MTV Thn. 2011. Vol. 4

57
Cor Unum Et Anima Una Sajian Utama Sang Tunas United Sharing The Vagabond that always Feels at Home Refleksi Ajarilah Kami berdoa Dari Danau galilea Menuju Laut Mati Belajar Dari Sang Beato Yohanes Paulus II Warta Komunitas Cerita Dari Tanah Misi Sharing Misi Dari Afrika Puisi Metamorfosis Mata-Air-Mata -Air Pasrah Berhenti Profile Tokoh CICM: Theophile Verbist Tingkat I Para Kontributor

description

Sang Tunas CICM, Sharing, Refleksi, Warta Komunitas, Cerita dari Tanah Misi, Puisi, Profile

Transcript of MTV Thn. 2011. Vol. 4

Page 1: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una �

Sajian UtamaSang Tunas United

SharingThe Vagabond that always Feels at Home

RefleksiAjarilah Kami berdoaDari Danau galilea Menuju Laut Mati Belajar Dari Sang Beato Yohanes Paulus II

Warta Komunitas

Cerita Dari Tanah MisiSharing Misi Dari Afrika

PuisiMetamorfosis (Mata-Air-Mata -Air(PasrahBerhenti

ProfileTokoh CICM: Theophile VerbistTingkat IPara Kontributor

Page 2: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una�

Sang T

unas

United

Jika Anda berada di pintu gerbang sebuah rumah di kawasan ja-

lan Gotong Royong No. 71, Pondok Bambu, Jakarta Timur pada

hari Jumat malam sekitar pukul 21.00, cobalah hening. Anda

kemungkinan besar akan mendengar suara nyanyian. Tidak begitu

jelas. Tapi sumbernya jelas.

“”

Sajian Utama

Page 3: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una �

Sang T

unas

United

Anda tidak ragu kalau sumber suara itu berasal dari rumah be-sar yang bernomor 71 itu. Di tem-bok pintu gerbangnya ada gambar ayam dan garis-garis renda. Mung-kin Anda tidak tahu, mengapa dan bagaimana artinya. Itu adalah mo-tif budaya Tana Toraja.

Nah, penasaran dengan hen-takan musik dan irama suara yang begitu merdu, Anda boleh mendekat untuk mengetahui lebih lanjut. Dari gerbang depan itu terlihat sebuah pintu rumah yang

cukup lebar. Berjalanlah mendekat pintu itu.

Untuk itu, Anda harus dengan melewati halaman yang cukup luas. Di sebelah kirinya akan meli-hat sebuah lapangan basket yang dihiasi tanaman menjalar. Sejajar dengan itu, terdapat sebuah garasi mobil yang cukup luas. sedangkan disebelah kanan, terdapat sebuah rumah kecil.

Setelah melewati halaman yang cukup luas itu, mendekatlah ke pintu utama. Begitu berada de-pan pintu rumah, Anda tinggal

menekan bel yang berada di sisi kiri pintu. Tidak lama kemudian, pintu dibukakan. Sebuah senyu-man ramah yang akan Anda dapatkan dari seorang pemuda belia. Dia akan menyapa dan mengajak Anda masuk rumah.

Barangkali Anda akan kaget,melihat sebuah halaman yang cukup luas berada di tengah bangunan yang ber-bentuk U tersebut. Tidak kalah mengagetkan, ketika Anda me-lihat begitu banyak pria-pria

muda memadati sebuah pon-dok “Coklat” yang berada di tengah halaman itu. Kini jelaslah bagi Anda, suara nyanyian tadi yang kedengaran samar-samar, ternyata suara para frater CICM yang tengah bernyanyi bersama. Mereka sedang berekreasi ming-guan.

“Kami biasa nyanyi bersama” kata John, frater semester lima di STF Driyarkara ketika ditan-ya tentang kegiatan yang se-dang mereka lakukan. Dia juga menjelaskan, kami tidak hanya

“ Pokoknya Menyenangkan ”

Sajian Utama

Page 4: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una�

bernyanyi bersama, tetapi juga pada kesempatan itu mereka akan bercanda, curhat satu sama lain, dan berdiskusi. Lagi katanya, “ Pokoknya menyenangkan!”

Penasaran dengan aksi seru mereka, Anda boleh bergabung. Begitu mendekat, Anda akan me-nerima serbuan sapaan, “selamat malam!”. Yang lain berkata, “ayo mari nyanyi bersama!”. Yang lain juga berkata, “silakan minum!”. Dia menyilakan Anda minum segelas coca cola yang baru saja dituangkannya. Terlihat juga di atas meja coklat tua itu, bera-gam jenis makanan ringan. Ada gorengan, oreo, crispi, dll.

Sebuah perenunganMenyenangkan ketika berada

bersama mereka. Bisa menyanyi bersama. Berbagi cerita. Sangat lucu juga ketika beberapa orang di antara mereka saling mengadu humor dan teka-teki. Ada juga yang serius dengan permainan catur.

Akan tetapi, mungkin Anda ti-dak “puas” dengan kesan situa-sional tersebut. Wajar Anda bo-leh bertanya, “apa benar mereka sehati-sejiwa? Sejauh manakah mereka menghayati kekompakkan ini dalam kehidupan harian?” Per-tanyaan ini mengandaikan Anda tahu bahwa motto hidup CICM adalah sehati-sejiwa.

Ketika ditanyakan kepada frater Gomes, dia menjawab, “ini salah satu bentuk kongkret semangat sehati-sejiwa”. Juga menurut pria yang belum genap setahun di Skolastikat Sang Tunas ini, motto hidup sehati-sejiwa mudah me-nyatukan mereka sebagai “pen-datang baru” dengan warga ko-munitas yang senior. “kami tidak butuh waktu lama untuk akrab satu sama lain” akunya dengan ra-mah. “Tidak ada pula senioritas!”

Sajian Utama

Page 5: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una �

Oone H heart

&O0ne S soul

Mungkin jawaban itu masih me-mancing Anda untuk lebih tahu tentang hal lain. Tengah Anda ber-pikir, tiba-tiba Anda kaget dengan sebuah panggilan. “Mas Didin, Mas Didin!” begitu seseorang memang-gil. Logatnya kental Jawa, tapi ti-dak fasih. Kentara jika dibuat-buat, bahkan terkesan mengejek. Anda mungkin berpikir, “kok begini! Jan-gan-jangan rasis juga di sini!”

Tidak segera mengekspresikan tanggapan spontan Anda, adalah pilihan bijak. Anda cukup memper-hatikan saja dulu. Nah, perhatikan siapa yang dipanggil. Dari sisi se-buah pondok, salah seorang frater tampak menoleh. Ia tampaknya merespon arah panggilan itu. Pria berhidung mancung, tinggi, dan ramping itu tertawa. Ia segera menanggapinya. “Apa le Kenjo” jawabnya sambil tertawa. Pria yang mengenakan baju Liverpool ini berujar dengan logat bahasa Flores.

Mungkin Anda berpikir, dia dari Flores. Anda salah. “Aku dari Malang” katanya sambil tertawa lepas. “aku sendirian orang Jawa di sini.” Anda mungkin bertanya, bagaimana bisa anda bertahan di sini di tengah perbedaaan kultur? Mungkin lebih ekstrem lagi, Anda bertanya, “Mas, apakah kerasan tinggal di sini?”

Dengarlah jawabannya. “Ga za-man rasis”, serunya dengan nada bercanda. Semua frater tertawa. Menurut dia, belajar filsafat telah memberikan daya kritis untuk berpikir melampaui soal etnis, agama, dan kultur saja. Kita perlu menjalin persaudaraan universal. Apalagi ditambah dan diperteguh prinsip hidup komunitas, yakni hidup dalam one heart and one soul. “philosophy for friendship” jelasnya singkat, padat, dan jelas.

Sajian Utama

Page 6: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una�

Sekarang jam tangan Anda menunjukkan pukul 22.00. Tidak enak ber-tamu hingga larut malam Anda boleh pamitan pulang. Anda tidak pulang ‘kosong’. Anda pulang membawa makna penting, yakni bagaimana seman-gat hidup sehati sejiwa dihayati oleh anggota komunitas Skolastikat Sang Tunas Pondok Bambu?

“Selamat malam juga!” begitu mereka menjawab ucapan pamit Anda. “Lain kesempatan datang lagi ya! Begitu frater Johan, ketua Komunitas, berpesan. Yang lain berpesan, “Jangan malu-malu datang ke sini!”. Tidak ketinggalan juga, “TITI DJ—hati-hati di Jalan”. Anda pun tersenyum.(Afi)

Sajian Utama

Page 7: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una �

Sharing Misi dari

AfrikaBeberapa saat yang lalu, melalui Facebook, saya mendapat permintaan dari frater Melkiades Eric Sanggaria untuk membagikan pengalaman panggilan saya di tanah Misi. Secara spontan, saya bertanya dalam hati “Mau tulis apa ya dan mulainya dari mana ya?” Mungkin sebaiknya saya menuliskan sharing saya ini dalam dua bagian, yakni, pengertian saya tentang Misi dalam konteks Gereja Katolik dan pengalaman pribadi se-lama di misi.

Cerita Dari Tanah Misi

Page 8: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una�

Pengertian Misi dalam konteks Gereja Katolik bagi diri saya

 

Berbicara  tentang  Misi,  bagi  diri  saya,  ada    beberapa   pengertian atau konsep : 

Kalau  saya  tidak  salah,  menurut  ajaran  Gereja  Katolik, setiap  orang  yang  dibaptis  di  dalam  Gereja  Katolik,  pada dasarnya sudah diandaikan sebagai seorang misionaris, dalam arti saksi Kristus dalam kehidupannya sehari-hari. Begitu pula sebagai CICM, kita yang diutus atau dikirim ke tanah misi un-tuk bekerja di Gereja lokal atau dimanapun kita berada dan bekerja, tugas utama kita adalah tetap sebagai saksi Kristus. 

Kalau kita berbicara tentang Misi, hal ini menyangkut uru-san Tuhan dalam karya penyelamatan-Nya. Tuhan telah hadir di tanah Misi sebelum misionaris diutus dan tiba disana untuk bekerja. Jad,i tugas kita sebenarnya ialah diminta untuk ber-partisipasi dalam Misi tersebut. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa Misi CICM  itu artinya sama dengan Misi Tuhan, dimana CICM sebagai salah satu dari sekian kongrega-si/tarekat yang ada di Gereja Katolik yang  turut ambil ba-gian.

Sebagai  Misionaris,  tugas  yang  diemban  bisa  berbeda   dengan tugas lainnya. Hal ini tergantung pada situasi dan kon-disi dimana misionaris itu berada. Jadi para anggota mision-aris dari  suatu  kongregasi/  tarekat bisa bekerja dan punya tanggung jawab yang berbeda dengan yang lainnya. Perbe-daan  itu  hendaknya membuat  kita  satu dan bukan  terpecah belah karena  menganggap yang satu lebih dari yang lain.

Di dalam Misi, kita bukan saja memberi dan mengajarkan iman  kepada  umat,  tetapi  juga  menerima  dan  belajar  dari mereka. 

Cerita Dari Tanah Misi

Page 9: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una �

Pengalaman pribadi selama di misi

Sebelum  sharing  pengalaman  panggilan  di  tanah  misi,       benua  Afrika,  saya  mau  mengatakan  apa  yang  pernah  di-katakan  oleh  salah  seorang  formator  saya  dulu  di  Manila mengenai misionaris. Dia mengatakan  bahwa kami (saya dan teman-teman di rumah pendidikan) sudah menjadi  misionaris meskipun    masih    kuliah.      Jangan      pikir    kalau      menjadi    misionaris hanya ketika sudah berada di tanah misi saja. Ala-sannya mengatakan demikian ialah karena sebagai misionaris kita  memang  memiliki  beberapa  tugas  yang  berbeda-beda tergantung dimana kita berada seperti yang telah saya tulis-kan sebelumnya. Kenyataannya memang demikian, kalau kita melihat dimana CICM berada dan berkarya di 4 benua, ada beberapa perbedaan dari satu tempat ke tempat yang lain. 

Setelah menyelesaikan kuliah filsafat di Baguio City dan Theologi  di  Manila,  Philippines,  saya  pergi  belajar  bahasa Prancis di Belgia selama 5 bulan. Kemudian, saya melanjutkan perjalanan Misi saya di Republik  Demokrasi Congo tepatnya di  Kasayi  Barat  dan  Timur.  Sebelum  mendapat  penempatan untuk  praktek  pastoral  di  paroki  CICM,  saya  mulai  belajar salah satu dari 4 bahasa lokal di negara itu yaitu bahasa Tshi-luba (baca : Ciluba). 

Sebagai anggota CICM, kita memang tidak luput dari bela-jar bahasa asing. Menurut Konstitusi CICM, setiap anggotanya wajib  berbicara  dengan  bahasa  dimana  dia  berada.  Bagi orang Indonesia, belajar bahasa Prancis dan Tshiluba adalah tugas yang tidak mudah. Hal ini karena bahasa Indonesia ti-dak ada hubungan sama sekali dengan kedua bahasa terse-but, baik dari segi asal usul atau rumpun bahasa, tata bahasa maupun perbendaharaan kata. 

