sendirilah yang membuat hidup saya.
Saya dapat mengatakan bahwa kepasrahan dan semangat lepas-bebas telah banyak membantu saya untuk menikmati pengalaman demi pengalaman yang saya dapatkan selama live-in. Semangat inilah yang membuat saya dapat tidur nyenyak setiap malam dan bangun pada pagi hari dengan segar bugar. Semangat yang sama pula yang me-mampukan saya untuk mengawali hari baru dengan menyucapkan doa, ”Selamat pagi Tuhan. Apa yang Engkau rencanakan pada hidup saya hari ini? Saya sungguh ingin terlibat di dalamnya.”
Walaupun awalnya saya merasa enggan untuk meninggalkan ko-munitas dan agak kewalahan menjalankan pekerjaan yang diberikan, semangat saya tetap terjaga. Bahkan, ketika saya merasa berat untuk kembali karena sudah begitu nyaman dengan keluarga serta kegiatan
mereka, semangat lepas bebas juga yang membantu saya untuk kembali ke komunitas dengan perasaan nyaman. Singkatnya, semangat lepas be-bas telah membantu saya hidup sebagai seorang “vagabond” (seorang yang tidak punya tetap tinggal yang tetap) yang bisa merasa “at home” (kerasan dan nyaman) meski harus selalu berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain.
Demikianlah beberapa hasil permenungan yang dapat saya bagi-kan pada kesempatan ini. Saya sungguh berharap bahwa refleksi atas pengalaman yang saya alami baik sebelum, selama, maupun sesudah program live-in akan bermanfat bagi perkembangan diri saya sendiri
dan juga teman-teman sepanggilan. Satu keyakinan saya bahwa Tu-han selalu hadir, terlibat, dan mendewasakan kita melalui pengala-man-pengalaman kita setiap hari ini. Ia tidak menjanjikan kebahagian sebagai suatu hadiah bagi kita, tetapi sebagai buah dari perjuangan kita. Amin...
Refleksi
Cor Unum Et Anima Una ��
Menulis tentang Beato Yohanes Paulus II membuat penulis
antusias namun sekaligus was-was, karena menulis so-
sok raksasa Beato Yohanes Paulus II merupakan tang-
gungjawab yang sangat besar. Keberanianlah yang
paling berperan penulis berani menulis tentang Sang
Beato. Tak ada yang meragukan bahwa Mendiang Paus Yohanes Paulus II
adalah sungguh seorang tokoh Katolik kontemporer yang sangat penting.
Mungkin yang terpenting pada permulaan millennium ketiga ini, baik saat
ia masih hidup maupun kini dalam drama kekinian dunia – entah itu dunia
kekatolikan dan maupun dunia secara keseluruhan – seorang pecinta
dan pembela kultur kehidupan, seorang penjaga utama perdamaian du-
nia, seorang yang mewakili hati nurani manusia yang anti terhadap ke-
kerasan atas nama agama dan ras. Seorang yang benar-benar mewakili
orang-orang papa yang teringkari hak asasinya. Singkatnya seorang
yang senantiasa berdiri berdiri di garda terdepan dalam mengusahakan
dan menghadirkan keadilan dan perdamaian di muka semesta ini.
Belajar dari Sang BeatoYohanes Paulus II
Opini
Cor Unum Et Anima Una��
Sosok yang selama lebih dari 25 tahun menjabat sebagai Paus (peng-ganti Rasul Petrus, wakil Kristus di dunia), dari tahun 1978 – 2005, Sang Beato menyampaikan pesan yang komprehensif tentang berbagai hal kehidupan Gereja dan umat manusia di atas planet bumi. Terlalu pan-jang untuk mengisahkan dan melukiskan satu per satu keagungannya. Bahkan tapal batas sebuah buku yang dunia sediakan takkan mampu untuk membukukan petualangan Sang Beato sejati ini. Dengan penuh kejujuran harus diakui bahwa pesan-pesannya dan pemikiran-pemiki-rannya sungguh masih dibutuhkan dan masih sangat relevan dalam kon-teks kekinian dunia kita, terlebih untuk dunia kita yang penuh berlimpah dengan wajah kebengisan, kebencian, kekerasan, cinta diri, dan penuh dengan ketamakan.
Drama Kekinian Dunia KitaHampir enam tahun lalu, sepuluh tahun lalu, dan bahkan puluhan ta-
hun lalu, ketika Paus asal Polandia ini dengan lantang menyerukan kata-kata yang paling subversif: “Janganlah membalas kekecian dengan keke-cian pula”. Lebih lanjut Paus mengingatkan kita bahwa, “Mustahil dunia akan langgeng bila manusia masih terus saling menebar kebencian dan saling bunuh satu sama lain atas dasar kepentingan geopolitik yang ta-mak”, seru Paus Yohanes Paulus II suatu ketika. Pernyataan ini merupakan rekasi terhadap pengalaman pribadi yang pernah menimpanya. Pen-galaman itu adalah sebuah pengalaman yang mengerikan baginya dan sungguh sebuah pengalaman yang menggetarkan seluruh penjuru bumi, di mana pada awal tahun 1980-an, Mehmet Ali Agca, seorang pembunuh bayaran yang ekstremis dari Turki mencoba menghabisi nyawanya. Akibat perbuatannya itu, Agca dicerca dan diumpat segenap penjuru dunia. Bagi mereka, kejahatan haruslah dibalas dengan kejahatan. Pedang musti dila-wan juga dengan pedang. Hanya dengan cara itu, semua perkara selesai. Tapi, Mendiang Paus Yohanes Paulus II menolak keras sikap balas dendam.
