MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5....

253
MOdel riset tafsir sosio-tematik HERMENEUTIKA AL-QUR’AN Dr. Adang Kuswaya Editor: Juz’an

Transcript of MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5....

Page 1: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

MOdel riset tafsir sosio-tematik

HERMENEUTIKA AL-QUR’AN

Dr. Adang Kuswaya

Editor: Juz’an

Page 2: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

MODEL RISET TAFSIR SOSIO-TEMATIK HERMENEUTIKA AL- QUR’ANDr. Adang Kuswaya

Edior: Juz’an

Cetakan Pertama: Oktober 201516 x 23,5 cm; xiv+240 hlm.

Penerbit: LP2M-Press, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) SALATIGA Jl. Tentara Pelajar 02, Kode Pos 50721, SalatigaEmail: [email protected]

ISBN 978-602-73757-0-3

All Rights reserved. Hak cipta dilindungi undang-undang.Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun tanpa ijin tertulis dari penerbit.

Page 3: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

iii

KATA PENGANTAR

Secara garis besar tulisan ini membicarakan pemikiran hermeneu-tika al-Qur’an. Upaya penafsiran terhadap al-Qur’an yang dilakukan

oleh para ulama terdahulu sudah ketinggalan zaman, out of date. Walau-pun demikian, dia tidak memandang salah, namun, dipandang bahwa penafsiran mereka hanya merupakan sebagai salah satu alternatif pe-nafsiran. Oleh Karena itu, ia mengusulkan sebuah metode tafsir al syu’ûrî, tafsir perseptif yakni metode yang dapat mendeskripsikan manusia itu sendiri dan hubungan dengan manusia yang lainnya, dan dengan alam sekitarnya. Metodologi penafsiran al-Qur’an yang ditawarkan di antara nya bersifat tematik, temporal dan realistis yang terbingkai dalam wilayah ilmu-ilmu kemanusiaan.

Mengerti atau memahami merupakan tindakan yang senantiasa ada dalam kehidupan manusia. Demikian itu, dilakukan oleh manusia, para nabi sejak nabi Adam AS hingga nabi terakhir Muhammad SAW, dan juga manusia yang hidup sekarang dan akan terus berlanjut sampai manusia meninggalkan dunia. Nabi Muhammad saw sebagai khatamul al anbiya, diturunkan kepadanya al-Qur’an sebagai wahyu yang memotivasi kepada umatnya untuk mewujudkan tindakan nyata di dunia. Karena itulah, kenapa Nabi Muhammad SAW sebagai panutan umat. Beliau se-bagai al-Qur’an yang berjalan-jalan, demikian dikatakan dalam sebuah hadist: Innama khuluquhu al-Qur’an.

Setelah meninggal beliau maka para sahabatnya demikian pula ulama terdahulu melakukan upaya penafsiran terhadap al-Qur’an. Berbagai

Page 4: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

iv Dr. Adang Kuswaya

metode, kecenderungan, pendekatan dan corak mereka melakukan pe-nafsiran terhadap al-Qur’an sesuai dengan kepentingan zamannya masing-masing. Dari metode tahlily, metode ijmaly, dan metode muqaran. Dari pendekatan tekstual dan kontekstual dengan kecenderungan be-ragam madzhab dan coraknya seperti tasawuf, fiqh, teologi, filsafat, ilmu pengetahuan, bahasa, sampai kepada sastra dan kemasyarakat. Ke se-muanya itu seperti yang terlihat di berbagai kitab-kitab tafsir terdahulu. Terakhir adalah metode tafsir tematik yang lahir belakangan sekitar tahun 1970-an dan masih akan terus bermunculan metode-metode yang lainnya.

Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa pemahaman akan terus berlanjut sesuai dengan kebutuhan zamannya. Maka sebuah keha rusan melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an sebagai metode tafsir perseptif, tafsir al syu’uri yang bersifat tematik, temporal, realistis dan sesuai dengan kebutuhan umat sekarang. Mengkritisi metode-metode tafsir yang sudah dilakukan para ulama terdahulu tetapi tidak menganggap salah apa yang dilakukan mereka. Melainkan, hanya dijadikannya sebagai satu alternatif penafsiran. Apa yang dibutuhkan sekarang adalah penafsiran yang harus disesuaikan dengan kebutuhan yang paling mendesak khususnya umat Islam yang sedang menghadapi dua ancaman besar baik yang bersifat internal maupun eksternal. Ancaman internal umat Islam menurutnya adalah kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sedangkan ancaman eksternal adalah imperialisme, zionisme dan kapitalisme.

Dalam buku Islam in the Modern World Hassan Hanafi menulis prinsip-prinsip dalam tafsir tematik di antaranya menempatkan yang sama teks al-Qur’an sebagaimana teks-teks lainnya seperti karya sastra dan teks sejarah. Aturan-aturan dalam tafsir tematik yang di dalamnya di antara-nya bahwa mufasir adalah seorang yang terlibat dalam drama di mana krisis dalam kehidupannya berlangsung.

Di samping itu, aturan-aturan kebahasaan sampai kepada perban-dingan antara yang ideal dan yang riil, mengintegrasikan logos dan praxis, yakni mengidealisasikan yang riil dan merealisasikan yang ideal. Tafsir ini bertujuan mendeskripsikan manusia itu sendiri, hubungannya dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.

Page 5: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

v

Semoga buku ini, di samping menambah wawasan tentang meto-dologi penafsiran juga citra yang positif dari pada kesan yang negatif yang selama ini dialamatkan kepada hermeneutika al-Qur’an. Penulis me-nyadari masih banyak kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan masuk an, saran dan kritik demi penyempurnaan buku ini.

Wallahu A’lam Bishshawab.

Salatiga, 2 Juli 2015

Page 6: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj
Page 7: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

vii

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan pe-

nulisan tulisan ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, pembawa pelita dan menjadi rahmat bagi sekalian alam.

Sesungguhnya dalam penulisan ini, penulis banyak menghadapi kendala terutama yang berkenaan dengan trend pemikiran mengenai hermeneutika al-Qur’an yang begitu luas. Namun demikian, penulis ber-usaha semaksimal mungkin dan alhamdulillah tulisan ini akhirnya dapat diselesaikan. Penyelesaian tulisan ini adalah berkat bantuan berbagai pihak. Sebagai tanda penghargaan, penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya secara khusus ditujukan kepada:

Kementerian Agama Republik Indonesia yang memberikan dana beasiswa sejak penulis duduk di bangku Madrasah Aliyah Program Khusus (MANPK) di Darussalam Ciamis pimpinan KH. Irfan Hielmy (alm.), di bangku kuliah SI di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, kuliah program S2 dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah. Bahkan, beasiswa Postdoktoral di Mesir.

Instansi IAIN Salatiga pimpinan Dr. Rahmat Hariyadi, MPd, kolega-kolega lainnya Dr. Imam Sutomo, Munajat, Ph.D., Dr. Mukti Ali, Dr. Sa’adi, Benny Ridwan, M.Hum., Illya Muhsin, dan Dr. M. Irfan Hielmy, Juz’an, M.Hum dan Jaka Siswanta, MPd.; rekan-rekan diskusi di lingkungan IAIN Salatiga. Kolega colloquium waktu tinggal di Noida,

UCAPAN TERIMA KASIH

Page 8: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

viii Dr. Adang Kuswaya

UP, India Dr. Zakiyuddin Baidhawy, Agus Ahmad Sua’idi, M.A. dan Hammam, M.Pd.; Kolega, teman dialog waktu tinggal di Antigonish, Kanada: Ihsan Maulana, Encung, Ismail, Teguh, Ibnu, Dr. Roy Purwanto, Maghfur, Hasan Basri, Dr. Zainul Abbas, dan Arif Maftuhin, M.A.

Dr. Abad Badruzzaman, Dr. Hamka Hasan, Dr. Aksin W, Dr. Fajar Waryani, Dr. Hamdani Mu’in, Dr. Muhammad Jidin, Prof. Dr. M. Mardan, Dr. Suryadinata, Dr. Iskandar, dan Dr. Slamet, rekan-rekan diskusi sewaktu tinggal di Kairo, Mesir.

Ayahanda Mohammad Omon yang pertama kali mengajarkan ilmu nahwu, sharaf, fiqh dan tauhid dan menunjukan penulis akan pentingnya ilmu pengetahuan. Ibunda Esin Quraisin yang telah mengajarkan penulis tentang kesederhanaan. KH. Ali Muntaha dan Hj. Umi Chadijah, mertua penulis yang telah memberikan dukungan moral dan material.

The last but not least, Layly Atiqah istri tercinta yang setia memotivasi terus-menerus demi terwujudnya tulisan ini di sela-sela waktunya mengajar selalu menyempatkan mengontrol dua putri belahan hati ter-sayang, Adila Tara NDA dan Nur ‘Adli Sania AS.

Kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan demi penyempurnaan tulisan ini. Mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah khazanah pengetahuan khususnya di bidang penafsiran al-Qur’an dan umumnya khazanah ilmu-ilmu keislaman.

Wa Allâhu a’lamu Bi al Shawâb.

Wassalam Salatiga, 2 Juli 2015

Adang Kuswaya

Page 9: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

ix

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan untuk:

Ayahanda, Mohammad Omon dan Ibunda Esin Kuraesin, Isteri tercinta, Layly Atiqoh. Kedua belahan hati, Adila Tara Nisawanda Dluha Alfani dan Nur Adli Sania Alima Syabana.

Page 10: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj
Page 11: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

xi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar iiiUcapan Terima Kasih viiPersembahan ixDaftar Isi xi

BAB I MENYOAL KONSTRUKSI TAFSIR AL-QUR’AN 1 A. Reinterpretasi teks Keagamaan 1 B. Ruang Lingkup dan Permasalahan 9 C. Signifikansi Tulisan 10 D. Survey Karya-karya yang Relevan 10 E. Metodologi Penelitian 12

BAB II PERKEMBANGAN HERMENEUTIKA AL-QUR’AN 14 A. Problem Hermeneutika Al-Qur’an. 14 B. Praktek Hermeneutika dalam Tradisi Islam 19 C. Model Hermeneutika Al-Qur’an Awal dari Muqatil Bin Sulaiman 25 D. Pemikiran M. Arkoun tentang Hermeneu tika Al-Qur’an 36

BAB III TEORI HERMENEUTIKA AL-QUR’AN TEMATIK 45 A. Kemunculan Pemikiran Hermeneutika al-Qur’an 45 B. Hermeneutika sebagai Aksiomatika 48

Page 12: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

xii Dr. Adang Kuswaya

C. Teori dan Teknis Hermeneutika Al-Qur’an 53 1. Kritik Historis 55 2. Kritik Eidetis 63 3. Kritik Praktis 71 D. Urgensi Hermeneutika Al-Qur’an 74 E. Teori Analisis Teks dan Orientasinya 77 1. Prinsip-Prinsip dalam Analisis Teks. 81 2. Nilai dan Kekuatan Teks 84 3. Perubahan Nilai Makna Suatu Teks. 87

BAB IV PENDEKATAN SOSIOLOGIS DALAM TAFSIR AL-QUR’AN 91 A. Tafsir Al-Qur’an Tematik (Maudlû’î) 91 1. Asal Usul Metode Tematik 91 2. Memihak kepada Metode Tafsir Tematik 94 3. Prinsip-Prinsip dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik 99 4. Aturan-Aturan dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik 102 5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj Ijtimâ’î dalam Tafsir Tematik 107 1. Karakteristik Hermeneutika Al-Qur’an Sosiologis (al Manhaj al Ijtimâ’î) 108 2. Kritikan Terhadap Pemikiran Pemikir tafsir kontemporer 115 3. Jawaban terhadap Berbagai Kritikan 121 C. Aplikasi Hermeneutika al-Qur’an 125 1. Konsep Manusia dalam al-Qur’an 126 2. Konsep Harta dalam Al-Qur’an. 134 3. Konsep Tanah dalam al-Qur’an 137

BAB V PENUTUP 143 A. Simpulan 143 B. Saran-saran 147

DAFTAR PUSTAKA 149

Page 13: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

xiii

Lampiarn

APLIKASI TEORI 157

Biografi Penulis 237

Page 14: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj
Page 15: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

1

A. REINTERPRETASI TEKS KEAGAMAAN

Al-Qur’an merupakan dokumen untuk umat manusia. Bahkan, kitab ini menamakan dirinya sebagai petunjuk bagi manusia, Hudan li al Nâs (Q.S. Al Baqarah/2:185). Seluruh yang termaktub dalam al-Qur’an itu hakekatnya merupakan ajaran yang harus dipegang oleh umat Islam. Ia memberikan petunjuk dan pedoman hidup untuk mencapai kebahagian di dunia dan akhirat dalam bentuk ajaran moral, akidah, hukum, filsafat, politik dan ibadah.

Untuk mengungkap dan menjelaskan ajaran-ajaran di atas, tidaklah memadai bila seseorang hanya mampu membaca dan melafalkan al-Qur’an dengan baik. Hal yang diperlukan bukan hanya sekedar itu, me-lain kan juga kemampuan memahami dan mengungkap isi serta me nge-tahui prinsip-prinsip yang dikandungnya.

Agar al-Qur’an berguna sesuai dengan pernyataannya bahwa ia me ru pakan petunjuk bagi umat manusia yang mengeluarkannya dari kege lapan menuju cahaya yang terang benderang (Q.S. Ibrahim/14:1), maka al-Qur’an memerintahkan manusia untuk mempelajari dan mema-haminya. Melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat maupun tersirat, al-Qur’an dapat mengantarkan manusia menuju kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.1

1 Quraish Shihab, «Tafsir dan Modernitas», dalam Jurnal Ulumul Quran No. 8. Th. 1991, hlm. 34.

BAB I

MENYOAL KONSTRUKSI

TAFSIR AL-QUR’AN

Page 16: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

2 Dr. Adang Kuswaya

Hal di atas seperti dinyatakan dalam al-Qur’an yang terdapat dalam ayat berikut ini.

Artinya: “Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mendalami makna ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Q.S. Shâd/38: 29).

Pada dekade terakhir, studi al-Qur’an semakin semarak, tidak saja di negara yang mayoritas berpenduduknya muslim melainkan juga di Barat. Posisi al-Qur’an itu sendiri dalam Islam menjadi sentral dalam pem-bentukan ajaran, pemikiran dan peradaban. Karenanya, sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari keberadaan al-Qur’an dan tulisan tentang Islam yang mengabaikan keberadaan al-Qur’an akan terasa janggal dan patut dipertanyakan hasilnya.

Gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang dimulai sejak abad ke-18 tidak diragukan lagi mempunyai implikasi dalam “cara baca” terhadap al-Qur’an. Tuntutan dan kebutuhan zaman mendesak umat Islam untuk melakukan upaya-upaya reinterpretasi terhadap ajaran keagamaan yang pada hakekatnya bersumber utama pada al-Qur’an.

Menggunakan metodologi tafsir secara turun-temurun yang tidak memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi umat pada masa kini berarti hanya melakukan pengulangan-pengulangan. Sebagai akibatnya, metodologi tersebut tidak membuka diri terhadap problematika-proble-matika yang terjadi pada masyarakat dalam alam masa kini yang sedang berubah. Sementara, mendesak untuk dilakukan reinterpretasi yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan baru, maka kehadiran sebuah pen-dekatan baru untuk menafsirkan tersebut sangat diperlukan.

Pada dekade 1960-an, Hassan Hanafi, sarjana lulusan Universitas Kairo, melakukan penulisan tesis dan disertasi sebagai karya ilmiahnya di Universitas Sorbone. Tepatnya tahun 1965 dan tahun 1966 ia menulis tesis dan disertasi. Pembahasannya seputar hermeneutika, baik yang ia pandang sebagai metode rekonstruksi untuk ‘ilm Ushul Fiqh maupun

Page 17: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

3Menyoal Konstruksi Tafsir Al-Qur’an

untuk menafsirkan fenomena keagamaan.2 Kemunculan Hassan Hanafi pada dekade 1980 mendapat perhatian

luas dengan gerakan yang dipelopori dirinya, al Yasâr al Islâmî (Kiri Islam). Hassan Hanafi merupakan salah seorang pemikir muslim radikal dan kritis baik terhadap gerakan Islamis maupun Barat yang mencoba men-dominasi Islam. Oleh karena itu, dia berusaha merekonstruksi pemikir-an Islam ke arah yang dapat membebaskan umat Islam dari segala bentuk penindasan.3

Di samping menguasai pemikiran Islam, Hassan Hanafi juga meng-ikuti pemikiran Barat kontemporer. Menurutnya, dunia Islam kini sedang menghadapi dua ancaman besar baik secara internal maupun se cara eksternal. Ancaman dari dalam Islam adalah berupa kemiskinan, ke ter-belakangan dan ketertindasan. Sedangkan dari luar Islam yakni impe-rialisme, zionisme dan kapitalisme.4

Lahirnya Al Yasâr Al Islâmî merupakan proyek pembaharuan Hassan Hanafi yang bertopang pada tiga pilar utama. Pertama, revitalisasi khazanah klasik Islam. Kedua, perlunya menentang peradaban Barat. Ketiga, analisis atas realitas dunia Islam. Pada bagian terakhir ini, Hanafi mengusul kan al tafsîr al syu’ûrî, suatu metode tafsir di mana realitas dunia Islam dapat berbicara sendiri.5

2 Hassan Hanafi, Muqaddimah fî ‘Ilm al Istighrab, Kairo: Dar al Fannani, 1991, hlm. 84. Judul karya ilmiah Hassan Hanafi untuk tesisnya adalah Les methods d’Exegese, Essai sur la Science des Fondaments de la Comprehension, ‘Ilm Ushûl al Fiqh. Di samping itu, tahun 1966 dua karya hasil penelitiannya juga masih berkaitan dengan hermeneutika. Kedua karya itu, L’Exegese de la Phenomenologie dan disertasinya yang berjudul La Phenomenologie de L’Exegese, Essai d’une Hermeneutique Existentielle a Partir du Neuveu Testament.(Hassan Hanafi, Muqaddimah fî ’Ilm al Istighrab, hlm. 86). Ketiga karya Hassan Hanafi itu ber-kaitan dengan hermeneutika. Karya pertama menjelaskan hermeneutika sebagai metode rekonstruksi ilmu Ushul Fiqh. Karya kedua menjelaskan hermeneutika fenomenologi untuk menafsirkan fenomena keagamaan dan karya ketiga menjelaskan studi kritis pada hermeneutika eksistensial dalam konteks Perjanjian Baru. (Hassan Hanafi, Muqaddimah fî ‘Ilm al Istighrab, hlm. 84-86).

3 Kazuo Simogaki, «Pemikiran Hassan Hanafi dan Munculnya al Yasâr al Islâmî» dalam jurnal Islamika No. 1 Th. 1993, Bandung: Mizan dan MISSI, hlm. 17.

4 Hassan Hanafi, al Yasâr al Islâmî: Kitâbât fî al Nahdlah al Islâmiyah, Kairo: Heliopolis, 1981. hlm. 32.

5 Hassan Hanafi, al Yasâr al Islâmî: Kitâbât fî al Nahdlah al Islâmiyah, Kairo: Heliopolis,

Page 18: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

4 Dr. Adang Kuswaya

Hassan Hanafi memandang bahwa peradaban Islam merupakan upaya secara metodologis dan intelektual perjanjian antara wahyu dan manusia di bumi dalam suatu periode sejarah dan sosiologi tertentu. Bagi Hanafi, persoalannya bukan terletak pada al-Qur’an, melainkan bagai mana wahyu al-Qur’an itu dapat dibumikan secara interpretatif dan bagaimana struktur teoritis penyajiannya.6 Hassan Hanafi tidak ber maksud menyalahkan struktur penyajian wahyu berupa metodologi penaf siran yang telah berlangsung selama ini. Melainkan, hal itu dipandang sebagai satu pilihan di antara pilihan-pilihan yang lain sesuai dengan tun-tunan zaman.7

Memahami al-Qur’an tidak muncul kecuali dengan metode ter-tentu dalam upaya menginterpretasi kesadaran atau ketidaksadaran. Oleh karena itu, menurut Hassan Hanafi hermeneutika al-Qur’an merupakan keniscayaan untuk memahami al-Qur’an sebagai transformasi wahyu ilahi kepada tujuan kemanusiaan.8 Transformasi dari perkataan (Kalâm) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad kepada bahasa manusia di bumi yang dihadapkan kepada berbagai macam golongan manusia.

Menurut Hassan Hanafi tafsir tidaklah lahir dalam kehampaan, melainkan terwujud di dalam waktu dan tempat tertentu, dalam suatu

1981.13-38. Tujuan ketiga pilar itu menurutnya, pertama, untuk mempertegas dan menekankan perlunya rasionalisme yang merupakan keniscayaan dan kesejahteraan umat untuk memecahkan situasi kekinian dalam dunia Islam. Kedua, untuk mem-peringatkan akan bahaya imperialisme kultural Barat yang cenderung menafikan budaya bangsa-bangsa yang secara historis kaya. Ketiga, mengkritik metode penafsiran tradisional yang bertumpu pada teks (nash) dan mengusulkan al tafsir al syu’ûrî , tafsir perseptif suatu metode yang dapat mengungkapkan realitas dunia Islam agar dapat berbicara sendiri. Kazuo Shimogaki, Between Modernity and Post- Modernity The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading. Niigata: Chyutto Kenkyuzo, 1988, hlm. 7.

6 Issa J Boullata, «Hassan Hanafi Terlalu Teoritis untuk Dipraktekan», dalam jurnal Islamika No. 1 Juli- September 1993, Bandung : MISSI dan Mizan, hlm. 20.

7 Issa J Boullata, «Hassan Hanafi Terlalu Teoritis untuk Dipraktekan», hlm.20. Dalam menanggapi kritikan Boulatta ini menurut hemat penulis Hassan Hanafi itu sendiri sudah jelas memaparkan prinsip, aturan dan ruang lingkup hermeneutika al-Qur’an yang ia bangun. Demikian juga tema-tema yang realistis seperti konsep manusia, harta dan tanah yang bisa dirasakan dalam kehidupan kemanusiaan di muka bumi.

8 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. 7, Kairo: Maktabah Madbuli, 1989, hlm. 77- 78; lihat pula Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, Kairo: Anglo Egyptian Bookshop, 1977, hlm.1

Page 19: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

5Menyoal Konstruksi Tafsir Al-Qur’an

kesejarahan tertentu pula. Untuk itu, umat Islam masa kini dituntut untuk merumuskan sebuah metodologi tafsir yang sesuai dengan kema sla-hatan umat, keperluan dan persoalan yang dihadapi umat Islam saat ini.9

Hermeneutika al-Qur’an yang digagas Hassan Hanafi berkaitan erat dengan metodologi fiqih klasik. Bagi Hassan Hanafi, fiqih merupakan pengambilan kesimpulan hukum yang berhadapan dengan realitas baru.10 Hermeneutika al-Qur’an yang digagasnya juga berkaitan dengan gerak an reformasi keagamaan. Oleh karena itu, hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi memperkuat, mendukung dan mengembangkan gerakan ter sebut.

Sebagai hermeneutika baru yang terkait dengan gerakan pemba-haruan masa kini, Hassan Hanafi menghendaki upaya reformasi lebih lanjut dari reformasi keagamaan kepada kebangkitan menyeluruh (al nahdlah al syâmilah) dan setelah itu kepada revolusi sosial dan politik.11 Untuk itu menurutnya, diperlukan metodologi tafsir yang melampaui tafsir tekstual dan historis yang menganggap al-Qur’an tidak hanya ber-bicara dalam ruang dan waktu yang sempit pada masa Rasulullah. Hassan Hanafi menyebutnya sebagai tafsir kesadaran (al tafsîr al syu’ûrî) agar al-Qur’an mendeskripsikan manusia, hubungannya antarsesama, tugas nya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, membangun sistem sosial dan politik.12

Sebagai pengajar filsafat, Hassan Hanafi banyak mengetahui trend pemikiran postmoderen dan ilmu-ilmu sosial juga mengikuti metode hermeneutika yang merefleksikan kritisisme kaum modernis dan pos-modernis. Seperti terlihat dalam artikelnya, Qirâah al Nash, Hassan Hanafi memberikan kritik terhadap teori hermeneutika Martin Heidegger, Hans George Gadamer dan Rudolf Bultmann.13

9 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7, hlm. 78. 10 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7, hlm. 78.11 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7, hlm. 78.12 Hassan Hanafi, “Mâdzâ Ta’nî al Yasâr al Islâmî” dalam al Yasâr al Islâmî Kitâbât

fî al Nahdlah al-Islâmiyah, hlm. 19.13 Richard C. Martin, “Membayangkan Islam dan Modernitas”, Terj. Bambang

Sipayung dalam majalah Filsafat Driyarkara, No.2. Tahun XXIII, Jakarta:STF Driyarkara, 1997. Richard Martin adalah salah seorang pengajar Iowa State University dan Asisten Professor of Religious Studies pada Arizona Stete University. Karya Hassan Hanafi,

Page 20: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

6 Dr. Adang Kuswaya

Menurut Richad C. Martin, Hassan Hanafi dengan disertasinya ingin menunjukkan pentingnya tindakan hermeneutis dalam “membaca teks” bagi transisi politis dari tradisionalisme menuju modernisme. Se-bagai mana Heidegger dan Gadamer, Hassan Hanafi juga beranggapan bahwa makna tidaklah inheren dalam teks melainkan, dihasilkan dalam pertemuan kontekstual antara teks dan manusia sebagai makhluk populis.14

Menurut Hassan Hanafi makna dihasilkan dalam konteks sosial dan politis dimana teks dihasilkan dan dibaca serta dipergunakan. Ketika teks dibaca dan diinterpretasikan kembali dari suatu generasi dan tempat ke generasi dan tempat yang lain, maka makna dihasilkan kembali oleh individu (fard) dan kolektif (jamâ’ah).15 Untuk keperluan itu menurut Hassan Hanafi, ada tiga metode yang harus diperhatikan oleh para penafsir Dunia ketiga, khususnya muslim agar mencapai pemahaman diri yang otentik di dunia modern. Pertama, warisan intelektual dan kul-tural Barat (Turâts al Gharb). Kedua, analisis atas warisan tradisional Islam. Ketiga, analisis atas pengalaman sosial manusia seperti tertuang dalam setiap dan semua teks warisan Barat dan Islam.16

Hassan Hanafi menggunakan hermeneutika, sebuah metode filsafat yang berkembang di Barat sebagai metodologi untuk memahami al-Qur’an.17 Meskipun demikian, menurutnya, hermeneutika bukan hanya

”Qirâah al Nash”, dapat dilihat dalam Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, Kairo: Anjilu Al Mishriyah, 1987, hlm. 523-549.

14 Majalah Filsafat Driyarkara, No.2. Tahun XXIII. Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah hlm.526.

15 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm.528.16 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah. hlm. 523-526. Hal ini menimbulkan proble-

matika dialektis dari al Turâts wa al tajdîd, warisan dan pembaharuan. Tak satupun dari keduanya bisa diabaikan oleh umat Islam dan bangsa-bangsa Dunia ketiga. Problem dan ketiga bidang metodologis itu dijelaskan lebih jauh dalam buku Hassan Hanafi, Muqaddimah fî ’Ilm al Istighrab.

17 Hermeneutika merupakan kegiatan interpretasi triadik, proses yang mempunyai tiga segi yang saling berhubungan. Hermeneutika secara sederhana dapat digambarkan sebagai struktur tiga segi, yaitu satu, Tanda (sign), pesan (message) atau teks; dua, penulis teks (author); tiga, penafsir, penyampai pesan kepada audiens. Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan kepada objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecenderungan sebuah teks lalu ia meresapi isi teks sehingga yang pada mulanya “yang lain” kini menjadi

Page 21: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

7Menyoal Konstruksi Tafsir Al-Qur’an

berarti ilmu interpretasi, melainkan juga ilmu yang menjelaskan pene-rimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat prakteknya di dunia.18

Menurut Hassan Hanafi proses pemahaman hanya menduduki tempat kedua. Sementara yang pertama adalah kritik sejarah yang men-jamin keaslian kitab suci dalam sejarah. Menurutnya, tidak mungkin akan terjadi pemahaman bila tidak ada kepastian bahwa apa yang dialami secara historis asli.19 Di sinilah, menurut Hassan Hanafi, hermeneutika muncul sebagai ilmu pemahaman dalam arti yang paling tepat, ber-kenaan terutama dengan bahasa dan kedaan-keadaan kesejarahan yang melahirkan kitab-kitab suci. Setelah mengetahui arti yang tepat dari teks kemudian memasuki langkah ketiga, yaitu proses menyadari arti dalam kehidupan manusia yang merupakan orientasi dan tujuan akhir wahyu Allah.20

Dalam bahasa fenomenologis, menurut Hassan Hanafi, dapat di-katakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang dapat menentukan hubung an antara kesadaran dengan obyeknya, yaitu kitab-kitab suci. Menurutnya, ada tiga kesadaran yang harus dimiliki oleh mufasir untuk menentukan hubungan antara kesadaran dan obyeknya.21 Pertama, me-miliki kesadaran historis yang menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya. Kedua, memiliki kesadaran eidetik yang menjelaskan makna teks dan menjadikannya rasional. Ketiga, memiliki kesadaran praktis yang menggunakan makna tersebut sebagai dasar teoritis bagi tindakan yang mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia di dunia.

“aku” penafsir itu sendiri. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa mengerti secara sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar. Suatu arti tidak akan dikenal jika tidak direkonstruksi. (E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm. 31).

18 Selanjutnya Hassan Hanafi menjelaskan bahwa hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai perkataan, dari logos sampai praxis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia. (Hassan Hanafi, Religious, Dialogue and Revolution, hlm. 1).

19 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution,hlm. 120 Hassan Hanafi, Religious, Dialogue and Revolution. hlm. 1.21 Hassan Hanafi, Religious, Dialogue and Revolution.hlm. 1-2.

Page 22: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

8 Dr. Adang Kuswaya

Selanjutnya Hassan Hanafi menegaskan bahwa hermeneutika se-bagai aksiomatika, yaitu sebagai sebuah metode yang mendeskripsi-kan proses hermeneutika sebagai ilmu pengetahuan yang rasional, formal, obyektif dan universal. Sehingga, menurut Hassan Hanafi hubung an hermeneutika dan kitab suci harus seperti hubungan antara aksio matika dan matematika.22

Dalam merealisasikan pemikiran hermeneutikanya, selain tesis dan disertasinya, Hassan Hanafi selain menulis karya-karya lainnya yang ber kaitan dengan metodologi penafsiran juga menulis karya eksegetik sebagai aplikasi dari metodologi yang ditawarkannya. Berikut ini adalah karya-karyanya dalam bidang hermeneutika.

Pertama, ‘Method of Thematic Interpretation of the Quran’; kedua, ‘Qirâ ah al Nash’; ketiga, ‘Mâdzâ Ta’nî Asbâb al Nuzûl’, keempat, ‘Manâhij al Tafsîr wa Mashâlih al Ummah’; kelima, ‘Ikhtilâf fî al Tafsîr am Ikhtilâf fî al Mashâlih’, ‘Hal Ladainâ Nazhariyah fî al Tafsîr’, keenam, ‘Ayyumhumâ Asbaq: Nazhariyah al Tafsîr am Manhaj Tahlîl al Khabarât?’, ketujuh, ‘’Aud ilâ al Manba am ’Aud ilâ al Thabî’ât?’ dan kedelapan, `’Ulûm al Ta`wîl Baina al Khâshah wa al ’âmah: Qirâ`ah fî Ba’dli A’mâl Duktûr Nashr Hâmid Abû Zaid’. Sedangkan tulisan Hassan Hanafi yang ber-kaitan dengan aplikasi metode penafsiran di antaranya ‘al Insân’, ‘al Mâl fî al Qur`an’, dan ‘Teology of Land’.

Pemikiran Hassan Hanafi dalam bidang Hermeneutika mereformasi penafsiran tradisional yang hanya bertumpu pada teks dan mengusulkan suatu metode tertentu agar realitas dunia Islam dapat berbicara sendiri. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji dan menjadi bahan tulisan secara akademik.

Inti pemaparan di atas memperbincangkan seputar perlunya se-buah metodologi baru bagi penafsiran al-Qur’an. Metode ini digagas oleh Hassan Hanafi sebagai metode yang dapat menjadi solusi bagi masalah

22 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 2. Bandingkan pula dengan Richard E. Palmer. Menurut Palmer, hermeneutika adalah proses penelaahan isi dan maksud yang mengejawantah dari sebuah teks, sampai pada makna yang terdalam (Richard E. Palmer, Hermeneutics, Evanston: North Western University Press, 1969, hlm. 43).

Page 23: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

9Menyoal Konstruksi Tafsir Al-Qur’an

kehidupan yang dialami umat Islam masa kini. Hal inilah yang menjadi alasan bagi penulis untuk mendalami metode apa sesungguhnya yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi serta bagaimana pula penyajian struktur teorinya.

Berdasarkan pertimbangan di atas, nampak jelas bahwa pemikiran hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi merupakan bidang garapan yang menarik dan cukup beralasan. Kenyataan ini yang membuat penulis akan mencoba dan merumuskan judul yaitu: Riset Tafsir: Aplikasi Pendekatan sosio-tematik Hassan Hanafi dalam Hermeneutika al-Qur’an.

B. RUANG LINGKUP DAN PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian di atas dan agar permasalahan yang akan dibahas tidak meluas, maka tulisan ini dibatasi pada pemikiran hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi. Pembatasan tersebut dilakukan dengan pertim-bangan adanya perbedaan istilah antara tafsir al-Qur’an tradisional dengan hermeneutika al-Qur’an. Oleh karena itu, dalam tulisan ini tidak dijelaskan pendapat Hassan Hanafi mengenai tafsir al-Qur’an tra disional dan perbedaan antara keduanya. Lagi pula, keduanya tidak hanya secara istilah melainkan secara metodologi juga sudah berbeda. Herme neu-tika al-Qur’an lebih menitikberatkan hubungan triadik yang saling ber-kelindan antara teks, penafsir dan audiens dimana unsur triadik yang terakhir sering tidak mendapatkan perhatian dalam tradisi penafsiran al-Qur’an tradisional. Dengan pembatasan ini juga tidak dimaksudkan bahwa hanya Hassan Hanafi yang menggunakan dan mempraktek-kan hermeneutika al-Qur’an. Karena masih banyak pemikir muslim lain yang menggunakan dan mempraktekkannya seperti Fazlur Rahman, Muhamad Arkoun, Farid Esack dan Amina Wadud Muhsin. Agar tulisan ini dapat terfokus dan terarah terhadap masalah-masalah yang akan diteliti, maka penulis merasa perlu merumuskannya dalam bentuk pertanyaan: Bagaimana konstruk pemikiran hermeneutika al-Qur’an? Hal tersebut dapat dirinci: pertama: apa yang dimaksud dengan hermeneutika sebagai aksiomatika? Kedua, metode apa yang ditawarkan untuk menafsirkan al-Qur’an bagi umat yang sedang menghadapi permasalahan kekinian?

Page 24: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

10 Dr. Adang Kuswaya

C. SIGNIFIKANSI TULISAN

Tujuan tulisan ini pertama, untuk menemukan data tentang pentingnya hermeneutika al-Qur’an yang dianggap sebagai solusi terhadap perma-salahan yang dihadapi umat Islam masa kini. Untuk menemukan data bagaimana menyajikan struktur teorinya. Kedua, untuk memperoleh data tentang metodologi penafsiran al-Qur’an yang ditawarkan sebagai metode yang dapat menjadi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam masa kini dan bagaimana cara kerja dari metodologi tersebut.

Tulisan ini dimaksudkan untuk menggali dasar-dasar, kaidah-kaidah secara menyeluruh sekaligus langkah nyata bagaimana metodologi yang dibangun. Tulisan diharapkan dapat memberikan sumbangan yang ber-arti bagi umat dan melengkapi khazanah Islam.

D. SURVEY KARYA-KARYA YANG RELEVAN

Sudah banyak tulisan tentang pemikiran baik dalam bentuk buku mau-pun artikel. Di antara tulisan-tulisan itu sebagai berikut ini.1. Kazuo Shimogaki, Between Modernity and Postmodernity The Islamic

Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading (Niigata, 1988). Shimogaki memberikan tiga hal pertimbangan untuk mema hami pemikiran Hassan Hanafi dalam kaitannya dengan Kiri Islam. Pertama, perannya sebagai pemikir revolusioner. Kedua, perannya sebagai seorang reformer dalam tradisi klasik Islam. Ketiga, perannya sebagai seorang yang berkeyakinan seperti Jamaluddin al Afghani, pelopor Pan-Islamisme. Shimogaki memposisikan pemikiran Hassan Hanafi berada di antara Modernisme dan Posmodernisme. Alasan Hassan Hanafi tidak dimasukkan dalam posmodernisme karena Hanafi menjunjung tinggi rasionalisme yang jelas bertentangan dengan posmodernisme.

2. Kusnadiningrat, Teologi Pembebasan Dalam Islam: Analisis Terhadap Gerakan Kiri Islam Hassan Hanafi (Jakarta, 1995). Kusnadiningrat men catat bahwa antara teologi pembebasan dan kiri Islam mem-punyai beberapa kesamaan yang melahirkan suatu dialektika di mana refleksi untuk praksis dapat membuka refleksi dan praksis

Page 25: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

11Menyoal Konstruksi Tafsir Al-Qur’an

selanjutnya secara kesinambungan. Sehingga secara metodologis, teologi pembebasan yang manapun memiliki kelengkapan berupa mekanisme untuk mengkritik dirinya menurut realitas-realitas yang dihadapinya.

3. A. Lutfi Assaukanie, Oksidentalisme, (Jakarta, 1994) menjelaskan bahwa oksidentalisme secara harfiyah berarti hal-hal yang berkenaan dengan Barat baik itu kebudayaan, ilmu dan aspek lainnya. Dalam tulisannya, tugas oksidentalisme yang paling utama adalah meng-hapuskan doktrin eurocetrisme dan pengembalian budaya Barat ke-pada batas daerah jangkauannya yang wajar karena selama ini kebu dayaan Barat telah keluar dari batas teritorialnya. Menurutnya, oksidentalisme ini merupakan wujud sikap Hanafi terhadap tradisi Barat. Hanafi menentang Barat tetapi tanpa disadari ia telah ter-pengaruh dan telah menjadi korban mitos “budaya universal” yang dipropagandakan terus oleh media massa Barat.

4. Ahamad Hasan Ridwan, Pemikiran Hassan Hanafi: Studi Gagasan Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam (Jogjakarta, 1996). Tulisan ini ber isi penjelasan tentang kerangka metodologi pemikiran Hassan Hanafi dalam mengaktualisasikan tradisi keilmuan klasik yang meru-pakan bagian dari gagasan “Kiri Islam”. Dengan gagasan itu, Hassan Hanafi memberikan sebuah tawaran yaitu menggunakan teks-teks untuk kepentingan agenda sosial yaitu memperlakukan agama se-cara praktis dan fungsional.

5. Muhammad Nur Ichwan, Hermeneutika Al-Qur’an: Analisis Peta Perkembangan Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer (Jogjakarta, 1995). Menurut Nur Ichwan, wacana keilmuan Tafsir al-Qur’an, meto dologi dan teori tafsir masih menjadi sesuatu yang periferial di-bandingkan dengan masalah isi tafsir itu sendiri. Berdasarkan pada asumsi ini ia mencoba menelusuri peta perkembangan metodologi tafsir al-Qur’an kontemporer dan mengklasifikasikannya menjadi dua alasan besar. Pertama, aliran obyektifitas yang diwakili oleh her-meneutika neomodernis al-Qur’an Fazlur Rahman memandang bahwa konteks ikut terserap dalam teks. Kedua, aliran subyektivitas yang diwakili Hassan Hanafi, Maulana Farid Essack dan Amina

Page 26: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

12 Dr. Adang Kuswaya

Wadud Muhsin memandang bahwa teks itu terserap dalam konteks kekinian.

6. Muhamad Nur Hakim, Rekonstruksi Warisan Intelektual: Studi Kritis atas Paradigma Pembaharuan Pemikiran Islam Hassan Hanafi, (Jakarta, 1995). Tulisan ini menjelaskan bahwa Hassan Hanafi dalam mere-konstruksi warisan intelektual Islam klasik, mengintegrasi dan me-rubah warisan klasik itu menjadi ilmu yang mempunyai dimensi kemanusiaan baru seperti merubah ilmu ushûl fiqh menjadi meto-dologi tulisan, ilmu tasawuf menjadi psikologi, fiqh menjadi ilmu politik, ekonomi dan hukum. Tidak hanya sebatas itu, bahkan Hassan Hanafi mengusulkan perubahan ilmu-ilmu tersebut menjadi suatu ideologi yang dapat menggerakkan ke arah perubahan sosial.

Tulisan-tulisan di atas secara umum menyoroti pemikiran kontemporer Hassan Hanafi tentang Islam Kiri, rekonstruksi khazanah klasik, teologi, dan oksidentalisme. Penulis akan mencoba meneliti metodologi pe-nafsiaran yang dikembangkan berdasarkan karya-karya tentang herme-neutika al-Qur’an.

Sepanjang pengetahuan penulis belum ada tulisan yang mendetail yang khusus mengkaji pemikiran hermeneutika al-Qur’an ditinjau dari sudut metodologinya. Untuk itu, penulis akan mendalami pemikiran hermeneutika al-Qur’an berdasarkan karya-karya tentang hermeneutika.

E. METODOLOGI PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam buku ini adalah menggunakan pen-dekatan kuaitatif dan library research juga digunakan pendekatan sejarah (historical approach). Pendekatan sejarah ini didasarkan pada argumentasi bahwa salah satu tulisan sejarah adalah tulisan tentang biografi seseorang yaitu tentang kehidupan seseorang dalam hubungannya dengan masya-rakat: sifat, watak, pengaruh pemikiran dan idenya. Kemudian meng-analisis karya-karya intelektual dan ilmiah serta biografinya.

Dalam pencarian data, metode yang digunakan adalah metode per pustakaan (library research). Dengan langkah kongkrit membaca dan

Page 27: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

13Menyoal Konstruksi Tafsir Al-Qur’an

menelaah secara mendalam buku-buku tentang hermeneutika al-Qur’an, buku karya Hassan Hanafi, khususnya mengenai pemikiran hermenutika al-Qur’an seperti pertama, ‘Method of Thematic Interpretation of the Quran’ yang termuat dalam buku Islam in The Modern World; kedua, ‘Qirâ ah al Nash’ dalam buku Dirâsât Falsafiyah; ketiga, ‘Manâhij al Tafsîr wa Mashâlih al Ummah’ dalam buku al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 Vol ke-7. Kemudian disertakan sumber-sumber sekunder, yaitu: komentar-komentar para penulis yang mengkaji tentang pemikiran herme neutika al-Qur’an. Studi yang merupakan tulisan pustaka ini lebih bersifat deskriptif dan analitis yakni dalam pengertian historis. Data pemikiran hermeneutika al-Qur’an akan ditelusuri dalam karya-karya intelektual Hassan Hanafi. Sementara data yang bertalian dengan sisi analitis dari studi ini akan ditelusuri dalam sumber-sumber dan hasil-hasil tulisan yang relevan.

Setelah data terkumpul, kemudian dilakukan analisis secara de-duktif, induktif dan komparatif. Metode deduktif dipergunakan dalam rangka memperoleh gambaran tentang detail-detail pemikiran herme-neutika al-Qur’an, sedangkan metode induktif, dipakai dalam rangka memperoleh gambaran utuh mengenai hermeneutika al-Qur’an. Ter-akhir, metode komparatif terutama digunakan untuk memban dingkan satu pemikiran tokoh dengan pemikir-pemikir lainnya.[]

Page 28: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

14 Dr. Adang Kuswaya

A. PROBLEM HERMENEUTIKA AL-QUR’AN.

Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein yang berarti menafsirkan atau hermenia yang berarti penafsiran.1 Istilah tersebut merujuk kepada seorang tokoh mitologis yang disebut Hermes, yaitu seorang utusan dewa yang bertugas menerjemahkan pesan Yupiter yang menggunakan bahasa langit agar lebih mudah dipahami oleh ma-nusia yang menggunakan bahasa bumi.2 Agaknya, Hermes adalah tokoh yang mewarnai banyak tradisi besar di masa lampau.

Dalam tradisi yang berbahasa Latin, Hermes dikenal dengan sebutan Mercurius,3 sementara dalam peradaban Arab Islam, Hermes disebut-sebut sebagai Nabi Idris yang dalam al-Qur’an dikenal sebagai orang per-tama yang mengetahui cara menulis, memiliki kemampuan teknologi (sina’ah), kedokteran, astrologi, sihir dan lain-lain. Bukti–bukti ini juga dapat ditelusuri dalam tulisan-tulisan Al Kindi, Al Syahrastani, Abu Al

1 James M. Robinson, “Hermeneutic since Barth” dalam The New Hermeneutic, ed. J. M. Robinson dan John B. Cobb, New York: Harper and Row Publisher, 1964 hlm. 1.

2 Richard E. Palmer, Hermeneutics:Interpretation Theory in Schleirmacher,Dilthey, Heidegger and Gadamer, Evanston: North Easteren University Press, 1969, hlm. 13-32.

3 James M. Robinson, “Hermeneutic since Barth” dalam The New Hermeneutic, ed. J. M. Robinson dan John B. Cobb, New York: Harper and Row Publisher, 1964 hlm. 1. lihat pula tulisan Gerhard Ebelling. “World of God and Hermeneutic” dalam The New Hermeneutic, ed. J. M. Robinson dan John B. Cobb hlm. 84. Lihat pada E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Jogjakarta: Kanisius, 1993, hlm. 23.

BAB II

PERKEMBANGAN

HERMENEUTIKA AL-QUR’AN

Page 29: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

15Perkembangan Hermeneutika Al-Qur’an

Wafa’ Al Mubasysyir ibn Fatik,4 Al Zauzani dan Al Qifti. Di kalangan Yahudi dalam mitologi Mesir kuno, Hermes dikenal sebagai Dewa Toth yang tidak lain adalah Nabi Musa.5 Dari sini kita dapat melakukan spekulasi bahwa Hermes merupakan istilah helenik bagi para nabi dan rasul.

Tugas Hermes, sebagaimana disinggung di atas, adalah penghu-bung dan penerjemah ajaran Tuhan kepada manusia, yang tidak ubah-nya seperti peran nabi dan rasul dalam Islam. Fungsi dan peran Hermes tersebut demikian urgen sebab jika saja Hermes keliru dalam meng-interprestasikan sabda Tuhan, pastilah ajaran dan misi Tuhan kepada manusia akan mengalami disorientasi. Dapat dipahami kemudian bila asosiasi hermeneutika dengan Hermes tidak lain untuk menggambar-kan pentingnya proses interpretasi dalam memahami maksud sebuah teks.

Beberapa kajian menyebutkan bahwa definisi hermeneutika secara umum adalah proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti.6 Tetapi apabila melihat kepada hermeneutika secara terminology, maka kata hermeneutika ini dapat diderivasikan men-jadi tiga pengertian. Pertama, Pengungkapan pikiran dalam kata-kata, pe-nerjemahan dan tindakan sebagai penafsir. Kedua, usaha mengalihkan dari bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh pembaca. Ketiga, pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.7

4 Abu al Wafa’ al Mubasysyir bin Fatik, Mukhtâr al Hikam wa Mahâsin al Kalîm, diedit oleh Abdurrahman Darwi, Madrid: Muthaba’ah al Ma’had al Mishr li Dirasah al Islamiyah, 1958, hlm. 7. Lihat Sayyed Hossein Nashr Knowledge and The Sacred, Edinburg: State University Press, 1989, hlm. 71. Bandingkan juga Komarudin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan cet.2. Jakarta: Teraju, 2004,hlm. 137.

5 Muhammad Abid al Jabiri, Naqd al ‘Aql al ‘Arabî Bagian ke-1 Takwîn al ‘Aql al ‘Arabî, cet. 4, Beirut: Markaz Dirâsah al Wahdah al ‘Arabiyah, 1989, Bab ke-7 bagian ke-9.hlm. 153, 174-175. Uraian mengenai hal ini lihat juga M. Abid al Jabiri, Naqd al ‘Aql al ‘Arabî Bagian ke-2 Bunyah al ‘Aql al ‘Arabî, cet. 3. Beirut: Markaz Dirâsah al Wahdah al ‘Arabiyah, 1990.

6 Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, hlm. 3.

7 F. Budi Hardiman, “Hermeneutik: Apa itu?” dalam Basis XL No. 3. 1990, hlm. 3

Page 30: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

16 Dr. Adang Kuswaya

Secara lebih luas Zygmunt Bauman memberikan definisi herme-neutika sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan penger-tian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi para pendengar atau pembacanya.8 Dalam arti ini menurut Komarudin Hidayat sebetulnya hermeneutika juga dikenal dalam tradisi Islam dengan istilah ilmu tafsir dan takwil. Tafsir artinya mengurai untuk men-cari pesan yang terkandung dalam teks, sedangkn takwil menelusuri ke-pada orisinalitas atau ide awal dari gagasan yang terbungkus dalam teks. Di sini tafsir dan takwil saling terkait, meskipun karakteristik takwil lebih liberal dan imajinatif. Apa yang sudah dilakukan oleh Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H) dengan karyanya, al Asybâh wa al Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm merupakan bukti hermeneutika al-Qur’an pertama dalam arti di atas.

Van A. Harvey mengemukakan bahwa hermeneutika dapat di be-dakan dalam dua kategori. Pertama, hermeneutika dalam arti umum dan kedua, dalam arti khusus. Dalam pengertian yang pertama hermeneutika berfungsi sebagai science of comprehension yang membentuk dasar-dasar untuk teknik penafsiran yang layak. Sedangkan dalam pengertian yang ke-dua hermeneutika berfungsi sebagai kegiatan exegese kitab suci.9

Dalam arti umum di atas biasanya hermeneutika diasosiasikan dengan Hermes yang menunjukkan dengan adanya struktur triadic yang saling terkait dalam setiap aktifitas penafsiran. Pada akhirnya triadic tersebut menjadi variable utama pada kegiatan manusia dalam mema-hami.10 Pertama, teks, pesan atau tanda yang menjadi sumber asal penaf-siran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa oleh Hermes yang membutuhkan kepada. Kedua, seorang penafsir atau mediator (Hermes) untuk. Ketiga, menyampaikan pesan kepada audien agar bisa difahami.

8 Komarudin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hlm. 138; Lihat pula Zygmunt Bauman, Hermeneutic and Social Sciences, New York: Columbia University Press, 1978, hlm. 7.

9 Van A. Harvey,”Hermeneutic” dalam Marcea Eliade, The Encyclopedia of Religion, New York: Mac Milan Publishing Co. Vol. ke-6, hlm. 280.

10 Van A. Harvey,”Hermeneutic” dalam Marcea Eliade, The Encyclopedia of Religion, hlm. 279.

Page 31: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

17Perkembangan Hermeneutika Al-Qur’an

Sedangkan hermeneutika secara khusus lebih menjurus kepada pe-nerapan hermeneutika umum dalam memahami teks-teks kitab suci.11 Dalam pengertian ini hermeneutika sudah banyak dilakukan oleh para agamawan sebelum istilah hermeneutika menjadi bahan kajian menarik di kalangan ahli filsafat. Dalam perkembangannnya hermeneutika umum melesat maju setelah beralih menjadi bahan kajian menarik para filosof sehingga dapat memunculkan disiplin keilmuan humaniora. Sementara hermeneutika khusus yang dikembangkan di kalangan agamawan untuk memahami kitab suci cenderung statis.

Meskipun hermeneutika bisa dipakai sebagai alat untuk menaf-sirkan berbagai bidang kajian keilmuan, melihat sejarah kelahiran dan perkembangannnya, harus diakui bahwa peran hermeneutika yang paling besar adalah bidang ilmu sejarah dan kritik teks, khususnya kitab suci. Sebagaimana dikatakan oleh Roger Trigg yang dikutip Komarudin Hidayat dalam bukunya Menafsirkan Kehendak Tuhan, sebagai berikut ini.

The paradigm for hermeneutic is the interpretation of a traditional text where the problem must always be how we can come to understand in our own contexts something which was written in a radically different situation.12

Sebagai sebuah tawaran metodologi baru bagi pengkajian kitab suci, keberadaan hermeneutikapun tidak dapat dielakkan dari dunia Kitab Suci al-Qur’an. Menjamurnya berbagai literature ilmu tafsir kontemporer yang menawarkan hermeneutika sebagai variabel metode pemahaman al-Qur’an menunjukkan betapa daya tarik hermeneutika luar biasa.

Sebenarnya istilah khusus yang digunakan untuk menunjuk kegiatan interpretasi dalam wacana keilmuan Islam adalah tafsir yang sudah digunakan sejak abad ke-5 H/11 M. Istilah ini digunakan se cara teknis dalam pengertian eksegesis di kalangan orang Islam sejak dahulu sampai sekarang.13 Sementara, istilah hermeneutika itu sendiri dalam sejarah keilmuan Islam khususnya tafsir al-Qur’an klasik, tidak ditemukan.

11 James Hasting (Ed. In chief) Encyclopedia of religion and Ethic, New York: Charles Scribner’s Sons. Hlm, 393-394.

12 Komarudin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hlm.175. 13 Farid Esack, Quran: Liberation and Pluralism, 1997, Oxford: Oneworld, hlm. 61.

Page 32: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

18 Dr. Adang Kuswaya

Walaupun demikian, menurut Komarudin Hidayat bahwa praktek hermeneutika dalam tradisi Islam sudah muncul sejak al-Qur’an itu diwahyukan. Hanya saja, hermeneutika yang berkembang dan dipahami dalam tradisi filsafat, secara metodologis, melangkah lebih jauh, se-hingga melampaui batas tradisi ilmu tafsir yang selama ini dikem bang-kan dalam studi Islam.14 Tetapi hal itu, menurutnya tidak berarti bahwa hermeneutika lebih tinggi ataupun lebih maju dari ilmu tafsir. Melain-kan, semata-mata menyangkut perbedaan tradisi dan metodologi yang diterapkan, yang masing-masing berkembang dalam tradisi filsafat serta sejarah dan lingkungan intelektual yang berbeda.

Hermeneutika al-Qur’an berkaitan dengan pemahaman dan inter-pretasi, maka wacana pemikiran Islam, mengenalnya justru sejak awal kelahirannya. Problem pemahaman dan penafsiran ini sejak semula lebih terfokus kepada al-Qur’an, karena dianggap merupakan bagian dari agama.15 Pada masa Rasulullah, penafsiran al-Qur’an belum menjadi masalah serius, karena al-Qur’an turun dalam lingkungan dialog dan me-naf sir kannya.16

Setelah Rasulullah wafat, maka muncul fenomena baru, di mana para Sahabat dianggap otoritatif, memiliki kewenangan menafsirkan al-Qur’an, seperti Ibn Abbas, Umar Bin Khattab, dan beberapa Sahabat

14 Komarudin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hlm. 149. 15 Praktek hermeneutika al-Qur’an sebenarnya telah dilakukan oleh umat Islam

sejak lama, khususnya ketika menghadapi al-Qur’an. Bukti-bukti ini diperkuat oleh Farid Esack, pemikir Islam kontemporer asal Afrika Selatan, dalam bukunya, Quran: Liberation and Pluralism. Menurutnya, ada tiga bukti untuk memperkuat hal itu. Pertama, problematika hermeneutika itu senantiasa dialami dan dikaji meskipun tidak ditampilkan secara definitif. Hal ini terbukti dari kajian-kajian mengenai asbâb al nuzûl dan nâsikh wa al mansûkh. Kedua, perbedaan antara komentar-komentar yang aktual terhadap al-Qur’an (tafsir) dengan aturan, teori atau metode penafsiran telah ada sejak mulai munculnya literatur-literatur tafsir yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir. Ketiga, tafsir tradisional itu selalu dimasukan ke dalam kategori-kategori, misalnya tafsir syi`ah, tafsir mu’tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat, dan lain sebagainya. Hal itu menunjukkan adanya kesadaran tentang kelompok-kelompok tertentu, ideologi-ideologi tertentu, periode-periode tertentu, maupun horison-horison sosial tertentu dari tafsir. Farid Esack, Quran: Liberation and Pluralism, hlm. 61.

16 Muhammad Hesein al Dzahabi, Al Tafsîr wa al Mufassirûn, Juz I, Beirut: Dar al Fikr,1986, hlm. 32.

Page 33: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

19Perkembangan Hermeneutika Al-Qur’an

lain nya. Pada masa Nabi dan Sahabat inilah berkembang wacana “tafsir lisan”, di mana tafsir diajarkan dan berkembang dari mulut ke mulut.

Dalam budaya lisan, penafsiran secara riwayat begitu dominan, di mana kwalitas intelektual dan spiritual menjadi pertimbangan utama dalam periwayatan tersebut. Ketika terjadi transformasi dari budaya lisan kepada kebudayaan tulis pada era tadwin (abad kedua Hijriah), maka lambat laun berkembanglah dalam masyarakat Muslim wacana “tafsir tulis”.17 Implikasi transformasi ini nampak kuat pada munculnya dan menguatnya penafsiran dirâyah (ra`yu), di satu sisi dan semakin mapan-nya metode tafsir riwâyah, di sisi lain.

Sedangkan istilah hermeneutika itu sendiri mulai popular dalam beberapa dekade terakhir, khususnya dengan perkembangan pesat tek-nologi informasi dan juga the rise of education yang banyak melahirkan intelektual muslim kontemporer.

B. PRAKTEK HERMENEUTIKA DALAM TRADISI ISLAM

Pada era tadwin, secara perlahan dimulai upaya-upaya metodologis dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Hal ini mulai nampak, misalnya Maqatil bin Sulaiman (w. 150 H) dalam al Asybâh wa al Nazhâir fî al Qurân al Karîm. Dalam kitab tersebut, nampak bahwa Maqatil tertarik pada masalah keberagaman makna kata-kata dan ibarat al-Qur’an. Demikian juga Abu Zakariya Yahya bin Zayad al Farra (wafat 207 H) dalam Ma’âni al-Qur’an18, menunjukkan adanya fenomena “pelampauan” (al Tajawwuz) dan perluasan makna (al ittisa’) dalam wacana al-Qur’an. Upaya yang lebih mendalam dilakukan oleh Abu ‘Ubaidah ma’mar bin al Mutsanna (wafat 215 H) dalam Majâz al Qurân19. Kitab ini membahas masalah gaya bahasa metaforis dalam al-Qur’an.20

17 M. Abid al-Jabiri, Bunyah al ‘Aql al’Arabî, hlm. 14.18 Abu Zakariya Yahya bin Zayyad al-Farra, Ma’âni al Qurân, ed. Ahmad Yusuf al

Najjati [et.al], (kairo al-Kutub al-Misriyyah, 1955-1875).19 Abu Ubaidah Ma’mar bin al Mutsanna, Majâz al Qurân, ed. M. Fuad Sizkin,

(Kairo: Maktabah al-Khanaji, 1954).20 M. Abid al Jabiri, Bunyah al ‘Aql al’Arâbî, hlm. 21.

Page 34: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

20 Dr. Adang Kuswaya

Meskipun demikian, apa yang diupayakan oleh tokoh-tokoh di atas, masih terbatas pada pengungkapan karakteristik kesusastraan al-Qur’an. Yang terakhir ini, pertama kali diupayakan oleh Imam al Syafi’i (w.204 H) dalam al Risalah. Meskipun kitab ini sebagai berkaitan dengan Usul Fiqh, di sini munculnya keterkaitan antara Usul Fiqh dan her me-neutika al-Qur’an.

Dalam kitab inilah Imam al Syafi’i membahas al-Qur’an dan sunnah, tentang tingkatan-tingkatan penjelasan (al bayân), nâsikh dan mansûkh, umum dan khusus, mujmal dan mufashal, amr (perintah) dan nahy (larangan). Imam Haramaen Al Juwaini (w. 478 H) mensinyalir bahwa tidak ada yang mendahului Imam al Syafi’i dalam merumuskan prinsip-prinsip metodologis keilmuan Islam (al ushûl) dan epistemologinya.21

Imam al Syafi’i lebih menekankan pada masalah prinsip-prinsip penafsiran, atau dengan kata lain dengan masalah pemahaman teks (al fahm), sedangkan al-Jahizd (w. 255 H) lebih tertarik kepada masalah al ifhâm, penciptaan wacana yang dapat dipahami oleh audiens dan mem-buatnya puas, melemahkan argumentasi lawan pembicaraannya dan membuatnya tidak berkutik serta merumuskan syarat-syarat dalam meng-hasilkan suatu wacana yang efektif.

Dalam hal ini, audiens merupakan faktor penting dan fundamental, bahkan merupakan tujuan dari wacana tersebut. Hal inilah yang tidak dilakukan oleh Imam al Syafi’i, karena ia hanya memfokuskan pem-bicaraan kata lain, metodologi Imam al Syafi’i dalam Ushûl Fiqh lebih bersifat introvert, sementara metodologi al Jahizd (dalam sastra dan balag-hah) bersifat ekstrovert.

Abu Husen Ishaq bin Ibrahim bin Sulaiman Wahab al Katib dikenal dengan nama Ibn Wahab (th. 335 H) menulis bukunya al Burhân fî Wujûh al Bayân yang kemudian muncul dengan menggabungkan kedua meto-dologi di atas. Ia tidak puas dengan dualisme tersebut dan berupaya mem-buat sintesis teoritis. Usaha tersebut sekaligus mengantarkannya menjadi peletak dasar-dasar epistimologi “al bayân” dalam pengertian mencakup al tabâyun dan al tabyîn yakni proses mencari kejelasan (al zhuhûr) dan

21 Khalid Abdurrahman Al’ak, Ushûl al Tafsîr wa Qawâiduh, (Bairut: Dâr al Nafis, 1986) hlm. 35.

Page 35: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

21Perkembangan Hermeneutika Al-Qur’an

pemberian penjelasan (al izhhâr); upaya memahami (al fahm) dan upaya memahamkan (al ifhâm); perolehan makna (al talâqî) dan penyampaian makna (al tablîgh).22

Ibn Wahab memfokuskan pemahamannya pada masalah lafazh dan makna kemudian mengkaitkannya dengan pembahasan ahli Ushul tentang khabar, qiyâs, syarat-syarat validasi dan tingkatan-tingkatan ke-be naran.23 Upaya-upaya di atas terus berlanjut sesuai dengan per kem-bangan-perkembangan yang mengikutinya, yang tidak mungkin di ke-mu kakan secara detail di sini.

Pembahasan di atas jelas melibatkan beberapa disiplin keilmuan, yakni tata bahasa (nahwu), sastra (balâghah), fiqh atau usul fiqh, dan ilmu kalam atau ushuluddin, yang di dalam epistimologi yang dirumuskan oleh Muhammad Abid al Jabiri, masuk dalam kategori al Bayânî. Menurut Al Jabiri bahwa al Bayânî merupakan suatu disiplin keilmuan yang ber-orientasi pada pencarian makna atau petunjuk (al istidlâl). Kategori lain adalah al’irfânî, yakni mencari kebenaran dengan menggunakan ma’rifah, yakni tasawuf. Sedangkan al burhânî yakni mencari kebenaran dengan menggunakan penalaran demonstratif (burhânî), yakni filsafat. 24

Karya-karya Muhammad ibn Idris Al Syafi’i dalam ‘Ilm Ushul Fiqh salah satunya kitab al Risâlah menurut al Jabiri adalah sebagai pondasi pertama hermeneutika klasik al-Qur’an sebagai metode interprestasi teks dan wacana al fahm. Hal ini karena perhatian al Syafi’i tidak lagi ter-batas pada aspek susastera dalam al-Qur’an atau sekedar menafsirkan teks secara non metodis sebagaimana yang banyak dipraktekkan para pemikir sebelumnya. Formulasi ushul al Fiqh dari al Syafi’i telah meng-arahkan kepada perumusan metode memahami kehendak Tuhan sebagai pembuat hukum (al Hâkim) melalui aspek-aspek linguistik (retorika al-Qur’an).

22 M. Abid al-Jabiri, Bunyah al ‘Aql al ‘Arâbî, hlm.38. Hanya saja menurut Jabiri bahwa al ifhâm di sini lebih dekat kepada retorika ketimbang sebagai sebuah teori pemahaman, mengingat fungsinya hanya untuk memuaskan logika dan perasaan audiens dan memenangkan debat teologi (M.Abid al-Jabiri, Bunyah al ‘Aql al ‘Arabî, hlm. 25).

23 M. Abid al-Jabiri, Bunyah al ‘Aql al ‘Arâbî , hlm.37.24 M.Abid al-Jabiri, Bunyah al ‘Aql al ‘Arâbî, hlm.383.

Page 36: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

22 Dr. Adang Kuswaya

Dalam upaya merumuskan metode memahami teks seperti al bayân, nâsikh wa mansûkh, ‘âm dan khâsh, mujmal dan mufashal, amr dan nahy dan sebagainya, al Syafi’i melakukan induksi metodologis dari bentuk-bentuk retorika al-Qur’an untuk memperoleh prinsip-prinsip hukum yang bersifat generik yang tidak lain menjadi prinsip umum bagi interprestasi yang pada gilirannya dideduksi kembali dalam menentukan hukum (istinbâth) dari al-Qur’an. 25

Adanya afinitas antara ushul al fiqh dan hermeneutika klasik al-Qur’an bukanlah sebuah kebetulan yang mengherankan. Karena meski-pun keduanya memiliki perbedaan istilah maupun obyek formal, tetapi pada dasarnya berada pada kerangka epistimologis yang sama, yakni epistimologi al bayanî yang obyek materialnya adalah al-Qur’an.

Beberapa aspek metodologis dari Ushûl al Fiqh yang telah dirumus-kan al Syafi’i dalam perkembangannya kemudian, dipinjam dan di-kembalikan lebih lanjut dalam sebuah disiplin yang disebut ‘Ulûm al Qurân atau ‘Ilm al Tafsîr.26 Sejalan dengan kategori yang dikemukakan oleh M. Abid al Jabiri, jelas bahwa hermeneutika al-Qur’an (Islam) ber-akar pada al bayânî, di atas. Perincian di atas adalah berkaitan dengan hermeneutika al-Qur’an tradisional. Munculnya gerakan pembaharuan (ishlah) pada abad ke-18 ternyata membawa implikasi pada munculnya suatu hermeneutika baru.

Hermeneutika al-Qur’an dalam pengertian modern (diilhami oleh modernitas) ini dimulai oleh para pembaharu India, seperti Sayyed Ahmad Khan (1817-1898M), Amir Ali (1849-1928 M), dan Ghulam Ahmad Parwez terutama yang berkaitan dengan demitologisasi konsep-konsep tertentu dalam al-Qur’an yang mereka anggap bersifat metodologis, seperti konsep tentang mukjizat dan hal-hal gaib.27 Di Mesir

25 M. Abid al-Jabiri, Bunyah al ‘Aql al ‘Arâbî , hlm. 21-22.26 M. Abid al-Jabiri, Bunyah al ‘Aql al ‘Arâbî, 13 – 15.27 Tentang tafsir modern al-Qur’an di India, lihat JMS. Baljon, al-Qur’an dalam

interpretasi Modern, terj. Eno Syafrudin, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1990); Taufik Adnan Amal, Pembaharuan Penafsiran Al-Qur’an di Indo-Pakistan, dalam jurnal Ulumul Quran No. 1 dan 2 Vol. III 1992. Pengertian demitologisasi seperti diungkapkan Poespoprodjo adalah metode penafsiran yang dilakukan dengan cara menerjemahkan dari bahasa mitologis kedalam bahasa eksistensialis, yakni ke dalam pernyataan-pernyataan tentang

Page 37: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

23Perkembangan Hermeneutika Al-Qur’an

muncul Muhammad Abduh (1849-1905 M) menawarkan hermeneutika al-Qur’an yang bertumpu pada analisis sosial kemasyarakatan. Meskipun demikian mereka tidaklah merumuskan metodologi penafsiran mereka dengan sistematik.

Tentu hermeneutika belumlah dikenal dalam tradisi keilmuan Islam, setidaknya sebelum dekade 1980. Dekade ini telah memunculkan tokoh-tokoh yang serius memikirkan masalah metodologi tafsir. Sebagaimana telah disebutkan, pada 1965 dan 1966, Hassan Hanafi mempublikasi-kan tiga karyanya tentang hermeneutika28, di mana yang pertama terkait dengan metode hermeneutika yang digunakan dalam upaya rekons-truksi ilmu Ushul Fiqh, yang kedua hermeneutika fenomenologi di dalam menafsirkan fenomena keagamaan dan keberagamaan dan yang ter akhir terkait dengan kajian kritis terhadap hermeneutika eksistensial dalam konteks penafsiran Perjanjian Baru.29

Meskipun kemunculan sistematika hermeneutika al-Qur’an mulai dekade 1960, namun pada kenyataannya baru mendapatkan sambutan yang luas pada akhir dekade 1970, tepatnya setelah Fazlur Rahman me-rumuskan hermeneutika sistematikanya. Arkoun beberapa tahun sebe-lum nya menawarkan “cara baca” semiotik dalam penafsiran al-Qur’an pun tidak mendapatkan sambutan luas di dunia Islam.

Tak dapat dipungkiri, bahwa Fazlur Rahman telah menumbuhkan kesadaran baru di kalangan kaum Muslimin tentang bagaimana seharus-nya penafsiran al-Qur’an. Namun demikian, dasar metodologi Fazlur Rahman sangat kental dipengaruhi hermeneutika yang berkembang di Barat walaupun tak sulit pula mencari akar tradisionalnya dalam wacana keilmuan Islam.