 Dari  pengalaman  saya  belajar  bahasa  Tshiluba,    saya   menemukan 2 hal yang menurut saya terasa sulit yaitu pertama:pengucapan kata-katanya dengan tepat dan kedua: penggu-naan   peribahasa  atau  perumpamaan.  Ada  beberapa  kata yang bila diucapkan dengan  intonasi yang   berbeda   mem-punyai  arti  yg  berbeda-beda  meskipun  kata-kata  itu  sama penulisannya.

Cerita Dari Tanah Misi

Page 10: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una�0

Contoh : tshilamba (baca : cilamba) = pakaian atau jembatan atau titi,

               diulu = surga atau hidung,

   ndundu = bola atau karet secara umum, dll.

 

Sementara dengan belajar bahasa Prancis,  saya menemukan ada beberapa kata di dalam bahasa  Indonesia yang kemung-kinan  berasal  dari  bahasa  Prancis.  Alasan  saya  mengatakan demikian,  karena  beberapa  kata  itu  pengucapan  dan  artinya sama, hanya saja cara  penulisannya  yang berbeda.

Contoh : cadeau (P) > kado = hadiah (I), 

               klaxon (P) > klakson kenderaan(I),

               coup d’état (P) >kudeta (I) etc, dll.

 

Sesudah belajar bahasa Tshiluba,  saya mendapat penempa-tan praktek pastoral  di  beberapa paroki CICM, antara  lain di Tshikapa, Tshilomba dan Mbujimayi. Selama praktek, saya meng-gunakan kesempatan untuk mengetahui bahasa lokal dengan mel-ibatkan diri dalam kegiatan OMK (Orang Muda Katolik). Disamp-ing itu setiap malam saya mempersiapkan bacaan pertama untuk saya bacakan  pada pagi hari di setiap Misa harian. 

 

Sesuai dengan program internship/praktek pastoral di Provinsi Kasayi    saat  itu,    sementara    praktek    saya    diperbolehkan    mengikrarkan kaul kekal dan ditahbiskan sebagai diakon di dua tempat yang berbeda. Lalu tahbisan imamat saya, diselenggara-kan pada saat saya liburan di Indonesia tahun 2001, tepatnya di Paroki Duren Sawit pada tgl 24 Agustus bersama Antonius Har-noko dan Folata Laia.

 

Cerita Dari Tanah Misi

Page 11: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

Tempat penugasan saya setelah tahbisan  imamat adalah di  Tshikapa,  Kasayi  Barat.  Disana  saya  hidup  dan  bekerja hampir 10 tahun di Paroki St Vincent de Paul bersama Pas-tor  Paroki,  Pierre  Sonnemans CICM.  Bersama pastor  paroki ini, kami pernah bekerjasama bertiga dengan Pastor Cosmas Mallisa selama 2 tahun. Kemudian sejak tahun 2006 sesudah tahbisan imamatnya di Paroki St Vincent de Paul, Pastor Ana-nias Dundu juga ditempatkan disana untuk bekerja bersama-sama bertiga. 

 

Di samping paroki St Vincent de Paul,  saya juga bekerja di  Paroki  St  Monika,  Kadanga,  paroki  kedua  yg  diberikan Uskup kepada kami untuk dilayani. Dan kemudian sejak tahun 2006, kepada kami ditambahkan  lagi 6 komunitas di dae-rah Ndjindji. Selama disana,  tugas saya ialah sebagai pas-tor pembantu dan mengunjungi seluruh komunitas dari kedua paroki  dan  Ndjindji,  yang  berjumlah  sekitar  60  komunitas. Komunitas-komunitas yang saya kunjungi bervariasi jaraknya, antara  6  km-25  km  dan  semuanya  bisa  dijangkau  dengan motor trail paroki, Yamaha DT 175 cc. Ada beberapa komu-nitas yang harus ditempuh dengan menyebrangi sungai yang cukup  lebar.  Karena  tidak  ada  jembatan  sampan  menjadi satu-satunya sarana penting untuk menyebrangkan saya serta motor yang dibawa.

 

Selama di Tshikapa disamping mengunjungi semua komuni-tas saya juga setiap tahun mengadakan pertemuan tahunan bagi  seluruh ketua komunitas  (balami).  Tujuan utamanya  su-paya  sekali  setahun  sekurang-kurangnya  selama  3  hari  mereka (semua ketua itu) bisa  bertemu, berdoa bersama dan membuat evaluasi  tentang kegiatan pastoral mereka. Sung-guh saya merasakan betapa pentingnya keberadaan mereka di komunitas yang jarang dikunjungi oleh pastor. Seingat saya semua komunitas tidak bisa saya kunjungin sekali setahun jadi 

Cerita Dari Tanah Misi

Page 12: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

ketua  komunitas  yang  mengelolah  dan  mengkordinasi  keg-iatan di  komunitas mereka bersama umat disana. Sejak  ta-hun 2004 jadwal kunjungan ke komunitas menjadi berkurang karena  saya  sebagai  salah  satu penasihat  harus  ikut  rapat provincial sekurang-kurangnya tiga kali setahun. 

 

Tantangan yang  saya  rasakan  selama disana ada bebera-pa : 

Pertama   :    kemiskinan      dan      penderitaan      yang    berkepanjangan dari penduduk dan juga umat. Negara yang super kaya dengan tambang dan hutannya tetapi kekayaan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang yang berkuasa. Se-cara  global  pemerintah  tidak  memikirkan  nasib  penduduk dengan semestinya. 

Kedua : Kesan saya karena kemiskinan itu, kehadiran Ge-reja Katolikpun yang sudah  lebih  seabad disana sepertinya hanya berpengaruh sedikit. Di samping itu dengan kurangnya pastor untuk bisa mengunjungi umat secara lebih teratur, tida-klah mengherankan bila banyak umat pindah ke agama lain atau gereja lain atau kelompok doa atau sekte. 

Ketiga :  bahasa.  Kebanyakan  umat  dari  paroki  berasal dari  suku  yang  tidak  berbicara  Tshiluba  tetapi  Pende  dan Cokwe. Hal ini membuat komunikasi terbatas.

 

Pengalaman yang membahagiakan selama misi di Congo ada beberapa :

Pertama : meskipun umat secara umum hidup sangat seder-hana, mereka masih tetap bersedia berbagi meskipun mereka miliki sedikit. Ini merupakan hal yang terpuji dan patut ditiru. 

Kedua :  bagi  umat  yang  masih  anggota  Gereja  Katolik, mereka  tetap  percaya  akan  penyelengaraan  Tuhan  dalam hidup  mereka  sehingga  kemiskinan  dan  penderitaan  tidak menghalangi mereka menjadi saksi Kristus.

Ketiga : hidup bersama umat yang sangat sederhana bagi saya  menguatkan  panggilan  saya  untuk  tetap  percaya  ke-pada Tuhan dan setia menjadi pelayanNya.

Cerita Dari Tanah Misi

Page 13: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

Tgl 24 Oktober 2010  saya meninggalkan Tshikapa untuk memulai misi baru di Afrika Selatan. Saya tiba di tanah airnya Nelson Mandela pada tanggal 24 Desember 2010. Saya rasa suasana masih baru, tempat baru dan hampir semuanya baru disini  jadi belum banyak hal yang bisa saya utarakan selain cuaca yang dingin saat ini karena mau masuk musim dingin. 

 

Satu kesan saya adalah benar bahwa apartheid sudah ti-dak  lagi masalah di negara  ini namun pemandangan setiap hari masih nyata. Orang-orang masih hidup berkelompok-ke-lompok  sesuai dengan warna  kulit. Hitam,  Putih, Coloured = kawin campur, orang Asia (China, India, Pakistan, Bangladesh, Indonesia  dll).  Sebagai  misionaris  CICM  yang  baru  tiba  di negara ini tantangan untuk menghadapi diskriminasi bukanlah semudah meminum air putih dikala haus. But anyway life must go on.

 

 

Johannes Silalahi, CICM

Boksburg, South Africa.

Cerita Dari Tanah Misi

Page 14: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

Kita  kerap  berdoa,  bahkan  harus selalu  berdoa.  Beragam  aksi  tubuh seperti  berlutut,  berdiri,  bersila,  dan sebagainya  diperagakanuntuk  lebih khusyuk  dalam  doa.  Tidak  kurang juga berbagai buku diterbitkan, baik mengenai devosi-devosi maupun cara-cara berdoa. 

Dapat  saja  terjadi,  kita  memaha-minya  dengan  baik,  bagaimana  se-harusnya  berdoa.  Tapi  patut  diingat, gejala  self-centered atau self-seeking bukan  cerita  asing  dalam  berdoa. Kerap dipraktikan kebanyakan orang bahkan tidak pernah menyadarinya. 

Gejala  seperti  terlihat,  ketika  kita lebih  dominan  memikirkan  apa  yang kita  inginkan  dan  tidak  punya  kes-empatan  untuk  berpikir,  apa  yang Allah kehendaki.   Terlalu banyak me-nyampaikan permohonan, tetapi tidak memberi waktu bagi Tuhan untuk ber-bicara.  Lebih  banyak  mengucapkan 

doa daripada mendengar  sabda Al-lah.

Lantas,  pertanyaannya  adalah bagaimana  seharusnya  berdoa.  Ter-kait dengan pertanyaan tersebut, kita tidak dapat memisahkan diri dari doa yang  diajarkan  Yesus  sendiri,  yakni Doa  Bapa  Kami.  Kita  belajar  dari doa tersebut. Menempatkannya pada ruang  yang  tepat  dan  dipahami  se-cara benar. Dengan demikian, apakah yang  seharusnya  kita  pelajari  dari doa Bapa Kami?

Pada  bagian  pertama  Doa  Bapa Kami  dimulai  dengan  menyampaikan tiga  permohonan  utama.  Yang  per-tama  adalah  menyapa  nama  Allah. Kemudian,  mengundang  kehadiran kerajaan Allah. Yang terakhir adalah memasrahkan diri terhadap kehendak Allah.  Begitulah  pada  bagian  perta-ma, Allah ditempatkan sebagai pusat gambar. Dialah gambar utama.

Ajarilah Kami Berdoa !

Refleksi

Page 15: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

Jelas bahwa struktur doa yang ter-ungkap pada bagian pertama adalah pertama-tama  mengungkapkan memori  akan  kemuliaan  Allah.    Disu-sul memori akan tujuan Allah. Diakhiri dengan  penerimaan  dan  kepasrahan terhadap kehendak Allah. 

Selanjutnya,  pada  bagian  kedua doa Bapa Kami juga mengungkapkan tiga permohonan. Antara  lain adalah menyampaikan  kebutuhan  saat  ini “present need”,  mengenangkan  dosa “past sin”,  dan  menginginkan  kesuk-sesan  dan  kebaikan  di  masa  men-datang. Boleh dikatakan, bagian ked-ua ini adalah gambar  yang mengintari dan mendukung gambar utama, yakni pribadi  Allah  sendiri.  Dengan  kata lain,  apabila  gambar  utama  ditem-patkan secara tepat, otomatis sekelil-ingnya juga akan baik.

Selain  itu,  bagian  kedua  ini  men-egaskan pengakuan akan karya Allah 

Trinitas. Wajah kita dihadapkan kepa-da realitas Allah Tritunggal.  “Makan-an  harian”  menegaskan    sekaligus mengingat  Allah  Bapa.  Dia  adalah pencipta dan penyelenggara  kehidu-pan.  Sementara,  doa  untuk  pengam-punan  merenungkan  keberadaan  Al-lah Putera  sebagai penyelamat  umat manusia. Sedangkan doa untuk masa depan  tanpa  dosa  mengingat  Allah Roh Kudus. Dengan demikian, tiga per-mohonan  ini  mengangkat  keseluruhan hidup manusia kepada realitas keila-hian,  yakni Allah  Bapa, Allah  Putera, dan Allah Roh Kudus.

Menelaah  struktur doa Bapa Kami memberi  makna  bahwa  kita  tidak boleh  jatuh  pada  kecendrungan  me-musatkan diri. Allah seolah-olah dino-morduakan. Juga pola doa Bapa Kami harus menjadi pola standar bagi doa-doa kita. (JG7)

Refleksi

Page 16: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

Theophile Verbist1823 - 1868

Theophile Verbist1823 - 1868

Page 17: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

Theophile Verbist1823 - 1868

Theophile Verbist: Pendiri CICM

Karya  misi  Congregatio Immaculati Cordis Mariae (CICM)  tak dapat dip-isahkan dari profil seorang imam diosesan asal Belgia, Theophile Verbist. Dia adalah pendiri kongregasi CICM pada 149 tahun silam. Berbeda dengan cita-cita luhurnya yang telah mendunia itu,  kisah tentang mantan pastor tentara ini tidaklah begitu dikenal luas. Nah, alangkah baik jika kita bertanya, siapakah Theophile Verbist itu? 

Pertanyaan itu begitu luas untuk dijawab. Karena itu, kami hanya mencerita-kan riwayat hidupnya terbatas pada kehidupan keluarganya dan karya-kary-anya  sebelum  mendedikasikan  diri  sebagai  seorang  misionaris  di  Mongolia. Jadi, hanya mengenai kehidupan keluarga dan masa tugasnya sebagai seorang imam diosesan di Belgia-lah yang akan ditulis di sini.