Opini
Cor Unum Et Anima Una ��
“Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan pula. Balaslah kejahatan dengan kasih,” tegas Sri Paus kala itu.
Kata-kata itu tidak sekadar alibi semata. Kekejaman Mehmet Ali Agca dibalas Sang Beato waktu itu dengan penuh kasih. Ia mengunjungi Ali yang mendekap di dalam penjara, mengampuni kesalahannya. Bagi penulis ini merupakan sebuah bentuk komunikasi yang sungguh terlalu indah untuk diukirkan, karena merupakan ungkapan spontanitas dan kejujuran dari dalam diri seorang Bapa Suci Yohanes Paulus II. Ini sebuah kisah lama. Tapi
maknanya tetap hidup. Bahkan selalu hidup kendati Paus Yohanes Paulus II telah wafat enam tahun lalu. Relevansinya senantiasa berlaku universal, untuk siapa saja, di mana dan kapan pun.
Sudah beberapa waktu lalu sejak pesan-pesan perdamaian, persahabatan, yang kumandangkan oleh Sang Beato, teta-pi nampaknya tata keteraturan dunia saat ini masih jauh dari bentangan harapan. Tata dunia yang dijungkirbalikan dengan penuh kelembutan dan sarat akan kerendahan
hati dari seorang penjaga utama perdamaian ini tidak kunjung tercipta di alam semesta ini, terutama di panggung seantero Indonesia. Hari-hari ini kita melihat dan menyaksikan betapa dunia manusia terutama sebagian manusia Indonesia, senantiasa memperlihatkan dan mempertontonkan hal-hal yang mengerikan: pembunuhan, kerusuhan antarkelompok, aksi-aksi terorisme, penembakan. Terakhir namun sangat bermutu adalah ketika tindakan kriminal itu dilakukan oleh “mereka” yang menamakan diri bos besar di negeri ini. Kasus korupsi, merekayasa hukum, ketidakjujuran seak-an menjadi “hidangan lezat” bagi sang preman berdasi ini. Dan masih banyak lagi daftar peristiwa yang bias kita tambahkan sendiri, membuat rasa kemanusiaan kita tersayat.
Opini
Cor Unum Et Anima Una�0
Aneh memang! Mengapa anak manusia terutama manusia Indonesia zaman ini tidak berlomba-lomba berbuat kebajikan? Dalam konteks me-nyuarakan kebenaran, keadilan, sikap pengampunan, berbuat baik, dan perjuangan hak-hak asai manusia, Mendiang Yohanes Paulus II telah me-nyuarakan, “Non abiate paura!” – “Jangan takut!”. Akan tetapi nyatanya justru dalam hal-hal buruklah kita berlomba. Inilah rekam jejak dari drama kekinian dunia yang kita saksikan sekarang.
Di panggil untuk menjadi “Jembatan Harapan” sekaligus “Jembatan Perubahan”
Pertanyaan untuk kita renungkan sekaligus mendesak jawaban dari kita (dalam konteks kita sebagai calon misionaris dan misionaris CICM) adalah bagaimana dengan keberadaan kita yang nyatanya merupakan bagian tak-terpisahkan dari realitas seperti itu? Apakah kita hanya membungkam diri atau bahkan lari dari persoalan yang pelik itu? Bukankah kita juga dipanggil untuk menghidupkan kembali sembari membongkar nilai-nilai hidup yang se-lama ini sudah disadap bahkan dikuburmatikan oleh segelintir anak manusia yang penuh dengan ketamakan diri?
Sungguh sulit memang untuk menjawab persoalan itu. Mengingat kom-pleksitas permasalahan yang sungguh akurat. Tetapi akan sangat sulit lagi apabila kita tidak pernah mencoba mendekati dan menjawabnya. Tentu saja tugas ini tidak bisa diselesaikan semuanya secara sendiri-send-iri. Membutuhkan komitmen dan kerja sama yang baik dari kita semua. Se-bagai calon dan anggota komunitas tarekat religius misionaris CICM, kita dipanggil untuk mendengar segala jeritan sosial yang disendengkan ke dalam telinga kongregasi kita. Panggilan ini akan sangat efektif sekaligus unik ketika kita sungguh-sungguh berada dalam satu payung Sehati-Sejiwa yang merupakan semboyan kita bersama. Sehati dan sejiwa akan menjadi sebuah semboyan yang kosong maknanya apabila kita tidak bersama-sama menjawab dan mengentaskan persoalan sosial tersebut. Bagaimana caranya? Tentu saja beranekaragam cara, terutama menurut peran dan panggilan kita masing-masing.