Melihat perincian di atas, sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa hermeneutika al-Qur’an adalah hal baru dalam sejarah pemikiran Islam, meskipun istilah hermeneutika itu sendiri baru dikenal (dalam Islam)

kemungkinan eksistensi manusia. Diperkenalkan oleh Rudolf Bultman (1884-1976) dalam memahami kisah-kisah mitologis Bibel menurut pengalaman manusia modern.(Peospoprodjo, Interpretasi, hlm. 140-145)

28 Hassan Hanafi, Muqaddimah fî ’Ilm Istighrab, hlm. 8429 Hassan Hanafi, Muqaddimah fî ’Ilm Istighrab, hlm. 84-86.

Page 38: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

24 Dr. Adang Kuswaya

setidaknya sejak dekade 1960. Hal ini disebabkan karena hermeneutika berkaitan dengan masalah metodologi dan teori interpretasi. Artinya her meneutika al-Qur’an bisa diterapkan pada metodologi dan teori pe-nafsiran al-Qur’an yang dirumuskan oleh para pakar tafsir klasik.

Hal di atas nampak dalam beberapa tulisan tentang hermeneutika al-Qur’an klasik yang dilakukan oleh Azim Nanji, yang membahas tentang teori ta`wil dalam tradisi keilmuan Ismail, D. Mc Auliffe membahas meto dologi tafsir al-Tabari dan Ibn Katsir, serta Peter Heath yang mem-bahas metodologi tafsir al-Thabari, Ibn Sina dan Ibn al’Arabi.30

Kata Hermeneutik atau Hermeneutika al-Qur’an dalam beberapa tulisan di atas adalah istilah yang digunakan oleh peneliti untuk me-nyebut metodologi dan teori tafsir yang dipergunakan oleh tokoh yang ditelitinya. Ini berkaitan erat dengan pengertian tradisional hermeneutika itu sendiri. Namun sejalan dengan perkembangan hermeneutika di Barat, hermeneutika al-Qur’an memiliki konotasi yang berbeda dengan sebelum-nya.

Hal di atas disebabkan karena beberapa tokoh perumus herme-neutika al-Qur’an terinspirasi oleh hermeneutika kontemporer Barat. Dalam kasus ini, kata hermeneutika tidak lagi merupakan istilah yang di-berikan oleh peneliti “luar”, tetapi telah dipergunakan oleh orang Islam sendiri, seperti Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, Maulana Farid Esack, Amina Wadud Muhsin dan beberapa yang lain.31

Tentu hal di atas bukan sekedar perubahan atau pengadopsian istilah, tetapi membawa konsekuensi pada perumusan metodologinya.

30 Azim Nanji “Toward a hermeneutic of Quranic and Other Narrutives in Ismaili Thought” dalam Richard C.Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, The University of Arizona Press; J.D.McAuliffe, 1985, “Quranic Hermeneuties the Views of al-Thabari and Ibn Kathiir”, dalam Andrew Rippin (Ed), Approaches to the History of Interpretation of the Quran, (Oxford: Claredon Press, 1988) hlm. 46-62

31 Hal ini nampak tulisan-tulisan mereka. Lihat, Hassan Hanafi dalam ketiga karyanya dekade 1960, juga dalam Religious Dialogue and Revolution (Kairo: Anglo Egypt Bookshop) dan al-Dîn wa al Tsaurah, vol. I dan II (Kairo: Maktabah Madbuli, 1987 dan 1989); Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: The University of Chicago Press, 1982); Farid Esack, “Qur’anic Hermeneutic: Problem and Prospect”, dalam The Muslim World. Vol. 83, no. 2 (April, 1993), hlm. 144-141 dan beberapa karyanya yang lain; serta Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women.(Kuala Lumpur; Fajar Bakti, 1992).

Page 39: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

25Perkembangan Hermeneutika Al-Qur’an

Hermeneutika al-Qur’an kontemporer sangat mempertimbangkan ke-terkaitan struktur triadik; teks, penafsir dan audiens sebagai sasaran teks.

Hal ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dilihat dalam herme-neutika al-Qur’an kontemporer. Tetapi perlu dijelaskan di sini, bahwa struktur triadik itu telah hidup dalam hermeneutika al-Qur’an tradisional, yakni dalam tradisi keilmuan al Bayanî, terutama Ushul Fiqh.

Jadi, sampai di sini dapat disimpulkan bahwa hermeneutika al-Qur’an terbagi ke dalam hermeneutika al-Qur’an tradisional dan kontemporer. Pemilahan ini bukan berdasarkan atas fase kesejarahan, tetapi atas kriteria metodologinya. Hermeneutika al-Qur’an tradisional adalah herme neutika al-Qur’an pra-perumusan sistematik, dan hermeneutika al-Qur’an kon-temporer adalah mulai perumusan sistematik itu sendiri. Secara se pintas keduanya telah disinggung di atas.

C. MODEL HERMENEUTIKA AL-QUR’AN AWAL DARI MUQATIL BIN SULAIMAN

Muqatil bin Sulaiman bin Basyir al Balkhi lahir di Balkh, Khurasan. Tahun kelahirannya menurut beberapa literatur yang ada, seperti yang diutara-kan oleh DR. Abdullah Mahmud Syahatah sekitar tahun 106 H. dan wafat tahun 150 H/ 763 M. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, Muqatil me nyatukan antara metode bi al ma`tsûr dan metode bi al ‘aql.32

Beberapa referensi menyatakan bahwa Muqatil bin Sulaiman (w.150H) membantah konsep perwujudan Tuhan dalam diri manusia (tajsim). Dia juga pernah berdebat dengan Jahm ibn Shafwan (w. 128 H). Judul buku Muqatil, Al Asybâh wa Al Nazhâ’ir, merupakan kitab herme neutika al-Qur’an pertama yang sampai kepada kita yang menurut pengedit-nya ke mungkinan mempunyai banyak nama di antaranya Al Âyat al Mutasyâbihât33. Buku tersebut menunjukkan adanya kesan keragaman

32 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, diedit oleh Abdullah Mahmud Syahatah, Kairo: Al Hai`ah al Mishriyyah, 1994, hlm. 12-60

33 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al Qurân al Karîm, hlm.81. Kitab ini merupakan potongan dari Al Wujûh wa al Nazhâ`ir. Di dalam karya tafsirnya Muqatil menyebutkan beberapa orang mufasir dalam kalangan tabi’in seperti Said Ibnu Jubair, Mujahid Ibn Jabr dan Dahhâk Ibn Muzâhim (w. 105/723). Said Ibn Jubair

Page 40: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

26 Dr. Adang Kuswaya

makna teks (dalâlah) pada satu kata karena mengikuti keragaman arah kalimat.

Buku tersebut dianggap sebagai implementasi pernyataan ‘Ali ibn Abu Thalib sebelumnya “al-Qur’an hammâl aujuh” bahwa al-Qur’an memiliki perspektif yang beragam34. Eksplorasi tentang keragaman makna bagi satu teks ini beredar di kalangan mufasir sehingga menjadi pem bahasan khusus ilmu al-Qur’an yang tertuang dalam Bab “Al Wujûh wa Al Nazhâ`ir” (Ragam Perspektif dan Perbandingan), salah satu cabang ‘Ulûm al-Qur’an, sebagaimana bab-bab lainnya seperti al Nâsikh wa Mansûkh, I’rab, dan sebagainya. Bab tersebut diperkenalkan oleh Imam Al-Suyuthi dalam uraiannya, “Keragaman perspektif ” merupa-kan bagian musytarak (sinonim) yang digunakan untuk banyak makna, seperti kata ummah (umat). Ada yang mengatakan bahwa al nazhâir (per-bandingan) hanya berlaku pada kata atau teks, sedangkan wujûh (sisi per-samaan) berlaku dalam makna.35

Karya Muqatil membentangkan beberapa kata dan kalimat, bahkan juga huruf yang terdapat dalam al-Qur’an. Dia berupaya untuk mem-persingkat arah makna-makna kata, kalimat dan huruf dengan men-dasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an. Di sini, terkesan bahwa Muqatil meng-kaji dengan serius dan menjelaskan makna teks dalam bentuk redaksi-nya yang beragam. Artinya, pemikiran tentang perpindahan makna teks (dalâlah) dari satu makna ke makna lain sudah ada dalam benak Muqatil. Ini terjadi, meskipun dia tidak berupaya menyingkap hubungan antara

dan Mujahid Ibn Jabr adalah murid langsung dari Abdullah Ibn ‘Abbas. Selain karya tersebut, Muqatil juga menulis beberapa karya tafsir yang lain seperti tafsir Khamsumi`ah Âyat min al-Qur’an, al Tafsîr fî Mutasyâbih al-Qur’an dan al Tafsîr al Kabîr. Pada zamannya, tafsir Muqatil termasuk karya yang dijadikan panduan para ulama lain. Sufyan Ibn Uyainah (107-198/ 725-814) misalnya, mempelajari karya Muqatil. Imam al Syafi’i (w. 204/ 820) juga punya akses ke tafsir Muqatil. Ia menganggap Muqatil sebagai pemimpin di dalam kajian literatur tafsir. Beberapa salinan tafsir Muqatil terus beredar di abad ke-3 dan dipelajari oleh para ulama seperti Imam Ahmad Ibn Hanbal (213-290/ 828-903) (Nabia Abbot, Studies in Arabic Literary Papyri II: Quranic Commentary and Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, hlm. 101).

34 Nashr Hamid Abu Zaid, Al Ittijâh al ‘Aql fî al Tafsîr, Beirut: Al Markaz al Tsaqafî al ‘Arabî. cet.iii 1996, hlm.97.

35 ‘Abd al Rahman Jalal al Din al Suyuthi, Al Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut: Dar al Fikr, 1982 hlm.141.

Page 41: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

27Perkembangan Hermeneutika Al-Qur’an

petunjuk teks (dalâlah) atau ragam persamaan yang terdapat dalam satu kata. 36

Penamaan makna-makna dengan nama wujûh (ragam perspektif) memperkuat dugaan adanya keragamaan penunjukkan terhadap satu kata dan perbedaannya dari satu bentuk ke bentuk lain, serta dari satu redaksi ke redaksi lain. Muqatil menegaskan, “Seseorang tidak dianggap ahli fiqih kecuali dia mengetahui al-Qur’an dari berbagai perspektif.37

Muqatil mengetahui pasti bahwa satu kata mempunyai makna atau segi tertentu. Dia juga menyadari bahwa makna dan segi lainnya berasal dari satu kata itu. Ketika mengisyaratkan kepada makna aslinya, dia mengatakan, “Inilah makna denotatifnya (al ma’nâ al haqîqî)”. Maksud per-kataan itu bahwa sebuah kata mempunyai satu makna asli yang populer dan bisa dipahami secara spontan ketika diucapkan. Misalnya, dalam al-Qur’an kata “maut” digunakan untuk lima arti: air mani, sesat dari tauhid, tanah yang gersang, tanah yang ditumbuhi sedikit tanaman, dan hilang nya nyawa.38 Dari kelima arti itu, empat pertama digunakan untuk makna sekunder (ma’nâ far’î) dan makna kelima adalah makna primer (al ma’nâ al ashlî). Muqatil menegaskan bahwa mati dalam pengertian melepasnya ruh digunakan dalam firman Allah “Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka pun akan mati” (Q.S. al Zumar/39: 30), dan “Setiap jiwa akan merasakan kematian” (Q.S. Ali Imrân/3: 185). Dengan demikian, makna terakhir itulah yang merupakan makna asli atau makna primer dari kata “mati” sedangkan beberapa arti sebelumnya adalah makna sekunder.

Muqatil juga menempuh metode seperti itu, ketika menghadapi ungkapan dan redaksi kalimat dalam al-Qur’an. Dia tertegun ketika sampai pada kata hasanah (kebaikan) dan sayyi`ah (keburukan), al zhulumât (kegelapan) dan al nûr (cahaya), al thayyib (bagus, bersih) dan al khabîts (kotor, jijik), aqâma al shalâh (mendirikan shalat), mâ baina aidîhim wamâ khalfahum (apa yang ada di hadapan mereka dan di belakangnya), mustaqarrun wa mustauda’ (tempat tetap dan tempat simpanan).39

36 Nashr Hamid Abu Zaid, Al Ittijâh al ‘Aql fî al Tafsîr, Beirut: Al Markaz al Tsaqafî al ‘Arabî. cet.iii 1996, hlm. 98.

37 Al Suyuthi, Al Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an. hlm. 141.38 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 226-227.39 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 107, 116,

Page 42: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

28 Dr. Adang Kuswaya

Muqatil memahami bahwa ada makna yang tersurat dan yang tersirat. Misalnya, kata al zhulumât wa al nûr memiliki dua arti. Pertama, al zhulumât adalah menyekutukan Allah (syirk), sedangkan al nûr (cahaya) adalah iman kepada Allah, seperti dalam firman-Nya: “Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya”. (Q.S. al Baqarah/2: 257). Maksudnya, mengeluarkan dari per-buatan syirik menuju keimanan. Demikian juga dalam Surah al Ahzâb/33: 43, “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohon ampunan untukmu) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan menuju cahaya”. Maksudnya dari perbuatan syirik menuju keimanan. Kedua, al zhulumât adalah malam, sedangkan nûr (cahaya) adalah siang. Ini bisa ditemukan dalam Surah Al An’âm/6: 1, “segala puji bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang”.40 Dalam hal ini, Muqatil tidak memahaminya dengan arti syirik dan keimanan, tetapi menakwilkannya dengan siang dan malam. Dari sini, tampak bahwa dia bermaksud men-jelaskan adanya arti yang beragam dalam al-Qur’an.

Jika suatu kata mempunyai perspektif beragam, demikian juga satu huruf. Dalam hal ini, Muqatil menguraikan makna huruf yang beragam, namun dia tidak menjelaskan makna yang asli dan yang bukan. Dia hanya menunjukkan bahwa kedua makna mempunyai perspektif makna yang beragam. Ini akan memperkuat dasar penafsiran al-Qur’an dan ilmu-ilmu al-Qur’an yang menjadi paradigma bagi perkembangan peradaban Islam, khususnya kajian bahasa dan sastra.

Selain itu, istilah matsâl oleh Muqatil diuraikannya dengan melihat hubungan antara makna asli dan makna kiasan. Hal itu terjadi ketika dia menafsirkan kata mâ`a (air) yang disebutkan dalam al-Qur’an. Dia berpendapat bahwa kata tersebut mempunyai beberapa arti: air hujan, air mani, dan al-Qur’an. Maksudnya, sebagaimana air adalah sumber kehidupan, demikian pula al-Qur’an yang merupakan sumber kehidupan bagi orang yang mengimaninya.41

127, 129, 215, dan 313.40 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 116-117.41 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 181 lihat

pula hlm. 223 bentuk lain dari kata nâr.

Page 43: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

29Perkembangan Hermeneutika Al-Qur’an

Menurut Abu Zaid, kitab Al Asybâh wa Al Nazhâ`ir karya Muqatil ibn Sulaiman merupakan kitab yang berlawanan dengan pe-mikiran Mu’tazilah khususnya tentang paradigma al mujassimah atau al musyabbihah.42 Para sejarahwan menginformasikan bahwa Mutaqil telah menyusun banyak buku, di antaranya Mutasyâbih al-Qur’an dan al Âyat al Mutasyâbihât.43 Sekalipun diyakini sebagai karya Muqatil, kitab-kitab tersebut tidak mendefinisikan al mutasyâbihât dalam istilah Mu’tazilah. Kitab ini lebih banyak berisi penolakan terhadap kelompok yang meragukan al-Qur’an dan meyakini adanya pertentangan dalam al-Qur’an.44 Dengan demikian, pengertian al mutasyâbih dalam kitab tersebut lebih dekat kepada pengertian kebahasaan, yaitu ayat-ayat yang sulit dipahami. Pem-bahasan kitab al Asybâh wa al Nazhâ’ir tentang al mutasyâbih tidak lebih dari itu.

Ketika Muqatil ibn Sulaiman membahas ayat muhkam dan mutasyâbih (Q.S. Ali Imrân/3: 7), dia hanya mengulang pendapat Ibn ‘abbas yang me nerangkan bahwa ayat mutasyâbih adalah huruf-huruf muqatha’ah yang terdapat di awal surah. Dia pun memberikan pengertian takwil sebagai yang ditakwil (mu`awwal) dan menolak kemungkinan mengetahui ayat-ayat mutasyâbih dengan cara takwil.45 Muqatil menerapkan konsep ini pada ta`wîlahû dalam ayat ibtighâ`a al fitnati wa ibtighâ`a ta`wîlihi (Q.S. Ali Imrân/3: 7). Dia menafsirkan sebagai “banyaknya (kekuasaan) yang dimiliki Muhammad beserta kaumnya”. Orang-orang Yahudi ingin mengetahui seberapa besar jumlah kekuatan Muhammad dan umatnya agar mereka dapat mengalahkan umat Muhammad dan mengembalikan kekuasaan kepada orang-orang Yahudi. Firman-Nya, “Wa mâ ya’ lamû ta`wîlahû illa Allah” (Q.S. Ali Imrân/3: 7), artinya “tidak ada yang mengetahui kekuasaan Muhammad dan kaumnya kecuali Allah SWT”. Karena mereka berkuasa

42 Nashr Hamid Abu Zaid, Al Ittijâh al ‘Aql fî al Tafsîr, hlm. 148.43 Ahmad Mushthafa al Maraghi, Târîkh ‘Ulûm al Balâghah al ‘Arabiyah, Kairo: Al

Bâbî al Halabî, 1950, cet.I, hlm. 43. lihat pula Nashr Hamid Abu Zaid, Al Ittijâh al ‘Aql fî al Tafsîr, Beirut: Al Markaz al Tsaqafî al ‘Arabî. cet. III. 1996, hlm. 148.

44 Muhammad Zaglul Salam, Âtsar Al-Qur’an fî Tathawwur al Naqd al ‘Arabî, Kairo: Dar al Maarif, 1968, cet. III, hlm.39-40.;Nashr Hamid Abu Zaid, Al Ittijâh al ‘Aql fî al Tafsîr, hlm.148

45 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 131.

Page 44: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

30 Dr. Adang Kuswaya

hingga hari kiamat dan orang Yahudi tidak akan mengambil bagian di dalamnya. Tafsir ini bertentangan dengan pengertian muhkam dan mutasyâbih dari segi etimologis sekalipun sesuai dengan istilah takwil yang dibahas oleh Muqatil.

Konsep kedua yang ditampilkan Muqatil ibn Sulaiman dalam kitab-nya adalah konsep tajsîd (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya) dan irjâ’ (penangguhan hukuman),46 dua konsep yang diragukan dan ditolak kelompok Mu’tazilah berdasarkan argumentasi akal dan interpretasi teks. Pada dasarnya golongan Asy’ariyyah tidak berbeda pandangan mengenai keharusan tanzih dan takwil terhadap ayat yang kelihatannya mempersamakan Allah dengan makhluk-Nya. Dalam masalah ini, posisi Asy’ariyyah dalam memandang tauhid tidak menjadi musuh bebuyutan Mu’tazilah. Hanya saja, keduanya berbeda pandangan dalam hal ru’yah (melihat) Allah di hari akhirat. Berbeda dengan golongan Asy’ariyyah, kelompok Mujassidah dan Zhahiriyyah (golongan yang mempersama-kan Allah dengan makhluk-Nya) justru menjadi musuh Mu’tazilah. Oleh karena itu, penting dikemukakan di sini ayat-ayat mengenai sifat-sifat Allah sehingga tampak bagaimana Muqatil manafsirkannya.

Muqatil ibn Sulaiman mengategorikan kata yad (tangan) dalam ber-bagai ayat al-Qur’an menjadi tiga kategori. Pertama, dia menafsirkan kata yad dengan pengertian tekstual, yaitu “tangan”47, seperti firman-Nya kepada iblis dalam Surah Shâd/38: 75, “Mâ mana’aka an tasjuda limâ khalaqtu biya-dayya” (apa yang menghalangimu untuk sujud kepada makhluk yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku sendiri); dalam surah al Mâidah/5: 64, “Bal yadâhu mabsûthatâni” (bahkan kedua tangannya dibentangkan); dan firman-Nya kepada Musa dalam Surah al A’râf/7: 108, “Wa naza’a yadahû faidzâ hiya baidhâ’u li al nâzhirîn” (Dan ia mengeluarkan tangannya, maka seketika terlihat terang bercahaya). Dari sini, tampak bahwa dia menafsirkan kata yad secara tekstual, yaitu “tangan” (fisik). Bahkan, dia mempersamakan penafsiran -bukan tajassum (mempersamakan bentuk)- yad Musa dengan yad Tuhan.

Kedua, Muqatil mengartikan yad sebagai mitsâl (perumpamaan) se perti dalam firman Allah SWT. (Q.S. al Mâidah/5: 64), “wa qâlat al yahûdu yadullâhi

46 Muhammad Zaglul Salam, Âtsar Al-Qur’an fî Tathawwur al Naqd al ‘Arabî, hlm.42-43; 47 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm.321.

Page 45: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

31Perkembangan Hermeneutika Al-Qur’an

maghlûlah”. Kata yad di sini adalah perumpamaan untuk “nafkah” sama seperti dalam firman-Nya kepada Nabi dalam Surah al Isrâ’/17: 29, “Wa lâ taj’al yadaka maghlûlatan ilâ ‘unuqika”. Artinya, “dan jangan halangi tanganmu untuk memberi seperti orang yang melingkarkan tangan pada leher nya, dia tidak bisa membentangkannya”. Contoh lain dalam Surah al Mâ’idah/5: 64, “wa qâlat al yahûdu yadullâhi maghlûlah ghullat aidîhim”. Artinya, “Orang-orang Yahudi berkata, Allah telah menahan tangan-Nya untuk memberi kami rezeki, sebagaimana yang pernah terjadi pada Bani Isra`il”.48 Dari sini, Muqatil ibn Sulaiman memahami kata yad sebagai mitsal (per umpamaan). Dengan pemahaman ini, akan terjadi pertemuan antara takwil dan istilah balâghah. Sebagai istilah mitsâl (perumpamaan), kata yad tidak terbatas pada arti “tangan”, tetapi dapat dipahami lebih luas lagi, seperti ungkapan yad maghlûlah (tangan yang melingkar di leher) sebagai bentuk ungkapan untuk menggambarkan sikap kikir.

Dalam ayat lain seperti “yadulâhi fauqa aidîhim” (Q.S. al Fath/48: 10). Kata fauqa (di atas) diartikan sebagai afdhal (lebih baik). Pemahaman ini di letakkannya dalam kategori kedua (sebagai mitsâl). Oleh karena itu, maksud ayat tersebut adalah “perbuatan Allah SWT. Kepada mereka lebih baik daripada perbuatan mereka saat bai’ah hudaibiyyah”. Kata yad-nya sendiri ditafsirkan dalam arti ketiga, yaitu al fi’il (perbuatan). Hal ini disadarkan pada firman-Nya dalam Surah Yasin/36: 71, “Awa lam yarau annâ khalaqnâ lahum min mâ ’amilat aidîna an’âman” (Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka, yaitu sebagian dari apa yang Kami ciptakan). Dengan demikian, maksud ayat “yadullâhi fauqa aidîhim” dalam surah al Fath/48: 10 adalah “per buatan Tuhan kepada mereka lebih baik dibandingkan perbuatan-Nya saat Per janjian Hudaibiyah”. Adapun maksud ayatpada Surah Yasin/36: 35, “wa mâ ‘amilathu aidîhim”, adalah “hal itu bukan perbuatan mereka”. Ada-pun dalam Surah al Hajj/22: 10, arti ayat “dzâlika bi mâ qaddamat yadâka” adalah “perbuatanmu”. Sekalipun dalam tiga ayat tersebut arti “per-buatan” diperoleh karena ada kata kerja ‘amila dalam ‘amilat aidînâ dan ‘amilathu aidîhim, dan kata kerja qadima dalam qaddamat yadâka ini berlaku

48 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 322.

Page 46: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

32 Dr. Adang Kuswaya

pada ayat yadullâhi fauqa aidîhim, baik dari segi redaksional, asbâb al-nuzûl, maupun konteks kalimat.

Konsep Muqatil tentang penegasian ruang bagi Tuhan lebih dekat pada takwil dan mengabaikan konsep tajsîd dan tasybîh (persamaan Allah dengan hamba-Nya). Dia menakwilkan kata fauqa sebagai kekuasaan49, seperti dalam Surah al An’âm/6: 18, “Wa huwa al qâhiru fauqa ‘ibâdihî, maksudnya kekuasaan-Nya di atas segala kekuasaan hamba-Nya. Perkataan Fir’aun dalam Surah al A’râf/7: 127, “sanaqtulu abnâ`ahum wa nastahyî nisâ`a hum wa innâ fauqahum qâhirûn”, maksudnya kekuasaanku (Fir’aun) melebihi kekuasaan mereka.

Penakwilan Muqatil tentang fauqa tidak berbeda dengan penakwilan al Zamakhsyari, bahkan dia sering sekali mengutip pandangan Muqatil dengan mencontohkan ayat yang sama, “fauqa ‘ibâdihi, yang meng gam-barkan (tashwir) kekuasaan dan keagungan sama seperti dalam ayat “wa innâ fauqahum qâhirûn”.

Apabila Mu’tazilah menyangsikan kemungkinan melihat Allah, baik di dunia maupun di akhirat, karena menurut mereka sesuatu yang bisa dilihat adalah sesuatu yang berwujud konkret sedangkan Allah tidak, Muqatil justru berpendapat lain. Menurutnya, Allah dapat dilihat di akhirat, bukan di dunia.50 Hanya saja, Muqatil tidak merumuskan pemikirannya secara jelas, selain hanya sebagai pelengkap ketika berbicara tentang persoalan yang, secara sepintas, jauh dari persoalan ru’yatullah, yaitu ayat yang berbicara tentang al husnâ. Muqatil menakwilkan kata al husna dengan surga. Dalam Surah Yûnus/10: 26, potongan ayat, “li al ladzîna ahsanû al husnâ”, ditakwilkan sebagai “orang-orang yang mendapatkan al-husna, yaitu surga”. Sementara potongan ayat berikutnya, “wa ziyâdatun”, ditakwilkan sebagai “melihat Allah”51, Hal serupa diterapkan pada kata awwal.52 Dia katakan kata awwal dalam frasa “al mu`minîn” berarti “pertama kali mengimani bahwa Allah tidak dapat dilihat di dunia”. Demikian tafsirnya atas firman dalam Surah al A’râf /7: 143.

49 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 232-234.50 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 111.51 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm.111.52 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 291-292.

Page 47: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

33Perkembangan Hermeneutika Al-Qur’an

Mengenai kata al ‘ilm untuk ilmu Allah, Muqatil menakwilkannya dalam tiga bentuk. Pertama, al ‘ilm ditakwilkan dengan “melihat”53 seperti firman-Nya dalam Surah Muhammad/47: 31, “Wa lanabluwannakum hattâ na’lama al mujâhidîna minkum”, artinya, “Kami akan menguji kalian sampai Kami melihat orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang di antara kalian”. Allah mengetahui orang-orang yang berjihad meskipun mereka belum ber jihad. Oleh karena itu, maksud kata na’lamû adalah “melihat” bukan “mengetahui”. Allah tidak melihat orang yang tidak berjihad, tetapi Allah mengetahui bahwa mereka akan berjihad. Demikian pula dalam surah Ali Imrân/3: 142, “Am hasibtum `an tadkhulû al jannata wa lammâ ya’lam Allâhu al ladzîna jâhadû minkum wa ya’lam al shâbirîn”. Maksud ayat ini, ketika cobaan dan ujian datang Allah “melihat” kesabaran hamba-Nnya. Selanjutnya, dalam Surah al Barâ’ah/9: 16, “Am hasibtum `an tutrakû wa lammâ ya’lam Allâhu”, artinya Allah belum melihat. “Alladzîna jâhadû minkum” (orang-orang yang ber-jihad di antara kalian).

Kedua, al ‘ilm dimaknai sebagai ‘ilm (mengetahui).54 Hal ini dapat dilihat dalam firman-Nya, “Ya’lamu mâ yusirrûna wa mâ yu’linûn” artinya “Dia menge-tahui apa yang kamu sembunyikan dan kamu tampakkan” (Q.S. al Baqarah/ 2: 77) dan Innahû ya’lamu aljahra min alqauli wa ya’lamu ma taktumûn” yang artinya, “Sesungguhnya Dia mengetahui perkataan (yang kamu ucapkan) dengan terang-terangan dan Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan” (Q.S. al Anbiyâ’/2: 110). Kata ‘ilm pada ayat tersebut dimaknai dengan makna ‘ilm itu sendiri, yaitu “mengetahui”. Jadi, maksudnya Allah mengetahui sebe-lum dan setelah terjadinya sesuatu.

Ketiga, al‘ilm ditakwilkan sebagai idzn,55 izin atau perkenan, seperti firman-Nya dalam Surah al Nisâ/4: 166, anzalahû bi ‘ilmih”, maksud bi’ilmih adalah “dengan izin Tuhan”. Dengan ketiga bentuk penakwilan ter-sebut, sebenarnya Muqatil ingin menekankan bahwa ilmu Allah tidak baru (tidak diciptakan) dan tidak bersumber dari Zat-Nya. Secara keba-hasaan, kata ra`â (melihat) dapat memiliki arti ‘ilm (mengetahui), tetapi kata ‘ilm dengan makna ra`â seperti dalam penakwilan Muqatil, sama

53 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 23554 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 236.55 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 236.

Page 48: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

34 Dr. Adang Kuswaya

sekali tidak berdasar. Kesulitan ini diungkapkan oleh Abu Ubaidah, Al-Farrâ, dan Mu’tazilah. Penakwilan mereka lebih mendekati kebenaran tekstualitas al-Qur’an. Adapun penakwilan al ‘ilm sebagai al idzn (izin), menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Dengan metode yang sama, Muqatil berusaha membuktikan bahwa Allah tidak mungkin memiliki sifat nisyân (lupa), seperti yang tertera dalam beberapa ayat al-Qur’an, karena sifat ini adalah sifat kekurangan yang hanya dimiliki oleh manusia. oleh karena itu, dia memilih menakwilkan nisyân dengan dua makna, al tark dan al nasiya, tidak ingat.56 Makna al tark (meninggalkan), antara lain terdapat dalam Surah Thâhâ/20: 115, “wa laqad ‘ahidnâ ilâ âdama min qabl fanasiya”, maknanya “meninggalkan” janji (melanggar); Surah al Sajdah/32: 14, “Fadzûqû bimâ nasîtum liqâ`a yaumikum hâdzâ”, maknanya karena kalian “meninggalkan” iman, maka rasa-kanlah siksaan hari ini; Inna nasînâkum, artinya kami “meninggalkan” kalian dalam siksaan; Surah al Baqarah/2: 237, “Wa lâ tansawû al fadlla bainakum”, artinya jangan “meninggalkan” keutamaan di antara kalian; dan firman-Nya, “mâ nansakh min âyatin au nansihâ (bukan nunsiha) (Q.S. al Baqarah/2: 106), maksudnya kami “meninggalkannya, maka kami tidak menghapusnya”. Muqatil membaca huruf nûn pada kata nansihâ dengan fathah. Bacaan ini berbeda dengan bacaan yang masyhur dengan dlammah. Bagaimanapun, ayat ini masih menyisakan polemik panjang selama kata nisyân ditakwilkan dengan altark (meninggalkan). Hanya saja penafsiran Muqatil terhadap kata nisyân dengan altark merupakan penakwilan haqîqî bukan majâzî se-hingga dia berusaha menafsirkan penisbatan nisyân kepada diri Allah dengan pendekatan takwil.

Semua tafsir Muqatil atas ayat-ayat sifat Allah hampir mendekati literalisme Ahl Al-Sunnah, tetapi tetap menjauhkan diri mujassadah dan musyabbahah (antropomorfisme). Oleh karena itu, penulis sepakat apa yang dikatakan oleh editor kitabnya tersebut setelah mengulas komentar para sejarahwan tentang Muqatil.

“Setelah diteliti, tafsir Muqatil dan kitab-kitabnya yang masih ada sampai sekarang sama sekali tidak mengemukakan kata al lahm (daging) dan al dam (darah) dalam kitab Al Nahl. Mungkin dia mengatakan hal itu

56 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 239.

Page 49: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

35Perkembangan Hermeneutika Al-Qur’an

di awal hidupnya kemudian meralatnya kembali, mungkin juga musuh-nya, atau Muqatil ibn Sulaiman yang lain, seperti yang diceritakan oleh al Sakaki dalam Al-Burhan-nya, atau periwayatan dalam ilmu kalam, atau mungkin ketika dalam perdebatan mengenai sifat-sifat Allah bukan dalam tulisan-tulisannya”.57

Mengenai pendapat bahwa Muqatil dianggap Murji’ah, editor kitab-nya tidak menolak hal itu. Namun, dia memandang bahwa Muqatil sebagai Murji’ah yang selaras dengan Sunnah, bukan Murji’ah ahli bid’ah.

“Kalau kita membaca tafsir Muqatil, kita tahu bahwa dia bukan termasuk Murji’ah ahli bid’ah yang mengatakan bahwa maksiat bersama keimanan tidak akan membahayakan dan ketaatan bersama kekufuran tidak akan bermanfaat. Dalam beberapa penafsirannya, terlihat pe-ngaruh Murji’ah, tetapi Muqatil bukan Murji’ah ahli bid’ah. Dia termasuk Murji’ah yang selaras dengan Sunnah atau Murji’ah yang mendekati Ahl Al- Sunnah.”58

Mu’tazilah tidak memisahkan antara keyakinan dan amal dalam ke-imanan. Keimanan merupakan perpaduan keduanya. Keyakinan saja tanpa amal tidak dianggap keimanan. Masalah ini menjadi perdebat-an khusus antara Mu’tazilah dan Murji’ah. Muqatil sendiri berpendapat bahwa keimanan adalah dimensi keyakinan (tashdiq).59 Mengenai ke iman an ini, dia membaginya menjadi empat bentuk yang semuanya masih berada di sekitar pengertian iman sebagai keyakinan (tashdiq). Bentuk pertama, keimanan yang hanya berupa ikrar dalam lisan, tanpa keyakinan. Kedua, iman dengan keyakinan, baik ketika sendiri maupun ramai. Ketiga, iman dalam arti pengesaan (tauhid). Dan keempat, iman saat dalam kemusyrikan.

Pembagian tersebut jelas memisahkan antara iman dan amal. Pendapatnya mengenai orang yang berbuat dosa besar semakin meya-kinkan posisi Muqatil sebagai Murji’ah. Dia berpendapat bahwa mereka tidak akan kekal di neraka; mereka pasti akan keluar dan masuk surga, tetapi di akhir perjalannya.60 Dia mengatakan hal ini ketika menge-

57 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 52.58 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 57.59 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 137-138.60 Muqatil bin Sulaiman, Al Asybâh wa Nazhâ`ir fî al-Qur’an al Karîm, hlm. 244.

Page 50: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

36 Dr. Adang Kuswaya

mukakan tafsir ketujuh kata mâ pada, “Fa amma alladzîna syaqû fa fî al nâri lahum fîha zafîr wa syahîq khâlidîna fîha mâdâmat al samâwâtu wa al ardl” yang artinya, “Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan napas dan menariknya (dengan merintih). Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi” (Q.S. Hûd/11: 106).

Maksud ayat ini, “Bagi ahli neraka, sesungguhnya mereka akan tinggal di sana selamanya kecuali orang yang masih ada tauhid di dalam hatinya. Kalau masuk neraka, mereka tidak kekal di dalamnya. Suatu saat mereka keluar menuju surga. Mereka tinggal di neraka selama mereka hidup di bumi”. Perbedaan antara Murji’ah dan Mu’tazilah dalam menakwil kan ayat ini jelas terlihat pada penafsiran Al-Qadhi Abd Al-Jabbar berikut. “Menurut kami, maksud ayat tersebut adalah bahwa neraka memiliki langit dan bumi yang tidak akan pernah hancur. Demikian pula surga. Jadi, tidak mungkin mereka keluar dari surga atupun neraka.

Dari pemaparan di atas tidak cukup mengindikasikan bahwa Muqatil adalah kelompok yang berseberangan dengan Mu’tazilah. Dalam ayat terakhir, Muqatil tidak menunjukkan apakah ketidakkekalan yang di-maksud adalah untuk orang yang berdosa besar atau orang mukmin yang disiksa karena berbuat dosa kecil. Kelompok Mu’tazilah juga tidak pernah berpendapat bahwa orang mukmin yang bebuat dosa besar akan kekal dalam neraka selama dosa yang dilakukannya bukan dosa besar. Tambahan lagi, Mu’tazilah tidak mempertanyakan apa ukuran dosa besar karena Allah sendiri menyembunyikan hal itu agar hambanya tidak melakukan dosa sekecil apa pun agar tidak terjerumus pada dosa yang besar. Ketika pandangan Mu’tazilah khususnya Al Qadhi ‘Abd Al Jabbar ini diungkapkan, batasan antara dosa besar dan dosa kecil menjadi cair sehingga konsep irja’ Muqatil perlu dipertanyakan kembali, demikian pula konsepnya tentang al musyabbahah dan al mujassadah.

D. PEMIKIRAN M. ARKOUN TENTANG HERMENEUTIKA AL-QUR’AN

Arkoun sebagaimana tokoh-tokoh tradisi filsafat kontinental yang me-naruh perhatian pada bidang kajian hermeneutika, berpandangan bahwa

Page 51: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

37Perkembangan Hermeneutika Al-Qur’an

sebuah tradisi akan mati, kering dan mandeg jika tidak dihidupkan se-cara terus menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial61. Demikian salah satu aspek pemikiran Arkoun yang sangat ber-harga yakni usahanya memperkenalkan pendekatan hermeneutika sebagai metodologi kritis.

Dengan mengutip pendapat Cliford Geertz, Arkoun menyatakan bahwa untuk memahami Islam, persoalan histories dan semiotis keba-hasaan mestinya memperoleh perhatian lebih dahulu sebelum memu-satkan diri pada kajian teologis. Akibat kurangnya analisis histories sosiologis terhadap Islam, maka al-Qur’an bisa kehilangan atau terputus dari konteks dan relevansi historisnya, sehingga studi keislaman lalu hadir dalam paket-paket produk ulama abad tengah yang saling terpisah dan cenderung dianggap final.62

Menurut cara pandang Arkoun, data kehidupan generasi awal Islam yang disajikan dalam buku-buku klasik seperti Târîkh al Rusul wa al Muluk karya Muhammad bin Jarir al Thabari (w.925 M), akan memunculkan informasi dan makna baru ketika didekati dengan cara pandang baru, terutama dengan menggunakan metode hermeneutika historis.

Arkoun berpendapat bahwa setiap pengarang teks dan pembaca tidak dapat lepas dari konteks sosial, politis psikologis, teologis dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu, maka dalam memahami sejarah yang diperlukan bukan hanya transfer makna, melainkan transformasi

61 Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, dalam Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, Yogyakarta; LKIS, 1996, hlm. 25.

62 Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, dalam Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, hlm. 23. Arkoun tidak menafsirkan jasa besar yang dilakukan oleh para ahli fiqh, hadist, kalam dan ilmu keislaman lain sebagai prestasi mereka dalam melakukan pencatatan dan pembakuan ajaran Islam. Satu hal yang disesalkan Arkoun, mengapa pembakuan dan pembukuan ajaran agama itu melahirkan pembekuan, kejumudan atau reifikasi ajaran Islam. Menurut Arkoun, umat Islam perlu melakukan telaah ulang terhadap ideologi keagamaan yang terbentuk di abad tengah yang beberapa aspek tidak relevan lagi dengan semangat al-Qur’an dan teori-teori modernisasi. (Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, dalam Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, hlm. 28-31).

Page 52: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

38 Dr. Adang Kuswaya

makna.63 Oleh karena itu, menurut Arkoun pemahaman tradisi Islam selalu bersifat terbuka dan tidak pernah selesai karena pemahaman dan pemaknaannya selalu berkembang seiring dengan umat Islam yang selalu terlibat dalam penafsiran ulang dari zaman ke zaman.

Dengan begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama berlaku sepanjang zaman dan tempat, mengingat antara lain, gagasan universal Islam tidak semuanya tertampung oleh bahasa arab yang bersifat lokal-kultural, serta terungkap melalui tradisi kenabian.

Apabila pendekatan hermeneutika dipertemukan dengan kajian teks al-Qur’an, maka persoalan dan tema yang dihadapi adalah bagai-mana teks al-Qur’an hadir di tengah masyarakat lalu dipahami, ditafsir-kan, diterjemahkan dan didialogkan dalam rangka menafsirkan realita social.64 Selain hal itu, sebagai implikasinya cukup signifikan, sebab akan terjadi dekonstruksi penafsiran terhadap teks al-Qur’an yang sebagian kesimpulannya sudah dianggap baku dan final65.

Konteks selalu menyertai teks, sedangkan pada urutannya teks kadang-kadang menjadi otonom dan fungsinya berbalik menjelaskan serta memaksakan kategori-kategori normatif atas realitas sosial. Dalam Islam hubungan antara teks dan konteks, antara wahyu dan tradisi begitu dekat sehingga secara historis dan teologis terdapat mekanisme kontrol tetapi sekaligus juga dorongan untuk selalu berinovasi.66

63 Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, dalam Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, hlm. 26.

64 Komariddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Jakarta: Paramadina, 1996, hlm. 137.65 Istilah dekonstruksi diambil alih Arkoun dari Derrida. Dengan dekonstruksi,

Derrida memaksudkan analisis kritis dari suatu teks atau wacana dari dalam. Hasil yang diperoleh dari pembongkaran itu adalah penangkapan makna-makna dalam teks yang sebelumnya tersembunyi, ataupun kesadaran akan batas wacana sendiri. Dengan kata lain, melalui proses pembongkaran itu yang tak terpikir dan yang tak dipikirkan dapat ditampakkan (Johan Hendrik Meuleman, “Sumbangan dan Batas semiotika Dalam Ilmu Agama”, Dalam Mueleman (Ed.) Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme, hlm. 52)

66 Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, dalam Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernism: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun hlm. 28 menurut Arkoun semangat inovatif tersebut cenderung melakukan pembongkaran atas penafsiran dan tradisi, sedangkan pemahaman skripturalis cenderung memelihara teks, khususnya al-Qur’an dan hadist mutawatir,

Page 53: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

39Perkembangan Hermeneutika Al-Qur’an

Lebih lanjut Arkoun menegaskan bahwa dekonstruksi mesti di-sertai konstruksi (pembangunan) suatu wacana atau kesadaran yang meninggalkan keterbatasan, pembekuan dan penyelewengan wacana se-belumnya. Melalui wacana dekonstruksi, Arkoun berupaya meniada kan pemistikan, pemitologisan, dan pengideologian sementara pemitosan dan pengidean dipulihkan.67

Ironisnya menurut Arkoun, setiap dikerjakan penawaran penafsiran kembali ajaran Islam selalu muncul kekhawatiran “bahaya” relativitas dan sekuralisme terhadap ajaran Tuhan yang absolut. Lebih dari itu, tuduhan yang dilontarkan para pengkritik terhadap upaya “pembaharuan” ialah “menafsirkan al-Qur’an menurut tuntutan zaman, padahal semestinya zaman yang dibimbing dan ditafsirkan oleh al-Qur’an.”

Bisakah semangat dan isi al-Qur’an serta tradisi kenabian dipahami tanpa melibatkan penafsiran pendapat dan kecenderungan subyektif penafsirannya? Dalam tradisi hermeneutika, terutama yang diperkenalkan

yang berfungsi sebagai alat kontrol atau kendali semua usaha dekonstruksi penafsiran atas doktrin agama. (Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, dalam Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme: Mem-perbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, hlm. 28.)

67 Anggitan mitos, pemitosan, pemitologian, pemistikan, pengideaan, dan peng-ideologian dirujuk Arkoun dari Roland Barther, Paul Ricoeur, dan Frye dalam pandangan Arkoun, mitos merupakan salah satu unsur terpenting dari angan-angan sosial. Ia mempunyai fungsi menjelaskan, menunjukkan, mendasari bagi kesadaran kolektif kelompok yang mengukir suatu proyek tindakan bersejarah yang baru dari dalam suatu kisah pendirian. Pemitosan berarti pengungkapan keadaan-keadaan yang membatasi diri dari kondisi manusia seperti maut, kehidupan, dan cinta secara simbolis sebagaimana dilakukan para nabi dan penyair. Pemitologian adalah penegasan berbagai kepercayaan dan gambaran yang menggerakkan kelompok besar dibalik selubung ilmiah dan rasional. Dengan kata lain, penggunaan dan penegasan mitos dengan mengingkari atau menyelubungi sifatnya sebagai mitos. Pemistikan maksudnya ialah menggunakan mitos, bertentangan dengan fungsi dan makna yang sebenarnya sebagai himpunan norma yang membenarkan keadaan sosial dan politik tertentu. Pengindeaan adalah upaya untuk membuka, memperbarui, dan memperkaya gagasan yang tersedia dalam suatu sistem pemikiran tertentu. Sedangkan ideologi adalah penggunaan sejumlah terbatas gagasan yang disederhanakan untuk mengarahkan kekuatan-kekuatan sosial menuju tindakan-tindakan tertentu. (Meuleman, ‘Nalar Islam dan Nalar Modern Memperkenalkan Pemikiran Muhammad Arkoun’, dalam Ulumul Qur’an No. 4 vol. IV, Jakarta: Akasara Buana, Th. 1993, hlm. 99; lihat juga Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme, hlm. 51-52).

Page 54: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

40 Dr. Adang Kuswaya

oleh Gadamer akan terlihat jelas bahwa dalam setiap pemahaman atas teks, tidak terkecuali pada al-Qur’an, unsur subyektivitas penafsiran tidak mungkin disingkirkan.

Bahkan, secara ekstrim dikatakan bahwa sebuah teks akan berbunyi dan hidup ketika dipahami, ditafsirkan dan diajak dialog oleh para pem-bacanya. Dialog berarti pihak pembaca memiliki ruang kebebasan dan ekonomi. Jadi, relativisme tidak berarti nihilisme, bahkan malah meng-undang semangat untuk mencari sebuah sumber kebenaran yang selalu berada di depan.68

Bahwa umat Islam yakin, al-Qur’an itu berlaku dan cocok se-panjang zaman, hal itu merupakan keyakinan teologis. Tetapi dari segi pemahaman dan pelaksanaan, klaim itu akan menuntut pembuktian-pem buktian di samping juga harus mengakui adanya otonomi manusia yang bebas menentukan sikap dan pilihannya sendiri.69 Di sinilah ber-laku lingkaran hermeneutika yaitu proses dialog dan integrasi yang ber-langsung antara al-Qur’an dan pembacanya.

Dari sudut historis dan filsafat linguistik, dipandang bahwa begitu kalam Tuhan telah membumi, dan sekarang malah menjelma ke dalam teks, maka al-Qur’an tidak dapat mengelak untuk diperlakukan sebagai obyek kajian hermeneutika.70 Manusia tidak berjumpa langsung dengan Tuhan atau malaikat Jibril sebagaimana yang dialami oleh Rasullullah, melain kan hanya dalam bentuk teks dan tafsiran yang diantarkan melalui rantai-rantai tradisi.

Dalam menyoroti al-Qur’an, Arkoun menolak dua pendirian ekstrim tentang al-Qur’an. Pertama, menggambarkan al-Qur’an sebagai hal yang

68 Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, dalam Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun , hlm. 31.

69 Komarudin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutika”, dalam Johan Hendrik Meuleman (Ed.), Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme:Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, hlm. 13.

70 Artinya teks al Qur’an kemudian memiliki dua dimensi sakral dan profan, absolut dan relatif, historis dan metahistoris. Penekanan yang berlebihan pada pendekatan deduktif absolutistik menyebabkan dimensi historis al-Qur’an akan tertutup sehingga kurang dialogis dengan alam pikiran manusia yang ingin berdialog dan menafsirkannya (Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hlm. 137)

Page 55: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

41Perkembangan Hermeneutika Al-Qur’an

serba transenden tanpa hubungan apapun dengan sejarah manusia yang kongkrit. Kedua, mereduksi al-Qur’an pada gejala historis saja yang timbul pada saat tertentu dalam perkembangan manusia.

Menurut Arkoun, al-Qur’an lahir dalam konstruksi historis tertentu dan dipahami sesuai dengan tradisi dan kebudayaan manusia tertentu, karenanya makna al-Qur’an harus dikaji atau harus berusaha menggali suatu makna yang tetap relevan dengan manusia modern.71

Tugas hermeneutika sebagaimana yang diungkapkan oleh Schleir-macher sebagai pengaruh dari Frederich Aast adalah membawa keluar makna internal dari suatu teks beserta isi situasinya menurut zamannya. Dalam hal ini hermeneutika difungsikan untuk menelaah isi dan maksud yang mengejawantah dari sebuah teks sampai kepada maknanya yang terdalam dan laten.72

Untuk kepentingan analisisnya terhadap al-Qur’an, Arkoun membe-dakan tiga tingkatan anggitan tentang wahyu. Pertama, sebagai firman Allah yang trasenden tak terbatas dan tak diketahui oleh manusia. Tingkat kedua menunjuk penampakan wahyu dalam sejarah. Berkenaan dengan al-Qur’an anggitan ini menunjuk pada realitas firman Allah sebagaimana diwahyukan dalam bahasa arab kepada Muhammad SAW dalam kurang lebih 22 tahun dan Arkoun mengistilahkannya dengan wacana Quran.73

Tingkat ketiga menunjuk wahyu sebagaimana sudah tertulis dalam mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya. Kaitan dengan al-Qur’an, anggitan ini menunjuk al Mushaf al Ustmani yang disebut Arkoun dengan Corpus official close (canon resmi tertutup).

Untuk memahami anggapan Arkoun tentang wahyu Ilahi yang ter-catat dalam corpus resmi tertutup adalah baik jika menelusi beberapa hipotesa kerja Arkoun berkenaan dengan al-Qur’an yang diajukannya

71 Johan Hendrik Meuleman, “Pengantar Penyunting” dalam Muhammad Arkoun, Berbagai Pembacaan Quran, (Jakarta. INIS, 1997), hlm. xiii.

72 Richad E. Palmer. Hermeneutic, Evanston: North Western University Press, 1969, hlm. 43.

73 Wacana yang dirujuk Arkoun dari Foucault ialah cara manusia membicarakan kenyataan. Anggitan lain yang dirujuk yakni epistem yaitu sistem pemikiran yang dengannya manusia menangkap kenyataan. Johan Hendrik Meuleman, (Ed.), Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta: INIS, 1994, hlm.21.

Page 56: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

42 Dr. Adang Kuswaya

dalam artikel “Pour un Remembrement de le Conscience Islamique’ (Menuju Pemersatuan Kembali Kesadaran Islam) sebagai berikut ini.

Pertama, al-Qur’an merupakan sejumlah pemaknaan potensial bagi seluruh umat manusia, sehingga dapat ditafsirkan secara beraneka ragam. Kedua, pada tahap pemaknaannya yang potensial, al-Qur’an mengacu kepada agama Islam (Ideal) yang transenden juga transhistoris. Sedang-kan pada tahap pemaknaan aktual (penafsiran) seperti dalam berbagai doktrin teologis, yuridis dan politis. Ia kemudian menjadi mitologi dan ideologi yang diberikan makna transenden. Ketiga, al-Qur’an adalah teks terbuka, tidak satupun yang berhak mengklaim bahwa penafsiran yang dihasilkannya merupakan penafsiran yang paling benar, dan menutup kemungkinan penafsiran pihak lain. Keempat, de jure teks al-Qur’an tidak mungkin disempitkan menjadi ideologi, karena teks itu menelaah berbagai situasi batas kondisi manusia.74

Arkoun mengamati bahwa dengan kelahiran teks al-Qur’an telah terjadi perubahan mendasar di kalangan umat dalam memahami wahyu. Nalar grafis didesak oleh logos pengajaran. Dari gejala-gejala yang di-amatinya Arkoun ingin menjelaskan bahwa telah terjadi pemiskinan ke-mungkinan untuk memahami dari segala dimensinya.

Firman kenabian dimistikkan menjadi firman yang berorientasi pada pengajaran, yakni berorientasi pada abstraksi tanpa memperhitung-kan secara serius pihak-pihak yang mula-mula dituju oleh firman itu. Kalau diungkap dalam kategori semiotika, teks al-Qur’an sebagai parole didesak oleh teks sebagai langue. 75

74 Meuleman, ‘Nalar Islam dan Nalar Modern memperkenalkan Pemikiran Muhammad Arkoun’, dalam Ulumul Qur’an no. 4 vol. IV, Jakarta: Akasara Buana, Th. 1993, hlm. 97; Lihat pula Johan Hendrik Meuleman, Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme, hlm. 49-50.

75 Istilah parole dan langue diadopsi Arkoun dari Ferdinand de Saussure, parole adalah penggunaan bahasa secara individual. Meuleman, ‘Nalar Islam dan Nalar Modern Memperkenalkan Pemikiran Muhammad Arkoun’, dalam Ulumul Qur’an no. 4 vol. IV, Jakarta: Aksara Buana, Th. 1993, hlm. 101. Dua istilah tersebut dapat ditelusuri pengertiaanya seperti berikut ini. Penutur seolah-olah memilih unsur-unsur tertentu dari kamus umum (langue). Secara implisit dapat ditangkap bahwa langue dan parole beroposisi tetapi juga sekaligus saling ketergantungan. Di satu pihak sistem yang berlaku dalam langue adalah hasil produksi, hasil kegiatan parole, dan pihak lain pengungkapan parole serta pemahamannya hanya mungkin berdasarkan

Page 57: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

43Perkembangan Hermeneutika Al-Qur’an

Mengenai teks itu, lebih dekat pada konsep langue atau sistem tanda yang memisahkan diri dari parole, yaitu sebuah event (peristiwa) wacana. Oleh karena itu, sebuah teks cenderung kehilangan dimensi spontanitasnya karena subyek pembicaraan atau penulis tidak hadir.76

Dengan demikian, hermeneutika bertugas untuk menjembatani distansi antara penulis dan pembaca yang antara keduanya dihubungkan dengan teks serta merekonstruksi atau menghidupkan sebuah teks dalam jaringan interaksi antara pembicara atau penulis dengan pendengar atau pembaca dan situasi batin serta sosial yang melingkupinya agar sebuah statemen tidak mengalami sliensi yang dapat menyesatkan pembaca.

Untuk membuat interpretasi terhadap al-Qur’an, orang terlebih dahulu harus mengerti dan memahami77, dan untuk memahami al-Qur’an penguasaan gramatika dan gaya bahasa arab sangat diperlukan, sebab tanpa keduanya penafsiran akan kehilangan peta dan arah.78 Dalam me-ma hami, sebenarnya terjadi dialog secara imajinatif antara pembaca dengan pengarang. Oleh karena lawan dialog tidak hadir melainkan di-wakili oleh teks (al-Qur’an), maka semiotika salah satu penunjuk jalan untuk sampai pada sasaran.79

penelusuran langue sebagai sistem (Sudjiman dan A Van Zoest, Serba-Serbi Semiotika, Jakarta, Gramedia, 1992, hlm. 57.)

76 Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 146. Karena hermeneutika berusaha menelusuri relasi dan kemudian merekonstruksi jaringan makna dan motivasi antara dunia pengarang dan dunia pembaca datang dari kurun waktu dan tradisi yang berbeda, maka hermeneutika sebagai filsafat penafsiran, terbuka bahkan mengundang dan disiplin lain ( Sumaryono, Hermenutik. Hlm. 145).

77 Sumaryono, Hermeneutik, hlm.31.78 Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hlm. 16579 Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hlm. 163. Karena inilah barangkali

Arkoun berpendapat bahwa analisis linguistis, semiotis dan hermeneutis memberikan sumbangan yang besar bagi kajian Islam. Linguistik dapat menerangkan bagaimana al-Qur’an dan tulisan para ulama serta para fuqaha tentang al-Qur’an dirumuskan menurut sistem kebahasaan tertentu, dengan berbagai aturan dan mekanisme tata bahasa, gaya dan kosakata yang walaupun secara tidak disadari, sangat berpengaruh. Semiotika yang berkembang dari ilmu bahasa menjelaskan bahwa al-Qur’an berfungsi dan dipahami dengan cara tertentu, karena merupakan sehimpunan tanda yang saling merujuk dan saling memaknakan. Sedangkan hermeneutika sebagai ilmu penafsiran menjelaskan bagaimana sebuah karya dipahami dengan aneka cara. (Johan Hendrik Meuleman, Berbagai Pembacaan Quran, hlm. xi-xii).

Page 58: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

44 Dr. Adang Kuswaya

“Nalar Islami” dimaksudkan oleh Arkoun adalah nalar ortodoksi, epistimologi skolastik atau pemikiran Islam klasik (sebagaimana istilah yang dipakai oleh Hassan Hanafi). Keprihatinan Arkoun bersama pemikir lainnya seperti Fazlur Rahman demikian juga Hassan Hanafi untuk batas-batas tertentu ditimbulkan oleh persoalan berikut: Mengapa ilmu-ilmu agama Islam, seperti fikih, kalam, falsafah, tasawuf, tafsir itu “tetap” seperti itu adanya, baik dari segi bentuk, muatan maupun meto do logi-nya. Sejak ilmu-ilmu itu disusun, kemudian disusul oleh rentang waktu abad ke-12 sampai abad ke-18 M, belum ada perubahan-perubahan yang cukup berarti. Padahal kehidupan manusia telah berubah begitu fantastisnya baik dari segi kualitas maupun kuantitas dari segi intensitas maupun eksistensinya.

Arkoun ingin mencoba menelaah kenyataan itu lewat disiplin ilmu-ilmu sosial modern untuk memperoleh gambaran dan kejelasan serta sekaligus ingin mengungkap dan membedah realitas yang menyelimuti “ilmu-ilmu” agama Islam tersebut.

Untuk menghindari kesalahpahaman, barangkali perlu ditegaskan di sini bahwa Arkoun memang bukan berkehendak untuk meruntuh-kan doktrin-doktrin agama Islam yang sudah pokok, namun, sudut bidik analisis nya hanya terpusat kepada “konstruksi,” “konsepsi epistimologi” atau “metodologi” yang dahulu digunakan oleh kreativitas para penemu pen-cetus dan penyusun “ilmu-ilmu” agama Islam era klasik-skolastik.

Demikian juga terhadap Hassan Hanafi sebagai ilmuan Islam yang sezaman dengan Arkoun, yang juga menyatakan keprihatinan yang sama. Walaupun diagnosis yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi masih ber-bobot teologi atau kalam sentris sehingga kurang begitu menyentuh realitas sosial empiris yang harus ditelaah lewat bantuan metodologi, temuan-temuan dan hukum-hukum sosial betapapun relatifnya hukum-hukum sosial tersebut.[]

Page 59: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

45

A. KEMUNCULAN PEMIKIRAN HERMENEUTIKA AL-QUR’AN

Pemikiran hermeneutika pertama kali dikemukakan pada paruh kedua dekade 1960-an, ketika Hassan Hanafi menulis tesis dan disertasinya. Kedua karya itu Les Me’thodes d’Exe’ge’se, Essai sur la Science des Fondements de la Compre’hension, elm Usul al Fiqh dan L’Exe’ge’se de la Phe’nome’nologie L’e’tat actuel de la me’thode phe’nome’nologique, juga La Phenomenologie de L’Exe’ge’se, Essai d’une Herme’neutique Existentielle’ a Partir du Nouveau Testament. Awal tahun 1980 ia mempublikasikan bukunya, Religious Dialogue and Revolution1 ditulis antara tahun 1972-1976, di dalamnya ada pem-bahasan hermeneutika. Pembahasan hermeneutika al-Qur’an juga dapat di temui dalam buku Dirâsât Islâmiyyah bab Ushul Fiqh dan buku Dirâsât

1 Buku ini terdiri dari dua bagian yaitu “Dialog” dan “Revolusi”. Pada bagian pertama Hassan Hanafi, di antaranya membahas “Hermeneutika Sebagai aksiomatika: Sebuah Kasus Islam” (berkaitan dengan metodologi penafsiran); Pandangan Al-Qur’an Terhadap Kitab-kitab Suci” dan “Status Wanita Menurut Al-Qur’an dan Ajaran Yahudi” (Aplikasi metode penafsirannya). Pada bagian kedua termuat dua bagian, pertama, dimulai dengan “Teologi tentang Tanah” dan “Agama Sebagai Perlawanan Terhadap Zionisme”, kedua, “Agama dan Revolusi”, Meskipun terjadi perkembangan krusial dalam pemikiran Hassan Hanafi pada tiga dekade terakhir, terlebih lagi setelah diproklamasikannya gerakan Kiri Islam pada tahun 1981 yang ditandai dengan diterbitkannya jurnal Al Yasâr Al Islâmi, tetapi perkembangan pemikiran hermeneutika Al-Qur’an-nya tidak terlalu signifikan. Perubahan terjadi dari apa yang disebutnya dengan kesadaran Individu (al Wa’yu al Fard) pada dekade 1960-1970, kepada dominannya kesadaran kolektif (al Wa’yu al Ijtimâ’î) sejak dekade 1980.

BAB III

TEORI HERMENEUTIKA

AL-QUR’AN TEMATIK

Page 60: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

46 Dr. Adang Kuswaya

Falsafiyyah2 terutama pembahasan “Qira`ah al Nash”. Pada tahun 1993, sebuah simposium internasional di Belgia bertema Al-Qur’an sebagai Teks, Hassan Hanafi membahas “Hermeneutika Al-Qur’an Tematik” yang kemudian tema ini dimuat dalam buku Islam in The Modern World vol. I terbit tahun 2000. Selain itu, pemikiran tafsir lain yaitu Manhaj Ijtimâ’î. Karya Hassan Hanafi ini dapat ditelaah dalam Qadlâyâ Mu âshirah3 bag. I, dan Al Dîn wa al Tsaurah volume ke-7.4

Pada dasarnya, kesadaran untuk membangun hermeneutika baru, awal mulanya terbentuk saat dia di Prancis yaitu ketika mulai menulis proposal disertasi doktornya tentang “Metodologi Islam Kom pre-hensif ”. Namun, menurutnya proposal itu ditolak setelah dikonsul tasi-kan dengan promotornya dengan alasan studi yang dia lakukan kurang terfokus.55

2 Dalam buku ini Hassan Hanafi membagi dua pembahasan. Bagian pertama, Fî Fikrinâ al Mu’âshir) (Pemikiran-pemikiran Islam Kontemporer) dan bagian kedua, “Fî Fikr al Gharb al Mu’âshir” (Pemikiran Barat Kontemporer) di bagian ini ada pembahasan “Qir`ah al Nash” (hlm. 523-549). Lihat Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, Kairo: Anjilu al Mishriyyah, 1987.

3 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah vol. I, “Fî Fikrinâ al Mu’âshir”, Beirut: Dar al Tanwîr, 1983, hlm 175-186 terutama judul “Hal Ladainâ Nazhariyah fî al Tafsîr”, “Ayyuhumâ asbaq : Nazhâriyah fî al Tafsîr am Manhaj fî Tahlîl al Khabarât”, serta “’Aud ilâ al Manba am ‘Aud ilâ Thabî’ah”

4 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah vol. 7, “Al Yamîn wa al Yasâr fî al Fikr al Dînî”, Kairo : Maktabah Madbuli, 1989, hlm. 69-145, terutama “Mâdzâ ta’nî Asbâb al Nuzûl”; Manâhij al Tafsîr wa al Mashâlih al Ummah” terutama bagian ketiga,” Al Manhaj al Ijtimâ’î fi al Tafsîr”, Ikhtilâf fî al Tafsîr am Ikhtilâf fî al Mashâlih”. (berkaitan dengan metodologi), serta “Al Mâl fî al Qurân” dan “Al Jihâd” (berkaitan dengan penerapan metodologi).

5 Rencana Hassan Hanafi dalam disertasinya akan mereformulasikan Islam sebagai sebuah metode universal dan komprehensif dalam kehidupan individu dan masyarakat yang dia bangun dengan dua konseptualisasi pertama, konsep baku dari konsepsi dan sistem dan kedua, konsepsi dinamis dari energi dan gerak. Formulasi ini berdasarkan konvergensi wahyu sebagai sistem ideal bagi dunia dan dunia sekuler sebagai sistem alamiah yang bermula dari wahdah al dzat hingga wahdah al syuhûd dan wahdah al wujûd. Setelah dia diberitahu bahwa itu adalah gagasan dari Immanuel Kant, dia disarankan pembimbingnya untuk memfokuskan pada tokoh Kant saja dan bukan Islam. Alasannya karena dia telah meletakkan gagasan problem wahyu sebagai a priori dan pengetahuan manusia atau sekuler sebagai a posteriori.(Hassan Hanafi, ‘Al Ushûliyyah al Islâmiyyah’ dalam Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. ke-6. Kairo : Maktabah Madbuli, 1989, hlm.228).

Page 61: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

47Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

Setelah Hassan Hanafi memutuskan untuk memilih Henry Corbin sebagai pembimbing, dia disarankan untuk merubah istilah Islam supaya menjadi lebih spesifik dengan hanya hermeneutikanya saja dan menelaah al Bahr al Muhîth karya al Zarkasyi. Tetapi dia terobsesi untuk menguak konsep kesadaran perspektif ahlu al sunnah dalam kerangka kebangkitan dan berdialog dengan realitas umat di Mesir.”6

Hassan Hanafi memulai penulisan disertasinya dengan terlebih dahulu membaca tuntas setiap tulisan tentang filsafat Eropa, utamanya Prancis dan Jerman. Setelah pembacaannya sampai kepada Edmund Husserl dan mengenal tafsir fenomenologi yang menyatakan bahwa per-mulaan kesadaran Eropa bermula dari kesadaran personal dan budaya maka dia mengubah judul penelitiannya dengan pertimbangan supaya lebih detail dan seksama.

Hassan Hanafi merubah judulnya menjadi Tafsir Fenomenologi: “Kondisi Aktual Metode Fenomenologi dan Aplikasinya dalam Fenomena Keagamaan.” Menurutnya, dia sengaja menggunakan pendekatan her-me neutika dalam memahami fenomenologi dan perubahannya men jadi fenomenologi aplikatif serta mengevaluasi penerapannya pada feno-mena keberagamaan.7

Sebagai antisipasi judul semakin mengembang, Hassan Hanafi me-mu tuskan untuk membuat bagian kedua yang khusus membahas aplikasi metode fenomenologi dalam fenomena tafsir. Akhirnya, ia membahas judulnya, Fenomenologi tafsir: Sebuah upaya dalam tafsir Eksis ten-sialis. Kasus Kitab Perjanjian Baru” sebagai upaya dialog antaragama dan peradaban.8 Ia mengkaji teks-teks Kitab Perjanjian Baru dengan

6 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. ke-6 , hlm.229. 7 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. ke-6, hlm. 233.8 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. ke-6, hlm.234.

Dia menceritakan bahwa ujian disertasi bukanlah terminal akhir melainkan, risalah atau pendapat yang harus diteruskan. Dia menyatakan bahwa kesadaran barunya diawali dalam “Metodologi Penafsiran’, dan kesadaran lamanya berakhir dalam “Dari Tafsir Fenomenologi Menuju Fenomenologi Tafsir” yang berarti permulaan bangkitnya Timur dan berakhirnya Barat. Setelah dia menyelesaikan ujian disertasi maka pada bulan Agustus 1966 dia pulang ke Mesir dan menyatakan bahwa dia baru menyelesaikan jihad kecil dan akan menghadapi jihad yang lebih besar (Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. ke-6, hlm.235.)

Page 62: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

48 Dr. Adang Kuswaya

pendekatan Ushul Fiqh sambil menjadikan komentar-komentar al-Qur’an atas Injil sebagai sesuatu yang telah diselewengkan, diubah dan di ganti sebagai hipotesis ilmiah yang masih membutuhkan pembuktian validitasnya dalam sejarah.9

B. HERMENEUTIKA SEBAGAI AKSIOMATIKA

Hermeneutika sebagai aksiomatika dibermaksudkan membangun se-buah metode yang bersifat rasional, obyektif dan universal untuk me-ma hami teks-teks Islam. “Hermeneutics as Axiomatic”, hermeneutika se-bagai aksiomatika berarti deskripsi proses hermeneutika sebagai ilmu pengetahuan yang rasional, formal, obyektif, dan universal.10

Hubungan hermeneutika dengan kitab suci harus seperti hubungan antara aksiomatika dan matematika. Seperti aksiomatika, hermeneutika harus meletakkan semua aksiomanya di muka dicoba lebih dahulu me-nyelesaikan semua masalah hermeneutika tanpa mengacu pada data revelata khusus.11 Jadi, hermeneutika sebagai aksiomatika harus me main-kan peranan yang sama dengan “teori keseluruhan” dan “teori pen-jumlahan” dalam matematika.

Sehubungan dengan kitab suci, hermeneutika akan menjadi se-macam Mathesis Universalis. Aksiomatisasi hermeneutika menurutnya, tidak mesti membutuhkan perumusan matematis pada ilmu-ilmu tentang manusia. Ia hanya perlu menyusun semua masalah yang dike-muka kan oleh sebuah kitab suci dan mencoba menyelesaikannya di muka, in principil, terakhir meletakkan masalah dan penyelesaian ber-sama-sama dalam bentuk aksiomatis.12

Selain merekomendasikan perlunya melakukan perbincangan teoritis hermeneutika sebelum melakukan kegiatan exeges --suatu hal yang sama sekali baru dalam tradisi penafsiran klasik terhadap al-Qur’an-- Hassan Hanafi sebenarnya juga menginginkan hermeneutika aksiomatis bersifat

9 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. ke-6, hlm. 234.10 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, Kairo: Anglo Egyptian Bookshop,

1981, hlm 211 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, Ibid.12 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, Ibid.