Keluarga Verbist

Theophile Verbist  lahir di Antwerp  pada 12 Juni 1823. Bersama saudara kembarnya, Edmond, ia menjadi adik bagi Piere (1821) dan Athanase (1822). Setelah itu, ayahnya Guillaume (1787-1854) dan ibunya  Catherine Troch me-nambah dua orang adik  lagi bagi mereka.   Diantaranya, Rene  (19826) dan Elisabeth (1832).

Ayahnya,  Guillaume  semula  adalah  seorang  pekerja  kantoran.  Kemudian, beralih profesi menjadi  seorang sales  terbaik di perusahaannya. Karena ulet akhirnya  berbisnis  mandiri.  Pekerjaan    terakhir  yang  digelutinya,    menjadi seorang banker pada tahun 1930. Namun, pada akhirnya bisnis keluarganya mengalami kolaps.  Itulah suasana yang mengharukan dalam perjalanan kelu-arga Verbist.

Ibunya, Catherina Troch adalah istri kedua dari Guillaume. Istri pertamanya, Chaterine  van  Honsem  telah  meninggal  beberapa  tahun  setelah  melahirkan Pierre. Di rumah di Antwerp Ibunya dikenal sebagai orang terpelajar dan ber-budaya,  sehingga sangat  tegas dalam mendidik Verbist dan saudara-sauda-ranya. Ia menanamkan kepada mereka keutamaan-keutamaan dalam bersikap. Selain itu, di rumah mereka terbiasa menggunakan bahasa Perancis. Tetapi mer-eka juga dapat berbahasa Jerman.

Pada umur 7  tahun, Verbist dan Edmond menempuh pendidikan di  sekolah Jesuit, Antwerp. Setelah itu, keduanya melanjutkan pendidikannya di Seminari Menegah Mechlin. Di seminari mereka menempuh pendidikan selama 8 tahun. Verbist punya kemampuan akademik yang baik . Ia selalu mendapat hasil yang baik, sehingga mampu menamatkan diri dari seminari.

Profil

Page 18: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

Tahun 1842 Verbist berpisah dengan saudara kembarnya Edmond. Setelah menamatkan diri dari seminari menengah, Edmond memutuskan untuk menjadi pengacara, sedangkan Verbist berniat menjadi imam. Akhirnya Verbist menerus-kan pendidikan di Seminari Tinggi Meclin selama tiga tahun. Di seminari tinggi, para seminaris ditanamkan dengan sungguh-sungguh untuk bersikap disiplin, ke-mampuan akademik, dan kesalehan dalam hidup doa. Apalagi keadaan waktu itu, sangat mengintensikan soal kemuliaan Allah dan keselamatan jiwa-jiwa.

Setelah melewati semua tahapan pendidikan menjadi seorang imam, Verbist akhirnya ditahbiskan pada 18 September 1847 oleh Kardinal  Sterckx.  Saat tahbisan, kedua orang tuanya turut hadir.

Kehalusan Budi dan Kesalehan Rohani

Awal Oktober 1847,  imam muda  ini ditugaskan sebagai pedamping para seminaris  di Meclin. Mendampingi 180-200 anak tidaklah mudah apalagi han-ya oleh sedikit pendamping. Dituntut memiliki sikap sabar,pasrah, dan equanity untuk menghadapi situasi seperti itu. Verbist benar-benar mengilhami keadaan tersebut. Tak heran, para seminaris menjulukinya “Good Mister Verbist”.

Relasi dengan rekan kerjanya di Seminari amat baik. Setelah ditugaskan di tempat lain, ia tetap menjalin kontak dan komunikasi dengan mereka. Bahkan, beberapa orang diantara rekan kerjanya menjadi teman misi dalam CICM di kemudian hari. Sebut saja Alois van Segevelt yang ditugaskan di Seminari pada tahun 1849.  

Pada bulan Agustus 1853 dia ditugaskan menjadi pastor militer di Brussel. Di  samping  itu,  ia  juga menjabat sebagai rector bagi komunitas Suster Notre Dame de Namur. Menjalani kehidupan sebagai seorang imam di sekolah mili-ter  tidaklah begitu menyenangkan.  Ia hanya bertugas merayakan misa pada hari minggu. Selebihnya ia tidak terlalu dibutuhkan. Apalagi suasana kala itu, kebanyakan murid dan guru tidak menunjukkan simpati dalam kesalehan hidup religius.  Bahkan  boleh  dibilang  menganggap  sinis  kegiatan  agama.  Suasana demikian  kian  sulit  tatkala ditetapkan bahwa murid-murid dapat menghadiri ekaristi ketika diminta oleh pastor.

Ternyata dalam kesempatan yang terbatas itu, Verbist mampu menumbuhkan rasa  simpatik di  kalangan murid dan para guru.   Dia dikenal  sebagai  imam yang  menikmati  reputasinya  sebagai  pastor  militer  dengan  berusaha  fokus pada apa yang menjadi kewajibannya. Tidak hanya itu, imam berbadan tinggi ini tampak  sangat energik dipadu dengan pembawaannya yang begitu ramah, rendah hati, dan  jujur  sehingga kehadirannya menjadi  sangat  istimewa. Pada 

Profil

Page 19: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

akhirnya ia menjalin relasi yang baik dengan mereka, tidak hanya dalam ling-kungan sekolah, tetapi juga di luar konteks sekolah formal.

Acapkali kehalusan budinya ini digambarkan demikian. Seorang militer jika dipandang dari kejauhan, sudah tampak mengintimidasi. Sebaliknya Verbist ti-dak mengintimidasi siapapun karena keramahannya yang meresapi kata-kata dan bahasa tubuhnya. Memang situasi dunia militer sempat membuat dia agak pediam dan hati-hati. Tetapi hal itu ternyata tidak menguburkan kepribadian-nya yang energik dan bersahabat. 

Bahkan terdapat sebuah ungkapan yang selalu dikutip untuk mendefinisikan kepribadiannya. “ Before writing, plunge your pen into your heart. The beautiful feelings of humility and exquisite charity come from your pen, dicatated by your hearth”. Begitulah, Verbist digambarkan secara dominan sebagai orang yang berhalus budi dan tegar dalam segala situasi.

Ketika  setelahnya  bertugas  menjadi  pembimbing  Suster  Notre  Dame  de Namur, Verbist lagi-lagi menjadi pribadi yang sangat menyentuh orang di seki-tarnya.  Ia  merayakan  misa  setiap  hari  di  kapel,kecuali  hari  Minggu.  Ia  juga melayani umat di Sablon di samping kesibukannya sebagai pendamping para suster. Setiap kali perayaan ekaristi,  ia selalu menyediakan waktu 30 menit-1 jam sebelumnya untuk bermeditasi pribadi. Setelah misa pun, ia menyempatkan diri untuk berdoa lagi. Tidak mengherankan ketika ia dijuluki sebagai “pendoa” oleh para suster.

Itulah tempat terakhir ia bertugas sebelum menyibukkan diri untuk mewujud-kan mimpinya sebagai seorang misionaris. Pada tahun-tahun berikutnya, ia mulai merealisasikan mimpinya  sebagai  seorang misionaris.  Patut diingat,  keinginan bermisi bukanlah tumbuh dalam sekejab mata, tetapi telah lama dirindukannya. Akhir hidupnya terjadi pada tahun 1868 di tanah misi, yakni Mongolia.

Amanti Nihil Difficile

Profil

Page 20: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una�0

Biji Sesawi Jatuh ke Tanah

  Lama menjadi pendamping rohani bagi para seminaris, kalangan mili-ter, dan para suster ternyata menegakkan mimpi seorang Verbist. Ia tidak tidur lelap dalam mimpi. Tidak pula  tenggelam dalam rutinitas. Sebaliknya ia me-nyiapkan agenda karya yang besar dan merealisasikannya dengan menginte-grasikan berbagai pengalamannya. Serpihan pengalaman itulah anak tangga menuju puncak kegemerlapan mimpi yang menjadi kenyataan.

  Dari para seminaris ia belajar setia dalam kesalehan hidup doa. Dari kalangan militer  ia belajar menjadi  tegar,  siap siaga, bermental baja dalam menghadapi tantangan. Dari para suster  ia menyaksikan kehalusan hati para wanita yang memberikan perhatian, menaruh kasih kepada orang-orang men-derita. Semua  itu diintegrasikannya  sebagai kekuatan untuk menjadi  seorang misionaris.

  Dari  dialah  seharusnya  kita  belajar.  Bukan  saja  demi  merealisasikan cita-cita pribadi,  tetapi bagaimana  cita-cita  kita pada akhirnya memuliakan Tuhan dan mengembangkan kasih pada sesama. Dialah biji sesawi yang jatuh ke tanah yang kemudian bertumbuh dengan subur.

Profil

Page 21: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

Danau Galilea vs Laut Mati…

Melusuri  peta  Pales-tina zaman Perjanjian Baru, nampak sebuah aliran  sungai  yang berhulu  di  Gunung 

Hermon. Sungai yang melewati daerah Dekapolis ini membentuk Danau Gali-lea, terus mengalir membentuk Sungai Yordan,  berakhir  di  Laut  Mati.    Ban-yaknya  ikan  di  danau  Galilea  serta suburnya  daerah  Dekapolis  yang  di-alirinya,  sangat  menguntungkan  bagi perekonomian  masyarakat  sekitar. Pemandangan  ini  kontras dengan  ke-adaan Laut Mati yang selalu menerima air dari berbagai aliran sungai yang berhilir  di  sana.  Laut  Mati  berkadar 

garam tinggi, tidak ada kehidupan di sana pun tidak memberi manfaat bagi daerah  sekitarnya.  Laut  Mati  selalu menerima namun tak mampu berbagi dan memberi manfaat bagi ekosistem di sekitarnya.

Perbandingan  di  atas  dapat  men-jadi analogi bagi kehidupan di dalam komunitas.  Kita  memang  dipanggil secara pribadi  seperti panggilan Ye-saya namun kita juga dipanggil dalam kesatuan seperti jemaat perdana atau kelompok  keduabelas  murid.  Dalam kebersamaan tentunya kita perlu mem-bangun komunitas sebagai sebuah Pa-guyuban Komunikatif Partisipatif. Sebuah unsur penting dalam komunitas 

Dari Danau GalileaMenuju Laut Mati

Refleksi

Page 22: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

yang  partisipatif  ialah  inisiatif  atau kepekaan  untuk  berbagi.  Kita  perlu    menggambarkan  diri    seperti  Danau Galilea yang selalu memberikan man-faat  bagi  ekosistem  di  sekitarnya.  Ia selalu  mengalirkan  air  menuju  data-ran  rendah  di  sekitarnya  .Walaupun demikian,  ia  tidak  kehabisan  airnya, sebaliknya diperkaya karena simbiosis mutualismenya dengan daerah sekitar. Lain halnya dengan pribadi yang dii-baratkan dengan Laut Mati.  Ia selalu ingin  menerima  tanpa  punya  inisiatif untuk berbagi. Menerima memang hal yang  menyenangkan,  namun  lama-kelamaan kita akan menjadi  kerdil,  tak berkembang,  dan tak  berguna  bagi sesama  di  sekitar kita. Yesus bersab-da “ Untuk apa ga-ram  yang  kehilan-gan asinnya,  selain dibuang  dan  diin-jak-injak  orang”. Kita harus exist dalam komunitas den-gan  cara  berbagi  atau  partisipasi aktif.  Sebuah  partisipasi  aktif  hanya berkembang  bila  kita  punya  inisiatif dan sensitifitas terhadap kebutuhan komunitas. Jadi, kita mesti punya rasa, “…tunjukin rasa lo!” 

Komunitas Cana: Keragaman yang menyegarkan

Setiap kata dapat dikonstrusi men-jadi sebuah symbol makna. Kisah dari injil Yohanes 2:1-11  tentang pesta di Cana  juga  dapat  menginspirasi  kita, 

bagaimana  membangun  sebuah  ko-munitas  yang  “sehati  sejiwa”.    Komu            nitas  seharusnya  menjadi  sebuah     keragaman  yang  menyegarkan:  Uni-tatis in Diversitas. Setiap pribadi perlu menyumbangkan rasanya. Bagaimana pesta di Cana menginspirasi kita untuk membangun  sebuah  komunitas  yang “sehati sejiwa”?

Kepedulian…:    panitia  pesta  di Kana  kehabisan  anggur,  itu  berarti banyak  yang  datang  ke  pesta  dan peduli  dengan  kegembiraan  tuan pesta.  Yesus  dan  Maria  pun  datang 

karena  kepedulian pada  kegembiraan tuan  pesta.  Ketika anggur  habis,  pani-tia  pesta  bingung, malu, cemas dan ta-kut. Maria tahu. Dia peduli.  Ia  mencoba memberikan  solusi, walaupun  sebena-rnya  belum  waktu-

nya bagi Yesus untuk membuat sesuatu yang  luar  biasa.  Bantuan  Allah  bagi tuan pesta itu hadir lewat sesama yak-ni, Maria dan Yesus. 