Opini
Cor Unum Et Anima Una ��
Panggilan kita sebagai CICM adalah sesuatu yang penting dan sangat penting tidak hanya terbatas pada pengembangan misi Kristus dan Gereja, tetapi sekaligus untuk menjadi “para penyem-buh” terhadap penyakit sosial itu. Kita semua diajak dan ditantang untuk semakin peka terhadap masalah-masalah sosial itu. Belajar dan terinspirasi dari sikap hidup yang ditawarkan Mendiang Paus Yohanes Paulus II, kita juga dituntut untuk senantiasa berdiri di garis terdepan untuk membela hak-hak mereka yang terabaikan, menyu-arakan keadilan, kebenaran, dan perdamaian. Dengan cara-cara seperti itu, kita senyatanya sudah ambil bagian dalam menata ket-eraturan dunia yang lebih baik. Di sana getaran panggilan kita sungguh sebuah “jembatan harapan” dan “jembatan perubahan” bagi dan untuk dunia.
Refrensi BacaanBarmansyah, Ben Hamzah, “Paus di Mata Cendekiawan Muda
Muslim” dalam Mimbar di Mingguan HIDUP, No. 16 Tahun ke-59, 17 April 2005, hlm. 47.
Kolom Tajuk, “Paus Yohanes Paulus II” dalam Mingguan HIDUP, No. 39 Tahun ke-65, 25 September 2011, hlm. 6.
Magnis-Suseno, Franz, “Bapa Suci Berwawasan Dunia” dalam Mingguan HIDUP, No. 16 Tahun ke-59, 17 April 2005, hlm. 15-17.
Nolan, Albert. Jesus Today: A Spirituality of Radical Freedom. Philippines: Jesuit Communications Foundation, Inc. 2006.
Opini
Cor Unum Et Anima Una��
Fr. Klemens BhajoPemuda yang berasal dari Kabupaten Ende ini senang menggambar ataupun menulis sesuatu ini adalah frater tingkat III di Skolastikat Sang Tunas Pondok Bambu, Jakarta. Ia juga sedang menempuh studinya di STF Driyarkara di tingkat semester V.
Fr. Kanisius JenaliFr. Kanisius Jenali dilahirkan di Manggarai, NTT, pada 29 Desember 1985. Pria yang menamatkan pendidikan menengah pertama dan atas di sebuah “mini pesantren” di Makassar ini, bergabung den-gan Tarekat CICM pada tahun 2007. Sekarang dia sedang menempuh pendidikan filsafat dan teologi semester 7 di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
P. Yohanes Silalahi, CICM
Konfrater asli Batak, sedang berkarya di ta-nah misi Afrika Selatan, tepatnya di Cape Town. Tahbisan imamatnya, diselenggarakan pada saat dia berlibur di Indonesia tahun 2001, tepatnya di Paroki Duren Sawit pada tgl 24 Agustus bersama Antonius Harnoko dan Folata Laia.
Siapa Para Kontributor?
Cor Unum Et Anima Una ��
Siapa Para Kontributor?
Fr. Leoyd Ongky SanggariaFrater kelahiran Sangalla, 20 Mei 1986 ini telah mengelesaikan program novisiat-nya di Sang Tunas Makassar. Dia adalah fans berat klub sepak bola Manchester United. Dia juga senang berkebun. Sekarang, dia melanjutkan program studinya di STF Driyarkara, program Bakaloreat.
Fr. Joseph LeribunMeskipun umurnya baru 23 tahun, ia kelihatan sangat dewasa dan beribawa. Frater ini se-dang berada di Sang Tunas Makassar sebagai novis untuk mengenal CICM secara lebih mendalam dan lebih mempererat tali persaudaraan bersama dengan konfrater lain.
Fr. Christian Budi SetiawanFrater yang dilahirkan di Jakarta pada tang-gal 1 September 1989 ini dulunya adalah anak band. Namun, kini ia berpaling dan ingin menjadi pengikut Tuhan yang setia dan memilih CICM se-bagai pelabuhan cita-citanya.
Cor Unum Et Anima Una��
Cor Unum Et Anima Una ��
Congregatio ImmaculatiCordis Mariae
Pater Animator Indonesia BaratSkolastikat Sang Tunas CICM
Jl. Gotong Royong 71 RT.12/RW.03Pondok Bambu - Jakarta Timur 13430
Tlp: 021 - 8632174Fax: 021 - 8632175
Pater Animator Indonesia Timur( Sulawesi, Flores, Timor, Ambon, Bali, dan sekitarnya )
Novisiat Sang Tunas CICMJl. Biring Romang 19
Km 13, Daya, Makassar - Sulawesi SelatanTlp: 0411 - 586205Fax: 0411 - 587963
Jika anda ingin berpartisipasi (membantu kami)dalam proses pembinaan para calon Massionaris CICM,
silahkan melayangkan bantuan melalui:No. Rekening BRI 3302-01-000703-0
A/n. JONI PAYUKE-mail: [email protected]
Cor Unum Et Anima Una��
Cor Unum Et Anima Una ��