Page 63: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

49Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

positivistik.13 Bahkan, tujuan perbincangan teoritis hermeneutikanya adalah dalam rangka aksiomatika, yakni tidak lain untuk mencipta kan sebuah disiplin penafsiran yang obyektif, rigorus (tepat, akurat) dan universal. Seperti halnya fenomenologi yang dirintis Edmund Hursserl, pen de katan ini memang dimaksudkan sebagai disiplin yang apoditiktis, yang tidak menginginkan keragu-raguan apa pun.14

Sejalan dengan kepentingan fenomenologi tersebut, Hassan Hanafi meletakkan kritik sejarah dalam kaitannya dengan teks-teks kitab suci sebagai maslaah teoritis yang krusial. Sebab kritik sejarah berfungsi men -jamin keaslian firman Tuhan yang disampaikan kepada Nabi dalam sejarah, baik melalui medium lisan maupun tertulis.15 Sementara dalam proses interpretasi, penafsiran harus beranjak dari pemikiran yang kosong, seperti tabula rasa, di mana tidak boleh ada yang lain selain analisis linguistik.16

Hanafi bukannya tidak sadar dengan tendensi objectivistik dalam perumusan hermeneutikanya yang awal-awal tersebut. Akan tetapi, ia sengaja menekankan hal ini sebagai anti tesis terhadap raibnya penafsiran al-Qur’an yang otoritatif, yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang memiliki tujuan ilmiah tertentu.17 Sebab menurutnya seperti sudah di-jelaskan sebelumnya, kebanyakan tafsir al-Qur’an tradisional terjebak dalam penjelasan tautologis dan repetitif tentang tema-tema yang sama sekali tidak relevan.

Di samping itu, berharap dapat mengeleminasi kesewenang-we-nangan penafsir terhadap teks al-Qur’an. Karena baginya, hermeneutika mengajarkan metode yang bersifat normatif dan karena itu, bukanlah

13 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 2.14 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman Jakarta: Gramedia 1983 hlm 103.15 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 14.16 Menurut Hassan Hanafi lebih lanjut, analisis linguistik terhadap Kitab suci inipun

bukan merupakan analisis yang baik, tetapi hanya merupakan alat yang sederhana yang akan membawa kepada pemahaman terhadap makna kitab suci. Hassan Hanafi memberikan contohnya bahwa fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengawasi pembacaan teks, tetapi masih berada di bawah bidang makna, sedangkan marfologi, leksikologi dan sintaksis memperkenalkan langsung kepada masalah makna (Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14).

17 Hassan Hanafi, Qadlâyâ, Muâshirah Vol.2, Beirut: Dar al Tanwir, 1983, hlm. 176.

Page 64: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

50 Dr. Adang Kuswaya

seni yang bergantung sepenuhnya pada kepandaian pribadi yang me-nafsirkannya.18

Betapa banyaknya penafsiran al-Qur’an yang berlaku sewenang-wenang dengan memberlakukannya sebagai teks filsafat, sastra, hukum, dan sebagainya. Hal mana telah menimbulkan konflik laten sepanjang sejarah kehidupan umat Islam. Belakangan, Hassan Hanafi merevisi se-bagian asumsinya tentang hermeneutika sebagai disiplin yang rigorus dan positivistik tersebut. Kesadarannya tentang proses kesejarahan manusia membawa kepada kesimpulan bahwa “tidak ada hermeneutika per se, absolut, dan universal. Hermeneutika tidak selalu merupakan “herme-neutika terapan” yang merupakan bagian dari perjuangan sosial.19

Pluralitas itu sendiri mencerminkan konstruksi masyarakat, meru-pakan refleksi konflik sosial yang menjadi dasar pemikiran manusia. Dalam hal ini, ia tidak lagi berbicara hermeneutika dalam pengertian teore tik-nya, tetapi lebih mengarah pada historisitas hermeneutika tersebut, yakni dipahami sebagai suatu produk pemikiran yang tidak mungkin dicabut dari konteks di mana ia muncul dan untuk apa ia dibangun.20

Hermeneutika yang cenderung bersifat historis hampir serupa dengan pendirian hermeneutika filosofis dan diskursus pemikiran barat. Dalam hermeneutika jenis ini, utamanya yang dikemukakan oleh Hans George Gadamer, hermeneutika tidak lain merupakan diskursus tentang fenomena pemahaman manusia itu sendiri, yakni merefleksikan makna dan hakikat pemahaman dan proses memahami pada diri manusia. Oleh sebab itu bagi Gadamer, sebuah penafsiran tidak pernah lepas dari tradisi yang dilestarikan lewat bahasa. Artinya, manusia tidak mungkin mema hami teks terlepas dari aspek linguistik yang bersifat historis. Suatu penafsiran senantiasa didahului oleh “prapaham” tertentu yang men-cer minkan historisitas yang meliputi manusia. Dengan sendirinya, suatu pencarian makna obyektif akan sia-sia belaka. Sebaliknya, suatu penaf siran merupakan “kegiatan produktif ” dan bukanlah proses “reproduksi”

18 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 2.19 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 208.20 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 3. Bandingkan dengan Iham

B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Bandung : Teraju, 2002 hlm. 110.

Page 65: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

51Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

makna untuk menghadirkan makna asali dalam kehidupan kekinian.21

Suatu pemahaman terhadap teks tidak dapat mengabaikan histori-sitas penafsiran. “Setiap teks berangkat dari pemahaman tertentu, pe-mahaman akan kebutuhan dan kepentingan penafsiran dalam teks”.22 Karenanya penafsiran merupakan kegiatan produktif dan bukan repro-duktif makna. Bukan hanya karena makna awal sulit ditemukan, tapi juga karena makna awal tersebut tidak akan relevan lagi karena telah ke hi-langan konteks eksistensialnya. 23 Dengan kata lain, menurutnya kalaupun makna awal berhasil ditemukan, ia bukanlah pendasaran makna, namun hanya merefleksikan adanya kaitan antara teks dan realitas, bahwa teks ataupun penafsiran selalu memiliki nilai historisnya sendiri-sendiri.24

Hubungan interpretasi dengan realitas memang demikian signifi-kan dalam hermeneutika al-Qur’an, meskipun tidak pada heremeneutika sebagai aksiomatika. Hassan Hanafi senantiasa mengaitkan herme neu-tika pada “praktis”. Hal ini tidak lepas dari kuatnya pengaruh Marxisme dalam pikirannya. Posisi Marxian sendiri tidak dapat disebut sebagai tahapan tertentu dalam pemikirannya, sebagaimana dua proposisi: her-meneutika sebagai aksiomatika yang bersifat metodis dan herme neutika yang bersifat filosofis.

Sementara hermeneutika praksisnya lebih mencerminkan instrumen sekaligus tujuan konsep hermeneutika al-Qur’annya. Secara metodologis, analisis Marxisme, terutama metode dialektika, digunakan sebagai alat untuk mensintesiskan kecenderungan positivistik dalam fenome nologi dan sifat filosofis hermeneutika Gadamerian. Hal ini sangat kental dalam tulisan-tulisan Hassan Hanafi yang terbit belakangan, seperti “Herme neutics and Revolution” yang sarat dengan sintesis metodologis antara fenomeno-logi dan hermeneutika, maupun antara penafsiran dan per ubahan.25

21 osef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, London: Routledge and Kegan Paul, 1989 hlm. 3.

22 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 549.23 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 537; Hassan Hanafi Qadlâyâ al Mu’âshirah

vol.2, hlm. 185.24 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 537.25 assan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, Kairo: Dar Kbaa, th. 2000, hlm

206-213.

Page 66: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

52 Dr. Adang Kuswaya

Hassan Hanafi menemukan pisau analisis yang tajam tentang ma-sya rakat dan realitas yang menjadi tujuan hermeneutikanya, warisan Marxisme. Ia, misalnya, dapat melihat kesejajaran antara teks dan realitas. Jika teks memiliki struktur ganda: kaya-miskin, penindas-ter-tindas, kekuasaan-oposisi, demikian pula halnya dengan sifat dasar teks.26 Sehingga struktur teks yang bersifat ganda tersebut kemudian mela-hirkan hermeneutika “progresif ’ dan “konservatif ”.27

Hermeneutika konservatif berangkat dari teks, mendasarkan diri pada makna literal dan makna otonom, dan aturan yang didasarkan pada realitas yang diandaikan, menganggap teks sebagai nilai per se, absolut dan universal. Sementara hermeneutika progresif menganggap teks se-kedar alat, sedangkan kehidupan nyata justru nilai absolut yang perlu diperhatikan.28 Bahkan, jika teks bertentangan dengan mashlahat maka mashlahat-lah yang harus didahulukan. Karena teks itu hanya se kedar wasilah, sarana dan alat sedangkan mashlahat, alasan dan ke pen tingan adalah tujuan.29 Melalui Marxisme, ia mengajak penafsir be rangkat dari realitas dan menuju pada praksis, sebagai hermeneutika terapan. Ia meng klaim jika hermeneutika semacam ini sejalan dengan “fenomenologi dinamis” yang dibedakan dari fenomenologi statis.

Dengan hermeneutika terapan, ia berharap dapat menciptakan perubahan, mentransformasikan penafsiran dari sekedar mendukung dogma (agama) menuju kepada gerakan revolusi (massa) dan dari tradisi ke-modernisasi. Menurutnya, inilah metode transformasi sebagai tindak-an “regresif-progresif ”.30 Pada saat yang sama, penggunaan Marxisme

26 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 212.27 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 212.28 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 208, 212.29 Hassan Hanafi, Min al Nash ilâ al Wâqi Juz 2, Beirut: Dar al Midâr al Islâmî, 2005,

hlm. 573. Menurut Hassan Hanafi tidak ada perbedaan antara wahyu dan mashlahat. Apabila kitab, sunnah dan ijma bertentangan dengan mashlahat maka mashlahat harus didahulukan dengan cara takhshish, karena mashlahat merupakan dasar semuanya. Hassan Hanafi, Min al Nash ilâ al Wâqi Juz 2, hlm. 573..

30 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 207. Metode Regresif-progresif dijelaskan Hassan Hanafi bahwa menafsirkan berarti melakukan gerakganda; dari teks menuju realitas dan dari realitas menuju teks. Pada yang pertama diterapkan prinsip-prinsip ampibologis bahasa, sementara pada yang kedua digunakan prinsip

Page 67: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

53Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

dan fenomenologi memberikan kemungkinan akan penemuan Ego (the self) dan cogito sosio-politik yang baru, afirmasi individu, hak-hak ke-lompok, rakyat, dan bangsa.31

C. TEORI DAN TEKNIS HERMENEUTIKA AL-QUR’AN

Hassan Hanafi menerima sebagian gagasan baik hermeneutika metodis bahwa hermeneutika merupakan disiplin tentang teknis penafsiran, mau-pun hermeneutika filosofis yang berpegang pada hakikat peristiwa pe-naf siran. Hanya saja ia menambahkan bahwa disiplin tersebut harus juga memperbincangkan dua dimensi lainnya, yakni sejarah teks dan ke pentingan praktis dalam kehidupan.

Hermeneutika bukan sekedar “sains penafsiran” atau teori pema-haman belaka, melainkan, anggota kompehensif tentang sejarah teks, intepretasi, dan prakteknya dalam mentransformasikan kenyataan sosial. Hermeneutika adalah ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai pada tindakan nyata di dunia.32 Hermeneutika merupakan ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praxis, kehidupan manusia.

Hermeneutika tidak dibatasi pada perbincangan mengenai model-model pemahaman tertentu atas teks semata, tetapi lebih jauh lagi, ber kaitan juga dengan penyelidikan sejarah teks untuk menjamin oten-tisitasnya hingga penerapan hasil penafsiran dalam kehidupan manusia. Proses interpretasi menempati posisi kedua, setelah kritik sejarah.33

Prasyarat pemahaman yang baik terhadap suatu teks kitab suci adalah dengan terlebih dahulu membuktikan keasliannya melalui kritik sejarah. Sebab jika tidak, pemahaman terhadap teks yang palsu akan men jerumuskan orang pada kesalahan, sekalipun, misalnya, tafsirannya benar mengenai kandungan teks palsu tersebut.34 Setelah memperoleh

melalui sensitivitas semangat zaman. Lihat Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 211.

31 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 208.32 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.33 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.34 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.

Page 68: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

54 Dr. Adang Kuswaya

keaslian teks, barulah hermeneutika dalam pengertian ilmu pemahaman bisa dimulai. Menurutnya, pada titik ini, hermeneutika berfungsi sebagai ilmu yang berkenaan dengan bahasa dan keadaan-keadaan sejarah yang melahirkan teks. Setelah mengetahui makna yang tepat dari sebuah teks, segera diikuti dengan proses menyadari teks ini dalam kehidupan ma-nusia. Sebab, pada dasarnya, tujuan akhir sebuah teks wahyu adalah bagi transpormasi kehidupan manusia itu sendiri.35

Dalam bahasa fenomenologis, dapat dikatakan bahwa hermeneu-tika adalah ilmu yang menentukan hubungan antara kesadaran dan objek nya, yakni kitab-kitab suci.36 Pertama, kesadaran historis yang me-nen tu kan keaslian teks dan tingkat kepastiannya. Kedua, kesadaran eidetik yang menjelaskan makna teks dan menjadikannya rasional. Ketiga, kesadaran praktis yang menggunakan makna tersebut sebagai dasar teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhir nya dalam kehidupan manusia di dunia, sebagai struktur ideal yang mewu-judkan kesempurnaan dunia.

Dengan tiga fase analisis ini, diharapkan hermeneutika al-Qur’an dapat bersifat teoritik sekaligus praktis. Baginya, perbincangan yang ber-pusat pada penafsiran teks, di satu sisi, dan pada metodologi tanpa maksud praktis, di sisi lain, benar-benar perlu dihindari.

Hermeneutika sebagai aksiomatika harus pula menjadi jalan tengah antara kutub umum dalam penafsiran: penafsiran praktis dan filosofis. Penafsiran praktis, sebagai analisis filologi murni terhadap teks yang erat kaitannya dengan philologi sacra.37 Penafsiran semacam ini menurutnya, tidak akan memperbincangkan masalah-masalah prinsipil dalam pe-nafsiran, kecuali memusatkan diri pada detail-detail yang sama sekali tidak membuat teks menjadi lebih asli, jelas, maupun praktis.

Sementara itu hermeneutika filosofis menurutnya, kembali pada subjektivitas penafsir, sebuah istilah yang digunakannya untuk menun-jukkan masalah yang terfokus pada problem pembacaan, yang menyerap teks kedalam perbincangannya sendiri. Jika penafsiran praktis bersifat

35 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.36 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.37 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 2.

Page 69: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

55Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

ekstrovert, maka hermeneutika filosofis cenderung lebih introvert.38

1. Kritik HistorisKeaslian sebuah kitab suci tidak tercipta karena adanya keyakinan, tetapi merupakan hasil kritik sejarah. Kritik ini harus terbebas dari hal-hal yang semata-mata berbau teologis, filosofis, mistik, spritiual, atau bahkan fenomenologis. Keaslian kitab suci tidak dijamin oleh takdir Tuhan, ke-yakinan dogmatis, pemuka agama atau pranata sejarah apa pun.39 Jadi, keaslian sebuah kitab suci diuji berdasarkan atas kritik sejarah bukan ber-dasarkan atas keyakinan, bukan kritik teologi dan hal-hal yang anti kritik.

Dalam konteks Islam, hal ini berkaitan dengan tradisi dua pola pengalihan (al naql) jenis kata-kata sebagai berikut ini. Pertama, metode transferensi tertulis (al naql al maktûb) dan kedua, metode transferensi oral (al naql al syafâhî). Melalui jalan metode transferensi tertulis adalah seperti penulisan al-Qur’an dan melalui jalan metode oral adalah seperti di-transferensikannya al hadits atau al sunah.40

1. Pola kata-kata dengan metode transferensi tertulis dalam Kitab suci seperti al-Qur’anKata-kata yang diucapkan oleh Nabi yang didiktekan kepadanya

oleh Tuhan melalui malaikat dan langsung didiktekan oleh Nabi kepada penyalinnya pada saat pengucapan dan dengan demikian menyimpannya dalam tulisan sampai sekarang. Kata-kata al-Qur’an merupakan peng-alihan verbatim yaitu al-Qur’an di mana ia ditulis segera setelah pewahyuan di bawah pengawasan Nabi sendiri (selain dihafal oleh para sahabat Nabi) dan persis sama dengan kata-kata yang diucapkan pertama kali ketika diwahyukan.41 Wahyu ini tidak melewati masa pengalihan secara lisan;

38 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 3.39 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 4.40 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 549.41 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 5. Bandingkan dengan

Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, cet Ke-2, 1992 hlm. 122. Menurut Quraish Sihab, atas dasar ini kedudukan al-Qur’an dari segi otentisitasnya bersifat qath’iy al wurûd.

Page 70: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

56 Dr. Adang Kuswaya

tetapi ditulis pada saat pengucapannya. Tak satu pun kitab suci dalam tradisi kitab suci sejak Kitab Taurat yang memenuhi persyaratan ini ke-cuali Kitab Suci al-Qur’an. Hanya al-Qur’anlah yang ditulis pada saat di turunkannya.42

Wahyu pada hakekatnya merupakan firman Tuhan yang diberikan kepada Nabi in verbatim dan harus disampaikan kepada manusia secara in verbatim pula. Meskipun demikian, hermeneutika sebagai kritik sejarah tidak berurusan dengan wahyu in verbatim ketika masih dalam pemikiran Tuhan atau sebelum diturunkan kepada Nabi-Nya.43 Hermeneutika baru berfungsi setelah Nabi menyampaikan wahyu tersebut dalam sejarah.

Karena al-Qur’an ditujukan bagi manusia, maka konsekuensinya, hermeneutika tidak berurusan dengan wahyu pada tahap metafisika, se-perti tentang substansi logos (Kalam Tuhan) atau masalah cara-cara pe-wahyuan. Namun, hermeneutika berurusan dengan al-Qur’an pada tahap teks dan produktivitas (penafsiran) teks.44 Dalam hal ini, pen-defi nisian al-Qur’an apakah sebagai Kalam Allah yang bersifat Qadim (dahulu) dan azali atau apakah bersifat Hadits (baru) dan makhluq. Hal ini dianggap tidak relevan diperbincangkan di sini. Dalam bahasanya yang lebih fenomenologi, metafisika al-Qur’an diletakkan dalam tanda kurung (apoche), tidak diafirmasi, namun juga tidak ditolak.45

Fungsi kritik historis dalam hermeneutika untuk memastikan ke-aslian teks yang terdapat dalam Kitab Suci dengan wahyu yang disam-paikan oleh Nabi dalam sejarah yang disebarkan dari mulut ke mulut dalam kasus transferensi oral, atau pengalihan dari tangan yang satu ke yang lainnya dalam kasus transferensi tulisan.46 Karena al-Qur’an dituju-kan kepada manusia, maka sebagai konsekwensi logisnya hermeneutika tidak berurusan dengan wahyu pada tahapan metafisis. Artinya, per ha-tian hermeneutika terletak pada dimensi horizontal wahyu yang bersifat historis, dan bukan pada dimensi vertikalnya yang metafisis seperti bagaimana Nabi menerima wahyu dari Tuhannya tersebut.

42 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 5.43 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7.44 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 69.45 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 1, hlm. 495.46 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 6.

Page 71: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

57Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

Keaslian wahyu dalam sejarah, ditentukan oleh tidak adanya syarat-syarat kemanusiaan di dalamnya. Kata-kata yang diterima Nabi dan di-bacakan langsung oleh Tuhan melalui malaikat, langsung pula dibacakan oleh Nabi kepada para penyalinnya pada saat pengucapan dan lestari sampai saat ini dalam tulisan (al-Qur’an).47 Pada kasus al-Qur’an, wahyu di tulis in verbatim yang secara harfiah dan kebahasaan, persis sama dengan yang diucapkan oleh Nabi. Prasyarat lain bagi keaslian Kitab Suci dalam sejarah adalah keutuhannya. Artinya semua yang dituturkan oleh Nabi, baik dengan menggunakan pola transferensi lisan maupun tertulis harus tersimpan dalam bentuk teks tertulis.48

Berbeda dengan kritik yang terjadi pada teks-teks yang mengalami fase pengalihan lisan seperti dalam al hadits, al-Qur’an tidak mendapatkan kritik yang rumit. Artinya, otentisitas al-Qur’an telah teruji secara historis. Beberapa kritik yang diterapkan pada al-Qur’an, antara lain seputar aspek bacaan seperti (qira`ah), al ahruf al sab’ah, hakekatnya sebagai Kalam Allah, keberadaan basmalah, dan keberadaan kosa kata asing (non-Arab).49

47 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 5; Seperti sudah diutarakan bahwa wahyu semacam ini tidak melalui pengalihan lisan, tapi ditulis pada saat pengucapannya. Menurutnya, hanya al-Qur’an yang memenuhi persyaratan ini. Banding kan pula dengan karya Hassan Hanafi dalam Humûm al Fikr wa al Wathan: al Turâts wa al ‘ashr, Kairo: Dar Quba li al Thaba’ah wa al Nasyr wa al Tauzi’, cet. Ke-2. 1998, hlm. 17-56. Hal ini pula yang membuat hermeneutika al-Qur’an berbeda dengan hermenutika kitab suci lainnya. Secara histories, al-Qur’an adalah wahyu verbatim, dalam suatu fase pewahyuan selama kurang lebih 23 tahun, sebagai jawaban atas kondisi sosiohistoris masyarakat Arab saat itu. Karena pewahyuannya yang tidak sekaligus, membuat al-Qur’an memiliki keunikan yang tak dimiliki kitab suci lain, di antaranya dalam hal sistematika. Al-Qur’an bukanlah kitab yang tersusun secara tematik, sehingga suatu tema tertentu tersebar di beberapa tempat yang berbeda dalam al-Qur’an, dan beberapa ayat tertentu atau kisah tertentu terkesan diulang-ulang berbeda dengan kitab suci lain, al-Qur’an yang ada sekarang tidaklah berbeda dengan yang ada pada zaman Rasulullah, tidak ada perubahan. Kecuali dalam kaitannya dengan penambahan tanda baca, baik yang berupa titik (I’jam), maupun tanda baca lain (syakal) pada masa awal Islam dan perubahan ini tidak signifikan, karena hanya untuk memperjelas pembacaan, tidak mengubah al-Qur’an (Daud al Aththar, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an, terj. Afif Muhammad dan Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994, hlm. 191-200). Bandingkan pula Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an, terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta: Rajawali Press, 1991, hlm. 71-74.

48 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7.49 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 69. Menurutnya, para pakar ushûl fiqh

Page 72: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

58 Dr. Adang Kuswaya

Kritik terhadap al-Qur’an juga berlaku pada kronologi ayat, karena diakui secara historis bahwa wahyu al-Qur’an diturunkan secara bertahap sejalan dengan perkembangan realitas sejarah masa Rasulullah. Dalam kaitan ini, terjadinya naskh adalah sangat mungkin karena ia merupakan konsekwensi logis dari wahyu yang diturunkan secara gradual dan tidak terjadi pada wahyu yang diturunkan secara sistematik seperti-buku-buku hukum. Nasakh justru menunjukkan hitorisitas wahyu, keterlibatan wahyu dalam sejarah. Wahyu tidaklah muncul di luar sejarah.50

2. Pola kata-kata yang berupa Hadits dimana ia melewati fase peng-alihan lisan sebelum ditulis

Kata-kata yang diucapkan Nabi yang datang dari Nabi sendiri untuk men jelaskan sebuah gagasan atau memberitahukan bagaimana suatu tindakan secara tetap harus dilakukan agar sesuai maksud Tuhan. Pola kedua ini dapat berupa kata-kata, perbuatan atau izin yang diberikan Nabi tetapi tidak pernah berupa mimpi, bayangan atau perjumpaan langsung

klasik telah membuang problematika partikular seperti penambahan atau pengurangan dalam teks, pembacaan teks atau keberadaan basmalah. Mereka lebih dekat kepada kodifikasi al-Qur’an. Al-Qur’an sudah dikumpulkan pada waktu proses penurunan wahyu dan mushaf-mushaf yang satu dengan yang lainnya sudah dikomparasikan. Mushaf Usmanî merupakan mushaf yang ditransferensikan manusia dari masa ke masa hingga masa kini sebagai mushaf yang dikenal dalam ilmu-ilmu al-Qur’an seperti dalam al Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an karya Imam Jalaludin al Suyuthi. Pendefinisian al-Qur’an sebagai Kalam Allah yang Qadim dan Berdiri Sendiri tidak diprioritaskan karena persoalan itu merupakan persoalan teologis yang ada di luar ilmu ushûl fiqh. Akan tetapi, pendefinisian al-Qur’an adalah sesuatu yang ditransfer kepada kita di antara lembaran mushaf yang terdiri dari tujuh huruf yang terkenal (al Ahruf al Sab’ah al Masyhûrah) dengan tranferensi mutawatir. Basmalah adalah salah satu ayat al-Qur’an. Adapun kontradiksi terjadi di dalam keberadaan basmalah yang merupakan salah satu ayat dari setiap surat dan seperti Al Syafi’î cenderung menetapkan basmalah merupakan bagian dari setiap surat. Al-Qur’an memuat makna haqîqât dan makna majâz . Al-Qur’an adalah bahasa Arab. Tidak terdapat bahasa asing (‘ajam) dalam al-Qur’an. Kata-kata asing yang terdapat di dalamnya sudah diarabisasikan secara sempurna pada masa sebelumnya. Di samping itu, al-Qur’an juga memuat kata-kata yang bermakna tegas (al muhkam), ayat yang bermakna samar (al mutasyâbih), ayat yang jelas-tekstual (Zhahir), ayat interpretatif alegoris (al mu`awwal) yang semuanya merupakan diskursus linguistik dari pembahasan filologi. (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 69).

50 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 70.

Page 73: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

59Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

dengan Tuhan. Karena, hadits Nabi datang dari situasi kehidupannya.51 Untuk melihat pemilahan transferensi wahyu dari yang in verbatim,

(al-Qur’an), Hassan Hanafi membedakannya dari kata-kata lain yang juga berasal dari Nabi tetapi bukan merupakan wahyu yang didiktekan langsung oleh Tuhan. Materi ini berasal dari buah pikiran Nabi sendiri tentang gagasan tertentu atau dalam rangka memberikan petunjuk pe-laksanaan dari wahyu in verbatim yang dapat disebut dengan al hadits. 52

Secara teoritis antara wahyu in verhatim dan hadis Nabi tidak ada per tentangan;53 keduanya berasal dari Tuhan, yang satu secara langsung yang lainnya tidak langsung. Sebab setiap terjadi pertentangan akan diselesaikan dengan baik. Antara yang prinsipil dengan yang kasuistik, antara makna umum dan makna khusus, atau merupakan kontinuitas pola pertama (wahyu in verbatim) kepada pola kedua yaitu al hadits.54 Pe-nyelesaian tersebut dengan cara berikut ini.

Pertama, pola yang pertama memberikan gagasan umum dan yang kedua merupakan kasus perorangan. Kedua, pola yang pertama mem-berikan arti yang umum dan yang kedua menawarkan arti yang khusus. Ketiga, pola yang pertama biasanya muncul lebih dahulu dari pada pola yang kedua.55

51 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. Bandingkan pula dengan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung : Mizan, cet. Ke-2, 1992 hlm. 122. Dengan demikian, menurut Quraish Shihab, kedudukan hadits dari segi otentitasnya adalah bersifat zhanniy al warûd.

52 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7.53 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. Hal ini senada dengan

apa yang dijelaskan oleh Quraish Shihab bahwa tidak ada pertentangan antara al-Qur’an dan al Hadits. Lihat Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,. 117; Bandingkan pula dengan Hayy Farmawiy, Al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû’ î, hlm. 53.

54 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. 55 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7-8. Bandingkan pula

dengan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, cet. Ke-2, 1992 hlm. 122. Quraish Shihab dengan mengutip pendapat Abdul Halim yang menegaskan bahwa, dalam kaitannya tentang posisi al sunah, hadits dengan al-Qur’an, ada dua fungsi al sunnah yang tidak diperselisihkan yaitu fungsi bayân ta’ kîd dan bayân tafsîr. Fungsi bayân ta’ kîd berarti sekedar menguatkan atau menegaskan dan menggarisbawahi kembali apa yang dapat dalam al-Qur’an. Sedangkan fungsi bayân tafsîr, berarti memperjelas, memerinci, bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat al-Qur’an.

Page 74: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

60 Dr. Adang Kuswaya

Dengan melihat paparan di atas terlihat bahwa Hassan Hanafi ter-masuk orang yang tidak mengakui kebolehan me-nasakh ayat al-Qur’an dengan al sunnah, al hadits. Bahkan, dia hanya menganggap kompromi seperti di atas justru memperkuat pendapat adanya dua posisi al hadits ter hadap al-Qur’an yang berfungsi sebagai bayân li ta’kîd dan bayân li tafsîr. Dalam pengertian, seperti yang dikemukakan oleh Quraish Shihab yang mengutip pendapat Abdul Halim bahwa dalam kaitannya tentang posisi al sunnah dengan al-Qur’an, ada dua fungsi al sunnah yang tidak di-perselisihkan yaitu fungsi bayân ta’ kîd dan bayân tafsîr. Fungsi bayân ta’ kîd yaitu menguatkan atau menegaskan dan menggarisbawahi kembali apa yang terdapat dalam al-Qur’an. Sedangkan fungsi bayân tafsîr, berarti mem perjelas, memerinci, bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat al-Qur’an.

Pola yang kedua ada kemungkinan melewati masa pengalihan lisan. Dalam hal ini keaslian sejarahnya harus terjamin. Karena tidak mungkin mencapai keaslian mutlak bagi semua kata-kata yang ada, maka yang di-lakukan hanya menentukan derajat keaslian.56 Setiap riwayat terdiri dari dua bagian; orang-orang yang melaporkannya dari masa ke masa yang disebut dengan rawy atau sanad; dan laporan kisah yang disebut matan. Dalam hubungannya dengan para rawy terdapat empat metode peng-alihan lisan diantaranya hanya yang pertama yaitu pengalihan multi-lateral, mutawatir, yang menyediakan kemungkiman keaslian mutlak.57

56 Sebuah Hadits terbagi menjadi tiga bagian: pertama, kata-kata sahabat yang dengan kata-kata itu mereka mulai melakukan transferensi (periwayatan). Kedua sanad (rangkaian pewarta), dan ketiga matan (materi hadits). (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm: 71).

57 Hassan Hanafi, Di r â s â t Islâmiyah, hlm. 71. Sebagaimana dijelaskan pula oleh Mahmud ‘Thahhan dalam Taisîr Mushthalah al Hadîts. Menurutnya, hadits bila ditinjau dari segi metode pengalihannya ada empat yang terbagi dalam dua kategori yakni pertama, mutawatir dan kedua, hadits ahâd. Sedangkan hadits ahâd ini terbagi menjadi tiga. Pertama, al masyhûr, kedua, al ‘azîz dan ketiga, al gharîb. Lihat Mahmud Thahhân, Taisîr Mushthalah al Hadîts, Beirut: Dâr al Tsaqâfah, t.t., hlm. 19. Berkaitan dengan cara penyampaian hadits, menurut Hassan Hanafi kata -kata yang disampaikan oleh para sahabat terdiri atas lima susunan hierakis Pertama, kata-kata yang paling kuat yaitu sahabat berkata: “aku mendengar”, “mewartakan padaku”, atau “telah diceritakan kepadaku”. Kata-kata ini tidak bisa ditembus oleh kemungkinan salah. Kedua, adalah: “Rasulullah bersabda”, “mewartakan”, atau “bercerita”. Bentuk ini memuat satu kemungkinan kesalahan karena Istima’ (mendengarkan) kadang-kadang tidak secara

Page 75: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

61Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

Dalam tulisan ini, hanya yang pertama yang akan dijelaskan sebagai be-rikut ini.

Pengalihan multilateral, mutawatir dalam prosesnya teks harus di-laporkan in verbatim oleh beberapa orang yang hidup pada zaman yang sama dengan kejadian yang dilaporkan. Untuk mencegah segala ke mungkinan terjadinya kesalahan, pengalihan multilateral harus memenuhi empat syarat berikut ini.58 a) Para rawy tidak boleh ada ketergantungan antara rawy yang satu

dengan yang lainnya, untuk menjaga segala kemungkinan adanya keinginan merendahkan diri.

b) Jumlah rawy harus cukup banyak untuk memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi keaslian suatu riwayat.59

c) Tingkat penyebaran riwayat harus seragam pada setiap waktu, sejak penyebaran riwayat generasi pertama sampai generasi tradisi penulisan.

d) Isi riwayat harus sesuai dengan pengalaman manusia dan kesaksian indrawi. Wahyu bukanlah sesuatu yang ajaib dan supranatural, ataupun ajaib. Oleh karena itu, semua riwayat tentang kejaiban harus dihilangkan, bukan karena keajaiban itu tidak ada, melainkan

langsung. Ketiga,adalah “Rasulullah memerintah” atau “Rasulullah melarang”. Dengan berdasar pada adanya kemungkinan pertama adanya kesalahan, maka bentuk ini pun bisa ditembus atau mengandung kemungkinan yang lain, yaitu bentuk perintah kadang-kadang bukan rnerupakan perintah. Keempat, adalah “kita diperintah demikian” atau “kita dilarang dari demikian”. Dengan bersandar pada kemungkinan-kemungkinan yang terdahulu, maka bentuk ini bisa ditembus oleh kemungkinan yang lain, yaitu pemberi perintah kadang-kadang bukan Rasulullah. Kelima, adalah “dulu mereka me lakukan”. Berdasarkan pada adanya kemungkinan kernungkinan kesalahan yang terjadi pada bentuk-bentuk yang terdahulu, maka bentuk ini juga bisa ditembus oleh kemungkinan yang lain, yaitu adanya kemungkinan bahwa tindakan (yang dilakukan) itu merupakan tindakan yang sudah sempurna tetapi tidak pada zaman Rasulullah. Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 71.

58 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 71. Bandingkan pula dengan Lihat Mahmud Thahhan, Taisîr Mushthalah al Hadîts, hlm. 20

59 ongjungitas, mutawatir atau pengulangan yang terus menerus (at-tawatur), yakni periwayatan oleh sejumlah orang yang tidak terbatas jumlahnya sehingga meng-hindarkan adanya kemungkinan mereka membuat kesepakatan untuk mengadakan dusta, manipulasi, maupun kamuflase, akan memberikan atau menghasilkan ilmu pengetahuan (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 71).

Page 76: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

62 Dr. Adang Kuswaya

karena tidak cocok dengan panca indra. Selain itu, keajaiban adalah peristiwa alamiah yang menyebabkan tidak diperhatikan. Begitu penyebabnya diketahui, maka hilanglah keajaibannya.60

Dalam hal matan riwayat harus dibuat secara tekstual, tanpa ada pengu-rangan ataupun penambahan. Hubungan yang ada antara kata maknanya adalah hubungan yang mutlak. Makna ini diungkapkan hanya melalui kata ini saja. Jika digunakan kata lain, akan terdapat makna bayangan yang tidak akan sama dengan makna yang sebenarnya.61

Setelah pola kata-kata yang pertama dan kedua digunakan, ber-akhirlah wewenang teks. Kitab suci tersimpan melalui pola-pola. Maka dimulailah peran tradisi dalam masyarakat. Tradisi terjadi karena ke se-pakatan masyarakat yang merupakan refleksi terhadap kitab suci dan kenyataan-kenyataan baru. Perkataan para sahabat Nabi bukan me-rupakan bagian dari kitab suci melainkan dari tradisi yang bisa dite rima atau ditolak berdasarkan kesamaan atau perbedaannya dengan kitab suci. Menurutnya, perkataan-perkataan itu merupakan penafsiran pribadi yang dapat diperbaiki langsung oleh Nabi sendiri jika terdapat ke salahan.62

Setelah tercapai kesepakatan, setiap individu harus berusaha men-capai pemahaman. Jika ternyata suatu kesadaran benar-benar sulit atau tidak mungkin maka kesadaran individu akan dapat berpikir sendiri. Mengambil keputusan dan menemukan status bagi masalah baru yang dihadapinya.63

Dengan demikian wahyu terdiri atas tingkatan-tingkatan: wahyu langsung dari Allah, yaitu al Kitab, wahyu detail berasal dari Rasulullah dengan bimbingan yang bersumber dari Allah, wahyu komunal yang ber-asal dari umat (publik) maka umat adalah khalifah Allah, dan wahyu per-sonal yang berasal dari nalar yang diafiliasikan pada wahyu al-Kitab, sunnah, dan komunal. Dasar yang pertama dan yang kedua menunjuk

60 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 8-9.61 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 10.62 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 11. 63 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 12.

Page 77: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

63Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

pada wahyu yang tertulis-statis, sedangkan dasar yang ketiga dan ke-empat menunjuk pada wahyu yang dinamis.64

2. Kritik EidetisSetelah melalui kritik sejarah yang dilakukan demi menentukan keaslian kitab suci, seorang penafsir dapat melakukan proses interpretasi atau yang secara teknis ia sebut sebagai kritik eidetis. Hassan Hanafi sendiri tidak menjelaskan pengertian eidetis —sebuah istilah fenomenologi—kecuali dikaitkan dengan proses interprestasi.65 Jika tafsiran penulis tidak salah, barang kali kritik eidetis dalam pemikiran Hassan Hanafi me rupakan analisis fenomenologi teks seutuhnya sebagaimana yang ditangkap oleh kesadaran penafsir untuk memperoleh hakikat pema-haman yang benar mengenai fenomena tersebut.

Fungsi kesadaran eidetis adalah memahami dan menginterpretasi teks setelah validitasnya dikukuhkan oleh kesadaran historis. Kesadaran eidetik juga merupakan bagian terpenting dalam ilmu ushul fiqh karena melalui mediasinya proses pengambilan ketentuan-ketentuan hukum dari dasar-dasarnya yang empat menjadi sempurna dan komprehensif.66

Metode yang sedianya berfungsi untuk menganalisis fenomena dicangkokkan oleh Hassan Hanafi ke dalam hermeneutika pembacaan teks. Oleh karena itu objeknya adalah teks dan maknanya sebagai mana yang ditangkap oleh kesadaran. Suatu penafsiran, menurutnya, harus menghindarkan diri pada pengulangan prasangka tertentu dari dogma. Karena hal ini akan menjerumuskan suatu penafsiran ke dalam dugaan-dugaan semata. Seorang penafsir harus memulai pekerjaan dengan tabula

64 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 73.65 Lazimnya dalam fenomenologi, dikenal istilah “reduksi eidetik” dan visi eidetik”

yang bersifat positif, yang dibedakan dari reduksi fenomenologis yang bersifat negatif. Jika reduksi fenomenologis menunda afirmasi mengenai ada tidaknya suatu fenomena atau kebenaran, maka reduksi eidetik adalah penyaringan fenomena dari eksistensinya dalam kesadaran kepada eidos (hakikat) yang ada dalam fenomena tersebut (Saenong, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 117).

66 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm.78. Menurutnya, kritik Eidetik ini merupa-kan bagian yang merepresentasikan kesungguhan dan kemampuan manusia terhadap pemahaman dan interpretasi alegoris karena di dalam dasar-dasar itu tidak ada tempat masuk bagi manusia. (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 78).

Page 78: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

64 Dr. Adang Kuswaya

rasa, tidak boleh ada, kecuali analisis linguistiknya.67 Apa yang dimaksud Hassan Hanafi sebagai tabula rasa di sini agaknya harus dipahami secara fenomenologis. Dalam fenomenologi, kesadaran bukanlah kesadaran murni sebagaimana dalam rasionalisme, tapi selalu merupakan kesadaran yang terarah atau “kesadaran akan … sesuatu.”68

Kritik eidetis, ada tiga level atau tahap analisis. Pertama, analisa bahasa; kedua, analisa konteks sejarah; dan ketiga, generalisasi.

2.1. Tahap Analisis Kebahasaan a). Analisis Linguistik Analisis linguistik terhadap kitab suci memang bukan dengan

sendirinya merupakan analisis yang baik. Tapi ia merupakan alat sederhana yang membawa kepada pemahaman terhadap makna kitab suci. Misalnya fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengawasi pembacaan teks. Walaupun demikian, menurutnya, fonologi ini masih berada di bawah bidang makna.

b). Analisis Sintaksis Morfologi berfungsi menjelaskan bentuk kata berikut implikasi

maknanya akibat perbedaan penggunaan kata. Leksikologi, di lain pihak, menjelaskan jenis-jenis makna: “makna etimologi”, “makna biasa”, “makna baru”. Makna etimologis adalah makna dasar. Makna biasa adalah makna yang mengikat wahyu pada penggunaan kata dalam suatu masyarakat, ruang, dan waktu ter-tentu.69

67 Mengutip Bergson, Hassan Hanafi menyebut penafsiran-penafsiran yang penuh dengan stereotype dan memproyeksikannya ke dalam makna peristiwa sejarah kekinian sebagai le mouvement rétrograde au vrai (kembali pada hakekat benda-benda) atau le mirage du présent au passe (proyeksi masa kini ke dalam masa lalu). Dalam sejarah hermeneutika kitab suci, penafsiran jenis ini banyak ditemukan dalam penafsiran tipologis terhadap Injil. (Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 13).

68 Seperti dijelaskan K. Bertern bahwa menurut Husserl, kesadaran menurut kodratnya terarah pada realitas yang dapat disebut sebagai “Intersionalitas”. Disamping itu, kesadaran juga “mengkonstitusi” realitas. Konstitusi dimaksudkan sebagai proses tampaknya realitas pada kesadaran. Dengan demikian, dalam fenomenologi, kesadaran sejajar dengan realitas. (K. Bertern, Filsafat Barat Abad X Inggris-Jerman, hlm. 101)

69 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14.

Page 79: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

65Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

Makna biasa inilah yang membuat wahyu sesuai dengan yang di-maksud oleh situasi khusus. Sementara makna baru yang diberikan wahyu adalah makna yang tidak terkandung dalam makna etomologis, maupun makna biasa. Makna yang terakhir ini yang menjadikan dasar turunnya wahyu. Makna baru berfungsi memberi petunjuk bagi tindakan dan merupa kan dorongan baru bagi manusia.70 Oleh karena itu, kandungan maknanya sama sekali bebas dari hal-hal yang misterius, tetapi justru merupakan makna alamiah, rasional, dan jelas, kandungan makna baru dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari usaha-usaha mencari teori agar manusia dapat memusatkan diri pada perhatian pada praktik.

Sementara itu, sintaksis yang bagi Hassan Hanafi merupakan kunci sesungguhnya dari kegiatan penafsiran dalam tahap ini dan berguna untuk menyingkap prinsip-prinsip makna ganda dalam teks.71 Kajian sintaksis ini seperti terlihat pada makna haqîqah (makna harfiyah) dan makna majâz (kiasan); istilah-istilah mubayan (univokal), dan mujmal (ekuivokal); mubham (makna samar) dan al nash (makna yang tepat); al zhâhir (makna yang tampak) dan al muawwal (makna yang tersembunyi); al ‘am (makna umum) dan al khash (makna khusus); al amr (perintah) atau al nahy (larangan).1. Makna haqîqah, makna harfiyah dan makna majâz, kiasan Tema al-Haqîqah wa al-Majâz (yang harfiyah dan yang metafora)

yang mengandung prinsip-prinsip linguistik universal, dan tidak mengandung logika bahasa yang meliputi yang mujmal (global) dan yang mubayyan (klarifikatif), yang zhahir (eksplisit) dan yang inter-pretatif alegoris (mu’awwal, implisit), perintah dan larangan, umum dan khusus.

Al-Haqiqah merupakan makna kata-kata yang digunakan pada proporsinya sedangkan metafora merupakan penggunaan kata-kata yang tidak pada proporsinya. Ada tiga macam metafora: pertama, kata-kata yang dipinjam oleh sesuatu dengan alasan ada kesama an dalam spesifikasi yang sudah dikenal. Kedua, penambahan seperti huruf kaf za’idah dalam ayat laisa kamist lihi syai’un (tidak ada se-

70 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14.71 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14-17, Hassan Hanafi

Dirâsât Islâmiyah, hlm. 80.

Page 80: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

66 Dr. Adang Kuswaya

suatu pun yang menyerupai-Nya). Ketiga, pengurangan yang tidak meng gusur pemahaman sebagaimana yang terjadi dalam ayat was’al al-qaryah (dan tanyakanlah kepada penduduk desa).72

2. Mubayan, univokal, dan mujmal, ekuivokal Mubayyan adalah kata yang maknanya jelas dalam pengertian tidak

mengandung (makna) yang lain, dan disebut juga dengan nashsh (teks). Mujmal adalah kata yang berputar-putar di antara dua penger-tian atau lebih tanpa tarjih (penguatan salah satu makna di atas yang makna yang lain), tanpa kepastian bahasa, dan tanpa melalui pengertian adat pemakaian. Jika pengertian kata-kata itu hanya eksplisit pada makna yang lain, maka ia disebut zhahir.73 Globalitas (ijmal) suatu saat berada dalam kata tunggal, kata majemuk, dan pada saat yang lain berada dalam susunan perkataan, definisi, huruf-huruf penghubung, tempat-tempat berhenti dan permulaan (ibtida’)

3. Al zhahir, makna yang tampak dan al muawwal, makna yang ter-sembunyi.

Arti yang tampak adalah arti yang dapat ditangkap dengan jelas pada kontak pertama dengan teks tanpa perlu mengeluarkan usaha pemahaman ekstra. Sedangkan arti yang tidak tampak memerlu-kan usaha yang lebih besar dan petunjuk pendalaman yang lebih banyak.74 Kunci ganda ini memberi dimensi kedalaman, disebab-

72 Hassan Hanafi selanjutnya menjelaskan bahwa metafora dapat diketahui melalui empat tanda, yaitu pemberlakukan yang harfiah (hakikat) terhadap hal-hal yang universal, larangan istiqaq (pengasalan) terhadapnya, perbedaan bentuk plural bagi kata benda, dan ketergantungan yang harfiah terhadap yang lain. Setiap metafora mempunyai hakikat (makna harfiah) akan tetapi tidak semua yang harfiah harus memiliki metafora. Oleh karena itu, nama-nama alam dan nama-nama yang tidak umum tidak mempunyai metafora. Demikian itu menunjukkan bahwa di penghujung akhir sesuatu terdapat aspek estetika secara bahasa dan pemakaian bentuk-bentuk estetisme dalam wahyu agar berkesan bagi jiwa dan berorientasi pada motivasi-motivasi menuju perjalanan praksis (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 80).

73 Menurutnya lebih lanjut, jika dimungkinkan membawa kata pembuat hukum (alsyari’) pada sesuatu yang memberikan dua makna dan membawanya pada sesuatu yang memberikan satu makna di mana ia berada dalam kebimbangan di antara keduanya, maka kata-kata itu adalah mujmal demi kehati-hatian (Hassan Hanafi Dirâsât Islâmiyah, hlm. 80).

74 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 16.

Page 81: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

67Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

kan adanya perbedaan-perbedaan lain di antara manusia dalam me-mahami teks untuk memuaskan semua pihak dengan cara mem-berikan kedalaman arti yang berbeda.

Kata zhâhir (eksplisit) dan muawwal (implisit) merepresentasikan kaidah bahasa (al-qâ’idah al-lughawiyyah) yang kedua. Kaidah ini ber-kaitan dengan kaidah pertama. Hal itu dikarenakan kata yang mem-berikan petunjuk yang tidak merupakan kata yang mujmal kadang-kadang merupakan teks (nashsh) dan kadang-kadang merupakan eksplisit (zhahir). Teks (nashsh) adalah kata yang tidak mengandung kemungkinan interpretasi alegoris (takwil) sedangkan zhahir meru-pakan kata yang mengandung interpretasi alegoris (takwil).75 hahir, teks yang samar dan al nash, teks yang tepat. Istilah ganda ini menun-jukkan adanya dimensi teori dan praktek Zhâhir, teks yang samar menyajikan banyak kemungkinan tindakan yang dapat diambil. Al nash, teks yang tepat hanya menyediakan satu kemungkinan. Hal ini berarti bahwa teori cukup luas menyediakan pilihan tindakan me nurut setiap keadaan.76

4. Al’âm, makna umum dan al khâsh, makna khusus ‘Amm (universal) adalah satu kata yang ditinjau dari satu sisi me-

nunjukkan dua hal atau lebih. Kata ini terdiri atas kata yang universal absolut, spesial absolut, atau kata universal dan kata spesial yang

75 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 81.76 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 16. Bandingkan

dengan Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 81. Menurutnya, teks (nashsh) adalah nama homonim (ism musytarak) yang dinyatakan dalam tiga macam : zhahir (eksplisit) sebagaimana yang terjadi dalam pandangan al Syafi’i, kata yang pada dasarnya tidak bisa ditembus oleh suatu kemungkinan baik dari dekat maupun dari jauh, dan kata yang tidak bisa ditembus oleh kemungkinan yang diterima yang didukung oleh dalil. Sedangkan interpretasi alegoris (takwil) adalah kemungkinan yang didukung oleh dalil yang lebih didominasi oleh spekulasi daripada makna yang ditunjukkan oleh kata zhahir. Identik dengan hal ini adalah semua interpretasi alegori adalah memalingkan kata dari (makna) yang harfiah pada (makna) yang metaforis, demikian pula hanya dengan spesifikasi yang umum (takhshish al ‘umûm). Dari dalil itu harus terdapat argumentasi pertalian (qarînah), penalaran analogis, atau fenomena eksplisit lain yang lebih kuat. Pertalian-pertalian itu kadang-kadang berakumulasi untuk menunjukkan falsifikasi atau kesalahan interpretasi alegoris yang tidak cukup hanya ditunjukkan oleh satu argumentasi saja (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 81).

Page 82: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

68 Dr. Adang Kuswaya

direlasikan. Dalam pandangan universal, kata-kata universal mem-punyai lima bentuk, yaitu kata-kata dalam bentuk plural, huruf per-mulaan yang dipakai dalam kalimat bersyarat dan jawabnya, “kapan” dan “di mana” yang dipakai untuk tempat dan waktu, kata-kata yang meniadakan (nafy), dan kata benda tunggal (singular) yang di-makrifatkan (yakni diberi awalan huruf alif dan lam, yakni al-) dan kata-kata penguat. Semua kata-kata penguat menunjukkan pe-ngertian yang mengambil secara keseluruhan (al-istighraq) secara posisi kecuali jika ada yang melampaui posisinya.77

Makna umum dan khusus merupakan istilah ganda yang mem-bentuk dimensi perorangan. Teks berisi deskripsi manusia secara umum dan selebihnya terserah pada penentuan masing-masin pe-nafsir. Isi teks adalah masing-masing individu tersebut.7875

5. Al amr, perintah dan al nahy, larangan Perintah adalah suatu ucapan yang berimplikasi pada ketaatan

yang diperintah (al-ma’mûr) dengan melakukan tindakan yang di-perintahkan. Larangan adalah suatu ucapan yang berimplikasi pada peninggalan tindakan yang dilarang.79

2.2. Tahap Analisis KesejarahanDi samping prinsip-prinsip kebahasaan di atas, pada level berikutnya, penafsiran harus juga memusatkan diri pada latar belakang sejarah yang melahirkan teks. Dua jenis situasi, yakni “situasi saat” atau “contoh situasi” dan “situasi sejarah”. Situasi saat adalah kasus dimana teks di-

77 Uraian yang lebih detail selanjutnya lihat Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 83.78 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 16.79 Para pakar usul telah membahas persoalan apakah ucapan merupakan pernyatan

dengan lisan atau pernyataan jiwa. Dalam persoalan ini, para ahli terpolarisasi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang menetapkan atau mengakui jiwa. Sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok yang mengingkari pernyataan jiwa. Kelompok ini menjadikan pernyataan jiwa kadang-kadang berupa huruf dan suara, bentuk dasar (shighah) dan bebas dari qarinah-qarinah yang menunjukkan pada aspek perintah, seperti ancaman dan kebolehan (al ibâhah), kadang-kadang merupakan akumulsi keinginan yang diperintah (al ma’mûr), dan keinginan menciptakan bentuk (shighah) dan keinginan menunjukkan implikasi tekstual (dilâlah) perintah sebagaimana yang ditegaskan oleh sebagian kaum Mu’tazilah (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 82).

Page 83: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

69Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

turunkan yang menjadi subtratum bagi wahyu. Dalam wahyu yang ditulis in verbatim, Situasi tersebut adalah situasi saatnya. Sementara situasi sejarah terjadi ketika teks tidak ditulis in verbatim atau yang ditulis bukan berupa wahyu, tapi inspirasi mengenai wahyu (tafsiran seperti dalam injil, atau komentar seperti dalam al hadits) tertentu dalam sejarah yang ditulis oleh para penulis wakyu pada masa berikutnya.80

2.3. Tahap GeneralisasiSetelah makna linguistik dan latar belakang sejarah ditentukan, dilaku-kan generalisasi. Generalisasi di sini berarti mengangkat makna dari situasi saat dan situasi sejarahnya agar dapat menimbulkan situasi-situasi lain. Pada tahap terakhir ini, diperoleh makna baru dari kegiatan pe-nafsiran yang berguna untuk menyingkap beragam kasus spesifik dalam kehidupan masyarakat.81

Langkah-langkah kritik eidetik di atas adalah yang nampak dalam karya Hassan Hanafi Religious Dialogue and Revolution. Tetapi dalam bebe-rapa karya Hassan Hanafi berikutnya, dan dalam karya eksegetiknya nampak terjadi perubahan pendekatan. Terutama dalam analisis historis; tidak lagi menekankan sejarah yang melatarbelakangi turunnya ayat, me lainkan, lebih merupakan analisis sejarah kontemporer atau lebih tepatnya, analisis sosial. Hal itu tidak lepas dari konsepsi tentang asbab al nuzul yang berbeda dari yang dikenal selama ini. Asbab al nuzul menun-jukkan bahwa wahyu tidaklah menentukan realitas, tetapi justru wahyu diundang oleh realitas aktual itu sendiri. Hal ini seperti yang terlihat dalam karya Hassan Hanafi, “Mâdzâ Ta’nî Asbâb al Nuzûl” dalam buku al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7.

Berkaitan dengan asbâb al nuzûl, realitas dapat diketahui dengan fitrah sehingga memungkinka bagi orang lain untuk bersepakat dan mem benarkannya (intersubyektif). Hal ini telah terjadi misalnya pada Umar Bin Khathab, di mana dia mengetahui realitas kaum muslimin dan kebutuhan mereka dengan menggunakan fitrahnya. Ketika Nabi me mohon wahyu untuk masalah atau realitas tertentu yang dihadapi

80 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 21.81 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 16.

Page 84: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

70 Dr. Adang Kuswaya

kaum muslimin dan Beliau mengetahui wahyu yang dikehendaki dengan meng gunakan hawas-nya, kemudian wahyu turun justru membenarkan pengetahuan Umar Bin Khathab.82

Berdasarkan atas hal itu, asbâb al nuzûl menunjukkan bahwa pe-nafsir haruslah memilih dari wahyu (al-Qur’an) yang relevan untuk me-me cahkan permasalahan aktual yang dihadapi. Dengan kata lain, penafsiran adalah melacak kembali peristiwa pewahyuan, dan asbâb al nuzûl itu tidak lain adalah problem dalam realitas kontemporer. Oleh karena itu analisis terhadap realitas kontemporer adalah bagian integral dari hermeneutikanya.

Berdasarkan hal di atas, terdapat tiga tahap penafsiran: tahap analisis realitas, tahap analisis kebahasaan yang terdiri dari analisis bentuk dan analisis isi, dan tahap generalisasi. Tahap-tahap ini didukung oleh karya eksegetik dari Hassan Hanafi seperti “al Mâl fî al-Qur’an” yang termuat dalam buku al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7. Tahap analisis ini adalah untuk mengetahui problem realitas kontekstual. Tahap ini melibatkan pendekatan interdisipliner dan dengan bantuan pakar-pakar sosial, politik dan ekonomi. Dari sinilah diperoleh tema-tema penafsiran dengan memberikan prioritas pada tema-tema yang menyentuh ke-butuhan kontemporer.

Tahap analisis kebahasaan yang terdiri dari analisis bentuk (tahlîl al shurah) dan analisis isi (tahlîl al madlmûn). Analisis bentuk dilakukan dengan mengalisis bangunan konseptual dan bentuk kebahasaan ayat-ayat yang satu tema yang diklasifikasikan berdasarkan atas kata benda atau kata kerja dan seterusnya sehingga memungkinkan untuk mem-batasi tema. Sedangkan analisis isi berkaitan dengan analisis makna dan susunan nya dalam kumpulan-kumpulan pokok sehingga memungkin-kan untuk membangun tema, membedakan antara makna primer dan makna sekunder, antara yang positif dan negatif antara yang ilahiyah

82 Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7, hlm. 72-73. Demikian juga kasus ketika wahyu membenarkan firasat Umar Bin Khathab tentang kekhawatiran bahaya khamr terhadap akal dan kehidupan. Kemudian wahyu turun tetang pelarangan terhadap khamr (Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7, hlm. 73).

Page 85: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

71Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

dan manu siawi, antara yang spiritual dan material, antara yang individual dan sosial, sehingga memungkinkan untuk mengetahui ide wahyu dalam tema-tema pokok. Setelah tahapan semua di atas kemudian dilakukan tahapan terakhir yaitu geralisasi.

3. Kritik PraktisGeneralisasi pada tahap eidetis di atas membuka jalan bagi kritik praktis yang menjadi tujuan hermeneutika aksiomatika. Hermeneutika al-Qur’an semenjak awal memang merupakan cara baca al-Qur’an dengan maksud-maksud praktis. Dengan kepentingan semacam ini, herme-neutika jelas menaruh perhatian besar pada transformasi masyarakat.

Hermeneutika Hassan Hanafi melampaui tafsir historis yang di-gunakan banyak ahli tafsir. Seolah-olah al-Qur’an hanya berbicara untuk realitas, ruang, dan waktu tertentu saja karena menampilkan peristiwa-peristiwa masa lalu. Kami membangun tafsir perseptif (al tafsîr al syu’ûrî) agar al-Qur’an dapat mendeskripsikan manusia, hubungannya dengan manusia lain, tugas-tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, membangun sistem sosial, dan politik.83 Hermeneutika sebagai metode melampaui tafsir ayat per ayat, dari surat ke surat yang terkesan frag-mentaris dan mengulang-ulang. Kita bangun tafsir tematis dengan meng-himpun ayat-ayat yang satu tema dan dianalisis begitu rupa sehingga muncul konsep universal tentang Islam, dunia, manusia dan sistem sosial. Menurutnya, lebih lanjut kami tegakkan tafsir revolusioner dengan men -transfor masikan akidah menjadi ideologi revolusi.

Praktis merupakan penyempurnaan Kalam Tuhan di dunia meng-ingat tidak ada kebenaran teoritis dari sebuah dogma atau kepercayaan yang datang begitu saja; dogma lebih merupakan suatu gagasan atau motivasi yang ditujukan untuk praktis. Hal ini menurutnya, karena wahyu al-Qur’an sebagai dasar dogma merupakan motivasi bagi tindakan di samping sebagai objek pengetahuan.84

83 Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî : Kitâbât fî al Nahdlah al Islâmiyah, Kairo: Heliopolis. 1981, hlm. 19.

84 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 18.

Page 86: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

72 Dr. Adang Kuswaya

Pandangan Hassan Hanafi mengenai sifat fungsional dan dimensi psikologis dari al-Qur’an di sini ―dan bukannya sifat kebenarannya empiris-historis dari isinya secara keseluruhan seperti pandangan banyak kaum Muslim― perlu memperoleh perhatian sebab berpengaruh pada pendirian hermeneutisnya mengenai hakikat teks, intepretasi, makna, dan kebenaran bahasa agama.

Sebuah dogma, hanya dapat diakui eksistensinya jika didasari sifat keduniaannya sebagai sebuah sistem ideal, namun dapat terealisasi dalam tindakan manusia. Karena, satu-satunya sumber legitimasi dogma adalah pembuktiannya yang bersifat praktis. Menurutnya realisasi wahyu dalam sejarah melalui perbuatan manusia sama dengan realisasi perbuatan illahiyyah dan dengan sedirinya, merupakan realisasi kekuasaan (khilafah) Tuhan di atas bumi. Prinsip yang sama menjadi dasar penciptaan dan penerapan hukum-hukum Tuhan (al ahkam al syar’iyyah) di dunia. Itulah sebabnya mengapa yurisprudensi (‘ilm usûl al fiqh) dianggap ‘ilm al tanzil, yang dibedakan dari ‘ilm al ta’wil dalam tradisi sufisme. Sebab yang ter-akhir ini menginginkan gerak dari manusia kepada Tuhan, sementara yuris prudensi menginginkan transformasi Tuhan kembali menuju kehi-dupan manusia.85 Kita tidak perlu membuktikan teoritis akan eksistensi Tuhan kecuali sebagai pengenalan terhadap sabda-sabda-Nya dalam kehi-dupan dunia. Tuhan sebagai personal, oleh Hassan Hanafi, diletakkan dalam tanda kurung, sehingga teologi positif tidak lagi berurusan dengan fakta, intuisi, atau aturan, tetapi transformasi wahyu dari teori ke praktik.86 Dengan kritik praktis ini, dimaksudkan ingin menunjukkan fungsi trans-formatif wahyu dalam kehidupan manusia.

85 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 102. Lihat pula Hassan Hanafi, Humûm al Fikr wa al Wathan. Cet. Ke-2. Kairo: Dâr Qubâ, 1998, hlm. 17-56. Menurutnya, Memang benar wahyu telah dikodipikasikan, bahwa pembacaan dilakukan terhadap tradisi dan interpretasi terhadap kitab suci. Namun, wahyu sendiri melalui asbâb al nuzûl. Realitas sebagai yang pertama dan wahyu sebagai yang kedua. Realitas bertanya dan wahyu menjawab. Dengan demikian, tanzil, sebenarnya penafsiran. Turun dari langit pada hakikatnya terangkat dari bumi. Upaya mencari makna dari asal melalui kaidah bahasa sebenarnya bersejajar dengan memburu illat melalui pengalaman (Hassan Hanafi, Humûm al Fikr wa al Wathan, hlm. 17-56).

86 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 18.

Page 87: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

73Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

Kritik historis, analisis makna dan praktis teks ke dalam realitas tidak lain merupakan konsekuensi logis dari objek analisis hermeneutika aksiomatis, yakni teks-teks suci. Sementara terhadap teks-teks lain, seperti teks sastra, analisisnya hanya perlu pada tahap historis dan eidetis. Bahkan dalam banyak kasus yang dibutuhkan hanyalah masalah terakhir. Keaslian teks sastra harus selalu diterima, kecuali pada teks-teks kuno.87 Menurutnya, hal ini tidak dengan sendirinya menun jukkan bahwa hermeneutika sacra berbeda dari hermeneutika umum (general hermeneutics), sebab pada dasarnya yang pertama tetap merupakan bagian yang terakhir. Hanya saja, dalam hal objek penafsiran, hermeneutika sacra menampilkan spektrum analisis yang lebih luas, mengingat pemahaman pada suatu kitab suci tidak mungkin melepaskan diri dari masalah otentisitas, pemahaman maknanya, dan realisasi pemahaman tersebut dalam dunia nyata.88

Hal yang menarik dari gagasan Hassan Hanafi tersebut adalah pandangannya tentang fungsi hermeneutika al-Qur’an sebagai sarana perjuangan melawan bermacam-macam bentuk ketidakadilan dan eksploitasi dalam masyarakat. Di samping itu, hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi menghasilkan tafsir perseptif (kesadaran), yakni tafsir berdasarkan kesadaran tentang kemanusiaan, hubungan manusia dengan yang lainnya, tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, dan untuk membangun system sosial dan politik.

Demikian kuatnya kepentingan praksis dalam hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi, perbincangan mengenai hermeneutika al-Qur’an dianggap sebagai salah satu bagian dari sebuah skema besar perubahan sosial. Praksis adalah tujuan, setelah dilakukan kritik sejarah teks dan analisis eidetik. Di samping itu, hermeneutika al-Qur’an sebagai salah satu elemen transformasi sosial dari proyek yang digagas oleh Hassan Hanafi, al Turats wa Tajdid yang mencakup tradisi, kritik atas dunia Barat dan transformasi realitas kontemporer.

Meskipun membangun hermeneutika dengan praksis, pada kenya-taannya Hassan Hanafi lebih banyak bergerak dalam kerangka teori.

87 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah,hlm. 527.88 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah,Ibid.

Page 88: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

74 Dr. Adang Kuswaya

Barangkali kenyataan ini harus dipahami dalam pengertian bahwa praksis terletak bukan karena hermeneutikanya hanya berbicara tentang teori dan formulasi tafsir perubahan, dan bukannya dalam bentuk aksi sosial. Sebab maksud praksis di sini adalah keterkaitan antara teori dan praktek, refleksi dan aksi yang dapat menjadi sumbangan bagi para aktitivis gerak-an dalam melakukan usaha-usaha transformatif. Alasan ini juga menurut penulis dapat dijadikan jawaban terhadap kritik yang diaju kan Boulatta yang mengatakan Hassan Hanafi terlalu teoritis untuk dipraktekan.

D. URGENSI HERMENEUTIKA AL-QUR’AN

Berdasarkan pembacaan terhadap penafsiran-penafsiran yang ada dalam penafsiran tradisional yang hanya bertumpu pada teks, menurut-nya pe nafsiran semacam ini merupakan pengalihan, al intiqâl yang hanya memin dahkan bunyi teks kepada realitas, seakan-akan teks-teks keagamaan itu adalah realitas yang dapat berbicara sendiri.89 Padahal,

89 Hassan Hanafi, al Yasâr al Islâmî, hlm. 30. Berikut ini penjelasan Hassan Hanafi tentang kelemahan-kelemahan penafsiran yang bertumpu pada teks. Pertama, teks adalah teks, bukan realitas. Teks hanya merupakan sebuah deskripsi linguistik tentang realitas yang tidak dapat menggantikannya. Oleh karena itu, setiap argumentasi harus autentik. Penggunaan teks sebagai sebuah argumentasi harus merujuk kepada otentisitasnya di dalam realitas. Kedua, berbeda dengan rasio atau eksperimentasi yang memungkinkan manusia mengambil peran untuk turut menentukan, teks justru menuntut keimanan a-priori terlebih dahulu. Sehingga, argumentasi teks hanya dimungkinkan untuk orang yang percaya. Hal ini merupakan kenyataan yang elitis. Ketiga, Teks bertumpu pada otoritas kitab suci dan bukan pada otoritas akal. Padahal, otoritas seperti ini tidaklah argumentatif, karena terdapat banyak kitab suci, sementara realitas dan akal hanya satu. Keempat, Teks adalah pembuktian (al burhân) asing, karena ia datang dari luar dan tidak dari dalam realitas. Padahal dalam pembuktian, keyakinan yang datang dari luar selalu lebih lemah daripada keyakinan yang datang dari dalam. Kelima, Teks membutuhkan acuan realitas yang ditunjuknya. Tanpa acuan ini teks menjadi tidak bermakna, dan bahkan akan menyelewengkan maksud-maksud semua teks yang sesungguhnya. Sehingga terjadilah salah paham dan aplikasi teks yang tidak pada tempatnya. Keenam, teks itu bersifat unilateral yang selalu terkait dengan teks-teks lainnya. Sehingga tidak mungkin untuk beriman kepada satu kitab dengan mengingkari yang lain. Ini hanya akan menjebak para penafsir ke dalam pola pikir parsialistik. Ketujuh, teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan, yang tidak luput dari pertimbangan-pertimbangan untung rugi. Seorang kapitalis tentu akan memilih teks-teks yang melegitimasi kepentinganya, sebagaimana seorang sosialis akan melakukan hal yang sama terhdap teks lain. Di

Page 89: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

75Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

metode yang hanya bertumpu pada teks seperti itu mempunyai banyak kelemahan terutama dari segi epistimologi. Kelemahan-kelemahan dise-butkan Hassan Hanafi, disebabkan ada sebelas faktor yang dapat disim-pulkan di antara nya sebagai berikut ini. Pertama, tidak menjadikan rea-litas sebagai teks.90 Kedua, tidak menjadikan teks sebagai pembuktian dari dalam realitas yang mempunyai nalar, sehingga teks sebagai argumentasi yang di per untukan bagi orang yang percaya dikarenakan teks menuntut orang percaya terlebih dahulu.91 Ketiga, teks tidak dikaitkan dengan realitas sebagai acuan yang ditunjukinya. Keempat, tidak menjadikan teks yang ber sifat unilateral. Kelima, menganggap hanya ada satu pemahaman dari suatu teks, padahal teks itu merupakan satu pilihan penafsir dari sekian banyak penafsiran. Jadi, yang menentukan teks adalah penafsir itu sendiri yang dilatarbelakangi oleh kepentingannya.92 Keenam, teks tidak diarahkan kepada rasio dan kenyataan keseharian umat. Ketujuh, metode tekstual tidak memperjuangkan muslim sebagai rakyat melainkan, mem-

sini, yang menjadi penentu bukanlah teks, melainkan kepentingan penafsir. Teks hanya memberi legitimasi terhadap apa yang sudah ada sebelumnya. Kedelapan, posisi sosial seorang penafsir menjadi basis bagi pilihannya terhadap teks. Sehingga di dalam realitas, pertikaian dan perbedaan para penafsir akan menjadi sumber pertikaian masyarakat, sebangun dengan pertikaian di antara kekuatan yang ada. Kesembilan, teks hanya berorientasi pada keimanan dan emosi keagamaan. Ia hanya sebagai pemanis dalam apologi para pengikutnya, tetapi tidak mengarahkan kepada rasio dan realitas keseharian mereka. Oleh karena itu, pendekatan tekstual bukan metode ilmiah yang menganalisis realitas kaum muslimin, melainkan hanya sebuah model apologetik untuk memperjuangkan kepentingan suatu golongan atau sistem tertentu melawan yang lain. Padahal apologi jauh lebih rendah nilainya daripada pembuktian. Kesepuluh, metode teks lebih cocok untuk nasihat dari pada untuk pembuktian, karena ia hanya memperjuangkan Islam sebagai suatu prinsip tetapi tidak memperjuangkan kaum muslimin sebagai umat. Kesebelas, kalaupun mengarah kepada realitas, metode teks secara maksimal hanya akan memberikan status tidak menjelaskan perhitungan kuantitatif. Padahal kita sesungguhnya membutuhkan penjelasan tentang realitas sampai kepada fakta, siapa memiliki apa (Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî, hlm. 30).

90 Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 207-208.

91 Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 211.

92 Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 167.

Page 90: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

76 Dr. Adang Kuswaya

per juangkan Islam sebagai prinsip. Kedelapan, tidak menjelaskan per-hitungan secara kuantitatif.