  Sering  kali  dalam  komunitas,  kita melihat ada teman yang cuek, murung dan  menyendiri,  kita  diundang  untuk peduli.  Kalau  ada  yang  lagi  suntuk akan  menjadi  bahagia  bila  disapa. Kepedulian adalah soal hati: menang-kap gerak keprihatinan dan kegembi-raan orang lain.

Bagaimana pesta di Kana menginspirasi kita untuk membangun se-buah komunitas yang “sehati sejiwa”?

Refleksi

Page 23: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

Kesepenanggungan…:   tidak hanya sampai  pada  merasakan.  tetapi  kita juga diajak bertindak membantu. Yesus dan Maria menyelamatkan tuan pesta, bukan hanya sebatas mengetahui ma-salahnya, tetapi juga turut merasakan keresahan  tuan  pesta  lalu  mencari solusi dari permasalahan yang ada. 

Mencintai…: kata Paulus, ada tiga trilogi  bagi  umat  Kristen:  iman, hara-pan, dan kasih,  dan  yang  terbesar adalah kasih. Kasih Bunda Maria dan Yesus,  membuat  mujizat  Kana  men-jadi ada. Kasih memunculkan kembali sebuah  motivasi  yang  hilang  karena keputusasaan.  Kasih menguatkan  ses-ame bahwa ada orang lain yang men-dukungnya.  Kasih  akhirnya  mengalir-kan kebaikan. Itulah Loving!

Mengubah…: inilah inti kisah Kana: perubahan air menjadi anggur.  Inilah juga  yang  diharapkan.  Dalam  pesta orang Yahudi,  anggur menjadi  tanda sukacita.  Kehadiran  kita  dalam  se-buah komunitas juga perlu membawah sebuah perubahan, memberi suka cita bagi sesama. Perubahan itu ada bukan karena  ide  kita  yang  selalu  brilliant yang kita utarakan tetapi lewat solusi praktis  yang  kita  kerjakan.      Seperti sebuah  mutiara  yang  terbentuk  dari endapan  pasir-pasir  kasar,  inisiatif kita akan selalu memberikan peruba-han. Sekecil apapun perubahan yang anda  berikan  akan  menjadi  mutiara indah yang mahal harganya.

Berbagi…: Aku berbagi, maka aku ada,  itulah  sharing.  Perubahan  air 

menjadi anggur dalam pesta di Kana  tidaklah  untuk  dinikmati  oleh  panitia pesta  sendiri.  Panitia  berusaha mem-beri  yang  terbaik demi  kegembiraan para  tamu.  Berbagi  adalah  wujud nyata  dari  kebersamaan  yang  kita semboyankan  dengan  “sejati  sejiwa”. Ibarat  cermin,  tugas  kita  memantul-kan cahaya  ilahi yang kita  terima ke sudut-sudut  hati  yang  paling  gelap sekalipun. 

Melayani…:    Kita  seperti  para pelayan  yang  dimintai  Yesus  untuk  menuangkan  air  ke  dalam  tempayan untuk  diubah  menjadi  anggur  yang lezat.  Tuhan  membutuhkan  kita  untuk mengubah wajah dunia menjadi  lebih baik (wajah kristus).  Rahmat Tuhan se-lalu ada bagi semua orang hanya saja Tuhan  ingin agar rahmatnya  itu      ter-salurkan  lewat  pelayanan  terhadap sesama. Heal the world, to make a bet-ter place, for you and for me and the entire human race.  Itulah  tujuan  akhir dari  pelayanan:  To make the better world.

Akhirnya semuanya  ini dapat  lebih mudah  dicapai  dengan  prinsip  3M: Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal-hal  kecil,  dan  Mulai  dari  sekarang”  Selamat memulai!!!  

Your brother

Joe Leribun

To: [email protected]

Refleksi

Page 24: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

Who Are You ?

Profil Tingkat satu

Profil

Page 25: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

Who Are You ? Anak bungsu yang berasal dari keluarga campuran, Ia tidak mau disebut seorang yang berasal dari satu suku, maka jika hendak diidentifikasi ia adalah orang Indonesia.

Papa seorang keturunan Belanda, Portugis, Jawa, Ambon bernama Gerardus Felix Mok yang telah meninggal tujuh tahun yang lalu menikahi Mama seorang Batak bernama Agnes  Mutiara  Florida  dikaruniai  anak  pertama  Cakra Antonius Mok dan si bungsu ini.Anak yang lahir 26 Oktober 1990 ini memiliki hobi terha-dap tulisan-tulisan dan bahasa, mulai dari yang sederha-na yaitu puisi sampai novel-terutama pula komik-terkhusus yang berbahasa asing.Ia yang mulai tertarik dengan filsafat beberapa tahun ini  mengambil  prinsip  yang  pernah  diungkapkan  oleh Socrates  bahwa  orang  yang  paling  bijaksana  adalah orang yang mengetahui bahwa ia tidak tahu. Kesibukan-nya sekarang ini hanya berkisar antara gereja, kampus, 

Gramedia, meja belajar, ruang fitness, taman hijau, kamar mandi, dan tempat tidur yang ia selalu rindukan.Ia bersama kesebelas saudara lain baru berjuang memulai kehidupan biara di Skolas-tikat Sang Tunas sebagai awal dalam menempuh jalan panggilan ini.Tidak banyak yang dapat dikatakan lagi, hanya suatu permohonan doa dan semangat dalam panggilan ini, semoga Tuhan membimbing kita semuanya seperti mottonya yaitu nor My ways your ways.

Stevanus Pardamean

Hy……My name is Andy. Twenty one years ago, I was born in the village. My village is Samosir. I was the first child of five siblings. My family now, live in Serang. My hobbies are playing basketball, skateboard, adventure, listening music. By the way, before I joined CICM, I have studied in the Semi-nary Stella Maris Bogor (KPA) but that’s only the past, now I have been part of CICM since 2010. If you want to know more about me, come to the CICM monastery.

Andi Situmorang...

Profil

Page 26: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

Ketika  hari jatuh pada tanggal tujuh bulan De-sember  tahun 1990, untuk pertama kalinya aku merasakan  betapa  indahnya  dunia  ini.  Tepat-nya  di  sebuah  desa  yaitu  Sepang  di  Sulawesi Barat,  aku  terlahir  sebagai  anak  bungsu  dari lima bersaudara. Dari orang  tua aku diberinya nama Angelinus Fianto Randatiku. Sebuah nama yang cukup indah bagiku. Pendidikan aku jalani di SD 007 Sepang, kemudian SMP Katolik Mes-sawa, dan melanjutkan ke Seminari Petrus Claver Makassar. Di tempat itulah benih panggilan mu-lai muncul dalam diriku, sehingga pada akhirnya memutuskan  untuk  bergabung  bersama  tarekat CICM. Bersama rekan-rekan untuk mencoba ber-

mimpi bersama mewujudkan impian sebagai penerus Theophile Verbist. Kini aku pun menjadi penghuni SST Pondok Bambu dan sedang menjalani kuliah di STF Driyarkara semester I. Oh yah, olahraga adalah hobiku khususnya voli, sepak bola, juga basket. Hidup harus terus diperjuangkan. Akhir kata dukungan dari anda sekalian sangat aku butuhkan.

Salam sehati-sejiwa.

Tepatnya  24  Septem-ber  milik  1991,  sepas-ang  suami  istri  berhasil mengusir  keheningan pagi  dengan  isak  tan-gis seorang bayi mungil tanpa  cacat  yang  di-beri  nama  Deki.  Nama ini  dilekatkan  padanya berdasarkan  gabun-gan nama kedua orang   tua-nya.Dengan  motto,  “nikmati hidup apa adanya, dan berjuang  untuk  menjadi 

lebih  baik,”  ia  membera-

nikan  diri  untuk  ber-gabung  bersama  CICM di  Makassar.  Misionaris dan juga kekhasan yang dimiliki  CICM  membuat ia jatuh cinta pada kon-gregasi ini.Pemilik  nama  lengkap Petrus  Vergilius  Deki Mau  ini merupakan pu-tra  asal  Timor,  tamatan Seminari  Santa  Ma-ria  Immaculata,  Lalian. Sepak bola memiliki  ni-lai lebih baginya. Terima kasih.

Angelinus Fianto Randatiku

Petrus Virgilius Deki Mau

Profil

Page 27: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

Halo pembaca yang bijaksini, eh,  sorry, yang bijaksana maksudku. Sorry kalau kamu tersing-gung,  tapi  itu hanya sekadar permainan kata agar kamu bisa lebih konsen membaca profil saya.  Inilah  ceritanya,  saya  dilahirkan  pada tanggal 20 Oktober 1991, di kota Lewoleba. Dimanakah  itu?  Lewoleba  adalah  ibu  kota kabupaten  Lembata  yang berada di  provinsi NTT. Walaupun itu tempat kelahiran saya, na-mun  saya sebenarnya berasal dari  Lamalera. Itu loh, tempat penangkapan ikan paus dengan alat tradisional. Saya biasa dipanggil dengan sapaan Kenjo, nama lengkap Yohanes Onekha-la Hariona. Bingungkah? Itulah keunikan nama saya.  Tidak  hanya  nama yang  unik  tapi  juga orangnya.  Kalau  kamu  tidak  tahu  siapa  saya,  rugi  kamu  karena  saya  selalu membuat orang  tertawa. Hobi  saya adalah olahraga, melukis, menyanyi,  tapi bukan lagu-lagu gereja (sapa yang nanya?). Saya lebih menyukai rock and roll walaupun, saya termasuk “subur” alias suara buruk. Saya juga adalah pendu-kung Barca, walaupun tidak terlalu fanatic. Oh,iya saya lupa nih. Saya lulusan dari Seminari Hokeng dan sekarang saya kuliah di STF Driyarkara Jakarta, se-mester I. Sekian dulu perkenalan dari saya, kalau ingin lebih tahu tentang saya, nyari aja di SST Pondok Bambu. Bye-bye!

Yohanes Onekhala Hariona

Profil

Page 28: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

Suasana  sepi  menyelimuti  sunyinya  malam.  Bintang  malam  sedang  duduk  di peraduannya seakan menunggu sesosok  insan yang akan datang. Sang dewi malam duduk pula sembari menatap dengan sinarnya yang menerangi bumi. Dari sebuah pondok  kumuh,  terdengar  suara  tangisan seorang bayi lelaki yang mampu memecah-kan sunyinya malam. Pondok yang beralas-kan tanah beratapkan alang-alang menjadi saksi bisu kelahiran bayi mungil itu. Bayi itu kemudian diberi nama Carolus Darius Suban Koten. Nama Darius diberikan karena pada saat kelahiran pria  ini, bertepatan dengan tanggal  lahir  Almarhum  Uskup  Larantuka-Darius Nggawa, SVD. Pria kelahiran 1 Mei 1991 ini biasa disapa Darius. Ia paling ge-mar bermain bola, kendati pun dilihat dari postur tubuh, ia tidak layak disebut pemain bola.Selain pandai menggulingkan  si  kulit bundar di  lapangan hijau, pria dengan ini  juga pandai bermain musik dan melukis. Melukis adalah bagian  seni dari hidupnya, walaupun alat yang digunakan hanya pensil dan karet penghapus.Pria yang pernah menamatkan pendidikannya di tempat ‘nene Domi’ (sapaan untuk seminari San Dominggo Hokeng) ini bergabung dengan CICM 1 Septem-ber 2010. Ia masuk biara ini karena ia melihat biara ini mampu mengabulkan impian yang diimpikannya.

Carolus Darius Suban Koten

Profil

Page 29: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

Tanggal  5  Desember  adalah  hari terindah  dalam hidupku.  Karena pada  tanggal  itulah pertama  kali  aku melihat dunia ini. Du-nia yang indah yang kutemukan di tempat kelahiranku  desa Suka Maju Sumatera Utara.  Romadu  Ma-lau adalah nama ter-baik yang diberikan kepadaku. Nama ini begitu  manis-madu honey-sweet  dan bukanlah  kebetulan karena  orangnya  juga  manis  dan ganteng  abis. ”Kalau  mau  berke-nalan  dengannya  datanglah  ke CICM,  hehe”  teman-teman  juga memanggilku Chamakh karena aku cukup piawai dalam memainkan si kulit bundar, baik di  lapangan hi-jau maupun lapangan futsal. Kalau mau melihat teknik-teknik dan skill-ku dalam bermain bola datanglah ke  CICM.  Menyanyi  dan  bermain musik adalah bagian dari hidupku, tanpa musik hidupku terasa kering dan  layu.  Kalau  ingin  mendengar suara merduku ala “Leyla” datan-glah  ke  CICM  maka  anda  akan kaget dan termangu, hehe. 