Terlalu bertumpu dengan metode linguistik, menjadikan mufasir mengbaikan terhadap prinsip-prinsip metode pengalaman eksperimental (al manhaj al tajrîbî) yang menjadi dasar ‘ilat dalam penetapan suatu hukum, istinbath, suatu istilah dalam hukum Islam.93 Sebaliknya, metode yang terlalu bertumpu pada rasio atau analisis nalar sering dijumpai kontro versi sering terjebak pada penafsiran bertele-tele, penafsiran teks yang tidak memperhatikan apakah dibutuhkan penafsiran di situ atau tidak.94

Untuk menangani problem yang pertama Hanafi mencoba menge-mukakan metode untuk menelaah suatu teks dengan tafsir al syu’ûrî (tafsir perseptif, kesadaran) dengan metode tematik. Tafsir ini dimaksudkan agar al-Qur’an mendiskripsikan manusia, hubungannya dengan manusia lain, tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, membangun sistem sosial dan politik.95 Tafsir ini menggunakan metode kuantitatif dengan angka-angka dan statistik sehingga realitas dapat berbicara mengenai dirinya sendiri yang langsung merujuk secara objektif pada konteks realitas tersebut dan mendefinisikan secara kuantitatif.96

Dalam sejarah ilmu pengetahuan, kuantifikasi ini selalu lebih detail dan akurat daripada sekedar identifikasi abstrak. Kalau para ulama ter-dahulu, semacam Ibn Taymiyah (1262-1327 M), menjadikan akal dan per-saksian sebagai aksioma (dalil) yang mendasari pengutipan suatu teks, maka tafsir metode baru ini, menambahkannya97 dengan eksperimen, realitas kuantitatif dan penggunaan bahasa angka-angka terutama untuk hal-hal yang berkaitan dengan distribusi kekayan kaum muslimin kepada keseluruhan umat.

Sebagai penyelesaian untuk problem yang kedua, Hassan Hanafi mengajukan alternatif lain berupa metode analisis pengalaman (manhaj tahlîl al khubrât), analisis yang bertumpu pada pengalaman hidup tidak

93 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah: fî Fikrinâ al Mu’âshir, vol. II. hlm. 167.94 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah: fî Fikrinâ al Mu’âshir, vol. II. hlm. 179.95 Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî : Kitâbât fî al Nahdlah al Islâmiyah, hlm. 19.96 Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî. hlm. 30.97 Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî. hlm. 30.

Page 91: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

77Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

saja akan membawa kepada makna teks, namun, bahkan kepada realitas itu sendiri, yakni hakikat keagamaan yang diungkapkan teks. Inilah yang dimaksudkan dengan al ta` wil.98

Prosedur dari pendekatan ini adalah orang yang ingin menafsirkan teks, terlebih dahulu harus menganalisis pengalamannya sendiri sebe-lum memulai penafsiran teks atau menulisnya.99 Tujuannya adalah untuk memunculkan pada diri penafsir berbagai kepentingan, motivasi dan imajinasi tertentu yang mendasari dan mengarahkan penafsiran. Setelah itu barulah hasilnya dikorelasikan dengan teks.100

E. TEORI ANALISIS TEKS DAN ORIENTASINYA

Konsepsi Hassan Hanafi mengenai beberapa pengertian teks dan proses memahaminya dalam literatur Islam klasik terefleksi dalam istilah-istilah seperti qira’ah, tafsir, ta`wil, dan syarh yang agak spesifik. Menurut Hanafi, membaca teks pada dasarnya sinonim dengan proses memahaminya, sementara yang menjadi obyek pemahaman itu adalah teks.101

Menurut Sara Mills, seorang ahli bahasa dari Inggris, mengatakan bahwa teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dan pembaca. Oleh karena itu, pembaca di sini tidaklah dianggap semata sebagai pihak yang hanya menerima teks, tetapi juga ikut melakukan transaksi segai-mana akan terlihat dalam teks.102

Membaca teks ini dapat disejajarkan dengan teori pengetahuan dalam filsafat skolastik yang ditandai dengan relasi subyek-objek. Jika

98 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah: fî Fikrinâ al Mu’âshir, vol. II. hlm. 180.99 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah: fî Fikrinâ al Mu’âshir vol. II. hlm. 180.

Bandingkan dengan Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Jakarta: Teraju, 2002 hlm. 145.

100 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 540.101 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 526.102 Menurut Mills membangun model yang menghubungkan antara penulis,

teks dan pembaca mempunyai sejumlah kelebihan. Pertama, akan melihat secara komprehensif melihat teks bukan hanya berhungan dengan faktor produksi namun juga resepsi. Kedua, posisi pembaca di sini ditempatkan dalam posisi yang penting karena memang teks ditujukan untuk secara langsung atau tidak “berkomunikasi” dengan khalayak. Dikutip dari Eriyanto, Analisis Wacana, Yogyakarta: LKis, 2001, hlm. 204-205.

Page 92: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

78 Dr. Adang Kuswaya

membaca adalah subjek, maka objeknya adalah teks. Membaca berarti memahami dengan sendirinya juga berarti menafsirkan dan mentak-wilkannya.

Menurut Sara Mill bahwa sebuah berita harus dilihat bagaimana satu pihak, kelompok, orang gagasan atau peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana berita yang mempengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh khalayak. Bahkan menurut Mills, bagaimana posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa itu ditempatkan dalam teks.103

Tafsir berada pada level kedua dalam proses pembacaan ketika pemahaman dengan persepsi langsung tidak dimungkinkan. Instrumen-instrumennya adalah logika bahasa, orientasi teks (taujih al nash) atau konteks sosial dan rûh al ‘ashr (semangat zaman). Jika penafsiran dengan logika bahasa menemui jalan buntu, sementara signifikansi teks, ke-butuhan sosial dan spirit zaman semakin menguat, maka yang terjadi adalah proses ta’wil.104 Sementara syarh (komentar) mencakup ketiga hal sebelumnya yakni qirâ`ah atau pemahaman dengan persepsi langsung, penafsiran, dan ta`wil.

Dalam kedudukannya sebagai bangunan pengetahuan yang kom-prehensif, syarh, mencakup hubungan antara proses membaca dan teks dalam relasi subjek-objek. Pembacaan suatu teks lebih lanjut dapat men-jadi kegiatan yang bercorak pribadi terjadi ketika seseorang membaca teks orang lain yang berasal dari kebudayaan yang sama sebagai sebuah penghampiran tertentu terhadap tradisi mereka berdua dan dapat pula

103 Eriyanto, Analisas Wacana, Yogyakarta: LKis. 2001, hlm 201. Mills memberikan contoh bahwa seorang aktor yang mempunyai posisi tinggi ditampilkan dalam teks, ia akan mempengaruhi bagaimana dirinya ditampilkan dan bagaimana pihak lain ditampilkan. Wacana media bukanlah sarana yang netral, tetapi cenderung menampilkan aktor tertentu sebagai subyek yang mendefinisikan peristiwa atau kelompok tertentu. Posisi itulah yang menentukan semua bangunan unsur teks, dalam arti pihak yang mempunyai posisi tinggi untuk mendefinisikan realitas akan menampilkan peristiwa atau kelompok lain ke dalam bentuk struktur wacana tertentu yang akan hadir kepada khalayak. Dikutip dari Eriyanto yang mengutip dari Sara Mills, Discourse, London and New York, Routledge, 1997.

104 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527

Page 93: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

79Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

mencerminkan dialektika sosial.105 Pembacaan jenis ini lebih merupakan interpretasi dengan tujuan melakukan korelasi dan pembaharuan guna memenuhi atau menyesuaikan dengan semangat zaman. Sedangkan, jika pembacaan dilakukan seseorang pada orang lain dari peradaban yang berbeda, maka yang terjadi adalah peristiwa dialektika kebudayaan.106

Pembacaan teks yang dilakukan oleh seseorang dalam dua bentuk di atas bukan sekedar sebagai tafsir, ta’wil dan syarh belaka terhadap objek nya. Melainkan, sebagai proses rekonstruksi makna teks menurut persepsi pembaca yang mencakup pembacaan, analisis, kritik, dan “rekonstruksi” untuk menyempurnakan struktur dan penyingkapan aturan-aturan teks.107

Pada sisi lain, pembacaan teks bukanlah seni, tapi ilmu praktis yang bersifat komulatif guna menyingkap struktur dasar sutu teks, baik yang berbentuk dalam rentang waktu yang panjang atau dalam periode yang singkat. Hermeneutika dapat disebut ilmu yang menentukan hubungan antara subyek dengan obyeknya. Subyek adalah penafsiran dengan kegiat-an penafsirannya, sementara obyek adalah teks.108

105 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527. Bandingkan dengan pendapat Sara Mills bahwa posisi pembaca sangatlah penting dan harus diperhitungkan dalam teks. Bahkan, Mills menolak pandangan banyak ahli yang menempatkan dan mempelajari konteks semata dari sisi penulis, sementara dari sisi pembaca diabaikan. Dalam model semacam ini, teks dianggap semata sebagai produksi dari sisi penulis dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan pembaca yang hanya ditempatkan dan dianggap sebagai konsumen yang tidak mempengaruhi pembuatan suatu teks. Dikutip dari Eriyanto, Analisis Wacana, th. 2001, hlm. 203.

106 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 528. 107 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 529.108 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 526. Bandingkan dengan Eriyanto

yang mengutip Sara Mills yang mengatakan bahwa teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dengan pembaca. Mills mengajukan beberapa alasan kenapa model yang menempatkan pembaca hanya sebagai penerima (yang tidak mempengaruhi proses produksi teks) tidak begitu akurat. Pertama, dalam model tradisional ini, penulis dipandang sebagai pihak yang secara sewenang-wenang dapat mengontrol teks. Padahal dalam kenyataannya penulis tidak “bebas” semacam itu. Dalam teks berita misalnya pewarta juga memperhitungkan apa yang disukai pembaca, karakteristik pembaca yang ia tuju, dan sebagainya. Untuk pembaca dengan kelas sosial atau kelompok umur tertentu, tulisan dibuat dengan gaya dan topik tertentu. Hal ini akan berbeda apabila ia menulis untuk kelompok sasaran pembaca yang lain. Dengan, demikian tidak ada otonomi besar pada diri penulis karena ia berhadapan dengan pembaca atau khalayak yang dibayangkan. Kedua, dalam faktanya, pembaca mempunyai peranan penting yakni

Page 94: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

80 Dr. Adang Kuswaya

Meskipun terdapat pemilahan antara teks profan dengan teks sakral semua teks diperlakukan sama sebagai konsekuensi leburnya pemi lahan antara hermeneutika sacra dan hermeneutika profan dalam dis kursus hermeneutika kontemporer.109 Hassan Hanafi menganggap keisti mewa-an al-Qur’an sebagai teks kategori dalam praktek keagamaan masyarakat dan bukan kategori dalam hermeneutika.110

Desakralisasi teks-teks suci, termasuk al-Qur’an tersebut mencip-takan hubungan-hubungan simetris antara al-Qur’an, kesadaran, dan realitas, sebagai antitesis hubungan-hubungan struktural dalam herme-neutika al-Qur’an klasik. Dalam penafsiran tradisional, teks atau al-Qur’an berada di puncak dan pusat, sedangkan realitas tidak dibicarakan secara eksplisit.111 Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tafsir tra-disional terutama dari segi orientasi ini diperlukan membangun metode tafsir kontemporer yang dapat menjembatani kesenjangan antara teori tradisional dan realitas.112

Pemahaman terhadap al-Qur’an adalah perbincangan mengenai teori penafsiran (nazhariyah al tafsir) yang mampu mengungkapkan ke-pen tingan masyarakat, kebutuhan kaum muslimin dan isu-isu kontem-porer.113 Sehingga diharapkan dapat mengatasi kekurangan yang ter-

dalam bagaimana teks itu ditafsirkan. Pembaca adalah kreator, ia bisa menafsirkan teks bahkan berbeda dengan yang diyakini oleh penulis. Sebuah teks bahkan bisa dikreasikan ulang membentuk teks baru oleh pembaca. Kutipan Eriyanto dari Sara Mills,”Knowing Your Place: A Marxist Feminist Stylistic Analysis” dalam Michael Toolan (ed.) Language, Text and Context: Essays in Stylistics, London and New York, Routledge, 1992.

109 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527. Bandingkan dengan Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 3.

110 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I., hlm. 495. Hassan Hanafi, Humûm al Fikr wa al Wathan, vol. II. Kairo: Dar Quba, 1997, hlm. 23-30.

111 Menurut Hassan Hanafi, dalam realitas penafsiran al-Qur’an saat ini, terlihat ada pemilahan antara teori tafsir tradisional berupa ilmu-ilmu al-Qur’an, teks-teks yang berisi penjelasan tradisional dengan realitas kekinian yang muncul dengan beragam pemikiran sekulernya tanpa memperhatikan teks-teks tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan jembatan penghubung di antara keduanya. Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah. Vol II, hlm. 177. Bandingkan dengan Ilham E. seorang, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 140 dan 177.

112 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah: fî Fikrinâ al Mu’âshir, vol. II. hlm. 177. 113 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah: fî Fikrinâ al Mu’âshir, vol. II. hlm. 175.

Page 95: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

81Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

dapat dalam tafsir-tafsir tradisional yang tidak pernah melakukan per-bin cangan teoritis sebelumnya secara tuntas.114

Tafsir yang tidak memperbincangkan teoritas seperti itu seperti terlihat dalam tafsir tradisional yang mengakibatkan tidak otonom dan terjebak pada orientasi metodologis dari disiplin tradisional. Dalam materi nya, tafsir tradisional menjadikan al-Qur’an lebih banyak dijadi-kan sumber justifikasi suatu keilmuan.115 Padahal, baginya, al-Qur’an bukan merupakan buku panduan bahasa, hukum, sejarah, tasawuf, teologi, filsafat, bahkan ilmu pengetahuan, panduan sosial politik atau panduan tentang metafora.116 Menurutnya al-Qur’an lebih baik di-pandang dan ber fungsi sebagai sebuah etos atau sumber motivasi bagi suatu tindakan.117

1. Prinsip-Prinsip dalam Analisis Teks.Berbeda dengan pandangan yang banyak berkembang di kalangan pe-mikir Muslim, Hassan Hanafi menganggap bahwa sebuah teks tidak me ngandung makna objektif apa pun. Teks selalu merupakan praktik manusiawi semenjak penciptaan pertama hingga pembacaan terakhir.118 Pandangan ini didasarkan pada sifat kesejarahan dari teks. Seperti di-singgung sebelumnya, Hassan Hanafi menganggap teks sebagai bagian dari praksis ideologi. Sebagai konsekwensinya, tidak ada pembacaan teks yang objektif, kecuali penafsiran itu sendiri. Apa yang terjadi dalam wilayah penafsiran tidak lain adalah pembacaan masa lalu dalam kaca-mata kekinian.

Bandingkan dengan Hassan Hanafi,”Manâhij al Tafsîr” dalam al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 78.

114 Teoritisasi dimaksudkan Hassan Hanafi untuk meletakkan kembali al-Qur’an sebagai sumber dan obyek pengetahuan secara simultan di hadapan rasionalitas sebelum melakukan kegiatan keilmuan lainnya berupa pembuatan hukum, sebelum membangun keilmuan Islam apapun, atau sebelum merekonstruksi disiplin tradisional Islam, baik ushul fiqh, tasawuf, fiqh, kalam, filsafat dan sebagainya (Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah: fî Fikrinâ al Mu’âshir, vol. II, hlm. 176.

115 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I., hlm. 485-494. 116 Hassan Hanafi. ‘Manâhij al Tafsîr’, dalam Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî

Mishr 1952-1981, Vol. 7, hlm. 79-101. 117 Hassan Hanafi. Religion Dialogue and Revolution, hlm. 17. 118 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 536.

Page 96: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

82 Dr. Adang Kuswaya

Setiap penafsiran dengan sendirinya menjadi proyeksi masa kini ke dalam masa lalu, dan bukan sebaliknya. Sehingga, upaya penulusuran sebagai arkeologi (al hufriyat) dalam tafsir memperoleh makna awal selalu merupakan kegiatan yang sia-sia. Karena sekalipun apa yang diklaim sebagai makna awal dapat ditemukan, bukan serta-merta berarti mene-mukan makna teks yang sesungguhnya.119

Kebenaran dalam proses pemahaman tidak terletak pada kores-pondensi makna dengan realitas masa lalu sebagaimana diyakini episti-mologi konvensional, akan tetapi dari korelasi makna dengan penga lam-an hidup manusia.120 Penafsiran dapat dibenarkan sejauh ia fungsional dalam sejarah. Karena penafsiran tidak lain merupakan persaksian subyek di hadapan individu, masyarakat dan sejarah. Agaknya, hal ini merupakan jawaban atas pertanyaan dimanakah letak makna al-Qur’an apakah ada pada realitas di abad ketujuh atau pada Tuhan. Ketika mem-baca makna teks dalam sejarah, meskipun terdapat bukti-bukti sejarah tentang situasi yang melahirkan teks, namun, ia tetap bukan menjadi pendasaran bagi penafsiran makna masa kini. Hal ini karena sumber sejarah tetap tidak akan pernah memadai. Kalaupun sumber sejarah di-jadikan sumber, yang terjadi adalah kontroversi sejarah ketimbang me-nafsirkan teks tersebut.121

Penafsiran teks dalam situasi kontemporer sepenuhnya merupa-kan kegiatan produktif, penemuan makna-makna baru dari teks. Tidak mempersoalkan apakah sesuai atau tidak dengan makna aslinya, demikian juga apakah konteks situasionalnya sama atau berbeda. Istilah ini sebagai “proyeksi masa kini ke dalam masa lalu” atau “metode retroaktif ”.122

Membaca teks sebagaimana menulisnya, sama-sama merupakan tindakan ideologis. Setiap pembacaan merupakan keputusan dan rekon-struksi obyek bacaan dengan mengabaikan situasi awal di mana teks muncul dan teralienasi. Oleh karena itu, baik penulisan maupun pem-bacaan teks masing-masing merupakan “senjata ideologis”.123 Setiap

119 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 538. 120 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 537. 121 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 538. 122 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 539. 123 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 538.

Page 97: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

83Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

kelompok membaca sekaligus memproyeksikan diri ke dalam teks, men cari kepentingannya dan menjadikan teks sebagai justifikasi untuk kepentingan berbagai tindakan sosial.

Sebagai kegiatan produktif, suatu bacaan atas teks berfungsi untuk menemukan dimensi-dimensi baru dalam teks sebelumnya bahkan dalam makna awalnya yang sama sekali belum ditemukan. Hal ini dapat saja terjadi karena pemahaman manusia senantiasa diperkaya oleh akumulasi pengetahuan yang memperkenalkan berbagai temuan yang tidak pernah disadari sebelumnya.124 Di samping itu, pemahaman manusia senantiasa dideterminasi oleh kesadarannya akan realitas sosial dan individual di mana ia hidup. Determinasi sosial kebudayaan seperti itulah yang me-nyajikan persepsi tertentu yang bisa saja berbeda dengan pemahaman pe nafsiran sebelumnya.

Ada tiga prasyarat yang tidak mungkin diabaikan dalam suatu pem-bacaan teks.125

1. Kesadaran yang dipengaruhi oleh sejarah (historically effected conscious-ness)

Pijakan pada situasi tertentu yang dalam hermeneutika filosofis disebut sebagai prapaham atu kesadaran yang dipengaruhi oleh sejarah. Konsep ini menunjukkan bahwa setiap pemahaman manusia selalu berpijak dari suatu pemahaman sebelumnya mengenai apa yang dibutuhkan dan apa yang menjadi tujuan penafsiran teks. Dasar ini kemudian memberikan tawaran pemilihan makna tertentu bagi penafsir.126 Penafsiranlah yang menentukan pilihan makna bagi teks. Sebaliknya, seorang penafsir yang melakukan pembacaan ter-hadap teks yang tanpa dibekali dengan kepentingan tidak akan me-ne mukan apa-apa. Menurutnya, makna adalah tujuan yang telah di tentukan sebelum pembacaan dilakukan.

Hassan Hanafi menolak klaim objektivitas dalam pembacaan teks. Sebaliknya, pembacaan yang tidak dikaitkan dengan kepen-

124 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 530. 125 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 546. 126 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 530. Bandingkan dengan Hassan Hanafi,

Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 497; Bandingkan pula dengan Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics. Yale: Yale Universuty, 1994 : 114.

Page 98: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

84 Dr. Adang Kuswaya

tingan itulah yang justru ideologis karena berprasangka bahwa telah mengatakan sesuatu dari teks yang objektif, padahal ia sama sekali tidak memberi tafsiran yang objektif kecuali refleksi dari tendensi tertentu.127 Prasyarat pemahaman yang pertama ini bukan semata-mata aturan teoritik yang mendahului penafsiran, bukan pula tendensi ideologis atau ide seseorang, akan tetapi prinsip umum dan objektif yang melampaui relativitas; menyerupai kepentingan umum dan kecenderungan pikiran.

2. Berpihak kepada kepentingan umum Suatu interpretasi tidak berada dalam ruang kosong, tetapi ber-

gerak dalam arus sejarah. Sementara, sejarah menurutnya, berkaitan dengan struktur-struktur sosial yang menggambarkan hubungan dialektis antara penguasa dengan yang dikuasai sehingga, masing-masing penguasa memiliki bentuk penafsirannya.128 Terhadap feno-mena sosial tersebut, sebuah metode tafsir harus menjadi bagian dari gerakan sosial dan reformasi untuk tetap menjamin terwujudnya ke pentingan umum. Penafsiran apa pun harus berpihak pada ke-pen tingan yang bersifat publik dan menolak pembacaan lain yang ber-pusat tendensi ideologi dan teologis yang berpihak pada penguasa.

3. Harus berpijak pada “bahasa relitas” Seorang penafsir tidak dapat membatasi diri pada teks dalam

pengertian tertulis, tapi teks dalam pengertian “realitas”. Penafsiran menstransformasikan bahasa kepada masyarakat dan eksistensi untuk memperoleh relasi antara teks dengan realitas.129 Jadi, pada tahap ini penafsiran dapat disebut juga sebagai sebuah praksis karena realitaslah yang menafsirkan teks dan mendefinisikan tujuan-tujuannya.

2. Nilai dan Kekuatan TeksTeks merupakan penulisan semangat zaman yang terungkap dalam pengalaman individu dan masyarakat pada banyak situasi. Jadi, setiap

127 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 546.128 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 546-547. 129 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 547.

Page 99: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

85Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

teks selalu merupakan refleksi realitas sosial tertentu. Teks bukan se-mata-mata sebagai gambaran internal penulisnya, melainkan, teks juga merupakan sarana pembentukan kesadaran akan realitas tertentu yang terefleksi dalam teks.130

Penulisan teks senantiasa tunduk pada faktor-faktor subjektif, per -sepsi tentang kenyataan, persepsi dalam membaca dan menentu kan orientasi tertentu. Hassan Hanafi menyebut “teks sebagai praktik ideo-logi” (al nash ‘amal aydiyûlûjî).131 Dalam hal ini, teks pun bersifat arbitrer karena meru pakan pilihan penulisnya pada satu maksud dari ke ragaman fenomena yang ia hadapi untuk sesuatu di masa datang.

Di samping itu, tujuan penulisan teks tidak lain bersifat etis dan ideologis. Disebut etis karena penulisan suatu momentum sejarah ke dalam teks berkaitan dengan keinginan memberi petunjuk tertulis kepada generasi mendatang. Sementara disebut sebagai bersifat ideologis, karena langsung atau tidak, teks merupakan sarana efektif untuk mewariskan ke kuasaan.132

Sebagai medium kuasa, teks tidak hanya berfungsi sebagai preser-vasi makna, tetapi juga merefleksikan otoritas tertentu dalam kapasitas-nya sebagai pemberi petunjuk, hukum, dan keputusan. Bahkan, dalam masyarakat tradisional di mana teks menjadi sumber pengetahuan, ia meru pakan kekuasaan itu sendiri.133 Peran teks sebagai medium kuasa memang sentral dalam banyak teori teks. Dalam kritik wacana misalnya sering disinggung bahwa dalam masa transisi dari kebudayaan lisan ke-pada kebudayaan tulisan sering terjadi pertarungan ideologis dalam rangka membakukan pemikiran atau doktrin tertentu ke dalam memori umat. Dalam proses tersebut tekslah merupakan instrumen yang sangat efektif.134

Dalam tradisi dari kebudayaan oral ke tulisan terjadi proses pe-nyeragaman berbagai fenomena sosial ke dalam penafsiran tertentu.

130 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 533. 131 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 536. 132 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 530. 133 Nashr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i: Moderatisme, Ekletisisme, Arabisme, terj.

Khoiron Nahdhiyyin, Yogyakarta: LKIS, 1997, hlm. 215. 134 Nashr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i : Moderatisme, Ekletisisme, Arabisme, hlm. 215.

Page 100: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

86 Dr. Adang Kuswaya

Hanafi menunjukkan contohnya dalam kasus penyeragaman bacaan al-Qur’an ke dalam dialek Quraisy sebagai proses interpretasi, kalau bukan intervensi manusia ke dalam teks.135 Hassan Hanafi bukannya keberatan dengan kejadian semacam di atas. Melainkan, dari sana ia ingin menunjukkan adanya sifat historisitas dari setiap teks. Di samping itu, secara tidak langsung merupakan pendasaran bagi pandangannya tentang interpretasi teks sebagai proses kreatif.

Dalam masyarakat tradisional, fungsi instrumental teks lebih signi fikan lagi. Sebab masyarakat menganggap teks sebagai argumen otoritatif. Ia menjadi semacam pengetahuan teoritis dan norma praktis bagi pola prilaku masyarakat. Pada intinya, teks merupakan pembentuk pandangan dunia (weltanschauung) dan standar perilaku massa.136 Wujud teks dalam masyarakat tradisional dapat dianggap sakral, seperti risalah kenabian, dan kitab suci. Teks dapat pula bersifat profan seperti bentuk pribahasa dan puji-pujian.137 Namun demikian, perbedaan keduanya hanyalah pada derajat bukan pada jenis. Oleh sebab itu, secara teoritis, teks profan maupun sakral tunduk pada aturan yang sama dalam inter-pretasi teks.138

Dalam masyarakat tradisional teks demikian sentral sehingga teks kitab suci masih menjadi sumber pengetahuan dan norma prilaku. Demikian juga hermeneutika. Dalam masyarakat tradisional, herme-neutika dapat menggantinkan posisi epistimologi dalam masyarakat sekuler, sehingga norma prilaku terdapat dalam teks kitab suci dan bukan diperoleh dari alam dan nalar.139 Sebaliknya, dalam masyarakat sekuler alam dan nalarlah yang menjadi sumbernya.

Teks mengandung dinamika dan vitalitas di dalamnya. Akan tetapi, sebelum dilakukan pembacaan, maka ia hanya potensial dan status sifatnya. Membaca teks berarti menghidupkannya. Teks adalah forma yang perlu diberi subtansi melalui penafsiran manusia.140 Dalam kaitan

135 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 530. 136 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 208. 137 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 206. 138 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527. 139 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 206. 140 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 211; Hassan Hanafi,

Page 101: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

87Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

dengan penafsiran, setiap teks berarti mengandung potensi dinamis yang memungkinkan dilakukannya penafsiran kreatif.

Dalam kaitannya dengan hal ini, teks keagamaan dan teks sastra lebih tinggi lagi kadar probabilitas dan pilihan maknanya ketimbang teks-teks konseptual. Karena teks-teks semacam ini mengandung sifat “mistis” yang tercermin oleh banyaknya perumpamaan, alegori, dan kiasan. Teks-teks demikian, memberi imajinasi yang lebih besar pada pem bentukan makna.141

Teks juga selalu bersifat ambigu; selalu tersedia pluralitas makna. Pembacaan teks bertugas memberi keputusan dengan memper tim-bang kan konteks di mana ia berada. Karakter seperti ini mencer min-kan bahwa teks selalu membutuhkan penafsiran yang dengannya makna menjadi jelas dan eksplisit.142 Dengan ungkapan lain, dia mengatakan bahwa “teks adalah bentuk tanpa isi, dan isi tanpa jasad, pembacaanlah yang memberinya subtansi dan bentuk.”

3. Perubahan Nilai Makna Suatu Teks.Teks dalam persepsi seorang penafsir tidak memiliki makna objektif. Membaca teks tidak dapat dilakukan dengan mencari makna aslinya atau menelusuri perkembangannya dalam sejarah karena keduanya telah kehilangan konteks. Dalam pengertian ini, teks tidak bersifat absolut, namun merupakan kumpulan relativitas yang ditafsirkan secara be-ragam pula oleh setiap masa. Dan karena setiap masa memiliki kecen-derungannya masing-masing, maka penafsiran pun menjadi relatif.

Membaca teks tidak dapat dibatasi pada makna harfiahnya (al tafsîr al harf) sebab hal ini hanya akan menjaga teks melainkan juga mem bunuh makna, merupakan dominasi kata atas makna, status quo atas transformasi, dan kebekuan atas dinamika.143 Dengan kata lain, penafsiran harus di-sesuaikan dengan kebutuhan tertentu.

Penafsiran pada gilirannya, tidak memiliki parameter benar-salah, kecuali tafsir kepentingan (al tafsir al qashdy) itu sendiri. Bagi Hassan

Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527. 141 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 534. 142 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 535. 143 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 539.

Page 102: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

88 Dr. Adang Kuswaya

Hanafi, penafsiran dapat dibenarkan sejauh ia fungsional dalam sejarah. Penafsiran tidak lain merupakan persaksian subjek di hadapan individu, masyarakat dan sejarah.144 Prosedur penafsiran adalah makna muncul pertama kali dari penafsir yang tercermin dalam motivasi, kepentingan, dan imajinasi tertentu, baru setelah itu makna berkolerasi dengan teks. Baginya, setiap klaim kebenaran dalam penafsiran tidak dapat mengelak dari kenyataan ideologis seperti dalam prosedur tersebut.145 Dengan pandangan ini, sepintas makna objektif bukan berada dalam teks, tapi pada kesadaran manusia, sementra pada hakekatnya, makna subjektif yang beralih dari kesadaran ke dalam teks.

Perubahan makna teks merupakan penyebab adanya teks-teks yang bersifat relatif, mutasyabihat, sebab ia menunjukkan sisi histories pe mahaman manusia. Sebaliknya teks-teks yang bersifat absolut, al muhkamat adalah prinsip bahwa yang ada adalah relativitas penafsiran.146 Absolutivitas makna dengan demikian bukanlah pada makna orisinal teks, tetapi terletak pada prinsip-prinsip umum, esensial, dan mendasar tentang pemahaman makna yang dalam hermeneutika filosofis modern disebut “dimensi universal hermeneutika”. Hanafi menjabarkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam empat unsur berikut ini.147

1. Kreativitas nalar, badahah al’aql Pemahaman intensionalitas hubungan makna dan kepentingan.

Manusia dengan intensionalitas (kesadaran, al ‘aql al badihi) dapat mengungkapkan hubungan makna dan kepentingan. Kesadaran di sini tentu saja dalam pengertian fenomenologis yang terarah pada realitas dan bukannya kesadaran yang murni semata-mata.148

2. Pemahaman terhadap pengalaman manusia, tradisi Situasi kemanusiaan yang berlangsung dari masa ke masa seperti

nilai-nilai yang selalu diperjuangkan; revolusi ‘ubudiyah, ritual agama; melawan ketidakadilan; mempertahankan kebebasan dan seru an untuk musawah, kerukunan. Adanya pemahaman hermeneutika

144 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, Ibid. 145 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 539. 146 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 540. 147 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 540. 148 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 541.

Page 103: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

89Teori Hermeneutika Al-Qur’an Tematik

filosofis yang banyak mempengaruhi Hassan Hanafi, maka tradisi dengan sendirinya merupakan prasyarat pemahaman.149

3. Pemahaman logika bahasa Di samping intensionalitas dan tradisi, pada prinsipnya, pemaham-

an selalu berkaitan dengan bahasa teks. Teks hanya dapat dipahami sejauh merujuk pada bahasa yang di dalamnya bahasa dibentuk. Logika bahasa menyangkut logika semantis (manthiq al alfâzh) dan logika konteks kebahasaan (manthiq al siyâq).150

4. Konteks sosio-historis Sebagai prasyarat terakhir, setiap penafsiran bagaimanapun tidak

dapat mengabaikan adanya situasi awal (asbâb al nuzûl) yang men-jadi latar belakang turunnya teks, meskipun ia tidak lagi memadai menjadi rujukan penafsiran. Pengakuan akan adanya situasi awal me-refleksikan supremasi (uluwiyyah) realitas atas pemikiran dan teks.151 Artinya suatu penafsiran senantiasa historis di mana pemikiran (pe-nafsiran) dalam bentuk apa pun tidak akan pernah sepi dari pijak-an sejarahnya yang oleh Hassan Hanafi disebut “situasi batas” dan situasi etik”.

Implikasi pendirian tersebut di atas adalah tidak adanya nilai absolut dalam wilayah penafsiran. Setiap interpretasi mengalami relativitas sesuai dengan konteks penafsirannya. Dengan kata lain, yang absolut adalah relativitas itu sendiri. Kalaupun ada hal–hal yang dianggap absolut dan universal, sama sekali bukan berasal dari hasil dan proses penafsiran, akan tetapi menyangkut nilai-nilai tertentu yang menjadi prinsip penafsiran.

Hassan Hanafi juga bermaksud menghindari segala macam klaim objektifitas. Menurutnya, semua penafsiran mengandung sisi ideologis -nya sendiri-sendiri. Penafsiran dalam kapasitasnya sebagai instrumen kepentingan selalu merefleksikan pertarungan struktur sosial dalam masya rakat.152

149 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 541.150 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 541. 151 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 543. 152 Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981, Vol. 7, hlm.117-119.

Page 104: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

90 Dr. Adang Kuswaya

Alih-alih membela objektivitas, Hassan Hanafi justru bermaksud mengeksplisitkan subjektivitas dan kepentingan yang menjadi tujuan hermeneutika dan penafsirannaya. Eksplisitas semacam ini menjadi penting karena berfungsi sebagai pendasaran dan tujuan hermeneu tika al-Qur’an. Dalam hermeneutika al-Qur’an, eksplisitas tersebut meng-arahkan pembicaraan bukan pada benar salahnya sebuah penafsiran dalam pengertian yang hakiki, tetapi pada bagaimana sebuah argumen dibangun, disanggah atau didukung, berkaitan dengan bagaimana hubungan kebenaran dengan realitas. Hal ini berarti bahwa penafsiran sangat terkait dengan fungsionalitas teks dan bukannya pembicaraan teks yang melulu objektivistik.[]

Page 105: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

91

A. TAFSIR AL-QUR’AN TEMATIK (MAUDLÛ’Î)

1. Asal Usul Metode TematikSecara geneologis, metode tematik untuk menafsirkan al-Qur’an dirumuskan secara terinci pertama kalinya oleh Hayy Farmawi yang sebelumnya di-cetuskan oleh Sayid al Kummî. Pada tahun 1977 Hayy Farmawi mener-bitkan bukunya Al Bidâyah fî al Tafsîr al Maudlû’î. Sebetulnya sebelum itu sudah ada yang mempraktekan dengan menggunakan metode tematik tetapi bukan sebagai pembahasan tafsir.1

Salah satu pemikir Tafsir al-qur’an terkini, Hassan Hanafi tidak mem-berikan pernyataan jelas berasal dari mana metode tersebut diper oleh-nya. Agaknya, ia memang mengadopsi metode tematik ini dari Hayy Farmawi walaupun dalam prakteknya ada beberapa modifikasi terhadap metode yang sudah dirinci oleh Hayy Farmawi. Perincian langkah-langkah metode tematik yang ditawarkan oleh menurut hemat penulis, meru pakan penyempurna dari apa yang sudah sudah dirinci oleh Hayy Farmawi.

Kebanyakan tafsir yang ditulis sampai tahun 1960 masih dilaku -kan dari surat al Fâtihah sampai surat al Nâs. Tafsir-tafsir tersebut ditulis per surat, dan per ayat, sesuai dengan susunan yang ada dalam Mushhaf

1 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet.ke-1, 1992 hlm. 114. Menurut Quraish Shihab bahwa Ahmad Sayyid al Kumi adalah Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas al Azhar sampai tahun 1981.

BAB IV

PENDEKATAN SOSIOLOGIS

DALAM TAFSIR AL-QUR’AN

Page 106: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

92 Dr. Adang Kuswaya

Usmânî.2 Sedangkan dalam prakteknya bahwa metode seperti ini sudah dilakukan oleh sementara ahli tafsir yang diduga dimulai oleh Al Farra (w. 207 H) dan mencapai puncaknya di bawah usaha Ibrahim bin Umar Al Biqa’ î (809-885 H).3

Berdasarkan keterangan dari Quraish Shihab bahwa metode tematik ini awal mulanya karena terinspirasi oleh karya-karya ilmiah seperti al Insân fî al-Qur’an karya Abbas Mahmud Aqqad dan al Ribâ fî al-Qur’an karya al Maududi yang disusun bukan sebagai pembahasan tafsir. Se-hingga untuk yang pertama kalinya DR. Ahmad Sayyid al Kummi men-cetus kan dan menggunakan metode tafsir tematik.4

Disusul kemudian tahun 1977, Prof. DR. Abdul Hayy al Farmawy yang juga menjabat guru besar pada Fakultas Ushuluddin Universitas al Azhar, menerbitkan buku al Bidâyah fî Tafsîr al Maudlû’î dengan menge-mukakan secara rinci langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode tematik tersebut.

Langkah-langkah tersebut menurut Hayy Farmawy adalah:5 a. Memilih atau menetapkan topik masalah yang akan dibahas. b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah

tersebut, ayat makiyah dan ayat madaniyah.

2 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World I, Kairo: Dar el Kebaa, 2000, hlm. 484. Pernyataan ini disampaikandalam sebuah seminar internasional dengan tema “The Quran as Text” di Universitas Bonn, Jerman, 21 November 1993. Lihat footnote (Hassan Hanafi, “Method of Thematic Interpretation of The Quran” dalam Islam in The Modern World I, hlm. 484).

3 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 112. Quraish Shihab menuturkan bahwa bentuk metode tahlîlî ini menjadikan petunjuk-petunjuk al-Qur’an terpisah-pisah dan tidak disodorkan kepada para pembacanya secara menyeluruh.

4 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 114. Menurutnya bahwa menurut al Kummî, seorang mufasir harus menetapkan satu topik tertentu, dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang berbicara topik tertentu. Kemudian dikaitkan satu dengan yang lainnya sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan secara menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan al-Qur’an. Menurutnya, beberapa dosen di Universitas al Azhar telah berhasil menyusun banyak karya ilmiah dengan menggunakan metode tersebut. Antara lain dilakukan Prof. DR. Al Husaini, namun ia tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun seringkali menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh, sebagaimana tidak juga dikemukakan perincian ayat-ayat yang turun pada periode Mekkah sambil membedakannya dengan periode Madinah, sehingga terasa bahwa apa yang ditempuhnya itu masih mengandung beberapa kelemahan (Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 114).

5 Hayy Farmawi, al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû’î, hlm. 61 – 63.

Page 107: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

93Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang aspek asbâb al nuzûl-nya.

d. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.

e. Menyusun tema pembahasan dalam kerangka (outline) yang siste-matis, utuh dan sempurna.

f. Melengkapi pembahasan dengan hadist ’âm (umum) dan yang khâs (khusus), mutlaq dan muqayyad (terikat) atau yang pada lahirnya ber-tentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.

Menurut Farmawi ada dua bentuk metode maudlû’î dalam tafsir al-Qur’an. Pertama, bentuk penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus, korelasi persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya, sehingga semua persoalan tersebut saling keterkaitan bagaikan satu persoalan saja, sebagaimana ditempuh oleh Mahmud Syalthuth dalam kitab tafsirnya.6

Kedua, bentuk penafsiran dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas masalah tertentu dari berbegai surat al-Qur’an, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok pembahasannya.7

Sementara pengertian lainya diungkapkan oleh Muhammad Baqir Shadr bahwa tafsir maudlû’î yaitu pendekatan tafsir yang mencoba meng kaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari ber-bagai macam tema doktrinal, sosial dan kosmologi yang dibahas oleh al-Qur’an dengan tujuan nenetapkan pandangan al-Qur’an mengenai hal tersebut.8

6 Hayy Farmawi, Al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû’î, hlm. 35. Bandingkan dengan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 114.

7 Hayy Farmawi, Al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû’î, hlm. 35.8 Baqir al Shadr, dalam Jurnal UQ No.4. Th.1993, Jakarta: Aksara Buana, 1993,

hlm. 28. Menurut Quraish Shihab bahwa M. Baqir Shadr adalah ulama Irak yang menulis uraian menyangkut rafsir tentang hukum-hukum sejarah dalam al-Qur’an dengan menggunakan metode yang mirip metode maudhu’î dan menamakannya dengan metode tauhîdî (Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, footnote di hlm. 74).

Page 108: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

94 Dr. Adang Kuswaya

2. Memihak kepada Metode Tafsir Tematik Kitab tafsir klasik yang mempunyai volume sangat tebal dan besar seperti Jâmi al Bayân ’an Ta`wîl al-Qur’an karya Al Thabari (w.310H/922M), Tafsîr al-Qur’an al Karîm karya Ibnu Katsir (w. 744H/1377M) dan al Kasysyaf karya Al Zamakhsyari (w. 406H/1016M) masih ditulis dengan metode tahlîlî. Bahkan, tafsir-tafsir modern pun seperti al Manâr yang ditulis Rasyid Ridla (w. 1935 M), dan Fî Zhilâl Al Qurân karya Sayid Quthb masih ditulis dengan menggunakan metode yang sama yaitu metode tahlîlî.9

Hermeneutika al-Qur’an tematik merupakan pelengkap ter hadap tafsir-tafsir yang sudah ditulis dalam buku-buku tafsir yang ber volume besar. Tampaknya, arahan yang dimaksud oleh adalah kitab tafsir yang menggunakan metode tahlîlî (penafsiran yang menggunakan metode analisis). Dengan kata lain, pada hakikatnya benih awal dari herme-neutika al-Qur’an tematik dapat dinilai sebagai pengembangan dari tafsir bi al ma`tsûr yang ditulis dengan metode tahlîlî.

Walaupun demikian, bahwa tafsir yang ditulis menggunakan metode tahlîlî mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Bebe rapa kele-bihan yang dimiliki tafsir dengan metode tahlîlî adalah sebagai berikut ini.a. Dapat diperoleh informasi yang maksimum tentang sejarah teks,

bahasa teks dan kondisi sosial.10

Tafsir ini menawarkan pengetahuan dan membuat lebih sadar akan obyektivitas dari sebuah teks. Para mufasir klasik memberikan kondisi yang sudah usang tentang sebuah teks, sementara tafsir-tafsir karya para reformer memperlihatkan setting sosio-politik modern.

b. Tafsir-tafsir ini mengikuti aturan tradisi dan penulisan al-Qur’an.11

Tafsir ini mengikuti aturan penulisan yang mempunyai kebijakan

9 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, 484. Bandingkan dengan Azumardi Azra (Ed.), Sejarah ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 174. Dalam buku ini dijelaskan bahwa ada tiga klasifikasi penulisan tafsir tahlîlî. Pertama, penulisan tafsir dengan sangat panjang seperti kitab tafsir karya al Alusi, Fakhr al Din al Razi dan Ibnu Jarir al Thabari. Kedua, penulisan tafsir yang sedang seperti kitab tafsir karya Imam al Baidlawi dan al Naisaburi. Ketiga, tafsir yang ditulis dengan ringkas jelas dan padat seperti kitab tafsir al Jalalayn karya Jalal al Din al Suyuthi dan Jalal al Mahalli dan Tafsir al Qurân al Karîm karya Muhammad Farid wajdi.

10 Hassan Hanafi, “Hal Ladainâ Nazhariyah fî Tafsîr” dalam Qadlâyâ Mu’âshirah Vol. I, hlm. 175.

11 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 484.

Page 109: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

95Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

sendiri, kombinasi gaya susastera yang berbeda dalam waktu yang sama, melalui narasi, perintah, larangan dan janji. Al-Qur’an bukan hanya sebuah buku pengetahuan tetapi juga bersifat persuasif. Al-Qur’an tidak dialamatkan hanya kepada akal tetapi juga perasaan, juga tidak hanya memberikan teori tetapi juga motivasi untuk praktek.12

c. Dengan tafsir ini dapat diketahui mentalitas para mufasir klasik.13

d. Dapat diketahui kondisi sejarah dan tingkat pemahaman mereka, karena setiap penafsiran adalah sebuah tafsiran sejarah.14

Di samping beberapa kelebihan seperti di atas, metode tahlîlî juga masih menyisakan beberapa kelemahan sebagai berikut ini.a. Penggalan atau potongan tema yang sama dalam beberapa surat.15

Sebagai akibat dari pemenggalan ini sehingga tema-tema yang ter-dapat pada ayat lain terpotong secara keseluruhan dari tema per-tama.16 Menyebut beberapa contoh tema seperti kemakmuran, ke kuasaan, masyarakat, akal perasaan, perorangan dan solidaritas sosial. Menurutnya, masing-masing tema dijelaskan secara parsial ber dasar kan konteksnya dan keseluruhan tema menjadi terabaik an dalam bagian-bagian yang berbeda konteksnya.17

b. Pengulangan tema yang sama.18

Tautologi tema beberapa kali tanpa integrasi dari arti-arti untuk membangun konsep global seperti status wanita tersebar di seluruh Kitab. Tiap kali, aspek pengulangan dari suatu tema merupakan

12 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 485.13 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 485. 14 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 485.15 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 485.16 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 485. Lihat pula keterangan

M. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan al-Qur’an, hlm. 73-74. Menurutnya, memang satu masalah dalam al-Qur’an sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat. Misalnya masalah riba, yang dikemukakan dalam surat al Baqarah, Ali Imrân, dan al Rûm sehingga untuk mengetahui pandangan al-Qur’an secara menyeluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat yang berbeda-beda. Hal ini menurut Quraish Shihab disadari pula oleh para ulama, khususnya al Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun, ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.

17 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah Vol I, hlm. 176. 18 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah Vol I, hlm. 485.

Page 110: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

96 Dr. Adang Kuswaya

pen dangkalan makna. Realitas terkesan didesak secara bertahap padahal hal tersebut perlu disatukan dalam satu inti pembahasan.19

c. Tidak adanya sebuah struktur tema tersebut baik yang bersifat rasional maupun riil atau keduanya.20

Diperlukan sebuah struktur tema yang memungkinkan tema tetap menjadi miliknya, karena memiliki validitas dan verifikasi dari dalam, bukan dari luar, dari nalar dan alam, bukan dari kitab suci.21

d. Tidak adanya sebuah ideologi yang koheren.22

Tidak ada sebuah pandangan dunia global yang melingkari tema yang parsial menjadi satu dalam sebuah pandangan global, mulai dari bagian-bagian kepada keseluruhan. memberikan contoh seperti penglihatan, pendengaran dan perasaan merupakan bagian-bagian dari kesadaran kognitif (pengamatan); mengerjakan, berbicara dan berinteraksi dan sebagainya adalah aspek lain dari kesadaran yang merupakan dimensi lain dari manusia secara individu.23

e. Tafsir tahlîlî bervolume sangat tebal sehingga melelahkan untuk dibaca.24

19 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah Vol. I, hlm. 176. Menurut Qaraish Shihab bahwa atas dasar inilah yang kemudian muncul ide untuk melahirkan metode tafsir maudlû’î. Quraish Shihab lebih lanjut mengemukakan bahwa pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir al-Qur’an al Karim dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh al Syathibi. Dalam tafsirnya, Syalthut membahas surat per surat, atau bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Namun, apa yang ditempuh oleh Syalthut menurut Quraish Shihab belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk al-Qur’an dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena dalam penafsiran yang dilakukan Syalthut dikemukakan bahwa satu masalah masih dapat ditemukan dalam berbagai surat. Oleh karena itu, Prof. DR. Ahmad Sayyid al Kumiy pada akhir tahun enam puluhan mencoba menghimpun semua ayat yang berbicara tentang suatu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lainnya, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh (Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 74).

20 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 485. 21 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 485. Sependapat dengan

ini, Quraish Shihab menjelaskan bahwa para mufasir yang menggunakan metode tafsir tahlîlî ini tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepatnya dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur’an. lebih lanjut dia menjelaskan bahwa selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektifitas mufasirnya (M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 86-87).

22 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 486.23 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 486. 24 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 486.

Page 111: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

97Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

Mufasir yang menggunakan metode tahlîlî ini berusaha untuk ber-bicara menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya dalam setiap ayat. Kondisi seperti ini menjadikan tafsirannya tebal sehingga mem bosankan, melelahkan untuk dibacanya dan demikian juga untuk dibeli. Hal ini pula yang membuat pembaca bingung meng-hadapi kesombongan pengetahuan. Sementara, terkadang al-Qur’an muncul tampak lebih mudah, lebih ringan dan mudah di pahami.25

f. Tafsir tahlîlî ini mengaburkan informasi dengan pengetahuan.26

Berita adalah sesuatu yang sudah diketahui di manapun dan disam -paikan dari sumber berita kepada yang lain. Sementara penge-tahuan adalah sesuatu yang baru tambahan terhadap berita dan pengetahuan sebelumnya. Terkadang, tafsir ini memberikan infor-masi sementara al-Qur’an memberikan pengetahuan.27

g. Berita yang diberikan tafsir tahlîlî ini terpisahkan dari kebutuhan-kebutuhan jiwa dan masyarakat sekarang.

Pembaca tidak merasa akrab dengan bacaannya. Bacaan yang di-sodorkan mufasirnya itu memberikan informasi yang dingin, usang dan ketinggalan zaman. Sementara pembaca sekarang mem-butuhkan bacaan yang hidup, berguna dan pengetahuan yang relevan dengan zamannya, up to date28. Oleh karena itu, apa yang d butuhkan oleh masyarakat muslim dewasa ini adalah pengem-bangan metodologi penafsiran.29

25 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 486. Lihat pula keterangan M. Quraish Shihab dalam bukunya, Membumikan al-Qur’an, hlm. 118.

26 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 486. 27 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 486. Bandingkan dengan

Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu’âshirah Vol. I, hlm. 177.28 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 486. 29 Lihat pendapat yang sama juga dari M. Quraish Shihab, Membumikan al-

Qur’an, hlm. 86. Menurutnya, terlepas dari keberhasilan atau kegagalan mufasir yang mengunakan metode tahlîlî, yang jelas untuk masyarakat muslim dewasa ini paling tidak persoalan menggunakan tafsir tahlîlî bukan lagi merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa kini, pengembangan metode penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir al Shadr yang menilai bahwa metode tersebut telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam (M Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 86). Contoh yang dikemukakan Quraish Shihab dari sudah usangnya penafsiran yang memakai metode tahlîlî adalah penafsiran tentang datarnya bumi berdasarkan firman Allah pada al-Qur’an surat Nûh ayat 19, sebelum ditemukan benua Amerika dan sebelum dibuktikan bumi bulat, atau penafsiran tujuh tingkat langit dengan tujuh

Page 112: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

98 Dr. Adang Kuswaya

Penafsiran tematik menjadi pelengkap terhadap tafsir tahlîlî. Dengan kata lain, bahwa hermeneutika al-Qur’an tematik ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari tafsir bi al ma`tsur yang pada hakikatnya merupa kan benih awal dari hermeneutika al-Qur’an tematik.

Sebagai penyempurna dari metode Tahlîlî hermeneutika al-Qur’an tematik mempunyai beberapa karakteristik yang sekaligus menjadi kele-bihannya sebagai berikut ini.a. Hermeneutika al-Qur’an tematik mendeduksi juga menginduksi

makna. Menafsirkan bukan hanya mendeduksikan makna al-Qur’an dari

teks, melainkan juga menariknya dari realitas. Bukan hanya men-jelaskan, melainkan juga memahami, bukan hanya sekedar menge-tahui melainkan juga menyadari.30 Hal senada diungkapkan oleh Quraish Shihab bahwa tujuannya agar terhindar dari kelemahan-kelemahan seperti yang terdapat dalam tafsir-tafsir tradisional.31

b. Hermeneutika al-Qur’an tematik menjadikan mufasir tidak hanya seorang penerima makna tetapi juga pemberi makna.

Tafsir model ini menerima arti dan meletakkannya dalam sebuah struktur, sebuah makna yang rasional dan nyata. Karena akal dan realitas adalah sama, maka tafsir tematik adalah penemuan identitas original antara wahyu, akal dan alam.32 Sebagaimana dikemukakan oleh Hayy Farmawi bahwa dengan metode ini memungkinkan se-seorang menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Qur’an. Tafsir ini sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.33

c. Hermeneutika al-Qur’an tematik tidak hanya menganalisis tetapi juga mensintesiskan.

planet yang mengitari tata surya, yang ternyata tidak hanya tujuh (M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 113).

30 Hassan Hanafi,Qadlâyâ al Mu’âshirah vol.I. hlm. 175. Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I., hlm. 486.

31 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an,hlm. 117. 32 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World vol. I., hlm., 487. 33 Hayy Farmawy, al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû’î, hlm. 53.

Page 113: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

99Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

Menafsirkan tidak hanya membagi keseluruhan kepada bagian tetapi juga membawa bagian-bagian kepada keseluruhan. Menafsirkan adalah menampakan inti suatu benda, dan membawa objek kepada fokus.34 Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami dikarenakan dengan metode ini membawa pembaca kepada petunjuk al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Dengan metode ini pula dapat membuktikan bahwa persoalan yang disentuh al-Qur’an dapat diterapkan dalam kehi-dupan masyarakat dan bukan bersifat teoritis semata.35

d. Hermeneutika al-Qur’an tematik menafsirkan dilakukan untuk me-nemukan sesuatu.

Menafsirkan berarti menemukan yang baru di antara sesuatu yang sudah ada. Menambahkan sesuatu yang tidak diketahui dan tidak terartikulasi pada pengetahuan umum. Menafsir adalah hampir sama dengan menulis sebuah teks baru, refleksi dari tulisan dalam bayangan kesadaran individu.36 Dengan metode ini dapat membawa pembaca kepada pendapat al-Qur’an tentang berbagai problem kehidupan disertai dengan jawaban-jawabannya. 37

3. Prinsip-Prinsip dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik Ada beberapa prinsip yang mendahului aturan-aturan dalam tafsir tematik. Sebuah premis atau prinsip bukan hanya sekedar asumsi melain kan se-suatu yang berdasarkan fakta, pernyataan realitas, sebuah deklarasi sebuah pengakuan dari keterbatasan, penegasan pluralisme dan motivasi bagi penelitian terbuka. Premis adalah landasan filosofis dari sebuah metode. 38

a. Wahyu (Kalam Tuhan) diletakkan di antara (dalam kurung), tidak diterima dan juga tidak ditolak

34 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 487.35 Hayy Farmawy, al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû’î, hlm. 54. Bandingkan dengan Quraish

Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 117. 36 Point I-4 disarikan dari Hassan Hanafi,Qadlâyâ Mu’âshirah,Vol. I, hlm 175-178.37 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,hlm. 117.38 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 494

Page 114: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

100 Dr. Adang Kuswaya

Seorang mufasir tidak mempersoalkan orisinalitas Ilahi (sebagai Kalam Tuhan) dari Qur’an apakah dia datang dari Tuhan atau pen-dengaran dan ucapan Muhammad SAW. Tafsir tematik memulai dari setelah al-Qur’an diberikan tanpa mempertanyakan keorisinilan al-Qur’an sebelum wahyu itu diberikan. Tafsir dimulai setelah teks diterima, bukan sebelumnya.39 Tafsir tematik berkaitan dengan per tanyaan “apa”, bukan dengan pertanyaan “bagaimana”. Jika ke-orisinalan secara sejarah, al-Qur’an dapat dibuktikan dengan analisis sejarah, maka orisinalitas Ilahi sebagai Kalam Tuhan tidak dapat dibuktikan karena keterbatasan dari analisis sejarah. 40 Dalam tafsir ini, pertanyaan tentang asal-usul teks tidak relevan lagi. Hal inilah yang menjadikan mengapa seluruh isue harus disimpan di antara (dalam kurung). Teks adalah teks, Ilahi atau manusiawi, sakral atau profan, relijius atau sekuler. Mempertanyakan asal-usul merupakan masalah kejadian teks, sementara tafsir tematik bertalian dengan pertanyaan esensi, isinya. 41

b. Al-Qur’an sebagai subyek penafsiran Teks al-Qur’an dianggap seperti beberapa teks yang lainnya yang

dijadikan sebagai subyek penafsiran seperti teks yang berupa sastra, filsafat dan dokumen sejarah. Seluruh teks adalah subyek-subyek dalam aturan penafsiran yang sama. Perbedaan antara suci dan profan tidak ada kaitannya dengan hermeneutika tetapi hal itu, ada kaitan nya dengan praktek keagamaan.4210 Selain itu al-Qur’an itu sendiri apalagi hadist merupakan perubahan bentuk terhadap bahasa manusia, Arab atau ‘azam (bukan Arab) bahkan penuturan seorang yang beriman atau kafir.43

39 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 6. Bandingkan dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern World vol. I, hlm. 495.

40 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 4.41 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm.. 495. Bandingkan dengan

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 13. 42 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 495. Lihat sub judul

Analisis teks dan orientasinya di disertasi ini. 43 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 495. Bandingkan dengan

Hassan Hanafi, Al Wahyu wa al Wâqî: Dirâsah Asbâb al Nuzûl” dalam al Dîn wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 69-75. Lihat juga dengan Hassan Hanafi, Humûm al Fikr Wathan, al Turâts wa al ’Ashsr wa al Handasah, Juz I.

Page 115: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

101Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

c. Tidak ada penafsiran yang benar atau salah Perbedaan terjadi dalam usaha pendekatan terhadap teks, per-

bedaan kepentingan dan motivasi. Konflik dalam penafsiran adalah sebuah konflik kepentingan, bahkan dalam penafsiran yang bersifat linguistik sekalipun, dikarenakan bahasapun bisa berubah. Penjelasan yang akurat dari teks menurut prinsip-prinsip keba ha-saan, lagi-lagi merupakan sebuah tautologi.44

d. Tidak ada satu penafsiran dari suatu teks, melainkan lebih dari satu penafsiran

Perbedaan terjadi hanya dalam pemahaman di antara mufasir yang tidak sama. Penafsiran dari sebuah teks pada dasarnya beragam. Teks hanyalah sarana untuk kepentingan manusia bahkan hawa nafsu nya. Mufasir mengisinya dengan kandungan isi ruang dan waktunya.45 Penafsiran itu hanyalah hasil dari kondisi historis spesifik masyarakat muslim ketika memilih solusi-solusi partikular di antara solusi-solusi yang mungkin ketika merespon kebutuhan-kebutuhan mereka.46

e. Konflik dari penafsiran pada dasarnya konflik sosio-politik bukan konflik secara teori

Teori dibutuhkan hanya sebagai penutup dari sudut pandang episti-mologi. Masing-masing mufasir mengekspresikan komitmen sosio-politiknya. Penafsiran merupakan senjata idiologi, diguna kan oleh kekuatan-kekuatan sosio-politik yang beragam untuk mem per-tahankan digunakan oleh kaum konservatif atau mengubah status quo digunakan oleh kaum revolusionis.47

44 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 496. Menurutlebih lanjut Kesamaan antara makna teks yang sedang dijelaskan dengan makna dalam penafsiran terhadap teks hanyalah anggapan formal yang didasarkan atas hukum identitas. Jarak waktu di antara saat pengucaan dengan saat penjelasan adalah lebih dari 14 abad yang membuat teori persamaan di antara teks dan penafsirannya menjadi hampir mustahil.

45 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 496. 46 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 535. 47 Hassan Hanafi, ‘Ikhtilâf fî al Tafsîr Am ikhtilâf fî al Mashâlih ? dalam Al Dîn wa

ail Tsaurah fi Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 117-119; Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 496.

Page 116: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

102 Dr. Adang Kuswaya

4. Aturan-Aturan dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik Karena setiap metode baik deduktif atau induktif, rasional atau ekspe-rimen mempunyai aturan yang harus diikuti. Tafsir tematik merupakan sebuah metode yang berisi beberapa aturan sebagai berikut ini.48

a. Komitmen sosio-politik Mufasir bukan seseorang yang netral. Melainkan, seorang warga

yang hidup dalam drama waktu krisis negaranya berlangsung. Ia turut prihatin dengan realitas yang ada dan berobsesi untuk meng-ubahnya. Ia berpihak pada orang miskin, dan orang-orang yang ter-tindas. Tidak ada mufasir tanpa komitmen terhadap sesuatu. Jadi, pe nafsiran adalah seorang yang berkomitmen untuk sebuah tujuan.49

b. Mencari sesuatu Seorang mufasir tidak memasuki lapangan dengan tangan kosong,

tanpa mengetahui apa yang sedang ia cari. Ia tidak mempunyai ke-sadaran netral, tetapi berada dalam satu pihak. Kesadarannya dituju-kan terhadap sesuatu yang sedang mencari solusi suatu masalah. Alasan adalah kepentingan seperti yang ada dalam tema lama dari Asbâb al Nuzûl, prioritas terhadap realitas melebihi sebuah teks.50

c. Membuat sinopsis atau outline ayat-ayat yang berkaitan dengan tema-tema dasar tertentu.

Seluruh ayat yang berkonsentrasi pada satu tema disatukan, secara simultan dibaca dan dipahami bersama-sama beberapa kali sampai orientasi utama dari seluruh ayat muncul. Jadi, yang ditafsirkan bukan lah Kitab suci al-Qur’an melainkan, kamus dan ensiklopedi al-Qur’an, yang diedit berdasarkan tema-tema alpabetis, kata demi kata, kata kerja, kata benda dan kata sifat.51

d. Klasifikasi berdasarkan ilmu bahasa.52

Arti yang muncul pertama kali adalah arti dari bentuk bahasa, setelah menganalisis isi kemudian dicoba diklasifikasikan. Bahasa

48 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 479 – 500.49 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 497. 50 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 497.51 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 497. 52 Bandingkan dengan Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah, vol. 7, hlm. 104 – 105.

Page 117: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

103Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

sebagai sebuah bentuk pemikiran merupakan petunjuk bagi suatu arti.

Analisis linguistik dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Pertama, fi’il (kata kerja) dan isim (kata benda). Bentuk kata dan I’rab (ke-dudukan kalimat) mempunyai makna tersendiri. Kata kerja me-nun jukkan suatu tindakan, sedangkan kata benda menunjukkan pada pemantapan, subtansi. Bentuk I’rab marfû, kedudukan kalimat yang rafa’ menunjukkan subyek atau upaya, I’rab yang manshûb yang menjadi obyek berarti ketiadaan upaya, dan isim yang majrûr memberi kesan keterkaitan dalam keikutsertaan.53

Kedua, waktu dalam kata kerja Mâdli (kata kerja lampau) dan Mudlâri (kata kerja sekarang dan akan datang). Waktu yang lampau, sekarang dan masa datang menunjukkan perbedaan antara cerita atau narasi, penjabaran fakta dan masa yang akan datang. Seperti realitas di mana disamakan dengan kebenaran itu dinyatakan dalam tiga bentuk waktu untuk menunjukkan abadinya kebenaran dalam abadinya waktu.54

Ketiga, Jumlah (bentuk kata benda) satu (mufrad) dan kolektif (jama’). Bentuk kata benda satu menunjukkan individualitas seperti kata Syu’ur (kesadaran). Sedangan kata benda jamak menunjukkan kolektifitas dan group sosial, seperti kata rijâl, laki-laki dan al nâs, manusia, rakyat atau masyarakat.55

Keempat, Possessive adjectives (sifat kepemilikan) dapat berupa kata ganti (pronouns) atau dengan kata sambung relatif, (relative conjunctions). Kata benda tanpa sifat kepemilikan berarti tidak dapat dimiliki atau milik perseorangan seperti kata langit dan bumi. Kata ganti berupa orang kesatu berarti dia sendiri, orang kedua yang ber-arti adanya dialog dan ketiga berarti orang lain tidak hadir.56

53 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah, vol. 7, hlm. 105. Lihat pula Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 498. Selanjutnyamemberikan contoh, kata tauhid yang merupakan prinsip pertama dalam keimanan Islam adalah kata benda verbal, isim fi’il (bukan kata kerja dari wahhada, bukan juga kata benda wahîd), mempunyai arti sebagai sebuah proses, sebagai aktifitas, dari aksi kepada ada, subtansi.

54 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 498.55 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm, 498.56 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 498. Dapat dijelaskan

Page 118: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

104 Dr. Adang Kuswaya

Kelima, vokalisasi, bentuk pengucapan kata. Kata benda bisa ber sifat nominative yang menunjukkan pada tindakan dari sebab yang efisien yaitu subyek. Kata benda yang bersifat Accusative menunjukkan ke pada obyek penderita/pihak keempat. Kata benda yang bersifat Dative, obyek penyerta, pelengkap, menunjukkan ada-nya hubung an ruang dan waktu, hubungan yang renggang antara subyek dan obyek.57

Keenam, definitif, Kata benda bisa berupa isim ma’rifah (kata benda khusus, defenite) atau isim nakirah (kata benda umum, indefinite). Isim ma’rifah seperti kata benda satu (isim mufrad) menunjukkan parti kularitas, sementara isim nakirah menunjukkan sesuatu yang umum.58

e. Membangun struktur Setelah analisis bentuk bahasa memberikan arahan pada makna,

tugas mufasir selanjutnya adalah membangun sebuah struktur tema tertentu. Beranjak dari dan meninggalkan makna menuju kepada obyek. Makna dan obyek adalah materi yang sama, dua paket dari dunia yang sama. Makna adalah obyek yang subyektif sedangkan obyek adalah subyek yang obyektif. Keduanya adalah korelasi yang sama dalam kesadaran.59

f. Analisis terhadap situasi nyata Setelah membangun tema sebagai struktur ideal, mufasir memihak

kepada realitas nyata seperti kemiskinan, penindasan, HAM, ke-kuasaan, kekayaan dimaksudkan agar mengetahui secara kuantitatif dan statistik masalah, paling tidak terbebas dari kesalahan. Diagnosa sosial dari realitas adalah cara lain untuk memahami makna melalui dinamisasi teks dalam dunia nyata.60

disini bahwa Prossesive Adjectives, sifat kepemilkan (mudlâf ghair mudlâf), idlâfah, dapat berupa ism dlamîr (kata ganti), pronouns kata sambung relative (relative conjunction). Kata ganti bisa berupa dlamîr mutakalim (kata ganti orang kesatu) dan dlamîr ghaib (kata ganti orang ketiga), ketiadaan yang lain.

57 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 499.58 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 499.59 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 499.60 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World , vol.I, hlm. 499.

Page 119: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

105Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

g. Perbandingan antara idealitas dan realitas Setelah membangun struktur, tugas mufasir selanjutnya adalah

memberikan kualifikasi tema, analisis fakta, status kuantitas se-bagai sebuah fenomena histories. Mufasir memberikan gambaran perbandingan antara struktur yang dicita-citakan yang kesim-pulannya diambil secara deduktif dengan analisis isi (tahlil madlmûn) dari teks dan secara induktif dengan situasi nyata yang disebab kan oleh statistik serta ilmu pengetahuan sosial.61 Jadi, seorang mufasir hidup di antara teks dan realitas, antara ideal dan realita, antara das sein dan das solen.

h. Penjabaran dari model dengan melakukan suatu tindakan. Ketika perbedaan itu nampak antara dunia ideal dan realita, antara

kerajaan langit dan bumi, maka tindakan muncul sebagai tahapan baru dalam proses penafsiran. Mufasir beralih dari teks, teori dan pemahaman menuju kepada tindakan, praktek dan perubahan. Logos dan praktis menyatu untuk menjembatani kesenjangan yang ada di antara ideal dan real.62

5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an TematikHermeneutika al-Qur’an tematik menurut Hassan, tidak hanya terbatas dengan penafsiran terhadap tema-tema, tetapi juga berhubungan dengan sebuah aturan, sebuah sistem atau sebuah skema tertentu. Memang se-perti terlihat skema-skema lama yang ada dalam disiplin tafsir tra disional seperti juga dijelaskan masih berupa skema teologis, filsafat, tasawuf, fiqh dan ushul fiqh. Skema teologis seperti tiga hubungan antara hakikat (dzat, esensi), sifat-sifat (sifat, atribut) dan tindakan (af ’âl, aksi) dalam teologi

61 Hassan Hanafi, “Method of Tematic Interpretation”, Islam in The Modern World, Vol, hlm. 500.

62 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 500. Lebih lanjut menurutnya, dengan menemukan alat komunikasi di antara dunia tersebut dapat mengadaptasikan yang ideal agar dapat menjadi lebih dekat dengan yang riel dan merubah yang riel menjadi lebih dekat dengan yang ideal. Langkah-langkah, waktu, usaha-usaha terpadu yang dilakukan secara betahap diharuskan tanpa melompati tahapan-tahapan tersebut atau menggunakan kekerasan. Realisasi yang ideal dan idealisasi dari yang riel secara penuh merupakan proses alamiah dari akal dan alam, reason and nature (Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 500).. Bandingkan pula dengan John Esposito, dan John O. Voll, “Hassan Hanafi: The Classic Intelectual” dalam John Esposito, dan John O. Voll. Makers of Contemporary Islam.New York: Oxford University Press, 2001.hlm. 73.

Page 120: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

106 Dr. Adang Kuswaya

Asy’ariyah; lima prinsip (ushûl al khamsah) dalam teologi Mu’tazilah; trilogi dalam filsafat yang terdiri dari logika, fisika dan metafisika; aspek-aspek dalam tasauf seperti kondisi (ahwal) dan tahapan-tahapan (maqâmat); tujuan (maqâsid) dan kualifikasi hukum (ahkâm) berupa kua-lifikasi obyektif (ahkâm al wadl’i) kualifikasi subyektif (ahkâm al taklif) dalam ushul fiqh; ritual (ibâdah) dan hubungan sosial (mu’âmalah) dalam fiqh dan sebagainya.

Batasan wilayah hermeneutika al-Qur’an tematik didasarkan pada tiga lingkaran yang saling berhubungan dengan satu pusat yang sama yaitu pertama, pada ada (being, sein); kedua, mengada dengan yang lain (being with others, mitsein); dan ketiga, mengada dalam dunia (being in the world, aussein, in-der-welt-sein).63

Keterangan: a. Sein, Being, ada b. Mitsein, Being with others, mengada dengan yang lain.c. Aussein, Being in the world, mengada di dunia.

Pertama, kesadaran individu merupakan inti dari dunia. Ada se bagai besinnung awal seperti dalam cogito ergo sum. Dalam Bahasa Fitche, ego (the self) menempatkan diri berlawanan dengan dunia eksternal. Ego identik dengan diri sebagai kesadaran individu, yang pertama ada, sebuah tindakan kesadaran, sebuah perasaan, sebuah pencerahan dan sebuah tindakan.64

Kedua, lingkaran yang kedua, ada bersama yang lain, menun jukkan dunia manusia, dunia sosial dan intersubyektifitas, relasi individu dengan individu yang lain dalam bentuk seperti pernikahan, sebagai bapak, ibu, persaudaraan dan persahabatan. Hubungan politik seperti warga negara dan negara; hubungan ekonomi seperti perdagangan dan hubungan

63 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 501. 64 Selanjutnya menjelaskan bahwa Ada (being) adalah ada yang menyadari dan bukan

hanya ada secara material. Penemuan tubuh adalah cogito yang kedua. Yang pertama ada dalam waktu dan yang kedua ada dalam ruang. Kesadaran individual adalah keseluruhan dunia termasuk indra: kepekaan eksternal dan internal, sensasi, persepsi indra, kognisi, emosi, motivasi, kecenderungan, aksi dan sebagainya. Interioritas adalah prasyarat eksterioritas dalam mengetahui dan melakukan. Lihat Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 501.

Page 121: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

107Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

sosial seperti keadilan sosial.65 Ketiga, mengada di dunia, Being with world menunjukkan adanya

hubungan kesadaran individu dengan alam, dunia benda-benda. Alam diciptakan demi keberlangsungan hidup pada manusia. Alam penuh tanda-tanda yang menunjukkan asal-usul dan signifikasi nya dan ia tunduk kepada manusia. Ada dalam dunia merujuk pada langit, dunia tum buhan dan dunia hewan.66

B. PENDEKATAN SOSIOLOGIS, MANHAJ IJTIMÂ’Î DALAM TAFSIR TEMATIK

Metode dan corak tafsir tradisional merupakan tafsir-tafsir yang muncul dan dibuat sejalan dengan tuntutan kondisi waktu dan tempat para penyusunnya masing-masing. Di antara mereka ada yang menggunakan corak seperti bahasa, sejarah, fiqh, tasawuf, filsafat dan teologi dan semuanya disusun sealur dengan tuntutan zamannya masing-masing.6736 Akan tetapi, saat ini zamannya ilmu-ilmu sosial, utamanya ilmu politik dan ekonomi.

Tafsir dengan metode ilmu kekinian ini menurutnya telah dimulai oleh hermeneutika al-Qur’an pembaharuan, al Manhaj al Ishlâhî dan tugas generasi sekarang adalah mengembangkan metode ini dengan men jadi-kan realitas umat dan kemaslahatannya sebagai starting point pe nafsiran.68

65 Hubungan politik termasuk di dalamnya hubungan rakyat dengan negara. Hubungan ekonomi seperti hubungan produksi, perdagangan, upah, harga, keuntungan, eksploitasi, monopoli, kepemilikan dan kontrak. Hubungan sosial termasuk juga di dalamnya isue-isue persamaan, keadilan sosial dan kejujuran. Lihat Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 502.

66 Alam yang merujuk kepada langit seperti angkasa, matahari, bulan, bintang, angin, awan, burung, air, sungai, mata air, sumur dan lautan. Alam juga termasuk dunia tumbuhan seperti tanaman, lembah, padang ilalang, sawah, ladang, pepohonan, rerumputan, sayuran, buah-buahan dan bunga-bungaan. Termasuk juga bagian dari alam adalah dunia binatang; binatang ternak, binatang buas, serangga dan burung-burung. Manusia sekalipun tidak lepas dari alam; di dalam dirinya ada yang bersifat alamiah: tubuh, kebutuhan material dan kegiatan di dunia. Hassan Hanafi, “Human subservience of nature: An Islamic model”, Tema seminar di Swedia, 1980 dalam Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 502.

67 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 102. 68 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7, hlm. 102.

Page 122: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

108 Dr. Adang Kuswaya

1. Karakteristik Hermeneutika Al-Qur’an Sosiologis (al Manhaj al Ijtimâ’î)

a. Hermeneutika al-Qur’an yang bersifat parsial. Penafsiran yang bersifat parsial terhadap ayat-ayat al-Qur’an, bukan

tafsir yang menyeluruh. Artinya yang diperlukan penafsirannya adalah mengenai hajat hidup kaum muslimin kontemporer saja, bukan keseluruhan al-Qur’an.69 Sebagai contoh, problem utama saat sekarang adalah pembebasan tanah jajahan dan imperialisme, maka ayat-ayat tentang jihad, perang, pertempuran dan kesiapan fisik merupakan priotitas yang perlu ditafsirkan, bukan ayat-ayat tentang kesenangan hidup dan kenikmatannya.70

Dengan demikian, yang dibutuhkan hanyalah membaca dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang sejalan dengan kebutuhan dan problem saat ini. Sebab pemahaman tentang satu ayat tak akan sempurna kecuali jika sejalan dengan kebutuhan atau pengalaman sosial dan krisis kehidupan yang menimpa saat menafsirkan.

b. Hermeneutika al-Qur’an yang bersifat tematik Hermeneutik al-Qur’an tematik merupakan tafsir yang sejalan

dengan tuntutan hermeneutika al-Qur’an sosial. Hermeneutika al-Qur’an tematik bukan tafsir yang panjang (al tafsir al thûlî) dalam pengertian penafsiran per juz, per surat, per ayat, per lafazh, per huruf yang dimulai dari surat al Fâtihah dan al Baqarah sampai surat al ‘Alaq dan al Nâs.71 Bukan tafsiran mengenai apa yang diketahui

69 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol.7, hlm. 102. 70 Contoh lain, jika problem yang dihadapi kini adalah soal kemiskinan, kelaparan,

kesulitam hidup, kekurangan pangan, sandang dan papan, maka ayat-ayat tentang kepemilikan umum, tentang kekayaan dan kemiskinan, larangan monopoli harta oleh kaum kaya, khilafah, hak orang fakir dan harta orang kaya, persamaan, keadilan sosial dan sebagainya merupakan tema-tema yang harus diutamakan dalam tafsir, bukan tafsir tentang perdagangan, laba perolehan rizki, pembagian kelas sosial dan usaha yang halal. (Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 103).

71 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 104. Menurut Hassan Hanafi, tafsir-tafsir yang menggunakan metode ini misalnya al Bayân fî Aqsâm al Qurân karya Ibn Qayyim; Majâz al Qurân karya Abu Ubaidah (w. 210/825); Mufradât Al Qurân karya al Raghib al Ashfahani; al Nâsikh wa al Mansûkh min al Qurân karya Abu Ja’far al Nuhas (338H/950M); Asbâb al Nuzûl karya Wahidi (468H/1075M) dan Ahkâm al Qurân karya al Jashshash (370H/981M).Tetapi tidak muncul tafsir yang membahas tema-tema social dan politik. Walaupun di kalangan para pakar hadits muncul tema tersebut akan tetapi tidak disertai analisis yang komprehensif dari ayat-ayat al-Qur’an

Page 123: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

109Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

maupun tidak, apa yang dibutuhkan atau tidak. Dan juga bukan tafsir yang hampa dari konteks waktu dan tempat.

Karena hermeneutika al-Qur’an tematik berpegang kepada ensi klopedi al-Qur’an dan tafsiran ayat-ayat tentang satu tema yang memang dibutuhkan pada masa sekarang. Maka, untuk membangun tema yang berpedoman kepada analisis isi (tahlîl madlmûn), harus diperhatikan seperti.72

1) Membangun analisis bentuk (tahlîl al shûrî) berdasarkan unsur kebahasaan dan bentuk kalimat, seperti pengelompokan isim (kata benda) dan fi’il (kata kerja), baik kedudukannya marfû’, manshûb dan majrûr ataupun mudzakar (laki-laki) dan muannats (feminine), kata benda satu (mufrad) dan kata benda kolektif (jama’) dan seterusnya.

Pengamatan terhadap pengertian kosa kata, demikian juga pesan-pesan yang dikandung oleh satu ayat, hendaknya di arahkan antara lain kepada bentuk dan timbangan kata yang digunakan, subyek dan obyeknya, serta konteks pembicaraannya. Bentuk kata dan kedudukan I’rab, misalnya mempunyai makna tersen-diri. Bentuk kata benda (isim) memberi kesan kemantapan, fi’il mengandung arti pergerakan, bentuk rafa’ menunjukkan subyek atau upaya, nashab yang menjadi obyek dapat mengandung arti ketiadaan upaya, sedangkan jar memberi kesan keterkaitan dalam keikutsertaan.

2) Analisis makna (tahlîl al ma’ânî) dan penyusunannya yang ada dalam kelompok-kelompok makna pokok sehingga dapat mem-bentuk sebuah tema. Pemilahan makna-makna antara yang

(Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm.104).72 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 104-105.

Untuk pembahasan lebih detail tentang hermeneutika al-Qur’an tematik dariini dapat dilihat artikelnya “Method of Thematic Interpretation of The Quran” Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 484-509. Juga dalam bab ini yang sudah dibahas sebelumnya yaitu pada sub bab Hermeneutika al-Qur’an Tematik. Selanjutnya dengan metode inimembuat contoh kongkrit yang diwujudkan dalam tulisan di antaranya; “Limâdzâ Ghâba Mabhats al Insân fî Turâtsinâ al Qadîm”, tulisan yang dimuat dalam karyanya, Dirâsât Islâmiyah hlm. 347-415; “Al Mâl fî Al Qurân” karya ini dapat dilihat dalam Al Dîn wa al Taurah fî Mishr 1952-1981 vol. ke-7 hlm. 121-145; dan “Teologi of Land” dalam Religious Dialogue and Revolution Bagian II hlm. 125-173, yang juga dimuat majalah Prisma no. 4, April 1984 hlm. 39-40.

Page 124: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

110 Dr. Adang Kuswaya

pokok dan yang cabang, antara bentuk aktif dan pasif, antara ketuhanan dengan kemanusiaan dan seterusnya sehingga me-mungkinkan mengetahui nalar wahyu dalam tema-tema pokok.

3) Memberikan prioritas terhadap tema-tema yang sejalan dengan kehidupan sekarang, seperti: tanah, harta, kemiskinan, kekayaan, kemajuan, keterbelakangan ummat, kerja, manusia, jihad, Israel dan lain-lain.

4) Membentuk tema-tema tersebut dalam sebuah kerangka rasio-nal, kokoh dan terpadu sehingga menjadi sebuah pandangan dunia Islam dengan segala problematikanya.

c. Hermeneutika al-Qur’an yang bersifat temporal Hermenetika al-Qur’an zamânî (temporal) adalah hermeneutika

al-Qur’an yang sanggup memberikan visi al-Qur’an kepada satu generasi dan satu fase waktu tertentu, bukan seluruh generasi dan waktu. Istilah al-Qur’an yang abadi, menembus waktu dan generasi, hanya ada dalam ilmu Ilahi tetapi tidak ada dalam hafalan atau dalam gerak sejarah. Hermeneutika al-Qur’an zamânî ini menurutnya, tidak ada sangkut pautnya dengan masa lalu seperti halnya tidak mesti menjadi pegangan bagi generasi berikutnya.73

Di samping itu, hermeneutika al-Qur’an ini berkaitan erat dengan kaum muslimin dalam realitas sejarah yang mempunyai tujuan praktis, bertujuan mengubah keadaan kaum muslimin. Se-dangkan ukuran kebenaran tafsir ini adalah kemampuannya dalam mengadakan perubahan dan efektifitas.74

Sesungguhnya wahyu itu sendiri tumbuh dan berkembang pada tataran zaman. Hal ini seperti terlihat sejak dari Yahudi kepada Masehi kemudian kepada Islam. Demikian juga perkembangan kitab-kitab suci terdahulu seperti dari Shuhuf Ibrahim, Kitab Mazmur Nabi Daud, Kitab Taurat Nabi Musa, Kitab Injil Nabi Isa dan terakhir

73 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7. hlm. 106. Hanafi kemudian mengutip potongan ayat al-Qur’an dari Surat al Ra’du (Q.S. al Ra’d /13: 17) yang artinya: “…..Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi”(Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta PT. Bumi Restu, 1978 hlm. 371).

74 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7. hlm. 106.

Page 125: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

111Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

Kitab Suci al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Demikian juga bahwa hermeneutika al-Qur’an seperti ini

sebagaimana al-Qur’an yang telah diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun bermula dengan persoalan akidah kemudian persoalan syari’ah. Dimulai dengan ayat-ayat makiyah kemudian ayat-ayat madaniyah. Bahkan, syari’ah itu sendiri terutama dengan konsep nâsikh mansûkh memperlihatkan adanya kesesuaian dengan kemampuan manusia.

Dengan demikian, zaman merupakan faktor dalam syariat Islam. Seperti ditunjukkan dalam ibadah adanya waktu-waktu yang sudah jelas untuk shalat, shaum, puasa dan menunaikan haji. Ada-nya konsep wajib dan qadlâ (mengganti), konsep faur (segera) dan ditangguhkan yang semuanya menunjukkan tafsir zamânî yang mem-berikan manfaat kepada generasi sekarang.

d. Hermeneutika al-Qur’an yang realistis Tafsir realitas yang dimaksudkan adalah menjadikan realitas kaum

muslimin, kehidupan, problematika, nestapa dan kekalahan mereka sebagai starting point penafsiran. Hermeneutika al-Qur’an ini hendak menyatakan Das sein (apa adanya) tentang realitas umat, sebab me-nurutnya, betapa mudahnya berbicara Das Solen (apa yang se harus-nya).75

Bahwa wahyu tidak diberikan secara cuma-cuma melainkan sebagai solusi untuk memecahkan persoalan yang dapat diterima akal dan dipahami sebagaimana yang sudah dipraktekkan oleh Umar bin al Khatthab. Hal itu ditunjukkan oleh konsep asbâb al nuzûl yang berarti adanya prioritas realitas atas pikiran dan dinamisasi gerakan atas sikap yang statis.

Hermeneutika al-Qur’an yang realistis tidak berbicara tentang Islam yang universal dan abadi yang menembus ruang waktu dan tempat, yang berada di luar realitas dan tidak memberika solusi

75 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7. hlm. 107. Menurut selanjutnya, mengatakan bahwa tafsir tipe ini tidak berpretensi membela (eksistensi Allah, sebab Allah tidak membutuhkan pembelaan mereka, juga tidak bermaksud membela Islam sebab agama ini Allah sendiri yang menjaganya. Tafisr ini bermaksud membela kaum muslimin, sebab tak ada yang membela mereka selain mereka sendiri. (Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7. hlm. 107.).

Page 126: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

112 Dr. Adang Kuswaya

terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia. Hermeneutika al-Qur’an yang realistis ini bukan untuk membela Allah karena Allah tidak membutuhkan pertolongan dan juga bukan untuk mem-bela Islam sebagai agama Tuhan. Melainkan, untuk membela kaum muslimin karena tidak ada yang membela mereka selain mereka sendiri.

e. Hermeneutika al-Qur’an yang mempunyai makna dan tujuan. Tafsir yang mempunyai makna dan tujuan, bukan tafsir secara

harfiyah dan kata. Sebab wahyu itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh para pakar Ushul fiqh klasik adalah berbagai maksud (maqasid). Sementara, para pakar hadits menyebutnya sebagai motivasi dan arahan-arahan.

Sebagaimana dikatakan dalam tujuan-tujuan umum syara yang lima seperti menjaga jiwa (al nafs), akal, agama, kehormatan atau harga diri dan harta. Maka, tafsir ini bertujuan kepada kemaslahatan umat yang memang menjadi dasar syariat, tidak tertindas dan juga tidak menindas orang lain, orang yang tertidas membolehkannya melanggar aturan, asal dari sesuatu adalah kebolehan, asal perkara sebelum datangnya syara menunjukkan kebebasan, manusia adalah baik secara fitrah, “Sungguh bukan manusia kecuali apa yang sudah diusahakannya. Dan sesungguhnya usahanya akan diper tang gung-jawabkan”, Islam adalah agama rasional dan alamiah dan merupakan agama kebebasan dan persamaan.76 Keseluruhan kaidah di atas meru pakan dasar bagi penafsiran.

f. Hermeneutika al-Qur’an yang berisi pengalaman mufasir Tafsir yang berangkat dari perjalanan hidup langsung yang dialami

oleh mufasir. Karena tafsir itu sendiri merupakan bagian dari ke-hidupan demikian juga kehidupan merupakan salah satu materi ilmu tafsir. tak mungkin mengadakan penafsiran apabila mufasir tidak punya pengalaman hidup yang dialami dan dirasakannya.

Tafsir bukanlah profesi atau barang komoditi melainkan krisis pengetahuan, kebingungan dalam menentukan jalan, pencarian

76 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7., hlm. 108.

Page 127: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

113Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

makna dan merobah kebobrokan. Oleh karena itu, tafsir para sufi meskipun terdapat berbagai kecacatan merupakan cerminan tafsir yang dibangun berdasarkan pengalaman mufasirnya. Tafsir ini juga menandaskan pentingnya tafsir-tafsir pembaharuan yang mengungkapkan pengalaman pembaharuan, revolusi dan per ubah-an sosial.77

g. Identifikasi berbagai persoalan realitas kehidupan sehingga dari hal tersebut memungkinkan untuk memulai penafsiran.

Tafsir ini dimulai dari mengidentifikasi dan mengamati berbagai persoalan realitas kehidupan yang dihadapi dan dialami. Cara ini dapat ditempuh dengan melalui cara-cara berikut ini:

1) Apabila metode tafsir yang ditempuh dengan corak sosiologis yang berangkat dari realitas umat, maka terlebih dahulu mufasir harus menata dan mengidentifikasi problematika tersebut. Untuk itu diperlukan para ahli sosiologi, politik dan ekonomi. Dalam arti adanya partisipasi ilmu-ilmu yang dapat mendata per masalahan realitas sosial. Permasalahan-permasalahan itu dapat dibagi antara lain, pembebasan tanah dari zionisme dan imperialisme, kebebasan berpendapat dan demokrasi melawan rezim yang tiran, kemajuan melawan keterbelakangan, kebodoh-an dan kemiskinan, mobilisasi massa melawan negatifisme dan kelesuan.

2) Memberikan aturan terhadap prioritas permasalahan yang akan dibahas tanpa menghalangi gerak yang ada pada semua line. Seperti terlihat pada contoh berikut. Pertama yang harus di laku kan pembebasan tanah dengan segala tuntutannya seperti penegakan garis batas negara, menyegerakan penyelesaian konflik sosial

77 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7. hlm. 108-109. Menurutdi sinilah pentingnya tafsir al ishlâhî yaitu tafsir yang menggambarkan pengalaman-pengalaman revolusi dan perubahan sosial. Menurutnya, teks-teks ke-agamaan pada dasarnya merupakan pengalaman kehidupan dan persaksian para nabi. Seperti pengalaman Nabi Ayyub yang buta, Nabi Yusuf di penjara, pengalaman Nabi Musa, pengalaman Nabi Yunus ketika dalam perut ikan dan pengalaman para nabi lainnya. Sedangkan tafsir yang disampaikan di atas mimbar dan podium atau yang memenuhi lembaran-lembaran media cetak dengan tujuan pamer ilmu, menurutitu semuanya merupakan tafsir-tafsir yang tidak berasal dari kedalaman hati, tidak ditulis dengan darah dan karenanya tidak mampu mengadakan transformasi sedikitpun dalam kehidupan manusia. (Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah, vol. 7, hlm. 109).

Page 128: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

114 Dr. Adang Kuswaya

yang terjadi. Karena gerakan pembebasan negara membu-tuh kan kepada kesungguhan kolektif. Kedua, kebebasan dan demokrasi mempersilakan kebebasan berpendapat dan toleransi terhadap beragam pendapat. Ketiga keterbelakangan harus me-lawan seluruh fenomena ketertinggalan seperti kemiskinan dan kebodohan yang menuntut kepada pengembalian distribusi kekayaan negara dan realisasi persamaan dan keadilan social. Keempat, mobilisasi massa melawan sikap apatis dan kelesuan.

3) Berpegang kepada analisis ilmiah dengan menawarkan for-mulasi-formulasi solusi realitas gradual tetapi pasti.

4) Terbuka terhadap keragaman pendapat dan pola pikir. 5) Merealisasikan sikap tersebut secara praktis. Tidak ada per beda-

an antara peneliti dan pejuang, antara orang alim dan praktisi.78 h. Hermeneutika al-Qur’an yang mengungkap kondisi sosial mufasir. Keadaan sosial mufasirlah pada akhirnya yang menentukan corak

model tafsir. Keragaman penafsiran disebabkan keragaman kondisi sosial para mufasir bersangkutan. Setiap mufasir mempunyai kelas sosial tersendiri dan setiap tafsir mengungkapkan kecenderungan masing-masing mufasirnya. Hal itu disebabkan beberapa faktor ter-tentu.79 Faktor-faktor penentu sikap mufasir yang menyeluruh adalah hal-hal sebagai berikut:

1) Sikap mufasir terhadap realitas, apakah ia setuju atau mem-berontak, apakah ia mengambil sikap adaptatif dan menjilat atau membawa misi dan tanggung jawab untuk membimbing umat.

2) Apakah ia merupakan bagian dari struktur politik yang banyak mengambil keuntungan darinya atau berada di luar struktur dan tidak terikat dengannya, apakah ia seorang aparat peme-rintah atau penduduk sipil, mengambil “sesuatu” dari negara atau memberi kepadanya, apakah dipaksa negara untuk tunduk terhadap aturannya atau sebaliknya, memperjuangkan kemer-dekaannya.

78 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 109-111.79 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 111-112.

Page 129: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

115Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

3) Apakah ia berasal dari kelas sosial terhormat atau dari kelas sosial yang rendah, apakah ia memperjuangkan kepentingan kelas atau kelompok tertentu atau menyuarakan kemaslahatan kaum muslimin dan memperjuangkan harkat hidup mereka.

4) Apakah ia mencari kehormatan, kedudukan, popularitas dan harta atau mengutamakan kesederhanaan, membela kepen-tingan umat, kesucian dan berkarya demi Allah semata. Apakah mereka mencari popularitas di dunia atau menginginkan ke-abadian dalam sejarah.80

Dengan demikian, dengan hermeneutika al-Qur’annya berharap dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi umat Islam sekarang. Hermeneutika al-Qur’an yang digagasnya bukan meru pakan hermeneutika yang lahir dari kehampaan melainkan yang sesuai dengan kemaslahatan umat, kebutuhan kaum muslimin dan problematika manusia kontemporer. Dari beberapa karak-teristik di atas juga nampak bahwa hermeneutika bertumpu kepada analisis sosial yang terfokus pada kebutuhan subyektifitas masya-rakat. Sebagai konsekuensi logis dari pemikirannya, banyak kritikan yang dilontarkan terhadapnya seputar masalah ini.

2. Kritikan Terhadap Pemikiran Pemikir tafsir kontemporerHermeneutika al-Qur’an sosial yang bersifat spesifik, tematik, temporal, realistis tidak luput dari kritik. Hermeneutika al-Qur’an sosial dianggap berbahaya atau menyeret kepada bahaya dan akan menjebak dalam ke-raguan dan dugaan-dugaan. Hermeneutika al-Qur’an sosial dianggap menyeret kepada bahaya berupa sekulerisme, ateisme, marxisme, dan westernisme.

Kritikan yang ditampilkan di sini di antaranya yang dilontarkan oleh Wan Mohd Nor Wan Daud, seorang Guru Besar di ISTAC Malaysia yang menyoroti penggunaan hermeneutika yang datang dari Barat sebagai metode penafsiran untuk al-Qur’an. Kritikan Ali Harb, seorang pemikir

80 Tawaranberupa tafsir ijtimâ’î ini disarikan dari Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7. hlm. 102-112.

Page 130: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

116 Dr. Adang Kuswaya

asal Libanon ditekankan pada pemikiran-pemikiran yang mengarah pada ateisme, marxisme dan sekulerisme. Nasr Hamid Abu Zaid, pemikir asal Mesir yang memfokuskan kritiknya kepada interpretasi idiologis atas teks-teks keagamaan.

Menurut Wan Mohd. Wan Daud, ‘Ulum al Tafsir’ atau ilmu penaf-siran al-Quran sangat berbeda dari hermeneutika Barat atau ilmu penafsiran kitab-kitab Yunani, Kristen atau tradisi yang datang dari agama lain. Dasar yang sangat fundamental dari perbedaan-perbedaan itu ter-letak pada konsepsi tentang sifat dan otoritas teks serta keotentikan dan kepermanenan bahasa dan pengertian kitab suci itu. Menurutnya, pandangan mendasar ini merupakan kritikan yang ditujukan tidak hanya kepada tetapi juga kepada modernis atau post-modernis lainnya seperti M. Arkoun, A. Karim Soroush dan pemikiran Fazlur Rahman.81

Menurut Wan Daud, umat Islam secara universal mengakui al-Qur’an sebagai kata-kata Tuhan yang diwahyukan secara verbatim kepada Nabi, dan banyak yang menghafal dan menulis ayat-ayatnya ketika Nabi hidup. Adanya berbagai variasi bacaan al-Qur’an telah diketahui dan diakui oleh orang-orang terdahulu yang berwenang sebagai tidak penting: semua itu berbeda hanya dalam kata-kata yang mengandung pengertian yang sama.8210 Sebaliknya, orang-orang Yunani, seperti juga orang-orang Hindu tidak pernah mempercayai sabda Nabi atau wahyu. Pandangan keagamaan, tradisi dan adat istiadat orang Yunani ke-banyakan berdasarkan pada mitologi dan puisi, khususnya puisi Homer dan Hesiod, dan pada spekulasi filosof-filosof mereka yang bermacam-macam.83

81 Wan Mohd Nor Wan Daud,”Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah”, dalam Majalah Islamia No.1 Maret 2004. Jakarta: Khairul Bayan, 2004, hlm. 54-69.

82 Wan Mohd Nor Wan Daud,”Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah”, dalam Majalah Islamia No.1, hlm. 55; lihat penelusurannya dalam Abu Ja’far Ibn Jarir Thabari, Jami’al Bayan fî Ta`wîl al-Qur’an, hal. 17-21. Menurut Wan Daud diskusi yang masih baru dan baik tentang masalah yang berkaitan dan yang mendukung pendapatnya, lihat Adrian Brokett, “The Values of Hrfs and Warsh Transmissions for the Textual History of the Qur’an”, dalam Rippin, ed, Approaches to The History of the Interpretation of the Quran, hal. 31-45.

83 Wan Mohd Nor Wan Daud,”Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah”, dalam Majalah Islamia No.1, hlm. 55. Bandingkan dengan Jean-Pierre Vernant, “Greek Religion”, terjemahan A. Marzin, Encyclopedia of Religion, ed. M. Eliade (New York: Macmillan Publising Co., 1986), Selanjutnya disingkat ER, 6: 99-116

Page 131: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

117Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

Penafsiran-penafsiran mitologi dan puisi menurut Wan Daud boleh jadi sangat subyektif atau ditentukan oleh kondisi politik ke-agamaan yang berlaku. Metode terpenting yang digunakan secara alami adalah metode kiasan (allegory), suatu tradisi di Yunani yang di prakarsai oleh Theagenes dari Rhegium (Abad ke 6 SM). Penafsiran kiasan (allegorical interpretation), umumnya melibatkan penolakan literer atau meninggalkannya sama sekali. Bible berbahasa Hebrew (materi-materi yang membentuk Perjanjian Lama), menurut para cendekiawan mereka, tidaklah dibangun sepenuhnya atas dasar ilmiah hostoris yang menun-juk kan keasliannya, tapi berdasarkan pada keimanan belaka. 84

Tafsir adalah kata benda infinitif yang diderivasikan dari kata kerja transitif fassara yang, menurut leksikolog Arab klasik, berarti menemukan, mendeteksi, mengungkapkan, memunculkan atau membuka sesuatu yang tersembunyi, atau membuat sesuatu menjadi jelas, nyata, atau gamblang, menerangkan, menjelaskan atau menafsirkan. Menururt Wan Daud pe-ngertian Tafsir telah mapan bahwa ia berusaha memberikan arti melalui bukti nyata atau eksternal (dalalah zahirah) sebagai bandingan dari bukti

84 Wan Mohd Nor Wan Daud,”Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah”, dalam Majalah Islamia No.1, hlm.56. Selanjutnya Wan Daud memberikan keterangan yang dikutip dari Soggin yang menyatakan bahwa, “teks Hebrew yang sekarang berada di tangan kita memiliki satu kekhususan: meski usianya yang cukup lama, ia datang kepada kita dalam bentuk manuskrip-manuskrip yang agak terlambat, oleh sebab itu dengan perjalanan waktu (lebih kurang hingga seribu tahun) telah banyak berubah dari aslinya….tidak ada satupun dari manuskrip-manuskrip itu yang (datang) lebih awal dari abad kesembilan Masehi”. Perhatikan kutipannya dari J. Alberto Soggin, Introduction to the Old Testament; From its Origin to the Closing of the Alexandrian Canon, London: SCM Press Ltd., 1976, hlm. 18-19. Sehubungan dengan kitab Perjanjian Lama (Old Tesment), Wan Daud menyimpulkan keterangan yang disampaikan oleh George Buchanan Gray yang menyatakan bahwa, meskipun perbedaan-perbedaan itu tidak lagi wujud, namun kesalahannya tetap tersembunyi, dan jika ada kesalahan yang seperti itu ia dapat dikoreksi hanya dengan pembetulan spekulatif (yang bahayanya) sudah terkenal dan jelas. Kitab Perjanjian Baru juga mempunyai masalah yang sama dengan Bible Hebrew. Kitab-kitab ini, khususnya gospel, ditulis setelah zaman Yesus dalam bahasa Yunani, yang dia sendiri sangat tidak mungkin berbicara dengan bahasa itu (dikutip oleh Wan Daud dari A. Steward, “Bible”, A Dictionary Of the Bible, 5 jilid, edisi 1910, disunting oleh J. Hastings, Selanjutnya disingkat DOB 1:287; juga A. Daniel Frankforter, A History of the Christion Movement Chicago: Nelson-Hal, 1978, hlm. 12). Lagi pula, menurut Wan Daud, hal ini diakui oleh pihak yang berwenang dan terkenal dalam Kristen bahwa tujuan penulisan gospel tidak untuk menulis sejarah yang obyektif tapi untuk tujuan-tujuan penyebaran agama Nasrani (evangelisme), yang sebagiannya mengakibatkan kepada penafsiran-penafsiran allegoris yang berlebihan (dikutip Wan Daud dari Frankforter, A History of the Christian Movement. hlm. 10; juga J. Schmid, “Biblical Exegeses: Historical Survey dalam Karl Rahner, ed., Encyclopedia of Theology; The Concise Sacramentum Mundi New York:Crossroad, 1989, hlm. 117-123).

Page 132: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

118 Dr. Adang Kuswaya

internal atau tersembunyi (dalalah batinah) yang terkandung dalam ta’wil atau interpretasi yang lebih mendalam.85

Menafsirkan al-Qur’an tanpa memiliki ilmu pengetahuan yang memadai adalah identik dengan membuat penafsiran sesuai dengan pendapat pribadi seseorang (tafsir bi-l-rayi) yaitu yang dilarang, tanpa mempertimbangkan apakah hasilnya itu benar atau salah. Suatu hadith Nabi seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas mengatakan: “Barang siapa berbicara tentang al-Qur’an sesuai dengan pendapat pribadinya (bi’rayihi), dipersilahkan untuk mengambil tempat duduknya di neraka”. Seperti diriwayatkan oleh Jundub, Nabi juga mengatakan: “Barang siapa berbicara menurut pendapat pribadinya tentang al-Qur’an dan ia benar adalah (tetap) salah”.86

Menurut Wan Daud karena hermeneutika merupakan ilmu yang belum final sehingga apabila digunakan pun sebagai metode penafsiran maka akan tetap menemui jalan buntu. Fakta ini menurutnya seperti diakui oleh Josep Schmid yang menyatakan bahwa solusi problem-problem tentang historisitas dan pemahaman kitab suci Yahudi dan Kristen me-nemui jalan buntu yang harus dijawab oleh generasi mendatang dengan bukti-bukti dan argumentasi yang lebih baik. Demikian juga, menurut Wan Daud, hal ini telah diakui oleh Anton Vogtle, seorang ahli dalam bidang hermeneutika Bible yang menyatakan bahwa persoalan tentang prinsip penafsiran yang valid dan konsisten untuk Perjanjian Lama dan Baru, serta penafsiran hukum secara keseluruhan, masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut.87

Wacana pemikiran juga menuai berbagai kritikan. Kritikan terhadap pemikiran ditulis Ali Harb dalam bukunya Naqd al Nash. Isi kritikan

85 Wan Mohd Nor Wan Daud,”Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah”, dalam Majalah Islamia No.1, hlm. 58-59. Bandingkan dengan kutipannya dari Jalaludin al Suyuthi, Al Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, hal. 381-382; juga al Jurjani, al Ta’rifât, 1983, hal. 43 dan 55

86 Wan Mohd Nor Wan Daud,”Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah”, dalam Majalah Islamia No.1, hlm. 59. Bandingkan dengan Ibn Jarir al Thabari, Jâmi’ al Bayân, hal 34-35; juga al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulûm al-Dîn, terjemahan M.A. Quasem, The Recitation and Interpretation of the Qur’an: Al-Ghazali’s Theory (London, Boston and Melbourne: Kegan Paul International Ltd., 1982), hlm. 86ff.

87 Wan Mohd Nor Wan Daud,”Tafsir dan Ta’wil Sebagai Metode Ilmiah”, dalam Majalah Islamia No.1, hlm.58 Bandingkan dengan Anton Vogtle, “Biblical Hermeneutics”, dalam Karl Rahner (editor), Dictionary of Theology, hlm 116.

Page 133: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

119Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

tersebut seputar anggapannya bahwa sudah terjebak kepada ateisme, westernisme, marxisme dan sekulerisme.

Menurut Ali Harb, dengan sangat berani mengaja untuk meng-alihkan fokus kajian dari Allah dan rasul yang menjadi pusat kajian ilmu kalam dalam pengetahuan tradisional menuju manusia yang sekarang sudah seharusnya menjadi obyek kajian. Karena filsafat harus menarik diri dari wilayah ketuhanan dan kenabian dalam sebuah dramatika, supaya manusia dengan akal, kemauan, logika, dan percobaannya, dapat memposisikan dirinya sendiri. Bagi kenabian sudah berakhir, tetapi akal dengan sendirinya mampu mencapai tingkat keyakinan dan me-realisasikan risalah kemanusiaannya tanpa ada campur tangan kekuatan luar atau kekuatan yang dipersonifikasikan.88

Para pendahulu ketika akan memulai sebuah penulisan penge-tahuannya, dengan segala premis-premis keimanan maka dimulainya dengan Bismillâh alrahmân alrahîm. dengan berani dan tanpa rasa takut, memulai bukunya Min al Aqîdah Ilâ al Tsaurah, dengan mengatasnama-kan bumi, rakyat, masyarakat, kebangkitan, umat manusia dan segala yang ada di muka bumi. Menurut Harb, dengan hanya bersandar pada nalar kemaslahatan dan pembumian nalar realistis (al ta`shîl al’aqlî al waqi’î), dia berusaha menggabungkan antara sekte-sekte bukan mem-bedakannya, seperti yang pernah dilakukan oleh para pendahulu. Para ulama terdahulu menulis buku-buku atas permintaan para penguasa dan raja-raja atau setelah meminta petunjuk Tuhan. Menurut Ali Harb, dalam menulis bukunya tidak berdasarkan pada petunjuk siapapun melaikan, untuk menjaga kemaslahatan umat dan persatuaan mereka dengan me-nuangkan gagasan dan pikirannya.89

Dalam pengantarnya itu, dinyatakan bahwa kemajuan merupakan substasi kesadaran kemanusiaan dan gerak laju perkembangan; bahwa manusia dengan nalarnya yang mandiri dan kehendaknya yang bebas mampu menyambung laju gerak sejarah, dan dengan usahanya mampu meneruskannya sampai mewarisi kenabian dan para Nabi. Dengan

88 Ali Harb, Naqd al Nash, Beirut: Markaz al Tsaqafi al ‘Arabî, 1993. hlm. 28.89 Ali Harb, Naqd al Nash, hlm. 29.

Page 134: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

120 Dr. Adang Kuswaya

wacana seperti itu, menurut Ali Harb, maka telah menciptakan sistem berpikir yang memusatkan perhatiaannya pada pembacaan wahyu dan penafsiran teks kemudian menjauhi konsep-konsep keimanan yang umum yang terdapat dalam wacana keislaman, seperti Allah, wahyu, kenabian, teks, syari’at, dan akidah, sesuai dengan konsep-konsep modern, ke-sadaran, perkembangan, kemajuan, sejarah, revolusi dan masyarakat. Sampai di sini, menurut Ali Harb tampak bahwa telah terjebak dalam ateisme, liberalisme dan sekulerisme.90

Selanjutnya Ali Harb juga mengkritik bahwa telah terjebak kepada westernisme. telah memporak-porandakan konsep tradisionalis tentang kebenaran sebagai bentuk kesesuaian antara subjek dan objek. Maka, mekanisme wacana dan pemberlakuannya memiliki andil besar dalam memproduksi kebenaran, tepatnya sebagaimana keinginan (al hawa) mem-binasakan kesadaran (alwa’yu).91

Menurut Ali Harb ketika seseorang hendak menundukan Barat dengan kajian oksidentalnya, maka dengan segenap pikiran dan penge-tahuan akan terkena imbas pemikirannya atau menjadi hasil produknya. Singkatnya, ketika hendak mengkaji dan meneliti Barat maka wacana yang dihasilkannya tampak seperti pemikiran ala Barat.92 Oleh karena itu, menurut Ali Harb bahwa telah terjerumus kedalam pembaratan, westernisasi, dalam pengertian orientalisme yang berbalik. Singkatnya, berasumsi bahwa mengkaji gagasan Barat membawa kepada prediksi peristiwa agung yaitu pembebasan dari Barat, yang sebenarnya peristiwa tersebut tidak akan terjadi.93

Kritikan lainnya datang dari Nashr Hamid Abu Zaid dalam buku-nya Naqd al Khithâb al Dînî yang berkenaan dengan metodologi yang di-pakai Pemikir tafsir kontemporer. Nashr Hamid mengkritik tentang

90 Ali Harb, Naqd al Nash, hlm. 53.91 Ali Harb, Naqd al Nash, hlm.46.92 Ali Harb, Naqd al Nash, hlm. 46.93 Ali Harb, Naqd al Nash, hlm.47. Pengetahuan (ilmu) itu merapikan kondisi

sesuatu dan bukan mengumandangkan kehadiran sebuah peristiwa. Batasnya adalah filsafat yang dengan kemampuannya dapat berbuat demikian. Di sini,tidak hanya berbicara sesuai dengan posisi para filosof yang dibicarakannya, namun juga posisi dunia, yakni dengan menggunakan bahasa orang yang meneliti dalam arti bahwa wacana bukan sekedar pemberitahuan tentang ramalan (Ali Harb, Naqd al Nash, hlm. 47).

Page 135: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

121Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

argumen historisitas pemahaman sebagai pembenaran terhadap ideo-logi sasi teks dan menganggap pemikiran ini telah terjebak dalam al talwin, yakni kegiatan menafsirkan teks secara ideologis dengan keluar batas-batas yang diizinkan bahasa. Al talwin juga mengaburkan per be-daan antara makna teks sebagai mana dimaksud pertama kali dengan arti yang dikonstruksi dalam situasi sosial yang baru. Hal ini tentu akan menimbulkan beberapa kekhawatiran berkaitan dengan problem metodologis yakni ideologisasi teks dan akibat sosiologis yang ber-bahaya seperti munculnya konflik horizontal dan vertikal akibat perang penafsiran al-Qur’an, sekalipun atas dasar klaim fungsionalitas teks dalam masyarakat.94

Kritikan di atas umumnya menyoroti masalah sikap dan pengguna-an metode yang dipakai oleh Pemikir tafsir kontemporer. Penggunaan metode hermeneutika sebagai ilmu penafsiran yang datang dari Barat. Westernisme, karena ia mempunyai sifat-sifat westernistik sebagaimana yang telah berkembang di Barat seperti gerakan sekulerisme, marxisme, rasionalisme, kebebasan, naturalisme dan demokrasi.

Sekulerisme, karena hermeneutika al-Qur’an social berangkat dari realitas kaum muslimin dan tidak berangkat dari agama; ateisme karena tidak mengarah kepada tema-tema keagamaan yang mandiri dari ke-tentuan-ketentuan social, tidak menggarap tema-tema tentang Allah, iman, hari akhir tetapi bahkan menggarap tema-tema pembebasan bumi, kemerdekaan, demokrasi, kesetaraan, keadilan sosial dan pemberdayaan masyarakat.

Marxisme, karena ia berangkat dari permasalahan sosial dan meng-hadapi masalah-masalah kemerdekaan nasional kesetaraan, keadilan sosial, pembebasan dari tiranisme dan otoritarianisme, dan pemberdaya-an masyarakat.

3. Jawaban terhadap Berbagai KritikanTuduhan-tuduhan di atas lebih merupakan dugaan-dugaan awam, seperti yag disampaikan oleh Hassan Hanafi, karena ketakutan mereka terhadap

94 Nashr Hamid Abu Zaid, Naqd al Khitâb al Dînî, Kairo: Sînâ al Nasyr, cet. Ke-2.1994 hlm.148-149.

Page 136: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

122 Dr. Adang Kuswaya

goresan kebudayaan Barat dalam negeri Muslim dan terhadap paham-paham kemajuan sehingga yang tersisa dalam masyarakat Muslim adalah konservatisme –taqlidiyah- yang menyibukan diri dalam sistem yang menjaga keselamatan sistem itu sendiri dan mengabaikan kemaslahan masyarakat.

Dikatakan bahwa manhaj ijtimâ’î mengandung dan mengundang sejumlah kekhawatiran dan bahaya atau sering dilontari beberapa tuduhan dan kecurigaan. Padahal, semua itu hanya kecurigaan dan prasangka buruk yang melekat pada benak orang-orang awam sebagai propaganda media massa dan kebudayaan asing (Barat) yang senantiasa menakuti dari tema kemajuan.95 Sebagai akibatnya, pemahaman umat Islam ter hadap agama tetap kolot, konservatif dan tertutup. Hal itu pula dengan mudah umat dieksploitasi oleh rezim yang berkuasa demi kepentingannya melawan kepentingan-kepentingan rakyat. Kekhawatiran-kekhawatir an yang sering dilontarkan itu antara lain:

Pertama, Sekuralisme96. Tuduhan ini disebabkan karena manhaj ijtimâ’î bermula dari realitas kaum muslimin dan tidak dimulai dari wacana agama; tenggelam dalam problematika dunia dan menganggap ajaran akidah sebagai pandangan dunia (world view) dan motivator gerak (perilaku) serta tidak menjadikan Islam sebagai pengayom kaum muslimin, bukan sebaliknya.

Sebenarnya sikap seperti ini bukanlah sekularisme. “Sekuralisme” merupakan bahasa Barat murni yang menggambarkan masalah murni Barat, yaitu penolakan terhadap kekuasaan kaum agamawan. Islam pada hakekatnya sejak semula merupakan agama sekuler sebab ia tidak me-ngenal kata “penguasa agama”.97

95 Beberapa kekhawatiran, sanggahan dan jawaban dariini dapat dilihat di buku Hassan Hanafi, Islam in The Modern World, vol. I, hlm. 507 – 509; Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 113 – 115.

96 Sekuralisme berasal dari bahasa Latin, saeculum artinya dunia abad. Sekularisme berarti paham atau ajaran yang berkaitan dengan benda-benda yang tidak dianggap sakral, jauh dari bermuatan keagamaan (Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1966, hlm. 980).

97 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 112.

Page 137: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

123Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

Kedua, Ateisme98. Tuduhan ini karena manhaj ijtimâ’î tidak me nyentuh tema-tema agama dan terlepas dari situasi dan kondisi sosial. Ia tidak berbicara soal Allah, iman kepada malaikat, hari akhir dan sebagai nya. Ia hanya berbicara tentang pembebasan tanah, kebebasan, demokrasi, persamaan keadilan sosial dan pemberdayaan rakyat99. Kata ateisme juga sebenarnya merupakan istilah Barat murni, yang tujuannya adalah kembali ke alam dunia dan menyingkap alam indrawi dan nyata setelah sebelumnya mereka didominasi oleh praktek dan budaya agama-agama yang telelap dalam percaturan tentang alam gaib dan rahasia-rahasianya.100

Islam sejak mulanya merupakan agama yang berdasar atas indera, alam nyata dan sejalan dengan tradisi. Dalam Islam tidak ada rahasia-rahasia atau hal-hal gaib yang bertentangan dengan akal, tidak ada alam-alam akhirat yang terpisah dari dunia atau ruh yang terpisah dari materi.101

Ketiga, Marxisme102. Tuduhan ini disebabkan karena manhaj ijtimâ’î berangkat dari problem-problem sosial yang dihadapi manusia. Tafsir ini membicarakan pembebasan negara dari imperialis asing, persamaan, keadilan sosial, pembebasan dari segala bentuk tirani dan pemaksaan, pemberdayaan rakyat, membangkitkan kekuatan sosial, perjuangan sosial dan fase-fase sejarah, serta pentingnya unsur-unsur (kecenderungan) material dalam menafsirkan perilaku individu dan masyarakat khalayak.103

Sebenarnya sikap seperti ini bukanlah marxisme. Bukankah para pemikir klasik, seperti para pakar ushul fiqh telah membahas unsur-unsur materi yang mempengaruhi perilaku (individu dan masyarakat)?

98 Bahasa Inggrisnya atheism. Istilah ini berasal dari kata Yunani atheos (tanpa Tuhan) dari a (tidak) dan theos (Tuhan). Ateisme ini mempunyai beberapa pengertian. Di antaranya adalah tidak adanya keyakinan akan Tuhan yang khusus (orang-orang Yunani menyebut orang-orang Kristen ateis karena tidak percaya dewa/dewi mereka. Dan orang-orang Kristen menyebut orang-orang Yunani ateis karena tidak percaya kepada Tuhan mereka). Selanjutnya baca Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1996, hlm. 94-96.

99 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 112. 100 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 112. 101 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 113.102 Mempunyai beberapa pengertian diantaranya adalah kritik terhadap Kapitalisme

(meskipun sering keliru) yang melanjutkan dasar filosofis materialisme dialektis dan historis. Menurut pandangan ini sejarah manusia merupakan sejarah perjuangan kelas dari negara hanya alat yang digunakan kelas yang berkuasa untuk menindas seluruh oposisi (Lorens Bagus, Kamus Filsafat , hlm. 572-575).

103 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 113.

Page 138: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

124 Dr. Adang Kuswaya

Kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang yang pertama memeluk Islam berasal dari kaum budak, kaum miskin, dan fakir juga orang-orang terlantar. Mereka dalam Islam menemukan kebebasan, keadilan dan persamaan. Islam telah membebaskan mereka dari rasa takut, tiran dan kesewenang-wenangan para pemuka kota Mekah dan kaum kaya. Islam telah mempersenjata kaum muslimin untuk membebaskan manusia dari penyakit thâ’ûn (tamak).104

Keempat, Westernisme105. Selama manhaj ijtimâ’î memiliki sifat-sifat seperti ini, maka ia sama seperti gerakan-gerakan yang pernah terjadi di Barat, yaitu gerakan Sekularisme, Atheisme, Marxisme, Rasionalisme, Liberalisme, Naturalisme dan Demokrasi. Yaitu gerakan yang menumpas kecendurangan keberagamaan yang artifisial, Iman, Rohaniyah, Ilhamiyah, Ghaibiyah, dan tunduk kepada penguasa.106

Sebenarnya perjuangan Barat107 pada abad modern melawan tirani intelektual dan agama pada zaman pertengahan. Perjuangan mereka di-tebus dengan darah ilmuwan dan para pemikir. Hal ini mirip dengan perjuangan yang didengungkan oleh Islam dan dasar-dasar ajarannya yang telah diformulasikan secara sempurna selama 14 abad.

Sesungguhnya Islam telah meramu semua dasar kebangkitan ini dalam wahyu. Islam mengakui sastra dan agama-agama terdahulu dengan mengingkari dominasi para agamawan, kependetaan dan lembaga-lembaga keagamaan. Islam menjadikan manusia berhubungan langsung antara dirinya dengan Tuhannya tanpa perantara, manusia adalah khalifah Allah yang ada di muka bumi.108 Islam memberi akal kekuasaan atas segala sesuatu, membangun masyarakat Islam atas dasar-dasar ke-bebasan, keadilan dan persamaan. Islam merangkai aturan-aturan alam

104 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 114. 105 Westernisme berarti ajaran yang berkiblat ke Barat atau berhaluan ke Barat.

Lihat Dept. Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 1129.

106 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 114. 107 Barat telah memulai kebangkitannya pada abad ke-14 dengan menghidupkan

kembali turats klasiknya, pada abad ke-15 dengan reformasi agama, dengan Renaissance pada abad ke-16, dengan Rasionalisme abad ke-17, dengan pencerahan abad ke-18, dengan ilmu dan revolusi industri abad ke-19, dengan humanisme dan revolusi teknologi pada abad ke-20 (Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 114).

108 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 114.

Page 139: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

125Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

dan kemampuan manusia untuk menguasai dan mendayagunakannya demi kemanfaatan mereka di dunia. Manusia dalam pandangan Islam merupakan tema sentral alam semesta dan bentuk (ujud) nyata dalam wujud semesta ini.109

Dalam kaitannya dengan hermeneutika al-Qur’an, memilih untuk berangkat dari tradisi ushul fiqh. Hal itu karena terdapat keterkaitan erat antara hermeneutika al-Qur’an dan dengan metodologi fiqih klasik, karena fiqh berusaha untuk merumuskan hukum dan menghadapi realitas sosial yang selalu berkembang. Beberapa konsep dalam ushul fiqh, seperti maqasid al syar’iyah, mashalih al ummah, nasikh, dan asba al nuzul,membentuk model hermeneutika al-Qur’an pemikir tafsir kontemporer. Naskh dan asbab al nuzul memang lebih dikenal dalam ulum al-Qur’an tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa para fuqaha menggunakannya pula dalam me-naf sirkan al-Qur’an untuk penyelesaian suatu masalah secara realistis.

Karakteristik yang sangat jelas dari hermeneutika al-Qur’an ini adalah relatifitasnya. mendudukan tafsir sebagai bersifat manusiawi dan sesuai dengan eksistensi manusia. Hermeneutika al-Qur’an tidak ber-pretensi untuk melahirkan penafsiran abadi, karena hal itu mustahil dan tidak berguna untuk menjawab realitas masyarakat yang selalu ber-kembang. Hal inilah nampaknya yang membuat Hermeneutika al-Qur’an berseberangan dengan kebanyakan kaum muslimin.

C. APLIKASI HERMENEUTIKA AL-QUR’AN

Mengaplikasikan hermeneutika al-Qur’annya dalam bentuk eksegetik, karya penafsirannya. Tiga tema yang dipilih dianggap oleh penulis sebagai mewakili dari tafsir kesadaran, perseptif (tafsir al syu’ûrî) yaitu tafsir yang men deskripsikan manusia, hubungan dengan manusia lain dan tugas nya di dunia. Tiga tema yang dipilihi juga sebagai implementasi dari tiga batasan wilayah dalam hermeneutika al-Qur’an yaitu manusia me nya dari dirinya, hubungan manusia dengan sesamanya, hubungan manusia dengan alam.

Untuk menunjukkan relevansi dan menariknya dari penafsiran tematik tiga contoh konsep dari Hassan Hanafi akan diberikan sebagai

109 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 114.

Page 140: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

126 Dr. Adang Kuswaya

berikut: Manusia: Tubuh Kebutuhan Materil, Tindakannya di Dunia (“Human: Body, Material Needs, Action in World”), tulisan yang dimuat dalam dua bukunya Islam in the Modern World Vol. 1 dan Dirasât Islâmiyah; Konsep Harta dalam al-Qur’an (“al Mâl fî al-Qur’an”) tulisan yang dimuat dalam bukunya al Dîn wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981. Vol. 7; dan Teologi Tanah (“Theology of Land An Islamic Approach”) tulisan yang dimuat dalam dua bukunya Islam In the Modern World Vol. 1 dan Religious Dialogue and Revolution.

1. Konsep Manusia dalam al-Qur’an Manusia: Tubuh, Kebutuhan material, Tindakan di dunia.

Manusia digambarkan sebagai fenomena alam. Mereka memiliki tubuh, kebutuhan material dan tindakan di dunia. Seorang manusia adalah sebuah tubuh yang terdiri dari darah, tulang dan daging, ia diberi-kan seperti kaki, tangan, kepala, dada, pinggang, leher dan bagian depan. Bagian-bagian kepala selalu disebutkan seperti mata, hidung, telinga, lidah, tenggorokan, bibir serta dagu.110

Bagian-bagian internal dari tubuh seperti hati, perut, isi perut dan eksternal seperti kuku, kulit dan rambut. Pembentukan genetik dari tubuh di dalam rahim ibu atau di luarnya digambarkan sebagai ciptaan Tuhan. Penggambaran ini tidak hanya bertujuan biologis, tetapi untuk menghubungkan tubuh dengan kebutuhan manusia dan dengan ke-dudukan manusia di dunia.111

Darah disebutkan sebanyak 10 kali untuk menunjukkan makanan haram, pembunuhan atau hukuman. Tetapi manusia memiliki peran yang konstruktif di bumi, yaitu untuk hidup dan bukan untuk mematikannya.

110 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, Kairo: Dar Kba, 2000 hlm. 391. 111 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 392. Bandingkan

dengan Musa Asy’arie (53 th) Guru Besar di IAIN (sekarang UIN) Jogjakarta dalam bukunya Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur’an, ia menjelaskan bahwa kata basyar, manusia dalam al-Qur’an dipakai untuk tunggal dan jamak. Kata basyar ini disebutkan 36 kali dalam 36 ayat. Kata basyar yang tersebut dalam al-Qur’an dipakai untuk menyebut manusia dalam pengertian dimensi fisiknya. Pengertian basyar tidak lain adalah manusia dalam kehidupannya seharu-hari, yang berkaitan dengan aktifitas lahiriahnya yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya seperti makan, minum, bersetubuh dan akhirnya mati mengakhiri kegiatannya. Lihat Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: LESFI, 1992 hlm. 22-35.

Page 141: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

127Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

Tulang disebutkan sebanyak 15 kali untuk melindungi, menunjukkan juga makanan haram, umur tua tetapi pada dasarnya adalah kebangkit-an kembali dan kembali hidup.112 Bubuk (tulang yang hancur) dapat sekali lagi menjadi tulang-tulang yang hidup. Daging disebutkan se-banyak 12 kali sebagai makanan haram (babi), atau makanan halal seperti burung, ternak atau ikan laut. Daging adalah ciptaan Tuhan, di-tolak sebagai korban. Daging manusia adalah simbol penghormatan moral terhadap orang lain.113

Kepala disebutkan sebanyak 20 kali merujuk kepada rambut, sebuah tempat untuk di cuci, sebuah simbol kehidupan, perjuangan dan tindakan moral, tinggi, rendah atau tidak sama sekali. Leher raqaba, di-sebut kan sebanyak 9 kali untuk menunjukkan pembebasan budak atau tanggung jawab kepada orang lain, atau dalam artinya yang literal sebagai leher untuk dihantam dalam perang.114 Kata yang lain “’unuq” disebut-kan sebanyak 9 kali baik untuk menunjukkan perbudakan sebagai ganti pembunuhan di dalam perang, tetapi juga berhubungan dengan ke indahan dan kelembutan. Lebih jauh lagi, hal itu, berfungsi sebagai simbol dari tanggung jawab pribadi dan dari ketamakan ketika tangan diikat ke leher.115 Tenggorokan disebutkan 2 kali untuk menggarisbawahi ketegangan pada hari akhir ketika jantung akan mencapai tenggorokan. Dada yang terbuka dan tertutup disebutkan sebanyak 40 kali dengan arti kesadaran. Pinggang disebutkan sebanyak 8 kali untuk menunjukkan pembentangan pinggang untuk shalat atau untuk penyiksaan.116 Ia juga merupakan citra dari lingkungan.

Tangan disebutkan sebanyak 120 kali dalam arti literer atau figu-ratif nya, untuk menunjukkan arti kekuasaan, dominasi, kewajiban dan kedermawanan. Tangan adalah sumber dari tindakan di dalam alam. Mereka tidak dapat membunuh, menghancurkan atau melukai.117 Telapak

112 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 392.113 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 392. 114 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 392. 115 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 392.116 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 392-393. 117 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 393.

Page 142: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

128 Dr. Adang Kuswaya

tangan disebutkan 2 kali untuk menunjukkan kebutuhan manahan air, bukan menumpahkannya melalui sela-sela jari. Jari disebutkan 2 kali sebagai citra dari ketiadaan kesadaran ketika jari diletakkan di dalam telinga agar tidak mendengar.118

Paha disebutkan 5 kali untuk menujukkan tindakan lari dan mela-kukan sesuatu, serta merupakan sebuah simbol dari keindahan dan kelembutan. Kaki disebutkan sebanyak 8 kali sebagai citra dari stabilitas dan keberanian. Tubuh material tidak dimaksudkan per se, absolut, tetapi sebagai signifikansi dari bertindak di dunia.119

Bagian-bagian kepala juga ditekankan untuk menggambarkan ke-hidupan dari kesadaran. Mata disebutkan sekitar 60 kali baik di dalam arti harfiahnya sebagai sebuah organ penglihatan atau dalam arti figu-ratif nya untuk menyarankan pancaran. Mata melihat alam sebagai sebuah pancaran. Hidung disebutkan 2 kali di dalam konteks hukum balas dendam.12075 Telinga disebutkan sebanyak 18 kali baik di dalam hu bungannya dengan ketulian atau belajar atau untuk menggarisbawahi pelarangan penyembelihan hewan. Lidah disebutkan sebanyak 25 kali untuk menunjukkan bahasa, kefasihan, kesaksian, ketulusan dan kehi-dupan dari kesadaran di dunia.121 Bibir disebutkan 1 kali dengan mata dan lidah sebagai organ untuk melihat dan mengucap. Tenggorokan di-sebutkan 2 kali untuk menunjukkan ketegangan dari saat-saat terakhir ketika jantung menyampaikan ancamannya ke tenggorokan. Dagu disebut kan 3 kali sebagai simbol untuk menunduk baik karena keseder-hanaan ataupun karena paksaan.122 Dahi disebutkan 2 kali, sujud sebagai simbol dari ketaatan dan penyiksaan. Tubuh manusia digunakan sebagai bahasa manusia untuk menunjukkan kedudukan manusia di dunia.123

Dari bagian-bagian internal seperti hati dan perut. Hati adalah simbol dari aktifitas dan perjuangan dalam hidup. Perut disebutkan 16 kali untuk menunjukkan hewan yang melata, perut dari ikan paus Yunus as, perut

118 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 393.119 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 393. 120 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 393. 121 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 393. 122 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 393-394.123 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 394.

Page 143: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

129Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

di mana manusia diciptakan. Apa yang penting adalah apa yang masuk dalam perut di dalam arti pencernaan (stomach)124, makanan baik yang halal seperti madu dan susu atau makanan buruk yang haram seperti air mendidih, kayu kering dan makanan pahit. Dari aspek eksternal tubuh, kuku, kulit dan rambut disebutkan. Kuku disebutkan 1 kali, merujuk kepada hewan sebagai makanan yang haram menurut hukum makanan dalam agama Yahudi.125 Kulit disebutkan 9 kali merujuk kepada kulit hewan untuk digunakan manusia dan kulit manusia sebagai tempat dari sistem syaraf dan hasrat, siksaan dan ketakutan manusia terhadap Tuhan. Rambut disebutkan 1 kali merujuk kepada wol berserat lembut dan rambut digunakan untuk manusia.

Dengan demikian, manusia dibut dari bahan-bahan alam. Ia bukan merupakan jiwa murni seperti makaikat. Itulah kenapa tindakannya di dalam alam harus memuskan tubuh materialnya. Mencari sumber-sumber alam dengan demikian merupakan kebutuhan manusia, karena tubuh manusia adalah penampakan yang pertama dari manusia.126

Kebutuhan material adalah seperti: makan, minum, pakaian dan perumahan. Makan disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 117 kali, 30 kali untuk makanan haram dan 87 kali untuk makanan halal yang menun-jukkan ketakbersalahan alam. Memberikan makan disebutkan sebanyak 42 kali menunjukkan bahwa makanan adalah hak asasi manusia untuk setiap orang.127 Tuhan adalah Dia yang memberikan makan keamanan.128 Rasa lapar disebutkan dalam al-Qur’an 5 kali yang menunjukkan bahwa rasa lapar adalah neraka dan kepuasan adalah surga. Rasa lapar, ketakutan akan kurangnya sumber-sumber adalah beberapa aspek dari penderita-an manusia.129 Minum disebutkan sebanyak 38 kali, meminum air yang dingin dan murni serta air yang tidak murni dan tercemar di neraka. Makan dan minum adalah dua perintah Tuhan kepada manusia untuk

124 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 394. 125 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 394. 126 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 394. 127 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 393. 128 Q.S. Quraisy /106: 4. 129 Q.S. Thâhâ /20: 118; Q.S. al Ghâsyiyah /88: 6-7; Q.S. al Baqarah /2: 115; Q.S.

al Nahl /16: 112.

Page 144: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

130 Dr. Adang Kuswaya

menikmati hidup dan hidup dengan cara yang alamiah tanpa melakukan kerusakan apapun di dunia.130 Pakaian disebutkan 23 kali sebagian besar dalam arti figuratifnya, berpakaian kesalehan atau ketidaksalehan, tetapi juga di dalam arti harfiahnya, yang berarti berpakaian perhiasan atau baju untuk melindungi diri.131 Rumah disebutkan sebanyak 42 kali bebe rapa di dalam arti figuratifnya yang berarti ketenangan malam, kelembutan istri, angin yang stabil dan keheningan jiwa. Yang lain di-gunakan di dalam arti harfiahnya yang mana berarti hidup di sebuah rumah di sebuah desa, di sebuah lembah, atau di daerah pedalaman. Menemukan sebuah rumah adalah hak dari makhluk hidup, baik manusia maupun hewan.132 Kata ma’wâ yang berarti tempat bernaung, menutup atau tempat berlindung disebutkan sebanyak 5 kali untuk menunjuk-kan alam sebagai sebuah tempat tinggal, misalnya manusia menemukan tempat berlindung di gua, gunung-gunung sudut atau bukit.133 Kata penuhnya adalah hidup, ma’âsy, disebutkan sebanyak 7 kali, kehidupan yang baik di surga dan kehidupan yang disumpah. Sisa penggunaannya menunjukkan kehidupan di dalam waktu dan ruang selama siang hari dan di tanah, di bumi, di kota dan desa untuk mengolah sumber-sumber alam tanpa berlebihan dalam penggunaannya.134 Hubungan antara manusia dan alam ditentukan oleh tindakan manusia di dunia. Manusia tidak boleh melakukan kerusakan apapun di bumi. Kata kerusahan fasad disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 50 kali, 11 kali sebagai kata benda (3 tak tentu dan 8 tertentu), 18 kali sebagai kata kerja dan 21 se-bagai nama dari orang-orang yang berbuat salah. Hubungan manusia dengan alam adalah sesuatu yang obyektif. Ia tidak bergantung kepada nafsu dan hasrat manusia. Tuhan mengetahui mereka yang melakukan kerusakan di bumi. Mereka akan menerima hukuman yang keras.135 Semua orang yang melakukan kerusakan di bumi binasa. Semua nabi mem-

130 Q.S. al Baqarah /2: 60.131 Q.S. al A’ râf /7: 26.132 Q.S. al Nahl /16: 80 ; Q.S. A’râf /7: 161 ; Q.S. al Isrâ /17: 104. 133 Q.S. al Kahfi /18: 10 dan 63 ; Q.S. Hûd /11: 43 dan 80 ; Q.S. Muminûn /23 : 50. 134 Q.S. al Nabâ /78: 11 ; Q.S. al A’râf /7: 10 ; Q.S. al Qashash /28: 58. 135 Q.S. al Baqarah /2: 11 dan 205 ; Q.S. al A’râf /7: 56 ; Q.S. al Rûm /30: 41 ; Q.S.

al Mu’min (Ghâfir) /40: 25.

Page 145: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

131Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

peringatkan umat mereka agar tidak melakukan kerusakan di bumi. Kerusakan di bumi adalah sama dengan menghancurkan tumbuh-tumbuhan, membunuh hewan, dan menghabiskan sumber-sumber alam. Kata berguna disebut kan dalam al-Qur’an sebanyak 49 kali, 19 kali sebagai kata benda dan 30 kali sebagai kata kerja. Kegunaan dan ke rugian adalah kriteria dari tindakan manusia di dalam alam. Mereka adalah kriteria untuk Tuhan yang benar, untuk keyakinan yang benar dan untuk kehidupan masa depan. Prinsip kemanfaatan yang maksimum dan ke madaratan atau kerugian yang minimum menjadi sebuah prinsip hukum.136 Kata kerugian disebutkan sebanyak 66 kali dengan konteks yang sama. Sebuah hukum dapat di batalkan apabila ia menyebabkan kerugian.137 Yang berguna dapat tinggal di bumi, yang tidak berguna pergi. Pengetahuan harus menjadi ber-guna. Benda, hewan dan manusia harus menjadi berguna. Manusia harus menimbang manfaan dan kerugian sebelum mengambil suatu ke putusan. Dengan demikian hubungannya dengan alam adalah sesuatu yang positif.

Dunia bagi manusia adalah sebagai lapangan tempt bertindak. Kata Dunyâ disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 115 kali di dalam bentuk tunggal tertentu, tidak memiliki hubungan dengan kata ganti kepunyaan. Walaupun 99 kali menggunakannya merujuk kepada arti negatifnya seperti keterbatasan dunia, 16 kali merujuk ke arti positif sebagai dunia tindakan.13893 Tindakan Amal disebutkan sebanyak 359 kali, 84 kali sebagai kata benda dan 275 kali sebagai kata kerja yang menujukkan pentingnya tindakan itu sendiri; 17 kali tanpa kata ganti kepunyaan dan 67 kali dengan kata ganti kepunyaan menunjukkan bahwa tindakan itu dilakukan oleh manusia, 41 kali di dalam bentuk jamak dan 43 kali di dalam bentuk tunggal yang menunjukkan signifikansi yang sama dari baik tindakan individual dan tindakan yang berkelanjutan.139 Tuhan mengetahui semua tindakan manusia dan melihat perbuatan mereka. Perbuatan ini ada dua macam: perbuatan baik yang merupakan sebuah manifestasi dari keyakinan yang baik dan perbuatan buruk yang datang

136 Q.S. al Ra’ad /13: 17 ; Q.S. Yûnus /10: 18 ; Q.S. al Haj /22: 28.137 Q.S. Yûnus /10: 106 ; Q.S. al Baqarah /2: 102. 138 Q.S. al Baqarah /2: 201 ; Q.S. al Qashash /28: 77 ; Q.S. al Zumar /39: 10. 139 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 398.

Page 146: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

132 Dr. Adang Kuswaya

dari keyakinan yang buruk. Kedua perbuatan itu merupakan tanggung jawab manusia.140 Kata sa’y disebutkan sebanyak 30 kali untuk me nun-jukkan dimensi manusia dari dunia, kerja yang menghancurkan atau kerja yang membangun.141 Dunia adalah tempat untuk berjuang, di mana tindakan di dunia memuncak. Perjuangan adalah sesuatu yang terbuka dengan hukum-hukum yang diketahui dan hasil yang pasti sebagai sejarah, dari awal sampai akhir dari dunia akan membuktikannya.142

Menurut Musa Asy’arie kata insan, basyar pada hakikatnya adalah manusia sebagai kesatuan yang membentuk kebudayaan. Kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari sisi penggunaan akal dan perbuatan manusia di tengah kehidupan bermasyarakat. Dalam setiap individu terkandung di dalamnya kapasitas sebagai insan dan basyar yang menyatu dalam aktifitas kebudayaan.143

Istilah insan disebutkan dalam al Qiran sebanyak 65 kali selalu dalam bentuk tunggal tertentu tanpa kata ganti kepunyaan yang menun-jukkan individualitasnya penggunaannya merujuk kepada asal-usul biologisnya, kepada kelemahannya tetapi juga kebebasan dan tanggung jawab.144 Komunitas, ummah disebutkan sebanyak 49 kali merujuk kepada kesatuan dan univesalitasnya, kepada pesan moral dan tanggung jawab-nya.145 Dengan visi yang seperti itu, dunia dan sebagai akibatnya alam, berada pada jantung tanggung jawab individual dan sosial. Sumber-sumber alam tidak berada di dalam keadaan kacau tanpa aturan, tetapi mereka diadakan melalui tanggung jawab manusia dan pesan moral di-

140 Q.S. al Baqarah /2: 74 dan 110 ; Q.S. Ali Imrân /3: 153 ; Q.S. al Baqarah /2: 62 ; Q.S. al Nahl /16: 34 ; Q.S. Fushshilat /41: 46.