Bunda  Maria  adalah  ibuku.  Bunda yang  menganugera-hiku bakat-bakat yang unik  dan  menyenang-kan. Bunda yang selalu mengerti  dan  mema-hamiku.  Bunda  yang selalu ada di saat aku ditengah  ketiadaan. Bila  ingin melihat Bun-daku  datanglah  ke CICM. Yesus  adalah  peno-pang  hidupku.  Tanpa Dia  aku  tidak  ada, tanpa Dia aku  remuk-redam, dan tanpa Dia, 

aku bukanlah aku yang  sekarang  ini. Bila ingin bertemu dengan Dia datan-glah  ke  CICM  maka  engkau  akan merasakan  apa  yang  aku  rasakan. Dan  yang  terakhir,  CICM  adalah rumah  terindahku.  Tempat  di  mana aku bernaung dari  teriknya matahari dan  dinginnya  hujan.  Tempat  dimana aku  bercerita  dan  bercanda  dengan saudara-saudaraku  dan  tempat  di-mana aku dikembangkan menjadi Ro-madu yang manis dan baik hati. Jadi kalau ingin melihat aku lebih jelas dan nyata, sekali lagi, datanglah ke CICM. Dia ada dimana-mana, tetapi, supaya lebih  nyata  ia  ada  di  Jalan  Gotong Royong  nomor  71.  Datanglah!  Aku, saudaraku,  ibuku,  Tuhanku  akan  me-nyambutmu dengan gembira hati.

Romadu Malau

Profil

Page 30: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una�0

Hello  boys  and  girls,  perkenalkan seseorang  yang  sudah  tidak  asing lagi,  bernama  lengkap  Christian Budi  Setiawan  dan  den-gan  nama  beken  X-Tian Boedy’s  ini  dilahirkan  di Jakarta pada  tanggal  1 September 1989. Anak ke tiga dari  tiga bersaudara ini  dulu  memiliki  cita-cita menjadi anak band dan en-tah tahu mengapa-berubah pikiran  100%  ingin  men-jadi  pengikut  Tuhan  yang setia,  hehehe…Dia  tumbuh dan  berkembang  di  dalam keluarganya  yang  sangat sederhana.  Dia  memiliki  hobi  ber-main gitar, dengerin lagu-lagu yang beraliran  chada  2(emo-metal), 

“Carilah  maka  kamu  akan  mendapat, mintalah  maka  kamu  akan  diberi, ketoklah  maka  pintu  akan dibukakan  bagimu.” Ajaran  Yesus  ini terus  menginspirasi seorang  frater  muda yang  lahir  di  sebuah pulau  kecil  di  Sulawesi Tenggara  yang  bernama Pulau Muna pada tanggal 13  Juli  1990.  Kalau dilihat dari background-nya sebagai anak  bungsu  dari  Bapak  An-ton  Dewo  dan  Ibu  Susana  Wa Tanda,  orang  akan  memandan-gnya  sebagai  anak  manja.  Namun,  jan-gan  salah,  dia  anak  yang  mandiri  dan rajin  choy, hehe.  Dikenal  dengan  nama 

lengkap Beny Fransiskus, alumnus Semi-nari Menengah Santo Petrus Claver ini akrab  dipanggil  Beny.  Berlatar  be-lakang sebagai keluarga petani, ia sangat hobi bercocok tanam, maka jangan  heran  jika  ia  berencana membuka  perkebunan  pepaya di  SST.  “Bekerja  keras  dan berusaha  melakukan  yang terbaik”  merupakan  prinsip menjiwai  keseharian  frater yang  bermimpi  bermisi  di negeri  sakura  kelak.  Wah, 

udah kebanyakan obrol nih, hehe, tetapi  kalau  masih  ingin  mengenalnya 

lebih lanjut, jangan sungkan untuk mampir dan menemuinya di Biara Skolastikat Sang Tunas  CICM, see you, keep smile, pesan frater yang selalu tersenyum ini.

dan  menggambar.  Dia  sangat  menyukai  emo style untuk setiap penampilannya yang semau-n y a  saja.  Dia  pernah  bergabung 

ke  dalam  grup  music  tetapi setelah  enam  bulan  dijalani dengan pengalaman tampil di beberapa  festival  music  baik pelajar  maupun  umum  akh-irnya  dia  mengeluarkan  diri dan memersiapkan diri untuk masuk seminari. Setelah lulus dari  SMA  Santo  Antonius Jakarta  dia  mendaftarkan diri di  Tarekat CICM guna untuk menjadi orang yang disiplin dan taat pada per-

aturan  yang  ada.  Akhirnya,  dia keluar  dan  bergabung  dengan  tarekat  CICM saat ini. Sekarang dia sedang menjalani tingkat pertama di SST Jakarta.Salam Sehati sejiwa…

Christian Budi Setiawan

Benny Fransiskus

Profil

Page 31: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

Katanya sih, nenek moyangnya berasal dari pulau Jawa. Eh, “si nyong” (cowok) ini malah nyasar di pinggir pulau Flores. Ya, begitulah cerita dari negeri para pendahulunya (nenek moyangnya). Namun, sesungguhnya bahwa cowok yang satu ini  berasal  dari  pulau  Lembata,  loh.    Perangainya  lemah lembut, tetapi tetap asyik, sstt, no comment. Cowok dengan nama lengkap Rofinus Kia Lein, dengan sapaan manjanya “No” Gomes ini lahir di Loang (Lembata sana), 14 Juni 1991. Cowok ini adalah anak ke dua dari perkawinan papa dan mamanya. Saya memiliki seorang saudara dan saudari yang cantik,  ehem-ehem...Cowok  ini  hobinya  berolahraga,  den-gar musik ala reggae dan dangdut, dan juga dancing gitu loh, o iya saya lupa, membaca juga, loh. Cowok lulusan Seminari Hokeng ini ingin sekali bermisi di Spanyol. Ya, tapi gak ada tuh.. jadinya ke Brazil nih... ccuuhuuuyy…(sekalian mau belajar tarian Samba-nya)..hahaha.. Mottonya: “Perubahan itu perlu”, karena dia ingin sekali mengubah wajah dunia ini menjadi wajah Kristus. CICM adalah pilihannya dan tetap hingga akhir hayatnya.. sekarang ini sedang menjalani tingkat pertamanya di SST Jakarta. Apalagi e..ai..sudah dulu e para pembaca sa so lupa mau tulis apalagi ni ka...e..”Go salam ro”-dengan salamku…(aduh..kok malah logatnya).

Nama saya Regilius Luan, biasa dipanggil Aldo. Saya lahir pada tanggal 7 Desem-ber 1991 di suatu daerah terpencil yang dikenal  dengan  nama  Boentuna.  Saya merupakan buah cinta yang kedua dari  pasangan  Edmundus  Luan dan Martha Taek. Sejak kecil saya  sangat  menggemari olahraga.  Hingga  saat  ini pula, saya masih mengge-mari beberapa jenis olah-raga seperti sepak bola, bola  volley,  dan  futsal yang saya anggap bahwa itu  merupakan  bakat  yang dianugerahkan  oleh  Tuhan. Sejak saya SMP, saya mem-punyai cita-cita menjadi imam. Oleh sebab itu, saya berniat untuk memulai pen-didikan imamat saya di Seminari  ST Maria Immaculata Lalian selama 4 tahun. Setelah 

lulus 2010, saya segera mendaftarkan diri di  CICM  guna  melanjutkan  jenjang  untuk mencapai  cita-cita  saya.  Akhirnya  saya diterima dan saya berangkat ke Makasar 

untuk bergabung dalam TOR CICM. Untuk  mengetahui  lebih  dalam, 

silahkan  datang  aja  ke  SST Pondok  Bambu.  Hehe-he……!!!

Rofinus Kia Lein

Regilius Luan

Profil

Page 32: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

Rambut keriting gondrong, stylist gak sesuai  zaman,  tinggi  170,  body  ku-rus  namun  ideal,  dan    selalu  terse-nyum kepada semua orang ini siapa yaaahhh?  Ciri-ciri  ini  cocok  dengan sosok pria yang mempun-yai nama yang cukup  pendek namun  mempu-nyai  arti  yang tersirat.  Itulah “DIA”,  Dia  yang bernama Yohanes Ridwanto  Nadap-dap  dan  akrab disapa Ridwan atau Iwan.  Pria ini lahir di Tanjung Priuk, Jakarta pada  tanggal  7  Mei 1990.  Pria  ini  meru-pakan  anak  keenam dari  enam  bersaudara alias anak bungsu. Sejak kecil, pria ini mempunyai cita-cita menjadi seorang arsitektur, namun berawal dari tugas saat  di  SMP  yaitu,  menulis  kotbah pastor disertai dengan paraf pastor yang  berkotbah,  ketertarikan  untuk menjadi  imam  mulai  muncul  dalam dirinya.  Akhirnya  setelah  lulus  SMP, pria ini mendaftarkan diri di Seminari Stella Maris, Bogor. Ketertarikannya ini  tidak mengurungkan  cita-citanya, 

namun dia malah menggabungkannya karena  dia  mempunyai  sosok  yang menjadi idolanya yaitu Romo Mangun-wijaya SJ sehingga menguatkan dirin-

ya untuk menyelesaikan pen-didikan di  Seminari  selama 4 tahun. Ketika di Seminari, pria  ini  mulai  mengenal hobi dari teman-temannya di  Seminari  dan  ia  se-dikit  mulai  menggemari beberapa  diantaranya yaitu  dunia  musik  dan olahraga.  Setelah  ta-mat  di  seminari,  pria yang mempunyai cita-cita menjadi seorang arsitektur  sekaligus imam  ini  dengan segera  melanjutkan 

pendidikan  imamatnya. Pria  ini  mulai  mendaftarkan  diri  di CICM  dan  setelah  diterima,  pria  ha-rus  segera  berangkat  ke  TOR  CICM, Makassar selama 10 bulan dan seka-rang pria  ini melanjutkannya kembali di  SST,  Jakarta. Carilah,  Temukanlah, dan  tumbuhkanlah adalah motto pria ini yang masih bersemangat meniti ja-lan hidupnya saat ini. 

Yohanes Ridwanto Nadapdap

Profil

Page 33: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

Page 34: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

Minggu 24 Juli 2011, komu-nitas Skolas-

tikat Pondok Bambu, Jakarta menyambut gembira  kedatangan para  frater yang baru saja menyelesaikan Tahun Orientasi  Rohani (TOR) di Makasar.  Setelah menikmati   perjalanan yang menyenangkan di udara, terbang bersama Lyon Air dari  Hasa-nudin Makasar, akhirnya mereka tiba di  Rumah  

kehangatan, Skolastikat Sang Tunas CICM, Pondok Bambu, Jakarta Timur. “Wow, frater-nya imut-imut” begitu kata seorang frater tingkat empat tatkala menyambut mereka untuk pertama kalinya. Para frater ini telah melewati satu tahap formatio-nya dan kini akan berjuang ditahap yang baru yakni mengikuti  kuliah  di STF Driyakara dengan segala tantangannya. Me-mang itulah sebuah perjalanan melewati tahap demi tahap dengan dunia yang unik, tapi 

jika dinikmati bersama dalam komunitas maka akan terasa jauh lebih in-dah, bahkan  akan  terasa terlalu singkat. “Ini baru permulaan cuy”, begitu kata Frater Kenjo sembari tak malu-malu menunjukan senyuman manieztnya yang terselimut di balik giginya yang putih. Semangat Bro! you will never walk alone.

Mulai tanggal 1 Agustus- 31 Agustus 2011, 

para frater tingkat  tiga menjalankan  Work Experience. Work experi-ence adalah sebuah progam yang dibuat tarekat untuk melatih dan mengasah  Daya Cinta dan Perhatian para frater  terhadap orang-orang kecil, ter-masuk para buruh. Oleh karena itu,  para frater  dikirim ke beberapa tempat kerja yang seba-gian besar adalah lahan pekerjaan 

buruh-buruh kecil atau yang biasa disebut sebagai buruh “kasar”.  Mereka berbaur bersama para pekeja tersebut,  turut merasakan   beratnya pekerjaan mereka di bawah sengatan dan  terik matahari.   Progam ini dijalankan para frater  selama dua minggu penuh. Selama masa tersebut ada beberapa frater  yang ha-rus  “tinggal di luar semen-tara” alias ngekos  karena jarak  antara tempat WE dengan Rumah cukup

jauh.. “berat cuy.. tapi sung-guh menyenangkan” begitu kata Frater Didin dengan dialeg jowo-nya yang masih cukup kental. Frater yang  agak mirip Peter Crouch ini kebetulan  pada tahun ini mendapat kesempatan berbaur dengan  para buruh bangunan di Serpong, Tanggerang.   Selamat ya buat brothers  tingkat tiga. Semangat!

Welcome to the brothers of the First Year

Inilah “ Kami” yang Berbaur Bersama “Mereka”

Page 35: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

halaman setelah menjalani liburan yang cukup panjang. Hari Sabtu tepat pada 13 agustus 2011 mereka semua back home. Tentu saja ada pucuk pucuk ke-nangan indah yang masih membekas di ingatan mereka setelah menikmati masa-masa indah bersama keluarga, sahabat dan kenalan selama liburan. Weitz, bukan berarti kami  sedih lho, hehe...” guman Frater Steven, 

kenangan indah itu juga  ternyata Frater Rufinus Lelang  yang juga sangat senang setelah sebulan penuh berpisah, ia kini dapat menyaksikan lagi cakap-cakap Ikan lele kesayangannya di bak be-lakang rumah. 