141 Q.S. al Najm /53: 39-40 ; Q.S. al Isrâ /17: 19.142 Q.S. al Insyiqâq /84: 6. Pembahasan manusia, basyar sebagai makhluk biologis

ini disarikan dari Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 391-398. Perlu dijelaskan disini menurut Musa Asy’arie bahwa penggunaan kata insan dan basyar dalam al-Qur’an jelas menunjukkan konteks dan makna yang berbeda, meskipun sama-sama menunjuk pada pengertian manusia. Manusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal, sedangkan kata basyar menunjuk pada manusia yang berbuat sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian maretial seperti yang terlihat pada aktifitas fisiknya (Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam al-Qur’an, hlm. 34).

143 Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam al-Qur’an, hlm. 35. 144 Q.S. al Isrâ /17: 13 ; Q.S. al Qiyâmah /75: 14-15.145 Q.S. al Baqarah /2: 134.

Page 147: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

133Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

bawa oleh semua orang.146 Sebanyak 6 kali kata unas yang memiliki arti kelompok manusia.

Sebanyak 1 kali kata Ins yang memiliki arti manusia dalam bentuk tunggalnya. Terakhir sebanyak 1 kali sifat-kerja musta’nas yang memiliki arti keakraban, keintiman, kedekatan dan lain-lain.147

Mengenai isi kandungan kata insan terdapat lima orientasi makna.148 Pertama, sebanyak 12 kali dengan makna sebagai berikut ini. Diantaranya manusia diciptakan ex-nihilo, sebuah pengalaman ketiadaan yang di-ekspre sikan oleh para filosof eksistensialis kontemporer. Ia diciptakan dari tanah liat dan dari sperma. Ia juga diciptakan dari pengetahuan. Pe-ngetahuan adalah dasar yang riil dari ada. Pengetahuan diekspresikan di dalam bahasa.149

Kedua, sebanyak 33 kali dengan makna sebagai berikut ini. Di antara-nya manusia adalah struktur psikologis jauh lebih penting dari asal-usul materialnya. Ia lemah, rentan, terburu-buru, tidak menyadari waktu, penuh ketakutan, termotivasi dan tergerak oleh nafsu. Ia minta tolong di saat-saat kritis, ketika sudah selesai ia melupakannya.150 Ia gembira dan sedih, penuh harapan dan putus asa, datang dan pergi, dermawan dan kikir, kuat dan lemah, rentan dan solid, ingat dan lupa. Ia bisa menjadi musuh, diktator, arogan, tidak bermoral, bodoh, skeptis, ragu-ragu, spekulatif, curiga dan lain-lain.151

Ketiga, manusia ditantang oleh musuh yang tidak mengakui nilai dan potensialitas serta kehormatannya. Melalui penerimaan tantangan tersebut, tampak kehebatan manusia. Sang penantang tidak harus sese-orang, tetapi keseluruhan situasi sosial politik tempat manusia hidup.152

Keempat, tanggung jawab dan akuntabilitas manusia adalah melin-dungi alam dari eksploitasi, penghancuran atau pemborosan sumber-

146 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 503. 147 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 503.148 Orientasi makna insan ini dapat dilihat pada 2 buku Hassan Hanafi, Islam in the

Modern World, vol. I, hlm. 503-504 dan Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 413-414. 149 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 413. 150 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 503-504. 151 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 413. 152 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 413-4.

Page 148: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

134 Dr. Adang Kuswaya

sumber alam. Ia memiliki tugas yang harus diselesaikan di bumi. Dengan mengasumsikan tanggung jawab ini, manusia menjadi lebih hebat daripada langit, bumi dan gunung-gunung. Hidupnya adalah perjuangan. Keberadaannya adalah godaan, sebuah ujian lulus dan gagal.153

Kelima, Kehebatan manusia terdapat dalam keberhasilannya men-tranformasikan kelemahannya menjadi kekuatan, kerentanannya men -jadi kekokohan, ketidaksempurnaannya menjadi kesempurnaan. Manu-sia itu sendirian bertanggung jawab secara individual. Meskipun begitu ia memiliki satu relasi, bukan dengan Tuhan, tetapi dengan orang tuanya.154

2. Konsep Harta dalam Al-Qur’an. Mâl di dalam al-Qur’an tidak bermakna uang dalam arti harfiahnya, tetapi dalam arti kekayaan atau kepemilikan secara umum. Berkaitan dengan bentuk linguistiknya, kata mâl disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 86 kali dalam bentuknya yang berbeda-beda karena signifikansinya tidak kurang dari kata nabî sebanyak 80 kali atau kata wahyu sebanyak 78 kali.155 Kata mâl disebutkan al-Qur’an dalam dua bentuk kata benda. Pertama, dalam bentuk tidak disandarkan kepada kata ganti (ghair mudlâf ila dlamîr), seperti al mâl, mâlan, al amwâl dan amwâlan sebanyak 32 kali. Kedua, berkaitan dengan kata sifat kepunyaan seperti mâluhu, mâliah, amwâlukum dan amwâluhum sebanyak 54 kali yang menunjukkan bahwa kekayaan dapat saja berada di luar kepemilikan pribadi.156 Kepemilikan

153 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 504. Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 414.

154 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 414. Menurut Musa Asy’arie bahwa kata insân dan basyar yang dipakai untuk sebutan manusia, tidakah menunjuk adanya dua jenis manusia, yaitu manusia yang disebut insân dan manusia yang satunya lagi disebut basyar. Akan tetapi kat insan dan basyar pada dasarnya menunjuk pada manusia yang tunggal yang mempunyai dua dimensi, dimensi insan pada kapasitas akalnya dan dimensi basyar pada kapasitas aksinya. Sebagai kesatuan insan basyar maka perwujudannya dalam realitas kehidupan manusia selalu berkaitan dengan aktivitas kebudayaannya. Wujud kebudayaan tersebut mencakup yang ideal yang bersifat abstrak-yaitu proses pikir-maupun yang material yang bersifat nyata. (Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam al-Qur’an, hlm. 35).

155 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 123. 156 Menurut Hassan Hanafi, dua bentuk seperti ini menunjukkan bahwa aharta,

Pertama sebagai wujud tersendiri yang terlepas dari kegiatan manusia, ia tidak dihubungkan kepada seseorang atau kelompok. Kedua, berada dalam kegiatan manusia, dalam bentuk usaha, investasi dan lain-lain. Al-Qur’an lebih sering menyebutnya dalam bentuk yang diidlafatkan dari pada yang tidak, (Q.S. 54:32). Ini menunjukkan

Page 149: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

135Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

adalah hubungan diantara manusia dan kekayaan. Kata mâl merupakan sebuah fungsi, sebuah titipan, sebuah hubungan dan sebuah investasi. Kekayaan tidak boleh dimonopoli atau ditimbun. Secara etimologi, mâl bukan sebuah kata benda, tetapi merupakan kata ganti relatif. Kata mâl berhubungan dengan kata sandang (Li) yang memiliki arti apa yang ke-pada saya.157 Kata mâl disebutkan 17 kali dalam bentuk ism nakirah (tidak tertentu) dan dalam bentuk ism ma’rifah (tertentu) disebutkan se banyak 15 kali yang berarti bahwa kekayaan bisa diketahui dan tidak diketahui.158 Kema’rifatannya dibuat oleh kata sandang tertentu atau oleh kata sambung ke kata sifat kepunyaan. Kata itu disebutkan 18 kali dalam bentuk tunggal, mâl dan disebutkan 14 kali dalam bentuk jamaknya, amwâl yang menun-jukkan keutamaan kekayaan individual daripada akumulasi ke kayaan.159

Dari segi I’rab kedudukannya, kata al mâl yang tidak di-idlafat-kan disampaikan dalam tiga keadaan I’rab, pertama, marfû’ (2 kali), kedua, manshûb (17 kali) dan ketiga, majrûr (13 kali). Ini berarti kata al mâl jarang sekali disampaikan dalam I’rab rafa (hanya 2 kali). Dalam 2 kali ini, semuanya berkonotasi makna negatif (seperti Q.S. al Kahfi/18: 46 dan Q.S. al Syu’ara/26: 88).160 Dari 13 kali kata al mâl yang majrûr. 11 di antaranya majrûr dengan harf al jar (min, fi dan lainnya). Ini menunjukkan bahwa ia selalu berputar dan bergerak; dari dan kepadanya. Ketika al mâl di-manshûb-kan (paling sering, 17 kali), menunjukkan bahwa ia merupakan obyek aktifitas dan berada pada tangan manusia.161 Dalam bentuk dan kedudukan I’rab ini mengkonotasikan 3 makna. Pertama, celaan kepada manusia yang mencintai dan mengikat diri dengan harta, seperti dalam Q.S. al Fajr/89: 20; Q.S. al Humazah/104: 2; Q.S. al Balad/90: 6; Q.S. Maryam/19: 71; Q.S. al Muddatsir/74: 12; Q.S. al Kahfi/18: 34 dan 39; Q.S. al Taubah/9: 69; Q.S. Yûnus/10: 88; Q.S. Sabâ/34: 35.162 Kedua,

bahwa al mâl yang berada dalam kegiatan manusia dalam bentuk usaha, investasi dan pendayagunaan lainnya merupakan tema utama (mihwar). Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 123.

157 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 130. 158 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol. 7, hlm. 124. 159 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 125.160 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 126.161 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 125.-127. 162 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 127.

Page 150: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

136 Dr. Adang Kuswaya

larangan mendekati, apabila mengambil harta orang lain yaitu kaum yang membutuhkan, anak-anak yatim dan manusia umumnya (tidak termasuk di dalamnya orang-orang kaya), seperti dalam Q.S. al An’âm /6: 34; Q.S. Nisâ /4: 10 dan 161; Q.S. al Taubah/9: 34.163 Ketiga, memberikan harta kepada pihak-pihak yang membutuhkan, seperti Q.S. al Baqarah/2: 177; atau bekerja dalam rangka menegakkan risalah, bukan untuk menunggu bayaran harta, seperti Q.S. Hûd/11: 29.164

Adapun kata al mal yang diidlafatkan kepada dlamir, disampaikan dalam dua bentuk. Pertama, diidlafatkan kepada dlamir mufrad seperti maluhu dan maliyah. Dalam bentuk ini disampaikan 7 kali. Satu di antara-nya idlafat kepada dlamir mutakalim, seperti maliyah (Q.S. al Hâqqah/69: 28) dan 6 kali lainnya idlafat kepada dlamir ghaib, seperti maluhu165. Kedua, diidlafatkan kepada dlamir jamak dengan bentuk kata yang jamak pula seperti amwalukum, amwaluna dan amwaluhum. Bentuk ini disampaikan sebanyak 47 kali. Dua di antaranya idlafat kepada dlamir mutakalim ma’al ghair seperti amwaluna (Q.S. Hûd/11: 87; Q.S. al Fath/48: 11),166 14 kali kepada dlamir al mukhatab seperti amwalukum (di antaranya Q.S. al Baqarah/2: 188 dan 279; Q.S. Ali Imran/3: 186; Q.S. al Nisa/4: 2, 5, 24 dan 29), dan 41 kali kepada dlamir al ghaib seperti amwaluhum (antara lain dalam Q.S. al Baqarah/2: 261, 262, 265 dan 274; Q.S. Ali Imran/3: 10 dan 116; Q.S. al Nisa/4: 2, 6, 34, 38 dan 95).167

Kata mal disebutkan dalam bentuk nominatif sebanyak 2 kali marfu dan dalam bentuk penderita sebanyak 13 kali majrur yang berarti bahwa kekayaan jarang menjadi sebab efisien. Ia lebih menjadi penerima tin-dakan manusia dan akibatnya. Kekayaan bukan subyek (mubtada) atau predikat (khabar) tetapi objek untuk sebuah subjek dan kata kerja.168 Dua kali dimana kekayaan disebutkan dalam bentuk nominatif digunakan se-

163 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 128.164 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 128.165 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 129.

Keterangan ini dapat dilihat dalam al-Qur’an sebagai berikut Q.S. al Baqarah/2: 264; Q.S. Nûh/71: 22, Q.S. al Lail/92: 11 dan 18; Q.S. al Humazah/104: 3; Q.S. al Masad /111: 2.

166 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 131.167 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 131-134.168 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 125.

Page 151: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

137Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

cara negatif.169 Kata mal berhubungan dengan kata sifat kepemilikan. Sebanyak 7 kali

dihubungkan dengan dlamir mufrad, orang pertama tunggal170 dan 47 kali dengan dlamir jama’ orang ketiga jamak yang berarti bahwa ke kaya an adalah kepemilikan kolektif untuk orang-orang yang tidak hadir (mereka), orang-orang yang dicabut hak-haknya, kaum miskin dan anak yatim.171 Orang pertama tunggal menunjukkan kelas atas, orang kedua menunjukkan kelas menengah dan orang ketiga menunjukkan kelas bawah.

Mengenai isi kandungan kata mal, terdapat tiga orientasi makna berikut ini. Pertama, kekayaan, kepemilikan dan pewarisan, berlaku untuk Tuhan dan bukan manusia.172 Kedua, kekayaan dipercayakan kepada manusia sebagai titipan. Manusia memiliki hak untuk menggunakan bukan untuk menyelahgunakan, untuk berinvestasi bukan untuk me-nimbun, untuk memanfaatkan dan bukan untuk diboroskan, untuk pem-bangunan dan pertahanan.173 Ketiga, kemandirian moral dari kesadaran manusia vis a vis kekayaan membuat kekayaan menjadi alat yang seder-hana untuk kesempurnaan manusia. Kekayaan adalah untuk manusia, bukan manusia untuk kekayaan.174

3. Konsep Tanah dalam al-Qur’an Ard (tanah atau bumi). Dalam al-Qur’an tanah atau bumi disebutkan berulang-ulang sebanyak 462 kali. Sebagai kata benda disebutkan 454 kali, dan berhubungan dengan kata sifat kepunyaan disebutkan 8 kali yang berarti tanah bukan sebuah obyek kepemilikan. Tanah ada dalam kategori wujud dan bukan memiliki.175 Dari yang 8 kali, satu-satunya yang menggunakan kata ganti orang pertama tunggal “tanah Saya” ber -hubungan dengan Tuhan, yang berarti bahwa Tuhan adalah satu-satunya

169 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 126.170 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 129-130.171 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 131.172 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 135. Lihat

pula Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 505. 173 Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 139.174 Pembahasan al Mâl fî al Qurân ini disarikan dari Hassan Hanafi, Al Dîn wa al

Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 121-145.175 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. VII, hlm. 373.

Page 152: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

138 Dr. Adang Kuswaya

pemilik tanah. Makna ini ditegaskan oleh penggunaan yang lain dan istilah ini sebagai kata benda. Tuhan adalah satu-satunya pewaris dari tanah. Pewarisannya adalah sebuah akibat alamiah dari ke pe milikan-nya.176 Karena tanah diciptakan di dalam waktu, maka ia berawal dan berakhir, ia taat kepada Tuhan dan menyembah-Nya.177

Tanah tampil sebagai subtansi kehidupan; tumbuh-tumbuhan, hewan, burung dan manusia. Tanah yang hijau adalah ciptaan Tuhan untuk ke sejahteraan manusia. Warna hijau adalah citra dari kesuburan semua yang positif, baik dan berguna dalam kehidupan manusia. Tanah yang hijau itu indah, dan keindahan adalah manifestasi dati Tuhan.178 Tanah yang hijau muncul ketika air turun ke bumi. Kehidupan adalah perjalanan seperti ini, dari kering kepada basah. Kehidupan adalah se buah proses yang mirip dengan air, dari atas ke bawah ketika hujan turun dari bawah ke atas tanaman tumbuh. Tanaman muncul dari air dan bumi.179 Pencampuran ini terjadi sesuai dengan ukurannya, jumlah air yang bertambah atau berkurang. Tanah pasir atau yang berbatu-batu tidak dapat menghasilkan tumbuh-tumbuhan mereka itu tandus. Air itu sendiri datang dari atas dari awan dan hujan, atau dari bawah melalui sumur dan sumber-sumber air bawah tanah.180

Di dalam tanah yang hijau terdapat dasarnya, tanah yang hidup tanah yang bergerak melangkah dan mengetuk bumi. Terdapat berbagai macam hewan yang sama dasarnya seperti manusia dan kadang-kadang lebih. Terdapat pula tanah terbang, tanah burung, yang dari padanya ma-nusia dapat belajar. Burung dan hewan menunjukkan dua alam langit dan bumi.181 Akhirnya bumi adalah satu gambaran yang global dan harmonis dengan bermacam-macam warna, sebuah citra dari perbedaan dan ke-satuan manusia di dalam Tuhan.182

176 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 33.177 Q.S. al Baqarah /2: 107 ; Q.S. al Baqarah /2: 207 ; Q.S. Maryam /19: 40; Q.S. al

Rûm /30: 26.178 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 374.179 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 374.180 Q.S. al Hajj/22: 63; Q.S. al Baqarah/2: 164; Q.S. al Hajj/22: 5; Q.S. al Naml/27:

60 ; Q.S. al Mu’min/23: 18 ; Q.S. al Qamar/54: 12 ; Q.S. al Thâriq/86: 12. 181 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 375. 182 Q.S. al An ‘âm/6: 38.

Page 153: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

139Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

Produksi tanah sungguh merupakan citra kreatifitas manusia. Ke-duanya dikondisikan oleh kesatuan dari kontradiksi dari hidup dan mati, awal dan akhir, tanah dan laut, gunung dan sungai, tanah dan air, kering dan basah dan lain-lain.183

Produksi tanah adalah untuk makanan dan kenikmatan manusia. Manusia adalah raja dan tuan dari alam semesta. Segalanya telah di-ciptakan untuknya, cocok bagi hidupnya. Tetapi manusia tidak memiliki hak untuk memonopoli makanan dan menghalangi yang lain dari makan dan menikmati. Produksi tanah adalah hak semuanya, termasuk hewan.184

Gunung disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 39 kali, 6 dalam bentuk tunggal dan 33 dalam bentuk jamak. Dan semua dalam bentuk tak tentu yang menunjukkan keberagaman dan ketakterbatasan dari gunung. Itulah kenapa mereka terkadang disebut gunung yang berdiri rawasyi (9 kali).185 Walaupun begitu mereka tidak dapat melawan akhir dari waktu. Mereka lari, runtuh, meledak, berguncang dan dijadikan bubuk.186 Mereka sensitif terhadap ide, taat kepada kebenaran, me-nyem bah Tuhan. Mereka lebih besar dari pada manusia di dalam hal kuantitas tetapi manusia lebih besar dari pada mereka di dalam hal kua litas karena manusia memiliki kemerdekaan dan tanggung jawab.187 Mereka ditundukkan Tuhan untuk kebaikan manusia.188 Manusia tinggal di gunung-gunung, melindungi dirinya dengan bayangan mereka dan mem peroleh air dari puncak-puncak mereka.189 Bukit yang disebutkan (2 kali) dengan air dan tumbuh-tumbuhan adalah simbol dari kesuburan dan kete nangan jiwa.190 Sebaliknya, batu digunakan sebagai simbol ke-sulitan, hukuman dan kekerasan (10 kali dalam bentuk jamak tak tentu), dan sebagai simbol yang sebaliknya; dari kekutan manusia untuk men-

183 Q.S. al Rûm/30: 19.184 Q.S. al Baqarah/2: 168 ; Q.S. al Ra’du/13: 4 ; Q.S. al Baqarah/2: 267; Q.S. al

A’râf/7: 73.185 Q.S. al Ra’du/13: 3.186 Q.S. al Kahfi /18: 47.187 Q.S. al A’râf/7: 143; Q.S. al Hasyr/59: 21; Q.S. al Isrâ/17: 37; Q.S. al Ahzab/33: 72.188 Q.S. al Anbiyâ /21: 79.189 Q.S. al A’râf /7: 74; Q.S. al Nahl/16: 81; Q.S. al Nazi’ât/79: 32-33.190 Q.S. al Baqarah/2: 265; Q.S. al Mu’minûn /23: 60.

Page 154: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

140 Dr. Adang Kuswaya

transformasikan batu yang keras menjadi air yang lembut (tongkat Musa as), (2 kali dalam bentuk kata tunggal tertentu).191

Debu disebutkan sebanyak 18 kali, selalu dalam bentuk kata tunggal tak tentu. Debu adalah bahan penciptaan, pada awalnya dan pada akhir-nya.192 Tetapi ia merupakan simbol dari kerapuhan dan kurangnya kon-sistensi berlawanan yang tanah dan sama dengan batu ketika hujan turun.193 Seseorang yang tidak karuan digambarkan memakai pakaian yang berdebu.194 Sebuah berita buruk atau sebuah perbuatan salah ingin dikuburkan di dalam debu. Tanah adalah simbol dari harta yang ter-pendam dan kekuatan hidup.195 Tanah liat disebutkan sebanyak 12 kali, 11 kali dalam bentuk tertentu dan hanya satu kali dalam bentuk tak tentu, yang menunjukkan pengetahuan absolut tentang materi itu. Ia adalah materi yang dari mana manusia diciptakan dan diberikan kehidupan. Ia dapat dibakar dan menjadi batu bata untuk pembangunan. Tetapi ia juga dapat menghancurkan ketika dikenal sebagai batu yang keras.196 Api disebutkan sebanyak 145 kali, 126 kali dalam bentuk tertentu dan 19 kali dalam bentuk tak tentu. Api dikenal sebagai kekuatan dan energi. Ia tidak berhubungan dengan kata ganti kepunyaan, energi dapat di-gunakan oleh semua orang. 123 kali merujuk kepada api di neraka dan 22 kali pada api di dunia ini, di dalam arti yang negatif, membakar dan di dalam arti yang positif, memanaskan.197 Cahaya disebutkan sebanyak 49 kali, 40 kali dalam bentuk tertentu dan hanya 9 kali dalam bentuk tak tentu, 39 kali kata ganti kepunyaan yang menunjukkan realitas cahaya di luar kepemilikan manusia. Ia sering (44 kali) digunakan sebagai sebuah citra dan hanya 5 kali dalam arti harfiahnya. Api berhubungan dengan matahari dan cahaya dengan bulan.198

191 Q.S. al Anfâl /8: 32; Q.S. al Fîl /105: 4; Q.S. al Baqarah/2: 74; Q.S. al Baqarah/2: 60 ; Q.S. al Tahrim/66: 6.

192 Q.S. Ali ‘Imrân/3: 59; Q.S. al Ra’ad/13: 5.193 Q.S. al Baqarah/2: 264.194 Q.S. al Balad/90: 16; Q.S. al Nahl/16: 59; Q.S. al Nabâ78: 40.195 Q.S. Thâhâ/20: 6.196 Q.S. al An ‘âm /6: 2 ; Q.S. al Qashash /28: 38; Q.S. al Dzâriyat /51: 33.197 Q.S. al Baqarah/2: 266; Q.S. Ali ‘Imrân/3: 183; Q.S. al Ra’du/13: 17.198 Q.S. Yûnus/10: 5.

Page 155: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

141Pendekatan Sosiologis dalam Tafsir Al-Qur’an

Energi di bumi menghasilkan asap (disebutkan 2 kali) bahkan di angkasa.199 Besi (disebutkan sebanyak 6 kali hanya 1 kali yang memi-liki arti figuratif, yaitu sangat kuat) adalah simbol dari kekuatan dan kegunaan untuk manusia,200 namun, seperti kaleng bagi Daud as dan Alexander Agung. Emas (disebutkan sebanyak 8 kali) digunakan dalam dua cara yaitu dalam arti negatif yang berarti kenikmatan hidup dan dalam arti positif yang berarti perhiasan sebagai imbalan di surga.201 Perak (disebutkan sebanyak 6 kali) digunakan dalam dua cara yang sama, dalam arti yang negatif di dunia ini dan dalam arti positif di dunia yang lain.202 Dengan demikian, mineral yang berguna di dunia ini harus dicari, sedangkan yang mewah harus ditinggalkan. Merek tidak berguna di dalam kehidupan praktis di dunia ini. Mengejar emas sebagai sebuah nilai per se, absolut adalah tidak berguna.203

Mengenai orientasi makna ard, ada lima makna berikut ini. Pertama, Tuhan adalah satu-satunya pemilik tanah. Tuhan juga merupakan pewaris yang sebenarnya dari tanah. Tanah itu diciptakan. Di dalam peng gunaan ini, tanah memiliki arti bumi, keseluruhan Tanah. Tanah patuh kepada Tuhan dan menyembah Tuhan selama hidupnya, karena Tanah akan ber-akhir.204

Kedua, Tanah alamiah seperti tanah hijau, citra dari kesuburan dan keindahan. produksi oleh tanah sungguh merupakan citra dari kreatifitas dalam kehidupan manusia. Tanah adalah untuk makanan, perumahan dan kenikmatan manusia. Tanah juga merupakan tempat berpijak bagi semua makhluk hidup, sebuah citra dari pluralitas dan pengelompokan manusia.205 Ia juga merupakan tanah konflik, sebuah medan perang, se-buah tanah imigrasi dan pengasingan, sebuah tanah pengalaman dan godaan yang membuat sejarah manusia di bumi. Sejarah merupakan

199 Q.S. Fushshilat/41: 11; Q.S. al Nisâ/4: 10.200 Q.S. al Kahfi/18: 96; Q.S. Sabâ/34: 10; Q.S. al Hadîd/57: 25.201 Q.S. Ali ‘Imrân/3: 14; Q.S. al Taubah/9: 34-35; Q.S. Ali ‘Imrân/3: 91.202 Di Surga akan ada gelang, panci dan gelas dari emas dan peak. 203 Pembahasan konsep bumi dalam arti tanah ini disarikan dari Hassan Hanafi,

Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 373-379.204 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 506.205 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 506.

Page 156: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

142 Dr. Adang Kuswaya

lapangan yang besar untuk memverifikasikan pekerjan manusia dan pemenuhan sabda Tuhan di bumi.206

Ketiga, pemenuhan tugas manusia dilakukan di bumi, karena Tuhan adalah Tuhannya Langit dan Bumi. Hubungan ini dibuat 217 kali dari 462 kali. Manusia adalah wakil Tuhan di bumi karena Tuhan tidak ikut campur secara langsung di bumi. Perwakilan memiliki arti sifat meme-nuhi syarat dari manusia untuk suksesi dan pewarisan.207 Hanya per-buatan manusia yang dapat mengusulkannya untuk memenuhi syarat ini. Tanah itu luas dalam ukuran yang sama dengan tindakan manusia. Tugas manusia di bumi ialah mentransformasikan kelemahannya menjadi kekuatan sebagai seorang individu.208 Tugas ini tidak hanya merupakan kecenderungan untuk berbuat, tetapi sesuai dengan kebenaran yang obyektif, yang merupakan dasar dari bumi. Tanah itu bijaksana terhadap kebenaran yang diterima oleh manusia secara bebas.

Keempat, pemenuhan tugas manusia di bumi mulai dari keyakinan terhadap kesatuan yang termanifestasikan di dalam perbuatan baik. Alam itu patuh dan taat kepada manusia sama seperti kepada Tuhan.209 Pewaris tanah bukanlah orang-orang yang telah dipilih untuk selamanya, semenjak permulaan perjanjian sampai akhir, sebagai hak absolut yang diberikan secara apriori, tetapi setiap individu atau komunitas, laki-laki atau perempuan yang berbuat kesalahan dan kebenaran. Tanah adalah untuk dilindungi, bukan untuk dihancurkan dan dicemarkan.210

Kelima, sebuah perjanjian universal kepada setiap individu, bukan kepada orang-orang tertentu saja, sebuah perjanjian moral dan bukan material, sebuah perjanjian kontrak dan bukan unilateral.211

Ketiga contoh aplikasi dari hermeneutika al-Qur’an tidak lain untuk memperlihatkan bagaimana proses membumikan ayat-ayat al-Qur’an. Min al samâ ilâ al ardl, dari langit turun ke bumi.[]

206 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 506.207 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 506.208 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 506.209 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 506.210 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, hlm. 506. 211 Hassan Hanafi, Theology of land dalam Religious Dialogue and Revolution, hlm. 125-

173.

Page 157: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

143

A. SIMPULAN

Hilangnya wacana kemanusiaan dalam studi Islam menjadi basis lahirnya berbagai tragedi kemanusiaan dalam dunia Islam. Ia mencoba mencari akar persoalannya yang ditengarai terdapat pada interpretasi tradisional Islam. Menurutnya, penafsiran merupakan sebuah proses komunikasi yang memiliki tiga komponen dasar pengirim, informasi (pesan) dan penerima. Tetapi dalam interpretasi tradisional Islam, menurutnya hanya dua komponen yang pertama yang dominan, sementara komponen yang ketiga tidak mendapatkan porsi yang cukup. Sebagai akibatnya, pem-bicaraan tentang wahyu dalam dunia Islam selalu tersita oleh pembicaraan tentang Tuhan (sebagai pengirim) dan Nabi sebagai penyampainya, tanpa ada perhatian kepada manusia sebagai penerima pesan wahyu. Padahal kom ponen inilah kutub utama proses komunikasi.

Perhatian yang tidak penuh terhadap masalah kemanusiaan sebagai akibat dominasi model berpikir tekstualis yang menganggap teks sebagai standar analisis. Menurut cara berpikir ini seolah-olah teks adalah segala-galanya termasuk dianggap sebagai sesuatu yang melahirkan realitas, se-hingga realitas selalu dilihat dari bunyi teks.

Anggapan seperti di atas merupakan kekeliruan karena semesti-nya realitaslah yang menjadi standar. Teks tidak akan lahir tanpa realitas sebagai determinannya. Jadi, bukan wahyu yang menyebabkan lahirnya berbagai peristiwa emprik (realitas), tetapi sebaliknya realitas yang me-

BAB V

PENUTUP

Page 158: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

144 Dr. Adang Kuswaya

lahirkan teks. Karena realitas akan selalu menjadi acuan. Teks yang tanpa acuan realitas maka teks akan menjadi hampa makna.

Beberapa titik lemah yang menimpa tafsir tradisional. Di antanya, penafsiran yang cenderung berulang-ulang sehingga penafsiran tidak memperhatikan kebutuhan kekinian. Artinya, penafsiran tradisional itu tidak diawali dengan perumusan problem tentang apakah dibutuhkan atau tidak sebuah penafsiran dilakukan. Padahal, al-Qur’an sendiri dalam banyak bagiannya menyatakan bahwa kehadirannya di dunia ini di dahului oleh adanya problem dan pernyataan-pernyataan yang di-ajukan oleh realitas.

Sebagai seorang pemikir yang komitmen terhadap pemikiran kondisi aktual umat, tidak sepakat apabila tafsir hanya diidentifikasi sekedar teori memahami teks. Menafsirkan menurutnya melakukan gerak ganda dari teks menuju realitas dan dari realitas menuju teks. Pada gerak pertama diterapkan prinsip-prinsip ampibologi bahasa, sementara gerak yang ke-dua digunakan prinsip sensitivitas semangat zaman. Untuk inilah dia meng ajukan tawaran metodologis yang disebut sebagai al manhaj al Ijtimâ’î fî al tafsîr.

Untuk memperoleh hasil yang diharapkan dari metode ini, meng-usulkan beberapa kaidah dasar yang mesti dipahami sebelum kegiatan penafsiran dimulai.

Pertama, bahwa dalam hermeneutika al-Qur’an teks al-Qur’an tidak perlu ditanyakan asal-usul maupun sifatnya. Ini mengigat hermeneutika al-Qur’an tidak terkait dalam masalah kejadian teks melainkan berkait-an dengan isi.

Kedua, al-Qur’an sebagai teks tidak dibedakan dari teks-teks keba-hasaan lainnya, hermeneutika al-Qur’an tidak dibangun atas asumsi bahwa al-Qur’an adalah teks sakral dengan segala keistimewaannya.

Ketiga, hermeneutika al-Qur’an tidak mengenal penilaian normatif benar atau salah. Karena perbedaan pendekatan penafsiran tidak lain adalah perbedaan pendekatan terhadap teks sebagai bias perbedaan ke-pentingan. Akibatnya, pluralitas penafsiran adalah kenyataan yang tidak dapat dihindarkan, karena pada dasarnya setiap penafsiran merupakan salah satu ekspresi komitmen sosial politik pelakunya. Penafsiran adalah

Page 159: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

145Penutup

alat-alat ideologis baik untuk mempertahankan kepentingan tertentu maupun mengubahnya.

Kaidah dasar di atas sengaja dibangun untuk menopang komit-mennya sendiri terhadap realitas yang sejak awal sudah disadarinya. Barang kali, melalui kesadarannya itu pula, dia menegaskan ketidak-sepakatannya atas anggapan para mufasir modern tentang dapatnya di temu kan nya makna obyektif al-Qur’an. Ketidakmungkinan ditemu-kannya makna sejati al-Qur’an tidak saja adanya lantaran jarak waktu yang begitu jauh antara sejarah teks al-Qur’an dengan penafsiran nya, tetapi seperti pengalamannya sendiri menunjukkan, penafsiran selalu di-bingkai oleh kepentingan penafsiran, posisi sosialnya, juga kondisi kultur di mana teks al-Qur’an ditafsirkan. Apalagi hermeneutika al-Qur’an yang dimaksudkan bukan semata-mata dilandasi oleh motif men jelas kan teks, tetapi juga sebagai upaya pemecahan problem sosial ke manu siaan ter tentu.

Dengan landasan kaidah dasar seperti di atas, maka harus me ru-muskan langkah-langkah metodis yang mesti dilalui dalam penafsiran.

Pertama, seorang penafsir harus secara sadar mengetahui dan me-rumuskan komitmennya terhadap problema sosial politik tertentu. Arti-nya seorang mufasir muncul pasti dilandasi oleh keprihatinan-kepri-hatinan tertentu atas kondisi kontemporernya.

Kedua, bercermin pada proses lahirnya teks al-Qur’an yang di dahului oleh realitas, seorang mufasir harus merumuskan tujuannya. Artinya tidak mungkin seorang mufasir memulai kegiatannya dengan tanpa kesadaran akan apa yang ingin dicapainya.

Ketiga, dari rumusan komitmen dan tujuannya barulah seorang mufasir dapat menginventarisasikan ayat-ayat terkait dengan tema yang men jadi komitmennya.

Keempat, inventarisasi ayat kemudian diklasifikasikan atas dasar bentuk-bentuk linguistik sebagai landasan bagi langkah terkait.

Kelima, membangun struktur makna yang tepat dengan sasaran yang dituju.

Keenam, identifikasi problema faktual dalam situasi empirik yang di-hadapi penafsiran bisa berupa penindasan, pelanggaran hak dan sebagai-nya.

Page 160: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

146 Dr. Adang Kuswaya

Ketujuh, membandingkan antara idealitas dan realitas. Menghu bung-kan struktur ideal sebagai hasil deduksi teks dengan problema faktual yang diinduksi dari realita empirik melalui perhitungan statistik dan ilmu sosial.

Kedelapan, mendeskripsikan bentuk-bentuk aksi. Menghasilkan rumus -an praktis sebagai langkah akhir proses penafsiran yang transfor matif.

Delapan langkah di atas itulah yang dimaksud dari teks menuju realitas dan dari realitas menuju aksi. Ini pula yang dimaksud oleh Hassan Hanafi, bahwa penafsiran menjadi bentuk perwujudan posisi sosial penafsiran dalam struktur sosial. Jadi, hermeneutika al-Qur’an merupakan jawaban teoritis yang dirumuskan berdasarkan al-Qur’an atas berbagai problem kemasyarakatan yang mesti dapat diterapkan dalam dataran praksis tidak berhenti pada level teoritis belaka. Tafsir dengan demikian selalu berakhir dalam praksis.

Mengacu pada langkah-langkah metodis yang diusulkan maka akan tercapai tafsir yang bersifat eklektif dalam arti mengadakan seleksi atas berbagai macam metode penafsiran dan memproses penyusunan sistem-nya sendiri. Karena berbeda dengan metodologi klasik, Hermeneu tika al-Qur’an tematik merupakan metode tafsir dengan paradigma ilmiah di era kontenporer. Sebaliknya persyaratan pertama langkah penafsiran berupa penegasan kepentingan, komitmen dan tujuan penafsiran secara sosial. Hal ini menunjukkan menginginkan tafsir yang mengekspresi-kan subjektivitasnya.

Hermeneutika al-Qur’an yang dimulai dengan identifikasi kepen-tingan penafsiran dan perubahan sosial terkininya memberikan gambar an bahwa tafsir yang diinginkan tidak berpretensi untuk mencari makna universal. Sebaliknya, tafsir semacam ini bersifat temporal mencari makna yang diberikan al-Qur’an untuk satu generasi tertentu yang meng abaikan kepentingan masa lalu maupun masa mendatang.

Penafsiran yang dilakukan tidak dimulai dengan perumusan problem tekstual al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa sifat utama meto do-loginya adalah realis yakni tafsir yang lebih diarahkan pada realitas kehidupan nyata. Hermeneutika al-Qur’annya lebih cenderung kepada hermeneutika ontologis di mana subyektifitas penafsir lebih menonjol.

Page 161: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

147Penutup

Bersifat eksperimental dalam arti selalu merujuk pada pengalaman pe-nafsir dan problem kontemporernya, di samping posisi sosialnya sebagai pijakan pokok dalam penafsirannya.

Hermeneutika al-Qur’an menggambarkan struktur tiga komponen dasar dalam penafsiran. Hermeneutika al-Qur’annya mengandaikan hu-bungan dialektis antara teks, penafsir dan realitas secara bersama-sama. Penafsir diwakili oleh kesadaran dan perlengkapan metodologisnya; teks berisikan aturan-aturan kebahasaan dan konteks historis; sementara realitas adalah para audiens dengan segala problematika sosial yang men-jadi tujuan sekaligus mendasari penafsiran.

Hermeneutika al-Qur’an yang berpihak pada realitas memberikan signifikansi bagi diskursus metodologi penafsiran al-Qur’an selanjutnya. Secara praktis, hermeneutika al-Qur’an merupakan seperangkat metode penafsiran yang dapat merumuskan kerangka ideologis dan epistimo-logis yang bercorak transformatif dalam tubuh umat Islam dalam rangka mengembalikan al-Qur’an ke bumi.

B. SARAN-SARAN

Kajian terhadap hermeneutika al-Qur’an terutama sejarah dan metodo-loginya harus senantiasa menjadi perhatian yang serius. Sering terabai-kannnya bidang ini kemungkinan diakibatkan oleh rendahnya minat kaum muslimin terhadap kajian hermeneutika al-Qur’an.

Hal di atas harus menjadi pertimbangan bagi para intelektual muslim yang mempunyai spesialisasi dalam bidang hermeneutika al-Qur’an untuk lebih bekerja maksimal sebagai upaya untuk menyadarkan masya rakat muslim. Karena penafsiran al-Qur’an tidak hanya diperhadapkan kepada tantangan modernitas tetapi juga kebutuhan-kebutuhan yang akan senan-tiasa menuntut penyelesaiannya dari hermeneutika al-Qur’an.

Walaupun hermeneutika al-Qur’an memberikan tawaran pemba-haruan baik dalam bidang pemikiran teori maupun metodologinya, namun, sikap kritis haruslah senantiasa dipertahankan demi menum-buhkan ajaran al-Qur’an dalam kehidupan manusia yang akan terus mengalami perkembangan sesuai dengan pengalaman hidupnya.

Page 162: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

148 Dr. Adang Kuswaya

Semoga dengan penelitian terhadap pemikiran hermeneutika al-Qur’an diharapkan dapat menjadi contoh kecil dari perjalanan panjang proses untuk menyadarkan betapa pentingnya menpelajari hermeneutika al-Qur’an.

Wallahu A’lam Bishshawab.[]

Page 163: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

149

‘Ayazi, Sayid Muhammad `Ali, 1313 H, Al Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, Kairo: Muassasah Thaba’ah wa al Nasyr.

Akhavi, Sharough, 1997, “Dialectic in Contemporary Egyptian Social Thought” dalam International Journal of Middle Eastern Studies, No. 29.

Al’ak, Khalid Abdurrahman, 1986, Ushûl al Tafsîr wa Qawâ’iduh, Beirut: Dâr al Nafis.

Alain Gresh and Dominique Vidal, 1990, An A to Z of the East, London: Zed Book.

Andalusi, Abu Dawud Sulaiman bin Hasan a1, 1955, Thabaqat al Atibba wa al Hukama, Kairo: Matba’ah al ‘Ahdi al ‘Ilmi al Faransi li al Atsar al Syarqiyah.

Asy’arie, Musa, 1992, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam A1-Qur’an, Yogyakarta: LESFI.

Azra, Azyumardi (Ed.), 1999, Sejarah `Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Bagus, Loren, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Baidan, Nasruddin, 1998, Metodologi Penaf ’siran Al-Qur’an, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.Baljon, JMS., 1990, Al-Qur’an Dalam Interpretasi Modern, terj. Eno Syafrudin,

Jakarta: Gaya Media Pratama.Bauman, Zigmunt, 1978, Hermeneutics and Social Science, New York:

Colombia University Press.

DAFTAR PUSTAKA

Page 164: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

150 Dr. Adang Kuswaya

Bertens, K, 1983. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia. , 1986, Filsafat Barat Abad XX: jilid II Prancis, Jakarta: PT Gramedia.Bleicher, Josep, 1980, Contemporary Hermeneutics, Hermeneutics as Method

and Philisophy and Critique, London: Rautledge and Kegan Paul. Boullata, Issa J., 1993, “Hanafi terlalu Teoritis untuk Dipraktekkan”,

dalam Jurnal Islamika No. I Juli - September. .Crapanza, Vencen, 1992, Hermes Dilemma and Hamlets Desire, Harvard

University Press.Depag RI, 1978, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: PT Bumi Restu.Dept. Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi

ke 2, Jakarta: Balai Pustaka.Djalal, Abdul, 1990, Urgensi Tafsir Maudu’i Pada Masa Kini, Jakarta: Kalam

Mulia. . Dzahabi, Hussein Muhammad al, Al Tafsîr wa al Mufassirûn, Juz I dan II,

Beirut: Dar al Fikr, 1986. , Al Ittijâhât al Munharifah fî Tafsîr al Qurân al Karîm; diterjemahkan oleh

Hamim Ilyas dan Machnun Husein, 1996, Jakarta: Raja Grafindo.Esack, Farid, 1993, “Quranic Hermeneutic: Problem and Prospect”, dalam The

Muslim World, vol. 83, no. 2 (April).___________, 1997, Quran Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective

of Interreligious Solidarity against Oppression, Oxford: Oneworld.Esposito, John L, 1995, The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World,

Vol. III, New York: Oxford University Press.Esposito, John. L. dan John O. Voll, 2001, Makers of Contemporary Islam.

New York: Oxford University Press.Farmawi, Abd Hayy, 1977. al Bidâyah fî al Tafsîr al Maudlû’î, Kairo: Al

Hadarah al ‘Arabiyah.Farra, Abu Zakariya Yahya bin Zayyad al, 1955, Ma’âni al Qurân, ed.

Ahmad Yusuf al Najjati [et.al], Kairo: al-Kutub al-Misriyyah.Fatik, Abu al Wafa al Mubasyar bin, 1954, Mukhtâr al Hikam wa al

Mahâsin al Kalîm, diedit oleh Abdurrahman Darwi, Madrid:Matba` al Ma’hal al Mishri li Dirasah al Islamiyah.

Gresh, Alain dan Dominique Vidal, 1990, An A to to Z of the East, London: Zed Books Ltd.

Page 165: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

151Daftar Pustaka

Grondin, Jean, 1994, Introduction to Philosophical Hermeneutics. Yale: Yale University.

Haddad, Yvonne Yazbeck, 1991, The C,ontemporery Islamic Revival: A Critical Survey and Bibliography, New York: Greewood Press.

Hakim, Muhammad Nur, 1995. Rekonstruksi Warisan Intelektual: Studi Kritis atas Paradigma Pembaharuan Pemikiran Islam Hassan Hanafi, Tesis, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah.

Hanafi, Hassan, 1977, Religious Dialogue and Revolution: Essays an Judaism, Chistianity and Islam, Kairo: Anglo Egyption Bookshop.

___________, 1981, “Mâdzâ Ta’nî al Yasâr al Islâmî”, al Yasâr al Islâmî Kitâbât fî al Nahdlah al Islâmiyah, Kairo: [t. p].

___________, 1981, A1 Yasâr al Islâmî Kitâbât fî Nahdlah Islâmiyat, Kairo: Heliopolis.

___________,1981, Dirâsât Islâmiyyah, cet. Ke-2, Kairo: Maktabah Anjilu.___________, 1983, Qadlâyâ Mu’âsirah Fî Fikrinâ al Mu’âshir, vol. 1 dan

2, Beirut:Dar al Tanwir.___________, 1986, “The Preparation of Societies For Life in Peace an Islamic

Perspective” Makalah dalam seminar di Osaka.___________,1988, “A1 Ushûliyyah al Islamiyyah” dalam Al Din wa al

Tsaurah fî Mishr 1952-1981, Vol. 6, Kairo: Maktabah Madbuli. ___________,1988, Al Din wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 Vol.1-7,

Kairo: Maktabah Madbuli.___________,1988, Dirâsât Falsafiyyah, Kairo: Anjilu al Mishriyyah.___________,1988, Min al Aqîdah ilâ al Tsaurah, Kairo: Maktabah Madbuli.___________,1989, ‘al Salafiyah wa Ilmiyah fi Fikrinift al Mua’shir’,

dalam Majalah Al Azminah Volume III,.___________,1992, Al Turats wa al Tajdid, Ccet. Ke-4, Beirut: Muassasah

al Jam’iyyah li al Dirasat wa al Nasyr wa al tauzi’.___________,1992, Muqaddimah fî ‘Ilm al Istighrab Mauqifunâ Min Turâts

al Gharbî,. Kairo:Dar al Fannani.___________,1998, Humûm al Fikr wa al Wathan al Turâts wa al ‘Ashr,cet.

Ke-2, Kairo: Dâr Qubâ li al Thaba’ah wa ala Nasyr li al Tauzi’. ___________, 2000, Islam in The Modern World: Religion, Ideology and

Development Vol.I Kairo: Dar Kbaa.

Page 166: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

152 Dr. Adang Kuswaya

___________, 2000, Islam in The Modern World: Tradition, Revolution and Culture. Vol. II. Kairo: Dar Kbaa,.

___________, 2000, “Human subservience of nature: An Islamic model”, Tema seminar di Swedia, Dalam Islam in the Modern World, vol. I, Kairo: Dar Kbaa.

Harb, Ali, 1993, Naqd al Nash, Beirut: Markaz al Tsaqafi al ‘Arabî.Harun, Salman, 1999, Mutiara A1 Quran, Jakarta: Logos.Harvey, Van A. “Hermeneutic” dalam Encychlopedia of Religions, Val. IV,

Ed. Mircea Eliade, New York: Macmillan Publishing Co.Hidayat, Komarudin, 1996, Memahami Bahasa Agama, Jakarta: Yayasan

wakaf Paramadina.Ichwan Muhammad Nur, 1995, Hermeneutika al-Qur’an: Analisis Peta

Perkembangan Tafsir al-Qur’an Kontemporer, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,.

Jabiri, M. ‘Abid al, 1989, Naqd al ‘Aql al ‘Arabî (vol.1) Takwîn al ‘Aql al Arabî, cet. IV, Bairut:Markaz Dirasat al Nahdlah al ‘Arabiah.

___________1990, Naqd al ‘Aql al ‘Arabî (vol.2) Bunyah al ‘Aql al Arabî, cet.III, Beirut: Markaz Dirasah al Wahdah al ‘Arabiyah.

Jurnal Ulumul Quran, 1990, No. 5. Vo1.2, Jakarta: Aksara Buana.Jurnal Ulumul Quran, 1992, No 1 dan 2 Vol. III, Jakarta: Aksara Buana Jurnal Ulumul Quran, 1993, No. 4 vol.IV, Jakarta: Aksara Buana.Jurnal Ulumul Quran, 1994, Edisi Khusus No. 5 & 6 Volume V, Jakarta:

Aksara Buana.Jurnal Filsafat Driyarkara, 1997, No. 2 Tahun XXIII, Jakarta:STF

Driyarkarya.Kusnadiningrat, 1995, Teologi Pembebasan dalam Islam; Analisis terhadap

Gerakan Kiri Islam Hassan Hanafi, Tesis, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah,

Lanur, Alex 1996, Sejarah Filsafat Kontemporer, Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Lapidus, Ira M, 1993, A History in Islamic Societies, Cambridge: Cambridge University Press. Cetakan ke-2.

Luthfi, Sayyid Athif, 1981, Tajribah Mishr al Libraliyyât 1922-1936, Kairo: al Markaz al Arabî li al Bahts wa al Nasyr,.

Page 167: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

153Daftar Pustaka

Majalah Prisma,1984, No. 4, April, Jakarta: LP3ES.Maraghi, Ahmad Musthafa, 1974, Tafsir Al Maraghi, Jilid 1, Beirut: Dar

Al Fikr. Martin, Richad C., 1985, Approaches to Islam in Religious Studies, Arizona:

The University of Arizona Press.___________, 1997, “Membayangkan Islam dan Modernitas”, Terj.

Bambang Sipayung, dalam Majalah Filsafat Driyarkara No.2 Th, xxiii, Jakarta: STF Driyarkara.

Meuleman, Johan Hendrik, 1994, “Nalar Islami dan Nalar Modern: berbagai tantangan dan jalan baru”, Jakarta: INIS.

___________, 1996, Tradisi Kemoderenan dan Metamodernisme: Memper-incangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, Yogyakarta: LKiS.

___________, 1997, “Pengantar Penyunting” dalam Muhammad Arkoun, Berbagai Pembacaan Quran, Jakarta: INIS.

Muhsin, Amina Wadud, 1992, Quran and Women, Kuala Lumpur: Fajar Bakti.

Muhtasib, Abd. Masjid Abdussalam, 1997, Visi dan Raradigma Tafsir A1 Quran kontemporer, Terj. Moh. Maghfur Wahid Bangil (Jawa Timur): Al Izzah.

Musa Asy’arie, 1992, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: LESFI.

Musthafa, Halat, 1992, al Islâm al Siyâsî fî Mishr, Kairo: Markaz al Dirâsât al Siyâsiyyât wa al Istiratijiyyât.

Muthahari, Murtada, 1989, Memahami al-Qur’an, Terj. Tim Staf YBT, Jakarta: Yayasan Bina Tauhid.

Mutsanna, Abu Ubaidah Ma’mar bin al, 1954, Majâz al-Qur’an, ed. M. Fuad Sizkin, Kairo: Maktabah al-Khanaji.

Nanji, Azim, 1985, “Toward a Hermeneutic of Quranic and other Narratives in lsmaili Thought”, dalam Richard G. Martin, Approaches To Islam in Religious Studies, Arizona: The University of Arizona Press.

Nasr, Sayyed Hossein, 1989, Knowledge and the Sacred, State University Press.

Palmer, Richard E. 1969, Hermeneutics, Evanston: North Webster University Press.

Page 168: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

154 Dr. Adang Kuswaya

Poespoprodjo, 1987, Interpretasi, Bandung: Remaja Karya.Rahman, Fazlur, 1982, Islam and Modernity, Chicago: The University of

Chicago Press.___________, 1980, Major Themes of The Quran, Chicago: Bibliothica

Islamica.Ridwan, Ahmad Hasan, 1996, Pemikiran Hassan Hanafi: Studi Gagasan

Reeaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam, Tesis, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.

Rippin, Andrew, (Ed.), 1988, Approaches to the History of Interpretation of the Quran, Oxford: Claredon Press.

Robinson, James M., 1964, “Hermeneutic since Barth” dalam The New Hermeneutic, ed. J. M. Robinson dan John B.Cobb, New York: Herper and Row Publisher.

Rudianto, Bambang, dkk, 1993, Hakekat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu, Jakarta;: Gramedia Pustaka Utama.

Saenong, Ilham B., 2002, Hermeneutika Pembebasan, Bandung: Teraju.Shadr, Muhamrnad Baqir, 1990, “Pendekatan tematik terhadap Tafsir

al-Qur’an”. Dalam jurnal UQ 4 Vol. 1, 1990, hlm. 28, Jakarta: Aksara Buana.

Shihab, M.Quraish, 1991, “Tafsir dan Modernitas”, dalam Jurnal Ulumul Quran, No. 8.

___________, 1994, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan.Shimogaki, Kazuo, 1988, Between Modernity and Postmodernity The Islamic

Left DR. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading, Niigata: Chyutto Kenkyuzo.

___________, 1993, “Pemikiran Hassan Hanafi dan munculnya al Yasar al Islami dalam Jurnal Islamika No. 1, Bandung: Mizan dan MISSI,

Sudjiman dan A Van Zoest, 1992, Serba-Serbi Semiotika, Jakarta: Gramedia. Sulaiman, Maqatil Bin, 1975, Al Asybâh wa al Nazhâ`ir fî al-Qur’an al

Karîm, ed. Abdullah Mahmud Syahatah, Kairo: Ma’iah al Mishriyah al ‘Ammah li al-Kitab.

Sumaryono, E., 1993, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.

Page 169: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

155Daftar Pustaka

Syamsudin, Sahiron dan Abdul Mustaqim Ed., 2002, Studi al-Qur’an Koontemporer, Jogjakarta: Tiara Wacana.

Thahhan, Mahmud, 1985, Taisîr Mushthalah al Hadîts, Beirut: Dar al Tsaqafah.

Thair, Mushtafa Muhammad al Hadidi, Ittijâh al Tafsîr Fi al ’Ash al Hadîts, Beirut: Mansyurat.t.t.

Verhaak C.,1989, Filsafat ilmu Pengetahuan Telaah Cara Kerja Ilmu-ilmu, Jakarta: PT.Gramedia.

Wahid, Abdurrahman, 1994, “Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, edisi Indonesia, Jogjakarta: LKis, , cet. Ke-2.

Yusuf, Yunan, 1992, “Karakteristik Tafsir A1 Quran di Indonesia Abad ke-20”, dalam Jurnal Ulumul Quran No. 4.

Zaid, Nashr Hamid Abu, 1994, Naqd al Khitâb al Dînî, Kairo: Sînâ al Nasyr, cet. Ke-2.

Zayd, Nashr Hamid Abu, 1996, Al Ittijâh al ‘Aql fî al Tafsîr. Beirut: Markaz al Tsaqafi al ‘Arabî.

Zayd, Nashr Hamid Abu, 1997. Imam Syafi’i: -Moderatisme, Ekletisisme, Arabisme, terj. Khoirun Nahdhiyyin, Yogyakarta: LKIS.

Page 170: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj
Page 171: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

157

Judul Penelitian: Badhan, Pelestarian Tradisi Bulan Syawal pada Masyarakat Muslim

Kembangarum Kota Salatiga Sebagai Upaya Pemahaman ter-hadap Konsep Saling Memaafkan dalam Al-Qur’an: Sebuah Pen-dekatan Tafsir Sosio-Tematik

Abstrak: Tulisan ini berusaha untuk mengungkap nalar kebudayaan pada

tradisi Badhan di Kembangarum. Selain itu juga bermaksud meng-ungkap makna tradisi tersebut bagi masyarakat saat ini. Hasil pengamatan, wawancara serta telaah terhadap data sekunder, dapat dijelaskan bahwa tradisi Badhan di Kembangarum- merupakan salah satu tradisi masyarakat yang mengekspresikan kebudayaan masya-rakat yang religius. Bagi masyarakat Kembangarum, tradisi Badhan merupakan wujud rasa syukur pada Tuhan YME atas karunia me-limpahnya hasil laut sekaligus ungkapan doa keselamatan dari segala mara-bahaya yang bisa timbul dari laut. Tradisi Badhan juga me-miliki makna kepedulian kepada alam, serta makna membangun kerukunan dan keguyuban di antara masyarakat. Selain makna-makna kultural tersebut, tradisi Badhan juga memiliki makna ekonomis dan sosial budaya bagi pemerintah lokal dan masyarakat.

LAMPIRAN

APLIKASI TEORI

Page 172: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

158 Dr. Adang Kuswaya

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahLebaran merupakan tradisi umat Islam Indonesia yang dirayakan ketika mereka mengakhiri puasa selama sebulan penuh. Suasana suka cita terlihat dan terekspresi dari raut muka, prilaku dan suasana yang hanyut dalam kegembiraan. Peristiwa tersebut dipandang oleh peneliti sebagi sebuah peluang dan kesempatan jangan sampai luput apalagi tidak ter-dokumentasi dengan baik.

Sebagai akademisi, penulis merasa gelisah dengan praktik yang biasa dari tahun ke tahun peneliti saksikan yaitu berupa praktik mereka yang tidak segan-segan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit demi me lebur dan melaksanakan praktik saling memaafkan dalam bentuk silaturrahmi. Pada sisi lain tuntunan al-Qur’an jelas bahwa harus di-segerakan berlomba-lomba memohon ampunan dari Allah yang tidak memerlukan materi.

Dari gambaran di atas, penulis merasa tergerak untuk melakukan penelitan yaitu tradisi badhan, istilah bahasa Jawa yang mempraktikan silaturrahmi, menyambung tali persaudaraan dengan saling meminta maaf atas segala khilaf dan dosa yang sudah diperbuat. Tradisi ini biasa dipraktikkan selepas umat muslim melaksanakan puasa selama sebulan penuh. Hal yang menjadi menarik adalah dilakukan oleh orang yang lebih muda mengunjungi keluarga yang lebih tua. Padahal, Islam mengajarkan bahwa permintaan maaf dilakukan oleh orang yang bersalah bukan dilakukan orang yang lebih muda terhadap yang lebih muda usianya.

B. Rumusan MasalahUntuk memperdalam permaslahan yang berisi kegelisahan akademik peneliti, maka peneliti akan mengutarakan permasalahan pokok. Per-soalannya seputar upaya umat Islam Kembangarum Kota Salatiga

Page 173: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

159Aplikasi Teori

dalam menjaga tradisi Badhan yang dilakukan pada bulan Syawal, bulan kesepuluh dalam tahun Hijriyah sebagai praktik atas pemahaman atas konsep al-Qur’an tentang Saling memaafkan kesalahan. Supaya pene-litian terfokus maka berikut pemaparan pokok yang dibuat berupa per-tanyaan. 1. Bagaimana konsep al-Qur’an tentang saling memaafkan kesalahan

yang terdapat dalam literature tafsir yang ada?2. Bagaimana potret kehidupan sosial warga muslim Kembangarum

pada bulan sebelum dan setelah bulan Ramadhan?3. Bagaimana praktik umat Muslim Kembangarum Kota Salatiga dalam

melestarikan tradisi badhan?

C. Tujuan PenelitianPenelitian ini bertujuan menemukan data-data seperti yang akan ter-lihat dari poin-poin berikut di bawah ini:1. Untuk menemukan data tentang konsep al-Qur’an tentang saling

memaafkan kesalahan yang terdapat dalam literature tafsir yang ada.2. Untuk menemukan data potret kehidupan sosial warga muslim

Kembangarum pada sebulan sebelum dan setelah bulan Ramadhan.3. Untuk menemukan data tentang praktik umat Muslim Kembang-

arum Kota Salatiga dalam melestarikan tradisi badhan.

D. Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan Sosio tafsir al-Qur’an Tematik. Penelitian ini memadukan data yang diperoleh dari penelitian library research dan field research. Data lapangan dirancang untuk melihat apa yang sesungguhnya sudah di-praktikan warga terhadap apa yang selama ini mereka pahami tentang materi dari kajian-kajian yang diperoleh mereka dari pemahaman al-Qur’an tentang saling memaafkan.

Untuk memperoleh data autentik peneliti terlibat langsung dalam kehidupan sosial mereka lalu mencari sumber yang dapat dipercaya dari berbagai sumber tafsir al-Qur’an tentang hidup rukun sebagai salah satu efek dari tradisi memaafkan. Jadi dengan demikian, kekuatan penelitian

Page 174: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

160 Dr. Adang Kuswaya

ini terletak pada akurasi pemahaman ayat tentang hidup rukun yang di-peroleh dipadupadankan dengan praktik sebagai realitas di lapangan kehidupan yang sesungguhnya.

Penelitian didesain dalam rentang waktu satu semester sekitar enam bulan. Asumsinya bahwa waktu dua bulan dipakai untuk pene-litian lapangan dua bulan penelitian library research satu bulan untuk penulisan dan pengujian laporan. Adapun waktu penilitian akan kami rancang dari bulan Juli sampai Nopember 2014.

Langkah-langkah PenelitianDalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode des-kriptif yaitu mengumpulkan, mempelajari, membandingkan dan meng-analisa masalah yang ada kaitannya dengan konsep saling memaafkan dalam al-Qur’an. Data-data di atas kemudian dikupas menggunakan pisau analasis fenomenologi. Sedangkan teknik penelitiannya menggunakan tehnik Book Survey (penelitian Literatur).

Adapun cara-cara yang akan ditempuh adalah sebagai berikut:1. Mengumpulkan ayat-ayat tentang ummy dalam al-Qur’an;2. Mempelajari dan menelah ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-

masing;3. Mempelajari literatur-literatur baik yang berupa kitab tafsir atau

buku-buku pengetahuan lain yang mendukung pada pembahasan inti;

4. Mengkaji dan menganalisa masalah yang sedang dibahas;5. Membuat kesimpulan-kesimpulan.

E. Dasar PemikiranAl-Qur’an al Karim itu laksana samudera yang keajaiban dan keunikan-nya tidak akan pernah sirna di telan masa, sehingga lahirlah bemacam-macam Tafsir yang beraneka ragam pula. Kitab-kitab tafsir yang me-menuhi perpustakaan merupakan bukti nyata yang menunjukkan betapa tingginya semangat dan besarnya perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna kandungan kitab suci al-Qur’an al-Karim tersebut.

Page 175: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

161Aplikasi Teori

Para ulama telah menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka di bidang tafsir ini dan menjelaskan metode-metode yang pernah dipergunakan. Meode-metode tafsir yang dimaksud adalah: metode Tahlily, metode Ijmaly, metode Muqaran dan metode Maudlu’iy. Metode Tahlily adalah suatu metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya mufasir meng-ikuti runtutan ayat sebagimana telah tersusun di dalam mushaf. Mufasir memulai uraiannya dengan menggunakan arti kosakata, arti global, korelasi antara ayat serta membahas asbab al nuzulnya. Metode Ijmaly adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara menge-mukakan makna global. Dalam sistematika uraiannya, mufasir akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam mushaf, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui oleh jumhur ulama, dan mudah dipahami oleh semua orang.

Yang dimaksud dengan metode tafsir Muqaran adalah menge-mukakan penafsiran al-Qur’an yang ditulis oleh sejumlah para penafsir. Di sini seorang penafsir menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, ke-mudian ia mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah mufasir mengenai ayat tersebut melalui kitab-kitab tafsir mereka, apakah mereka itu pe-nafsir dari generasi salaf maupun khalaf, apakah tafsir mereka itu tafsir bi al Ma’tsur ataupun tafsir bi al ra’yi. Dalam hal ini mufasir berusaha mem bandingkan arah dan kecenderungan masing-masing penafsir, dan menganalisis tentang apa yang melatarbelakangi seorang penafsir me-nuju arah dan memilih kecenderungan tertentu.

Metode Maudlu’iy atau tafsir tematik adalah suatu metode tafsir dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mempunyai satu makna dan menyusunnya di bawah satu judul bahasa (farmawi,1994:34).

Dr. Abd. Hayy Farmawi sorang guru besar pada Fakultas Usuludin Al Azhar, mengemukakan secara terperinci langkah-langkah tersebut ialah:1. Menetapkan masalah yang akan dibahas;2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;

Page 176: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

162 Dr. Adang Kuswaya

3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai dengan pengetahuan tentang asbab al nuzulnya;

4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing;

5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna;6. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan

pokok pembahasan;7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan

menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian sama, atau mengkompromikan yang ‘am dan yang khash, yang mutlaq dengan yang muqayyad, yang tampak lahirnya bertentangan sehingga ke-se muanya bertemu pada suatu muara, tanpa perbedaan atau pe-maksaan.

Seperti yang dituturkan Quraisy Shihab dalam buku monumentalnya, Membumikan Al-Qur’an, dia mengatakan bahwa metode maudlu’iy ini memiliki keistimewaan di antaranya: kesimpulan yang dihasilkannya mudah dipahami. Dengan metode ini dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh al-Qur’an bukan bersifat teoritis semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Metode ini me-mungkinkan seseorang untuk menolah anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Qur’an.

F. Tinjauan PustakaPenelitian berkenaan dengan tema yang diangkat oleh peneliti secara spesifik sama belum dilakukan oleh banyak kalangan. Namun demikian, sebagai bahan pertimbangan akan peneliti sampaikan judul-judul pe-nelitian yang berbicara seputar mudik, lebaran, dan idul fitri perspektif sosiologi murni. Beberapa tulisan tentang lebaran di antaranya sebagai berikut di bawah ini.

Tulisan Anis Putri Sari berjudul Tradisi Mudik Lebaran tulisan yang diangkat dalam sebuah majalah Hidayah 30 Agustus 2010 meng-ungkapkan bahwa mudik, berdasarkan kajian sosiologis menjadi tradisi yang sangat fenomenal di negeri ini. Alasannya, mungkin salah satunya

Page 177: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

163Aplikasi Teori

terkait dengan politik pembangunan. Selama ini kota menjadi lumbung duit yang cukup menggiurkan, sebaliknya desa-desa dibiarkan miskin. Akibatnya, arus urbanisasi mengalir deras, dan wajar jika kaum urban inilah yang kemudian ramai-ramai mudik lebaran. Mereka menjadikan hari lebaran sebagai musim mudik. Dengan mudik, orang yang sudah kehilangan jati dirinya di tengah kota ingin ia temukan kembali dengan cara menghirup kembali udara desa sambil mengenang masa lalunya di sana. Mudik bisa menjadi momen bersayap, berpulang untuk berbagi dalam bingkai silaturrahim. Bersilaturrahim dalam konteks ini dapat mencapai kepuasan oase dari keterasingan dan tingginya nilai individual masyarakat perkotaan. Jika di kota ia hanya menjadi ibarat sebuah skrup dari mesin besar, maka di kampung ia dihargai sebagai manusia. Jika di kota ia diberi label sebagai buruh, karyawan, atau lainnya, maka di desa ia dipanggil sebagai anak, abang, adik, atau ipar. Jika di kota ia sering dihadapkan dengan wajah yang garang, suara gertakan, dan mungkin ancaman, maka di desa ia menemukan kedamaian, ketenangan, dan ke-ramahtamahan. Pendek kata, para urban akan memperoleh arti ke-manusiaan dan status sosial di desa melebihi yang didapatnya di kota.

Selanjutnya Anis mengemukakan bahwa fenomena mudik sebalik-nya, sering dijadikan sebagai media untuk menunjukkan sukses di kota. Status sosial yang diperoleh perlu diketahui oleh sanak-keluarga. Maka mereka pun ikut mudik dengan kendaraan sendiri. Anehnya, ternyata tarikan sosiologis serupa sangat kuat, sebab tidak sedikit orang kota yang mudik sambil “bersandiwara”. Mereka datang dengan mobil pribadi, walaupun harus menyewa dari rental. Inilah fenomena mudik, menjadi tidak sekedar beridul fitri, tetapi juga menjadi ajang pamer keberhasil-an, yang pada gilirannya memicu arus urbanisasi terus mengalir deras.

Dalam simpulan Anis menyampaikan bahwa Idul fitri yang ber-nilai sakral menjadi lebih profan (tidak sakral lagi) di tengah umat kita. Orang pun tak begitu mengenal apa itu hakikat dan makna Idul Fitri, tetapi mereka akrab dan familiar dengan istilah halal bi halal, ziarah kubur, dan mudik. Lebaran adalah saat solidaritas sosial diperkuat dengan cara yang lebih terorganisir, sehingga setiap lebaran tiba ada sejumlah umat miskin yang tersejahterakan, tidak saja untuk satu atau dua hari, tapi

Page 178: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

164 Dr. Adang Kuswaya

sampai ke anak cucu. Mudik tidak sekedar pamer sukses, tetapi mudik yang mensejahterakan. Inilah teologi silaturrahmi yang perlu dihayati sekaligus diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

Kajian Sosiologis Fenomena Mudik karya Gumilar R. Somantri. Me-nurutnya bahwa Mudik merupakan fenomena sosial yang rutin setiap tahun terjadi. Mudik di sini dipahami sebagai liburan massal warga kota-kota besar di daerah asal mereka (desa atau kota-kota yang lebih kecil). Kegiatan ini biasanya dilakukan menjelang hari raya Idul Fitri, natal dan tahun baru. Jumlah warga kota yang mudik setiap tahun diperkirakan berkisar sekitar sepuluh hingga enampuluh persen. Hal ini dapat dilihat pada bukti empiris: saat liburan di atas jalan-jalan dan pusat-pusat ke-ramaian kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang dan sebagainya, menjadi relatif sepi. Hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa kota-kota besar Indonesia dibangun oleh keberada-an para “pendatang” (Abeyasekere 1989; Jelinek 1991; Evers dan Korff 2000: Somantri 2001).

Fenomena mudik muncul dan menjadi trend menarik sejak kota-kota di Indonesia berkembang pesat sebagai imbas integrasi pada sistem ekonomi kapitalis di awal tahun 1970-an. Dinamika sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan di kota-kota besar menjadi “energi” pertam-bahan penduduk, terutama yang berasal dari migrasi. Warga kota yang banyak di antaranya para pendatang melakukan aktivitas mudik pada kesempatan-kesempatan tertentu, yaitu pada hari libur kerja yang panjang dan bermakna kultural (lebaran, natal, dan tahun baru).

Berbicara mengenai motif mudik warga kota besar, kita dapat me-lihat melalui konteks rasionalisasi masyarakat. Di awal integrasi masya-rakat Indonesia pada sistem ekonomi kapitalis dunia, di mana tingkat rasionalisasi relatif belum berkembang, mudik mempunyai motif tradisionalistik. Yaitu, warga kota mengisi kembali “ruh” pola-pola kehidupan tradisional yang terkikis dalam persentuhan dengan moder-nisasi di kota-kota besar. Mudik dapat dipandang sebagai penegasan rutin keanggotaan warga kota besar pada komunal daerah asal di desa atau kota-kota yang lebih kecil. Mudik pun sarat simbol kultural me ngenai cerita sukses warga desa berjuang di kerasnya kehidupan kota-kota besar.

Page 179: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

165Aplikasi Teori

Pada konteks ini, warga yang tidak mudik biasanya diinterpretasikan berdasarkan alasan yang familiar seperti berhalangan (positif) atau mulai “lupa” asal-usul (negatif).

Tampaknya kini, di awal abad ke-21, setelah masyarakat Indonesia lebih dari tiga dasawarsa berkiprah dalam dunia ekonomi berorientasi pasar, motif mudik telah bergeser ke arah yang lebih rasional. Warga kota-kota besar mudik pada umumnya karena alasan praktis sebagai berikut: 1) rekreasi keluarga dalam suasana kekeluargaan; 2) pertemuan keluarga luas yang praktis, efisien, dan pada saat yang tepat secara sosio-kultural. Bahkan, untuk beberapa kasus, mudik dapat bertalian dengan lobi sosial dan ekonomi dalam kerangka penguatan dan perluasan modal sosial. Warga yang tidak mudik mulai mendapat ruang toleransi sosial. Mereka dipahami dalam penjelasan rasional seperti sibuk dengan pekerjaan, masalah transportasi, keamanan rumah, dan sebagainya. Akan-kah fenomena mudik di masa yang akan datang hilang? Kota-kota besar Indonesia mempunyai konteksnya sendiri-sendiri yang tipikal. Namun demikian, kenyataan bahwa secara umum kota-kota besar berperan penting dalam dinamika sistem ekonomi kapitalis secara umum, adalah sulit untuk dipungkiri (Smith dan Feagin 1991; Sassen 1994).

Menurut Somantri bahwa mudik juga dapat dilihat sebagai bagian dari proses untuk memulihkan energi produktif (lihat Saunders 1995). Keuntungan lain diantaranya adalah modal sosial (jaringan ekonomi diantara anggota keluarga luas dan kenalan) dapat terpupuk yang ke-mudian diharapkan dapat menopang produktivitas ketika kembali lagi ke kota. Kerugian sistemik mudik pun dapat kita identifikasi. Ia terkait dengan melonjaknya masalah transportasi, keamanan, lingkungan (polusi), dan ekonomi rumah tangga. Namun demikian, masalah ini dapat dilihat sebagai tantangan bagi negara untuk melakukan fasilitasi: 1) pe-ngem bangan sistem transportasi cepat dan massal yang bersifat luas dan lintas daeral/pulau; 2) keamanan berbasis kesejahteraan warga; 3) pembangunan sistem keamanan sosial dan kerja termasuk cuti. Melalui peran negara di atas, mudik akan menjadi perilaku warga Jakarta yang nyaman dan berdimensi sosial-ekonomi rasional-produktif.

Page 180: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

166 Dr. Adang Kuswaya

Melihat kekuatan dua tulisan di atas sangat kental dengan perspektif sosiologisnya, sementara peneliti di samping penggunaan pendekatan sosiologis juga menggunakan pendekatan library research untuk melihat penggunaan al-Qur’an terhadap konsep yang dipakai dalam membedah Al’afw memaafkan. Oleh karena itu, peneliti menggunakan sosio-tematik tafsir al-Qur’an yang rumusan metodenya disampaikan dalam dasar pemikiran.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tafsir Al-Qur’an Sosio-tematik1. Pengertian TafsirPengertian tafsir berasal dari bahasa Arab al-Tafsir. Sebetulnya kata ini sudah menjadi Bahasa Indonesia yaitu tafsir yang berarti penjelasan sehingga kata ini sudah banyak dipahami orang. Tetapi untuk meng-hindari kesalahan pemahaman yang disebabkan oleh perbedaan dalam pengertiannya, berikut akan dijelaskan pengertiannya. Secara bahasa para ulama sebetulnya tidak sepakat dalam mengartikan kata tafsir ter sebut. Berikut ini sebagian pendapat di antaranya mereka.

Prof. Dr. Abdul Djalal, seorang guru besar di IAIN Sunan Ampel Surabaya yang mengutip perkataan Al Suyuti bahwa menurut sebagian para ulama kata Tafsir itu berasal dari kebalikan kata safar seperti dalam ungkapan asfara shubh yang berarti fajar telah bercahaya terang.

a. Tafsir menurut bahasa1) Imam Al Zarkasyi mengatakan, bahwa Tafsir itu berasal dari kata

tafsirah yang berarti alat yang dipakai oleh dokter untuk memeriksa orang sakit, yang berfungsi membuka, menjelaskan, sehingga tafsir berarti penjelasan (Al Zarkasyi,1957, II;147)

Page 181: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

167Aplikasi Teori

2) Menurut syeikh Manna’ Al Qaththan, kata tafsir itu mengukuti wazan taf ’il, dari kata fasara yang berarti menerangkan, membuka dan menjelaskan makna yang ma’qul. Dalam bahasa Arab perkataan Fasru berarti membuka arti yang sukar, sedang perkataan tafsir ber-arti membuka, menjelaskan arti yang dimaksud dari lafal-lafal yang sulit (Manna’Al Qaththan,1971:277).

3) Menurut Ibnu Mandzur, perkataan tafsir itu berarti al bayan atau keterangan. Kalau kata fasru berarti menerangkan sesuatu yang tertutup atau menjelaskan maksud yang samar, maka perkataan tafsir berarti menjelaskan maksud dari sesuatu lafal yang sulit artinya (Ibnu Mandzur, tt,vI:361)

Dari semua pendapat tersebut di atas, ternyata bahwa sekalipun mereka berbeda pendapat dalam menerangkan kata asal dari lafal tafsir itu, tetapi sebetulnya perkataan tafsir menurut bahasa berarti keterangan atau pen-jelasan maksud dari kata-kata yang sukar.

b. Tafsir Menurut IstilahPara ulama memberi definisi berbeda tentang tafsir:1) Imam Jalaludin al Suyuthi mengutip definisi tafsir menurut istilah

dari sebagian ulama sebagai berikut: “Tafsir ialah ilmu mengenai turunnya ayat-ayat dalam hal ihwal-

nya, riwayat-riwayat dan sebab-sebab turunnyaa, urutan makiyah dan madaniyahnya, muhkam dan mutasyabihatnya, nasikh dan mansukh-nya, khusus dan umumnya, mutlaq dan muqayyadnya, mujmal dan mufassar nya, halal dan haramnya, janji dan ancamannya, perintah dan larangannya, dan mengenai ungkapan-ungkapan dan perumpa-maan-perumpamaan-nya” (Djalal, 1990:5).

2) Imam Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai berikut: “Tafsir ialah ilmu yang membahas cara-cara mengucapkan lafal-

lafal al-Qur’an dan menerangkan petunjuk-petunjuk serta hukum-hukumnya, baik yang mufrad maupun yang tersusun dan menje-laskan makna-makna yang dibawa oleh lafal-lafal itu ketika dalam susunan dalam redaksi, serta ulasan-ulasan yang melengkapi semua itu.”

Page 182: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

168 Dr. Adang Kuswaya

3) Imam Al Zarqani mendefinisikan tafsir sebagai berikut: “Tafsir menurut istilah ialah ilmu yang membahas tentang al-

Qur’an al-Karim dari segi petunjuk-petunjuknya terhadap makna yang dikehendaki Allah SWT, sesuai dengan kemampuan manusia” (Al Zarqani,tt,I:471).

4) Prof. Dr.T.M. Hasbi Ash Shiddiqi mengutip definisi tafsir dari pengarang kitab Taujih sebagai berikut:

“Tafsir pada hakikatnya ialah mensyarahkan lafadz yang sukar di -pahami pendengar dengan uraian yang menjelaskan maksud. Demikian itu adakalanya yang menyebut sinonimnya atau yang mendekatinya atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melalui se-suatu jalan petunjuk.”

5) Imam Badruddin Al Zarkasyi memberi definisi: “Tafsir ialah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad SAW dan menjelaskan artinya serta menge-luarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya” (Al Zarkasyi, 1957, I:13).

Dari sekian definisi di atas dapatlah disimpulkan:1) Tafsir dalam arti sempit, yang tidak lebih dari menerangkan lafal-

lafal ayat dan I’rabnya serta menerangkan segi-segi serta susunan al-Qur’an dan isyarat-isyarat ilmiahnya.

2) Tafsir dalam arti luas yang tujuan utamanya ialah menjelaskan pe-tunjuk-petunjuk al-Qur’an dan ajaran-ajaran serta-serta hukumnya dan hikmah Allah di dalam mensyari’atkan hukum kepada umat manusia dengan cara yang menarik hati. Tafsir macam kedua inilah yang lebih layak disebut tafsir.

2. Perkembangan Tafsir Pada Zaman ModernYang dimaksud zaman modern di sini ialah dari sejak abad XIV H. Sampai sekarang ini, yaitu sejak diadakannya modernisasi Islam di Mesir oleh Jamaludin al Afghani (1838-1896 M) dan Muhammad Abduh (1854-1905 M), di Pakistan oleh Muhammad Iqbal (1878-1938 M), di India oleh Ahmad Chan (1817-1898 M) di Indonesia oleh HOS Cokroaminoto, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari (Djalal, 1990:39).

Page 183: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

169Aplikasi Teori

Prof.Dr. Quraish shihab dalam suatau seminarnya pernah mem-bahas tafsir dan modernisasi. Modernisasi atau tajdid yaitu menyebar luaskan dan menghidupkan kembali ajatran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa al salaf al awwal.

Menurutnya juga, memahami ajaran-ajaran agama atau menafsir-kan al-Qur’an sebagaimana dipahami dan ditafsirkan al salaf itu tidak sepenuhnya benar, ini bukan saja karena al-Qur’an harus diyakini ber-dialog dengan setiap generasi serta memerintahkan mereka untuk mem-pelajari dan memikirkannya. Sementara itu, hasil pemikiran pasti di-pengaruhi oleh sekian faktor, antara lain pengalaman, pengetahuan, ke cenderungan latar belakang pendidikan yang berbeda antara generasi, bahkan antara pemikir yang masih segenerasi (Shihab, 1992:93).

Melakukan tajdid dengan jalan menghapus atau membatalkan ajaran-nya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran al-Qur’an yang dinilai selalu sesuai dengan setiap masa dan tempat. Selain itu, menafsirkan dan menta’wilkannya sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi, ini mengandung bahaya yang tidak kecil. Ini karena perkembangan masyarakat dapat merupakan akibat potensi positif manusia dan dapat juga sebaliknya. Demikian pula dengan pe-nemuan ilmiah ada yang bersifat obyektif serta telah mapan dan ada pula yang sebaliknya.

Para mufasir pada zaman ini dalam menafsirkan mereka bertitik tolak dari pembaharuan Islam, sehingga kebanyakan mereka selalau me ngaitkan ayat-ayat al-Qur’an dan ajarannya dengan keadaan social kemasyarakatan pada zaman ini, dengan mengeksposkan bahwa ajaran Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan kemajuan. Dalam menafsirkan, mereka kebanyakan bersumber pada riwayat-riwayat dan pendapat-pendapat mufasir terdahulu yang disesuaikan dengan zaman.

Syekh Sayid Ridla dalam muqaddimah Tafsir Al-Manar mengata-kan yang artinya sebagai berikut: “Kitab ini adalah satu-satunya tafsir yang mengumpulkan antara nash yang shahih dan akal yang sehat yang menjelaskan hukum syara` dan ketentuan Allah dan ciptaan-Nya sebagai pedoman hidup manusia pada semua masa dan seluruh tempat yang men-

Page 184: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

170 Dr. Adang Kuswaya

jembatani antara petunjuk-petunjuknya dengan masalah-masalah yang dihadapi kaum muslimin pada saat ini (Ridla, tt, I, Mukaddimah).”

Sementara pembaru dinilai sangat memperluas penggunaan ta`wil, tanpa suatu alasan yang mendukungnya. Kita dapat memahami motivasai sebagian mereka seperti motivasi Muhammad Abduh yang meng gu-nakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran-ajaran agama, sambil mempersempit sedapat mungkin wilayah ghaib. Namun bila hal itu di-per turutkan tanpa batas, maka ia dapat mengakibatkan pengingkaran hal-hal yang bersifat supra-rasional sebagaimana ditemukan dalam pe-mikiran sementara pembaharu. Menggunakan akal sebagai tolak ukur satu-satunya dalam memakai teks-teks keagamaan, khususnya tentang peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusian dalam hal-hal ghaib, ber-arti menggunakan sesuatu yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Tuhan, zat yang mutlak (Quraish Shihab, 19922a: 99).

3. Syarat-Syarat Seorang Mufasir.Al-Qur’an merupakan bukti kebenaran Nabi SAW sekaligus petunjuk bagi umat manusia kapan dan dimanapun, memiliki pelbagai macam ke istimewaan. Keistimewaan tersebut antara lain, susunan bahasanya yang unik pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapapun yang memahami bahasanya. Walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor.

Dari segi syarat penafsir, khusus bagi penafsiran yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak syarat. Secara umum dan pada pokok intinya dapat disimpulkan sebagai berikut:1. pengetahuna tentang bahasa arab dalam berbagai bidangnya2. pengetahuan tentang ilmu-ilmu al-Qur’an, sejarah turunnya, hadits-

hadits Nabi, dan ushul fiqih3. pengetahun tentang prinsip-prinsp pokok keagamaan, dan 4. pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi behasan ayat. (Shihab, 1992:79)

Imam al-Zarwani menegaskan, bahwa keharusan memenuhi semua yat-ayat tersebut diatas itu adalah untuk dapat mencapai tingkatan tafsir yang tertinggi, yang untuk mengetahui dan menjelaskna arti dan maksud

Page 185: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

171Aplikasi Teori

ayat-ayat al-Qur’an dan mengistinbatkan hukum-hukum kandunganya. Tetapi kalau sekedar untuk mencapai tafsir yang terendah, yang hanya sekedar untuk mengetahui arti ayat yang umum secara singkat agar bisa merenungkan kebesaran Tuhan, seperti yang biasanya dijangkau oleh kebanyakan orang, maka dalam hal itu diharuskan memenuhi seluruh syarat mufasir tersebut diatas (al Zarqani, tt, I:519).

4. Macam-macam Metodologi tafsir al-Qur’an.Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam. Kitab suci itu menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilimu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah per-gerakan umat ini.

Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya umat. Sekaligus penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.

Manurut Quraish: agaknya akan lebih mudah dan efisien bila ber-titik tolak dari pandangan Farmawi yang membagi metode tafsir men-jadi empat yaitu: tahlily, Ijmaly, Muqaran, Maudlu`I. Dan yang paling populer itu adalah tahlily dan Maudlu`I, demikian menurut Baqir al Shadr.

a. Tafsir Al TahlilyMenurut Shadra bahwa yang dimaksud dengan tafsir Al Tahlily atau tafsir Analitis ialah pendekatan yang dipakai mufsair dalam membahas al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaiannya yang tersusun dalm Al-Qur’an. Ia mengikuti naskah al-Qur’an dan menjelaskannya dengan penafsiran yang ia yakini efektif (seperti mengandalkan pada arti-arti harfiah, hadits atau ayat-ayat yang mempunyai kata atau pengertian sama dengan ayat yang sedang dikaji), sebatas kemampuanya di dalam mem-bantu menerangkan makna bagian yang sedang ditafsirkan sambil mem-perhatikan konteks naskah tersebut (Al Sadra, Jurnal UQ, 1990: 28).

Tafsir Tahlily ini dibagi menjadi tujuh macam corak sebagai berikut: tafsir bi al-ma`tsur, tafsir bi al-ra`yi, tafsir al-shufi, tafsir al-fiqh, tafsir al- falsafi, tafsir al- ilmi, tafsir al- adab al ijtima`i.

Page 186: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

172 Dr. Adang Kuswaya

Pertama, tafsir bi al-ma`tsur yaitu tatacara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan atas sumber-sumber penafsiran dari al-Qur’an, Hadits, riwayat sahabat dan riwayat para tabi`in, demikian yang diuraikan oleh Dr. Shubi al Shalih dalam buku Mahabits fi Ulum al Qur`an. Adapun manna` l Qaththan memberikan definisi sebagai berikut: “Tafsir bi al ma`tsur ialah yang didasarkan atas dalil-dalil yang dikutip dengan shahih dan sistematis, mulai tafsir al-Qur’an, atau sunnah, karena sunnah itu datang dari kitab Allah, atau dengan yang diriwayat-kan para sahabat, karena mereka ialah orang yang paling tahu dengan kitab Allah itu, atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh tabiin, karena mereka pada umumnya menerima hal itu dari para sahabat.”

Metode ini mengambil riwayat kutipan dari sumber yang ber-hubungan dengan makna ayat yang akan ditafsirkan, lalu menyebutkan penafsirannya berdsarkan riwayat tersebut, tanpa berijtihad dalam men-jelaskan maksud ayat tadi, dan tidak mencari penafsirannya dari sumber lain bahkan menghindari keterangan yang tidak ada faedahnya, selama tidak ada dalilnya (Manna` Al Qaththaan, 1971: 299).

Contoh-contoh kitab tafsir yang memaki metode ini adalah Jami` al Bayan fi tafsir al-Qur’an karya ibnu Jarir al Thabari (w. 310); Tafsir Al-Qur’an al Adhim, oleh Imam Abu al Fida Ismai`l Ibnu Katsir (w. 774) dan Al Durr al Manstur Fi al-Tafsir bi al-Ma`tsur, oleh imam jalaluddin Al Suyuthi (911 H) (Al Dhahabi, 1961, I)

b. Tafsir IjmalyAl Tafsir Ijmaly ialah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global di dalam sistematika uraiannya. Mufasir membahas ayat-ayat sesuai dengan uruatan yang ber ada dalam mushaf. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui oleh jumhur ulama dan mudah dipahami oleh setiap orang (Farmawi : 29).

Dalam tafsirannya seorang mufasir menggunakan lafaz bahasa yang mirip bahkan sama dengan lafaz al-Qur’an. Sehingga pembaca akan me-rasa bahwa uraiannya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa al-Qur’an itu sendiri. Sehingga di satu sisi, karya ini dinilai betul-betul sebagai karya

Page 187: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

173Aplikasi Teori

tafsir; dan disisi lain, betul-betul mempunyai hubungan yang erat dengan susunan bahasa al-Qur’an.

Di antara kitab tafsir yang ditulis dengan memakai metode ini adalah: tafsir al-Qur’an al Karim oleh Muhammad Farid Wajdi dan tafsir Al wasith terbitan Majma` al-Buhuta al-Islamiyyah.

c. Tafsir Al MuqaranTafsir al Muqaran atau tafsir komparasi adalah membandingkan ayat-ayat yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda dan yang memilki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Termasuk dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi yang tampak bertentangan, serta mem bandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penaf-siran ayat-ayat al-Qur’an (Shihab, 19922:118).

Dalam hal ini seorang peneliti juga berusaha membandingkan arah dan kecenderungan masing-masing penafsir, menganalisis tentang apa gerangan yang melatarbelakangi seorang penafsir menuju arah dan kecenderungan tertentu (Farmawi, 1994:30).

d. Tafsir Maudu`i Yang dimaksud dengan metode tafsir Maudlu`I ialah pendekatan tafsir yang mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial dan kosmologi yang dibahas oleh al-Qur’an dengan tujuan menetapkan pandangan al-Qur’an mengenahi hal tersebut (Jurnal UQ 4, 1990:28).

B. Sejarah Lahirnya Tafsir Tematik1. Pengertian dan bentuk tafsir tematika. Pengertian menurut bahasaKata maudlu`i berasal dari bahasa Arab: maudlu yang merupakan isim maf`ul dari fi`il madly wadla`a yang berarti meletakkan, menjadikan, meng hina, mendustakan dan membuat-buat (Luis Ma`luf, 1965: 905). Se dangkan kata Mudlu` sendiri berarti yang diletakkan, yang ditaruh

Page 188: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

174 Dr. Adang Kuswaya

yang diantar, yang dibicarakan, yang dihinakan, yang didustakan, yang dibuat obat dan yang dipalsukan (Al Marbawi). Arti Maudlu` yang di-maksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul, topic, sehingga tafsir maudlu`I berarti penjelasan ayat-ayat al-Qur’an mengenai satu judul, topik, sektor pembicaraan tertentu (Djalal, 199.: 83).

b. Pengertian Menurut Istilah Dalam menerangkan pengertia tafsir Maudlu`I menurut istlah, para ulama memberikan definisi hamper sama, karena tafsir maudlu`I ini masih merupakan istilah yang baru bagi mereka. Dr. Ali Halil. Dr. Muhammad Hijazi dan Dr. Abd. Hayy Farmawi memberikan definisi Tafsir Maudlu`I sebagai berikut: “(Tafsir maudlu`I ialah) mengum-pul kan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang ber sama-sama membahas topik, judul tertentu dan menyusunnya se-dapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubung-an dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistinbatkan hukum-hukum (Al Farmawi, 1977:52; Djalal, 1990: 84).”

c. Bentuk Tafsir Maudlu`iAda dua bentuk Penafsiran maudlu`I atau Tematik:1) Penafsiran suatau surah dalam al-Qur’an dengan menjelaskan

tujuan-tujuannnya secara umum dan khusus atau tema sentral surah tersebut, kemudian menghubungkan ayat-ayat yang beraneka ragam itu satu dengan lain dengan tema sentral tersebut. Metode ini di-terapkan pertama kali oleh Al Syatibi dan dikembangkan juga antara lain oleh Mahmud Syaltut.

2) Menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas masalah ter-tentu dari berbagai surah al-Qur’an (sedapat mungkin diurutkan sesuai dengan masa turunnya, apalagi yang dibahas adalah masalah hukum) sambil memperhatikan sebab nuzul, munasabah masing-masing ayat, kemudian menjelaskan pengartian ayat-ayat tersebut yang mempunyai kaitan dengan tema atau pertanyaan–pertanyan

Page 189: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

175Aplikasi Teori

yang diajukan oleh mufasir dalam satu kesatuan pembahasan sampai ditemukan jawaban-jawaban al-Qur’an menyangkut tema (per soalan) yang dibahas (Shihab, 1992: 156).

Dalam hal menghimpun ayat-ayat yang berkaitan satu sama lain, beberapa ulama menekankan bahwa tidak selalu keseluruhan ayat yang berbicara tentang tertentu harus dikumpulkan. Boleh saja, kata mereka, ayat-ayat yang diduga keras telah dapat diwakili oleh ayat-ayat lain tidak lagi diangkat. Dalam penelitian ini penulis akan mencoba melihat beberapa aspek dari ayat-ayat yang berbicara tentang ummy dengan menggunakan metode tematik dalam bentuk yang kedua di atas.

2. Sejarah lahir dan pertumbuhan tafsir tematik.Jika ditelususi pertumbuhan tafsir al-Qur’an sejak dari awal pertumbuh-an pada masa Rasul SAW sampai sekarang ini, maka sebetulnya bias dikatakan sebagai tafsir maudlu`I ini sudah ada pula sejak awak per-tumbuhan tafsir al-Qur’an itu, khususnya tafsir yang menjelaskan bebe-rapa ayat al-Qur’an yang membahas suatu judul.

Dalam konteks ini al Farmawi dalam bukunya al Bidayah fi al tafsir al maudlu`I bahwa semua ayat-ayat yang ditafsirkan dengan al-Qur’an adalah termasuk tafsir Maudlu`I dan sekaligus merupakan permulaan dari pertumbuhan metode tafsir maudu`i (Farmawi; 1977;57).

Yang telah menulis kitab yang memakai metode tafsir maudlu`I antara lain:a. Ibnu Qayyim dalam buku al Bayan fi Qosam al-Qur`anb. Abu Ubaidah dalam buku Majaz al-Qur’anc. Al Raghib al Asfahani dalam buku Majaz Qur`and. Al Waiidi dalam bukunya Asbab an Nuzule. Abu Ja`far al Nuwas dalam al Nasikh wa`al mansikh min al Qur`an

Sebab-sebab belum diperhatikannya Tafsir maudlu`ia. Karena dahulu pada awal pertumbuhan tafsir, mereka masih belum

mengambil spesialisai dalm ilmu-ilmu pengetahuan tertentu, yang memungkinkan mereka untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an se-cara maudlu’, tema.

Page 190: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

176 Dr. Adang Kuswaya

b. Karena mereka belum terdesak untuk membahas Tafsir Maudlu`I, disebabkan kebanyakan mereka adalah orang-orang hafal seluruh ayat al-Qur’an sehingga mereka mampu menghubungkan isi ayat yang satu dengan yang lain, yang masih satu tema (Djalal, 1990:89).

Setelah umat Islam menyadari bahwa al-Qur`an sebagai petunjuk, yang mengatur segala segi kehidupan, dan setelah disadari perlunya dakwah islamiyah yang intensif untuk memurnikan aqidah, menegaskan kebe-naran dan keadilan, maka Allah SWT memudahkan mereka untuk mem-pelajari petunjuk-petunjuk al-Qur’an dari berbagai sektornya seperti sektor aqidah, syari`ah, akhlaq dan sebagainya.

Hal itu dirasa kecil sekali kemungkinan untuk bisa mencapai tujuan al-Qur’an kalau hanya dengan penafsiran secara tahlily, sedangkan tema petunjuk al-Qur’an itu dijelaskan dalam berbagai ayat yang tersebar dalam berbagai surat (Djaja, 1990; 90).

3. Metode Tafsir TematikCara kerja metode metode tafsir maudlu`I, sebagaimana disebutkan Farmawi adalah sebagai berikut:a. Memilih atau menetapkan maslah al-Qur’an yang akan dikaji secara

Maudlu`i.b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah

ditetapkan, ayat Makiyah dan Madaniyah.c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara kronologis disertai pengetahuan

mengenai asbab al nuzulnya.d. Mengetahui korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-

masing.e. Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang pas, sistematis, sem-

purna dan utuh.f. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadits bila dipandang

perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna.g. Mempelajari ayat-ayat yang secara tematik itu dengan cara meng-

himpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, menye-suaikan antara yang umum dengan yang khusus, yang mutlak

Page 191: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

177Aplikasi Teori

dengan yang muqayyad, yang global dengan yang terperinci dan me madukan antara ayat-ayat yang kelihatannya bertentangan satu sama lainnya, serta menentukan yang nasakh dari mansukh, sehingga mencakup semua nash-nash mengenai satu judul (Farmawi 1977:61-62 ).

Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan al-Qur’an mempunyai beberapa catatan dalam rangka pengembangan metode tafsir maudlu`i dan langkah-langkah yang diusulkan di atas:a. Penetapan masalah yang dibahas Walaupun metode ini dapat menampung semua persoalan yang

diajukan, terlepas apakah jawabannya ada atau tidak, namun untuk menghindari kesan keterikatan yang dihasilkan oleh metode tahlily akibatnya pembahasannya terlalu bersifat teoritis, maka akan lebih baik bila persoalan yang menyentuh masyarakat dan dirasa langsung oleh mereka.

b. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya Yaitu hanya dibutuhkan dalam upaya mengetahui perkembang an

petunjuk al Qur`an menyangkut persoalan yang dibahas, apalagi bagi mereka yang berpendapat ada nash dan mansukh dalam al-Qur’an. Bagi mereka yang bermaksud menguaraikan satu kisah, maka runtuttan yang di butuhkan adalahruntuttan krnologi peris-tiwa.

c. Walaupun metode ini tidak mengharuskan uraian tentang penger-tian kosakata, namun kesempurnaanya dapat dicapai apabila sejak dini mufasir berusaha memahami arti kosakat ayat dengan merujuk kepada penggunaan al-Qur`an mandiri. Hal ini dapat dinilai se-bagai pengambangan dari tafsir al Ma`tsur, yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari metode maudu`i.

d. Perlu digarisbawahi bahwa, walaupun dalam langkah-angkah ter -sebut tidak dikemukakan menyangkut sebab nuzul, namun tentu-nya hal ini tak dapat diabaikan, karena sebab nuzul mem punyai peranan yang sangat besar dalam memahami ayat-ayat al-Qur`an. Hanya saja hal ini tidak disebutkan dalam uraiain, tetapi harus

Page 192: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

178 Dr. Adang Kuswaya

dipertimbangkan ketika memahami ayat-ayatnya masing-masing. Demikian juga halnya hubungan antara ayat, selama tidak mem-pengaruhi pengertian yang akan ditonjolkan (Shihab, 1992; 116).

Dalam formula penafsiran lebih jauhnya peneliti meminjam metode fenomenologi Edmund Husserl dengan mengajukan tiga kritikan dalam formula penafsiran. Pertama, kritik sejarah (al syu’ûr al târîhî) untuk me-nentukan teks pada tingkat keasliannya, seperti adanya transferensi tulisan dalam kasus penulisan al-Qur’an dan transferensi oral dalam kasus periwayatan hadits; kedua, kritik eidetik (al syu’ûr al ta`ammulî) untuk menjelaskan makna teks dan menjadikannya rasional. Dalam langkah kedua ini dilakukan pertama, analisis kebahasaan (tahlil lughah) yang terdiri dari analisis bentuk (tahlîl al Shûrî) dan analisis isi (tahlîl al madlmûn) dan yang kedua analisis realitas (tahlîl al wâqi’). Sedangkan kritik ketiga, praktis (al syu’ûr al ‘amalî) sebagai pendasaran teori makna di atas bagi tindakan manusia dan mengantarkan wahyu kepada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia di dunia.

Keistimewaan Tafsir TematikBeberapa keistimewaan metode ini antara lain:a. Menghindari problem atau kelemahan metode lain.b. menafsirkan ayat-ayat dengan ayat dan hadits nabi, satu cara terbaik

dalam menafsirkan al-Qur’an.c. kesimpulan yang dihasilkan sudah dipahami, hal ini disebabkan

karena ia membawa pembaca kepada petunjuk al-Qur’an tanpa me-ngemukakan berbagai pembahasn terperinci dalam satu disiplin ilmu (Shihab, 1992:117)

d. dapat membuktikan bahwa persoalan yang disentuh al-Qur’an dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bukan ber-sifat teoritis semata.

e. dapat membawa kita kepada pendapat al-Qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawabannya.

f. dapat memperjelas kembali fungsi al-Qur’an sebagai kitab suci dan membuktikan keistimewaanya.

Page 193: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

179Aplikasi Teori

g. metode ini memungkinkan seorang untuk menolak anggapan ada-nya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Qur’an.

Perbedan antara metode Maudlu`i dan tahlily Dalam membedakan antara metode Maudlu`I dengan metode tahlily ini, dalam sebuah artikelnya yang dimuat Jurnal Ulumul Qur`an 4 tahun 1990, Muhammad Baqir Sadr mengemukakan sebagai berikut: Isi umum-nya pasif; dan arena al-Qur’an menonjolkan arti harfiah-nya, maka si mufasir hanya mencatat sejauh kemampuannya. Kontras dengan ini, mufasir dengan metode tematis tidak memulai dari naskah al-Qur’an melainkan dari realitas kehidupan. Ia menempatkan sebuah topik dan masalah dihadapan al-Qur`an. Ia memulai sebuah dialog dengan al-Qur`an; di mana si mufasir bertanya dan al-Qur`an menjawab.

Perbedaan lain ialah metode tahlily membatasi dirinya pada peng-ungkapan arti ayat al-Qur’an secara terperinci, sementara metode tematis menuju pada sesuatu yang lebih dari ini dan mempunyai lingkup pen-carian yang lebih luas. Ini berarti metode ni selangkah lebih maju daripada tafsir tahlily, dan produktif, karena ia dilengkapi dengan materi-materi baru yang didapat dari pengalaman manusia (Jurnal UQ 4, 1990:32).

Perbedaan Metode Maudlu`I degan Metode Ijmali Mengenai perbedaan metode kedua ini Dr. Abdul Hayy Farmawy dalam buku terjemahan bahas Indonesia, Metode Tafsir Maudlu`I Suatu Pengantar mengatakan sebagai berikut:a. Mufasir Maudlu`I bermaksud membahas satu masalah dengan ayat-

ayat yang ada, makkiyah maupun madaniyah, tanpa terikat dengan susunan ayat yang ada dalam mushaf. Sedangkan mufasir ijtimaly tetap terikat dengan susunan ayat seperti yang ada dalam mushaf meskipun ia meneliti ayat-ayat dengan maksud mengungkapkan makna globalnya.

b. Metode Maudlu`I, penafsir bermaksud membahas hanya satu masalah. Sementara dalam metode ijtimaly, mufasir tidak khusus membahas satu tema masalah, melainkan membahas semua masalah yang dibicarakan setiap ayat, menurut susunan mushaf tanpa me-

Page 194: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

180 Dr. Adang Kuswaya

ngemukakan korelasi antar ayat yang membicarakan satu maslah yang sama (Farmawi, 1994: 50).

Perbedaan antara metode Maudlu`i dengan Muqarana. Metode tafsir maudlu`I bermaksud membahas satu tema masalah,

sedangkan metode Muqaran berusaha mengemukakan tafsir ayat-ayat al-Qur`an yang telah ditulis oleh sejumlah para penafsir.

b. Dalam metode Maudlu`I, untuk sampai pada tujuan yang di-maksud, penafsir harus menghimpun seluruh atau sebagian ayat al-Qur’an yang ada kaitannya dengan pokok masalah yang dibahas. Sedangkan dalam metode Muqaran untuk mencapai sasasrn yang dituju, penafsir harus meneliti sejumlah ayat al-Qur`an tertentu, kemudian mempelajari pendapat para mufasir tertentu, yang pernah menulis ayat tersebut, apakah mereka termasuk generasi salaf atau khalaf dan seterusnya (Farmawi, 1994: 51).

C. Gambaran Sekilas tentang Masyarakat Kembangarum Kota Salatiga

1. Letak GeografisKembangarum merupakan satu Rukun Warga (RW) 03 yang secara geo -grafis berada di wilayah kelurahan Dukuh Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga. Secara umum Kota Salatiga berada di ketinggian di atas 450-675 M di atas permukaan laut dan berada di lereng dan bukit pegunungan.

Luas Kembangarum hanya bagian kecil sekitar 1,5 hektar dari luas total kelurahan Dukuh sekitar 25 hektar. Sedangkan luas total Kecamatan Sidomukti adalah 11.459 km persegi atau sekitar 1145 hektar.

Posisi wilayah Kembangarum agak menanjak bila ditempuh dari darerah RW 01 yang berada di sebelah barat. Demikian juga dari Rekesan, Togaten, Kelurahan Mangunsari sebelah Timur. Di sebelah timur Kem-bangarum terlintas sungai yang bila ditelusuri alirannya bermuara ke Rawa Pening sebagai pemisah dengan Kelurahan Mangunsari.

Kondisi udara dan cuaca Kembangarum dan umumnya di Kota Salatiga sangat sejuk dan bersahabat sehingga banyak orang berminat untuk mengambil pemukiman dan bertempat tinggal. Cuaca rata-rata 23

Page 195: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

181Aplikasi Teori

-31 derajat Celsius. Curah hujan dalam setiap tahunnya termasuk cukup tinggi walaupun mengenal musim kemarau. Sedangkan musim yang ada pada umumnya di Salatiga adalah hujan, kemarau, gugur dan semi.

2. DemografiKembangarum terdiri dari delapan Rumah Tangga (RT) yang dihuni tidak kurang dari 750 sekitar 280 Kepala Keluarga (KK) dari total pen-duduk di Kelurahan Dukuh sebanyak 12.058. Kembangarum meru-pakan satu Rukun Warga (RW) dari Sembilan RW yang berada di Ke-lurahan Dukuh.

Jumlah penduduk di Kelurahan Dukuh berdasarkan kepada agama yang dianut Islam 10513, Kristen 2029, Katholik 456, Budha 13, dan Hindu 2. Ada 46 keluarga Muslim, 4 keluarga Katholik, dan 6 keluarga Kristen. Secara umum profesi masyarakat Kembangarum adalah ber-gerak di bidang jasa.

3. Sarana dan prasaranaTempat ibadah di wilayah Kembangarum terdiri dari satu masjid jami Nuruzzahro ―untuk shalat jumat― dan ada tiga mushalla (tempat shalat tetapi tidak dipakai penyelenggaraan shalat Jumat). Sedangkan me-nurut data Badan Pusat Statistik Salatiga menginformasikan bahwa di Kelurahan Dukuh terdapat 17 Masjid 10 Surau (tempat shalat yang hanya memuat kurang dari 40 jamaah) atau setingkat Mushalla. Sedangkan tempat ibadah agama selain Islam yang ada di Kelurahan Dukuh berupa 5 Gereja dan 1 Vihara.

Sarana pendidikan yang ada di Kembangarum terdiri dari Pendi-dik an Anak Usia Dini, (PAUD) Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), Sekolah Luar Biasa (SLB) Swasta, SMK Negeri dan SMK Swasta, dan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri.

Sarana umum yang terdapat di Kembangarum terdiri dari Balai RW 03 (gedung pertemuan dan olah raga Badminton dan tenis meja), dan lapangan bola. Demikian juga di sana ada lapangan bola volley sebagai sarana berbaur antarmasyarakat atau berbaurnya masyarakat dengan para mahasiswa yang tinggal di asrama.

Page 196: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

182 Dr. Adang Kuswaya

Ada asrama mahasiswa putra putri milik sebuah perguruan Tinggi dan tidak sedikit di mana rumah mereka membuka persewaan untuk kos-kosan mahasiswa dan yang lainnya. Ada juga bangunan rumah warga yang disewa untuk Warga Negara Asing (WNA) karena di seberang wilayah RW ada Sekolah Internasional. Di lingkungan RW 03 juga banyak pertokaan yang menghiasai depan jalan raya Kembangarum.

Pemakaman umum Samboja sebagai fasilitas kuburan diperuntukan bagi orang Kembangarum yang meninggal. Berdasarkan kesepakatan bahwa warga Kembangarum yang meninggal dapat dikuburkan di sana. Pengurus RT di Kembangarum meminta kepada setiap KK agar me-ngumpulkan uang dana sosial 50.000 sebagai dana modal biaya untuk perawatan jenazah.

Setiap bulan Ruwah sebulan sebelum Ramadhan tempat ini men jadi ramai. Dengan dipandu oleh seorang tokoh masyarakat Kembangarum mereka melakukan prosesi kegiatan yang disebut dengan Nyadran. Nyadran diawali dengan membersihkan jalan menuju pemakaman dan sampai kuburannya. Mereka mencabut rumput-rumput yang tinggi, mem bersihkan dari sampah yang berserakan. Setelah itu seorang tokoh diikuti warga lainnya duduk atau ada yang jongkok memimpin doa untuk arwah para orang tua yang telah lebih dahulu meninggalkan mereka.

4. Aktifitas MasyarakatWalaupun perbedaan agama, latar belakang pendidikan dan profesi tetapi keseharian mereka hidup berdampingan, berbaur dan bersama-sama berpartisipasi dalam acara yang diadakan oleh pengurus RT 01, berupa sarasehan bulanan RT 01 yang dilakukan secara anjangsana (pindah dari satu rumah ke rumah lainnya) baik kelompok bapak-bapak atau ke lompok ibu-ibu PKK. Tidak ketinggalan kelompok remaja yang di-pimpin kebetulan oleh seorang mahasiswa tergabung dalam Karang Taruna mereka memiliki program bulanan tersendiri.

Pertemuan rutin bulanan di tingkat RW yang diikuti oleh pengurus RT biasanya diadakan setiap tanggal sembilan setiap bulannya. Sedangkan sarasehan di tingkat RT setiap tanggal sepuluh setiap bulannya. Infor-masi yang disampaikan selain yang diperoleh dari pertemuan di tingkat

Page 197: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

183Aplikasi Teori

RW biasanya ada tambahan dari ketua RT setempat. Setiap KK dalam pertemuan bulanan diminta untuk membayar kas berupa setoran uang wajib.

Dana yang terkumpul didistribusikan untuk kepentingan ber-sama berupa dana sosial yang dialokasikan untuk menjenguk orang sakit, pengurusan orang meninggal, hari kemerdekaan, hari raya dan piknik, dana untuk pembangunan diorientasikan pembaikan sarana dan prasarana, dana untuk keamanan lingkungan, dan dana untuk kegiatan pemuda dan olah raga.

Kebersamaan dan keterlibatan mereka diperlihatkan seperti dalam kerja bakti untuk kebersihan di lingkungan sepanjang jalan yang ber-ada di sekitar RT yang dilakukan serentak dalam waktu yang sudah di-sepakati. Demikian juga, mereka kompak dalam pembangunan seperti bedah rumah yang merupakan program pemerintah atau pembangunan sarana atau tempat umum atau kebersihan sekitar masjid.

Membantu tetangga mereka yang membutuhkan uluran seperti: besuk yang sakit, mengurus jenazah (orang meninggal) --mulai dari me-mandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkan--, mem bangun gapura, membangun balai RW, perbaikan bahu jalan.

Untuk keamanan lingkungan berupa ronda malam mereka berjaga setiap malam yang dilakukan secara bergilir. Apa yang mereka lakukan adalah keliling sekitar RT masing-masing berjaga di wilayah mereka tetapi juga mereka lakukan sebagai wahana bercengkrama bertemu tetangga untuk tegur sapa, bercanda menambah keakraban di antara mereka.

Kegiatan RW di tiap-tiap RT lainnya adalah simpan pinjam. Aktifitas ini dilakukan oleh kelompok ibu-ibu PKK. Setiap RT memiliki apa yang disebut dengan dasawisma (sepuluh anggota) sebagai kelompok terkecil. Setiap bulannya dalam keanggotaan ada kewajiban simpan uang dan mereka secara bergantian harus pinjam di kas mereka.

Dalam bidang kesehatan mereka telaten melakukan pengecekan lingkungan bersih dan sehat dari jentik nyamuk. Di antara warga dari mereka ada yang rutin mengecek bak air ke setiap rumah di lingkungan RT setiap sebulan sekali. Di samping itu layanan kesehatan lainnya adalah berupa layanan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang ada di RW

Page 198: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

184 Dr. Adang Kuswaya

untuk bayi tiga tahun anak di bawah usia lima tahun. Pelayanan rutin bulanan kesehatan untuk ibu hamil dan juga cek kesehatan berupa tes darah atau cek tensi untuk usia lanjut (lansia).

Acara tujuh belasan yaitu acara menyambut tujuh belas agustus se-bagai hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Serangkaian acara dilakukan mulai persiapan berupa lomba kebersihan lingkunagn, lomba olah raga seperti sepak bola atau futsal, Badminton, tenis meja, bola volley, catur, dan jalan sehat antar RT se wilayah RW. Di masing-masing RT juga diadakan lomba-lomba ringan seperti permainan ke-tangakasan yang biasanya diperuntukan anak-anak dan remaja tetapi tidak jarang untuk orang tua sebagai sarana untuk keakraban.

Acara tujuh belasan puncaknya adalah tanggal tujuh belas agustus. Pada malam tujuh belas agustus di setiap RT biasanya dilakukan pengu-muman dan pembagian hadiah kepada para juara lomba yang telah di-adakan sebelumnya. Setelah itu dilakukan malam tirakatan dipimpin oleh ketua RW. Ketua RT biasanya memandu acaranya dengan membacakan surat yang diterima dari Walikota berisi ajakan mengenang jasa untuk ditiru dari para pendahulu yang sudah membawa harum lingkungan, dan pahlawan yang telah mempertahankan nama baik bangsa.

D. Badhan, tradisi lebaran, Halal bi halalAcara yang tidak kalah meriahnya adalah tradisi badhan, syawalan, lebaran atau kegiatan halal bi halal sebagai aktifitas umumnya terjadi di Indonesia diselenggarakkan pada bulan tertentu menurut sistem kalender Islam.

Badhan, acara tahunan sebagai peleburan dosa, permohonan maaf kepada tetangga mulai di lingkungan RT selanjutnya di tingkat RW. Akti-fitas dan interaksi sosial keseharian mereka selama satu tahun diakhiri dengan permohonan maaf di antara warga seolah mereka terlahir dari kilometer memulai dari titik nol laksana bayi yang baru keluar dari rahim sang Ibu.

Bagi yang beragama Islam, setelah sebulan penuh mereka mela-kukan puasa wajib di bulan Ramadhan mereka mengakhiri aktifitas-nya dengan malam takbiran. Takbiran dilakukan semalam suntuk mulai waktu Magrib akhir di bulan Ramadhan dan semalaman suntuk sampai

Page 199: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

185Aplikasi Teori

mereka mengawali shalat shalat idul fitri. Shalat ‘Ied al-Fitri merupakan kategori shalat yang dianjurkan untuk dilakukan pada pagi hari setelah matahari terbit pada tanggal satu Syawal, salah satu nama bulan dalam Kalender Islam.

Bagi umat Islam di Kembangarum mereka biasanya menyeleng-garakan shalat Eidul Fitri di Masjid walaupun di sana terdapat lapangan di mana tidak sedikit umat Islam di tempat lain menggunakannya se-bagai tempat untuk melaksanakan shalat Eid. Mereka lebih memilih masjid Jami’ yang secara arti harfiyah memang mempunyai arti tempat berkumpul.

Setelah selesai rangkaian shalat Eidul Fitri mereka mengakhiri dengan kegiatan jabatan tangan yang oleh sebagian orang menyebutnya dengan salaman. Caranya mereka keliling membentuk barisan berjejer seperti dalam shalat berjamaah. Seorang Imam langsung memandu dan mengawali dengan cara berjalan menghampiri jamaah berjabat tangan satu persatu diikuti jamaah di belakangnya dan berkeliling dari mulai barisan depan ke barisan berikutnya sampai yang terakhir. Barisan pe-rempuan terpisah tersendiri tidak berbaur dengan laki-laki dan mem-bentuk barisan dengan pola sama yang dilakukan oleh barisan laki-laki.

Selesai dari acara shalat Eidul Fitri di masjid mereka pulang ke rumah untuk melakukan sungkeman, prosesi meminta maaf yang dilaku-kan oleh anak terhadap kedua orang tuannya, oleh seorang istri terhadap suaminya, oleh anak sebagai adik terhadap kakaknya.

Masih pada hari yang sama biasanya warga Muslim Kembangarum berkunjung dari satu rumah ke rumah lainnya yang dalam istilah setempat disebut badhan. Keluarga yang lebih muda melakukan silaturrahmi (me-nyambung tali persaudaraan) ini kepada keluarga yang lebih tua. Biasa nya mereka melakukan kunjungan pertama kepada tokoh agama setempat selanjutnya kepada tokoh masyarakat dan tetangga di antara mereka.

Tradisi badhan yang dilakukan di Kembangarum melibatkan semua elemen masyarakat dan keterlibatan seluruh warga walau berbeda agama. Mereka mengemas dengan acara halal bi halal yang biasanya di laku kan pada hari ke sepuluh setelah shalat Eidul Fitri bertempat di Balai RW. Mereka berbaur memperlihatkan rasa senang dan bahagia.

Page 200: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

186 Dr. Adang Kuswaya

Biasa nya setiap RT juga menyelenggarakan di masing-masing wilayah-nya pada setelah hari ke tujuh atau hari yang sudah disepakati bersama. Meng ingat untuk mengakomodasi warga pendatang atau mereka yang melanjutkan puasa sunah enam hari dari tanggal dua sampai tanggal tujuh Bulan Syawal.

Badhan, kata yang sudah merupakan kata istilah dalam lokal bahasa Jawa. Badha artinya lebaran, perayaan. Kata badhan merupakan kata benda dari kata kerja badha yang mendapat tambahan akhiran -an. Sebagian pendapat mengatakan berasal dari bahasa arab yang sudah dijawakan yaitu bakdha yang berarti setelah. Maksudnya setelah melakukan puasa sebulan penuh.

Walaupun demikian biasanya kegiatan ini dirayakan oleh semua orang baik yang sudah melalukan puasa secara penuh, sebagian, atau tidak sama sekali. Kemeriahan lebaran dirasakan semua tingkatan masyarakat. Kesibukan terjadi di masyarakat saat perayaan lebaran. Sedangkan material yang biasanya ada dalam badhan seperti pasum, pisang, ketupat, kethan, dan apem.

BAB III

WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG LEBARAN

A. Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang Memaafkan Kesalahan1. Q.S. al-Baqarah/2: 187 kata

Page 201: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

187Aplikasi Teori

187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf [115] dalam masjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

[115] I’tikaf ialah berada dalam masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.

2. Q.S. Ali Imran/3: 187

152. Dan Sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada sa’at kamu lemah

Page 202: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

188 Dr. Adang Kuswaya

dan berselisih dalam urusan itu [237] dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai [238]. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka [239] untuk menguji kamu, dan sesunguhnya Allah telah mema’afkan kamu. dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang orang yang beriman.

[237] Yakni: urusan pelaksanaan perintah Nabi Muhammad SAW karena beliau telah memerintahkan agar regu pemanah tetap bertahan pada tempat yang telah ditunjukkan oleh beliau dalam Keadaan bagai-manapun.

[238] Yakni: kemenangan dan harta rampasan. [239] Maksudnya: kaum muslimin tidak berhasil mengalahkan mereka.

3. Q.S. Ali Imran/3: 155

155. Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu [244], hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan Sesungguhnya Allah telah memberi ma’af kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

[244] Dua pasukan itu ialah pasukan kaum muslimin dan pasukan kaum musyrikin.

4. Q.S. al-Maidah/5: 95

Page 203: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

189Aplikasi Teori

95. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan[436], ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad [437] yang dibawa sampai ke Ka’bah [438] atau (dendanya) mem-bayar kaffarat dengan memberi Makan orang-orang miskin [439] atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu [440], supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu [441]. Dan Barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.

[436] Ialah: binatang buruan baik yang boleh dimakan atau tidak, kecuali burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing buas. dalam suatu riwayat Termasuk juga ular.

[437] Ialah: binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka’bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadat haji.

[438] Yang dibawa sampai ke daerah Haram untuk disembelih di sana dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin.

[439] Seimbang dengan harga binatang ternak yang akan penggganti binatang yang dibunuhnya itu.

[440] Yaitu puasa yang jumlah harinya sebanyak mud yang diberikan kepada fakir miskin, dengan catatan: seorang fakir miskin mendapat satu mud (lebih kurang 6,5 ons).

[441] Maksudnya: membunuh binatang sebelum turun ayat yang meng-haramkan ini.

5. Q.S. al-Maidah/5: 101

Page 204: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

190 Dr. Adang Kuswaya

101. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Qur’an itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

6. Q.S. al-Taubah/9: 43

43. Semoga Allah mema›afkanmu. mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?

7. Q.S. al-Syura/42: 40

40. dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik [1345] Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.

[1345] Yang dimaksud berbuat baik di sini ialah berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepadanya.

8. Q.S. al-A’raf/7: 95

Page 205: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

191Aplikasi Teori

95. Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga ke-turunan dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata: «Sesungguhnya nenek moyang Kamipun telah merasai penderitaan dan kesenangan», Maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya.

9. Q.S. al-Baqarah/2: 52

52. Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu ber-syukur.

10. Q.S. al-Nisa/4: 153

153. Ahli kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Maka Sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. mereka berkata: «Perlihatkanlah Allah kepada Kami dengan nyata». Maka mereka disambar petir karena kezalimannya, dan mereka menyembah anak sapi [374], sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, lalu Kami ma’afkan (mereka) dari yang demikian. dan telah Kami berikan kepada Musa keterangan yang nyata.

[374] Anak sapi itu dibuat mereka dari emas untuk disembah.

Page 206: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

192 Dr. Adang Kuswaya

11. Q.S. al-Baqarah/2: 237

14. Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu [1479] Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[1479] Maksudnya: kadang-kadang isteri atau anak dapat menjerumuskan suami atau Ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan agama.

12. Q.S. al-Taubah/9: 66, kata

66. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.

13. Q.S. al-Syura/42: 34, kata

34. Atau kapal-kapal itu dibinasakan-Nya karena perbuatan mereka atau Dia memberi maaf sebagian besar (dari mereka).

Page 207: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

193Aplikasi Teori

43. Tetapi orang yang bersabar dan mema›afkan, Sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diutamakan.

14. Q.S. al-Nisa/4:99, kata

99. Mereka itu, Mudah-mudahan Allah memaafkannya. dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

15. Q.S. al-Maidah/5: 15; 42: 25, 30

15. Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan [408].

[408] Cahaya Maksudnya: Nabi Muhammad SAW dan kitab Maksudnya: Al-Qur’an.

16. Q.S. al-Nur/24:22, kata

22. dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi

Page 208: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

194 Dr. Adang Kuswaya

(bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [1032],

[1032] Ayat ini berhubungan dengan sumpah Abu Bakar r.a. bahwa Dia tidak akan memberi apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri ‘Aisyah. Maka turunlah ayat ini melarang beliau melaksanakan sumpahnya itu dan menyuruh mema’afkan dan berlapang dada terhadap mereka sesudah mendapat hukuman atas perbuatan mereka itu.

17. Q.S. al-Baqarah/2:286, kata

286. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesang-gupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): «Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikul-kan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma›aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir.»

Page 209: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

195Aplikasi Teori

18. Q.S. Ali ‘Imran/3: 159

159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma›afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang ber tawakkal kepada-Nya.

19. Q.S. Al-Maidah/5: 13

13. (tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah Perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya[407], dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengan-nya, dan kamu (Muhammad) Senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Page 210: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

196 Dr. Adang Kuswaya

[407] Maksudnya: merobah arti kata-kata, tempat atau menambah dan mengurangi.

20. Q.S. al-Baqarah/2: 109

109. Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengem-balikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma›afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya [82]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

[82] Maksudnya: keizinan memerangi dan mengusir orang Yahudi.

21. Q.S. al-Baqarah/2:178

178. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash ber-kenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema›afan dari saudaranya, hendak lah (yang mema›afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendak lah (yang diberi ma›af) membayar (diat) kepada yang memberi ma›af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu

Page 211: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

197Aplikasi Teori

keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih [111].

[111] Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema’afan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak me-nangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pem-bunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat Dia mendapat siksa yang pedih.

22. Q.S. al-Baqarah/2: 219; 7:199, kata

219. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar [136] dan judi. Kata-kanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,

[136] Segala minuman yang memabukkan.

23. Q.S. al-Hajj/22: 60; 58: 2, kata

Page 212: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

198 Dr. Adang Kuswaya

60. Demikianlah, dan Barangsiapa membalas seimbang dengan penga-niayaan yang pernah ia derita kemudian ia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pema›af lagi Maha Pengampun.

24. Q.S. al-Nisa/4: 43, 99, 149

43. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucap-kan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam Keadaan junub [301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.

[301] Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi.

24. Q.S. Ali ‘Imran/3: 134, kata .

Page 213: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

199Aplikasi Teori

134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema›afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dari ayat Q.S. Ali ‘Imran/3:134 di atas terbaca ada tiga tahapan, tahap pertama adalah menahan amarah, tahap kedua memberi maaf dan tahap berikutnya berbuat baik terhadap orang yang bersalah.

B. Penafsiran Ayat-Ayat tentang Memaafkan Kesalahan1. Idul Fitri Kata ‹Id terambil dari akar kata yang berarti kembali, yakni kembali ke tempat atau ke keadaan semula. Ini berarti bahwa sesuatu yang «kembali» pada mulanya berada pada suatu keadaan atau tempat, kemudian me-ninggalkan tempat atau keadaan itu, lalu kembali dalam arti ke tempat dan keadaan semula. Nah, apakah keadaan atau tempat semula itu? Hal ini dijelaskan oleh kata fithr, yang antara lain berarti asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian.

Dalam pandangan Al-Qur’an, asal kejadian manusia bebas dari dosa dan suci, sehingga ‹idul fithr antara lain berarti kembalinya manusia kepada keadaan sucinya, atau keterbebasannya dari segala dosa dan noda, sehingga dengan demikian ia berada dalam kesucian. Dosa memang mengakibatkan manusia menjauh dari posisinya semula. Baik kede kat-an posisinya terhadap Allah maupun sesama manusia.

Demikianlah salah satu kesan yang diperoleh dari sekian banyak ayat Al-Qur’an. Ketika Adam dan Hawa berada di surga, Allah menyam-paikan pesan yaitu, “Janganlah mendekati pohon ini (Q.S. Al-Baqarah [2]: 35).” Namun, begitu keduanya melanggar perintah Allah (karena ber-dosa dengan memakan buah pohon itu), Al-Qur’an menyatakan, maka Tuhan mereka menyeru keduanya, “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua mendekati pohon itu? (Q.S. Al-A’raf [7] : 22).”

Kesan yang ditimbulkan oleh redaksi ayat-ayat di atas antara lain: Pertama, bahwa sebelum terjadinya pelanggaran, Allah bersama Adam dan Hawa berada pada suatu posisi berdekatan, yakni masing-masing tidak

Page 214: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

200 Dr. Adang Kuswaya

jauh dari pohon terlarang. Karena itu, isyarat kata yang dipergunakan untuk menunjuk pohon adalah isyarat dekat, yakni “ini”. Tetapi, ketika Adam dan Hawa melanggar, mereka berdua menjauh dari posisi semula, dan Allahpun demikian, sehingga Allah harus “menyeru mereka” (yakni berbicara dari tempat yang jauh), dan ini pula yang menyebabkan Tuhan menunjuk pohon terlarang itu dengan isyarat jauh, yakni “itu” (per-hatikan kembali bunyi ayat-ayat di atas).

Di sini terlihat bahwa baik Adam maupun Allah masing-masing menjauh, tetapi jika mereka kembali, masing-masing akan mendekat se-hingga pada akhirnya akan berada pada posisi semula. Memang, tegas Al-Qur’an,

“Jika hamba-hamba-Ku (yang taat dan menyadari kesalahannya) bertanya kepadamu tentang Aku, sesunguhnya Aku dekat, dan memperkenankan permohonan jika mereka bermohon kepada-Ku (Q.S. Al-Baqarah [2]: 186).”

Kesadaran manusia terhadap kesalahannya mengantarkan Allah men-dekat kepadanya. Pada gilirannya, hal itu akan menyebabkan manusia bertobat. Perlu diingat, bahwa tobat secara harfiah berarti kembali. Se-hingga dengan demikian Allah pun akan kembali pada posisi semula. Al-Qur’an memperkenalkan dua pelaku tobat, yaitu manusia dan Allah SWT.

“Adam menerima kalimat-kalimat dari Tuhannya, maka Dia (Allah) menerima tobatnya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat lagi Maha Pengasih (Q.S. Al-Baqarah [2]: 37). “

Walau bukan kembali dalam konteks memohon ampun, namun dapat diperoleh kesan dari firman-Nya yang menyatakan “Jikalau kamu kembali Kami pun akan kembali» (Q.S. Al-Isra› [l7]: 8), bahwa Allah selalu rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya.

Hadis Nabi SAW pun menjelaskan bahwa Allah berfirman antara lain, Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku (Allah) sejengkal, Aku men dekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang menemuinya dengan berlari (HR Bukhari dari Anas bin Malik).”

Page 215: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

201Aplikasi Teori

Kegembiraan Allah itu tercermin dari hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Saw. bersabda,

“Allah lebih gembira karena tobatnya seseorang, pada saat ia bertobat dan salah seorang di antara kamu yang mengendarai binatang kendaraannya di padang pasir, kemudian binatang itu pergi menjauh padahal di pundak binatang itu terdapat makanan dan minumannya. Dia berputus asa untuk menemukannya kembali, hingga ia berbaring di bawah naungan pohon, dan tiba-tiba saja binatang tadi muncul di hadapannya. Lantas dia pun memegang tali kendalinya sambil berkata saking gembiranya, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan Aku Tuhanmu.”

Dalam konteks hubungan manusia dengan sesamanya, dapat ditarik kesan dari penamaan manusia dengan kata al-Insan. Kata ini --menurut sebagian ulama-- terambil dari kata uns yang berarti senang atau harmonis. Sehingga dari sini dapat dipahami, bahwa pada dasarnya manusia selalu merasa senang dan memiliki potensi untuk menjalin hubungan harmonis antar sesamanya.

Dengan melakukan dosa terhadap sesama manusia, hubungan ter-sebut menjadi terganggu dan tidak harmonis lagi. Namun manusia akan kembali ke posisi semula (harmonis) pada saat ia menyadari kesalahannya, dan berusaha mendekat kepada siapa yang pernah ia lukai hatinya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa idul fitri mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh antara lain dengan ke sadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat.

2. Halal BihalalKata halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang bukan haram; sedangkan haram merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan ancaman siksa. Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Empat yang pertama ter masuk ke-lompok halal (termasuk yang makruh, dalam arti, yang dianjur kan untuk ditinggalkan). Nabi SAW. bersabda, “Abghadu al-halal ila Allah, ath-thalaq» (Halal yang paling dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami-istri).

Page 216: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

202 Dr. Adang Kuswaya

Jikalau halal bihalal diartikan dalam konteks hukum, hal itu tidak akan menyebahkan lahirnya hubungan harmonis antar sesama, bahkan mungkin dalam beberapa hal dapat menimbulkan kebencian Allah ke-pada pelakunya. Karena itu, sebaiknya kata halal pada konteks halal bihalal tidak dipahami dalam bihalal pengertian hukum.

Dalam Al-Qur’an, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di antaranya pada konteks kecaman, yaitu:

Katakanlah, «Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?» (Q.S. Yunus [10]: 59).

Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu adalah) kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi mereka siksa yang pedih (Q.S. Al-Nahl [16]: 116-117).

Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini? Paling tidak, terdapat kecaman terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara yang halal dan yang haram. Jika yang mencampurbaurkan saja telah dikecam dan di ancam dengan siksa yang pedih, lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah haram.

Empat halal lainnya yang tersebut dalam Al-Qur’an mempunyai dua ciri yang sama, yaitu:a. Dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu), b. Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).

Perhatikan keempat ayat berikut: Kulu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang halal lagi baik

dari apa yang terdapat di bumi) (Q.S. Al-Baqarah [2]: 168).

Wakulu mimma razaqakamullah halalan thayyiban... (Dan makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu) (Q.S. Al-Ma-idah [5]: 88).

Page 217: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

203Aplikasi Teori

Faku1u mimma ghanimtum halalan thayyiban (Maka makanlah dari se-bagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu) (Q.S. Al-Anfal [8]: 69).

Fakulu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu) (Q.S. An-Nahl [16]: 114).

Kata makan dalam Al-Qur’an sering diartikan “melakukan aktivitas apa pun.” Ini agaknya disebabkan karena makan merupakan sumber utama perolehan kalori yang dapat menghasilkan aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan aktivitas, sedangkan aktivitasnya tidak sekadar halal, tetapi juga harus thayyib (baik). Nah jika dikembalikan pada empat jenis halal yang diper-kenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh tidak termasuk dalam kategori halalan thayyiban.

Al-Qur’an menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallaha yuhib) se-banyak delapan belas kali, yang dapat dirinci sebagai berikut: a. Masing-masing sekali untuk at-tawabin (orang yang bertobat), ash-

shabirin (orang-orang sabar) dan shaffan wahida (orang yang berada dalam satu barisan/kesatuan).

b. Masing-masing dua kali terhadap al-mutawakkilin (orang yang ber-serah diri kepada Allah) dan al-mutathahirin (orang-orang yang me-nyucikan diri).

c. Masing-masing tiga kali terhadap al-muttaqin (orang yang bertakwa) dan al-muqsithin (orang yang berlaku adil), dan lima kali terhadap al-muhsinin.

Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu paling tidak mengisyarat-kan bahwa sikap yang paling disenangi oleh Allah adalah al muhsinin (orang-orang yang berbuat baik terhadap mereka yang pernah melaku-kan kesalahan). Hal ini sesuai sekali dengan perintah Al-Qur’an untuk melakukan perbuatan halal yang baik, tidak sekadar perbuatan halal (boleh), tetapi tidak menghasilkan kebaikan.

Page 218: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

204 Dr. Adang Kuswaya

Dalam Al-Qur’an surat Ali-›Imran ayat 134 diisyaratkan tingkat-tingkat terjalinnya keserasian hubungan. “Mereka yang menafkahkan harta-nya, baik pada saat keadaan mereka senang (lapang) maupun sulit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan orang-orang yang bersalah (bahkan berbuat baik terhadap mereka). Sesunguhnya Allah menyukai mereka yang ber-buat baik (terhadap orang yang bersalah).”

Di sini terbaca, bahwa tahap pertama adalah menahan amarah, tahap kedua memberi maaf, dan tahap berikutnya adalah berbuat baik ter hadap orang yang bersalah.

3. Minal ‘Aidin Wal Faizin Salah satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri ada Minal ‹Aidin wal Faizin. Kata ‹Aidin, adalah bentuk pelaku ‹Id. Kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti orang yang beruntung. Kata ini ter-ambil dari kata fauz yang berarti keberuntungan.

Dalam Al-Qur’an ditemukan sebanyak 29 kali kata tersebut dengan berbagai bentuknya. Masing-masing delapan belas kali pada bentuk kata jadian fauz/al-fauz (keberuntungan), tiga kali dalam bentuk mafaz (tempat keberuntungan), dua kali dalam bentuk kata kerja faza (ber-untung), empat kali dengan bentuk al-faizin, dan hanya sekali dalam bentuk kata kerja tunggal yang menunjuk kepada orang pertama afuz (saya beruntung). Yang terakhir itu diucapkan oleh orang munafik yang menyesal karena tidak ikut berperang bersama-sama orang Islam, se-hingga ia tidak memperoleh pembagian harta rampasan perang.

Sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat ke medan perang. Maka jika kamu ditimpa musibah, mereka berkata, «Sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena tidak ikut menyaksikan (peperangan) bersama mereka. “Sungguh, jika kamu memperoleh karunia (keme-nangan dan harta rampasan perang) pasti dia berkata seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang di antara kamu dengan dia, “Aduhai” kiranya saya bersama mereka, tentu saya memperoleh keberuntungan yang besar (kemenangan dan harta rampasan perang) (Q.S. Al-Nisa’ [4]: 72-73).”

Kesan yang ditimbulkan ayat ini, antara lain adalah bahwa bagi orang munafik, keberuntungan adalah keuntungan material, dan popularitas,

Page 219: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

205Aplikasi Teori

dan keberuntungan itu hanya ingin dinikmatinya sendiri. Keberuntungan orang lain bukan merupakan keberuntungan pula baginya. Itu antara lain yang menyebab dia dikecam oleh ayat di atas. Berbeda dengan pe tunjuk a1-Qur’an yang tidak mengaitkan keberuntungan dengan orang tertentu, dan kalaupun dikaitkan dengan orang-orang tertentu tidak ditujukan kepada individu perorangan, melainkan kepada bentuk kolektif (al-faizin atau al-faizun).

Yang tidak kurang pentingnya adalah makna keberuntungan. Dari ayat-ayat yang berbicara tentang al-fauz dalam berbagai bentuknya itu (kecuali surat Al-Nisa [73]), seluruhnya bermakna pengampunan Ilahi maupun kenikmatan surgawi, sebagai ganjaran ketaatan kepada Allah Swt. Perhatikan misalnya: Penghuni surga adalah orang-orang yang beruntung Al-Hasyr [59]: 20). Barangsiapa yang dijauhkan ―walaupun sedikit― dari neraka, dan dimasukkan

ke dalam surga, maka sungguh dia telah beruntung (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 185).

C. Langkah-langkah al-Qur’an tentang Pengampunan Terdapat beberapa istilah yang digunakan al-Qur’an untuk menyebutkan pengampunan (pembebasan dosa), dan upaya menjalin hubungan serasi antara manusia dengan Tuhannya, antara lain taba (tobat), ‘afa (memaaf-kan), ghafara (mengampuni), kaffara (menutupi), dan shafah. Masing-masing istilah digunakan untuk tujuan tertentu dan memberikan maksud yang berbeda.

1. Taubat (Tobat) Terdahulu telah dikemukakan bahwa al-Qur’an mengisyaratkan adanya dua pelaku tobat, yakni Allah dan manusia. Di sini dapat ditambahkan bahwa ada dua macam tobat (kembalinya) Allah. Pertama, lahir sebelum lahirnya tobat manusia secara aktual. Ketika itu ia baru dalam bentuk keinginan dan kesadaran tentang dosa-dosanya. Tobat pertama Tuhan ini antara lain tercermin dari firman-Nya dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 186,

“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat...”

Page 220: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

206 Dr. Adang Kuswaya

Kata ‘ibadi (hamba-hamba-Ku) baik yang ditulis dengan memakai huruf Ya’ (sebanyak 17 kali) maupun tidak (4 kali), semuanya digunakan untuk menunjukkan hamba Allah yang taat atau yang bergelimang di dalam dosa tetapi berkeinginan kembali kepada-Nya.

Perhatikan firman-Nya:

Masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku (Q.S. Al-Fajr [89]: 29-30).

Dan firman-Nya:

Wahai hamba-hamba-Ku yang bergelimang dalam dosa (dan telah menyadari dosanya sehingga ingin kembali), janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah (Q.S. Al-Zumar [39]: 53)

Surat Al-Baqarah ayat 186 di atas menjelaskan bahwa Allah dekat dengan hamba-hamba-Nya, walaupun mereka masih bergelimang dalam dosa dan maksiat tetapi telah memiliki kesadaran untuk bertobat. Tobat Allah (kembalinya Allah) terhadap yang berkeinginan dekat kepada-Nya, lebih jelas terlihat pada ayat berikut:

Maka Adam menerima dan Tuhan-Nya (petunjuk) berupa kalimat-kalimat, dan Dia bertobat (mengampuninya) (Q.S. Al-Baqarah [2]: 37).

Pemberian kalimat-kalimat itu memberi isyarat bahwa Allah membuka pintu tobat-Nya, dan memberi taufik kepada mereka yang berdosa, yang terketuk hatinya untuk kembali. “Penerimaan kalimat-kalimat dari Tuhan” itulah yang mengantarkan Adam mengajukan permohonan ampun kepada Allah.

Langkah pertama dari tobat Allah ini, antara lain dipahami pula dari redaksi-redaksi fashilat (penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang tobat-Nya. Perhatikanlah kedua ayat berikut ini:

Allah hendak menerangkan kepada kamu dan mengantarmu ke jalan orang-orang sebelum kamu (para Nabi dan orang-orang saleh) dan hendak menerima tobatmu. Allah Maha Mengetahui lagi Bijaksana (Q.S. Al-Nisa’ [4]: 261.