Hari ini, Rabu  17 agustus 2011, seluruh bangsa Indonesia 

larut dalam kegembiraan se-raya tak lupa merefleksikan sejenak lika-liku perjalanan bangsa Indonesia  selama kurun waktu 66 tahun berlalu. Tak ketinggalan  seluruh anggota komunitas Skolas-tikat Pondok Bambu. Seb-agai generasi peduli Tanah air dan Bangsa, komunitas para   frater ini juga turut merayakan HUT RI yang 

ke-66. Namun,  ada  nu-ansa  yang khas   hari   ini.  Tidak   seperti  biasanya para Frater melakukan Apel  bersama  di hala-man depan rumah, kali ini  komunitas justru   men-gadakan Agape bersama alias makan sambil  ber-cerita dan bertukar pikiran tentang quo vadis negara republik kita ini? Nah, di sinilah tempatnya, para frater yang larut dalam kegembiraan dan keber-samaan  juga tak lupa  

menyampaikan refleksi singkat tentang hara-pan dan  tekad dalam membangun Bangsa dan tanah Air dimasa-masa yang akan datang. Pater Rob, seorang pastor Bule kelahiran Belgia yang sudah lama menjadi WNI, dalam refleksinya mengatakan demikian. ”Kalau aku saja  dapat mencintai  Indonesia, anda pasti lebih.” Yuk, teman-teman mari kita bangun tanah air kita ini  mulai dari melakukan hal-hal kecil dan seder-hana. Hidup Indonesia, sekali merdeka tetap merdeka!

Welcome Home bagi frater tingkat dua

Hut RI ke-66. Sekali merdeka Tetap Merdeka!!!

“Aku kembali..setelah sekian lama ... mencari arti.. dari semua yang berikan.. disini kutemu-kan damai di hati.” Be-gitulah kira-kira  bunyi sebuah lirik lagu yang dinyanyikan dengan nuansa khas reggae oleh Steven ‘n The Coconout Trees. Ya, lirik ini seakan menggambarkan suasana hati para frater tingkat dua yang baru saja kembali dari kampung

Page 36: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

Jika separuh orang-orang di du-nia, khusunya di Amerika Serikat  hari ini larut dalam kesedihan 

karena memperingati ribuan korban meninggal akibat serangan brutal “bom bunuh diri” 11 september 2000 silam terhadap  gedung WTC, umat paroki Bojong justru larut dalam keg-embiraan.

Minggu  11 september 2011, umat paroki Bojong  bergem-bira bersama dua orang 

konfrater senior CICM, Pastor Gilbert  dan Pastor van Rooij.  Kedua  imam yang telah bersahabat sejak  remaja ini merayakan  50 tahun hidup mem-biara, dan  45 tahun hidup imamat mereka. Mereka berdua juga sudah lama berkarya di Indonesia dan telah menjadi bagian dari bangsa Indone-sia. Pastor Gilbert yang juga adalah mantan Provincial CICM Indonesia, kini mengemban tugas sebagi pas-tor  Paroki  gereja St. Thomas Rasul Bojong, keuskupan Agung Jakarta sedangkan Pastor van Rooij berkarya di keuskupan  Makasar.  Kegem-biraan  itu disempurnakan dalam perayaan  ekaristi bersama dengan  

nuansa “Inkulturatif”, dimana liturgi diwarnai oleh musik-musik keroncong dan gamelan khas tradisional  Jawa.  Perayaan  ekaristi juga terasa sangat istimewa karena dipimpin langsung oleh Yang Mulia, Bapa Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignasius  Suharyo, Pr. Yang  Mulia juga didampingi oleh beberapa orang imam dari Tarekat CICM, imam praja dan para Jesuit.Setelah perayaan ekaristi, acara dilanjutkan dengan pemberkatan dan pembukaan secara resmi fungsi gedung pelayanan Pastoral  Gereja St. Thomas Rasul Bojong. Mulai difung-sikannya gedung tersebut diharapkan dapat memperlancar segala urusan pelayanan terhadap seluruh umat di paroki Bojong. Begitulah harapan  Pastor Gilbert sebagai pastor paroki  yang tidak lagi muda. Selamat buat  Pastor Gilbert dan Pastor van Rooij. Semoga di usia yang tidak lagi muda tetap bersemangat dalam pelayanan. We pray for you, always.

PAROKI ST.THOMAS RASUL BOJONG, BERGEMBIRA

Page 37: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

Ayo.. Rame-rame kita jalan kaki. Ambil sepatumu. 

Ambil tasmu. Jangan lupa bawa air. Kita berjalan tak jemu-jemu. Hem..teman-te-man hari ini seluruh para frater  akan jalan-jalan tepatnya ke Monas, tapi bukan untuk berdemo  lho...lalu ada apa?  Hari minggu pagi, tanggal 25 September 2011 mereka bergabung dalam acara jalan santai dengan rute  start dari Monas—Bunda-ran HI, and back to Monas again. Para frater turut mengambil bagian dalam acara yang diselenggara-kan oleh sebuah organisasi kemanusiaan lho, namanya Angkat Citra Orang Papa (ANCOP).  

Organisasi ini  bertujuan untuk membantu  mem-biayai pendidikan anak-anak Indonesia yang kurang mampu, siapa pun dia tanpa ada diskriminasi. Nah, sebagaisolidaritas terhadap mer-eka itu maka diadakanlah jalan santai bersama. Dan ternyata  memang ada banyak orang yang terlibat,muda-mudahan mereka itu tidak hanya sekadar terlibat,tetapi sungguh-sungguh menga-malkan cita-cita yang ditu-angkan Oleh Ancop, salah satunya  mungkin yang dilakukan beberapa frater 

seperti  Fr. kenjo, Gomez, Anto,  dan beberapa yang lainnya. Mereka  ini tergabung dalam rom-bongan peduli lingkungan, dimana ada sampah  di sepanjang ada jalan pasti ada Gomez,hehe, maksudnya Fr. Gomez,  Fr. Anto, dan Fr. Kenjo. Tin-dakan ini  memang patut diteladani sebagai sosok pecinta lingkungan..Acara ini memang sangat menguras tenaga para frater, bahkan salah seorang frater yang tidak mau disebutkan namanya hampir pingsan. Katanya: “Wah  capek  banget ya, lebih    ca-pek        dibanding ber-main futsal”. Ya, begitulah mas, kalau tidak biasa berjalan kaki..

Global Walk dalam Rangka Angkat Citra Orang Papa - ANCOP

Page 38: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

(Mata)Mencuri wajahmu dengan lirikannya Menatap duniamu yang kian indah

Mnjadikan wajahmu diam dalam benak Begitu dekat, melekat tak bergerak

Dapatkan wajahmu dan bola matamu Tak bergerak

hanya nafasmu dan bibirmu yang tersenyum mengajaku masuki duniamu

Menjadikan kita kekasih(Air)

Basuhi wajah hingga tersadarkan dari tidur Segarkan dada hingga bernafas legah

Pisahkan kita hingga aku tak melihatmu kala itu

Menjadi Mata air pada pertemuan kita

(Mata)Berhulu dua dari duka perpisahan

Membuatnya merah merona Menyibak bening pada langit-langitnya

Bening yang terbendung pada sudut mata Jatuh dari kepasrahan

Tetesannya penuh sesalMenyesakan dada hingga terdiam

Membasahi wajah yang masih berharap Menjadi Air Mata dalam tangisan

Tak terbendung dan terus mengalir

(Air)Air mata itu mengalir mengisahkan duka Tak jauh alirannya hanya sampai ke hati

Sepanjang alirannya menghidupkan suka Sesal tiada bagi mata yang pernah menjatuhkannya

Wajah pasrah kini penuh harap Mata air ini akan selamanya ada

Menjadi Mata Air abadi di lubuk hati Memberi kekuatan bagi yang datang padanya“Bayangan tentang cinta untuk

Dia dan dalam Dia”Kamis,13 Januari 2011

“Metamorfosis” (mata-air-mata-air)

g

Page 39: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

g“Pasrah”

Malam dalam pelukan bintang, dingin kian menyatu dalam tubuhku.Kuikuti lagu jiwa yang mengalun tanpa syair.Sebenarnya ada kata yang ingin kuselipkan pada salah satu nada.Aku takut kata-kataku merusak semua alunan nada yang masih belum berhenti.Tak rela berlalu.Lagu ini akan jadi milikku,nadanya menenangkan.Lagu jiwa hadirkan kisah setiap iramanya adalah cerita.Hidupkan kenangan sebelum kupasrahkan mata terpejam.Tuhan relakan aku!

“Berhenti”

Aku pernah menyerah dengan memalukan.Di tengah jalan yang awalnya baru kemarin dan akhirnya aku

belum tahu.Aku berhenti di tempat yang tak semestinya.

Debu dan kerikil yang tajam kian terasa.Mata memerah.

Panas! Saat kepalaku menjunjung langitBeratnya tak sebanding mimpiku

Semangatku luluh di bawah panas mentari yang menyengatku.Langkah terhenti bersama tubuh yang letih.

Lalu mereka bartanya. “mengapa”?Kau tanyakan Kapan aku lanjutkan langkah itu?

Ada di sebuah saat:Nanti jawabku….

Page 40: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una�0

Baru-baru  ini,  saya dan  teman-teman   angkatan   menjalani   pro-gram  live-in  di  keluarga  Muslim.  Alhamdulillah,  program  ini  bisa berjalan dengan baik dan menjadi pengalaman yang indah bagi 

kami  semua.  Saya yakin,  pengalaman  itu  adalah anugerah bagi  kami semua. Dengan itu, refleksi (yang mendalam) atas pengalaman itu ten-tunya  akan  sangat  berguna  bagi  perkembangan  kepribadiaan  saya, tak  terkecuali  teman-teman  yang  lain.  Terdorong  oleh  keyakinan  itu, saya ingin membagikan buah-buah refleksi saya, dengan harapan bah-wa refleksi ini bisa memberikan manfaat yang nyata bagi kita semua.

“The vagabond

that always feels at Home”

(Suatu refleksi atas Semangat Hidup Lepas Bebas)

Sekilas Tentang Tempat Live-In

Saya dan Frater Robert menjalani program live-in di Kabupaten Ma-ros,  tepatnya di  keluarga Bapak Sudirman yang menetap di  Jln.  Poros Maros No. 100. Pada awalnya kami berdua direncanakan untuk menem-pati keluarga yang berbeda. Namun hari berganti hari, salah satu dari kami tak kunjung diantarkan ke keluarga lain yang direncanakan. Dengan demikian, sampai program  live-in   berakhir, kami berdua tetap menem-pati keluarga yang sama.

Keluarga Bapak Sudirman adalah keluarga yang cukup besar. Ber-sama dengan ibu, mereka tinggal dengan keenam anak mereka (Ilham, Amelia, Irham, Imran, Fatmah, dan Firah). Dapat saya katakan bahwa ke-luarga mereka adalah keluarga yang berkecukupan. Mereka mengelola beberapa usaha yang kiranya mendukung perekonomian keluarga.

Berdasarkan  informasi yang saya dapatkan, keluarga Bapak Sudir-man sebelumnya sudah pernah menerima Frater (sekarang sudah menjadi 

Refleksi

Page 41: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

romo, yakni  Pater  Jeremias  Lakonawa)  untuk menjalani program  live-in di keluarga mereka. Dengan begitu, kedatangan kami sebenarnya tidak begitu asing bagi mereka. Selain itu, kesan baik yang ditinggalkan oleh Pater “Mias” (demikian ia akrab di sapa di sana) cukup membantu kami untuk bisa membina komunikasi yang baik, dan akhirnya diterima dengan baik pula di dalam keluarga mereka.

Selama berada di  tengah  keluarga bapak Sudirman,  saya  hampir tidak pernah mengalami  kesulitan  yang berarti.  Dalam berkomunikasi, mereka sungguh terbuka dan ramah. Mereka memperlakukan kami bu-kan sebagai tamu, tetapi lebih sebagai anggota keluarga mereka. Mala-han, kami diajak untuk terlibat penuh dalam kegiatan harian mereka. 

Dapat saya katakan bahwa secara keseluruhan, saya sangat menik-mati  live-in  ini. Dari pihak keluarga Bapak Sudirman,  saya mendapat-kan penerimaan yang sangat baik. Saya sungguh terkesan dengan kera-matamahan dan penerimaan mereka  itu. Hal  inilah yang menimbulkan perasaan tidak enak dalam diri saya ketika menyadari bahwa program live-in ini akan segera berakhir dengan sejumlah pekerjaan mereka yang belum rampung. 

Selama  tiga  minggu,  saya  sungguh  menjadi  bagian  dari  mereka. Saya dapat merasakan kebahagian, harapan dan kecemasan mereka. Rasanya begitu sulit untuk meninggalkan kebersamaan itu, apalagi den-gan  sejumlah pekerjaan mereka yang belum  selesai. Dalam hati  yang terdalam, ada kerinduan untuk bisa terlibat lebih jauh. Namun, akhirnya perasaan itu seakan sirna ketika saya menyadari kembali bahwa setiap kebersamaan pasti  selalu ada akhirnya. Di  samping  itu,  sebagai  calon misionaris religius, saya harus belajar untuk hidup lepas bebas dan be-rani meninggalkan kesenangan sendiri, termasuk rasa betah untuk tinggal di suatu tempat.