Maka barangsiapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatannya, dan memperbaiki diri, sesungguhnya Allah bertobat kepadanya

Page 221: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

207Aplikasi Teori

(menerima tobatnya). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. Al-Ma-idah [5]: 39).

Penutup surat An-Nisa ayat 26 mengisyaratkan langkah pertama tobat Allah, yang dilakukan-Nya kepada mereka yang diketahui terketuk hati-nya atau memiliki kesadaran terhadap dosanya.

Langkah tersebut dilakukan oleh Allah karena Dia Maha Menge-tahui segala sesuatu, termasuk bisikan-bisikan hati manusia, dan karena Dia Maha Bijaksana. Dalam posisi inilah Allah memberi petunjuk kepada Adam dengan kalimat-kalimat yang wajar diucapkan untuk memohon ampun, karena betapapun, manusia selalu membutuhkan petunjuk-Nya, lebih-lebih pada saat ia jauh dari Allah SWT.

Penutup surat Al-Ma-idah juga berbicara tentang tobat kepada A1lah, tetapi kali ini dia benar-benar telah “tobat” (kembali) ke posisi semula. Namun harus disadari bahwa hal ini baru terjadi jika hamba yang berdosa bertobat dan memperbaiki diri. Allah mendekatkan diri dan kembali ke posisi semula, disebabkan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

2. Al-’Afw (Maaf) Kata maaf berasal dari kata al ‘afwu yang terambil dari kaar kata yang terdiri dari huruf-huruf ‘ain, fa, dan waw. Makna dasarnya berkisar pada dua hal yaitu “meninggalkan sesuatu” dan “memintanya”. Dari sini lahir kata “afwun” yang berarti meninggalkan sanksi terhadap yang bersalah (memaafkan). Perlindungan Allah dari keburukan juga dinamai ‘afiat. Perlindungan tersebut mengandung makna “ketertutupan”. Dari sisni kata afwu juga diartikan “menutupi”, bahkan dari rangkaian ketiga huruf juga lahir makna terhapus, atau habis tiada bekas.

Dalam al-Qur’an kata ‘afwu dalam berbagai bentuknya terulang se banyak 34 kali dengan berbagai makna. Yang cukup menarik adalah bahwa di dalam al-Qur’an tidak ditemukan perintah untuk meminta maaf, yang ada adalah perintah memberi maaf. Ketiadaan perintah meminta bukan berarti yang bersalah tidak diperintahkan meminta maaf, bahkan ia wajib memintanya, namun yang lebih perlu adalah membimbing manusia agar berakhlaq mulia sehingga tidak menunggu orang meminta maaf baru dimaafkan.

Page 222: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

208 Dr. Adang Kuswaya

Kata al-’afw pada mulanya berarti berlebihan, seperti firman-Nya:

Mereka bertanya kepadamu tentang hal yang mereka nafkahkan (kepada orang). Katakanlah, “al-’afw” (yang berlebih dari keperluan) (Q.S. Al-Baqarah [2]: 219).

Yang berlebih seharusnya diberikan agar keluar. Keduanya menjadikan sesuatu yang tadinya berada di dalam (dimiliki) menjadi tidak di dalam dan tidak dimiliki lagi. Akhirnya kata al-’afw berkembang maknanya men-jadi keterhapusan. Memaafkan, berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati.

Membandingkan ayat-ayat yang berbicara tentang tobat dan maaf, ditemukan bahwa kebanyakan ayat tersebut didahului oleh usaha ma-nusia untuk bertobat. Sebaliknya, tujuh ayat yang menggunakan kata ‘afa, dan berbicara tentang pemaafan semuanya dikemukakan tanpa adanya usaha terlebih dahulu dari orang yang bersalah. Perhatikan arti dari ayat-ayat al-Qur’an berikut:

Allah mengetahui bahwa kamu tadinya mengkhianati dirimu sendiri (tidak dapat menahan nafsumu sehingga bersetubuh di malam hari bulan Ramadhan dengan dugaan bahwa itu haram) maka Allah memaafkan kamu (Q.S. Al-Baqarah [2]: 187).

Allah memaafkan kamu, mengapa engkau memberi izin kepada mereka, sebelum engkau mengetahui orang-orang yang benar (dalam alasannya) dan sebelum engkau mengetahui pula para pembohong? (Q.S. Al-Tawbah [9]: 43).

Balasan terhadap kejahatan adalah pembalasan yang setimpal, tetapi barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, ganjarannya ditanggung oleh Allah (Q.S. Al-Syura [42]: 40).

Perhatikan juga firman-Nya dalam surat Ali-’Imran ayat 152 dan 155, juga Al-Maidah ayat 95 dan l0l. Ternyata tidak ditemukan satu ayat pun yang menganjurkan agar meminta maaf, tetapi yang ada adalah perintah untuk memberi maaf.

Hendaklah mereka memberi maaf dan melapangkan dada Tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah? (Q.S. Al-Nur [24): 22).

Kesan yang disampaikan oleh ayat-ayat ini adalah anjuran untuk tidak menanti permohonan maaf dari orang yang bersalah, melainkan hendak-

Page 223: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

209Aplikasi Teori

nya memberi maaf sebelum diminta. Mereka yang enggan memberi maaf pada hakikatnya enggan memperoleh pengampunan dan Allah Swt. Tidak ada alasan untuk berkata, “Tiada maaf bagimu”, karena se-galanya telah dijamin dan ditanggung oleh Allah SWT.

Perlu dicatat pula, bahwa pemaafan yang dimaksud bukan hanya menyangkut dosa atau kesalahan kecil, tetapi juga untuk dosa dan ke-salahan-kesalahan besar. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 51-52, ber-bicara tentang pemaafan Allah bagi umat Nabi Musa a.s. yang memper-tuhankan lembu:

Dan (ingatlah) ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah empat puluh hari, lalu kamu menjadikan anak lembu (yang dibuat dari emas) untuk disembah sepeninggalnya, dan kamu adalah orang-orang yang zalim. Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur (Q.S. Al-Baqarah [2]: 51-52).

3. Al-Shafh (Lapang Dada) Kata al-shafh dalam berbagai bentuk terulang sebanyak delapan kali dalam Al-Qur’an. Kata ini pada mulanya berarti lapang. Halaman pada sebuah buku dinamai shafhat karena kelapangan dan keluasannya.

Dari sini, al-shafh dapat diartikan kelapangan dada. Berjabat tangan dinamai mushafahat karena melakukannya menjadi perlambang kela-pangan dada. Dari delapan kali bentuk al-shafh yang dikemukakan, empat di antaranya didahului oleh perintah memberi maaf.

Perhatikan ayat-ayat berikut: Apabila kamu memaafkan, dan melapangkan dada serta melindungi, sesungguhnya

Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang (Q.S. Al-Thaghabun [64]: 14).

Hendaklah mereka memaafkan dan melapangkan dada! Apakah kamu tidak ingin diampuni oleh Allah? (Q.S. Al-Nur [24]: 22) .

Maafkanlah mereka dan lapangkan dada. Sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (terhadap yang melakukan kesalahan kepada-nya) (Q.S. Al-Ma-idah [5]: l3. Juga baca surat Al-Baqarah [2]: lO9).

Ulama-ulama Al-Qur’an seperti Ar-Raghib Al-Isfahani menyatakan bahwa al-shafa lebih tinggi kedudukannya dari al-’afw (maaf). Pernyataan

Page 224: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

210 Dr. Adang Kuswaya

yang dikemukakan itu dapat dipahami melalui alasan kebahasaan sebagai berikut.

Seperti dikemukakan terdahulu dari kata al-shafh lahirlah shafhat yang berarti halaman. Jika Anda memiliki selembar kertas yang ditulisi suatu kesalahan, lantas kesalahan itu ditulis dengan pensil, Anda tentu dapat mengambil penghapus karet untuk menghapusnya. Seperti de-mikianlah ketika Anda melakukan ‘afw (memberi maaf). Seandainya kesalahan pada kertas itu ditulis dengan tinta, tentu Anda akan meng-hapusnya dengan tipe-x agar tidak terlihat lagi, dan di sini Anda melaku-kan takfir seperti yang akan dijelaskan kemudian.

Betapapun Anda menghapus bekas kesalahan, namun pasti sedikit banyak, lembaran tersebut tidak lagi sama sepenuhnya dengan lembaran baru. Malah barangkali kertas itu menjadi kusut. Nah, di sinilah letak perbedaan antara al-shafh yang mengandung arti lapang dan lembaran baru dengan takfir. Al-Shafh menuntut seseorang untuk membuka lem-baran baru hingga sedikit pun hubungan tidak ternodai, tidak kusut, dan tidak seperti halaman yang telah dihapus kesalahannya.

Mushafahat (jabat tangan) adalah lambang kesediaan seseorang untuk membuka lembaran baru, dan tidak mengingat atau menggunakan lagi lembaran lama. Sebab, walaupun kesalahan telah dihapus, kadang-kadang masih saja ada kekusutan masalah.

Tadi telah dikemukakan bahwa memberi maaf dilanjutkan dengan perintah al-shafh. Perintah memaafkan tetap diperlukan, karena tidak mungkin membuka lembaran baru dengan membiarkan lembar yang telah ada kesalahannya tanpa terhapus. Itu sebabnya ayat-ayat yang meme-rintahkan al-shafh tetapi tidak didahului oleh perintah memberi maaf, dirangkaikan dengan jamil yang berarti indah. Selain itu, al-shafh juga dirangkaikan dengan perintah menyatakan kedamaian dan keselamatan bagi semua pihak (perhatikan firman-Nya dalam Al-Qur’an surat Al-Hijr [15]: 85, serta Al-Zukhruf [43]: 89):

Berlapang dadalah terhadap mereka dengan cara yang baik (Al-Hijri [5]: 85).

Berlapang dadalah terhadap mereka dengan mengatakan salam/kedamaian (Q.S. Al-Zukhruf [43]: 84).

Page 225: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

211Aplikasi Teori

4. Al-Ghufran Al-ghufran terambil dari kata kerja ghafara yang pada mulanya berarti menutup. Rambut putih yang disemir hingga tertutup putihnya disebut-kan dengan ghafara asy-sya’ra. Dari akar kata yang sama, lahir kata ghifarah, yang berarti sepotong kain yang menghalangi kerudung sehingga tidak ternodai oleh minyak rambut. Maghfirah Ilahi adalah “perlindungan-Nya dari siksa neraka.”

Dalam Al-Qur’an surat Ali Imran (3): 31 dinyatakannya bahwa, Katakanlah, “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah

mencintai dan menutupi dosa-dosamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Kemudian dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal (8): 29, dinyatakan, Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertakwa kepada Allah, niscaya

Dia akan memberikan kepadamu furqan (petunjuk membedakan yang hak dan yang batil), dan menghapuskan kesalahan-kesalahan kamu, serta yaghfir lakum (melindungi kamu dari siksa). Dan Allah mempunyai karunia yang besar.

Dari kedua ayat di atas terlihat, bahwa kata yaghfir bila dirangkaikan dengan menyebutkan dosa, berarti menutup dosa dengan sesuatu. Sedang-kan bila tidak dirangkaikan dengan menyebutkan dosa ―sebagaimana ditunjukkan dalam surat Al-Anfal ayat 29― berarti melindungi manusia dari siksa atau bencana. Baik dalam konteks pertama maupun konteks ke dua, ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa ghufran (pengam-punan atau perlindungan) tidak dapat diperoleh kecuali setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Dari kedua ayat tersebut juga terbaca bahwa syarat penutupan dosa dan perlindungan dari siksa adalah berbuat kebajikan. Di sini terlihat salah satu perbedaan antara al-’afw (maaf) dengan ghufran. Karena itu, ditemukan ayat yang menggabungkan keduanya, yakni: “Hapuskanlah dosa kami, lindungilah kami, dan rahmatilah kami.” (Q.S. Al-

Baqarah [2]: 286).

Page 226: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

212 Dr. Adang Kuswaya

BAB IVPEMAHAMAN TRADISI BADHAN

DALAM MASYARAKAT JAWA

A. Rangkaian Kegiatan Badhan Di Kembangarum 1. NyadranPada bulan Ruwah satu bulan sebelum puasa masyarakat Kembangrum biasa melakukan nyadran di tempat pemakaman umum yang dapat dijangkau terdekat sekitar 500 meter. Menurut penuturan mbah Tajab salah seorang tokoh di Kembangarum bahwa kemungkinan kata Nyadran terambil dari kata bahasa Arab, sadran artinya dada, maksudnya bersihkan dada (hati) kita dari segala hal yang kurang baik. Ada juga yang mengatakan Sadran berasal dari kata sudra (orang awam), mengan dung maksud agar kita dapat menjadi orang yang “merakyat” dapat bergaul semua lapisan masyarakat termasuk para kawula “alit”.

Pendapat lain mengatakan bahwa Nyadran berasal dari kata sraddha, mengunjungi makam leluhur untuk membersihkan makam dan menabur bunga. Upacara Sraddha ini dilakukan sejak Kerajaan Majapahit. Dalam bukunya yang berjudul Kalangwan, Sejarawan Zoetmulder juga me-ngisah kan Upacara Sraddha pernah dilaksanakan untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi pada tahun 1352. Setelah agama Islam masuk ke tanah Jawa, upacara Sraddha tetap dilaksanakan, namun oleh Sunan Kalijaga dikemas dalam nuansa Islami yang kemudian diada-kan tiap bulan Ruwah.

2. Puasa Kegiatan puasa di Kembangarum biasanya diikuti dengan beragam aktifitas sebagai yang dilakukan mulai bangun sampai mereka tidur lagi. Terlihat aktifitas mereka dari mulai melakukan makan sahur sebelum masuk waktu subuh, melakukan shalat berjama’ah subuh, menyimak penceramah menyaipaikan kuliah subuh.

Page 227: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

213Aplikasi Teori

Pada siang hari mereka berkerja seperti di luar bulan puasa, men-jelang waktu sekitar satu jam sebelum magrib, mereka berkumpul di Masjid untuk mendengar taushiyah sambil menunggu waktu untuk berbuka puasa tiba. Setelah berbuka mereka shalat magrib berjamaah. Kembali pada waktu shalat isya mereka berkumpul di masjid dilanjutkan shalat tarawih. Selepas shalat taraweh berjamaah mereka menambah ke-giatan dengan membaca al-Qur’an secara bergiliran.

3. TadarusKegiatan membaca al-Qur’an secara bergiliran mereka menyebutnya dengan istilah tadarus. Aktifitas membaca al-Qur’an bersama yang dilak-sanakan setelah shalat taraweh sampai sekitar jam 22.00 dan mereka lakukan dari awal sampai akhir ramadhan. Setiap malamnya mereka dapat membaca tiga juz atau sekitar sepersepuluh dari dari al-Qur’an. Ke giatan tadarus selama bulan Puasa mereka dapat melakukan tiga kali khatam (tamat) dalam membaca al-Qur’an.

4. JaburanJaburan merupakan sedekah berupa makanan yang disuplai untuk meng-iringi kelompok yang bertadarus. Mereka mendapatkan jadwal kapan harus mengirim jaburan. Masing-masing mendapat jadawal yang mereka terima sebelum masuk bulan Ramadhan yang sudah diorganisir oleh pengurus masjid setempat.

5. Buka bersamaBuka bersama: buka puasa bersama-sama dengan mulai berkumpul di masjid selepas shalat Ashar. Taushiyah, bila adzan magrib tiba mereka takjil dipandu oleh seorang ustadz berdoa kemudia bersama-sama minum sebagai pembuka, dilanjutkan shalat magrib berjamaah dan di lanjut kan makan.

6. Zakat fitrahPengumpulan zakat fitrah dikoordinasi oleh pengurus dan masyarakat yang berminat menyerahkan zakatnya di masjid Nuruzzahro, Kem bang-arum diterima oleh seorang tokoh agama. Prosesi penyerahan biasanya

Page 228: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

214 Dr. Adang Kuswaya

diawali dengan serah terima sebagai akad zakat fitrah dan diakhiri dengan doa yang dibacakan oleh tokoh agama. Beberapa orang yang menyerahkan zakatnya di masjid mereka mengatakan ada kemantapan tersendiri karena bias didoakan oleh kyainya.

7. Lebaran Lebaran merupakan istilah yang sering dipakai masyarakat dalam me-nyambut hari Raya Idul Fitri. Lebaran sendiri berasal dari akar kata bahasa Jawa “Lebar” yang berarti selesai, sudah berlalu. Maksud kata “lebar” disini adalah sudah berlalunya bulan Ramadhan, selesainya pe-lak sanaan ibadah puasa wajib pada bulan Ramadhan hingga tibalah waktunya masuk bulan Syawal.

Pada awal bulan Syawal inilah dilaksanakan Hari Raya Idul Fitri, orang Jawa biasa menyebutnya dengan istilah “Riyaya” atau “Badha”. Riyaya merupakan istilah untuk lebih mempersingkat kata hari raya sedangkan istilah badha berasal dari Bahasa Arab dari akar kata ba’da yang berarti setelah, selesai. Kata badha maupun lebaran mempunyai persamaan arti, yaitu selesainya pelaksanaan ibadah puasa, maka tibalah waktunya berhari raya Idul Fitri. Istilah lebaran sudah menjadi istilah nasional, yang diartikan oleh masyarakat Indonesia sebagai Hari Raya Idul Fitri.

8. TakbiranTakbiran, lantunan takbir sebagai ekpresi mengagungkan Allah yang Maha Besar. Mereka melafalkan takbir dilakukan di masjid terhitung dari magrib malam lebaran sampai pagi. Setelah shalat isya anak-anak me-lakukan tabir keliling di sekitar lingkungan sambil diiringi tabuh bedug. Mereka bertakbir sekitar satu jam. Setelah itu para orang tua mereka melakukannya di masjid.

9. Shalat EidShalat Eidul fitri dilakukan di masjid. Karena biasanya diikuti oleh seluruh warga muslim yang memenuhi masjid walaupun masjid sudah direnovasi menjadi dua lantai tetap saja kalau acara shalat idul fitri masjid

Page 229: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

215Aplikasi Teori

tidak dapat menampung jamaah yang banyak sehingga tidak sedikit yang melakukannya di halaman masjid.

10. BadhanSelesai rangkaian shalat ied mereka berjabatan tangan masih di tempat setelah khotib selesai khutbahnya. Diawali oleh imam dan khatib se-lan jutnya makmum dibelakangnya mengikuti sampai habis barisan belakang mereka berjabatan tangan. Setelah itu jamaah pulang ke rumah melakukan permohonan maaf kepada kedua orang tua dengan cara sungkeman. Setelah itu mereka melanjutkan permohonan maaf kepada tetangga dengan berkeliling dari satu rumah ke yang lainnya dan warga sekitarnya.

Tradisi sungkeman menjadi implementasi ngaku lepat (mengakui kesalahan) bagi orang Jawa. Prosesi sungkeman yakni bersimpuh di hadapan orang tua seraya memohon ampun, dan ini masih membu daya hingga kini. Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain, khususnya orang tua.

B. Kontekstualisasi Aktifitas Badhan Di Kembangarum Dalam Memaknai Perayaan Lebaran

1. NyadranRitual slametan nyadran pada tiap-tiap daerah di Jawa dilaksanakann dengan berbagai cara yang berbeda. Masyarakat pedesaan Jawa umumnya mengadakan upacara nyadran secara komunal yang diselenggarakan pada siang hari hingga sore. Masing-masing warga membuat tumpeng kecil yang kemudian dibawa ke rumah kepala dusun untuk bersama-sama mengadakan doa bersama (kenduri). Ada juga yang langsung dibawa ke makam dan mengadakan doa bersama di makam.

Nyadran merupakan ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masya rakat di mana rasa gotong- royong, solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama dari tradisi ini. Ungkapan ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah tata hubungan vertikal-horizontal yang lebih intim. Dalam konteks ini, maka nyadran akan dapat meningkatkan pola

Page 230: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

216 Dr. Adang Kuswaya

hubungan dengan Tuhan dan masyarakat (sosial), sehingga akhirnya akan meningkatkan pengembangan kebudayaan dan tradisi yang sudah berkembang menjadi lebih lestari.

Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan medium perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan. Prosesi ritual atau tradisi nyadran yang dilakukan di beberapa tempat yaitu mereka berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun partai. Ia menjadi ajang untuk berbaur dengan masyarakat, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain

Nuansa kedamaian, humanitas dan familiar sangat kental terasa. Apabila nyadran ditingkatkan kualitas jalinan sosialnya, rasanya Indo-nesia ini menjadi benar-benar rukun, ayom-ayem, dan tenteram. Begitu-lah banyak pesan setidaknya kita diingatkan untuk menjadi orang yang “memuliakan dan menghormati orangtua, atau para leluhur yang telah berjasa kepada kita”. Jelas dan pasti, lantaran beliau telah berjasa dalam kehidupan ini.

Nyadran sebagai istilah menurut Mudjahirin Thohir, merupakan ekspresi simbolik: Pertama, leluhur itu asal-muasal geneologis bagi setiap individu (keluarga) yang bersangkutan. Tanpa memahami leluhurnya sama artinya dengan melangkah tanpa pijakan. Kedua, karena keberada-an itu maka anak keturunan tidak melupakan, tetap menjaga hubungan dalam bentuk hubungan simbolik. Ketiga, cara bagaimana memelihara hubungan tadi adalah dengan menziarahi, dan mendoakannya dalam memasuki alam keabadian. Keempat, menziarahi dan dan mendoakan adalah pertanda memperhatikan dan menghormati orang-orang yang telah berjasa dalam hidupnya.

Konteks Indonesia saat ini Nyadran telah menjelma sebagai refleksi, wisata rohani kelompok masyarakat di tengah kesibukan sehari-hari. Masyarakat, yang disibukkan dengan aktivitas kerja yang banyak menyedot tenaga sekaligus (terkadang) sampai mengabaikan religiusitas, melalui nyadran, seakan tersentak kesadaran hati nuraninya untuk kem-bali bersentuhan dan bercengkrama dengan nilai-nilai agama: Tuhan.

Page 231: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

217Aplikasi Teori

Sedangkan menurut dosen Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo, Ahmad Izzuddin, sadranan menjelang bulan puasa selain memiliki makna doa kepada Tuhan, juga wujud pengharga-an terhadap bulan Sya’ban. Bulan yang juga memiliki keistimewaan atau yang biasa disebut dengan Nisfu Sya’ban. “Dalam ajaran Islam, bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan merupakan bulan pelaporan. Pelaporan atas amal perbuatan manusia. Makanya, di sejumlah tempat diadakan sadranan yang maknanya adalah melaporkan segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama setahun, untuk nantinya manusia ber-introspeksi,” papar Izzuddin.

Saat Islam masuk ke Jawa mulai abad ke-13, ritual semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buddha lambat laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam. Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah Islam di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam mem-buahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya budaya nyadran.

Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa tradisi Ruwah adalah suatu upacara bersih desa, yang disebut juga merti desa atau sedekah bumi. Tradisi ini merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat dan masyarakat senantiasa selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Nilai pendidikan yang dapat diambil dengan dilaksanakannya tradisi Ruwah tersebut adalah dapat dipetik pelajaran mengenai makna dan arti ke-gotong royongan sebagai nilai luhur kebersamaan dan kerukunan masya-rakat.

Selain apem, ketan dan kolak, makna yang terkandung dalam per-lengkapan Ruwah yang terdiri dari nasi liwet, ayam utuh (ingkung), pisang raja, dan ubo rampenya yang lain mempunyai menyimbolkan ajaran luhur dari nenek moyang, yaitu sifat pemberani demi membela tanah air, selalu menyerahkan segala masalah kepada Allah SWT, men jalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, tidak bergaya hidup mewah, selalu bekerjasama dalam menghadapi tugas yang dibebankan, dan ikhlas menjalankan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT serta meng-ajarkan bahwa manusia mempunyai kemampuan yang terbatas. Ada ke-kuatan yang maha besar yang mengatur mengenai kehidupan manusia di alam ini yaitu Allah SWT.

Page 232: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

218 Dr. Adang Kuswaya

2. LebaranDalam bahasa Jawa, hari raya Idul Fitri disebut juga dengan istilah Lebaran. Lebaran mengandung maksud lebar-lebur-luber-labur. Lebaran juga dipahami sebagai Laku papat artinya empat tindakan dalam perayaan Lebaran. Empat tindakan tersebut adalah: Lebaran, Luberan, leburan dan Laburan.

Lebaran bermakna usai, menandakan berakhirnya waktu puasa. Ber-asal dari kata lebar yang artinya pintu ampunan telah terbuka lebar. Lebar artinya kita akan bisa lebaran dari kemaksiatan.

Luberan bermakna meluber atau melimpah. Sebagai simbol ajaran bersedekah untuk kaum miskin. Pengeluaran zakat fitrah menjelang lebaran pun selain menjadi ritual yang wajib dilakukan umat Islam, juga menjadi wujud kepedulian kepada sesama manusia. Luber artinya luber dari pahala, luber dari keberkahan, luber dari rahmat Allah SWT.

Leburan momen saling melebur dosa dan kesalahan kita akan me-lebur habis karena setiap umat Islam dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain. Lebur artinya lebur dari dosa.

Laburan berasal dari kata labur atau kapur. Kapur adalah zat yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun pemutih dinding. Maksud nya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin satu sama lain. Labur artinya bersih sebab bagi orang yang benar-benar melaksanakan ibadah puasa, maka hati kita akan dilabur menjadi putih bersih tanpa dosa.

Masyarakat Kembangarum biasanya melabur, mencat ulang rumah dalam rangkat menyambut lebaran. Hal ini secara makna simbolik mereka memahami lebaran dalam arti laburan Sebagai penerapan secara lahi-riyah maknawi hal ini mengandung arti pembersihan dhohir disamping pembersihan batin yang telah dilakukan.

a. Filosofi Tradisi SyawalanSecara umum, ada beberapa makna yang terkandung dalam tradisi syawalan yang saat ini sering kita temukan di tengah masyarakat.1) Saling memaafkan Syawalan merupakan momen yang tepat untuk saling memaafkan

agar hati kita kembali bersih, fitrah. Dengan saling berjabat tangan

Page 233: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

219Aplikasi Teori

dan memaafkan secara tulus ikhlas, khilaf dan salah kita terhadap sesama akan luntur dengan sendirinya.

2) Media silaturahim Syawalan menjadi sebuah media silaturahim yang sangat efektif.

Dengan Syawalan, ikatan persaudaraan antar peserta dapat semakin erat terjalin, terlebih jika dikemas dalam acara yang interaktif, ajang perkenalan pun menjadi lebih menarik dan menumbuhkan semangat persaudaraan yang mendalam.

3) Berbagi rizki Sering syawalan dijadikan ajang membagi rizki dari anggota ke-

luarga yang sukses kepada anak-anak dari anggota keluarga lain yang secara finansial di bawah anggota tersebut. Hal ini umumnya dilakukan dengan membagi-bagi recehan kepada semua anak kecil yang dibawa dalam acara syawalan tersebut.

http://tradisionalseni.blogspot.com/2012/09/makna-tradisi-syawalan.html

b. Pemaknaan Material Makanan dalam Tradisi Badhan Bancakan atau kenduren merupakan kumpulan aktifitas masyarakat untuk sebuah selamatan. Biasanya dalam acara tersebut dihidangkan be-be rapa makanan yang lazim. Makanan yang dimaksud terdapat lima unsur yang disarankan ada untuk dipenuhi, yaitu apem, pasung (apem yang dililit daun pisang atau daun nangka yang dibentuk kerucut), gedhang atau pisang, ketan, dan kolak.

“Menurut penuturan guru ngaji saya”, demikian dikatakan salah seorang warga Kembangarum, Mbah Tajab (75th). Pada zaman dahulu, para wali berusaha mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat dengan cara yang telah mereka mengerti, salah satunya adalah memodifi kasi konsep dan bentuk sajen. Sebelum mengenal Islam, masyarakat telah mengenal dinamisme. Salah satu ritual yang ‘wajib’ mereka jalani adalah memberikan persembahan alias sajen kepada kekuatan tertinggi yang mereka tahu. Saat itu, mereka menganggap bahwa para arwah nenek moyang ataupun lelembut merupakan the supreme power. Untuk meng-atasi hal tersebut, seorang wali mengubahnya dengan kelima unsur di

Page 234: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

220 Dr. Adang Kuswaya

atas dan meluruskan bahwa the supreme power adalah Tuhan Yang Maha Esa.

Pada acara nyadran misalnya berbagai makanan simbolik pun di-adakan, seperti apem dan pasum. Tidak hanya itu tetapi juga ada gedhang, kolak dan ketan. Konon istilah-istilah tersebut sebenarnya berasal dari bahasa Arab. Apem berasal dari kata ‘afwun atau ampunan. Gedhang berasal dari kata ghadan yang berarti bersegeralah, besok. Ketan berasal dari kata khatha’an atau kesalahan. Pasung berasal dari kata fa shaum yang berarti segeralah berpuasa. Sedangkan kolak berasal dari kata khala atau kosong.

Sedangkan ketupat merupakan simbolisasi dari ngaku lepat penga-kuan salah. Sejarah ketupat menurut salah satu riwayat adalah kanjeng Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan pada masyarakat jawa. Sunan Kalijaga membudayakan 2 kali bakda, yaitu bakda lebaran dan bakda kupat. Bakda kupat dimulai seminggu sesudah lebaran. pada hari yang disebut bakda kupat tersebut, di tanah Jawa waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda. Se-telah selesai dianyam, ketupat diisi dengan beras kemudian dimasak. Ketupat tersebut diantarkan ke kerabat yang lebih tua, sebagai lambang kebersamaan.

Dalam filosofi Jawa, ketupat lebaran bukanlah sekedar hidangan khas hari raya lebaran. Ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Laku papat artinya empat tindakan yaitu lebar, lebur, luber dan labur.

Paling tidak ada tiga hal yang bias diambil dari filosofi ketupat seperti berikut ini. Pertama, mencerminkan beragam kesalahan manusia. Hal ini bisa terlihat dari rumitnya bungkusan ketupat ini. Kedua, kesucian hati. Setelah ketupat dibuka, maka akan terlihat nasi putih dan hal ini mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah memohon ampunan dari segala kesalahan. Ketiga, mencerminkan kesempurnaan. Bentuk ke-tupat begitu sempurna dan hal ini dihubungkan dengan kemenangan umat Islam setelah sebulan lamanya berpuasa dan akhirnya menginjak Idul Fitri.

Page 235: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

221Aplikasi Teori

Pemaparan tentang material makanan dalam tradisi badhan di atas dapat membentuk sebuah pesan. Jika digabungkan rangkaian meta-forik dari makanan di atas akan bermakna, “bersegeralah memohon ampunan dari segala kesalahan dan segeralah berpuasa agar semuanya kembali dalam keadaan kosong bersih dari dosa”. Pesan sederhana yang mengandung makna mendalam, sehingga akan mendorong setiap orang untuk sejenak introspeksi diri (muhasabah).

C. Worldview, Pandangan Dunia Masyarakat Jawa tentang AlamMengenai worldview atau pandangan dunia masyarakat Jawa tentang alam peneliti mengali dari berbagai sumber sehingga dapat dijelaskan dalam deskripsi berikut ini. Dalam tulisan berikut akan dipetakan worldview masyarakat Jawa pada umumnya. Yaitu konsepsi tentang manusia, ling-kungan dan hubungan sosial. Hubungan sosial dimaksud dapat dilihat dari adanya hubungan hirarki yang menggambarkan struktur sosial dalam masyarakat Jawa.

1. Konsep Manusia Pada umumnya kehidupan orang Jawa hampir semua bidang kehidupan baik dalam pergaulan maupun upacara-upacara selalu terlihat peng-ungkapan rasa budaya, yang sifatnya mistik. Dalam konsepsi Jawa, manusia pertama-tama adalah makhluk rohani. Dominannya keper cayaan ini dapat dilihat dari konsep mereka tentang lingkungan. Konsepsi tentang manusia sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Hindu, Budha, dan ter-utama Islam. Tiga agama ini memperkaya dan sangat membantu khazanah konsepsi dan sistematika ajaran tentang manusia dalam kebudayaan Jawa.

Dalam ajaran Budha, terutama Hindu, karena adanya proses sosio-logis maka orang Jawa mendapatkan konsepsi klasifikasi manusia yang secara umum terbagi dalam dua bagian: wong cilik dan priyai. Priyai merupakan kelompok kelas sosial ekonomi atas. Yang penting dicatat adalah konsepsi-konsepsi sistematik dan rumit tentang manusia lebih banyak berkembang dikalangan priyai daripada dikalangan wong cilik. Ini terjadi karena, raja-raja dan priyai Jawa secara politik dan militer semakin tidak signifikan, namun secara kultural, mereka tetep sebagai

Page 236: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

222 Dr. Adang Kuswaya

pemimpin kebudayaan. Atau justru sebagai kompensasi dari kehilangan kekuatan politik dan militer sehingga posisinya tetep berbeda dari orang kebanyakan.

2. Konsep Lingkungan Bagi orang Jawa, lingkungan fisik yang dapat ditangkap dengan panca indera, hanyalah bagian dari gejala universal. Yang dimaksud, bahwa ke-nyataan-kenyataan hidup yang ditangkap oleh panca indera, secara utuh, menyatu dengan hal-hal yang tidak bisa ditangkap oleh panca indera. Dengan kata lain, realita dilihat sebagai sesuatu yang menyeluruh. Bahkan interaksi-interaksi sosial sekaligus merupakan sikap terhadap alam. Se-baliknya, sikap terhadap alam sekaligus mempunyai relevansi sosial.

Antara pekerjaan, interaksi, dan doa tidak ada perbedaan yang hakiki. Keteraturan merupakan refleksi dari konsep sistem kepercayaan Jawa, yang mengemukakan bahwa kehidupan yang terkoordinasikan antara manusia dengan alam sekitarnya merupakan sistem kehidupan yang di-banggakan. Masyarakat serta alam merupakan lingkup sosialisasi orang Jawa sejak kecil. Pertama-tama masyarakat terwujud kalangan orang Jawa dalam keluarganya sendiri, di mana ia termasuk sebagai anak, adik atau kakak. Kemudian melebar pada tetangga, kelurga kemudian seluruh desa. Alam dianggap sebagai sumber rasa aman, sebab sesuai dengan konsep totalitas yang terkoordinasi, alam dihayati sebagai kekuasaan yang menentukan keselamatan dan kehancuran.

Kepercayaan akan kenyataan alam gaib ini mendorong orang Jawa untuk berusaha menghindari diri dari proses tabrakan dengan pemegang kekuasaan alam gaib. Dorongan ini kemudian mempengaruhi konsep tempat yang tepat bagi mereka. Pandangan dan konsep lingkungan yang semacan ini, merefleksikan kepercayaan animistik. Benda-benda dipengaruhi oleh spiritualitas pemiliknya dan pembuatannya, bahkan mampu membuat suatu kekuatan. Kejadian-kejadian alami seperti ke-keringan, letusan gunung api, atau serangan hama, memiliki makna spirilualitas atau adikodrati yang berlaku sebagai tanda-tanda yang ber-asal dari gerak-gerik kosmos untuk kemudian menjadi obsesi yang terus menerus dalam benak orang Jawa.

Page 237: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

223Aplikasi Teori

3. Hubungan-Hubungan Sosial Bentuk-bentuk hubungan sosial masyarakat Jawa lebih kurang meru-pakan refleksi dari konsepsi manusia dan lingkungannya, terutama konsepsi mereka tentang lingkungan yang mempengaruhi bentuk-bentuk hubungan sosial. Ini terjadi karena lingkungan dan persepsi mereka ter-hadap lingkungan, jauh lebih langsung berhadapan dengan realitas ke-hidupan sehari-hari.

Dominannya pola-pola hubungan yang menekankan keselarasan atau harmoni, keinginan untuk menjauhkan konflik terbuka, merupakan refleksi langsung dari konsep keteraturan lingkungan yang ter koor-dinasikan. Suatu obsesi yang terus-menerus menghantui orang Jawa. Dapatlah disebutkan pada dasarnya, bentuk hubungan sosial yang me-nekankan pada keselarasan ini merupakan gejala umum yang berkembang baik dikalangan petani wong cilik maupun dikalangan priyayi. Meskipun demikian, ada juga perbedaan bentuk hubungan sosial. Di antara sesama kalangan petani wong cilik dengan kalangan priyayi. Setidak-tidaknya perbedaan itu terlihat dengan nyata pada kedalaman pemikiran etika pergaulan antara kedua golongan itu.

a. Petani atau Wong Cilik Sebagaimana diketahui, satuan dasar soal politik petani, wong cilik atau lebih tepatnya masyarakat desa Jawa, adalah desa (dukuh) yang terdiri dari sekelompok rumah. Desa merupakan masyarakat kecil dengan hubungan antar sesama yang tertutup dan kerap kali terpencil, yang berkeinginan memepertahankan keserasian internal dan kerja sama yang baik. Sistem sosialnya dilengkapi dengan seperangkat kewajiban yang di-formalkan untuk dibebankan pada setiap petani kepada kerabatnya, rekan-rekannya, dan masyarakat desa.

Kewajiban ini diambil sebagai suatu keseluruhan membina suatu sistem timbal balik yang kukuh dan berurat akar. Kondisi hubungan ini mampu membawa diri sesuai dengannya. Oleh karena itu, orang jangan mengembangkan ambisi-ambisi, jangan mau bersaing satu sama lain, melainkan hendaknya tiap orang puas dengan kedudukan yang telah di-perolehnya dan berusaha menjalankan tugasnya masing-masing dengan sebaik-baiknya.

Page 238: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

224 Dr. Adang Kuswaya

Ambisi persaingan, kelakuan kurang sopan, perpecahan, ketidak-selarasan dan kontradiksi seharusnya dicegah dan ditindas. Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak telah teresap dalam kehi-dupan orang Jawa dan tidak ada kemungkinan untuk menyapa seseorang serta bercakap-cakap dengannya tanpa sekaligus memperlihatkan bagai-mana kita menafsirkan kedudukan sosial kita dibandingkan dengannya.

Dalam cara menyapa orang Jawa mempergunakan istilah-istilah dari bahasa keluarga. Istilah itu mengungkapkan segi senior-yunior. Semua istilah itu mengungkapkan kedudukan orang tersebut lebih tua atau lebih muda, apakah keponakan itu anak kakak atau anak adik dari ayah atau Ibu. Kefasihan dalam mempergunakan sikap hormat yang tepat pada orang Jawa dikembangkan sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga. Pendidikan itu tercapai melalui tiga perasaan yang dipelajari anak-anak Jawa dalam situasi-situasi yang menbuat rasa hormat, yaitu wedi, isin, dan sungkan.1) Sikap wedi, isin dan sungkan Kata wedi berarti takut terhadap akibat kurang enaknya suatu tin-

dakan sedangkan isin berarti malu juga dalam arti malu-malu, me-rasa bersalah dan sebagainya. Isin dan hormat ditambahkan dengan rasa sungkan merupakan suatu kesatuan. Orang Jawa merasa isin apabila ia tidak dapat menunjukkan sikap hormat yang tepat ter-hadap orang yang pantas dihormati. Perasaan isin dapat muncul dalam semua situasi sosial. Bisa dikatakan, semua hubungan keluar selalu terancam rasa isin.

Sikap hormat dan sikap berhubungan dengannya, berkembang paling jelas pada kalangan masyarakat ini di mana kehidupan sehari-hari dipengaruhoi oleh struktur hirarkis, terutama ketika berhadap-an dengan kaum priyayi yang secara tradisioanal berpedoman ke kraton. Sedangkan dalam lingkungan mereka sendiri (desa) dengan struktur dasar yang egaliter, sikap itu tidak memainkan peran yang cukup besar. Sebab pada dasarnya, kehidupan desa menjunjung tinggi nilai persamaan, baik petani miskin maupun petani kaya dengan menyatakan bahwa dalam kehidupan desa setiap orang tanpa kecuali mendapat kedudukan dan kehormatan yang sama. Lurah

Page 239: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

225Aplikasi Teori

menduduki tempat sebagai bapak, tetapi bukan sebagi otoritas yang harus ditaati. Otoritas lurah tidak tanpa tandingan.

Untuk tindakan-tindakan yang menyangkut seluruh desa, ia harus mencari persetujuan semua orang. Perintah diberikan dalam bentuk usul,seperti diajukan pada orang yang sama kedudukannya, semua keputusan yang penting disetujui dan semuanya harus me-lalui suatu musyawarah atau renbug desa.

Selain dalam hubungan-hubungan sosial maka dalam masya-rakat Jawa terdapat juga bentuk-bentuk kemasyarakatan. Bentuk kemasyarakatan Jawa pada dasarnya terdiri dari masyarakat keke-luargaan, masyarakat gotong royong dan masyarakat ketuhanan.

2) Masyarakat kekeluargaan Masyarakat Jawa bukan sekumpulan manusia yang menghubung -

kan individu satu dengan lainnya dan individu satu dengan masyarakat, melainkan suatu kesatuan yang lekat terikat satu sama lainnya oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi maupun religi dan inti terkecil dalam masyarakat adalah keluarga. Hidup kekeluargaan itu sesungguhnya mewujudkan hidup bersama dalam masyarakat yang paling kecil yang disebut masyarakat desa. Beberapa ratus desa yang secara geografis tergabung dalam suatu wilayah daerah yang masing-masing memiliki norma hidup bermasyarakat, dialek bahasa serta tata cara adat tradisional tersendiri, yang biasa disebut masya rakat daerah.

Sistem hidup kekeluargaan di Jawa tergambar dalam hukum adatnya. Adat istiadat dimana setiap orang laki-laki bekerja mem-bantu keluarga yang lain dalm hal-hal tertentu, seperti mengerjakan sawah, membuat rumah, memperbaiki jalan desa, membersihkan komplek makam dan kepentingan-kepentingan bersama lainnya, hampir terdapat di semua wilayah daerah yanga ada. Hal ini meru-pakan landasan masyarakat gotong royong.

Semboyan seperti “gotong royong” merupakan rangkaian hidup tolong-menolong sesama warga atau keluarga. Hal ini merupakan ciri kepribadian orang Jawa semuanya. Oleh karena itu masyarakat

Page 240: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

226 Dr. Adang Kuswaya

Jawa bukanlah merupakan persekutuan individu, melainkan suatu kesatuan bentuk “satu untuk semua dan semua untuk satu”. Ini masih berlaku hingga saat ini dalam sistem musyawarah adat di desa yang disebut ”rembug desa”.

3) Masyarakat gotong royong Sifat hidup gotong royong merupakan penerus dari hidup keke-

luargaan dan biasanya secara naluriah warisan nilai itu diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya. Semangat gotong-royong meru-pakan adat tradisional dalam masyarakat desa dan dipupuk terus-menerus secara dinamis dengan sistem ilmu pengetahuan modern dalam bentuk-bentuk organisatoris. Bentuk masyarakat organis (ke keluargaan) disintesakan dengan sistem modern organisatoris menjadi bentuk koperasi, arisan, perkumpulan-perkumpulan sosial seperti kematian, olahraga, pemuda dan lain-lain. Gambaran masya-rakat yang “panjang-punjung pasir wukir lor-jinawi, tata tentrem kerta-raharja” adalah cermin dari cita-cita atau tujuan masyarakat gotong royong.

4) Masyarakat Berketuhanan. Suku bangsa Jawa pada jaman purba mempunyai pandangan hidup

animisme atau kepercayaan adanya roh atau jiwa pada semua benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga pada manusia sendiri. Masuknya agama hindu ke Jawa membawa pandangan hidup manusia pada dewa-dewa yang mempunyai dan menguasai alam semesta. Masuknya agama Budha, Islam, Kristen, Katolik ke Jawa membawa perkembangan lebih lanjut akan keyakinan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkembangan tingkat demi tingkat sesuai dengan perkembangan zaman dan menggambarkan kehi-dupan religi masyarakat Jawa dari dulu sampai sekarang.

b. Priyayi Pola hubungan sosial para priyayi tidak berbeda jauh baik dengan ka-langan petani atau wong cilik. Letak perbedaann yaitu, justru terletak pada kedalaman filsafat dari setiap unsur dan elemen yang menopang sistem hubungan sosial.

Page 241: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

227Aplikasi Teori

Untuk memahaminya kita perlu memahami dasar-dasar pandangan dunia priyayi yang menjadi pengukur metafisik dan batas yang kemudian diringkas menjadi sepasang konsep yang netral, alus dan kasar. Alus ber-arti murni, berbudi halus, halus tingkah lakunya, sopan, indah sekali, lembut, halus, beradab, ramah. Seseorang yang berbicara Jawa tinggi (kromo inggil), secara halus adalah alus, seperti halnya bahasa Jawa itu sendiri.

Dengan demikian, apa yang memegang peranan besar dalam sistem hubungan sosial priyayi adalah etiket. Etiket priyayi dengan serangkain cara formal dalam mengerjakan segala sesuatu, yang menyembunyi kan perasaan sebenarnya dari orang lain. Etiket juga mengatur tingkah laku diri sendiri dan orang lain hingga tak memungkinkan memberi kejutan yang tak menyenangkan.

Dalam hal ini, ada empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi: bentuk yang sesuai untuk pangkat yang tepat, ketidaklangsungan, ke-pura-puraan dan menghindari tiap perbuatan yang menunjukkan ke nga-wuran atau tak menguasai diri. Dalam bentuk yang sesuai dengan pangkat yang tepat, terdapat soal yang yang penting mengenai pilihan bentuk linguistik, yang harus dilakukan segera, termasuk pula di dalamnya andhap ashor dengan tepat.

Salah satu hasilnya adalah adanya tendensi untuk bergerak seperti seekor ular melata di air untuk hati-hati sekali menghindarkan langkah yang salah. Persoalan serupa muncul juga kalau pangkat dan umur ber-tentangan. Apa yang harus diperbuat seorang tua yang tidak punya ke-dudukan, berhadapan dengan anak muda yang berkedudukan tinggi, atau seorang priyayi melarat berhadapan dengan pedagang kaya.

Persoalan ini sebagian diselesaikan oleh kenyataan bahewa pola andhap asor maupun pemakaian bahasa bukan suatu yang mutlak bersifat perendahan sampai tingkat ataupun kecongkakan bangsawan, melainkan dapat diikuti secara bertingkat-tingkat. Setengahnya ini merupakan seni-nya di mana priyayi yang bermartabat dapat mengekspresikan semua nuansa kedudukan yang kebanyakan akan luput dari pengertian barat sama sekali dan seorang pemain yang lihai bisa membuat seorang yang baru merasa gemetar tak bergerak. Sebagaimana orang Jawa mengatakannya,

Page 242: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

228 Dr. Adang Kuswaya

saya mempunyai seorang teman yang sangat andhap asor kepada saya hingga saya merasa malu kepadanya karena saya tidak bisa melakukan yang serupa dan ketika saya menjawabnya, saya hendak bersikap andhap asor juga, tetapi tidak bisa dan karena itu saya malu.

Pada dasarnya untuk memperhalus perasan maka batin perlu di-atur, tetapi batiniahnya dapat diatur bila yang lahir diatur terlebih dahulu. Karena hanya dengan pengaturan dunia lahir maka manusia dalam konsep Jawa akan mampu mengatur hubungan-hubungan sosial yang disesuai-kan dengan tata krama dan sopan-santun. Di sini ter masuk penekanan terhadap segala ucapan sopan santun; praktik pura-pura, hormat, penge-lakan terhadap segala bentuk interaksi yang seperti memberi jawaban menolak, memberi perintah, membantah dan bertengkar.

Menurut pandangan Jawa untuk mencapai rasa yang mendalam perlu diciptakan keseimbangan batin dan untuk itu mengharuskan penguasan segala hawa nafsu. Hawa nafsu disini termasuk perasaan-perasaan yang kasar. Dalam pandangan Jawa orang yang mantap batinnya memiliki kekuatan moral dan sosial, sedangkan orang yang emosinya kurang akan mengancam kesehatan jiwa dan raga. Di sini kekuatan moral menyata-kan dirinya dalam kelakuan rukun.

Orang priyayi takut terhadap emosi, karena emosi bisa menghasil-kan frustasi berat, membuka rasa agresi yang selalu ditutupi nya serta mengakibatkan represi-represi yamng serius. Orang priyayi menganggap semua itu berbahaya bagi kesinambungan batin, ia harus waspada ter-hadap kemungkinan-kemungkinan itu supaya dapat mengelak pada waktu nya atau sekurang-kurangnya mengurangi efeknya.

Tetapi pada dasarnya masyarakat Jawa menuntut agar usahanya untuk menjamin kepentingan-kepentingan dan hak-haknya, jangan sampai menganggu keselarasan sosial. Prinsip kerukunan secara prinsip me larang pengambilan posisi yang bisa menimbulkan konflik. Demikian juga prinsip hormat yang melarang pengambilan posisi yang tidak sesuia dengan sikap-sikap hormat yang dituntut.

Apapun yang diharapkan dan diusahakan oleh individu, menyangkut hal-hal dan kepentingan-kepentingannya, maupun dalam menilai suatu keadaan, kalangan priyayi mengharapkan agar individu bertindak sesuai

Page 243: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

229Aplikasi Teori

dengan pertimbangan-pertimbangannya sendiri sejauh keselarasan tetap terjaga dan derajat-derajat hirarkis tetap dihormati.

Prinsip keselarasan dengan demikian membuat larangan mutlak ter-hadap usaha untuk bertindak hanya atas dasar kesadaran dan kehendak seorang saja. Prinsip rukun dan hormat menuntut agar si orang priyayi bersedia untuk menomorduakan kepentingan pribadi untuk memper-tahankan keselarasan masyarakat. Prinsip-prinsip itu melarang segala macam tindakan yang tidak sesuai dengan tuntutannya; konflik-konflik secara prinsipil harus dihindari, hubungan-hubungan hirakis selalu di-hormati. Jadi prinsip keselarasan selalu menjadi kerangka yang berfungsi sebagai batas mutlak bagi segala sesuatu. Nah, jadi prinsip keselarasan, kewajiban seseorang bertindak menuntut tanggung jawab sendiri yang akan menemukan batasnya.

D. Aplikasi: Tradisi Badhan Cerminan Masyarakat ReligiusBerangkat dari salah satu ayat yang biasa disampaikan oleh penceramah yaitu Q.S. Ali Imran ayat 133 seperti berikut di bawah ini.

133. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,

Setelah memahami dari beberapa ayat seperti di Bab 3 dan salah satu-nya ayat di atas maka ada beberapa tahap pertama taubat (taubat), kedua, maaf (‘afw), ketiga lapang dada (ashafh) berjabatan tangan, keempat, gufron (pengampunan dan perlindungan).

Demikian juga dapat digali dari ajaran tasawuf. Tiga tahapan dalam ajaran tasawuf sebagai proses pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Suci terungkap dalam tiga laku yaitu takhaali (proses memohon ampunan dengan mengosongkan diri dari perbuatan tercela), tahalli (berbuat baik

Page 244: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

230 Dr. Adang Kuswaya

menghiasi diri dengan perbuatan terpuji) dan tajalli (menjadi manusia sejati, menyatu dengan sifat-sifat yang maha suci).

Pemahaan dari lebaran menunjukkan ada empat laku dalam tradisi lebaran, Lebaran bermakna usai, menandakan berakhirnya waktu puasa. Berasal dari kata lebar yang artinya pintu ampunan telah terbuka lebar. Lebar artinya kita akan bisa mengakhiri dari kemaksiatan. Luberan ber-makna meluber atau melimpah. Sebagai simbol ajaran bersedekah untuk kaum miskin. Pengeluaran zakat fitrah menjelang lebaran pun selain menjadi ritual yang wajib dilakukan umat Islam, juga menjadi wujud ke-pedulian kepada sesama manusia. Luber artinya luber dari pahala, luber dari keberkahan, luber dari rahmat Allah SWT. Leburan merupakan momen saling melebur dosa dan kesalahan kita akan melebur habis karena setiap umat Islam dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain. Lebur artinya lebur dari dosa. Laburan berasal dari kata labur atau kapur. Kapur adalah zat yang biasa digunakan untuk penjernih air mau-pun pemutih dinding. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga ke-sucian lahir dan batin satu sama lain. Labur artinya bersih sebab bagi orang yang benar-benar melaksanakan ibadah puasa, maka hati kita akan dilabur menjadi putih bersih tanpa dosa.

Pemaknaan dari makanan simbolik, Apem berasal dari kata ‘afwun atau ampunan. Gedhang berasal dari kata ghadan yang berarti ber segeralah, besok. Ketan berasal dari kata khatha’an atau kesalahan. Pasung berasal dari kata fa shaum yang berarti segeralah berpuasa. Sedangkan kolak berasal dari kata khala atau kosong. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari ngaku lepat dan laku papat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Laku papat artinya empat tindakan yaitu lebar, lebur, luber dan labur. Maka, jika digabungkan rangkaian meta forik dari makanan di atas akan bermakna “bersegeralah memohon ampun-an dari segala kesalahan dan segeralah berpuasa agar semuanya kembali dalam keadaan kosong bersih dari dosa.”

Sebagai pemahaman penyempurna yang tidak boleh dilepas kan juga adalah pemahaman konsep orang jawa terhadap alam. Tentang prinsip keselarasan yang membuat larangan mutlak terhadap usaha untuk bertindak hanya atas dasar kesadaran dan kehendak seorang

Page 245: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

231Aplikasi Teori

saja. Prinsip rukun dan hormat menuntut agar sesorang bersedia untuk menomorduakan kepentingan pribadi untuk mempertahankan ke se-larasan masyarakat.

Perhatian penelitian tertuju kepada perayaan badhan memper-lihatkan tiga aktifitas badhan yang dilakukan masyarakat Kembangarum menggambarkan bahwa nyadran sebagai pengakuan bersalah atas diri-nya, poso sebagai pendekatan kepada Yang Maha Suci dengan melakukan berpuasa dan segala aktifitasnya dan puncaknya adalah badhan sebgai bentuk peleburan membersihkan dosa untuk kembali kepada kefitrohan (fitri) memulai hidup tanpa dosa.

Setelah melakukan penelitian maka dapat dikatakan bahwa tidak ragu lagi peneliti mengatakan bahwa masyarakat Kembangarum sudah menerapkan Q.S. Ali Imran ayat 133. Sedangkan tradisi badhan selain upaya pelestarian tradisis Islam juga merupakan bentuk living quran men-jadikan alquran yang hidup di masyarakat, di mana mereka berperilaku didasarkan kepada ajaran agamanya.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan1. Konsep al-Qur’an tentang saling memaafkan kesalahan yang ter-

dapat dalam literature tafsir yang ada menunjukkan ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam pengampunan. Dari beberapa ayat-ayat maka dapat dipahami ada beberapa tahap pertama taubat (taubat) berhenti untuk tidak mengerjakan perbuatan keji lagi, kedua, maaf (‘afw) mnghiasi dengan cara mengganti dengan perbuatan terpuji, ketiga lapang dada (ashafh) berjabatan tangan sebagai me-mohon maaf kepada orang bersangkutan, keempat, gufron (pengam-

Page 246: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

232 Dr. Adang Kuswaya

punan dan perlindungan) orang memberi maaf dan kemudian men jaga dan melindunginya.

2. Potret kehidupan sosial warga muslim Kembangarum pada bulan sebelum dan setelah bulan Ramadhan. Mereka mereka merayakan kegiatan mulai nyadran Pada bulan Ruwah satu bulan sebelum puasa. Selama berpuasa pada bulan Ramadhan kegiatan mereka isi dengan beragam aktifitas mulai bangun sampai mereka tidur lagi.

Terlihat aktifitas mereka dari mulai melakukan makan sahur sebelum masuk waktu subuh, melakukan shalat berjama’ah subuh, menyimak penceramah menyampaikan kuliah subuh. Pada siang hari mereka berkerja seperti di luar bulan puasa, menjelang waktu sekitar satu jam sebelum magrib, mereka berkumpul di masjid untuk mendengar taushiyah sambil menunggu waktu untuk ber-buka puasa tiba. Setelah berbuka mereka shalat magrib ber jamaah. Kembali pada waktu shalat isya mereka berkumpul di masjid di-lanjutkan shalat tarawih. Selepas shalat tarawih berjamaah mereka menambah kegiatan dengan membaca al-Qur’an secara bergiliran. Di penghujung dari puasa mereka genapkan aktifitas puasanya dengan membayar zakat fitrah.

Sedangkan kegiatan puncak dari badhan adalah lebaran meru-pakan merupakan rangkaian mulai dari takbiran, lantunan takbir sebagai ekpresi mengagungkan Allah yang Maha Besar. Shalat Eid shalat tambahan 2 rakaat diikuti mendengarkan khutbah, dan ber-jabatan tangan. Bermohon maaf dimulai kepada kedua orang tua dengan cara sungkeman. Kemudian kepada tetangga.

3. Praktik badhan pada masyarakat Muslim Kembangarum Kota Salatiga dalam melestarikan tradisi badhan. Badhan merupakan rankaian akti-fitas muai dengan nyadran kemuadian puasa dan terakhir dengan lebaran. Nyadran mereka lakukan di bawah tuntunan seorang tokoh agama setempat. Pada bulan ruwah satu bulan sebelum puasa masya rakat Kembangrum biasa melakukan nyadran di tempat pema-kaman umum yang dapat dijangkau terdekat sekitar 500 meter.

Aktifitas puasa mereka genapkan dengan amalan lainnya dari mulai melakukan makan sahur, melakukan shalat berjama’ah subuh,

Page 247: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

233Aplikasi Teori

menyimak ceramah kuliah subuh. Pada siang hari mereka berkerja dan menjelang waktu sekitar satu jam sebelum magrib, mereka ber -kumpul untuk berbuka bersama. Mereka lanjutkan dengan shalat magrib berjamaah. Kembali pada waktu shalat isya, shalat tarawih. Kemudian membaca al-Qur’an secara bergiliran atau tadarus. Di penghujung berpuasa mereka membayar zakat fitrah. Tiba saatnya lebaran setelah mereka berpuasa sebulan. Di acara pamungkas di hari lebraran mereka meminta maaf mulai setelah prosesi shalat Eid selesai, mereka keliling ke rumah tetangga. Hal yang paling me-narik adalah pihak pengurus Rukun Tetangga (RT) di Kembang arum meng adakan acara khusus halal bihalal bagi warga dan diikuti oleh seluruh warga tanpa sekat agama, sosial dan umur. Halal bihalal yang diselenggarakan oleh pengurus RT biasanya dilangsungkan pada hari ke sepuluh hari setelah shalat Eid.

B. Saran-saranTulisan hasil penelitian yang membahas prosesi badhan lebaran dalam tradisi masyarakat Jawa belum banyak dilakukan. Oleh karena itu bagi para peneliti yang konsen terutama yang membidangi sosiologi, antro-pologi dan fenomenologi merupakan lahan penelitian yang menjanjikan. Semoga penelitian awal ini merupakan katalisator untuk pengayaan hasil penelitian berikutnya.

DAFTAR PUSTAKAAl Abyari, Ibrahim, 1992, Sejarah al-Qur’an, Jakarta: Bineka cipta.Al Qasimy, Muhammad Jamaluddin, 1960 Mahasin al Ta`wil, Beirut: Dar

al Ihya Kutub al Arabiyah.Al Qurthuby, t.t, al Jami LI Ahkam Al-Qur’an, Beirut: Dar Al FikrAl Razy, fakhrudin, t..t., Tafsir Al Kabir Mafatih Al Ghaib, Beirut: Dar Al

Fikr.Al Syirbasyi, Ahmad,1991, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Beirut: Dar Al Fikr.

terjemahan Pustaka Hidayah, Jakarta: Pustaka Hidayah.Al Zarqani, t.t, manahil Al Irfan Fi Ulum Al Qur`an, Beirut: Dar Al Fikr.

Page 248: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

234 Dr. Adang Kuswaya

Farmawi, Abdul hay, 1977, Al Bidayah Al tafsir Al-Maudlu`I, Kairo: Hadlarah Al Arabiyah. 1994, Metode Tafsir Maudlu`i, Terj. Suryan. A. Jamrah. Cet. I Jakarta: PT. Persada.

Fischer, C (1984) The Urban Experience. Harcourt, New York.Ibnu katsir, t.t, Tafsir Al Qur`an Al Adzim, Surabaya: Syirkah NurAsia. in

Jakarta. Jarry, R and J. Jarry (1987) Dictionary of Sociology. Collins, London.Payne, Michael (ed.) (1998) A dictionary of Cultural and Critical Theory. PSJ-

UI, Jakarta.Rahman, Fazlur. 1983, Tema Pokok Al Qur`an, Cet. I. Bandung: Pustaka.Ridla, Muhammad Rasyid. t.t., Tafsir Al-Manar, Beirut: Dar Al Fikr.Shihab, Muhammad Quraish. 1993, Membumikan Al Qur`an, Bandung:

Mizan.Soetapa, Djaka, 1991, Ummah Komunitas Religious, Sosial dan Politik dalam Al

Qur`an. Yogyakarta: Duta Wacana Press.Somantri, Gumilar R. , Kajian Sosiologis Fenomena Mudik www.sosiologimudik,

diakses tanggal 12 juni 2014 jam 09.30Somantri, Gumilar (1995) Migration within Cities: A Study of Socioeconomic

Processes, Intra-City Migration, and Grassroots Politics in Jakarta. UMI, Michigan.

Somantri, Gumilar (2000) Village in Motion. Time Publisher, Singapore.Urry, John (1999) Sociology Beyond Societies. Routledge, London.Webster New Encyclopedic Dictionary 1994. HR, New York.

Bahan Bacaan lainUntuk memperkaya penelitian karya-karya dari Prof Mudjahirin Thohir dapat membantu peneliti. Di antaranya Wacana Masyarakat dan Kebudayaan Jawa Pesisiran (1991), Membangun Rasa Damai di Atas Bara (1999), Talbiyah di atas Ka‘bah: Catatan Spiritual Seorang Antro-polog (2003), Kekerasan Sosial di pesisir Utara Jawa (2005), dan Orang Islam Jawa Pesisiran (2006). Wacana Masyarakat dan Kebudayaan Jawa Pesisiran (1999), Kekerasan Sosial Masyarakat Jawa Pesisiran (2000), Talbiyah di Atas Ka’bah (2004), Orang Islam Jawa Pesisiran (2005), Memahami Kebudayaan: Teori, Metodologi, dan Aplikasi (2007),

Page 249: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

235Aplikasi Teori

Metodologi Folklor (2010), Metodologi Penelitian Sosial Budaya Ber-dasarkan Pendekatan Kualitatif (2013).

Penelusuran di Internet:http://tradisionalseni.blogspot.com/2012/09/makna-tradisi-syawalan.

htmlhttp://kuswandi73.files.wordpress.com/2010/11/cara-mudah-lebih-

memahami-budaya-jawa.pdf

Literatur tambahan: Muhadjir and Lukman Halim. “Topeng Betawi.” In Seni dalam masya-

rakat Indonesia, ed. Edi Sedyawati and Sapardi Djoko Damo no, 90–110. Jakarta: Gramedia, 1983.

Probonegoro, Ninuk I.K. “Teater topeng Betawi sebagai teks dan makna-nya: suatu tafsiran antropologi.” Ph.D. dissertation, Universitas Indonesia, 1987.

Probonegoro, Ninuk I.K. “Teater topeng Betawi sebagai simbol transisi masyarakat Betawi.” Jali-jali 1:21–29, 1987.

Probonegoro, Ninuk Kleden. “Sawer: manifestasi identitas orang Betawi.” Masyarakat Indonesia 10(1):31–45, 1983.

Probonegoro, Ninuk K. “Teater topeng dan sistem pengetahuan.” Jali-jali 4:30–45, Juli 1990.

Probonegoro, Ninuk. “Satu malam dalam kehidupan teater topeng.” Berita Antropologi 9(32/33):99–116, 1977.

Proyek Sasana Budaya. Topeng Betawi. Jakarta: Proyek Sasana Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979/1980.

Sispardjo, Srijono. “Aspek seni musik pada ‘topeng Betawi.’” Kawit 20:27–33, [1978/1979].

Sudjana, Kadir Tisna. “Banjet.” Buletin Kebudayaan Jawa Barat 2:14–18,23–24, [1974/1975].

Page 250: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj
Page 251: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

237

Identitas diri dan keluargaAdang Kuswaya lahir di Ciamis, 31 Mei 1972. Ayah bernama Mohamad Omon seorang guru ngaji di kampung yang kebetulan bertetangga dengan kampung di mana ada pesantren besar PP Darussalam. Ibu bernama Esin Kuraesin yang mendidik penulis akan kesederhanaan dan kerja keras. Penulis

dibesarkan dengan tradisi pengajian madrasah diniyah di kampung Cidewa di Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Penulis menempuh pendidikan dari sejak TK sampai dengan lulus dari MANPK di lembaga pendidikan yayasan Al-Fadliliyah PP Darusslam.

Setelah lulus dari Darussalam tahun 1991 ia melanjutkan studi sarjana dengan Beasiswa penuh selama 4 tahun dari IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dan mengambil Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin. Selesai meraih gelar Sarjana ia melanjutkan program bea-siswa pascasarjana S2 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun 1998 diangkat sebagai staf pengajar di STAIN (sekarang IAIN) Salatiga. Setahun kemudian tepatnya tahun 1999 menikah dengan Laily Atiqoh pada Bulan September. Pada waktu yang sama ia diterima sebagai Maha-siswa S3 dan tanggal 9 September memulai perkuliahan di UIN Jakarta. Kemudian ia lulus Doktor tahun 2006.

BIOGRAFI PENULIS

Page 252: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

238 Dr. Adang Kuswaya

Ia dikarunia dua anak, Adila Tara Nisawanda Dluha Alfani dan Nur Adly Sania Alima Syabana. Tempat tinggal di Jl. Nakula Sadewa V No.5B, Kota Salatiga, Jawa Tengah. Email: [email protected] dan [email protected].

Karya IlmiahKarya tulis yang sudah diterbitkan berupa buku dan artikel di berbagai jurnal. Di antara artikel tersebut: Konsep Ummy dalam Al-Qur’an, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Pemikiran Hermeneutika Al-Qur’an Hassan Hanafi: Deskripsi Analisis Terhadap Karya-Karya Hassan Hanafi tentang Hermeneutika Al-Qur’an. Bebe-rapa buku yang ia tulis di antaranya: Metode Tafsir Alternatif, Mitra Cendekia Jogjakarta, 2008, Geliat Kajian Keislaman, STAIN Salatiga Press, 2009, Hermeneutika Hassan Hanafi, STAIN Salatiga Press, 2009, Studi Kritis terhadap Metode Tafsir Tradisional, STAIN Salatiga Press, 2010, Metode Tafsir Kontemporer, STAIN Salatiga Press, 2011.

Adapun beberapa artikel yang dimuat di antaranya: Menimbang Tafsir Depag RI (jurnal, Attarbiyah, Salatiga, 2004). Hermeneutika Sebuah Pengantar (jurnal, Ijtihad Vol. 6. No.2, Salatiga, 2006). Orientari dari Teks Menuju Realitas (jurnal, Ijtihad Vol. 8. No.1, Salatiga, 2008). Model Penafsiran Muqatil Bin Sulaiman (jurnal, Ijtihad Vol. 8. No.2, Salatiga, 2008). Tafsir Sosio-tematik al Qur’an (jurnal, Ijtihad Vol. 9. No.2, Salatiga, 2009). Chiefdom Madinah: Mengurai Kekeliruan Tafsir Negara Islam (jurnal, Ijtihad Vol. 11. No.1, Salatiga, 2011). Gerakan Damai ala Kelompok-Kelompok Islamis di Dunia Islam (jurnal, Ijtihad Vol. 13. No.2, Salatiga, 2013).

Pengalaman kerjaSejak tahun 1998 tercatat sebagai dosen STAIN Salatiga (sekarang IAIN Salatiga). Tahun 2008 – 2014 sebagai Ketua Forum Diskusi Dosen STAIN Salatiga. Tahun 2006 – 2010 sebagai Director of Journal Ijtihad. Tahun 2010 – 2014 sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (P3M) STAIN Salatiga. Tahun 2014 – 2015 menjadi Kepala Pusat Penjeminan Mutu (P2M) STAIN Salatiga. Tahun 2015-

Page 253: MOdel riset tafsir sosio-tematike-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8012/1/MOdel riset.pdf5. Skema dan Ruang Lingkup Tafsir Al-Qur’an Tematik 105 B. Pendekatan Sosiologis, Manhaj

239

2019 diangkat menjadi Ketua Penelitian dan Pengabdian Kepada Masya-rakat (LP2M) di IAIN Salatiga. Di samping itu, penulis adalah sebagai editor jurnal Ijtihad predikat akreditasi “B” dari 2009 - sekarang, dan editor Jurnal IJIMS terakreditasi “A” tahun 2014 – 2019 .

Pendidikan NonformalSeptember 2015, The International Visitor Leadership Program, Department of State, The United States of America (USA). January - March 2013, Short Course of Entrepreneurship for Small Business Trainers and Promoters, Noida, UP, INDIA. Ministry of External Affairs, Gov. of India. September - November 2013, Short Course Community Outreach in Coady International Institute, St. Francis Xavier Nova Scotia, CANADA. Ministry of Religious Affairs and SILE. February - May 2007, Hassan Hanafi’s Method on Quranic Interpretation in Cairo, EGYPT, Ministry of Religious Affairs, Indonesia. June 2007, Tareqa Dusukiya in Tan’im, Saudi Arabia Kingdom, Ministry of Religious Affairs, Indonesia.

Kegiatan RisetTahun 2010, Advance Research “International Class” in UKM and IIUM, Kuala Lumpur, MALAYSIA. Tahun yang sama 2010, Advance Research di National Institute of Education, SINGAPORE. Tahun 2011, Advance Research Muslim Community, di Universitas Kasem Bundit Bangkok, THAILAND. Tahun 2012 Advance Research Muslim Community In Beijing, CHINA.

Biografi Penulis