Adapun  tema  permenungan  saya  pada  live-in kali  ini  adalah bagaimana belajar menghayati semangat hidup lepas bebas. Saya me-nyadari bahwa semangat dan praktek hidup lepas bebas adalah salah satu prasyarat bagi kehidupan seorang misionaris religius. Seorang mis-ionaris  religius  harus  bisa  merasa  kerasan  dan  nyaman  berada  pada 

Refleksi

Page 42: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

setiap situasi dan kondisi yang ia temui (always at home), dan pada saat yang sama harus juga bersedia meninggalkan kenyamanan itu (ada ke-sadaran bahwa  ia adalah  seorang  “vagabond”). Menurut  saya, model kehidupan seperti ini hanya akan bertahan jika dilandasi oleh semangat dan praktek hidup lepas bebas.

Pergulatan sebelum Live-in

Meskipun sebenarnya sudah beberapa kali menjalani program live-in, saya masih saja harus bergulat dengan perasaan gundah dan was-was menjelang keberangkatan.  “Mengapa perasaan  seperti  ini muncul dan mendominasi  diri  saya?”  demikian  saya  mencoba  mengenali        aneka   perasaan yang muncul. Bukankah  saya  seharusnya bergembira karena saya akan segera mendapatkan pengalaman baru bersama dengan ke-luarga Muslim?

Kalau boleh  jujur, adanya optimisme untuk menemukan pengalaman baru sebenarnya tidak serta-merta melenyapkan perasaan gundah dan was-was dalam diri saya. Ada rasa cemas yakni apakah keluarga nanti-nya akan terbuka dan menerima saya apa adanya? Saya cukup sadar bahwa bila perasaan semacam ini tetap terpelihara, maka saya tentunya tidak akan menikmati live-in ini. 

Aneka perasaan  ini  kemudian  saya bawa dalam doa dan dalam kesempatan meditasi pribadi.  Dalam kesempatan-kesempatan itu, saya memasrakan diri kepada Tuhan. Saya memohon bimbingan Tuhan, juga keterbukaan hati dan pikiran pada gerakan roh. Di samping itu, dalam kesempatan meditasi dan renungan pribadi tersebut, saya mencoba un-tuk menghidupkan kembali pengalaman live-in yang sudah pernah saya jalani. 

Syukur kepada Tuhan, berapa hari sebelum berangkat saya sudah merasa  tenang dan  lega.  Saya yakin  bahwa  Tuhan  telah memegang andil dalam permenungan ini, bahkan telah menjawab segala kecema-sanku. Tuhan tidak membiarkan saya larut dalam perasaan gundah dan was-was,  melainkan telah memberi saya kekuatan untuk menikmati live-in yang sudah di depan mata. 

Refleksi

Page 43: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

Dapat saya katakan, kelegaan yang dapat saya rasakan  itu meru-pakan buah dari kepasrahan diri yang aktif kepada Tuhan. Kepasrahan diri semacam ini telah menumbuhkan kekuatan dan pikiran positif dalam diri saya. Kepasrahan diri yang aktif ini juga telah membantu saya untuk melihat bahwa kecemasan dan kegundahan saya sebenarnya tidak ter-lalu beralasan. Kecemasan dan kegundahan itu muncul karena saya takut dan tidak rela untuk meninggalkan perasaan aman tinggal di komunitas. Ternyata, perasaan aman dan kemudahan yang selama ini saya nikmati di komunitas sedikit banyak telah menimbulkan kelekatan pada rutinitas dan ritme hidup di komunitas. Hal-hal inilah yang membuat saya merasa berat untuk meninggalkan komunitas. 

Sampai pada titik ini, saya merasa bahwa poin penting kepasrahan yang aktif adalah pada kekuatan yang memungkinkan saya untuk bisa lepas bebas. Kekuatan ini membantu saya untuk melihat dan menelanjangi kecemasan dan ketakutan dalam mencoba hal-hal baru. Kekuatan ini juga membantu  saya  untuk  belajar  melepaskan  diri  dari  kelekatan-keleka-tan yang bisa yang menghalangi perkembangan diri  saya. Singkatnya, kepasrahan ini telah mengajarkan saya untuk belajar hidup lepas bebas, yakni suatu kehidupan yang menjadi ciri khas kehidupan religius misioner. Bersedia untuk berpindah-pindah  tempat,  tetapi  selalu merasa nyaman dan bahagia dengan situasi dan kondisi di tempat yang baru.

Hadir pada kenyaataan apa adanya

Syukur kepada Tuhan bahwa pada kesempatan  ini saya diberi ke-beranian untuk mengenali pergumulan perasaan yang saya alami, baik sebelum maupun setelah menjalani program  live-in. Saya yakin, proses-proses yang telah saya lalui ini tentunya akan bermanfaat bagi perkem-bangan kepribadianku. Rasa syukur dan keyakinan inilah yang mendo-rong saya untuk kemudian mensharingkan refleksi saya ini.

Pertama, cara pandang saya terhadap hal-hal baru cenderung di-pengaruhi oleh kelekatan-kelekatan saya pada sesuatu yang saya nik-mati. Kelekatan-kelekatan  ini  kerap membuat  saya begitu  nyaman  se-hingga  tidak  berani  meninggalkannya  untuk  mencoba  hal  baru  yang mungkin lebih bernilai. Karena kelekatan itu, saya terlebih dahulu harus 

Refleksi

Page 44: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

meyakinkan diri bahwa hal-hal baru akan seindah dengan apa yang telah aku rasakan saat ini. 

Saya  sadar  bahwa  kelekatan  ini  cukup  menyulitkan  dan  meng-halangi perkembangan saya. Permenungan ini telah membawa saya pada kesadaran itu, sekaligus memberi kekuatan untuk belajar hidup lepas bebas. Saya mengalami bahwa belajar menghayati semangat hidup lepas bebas telah cukup membantu saya untuk berpikir positif dan optimis terhadap pengalaman baru. Semangat hidup lepas bebas ini juga cukup membantu saya untuk menikmati setiap kenyataan yang saya alami selama program live-in. Singkatnya, pengalaman berhar-ga selama program live-in tentunya tidak akan pernah aku dapatkan seandainya aku tidak rela meninggalkan comfort zone-ku.   

Kedua, selain dipengaruhi oleh kelekatan-kelekatan tertentu, cara pandang saya terhadap sesuatu juga banyak dipengaruhi oleh per-sepsi dan antisipasi atas hal-hal baru yang mungkin saya temui. Per-sepsi  dan  antisipasi  ini  terbentuk  ketika  saya  mulai  merekah-rekah apa yang harus dan tidak harus saya lakukan selama program live-in. Dengan itu, sebelum berangkat ke tempat live-in saya sebenarnya su-dah terbebani oleh pikiran yang muluk-muluk. Permenungan ini telah membantu  saya  untuk menyadari  bahwa persepsi  dan antisipasi  itu dapat menjauhkan  saya dari  sikap yang realistis dan apa adanya. Setelah saya jalani sendiri, keadaan di lapangan justru berbeda jauh dengan persepsi yang saya bentuk. Dengan demikian, antisipasi yang saya pikirkan tidak banyak berguna. Dari pengalaman ini, saya mu-lai belajar untuk berpikir realistis dan meredam kecenderungan untuk hidup dan bekerja pada tataran persepsi. Saya harus berani hadir pada  kenyataan  apa  adanya  di  lapangan,  dan  bukan  pada  apa yang ada dalam persepsi dan konsep pikiranku.  

Hidup lepas bebas: berani melepaskan kenyamanan dan kemapanan

Dalam permenungan, saya perlahan-lahan menyadari kenyataan bahwa diri kita selalu dibelenggu oleh banyak hal. Belenggu itu bisa berupa kondisi tertentu di luar, maupun di dalam batin. Apakah kita bisa lepas dan bebas dari kondisi keterbelengguan itu? 

Dalam buku  yang berjudul Revolusi Batin Adalah Revolusi Sosial, Romo Sudri, SJ  menyatakan bahwa cara kita menghadapi kenyataan 

Refleksi

Page 45: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

senantiasa dikondisikan oleh pikiran, pengetahuan, konsep, ajaran, dan pengalaman kita. Diri kita juga dikondisikan  dan  dibentuk  oleh  ke-pentingan diri, kehendak diri, kesenangan, dan sikap cinta diri. Di samp-ing itu, batin kita juga bisa teperangkap dalam ketergantungan psikolo-gis, misalnya rasa senang, rasa aman, rasa nikmat, rasa terlindungi, rasa pasti, rasa berarti, dan seterusnya. 

Selanjutnya,  Romo  Sudri  meyakini  bahwa  fakta  keterbelengguan diri dapat dilampaui dengan pertama-tama mengenal diri kita sendiri. Menurut beliau, diri adalah akar dari segala permasalahan. Diri adalah  akumulasi dari   pengetahuan,   pengalaman,   pikiran,   perasaan,    ke-sadaran,  kenikmatan,  kesenangan,  kepahitan,  ketakutan,  kegelisahan, dan kelekatan. Dengan  terus-menerus mengamati, mengenal, dan me-nerima diri, kita akhirnya semakin menyadari keterbelengguan kita dan mulai belajar untuk menyikapi dan melampauinya. Dalam kerangka pikir ini, pengenalan diri merupakan prasyarat untuk bisa hidup lepas bebas dari kondisi keterbelengguan diri.

Sebelum berangkat ke tempat live-in, saya sudah mengalami per-gulatan yang cukup pelik. Saya merasa cemas,  takut dan tidak rela meninggalkan kenyamanan yang saya nikmati dalam komunitas. Saya was-was dengan apa yang akan  saya  lakukan  selama  live-in. Saya menjadi  tidak  tenang dan  terbebani. Perasaan  ini berangsur-angsur terkendali ketika saya mencoba untuk mengakui menjadi keadaan ini. Saya mencoba merasakan setiap gejolak perasaan yang ada. Saya kemudian membawa semua itu dalam doa dan permenungan pribadi. Akhirnya,  yang  tersisa  adalah  kepasrahan.  Saya      merasakan    ke-tenangan  dan  kekuatan  untuk  terbuka  pada  setiap  kejutan-kejutan yang terjadi selama live-in.

Saya yakin bahwa pengenalan dan penerimaan diri telah memba-wa saya pada suatu sikap pasrah dan terbuka pada setiap keadaan serta  kenyataan yang  saya  temui.  Pengenalan dan penerimaan diri ini juga    membantu     saya     untuk    menyadari    bahwa   saya     sebenarnya  tidak akan pernah mengendalikan  semua keadaan dan realita tersebut. Satu-satunya yang dapat saya kendalikan adalah si-kap saya dalam menghadapi keadaan dan realita itu. Pada titik ini, 

Refleksi

Page 46: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

hidup saya sebenarnya terbentuk dari setiap cara saya menyikapi  re-alitas yang ada. Sikap itu tergantung sepenuhnya pada saya. Dengan demikian, saya sendirilah yang membuat hidup saya.

 Saya dapat mengatakan bahwa kepasrahan dan semangat lepas-bebas telah banyak membantu saya untuk menikmati pengalaman demi pengalaman yang saya dapatkan selama live-in. Semangat inilah yang membuat  saya  dapat  tidur  nyenyak  setiap  malam  dan  bangun  pada pagi hari dengan segar bugar.   Semangat yang sama pula yang me-mampukan saya untuk mengawali hari baru dengan menyucapkan doa, ”Selamat pagi Tuhan. Apa yang Engkau rencanakan pada hidup saya hari ini? Saya sungguh ingin terlibat di dalamnya.” 

Walaupun  awalnya  saya  merasa  enggan  untuk  meninggalkan  ko-munitas dan agak kewalahan menjalankan pekerjaan yang diberikan, semangat saya tetap terjaga. Bahkan, ketika saya merasa berat untuk kembali karena sudah begitu nyaman dengan keluarga serta kegiatan 

mereka, semangat lepas bebas juga yang membantu saya untuk kembali ke komunitas dengan perasaan nyaman. Singkatnya, semangat lepas be-bas telah membantu saya hidup sebagai seorang “vagabond” (seorang yang tidak punya tetap tinggal yang tetap) yang bisa merasa “at home” (kerasan dan  nyaman) meski  harus  selalu berpindah dari  tempat yang satu ke tempat yang lain.

Demikianlah  beberapa  hasil  permenungan  yang  dapat  saya  bagi-kan pada kesempatan ini. Saya sungguh berharap bahwa refleksi atas pengalaman  yang  saya  alami  baik  sebelum,  selama,  maupun  sesudah program  live-in  akan  bermanfat  bagi  perkembangan  diri  saya  sendiri 

dan  juga  teman-teman  sepanggilan.  Satu  keyakinan  saya  bahwa  Tu-han selalu hadir, terlibat, dan mendewasakan kita melalui pengala-man-pengalaman  kita  setiap  hari  ini.  Ia  tidak menjanjikan kebahagian sebagai suatu hadiah bagi kita, tetapi sebagai buah dari  perjuangan kita. Amin... 

Refleksi

Page 47: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

Menulis tentang Beato Yohanes Paulus II membuat penulis 

antusias namun sekaligus was-was, karena menulis so-

sok raksasa Beato Yohanes Paulus II merupakan tang-

gungjawab  yang  sangat  besar.  Keberanianlah  yang 

paling berperan penulis berani menulis  tentang Sang 

Beato. Tak ada yang meragukan bahwa Mendiang Paus Yohanes Paulus II 

adalah sungguh seorang tokoh Katolik kontemporer yang sangat penting. 

Mungkin yang terpenting pada permulaan millennium ketiga ini, baik saat 

ia masih hidup maupun kini dalam drama kekinian dunia – entah itu dunia 

kekatolikan dan maupun dunia  secara  keseluruhan  –  seorang    pecinta 

dan pembela kultur kehidupan, seorang penjaga utama perdamaian du-

nia, seorang yang mewakili hati nurani manusia yang anti terhadap ke-

kerasan atas nama agama dan ras. Seorang yang benar-benar mewakili 

orang-orang  papa  yang  teringkari  hak  asasinya.  Singkatnya  seorang 

yang senantiasa berdiri berdiri di garda terdepan dalam mengusahakan 

dan menghadirkan keadilan dan perdamaian di muka semesta ini. 

Belajar dari Sang BeatoYohanes Paulus II

Opini

Page 48: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

Sosok yang selama lebih dari 25 tahun menjabat sebagai Paus (peng-ganti Rasul Petrus, wakil Kristus di dunia), dari tahun 1978 – 2005, Sang Beato menyampaikan pesan yang komprehensif tentang berbagai hal kehidupan Gereja dan umat manusia di atas planet bumi. Terlalu pan-jang untuk mengisahkan dan melukiskan satu per satu keagungannya. Bahkan tapal batas sebuah buku yang dunia sediakan takkan mampu untuk membukukan petualangan Sang Beato  sejati  ini. Dengan penuh kejujuran harus diakui bahwa pesan-pesannya dan pemikiran-pemiki-rannya sungguh masih dibutuhkan dan masih sangat relevan dalam kon-teks kekinian dunia kita, terlebih untuk dunia kita yang penuh berlimpah dengan wajah kebengisan, kebencian, kekerasan, cinta diri, dan penuh dengan ketamakan.

Drama Kekinian Dunia KitaHampir enam  tahun  lalu,  sepuluh  tahun  lalu, dan bahkan puluhan  ta-

hun lalu, ketika Paus asal Polandia ini dengan lantang menyerukan kata-kata yang paling subversif: “Janganlah membalas kekecian dengan keke-cian  pula”.  Lebih  lanjut  Paus  mengingatkan  kita  bahwa,  “Mustahil  dunia akan  langgeng bila manusia masih  terus  saling menebar  kebencian dan saling bunuh  satu  sama  lain atas dasar kepentingan geopolitik yang  ta-mak”, seru Paus Yohanes Paulus II suatu ketika. Pernyataan ini merupakan rekasi  terhadap  pengalaman  pribadi  yang  pernah  menimpanya.  Pen-galaman  itu adalah  sebuah pengalaman yang mengerikan baginya dan sungguh sebuah pengalaman yang menggetarkan seluruh penjuru bumi, di mana pada awal tahun 1980-an,  Mehmet Ali Agca, seorang pembunuh bayaran yang ekstremis dari Turki mencoba menghabisi nyawanya. Akibat perbuatannya itu, Agca dicerca dan diumpat segenap penjuru dunia. Bagi mereka, kejahatan haruslah dibalas dengan kejahatan. Pedang musti dila-wan juga dengan pedang. Hanya dengan cara itu, semua perkara selesai. Tapi, Mendiang Paus Yohanes Paulus II menolak keras sikap balas dendam.  

Opini

Page 49: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

“Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan pula. Balaslah kejahatan dengan kasih,” tegas Sri Paus kala itu. 

Kata-kata itu tidak sekadar alibi semata. Kekejaman Mehmet Ali Agca dibalas Sang Beato waktu itu dengan penuh kasih. Ia mengunjungi Ali yang mendekap di dalam penjara, mengampuni kesalahannya. Bagi penulis ini merupakan  sebuah  bentuk  komunikasi  yang  sungguh  terlalu  indah  untuk diukirkan,  karena  merupakan  ungkapan  spontanitas  dan  kejujuran  dari dalam diri seorang Bapa Suci Yohanes Paulus II. Ini sebuah kisah lama. Tapi 

maknanya tetap hidup. Bahkan selalu hidup kendati Paus Yohanes Paulus  II  telah wafat enam  tahun  lalu.  Relevansinya  senantiasa berlaku universal, untuk siapa saja, di mana dan kapan pun. 

Sudah  beberapa  waktu  lalu  sejak pesan-pesan  perdamaian,  persahabatan, yang kumandangkan oleh Sang Beato, teta-pi nampaknya tata keteraturan dunia saat ini masih jauh dari bentangan harapan. Tata dunia yang dijungkirbalikan dengan penuh kelembutan  dan  sarat  akan  kerendahan 

hati dari seorang penjaga utama perdamaian ini tidak kunjung tercipta di alam semesta ini, terutama di panggung seantero Indonesia. Hari-hari ini kita melihat dan menyaksikan betapa dunia manusia terutama sebagian manusia Indonesia, senantiasa memperlihatkan dan mempertontonkan hal-hal  yang  mengerikan:  pembunuhan,  kerusuhan  antarkelompok,  aksi-aksi terorisme, penembakan. Terakhir  namun  sangat bermutu adalah ketika tindakan kriminal itu dilakukan oleh “mereka” yang menamakan diri bos besar di negeri ini. Kasus korupsi, merekayasa hukum, ketidakjujuran seak-an menjadi  “hidangan  lezat” bagi  sang preman berdasi  ini. Dan masih banyak lagi daftar peristiwa yang bias kita tambahkan sendiri, membuat rasa kemanusiaan kita tersayat. 

Opini

Page 50: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una�0

Aneh  memang!  Mengapa  anak  manusia  terutama  manusia  Indonesia zaman ini tidak berlomba-lomba berbuat kebajikan?  Dalam konteks me-nyuarakan kebenaran, keadilan, sikap pengampunan, berbuat baik, dan perjuangan hak-hak asai manusia, Mendiang Yohanes Paulus II telah me-nyuarakan, “Non abiate paura!” – “Jangan takut!”. Akan tetapi nyatanya justru dalam hal-hal buruklah kita berlomba. Inilah rekam jejak dari drama kekinian  dunia yang kita saksikan sekarang.

Di panggil untuk menjadi “Jembatan Harapan” sekaligus “Jembatan Perubahan”

Pertanyaan untuk kita renungkan sekaligus mendesak jawaban dari kita (dalam konteks kita sebagai calon misionaris dan misionaris CICM) adalah bagaimana dengan keberadaan kita yang nyatanya merupakan bagian tak-terpisahkan dari realitas seperti itu? Apakah kita hanya membungkam diri atau bahkan lari dari persoalan yang pelik itu? Bukankah kita juga dipanggil untuk menghidupkan kembali sembari membongkar nilai-nilai hidup yang se-lama ini sudah disadap bahkan dikuburmatikan oleh segelintir anak manusia yang penuh dengan ketamakan diri?

Sungguh sulit memang untuk menjawab persoalan itu. Mengingat kom-pleksitas  permasalahan  yang  sungguh    akurat.  Tetapi  akan  sangat  sulit lagi  apabila  kita  tidak  pernah  mencoba  mendekati  dan  menjawabnya. Tentu  saja tugas ini tidak bisa diselesaikan semuanya secara sendiri-send-iri. Membutuhkan komitmen dan kerja sama yang baik dari kita semua. Se-bagai calon dan anggota komunitas tarekat religius misionaris CICM, kita dipanggil  untuk mendengar  segala  jeritan  sosial  yang disendengkan  ke dalam telinga kongregasi kita. Panggilan ini akan sangat efektif sekaligus unik ketika kita sungguh-sungguh berada dalam satu payung Sehati-Sejiwa yang merupakan semboyan kita bersama. Sehati dan sejiwa akan menjadi sebuah  semboyan  yang  kosong  maknanya  apabila  kita  tidak  bersama-sama menjawab dan mengentaskan persoalan sosial tersebut. Bagaimana caranya? Tentu  saja beranekaragam cara, terutama menurut peran dan panggilan kita masing-masing.

Opini

Page 51: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

Panggilan kita sebagai CICM  adalah sesuatu yang penting dan sangat  penting  tidak  hanya  terbatas  pada  pengembangan  misi Kristus dan Gereja, tetapi sekaligus untuk menjadi “para penyem-buh” terhadap penyakit sosial itu. Kita semua diajak dan ditantang untuk  semakin peka  terhadap masalah-masalah  sosial  itu. Belajar dan terinspirasi dari sikap hidup yang ditawarkan Mendiang Paus Yohanes Paulus II, kita juga dituntut untuk senantiasa berdiri di garis terdepan untuk membela hak-hak mereka yang terabaikan, menyu-arakan keadilan, kebenaran, dan perdamaian. Dengan cara-cara seperti itu, kita senyatanya sudah ambil bagian dalam menata ket-eraturan  dunia  yang  lebih  baik.  Di  sana  getaran  panggilan  kita sungguh  sebuah  “jembatan  harapan” dan  “jembatan perubahan” bagi dan untuk dunia.

Refrensi BacaanBarmansyah, Ben Hamzah, “Paus di Mata Cendekiawan Muda 

Muslim” dalam Mimbar di Mingguan  HIDUP, No. 16 Tahun ke-59, 17 April 2005, hlm. 47.

Kolom Tajuk, “Paus Yohanes Paulus II” dalam Mingguan  HIDUP, No. 39 Tahun ke-65, 25 September  2011, hlm. 6.

Magnis-Suseno,  Franz,  “Bapa  Suci  Berwawasan  Dunia”  dalam Mingguan   HIDUP, No. 16 Tahun ke-59, 17 April 2005,  hlm. 15-17.

Nolan,  Albert.  Jesus Today: A Spirituality of Radical Freedom. Philippines: Jesuit Communications Foundation, Inc. 2006. 

Opini

Page 52: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

Fr. Klemens BhajoPemuda yang berasal dari Kabupaten Ende ini senang menggambar ataupun menulis sesuatu ini adalah frater tingkat III di Skolastikat Sang Tunas Pondok Bambu, Jakarta. Ia juga sedang menempuh studinya di STF Driyarkara di tingkat semester V.

Fr. Kanisius JenaliFr. Kanisius Jenali dilahirkan di Manggarai, NTT, pada 29 Desember 1985. Pria yang menamatkan pendidikan menengah pertama dan atas di sebuah “mini pesantren” di Makassar ini, bergabung den-gan Tarekat CICM  pada tahun 2007. Sekarang dia sedang menempuh pendidikan filsafat dan teologi semester 7 di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

P. Yohanes Silalahi, CICM

Konfrater asli Batak, sedang berkarya di ta-nah misi Afrika Selatan, tepatnya di Cape Town. Tahbisan imamatnya, diselenggarakan pada saat dia berlibur di Indonesia tahun 2001, tepatnya di Paroki Duren Sawit pada tgl 24 Agustus bersama Antonius Harnoko dan Folata Laia.

Siapa Para Kontributor?

Page 53: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

Siapa Para Kontributor?

Fr. Leoyd Ongky SanggariaFrater kelahiran Sangalla, 20 Mei 1986 ini telah mengelesaikan program novisiat-nya di Sang Tunas Makassar. Dia adalah fans berat klub sepak bola Manchester United. Dia juga senang berkebun. Sekarang, dia melanjutkan program studinya di STF Driyarkara, program Bakaloreat.

Fr. Joseph LeribunMeskipun umurnya baru 23 tahun, ia kelihatan sangat dewasa dan  beribawa.  Frater  ini  se-dang  berada di Sang Tunas Makassar sebagai novis untuk mengenal CICM secara lebih mendalam dan lebih mempererat tali persaudaraan  bersama  dengan konfrater lain.

Fr. Christian Budi SetiawanFrater  yang  dilahirkan  di  Jakarta  pada  tang-gal  1  September  1989  ini  dulunya  adalah  anak band. Namun, kini ia berpaling dan  ingin  menjadi  pengikut Tuhan yang setia dan  memilih  CICM  se-bagai pelabuhan cita-citanya.  

Page 54: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

Page 55: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��

Congregatio ImmaculatiCordis Mariae

Pater Animator Indonesia BaratSkolastikat Sang Tunas CICM

Jl. Gotong Royong 71 RT.12/RW.03Pondok Bambu - Jakarta Timur 13430

Tlp: 021 - 8632174Fax: 021 - 8632175

Pater Animator Indonesia Timur( Sulawesi, Flores, Timor, Ambon, Bali, dan sekitarnya )

Novisiat Sang Tunas CICMJl. Biring Romang 19

Km 13, Daya, Makassar - Sulawesi SelatanTlp: 0411 - 586205Fax: 0411 - 587963

Jika anda ingin berpartisipasi (membantu kami)dalam proses pembinaan para calon Massionaris CICM,

silahkan melayangkan bantuan melalui:No. Rekening BRI 3302-01-000703-0

A/n. JONI PAYUKE-mail: [email protected]

Page 56: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una��

Page 57: MTV Thn. 2011. Vol. 4

Cor Unum Et Anima Una ��